Prosiding SEMINAR HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG Palembang, 2 Oktober 2013

Editor: Nina Mindawati Riskan Effendi Illa Anggraeni Tuti Herawati

Hak Cipta oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan

Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak, mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut:

Untuk sitiran seluruh buku, ditulis: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan (2013). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan "Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan", 2 Oktober 2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan.

Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan (2013). Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan "Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan", 2 Oktober 2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor, Halaman ......

ISBN: 978 - 602 - 98588 - 2 - 2

Prosiding ini diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan

Alamat: Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor PO BOX 331 Telp (0251) 631238, 631507 Fax (0251) 7520005 E-mail: [email protected]

Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA Balai Penelitian Kehutanan Palembang TA. 2013

ISBN: 978 - 602 - 98588 - 2 - 2

Prosiding

Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan

Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan

Palembang, 2 Oktober 2013

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN 2013

KATA PENGANTAR

Kenyataan bahwa hutan alam semakin sulit diandalkan menjadi sumber bahan baku industri mendorong hutan tanaman harus dibangun secara bersungguh-sungguh dan lebih cepat. Untuk itu berbagai kendala dalam pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman perlu dikaji agar dapat dipahami secara lebih mendalam sehingga pada akhirnya dapat ditentukan berbagai pilihan strategi sebagai solusi untuk mewujudkan kemajuan pembangunan hutan tanaman. Seminar hasil penelitian BPK Palembang bertema: “Integrasi Iptek dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan” yang diselenggarakan tanggal 2 Oktober 2013 disasarkan memberi kesempatan bagi semua pihak terkait untuk berdiskusi, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman serta bersama-sama membahas berbagai tantangan dan permasalahan yang menghambat dalam pengelolaan hutan tanaman, sehingga pada akhirnya diperoleh solusi terhadap permasalahan yang ada. Prosiding ini disusun sebagai outcome dari seminar yang telah dilaksanakan. Kepada semua pihak yang telah turut mensukseskan terselenggaranya kegiatan seminar dan yang telah membantu di dalam penyusunan prosiding ini, diucapkan terima kasih.

Palembang, Desember 2013 Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan

Dr. Ir. Bambang Trihartono, MF NIP. 195610051982031006

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... v DAFTAR LAMPIRAN ...... ix SAMBUTAN ...... xi RUMUSAN ...... xv A. ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIJAKAN 1. Agen Perubahan dalam Pembangunan Hutan Rakyat: Belajar dari Pengembangan Kayu Bawang di Wilayah Provinsi Bengkulu Efendi Agus Waluyo dan Ari Nurlia ...... 1 2. Pengembangan Hutan Tanaman di Sumatera Selatan Hendar Suhendar ...... 9 3. Pengembangan Energi Sosial Budaya Kreatif dalam Kebijakan Kehutanan Indonesia Edwin Martin ...... 13 4. Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan Efendi Agus Waluyo dan Sri Lestari ...... 21 5. Analisis Faktor Motivasi Menanam Kayu Bawang (Dysoxilum mollissimum Blume) Pada Lahan Milik (Studi Kasus di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah) Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari ...... 27 6. Faktor-Faktor Pembatas yang Mempengaruhi Pengembangan Hutan Rakyat Kayu Bawang di Provinsi Bengkulu Ari Nurlia dan Efendi Agus Waluyo ...... 37 B. ASPEK SILVIKULTUR 1. Manajemen Pemupukan untuk Pembuatan Hutan Tanaman Acacia mangium sebagai Pengalaman PT. Musi Hutan Persada dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri, di Sumatera Selatan Maydra Alen Inail, Bambang Supriadi dan Rachmat Wahyono ...... 47 2. Peningkatan Riap Pertumbuhan Tanaman Tembesu Melalui Beberapa Perlakuan Silvikultur Agus Sofyan, Abdul Hakim Lukman, Junaidah dan Nasrun ...... 53 3. Pertumbuhan dan Produktivitas Agroforestri Kayu Bawang di Provinsi Bengkulu Hengki Siahaan dan Agus Sumadi ...... 61 4. Respon Pertumbuhan Bibit Kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) pada Berbagai Intensitas Cahaya, Penggunaan Inang Primer Kriminil dan Jenis Media Armellia Prima Yuna, Edje Djamhuri dan Dharmawati F.Djam’an ...... 69

v

5. Pengaruh Jumlah Daun semai terhadap Pertumbuhan Bibit Sungkai (Peronema canescen Jack.) Sahwalita dan Imam Muslimin ...... 79 6. Pengaruh Aplikasi Cuka Kayu terhadap Pertumbuhan Bibit Kayu Bawang (D. mollissimum Blume) Sri Utami, Armellia Prima Yuna dan Teten Rahman Saepuloh ...... 85 7. Efektivitas Naungan terhadap Pertumbuhan Bibit Sungkai (Peronema canescen Jack.) di Persemaian Sahwalita ...... 91 8. Pengaruh Jenis Media terhadap Perkecambahan Benih Kepuh Nanang Herdiana, Imam Muslimin dan Kusdi Mulyadi ...... 97 9. Pertumbuhan Awal Tegakan Bambang dan Karet pada Pola Campuran di KHDTK Kemampo Agus Sumadi, M. J. Rosyid dan Syaiful Islam ...... 103 10. Perbaikan Praktek-praktek Silvikultur pada Pengelolaan Hutan Rakyat di Sumatera Bagian Selatan Hengki Siahaan ...... 111 11. Budidaya Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria sp) Agus Sofyan ...... 117 12. Pengaruh Intensitas Pemupukan terhadap Pertumbuhan Semai Mangrove di Persemaian Adi Kunarso, Bastoni, Imam Muslimin dan Fatahul Azwar ...... 125

C. ASPEK PERLINDUNGAN HUTAN 1. Serangan Kumbang Penggerek (Xystrocera globosa) pada Tegakan Kayu Bawang dan Teknik pengendaliannya pada Skala Lapangan Sri Utami dan Agus Kurniawan ...... 135 2. Serangan Hama Belalang Hijau (Atractomorpha psittacina) pada Avicenniea sp. di Persemaian Agus Kurniawan dan Adi Kunarso ...... 143 3. Waspada terhadap Kepik Renda (Tingis beesoni) yang Menyerang Jati Putih (Gmelina Arborea Roxb.) Illa Anggraeni, Asmaliyah dan Neo Endra Lelanan ...... 149 4. Penyakit pada Tanaman Bambang Lanang (Michelia champaca) dan Daerah Sebarannya di Sumatera Selatan Asmaliyah, Andika Imanullah, Illa Anggraeni dan Wida Darwiati ...... 155 5. Potensi Ekstrak Daun Rimau (Toona sp.) dalam Menekan Perkembangan Serangan Hama pada Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba) di Lapangan Asmaliyah dan Burhan Ismail ...... 169 6. Komposisi dan Jenis Gulma pada Lokasi Tegakan Kayu Bawang di Provinsi Bengkulu Andika Imanullah, Agus Kurniawan, Asmaliyah dan Nesti ...... 179

vi

7. Dominasi Gulma dan Teknik Pengendalian Pertumbuhan Gulma yang Efektif pada Jenis Bambang Lanang Andika Imanullah, Sri Utami dan Asmaliyah ...... 193 D. ASPEK KONSERVASI DAN LAINNYA 1. Aspek Ekolohis Hutan Tanaman Indonesia Wiryono (Universitas Bengkulu) ...... 203 2. Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Rakyat Jenis Bambang Lanang Dody Prakosa ...... 213 3. Potensi Produksi Getah Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) di KHDTK Benakat, Sumatera Selatan Imam Muslimin dan Nanang Herdiana ...... 223 4. Produksi dan Rendemen Pengolahan Kayu Jenis Bambang di Masyarakat Agus Sumadi dan Hengki Siahaan ...... 231 5. Jenis dan Ukuran Sortimen Kayu Pertukangan yang Diperdagangkan di Kota Bengkulu Efratenta Katherina Depari, Gunggung Senoaji dan Ovi Anggraini ...... 237 6. Strategi Pemuliaan untuk Meningkatkan Resistensi Tanaman Kayu Bawang ( mollissimum Blume.) Agus Kurniawan ...... 243 7. Deteksi Sebaran Hutan Rakyat Jenis Bambang Lanang dengan Menggunakan Remote Sensing dan GIS Dody Prakosa ...... 255 8. Informasi Karakteristik Tanah Tempat Tumbuh Sungkai (Peronema canescen Jack.) di Sumatera Tubagus Angga, Sahwalita, Imam Muslimin dan Joni Muara ...... 261 9. Karakteristik dan Pemanfaatan Lahan Sulfat Masam yang Dikelola dengan Pola Agrosilvofishery di Sumatera Selatan Bastoni ...... 273 10. Kajian Teknis dan Sosiologi Lingkungan pada Kasus Rehabilitasi Hutan Mangrove di Desa Margasari Kabupaten Lampung Timur Bastoni ...... 281

LAMPIRAN-LAMPIRAN

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Susunan Acara Seminar ...... 291 2. Susunan Panitia Seminar ...... 293 3. Daftar Peserta Seminar ...... 295 4. Notulensi Seminar ...... 301

ix

SAMBUTAN SEKRETARIS BADAN LITBANG KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN SEMINAR HASIL PENELITIAN BPK PALEMBANG “INTEGRASI IPTEK DALAM KEBIJAKAN DAN PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN DI SUMATERA BAGIAN SELATAN”

Bismillahirrahmanirrahim,

Yang saya hormati: 1. Kepala Badan Koordinasi Penyuluh Provinsi Sumatera Selatan 2. Kepala Pusat Litbang Lingkup Balitbang Kehutanan/mewakili 3. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan/mewakili 4. Para Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Se-Provinsi Sumatera Selatan 5. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan/mewakili 6. Kepala BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan/mewakili 7. Kepala BALITBANGDA Provinsi Sumatera Selatan/mewakili 8. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan Se-Sumatera Selatan/mewakili 9. Kepala POLDA Provinsi Sumatera Selatan/mewakili 10. Peneliti, Penyuluh kehutanan, akademisi, praktisi, dan peserta seminar yang berbahagia.

Assalamualaikum Wr. Wb, Puji syukur marilah terlebih dahulu kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan ridho-Nya kita semua dapat hadir dalam acara Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang tahun 2013. Hadirin yang kami hormati, Data FAO menunjukkan bahwa luas hutan tanaman dunia meningkat pesat dari 178 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 264 juta ha pada tahun 2010, atau sekitar 7% dari luas total hutan dunia. Peningkatan luas tersebut umumnya terjadi di negara-negara Asia. Bagaimana dengan Indonesia?. Berdasarkan Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2011, jumlah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) meningkat signifikan dari hanya 1 (satu) unit dengan luas 30 ribu hektar pada tahun 1990 menjadi 249 unit dengan luas total lebih dari 10 juta hektar pada tahun 2011. Dari 10 juta hektar tersebut, 2 juta hektar di antaranya berada Sumatera Bagian Selatan, kecuali di Provinsi Bengkulu. Namun sayangnya, perkembangan luas IUPHHK-HTI tersebut belum diikuti oleh peningkatan produksi dan produktivitas kayu. Produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK-HT relatif stagnan bahkan cenderung menurun, misalnya pada tahun 2007 mampu menghasilkan 20.614.209 meter kubik kayu bulat kemudian turun menjadi 18.556.254 meter kubik kayu bulat pada tahun 2010. Peningkatan pesat produksi kayu justru terjadi dari sumber lainnya di luar kawasan hutan, yakni dari hanya tercatat 705.462 meter kubik pada tahun 2007 menjadi 21.786.505 meter kubik pada tahun 2011. Hadirin yang berbahagia, Masa depan pemenuhan kebutuhan kayu akan sangat bergantung pada peningkatan produktivitas hutan tanaman yang ada saat ini (misalnya melalui bioteknologi) dan dorongan terhadap hutan rakyat sebagai sumber penting kayu. Ekspansi luas hutan tanaman komersial (HTI) saat ini terbatas. Pemerintah mengambil kebijakan untuk menunda pemberian izin baru pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut. Hutan rakyat diharapkan terus

xi berkembang seiring dengan peningkatan keamanan tenurial, penurunan profitabilitas pertanian, dan bertambahnya permintaan dan harga kayu. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan hutan tanaman yang dikelola secara intensif ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produk-produk kayu yang terus meningkat dan menurunkan tekanan terhadap hutan alam. Dalam perjalanannya, hutan tanaman selain menghadapi kendala keterbatasan finansial, insentif kebijakan dan isu lingkungan, juga pada tataran praksis harus bersaing dengan tata guna lahan lainnya, khususnya pertanian intensif. Dalam kasus di Provinsi Lampung Misalnya, masyarakat lebih memilih menanam singkong dan jagung yang kuat kelembagaan pasarnya. Mengutip pendapat Professor Jerry Vanclay dari Southern Cross University , bahwa keberhasilan dan kelestarian produksi hutan tanaman tidak hanya ditentukan oleh penguasaan aspek silvikultur dan pengaturan hasil saja, tetapi harus memasukkan faktor sosial politik, kelembagaan (terutama masalah kepastian tenurial), dan pasar sebagai variabel yang harus dikuasai dan dipahami pemilik dan pengelola hutan tanaman. Hadirin yang berbahagia, Oleh karena itu, harus dibangun kesadaran bagi para pihak, baik pembuat kebijakan, pengelola hutan tanaman, investor swasta dan kelompok lingkungan bahwa pengelolaan lestari hutan tanaman memerlukan keahlian multi disiplin yang meliputi ekologi, proses partisipatif dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, kesesuaian tapak dan jenis, manajemen hara dan kesuburan tanah, penanaman, perlindungan hutan, operasi pemanenan, ekonomi, ilmu sosial dan manajemen bisnis, dan pemasaran hasil. Penyediaan keahlian dan pengetahuan yang beragam tersebut salah satunya dapat diperoleh dari kegiatan penelitian dan pengembangan multi disiplin yang diikuti desiminasi hasil-hasilnya. Sejak tahun 2010, Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan telah merancang penelitian integratif yang berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas hutan tanaman. Paling tidak 2 (dua) Penelitian Integratif, yaitu Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu dan Agroforestry, melalui program penelitian multidisiplinnya, serta didukung oleh hasil-hasil Litbang lainnya dari lembaga penelitian lain maupun perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam perbaikan kebijakan maupun pengelolaan hutan tanaman skala luas (HTI) maupun skala kecil (hutan rakyat). Hadirin yang berbahagia, Selain terus berupaya memproduksi ilmu pengetahuan, kita juga harus memperhatikan dan mengikuti diskursus internasional tentang pembangunan hutan tanaman. Beberapa waktu yang lalu, FAO memfasilitasi Kongres Internasional ke-3 Hutan Tanaman tahun 2013. Beberapa poin penting prinsip-prinsip membangun hutan tanaman yang dirumuskan oleh kongres tersebut layak untuk kita perhatikan bersama, di antaranya bahwa hutan tanaman tidak diposisikan untuk menggantikan hutan alam dan menimbulkan dampak buruk bagi mata pencaharian masyarakat sekitar hutan atau masyarakat lokal asli. Peran hutan tanaman merupakan pelengkap hutan alam dan kompetisi dengannya harus diminimalkan. Kongres tersebut juga menekankan pentingnya penggantian sistem hutan tanaman satu jenis dalam skala luas dan berdampak negatif terhadap lingkungan dengan pendekatan yang lebih terpadu dan ekologis, antara lain dengan model beragam jenis, sistem silvikultur dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan, manajemen konservasi hutan alam yang tersisa, dan penanaman jenis-jenis lokal di antara jenis-jenis eksotik.

xii

Hadirin yang saya hormati, Pertanyaan yang paling mendasar sehubungan dengan produksi ilmu pengetahuan oleh lembaga penelitian adalah bagaimana ilmu pengetahuan baru, dalam hal ini mengenai hutan tanaman dapat diadopsi oleh pembuat kebijakan dan pengelola hutan tanaman. Pengalaman Overseas Development Institute (ODI) dalam menyingkap bagaimana hubungan antara hasil penelitian dan kebijakan yang dipengaruhinya, dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk terus berbenah. Menurut ODI, hasil penelitian lebih mungkin untuk berkontribusi dalam proses terbentuknya kebijakan, jika: 1. Hasil penelitian sesuai dalam batas-batas politik dan kelembagaan dan tekanan bagi pembuat kebijakan. Hasil penelitian itu sejalan dengan asumsi- asumsi mereka. Juga dapat memberikan tekanan yang cukup untuk membuat mereka berpikir; 2. Bukti yang kredibel dan meyakinkan, memberikan solusi praktis untuk masalah kebijakan yang sedang dibicarakan dan dikemas sehingga menarik minat para pembuat kebijakan; 3. Peneliti dan pembuat kebijakan berbagi jaringan yang sama, saling percaya dan berkomunikasi secara efektif. Seminar pada hari ini dan kunjungan lapang esok hari semoga dapat menjadi wadah untuk membangun jaringan itu dan peneliti, pembuat kebijakan dan semua pihak yang berkepentingan dengan pembangunan hutan tanaman dapat terus berkomunikasi secara efektif. Hadirin yang berbahagia, Akhirnya diiringi ucapan terima kasih atas perhatian yang diberikan, dengan melafazhkan Bismillahirrahmanirrahim, Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang dengan tema “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan” secara resmi saya nyatakan dibuka. Selamat mengikuti acara ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, secara khusus dalam memajukan pengelolaan hutan tanaman di Sumatera Bagian Selatan.

Sekian dan terima kasih.

Wassalamualaikum, Wr. Wb.

xiii

RUMUSAN SEMINAR HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG “INTEGRASI IPTEK DALAM KEBIJAKAN DAN PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN DI SUMATERA BAGIAN SELATAN”

Memperhatikan pidato Pelaksana Harian Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan, pemaparan hasil makalah utama dan diskusi yang berkembang pada Seminar Hasil Penelitian “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan” yang diselenggarakan di Palembang pada tanggal 2 Oktober 2013, dihasilkan beberapa rumusan: 1. Pembangunan hutan tanaman merupakan suatu keniscayaan untuk memenuhi kebutuhan kayu yang terus meningkat sementara itu kemampuan hutan alam untuk memasok kebutuhan kayu terus menurun akibat deforestasi dan degradasi hutan yang tinggi. Sebagaimana di Asia, perkembangan hutan tanaman di Indonesia meningkat pesat di mana pada tahun 1990 luas hutan tanaman dalam skema IUPHHK-HT mencapai 30.000 hektar dan meningkat menjadi 10 juta hektar pada tahun 2011. 2. Pemerintah terus mendorong pembangunan hutan tanaman dalam bentuk IUPHHK-HTI, hutan rakyat, hutan tanaman rakyat dan bentuk hutan tanaman lainnya dengan seperangkat kebijakan yang kondusif dan skema pemberdayaan masyarakat. Khusus untuk Sumatera Selatan, saat ini terdapat 21 unit IUPHHK-HTI dengan luas 1.385.692 hektar, HTR dengan luas indikatif 105.120 hektar, hutan desa dengan luas indikatif 17.900 hektar dan terus mendorong pembangunan hutan rakyat dengan berbagai fasilitas bantuan bibit tanaman dan kemitraan dengan perusahaan. 3. Pembangunan hutan tanaman, khususnya di Sumatera Selatan masih menghadapi masalah mencakup: a. Tingginya konflik lahan terkait dengan hak tenurial dalam pengembangan IUPHHK-HTI b. Hutan tanaman masih didominasi oleh kayu serat Acacia mangium, sedang hutan tanaman yang diinisiasi masyarakat, khususnya kayu pertukangan belum berkembang baik. c. Pengembangan tanaman unggulan dan kehidupan belum optimal, pada sisi lain masyarakat lebih tertarik mengembangkan karet, kelapa sawit dan kopi. d. Munculnya serangan hama dan penyakit, khususnya pada tanaman A. mangium 4. Memperhatikan kemantapan ekologi hutan alam hujan tropis yang ditunjukkan oleh keseimbangan ekosistem yang dinamis dan kekayaan biodiversitas maka dalam pengelolaan hutan tanaman diharapkan dapat menerapkan prinsip-prinsip ekologi hutan alam semaksimal mungkin dalam hal meningkatkan kompleksitas struktur, keragaman jenis dalam bentuk hutan tanaman campuran, mempertahankan koridor hutan alam yang saling menyambung yang mempunyai nilai konservasi yang tinggi (High Conservation Value Forest, HCVF), dengan mengedepankan pengendalian hama terpadu dan memulihkan siklus hara pada tapak hutan tanaman 5. Disamping pengembangan IUPHHK-HTI menggunakan jenis eksotik seperti Acacia mangium oleh perusaaan swasta, pembangunan jenis tanaman lokal seperti tembesu dan kayu bawang untuk arahan kayu pertukangan perlu didorong dalam bentuk/pola hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat. 6. Mewujudkan pembangunan kedua komoditas jenis tanaman lokal, praktek silvikultur yang tepat harus diterapkan mencakup pemilihan tapak yang tepat (site-species matching),

xv

manipulasi lingkungan dalam bentuk persiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan serta pemilihan bahan tanaman yang berkualitas 7. Untuk menjamin kualitas batang dan meningkatkan riap tegakan tembesu perlu dilakukan penanaman dengan pengaturan jarak tanam yang tepat, diikuti dengan pemangkasan dan penjarangan secara berseling (untu walang). 8. Pengembangan tanaman tembesu perlu didukung pembangunan Clonal Seed Orchard dan demplot tanaman. 9. Pengembangan tanaman monokultur Kayu Bawang di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin Dihadapkan pada permasalah hama penggerek batang (Xytrocera globosa). Teknik pengendalian secara kimia menggunakan pestisida berbahan aktif Fipronil dengan dosis 4 cc/liter dapat menekan serangan hama dengan prosentase dan intensitas serangan, masing-masing menurun sebesar 3,66% dan 6,84% 10. Mengingat tajuk tanaman kayu bawang yang sempit dan ringan, jenis ini dapat dikembangkan dengan pola agroforestry. Pola agroforestry tersebut meliput tumpangsari kayu bawang dengan tanaman palawija, kayu bawang+kopi, kayu bawang+ kakao, kayu bawang+karet dan kayu bawang+sawit. 11. Untuk memasyarakatkan tanaman kayu bawang diperlukan agen-agen perubahan, penyu- luhan yang intensif, pembinaan dan fasilitasi petani yang akan mengembangkan kayu. 12. Hasil-hasil penelitian BPK Palembang perlu dikenal ada level pimpinan untuk mendorong foemulasi kebijakan publik. Promosi dan diseminasi hasil penelitian perlu terus dilakukan 13. Untuk pengembangan tanaman tembesu yang lebih berkualitas, BPK Palembang disarankan untuk menyusun prospektus/proposal pengembangan kenun benih Klon tembesu dan dapat diajukan sebagai inisiatif baru untuk skema pembiayaannya 14. Pengembangan tanaman kayu Bawang dengan pola agroforestry dalam skala luas dapat di- tempuh dengan mekanisme pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana diatur dalam PP. 61 tahun 2011.

Palembang, 2 Oktober 2013 Tim Perumus: 1. Nur Arifatul Ulya, S.Hut., ME 2. Ir. Bastoni 3. Ir. Raden Dody Prakosa, M.Sc

xvi

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

AGEN PERUBAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT: BELAJAR DARI PENGEMBANGAN KAYU BAWANG DI WILAYAH PROVINSI BENGKULU

Efendi Agus Waluyo dan Ari Nurlia Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Pengembangan hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu telah dilakukan secara tradisional dan turun menurun di wilayah penyebaran alaminya. Sedangkan untuk wilayah di luar penyebaran alaminya dibutuhkan usaha dan proses yang terus menerus. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan status pengembangan hutan rakyat kayu bawang yang berbeda disetiap kabupaten, padahal program yang digulirkan pemerintah adalah program yang sama. Agen perubahan (agent of change) ditengarai sebagai salah satu faktor yang berpengaruh nyata dalam pengembangan hutan rakyat kayu bawang di luar penyebaran aslinya. Agen perubahan tersebut tidak hanya memberi contoh nyata kepada masyarakat tapi juga memberi informasi yang berkesinambungan dan juga menyadarkan masyarakat akan pentingnya menanam kayu di kebun mereka. Dengan contoh yang nyata diharapkan adanya perubahan sosial di masyarakat terutama dalam pengembangan kayu bawang. Kata kunci: agen perubah, hutan rakyat, inovasi, kayu bawang

I. PENDAHULUAN

Budidaya tanaman berkayu telah lama dilakukan oleh masyarakat terutama di Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Mereka mengembangkan jenis kayu lokal yaitu kayu bawang secara tradisional turun temurun dengan pola agroforestri. Di wilayah ini hampir semua masyarakat petani mengembangkan kayu bawang di kebunnya pada saat memulai kebun yang baru. Hasil Penelitian yang dilakukan Martin dan Galle (2009) mengenai perkembangan budidaya kayu bawang di masyarakat mengungkapkan bahwa kayu bawang bagi masyarakat di Kabupaten Bengkulu Utara merupakan tanaman tradisional warisan orang tua mereka dan mulai sengaja ditanam pada dekade tahun 1950-60an di kebun atau bekas ladang. Kayu ini banyak ditanam karena mempunyai mutu baik dan budidayanya relatif mudah. Meskipun mutu kayu bawang tergolong baik dan budidaya mudah, kayu bawang tidak akan dapat menyebar begitu saja keluar dari wilayah sebaran aslinya. Ada beberapa faktor dari dalam dan luar masyarakat berpengaruh dalam adopsi teknologi agroforestri (Mercer, 2004) Agen perubahan (agent of change) adalah orang yang bertugas mempengaruhi orang atau masyarakat agar mau menerima inovasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh pengusaha pembaharuan (change agency). Dalam teori difusi inovasi, pada dasarnya dijelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Rogers (2003) menjelaskan bahwa inovasi sebagai suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan yang berupa gagasan baru. Sehingga dengan suatu inovasi baru diharapkan mendorong suatu perubahan sosial di masyarakat.

1

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Agen perubahan adalah salah satu faktor kunci yang telah menarik perhatian ilmuwan sosial dalam melakukan perubahan sosial, termasuk penggunaan teknologi di masyarakat (Sztopmka, 2011). Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan peran agen perubahan dalam keberhasilan pengembangan hutan rakyat terutama hutan rakyat kayu bawang di luar wilayah aslinya yang diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan oleh pemerintah terutama yang terkait dengan pengembangan hutan rakyat di wilayahnya.

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga kabupaten yang bukan merupakan wilayah sebaran asli kayu bawang di Provinsi Bengkulu. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan informasi yang diperoleh dari BP DAS Ketahun, dimana ketiga kabupaten tersebut merupakan kabupaten dengan permintaan bibit kayu bawang terbanyak sehingga diduga penyebaran kayu bawang di lokasi tersebut cukup meluas. Kabupaten yang terpilih sebagai lokasi penelitian adalah Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Seluma. Penelitian mengenai adanya agen perubahan dalam penyebaran hutan rakyat kayu bawang dilakukan pada bulan April sampai dengan September 2013, Namun pengamatan mengenai fenomena ini sudah dilakukan sejak tahun 2012.

B. Pengumpulan Data dan Analisis Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Penelitian kualitatif bertitik tolak dari paradigma fenomenologis yang objektivisnya dibangun atas situasi tertentu sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu dan relevan dengan tujuan dari penelitian itu (Sugiyono, 2005). Data primer diperoleh dari partisipan yang merupakan subjek penelitian. Subjek penelitian disebut partisipan karena partisipan tidak hanya merespon pertanyaan atau memilih jawaban dari pertanyaan yang di ajukan peneliti seperti halnya pada responden. Partisipan diperlakukan sebagai subjek karena memiliki peran aktif dalam memberikan informasinya. Partisipan sering juga disebut sebagai informan. Informan dipilih dengan menggunakan metode bola salju (Snowball sampling) yaitu dipilih berdasarkan informasi dari instansi pemerintah yaitu Dinas Kehutanan dan masyarakat setempat. Informan yang terpilih adalah informan yang merupakan tokoh kunci dalam penelitian yaitu orang-orang yang mampu mempengaruhi masyarakat agar mau menerima inovasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan, dalam hal ini mampu mempengaruhi masyarakat untuk menanam kayu bawang di kebun mereka, sehingga informan tersebut dapat disebut sebagai agen perubahan. Data primer yang mendukung penelitian diperoleh dari instansi pemerintahan antara lain BPDAS Ketahun, Dinas Kehutanan dan BPS baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten. Analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan status pengembangan hutan rakyat di kabupaten-kabupaten yang terpilih sebagai lokasi penelitian.

C. Kerangka Fikir Konseptual C.1. Adopsi Inovasi Adams (1988) menyatakan, an innovation is an idea or object perceived as new by an individual. Dalam perspektif pemasaran, Simamora (2003) menyatakan bahwa inovasi adalah

2

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan suatu ide, praktek, atau produk yang dianggap baru oleh individu atau grup yang relevan. Sedangkan Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa, ide yang dianggap baru oleh seseorang. Usaha pengembangan tanaman berkayu di Provinsi Bengkulu sudah lama dilakukan tetapi hanya lingkup lokal di wilayah asli penyebarannya. Mengingat kayu bawang yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang bagus dan kualitas kayu yang baik maka dilakukan uji coba pengembangan di luar daerah sebaran alaminya. Ada beberapa orang yang berusaha mengembangkan dan mengenalkan kayu bawang tersebut di daerahnya. Mereka mencontoh cara-cara yang telah lama dilakukan secara tradisional oleh masyarakat yang telah lama mengembangkan kayu bawang. Mereka mencoba membuat di lahan-lahan pribadi dengan harapan kalau berhasil dapat dicontoh/diadopsi oleh masyarakat setempat. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi salah satunya adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan di introduksikan harus mempunyai kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada dalam masyarakat penerima (adopter) tersebut. Jadi inovasi yang ditawarkan tersebut hendaknya inovasi yang tepat guna. Soekartawi (1988) menambahkan bahwa jika teknologi baru yang ditawarkan akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat. Untuk menemukan inovasi kriteria seperti ini dapat dilakukan dengan cara; bandingkan teknologi introduksi dengan teknologi yang sudah ada, kemudian identifikasi teknologi dengan biaya rendah atau teknologi yang produksinya tinggi. Rogers (2003) mengemukakan, ada pengelompokan penerima inovasi, yaitu (1) Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi yang mempunyai ciri petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi, (2) Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Perintis ini biasanya para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi, (3) Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Ciri pengikut yaitu penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi, (4) Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Biasanya mereka yang tergolong dalam kelompok ini skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati, (5) Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisio- nal. Yang termasuk dalam kelompok ini biasanya tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders, sumberdaya terbatas. Akan tetapi berdasarkan perkembangan sekarang ini, ada juga termasuk kelompok ini itu mempunyai pendidikan tinggi dan wawasan luas namun tidak terbuka dalam pemikirannya. Mereka biasanya merasa paling benar dan kurang bisa menerima pendapat dari orang lain. C.2. Agen Perubahan Agen perubahan menurut Havelock (1973) adalah orang yang membantu terlaksananya perubahan sosial atau suatu inovasi berencana agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan akan mengalami kemajuan. Agen perubahan juga selalu menanamkan sikap optimis demi terciptanya perubahan yang diharapkan. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (social engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (social planning) (Soekanto, 1990). Fungsi utama agen perubahan adalah sebagai penghubung antara pengusaha pembaha- ruan (change agency) dengan klien, tujuannya agar inovasi dapat diterima atau diterapkan oleh klien sesuai dengan keinginan pengusaha pembaharuan. Kunci keberhasilan diterimanya inovasi oleh klien terutama terletak pada komunikasi antara agen pembaharu dengan klien. Jika

3

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang komunikasi lancar dan efektif proses penerimaan inovasi akan lebih cepat dan makin mendekati tercapainya tujuan yang diinginkan. Sebaliknya jika komunikasi terhambat makin tipis harapan diterimanya inovasi. Oleh karena tugas utama yang harus dilakukan agen pembaharu adalah memantapkan hubungan dengan klien. Dalam hal pengembangan kayu bawang di wilayah Provinsi Bengkulu, agen perubahan yang mengenalkan dan menyampaikan suatu gagasan pengembangan kayu tersebut adalah orang-orang yang berasal dari daerah setempat, mereka adalah para pegawai teknis kehutanan setempat. Meskipun jabatan utamanya bukan penyuluh tetapi mereka berfungsi selain sebagai pegawai teknis kehutanan dilapangan juga merangkap sebagai penyuluh.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyebaran Hutan Rakyat Kayu Bawang di luar wilayah sebaran aslinya Informasi mengenai kekuatan dan keawetan kayu bawang dan keberhasilan hutan rakyat kayu bawang dalam memberikan kontribusi ekonomi pada pendapatan rumah tangga di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah menyebabkan mulai menyebarnya kayu bawang ke kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Bengkulu antara lain di Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Seluma. Sejauh mana kayu bawang mulai menyebar di kabupaten-kabupaten yang bukan wilayah asli penyebaran kayu bawang dapat dilihat dari karakteristik hutan rakyat kayu bawang di setiap kabupaten sebagaimana yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Hutan Rakyat Kayu Bawang di Lokasi Penelitian Kab. Mukomuko Kab. Rejang Lebong Kab. Seluma Ds. Sido Ds. Lalang Ds. Bandung Ds. Taba Ds. Ds. Bakal Uraian Makmur Luas Marga Tinggi Babatan Dalam N=34 N=31 N=30 N=39 N=30 N=30 Kayu bawang di kebun - Tanam 91,2 48,4 10,0 59,0 63,3 100,0 - Tidak Tanam 8,8 51,6 90,0 41,0 36,7 0,0

Asal Bibit - Bantuan 35,5 28,6 0,0 4,3 0,0 100,0 - Beli 6,5 0,0 0,0 30,4 36,8 0,0 - Cabutan alam 35,5 57,1 0,0 4,3 10,5 0,0 - Dari teman/kerabat 6,5 14,3 100,0 52,2 52,6 0,0 - Pembibitan sendiri 16,1 0,0 0,0 8,7 0,0 0,0

Pola Tanam - Campuran 100,0 100,0 33,3 100,0 94,7 100,0 - Monokultur 0,0 0,0 0,0 0,0 5,3 0,0 - Campuran dan 0,0 0,0 66,7 0,0 0,0 0,0 Monokultur

Luas lahan rata-rata/KK 2 ha 3,3 ha 2,1 ha 3,1 ha 2,2 ha 2 ha Jml rata-rata batang/KK 29 btg 14 btg 500 btg 41 btg 13 btg 87 btg Sawit Sawit dan Karet Tanaman Utama Kopi Karet Karet dan Karet Karet dan Sawit Sumber: Diolah dari data primer, 2013

4

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Tingkat penyebaran kayu bawang di semua kabupaten tidak merata pada setiap desa. Tingkat penyebaran kayu bawang di Kabupaten Seluma lebih tinggi dibanding Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Rejang Lebong, Di Desa Bakal Dalam Kabupaten Seluma, kayu bawang sudah ditanam disetiap rumah tangga sejak tahun 2003 dengan rata-rata jumlah kepemilikan kayu bawang sebanyak 87 batang/KK, namun hal ini berbeda dengan Desa Babatan yang masih berada dalam satu kabupaten namun hanya memiliki jumlah rata-rata kepemilikan kayu bawang sebesar 13 batang/KK. Penyebaran kayu bawang di Desa Bakal Dalam terjadi tidak lepas dari peran aktif kepala desa dalam mendapatkan program bantuan bibit kayu bawang dari pemerintah. Sedangkan di Desa Babatan, sebagian besar masyarakat mendapatkan bibit kayu bawang dari hasil membelinya sendiri atau dari teman dan kerabatnya. Kayu bawang mulai menyebar di kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Bengkulu melalui Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada tahun 2003 dan program Kebun Bibit Rakyat (KBR) pada tahun 2010. Walaupun menyebar melalui program yang sama, namun pengembangan hutan rakyat kayu bawang di setiap kabupaten memiliki status yang berbeda- beda. Berdasarkan hasil pengamatan, salah satu faktor yang berpengaruh nyata terhadap keberhasilan pengembangan hutan rakyat kayu bawang adalah adanya faktor pembawa atau yang disebut sebagai agen perubahan. Di beberapa daerah yang tidak memiliki agen perubahan, pengembangan kayu bawang tidak sesignifikan pada daerah yang memiliki agen perubahan. Adapun status pengembangan kayu bawang di kabupaten-kabupaten yang terpilih sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut

B. Status Pengembangan Kayu Bawang di Kabupaten Mukomuko Berdasarkan informasi dari Kepala Bidang Kehutanan pada Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan, Pengembangan kayu bawang di kabupaten Mukomuko dimulai pada tahun 2005 yang diinisiasi dari pemerintah. Jenis-jenis yang dikembangkan tidak hanya kayu bawang tetapi juga jenis-jenis yang lain termasuk karet dan sengon. Pengembangan ini dilaksanakan di beberapa tempat, antara lain di desa Bukit Makmur Kecamatan Penarik seluas 100 Ha. Namun karena tidak adanya perhatian khusus dan perawatan, pengembangan tanaman tersebut tidak berhasil. Pada tahun 2007 di Desa Tunggang Kecamatan Pondok Suguh, dikembangkan juga tanaman kombinasi antara kayu bawang dan tanaman karet. Namun, kondisinya tidak jauh berbeda dengan di daerah lainnya dimana hanya karet yang dapat tumbuh dengan baik sementara kayu bawangnya tidak tumbuh. Tidak tumbuhnya kayu bawang bukan dikarenakan adanya ketidaksesuaian lahan, melainkan dari masyarakat sendiri yang memilih untuk mematikan kayu bawang karena dianggap dapat mempengaruhi hasil karetnya. Ketidaktahuan masyarakat karena tidak adanya informasi yang benar ditengarai sebagai salah satu penyebabnya. Berbeda dengan kedua desa sebelumnya, kayu bawang di Desa Sido Makmur Kecamatan Terawang Jaya dan Desa Lalang Luas Kecamatan V Koto relatif tumbuh dengan baik namun penyebaran kayu bawang di hutan rakyat tidak merata dan relatif sedikit. Hal ini disebabkan masyarakat di wilayah ini lebih tertarik melakukan budidaya sawit dan tanaman perkebunan lainnya karena dapat lebih cepat menghasilkan. Kayu bawang di desa ini menyebar melalui program pemerintah, namun kegiatan yang ada hanyalah sebatas program tanpa adanya pengawasan. Belum adanya orang yang berfungsi sebagai agen perubahan ini menyebabkan pengembangan hutan rakyat kayu bawang di wilayah ini tergolong kurang.

5

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

C. Status Pengembangan Kayu Bawang di Kabupaten Seluma Lokasi penelitian yang terpilih pada kabupaten ini adalah Desa Bakal Dalam Kecamatan Talo Kecil, Desa Gunung Agung Kecamatan Lubuk Sandi dan Desa Babatan Kecamatan Sukaraja. Pemilihan lokasi didasarkan pada hasil diskusi dengan pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Seluma dimana salah satu persyaratannya adalah adanya sebaran kayu bawang dalam jumlah yang relatif banyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Desa Bakal Dalam Kecamatan Talo Kecil, sebaran kayu bawang relatif seragam dimana hampir setiap rumah tangga memiliki kayu bawang dikebunnya dengan jumlah lebih dari 50 batang. Penyebaran kayu bawang di desa ini tidak terlepas dari peran Bapak Indraidin yang merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan kayu bawang ke masyarakat. Bapak Indraidin merupakan Staf di Dinas Kehutanan Sumatera Selatan yang kemudian pindah ke Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu pada saat Bengkulu mulai ditetapkan sebagai Provinsi Tersendiri. Namun, sejak tahun 1999 beliau terpilih menjadi Kepala Desa di Desa Bakal Dalam. Dengan pengalamannya di bidang kehutanan, beliau mengetahui informasi mengenai kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara dan beliau menyadari akan potensi pengembangan kayu bawang di wilayahnya. Dengan informasi yang dimilikinya beliau mulai memperkenalkan kayu bawang kepada masyarakat di desanya dengan terlebih dahulu menanam kayu bawang di kebun miliknya yang bibitnya di bawa dari Kabupaten Bengkulu Utara. Dengan adanya percontohan tersebut, masyarakat mulai berminat menanam kayu bawang di kebun-kebun mereka, namun kayu bawang saat itu belum cukup berkembang dikarenakan kurangnya bibit. Pada tahun 2003 beliau berhasil mendapatkan program bantuan kayu bawang dari Dinas Kehutanan, sehingga penyebaran kayu bawang di Desa Bakal Dalam semakin luas dan semakin berkembang. Hingga saat ini nama Bapak Indraidin begitu dikenal baik di lingkungan desa maupun di lingkungan Dinas Kehutanan Kabupaten Seluma, sebagai tokoh yang pertama kali mengembangkan kayu bawang di wilayahnya. Desa Gunung Agung dan Desa Babatan merupakan desa yang terletak tidak jauh dari perbatasan Kota Bengkulu. Di desa ini, penyebaran kayu bawang juga dibawa oleh orang-orang dari dinas kehutanan yang telah mengetahui informasi mengenai kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara. Bapak Sarkawi merupakan salah satu tokoh yang memperkenalkan kayu bawang di Desa ini dengan membangun kebun kayu bawang secara monokultur yang terletak di pinggir jalan utama Desa Gunung Agung. Dikarenakan lokasi kebun yang terletak di pinggir jalan, masyarakat bisa secara langsung melihat pertumbuhan dan penampakkan kayu bawang secara kasat mata. Bibit kayu bawang yang ditanam di kebun Bapak Sarkawi berasal dari Kabupaten Bengkulu Utara. Di desa ini minat masyarakat untuk menanam kayu bawang relatif tinggi, namun penyebaran kayu bawang masih belum terlalu banyak. Hal ini dikarenakan orang- orang yang memiliki kebun kayu bawang tidak bertempat tinggal di wilayah tersebut, bahkan sebagian dari mereka bertempat tinggal di Kota Bengkulu. Kurangnya informasi menyebabkan perkembangan hutan rakyat kayu bawang di daerah ini belum terlalu meluas seperti halnya di Desa Bakal Dalam. Setiap rumah tangga di Desa ini hanya memiliki sedikit kayu bawang di kebun mereka.

D. Status Pengembangan Kayu Bawang di Kabupaten Rejang Lebong Kabupaten Rejang Lebong merupakan wilayah dengan ketinggian yang bervariasi dari 200-1000 m dpl. Variasi ketinggian diduga menjadi salah satu pembatas penyebaran kayu bawang di Kabupaten ini. Pengamatan dilakukan ke berbagai lokasi dengan ketinggian yang berbeda antara lain Desa Taba Tinggi dan Desa Tanjung Sanai, Kecamatan Padang Ulak Tanding

6

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan yang mewakili daerah dengan ketinggian dibawah 300 m dpl dan Desa Bandung Marga, Kecamatan Bermani Ulu Raya yang mewakili daerah dengan ketinggian lebih dari 500 m dpl. Di Desa Bandung Marga pertumbuhan kayu bawang tergolong lambat, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengembangkan kayu bawang. Di Desa ini sebagian besar masyarakat belum menanam kayu bawang, mereka lebih memilih menanam sengon putih atau sengon merah karena pertumbuhannya yang lebih cepat dibanding kayu bawang. Tidak menyebarnya kayu bawang di daerah ini dimungkinkan karena kondisi lahan yang tidak sesuai sehingga tidak ada agen pembawa yang mengembangkan kayu bawang di wilayah ini. Wilayah yang memiliki sebaran kayu bawang yang tergolong luas dan merata adalah di Desa Taba Tinggi dan Desa Tanjung Sanai Kecamatan Padang Ulak Tanding. Agen pembawa di Desa ini adalah Bapak Sepaan yang merupakan staf teknis di Dinas Kehutanan Kabupaten Rejang Lebong. Beliau mulai memperkenalkan kayu bawang kepada masyarakat sejak tahun 2004 melalui program pemerintah. Minat masyarakat dalam menanam kayu bawang di desa ini tergolong tinggi dimana sebagian masyarakat menanam kayu bawang dalam jumlah yang besar, seperti Bapak Iwan yang bertempat tinggal di Desa Taba Tinggi yang memiliki kayu bawang di kebunnya hingga 1.200 batang. Berdasarkan hasil pengamatan, kayu bawang di Desa Taba Tinggi dan Desa Tanjung Sanai memiliki pertumbuhan yang relatif cepat dibandingkan kayu bawang di Desa lain di Kabupaten Rejang Lebong. Hampir semua Kayu bawang di Desa Taba Tinggi dengan umur lebih dari 8 (delapan) tahun sudah mulai belajar berbuah. Buah-buah dari kayu bawang pun mudah sekali ditemukan di setiap hamparan lahan dimana terdapat kayu bawang di dalamnya. Masyarakat di Desa Taba Tinggi menanam kayu bawang dengan pola campuran dari yang menggunakan jarak tanam hingga yang tidak menggunakan jarak tanam, bahkan ada pula yang menanam kayu bawang di pembatas kebun sawitnya. Penyebaran kayu bawang di desa ini tergolong merata, dimana sebagian besar masyarakat memiliki kayu bawang dilahannya. Selain dari adanya agen pembawa yang memberikan informasi yang berkesinambungan kepada masyarakat mengenai pentingnya menanam kayu, kesesuaian lahan seperti faktor ketinggian diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran kayu bawang di Kabupaten Rejang Lebong. Kayu bawang diduga memiliki pertumbuhan lebih cepat pada ketinggian dibawah 300 m dpl dan mulai melambat di ketinggian lebih dari 300 m dpl.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum penyebaran kayu bawang terbanyak terdapat di Kabupaten Seluma, di ikuti Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Mukomuko. Penyebaran dan Pengembangan hutan rakyat kayu bawang tidak terlepas dari peran agen perubahan dalam mengubah kebiasaan masyarakat yang tidak terbiasa menanam jenis kayu kehutanan terutama kayu bawang menjadi masyarakat yang mulai memiliki budaya menanam. Merubah kebiasaan masyarakat tidaklah mudah, diperlukan suatu usaha yang panjang dan berkesinambungan. Agen perubahan merupakan orang-orang yang konsisten memperkenalkan dan memberikan informasi secara berkesinambungan kepada masyarakat dengan cara memberikan contoh berupa plot-plot serta memberikan penyuluhan guna menyadarkan masyarakat akan pentingnya menanam kayu di kebun mereka. Agen perubahan merupakan hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam pembuatan kebijakan khususnya yang berkaitan dengan pengembangan hutan rakyat di wilayahnya. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak hanya bersifat sementara dan proyek semata

7

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang namun juga berkesinambungan dengan menempatkan orang-orang yang dapat merangkul masyarakat dan konsisten terhadap keberhasilan program masa kini dan masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, M.E. 1988. Agriculturan Extension in Developing Countries. 1st Edition. Longman Singapore Publisher Pte Ltd. Singapore Havelock, R.G. 1973. The Change Agent's Guide to Innovation in Education. Educational Technology Publications, Inc., Englewood Cliffs. New Jersey. Kotler, P. 2003. Marketing Management, 11th ed., Pearson Education, New York. Martin, E. dan F.B. Gale. 2009. Motivasi dan karakteristik social ekonomi rumah tangga penanam pohon penghasil kayu pertukangan: Kasus tradisi menanam kayu bawang (Disoxylum molliscimum BL) oleh masyarakat kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.6 No.2. Hal. 117-134 Mercer, D.E. 2004. Adoption of agroforestri innovation in the tropics: A review. Agroforestri System Vol 61-62 (1-3) 311-328 p Rogers, M.E. 2003. Diffusion of Innovation. Fifth Edition. Simon & Schuster. New York. Soekanto, S. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar: Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Aztompka, P. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media Group. Jakarta

8

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA SELATAN DINAS KEHUTANAN Jalan Kolonel H. Burlian Punti Kayu Km. 6,5 PO BOX. 340 Telepon : (0711) 410739 – 411479 Fax. 411479 PALEMBANG

PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN DI SUMATERA SELATAN “

Palembang, 2 Oktober 2013

KONDISI/POTENSI SUMBER DAYA HUTAN PROVINSI SUMATERA SELATAN

Luas Wilayah Prov. Sumsel : 8.701.400 Ha

Luas Kawasan Hutan (2011) : 3.760.662 Ha (43%) : - Hutan Konservasi : 711.778 Ha - Hutan Lindung : 558.609 Ha - Hutan Produksi : 2.490.275 Ha : - HP. Tetap : 1.669.370 Ha - HP.Terbatas : 236.382 Ha - HP.Konversi : 584.523 Ha

Keadaan Fisik : - Berhutan : 44 % - Tidak Berhutan : 56 % (Hutan Produksi : 70 % tidak berhutan, tidak produktif, kualitas lingkungan buruk, tidak ada jaminan kelangsunagn pasokan BB industri)

9

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

VISI MISI DINAS KEHUTANAN PROVINSI SUMSEL

VISI: “HUTAN SEBAGAI PENYANGGA KEHIDUPAN DAN SUMBER KEMAKMURAN RAKYAT” MISI:

• Tercapainya produktivitas dan peningkatan kualitas pengelolaan DAS dan konservasi sumber daya hutan dan lahan yang berkelanjutan • Mendayagunakan sumber daya hutan secara optimal, adil dan bertanggung jawab dengan melibatkan peran aktif masyarakat untuk mewujudkan Sumatera Selatan sebagai lumbung kayu nasional dengan produksi kayu 8 Juta m3 pertahun • Menguatkan kelembagaan dan penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan

10

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN PROVINSI SUMATERA SELATAN

- Optimalisasi Potensi Sumber Daya Hutan - Rehabilitasi hutan dan lahan - Pengembangan hutan tanaman, kegiatan strategis : . Peningkatan produktifitas hutan dengan pola kemitraan dengan masyarakat . Mendorong dan memfasilitasi pembangunan hutan tanaman industri oleh mitra kehutanan - Perlindungan hutan - Pengembangan kelembagaan kehutanan

PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN DALAM PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI PROVINSI SUMATERA SELATAN

. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu- Hutan Tanaman Industri (UPHHK-HTI) : - 21 Unit IUPHHK-HTI, seluas 1.385.672 Ha - Kayu serat (Pulp/Kertas) : Akasia, Ekaliptus, karet, jabon . Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu- Hutan Tanaman Rakyat (UPHHK-HTR) : - Luas Indikatif : 105.120 Ha - Pencadangan : 42.605 Ha . Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan : - Kemitraan dng HTI (tanaman kehidupan/5% dr luas HTI) - Hutan Kemasyarakatan - Hutan Desa (Indikatif 17.900 Ha, Ijin Kelola 7.250 Ha)

11

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

MASALAH DALAM PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN

- Didominasi kayu serat (Akasia) - Serangan hama/penyakit - Tanaman unggulan dan kehidupan belum optimal - Pasar hasil dr HR dan HTR belum jelas jaminannya - Masyarakat perorangan terfokus pada karet, kelapa sawit dan kopi

SEKIAN, TERIMAKASIH Wassalamu’alaikum Wr.Wb

12

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PENGEMBANGAN ENERGI SOSIAL BUDAYA KREATIF DALAM KEBIJAKAN KEHUTANAN INDONESIA

Edwin Martin Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Apakah negara (pemerintah) berhasil mengelola dan membangun hutan untuk tujuan kemakmuran yang berkeadilan dan berkelanjutan? Kunci jawaban untuk pertanyaan tersebut ada pada kebijakan, bagaimana kebijakan itu diproduksi? bagaimana kebijakan itu ditafsirkan? dan bagaimana kebijakan itu diimplementasikan? Essai ini berupaya memaparkan sebuah gagasan untuk memberikan energi dalam kebijakan kehutanan Indonesia, sebuah energi yang disebut sebagai energi sosial budaya kreatif. Energi sosial budaya kreatif tersusun atas tiga komponen, yaitu tujuan (ideals), cara mencapai tujuan (ideas), dan pengembangan jaringan kerjasama (friendship). Eksistensi ketiga komponen tersebut dalam wujudnya sebagai energi bagi kebijakan kehutanan Indonesia tidak bisa terpisahkan. Kebijakan kehutanan dalam bentuk program dan kegiatan yang baik harus mengacu kepada pencapaian tujuan menyejahteraan masyarakat secara berkeadilan dan berkelanjutan, sebagai kesepakatan bersama bangsa ini. Selain itu, sebuah program dan kegiatan kehutanan yang bijak adalah jika dapat merangkul banyak pihak dalam penyusunan rencana dan pelaksanaannya. Selama kehutanan merupakan entitas publik maka akan selalu membutuhkan energi sosial budaya kreatif ini. Pengembangan energi sosial budaya kreatif dalam kebijakan kehutanan Indonesia membutuhkan perubahan yang disengaja. Energi ini diisikaan ke dalam kebijakan oleh orang-orang, pengambil keputusan, pelaksana kebijakan, dan masyarakat sebagai subyek kebijakan. Kata kunci: kebijakan Kehutanan Indonesia, energi sosial budaya kreatif, tata kelola

I. PENDAHULUAN

Apakah negara (pemerintah) berhasil mengelola dan membangun hutan untuk tujuan kemakmuran yang berkeadilan dan berkelanjutan, sebagaimana disebut Pasal 3 Undang- Undang Nomor 41 tahun 1999? Jawaban atas pertanyaan tersebut mungkin akan beragam, tergantung siapa dan dalam posisi apa si penjawab. Jawaban yang paling optimis atas pertanyaan itu adalah bahwa kebijakan saat ini dan ke depan akan menggiring ke arah cita-cita ideal tersebut, benarkah? Kuncinya ada pada kebijakan, bagaimana kebijakan itu diproduksi? bagaimana kebijakan itu ditafsirkan? bagaimana kebijakan itu diimplementasikan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Jones (1996) mengartikan kebijakan sebagai “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Definisi yang lebih bernuansa pencapaian tujuan, disampaikan oleh Titmuss (1974) yang menyebutkan bahwa kebijakan adalah prinsip-prinsip yang menentukan tindakan langsung masyarakat ke arah tujuan akhir tertentu yang telah ditetapkan. Sebagai sebuah asas, pedoman, dasar, “keputusan tetap” dan prinsip-prinsip maka kebijakan akan tercermin dari isi peraturan perundang-undangan. Namun

13

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang demikian, memahami kebijakan dari analisis isi peraturan perundang-undangan saja tidaklah cukup. Menurut Shore dan Wrigth (1987) yang dikutip Kartodihardjo (2012), selain isi teks peraturan perundang-undangan, kebijakan dapat dilihat dari realitas atau kenyataan yang dihadapi masyarakat, perorangan atau organisasi yang menentukan arah keputusan sehari-hari yang dibuatnya. Karenanya, jika isi peraturan perundang-undangan jauh dari realitas sosial, baik materi maupun implementasi, maka bisa dipastikan kebijakan tersebut tidak akan mampu menjadi prinsip yang menentukan tindakan langsung masyarakat ke arah tujuan akhir yang telah ditetapkan. Banyak contoh yang menyajikan cerita gagal kebijakan kehutanan karena ketidaksesuai- an antara isi peraturan perundang-undangan dengan realitas sosial. Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) misalnya, sebagaimana ditunjukkan Kartodihardjo (2008a), yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) No. 23/Kpts-II/2007 jo No. 5/Kpts-II/2008 tentang Tata Cara Permohonan izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR ternyata tidak menyentuh persoalan mendasar pembangunan kehutanan, yaitu masalah kepastian hak dan tingginya biaya transaksi. Akibatnya, hingga kini realisasi HTR masih jauh di bawah target. Selain aspek kesesuaian isi dengan masalah sosial (normatif), aspek implementasi kebijakan (positif) harus dikaji bersama-sama. Untuk itu, diperlukan pendekatan analisis normatif dan analisis positif dalam suatu kajian yang komprehensif (Birner, 2000 dalam Nurrochmat et al., 2010). Analisis normatif adalah analisis yang dipergunakan untuk menjawab pertanyaan apa yang seharusnya ada, sedangkan analisis positif yaitu analisis yang menggunakan pendekatan untuk menjawab pertanyaan apa kenyataan (fakta) yang terjadi. Ini akan menghasilkan kebijakan yang baik. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang direspon secara positif oleh pelaksana dan subyek kebijakan sehingga tujuan kebijakan tercapai. Kebijakan yang baik dan bijaksana akan menghasilkan kebajikan, sebagai tujuan dari kebijakan. Namun pernyataan ini dan latar belakang sebelumnya masih terlalu konseptual. Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan hal itu? Tulisan lepas (essai) ini berupaya memaparkan sebuah gagasan untuk memberikan energi dalam kebijakan kehutanan Indonesia, sebuah energi yang disebut oleh Uphoff (1986), Sayogyo (1994), dan Sumardjo (2010) sebagai energi sosial budaya kreatif.

B. DEFENISI MASALAH Menurut pengamatan Kartodihardjo (2008b), dalam periode setelah era reformasi, masalah-masalah kehutanan telah dirumuskan dan solusi untuk mengatasinya telah pula direkomendasikan. Namun, rekomendasi tersebut belum efektif sebagai bahan pembaruan kebijakan maupun pembaruan praktek kehutanan di lapangan. Kebijakan tidaklah bergerak di ruang hampa. Kebijakan membutuhkan energi untuk mencapai kebajikan. Beberapa hal yang layak untuk didiskusikan adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana mewujudkan kebijakan kehutanan yang memiliki energi sosial budaya kreatif? 2) Mengapa kebijakan kehutanan Indonesia membutuhkan energi budaya kreatif?

C. PEMBAHASAN 1. Mengapa kebijakan kehutanan Indonesia memerlukan energi sosial budaya kreatif? Salah satu hal terpenting yang seharusnya diperhatikan oleh negara untuk penyelengga- raan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah pengaturan hak atas hutan (Nurrochmat, 2005). Pengaturan hak atas hutan adalah masalah fundamental yang harus dibenahi agar masyarakat lokal dapat mengelola sumberdaya hutan secara baik, berkelanjutan 14

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan dan menyejahterakan. Selain hak atas hutan, menurut Nurrochmat (2005) masalah lain yang perlu mendapat perhatian adalah alokasi lahan hutan. Kedua masalah tersebut bukan perkara gampang untuk diselesaikan. Dikabulkannya gugatan masyarakat terhadap beberapa pasal dalam UU No. 41 tahun 1999 oleh Mahkamah Konstitusi menyangkut “penunjukkan kawasan hutan” dan “hutan adat sebagai hutan negara” menunjukkan bahwa masalah pengaturan hak dan alokasi lahan masih menyisakan problematika. Saat ini kehutanan bukan lagi sebagai sektor andalan dalam perekonomian nasional, namun ia harus dapat menempatkan diri sebagai sektor penjaga sistem penyangga kehidupan dan pendorong bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Nurrochmat dan Hasan (2012) menekankan bahwa solusi terhadap permasalahan kehutanan saat ini bukan sekadar aspek teknis tanam-menanam, tetapi lebih dari itu, ia juga tidak dapat dipisahkan dengan aspek politik, ekonomi, dan sosial. Namun demikian, Kartodihardjo (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa orientasi kebijakan kehutanan secara keseluruhan tertuju kepada formulasi masalah-masalah teknis, sedangkan faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik dianggap sebagai faktor eksogen. Melepaskan diri dari kebiasaan mengatur masalah teknis untuk kemudian peduli dengan aspek sosial ekonomi bukan perkara gampang. Perlu upaya keras untuk tidak sekedar mengubah nilai-nilai, tetapi juga ideologi yang telah membentuk dan tertanam dalam benak rimbawan sebagai pelaksana kebijakan. Meskipun berbagai lingkungan strategis pembangunan kehutanan telah jauh berubah, namun dalam perumusan kebijakan kehutanan belum terdapat perubahan mendasar. Hal ini disebabkan oleh suatu anggapan bahwa pengendalian perilaku pelaku usaha kehutanan dan masyarakat dapat dilaksanakan melalui instruksi yang ditunjang oleh pengawasan pemerintah. Kebijakan tanpa dilandasi pengetahuan yang cukup mengenai apa masalah yang sebenarnya terjadi di lapangan, konsep apa yang sepatutnya digunakan untuk memecahkan masalah, terbukti tidak menjadikan kebijakan tersebut berjalan secara efektif (Kartodihardjo et al., 2004; Kartodihardjo, 2012). Pengawasan selalu menjadi masalah di sektor kehutanan, baik efektivitas- nya maupun dampaknya terhadap kemunculan ekonomi biaya tinggi. Pengawasan merupakan energi berbiaya mahal, sehingga diperlukan energi altenatif lainnya yang berbasis pemenuhan kecukupan pengetahuan di lapangan. Darusman (2012) mengulas sejarah pengelolaan kehutanan Indonesia dan menyimpulkan bahwa faktor eksternal berupa turbulensi sosial, ekonomi, dan politik merupakan masalah yang sangat nyata berpengaruh terhadap sektor kehutanan. Menurutnya, beban dan tanggung jawab pembangunan hutan lebih banyak terletak pada pihak di luar kehutanan dengan cara menciptakan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang stabil. Darusman (2012) juga mendorong terjadinya perubahan paradigma lama kehutanan yang cenderung meminggirkan masyarakat lokal menjadi paradigma baru yang memasukkan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan kehutanan. Disinilah energi sosial budaya kreatif akan berperan banyak, sehingga kesadaran tentang penting beragam pihak, beragam sudut pandang, beragam pengetahuan tidak sekedar retorika belaka, tetapi terlihat nyata dalam kebijakan kehutanan kehutanan Indonesia. 2. Mengembangkan energi sosial budaya kreatif Menurut Fukuyama (1995), pemerintah, di semua negara, bisa dengan mudah menelorkan kebijakan-kebijakan yang berefek memberangus modal sosial. Namun di sisi lain mereka menemui banyak kesulitan dalam memahami bagaimana untuk membangunnya kembali. Hal ini juga yang terjadi di sektor kehutanan dan menghambat pencapaan tujuan kebijakan. Modal sosial didefinisikan secara sederhana oleh Fukuyama (2000) sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota

15

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang suatu kelompok masyarakat yanag memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Energi sosial budaya kreatif adalah modal sosial (Sumardjo, 2009). Energi sosial budaya kreatif meliputi tiga elemen, yaitu ideals, ideas, dan friendships. Ideals adalah kondisi ideal yang ingin dicapai atau diwujudkan dalam pengembangan masyarakat, yaitu kejelasan tujuan, harapan dan visi atau bahkan cita-cita bersama. Ideals ini akan membimbing ke arah kejelasan ideas, yaitu cara-cara yang ditempuh bersama untuk mewujudkan ideals tersebut, yaitu kejelasan strategi program, kegiatan, metoda atau teknik yang dikembangkan secara kreatif dan tepat guna. Ideas menjadi pedoman bagi pihak yang terkait untuk mengembangkan friendship yaitu jaringan kerjasama di antara mereka melalui penerapan kemitraan strategis (Sumardjo, 2010).

Tujuan (ideals) Tujuan utama (ideals) pengelolaan hutan Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945: “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Frasa sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah ideals. Ini dijabarkan lebih spesifik dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan pada pasal 3, “penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan”. Ideals inilah yang harus menjadi pedoman bagi seluruh pelaksana dan subyek kebijakan kehutanan Indonesia, tanpa tawar menawar atau dalih apapun. Ideals merupakan arah yang dituju tidak saja oleh kelompok rimbawan tetapi oleh segenap elemen bangsa. Semua kebijakan kehutanan dan turunannya (ideas) harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan ideals. Dengan satu tujuan ini, aparat kehutanan sebagai pelaksana kebijakan akan harmoni dengan pihak manapun, karena tujuannya sama, walaupun caranya berbeda. Ini merupakan kalimat pertama dalam menangani konflik, pendorong utama untuk keluar dari jebakan keterlanjuran, dan energi pembongkar dasar ilmu pengetahuan yang mendoktrinasi ilmu kehutanan. Konflik kehutanan umumnya berawal dari perbedaan pandang tentang cara-cara mencapai suatu tujuan. Jika tujuannya satu yaitu kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan maka cara-cara yang bertentangan dapat dinegosiasikan, sehingga tidak perlu berlarut-larut. Kajian akademis yang sistematis dan dilakukan pihak independen akan dapat membantu menentukan cara mana yang lebih tepat dalam mencapai ideals. Dengan energi ini, masalah berlarutnya penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) di Kalimantan Tengah dan Riau seharusnya bisa terselesaikan. Seringkali pembuat dan pelaksana kebijakan kehutanan telah menyadari kekeliruan yang terjadi, ketidaksesuaian dengan realitas sosial dan sebagainya. Mereka tetap membuat dan menjalankan “kebijakan” yang keliru itu karena secara tuntutan administratif meminta demikian. Jebakan keterlanjuran ini misalnya terjadi dalam kegiatan rehabilitasi lahan. Anggaran biaya penanaman turun pada musim kemarau atau hanya cukup untuk lokasi yang tidak seharusnya direhabilitasi. Mereka tetap melakukan kegiatan walaupun sadar bahwa hal tersebut keliru, karena penilaian kinerja mereka bukan pada outcome yang menjadi bagian dari ideals tetapi hanya pada output berupa penyerapan anggaran. Energi ideals akan menjadi penggerak nurani mereka untuk bisa mengatakan tidak pada kekeliruan dan menjadi pelindung dari hegemoni kekuasaan. Kesadaran terhadap tujuan “sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan” merupakan tenaga untuk dapat membongkar doktrin ilmu kehutanan (scientific forestry). Sebagaimana disebutkan Gluck (1987), ilmu kehutanan memiliki empat doktrin dasar,

16

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan yaitu timber primacy, sustained yield, long rotation, dan absolute standar. Doktrin demikian tersebutlah, disadari atau tidak, yang menjauhkan kehutanan Indonesia dari ideals. Hutan hanya dilihat kayunya saja, masyarakat dipinggirkan karena dapat mengganggu kelestarian hutan, berpihak kepada kapitalisme, dan sarjana kehutananlah yang paling tahu tentang hutan. Apakah bijak jika lahan hutan produksi yang dicadangkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya diperuntukkan bagi jenis-jenis pohon penghasil kayu saja, sementara rakyat di sekitarnya mengalami kerawanan pangan?. Ideals kehutanan adalah milik bersama semua komponen bangsa, sehingga memproduksi kebijakan, menafsirkannya, dan menjalankannya adalah tugas dan hak seluruh komponen bangsa ini.

Cara Mencapai Tujuan (ideas) Ideas adalah pengejahwantahan ideals dalam bentuk tindakan nyata. Jika ideals adalah political statement maka ideas adalah political comitment. Cara mencapai tujuan tidak bisa lepas dari tujuan itu sendiri. Dalam konteks pembangunan kehutanan Indonesia, maka semua kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, program, keputusan-keputusan, maupun aksi di lapangan adalah harus dapat secara konsisten menjawab tiga pertanyaan berikut ini: 1) apakah menyejahterakan rakyat? 2) apakah berkeadilan? 3) apakah berkelanjutan? Selain memiliki koherensi dengan ideals, cara mencapai tujuan juga harus berkorespondensi dengan friendship. Oleh karena itu, pembuat program dan peraturan perundangan-undangan akan bertanya apakah program ini akan direspon positif oleh banyak pihak atau subyek kebijakan atau tidak. Ini berarti sebuah kebijakan tidak hanya mempertimbangkan aspek normatifnya saja namun juga melihat secara mendalam aspek positifnya. Jika tidak mampu memenuhi kedua unsur itu, maka ideas atau rencana ideas tertentu sebaiknya dihapus saja, karena tidak akan memiliki energi untuk bergerak. Ideas membutuhkan pengetahuan yang cukup untuk sekedar membuat dan menjalankan sebuah program. Individu atau organisasi perancang dan pelaksana ideas memiliki keterbatasan pengetahuan dan informasi, sehingga membutuhkan banyak informasi dan dukungan banyak pihak untuk kesempurnaan programnya. Ini membuat ideas tidak kaku atau fleksibel dan dapat diperbaiki. Disinilah ideas membutuhkan pertemanan, baik secara vertikal maupun horisontal. Krott (2005) menyebut power network dan information network sebagai realitas informal yang harus dikuasai atau dimiliki oleh struktur birokrasi guna memudahkan pencapaian tugas-tugasnya. Cara jitu untuk membuat ideas yang tidak bias friendship adalah dengan menetapkan kinerja individu atau organisasi yang pencapaiannya membutuhkan kerjasama dengan pihak lain secara sinergis. Program rehabilitasi hutan lindung misalnya, dikatakan berhasil apabila tidak ada lagi atau menurunnya keluhan masyarakat terhadap berkurangnya pasokan air bersih dari sungai maupun mata air, bukan dari jumlah pohon yang berhasil ditanam.

Pengembangan Jaringan Kerjasama Sinergis (Friendship) Program dan kegiatan yang telah dibuat harus dijalankan. Pengelolaan sumberdaya alam melibatkan kompleksitas dan ketidakpastian, sehingga pelaksana program dan kegiatan tidak bisa tidak untuk bekerjasama dengan banyak pihak. Kemitraan strategis kehutanan harus dibangun mulai dari aras mikro di masyarakat lokal sekitar hutan, subyek kebijakan di perdesaan, aras meso di tingkat kabupaten dan provinsi, dan aras makro nasional dan global. Apa yang menjadi pedoman bagi kemitraan? Tidak lain adalah program dan kegiatan sebagai ideas.

17

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Kegiatan penataan batas kawasan hutan sebagai bagian dari kebijakan prioritas pemantapan kawasan hutan misalnya, harus mendapat dukungan semua pihak dari semua aras untuk dapat berjalan dengan baik. Selama ini, tahapan sosialisasi tata batas seringkali tidak dilakukan, dialog pada tingkat masyarakat desa tentang mengapa hutan di sekitar mereka di tata batas jarang sekali dilakukan. Petugas pelaksana tata batas hanya menjalankan tugas menanam pal/patok batas pada titik koordinat yang telah ditentukan sebelumnya. Masyarakat hanya penonton, tidak ditanya-tanya apalagi diajak berdiskusi tentang kegiatan itu. Jikapun dilibatkan, anggota masyarakat hanya berperan sebagai buruh. Cara kerja ini tidak memiliki energi kreatif. Selain capaian kerjanya lambat, aksi sepihak juga tidak mendapatkan legitimasi di masyarakat. Meskipun telah dianggap temu gelang, tata batas tidak berarti bagi masyarakat. Bukan saja karena mereka dapat menghilangkan dan memindahkan patok batas kapanpun, namun makna hakiki kegiatan “pemantapan” kawasan menjadi kabur, karena tiada beda antara sebelum dan setelah kegiatan berlangsung. Adakah program atau kegiatan kehutanan yang tidak membutuhkan friendship? Pengelolaan zona inti taman nasional misalnya, meskipun dalam pengelolaan sehari-hari hanya dilakukan dengan cara pengawasan oleh sebuah Balai Taman Nasional, namun untuk tetap lestari dan memenuhi rasa keadilan harus mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya dari semua aras. Jika tidak, maka pengawasan akan berbiaya tinggi, sebagaimana pada banyak taman nasional di Afrika, dan pengelola beresiko kehilangan orientasi karena jebakan kebosanan rutinitas. Friendship adalah bentuk integritas dari kebijakan kehutanan. Kemampuan membangun friendship tidak datang begitu saja, namun dapat dipelajari. Keinginan saling menghargai, saling percaya, berpikiran positif, dan berintegritas sebagaimana prinsip-prinsip pengembangan partisipasi dapat dikembangkan dan ditularkan secara sengaja melalui program-program khusus pada individu dan organisasi, baik badan-badan pemerintah, organisasi non pemerintah dan masyarakat lokal. Blackburn dan Holland (1998) menyebutkan bahwa nilai-nilai pengembangan kerjasama dan partisipasi dapat dilembagakan pada semua kelompok, baik masyarakat lokal, badan-badan pemerintah, maupun organisasi non pemerintah, melalui serangkaian pelatihan maupun aksi bersama yang terprogram. Badan- badan pemerintah dianjurkan untuk memulai perubahan tersebut dari top management. Intensitas dan kualitas interaksi karena friendship akan menghasilkan apa yang disebut Fukuyama (1995) sebagai trust. Trust adalah harapan bahwa orang lain dapat dipercaya. Jika pelaksana kebijakan mengharapkan anggota-anggota masyarakat sebagai subyek kebijakan akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Norma-norma informal inilah yang berperan besar dalam memudahkan koordinasi dan mengurangi biaya transaksi, sebagai keluhan utama sektor kehutanan selama ini.

D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Energi sosial budaya kreatif tersusun atas tiga komponen, yaitu tujuan (ideals), cara mencapai tujuan (ideas), dan pengembangan jaringan kerjasama (friendship). Eksistensi ketiga komponen tersebut dalam wujudnya sebagai energi bagi kebijakan kehutanan Indonesia tidak bisa terpisahkan. Kebijakan kehutanan dalam bentuk program dan kegiatan yang baik harus mengacu kepada pencapaian tujuan menyejahteraan masyarakat secara berkeadilan dan berkelanjutan, sebagai kesepakatan bersama bangsa ini. Selain itu, sebuah program dan kegiatan kehutanan yang bijak adalah jika dapat merangkul banyak pihak dalam penyusunan rencana dan pelaksanaannya. Selama kehutanan merupakan entitas publik maka akan selalu membutuhkan energi sosial budaya kreatif ini.

18

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Pengembangan energi sosial budaya kreatif dalam kebijakan kehutanan Indonesia membutuhkan perubahan yang disengaja. Energi ini diisikan ke dalam kebijakan oleh aktor, pengambil keputusan, pelaksana kebijakan, dan masyarakat sebagai subyek kebijakan. Oleh karena itu, leadership dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia menjadi kata kunci untuk maksud ini. Rekrutmen staf dan lelang jabatan dengan kriteria kepemilikan integritas dan kemampuan kerjasama adalah cara cepat untuk pengembangan energi sosial budaya kreatif. Selain itu, usaha jangka panjang yang dapat dilakukan adalah dengan menambah mata ajaran/kuliah ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik dalam perkuliahan di Fakultas Kehutanan dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kehutanan.

DAFTAR PUSTAKA

Blackburn J, Holland J. 1998. Who Changes? Institutionalizing Participation in Develoment. London (UK): Intermediate Technology Publications. Darusman D. 2012. Kehutanan demi Keberlanjutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York (US): The Free Press. Fukuyama F. 2000. The Great Disruption. Human Nature and the Reconstitution of Social Order. New York (US): The Free Press. Glück P. 1987. Social values in forestry. Ambio, 16(2/3): 158-160. Jones C.1996. Pengantar Kebijakan Publik. Editor, Nashir Budiman. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Kartodihardjo H, Astana S, Reza HK, Ismanto AD. 2004. Masalah Pondasi Pembangunan Kehutanan Indonesia. Refleksi Implementasi Kebijakan Usaha Kehutanan dan Adopsinya bagi Peningkatan Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi. Jakarta: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Kartodihardjo H. 2012. Kepemerintahan dan kebijakan kehutanan: Soal diskursus dan reduksi ilmu pengetahuan. Di dalam: Kartodihardjo H, editor: Kembali ke Jalan Lurus: Kritik penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Bogor (ID): FORCI Development. Kartodihardjo H. 2008a. Kelembagaan dan kebijakan dalam pelaksanaan hutan tanaman rakyat. Makalah Diskusi Panel dengan topik “Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat” oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, BALITBANG Kehutanan, Bogor 14 Agustus 2008. Kartodihardjo H. 2008b. Diskursus dan aktor dalam pembuatan dan implementasi kebijakan kehutanan: Masalah kerangka pendekatan rasional. JMHT Vol. XIV (1): 19– 27. Kartodihardjo H. 2006. Masalah kapasitas kelembagaan dan arah kebijakan: Studi tiga kasus. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 3 : 14-25. Krott M. 2005. Forest Policy Analysis. Dordrecht (NL): Springer. Nurrochmat DR, Hasan MF. 2012. Ekonomi Politik Kehutanan. Mengurai Mitos dan Fakta Pengelolaan Hutan. Jakarta (ID): INDEF.

19

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Nurrochmat DR, Solihin I, Ekayani M, Hadianto A. 2010. Neraca Pembangunan Hijau. Konsep dan Implikasi Bisnis Karbon & Tata Air di Sektor Kehutanan. Bogor (ID): IPB Press. Nurrochmat DR. 2005. Strategi Pengelolaan Hutan Upaya Menyelamatkan Rimba yang Tersisa. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Sayogyo. 1994. Kemiskinan dan Pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Sumardjo. 2010. Penyuluhan menuju pengembangan kapital manusia dan kapital sosial dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia, IPB Bogor 18 September 2010. Sumardjo. 2009. Peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas pendamping pengembangan masyarakat berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Pembangunan Mendukung Peningkatan Kualitas SDM dalam Kerangka Pengembangan Masyarakat. Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia, Bogor, 19 November 2009. Titmus R. 1974. Social Policy: An Introduction. London (UK): Allen and Unwin. Uphoff NT. 1986. Local Institution Development An Analitical Sourcebook with Cases. West Hartford Connecticut (US): Kumarian Press.

20

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

KARAKTERISTIK PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN LAHAT DAN KABUPATEN EMPAT LAWANG, SUMATERA SELATAN

Efendi Agus Waluyo dan Sri Lestari Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Hutan rakyat merupakan hutan yang dibudidayakan pada lahan pribadi yang berisi berbagai tanaman. Di Kabupaten Lahat dan Empat Lawang Kabupaten, hutan rakyat telah dikembangkan oleh masyarakat baik secara mandiri atau dengan program pemerintah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan pengelolaan hutan rakyat di kedua kabupaten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ada dua pola hutan rakyat yaitu monokultur dan agroforestri. Monokultur sebagian besar dikembangkan oleh masyarakat yang tidak bergantung pada pertanian sebagai pekerjaan utama, sedangkan agroforestri adalah sebaliknya. Pola-pola ini memiliki indeks kesamaan antara 40-60%. Kata kunci: hutan rakyat, pengelolaan, indeks kesamaan

I. PENDAHULUAN

Hutan rakyat merupakan salah satu solusi untuk mengatasi beberapa permasalahan kehutanan. Kebutuhan masyarakat akan bahan baku kayu yang semakin meningkat sedangkan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman untuk memenuhinya semakin menurun dapat dipenuhi dengan kayu hasil dari hutan rakyat. Hutan rakyat mempunyai peran cukup penting dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, juga dalam menjerap karbon sehingga dapat mengurangi besarnya emisi karbon di alam. Secara formal pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dibangun di atas tanah milik (Suharjito dan Darusman, 1998). Berdasarkan jenis tanaman penyusunnya, secara umum hutan rakyat terbagi menjadi 2 bentuk yaitu murni dan campuran. Hutan rakyat murni apabila tanaman yang ditanam hanya tanaman kehutanan tanpa dicampur dengan tanaman lain. Sedangkan hutan rakyat campuran apabila tanaman kehutanan dicampur dengan tanaman pertanian maupun perkebunan. Hutan rakyat campuran termasuk pola agroforestri, yaitu sistem pengelolaan lahan yang menggabungkan bidang pertanian dan kehutanan. Hutan rakyat di Kabupaten Lahat telah lama berkembang, baik secara swadaya maupun melalui program bantuan pemerintah setempat. Jenis tanaman kayu yang dibudidayakan oleh masyarakat antara lain kayu bambang, karena tanaman jenis ini berbatang lurus dan dapat dipanen pada umur 15 – 20 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan pola pengusahaan hutan rakyat di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang keadaan hutan rakyat tersebut, sehingga dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk kepentingan pengelolaan pengusahaan hutan rakyat pada periode selanjutnya.

21

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kecamatan Jarai Kabupaten Lahat, Kecamatan Ulu Musi dan Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang.

B. Metode Metode yang digunakan adalah observasi secara umum di lapangan dan wawancara mendalam. Beberapa aspek yang dikaji antara lain pola tanaman hutan rakyat, jenis penyusun hutan rakyat dan pengelolaan hutan rakyat. Jenis tanaman penyusun hutan rakyat diketahui dengan pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara acak sederhana (simple random sampling). Jumlah Plot yang diambil pada tiap-tiap pola agroforestri tergantung pada kondisi lahan dan tanamannya. Apabila distribusi tanamannya seragam diambil 2 plot secara acak. Sedangkan apabila tanamannya tidak seragam maka plot yang diambil sebanyak 4 plot. Ukuran plot yang diambil adalah 5 m x 10 m ( Wezel and Ohl, 2005). Struktur dan komposisi pola agroforestri yang ditemui diketahui dengan menggunakan analisis data indeks similaritas (Muller-Dombois and Ellenberg, 1974 dalam Wezel and Ohl, 2005). 2A IS : x100% (B  C) IS : Indeks similaritas A : Jumlah spesies yang umum pada kedua lokasi yang dibandingkan B : Jumlah Total Species di Lokasi Pertama C : Jumlah total species di lokasi kedua Rumus- rumus Indeks Nilai Penting (INP) = KR + DR + FR Sedangkan untuk mengetahui pola pengelolaan dilakukan wawancara mendalam dengan pemilik lahan yang dijadikan objek kajian.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pola Pengusahaan Hutan Rakyat Berdasarkan hasil observasi di lapangan dapat diketahui beberapa pola agroforestri tradisional yang telah dikembangkan oleh masyarakat, yaitu: 1. Pola alley croping (lorong) Pola Lorong merupakan kombinasi dimana minimal dua tanaman pertanian/kehutanan ditanam secara berselang-seling. Kelebihan dari pola ini adalah masyarakat dapat membudidayakan berbagai jenis tanaman di suatu lahan dengan pola yang teratur. Sehingga masyarakat mempunyai harapan hasil yang lebih banyak dan lebih beraneka komoditi. Pada umumnya pola ini dikembangkan oleh masyarakat yang mempunyai lahan relatif sempit tetapi mempunyai keinginan untuk menanam banyak jenis tanaman. Pola tanam ini terdapat di dua lokasi di Tanjung Sirih, yaitu: lokasi pertama dengan jenis tanaman antara lain kopi arabika, bambang lanang, karet, kayu manis, dan kopi robusta; lokasi kedua dengan jenis tanaman antara lain jengkol, kopi arabika dan kopi robusta. Jenis-jenis penyusun hutan rakyat pola lorong pada lokasi pertama disajikan pada Tabel 1.

22

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Tabel 1. Jenis-jenis penyusun hutan rakyat Pola Lorong lokasi pertama Jenis K KR F FR D DR INP (tan/ha) (%) (%) (m2/ha) (%) 1. Kopi Arabika 2400 68,57 1 25 33 47,14 140,71 2. Bambang 200 5,7 1 25 11 15,71 46,28 3. Karet 400 11,43 1 25 16 23,86 60,29 4. Kayu Manis 200 5,7 0,5 12,5 1 1,43 19,63 5. Kopi Robusta 300 8,57 0,5 12,5 9 12,85 33,92 Pada lokasi ini jenis tanaman pokoknya adalah tanaman perkebunan, yaitu kopi arabika dengan INP 140,71%. Sedangkan tanaman pengisinya yang juga berfungsi sebagai tanaman pelindung adalah tanaman kehutanan bambang lanang dengan INP 46,28%. Beragamnya tanaman yang ditanam diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar dari pada tanaman yang seragam, selain itu juga berfungsi sebagai percobaan. Karena pemilik lahan ini adalah seseorang yang dianggap sukses dalam berkebun dan selalu mencoba dengan tanaman- tanaman yang baru di desa tersebut. Jenis tanaman pelindung pada lokasi kedua berbeda dengan lokasi pertama, dimana pada lokasi kedua ini yang dijadikan sebagai tanaman pelindung bagi tanaman kopi adalah jering (jengkol). Dipilihnya tanaman ini dengan pertimbangan tidak mengganggu kopi dan menghasilkan buah yang bisa dijual untuk kebutuhan sehari-hari. Jenis-jenis penyusunnya dan hasil perhitungan INP-nya disajikan pada Tabel 2, dimana tanaman jengkol mendominasi dengan INP terbesar, yaitu 121%. Tabel 2. Jenis-jenis penyusun hutan rakyat Pola Lorong lokasi kedua Jenis K KR F FR D DR INP (tan/ha) (%) (%) (m2/ha) (%) 1. Jengkol 900 26,47 1 33,33 112 61,2 121 2. Kopi Arabika 1400 41,18 1 33,33 33 18,03 92,54 3. Kopi Robusta 1100 32,35 1 33,33 38 20,77 86,42

2. Pola Trees along border (pohon pembatas) Pola tanaman pembatas merupakan pola penanaman dimana tanaman kehutanan difungsikan sebagai border (tanaman sepanjang batas) dan tanaman pertanian/perkebunan berada di tengah lahan. Jenis tanaman perkebunan yang ada yaitu kopi, dengan jarak tanam 1,5 x 1,5 m dan karet 5 x 7 m. Sedangkan tanaman kehutanan ditanam sebagai pagar dengan jarak tanam 5 m antar tanaman. Jenis-jenis penyusun hutan rakyat pola tanaman pembatas disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis-jenis penyusun hutan rakyat Pola Tanaman Pembatas Jenis K KR F FR D DR INP (tan/ha) (%) (%) (m2/ha) (%) 1. Kopi 3800 90,5 1 50 14 73,68 214,18 2. Karet 400 9,5 1 50 5 26,32 85,82 3. Bambang Lanang* * Tanaman Kehutanan hanya sebagai tanaman pagar sehingga tidak dihitung INP nya

23

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Pada pola ini, tanaman karet difungsikan sebagai tanaman pelindung untuk kopi. Karet dengan jumlah pohon yang relatif sedikit mempunyai INP 85,82%, nilai ini lebih rendah dibandingkan tanaman pokok, yaitu kopi sebesar 214,18%. 3. Pola Baris (alternate row) Pola baris adalah suatu bentuk penyusunan pola tanam dimana setiap satu baris tanaman kehutanan diselingi dengan tanaman perkebunan/kehutanan secara bergantian. Jenis tanaman perkebunan yang terdapat pada pola ini adalah kopi dengan jarak tanam 1,5 x 1,5 m yang dijadikan sebagai tanaman pokok, sedangkan tanaman kehutanan yang dijadikan tanaman selingan adalah bambang lanang dengan jarak tanam 5 x 7 m. Jenis-jenis penyusun hutan rakyat pola baris disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis-jenis penyusun hutan rakyat Pola Baris Jenis K KR F FR D DR INP (%) (tan/ha) (%) (%) (m2/ha) (%) 1. Kopi 3800 90,5 1 50 56 180,3 158,8 2. Bambang 400 9,5 1 50 250 81,7 141,2 Dari komposisi tersebut dapat dihitung tingkat dominasi dari setiap jenis. Kopi merupakan tanaman pokok yang mempunyai INP cukup besar, yaitu 158,8%. Sedangkan tanaman kehutanan bambang lanang mempunyai INP 141,2%. 4. Pola Random mixer (acak) Pola acak merupakan kombinasi antara tanaman pertanian/perkebunan dan tanaman kehutanan dan ditanam secara tidak teratur dengan jenis yang bermacam-macam. Penempatan tanaman berkayu pada suatu lahan terlihat tidak sistematis. Tanaman kehutanan yang terdapat pada pola tanam acak adalah surian, merambung, bambang lanang dan kemlanding. Sedangkan tanaman perkebunan yang terdapat pada pola ini adalah kopi, karet, dan sahang. Jenis-jenis penyusun hutan rakyat pola acak disajikan pada Tabel 5. Sebaran INP dari masing-masing jenis sangat beragam, dimana untuk tanaman perkebunan INP tertinggi ada pada tanaman karet, yaitu 107,34%, sedangkan untuk tanaman kehutanan ada pada tanaman merambung, yaitu 35,06%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa tanaman perkebunan yang dominan dibudidayakan adalah karet, sedangkan tanaman kehutanannya adalah merambung. Tabel 5. Jenis-jenis penyusun hutan rakyat Pola Acak Jenis K KR F FR D DR (%) INP (%) (tan/ha) (%) (%) (m3/ha) 1. Kopi 1250 31,65 1 20 20,81 8,06 59,71 2. Karet 1550 39,24 1 20 124,11 48,10 107,34 3. Kemlanding 350 8,86 0,75 15 15,87 6,15 30,01 4. Sahang 500 12,66 1 20 0 0 32,66 5. Surian 50 1,27 0,25 5 7,50 2,91 9,18 6. Merambung 100 2,53 0,5 10 58,13 22,53 35,06 7. Bambang 150 3,8 0,5 10 31,61 12,25 26,05

5. Pola Murni Pola tanam murni merupakan pola dimana tanaman kehutanan ditanam murni tidak dicampur dengan tanaman lain. Jenis tanamannya adalah Bambang Lanang dengan jarak tanam 5 x 7 m. Sehingga jumlah tanaman per hektar adalah 1.050 tanaman dan INP nya adalah 81,87.

24

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

B. Kesamaan Komunitas Pola Hutan Rakyat Kesamaan dua komunitas dapat diketahui melalui nilai Indeks Similaritas (IS) kedua komunitas tersebut. Nilai indek kesamaan (Indeks similaritas) berkisar antara 0 - 100, bernilai 0 apabila kedua komunitas berbeda sekali jenis penyusunnya dan bernilai 100 apabila kedua komunitas jenis penyusunnya identik/sama. Semakin besar nilai IS maka akan semakin besar pula kesamaan jenis penyusun kedua komunitas tersebut dan semakin kecil IS maka akan semakin kecil kesamaan jenis penyusun kedua komunitas tersebut (Indriyanto, 2006). Indeks similaritas antar pola tanam disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Indeks Similaritas (IS) antar pola hutan rakyat Pola Tanam IS (%) Acak dan Lorong 44,44 Acak dan Baris 41,67 Acak dan Border 44,44 Baris dan Lorong 57,14 Baris dan Border 57,14 Border dan Lorong 50 Dari hasil perhitungan IS tersebut dapat diketahui bahwa antar pola mempunyai kesamaan yang hampir sama, yaitu berkisar antara 40-60 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah tersebut memang terdapat kesamaan jenis penyusunnya.

C. Pengelolaan Hutan Rakyat Kondisi biofisik hutan rakyat berkaitan dengan pola pengelolaannya, dimana dengan kondisi yang berbeda maka pola pengelolaannya juga berbeda. Masyarakat mengembangkan hutan rakyat menurut kondisi lahan dan kemampuannya dalam pengelolaan. Masyarakat yang mempunyai lahan relatif luas akan cenderung mengembangkan hutan rakyat murni tidak dicampur dengan tanaman lain, karena mereka sudah mempunyai penghasilan dari sebagian lahannya yang dimanfaatkan untuk tanaman pertanian atau perkebunan. Selain mempunyai lahan yang relatif luas, masyarakat yang mempunyai pekerjaan selain petani (PNS, pejabat, pengusaha, pensiunan, TNI) atau tempat tinggalnya jauh dari kebun, mereka cenderung mengembangkan hutan rakyat murni. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa tanaman kehutanan adalah sebagai investasi dan tidak memerlukan pengelolaan yang intensif, sehingga hanya mengupah orang yang dipercaya di sekitar lahannya untuk mengawasi dan hanya sesekali melihat kondisinya secara langsung. Pola-pola campuran seperti baris, lorong, tanaman pembatas dan acak, cenderung dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai lahan relatif sempit dan dekat dengan pemukiman mereka karena mereka masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari pada tanaman-tanaman pertanian maupun perkebunan tersebut.

VI. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Secara umum ada 2 pola hutan rakyat di Kabupaten Lahat, yaitu Pola Murni dan Pola Campuran yang terdiri dari pola lorong (alley croping), pola pohon pembatas (trees along border), pola baris (alternate row), dan pola acak (Random mixer). 2. Antar pola hutan rakyat mempunyai kesamaan jenis yang hampir sama, dengan Indeks Similaritas (IS) antara 40-60%. 25

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

3. Pola hutan rakyat murni dikembangkan oleh masyarakat yang mempunyai lahan relatif luas dan pertanian tidak sebagai sumber utama penghasilan sedangkan pola campuran dikembangkan oleh masyarakat yang lahannya relatif sempit dan penghasilan utamanya dari pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Bapedalda Kabupaten Lahat. 2002. Desain Pemanfaatan Lahan Kritis untuk Meningkatkan Daya Dukung Tanah terhadap Kerusakan Lingkungan Kabupaten Lahat. Lahat. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Selatan. 2004. Profil Provinsi Sumatera Selatan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Palembang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Empat Lawang. Empat Lawang dalam Angka 2011. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Suharjito, D. dan D. Darusman (eds) 1998. Kehutanan Masyarakat Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Institut Pertanian Bogor. Wezel, A. J. Ohl. 2005. Does remotness from urban centres influence diversity in homegardens and swidden fields?: A case study from the Matsiguenka in the Amazonian rain forest of Peru. Agroforestri System 65:241-251

26

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

ANALISIS FAKTOR MOTIVASI MENANAM KAYU BAWANG (Dysoxilum mollissimum Blume) PADA LAHAN MILIK (STUDI KASUS DI KABUPATEN BENGKULU UTARA DAN KABUPATEN BENGKULU TENGAH)

Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Menanam kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume) pada lahan milik masih menjadi daya tarik terutama bagi masyarakat di Provinsi Bengkulu. Kayu bawang ditanam dengan pola agroforestri dengan tanaman karet, sawit atau coklat. Tingginya minat petani menanam kayu bawang pada lahan milik dapat menjadi pelajaran bagi pengembangan tanaman kehutanan pada umumnya. Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan tujuan menanam pohon yang dilakukan petani dan bagaimana praktik silvikultur yang diterapkan petani. Penelitian dilakukan dengan metode survei rumah tangga pemilik kayu bawang pada lahan milik pada lima desa terpilih di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif dan dilanjutkan dengan analisis faktor mengunakan Principal Component Analysis dengan metode varimax. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan masyarakat menanam kayu pada lahan milik dikelompokkan menjadi 3 dimensi (kelompok besar), yaitu ekonomi, investasi dan lingkungan. Praktek silvikultur yang dilakukan pada lima lokasi penelitian masih sangat sederhana dengan menerapkan 2-3 perlakuan yaitu persiapan lahan, penyiangan dan pemupukan sehingga produktifitasnya masih rendah. Kata kunci: agroforestri, kayu bawang, tujuan penanaman

I. PENDAHULUAN

Pola penanaman campuran atau dikenal dengan istilah agroforestri merupakan praktek penanaman yang telah lama dilakukan oleh masyarakat karena kondisi pembatas yang dimiliki oleh petani atau pemilik lahan. Pembatas tersebut dapat berupa lahan, modal, teknologi, pengetahuan, kondisi biofisik dan lain sebagainya. Adapun ciri dari agroforestri yang dilakukan petani antara lain produk yang dihasilkan beragam, waktu panen yang tidak bersamaan (bergilir), memiliki beberapa tingkatan penutupan, dan beragam komposisi jenis sehingga memiliki kekhasan dengan daerah lainnya. Praktek agroforestri yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah adalah agroforestri kayu bawang (Dysoxilum mollissimum Blume) dengan tanaman tahunan yang memiliki nilai ekonomi seperti karet, sawit dan coklat. Keputusan petani yang masih mempertahankan praktek penanaman kayu pada lahan milik didasarkan pada pengalaman yang telah terseleksi secara alami. Motivasi apa yang mendorong petani menanam kayu dan pola tanam yang diterapkan didasarkan pada pilihan individu. Oleh karenanya, penting kiranya mengetahui motivasi tersebut. Motivasi didefinisikan oleh Mitchel (1982) adalah “the degree to which an individual wants and chooses to engage in certain specified behaviors”. Dengan demikian untuk mengetahui motivasi seseorang dapat dilihat dari sikap dan perilaku dalam mengambil keputusan.

27

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Dalam penelitiannya, Bengston et al. (2008) mengungkapkan beberapa alasan mengapa masyarakat menanam tanaman kehutanan, yaitu karena nilai lingkungan, fungsi rekreasi, income atau investasi, nilai non-instrumental (warisan keluarga, kecintaan terhadap lahan, dll), kualitas hidup, serta untuk keperluan tertentu. Sementara itu, Salam et al. (2000) menyatakan bahwa keputusan petani untuk menanam pohon dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kepemilikan lahan, sumber pendapatan keluarga, biaya untuk kayu bakar, jumlah laki-laki dalam keluarga, dan pengetahuan tentang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan program kehutanan. Lebih lanjut, Martin et al. (2011) menjelaskan bahwa jumlah lahan garapan dan keamanan lahan secara signifikan sangat mempengaruhi keputusan petani untuk menanam pohon di lahan mereka. Pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Joshi dan Arano (2009), yang menyatakan bahwa pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan umur merupakan faktor yang berpengaruh pada keputusan masyarakat dalam penanaman lahan milik. Setiap rumah tangga petani memiliki tujuan beragam dalam penanaman kayu yang disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki, baik berupa modal, tenaga kerja, lahan, dan pendapatan. Informasi mengenai nilai dan tujuan penanaman kayu dibutuhkan dalam rangka merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang efektif, serta penyuluhan dan pengembangannya. Informasi ini juga berguna untuk memahami dan meramalkan perilaku pemanenan kayu, manajemen lahan dan reaksi terhadap suatu kebijakan. Untuk itu, tulisan ini mencoba untuk menjelaskan tujuan masyarakat menanam pohon dan aspek apa yang mempengaruhinya.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitan dilakukan pada bulan Juli sampai dengan September 2012 di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu. Lokasi penelitian ini dipilih secara sengaja (purpossive) dengan pertimbangan bahwa di daerah tersebut agroforestri kayu bawang banyak dikembangkan oleh masyarakatnya, baik secara swadaya maupun insentif dari pemerintah. Hampir 85% masyarakat menanam kayu bawang pada lahan milik dengan jumlah yang bervariasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yang dilakukan terhadap masyarakat penanam kayu bawang pada lahan milik. Pengumpulan data dilakukan pada lima desa terpilih yaitu Desa Talang Empat, Desa Lubuk Sini, Desa Batu Raja, Desa Sawang Lebar Mudik dan Desa Sengkuang di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah, yakni masyarakat yang menanami lahan miliknya secara campuran antara tanaman kayu bawang dan tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi. Data yang diambil berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan bantuan kuesioner yang ditujukan kepada responden terpilih. Karena responden yang dipilih adalah masyarakat pemilik lahan yang menanam kayu bawang di lahan miliknya, maka penentuan responden dilakukan dengan metode purposive sampling. Jumlah responden yang menjadi sampel penelitian adalah 161 rumah tangga, yang terdiri dari Desa Talang Empat 30 responden, Desa Lubuk Sini 29 responden, Desa Batu Raja 37 responden, Desa Sawang Lebar Mudik 31 responden dan Desa Sengkuang 34 responden. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif untuk menggambarkan fenomena yang ditampilkan dalam tabel. Untuk mengukur motivasi tujuan penanaman kayu bawang pada lahan dilakukan dengan mengkuantifikasikan berdasarkan skala Likert 1-5 (sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu-ragu, setuju, sangat tidak setuju). Menurut

28

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Ambrose dan Kulik (1999), bahwa motivasi tidak dapat diamati atau diukur secara langsung, tetapi dapat memanifestasikan dirinya melalui sikap dan perilaku seseorang.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Karakteristik Pemilik dan Lahan Karakteristik pemilik dan lahan dapat menjadi variabel pembatas dan pembeda mengapa pada suatu daerah masyarakat berminat atau tidak menanam kayu bawang, serta mengapa jumlah tanamannya bervariasi. Perbedaan karakteristik kedua lokasi penelitian tidak dianalisis secara statistik melainkan hanya dilakukan dengan analisis deskriptif. Umur rata-rata yang menanam kayu pada desa terpilih antara 46-54 tahun, yakni pada usia produktif. Pada umur produktif masyarakat cenderung menanam kayu karena sebagai tabungan di hari tua dan kesadaran akan makin sulit dan mahalnya kayu. Ada dua suku mayoritas yang berbeda yaitu Suku Lembak dan Suku Rejang namun kedu- anya memiliki ikatan yang kuat terhadap kayu bawang. Kayu bawang merupakan suatu identi- tas budaya yang ditandakan dengan penggunaan kayu bawang pada rumah-rumah kuno yang masih tersisa. Jarak rumah ke kebun 1,13-2,84 km dan jarak rumah ke pasar 2,07-4,45 km. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Jarak yang dekat ke akses produksi dan pasar akan meningkatkan intensitas petani ke lahan dan mempermudah memasarkan hasil. Sebagai- mana dinyatakan oleh Ruf (2005) bahwa letak kebun yang dekat dengan rumah petani akan mendorong mereka untuk lebih sering pergi ke kebun dan mengelola lahannya dengan lebih in- tensif. Jarak rumah ke kebun dan jarak rumah ke pasar akan menjadi pertimbangan petani da- lam menentukan pola penanaman, komposisi tanaman dan teknik budidaya yang akan diterap- kan. Jarak ke kebun yang dekat menyebabkan intensitas dan durasi ke kebun semakin tinggi. Tabel 1. Karakteristik penanam kayu bawang dan lahan di desa terpilih Desa Lubuk Sini Desa Batu Raja Desa Sawah Desa Sengkuang Desa Talang Karakteristik (Lubuk Sini (Batu Raja Lebar Mudik (Sengkuang Empat (Talang Respoden Satuan village) village) (Sawah Lebar village) No Empat village) (Respondent (Unit) Mudik village) characteristics) JML % JML % JML % JML % JML % 1 Umur (Age) Min 35 35 35 25 30 Rata-rata 50,03 45,03 54,90 43,34 46,41 Max 70 55 70 65 60 Lembak 30 100 36 97,30 31 100 1 2,94 Non Lembak 0 0 0 0 0 0 1 2,94 Rejang 28 96,55 1 2,70 0 0 32 94,12 2 Suku (Tribe) Non Rejang 1 3,45 0 0 0 0 0 0

Rata 68 53 35 45 32

Max 300 70 60 220 60

Jarak ke kebun (Distance to 3 Rata-rata 2,17 1,95 2,84 1,13 1,8 farm)

Jarak ke pasar (Distance to 4 Rata-rata 2,07 2,3 2,8 4,7 4,45 market)

29

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Desa Lubuk Sini Desa Batu Raja Desa Sawah Desa Sengkuang Desa Talang Karakteristik (Lubuk Sini (Batu Raja Lebar Mudik (Sengkuang Empat (Talang Respoden Satuan village) village) (Sawah Lebar village) No Empat village) (Respondent (Unit) Mudik village) characteristics) JML % JML % JML % JML % JML % Tingkat keseringan ke kebun dlm

smgg (Level of 5 Rata-rata 5 4 4 5 4 frequency

accessing the garden in a week) Lama di kebun 6 (Duration on Rata-rata 4,3 3,5 3,7 4,1 3,1

farm) Sumber: Data Primer, 2012

3.2. Aktivitas praktek pengelolaan pohon secara tradisional Memahami praktek pengelolaan pohon secara tradisional dapat membantu untuk menginformasikan apa, bagaimana, dan mengapa petani ingin menanam pada tanah mereka (Bannister dan Nair, 2003). Petani yang telah berpengalaman akan lebih baik dalam mengelola pohon yang mereka tanam. Bagaimana aspek desain dan manajemen pohon yang menjadi pilihan petani. Praktek silvikultur yang diterapkan petani umumnya masih minimal. Praktek silvikulutur yang dilakukan antara lain persiapan lahan dengan tebas bakar, penyiangan rumput, pemangkasan atau mengurangi jumlah tanaman. Petani umumnya jarang sekali melakukan pemupukan atau pengendalian hama penyakit. Apabila melakukan pemupukan tidak dilakukan dengan proporsi takaran yang benar. Hanya sebagian kecil (< 13%) petani yang melakukan perlakuan silvikultur dengan baik dikarenakan keterbatasan modal, pengetahuan dan tenaga kerja. Sementara itu, apabila teknik silvikultur yang baik dapat diterapkan oleh petani, diharapkan produktivitas lahan mereka akan semakin tinggi. Sebagaimana menurut Sukirno (2007), diperlukan adanya kemajuan teknologi untuk dapat meningkatkan produktivitas kegiatan-kegiatan ekonomi di masyarakat, termasuk dalam pengelolaan lahan milik. Dalam hal ini perlu adanya peran dari para penyuluh untuk memberi informasi mengenai teknik budidaya, sistem pemanenan, penanganan pasca panen dan pemasaran hasil yang baik. Perlakuan silvikultur yang baik biasanya dilakukan oleh petani yang berpengalaman dan kemampuan ekonominya baik. Apabila dilihat dari jumlah perlakuan silvikutur yang dilakukan oleh petani pada lokasi penelitian, petani hanya melakukan 2-3 perlakuan silvikultur (persiapan tebas bakar, penyiangan atau pemupukan) dengan pertimbangan yang berbeda setiap individu. Untuk lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.

30

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Praktek silvikultur yang dilakukan 90 82,35

80 Desa Sawah Lebar 70 61,7662,16 Mudik (%) 56,67 60 Desa Sengkuang (%) 46,67 50 Desa Baturaja (%) 40 33,33 30,00 30 20,00 Desa Lubuk Sini (%) 18,92 20,59 16,22 20 14,71 13,33 Desa Talang Empat (%) 5,88 10 2,94 2,94 0 0 Persentase petani yang melakukan petaniPersentase yang melakukan (%) 0 1 2 3 4 5 Jumlah perlakuan silvikultur yang dilakukan petani Gambar 1. Jumlah praktek silvikultur yang dilakukan petani

3.3. Tujuan Penanaman Kayu Bawang Desa terpilih yang menjadi sampel lokasi penelitian adalah lima desa yang masyarakat- nya hampir 85% masyarakat menanami lahan milik dengan tanaman kayu bawang dan tanaman tahunan lainnya. Penanaman kayu bawang dilakukan masyarakat secara turun-temurun bisa dianggap sebagai suatu budaya yang diwariskan. Sebagian besar masyarakat telah melakukan penanaman kayu bawang dan memanfaatkannya untuk keperluan sendiri maupun dijual. Penanaman pohon penghasil kayu merupakan bagian dari strategi yang diterapkan petani dalam memenuhi kebutuhan kayu dan menjualnya pada waktu yang dirasa tepat untuk kebutuhan yang lebih mendesak. Namun hutan rakyat tidak hanya sebagai penghasil kayu melainkan juga tulang punggung konservasi yang menjadi perhatian dunia (Marey Perez and Rodriques Vicente, 2008). Untuk melihat peran kayu bawang bagi rumah tangga, didekati dengan melakukan analisis tujuan penanam kayu bawang oleh petani yang dilihat dari persepsi dan pendapat masyarakat. Tujuan menanam kayu dapat digunakan sebagai cara untuk mengetahui bagaimana motivasi petani menanam kayu pada lahan milik. Seberapa penting kayu bagi petani sehingga petani berminat menanam kayu pada lahan milik. Motivasi petani dalam menanam kayu bawang diekspresikan dari jawaban pernyataan yang ditampilkan. Hasilnya kemudian dianalisis secara deskriptif (Tabel 2) dan dilakukan analisis lebih lanjut dengan Principal Component Analysis (PCA) dengan metode Varimax (Tabel 3). Hasil analsis deskriptif menunjukkan bahwa apabila dilihat dari nilai mean, variabel “sebagai tabungan dan diwariskan ke generasi berikut” memiliki nilai tertinggi sehingga dapat dinyatakan bahwa penananam lahan milik didorong oleh variabel tersebut. Berdasarkan hasil analisis PCA (Tabel 2), dari 15 pernyataan (variabel) kemudian direduksi menjadi 3 variabel utama. Hasil perhitungan nilai Kaiser Meyer Olkin adalah sebesar 0,865 yang artinya dapat dilakukan analisis lebih lanjut. Hasil tes reliabilitas data menggunakan Cronbach’s Alpha sebesar 0,833, yang berarti data yang disajikan memiliki reabilitas dan konsistensi yang baik. Pernyataan (variabel) yang dapat dilakukan lebih lanjut apabila nilai MSA>0,5. Selanjutnya dianalisis menggunakan metode rotasi varimax dan didapatkan hasil 3 variabel utama yang dikelompokkan menjadi lingkungan, ekonomi dan investasi (Tabel 3).

31

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Pernyataan “untuk meningkatkan kesuburan tanah”, “untuk menghijaukan lingkungan dan melindungi ekosistem” dan “untuk mengurangi tiupan angin” dikelompokkan pada kelompok lingkungan. Pernyataan “untuk membuat rumah atau memperbaiki rumah” dan “harga kayu bawang dan kayu lainnya semakin mahal” dikelompokkan pada kelompok ekonomi. Pernyataan “untuk tabungan masa depan” dan “diwariskan ke generasi berikut” dikelompokkan menjadi kelompok investasi. Tabel 2. Tujuan menanam kayu bawang pada lahan milik No. Std Uraian N Mean Median Deviasi 1. Untuk membuat atau memperbaiki rumah 161 3,98 4 0,547 2. Agar lahan tidak dirambah/diserobot 161 3,53 4 0,866 orang lain 3. Untuk tabungan masa depan (investasi) 161 4,34 4 0,603 4. Untuk diwariskan ke generasi berikut 161 4,17 4 0,694 5 Menanam kayu bawang karena mengikuti 161 2,86 3 0,948 tetangga yang juga menanam 6. Untuk melindungi burung/hewan dan 161 3,39 4 0,916 keanekaragaman lainnya. 7. Agar dihormati orang lain (karena banyak 161 2,36 2 0,884 kayu bawang berarti orang kaya) 8. Agar jelas siapa yang memiliki lahan kayu 161 3,25 3 0,866 bawang 9. Untuk menghijaukan lingkungan dan 161 3,54 4 0,880 melindungi ekosistem 10. Untuk meningkatkan kesuburan tanah 161 3,37 4 0,820 11 Untuk menjadi contoh/teladan bagi 161 3,40 4 0,801 masyarakat lainnya 12. Untuk menyediakan kayu bakar 161 2,95 3 0,857 13. Untuk mengurangi pemanasan udara 161 3,56 4 0,865 (pemanasan global) 14. Untuk mengurangi hempasan/tiupan angin 161 3,56 4 0,835 15. Harga kayu bawang dan kayu lainnya 161 3,99 4 0,724 semakin mahal Sumber: Data Primer, 2012

Tabel 3. Analisis faktor tujuan penanaman kayu bawang pada lahan milik No. Uraian Lingkungan Ekonomi Investasi 1. Untuk membuat/memperbaiki rumah ,011 ,659 -,009 2. Untuk tabungan masa depan ,169 ,251 ,809 3. Untuk diwariskan ke generasi berikut ,133 -,157 ,827 4. Untuk melindungi burung/hewan dan ,802 ,199 ,255 keanekaragaman lainnya. 5 Kejelasan kepemilikan lahan ,715 -,221 ,034 6. Untuk menghijaukan lingkungan dan ,837 ,382 ,172 melindungi ekosistem 7. Untuk meningkatkan kesuburan tanah ,861 ,173 ,009 8. Untuk menjadi contoh bagi masyarakat lainnya ,504 ,525 -,063 9. Untuk menyediakan kayu bakar ,425 -,007 ,225 10. Untuk mengurangi pemanasan udara ,785 ,456 ,199 11 Untuk mengurangi hempasan/tiupan angin ,822 ,469 ,162 12. Harga kayu bawang dan kayu lainnya semakin ,183 ,788 ,085 mahal Sumber: Data Primer, 2012

32

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Dilihat dari hasil analisis faktor, tujuan penanaman kayu bawang pada lahan milik dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu lingkungan, ekonomi dan investasi. Investasi menjadi tujuan penanaman kayu bawang dengan umur petani berkisar 40-54 tahun, dimana dari segi fisiologis semakin tua umur maka kemampuan fisiologisnya semakin menurun sehingga akan cenderung menanam dengan tanaman jangka panjang yang bernilai ekonomi dengan pemeliharaan yang tidak intensif. Petani umumnya hanya menerapkan 2-3 perlakukan silvikultur sehingga menajemen lahan tidak intensif secara tidak langsung dapat bermafaat bagi lingkungan. Kebutuhan dan harga kayu bawang yang semakin mahal menunjukkan bahwa petani memiliki tujuan investasi. Adanya kesadaran petani bahwa untuk mendapatkan kayu yang berkualitas semakin sulit, mendorong mereka untuk menanam tanaman kayu di lahan milik, sehingga penanaman kayu bawang dapat menjadi solusi. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui tujuan penanaman kayu bawang yang berbeda-beda yang dilakukan petani dalam pengelolaan lahan miliknya. Pemahaman terhadap tujuan penanaman kayu menjadi penting terutama untuk meningkatkan pendapatan petani dan juga merumuskan kebijakan yang efektif dengan melihat motivasi masing-masing petani. Tujuan petani dalam menanam kayu bawang pola agroforestri pada lahan milik akan berbeda pada setiap petani. Karena petani didorong oleh motivasi tertentu berdasarkan pengalaman empirik mereka dan pengaruh dari luar seperti informasi, peran media, penyuluh dan sebagainya. Penelitian ini juga melihat praktek pengelolaan lahan yang dilakukan petani, yaitu sejauh mana teknik budidaya yang diterapkan. Aktifitas petani dalam budidaya cenderung lebih sedikit memasukkan input pupuk dan tenaga kerja. Lebih lanjut, perilaku petani tersebut berhubungan dengan tujuan penanaman kayu yang dilakukannya. Petani dengan tujuan penanaman yang menekankan pada aspek lingkungan cenderung lebih sedikit memasukkan input pupuk dibandingkan dengan petani yang memiliki tujuan investasi dan ekonomi. Pengetahuan mengenai tujuan penanaman kayu oleh petani akan sangat berguna bagi penyuluh kehutanan yang berada pada level pelaksana kebijakan dan juga berguna sebagai bahan masukan kepada para pembuat kebijakan. Perumusan kebijakan yang akan diimplementasikan harus disesuaikan dengan target. Sebagai contoh, petani dengan motivasi ekonomi akan lebih membutuhkan informasi mengenai teknik budidaya yang baik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kayu bawang dan produktifitas tanaman campuran. Bimbingan teknis berupa pola tanam, komposisi tanaman dan teknik silvikultur akan sangat penting dan berguna. Tentunya akan berbeda dengan petani yang tujuan utamanya adalah untuk lingkungan, dan sebagainya. Insentif berupa perijinan dan pasar juga diperlukan untuk petani tujuan ekonomi. Menurut Akbar (2000) dalam Zubair dan Garfoth (2005), penerimaan petani atas suatu program seperti kegiatan agroforestri masih terbatas dikarenakan kurangnya perhatian terhadap pandangan petani mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan mereka. Terlebih lagi, pada umumnya program-program yang dilaksanakan kurang memperhatikan kondisi lokal, nilai, budaya, kebutuhan masyarakat dan partisipasi dalam program tersebut. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan tujuan penanaman akan tergantung dengan sosial budaya dan lingkungan masyarakatnya, dimana faktor-faktor tersebut akan berbeda pada setiap lokasi. Kenyataan ini terkait dengan tradisi budaya, dimana pada lokasi penelitian memiliki tradisi budaya menanam kayu bawang yang mungkin berbeda dengan lokasi lain meskipun memiliki tujuan penanaman yang hampir sama.

33

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

IV. KESIMPULAN

Petani pemilik lahan merupakan suatu komunitas yang heterogen baik dari segi umur, pendidikan, pekerjaan, dan karakteristik individu lainnya. Kondisi tersebut yang juga menjadi pembeda dalam hal tujuan penanaman kayu yang dilakukan setiap petani. Tujuan petani menanam kayu bawang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu tujuan lingkungan, ekonomi, dan investasi. Tujuan lingkungan yaitu untuk meningkatkan kesuburuan tanah. Dengan menanam kayu bawang diharapkan tanah menjadi subur sehingga input pupuk berkurang dan produktifitas tanaman meningkat. Tujuan ekonomi yaitu harga kayu bawang dan jenis kayu lain makin tinggi. Harga kayu yang tinggi dan ketersediaan kayu mulai sulit menjadi alasan masyarakat menanam kayu bawang. Tujuan investasi yaitu untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Kayu bawang berukuran besar yang saat ini masih ada merupakan hasil tanaman orang tua mereka sehingga masyarakat juga memiliki keinginan untuk mewariskan kayu bawang untuk anak cucunya. Informasi dan pengetahuan tujuan penanaman kayu sangat diperlukan bagi para pelak- sana dan perumus kebijakan karena akan mempengaruhi seberapa besar penerimaan atau pe- nolakan kebijakan tersebut. Kebijakan yang telah dirumuskan dengan tepat dan baik, namun sering gagal dalam tahap pelaksanaannya karena target sasaran kebijakan yang kurang tepat. Kegagalan suatu kebijakan dapat terjadi karena belum memahami motivasi yang melatar- belakangi seseorang melakukan suatu tindakan. Untuk itu, dalam merumuskan suatu kebijakan diperlukan informasi mengenai tujuan penanaman kayu oleh petani. Dalam implementasi kebijakan harus melihat target (sasaran) kebijakan agar kebijakan lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, perlu adanya kolaborasi dan koordinasi antara peneliti dan perumus kebijakan untuk dapat: (1) meningkatkan pengetahuan mengenai bagaimana karakteristik petani dan pola penanaman pada lahan miliknya karena hal ini dapat mempengaruhi keputusan petani dalam manajemen lahan dan investasi lahan, dan (2) melaksanakan dan mengembangkan kebijakan yang tepat dalam perencanaan dan pengelolaan lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Ambrose, M.L., and C.T. Kulik. 1999. Old Friends, New Faces: Motivation Research in the 1990s. Journal of Management 25, 231–292. Bannister M.E, and P.K.R. Nair. 2003. Agroforestri Adoption in Haiti: the Importance of Household and Farm Characteristics. Agroforestri System. 57:149–157. Bengston, D.N., B.J. Butler, and S.T. Asah. 2008. Values and Motivations of Private Forest Owners in The United States: A Framework Based on Open-Ended Responses in The National Woodland Owner Survey. Proceedings of the 2008 Northeastern Recreation Recreation Research Symposium. Joshi and G. Arano. 2009. Determinants of private forest management decisions: A study on West Virginia NIPF landowners. Forest Policy and Economics 11 (2009) 118–125. Marey-Pérez, M.F. and V. Rodríguez-Vicente. 2008. Forest Transition in Northern Spain: Local Rsponses on Large-Scale Programmes of Field-Afforestation. Land Use Policy 26, 139- 156.

34

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Martin, F.S., M. Bertomeu, M.V. Noordwijk, and R. Navarro. 2011. Understanding Forest Transition in the Philippines: Main Farm-level Factors Influencing Smallholder’s Capacity and Intention to Plant Native Timber Trees. Small-scale Forestry 11:47-60. Mitchell, T.R., 1982. Motivation: New Directions for Theory, Research, and Practice. The Academy of Management Review 7, 80–88. Muhammad, Z. and C. Garforth. 2005. Farm Level Tree Planting In Pakistan: The Role of Farmer’s Perception and Attitudes. Conference Proceedings AFTA. Ruf, F. and F. lancon. 2005. Dari Sistem Tebas dan Bakar ke Peremajaan Kembali: Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia. Penerjemah: Yoddang. Salemba Empat, Jakarta. Salam, M.A., T. Noguchi, and M. Koike. 2000: Understanding why Farmers Plant Trees in the Homestead Agroforestri in Bangladesh. Agroforestri Systems 50: 77-93. Sukirno, S. 2007. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Edisi Kedua. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

35

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

FAKTOR-FAKTOR PEMBATAS YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT KAYU BAWANG (Dysoxylum Molissimum BL) DI PROVINSI BENGKULU

Ari Nurlia dan Efendi Agus Waluyo Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Hutan rakyat kayu bawang merupakan model hutan rakyat yang berkembang di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Kayu bawang (Dysoxylum Molissimum BL) merupakan jenis lokal setempat yang telah teruji kualitas dan keawetannya dimana kayunya memiliki nilai ekonomi tinggi dan berkontribusi nyata terhadap pendapatan rumah tangga petani. Keberhasilan hutan rakyat kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah menyebabkan hutan rakyat kayu bawang mulai dikembangkan di daerah-daerah sekitarnya namun dalam tingkat pengembangan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian untuk mengkaji faktor-faktor apa saja yang menjadi pembatas dalam pengembangan hutan rakyat kayu bawang di luar wilayah aslinya. Penelitian merupakan kegiatan survey dengan menggunakan metode dasar deskriptif menggunakan kuesioner terstruktur dan wawancara mendalam (indepth interview) sebagai alat bantu pengumpulan data. Data primer dan sekunder dianalisis dengan menggunakan analisis sosial. Hasil Penelitian mengungkapkan tingkat penerimaan masyarakat terhadap pengembangan hutan rakyat kayu bawang tergolong baik dimana masyarakat menyadari selain bermanfaat secara ekonomi kayu bawang juga bermanfaat secara ekologi. Faktor yang membatasi pengembangan hutan rakyat kayu bawang di masyarakat lebih kepada faktor eksternal masyarakat seperti kesesuaian lahan, keterbatasan bibit dan kurangnya peran serta pemerintah. Kata kunci: hutan rakyat, kayu bawang, penyebaran, faktor pembatas

I. PENDAHULUAN

Hutan rakyat merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan kayu di tingkat lokal dan regional. Hutan rakyat ialah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat baik petani secara perorangan maupun bersama-sama. Hutan rakyat terbentuk dari kegiatan swadaya masyarakat dengan maksud untuk menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya secara ekonomis dengan memperhatikan unsur-unsur keberlanjutan dan perlindungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan sosial (Awang dkk. 2002). Untuk meningkatkan keberhasilan pembangunan hutan rakyat, maka hutan rakyat dibangun dengan menggunakan jenis lokal setempat yang telah teruji kualitasnya. Pemilihan jenis lokal setempat dilakukan karena jenis lokal diyakini telah beradaptasi dengan kondisi lahan sehingga selain dapat menghasilkan kayu yang berkualitas juga memiliki daya tahan terhadap hama dan penyakit. Hutan rakyat kayu bawang merupakan model hutan rakyat yang dikembangkan di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Tengah dimana komponen utama tanaman berkayunya adalah jenis kayu bawang. Kayu bawang (Dysoxylum Molissimum BL) adalah jenis tanaman lokal potensial penghasil kayu pertukangan yang kayunya sudah terkenal akan kualitas dan keawetannya. Kayu bawang bagi masyarakat di Kabupaten Bengkulu Utara merupakan tanaman tradisional warisan orang tua mereka dan mulai sengaja ditanam pada dekade tahun

37

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

1950-60an di kebun atau bekas ladang. Kayu ini banyak ditanam karena mempunyai mutu baik dan budidayanya relatif mudah (Martin dan Fidelia, 2009). Saat ini hutan rakyat kayu bawang telah menjadi budaya dimasyarakat dimana kayu yang dihasilkan merupakan komoditas yang memiliki ekonomi tinggi dan berkontribusi nyata terhadap pendapatan rumah tangga petani. Keberhasilan hutan rakyat kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah menyebabkan kayu bawang mulai menyebar di daerah-daerah lainnya di Provinsi Bengkulu seperti Kabupaten Mukomuko, Seluma, Rejang Lebong, Kepahyang, hingga Kabupaten Bengkulu Selatan. Kayu bawang menyebar di luar wilayah aslinya melalui program Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Pengembangan Hutan pada tahun 2003 dan Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) pada tahun 2010. Namun, walaupun kayu bawang menyebar dengan program yang sama tetapi tingkat pengembangan hutan rakyat kayu bawang di setiap kabupaten tidak merata. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian mengenai faktor-faktor pembatas apa saja yang menjadi penghambat dalam pengembangan hutan rakyat kayu bawang diluar wilayah aslinya.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten-Kabupaten di Provinsi Bengkulu yang bukan merupakan wilayah asli penyebaran kayu bawang tetapi berbatasan langsung dengan wilayah aslinya. Kabupaten yang terpilih sebagai lokasi penelitian adalah Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Seluma yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Mukomuko yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bengkulu Utara. Pemilihan Kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah aslinya dilakukan dengan asumsi akan memiliki kondisi yang mirip dengan wilayah sebaran aslinya. Selain itu, Kabupaten Mukomuko juga terpilih untuk mewakili wilayah bagian utara, Kabupaten Rejang Lebong mewakili wilayah bagian tengah dan Kabupaten Seluma mewakili wilayah bagian selatan. Keterwakilan daerah di berbagai wilayah diharapkan dapat menggambarkan kondisi penyebaran kayu bawang secara utuh di Provinsi Bengkulu. Penelitian dilakukan pada Bulan April sampai dengan September 2013.

B. Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan data Responden penelitian merupakan kepala rumah tangga yang diasumsikan sebagai pengambil keputusan dan sebagai pelaku utama pada lahan usaha tani. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur sebagai alat bantu penelitian. Jumlah desa yang dijadikan lokasi penelitian masing-masing sebanyak dua desa dari setiap kabupaten terpilih dengan jumlah responden dari setiap desa secara rinci tersaji pada Tabel 1. Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan pada beberapa tokoh kunci di setiap desa untuk memvalidasi dan menyempurnakan data yang telah diperoleh sebelumnya. Pengumpulan data sekunder yang mendukung tujuan penelitian diperoleh dari instansi-instansi terkait di antaranya Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Kehutanan baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat provinsi. Tabel 1. Jumlah Responden Penelitian No Kabupaten Desa Jumlah Responden 1. Mukomuko Sido Makmur 34 responden Lalang Luas 31 responden

38

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

No Kabupaten Desa Jumlah Responden 2. Rejang Lebong Bandung Marga 30 responden Taba Tinggi 39 responden 3. Seluma Babatan 30 responden Bakal Dalam 30 responden Total responden 193 responden

C. Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan analisis sosial yang disajikan dalam tabulasi sederhana dan analisis deskriptif untuk menggambarkan fenomena yang terjadi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Petani Hutan Rakyat Kayu Bawang Karakteristik petani merupakan hal dasar yang perlu untuk mengetahui tingkat kemam- puan petani dalam mengadopsi inovasi dan informasi dalam menjalankan usaha taninya. Karakteristik petani juga dapat menggambarkan keadaan suatu wilayah agar dapat menentukan langkah yang tepat untuk melakukan introduksi terhadap suatu inovasi. Karakteristik petani hutan rakyat kayu bawang di kabupaten tempat penelitian dirinci pada Tabel 2. Walaupun sebagian besar responden adalah laki-laki, namun pekerjaan bertani tidak hanya di dominasi oleh laki-laki. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga berperan sebagai pengambil keputusan dan pelaku utama kegiatan bertani, namun dalam kenyataannya tidak sedikit perempuan yang dilibatkan dalam kegiatan bertani terutama pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Tabel 2. Karakteristik Petani Hutan Rakyat Kayu Bawang Kabupaten Mukomuko Kabupaten Rejang Lebong Kabupaten Seluma Ds. Sido Ds. Lalang Ds. Bandung Ds. Taba Ds. Ds. Bakal No Uraian Makmur Luas Marga Tinggi Babatan Dalam N=34 N=31 N=30 N=39 N=30 N=30 1 Jenis Kelamin a. Laki-laki 34 29 26 36 29 29 b. Perempuan 0 2 4 3 1 1

2 Kelompok Umur 20 – 29 1 6 1 1 2 1 30 – 39 6 11 14 5 11 4 40 – 49 10 8 9 22 10 10 50 – 59 9 5 4 9 4 8 60 – 69 7 1 2 2 3 5 70 – up 1 0 0 0 0 2

3 Tingkat Pendidikan a. Tidak Sekolah 4 0 0 0 0 0 b. Tamat SD 12 12 15 16 7 9 c. Tamat SMP 8 9 10 11 4 4 d. Tamat SMA 7 10 4 11 19 15 e. Perguruan Tinggi 3 0 1 1 0 2

4 Jenis Pekerjaan a. Pekerjaan Utama

39

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Kabupaten Mukomuko Kabupaten Rejang Lebong Kabupaten Seluma Ds. Sido Ds. Lalang Ds. Bandung Ds. Taba Ds. Ds. Bakal No Uraian Makmur Luas Marga Tinggi Babatan Dalam N=34 N=31 N=30 N=39 N=30 N=30 - Tani 32 30 28 38 21 23 - Dagang 1 0 0 0 2 2 - PNS 1 0 0 1 2 4 - Wiraswasta 0 0 2 0 2 0 - Buruh bangunan 0 0 0 0 0 1 - Buruh tani 0 1 0 0 2 0 - Supir 0 0 0 0 1 0 b. Pekerjaan Sampingan - Tani 1 1 2 1 8 0 - Buruh bangunan 9 0 3 1 0 - Buruh Tani 2 4 0 0 0 0 - Dagang 4 1 0 5 1 1 - Tukang Batu 2 0 0 0 1 0 - Tukang Kayu 1 0 0 0 0 0 - Kades 0 1 0 0 0 1 - Kadus 0 0 0 0 0 1 - Supir 0 1 0 0 0 0 Sumber: Diolah dari data primer, 2013 Dari tabel diketahui, sebagian besar umur petani di seluruh lokasi penelitian berada pada usia produktif yaitu pada umur antara 30 sampai dengan 59 tahun. Tingkat umur produktif berpengaruh terhadap kemajuan suatu wilayah. Ahmad dkk (2012) menyatakan semakin dominan usia produktif di suatu daerah maka akan semakin maju daerah tersebut karena penduduknya akan terus berkarya. Tingkat pendidikan di Kabupaten Seluma lebih tinggi dibanding Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Rejang Lebong. Di Kabupaten Seluma sebagian besar petani berpendidikan hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), sedangkan di Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Rejang Lebong sebagian besar petani hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan petani. Salah satu cirinya adalah tingkat keragaman pekerjaan di Kabupaten Seluma lebih tinggi yaitu 6 (enam) jenis pekerjaan utama dibanding dengan Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Rejang Lebong yang hanya memiliki 2 (dua) hingga 3 (tiga) jenis pekerjaan utama. Rata-rata pekerjaan di semua kabupaten adalah sebagai petani. Hal ini dikarenakan bertani merupakan budaya yang telah dilakukan secara turun temurun sehingga sudah menjadi suatu hal yang melekat dalam kehidupan mereka. Selain itu, tingkat pendidikan yang masih rendah dimana sebagian besar responden hanya berpendidikan hingga tingkat dasar dimungkinkan juga menjadi salah satu penyebabnya. Secara umum kondisi karakteristik petani di semua kabupaten relatif homogen. Hal ini menggambarkan tingkat adopsi petani terhadap informasi relatif seragam sehingga dapat digunakan perlakuan yang sama pada setiap kabupaten. Menurut Ahmad dkk (2012) kondisi ini juga dapat menjadi modal besar bagi penggalangan masa untuk kegiatan pengembangan hutan rakyat, dimana karakteristik yang homogen relatif lebih mudah dibina.

B. Faktor-faktor Pembatas Pengembangan Hutan Rakyat Kayu Bawang Pada umumnya, perkembangan hutan rakyat di suatu daerah dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain faktor internal yaitu faktor yang melekat pada diri masyarakat

40

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan seperti persepsi masyarakat terhadap sesuatu dan faktor eksternal yaitu faktor yang berada diluar diri masyarakat. Adapun faktor-faktor Internal dan Eksternal pada pengembangan hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu adalah sebagai berikut: 1. Faktor Internal Persepsi merupakan salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam mengambil keputusan. Menurut Leavitt (1978) Persepsi adalah bagaimana cara seseorang melihat sesuatu atau bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi terbentuk dari pengaruh lingkungan dan pengalaman yang akan menjadi dasar bagi pembentukan prilaku masyarakat. Persepsi dapat mempengaruhi masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat kayu bawang di wilayahnya karena dapat berpengaruh terhadap prilaku masyarakat dalam menanam kayu bawang. Persepsi masyarakat terhadap kayu bawang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Persepsi masyarakat terhadap kayu bawang Persentase Responden (%) Kabupaten Mukomuko Kabupaten Rejang Lebong Kabupaten Seluma Persepsi Ds. Sido Ds. Lalang Ds. Bandung Ds. Taba Ds. Ds. Bakal Makmur Luas Marga Tinggi Babatan Dalam A. Masyarakat penanam kayu bawang N=31 N=15 N=3 N=23 N=19 N=30 - Ekonomi

Sebagai tambahan 12,5 66,7 83,3 41,3 21,1 96,7 pendapatan rumah tangga Memenuhi kebutuhan 12,5 53,3 50,0 41,3 0,0 90,0 sekolah anak Untuk kebutuhan mendesak 4,2 46,7 66,7 37,0 5,3 80,0

Cepat menghasilkan diban- 8,3 53,3 16,7 50,0 0,0 0,0 ding kayu lain yang sejenis Memiliki harga jual yang 62,5 53,3 66,7 93,5 10,5 100,0 bagus - Ekologi

Dapat berfungsi untuk 4,2 40,0 100,0 100,0 0,0 73,3 penahan longsor Dapat menjaga keberadaan 4,2 46,7 100,0 100,0 0,0 100,0 sumber air B. Masyarakat Yang Belum N=4 N=16 N=27 N=16 N=11 N=0 Menanam Kayu Bawang - Ekonomi

Sebagai tambahan 20,0 37,5 27,8 40,6 36,4 0,0 pendapatan rumah tangga Memenuhi kebutuhan 10,0 25,0 42,6 40,6 0,0 0,0 sekolah anak Untuk kebutuhan mendesak 0,0 25,0 42,6 40,6 0,0 0,0

Cepat menghasilkan diban- 0,0 25,0 25,9 40,6 0,0 0,0 ding kayu lain yang sejenis Memiliki harga jual yang 10,0 25,0 51,9 84,4 0,0 0,0 bagus - Ekologi

Dapat berfungsi untuk 10,0 18,8 100,0 100,0 0,0 0,0 penahan longsor Dapat menjaga keberadaan 10,0 18,8 100,0 100,0 0,0 0,0 sumber air Sumber: Diolah dari data primer, 2013 41

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Dari Tabel 3 diketahui, Kabupaten Seluma merupakan kabupaten dengan rata-rata sebaran kayu bawang terbanyak dibanding kabupaten lainnya. Di Kabupaten Seluma sebagian besar masyarakat telah menanam kayu bawang di kebunnya, hanya sedikit masyarakat yang belum menanam kayu bawang. Bahkan di Desa Bakal Dalam seluruh responden telah menanam kayu bawang di kebunnya. Di kabupaten ini, tokoh masyarakat merupakan faktor yang paling berperan dalam pengembangan hutan rakyat kayu bawang. Peran tokoh-tokoh masyarakat dalam menyampaikan informasi yang benar mengenai kayu bawang telah membentuk persepsi positif di masyarakat. Persepsi masyarakat yang baik terhadap kayu bawang menyebabkan berkembang dengan baiknya hutan rakyat kayu bawang di kabupaten ini. Di Kabupaten Rejang Lebong, kayu bawang tidak menyebar merata tetapi hanya pada daerah-daerah tertentu. Dari tabel dapat dilihat masyarakat yang paling banyak menanam kayu bawang berada di Desa Taba Tinggi, sedangkan di Desa Bandung Marga hanya tiga orang dari keseluruhan responden yang menanam kayu bawang di kebunnya. Walaupun sebaran kayu bawang di kabupaten ini tidak merata, namun baik masyarakat yang telah menanam maupun yang belum menanam kayu bawang memiliki persepsi yang baik terhadap kayu bawang. Terhambatnya pengembangan hutan rakyat kayu bawang di kabupaten ini bukan dikarenakan pengaruh persepsi masyarakat terhadap kayu bawang, namun lebih dikarenakan kondisi lahan tempat tumbuh yang tidak sesuai. Di Desa Bandung Marga yang memiliki ketinggian lebih dari 500 m dpl kayu bawang tidak dapat tumbuh dengan baik, berbeda dengan di Desa Taba Tinggi yang memiliki ketinggian kurang dari 300 m dpl, kayu bawang dapat tumbuh dengan cepat. Faktor kesesuaian lahan diduga menjadi faktor pembatas pengembangan hutan rakyat kayu bawang di kabupaten ini. Pengembangan kayu bawang di Kabupaten Mukomuko relatif cukup merata. Kayu bawang masuk ke Kabupaten Mukomuko melalui program yang digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2005. Walaupun persepsi masyarakat terutama di Desa Sido Makmur memiliki nilai tidak sebesar di Desa Lalang Luas, namun masyarakat yang menanam kayu bawang di Desa Sido Makmur lebih banyak dibanding masyarakat di Desa Lalang Luas. Hal ini dikarenakan masyarakat berpandangan bahwa kayu bawang merupakan kayu yang berkualitas sehingga akan memiliki harga jual yang bagus. Secara umum dapat disimpulkan persepsi masyarakat di semua kabupaten baik yang telah menanam maupun yang belum menanam kayu bawang tergolong baik, dimana masyarakat menyadari selain memiliki manfaat ekonomi kayu bawang juga memiliki manfaat ekologi. Walaupun pada beberapa desa seperti di Desa Sido Makmur Kabupaten Mukomuko masih memiliki nilai persepsi yang relatif lebih kecil dibanding desa-desa lainnya namun tidak mempengaruhi masyarakat dalam menanam kayu bawang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus ini persepsi bukanlah merupakan faktor penghambat dari pengembangan hutan rakyat kayu bawang. Persepsi masyarakat dapat dirubah dengan penyampaian informasi yang benar kepada masyarakat. 2. Faktor Eksternal Kayu bawang mulai menyebar keluar daerah aslinya melalui program yang dicanangkan pemerintah yaitu melalui program Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Pengembangan Hutan sejak tahun 2003 dan Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) pada tahun 2010. Namun, walaupun berasal dari program yang sama tingkat penyebaran kayu bawang di setiap kabupaten berbeda- beda. Menurut hasil pengkajian dilapangan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat penyebaran dan pengembangan hutan rakyat kayu bawang diluar wilayah aslinya antara lain adalah ketidaksesuaian lahan, keterbatasan bibit dan kurangnya peran serta pemerintah.

42

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan a. Ketidaksesuaian Lahan Di Kabupaten Rejang Lebong, penyebaran kayu bawang tidak merata di setiap daerah. Faktor ketidak sesuaian lahan terutama ketinggian diduga menjadi faktor yang mempengaruhinya. Di Desa Bandung Marga dengan ketinggian lebih dari 500 m dpl pertumbuhan kayu bawang tergolong sangat lambat. Padahal, di daerah ini beberapa masyarakat mencoba menanam kayu bawang secara monokultur dengan menggunakan jarak tanam. Dikarenakan lambatnya pertumbuhan kayu bawang di daerah ini, masyarakat menjadi tidak tertarik untuk mengembangkan hutan rakyat kayu bawang di daerahnya. Hal berbeda terjadi di daerah lainnya dengan ketinggian kurang dari 300 m dpl. Di daerah ini kayu bawang dapat tumbuh dengan cepat bahkan dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun, kayu bawang sudah mulai belajar berbuah. Pada daerah-daerah dengan ketinggian seperti inilah kayu bawang mulai dikembangkan oleh masyarakat. b. Keterbatasan Bibit Kayu bawang merupakan jenis tanaman yang perbanyakannya dilakukan secara generatif (menggunakan biji) dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siahaan dkk, 2010. Daya kecambah benih kayu bawang yang masih segar yaitu benih yang tanpa dilakukan penyimpanan, dapat mencapai keberhasilan hingga 90%. Berdasarkan pengamatan dilapangan, saat ini sulit menemukan kayu bawang yang dapat berbuah setiap tahunnya. Menurut informasi yang diperoleh dari berbagai instansi kehutanan seperti Dinas Kehutanan dan BPPT diketahui kayu bawang di Provinsi Bengkulu Mulai mengalami kesulitan berbuah sejak tahun 2010. Kesulitan berbuah ditengarai terjadi akibat adanya perubahan iklim dimana musim panas dan musim penghujan tidak jelas lagi waktunya.

(a) (b) Gambar 2. Buah kayu bawang yang telah jatuh (a) dan buah kayu bawang yang masih terdapat di pohon (b)

Kesulitan memperoleh buah menyebabkan bibit kayu bawang menjadi terbatas yang akhirnya berdampak pada penyebaran hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu terutama di daerah-daerah pengembangannya. Di Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Rejang Lebong, dan Kabupaten Seluma, minat masyarakat untuk menanam kayu bawang sangat tinggi. Namun, dikarenakan keterbatasan informasi dan keterbatasan bibit menyebabkan tidak semua masyarakat dapat mengembangkan kayu bawang di kebunnya. c. Peran serta pemerintah Kurangnya peran serta pemerintah dalam memperkenalkan kayu bawang kepada masyarakat, menyebabkan informasi yang didapatkan masyarakat menjadi terbatas. Padahal, peran serta pemerintah terutama penyuluh dan staf teknis kehutanan yang berhubungan langsung di masyarakat merupakan ujung tombak dalam keberhasilan penyebaran hutan rakyat

43

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang kayu bawang. Hal ini terlihat dari keadaan di beberapa desa di Kabupaten Seluma dan Kabupaten Rejang Lebong dimana penyuluh dan staf teknis kehutanan berperan aktif dalam menyampaikan informasi mengenai kayu bawang dan akhirnya memiliki pengaruh nyata dalam meningkatkan minat masyarakat dalam menanam kayu bawang. Hal berbeda di tunjukkan di beberapa desa lainnya, dimana kurang adanya peran serta pemerintah dalam memperkenalkan kayu bawang di wilayahnya sehingga penyebaran kayu bawang di daerah tersebut menjadi terbatas. Masyarakat hanya mendengar informasi mengenai kayu bawang dari teman dan kerabat mereka yang telah mengetahuinya terlebih dahulu. Mereka mengharapkan adanya peran serta pemerintah untuk turut memperkenalkan kayu bawang di desanya dan juga dapat ikut memberikan bantuan bibit kayu bawang mengingat semakin sulitnya mendapatkan bibit kayu bawang saat ini.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Persepsi masyarakat terhadap kayu bawang relatif baik dimana masyarakat menyadari bahwa menanam kayu bawang tidak hanya bermanfaat secara ekonomi namun juga bermanfaat secara ekologi. Persepsi masyarakat terhadap kayu bawang menunjukkan tidak adanya faktor internal masyarakat yang menjadi penghambat dalam pengembangan kayu bawang, karena baik masyarakat yang menanam maupun yang tidak menanam kayu bawang memiliki tingkat penerimaan yang baik terhadap pengembangan hutan rakyat kayu bawang. Faktor-faktor yang membatasi penyebaran hutan rakyat kayu bawang di luar wilayah aslinya lebih kepada faktor eksternal masyarakat yaitu kesesuaian lahan, keterbatasan bibit dan kurangnya peran serta pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat kayu bawang. Untuk meningkatkan tingkat penyebaran dan pengembangan hutan rakyat kayu bawang, perlu adanya penanganan terhadap faktor-faktor yang menjadi penghambatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, B., Hasanu S., Dian D., and Tri S. W. (2012): Persepsi Petani Terhadap Pengelolaan dan Fungsi Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis. Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 1, Februari 2012, hlm. 123 – 136. Awang, S. A.., Wahyu A., Bariatul H., Wahyu T. W., dan Agus A. 2002. Hutan Rakyat: Sosial Ekonomi dan Pemasaran. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta. Leavitt, Harold J., Zarkasi M. (penerjemah). 1978. Psikologi Manajemen. Erlangga. Jakarta. Martin, E., dan Fidelia B. G. 2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Penanam Pohon Penghasil Kayu Pertukangan: Kasus Tradisi Menanam Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum BL) oleh Masyarakat Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 6 No. 2 Hal 117-134. Siahaan, H., Agus S., dan Teten R. S. 2010. Hutan Rakyat Kayu Bawang Pola Agroforestri Sebagai Pola Alternatif Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat. Prosiding Hasil Seminar Balai Penelitian Kehutanan Palembang, 2 Desember 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

44

Aspek Silvikultur

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

MANAJEMEN PEMUPUKAN UNTUK PEMBUATAN HUTAN TANAMAN Acacia mangium, PENGALAMAN PT. MUSI HUTAN PERSADA DALAM MENGELOLA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI SUMATERA SELATAN

Maydra Alen Inail1, Bambang Supriadi2 dan Rachmat Wahyono3 1 Peneliti, Divisi Litbang, PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan 2 Menejer Research and Pest Control, PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan 3 General Menejer, Research and Pest Control, PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan

ABSTRAK

Pembangunan hutan tanaman merupakan suatu alternatif utama dalam rangka penyediaan bahan baku perkayuan baik bagi industri maupun bagi kebutuhan masyarakat. PT. Musi Hutan Persada (PT.MHP) merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan jenis utama A. mangium yang ditujukan untuk memasok bahan baku bagi industri pulp. Upaya pengelolaan hutan tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi yaitu meningkatkan produksi tanaman dengan melakukan pembangunan hutan tanaman pada lahan seluas-luasnya, sedangkan pola intensifikasi yaitu meningkatkan produksi tanaman dengan mengoptimalkan berbagai aspek yang dapat menunjang produktivitas pertumbuhan tanaman per satuan luas hektar. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan hutan industri berbasis intensifikasi adalah pemakaian teknik budidaya atau silvikultur yang baik, salah satunya manajemen pemupukan. Pada tanah podsolik merah kuning, pemupukan P umumnya memberikan respons yang sangat positif, akan tetapi pemupukan nitrogen (N) pada lahan yang telah ditanami A. mangium tidak memberikan respon karena diduga ketersediaan N di dalam tanah cukup besar akibat kemampuan fiksasi N yang dilakukan tanaman. Manajemen pemupukan phosphat yang tepat dan benar akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan hutan tanaman A.mangium. Kata kunci: Acacia mangium, intensifikasi, silvikultur, manajemen pemupukan

I. PENDAHULUAN

Upaya untuk mendapatkan tegakan tanaman dengan kualitas yang tinggi, tidak terlepas dari pemakaian benih yang berkualitas tinggi juga. Walaupun demikian, dalam pengelolaan selanjutnya banyak faktor pendukung yang menjadikan tegakan menjadi berkualitas tinggi. Salah satu aspek yang paling penting adalah teknik silvikultur yang benar. Silvikultur yang dimaksudkan dalam pengelolaan hutan tanaman mencakup beberapa aspek, yaitu; lahan atau tapak, pemupukan, serta manajemen gulma. Praktek silvikultur sangat menentukan produktivitas hutan tanaman. Penyiapan lahan yang banyak merusak lapisan permukaan tanah dan serasah (biasanya dilakukan secara mekanis), hara dan vegetasi yang buruk juga memberikan kontribusi yang sangat signifikan pada produktivitas hutan tanaman yang rendah. Di luar Jawa kebanyakan hutan tanaman dikembangkan pada tanah podsolik merah kuning (Ultisol, Oxisol) yang secara alami memiliki tingkat kesuburan tanah rendah. Tanah seperti ini umumnya telah mengalami tingkat pelapukan lanjut karena suhu dan curah hujan yang tinggi. Reaksi kimia (pH) umumnya masam, cadangan hara biasanya rendah, kapasitas

47

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

pertukaran kation rendah dan kapasitas fiksasi P tinggi. Kandungan N, P, K, Ca dan Mg umumnya rendah sampai sangat rendah. Dengan demikian pada tanah seperti ini manajemen hara untuk menunjang produktivitas yang tinggi sangat penting. Acacia mangium merupakan salah satu jenis penting yang diusahakan dalam pembangunan hutan tanaman industri di Indonesia. Jenis ini mampu tumbuh baik dan menghasilkan pulp berkualitas dan kayu pertukangan. A. mangium diintroduksi di Sumatera Selatan pada tahun 1979. Jenis ini diusahakan dalam skala luas oleh PT. Musi Hutan Persada (PT. MHP) di Sumatera Selatan pada tahun 1990 (Arisman dan Hardiyanto 2006). Kondisi tanah di konsesi PT. MHP yang didominasi jenis Podsolik Merah Kuning (Ultisol dan Oxisol) dicirikan dengan rendahnya ketersediaan unsur hara, pH tanah dan base saturation. Hal ini tentunya berlawanan dengan karakter A. mangium yang memerlukan pasokan unsur hara yan tinggi, terutama unsur Phosphat pada awal pertumbuhannya. Pemupukan Phosphat (P) merupakan hal sangat penting untuk mempertahankan produktivitas hutan A. mangium sedangkan P tersedia cenderung terus menurun seiring bertambahnya umur tanaman. Pada tahun-tahun awal proses pertanaman, pengaruh pupuk P sangatlah penting untuk menjamin pertumbuhan yang optimal dari tanaman pokok. Oleh sebab itu teknik manajemen aplikasi pupuk fosfat (P) pada A. mangium yang efektif dan efisien di PT. MHP, baik itu teknik, tata waktu, maupun dosis pupuk phosphat yang diaplikasikan sangat penting untuk dipahami.

II. MANAJEMEN PEMUPUKAN P PADA Acacia mangium

1. DOSIS PEMUPUKAN P PADA Acacia mangium Studi pemupukan variasi pupuk P menunjukkan respon yang positif terhadap pemupukan phosphat. Respon kuat ini terdeteksi pada awal pertumbuhan A. mangium, yaitu sebelum tanaman menutup tajuk (Gambar 1).

Gambar 1. Pertumbuhan Acacia mangium pada berbagai dosis pemupukan P

7.0 9.0 20.0 6.5 8.0 Volume 1.5 thn 16.0 6.0 7.0 5.5 6.0 12.0 5.0 5.0 4.5 8.0 (m) Tinggi 4.0 4.0 Diameter(cm) Gemawang

Tinggi 1.5 thn Diameter 1.5 thn Volume(m3/Ha) 4.0 3.0 3.5 Lagan 3.0 2.0 0.0 0 10 40 100 200 0 10 40 100 200 0 10 40 100 200 P (kg/Ha) P (kg/Ha) P (kg/Ha)

Pertumbuhan tanaman yang diaplikasikan pupuk P menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan tanpa pemupukan P. Pada proses selanjutnya, setelah tajuk menutup pengaruh pemupukan phosphat mulai mengalami penurunan. Selanjutnya, jika dilihat pada pertumbuhan antar rotasi. Pemakaian pupuk P juga (cukup) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan A. mangium (Tabel 1).

48

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Tabel 1 . Pengaruh Pemupukan P antar rotasi A. mangium umur 1 tahun P - Level (g TSP/tan) Tinggi Diameter Rotasi 2 Rotasi 3 (m) (cm) 70 0 5.66 7.60 70 67.2 5.83 7.93 70 268 5.93 8.24 140 0 5.71 7.64 140 67.2 5.93 8.08 140 268 5.91 8.17

2. TEKNIK PENEMPATAN PUPUK P P merupakan unsur yang bersifat tidak mobile sehingga pemberiannya harus sedekat mungkin dengan sistem perakaran. Di samping itu karakter tanah Ultisol yang dicirikan dengan kandungan Fe/Al yang tinggi menyebabkan unsur P mudah terfiksasi sehingga tingkat penyerapannya oleh perakaran rendah. Penempatan pupuk phosphat tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tanaman, sampai umur 1 tahun (Gambar 4). Walaupun begitu penempatan pupuk phosphat dalam tanah dianggap sebagai teknik mudah dan cukup efektif karena pupuk tertumpuk pada satu tempat sehingga mengurangi risiko bersinggungan dengan tanah dalam jumlah banyak. Sedangkan metode pupuk dicampur dengan tanah diasumsikan pupuk menyebar dalam lubang tanam sehingga ketika sistem perakaran tanaman menyebar dapat bersinggungan dengan pupuk P, walaupun ada risiko unsur P terfiksasi oleh unsur Fe/Al sehingga mengurangi efektivitas penyerapan oleh perakaran. Metode penempatan pupuk di samping sistem perakaran merupakan metode yang mengakomodasi dua metode sebelumnya yaitu dosis pupuk dibagi menjadi dua dan diletakkan di samping sistem perakaran dengan cara tugal.

Gambar 4. Pertumbuhan Acacia mangium pada berbagai posisi penempatan pupuk P 6.0 10.0 Tinggi 1 thn Diameter 1 thn 5.0 8.0 4.0 6.0 3.0 4.0

2.0 Tinggi (m) Tinggi

1.0 Diameter(cm) 2.0 0.0 0.0 Tanpa Pupuk Lubang Tanam Samping Campur Tanah Tanpa Pupuk Lubang Tanam Samping Campur Tanah Lubang Lubang

3. LUBANG TANAM YANG BAIK UNTUK PEMUPUKAN Keberhasilan penanaman Acacia mangium dipengaruhi oleh berbagai faktor, beberapa diantaranya seperti kondisi tapak, teknik penanamannya serta penambahan berbagai perlakuan yang mendukung pertumbuhannya. Kesesuaian antara kondisi tanah dengan kondisi bibit yang akan ditanam sangat penting untuk dikaji demi menjamin keberhasilan pertumbuhannya. Pada usia muda, suatu tanaman sangat membutuhkan kondisi tanah yang gembur untuk mendukung proses penyebaran akar didalam tanah. Untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman dan penyebaran akar yang maksimal maka dibutuhkan ukuran lubang tanam yang efektif untuk mendukung pertumbuhan tanaman tersebut. Dengan posisi pupuk terdapat didalam lubang tanam, maka variasi ukuran lubang tanam juga dianggap perlu dalam menunjang pertumbuhan A. mangium yang baik. Hasil pengamatan menunjukkan jika semakin dalam dan semakin lebar lubang tanam membuat pertumbuhan 49

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

tanaman lebih baik (Gambar 5). Hal ini diindikasikan pada saat awal pertumbuhan akar tanaman lebih cepat beradaptasi.

Gambar 5. Pertumbuhan Acacia mangium pada berbagai macam ukuran lubang tanam

5.4 5.4

5.1 5.1

4.8 Tinggi 1 thn 4.8

Diameter 1 thn Tinggi (m) Tinggi

4.5 Diameter(cm) 4.5

4.2 4.2 10x10x10 15x15x20 20x20x15 20x20x20 10x10x10 15x15x20 20x20x15 20x20x20 Ukuran Lubang (cm) Ukuran Lubang (cm)

4. TATA WAKTU PEMUPUKAN P Aplikasi pupuk P (14 g P per tanaman) pada saat tanam (seluruh dosis atau hanya setengahnya) mengindikasikan bahwa pemberian pupuk P pada saat tanam memberikan res- pons pertumbuhan yang sangat positif, terutama bila dibandingkan dengan tanpa pemupukan (Gambar 5). Ketika setengah dosis pupuk P diaplikasikan pada 1, 2 atau 3 bulan setelah tanam sistem perakaran A. mangium yang bersifat lateral telah berkembang keluar dari lubang tanam dan diduga sistem perakaran tidak dapat memanfaatkan tambahan pupuk yang diberi pada radius 15 cm dari batang dengan sistem tugal. Ketika tanaman berumur 3 bulan kondisi lahan mulai ditumbuhi oleh gulma sehingga muncul persaingan memperebutkan unsur hara.

Gambar 5. Pertumbuhan Acacia mangium pada berbagai tata waktu pemupukan P 6.0 4.9 4.7 5.5 Diameter (cm) Tinggi4.5 (m) Tinggi 1 thn 5.0 Diameter 1 thn 4.3 4.1 4.5 3.9 4.0 3.7 3.5 3.5 Kontrol SOP 44gr_1bln 44gr_2bln 44gr_3bln Kontrol SOP 44gr_1bln 44gr_2bln 44gr_3bln

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa efektivitas pemupukan P dipengaruhi oleh pe- ngendalian gulma sampai dengan tajuk menutup, di samping itu efek pemupukan dapat men- stimulasi pertumbuhan gulma dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman (Turvey 2006). Pa- da dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi dan kemungkinan respons terha- dap pemupukan: 1) kebutuhan hara, 2) laju pertumbuhan, 3) efisiensi penggunaan hara dalam proses metabolismee dan 4) kemampuan mengabsorbsi hara dari tanah (Goncalves et al., 2004).

III. TANTANGAN MANAJEMEN PEMUPUKAN SELANJUTNYA

Kelestarian hasil dari pertanaman A. mangium terancam oleh adanya serangan hama monyet dengan tingkat kerusakan tanaman yang sangat besar, salah satu upaya yang diambil

50

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

dalam mengatasi pemasalahan ini adalah dengan mengganti jenis menggunakan Eucalyptus pellita. Karena dari beberapa plot penelitian tanaman E. pellita yang telah dimiliki oleh Divisi research (Litbang) menunjukkan pertumbuhan yang baik. Tantangan selanjutnya adalah untuk mengetahui manajemen pemupukan pada pengelolaan Eucalyptus pellita, baik pada lahan ex tanaman A. mangium untuk rotasi pertama maupun rotasi-rotasi berikutnya agar didapatkan produktivitas tanaman yang maksimal.

IV. KESIMPULAN

1. Pemberian pupuk P sangat berpengaruh pada pertumbuhan awal Acacia mangium. 2. Metode penempatan pupuk P pada dasar lubang tanam lebih efektif dibandingkan metode penempatan lainnya. Pemberian dosis pupuk P sekaligus pada saat tanam lebih efektif dibandingkan dengan pemberian setengah dosis dan ditambahkan setengahnya pada 1,2 atau 3 bulan setelah tanam.

PUSTAKA

Arisman, H. and Hardiyanto, E.B. 2006. Acacia mangium – a historical perspective of its cultivation. In: Potter, K., Rimbawanto, A., and Beadle, C. (eds.). Heart rot and root rot in tropical Acacia plantations. Proceedings of a workshop held in Yogyakarta, Indonesia, 7-9 February 2006. ACIAR Proceedings No. 124, Canberra. pp.11-15. Goncalves, J.L.M., Stape, J.L., Benedetti, V., Fessel, V.A.G. and Gava, J.L. 2004. An evaluation of minimum and intensive soil preparation regarding fertility and tree nutrition. In: Goncalves, J.L.M and Benedetti, V (Eds). Forest Nutrition and Fertilization. Institute of Forest Research and Study, Piracicaba, Sao Paolo. pp. 13-64 Turvey, N. 1996. Growth at age 30 months of Acacia and Eucalyptus species planted in Imperata grasslands in Kalimantan Selatan, Indonesia. Forest Ecology and Management 82:185- 195.

51

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PENINGKATAN RIAP PERTUMBUHAN TANAMAN TEMBESU MELALUI BEBERAPA PERLAKUAN SILVIKULTUR

Agus Sofyan1), Abdul Hakim Lukman1), Junaidah2) dan Nasrun3) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjar Baru 3) Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Tembesu merupakan salah sata jenis pohon lokal yang sangat populer di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Kayu tembesu umumnya digunakan untuk konstruksi berat, mebel dan ukiran. Saat ini pemakaian kayu tembesu sudah sangat berkurang dan digantikan oleh jenis-jenis kayu lainnya dengan kualitas di bawah tembesu. Hal ini disebabkan karena suplay bahan baku kayu tembesu sudah sangat sulit diperoleh. Untuk menjamin ketersediaan suplay kayu tembesu, tentunya perlu dilakukan pembangunan hutan tanaman tembesu yang bersifat produktif. Beberapa perlakuan silvikultur telah dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas (riap pertumbuhan) tanaman tembesu, yaitu pemeliharaan yang intensif, pemangkasan cabang dan penjarangan. Rerata peningkatan riap diameter melalui perlakuan pemeliharaan adalah sebesar 30,77% pada umur 3 tahun dan sebesar 23,95% pada umur 6 tahun, sementara rerata perolehan peningkatan pertambahan diameter melalui perlakuan pemangkasan adalah sebesar 23%. Sementara peningkatan pertambahan diameter yang diperoleh melalui pengaturan jarak tanam (penjarangan) sebesar 26,39% untuk pola untu walang, dan 18,94% untuk penjarangan pola baris, setelah 2 tahun penjarngan. Kata kunci: hutan tanaman, tembesu, produktif, perlakuan silvikultur, peningkatan riap

I. PENDAHULUAN

Tembesu (Fagraea fragrans) merupakan salah satu jenis yang sangat populer di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Bagian Selatan. Kayu tembesu termasuk dalam kelas awet I, kelas kuat I-II (Martawijaya dkk, 1992), sifat kayu mudah dikerjakan dengan tekstur halus (Lemmens et al., 1995). Kayu tembesu dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti industri mebel, ukiran dan konstruksi berat. Di Wilayah Sumatera Bagian Selatan, masyarakat yang menggunakan produk berbahan baku kayu tembesu, umumnya identik dengan kelompok masyarakat menengah ke atas. Pada saat ini pemakaian kayu tembesu untuk berbagai keperluan sudah sangat berkurang dan mulai digantikan oleh jenis-jenis kayu lain dengan kualitas lebih rendah dari tembesu seperti medang batu, gerunggang dan malabira. Hal ini disebabkan karena bahan baku kayu tembesu sudah sangat sulit diperoleh. Menurut Martin, dkk (2011), permintaan kayu tembesu untuk kebutuhan industri ukiran dan mebeler di kota Palembang dalam beberapa tahun terakhir mencapai sebesar 3.120 m3 per tahun. Sebagaimana penurunan potensi jenis-jenis tanaman komersial yang lain, potensi tembesu pada sebaran alaminya juga telah semakin menurun, sementara kebutuhannya semakin meningkat. Di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung) sebagian masyarakatnya telah menempatkan tembesu sebagai tanaman yang

53

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

mempunyai nilai khusus dalam pengelolaan usaha kebun mereka. Hal ini dicirikan dengan adanya upaya yang serius dalam mempertahankan tanaman (anakan alam) tembesu yang terdapat pada lahan kebun yang mereka usahakan, yaitu dengan memeliharanya secara bersama-sama dengan tanaman pokok (karet atau tanaman lainnya). Dengan pola tersebut petani akan memiliki hasil sampingan yang cukup menjanjikan tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan dalam pengelolaan usaha kebun mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan persepsi yang cukup menggembirakan, dimana sebagian kecil masyarakat/petani telah mulai melakukan penanaman tembesu dengan menggunakan materi tanaman/bibit hasil budidaya (bukan trubusan alam), baik sebagai tanaman sela maupun sebagai tanaman pokok dalam bentuk penanaman monokultur. Mengingat investasi dalam pengusahaan/pembangunan hutan tanaman, baik hutan rakyat (HR) maupun hutan tanaman rakyat (HTR) yang relatif besar dengan masa pengembalian modal (panen) yang relatif lama serta tingkat risiko yang tinggi, maka pembangunan dan pengelolaannya harus diarahkan pada usaha yang bersifat produktif. Pembangunan hutan tanaman khususnya hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat yang produktif dapat dilakukan melalui upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dan teknologi budidaya para pelaku usaha (petani), terutama hal-hal yang terkait dengan beberapa aspek seperti kesesuaian lahan, pemilihan jenis bahan, praktek-praktek silvikultur yang tepat, sesuai jenis serta mutu genetik bahan bibit yang digunakan. Dalam budidaya, petani atau pelaku usaha tidak boleh hanya ‘sekedar’ menanam dengan bahan tanaman dan pengetahuan serta teknologi ‘seadanya’, sehingga tidak diperoleh hasil yang maksimal. Dalam paper ini penulis mencoba menyajikan beberapa informasi tentang tembesu serta hasil-hasil penelitian yang terkait dengan praktek-praktek silvikultur yang dapat meningkatkan riap pertumbuhan tanaman atau tegakan tembesu.

II. PERAN SILVIKULTUR DALAM PENINGKATAN RIAP

Pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman (hutan tanaman industri, hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat) memerlukan praktek-praktek sivikultur yang tepat, sehingga diperoleh pertumbuhan tanaman atau tegakan yang optimal. Praktek-praktek silvikultur tersebut dilakukan dalam rangka upaya memberi ruang dan peluang pertumbuhan yang optimal. Peran dan pengaruh nyata dari praktek-praktek silvikultur terhadap peningkatan riap pertumbuhan tanaman/tegakan telah banyak dilaporkan, begitu pula peran benih unggul dalam mencapai pertumbuhan tegakan yang maksimal. Beberapa hal penting dalam pembangunan hutan tanaman antara lain adalah: 1. Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan (antara jenis dan tapak) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap hasil pertumbuhan tanaman, karenanya informasi kesesuaian lahan yang terkait dengan per- syaratan tumbuh jenis-jenis yang akan dikembangkan/dibudidayakan menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui. Menurut Shelbourne (1972), Zobel dan Talbert (1984) per- tumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tumbuh (edafis) dan faktor iklim (klimatis). Hal senada juga dikemukakan oleh Foth dan Turk (1994) yang menya- takan bahwa pada dasarnya tanaman yang tumbuh di atas tanah tergantung pada kondisi tanahnya sebagai tempat tersedianya air dan unsur-unsur hara serta kondisi iklim yang me- rupakan pendukung utama dalam proses pertumbuhan tanaman. Kegagalan program/ kegiatan penanaman seringkali disebabkan oleh faktor ketidaksesuaian jenis dengan kondisi

54

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

tapaknya. Salah satu contoh kasus yang sangat nyata adalah kegagalan pertumbuhan dalam penanaman jati yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir di sebagian besar wilayah Sumatera. Menurut Hardiyanto (2005), ketidaksesuaian lahan menyebabkan produktivitas hutan tanaman tidak optimal bahkan dalam banyak kasus dapat mengalami kegagalan. 2. Manipulasi lingkungan Dalam konsep silvikultur intensif, upaya manipulasi lingkungan melalui praktek-praktek silvikultur yang ditujukan untuk memacu pertumbuhan tanaman, saat ini sudah menjadi suatu tuntutan yang harus dilakukan. Penggunaan dan pemilihan media, pemupukan (jenis dan dosis) yang tepat pada tingkat pembibitan dan pada tingkat penanaman, harus dilakukan pemeliharaan dan pengolahan lahan pada pertumbuhan awal karena akan sangat menentukan hasil pertumbuhan tanaman/tegakan pada periode lanjutannya. Menurut Suparna (2005) dan Soekotjo (2009), penyiapan lahan, pemberian unsur hara serta pemeliharaan tanaman merupakan hal penting dalam upaya peningkatan produktivitas tegakan. Hal senada juga dikemukakan oleh Purwita dan Supriadi (2010), bahwa pemeliharaan tanaman yang disertai dengan pemupukan yang tepat telah menghasilkan peningkatan produktivitas (volume) yang nyata pada tegakan Acacia mangium. 3. Materi atau bahan tanaman Pertumbuhan tanaman merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan (Zobel dan Talbert, 1984). Peningkatan produktivitas pertumbuhan tegakan, selain dapat dicapai melalui praktek-praktek silvikultur yang tepat, juga sangat ditentukan oleh materi tanaman (mutu genetik). Peningkatan riap pertumbuhan melalui pemanfaatan benih bermutu telah banyak dilaporkan. Beberapa contoh peningkatan riap pertumbuhan/volume dalam pembangunan hutan tanaman melalui penggunaan benih bermutu (genetik) antara lain adalah, peningkatan riap pertumbuhan jenis Eucalyptus hybrid dari 26 m3/ha/th menjadi 42-50 m3/ha/th di Brazil dan Congo, serta peningkatan volume sebesar 7-12% pada generasi pertama untuk jenis Pinus taeda di Amerika Selatan (Hardiyanto, 2007 dalam Sofyan, 2009).

III. PENINGKATAN RIAP PERTUMBUHAN TANAMAN TEMBESU

Tembesu termasuk dalam kelompok tanaman/pohon yang mempunyai pertumbuhan relatif lambat, dengan bentuk batang yang cenderung tidak lurus pada pertumbuhannya secara alami serta jumlah cabang yang sangat banyak dan sukar luruh (Gambar 1 dan 2). Tembesu termasuk jenis yang sukar melakukan peluruhan atau prunning secara alami (self prunning rendah). Dalam rangka meningkatkan riap pertumbuhan serta bentuk batang jenis tembesu yang optimal, maka telah dilakukan serangkaian penelitian beberapa perlakuan silvikultur dan telah diperoleh hasil yang cukup menggembirakan.

Gambar 1. Percabangan tanaman muda Gambar 2. Percabangan tanaman Umur

55

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

5 tahun (cabang tidak luruh) Beberapa hasil yang telah diperoleh dalam penelitian tembesu, antara lain adalah: 1. Peningkatan kualitas bentuk batang Pertumbuhan tanaman tembesu secara alami, seringkali menghasilkan batang dengan bentuk yang tidak lurus dan cenderung bengkok, dengan jumlah percabangan yang sangat banyak. Kondisi pertumbuhan yang demikian sangat berpengaruh terhadap nilai jual kayu tembesu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tembesu tidak mempunyai sifat peluruhan cabang secara alami yang baik (self prunning rendah) sebagaimana disajikan dalam Gambar 3, karenanya untuk memperoleh pertumbuhan dan bentuk batang yang baik, harus dilakukan pemangkasan cabang secara intensif sejak pertumbuhan awalnya (Gambar 4). Dengan pemangkasan yang tepat, baik waktu pemangkasan maupun intensitasnya (40% - 50%), selain akan diperoleh bentuk batang yang baik (lurus dan tidak mengandung mata kayu yang besar), juga diperoleh peningkatan riap pertumbuhan tanaman/tegakan.

Gambar 3. Percabangan tembesu Gambar 4. Perlakuan Pemangkasan tanpa pemangkasan

2. Peningkatan Riap Pertumbuhan Tinggi dan Diameter Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman/tegakan tembesu adalah pemeliharaan yang intensif berupa pemangkasan cabang serta penjarangan tanaman. Hasil yang telah diperoleh dari penerapan perlakuan tersebut, selengkapnya disajikan dalam Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 1. Rerata riap pertumbuhan tembesu pada status pemeliharaan dan lokasi yang berbeda Jarak Riap Umur Kerapatan No tanam Diameter Tinggi Lokasi Pengelola (tahun) (N/ha) (m x m) (cm/th) (m/th) Muara BPK 1 3 3 x 2 1666 2,38 1,70 Enim Palembang Muara BPK 2 4 3 x 2 1666 2,28 1,65 Enim Palembang Muara BPK 3 5 3 x 2 1666 2,52 2,02 Enim Palembang Muara BPK 4 6 3 x2 1666 2,07 1,71 Enim Palembang 5 3 3 x 3 1111 1,82 1,82 OKU Timur Masyarakat 6 6 3 x 3 1111 1,67 1,71 OKU Timur Masyarakat

56

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa status pemeliharaan tanaman pada fase pertumbuhan awal (setelah penanaman sampai dengan umur 2-3 tahun) seperti penyiangan gulma, intensitas dan frekuensi penyiangan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tegakan tanaman tembesu. Rerata riap pertumbuhan tegakan tembesu yang dikelola secara lebih intensif menghasilkan rerata nilai yang lebih tinggi dibanding dengan rerata pertumbuhan tegakan yang dikelola masyarakat, baik pada umur 3 tahun maupun umur 6 tahun. Tegakan yang dikelola secara intensif mempunyai nilai rerata riap pertumbuhan 30,77% lebih tinggi (2,38 cm/tahun) dibanding dengan rerata riap pertumbuhan diameter tanaman yang dikelola masyarakat dengan rerata sebesar 1,82 cm/tahun. Sementara rerata peningkatan pertumbuhan diameter pada umur 6 tahun sebesar 23,95% yaitu dari rerata diameter sebesar 1,67 cm/tahun menjadi 2,07 cm/tahun. Berbeda dengan rerata pertumbuhan diameter yang mengalami peningkatan cukup besar yaitu 23,95% - 30,77%, rerata riap pertumbuhan tinggi nampak tidak memberikan hasil pertumbuhan yang berbeda baik pada umur 3 tahun maupun umur 6 tahun. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemeliharaan tanaman pada awal pertumbuhan (1-3 tahun) sangat penting dilakukan dalam rangka pencapaian pertumbuhan tanaman yang optimal. Sebagaimana status pemeliharaan tanaman, upaya peningkatan riap pertumbuhan ta- naman juga dapat dilakukan melalui perlakuan silvikultur yang lain, seperti pemangkasan dengan tingkat/intensitas yang tepat (Viquez dan Perez, 2005). Hasil penelitian pemangkasan dengan intensitas pemangkasan sebesar 40% dan 50%, ternyata telah menghasilkan rerata per- tumbuhan (pertambahan) diameter (dbh) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan kontrol atau tanpa pemangkasan serta pemangkasan dengan intensitas sebesar 60%, yaitu masing-masing sebesar 2.08 cm/tahun dan 2.09 cm/tahun, sementara perolehan rerata riap diameter pada perlakuan kontrol dan pemangkasan dengan intensitas sebesar 60% masing-masing sebesar 1,69 cm/tahun dan 1,87 cm/tahun, sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Dari hasil ini nampak bahwa melalui perlakuan pemangkasan cabang tanaman tembesu sebesar 40% dan 50%, telah dapat meningkatkan rerata riap pertumbuhan masing-masing sebesar 23,07% dan 23.67% lebih tinggi dibanding kontrol. Pengaruh pemangkasan terhadap pertambahan tinggi tanaman tembesu setelah satu tahun pemangkasan, tidak memberikan pengaruh/hasil yang nyata, namun demikian nilai pertambahannya masih lebih tinggi dari perlakuan kontrol (Tabel 2). Tabel 2. Rerata pertambahan dan riap pertumbuhan tembesu sebagai respon dari perlakuan pemangkasan Intensitas Tinggi (m) Diameter (cm) Pemangkasa 2 th 3 th Δ Riap 2 th 3th Δ Riap n Kontrol (0%) 2.86 4.75 1.89 1.58 4.47 6.16 1.69 2.05 40% 3.38 5.44 2.06 1.81 5.67 7.75 2.08 2.58 50% 3.32 5.27 1.95 1.76 5.52 7.61 2.09 2.54 60% 3.40 5.40 2.00 1.80 5.27 7.14 1.87 2.38 Rerata 3.24 5.23 1.97 1.74 5.23 7.25 1.93 2.39 Keterangan: 40% : intensitas pemangkasan 40% dari tinggi total, sisa tinggi tajuk 60% Δ : pertambahan tinggi dan diameter setelah satu tahun dipangkas Sebagaimana halnya dengan perolehan rerata pertambahan diameter dan tinggi, rerata riap tahunan (umur 3 tahun) pada perlakuan pemangkasan 40% dan 50% juga menunjukkan ha- sil riap tinggi masing-masing sebesar 14,56% dan 11,39% lebih tinggi dari perlakuan kontrol, se-

57

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

mentara riap diameternya 25,85% dan 23,90% lebih tinggi dari kontrol. Dengan hasil tersebut di atas, selain diperoleh meningkatkan riap pertumbuhan tanaman, dengan perlakuan pemang- kasan juga akan dihasilkan batang bebas cabang yang lebih tinggi ± 7 m (Gambar 4), sedangkan yang tidak dipangkas ± 1 m (Gambar 2). Dengan perlakuan pemangkasan tersebut jumlah mata kayu menjadi berkurang, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan nilai ekonomi kayu. Selain diperoleh melalui pemeliharaan yang intensif dan pemangkasan, peningkatan riap pertumbuhan tanaman tembesu juga diperoleh pada perlakuan penjarangan yang dilakukan pada umur 4 tahun. Melalui perlakuan penjarangan yang dilakukan dengan beberapa pola yaitu penjarangan pola tebang baris, untu walang (berselang) dan kontrol (tanpa penjarangan), ternyata setelah 2 tahun perlakuan (umur tanaman 6 tahun), penjarangan dengan pola untu walang menghasilkan rerata pertumbuhan (pertambahan diameter) lebih tinggi dibanding dua perlakuan lainnya. Tabel 3 menunjukkan bahwa penjarangan dengan pola untu walang dan pola tebang baris setelah 2 tahun perlakuan penjarangan memberikan rerata pertumbuhan diameter yang lebih tinggi yaitu masing-masing 4,07 cm (meningkat 26,39%) dan 3,83 cm (meningkat 18,94%) dibanding dengan perlakuan kontrol. Dampak dari peningkatan pertumbuhan diameter tersebut adalah meningkatnya riap diameter pada penjarangan pola untu walang dan tebang baris, masing-masing 5,64% dan 4,27% lebih tinggi dari kontrol. Perlakuan penjarangan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi. Tabel 3. Pertumbuhan dan riap tinggi dan diameter tembesu sebagai respon dari beberapa pola penjarangan Tinggi (m) Diameter (cm) Penjarangan 6 th Δ Riap 6 th Δ Riap Kontrol 10.24 3.72 1.71 12.41 3.22 2.07 Untu walang 10.09 3.34 1.68 13.11 4.07 2.19 Tebang baris 10.61 4.10 1.77 12.94 3.83 2.16 Rerata 10.31 3.72 1.64 12.82 3.71 2.03 Keterangan: Δ : Pertambahan tinggi dan diameter setelah 2 tahun dijarangkan

Dari hasil-hasil sebagaimana diuraikan di atas nampak bahwa dengan pemeliharaan intensif, pemangkasan cabang serta penjarangan telah diperoleh rerata riap pertumbuhan yang lebih baik. Hasil ini masih dapat ditingkatkan lagi, yaitu melalui penggunaan meteri atau bahan tanaman (benih/bibit) bermutu hasil seleksi. Pengadaan bibit bermutu dapat dilakukan mulai tahap pemilihan atau seleksi pohon-pohon induk (mother tree), dilanjutkan dengan seleksi pada tingkat buah dan benihnya, dengan memilih buah atau benih yang telah masak secara fisiologis, berukuran besar dan sehat. Tindakan seleksi kemudian dilanjutkan pada tingkat kecambah atau semai dan tingkat bibit, dengan memilih semai atau bibit yang mempunyai pertumbuhan (vigor) dan penampilan yang baik. Langkah lain untuk mendapatkan bibit unggul adalah dengan cara memanfaatkan bahan vegetatif (klon) yang berasal dari pohon-pohon induk yang unggul sebagai bahan tanaman. Dalam jangka panjang peningkatan riap pertumbuhan yang maksimal dapat dicapai melalui serangkaian program-program pemuliaan di samping mealui praktek-praktek silvikultur. Oleh karena itu secara bersamaan harus dibangun sumber-sumber benih jenis-jenis yang akan dikembangkan.

58

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

IV. PENUTUP

Pembangunan hutan tanaman (hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, hutan tanaman industri) yang produktif harus ditunjang dengan praktek-praktek silvikultur yang tepat sesuai jenis, pemeliharaan yang intensif, pemangkasan cabang serta pengaturan jarak tanam (melalui penjarangan) sehingga dapat meningkatkan rerata riap pertumbuhan tanaman tembesu.

DAFTAR PUSTAKA

Foth, H.D. dan L.M. Turk. 1994. Fundamental of Soil Science. Sixth Edition. John Willey and Sons. Inc. New York. Hardiyanto, E. B. 2005. Beberapa Isu Silvikultur dalm Pengembangan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. Yogyakarta, 26-27 Mei 2005. pp: 121-132. Fakultas Kehutanan UGM dan ITTO. Yogjakarta. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong. 1995. Plant Resources of South East Asia 5 (2) Timer Tress: Minor Comercial timbers. PROSEA. Bogor, Indonesia. Martawijaya, A., I. Kartasujana., Y. I. Mandang, S. A. Prawira dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indoneisa Jilid II Balitbang Kehutanan. Bogor. Martin, E, Premono, B.T, Baktiawan, A. 2011. Laporan Penelitian Teknik Budidaya Tembesu: Status Pembudidayaan Tembesu. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Purwita, T. dan B. Supriadi. 2010. Pembangunan Hutan Tanaman Industri Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Makalah pada Diskusi Multi Pihak Peran Litbang dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman di Sumatera Selatan. Palembang. Shelbourne. 1972. Genotype Environment Interaction : Its Study and its Implications in Forestry Improvement. Proc. IUFRO Genetics –Sabrao Joint Symposia. Tokyo Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. Yogjakarta. Suparna, N. 2005. Meningkatkan Produktivitas Kayu dari Hutan Alam dengan Penerapan Silvikultur Intensif di PT. Sari Bumi Kusuma, Unit Seruyan. Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan: 30-47. Fakultas Kehutanan UGM dan ITTO. Yogjakarta. Sofyan, A. 2009. Silvikultur Intensif Dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian ‘Peran IPTEK dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Palembang, 2 Desember 2009. Viquez, E. dan D. Perez. 2005. Effect of Pruning on Tree Growth, Yield, and Wood Properties of Tectona grandis Plantations in Costa Rica. Silva Fennica 39(3): 381-390. Zobel dan Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Willey and Sons. New York.

59

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU

Hengki Siahaan dan Agus Sumadi Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Pengembangan kayu bawang dalam bentuk hutan rakyat telah berkembang di Provinsi Bengkulu. Pola penanaman yang dilakukan pada umumnya adalah bentuk agroforestri dengan pengelolaan yang beragam sehingga pertumbuhan dan produktivitas yang diperoleh juga beragam. Untuk memperoleh hasil yang optimal dan pengelolaan yang lestari, maka perlu dilakukan penilaian pertumbuhan dan produktivitas pada setiap bentuk agroforestri yang sedang berkembang. Hasil penilaian menunjukkan bahwa produktivitas hutan rakyat pada pola monokultur adalah 22,03 m3/ha/tahun, sedangkan pada pola agroforestri masing-masing adalah 14,66 m3/ha/tahun, 13,15 m3/ha/tahun, 12,83 m3/ha/tahun, dan 14,17 m3/ha/tahun masing-masing pada pola tumpangsari, agroforestri kayu bawang + kopi, kayu bawang + kakao, dan kayu bawang + sawit. Walaupun pada pola agroforestri, hasil kayu yang diperoleh lebih kecil, namun pola ini tidak merugikan petani karena dapat memberi hasil yang rutin, berupa hasil tanaman semusim seperti empon-emponan, ubi kayu, ataun hasil tanaman perkebunan seperti kopi, kakao, dan sawit. Kata kunci: kayu bawang, agroforestri, produktivitas

I. PENDAHULUAN

Pengembangan kayu bawang oleh masyarakat di Provinsi Bengkulu umumnya dilakukan dalam bentuk agroforestri. Pengembangan jenis ini lebih dikenal sebagai hutan rakyat, karena dikembangkan pada lahan milik masyarakat. Kayu bawang merupakan salah satu jenis cepat tumbuh (Apriyanto, 2003) dan telah dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan (Dishut Provinsi Bengkulu, 2003). Budidayanya telah luas dilakukan karena jenis ini cukup adaptif dikembangkan pada berbagai kondisi lahan. Pemilihan pola tanam dalam bentuk agroforestri merupakan salah satu bentuk strategi petani untuk memperoleh pendapatan yang kontinyu dari bidang lahan yang dikelolanya. Hasil berupa kayu baru dapat diperoleh pada akhir daur yang biasanya mencapai 10 tahun atau lebih, sehingga perlu menanam tanaman lain yang dapat memberikan hasil yang lebih cepat dan kontinyu. Namun demikian, di beberapa lokasi juga dijumpai pengembangan dalam bentuk monokultur. Pemilihan pola tanam, baik dalam bentuk agroforestri maupun monokultur sangat berkaitan dengan profesi, pengetahuan dan pengalaman pemilik. Pemilik yang berprofesi sebagai petani cenderung mengembangkan tanaman dalam bentuk agroforestri dengan pilihan tanaman sela sesuai dengan kebiasaan yang telah dilakukan turun-temurun, seperti kopi, karet, kakao, ataupun sawit. Pemilik yang tidak berprofesi sebagai petani cenderung mengembangkan pola monokultur. Pola ini umumnya dikembangkan oleh pemilik lahan yang mempunyai modal usaha yang cukup besar. Tujuan pengusahaannya lebih dimaksudkan sebagai investasi dan pembuatan tanaman sebagai tanda kepemilikan lahan.

61

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Pengembangan hutan tanaman pada lahan milik (hutan rakyat) dilakukan dengan berbagai variasi pengelolaan, baik ditinjau dari aspek silvikultur seperti pola tanam dan kerapatan tegakan maupun aspek lingkungan seperti ketinggian tempat lokasi pengembangan, iklim, maupun kesuburan lahan. Bervariasinya pengelolaan ini, mengakibatkan pertumbuhan dan produktivitas yang diperoleh juga bervariasi. Untuk memperoleh hasil yang optimal dan pengelolaan yang lestari, maka perlu dilakukan penilaian pertumbuhan dan produktivitas pada setiap bentuk agroforestri yang sedang berkembang di masyarakat. Tulisan ini menyajikan hasil penilaian pertumbuhan dan produktivitas agroforestri kayu bawang yang dikembangkan di Provinsi Bengkulu. Sesuai dengan visi penelitian agroforestri, yaitu meluasnya praktek agroforestri sebagai sistem penggunaan lahan terpadu yang dapat meningkatkan produktivitas lahan (Rohadi dkk, 2013), maka tulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai perangkat pengelolaan agroforestri berbasis kayu bawang yang berkembang di Provinsi Bengkulu. Upaya ini diharapkan dapat mendorong semakin besarnya peran hutan rakyat kayu bawang sebagai salah satu penyedia kayu. Hal ini sejalan dengan kebijakan nasional untuk meningkatkan peran hutan rakyat sebagai penyedia kayu yang bersifat ekologis dan ekonomis (Effendi, 2012).

A. Bentuk-bentuk Agroforestri Pengembangan Hutan Rakyat Bentuk-bentuk agroforestri yang berkembang di masyarakat merupakan implementasi pengetahuan budidaya yang dimiliki oleh petani. Petani yang memiliki pengetahuan budidaya tanaman perkebunan tertentu, akan mengembangkan agroforestri tanaman kehutanan dengan tanaman tersebut. Oleh karena itu, variasi pengetahuan budidaya petani akan mengakibatkan beragam pula bentuk agroforestri yang dikembangkan. Sebelum introduksi tanaman kayu pada lahan milik dilakukan melalui berbagai kebijakan pemerintah, petani di Provinsi Bengkulu pada umumnya membudidayakan komoditas perkebunan seperti kopi, karet, kakao dan sawit (Siahaan dkk, 2011). Setelah tanaman kayu mulai diadopsi dalam bentuk hutan rakyat, komoditas tersebut tidak ditinggalkan, tetapi tetap dipertahankan dengan mengembangkan pola-pola agroforestri, sehingga secara tidak langsung pola agroforestri berkembang luas. Secara garis besar agroforestri pada hutan rakyat di Provinsi Bengkulu dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, pertama agroforestri dengan tanaman semusim (tumpangsari), agroforestri dengan tanaman perkebunan, dan agroforestri campuran yang mengkombinasikan beberapa jenis pohon dengan tanaman perkebunan. Pada pola tumpangsari, petani menanan jenis-jenis tanaman semusim di antara tanaman berkayu seperti cabe, kacang tanah, nanas, dan empon-emponan. Sedangkan pada pola agroforestri dengan tanaman perkebunan, tanaman pohon ditanam dengan pola tertentu dengan salah satu dari jenis tanaman perkebunan seperti kopi, karet, kakao, dan sawit (Tabel 1 dan Gambar 1). Tabel 1. Bentuk-bentuk pola tanam dan lokasi pengembangan hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu Daerah pengembangan No Pola tanam Deskripsi pengelolaan (jumlah lokasi) 1. Monokultur Kayu bawang ditanam tanpa tanaman sela Bengkulu Selatan, Seluma (4 lokasi)

2. Tumpangsari Kacang-kacangan, cabe, empon-emponan, Bengkulu Tengah kayu bawang nanas ditanam di bawah kayu bawang (2 lokasi)

62

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Daerah pengembangan No Pola tanam Deskripsi pengelolaan (jumlah lokasi) 3. Kayu bawang + Kayu bawang ditanam diantara jalur kopi. Bengkulu Utara, Rejang Kopi Penanaman umumnya dilakukan secara Lebong dan Kepahiang bersamaan (9 lokasi) 4. Kayu bawang + Kayu bawang ditanam diantara tanaman Bengkulu Tengah kakao kakao. Penanaman dilakukan secara Rejang Lebong bersamaan (2 lokasi) 5. Kayu bawang + Penanaman kayu bawang dan karet Bengkulu Tengah Karet dilakukan pada jalur yang berbeda Bengkulu Utara (2 lokasi) 6. Kayu bawang + Kayu bawang umumnya ditanam secara Bengkulu Selatan Seluma sawit jalur atau jalur berseling diantara tanaman (4 lokasi) sawit

Gambar 1. Pola-pola agroforestri kayu bawang yang dikembangkan di berbagai lokasi di Provinsi Bengkulu

63

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

B. Pertumbuhan dan Produktivitas Agroforestri Kayu Bawang 1. Pertumbuhan diameter dan tinggi Proyeksi pertumbuhan diameter kayu bawang (Gambar 1, Tabel 2) didasarkan pada model pertumbuhan tegakan pada masing-masing pola tanam, baik monokultur maupun agroforestri. Gambar 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter pada pola monokultur lebih besar dibanding tiga pola agroforestri lainnya, yaitu pola agroforestri kayu bawang + kopi, kayu bawang + kakao, dan pola tumpangsari. Ketiga pola tanam ini menunjukkan pertumbuhan diameter yang relatif sama. Pada pola monokultur, persaingan ruang tumbuh hanya terjadi antar pohon kayu bawang, sehingga pada kerapatan tegakan yang sama persaingan yang terjadi akan lebih ringan dibanding ketiga pola tanam lainnya, dimana kayu bawang juga mengalami persaingan dengan tanaman sela. Tabel 2. Riap diameter, tinggi, dan volume tegakan kayu bawang pada berbagai pola tanam Riap diameter Riap tinggi Riap volume No. Pola tanam (cm/tahun) (meter/tahun) (m3/ha/tahun) 1. Monokultur 2,17 1,60 22,03 2. Tumpangsari 1,44 1,56 14,66 3. Kayu bawang + kopi 1,68 1,49 13,15 4. Kayu bawang + kakao 1,65 1,53 12,83 5. Kayu bawang + sawit 2,56 1,97 14,17

Pertumbuhan diameter yang paling besar terjadi pada pola agroforestri kayu bawang + sawit. Pada pola ini tanaman sawit dihitung sebagai bagian dari kerapatan tegakan, sehingga pada kerapatan yang sama persaingan antar pohon (kayu bawang) lebih sedikit dibanding pola lainnya. Hal ini juga berarti bahwa persaingan antar pohon lebih berat dibandingkan persaingan antara pohon dengan tanaman sawit, karena pada pohon yang berdampingan, ruang tumbuh dan unsur hara yang dibutuhkan relatif sama, sedangkan antara pohon dengan sawit, ruang tumbuh dan unsur hara yang dibutuhkan relatif berbeda. Misalnya pada sistem perakaran, akar tanaman sawit lebih memanfaatkan lapisan tanah bagian atas sedangkan pohon lebih memanfaatkan lapisan yang lebih dalam. Demikian pula pada sistem tajuk, tajuk kayu bawang berada pada posisi yang lebih tinggi (dapat mencapai 30 m) dibanding tajuk sawit yang menempati posisi yang lebih rendah.

Diameter (cm) Tinggi (m) 40 30 Monokultur Monokultur Tumpangsari Tumpangsari 25 Kayu bawang + kopi Kayu bawang + kopi 30 Kayu bawang + coklat Kayu bawang + kakao Kayu bawang + sawit 20 Kayu bawang + sawit

20 15

10 10

5

0 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Umur (tahun) Umur (tahun)

Gambar 2. Proyeksi pertumbuhan tinggi dan diameter tegakan kayu bawang pada lima pola tanam yang berbeda

64

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Proyeksi pertumbuhan tinggi tegakan kayu bawang (Gambar 2) menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tinggi kayu bawang relatif sama pada semua pola tanam. Pertumbuhan tinggi lebih dipengaruihi oleh kualitas tempat tumbuh (Si) dan relatif tidak dipengaruhi komposisi maupun kerapatan tegakan. Pertumbuhan tinggi pada pola kayu bawang + sawit terlihat lebih besar dibanding pola lainnya adalah karena jumlah plot yang digunakan untuk menyusun model hanya sedikit (3 plot) dan mempunyai kualitas tempat tumbuh yang tinggi. Sehingga variasi kualitas tempat tumbuh plot yang digunakan lebih rendah. 2. Pertumbuhan volume dan daur optimal Kecenderungan pertumbuhan volume tegakan kayu bawang (m3/ha) mempunyai dua pola yang berbeda. Pada pola monokultur dan pola kayu bawang + sawit, grafik pertumbuhan masih cenderung meningkat sedangkan pada tiga pola tanam lainnya cenderung mendatar setelah umur 8 tahun. Pada pola monokultur, tidak adanya persaingan dari tanaman sela, mengakibatkan persaingan lebih ringan dibanding pola lainnya. Pada pola agroforestri kayu bawang + sawit, volume cenderung meningkat terutama setelah umur 8 tahun, karena persaingan yang lebih ringan antara pohon dengan tanaman sawit. Pada Gambar 3 juga terlihat bahwa produktivitas kayu pada pola monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan pola agroforestri. Namun demikian produktivitas total pada pola agroforestri tidak dapat dikatakan lebih rendah, karena pada pola agroforestri diperoleh hasil tambahan dari tanaman sela sesuai dengan pola yang dikembangkan. Hasil dari tanaman sela ini dapat dipanen secara rutin, yang dapat memenuhi kebutuhan pengelola sebelum panen kayu diperoleh. Riap tegakan merupakan pertambahan volume tegakan per periode waktu tertentu, biasanya digunakan periode satu tahun. Terdapat dua terminologi riap yang umum digunakan, yaitu riap tahunan berjalan (current anual increment disingkat CAI) dan riap tahunan rata-rata (mean anual increment disingkat MAI). Proyeksi grafik (kurva) CAI dan MAI dengan umur tegakan dijadikan sebagai dasar penentuan daur tegakan optimum (berdasarkan volumen terbesar). Daur optimum tegakan diperoleh pada saat terjadi perpotongan grafik CAI dan MAI, yaitu tepat pada saat nilai CAI akan lebih rendah dari MAI. Pada titik perpotongan tersebut, pertambahan volume dari tahun sebelumnya sama dengan rata-rata pertambahan volume hingga tahun tersebut. Perpotongan kurva CAI dan MAI akan berbeda pada pola tanam yang berbeda. Pada Gambar 4 disajikan kurva CAI dan MAI pada pola tanam monokultur dan pola agroforestri kayu bawang + kakao. Pada pola monokultur perpotongan kurva terjadi pada umur 13 tahun, berbeda dengan pola agroforestri kayu bawang + kakao yang terjadi pada umur 9 tahun. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan tingkat kompetisi pada kedua pola tanam walaupun ditanam dengan kerapatan yang sama. Pada pola tanam kayu bawang + kakao, terjadi persaingan yang lebih keras dengan kehadiran tanaman kakao, sehingga penurunan riap tahunan lebih cepat terjadi.

65

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Vol (m3/ha) 350 Monokultur 300 Tumpangsari Kayu bawang + kopi 250 Kayu bawang + coklat Kayu bawang + sawit 200

150

100

50

0

0 2 4 6 8 10 12 14 16 Umur (tahun) Gambar 3. Proyeksi pertumbuhan volume tegakan kayu bawang pada lima pola tanam yang berbeda

Riap (m3/ha/thn) Riap (m3/ha/thn) 35 20 CAI CAI 30

25 15

20

10 15 MAI MAI

10 5 5

0 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Umur (tahun) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Umur (tahun) Gambar 4. Kurva CAI dan MAI pada pola monokultur (kiri) dan pola agroforestri kayu bawang + kakao

C. Proyeksi Pertumbuhan Tegakan pada Berbagai Kerapatan Pengaturan kerapatan akan mempengaruhi pertumbuhan suatu tegakan. Karakter pertumbuhan individu pohon yang secara konsisten menunjukkan peningkatan apabila ditanam dengan kerapatan yang lebih renggang adalah diameter. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh kompetisi antar pohon sehingga pemberian ruang tumbuh yang semakin luas akan mengakibatkan pertumbuhannya semakin meningkat. Tegakan yang mempunyai kerapatan yang lebih renggang atau tegakan yang sebelumnya dijarangi akan mempunyai rata-rata diameter tegakan yang lebih tinggi dibandingkan tegakan yang rapat atau yang tidak dijarangi (Clutter et al., 1983). Volume per satuan luas yang dihasilkan suatu tegakan akan semakin besar dengan semakin rapatnya tegakan hingga kerapatan tertentu, sedangkan pertumbuhan diameter akan semakin berkurang. Di sisi lain, kayu yang diperoleh dapat dimanfaatkan jika memenuhi ukuran diameter tertentu, oleh karena itu pengaturan kerapatan tegakan merupakan strategi penting dalam pengelolaan hutan tanaman penghasil kayu (Davis et al., 2001). Pada penggunaan kayu untuk kayu pertukangan, biasanya diperlukan ukuran diameter kayu di atas 30 cm. Rendemen penggergajian kayu akan semakin besar dengan semakin besarnya ukuran diameter kayu, sehingga semakin besar ukuran kayu yang dipanen, maka efisiensi pemanfaatan kayu akan semakin besar.

66

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Diameter (cm) Volume (m3/ha) 35 400 D300 30 V300 D500 V500 D700 300 25 V700

20 200 15

10 100

5

0 0

0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Umur (tahun) Umur (tahun) Gambar 5. Grafik pertumbuhan diameter (kiri) dan volume (kanan) tegakan monokultur kayu bawang pada kerapatan tegakan yang berbeda Proyeksi pertumbuhan diameter tegakan kayu bawang pola monokultur pada tiga kerapatan yang berbeda (Gambar 5) dapat dijadikan sebagai contoh dalam penetapan kerapatan tegakan dan waktu panen. Pada umur 12 tahun, dengan kerapatan tegakan 300, 500, dan 700 pohon/ha akan diperoleh kayu dengan volume yang makin besar, yaitu 238,56 m3/ha; 264,31 m3/ha; dan 282,76 m3/ha tetapi dengan ukuran diameter rata-rata yang semakin kecil, yaitu 31,09 cm; 26,04 cm; dan 23,17 cm. Jika hasil panen yang dapat dimanfaatkan harus memenuhi persyaratan diameter lebih dari 30 cm dan panen dilakukan pada umur 12 tahun, maka sejak awal, penanaman harus dilakukan dengan kerapatan 300 pohon/ha. Jika penanaman dilakukan dengan kerapatan yang lebih besar, maka waktu yang diperlukan untuk mencapai diameter tersebut akan lebih lama.

V. PENUTUP

Sejalan dengan meningkatnya peran hutan rakyat dalam pemenuhan kayu pertukangan, maka peningkatan produktivitas agroforestri berbasis kayu bawang yang telah berkembang di Provinsi Bengkulu perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil penilaian, produktivitas tegakan (kayu) saat ini telah mencapai 22,03 m3/ha/tahun pada pola monokultur dan 12,83-14,66 m3/ha/tahun pada pola agroforestri. Walaupun produktivitas kayu pada pola agroforestri cenderung lebih rendah, tetapi pada pola ini telah diperoleh hasil tambahan dari tanaman sela seperti kopi, kakao, sawit, ataupun jenis-jenis produk tanaman semusim seperti kacang- kacangan dan empon-emponan. Peningkatan produktivitas pola agroforestri dapat dilakukan melalui pengaturan kerapatan tegakan, peningkatan kualitas tapak melalui pemupukan, dan ketepatan waktu pemanenan. Waktu pemanenan yang menghasilkan produktivitas terbesar adalah pemanenan yang dilakukan pada saat nilai riap tahunan berjalan (CAI) telah menurun di bawah nilai riap rata-rata tahunan (MAI).

67

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm F.) pada Tegakan Monokultur di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 64-70. http//ejurnal.tripod.com/djipoid.htm (12 September 2007). Clutter JL, Fortson JC, Pienar LV, Brister GH, RL Bailey. 1983. Timber Management: A Quantitative Approach. New York: John Wiley & Sons Inc. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management, To Sustain Eco- logical, Economic, and Sosial Values. Forth Edision. New York: MC Graw-Hill Book Co. Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu Bawang. Dishut Provinsi Bengkulu. Bengkulu. Effendi R., 2013. Kebijakan Pengembangan Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Peluang dan Tantangan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat, Palembang 23 Oktober 2012. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Rohadi D., Herawati T., Firdaus N., Maryani R., dan Permadi P. 2013. Strategi Nasional Penelitian Agroforestri 2013-2030. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Siahaan H., Suhendang E., Rusolono T., dan Sumadi A. 2011. Pertumbuhan Tegakan Kayu Bawang Pada berbagai Pola Tanam dan Kerapatan Tegakan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 8 No. 4, Oktober 2011. Bogor.

68

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KENANGA (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) PADA BERBAGAI INTENSITAS CAHAYA, PENGGUNAAN INANG PRIMER KRIMINIL DAN JENIS MEDIA

Armellia Prima Yuna1 dan Dharmawati F. Djam’an2 1 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2 Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara pemasok/penghasil minyak kenanga terbesar di dunia. Setiap tahun Indonesia mengekspor minyak kenanga ke pasar dunia sebanyak 50 ton. Ekspor sejumlah 50 ton ini diperoleh dari pengumpulan minyak kenanga dari berbagai daerah kecil di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dewasa ini di Indonesia tanaman kenanga belum dikembangkan secara intensif karena terkendala oleh masalah terbatasnya informasi mengenai teknik pengembangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan berbagai intensitas cahaya, inang primer kriminil dan jenis media bagi pertumbuhan bibit kenanga di persemaian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak-Petak Terbagi (Split Split Plot Design). Petak utama terdiri dari 3 tingkat intensitas cahaya (100%, 45% dan 25%), anak petak berupa penggunaan 3 taraf inang primer kriminil (0, 1 dan 2 batang), dan anak-anak petak terdiri dari 3 taraf jenis media (media tanah; media campuran tanah dan sekam padi; serta media campuran tanah, sekam padi dan cocopeat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Intensitas cahaya 25% merupakan perlakuan yang paling baik untuk meningkatkan pertambahan tinggi dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. Penggunaan inang primer kriminil tidak efektif dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kenanga. Jenis media campuran tanah dan sekam padi merupakan jenis media yang paling baik digunakan untuk meningkatkan pertambahan tinggi, diameter, dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. Kata kunci: Kenanga (Cananga odorata forma macrophylla), Intensitas Cahaya, Naungan, Media, Kriminil (Alternanthera ficoidea)

I. PENDAHULUAN

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan sumberdaya yang sangat potensial sebagai penghasil devisa. HHBK mencakup berbagai jenis bahan yang diambil dari hutan selain kayu dengan beragam bentuk dan sifat yang sangat luas (Sofyan, 2000). Salah satu bentuk produk HHBK adalah minyak atsiri yang diantaranya berupa minyak kenanga (Java Cananga Oil). Minyak ini dihasilkan dari penyulingan terhadap bunga tanaman kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla). Tanaman atsiri seperti kenanga ini selain menguntungkan secara ekonomi juga berpotensi untuk dikembangkan dalam program konservasi dan rehabilitasi lahan kritis di Indonesia. Tanaman kenanga bisa digunakan untuk konservasi karena memiliki perakaran yang dalam, tumbuh cepat dan produksi biomasnya relatif tinggi, sehingga tanaman ini potensial untuk menjaga erosi dan merehabilitasi lahan kritis. Tanaman ini memiliki nilai tambah yang tinggi dan memberikan hasil antara, maka selain cocok dikembangkan untuk tujuan konservasi

69

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

juga sesuai dikembangkan dalam program pembangunan hutan tanaman rakyat dan hutan rakyat. Aroma minyak kenanga sangat harum dan khas, sehingga di negara maju di benua Amerika (USA) dan benua Eropa (Perancis dan beberapa negara Eropa Barat), minyak kenanga dijadikan salah satu bahan pewangi dalam parfum yang mahal. Di dunia, pasokan minyak kenanga sebagian besar hanya diperoleh dari negara Indonesia. Indonesia mampu mengekspor minyak kenanga ke pasar dunia sebanyak 50 ton (Balittro, 1998), sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor minyak kenanga terbesar di dunia bersama negara Reunion, Comoro, Filipina, dan Madagaskar sebagai produsen utama dari minyak ylang-ylang (Djazuli, 2005). Ekspor sejumlah 50 ton tersebut diperoleh dari pengumpulan minyak kenanga dari berbagai daerah kecil yang ada di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dewasa ini di Indonesia tanaman kenanga belum dikembangkan secara intensif, baik berupa kebun kenanga ataupun hutan tanaman. Kurangnya minat masyarakat dalam pengusahaan kenanga secara intensif terkendala oleh masalah terbatasnya informasi mengenai teknik pengembangan (budidaya) tanaman kenanga. Menurut Boeing Angkasa pemilik CV Cablinplantation, peluang usaha minyak kenanga ini masih sangat terbuka. Sebab, pasokan masih jauh lebih kecil dari kebutuhan. Margin laba dari usaha ini bisa mencapai 60%, karena perawatan tanaman kenanga relatif mudah dan tidak membutuhkan modal besar, sementara harga jualnya bagus. Dalam sebulan penjualan bisa mencapai sekitar Rp 288 juta dari hasil budidaya kenanga pada lahan seluas 20 hektare milik Perhutani (Agronusha Atsiri, 2012). Penyediaan bibit yang berkualitas merupakan faktor pertama yang harus dipikirkan sebelum mengusahakan dan mengembangkan kenanga secara intensif. Terdapat banyak sekali faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembibitan kenanga di persemaian. Oleh karena itu, pada penelitian ini hanya akan dikaji sebagian dari faktor-faktor yang dapat mendukung usaha produksi bibit berkualitas tersebut, yakni media sapih, intensitas cahaya (naungan) dan penggunaan inang primer. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan berbagai intensitas cahaya, inang primer kriminil dan jenis media bagi pertumbuhan bibit kenanga di persemaian sekaligus menemukan kondisi pembibitan yang paling optimal bagi pertumbuhan bibit kenanga di persemaian dari segi penggunaan intensitas cahaya, inang primer kriminil maupun jenis media.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Stasiun Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor yang berlokasi di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat selama 5 bulan. Kegiatan pertama yang dilakukan yakni perkecambahan benih. Benih dikecambahkan pada bak tabur berisi pasir dan dipelihara selama 1 bulan hingga tercapai kondisi kecambah normal. Tahapan selanjutnya adalah persiapan media sapih. Media yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: media tanah (top soil), media campuran tanah dan sekam padi (1:1) dan media campuran tanah, sekam padi dan cocopeat (1:1:1). Media dipersiapkan melalui kegiatan pengayakan menggunakan ayakan pasir bangunan untuk mendapatkan tekstur media yang seragam. Kemudian dilakukan pencampuran media sesuai dengan komposisi media yang dibutuhkan untuk kegiatan penelitian. Sebelum kegiatan penyapihan terlebih dahulu dilakukan penanaman inang primer kriminil pada polybag yang mendapat perlakuan penambahan kriminil. Penanaman atau

70

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

perbanyakan di polybag dilakukan dengan cara stek. Bahan tanaman kriminil yang dilakukan penyetekan berasal dari tanaman hias dipekarangan kebun. Ukuran potongan yang digunakan seragam pada seluruh polybag/ulangan, yakni berukuran panjang sekitar ± 5 cm. Penyapihan bibit dari bak kecambah ke polybag dilaksanakan setelah terbentuknya kecambah normal. Seluruh bibit yang digunakan untuk kegiatan penyapihan dipilih dari bibit/kecambah berpenampilan paling baik. Penyapihan dilakukan pagi hari sebelum pukul 9 untuk mengurangi laju evapotraspirasi bibit yang disapih. Agar perakaran bibit yang disapih tidak mengalami kerusakan maka sebelum bibit dicabut dari media tabur terlebih dahulu disiram air sampai jenuh. Bibit yang telah disapih ke polybag ditempatkan secara acak pada naungan dengan intensitas cahaya 100%, 45% dan 25%. Selanjutnya dilakukan pemeliharan berupa penyiraman tanaman secara rutin, penyiangan gulma dan pencegahan dari kemungkinan serangan hama dan penyakit. Parameter-parameter yang diukur/diamati adalah tinggi, diameter, Berat Kering Total (BKT) dan Nisbah Pucuk Akar (NPA) tanaman. Data BKT dan NPA tanaman diperoleh pada akhir pengamatan melalui pengukuran berat kering bibit setelah dilakukan proses pengovenan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Petak-Petak Terbagi (Split Split Plot De- sign) pola faktorial 3 x 3, sehingga terdapat 27 kombinasi perlakuan. Petak utama terdiri dari 3 tingkat intensitas cahaya, yaitu 100% (I0), 45% (I1) dan 25% (I2). Anak petak berupa pengguna- an 3 taraf inang primer kriminil, yakni 0 batang (K0), 1 batang (K1) dan 2 batang (K2). Sedang- kan anak-anak petak terdiri dari 3 taraf jenis media, yaitu media tanah (M0), media campuran tanah dan sekam padi (M1) serta media campuran tanah, sekam padi dan cocopeat (M2). Data dianalisis dengan sidik ragam, apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan taraf 5% untuk mengetahui perbedaan nyata atau tidak nyata setiap taraf perlakuan yang diberikan. Kegiatan analisis data menggunakan program (software) SPSS 15.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran terhadap parameter tinggi, diameter, Bobot Kering Total (BKT), dan Nisbah Pucuk Akar (NPA) dilakukan selama 3 bulan. Rekapitulasi hasil pengukuran pada berbagai kombinasi perlakuan yang diberikan selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Data rekapitulasi kemudian diuji secara statistik melalui sidik ragam. Hasil sidik ragam terhadap parameter tinggi, diameter, Bobot Kering Total (BKT) dan Nisbah Pucuk Akar (NPA) pada 3 BST menunjukkan faktor intensitas cahaya memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi dan BKT bibit kenanga. Penggunaan inang primer kriminil memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi, diameter dan NPA bibit kenanga. Sedangkan, jenis media memberikan pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter yang diukur, yakni tinggi, diameter, BKT dan NPA bibit kenanga. Pada interaksi 2 faktor, interaksi antara intensitas cahaya dan jenis media memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi bibit kenanga. Sedangkan, interaksi antara penggunaan inang primer kriminil dan jenis media memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi, diameter dan BKT bibit kenanga. Interaksi antara ketiga faktor tidak ada yang menunjukkan pengaruh yang nyata pada seluruh parameter yang diamati. Hasil sidik ragam terhadap berbagai parameter yang diamati selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

71

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Tabel 1. Rekapitulasi rerata pertambahan tinggi, diameter, BKT dan NPA bibit kenanga pada 3 Bulan Setelah Tanam (BST) IC (%) Kriminil (Batang) Media Rerata Pertambahan Tinggi Diameter BKT I0 I1 I2 K0 K1 K2 M0 M1 M2 NPA (cm) (mm) (gram) 100 0 Tanah 2.30 0.67 1.23 0.09

100 0 Tanah : Sekam 3.54 0.81 1.88 0.20

Tanah : Sekam : 100 0 1.82 0.88 1.36 0.28 Cocopeat 100 1 Tanah 2.52 0.79 1.41 0.10 100 1 Tanah : Sekam 2.32 0.80 2.23 0.12 Tanah : Sekam : 100 1 1.46 0.66 1.53 0.11 Cocopeat 100 2 Tanah 2.46 0.60 1.85 0.10 100 2 Tanah : Sekam 2.30 0.75 2.28 0.13 Tanah : Sekam : 100 2 1.44 0.64 1.69 0.12 Cocopeat 45 0 Tanah 2.28 0.61 1.25 0.14 45 0 Tanah : Sekam 3.50 0.83 1.88 0.31 Tanah : Sekam : 45 0 1.84 0.79 1.92 0.13 Cocopeat 45 1 Tanah 2.36 0.81 1.36 0.19 45 1 Tanah : Sekam 3.30 0.93 1.56 0.25 Tanah : Sekam : 45 1 1.20 0.50 1.32 0.14 Cocopeat 45 2 Tanah 1.04 0.55 1.44 0.28 45 2 Tanah : Sekam 2.42 0.62 1.53 0.19 Tanah : Sekam : 45 2 2.26 0.72 1.51 0.13 Cocopeat 25 0 Tanah 1.40 0.59 1.30 0.16 25 0 Tanah : Sekam 3.16 0.67 1.17 0.26 Tanah : Sekam : 25 0 3.20 0.64 1.58 0.15 Cocopeat 25 1 Tanah 2.14 0.73 1.50 0.24 25 1 Tanah : Sekam 3.22 0.79 1.19 0.22 Tanah : Sekam : 25 1 2.86 0.70 1.01 0.14 Cocopeat 25 2 Tanah 2.08 0.65 1.37 0.25 25 2 Tanah : Sekam 3.30 0.64 2.67 0.17 Tanah : Sekam : 25 2 3.10 0.80 1.40 0.16 Cocopeat

Saat mencapai umur 3 bulan bibit kenanga yang menunjukkan respon pertumbuhan tinggi terbaik adalah pada intensitas cahaya 25% dengan rerata riap tinggi sebesar 2,87 cm atau meningkatkan rerata pertambahan tinggi sekitar 28,13% dibanding kontrol. Dapat disimpulkan bahwa kenanga termasuk kedalam kelompok tanaman yang membutuhkan naungan dalam masa hidupnya (jenis toleran). Intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang relatif tinggi diduga mengakibatkan proses fotosintesis bibit kenanga menjadi lebih efektif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hakim et al. (1986) yang menyatakan bahwa pada intensitas cahaya yang tinggi laju evapotranspirasi tanaman mengalami peningkatan, sehingga proses kehilangan air juga akan semakin cepat. Hal ini berakibat serapan unsur hara yang bergerak bersama gerakan air kapiler (serapan secara kinetik) akan ikut terhambat. Dengan adanya naungan, intensitas cahaya yang tinggi dapat dikurangi, sehingga serapan hara akan berlangsung dengan

72

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

baik pula. Pendapat senada juga disampaikan oleh Sitompul dan Guritno (1995) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya laju fotosintesis tinggi pada tingkat cahaya yang rendah dan kemudian menurun hingga mencapai nol pada tingkat cahaya yang lebih tinggi. Gardner et al. (1991) juga menyatakan bahwa pemberian naungan cenderung akan meningkatkan auksin yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pemanjangan ruas batang sehingga batang akan lebih terentang/lebih panjang. Terhadap BKT bibit kenanga yang menghasilkan rerata BKT tertinggi adalah pada intensitas cahaya 45% dengan rerata BKT sebesar 0,1954 gram atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 66,58%. Namun demikian, intensitas cahaya 45% (I1) pada dasarnya tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan intensitas cahaya 25% (I2) yang menghasilkan rerata BKT sebesar 0,1937 gram atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 65,13%. Bahan (bobot) kering merupakan material yang dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman. Pemberian naungan pada percobaan ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang sampai ke tanaman. Dengan demikian tanaman tidak menerima intensitas cahaya matahari yang terlalu tinggi sehingga tanaman akan terlindungi dari kemungkinan mengalami defisit air dan kerusakan klorofil yang sangat penting untuk kegiatan fotosintesis. Intensitas cahaya matahari yang optimal akan berpengaruh positif terhadap fotosintesis dan fotostimulus tanaman termasuk didalamnya meliputi proses pemanjangan batang dan perluasan daun yang pada akhirnya akan menghasilkan bobot kering tanaman yang tinggi. Hasil uji lanjut Duncan terhadap keempat parameter, yakni tinggi, diameter, BKT dan NPA selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh intensitas cahaya, penggunaan inang primer kriminil dan jenis media beserta interaksinya terhadap tinggi, diameter, BKT dan NPA bibit kenanga pada 3 Bulan Setelah Tanam (BST) F hitung Peubah Interaksi I x Interaksi Interaksi Interaksi I x I K M K I x M K x M K x M T 18,371* 3,711* 53,309* 2,244tn 2,956* 4,118* 1,334tn D 0,607tn 3,308* 5,372* 1,273tn 1,492tn 5,027* 0,669tn BKT 10,614* 0,007tn 7,207* 0,117tn 1,359tn 3,522* 0,515tn NPA 3,008tn 3,503* 7,011* 2,052tn 0,959tn 1,929tn 1,892tn Keterangan: T=Tinggi; D=Diameter; BKT=Bobot Kering Total; NPA=Nisbah Pucuk Akar; I=Intensitas Cahaya; K=Inang primer Kriminil; M=Jenis Media; tn = tidak nyata; *=nyata (p < 0,05) Pada Tabel 3 juga diperoleh informasi bahwa perlakuan tanpa penggunaan inang primer kriminil memberikan respon pertumbuhan tinggi bibit kenanga yang terbaik dengan rerata riap tinggi sebesar 2,64 cm. Terhadap diameter penggunaan inang primer kriminil 1 batang menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding taraf lainnya, yakni menghasilkan rerata riap diameter sebesar 0,7423 mm atau mengalami rerata pertambahan diameter sebesar 0,75%. Begitu pula pada NPA, penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) memberikan rerata NPA yang terbaik mendekati nilai ideal 1, yakni sebesar 1,4564. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Djam’an dan Ristiyana (2006) yang menyatakan bahwa kriminil disinyalir dapat menjadi tanaman pendamping atau inang primer bagi bibit gaharu (Aquilaria malaccensis) karena mempengaruhi pertambahan diameter bibit yang tertinggi. Diduga karena terjadinya kompetisi diantara kenanga dengan inang primernya yaitu kriminil. Kompetisi yang terjadi berupa persaingan dalam memperoleh cahaya dan hara.

73

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Dimana, pada kondisi bibit kenanga dan inang primer hidup berdampingan, inang primer kriminil sebagai herba tumbuh lebih cepat meninggalkan pertumbuhan kenanga. Pada kondisi ini inang primer kriminil akan menghambat pertumbuhan bibit kenanga ke arah pucuk (atas), sehingga bibit kenanga tanpa inang primer kriminil pertumbuhan tingginya lebih baik daripada perlakuan yang lain. Sebaliknya, pada kompetisi hara akan merangsang pertumbuhan akar kenanga sehingga menjadi lebih berkembang yang pada akhirnya bisa menyeimbangkan pertumbuhan bibit kenanga ke arah pucuk dan akar. Tabel 3. Pengaruh intensitas cahaya, penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap rerata pertambahan tinggi, diameter, BKT serta NPA bibit kenanga pada 3 Bulan Setelah Tanam (BST) Perlakuan Taraf Rerata Rerata Berat Kering Nisbah Perlakuan Pertambahan Pertambahan Total (gram) Pucuk Akar Tinggi (cm) Diameter (mm) a a I0 2,24 0,1173 Intensitas a b I1 2,27 tn 0,1954 tn Cahaya b b I2 2,87 0,1937 b b ab K0 2,64 0,0737 1,5261 Inang a b a K1 2,35 0,0742 tn 1,4564 Primer a a b K2 2,38 0,0670 1,7481 a a b a M0 1,78 0,0688 0,1716 1,4980 c b b b Jenis Media M1 2,93 0,0775 0,2041 1,8208 b a a a M2 2,67 0,0686 0,1307 1,4120

Keterangan: I0=intensitas cahaya 100%; I1=intensitas cahaya 45%; I2=intensitas cahaya 25%; K0=tanpa inang primer kriminil; K1=inang primer kriminil 1 batang; K2=inang primer kriminil 2 batang; M0=jenis media tanah; M1=Jenis media campuran tanah-sekam padi; M3=jenis media campuran tanah-sekam padi-cocopeat; tn=tidak nyata (p > 0,05) Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata dalam pada selang kepercayaan 95%. Pada faktor jenis media, perlakuan yang memberikan hasil terbaik bagi pertumbuhan tinggi, diameter dan BKT bibit kenanga adalah pada jenis media campuran tanah dan sekam padi. Untuk pertumbuhan tinggi, jenis media ini menghasilkan rerata riap tinggi tertinggi sebesar 2,93 cm atau meningkatkan rerata pertambahan tinggi sekitar 9,74% dibandingkan kontrol. Pada pertumbuhan diameter, menghasilkan rerata riap diameter tertinggi sebesar 0,0755 cm atau meningkatkan rerata pertambahan diameter sekitar 12,65% dibandingkan kontrol. Sedangkan untuk Bobot Kering Total (BKT), menghasilkan rerata BKT tertinggi sebesar 0,2041 gram atau meningkatkan rerata pertambahan BKT sekitar 18,94% dibandingkan kontrol. Hal ini diduga karena jenis media campuran tanah dan sekam padi menyediakan hara yang siap pakai (dalam bentuk tersedia dan siap digunakan/diserap oleh tanaman) relatif lebih banyak daripada jenis media lainnya. Hasil analisis media pada awal dan akhir pengamatan (Lampiran 1) menunjukkan bahwa nisbah C/N pada bibit yang menggunakan jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) termasuk dalam kategori sedang, artinya hara pada masa ini sudah cukup tersedia bagi tanaman dan akan terus tersedia dalam jangka waktu yang lebih panjang, karena proses dekomposisi masih berlanjut. Ketersediaan hara yang cukup dan porositas yang baik dalam

74

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

media memungkinkan bibit kenanga untuk tumbuh lebih tinggi, diameter menjadi lebih besar, akibatnya Bobot Kering Total (BKT) yang dihasilkan juga turut meningkat. Selain itu, ketersediaan hara dan porositas yang baik dalam media juga akan menjadikan sistem perakaran lebih berkembang (efektif). Ketersediaan hara yang cukup dan kontinyu menunjang proses fotosintesis menjadi semakin efektif sehingga menghasilkan pertumbuhan yang optimal bagi tanaman berupa pembesaran dan pemanjangan sel/jaringan yang secara nyata dapat dilihat pada perkembangan tinggi dan diameter serta BKT tanaman. Terdapat hubungan yang sinergis antara akar dan perkembangan diameter tanaman. Daniel et al. (1992) mengungkapkan bahwa pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh sistem akar yang berfungsi efektif. Sistem akar yang efektif bergantung pada porositas dari media. Perakaran tanaman akan sulit menembus lebih jauh media tanam yang memiliki kandungan oksigen terbatas, walaupun dalam media tanam tersebut tersedia nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan tanaman (Edinger, 1975). Dari segi fisik, jenis media campuran sekam dan tanah (M1) memiliki porositas dan retensi yang tinggi dibanding media tanah murni. Sifat inilah yang diduga memudahkan penetrasi akar dalam upaya menyerap hara. Dari segi kimia tanah mineralisasi sekam padi akan melepaskan hara secara perlahan dan kontinyu, sehingga hara akan tersedia dalam jangka waktu yang relatif panjang. Sedangkan pada jenis media campuran tanah, sekam padi dan cocopeat, meskipun jenis media ini secara fisik berporositas baik namun sangat lama terdekomposisi. Herath (1993) menyatakan bahwa kandungan lignin dan selulosa yang terdapat dalam sabut kelapa sangat tinggi, sehingga perubahan unsur-unsur hara yang dikandungnya untuk diubah kedalam bentuk hara tersedia bagi tanaman menjadi sangat lambat. Keadaan ini dapat menyebabkan tanaman yang tumbuh di atasnya menunjukkan gejala kekurangan Nitrogen. Lain halnya dengan nilai NPA, jenis media tanah atau kontrol (M0) justru menghasilkan rerata NPA paling mendekati ideal, yaitu sebesar 1,4120. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), tanaman yang kekurangan air dan unsur hara akan berusaha membentuk akar yang lebih banyak yang memungkinkan tanaman untuk meningkatkan serapan sehingga pada akhirnya menghasilkan NPA yang rendah. Sebaliknya, nilai NPA yang tinggi dengan produksi biomassa total yang besar pada tanah yang subur, secara tidak langsung menunjukkan bahwa akar yang relatif sedikit cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang relatif besar dalam menyediakan air dan unsur hara. Pernyataan Sitompul dan Guritno (1995) di atas sekaligus mendukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perakaran bibit kenanga yang pendek (NPA tertinggi) pada jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) menunjukkan bahwa akar yang relatif sedikit cukup untuk mendukung pertumbuhan bibit kenanga, sebaliknya akar yang panjang (NPA terendah) pada jenis media tanah (M0) menunjukkan bahwa bibit kenanga berada dalam kondisi adaptasi dengan lingkungannya dalam proses penyerapan hara dan air. Pada Tabel 2 interaksi antara 2 faktor sebagian ada yang menunjukkan pengaruh yang nyata. Hasil uji lanjut Duncan terhadap interaksi dua faktor pada keempat parameter (tinggi, diameter, BKT dan NPA) disajikan secara lengkap pada Tabel 4. Untuk interaksi perlakuan intensitas cahaya dengan jenis media pada parameter tinggi, interaksi perlakuan I2M0 (penggunaan jenis media tanah pada intensitas cahaya 25%) memberikan hasil rerata riap tinggi yang terbaik, yakni 3,23 cm atau meningkatkan rerata pertambahan tinggi sekitar 32,92% dibandingkan dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Murray dan Nichols (1966) yang mengemukakan bahwa kebutuhan naungan tergantung kesuburan tanah. Pada tanah yang miskin unsur hara tanaman membutuhkan naungan yang lebih berat. Selanjutnya Chang (1968) dan Stiger (1984) menyatakan bahwa

75

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

naungan dapat mempertahankan unsur hara dan memperbaiki penyerapan hara (Tisdale dan Nelson, 1985). Namun demikian, interaksi perlakuan I2M0 pada dasarnya tidak berbeda nyata dengan I2M1 (penggunaan jenis media campuran tanah dan sekam padi pada intensitas cahaya 25%) dan I1M1 (penggunaan jenis media campuran tanah dan sekam padi pada intensitas cahaya 45%). Sehingga, penggunaan jenis media campuran tanah dan sekam padi pada naungan 45% dan 25% relatif sama baiknya digunakan untuk kegiatan pembibitan kenanga di persemaian yang menghasilkan tinggi terbaik sesuai harapan. Untuk interaksi perlakuan penggunaaan inang primer kriminil dengan jenis media, interaksi perlakuan K0M1 (jenis media campuran tanah dan sekam padi tanpa penggunaan inang primer kriminil) menghasilkan rerata riap tinggi dan BKT terbaik, yakni menghasilkan rerata riap tinggi dan BKT sebesar 3,41 cm dan 0,2557 gram yang berarti meningkatkan rerata pertambahan tinggi dan BKT sekitar 32,17% dan 98,06%. Sedangkan, interaksi perlakuan K1M1 (penggunaan inang primer kriminil 1 batang pada jenis media campuran tanah dan sekam padi) menghasilkan rerata riap diameter tertinggi, yaitu 0,0808 cm atau mengalami pertambahan rerata diameter sekitar 24,31%. Berdasarkan kondisi di atas maka akan lebih efektif bila perlakuan K0M1 (jenis media campuran tanah dan sekam padi tanpa penggunaan inang primer kriminil) yang dipilih untuk diterapkan dalam kegiatan pembibitan kenanga di persemaian. Hal tersebut dikarenakan penggunaan perlakuan K0M1 secara umum menunjukkan respon pertumbuhan tinggi, diameter dan BKT yang lebih baik pada bibit kenanga. Tabel 4. Pengaruh interaksi perlakuan penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap rerata pertambahan tinggi, diameter dan BKT bibit kenanga pada 3 Bulan Setelah Tanam (BST) Interaksi Taraf Rerata Rerata Berat Kering Nisbah Pucuk Perlakuan Perlakuan Pertambahan Pertambahan Total (gram) Akar Tinggi (cm) Diameter (mm) b I0M0 2,43 bc I0M1 2,72 a I0M2 1,57 b Intensitas I1M0 2,35 cd Cahaya* I1M1 3,02 tn tn tn a Jenis Media I1M2 1,43 d I2M0 3,23 cd I2M1 3,05 b I2M2 2,33 b ab a K0M0 2,58 0,0650 0,1291 c c c K0M1 3,41 0,0763 0,2557 a c a K0M2 1,93 0,0799 0,1232 b c ab Inang K1M0 2,70 0,0796 0,1759 b c abc Primer* K1M1 2,83 0,0808 tn 0,1953 a a a Jenis Media K1M2 1,53 0,0622 0,1312 b a bc K2M0 2,73 0,0618 0,2097 b bc ab K2M1 2,55 0,0755 0,1613 a a ab K2M2 1,87 0,0638 0,1377

Keterangan: I0=intensitas cahaya 100%; I1=intensitas cahaya 45%; I2=intensitas cahaya 25%; K0=tanpa inang primer kriminil; K1=inang primer kriminil 1 batang; K2=inang primer kriminil 2 batang; M0=jenis media tanah; M1=Jenis media campuran tanah-sekam padi; M3=jenis media campuran tanah-sekam padi-cocopeat; tn=tidak nyata (p>0,05). Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.

76

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

IV. KESIMPULAN

Intensitas cahaya 25% pada jenis media campuran tanah dan sekam padi tanpa penggunaan inang primer kriminil merupakan perlakuan yang paling baik digunakan untuk meningkatkan pertambahan tinggi, diameter, Berat Kering Total (BKT) dan Nisbah Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga.

DAFTAR PUSTAKA

Agronusha Atsiri. 2012. Bisnis Harumnya Bunga Kenanga. Diakses pada: 30 April 2012 di http://agronusha.blogspot.com.. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 1998. Laporan Penelitian Penanganan dan Penyulingan Bunga Ylang-ylang. Kerjasama Perum Perhutani dengan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Chang, J.H. 1968. Climate and Agriculture an Ecological Survey. Chicago: Aldine Publishing Company. Daniel, T.W., J.A. Helms, dan F.S. Baker. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono D, penerjemah; Soeseno OH, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Principles of Silviculture. Darmayanti, A.S. dan Siti S. 2012. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Tani Kenanga dan Usaha Penyulingan Minyak Kenanga di Kecamatan Purwodadi, Pasuruan. Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI. Diakses pada: tgl 30 April 2012 di www.minyakatsiriindonesia.wordpress.com Djam’an D.F., Ristiyana A. 2006. Peran tanaman krokot sebagai pengganti pupuk pada pembibitan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Bioteknologi; Cibinong, 15-16 November 2006. Bogor: LIPI. Dzajuli, M. 2005. Perspektif, Vol. 4 No. 2, Desember 2005 : 64 – 70. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Edinger, P. 1975. Organic Gardening. California Lane Magazine and Book Company. Gardner, P., Franklin, R.B. Pearche, dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: UI Press. Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.M. Diha, G.B. Hong, dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Herath, W. 1993. Coir dust as a growing medium. Floricultural Symposium Colombo. Colombo: Institute of Fundamental Studies Hantana. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Proyek Sumberdaya Ekonomi Lembaga Biologi Nasional. 1977. Tanaman Hias. Bogor: LIPI. Murray, D.B., dan R. Nichols. 1966. Light, shade and growth in some tropical . In: Light as an Ecological Factor. Oxford: Blackwell. Sitompul, S.M., dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

77

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Sofyan, K. 2000. Strategi penelitian teknologi hasil hutan untuk meningkatkan peran hasil hutan non kayu Indonesia. Di dalam: Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Teknologi Hasil Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Stiger, C.J. 1984. Shading: a traditional methode of micro climate manipulation. Agric (32): 81- 86. Tisdale, S.L. , W. C. Nelson. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 4th Ed. London: The Mac Millan Co.

78

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PENGARUH JUMLAH DAUN SEMAI TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUNGKAI (Peronema canescen Jack.)

Sahwalita dan Imam Muslimin Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Keberhasilan pembangunan hutan tanaman sangat ditentukan oleh IPTEK yang diterapkan, salah satunya adalah untuk mendapatkan bibit yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang besarnya pengaruh jumlah daun semai saat penyapihan terhadap pertumbuhan bibit sungkai. Penelitian dilakukan di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada bulan Juni sampai Oktober 2010, dirancang secara berseri berdasarkan jumlah pasang daun (1; 2; 3; 4; 5 pasang daun/semai). Parameter yang diamati adalah pertumbuhan tinggi dan diameter serta persentase hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah daun semai berpengaruh nyata terhadap diameter dan tinggi semai. Persen hidup tertinggi pada daun 4 dan 5 pasang yaitu: 97% dan 97,56%. Jumlah daun saat penyapihan semai sungkai sebaiknya adalah 4 pasang. Kata kunci: daun, diameter, persen hidup, semai, tinggi

I. PENDAHULUAN

Sungkai (Peronema canescen Jack.) merupakan salah satu jenis pengisi hutan tanaman. Jenis ini memiliki banyak keunggulan seperti: sebaran alami yang luas, sudah dikenal masyarakat, budidaya relatif mudah dan dapat di tanaman secara monokultur maupun campuran serta memiliki beragam manfaat. Kayunya termasuk kelas awet III dan kelas kuat II – III, berat jenis 0,53–0,73, memiliki tekstur yang indah mirip jati (Martawijaya et al., 2005). Keberhasilan pembangunan hutan tanaman ditentukan oleh IPTEK yang diterapkan selama pengelolaan. Penerapan IPTEK mulai dari penyediaan bibit, penyiapan lahan, penanaman sampai pemeliharaan sepanjang daur. Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan hutan tanaman adalah bibit berkualitas. Proses untuk memperoleh bibit yang berkualitas dilakukan melalui beberapa tahap antara lain: seleksi benih, perlakuan pra perkecambahan, penaburan, penyapihan dan pemeliharaan bibit di persemaian. Penyediaan bibit sungkai untuk produksi massal selama ini menggunakan perbanyakan secara vegetatif dengan stek. Teknik ini dipilih karena teknik perbanyakan generatif dengan menggunakan benih mempunyai nilai persentase kecambah yang rendah yaitu 10% (Abdullah et al., 1991) dan 13,24% (Sahwalita et al., 2010). Walaupun demikian sungkai mempunyai buah yang berlimpah dan tersedia sepanjang tahun, setiap kilogram berisi 235.457 biji sungkai, bila dikecambahkan akan menghasilkan sebanyak 23.545-31.198 kecambah (Sahwalita et al., 2010). Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian komplek dari perubahan- perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia (Sutopo, 2002). Untuk itu setiap jenis tanaman kehutanan memiliki performa kecambah yang tidak sama, sehingga diperlukan klasifikasi kecambah. Klasifikasi kecambah dapat dilakukan berdasarkan umur ataupun struktur kecambah/semai. Klasifikasi berdasarkan struktur kecambah saat penyapihan diharapkan dapat menghasilkan bibit berkualitas. Mengingat struktur perkecambahan setiap jenis tanaman hutan

79

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

juga berbeda-beda, maka perlu dilakukan penelitian tentang jumlah daun semai saat penyapihan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah daun semai pada saat penyapihan terhadap pertumbuhan bibit sungkai di persemaian.

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Persemaian Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Sumatera Selatan, pada bulan Juni - Oktober Tahun 2010.

B. Bahan dan Alat Materi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah benih sungkai dari KHDTK Benakat, Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Media perkecambahan benih berupa pasir yang telah disterilkan dengan fungisida dan media sapih berupa campuran tanah, arang kompos dan pasir dengan perbandingan 40% : 40% : 20%. Peralatan yang digunakan adalah bak tabur, ayakan pasir, sprayer halus untuk penyiraman kecambah, polybag 10x15 cm, penggaris, kaliper, alat tulis dan tally sheet.

C. Metode Benih sungkai ditabur pada bak tabur yang telah berisi media. Penaburan benih dilakukan secara merata, kemudian ditutup dengan pasir halus setebal 3 mm. Benih sungkai mulai berkecambah pada minggu ke-2 dan penyapihan kecambah pada media sapih yang telah disediakan dilakukan berdasarkan jumlah daun. Jumlah daun semai ditentukan sebagai berikut: 1, 2, 3, 4 dan 5 pasang daun. Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan tinggi dan diameter serta persentase hidup bibit sampai berumur 3 bulan di persemaian. Guna mengetahui perbedaan antar perlakuan yang ada, dilakukan analisa dengan uji-t terhadap data hasil pengukuran.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Hasil rata-rata pertumbuhan bibit sungkai dan hasil analisis uji-t pada parameter yang diamati terdapat pada Tabel 1, sedangkan hasil analisis korelasi antar parameter yang diamati terdapat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 1 diatas pertumbuhan diameter bibit sungkai hanya berbeda nyata pada semai yang disapih dengan jumlah daun 1 dan 4 pasang, sedangkan pertumbuhan tinggi bibit berbeda nyata pada semai yang disapih dengan jumlah daun 1 dan 5 pasang serta berbeda sangat nyata pada bibit yang disapih dengan jumlah daun 4 dan 5 pasang. Tabel 1. Rerata pertumbuhan dan hasil analisis uji-t pada bibit sungkai yang disapih berdasarkan jumlah daun Jumlah daun Pertumbuhan bibit Diameter (mm) Tinggi (cm) Daun 1 4, 29 25, 22 Daun 2 3, 54 25, 08 Daun 1 4, 29 25, 22 Daun 3 3, 23 21, 29

80

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Jumlah daun Pertumbuhan bibit Diameter (mm) Tinggi (cm) Daun 1 4, 29 * 25, 22 Daun 4 2, 93 * 21, 84 Daun 1 4, 29 25, 22 * Daun 5 3, 06 17, 43 * Daun 2 3, 54 25, 08 Daun 3 3, 23 21, 29 Daun 2 3, 54 25, 08 Daun 4 2, 93 21, 85 Daun 2 3, 54 25, 08 Daun 5 3, 06 17, 43 Daun 3 3, 23 21, 29 Daun 4 2, 93 21, 84 Daun 3 3, 23 21, 29 Daun 5 3, 06 17, 43 Daun 4 2, 93 21, 85 ** Daun 5 3, 06 17, 43 ** Keterangan: * : Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5% ** : Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%

Tabel 2. Analisis korelasi antar parameter pada bibit sungkai yang disapih berdasarkan jumlah pasang daun Parameter Jumlah daun Diameter Tinggi Persentase hidup Jumlah daun 1,00 -0,89 -0,93 0,96 0,00 0,04 0,03 0,00 Diameter 1,00 0,72 -0,90 0,00 0,17 0,04 Tinggi 1,00 -0,81 0,00 0,10 Persentase 1,00 hidup 0,00 Jumlah daun semai mempunyai korelasi negatif terhadap diameter dan tinggi bibit dan mempunyai korelasi positif terhadap persentase hidup bibit. Nilai rerata persentase hidup bibit sungkai yang disapih berdasarkan jumlah daun terdapat pada Gambar 1.

120 100 80 60 40 20

0 Persen hidup hidup (%) bibit Persen 1 2 3 4 5 Jumlah daun (pasang) Gambar 1. Persentase hidup bibit sungkai yang disapih berdasarkan jumlah pasang daun

81

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

B. Pembahasan Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan bibit sungkai di persemaian adalah dengan mengetahui waktu (periode) penyapihan yang tepat. Jumlah daun kecambah pada dasarnya merupakan indikator kecepatan pertumbuhan yang biasanya sebanding dengan daya adaptabilitas terhadap kondisi lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah daun kecambah pada saat sapih, maka pertumbuhan semakin lambat. Pertumbuhan diameter yang tertinggi dan terendah terdapat pada jumlah daun 1 dan 4 yaitu 4,29 mm dan 2,93 mm, sedangkan pertumbuhan tinggi yang tertinggi dan terendah terdapat pada jumlah daun 1 dan 5 yaitu 25,22 cm dan 17,43 cm. Berdasarkan pertumbuhan bibit, penyapihan semai sungkai yang terbaik adalah berdaun satu pasang karena mempunyai pertumbuhan yang terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tingginya pertumbuhan pada semai berdaun 1 pasang karena secara fisiologis semai telah memiliki organ yang cukup untuk mendukung pertumbuhan. Gardner et al. (1991) mengemukakan bahwa kotelidon yang muncul di atas permukaan tanah tidak hanya sebagai penyedia makanan cadangan, tetapi juga sebagai organ fotosintetik karena penuh dengan kloroplas. Hal ini menunjukkan bahwa kecambah sungkai berdaun 1 pasang telah mampu melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan makanan yang dibutuhkan oleh tanaman. Makanan berupa fotosintat langsung diserap secara maksimal oleh bagian tanaman muda untuk pertumbuhan tinggi dan diameter. Selain itu, terbatasnya jumlah daun menyebabkan transpirasi pada tanaman menjadi kecil karena sebagian besar proses tersebut melalui stomata (Lakitan, 1993). Hal tersebut sangat mendukung bagi pertumbuhan bibit sungkai di persemaian. Akar semai yang pendek membuat sungkai tidak mengalami kerusakan pada saat penyapihan. Kondisi akar yang utuh mempercepat terbentuknya kalus-kalus akar baru. Sementara itu, akar yang banyak akan memperluas bidang serap terhadap unsur hara atau air dari media yang digunakan (Suhaendi, 1990). Pada proses pertumbuhan tanaman, akar juga berperan dalam penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 (Kolek & Kozinka, 1992). Pertumbuhan tinggi dan diameter semai sungkai bukan merupakan satu-satunya unsur penilaian dalam penentuan waktu penyapihan. Persentase hidup tanaman juga merupakan indikator yang harus diperhitungkan. Semakin banyak jumlah daun semai semakin tinggi persentase hidup bibit di persemaian (Gambar 1). Persentase hidup sungkai pada jumlah pasang daun semai 4 dan 5 cenderung menjadi tinggi dan stabil yaitu sebesar 97% dan 97,56%. Hasil yang sama ditunjukkan oleh Aminah et al., (2006), yaitu semakin besar kecambah pada saat penyapihan maka persen hidup di persemaian meningkat untuk jenis eboni (Diospyros celebica), kemenyan (Styrax benzoin), mindi (Melia azedarach) dan pulai (Alstonia schloris). Kecambah berdaun 1 pasang pada waktu penyapihan memiliki struktur pertumbuhan yang belum sempurna dibandingkan dengan kecambah pada jumlah daun yang lain. Tetapi pertumbuhan tinggi antara kecambah berdaun 1 dan 4 tidak berbeda nyata dengan nilai 25,22 cm dan 21,84 cm (Tabel 1). Nilai persentase hidup kecambah berdaun 4 pasang sangat tinggi (97%) dibandingkan berdaun 1 pasang (30%), maka pilihan aplikasi terbaik adalah penyapihan dengan semai berdaun 4 pasang. Schmidt (2000), menyatakan bahwa perkecambahan di persemaian atau lapangan serta pertumbuhan anakan setelah perkecambahan bervariasi tergantung pada jenis dan juga dibatasi atau dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang tidak terduga. Semai sungkai berdaun 1 pasang pada waktu penyapihan menghasilkan persentase hidup yang rendah di persemaian. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan yang tidak terduga tersebut seperti: suhu, kelembaban, sinar matahari dan serangan hama/penyakit.

82

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

IV. KESIMPULAN

1. Semakin banyak jumlah daun semai pada saat penyapihan semakin besar persentase hidup bibit di persemaian. 2. Penyapihan semai sungkai sebaiknya dilakukan pada saat berdaun 4 pasang karena menghasilkan pertumbuhan terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H.R., E.B. Sutedjo, E. Iswahyudi, H.D. Riyanto dan W. Wibowo. 1991. Teknik Pembibitan dan Penanaman Sungkai (Peronema canescen Jack.). Balai Teknologi Reboisasi. Benakat. Palembang. Indonesia. Aminah, A., B. Budiman, M.Suartana dan R. Kurniaty. 2006. Kriteria kecambah dalam penyapihan semai untuk pengadaaan bibit bermutu. Seminar Litbang Teknologi Perbenihan “Teknologi Perbenihan Untuk Pengadaan Bibit Bermutu”, Bogor, 14 Pebruari 2006. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan). Universitas Indonesia. Jakarta. Kolek, J & Kozinka,U. 1992. Physiology of the Plant Root System. Dordecht. The Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Lakitan Benyamin. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Martawijaya. A, Kartasujana.I, Mandang. Y.I, Kadir K dan Prawira.S.A. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Indonesia. (Cetakan Ketiga). Sahwalita dan I. Muslimin. 2010. Perkecambahan Benih Sungkai (Peronema canescen Jack.) Asal KHDTK Benakat, Muara Enim. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2010. Tidak dipublikasikan. Schmit, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat RLPS dan Danida Forest Seed Centre. Jakarta. Suhaendi, H. 1990. Penggunaan pupuk dalam usaha pembangunan HTI. Prosiding Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta, 13-14 Maret 1990. Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih (Edisi Revisi). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

83

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PENGARUH APLIKASI CUKA KAYU TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAYU BAWANG (Dysoxylum mollissimum Blume)

Sri Utami1), Armellia Prima Yuna1) dan Teten Rahman Saepuloh2) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2) Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Salah satu jenis tanaman yang potensial untuk dikembangkan pada hutan tanaman khususnya hutan rakyat yaitu kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume). Jenis ini bisa dibiakkan dengan cara generatif dan vegetatif. Pembiakan secara generatif dapat ditempuh dengan menggunakan benih dan cabutan/anakan alam. Untuk memacu pertumbuhan bibit asal anakan alam di persemaian dapat dilakukan kegiatan pemupukan. Cuka kayu adalah salah satu bentuk dari pupuk organik yang ramah lingkungan. Penggunaan cuka kayu yang disemprotkan pada daun diketahui dapat menjadikan daun lebih sehat, campurannya dengan nutrisi tanaman membuat pertumbuhan lebih baik, dan membantu metabolisme tumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian cuka kayu pada berbagai taraf dosis terhadap pertumbuhan bibit kayu bawang asal anakan alam. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Aplikasi cuka kayu mampu memacu pertumbuhan bibit kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) asal cabutan/anakan alam.Cuka kayu dosis 20 cc/liter merupakan dosis paling efektif dalam memberikan pertambahan tinggi dan diameter masing-masing sebesar 40,97% dan 28,57% terhadap kontrol. Kata kunci: cuka kayu, wood vinegar, kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume)

I. PENDAHULUAN

Salah satu jenis tanaman yang potensial untuk dikembangkan pada hutan tanaman khususnya hutan rakyat yaitu kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume). Jenis ini merupakan jenis pohon lokal di Provinsi Bengkulu yang pertumbuhannya cepat dan memiliki nilai ekonomi yang baik. Kayunya banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan furniture. Kayu bawang termasuk dalam famili . Batang kayu bawang bulat lurus dengan tinggi pohon dapat mencapai 30-40 m dengan diameter sekitar 100-120 cm. Kulit batang berwarna abu-abu sampai coklat muda dengan tekstur agak licin. Kayu bawang mampu tumbuh di berbagai jenis tanah dan relatif tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang spesifik. Secara topografis umumnya tumbuh pada ketinggian sampai dengan 700 m dpl dengan curah hujan 3.500-5.000 mm/th (Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2004). Kayu bawang bisa dibiakkan dengan cara generatif dan vegetatif. Pembiakan generatif dengan menggunakan benih dan cabutan/anakan alam. Untuk memacu pertumbuhan bibit asal anakan alam di persemaian dapat dilakukan kegiatan pemupukan. Pemupukan dilaksanakan sebagai upaya memberikan tambahan unsur-unsur hara pada komplek tanah dengan tujuan untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah agar tanaman mendapatkan nutrisi yang cukup untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pertumbuhan tanaman.

85

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Penggunaan pupuk organik diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan pupuk kimia. Menurut Marsono (2001), beberapa kelebihan pupuk organik antara lain: 1) Mengubah struktur tanah menjadi lebih baik sehingga pertumbuhan tanaman juga semakin baik, 2) Meningkatkan daya serap dan daya pegang tanah terhadap air sehingga tersedia bagi tanaman. Hal ini karena bahan organik mampu menyerap air dua kali lebih besar dari bobotnya. Dengan demikian pupuk organik sangat berperan dalam mengatasi kekeringan air pada musim kering, dan 3) Memperbaiki kehidupan organisme tanah. Cuka kayu adalah salah satu bentuk dari pupuk organik. Cuka kayu merupakan cairan berwarna coklat pekat yang diperoleh dari proses destilasi asap dalam pembuatan arang kayu. Nurhayati (2007) melaporkan bahwa penggunaan cuka kayu yang disemprotkan pada daun menghasilkan daun lebih sehat, campurannya dengan nutrisi tanaman membuat pertumbuhan lebih baik, dan membantu metabolisme tumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian cuka kayu pada berbagai taraf dosis terhadap pertumbuhan bibit kayu bawang asal anakan alam.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Desember 2011 di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Palembang yang berlokasi di Wanagriya, Kecamatan Alang-Alang Lebar, Kota Palembang. Lokasi persemaian terletak pada ketinggian 35 m dpl. Bahan penelitian yang digunakan meliputi anakan alam kayu bawang, cuka kayu dan air. Sedangkan alat yang digunakan yaitu hand sprayer, gelas piala, kamera, dan alat tulis menulis. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan jumlah treeplot 10 bibit kayu bawang dan diulang sebanyak 3 kali, dimana faktor yang diamati yaitu dosis cuka kayu. Cuka kayu yang digunakan merupakan cuka kayu campuran yang diperoleh dari Laboratorium Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. Dosis yang digunakan terdiri dari 3 taraf yaitu dosis 20 (CK1), 40 (CK2), 60 (CK3) cc/liter, serta kontrol (CK0). Cuka kayu berbagai taraf dosis diaplikasikan pada batang dan daun bibit kayu bawang, serta media di polybag menggunakan hand sprayer. Aplikasi cuka kayu dilakukan 2 kali setiap 2 minggu sekali. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan tinggi dan diameter yang dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 2 bulan. Data pertumbuhan bibit kayu bawang dianalisis dengan analisis keragaman. Selanjutnya apabila perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter yang diukur maka dilanjutkan dengan uji nilai tengah Duncan pada taraf 5%. Walaupun aplikasi cuka kayu tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap pertumbuhan bibit kayu bawang, akan tetapi penyemprotan cuka kayu memberikan pertambahan tinggi pada bibit yang diaplikasikan cuka kayu lebih besar dibandingkan kontrol. Tabel 2 menunjukkan bahwa dosis cuka kayu 20 cc/liter merupakan perlakuan dengan pertambahan tinggi lebih baik dibanding kontrol dan taraf lainnya, yakni menghasilkan riap tinggi sebesar 4,92 cm atau 40,97% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Sedangkan persentase pertambahan tinggi terhadap kontrol pada perlakuan dosis 40 dan 60 cc/liter masing-masing sebesar 15,76% dan 20,63%.

86

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa aplikasi cuka kayu tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan (tinggi dan diameter) bibit kayu bawang asal anakan alam sebagaimana yang tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis keragaman perlakuan cuka kayu terhadap pertumbuhan bibit kayu bawang Parameter Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Uji F keragaman bebas (db) Kuadrat Tengah F Hit F tabel (JK) (KT) Tinggi Perlakuan 3 31,139 10,380 1,170 ns 0,324 Galat 116 1028,919 8,870 Total 119 1060,058 Diameter Perlakuan 3 0,859 0,286 1,182 ns 0,32 Galat 116 28,089 0,242 Total 119 28,948 Keterangan: ns = tidak berbeda nyata pada taraf 5% Tabel 2. Rata-rata pertambahan tinggi bibit kayu bawang Dosis Pertambahan tinggi Persentase pertambahan (cc/liter) (cm) tinggi terhadap kontrol (%) 0 3,49 - 20 4,92 40,97 40 4,04 15,76 60 4,21 20,63 Pertambahan diameter pada kontrol paling rendah dibandingkan dengan perlakuan aplikasi cuka kayu sebagaimana tersaji pada Tabel 3. Seperti halnya dengan pertambahan tinggi, pertambahan diameter bibit kayu bawang pada perlakuan cuka kayu dosis 20 cc/liter memberikan pertambahan paling besar dibandingkan dosis lainnya yaitu sebesar 0,99 mm. Persentase pertambahan diameter terhadap kontrol pada aplikasi cuka kayu dosis 20 cc/liter sebesar 28,57%, sedangkan pada dosis 40 dan 60 cc/liter masing-masing sebesar 7,79% dan 15,58% (Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata pertambahan diameter bibit kayu bawang Dosis (cc/liter) Pertambahan diameter (mm) Persentase pertambahan diameter terhadap kontrol (%) 0 0,77 - 20 0,99 28,57 40 0,83 7,79 60 0,89 15,58 Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pertambahan tinggi pada kontrol paling rendah baik pada 1 bulan setelah tanam maupun pada 2 bulan setelah tanam. Pertambahan tinggi paling besar pada saat 1 dan 2 bulan setelah tanam yaitu pada perlakuan dosis 20 cc/liter yaitu masing-masing sebesar 3,4 cm dan 4,9 cm. Pertambahan tinggi urutan kedua yaitu pada dosis 60 cc/liter yaitu sebesar 2,9 cm pada 1 bulan setelah tanam dan 4,2 cm pada 2 bulan setelah tanam (Gambar 1).

87

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

6,0

5,0

4,0 CK0 3,0 4,9 CK1 2,0 4,0 4,2 3,5

Riap Tinggi Tinggi Riap (cm) 3,4 CK2 2,9 2,2 1,0 2,1 CK3 0,0 1 2 Bulan Setelah Tanam (BST)

Gambar 1. Pertambahan tinggi bibit kayu bawang respon aplikasi pupuk cuka kayu Pertambahan diameter pada kontrol paling rendah dibandingkan perlakuan cuka kayu baik pada 1 maupun 2 bulan setelah tanam seperti yang tersaji pada Gambar 2. Secara umum pertambahan diameter pada 2 bulan setelah tanam pada bibit perlakuan aplikasi cuka kayu lebih besar dibandingkan pada saat 1 bulan setelah tanam. Dosis 20 cc/liter memberikan pertambahan diameter paling besar pada 1 bulan dan 2 bulan setelah tanam yaitu masing- masing sebesar 0,88 mm dan 1 mm (Gambar 2). Pertambahan diameter pada dosis 40 cc/liter dan 60 cc/liter pada 1 bulan setelah tanam yaitu sebesar 0,63 mm dan 0,75 mm. Sedangkan pertambahan diameter pada dosis 40 cc/liter dan 60 cc/liter pada 2 bulan setelah tanam yaitu sebesar 0,83 mm dan 0,89 mm (Gambar 2).

1,20 1,00 1,00 0,88 0,89 0,83 0,80 0,75 0,76 0,65 0,63 0,60 CK0 CK1

0,40 CK2 Riap Diameter(mm) Riap 0,20 CK3

0,00 1 2

Bulan Setelah Tanam (BST)

Gambar 2. Rata-rata pertambahan diameter bibit kayu bawang respon aplikasi cuka kayu

88

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Pembahasan Hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa aplikasi cuka kayu pada berbagai taraf dosis tidak berpengaruh signifikan terhadap pertambahan tinggi dan diameter kayu bawang asal cabutan/anakan alam. Akan tetapi dosis 20 cc/liter merupakan dosis yang memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan bibit kayu bawang asal anakan alam baik terhadap pertambahan tinggi maupun diameter bibit. Sehingga aplikasi cuka kayu sebanyak 20 cc/liter setiap 2 minggu sekali selama 1 bulan dinilai cukup efektif meningkatkan pertumbuhan bibit kayu bawang asal anakan alam di persemaian. Bibit kayu bawang yang diaplikasikan cuka kayu berasal dari cabutan/anakan alam yang dikumpulkan di habitatnya di Bengkulu. Pertumbuhan yang lebih baik pada bibit kayu bawang dengan aplikasi cuka kayu tersebut diduga karena sifat cuka kayu dapat merangsang pertumbuhan dan penguatan akar, daun dan batang pada trubusan yang muncul pasca mengalami aklimatisasi di persemaian. Selain itu cuka kayu juga menghambat pertumbuhan hama penyakit tanaman yang seringkali muncul setelah melewati suasana lembab dalam sungkup. Sudomo et al. (2007) melaporkan bahwa aplikasi cuka kayu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi semai Gmelina arborea Linn. Sementara itu Siarudin dan Suhaendah (2007) melaporkan bahwa aplikasi cuka kayu memberikan pengaruh sangat nyata terhadap peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman sengon. Hal tersebut disebabkan karena cuka kayu yang disemprotkan ke daun atau sekitar akar tanaman bisa dimanfaatkan untuk membantu metabolismee. Respon aplikasi cuka kayu terhadap masing- masing tanaman akan berbeda-beda. Akan tetapi cuka kayu pada bibit kayu bawang memberikan respon pertumbuhan lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol. Komarayati et al. (2011) melaporkan bahwa berdasarkan hasil analisis HPLC dan GC cuka kayu hasil modifikasi tungku arang terpadu mengandung asam asetat 20,13-30,05 ppm, methanol 0,44-1,15% dan phenol 52,41-63,62 ppm. Lebih lanjut Komarayati et al. (2011) melaporkan bahwa unsur hara yang terdapat dalam cuka kayu adalah C-organik 6,12-7,35%; N total 0,62-0,67%; P2O5 total 0,24-0,31% dan K2O total 0,31-0,36%. Menurut Komarayati et al. (2011), dengan adanya berbagai macam komponen kimia tersebut terindikasi cuka kayu berperan sebagai penyubur tanaman, pengawet makanan, penyembuh penyakit tanaman, disinfektan, penghambat pertumbuhan mikroorganisme, dan pencegah jamur dan bakteri. Komponen fenol dan turunannya yang terkandung pada cuka kayu berfungsi sebagai inhibitor terhadap mikroba, asam asetat serta senyawaan netral berfungsi mempercepat pertumbuhan, selain itu cuka kayu mengandung komponen pupuk antara lain N, P, K, Na, Mg, dan Fe (Nurhayati, 2002). Yatagai (2002) dalam Nurhayati et al. (2006) melaporkan bahwa komponen kimia cuka kayu seperti asam asetat berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan dan pencegahan penyakit, metanol untuk mempercepat pertumbuhan, fenol dan turunannya sebagai inhibitor atau pencegah hama dan penyakit serta senyawaan netral untuk mempercepat pertumbuhan tanaman. Loo et al. (2007) menyatakan bahwa cuka kayu saat ini telah dikembangkan sebagai sterilizing agent, deodorant, pupuk, anti mikroba dan antioksidan serta dapat memperbaiki sifat tanah serta menghambat perkecambahan biji tanaman (Mu et al., 2003; Ku dan Mun, 2006).

89

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

IV. KESIMPULAN

1. Aplikasi cuka kayu mampu memacu pertumbuhan bibit kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) asal cabutan/anakan alam. 2. Cuka kayu dosis 20 cc/liter merupakan dosis paling efektif dalam memberikan pertambahan tinggi dan diameter masing-masing sebesar 40,97% dan 28,57% terhadap kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Utara. 2004. Budidaya Kayu Bawang. Leaflet. Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Utara. Argamakmur. Komarayati, S., Gusmailina, G. Pari. 2011. Produksi Cuka Kayu Hasil Modifikasi Tungku Arang Terpadu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 29 No 3 September 2011. Ku, CS. and Mun SP. 2006. Characterization of Pyrolysis Tar Derived from Lignocellulosic Biomass. J. Ind Eng. Chem 12 (26): 853-861. Ku, C.S. dan Mun SP. 2006. Characterization of Pyrolysis Tar Derived from Lignocellulosic Biomass. J. Ind Eng. Chem 12 (26): 853-861. Loo, AY., Jain, K., and Darah, I. 2007. Antioxidant and Radical Scavenging Activities of Pyroligneous Acid from a Mangrove Plant (Rhizophora apiculata). Journal of Food Chemistry 104: 300-307. Marsono. 2001. Pupuk Akar Jenis dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta. Nurhayati, T. 2002. Prospek Pengembangan Komoditas Cuka Kayu. Prosiding Pertemuan Ilmiah Standardisasi dan Jaminan Mutu, Jakarta 2-3 Oktober 2002. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Nurhayati, T., R.A. Pasaribu, dan D. Mulyadi. 2006. Produksi Pemanfaatan Arang dan Cuka Kayu dari Serbuk Gergaji Kayu Campuran. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 24 No. 5, Oktober 2006. Bogor. Nurhayati, T. 2007. Dulu Arang Sekarang Arang dan Cuka Kayu. Gelar Teknologi Pekan Hutan Rakyat Nasional I. Tanggal 7 September 2006. Ciamis. Siarudin, M. Dan E. Suhaendah. 2007. Uji Pengaruh Mikoriza dan Cuka Kayu terhadap Pertumbuhan Lima Provenan Sengon di Persemaian. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol 1 No 1 Juli 2007. Sudomo, A., A. Hani, E. Suhaendah. 2007. Pertumbuhan Semai Gmelina arborea Linn dengan Pemberian Mikoriza, Pupuk Organik Diperkaya dan Cuka Kayu. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol 1 No 2, September 2007.

90

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

EFEKTIVITAS NAUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUNGKAI (Peronema canescen Jack.) DI PERSEMAIAN

Sahwalita Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Sungkai (Peronema canescen Jack.) merupakan salah satu jenis potensial untuk dikembangkan di hutan tanaman. Namun demikian teknik silvikultur jenis ini belum dikuasai sepenuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh naungan terhadap pertumbuhan bibit sungkai. Penelitian dilakukan di persemaian KHDTK Kemampo, Kabupaten Banyuasin pada bulan Agustus sampai Desember 2012. Penelitian dilakukan secara berseri berdasarkan intensitas naungan (55%, 65% dan 75%). Parameter yang diamati adalah pertumbuhan tinggi dan diameter bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembibitan tanaman sungkai dengan menggunakan berbagai intensitas naungan pada bibit di persemaian memberikan pertumbuhan terbaik pada intensitas naungan 55%. Kata kunci: diameter, naungan, tinggi, sungkai

I. PENDAHULUAN

Sungkai memiliki potensi untuk dikembangkan secara nasional. Mengingat jenis ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan budidayanya sederhana. Selain itu sungkai memiliki banyak manfaat berupa kayu untuk bahan konstruksi, mebel dan plywood serta daun dan akar untuk obat-obatan. Kayu sungkai diekspor dalam jumlah terbatas ke Jepang (Soerianegara dan Lemmens, 1994). Sifat dasar kayu sungkai berat jenis 0,63 dengan kelas kuat I-II dan kelas awet III, kayu berwarna kuning atau krem. Kayu sungkai dapat mengering dengan mudah tanpa cacat yang berarti, selain itu kayu sungkai dapat diserut, dibentuk dan dibubut dengan hasil sedang serta dapat dibor dan diamplas dengan hasil baik (Martawijaya dkk, 2005). Pembibitan sungkai melalui stek telah digunakan secara massal untuk memenuhi kebutuhan bibit siap tanam dan memiliki persen hidup yang tinggi sekitar 93,33-100% (Sahwalita dkk., 2010). Persen hidup stek yang tinggi belum menjamin keberhasilan pertumbuhan bibit di persemaian. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bibit sampai pada waktu siap tanam. Pertumbuhan akar sangat berperan dalam meningkatkan keberhasilan pertumbuhan tanaman bagian atas. Tunas yang muncul tanpa disertai munculnya akar akan mengalami masalah pada pertumbuhan selanjutnya bahkan dapat menyebabkan kematian. Naungan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan tanaman. Naungan dimaksudkan untuk mengurangi dehidrasi tanaman karena kestabilan hubungan antara media dan perakaran belum terjamin, di samping mempertahankan kelembaban tanah. Dengan penggunaan naungan diharapkan diperoleh bibit yang berkualitas dan dalam waktu singkat.

91

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus-November 2012 pada Persemaian di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo-Banyuasin yang dikelola oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Sumatera Selatan. KHDTK Kemampo termasuk dalam wilayah kerja Resort Pemangkuan Hutan Kemampo yang berlokasi di Desa Kayuara Kuning, Kecamatan Banyu Asin III, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis KHDTK Kemampo terletak antara 104o18’07”–104o22’09” Bujur Timur dan antara 2o54’28”-2o56’30” Lintang Selatan (Balittaman dan Unsri, 2002).

B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah bibit sungkai asal stek, polybag, naungan sarlon plastik dengan intensitas 55%, 65% dan 75%. Sedangkan alat yang digunakan adalah cangkul, parang. gergaji, gunting stek, ember plastik, penggaris, kaliper dan alat tulis.

C. Metode Penelitian 1. Tahapan kegiatan Pengambilan bahan stek dilakukan di kebun perbanyakan dengan memanfaatkan trubusan/tunas hasil pangkasan tahap 1. Trubusan diambil dengan cara memotong pada bagian bawah dengan cara mengergaji supaya bagian batang tidak pecah. Selanjutnya trubusan dipotong untuk memudahkan pengangkutan ke lokasi persemaian. Kemudian trubusan dipotong dengan ukuran panjang 15-20 cm atau 2 nodus dan lalu disortir/dipilih stek yang baik terutama tidak pecah pada bagian pangkal dan ujungnya. Selanjutnya stek direndam pada hormon pertumbuhan selama 15 menit. Penanaman dilakukan dalam polybag dengan ukuran 15x20cm yang telah diisi media. Media yang digunakan berupa top-soil yang diambil pada lokasi-lokasi di KHDTK Kemampo yang belum mengalami pengupasan permukaan. Selanjutnya polybag disusun sesuai perlakuan masing-masing dan disungkup. Setelah tunas tumbuh sungkup dibuka secara bertahap sampai stek benar-benar siap untuk beradaptasi dengan lingkungan. 2. Rancangan penelitian Setelah stek tumbuh tunas dan sungkup dibuka, dipasang naungan sesuai dengan perlakuan. Naungan yang dipasang terdiri dari 3 macam intensitas yaitu: 55%, 65% dan 75%. Bibit diamati dan diukur pertumbuhannya selama 3 bulan. Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan tinggi dan diameter bibit sampai berumur 3 bulan di persemaian. Guna mengetahui perbedaan antar perlakuan yang ada, dilakukan analisa dengan uji-t terhadap data hasil pengukuran.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Hasil rata-rata pertumbuhan bibit sungkai dan hasil analisis uji-t pada parameter yang diamati terdapat pada Tabel 1, sedangkan hasil analisis korelasi antar parameter yang diamati terdapat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 1 pertumbuhan diameter dan tinggi bibit sungkai hanya berbeda nyata pada naungan dengan kerapatan 55% dan kerapatan 75%. Kerapatan na- ungan yang digunakan mempunyai korelasi negatif terhadap diameter dan tinggi pada Tabel 2.

92

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Tabel 1. Rerata pertumbuhan dan hasil analisis uji-t pada bibit sungkai di persemaian berdasarkan intensitas naungan Naungan Pertumbuhan bibit Diameter (mm) Tinggi (cm) Uji-t pada bibit dengan intensitas naungan 55% dan 65% Naungan 55% 4,931 ns 17,813 ns Naungan 65% 4,887 ns 15,389 ns Uji-t pada bibit dengan intensitas naungan 55% dan 75% Naungan 55% 4,931 ** 17,813 ** Naungan 75% 4,523 ** 13,036 ** Uji-t pada bibit dengan intensitas naungan 65% dan 75% Naungan 55% 4,887 ns 15.389 ns Naungan 75% 4,523 ns 13,036 ns Keterangan: ns : Non signifikan ** : Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%

Tabel 2. Analisis korelasi antar parameter pada bibit sungkai berdasarkan intensitas naungan Parameter Naungan Diameter Tinggi Naungan 1,00 -0,2046 -0,2303 0,00 0,0018 0,0004 Diameter -0,2046 1,00 0,5647 0,0018 0,00 <,0001 Tinggi -0,2303 0,5647 1,00 0,0004 <,0001 0,00

B. Pembahasan Hasil uji-t pengaruh naungan terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter disajikan pada Tabel 1 menunjukkan berbeda sangat nyata pada intensitas naungan 55% dan intensitas naungan 75%. Intensitas naungan mempunyai korelasi negatif terhadap tinggi dan diameter pada Tabel 2. Intensitas naungan pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui kebutuhann bibit terhadap cahaya dan kelembaban. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas naungan pada bibit, maka pertumbuhan semakin menurun. Pertumbuhan tinggi dan diameter tertinggi pada intensitas naungan 55%, yaitu 17,813 cm dan 4,931 mm, sedangkan terrendah pada intensitas naungan 75%, yaitu 13,036 cm dan 4,523 mm. Intensitas naungan yang terbaik adalah 55% karena memiliki pertumbuhan tinggi dan diameter tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada persemaian kayu bawang (Protium javanicum Burm. F) umur 3 bulan pemberian paranet dengan tingkat kerapatan naungan 55% memberikan pertumbuhan bibit terbaik (Siahaan H. dkk, 2006). Gambar sungkup dan bibit di persemaian dapat dilihat pada Gambar 1. Intensitas naungan 55% memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit sungkai berumur 3 bulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pertumbuhannya bibit sungkai sangat memerlukan cahaya. Kebutuhan cahaya yang cukup dapat meningkatkan aktivitas fisiologinya, sehingga cenderung meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter secara seimbang. Alrasyid et al. (2000) mengemukakan bahwa proses fotosintesis dan metabolismee suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor luar seperti sinar matahari, tersedianya

93

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

air, hara mineral dan kondisi tempat tumbuh. Intensitas cahaya terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman (Sastrawinata, 1984). Intensitas cahaya terlalu rendah akan menghasilkan produk fotosintesis yang tidak maksimal, sedangkan intensitas cahaya yang terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap aktivitas sel-sel stomata daun dalam mengurangi transpirasi sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman.

a b Gambar 1. Sungkup bibit sungkai (a), bibit di persemaian (b) Efisiensi fotosintesa yang tinggi mempercepat pertumbuhan tunas batang. Dalam proses fotosintesa, senyawa hasil fotosintesa diedarkan ke seluruh bagian tanaman yang membutuhkan seperti akar, batang dan daun. Pada tingkat kerapatan naungan 75% bibit mengalami gangguan fotosintesis akibat kurang cahaya. Walaupun fluktuasi suhu dan kelembaban pada naungan tersebut lebih kecil dibandingkan naungan lainnya. Terhambatnya proses fotosintesa menyebabkan hasil fotosintesa tidak maksimal untuk dapat memenuhi kebutuhan bibit, sehingga akan menganggu petumbuhan tanaman.

IV. KESIMPULAN

1. Teknik pembibitan tanaman sungkai dengan menggunakan berbagai intensitas naungan pada bibit di persemaian memberikan pertumbuhan terbaik pada intensitas naungan 55%. 2. Pemberian naungan dapat meningkatkan efktifitas dipersemaian dengan memperpendek waktu pembibitan dan meningkatkan kualitas bibit sungkai.

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H., Sumarhani dan Y. Heryati. 2000. Percobaan Penanaman Padi Gogo di bawah Tegakan Hutan tanaman Acacia mangium di BKPH Parung panjang, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan No. 621. Hal 27-54. Balai Litbang Hutan Tanaman dan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. 2002. Design Engineering Wanariset Kemampo. Palembang. Tidak dipublikasikan.

94

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Martawijaya. A, Kartasujana. I, Mandang. Y.I, Kadir K dan Prawira. S.A., 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Indonesia. (Cetakan Ketiga). Sahwalita, Imam M. dan Joni M. 2010. Laporan Hasil Penelitian (LHP) Budidaya jenis Sungkai (Peronema canescen Jack.). Balai Penelitian Kehutanan Palembang. (Tidak dipublikasikan). Sastrawinata, H.A. 1984. Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea laevis RIDL. Di komplek wanariset, Kalimantan Timur. Laporan Puslitbang hutan. Siahaan H., Nanang H. dan Teten R. 2006. Peningkatan pertumbuhan bibit kayu bawang (protium javanicum burm f.) dengan aplikasi arang kompos dan naungan. Prosiding Ekpose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 Seprember 2006 (ISBN: 978-979-3145-35-8). Soerianegara, I. dan Lemmens, R.H.M.J. 1994. Plant Resources of South East Asia (PROSEA) 5(1). Timber Trees: Major Commercial Timbers. Pudec scientific Publishers. Wagenigen.

95

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PENGARUH JENIS MEDIA TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH KEPUH (Sterculia foetida Linn.)

Nanang Herdiana1, Imam Muslimin1 dan Kusdi Mulyadi2 1 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2 Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Kepuh (Sterculia foetida Linn.) merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh yang cukup potensial untuk dikembangkan, karena selain kayunya juga berpotensi sebagai tanaman obat. Sampai saat ini informasi yang berkaitan dengan jenis ini, termasuk teknik pembibitannya belum banyak diketahui, sehingga penelitian yang berkaitan dengan aspek ini masih diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan media terbaik untuk proses perkecambahan kepuh. Jenis media tabur yang diuji adalah campuran tanah dan pasir (v/v) dengan berbagai komposisi, yaitu: M0 (Komposisi Pasir : Tanah = 100 : 0), M1 (Komposisi Pasir : Tanah = 90 : 10), M2 (Komposisi Pasir : Tanah = 80 : 20), M3 (Komposisi Pasir : Tanah = 70 : 30), M4 (Komposisi Pasir : Tanah = 60 : 40) dan M5 (Komposisi Pasir : Tanah = 50 : 50). Respon pengamatan yang diukur adalah jumlah kecambah yang tumbuh per hari pengamatan. Parameter yang diamati adalah daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tanah pada media perkecambahan berpengaruh sangat nyata terhadap daya berkecambah dan kecepatan berkecambah benih kepuh, sedangkan pada keserempakan tumbuh tidak berbeda nyata. Jenis media tabur yang paling sesuai untuk perkecambahan benih kapuh adalah media M5 (komposisi pasir : tanah = 50 : 50 v/v) dan M4 (komposisi pasir : tanah = 60 : 40 v/v). Kata kunci: daya berkecambah, kecepatan berkecambah, kepuh, keserempakan tumbuh, pasir, perkecambahan, tanah

A. PENDAHULUAN

Kegiatan perbenihan merupakan langkah awal dalam menyediakan bibit untuk kegiatan penanaman. Kualitas bibit yang dihasilkan maupun waktu yang dibutuhkan untuk produksi bibit sangat ditentukan oleh bagaimana proses penanganan benih yang dilakukan. Penanganan benih yang tepat akan menghasilkan bibit yang berkualitas dalam waktu yang lebih cepat. Kepuh (Sterculia foetida Linn.) merupakan tanaman yanag banyak dijumpai di Indonesia dan Malaysia dan termasuk jenis cepat tumbuh (fast growing species). Di Sumatera selatan, khususnya di Kabupaten OKI, kepuh dikenal dengan nama kayu agung. Di hutan alam jenis ini dapat mencapai tinggi 30 – 35 m dan diameternya dapat mencapai 100 – 120 cm (Heyne, 1987). Kepuh merupakan salah satu jenis substitusi yang paling baik bagi jenis ramin (Gonystylus bancanus) yang pada saat ini ini sudah semakin sukar didapatkan karena sudah langka dan telah masuk jenis yang dilindungi. Kayu jenis ini juga kemungkinan dapat digunakan untuk bahan baku pulp dan kertas. Beberapa bagian dari tanaman ini baik kulit batang, daun, biji maupun yang lainnya mempunyai potensi sebagai bahan baku obat dan masyarakat lokal sudah sejak dulu menggunakannya untuk pembuatan obat tradisional atau jamu (Heyne, 1987 dan Tantra, 1976).

97

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Berdasarkan berbagai keunggulan tersebut, maka jenis ini cukup potensial untuk di- kembangkan lebih luas. Dalam upaya pengembangannya, dibutuhkan berbagai informasi terkait teknik budidaya, termasuk teknik pembibitannya. Salah satu kegiatan yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembibitan adalah perkecambahan. Proses ini turut menentukan jumlah bibit yang mampu dihasilkan berdasarkan jumlah kecambah yang tumbuh. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan media terbaik untuk proses perkecambahan kepuh.

B. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada bulan Juni – Juli 2009.

B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam pengujian ini antara lain: buah kepuh yang berasal dari Kayu Agung Kabupaten OKI yang diunduh pada bulan Juni 2009, dithane, media tabur pasir dan tanah, bak kecambah, label, sprayer dan gembor.

C. Metode Penelitian 1. Ekstraksi Benih Buah kepuh yang diunduh umumnya telah terbuka, sehingga benihnya dapat dengan mudah dikeluarkan dari polongnya. Selanjutnya direndam dalam air selama 24 jam untuk menghilangkan lapisan seperti daging buah yang melapisi benih. 2. Seleksi Benih Kegiatan seleksi benih dilakukan untuk mendapatkan benih yang mempunyai kondisi fisik (penampakan yang seragam). Benih yang digunakan adalah benih yang mempunyai ukuran yang seragam dan berwarna hitam yang menunjukkan benih telah masak. Diharapkan benih yang digunakan dalam pengujian mempunyai kualitas vigor yang tinggi dan seragam (BTP, 2000). 3. Persiapan Media tabur Jenis media tabur yang diuji adalah campuran tanah dan pasir dengan berbagai komposisi, yaitu: M0 : Komposisi Pasir : Tanah = 100 : 0 (v/v) M1 : Komposisi Pasir : Tanah = 90 : 10 (v/v) M2 : Komposisi Pasir : Tanah = 80 : 20 (v/v) M3 : Komposisi Pasir : Tanah = 70 : 30 (v/v) M4 : Komposisi Pasir : Tanah = 60 : 40 (v/v) M5 : Komposisi Pasir : Tanah = 50 : 50 (v/v) Tanah dan pasir yang digunakan terlebih dahulu diayak dan disterilkan dengan cara dijemur langsung di bawah sinar matahari. 4. Penaburan Benih Perkecambahan benih dilakukan dengan sistem larikan. Benih diletakan pada tiap larikan yang dibuat dengan posisi bekas tangkai menghadap ke atas, sedalam ± ¾ bagian benih tenggelam, kemudian ditutup dengan media tabur tipis. Satuan pengamatan yang digunakan sebanyak 25 butir benih dan diulang sebanyak 3 kali.

98

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

5. Respon dan Parameter Pengamatan Respon pengamatan yang diukur adalah jumlah kecambah yang tumbuh per hari pengamatan. Sedangkan parameter yang diamati adalah daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh. a. Daya Berkecambah Daya berkecambah dihitung berdasarkan persentase benih yang berkecambah normal terhadap banyaknya benih yang ditabur, dihitung berdasarkan rumus: kecambah normal yang tumbuh DB (%)  x 100% benih yang ditabur  b. Kecepatan Berkecambah Kecepatan berkecambah dihitung berdasarkan jumlah penambahan kecambah setiap hari, dihitung berdasarkan rumus: n h  n h  ..... n h KcB (hari)  1 1 2 2 i i n1  n2  .... ni Di mana: ni :  benih yang berkecambah pada hari ke-i hi :  hari yang diperlukan untuk mencapai jumlah kecambah ke-i c. Keserempakan Tumbuh Penentuan keserempakan tumbuh dilakukan dengan cara menghitung persentase jumlah kecambah yang muncul selama satu mingu pada saat puncak perkecambahan terjadi dan dilakukan pada saat sudah terbentuk kecambah normal. 6. Analisis Data Pengujian ini dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap, model umum rancangan ini adalah sebagai berikut: Yij =  + i + ij Di mana: Yij : Nilai setiap pengamatan  : Nilai rata-rata umum i : Pengaruh perlakuan ke i ij : Kesalahan percobaan akibat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati, maka dilakukan uji beda nilai tengah dengan uji jarak berganda duncan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih kepuh selengkapnya disajikan pada Tabel 1, sedangkan hasil uji lanjut pengaruh jenis media terhadap parameter pengukuran selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis media berpengaruh sangat nyata terhadap daya berkecambah dan kecepatan berkecambah benih kapuh, namun tidak berpengaruh nyata terhadap keserempakan tumbuh dan daya berkecambah (Tabel 1). Semakin tinggi penambahan tanah pada media tabur yang digunakan, maka daya berkecambah benih

99

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

kepuh akan semakin tinggi, tetapi untuk parameter kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh terjadi sebaliknya (Tabel 2). Tabel 1. Hasil analisis sidik ragam daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih kepuh pada berbagai jenis media tabur No. Parameter Pengukuran Kuadrat Tengah F- hitung 1. Daya Berkecambah 408,36 17,67** 2. Kecepatan Berkecambah 8,27 12,06** 3. Keserempakan Tumbuh 9,42 0,71 tn

Tabel 2. Pengaruh jenis media terhadap daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih kepuh Daya Kecepatan Keserempakan No. Jenis Media Berkecambah (%) Berkecambah (Hari) Tumbuh (%) 1. M0 41,33 A 9,98 A 34,67 2. M1 41,33 A 10,97 A 33,33 3. M2 48,00 ab 12,36 B 32,00 4. M3 50,67 B 12,74 Bc 32,00 5. M4 61,33 C 13,67 Bc 32,00 6. M5 70,67 D 14,23 C 29,33 Catatan: Nilai pada tiap baris yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 1% bedasarkan Uji Jarak Berganda Duncan Daya berkecambah tertinggi diperoleh pada media M5 (komposisi pasir : tanah = 50 : 50 v/v) sebesar 70,67%, sedangakn daya berkecambah terendah diperoleh pada pada media M0 (pasir 100%) dan media M4 (komposisi pasir : tanah = 60 : 40 v/v) masing-masing sebesar 41,33%. Kecepatan berkecambah benih kepuh pada media M0 (pasir 100%) mencapai 9,98 hari, sedangkan pada media M5 (komposisi pasir : tanah = 50 : 50 v/v) hanya selama 14,23 hari. Tingginya daya berkecambah pada media M5 dan M4 diduga dikarenakan kemampuan media dalam menyediakan air dan tingkat kegemburan media dalam mendukung proses perkecambahan benih keuh. Secara umum, perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Tahapan awal dari proses perkecambahan adalah proses penyerapan air oleh benih yang selanjutnya adalah pelunakan kulit benih dan hidrasi dari protoplasma. Dalam proses penyerapan air, hal yang paling penting di samping sifat permeabilitas kulit benih adalah ketersediaan air dalam media tabur. Dalam hal ini terkait dengan daya serap dan daya pegang air dari media tabur agar dapat menjaga kelembaban sehingga proses imbibisi dan difusi air ke dalam benih dapat berjalan dengan baik. Kandungan pasir yang berbeda pada masing-masing jenis media akan berpengaruh terhadap perbedaan kemampuan media dalam menyediakan air untuk mendukung proses perkecambahan. Hal tersebut terlihat dari adanya kecenderungan peningkatan daya berkecambah seiring dengan penambahan tanah pada media tabur. Kecepatan berkecambah menunjukkan lamanya waktu yang diperlukan benih untuk berkecambah. Semakin kecil nilai kecepatan berkecambah maka semakin cepat benih berkecambah. Penambahan pasir cenderung mengurangi tingkat kegemburan media, sementara tipe perkecambahan kepuh termasuk yang epigeal (munculnya radikel diikuti

100

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

dengan memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumula ke atas permukaan tanah). Kedua hal tersebut akan berimplikasi terhadap hambatan dalam kemunculan kecambah ke permukaan, tetapi dengan ukuran benih/kecamabah kepuh yang cukup besar akan memiliki tenaga yang cukup besar, sehingga hambatan tersebut relatif tidak berpengaruh. Walapun penambahan tanah pada media perkecambahan benih kepuh tidak berpengaruh nyata terhadap keserempakan tumbuhnya, tetapi terlihat adanya kecenderungan rendahnya nilai keserempakan tumbuh dengan makin tinginya kandungan tanah dalam media tabur. Keserempakan tumbuh benih kepuh pada media M0 (pasir 100%) mencapai 34,67%, sedangkan pada media M5 (komposisi pasir : tanah = 50 : 50 v/v) menjadi sebesar 29,33%. Perbedaan keserempakan tumbuh tersebut terkait dengan kondisi fisik media perkecambahan yang diuji. Peningkatan kandungan tanah pada media tabur cenderung menurunkan tingkat kegemburan media yang akan berpengaruh terhadap pemunculan kecambah ke permukaan tanah. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sutopo (1998) bahwa kondisi fisik dari tanah sangat penting bagi berlangsungnya kecambah. Benih akan terhambat perkecambahannya pada tanah yang padat, sehingga untuk menembus ke permukaan tanah akan membutuhkan energi yang lebih besar. Tinggi persentase benih berkecambah pada media M0 menyebabkan proses perkecambahan berjalan menjadi lebih lama, tetapi mulai berkecambahnya lebih cepat. Pengujian ini menunjukkan bahwa jenis media tabur yang paling baik untuk perkecambahan benih kepuh, dalam hal ini memberikan daya berkecambah paling besar, kecepatan perkecambahannya cukup tinggi dan relatif serempak adalah media M5 (komposisi pasir : tanah = 50 : 50 v/v) dan M4 (komposisi pasir : tanah = 60 : 40 v/v). Daya serap dan daya pegang air dari tanah yang terkandung pada media ini mampu menyediakan air yang cukup bagi perkecambahan, sedangkan campuran pasir akan membantu memperbaiki struktur media, media menjadi lebih gembur, aerasi dan drainase media juga menjadi baik. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Buckman et al. (1969) dalam Islami et al. (1995), yang menyatakan bahwa tanah bertekstur pasir mempunyai ruang pori berukuran besar (pori makro) yang banyak dan bersifat terbuka, sehingga aerasi dan drainasenya berjalan baik.

V. KESIMPULAN

1. Perlakuan penambahan tanah pada media perkecambahan berpengaruh sangat nyata terhadap daya berkecambah dan kecepatan berkecambah benih kepuh, sedangkan pada keserempakan tumbuh tidak berbeda nyata. 2. Jenis media tabur yang paling sesuai untuk perkecambahan benih kapuh adalah media M5 (komposisi pasir : tanah = 50 : 50 v/v) dan M4 (komposisi pasir : tanah = 60 : 40 v/v).

DAFTAR PUSTAKA

BTP. 2000. Pedoman Standarisasi Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Tanaman Hutan, Buku I. Publikasi Khusus Vol. 2 No. 4. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Islami, T. dan Wani H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Press. Semarang. Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.

101

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Sutopo, Lita. 1998. Teknologi Benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Tantra, I. G. M. 1976. A Revision of The Genus Sterculia L. in Malaysia (Sterculiaceae). Lembaga Penelitian Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.

102

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PERTUMBUHAN AWAL TEGAKAN BAMBANG LANANG (Michelia champaca L.) DAN KARET (Havea brasiliensis Muell. Arg) PADA POLA CAMPURAN DI KHDTK KEMAMPO

Agus Sumadi1, M. J. Rosyid2 dan Syaiful Islam3 1 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2 Peneliti pada Balai Penelitian Karet Sembawa 3 Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Pola agroforestri merupakan pola penggabungan berbagai jenis tanaman dalam satu hamparan lahan. Salah satu pola yang dapat dikembangkan di wilayah Sumatera Selatan berupa pola campuran antara tanaman kehutanan (bambang lanang) dengan tanaman perkebunan (karet). Konsep pengembangan pola tersebut dilakukan melalui pembuatan plot penelitian di KHDTK Kemampo dengan berbagai desain pola campuran dan pola monokultur. Hasil pengukuran terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter pada berbagai pola tanam memberikan gambaran pertumbuhan tanaman yang seragam, baik pada tanaman kehutanan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan pola agroforestri diharapkan dapat meningkatkan keberagaman hasil serta memberikan manfaat bagi lingkungan. Kata kunci: pola agroforestri, bambang, karet, pertumbuhan, tinggi, diameter

I. PENDAHULUAN

Pengembangan hutan tanaman baik hutan tanaman industri, hutan tanaman rakyat maupun hutan tanaman pada lahan milik/hutan rakyat dapat menjadi solusi penghasil kayu terutama kayu pertukangan. Hutan tanaman industri sebagian besar dikembangkan dengan pola monokultur sedangkan hutan tanaman rakyat dan hutan rakyat pola yang umum dikembangkan berupa pola campuran atau agroforestri. Pengembangan pola campuran/agroforestri oleh masyarakat dapat menjadi solusi pemanfaatan lahan secara optimal. Menurut Hairiah et al., (2004) bahwa sistem agroforestri merupakan sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis dan berbasis ekologi, dengan memadukan berbagai jenis pohon pada tingkat lahan (petak) pertanian maupun pada suatu bentang lahan (lansekap). Pola campuran antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian/perkebunan dapat memberikan manfaat ganda pada masyarakat baik dari hasil bulanan dari tanaman pertanian maupun hasil akhir berupa kayu pada akhir daur. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryanto et al. (2006) model agroforestri/pola campuran banyak menjadi pilihan prioritas dalam sistem pertanaman karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sistem monokultur, kelebihan ini diantarannya adalah produk ganda yang dihasilkan sepanjang pengelolaan (baik kayu maupun non kayu termasuk didalamnya jasa lingkungan). Mengingat kebutuhan akan kayu terus mengalami peningkatan sedangkan kemampuan hutan terus mengalami penurunan sehingga perlu adanya solusi baru dalam pemenuhan kayu di masa yang akan datang. Kondisi yang berkembang di wilayah Sumatera Bagian Selatan pada khususnya yang banyak berkembang baik sekala perusahaan atau masyarakat berupa perkebunan karet. Selama ini pengembangan karet yang ada di Sumatera Bagian Selatan sebagian besar masih menggunakan pola monokultur. Salah satu strategi untuk meningkatkan

103

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

produksi kayu dengan mengintroduksi tanaman kehutanan kedalam perkebunan karet. Lebih spesifik lagi pola pencampuran atau kombinasi karet dengan tanaman lainnya oleh Budiman et al., (1994) disebut sebagai suatu Sistem Agroforestri Karet atau Rubber Agroforestri System (RAS) yaitu suatu pola agroforestri pada karet yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hasil panen, termasuk karet itu sendiri sebagai hasil utama dan juga hasil sampingan seperti buah-buahan, kayu, rotan, dan lain-lain dengan suatu sistem intensifikasi dan untuk kepentingan kelestarian karet tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut perlu dilakukan penelitian pengaturan optimalisasi lahan pola campuran/agroforestri tanaman kehutanan dan karet. Kegiatan penelitian ini bertujuan membuat sebuah konsep pola tanam campuran antara karet dengan tanaman kehutanan.

II. POLA AGROFORESTRI KARET DENGAN TANAMAN KEHUTANAN

Agroforestri merupakan konsep menggabungkan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian atau tanaman perkebunan. Pola agroforestri dapat memberikan pendapatan lain selain kayu bagi masyarakat. Pola agroforestri banyak dikembangkan oleh masyarakat yang menaman kayu khususnya jenis bambang. Jenis bambang telah lama dibudidayakan oleh masyarakat dengan berbagai pola baik secara monokultur maupun pola agroforestri. Pola ini banyak dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Lahat, Kabupaten OKU Selatan dan Kota Pagar Alam. Salah satu pola yang dikembangkan oleh masyarakat berupa pola campuran antara kayu bambang dengan karet. Masyarakat mengembangkan pola ini rata-rata masih secara acak dalam menempatkan kayu bambang dan karetnya. Masyarakat masih kurang memperhatikan persaingan yang terjadi antara pohon dengan tanaman perkebunan. Karet saat ini merupakan idola bagi masyarakat dalam mengembangkan perkebunan lahan milik, karena karet memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Berdasarkan Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011 luas perkebunan karet sumatera selatan mencapai 662.686 ha terdiri dari lahan rakyat seluas 614.021 ha, perkebunan swasta seluas 24.007 ha dan perkebunan negara seluas 21.741 ha. Kondisi ini menjadi peluang besar pengembangan pola campuran antara karet dengan tanaman kehutanan sehingga mampu memproduksi kebutuhan kayu pertukangan. Penelitian pengembangan pola campuran antara karet dengan tanaman kehutanan dilakukan melalui kerjasama antara Balai Penelitian Kehutanan Palembang dengan Balai Penelitian Karet Sembawa yang dilaksanakan di KHDTK Kemampo. Kegiatan penelitian dilakukan dengan membuat pola-pola tanam campuran antara karet dengan bambang. Uji coba dibuat seluas 3 ha yang terdiri dari 3 blok dengan masing-masing blok seluas 1 ha. Blok I dengan pola 4 baris karet dan 2 baris bambang. Jumlah tanaman karet yang dapat dikembangkan dalam 1 ha sebanyak 400 batang sedangkan bambang sebanyak 200 batang. Pada Blok II pola campuran yang dikembangkan berupa 2 baris karet berseling dengan 1 baris bambang. Pada pola ini jumlah tanaman karet yang dapat ditanam dalam 1 ha sebanyak 400 batang dan tanaman bambang 200 batang. Sedangkan pada blok III merupakan areal yang mengembangkan pola monokultur yang terdiri dari 2 plot monokultur bambang dan 1 plot monokultur karet. Pembangunan plot campuran dilakukan seluas 3 ha dengan menggunakan beberapa pola antara lain: Pola 1. Campuran 4 baris karet dengan 2 baris bambang

104

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Pola 2. Campuran 2 baris karet dengan 1 baris bambang Pola 3. Pola monokultur karet dan monokultur bambang

Tanaman kehutanan Karet Gambar 1. Pola campuran karet 4 baris dan tanaman kehutanan 2 baris berseling

Tanaman kehutanan Karet Gambar 2. Pola campuran karet 2 baris dan tanaman kehutanan 1 baris berseling

(a) (b)

Gambar 3. Pola monokultur tanaman kehutanan (a) dan pola monokultur karet (b)

105

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

III. PERTUMBUHAN BAMBANG LANANG

Bambang lanang merupakan salah satu jenis unggulan provinsi Sumatera Selatan. Jenis ini sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat di beberapa kabupaten yang ada di Sumatera Selatan. Bambang merupakan pohon yang memiliki pertumbuhan cepat, batang lurus, tinggi bebas cabang tinggi serta bentangan tajuk yang sempit. Kondisi tajuk bambang yang sempit menjadikan jenis ini memiliki pelung besar untuk dicampurkan dengan jenis lain baik dengan tanaman perkebunan maupun tanaman kehutanan lainnya. Hasil pengukuran tinggi tanaman bambang pada berbagai pola tanam seperti pada Gambar 5 berikut ini.

1.60

1.40

1.20

1.00

0.80 Pola I Pola II 0.60

Tinggi Total Tinggi (m) Pola III

0.40

0.20

0.00 I Bln 5 Bln 9 Bln Umur Tanaman

Gambar 4. Perkembangan tinggi tanaman bambang pada berbagai umur Hasil pengukuran dimensi tinggi tegakan bambang pada tiga blok penanaman yang ada di KHDTK kemampo umur 9 bulan setelah tanam pola campuran pada Pola II memiliki tinggi ra- ta-rata lebih besar dibandingkan dengan dua pola lainnya. Pada Pola II tinggi bambang rata-rata mencapai 158.89 cm, pada pola monokultur Pola III memiliki tinggi 152.42 cm dan pola cam- puran Pola I memiliki tinggi 151.26 cm. Pengembangan tegakan bambang pada berbagai pola yang di lakukan di KHDTK kemampo pada umur 9 bulan rata-rata memiliki tinggi 154.19 cm. Bambang yang sebaran alaminya terdapat pada ketinggian 100 mdpl - 1000 mdpl tersebar di kabupaten Lahat, Empat Lawang, OKU Selatan memiliki pertumbuhan cepat baik diameter dan tinggi. Masyarakat di Empat Kabupaten tersebut telah lama membudidayakan tegakan bambang pada lahan milik dengan berbagai pola baik campuran maupun monokultur. Kondisi tanaman bambang yang dikembangkan di KHDTK Kemampo Kab. Banyuasin memiliki perkembangan diameter seperti pada Gambar 6 berikut ini.

106

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

3.50

3.00

2.50

2.00 Pola I 1.50 Pola II Pola III

1.00 Diameter(cm) pangkal

0.50

0.00 I Bln 5 Bln 9 Bln Umur Tanaman

Gambar 5. Perkembangan diameter tanaman bambang pada berbagai umur Pengembangan tanaman bambang diluar habitat aslinya pada umur 9 bulan setelah tanam dengan pola campuran dengan karet seperti pada Pola I memiliki diameter sebesar 2.9 cm, Pola II sebesar 3.1 cm dan Pola III sebesar 3.0 cm. Pada umur tersebut tanaman bambang dengan pola campuran bambang 1 baris dan karet 2 baris secara berseling (Pola II) memiliki diameter lebih besar dibandingkan dengan dua pola lainnya. Secara umum tegakan bambang yang dikembangkan di KHDTK kemampo pada umur 9 bulan setelah tanam memiliki diameter yang relatif sama.

IV. PERTUMBUHAN KARET

Karet saat ini merupakan tanaman primadona masyarakat Sumatera Selatan dalam pengembangan kebun dan telah berkembang pesat. Masyarakat secara umum masih membudidayakan karet secara monokultur. Kondisi hutan yang sudah menurun potensinya sehingga pengembangan/introduksi tanaman kehutanan dalam kebun karet dapat menjadi solusi pemasok kayu pertukangan. Pengembangan pola campuran di KHDTK Kemampo diharapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat untuk dapat mengembangkan pola tersebut pada program HTR maupun pada hutan rakyat (HR).

2.50

2.00

1.50

Pola I Pola II 1.00

Tinggi total Tinggi (m) Pola III

0.50

0.00 I Bln 5 Bln 9 Bln Umur Tanaman

Gambar 6. Perkembangan tinggi tanaman karet pada berbagai umur

107

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Pengembangan pola campuran antara karet dengan jenis bambang di KHDTK Kemampo memberikan pertumbuhan karet dengan pola satu baris bambang dan dua baris karet seperti pada Pola II pada umur sembilan bulan memiliki tinggi rata-rata lebih besar dibandingkan dengan pola lainnya (Gambar 7). Pada umur tersebut karet memiliki tinggi rata-rata 2,24 m. Pada Pola III memiliki tinggi rata-rata sebesar 1.96 m sedangkan pada Pola III yang dikembangkan dengan pola monokultur memiliki tinggi rata-rata 2.09 m. Diameter merupakan parameter dimensi pohon yang mudah diukur perkembangannya. Pada pengembangan pola campuran di KHDTK kemampo dilakukan pengukuran dimensi diameter pangkal batang karet sejak 1 bulan penanaman sampai terakhir 9 bulan. Kondisi perkembangan pertumbuhan diameter pangkal batang karet seperti pada Gambar 7 berikut ini.

2.50

2.00

1.50

Pola I

1.00 Pola II

Pola III Diameter(cm) pangkal 0.50

0.00 I Bln 5 Bln 9 Bln Umur Tanaman

Gambar 7. Perkembangan diameter pangkal tanama karet pada berbagai umur

Hasil pengukuran diameter batang karet pada umur 9 bulan memberikan gambaran pada berbagai pola tanam memiliki diameter yang tidak berbeda jauh. Pada Pola I diameter rata-rata karet 2.43 cm, Pola II diameter rata-rata 2.42 cm dan pada Pola III diameter rata-rata sebesar 2.46 cm. Pengembangan karet pada umur 9 bulan dengan berbagai pola memiliki pertumbuhan yang relatif sama. Pengembangan pola agroforestri karet dengan tanaman kehutanan diharapkan dapat meningkatkan keragaman hasil dan pendapatan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Senoaji (2012) bahwa pengolahan lahan dengan sistem agroforestri bertujuan untuk mempertahankan jumlah dan keragaman produksi lahan, sehingga berpotensi memberikan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan bagi para pengguna lahan.

V. KESIMPULAN

Perkembangan pertumbuhan bambang dan karet dengan berbagai pola campuran di KHDTK Kemampo memberikan gambaran pertumbuhan tinggi maupun diameter baik jenis bambang maupun karet pada umur 9 bulan relatif seragam. Pengembangan pola campuran antara tanaman kehutanan jenis bambang dan karet dapat menjadi solusi penyedia kayu di masa yang akan datang dan dapat meningkatkan keberagaman hasil serta dapat memberikan manfaat lingkungan. Pola campuran ini dapat dikembangkan pada HTR maupun HR.

108

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, AFS, E. Penot, H de Foresta and T. Tomich. 1994. Integrated Rubber Agroforestri for the Future of Smallholder Rubber in Indonesia. Paper presented to the Rubber National Conference, IRRI, Medan, Indonesia, November 1994. Hairiah, K,D. Suprayogo, dan M.V. Noordwijk. 2004. Ketebalan Serasah sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai (DAS) yang Sehat. Word Agroforestri Center. Bogor. Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Suryanto P., W.B. Aryono dan M. S. Sabarnurdin. 2006. Model Bera Dalam Sistem Agroforestri. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 2 : 15-26.

109

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PERBAIKAN PRAKTEK-PRAKTEK SILVIKULTUR PADA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI SUMATERA BAGIAN SELATAN

Hengki Siahaan Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Rendahnya produktivitas tegakan pada hutan rakyat merupakan salah satu penyebab menurunnya minat masyarakat dalam membudidayakan jenis-jenis tanaman kehutanan. Produktivitas yang rendah disebabkan oleh dua hal, pertama adalah kurangnya penguasaan aspek silvikultur dan kedua, perencanaan yang kurang baik. Pada umumnya, praktek silvikultur yang diterapkan pada hutan rakyat adalah silvikultur dasar (sederhana), mulai dari pemilihan jenis, perbenihan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Perbaikan utama yang perlu dilakukan pada hutan rakyat adalah pemilihan bibit bermutu, penyesuaian jenis tanaman dengan tempat tumbuh, pemilihan pola tanam dan pengaturan jarak tanam, serta penentuan waktu panen yang tepat. Faktor-faktor ini saling berkaitan dan perlu direncanakan secara baik sehingga hutan rakyat yang dikelola dapat memberikan hasil yang optimal. Kata kunci: praktek silvikultur, hutan rakyat, dan produktivitas

I. PENDAHULUAN

Beberapa jenis tanaman hutan telah berkembang di Sumatera Bagian Selatan dalam bentuk hutan rakyat, seperti kayu bawang (Disoxylum molliscimum Blume), bambang lanang (Michelia campaca L), sengon (Paraseriantes falcataria), jati (Tectona grandis), tembesu (Fragraea fragans), jabon (Anthocepalus cadamba (Roxb) Miq.) dan kayu afrika (Maesopsis eminii). Diantara jenis-jenis tersebut kayu bawang dan kayu bambang merupakan jenis yang paling populer di masyarakat. Kayu bawang mulai dibudidayakan di Kabupaten Bengkulu Utara sejak tahun 1990-an (Dishut Provinsi Bengkulu, 2003) dan saat ini telah berkembang hampir ke seluruh daerah di Provinsi Bengkulu (Siahaan, 2012), bahkan beberapa lokasi pengembangan dapat dijumpai di Kabupaten Lahat dan Empat Lawang, Sumatera Selatan. Sementara jenis kayu bambang mulai dibudidayakan di Kecamatan Muara Payang, Kabupaten Lahat, sejak tahun 1960 (Prajadinata et al., 2010). Penanaman tanaman kayu pada lahan milik, yang umum dikenal sebagai hutan rakyat berkembang secara luas pada tahun 2000 s/d 2004. Disamping inisiatif dari masyarakat, hal ini juga dipicu oleh adanya berbagai program yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan terutama program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Memasuki tahun 2005 sampai sekarang (2013), perkembangan budidaya tanaman kayu memasuki masa surut, karena hampir tidak ada lagi penanaman baru yang dilakukan oleh masyarakat. Penyebab utamanya adalah rendahnya produktifitas dan kesulitan dalam pemasaran. Saat ini tegakan yang dijumpai pada hutan rakyat adalah tegakan-tegakan yang sudah tua, bahkan di beberapa tempat, terutama di Kabupaten Rejang Lebong yang umumnya membudidayakan kayu bawang, telah dilakukan penebangan atau panen sebelum mencapai daur dan diganti dengan tanaman lain seperti karet dan kopi. Pemanenan seperti ini akan merugikan petani, karena selain volume yang diperoleh tidak optimal juga karena harga jual yang diperoleh sangat rendah.

111

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Salah satu penyebab utama menurunnya minat petani dalam membudidayakan tanaman kayu adalah produktifitasnya yang rendah. Produktivitas yang rendah disebabkan oleh dua hal, pertama adalah kurangnya penguasaan aspek silvikultur dan kedua perencanaan yang kurang baik. Pada umumnya, praktek silvikultur yang diterapkan pada hutan rakyat adalah silvikultur dasar (sederhana). Bibit yang digunakan umumnya tidak diketahui asal-usulnya atau kadang-kadang menggunakan bibit cabutan dari pohon induk asalan. Penggunaan bibit yang bermutu rendah ini akan menghasilkan tegakan yang produktivitasnya rendah. Faktor lain adalah penanaman yang terlalu rapat atau terlalu renggang, serta kurangnya pemeliharaan, seperti pemupukan dan pembersihan gulma. Tulisan ini menyajikan bagaimana praktek-praktek silvikultur yang dilakukan pada hutan rakyat, dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk perbaikan praktek-praktek tersebut.

II. PRAKTEK SILVIKULTUR PADA HUTAN RAKYAT

1. Perbenihan dan pembibitan Pada umumnya petani pengembang hutan rakyat mendapatkan bibit tanaman kayu dengan membeli dari penangkar benih atau pemberian dari pemerintah melalui kegiatan- kegiatan tertentu. Asal-usul benih yang diperoleh dengan cara ini tidak diketahui secara jelas, sehingga kualitasnyapun tidak terjamin. Penangkar benih tanaman hutan pada masyarakat biasanya bersifat sementara dan umumnya tidak memiliki kapabilitas untuk menyediakan benih bermutu. Beberapa petani telah menyediakan bibit secara mandiri, dari pohon induk yang mereka miliki. Pembibitan dibuat sendiri dengan menabur benih yang dikumpulkan dari pohon induk atau anakan yang tumbuh di bawahnya. Kelemahan cara ini adalah bahwa benih yang diperoleh memiliki keragaman genetik yang sempit karena biasanya hanya berasal dari satu pohon induk yang terisolir dan kadang-kadang juga tidak mempunyai fenotif yang baik.

2. Pemilihan jenis, penanaman dan pemeliharaan Pemilihan jenis tanaman hutan oleh petani belum dilakukan dengan pertimbangan yang tepat. Umumnya mereka hanya menerima atau menanam saja bibit yang diperoleh dari pemerintah atau petani yang telah menanam terlebih dulu. Pengembangan tanaman hutan dengan cara ini dapat mengakibatkan petani tidak memperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan, baik dari aspek pertumbuhan tanaman maupun aspek pemasarannya. Penanaman tanaman hutan pada hutan rakyat, umumnya dilakukan dalam bentuk agroforestri, misalnya dengan tanaman kopi, kakao, karet, dan sawit. Penanaman dalam bentuk agroforestri seharusnya memerlukan penyesuaian sesuai dengan tanaman sela yang ditanam, yaitu dengan membuatan jarak tanam yang lebih renggang dibanding pada pola monokultur. Namun demikian pada penanaman hutan rakyat petani cenderung menanam dengan kerapatan yang terlalu tinggi hingga mencapai 800-1200 pohon per hektar. Hal ini akan mengakibatkan pertumbuhan diameter pohon akan lambat dan hasil tanaman sela akan menurun. Pemeliharaan pada hutan rakyat umunya dilakukan seadanya. Jika hasil tanaman sela seperti kopi atau kakao telah menurun, maka petani cenderung akan membiarkan kebunnya tanpa melakukan pemeliharaan. Pemupukan pun belum dilakukan dengan baik, kecuali petani yang mengembangkan pola agoforestri dengan tanaman sawit. Pada pola ini, pemupukan biasanya dilakukan secara intensif. Praktek silvikultur lain yang tidak dilakukan secara tepat oleh petani adalah panen. Petani cenderung memanen tanaman kayu pada saat ada kebutuhan tertentu, tanpa

112

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

mempertimbangkan fase pertumbuhan tanaman, sehingga panen dapat saja dilakukan pada fase pertumbuhan yang sedang meningkat. Seharusnya pemanenan dilakukan pada saat riap tahunan (CAI) telah turun hingga di bawah nilai riap rata-rata tahunan (MAI).

IV. PERBAIKAN PRAKTEK-PRAKTEK SILVIKULTUR

1. Kesesuaian tempat tumbuh Tanaman penghasil kayu dapat tumbuh pada berbagai lokasi dan kondisi lingkungan, tetapi masing-masing jenis mempunyai beberapa faktor pembatas yang perlu diperhatikan. Misalnya untuk jenis kayu bawang dan kayu bambang, faktor pembatas pertama adalah ketinggian tempat dari permukaan laut. Pertumbuhan kayu bawang akan mulai terkendala pada ketinggian > 700 m dpl. Siahaan et al. (2011a) melaporkan bahwa riap kayu bawang di Kabupaten Rejang Lebong dan Kepahiang yang mempunyai ketinggian 529-974 m dpl adalah 11,94 m3/ha/th, sedangkan di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan dengan ketinggian tempat 24-277 m dpl mempunyai riap 18,14-21,10 m3/ha/th. Demikian pula jenis kayu bambang, akan mulai terkendala pada ketinggian > 1000 m dpl. Faktor kedua yang harus diperhatikan dalam budidaya tanaman berkayu adalah kondisi drainase lokasi penanaman. Pada lokasi yang tergenang, jenis-jenis seperti kayu bawang dan kayu bambang akan rawan terserang penyakit busuk akar, yang dapat berdampak pada kematian tanaman, sekalipun telah mencapai umur tua atau mendekati daur panen (Gambar 1). Hal ini akan merugikan pemilik (petani) sehingga penanaman pada kondisi tergenang harus dihindari.

Gambar 1. Pohon kayu bawang yang mati akibat penyakit busuk akar pada lokasi penanaman yang mempunyai kondisi drainase buruk

2. Pemilihan pola tanam dan pengaturan jarak tanam Pengembangan tanaman hutan dalam bentuk hutan rakyat mempunyai karakteristik yang khas, yaitu ditanam skala kecil, lebih kurang 1-2 ha atau beberapa ratus batang per keluarga (Vanclay, 2008). Pola pengelolaan yang diterapkan juga bervariasi dan umumnya ditanam dalam bentuk agroforestri dengan jenis-jenis tanaman perkebunan seperti kopi, karet, kakao, dan sawit atau ditanam sebagai pagar pembatas pada kebun petani (Siahaan et al., 2011b). Pengaturan jarak tanam tanaman penghasil kayu harus disesuaikan dengan pola tanam yang diterapkan. Pada pola tanam monokultur, jarak tanam dapat dibuat lebih rapat, misalnya 4 m x 5 m atau 5 m x 5 m. Pada pola agroforestri jarak tanam harus dibuat lebih renggang.

113

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Semakin besar ukuran dan jumlah tanaman sela, semakin besar pula jarak tanam yang dibutuhkan. Rendahnya produktifitas kayu pada hutan rakyat lebih banyak disebabkan oleh pengaturan jarak tanam yang tidak sesuai. Besarnya kompetisi antar tanaman harus dipertimbangkan sebagai dasar pengaturan jarak tanam. Pada Tabel 1 disajikan jarak tanam anjuran pada berbagai pola tanam pada jenis kayu bawang dan volume kayu yang diperoleh pada umur 12 tahun. Tabel 1. Pengaturan jarak tanam dan riap kayu bawang pada berbagai pola agroforestri kayu bawang Jarak tanam Jumlah Volume kayu No Pola Tanam anjuran pohon/ha (m3/ha)* 1. Monokultur 4 m x 5 m 500 255,1 2. Kayu bawang + kopi 6 m x 6 m 278 122,3 3. Kayu bawang + coklat 6 m x 6 m 278 87,0 4. Kayu bawang + sawit 8 m x 8 m 156 133,5 *Ket.: Volume yang dihitung adalah volume pada daur 12 tahun berdasarkan model pertumbuhan pada masing-masing pola tanam (Siahaan et al., 2012) Pada pola monokultur, hasil kayu yang diperoleh tentunya lebih banyak dibandingkan pola agroforestri, karena tegakan tumbuh tanpa persaingan dengan jenis lain, tetapi pada pola agroforestri akan diperoleh hasil tambahan yang bersifat periodik sesuai dengan jenis yang dipilih sebagai tanaman sela. Pilihan pola tanam disesuaikan dengan kebiasaan atau pola yang telah berkembang di masyarakat, tetapi pengaturan jarak tanam harus dilakukan dengan baik sehingga hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan. 3. Penentuan umur panen Umur panen sangat berpengaruh terhadap hasil yang akan diperoleh pada suatu kegiatan penanaman tanaman penghasil kayu. Pemanenan pada umur yang tidak tepat akan merugikan petani (Gambar 2). Umur panen berkaitan dengan dua hal penting, pertama, ukuran diameter kayu yang laku di pasaran, dan kedua, apakah secara biologis umur tanaman telah mencapai daur optimal. Misalnya pada jenis kayu bawang, pada umumnya, akan optimal dipanen pada diameter ≥ 30 cm, karena pada diameter ini kayu dapat diolah untuk berbagai keperluan, sehingga petani mempunyai daya tawar yang lebih tinggi. Pertumbuhan diameter tanaman penghasil kayu sangat tergantung dengan kerapatan atau jarak tanam yang digunakan. Misalnya saja pada pola monokultur jenis kayu bawang, dengan jarak tanam 5 m x 5 m (N = 400 pohon/ha) diameter 30 cm akan diperoleh pada umur 14 tahun, sedangkan pada jarak tanam 4 m x 5 m (N = 500 pohon/ha), diameter yang sama akan diperoleh pada umur 19 tahun. Hal ini tentunya memerlukan perencanaan yang matang pada awal penanaman, sehingga hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan. Hal yang kedua adalah pertimbangan daur optimal. Semakin tinggi kerapatan, maka daur optimal akan semakin cepat tercapai dan pertumbuhan diameter akan semakin cepat mengalami stagnasi. Oleh karena itu, waktu pemanenan perlu disesuaikan, yaitu pada saat pertumbuhan diameter sudah mulai stagnan. Jika diameter tegakan masih bertumbuh, maka pemanenan seharusnya ditunda untuk memperoleh ukuran kayu yang lebih besar, tetapi jika pertumbuhan diameter telah mengalami stagnasi, maka menunda masa panen akan merugikan petani.

114

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Gambar 2. Pemanenan kayu bawang pada ukuran diameter yang terlalu kecil akan menghasilkan kayu yang pemanfaatannya terbatas

IV. PENUTUP

Praktek silvikultur dan perencanaan dalam pengelolaan merupakan dua hal penting yang perlu diketahui dalam upaya meningkatkan produktivitas hutan rakyat. Praktek silvikultur sederhana yang diterapkan pada hutan rakyat perlu diperbaiki, pada semua tahapan pembuatan tanaman, mulai dari pemilihan jenis tanaman, perbenihan, pembibitan, penanaman, pemilihan pola tanam dan pengaturan kerapatan tegakan. Pemilihan pola tanam dan pengaturan kerapatan tegakan merupakan hal penting yang perlu diperhatikan sejak awal, karena pola agroforestri yang umumnya dikembangkan oleh petani memerlukan perencanaan dan pengaturan yang baik. Produktivitas yang optimal dapat diperoleh jika praktek silvikultur semua jenis yang dikembangkan dilakukan secara benar, pengatuan jarak tanam sesuai pola agroforestri yang dipilih, serta teknik dan waktu pemanenan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

[Dishut] Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu Bawang. Bengkulu: Dishut Provinsi Bengkulu. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management, To Sustain Ecological, Economic, and Sosial Values. Forth Edision. New York: MC Graw-Hill Book Co. Prajadinata S., R. Effendi dan Murniati, 2011. Tinjauan Pengelolaan dan Konservasi Jenis Pohon Eboni (Diospyros celebica Bakh) dan Cempaka (Michelia campaca Linn) di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah, 18-19 Januari 2011. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Siahaan H, E. Suhendang, T. Rusolono, and A. Sumadi. 2011. Pertumbuhan Tegakan Kayu Bawang (Disoxyllum mollissimum Bl.) pada Berbagai Pola Tanam dan Kerapatan Tegakan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 8 No. 4 (225-237). Bogor.

115

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Vanclay JK, J. Baynes and E. Cedamon.2008. Site Index Equation for Smallholder Plantations of Gmelina arborea in Leyte Province, the Philippines. Small-scale Forestry 7 (1): 87-93.

116

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

BUDIDAYA TANAMAN PENGHASIL GAHARU (Aquilaria sp)

Agus Sofyan Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Pada saat ini potensi dan keberadaan tanaman penghasil gaharu pada sebaran alaminya sudah demikian menurun, bahkan populasinya yang dulu sangat melimpah, saat ini mulai sulit ditemukan. Pada sisi lain, karena permintaan gaharu masih relatif tinggi dan melebihi supply yang ada, telah menyebabkan harga gaharu yang semakin meningkat. Beberapa hasil analisis finasial menunjukkan bahwa budidaya gaharu mempunyai prospek yang cukup cerah dengan keuntungan yang menjanjikan, maka dalam rangka mendukung pengembangan budidaya tanaman penghasil gaharu diperlukan berbagai informasi yang terkait dengan teknik budidaya gaharu, mulai pembibitan, penanaman serta teknik memperbanyak jumlah batang atau cabang, sehingga diperoleh peluang perolehan hasil yang maksimal dalam budidaya gaharu. Dengan jumlah batang yang lebih dari satu, jika dilakukan penyuntikan dalam waktu sama maka dapat dilakukan pemanenan gaharu lebih dari satu kali atau satu periode sesuai jumlah batang pada waktu yang berbeda dengan kualitas gaharu yang lebih tinggi. Kata kunci: potensi menurun, permintaan tinggi, prospek, teknik budidaya

I. PENDAHULUAN

Gaharu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dibanding produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) lainnya. Selain nilai ekonomi, gaharu juga mempunyai nilai budaya dan sosial yang tinggi bagi sebagian masyarakat dunia. Produk gaharu dapat dihasilkan dari beberapa spesies pohon penghasil gaharu dari famili Thymeleaceae antara lain: Aquilaria, Gonystylus, Gyrinops, Dalbergia dan Aetoxylon. Pembentukan gaharu merupakan proses perubahan kimia dan fisik sebagai akibat adanya infeksi jamur pembentuk gaharu pada bagian tanaman. Produknya berupa gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat sampai hitam dan menghasilkan aroma wangi yang harum jika dibakar. Dalam perdagangan internasional gaharu dikenal sebagai agarwood atau eaglewood. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini pemanfaatan gaharu telah demikian berkembang, gaharu tidak hanya digunakan sebagai bahan wangi- wangian dalam industri parfum, pengharum tubuh dan aroma terapi, namun telah digunakan juga sebagai bahan produk minuman (teh gaharu) serta sebagai bahan obat untuk beberapa penyakit seperti gangguan ginjal, hepatitis, sirosis dan penghilang stress (Tarigan, 2004). Semen- tara teknik induksi pembentukan gaharu yang dapat digunakan dalam mendukung proses pro- duksi gaharu skala produksi sudah ditemukan (Mucharromah et al., 2008; Santoso et al., 2006). Indonesia adalah negara produsen gaharu terbesar di dunia, namun demikian dari waktu ke waktu jumlah ekspor gaharu semakin menurun. Pada tahun 1985 ekspor gaharu dari Indone- sia tercatat sekitar 1.487 ton, sementara pada tahun 1995 setelah CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna) memasukkan Aquilaria mala- censis (salah satu tanaman penghasil gaharu) dalam daftar appendix II, sehingga kuota ekspor

117

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

gaharu dibatasi menjadi hanya 250 ton/tahun (Anonim, 2005 dalam Suharti, 2010). Bahkan sejak tahun 2000 total eksport gaharu dari Indonesia terus menurun hingga di bawah ambang kuota CITES. Selanjutnya karena adanya kekhawatiran akan kepunahan spesies tanaman penghasil gaharu di Indonesia, sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah menurunkan kuota eksport menjadi sebesar 125 ton/tahun (Anonim, 2005 dalam Suharti, 2010). Menurunnya produksi gaharu alam dalam beberapa dasawarsa terakhir, telah menyebabkan meningkatnya harga jual gaharu, sebagai akibat terjadinya kelangkaan produksi. Peningkatan dan perkembangan harga gaharu yang demikian pesat, menurut Wiguna (2006) terjadi pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997, dimana harga gaharu mencapai Rp.3-5 juta/kg, kemudian pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 10 juta/kg dan mencapai harga Rp.15 juta/kg pada tahun 2009. Melihat perkembangan harga jual yang demikian tinggi, sementara potensi produksi alaminya sudah demikian menurun, maka usaha budidaya tanaman penghasil gaharu pada saat ini dinilai mempunyai prospek yang sangat baik. Beberapa alasan yang dapat dikemukan mengapa gaharu dinyatakan mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkaan antara lain adalah; 1). Bahwa Indonesia merupakan wilayah persebaran alami tanaman- tanaman penghasil gaharu dengan keragaman jenis yang tinggi (Sumarna, 2005), 2). Potensi ketersediaan lahan yang sangat luas, 3). Tanaman dapat dibudidayakan sebagai tanaman sela, sehingga tidak memerlukan lahan khusus, 4). Telah tersedianya teknologi rekayasa pembentukan gaharu , 5). Adanya permintaan yang tinggi , melebihi supply yang ada (Suharti, 2010). Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang aspek budidaya tanaman penghasil gaharu.

II. BUDIDAYA

Budidaya tanaman penghasil gaharu telah cukup lama dilakukan oleh sebagian masyarakat di Pulau Lombok, yaitu sekitar tahun 1990an. Sementara di Sumatera budidaya tanaman penghasil gaharu mulai dilakukan sekitar tahun 2000an, di antaranya Provinsi Jambi (Kabupaten Merangin), Riau (Kabupaten Rokan Hulu), Sumatera Utara, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan (Kabupaten Lahat, Banyu asin dan Muara Enim). Penanaman tanaman penghasil gaharu umumnya dilakukan sebagai tanaman sela, dengan tanaman pokok berupa karet, sawit, duku, durian, kayu manis. Saat ini penanaman tanaman penghasil gaharu telah berkembang di berbagai wilayah di Indonesia. A. Pembibitan Pembuatan bibit tanaman penghasil gaharu relatif mudah dilakukan, yaitu dengan memanfaatkan semai (anakan alam) yang terdapat di bawah dan disekitar tegakan/tanaman induknya. Mengingat sifat benihnya yang rekalsitran (daya kecambah yang cepat menurun dan tidak tahan disimpan dalam waktu relatif lama), maka pembuatan bibit dengan menggunakan anakan alam, yaitu dengan menyapih dan memeliharanya di dalam polibag jauh lebih mudah dan efisien.

118

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Gambar 1. Bibit asal anakan alam (Dok Sumadi, 2013) Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam pembuatan bibit dengan menggunakan semai/anakan alam, antara lain adalah: 1. Pengambilan semai atau anakan sebaiknya dilakukan pada sore hari di musim penghujan. 2. Sebelum dilakukan pengambilan/pencabutan, kepada semai sebaiknya dilakukan penyiraman, untuk mengurangi penguapan yang dapat menyebabkan stress pada anakan (bahan bibit). 3. Pengepakan ‘anakan’ dibuat sedemikian rupa sehingga kelembabannya dapat terjaga selama perjalanan dan penyimpanan. 4. Penyapihan anakan ke dalam polybag dengan media campuran tanah, kompos dan pasir (2 : 1 : 1), dalam kondisi jenuh air, di dalam sungkup yang rapat dibawah naungan yang rindang/teduh. 5. Pemeliharaan sapihan di dalam sungkup berkisar antara 1-2 bulan, sampai kondisi semai tumbuh sehat/segar dan siap dibuka secara bertahap. 6. Setelah semai siap dikeluarkan dari dalam sungkup, maka semai/bibit dipelihara dibawah naungan atau tegakan. 7. Jika semai/bibit mengalami stagnansi pertumbuhan, maka dapat dilakukan penggenangan dalam bedeng serta pemotongan ujung tunas (pucuk tunas), terutama untuk semai/anakan yang relatif besar, guna diperoleh tunas baru yang mempunyai pertumbuhan lebih cepat (Gambar 2 dan 3). 8. Bibit dipelihara sampai siap tanam (tinggi bibit > 30 cm). Pembuatan bibit, selain dapat dilakukan dengan menggunakan bahan generatif berupa biji/benih dan anakan alam, dapat juga dengan bahan vegetatif yaitu melalui teknik stek. Penggunaan teknik stek tentunya tidak semudah dan sesederhana pembuatan bibit dengan menggunakan anakan atau biji, namun demikian tidak juga terlalu sulit, hanya membutuhkan sedikit pengetahuan tentang prinsip-prinsip teknik penyetekan serta pemilihan bahan stek yang tepat. Keuntungan pembuatan bibit dengan menggunakan bahan vegetatif (stek) adalah kita akan memperoleh seluruh sifat- sifat induknya, berdasarkan bahan vegetatif tersebut diambil.

119

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Gambar 2 dan 3: Pemotongan ujung tunas, guna memunculkan tunas (Dok. Sofyan, 2013) B. Penanaman Secara umum penanaman tanaman penghasil gaharu dilakukan pada sela-sela atau ruang kosong pada areal tanaman pokok (berfungsi sebagai tanaman sela) seperti karet, sawit, duku dan tanaman lainnya. Tanaman penghasil gaharu membutuhkan naungan (toleran terhadap naungan) pada masa pertumbuhan awalnya (1-2 tahun), karenanya sangat cocok untuk ditanam di sela-sela tanaman pokok (Gambar 2). Dari hasil pengamatan pada beberapa lokasi, diketahui bahwa penanaman pada areal terbuka akan menyebabkan pertumbuhan tanaman yang kerdil atau stagnan (Gambar 3). Pemanfaatan ruang atau sela-sela untuk penanaman tanaman penghasil gaharu diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitas dan nilai lahan dan relatif tidak menggangu pertumbuhan dan produksi tanaman pokok, karena tanaman pokok ditanam 2-3 tahun sebelum penanaman tanaman penghasil gaharu. Dalam budidaya atau penanaman tanaman penghasil gaharu, target pertumbuhan yang cepat dengan batang yang besar bukan merupakan tujuan utama, namun demikian tanaman tetap tumbuh normal dengan target bahwa pada umur 3-5

120

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

tahun tanaman dapat disuntik (diinokulasi) dan dipanen pada umur 10 tahun (5-6 tahun setelah penyuntikan).

Gambar 2. Tanaman gaharu 10 bulan, disela Gambar 3. Tanaman gaharu umur 10 Tanaman karet umur 3 tahun bulan di areal terbuka (diame (diameter 2,6 cm, tinggi 1,74 m) ter 1,98 cm, tinggi 1,27 cm) C. Pertumbuhan Hasil penelitian pertumbuhan tanaman penghasil gaharu yang dilakukan pada 9 lokasi (pada berbagai tingkat umur dan keragaman pola penanaman) di wilayah Sumatera Selatan dan Jambi, menunjukkan adanya variasi pertumbuhan, dengan rerata riap berkisar antara 1,75 - 3,34 cm per tahun untuk diameter, sementara pertumbuhan tinggi berkisar antara 0,89 - 1,72 m per tahun (Sofyan et al., 2011). Jika diasumsikan rerata riap pertumbuhan diameter sebesar 1,5 - 2 cm/th, maka pada umur 5 tahun (diameter batang antara 7,5 - 10 cm) tanaman sudah dapat disuntik atau diinokulasi. Pertumbuhan tanaman penghasil gaharu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, jenis, status nutrisi atau tingkat kesuburan tanah, kerapatan atau jarak tanam, pola dan jenis tanaman campuran atau tanaman pokok serta faktor-faktor lainnya.

III. MEMPERBANYAK JUMLAH BATANG

Pohon penghasil gaharu idealnya memiliki jumlah batang yang banyak atau ganda (lebih dari satu batang dalam satu pohon), karena dengan semakin banyak jumlah batang, maka akan semakin besar peluang dalam memperoleh hasil yang maksimal. Dengan jumlah batang yang lebih dari satu, jika dilakukan penyuntikan dalam waktu sama maka dapat dilakukan pemanenan gaharu lebih dari satu kali sesuai jumlah batang (pemanenan batang pertama dapat dilakukan 5 tahun setelah penyuntikan, sementara batang yang lainnya 8 atau 10 tahun setelah penyuntikan, dengan demikian selain dapat mengatur waktu panen sesuai kebutuhan (misal 5 tahun setelah penyuntikan), sementara pada panen periode kedua dan ketiga dapat dilakukan 8 dan 10 tahun setelah penyuntikan. Dengan demikian selain peluang hasil secara kuantitas yang lebih besar, kualitas gaharu yang dihasilkan pada periode kedua dan ketiga juga dapat diharapkan menghasilkan kualitas gaharu yang lebih tinggi/bagus dibanding hasil panen periode pertama.

121

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Perbanyakan jumlah batang pada tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan dengan cara memotong/memangkas pucuk batang utamanya, dengan demikian dapat diharapkan tunas baru dengan jumlah lebih dari satu (Gambar 4 dan Gambar 5).

Gambar 5. Memperbanyak Hasil batang batang, dengan baru Pemangkasan

Gambar 4. Tegakan ideal, Pemangkasan berbatang ganda Batang utama (4 batang)

ganda (4 batang).

IV. PENUTUP

Budidaya tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan di sela-sela tanaman pokok, dengan memanfaatkan ruang-ruang yang kosong. Dalam rangka memperoleh hasil yang maksimal, baik kuantitas maupun kualitas hasil produksi gaharu, maka dapat dilakukan dengan cara memperbanyak jumlah cabang/batang, dengan cara memotong batang utama pada saat umur tanaman relatif muda 1-2 tahun. Dengan pemotongan tersebut diharapkan akan tumbuh tunas baru yang jumlahnya lebih dari satu. Mengingat budidaya dan pengembangan tanaman penghasil gaharu semakin luas, sementara modal yang dibutuhkan relatif besar maka perlu dikembangkan pola-pola kerjasama antara para petani sebagai pemilik lahan dengan para pengusaha sebagai pemilik modal, dalam bentuk kelembagaan dengan prinsip yang saling menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA

Mucharromah. 2008. Hipotesa Mekanisme Pembentukan Gubal Gaharu. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Produksi Gaharu Provinsi Bengkulu untuk Mendukung Peningkatan Eksport Gaharu Indonesia. FAPERTA UNIB, Bengkulu. Indonesia, 12 Agustus 2008.

122

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

Santoso, E., L. Agustini, D. Wahyono, M. Turjaman, Y. Sumarna dan R.S.B. Irianto. 2006. Biodiversitas dan Karakterisasi Jamur Potensi Penginduksi Resin Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN, Surabaya 12 September 2006. Sofyan, A., Sumadi, A., Nugroho, A.W., Kurniawan, A. 2011. Sebaran dan Variasi Pertumbuhan Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria nalaccensis Lamk.) Pada Beberapa Daerah di Sumatera Selatan dan Jambi. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman 2010. Bogor, Desember 2011. Suharti, S. 2010. Prospek Pengusahaan Gaharu Melalui Pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Info Hutan. Volume VII Nomor 2 Tahun 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sumarna, Y. 2005. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta. Wiguna, I. 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus Online. http://www.trubus- online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle& cid=8 &artid=290, diakses 14 Oktober 2011. Tarigan, Kelin. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Departemen Kehutanan.

123

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

PENGARUH INTENSITAS PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI MANGROVE DI PERSEMAIAN

Adi Kunarso, Bastoni, Imam Muslimin dan Fatahul Azwar Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk terhadap pertumbuhan semai mangrove di persemaian. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) faktorial. Perlakuan yang diujikan adalah jenis tanaman mangrove (T) dan intensitas pemupukan (P). Jenis tanaman mangrove yang diujikan terdiri dari api-api (Avicennia sp), tumuk (Bruguiera gymnorrhiza) dan jangkang (Rhizophora apiculata). Pemupukan menggunakan pupuk NPK, dengan perlakuan tanpa dipupuk (kontrol), dipupuk 1 kali (dosis 0,5 g/tanaman), dipupuk 2 kali (dosis 1 g/tanaman) dan dipupuk 3 kali (dosis 1,5 g/tanaman). Perlakuan diulang sebanyak 3 replikasi dan masing-masing perlakuan menggunakan 40 tanaman. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tanaman dan intensitas pemupukan memberikan perbedaan yang sangat nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman. Secara umum pertumbuhan tinggi tanaman terbaik terdapat pada jenis tumuk, dengan aplikasi intensitas pemupukan yang terbaik adalah 2 kali pemupukan (dosis 1 g/tanaman). Sedangkan jenis jangkang tidak memberikan respon terhadap intensitas pemupukan yang berbeda. Persentase hidup tanaman mangrove di persemaian secara umum rendah, dengan nilai persentase hidup tertinggi jenis api-api yaitu sebesar 53,5%. Kata kunci: mangrove, pertumbuhan, pemupukan

I. PENDAHULUAN

Salah satu faktor pendukung keberhasilan rehabilitasi mangrove adalah ketersediaan bibit dalam jumlah yang cukup dengan ukuran yang siap tanam, sehat, dan berkualitas. Dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, pembuatan persemaian tidak selalu harus dilakukan (Kusmana et al., 2008; Khazali, 1999). Hal ini bergantung pada jenis mangrove yang akan ditanam dan kondisi areal penanaman. Bila yang akan ditanam adalah jenis yang bahan tanamannya berupa propagul yang relatif panjang, seperti Rhizophora sp dan Bruguiera sp, pembuatan persemaian mungkin tidak diperlukan karena propagul tersebut bisa langsung ditanam. Namun dalam beberapa situasi, seperti pada areal penanaman yang tanahnya keras atau bahkan yang terlalu lembek, atau pada areal berombak besar, penanaman dengan bibit mangrove yang disemaikan terlebih dahulu sangat disarankan. Pemilihan lokasi menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dalam produksi bibit mangrove. Lokasi persemaian yang dekat dengan pasang surut adalah lokasi yang ideal untuk persemaian mangrove (Kusmana et al., 2008; Khazali, 1999). Lokasi persemaian sangat dianjurkan adalah lokasi yang secara alami terkena pasang surut kurang lebih 20 kali dalam sebulan, agar tidak dilakukan kegiatan penyiraman. Selain itu lokasi persemaian yang dekat dengan areal penanaman akan mempermudah dalam pengangkutan bibit (Kusmana et al., 2008; Khazali, 1999). Namun demikian, ada kalanya lokasi persemaian yang ideal sulit diperoleh karena berbagai faktor, antara lain: keamanan, baik dari gangguan manusia maupun hewan

125

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

seperti kambing, kondisi tapak yang terlalu lembek sehingga menyulitkan kegiatan operasional, kadar garam yang terlalu tinggi sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman, dan jauh dari sumber tenaga kerja. Pada kondisi tersebut persemaian yang jauh dari lokasi pasang surut, mungkin bisa menjadi alternatif lokasi persemaian. Namun demikian karena kondisi lingkungannya berbeda dengan kondisi alami tempat tumbuh mangrove, maka diperlukan penelitian untuk menguji sejauh mana lokasi persemaian tersebut mampu mendukung pertumbuhan dan persen hidup semai mangrove.

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di persemaian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang. Persemaian dibuat dengan menggunakan sistem genangan buatan, dan dimulai pada bulan Desember 2012 hingga Agustus 2013.

B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah mangrove jenis api-api (Avecenia sp.), tumuk (Bruguera gymnorrhiza), dan jangkang (Rhizophora apiculata) yang diambil dari Hutan Lindung Telang, Kabupaten Banyuasin, pupuk NPK, serta tanah lumpur. Adapun alat yang digunakan antara lain timbangan digital, penggaris, kamera digital, dan alat tulis.

C. Metode Penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial. Perlakuan yang diujikan adalah jenis mangrove (T) dan intensitas pemupukan (P). Jenis mangrove yang diujikan terdiri dari api-api, tumuk dan jangkang. Pemupukan menggunakan pupuk NPK 0,5 g/tanaman, dengan perlakuan tanpa dipupuk (kontrol), dipupuk 1 kali (dosis 0,5 g/tanaman), dipupuk 2 kali (dosis 1 g/tanaman) dan dipupuk 3 kali (dosis 1,5 g/tanaman). Pemupukan pertama dilakukan 1 bulan setelah penyemaian, pemupukan kedua dilakukan 2 bulan setelah setelah pemupukan pertama dan pemupukan ketiga dilakukan 2 bulan setelah pemupukan kedua. Perlakuan diulang sebanyak 3 replikasi dan masing-masing perlakuan menggunakan 40 tanaman. Pengamatan dan pengukuran variable tinggi tanaman dilakukan pada saat tanaman ber- umur 1 bulan, 3 bulan, 5 bulan dan 8 bulan. Untuk mengetahui data pertumbuhan tinggi, maka dilakukan pengurangan data pertumbuhan pada akhir pengamatan dengan data pada saat awal pengukuran. Data pertumbuhan tinggi yang didapatkan dianalisis sidik ragam dan bilamana terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil untuk mengetahui masing-masing perlakuan yang berbeda. Model matematis yang digunakan adalah:

Yijk = µ + Ri + Tj + Pk + TPjk+Eijk Keterangan: Yijk = pengamatan pada replikasi ke-i, jenis tanaman ke-j dan pupuk ke-k µ = rerata umum Ri = replikasi ke-i Tj = efek jenis tanaman ke-j Pk = efek pupuk ke-k TPjk = efek interaksi pada jenis tanaman ke-j dan pupuk ke-k Eijk = random galat pada pengamatan ke-ijk

126

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Intensitas Pemupukan Hasil analisis sidik ragam pengaruh intensitas pemupukan terhadap pertumbuhan tinggi mangrove disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis sidik ragam pengaruh intensitas pemupukan terhadap pertumbuhan 3 jenis mangrove umur 8 bulan di persemaian Derajat Jumlah Rerata Sumber variasi F. hitung Pr > F Bebas kuadrat kuadrat Replikasi (R) 2 6,61 3,31 6,24** 0,0021 Jenis Tanaman (T) 2 180,03 90,02 170,00** <,0001 Intensitas Pupuk (P) 3 10,86 3,62 6,84** 0,0002 Interaksi T*P 6 12,37 2,06 3,89** 0,0009 Galat 384 203,33 0,53 Total 397 413,20 Keterangan: **Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 0,01 (1%)

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 1) nampak bahwa jenis mangrove dan intensitas pemupukan memberikan pengaruh yang sangat nyata pada pertumbuhan tinggi. Secara umum pertumbuhan tinggi mangrove terbaik (Tabel 2) yaitu pada jenis tumuk dengan pertumbuhan tinggi sebesar 26,0 cm, sedangkan aplikasi intensitas pemupukan yang terbaik adalah pada aplikasi 2 kali dengan pertumbuhan tinggi sebesar 19,27 cm. Hasil analisis sidik ragam interaksi antara jenis mangrove dengan intensitas pemupukan memberikan hasil yang berbeda sangat nyata pada pertumbuhan tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jenis mangrove dengan intensitas pemupukan. Berdasarkan hasil uji lanjut (Tabel 2) nampak bahwa jenis tumuk memberikan respon terbaik terhadap aplikasi pemupukan, hal ini terbukti bahwa pertumbuhan tinggi tumuk pada semua level intensitas pemupukan yang diberikan berada pada rangking yang teratas. Sebaliknya, jenis jangkang memberikan respon yang rendah terhadap aplikasi pemupukan yang diberikan, terbukti dengan nilai pertumbuhan tinggi pada semua perlakuan yang ada berada pada rangking yang terendah. Masing-masing jenis mangrove juga memberikan respon terhadap level intensitas pe- mupukan yang berbeda. Jenis tumuk dan api-api memberikan grafik respon pertumbuhan tinggi secara kuadratik, artinya pertumbuhan tinggi terus meningkat seiring dengan peningkatan intensitas pemupukan sampai pada suatu titik terbaik pertumbuhan tinggi, bilamana intensitas pemupukan ditambah maka respon pertumbuhan tinggi akan berkurang (rendah). Intensitas pemupukan terbaik pada jenis tumuk dan api-api adalah pada intensitas pemupukan 2 kali dengan rerata pertumbuhan tinggi berturut-turut adalah 29,48 cm dan 21,25 cm. Jenis jangkang mempunyai respon yang berbeda terhadap aplikasi intensitas pemupukan bila dibandingkan dengan tumuk dan api-api. Rerata pertumbuhan tinggi jangkang terbaik adalah pada intensitas pemupukan 3 kali (11,16 cm), namun secara statistik tidak mempunyai perbedaan yang nyata dengan kontrol dan level intensitas pemupukan lainnya (1 dan 2 kali). Sehingga dapat dikatakan bahwa jenis jangkang tidak memberikan respon terhadap intensitas pemupukan yang berbeda.

127

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Tabel 2. Rerata pertumbuhan tinggi pada beberapa jenis mangrove, pengaruh perlakuan intensitas pemupukan dan interaksi antara jenis mangrove dan intensitas pemupukan Rerata Pertumbuhan tinggi Perlakuan (cm) Jenis Tanaman Mangrove (T) Tumuk (B. gymnorrhiza) 26,0 A Api-Api (Avicennia sp) 17,2 B Jangkang (R. apiculata) 10,6 C Intensitas Pemupukan (P) Dipupuk 2 kali 19,27 A Dipupuk 1 kali 16,81 B Dipupuk 3 kali 15,76 B Tanpa dipupuk 15,29 B Interaksi antara T*P Tumuk dipupuk 2 kali 29,48 A Tumuk dipupuk 1 kali 25,30 B Tumuk tanpa dipupuk 24,70 B Tumuk dipupuk 3 kali 23,33 BC Api-api dipupuk 2 kali 21,25 C Api-api dipupuk 1 kali 18,40 D Api-api dipupuk 3 kali 16,32 DE Api-api tanpa dipupuk 14,52 E Jangkang dipupuk 3 kali 11,16 F Jangkang tanpa dipupuk 10,82 F Jangkang dipupuk 1 kali 10,76 F Jangkang dipupuk 2 kali 9,61 F Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak berbeda pada taraf kepercayaan 0,05 (5%)

Gambar 1. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman tumuk (a), api-api (b) dan jangkang (c) pada intensitas pemupukan yang berbeda B. Persentase Hidup Persentase hidup tanaman merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan pembuatan persemaian. Hasil analisis sidik ragam persentase hidup (Tabel 3) menunjukkan bahwa

128

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

persentase hidup mangrove mempunyai nilai yang berbeda sangat nyata pada jenis mangrove, namun berbeda tidak nyata pada intensitas pemupukan dan interaksi antara intensitas pemupukan dan jenis mangrove. Jenis api-api mempunyai nilai persentase hidup (Tabel 4) tertinggi dibandingkan dengan jenis mangrove lainnya yaitu sebesar 53,5%, namun demikian nilai persentase hidup ini masih berada di bawah standar tingkat keberhasilan suatu kegiatan pembibitan. Tabel 3. Analisis sidik ragam pengaruh intensitas pemupukan terhadap persentase hidup 3 jenis mangrove umur 8 bulan di persemaian Derajat Jumlah Rerata Sumber variasi F. hitung Pr > F bebas Kuadrat kuadrat Replikasi (R) 2 82,06 41,03 1,00NS 0,3850 Jenis Tanaman (T) 2 786,06 393,03 9,55** 0,0010 Intensitas Pupuk (P) 3 137,64 45,88 1,11 NS 0,3644 Interaksi T*P 6 141,94 23,66 0,57 NS 0,7461 Galat 22 905,28 41,15 Total 35 2052,97 Keterangan: **Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 0,01 (1%), NS berbeda tidak nyata pada taraf kepercayaan 0,05 (5%) Intensitas pemupukan yang berbeda ternyata menghasilkan nilai persentase hidup yang tidak berbeda nyata yaitu berkisar antara 30,6-43,3% (Tabel 4). Hasil ini memberikan gambaran bahwa intensitas pemupukan pada level yang paling tinggi (3 kali) bukan merupakan satu- satunya faktor yang mengakibatkan rendahnya persentase hidup mangrove, hal ini terbukti dengan nilai persentase hidup mangrove yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa pemupukan). Data dan informasi perkembangan persentase hidup mangrove mulai dari umur 1 bulan sampai akhir pengamatan dapat terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Tabel 4. Rerata persentase hidup pada beberapa jenis mangrove, pengaruh perlakuan intensitas pemupukan dan interaksi antara jenis mangrove dan intensitas pemupukan Rerata Persentase hidup Perlakuan (%) Jenis Tanaman Mangrove (T) Api-api (Avicennia sp) 53,5 A Jangkang (R. Apiculata) 37,5 B Tumuk (B. gymnorrhiza) 25,0 B Intensitas Pemupukan (P) Di pupuk 1 kali 43,3 Tanpa di pupuk 41,4 Di pupuk 2 kali 39,4 Di pupuk 3 kali 30,6 Interaksi antara T*P Api-api tanpa di pupuk 65,0 Api-api di pupuk 1 kali 55,8 Api-api di pupuk 2 kali 52,5 Jangkang di pupuk 1 kali 49,2 Api-api di pupuk 3 kali 40,8

129

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Rerata Persentase hidup Perlakuan (%) Jangkang di pupuk 2 kali 34,2 Jangkang tanpa di pupuk 33,3 Jangkang di pupuk 3 kali 33,3 Tumuk di pupuk 2 kali 31,7 Tumuk tanpa di pupuk 25,8 Tumuk di pupuk 1 kali 25,0 Tumuk di pupuk 3 kali 17,5 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak berbeda pada taraf kepercayaan 0,05 (5%) Berdasarkan grafik tersebut diatas terlihat adanya tren penurunan persentase hidup mangrove seiring dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Tren penurunan persentase hidup ini terjadi pada semua level jenis mangrove dan intensitas pemupukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa rendahnya persentase hidup mangrove bukan disebabkan oleh adanya perlakuan intensitas pemupukan yang diberikan, namun terdapat faktor-faktor lain yang bisa menjadi penyebab rendahnya persentase hidup tanaman. Faktor-faktor tersebut antara lain lokasi persemaian yang tidak sesuai dengan kondisi iklim tempat tumbuh mangrove, adanya hama penggerek batang pada jenis tumuk dan jangkang serta hama belalang yang menyerang jenis api-api, penyiraman dengan air tawar kurang mendukung pertumbuhan semai mangrove.

100,0 80,0 60,0 Api-api (Avicenia sp)

(%) 40,0 Tumuk (B. gymnorrizha) 20,0 Jangkang (R. apiculata) 0,0

Persentasehiduptanaman 1 3 5 8 Umur tanaman (bulan)

Gambar 2. Grafik persentase hidup mangrove sampai dengan umur 8 bulan

130

Aspek Sosial, Ekonomi dan Kebijakan

100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 Tanpa dipupuk 50,0 40,0 Dipupuk 1 kali 30,0 Dipupuk 2 kali 20,0 10,0 Dipupuk 3 kali

0,0 Persentasehiduptanaman(%) 1 3 5 8 Umur tanaman (bulan)

Gambar 3. Grafik persentase hidup mangrove pada perlakuan intensitas pemupukan sampai dengan umur 8 bulan

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Nilai pertumbuhan tinggi terbaik pada jenis tumuk dengan pertumbuhan tinggi sebesar 26,0 cm, sedangkan aplikasi intensitas pemupukan yang terbaik adalah 2 kali pemupukan dengan pertumbuhan tinggi sebesar 19,27 cm. Jenis tumuk memberikan repon pertumbuhan tinggi terbaik terhadap aplikasi pemupukan dibandingkan jenis lainnya. 2. Jenis api-api mempunyai persentase hidup yang paling tinggi dibandingkan jenis lainnya yaitu sebesar 53,5%, namun demikian secara umum dapat dikatakan tingkat keberhasilan persemaian ini masih berada dibawah standar suatu kegiatan persemaian. 3. Rendahnya persentase hidup mangrove disebabkan antara lain oleh faktor lokasi, hama dan penyakit serta kondisi air yang tidak mendukung pertumbuhan mangrove.

B. Saran Pembuatan persemaian mangrove sebaiknya dilakukan pada lokasi yang secara alami terkena pasang surut, untuk mendukung pertumbuhan semai mangrove. Untuk mengurangi resiko kematian bibit dalam jumlah besar pada persemaian yang jauh dari pasang surut dapat dilakukan dengan memperkirakan jangka waktu yang tepat antara penyemaian dengan penanaman, sehingga bibit mangrove sudah dapat ditanam pada umur sekitar 4 bulan, ketika jumlah daun 4-6 helai. Pada saat itu persentase hidup bibit mangrove di persemaian masih sekitar antara 70-80%.

DAFTAR PUSTAKA

Khazali, M. 1999. Panduan Teknis: Penanaman Mangrove bersama Masyarakat. Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor. Kusmana, C., Istomo dan Cahyo Wibowo, 2008. Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan dan Korea International Cooperation Agency (KOICA).

131

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Lampiran 1. Kandungan hara dalam media

Hasil analisis kandungan hara media pada awal pengamatan N NH4OAc Walkley N NH4OAc Jenis Tekstur pH KB Kjeldhal Bray I N KCl 0,05 N HCl pH 7,0 & Black C/N pH 7,0 Medi 1 : 1 Pasir Debu Liat KTK C-org N-Total ratio P K Al Fe Cu Zn Mn a (%) H2O (%) (me/100 g) (%) (%) (ppm) (me/100 g) (ppm) 10,6 4,85 34,51 12,11 0,8 M 19,70 69,65 10,23 (R) 2,18 (S) 0,18 (R) 0,31 (R) 1,28 3,36 4,16 3,76 11,24 0 5 (M) (R) (S) (SR) 10,0 4,65 44,36 15,25 1,3 M 27,07 62,92 13,91 (R) 3,05 (T) 0,20 (R) 1,25 (ST) 0,15 2,12 3,28 3,60 59,32 1 1 (M) (S) (S) (SR) 13,0 4,90 57,52 11,84 0,8 M 29,67 57,31 18,74 (S) 2,25 (S) 0,19 (R) 4,35 (ST) Tr 4,72 3,28 6,20 80,12 2 2 (M) (T) (S) (SR)

Keterangan: M0 (media tanah/Top Soil murni); M1 (media campuran tanah dan sekam padi); dan M2 (media campuran tanah, sekam padi dan cocopeat); SR (sangat rendah); R (rendah); S (sedang); T (tinggi); dan ST (sangat tinggi) Penilaian SR/R/S/T/ST pada unsur macronutrient didasarkan pada pedoman pengharkatan yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat

Hasil analisis kandungan hara media pada akhir pengamatan Walkley & Black Kjeldhal Bray I N NH4OAc pH 7,0 N KCl 0,05 N HCl Jenis Media C-org N-Total C/N ratio P K Al Fe Zn Mn (%) (%) (ppm) (me/100 g) (me/100 g) (ppm)

M0 pada K0 0,65 (SR) 0,08 (SR) 8,13 (R) 5,1 (SR) 0,22 (R) 0,16 3,75 4,43 33,76 M0 pada K1 0,77 (SR) 0,08 (SR) 9,63 (R) 3,1 (SR) 0,51 (S) 0,32 4,00 4,60 23,12 M0 pada K2 0,78 (SR) 0,09 (SR) 8,67 (R) 3,1 (SR) 0,36 (R) 0,44 3,76 4,04 32,60 M1 pada K0 1,72 (R) 0,12 (R) 14,33 (S) 4,4 (SR) 0,93 (T) Tr 4,40 5,00 38,96 M1 pada K1 2,04 (S) 0,13 (R) 15,69 (S) 3,1 (SR) 0,72 (T) Tr 5,56 5,72 46,20 M1 pada K2 2,69 (S) 0,15 (R) 17,93 (T) 4,8 (SR) 1,12 (ST) Tr 4,04 5,32 43,92 M2 pada K0 4,24 (S) 0,17 (R) 24,94 (T) 3,2 (SR) 3,05 (ST) Tr 8,04 5,08 102,84 M2 pada K1 4,08 (S) 0,16 (R) 25,50 (ST) 2,9 (SR) 2,13 (ST) Tr 4.92 5,64 93,08 M2 pada K2 4,81 (S) 0,18 (R) 26,72 (ST) 3,7 (SR) 2,68 (ST) Tr 5,22 4,40 48,20

Keterangan: M0 (media tanah/Top Soil murni); M1 (media campuran tanah dan sekam padi); M2 (media campuran tanah, sekam padi dan cocopeat); K0 (tanpa penggunaan inang primer kriminil); K1 (penggunaan inang primer kriminil 1 batang); K2 (penggunaan inang primer kriminil 2 batang; SR (sangat rendah); R (rendah); S (sedang); T (tinggi); dan ST (sangat tinggi) Penilaian SR/R/S/T/ST pada unsur macronutrient didasarkan pada pedoman pengharkatan yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat

132

Aspek Perlindungan Hutan

Aspek Perlindungan Hutan

SERANGAN KUMBANG PENGGEREK (Xystrocera globosa) PADA TEGAKAN KAYU BAWANG DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA PADA SKALA LAPANGAN

Sri Utami dan Agus Kurniawan Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan andalan lokal di Provinsi Bengkulu. Kayu bawang memiliki kualitas kayu yang baik untuk bahan baku kayu pertukangan. Selain memiliki pertumbuhan yang cepat, tanaman ini juga dapat ditanam dengan pola tanam campuran/agroforestri karena memiliki sifat self pruning dan tajuk yang ringan dan sempit. Serangan hama penggerek batang Xystrocera globosa merupakan ancaman terhadap keberhasilan budidaya tanaman kayu bawang. Serangan hama ini menyebabkan kerusakan pada batang pokok dari kulit sampai bagian empulur tanaman. Alternatif pengendalian perlu diupayakan untuk melindungi tanaman dari kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan insektisida sistemik berbahan aktif fipronil dosis 4 cc/liter dan 8 cc/liter untuk mengendalikan serangan hama kumbang penggerek Xystrocera globosa pada tingkat lapangan. Dari pengamatan diketahui bahwa kumbang penggerek Xystrocera globosa menyerang kayu bawang umur 15 bulan dengan persentase dan intensitas serangan sebesar 3,82% dan 7,03%. Penggunaan insektisida sistemik berbahan aktif fipronil dosis 8 cc/liter mampu menekan serangan kumbang penggerek dengan persentase dan intensitas serangan masing-masing menurun sebesar 3,66% dan 6,84%. Kata kunci: kayu bawang, fipronil, insektisida sistemik, Xystrocera globosa

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan andalan lokal di Provinsi Bengkulu. Jenis ini tersebar hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Bengkulu. Secara topografis umumnya kayu bawang tumbuh pada ketinggian sampai dengan 700 m dpl dengan curah hujan 3.500 – 5.000 mm/th (Dishut Provinsi Bengkulu, 2003). Tanaman ini mampu bertahan pada tanah yang cenderung asam, tumbuh cepat, bebas cabang tinggi, serta memiliki tekstur kayu yang baik. Tajuknya ringan dan sempit, tidak memiliki cabang yang besar hingga umur 3 tahun dan bersifat self pruning sehingga tanaman ini dapat digunakan pada pola campuran, misalnya pola agroforestri (Lembaga Penelitian UNIB, 2002). Kayu bawang memiliki serat yang halus sehingga mudah diolah, berat jenisnya sekitar 0,56, termasuk kelas awet dan kelas kuat IV (Bina Program Kehutanan, 1983 dalam Dishut Provinsi Bengkulu, 2003). Masyarakat di Bengkulu biasanya menggunakan kayu ini sebagai bahan baku pembuatan mebel seperti almari, meja, kursi, tempat tidur sampai bahan bangunan misalnya kusen, dinding dan sebagainya. Selain di daerah asalnya, tanaman ini juga bisa dibudidayakan di luar habitat asalnya. Kayu bawang sudah dibudidayakan di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Benakat Kabupaten Muara Enim (tahun tanam 2008) ditanam dengan pola tanam campuran dengan jenis Bambang lanang (Michelia champaca) dan KHDTK Kemampo (tahun tanam 2011)

135

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ditanam secara monokultur. Utami dkk. (2011) dan Kurniawan dan Utami (2012) melaporkan bahwa telah terjadi serangan kumbang penggerek (Xystrocera globosa) pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo. Kumbang penggerek batang X. globosa tersebut menyerang batang pokok kayu bawang dari bagian kulit sampai dengan empulur batang tanaman. Serangan berat dapat mengakibatkan daun menguning, rontok dan lama kelamaan tanaman mati. Melihat gejala dan tanda kerusakan tanaman di lapangan, hama ini dapat mengancam keberhasilan budidaya tanaman kayu bawang di waktu yang akan datang. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengendalian serangan hama tersebut.

B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui morfologi dan bentuk serangan hama, persen serangan dan intensitas serangan hama penggerek batang pada tanaman kayu bawang serta teknik pengendaliannya yang efektif dan efisien.

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga Desember 2012 pada plot uji silvikultur kayu bawang di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis KHDTK Kemampo terletak antara 104018’07”– 104022’09” BT dan 2054’– 2056’30” LS. Jenis tanahnya didominasi podsolik merah kuning. Iklim termasuk tipe B menurut Schmidt dan Ferguson dengan rata-rata curah hujan 1.800-2.000 mm/tahun. Topografi tergolong datar sampai bergelombang ringan dengan kemiringan 0-10%.

B. Prosedur Kerja 1. Pengamatan Serangan Hama Pengamatan serangan hama dilakukan pada plot uji silvikultur kayu bawang secara sensus yang dilakukan selama tiga kali pengamatan yaitu pada saat umur tanaman 15 bulan (sebelum aplikasi pertama pengendalian hama), 19 bulan (sebelum aplikasi kedua pengendalian hama), dan 22 bulan (setelah aplikasi ketiga pengendalian hama). Parameter yang diamati yaitu stadia serangga hama, persentase dan intensitas serangan hama, serta pertumbuhan kayu bawang (pertambahan tinggi dan diameter). Persentase serangan hama (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah pohon yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 %. Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur P  x 100% Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur Penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) dilakukan menurut Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994) dengan sedikit modifikasi (Tabel 1). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini. (n x v ) I   i j x 100% Z x N

Keterangan: I : Tingkat kerusakan tanaman

136

Aspek Perlindungan Hutan

ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan batang yang disebabkan oleh hama

Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan yang Terlihat pada Batang Nilai Sehat - Batang rusak 0 % 0 Ringan - Batang rusak antara 1 % - 20 % 1 Agak berat - Batang rusak antara 20,1 % - 40 % 2 Berat - Batang rusak antara 40,1 % - 60 % 3 Sangat berat - Batang rusak antara 60,1 % - 80 % 4 Gagal - Batang rusak di atas 80 % 5 - Pohon tumbang/patah/mati

2. Pengendalian Serangan Hama Kegiatan pengendalian hama dilakukan setelah dilakukan pengamatan serangan hama. Pengendalian serangan hama penggerek dilakukan bila hasil monitoring serangan hama telah sampai atau melebihi ambang batas ekonominya. Pengendalian dilakukan dengan menyemprotkan pestisida kimia berbahan aktif fipronil hanya pada tanaman yang terserang hama. Dosis yang digunakan yaitu 4 cc/liter (penyemprotan pertama dilakukan setelah sebulan dari pengamatan pertama serangan hama atau pada saat tanaman berumur 16 bulan), 8 cc/liter (penyemprotan kedua dilakukan setelah sebulan dari pengamatan kedua serangan hama atau saat umur tanaman berumur 20 bulan) dan karena masih dijumpai serangan maka dilakukan pengendalian yang ketiga dengan dosis 8 cc/liter (penyemprotan ketiga/rentang dua minggu setelah aplikasi kedua). Pengamatan persentase dan intensitas serangan dilakukan sebelum dan setelah dilakukan penyemprotan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Serangan Kumbang Penggerek Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa batang kayu bawang terserang oleh kumbang penggerek, yaitu X. globosa (Ordo Coleoptera, Famili Cerambycidae). Hama ini mempunyai sebaran yang luas meliputi , Ceylon (Sri Langka), Burma (Myanmar), Thailand, Malaysia, Filipina, Mesir, Kepulauan Hawai, Kepulauan Mauritius, Indonesia di jumpai di Pulau Jawa dan Sulawesi (Anonim, 2012). Warisno dan Dahana (2009) melaporkan bahwa hama ini juga menyerang tanaman sengon dengan cara melubangi batang hingga mencapai lapisan xylem sehingga mematikan tanaman sengon. Taksonomi dari kumbang penggerek yang menyerang tanaman kayu bawang adalah sebagai berikut (Anonim, 2012): Ordo : Coleoptera Sub ordo : Polyphaga Famili : Cerambycidae Genus : Xystrocera Spesies : Xystrocera globosa Olivier

137

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Kumbang dewasa (imago) memiliki panjang tubuh ± 1,5-3,2 cm berwarna coklat kemerahan, di sekeliling protoraks terdapat garis tebal yang berwarna hijau kebiruan dan mengkilat (Gambar 1A). Larva fase awal berwarna putih terang kekuningan dengan kepala kecil berwarna coklat dan rahang bawah berwarna hitam. Pada fase awal ukuran panjang tubuh ± 4 mm, diameter ± 1 mm. Larva pada larva fase akhir berwarna merah muda agak kecoklatan dan kedua ujung badannya berwarna kuning berbintik berwarna coklat, lunak, berbulu jarang berwarna putih. Bagian kepala keras berwarna coklat. Ukuran panjang badannya ± 30 mm diameter badan 5-7 mm (Kurniawan dan Utami, 2012) (Gambar 1B). Pada kumbang jantan garis hijau kebiruan pada protoraks yang letaknya lateral arahnya miring, sedangkan pada kumbang betina letak garis ini tidak miring tetapi lurus searah dengan arah memanjang tubuhnya. Pada kumbang betina terdapat ovipositor menjulur.

± 30 mm ± 2,8 cm

± 5 mm B

A

Gambar 1. A) Imago X. globosa, B) Larva X. globosa (tanda panah) Gejala serangan kumbang X. globosa adalah menggerek batang kayu bawang. Pada kulit batang nampak lubang gerekan kumbang. Pada lubang gerekan akan keluar eksudat dan hal ini akan menstimulasi semut untuk mendatangi bagian batang yang terserang. Serangan berat dapat mengakibatkan batang busuk, daun menguning, lama kelamaan daun rontok sehingga tanaman akan mati. Secara umum serangan kumbang penggerek ditemukan dekat dengan tanaman mangium yang sudah mati sebagaimana tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Tanaman kayu bawang yang terserang penggerek berada di sekeliling tanaman Acacia mangium

Tanaman inang hama ini adalah Acacia catechu, A. mangium, A. modesta, Acrocarpus fraxinifolius, Albizia lebbek, A. lucida, A. moluccana, A. odoratissima, A. procera, A. stipulate, Anacardium occidentale, Bauhinia acuminate, Bombax anceps, B. malabaricum, Grewia tiliaefolia, Xylia dolabriformis. (Awang dan Taylor, 1993; Friedman dkk, 2008). 138

Aspek Perlindungan Hutan

B. Teknik Pengendalian Hama Persentase serangan hama pada pengamatan pertama (umur tanaman 15 bulan) sebesar 3,82%. Setelah dilakukan penyemprotan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif fipronil, persentase serangan kumbang penggerek menurun menjadi 1,65% dan 0,16% (Tabel 2). Demikian halnya intensitas serangan, besarnya intensitas serangan sebelum dilakukan penyemprotan sebesar 7,03%. Setelah dilakukan penyemprotan hingga tiga kali penyemprotan, intensitas serangan menurun menjadi 0,19% (Tabel 3). Tabel 2. Rata-rata persentase serangan kumbang penggerek pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo selama tiga kali pengamatan

Persentase Serangan (%) Plot Jumlah tanaman I II III 1 816 11 3,68 0,49 2 559 0 0,35 0 3 1112 0,46 0,92 0 Rata-rata 3,82 1,65 0,16 Keterangan: I= pengamatan umur 15 bulan; II= umur 19 bulan; III=umur 22 bulan

Tabel 3. Rata-rata intensitas serangan kumbang penggerek pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo selama tiga kali pengamatan Intensitas Serangan (%) Plot Jumlah tanaman I II III 1 816 21 1,32 0,59 2 559 0 0,27 0 3 1112 0,1 0,7 0 Rata-rata 7,03 0,76 0,19 Keterangan: I= pengamatan umur 15 bulan; II= umur 19 bulan; III=umur 22 bulan Sebelum dilakukan penyemprotan, pada batang kayu bawang nampak banyak sekali lubang gerek dan eksudat yang keluar dari kulit batang (Gambar 3a). Lubang-lubang gerek tersebut lama kelamaan akan melebar dan meluas seperti yang nampak pada Gambar 3b. Setelah dilakukan penyemprotan, pada batang tidak nampak lagi keluar eksudat-eksudat. Batang yang terserang hama lama kelaman akan mengering. Pada pohon yang sudah pulih, akan muncul terubusan-terubusan pada tajuknya (yang awalnya tajuk pohon rontok dan gundul). Pada Gambar 4 dan 5 memperlihatkan bahwa secara umum tanaman yang terserang hama penggerek memiliki pertumbuhan (tinggi dan diameter lebih rendah) dibandingkan dengan tanaman yang sehat. Sebelum dilakukan penyemprotan, selisih diameter antara tanaman sehat dengan tanaman terserang sebesar 6,73%. Akan tetapi setelah dilakukan penyemprotan selisih diameter antara tanaman sehat dengan terserang sebesar 4,91% (pengamatan kedua) dan 0,78% (pengamatan ketiga). Demikian halnya dengan parameter tinggi, selisih tinggi antara tanaman sehat dengan terserang sebelum dilakukan pengamatan yaitu sebesar 2,09%. Sedangkan pada pengamatan kedua dan ketiga masing-masing sebesar 5,67% dan 0,09%. Hal ini menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyemprotan, secara umum tanaman yang terserang mampu pulih/tumbuh lagi.

139

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

A B C

Gambar 3. A) dan B) Gejala serangan kumbang penggerek sebelum dilakukan penyem- protan, C) Gejala serangan penggerek setelah dilakukan penyemprotan

70,24 80 69,69 70 60 49,19 46,77 50 40 29,9432,1 30 Terserang 20

Diameter (mm) Diameter Sehat 10 0 I II III Waktu Pengamatan

Gambar 4. Rata-rata diameter kayu bawang yang sehat dan terserang selama tiga kali pengamatan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa insektisida berbahan aktif fipronil cukup berpengaruh dalam mengendalikan hama X. globosa. Insektisida jenis ini akan bekerja jika racun yang disemprotkan ke bagian tanaman sudah terserap masuk ke dalam jaringan tanaman baik melalui akar maupun batang sehingga dapat membunuh hama penggerek yang berada di dalam jaringan tanaman. Kumbang penggerek akan mati kalau sudah memakan atau menghisap racun yang sudah masuk di dalam cairan atau jaringan tanaman. Cairan atau bagian tanaman yang dimakan akan menjadi racun lambung bagi serangga. Oleh karena itu penggunaan insektisida sistemik ini sangat efektif dalam menekan serangan kumbang penggerek.

140

Aspek Perlindungan Hutan

500 442.52 442.92

400 315,72 297,83 300 208,78 204,41

200 Terserang Tinggi (cm) Tinggi 100 Sehat

0 I II III

Waktu Pengamatan

Gambar 5. Rata-rata tinggi kayu bawang yang sehat dan terserang selama tiga kali pengamatan Suharti et al. (1997) melaporkan bahwa hama penggerek/hama boktor bisa dikendalikan secara biologi dengan menggunakan cendawan Beauveria bassiana. Selanjutnya Aprilia (2011) melaporkan bahwa pengendalian yang bisa dilakukan untuk mengendalikan hama X. festiva dan X. globosa yaitu 1) Pengendalian secara fisik mekanik : penangkapan kumbang dengan perangkap lampu, pemusnahan kelompok telur boktor sengon, dan penyesetan kulit batang sengon yang terserang; 2) Pengendalian secara silvikultur : pengaturan jarak tanam dan penanaman secara campuran; dan 3) Pengendalian hayati : pelepasan parasitoid telur Anagyrus sp. dan penggunaan jamur pathogen Beauveria bassiana. Sementara itu Nurhayati (2001) melaporkan bahwa efikasi insektisida sistemik dimethoate 400 EC konsentrasi 6 cc/liter efektif membunuh larva boktor.

IV. KESIMPULAN

1. Kumbang penggerek Xystrocera globosa menyerang kayu bawang umur 15 bulan dengan persentase dan intensitas serangan sebesar 3,82% dan 7,03%. 2. Penggunaan insektisida sistemik berbahan aktif fipronil dosis 8 cc/liter mampu menekan serangan kumbang penggerek dengan persentase dan intensitas serangan masing-masing menurun sebesar 3,66% dan 6,84%.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Xystrocera globosa (Olivier,1795) Taxonomic Serial No: 187737. Diakses di http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN& search value= 187737 pada 9 Januari 2012. Aprilia, N.T. 2011. Studi Pustaka Hama Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Skripsi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipubikasikan. Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu bawang. Dishut Provinsi Bengkulu. Bengkulu. Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada 141

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program pasca sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan. Kurniawan, A. dan S. Utami. 2012. Serangan Hama Penggerek Batang Pada Tanaman Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang Palembang, 23 Oktober 2012. Nurhayati. ND. 2001. Pengujian Efikasi Insektisida Sistemik Perfecthion 400 EC terhadap Hama Boktor (Xystrocera festifa Pascoe) pada Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Skripsi. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Suharti, M., I.R. Sitepu dan I. Anggraeni. 1997. Pengendalian Hama Xystrocera festiva secara Biologi Menggunakan Cendawan Beauveria bassiana. Prosiding Ekspose Pengembangan Hasil Penelitian Peran Hutan dalam Memenuhi Kebutuhan Manusia dan Antisipasi Isu Global. Bogor 24-25 November 1997. Utami, S., Asmaliyah dan M. Suparman. 2011. Budidaya Jenis Kayu bawang: Aspek Perlindungan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Warisno dan K. Dahana. 2009. Investasi Sengon: Langkah Praktis Membudidayakan Pohon Uang. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Awang K. dan D. Taylor. 1993. eds. Acacia mangium, Growing and utilization. MPTS Monograph Series No.3. Winrock International and The Food and Agriculture Organization of The United Nation. Bangkok. Thailand Friedman, A.L.L., O. Rittner dan V.I. Chikatunov. 2008. Five New lnvasive Species of Longhorn Beetles (Coleoptera: Cerambycidae) in Israel. Phytoparasitica 36(3):242-246

142

Aspek Perlindungan Hutan

SERANGAN HAMA BELALANG HIJAU (Atractomorpha psittacina) PADA Avicenniea sp. DI PERSEMAIAN

Agus Kurniawan dan Adi Kunarso Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Hutan mangrove merupakan ekosistem pantai yang memiliki fungsi ekologis dan sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar pantai. Avicenniea sp merupakan salah satu jenis tanaman tanaman mangrove yang banyak dijumpai. Salah satu kendala dalam budidaya tanaman jenis mangrove adalah adanya serangan hama pada tingkat semai. Hama belalang yang menyerang semai Avicenniea sp adalah jenis Atractomorpha psittacina. Hama belalang ini hanya dijumpai pada bagian daun. Pada daun yang diserang nampak berlubang-lubang, mesofil daun dimakan oleh hama dan meninggalkan tulang-tulang daun. Dari pengamatan diketahui bahwa luas serangan hama belalang mencapai 53,04% dan intensitas serangan mencapai 31,78%. Luas maupun intensitas serangan hama ini tergolong tinggi dan dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan kesehatan semai bahkan berpotensi menyebabkan kegagalan pengelolaan persemaian. Kata kunci: Avicenniea sp, mangrove, Atractomorpha psittacina

I. PENDAHULUAN

Hutan mangrove merupakan ekosistem pantai yang memiliki fungsi ekologis dan sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar pantai. Berdasarkan hasil identifikasi tahun1997-2000 luas potensial habitat mangrove di Indonesia mencapai 8,6 juta ha yang terdiri 3,8 juta ha dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan. Pada saat ini 1,7 juta ha atau 44,73 % dari hutan mangrove yang berada dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha atau 87,50 % dari hutan mangrove yang berada di luar kawasan hutan dalam kondisi rusak (Dephut, 2004). Kondisi mangrove yang masih baik hanya ada di Irian Jaya. Sedangkan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara menunjukkan sebagian besar mangrove telah mengalami kerusakan (Khazali, 1999). Kerusakan hutan mangrove diantaranya disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak memperhatikan kelestarian dalam mengelola sumberdaya alam seperti alih fungsi menjadi areal tambak, tambak garam, pemukiman dan pertambangan tanpa diimbangi upaya pelestarian ekosistem mangrove. Upaya rehabilitasi hutan mangrove penting dilakukan terutama untuk mengembalikan fungsi ekologis. Hutan mangrove di sepanjang pantai berfungsi sebagai habitat aneka flora, fauna dan fungsi konservasi sebagai penahan abrasi serta berfungsi sebagai penahan dan pemecah ombak. Upaya penyediaan bibit mangrove untuk kepentingan rehabilitasi sering kali terkendala dengan adanya serangan hama. Hama yang dijumpai merusak semai jenis mangrove terutama pada jenis api-api (Avicennia sp) adalah belalang. Oleh karena itu potensi kerusakan tanaman oleh serangan hama ini perlu diteliti sehingga dapat ditentukan cara menanggulanginya.

143

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di area persemaian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Pengamatan terbagi pada 3 blok semai jenis Api-api (Avicennia sp) yang masing-masing blok terdiri dari 4 plot, masing-masing plot terdiri dari 40 semai. Dalam 1 blok terdiri dari tanaman mangrove 3 jenis tanaman mangrove yang ditempatkan secara random yaitu jenis Api-api (Avicenia sp), Tumu (Bruguera sp) dan Bakau (Rhizopora sp). Identifikasi hama dilakukan dengan mengirim specimen hama ke Laboratorium Zoologi LIPI. Penelitian dilakukan mulai Bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

Gambar 1. Persemaian jenis mangrove Balai Penelitian Kehutanan Palembang B. Prosedur Kerja 1. Identifikasi hama Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengambil specimen hama yang menyerang pada semai Avicennia sp. umur 5 bulan di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Specimen diambil dengan cara menangkap dengan tangan secara manual. Specimen yang diambil dibuat offset hama dan selanjutnya dilakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Bogor. 2. Pengamatan Bentuk Kerusakan Semai oleh Serangan Hama Deskripsi bentuk kerusakan semai diperoleh dengan mengamati bagian semai yang diserang, terutama pada bagian daun tanaman. Prosedur penelitian dilaksanakan sebagai berikut: a. Pengamatan serangan hama dilaksanakan pada 12 plot dalam 3 blok semai yang berada di lokasi persemaian. Pada tiap plot pengamatan diamati jenis hama yang menyerang, bentuk kerusakan, bagian tanaman yang terserang. b. Bentuk kerusakan diamati dengan melakukan pencatatan bentuk gejala dan tanda kerusakan pada tanaman yang merupakan akibat langsung oleh serangan hama. 3. Penghitungan Serangan Hama Persentase serangan hama (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah pohon yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 % (Natawigena, 1994). Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur P  x 100% Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur

144

Aspek Perlindungan Hutan

Penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) dilakukan menurut kriteria Natawigena (1994), tabel klasifikasi kerusakan menurut Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994) dengan sedikit modifikasi (Tabel 1 dan Tabel 2). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini. (n x v ) I   i j x 100% Z x N Keterangan: I : Tingkat kerusakan tanaman ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun Nilai Sehat - Kerusakan daun  5 % 0 Ringan - Kerusakan daun antara 5 %  x  25 % 1 Agak berat - Kerusakan daun antara 25 %  x  50 % 2 Berat - Kerusakan daun antara 50 %  x  75 % 3 - Kerusakan daun antara 75 %  x  100 % Sangat berat 4 - Pohon gundul/hampir gundul

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil inventarisasi serangga hama yang dilakukan pada 3 blok semai tanaman Api-api (Avicennia sp) dijumpai hama yang menyerang adalah jenis belalang hijau (Ordo Orthoptera: Acridiidae). Jenis dan morfologi hama yang menyerang tanaman Avicennia sp., bentuk kerusakan yang diakibatkan, luas serangan dan intensitas kerusakan dijelaskan sebagai berikut: 1. Jenis dan Morfologi Hama Dari hasil identifikasi, diketahui jenis belalang yang menyerang tanaman Api-api (Avicennia sp.) adalah Atractomorpha psittacina. Taksonomi dari belalang hijau (Atractomorpha psittacina) adalah sebagai berikut (Anonim, 2012b): Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum : Hexapoda Class : Insecta Order : Orthoptera Family : Acridiidae Genus : Atractomorpha Species : Atractomorpha psittacina Belalang hijau Atractomorpha psittacina mengalami metamorphose tidak sempurna (hemimetabola). Metamorfose tidak mengalami fase pupa, dari telur menetas kemudian menjadi nymfa muda dan berkembang menjadi nymfa dewasa dan akhirnya menjadi imago (dewasa) (Gambar 2).

145

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Gambar 2. Belalang Atractomorpha psittacina, hama pada semai Avicennia sp. 2. Bentuk Kerusakan Tanaman Dari pengamatan kerusakan semai oleh serangan belalang hijau hanya dijumpai pada bagian daun. Serangan dimulai dari daun yang muda dan akhirnya semua daun rusak karena dimakan oleh belalang (Gambar 3B). Pada daun yang diserang hama belalang tampak berlubang-lubang karena mesofil daun dimakan oleh hama dan pada serangan lebih lanjut mesofil daun habis dimakan hama dan meninggalkan tulang-tulang daun (Gambar 3B). Kerusakan semai yang disebabkan oleh serangan hama ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas dan produktifitas semai, seperti cacat fisik dan hambatan pertumbuhan. Secara langsung rusaknya daun akan berpengaruh pada proses fotosintesis dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kesehatan semai.

A B

Gambar 3. A). Semai Avicennia sp yang sehat tidak terserang hama, B). Semai yang terserang hama belalang Pada umumnya bentuk dan derajat kerusakan tanaman yang terjadi ditentukan oleh tipe alat mulut dan bagian tanaman yang dirusak. Hama belalang Atractomorpha psittacina memiliki tipe alat mulut mandibula (penggigit pengunyah) yang memiliki rahang kuat sehingga mampu melumatkan bagian tanaman yang keras seperti kayu teras. Kerusakan pada bagian daun dapat sangat parah dan semai dapat mengalami gundul karena semua daunnya dimakan oleh belalang.

146

Aspek Perlindungan Hutan

3. Persen Serangan dan Intensitas Serangan Hama Dari pengamatan diketahui luas serangan dan intensitas serangan hama belalang pada semai Avicennia sp adalah sebagai berikut: Tabel 1. Luas serangan dan intensitas serangan hama belalang pada semai tanaman Avicennia sp umur 5 bulan di persemaian Tanaman Jumlah Luas serangan Intensitas No Blok Plot Terserang Tanaman (%) Serangan (%) 1 1 1 10 24 41.67 12.50 2 2 7 22 31.82 12.50 3 3 14 23 60.87 25.00 4 4 10 24 41.67 42.50 5 2 1 16 34 47.06 43.75 6 2 19 29 65.52 34.48 7 3 12 22 54.55 31.82 8 4 13 27 48.15 22.22 9 3 1 2 6 33.33 12.50 10 2 17 24 70.83 40.62 11 3 13 18 72.22 34.72 12 4 22 32 68.75 68.75 155 285 53.04 31.78

Kerugian secara ekonomi banyak ditentukan oleh luas serangan dan intensitas kerusakan yang terjadi. Luas serangan merupakan indikator kepadatan populasi hama. Makin tinggi kepadatan populasi hama maka makin besar pula kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan (Musyafa dan Subyanto, 2008). Dari Tabel 1 di atas diketahui bahwa luas serangan hama belalang mencapai 53,04% dan intensitas serangan mencapai 31,78%. Luas maupun intensitas serangan hama ini tergolong tinggi dan dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan kesehatan semai bahkan kegagalan pengelolaan persemaian. Kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama dikhawatirkan akan diikuti terjadinya serangan penyakit yang masuk melalui luka gerekan pada daun yang dapat menimbulkan kerusakan yang lebih tinggi. Untuk itu upaya pengendalian seyogyanya segera dilakukan sehingga biaya pengendalian dapat diminimalisasi serta potensi kerusakan yang lebih besar dapat dihindari.

IV. KESIMPULAN

Hama daun yang menyerang semai jenis Avicennia sp. di persemaian BPK Palembang adalah belalang hijau (Atractomorpha psittacina). Hama ini menyerang bagian mesofil daun dengan luas serangan mencapai 53,04% dan intensitas serangan mencapai 31,78%. Gejala kerusakan yang ditimbulkan adalah rusaknya mesofil daun karena aktifitas makan dari belalang yang memilki tipe alat mulut mandibula dan pada kerusakan lanjut hanya meninggalkan tulang- tulang daun. Kerusakan ini akan menggangu pertumbuhan dan kesehatan semai sehingga menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas semai. Oleh karena itu pengendalian belalang hijau pada tanaman Avicennia sp. perlu segera dilakukan.

147

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

DAFTAR PUSTAKA

Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat kerusakaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program pasca sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan. Hartini, S., Guridno Bintar Saputro, M. Yulianto, Suprajaka. 2010. Assessing the Used of Remotely Sensed Data for Mapping Mangroves Indonesia. Selected Topics in Power Systems and Remote Sensing. In 6th WSEAS International Conference on Remote Sensing, Iwate Prefectural University, Japan. October 4-6, 2010; pp. 210-215. Khazali, M. 1999. Panduan Teknis: Penanaman Mangrove bersama Masyarakat. Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor. Musyafa & Subyanto. 2008. Buku Ajar : Mata Kuliah Ilmu Hama Hutan, KTB 331. Program studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Natawigena, H.H. 1994. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Trigenda Karya. Bandung

148

Aspek Perlindungan Hutan

WASPADA TERHADAP KEPIK RENDA (Tingis beesoni) YANG MENYERANG JATI PUTIH (Gmelina Arborea Roxb.)

Illa Anggraeni 1), Asmaliyah 2) dan Neo Endra Lelanan 1) 1) Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan 2) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Gmelina atau jati putih (Gmelina arborea Roxb.) merupakan salah satu tanaman yang diminati masyarakat karena pertumbuhannya yang cepat dan kayunya mempunyai banyak kegunaan, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan dalam bentuk hutan rakyat. Serangan hama merupakan salah satu kendala yang perlu diperhitungkan karena akibat serangannya dapat merugikan secara ekonomi. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan pengendalian. Salah satu jenis hama yang perlu diwaspadai pada tanaman gmelina adalah ham kepik renda (Tingis beesoni). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa akibat serangan hama kepik renda dapat menyebabkan tanaman gmelina mengalami defoliasi daun dan mati pucuk. Oleh karena itu perlu mulai dilakukan tindakan pengendalian terhadap hama kepik renda ini, agar pengembangan hutan rakyat dengan gmelina tetap terjaga dan lestari. Kata kunci: Gmelina arborea, hama, pengendalian

I. PENDAHULUAN

Gmelina atau sering disebut jati putih (Gmelina arborea Roxb.) termasuk ke dalam famili Verbenaceae, merupakan jenis pohon berdaun lebar. Tinggi pohon dapat mencapai 30 meter dengan diameter batang lebih dari 60 cm. Tanaman ini merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan kayunya mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan baku pulp dan kertas, vinir kayu lapis dan batang korek api, bahan bangunan non struktural, moulding, mebel, kerajinan dan kayu energi (Sumitro, 1989; Martawijaya dan Barly, 1995 dalam Lempang dan Tikupadang, 2013). Kayu gmelina dapat digunakan sebagai bahan pulp, kertas, venir, papan partikel, chipboard, kotak panel, alat musik, bak truk dll. (Webb et al., 1980 dalam Hendromono dkk, 2006 dalam Anggraeni dan Mindawati, 2011; Mulyana dan Asmarahman, 2011). Gmelina dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 800 m dpl, masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 m dpl dengan curah hujan 1.778 sampai 2.286 mm per tahun dan musim kering antara 2 – 4 bulan. Tanaman gmelina dapat tumbuh dengan baik pada tanah subur, sarang, drainase baik, tidak tergenang air, reaksi tanah masam sampai netral, solum tanah dalam (Webb et al., 1980 dalam Hendromono dkk, 2006 dalam Anggraeni dan Mindawati, 2011). Tanaman ini toleran terhadap tanah berlapisan dangkal, berpasir, tanah padat dan tanah asam (Danu, 2003 dalam Mulyana dan Asmarahman, 2011). Untuk memenuhi kebutuhan kayu pemerintah c.q Kementrian Kehutanan menggalakan produksi kayu yang dihasilkan oleh hutan rakyat (Mulyana dan Asmarahman, 2011). Hutan rakyat merupakan salah satu sasaran dari program revitalisasi kehutanan untuk memenuhi kebutuhan kayu selain dari hutan alam dan hutan tanaman industri. Defisit kebutuhan kayu yang terus terjadi merupakan salah satu peluang untuk mengembangkan dan membangun

149

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang hutan rakyat. Jenis tanaman hutan rakyat yang sekarang ini sedang diminati masyarakat salah satunya adalah gmelina. Investasi dengan membudidayakan tanaman hutan memang sangat menguntungkan tetapi jika tidak dilakukan dengan baik resiko kegagalannyapun cukup besar. Budidaya tanaman hutan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor pembatas pertumbuhan, diantaranya kerusakan pohon yang disebabkan kebakaran, penggembalaan liar, pencurian dan serangan hama dan penyakit (Mulyana dan Asmarahman, 2011). Hama merupakan kendala yang sering tidak diperhitungkan. Seperti halnya kejadian serangan hama perusak daun kepik renda (Tingis beesoni) yang menyerang tanaman gmelina di beberapa daerah di areal pertanaman gmelina seperti di Bogor, Jakarta, Sumedang, Pekalongan, Batang, Kendal, Sragen, Solo, Blora, Ngawi, Kediri, Bojonegoro, Tuba, Mojokerto, Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi dan Karang Asem Bali (Anggraeni dan Mindawati, 2011; Lelana dan Anggraeni, 2012 dan 2013; Sumantoro, 2013). Keberadaan dan meningkatnya populasi kepik renda dipengaruhi tiga faktor utama yaitu adanya tanaman inang, hama itu sendiri (kepik renda) serta lingkungan yang mendukung perkembangan populasinya. Untuk mengantisipasi dan menggendalikan hama kepik renda pada gmelina diperlukan suatu pengetahuan tentang gejala dan kerusakan yang ditimbulkan, penyebab terjadinya serangan, ekobiologi hama, dan teknik pengendalian di lapangan.

II. KEPIK RENDA (Tingis beesoni)

Kepik renda (Tingis beesoni) termasuk ke dalam ordo Hemiptera (kelompok kepik/bug) dan famili Tingidae. Kepik mempunyai bentuk gepeng agak kecil biasanya mempunyai panjang ± 5 mm. Sayap bagian depan tipis dengan banyak sel-sel tertutup berlukiskan seperti jaring (Gambar 1). Hemiptera berasal dari kata hemi = separuh; ptera = sayap, artinya sayap-sayap depan kelompok ini biasanya mempunyai bagian dasar menebal dan bagian distal berselaput tipis. Tipe sayap seperti ini disebut tipe sayap hemelytron. Sayap belakang seluruhnya berselaput tipis agak lebih pendek daripada sayap depan (Borror et al, 1992 dalam Anggraeni dan Mindawati, 2011). T. beesoni dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis sederhana yaitu telur menjadi nimfa dan kemudian menjadi imago (serangga dewasa). Umumnya anggota ordo Hemiptera memiliki 5 instar nimfa (Borror et al., 1992 dalam Anggraeni dan Mindawati, 2011). T. beesoni dewasa mempunyai sayap bercorak seperti jaring-jaring tetapi nimfa- nimfanya berduri (Gambar 2).

A B

Gambar 1. Kepik yang berbentuk gepeng. Corak sayap seperti jaring ciri khas dari kelompok kepik renda (Tingidae). A. Tampak ventral. B. Tampak dorsal (Foto. Illa Anggraeni)

150

Aspek Perlindungan Hutan

A B

Gambar 2. Bentuk nimfa dari kepik renda yang berduri A. Tampak ventral B. Tampak dorsal (Foto. Illa Anggraeni) T. beesoni mempunyai alat mulut tipe penusuk dan pengisap, dengan ciri mempunyai probosis memanjang dan beruas dan mempunyai labrum berada di depan probosis. Probosis sebenarnya merupakan perpanjangan dari labium yang seperti selubung di dalamnya terdapat stilet penusuk, dua mandibel dan dua maksila (Gambar 3). Labium tidak menusuk tetapi terlipat ke atas ketika stilet-stilet masuk jaringan pada waktu makan. Stilet-stilet yang ada dalam probosis, maksila dan mandibel bersama-sama menempel sedemikian hingga membentuk dua saluran, sebuah untuk saluran makanan dan sebuah untuk saluran air liur, makanan dicampurnya dengan air liur sebelum diisapnya.

Gambar 3. Alat mulut tipe penusuk dan pengisap (Foto. Illa Anggraeni)

III. GEJALA SERANGAN KEPIK RENDA PADA GMELINA

T. beesoni mengisap cairan tanaman secara berkelompok pada pangkal daun dan pucuk- pucuk tunas yang lunak. Daun yang telah dihisap akan berwarna coklat (nekrotik) (Gambar 3) yang kemudian mengakibatkan daun terkulai mengalami defoliasi (pengguguran daun) serta mati pucuk (dieback) (Gambar 4). Bila diamati lebih detail pada daun yang terserang disekitar kelompok serangga tadi nampak suatu cairan berwarna kehitam-hitaman (Gambar 5), hama berkelompok disekitar tulang-tulang daun (Gambar 6), apabila daun sudah gugur semua kepik renda akan berkelompok di ketiak batang atau pada sela-sela batang (Gambar 7).

151

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Gambar 4. Gejala serangan berupa bercak nekrotik pada permukaan atas dan bawah daun (Foto. Illa Anggraeni & Neo E. Lelana)

Gambar 5. Akibat serangan kepik renda, daun gugur (Foto. Illa Anggraeni & Neo E. Lelana)

Gambar 6. Cairan berwarna hitam (Foto. Illa Anggraeni & Neo E. Lelana)

Gambar 7. Nimfa dan serangga dewasa dari kepik renda bergerombol di sekitar tulang daun dan pada ketiak daun (Foto. Illa Anggraeni & Neo E. Lelana)

152

Aspek Perlindungan Hutan

III. STRATEGI PENGELOLAAN HAMA KEPIK RENDA

Gmelina telah menjadi salah satu tanaman yang banyak diminati masyarakat karena memiliki banyak kelebihan atau keunggulan, tanaman ini banyak dibudidayakan secara luas di hutan rakyat dengan sistem monokultur maupun secara agroforestry. Keberlangsungan gmelina dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh faktor biotik maupun abiotik. Oleh karena itu penge- lolaan tanaman gmelina harus memperhatikan tiga hal yaitu budidaya tanaman sehat (bibit), monitoring yang intensif dan pencegahan serta pengendalian hama. Tujuan dari pengendalian hama gmelina adalah untuk mencegah terjadinya kerugian secara ekonomi serta menaikkan nilai hasil berupa kayu. Jadi hama tersebut haruslah ditekan dan dikurangi dan ditiadakan sampai di bawah ambang ekonomi (memperhitungkan harga nilai hasil produksi, harga atau nilai faktor-faktor masukan dan ongkos-ongkos lainnya). Dalam hal ini digunakan konsep aras ekonomi (Stern et al., 1959 dalam Untung, 2006) yang terdiri dari tiga pengertian, yaitu: - Tingkat kerusakan luka ekonomis, kepadatan populasi hama yang paling rendah dan kerusakan tanaman sebagai patokannya yang sudah menimbulkan kerusakan. - Kerusakan ekonomis, kerusakan tanaman kadang-kadang populasi hama sebagai patokannya, di mana sudah dibenarkan untuk dilakukan tindakan pengendalian (tidak dapat dibiarkan lagi). - Ambang ekonomi, ialah kepadatan populasi sesuatu hama dan kadang-kadang kerusakan suatu tanaman sebagai patokannya, harus ditentukan tindakan pengendaliannya guna meningkatnya serangan atau kerusakan tanaman tersebut, jangan sampai mencapai tingkat kerusakan ekonomi. Dapat juga disebut ambang toleransi (kepadatan populasi hama dan kadang-kadang kerusakan tanaman tersebut tertinggi yang masih dapat ditolerir oleh tanaman, harus disiapkan pengendaliannya agar tidak bertambah atau melampauinya (Djafaruddin, 2000). Teknik memonitor hama adalah mutlak, untuk mengetahui perkembangannya baik kuantitatif maupun kualitatif, yang dihubungkan dengan faktor lingkungan seperti iklim (suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan angin dan lain-kain). Hasil dari monitoring ini akan memberikan pedoman atau langkah yang perlu diambil guna mengendalikan hama atau mengambil tindakan-tindakan yang dapat menekan dan jika memungkinkan meniadakan serangannya terhadap tanaman. Pengendalikan hama oleh Djafaruddin (2000) dibedakan atas: - Pencegahan (preventive), melakukan suatu tindakan agar tanaman yang masih sehat terhindar dari serangan hama. - Pemberantasan (control), melakukan tindakan terhadap tanaman yang sudah terserang. Dalam prakteknya kedua hal tersebut di atas dilakukan bersama-sama agar dapat memperkecil atau meniadakan kerugian. Oleh karena itu masalah tersebut lebih tepat disebut dengan pengendalian atau pengelolaan (management). Bahkan dewasa ini pendekatan tersebut lebih dikenal dengan istilah Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) atau The Integrated pest Management (IPM) yaitu dengan menggunakan bermacam-macam pendekatan atau metode pengendalian secara bersama-sama guna meningkatkan efisiensi dan memperkecil resiko kerusakan atau menurunnya nilai lingkungan hidup (Djafaruddin, 2000; Untung, 2006) Berdasarkan uraian di atas maka pengelolaan kepik renda yang menyerang gmelina disarankan sebagai berikut, (1) Melakukan survei/monitoring di seluruh areal pertanaman gmelina yang terserang. (2) Jika serangan sudah meluas dengan dampak yang mematikan maka perlu dilakukan pengendalian hama kepik renda secara serentak menggunakan insektisida kimia. Pengendalian dapat dilakukan dengan penyemprotan jika serangan terjadi pada tanaman muda yang tingginya kurang dari 3 meter. Jika terjadi pada tanaman dewasa dengan ketinggian

153

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang diatas 3 meter dapat dilakukan dengan metode suntik. Jenis insektisida yang dapat digunakan diantaranya insektisida sistemik berbahan aktif dimehipo dan imidakloprid. (3) Penanaman gmelina sebaiknya menggunakan pola tanam campuran sehingga dapat mengurangi dan menghambat kecepatan penyebaran T. beesoni. Pola tanam campuran yang dapat dilakukan diantaranya dengan menggunakan system agroforestri, kombinasi berbagai jenis pohon maupun menggunakan tanaman yang menghasilkan insektisida seperti mimba dan suren sebagai tanaman sela.

PENUTUP

Perlindungan terhadap hama akan mulai dirasakan penting apabila sudah terjadi serangan yang sangat hebat (outbreak/eksplosif/wabah). Sebenarnya keberadaan hama tersebut telah lama, namun karena akibatnya belum dirasakan atau masih sedikit sehingga biasanya tidak dipedulikannya atau dibiarkan saja. Serangan hama yang terjadi di hutan tanaman saat ini masih dibiarkan dan kerugiannya dalam bentuk materi belum terekam. Oleh karena itu perlu mulai dilakukan tindakan-tindakan perlindungan hutan, apalagi saat ini adalah era menanam, agar pengusahaan hutan tanaman secara lestari.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, I. dan N. Mindawati. 2011. Serangan Hama dan Penyakit pada gmelina (Gmelina arborea Roxb.) di Hutan Rakyat. Tekno Hutan Tanaman Vol. 4 No. 2 Agustus 2011. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor Djafaruddin, 2000. Dasar-dasar Pengendalian Penyakit Tananam. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Duladi. 2012. Cara Cerdas Mengendalikan Hama dan Penyakit pada Sengon. Penerbit IPB Press. Bogor. Lelana, N.E. dan I. Anggraeni. 2012. Laporan hasil survey serangan hama kepik renda (Tingis beesoni) pada gmelina di Situbondo. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak terbit. Lelana, N.E. dan I. Anggraeni. 2012. Laporan hasil survey serangan hama kepik renda (Tingis beesoni) pada gmelina di Karang Asam Bali. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak terbit. Lempang M dan H. Tikupadang. 2013. Aplikasi arang aktif tempurung kemiri sebagai komponen media tumbuh semai melina. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea Vol.2.No.2, 2013. Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Mulyana, D. dan C. Asmarahman. 2010. 7 Jenis Kayu Penghasil Rupiah. Jati, Sengon, Mahoni, Meranti, Jati putih, Kayu Afrika dan Suren. Penerbit PT AgroMedia Pustaka. Jakarta. Sumantoro, P. 2013. Makalah Rakor Hama dan Penyakit Tanaman Kehutanan. Semarang 26 Maret 2013. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah. Semarang. Tidak terbit Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (edisi kedua). Penerbit Gadjah Mada University Pres. Yogyakarta.

154

Aspek Perlindungan Hutan

PENYAKIT PADA TANAMAN BAMBANG LANANG (Michelia champaca) DAN DAERAH SEBARANNYA DI SUMATERA SELATAN

Asmaliyah1), Andika Imanullah1), Illa Anggraeni2) dan Wida Darwiati2) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan, Palembang 2) Peneliti pada Pusat Penelitian Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor

ABSTRAK

Bambang lanang (Michelia champaca) merupakan salah satu jenis tanaman unggulan Sumatera Selatan yang potensial untuk dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman baik pada daerah sebaran alami maupun diluar sebaran alami. Salah satu permasalahan yang sering muncul dalam pembangunan hutan tanaman adalah adanya serangan penyakit karena hutan tanaman cenderung mempunyai jenis yang terbatas bahkan monokultur. Serangan penyakit dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu bahkan pada serangan berat dapat mematikan tanaman. Oleh karena itu untuk mengantisipasi agar serangan penyakit tidak sampai berkembang dan meluas maka perlu dilakukan tindakan pengendalian. Tindakan pengendalian akan berhasil apabila jenis penyakit dan patogen serta daerah sebarannya diketahui. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis penyakit dan patogennya yang menyerang tanaman bambang lanang serta daerah sebarannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 4 jenis penyakit yang ditemukan pada tanaman bambang lanang di Sumatera Selatan, yaitu penyakit bercak daun yang disebabkan oleh cendawan Cercospora sp., Colletotrichum sp., dan curvularia sp, penyakit karat yang disebabkan oleh cendawan Cephaleuros sp., penyakit embun jelaga yang disebabkan oleh cendawan Capnodium sp. dan Meliola sp., dan penyakit pembuluh hitam pada batang disebabkan oleh Fusarium sp. Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh cendawan Cercospora sp. ditemukan hampir pada semua pertanaman bambang lanang di Sumatera Selatan. Persentase dan intensitas serangannya paling tinggi dibandingkan serangan penyakit lainnya. Kata kunci: penyakit, patogen, daerah sebaran, Sumatera Selatan

I. PENDAHULUAN

Bambang lanang (Michelia champaca) merupakan salah satu jenis tanaman yang cukup potensial dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman di daerah Sumatera Selatan, karena merupakan jenis lokal setempat dan telah lama dimanfaatkan masyarakat karena mempunyai nilai ekonomi tinggi. Beberapa daerah di Sumatera Selatan yang telah lama memanfaatkan dan mengembangkan tanaman bambang lanang ini adalah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), Empat Lawang, Pagaralam, Lahat dan Muara Enim. Masyarakat di daerah ini memanfaatkan kayu bambang lanang untuk papan, kusen, jendela, pintu dan gagang pisau. Saat ini pembangunan hutan tanaman bambang lanang di Sumatera Selatan sudah menyebar ke daerah lainnya yaitu Kabupaten Musi Rawas, Rejang Lebong dan Ogan Komering Ulu (Baturaja) serta Kabupaten Bangko-Sarolangun di Jambi. Salah satu kendala yang sering terjadi dalam pembangunan hutan tanaman adalah adanya serangan penyakit, karena jenis tanaman yang ditanam umumnya terbatas bahkan cenderung monokultur. Serangan panyakit pada tanaman dapat mengakibatkan pertumbuhan

155

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang tanaman terhambat bahkan pada serangan yang berat dapat mengakibatkan kematian tanaman. Oleh karena itu informasi tentang penyakit dan patogen penyebabnya penting diketahui, agar sedini mungkin gejala munculnya serangan penyakit dapat diketahui sehingga tindakan pencegahan atau pengendalian juga dapat dilakukan sedini mungkin. Didasari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui penyakit dan patogen penyebabnya yang menyerang tanaman bambang lanang di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Dengan diketahuinya jenis penyakit dan patogen penyebabnya maka tindakan pengendalian yang akan dilakukan dapat lebih terarah dan efektif, sehingga serangan penyakit tidak meluas baik di daerah sebarannya maupun di daerah yang baru mengembangkan tanaman bambang lanang ini

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tegakan tanaman bambang lanang yang terdapat di beberapa desa yang termasuk dalam wilayah Kabupaten OKUS, Empat Lawang, Pagaralam, Lahat dan Muara Enim. Penelitian dilakukan mulai tahun 2010 sampai 2012. B. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol, aluminium foil, aquades, kapas, kertas koran, kertas tissue, PDA, larutan hipoklorit 3%, dan tally sheet. Sedangkan alat yang digunakan adalah hand counter, kotak plastik, ice box, kuas, spidol permanen, gunting stek, kantong plastik, kamera, cawan petri, labu erlenmeyer, ruang isolasi (LAF = Laminary Air Flow), mikroskop dan alat-alat tulis. C. Metode Penelitian 1. Inventarisasi dan Identifikasi Penyakit Pengumpulan data dilakukan secara sensus terhadap seluruh tanaman sampel yang diambil 20% dari jumlah seluruh tanaman yang ada. Parameter yang diamati adalah gejala serangan dan patogen penyebabnya. Untuk mengetahui patogen penyebabnya maka dilakukan kegiatan identifikasi dengan prosedur kerjanya adalah sebagai berikut: - Pengamatan gejala pada daun dan batang tanaman bambang lanang yang terserang penyakit. Daun dan batang tanaman bambang lanang yang sakit diambil sebagai sumber untuk mendapatkan patogen yang diduga menjadi penyebab penyakit. - Untuk merangsang sporulasi, contoh daun dan batang yang sakit dilembabkan dengan cara memasukkan dalam cawan petri menggunakan kertas tissue yang telah dibasahi dengan aquades steril selama 24 jam. Kemudian diamati secara mikroskopis bentuk hifa, spora dan tubuh buah. - Isolasi patogen, jaringan daun dan batang yang diambil dari perbatasan sehat dan sakit dicuci bersih, kemudian diiris tipis (transparan), dimasukkan dalam labu erlenmeyer isi aquades steril, dikocok/diaduk, irisan diambil dan dimasukkan dalam alkohol 70% selama lima menit, kemudian dimasukkan dalam larutan hipoklorit 3% selama lima menit. Potongan tersebut dicuci dan ditiriskan di atas kertas hisap/tissue. Setelah jaringan daun dan batang kering diletakkan di tengah-tengah cawan petri yang sudah berisi PDA (media agar kentang/Potatos Dextrose Agar), diinkubasikan pada suhu kamar. Patogen yang muncul diamati dan dimurnikan dengan cara dipindahkan ke cawan petri lain yang berisi PDA. Biakan murni yang didapat diamati secara makroskopis dan mikroskopis.

156

Aspek Perlindungan Hutan

- Untuk mengidentifikasi isolat secara mikroskopis diperlukan pembuatan preparat. Preparat yang dibuat ada 2 macam yaitu dari jaringan daun dan batang yang sakit secara langsung dan dari koloni biakan murni hasil isolasi. Preparat diamati di bawah mikroskop. Identifikasi dilakukan dengan pengamatan secara mikroskopis (bentuk hifa, ada tidaknya septa, bentuk spora dll) dan makroskopis (gejala penyakit dan tanda penyakit di lapangan). Berdasarkan ciri-ciri tersebut fungi patogen diidentifikasi dengan menggunakan kunci determinasi serta dideskripsikan dengan acuan pustaka antara lain Alexopoulos dan Mims (1979); Barnett & Hunter (2006); Dwidjoseputro (1978); Streets (1980) dan Agrios (2005). 2. Pengamatan Persentase Serangan dan Intensitas Serangan Pengumpulan data persentase serangan dilakukan dengan cara mengamati seluruh tanaman yang ada. Nilai persentase serangan (P) didapat dengan cara menghitung jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah seluruh tanaman yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 persen atau Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur P = X 100 % Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur Sedangkan intensitas serangan didapat dengan cara menghitung jumlah daun yang terserang dalam satu pohon dibagi jumlah seluruh daun dalam satu pohon di kali 100 persen atau Jumlah daun /luas batang yang terserang dalam satu pohon I = X 100 % Jumlah seluruh daun/luas batang seluruhnya dalam satu pohon Untuk penentuan ringan atau beratnya intensitas serangan dapat dilihat data tingkat kerusakan tanaman yang menggunakan klasifikasi menurut kriteria Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994), dengan sedikit modifikasi (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh penyakit Tingkat Kerusakan Tanda kerusakan yang terlihat pada tanaman Nilai Sehat Tidak ada serangan/daun sehat 0 Ringan Jumlah daun terserang ≤ 10% 1 Agak berat Jumlah daun yang terserang antara 11-30 % 2 Berat Jumlah daun yang terserang antara 31-50 % 3 Sangat berat Jumlah daun yang terserang antara 51 % - 80 % 4 Gagal - Jumlah daun yang terserang di atas 80 % atau 5 - Daun kering dan tanaman mati

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan 4 jenis penyakit, yaitu penyakit bercak daun, embun jelaga pada daun dan penyakit pembuluh hitam yang menyerang batang tanaman bambang lanang. A. Penyakit Bercak Daun Penyakit bercak daun yang ditemukan menyerang tanaman bambang lanang terdiri dari tiga jenis, yaitu:

157

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

1. Penyakit Bercak Daun (warna bercak coklat sampai coklat kehitam-hitaman) a. Gejala Serangan Gejala awal serangan penyakit bercak daun ini adalah adanya warna coklat yang tersebar merata pada daun bambang lanang. Warna bercak kemudian berubah menjadi coklat kemerahan, kemudian coklat kehitaman dan daun agak melengkung. Akibat selanjutnya daun akan mengering dan gugur (Gambar 1). Serangan penyakit ini paling dominan ditemukan pada tanaman muda di lapangan (umur ≤ 2 tahun).

Gambar 1. Gejala serangan penyakit bercak daun pada tanaman bambang lanang dan konidia Colletotrichum sp. (Foto. Asmaliyah & Anggraeni) b. Identifikasi Patogen Berdasarkan hasil identifikasi penyebab penyakit bercak daun ini adalah cendawan Colletotrichum sp. Colletotrichum mempunyai beberapa sinonim tergantung dari speciesnya, tingkat seksual dari fungi ini juga sudah diketahui yaitu Glomerella yang termasuk kedalam kelas Accomycetes, ordo Diaporthales dan famili Diaporthaceae (Dwidjoseputro, 1976). Colletotrichum membentuk banyak acervulus berbentuk setengah bulat atau lonjong dan berwarna gelap. Bentuk konidia seperti batang dengan ujungnya membulat (Gambar 1), biasanya membentuk satu atau dua tabung kecambah. Bila tabung kecambah mengenai permukaan benda padat maka terbentuklah apresorium berwarna gelap/hitam dan lengket, fungi dapat langsung menembus kutikula daun. Fungi masuk ke dalam tanaman inang melalui lubang alami (stomata), melalui luka dan penetrasi langsung pada kutikula (Agrios, 2005). c. Persentase Serangan dan Intensitas Serangan Persentase serangan penyakit bercak daun pada tanaman bambang lanang rata-rata sebesar 33,90 persen (kisaran antara 23,05-47,56%) dengan intensitas serangan rata-rata sebesar 15,80 persen (kisaran antara 12,64-18,10%). Persentase serangan dan intensitas serangan yang tertinggi ditemukan pada tanaman bambang lanang yang terdapat di lahan yang lebih terbuka dan cenderung panas. Seperti yang dikemukakan oleh Soenartiningsih dan Talanca (2010), bahwa cendawan Colletotrichum sp. berkembang baik pada tempat-tempat yang mempunyai kondisi panas dan lembab. Berdasarkan kriteria Unterstenhofer dalam Djunaedah (1994), tingkat kerusakan tanaman sudah termasuk klasifikasi kerusakan agak berat. Untuk mengurangi meluasnya penyakit ini dapat dilakukan dengan cara: a) memperbaiki kondisi tanaman dengan cara pemberian pupuk dan mengatur naungan, b) memotong daun- daun yang terserang, kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar dan jika diperlukan dapat menggunakan fungisida berbahan aktif karbendazim dan mankozeb (Semangun, 1991). d. Sebaran Serangan penyakit bercak daun hanya ditemukan pada areal pertanaman bambang lanang yang terdapat di Desa Sumber Karya, Kecamatan Gumay Ulu, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan.

158

Aspek Perlindungan Hutan

2. Penyakit Bercak Daun (warna bercak abu-abu pada bagian tengah) a. Gejala Serangan Gejala awal serangan penyakit ini adalah adanya bercak berwarna coklat berbentuk agak bulat sampai bulat yang tersebar merata diseluruh permukaan daun, semakin lama bercak akan membesar dan berwarna coklat kehitaman pada bagian tengahnya dan bagian pinggirnya (disekelilingnya) berwarna coklat, selanjutnya warna bercak pada bagian tengahnya akan berubah lagi menjadi abu-abu (Gambar 2). Pada stadia selanjutnya bercak akan mengering dan akhirnya gugur, Akibatnya daun menjadi berlubang-lubang. Serangan penyakit ini ditemukan baik pada tegakan bambang lanang yang sudah besar maupun pada tanaman muda yang berumur ≤ 2 tahun. Serangan penyakit ini paling sering ditemukan pada setiap lokasi pertanaman bambang lanang di Sumatera Selatan.

Gambar 2. Gejala serangan penyakit bercak daun dan konidia Cercospora sp. (Foto. Asmaliyah & Anggareni) b. Identiifkasi Berdasarkan hasil identifikasi patogen penyebab penyakit bercak daun ini adalah cenda- wan Cercospora sp.. Berdasarkan hasil identifikasi ditemukan 2 jenis cendawan Cercospora sp. Cercospora sp. masuk ke dalam kelas khusus Deuteromycetes, ordo khusus Moniliales dan famili khusus Dematiaceae. Konidia berbentuk panjang, bersekat, ramping, lurus, dan kadang agak membengkok (Gambar 2) (Dwidjoseputro, 1976; Alexopoulus dan Mims, 1979). c. Persentase Serangan dan Intensitas serangan Persentase serangan dan intensitas serangan penyakit bercak daun Cercospora sp. ini pada tanaman bambang lanang yang berumur di bawah 2 tahun masing-masing adalah 35,87% (kisaran antara 34,40-37,39%) dan 18.10% (kisaran antara 9,82-29,13%). Sedangkan pada tanaman yang sudah dewasa ( ≥ 2 tahun) persentase serangan berkisar mulai dari 5 sampai 100% dengan intentesitas serangan mulai dari 3,7 sampai 80%. Untuk mengurangi meluasnya penyakit bercak ini dapat dilakukan dengan cara: a) membuang daun-daun yang terserang, kemudian dikumpulkan bersama dengan daun-daun sakit yang telah gugur, lalu di bakar, b) mengurangi kelembaban dengan cara penjarangan, mengurangi naungan, memperbaiki drainase, dan c) apabila diperlukan dapat menggunakan fungisida yang berbahan aktif triadimefon (Semangun, 1991). d. Sebaran Serangan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh cendawan Cercospora sp. ditemukan hampir pada semua lokasi pertanaman bambang lanang yang ada di Kabupaten Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS) dan Kotamadya Pagaralam (Tabel 2 sampai Tabel 5).

159

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Tabel 2. Lokasi pertanaman bambang lanang yang terserang penyakit bercak daun Cercospora sp. di Kabupaten Lahat No. Lokasi Umur Ketinggian Koordinat 1. Desa Tanjung Sirih, Kec. Pulau Pinang 4 tahun 121-122 m dpl Bujur:103o34’42.25” Lintang:3o39’50.20” 2, Desa Senabing, Kec. Kota Lahat 7 bulan 121-122 m dpl Bujur:103o34’42.25” Lintang:3o39’50.20” 3. Desa Sukarame, Kec. Gumay Talang 1 tahun 125-127 m dpl Bujur:103o29’36.35” Lintang:3o45’27.24” 4. Desa Tanjung Payang, Kec. Kota Lahat 6 tahun 134 m dpl Bujur:103o33’12.95” Lintang:3o49’21.57” 5. Desa Pagar Batu, Kec. Pulau Pinang 2 tahun & 154 m dpl Bujur:103o31’38.15” 4 tahun Lintang:3o50’56.79” 6. Desa Karang Dalam, Kec. Pulau Pinang 5 tahun 160 m dpl Bujur:103o31’26.19” Lintang:3o51’34.28” 7. Desa Sukarame, Kec. Muara Payang 5 tahun 160 m dpl Bujur:103o31’26.19” Lintang:3o51’34.28” 8. Desa Tanjung Sakti, Kec. Tanjung Sakti 6 tahun 596 m dpl Bujur:103o04’41.53” Lintang:4o10’59.02” 9. Desa Sindang Panjang, Kec. Tanjung Sakti 3 tahun & 700-730 m dpl Bujur:103o05’08.21” 6 tahun Lintang:4o07’17.69” 10. Desa Pajar Bulan, Kec. Pajar Bulan 2 tahun & 724-732 m dpl Bujur:103o15’43.80” 5 tahun Lintang:3o57’53.77” 11. Desa Jenti’an, Kec. Pajar Bulan, Kab. Lahat 6 tahun & 700-733 m dpl Bujur:103o14’20.38” 7 tahun Lintang:3o56’50.18” 12. Desa Gng Kerto, Kec. Kikim, Kab. Lahat 8 tahun - - 13. Desa Simpur, Kec. Pulau Pinang 6 tahun 149 m dpl Bujur:103o31’48.6” Lintang:3o52’00.4” 14. Desa Muara Dua, Kec. Pagar Gunung 9 tahun 338 m dpl Bujur:103o33’31.6” Lintang:3o57’48.9” 15. Desa Lubuk Layang Ulu, Kec. Kikim 6 tahun 156 m dpl Bujur:103o22’07.4” Lintang:3o42’52.2” 16. Desa Sugi Waras, Kec. Gumay Talang 7 tahun 121 m dpl Bujur:103o25’53.5” Lintang:3o46’16.9” 17. Desa Lubuk Sepang, Kec Pulau Pinang 2 tahun 149 m dpl Bujur:103o31’48.6” Lintang:3o52’00.4” 18. Desa Sumber Karya, Kec. Gumay Ulu < 2 tahun - -

Tabel 3. Lokasi pertanaman bambang lanang yang terserang penyakit bercak daun Cercospora sp. di Kabupaten Empat Lawang No. Lokasi Umur Ketinggian Koordinat 1. Desa Pajar Bakti, Kec. Tebing Tinggi 3 tahun & 167 m dpl Bujur:103o06’29.3” 5 tahun Lintang:3o33’46.4” 2. Desa Tanjung Raman, Kec. Pendopo Lintang 10 tahun 308 m dpl Bujur:103o57’56.4” Lintang:3o48’11.1”

Tabel 4. Lokasi pertanaman bambang lanang yang terserang penyakit bercak daun Cercospora sp. di Kabupaten OKUS No. Lokasi Umur Ketinggian Koordinat 1 2 3 4 5 1. Desa Simpang Tiga, Kec. Muara Dua 8 tahun 198 m dpl Bujur: 0392336 Lintang : 9498314 2. Desa Sukarame, Kec. Buay Sandang Aji 4 tahun 186 m dpl Bujur: 0384374 Lintang:9497820

160

Aspek Perlindungan Hutan

1 2 3 4 5 3. Desa Gedung Lapihan, Kec. Muara dua 6 tahun 177 m dpl Bujur:0391374, Lintang:9497990 4. Desa Gunung Pasir, Kec. Muara Dua. - 185 m dpl Bujur:4032’34.0” Lintang:104002’59” 5. Desa Kota Agung, Kec. Tiga Dihaji 9 tahun 197 m dpl Bujur: 0378998 Lintang: 9491702 6. Ds. Negeri Agung, Kec. Buay Sandang Aji 9 tahun 155 m dpl Bujur: 0387473 Lintang: 9499204 7. Ds. Kota Karang, Kec. Buay Sandang Aji 3 tahun & 220 m dpl Bujur: 0379692 9 tahun Lintang: 9501768 8. Ds. Negeri Batin, Kec. Buay Sandang Aji 4 tahun & 167-206 m dpl Bujur: 0383080 6 tahun Lintang: 9500172 9. Desa Gunung Tiga, Kampung Gunung Pasir, 5 tahun 200 m dpl Bujur: 0394062 Kec. Muara Dua Lintang: 9497866 10. Desa Rantau Panjang, Kec. Buay Rawan 7 tahun 216 m dpl Bujur: 0395814 Lintang: 9492544 11. Desa Sukamaju, Kec. Buay Pematang Ribu 4 tahun 730 m dpl Bujur: 0388890 (BPR) Lintang: 9469718 12. Desa Setingkul, Kec. BPR Ranau Tengah 2 tahun 540 m dpl Bujur: 0393074 Lintang: 9475508 13. Desa Pelawi, Kec. Buay Rawan 8 tahun 401 m dpl Bujur: 0393458 Lintang: 9482136

Tabel 5. Lokasi pertanaman bambang lanang yang terserang penyakit bercak daun Cercospora sp. di Kotamadya Pagaralam No. Lokasi Umur Ketinggian Koordinat 1 2 3 4 5 1. Desa Muara Siban, Kel. Muara Siban, Kec. 3 tahun 979 m dpl Bujur:103o12’56.54” Dempo Utara Lintang: 4o04’36.52” 2. Ds. Tlg. Padang, Kel. Ulu Rurah Kembang 2 tahun & 703-717 m dpl Bujur:103o16’49.77” Agung, Kec. Pagaralam Selatan 3 tahun Lintang:4o01’11.48” 3. Desa Perahu Dipo, Kel. Perahu Dipo, Kec. - 748 -750 m dpl Bujur:103o19’37.95” Dempo Selatan Lintang: 4o04’17.39” 4. Desa Belumai, Kel. Ulu Rurah, Kec. Dempo 2-4 tahun 721-722 m dpl Bujur:103o15’29.29” Utara Lintang: 4o02’38.54” 5. Desa Bumi Agung, Kel. Bumi Agung, Kec. 8 tahun 998-1000 m dpl Bujur:103o11’37.04” Dempo Utara Lintang:4o03’51.95” 6. Desa Kerinjing, Kel. Agung Lawangan, Kec. 7 tahun 1270-1289 m dpl Bujur:103o09’10.24” Dempo Utara, Kota Pagaralam Lintang:4o05’40.30” 7. Ds. Sukajadi, Kel. Plang Kenidai, Kec. Dempo 5 tahun 800 m dpl Bujur:103o19’03.30” Tengah Lintang: 4o04’02.02” 8. Desa Tebat Gunung, Kel. Lubuk Buntak, Kec. 15 tahun 815 m dpl Bujur:103o21’05.26” Dempo Selatan Lintang: 4o05’02.90” 9. Desa Perahu Dipo, Kel. Perahu Dipo, Kec. 7 tahun 748 -750 m dpl Bujur:103o19’37.95” Dempo Selatan Lintang: 4o04’17.39” 10. Desa Pematang Bange, Kel. Curup Jare, Kec. 3 tahun & 890-1022 m dpl Bujur:103o12’13.32” Pagaralam Utara 5 tahun Lintang: 4o00’41.98” 11. Desa Talang Darat, Kel. Burung Dinang, kec. 7 tahun 1120–1130 m dpl Bujur:103o12’56.44” Dempo Utara Lintang: 4o05’36.38” 12. Desa Pagar Bumi (Talang Kemiling), Kel. 7 tahun 806 –814 m dpl Bujur:103o13’13.40” Kuripan Babas, Kec. Pagaralam Utara Lintang: 3o59’49.44” 13. Desa Padang Temu, Kel. Padang Temu, Kec. 7 tahun 688 –701 m dpl Bujur:103o16’37.88” Dempo Tengah Lintang: 4o03’05.51”

161

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

1 2 3 4 5 14. Desa Sumber Jaya, Kel. Candi Jaya, Kec. 3 dan 6 800 m dpl Bujur:103o16’11.85” Dempo Tengah tahun Lintang: 4o04’10.94” 15. Desa Bandar, Kel. Kance Dewe, Kec. Dempo 16 tahun 772 m dpl Bujur:103o22’15.82” Selatan Lintang:4o04’36.11” 16. Ds. Mingkik, Kel. Atom Bungsu, Kec. Dempo 22 tahun 505 m dpl Bujur:103o24’32.58” Selatan Lintang: 4o00’18.61” 17. Desa Suka Cinta, Kel. Atom Bungsu, Kec. 4 tahun 760 m dpl Bujur:103o22’49.22” Dempo Selatan Lintang:4o04’01.20” 18. Desa Pagar Jaya, Kel. Bangun Rejo Kec. 4 tahun 897– 900 m dpl Bujur:103o12’24.75” Pagaralam Selatan Lintang: 4o01’32.54”

Tabel 6. Lokasi pertanaman bambang lanang yang terserang penyakit bercak daun Cercospora sp. di Kabupaten Muara Enim No. Lokasi Umur Ketinggian Koordinat 1. Desa Pandan Dulang Enim, Kec. Tanjung 10 tahun 229 m dpl Bujur: 0366168 Agung Lintang: 9554718 2. Desa padang Bindu (Dusun 4), Kec. Tanjung 1, 2, 3 dan 5 574-575 m dpl Bujur: 0357486 Agung tahun Lintang: 9551840 283 m dpl Bujur: 0364249 Lintang: 9553462 537 m dpl Bujur: 0360257 Lintang: 9552894

3. Penyakit Bercak Daun (warna bercak berwarna kuning) a. Gejala Serangan Gejala serangan penyakit bercak daun ini terlihat adanya bercak yang berwarma kuning pada daun tanaman bambang lanang yang terserang. Selanjutnya bercak akan mengering, berwarna coklat dan selanjutnya gugur. Akibatnya daun tanaman akan rusak dan berlubang- lubang (Gambar 3). Serangan penyakit ini hanya ditemukan pada tanaman muda dilapangan (umur ≤ 2 tahun).

Gambar 3. Gejala bercak daun dan bentuk konidia Curvularia sp. (Foto. Asmaliyah & Anggraeni) b. Identifikasi Berdasarkan hasil identifikasi penyakit bercak daun ini disebabkan oleh cendawan Curvularia sp. (Gambar 3). Curvularia sp., masuk ke dalam kelas Deoteromycetes dan ordo Moniliales. Konidiofor dan konidia berwarna coklat tua dengan sel-sel ujungnya agak jernih. Konidia bersel 3 sampai 5 mempunyai ciri khas melengkung dan sel-sel tengahnya membesar. Curvularia sp. adalah fungi yang dapat terbawa benih, sehingga penyakit bercak daun ini dimulai sejak bibit masih berada di persemaian sampai berbentuk tanaman di lapangan.

162

Aspek Perlindungan Hutan c. Persentase Serangan dan Intensitas Serangan Persentase serangan dan intensitas serangan penyakit bercak yang disebabkan oleh cendawan Curvularia sp. pada tanaman muda (umur ≤ 2 tahun) masing-masing adalah 17,25% (kisaran antara 11,06%-23,66%) dan 12,21% (kisaran antara 6,30%-20,05%). Persentase serangan dan intensitas serangan penyakit bercak daun ini paling tinggi terjadi pada tanaman bambang lanang yang terdapat di tempat yang cukup terlindung. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan Curvularia sp. akan berkembang baik pada daerah yang cukup terlindung dimana kelembabannya cukup tinggi. Untuk mengurangi berkembangnya penyakit ini adalah dengan cara: a) memotong daun-daun yang sakit, kemudian dibakar, b) memperbaiki kondisi tanaman dengan pemupukan, c) mengurangi naungan dan d) jika diperlukan dapat menggunakan fungisida yang berbahan aktif mankozeb, karbendazim, metiram, kaftafol dan klorotalonil (Semangun, 1991). d. Sebaran Serangan penyakit bercak daun ini hanya ditemukan pada areal pertanaman bambang lanang yang berumur ≤ 2 tahun yang terdapat di Desa Sumber Karya, Kecamatan Gumay Ulu, Kabupaten Lahat dan di Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Provinsi Sumatera Selatan.

B. Penyakit Karat a. Gejala Serangan Gejala serangan penyakit karat ini pada tanaman bambang lanang terlihat adanya bercak yang berwarna jingga (coklat kemerahan) yang tersebar pada permukaan daun. Semakin lama bercak akan semakin menebal dan melebar, kemudian bercak akan mengering dan gugur, akibatnya daun menjadi berlubang (Gambar 4). Di bawah kaca pembesar bercak tampak mempunyai rambut-rambut yang terdiri dari sporangiofor ganggang. Sporangiofor membentuk sporangium yang dapat dipencarkan oleh angin, yang jika jatuh pada tetes air akan membentuk spora baru (Semangun, 1991). Pada tanaman yang kurang baik pertumbuhannya, ganggang juga akan menyerang ranting dan cabang yang dapat menyebabkan terjadinya matformasi dan kanker (Semangun, 1991). Serangan penyakit ini tidak ditemukan pada tanaman muda di lapangan.

Gambar 4. Gejala serangan penyakit karat pada tanaman bambang lanang (Foto. Asmaliyah & Anggareni) b. Identifikasi Berdasarkan hasil identifikasi penyakit karat ini disebabkan oleh ganggang Cephaleuros sp. (Gambar 4) yang termasuk kedalam kelompok Trentepohliales dan ordo yang unik yaitu ganggang hijau (Chlorphyta). Ganggang ini berfilamen dan bersifat aerophilic dan terrestrial, namun untuk melengkapi siklus hidupnya membutuhkan sedikit air (Nelson, 2008). Cephaleuros ini mempunyai filamen yang bercabang yang terdiri dari thallus berbentuk cakram tidak beraturan.Thallus tumbuh dibawah kutikula atau kadang-kadang dibawah epidermis tanaman inang. Thallus ini berpigmen (oranye sampai coklat kemerahan) yang terdiri dari bagian yang

163

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang bercabang tidak beraturan dengan sel-sel yang tidak teratur dan bagian tegak yang tidak bercabang dengan sel silinder, steril atau subur, muncul melalui kutikula (Nelson, 2008). c. Persentase Serangan dan Intensitas Serangan Persentase serangan dan intensitas serangan panyakit karat yang disebabkan oleh ganggang Cephaleuros sp. ini adalah masing-masing berkisar antara 20-90% dan 5-40%. Daun yang terserang sebagian besar adalah daun yang terdapat pada bagian bawah tanaman. Untuk menekan berkembangnya serangan penyakit ini dapat dilakukan dengan cara: a) memotong bagian daun yang sakit, kemudian dibakar, b) memperbaiki kondisi tanaman dengan pemupukan, c) melakukan pemangkasan dan d) menggunakan fungisida yang berbahan aktif karbendazim, benomil, maneb dan kaftafol (Semangun, 1991). d. Sebaran Serangan penyakit karat ini ditemukan pada beberapa areal pertanaman bambang lanang yang ada di Sumatera Selatan (Tabel 7). Tabel 7. Lokasi pertanaman bambang lanang yang terserang penyakit karat ganggang Cephaleuros sp. di Sumatera Selatan No. Lokasi Umur Ketinggian Koordinat 1. Desa Banding Agung, Kel. Muara Payang, 8 bulan 742 m dpl Bujur: 103o07’32,0” Kec. Jarai, Kab. Lahat Lintang: 3o54’28,0” 2. Desa Gunung Pasir, Kec. Muara Dua, Kab. - 185 m dpl Bujur:4032’34.0” OKUS Lintang:104002’59.2” 3. Desa Negeri Batin, Kec. Buay Sandang Aji, 4 tahun 206 m dpl Bujur: 0383080 Kab. OKUS Lintang: 9500172 4. Desa Kota Karang, Kec. Buay Sandang Aji, 3 tahun dan 220 m dpl Bujur: 0379692 Kab. OKUS 9 tahun Lintang: 9501768 5. Desa Sukamaju, Kec. Buay Pematang Ribu, 4 tahun 730 m dpl Bujur: 0388890 Kab. OKUS Lintang: 9469718 6. Desa Pelawi, Kec. Buay Rawan 8 tahun 401 m dpl Bujur: 0393458 Lintang: 9482136 7. Desa Jangga, Kel. Padang Temu, Kec. Dempo - 710 m dpl Bujur: 9551959 Tengah, Kotamadya Pagaralam Lintang: 308781 8. Desa Sukajadi, Kel. Plang Kenidai, Kec. 5 tahun 800 m dpl Bujur: 103o19’03.30” Dempo Tengah, Kotamadya Pagaralam Lintang: 4o04’02.02” 9. Desa Bumi Agung, Kel. Bumi Agung, Kec. 8 tahun 998-1000 m dpl Bujur:103o11’37.04” Dempo Utara, Kotamadya Pagaralam Lintang:4o03’51.95” 10. Desa Pagar Bumi, Kel. Kuripan Babas, Kec. 7 tahun 806 –814 m dpl Bujur: 103o13’13.40” Pagaralam Utara, Kotamadya Pagaralam Lintang: 3o59’49.44” 11. Desa Padang Temu, Kel. Padang Temu, Kec. 7 tahun 688 –701 m dpl Bujur: 103o16’37.88” Dempo Tengah, Kotamadya Pagaralam Lintang: 4o03’05.51” 12. Desa Pandan Dulang Enim, Kec. Tanjung 10 tahun 229 m dpl Bujur: 0366168 Agung, Kab. Muara Enim Lintang: 9554718 13. Desa padang Bindu (Dusun 4), Kec. Tanjung 2 tahun dan 574m dpl Bujur: 0357085 Agung, Ka. Muara Enim 5 tahun Lintang: 9551908

C. Penyakit Embun Jelaga a. Gejala Serangan Gejala yang terlihat pada tanaman yang terserang penyakit embun jelaga ini adalah adanya lapisan yang berwarna hitam, tidak merata, berkelompok dan bertepung pada permukaan atas daun. Pada awal serangan, jelaga hitam ini masih sedikit, pada serangan lanjut jelaga hitam akan semakin menebal dan melebar (Gambar 5). Serangan embun jelaga ini ditemukan baik pada tanaman muda maupun tanaman dewasa di lapangan.

164

Aspek Perlindungan Hutan

Gambar 5. Gejala serangan embun jelaga dan konidia Meliola sp. (Foto. Asmaliyah & Anggraeni) b. Identifikasi Berdasarkan hasil identifikasi penyakit embun jelaga ini disebabkan oleh cendawan Meliola sp.. Cendawan Meliola sp. termasuk famili Meliolaceae, ordo Meliolales, kelas Ascomycetes. Meliola sp. bersifat parasit obligat artinya tidak dapat diisolasi dan ditumbuhkan pada media buatan, hanya dapat hidup pada bagian tanaman yang masih hidup dan mengganggu jaringan tumbuhan inang dengan jalan mempenetrasi sel inang. Meliola sp. mempunyai hifa yang disebut dengan hipopodia (hifa yang mempunyai tonjolan-tonjolan di kedua sisi dan berfungsi sebagai alat untuk merekat dan absorpsi pada daun), askospora berbentuk lonjong, mempunyai warna coklat agak kehitaman, spora berseptat (Gambar 5) (Anggraeni dan Lelana, 2011). c. Persentase Serangan dan Intenistas Serangan Persentase serangan dan intensitas serangan penyakit embun jelaga yang disebabkan oleh cendawan Meliola sp, ini adalah masing-masing berkisar antara 2,5 sampai 80% dan 2,5 sampai 40% pada tanaman umur ≥ 2 tahun. Sedangkan pada tanaman muda ≤ 2 tahun masing- masing sebesar 0,34% dan 1,09%. Serangan penyakit ini dapat dikurangi dengan cara penyemprotan kapur dan penghembusan belerang. Kegiatan ini dilakukan setelah serangga yang mengeluarkan madu (kutu-kutuan) dikendalikan terlebih dahulu (Semangun, 2000). d. Sebaran Serangan penyakit embun jelaga ini ditemukan pada beberapa areal pertanaman bambang lanang di Sumatera Selatan (Tabel 8). Tabel 8. Lokasi pertanaman bambang lanang yang terserang penyakit embun jelaga Meliola sp. di Sumatera Selatan No. Lokasi Umur Ketinggian Koordinat 1 2 3 4 5 1. Desa Tanjung Payang, Kec. Kota Lahat, Kab. Lahat 6 tahun 134 m dpl Bujur:103o33’12.95” Lintang:3o49’21.57” 2. Desa Pagar Batu, Kec. Pulau Pinang, Kab. Lahat 2 tahun 154 m dpl Bujur:103o31’38.15” Lintang:3o50’56.79” 3. Desa Muara Dua, Kec. Pagar Gunung, Kab. Lahat 9 tahun 338 m dpl Bujur:103o33’31.6” Lintang:3o57’48.9” 4. Desa Sumber Karya, Kec. Gumay Ulu, Kab. lahat 1,7 tahun - - 5. Ds Penandingan, Kec. Mulak Ulu, Kab. Ept Lawang 8 tahun - - 6. Ds. Jangga, Kel. Padang Temu, Kec. Dempo Tengah, 710 m dpl Bujur: 9551959 Kodya Pagaralam Lintang: 308781 7. Ds Tlg Padang, Kel. Ulu Rurah Kembang Agung, 3 tahun 713-717 m dpl Bujur:103o16’49.77” Kec. Pagaralam Selatan, Kotamadya Pagaralam Lintang:4o01’11.48” 8. Desa Bumi Agung, Kel. Bumi Agung, Kec. Dempo 8 tahun 998-1000 m dpl Bujur:103o11’37.04” Utara, Kotamadya Pagaralam Lintang:4o03’51.95” 9. Desa Simpang Macang, Kel. Plang Kenidai, Kec. 3 tahun 747-750 m dpl Bujur:103o17’47.89” Dempo Tengah, Kotamadya Pagaralam Lintan:4o03’21.22”

165

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

1 2 3 4 5 10. Desa Sukajadi, Kel. Plang Kenidai, Kec. Dempo 5 tahun 800 m dpl Bujur:103o19’03.30” Tengah, Kotamadya Pagaralam Lintang: 4o04’02.02” 11. Desa Perahu Dipo, Kel, Perahu Dipo, Kec. Dempo 7 tahun 748 -750 m dpl Bujur:103o19’37.95” Selatan, Kotamadya Pagaralam Lintang: 4o04’17.39” 12. Desa Pagar Bumi, Kel. Kuripan Babas, Kec. 7 tahun 806 m dpl Bujur:103o13’13.72” Pagaralam Utara, Kotamadya Pagaralam (2 Lintan:4o00’21.14” lokasi) 13. Desa Padang Temu, Kel,. Padang Temu, Kec. 7 tahun 688 –701 m dpl Bujur:103o16’37.88” Dempo Tengah, Kotamadya Pagaralam Lintang: 4o03’05.51”

D. Penyakit Pembuluh Hitam a. Gejala Serangan Serangan penyakit pembuluh hitam menyerang batang tanaman bambang lanang yang sudah dewasa. Gejala serangan yang terlihat pada batang yang terserang adalah warna batang hitam.Awal munculnya warna hitam pada batang, ada yang dimulai dari batang bagian tengah kemudian menyebar ke bagian batang atas, tetapi ada yang sudah dimulai dari batang bagian atas, kemudian menyebar ke bawahnya. Serangan penyakit ini tidak sampai ke bagian batang bawah, tetapi beberapa diantaranya (sangat sedikit) ada yang sampai pada batang bagian bawah, sekitar 2 meter dari tanah. Pada serangan lanjut ranting dan daun tanaman akan mengering dan daun akan gugur. Akibat serangannya tanaman akan menjadi gundul dan tanaman terlihat seperti meranggas, tetapi serangan penyakit ini tidak sampai mematikan tanaman, tetapi sangat mengganggu pertumbuhan tanaman, karena pertumbuhan tanaman akan terhenti dalam beberapa waktu (sekitar 3 bulan). Setelah itu baru muncul trubusan kembali yang umumnya muncul pada batang bagian tengah (Gambar 6).

Gambar 6. Gejala serangan penyakit pembuluh hitam dan makrokonidia Fusarium sp. (Foto: Asmaliyah & Anggraeni) b. Identifkasi Berdasarkan hasil identifikasi penyakit pembuluh hitam pada batang ini disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. (Gambar 6). Fusarium sp. termasuk ke dalam famili Tubercullariaceae, kelas Deuteromycetes. Patogen menghasilkan 3 macam spora yaitu mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora. Miselium berseptat dan bercabang-cabang, warna hialin pada waktu muda dan pada miselium tua berwarna putih kekuning-kuningan, merah jambu dan violet tergantung dari speciesnya (Agrios, 2005). c. Persentase Serangan dan Intensitas Serangan Persentase serangan penyakit pembuluh pada batang yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. ini masih sangat rendah yaitu rata-rata sebesar 4.26%, tetapi tingkat kerusakan tanaman sudah cukup parah yaitu menyebabkan tanaman gundul. Untuk mengantisipasi meluasnya serangan penyakit ini dapat dilakukan dengan cara: a) meningkatkan kesehatan tanaman dengan pemupukan, b) membongkar tanaman yang terserang, kemudian dibakar,

166

Aspek Perlindungan Hutan c) menggunakan fungisida yang berbahan aktif tridemorf, kaptafol yang diolesi pada kulit batang yang sakit, yang sebelumnya kulit batang dikerok terlebih dahulu sebelum dioleskan (Semangun, 2000). d. Sebaran Serangan pembuluh hitam pada batang tanaman bambang lanang ditemukan pada beberapa lokasi pertanaman bambang lanang yang ada di Sumatera Selatan (Tabel 9). Tabel 9. Lokasi pertanaman bambang lanang yang terserang penyakit pembuluh batang hitam Fusarium sp. di Sumatera Selatan No. Lokasi Umur Ketinggian Koordinat 1. Desa Pajar Bulan, Kec. Pajar Bulan, 4 tahun 724 m dpl Bujur:103o15’43.80” Kab. Lahat Lintang:3o57’53.77” 2. Desa Jenti’an, Kec. Pajar Bulan, Kab, 7 tahun 733 m dpl Bujur:103o14’20.38” Lahat Lintang:3o56’50.18” 3. Desa Penandingan, Kec. Mulak Ulu, 8 tahun - - Kab. Empat Lawang 4. Desa Kerinjing, Kel. Agung Lawangan, 7 tahun 1270-1289 Bujur:103o09’10.24” Kec. Dempo Utara, Kota Pagaralam m dpl Lintang:4o05’40.30” 5. Desa Sumber Jaya, Kel. Candi Jaya, 3 tahun dan 800 m dpl Bujur: 103o16’11.85” Kec. Dempo Tengah 6 tahun Lintang: 4o04’10.94”

KESIMPULAN

1. Ada 4 jenis penyakit yang ditemukan pada tanaman bambang lanang di Sumatera Selatan, yaitu penyakit bercak daun yang disebabkan oleh cendawan Curvularia sp. Cercospora sp. dan Colletotrichum sp., penyakit karat yang disebabkan ganggang Cephaleuros sp., embun jelaga yang disebabkan cendawan Meliola sp. dan penyakit pembuluh hitam yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. 2. Serangan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh cendawan Cercospora sp. paling tinggi persentase serangan dan intensitas serangannya serta paling luas daerah sebarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press, USA. Anggraeni, I dan N.E. Lelana. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Alexopoulus, C.J. dan C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons. Barnett, H.I. dan B.B. Hunter. 1987. Illustrated Genera of Imperfect Fungi Fourth Edition. MacMillan Publishing Company, New York. Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program pasca sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan.

167

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Dwidjoseputro, D. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni, Bandung. Nelson, C.S. 2008. Cephaleuros Species, the Plant-Parasitic Green Algae. Plant Disease- 43. The College of Tropical Agriculture and Human Resources (CTAHR). University of Hawai‘i at Mänoa, Honolulu, Hawai. Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Soenartiningsih dan A.H. Talanca. 2010. Intensitas Serangan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum sp.) Pada Varietas/Galur Dan Hasil Sorgum. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 2010. Streets, R.B. 1980. Diagnosis Penyakit Tanaman (Terjemahan: Imam Santoso) The University of Arizona Press, Tuscon – Arizona, USA.

168

Aspek Perlindungan Hutan

POTENSI EKSTRAK DAUN RIMAU (Toona sp.) DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN SERANGAN HAMA TANAMAN JABON (Anthocephalus cadamba) DI LAPANGAN

Asmaliyah 1) dan Burhan Ismail 2) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2) Peneliti pada Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta

ABSTRAK

Jabon (Anthocephalus cadamba) mempunyai prospek untuk dikembangkan di hutan tanaman karena memiliki keunggulan komparatif, yaitu pertumbuhannya cepat, kayunya cocok untuk berbagai penggunaan, kualitas kayunya baik, dan mempunyai daerah sebaran yang luas. Disisi lain pembangunan hutan tanaman sering menghadapi permasalahan rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Permasalahan ini terjadi juga pada penanaman tanaman jabon di Sumatera Selatan. Oleh karena itu tindakan pengendalian penting untuk dilakukan. Penelitian bertujuan untuk melihat melihat efektivitas ekstrak daun rimau dalam menekan perkembangan serangan hama pada tanaman jabon dilapangan. Penelitian dilakukan di kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun rimau cukup potensial dalam menekan perkembangan serangan hama pada tanaman jabon. Ekstrak daun rimau dengan pelarut metanol lebih efektif dalam menekan perkembangan serangan hama tanaman jabon dibandingkan ekstrak daun rimau dengan pelarut air. Kata kunci: potensi, ekstrak daun rimau, hama, jabon

I. PENDAHULUAN

Jabon (Anthocephalus cadamba) mempunyai prospek untuk dikembangkan di hutan tanaman baik hutan tanaman industri (HTI) maupun hutan rakyat (HR), karena pertumbuhannya yang cepat, kayunya cocok untuk berbagai penggunaan, diantaranya kayu lapis dan venir, memiliki prospek ekonomi yang baik (Premono, 2012) dan mempunyai daerah sebaran yang luas (Anonim, 2011; Trubus, 2010). Menurut Sukmananto dalam Trubus (2010) kualitas kayu jabon khususnya untuk venir dan kayu lapis tidak kalah dibandingkan dengan jenis kayu-kayu lainnya, karena tekstur kayunya yang halus, arah serat lurus dan berwarna merah. Sejak dua tahun terakhir ini masyarakat dan industri sangat bergairah untuk menanam dan mengembangkan jabon. Di berbagai daerah antusiasme menanam jabon tampak, termasuk di Provinsi Sumatera Selatan. Namun seperti pada umumnya dalam pengembangan tanaman di hutan tanaman sering menghadapi permasalahan resiko akan serangan hama dan penyakit, permasalahan yang sama juga terjadi pada pengelolaan hutan tanaman jabon. Hasil penelitian sebelumnya ditemukan adanya serangan hama yang cukup serius pada tanaman jabon, diantaranya adalah kepik dari jenis Mictis sp., ulat daun Parotis sp., ulat daun Daphnis Hyphothous dan ulat kantong. Akibat serangan hama tersebut dapat menyebabkan tanaman menjadi gundul, bahkan akibat serangan kepik Mictis sp. dapat menyebabkan kematian tanaman (Asmaliyah et al., 2013). Untuk mengatasi permasalahan hama tersebut, maka tindakan pengendalian penting untuk dilakukan. Pada penelitian ini cara pengendalian yang dilakukan adalah menggunakan tanaman rimau (Toona sp.), yang termasuk dalam kelompok famili Meliaceae. Famili Meliaceae

169

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang merupakan salah satu kelompok famili yang sangat potensial sebagai sumber penghasil pestisida nabati. Oleh karena itu dukungan penelitian masih diperlukan untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun rimau ini dalam mengendalikan serangan hama pada tanaman jabon tersebut, Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat potensi esktrak daun rimau dalam menekan perkembangan serangan hama pada tanaman jabon di lapangan.

II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Tanjung Pering, kecamatan Indralaya Utara, kabupaten Ogan Ilir (OI) dan desa Tungku Jaya, kecamatan Sosoh Buay Rayap, kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU).

B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan pohon jabon berumur lebih kurang 1 tahun, cat, thinner, ekstrak metanol daun rimau, ekstrak air daun rimau, ajuvan, aluminium foil, kertas plastik mika, benang kasur, tally sheet, dan lain-lain. Sedangkan alat yang digunakan adalah hand counter, kotak plastik, kuas, spidol permanen, ember, gelas becker, pinset, masker, sarung tangan, alat pengaduk, timbangan, knapsack sprayer, botol fial, kamera, alat-alat tulis, dan lain-lain.

C. Metode Penelitian 1. Pengambilan Bahan Tanaman Pengambilan bahan yang akan digunakan sebagai bahan ekstrak pembuatan pestisida adalah daun rimau (Toona sp.). 2. Pembuatan Ekstrak Daun rimau yang telah diambil dari lapangan, dipotong-potong kecil, kemudian di kering anginkan selama kurang lebih 1-2 minggu. Daun rimau yang telah kering digiling hingga halus, kemudian direndam. Perendaman dilakukan menggunakan pelarut metanol dan aquades. Perendaman dengan pelarut metanol dibuat dengan perbandingan 1 : 10 (w/v), selama 3-5 hari. Setelah itu larutan disaring dengan corong Buchner yang dialasi kertas saring. Larutan hasil saringan kemudian di evaporasi dengan menggunakan alat rotary evaporator sampai dihasilkan ekstrak kasar. Ekstrak kasar ini yang digunakan untuk pengujian. Ekstrak kasar disimpan dalam lemari es dengan suhu -40C hingga saat digunakan. Sedangkan perendaman dengan menggunakan pelarut air hanya direndam selama 24 jam. Setelah itu disaring dengan menggunakan kain halus. Segera setelah disaring, larutan hasil saringan langsung disemprotkan ke tanaman. 3. Pengendalian Hama Perlakuan yang diterapkan adalah ekstrak rimau dengan pelarut metanol dengan konsentrasi 2%, ekstrak rimau dengan pelarut air dengan konsentrasi 3% dan kontrol. Prosedur Kerja: a. Pembuatan plot dengan ukuran 15x30 m per petak perlakuan yang terdiri dari 50 tanaman (di Kabupaten Ogan Ilir (OI)), dan ukuran 15X20 m per petak perlakuan yang terdiri dari 30 tanaman (di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU)) b. Setiap perlakuan di ulang 3 kali, jadi setiap perlakuan terdiri dari 150 tanaman (OI) dan 90 tanaman (OKU).

170

Aspek Perlindungan Hutan c. Setiap perlakuan ditandai dengan cat, untuk perlakuan ekstrak rimau dengan menggunakan pelarut metanol ditandai dengan warna cat kuning, cat putih untuk perlakuan ekstrak rimau dengan menggunakan pelarut air dan cat warna merah untuk perlakuan kontrol (tanpa penyemprotan) d. Sebelum perlakuan penyemprotan, sehari sebelumnya dilakukaan pengamatan awal dengan variabel pengamatan berupa: jenis hama dan penyakit yang menyerang dan persentase serangan serta intensitas serangan e. Penyemprotan dilakukan pada sore hari dengan menggunakan knapsack sprayer. Penyemprotan pada tanaman dilakukan pada seluruh bagian daun sampai jenuh (sampai menetes). f. Pengamatan pertama dilakukan 2 bulan setelah penyemprotan pertama dan pengamatan kedua dilakukan 2 bulan setelah penyemprotan kedua dan seterusnya, dengan variabel pengamatan berupa: jenis hama dan penyakit yang menyerang, persentase serangan dan intensitas serangan g. Penghitungan persentase serangan dan intensitas serangan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Persentase serangan (P) diperoleh dengan cara menghitung jumlah tanaman yang terserang dalam satu petak dan dibagi dengan jumlah seluruh tanaman yang terdapat dalam satu petak di kali 100 persen atau Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur P  x100% Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur

Untuk penghitungan intensitas serangan (I) secara kuantitatif diperoleh dengan menggunakan rumus: (ni x vj) I =  X 100 % Z X N Dimana : I : Tingkat kerusakan tanaman Ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu Vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh Untuk mengetahui intensitas serangan secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan kriteria yang dibuat oleh Unterstenhofer, 1963 dalam Djunaedah, 1994, dengan sedikit modifikasi (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun Nilai Sehat Kerusakan daun  5 % 0 Ringan Kerusakan daun antara 5 %  x  25 % 1 Agak berat Kerusakan daun antara 25 %  x  50 % 2 Berat Kerusakan daun antara 50 %  x  75 % 3 - Kerusakan daun antara 75 %  x  100 % Sangat berat 4 - Pohon gundul/hampir gundul

171

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

D. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan tabel dan grafik untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor yang diterapkan terhadap parameter yang diamati.

III. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan 1. Kabupaten Ogan Ilir (OI) Hasil perhitungan besaran persentase serangan dan intensitas serangan hama setelah perlakuan penyemprotan di kabupaten Ogan Ilir (OI) dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa 2 bulan setelah perlakuan penyemprotan pertama, persentase serangan hama kepik mengalami penurunan, sedangkan persentase serangan hama ulat daun Parotis sp. mengalami peningkatan baik pada plot yang disemprot dengan ekstrak metanol rimau maupun plot kontrol (tidak disemprot), kecuali plot yang disemprot dengan ekstrak air rimau. Dua bulan setelah perlakuan penyemprotan pertama ini muncul serangan hama ulat kantong baik pada plot yang disemprot maupun kontrol, namun plot yang disemprot dengan ekstrak metanol rimau lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Dua bulan setelah perlakuan penyemprotan kedua menunjukkan bahwa serangan hama kepik semakin menurun dibandingkan pada 2 bulan setelah penyemprotan pertama. Serangan hama ulat daun Parotis sp. cenderung menurun pada petak perlakuan penyemprotan baik ekstrak air rimau maupun ekstrak metanol rimau, sedangkan pada perlakuan kontrol cenderung naik. Pada waktu pengamatan ini muncul serangan hama ulat daun D. hypothous. Persentase serangannya tidak berbeda antara plot yang disemprot dengan plot kontrol. Besaran intensitas serangan hama kepik juga menurun baik setelah penyemprotan pertama maupun kedua pada semua perlakuan, bahkan pada plot yang disemprot serangan kepik tidak ditemukan lagi. Sedangkan intensitas serangan hama ulat kantong mengalami peningkatan pada semua perlakuan, namun pertambahan serangan hama ulat kantong paling tinggi terjadi pada perlakuan kontrol, yaitu sebesar 9,26%. Intenistas serangan ulat daun Parotis sp., juga mengalami penurunan pada semua perlakuan setelah penyemprotan pertama, tetapi pada penyemprotan kedua, hanya perlakuan penyemprotan ekstrak daun rimau dengan pelarut metanol yang mengalami penurunan. Namun pertambahan intensitas serangan ulat Parotis sp. pada plot yang disemprot dengan ekstrak air rimau lebih rendah (0,41%) dibandingkan pada plot kontrol (13,3%). Besaran intensitas serangan hama ulat daun D. hypothous paling besar terjadi pada perlakuan ekstrak rimau dengan pelarut air.

172

Aspek Perlindungan Hutan

120 100 Kepik 80 60

40 Kontrol 20 Ekstrak air Rimau Ekstrak metanol rimau 0 Sep-12 Nop-12 Jan-13 Sep-12 Nop-12 Jan-13

Persentase serangan Intensitas serangan

Bulan Pengamatan

120 100 Ulat Parotis sp. 80 60 40 20 0 Kontrol Ekstrak air Rimau Sep-12 Nop-12 Jan-13 Sep-12 Nop-12 Jan-13 Ekstrak metanol rimau

Persentase serangan Intensitas serangan

Bulan Pengamatan

120 100 Ulat Daphnis hypothous 80 60 40 20 Kontrol 0 Ekstrak air Rimau Sep-12 Nop-12 Jan-13 Sep-12 Nop-12 Jan-13 Ekstrak metanol rimau Persentase serangan Intensitas serangan

Bulan Pengamatan

120 100 Ulat kantong 80 60 40 Kontrol 20 0 Ekstrak air Rimau Sep-12 Nop-12 Jan-13 Sep-12 Nop-12 Jan-13

Persentase serangan Intensitas serangan

Bulan Pengamatan

Gambar 1. Persentase serangan dan intensitas serangan hama tanaman jabon pada berbagai perlakuan di Kabupaten Ogan Ilir (OI)

173

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

2. Kabupaten Ogan Komering Ulu Hasil perhitungan besaran persentase serangan dan intensitas serangan hama setelah perlakuan penyemprotan di kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa besaran persentase serangan hama kepik mengalami penurunan pada semua perlakuan, tetapi perlakuan penyemprotan ekstrak rimau dengan pelarut metanol mengalami penurunan persentase serangan paling tinggi, yaitu sebesar 79,64%, menyusul perlakuan ekstrak rimau dengan pelarut air, yaitu sebesar 71,53%. Penurunan paling rendah terajdi pada perlakuan kontrol, yaitu sebesar 66,32%. Persentase serangan ulat daun Parotis sp. juga mengalami penurunan pada plot yang disemprot dengan ekstrak daun rimau, kecuali perlakuan kontrol yang mengalami peningkatan serangan, yaitu sebesar 4,97%. Penurunan paling tinggi terjadi pada perlakuan ekstrak daun rimau dengan pelarut air, yaitu sebesar 2,56%, kemudian perlakuan ekstrak daun rimau dengan pelarut metanol, yaitu sebesar 1,96%. Serangan ulat kantong baru ditemukan pada pengamatan bulan Januari 2013. Besaran persentase serangannya paling tinggi terjadi pada perlakuan ekstrak daun rimau dengan pelarut air, yaitu sebesar 35,57% dan paling rendah pada perlakuan ekstrak daun rimau dengan pelarut metanol, yaitu sebesar 5,56%. Besaran intensitas serangan kepik juga mengalami penurunan pada semua perlakuan. Penurunan paling tinggi terjadi pada perlakuan ekstrak daun rimau dengan pelarut metanol, yaitu sebesar 18% dan penurunan yang paling rendah terjadi pada perlakuan ekstrak daun rimau dengan pelarut air, yaitu sebesar 12,61%. Begitu juga besaran intensitas serangan ulat daun Parotis sp., perlakuan ekstrak daun rimau dengan pelarut metanol mengalami penurunan paling tinggi, yaitu sebesar 13,39%, dan paling rendah terjadi pada perlakuan kontrol, yaitu sebesar 12,38%. Besaran intensitas serangan ulat kantong yang paling rendah terjadi pada perlakuan ekstrak daun rimau dengan pelarut metanol, yaitu sebesar 1,16% dan paling tinggi terjadi pada perlakuan ekstrak daun rimau dengan pelarut air, yaitu sebesar 3,55%.

174

Aspek Perlindungan Hutan

100 90 Kepik 80 70 60 50 Kontrol 40 Ekstrak air rimau 30 20 Ekstrak metanol rimau 10 0 Sep-12 Jan-13 Sep-12 Jan-13

Persentase serangan Intensitas serangan

Bulan Pengamatan

120 100 Ulat Parotis sp. 80 60 40 Kontrol 20 Ekstrak air rimau 0 Ekstrak metanol rimau Sep-12 Jan-13 Sep-12 Jan-13

Persentase serangan Intensitas serangan

Bulan Pengamatan

40 Ulat kantong 35 30 25 20 15 Kontrol 10 Ekstrak air rimau 5 Ekstrak metanol rimau 0 Sep-12 Jan-13 Sep-12 Jan-13

Persentase serangan Intensitas serangan

Bulan Pengamatan

Gambar 2. Persentase serangan dan intensitas serangan hama tanaman jabon pada berbagai perlakuan di Kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu)

175

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

B. Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan penyemprotan menggunakan ekstrak daun rimau (Toona sp.) efektif dalam menekan perkembangan serangan hama kepik Mictis sp., ulat pemakan daun Parotis sp. dan ulat kantong. Diduga bahwa tanaman rimau mengandung senyawa metabolit sekunder yang bersifat sebagai insektisida. Hasil ini membuktikan bahwa kelompok tumbuhan dari famili Meliaceae merupakan salah satu kelompok tumbuhan yang sangat potensial sebagai sumber penghasil insektisida. Banyak species tumbuhan dari famili Meliaceae ini yang telah dilaporkan aktif terhadap serangga hama, diantaranya Mimba (Azadirachta indica), Mindi (Melia azedarach), suren (Toona surensis) dan Aglaia harmsiana (Wiyantono, 1998). Ekstrak daun rimau yang dihasilkan dengan pelarut metanol lebih efektif dalam menekan perkembangan serangga hama kepik Mictis sp. ulat daun Parotis sp. dan ulat kantong. Hal ini mengindikasikan bahwa pelarut metanol lebih efektif dalam melarutkan bahan aktif yang terkandung dalam tanaman dibandingkan pelarut air. Farrel (1990) dalam Naufalin (2005), mengemukakan bahwa keefektifan ekstrak yang diperoleh salah satunya dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan. Perbedaan keefektifan ini juga diduga karena perbedaan konsentrasi bahan aktif yang terekstrak, sehingga untuk mendapatkan hasil yang sama, konsentrasi ekstrak daun rimau dengan pelarut air harus ditingkatkan. Diduga bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak daun rimau ini bersifat polar, karena dengan menggunakan pelarut metanol dan air bahan aktif yang terkandung dalam tanaman dapat terekstrak. Berdasarkan tingkat polaritas, metanol dan air termasuk kelompok senyawa polar. Harborne (1987), mengemukakan bahwa kepolaran suatu senyawa aktif yang akan terekstrak atau terlarut dari suatu bahan tanaman dalam proses perendaman sesuai dengan kepolaran jenis pelarutnya. Efektifitas penyemprotan ekstrak daun rimau terhadap serangga hama kepik, selain dipengaruhi oleh efektifitas dari bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak daun rimau, diduga dipengaruhi juga oleh faktor curah hujan. Curah hujan yang tinggi dapat menghambat perkembangan kepik Mictis sp. (Asmaliyah et al., 2013). Seperti kebanyakan kelompok kepik (Hemiptera), pada curah huan rendah populasinya meningkat dengan cepat (Kalshoven, 1981). Aktifitas senyawa aktif terhadap hama kepik Mictis sp. diduga memiliki efek mengusir. Hal ini terlihat di lapangan, dimana beberapa saat setelah aplikasi penyemprotan, kepik-kepik yang berada pada pucuk tanaman jabon sebagian besar terbang menjauhi tanaman atau menjatuhkan diri ke tanah, tapi tidak menyebabkan kematian kepik. Sedangkan aktivitas ekstrak daun terhadap ulat daun Parotis sp. diduga memiliki efek antifeedant (mengurangi nafsu makan). Hal ini dapat dilihat di lapangan, walaupun populasi ulat daun meningkat pada pengamatan bulan januari 2013 dibandingkan pada pengamatan bulan sebelumnya, namun persentase serangan dan intensitas serangan ulat Parotis sp. cenderung semakin menurun. Sedangkan perlakuan kontrol, persentase serangan dan intensitas serangan ulat daun Parotis sp. cenderung meningkat. Belum efektifnya perlakuan penyemprotan esktrak rimau terhadap serangan ulat pemakan daun D. hypothous ini, karena pada saat penyemprotan kedua pada bulan November 2012, serangan hama ini belum ada. Di duga ketika serangan hama ini datang, residu ekstrak rimau telah hilang dari tanaman, sehingga ulat menjadi berminat mendekati dan makan tanaman. Diduga waktu yang tepat untuk aplikasi menggunakan ekstrak tanaman adalah pada saat serangga hama ada ditempat. Hal ini terkait erat dengan sifat dari bahan aktif yang berasal dari tanaman yang mudah terdegradasi di alam apabila terpapar matahari.

176

Aspek Perlindungan Hutan

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Ekstrak daun rimau cukup potensial dalam menekan perkembangan serangan hama kepik Mictis sp., ulat Parotis sp. dan ulat kantong pada tanaman jabon di lapangan 2. Ekstrak daun rimau dengan pelarut metanol lebih efektif dibandingkan ekstrak daun rimau dengan pelarut air 3. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, sebaiknya waktu aplikasi dilakukan pada saat serangga hama sedang aktif menyerang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Teknik Budidaya Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba). Epetani.deptan.go.id. Diakses tanggal 23 September 2013. Asmaliyah, S. Utami dan N.andriyani. 2013. Aplikasi Pestisida Nabati Dalam Skala Lapangan. Laporan Hasil Penelitan Tahun 2012. Balai Penelitian Kehutan Palembang. Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program pasca sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa tumbuhan. Terbitan Kedua. Penerbit ITB Bandung. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta. Naufalin, R. 2005. Kajian sifat antimikroba ekstrak bunga kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terhadap berbagai mikroba patogen dan perusak pangan. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Trubus. 2010. Jabon: Laba Segar Masa Depan. Trubus No. 488, Juli 2010. Wiyantono. 1998. Bioaktivitas ekstrak biji Aglaia harmsiana Perkins (Meliaceae) terhadap Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera; Pyralidae). Program Pascasarjana, IPB.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada saudari Diana Febrianty, Nesti Andriani dan Rista Novalina yang telah banyak membantu dalam kegiatan penelitian ini dilapangan. Tak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa dari Universitas PGRI, Susan dan Dewi, yang telah banyak membantu kegiatan penelitian ini baik di laboratorium maupun di lapangan.

177

Aspek Perlindungan Hutan

KOMPOSISI DAN JENIS GULMA DI BAWAH TEGAKAN KAYU BAWANG (Dysoxylum mollissimum Blume) DI PROVINSI BENGKULU

Andika Imanullah1, Agus Kurniawan1, Asmaliyah1 dan Nesti Andriani2 1 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2 Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) termasuk dalam famili Meliaceae, merupakan jenis tanaman endemis Propinsi Bengkulu. Tanaman kayu bawang menjadi salah satu prioritas tanaman unggulan lokal dan memiliki potensi pertumbuhan yang sangat baik. Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan kayu Bawang terutama di saat tanaman masih berumur muda yaitu adanya persaingan dengan tumbuhan gulma, jika pemeliharaan tidak intensif. Untuk itu perlu diketahui vegetasi gulma pada setiap tegakan kayu bawang melalui metode analisis vegetasi. Untuk mengetahui komposisi jenis gulma kayu bawang dengan menghitung Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif dan Indeks Nilai Penting. Inventarisasi tumbuhan bawah dibawah tanaman kayu bawang ditemukan 33 jenis tumbuhan dari 14 famili. Famili poaceae jenis gulma yang mendominasi yaitu jenis Oplismenus compositus dan Crytococcum oxyphylum di lokasi Desa Geranting Perangkap dan Desa Air Besi Dusun curup. Famili Euphorbiaceae jenis gulma yang mendominasi yaitu jenis Euphorbia Hirta di lokasi Depan Polsek Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu dan Desa Air Besi Dusun Curup. Famili Asteraceae gulma yang mendominasi yaitu dari jenis Mikania micrantha di Desa Pasar Pedati Kecamatan Pondok Kelapa. Jumlah jenis dan jumlah total seluruh jenis dipengaruhi faktor pemeliharaan dan faktor lingkungan. Kata kunci: kayu bawang, gulma, inventarisasi, dominansi, analisis vegetasi

I. PENDAHULUAN

Target utama pembangunan hutan tanaman adalah peningkatan produktivitas dan nilai ekonominya. Hutan tanaman kayu pertukangan ditujukan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan, antara lain: kayu lapis, kayu gergajian dan lainnya. Pengembangan hutan tanaman kayu pertukangan dari jenis-jenis unggulan lokal diharapkan dapat menunjang kebutuhan kayu nasional (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2009). Kebutuhan kayu nasional saat ini mencapai 57,1 juta m3/tahun, sedangkan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman untuk menyediakannya hanya sebesar 45,8 juta m3. Dengan kondisi tersebut, terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 11,3 juta m3 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Dalam Roadmap Revitalisasi Industri Kehutanan tahun 2007, diharapkan pada tahun 2014, hutan tanaman mampu menyediakan 75% kebutuhan bahan baku industri kayu baik dari Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat (HR) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2009). Potensi hutan alam semakin menurun dari waktu ke waktu menyebabkan semakin menurunnya produktivitas kayu yang dapat di hasilkan, sedangkan di satu sisi permintaan akan kayu semakin meningkat. Fenomena ini menyebabkan hutan alam tidak mampu memenuhi kebutuhan kayu sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

179

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang meningkatkan produktivitas kayu adalah dengan melakukan upaya pembangunan dan pengembangan hutan tanaman antara lain dengan mengembangkan jenis-jenis tanaman lokal yang merupakan jenis unggulan setempat (Nurlia, 2011). Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) termasuk dalam famili Meliaceae, merupakan jenis tanaman endemis di Propinsi Bengkulu. Tanaman ini merupakan salah satu komoditas yang menjadi andalan bagi petani hutan rakyat di Propinsi Bengkulu dan menjadi salah satu prioritas tanaman unggulan lokal yang akan dikembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hal ini didorong karena kayu bawang memiliki keunggulan antara lain pertumbuhan yang cepat, batang lurus, tinggi batang bebas cabang tinggi, serat kayu halus dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu pertukangan, terutama sebagai bahan bangunan dan mebel. Kayu bawang memiliki potensi pertumbuhan yang sangat baik. Hasil penelitian Apriyanto (2003) di Bengkulu Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan kayu bawang yang ditanam secara monokultur dengan jarak tanam 4 m x 4 m sampai umur 9 tahun memiliki riap diameter batang rata-rata 1,93 cm/tahun, riap tinggi rata-rata 2,14 m/tahun. Sedangkan dari hasil penelitian Sumadi et al. (2009), diperoleh bahwa berdasarkan hasil proyeksi MAI (Mean Annual Increment) dan CAI (Current Annual Increment) daur optimal tegakan kayu bawang pada umur 11 tahun dengan potensi volume 142,12 m3/ha. Menurut Martin et al. (2005) dalam Wiryohadinoto (2009), tanaman ini dapat ditanam sama baiknya dengan pola polikultur maupun monokultur, sehingga masyarakat lebih leluasa dalam memilih pola tanam yang diinginkan. Produk kayu bawang sangat mudah dipasarkan, umumnya berupa kayu glondongan maupun gergajian. Harga jual kayu bawang di Propinsi Bengkulu untuk kayu glondong berkisar Rp 1,1 juta/m3 sedangkan untuk kayu gergajian sekitar Rp 2,2 juta/m3. Namun dibalik potensi kayu bawang yang baik tersebut, ada salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan kayu Bawang terutama di saat tanaman tersebut masih berumur muda yaitu persaingan dengan tumbuhan gulma. Moenandir (2010) mendefinisikan gulma sebagai tumbuhan yang salah tempat, tidak dikehendaki di tempat tumbuh tersebut diperuntukkan bagi tanaman. Aldrich (1984) menjelaskan gulma itu berbeda dengan organisme pengganggu lain (serangga dan jamur) yang secara visual dapat dilihat serangannya demikian drastis pada tanaman, gulma menyerang melalui kompetisi terhadap air, unsur hara, cahaya dan ruang tumbuh. Daya kompetisi gulma tersebut dikarenakan gulma mempunyai sifat: tumbuh dengan cepat, mempunyai toleransi yang tinggi terhadap faktor lingkungan, daya berkembang biakannya besar baik secara generatif maupun vegetatif, dan biji sangat mudah disebarkan. Di provinsi Bengkulu terdapat beberapa tegakan kayu bawang mulai dari berumur muda sampai sudah siap dipanen. Disetiap tegakan kayu bawang terdapat gulma yang berbeda keanekaragaman dan jenisnya. Keanekragaman jenis gulma dipengaruhi salah satunya yaitu faktor pemeliharaan tegakan kayu bawang. Untuk itu perlu diketahui vegetasi gulma pada setiap tegakan kayu bawang maka perlu digunakan metode analisis vegetasi dibeberapa tegakan kayu bawang di Provinsi Bengkulu.

180

Aspek Perlindungan Hutan

II. METODOLOGI

1. Lokasi dan metode Pengamatan dilakukan di beberapa lokasi tegakan kayu bawang di provinsi Bengkulu. Pengambilan data dan pengamatan keragaman jenis gulma dilakukan pada bulan Juni 2013. Kondisi tegakan tegakan kayu bawang dideskripsikan pada Tabel di bawah ini: Umur Kayu No Lokasi Pola Tanam Perlakuan Bawang 10 tahun Agroforestri tidak dipelihara 1 Desa Pasar Pedati Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu 2 tahun berseling dengan dipelihara 2 Depan Polsek Kecamatan Pondok Kelapa suren dan singkong 12 tahun monokultur tidak dipelihara 3 Desa Babadan Kecamatan Sukaraja Kab Seluma 4 Desa Air Besi Dusun Curup 17 tahun monokultur tidak dipelihara 9 - 12 tahun campur karet dipelihara 5 Desa Air Besi Dusun Curup campur karet 6 Desa geranting Perangkap 17 tahun monokultur tidak dipelihara

2. Pengambilan data lapangan Pengamatan dan pengambilan data gulma di lapangan pada 6 lokasi pengamatan dengan metode kuadrat. Pada lokasi penelitian di buat plot berukuran 2 x 2 m sebanyak 3 plot. Dalam setiap plot di catat nama, jumlah jenis, jumlah total individu semua jenis, gulma yang dijumpai selanjutnya diidentifikasi. Untuk mengetahui komposisi jenis gulma yang terdapat di tegakan kayu bawang maka dihitung Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif dan Indeks Nilai Penting (Odum, 1993). Dengan rumus sabagai berikut: ∑ individu Kerapatan (K) = Luas petak contoh

K suatu jenis Kerapatan Relatif (KR) = x 100 % K Total seluruh jenis

∑ Sub petak ditemukan suatu spesies Frekuensi (F) = ∑ seluruh sub petak contoh

F suatu jenis Frekuensi Realatif (FK) = x 100% F total seluruh jenis

luas bidang dasar suatu spesies Dominansi (D) = luas petak contoh

181

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

D suatu spesies Dominansi Relatif (DR) = x 100% D total seluruh jenis

Indeks Nilai Penting (INP)

INP = Kerapatan Relatif + Dominansi Relatif + Frekuensi Relatif

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jenis vegetasi gulma Hasil inventarisasi tumbuhan bawah di bawah tegakan tanaman kayu bawang pada seluruh lokasi pengamatan ditemukan 33 jenis tumbuhan dari 14 famili. Diantara famili pada seluruh lokasi pengamatan lebih banyak berpotensi sebagai gulma. Famili yang mendominasi komunitas gulma yaitu dari famili Poaceae, Euphorbiaceae dan Asteraceae. Jenis gulma umum yang ditemukan pada seluruh lokasi pengamatan dapat dilahat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis gulma yang ditemukan pada 6 lokasi pengamatan Jumlah No Famili Jenis Vegetasi Jenis 1 Asteraceae 5 Chromolaena odorata, Clibadium surinamense, Ageratum conizoides, Erechtites Valerianifolia, Mikania micrantha 2 Compositae 1 Lantana camara L. 3 Cyaperaceae 2 Scleria sumatrensis, Cyperus Kyllingia 4 Euphorbiaceae 5 Borreria laevis (Lamk), Phylanthus sp, Manihot esculenta, Euphorbia hirta, Phylanthus niruri 5 Fabaceae 2 Archidendron pauciflorum, Mimosa pudica

6 Mackinlayaceae 1 Centella asiatica 7 Melastomaceae 2 Climedia hirta, Melastoma malabatrichum 8 Meliaceae 1 Swietenia mahagoni 9 Malvaceae 1 Sidar rhombifolia 10 Myrtaceae 1 Psidium guajava 11 Phyllanthaceae 1 Sauropus androgynus 12 Poaceae 9 Eleusine indica, Axenovus compressus, Cyrtococcum acrescens, Crytococcum oxyphylum, Axonovus compressus, Oplismenus compositus, Paspalum conjugatum, Eleusine indica, Imperata cylindrica 13 Verbenaceae 1 Stachytarpheta indica 14 Thelypteridae 1 Cyclosorus sp

Berdasarkan Tabel di atas jenis famili gulma yang banyak dan mendominasi pada yaitu famili Poaceae sebanyak 9 jenis, Euphorbiaceae sebanyak 5 jenis dan Asteraceae sebanyak 5 jenis. Untuk melihat tingkat dominansi gulma di bawah tegakan tanaman kayu bawang di lokasi pengamatan maka digunakan parameter Indeks Nilai Penting (INP). Menurut Faisal et al (2013) Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk

182

Aspek Perlindungan Hutan menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. INP (Indeks Nilai Penting) pada lokasi pengamatan dapat dilihat pada lampiran. Dari famili poaceae gulma yang mendominasi yaitu jenis Oplismenus compositus di lokasi Desa Geranting Perangkap dengan INP 72,69% dan Crytococcum oxyphylum dengan INP 183,91% di Desa Air Besi Dusun curup. Jenis ini mendominasi pada Oplismenus compositus dan Crytococcum oxyphylum karena pada kedua lokasi tersebut sudah ternaungi oleh tanaman kayu bawang yang berusia 17 tahun. Lokasi yang sudah ternaungi rapat menyebabkan cahaya matahari sedikit sampai ke lantai hutan sehingga lantai hutan menjadi lembab dan hanya beberapa jenis tertentu saja yang dapat beradaptasi pada keadaan ini. Menurut Nasution (1990); Jenis Crytococcum oxyphylum tumbuh pada tanah kering dan tidak terlalu lembab, penyebarannya antara 0 – 1300 m di atas permukaan laut, toleran terhadap daerah yang ternaungi menyebabkan jenis ini selalu dominan di daerah yang ternaungi, berbunga setiap tahun. Sedangkan jenis dan Oplismenus compositus yang berbunga sepanjang tahun, tumbuh pada tanah ringan yang agak lembab lokasi agak ternaungi atau sangat ternaungi. Daerah penyebarannya 0 – 2200 m di atas permukaan laut. Jenis ini terdapat di daerah yang jarang dijumpai tanaman pokok dan banyak dijumpai pada tanaman tua. Berasosiasi dengan Crytococcum spp, Axonopus compressus dan Paspalum conjugatum. Pada famili Asteraceae gulma yang mendominasi yaitu dari jenis Mikania micrantha. Jenis ini mendominasi di Desa Pasar Pedati Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu dengan INP 165,71%. Jenis lawatan merupakan jenis tumbuhan merambat, sehungga menimbulkan gangguan yaitu persaingan dalam memperebutkan unsur hara dan air serta membelit dan melilit tanaman pokok (Wati, 2009). Namun jenis Mikania micrantha pada lokasi tersebut tidak sampai mengganggu tanaman kayu bawang karena tanaman kayu bawang di tanam secara agroforestri dan sudah tinggi berusia 10 tahun. Wati (2009) melaporkan pada tanaman tembesu yang muda jenis ini melilit hingga batang merebah ke tanah. Hal ini sangat mengganggu karena mempengaruhi pertumbuhan tanaman sehingga tanaman pokok tidak tumbuhan secara optimal. Faisal et al. (2013) Menerangkan M. Micrantha mengeluarkan zat ekskresi yang mengandung phenol dan flavon yang bisa menekan pertumbuhan tanaman pokok. Famili poaceae merupakan famili yang selalu ada di setiap lokasi pengamatan (lihat lampiran) karena famili ini merupakan tumbuhan yang sederhana, mempunyai alat perkembangbiakan yang ringan sehingga mudah terpencar serta mudah hidup dalam berbagai tipe habitat (Faisal, 2013). Sastroutomo (1990) dalam Faisal (2013) menyatakan dari 250 jenis tumbuhan bawah yang tumbuh diantara tanaman pokok 40% diantaranya termasuk suku Poaceae dan Asteraceae. Gulma yang mendominasi dari famili Euphorbiaceae yaitu jenis Euphorbia Hirta. Jenis ini mendominasi di 2 lokasi yaitu Desa Air Besi Dusun Curup dengan kayu bawang yang dicampur karet dan di Polsek Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu. INP masing-masing yaitu 85,18% dan 213,58%. Jenis ini bukan jenis gulma yang berbahaya bagi tanaman pokok dan berfungsi sebagai penutup tanah. Euphorbia Hirta merupakan tumbuhan terna semusim, berbunga sepanjang tahun, menyukai tanah yang agak lembab, agak toleran terhadap suasana yang ternaungi. Daerah penyebarannya meliputi 1 – 1400 m di atas permukaan laut (Nasution, 1990).

183

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

B. Jumlah total individu semua jenis gulma dan jumlah jenis Jumlah total individu semua jenis dan jumlah jenis pada daerah pengamatan berlainan satu dengan lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1.

800 15

600 10 400 5 200

0 0 A B C D E F A B C D E F

(i) (ii) Gambar 1. Grafik Jumlah total individu semua jenis gulma dan jumlah jenis Keterangan: A : Desa Pasar Pedati Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Tengah B : Polsek Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu C : Desa Babadan Kecamatan Sukaraja Kab Seluma D : Desa Air Besi Dusun Curup Kabupten Bengkulu Utara E : Desa geranting Perangkap Kabupten Bengkulu Utara dicampur karet F : Desa geranting Perangkap i : Grafik jumlah total individu semua jenis ii : Grafik jumlah jenis Pada gambar di atas terlihat bahwa Polsek Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Jumlah total individu semua jenis lebih sedikit dibandingkan dengan lokasi lainnya yaitu berjumlah 49 individu dan jumlah jenis 13 vegetasi serta untuk jumlah jenis yang lebih sedikit yaitu pada Desa geranting Perangkap Kabupten Bengkulu Utara berjumlah 7 vegetasi dan jumlah total individu semua jenis 336 individu. Jumlah total seluruh jenis lebih sedikit di Polsek Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu lebih sedikit karena pada lokasi tersebut tanaman kayu bawang masih muda dan pemeliharaannya lebih intensif dibandingkan lokasi yang lain. Jumlah jenis lebih sedikit di Desa geranting Perangkap Kabupten Bengkulu Utara yang dipengaruhi oleh umur tanaman bawang dimana kayu bawang yang umurnya tinggi jumlah jenis akan sedikit karena sudah tertutup tajuk. Pada Desa geranting Perangkap Kabupten Bengkulu Utara dipelihara bersama dengan karet yang masih muda sehingga secara tak langsung tanaman kayu bawang ikut terpelihara, sehingga hanya beberapa vegetasi gulma yang mampu beradaptasi. Posisi tajuk yang tertutup menyebabkan cahaya matahari kurang menembus lantai hutan dan akan mempengaruhi kelembaban dan suhu di bawah tegakan kayu bawang. Faktor lingkungan akan mempengaruhi proses-proses fisiologi dalam tanaman. Semua faktor fisiologi akan dipengaruhi oleh suhu dan beberapa proses akan tergantung pada cahaya. (Kurnia, 2010).

184

Aspek Perlindungan Hutan

IV. KESIMPULAN

1. Gulma yang mendominasi pada seluruh lokasi pengamatan tegakan kayu bawang yaitu dari famili Asteraceae, Euphorbiaceae dan Poaceae 2. Gulma yang mendominasi dari famili poaceae per lokasi pengamatan yaitu jenis Oplismenus compositus dan Crytococcum oxyphylum, gulma yang mendominasi dari Famili Asteraceae yaitu jenis Mikania micrantha serta gulma yang mendominasi dari Famili Euphorbiaceae yaitu jenis Euphorbia Hirta. 3. jumlah jenis dan jumlah total seluruh jenis pada lokasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pemeliharaan dan fafktor lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrich, R.J. 1984. Weed-crop Ecology. Principles in Weed Management. Nort Scituate, Massachussets: Breton Publisher. Amri, Ulil. 2011. Ekologi Gulma dan Analisis Vegetasi Gulma. http://otakcling.blogspot.com/ 2011/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html. di akses tanggal 1 Juni 2012. Apriyanto, E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm.F) pada Tegakan Monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia 5(2). http://www. bdpunib.org/jipi/artikeljipi/2003/64.PDF diakses tanggal 13 Agustus 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2009. Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2015. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta Faisal, R, Edy Batara Mulya Siregar, Nelly Anna. 2013. Inventarisasi Gulma pada Tegakan Tanaman Muda Eucalyptus spp. jurnal.usu.ac.id/index.php/PFSJ/article/download/ 3525/1683‎. Di akses tanggal 25 September 2013. Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Kurnia, 2010. Faperta. http://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/07/Faperta.pdf. Diakses tanggal 25 Juli 2012. Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma Buku I). Universitas Brawijaya. Rajawali Pers. 1990. Jakarta. Nasution, U. 1990. Gulma dan Pengendaliannya Di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. Penebar Swadaya. Jakarta. Nurlia, A, 2011 dan Edwin Martin. Persepsi dan Motivasi Masyarakat dalam Pembudidayaan Bambang Lanang. Prosiding‎ Seminar‎ Hasil‎ Penelitian‎ ‘Introduksi‎ Tanaman‎ Penghasil‎ Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Pembangunan Huatan Tanaman Pola Campuran. Kementrian Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan. Odum, E.P. 1993. Fundamental Ecology. W.B. Sauders Co. Philadelphia.

185

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Sumadi, A., Siahaan, H. & Saefullah, T. R. 2009. Kuantifikasi Model Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Wati E.E. 2009. Perubahan Dominansi jenis di bawah tanaman Tembesu (Fragrarea fragrans Roxb. Prosiding Seminar Hasil-hasil‎ Penelitian‎ “Peran‎ Iptek‎ dalam‎ Mendukung‎ Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Kementrian Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Palembang. Wiryohadinoto, K. 2009. Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) Kayu Jenis Unggulan Provinsi Bengkulu. Indonesia Journal of Forestry Rimba Indonesia (44): 20-21

186

Aspek Perlindungan Hutan

LAMPIRAN

Desa Pasar Pedati Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu

No Nama Lokal Nama Latin KR FR DR INP

1 A Unidentified 7,14 15,00 7,14 29,29 2 alang-alang Imperata cylindrica 10,36 15,00 10,36 35,71 3 anakan jengkol Archidendron pauciflorum 0,36 5,00 0,36 5,71 4 B Unidentified 0,36 5,00 0,36 5,71 5 Babandotan Ageratum conizoides - - - - 6 belimbing rumput Phylanthus sp 0,36 5,00 0,36 5,71 7 C / atoman kebo Clibadium surinamense - - - - 8 D Unidentified - - - - 9 E Unidentified - - - - 10 Empritan Cystococcum aresens - - - - 11 F Unidentified - - - - 12 Haredong Climedia hirta - - - - 13 i / merambat Unidentified - - - - 14 J Unidentified - - - - 15 jambu biji Psidium guajava - - - - 16 Jarong lalaki Stachytarpheta indica - - - - 17 K Unidentified - - - - 18 Katu Sauropus androgynus - - - - 19 kayu gadis Unidentified 0,36 5,00 0,36 5,71 20 Kedukan anakan / H Unidentified - - - - 21 Krinyuh Chromolaena odorata 0,36 5,00 0,36 5,71 22 Krisan Scleria sumatrensis 3,21 10,00 3,21 16,43 23 L Unidentified - - - - 24 Lawatan Mikania micrantha 75,36 15,00 75,36 165,71 25 M Unidentified - - - - 26 mahoni Swietenia mahagoni 0,36 5,00 0,36 5,71 27 Meniran Phylanthus niruri - - - - 28 N / bau balsem Unidentified - - - - 29 O Unidentified - - - - 30 Pakis Kadal Cyclosorus sp - - - - 31 Pakisan / G Unidentified - - - - 32 patikan Borreria laevis (Lamk) 0,36 5,00 0,36 5,71 33 Patikan Kebo Euphorbia hirta - - - - 34 Pegagan Centella asiatica - - - - 35 putri malu Mimosa pudica - - - - 36 Rumput Belulang Eleusine indica - - - - 37 Rumput kemeleti Paspalum conjugatum - - - - 38 Rumput Kretekan Crytococcum oxyphylum - - - - 39 Rumput Pahit Axonovus compressus - - - - 40 rumput teki Cyperus Kyllingia - - - - 41 Senduduk Melastoma malabatrichum 1,07 5,00 1,07 7,14 42 Sidaguri Sidar rhombifolia - - - - 43 Singkong Manihot esculenta 0,36 5,00 0,36 5,71 44 Sintrong Erechtites Valerianifolia - - - - 45 Sirih Hutan Unidentified - - - - 46 Suketan Oplismenus compositus - - - - 47 Tembelekan Lantana camara L. - - - -

187

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Depan Polsek Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu

No Nama Lokal Nama Latin KR FR DR INP

1 A Unidentified 2,04 5,26 2,04 9,34 2 alang-alang Imperata cylindrica - - - - 3 anakan jengkol Archidendron pauciflorum - - - - 4 B Unidentified 2,04 5,26 2,04 9,34 5 Babandotan Ageratum conizoides - - - - 6 belimbing rumput Phylanthus sp 6,12 10,53 6,12 22,77 7 C / atoman kebo Clibadium surinamense 6,12 5,26 6,12 17,51 8 D Unidentified 2,04 5,26 2,04 9,34 9 E Unidentified - - - - 10 Empritan Cystococcum aresens - - - - 11 F Unidentified - - - - 12 Haredong Climedia hirta - - - - 13 i / merambat Unidentified - - - - 14 J Unidentified - - - - 15 jambu biji Psidium guajava - - - - 16 Jarong lalaki Stachytarpheta indica - - - - 17 K Unidentified - - - - 18 Katu Sauropus androgynus - - - - 19 kayu gadis Unidentified - - - - 20 Kedukan anakan / H Unidentified - - - - 21 Krinyuh Chromolaena odorata - - - - 22 Krisan Scleria sumatrensis - - - - 23 L Unidentified - - - - 24 Lawatan Mikania micrantha 6,12 5,26 6,12 17,51 25 M Unidentified - - - - 26 mahoni Swietenia mahagoni - - - - 27 Meniran Phylanthus niruri 4,08 5,26 4,08 13,43 28 N / bau balsem Unidentified - - - - 29 O Unidentified - - - - 30 Pakis Kadal Cyclosorus sp - - - - 31 Pakisan / G Unidentified - - - - 32 patikan Borreria laevis (Lamk) - - - - 33 Patikan Kebo Euphorbia hirta 34,69 15,79 34,69 85,18 34 Pegagan Centella asiatica 8,16 15,79 8,16 32,12 35 putri malu Mimosa pudica - - - - 36 Rumput Belulang Eleusine indica 6,12 5,26 6,12 17,51 37 Rumput kemeleti Paspalum conjugatum 18,37 10,53 18,37 47,26 38 Rumput Kretekan Crytococcum oxyphylum - - - - 39 Rumput Pahit Axonovus compressus - - - - 40 rumput teki Cyperus Kyllingia - - - - 41 Senduduk Melastoma malabatrichum - - - - 42 Sidaguri Sidar rhombifolia 2,04 5,26 2,04 9,34 43 Singkong Manihot esculenta - - - - 44 Sintrong Erechtites Valerianifolia - - - - 45 Sirih Hutan Unidentified - - - - 46 Suketan Oplismenus compositus - - - - 47 Tembelekan Lantana camara L. 2,04 5,26 2,04 9,34

188

Aspek Perlindungan Hutan

Desa Babadan Kecamatan Sukaraja Kab. Seluma

No Nama Lokal Nama Latin KR FR DR INP

1 A Unidentified - - - - 2 alang-alang Imperata cylindrica - - - - 3 anakan jengkol Archidendron pauciflorum - - - - 4 B Unidentified - - - - 5 babandotan Ageratum conizoides 12,63 8,70 12,63 33,95 6 belimbing rumput Phylanthus sp 7,85 8,70 7,85 24,40 7 C / atoman kebo Clibadium surinamense 19,45 13,04 19,45 51,95 8 D Unidentified - - - - 9 E Unidentified 0,68 4,35 0,68 5,71 10 Empritan Cystococcum aresens 3,75 4,35 3,75 11,86 11 F Unidentified 0,34 4,35 0,34 5,03 12 Haredong Climedia hirta - - - - 13 i / merambat Unidentified - - - - 14 J Unidentified - - - - 15 jambu biji Psidium guajava - - - - 16 Jarong lalaki Stachytarpheta indica 0,34 4,35 0,34 5,03 17 K Unidentified - - - - 18 Katu Sauropus androgynus - - - - 19 kayu gadis Unidentified - - - - 20 Kedukan anakan / H Unidentified - - - - 21 Krinyuh Chromolaena odorata - - - - 22 Krisan Scleria sumatrensis - - - - 23 L Unidentified - - - - 24 Lawatan Mikania micrantha 4,44 4,35 4,44 13,22 25 M Unidentified - - - - 26 mahoni Swietenia mahagoni - - - - 27 Meniran Phylanthus niruri 6,83 8,70 6,83 22,35 28 N / bau balsem Unidentified - - - - 29 O Unidentified - - - - 30 Pakis Kadal Cyclosorus sp - - - - 31 Pakisan / G Unidentified - - - - 32 patikan Borreria laevis (Lamk) - - - - 33 Patikan Kebo Euphorbia hirta - - - - 34 Pegagan Centella asiatica 8,53 8,70 8,53 25,76 35 putri malu Mimosa pudica - - - - 36 Rumput Belulang Eleusine indica 0,34 4,35 0,34 5,03 37 Rumput kemeleti Paspalum conjugatum - - - - 38 Rumput Kretekan Crytococcum oxyphylum - - - - 39 Rumput Pahit Axonovus compressus 6,48 8,70 6,48 21,66 40 rumput teki Cyperus Kyllingia 3,07 4,35 3,07 10,49 41 Senduduk Melastoma malabatrichum - - - - 42 Sidaguri Sidar rhombifolia - - - - 43 Singkong Manihot esculenta - - - - 44 Sintrong Erechtites Valerianifolia 0,34 4,35 0,34 5,03 45 Sirih Hutan Unidentified - - - - 46 Suketan Oplismenus compositus - - - - 47 tembelekan Lantana camara L. 24,91 8,70 24,91 58,53

189

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Desa Air Besi Dusun Curup

No Nama Lokal Nama Latin KR FR DR INP

1 A Unidentified - - - - 2 alang-alang Imperata cylindrica - - - - 3 anakan jengkol Archidendron pauciflorum - - - - 4 B Unidentified - - - - 5 babandotan Ageratum conizoides - - - - 6 belimbing rumput Phylanthus sp 1,49 27,27 1,49 30,25 7 C / atoman kebo Clibadium surinamense - - - - 8 D Unidentified - - - - 9 E Unidentified - - - - 10 Empritan Cystococcum aresens - - - - 11 F Unidentified - - - - 12 Haredong Climedia hirta - - - - 13 i / merambat Unidentified - - - - 14 J Unidentified - - - - 15 jambu biji Psidium guajava - - - - 16 Jarong lalaki Stachytarpheta indica - - - - 17 K Unidentified - - - - 18 Katu Sauropus androgynus - - - - 19 kayu gadis Unidentified - - - - 20 Kedukan anakan / H Unidentified - - - - 21 Krinyuh Chromolaena odorata - - - - 22 Krisan Scleria sumatrensis - - - - 23 L Unidentified - - - - 24 Lawatan Mikania micrantha - - - - 25 M Unidentified - - - - 26 mahoni Swietenia mahagoni - - - - 27 Meniran Phylanthus niruri 2,08 9,09 2,08 13,26 28 N / bau balsem Unidentified 1,49 9,09 1,49 12,07 29 O Unidentified 0,60 9,09 0,60 10,28 30 Pakis Kadal Cyclosorus sp - - - - 31 Pakisan / G Unidentified - - - - 32 patikan Borreria laevis (Lamk) - - - - 33 Patikan Kebo Euphorbia hirta 93,15 27,27 93,15 213,58 34 Pegagan Centella asiatica - - - - 35 putri malu Mimosa pudica - - - - 36 Rumput Belulang Eleusine indica - - - - 37 Rumput kemeleti Paspalum conjugatum - - - - 38 Rumput Kretekan Crytococcum oxyphylum - - - - 39 Rumput Pahit Axonovus compressus 1,19 18,18 1,19 20,56 40 rumput teki Cyperus Kyllingia - - - - 41 Senduduk Melastoma malabatrichum - - - - 42 Sidaguri Sidar rhombifolia - - - - 43 Singkong Manihot esculenta - - - - 44 Sintrong Erechtites Valerianifolia - - - - 45 Sirih Hutan Unidentified - - - - 46 Suketan Oplismenus compositus - - - - 47 tembelekan Lantana camara L. - - - -

190

Aspek Perlindungan Hutan

Desa Air Besi Dusun Curup dicampur karet

No Nama Lokal Nama Latin KR FR DR INP

1 A Unidentified - - - - 2 alang-alang Imperata cylindrica - - - - 3 anakan jengkol Archidendron pauciflorum - - - - 4 B Unidentified - - - - 5 Babandotan Ageratum conizoides - - - - 6 belimbing rumput Phylanthus sp 1,49 27,27 1,49 30,25 7 C / atoman kebo Clibadium surinamense - - - - 8 D Unidentified - - - - 9 E Unidentified - - - - 10 Empritan Cystococcum aresens - - - - 11 F Unidentified - - - - 12 Haredong Climedia hirta - - - - 13 i / merambat Unidentified - - - - 14 J Unidentified - - - - 15 jambu biji Psidium guajava - - - - 16 Jarong lalaki Stachytarpheta indica - - - - 17 K Unidentified - - - - 18 Katu Sauropus androgynus - - - - 19 kayu gadis Unidentified - - - - 20 Kedukan anakan / H Unidentified - - - - 21 Krinyuh Chromolaena odorata - - - - 22 Krisan Scleria sumatrensis - - - - 23 L Unidentified - - - - 24 Lawatan Mikania micrantha - - - - 25 M Unidentified - - - - 26 mahoni Swietenia mahagoni - - - - 27 Meniran Phylanthus niruri 2,08 9,09 2,08 13,26 28 N / bau balsem Unidentified 1,49 9,09 1,49 12,07 29 O Unidentified 0,60 9,09 0,60 10,28 30 Pakis Kadal Cyclosorus sp - - - - 31 Pakisan / G Unidentified - - - - 32 patikan Borreria laevis (Lamk) - - - - 33 Patikan Kebo Euphorbia hirta 93,15 27,27 93,15 213,58 34 Pegagan Centella asiatica - - - - 35 putri malu Mimosa pudica - - - - 36 Rumput Belulang Eleusine indica - - - - 37 Rumput kemeleti Paspalum conjugatum - - - - 38 Rumput Kretekan Crytococcum oxyphylum - - - - 39 Rumput Pahit Axonovus compressus 1,19 18,18 1,19 20,56 40 rumput teki Cyperus Kyllingia - - - - 41 Senduduk Melastoma malabatrichum - - - - 42 Sidaguri Sidar rhombifolia - - - - 43 Singkong Manihot esculenta - - - - 44 Sintrong Erechtites Valerianifolia - - - - 45 Sirih Hutan Unidentified - - - - 46 Suketan Oplismenus compositus - - - - 47 tembelekan Lantana camara L. - - - -

191

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Desa Geranting Perangkap

No Nama Lokal Nama Latin KR FR DR INP

1 A Unidentified - - - - 2 alang-alang Imperata cylindrica - - - - 3 anakan jengkol Archidendron pauciflorum - - - - 4 B Unidentified - - - - 5 babandotan Ageratum conizoides - - - - 6 belimbing rumput Phylanthus sp - - - - 7 C / atoman kebo Clibadium surinamense - - - - 8 D Unidentified - - - - 9 E Unidentified - - - - 10 Empritan Cystococcum aresens 22,15 16,67 22,15 60,97 11 F Unidentified - - - - 12 Haredong Climedia hirta 0,33 5,56 0,33 6,21 13 i / merambat Unidentified - - - - 14 J Unidentified - - - - 15 jambu biji Psidium guajava - - - - 16 Jarong lalaki Stachytarpheta indica - - - - 17 K Unidentified - - - - 18 Katu Sauropus androgynus 0,33 5,56 0,33 6,21 19 kayu gadis Unidentified - - - - 20 Kedukan anakan / H Unidentified - - - - 21 Krinyuh Chromolaena odorata 0,16 5,56 0,16 5,88 22 Krisan Scleria sumatrensis - - - - 23 L Unidentified - - - - 24 Lawatan Mikania micrantha 5,54 16,67 5,54 27,74 25 M Unidentified - - - - 26 mahoni Swietenia mahagoni - - - - 27 Meniran Phylanthus niruri - - - - 28 N / bau balsem Unidentified - - - - 29 O Unidentified 0,81 5,56 0,81 7,18 30 Pakis Kadal Cyclosorus sp 10,26 11,11 10,26 31,63 31 Pakisan / G Unidentified - - - - 32 patikan Borreria laevis (Lamk) - - - - 33 Patikan Kebo Euphorbia hirta 5,21 5,56 5,21 15,98 34 Pegagan Centella asiatica - - - - 35 putri malu Mimosa pudica - - - - 36 Rumput Belulang Eleusine indica - - - - 37 Rumput kemeleti Paspalum conjugatum - - - - 38 Rumput Kretekan Crytococcum oxyphylum - - - - 39 Rumput Pahit Axonovus compressus 1,14 5,56 1,14 7,84 40 rumput teki Cyperus Kyllingia - - - - 41 Senduduk Melastoma malabatrichum 26,06 5,56 26,06 57,67 42 Sidaguri Sidar rhombifolia - - - - 43 Singkong Manihot esculenta - - - - 44 Sintrong Erechtites Valerianifolia - - - - 45 Sirih Hutan Unidentified - - - - 46 Suketan Oplismenus compositus 28,01 16,67 28,01 72,69 47 tembelekan Lantana camara L. - - - -

192

Aspek Perlindungan Hutan

DOMINANSI DAN STATUS POTENSI GULMA PADA JENIS BAMBANG LANANG (Michelia campaka L.)

Andika Imanullah, Sri Utami dan Asmaliyah Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Bambang lanang (Michelia campaka L.) merupakan salah satu jenis tanaman unggulan lokal di Sumatera Selatan yang sudah mulai dikembangkan di lahan milik masyarakat. Jenis ini telah lama digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat setempat karena kayunya yang kuat dan awet. Dalam budidaya Bambang Lanang, pada kondisi awal sering dihambat oleh adanya gulma sehingga perlu dikendalikan. Uji teknik pengendalian gulma berguna untuk menentukan uji manakah yang terbaik dalam mengendalikan gulma pada tegakan bambang lanang. Gulma bermanfaat dan gulma yang tidak merugikan lebih mendominasi di semua plot perlakuan. Berdasarkan hasil pengamatan patikan (Borreria laevis) bukanlah merupakan gulma pengganggu jenis ini tidak merugikan, gulma semusim, mati setelah berbunga. jenis Melastoma malabatrichum merupakan gulma yang merugikan dan perlu dikendalikan pada perlakuan mulsa organik dan Total Herbisida tidak dijumpai lagi pada saat setelah dilakukan perlakuan. Tetracera akara Merr dan Clidemia hirta juga merupakan jenis gulma yang merugikan dan perlu dikendalikan namun keberadaannya tidak terlalu mendominasi di seluruh plot perlakuan. Teknik pengendalian gulma yang memberikan respon baik dalam menghambat pertumbuhan gulma di bawah tegakan bambang lanang yaitu pengendalian menggunakan mulsa organik karena lebih praktis dan ekonomis dan memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan bambang lanang. Kata kunci: bambang lanang, status potensi, mulsa organik, gulma

I. PENDAHULUAN

Hutan tanaman dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Rakyat (HR) diharapkan menjadi pemasok utama industri pertukangan kayu dimasa mendatang, karena hutan alam sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan kayu tersebut (Riskan, 2010). Hutan tanaman kayu pertukangan ditujukan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan, antara lain: kayu lapis, kayu gergajian dan lainnya. Pengembangan hutan tanaman kayu pertukangan dari jenis-jenis unggulan lokal diharapkan dapat menunjang kebutuhan kayu nasional (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2009). Bambang lanang (Michelia campaka L.) merupakan salah satu jenis tanaman unggulan lokal di Sumatera Selatan yang sudah mulai dikembangkan di lahan milik masyarakat. Jenis ini banyak ditemukan di Kabupaten Lahat, Kabu paten Empat Lawang, dan Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. Jenis ini telah lama digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat setempat karena kayunya yang kuat dan awet (Winarno, 2008). Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004) pengelolaan hutan tanaman pada dasarnya memberikan fasilitas pertumbuhan yang optimal pada jenis tanaman yang diusahakan dan menekan pertumbuhan tanaman yang tidak diinginkan. Salah satu upaya perlindungan yang

193

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang dilakukan adalah kegiatan pengendalian gulma. Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh tidak pada tempatnya dan berkompetisi dengan tanaman yang dibudidayakan sehingga keberadaannya dapat menurunkan produktivitas tanaman. Kegiatan pengendalian yang selama ini dilakukan belum efektif dan dari segi teknis maupun efisien dari segi biaya/ekonomi. Oleh karena itu penelitian teknik pengendalian gulma harus dilaksanakan secara berkesinambungan, mulai dari inventarisasi dan eksplorasi jenis-jenis gulma yang ada di hutan tanaman, identifikasi jenis, termasuk sebaran, kondisi tapak dan lingkungannya sampai diperolehnya paket teknik pengendalian gulma secara terpadu yang efisien dan efektif. Oleh sebab itu untuk mengembangkan teknik pengendalian gulma secara efektif dan efisien diperlukan metodologi yang baik yang bisa menjawab permasalahan yang ada hutan tanaman pengendalian gulma di bawah tegakan bambang lanang agar tidak menjadi faktor pembatas pertumbuhan jenis bambang lanang.

II. METODOLOGI

Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada plot tegakan Bambang Lanang di Desa Manggul Kecamatan Lahat Kota Kabupaten Lahat Propinsi Sumatera Selatan. Secara astronomis Kabupaten Lahat terletak antara 3,25 derajat sampai dengan 4,15 derajat Lintang Selatan, 102,37 derajat sampai dengan 103,45 derajat Bujur Timur. Kabupaten Lahat dengan wilayah seluas 6.618,27 kilometer persegi, dengan batasan wilayah sebagai berikut : utara berbatas dengan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Musi Rawas, timur berbatas dengan Kabupaten Muara Enim, Barat berbatas dengan Kabupaten Rejang Lebung Provinsi Bengkulu, Selatan berbatas dengan Kota Pagar Alam dan Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu (Pemkab Lahat, 2010).

Prosedur Kerja Inventarisasi dan eksplorasi gulma Pengambilan contoh tumbuhan pada penelitian ini menggunakan metode petak ganda (Indriyanto, 2006). Petak contoh yang dibuat berukuran 2 x 2 m pada plot perlakuan teknik pengendalian gulma. Peletakan petak contoh dilakukan secara sistematik. Pengamatan jenis dan keragaman gulma dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Identifikasi gulma dilakukan dengan cara mencocokkan dengan gambar-gambar tumbuhan yang sudah diketahui identitasnya. Apabila dijumpai tumbuhan yang belum berhasil diidentifikasi atau ditemukan keragu-raguan, maka dibuat spesimen herbarium untuk keperluan identifikasi. Dari hasil pengamatan pada petak contoh yang dibuat di lokasi penelitian, kemudian dihitung besaran-besaran sebagai berikut: a. Kerapatan Jenis ∑ individu Kerapatan (K) = Luas petak contoh

K suatu jenis Kerapatan Relatif (KR) = x 100 % K Total seluruh jenis

194

Aspek Perlindungan Hutan

2. Frekuensi ∑ Sub petak ditemukan suatu spesies Frekuensi (F) = ∑seluruh sub petak contoh

F suatu jenis Frekuensi Realatif (FK) = x 100% F total seluruh jenis b. Dominansi luas bidang dasar suatu spesies Dominansi (D) = luas petak contoh

D suatu spesies Dominansi Relatif (DR) = x 100% D total seluruh jenis

c. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis gulma pada lokasi penelitian Hasil kegiatan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis gulma pada lokasi penelitian dengan perlakuan tebas total, tebas jalur, mulsa organik dan total herbisida. Ditemukan total jumlah gulma terdapat 20 jenis tumbuhan, 1 jenis merupakan anakan pohon. Hasil kegiatan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis gulma pada lokasi penelitian dengan perlakuan tebas total, tebas jalur, mulsa organik dan total herbisida seperti tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis-jenis gulma dibawah tanaman bambang lanang dengan perlakuan tebas total, tebas jalur, mulsa organik dan total herbisida Nama Indeks Nilai Penting (%) Status No. Tebas Total Tebas Jalur Mulsa Organik Total Herbisida Lokal Ilmiah Famili Potensi I II I II I II I II Melastoma 1 Senduduk 22,92 9,96 7,37 6,44 20,83 - 4,47 - D malabatrichum Akar Angas- Tetracera akara Melastomaceae 2 10,78 - 8,07 - - - - - D angas Merr 3 Haredong Clidemia hirta ------1,57 - D Rumput Paspalum 4 13,52 92,91 12,98 47,06 14,58 49,40 3,02 - C kemeleti conjugatum Empritan Critococum 5 Poaceae 8,04 ------C/D hijau arescens Echinocoa 6 Jejarongan 8,04 ------C colonum Borreria laevis 7 Patikan 150,32 27,88 171,93 57,42 160,42 133,36 116,07 138,23 B (Lamk) Patikan 8 Euphorbia hirta Euphorbiaceae 35,25 26,43 30,88 57,70 29,17 18,92 7,37 59,26 B Kebo 9 Belimbing Phylanthus sp 8,04 - 8,07 12,04 18,75 16,24 - 30,17 B

195

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Nama Indeks Nilai Penting (%) Status No. Tebas Total Tebas Jalur Mulsa Organik Total Herbisida Lokal Ilmiah Famili Potensi I II I II I II I II Hutan Phylanthus 10 Meniran - 22,39 - - - 22,66 3,02 18,23 B niruri 11 Mahang Macaranga sp - - - 12,04 - - - - B Ageratum 12 Babandotan 8,04 37,99 13,68 37,54 16,67 24,26 63,89 35,37 B conizoides Emilia Asteraceae 13 Kemondelan - - - 10,36 - - - - B sonchifolia 14 Widelia Widelia biflora - - - 5,32 - - - - B Cyperus 15 Rumput teki Cyperaceae - - 8,77 - - - - 5,88 C rotundus 16 Sidaguri Sida rhombifolia - - 7,37 - - - - - C Erechtites Malvaceae 17 Sintrong - 12,85 8,07 5,88 - 1,57 18,74 B Valerianifolia Starchytapeta 18 Jarong lalaki Verbenaceae - 18,34 - 8,12 - 16,78 - - C indica 19 Krokot Portulaca L. Portulaceae - 9,38 - 9,80 - - - - C Cinnamomum 20 Medang Lauraceae - 9,96 - 11,76 - 18,38 - - Anakan inner Keterangan: I : Sebelum dilakukan perlakuan II : Setelah perlakuan / 3 bulan setelah perlakuan A : Vegetasi bermanfaat, pertumbuhannya perlu didukung B : Vegetasi yang tidak merugikan, gulma semusim, mati setelah berbunga C : Vegetasi tahunan, disebut juga “Soft‎grasses”‎umumnya bermanfaat sebagai penutup tanah D : Vegetasi semak menahun, umumnya merugikan, perlu dikendalikan E : Vegetasi yang harus diberantas (Sumber: Wati, 2009; Hanggeroko, 2012) Dalam menemukan kebijaksanaan pengendalian gulma, status gulma perlu diketahui. Status gulma menunjukkan potensi suatu jenis gulma dapat mengganggu atau memberikan keuntungan pada tanaman pokok (Nasution, 1990). Wati (2009) menjelaskan status gulma dapat menunjukkan potensi suatu gulma memberikan keuntungan atau kerugian dalam pengelolaan Hutan Tanaman. Status suatu jenis gulma tertentu ditentukan efek yang ditimbulkannya dalam persaingan unsur hara, air dan cahaya, mendorong timbulnya gangguan hama dan penyakit tanaman serta efeknya dalam mengganggu kegiatan eksploitasi dan manajemen tanaman. Jadi status gulma memberikan petunjuk tentang kadar disukai atau tidaknya suatu jenis gulma yang tumbuh di tempat tumbuhnya. Secara umum status potensi gulma dapat digolongkan menjadi 5 (lima) golongan yaitu: Gulma dengan status potensi A merupakan gulma bermanfaat bagi tanaman pokok, pertumbuhannya perlu didukung serta dikembangkan. Gulma dengan status potensi B yaitu gulma yang tidak merugikan, gulma semusim, mati setelah berbunga. Gulma dengan status potensi C merupakan gulma tahunan, disebut juga “Soft‎ grasses”‎ umumnya bermanfaat sebagai penutup tanah. Gulma dengan status potensi D merupakan gulma semak menahun, umumnya merugikan, perlu dikendalikan dan Gulma dengan status potensi E merupakan gulma yang harus diberantas (Wati, 2009; Hanggeroko, 2012). Pada tabel 1 terlihat bahwa jenis gulma yang mendominasi yaitu jenis gulma dengan status potensi B, dan jenis patikan (Borreria laevis) merupakan gulma status potensi B yang banyak ditemui di seluruh plot perlakuan, namun gulma tersebut tidak mengganggu pertumbuhan tanaman bambang lanang (Gambar 1). Menurut Nasution (1990), patikan merupakan tumbuhan terna semusim yang tumbuh di tanah terbuka atau sedikit naungan

196

Aspek Perlindungan Hutan terutama pada tanah yang keras. Daerah penyebarannya di ketinggian 1-1000 m dpl, dan berbunga setiap tahun.

Gambar 1. Jenis patikan (Borreria laevis) yang mendominasi di seluruh plot pengamatan perlakuan Wati (2009), melaporkan bahwa gulma yang mendominasi status potensi D yaitu jenis Melastoma malabatrichum, jenis ini mendominasi di tipe penyiapan lahan secara mekanik dengan INP 122,5%. hal ini berbeda dengan penelitian ini dimana jenis gulma dengan status potensi B dan C lebih mendominasi di semua plot perlakuan. Berarti di penelitian ini kecenderungan gulma yang merugikan lebih sedikit dan bila yang merugikan sedikit maka pertumbuhan Bambang Lanang akan lebih baik dan perlakuan yang dilakukan membrikan dampak pada gulma jenis Melastoma malabatrichum. Gulma jenis Melastoma malabatrichum dengan status potensi D pada perlakuan mulsa organik dan Total Herbisida tidak dijumpai lagi pada saat setelah dilakukan perlakuan. Pada plot perlakuan total mulsa organik sebelum dilakukan pemeliharaan nilai INP masing-masing 20,83% tiga bulan setelah dilakukan pemeliharaan dilihat ternyata tidak ditemukan lagi jenis tersebut. Begitu juga pada plot perlakuan total herbisida dimana sebelum dilakukan perlakuan dengan nilai INP 4,47% setelah dilakuan perlakuan jenis ini tidak dijumpai lagi. Perlakuan mulsa organik dapat menekan keberadaan gulma sehingga gulma tidak ditemukan lagi pada perlakuan selanjutnya. Mulsa organik diambil dari sisa-sisa tumbuhan seperti ranting dan daun yang disebarkan ke permukaan tanaman bambang lanang mengakibatkan permukaan tanah tertutupi oleh sisa-sisa tumbuhan sehingga dapat menghalangi pertumbuhan gulma terutama jenis Melastoma malabatrichum. Jenis senduduk terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Gulma jenis Melastoma malabatrichum yang ditemukan pada plot perlakuan

197

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Hilangnya jenis Melastoma malabatrichum karena adanya kerja herbisida yang menghambat pertumbuhan gulma yaitu herbisida total menggunakan bahan aktif Isopropilamina glifosat dan metil metsulfuron. Kedua herbisida tersebut merupakan jenis racun sistem sistemik dengan cara kerja yang mempengaruhi jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai keperakarannya. Keistimewaannya, dapat mematikan tunas-tunas yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut Melastoma malabathricum atau senduduk merupakan jenis perdu, batangnya 2-4 meter tingginya, perakarannya kuat dan agak dalam. Merupakan jenis tumbuhan yang tangguh dalam suasana lingkungan yang kurang menguntungkan. Gangguan yang ditimbulkan adalah efek persaingan dengan tanaman muda. Jenis ini berbunga sepanjang tahun, tumbuh pada tanah lembab atau kering pada lokasi terbuka atau agak ternaung. Ciri khasnya batangnya berwarna kemerah-merahan dan bersisik, helai daun berbentuk bulat panjang bila diraba terasa kasar, dasar bunganya berbentuk lonceng, bunganya berwarna ungu. Pengendalian gulma jenis ini yang efektif adalah secara manual dengan mendongkel (Nasution, 1990). Tetracera akara Merr dan Clidemia hirta juga merupakan jenis gulma dengan status potensi D namun keberadaannya tidak terlalu mendominasi di seluruh plot perlakuan (lihat Tabel 1). Walaupun gulma tersebut sedikit jumlahnya, namun keberadaannya jika terlalu banyak dapat merugikan tanaman pokok yaitu jenis bambang lanang. Hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Wati (2009), jenis dengan status potensi D jika jumlahnya berlebihan pada suatu lokasi penanaman harus segera dikendalikan bersama akan menimbulkan persaingan dalam pengambilan nutrisi dan air dari dalam tanah, sehingga ketersediaan nutrisi dan air berkurang yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman pokok. Selain itu jenis-jenis tersebut sebagian besar memiliki daya berkembangbiak yang sangat cepat atau memiliki alat perkembangbiakan lebih dari satu. Oleh sebab itu penting diketahui siklus serta cara perkembangbiakan dari jenis- jenis yang memiliki status potensi D maupun E sehingga teknik pengendalian yang diterapkan dapat efektif mengendalikan jenis-jenis gulma tersebut. 1. Jumlah jenis Jumlah jenis gulma tanaman bambang lanang pada plot perlakuan disajikan pada Gambar 3.

40,00

Tebas total 35,00 Tebas jalur Mulsa 30,00 Total Herbisida

25,00 jumlah jenis jumlah 20,00

15,00

10,00

5,00

0,00 Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuan

Gambar 3. Jumlah jenis gulma pada plot perlakuan

Pada gambar 3 merupakan hasil gulma sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan terjadi penambahan ataupun pengurangan jenis. Perlakuan tebas jalur jumlah jenis mengalami

198

Aspek Perlindungan Hutan kenaikan. Dan jumlah jenis yang mengalami penurun pasca dilakukan perlakuan yaitu pada perlakuan total herbisida. Meningkatnya jumlah jenis gulma pada perlakuan tebas jalur dikarenakan adanya pembersihan dengan jalan di tebas. Penebasan ini secara langsung membuka lantai hutan, sehingga secara langsung sinar matahari yang semula terhalang dapat langsung masuk ke tanah. Menyebabkan biji yang semula terdormansi menjadi tumbuh kembali. Perlakuan tebas jalur menyebabkan kenaikan jumlah 13 jenis setelah dilakukan perlakuan naik menjadi 15 jenis. Jumlah jenis gulma pada plot perlakuan total herbisida mengalami penurunan dari 8 jenis gulma sebelum dilakuan perlakuan menjadi 6 jenis gulma setelah perlakuan. Menurunnya jumlah jenis pada perlakuan total herbisida dikarenakan pada perlakuan ini menggunakan dua jenis herbisida berbahan aktif metil metsulfuron ditambah dengan Isopropilamina glifosat. Berarti kedua bahan aktif ini memberikan pengaruh langsung terhadap keberadaan beberapa jenis gulma. Herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron untuk gulma pra-tumbuh dan purna tumbuh bersifat selektif. Herbisida dengan bahan aktif ini digunakan untuk mengendalikan beberapa tanaman berkayu yang tidak diinginkan gulma berdaun lebar, dan gulma rerumputan. Metsulfuron metil diserap melalui akar dan dedaunan, serta bergerak cepat melalui tanaman sehingga dapat menghambat pembelahan sel pada akar dan tunas membuat gulma lambat tumbuh kembali (Anonim, 2003). Isopropilamina glifosat merupakan bahan aktif herbisida purna tumbuh yang diformulasikan dalam bentuk larutan yang dapat larut dalam air dan bekerja sebagai racun sistemik. Isopropilamina glifosat mampu mengendalikan gulma berdaun sempit, berdaun lebar dan golongan teki (Anonim, 2008). Sarianti (2012) menjelaskan herbisida purna-tumbuh hanya dapat mematikan gulma yang telah tumbuh dan memiliki organ yang sempurna seperti akar, cabang dan daun. Sedangkan herbisida pra-tumbuh mematikan biji gulma yang belum berkecambah. Oleh karena itu dengan memadukan kedua jenis ini diharapkan dapat mengendalikan gulma baik yang masih benih maupun gulma yang sudah tumbuh. Pencampuran dua jenis herbisida membuat makin bertambahnya efektifitas dan ekonomis dalam metode pengendalian gulma. Pencampuran kedua jenis herbisida akan memperlihatkan hubungan satu bahan dengan bahan yang lain yang dinamakan dengan interaksi. Ketika dua atau lebih bahan kimia terakumulasi di dalam tanaman, mereka melakukan interaksi dan respon ditunjukkan keluar menghasilkan reaksi yang berbeda ketika bahan kimia tersebut diberikan sendiri-sendiri. Interaksi ini bisa bersifat sinergi, adiktif atau antagonis (Tani, 2012).

IV. KESIMPULAN

1. Jenis-jenis gulma yang mendominasi tegakan bambang lanang (Michelia camphaca), yaitu patikan (Borreria laevis (Lamk)), patikan kebo (Euphorbia hirta), dan babandotan (Ageratum conyzoides). 2. Gulma dengan status potensi B dan C lebih mendominasi di semua plot perlakuan 3. Jumlah jenis gulma pada plot perlakuan total herbisida mengalami penurunan.

199

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003. Metsulfuron methyl Pesticide Fact Sheet. http://infoventures.com/e- hlth/pestcide/metsulf.html. di akses tanggal 26 Desember 2012. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2009. Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2015. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta Hanggeroko. 2012. Pengendalian Gulma pada Kelapa Sawit. http://www.scribd.com/ doc/ 103867302/Pengendalian-Gulma-Pada-Kelapa-Sawit. diakses tanggal 27 Desember 2012. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara, Jakarta. Nasution, U. 1990. Gulma dan Pengendaliannya Di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. Penebar Swadaya. Jakarta Sarianti, L. 2012. Herbisida. http://linasarianti.blogspot.com/2012/06/herbisida.html. di akses tanggal 26 Desember 2012. Sumardi, dan S.M. Widyastuti. 2000. The Incidence of Potential Weed in Tropical Rain Forest. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia6 : 9 – 17. Tani, M. 2012. Hebisida. http://mustikatani.wordpress.com/pengertian-herbisida/. Di akses tanggal 27 Desember 2012. Umboh, H.A. 2002. Petunjuk Penggunaan Mulsa. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Wati, E.E. 2009. Laporan‎ Hasil‎ Penelitian‎ ‘Teknik‎ Pengendalian Hutan Tanaman’. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. (tidak dipublikasikan). Winarno, B. dan E.A Waluyo. 2009. Potensi Pengembangan Hutan Rakyat dengan Jenis Tanaman Kayu Lokal. http://efend1.multiply.com/journal/item/4/POTENSI_PENGEMBANGAN_ HTAN_RAKYAT_DENGAN_JENIS_TANAMAN_KAYU_LOKAL. di Akses tanggal 16 Januari 2011.

200

Aspek Konservasi dan Lainnya

Aspek Konservasi dan Lainnya

ASPEK EKOLOGIS HUTAN TANAMAN INDONESIA

Wiryono Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

ABSTRAK

Konversi hutan alam hujan tropis menjadi hutan tanaman secara drastis menyederhanakan kompleksitas struktur hutan dan mengurangi komposisi jenis penyusun hutan. Perubahan ini menimbulkan konsekuensi ekologis, antara lain menurunnya keragaman hayati, meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman dan potensi penurunan kesuburan tanah. Penerapan prinsip-prinsip ekologi dapat dilakukan untuk mengurangi dampak ekologis hutan tanaman. Kompleksitas struktur hutan dan keragaman hayati dapat ditingkatkan dengan memperta- hankan dan menambah jalur hutan alam yang terhubung satu sama lain. Jalur hutan alam ini berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hewan, termasuk penyerbuk tanaman dan predator yang dapat mengendalikan populasi hama dan penyakit tanaman. Kesuburan tanah dapat dipertahankan dengan mengembalikan seresah dan limbah kayu dan kulit pohon ke tanah. Kata kunci: hutan alam hujan tropis, hutan tanaman, ekologis

I. PENDAHULUAN

Pada awal Orde Baru penguasahaan hutan skala besar di luar Jawa dimulai dengan diberikannya ijin pengusahaan hutan pada perusahaan yang dikenal dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang kemudian diubah menjadi Ijin Usaha Pemanfataan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Pengusahaan hutan di luar Jawa menggunakan system silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang kemudian diubah menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Sistem silvikultur tersebut dirancang untuk menjamin regenerasi hutan sehingga asas kelestarian dapat tercapai. Namun dalam prakteknya, banyak penyimpangan dalam pelaksanaan TPTI sehingga pengusahaan hutan di luar Jawa tidak mengikuti asas kelestarian. Akibatnya, banyak perusahaan HPH yang tidak diperpanjang ijinnya.sehingga jumlah HPH menurun. Pada tahun 1993/94 jumlah HPH adalah 575 buah dengan luas 61,70 juta ha, tetapi pada tahun 2011 jumlahnya tinggal 292 dengan luas 23,41 juta ha (Kemenhut, 2012). Dengan semakin menurunnya luas tutupan hutan alam di hutan produksi maka produksi hasil hutan, terutama kayu, harus dihasilkan dari hutan tanaman. Jumlah perusahaan pemegang ijin HPH Hutan Tanaman Indonesia HTI) yang kemudian menjadi IUPHHK HTI meningkat dari 1 buah dengan luas 30.000 ha di tahun 1990 menjadi 249 buah di tahun 2011 dengan luas mencapai 10.046.839,43 ha. Selain itu, sampai tahun 2012 ada hutan produksi tanaman dalam bentuk Ijin Usaha Hasil Hutan Bukan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHBK HT) seluas 21.620 ha dan IUPHHK Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 165.410,06 ha. Sejalan dengan meningkatnya luas hutan tanaman dan menyusutnya hutan alam, produksi kayu bulat dari hutan tanaman semakin besar dan sebaliknya dari hutan alam semakin keci. Pada tahun 2011, produksi dari IHPHHK HT adalah 19.840.679 m3, lebih besar daripada volume kayu bulat hutan alam IPHHK HA yang hanya 5.088.695 m3 (Kemenhut, 2012).

203

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dalam skala luas tentu memberikan dampak ekologis yang besar. Makalah ini akan membahas dampak ekologis tersebut dan mengajukan rekomendasi untuk meminimalisir dampak tersebut.

II. EKOSISTEM HUTAN HUJAN TROPIS

Sebagian besar hutan Indonesia termasuk dalam kategori hutan hujan tropis karena memiliki curah hujan tinggi dan suhu hangat sepanjang tahun. Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem yang paling produktif di dunia, meskipun secara umum tanah di hutan hujan tropis merupakan tanah yang tingkat kesuburannya rendah akibat pencucian hara oleh curah hujan yang tinggi. Tanah mineral di hutan tropis berfungsi sebagai tempat untuk menjangkar pohon agar tidak tumbang, tetapi pasokan hara terutama dilakukan oleh lapisan tipis top soil yang kaya hara berkat siklus materi. Eksperimen menunjukkan bahwa siklus hara dapat mengambil antara 60-80 persen dari stock (kandungan) hara. Percobaan itu menunjukkan bahwa sebagian besar stock hara berada dalam siklus dari tumbuhan hidup ke bahan organik dan kembali ke tumbuhan hidup (Terborgh, 1992). Selain itu, hutan hujan tropis juga memiliki keragaman tumbuhan dan satwa yang sangat tinggi. Keragaman yang tinggi itu dimungkinkan karena terdapat heterogenitas habitat, baik secara vertical maupun horizontal. Secara vertical tumbuhan penyusun hutan tropis terbagi ke dalam beberapa strata tajuk, yang masing-masing strata ditempati oleh jenis-jenis tertentu. Jenis-jenis hewan berbagi ruang untuk menghindari kompetisi dengan cara menempati ketinggian tertentu (Whitmore, 1984). Secara horizontal, hutan hujan tropis bukanlah hamparan tegakan yang homogen, tetapi merupakan mosaik yang terbentuk karena terdapatnya rumpang yang kemudian mengalami suksesi dengan berbagai usia yang berbeda. Stratifikasi vertikal dan heterogenitas horizontal ini menumbuhkan keragaman relung (niche) yang tinggi sehingga memungkinkan berbagai spesies tumbuhan dan hewan hidup bersama dalam satu komunitas. Keragaman jenis yang tinggi di hutan alam tropis basah ini menyebabkan tidak adanya satu jenis yang sangat dominan. Masing-masing jenis tumbuhan diwakili oleh sedikit individu. Interaksi, bahkan coevolusi, yang panjang antara organisme di hutan alam menyebabkan terjadinya simbiosis yang membantu tumbuhan untuk mendapatkan hara (mikoriza, bakteri) dan penyerbukan (serangga, kelelawar dan burung). Interaksi yang intensif dalam jangka panjang juga menyebabkan masing-masing jenis organisme membangun pertahanan terhadap serangan organisme pemangsa (herbivor bagi tumbuhan; predator bagi hewan) maupun parasit, sehingga organisme yang dimangsa tidak menjadi punah. Sebaliknya, organisme pemangsa dan parasit juga melakukan spesialisi makanan untuk menghindari kompetisi. Dengan demikian di hutan hujan tropis alami tidak dijumpai terjadinya ledakan hama dan penyakit dalam skala luas yang mengancam hutan. Di Indonesia serangan hama dan penyakit yang cukup serius dapat terjadi di hutan alam yang miskin jenis, misalnya di hutan alam yang didominasi Pinus merkusii di Sumatera Utara, Casuarina junghuhniana di punggung dan puncak gunung-gunung di Jawa Timur, Palaquium sp di Gunung Lawu, Jatim, dan di beberapa lokasi hutan mangrove (Kalshoven, 1953 dalam Nair and Sumardi, 2000). Struktur hutan yang kompleks dan keragaman jenis tumbuhan yang tinggi meningkatkan ketersediaan habitat bagi hewan-hewan yang menjadi penyerbuk tumbuhan dan penyebar propagul tumbuhan, sehingga mencegah penurunan populasi dan produktifitas jenis tumbuh- tumbuhan yang diserbuki dan disebarluaskan tersebut.

204

Aspek Konservasi dan Lainnya

III. DAMPAK EKOLOGIS KONVERSI HUTAN ALAM MENJADI HUTAN TANAMAN

1. Perubahan struktur dan komposisi jenis penyusun hutan Hutan tanaman biasanya hanya memiliki satu jenis tanaman seumur yang ditanam dalam skala luas. Maka, dampak yang langsung terlihat dari konversi hutan alam menjadi hutan tanaman adalah penyederhanaan struktur dan komposisi jenis penyusun hutan. Hutan alam yang terstratifikasi secara vertical kedalam beberapa lapisan tajuk, berubah menjadi hutan yang hanya memiliki satu lapisan tajuk pohon. Secara horizontal, hutan tanaman merupakan hamparan yang homogen. Penyederhanaan struktur dan komposisi jenis tumbuhan penyusun hutan secara drastis berdampak pula pada keragaman jenis hewan. Penghilangan sebagian besar jenis pohon menjadi satu jenis tanaman otomatis mengurangi keragaman makanan sehingga jenis hewan yang ada juga berkurang drastis. Demikian juga, berkurangnya stratifikasi vertikal dan heterogenitas horizontal menyebabkan menurunnya kesempatan spesialisasi ruang sehingga mengurangi keragaman jenis hewan yang mampu hidup bersama dalam satu komunitas. Dampak konversi hutan alam menjadi hutan tanaman bukan saja mengurangi keragaman jenis tumbuhan secara drastis, tetapi seringkali juga menghilangkan jenis lokal dan menggantinya dengan jenis asing. Di Riau, misalnya, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) menanam Acacia mangium, Acacia crassicarpa dan Eucalyptus spp yang bukan jenis asli Sumatera (Siregar dkk, 2088). Di Sumatera Selatan jenis Acacia mangium ditanam dalam skala luas oleh PT Musi Hutan Persada (MHP). Acacia mangium yang ditanam di Sumatera adalah jenis tumbuhan yang berasal dari Quensland, Australia yang juga tumbuh alami di bagian timur Indonesia, yaitu Papua, dan Maluku. Jenis ini kemudian diintroduksi ke Malaysia pada tahun 1966, selanjutnya ke Sumatera Selatan di tahun 1979 (Arisman dan Hardiyanto, 2006). Di sebagian besar provinsi Sumatera, hutan alam dataran rendah yang kaya jenis sudah banyak yang dikonversi menjadi hutan tanaman dan kebun sawit. Dari sudut pandang konservasi, masuknya spesies eksotik dapat menimbulkan beberapa masalah, antara lain menjadi invasive, mengalahkan spesies asli, atau membawa penyakit yang dapat menyerang jenis-jenis tumbuhan asli (Primack, 2006). Menurut the World's Conservation Union (IUCN, 2013), Acacia mangium termasuk invasive species yang menjadi ancaman terhadap spesies lokal. Salah satu kasus yang sangat dramatis terjadi pada masuknya tanaman Chestnut dari China ke Amerika Serikat yang membawa jamur yang kemudian menyerang dan hampir memusnahkan chestnut Amerika (Castanea dentata). Pada abad 19 sampai awal Abad 20, pohon Castanea dentata merupakan pohon dominan di hutan gugur daun di Amerika Serikat bagian timur. Hampir 40% pohon penyusun kanopi adalah pohon chestnut. Kemudian ada pedagang tanaman yang membawa pohon chestnut dari China, Castanea mollissima, ke Amerika. Chestnut China mengandung jamur Endhotia parasitica, tetapi di negeri asalnya jamur parasit itu tidak mematikan chesnut karena sudah terjadi keseimbangan dalam kurun waktu yang lama. Di Amerika Serikat jamur itu menyerang chestnut Amerika yang belum beradaptasi dengan jamur itu. Dalam waktu empat puluh tahun, chestnut Amerika yang sebelumnya merupakan pohon dominan di hutan Amerika Timur praktis punah, tinggal beberapa pohon yang beruntung tidak terserang oleh jamur tersebut (Krebs, 1978). 2. Kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit Di dalam ekosistem alami berupa hutan alam yang kaya jenis tidak dikenal organisme yang dikategorikan sebagai hama atau penyakit. Setiap organisme merupakan anggota komunitas biologi yang memiliki relungnya masing-masing. Meskipun tumbuhan di hutan alam juga mendapat serangan dari hewan, jamur, bakteri dan virus tetapi serangan tersebut terbatas

205

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang dan jarang memusnahkan tumbuhan. Populasi setiap jenis organisme di ekosistem alam dikontrol oleh musuh alami dan keterbatasan makanannya sehingga sulit untuk meledak. Penanaman satu jenis tanaman dalam skala luas menyediakan makanan yang berlimpah bagi organisme pemakan tanaman tersebut sehingga populasi mereka bisa tumbuh dengan cepat dan serangannya menjadi sangat merugikan pemilik kebun, sehingga organisme tersebut disebut hama dan penyakit. Faktor lain yang menyebabkan meledaknya populasi hama dan tersebut adalah berkurangnya musuh alami akibat penyederhanaan komposisi jenis dan struktur di hutan tanaman. Salah satu penyakit utama yang menyerang hutan tanaman Acacia mangium adalah busuk hati (heart rot). Jamur penyebab busuk hati di Acacia mangium termasuk dalam hymenomycetes, antara lain Phellinus pachyphloeus dan Trametes palustris (di India), P. noxius, Tinctoporellus epimiltinus dan Rigidoporus hypobrunneus (Malaysia dan Kalimantan Timur), Oxyporus cf. latemarginatus di Malaysia (Old et al., 2000). Jamur parasit busuk hati memasuki cabang melalui luka, misalnya bekas pemangkasan. Jamur tersebut menyerang selulosa dan lignin, menyebabkan pembusukan berwarna putih khas. Daun akasia atau tepatnya phyllode sering menunjukkan bintik-bintik, bercak atau necrosis pada ujungnya. Patogen penyebabnya antara lain spesies dari genus Cercospora, Colletotrichum, Cylindrocladium, Pestalotiopsis, Phomopsis, Phaeotrichoconis, Phyllosticta dan Pseudocercospora. Dalam beberapa kasus sebagian besar tajuk dapat terserang, meskipun dampaknya pada pertumbuhan belum jelas. Daun akasia di persemaian sering diserang penyakit tepung (powdery mildew) yang disebabkan oleh spesies dari genus Odium. Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan serius bahkan di Thailand dapat menyebabkan kematian hingga 75% di Thailand (Tanaka and Chalermpongse 1990 dalam Old et al., 2000). Penyakit yang menyerang Acacia mangium berikutnya adalah busuk akar (root rot). Jamur penyebabnya termasuk basidiomycetes, antara lain Ganoderma spp., Phellinus noxius dan Rigidoporus lignosus (Old et al., 2000). Daun muda dari pohon yang terserang berwarna hijau pucat, berukuran kecil dan jarang. Busuk akar ini dapat menghambat pertumbuhan. Penyakit busuk akar ini juga menyerang tanaman Azadirachta excelsa, Tectona grandis dan Khaya ivorensis di seluruh semananjung Malaysia (Porter et al., 2006). Di Kalimantan Selatan dan Jambi penyakit busuk akar juga menyerang tanaman eksotik Gmelina arborea (Anggreni dan Suharti 1997 dalam Nair and Sumardi, 2000). Di hutan rakyat Wonogiri, tanaman jati terserang oleh penyakit layu yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas tectonae (Ralstonia solanacearum) (Ismail dan Anggraini, 2008). Jenis-jenis tanaman monokultur lainnya juga mendapat serangan berbagai macam penyakit. Selain penyakit, hama juga menyerang hutan tanaman. Hutan tanaman Acacia mangium diserang hama, antara lain belalang dan ulat kantong, rayap dan penggerek. Tanaman jati di Jawa mendapat serangan penggerek daun (defoliator), batang dan cabang. Hutan tanaman mahoni diserang penggerek pucuk Hypsipyla robusta, dan tanaman sengon diserang penggerek batang Xystrocera festiva (Nair and Sumardi, 2000). Hama dan penyakit asli dapat menyerang tanaman jenis eksotik. Ohmart and Edwards (1991) dalam FAO (2001) melaporkan bahwa 96 jenis serangga asli menyerang berbagi jenis Eucalyptus di China, 94 jenis di India, 223 jenis di Brazil, 31 jenis di New Zealand, 105 jenis di Papua Nugini dan 62 jenis serangga di Sumatera. Tetapi ancaman yang lebih serius pada hutan tanaman eksotik adalah serangan dari hama dan penyakit yang juga eksotik, karena hama dan penyakit eksotik ini tidak memiliki musuh alami di tempatnya yang baru. Menurut FAO (2001) praktek pengelolaan hutan tanaman eksotik yang menyebabkan kerawanan terhadap serangan hama dan penyakit disebabkan oleh: (1) kegagalan untuk

206

Aspek Konservasi dan Lainnya memperhatikan kecocokan antara spesies dan lokasi, (2) penggunaan bibit dari sumber genetis yang sempit, (3). Kegagalan untuk mempertahankan kerapatan dan daya hidup tanaman yang optimum melalui penjarangan, (4) ketergantungan pada satu atau 2 spesies saja dalam satu program penanaman yang menyebabkan tersedianya jumlah inang yang tidak terbatas bagi organisme yang potensial menjadi hama dan penyakit. Cara paling praktis yang biasa digunakan untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit adalah penggunaaan pestisida. Namun penggunaan pestisida dengan spektrum luas telah menyebabkan banyak masalah antara lain munculnya resistensi hama, terganggunya kesehatan pekebun, matinya organisme lain yang di luar target, munculnya hama sekunder, dan tercemarnya lingkungan (Horne and Page, 2008). Tidak semua hama mati jika terkena pestisida, dan mereka cepat berkembang biak kembali sehingga menciptakan serangan balik. Meningkatnya resistensi ini menyebabkan petani meningkatkan dosis pestisida atau menggantinya dengan racun yang lebih kuat. Tetapi ini tidak efektif dalam waktu lama, karena akan muncul lagi resistensi, sehingga kembali diberikan dosis yang lebih tinggi atau racun yang lebih kuat. Lingkaran setan ini disebut pesticide treadmill. Penggunaan pestisida yang sembarangan juga memunculkan hama sekunder. Hama yang sebelumnya tidak penting karena kemelimpahannya rendah dapat berkembang biak dengan pesat karena musuh alaminya mati terkena pestisida sehingga hama ini menjadi hama penting. Alternatif lain yang tidak mencemari lingkungan adalah pengendalian biologi menggunakan predator dan patogen untuk mengontrol hama dan penyakit. Pengendalian biologi ini merupakan bagian pengelolaan (pengendalian) hama terpadu. 3. Kemungkinan menurunnya ketersediaan hara tanah Dua pertiga tanah di tropis terdiri atas tanah Oxisol dan Ultisol dengan liat yang mengandung sedikit mineral terlarut, karena mineral terlarut banyak yang tercuci oleh hujan deras. Ketidaksuburan tanah ini menyebabkan penurunan produksi tanaman pertanian setelah beberapa tahun hutan dibuka dan dikonversi menjadi lahan pertanian (Terborgh, 1992). Studi Mackensen (2000) di Kalimantan Timur menunjukan bahwa lebih dari 90% lahan yang digunakan untuk membangun hutan tanaman merupakan tanah yang mempunyai pasokan unsur hara yang rendah sampai sedang (alisol, acrisol, ferralsol dan arenosol). Sebagian besar biomassa di hutan tanaman dipanen dan dibawa keluar dari lahan sehingga dalam jangka panjang dikhawatirkan terjadi penurunan ketersediaan hara di tanah. Besarnya unsur hara yang keluar dari lahan tergantung pada besarnya panen, pencucian tanah dan pembakaran. Menurut Mackensen (2000) kehilangan unsur hara akibat manajemen berkisar antara 80-170% untuk N, 80-250% untuk P, 50-280% untuk K, 30-190 % untuk Ca dan 70-450% untuk Mg. Mackensen memperkirakan bahwa pada tanah yang miskin unsur hara seperti contohnya alisol/acrisol atau ferralsol, jika volume panen adalah 200 m3/ha, maka 18- 30% dari pasokan Ca dan K yang tersedia hilang pada tegakan Acacia mangium setelah satu rotasi. Jika diasumsikan produktivitas adalah linear, maka pasokan elemen yang ada akan habis setelah 5 rotasi. Namun hasil penelitian di Riau dan Sumatera Selatan menunjukkan bahwa penurunan kandungan hara tanah sampai tahun ke lima setelah penanaman tidak terlalu besar. Di hutan tanaman Acacia mangium di PT RAPP, Riau, kandungan K dan Mg di tanah, pada tegakan yang seresah dan limbah batang dan dahannya diambil, menurun drastis dari tahun pertama sampai ke tiga, tetapi kandungan Ca sedikit meningkat. Pada tahun ke 5, kandungan K, Mg, Ca, kapasitas pertukaran kation dan P menurun. Kandungan C dan N, dan pH tanah meningkat pada tahun ke 5 (Siregar dkk, 2008). Di hutan tanaman Acacia mangium PT MHP Sumatera Selatan, pada lahan yang seresah dan limbah batang dan dahannya diambil, kandungan N tanah

207

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang menurun pada tahun pertama, kemudian naik kembali sampai tahun ke 5, meskipun tidak sampai setinggi di awal penanaman. Kandungan C tanah menurun pada tahun kedua, kemudian meningkat lagi sampai tahun ke 5. Kandungan P tanah menurun terus sampai tahun ke 5. Kandungan K dan Ca pada tahun ke lima lebih rendah daripada tahun pertama, sedangkan kandungan Mg mengalami peningkatan di lapisan 1-10 cm, tetapi relatif tetap pada kedalaman 10-20 cm (Hardiyanto dan Wicaksono, 2008). Kekhawatiran akan menurunnya produksi hutan tanaman pada rotasi kedua belum terbukti di Riau dan Sumatera selatan. Siregar dkk (2008) melaporkan bahwa produksi hutan tanaman Acaca mangium di RAPP Riau pada rotasi kedua tidak mengalami penurunan dibandingkan produksi di rotasi pertama. Di Sumatera Selatan, produksi Acacia mangium di rotasi kedua justru lebih tinggi dibandingkan dengan rotasi pertama setelah penggunaan bibit tanaman yang lebih baik, pengaturan jarak tanam yang optimum, pengembalian seresah dan limbah kayu, pengendalian gulma yang efektif, pemupukan pada waktu penanaman (Hardiyanto dan Wicaksono, 2008).

IV. PENERAPAN PRINSIP EKOLOGI DALAM HUTAN TANAMAN

1. Meningkatkan kompleksitas struktur dan keragaman jenis Kompleksitas struktur hutan dan keragaman jenis penyusun hutan dapat dilakukan dengan mempertahankan jalur-jalur (sabuk) hutan alam yang memiliki banyak fungsi. Sesuai peraturan, sempadan sungai 100 m di masing-masing sisi sungai besar atau danau, 50 m di sungai kecil dikategorikan sebagai kawasan lindung, sehingga ekosistem di sempadan sungai tersebut harus dibiarkan tetap alami. Jalur hutan alam ini perlu ditambah sehingga jalur-jalur hutan alam terhubung satu sama lain. Selain itu, perlu dibuat jalur hutan alam yang menyambung dengan blok hutan alam yang luas, berupa hutan produksi, hutan lindung atau hutan konservasi. Jalur hutan yang cukup lebar dapat menjadi habitat bagi banyak hewan kecuali karnovor berukuran besar, seperti harimau. Jalur hutan alam ini juga berfungsi menjadi koridor yang dapat digunakan bagi hewan untuk berpindah-pindah sehingga memperluas ruang gerak. Dengan adanya koridor ini dampak negative fragmentasi habitat dapat dikurangi. 2. Pengelolaan hama terpadu Pengelolaan hama terpadu adalah pengintegrasian berbagai kebijakan dan metoda pengendalian hama yang didasarkan pada prinsip ekologi untuk mengendalikan populasi organisme penyerang tanaman sehingga levelnya tidak sampai merugikan. Di dalam klasifikasi organisme menurut ekologi tidak dikenal kategori hama dan penyakit tanaman. Interaksi antar organisme di ekosistem hutan hujan tropis yang kaya jenis dalam jangka panjang akan menuju pada keseimbangan dinamis sehingga dapat mencegah terjadinya ledakan populasi salah satu jenis organisme, karena ada mekanisme pengaturan populasi baik oleh persaingan, predasi dan parasitisme. Meskipun setiap tumbuhan di hutan alam terserang herbivor atau parasit, tetapi serangan tersebut tidak mematikan dalam skala luas. Sebagian besar biomassa tumbuhan di hutan alam hujan tropis masih relatif utuh, tidak habis oleh serangan herbivore maupun parasit (Desmukh, 1986). Oleh karena itu, meningkatkan kompleksitas struktur dan keragaman jenis penyusun hutan penting dilakukan untuk mengembalikan proses check and balance antar organisme di hutan tanaman agar tidak terjadi ledakan populasi hama dan penyakit tanaman. Suatu organisme dapat menjadi hama atau penyakit tanaman jika kepadatan populasinya terlalu tinggi, maka dalam pengendalian hama terpadu ini targetnya bukan memberantas habis organisme penyerang tanaman, tetapi menjaga populasi mereka tetap

208

Aspek Konservasi dan Lainnya pada level yang tidak membahayakan. Tujuannya adalah mewujudkan hutan tanaman yang sehat. Dari sudut pandang ekonomi, yang disebut hutan sehat adalah hutan yang populasi hama dan penyakitnya cukup rendah sehingga tidak mengganggu tujuan manajemen. Dari sudut pandang ekologi, hutan sehat adalah suatu ekosistem hutan yang sepenuhnya fungsional yang semua komponennya saling berinteraksi saling menguntungkan (FAO, 2001). Dengan konsep hutan sehat maka fokus pengelola bukan pada hama dan penyakit, melainkan pada hutannya sendiri. Hama dan penyakit bukan dianggap sebagai sumber masalah tetapi sebagai gejala. Sumber masalahnya antara lain kepadatan tanaman yang terlalu tinggi, umur tanaman sudah melampui masak tebang, ketidakcocokan antara tapak (site) dan spesies, keragaman jenis yang sangat rendah (FAO, 2001). Untuk mengatasi hama dan penyakit yang dilakukan adalah mengatasi sumbernya, antara lain: (1) mengatur kerapatan tanaman melalui penjarangan agar tanaman dapat tumbuh sehat dan tidak mudah terserang penyakit, (2) penjarangan untuk menghilangkan individu tanaman yang terserang hama atau penyakit (3) penentuan umur tebangan yang tepat, (4) pemilihan jenis atau varietas yang sesuai dengan jenis tanah dan iklim, (5) pemilihan jenis tanaman yang tahan hama dan penyakit, (6) penggunaan pestisida secara hati-hati, (7) penggunaan organisme (biasanya predator) untuk mengurangi populasi hama atau penyakit. Namun penggunaan organisme pengendali biologis yang biasanya diintroduksi dari luar daerah harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena populasi organisme tersebut bisa tumbuh tak terkendali sehingga menjadi ancaman bagi organisme local. Selain gangguan hama dan penyakit, hutan tanaman juga dapat terganggu oleh gulma, atau tumbuhan pengganggu, terutama pada awal pertumbuhan. Gulma ini sulit diberantas karena memiliki sifat-sifat yang memungkinnya mengkoloni tempat-tempat terbuka. Dalam ekologi, tumbuhan gulma tergolong tumbuhan dengan strategi ruderal (Grime, 1979) atau tumbuhan pionir. Ciri-ciri tumbuhan ini antara lain cepat tumbuh, mudah menyebar, propagul banyak sekali, mampu tumbuh di daerah yang terbuka. Ada beberapa cara pengendalian gulma yaitu mekanik, kultural, biologis dan kimiawi. Pengendalian secara mekanis meliputi pemberantasan gulma dengan tangan (manual), dengan mesin dan pembakaran. Pengendalian secara kultural dilakukan dengan rotasi tanaman, pemberian seresah, pengaturan pola tanam, waktu penaburan benih dan kepadatan tanaman. Pengendalian secara biologis meliputi penggunaan musuh alami, serangga, herbivora dan patogen. Secara kimia dengan herbisida. Integrated weed management adalah suatu integrasi dari cara yang efektif mengurangi gangguan gulma sampai di bawah tingkat yang merugikan secara ekonomi, tetapi aman terhadap lingkungan dan diterima secara sosial. 3. Pemulihan siklus hara Untuk mempertahankan kesuburan tanah secara alami, sebagian biomassa pohon yang dipanen perlu dikembalikan lagi ke tanah. Limbah kayu dan seresah yang dikembalikan ke tanah juga berfungsi untuk melindungi tanah terbuka dari pukulan air hujan dan aliran permukaan tanah yang dapat menyebabkan erosi tanah. Praktek pengembalian biomassa ke atas tanah ini merupakan bagian dari conservation agriculture (FAO, 2010). Penelitian di hutan tanaman Acacia mangium di PT. MHP Sumatera Selatan oleh Hardiyanto and Wicaksono (2008) menunjukkan bahwa tanah yang diberi limbah batang/dahan dan seresah memiliki kandungan hara lebih tinggi (peningkatan C, N, Ca dan Mg), menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan volume kayu yang lebih tinggi daripada tanah yang dibersihkan dari seresah dan potongan kayu. Potongan batang/dahan dan seresah A mangium cepat terurai, sehingga dalam setahun dapat melepaskan 533-557 kg N, 7,5-12,3 kg P, 127-148 kg K, 272-275 kg Ca dan 41-46 kg Mg per hektar tanah. Pengulitan kayu di lahan dan

209

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang pengembalian kulit ke tanah dapat meningkatkan cadangan hara tanah sebesar 1390-1870 kg N, 1,5 -1,8 kg P, 31-36 kg K, dan 164-175 kg Ca per hektar. Dalam penelitian Siregar dkk (2008) di hutan tanaman Acacia mangium di PT. RAPP Riau menunjukkan bahwa pengembalian seresah dan potongan batang/dahan ke tanah sehabis panen menghasilkan pohon dengan diameter yang lebih besar, tetapi tidak meningkatkan produksi hutan karena persen tumbuhnya lebih rendah akibat penyakit busuk akar. Di Brazil, pengembalian potongan kayu, seresah dan kulit pohon meningkatkan produktivitas hutan tanaman Eucalyptus grandis (Goncalves et al., 2008). Secara umum, percobaan pengembalian potongan batang, kulit dan seresah di hutan tanaman di tropis dan subtropics menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik pada semua jenis tanaman (Nambiar and Kallio, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Arisman, H and EB. Hardiyanto. 2006. Acacia mangium-a historical perspective on its cultivation. Halaman 11-15 dalam Potter, K., Rimbawanto, A. and Beadle, C., ed., 2006. Heart rot and root rot in tropical Acacia plantations. Proceedings of a workshop held in Yogyakarta, Indonesia, 7–9 February 2006. Canberra, ACIAR Proceedings No. 124. Desmukh, I. 1986. Ecology and Tropical Ecology. Blacwell Scientific Publications, Inc. Palo Alto, CA. FAO (2001). Protecting Plantations from Pests and Diseases. Report based on the work of W.M. Ciesla. Forest Plantation Thematic Papers, Working Paper 10. Forest Resources Development Service, Forest Resources Division. FAO, Rome (unpublished). FAO. 2010. Conservation Agriculture: http://www.fao.org/ag/ca/1a.html. Diunduh 10 Oktober 2010. Goncalves, J.L.M., M.C.P. Wichert, J.L. Gava and M.I.P. Serrano. 2008. Soil fertility and growth of Eucalyptus grandis in Brazil under different residue management practices. Halaman 51-62 dalam Nambiar, E.K.S. (ed.) Site management and productivity in tropical plantation forests. Prosiding Workshop di Brazil, 22–26 November 2004 dan di Indonesia, 6–9 November 2006. CIFOR, Bogor, Indonesia. Grime, J. P. 1979. Plant Strategies and Vegetation Prosesses. John Wiley and Sons. New York. Hardiyanto, E.B. dan Wicaksono, A. 2008 Interrotation site management, stand growth and soil properties in Acacia mangium plantations in South Sumatra, Indonesia. Halaman 107- 122 dalam: Nambiar,E.K.S. (ed.) Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forests. Prosiding Workshop di Brazil, 22–26 November 2004 dan di Indonesia, 6–9 November 2006. CIFOR, Bogor, Indonesia. Horne, P. and J. Page. 2008. Integrated Pest Management for crops and pastures: Land Links. Collingwood. Victoria. Ismail, B. dan I. Anggraeni. 2008. Identifikasi penyakit jati (Tectona grandis) dan akasia (Acacia auriculiformis) di hutan rakyat Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 2 No 1: 1-12. IUCN. 2013. Global Invasive Species Database. http://www.issg.org/ database/ species/ ecology.asp? si=198&fr=1&sts=sss. Diunduh 26 September 2013.

210

Aspek Konservasi dan Lainnya

Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Krebs, C. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. 2nd edition. Harper and Row. New York. Mackensen, J. 2000. Penelitian Hutan Tropis, Kajian Suplai Hara Lestari pada Hutan Tanaman Cepat Tumbuh. Implikasi Ekologi dan Ekonomi di Kalimantan Timur, Indonesia. Badan Kerjasama Teknis Jerman-Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn, Jerman. Nair, K.S.S. dan Sumardi 2000 Insect pests and diseases of major plantation species. Dalam Nair, K.S.S. (ed.) Insect Pests and Diseases in Indonesian Forests: an assessment of the major threats, research efforts and literature, 15–38. CIFOR, Bogor, Indonesia. Nambiar, E.K.S. and M.H. Kallio. 2008. Increasing and Sustaining Productivity in Subtropical and Tropical Plantation forests: Making a difference through research partnership. Halaman 205-227 dalam Nambiar, E.K.S. (ed.) Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forests. Prosiding Workshop di Brazil, 22–26 November 2004 dan di Indonesia, 6–9 November 2006. CIFOR, Bogor, Indonesia. Old, K.M., Lee, S.S., Sharma, J.K. dan Yuan, Z.Q. 2000 A Manual of Diseases of TropicalAcacias in Australia, South-east Asia and India. CIFOR, Bogor, Indonesia. Potter, K., Rimbawanto, A. and Beadle, C., ed., 2006. Heart rot and root rot in tropical Acaciaplantations. Proceedings of a workshop held in Yogyakarta, Indonesia, 7–9 February 2006. Canberra, ACIAR Proceedings No. 124. Primack, R.B. 2006. Essentials of Conservation Biology. Fourth edition. Sinauer Associates, Inc. Publishers. Sunderland. Massachusetts. Siregar, S.T.H., Nurwahyudi dan Mulawarman, K. 2008 Effects of inter-rotation management on site productivity of Acacia mangium in Riau Province, Sumatera, Indonesia. Halaman 93-106 Dalam Nambiar, E.K.S. (ed.) Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forests. Prosiding Workshop di Brasil, November 2004 dan Indonesia, November 2006. CIFOR, Bogor, Indonesia Terborgh, J. 1992. Diversity and the Tropical Rain Forest. Scientific American Library. New York. Whitmore, T.C. 1984. Tropical Forest of the Far East. Clarendon Press. Oxford.

211

Aspek Konservasi dan Lainnya

CADANGAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA HUTAN RAKYAT JENIS BAMBANG LANANG

Dody Prakosa Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Kemampuan dalam menyerap karbon dari atmosfir dimiliki oleh hutan dengan vegetasinya yang beragam. Para pihak yang telah meratifikasi konvensi perubahan iklim menyepakati bahwa peran hutan dalam menyimpan dan mengemisi karbon merupakan salah satu aspek yang dimungkinkan bisa diakomodir dalam perdagangan karbon. Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang giat memperjuangkan mekanisme perdagangan karbon melalui mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Hal ini dilakukan setelah adanya hasil COP-13 (Conference of Parties-13) di Bali. Peraturan Menteri Kehutanan No. 30, tahun 2009, telah memberi kesempatan kepada pengelola hutan untuk berpartisipasi dalam kegiatan REDD. Hutan di Sumatera Selatan pada umumnya berupa hutan alam dan hutan tanaman termasuk hutan rakyat yang merupakan tanaman monokultur atau campuran antara komoditi kehutanan dan pertanian. Pengukuran biomassa pada hutan rakyat jenis bambang lanang perlu dilakukan untuk mengantisipasi adanya mekanisme distribusi pendanaan dan pembayaran REDD+ dan voluntary market. Permasalahan yang timbul disini adalah bagaimana mengetahui dan mengukur cadangan biomassa dan karbon yang sesuai dengan peraturan internasional yaitu sesuai dengan aturan dari IPCC (International Panel on Climate Change) tahun 2006. Untuk mengikuti metode tersebut diperlukan pengukuran sampel plot di lapangan. Sampel plot dibuat dengan bentuk persegi panjang ukuran 100x20 m atau dengan luas 2000 m2, yang akan digunakan untuk menghitung biomassa dan karbon di atas permukaan tanah (above ground biomass) pada hutan rakyat bambang lanang yang ditanam secara monokultur. Analisis akan dilakukan untuk menghitung jumlah simpanan biomassa dan karbon di atas permukaan tanah yang terdiri dari pohon, tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan kayu mati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cadangan karbon tegakan hutan rakyat jenis bambang lanang monokultur (tanpa tanaman kopi) pada umur 18 tahun sebesar 85,27 ton/ha. Persentase cadangan karbon dari mulai yang terbesar sampai dengan yang terkecil berturut-turut yaitu: pohon bambang lanang (72,86%), pohon jenis lain (15,39), serasah (6,91), tumbuhan bawah (4,40%) dan nekromassa (0,43%). Kata kunci: hutan rakyat, di atas permukaan tanah, biomassa

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Isu perubahan iklim telah mengemuka pada akhir-akhir ini dan banyak menimbulkan kontroversi. Perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka panjang (50 – 100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca (Murdiyarso, 2003). GRK (Gas Rumah Kaca) merupakan gas-gas yang dapat menyerap panas dan terdapat di atmosfir. Menurut Murdiyarso (2003) GRK yang terdapat secara alami di atmosfir adalah

213

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan uap air (H2O). CO2 adalah jenis GRK yang akumulasinya meningkat pada beberapa dekade terakhir ini. Emisi CO2 meningkat lebih dari dua kali lipat dari 1400 juta ton/tahun pada dekade terdahulu menjadi 2900 juta ton/tahun pada dekade terakhir ini. Gas CO2 sudah terbukti memberi kontribusi signifikan terhadap pemanasan global (Retnowati 1988; Schlamadinger dan Marland 2000) dalam Tampubolon dkk (2001). Pada kurun waktu 100 tahun yang lalu, peningkatan suhu bumi O sebesar 0,5 C telah dipengaruhi oleh peningkatan CO2 di atmosfir (Murdiyarso, 2003). Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi yang berkaitan dengan kehutanan termasuk Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC/United Nations Framework Convention on Climate Change), yang diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 1994. Indonesia juga merupakan salah satu penanda tangan Protokol Kyoto (KP) yang diadopsi oleh negara para pihak UNFCCC pada tahun 1997 (Purnama dan Masripatin, 2001). Lebih lanjut Purnama dan Masripatin (2001) menjelaskan bahwa di bawah konvensi tersebut, common but differentiated responsibilities, setiap negara para pihak UNFCCC termasuk Indonesia memiliki kewajiban untuk memberikan kontribusinya terhadap upaya pencegahan dampak negatif perubahan iklim. Sedangkan Protokol Kyoto menetapkan target kuantitatif penurunan tingkat emisi gas rumah kaca sebesar 5% dari level tahun 1990 bagi negara-negara yang tergabung dalam Annex I (negara-negara industri) pada periode komitmen pertama (2008-2012). Dalam konteks mitigasi perubahan iklim, kontribusi sektor kehutanan antara lain (Trexler et al., 2000 dalam Purnama dan Masripatin, 2001; Boer, 2001): 1) Perlindungan carbon reservoirs dari berbagai aktivitas yang menimbulkan emisi carbon ke atmosfir sebagai akibat dari deforestasi, degradasi lahan dan hutan dan aktivitas manusia lainnya; 2) Peningkatan kapasitas penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan, misalnya melalui aforestasi, reforestasi dan kegiatan manajemen lainnya seperti Reduce Impact Logging (RIL), enrichment planting. Hutan tanaman merupakan salah satu bentuk reforestasi terhadap kawasan hutan produksi yang terdegradasi. Oleh karena itu pembangunan hutan tanaman merupakan penyerap karbon yang potensial. Hutan tanaman memiliki kemampuan dalam menyerap karbon dari atmosfir, yang tergantung pada tingkat perkembangan dan typenya. Menurut Kyrklund (1990) dalam Tampubolon et al., 2001, tingkat penyerapan CO2 sebanding dengan tingkat pertumbuhan tanaman. Pada tanaman muda tingkat penjerapan karbon sangat tinggi sedang pada tanaman dewasa pengikatan dan pelepasan CO2 relatif seimbang. Hutan tanaman yang diarahkan untuk menghasilkan kayu dan serat akan mengikat CO2 dalam jangka waktu relatif lebih lama. Hasil kajian Tomich et al., 1998 dalam Hairiah dan Widianto (2007) mengungkapkan bahwa cadangan karbon pada hutan alami sekitar 497 ton/ha. Alih guna lahan hutan menjadi lahan monokultur akan mengakibatkan kehilangan karbon hingga 300-350 ton/ha. Tingkat kehilangan karbon dapat diperkecil apabila lahan hutan dikonversi menjadi sistem agroforestri. Dengan kata lain agroforestri pada suatu bentang lahan mampu menyerap karbon lebih banyak dibandingkan dengan pola monokultur. Salah satu dampak yang dapat dirasakan akibat terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya intensitas curah hujan. Kondisi tersebut memperbesar peluang untuk terjadi banjir dan longsor di musim penghujan (Hairiah, 2008). Sementara itu agroforestri dapat menjembatani strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dalam konteks tersebut agroforestri dapat berperan dalam mengurangi masalah yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

214

Aspek Konservasi dan Lainnya

Agroforestri diyakini dapat mencegah terjadinya longsor dan mengurangi limpasan permukaan (Hairiah dan Widianto, 2007). Permasalahan yang timbul yaitu belum adanya persiapan untuk memenuhi persyaratan dalam kegiatan REDD. Persyaratan itu antara lain, harus tersedianya data monitoring dan pelaporan perubahan simpanan dan emisi karbon suatu bentang lahan pada level tertentu, baik itu level nasional, provinsi maupun kabupaten. Hutan rakyat mempunyai peluang untuk ikut dalam partisipasi kegiatan REDD. Di Sumatera Selatan, hutan rakyat dengan jenis pohon bambang lanang mempunyai peluang yang cukup besar, meskipun jenis ini baru dikembangkan di 3 kabupaten/kota yaitu: Kabupaten Lahat, Empat lawang dan Kota Pagar Alam. Untuk memenuhi persyaratan dalam kegiatan REDD+, maka diperlukan informasi mengenai kandungan biomassa atau karbon pada jenis tutupan hutan rakyat jenis bambang lanang ini. Penelitian mempunyai tujuan untuk menghitung dan mengetahui cadangan biomassa dan karbon pada tipe penutupan hutan rakyat bambang lanang monokultur. Penutupan lahan dengan tanaman hutan rakyat jenis bambang lanang termasuk tipe penutupan lahan kering, sehingga jenis ini banyak ditemukan pada ketinggian di atas 400 m dpl. Cadangan biomassa dan karbon dihitung dengan menghitung biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass). Biomassa dihitung dengan cara mengukur berat vegetasi pohon, tumbuhan bawah, serasah, nekromasa (pohon mati dan kayu mati). Untuk mengukur besarnya berat biomassa dan karbon pohon, tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa dilakukan dengan membuat plot ukuran 100 meter x 20 meter (2000 m2).

2. Tujuan Penelitian Dari permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cadangan biomassa dan karbon di atas permukaan tanah (vegetasi pohon, tumbuhan bawah, nekromasa (pohon mati dan kayu mati), dan serasah pada penutupan lahan hutan rakyat jenis bambang lanang tanpa campuran tanaman kopi. Penelitian ini merupakan implementasi sistem monitoring kondisi hutan rakyat bambang lanang secara menyeluruh, mulai dari kondisi vegetasi pohon, tumbuhan bawah, nekromasa, dan serasah. Hasil ini dapat digunakan untuk memonitor kondisi hutan dan lahan, biodiversitas, serta dapat juga digunakan untuk menentukan tindakan rehabilitasi yang tepat bagi hutan yang terdegradasi. Selain itu juga dapat digunakan untuk memenuhi persyaratan dalam partisipasi kegiatan REDD+.

II. METODE PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada daerah dimana jenis bambang lanang ini tumbuh secara alami dan juga tumbuh dari hasil budidaya (penanaman) yang sering disebut hutan rakyat jenis bambang lanang. Lokasi tersebut adalah di Desa Tebat Gunung, Kecamatan Lubuk Buntak, Kotamadya Pagar Alam, provinsi Sumatera Selatan.

2. Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang diperlukan adalah sebagai berikut:  Bahan yang digunakan antara lain larutan kimia, kantong plastik besar dan kecil, dll.

215

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

 Peralatan yang diperlukan berupa: perlengkapan survei, alat-alat tulis, GPS, roll meter 50 atau 100 m, gun tacker, plastik PVC warna kuning, gunting stek, kompas, kamera, timbangan 100 kg dan timbangan digital, tali nilon dll. 3. Metode Penghitungan biomassa dan karbon pada penutupan lahan hutan rakyat jenis bambang lanang tanpa campuran tanaman kopi, dilakukan dengan pengambilan sampel ukuran 20 m x 100 m (2000 m2). Pertama dilakukan pengukuran pohon bambang lanang dan juga pohon jenis lainnya (diameter dan tinggi), kemudian dilakukan pengukuran pohon mati dan kayu mati (nekromasa). Tahap berikutnya pengukuran dilakukan pada tumbuhan bawah dan serasah pada plot seluas 0,25 m2/plot, sebanyak 6 plot tetapi masih dalam luasan plot yang 2000 m2 (Gambar 1). Berdasar persamaan allometrik dan sampel yang diambil sebelumnya, maka dapat dihitung total biomassa dan karbon pada tutupan hutan rakyat jenis bambang lanang tanpa tanaman kopi di bawahnya. Hal ini dapat dilakukan pada kurun waktu yang berbeda 3 th, 5 th atau bahkan 10 tahunan, sehingga dapat diketahui perubahan kandungan biomassanya, apakah terjadi penambahan (sink) atau pengurangan (emision). Berdasarkan hasil pengukuran lapangan dan sampel tanaman akan digunakan untuk menentukan jumlah berat biomassa dan karbon pada satuan luas dan umur tertentu. Sampel tanaman di bawa ke laboratorium tanah untuk di ukur berat biomassanya (berat kering). Cadangan karbon dihitung dengan mengalikan berat biomassa dan angka konversi karbon 0,47.

100 m

20 m

Gambar 1. Skema plot sampel untuk pengukuran biomassa dan karbon pada lahan hutan rakyat jenis bambang lanang tanpa tanaman kopi. (Hairiah dan Widianto, 2007)

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran biomassa dan karbon pada tutupan lahan hutan rakyat jenis bambang lanang monokultur (tanpa campuran tanaman kopi) umur 18 tahun disajikan pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 5. 1. Cadangan karbon pada pohon bambang lanang dan jenis pohon lain Bambang lanang yang ditanam tanpa campuran tanaman kopi dan kelihatan seperti monokultur, tetapi pada kenyataannya dicampur juga dengan jenis pohon yang lain seperti jati, randu, cengkeh, gliricidae dan pulai. Dari jenis-jenis pohon yang ada, pohon jenis lain

216

Aspek Konservasi dan Lainnya mempunyai persentase jumlah pohon sebesar 37,7% dari seluruh tanaman dan dari jenis lain tersebut yang paling banyak adalah tanaman jati yaitu sebanyak 26% dari jumlah seluruh tanaman. Dengan demikian lebih dari seperempat jumlah pohon berupa tanaman jati, dengan demikian hutan rakyat bambang lanang ini secara ekologis menjadi lebih tahan terhadap serangan hama-penyakit, karena bukan ditanam secara monokultur, tetapi campuran dari berbagai jenis ( 5 jenis pohon). Cadangan karbon pohon (jenis bambang lanang dan jenis lain), pada hutan rakyat jenis bambang lanang monokultur umur 18 tahun disajikan pada Tabel 1. Cadangan karbon pohon bambang lanang pada penutupan hutan rakyat jenis bambang lanang tanpa tanaman kopi sebesar 62,1 ton/ha dan campuran jenis pohon yang lain sebesar 21,1% dari jumlah pohon yang ada, yaitu sebesar 13,12 ton/ha. Meskipun dari segi jumlah pohon persentase pohon jenis lain sebesar 37,7%, tetapi jumlah karbonnya hanya 21,1% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa persentase rata-rata cadangan karbon per pohon pada kayu bambang lanang lebih besar dari cadangan karbon pada pohon jenis lain. Selain itu berarti pohon bambang lanang mendominasi jumlah berat biomassa karbon dibandingkan pohon jenis lain, sehingga secara sekilas hutan rakyat bambang lanang tanpa tanaman kopi ini terlihat seperti hutan rakyat monokultur. Tabel 1. Hasil pengukuran berat cadangan karbon (C) pada pohon Cadangan C Cadangan C No. Jenis pohon (kg/ha) (ton/ha)

1 bambang lanang 62.105,7473 62,1057

2 jenis lain 13.122,1972 13,1222

Total 75.227,9445 75,2279 Jenis penutupan lahan hutan rakyat bambang lanang tanpa tanaman kopi ini, merupakan hutan tanpa campuran tanaman seperti kopi, cokelat dan lain-lain. Di samping tanaman pokok biasanya sedikit dicampur dengan tanaman lainnya seperti: cengkeh, jati, randu, pulai dan lain-lain. Dengan demikian hutan rakyat ini termasuk kategori hutan campuran, meskipun sekilas seperti hutan monokultur, karena jumlah pohon bambang lanang lebih dari 60% dan menguasai tajuk strata paling atas. 2. Cadangan karbon pada tumbuhan bawah Biomassa tumbuhan bawah merupakan vegetasi di bawah tegakan hutan (lantai hutan) yang masih hidup. Banyaknya tumbuhan bawah biasanya dipengaruhi oleh banyaknya sinar matahari yang masuk lantai hutan. Semakin banyak sinar matahari yang masuk, maka semakin banyak juga biomassa tumbuhan bawah yang dapat hidup dibawah tegakan. Cadangan karbon tumbuhan bawah pada hutan rakyat jenis bambang lanang tanpa tanaman kopi, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa tumbuhan bawah yang ada tidak terlalu besar, hanya sebesar 3,75 ton/ha. Hal ini diduga disebabkan oleh rapatnya tajuk bambang lanang pada strata paling atas, sehingga sinar matahari yang masuk tidak terlalu banyak, sehingga pertumbuhan tumbuhan bawah agak lambat.

217

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Tabel 2. Cadangan biomassa dan karbon pada tumbuhan bawah Berat Basah Luas plot No. Plot/Lokasi Tumbuhan Bawah 2 (m ) (kg) 1a 0.25 0.205 1b 0.25 0.255 1c 0.25 0.17 1d 0.25 0.55 1e 0.25 0.46 1f 0.25 0.43 Jumlah 1.5 2.07 Rata-rata (kg/0.25 m2) 0.3450 Rata-rata (kg/m2) 1.3800 Rata-rata (kg/2000 m2) 2760.0000 Rata-rata (ton/ha) 13.8000 Berat Biomassa (ton/ha) 7.9819 Cadangan C (ton/ha 3.7515

3. Cadangan karbon pada serasah Serasah terdiri atas daun dan ranting kecil yang telah kering yang terkumpul pada lantai hutan. Serasah yang terkumpul pada plot sampel seluas 0,25 m2, sebanyak 6 plot (Tabel 3). Tabel 3. Hasil pengukuran cadangan karbon pada serasah Nomor Jenis Serasah Jumlah Luas plot Plot Daun Utuh Daun terdekomposisi Ranting Terdekomposisi serasah 2 (m ) (kg) (kg) (kg) (kg) 1a 0.25 0.03 0.25 0.41 0.69 1b 0.25 0.015 0.325 0.055 0.395 1c 0.25 0.025 0.21 0.09 0.325 1d 0.25 0.02 0.35 0.36 0.73 1e 0.25 0.005 0.22 0.51 0.735 1f 0.25 0.015 0.185 0.175 0.375 Jumlah 1.5 0.11 1.54 1.6 3.25 Rata-rata (kg/0.25 m2) 0.5417 Rata-rata (kg/m2) 2.1667 Rata-rata (kg/2000 m2) 4,333.3333 Rata-rata (ton/ha) 21.6667 Berat Biomassa (ton/ha) 12.5320 Cadangan C (ton/ha 5.8900

Jumlah cadangan karbon pada serasah ternyata lebih besar dari pada cadangan karbon tumbuhan bawah. Cadangan karbon pada serasah sebesar 5,89 ton/ha dan cadangan karbon pada tumbuhan bawah hanya 3,75 ton/ha. Selain daun yang kering dan yang terdekomposisi, ranting terdekomposisipun masuk kategori serasah. 4. Cadangan karbon pada nekromasa (pohon mati dan kayu mati) Pohon mati berupa pohon yang masih berdiri, tetapi tajuk atau daunnya sudah kering, sedangkan kayu mati adalah pohon yang sudah roboh dan cabang yang mati dan jatuh di atas permukaan tanah. Cadangan karbon pada pohon mati (dead tree) dan kayu mati (dead wood) dapat dilihat pada Tabel 4.

218

Aspek Konservasi dan Lainnya

Tabel 4. Cadangan karbon dari nekromasa (pohon mati dan kayu mati) Cadangan C Persentase No. Jenis nekromasa (ton/ha) (%) 1 bambang lanang 0,0067 1,82 2 jenis lain 0,3609 98,18 Total 0,3676 100,00 Pohon mati dan kayu mati ternyata sangat sedikit beratnya, dibandingkan serasah dan tumbuhan bawah. Pohon mati dan kayu mati yang berasal dari kayu bambang lanang sangat sedikit yaitu hanya 1,82%. Sebagian besar pohon mati dan kayu mati berasal dari kayu jenis lain (98,18%). Jumlah berat basah nekromasa (pohon mati dan kayu mati) sebesar 0,37 ton/ha. 5. Cadangan biomassa dan karbon total di atas permukaan tanah (above ground biomass) Berat cadangan biomassa dan karbon total di atas permukaan tanah secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil perhitungan cadangan karbon total di atas permukaan tanah No Jenis Volume Berat Basah Berat kering Cadangan C Persentase Keterangan Biomassa (m3/ha) (ton/ha) (ton/ha) (ton/ha) (%) 1 Bb. lanang 234.5527 62.1057 72.86 Y = 305,83x0,875 2 Jenis lain 55.9778 13.1222 15.39 Y= Vol*WD*BEF*0,47 3 Nekromasa 1.4918 0.3676 0.43 Y= Vol*WD*BEF*0,48 4 Tb. bawah 13.8000 7.9819 3.7515 4.40 Y = 0,47*Bo 5 Serasah 21.6667 12.5320 5.8900 6.91 Y = 0,47*Bo Jumlah 85.2371 100.00

Hasil pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah berat cadangan karbon total di atas permukaan tanah pada hutan rakyat jenis bambang lanang umur 18 tahun sebesar 85,24 ton/ha. Dari hasil tersebut jumlah berat karbon paling besar terdapat pada pohon bambang lanang, yaitu 72,86% dan setelah pohon bambang lanang adalah pohon jenis lain sebesar 15,39% (13,12 ton/ha). Cadangan biomassa terkecil terdapat pada nekromassa (pohon mati dan kayu mati) yaitu sebesar 0,43% (0,37 ton/ha). Dengan kata lain cadangan karbon pada penutupan hutan rakyat jenis bambang lanang umur 18 tahun hampir 90% berada pada pohon bambang lanang dan pohon jenis lain dan 10% sisanya berada pada serasah, tumbuhan bawah dan nekromassa.

IV. KESIMPULAN

1. Cadangan karbon di atas permukaan tanah pada penutupan hutan rakyat jenis bambang lanang umur 18 tahun yang tidak dicampur tanaman kopi sebesar 85,24 ton/ha. 2. Persentase cadangan karbon dari mulai yang terbesar sampai dengan yang terkecil berturut-turut yaitu: pohon bambang lanang (72,86%), pohon jenis lain (15,39), serasah (6,91), tumbuhan bawah (4,40%) dan nekromassa (0,43%). 3. Penutupan hutan rakyat bambang lanang ini sekilas seperti monokultur, meskipun sebetulnya masih terdapat campuran sedikit kayu jenis lain, karena pada pohon bambang lanang tajuk dan jumlah batangnya sangat dominan (62,3%) dibandingkan pohon jenis lain (37,7%).

219

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Lampiran:

Hutan rakyat jenis bambang lanang dan pengukuran biomassa dengan mengukur diameter setinggi dada

Pengambilan sampel tumbuhan bawah dan serasah serta penimbangan berat basah tumbuhan bawah dan serasah

220

Aspek Konservasi dan Lainnya

DAFTAR PUSTAKA

Hairiah, K., 2008. Perubahan Iklim Global: Penyebab dan Dampaknya terhadap Lingkungan dan Kehidupan. Indonesian Network of Agroforestry Education. Solo. Hairiah, K. dan S. Rahayu. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre. Bogor. Hairiah, K. dan Widianto. 2007. Adaptasi dan Mitigasi Pemanasan Global melalui Pengelolaan Diversitas Pohon di Lahan-lahan Pertanian. Bunga Rampai Kongres Nasional MKTI V Konservasi Tanah dan Air menjadi Solusi Menghadapi Perubahan Iklim Global. Bogor. Hairiah, K., Widianto dan D. Suprayogo. 2007. Adaptasi dan Mitigasi Pemanasan Global: Bisakah Agroforestri Mengurangi Resiko Longsor dan Emisi Gas Rumah Kaca? . Bunga Rampai Kongres Nasional MKTI V Konservasi Tanah dan Air menjadi Solusi Menghadapi Perubahan Iklim Global. Bogor. Murdiyarso, D., 2003. Konvensi Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Purnama, B.M. dan N. Masripatin. 2001. Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto dalam Konteks National Forest Programme. Dalam Prosiding Lokakarya Tindak Lanjut Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta. Tampubolon, A.P., R.T. Kwatrina, A.Sukmana, D. Puspasari dan Sugiarti. 2001. Fungsi Rosot Karbon Tanaman Mangium dan Karet serta Implikasi Pengelolaannya. Seminar Optimalisasi Nilai Sumberdaya Hutan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.

221

Aspek Konservasi dan Lainnya

POTENSI PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) DI KHDTK BENAKAT, SUMATERA SELATAN

Imam Muslimin dan Nanang Herdiana Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Pinus merkusii merupakan tanaman asli dari Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena mempunyai hasil ganda berupa kayu dan non kayu (getah). KHDTK Benakat Sumatera Selatan sebagai kawasan hutan penelitian yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan mempunyai tegakan pinus seluas 35 Ha dengan karakteristik yang spesifik karena berada pada daerah dataran rendah (130 m dpl), dimana biasanya pinus ditanam pada daerah dataran tinggi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui produksi getah pinus di KHDTK Benakat. Tanaman yang diamati berumur 28 tahun (tahun tanam 1980/1981), penyadapan dilakukan dengan pengeboran berdiameter 1,22 cm, kedalaman 3 cm, kemiringan 30o-45o.Waktu pengambilan getah dilakukan pada periode 3 hari, 5 hari dan 7 hari, masing-masing periode pengambilan getah diulang sebanyak 15 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi getah (gr/phn) semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu pengambilan getah, namun produksi getah harian pada semua waktu pengambilan getah tidak berbeda. Aplikasi pengambilan getah efektif dan waktu pembaharuan luka adalah 7 hari sekali. Produksi getah pinus harian di KHDTK Benakat adalah 5,37-8,19 gr/pohon/hari. Kata kunci: Pinus merkusii, pengeboran, getah, KHDTK Benakat, dataran rendah

I. PENDAHULUAN

Tanaman Pinus merkusii Jungh et de Vriese (Tusam) merupakan jenis tanaman Pinus yang asli terdapat di wilayah Indonesia khususnya di Sumatera. Tusam saat ini dikembangkan oleh pengelola hutan tanaman karena mempunyai nilai produksi ganda berupa kayu dan non kayu berupa getah. Getah pohon pinus menghasilkan minyak terpentin yang biasanya digunakan untuk mengencerkan cat minyak, bahan campuran vernis dan bisa untuk bahan baku kimia lainnya. Aroma terpenting yang harum bisa digunakan untuk bahan pewangi lantai atau pembunuh kuman, bahan baku pembuat parfum. Hasil ekstraksi berupa terpineol bermanfaat untuk relaksasi dan campuran minyak pijat. Gondorukem sebagai hasil pengolahan getah pinus juga bermanfaat untuk industri batik, bahan pengisi dalam pembuatan kertas, industri sabun, pembuatan tinta, bahan isolasi listrik, korek api, lem, industri kulit dan lalin-lain (Yulianti, 2010). Banyaknya ragam manfaat dari getah pinus yang mempunyai nilai ekonomis dan komersiil, menjadikan adanya pengusahaan penyadapan getah pinus untuk memberi nilai tambah dalam pengelolaan hutan tanaman pinus. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang sebagai salah satu lembaga riset mempunyai beberapa Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK), salah satunya adalah KHDTK Benakat-Muara Enim. KHDTK Benakat mengembangkan beberapa jenis tanaman kehutanan dan salah satunya adalah jenis tanaman pinus tahun tanam 1980/1981 seluas + 35 Ha. Satu hal yang sangat menarik adalah bahwasanya jenis tanaman pinus biasanya ditanam pada daerah yang relatif tinggi (400-1200 m dpl), namun keberadaan tegakan pinus di KHDTK

223

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Benakat dengan ketinggian tempat yang relatif rendah (130 m dpl) memberikan gambaran bahwasanya tanaman pinus juga mampu untuk tumbuh pada wilayah dataran rendah. Pertumbuhan tanaman pinus pada daerah dataran rendah tentunya mempunyai kondisi yang berbeda dengan pertumbuhan tanaman pinus pada daerah dataran tinggi, salah satunya adalah potensi produksi getah pinus. Data dan informasi potensi produksi getah pinus pada daerah dataran rendah saat ini masih sangat minim, oleh karena itu tulisan ini menyajikan potensi produksi getah tanaman Pinus merkusii di KHDTK Benakat Sumatera Selatan. Diharapkan data dan informasi yang ada nantinya akan sangat berguna untuk penaksiran potensi produksi getah pinus bilamana dikembangkan pada lahan dataran rendah dan berguna untuk pengambilan kebijakan pengembangan suatu jenis tanaman pada suatu daerah.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Benakat yang saat ini dikelola oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Sumatera Selatan, ketinggian tempat 130 m dpl, curah hujan 2.781 mm/ th, temperatur udara 24-33oC, jenis tanah Podzolik Merah Kuning (PMK), pH tanah 3,5 – 5,0, kelerengan lahan 3-5% dengan vegetasi awal berupa alang-alang. Penelitian dilaksanakan pada saat tanaman pinus di KHDTK Benakat berumur 28 tahun.

224

Aspek Konservasi dan Lainnya

B. Bahan dan Alat penelitian Materi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah tegakan pinus yang dibangun pada tahun 1980/1981 dengan jarak tanam 4x2 m sebagai plot introduksi jenis (species trial) proyek kerjasama antara Kementerian Kehutanan dengan JICA. Materi benih yang digunakan untuk pembangunan introduksi jenis Pinus merkusii ini berasal dari Jawa tetapi tidak menyebut secara spesifik strain sumber benih yang ada. Peralatan yang digunakan adalah bor tangan, selang plastik, kantong plastik, pisau, tali rafia, pita ukur, haga meter dan alat tulis.

C. Metode Penelitian Penyadapan getah pinus menggunakan sistem pengeboran dengan mata bor berukuran 0,5 inchi, kemiringan 30o-45o mengarah pada poros batang ke atas dengan kedalaman + 5 cm. Ke dalam lubang pengeboran dimasukkan selang plastik sebagai tempat (jalan) mengalirnya getah ke tempat penampungan berupa kantong plastik yang diikatkan pada ujung selang lainnya. Pengambilan getah dilakukan pada saat periode hari ke-3, ke-5 dan ke-7 untuk mengetahui perbedaan pada masing-masing periode pengambilan getah sebagai bahan analisa waktu pembaharuan luka sadapan. Masing-masing periode pengambilan getah mempunyai sampel sebanyak 15 pohon. Getah pinus yang didapatkan dilakukan penimbangan pada hari ke- 5 setelah pengambilan getah. Pengamatan dilakukan pada tipologi kulit batang pohon pinus, diameter dan tinggi tanaman serta produksi getah pinus. Data dan informasi produksi getah pinus pada periode pengambilan getah yang berbeda diperbandingkan dengan T-test.

a b c

Gambar 1. Pengeboran batang pinus dan pengukuran diameter batang (a), tipologi kulit dan getah pinus yang tertampung dalam kantong plastik (b), Warna getah kering (c)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan Pertumbuhan tanaman pinus di KHDTK Benakat mempunyai penampakan yang relatif seragam. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tanaman pinus pada umur 28 tahun mempunyai rerata pertumbuhan diameter 35,67 + 6,98 cm, dan rerata pertumbuhan tinggi 27 + 3 m. Tipologi kulit pinus di KHDTK Benakat sebagian besar adalah tebal, beralur dalam-sangat dalam dan mempunyai rekahan yang lebar. Perkembangan tajuk sempit dan ringan dengan ketinggian 1/3 dari tinggi total tanaman. Rerata hasil pengamatan produksi getah pinus berdasarkan waktu pengambilan getah (lama penyadapan) dan hasil analisis uji-t dari parameter-parameter yang ada terdapat pada Tabel 1 sedangkan hasil analisis korelasi antar parameter yang diamati terdapat pada Tabel 2.

225

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Tabel 1. Rerata hasil pengamatan dan pengukuran serta hasil analisis uji-t pada tanaman pinus dengan berbagai periode pengambilan getah Waktu pengambilan getah (t) Rerata produksi getah Gr/pohon/t Gr/pohon/hari Uji-t pada waktu pengambilan getah 3 hari dan 5 hari

Pengambilan 3 hari 24,58 + 13,39 8,19 + 4,46 Pengambilan 5 hari 26,83 + 22,52 5,37 + 4,50 Uji-t pada waktu pengambilan getah 3 hari dan 7 hari

Pengambilan 3 hari 24,58 + 13,39 * 8,19 + 4,46 Pengambilan 7 hari 39,44 + 17,31 * 5,63 + 2,47 Uji-t pada waktu pengambilan getah 5 hari dan 7 hari

Pengambilan 5 hari 26,83 + 22,52 5,37 + 4,50 Pengambilan 7 hari 39,44 + 17,31 5,63 + 2,47 Keterangan:* : Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5% berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan

Tabel 2. Analisis korelasi antar parameter pengamatan dan pengukuran potensi produksi getah pinus berdasarkan waktu pengambilan getah Waktu Pengambilan Produksi getah Produksi getah Parameter korelasi Getah (t) (gr/ phn/ t) (gr/phn/ hari) Waktu pengambilan getah (t) 1,00 0,33 -0,26 0,00 0,03 0,09 Produksi getah (gr/ phn/ t) 1,00 0,78 0,00 0,00 Produksi getah (gr/phn/ hari) 1,00 0,00 Berdasarkan Tabel 1, nampak bahwa produksi getah pinus (gr/pohon/t) per waktu pengambilan getah (t) mempunyai perbedaan hanya pada periode waktu pengambilan getah antara 3 hari dan 7 hari, namun kedua waktu pengambilan getah tersebut mempunyai produksi getah per hari (gr/pohon/hari) yang tidak berbeda. Korelasi antara waktu pengambilan getah (t) dan produksi getah per waktu pengambilan (gr/phn/t) mempunyai korelasi yang baik dan positif (Tabel 2).

B. Pembahasan a. Identifikasi Tipologi Kulit Batang Pinus Di Indonesia Pinus merkusii tumbuh secara alami di pulau Sumatera, yaitu di bagian utara yang meliputi daerah Aceh dan Tapanuli di sebelah utara garis katulistiwa dan Kerinci di sebelah selatan garis katulistiwa. Tanaman Tusam di Sumatera disebut dengan nama Susugi atau Sugi, di Aceh disebut dengan Uyam, sedangkan di Tapanuli disebut dengan Tusam (Soeseno, 1979). Beberapa identifikasi tanaman pinus berdasarkan daerahnya adalah sebagai berikut: 1. Pinus merkusii strain Aceh, disebut Uyam Bunga dan Uyam Batu dengan karakteristik yang khas yaitu: a. Uyam Bunga: kayu lunak, berwarna putih, berserat halus, colophonium banyak, daun hijau tua, kulit kayu tipis dan licin, buah besar dan panjang, setelah masak mudah membuka, produksi getah kurang. b. Uyam batu: kayu keras, berwarna kemerahan, serat tidak teratur,colophonium kurang, daun hijau muda, kulit tebal dan pecah-pecah,

226

Aspek Konservasi dan Lainnya

buah kecil, agak bulat dan setelah masak sukar membuka, produksi getah banyak (Udin, 1954 dalam Soeseno, 1979). 2. Pinus merkusii strain Tapanuli mempunyai ciri batang lurus dan ramping, daun berwarna hijau tua, licin, berkilau, percabangan pada pohon-pohon dewasa lebih ramping, membentuk sudut dengan batang lebih kecil, internodia relatif panjang dan jaraknya teratur, kulit kayu tipis, kebanyakan halus, celah-celah jarang dan berwarna muda, kepekaan terhadap serangan Milionia basalis dapat menyebabkan pohon terbunuh atau betul-betul menjadi lemah (Cooling, 1968 dalam Kurniawan, 2004). 3. Pinus merkusii strain Kerinci mempunyai bentuk batang lurus, percabangan ramping dengan sudut percabangan 30o-45o terhadap batang pokok, kulit batang tipis, tidak beralur, kulit terluarnya mengelupas terutama pada pohon yang masih muda (Na’iem, 1980). Berdasarkan beberapa ciri khas Pinus merkusii dari beberapa strain tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan tipologi kulit batang nampak bahwa strain Kerinci, Tapanuli dan Aceh untuk Uyam Bunga mempunyai tipologi kulit batang yang tipis, tidak beralur dan licin. Sedangkan strain Aceh untuk Uyam Batu mempunyai tipologi kulit batang yang tebal dan pecah-pecah, dimana Uyam Batu secara deskriptif mempunyai tipologi kulit yang sama dengan Pinus merkusii yang terdapat di KHDTK Benakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pinus merkusii di KHDTK Benakat walaupun berasal dari Jawa namun secara spesifik berasal dari strain Aceh khususnya Uyam Batu. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Na’iem (1980) bahwa pinus di Jawa diperkirakan berasal dari Aceh dan diperkirakan mempunyai kadar getah yang lebih rendah daripada strain Kerinci. b. Produksi Getah Pinus Getah pinus merupakan substansi yang transparan, mempunyai daya rekat (viskositas), serta mempunyai susunan kimia komplek terutama terpene dan resin penghasil asam-asam dengan berat molekul yang tinggi (Sutjipto, 1977). Getah didapat melalui penyadapan pohon pinus dengan berbagai cara antara lain dengan cara riil, quare dan pemboran batang. Melalui proses penyulingan (destilasi) getah pinus dihasilkan gondorukem (produk utama berupa residu) dan terpentin (produk sampingan). Hasil pengamatan produksi getah pinus di KHDTK Benakat menunjukkan bahwa produksi getah pinus pada umur 28 tahun semakin meningkat seiring dengan waktu pengam- bilan getah yang lebih lama, dimana rerata produksi getah untuk pengambilan getah 3, 5 dan 7 hari berturut-turut adalah 24,58 gr, 26,83 gr dan 39,44 gr. Hal ini mengindikasikan bahwa sampai dengan 7 hari pengambilan getah, getah pinus masih mengalir dan mampu menghasil- kan getah yang tertampung dalam kantong plastik. Hasil ini berbeda dengan beberapa kegiatan penelitian produksi getah pinus yang telah dilakukan. Kurniawan (2004) mengemukakan bahwa di Jember (Jawa Timur) dengan ketinggian tempat 400 mdpl dan sadapan dengan sistem pemboran, getah pinus yang disadap akan berhenti keluar setelah 3 hari karena proses pengeringan getah yang menyebabkan saluran harus tertutupi oleh getah yang mengering. Hal yang hampir sama juga terjadi pada sadapan dengan sistem koakan, pada 3-4 hari setelah koakan dilakukan, getah telah menurun produksinya dan bahkan pada hari ke-empat atau ke- lima betul-betul tidak keluar (Kasmudjo, 1982). Alvarez dan Stephan (1986) dalam Anonim (1998) mengemukakan bahwa interval pembaharuan sadapan pada Pinus carribaea menunjukkan bahwa hasil getah akan lebih tinggi pada pohon yang sadapannya diperbaharui 3 hari sekali. Periode waktu getah pinus yang sudah tidak mengalir lagi ini dijadikan sebagai dasar waktu pembaharuan luka sadapan untuk memperoleh getah pinus baru. Periode waktu aliran getah pinus yang lebih lama pada tanaman pinus di KHDTK Benakat dibandingkan dengan tanaman pinus di Jawa dimungkinkan disebabkan oleh adanya faktor-

227

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang faktor luar yang mempengaruhi penutupan saluran getah yang secara spesifik faktor-faktor ini berhubungan dengan kondisi iklim khususnya suhu udara yang berbeda antara pulau Jawa dan Sumatera. Suhu udara harian dan kelembaban di KHDTK Benakat lebih tinggi daripada suhu udara dan kelembaban di pulau Jawa, sehingga getah pinus yang keluar mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengering dan saluran getah yang tidak tersumbat oleh getah yang mengering mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengalirkan getah pinus. Produksi getah yang tinggi pada periode pengambilan getah 7 hari tidak diimbangi dengan tingginya produksi getah harian yang didapatkan (korelasi tidak nyata). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produksi getah harian pada periode pengambilan getah 3 hari, 5 hari dan 7 hari berturut-turut adalah 8,19 gr, 5,37 gr dan 5,63 gr, dimana antar periode waktu pengambilan getah tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada periode pengambilan getah 7 hari mempunyai produksi getah harian yang sama dengan produksi getah harian pada pengambilan getah 3 hari dan 5 hari. Penentuan aplikasi periode pengambilan getah yang efektif sangat berhubungan dengan nilai produksi getah yang didapatkan serta tenaga kerja dan biaya yang dibutuhkan dalam proses penyadapan. Dengan nilai produksi getah harian yang tidak berbeda antara periode pengambilan getah 3 hari dan 7 hari, namun pengambilan getah 7 hari memberikan nilai ekonomis yang lebih tinggi dengan pemanfaatan tenaga kerja untuk pembaharuan sadapan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pengambilan getah 3 hari. Produksi harian getah pinus di KHDTK Benakat adalah 5,37 gr - 8,19 gr setiap pohon untuk satu kali pengeboran batang, dengan populasi tanaman sebanyak 1.250 pohon/ha, maka diperkirakan potensi produksi getah pinus di KHDTK Benakat adalah 6.712,5 - 10.237,5 gr/ha/hari atau 6,7 - 10,2 kg/ha/hari. Kurniawan (2004) mengemukakan bahwa sadapan getah pinus di Perhutani pada tahun 1995-1998 masing-masing hanya 5,08; 7,97; 7,75 dan 7,14 g/pohon/hari (tegakan pinus mulai KU III) dengan kerapatan tegakan masing-masing 298; 275; 291 dan 221 pohon/ha. Produksi getah pinus di KPH Kedu Selatan sebesar 5-9 g/pohon/hari dengan pembaharuan sadapan 3 hari sekali (Suara Merdeka, 2003). Prasetia (2008) juga melaporkan bahwa produksi getah pinus ras lahan Jember mempunyai produksi getah antara 5- 10 g/pohon/hari. Nilai produksi getah pinus di KHDTK Benakat dapat dikatakan sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi getah pinus di Jawa. Getah pinus merupakan produk metabolit sekunder dari hasil proses metabolisme, sehingga produksi getah pinus sangat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam (faktor genetis) yaitu jenis pohon, diameter, dan kondisi tajuk dan faktor yang berasal dari luar (lingkungan) yang terdiri dari cara penyadapan, iklim, arah sinar matahari, ketinggian tempat, dan bonita tempat tumbuh (Panshin et al., 1950). Rochidayat dan Sukawi (1979) mengemukakan bahwa getah yang dihasilkan oleh tanaman pinus yang tumbuh pada ketinggian 800 m dpl lebih banyak bila dibandingkan dengan yang tumbuh pada ketinggian 1000 m dpl. Prabowo (2003) dan Wijaya (1993) mempelajari hubungan antara produksi getah dengan umur, bonita, luas bidang dasar dan ketinggian tempat; dimana tanaman pinus pada ketinggian tempat yang lebih rendah menghasilkan produksi getah pinus yang lebih besar daripada daerah dataran tinggi. Klot (1951) dalam Suharlan (1980) mengemukakan pengaruh iklim terhadap produksi getah yaitu produksi getah pada musim panas ternyata lebih banyak dibandingkan pada musim dingin. Brahmi et al., (2000), produksi getah Pinus roxburghii di India tertinggi pada bulan-bulan panas (Mei) dan terendah pada bulan-bulan dingin (Oktober). Sharma dan Kausal (1991), produksi getah Pinus wallichiana di India tertinggi pada bulan panas dan terendah pada bulan dingin. Dari beberapa pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa

228

Aspek Konservasi dan Lainnya dengan ketinggian tempat yang lebih rendah akan mempunyai kondisi iklim yang lebih panas dan akan menghasilkan produksi getah yang relatif lebih tinggi.

IV. KESIMPULAN

1. Tegakan Pinus merkusii di KHDTK Benakat berasal dari strain Aceh melalui pendekatan tipologi kulit yang tebal, beralur dalam-sangat dalam. 2. Produksi getah harian pada periode pengambilan getah 3 hari (8,19 gr), 5 hari (5,37 gr) dan 7 hari (5,63 gr) tidak berbeda, sehingga sampai dengan 7 hari getah masih mengalir dan periode pembaharuan getah 7 hari sekali sangat efektif untuk dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Laporan Akhir Pemuliaan Pohon Pinus merkusii Tahun 1998. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan Brahmi, M.K., A.N. Kaushal, K.R. Sharma. 2000. Resin Tapping from Lower Diameter Classes of Chir Pine by Rill Method Using Groups of Different Blaze Width in Himachal Pradesh. Indian Forester, 126(1):83-88. CABI Forestry Compendium. http://www. cabicompendium.org/fc/. Diakses tanggal 24 Pebruari 2011. Kasmudjo. 1982. Dasar-dasar Pengelolaan Gondorukem (Bahan Ajar). Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kurniawan, T. 2004. Deteksi Awal Potensi Getah Pohon-pohon Elit di Kebun Benih Semai Pinus merkusii Sempolan-Jember. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kehutanan UNiversitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Na’iem, M. 1980. Tinjauan Pinus merkusii Strain Kerinci. Makalah Seminar dan Reuni III Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada 19-22 Desember 1979. Ypgyakarta. Panshin, A.J., E.S. Harrar, W.S. Baker dan P.B. Proctor. 1950. Forest Product: Their Sources, Production and Utilization. Mc Graw Hill-Book Company Inc. New York. Toronto. London. Prabowo, D. 2003. Pengaruh Bonita, Umur, Kerapatan Bidang Dasar, dan Ketinggian Tempat Terhadap Produksi Getah Pinus merkusii Jungh et de Vriese Per Satuan Luas di RPH Temanggal BBKPH Magelang KPH Kedu Utara. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan Prasetia, R. Y. 2008. Potensi Getah Pertanaman Uji Keturunan Pinus merkusii Jungh. et de Vriese Materi Introduksi Genetik Asal Aceh di RPH Sumberjati, BKPH Sempolan, KPH Jember. Skripsi Mahasiswa Jurusan Budidaya Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Rochidayat dan Sukawi. 1979. Pengaruh Tinggi Tempat Tumbuh Pada Produksi Getah Pinus merkusii pada Petak Coba di KPH Sumedang. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor. Sharma, K.R., A.N. Kausal. 1991. Effect of Freshening Period and Acid Treatment on Oleo-resin Yield from Blue Pine (Pinus wallichiana A.B.Jackson). Indian Journal of Forestry,

229

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

14(1):8-15. CABI Forestry Compendium. http://www.cabicompendium.org/fc/. Diakses tanggal 24 Pebruari 2011 Soeseno. 1979. Tinjauan Pinus merkusii di Tempat Asal (Tempat Asli). Yayasan Pembinan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suara Merdeka. 2003. Gondorukem, Andalan Perhutani. Harian Suara Merdeka Onlone tanggal 11 Januari 2003. Diakses tanggal 20 Juli 2011. Suharlan, A. 1980. Hubungan antara Getah Pinus merkusii Dengan Luas Bidang Dasar, Tinggi Pohon dan Jarak Tumbuh Relatif Antar Pohon. Lembaga Penelitian Hutan No. 394. Bogor. Sutjipto. 1977. Gondorukem. Yayasan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Wijaya, G. A. 1993. Hubungan Antara Produksi Getah Pinus merkusii Jungh et de Vriese Per Satuan Luas Dengan Luas Bidang Dasar, Umur, Bonita dan Ketinggian Tempat di RPH Majenang KPH Banyumas Barat. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan Yulianti, Y. 2010. Mengeruk Dolar Dari Semangkuk Getah. http://blogs.unpad.ac.id/ yantiyulianti/2010/06/13/kekayaan-hutan-indonesia/. Diakses tanggal 23 Pebruari 2011.

230

Aspek Konservasi dan Lainnya

PRODUKSI DAN RENDEMEN PENGOLAHAN KAYU JENIS BAMBANG LANGANG (Michelia champaca L.) DI MASYARAKAT

Agus Sumadi dan Hengki Siahaan Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Pengembangan hutan rakyat jenis bambang lanang dapat menjadi solusi penyedia kayu di masa yang akan datang. Bambang lanang merupakan jenis unggulan wilayah Sumatera Selatan. Jenis ini memiliki pertumbuhan cepat serta bentuk batang yang silindris. Tulisan ini memberikan gambaran perkembangan pertumbuhan diameter dan potensi volume tegakan yang dapat dihasilkan dari hasil budidaya oleh masyarakat serta informasi tingkat rendemen hasil pengolahan kayu yang dilakukan oleh masyarakat selama ini. Budaya masyarakat yang ada sekarang dalam pengolahan kayu masih menggunakan chain saw sehingga rendemen yang dihasilkan sangat rendah. Pengolahan kayu rakyat kedepan harus memulai menggunakan mesin-mesin khusus pengolah kayu yang dapat meningkatkan rendemen sehingga pendapatan masyarakat dari budidaya tanaman bambang lanang dapat meningkat. Kata kunci: hutan rakyat, bambang lanang, pertumbuhan, rendemen

I. PENDAHULUAN

Pengembangan jenis bambang lanang banyak dilakukan oleh masyarakat pada lahan milik dalam bentuk hutan rakyat. Masyarakat di wilayah Kabupaten Empat Lawang, Kababupaten Lahat, Kababupaten Ogan Komering Ulu Selatan dan Kota Pagaralam telah lama membudidayakan jenis bambang lanang. Jenis ini merupakan jenis unggulan setempat yang memiliki batang lurus dan kayu yang dihasilkan dapat dimanfaatkan menjadi kayu pertukangan. Bambang lanang merupakan jenis pohon yang memiliki pertumbuhannya cepat dan kayunya berkualitas kelas kuat II (Adelina, 2008). Jenis ini telah lama digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat setempat karena kayunya yang kuat dan awet (Winarno, 2007). Hutan rakyat dapat menjadi solusi penghasil kayu seiring dengan menurunnya produksi hutan alam. Pengembangan hutan rakyat telah dilakukan oleh masyarakat secara mandiri maupun dengan adanya program pemerintah melalui berbagai program yang mendukung terbangunnya hutan rakyat. Salah satu hasil akhir pengembangan hutan rakyat berupa hasil kayu. Potensi volume kayu yang dapat dihasilkan dari luasan lahan tertentu dapat digambarkan perkembangannya berdasarkan umur dari pohon tersebut. Pada tulisan ini akan memberikan gambaran perkembangan potensi kayu yang dapat dihasilkan dari hutan rakyat serta memberikan informasi besarnya rendemen pengolahan kayu yang dilakukan oleh masyarakat selama ini. Rendemen dalam industri penggergajian adalah perbandingan volume kayu gergajian yang dihasilkan dengan volume dolok yang digunakan dan angka rendemen ini dinyatakan dalam persen (Rachman dan Malik, 2011).

231

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

II. PERTUMBUHAN DAN HASIL PRODUKSI TEGAKAN BAMBANG LANANG

Pertumbuhan diameter pohon bambang lanang yang dibudidayakan oleh masyarakat di Kabupaten OKU Selatan dapat digambarkan dalam bentuk grafik hubungan antara umur dengan diameter pohon. Pola pertumbuhan diameter bambang lanang seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan Dbh tegakan bambang pada hutan rakyat

Pengembangan jenis bambang lanang pada hutan rakyat dengan kerapatan 400 – 500 phn/ha, diameter setinggi dada 25 cm dapat tercapai pada umur 12 tahun. Persamaan pertumbuhan diameter tegakan bambang lanang yang terbentuk adalah Dbh = 6.9626A0.533, dengan nilai R2 sebesar 84.55%. Persamaan tersebut dapat memberikan gambaran perkembangan besarnya diameter rata-rata tegakan bambang lanang yang dikembangkan oleh masyarakat yang ada di wilayah Kabupaten OKU Selatan. Besarnya hasil budidaya tegakan bambang lanang oleh masyarakat dapat dihitung berdasarkan potensi volume kayu yang dapat dihasilkan oleh tegakan tersebut. Perkembangan volume tegakan bambang lanang dapat dilihat pada Gambar 2.

S = 28.09389506 r = 0.78412781

180

160

140

120

100

80 Volume(m3) 60

40

20

0 2 4 6 8 10 12 14 Umur (thn) Gambar 2. Perkembangan potensi volume kayu berdasarkan umur tegakan Perkembangan volume tegakan bambang yang dibudidayakan masyarakat dengan kerapatan 400–500 pohon/ha dapat digambarkan oleh persamaan Volume=160.46/(1+8.57*exp(-0.38A)) dengan nilai R2 sebesar 78.41%. Persamaan yang

232

Aspek Konservasi dan Lainnya terbentuk dapat memberikan gambaran perkembangan potensi kayu yang dapat dihasilkan. Berdasarkan kondisi pertumbuhan diameter tegakan bambang lanang diameter 25 cm dapat tercapai pada umur 12 tahun. Pada umur ini potensi kayu yang dapat dihasilkan sebesar 146 m3/ha.

III. PENGOLAHAN KAYU BAMBANG LANANG

Pengolahan kayu terutama dalam hal penggergajian dolok menjadi berbagai bentuk seperti papan maupun balok yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya masih menggunakan mesin chain saw. Penggunaan mesin ini menyebabkan tingkat rendemen hasil kayu olahan sangat rendah terutama pada pohon yang ditebang dengan diameter rendah. Gambaran rendemen hasil pengolahan kayu di masyarakat pada berbagai diameter batang setinggi dada disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rendemen hasil pengolahan kayu di masyarakat

Penebangan yang dilakukan oleh masyarakat pada diameter kurang dari 20 cm rendemen yang dihasilkan dari pengolahan kayu hanya sebesar 26%. Hal ini memberikan gambaran pengusahaan kayu rakyat pada diameter masih kecil, kurang dari 20 cm hanya sekitar 26% dari volume dolok kayu yang dapat dimanfaatkan menjadi papan atau balok. Pengolahan kayu dolok dengan diameter pohon setinggi dada sebesar 20cm -25cm menghasilkan rendemen lebih besar dari pohon dengan diameter kurang dari 20 cm. Rendemen yang dihasilkan dari penebangan pohon diameter 20-25 cm sebesar 32%. Penebangan pohon dengan diameter 25 cm - 30 cm akan menghasilkan rendemen sebesar 41%. Hal ini memberikan gambaran semakin besar diameter pohon yang ditebang maka akan banyak dolok yang dapat dimanfaatkan menjadi papan atau balok. Penggunaan mesin chain saw dalam pengolahan kayu menghasilkan rendemen yang rendah dibandingkan dengan mesin pengolahan kayu modern, sehingga pengolahan kayu oleh masyarakat di berbagai wilayah di Sumatera Selatan masih belum efisien. Menurut Radam (2011) penggunaan mesin penggergaji kayu band saw dapat menghasilkan rata-rata rendemen sebesar 80.01% dalam industri penggergajian kayu akasia daun lebar (Acacia mangium Willd).

233

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Gambar 2. Proses pengolahan kayu di masyarakat Berdasarkan pertumbuhan, produksi dan rendemen pengolahan kayu di masyarakat maka pemanenan kayu harus dilakukan setelah pohon memiliki diameter lebih dari 25 cm pada umur sekitar 12 tahun. Pada umur tersebut diameter batang telah mencapai lebih dari 25 cm serta potensi produksi kayu 146 m3/ha. Pengolahan kayu oleh masyarakat apabila masih menggunakan cara konvensional dengan chain saw maka hasil olahan kayu menjadi papan maupun balok dengan berbagai ukuran akan menghasilkan 59.9 m3. Apabila menggunakan mesin band saw kayu olahan yang dapat diperoleh 116.8m3. Sehingga penggunaan mesin ini dapat meningkatkan hasil kayu dan mampu menambah pendapatan bagi masyarakat.

IV. KESIMPULAN

Budidaya bambang lanang di masyarakat sudah cukup luas berkembang. Pengolahan kayu hasil penebangan pada umumnya masih tradisional menggunakan chain saw. Pengolahan kayu dengan cara tersebut rendemen terbesar setelah pohon memiliki diameter 25-30 cm. Masyarakat sebaiknya melakukan penebangan/pemanenan kayu setelah mencapai diameter setinggi dada 25 cm atau lebih, yang dapat dicapai pada tegakan yang telah berumur 12 tahun. Pada tegakan yang memiliki kerapatan 400 – 500 phn/ha potensi volume yang dapat dihasilkan pada umur tersebut sebesar 146 m3, apabila melakukan pemanenan secara tradisional akan menghasilkan kayu olahan sebesar 59.9 m3 dan bila menggunakan band saw sebesar 116.8 m3. Kedepan pengolahan kayu disarankan menggunakan mesin band saw atau mesin pengolah kayu lainnya sehingga dapat meningkatkan rendemen hasil olahan kayu serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Adelina, N. 2008. Pengaruh posisi buah, ukuran benih dan pengusangan cepat terhadap perkecambahan benih Medang Bambang Lanang (Madhuca aspera H.J.Lam). Tesis Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang. (Tidak dipublikasikan) Rachman, O. dan J. Malik. 2011. Penggergajian dan Pemesinan Kayu Untuk Industri Perkayuan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementrian Kehutanan.

234

Aspek Konservasi dan Lainnya

Radam, R. 2011. Studi Produktivitas Dan Rendemen Industri Penggergajian Kayu Akasia Daun Lebar (Acacia Mangium Willd) Di Kecamatan Landasan Ulin Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis Volume 12 No. 31, Edisi Maret 2011 Winarno, B. dan E. A. Waluyo. 2007. Potensi pengembangan hutan rakyat dengan jenis lokal. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementrian Kehutanan.

235

Aspek Konservasi dan Lainnya

JENIS DAN UKURAN SORTIMEN KAYU GERGAJIAN YANG DIPERDAGANGKAN DI KOTA BENGKULU

Efratenta Katherina Depari1, Gunggung Senoaji1 dan Ovi Anggraini2 1 Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu 2 Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

ABSTRAK

Kayu gergajian merupakan hasil konversi kayu bulat dengan menggunakan gergaji, dimana kayu tersebut mempunyai bentuk yang teratur dengan sisi yang sejajar dan sudut siku-siku. Kayu gergajian sulit diganti dengan barang subsitusi, sehingga pasar produk kayu gergajian sangat bagus. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis dan ukuran sortimen kayu gergajian yang diperdagangkan di Kota Bengkulu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2013. Pengumpulan data penelitian dengan cara observasi, wawancara dan quisioner kepada 20 pemilik depot yang aktif di Kota Bengkulu. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Kayu gergajian yang diperdagangkan di Kota Bengkulu terdapat 17 Jenis. Jenis kayu yang paling sering dijumpai adalah durian, pulai, balam, kayu bawang, meranti serabut dan terap. Ukuran sortimen kayu gergajian yang diperdagangkan ada 14 macam ukuran sortimen, terdiri dari papan sempit, papan lebar dan broti. Papan sempit (2/10, 3/10). Papan lebar (2/20, 2/25, 3/15, 3/20, 3/25 dan 4/25). Broti (3/5, 4/6, 5/7, 5/10, 6/12, 7/14). Jenis kayu gergajian yang paling sering dijumpai dan tersedia pada 14 ukuran sortimen yang diperdagangkan adalah meranti serabut, kayu bawang, durian, dan balam. Kata kunci: kayu gergajian, jenis, ukuran sortimen

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan akan kayu terus meningkat setiap tahunnya, hal ini dikarenakan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesejahteraan penduduk. Namun, bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam semakin menurun akibat laju deforestasi yang semakin meningkat. Irwanto (2008) menyatakan kerusakan hutan mencapai 2 juta hektar per tahun sehingga mengakibatkan menurunnya produksi kayu bulat per tahun. Salah satu produk olahan kayu bulat adalah kayu gergajian yang digunakan masyarakat untuk membangun rumah, alat-alat kerja dan perabotan/furniture. Kayu gergajian merupakan hasil konversi kayu bulat dengan menggunakan gergaji, dimana kayu tersebut mempunyai ben- tuk yang teratur dengan sisi yang sejajar dan sudut siku-siku. Kayu gergajian sebagai bahan ba- ngunan mempunyai keunggulan dibanding produk lain. Keunggulan tersebut menjadikan pro- duk kayu sulit diganti dengan barang substitusi, sehingga pasar produk kayu gergajian sangat bagus. Kayu gergajian mempunyai nilai estetika karena adanya keragaman warna, tekstur penampilan, memberikan perasaan hangat untuk dipegang dan dipandang, menyerap benturan dan getaran dengan lebih baik, mudah dikerjakan, tidak berkarat, tahan terhadap asam konsentrasi rendah, mudah direkatkan, baik dengan paku maupun bahan perekat (Waruwu, 2006). Kota Bengkulu adalah Ibu Kota Provinsi Bengkulu yang saat ini sedang berkembang, selain itu penduduk Kota Bengkulu merupakan masyarakat modern, sehingga membutuhkan

237

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang lebih banyak kayu gergajian dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi Bengkulu. Produksi kayu gergajian di Kota Bengkulu pada tahun 2001 sebesar 6.375 m³, tahun 2002 sebesar 11.428 m³, tahun 2003 sebesar 15.699 m³, tahun 2004 sebesar 6.013 m³, tahun 2008 sebesar 6.926 m³, tahun 2009 sebesar 1.096 m³ dan tahun 2010 produksi kayu gergajian 2.609 m³ (BPS, 2004; BPS, 2010). Menurut Soegito (2003) dalam Rozal (2005) kebutuhan kayu gergajian di Kota Bengkulu pertahunnya mencapai 30.000 m³. Kayu gergajian yang diperdagangkan di Kota Bengkulu terdiri dari beberapa jenis dan ukuran sortimen. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tetang jenis dan ukuran sortimen yang diperdagangkan Kota Bengkulu. Hasil penelitian ini berguna sebagai informasi jenis-jenis dan ukuran sortimen yang dibutuhkan masyarakat di Kota Bengkulu, sehingga dapat digunakan untuk rekomendasi budidaya dan pengembangan jenis yang dibutuhkan oleh masyarakat.

II. METODE PENELITIAN

2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian lapangan ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2013. Data yang diambil adalah jenis dan ukuran sortimen kayu gergajian yang diperdagangkan di Kota Bengkulu. 2.2. Sumber Data Data penelitian diperoleh melalui wawancara langsung dengan 20 pemilik depot dengan menggunakan alat bantu quisioner. Pengumpulan data penelitian dengan cara: a. Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. b. Wawancara adalah merupakan metode pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab langsung dengan responden (pemilik depot) secara lisan. Tujuan dari wawancara adalah untuk mengumpulkan data yang berhubungan langsung dengan penelitian c. Quisioner merupakan metode dengan mengajukan pertanyaan secara tertulis yang nantinya disebarkan kepada responden. 2.3. Penentuan Responden Responden adalah pemilik depot. Responden diambil secara sensus dari jumlah pemilik depot yang ada di Kota Bengkulu yang masih melakukan aktivitas jual beli kayu gergajian dan tidak melakukan pembelian kayu gergajian dari depot lain dalam ruang lingkup Kota Bengkulu. 2.4. Variabel Pengamatan Setiap depot dicatat jenis kayu gergajian dan ukuran sortimen yang diminta atau dibeli masyarakat. Kayu gergajian berdasarkan pengelompokkan ukuran sortimennya, dibedakan antara lain papan lebar, papan tebal, papan sempit, papan list, gergajian pendek dan broti. 2.5. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis kualitatif adalah pengumpulan data terhadap hasil penelitian yang dilakukan untuk menjelaskan agar lebih mudah dipahami. Data kualitatif dapat berbentuk tabel, kalimat, atau gambar.

238

Aspek Konservasi dan Lainnya

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat 20 depot kayu yang masih aktif di Kota Bengkulu, hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Waruwu tahun 2006 yang dilakukan di Kota Bengkulu terdapat 35 depot kayu yang aktif. Pengurangan jumlah depot kayu di Kota Bengkulu yang signifikan, yaitu sekitar 43% depot selama 7 tahun (periode 2005 sampai dengan 2012). Penurunan jumlah depot kayu yang beroperasi di Kota Bengkulu disebabkan terus berkurangnya pasokan kayu dari hutan. Kesulitan mendapatkan bahan baku ini menjadi kendala besar yang dihadapi oleh para pengusaha kayu, yang mengakibatkan tutupnya sebagian besar depot di Kota Bengkulu. Bahan baku kayu gergajian diperoleh dari hutan, namun kemampuan hutan untuk menghasikan produksi kayu semakin berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini mengakibatkan kawasan hutan terus tertekan dan berkurangnya produktivitas diakibatkan oleh pembangunan yang terus dilakukan masyarakat. Selama ini masyarakat hanya memanfaatkan jenis kayu komersil untuk dimanfaatkan, sehingga untuk jenis tersebut semakin hari semakin sulit untuk didapatkan, yang pada akhirnya masyarakat melakukan pembalakan hutan untuk mendapakan jenis komersil ini. Sulitnya mendapatkan jenis komersil menjadi kendala dalam pemenuhan kayu gergajian khususnya di Kota Bengkulu. Berikut alur pembelian kayu gergajian dari produsen ke konsumen:

Luar Kota Depot kayu Sawmil

Konsumen

Gambar 1. Alur distribusi kayu gergajian dari produsen ke konsumen

3.1. Jenis Kayu Gergajian Yang Diperdagangkan di Kota Bengkulu Dari 20 depot kayu gergajian di Kota Bengkulu terdapat 17 jenis kayu gergajian yang diperdagangkan. Kayu tersebut diperoleh dari sawmil, tebangan masyarakat, dan dari depot luar Kota Bengkulu atau Provinsi. Jenis kayu yang diperdagangkan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Jenis kayu yang paling sering dijumpai adalah durian (terdapat di 18 depot), pulai (terdapat di 14 depot), balam (terdapat di 12 depot), kayu bawang (terdapat di 10 depot), meranti serabut (terdapat di 10 depot), terap (terdapat di 10 depot). Jenis yang jarang ditemui di 20 depot adalah nangka (terdapat di 1 depot), kayu gadis (terdapat di 1 depot), cempedak (terdapat di 2 depot), ketapang (terdapat di 2 depot), kemang (terdapat di 2 depot), merawan (terdapat di 3 depot) dan keruing (terdapat di 3 depot). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi ke depot, kayu gergajian yang diperdagangkan Kota Bengkulu dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok meranti- merantian dan kelompok rimba campuran. Kelompok meranti-merantian terdapat 7 jenis yaitu Shorea palembanica, Shorea dasyphylla, Shorea teysmanniana, Litsea firma, Hopea sp, Dipterocarpuss sp, Dysoxylum mollissimum. Kelompok rimba campuran terdapat 10 jenis yaitu Durio sp, Artocarpus heterophyllus , Artocarpus Integra, Alstonia sp, Payena sp, Artocarpus sp, Paraserianthes falcataria, Mangifera kemanga, dan Terminalia sp. Rimba Campuran memiliki

239

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang lebih banyak spesies dikelompoknya karna jenis kelompok Rimba Campuran merupakan kumpulan berbagai macam jenis kayu hutan yang dapat dimanfaatkan untuk industri kayu pertukangan. Tabel 1. Jenis kayu gergajian yang diperdagangkan di Kota Bengkulu No Nama lokal Nama Ilmiah Jumlah depot Harga yang menyediakan (Rp) 1 Meranti merah Shorea palembanica 9 2.800.000 2 Meranti serabut Shorea dasyphylla 10 2.600.000 3 Meranti bungo Shorea teysmanniana 7 2.800.000 4 Medang Litsea firma 7 2.500.000 5 Merawan Hopea sp 3 2.500.000 6 Keruing Dipterocarpus sp 3 2.400.000 7 Kayu bawang Dysoxylum mollissimum 10 2.400.000 8 Durian Durio sp 18 1.800.000 9 Nangka Artocarpus heterophyllus 1 1.700.000 10 Cempedak Artocarpus integra 2 1.800.000 11 Kayu gadis Cinnamomum porrectum 1 1.800.000 12 Pulai Alstonia sp 14 1.800.000 13 Balam Payena sp 12 2.500.000 14 Terap Artocarpus sp 10 1.800.000 15 Kemang Mangifera kemang 2 1.600.000 16 Ketapang Terminalia sp 2 1.600.000 17 Sengon Paraserianthes falcataria 6 1.500.000

Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pengelompokan Jenis Kayu Sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan Nomor: 163/Kpts-II/2003 mengelompkkan jenis kayu yang diperdagangkan menjadi 4 jenis yaitu kelompok jenis kayu meranti, kelompok jenis kayu rimba campuran, kelompok jenis kayu eboni, dan kelompok jenis kayu indah. Di Kota Bengkulu tidak dijual kelompok jenis kayu eboni dan kelompok jenis kayu indah. 3.2. Ukuran Sortimen yang Diperdagangkan di Kota Bengkulu Sortimen adalah kayu gergajian dengan ukuran tertentu. Sortimen dibedakan antara sortimen umum dan sortimen khusus. Sortimen umum adalah sortimen yang dalam pengolahannya masih harus dikerjkan lagi (dibelah, dipotong, diserut dan sebagainya). Sedangkan sortimen khusus adalah dalam penggunaannya, sortimen ini tidak perlu dikerjakan lagi, maksimum hanya dipotong panjangnya sesuai dengan kebutuhan (Hadikusumo, 2007). Dari hasil wawancara pada pemilik depot kayu gergajian, terdapat 14 jenis ukuran sortimen yang diperdagangkan di Kota Bengkulu (Tabel 2). Dari hasil penelitian di lapangan bahwa kayu gergajian yang diperdagangkan di Kota Bengkulu dikelompokkan berdasarkan jenis ukuran sortimen yang terdiri dari papan sempit, papan lebar dan broti. Papan sempit di bagi menjadi dua yaitu 2 x 10 x 400 dengan nama dagang 2/10 dan ukuran 3 x 10 x 400 dengan nama dagang 3/10. Papan lebar terbagi atas enam ukuran yaitu 2 x 20 x 400, 2 x 25 x 400, 3 x 15 x 400, 3 x 20 x 400, 3 x 25 x 400 dan 4 x 25 x 400, dengan nama dagang masing-masing berturut-turut yaitu 2/20, 2/25, 3/15, 3/20, 3/25 dan 4/25. Broti terbagi atas enam ukuran yaitu 3 x 5 x 400 (reng), 4 x 6 x 400 (kasau), 5 x 7 x400 (kasau), 5 x 10 x 400 (balok), 6 x 12 x 400 (balok/kusen), dan 7 x 14 x 400 (balok). Berdasarkan Tabel 2, ukuran sortimen yang paling sering ditemukan adalah 4/6 (terdapat di 20 depot) 5/10, 6/12, 7/14 (terdapat di 19 depot), 2/25, 5/7 (terdapat di 17 depot) dan 3/25 (terdapat di 16 depot). Sedangkan ukuran sortimen yang paling jarang ditemukan 2/10 (terdapat di 3 depot).

240

Aspek Konservasi dan Lainnya

Tabel 2. Ukuran sortimen yang diperdagangkan di Kota Bengkulu No Ukuran Nama Nama Jumlah depot sortimen Sortimen Dagang yang menyediakan 1 2 x 10 x 400 Papan sempit 2/10 3 2 2 x 20 x 400 Papan lebar 2/20 6 3 2 x 25 x 400 Papan lebar 2/25 17 4 3 x 5 x 400 Broti Reng 12 5 3 x 10 x 400 Papan sempit 3/10 7 6 3 x 15 x 400 Papan lebar 3/15 6 7 3 x 20 x 400 Papan lebar 3/20 9 8 3 x 25 x 400 Papan lebar 3/25 16 9 4 x 6 x 400 Broti Kasau 20 10 4 x 25 x 400 Papan lebar 4/25 13 11 5 x 7 x 400 Broti Kasau 17 12 5 x 10 x 400 Broti Balok 19 13 6 x 12 x 400 Broti Balok/Kusen 19 14 7 x 14 x 400 Broti Balok 19

Pembagian sortimen dan kualitas di Amerika Serikat sedikit berbeda dengan di Indonesia dan lebih lengkap. Berikut disajikan mengenai pembagian sortimen tersebut yaitu jenis sortimen; board dengan tebal < 2 inci, lebar ≥ 2 inci, strip dengan tebal ≤ 2 inci, lebar ≤ 6 inci. Dimension dengan tebal ≥ 2 inci tetapi < inci, lebar 2 inci plus, post dan timber 5 in x 5 in atau lebih besar. Structural joist dan plank dengan tebal 2-4 inci, lebar 2-4 inci, dan beam dan stringer dengan tebal 5 inci, lebar lebih dari 2 inci daripada tebal, sedangkan kelas pembuatan di Amerika Serikat terbagi tiga yaitu kayu gergajian kasar (belum diserut), kayu gergajian halus (sudah diserut), dan kayu gergajian kerja (worked lumber): sudah diserut dan diberi pola atau dipasang-pasangkan (Hadikusomo, 2007). Tabel 3. Ukuran sortimen kayu gergajian berdasarkan jenis No Nama lokal Ukuran sortimen Jumlah 2/10 2/20 2/25 3/5 3/10 3/15 3/20 3/25 4/6 4/25 5/7 5/10 6/12 7/14 sortimen 1 Meranti merah √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 2 Meranti serabut √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 3 Meranti bungo √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14

4 Medang √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 5 Merawan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 6 Keruing √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 7 Kayu bawang √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 8 Durian √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 9 Nangka √ √ √ ------√ √ √ √ √ 8 10 Cempedak √ √ - √ √ √ √ - √ - - - - - 7 11 Kayu gadis √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 12 pulai √ √ √ √ ------4 13 Balam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 14 Terap √ √ √ √ ------4 15 Kemang √ √ √ - √ √ √ √ - √ - - - - 8 16 Ketapang √ √ √ - √ √ √ √ - √ - - - - 8 17 Sengon √ √ √ - √ √ √ √ - √ - - - - 8

241

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 3, jenis yang paling sering dijumpai dan tersedia pada 14 ukuran sortimen di depot adalah meranti serabut (terdapat di 10 depot), kayu bawang (terdapat di 10 depot), durian (terdapat di 18 depot), dan balam (terdapat di 12 depot). Sedangkan pulai, terap hanya tersedia pada 4 ukuran sortimen, yaitu 2/10, 2/20, 2/25 dan 3/5. Jenis yang tersedia pada banyak ukuran sortimen menggambarkan bahwa jenis tersebut masih banyak tersedia tumbuh dan diameternya bervariasi di lapangan dibanding jenis yang tersedia di depot hanya pada sedikit ukuran sortimen.

IV. KESIMPULAN

1. Kayu gergajian yang diperdagangkan di Kota Bengkulu ada 17 Jenis. Jenis kayu yang paling sering dijumpai adalah durian, pulai, balam, kayu bawang, meranti serabut dan terap. Sedangkan jenis yang jarang ditemui adalah nangka, cempedak, ketapang, kemang, merawan dan keruing. 2. Kayu gergajian yang diperdagangkan di Kota Bengkulu ada 14 ukuran sortimen, terdiri dari papan sempit, papan lebar dan broti. Papan sempit (2/10, 3/10). Papan lebar (2/20, 2/25, 3/15, 3/20, 3/25 dan 4/25). Broti (3/5, 4/6, 5/7, 5/10, 6/12, 7/14). 3. Jenis kayu gergajian yang paling sering dijumpai dan tersedia pada 14 ukuran sortimen adalah meranti serabut, kayu bawang, durian, dan balam.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2004. Produksi Hasil Hutan Kayu di Bengkulu 2004. Bengkulu. Badan Pusat Statistik. 2010. Produksi Hasil Hutan Kayu di Bengkulu 2010. Bengkulu. Hadikusumo, A. S. 2007. Penggergajian Kayu. UGM. Jogyakarta. Irwanto. 2008. Penebangan Pohon Hutan untuk Menyukseskan progam Gerhan: http://www. irwantoshut.net/kerusakan_hutan_Indonesia. Html. [27 maret 2013]. Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 tentang Pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan. Rozal, H. 2007. Studi Permintaan Kayu Gergajian Berdasarkan Jenis dan Ukuran sortimen Di Kota Bengkulu. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu. Bengkulu (Tidak dipublikasikan). Waruwu, P. 2006. Studi Penjualan Kayu Geragjian Dalam Kelompok Jenis dan Ukuran Sortimen Pada Bulan Januari-Mei di 35 Depot Kayu Gergajian di Kota Bengkulu. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu. Bengkulu (Tidak dipublikasikan).

242

Aspek Konservasi dan Lainnya

STRATEGI PEMULIAAN UNTUK MENINGKATKAN RESISTENSI TANAMAN KAYU BAWANG (Dysoxylum mollissimum Blume.)

Agus Kurniawan Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Peningkatan produktivitas dan nilai ekonomi hutan selalu diupayakan untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan penyediaan kayu dalam kuantitas dan kualitas yang baik. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan adalah dengan perbaikan mutu materi tanaman melalui program pemuliaan. Dari program pemuliaan, diupayakan jenis-jenis tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dapat diseleksi sehingga dapat disediakan materi tanaman yang baik dalam jumlah yang cukup. Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang banyak ditanam oleh petani hutan di Provinsi Bengkulu. Tanaman ini memiliki keunggulan dalam produktivitas maupun kualitas kayu. Pemuliaan jenis kayu bawang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman serta resistensi tanaman terhadap serangan hama penyakit. Pemuliaan sekaligus untuk menghindari resiko penurunan nilai ekonominya dan meningkatnya resiko serangan hama penyakit akibat pemakaian materi genetik hasil inbreeding maupun selfing. Kata kunci: pemuliaan, resistensi, Dysoxylum mollissimum Blume, inbreeding, selfing

I. PENDAHULUAN

Produktivitas hutan harus diimbangi dengan upaya perlindungan sehingga tegakan hutan tidak rusak sampai pada saatnya dipanen. Upaya perlindungan yang dapat dilakukan salah satunya adalah upaya peningkatan resistensi tanaman. Upaya ini perlu dilakukan sebelum sumber genetik yang ada di lapangan makin menyempit akibat deforestasi. Berdasarkan data laju kerusakan hutan (deforestasi) 2004-2009 yang dirilis Kementerian Kehutanan (Kemhut), mencapai 1,7 juta hektare per tahun (Anonim, 2013) dengan total kerusakan seluas 56 juta hektar. Deforestasi akan berpengaruh terhadap penyusutan areal hutan yang berarti akan menyebabkan pengurangan luas areal vegetasi dan tidak mengherankan akan mengarah pada kemungkinan kepunahan suatu jenis atau pengurangan jumlah individu penyusun vegetasi di areal yang hilang tersebut. Disamping itu kebutuhan kayu nasional saat ini mencapai 57,1 juta m3/tahun, sedangkan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman untuk menyediakannya hanya sebesar 45,8 juta m3. Dengan kondisi tersebut, terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 11,3 juta m3 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Untuk meningkatkan produktivitas hutan, disamping pembangunan HTI secara ekstensif, diperlukan juga upaya secara intensif, yaitu dengan upaya penggunaan bibit unggul, strategi manipulasi lingkungan serta pengendalian hama/penyakit secara terpadu. Strategi pemuliaan merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomi hutan melalui perbaikan mutu materi tanaman. Secara genetik terdapat sifat ketahanan alami di dalam tanaman terhadap penyakit tertentu. Sifat ketahanan/resistensi tanaman dibedakan menjadi ketahanan bukan-inang (nonhost resistance), ketahanan sejati (true resistance) dan ketahanan nyata (apparent resistance) (Agrios, 1996). Dari program

243

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang pemuliaan, diupayakan jenis-jenis tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan tahan/resisten terhadap serangan hama penyakit dapat diseleksi sehingga dapat disediakan materi tanaman yang baik dalam jumlah yang cukup. Kayu bawang merupakan salah satu komoditas yang menjadi primadona bagi petani hutan rakyat di Provinsi Bengkulu. Hal ini didorong karena jenis ini memiliki beberapa kelebihan antara lain pertumbuhan yang cepat, batang lurus, tinggi batang bebas cabang tinggi, serat kayu halus dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu pertukangan, terutama sebagai bahan bangunan dan mebel. Kayu bawang dikenal sebagai tanaman yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit, bahkan ekstrak daunnya dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati untuk pengendalian rayap. Kayu bawang memiliki potensi pertumbuhan yang sangat baik. Hasil penelitian Apriyanto (2003) di Bengkulu Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan kayu bawang yang ditanam secara monokultur dengan jarak tanam 4 m x 4 m sampai umur 9 tahun memiliki riap diameter batang rata-rata per tahun 1,93 cm, riap tinggi rata-rata per tahun 2,14 m. Sedangkan hasil penelitian Sumadi et al. (2009), diperoleh informasi bahwa berdasarkan hasil proyeksi MAI dan CAI daur optimal tegakan kayu bawang pada umur 11 tahun dengan potensi volume per hektar sebesar 142.12 m3/ha. Budidaya tanaman Kayu bawang di masyarakat sudah cukup berkembang, tetapi masih belum ada upaya menuju peningkatan kualitas dan produktivitasnya. Melihat potensi kayu dan pemanfaatan yang cukup besar, Kayu bawang layak untuk menjadi jenis unggulan pembangunan hutan tanaman kayu pertukangan. Ancaman serangan hama dan penyakit menjadi kendala budidaya jenis tanaman ini. Beberapa jenis hama yang diketahui telah menyerang tanaman kayu bawang adalah kumbang penggerek batang (Xystrocera globosa) (Kurniawan dan Utami, 2012), hama ulat kantong (Pteroma plagiophleps), rayap pohon (Neotermes sp.) (Utami & Kurniawan, 2013) dan penyakit berupa jamur akar (Utami & Kurniawan, 2011). Untuk mendukung hal tersebut maka dibutuhkan kegiatan strategi pemuliaan untuk menyelamatkan basis genetik yang semakin menyempit sebagai wujud konservasi genetik dan upaya meningkatkan produktivitas serta resistensi tanaman pada serangan hama dan penyakit terhadap tanaman yang memiliki banyak keunggulan ini.

II. DESKRIPSI KAYU BAWANG (Dysoxylum mollissimum Blume.)

1. Taksonomi Kayu bawang termasuk famili Meliaceae, ordo , sub kelas Rosidae, kelas Eudicotyledoneae, divisio Magnoliophyta dan kerajaan Plantae. Dysoxylum mollissimum Blume. sebelumnya tanaman ini pernah digolongkan dalam famili Burseraceae dengan nama jenis Protium javanicum Burm. F. kemudian mengalami revisi penamaan berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2011 dengan nama Dysoxylum mollissimum Blume. Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama lokal kayu bawang, kayu pahit, kibawang, kititingi, rongga montji dan sibusuk. Di Philipina tanaman ini dikenal dengan nama himamao atau mata-mata (Anonim, 2011). 2. Penyebaran dan Tempat Tumbuh Kayu bawang merupakan salah satu jenis tanaman unggulan setempat di Provinsi Bengkulu, khususnya di Kabupaten Bengkulu Utara. Tanaman ini juga dikenal dengan nama kayu pahit karena rasa jaringan tanaman seperti daun, getah dan jaringan kayunya berasa pahit. Rasa pahit dari tanaman ini karena kandungan alkaloid dan oleh karena inilah diduga tanaman ini tahan terhadap serangan hama/penyakit. Di lapangan jenis ini merupakan tanaman

244

Aspek Konservasi dan Lainnya masyarakat dan di hutan alamnya sendiri sudah tidak dapat ditemukan, pada umumnya ditanam pada lahan yang sudah dibuka, seperti pada semak belukar, bekas lading atau kebun. Kayu bawang mampu tumbuh di berbagai jenis tanah dan relatif tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang spesifik. Secara topografis umumnya tumbuh pada ketinggian sampai dengan 700 m dpl dengan curah hujan 3.500 – 5.000 mm/th (Dishut Provinsi Bengkulu, 2003). Kayu bawang mampu bertahan pada tanah yang cenderung asam, tumbuh cepat, bebas cabang tinggi, tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta memiliki tekstur kayu yang baik. Tajuknya ringan dan sempit, tidak memiliki cabang yang besar hingga umur 3 tahun dan bersifat self pruning sehingga tanaman ini dapat digunakan pada pola agroforestri (Martin dkk, 2005). 3. Deskripsi Botanis Batang kayu bawang bulat lurus dengan tinggi pohon dapat mencapai 30 - 40 m dan diameter sekitar 100-120 cm. Kulit batang berwarna abu-abu sampai coklat muda dengan tekstur agak licin. Daunnya majemuk tunggal, berbentuk elips, ujungnya meruncing dengan tulang daun menyirip. Tajuknya ringan dan sempit, batang umumnya belum bercabang hingga umur 3 tahun dan bersifat self pruning. Buahnya bulat atau gepeng dan mempunyai daging buah. Bijinya berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 2 cm dan diameter 1 cm serta memiliki kulit luar yang keras (Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2003). Tajuk pohon ringan dengan diameter yang sempit dan persentase tajuk yang rendah (< 30 %) (Apriyanto, 2003). 4. Fenologi Kayu bawang tergolong tanaman dengan penyerbukan sendiri, atau memiliki bunga berumah satu (Watson and M. J. Dallwitz, 2010). Oleh karena tanaman ini memiliki tipe penyerbukan sendiri, tanaman ini mampu berbunga/berbuah meskipun tumbuh secara soliter. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tanaman berumur ± 30 tahun dengan diameter batang ± 120 cm di Tahura Rajolelo yang tumbuh secara soliter tetapi tetap berbunga dan berbuah. Dari pengamatan dan informasi masyarakat, tanaman Kayu bawang mulai berbuah pada umur kurang-lebih 6 tahun. Periode buah umumnya setahun sekali, tetapi pada tahun 2009 pernah tidak dijumpai buah. Umumnya kayu bawang berbunga pada periode bulan Maret- Mei dan biji dapat dipanen pada bulan Juni-Juli setiap tahunnya.

Gambar 1. Tanaman Kayu bawang

245

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

5. Sifat dan Kegunaan Kayu Kayu bawang memiliki serat yang halus sehingga mudah diolah, berat jenisnya sekitar 0,56, termasuk dalam kelas kuat III dan kelas awet IV (Bina Program Kehutanan, 1983 dalam Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2003). Masyarakat di Bengkulu umumnya menggunakan kayu ini sebagai bahan baku pembuatan perlengkapan mebel seperti lamari, meja, kursi, tempat tidur sampai bahan bangunan misalnya kusen, dinding dan sebagainya. 6. Perbanyakan Tanaman Kayu bawang dapat diperbanyak dengan perbanyakan generativ/biji. Biji kayu bawang termasuk tidak tahan disimpan dalam waktu lama, sehingga perlu segera disemaikan setelah buah/biji diunduh. Semai kayu bawang termasuk dapat tumbuh cepat dan siap ditanam di lapangan pada umur semai 2-3 bulan. Tanaman ini memiliki potensi perbanyakan secara vegetatif. Di lapangan sering dijumpai tunas-tunas yang tumbuh di sekitar pangkal tanaman, maupun pada tanaman yang tumbang.

III. STRATEGI PEMULIAAN TANAMAN KAYU BAWANG

Resistensi antar tanaman bervariasi dari imun sampai rentan. Ketahanan disebabkan oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Sifat ketahanan alami lebih dikendalikan oleh genetik. Langkah awal program pemuliaan tanaman umumnya ditujukan untuk meningkatkan keragaman sifat genetik (Agrios, 1996). Keberhasilan suatu strategi pemuliaan dicerminkan dalam besarnya perbaikan genetik (genetik gain) yang diperoleh pada sifat-sifat yang diseleksi. Strategi pemuliaan merupakan rangkaian kegiatan yang terpadu yang dirancang untuk memeperoleh berbaikan genetik yang maksimum dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Strategi ini dirancang didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman genetika serta biologi spesies yang tersedia dan kriteria seleksi yang diinginkan (Anonim, 2010). Semua program pemuliaan harus terdiri dari dua fase, yaitu fase operasional (produksi) dan fase penelitian dan pengembangan. Kedua fase berkaitan erat, namun membutuhkan filosofi dan pendekatan yang berbeda. Fase operasional terdiri dari upaya-upaya memperoleh bahan genetik tanaman unggul secepat dan seefisien mungkin. Sedangkan fase penelitian dan pengembangan bertujuan untuk memperoleh dan mempertahankan dasar genetik serta mengkombinasikan sifat-sifat yang diinginkan pada pohon-pohon yang akan berharga pada generasi yang akan datang. Banyak program pemuliaan yang mengabaikan aspek aspek penelitian atau aspek pengembangan. Program semacam ini pada akhirnya akan menemui jalan buntu. Terkait dengan hal tersebut maka perlu dijaga keseimbangan program pemuliaan antara fase operasional (produksi) dan fase penelitian dan pengembangan. Pekerjaan pemuliaan tidak pernah selesai, dan tindakan-tindakan serta keberhasilan 10, 20, 30 tahun yang akan datang ditentukan oleh kualitas fase pengembangan yang dibangun sebelumnya.

A. Strategi Mempertahankan Keragaman Genetik Keragaman genetik dapat diartikan sebagai variasi gen dan genotipe antar dan dalam species (Melchias, 2001). Keragaman genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam program pemuliaan, karena optimalisasi perolehan genetik akan sifat-sifat tertentu dapat dicapai apabila cukup peluang untuk melakukan seleksi gen terhadap sifat yang diinginkan. Basis genetik yang luas perlu tetap dipertahankan bahkan dikembangkan, sebab bukan saja untuk mempertahankan sifat yang telah ada tetapi untuk memperoleh sifat baru yang diinginkan dan sekaligus memiliki kemampuan beradaptasi pada lingkungan yang beragam

246

Aspek Konservasi dan Lainnya

(Wright, 1976). Sumber gen resisten dijumpai pada varietas yang umumnya ditanam di daerah serangan hama/penyakit (Agrios, 1996). Pada dasarnya species pohon hutan memiliki sebaran geografis yang luas, sistem perkawinan silang, biji tersebar secara luas dan memiliki kemampuan berkembang biak baik secara generatif maupun vegetatif, sehingga akan memiliki keragaman genetik baik antar species ataupun antar populasi yang lebih besar dibanding dengan species yang sebarannya endemic dan populasi alaminya lebih sempit (Hamrich et al., 1992). Lebih lanjut disampaikan bahwa species dengan sebaran endemic dan populasi sempit akan menunjang terjadinya proses genetik drift yang berakibat langsung terhadap turunnya keragaman genetik. Kemajuan program pemuliaan pohon akan sangat ditentukan oleh materi genetik yang tersedia, dimana semakin luas basis genetik yang dilibatkan dalam program pemuliaan suatu jenis, semakin besar peluang untuk mendapatkan peningkatan perolehan genetik (genetik gain) dari sifat yang diinginkan. Keberadaan sumberdaya genetik suatu jenis dengan basis yang luas menjadi suatu keharusan dan memiliki arti yang sangat penting agar program pemuliaan dari generasi ke generasi berikutnya tetap terjamin kelangsungannya. Pemuliaan didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip genetika pada kegiatan silvikultur untuk menciptakan hasil hutan yang bernilai tinggi. Dalam praktek, Zobel dan Talbert (1984) membedakan antara tree breeding yang ditujukan untuk memecahkan problem-problem genetik hutan secara khusus dengan pemuliaan pohon (tree improvement) yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk melalui perpaduan antara genetika, silvikultur dan kegiatan pengelolaan hutan. Tujuan utama pemuliaan adalah meningkatkan frekuensi allel yang diinginkan yang ditemukan dalam populasi breeding (Johnson et al., 2001). Program pemuliaan pohon ditujukan untuk menghasilkan benih unggul dalam jumlah yang cukup sebagai materi pembuatan tanaman secara operasional. Para pemulia mengetahui sifat yang ingin dikembangkan tetapi tidak mengetahui allel mana yang mempengaruhi sifat dan distribusinya di dalam populasi. Oleh karena itu program pemuliaan harus mempertahankan keragaman genetik yang cukup untuk dapat meningkatkan perolehan genetik (genetik gain) dari generasi ke generasi. Sifat yang ingin dikembangkan tentunya juga disesuaikan dengan perubahan yang terjadi, termasuk perubahan iklim, respon terhadap hama dan penyakit baru dan perubahan pasar. Pemuliaan pohon akan sangat baik apabila dapat tetap mempertahankan seluruh keragaman genetik pada populasi pemuliaan untuk menjaga kemungkinan yang tidak terduga. Agar keragaman genetik tersebut dapat dipertahankan secara efektif dan efisien, para pemulia perlu mengetahui alel mana yang terganggu akibat seleksi dan mengetahui variasi genetik dalam species. Dengan demikian keragaman genetik sangat penting bagi kegiatan pemuliaan pohon dalam meningkatkan perolehan genetik.

B. Program Pemuliaan Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) Pemuliaan pohon diartikan sebagai aplikasi ilmu genetika hutan pada praktik silvikultur dalam upaya untuk meningkatkan produk yang lebih tinggi nilainya. Genetika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana sifat-sifat diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Genetika hutan dapat diartikan sebagai studi variasi pohon-pohon hutan yang diwariskan. Langkah-langkah dalam pemuliaan pohon adalah: (1) Penentuan spesies/provenansi; (2) Studi variabilitas; (3) Pengemasan sifat yang diinginkan; (4) perbanyakan dan (5) mengembangkan dan mempertahankan basis genetik untuk kepentingan lebih lanjut (Suseno et al., 1998). Dengan demikian, guna mendukung kegiatan pembangunan kehutanan di masa sekarang dan mendatang, kegiatan pemuliaan pohon sangat strategis untuk terus dikembangkan. Disadari

247

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang bahwa kegiatan pemuliaan pohon memerlukan proses yang cukup panjang untuk memperoleh hasil yang diharapkan (benih unggul), karena harus melalui berbagai macam tahap kegiatan. Pemuliaan tanaman kayu bawang dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Penentuan spesies Pemilihan jenis tanaman kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) sebagai jenis yang perlu mendapatkan perlakuan pemuliaan didasarkan pada beberapa pertimbangan, diantaranya adalah: a. Kayu bawang merupakan jenis unggulan setempat yang secara umum memiliki karakter pertumbuhan dan kualitas yang baik yang sangat potensial untuk dapat dikembangkan secara luas untuk menunjang program-program usaha pengembangan hutan tanaman seperti HTI (Hutan Tanaman Industri), HTR (Hutan Tanaman Rakyat), HR (Hutan Rakyat) dan pola agroforestri b. Kayu bawang merupakan jenis fast growing yang semula dianggap oleh sebagian masyarakat petani hutan di Provinsi Bengkulu sebagai tanaman yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit (tanaman resisten secara alami). Dari hasil penelitian, dijumpai serangan hama penggerek (Xystrocera globosa), ulat kantong (Pteronema sp, Pagodiella sp.) (Kurniawan dan Utami, 2012) serta penyakit mati pucuk. c. Kayu bawang merupakan jenis endemic dan memiliki sebaran alami yang sempit, sehingga perlu upaya konservasi genetik sebelum terjadi penurunan sumberdaya genetik/keragaman genetik. 2. Studi Variabilitas a. Jenis variasi tanaman yang ditemukan dilapangan diantaranya adalah: 1) Warna dan alur kulit batang (warna: putih, agak kecoklatan; alur: tidak beralur/rata tanpa bintik-bintik, tidak beralur tetapi memiliki bintik-bintik dan beralur vertical dangkal) 2) Ukuran daun ada yang kecil-kecil dan ada yang relative agak besar 3) Variasi pertumbuhan tanaman pada umur yang sama pada kondisi site yang berbeda. b. Variasi tempat tumbuh mulai dari yang tumbuh di dataran rendah (sejajar pantai) sampai dengan pada ketinggian 700 m dpl. c. Genus Dysoxylum terdiri dari sekitar 70 jenis yang umumnya jenis pohon dan tersebar di Australia, Selandia Baru, Papua New Guinea, Caledonea Baru dan beberapa tempat di bagian barat Samudra Pasifik (Anonim, 2011). Sumber lain menyebutkan bahwa, kayu bawang juga dijumpai di India, Myanmar, Cina Selatan, Philipina, Malaysia, Indonesia sampai dengan Australia (Anonim, 2012). Di Indonesia, tegakan alami kayu bawang awalnya dijumpai di Provinsi Bengkulu, tetapi saat ini sudah tidak dapat ditemukan karena telah banyak ditebang (Utami dkk, 2011b). Pengetahuan jenis ini penting untuk menggali potensi hybrid dari jenis ini untuk menghasilkan individu Hibrid vigor atau heterosis. Pengetahuan jenis ini penting untuk menggali potensi hybrid dari jenis ini untuk menghasilkan individu Hibrid vigor atau heterosis. 3. Pengemasan Sifat yang Diinginkan Sifat yang diinginkan adalah: Sifat utama: a. Sifat yang mendukung produktivitas tanaman yaitu pertumbuhan yang cepat dan kualitas batang bagus (batang bulat, lurus, tinggi batang bebas cabang tinggi) b. Sifat resistensi/ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit

248

Aspek Konservasi dan Lainnya

c. Sifat poin a dan b yang stabil sehingga dapat dikembangkan secara luas di luar area sebaran aslinya Sifat tambahan: d. Sifat tajuk yang proposional atau yang cenderung sempit dengan tetap memiliki kualitas batang yang baik (untuk kepentingan penanaman campur/agroforestry). 4. Kriteria Seleksi Pada tahap awal dilakukan seleksi massa terhadap individu-individu berfenotipe baik sesuai dengan sifat-sifat yang diinginkan pada poin 3 di atas. Individu terpilih ini digunakan sebagai kandidat pohon plus. Pada tahap berikutnya, penentuan kriteria seleksi didasarkan pada perolehan nilai genetik. 5. Eksplorasi Pohon Plus Eksplorasi dilakukan dalam rangka studi sebaran geografis suatu jenis yang biasanya dilanjutkan dengan pencarian pohon induk (seleksi), pengumpulan buah dan bagian vegetatif pohon, uji genetik dan konservasi genetik ex-situ. Dengan demikian bahan yang diperoleh dari kegiatan ini selain digunakan sebagai awal kegiatan pemuliaan juga menjadi bahan untuk kegiatan konservasi. Kegiatan eksplorasi pemilihan pohon induk pernah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada tahun 2010. Semula kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan materi benih tanaman untuk kepentingan pengembangan. Lokasi eksplorasi meliputi daerah sebaran tanaman kayu bawang pada berbagai ketinggian lokasi yang umumnya adalah hasil tanaman masyarakat kecuali pohon induk yang dijumpai di Tahura Rajo Lelo. Lokasi eksplorasi meliputi: 1) Bengkulu Tengah: desa Pekik Nyaring, desa Talang empat, Sekayun, dan Pasar Pedati, 2) Bengkulu Utara: dusun Curup, Senabah, Sawang lebar, Talang boseng, dan Taba Penanjung, 3) Kab. Rejang Lebong: desa Pal 7, Bandung Marga, Pelalo, Lubuk Saung, dan Beringin tigo, serta 4) Kota Bengkulu. Dari kegiatan ini diharapkan diperoleh sebanyak mungkin kandidat pohon plus (minimal 200 pohon/famili) sebagai dasar sumberdaya genetik untuk program pemuliaan. 6. Perbanyakan untuk membangun populasi dasar dan populasi pemuliaan Metode perbanyakan tanaman kayu bawang yang umum dipakai adalah menggunakan biji. Umumnya kayu bawang berbunga pada periode bulan Maret - Mei dan biji dapat dipanen pada bulan Juni - Juli setiap tahunnya. Untuk membangun populasi dasar, pada tahap awal adalah dengan mengumpulkan benih dari semua pohon plus dari berbagai lokasi di Provinsi Bengkulu. Asal benih harus dicacat sebagai bahan informasi asal benih dan benih ini diberi label dan segera mungkin disemaikan untuk menjaga viabilitas benih tetap baik. Biji yang diperoleh dicampur sebagai pendekatan randomisasi pada saat semai nantinya ditanam. Setelah itu biji disemaikan dan semai akan siap ditanam pada umur 2-3 bulan. Gunakan semai yang berasal dari benih yang dihasilkan dari berbagai pohon plus ini untuk membangun tegakan yang cukup luas sebagai populasi dasar. Penempatan semai dapat sembarang karena telah melalui randomisasi pada saat pencampuran benih, hanya saja tetap semai dengan penampilan dan sehat yang dipilih untuk dijadikan bahan tanaman. Metode perbanyakan vegetatif belum pernah diujicobakan tetapi melihat morfologi batang/cabang yang memiliki banyak nodus/titik tumbuh diduga tanaman ini mempunyai potensi untuk diperbanyak melalui metode vegetatif. 7. Pengembangan dan strategi mempertahankan basis genetik Tanaman Kayu bawang di Provinsi Bengkulu dikembangkan oleh masyarakat secara tradisional. Tanaman ini umumnya ditanam secara polikultur dengan tanaman komoditi

249

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

perkebunan seperti kopi, karet dan lain-lain meskipun terdapat juga yang telah mengembangkan secara monokultur. Masyarakat umumnya menerapkan pola pemanenan tebang butuh, sehingga tanaman yang memiliki karakter fisik bagus umumnya akan menjadi prioritas untuk ditebang karena pertimbangan faktor harga kayu. Hal ini menyebabkan keragaman genetik dan sumberdaya genetik dari tanaman yang berkarakter bagus akan semakin terkikis, sehingga diperlukan upaya segera untuk menyelamatkannya. Untuk mempertahankan basis genetik diperlukan kerja sama antara masyarakat, pemerintah daerah dan pemulia. Pohon plus perlu diregister dan diketahui oleh masyarakat pemilik, pemda dan pemulia. Pemahaman kepentingan pemuliaan perlu dijelaskan melalui penyuluhan dan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung. Diharapkan kepada masyarakat pemilik tanaman yang dijadikan sebagai pohon plus untuk tidak melakukan penebangan. Tetapi jika terpaksa akan ditebang oleh pemiliknya, diharapkan masyarakat memberikan laporan. 8. Uji provenansi dan Uji Multi lokasi Provenansi mengikuti sebaran geografi sebaran tanaman pohon induk di Provinsi Bengkulu. Pembuatan uji provenansi dilakukan untuk mengetahui provenan (sumber benih alami) dari suatu jenis yang potensial untuk dikembangkan di suatu wilayah pengembangan jenis tanaman. Dalam uji ini dapat diperoleh informasi apakah dijumpai famili-famili yang bersifat stabil disemua lokasi uji. Uji provenan dan uji multi lokasi dilaksanakan di beberapa wilayah untuk menguji kestabilan sifat genetik yang diinginkan dan untuk memperoleh kolaborasi antara sifat genetik dari famili yang diuji dengan lingkungan (site) yang terbaik. 9. Uji Keturunan Uji keturunan dilaksanakan pada populasi pemuliaan. Uji keturunan dilakukan untuk memperoleh informasi genetik sesuatu individu melalui keturunannya. Uji keturunan biasa digunakan dalam program seleksi pada kegiatan pemuliaan. Apabila seleksi telah selesai, materi tanaman pada uji keturunan dapat dikonversi menjadi kebun benih. Di samping berfungsi sebagai penghasil benih, kebun benih ini juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemuliaan selanjutnya. Dalam pelaksanaannya, pembangunan uji keturunan dapat dikombinasikan dengan uji provenansi. 10. Hibridisasi Hibridisasi akan menghasilkan transfer allel atau gen yang akan semakin meningkatkan kehadiran gen-gen unik pada individu-individu yang berada di antara kedua populasi jenis yang bersilang. Dari kegiatan hibridisasi akan diperoleh individu hibrid, yaitu melalui rekombinasi gen dari dua populasi jenis yang bersilang. Dengan hibridisasi dimungkinkan dapat tercipta tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, seperti kemampuan hidup pada lingkungan yang sulit, ketahanan terhadap hama dan penyakit atau kemampuan menghasilkan produk khusus. Kegiatan yang tercakup di dalamnya antara lain studi fenologi pembungaan dan penyerbukan baik terbuka maupun secara terkendali. Kegiatan hibridisasi jenis kayu bawang dapat dilakukan setelah mendapatkan koleksi 2 (dua) jenis Dysoxyllum yang lain yang sampai saat ini tidak/belum diketahui keberadaannya. Hibridisasi ini nantinya dapat dijadikan kegiatan pemuliaan pada jangka selanjutnya untuk memperoleh individu Hibrid vigor yang memiliki karakter superior terutama dalam hal produktivitas dan sifat resistensi terhadap hama dan penyakit.

250

Aspek Konservasi dan Lainnya

11. Pembuatan Kebun Benih Semai Kebun benih semai merupakan suatu kebun benih yang tanamannya berasal dari biji. Kebun benih ini dapat merupakan hasil kombinasi dari uji provenan dan uji keturunan yang pada akhirnya diubah fungsinya menjadi kebun benih, atau sejak awal memang pembangunannya ditujukan untuk menghasilkan benih untuk penanaman. Kebun benih ini bisa berupa kebun benih hasil konversi dari tegakan populasi pemuliaan yang telah mengalami proses seleksi. Kebun benih ini dapat juga dari hasil F-1 (generasi pertama) maupun F-2 (generasi kedua) dan seterusnya.

IV. PENUTUP

Kayu bawang merupakan tanaman unggulan lokal masyarakat Provinsi Bengkulu yang sangat potensial untuk dikembangkan secara luas. Kayu bawang termasuk jenis cepat tumbuh yang memiliki keunggulan dalam hal produktivitas dan kualitas kayu. Budidaya tanaman Kayu bawang selama ini masih belum memperhatikan dan menerapkan kaidah silvikultur yang tepat, misalnya benih yang digunakan pada umumnya masih mengandalkan benih asalan, yang tidak diketahui asal-usul dan kualitasnya. Selain itu, dukungan riset untuk jenis ini masih terbatas dan masih menitikberatkan pada identifikasi dan potensi jenis di lapangan dan belum mengarah pa- da upaya intensifikasi untuk memperoleh tegakan berkualitas dan bernilai ekonomi yang tinggi. Dengan program pemuliaan diharapkan dapat menjaga keragaman genetik yang selama ini masih tersedia dan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman kayu bawang. Keberhasilan program pemuliaan pohon akan sangat dibutuhkan dalam pengembangan hutan tanaman, seperti HTI, HTR dan lain-lain. Dengan program tersebut akan dihasilkan benih unggul, sehingga dapat dioperoleh tegakan tanaman kayu bawang dengan produktivitas tinggi yang resisten terhadap hama dan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Edisi Ketiga. Terjemah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Anonim. 2011. Flora of China (on-line). Diakses di http://www.efloras.org/ florataxon.aspx?flora_id=2&taxon_id=10134 pada 4 Juni 2011. 2012. Xystrocera globosa (Olivier,1795) Taxonomic Serial No: 187737. Diakses di http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?searchtopic =TSN&search_value=187737 pada 9 Januari 2012. 2013. Kerusakan Hutan Capai 1,7 juta Ha/Tahun. Akses pada 4 November 2013 di www.http.Lampos.co/berita. Apriyanto, E. 2003. Pertumbuhan Kayu bawang (Protium javanicum. Burm.f) pada Tegakan Monokultur Kayu bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 5, No.2 tahun 2003. Diakses di http://www. bdpunib.org/jipi/artikeljipi /2003/64.PDF pada tanggal 13 Agustus 2007. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Statistik Kehutanan dan Perkebunan Tahun 1999/2000. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

251

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Departemen Kehutanan, 2007. Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia. In-house Experts Working Group Revitalisasi Industri Kehutanan Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Tahun 2004. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu bawang. Di Bengkulu: Dishut Provinsi Bengkulu. Dirjen Bina Produksi Kehutanan. 2005. Workshop Program Jaringan Kerja Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta, Juni 2005. Hamrick, J.L., M.J.Godt,and S.L.Sherman-Broyles. 1992.Factors Influencing Levels Of Genetic Diversity In Woody Plant Species. New Forest 6: 95-124. Johnson R., B. S. Clair and S. Lipow. 2001. Genetik conservation in applied tree breeding programs. In : Thielges, B. A., S. D. Sastrapraja and A. Rimbawanto (Eds). Proc. Of International Conference on In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. Yogyakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Kurniawan, A dan S. Utami. 2012. Serangan Hama Penggerek Batang pada Tanaman Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) Di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang: Peluang dan Tantangan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Libang Kehutanan Martin, E., F.B. Galle dan J.P. Tampubolon. 2005. Teknologi dan Kelembagaan Social Forestry pada Hutan Rakyat. Laporan Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Barat. Palembang. Melchias, G. 2001. Biodiversity and Conservation. Science Publishers. Soeseno, O.H. 1993. Pemuliaan Pohon. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sumadi, A., H. Siahaan & T. R. Saefullah. 2009. Kuantifikasi Model Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Suseno, O.H.., M. Na’iem dan M.Sambas S.,1998. Jaringan Kerja Pemuliaan Pohon Hutan Menghadapi Abad 21. Bulletin Kehutanan. UGM. Yogyakarta.37:47-50. Utami, S. dan A. Kurniawan. 2011. Inventarisasi Searangan Hama, Penyakit dan Gulma Pada Pertanaman Kayu bawang di KHDTK Benakat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas 13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Utami, S. dan A. Kurniawan. 2013. Potensi Hama pada Pola Agroforestri Kayu bawang di Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013: Agroforestry untuk

252

Aspek Konservasi dan Lainnya

pangan dan lingkungan yang lebih baik. Kerja sama Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Masyarakat Agroforestri Indonesia (MAFI) di Malang (proses cetak). Utami, S., Kurniawan, A., Saefullah, T.R. & Hidayat, A.B. 2011b. Budidaya Jenis Kayu Bawang: Aspek Perlindungan Hutan, Laporan Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan Watson and M. J. Dallwitz, 2010. The Families of Flowering Plants, http://delta- intkey.com/angio/www/burserac.htm, akses pada 31 Desember 2010. Wright, J. 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press INC. New York Zobel, B.J and J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons Inc. Canada. Zulkarnaen, I. 2006. Kaidah-Kaidah Ilmiah dalam Pelaksanaan Konservasi Sumber Daya Genetik Tanaman Hutan. Workshop Nasional III. Sinkronisasi Kegiatan Konservasi Sumberdaya Genetik untuk Mendukung Pengembangan Hutan Tanaman. Pusat Litbang Hutan Tanaman.

253

Aspek Konservasi dan Lainnya

DETEKSI SEBARAN HUTAN RAKYAT JENIS BAMBANG LANANG (Michelia champaca) DENGAN MENGGUNAKAN REMOTE SENSING DAN GIS

Dody Prakosa Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Dalam pengusahaan hutan tanaman, data luas areal dan potensi hutan sangat penting dan mutlak untuk diketahui karena informasi tersebut merupakan salah satu faktor penentu tercapainya azas kelestarian, baik kelestarian usaha maupun kelestarian sumberdaya hutan. Ketersediaan pedoman atau petunjuk teknis inventarisasi hutan tanaman yang applicable sangat diperlukan untuk membantu para pengelola hutan dalam mendapatkan informasi luas areal dan potensi tegakan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan, sehingga rencana pengelolaan dapat disusun secara rasional, tepat, dengan hasil optimal dan lestari. Dengan berkembangnya teknologi remote sensing (penginderaan jauh) dan Sistem Informasi Geografis (SIG), maka inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan lebih efisien, karena dapat menjangkau areal-areal yang sulit dijangkau tanpa harus mendatanginya. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan sebaran hutan rakyat jenis Bambang lanang yang ada di Kota pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan. Metode klasifikasi citra yang digunakan adalah metode klasifikasi maximum likelihood dan dilakukan dengan berbantuan (supervised classification). Hasil klasifikasi citra menghasilkan 10 kelas penutupan lahan (land cover). Sebaran hutan rakyat bambang lanang di Kota Pagar Alam banyak terdapat di bagian utara sampai ke tengah Kota Pagar Alam, karena di sebelah selatan masih banyak didominasi hutan alam. Luas kebun campuran bambang lanang 4.978,95 ha (7,9%) dari luas total Kota Pagar Alam (63.389,83 ha), sehingga masih banyak lahan yang dapat dibangun hutan rakyat jenis bambang lanang. Kata kunci: inventarisasi hutan, sebaran hutan, klasifikasi citra, remote sensing, GIS, supervised classification

I. PENDAHULUAN

Pengembangan hutan rakyat jenis bambang lanang sudah banyak dilakukan di Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan. Karena sifat-sifat kayu yang baik untuk digunakan sebagai kayu pertukangan dan pertumbuhannya yang relatif cepat, maka jenis bambang lanang mulai dikembangkan oleh masyarakat, khususnya di Kota Pagar Alam. Pengembangan hutan rakyat jenis bambang lanang ini tidak hanya dilakukan di Kota Pagar Alam, tetapi juga terjadi di daerah sekitarnya seperti di Kabupaten Empat Lawang dan Kabupaten Lahat. Kesulitan yang dihadapi pemerintah daerah adalah bagaimana mengetahui sebaran dan luas hutan rakyat jenis bambang lanang ini secara cepat. Apabila dilakukan survei di lapangan, maka akan membutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang sangat besar. Di sisi lain, mengetahui sebaran dan luas sangat penting untuk monitoring dan pengembangan hutan rakyat jenis bambang lanang ini. Melihat permasalahan tersebut, maka diperlukan teknologi yang cepat dan murah yaitu dengan teknologi penginderaan jauh. Teknologi Penginderaan Jauh (PJ) mampu menggambarkan obyek di permukaan bumi secara luas, terkini dan dapat dimanfaatkan secara periodik, digunakan untuk memetakan

255

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang penutupan lahan dan memonitor perubahannya. Produk data penginderaan jauh ada dua jenis yaitu digital dan analog. Data digital diolah dan dianalisis dengan bantuan perangkat keras berupa komputer dan perangkat lunak pengolahan citra, sedangkan data analog diolah dan dianalisis secara visual. Kedua jenis data tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai bidang kajian seperti pertanian, kehutanan, geologi, pekerjaan umum dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai). Menurut Sutanto (1986), beberapa keuntungan penggunaan data PJ yaitu citra PJ menggambarkan obyek, daerah, gejala di permukaan bumi dengan wujud dan letak yang mirip dengan di permukaan bumi, relatif lengkap, meliput daerah yang luas dan permanen, namun demikian menurut Francois dan Ramires (1996), keterbatasan dari klasifikasi data digital yang mengandalkan nilai spektral adalah apabila spektral dari penutupan lahan yang berbeda memiliki nilai yang hampir sama. Hal ini terjadi kalau obyek tersebut bercampur dalam satu piksel (30 m x 30 m, untuk citra landsat). Namun apabila obyek yang sama cenderung mengelompok, maka lebih mudah dibedakan. Namun menurut Danoedoro (2003), klasifikasi citra secara digital tidak cukup hanya mengandalkan informasi spektral, tetapi diperlukan pengetahuan tambahan mengenai tipe penutupan lahan di lokasi kajian, yang meliputi tekstur dan informasi medan (terrain information). Limpitlaw dan Woldai (2000), menyatakan bahwa perubahan penutupan lahan dapat terjadi secara tiba-tiba maupun gradual. Perubahan yang terjadi tiba-tiba, batasnya akan nampak jelas, tetapi apabila terjadi secara gradual batasnya akan kurang jelas dan agak sulit dideteksi. Dewasa ini perkembangan teknologi PJ begitu cepat, terbukti dari banyaknya dan meningkatnya kemampuan satelit sumber daya yang diluncurkan ke orbit. Beberapa satelit sumber daya yang cukup dikenal antara lain Landsat dengan resolusi spatial 30 x 30 m (untuk multispektral) dan pankromatik 15 x 15 m, citra SPOT 20 x 20 m (multispektral) dan 10 x 10 m (pankromatik), citra IKONOS 1 x 1 m (pankromatik) dan Quick Bird dengan resolusi 0.61 x 0.61 m. Disamping itu kemampuan pembedaan obyek juga semakin berkembang, terbukti dengan banyaknya saluran spektral yang digunakan misalnya citra landsat MSS (Multi Spectral Scanner) yang digunakan pada era tahun 1980-an memiliki 7 saluran spektral (band) saat ini generasi landsat 7 ETM+ (Enhance Thematic Mapper) menggunakan 8 saluran spektral yaitu 6 saluran inframerah tampak (Visible Infrared), 1 saluran pankromatik dan 1 saluran inframerah termal (Thermal Infrared). Jenis data yang digunakan untuk kajian adalah citra digital Landsat 7 ETM+ hasil rekaman tahun 2004. Pengkajian dilakukan dengan memilih metode klasifikasi terbaik untuk mendapatkan kondisi penutupan lahan masing-masing fungsi kawasan yang obyektif. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran hutan rakyat jenis bambang lanang di Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan.

II. METODE PENELITIAN

1. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan. Lokasi ini diambil karena pengembangan htan rakyat jenis bambang lanang di Kota Pagar Alam cukup banyak. Selain itu pertumbuhan jenis pohon bambang lanang ini cukup baik, sehingga masyarakat banyak yang tertarik untuk menanamnya. 2. Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu: 1. Citra satelit ALOS AVNIR tahun pengambilan 17 April 2010.

256

Aspek Konservasi dan Lainnya

2. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1: 250.000. 3. Peta penggunaan lahan (peta fungsi kawasan). 4. Peta situasi dan administrasi 5. Bahan survei dan lain-lain. Sedangkan peralatan yang diperlukan yaitu: 1. Software Ilwis versi 3.3, 2. Software Erdas Imagine versi 8.6, 3. Software ArcView 3.3. 4. GPS (Geographic Positioning System). 5. Microsoft Excel 2003, Microsoft Word 2007 dan Microsoft Visio 2000. 6. Digital camera, Komputer PC/Laptop. 7. Peralatan survei lapangan (GPS, kompas, Tali plastik 30 m, dan lain-lain). 3. Metode Metode klasifikasi citra yang digunakan adalah metode klasifikasi maximum likelihood. Sebelum klasifikasi maka citra terlebih dulu dilakukan koreksi radiometri dan geometri. Koreksi radiometri dilakukan tergantung dari kondisi citra antara lain dengan filtering, stretching dan lain-lain. Koreksi geometri dilakukan dengan memposisikan titik-titik ikat atau GCP (Ground Check Point) yang diperoleh dari lapangan dengan jumlah minimal 4 titik. Setelah dikoreksi posisi koordinatnya, kemudian baru dilakukan proses Resample, untuk mengoreksi posisi peta dan ukuran pixel (picture element). Hasil citra terkoreksi tersebut kemudian diklasifikasi secara tak berbantuan (unsupervised classification). Dari peta hasil klasifikasi tak berbantuan, dilakukan pengambilan sampel di peta sebanyak 30 titik yang dilakukan secara random, dimana 60% sampel digunakan untuk klasifikasi berbantuan (supervised classification) dan yang 40% digunakan untuk koreksi peta hasil klasifikasi yaitu dengan menggunakan metode error matrix. Klasifikasi berbantuan dilakukan dengan menyusun komposisi warna citra. Komposisi warna citra dibentuk dari penggabungan 3 saluran (band 452) yaitu pada saluran merah, hijau dan biru. Dalam klasifikasi berbantuan ini digunakan 60% dari jumlah jumlah sampel yang diambil. Ada 5 tahap dalam proses klasifikasi citra yaitu: memilih dan menyiapkan data citra, mendefinisikan cluster dalam feature space. Macam algoritma dalam klasifikasi citra yang banyak dikenal yaitu: box classifier, mini- mum distance to mean classifier dan maximum likelihood classifier (ITC, 2001), dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah maximum likelihood classifier. Maximum likelihood classifier adalah teknik klasifikasi citra, dimana tidak hanya mempertimbangkan pusat cluster tetapi juga bentuk, ukuran dan orientasinya. Hasil klasifikasi diperoleh dengan menghitung jarak secara statistik berdasarkan nilai rata-rata dan matrik covarian dari cluster. Pixel ditandai pada suatu kelas (cluster) apabila mempunyai nilai kemungkinan tertinggi. Asumsi dari kebanyakan pada metode ini adalah bahwa statistik pada cluster mempunyai sebaran normal (gaussian).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Pembuatan Sub Image Kota Pagar Alam Klasifikasi penutupan lahan dilakukan di Kotamadya Pagar Alam, Sumatera Selatan. Citra satelit yang digunakan berupa Citra ALOS-AVNIR, tahun pengambilan 17 April 2010, dengan resolusi 10 meter. Georeference (pemberian koordinat) citra dilakukan dengan mengambil titik- titik persimpangan jalan, perpotongan jalan dan sungai. Selanjutnya dikontrol dengan titik lokasi pemukiman (Desa). Tahap ini dikerjakan sebelum klasifikasi citra dilakukan, dengan

257

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang demikian posisi plot yang dibuat sekecil mungkin bergeser. Dengan demikian hasil analisis citra yang diperoleh juga akurat, karena pergeseran yang terjadi sangat kecil. Hasil yang diperoleh dari tahap ini adalah pososi citra sesuai dengan posisi titik koordinat yang dicatat melalaui GPS. Tahap selanjutnya adalah pembuatan sub image (citra yang luasannya sesuai dengan yang dikehendaki dalam studi ini). Pada penelitian ini luasan yang dipakai adalah luasan yang sesuai dengan batas administrasi Kotamadya Pagar Alam. Dengan demikian akan terjadi kesesuaian antara batas administrasi kota Pagar Alam dengan batas pada citra satelit. Jadi citra yang masih asli 1 scene dipotong disesuaikan dengan batas adaministrasi. Software yang digunakan dalam penelitian ini adalah ILWIS 3.3. karena penggunaannya relatif mudah dan cepat. Pembuatan sub image dapat dilakukan dengan software lain seperti ERDAS IMAGINE 2010, Arc GIS 9.3. Hasil Georeference dan pembuatan sun image dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil Georeference dan Sub Image Citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010 2. Hasil Klasifikasi Tipe Penutupan Hutan Rakyat Bambang Lanang Tahapan berikutnya adalah pembuatan klasifikasi penutupan lahan (land cover) dengan menggunakan citra satelit. Citra satelit yang dapat dipakai bermacam-macam, tergantung dari tujuan dan dana yang tersedia. Dalam penelitian ini citra yang digunakan adalah citra ALOS AVNIR-2 dengan resolusi pixel 10 meter. Klasifikasi citra dilakukan secara on screen digitizing dan klasifikasi digital. Masing-masing metode mempunyai kekuatan dan kelemahan. On screen digitizing classification sangat mengandalkan ketajaman mata dan kefamiliaran (well-known) pada areal yang akan diklasifikasi. Sedangkan klasifikasi digital sangat ditentukan oleh keragaman penutupan lahan dan penentuan sampel. Semakin beragam penutupan lahannya, semakin besar tingkat kesalahannya dan sebaliknya. Hasil klasifikasi di Kotamadya Pagar Alam dilakukan dengan metode Maximum Likelihood dan menggunakan software ILWIS 3.3. Jumlah kelas yang ditentukan menurut kondisi lapangan terdiri atas 10 kelas. Namun demikian jumlah kelas ini selain ditentukan oleh kondisi lapangan, juga ditentukan oleh tujuan klasifikasi. Semakin banyak jumlah kelas, maka semakin besar juga kesalahan yang terjadi. Tingkat akurasi hasil klasifikasi disamping ditentukan oleh keragaman penutupan lahan, juga ditentukan oleh pengalaman operator. Hasil Klasifikasi digital dengan metode Maximum Likelihood dapat dilihat pada Gambar 3. Luas masing-masing kelas penutupan lahan (land cover), di Kota Pagar Alam disajikan berupa grafik pada Gambar 4. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa luas kebun campuran

258

Aspek Konservasi dan Lainnya bambang lanang 4.978,95 ha (7,9%) dari luas total Kota Pagar Alam (63.389,83 ha). Sedangkan yang terluas adalah berupa semak belukar seluas 20.322, 69 ha (32,1%).

Gambar 3. Peta hasil klasifikasi citra ALOS AVNIR-2 di Kota Pagar Alam, tahun 2010

25.000,00 20322,69 20.000,00

15.000,00 10969,35 9819,86 10.000,00 6144,57 4978,95 5371,35 5.000,00 3401,98 540,62 561,37 1279,09 0,00

Gambar 4. Sebaran luas penutupan lahan di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan

IV. KESIMPULAN

1. Hasil klasifikasi citra menghasilkan 10 kelas penutupan lahan (land cover). 2. Sebaran hutan rakyat bambang lanang di Kota Pagar Alam banyak terdapat di bagian utara sampai ke tengah Kota Pagar Alam, karena di sebelah selatan masih banyak didominasi hutan alam.

259

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

3. Luas kebun campuran bambang lanang 4.978,95 ha (7,9%) dari luas total Kota Pagar Alam (63.389,83 ha), sehingga masih banyak lahan yang dapat dibangun hutan rakyat jenis bambang lanang.

DAFTAR PUSTAKA

Danoedoro, 2003. Multisource Classification For Landuse Mapping Based On Spectral, Textural and Terrain Information Using Landsat Thematic Mapper. Indonesian Journal of Geography Gadjah Mada University. Yogyakarta. Vol. 35.No.2, pp. 81-106. Francois, M.J. dan I. Ramirez. 1996. Comparison of Land Use Classifications Obtained by Visual Interpretation and Digital Processing. ITC Journal 96 - 3/4, pp 278-283. ITC. 2001. Principles of Remote Sensing. ITC Educational Textbook Series. International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences. Enschede, The Netherlands. Limpitlaw, D., and T. Woldai. 2000. Land use change as initial stage in environmental impact assessment on the Zambia copper bel. (Reprint No. 11.272). The International Institute for Geo-information Science and Earth Observation (ITC), Cape Town. Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

260

Aspek Konservasi dan Lainnya

INFORMASI KARAKTERISTIK TANAH TEMPAT TUMBUH SUNGKAI (Peronema canescen Jack.) DI SUMATERA

Tubagus Angga dan Sahwalita Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Pengembangan hutan tanaman harus dilakukan pada lokasi yang tepat dan menerapkan teknik silvikultur intensif. Upaya awal yang dilakukan adalah mencari informasi mengenai karakteristik tanah tempat tumbuh tanaman tersebut. Salah satu jenis yang mempunyai prospek untuk dikembangkan pada hutan tanaman adalah sungkai (Peronema canescen Jack.). Survei yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah tempat tumbuh tanaman sungkai meliputi 3 provinsi di Sumatera yaitu Sumatera Selatan, Jambi dan Riau. Metode yang dilakukan dengan mendatangi setiap lokasi yang diinformasikan ditumbuhi sungkai. Kemudian dilakukan pengumpulan data berupa koordinat dan ketinggian tempat, tinggi dan diameter tanaman serta pengambilan contoh tanah untuk di analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman sungkai dapat dikembangkan pada tanah-tanah mineral dataran rendah dengan faktor pembatas tanah yang masam, kesuburan yang rendah dan tekstur tanah berpasir. Jenis ini dapat menjadi jenis unggulan guna memenuhi kebutuhan kayu secara nasional karena dapat dikembangkan pada range kesuburan tanah yang luas. Kata kunci: kesuburan, sungkai, tanah mineral, tempat tumbuh

I. PENDAHULUAN

Dalam upaya memenuhi kebutuhan kayu baik secara lokal maupun nasional, hutan tanaman dijadikan andalan pada masa sekarang. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas hutan tanaman menjadi hal penting untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut. Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk menghasilkan hutan tanaman dengan produktivitas tinggi. Salah satunya adalah kesesuai lahan tempat tumbuh tanaman yang cocok untuk jenis yang akan ditanam. Pemilihan suatu jenis tanaman yang akan dikembangkan harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen dan kondisi lahan yang cocok pada suatu lokasi. Salah satu jenis yang prospek untuk dikembangkan pada hutan tanaman adalah jenis sungkai. Jenis ini memiliki beberapa keunggulan seperti: sebaran alaminya yang luas, termasuk jenis pioneer dan tahan terhadap kebakaran, sudah banyak ditanaman oleh masyarakat baik pola campuran maupun monokultur dan memiliki kayu yang berkualitas dengan pemanfaatan yang luas mulai dari kayu konstruksi, mebel sampai vinir indah untuk plywood. Untuk mendukung pengembangan jenis ini pada hutan tanaman diperlukan informasi yang tepat tentang karakteristik tanah tempat tumbuh yang sesuai. Kesesuaian suatu jenis tanaman untuk tumbuh optimal sangat ditentukan oleh banyak faktor baik secara internal berupa sifat genetik maupun eksternal berupa pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan yang langsung dapat menjadi pembatas dalam pertumbuhan tanaman adalah tempat tumbuh seperti ketinggian tempat, kemasaman tanah, kesuburan yang rendah

261

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang dan tekstur tanah. Tulisan ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang tempat tumbuh jenis sungkai di Sumatera.

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Riau, pada tahun 2010 sampai 2011.

B. Bahan dan Alat Materi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah tegakan sungkai baik di hutan alam maupun di hutan tanaman. Peralatan yang digunakan adalah GPS, haga meter, phi-band, alat bor tanah, alat tulis dan tally sheet.

C. Metode Dilakukan survei lapangan secara bertahap dari tahun 2010 hingga 2011 meliputi beberapa lokasi tempat tumbuh sungkai, yaitu Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin dan Muara Enim di Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Sorolangun dan Muaro Bungo di Provinsi Jambi serta Kabupaten Kampar, Kuantan Singigi dan Indragiri Hulu di Provinsi Riau. Data yang dihimpun meliputi informasi lokasi tempat tumbuh berupa koordinat dan ketinggian tempat menggunakan GPS, tinggi dan diameter tanaman serta pengambilan contoh tanah untuk di analisis. Pengambilan contoh tanah di lokasi tanaman sungkai menggunakan bor tanah pada kedalaman 0 – 20 cm dan 20 – 40 cm dengan 3 kali ulangan pada setiap kedalaman kemudian dicampur dalam wadah yang telah diberi label. Tanah kemudian di analisis di Laboratorium Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis tanah pada lokasi tempat tumbuh sungkai di provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Riau dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3. Berdasarkan hasil analisis tanah pada setiap lokasi, dihimpun nilai terkecil dan tertinggi untuk masing-masing nilai unsur karakteristik tanah sehingga menjadi nilai kisaran pada setiap provinsi. Nilai kisaran tempat tumbuh tanaman sungkai di Sumatera Selatan, Jambi dan Riau disajikan dalam Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3. Berdasarkan hasil survei, tanaman sungkai ditemukan pada tanah mineral dataran rendah dengan ketinggian tempat berkisar antara 26-108 m dpl dengan kisaran tinggi tanaman 4-30 m dan diameter batang 6-59 cm di provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Riau (Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3). Dari data sebelumnya menunjukkan sungkai dapat tumbuh ketinggian 600 m dpl (Martawijaya dkk, 2005). Hal ini mengambarkan bahwa sungkai dapat dikembangkan pada skala yang lebih luas. Dari Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat bahwa tanah-tanah lokasi tempat tumbuh tanaman sungkai di Sumatera bersifat masam. Hasil analisis menunjukan bahwa pH tanah di lokasi tempat tumbuh pada kedalaman 0-20 cm mempunyai kisaran antara 3,49-4,65 termasuk kategori sangat masam hingga masam dan pada kedalaman 20-40 cm mempunyai kisaran antara 3,47-4,31 termasuk kategori sangat masam. Kemasaman tanah dipengaruhi oleh jumlah kation basa dalam tanah. Unsur K, Na, Ca, dan Mg yang merupakan kation basa pada lokasi

262

Aspek Konservasi dan Lainnya tempat tumbuh sungkai di Sumatera tergolong sangat rendah hingga sedang. Rendahnya unsur- unsur tersebut dapat terjadi karena tingkat pencucian unsur hara di dalam tanah cukup intensif terutama pada basa-basa, sehingga basa-basa dalam tanah akan segera tercuci keluar lingkungan tanah yang mengakibatkan kandungan basa-basa rendah dan tanah menjadi masam (Subagyo dkk, 2000). Tabel 1. Kisaran penilaian analisis tanah dilokasi tempat tumbuh sungkai di Sumatera Selatan No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 3,49 – 4,18 SM 3,47 – 4,29 SM 2. C-Org (%) 1,39 – 2,95 R – S 0,99 – 3,02 SR – T 3. N-Total (%) 0,14 – 0,26 R – S 0,10 – 0,21 R – S 4. P-Bray I (ppm) 4,95 – 23,55 SR – ST 4,20 – 15,45 SR – ST 5. K-dd (me/100g) 0,06 – 0,45 SR – R 0,13 – 0,26 R 6. Na (me/100g) 0,22 – 0,33 R 0,22 – 0,44 R – S 7. Ca (me/100g) 0,31 – 1,83 SR 0,25 – 1,53 SR 8. Mg (me/100g) 0,07 – 0,60 SR – R 0,04 – 0,44 SR – R 9. KTK (me/100g) 10,88 – 21,23 R – S 11,05 – 20,75 R - S 10. Tekstur LS, SL, L, CL, C**) LS, SCL, CL, C**) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah T = Tinggi SR = Sangat rendah S = Sedang ST = Sangat Tinggi LS = Pasir berlempung L = Lempung CL = Lempung berliat SL = Lempung berpasir SCL = Lempung liat berpasir C = Liat *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

Tabel 2. Kisaran penilaian analisis tanah dilokasi tempat tumbuh sungkai di Jambi No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 3,66 – 4,17 SM 3,82 – 3,87 SM 2. C-Org (%) 2,03 – 2,56 S 0,98 – 2,72 SR – S 3. N-Total (%) 0,18 – 0,21 R – S 0,11 – 0,22 R – S 4. P-Bray I (ppm) 12,90 – 16,20 T – ST 6,15 – 9,75 R – S 5. K-dd (me/100g) 0,16 – 0,24 R 0.06 - 0,13 SR – R 6. Na (me/100g) 0,22 R 0,22 – 0,33 R 7. Ca (me/100g) 0,60 – 0,73 SR 0,53 - 0,60 SR 8. Mg (me/100g) 0,08 – 0,40 SR - R 0,07 – 0,20 SR 9. KTK (me/100g) 15,23 – 22,23 R - S 17,40 S 10. Tekstur SiL, CL**) SiCL, C**) Keterangan: sama dengan Tabel 1 SiL = Lempung berdebu SiCL = Lempung berpasir

Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada lokasi tempat tumbuh tanaman sungkai di Sumatera secara umum (kedalaman 0-40 cm) berkisar antara 4,70 - 22,23 me/100g termasuk dalam kategori sangat rendah hingga sedang. KTK erat kaitannya dengan ketersediaan hara bagi tanaman dan menjadi indikator kesuburan tanah. Nilai KTK yang semakin tinggi mengindikasikan semakin subur tanah tersebut, sebaliknya semakin rendah nilai KTK tanah, maka semakin kurang subur tanahnya. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik tinggi atau dengan kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada

263

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowigeno, 2003). Pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3 tanah-tanah lokasi tempat tumbuh tanaman sungkai yang memiliki bahan organik rendah atau jumlah perbandingan pasir lebih tinggi dari liat memiliki nilai KTK yang rendah dibandingkan dengan tanah yang memiliki bahan organik tinggi atau perbandingan liat yang lebih tinggi. Tekstur tanah memiliki peranan penting bagi pertumbuhan tanaman selain berpengaruh pada KTK yang menjadi indikator kesuburan tanah. Tekstur tanah dapat menentukan penetrasi akar di dalam tanah, pergerakan air dan udara dalam tanah serta mempengaruhi sifat kimia dan biologi tanah. Pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3 diketahui tanaman sungkai dapat tumbuh pada tanah dengan range tekstur yang luas, mulai dari berpasir, lempung hingga liat dengan kisaran fraksi pasir, debu dan liat 19,97- 78,46; 14,33- 50,18; 7,17-44,71 pada tanah lapisan atas (kedalaman 0-20 cm) dan 15,51- 78,24; 14,36- 50,04; 7,22-57,72 pada tanah lapisan bawah (kedalaman 20-40 cm). Hal ini memungkinkan tanaman sungkai dapat dikembangkan secara luas pada tanah-tanah mineral dengan mengesampingkan tekstur tanah sebagai faktor pembatas. Tabel 3. Kisaran penilaian analisis tanah dilokasi tempat tumbuh sungkai di Riau No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 3,91 – 4,65 SM – M 3,87 – 4, 31 SM 2. C-Org (%) 1,80 – 3,38 R – T 1,05 – 2,25 R – S 3. N-Total (%) 0,18 – 0,76 R – T 0,10 – 0,16 R 4. P-Bray I (ppm) 5,85 – 28,95 R – ST 7,95 – 12,15 S – T 5. K-dd (me/100g) 0,13 – 0,19 R 0,06 – 0,19 SR – R 6. Na (me/100g) 0,22 – 0,44 R – S 0,11 – 0,33 R 7. Ca (me/100g) 0,53 – 2,11 SR – R 0,38 – 0,93 SR 8. Mg (me/100g) 0,12 – 0,37 SR 0,07 – 0,25 SR 9. KTK (me/100g) 8,88 – 19,58 R – S 4,70 – 18,75 SR - S 10. Tekstur LS, SCL, C**) LS, SCL, CL**) Keterangan: sama dengan Tabel 1 M = Masam

IV. KESIMPULAN

Dari hasil survei dan analisi tanah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tanaman sungkai dapat dikembangkan pada tanah-tanah mineral dataran rendah dengan ketinggian antara 26 sampai 108 m dpl. 2. Pembangunan hutan tanaman untuk jenis sungkai dapat dikembangkan pada lokasi dengan faktor pembatas tanah yang masam, kesuburan yang rendah dan tekstur tanah berpasir sehingga dapat dikembangkan secara luas untuk menjadi andalan guna memenuhi kebutuhan kayu.

264

Aspek Konservasi dan Lainnya

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Pusat Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kima Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Pusat Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta Martawijaya. A, Kartasujana.I, Mandang. Y.I, Kadir K dan Prawira.S.A. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Indonesia. (Cetakan Ketiga). Subagyo, H., Nata Suharta, dan Agus. B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. hlm. 21-66 dalam Buku Sumber daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

265

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Lampiran 1. Informasi Karakteristik lokasi tempat tumbuh tanaman sungkai di Sumatera Selatan

A. 1. Lokasi : Kemampo, Banyuasin, Sumatera Selatan 2. Ketinggian tempat : 46 m dpl 3. Diameter tanaman : 7 – 26 cm 4. Tinggi tanaman : 10 – 16 m

Tabel 4. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Kemampo, Banyuasin, Sumatera Selatan No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 4,07 SM 4,16 SM 2. C-Org (%) 1,83 R 0,99 SR 3. N-Total (%) 0,14 R 0,10 R 4. P-Bray I (ppm) 4,95 SR 15,45 ST 5. K-dd (me/100g) 0,30 R 0,24 R 6. Na (me/100g) 0,22 R 0,33 R 7. Ca (me/100g) 0,58 SR 0,43 SR 8. Mg (me/100g) 0,13 SR 0,06 SR 9. KTK (me/100g) 15,23 R 14,88 R 10. Tekstur (S:Si:C) 49,46 :32,98 : 17,56 SL **) 43,11 : 28,94 : 27,95 CL **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah SL = Lempung berpasir SR = Sangat rendah ST = Sangat Tinggi CL = Lempung berliat *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

B. 1. Lokasi : Distrik Peninggalan, Muba, Sumatera Selatan 2. Ketinggian tempat : 39 m dpl 3. Diameter tanaman : 6,5 – 17 cm 4. Tinggi tanaman : 4 – 9 m

Tabel 5. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Distrik Peninggalan, Musi Banyuasin, Sumsel No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 3,86 SM 4,03 SM 2. C-Org (%) 2,95 S 3,02 T 3. N-Total (%) 0,16 R 0,17 R 4. P-Bray I (ppm) 12,15 T 11,15 T 5. K-dd (me/100g) 0,06 SR 0,13 R 6. Na (me/100g) 0,22 R 0,33 R 7. Ca (me/100g) 0,31 SR 0,25 SR 8. Mg (me/100g) 0,07 SR 0,04 SR 9. KTK (me/100g) 10,88 R 11,05 R 10. Tekstur (S:Si:C) 68,37 : 24,46 : 7,17 LS **) 74,17 : 18,57 : 7,26 LS **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah T = Tinggi LS = Pasir berlempung SR = Sangat rendah S = Sedang *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

266

Aspek Konservasi dan Lainnya

C. 1. Lokasi : Distrik Kerekai, Muba, Sumatera Selatan 2. Ketinggian tempat : 49 m dpl 3. Diameter tanaman : 17,5 – 26 cm 4. Tinggi tanaman : 15 – 18,5 m

Tabel 6. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Distrik Kerekai, Musi Banyuasin, Sumsel No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 4,11 SM 3,58 SM 2. C-Org (%) 1,39 R 1,07 R 3. N-Total (%) 0,14 R 0,15 R 4. P-Bray I (ppm) 23,55 ST 4,50 SR 5. K-dd (me/100g) 0,16 R 0,13 R 6. Na (me/100g) 0,33 R 0,22 R 7. Ca (me/100g) 0,62 SR 0,46 SR 8. Mg (me/100g) 0,09 SR 0,04 SR 9. KTK (me/100g) 16,05 R 15,23 R 10. Tekstur (S:Si:C) 43,31 : 39,14 : 17,55 L **) 43,50 : 26,69 : 29,81 SCL **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah L = Lempung SR = Sangat rendah ST = Sangat Tinggi SCL = Lempung liat berpasir *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

D. 1. Lokasi : Simpang solar, Muara Enim, Sumatera Selatan 2. Ketinggian tempat : 40 m dpl 3. Diameter tanaman : 15 – 50 cm 4. Tinggi tanaman : 10 – 17 m

Tabel 7. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Simpang Solar, Muara Enim, Sumatera Selatan No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 4,02 SM 3,88 SM 2. C-Org (%) 2,43 S 2,29 S 3. N-Total (%) 0,17 R 0,21 S 4. P-Bray I (ppm) 9,30 S 7,05 R 5. K-dd (me/100g) 0,24 R 0,16 R 6. Na (me/100g) 0,33 R 0,22 R 7. Ca (me/100g) 1,63 SR 1,13 SR 8. Mg (me/100g) 0,53 R 0,37 SR 9. KTK (me/100g) 19,75 S 20,75 S 10. Tekstur (S:Si:C) 31,64 :34,70 : 33,66 CL **) 29,34 : 32,59 : 38,07 CL **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah CL = Lempung berliat SR = Sangat rendah S = Sedang *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

267

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

E. 1. Lokasi : Sukalali, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan 2. Ketinggian tempat : 77 m dpl 3. Diameter tanaman : 21 – 51 cm 4. Tinggi tanaman : 15 – 25 m

Tabel 8. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Sukalali, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 3,49 SM 3,47 SM 2. C-Org (%) 1,58 R 1,24 R 3. N-Total (%) 0,14 R 0,11 R 4. P-Bray I (ppm) 5,40 R 4,20 R 5. K-dd (me/100g) 0,26 R 0,19 R 6. Na (me/100g) 0,33 R 0,44 R 7. Ca (me/100g) 0,73 SR 0,63 SR 8. Mg (me/100g) 0,07 SR 0,15 SR 9. KTK (me/100g) 21,23 S 19,58 S 10. Tekstur (S:Si:C) 19,97 : 35,32 : 44,71 C**) 21,77 : 37,53 : 40,70 C**) Keterangan: SM = Sangat masam SR = Sangat rendah R = Rendah S = Sedang C = Liat *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

F. 1. Lokasi : Lubuk Batu, Muara Enim, Sumatera Selatan 2. Ketinggian tempat : 54 m dpl 3. Diameter tanaman : 15,5 – 59 cm 4. Tinggi tanaman : 17 – 25 m

Tabel 9. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Lubuk Batu, Muara Enim, Sumatera Selatan No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 3,55 SM 3,50 SM 2. C-Org (%) 2,70 S 1,88 R 3. N-Total (%) 0,26 S 0,18 R 4. P-Bray I (ppm) 10,20 S 6,75 S 5. K-dd (me/100g) 0,26 S 0,19 R 6. Na (me/100g) 0,33 R 0,33 R 7. Ca (me/100g) 0,50 SR 0,52 SR 8. Mg (me/100g) 0,13 SR 0,08 SR 9. KTK (me/100g) 15,23 R 20,05 S 10. Tekstur (S:Si:C) 36,46 : 20,15 : 34,39 CL **) 21,81 : 20,97 : 57:72 C **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah CL = Lempung berliat SR = Sangat rendah S = Sedang C = Liat *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

268

Aspek Konservasi dan Lainnya

G. 1. Lokasi : KHDTK Benakat, Muara Enim, Sumatera Selatan 2. Ketinggian tempat : 86 m dpl 3. Diameter tanaman : 12,5 – 50 cm 4. Tinggi tanaman : 12 – 23 m

Tabel 10. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di KHDTK Benakat, Muara Enim, Sumsel No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 4,00 SM 4,05 SM 2. C-Org (%) 1,73 R 1,05 R 3. N-Total (%) 0,16 R 0,10 R 4. P-Bray I (ppm) 6,45 S 5,55 S 5. K-dd (me/100g) 0,26 R 0,19 R 6. Na (me/100g) 0,33 R 0,22 R 7. Ca (me/100g) 1,80 SR 1,53 SR 8. Mg (me/100g) 0,60 R 0,43 R 9. KTK (me/100g) 20,40 S 19,23 S 10. Tekstur (S:Si:C) 22,29 : 47,64 : 30,07 CL **) 24,37 : 45,56 : 30,07 CL **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah CL = Lempung berliat SR = Sangat rendah S = Sedang C = Liat *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

H. 1. Lokasi : Talang Padang, Muara Enim, Sumatera Selatan 2. Ketinggian tempat : 108 m dpl 3. Diameter tanaman : 10 – 46 cm 4. Tinggi tanaman : 7 – 14 m

Tabel 11. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Talang Padang, Muara Enim, Sumsel No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 4,18 SM 4,29 SM 2. C-Org (%) 1,88 R 1,58 R 3. N-Total (%) 0,16 R 0,14 R 4. P-Bray I (ppm) 5,70 S 5,25 S 5. K-dd (me/100g) 0,45 S 0,26 R 6. Na (me/100g) 0,33 R 0,22 R 7. Ca (me/100g) 1,36 SR 1,24 SR 8. Mg (me/100g) 0,49 R 0,44 R 9. KTK (me/100g) 18,23 S 19,58 S 10. Tekstur (S:Si:C) 25,72 : 31,37 : 42,91 C **) 29,65 : 35,65 : 34,67 CL **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah CL = Lempung berliat SR = Sangat rendah S = Sedang C = Liat *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

269

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

Lampiran 2. Informasi karakteristik lokasi tempat tumbuh tanaman sungkai di Jambi

A. 1. Lokasi : Lubuk Sepuh, Sorolangun, Jambi 2. Ketinggian tempat : 47 m dpl 3. Diameter tanaman : 10 – 34 cm 4. Tinggi tanaman : 10 – 20 m

Tabel 12. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Lubuk Sepuh, Sorolangun, Jambi No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 3,66 SM 3,82 SM 2. C-Org (%) 2,03 S 2,72 S 3. N-Total (%) 0,18 R 0,22 S 4. P-Bray I (ppm) 16,20 ST 9,75 S 5. K-dd (me/100g) 0,16 R 0,13 R 6. Na (me/100g) 0,22 R 0,33 R 7. Ca (me/100g) 0,73 SR 0,60 SR 8. Mg (me/100g) 0,40 R 0,20 SR 9. KTK (me/100g) 15,23 R 17,40 S 10. Tekstur (S:Si:C) 23,64 :50,18 : 26,18 SiL **) 15,51 : 50,04 : 34,45 SiCL **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah ST = Sangat Tinggi SiL = Lempung berdebu SR = Sangat rendah S = Sedang iCL= Lempung liat berdebu *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

B. 1. Lokasi : Sukajaya, Muaro Bungo, Jambi 2. Ketinggian tempat : 60 m dpl 3. Diameter tanaman : 6 – 38 cm 4. Tinggi tanaman : 10 – 18 m

Tabel 13. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Sukajaya, Muaro Bungo, Jambi No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 4,17 SM 3,87 SM 2. C-Org (%) 2,56 S 0,98 SR 3. N-Total (%) 0,21 S 0,11 R 4. P-Bray I (ppm) 12,90 T 6,15 R 5. K-dd (me/100g) 0,24 R 0,06 SR 6. Na (me/100g) 0,22 R 0,22 R 7. Ca (me/100g) 0,60 SR 0,53 SR 8. Mg (me/100g) 0,08 SR 0,07 SR 9. KTK (me/100g) 22,23 S 17,40 S 10. Tekstur (S:Si:C) 21,23 :40,98 : 37,79 CL **) 17,78 : 38,42 : 43,80 C **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah T = Tinggi CL = Lempung berliat SR = Sangat rendah S = Sedang C = Liat *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

270

Aspek Konservasi dan Lainnya

Lampiran 3. Informasi karakteristik lokasi tempat tumbuh tanaman sungkai di Riau

A. 1. Lokasi : Kuala, Kampar, Riau 2. Ketinggian tempat : 26 m dpl 3. Diameter tanaman : 14 – 36 cm 4. Tinggi tanaman : 27 – 30 m

Tabel 14. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Kuala, Kampar, Riau No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 4,09 SM 4,31 SM 2. C-Org (%) 3,38 T 2,25 S 3. N-Total (%) 0,25 S 0,16 R 4. P-Bray I (ppm) 19,95 ST 12,15 T 5. K-dd (me/100g) 0,13 R 0,06 SR 6. Na (me/100g) 0,22 R 0,11 R 7. Ca (me/100g) 0,53 SR 0,38 SR 8. Mg (me/100g) 0,12 SR 0,07 SR 9. KTK (me/100g) 8,88 R 4,70 SR 10. Tekstur (S:Si:C) 78,46 : 14,33 : 7,21 LS **) 78,42 : 14,36 : 7,22 LS **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah T = Tinggi LS = Pasir berlempung SR = Sangat rendah S = Sedang ST = Sangat Tinggi *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

B. 1. Lokasi : Gunung Toar, Kuantan Singigi, Riau 2. Ketinggian tempat : 56 m dpl 3. Diameter tanaman : 29 – 40 cm 4. Tinggi tanaman : 16 – 30 m

Tabel 15. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Gunung Toar, Kuantan Singigi, Riau No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 4,65 SM 4,22 SM 2. C-Org (%) 2,10 S 1,20 R 3. N-Total (%) 0,18 R 0,12 R 4. P-Bray I (ppm) 28,95 ST 8,85 S 5. K-dd (me/100g) 0,19 R 0,13 R 6. Na (me/100g) 0,44 S 0,33 R 7. Ca (me/100g) 2,11 R 0,93 SR 8. Mg (me/100g) 0,37 SR 0,25 SR 9. KTK (me/100g) 19,58 S 18,75 S 10. Tekstur (S:Si:C) 25,54 : 31,44 : 43,02 C **) 27,36 : 35,77 : 36,87 CL **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah ST = Sangat Tinggi C = Liat CL = Lempung berliat SR = Sangat rendah S = Sedang *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

271

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

C. 1. Lokasi : Kelayang Utara, Indragiri Hulu, Riau 2. Ketinggian tempat : 107 m dpl 3. Diameter tanaman : 23 – 29 cm 4. Tinggi tanaman : 15 – 20 m

Tabel 16. Penilaian hasil analisis tanah lokasi tanaman Sungkai di Kelayang Utara, Indragiri Hulu, Riau No. Sifat tanah Kedalaman Harkat*) Kedalaman Harkat*) 0 – 20 cm 20 – 40 cm

1. pH H2O 3,91 SM 3,87 SM 2. C-Org (%) 1,80 R 1,05 R 3. N-Total (%) 0,76 ST 0,10 R 4. P-Bray I (ppm) 5,85 S 7,95 S 5. K-dd (me/100g) 0,13 R 0,19 R 6. Na (me/100g) 0,22 R 0,22 R 7. Ca (me/100g) 1,30 SR 0,40 SR 8. Mg (me/100g) 0,25 SR 0,15 SR 9. KTK (me/100g) 13,05 R 15,40 R 10. Tekstur (S:Si:C) 52,87 : 20,93 : 26,20 SCL **) 50,54 : 14,72 : 34,74 SCL **) Keterangan: SM = Sangat masam R = Rendah ST = Sangat Tinggi SCL = Lempung liat berpasir SR = Sangat rendah S = Sedang *) Balai Penelitian Tanah (2005) **) Balai Penelitian Tanah (2004)

272

Aspek Konservasi dan Lainnya

KARAKTERISTIK DAN PEMANFAATAN LAHAN SULFAT MASAM YANG DIKELOLA DENGAN POLA AGROSILVOFISHERY DI SUMATERA SELATAN

Bastoni Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Lahan sulfat masam merupakan salah satu tipologi lahan yang memiliki sebaran luas di Sumatera Selatan. Lahan tersebut dikenal memiliki banyak kendala untuk pemanfaatannya karena adanya lapisan pirit (FeS2) yang apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga lahan bereaksi sangat masam (pH < 3,5) dan bersifat toksik untuk sebagian besar flora dan fauna air, terutama ikan. Secara alami lahan sulfat masam didominasi oleh hutan gelam dan pada awal tahun 2000 mulai banyak dikonversi untuk hutan anaman industri dan perkebunan kelapa sawit. Karakteristik lahan sulfat masam yang bersifat toksik dapat dirumah menjadi lahan yang lebih produktif melalui pola agrosilvosihery (wana mina tani). Indikator perbaikan karakteristik lahan terlihat dari peningkatan pH tanah yang semula 3,0 menjadi 5,3, peningkatan pH air yang semula 3,0 menjadi 5,6 dan penurunan nilai kekerasan tanah (soil hardness) dari 2,9 kg/cm2 menjadi 0,4 kg/cm.2 Perubahan karakteristik lahan ini akan terjadi seriring dengan makin lamanya pengelolaan lahan. Kata kunci: lahan rawa, sulfat masam, pirit, karakteristik lahan

I. PENDAHULUAN

Lahan rawa merupakan salah satu sumberdaya lahan potensial di pulau Sumatra. Luas total lahan rawa di pulau Sumatera diperkirakan mencapai 7,2 juta hektar (Wahyunto et al., 2005). Provinsi Sumatera Selatan mempunyai lahan rawa terluas kedua setelah provinsi Riau. Sebaran dan luas lahan rawa di Provinsi Sumatera Selatan terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Ogan Ilir 768.501 hektar (54,1%), di Kabupaten Musi Banyuasin dan Banyuasin 593.311 hektar (41,8%), di Kabupaten Musi Rawas 34.126 hektar (2,4%) dan di Kabupaten Muara Enim 24.104 hektar (1,7%) (Wahyunto et al., 2005). Salah satu tipologi lahan rawa yang banyak dijumpai di wilayah Sumatera Selatan terutama daerah rawa pasang surut adalah lahan sulfat masam. Lahan sulfat masam merupakan lahan yang banyak memiliki faktor pembatas untuk budidaya, karena toksisitas yang ditimbulkan oleh oksidasi senyawa pirit (FeS2). Lahan sulfat masam bersifat toksik untuk sebagian besar flora dan fauna. Pada makalah ini disajikan sekilas tentang pirit; toksisitas yang ditimbulkannya, dampaknya terhadap flora dan fauna, serta perubahan karakteristik dan pemanfaatannya sebagai lahan budidaya dengan pola agrosilvofishery. Pola agrosilvofishery adalah model pengelolaan lahan rawa, termasuk lahan rawa sulfat masam, yang mengkombinasikan budidaya kehutanan, pertanian dan perikanan dalam satu hamparan lahan. Pola ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang pada lahan rawa untuk areal budidaya dan untuk peningkatan pendapatan masyarakat (Bastoni, 2006).

273

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

II. SEKILAS TENTANG PIRIT A. Ciri-ciri Tanah Berpirit Tanah di daerah pantai (juga disebut tanah marin) terbentuk dari hasil pengendapan (sedimentasi) dalam suasana payau atau asin. Tanah tersebut umumnya mengandung bahan sulfidik (FeS2) yang sering disebut pirit. Lapisan tanah yang mengandung pirit lebih dari 0,75% disebut sebagai lapisan pirit. Pengelompokan letak kedalaman lapisan pirit adalah sebagai beri- kut: dangkal (< 50 cm), sedang (51-100 cm), dalam (101-150 cm) dan sangat dalam (> 150 cm). Adanya lapisan pirit pada lahan dapat diketahui dari tanda-tanda sebagai berikut (Widjaja-Adhi, 1995 dalam Najiyati et al., 2005): (1) Lahan dipenuhi oleh tumbuhan purun tikus (Fimbristylus sp.); (2) Di tanggul saluran terdapat bongkah-bongkah tanah berwarna kuning jerami (jarosit). Pada bagian yang terkena air terdapat garis-garis berwarna kuning jerami. (3) Di saluran drainase, terdapat air yang mengandung karat besi berwarna kuning kemerahan. (4) Apabila tanah yang mengandung pirit ditetesi dengan larutan hidrogen peroksida (H2O2) 30%, maka ia akan mengeluarkan busa atau berbuih.

B. Oksidasi Pirit Lahan rawa sulfat masam yang mengandung pirit, apabila direklamasi (misalnya melalui pembuatan saluran drainase untuk menurunkan muka air tanah), maka kondisi lingkungan menjadi terbuka dalam suasana aerobik. Kondisi tersebut akan memacu oksidasi pirit, yang menghasilkan asam sulfat. Reaksinya digambarkan sebagai berikut (Najiyati et al., 2005):

2- + ….. I) FeS2 + 14/4O2 + 7/2 H2O Fe (OH)3 + 2(SO4) + 4 H Pirit Oksigen Besi-III Asam Sulfat

Hasil reaksi oksidasi pirit (?) adalah terbentuknya asam sulfat. Terbebasnya ion H+ mengakibatkan pH sangat rendah yaitu pada kisaran 1,9 hingga 3,5). Banyaknya ion H+ dalam larutan tanah akan merusak struktur kisi (lattice) mineral liat dan menyebabkan terbebasnya ion-ion Al3+. Kombinasi pH yang rendah, ion-ion Al3+ yang bersifat toksis dan unsur fosfat yang tidak tersedia akan sangat meracuni dan mengganggu pertumbuhan tanaman. Proses drainase yang dilakukan secara drastis, akan menyebabkan lapisan pirit teroksidasi secara kuat dan menghasilkan mineral jarosit. Lapisan ini nampak seperti karat berwarna kuning jerami. Reaksi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: + 2- + ….II) FeS2 + 15/4 O2 + 5/2 H2O + 1/3 K ---> 1/3KFe3(SO4)2(OH6) + 4/3 (SO4) + 3 H Pirit Oksigen Jarosit Asam Sulfat

C. Dampak Oksidasi Pirit Banyaknya ion-ion H+ dalam larutan tanah akan mendesak keluar semua basa-basa ta- nah (Ca, Mg, K dan Na) dalam kompleks adsorpsi liat dan humus. Ion-ion H+ tersebut juga mem- bentuk senyawa hidrat dengan molekul air dan masuk ke dalam struktur kisi (lattice) mineral liat untuk menggantikan tempat ion Al3+ dalam kisi mineral. Mineral liat menjadi tidak stabil, kisinya runtuh (collapsed), dan strukturnya rusak, sehingga dibebaskan banyak sekali ion Al3+ dalam larutan tanah. Kondisi melimpahnya berbagai senyawa yang tidak lazim ini, akan menga- kibatkan timbulnya permasalahan agronomis yang sangat serius bagi pertumbuhan tanaman seperti keracunan aluminium dan besi serta defisiensi unsur hara (Najiyati et al., 2005).

274

Aspek Konservasi dan Lainnya

Peningkatan pH karena kondisi tergenang akan menyebabkan reduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Oleh karena itu, konsentrasi Fe2+. menjadi sangat meningkat. Pada konsentrasi Fe2+. yang cukup rendah, misalnya 30-50 ppm (me/liter), sudah dapat meracuni tanaman (Ismunadji dan Supardi, 1982 dalam Najiyati et al., 2005). Keracunan besi seringkali pada lapisan bahan sulfidik yang sudah teroksidasi, yaitu pada tanah Sulfat Masam Aktual yang digenangi oleh air hujan atau irigasi. Konsentrasi besi Fe2+. dapat mencapai 300-400 ppm sehingga sangat meracuni tanaman. Akibat melimpahnya ion Al3+ dan besi Ferro (Fe2+) di dalam larutan tanah maka setiap 1- 2- ion fosfat yang tersedia, baik sebagai (H2PO4) maupun (HPO4) , akan bereaksi atau diikat kuat oleh ion Al3+ dan Fe2+. Akibatnya, terjadi defisiensi atau kahat P di dalam tanah. Pada kondisi Al3+ dan Fe2+. yang melimpah, kompleks pertukaran liat dan humus akan dijenuhi oleh kedua ion tersebut. Ion-ion basa lain (K, Ca, Mg, dan Na) tercuci keluar dan hanyut terbawa air mengalir, sehingga kandungan basa-basa tanah sebagai hara menjadi sangat berkurang. Tanah sulfat masam yang mengalami proses pencucian dalam wakttu lama, akan mengalami defisiensi atau kahat hara tanah. Bloomfield dan Coulter, (1973) dalam Najiyati et al., (2005), melaporkan bahwa telah terjadi defisiensi Ca, Mg, K, Zn, Cu dan Mo pada berbagai tanah sulfat masam di daerah tropis. Dampak yang mudah dilihat akibat oksidasi pirit adalah hamparan lahan terlantar yang miskin keanekaragaman hayati. Efek toksik oksidasi pirit menekan berkembangnya flora dan fauna yang tumbuh dan hidup pada lahan sulfat masam. Jenis pohon yang mampu hidup dan beradaptasi adalah gelam (Melaleuca leucadendron), sehingga gelam sering dikatakan sebagai indikator vegetasi pada lahan sulfat masam. Tumbuhan bawah yang mendominasi adalah purun, belidang dan pakis rawa. Fauna perairan yang hidup adalah jenis-jenis ikan lokal seperti gabus, betok, sepat dan lele lokal.

D. Penetralan dan Pengendalian Oksidasi Pirit Kondisi seperti diuraikan diatas dapat berlangsung sangat lama, bahkan bertahun- tahun, sampai bahan-bahan pengganggu yang disebutkan di atas habis terbawa/tercuci oleh aliran air. Apabila oksidaasi pirit sudah terlanjur terjadi, biaya pemulihannya akan sangat mahal. Salah satu cara untuk mengatasi kemasaman tanah adalah dengan penggunaan pupuk fosfat alam (rock phosphate), atau pemberian senyawa kapur misalnya kapur pertanian (kaptan) 2 + 3+ Ca(CO3), atau dolomit [Ca, Mg (CO3) ] untuk menetralisir ion H dan Al . Namun di daerah pasang surut, sumber-suber batuan fosfat dan kapur tersebuat praktis tidak ada, demikian juga kandungan ion Ca dan Mg dalam tanah sangat rendah karena batuan asal di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu (hinterland) memiliki kadar Ca dan Mg yang juga rendah. Pengapuran tanah masam yang tidak mengandung pirit, membutuhkan kapur tidak terlalu banyak. Namun untuk tanah sulfat masam aktual, dibutuhkan kapur sangat banyak. Perhitungan teoritis yang dilakuakan Driessen dan Soepraotohardjo (1974) dalam Najiyati et al., (2005), menunjukkan bahwa untuk menaikkan pH dari 3,5 menjadi 5,5 dari tanah lapisan atas (topsoil) yang mengandung 40 persen liat, 1 persen humus dan BD 1,35 gram/cc setebal 20 cm, diperluakan kaptan sebanyak 12 ton/hektar, meskipun penggunaan 7 ton lebih realistis. Mengingat dampak negative yang ditimbulkan oksidasi pirit serta tingginya biaya yang diperlukan untuk memulihkan kondisi lahan. Maka, oksidasi pirit harus dihindarkan. Caranya, lapisan pirit harus dipertahankan dalam kondisi basa dan tidak dibiarkan kering.

275

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

III. PEMANFAATAN LAHAN SULFAT MASAM

Bagi sebagian besar orang, lahan sulfat masam adalah lahan bermasalah yang sulit di- manfaatkan sebagai lahan budidaya. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar lahan men- jadi terlantar, seperti tampak pada lahan sulfat masam di daerah Indralaya, Keramasan, Gasing dan banyak daerah lain di Sumatera Selatan. Namun mulai tahun 2005, lahan sulfat masam mulai banyak dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit karena tanaman ini dapat hidup, beradaptasi dan berproduksi dengan baik pada lahan yang dikenal sangat marjinal tersebut. Pada tahun 2002, Balai Penelitian Kehutanan Palembang mengembangkan pola Agrosilvofishery (Wana-Mina-Tani) untuk pemanfaatan lahan sulfat masam skala rumah tangga. Pola agrosilvofishery memadukan budidaya pertanian, kehutanan dan perikanan dalam satu hamparan lahan. Pola tersebut diharapkan akan dapat memaksimalkan pemanfaatan ruang dan waktu untuk meningkatkan produktivitas lahan serta meminimalkan kendala budidaya pada lahan sulfat masam (Bastoni, 2006). Dari sudut pandang toksikologi lingkungan, pola Agrosilvofishery diharapkan akan dapat menaklukkan efek toksik lahan sulfat masam dan mengubahnya menjadi lahan produktif. Indikator utama yang mencirikan lahan sulfat masam dengan berbagai permasalahannya adalah pH, baik pH air maupun pH tanah. Indikator kelayakan teknis pola Agrosilvofishery akan dapat diketahui dari perubahan pH yang terjadi selama masa pengusahaan lahan. Berikut ini disajikan perubahan pH air dan tanah pada lahan sulfat masam yang dikelola dengan pola Agrosilvofishery di daerah Gasing dan Telang, Kabupaten Banyuasin (Bastoni et al., 2009).

A. Perubahan pH Air pada Awal Pembukaan Lahan Perubahan pH air kolam, kadar oksigen dan karbondioksida pada lahan sulfat masam yang baru dibuka dengan pola agrosilvofishery di daerah Gasing dan Telang disajikan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut tampak bahwa terdapat perbedaan mendasar nilai pH air pada 2 lokasi demplot agrosilvofishery sebelum dilakukan pengapuran. Air kolam di daerah Gasing bereaksi sangat masam, sedangkan air kolam di daerah Telang bereaksi netral. Hal ini disebabkan karena kedua lokasi merupakan lahan rawa pasang surut yang memiliki perbedaan tipologi. Di daerah Telang pengaruh pasang surut harian air laut terjadi sepanjang hari. Air payau yang masuk ke dalam lahan melalui saluran primer, sekunder dan tersier menyebabkan terjadi pencampuran air masam dan air salin yang menghasilkan air dengan pH netral. Implikasi dari kondisi tersebut adalah pengapuran kolam dan pematang di daerah Gasing akan memerlukan dosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Telang.

Tabel 1. Nilai pH, kadar O2 dan CO2 pada air kolam pada dua Demplot Agrosilvofishery di Sumatera Selatan

Lokasi Bulan pH O2 (mg/l) CO2 (mg/l) Keterangan Gasing Oktober 3,5 7,92 3,8 – 20,2 Belum dikapur Nopember 4 – 4,5 3,04 – 10,72 7,1 – 14,9 Sudah dikapur Januari 4 – 5 3,8 – 11,47 16,7 – 26,4 Sudah dikapur Telang Oktober 7 4,4 4,69 – 7,68 Belum dikapur Nopember 7 - 7,5 10,1 – 15,36 4,4 – 13,2 Sudah dikapur 5 Januari 6 – 7 5,98 – 10,18 3,52 – 14,96 Sudah dikapur 4 – 4,5

276

Aspek Konservasi dan Lainnya

Pada satu bulan setelah pengapuran, terjadi perubahan nilai pH air kolam di daerah Gasing, dari 3,5 menjadi 4 – 4,5 dan meningkat lagi menjadi 4 – 5 setelah 3 bulan. Peningkatan nilai pH tersebut belum seperti yang diharapkan karena pH ideal untuk pertumbuhan ikan berkisar antara 6 – 7. Kecenderungan peningkatan pH yang sangat lambat di daerah Gasing terutama disebabkan oleh masih berlangsungnya oksidasi dan pencucian bahan tanah berpirit pada pematang selama musim hujan. Sebelum semua bahan berpirit teroksidasi dan tercuci maka penurunan pH setelah terjadi hujan lebat masih akan terus terjadi dan kegiatan pengapuran masih harus terus dilakukan. Kondisi air kolam di daerah Telang menunjukkan 2 kondisi yang berbeda, yaitu pada kolam yang di sekeliling pematangnya sedikit mengandung bahan berpirit, nilai pH air tergolong netral (6 – 7,5). Sedangkan pada kolam yang di pematang sekelilingnya terdapat banyak bahan berpirit terjadi penurunan pH dari 7 menjadi 4 – 5. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah Telang pengapuran pada kolam dengan pH 4 – 5 perlu terus dilakukan, sedangkan pada kolam dengan pH netral tidak perlu dilakukan pengapuran. Kadar O2 dan CO2 pada kedua lokasi demplot cukup beragam. Pada kisaran nilai tersebut kadar O2 dan CO2 masih cukup untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan ikan.

B. Perubahan pH Air dan Tanah Perubahan pH air dan tanah berdasarkan lama pengusahaan pada lahan sulfat masam yang dikelola dengan pola Agrosilvofishery di daerah Gasing disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kolam yang diusahakan selama 2, 4, 7 dan 9 tahun memiliki nilai pH air berturut-turut 3, 3,6, 5,3 dan 5,1. Hal ini menunjukkan dengan makin lamanya masa pengelolaan lahan, maka nilai pH air makin meningkat dan stabil pada kisaran pH 5. Peningkatan pH disebabkan oleh pengaruh pengapuran pada awal pembukaan lahan dan pencucian senyawa pirit oleh air hujan. Efek toksik pirit semakin menurun dan kelayakan lahan untuk budidaya meningkat. Pola yang sama juga diperoleh dari hasil pengukuran pH tanah pematang kolam pada lahan rawa sulfat masam yang dikelola dengan pola Agrosilvofishery. Pematang yang telah diu- sahakan selama 2, 4, 7 dan 9 tahun memiliki nilai pH tanah berturut-turut 3, 5,2, 5,6 dan 5,6. Hal ini menunjukkan makin lama dikelola nilai pH makin meningkat. Peningkatan pH tersebut terutama disebabkan oleh proses pencucian pirit yang terus berlangsung selama pengelolaan lahan. Proses tersebut dapat melalui pencucian oleh air hujan, pergantian air kolam dan pene- tralan kemasaman tanah oleh aktivitas pengolahan tanah dan pengapuran. Umumnya bahan kapur pertanian bereaksi sempurna dalam tanah dalam waktu tiga tahun (Munawar, 2011).

6 5,3 5,1

3,6 4 3

pH air 2

0 2 tahun 4 tahun 7 tahun 9 tahun Lama Pengusahaan Lahan Rawa Gambar 1. Perubahan pH air yang dikelola dengan pola agrosilvofishery selama 2, 4, 7 dan 9 tahun

277

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

5,6 5,6 6 5,2

4 3 pH tanah 2

0 2 tahun 4 tahun 7 tahun 9 tahun Lama Pengusahaan Lahan Rawa

Gambar 2. Perubahan pH tanah yang dikelola dengan pola agrosilvofishery selama 2, 4, 7 dan 9 tahun Kasus lain yang cukup menarik adalah perubahan pH air kolam yang diisi dan tidak diisi ikan 2 bulan setelah pembukaan lahan sulfat masam. Setelah pengapuran nilai pH air kolam berkisar antara 6 – 7 (netral). Kolam yang diisi ikan setelah pH netral memiliki pH yang tetap stabil pada kisaran pH 6 (netral). Sedangkan kolam yang setelah dikapur kemudian dibiarkan kosong tanpa ikan, pH air kolam menurun kembali pada kisaran pH 3,5 (sangat masam). Hal tersebut menunjukkan bahwa budidaya perikanan harus dilakukan secara kontinyu agar pH air kolam yang telah netral dapat terus stabil. Demikian pula budidaya pertanian, dan kehutanan pada lahan rawa sulfat masam perlu dilakukan secara kontinyu untuk mempercepat penetralan pH air dan tanah, mempercepat penggemburan tanah dan mempertahankan produktifitas lahan. C. Perubahan Nilai Kekerasan Tanah (Soil Hardness) Perubahan nilai kekerasan tanah juga salah satu indikator peningkatan kelayakan lahan sulfat masam untuk budidaya. Pirit yang telah mengering dan teroksidasi membentuk bongkahan tanah yang padat dan keras sehingga tidak layak untuk lahan budidaya. Hasil pengukuran nilai kekerasan tanah pada lahan sulfat masam berdasarkan lama pengusahaan disajikan pada Gambar 3.

2,9 3 2,5 2,5 2

1,5 1,2 1 0,4 (kg/cm2) 0,5

Kekerasan TanahKekerasan 0 2 tahun 4 tahun 7 tahun 9 tahun Lama Pengusahaan Lahan Rawa Gambar 3. Perubahan nilai kekerasan tanah yang dikelola dengan pola agrosilvofishery selama 2, 4, 7 dan 9 tahun Hasil pengukuran kekerasan tanah pada lahan rawa sulfat masam yang dikelola dengan pola agrosilvofishery menunjukkan bahwa pematang yang dikelola selama 2, 4, 7 dan 9 tahun memiliki tingkat kekerasan tanah berturut-turut 2,5, 2,9, 0,4 dan 1,2 kg/cm2. Hal ini menunjukkan tingkat kekerasan tanah makin menurun dengan makin lamanya pengelolaan lahan. Penurunan tingkat kekerasan tanah ini disebabkan oleh pengolahan tanah yang terus menerus dilakukan selama kegiatan budidaya dan pengaruh penambahan pupuk kandang (bahan organik) dan pengapuran yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah

278

Aspek Konservasi dan Lainnya

(Brady, 1984; Munawar, 2011; Tisdale et al., 1985) . Penurunan kekerasan tanah berarti tanah makin gembur dan baik untuk perkembangan akar tanaman budidaya.

IV. KESIMPULAN

Lahan sulfat masam bersifat toksik untuk sebagian besar flora dan fauna karena oksidasi senyawa pirit yang terdapat didalamnya. Dari penelitian ini, pengelolaan lahan sulfat masam yang tepat dan kontinyu mampu menurunkan toksisitas lahan sulfat masam seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan pH tanah dari 3,0 menjadi 5,3, peningkatan pH air dari 3,0 menjadi 5,6 dan penurunan kekerasan tanah dari 2,9 kg/cm2 menjadi 0,4 kg/cm2. Indikator perubahan karakteristik lahan tersebut menunjukkan lahan sulfat masam dapat diubah dari lahan yang bersifat toksik menjadi lahan yang lebih produktif untuk budidaya pertanian, kehutanan dan perikanan dalam pola agrosilvofishery.

DAFTAR PUSTAKA

Bastoni. 2006. Pengelolaan Lahan Rawa Terpadu Dengan Pola Agrosilvofishery. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Hutan dan Rawa Lahan Gambut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Bastoni, A.J. Utomo, A. Imanullah, A. Nurlia, M. Suparman. 2009. Pola Agrosilvofishery pada Lahan Rawa Untuk Rehabilitasi Lahan dan Peningkatan Ketahanan pangan. Laporan Insentif Riset Dikti. Balai Penelitian Kehutanan. Palembang. Brady, N.C. 1984. The Nature and Properties of Soil. McMillan Publishing Company. New York. 750p. Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Penerbit IPB Press. Bogor. 240p. Najiyati, S., L. Muslihat dan I .N.N. Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Weatlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor. Tisdale, S.L., W.L. Nelson and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. McMillan Publishing Company. New York. 754p. Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Weatlands International - Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

279

Aspek Konservasi dan Lainnya

KAJIAN TEKNIS DAN SOSIOLOGI LINGKUNGAN PADA KASUS REHABILITASI HUTAN MANGROVE DI DESA MARGASARI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Bastoni Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Rehabilitasi hutan mangrove merupakan rangkaian kegiatan yang melibatkan selain penerapan aspek teknis rehabilitasi juga terdapat pelibatan masyarakat sekitar. Perpaduan kedua aspek tersebut akan menentukan keberhasilan program rehabilitasi hutan mangrove. Tujuan kajian adalah untuk mengetahui perubahan kondisi hutan dan pola interaksi sosial antara masyarakat dengan sumberdaya hutan mangrove. Kajian dilakukan di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Hasil kajian menunjukkan bahwa sumberdaya hutan mangrove rusak oleh aktivitas penebangan sebelum tahun 1987. Setelah program rehabilitasi pada tahun 1987 sumberdaya hutan mangrove berangsur-angsur pulih. Pemulihan tersebut tidak lepas dari perubahan pola interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan. Pola interaksi yang terjadi menuju pada perubahan kondisi hutan mangrove yang makin baik. Pola interaksi masyarakat dan sumberdaya hutan terdiri dari 3 fase, yaitu desktruktif eksploitatif, konstruktif rehabilitatif, dan konstruktitif protektif. Perubahan pola interaksi tersebut disebabkan karena adanya kesadaran akan dampak negatif kerusakan hutan mangrove di masa lalu. Pasca rehabilitasi hutan mangrove, kondisi hutan yang baik memperkuat kesadaran masyarakat akan dampak positif dari pemulihan hutan mangrove terhadap kehidupan masyarakat. Kata kunci: hutan mangrove, rehabilitasi, masyarakat, pola interaksi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik. Kekhasan hutan mangrove ditandai dengan adanya daerah pasang surut. Hutan mangrove berada di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan dan pengelolaannya (Munawar, 2010). Kondisi hutan mangrove pada umumnya mendapat tekanan berat. Selain dirambah dan atau dialihfungsikan, kawasan mangrove di beberapa daerah banyak dieksploitasi (ditebang) dan dikonversi untuk tambak. Kasus ini juga terjadi pada kawasan hutan mangrove yang terdapat di Desa Margasari Kabupaten Lampung Timur sebelum tahun 1987. Konversi hutan mangrove membawa dampak negatif berupa terganggunya peranan fungsi kawasan mangrove sebagai habitat biota laut, perlindungan wilayah pesisir, dan terputusnya mata rantai makanan bagi biota kehidupan seperti burung, reptil, dan berbagai kehidupan lainnya. Rehabilitasi hutan mangrove di daerah tersebut mulai dilaksanakan pada tahun 1987 yang dilakukan oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Provinsi Lampung. Rehabilitasi hutan secara bertahap telah memulihkan fungsi ekologi. Dari aspek teknis dan sosiologi lingkungan ada hikmah yang sangat baik untuk diangkat terkait dengan perubahan

281

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang kondisi hutan mangrove dan pola interaksi masyarakat dan sumberdaya alam (Soekanto, 1984; Dunlap dan Michelson, 2002; Gould et al., 2004; Tabara dan Wostl, 2007)

B. Tujuan Kajian teknis dan sosiologi lingkungan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi hutan mangrove dan pola interaksi antara masyarakat dengan sumberdaya hutan mangrove sebelum dan sesudah kegiatan rehabilitasi hutan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Kajian ini bermanfaat untuk memahami pemulihan hutan dan pola-pola interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat dengan sumberdaya hutan mangrove yang dapat digunakan untuk menyusun strategi dan penerapan pengelolaan hutan mangrove lestari bersama masyarakat.

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Gambaran Umum Lokasi Kajian Kajian dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Pelaksanaan kajian dilakukan pada bulan Oktober dan bulan Nopember tahun 2010. Lokasi kajian secara administratif terletak di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Peta lokasi kajian disajikan pada Gambar 1.

Desa Margasari Lampung Timur

Gambar 1. Peta lokasi kajian teknis dan sosiologi Lingkungan kasus rehabilitasi hutan mangrove di Desa Margasari, Kabupaten Lampung Timur

282

Aspek Konservasi dan Lainnya

Desa Margasari adalah salah satu desa yang secara geografis berada di wilayah pesisir pantai timur Provinsi Lampung. Topografi wilayah desa adalah datar dengan vegetasi mangrove membentang di sepanjang pantai. Panjang zona mangrove sekitar 4 km dengan lebar bervariasi antara 50 – 500 meter. Mangrove yang ada saat ini merupakan tanaman dan permudaan alam dari tanaman mangrove hasil kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan 23 tahun yang lalu (tahun 1987). Tanah pada lahan sawah didominasi oleh tanah grumusol berliat, tanah daerah pantai didominasi oleh tanah salin. Pada bagian belakang zona mangrove terdapat lahan sawah dan tambak yang menjadi lahan andalan masyarakat setempat dalam mencari nafkah. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani sawah, petani tambak dan nelayan serta sebagian kecil pegawai negeri, pegawai swasta dan pedagang. Dengan demikian masyarakat desa Margasari hidupnya sangat tergantung pada lahan sawah dan tambak serta hutan mangrove dan laut.

B. Metode Metode yang digunakan untuk kajian ini terdiri dari: 1) Observasi lapangan, dan 2) wawancara. 1. Observasi Lapangan Observasi lapangan dilakukan untuk mengamati: 1) kondisi hutan mangrove saat ini, 2) kondisi pemanfaatan lahan sawah dan tambak saat ini. Hasil observasi lapangan digunakan untuk melakukan cek silang (pembandingan) penggunaan lahan pada masa yang lalu, terutama penggunaan lahan (land use) sebelum rehabilitasi hutan mangrove pada tahun 1987 dan setelah rehabilitasi hutan mangrove pada tahun 1987. 2. Wawancara Wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang: 1) sejarah pemanfaatan dan penggunaan lahan sebelum dan sesudah kegiatan rehabilitasi, 2) menggali pemahaman masyarakat tentang fungsi dan peranan hutan mangrove pada masa lalu dan saat ini, 3) menggali pemahaman masyarakat tentang dampak rehabilitasi hutan mangrove terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. Untuk memperoleh data tersebut dilakukan kegiatan wawancara (Diskusi Kelompok Fokus) dengan responden Kelompok Masyarakat Peduli Hutan Mangrove (KMPHM) Desa Margasari yang dibentuk pada tahun 2006. KMPHM adalah kelompok swadaya masyarakat yang teridiri dari 25 orang, 1 orang ketua dan 24 orang anggota. Profesi anggota kelompok terdiri dari petani, nelayan, guru dan pamong desa. Pemilihan responden KMPHM didasarkan pada pertimbangan: 1) KMPHM adalah kelompok masyarakat yang peduli dan aktif dalam berbagai aktivitas rehabilitasi dan proteksi hutan mangrove; 2) sebagian anggotanya adalah pelaku yang paham tentang sejarah pemanfaatan hutan mangrove sebelum dan sesudah kegiatan rehabilitasi tahun 1987; 3) anggotanya mempunyai profesi yang beragam sehingga dianggap bisa mewakili profesi masyarakat Desa Margasari. C. Analisis Data Data dan informasi hasil observasi lapangan dan wawancara yang dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mengetahui: 1) Perubahan kondisi hutan mangrove (penggunaan lahan); 2) Perubahan pola interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan mangrove; 3) Akibat dan dampak perubahan pola interaksi terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat.

283

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perubahan Penggunaan Lahan Hutan mangrove di desa Margasari memiliki sejarah penggunaan lahan yang sudah cukup panjang. Untuk memudahkan pembahasan, pada kajian ini dibuat 3 periode penggunaan lahan, yaitu: 1) periode sebelum kegiatan penebangan (logging) dan konversi hutan mangrove oleh masyarakat; 2) periode pada saat kegiatan penebangan dan konversi hutan mangrove oleh masyarakat; dan 3) periode setelah kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Bagan perubahan penggunaan lahan kawasan hutan mangrove di desa Margasari disajikan pada Gambar 2. Ilustrasi pada Gambar 2 menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan yang nyata dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Sebelum tahun 1980, hutan dan ekosistem mangrove masih utuh karena belum ada aktivitas penebangan dan konversi, lebar kawasan hutan saat itu diperkirakan sekitar 1 km (1.000 meter). Pada periode tahun 1980 – 1987 hutan mangrove habis ditebang dan dikonversi untuk tambak dan lahan sawah. Pemulihan hutan mangrove terjadi mulai tahun 1987 setelah ada kegiatan rehabilitasi oleh Departemen Kehutanan. Saat ini lebar kawasan hutan mangrove berkisar antara 50 – 500 meter.

< 1980 1980 - 1987 > 1987

LAUT LAUT LAUT

50 – MANGROVE 500 m MANGROVE 1km ZONA INVASI DAN INTRUSI AIR LAUT

DARAT

DARAT DARAT

PERIODE PERIODE PERIODE Pra LOGGING & KONVERSI LOGGING & KONVERSI Pasca REHABILITASI

Gambar 2. Perubahan penggunaan lahan hutan mangrove di Desa Margasari, Kabupaten Lampung Timur B. Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Sumberdaya Hutan Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada kawasan hutan mangrove di Desa Margasari dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, menunjukkan bahwa terdapat perubahan pola interaksi antara masyarakat dengan sumberdaya hutan (Soekanto, 1982; Dunlap dan Michelson, 2002). Hasil penelusuran dan penggalian informasi tersebut dalam kaitannya dengan perubahan pola interaksi, dalam bentuk disederhanakan disajikan pada Gambar 3. Ilustrasi pada Gambar 3 menunjukkan bahwa pada periode eksploitasi sumberdaya hutan sebelum tahun 1987, pola interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan mangrove bersifat Destruktif – Eksploitatif. Sumberdaya hutan ditebang untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari hasil kayu. Lahan yang telah ditebang kemudian dikonversi untuk lahan sawah

284

Aspek Konservasi dan Lainnya dan tambak. Pada periode ini sumberdaya hutan lebih dipandang sebagai sumberdaya ekonomi. Pemahaman arti penting fungsi lingkungan yang dimiliki hutan mangrove belum terbentuk (Keraf, 2002). Pada periode rehabilitasi hutan antara tahun 1987 – 2006, pola interaksi yang muncul mulai berubah ke arah yang lebih bersifat Konstruksif – Rehabilitatif. Perubahan ini tidak semata-mata karena inisiasi rehabilitasi hutan mangrove yang diprakarsai oleh Departemen Kehutanan, dalam hal ini direpresentasikan oleh BRLKT Provinsi Lampung. Sambutan masyarakat yang cukup baik terhadap program rehabilitasi hutan mangrove juga dipacu oleh akibat dan dampak negatif lingkungan yang muncul setelah penebangan dan konversi hutan oleh mereka. Pada periode ini mulai muncul kesadaran untuk membangun dan merehabilitasi hutan mangrove dan mulai muncul pemahaman arti penting fungsi lingkungan hutan bagi kehidupan mereka.

Tahun 1987 Tahun 2006

PERIODE EKSPLOITASI PERIODE REHABILITASI PERIODE PEMAPANAN HUTAN HUTAN HUTAN

Interaksi Masyarakat – Hutan : Interaksi Masyarakat – Hutan : Interaksi Masyarakat – Hutan : Destruktif - Eksploitatif Konstruktif - Rehabilitatif Konstruktif – Protektif

Akibat : Akibat : Akibat : Degradasi hutan dan lahan Pemulihan hutan dan lahan Fungsi hutan dan lahan Abrasi Penurunan abrasi, intrusi, normal Intrusi air laut sedimentasi Abrasi, intrusi dan sedimen- Sedimentasi Peningkatan biota laut tasi dapat dicegah Biota laut menurun drastis Dampak: Dampak: Dampak: Pemulihan kondisi tambak Tambak dan sawah berpro- Hasil tangkapan ikan merosot Dan sawah duksi normal, peningkatan Tambak tak berproduksi baik Peningkatan hasil tangkapan hasil tangkapan ikan Sawah tak bisa ditanami ikan karena intrusi

Gambar 3. Perubahan pola interaksi serta akibat dan dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat di Desa Margasari, Kabupaten Lampung Timur

Periode setelah tahun 2006 memasuki masa dimana pola interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan mangrove sudah berubah ke arah yang lebih baik lagi dan lebih bersifat Konstruktif – Protektif. Periode ini ditandai oleh terbentuknya KMPHM Desa Margasari yang anggotanya cukup mewakili seluruh kalangan profesi masyarakat desa, yaitu pamong desa, guru, petani dan nelayan. Meskipun pada awalnya KMPHM dibentuk oleh campur tangan lembaga dari luar desa (JICA, Universitas Lampung dan BRLKT) akan tetapi karena memang masyarakat membutuhkan organisasi tersebut, maka antusiasme mereka sangat tinggi untuk berperan aktif dalam merehabilitasi dan memproteksi hutan mangrove. Saat ini kegiatan masyarakat desa memasuki fase proteksi hutan mangrove dari gangguan perambahan dan penebangan. Setiap ada tindakan destruktif, mereka langsung bertindak untuk mencegah dan memberi sangsi denda kepada pelaku dan melaporkannya

285

Prosiding Seminar Hasil Penelitian BPK Palembang kepada aparat penegak hukum. KMPHM juga memberikan pendidikan cinta mangrove kepada anak-anak sekolah dasar. Anak-anak yang dulu disuruh orang tuanya untuk mencari kayu bakar dengan cara menebang cabang mangrove, saat ini mereka sudah terlatih untuk ikut menanam dan memelihara hutan mangrove. Mereka sudah berhenti mencari kayu bakar dari hutan mangrove. Ini adalah bentuk internalisasi sikap dan perilaku positif yang dibentuk sejak dini. Pada kelompok orang dewasa yang dulu adalah pelaku penebangan dan konversi hutan mangrove, menurut informasi masih ada sekitar 80 persen, kesadaran untuk menjaga hutan mangrove juga sudah tumbuh dengan baik. Kondisi ini secara kolektif sangat mendukung terpeliharanya hutan mangrove karena aktivitas yang merusak hutan sangat berkurang. Kondisi hutan mangrove saat ini disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kondisi hutan mangrove saat ini di Desa Margasari, Kabupaten Lampung Timur

C. Perubahan Akibat dan Dampak Lingkungan Perubahan pola interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan mangrove tidak terlepas dari fenomena akibat dan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perubahan kondisi hutan. Berdasarkan ilustrasi yang disajikan pada Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5 serta Tabel 1 tampak bahwa terjadi perubahan akibat dan dampak lingkungan ke arah yang lebih baik setelah rehabilitasi hutan mangrove. Tabel 1. Perubahan kondisi hutan mangrove di Desa Margasari, Labuhan Maringgai - Kabupaten Lampung Timur No. Periode Aktivitas Akibat Dampak 1. Sebelum Penebangan Degradasi hutan dan la- Hasil tangkapan ikan Tahun 1987 kayu dan han, peningkatan abrasi, merosot, tambak tak konversi hutan intrusi air laut, dan berproduksi baik, sawah tak mangrove untuk sedimentasi, serta biota bisa ditanami karena intrusi tambak laut menurun drastis air laut. 2. Tahun 1987 Rehabilitasi Pemulihan hutan dan Pemulihan kondisi tambak – 2006 hutan mangrove lahan, penurunan abrasi, dan sawah, peningkatan hasil inturi dan sedimentasi, panen ikan dan padi, pening- peningkatan biota laut katan hasil tangkapan ikan 3. Setelah Proteksi hutan Fungsi hutan dan lahan Tambak dan sawah Tahun 2006 mangrove normal, Abrasi, intrusi berproduksi normal. dan sedimentasi dapat Peningkatan hasil tangkapan dicegah biota laut dari ekosistem mangrove, ekspansi hutan mangrove dari hasil permudaan alam sudah terbentuk

286

Aspek Konservasi dan Lainnya

Gambar 5. Kondisi tambak saat ini di Desa Margasari, Kabupaten Lampung Timur

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, terjadi perubahan kondisi sumberdaya hutan mangrove dan pola interaksi yang signifikan dari pola Destruktif – Eksploitatif ke pola Konstruktif – Rehabilitatif dan pola Konstruktif - Protektif terhadap sumberdaya hutan mangrove oleh masyarakat Desa Margasari - Lampung Timur. 2. Perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan mangrove terbentuk setelah muncul banyak dampak negatif dari penerapan pola interaksi yang keliru di masa lalu. 3. Dari kasus rehabilitasi hutan mangrove di desa Margasari ini banyak diambil hikmah lingkungan yang positif, baik dari aspek teknis, sosiologi lingkungan, ilmu lingkungan, nilai dan etika lingkungan, dan hukum lingkungan. B. Saran Kajian yang lebih mendalam tentang aspek-aspek tersebut perlu dilakukan untuk memperoleh bentuk-bentuk kearifan lokal, strategi dan sintesis model yang bisa digunakan dalam pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan bersama masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Dunlap dan Michelson. 2002. Handbook of Environmental Sociology. Greenwood Press. Gould, K.A, D.N. Pellow, A. Schnaiberg. 2004. Interrogating the Treadmill of Production. Organization and Environment Vo.17(3): pp. 296-316. Keraf, S. 2002. Etika Lingkungan. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. 322 p. Munawar. 2010. Hutan Versus Ekologi Mangrove. Diakses tanggal 12 Januari 2011 at http://munawar–indonesiaraya.blogspot.com Soekanto, S. 1982. Sosiologi, Suatu Pengantar. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta. 404 p. Tabara, J.D dan C.P. Wostl. 2007. Sustainability Learning in Natural Resources Use and Management. Ecology and Society 12(2):3.

287

Lampiran

Lampiran

Lampiran 1. Susunan Acara Seminar

WAKTU MATERI PELAKSANA 08.00 - 08.30 Registrasi Peserta Panitia 08.30 - 08.45 Pembukaan MC 08.45 - 09.00 Laporan Ketua Panitia Kepala BPK palembang Penyelenggara 09.00 - 09.15 Sambutan, arahan dan pembukaan Sekretaris Balitbang Kementerian Kehutanan 09.15 - 09.30 Pembacaan doa Panitia 09.30 - 09.40 Photo bersama 09.40 - 10.00 Tea Time Sesi I 10.00 - 10.20 Aspek Ekologis Hutan Tanaman Dr. Wiyono (Universitas Bengkulu) Indonesia 10.20 - 10.40 Manajemen Pemupukan untuk Maydra Alen Inail (PT. Musi Hutan Pembuatan Hutan Tanaman Acacia Persada) mangium sebagai Pengalaman PT. Musi Hutan Persada dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri, di Sumatera Selatan 11.00 - 11.20 Peningkatan Riap Pertumbuhan Drs. Agus Sofyan, M.Sc Tanaman Tembesu Melalui Beberapa Perlakuan Silvikultur 11.20 - 11.40 Serangan Kumbang Penggerek Agus Kurniawan, S. Hut., M.Sc (Xystrocera gllobosa) pada Tegakan Kayu Bawang dan Teknik Pengendaliannya pada Skala Lapangan 11.40 - 12.30 DISKUSI Moderator: Ir. Agus Tampubolon, M.Sc. (Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi) Notulensi: Armellia Prima Yuna, S. Hut 12.30 - 13.30 ISHOMA Sesi II 13.30 - 13.50 Pengembangan Hutan Tanaman di Ir. Hendar Suhendar (Dishut Provinsi Sumatera Selatan Sumatera Selatan) 13.50 - 14.10 Pertumbuhan dan Produktivitas Hengki Siahaan, S. Hut., M.Si Agro-forestri Kayu Bawang di (BPK Palembang) Provinsi Bengkulu 14.10 - 14.30 Agen perubahan dalam Efendi Agus W, S.Hut., M.Ec. D.ev., M.A. Pembangunan Hutan Rakyat: Belajar (BPK Palembang) dari Pengembangan Kayu Bawang di Wilayah Provinsi Bengkulu 14.30 - 15.30 DISKUSI Moderator: Dr. Maryadi (Universitas Sriwijaya) Notulensi: Ari Nurlia, S. Hut 15.30 - 15.45 Tea Time 15.45 - 16.00 Pembacaan Rumusan Perwakilan Tim Perumus 16.00 - selesai Penutupan Kegiatan Seminar Hasil Kepala BPK Palembang Penelitian

291

Lampiran

Lampiran 2. Susunan Panitia Seminar BPK Palembang

Penanggungjawab : Kepala Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang

Panitia Pelaksana : Ketua : Sufyan Suri, SP.

Seksi – seksi a. Kesekretariatan Koordinator : Suningsih, S.Hut Anggota : Rahma Dewi, S.Hut b. Materi dan Persidangan Koordinator : Anita TL Silalahi, SP. MSi Anggota : Syaiful Islam

c. Humas & Dokumentasi Koordinator : Hendra Priatna, ST Anggota : Sairun

d. Seksi Transportasi dan Akomodasi Koordinator : Agus Yanto, SH Anggota : 1. M. Syukri 2. Supriawan

Tim Perumus Ketua : Ir. Abdul Hakim Lukman, MSi Anggota : 1. Ir. R. Dodi Prakosa, MSc 2. Nur Arifatul Ulya, S. Hut., M.E

KEPALA BALAI,

Ir. Choirul Akhmad, ME NIP. 196701291994031007

293

Lampiran

Lampiran 3. Daftar Peserta Seminar

1. Dian Wulansih S., S.Hut 2. Wahyu Pamungkas BP4K Empat Lawang BP4K Empat Lawang Tebing Tinggi Empat Lawang Tebing Tinggi Empat Lawang No. HP: 085719331530 No. HP: 081329444483 Email: [email protected] Email: [email protected] 3. Dedi Harianto, A.Md 4. Annika, S.Pi BP4K Empat Lawang BP4K Empat Lawang Tebing Tinggi Empat Lawang Tebing Tinggi Empat Lawang No. HP: 082185169369 No. HP: 085384110740 Email: [email protected] 5. Aldi Indra Pribadie, S.Pi 6. M. Agustomo, SPt BP4K Empat Lawang Kota Pagar Alam Tebing Tinggi Empat Lawang No. HP: 081377885377 No. HP: 085669422985 Email: [email protected] Email: [email protected] 7. Abudavi, SP 8. A. Mustofa, SP BP5K Pagar Alam BP5K Pagar Alam Kota Pagar Alam Kota Pagar Alam No. HP: 082179658755 No. HP: 085357543767 9. Agus Sofyan 10. Agus Sumadi, S.Hut BPK Palembang BPK Palembang Taman Sari, Palembang Maskarebet, Palembang No. HP: 08127886682 No. HP: 081373882778 Email: [email protected] Email: [email protected] 11. Aprinno, SP 12. Meirza Davidson, AMd BP5K Pagar Alam BKP5K Pagar Alam Kota Pagar Alam Kota Pagar Alam No. HP: 085379010494 No. HP: 081271325736 Email: [email protected] Email: [email protected] 13. Welly Hermansyah 14. Anton Hermadi BP4K Banyuasin BP4K Banyuasin Sembawa, Banyuasin Banyuasin II No. HP: 081367288721 No. HP: 085664618195 Email: [email protected] 15. Dikman Subari 16. Delfi Lensari Bakorluh Sumsel Universitas Muhammadiah Palembang Jl. Merdeka No. 10A, Palembang Plaju Palembang No. HP: 081367650680 No. HP: 081210404178 Email: [email protected] 17. Siskha Herdianti 18. Maydra Allen Inail BPPHP Wilayah V PT. Musi Hutan Persada Palembang Tanjung Sakti, Lahat No. HP: 081367084438 No. HP: 087796190996 Email: jeung [email protected] Email: [email protected]

295

Lampiran

19. Andri Abbas, S.Hut 20. Atep Edi H. BP4K Muba BPKH II Palembang Sekayu Jln. Punti Kayu Km 6,5 No. HP: 081387454154 No. HP: 081371667161 Email: [email protected] Email: [email protected] 21. Mardiyanto 22. Achmad Roshidi BP4K Kab. Muara Enim BP4K Kab. Muara Enim RT.05/02 Kel. Handayani RT. 10/04 Tegal Rejo, T. Enim No. HP: 081367613194 No. HP: 085273770717 23. M. Deansaptawi 24. Bambang Pratista BKSDA Sumsel BP4K Kabupaten Musi Rawas Jl. Supersemar No. 1409 Blokcg Kel. Wirya Jaya No. HP: 085268042456 No. HP: 081367547236 Email: [email protected] Email: [email protected] 25. Dery septian Iswanto 26. Iskandar Junaedi BP4K Kab. Musi Rawas BP4K Kab. Mura Sirong Doknes Lubuk Linggau Tanjung Aman Lubuk Linggau No. HP: 081377511780 No. HP: 081278529808 Email: [email protected] 27. Seroja 28. Darmadi BP4K Kab. Musi Rawas BP4K Kab. Muara Enim Kel. Nikan Jaya Prabu Indah Gunung Ibul Prabumulih No. HP: 082376002424 No. HP: 08526747486376 29. Suroto, SP 30. Almeezani Wakdi BP4K Kab. Muara Enim BP4K Kab. M. Enim Jl. Jend. Sudirman M. Enim Desa Kr. Endah, Glb No. HP: 081271547413 No. HP: 081271505588 31. Muhammad Yani 32. Sudirman Bakorluh Bakorluh Jl. Merdeka 10A Jl. Merdeka 10A No. HP: 081278531000 No. HP: 081958885551 Email: [email protected] 33. M. Ardisson 34. Andang Suhadi Dishut Prov. Sumsel Dishut Kab. OKI Maskarebet Kayuagung No. HP: 081373617979 No. HP: 082111116829 Email: [email protected] Email: [email protected] 35. Pandji Tjahyadi 36. Kasduan Dishut Prov. Sumsel BP4K OKU Wanagriya Jl. Marga BLLKULM No. 1 No. HP: 081367986066 No. HP: 08155812564 Email: [email protected] 37. Deden Sukirman 38. Bahrum Disbunhut OKU Dinas Kehutanan Kota Palembang Jl. KP Syahrial Gandus Palembang No. HP: 081271880599 No. HP: 08127879948

296

Lampiran

39. Budiyanto 40. Praktiknyo BP3K Lempuing Jaya OKI BP4K Kab. Lahat Lempuing Jaya OKI Jl. Marzuki-Lahat No. HP: 081368035905 No. HP: 081271691087 41. Pramoe Wiboyo 42. Sugito BP4K Kab. Lahat BP4K Lahat No. HP: 081272462228 No. HP: 085669390064 Email: [email protected] 43. Wagirin 44. Eman Sulaeman BP4K Kab. Lahat BP4K Kab. OKI No. HP: 081379395886 Jl. Simp. Kijang No. 40 Kayu Agung No. HP: 085268489698 Email: [email protected] 45. Hasanudin 46. Sugeng Supriyana BP4K OKI BPPKP Kab. OKU TIMUR Jl. Simpang Kijang No. 40 Kayu Agung JL. Lintas Sumatera km 7 Martapura No. HP: 085384749922 OKUT Email: [email protected] No. HP: 081373171589 47. Taufik Rusidi, SP 48. Onziar Dinata, ST., MM BPPKP Kab. OKU TIMUR BPPKP Kab. OKU TIMUR JL. Lintas Sumatera km 7 Martapura JL. Lintas Sumatera km 7 Martapura OKUT OKUT No. HP: 0812735589698 No. HP: 085273475458 49. Andri Irawan, SP., M.Si 50. Iman Sulaiman, SP BPPKP Kab. OKU TIMUR BPPKP Kab. OKU TIMUR JL. Lintas Sumatera km 7 Martapura JL. Lintas Sumatera km 7 Martapura OKUT OKUT No. HP: 082184667666 No. HP: 082342970000 Email: [email protected] Email: [email protected] 51. Heru Slamet, SP 52. Budi Jhonson H., SP BP4K Kab. OKI BP4K Kab. Muara Enim Jl. Simpang Kijang No. 40 KA Desa Linggau 2 Kec. L. Kidul, ME No. HP: 085380855606 No. HP: 082178872742 Email: [email protected] Email: [email protected] 53. Rebindranath Siregar, SP 54. Mariyono BP4K Kab. Muba BP4K Kab. Muba Jl. Merdeka LK VII Sekayu Jl. Merdeka LK VII Sekayu No. HP: 081368980709 No. HP: 085368434373 55. Iswadi, SP 56. Zainal Arifin BP4K Kab. OKI BP4K Kab. Muba Jl. Simpang Kijang No. 40 Kayu Agung BPP Tungkal Jaya No. HP: 089267082251 No. HP: 081366310670 Email: [email protected]

297

Lampiran

57. Endah Novitarini 58. Arindra Julistyowatie FP. Univ. Sjakhyakirti Agrotek Stiper Sriwigama Palembang Jl. Makrayu Jl. Taman Sari 3 km 6 Palembang No. HP: 087879354065 No. HP: 081273063428 Email: [email protected] Email: [email protected] 59. Fetty Febrianti 60. Wagirin BPTH Sumatera BP4K Kab. Lahat No. HP: 081318643376 Jl. Pramuka Rb Kemabang Email: [email protected] No. HP: 081379795886 61. Lina Marlina 62. Partiman Puskonser Puskonser Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor No. HP: 0857197330487 No. HP: 08811725626 63. Komar 64. Silvy A Puskonser Puskonser Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor No. HP: 085711754973 No. HP: 0817404633 65. Agus Tampubolon 66. Ferdy A.H. Puskonser BPTPTH Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Ciheulet Pakuan No. HP: 081381914295 No. HP: 082311659911 Email: [email protected] Email: [email protected] 67. C. Nugroho, SP. 68. A. Sobai Setbadan Litbang Kehutanan BDK Bogor Jl. Gatot Subroto Jakarta Jl. Prada Samlawi No. HP: 08122976384 No. HP: 081383944943 Email: [email protected] Email: [email protected] 69. Maryana 70. Fitri Sulastri BP4K Muara Enim Bakorluh Prov. Sumsel Jl. Raya Muara Enim Jl. Merdeka No. 10 A No. HP: 08127888233 No. HP: 081532751166 Email: maryana@yahoo 71. Yusmaituti 72. Darlena Hosjin BP4K Banyuasin Bakorluh Prov. Sumsel Jln. Palembang-Betung Km 42 Jl. Merdeka No. 10 A Palembang No. HP: 085273379750 No. HP: 081367963693 73. Rita Sriwati 74. Iskandar BP DAS Musi Dishut Muara Enim Jl. Lintas Barat No. 5 Km 6 Jl. Mayor Tj Agus K. No. HP: 081367979118 No. HP: 081273753702 Email: [email protected] Email: iskandar,[email protected] 75. H. Gamiono Ikhsan 76. Sodikin BP4K Banyuasin BP4K Banyuasin Komp. Perkantoran JL. Lingkar No. 24 Komp. Perkantoran JL. Lingkar No. 24 Sekojo Banyuasin Sekojo Banyuasin No. HP: 085378155358 No. HP: 081367286923

298

Lampiran

77. Suhariyanto 78. Wiryono BPTPTH Bogor Universitas Bengkulu Jl. Pakuan Ciheuleut Bogor No. HP: 081367464675 No. HP: 08121317443 Email: [email protected] 79. Epina Cornely 80. Adang Sopandi Balitbangnovda Sumsel Pusprohut Jln. Demang Lebar Daun Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor No. HP: 081373357641 No. HP: 08161411162 Email: [email protected] 81. A. Syaffari 82. Nina Mindawati Pusprohut Pusprohut Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor No. HP: 0817404633 No. HP: 087770132349 Email: [email protected]

299

Lampiran

Lampiran 4. Notulensi Seminar

Sesi I I. Aspek Ekologis Hutan Tanaman Indonesia (Dr. Wiyono) a. Paparan  Iklim dan vegetasi memiliki hubungan timbal balik, dimana iklim akan menentukan tipe vegetasi dan sebaliknya  Dampak pembangunan Hutan Tanaman bagi ekologis:  Keragaman hayati menurun, baik tumbuhan maupun satwa  Kerentanan terhadap hama dan penyakit  Penurunan kesuburan tanah (banyak kehilangan mikroorganisme pengurai/ dekomposer)  Strategi  Meningkatkan kompleksitas struktur yang mendekati kondisi di Hutan Alam, dengan membuat sabuk Hutan Alam sebagai habitat satwa dan menjadi koridor pergerakan satwa  Pengendalian hama secara terpadu (PHT) dengan pengendalian secara biologis, kultural, mekanisme, dll  Mekanisme pengembalian biomassa ke tanah dengan pemanfaatan serasah sebagai penutup tanah b. Audiensi 1. Suhariyanto (Kabalai BPTP Bogor)  Adakah hasil studi tentang rasio berapa luasan hutan alam yang harus tetap dipertahankan untuk menjamin keseimbangan ekologis pada satu hamparan?  Koridor HA juga bisa dijadikan alternatif solusi untuk mengatasi serangan hama (misal, hama monyet) pada usaha budidaya tanaman hutan, sehingga selain bisa meningkatkan fungsi ekologis juga akan menjadi tempat mencari makan bagi satwa yang dianggap hama tersebut 2. Safari Kosasih  Keberadaan HT sangat diperlukan untuk menjamin pasokan kayu di Indonesia, karena menurut data yang diperoleh produktivitas (riap) kayu yang berada di HA hanya berkisar antara 1-5 m3/ha/th saja, sehingga tidak akan mungkin bagi kita mengandalkan HA dalam memenuhi kebutuhan kayu yang terus saja meningkat  Jenis-jenis cepat tumbuh (fast growing) bisa dikembangkan sebagai HT murni  Pembangunan hutan tanaman yang fungsi ekologisnya menuju HA namun produktivitas tetap tinggi bisa dilakukan dengan mengembangkan jenis-jenis meranti, seperti yang telah dilakukan di Haur Bentes 3. Adang (Kabid Program Pusprohut)  Ada pernyataan bahwa “Organisme disebut hama jika populasinya sudah membludak dan menimbulkan kerugian bagi pengelola”, apakah sudah ada suatu metode yang bisa dipakai untuk memonitoring populasi dari organisme tertentu sehingga kita bisa mengkategorikan suatu populasi tersebut dianggap aman atau berbahaya (menjadi hama) bagi tanaman yang dibudidayakan? c. Tanggapan pemakalah  Tidak semua kawasan hutan harus dipertahankan menjadi HA, yang perlu dilakukan hanya menyisakan sebagian kawasan hutan untuk tetap difungsikan sebagai HA

301

Lampiran

untuk menjamin keseimbangan alam/lingkungan dan areal konservasi merupakan salah satu bentuk perwujudan dari HA  Agroforestry merupakan salah satu bentuk ekosistem yang mendekati kondisi HA  Koridor Hutan Alam yang perlu dibuat disesuaikan dengan luasan Hutan Tanaman yang dibangun (tidak mutlak 100 m2)  Kriteria kerusakan HT akibat serangan hama pada dasarnya tidak ada persentase khusus, tergantung kesanggupan petani dalam menanggung kerugian secara ekonomi

II. Manajemen Pemupukan untuk Pembuatan Hutan Tanaman Acacia mangium sebagai Pengalaman PT. MHP dalam Pengelolaan HTI di Sumsel (Maydra Alen Inail) a. Paparan  Pengalaman PT. MHP dalam mengelola HT memberikan pelajaran bahwa pada setiap daurnya A. mangium mengalami penurunan produktivitas, oleh karena itu sangat perlu dilakukan manajemen nutrisi untuk menjamin tidak terjadinya penurunan riap pertumbuhan  PT. MHP membangun HT A. mangium pada tanah PMK. Tanah PMK dicirikan dengan ketersediaan hara yang rendah, pH saturation dan kekurangan unsur Posfat.  Hasil pembelajaran dalam mengelola HT A. mangium pada tanah PMK menunjukkan bahwa unsur N, K dan Ca tidak berpengaruh besar bagi pertumbuhan A. mangium. Signifikansi pertumbuhan hanya ditunjukkan pada penambahan unsur P, terutama pada awal pertumbuhan. Namun, setelah tajuk bersinggungan input unsur P justru tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Dosis yang disarankan adalah 70 gram/tanaman.  Metode penempatan pupuk pada tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan bagi pertumbuhan tanaman, akan tetapi secara ekonomis lebih efisien menggunakan metode peletakan pada dasar lubang tanaman (Alasan fiksasi Al) dan ukuran lubang tanam yang besar dan dalam lebih kondusif bagi perkembangan tanaman terutama dalam adaptasi perakarannya. b. Audiensi 1. Safari Kosasih  Penggunaan pupuk P pada A. mangium juga sudah pernah dilakukan pada demplot A. mangium F1 umur 1,5 tahun, akan tetapi responnya tidak berbeda nyata dengan tanpa pemupukan. Berdasarkan data tersebut apakah masih perlu kita untuk melakukan kegiatan pemupukan jika melihat hasilnya yang tidak berbeda nyata dengan tanpa pupuk tersebut? 2. Adang (Kabid Program Pusprohut)  Adakah dilakukan analisa tanah pada lokasi yang diteliti?  Hasil penelitian yang dipaparkan baru pada tanaman usia 1 tahun, kira-kira bagaimana trend yang terjadi bila penggunaan pupuk P dilakukan pada A. mangium umur > 1,5 tahun dan sudahkah dikaji pengaruh P terhadap pembentukan lignin dalam kayu? 3. Nugroho (Kabid Program Sekretariat Badan Litbang)  Mohon dipaparkan latar belakang penggunaan pupuk P berdasarkan telaah “Soil Characteristic” dan bentuk pupuk P yang diaplikasikan

302

Lampiran

c. Tanggapan pemakalah  Kecenderungan penggunaan pupuk P memang tidak terlalu signifikan, namun secara fisik pada rotasi ke-3 kecenderungan pertumbuhan tanaman terlihat lebih baik  Analisis tanah dan jaringan tanaman sudah dilakukan untuk mengevaluasi unsur N, P, K yang dikembalikan ke tanah. Terlihat dari pengamatan unsur P yang dikembalikan ke tanah paling sedikit dibandingkan unsur lainnya, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan P melalui kegiatan pemupukan  Unsur P memang berkorelasi positif terhadap pembentukan lignin  Penentuan input P dilakukan berdasarkan analisis karakteristik tanah, terutama melihat dari kedalaman tanah dan soil nutrient

III. Peningkatan Riap Pertumbuhan Tanaman Tembesu melalui Beberapa Perlakuan Silvikultur (Agus Sofyan) a. Paparan  Tembesu sangat populer di Sumbagsel, karena kelas kuat dan awetnya yang sangat baik, pemanfaatan kayu yang beragam dan memilki nilai khusus (budaya) di tengah masyarakat Sumbagsel terutama Palembang  Dampak penanaman tanpa design akan menghasilkan pertumbuhan yang tidak maksimal, yang terjadi justru persaingan dan menekan pertumbuhan  Peran silvikultur terutama dalam hal berikut ini:  Pemilihan jenis yang tepat secara klimatis dan edafis  Kesesuaian lahan sangat penting menjadi pertimbangan dalam budidaya tanaman  Manipulasi lingkungan melalui usaha pemupukan, pemangkasan, penjarangan, dan lain-lain. Pemangkasan merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan pertumbuhan dan batang. Penjarangan yang dilakukan pada tegakan tembesu mampu meningkatkan riap hingga 18,94-26,39% b. Audiensi 1. Tri Joko Mulyono (Sekbadan Litbang)  Litbang ternyata sudah berbuat banyak untuk membangun kehutanan di Indonesia, tapi ternyata banyak yang belum tahu termasuk internal Badan Litbang sendiri. Oleh karena itu, sosialisasi kegiatan Litbang secara internal ternyata juga perlu dilakukan terutama untuk membantu penyusunan kebijakan yang tepat sasaran  Promosi penelitian perlu dilakukan semenarik mungkin untuk menarik investor, dikemas dalam bentuk paket teknologi yang mudah diadopsi oleh masyarakat dan dapat dirasakan langsung manfaatnya  Perlu dibuat semacam surat dan proposal yang ditujukan kepada Dirjen BPDASPS (ditembuskan kepada Menhut) memuat suatu hasil penelitian yang bisa segera diimplementasikan, sehingga akan memudahkan pimpinan Badan Litang untuk mencarikan anggaran bagi kemajuan penelitian yang dilakukan dan pada akhirnya semangat membangun kita dapat direalisasikan dengan baik 2. Adang (Kabid Program Pusprohut)  Paparan diseminasi sebaiknya menggunakan bahasa yang populer, sehingga memudahkan user untuk memahaminya, terutama penyuluh-penyuluh sebagai ujung tombak arus informasi  Sudah adakah kajian untuk membandingakan kecepatan pertumbuhan tembesu menggunakan trubusan dengan anakan

303

Lampiran

3. Suhariyanto (Kabalai BPTP Bogor)  Sangat mengapresiasi kegiatan pembiakan vegetatif yang telah dilakukan oleh BPK Palembang 4. Nugroho (Kabid Program Sekretariat Badan Litbang)  Pembangunan hutan berbasis klon butuh waktu yang cukup panjang  Penggunaan bahasa yang lebih sederhana untuk menjelaskan istilah-istilah dalam pemuliaan agar lebih mudah dipahami user  Usul untuk segera dilakukan pembuatan film mengenai usaha pembangunan hutan tanaman berbasis klon  Selama ini praktek silvikultur yang diterapkan masih menekankan pada perlakuan peningkatan pertumbuhan dan perbaikan kualitas kayu, belum terlalu banyak menyinggung persoalan manipulasi kondisi lingkungannya c. Tanggapan Pemakalah  Komunikasi dengan para penyuluh di Sumsel selama ini sudah lumayan baik, jadi transfer informasi tersebut sebenarnya sudah berjalan  Pengembangan tanaman dengan memanfaatkan trubusan lebih cepat dibandingkan dengan yang menggunakan anakan  Penelitian yang dilakukan dengan design hampir bisa dipastikan hasilnya akan baik

IV. Serangan Kumbang Penggerek (X. globosa) pada Tegakan Kayu Bawang dan Teknik Pengendaliannya pada Skala Lapangan (Agus Kurniawan) a. Paparan  Hingga tahun 2010 belum ada laporan serangan hama pada tanaman kayu bawang. Informasi serangan baru diperoleh pada tahun 2012 dengan ditemukannya hama X. globosa pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo sebagai plot pengembangan kayu bawang yang ada di Bengkulu. Serangan hama X. globosa terutama ditemukan menyerang bagian jaringan kayu hingga empulur yang dapat mematikan individu tanaman  Kumbang penggerek X. globosa menyerang kayu bawang umur 15 bulan dengan persentase dan intensitas serangan sebesar 3,82% dan 7,03%  Penggunaan insektisida sistemik berbahan aktif fipronil dosis 8 cc/liter mampu menekan serangan hama dengan persentase dan intensitas sebesar 3,66% dan 6,84% b. Audiensi 1. Adang (Kabid Program Pusprohut)  Sudah pernahkah dicoba pengendalian secara biologis yang lebih ramah lingkungan?  Apakah sudah dilakukan analisa terhadap kondisi lingkungan dari tegakan yang terserang hama? c. Tanggapan Pemakalah  Pola yang dikembangkan masyarakat memang lebih banyak menerapkan pola agroforestry karena pertimbangan keterbatasan modal/ekonomi. Pola penanaman monokultur hanya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha dengan kekuatan modal yang cukup besar seperti di HTI. Namun, jenis yang ditanam kebanyakan dipilih dari jenis cepat tumbuh (fast growing) dengan produk akhir rata-rata kayu untuk bahan baku pulp dan kertas.  Pola agroforestry bisa menjadi alternatif untuk pengembangan jenis kayu dengan daur panjang, karena dalam pola campuran biasanya akan menyertakan jenis yang

304

Lampiran

menghasilkan produk antara yang dapat dinikmati hasilnya sembari menunggu panen kayu  Pestisida yang digunakan pada penelitian masih bersifat kimiawi (racun kontak), sedangkan upaya pengendalian secara biologi (memanfaatkan pestisida nabati) dilakukan oleh tim penelitian yang lain di BPK Palembang

Pada sesi kedua khusus diberikan kesempatan bagi para penyuluh untuk menyampaikan beberapa pandangannya mengenai paparan yang telah disampaikan oleh pemakalah, diantaranya: 1) Sugeng (Penyuluh OKU Timur)  Hasil penelitian yang dilakukan selama ini oleh para peneliti kebanyakan tidak banyak dimengerti oleh para pihak di lapangan, sehingga hanya menjadi literatur di perpustakaan saja  Penelitian yang dilakukan hendaknya didorong pada usaha-usaha pelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat yang sebesar-besarnya  Para peneliti seyogyanya merangkul penyuluh di lapangan sehingga lebih jelas arah implementasinya  Dimohon kepada PT. MHP untuk merangkul penyuluh untuk melakukan kerjasama yang saling menguntungkan serta lebih banyak lagi memberdayakan masyarakat sekitar hutan sehingga kesejahteraannya dapat meningkat (sinergi pelestarian alam, pemberdayaan dan peningkatan pendapatan masyarakat) 2) ------(Penyuluh MUBA)  Satwa bukanlah hama sebenarnya, yang paling mengerikan justru adalah manusia itu sendiri  Sangat setuju dilakukan konservasi terhadap HA yang masih tersisa, karena keberadaan HA akan menjamin terjaganya keseimbangan alam, jadi tidak semuanya dikonversi untuk kepentingan kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu, di setiap HTI yang dibangun, semestinya disisakan juga HA sebagai penyeimbang, sehingga serangan hama seperti yang terjadi di PT. MHP dapat diminimalisir  Penggunaan pupuk kimia akan merusak kesuburan tanah, semestinya kita mulai menggunakan pupuk organik dalam usaha budidaya

Tanggapan para pemakalah a) Dr. Wiyono  Satwa yang dianggap hama sebenarnya jangan dibunuh, karena areal yang mereka butuhkan tidak terlalu luas. Dengan menyediakan areal-areal konservasi, hutan kota dll dinilai bisa mengatasi permasalahan tersebut b) Maydra Alen Inail  Setuju dengan pendapat bahwa serangan paling mengerikan itu justru berasal dari manusia, terutama pembalakan liar serta perusakan areal konservasi yang terjadi di PT. MHP  Salah satu upaya yang sedang dipertimbangkan oleh PT. MHP untuk mengatasi serangan hama tersebut adalah dengan mengganti jenis yang tengah dibudidayakan, dari mangium menuju ekaliptus  PT. MHP selama ini memang belum menggunakan pupuk organik dalam memacu pertumbuhan tanaman, tapi akan dipertimbangkan untuk digunakan bila hasil telaahan secara ekonomi dianggap menguntungkan

305

Lampiran

c) Agus Sofyan  Kita harus punya forum untuk mentransfer hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan  Upaya transfer informasi juga telah dilakukan melalui seminar-seminar yang diadakan balai di berbagai daerah dengan mengundang para petani dan penyuluh yang ada di berbagai kabupaten di Sumsel

SESI KEDUA

DISKUSI: 1. Imam Muslimin (BPK Palembang) Kepada Pak Hendar, ada sesuatu yang menarik dari pemaparannya yang berhubungan dengan pemaparan sebelumnya yang mengatakan salah satu dari misi Dinas Kehutanan Propinsi Sumsel adalah untuk produktivitas dan peningkatan kualitas pengelolaan DAS. Kemudian ada pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal dimana salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan Sumsel sebagai lumbung kayu nasional dengan produksi kayu 8 juta m3/tahun, dan dikatakan juga sampai tahun 2013 ada 21 unit IUPHHK-HTI yang luasannya adalah 1.385.672 ha. Sepengetahuan saya misalkan kita ambil contoh pada MHP yang rata-rata produksinya adalah 30 m3/ha tahun, cukup dengan 450 ha target dari sumsel lumbung kayu nasional sudah terpenuhi.  Berdasarkan data tersebut, mohon diklarifikasi apakah 8 juta m3/thn/ha itu perlu ditingkatkan lagi atau jika sudah cukup, mungkin kita bisa memanfaatkan luasan yang tidak begitu besar tetapi pemanfaatan teknologi dan riset yang aplikatif sehingga produksinya bisa mencapai target dan luasan lainnya bisa digunakan untuk konservasi.  Sebetulnya berapa luasan hutan produksi yang efektif untuk menunjang dari target sehingga sisanya bisa dikonversi untuk kegiatan yang lainnya.

2. Evina Korneli (Balitbangda Propinsi Sumatera Selatan) Saya hanya ingin memberi beberapa tanggapan. Ada dua hal besar yang dipaparkan pemakalah dimana dinas kehutanan memaparkan ada masalah dengan kehutanan di Sumatera Selatan dan dinas kehutanan ingin melemparkan suatu masalah yang intinya bagaimana masalah di sektor kehutanan bisa dibantu oleh teman-teman dari BPK Palembang. Yang di paparkan oleh teman-teman dari BPK juga sudah sangat bagus menunjukkan bagaimana hasil-hasil penelitian kita sudah begitu tajamnya. Tapi bagaimana hasil-hasil penelitian ini bisa ditarik keluar dan bisa di implementasikan di sektor kehutanan dan bagaimana kita harus bisa mengintegrasikan hasil riset ini. Teman dari BPK yang terakhir tadi memaparkan sebenarnya ada cara kita bisa menarik riset itu ke dalam sektor kehutanan, bahwa kita perlu agen perubahan, kita perlu penyuluh-penyuluh kehutanan. Jadi hasil riset dimanapun itu harus bisa ditarik untuk menyelesaikan problem di dinas kehutanan. Cuma masalahnya bagaimana hasil riset itu bisa kita tarik keluar dan kita inspirasikan ke dalam kebijakan-kebijakan teknis.

3. Sugeng Supriyanto (Kabupaten OKU Timur) Melihat dari apa yang telah disampaikan pada paparan Pak Hendar tadi, dengan luas hutan sekitar 3.760.000 ha itu luasan yang sangat luar biasa. Saya coba menghitung penghasilan kita dari ekspor oksigen bisa sampai 6 Triliun 92 Milyar, dengan indikasi 1 ha menghasilkan 0,6 ton oksigen setiap hari, tapi itu tidak pernah dihitung sehingga kurang memberi kontribusi kepada kita. Jika kita beri 10%nya saja kepada orang-orang yang merawat hutan,

306

Lampiran

satu bulan kita bisa mendapat sekitar 10 juta. Sementara dari hitungan yang Pak Hengki, sebulan kita hanya dapat Rp. 1.933.000 dengan campuran tanaman bawang. Yang saya pertanyakan, mengapa orang-orang ini tidak mendapat kontribusi? Kita jual karbon dengan tetap merawat hutan, hasil tetap lestari tetapi pendapatan kita tidak hanya kayu. Harus ada peneliti-peneliti yang mengukur oksigen yang kita ekspor dan ilmu ini perlu dikasihkan kepada penyuluh.

4. Agus Sofyan (BPK Palembang) Ada statement dari Pak Hendar yang saya tidak sepaham. Yang pertama bahwa hasil kayu- kayuan pasarnya belum jelas. Saya tidak sepaham apalagi ketika yang disebutkan adalah sengon pada tahun 1980an, karena sampai tahun 1990an saja kayu lokal yang kualitasnya tidak bisa disejajarkan dengan sengon masih banyak jadi wajar saja jika sengon tidak laku karena kayu-kayu bagus pun masih banyak. Jadi kayu itu akan jelas pasarnya ketika barangnya ada. Yang kedua adalah HTR, sebenernya kami dari litbang menunggu-nunggu kapan HTR akan bergulir. Saya tidak tahu ada keraguan apa sehingga HTR hingga akhir ini belum begitu nampak berjalan padahal hasil-hasil riset ini menunggu untuk digunakan.

5. Edwin Martin (BPK Palembang) Saya ingin bertanya ke semuanya, semua tindakan manusia itu tidak ada yang bebas nilai semuanya dipengaruhi oleh pemikiran.  Pertanyaan saya yang pertama ke Pak Hendar, berdasarkan peraturan perundangan diwajibkan perusahaan HTI untuk menyiapkan areal cadangan untuk kehidupan dan konservasi. Pengusaha kan pemikirannya pada profit, pada saat mereka dibebankan juga pada tugas pemerintah itu hampir pasti tidak jalan apalagi pemerintahnya juga tidak mengontrol. Apakah tidak sebaiknya yang seperti itu dikerjakan saja oleh pemerintah, biarkan si pengusaha mencari uang sebanyak-banyaknya nah uang dari mereka itu yang kita pakai untuk membangun tadi.  Pertanyaan berikutnya kepada Pak Hengki Siahaan, Kayu bawang dan agroforestry ini kan kasusnya di bengkulu sedangkan peserta disini sebagian besar dari Sumatera Selatan. Menurut Pak Hengki di daerah mana saja yang sesuai untuk kayu bawang dan bagaimana caranya kalo mereka tertarik untuk menanam kayu bawang. Karena jika sebuah hasil riset ditampilkan bagus tapi tidak dapat dipergunakan juga akan menjadi suatu pertanyaan.  Pertanyaan terakhir untuk Pak Efendi, bagaimana cara komunikasi yang paling efektif dari agen perubahan sehingga dapat diterima masyarakat. Karena walaupun tanamannya bagus, walaupun tanamannya mahal jika si pelaku tidak tahu, tidak mau dan tidak mampu itu tidak bisa ditanam juga. Maka Peran agen perubahanlah yang menjembatani itu agar pelaku dapat mengikuti apa yang dia pikirkan.

Tanggapan 1. Hendar Suhendar  Menanggapi Pak Imam, target 8jt m3/ha/thn itu merupakan renstra hingga tahun 2014, sampai saat ini dari 1,3 jt hektar HTI yang sudah tertanam adalah 500 ribu hektar. Hitungan kami jika sekitar 500 ribuan hektar standing stock maka sekitar 90 ribuan hektar/tahun yang bisa kita tebang, jika kita ambil sekitar 100 m3/ha secara potensi kita sudah bisa mencapai target. Tapi pada kenyataannya dari 500 ribu hektar hingga saat ini

307

Lampiran

memang belum mencapai 5 jutaan m3/ha berarti disana masih ada masalah. Jadi dari jawaban kami yang 8 juta m3/ha/thn itu masih sementara, itu masih bisa ditingkatkan.  Untuk Ibu Evina, terimakasih untuk komentarnya memang yang di ungkapkan ibu evina sama seperti yang kami pikirkan.  Kemudian Pak Sugeng, memang kita bisa jualan karbon, HTI pun bisa jualan karbon. HTI bisa kita tidak tebang untuk jualan karbon. Izin penjualan jasa lingkungan bisa izin di dalam izin, tapi mungkin saat ini pembelinya yang belum jelas.  Kemudian dari Pak Agus terimakasih kritikannya, pasarnya tidak jelas maksudnya bukan pada pasarnya tapi jaminannya. Masyarakatnya belum punya rasa terjamin karena hingga saat ini masyarakat belum beralih dari karet dan sawit. Kemudian mengenai HTR, memang tidak pesat karena rasanya masih ada unsur-unsur politis yang agak sulit dan domainnya juga bukan di dinas propinsi tapi di kabupaten yang mengeluarkan izin. Kita sudah melakukan identifikasi, indikatif dan pencadangannya juga sudah ada, namun izinnya yang tersendat.  Apa yang dipikirkan Pak Edwin sepemikiran dengan saya, HTI itu ada tiga yang harus dikerjakan yaitu harus kelola produksi, kelola lingkungan dan kelola sosial. Saat ini mereka memang masih ke kelola produksi sedangkan kelola lingkungan dan sosial masih belum dijalankan sepenuh hati, kita pun mau menekan mereka walaupun memang kewajiban tapi sangsinya belum ada.

2. Efendi A.W  Kepada Ibu Evina, memang betul dari pengalaman kami sebagai peneliti sosial dimana objek kami adalah orang-orang yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, memang sekarang jumlah penyuluh terutama jumlah penyuluh kehutanan sangat minim sekali, bahkan yang ada pun terkadang mereka tidak tahu berapa jumlahnya dan bagaimana kondisinya karena berada di dua instansi yang berbeda. Dan ini menjadi permasalahan kita bersama, karena jangankan di dua instansi di satu instansi pun terkadang komunikasi dan koordinasi kurang bagus, apalagi sekarang penyuluh itu berada di BP4K sedangkan program-program ada di Dinas Teknis. Mudah-mudahan dengan hasil penelitian ini dapat mengungkapkan bahwa penyuluhlah ujung tombak untuk menyampaikan informasi.  Ini juga berkaitan dengan pertanyaan Pak edwin tadi, komunikasi seperti apa yang dilakukan para agen seperti yang saya paparkan tadi. Memang sangat sederhana, pertama dia memang tidak mengajak dulu tapi membangun plot contoh sendiri sambil menyadarkan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, dia tidak bicara masalah ekonomi terlebih dahulu tapi misalkan dengan mengatakan “sekarang kayu saja sudah sulit, apalagi nanti anak cucu kami, kami punya duit tapi kami tidak bisa mencari kayu” karena masyarakat yang kami temui rata-rata alasan menanamnya untuk anak cucu, jadi bukan menjanjikan ke masalah ekonomi misalnya menanam kayu untuk naik haji. Jadi dengan bahasa yang sederhana, memberi contoh dan konsen dimasyarakat, program-program yang disampaikan pemerintah Insya Allah bisa sampai ke masyarakat.

3. Hengki Siahaan  Untuk Ibu Evina, memang kami peneliti lebih banyak memberikan hasil-hasil riset dan rekomendasi dari riset, kebijakan-kebijakan lainnya tentunya perlu sinergi dengan UPT- UPT lain termasuk dinas kehutanan yang membuat kebijakan. Kita peneliti menyampaikan hasil riset, mengkomunikasikan hasil riset baik kepada dinas kehutanan

308

Lampiran

termasuk seperti hari ini kita melakukan ekspose hasil penelitian dengan harapan hasil ini bisa ditangkap dan bisa ditindak lanjuti tentunya oleh dinas atau instansi yang lain, penyuluh dan juga kepada petani-petani.  Yang kedua kepada Pak Sugeng, terimakasih pak cepat juga hitungannya saya belum menghitung secara rupiah tapi baru pada sisi produksi kayu. Memang benar secara monoktultur kayu itu kurang menarik bagi masyarakat tapi dengan pola agroforestry tadi dicampur dengan kopi, coklat, atau sawit kita harapkan dapat mengoptimalkan produksi dari tapak. Memang untuk selanjutnya perlu analisis ekonomi secara menyeluruh pada semua pola-pola itu tapi untuk sawit mungkin dengan 50 batang per hektar itu tidak terlalu menekan produksi sawit tapi sudah menghasilkan kayu dan kita juga sudah memperoleh nilai ekologis oksigennya. Kemudian masalah oksigen, memang betul nilai ekologi jarang dihitung termasuk di biometrika tetapi yang perlu kita perhatikan juga jika kita menanam yang pertama menikmati adalah kita sendiri jadi jika memang bisa dibayar lewat karbon trade kita bersyukur tapi jika tidak bagi kita juga sudah bermanfaat dengan kita menanam kayu.  Kemudian untuk Pak edwin, untuk kayu bawang ini hasil riset kita menunjukkan lebih cocok untuk dataran rendah, berbagai tanah pun cocok, tetapi pembatasnya untuk saat ini adalah ketinggian tempat. Kemudian bagaimana menyampaikannya bagaimana cara mengembangkannya diluar itu, tentunya kita peneliti hanya menyampaikan hasil-hasil riset dengan berkomunikasi dengan para stake holder, tentunya berhasil tidaknya itu ditentukan oleh sinergitas masing-masing itu. Jadi jika terbina komunikasi yang baik antara peneliti, dinas kehutanan daerah,penyuluh dan petani itu akan bisa diterapkan oleh masyarakat.

Kesimpulan dari Dr. Maryadi: 1. Hutan Tanaman Industri merupakan salah satu alternatif untuk membangun kehutanan di masa depan walaupun dalam pembangunan HTI masih banyak menyisakan persoalan- persoalan yang perlu kita carikan solusi yang tepat. 2. Agroforestry merupakan salah satu alternatif pengusahaan hutan yang bisa dikombinasikan dengan tanaman-tanaman lainnya yang kita harapkan bisa memberikan variasi pendapatan kepada masyarakat disamping dari sektor pertanian juga dari sektor kehutanan. Agorofrestry juga harus sejalan dengan rencana kehutanan tingkat nasional yang tertuang dalam strategi nasional agroforestry menurut rumusan tahun 2013 sampai tahun 2020 yang di arahkan agar agroforestry dapat diadopsi oleh masyarakat untuk meningkatkan produktivitas lahan, meningkatkan kebutuhan masyarakat akan papan, pangan dan energi yang diperlukan. 3. Diperlukan agen perubahan yang bisa mengembangkan kehutanan di tingkat masyarakat, yang bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kehutanan yang bisa di aplikasikan di masyarakat. 4. Diperlukan rekomendasi penelitian yang bisa di aplikasikan oleh masyarakat dan disebarluaskan secara luas baik melalui media publikasi tertentu maupun melalui agen perubahan yang terstruktur. 5. Perlu ada analisis yang akurat tentang kebutuhan kayu terutama di Sumatera Selatan maupun di Indonesia secara keseluruhan sehingga kebutuhan kayu bisa kita ikuti dengan seberapa besar luasan hutan yang kita perlukan untuk memenhui kebutuhan kayu yang semakin langka dan perlu kerja keras semua pihak untuk mewujudkan bagaimana bisa memenuhi kebutuhan kayu tersebut.

309

Lampiran

6. Dalam bisnis kehutanan memang kita tidak bisa melakukan bisnisnya seperti yang dikatakan tadi, bahwa jika kita mengaharapkan hasil kayunya itu nilai ekonominya kecil sekali. Disamping lama waktunya juga nilainya kecil maka diperlukan bisnis yang bisa dilakukan secara integratif. Jika kita bisa kaitkan dengan skema karbon trade maka bisnis kehutanannya bisa digolongkan kepada bisnis ilmu usual dimana karbon trade itu saat ini sudah menghangat dalam tahap pembicaraan baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional. Banyak skema yang sudah dikembangkan namun saat ini kita masih menunggu informasinya. 7. Diperlukan komunikasi yang efektif untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkan Balai Penelitian Kehutanan sehingga apa yang sudah dihasilkan oleh penelitian tersebut bisa dikemas dalam paket teknologi yang bisa di aplikasikan di masyarakat.

310