PERJUANGAN TANPA REVOLUSI: PERSPEKTIF BARU DALAM MEMAHAMI KEKERASAN PERIODE REVOLUSI DI TIMUR 1945-1950

STRUGGLE WITHOUT REVOLUTION: A NEW PERSPECTIVE IN UNDERSTANDING VIOLENCE OF REVOLUTION PERIOD IN INDONESIA TIMUR 1945-1950

Burhaman Djunedding Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pejuang Republik Indonesia Kampus B. Jalan Baruga Raya Antang Makassar, Selatan 90234 Email: [email protected]

Naskah diterima tanggal 27 Agustus 2019, Naskah direvisi tanggal 2 September 2019, Naskah disetujui tanggal 2 Oktober 2019

Abstrak Kajian ini menunjukkan pengalaman masa revolusi di Indonesia Timur yang sangat berbeda dengan pengalaman daerah-daerah lainnya di Indonesia, terutama Jawa dan Sumatera. Di kedua wilayah tersebut, pola perjuangan melawan Belanda adalah perjuangan heroik dengan menggunakan senjata, sebaliknya di Indonesia Timur pola perjuangannya memakai sarana politik yaitu pola perjuangan tanpa revolusi, bahkan karena kondisi sosial, politik dan keamanan yang berbeda maka di kalangan para “pejuang revolusi” di Indonesia Timur akhirnya juga memiliki perbedaan strategi. Meskipun sama-sama merasa republiken, kaum gerilya berjuang dengan bergerilya di pedalaman, sedangkan para politisi yang berada di kota berjuang melalui parlemen di Negara Indonesia Timur (NIT). Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dalam memahami revolusi di Indonesia Timur. Tahapan pertama yang dilakukan adalah penelusuran pustaka guna menelusuri literatur-literatur yang berkaitan dengan kajian ini. Penelusuran literatur dilakukan di perpustakaan-perpustakaan di . Penelusuran sumber pustaka juga dilakukan di Kota Makassar. Dari berbagai sumber pustaka yang menjadi rujukan, ditemukan keberagaman sifat dan karakteristik revolusi di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk mendapatkan satu definisi seragam yang bisa merepresentasikan masa revolusi di Indonesia. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menempatkan kerangka berparlemen atau pola perjuangan politik di parlemen Negara Indonesia Timur sebagai bagian dari gambaran besar revolusi Indonesia yaitu revolusi yang tidak menggunakan senjata. Dengan kata lain, kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru tentang masa revolusi di Indonesia. Seperti kita ketahui, selama ini historiografi revolusi nasional Indonesia periode 1945-1949 merupakan masa dimana seluruh rangkaian cerita menggambarkan kisah heroik perjuangan bersenjata melawan Belanda.

kata kunci: kekerasan, revolusi, perjuangan parlemen.

Abstract This study will show that the experience of revolution period in Indonesia Timur is very different with other regions, especially Java and Sumatra. In both regions, the fight against the Dutch was a heroic armed conflict, otherwise in Indonesia Timur the struggle is political struggle, the struggle without revolution. In fact, because of different social, politic, and security condition, the revolutionists in Indonesia Timur have different strategy. Although both felt republicans, the guerrilla struggle with the guerrilla in the rural areas, while the politicians who were in town struggling through parliament in Negara Indonesia Timur (NIT). This research used literary method to understand revolution in Indonesia Timur. The first step that was done was literary survey to learn about the literatures related to this study. The literary survey was conducted in libraries in Yogyakarta. The literary survey was also conducted in Makassar. Based on many sources, it is found that there were various

Perjuangan Tanpa Revolusi: Perspektif Baru dalam Memahami Kekerasan Periode Revolusi … – Burhaman Djunedding| 561

characteristics of revolution in many regions in Indonesia. This matter becomes a challenge to get one definition that can represent the revolution period in Indonesia. The main purpose of this research is to place the parliamentary framework or parliamentary struggle in Negara Indonesia Timur as part of Indonesian revolution which is called the revolution without violence. In the other words, this study is expected to give a new perspective in understanding the revolution period in Indonesia. It is well known that the historiography of revolution period is described as a heroic armed struggle against the Dutch.

keywords: violence, revolution, struggle through parliament.

PENDAHULUAN yang mendesak untuk mengungkap kesedihan dan penderitaan mereka di masa revolusi, engalaman revolusi tiap-tiap daerah di maka pengorbanan dan kesedihan mereka Indonesia sangatlah beragam sehingga tersebut hanya bisa dimaknai sebagai tidak mungkin untuk mendapatkan P konsekuensi dari peristiwa perang, (Joost gambaran yang seragam dan menyeluruh Cote’& Loes Westerbeek (eds), 2004). Atau tentang masa lalu jalannya revolusi Indonesia. seperti kata Taufik Abdullah, “revolusi bisa Keberagaman sifat dan karakteristik revolusi juga dikhianati oleh anaknya dan seperti ia di tiap-tiap daerah tersebut menjadi tantangan juga kadang-kadang harus memakan anak tersendiri dalam memahami jenis revolusi sendiri”, (Abdullah, 1995: 3). mana dan dengan jalan apa revolusi tersebut Penggambaran historiografi lokal berlangsung. Apakah revolusi tersebut Sulawesi Selatan pada masa revolusi juga dilakukan melalui perjuangan bersenjata atau dideskripsikan dengan narasi yang sama yaitu melalui kekuatan-kekuatan diplomasi atau narasi perjuangan bersenjata. (Sanusi Dg. gabungan dari keduanya. (Simatupang, 1982: Mattata, 1967). Gambaran mengenai hal 84). Tidak hanya itu saja, ada juga pola tersebut dapat dilihat saat diselenggarakannya perjuangan yang lain, misalnya melalui seminar dengan tema “Sejarah Perjuangan pemogokan buruh, pembangkangan terhadap Rakyat Sulawesi Selatan Menentang Penjajah pemerintah, atau dengan perjuangan melalui Asing” yang diselenggarakan di Makassar suara, aspirasi dan mosi di parlemen. pada tanggal 8-11 Desember 1982. Sebanyak Historiografi nasional Indonesia 18 (delapan belas) makalah yang selama ini menggambarkan periode 1945- dipresentasikan saat itu secara umum 1949 sebagai masa revolusi dimana seluruh membahas tentang patriotisme, yakni perang rangkaian cerita mengisahkan perjuangan bersenjata melawan kolonialisme di masa heroik bersenjata melawan Belanda. (Ricklefs, kolonial maupun di masa revolusi, 2005: 317-352). Masa revolusi digambarkan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai era perang fisik dengan menggunakan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional senjata dalam mempertahankan kemerdekaan. Proyek Inventaris Dan Dokumentasi Sejaran Seluruh unsur-unsur republik bergerak bahu- Nasional 1983/1984, 1982). Narasi-narasi membahu mengangkat senjata dalam yang serupa juga dapat dilihat pada kajian- mempertahankan kedaulatan republik yang kajian lainnya yang membahas periode baru saja diproklamirkan. Seluruh rangkaian kolonial dan masa revolusi di Sulawesi cerita di masa revolusi adalah narasi Selatan, (Kadir, dkk, 1984). perjuangan bersenjata dengan variannya Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sejarawan di tingkat lokal tersebut, seperti (PDRI) di Sumatera dan perjuangan diplomasi yang telah digambarkan di atas merupakan melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di upaya untuk menempatkan Sulawesi Selatan Amerika. atau Indonesia Timur sebagai bagian dari Namun, bagi mereka yang menjadi narasi besar sejarah nasional Indonesia. Jika korban kekerasan menganggap masa revolusi masa revolusi dalam sejarah nasional sebagai “era menyedihkan” atau “masa digambarkan sebagai narasi perjuangan bersiap” dan akibat tidak adanya kebutuhan bersenjata, maka narasi sejarah lokal pun harus 562 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 25 Nomor 3 November 2019

juga demikian. Hal tersebut, oleh sebagian Dengan kata lain, kajian ini diharapkan dapat sejarawan dipahami sebagai perspektif memberikan pemahaman baru tentang masa nasional, yakni apa yang terjadi di tingkat lokal revolusi di Indonesia. Seperti kita ketahui, akan mempunyai arti apabila dipandang selama ini historiografi revolusi nasional sebagai bagian dari sejarah nasional. Dengan Indonesia periode 1945-1949 merupakan masa kata lain, kejadian-kejadian di tingkat lokal dimana seluruh rangkaian cerita dinterpretasikan berdasarkan hubungannya menggambarkan kisah heroik perjuangan dengan peristiwa nasional( Kartodirdjo, 1982: bersenjata melawan Belanda. Berdasarkan 37-38). tujuan tersebut, kajian ini diharapkan dapat Berdasarkan latar belakang di atas, memberikan manfaat praktis bagi upaya untuk maka kajian ini membahas tentang memahami jalannya Revolusi di Indonesia keberagaman narasi revolusi Indonesia, yakni Timur dan sekaligus memperkaya kajian narasi yang berbeda tentang masa revolusi tentang Revolusi Nasional yang selama ini yang terjadi di Indonesia Timur pada periode belum banyak dilakukan. 1945-1950. Oleh karena itu, permasalahan dalam kajian ini lebih mudah dipahami jika TINJAUAN PUSTAKA dirumuskan dalam beberapa pertanyaan. Mengapa historiografi nasional dan Studi tentang masa revolusi dan historiografi lokal cenderung memahami masa Negara Indonesia Timur (NIT) telah dilakukan revolusi dengan kacamata yang serupa yaitu oleh beberapa peneliti, baik dari dalam kacamata “kekerasan” (perjuangan revolusi maupun luar Indonesia. Meskipun demikian, dengan menggunakan senjata)? , benarkah kajian tentang parlemen sebagai bagian dari bentuk perjuangan di masa revolusi hanya revolusi masih sangat terbatas. Sepanjang bentuk perjuangan bersenjata?, bagaimana dan pengetahuan penulis, kajian semacam ini dengan jalan apa revolusi berlangsung di belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, Indonesia Timur?, dan mengapa perjuangan untuk memahami pentingnya kajian ini maka dalam parlemen NIT juga dapat dimaknai perlu perbandingan dengan karya-karya sebagai tindakan revolusioner? terdahulu. Kajian ini mengambil rentang waktu Satu disertasi penting J. R Chaniago antara 1945-1950. Berbagai hal yang menarik “Menuju Negara Kesatuan Republik dapat diungkapkan pada fase ini, seperti Indonesia: Peranan Pemimpin Lokal Dalam permasalahan-permasalahan di masa revolusi Dinamika Politik di Sulawesi Selatan dan dan di saat yang sama juga berdiri Negara Sumatera Timur 1950”. Berdasarkan Indonesia Timur. Batasan ruang kajian ini pengamatannya, J.R. Chaniago melihat ada adalah Negara Indonesia Timur (NIT), sebuah dua kategori kelompok politik yang saling negara yang diproklamirkan pada bulan bersaing dalam memperebutkan “kekuasaan” Desember 1946 dan berhasil diakui di Sulawesi Selatan di masa revolusi. eksistensinya oleh Republik pada bulan Maret Kelompok pertama adalah kelompok yang pro 1947 setelah ditandatanganinya Perjanjian terhadap kekuasaan Belanda. Termasuk dalam Persetujuan Linggarjati hingga pengakuan kelompok ini adalah sebagian para raja dan kedaulatan dari Belanda melalui Konferensi kerabat bangsawannya, pejabat pemerintah Meja Bundar di Den Haag pada akhir tahun NICA/kerajaan beserta pegawai-pegawainya, 1949 dan bubarnya Negara Indonesia Timur para anggota KL/KNIL/Polisi, dan sejumlah (NIT) di akhir tahun 1950. orang anti Republik yang berpihak pada Tujuan utama penelitian ini adalah Belanda. Kelompok kedua adalah kelompok untuk menempatkan kerangka berparlemen pendukung republik, baik yang berada di atau pola perjuangan politik di parlemen pedalaman maupun di perkotaan. Sebagian Negara Indonesia Timur sebagai bagian dari dari mereka yang berada di perkotaan terbagi gambaran besar revolusi Indonesia yaitu dalam kelompok-kelompok seperti pemimpin revolusi yang tidak menggunakan senjata. organisasi sosial politik serta para anggota

Perjuangan Tanpa Revolusi: Perspektif Baru dalam Memahami Kekerasan Periode Revolusi … – Burhaman Djunedding| 563

pemerintahan dan parlemen NIT (Negara membantu memahami era revolusi di Sulawesi Indonesia Timur) yang pro republik Selatan. Menurut Ichlasul Amal karena (Chaniago, 2002). terbatasnya perhatian pemerintahan kolonial Buku Barbara Sillars Harvey yang Belanda dan kurang kuatnya pengaruh berjudul Pemberontakan Kahar Muzakkar: pendudukan Jepang sangatlah berpengaruh Dari Tradisi ke DI/TII, (: PT. Pustaka terhadap besar kecilnya gerakan nasionalis di Utama Grafiti. 1989) telah banyak memberi Sulawesi Selatan, baik sebelum perang inspirasi dan membantu memahami masa- maupun pada masa revolusi (Agung, 1985). Di masa sebelum dan sesudah revolusi di Sulawesi Selatan gerakan nasionalis kurang Sulawesi Selatan. Meskipun tema utama kajian begitu siap, sedangkan Sekutu dan Pejabat ini tentang pemberontakan Kahar Muzakkar di Belanda lebih siap untuk kembali memegang Sulawesi Selatan periode awal 1950-an, tetapi kekuasaan (Amal, 1988). pada bab-bab tertentu khususnya Bab 4, Meskipun demikian, munculnya membahas tentang revolusi (1945-1949) di perlawanan yang kuat dari kekuatan-kekuatan Sulawesi Selatan. Barbara Sillars Harvey pro-republik di Sulawesi merupakan sesuatu memahami bahwa selama revolusi, Sulawesi yang tidak diperhitungkan Belanda. Hal ini Selatan sangat menonjol karena menjadi sangat mengkhawatirkan Belanda karena tempat perlawanan yang paling hebat di luar Belanda berusaha meyakinkan dunia luar Republik dalam menentang pengembalian bahwa mayoritas orang Indonesia, terutama di kekuasaan Belanda. Tidak hanya itu, Sulawesi Indonesia Timur, loyal terhadap mereka Selatan juga menjadi markas besar Negara karena pada tahun 1946 Belanda telah Indonesia Timur (NIT). Hal tersebut karena mengumumkan rencananya untuk membentuk Makassar sebagai ibukota Negara Indonesia Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Timur menjadi tempat berkumpulnya para ibukotanya di Makassar. Untuk mendirikan politisi yang datang dari berbagai daerah di NIT, Belanda mengadakan berbagai usaha Indonesia Timur. untuk melenyapkan perlawanan mereka yang Barbara S. Harvey memahami bahwa pro-republik di Sulawesi Selatan. Perlawanan revolusi di Sulawesi Selatan melahirkan dua tersebut contohnya Belanda memanfaatkan kategori kelompok politik yang berbeda yaitu persaingan antara pemimpin nasionalis dan boneka dan patriot. Boneka adalah mereka juga mengunakan taktik adu domba di antara yang pro-Belanda yang menguasai wilayah para bangsawan. Usaha yang lain adalah kota Makassar, sedangkan patriot adalah ditingkatkannya langkah-langkah represif mereka yang menentang kembalinya terhadap perlawanan pemuda, seperti operasi kekuasaan Belanda dan melanjutkan militer yang dilakukan oleh Westerling pada perjuangan di wilayah pedalaman, (Harvey, akhir tahun 1946. 1989c: 219-221). Berbeda dengan J.R Kajian Chaniago, Harvey tidak melihat adanya yang berjudul “Dari Negara Indonesia Timur dikotomi politik antara kelompok bangsawan Ke Republik Indonesia Serikat” sangat dengan non bangsawan di masa revolusi. membantu dalam memahami dinamika politik Dengan kata lain, dirinya tidak melihat sebelum dan sesudah berdirinya Negara revolusi melahirkan pro-kontra berdasarkan Indonesia Timur (NIT). Ide Anak Agung Gde stratifikasi sosial, tetapi berdasarkan garis Agung menguraikan bahwa yang geografis kota dan pedalaman. Namun yang melatarbelakangi berdirinya Negara Indonesia terpenting dari apa yang diamati oleh Timur (NIT) diawali oleh Konferensi Malino keduanya adalah bahwa pengalaman revolusi di Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Juni 1946 baik di pedalaman maupun di kota banyak - 25 Juni 1946. Konferensi Malino tidak mempengaruhi perjalanan politik lokal di mendapat sambutan yang baik dari kalangan Sulawesi Selatan pada periode selanjutnya. Republik, bahkan media massa Republik Kajian Ichlasul Amal “Hubungan sangat mencela prakarsa Belanda untuk Pusat-Daerah: Kasus Sumatera Barat dan mengadakan Konferensi Malino sebagai usaha Sulawesi Selatan 1949-1979” juga dapat Belanda untuk mendapatkan dukungan dari

564 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 25 Nomor 3 November 2019

wakil-wakil daerah di luar daerah kekuasaan dikategorikan sebagai ”biografi politik” Republik Indonesia. dirinya. Penting untuk diketahui juga bahwa Setelah Konferensi Malino, bahwa Ide Anak Agung Gde Agung pernah selanjutnya diselenggarakan Konferensi menjadi Perdana Menteri Negara Indonesia Denpasar di Bali yang berlangsung pada 7 Timur (NIT) pada Kabinet Ide Anak Agung Desember 1946 sampai 24 Desember 1946. Gde Agung Pertama (15 Desember 1947-12 Banyak ktirik yang dilontarkan oleh beberapa Desember 1947) dan Kabinet Ide Anak Agung kalangan seolah-olah Negara Indonesia Timur Gde Agung Kedua (12 Januari-27 Desember adalah ciptaan Van Mook atau pemerintah 1949). Sebelum menjadi Perdana Menteri, Hindia Belanda. Hal ini tidak benar karena hal dirinya juga tercatat pernah menduduki jabatan yang dicapai dalam Konferensi Denpasar strategis di Negara Indonesia Timur (NIT), dalam mewujudkan peraturan pembentukan yaitu sebagai Menteri Urusan Dalam Negeri Negara Indonesia Timur adalah hasil dan Menteri Dalam Negeri merangkap Wakil perundingan yang bebas dan sederajat antara Perdana Menteri pada Kabinet Nadjamoedin wakil-wakil daerah yang hadir dalam Daeng Malewa Pertama dan Kabinet konferensi. Nadjamoedin Daeng Malewa Kedua. Selain membahas Konferensi Malino Kajian Ide Anak Agung Gde Agung dan Konferensi Denpasar, kajian ini juga juga menyangkut parlemen Negara Indonesia membahas tentang 8 (delapan) kabinet yang Timur (NIT) yang dirinya juga terlibat di ada selama berdirinya Negara Indonesia Timur dalamnya. Oleh karena itu Ide Anak Agung hingga dinyatakan bubar di pertengahan tahun Gde Agung termasuk juga sejarawan 1950. Kabinet-kabinet tersebut antara lain; parlementer karena sebagian besar fokus Kabinet Nadjamoedin Daeng Malewa (2 kali), perhatian dalam kajiannya adalah parlemen Kabinet Warouw, Kabinet Ide Anak Agung Negara Indonesia Timur (NIT). Fokus Gde Agung (2 kali), Kabinet J.E Tatengkeng, perhatian kajiannya terbatas pada narasi Kabinet D.P Diapari, dan Kabinet J. Putuhena. tentang segala sesuatu yang telah terjadi di Hal yang membedakan kajian ini dalam Parlemen NIT dan sejarah mengenai hal dengan kajian-kajian terdahulu, terutama tersebut, sedangkan pertanyaan mengapa hal kajian J.R Chaniago dan Ide Anak Agung Gde tersebut dapat terjadi tidaklah menjadi Agung yang juga membahas tentang Negara perhatiannya. Dengan kata lain, dirinya tidak Indonesia Timur (NIT) dan Parlemen Negara melihat peristiwa sejarah dengan pendekatan Indonesia Timur adalah bahwa disertasi J.R interdisipliner seperti yang telah dilakukan Chaniago perhatian utamanya adalah ingin oleh Kartodirdjo. melihat nasionalisme dan pengalaman revolusi sebagai salah satu kekuatan sejarah dan studi METODE PENELITIAN yang dilakukan ingin melihat bagaimana cita- cita nasionalisme politik dan pengalaman Penelitian ini menggunakan metode berevolusi telah menjadi kekuatan pendorong kepustakaan dalam memahami revolusi di disamping kekuatan-kekuatan yang lainnya Indonesia Timur. Tahapan pertama yang seperti kemajemukan sosio-kultural yang dilakukan adalah penelusuran pustaka guna mampu memberi dukungan kepada kesatuan menelusuri literatur-literatur yang berkaitan politik dalam mewujudkan integrasi nasional, dengan kajian ini. Penelusuran literatur sedangkan kajian yang akan saya lakukan dilakukan di perpustakaan-perpustakaan di berupaya menempatkan revolusi sebagai Yogyakarta, antara lain: Perpustakaan kajian utama. Hal ini berbeda dengan J.R. Ignatius, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Chaniago, Barbara Sillars Harvey, dan Ichlasul dan Ilmu Politik, Perpustakaan Unit I dan II Amal yang membahas revolusi sebagai latar- Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Hatta, belakang guna menunjang teori dan konsep Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, yang telah dibangun sebelumnya, dan kajian Perpustakaan Pusat Studi Asia Tenggara, dan Ide Anak Agung Gde Agung dapat

Perjuangan Tanpa Revolusi: Perspektif Baru dalam Memahami Kekerasan Periode Revolusi … – Burhaman Djunedding| 565

Perpustakaan Daerah.di Jalan Malioboro yang menyangkut soal kelangsungan hidup. Yogyakarta. Revolusi sebagai suatu proses politik yang Penelusuran sumber pustaka juga timbul dalam situasi krisis pada waktu dilakukan di Kota Makassar yakni di Kantor golongan-golongan konflik mengusahakan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi perubahan politik dengan cara-cara radikal Selatan. Dari berbagai sumber pustaka yang (Kartodirdjo,1982: 80-81). Revolusi yang menjadi rujukan, ditemukan keberagaman sifat berlangsung setidaknya membentuk dua dan karakteristik revolusi di berbagai daerah di golongan dalam masyarakat yang saling Indonesia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bertentangan yaitu antara golongan untuk mendapatkan satu definisi seragam yang konservatif dengan golongan progresif. bisa merepresentasikan masa revolusi di Golongan konservatif didukung oleh unsur- Indonesia. Oleh karena itu, para peneliti dalam unsur tradisional dalam masyarakat yang mendefinisikan revolusi adalah dengan masih ingin mempertahankan kekuasaaan mengambil sudut pandang tertentu. Sebagai lama yang terlanjur ada, sedangkan golongan contoh, Anthony Reid yang secara umum progresif didukung oleh kaum intelektual yang memahami revolusi sebagai restrukturisasi cenderung menginginkan perubahan. fundamental dari suatu sistem politik dengan Berdasarkan pengalaman saat kekerasan dalam waktu yang relatif singkat. mengkaji Sulawesi Selatan dan Sumatera Jika melihat polanya, maka hampir semua Timur, J.R Chaniago memahami masa revolusi revolusi yang telah terjadi di berbagai belahan sebagai masa yang penuh dengan dunia ini biasanya dimulai dengan tindakan ketidakpastian. Sebagaimana Sartono membangkang, menghancurkan rezim lama, Kartodirdjo, J.R. Chaniago juga melihat dan berakhir dengan memaksakan suatu rezim revolusi sebagai gejala sosial dan politik. baru yang relatif stabil, (Anthony Reid, 1981: Disebabkan oleh ancaman kolonialisme yang 33). Demikian juga halnya dengan revolusi sangat kuat, maka revolusi bisa menghentikan Indonesia yang bertujuan untuk keadaan normal dan mengubah tatanan nilai menghancurkan rezim lama. Akibat nyata yang ada (Chaniago, 2002:37). M.C Ricklefs yang paling menonjol dari revolusi Indonesia melihat masa revolusi sebagai masa yang adalah terciptanya bangsa yang bersatu (Reid, kacau balau penuh dengan pertentangan- 1981:35). pertentangan, yakni masa mengenai orang- Bangsa yang bersatu adalah impian orang Indonesia yang mendukung dan tidak dari mereka yang terlibat dalam revolusi, mendukung revolusi, antara mereka yang sebagaimana yang dikemukakan oleh Taufik mendukung revolusi sosial dengan mereka Abdullah. Lebih jauh lagi, dirinya berpendapat yang menentangnya. Revolusi juga dimaknai bahwa jika tidak karena harapan dan impian sebagai pertentangan antara golongan kiri dan tentang keutuhan sebuah bangsa yang golongan kanan, antara kekuatan-kekuatan berdaulat, untuk apa mereka para pejuang Islam dan kekuatan sekuler, maupun dengan sepotong bambu runcing berani pertentangan antara yang mendukung menghadang panser dan tank serba modern. perjuangan diplomasi dengan perjuangan Dengan demikian, revolusi nasional bersenjata (Ricklefs, 2005: 317). memberikan suatu kesadaran bahwa mereka William H. Frederick (2005:297-365) terlibat dalam dinamika dan gejolak sejarah memahami revolusi dari sudut pandang bangsa (Abdullah, 1995: 3). berbeda dari yang selama ini dilihat oleh Taufik Abdulah memahami revolusi berbagai kalangan. Dirinya memahami sebagai wujud kesadaran yang didorong oleh revolusi dengan mengamati penampilan, mimpi diri, kelompok, dan bangsa tentang pakaian, seragam, dan gaya pemuda. Dengan sebuah keutuhan, sedangkan Sartono metode ini dirinya mampu menghadirkan Kartodirdjo memahami masa revolusi sebagai sebuah sejarah perjuangan kemerdekaan yang masa krisis sosial dan politik dengan intensitas tidak lagi konvensional, yakni sebuah sejarah tinggi. Masa krisis itu disebabkan oleh adanya perjuangan yang tidak lagi menonjol- perasaan tidak aman dan penuh kegelisahan nonjolkan kekuatan-kekuatan fisik atau

566 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 25 Nomor 3 November 2019

kekuatan-kekuatan bersenjata, tetapi berusaha skala nasional maupun skala lokal. Adapula melihat aspek-aspek lain yang juga merupakan yang memahami bahwa sejarah lokal baru faktor penentu dalam sejarah revolusi mempunyai arti apabila dipandang sebagai Indonesia. Salah satu citra tentang Revolusi bagian dari sejarah nasional, dengan kata lain Indonesia yang paling kuat dan romantis kejadian-kejadian diinterpretasikan dalam adalah para pejuang kemerdekaan yang hubungannya dengan peristiwa-peristiwa berambut panjang dan berpenampilan seperti sejarah nasional (Kartodirdjo, 1982: 38). jagoan. Dengan pakaian yang dilengkapi Pentingnya perspektif nasional dalam dengan atribut yang memberi mereka kekuatan historiografi Indonesia, menurut Sartono dan dilengkapi dengan kemampuan berbicara, Kartodirdjo, karena kita hidup dalam mereka merupakan orang-orang yang pertumbuhan negara nation, maka pandangan meneruskan jiwa revolusi. nasional adalah kebutuhan real, artinya banyak Kajian ini juga berupaya melihat permasalahan sentral yang kita hadapi revolusi dari sisi yang berbeda, seperti halnya sekarang dan masa yang akan datang adalah William H. Frederick melihat revolusi dari sisi masalah nasional (Kartodirdjo, 1982: 35). penampilan, pakaian dan gaya pemuda. Tentu saja perspektif nasional bisa Revolusi dalam kajian ini tidak lagi dimaknai dipahami dan dimaknai sebagai wujud dari sebagai perjuangan fisik berupa perjuangan historigrafi yang didasarkan pada semangat bersenjata, tetapi dilihat dari bentuk yang lain nasionalisme (Purwanto, 2006: 182-183). seperti aktivitas-aktivitas politik di Parlemen Perspektif nasional menggambarkan era Negara Indonesia Timur (NIT). Parlemen yang revolusi sebagai masa perlawanan terhadap sering dibagi atas fraksi-fraksi seperti Fraksi kolonialisme dan patriotisme dalam Progresif yang bersikap oposisi, Fraksi mempertahankan kemerdekaan. Perspektif ini Pembangunan yang mendukung pemerintah juga membentuk dominasi “wacana militer” atau juga seperti yang terjadi setelahnya yaitu dalam historiografi Indonesia yaitu perjuangan Fraksi Nasional, Fraksi Demokrat, dan fraksi menggunakan senjata dan menjadi simbol lainnya. utama dan wacana masyarakat tentang kemerdekaan, patriotisme dan nasionalisme Perspektif Nasional dalam Memahami (Purwanto, 2006: 199-200). Peristiwa Lokal Dengan demkian, dalam kajian Dalam buku sejarah lokal di revolusi harus dibedakan antara national Indonesia, Taufik Abdullah (1985) panjang concent dengan local perspective, kalau yang lebar menguraikan perbedaan mendasar antara pertama menyangkut masalah “ide yang sejarah lokal dan sejarah nasional. menyebar”, maka yang kedua ialah bagaimana Menurutnya, jika sejarah nasional adalah dinamika lokal berhadapan dengan ide sejarah yang mencakup seluruh wilayah tersebut. Sejarah revolusi dengan persepektif Republik Indonesia, maka sejarah lokal adalah nasional menekankan bahwa revolusi paling sejarah dari daerah administratif yang disebut dominan ditentukan oleh elit pusat, padahal provinsi, kabupaten, dan desa. Obyek dari sebagaimana diketahui pada tahun 1946, sejarah lokal pada umumnya tidak identik daerah lain terpisah dengan pusat (Abdulllah, dengan sejarah nasional, baik aspek temporal 2001: 104). maupun spatial-nya. Kedua unit kajian sejarah ini termasuk dua kategori sejarah yang berbeda Pengalaman Singkat Revolusi Terbatas (Kartodirdjo, 1982: 35). Keduanya menuntut Pengalaman kekerasan di masa perumusan permasalahan yang berbeda dan revolusi di Indonesia Timur sangatlah berbeda skala penting dari peristiwa yang berbeda pula dengan pengalaman daerah lain di Indonesia, (Abdullah, 1985: 16). terutama di Jawa dan Sumatera. Pengalaman Meskipun berbeda, perspektif yang berbeda tersebut sangat dipengaruhi oleh nasional adalah aspek yang paling sentral konteks sejarah yang berbeda jauh sebelum dalam mengkaji sejarah Indonesia, baik dalam terjadinya revolusi. Di wilayah Indonesia

Perjuangan Tanpa Revolusi: Perspektif Baru dalam Memahami Kekerasan Periode Revolusi … – Burhaman Djunedding| 567

Timur kolonialisme dan nasionalisme (Kalimantan, Sulawesi, dan Sunda Kecil). memiliki sejarah yang cukup singkat Angkatan Laut Jepang sepertinya tidak (Sutherland, 2013: 41). mempunyai rencana apapun untuk mendukung Meskipun Sulawesi Selatan sudah partisipasi kelompok-kelompok nasionalis di ditaklukan lewat Perang Makassar (1667- wilayah ini. Sikap dasar mereka adalah 1669), tetapi setelah tahun-tahun tersebut, represif dan ini berarti membiarkan kelompok perhatian penguasa kolonial baik kompeni nasionalis untuk tidak berkembang. Mereka maupun pemerintah Hindia Belanda terhadap melarang semua partai politik dan menyatukan Indonesia Timur dapat dikatakan masih sangat lima puluh organisasi Islam ke dalam satu sedikit dibanding perhatian mereka terhadap wadah tunggal yaitu Djamiah Islamiah Jawa dan Sumatera. Dapat disimpulkan bahwa (Harvey, 1989c: 214). Organisasi ini didirikan intervensi kolonial terhadap Indonesia Timur pada tahun 1942 yang diprakarsai oleh seorang baru meningkat setelah tahun 1905, sangat Muslim Jepang yang bernama Shahibul tidak sebanding dengan intervensi kekuasaan Fadhilah H. Oemar Faisal yang sekaligus kolonial terhadap Jawa dan Sumatera (Harvey, bertindak sebagai ketuanya (Amal, 1988: 37). 1989:212). Ada kemungkinan konteks Namun, menjelang kekuasaannya ekonomilah yang melatarbelakangi lambatnya berakhir, Jepang mencoba mendekati intervensi kolonial yang lebih luas di Indoneisa kelompok-kelompok nasionalis Sulawesi Timur. Selatan. Pada bulan April 1944 Minseibu telah Benedict Anderson dalam bukunya memilih dan mengangkat Anggota Dewan Revolusi Pemuda (1985) menganggap masa Propinsi yang sebagian besar anggotanya pendudukan Jepang dan latihan-latihan berasal dari tokoh-tokoh lokal. Setahun kemiliteran yang diberikan Jepang tahun 1942- kemudian, tepatnya pada bulan Mei 1945 1945 menjadi akar praktek dan pembenaran pemerintah militer Jepang mengangkat atas “kekerasan” dan perjuangan terutama di Nadjamoeddin Dg. Malewa menjadi Walikota masa revolusi. Masa pendudukan Jepang yang Makassar dan lima orang penasehatnya antara singkat tersebut dianggap sebagai titik awal lain: Lanto Dg. Pasewang, Haji Sewang Dg. dari kekerasan yang dilegitimasi. Konsep Muntu, M.A Palupessy, Thio Heng Sioe dan tersebut berbeda dengan Henk Schulte Hoesoe Dg. Manangkasi (Propinsi Sulawesi, Nordholt yang mengemukakan bahwa praktek 1991: 216). Lalu, pada bulan Juni, Jepang kekerasan berakar dari tradisi politik Indonesia mendirikan organisasi Sudara (Sumber Darah zaman kerajaan yang kemudian dikembangkan Rakyat) atau Ken Koku Dosi dan mengangkat di masa kolonial lalu diadopsi dan dihidupkan Andi Mapanyukki (Raja Bone) sebagai ketua. kembali di era post-kolonial. Selanjutnya, Tujuan Jepang mendirikan organisasi ini aksi-aksi kekerasan fisik kolonial diwariskan adalah untuk mempersatukan berbagai faksi pada generasi berikutnya termasuk di masa elit nasionalis yang kecil di kota tersebut revolusi (Nordhold, 2002: 34-71). dengan para penguasa aristokrat tradisional di Ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Sulawesi Selatan (Harvey, 1989c: 215). Jepang pada tahun 1942, Jepang kemudian Meskipun cukup terlambat, Jepang membagi seluruh bekas Hindia Belanda juga membentuk Boei Taisintai, yaitu barisan menjadi tiga wilayah utama yang terpisah pemuda sebagai wadah latihan semi-militer antara satu dengan yang lain; yakni pasukan yang ketuanya adalah Manai Sofyan. Namun, Angkatan Darat ke-16 bertanggung jawab atas pasukan sukarela Peta (Pembela Tanah Air) Jawa, lalu Sumatera dibawah pemerintahan seperti yang terbentuk di Jawa tidak boleh di Angkatan Darat ke-25 dan Armada Barat Daya bentuk di wilayah kekuasaam angatan laut Angatan Laut Jepang memerintah seluruh Jepang. Selain Boei Taisintai yang berpusat di Indonesia bagian timur (Zed, 2005: 13-14). Makassar, penguasa Jepang juga memfasilitasi Sebagaimana penguasa kolonial, berdirinya sekolah pelaut Kiin Yasejo di Pare- perhatian yang minim juga diberikan oleh Pare, Heihoo tanpa dilengkapi dengan angkatan laut Jepang ketika berkuasa selama persenjataan, Seinedan dan Djozi Seinendan, tiga setengah tahun di Indonesia Timur yaitu perkumpulan muda-mudi, sedangkan

568 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 25 Nomor 3 November 2019

kaum ibu juga diperbolehkan membentuk kemudian ditahan di Kantor Polisi NICA di organisasi yang bernama Fujinkai (Rapi, Mariso (Massiara, 1988: 230). 1988:196). Barisan Pemuda, Boei Taisintai yang Perjuangan Tanpa Revolusi dibentuk pada awal tahun 1945 merupakan Pola perjuangan revolusi di Jawa dan latihan semi-militer yang ditujukan kepada Sumatera dipenuhi dengan tindakan-tindakan pemuda yang berusia antara 17-30 tahun. heroik dengan menggunakan senjata, Selain latihan militer, ditanamkan juga sebaliknya di Indonesia Timur pola semangat cinta tanah air dan anti terhadap perjuangannya memakai sarana-sarana politik segala hal-hal yang berkiatan dengan Barat. yaitu pola perjuangan tanpa revolusI Setelah Proklamasi barisan pemuda, Boei (Chaniago, 2002: 234). Dikarenkan kondisi Taisintai, Heihoo, dan Seinendan bergabung sosial, politik dan keamanan yang berbeda, ke dalam angkatan muda PPNI (Pusat Pemuda maka di kalangan para pejuang revolusioner di Nasional Indonesia), Ketua Umumnya adalah Indonesia Timur juga memiliki perbedaan Manai Sofyan, Wakil Ketua Sofyan Sunari, strategi. Meskipun sama-sama merasa dan Massiara selaku Sekjen. PPNI bermarkas republiken, kaum gerilya berjuang dengan di rumah ketua umumnya yaitu Manai Sofyan bergerilya di pedalaman, sedangkan para di Kampung Sawah Makassar. PPNI politisi yang berada di kota berjuang melalui merupakan sebuah organisasi pejuang pemuda parlemen di Negara Indonesia Timur (NIT). untuk membela Indonesia Merdeka. Meskipun pada awal revolusi Organisasi PPNI inilah yang Sulawesi Selatan menonjol sebagai tempat bertanggung jawab terhadap beberapa perlawanan terhadap rencana pemulihan peristiwa “heroik” yang terjadi pasca kekuasaan Belanda di Indonesia Timur, tetapi Proklamasi 17 Agustus 1945 di Kota tidak lama kemudian segala bentuk Makassar, seperti Peristiwa “Ambon Moord” perlawanan cepat dapat dikendalikan. Untuk pada 3 Oktober 1945, yaitu peristiwa meredam perlawanan dari kelompok- penyerangan dan pembunuhan terhadap orang- kelompok gerilya di pedalaman, Belanda orang Ambon yang dianggap berpihak kepada melakukan kampanye pasifikasi pada bulan tentara KNIL, NICA dan Belanda. Peristiwa Desember 1946 hingga Maret 1947. ini baru mereda ketika seluruh keluarga Kampanye tersebut dipimpin oleh Kapten Ambon yang ada di Kota Makassar diungsikan Westerling yang sangat terkenal dengan ke Benteng Ford Rotterdam. Peristiwa tersebut operasi militernya yang kejam dengan dipicu oleh “Peristiwa 2 Oktober 1945” yaitu menewaskan ratusan bahkan ribuan jiwa penembakan brutal oleh serdadu KNIL (suku warga sipil tak berdosa atau mereka yang Ambon) terhadap pemuda merah-putih di dituduh sebagai pengacau (Ricklefs, 2005: beberapa tempat di Makassar, antara lain 337). Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Pantai Losari, Karebosi, dan Jalan Maros. “korban 40.000 jiwa” yang dimaknai oleh Peristiwa penembakan tersebut memicu banyak kalangan sebagai peristiwa nasional terjadinya peristiwa “Ambon Moord”. dan merupakan bukti nyata pengorbanan Organisasi PPNI juga terlibat dalam rakyat Sulawesi Selatan di masa revolusi beberapa peristiwa pada 28 Oktober 1945 di (Lahade, 1982:394). Kota Makassar, seperti penyerangan Markas Masa pemerintahan NIT yang dimulai sementara Komando KNIL di Hotel Empres sejak 1946 sampai dibubarkan di pertengahan Makassar, penyerangan terhadap Stasiun tahun 1950 merupakan masa yang paling rumit Radio di Mattoanging, tangsi Militer KNIL di dan masih belum banyak dibahas dan dipahami pinggir Pantai Mariso, dan tangsi Polisi di oleh sejarawan (Pradadimara, 2016: 13). Masa Jalan Gowa. Dari berbagai peristiwa tersebut tersebut merupakan masa dimana perjuangan dilaporkan bahwa ada sekitar 40 orang pemuda bersenjata untuk menentang NIT dan yang ditangkap oleh KNIL dan mereka mempertahankan republik mustahil untuk

Perjuangan Tanpa Revolusi: Perspektif Baru dalam Memahami Kekerasan Periode Revolusi … – Burhaman Djunedding| 569

dilakukan. Hal tersebut tampaknya sangat terwakili dalam Konferensi Denpasar (Agung, dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil oleh 1985: 125). tentara Australia di wilayah timur Indonesia Pada awalnya, Parlemen NIT terdiri yang sangat berbeda dengan yang dilakukan dari dua fraksi yaitu Fraksi Pembangunan dan oleh tentara Inggris di Pulau Jawa. Di Pulau Fraksi Progresif. Fraksi Pembangunan adalah Jawa, tentara Inggris melarang campur tangan fraksi yang dahulu mendukung pencalonan Belanda dalam hal keamanan dan Tjokorde Gde Rake Soekowati sebagai pemerintahan, sedang di Sulawesi dan daerah- Presiden NIT, sedangkan Fraksi Progresif daerah Indonesia Timur pada umumnya, pihak yang mendukung pencalonan Mr. Tadjuddin Australia menganjurkan Belanda untuk Noor. Unggul dalam pemilihan tersebut adalah membentuk pemerintahan sipil di bawah Tjokorde Gde Rake Soekowati dengan pengawasan tentara mereka (Agung, 1985: perolehan 37 suara parlemen, sedangkan Mr. 40). Tadjuddin Noor hanya memperoleh 32 suara Dengan demikian, melawan Belanda parlemen. Dengan demikian, yang terpilih dengan menggunakan senjata adalah suatu sebagai Presiden NIT adalah Tjokorde Gde tindakan yang mustahil dan sia-sia, terlebih Soekowati. setelah diterimanya Perjanjian Linggarjati oleh Dinamika dalam Parlemen NIT Republik Indonesia di bulan Maret 1947 mengikuti pola yang sudah terbentuk sebagai bentuk pengakuan Republik terhadap sebelumnya, yakni Fraksi Pembangunan di kembalinya kekuasaan Belanda atas wilayah bawah ketuanya Sonda Daeng Mattayang yang Indonesia Timur. Dengan diterimanya konservatif mendukung segala kebijakan Perjanjian Linggarjati tersebut, maka banyak pemerintah. Sebaliknya, Fraksi Progresif kalangan di Indonesia Timur yang menilai ketuanya Abdullah Daeng Mappuji memilih bahwa Republik telah menyerahkan Indonesia beroposisi dan senantiasa menentang Timur kepada Belanda karena tidak kebijakan pemerintah. Polarisasi politik dalam memasukkan Indonesia Timur ke dalam parlemen terus terjadi sejak awal terbentuk daerah yang ditetapkan sebagai wilayah hingga bubarnya NIT. Republik Indonesia. Dengan demikian, ruang Pada perkembangan selanjutnya, yang tersisa untuk berjuang menentang Parlemen NIT terbagi atas tiga fraksi. Pertama kembalinya kekuasaan Belanda adalah dalam adalah Fraksi Demokrat yang anggota- kelembagaan dan parlemen NIT (Frederick anggotanya pro Pemerintah NIT, ketua dan Soeroto (peny.), 1982: 369). fraksinya Nadjamuddin Daeng Malewa. Fraksi Proses terbentuknya Parlemen NIT kedua adalah Fraksi Progresif yang ketuanya tidak dapat dipisahkan dengan Konferensi yang dianggap fraksi Denpasar yang diselenggarakan pada akhir oposisi terhadap pemerintah, dan Fraksi ketiga tahun 1946. Di sela-sela konferensi juga adalah Fraksi Nasional yang merupakan fraksi diadakan pemilihan anggota parlemen utusan netral yang tidak berpihak di antara kedua dari berbagai daerah di Indonesia Tmur. Di fraksi yang saling berbeda pendapat di akhir konferensi, tepatnya pada tanggal 24 parlemen NIT (Nelanan, 1981: 181). Desember 1946 diambil sumpah ketua terpilih Saat Parlemen NIT membuka Mr. Tadjuddin Noor dan pelantikan anggota sidangnya yang pertama pada 22 April 1947 di parlemen terpilih. Parlemen NIT terdiri dari 70 Makassar, anggota parlemen terutama anggota dan dari jumlah tersebut 55 golongan progresif menunjukkan sikap yang diantaranya melalui pemilihan dan sisanya 15 tegas menentang politik manifest Pemerintah diangkat. Anggota parlemen yang diangkat NIT, bahkan banyak diantara anggota-anggota mewakili golongan minoritas seperti Belanda, parlemen yang mengucapkan pandangan Cina, dan Timur Asing lainnya ditambah umumnya yang terang-terangan pro-Republik, beberapa orang Indonesia yang dianggap misalnya dari saat mempunyai kedudukan dan pengaruh yang sidang mengucapkan “sekali ke Djogja tetap terpenting dalam masyarakat tetapi tidak ke Djogja, sekali merdeka tetap merdeka”(Republik Indonesia, 1953: 132)

570 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 25 Nomor 3 November 2019

Setelah Nani Wartabone sikap fraksi yang lain, termasuk Fraksi mengucapkan pandangannya di sidang Nasional yang terkadang tidak terang-terangan parlemen NIT, maka sidang parlemen menjadi pro Republik. Sepanjang bulan Januari - bertambah panas. Pertentangan antara Februari 1947 terjadi kontak senjata antara golongan oposisi dan golongan pemerintah KNIL dengan Laskar Pejuang yang mendapat semakin parah sehingga Sonda Daeng perhatian Parlemen NIT, diantaranya Mattayang atas nama anggota parlemen pertempuran Kassi-Kassi yang menewaskan golongan pemerintah mengajukan sebuah Emmy Saelan dan Pertempuran Langese mosi tak percaya terhadap kebijakan Mr. Komara di perbatasan Gowa-Jeneponto yang Tadjuddin Noor yang dianggap berat sebelah menewaskan Ranggong Daeng Romo dan terhadap golongan oposisi yang tidak mampu menjebloskan Robert Wolter Mongisidi di meredam perkataan-perkataan yang diucapkan penjara Hoogepad Makassar. oleh golongan yang pro-republik seperti Nani Dari berbagai peristiwa tersebut, Wartabone (Republik Indonesia, 1952: 132) fraksi Progresif yang dipimpin Arnold Sehubungan dengan gaduhnya sidang, Mononutu berusaha menjatuhkan kabinet maka anggota Fraksi pendukung pemerintah Warrouw yang secara terang-terangan Sonda Daeng Mattayang mengajukan mosi tak mendukung kebijakan KNIL yang bersikap percaya terhadap Ketua Parlemen Mr. tegas terhadap pejuang Republik. Dengan Tadjuddin Noor. Pada sidang 27 Mei 1947, berbekal koalisi dengan anggota Fraksi ketua Parlemen Mr. Tadjuddin Noor bersama Nasional yang pro Republik akhirnya berhasil 32 anggota anggota parlemen dari Fraksi menjatuhkan Kabinet Warrouw dan Kabinet Progresif meniggalkan ruang sidang dan Mr. Anak Agung Gde Agung. menyerahkan palu pimpinan sidang kepada Mr. Anak Agung Gde Agung yang wakil ketua I Mr. S Binol. Mosi tak percaya menjadi Perdana Menteri setelah Warraow tersebut berhasil menggantikan ketua meski tidak secara transparan mengucapkan Parlemen yang baru yaitu Sultan Moehammad pro Republik, kebijakannya selalu berusaha Kaharoeddin dari Sumbawa. Hari itu juga mendekatkan NIT dan Republik. Obsesi Anak Presiden Soekowati melantik ketua parlemen Agung sebagaimana yang sering diucapkan yang baru terpilih. dalam pidato-pidatonya, baik sebagai Perdana Namun, menjelang RIS terbentuk, Menteri NIT maupun sebagai Menteri Dalam anggota Parlemen NIT bertambah menjadi 80 Negeri, menghendaki adanya kesetaraan orang yang terbagi atas 4 fraksi dan 1 antara NIT dan Republik dan memperjuangkan kelompok non-fraksi. Fraksi Progresif dengan kemerdekaan secara damai, tidak melalui anggota sebanyak 33 orang, Fraksi Nasional revolusi (Chaniago, 2002: 236). sebanyak 22 orang, Fraksi Demokrat 5 orang, Pada tanggal 5-7 Februari 1950 Fraksi I.E.V sebanyak 3 orang, dan Non-Fraksi diselenggarakan Konferensi Polongbangkeng 5 orang. Fraksi Progresif dipimpin oleh yang dihadiri sekitar 2000 orang utusan dari Arnold Monnutu yang berasal dari Maluku berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Tujuan Utara, Fraksi Nasional diketuai oleh Andi konferensi ini untuk menyatukan visi Massarapi dari Sulawesi Selatan, Fraksi perjuangan kemerdekaan sesuai Proklamasi 17 Demokrat ketuanya F.A.P Pitoi dari Sulawesi Agustus 1945. Dukungan terhadap konferensi Utara dan Non-Fraksi O. Basalamah dari juga datang dari Parlemen NIT hasil pemilu Gorontalo, Dr. H. Bergema seorang Pastor dari yang dilantik pada tanggal 20 Februari 1950. Makassar dan yang lainnya (Chaniago, 2002: Sebagian besar anggota Parlemen NIT adalah 233-234). muka-muka baru seperti Lanto Daeng Dari empat fraksi yang ada dalam Pasewang yang Pro Republik. Parlemen NIT Parlemen NIT sampai terbentuknya parlemen yang baru ini terdiri dari 4 Fraksi yakni fraksi baru 1949, Fraksi Progresif lebih condong Kesatuan (22 anggota) dipimpin oleh Lanto memperjuangkan aspirasi Republik. Sikap Daeng Pasewang, Fraksi Nasional Konstruktif Fraksi Progresif ini sering berbeda dengan (20 anggota) dipimpin oleh Hussein Puang

Perjuangan Tanpa Revolusi: Perspektif Baru dalam Memahami Kekerasan Periode Revolusi … – Burhaman Djunedding| 571

Limboro, Fraksi Kerakyatan (11 anggota) Meskipun pada awal revolusi diimpin oleh E.V Pupella, dan sisanya masuk Sulawesi Selatan menonjol sebagai tempat Fraksi Indonesia yang maliputi utusan dari perlawanan terhadap rencana pemulihan Sumbawa, Lombok dan Gorontalo. kekuasaan Belanda di Indonesia Timur, tetapi Perjuangan lewat parlemen terus dilakukan tidak lama kemudian segala bentuk hingga terbentuknya Kabinet Putuhena pada perlawanan cepat dapat dikendalikan. Untuk bulan Mei 1950 dan Kabinet ini kemudian meredam perlawanan dari kelompok- disebut sebagai “Kabinet Likwidasi” untuk kelompok gerilya di pedalaman, Belanda menunjuk pada tugasnya untuk membubarkan melakukan kampanye pasifikasi pada bulan NIT dan berlanjut pada Republik Indonesia Desember 1946 hingga Maret 1947. Serikat yang dibubarkan pada 15 Agustus 1950 Kampanye tersebut dipimpin oleh Kapten dan terbentuklah Negara Kesatuan Republik Westerling yang sangat terkenal dengan Indonesia. operasi militernya yang kejam dengan menewaskan ratusan bahkan hingga ribuan PENUTUP jiwa warga sipil tak berdosa atau mereka yang dituduh sebagai pengacau. Peristiwa ini Pengaruh kolonialisme Belanda yang kemudian dikenal dengan “korban 40.000 tidak terlalu signifikan dan Pendudukan jiwa” yang dimaknai oleh banyak kalangan Jepang yang cukup singkat menjadikan sebagai peristiwa nasional dan merupakan Indonesia Timur kurang siap menghadapi bukti nyata pengorbanan rakyat Sulawesi revolusi jika dibandingkan dengan wilayah Selatan di masa revolusi. lain di Indonesia. Di wilayah Indonesia Timur, Dengan demikian, melawan Belanda kolonialisme dan nasionalisme memiliki dengan menggunakan senjata adalah suatu sejarah yang cukup singkat. Meskipun wilayah tindakan yang mustahil dan sia-sia, terlebih timur Indonesia sudah ditaklukan lewat Perang setelah diterimanya Perjanjian Linggarjati oleh Makassar, tetapi setelah tahun-tahun tersebut, Republik Indonesia di bulan Maret 1947 perhatian penguasa kolonial baik kompeni sebagai bentuk pengakuan Republik terhadap maupun pemerintah Hindia Belanda terhadap kembalinya kekuasaan Belanda atas wilayah Indonesia Timur masih kurang porsinya. Indonesia Timur. Dengan diterimanya Perhatian pemerintah kolonial baru Perjanjian Linggarjati tersebut, maka banyak meningkat setelah tahun 1905 ketika Hindia kalangan di Indonesia Timur yang menilai Belanda jatuh ke tangan Jepang pada tahun bahwa Republik telah menyerahkan Indonesia 1942 dan Jepang membagi seluruh bekas Timur kepada Belanda dengan tidak Hindia Belanda menjadi tiga wilayah utama memasukkan Indonesia Timur ke dalam yang terpisah antara satu dengan yang lain, daerah yang ditetapkan sebagai wilayah yakni pasukan Angkatan Darat ke-16 Republik Indonesia. Dengan demikian, ruang bertanggung jawab atas Jawa, lalu Sumatera yang tersisa untuk berjuang menentang dibawah pemerintahan Angakatan Darat ke- kembalinya kekuasaan Belanda adalah melalui 25, dan Armada Barat Daya Angatan Laut kelembagaan dan parlemen NIT. Jepang memerintah seluruh Indonesia bagian timur. Sama halnya dengan penguasa kolonial, kurangnya perhatian juga terjadi saat DAFTAR PUSTAKA berkuasanya angkatan laut Jepang selama tiga Ahmad Massiara Daeng Rapi. 1988., setengah tahun di Indonesia Timur Menyikap Tabir Sejarah dan Budaya di (Kalimantan, Sulawesi dan Sunda Kecil). Sulawesi Selatan. Jakarta: Yayasan Angkatan Laut Jepang sepertinya tidak Bhinneka Tunggal Ika. mempunyai rencana apapun untuk mendukung Anhar Gonggong. 1992., Abdul Qahhar partisipasi kelompok-kelompok nasionalis di Mudzakkar: Dari Patriot Hingga wilayah ini. Sikap dasar mereka adalah Pemberontak. Jakarta: PT. Grasindo represif dan ini berarti membiarkan kelompok Widiasarana Indonesia. nasionalis untuk tidak berkembang.

572 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 25 Nomor 3 November 2019

Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Kepentingan, Yogyakarta: LKIS, Historiografi Indonesiasentris?!. KITLV. Yogyakarta: Ombak. Harun Kadir, dkk. 1984. Sejarah Perjuangan Burhaman Djunedding. 2010. “Pesta Kemerdekaan Republik Indonesia di Demokrasi Di Daerah Bergolak: Politik Sulawesi Selatan (1945-1950). Ujung Tingkat Lokal dan Pemilihan Umum Pandang: Kerjasama Bappeda Tingkat I 1955 di Sulawesi Selatan,” Tesis Provinsi Sulawesi Selatan dengan Universitas Gadjah Mada, 2010, tak Universitas Hasanuddin. diterbitkan. Harvey, Barbara Sillars. 1989a. Burhaman Djunedding. 2016. “Dari Sejarah Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Lokal Sulawesi Selatan ke Sejarah Tradisi ke DI/TII. Jakarta: PT. Pustaka Lokal Sulawesi Selatan dan Barat: Utama Grafiti. Memikirkan Perspektif Baru Sejarah Harvey, Barbara Sillars.1989c. “Sulawesi Lokal”, Prosiding Seminar Nasional Selatan:Boneka dan Patriot” dalam dan Rapat Kerja Perhimpunan Program Audrey R. Kahin. Pergolakan Daerah Studi Sejarah Se-Indonesia, dengan pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: PT. Tema “Mempertimbangkan Buku-buku Pustaka Utama Grafiti. Acuan Sejarah Indonesia, Meninjau Ichlasul Amal. 1988. Hubungan Pusat- Historiografi Mutakhir Indonesia”, Daerah: Kasus Sumatera Baratdan Makassar. Sulawesi Selatan 1949-1979. Burhan Djabier Magenda. 1989. “The Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Surviving Aristocracy In Indonesia: Studi Sosial Universitas Gadjah Mada. Politic In Three Of The Outer Island”. Ide Anak Agung Gde Agung. 1985. Dari Disertasi Universitas Cornell. tak Negara Indonesia Timur Ke Republik diterbitkan. Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Cote, Joost’& Loes Westerbeek (eds). 2004. Mada University Press.. Recalling The Indies: Kebudayaan J. R. Chaniago.2002. “Menuju Negara Kolonial dan Identitas Poskolonial, Kesatuan Republik Indonesia: Peranan Yogyakarta: Syarikat Indonesia. Pemimpin Lokal dalam Dinamika Cribb, Robert Bridson. 1990. Gejolak Politik di Sulawesi Selatan dan Revolusi di Jakarta 1945-1949: Sumatera Timur 1950.” Disertasi Pergulatan antara Otonomi dan Universitas Gadjah Mada, tak Hegemoni. Jakarta: Pustaka Utama diterbitkan. Grafiti. Kahin, George Mc Turnan. 1995. Refleksi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pergumulan Lahirnya Republik: Direktorat Sejarah Dan Nilai Nasonalisme dan Revolusi di Indonesia. Tradisional Proyek Inventaris Dan Semarang: Sebelas Maret University Dokumentasi Sejaran Nasional Press dan Pustaka Sinar Harapan. 1983/1984, Seminar Sejarah Koerts, H.J., 2001. “Amtenar BB di Sulawesi Perjuangan Rakyat Suawesi Selatan Selatan” dalam S.L. van Der Wal Menentang Penjajah Asing. (peny.), Kenang-kenangan Dias Pradadimara, dkk (peny.). 2016. Negara Pangrehpraja Belanda 1920-1942 dan Masyarakat Sulawesi Selatan di (Jakarta: Penerbit Djambatan-KITLV Tahun 1950-an . Yogyakarta: PT. Manai Sophiaan. 1991. Apa Yang Masih Kanisius. Teringat. Jakarta: Yayasan Frederick, William H, 2005. “Penampilan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Revolusi: Pakaian, Seragam, dan Gaya Mestika Zed. 2005. Giyûgun: Cikal-bakal Pemuda di Jawa Timur 1945-1949”, Tentara Nasional di Sumatera, Jakarta: dalam Henk Schulte Nordhold (ed), LP3ES. Outward Appearances: Tren, Identitas,

Perjuangan Tanpa Revolusi: Perspektif Baru dalam Memahami Kekerasan Periode Revolusi … – Burhaman Djunedding| 573

Much. Hasyim. 1982. “Struktur Organisasi Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Kelaskaran Di Sulawesi Selatan”, dalam Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada Departemen Pendidikan dan University Press. Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan R. Kahin, Audrey. 1990. Pergolakan Daerah Nilai Tradisional Proyek Inventaris Dan Pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: Dokumentasi Sejaran Nasional Pustaka Utama Grafiti. 1983/1984, Seminar Sejarah Perjuangan R. Nalenan, 1981. Arnold Mononutu: Potret Rakyat Suawesi Selatan Menentang Seorang Pejuang, Jakarta: PT. Gunung Penjajah Asing. Agung. Muhammad Abduh, dkk, 1983/1984. Sejarah Sanusi Dg. Mattata, 1967. Luwu Dalam Perlawan Terhadap Imperalialisme dan Revolusi, Makassar: Yayasan Kolonialisme di Sulawesi Selatan, Pembangunan Asrama IPMIL. Departemen Pendidikan dan Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Perkembangan Historigrafi Indonesia: Nilai Tradisional Proyek Inventaris Dan Sebuah Alternatif. Jakarta: PT. Dokumentasi Sejaran Nasional. Gramedia. Muhammad Amir.2001 “Pertentangan Antara Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu- Golongan Unitaris dan Federalis di ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Sulawesi Selatan 1945-1950”. Laporan Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Penelitian: Makassar, Departemen Sarita Pawiloy. 1987. Sejarah Perjuangan Pendidikan Nasional, Direktorat Angkatan 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian Pandang: Dewan Harian Angkatan 45 Sejarah dan Nilai Tradisional. Provinsi Sulawesi Selatan Masa Bakti Mohammad Saleh La Hade. 1982. “Korban 1985-1989. 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan dan Schulte Nordholt, Henk,2002. Kriminalitas, Artinya Bagi Perjuangan Kemerdekaan Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Republik Indonesia,” dalam Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Pendidikan dan Sutherland, Heather. 2013. “Meneliti Sejarah Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Penulisan Sejarah” dalam Henk Schulte Nilai Tradisional Proyek Inventaris Dan Nordholt, Bambang Purwanto dan Dokumentasi Sejaran Nasional Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru 1983/1984, Seminar Sejarah Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan Yayasan Obor Indonesia. Menentang Penjajah Asing, Ujung T.B Simatupang, 1982. “Revolusi dan Kita Pandang. Sekarang,”dalam William H. Frederick M. Sanusi Dg. Mattata. 1962. Luwu Dalam dan Soeri Soeroto (Peny.) Pemahaman Revolusi. Makassar: Yayasan Sejarah Indonesia Sebelum dan Pembangunan Asrama IPMIL. Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Taufik Abdullah. 1985. Sejarah Lokal di Sulawesi Selatan.1991. Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada Perkembangan Pemerintahan University Press. Departemen Dalam Negeri di Propinsi Taufik Abdullah, 1995. “Pengalaman, Sulawesi Selatan. Pemerintah Propinsi Kesadaran dan Sejarah,” Pidato Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Pelras, Christian. Manusia Bugis (terj.) 2005. Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Abdul Rahman Abu, dkk. Jakarta: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nalar, Forum Jakarta-Paris, EFEO. 27 November 1995. Reid, Anthony,“Revolusi Sosial: Revolusi Taufik Abdullah. 2001. Nasionalisme dan Nasional,” Prisma, Nomor 8 Tahun Ke Sejarah. Bandung: Satya Historika. X, (Agustus 1981), 30-55

574 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 25 Nomor 3 November 2019