BENTENG KOLONIAL EROPA DI PULAU DAN PULAU MOTI: Kajian Atas Pola Sebaran Benteng di Wilayah Utara European Colonial Fortress on the Makian Island and : Study on Pattern of Distribution Fortress in Territory

Syahruddin Mansyur Balai Arkeologi Ambon- Jl. Namalatu-Latuhalat, Ambon 97118 [email protected]

Naskah diterima: 09-03-2015; direvisi: 19-08-2015; disetujui: 28-09-2015

Abstract In the early period of the spice trade, Makian Island Moti Island are the main source in the production of . This condition is the main factor that attaracted tthe presence of Europeans that its influences still can be traced recently. Evidence of the presence of European nations can be seen from the distribution of the fort in the island Makian and Moti Island. This research is intended to uncover the factors that underlie the formation of a network of fortifications in the two islands. Using the method of interpretation of the distribution pattern of the castle and the relationship between regions, this paper uncovered that the main factors the formation of a network of fortifications in the region is the natural conditions or geographical factors, so that consideration of the establishment of each fort associated with the monitoring of safety conditions, supervision of the marketing of cloves, as well as efforts to maintain the existence of a colonial power in the region.

Keywords: the spice trade, colonial, the pattern distribution of the fort

Abstrak Pada periode awal perdagangan rempah-rempah, Pulau Makian dan Pulau Moti adalah sumber utama produksi cengkih. Hal inilah kemudian menjadi daya tarik kehadiran bangsa Eropa yang hingga saat ini masih dapat disaksikan jejak pengaruhnya. Bukti- bukti kehadiran bangsa Eropa tersebut dapat dilihat dari sebaran benteng yang ada di Pulau Makian dan Pulau Moti. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap faktor- faktor yang melatari terbentuknya jaringan perbentengan yang ada di kedua pulau tersebut. Melalui metode penafsiran terhadap pola sebaran benteng dan hubungan antar wilayah, tulisan ini berhasil mengungkap bahwa faktor utama terbentuknya jaringan perbentengan di wilayah ini adalah kondisi alam atau faktor geografis, sehingga pertimbangan atas pendirian setiap benteng berkaitan dengan pengawasan terhadap kondisi keamanan, pengawasan terhadap tata niaga cengkih, serta upaya untuk mempertahankan eksistensi kekuasan kolonial di wilayah ini.

Kata Kunci: perdagangan rempah-rempah, kolonial, pola sebaran benteng

PENDAHULUAN hanya ditemukan di lima pulau di Maluku Kehadiran bangsa Eropa di wilayah Utara, yaitu Pulau , Pulau , Maluku Utara tidak lepas dari peran wilayah Pulau Moti, Pulau Makian, dan Pulau ini sebagai satu-satunya sumber produksi Bacan (Tibbets, 1979: 14-15; Lape, 2000: cengkih yang menjadi komoditi utama 15; Andaya, 1993; 1 dan Mansyur, 2014: perdagangan masa lalu. Dalam berbagai 87). Kelima pulau ini merupakan gugusan sumber disebutkan bahwa tanaman cengkih kepulauan yang membentang dari utara ke merupakan tanaman endemik yang awalnya arah selatan dan secara geografis terletak

Benteng Kolonial Eropa di Pulau Makian dan Pulau Moti : Kajian....., Syahruddin Mansyur 97 di sebelah barat Pulau yang pedagang Eropa ini kemudian mendirikan merupakan pulau terbesar di wilayah benteng yang tidak hanya berfungsi sebagai Maluku Utara. Kondisi geologis kelima bangunan pertahanan tetapi sekaligus pulau ini merupakan pulau gunungapi sebagai pusat perdagangan, pemerintahan dengan kontur yang rapat serta memiliki bahkan permukiman. Benteng-benteng yang lereng-lereng pegunungan sehingga tanaman dibangun oleh bangsa Eropa bahkan identik cengkih dapat tumbuh subur di pulau- dengan dominasi kekuasaan, eksploitasi pulau tersebut. Pulau Makian pada periode ekonomi dan simbol kekuasaan asing (Gill, awal perdagangan cengkih bahkan dikenal 1995: 59; Marihandono, 2008: 3; Mansyur, sebagai sumber produksi dengan jenis 2011:25). cengkih terbaik yaitu Cengkih Raja (Amal, Pada awalnya, bangsa Eropa mulai 2010a: 98; Amal 2010b: 35). membangun benteng-bentengnya di wilayah Dalam konteks jaringan perdagangan, Pulau Ternate dan Tidore. Bangsa Portugis Tanudirdjo (2013), mengemukakan yang merupakan pendatang awal di Maluku bahwa terdapat tiga (3) hal yang membangun Benteng Gamlamo pada tahun menjadi sumber keberhasilan Kepulauan 1522 di Ternate (Abdurachman, 2008: 98 dan Maluku menempati posisi penting Ricklefs, 2010: 45), demikian pula Spanyol dalam perdagangan internasional, yaitu: yang membangun benteng Tahoela pada pertama, kemampuannya yang konsisten tahun 1610 di Tidore, serta Belanda yang menghasilkan produk atau komoditas hadir pertamakali di Kepulauan Rempah- yang khas, sehingga selalu dibutuhkan; Rempah pada tahun 1599 membangun kedua, kemampuan mengatasi keterbatasan benteng Oranje di Ternate pada tahun 1607 dengan melakukan konsolidasi ke dalam (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2010: melalui jejaring regional untuk bekerja- 191, 193, dan 195). Penempatan benteng- sama memenuhi kebutuhan; dan ketiga, kemampuannya untuk mempertahankan jejaring hubungan dengan dunia di luarnya (Tanudirdjo, 2013: 5). Kemunculan Ternate sebagai bandar utama perdagangan cengkih diawali oleh Sida Arif Malamo yang memerintah pada tahun 1317-1331. Sejak saat itu, mulai berdatangan pedagang- pedagang Arab, Cina, dan pedagang- pedagang nusantara dari Jawa, Malaka, dan Makassar. Para pedagang ini kemudian menetap dan membuka pos-pos niaga di Ternate, Tidore, dan Makian (Amal, 2010b: 35-36). Munculnya Ternate sebagai pusat niaga cengkih tidak hanya mengundang para pedagang-pedagang Asia, namun juga para pedagang Eropa khususnya Portugis dan Spanyol sekitar awal abad ke-16, kemudian diikuti oleh Belanda sejak akhir abad ke-16. Sejak saat itu pula, bangsa Eropa membuka pos-pos perdagangan dan kemudian Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian (Pulau Moti dan menetap pula di wilayah ini. Diawali dengan Pulau Makian, bertanda lingkaran merah. pembangunan pos-pos perdagangan, para (Sumber: Website Propinsi Maluku Utara)

98 Kapata Arkeologi Volume 11 Nomor 2, November 2015: 97-110 benteng di kedua pulau tersebut oleh bangsa Ilmu arkeologi mengenal studi Eropa pada saat itu, tidak lepas dari peran arkeologi keruangan sebagai pendekatan kedua pulau ini sebagai pusat kekuasaan untuk mengetahui pola sebaran situs-situs lokal sekaligus sebagai pusat perdagangan arkeologi. Data utama dalam pendekatan rempah-rempah di Maluku. keruangan ini mencakup tiga hal, yaitu: Seiring dengan perkembangan keletakan, satuan ruang (skala tingkat kebutuhannya bangsa Eropa kemudian mikro, meso, dan makro), serta hubungan- membangun benteng-benteng di setiap hubungan atau interaksi di antara semua wilayah atau pulau di Maluku (utara). unsur-unsur tersebut dalam satuan-satuan Persebaran benteng-benteng kolonial di ruang yang berbeda skalanya. Dalam wilayah ini, pada akhirnya membentuk pola studi ini, peta persebaran situs arkeologi yang disebut jaringan perbentengan dengan menjadi bahan utama untuk melakukan berbagai pertimbangan kebutuhannya. penafsiran-penafsiran, baik penafsiran Dalam konteks yang lebih luas kajian atas dasar bentuk persebarannya maupun terhadap jaringan perbentengan adalah model penafsiran atas faktor-faktor yang melatari penelitian yang berupaya mengembangkan bentuk persebarannya (Pusat Penelitian dan perspektif sistem yang lebih luas. Oleh karena Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008: itu, dibutuhkan pendalaman aspek kronologi 183). dan hubungan antarsitus yang menjadi dasar Sementara itu Abbas (2001), dalam untuk merekonstruksi networking kuno (Tim kajiannya tentang faktor yang melatari Penelitian, 2006: 85). pemilihan lokasi pendirian sebuah benteng Terbentuknya jaringan perbentengan yang dibangun oleh Pemerintah Belanda di di wilayah ini tidak lepas dari konteks Pulau Jawa menyebutkan bahwa sejumlah jaringan perdagangan cengkih masa faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi kolonial di Maluku. Ternate dan Tidore benteng, diantaranya: sebagai dua pusat kekuasaan lokal dianggap 1. Pentingnya suatu daerah pada masa sebagai pusat perdagangan, namun pendirian benteng (misalnya potensi bagaimana dengan wilayah-wilayah lain tempat itu untuk dijadikan pusat di sekitarnya. Selain Ternate dan Tidore, perdagangan, adanya suplai produksi yang wilayah lain yang menjadi sumber utama dibutuhkan, dan potensi untuk digunakan produksi cengkih di Maluku adalah Pulau sebagai pusat pemerintahan lokal). Makian dan Pulau Moti. Kajian terhadap 2. Ancaman atau penolakan yang jaringan perdagangan menjadi penting dihadapi (misalnya ancaman eksternal untuk mengetahui kedudukan sebuah dari orang-orang asing atau ancaman wilayah yang merupakan pendukung untuk internal dari penguasa setempat). memenuhi kebutuhan yang kaitannya 3. Strategi yang diterapkan dalam upayanya dengan sejumlah indikator komoditi dan menaklukkan suatu wilayah tertentu pelabuhan (Harkatiningsih, 2014: 70). untuk perluasan kekuasaan (Abbas, Sementara itu, dalam hubungannya dengan 2001: 3). jaringan perbentengan, diketahui bahwa kedua pulau tersebut memiliki potensi METODE peninggalan kolonial berupa sebaran Ruang lingkup tulisan ini dibatasi benteng (Wall, 1928: 269-275; Pusat berdasarkan aspek ruang dan waktu. Aspek Dokumentasi Arkeologi, 2010: 189). Dalam pertama didasarkan pada ruang geografis, kerangka inilah, tulisan ini mengkaji tentang sementara aspek kedua didasarkan pada bagaimana pola sebaran benteng-benteng periodisasi penguasaan bangsa kolonial di kolonial dan faktor utama terbentuknya wilayah ini. Ruang geografis yang dipilih jaringan perbentengan tersebut. dalam tulisan adalah Pulau Makian dan

Benteng Kolonial Eropa di Pulau Makian dan Pulau Moti : Kajian....., Syahruddin Mansyur 99 Pulau Moti yang terletak di sebelah selatan di sisi timur laut Pulau Makian. Secara Pulau Ternate dan Pulau Tidore. Jika ditilik geografis lokasi benteng Mauritius berada di dari aspek jaringan lokal dalam perdagangan atas perbukitan dengan ketinggian ± 50 mdpl masa lalu, kedua pulau ini dianggap sebagai dengan jarak ± 500 meter dari pantai. Lokasi wilayah penyangga produksi cengkih di geografis ini menempatkan posisi benteng wilayah Maluku. Sementara itu, pembatasan sangat strategis karena dapat memantau periode penguasaan bangsa Kolonial dibatasi perairan utara dan barat Pulau Makian. Arah pada masa VOC (Belanda), hal ini karena utara lokasi benteng terdapat Pulau Moti, inventarisasi awal terhadap sebaran benteng Tidore dan Ternate; sementara itu, arah yang ada di wilayah ini sebagian besar adalah timur terdapat pulau Halmahera. Kondisi benteng yang dibangun oleh Belanda. iklim dan cuaca yang berpengaruh terhadap Aspek yang dikaji dalam tulisan ini arah hembusan angin juga menjadikan adalah aspek pola sebaran dan faktor-faktor lokasi benteng ini sangat strategis. Hal yang mendukung terbentuknya jaringan ini diakibatkan karena pada waktu-waktu perbentengan yang ada di wilayah Pulau tertentu ketika angin berhembus dari Makian dan Pulau Moti. Guna menjawab arah barat, maka perairan sebelah barat kedua aspek tersebut, maka tahapan yang Pulau Makian sangat berbahaya bagi jalur digunakan merujuk pada tahapan penelitian pelayaran. Jika angin berhembus dari arah arkeologi yaitu studi kepustakaan dan metode barat seperti ini, maka jalur pelayaran timur survei atau observasi. Studi kepustakaan yang diapit oleh Pulau Makian dan Pulau dimaksudkan untuk mengumpulkan data Halmahera menjadi pilihan karena perairan awal tentang objek penelitian, serta metode yang lebih tenang. survei dimaksudkan untuk melihat kondisi perbentengan yang ada di lokasi penelitian. Sementara itu, pengolahan data dilakukan dengan pendekatan analisis deskriptif dan analisis kontekstual. Analisis pertama yaitu melihat pola sebaran dengan memperhatikan titik lokasi, bentuk/jenis, serta fungsi benteng. Selanjutnya analisis kedua yaitu melihat peran wilayah dan hubungan antar wilayah. Diawali dengan hubungan antar situs dalam konteks mikro kemudian Gambar 2. Tampak dinding timur benteng yang dilanjutkan dengan hubungan antar wilayah merupakan bagian depan atau sisi yang dalam konteks meso. Tahapan akhir adalah menghadap ke arah laut penarikan kesimpulan untuk mengetahui (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Ambon, 2014) faktor-faktor yang mendukung terbentuknya Terkait sejarah benteng, terdapat jaringan perbentengan. perbedaan informasi tentang pembangunan HASIL DAN PEMBAHASAN benteng. Menurut data Pusat Dokumentasi Arsitektur, benteng ini dibangun oleh VOC Deskripsi Sebaran Benteng Kolonial di pada tahun 1613, pada masa pemerintahan Pulau Makian dan Pulau Moti Gubernur Pieter Both. Menurut sejarahnya, 1. Pulau Makian benteng ini pernah menjadi lokasi pertemuan a. Benteng Mauritius antara pihak VOC, Sangaji Makian dan Benteng Mauritius berada di Sangaji Limatau (perwakilan Ternate) yang Ngofakiaha Pulau MakianTitik astronomis menyepakati beberapa perjanjian. Salah benteng Mauritius adalah: N 00°22’01.8” satunya adalah menghargai perbedaan agama E 127°25’11.2”. Titik lokasi benteng berada dan kebebasan menjalankan keyakinan

100 Kapata Arkeologi Volume 11 Nomor 2, November 2015: 97-110 di antara dua pemeluk agama yang ada di b. Benteng Poewati Makian yaitu penduduk yang beragama Catatan sejarah menyebutkan bahwa Islam dan penduduk yang beragama Kristen benteng ini dibangun oleh Johan Ottens (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2010: 189). pada 24 Oktober hingga 5 Desember 1634 Sementara itu, informasi lain menyebutkan (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2010: bahwa benteng ini dibangun pada tahun 189). Benteng Poewati yang berada di 1612. Benteng dibangun pada sebuah desa Sangapati terletak di ketinggian yaitu bukit dekat perkampungan yang disebut di sebuah tebing pantai. Sisa pondasi yang Ngofakiaha atau Ngofakioha, pilihan ada saat ini adalah berupa struktur pondasi lokasi ini untuk memudahkan pemantauan di bagian tebing yang tampaknya dibuat ke arah laut. Pada masa pemerintahan sebagai tanggul atau penahan struktur tanah Gubernur Jacques Le Febure (1625-1629) yang ada di bagian atas. sebuah bangunan berdiri di dekat pantai yang difungsikan sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai gudang, bangunan ini diberi nama Zeeburgh (Roever dkk, 2008: 263) Adapun kondisi benteng Mauritius relatif utuh, dimana bastion dan beberapa sisi dinding yang masih ada hingga saat ini. Bastion yang masih utuh adalah bastion barat laut dan bastion barat daya, sementara bastion timur laut dan tenggara tidak utuh lagi karena beberapa sisi dinding (baik sisi curtien maupun sisi flank) telah runtuh. Sisi dinding yang juga masih ada adalah sisi utara dan timur, sisi barat tidak tampak lagi karena tertutup oleh lapisan tanah, dan sisi selatan telah runtuh dan hanya menyisakan setengah bagian dinding. Ukuran pada bastion barat laut adalah Gambar 3. Struktur Benteng Poewati curtien = 4,65 meter; dan flank atau face = yang berada di atas tebing 14,85 meter. Sementara itu panjang parapet (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Ambon, 2014) atau dinding yang menghubungkan antar Jika mengamati struktur yang bastion (dinding utara) adalah 42 meter; ada serta pengamatan terhadap lokasi serta dinding selatan adalah 39,60 meter. sekitarnya, tampak jelas bahwa bangunan Dinding barat atau dinding bagian belakang ini merupakan Redout atau benteng kecil tidak diketahui karena sisi dinding telah sebagai pos pengawas. Titik lokasi benteng runtuh dan hanya menyisakan beberapa berada di sisi timur Pulau Makian. Lokasi bagian pondasi terpisah yang muncul di benteng ini juga relatif dekat yaitu berjarak permukaan tanah serta sisi dinding yang 5 kilometer arah selatan benteng Mauritius masih menempel di sudut-sudut bastion yang memiliki skala ukuran yang lebih barat daya dan bastion barat laut. Meski besar. Posisi benteng Poewati juga berada demikian, pengukuran yang dilakukan pada kontur yang lebih rendah dari Benteng dari kedua titik bastion tersebut diperoleh Mauritius sehingga memungkinkan untuk ukuran 36.02 meter. Ukuran gerbang mengirim informasi berupa tanda-tanda adalah lebar = 2,60 meter, dengan ketebalan khusus kepada petugas jaga yang ada di dinding pada gerbang adalah 82 cm. Benteng Mauritius.

Benteng Kolonial Eropa di Pulau Makian dan Pulau Moti : Kajian....., Syahruddin Mansyur 101 c. Benteng Tafasoho merupakan bagian dari bastion barat Benteng Tafasoho berada dalam laut benteng. Adapun luas kontur tanah wilayah administratif Kampung Mateketen, yang relatif datar sekitar 100 x 100 desa Tafasoho. Benteng ini terletak di meter. Sementara itu, di sebelah tenggara atas perbukitan yang berjarak sekitar pondasi terdapat gundukan tanah dengan 500 meter dari pantai. Secara geografis, ketinggian ± 2-3 meter yang mengarah ke keletakan benteng berada pada sisi barat selatan dengan panjang ± 30 meter. Jika daya Pulau Makian. Posisi geografis mengamati perbedaan kontur tanah dan ini memungkinkan pemantauan ke arah keletakannya, gundukan tanah ini diduga barat dan selatan perairan Pulau Makian, merupakan bekas lokasi bastion tenggara dimana terdapat gugusan Pulau , benteng. Adapun ukuran sisa struktur yang Kasiruta, dan Pulau Bacan di sebelah masih dapat diamati adalah struktur yang selatan dan perairan yang merupakan mengarah ke timur 9,6 meter; struktur yang jalur masuk ke Pulau Tidore dan Ternate mengarah ke utara 3,22 meter; dan tinggi yang ada di sebelah utara Pulau Makian. sudut bastion adalah 1,30 meter dengan Keletakan astronomis benteng ini adalah: ketebalan struktur 1,10 meter. N 00°19’42.9” E 127°20’49.6”. Saat ini Selain berupa struktur, temuan lokasi struktur pondasi benteng berada di lain yang diperoleh dari survei di lokasi tengah-tengah perkebunan pala dan kelapa ini adalah dua meriam yang terletak di milik Bapak Haji Lun. Kondisi bentang pintu gerbang desa atau tepat di sisi pantai lahan pada lokasi benteng merupakan pelabuhan reguler masyarakat Mateketen. perbukitan, sehingga batas alam benteng Kondisi dua meriam saat ini telah rusak merupakan lereng curam pada di bagian yaitu pada bagian mulut meriam yang selatan dan utara, sementara di sebelah telah patah, tidak diketahui penyebab barat dan timur merupakan tanah yang rusaknya meriam tersebut. Adapun ukuran relatif datar. Meriam I adalah panjang 175 cm, diameter pangkal 35 cm, diameter kuping 7 cm, panjang kuping 8 cm, lubang sulut pada pangkal meriam adalah 4 mm, sementara lubang atau kaliber meriam adalah 12 cm. Ukuran pada Meriam II adalah panjang 205 cm, diameter pangkal 37 cm, diameter kuping 8 cm, panjang kuping 8 cm, lubang sulut 2 cm, dengan kaliber 10 cm. Keletakan astronomis lokasi ini adalah : N 00°19’51.2” E 127°20’41.7”. Gambar 4. Struktur yang tersisa dari Benteng Tafasoho, lokasi benteng berada di atas bukit dengan d. Benteng Wailoa (Tabulolo) arah pandang ke arah barat Pulau Makian Secara administratif, benteng ini (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Ambon, 2014) berada di desa Wailoa Kecamatan Pulau Sisa pondasi yang ada saat ini hanya Makian, meski demikian lokasi benteng menyisakan sebuah struktur berbentuk cukup jauh dari permukiman penduduk. “L” sehingga menampakkan sebuah Benteng ini berada di atas perbukitan yang sudut yang diduga merupakan bagian berjarak sekitar 50 meter dari pantai. Titik dari sebuah bastion. Jika mengamati lokasi benteng berada di sisi tenggara kontur tanah sekitar lokasi ini dimana Pulau Makian. Adapun titik astronomis bagian barat dan utara struktur yang benteng berada pada : N 00°16’53.2” E relatif datar kemungkinan struktur ini 127°22’59.7”.

Kapata Arkeologi Volume 11 Nomor 2, November 2015:97-110 102 Lokasi benteng berada di daerah pesisir, dengan temuan atau indikasi struktur ditemukan di daerah pantai serta berada di lingkungan permukiman penduduk. Secara geografis, lokasi benteng berada di sebuah tanjung di sisi timur laut Pulau Moti. Adapun titik astronomis benteng berada Gambar 5. Satu-satunya titik lokasi struktur yang pada N 00°28’44.5” E 127°25’07.1”. masih dapat diidentifikasi di lokasi benteng Benteng Nassau dibangun oleh Tabulolo, desa Wailoa (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Ambon, 2014) Belanda pada tahun 1609 atas permintaan dari masyarakat Ternate ketika itu untuk Tidak diketahui secara pasti kapan mengamankan daerah ini. Pada tahun 1625, benteng ini dibangun, namun berdasarkan benteng ini ditinggalkan oleh Belanda catatan Belanda tahun 1612, sebuah (Wall, 1928: 269; Pusat Dokumentasi benteng dibangun yang diberi nama Fort Arsitektur, 2010: 192). Benteng yang ada Tabelolo atau lebih dikenal dengan Fort di Pulau Moti saat ini hanya berupa puing Wailoa (Pusat Dokumentasi Arsitektur, yang berada di pantai dan lingkungan 2010: 189). Sementara itu, informasi lain permukiman penduduk. Lokasi benteng diperoleh dari dokumen Belanda yang yang berada di sebuah tanjung di sisi timur dibuat pada tahun 1651 oleh Johannes laut Pulau Moti sehingga tampak jelas Nessel yang memuat sebuah gambar atau dapat memantau arah utara dan timur Pulau bentuk benteng Tabilolo. Dalam dokumen Makian. ini tampak jelas bentuk benteng Tabilolo Kondisi benteng saat ini hanya merupakan jenis Redoubt atau bangunan berupa puing pondasi yang tersebar berbentuk segi empat yang dilengkapi dari arah pantai hingga permukiman dengan embrasure atau ceruk meriam pada masyarakat. Terdapat dua titik lokasi setiap sisi dinding bagian atas (Roever dkk, sisa struktur yang berada di pantai, serta 2008: 263). Jenis benteng ini juga sering beberapa titik bekas pondasi yang berada ditingkatkan penggunaannya karena sering di tengah-tengah permukiman warga pula difungsikan sebagai gudang komoditi Kelurahan Kota. Berdasarkan pengamatan, atau Blokhuis. sisa struktur pada salah satu titik yang ada di pantai merupakan bagian embrasure 2. Pulau Moti atau ceruk meriam yang memiliki ukuran a. Benteng Nassau 80 x 100 cm, ketebalan struktur adalah Benteng Nassau berada di wilayah 130 cm. Ukuran bongkahan struktur lepas administratif RT 02, Kelurahan Kota, ini berukuran 4,50 x 1,90 meter, adapun Kecamatan Ternate Pulau, Kota Ternate. material penyusun struktur adalah batu karang dengan spesi kapur. Titik lokasi struktur lepas kedua memiliki ukuran 4,50 x 5 meter dengan ketebalan struktur 75 cm. Sementara itu, titik lokasi struktur pondasi yang ada di lingkungan permukiman penduduk berada di sebelah selatan dengan jarak ± 100 meter dari pantai. Informasi penduduk menyebut bahwa di lokasi ini pernah ada dua meriam yang saat itu Gambar 6. Kondisi reruntuhan benteng Nassau di Pulau Moti diangkut oleh pihak militer dan dibawa ke (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Ambon, 2014) Kota Ternate.

Benteng Kolonial Eropa di Pulau Makian dan Pulau Moti : Kajian....., Syahruddin Mansyur 103 b. Struktur Bekas Redout (?) dan Pola Sebaran Benteng Makam Kuno (Jere) di Pulau Moti Berdasarkan hasil observasi di Selain titik lokasi benteng yang lapangan, diketahui bahwa sebagian besar berada di daerah pesisir, terdapat juga titik kondisi benteng yang ada di lokasi penelitian lokasi yang diduga merupakan bekas lokasi saat ini hanya menyisakan puing-puing benteng yang berada di atas perbukitan. berupa sisa struktur baik pondasi maupun Indikasi keberadaan bangunan benteng di dinding benteng. Benteng dengan kondisi lokasi ini yaitu adanya tumpukan batuan relatif utuh hanya benteng Mauritius yang baik batu gunung maupun batu karang, ada di Desa Ngofakiaha, sementara benteng dimana pada bagian material tersebut masih yang lain yaitu Benteng Tafasoho, Puwati, menempel spesi campuran kapur bakar Wailoa, dan Nassau, hanya tinggal puing- dan pasir. Lokasi memiliki kontur yang puing struktur. Oleh karena itu, dilakukan lebih tinggi ± 1 meter dari areal sekitarnya upaya penelusuran sumber historis berupa dengan luas berukuran 12,60 x 10 meter. dokumentasi kuno yang memuat tentang Secara umum, indikasi keberadaan sejarah kehadiran VOC di Maluku. Dengan bangunan di lokasi ketinggian sering demikian, analisis bentuk benteng dilakukan disebut dengan Redout atau benteng kecil dengan mengkomparasikan hasil observasi yang berfungsi sebagai pos pengawas untuk di lapangan dan penelusuran sumber-sumber memantau keadaan sekitarnya. Dari lokasi historis. ini sendiri dapat memantau arah laut serta Secara umum, fungsi sebuah benteng Pulau Mare, Tidore, Maitara, dan Ternate dapat diketahui berdasarkan jenis atau bentuk yang berada di arah utara serta pesisir barat serta skala atau luas bangunan benteng. Jenis Pulau Halmahera yang ada di arah timur redout umumnya memiliki ukuran dan luas Pulau Moti. bangunan yang kecil, dan jenis blokhuis memiliki ukuran yang lebih besar dibanding Selain itu, di sisi timur laut terdapat redout. Selain perbedaan ukuran bangunan, tiga makam atau oleh masyarakat setempat kedua jenis benteng ini juga berbeda dalam disebut dengan Jere. Ketiga makam ini hal fungsi bangunan, redout lebih berfungsi saling berdekatan dengan areal seluas 2,5 x sebagai pos pengawas, dan blokhuis biasanya 2,10 meter. Ketiga makam masing-masing ditambahkan dengan fungsi sebagai gudang memiliki dua batu nisan berbentuk pipih, komoditi. Sementara jenis klein fort umumnya sehingga berjumlah enam batu nisan. Titik memiliki ukuran yang lebih besar namun lokasi nisan berada pada : 00°28’41.8” LU lebih kecil dibanding jenis Groote Forten dan 127°24’52.3” BT. atau kastil. Sebaran benteng yang ada di lokasi penelitian dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis yaitu Redout, Blokhuis, dan Klein Fort. Kelompok Redout yaitu benteng Puwati dan benteng Wailoa; sementara itu, benteng yang dikelompokkan sebagai jenis Klein Fort adalah benteng Nassau, Benteng Tafasoho dan Benteng Mauritius. Khusus untuk benteng Nassau, jika informasi bahwa terdapat struktur lain di lokasi yang tidak jauh Gambar 7. Reruntuhan struktur (lepas) yang berada dari benteng tersebut, maka diduga bahwa di lokasi Redout (?) di atas perbukitan benteng ini dilengkapi dengan Redout sebagai Kampung Kota Pulau Moti pos pengawas. Demikian halnya, benteng (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Ambon, 2014) Wailoa yang menyebut informasi keberadaan

Kapata Arkeologi Volume 11 Nomor 2, November 2015: 97-110 104 Gambar 8. Peta Sebaran Benteng di Pulau Makian dan Pulau Moti (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Ambon, 2015) struktur lain di lokasi sekitarnya, sehingga benteng yang berada di atas ketinggian. Satu- dapat disebutkan bahwa terdapat dua jenis satunya benteng yang berada di pesisir adalah bangunan pertahanan yang ada di lokasi ini benteng Nassau di Pulau Moti yang juga yaitu jenis Redout dan Blokhuis. dilengkapi sebuah redout di bagian perbukitan Sementara itu, titik-titik lokasi yang tidak jauh dari lokasi benteng. Posisi keberadaan benteng dapat dilihat berdasarkan geografis, benteng Nassau yang berada di keletakan geografisnya, yaitu satu benteng sisi timur laut dapat mengamati perairan di di Pulau Moti, dan empat benteng di Pulau sebelah utara dan timur Pulau Makian. Benteng Makian. Benteng Nassau yang berada di Tafasoho yang berada di sisi barat daya Pulau Pulau Moti terletak di sisi timur laut Pulau Makian dapat mengamati perairan di sebelah Moti, benteng ini terletak di daerah pesisir dan barat dan selatan Pulau Makian. diduga dilengkapi dengan satu pos pengintai Selain fungsi pertahanan dan yang terletak di bagian perbukitan. Sementara pengamatan terhadap perairan sekitarnya, itu, Benteng Tafasoho berada sisi barat fungsi benteng-benteng yang ada di Pulau daya Pulau Makian, benteng ini terletak di Moti dan Makian dapat diketahui berdasarkan ketinggian. Benteng Mauritius juga terletak bentuk dan skala bangunannya. Benteng di ketinggian dan berada di sisi timur laut dengan bentuk dan skala bangunan yang besar Pulau Makian. Benteng Puwati terletak di atas yang dikelompokkan ke dalam jenis Klein Fort sebuah tanjung di sisi timur Pulau Makian. adalah Benteng Nassau di Pulau Moti, serta Terakhir adalah benteng Wailoa yang berada Benteng Mauritius dan Benteng Tafasoho di sisi tenggara Pulau Makian, di lokasi ini di Pulau Makian. Pendirian bangunan terdapat dua bangunan pertahanan yang pertahanan dengan jenis Klein Fort seperti masing-masing terletak di atas perbukitan. ini tentu mempertimbangkan komunitas Jika mengamati posisi geografis masing- permukiman di sekitarnya. Dengan demikian, masing benteng tampak jelas bahwa jaringan jelas bahwa masyarakat Moti, Ngofakiaha perbentengan dibangun untuk mengawasi dan Tafasoho merupakan permukiman yang perairan sekitarnya. Demikian halnya, keletakan cukup besar saat itu.

Benteng Kolonial Eropa di Pulau Makian dan Pulau Moti : Kajian....., Syahruddin Mansyur 105 Tabel 1. Sebaran Benteng di Wilayah Penelitian

No Nama Benteng Lokasi Kondisi Benteng Jenis 1 Benteng Ngofakiaha Kampung Ngofakiaha Pulau Makian Relatif utuh Klein Fort 2 Benteng Puwati Kampung Puwati Pulau Makian Tinggal Puing Redout 3 Benteng Wailoa Kampung Wailoa Pulau Makian Tinggal Puing Redout 4 Benteng Tafasoho Kampung Mateketen Pulau Makian Tinggal Puing Klein Fort 5 Benteng Nassau/Moti Kampung Kota Pulau Moti Tinggal Puing Klein Fort 6 Redout Moti Kampung Kota Pulau Moti Struktur Lepas Redout Sumber: Hasil Penelitian 2014

Peran Wilayah dan Hubungan Antar Luar. Bahasa Makian Dalam dikenal oleh Wilayah masyarakat yang bermukim di sisi timur Pembahasan tentang peran wilayah dan pulau dan Bahasa Makian Luar dikenal oleh hubungan antar wilayah dimaksudkan untuk masyarakat yang bermukin di sisi barat pulau. memperoleh gambaran sinkronik dan diakronik Dalam aspek lain, pada periode pra-kolonial, wilayah penelitian. Interpretasi terhadap Pulau Makian dan Pulau Motir (Moti) juga sumber historis dan kompleksitas temuan dikenal sebagai salah satu sumber utama menjadi data penting untuk memberikan produksi cengkih di Maluku selain Ternate gambaran sinkronik. Kompleksitas temuan dan Tidore. Pulau Makian bahkan dikenal (tinggalan arkeologi) menjadi aspek perhatian sebagai penghasil jenis Cengkih Raja yaitu utama dalam membahas peran wilayah, bahwa jenis cengkih terbaik dibanding dengan wilayah yang memiliki kompleksitas yang cengkih produksi dari daerah lain di Maluku tinggi adalah wilayah pusat sedang wilayah Utara. Dengan demikian, periode sebelum yang memiliki kompleksitas yang rendah hanya kehadiran bangsa Eropa di Maluku Utara merupakan wilayah penunjang, pengawasan, wilayah ini telah berperan dalam aspek politik atau pendukung aktivitas di pusat kekuasaan dan perdagangan. atau pusat pemerintahan (Harkatiningsih, Kondisi politik dan perdagangan secara 2014: 78). Dengan demikian, berdasarkan umum di wilayah Maluku Utara pada periode sejumlah data yang ada, pembahasan peran kehadiran bangsa Eropa sesungguhnya tidak wilayah dan hubungan antar wilayah diawali jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya. Hal dengan peran wilayah pada periode kolonial ini karena, kehadiran Portugis dan Spanyol yaitu kehadiran Portugis-Spanyol, serta selain dalam rangka perdagangan rempah- Belanda di Maluku Utara. rempah juga menegaskan persaingan politik Sebelum kehadiran bangsa Eropa antara kedua kekuatan lokal. Sebagaimana di Maluku Utara, Pulau Makian merupakan diketahui bahwa Portugis merupakan sekutu wilayah persaingan dua kekuatan lokal politik dan militer bagi Ternate dan Spanyol antara Ternate di satu pihak dan Tidore di sebagai sekutu politik dan militer bagi Tidore. pihak lain. Terkait dengan persaingan ini, Demikian halnya kondisi politik lokal di Pulau wilayah Pulau Makian bahkan terbagi atas Makian dimana daerah ini dianggap sebagai dua wilayah kekuasaan (Amal, 2010a: 35). sumber utama produksi cengkih sehingga Pembagian atas dua wilayah kekuasaan ini daerah ini pun diperebutkan oleh kedua sangat boleh jadi memiliki hubungan dengan bangsa Iberia tersebut. perbedaan penutur bahasa di pulau tersebut. Demikian, berdasarkan latar historisnya Sebagaimana diketahui bahwa hingga saat dapat disebutkan bahwa Makian memiliki ini, di Pulau Makian dikenal dua bahasa yaitu peran penting dalam konteks perdagangan bahasa Makian Dalam dan Bahasa Makian cengkih masa Portugis-Spanyol di wilayah

106 Kapata Arkeologi Volume 11 Nomor 2, November 2015: 97-110 Maluku (utara). Peran ini terutama berkaitan upaya mengembalikan wilayah kekuasaan dengan wilayah Makian sebagai salah satu mereka yang sebelumnya telah direbut sumber utama produksi cengkih, bahkan oleh Spanyol-Tidore. Hal pertama yang merupakan penghasil jenis cengkih terbaik. dilakukan oleh Belanda adalah melakukan Peran ini juga berkaitan dengan perseteruan serangan terhadap wilayah di luar Ternate, politik antara pihak Ternate dan Tidore, diantaranya Bacan, Makian, , dan juga dimana Makian dianggap sebagai daerah Tidore (Mareku). Tindakan ini sekaligus netral karena keduanya memiliki pengaruh upaya membangun sistem perbentengan di yang sama di Pulau Makian. Sementara itu, beberapa pulau di bagian selatan Ternate, dapat disebut pula bahwa Makian merupakan yaitu; Benteng Nassau di Pulau Moti pada wilayah peripheral dimana Ternate dan Tidore tahun 1609, Benteng Mauiritius dan Wailoa merupakan wilayah pusat baik dalam konteks (Tabelola) di Pulau Makian pada tahun 1612, jaringan kekuasaan maupun dalam konteks Benteng Tafasoho di Pulau Makian pada tahun jaringan perdagangan (tata niaga). 1613, dan Benteng (Pos Pemantau) Puwati di Pada periode akhir kehadiran Portugis Pulau Makian pada tahun 1634. Jika merunut dan Spanyol di Maluku Utara, dinamika politik kronologi pembangun benteng di wilayah ini di wilayah ini semakin meningkat. Selain tampak jelas bahwa pembangunan sistem karena perseteruan antara dua pihak Portugis- perbentengan ini bertujuan untuk mengepung Ternate dan Spanyol-Tidore, hubungan antara posisi Spayol yang berpusat di Tidore (Soa Portugis dan Ternate semakin memanas pasca Sio) saat itu. terbunuhnya Sultan Khairun pada tahun 1570. Pulau Makian sendiri berhasil direbut Peristiwa ini bahkan menyebabkan Portugis oleh Pasukan Belanda-Ternate pada tahun dipaksa meninggalkan wilayah Maluku Utara 1608. Benteng yang sebelumnya dikuasai pada tahun 1575 dan akhirnya memilih Ambon oleh Spanyol yaitu Benteng Tafasoho diambil sebagai pusat aktivitas baru (Amal, 2010a: alih oleh Belanda kemudian diperluas dan 204 dan 209). Praktis, setelah hengkangnya diperkuat dengan empat bastion pada tahun Portugis, Spanyol lebih banyak berperan 1613. Demikian halnya dengan benteng dalam dinamika politik dan perdagangan di yang ditinggalkan Portugis yaitu Tabulolo wilayah ini. Salah satu tindakan yang dianggap (Wailoa) juga diambil alih oleh Belanda penting oleh Spanyol adalah melakukan pada tahun 1612. Tampaknya, baik Portugis, serangan terhadap wilayah-wilayah lain di Spanyol maupun Belanda menganggap bahwa Maluku Utara termasuk Bacan, Jailolo, dan Pulau Makian memiliki posisi yang strategis Makian bahkan juga Ternate. Penyebab lain sehingga ketiganya menganggap penting adalah hadirnya kekuatan baru yaitu Belanda untuk menempatkan perwakilan mereka atas dalam persaingan perdagangan pada akhir pulau ini. Posisi strategis ini, selain Pulau abad ke-16 di wilayah ini. Kehadiran Belanda Makian sebagai sumber utama cengkih pada di Maluku Utara sekaligus dimanfaatkan oleh saat itu, keletakan geografis pulau ini juga Ternate untuk mengusir Spanyol yang berhasil menjadi aspek utama yang menjadi perhatian menaklukkan Ternate pada tahun 1606. karena lokasinya yang dekat dengan Pulau Kehadiran Belanda di Ternate ditandai Ternate dan Pulau Tidore yang menjadi pusat dengan pembangunan sebuah benteng pada kekuasaan saat itu. Pulau ini juga sekaligus tahun 1607. Peristiwa ini sekaligus menandai menjadi penghubung kedua pulau yang kehadiran otoritas baru menggantikan Portugis terletak di utara dan beberapa pulau lain yang di Ternate (secara umum di Kepulauan Maluku). terletak di bagian selatan. Setelah mengikat perjanjian kerjasama dengan Jika merunut pada beberapa peristiwa Ternate, pasukan Belanda-Ternate mulai penting di Pulau Makian setelah kehadiran melakukan perluasan wilayah kekuasaan di bangsa Eropa di Maluku Utara diperoleh Maluku Utara – bagi pihak Ternate merupakan beberapa asumsi bahwa baik Portugis maupun

Benteng Kolonial Eropa di Pulau Makian dan Pulau Moti : Kajian....., Syahruddin Mansyur 107 Spanyol memiliki otoritas atas Pulau Makian. telah ada sebelumnya) untuk mendukung Hal ini melanjutkan situasi sebelum kehadiran upaya monopoli cengkih mereka. bangsa Eropa bahwa Pulau Makian menjadi Kondisi ini tampaknya tidak wilayah yang diperebutkan oleh Ternate berlangsung lama karena pada tahun 1652, dan Tidore. Daerah yang menjadi bagian pihak Belanda menempuh kebijakan baru dari otoritas Tidore (dan juga Spanyol) untuk memusatkan produksi cengkih di kemungkinan adalah daerah Tafasoho, wilayah lain yaitu Kepulauan Lease yang sementara daerah otoritas Ternate (dan juga dianggap lebih mudah diawasi. Guna Portugis) adalah daerah Tabulolo (Wailoa). mendukung hal tersebut, Belanda menempuh Hal ini mengacu pada interpretasi atas catatan dua kebijakan yaitu; Pertama, mengadakan historis yang dibuat oleh Belanda terkait sebuah perjanjian dengan pihak Kesultanan dengan Benteng Tafasoho yang disebut Ternate tentang pelarangan produksi cengkih merupakan benteng Spanyol yang diambil selain di wilayah yang telah ditetapkan oleh alih dan diperluas oleh Belanda pada tahun Belanda. Pemerintah Belanda juga akan 1613. Demikian pula keterangan yang memuat memberikan kompensasi sebagai pengganti tentang Benteng Tabulolo (Wailoa) yang keuntungan yang akan diperoleh setiap sebelum direbut oleh Belanda merupakan tahunnya oleh Kesultanan Ternate dari benteng dan juga permukiman orang-orang perdagangan cengkih. Kedua, dalam periode Portugis. Sementara itu, Ngofakiaha yang tersebut Belanda telah membangun sistem merupakan daerah utama di Pulau Makian perbentengan untuk memudahkan pengawasan kemungkinan merupakan bagian dari Ternate jaringan perdagangan cengkih mereka di mengingat kedekatan kultural masyarakat wilayah Kepulauan Lease (Mansyur, 2013: Ngofakiaha dengan pihak Kesultanan Ternate. 57; Mansyur, 2014: 97). Hal ini tentu berakibat Dan setelah kehadiran Belanda, praktis pada menurunnya peran wilayah-wilayah lain daerah-daerah kekuasaan Ternate menjadi di Maluku Utara khususnya Pulau Makian bagian dari kekuasaan Belanda. Akhirnya sebagai pusat produksi cengkih. pada tahun 1663, Belanda berhasil memaksa pihak Spanyol untuk meninggalkan Maluku KESIMPULAN Utara. Berdasarkan pola sebaran benteng Setelah merebut Pulau Makian, yang ada di wilayah Pulau Makian dan Pulau pihak Belanda pada masa Gubernur Jacques Moti memberi gambaran tentang periode Le Febure menjabat tahun 1625-1629, kolonial di luar wilayah pusat-pusat kekuasaan membangun sebuah kantor sekaligus berfungsi (Ternate dan Tidore) di Maluku Utara. sebagai gudang yang diberi nama Zeeburgh di Berbeda dengan jejak kehadiran Portugis dan Ngofakiaha. Kebijakan ini ditempuh untuk Spanyol, jejak pengaruh kehadiran Belanda menghadapi persaingan perdagangan dengan di Pulau Makian dan Pulau Moti masih pihak Spanyol. Sebuah catatan penting dapat diamati. Jejak kehadiran kolonial, baik menyebutkan bahwa pada tahun 1627, pihak Portugis-Spanyol maupun Belanda di wilayah Ternate-Belanda tiba di Pulau Makian dan ini dapat menjelaskan aspek kronologi memaksakan pelarangan penjualan cengkih serta peran wilayah dan hubungan antar kepada pihak lain kecuali kepada Belanda. wilayah dalam kaitannya dengan perdagangan Peristiwa inilah yang kemudian menjadi rempah-rempah masa lampau. awal dari upaya Belanda untuk menguasai Informasi yang menjelaskan kronologi produksi cengkih di Pulau Makian. Atas situs didasarkan pada penelusuran sumber- dasar inipula Belanda kemudian memilih sumber historis yang ada yang menyebutkan Ngofakiaha sebagai pusat perdagangan bahwa kronologi situs perbentengan yang cengkih di Pulau Makian dengan mendirikan ada di Pulau Makian dan Moti diawali oleh sebuah bangunan (selain sebuah benteng yang kehadiran Portugis dan Spanyol di Maluku

108 Kapata Arkeologi Volume 11 Nomor 2, November 2015: 97-110 Utara sekitar abad ke-16 hingga awal abad Ucapan Terima Kasih ke-17. Oleh karena Belanda membangun Terima kasih penulis ucapkan kepada kembali kedua benteng ini, maka bukti-bukti Balai Arkeologi Ambon atas pendanaan kehadiran Portugis dan Spanyol tidak dapat proyek penelitian ini, yaitu; “Survey Arkeologi diidentifikasi lagi. Kehadiran Belanda melalui Kolonial di Wilayah Pulau Makian dan Pulau badan usahanya yaitu VOC, kemudian Moti” pada tahun 2014. menggantikan kedudukan Portugis dan Spanyol di kedua pulau tersebut. Sementara itu, gambaran tentang peran wilayah ***** dan hubungan antar wilayah merupakan penjelasan terhadap aspek sinkronik dan DAFTAR PUSTAKA diakronik wilayah penelitian. Abbas, Novida. (2001). Dutch Forts of Java Dengan demikian, dapat disimpulkan A Locational Study. Thesis. Singapore: tentang faktor-faktor utama yang menjelaskan National University of Singapore. terbentuknya jaringan perbentengan di Abdurachman, Paramita R. (2008). Bunga wilayah Pulau Makian dan Pulau Moti. Angin Portugis di Nusantara, Jejak-Jejak Pertama, faktor utama terbentuknya jaringan Kebudayaan Portugis di Indonesia. Jakarta: perbentengan ini adalah faktor geografis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia. dimana wilayah ini merupakan daerah kepulauan. Kondisi ini mengharuskan bangsa Amal, Adnan M. (2010)a, Portugis dan Spanyol Kolonial (baik Portugis-Spanyol maupun di Maluku. Jakarta. Komunitas Bambu. Belanda) untuk mendirikan benteng di Amal, Adnan M. (2010)b, Kepulauan setiap pulau di wilayah ini. Kedua, kondisi Rempah-rempah Perjalalanan Sejarah keamanan dimana dalam periode perdagangan Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. cengkih di Maluku terjadi persaingan tidak hanya diantara pihak penguasa lokal, tetapi Andaya, L.Y. (1993). The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern juga diantara sesama banga Eropa. Ketiga, Period. Honolulu: University of Hawaii terbentuknya jaringan perbentengan ini Press. bertujuan untuk mendukung sistem tata niaga Gill, Robert G. (1995). De Indische Stad op Java cengkih di wilayah ini. Titik-titik lokasi en Madoera. Dissertation. Universitas keberadaan benteng dibangun dekat dengan Delft. sumber-sumber produksi cengkih baik di Harkantiningsih, Naniek. (2014). Pengaruh Pulau Moti maupun di Pulau Makian, sehingga Kolonial di Nusantara. Kalpataru Majalah benteng-benteng tersebut sekaligus berfungsi Arkeologi, 23(1), 67-80. sebagai pusat-pusat pengumpul komoditi Lape, Peter V. (2000). Contact and Conflict cengkih yang diproduksi di daerah sekitar. in the The Banda Island, Eastern Indonesia Keempat, pendirian benteng di daerah-daerah 11th – 17th. Dissertation. Department of produksi cengkih sekaligus dimaksudkan Anthropology at Brown University. sebagai pos pengawasan terhadap wilayah Mansyur, Syahruddin. (2011). Jejak sekitarnya. Pengawasan terhadap wilayah- Tata Niaga Rempah-Rempah dalam wilayah ini penting dilakukan oleh pihak jaringan Perdagangan Masa Kolonial di kolonial untuk mempertahankan eksistensi Maluku. Kapata Arkeologi, 7(13), 20-39. kekuasaan mereka. Dalam hal ini, benteng Mansyur, Syahruddin.. (2013). yang ditempatkan di setiap titik pulau di Perdagangan Cengkih Masa Kolonial dan Maluku berfungsi sebagai pos pengawasan Jejak Pengaruhnya di Kepulauan Lease. yaitu pengawasan terhadap kondisi keamanan, Kalpataru Majalah Arkeologi, 22(1), 43- pengawasan terhadap tata niaga cengkih, serta 59. pengawasan terhadap masyarakat setempat.

Benteng Kolonial Eropa di Pulau Makian dan Pulau Moti : Kajian....., Syahruddin Mansyur 109 Mansyur, Syahruddin. (2014). Sistem Perbentengan dalam Jaringan Niaga Cengkih Masa Kolonial di Maluku. Kapata Arkeologi, 10(2), 85-98. Marihandono, Joko. (2008). Perubahan Peran dan Fungsi Benteng dalam Tata Ruang Kota. Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, 10(1). Pusat Dokumentasi Arsitektur. (2010). Inventory and Identification Forts in Indonesia. Jakarta: Pusat Dokumentasi Arsitektur; Direktorat Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; PAC Architects and Consultants. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. (2008). Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Ricklefs. M.C. (2010). Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, Cetakan III November 2010. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Roever, A.de. et.al. 2008. Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie deel 3: Indisvhe Archipel en Oceanie. Zierikzee: Asia Maior Tanudirdjo, D.A. (2013). Interaksi Regional dan Cikal Bakal Perdagangan Internasional di Maluku. Kalpataru Majalah Arkeologi, 22(1), 1-60. Tibbetts, G.R. 1979. A Study of the Arabic Texts Containing Material on South-East Asia. Leiden: E.J. Brill for the Royal Asiatic Society. Tim Penelitian. (2006). Jaringan Perdagangan Masa Kesultanan Ternate-Tidore-Jailolo di Wilayah Maluku Utara Abad ke-16 hingga Abad ke-19. Tahap I. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Tidak terbit. Wall, Victor Ido van de. (1928). de Nederlandsche Oudheden in de Molukken. Gravenhage: Martinus Hijhoff.

110 Kapata Arkeologi Volume 11 Nomor 2, November 2015: 97-110