“Improving Forest Functions in Bengkulu Province through Community Participation in Rehabilitation of Degraded Forest by Using Local Prospective Commodities”

PETUNJUK TEKNIS PENANGANAN BENIH DAN PENANAMAN KAYU BAWANG ( mollissimum Blume)

Y a n s e n

Agustus 2016

i

Staff teknis dan keilmuwan

Yansen1 Kamboya2 Rustama Saepudin1 Heri Gusmara1 Gunggung Senoaji1 Nyoman Mudiarte3 Ahmad Mawardi3 Merli Dwi Santri4 Irsa Awalia4

Institusi:

1. Universitas Bengkulu 2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 3. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Produksi Bengkulu Utara 4. Dinas Kehutanan Kabupaten Seluma

Bengkulu, Agustus 2016

ii

Judul kegiatan/proyek:

“Improving Forest Functions in Bengkulu Province through Community Participation in Rehabilitation of Degraded Forest by Using Local Prospective Commodities”

Nomor kegiatan/proyek: ITTO PD 477/07 Rev.4 (F)

Negara pelaksana: Indonesia

Institusi pelaksana: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Koordinator kegiatan/proyek: Mr. Kamboya

Waktu dimulainya kegiatan/proyek: Oktober 2015

Lama kegiatan/proyek: 12 (dua belas) Bulan

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR vi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 1.2 Maksud 3 1.3 Tujuan 4 2. KAYU BAWANG 2.1 Penyebaran geografis-ekologis dan taksonomi 5 2.2 Karakteristik morfologi 6 2.3 Aspek budidaya 6 3. PENUNJUKAN SUMBER BENIH KAYU BAWANG 3.1 Penunjukan sumber benih 12 3.2 Sumber benih Kayu Bawang 19 4. PENGUMPULAN BUAH/BIJI DAN PERKECAMBAHAN 4.1 Pengumpulan buah/biji 21 4.2 Seleksi buah/benih 23 4.3 Ekstraksi biji, pembersihan dan sortasi benih 24 4.4 Penyimpanan benih 26 4.5 Perkecambahan 26 4.6 Penyapihan dan perkembangan anakan 28 5. PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN TANAMAN 5.1 Penanaman 31 5.2 Pemeliharaan tanaman 32 6. PENUTUP 37 DAFTAR PUSTAKA 38

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sebaran Kayu Bawang di Propinsi Bengkulu 6

Tabel 2. Hasil pengukuran beberapa parameter (jumlah pohon, 10 kerapatan, luas bidang dasar (LBDS) dan volume) pada pola tanam Kayu Bawang kombinasi kopi dan Kayu Bawang kombinasi kopi dan karet terdiri dari

Tabel 3. Matriks Identifikasi Sumber Benih 18

Tabel 4. Pengaruh periode simpan terhadap daya berkecambah, 26 kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih Kayu Bawang

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tegakan Kayu Bawang di tanah milik masyarakat di 8 Karang Tinggi, Bengkulu Tengah

Gambar 2. Kurva pertambahan diameter tegakan pada pola 9 agroforestry Kayu Bawang + kopi (a) dan multi jenis (b), dimana N adalah jumlah individu Kayu Bawang per hektar

Gambar 3. Tegakan Kayu Bawang di Dusun Penyangkak, Lubuk 20 Durian, Kecamatan Kerkap, Bengkulu Utara

Gambar 4. Buah Kayu Bawang yang dikumpulkan dengan cara 22 memungut dari lantai tegakan (a) dan dari pohon (b).

Gambar 5. Buah Kayu Bawang yang telah dikumpulkan dengan 24 metode memungut dari lantai tegakan yang harus diseleksi untuk mendapatkan benih yang baik.

Gambar 6. Buah Kayu Bawang direndam dengan air (atas) dan 25 kemudian diekstraksi (bawah).

Gambar 7. Biji Kayu Bawang yang sudah mulai berkecambah 28

Gambar 8. Semai Kayu Bawang yang telah disapih dan tumbuh di 29 polybag

Gambar 9. Ilustrasi laju pertumbuhan semai Kayu Bawang 30

Gambar 10. Perkembangan anakan Kayu Bawang. Gambar (a) adalah 34 anakan yang sudah ditanam 1,5 tahun, dimana ketika ditanam bibit berumur 4 bulan dan lahan tanam dilakukan pembersihan gulma. Sedangkan gambar (b) dan (c) adalah anakan Kayu Bawang yang telah ditanam selama 4 bulan, dimana ketika ditanam, bibit berumur 4 bulan dan lahan belum dibersihkan gulmanya

vi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Propinsi Bengkulu mempunyai luas daratan sebesar 2.007.223,9 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 784/Menhut-II/2012,luas kawasan hutan di Propinsi Bengkulu adalah seluas 924.631 ha, atau sekitar 46.1% dari luas daratan Propinsi Bengkulu. Hutan di Propinsi Bengkulu ini terdiri dari hutan lindung (luas 250,750 ha), hutan produksi (luas 210,916) dan konservasi (luas 438,095 ha) (Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu, 2013). Dalam kawasan hutan produksi tetap, hutan primer hanya tinggal sekitar 13% dan hutan sekunder sebesar 52%. Hutan produksi terbatas telah kehilangan tutupan hutan 50% dengan menyisakan 10% area hutan primer dan 40% hutan sekunder Secara umum, dari total kawasan hutan di Propinsi Bengkulu yang tutupan masih relatif baik adalah taman nasional, dengan tutupan hutan primer masih berkisar 76% dan hutan sekunder sebesar 16% dari luas yang ada. Namun, kawasan konservasi yang lain seperti cagar alam dan taman wisata alam mengalami degradasi tutupan yang signifikan. Dari luas cagar alam sebesar 4.300 ha, hanya tinggal sekitar 31% yang masih merupakan hutan. Ini pun hanya dalam bentuk hutan sekunder. Tutupan sisanya sudah berupa non hutan. Sedangkan tutupan hutan taman wisata alam hanya tinggal sekitar 33%. Kawasan hutan lindung yang tutupannya masih berupa hutan primer adalah sekitar 42% dan berbentuk hutan sekunder sebesar 33%. Ini berarti luas hutan lindung yang tutupannya bukan hutan mencapai hampir 25% dari 250.750 ha. Perubahan lahan hutan menjadi tak berhutan ini sebagian menjadi area non vegetasi, semak belukar, perkebunan ataupun lahan pertanian lainnya. Akibat berkurangnya tutupan hutan tersebut, jumlah keanekaragaman hayati hutan diperkirakan mengalami penurunan yang signifikan. Fungsi jasa lingkungan hutan sebagai pengatur tata air (hidrologi), pemberi keindahan alam, penjaga kelembaban udara, pemelihara iklim lokal, habitat satwa liar, dan sumber plasma nutfah serta penyedia bahan untuk

1 kepentingan rekreasi dan ilmiah juga mengalami degradasi (Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu, 2013). Kawasan hutan yang tersisa di Propinsi Bengkulu juga semakin terancam keberadaannya akibat meningkatnya perambahan dan penebangan liar, serta beroperasinya beberapa perusahaan besar non-kehutanan. Kawasan hutan ini tidak hanya dirusak oleh masyarakat sebagai peladang berpindah atau yang menetap, tapi juga rusak akibat dampak dari adanya beberapa perusahaan besar yang bergerak di sektor pertambangan dan perkebunan. Untuk perusahaan pertambangan misalnya, adanya pembukaan hutan untuk pembuatan jalan telah membuka akses bagi para perambah untuk masuk hutan, bahkan dibeberapa tempat kegiatan reklamasi bekas tambang juga tidak dilakukan dengan baik. Adanya perkebunan besar sawit di Bengkulu juga memacu masyarakat untuk memperluas lahan kebunnya dengan merambah kawasan hutan. Desakan ekonomi, tidak adanya kesadaran sosial dan lemahnya penegakan hukum membuat usaha menekan deforestasi semakin berat. Timbulnya konflik antara masyarakat dengan pemerintah maupun swasta dalam hal pengelolaan hutan antara lain karena terbatasnya ruang kelola yang mereka miliki. Masyarakat sering merasa dianaktirikan karena melihat pihak swasta bisa mengusahakan hutan, namun mereka tidak bisa. Dengan semakin berkembangnya skema-skema yang dapat melibatkan masyarakat, maka ruang kelola masyarakat dapat diperluas. Pengembangan program hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan ataupun hutan desa dapat menjadi sarana pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Namun, masyarakat juga harus diedukasi bahwa pengelolaan hutan memiliki batasan-batasan. Karena itu, pemberian ruang kelola yang lebih besar kepada masyarakat harus juga diikuti dengan upaya pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Karena itu, program rehabilitasi hutan harus memperhatikan banyak hal. Rehabilitasi hutan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan fungsi ekosistem secara ekologi, namun juga diarahkan untuk memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat. Karena itu, untuk mencapai manajemen hutan berkelanjutan, dua hal pokok ini menjadi kuncinya, yakni rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Karena

2 rehabilitasi hutan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berbagai aktivitas untuk menunjang hal tersebut terus dilaksanakan, baik melalui program kementerian maupun secara desentralisasi di daerah-daerah. Program “Improving Forest Functions in Bengkulu Province through Community Participation in Rehabilitation of Degraded Forest by Using Local Prospective Commodities” kerjasama ITTO dengan Kementerian LHK ini merupakan salah satu bentuk usaha rehabilitasi hutan yang telah terdegradasi. Rehabilitasi hutan dalam program ini adalah dengan penanaman jenis-jenis prospektif lokal. Jenis tanaman kayu yang dipilih adalah Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume). Karena juga bertujuan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat, maka komponen masyarakat banyak terlibat dalam program ini.

1.2 Maksud Untuk mencapai tujuan program, ada banyak hal yang harus dilakukan. Hal tersebut antara lain adalah implementasi teknologi yang cocok untuk memproduksi bahan tanam yang berkualitas. Kegiatan rehabilitasi hutan memang dimulai dengan penyiapan bahan tanam atau bibit tanaman hutan yang akan ditanam. Setiap spesies mempunyai karakteristik regenerasi dan perkembangan anakan yang berbeda. Informasi mengenai penanganan benih dan penanaman merupakan titik awal keberhasilan program. Maksud penyusunan Buku “Petunjuk Teknis Penanganan Benih dan Penanaman Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume)” adalah mengumpulkan informasi mengenai karakteristik spesies Kayu Bawang dan praktik-praktik penanganan yang selama ini telah dilakukan. Informasi ini kemudian ditambah dengan hasil-hasil studi yang ada untuk menyusun petunjuk teknis penanganan benih dan penanaman Kayu Bawang yang lebih tersistematis. Harapannya informasi ini dapat menjadi petunjuk tambahan bagi semua pihak yang berkeinginan mengembangkan tanaman Kayu Bawang ini.

3

1.3 Tujuan Tujuan penyusunan Buku “Petunjuk Teknis Penanganan Benih dan Penanaman Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume)” meliputi: 1. Mengumpulkan dan menyusun informasi mengenai penanganan benih dan penanaman Kayu Bawang. 2. Menyusun petunjuk teknis yang sistematis dan dapat dipergunakan oleh berbagai pihak. 3. Menyajikan informasi mengenai Kayu Bawang agar dapat diketahui secara lebih luas lagi. 4. Menunjang kegiatan pengembangan Kayu Bawang dalam skala yang lebih luas.

4

BAB II KAYU BAWANG

2.1 Penyebaran geografis-ekologis dan taksonomi Secara geografis, Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) ini tersebar secara luas di Sumatera. Di daerah lain kayu ini di kenal dengan nama- nama yang lain. Di Sunda, kayu ini disebut “ki bawang”, sedangkan di Sulawesi dikenal dengan nama “tumbawa sela“. Kayu Bawang ini termasuk keluarga . Di Propinsi Bengkulu, sebaran kayu ini terbanyak di Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Penyebarannya di , Birma (Myanmar), China Bagian Selatan dan Di luar Indonesia, penyebaran Kayu Bawang meliputi di India, Birma (Myanmar), China Bagian Selatan dan hingga penjuru daerah Melanesia sampai dan Samudera Pasifik, Timur Gunung Fiji dan Samoa (Sosef et al., 1998). Kayu bawang dapat tumbuh mulai dari ketinggian 0-1.000 m dpl. Rata- rata curah hujan tempat tumbuhnya berkisar 500-3.500 mm/tahun. Jenis ini juga dapat tumbuh hampir di segala jenis tanah, namun untuk menghasilkan pertumbuhan terbaik menghendaki kondisi tanah yang subur, gembur dan mempunyai aerasi yang baik (Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu, 2003). Di Propinsi Bengkulu, Kayu Bawang tersebar di beberapa kabupaten. Berdasarkan penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang (2010) di empat kabupaten di Propinsi Bengkulu menunjukkan bahwa jenis ini dapat ditemukan antara lain di Kabupaten Bengkulu Utara,. Bengkulu Tengah, Bengkulu Selatan, serta Rejang Lebong (Tabel 1). Dari 4 kabupaten di Propinsi Bengkulu, tegakan Kayu Bawang paling banyak ditemui di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Kedua daerah tersebut termasuk dataran rendah sampai sedang. Berdasarkan hasil wawancara disebutkan bahwa kedua daerah tersebut diakui sebagai daerah asal (sebaran alami) Kayu Bawang.

5

Tabel 1. Sebaran Kayu Bawang di Propinsi Bengkulu (Sumber: BPK Palembang 2010)

Berdasarkan taksonomi, Kayu Bawang diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom = Plantae Divisi = Magnoliophyta Kelas = Magnoliopsida Ordo = Famili = Meliaceae Genus = Dysoxylum Spesies = Dysoxylum mollissimum Blume

2.2 Karakteristik Morfologi Tinggi pohon Kayu Bawang dapat mencapai 30-40 m dan diameter batang (dbh) dapat mencapai 100-120 cm. Kulit batang berwarna abu-abu sampai coklat muda dengan tekstur agak licin. Daunnya majemuk tunggal berbentuk elips, ujungnya meruncing dengan tulang daun menyirip. Buah bulat atau gepeng mempunyai daging buah. Bijinya berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 2 cm dan diameter 1 cm serta memiliki kulit luar keras (Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu, 2003).

2.3 Aspek Budidaya Saat ini, perbanyakan kayu bawang adalah dengan menggunakan regenerasi generatif dari biji. Walaupun sudah ada beberapa studi tentang pengembangbiakan secara vegetatif, misalnya melalui stek, namun penanam Kayu

6

Bawang masih mengandalkan perkembangbiakan generatif dari biji. Biji Kayu Bawang bersifat rekalsitran karena tidak dapat disimpan lama. Karena itu, benih Kayu Bawang tidak bisa disimpan lama. Siahaan dkk. (2008) menyatakan penurunan daya berkecambah mencapai 55,5 % setelah disimpan selama 4 minggu. Penyimpanan pada lemari es dapat meningkatkan daya berkecambah kayu bawang sebesar 5,8 % dibandingkan penyimpanan di ruang suhu kamar. Percobaan lain juga menunjukkan bahwa Kayu Bawang yang dikumpulkan buahnya dari pohon (diunduh) dan kemudian dibuang kulitnya juga menunjukkan rendahnya daya kecambah. Sedangkan biji yang dipungut di tanah memiliki tingkat perkecambahan yang jauh lebih tinggi. Karena itu, penelitian lanjutan dan komprehensif tentang perilaku biji Kayu Bawang ini perlu dilakukan. Di samping pengumpulan biji, pembibitan Kayu Bawang juga didapatkan dengan metode cabutan anakan. Kayu Bawang telah dikembangkan dalam bentuk pengelolaan berbasis masyarakat sejak tahun 1990-an, dengan menanam jenis tersebut pada lahan milik masyarakat yang dikenal dengan hutan rakyat. Hutan rakyat bermanfaat secara ekonomi yaitu memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat apabila dikelola dengan baik. Selain itu, hutan rakyat memberikan manfaat secara ekologis dengan membentuk struktur tegakan yang menciptakan lingkungan menyerupai hutan alam. Praktek hutan rakyat kayu bawang pada umumnya telah diusahakan dengan pola tanam monokultur dan agroforestri multi jenis. Pola tanam monokultur umumnya dilakukan masyarakat yang mempunyai lahan luas dan modal yang besar dengan menanam kayu bawang saja pada lahan mereka. Di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Bengkulu Utara, masyarakat telah terbiasa menanam kayu rakyat pada lahan-lahan yang mereka miliki. Kayu Bawang telah dikembangkan di lahan masyarakat secara turun-temurun (Depari, 2011). Pada awalnya, penanaman Kayu Bawang ini disiapkan untuk bahan kayu bangunan ketika anak mereka akan berkeluarga. Namun, hal ini sudah mulai berkurang.

7

Apriyanto (2003) menyatakan penanaman kayu bawang secara monokultur di Kabupaten Bengkulu Utara sampai pada umur 9 tahun memiliki riap diameter 1,93 cm/tahun, riap tinggi 2,11 m/tahun dan riap volume 24,42 m3/ha/tahun. Berdasarkan besarnya riap pertumbuhan, maka tegakan monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara dapat dikategorikan sebagai tegakan yang produktif.

Gambar 1. Tegakan Kayu Bawang di tanah milik masyarakat di Karang Tinggi, Bengkulu Tengah

Pola tanam yang dikembangkan di hutan rakyat disesuaikan dengan kondisi dan luas lahan yang tersedia serta kondisi pasar dan kebutuhan masyarakat. Penanaman kayu bawang dengan sistem agroforestri di Bengkulu umumnya dilakukan dengan mengkombinasikan kayu bawang dengan kopi dan Kayu Bawang dikombinasikan dengan kopi dan karet. Pertumbuhan Kayu Bawang dengan kerapatan yang berbeda pada pola agroforestry juga berbeda (Siahaan dkk. 2011). Kayu Bawang yang ditanam dengan kerapatan lebih rendah

8

(longgar), memiliki rata-rata diameter yang lebih tinggi, baik ditanam dengan agroforestry kopi, maupun multi jenis (Gambar 2).

(a) (b)

Gambar 2. Kurva pertambahan diameter tegakan pada pola agroforestry Kayu Bawang + kopi (a) dan multi jenis (b), dimana N adalah jumlah individu Kayu Bawang per hektar (Siahaan dkk. 2011)

Depari dkk (2013) melakukan penelitian tentang potensi kubikasi tegakan Kayu Bawang yang ditanam pada beberapa tipe pola tanam dengan sistem agroforestry sederhana. Pola tanam ini meliputi kombinasi penanaman Kayu Bawang dengan kopi dan kombinasi Kayu Bawang dan kopi serta karet. Penanaman dengan menggabungkan tanaman kehutanan dengan tanaman perkebunan ini tujuan utamanya adalah untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan. Pada penelitian ini, Kayu Bawang yang diteliti memiliki umur yang berbeda, yakni 3, 7 dan 9 tahun. Kombinasi penanaman juga memiliki jumlah pohon per ha Kayu Bawang yang berbeda. Serperti yang terlihat pada Tabel 2, volume dan riap tegakan Kayu Bawang pola tanam Kayu Bawang dikombinasikan dengan kopi umur 3 tahun ditanam dengan kerapatan 500 phn/ha memiliki luas bidang dasar (LBDS) 6,89 m2/ha menghasilkan volume 43,88 m3/ha, riap LBDS 2,3 m2/ha/thn dan riap volume 14,65 m3/ha/thn. Potensi tegakan ini lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam Kayu Bawang kombinasi kopi dan karet umur 3 tahun ditanam dengan kerapatan 288,89 phn/ha memiliki LBDS 2,83 m2/ha menghasilkan volume 15,15 m3/ha, riap LBDS 0,94 m2/ha/thn dan riap volume 5,05 m3/ha/thn. Selanjutnya, volume dan riap tegakan Kayu Bawang pada umur 7 tahun, 9 tahun dikombinasikan

9 dengan kopi juga memiliki volume dan riap tegakan yang lebih besar dibandingkan volume dan riap tegakan Kayu Bawang dikombinasikan dengan kopi dan karet. Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi penanaman Kayu Bawang dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Hasil yang didapat akan sangat tergantung dari berapa banyak jumlah individu Kayu Bawang yang dapat ditanam pada masing-masing kombinasi Kayu Bawang.

Tabel 2 Hasil pengukuran beberapa parameter (jumlah pohon, kerapatan, luas bidang dasar (LBDS) dan volume) pada pola tanam Kayu Bawang kombinasi kopi dan Kayu Bawang kombinasi kopi dan karet terdiri dari (Depari dkk., 2013)

Kayu Bawang memiliki batang lurus dan tergolong jenis cepat tumbuh (Apriyanto 2003). Namun demikian, Kayu Bawang memiliki kayu yang termasuk tingkat ketahanan B atau tingkat ketahanan cukup tahan sampai tahan terhadap serangan rayap (Nuriyatin dkk,. 2003). Karena itu, kayu ini dapat digunakan untuk kayu pertukangan, kerajinan dan meubel. Di daerah Fiji buah kayu bawang dimanfaatkan untuk obat luka (Sosef et al. 1998).

10

BAB III PENUNJUKAN SUMBER BENIH KAYU BAWANG

Ketersediaan benih sangat tergantung dari sumber benih. Menurut Mulawarman et al. (2002), sumber benih adalah pohon atau tegakan yang digunakan sebagai tempat pengumpulan benih. Berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Standar Sumber Benih, 2010, sumber benih dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu (1) menjadikan tegakan (hutan alam atau tanaman) yang telah ada menjadi sumber benih atau (2) membangun sumber benih yang baru dengan penanaman. Untuk cara pertama, tegakan pada awalnya dibangun bukan untuk produksi benih tetapi untuk peruntukan lain, misalnya produksi kayu, hutan lindung, dan sebagainya. Untuk cara kedua, ketika membangun sumber benih telah diputuskan bahwa tujuan utama pembangunannya adalah untuk menghasilkan benih. Kelebihan dari menunjuk tegakan yang ada sebagai sumber benih yaitu benih dapat dihasilkan lebih awal. Jika membangun sumber benih yang baru maka harus menunggu selama 5 - 20 tahun (tergantung spesies) sebelum benih dapat dipanen. Dengan membangun sumber benih, biasanya dapat diperoleh benih bermutu genetik yang lebih tinggi, dengan syarat materi genetik untuk pembangunannya dipilih secara teliti. Kelebihan lainnya adalah lebih murah mengidentifikasi tegakan yang ada, kemudian mengkonversi dan mengelolanya sebagai sumber benih. Kekurangannya adalah mutu genetik benih biasanya lebih rendah dibanding yang akan diperoleh jika membangun sumber benih. Dari hutan alam maupun hutan tanaman dapat diidentifikasi sebagai sumber benih, tergantung pada spesies dan ketersediaan tegakan. Keputusan untuk mengkonversi tegakan yang ada menjadi sumber benih atau membangun sumber benih yang baru perlu mempertimbangkan beberapa hal- hal sebagai berikut: 1. Jika tegakan berkualitas tinggi tidak dimiliki, maka sumber benih yang baru harus dibangun;

11

2. Jika benih dari suatu spesies yang diperlukan hanya sedikit, mungkin terlalu mahal jika membangun sumber benih, maka disarankan untuk mengkonversi tegakan yang ada menjadi sumber benih. 3. Pada kondisi lain, tegakan benih teridentifikasi harus digunakan karena perlu menunggu sumber benih yang telah dibangun untuk mulai menghasilkan benih.

3.1. Penunjukan sumber benih a. Identifikasi sumber benih Tujuan identifikasi sumber benih adalah untuk mendapatkan sumber- sumber benih agar kebutuhan benih dapat dicukupi baik kuantitas dan apabila memungkinkan mutu genetiknya. Terdapat 8 kriteria yang perlu diperhatikan pada saat identifikasi sumber benih. Enam kriteria digunakan untuk orientasi lapangan (quick tour) untuk menerima atau menolak sebagai sumber benih (selengkapnya dapat dilihat pada Petunjuk Identifikasi dan Deskripsi Sumber Benih). 1) Aksesibilitas Tegakan mudah dikunjungi pada setiap musim, lebih baik lagi jika dekat jalan. Jika aksesibilitas tegakan tidak baik, maka sulit mengelola sumber benih, yaitu sulit menerapkan manajemen, pengawasan dan pemeriksaannya. Selain itu, pengumpulan benihnya akan lebih sulit. 2) Jumlah pohon (dan ukuran sumber benih) a) Jika suatu sumber benih tersebut diidentifikasi di hutan alam, maka jumlah pohon induk harus dipertimbangkan ketika menentukan luas sumber benih. Jumlah tersebut minimum 25 pohon induk bagi spesies target dalam suatu sumber benih. Jumlah ini diperlukan agar variasi genetik cukup lebar. Jika kurang dari 10 pohon dalam sumber benih, maka variasi genetiknya sempit, dan kualitas tegakan yang dibangun dengan benih dari sumber benih demikian mungkin kurang bagus. Jumlah minimum 25 pohon tersebut merupakan pedoman umum (“rule of thumb”) dan sebaiknya lebih banyak.

12 b) Pohon-pohon induk tersebut hendaknya tidak berkerabat. Hal ini berarti pohon-pohon tersebut bukan kerabat dekat, yaitu kakak beradik dari ibu yang sama. Di hutan alam, sering ditemukan struktur famili, dimana pohon-pohon yang berdekatan berasal dari induk yang sama karena benih jatuh dekat dengan pohon induk. c) Perlu diperhatikan, jangan mengumpulkan benih dari satu atau sedikit kelompok famili, karena variasi genetiknya tidak cukup lebar. Oleh karena itu, hendaknya mendapatkan 25 kelompok famili dalam sumber benih. Menunjuk kelompok famili terkadang mudah dilaksanakan di hutan alam. Tetapi struktur tersebut terkadang tidak jelas sehingga penetapan pohon induk hendaknya berjarak 50-100 m. d) Pohon-pohon pada hutan tanaman diasumsikan berasal dari banyak pohon induk, dan bibitnya tercampur dengan baik. Seperti pada hutan alam, di hutan tanaman hendaknya terdiri minimum 25 pohon. Jumlah pohon tidak menjadi masalah karena pada hutan tanaman umumnya terdapat ratusan pohon. Berdasarkan asumsi bahwa bibit berasal dari banyak pohon induk yang tercampur baik, maka tidak dijumpai struktur famili seperti pada hutan alam dan benihnya dapat dikumpulkan dari seluruh pohon (tidak memerlukan persyaratan jarak minimum). e) Ukuran sumber benih tergantung pada jumlah permintaan benih. Pengelola sumber benih hendaknya memperkirakan permintaan benih di masa depan dan membandingkannya dengan ketersediaan benih untuk spesies tersebut. Disarankan menambah untuk cadangan, yaitu membuat sumber benih yang lebih luas dibanding sumber benih untuk sekedar mencukupi permintaan benih. Penambahan luas tersebut sebagai persediaan jika permintaan benih melebihi perkiraan atau jika ternyata produksi per hektar lebih rendah dari yang diharapkan.

13

3) Kualitas tegakan a) Kualitas tegakan adalah kriteria yang sangat penting. Tegakan yang dipilih hendaknya berkualitas baik (diatas rata-rata) untuk menjaga agar benih yang dikumpulkan (dari sumber benihnya) juga berkualitas di atas rata-rata. b) Tegakan dipilih berdasarkan penampakan fenotipanya (sebagaimana pohon terlihat). Fenotipa pohon adalah hasil gabungan dari pengaruh genetik dan lingkungan. Hanya komponen genetik yang diwariskan pada generasi berikutnya. Seleksi yang didasarkan fenotipa dapat efektif jika terdapat komponen genetik yang besar. Jika keunggulan fenotipa dihasilkan karena pengaruh lingkungan, maka seleksi yang dilakukan tidak efektif dan benih yang dihasilkan dari sumber benih tersebut tidak bermutu tinggi. Umumnya banyak terdapat komponen genetik pada sifat seperti bentuk batang, sedangkan pertumbuhan tinggi dan diameter batang banyak dipengaruhi faktor lingkungan. Sehingga seleksi fenotipa tersebut umumnya akan lebih efektif untuk sifat seperti bentuk batang dibanding pertumbuhan tinggi dan diameter. c) Tegakan hendaknya juga diseleksi berdasarkan kriteria kualitas. Jika penanaman untuk produksi kayu pertukangan, maka kriteria seleksi hendaknya bentuk batang dan tinggi bebas cabang. Jika benihnya untuk produksi pulp, maka kriterianya adalah volume kayu dan bentuk batang. Jika tujuannya untuk produksi buah, maka kriteria seleksinya adalah kuantitas buah, ukuran buah, rasa, dsb. d) Sumber benih hanya dapat diidentifikasi jika kriteria seleksi telah ditetapkan. Sumber benih untuk produksi kayu pertukangan tidak dapat diidentifikasi sebelum bentuk batangnya diamati. Jika pengamatan dilakukan terlalu dini, maka seleksinya tidak efektif. e) Jangan menunjuk sumber benih pada tegakan alam atau tanaman dimana pohon-pohon berkualitas tinggi telah ditebang dan yang tersisa pohon-pohon berkualitas rendah.

14

4) Pembungaan dan pembuahan a) Perlu diperhatikan bahwa tegakan yang akan ditunjuk menjadi sumber benih sudah berbunga dan menghasilkan benih. Pembungaan dan pembuahan di atas pohon hendaknya diperiksa atau diamati. Pengamatan buah juga dapat dilakukan dengan mencari buah dan benih yang jatuh serta mencari anakan yang tumbuh di lantai hutan. Penduduk di sekitar tegakan biasanya dapat ditanya tentang pembungaan dan pembuahan di masa lalu. b) Jangan mengidentifikasi tegakan sebagai sumber benih jika tidak mengetahui kepastian bahwa tegakan tersebut telah menghasilkan benih. Selain itu sumber benih hendaknya tidak ditunjuk ketika tegakan masih muda, dan belum mulai berbunga serta berbuah.

5) Keamanan Tegakan yang ditunjuk sebagai sumber benih hendaknya aman, terlindung dari penebangan liar, penyerobotan untuk pertanian dan penggunaan lain, gangguan kebakaran, gangguan ternak dan hewan liar yang dapat merusak tegakan dan mengganggu produksi benih.

6) Kesehatan Tegakan hendaknya sehat. Tegakan diterima sebagai sumber benih jika bebas atau sedikit dijumpai serangan hama dan penyakit.

7) Asal a) Pada sumber benih yang ditunjuk di hutan alam, asal usul pohonnya diketahui dengan jelas. b) Pada sumber benih yang ditunjuk pada hutan tanaman akan lebih baik mengetahui asal usul pohonnya. Pertama, informasi ini menunjukan provenan (sumber benih) pohon. Kedua, informasi juga

15

menunjukkan berapa banyak pohon induknya. Ketiga, informasi menunjukkan kriteria seleksi. c) Pada berbagai kondisi, informasi tersebut tidak tersedia atau tersedia sebagian sehingga seringkali harus mengabaikan kiteria tersebut dan terpaksa menunjuk sumber benih tersebut walaupun asalnya tidak diketahui.

8) Isolasi a) Isolasi tidak diperlukan untuk tegakan benih teridentifikasi dan terseleksi. b) Pada areal produksi benih, jalur isolasi lebih baik ada untuk mencegah kontaminasi serbuk sari dari luar. Seringkali kriteria demikian tidak dapat dipenuhi pada saat menunjuk sumber benih.

Disarankan untuk membandingkan beberapa calon sumber benih dan menetapkan satu yang terbaik sebagai sumber benih. Kadangkala tidak mungkin menemukan sumber benih yang memenuhi 8 kriteria tersebut. Dengan demikian, harus dipilih tegakan yang memenuhi kriteria sebanyak mungkin dan diyakini memenuhi tujuan untuk produksi benih bermutu tinggi.

b. Klasifikasi sumber benih hasil penunjukan 1) Sumber benih hasil penunjukkan dapat diklasifikasikan menjadi tegakan benih teridentifikasi, tegakan benih terseleksi dan areal produksi benih. Lihat Tabel 3. 2) Tegakan benih teridentifikasi, tegakan benih terseleksi, dan areal produksi benih dapat ditunjuk dari hutan tanaman, sedangkan dari hutan alam kebanyakan hanya dapat ditunjuk tegakan benih teridentifikasi dan terseleksi.

16

3) Klasifikasi tersebut terutama berdasarkan kualitas tegakan. Tegakan teridentifikasi memiliki kualitas rata-rata dibanding tegakan lain yang sama spesiesnya pada suatu lokasi. Kualitas tegakan benih terseleksi di atas rata-rata. Areal produksi benih adalah tegakan benih teridentifikasi atau terseleksi yang dikelola khusus, biasanya dengan penjarangan, untuk meningkatkan kualitas dan produksi benihnya. 4) Pengelolaan tegakan benih teridentifikasi dan terseleksi hampir tidak ada atau sangat terbatas (seperti pembersihan gulma, penjarangan, dsb). Sumber benih ini dimanfaatkan seperti apa adanya. c. Pembangunan sumber benih Ketika suatu sumber benih dibangun khusus hanya sebagai sumber benih, maka terdapat lebih banyak kemungkinan mendapatkan produksi benih bermutu genetik lebih tinggi dibanding penunjukkan sumber benih. Hal ini tergantung pada sejumlah pertimbangan yang harus diambil ketika membangun sumber benih. Sumber benih hasil pembangunan adalah sebagai berikut: a. Areal Produksi Benih (dibangun) b. Tegakan Benih Provenan c. Kebun Benih Semai d. Kebun Benih Klon e. Kebun Pangkas.

Sesuai dengan tingkatan pemuliaan, maka makin tinggi kelas sumber benih maka makin tinggi kualitas genetiknya. Dengan pertimbangan bahwa Petunjuk Teknis ini diperuntukan untuk pedoman kegiatan di lapangan, maka tata cara pembangunan sumber benih tidak dibahas pada petunjuk teknis ini.

17

Tabel 3. Matriks identifikasi sumber benih

Kegiatan Penunjukan Hutan Alam Hutan Tanaman Sumber Benih Tegakan Tegakan Tegakan Tegakan Benih Areal Produksi Benih Benih Benih Benih Terseleksi Teridentifik Terseleksi Teridentifik asi asi 1. Aksesibilitas Semakin mudah dikunjungi semakin baik 2. Jumlah Pohon Minimal terdapat 25 pohon Banyak pohon induk, pertimbangan jarak antar pohon tidak perlu induk dengan jarak antar pohon 50-100 m 3. Kualitas Tegakan Rata-rata Diatas rata- Rata-rata Diatas rata-rata Di atas kualitas tegakan benih rata terseleksi, atau peningkatan dari tegakan benih teridenti- fikasi/terseleksi melalui penjarangan 4. Pembungaan/ Diketahui Pembuahan 5. Keamanan Terjamin 6. Kesehatan Tidak terserang hama dan penyakit 7. Asal-usul Benih Jelas, karena hutan alam Sebaiknya asal-usul (provenan, sumber benih) diketahui, tapi biasanya hal ini jarang dijumpai 8. Jalur Isolasi Tidak diperlukan Disarankan membuat jalur isolasi, tetapi umumnya hal ini tidak

18

3.2. Sumber benih kayu bawang

Di Propinsi Bengkulu, sumber benih Kayu Bawang terdapat di Desa Talang Boseng, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah, yang telah ditetapkan sebagai Tegakan Benih Teridentifikasi oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera pada tanggal 7 Desember 2015 dengan Nomor Sumber Benih : 17.09.001, seluas 1 Ha. Terakhir, Balai Perbenihan Tanaman Hutan Wilayah I (nama baru), difasilitasi oleh Proyek ITTO PD 477/07 Rev.4 (F), menetapkan sumber benih Kayu Bawang baru milik Bapak Sanusi di Desa Penyangkak, Kecamatan Kerkap, Kabupaten Bengkulu Utara pada tanggal 18 Mei 2016 dengan Nomor Sumber Benih : 17.03.007, seluas 0,75 Ha. Lebih dari 50 pohon Kayu Bawang pada tegakan yang ditanam bersama tanaman kopi ini (Gambar 3) dengan diameter lebih mencapai 80 cm. Tegakan Kayu Bawang ini mempunyai fenotip yang baik, berbunga pada bulan Mei 2016 dan diharapkan dapat dipanen pada bulan November - Desember 2016. Kedua Sumber benih Kayu Bawang di atas ditunjuk berdasarkan 8 kriteria yang telah diuraikan pada Sub Bab 3.1.bagian a.

Selain sumber benih tersebut di atas, ada tegakan benih Kayu Bawang lainnya yang dapat dijadikan calon sumber benih yaitu di Desa Ujung Karang Kabupaten Bengkulu Tengah. Kunarso dan Siahaan (2008) melakukan identifikasi dan pemetaaan pohon induk jenis Kayu Bawang di Desa Sawang Lebar, Kecamatan Air Besi, Kabupaten Bengkulu Utara. Sedangkan di Kabupaten Seluma juga terdapat tegakan Kayu Bawang yang dapat yang nantinya dapat dijadikan sumber benih, namun berdasarkan pengamatan pada tahun 2015, beberapa tegakan Kayu Bawang di Kabupaten Seluma belum berbuah.

19

Gambar 3. Tegakan Kayu Bawang di Dusun Penyangkak, Lubuk Durian, Kecamatan Kerkap, Bengkulu Utara

20

BAB IV

PENGUMPULAN BUAH/BIJI DAN PERKECAMBAHAN

Tanaman kayu bawang dapat diperbanyak menggunakan biji dan anakan cabutan berasal dari sekitar pohon induk. Saat ini, Kayu Bawang yang dikembangbiakkan oleh masyarakat seluruhnya diperbanyak secara generatif/dengan biji. Pada tahun 2015, tanpa diketahui penyebabnya, Kayu Bawang di Bengkulu dilaporkan tidak berbuah. Sedangkan pada tahun 2016, Kayu Bawang di beberapa daerah di Bengkulu berbuah. Musim bunga dimulai sekitar bulan Februari dan saat pengunduhan biji pada bulan Mei – Juli 2016. Namun sumber benih Kayu Bawang Penyangkak (Nomor Sumber Benih 17.03.007, seluas 0,75 Ha) dilaporkan berbunga pada bulan Mei 2016, dan diperkirakan panen pada bulan November – Desember 2016. Untuk biji yang masih berkulit, jumlah biji per kilogramnya adalah sekitar 100-150 biji. Sedangkan biji yang tidak berkulit, jumlah biji perkilogramnya mencapai 350 biji. Biji Kayu Bawang segar mempunyai persen tumbuh 80 %, dengan masa dormansi singkat kurang lebih 10 hari. Lewat masa tersebut persentase tumbuh menurun menjadi 50% (Riyanto, 2001). Biji Kayu Bawang yang bersifat rekalsitran ini tidak dapat disimpan lama. Karena Kayu Bawang ini memiliki benih dengan viabilitas yang cepat menurun, maka penyimpanan benih untuk jenis tanaman ini masih menjadi kendala dalam perbenihan.

4.1 Pengumpulan buah/biji Cara pengumpulan benih Kayu Bawang dapat dilakukan dengan beberapa cara yang tergantung jenis dan ukuran pohon. Cara pengumpulan yang dapat dilakukan meliputi: a. Mengumpulkan benih dari lantai tegakan pohon Cara ini murah dan mudah dilakukan. Buah Kayu Bawang cukup besar (dimensi biji mencapai panjang 2 cm dan diameter 1 cm), sehingga mudah dilihat di lantai tegakan dan dikumpulkan. Buah yang jatuh ke lantai hutan juga biasanya agak terbuka kulitnya sehingga memudahkan perkecambahan

21

(Gambar 4). Di samping itu, Kayu Bawang juga biasanya di tanam secara agroforestry dengan tumbuhan lain, misalnya kopi. Hal ini membuat lantai tegakan menjadi relatif bersih dan ini lebih memudahkan pengumpulan biji. Namun beberapa hal harus diperhatikan untuk biji-biji yang dikumpulkan dari dasar tegakan, antara lain:  Buah mungkin terserang mikroorganisme  Buah yang jatuh sering kali belum cukup tua.  Buah yang muncul pertama kali akan jatuh lebih dulu dan mutunya mungkin tidak baik. Karena itu, buah yang dikumpulkan melalui pemungutan dari lantai tegakan harus disortir secara baik. Benih yang dikumpulkan dari lantai tegakan jangan dicampur dengan biji yang dikumpulkan langsung dari pohon, tetapi harus dimasukkan dalam wadah yang terpisah. Buah/biji yang dikumpulkan dari lantai hutan mungkin membawa hama/penyakit perusak benih. Setelah dikumpulkan, buah/biji dapat ditaruh dalam wadah. Setiap wadah yang digunakan untuk menyimpan buah sementara diberi label agar identitas benih tetap diketahui. Hal ini menjadi lebih penting lagi karena jika pengumpulan buah dikumpulkan dari lokasi yang berbeda.

Gambar 4. Buah Kayu Bawang yang dikumpulkan dengan cara memungut dari lantai tegakan (a) dan dari pohon (b).

22 b. Mengumpulkan/memetik buah dari pohon Cara ini dilakukan bila pohon cukup tinggi dan tidak mungkin dicapai dari tanah. Mengumpulkan buah dari pohon ini dapat dilakukan dengan pemanjatan atau dengan bantuan galah berkait. Pemanjatan memungkinkan pemanjat untuk mengumpulkan buah diatas pohon dengan lebih leluasa dan dapat memilih buah yang sudah masak. Namun tidak semua bagian pohon dapat dijangkau dengan memanjat. Di samping itu, aspek keamanan juga harus diperhatikan. Sedangkan jika menggunakan galah, maka ada kemungkinan memungut buah yang belum masak karena tidak Nampak dari bawah dan juga semua buah dengan berbagai tingkat kemasakan terikutkan. Buah yang dipetik dapat dijatuhkan ke alas terpal atau plastik yang sudah dibentangkan di permukaan tanah. Kemudian buah dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam wadah untuk dibawa ke tempat pengolahan. Selain itu pemanjat dapat membawa wadah yang kuat dan ringan, sebagai tempat buah yang akan dipetik. Wadah diturunkan dengan tali bila sudah penuh dimasukkan ke karung yang lebih besar untuk dibawa ke tempat pengolahan atau penyimpanan sementara. Setiap wadah yang digunakan untuk menyimpan buah sementara harus diberi label agar identitas benih tetap diketahui. Hal ini menjadi lebih penting lagi terutama untuk pemetikan buah per individu atau dari lokasi yang berbeda.

4.2 Seleksi buah/benih Sebelum proses perkecambahan, dilakukan proses seleksi benih. Beberapa hal yang berkaitan dengan seleksi benih, antara lain:  Seleksi benih ini bertujuan untuk memilih benih yang sehat, segar dan tidak terlihat bekas serangan hama atau penyakit.  Benih yang dikumpulkan dengan memungut di lantai tegakan harus diseleksi dan dibuang benih-benih yang telah busuk.  Benih yang dikumpulkan dengan memungut seringkali sudah mulai berkecambah. Benih-benih yang seperti ini dipisahkan dan dapat langsung dipindahkan ke bedeng tabur.

23

 Buah yang dipetik dari pohon diseleksi untuk memilih benih-benih yang sudah tua/masak.

Gambar 5. Buah Kayu Bawang yang telah dikumpulkan dengan metode memungut dari lantai tegakan yang harus diseleksi untuk mendapatkan benih yang baik.

4.3 Ekstraksi biji, pembersihan dan sortasi benih Ekstraksi biji adalah proses pengeluaran biji dari buah. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengekstraksi biji Kayu Bawang, misalnya secara manual dengan melepaskan kulit atau dengan merendam buah Kayu Bawang dalam air, setidaknya selama 24 jam (Gambar 6). Untuk Kayu Bawang yang dikumpulkan dari lantai tegakan dapat saja tidak diekstraksi. Karena kulit dari buah yang sudah jatuh ke tanah kadang sudah merekah dan hampir terlepas.

24

Setelah diekstraksi buah dibersihkan dan disortasi kembali. Hal dilakukan karena, antara lain:  Benih yang sudah diekstraksi masih mengandung kotoran berupa sekam, sisa polong, ranting, sisa sayap, daging buah, tanah dan benih yang rusak.  Kotoran harus dibuang untuk meningkatkan mutunya.  Setelah pembersihan dapat dilakukan sortasi benih untuk memilah benih berdasarkan ukuran biji.

Gambar 6. Buah Kayu Bawang direndam dengan air (atas) dan kemudian diekstraksi (bawah).

25

4.4. Penyimpanan benih Benih Kayu Bawang harus segera dikecambahkan karena sifatnya yang rekalsitran, tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama di ruang terbuka. Siahaan dkk (2008) menyatakan penurunan viabilitas biji Kayu Bawang terjadi relatif cepat yang ditunjukkan oleh penurunan daya berkecambah sebesar 55,5 % setelah disimpan selama 4 minggu, namun kecepatan berkecambah meningkat lebih cepat 9 hari. Penyimpanan pada lemari es dapat meningkatkan daya berkecambah kayu bawang sebesar 5,8 % dibandingkan penyimpanan di ruang suhu kamar. Karena itu, penyimpanan lama tidak direkomendasikan untuk Kayu Bawang.

Tabel 4. Pengaruh periode simpan terhadap daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan keserempakan tumbuh benih Kayu Bawang (Siahaan dkk., 2008)

Periode simpan Daya Kecepatan Keserempakan (Minggu) berkecambah berkecambah tumbuh (%) (%) (Hari) 0 91,00 30,66 63,15 1 84,00 26,55 53,24 2 83,25 22,46 68,28 3 70,25 23,62 72,50 4 35,50 21,61 87,11

4.5 Perkecambahan Untuk perkecambahan, benih ditabur secara merata di atas permukaan media. Media bedeng tabur dapat menggunakan pasir bercampur tanah. Untuk mempercepat dan meningkatkan persentase perkecambahan, benih dapat direndam dalam larutan hormon perangsang tumbuh, misalnya giberelin (GA). Kecepatan perkecambahan biji Kayu Bawang bisa mencapai 20-30 hari. Namun, biji yang didapat dengan metode dikumpulkan dari lantai hutan dapat berkecambah lebih cepat.

26

Perkecambahan adalah ketika akar (radicle) muncul dari biji (Copeland dan McDonald, 2001). Biji melakukan proses penyerapan air kemudian mengeluarkan akar. Tipe perkecambahan Kayu Bawang adalah perkecambahan epigeal, dimana kotiledon (embrio biji) terangkat ke atas. Buah harus sudah masak agar bijinya dapat berkecambah. Karena itu, proses seleksi biji menjadi penting untuk memilih biji yang telah siap untuk berkecambah. Air, oksigen dan suhu adalah faktor lingkungan penting yang sangat mempengaruhi perkecambahan. Air sangat menentukan proses perkecambahan. Ketika biji menyerap air, maka proses perkecambahan dimulai (Bradford 1995). Tapi, kelebihan air juga tidak baik karena akan menghambat oksigen masuk ke biji. Oksigen sangat dibutuhkan agar perkecambahan berhasil. Di samping itu, suhu juga sangat berpengaruh pada kapasitas dan laju perkecambahan. Mengingat hal tersebut di atas, intensitas penyiraman dan pengaturan suhu untuk perkecambahan sangat penting. Penyiraman bedeng tabur perkecambahan Kayu Bawang harus dilakukan setiap hari. Penyiraman dapat dilakukan pagi atau sore hari. Di samping itu, bedeng tabur harus ternaungi. Benih dapat ditempatkan di bedeng-bedeng tabur dengan naungan cukup berat atau intensitas cahaya yang masuk sekitar 50 %. Hal ini menjaga agar suhu jangan terlalu tinggi bagi kecambah dan juga air tidak terlalu cepat menguap dari tanah.

27

Gambar 7. Biji Kayu Bawang yang sudah mulai berkecambah

4.6 Penyapihan dan Perkembangan Anakan Benih yang telah berkecambah dan memiliki dua pasang daun yang telah terbuka siap untuk disapih ke media bibit. Penyapihan dilakukan dengan cara mencungkil media disekitar kecambah hingga kecambah dapat diangkat beserta akarnya. Semai yang tersebut kemudian dapat dipindahkan/disapih ke dalam polybag ukuran 10 cm x 20 cm yang masing-masing berisi media tanam. Media yang digunakan dapat berupa campuran tanah + sekam padi + pupuk kandang. Media lain berupa campuran tanah + arang sekam padi dan ditambahkan pupuk. Bibit ditempatkan di bedeng-bedeng semai dengan naungan cukup berat atau intensitas cahaya yang masuk sekitar 50 %. Bahan

28 naungan dapat dibuat plastik (paranet), ijuk, daun kelapa atau jerami Penyiraman dilakukan satu kali sehari yaitu jam 6-8 pagi atau jam 16-17. Selanjutnya, berdasarkan penelitian Siahaan dkk (2006), pemberian arang kompos sebagai campuran topsoil untuk media semai kayu bawang dapat meningkatkan pertumbuhan anakan. Pemberian arang kompos dapat memperbaiki struktur dan tekstur media, meningkatkan kandungan unsur hara serta meningkatkan pH media dalam polybag. Sedangkan pemberian paranet dengan tingkat kerapatan naungan 55 % juga dapat meningkatkan pertumbuhan bibit Kayu Bawang.

Gambar 8. Semai Kayu Bawang yang telah disapih dan tumbuh di polybag

Dengan perawatan yang baik, bibit Kayu Bawang akan tumbuh dengan cepat. Bibit Kayu Bawang yang sudah berumur 2.5 bulan dapat mencapai tinggi rata-rata 33,8 + 8,8 cm. Rata-rata anakan yang berumur 4 bulan sudah dapat ditanam di lapangan.

29

Gambar 9. Ilustrasi laju pertumbuhan semai Kayu Bawang

30

BAB V PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN TANAMAN

5.1 Penanaman Setelah disapih dan ditumbuhkan di polybag, tanaman Kayu Bawang akan ditanam di lapangan. Kayu Bawang yang berumur sekitar empat bulan dari waktu penyapihan sudah siap ditanam di lapangan. Namun, dalam hal penanaman ini, beberapa hal harus diperhatikan, misalnya ukuran tanaman, waktu menanam, persiapan tempat tumbuh, dan pemeliharaan anakan di lapangan.

a. Ukuran tanaman Harus dipastikan bahwa akar tanaman telah cukup panjang dan telah tumbuh baik sehingga dapat menjaga suplai air dari tanah ketika sudah dipindah di lapangan. Keberhasilan penanaman sangat tergantung dari kemampuan akar tanaman mendapatkan kontak dengan tanah sehingga pengambilan air dan hara bisa dilakukan.

b. Waktu penanaman Waktu penanaman juga dapat menentukan keberhasilan tumbuh anakan Kayu Bawang di lapangan. Menanam sebaiknya di musim hujan, sehingga dapat dipastikan bahwa suplai air mencukupi untuk masa aklimatisasi dan pertumbuhan lanjut anakan. Waktu penanaman juga menghindari kemungkinan tingkat stress tumbuhan paling tinggi. Kalau menanam ketika kondisi panas matahari sangat tinggi (misalnya tengah hari), maka akan mempengaruhi kemungkinan laju survival anakan.

c. Persiapan tempat tumbuh dan pengaturan kerapatan Persiapan lokasi tanam juga menentukan kemampuan bibit Kayu Bawang untuk tumbuh di lapangan. Persiapan lahan untuk penanaman Kayu Bawang dilakukan dengan pembersihan secara total semak belukar

31

dan gulma yang ada di lokasi penanaman. Pembersihan ini dapat dilakukan secara manual ataupun kimiawi. Setelah itu disiapkan lobang tanam dan ajir. Jarak tanam sangat tergantung dari pola tanam yang akan diterapkan. Jika ditanam secara monokultur, Kayu Bawang dapat ditanam pada jarak tanam 4 x 5 m, 4 x 3 m, atau 3 x 3 m. Dalam pola tanam monokultur, penanaman dapat dilakukan agak rapat di awal. Kemudian, tegakan akan mendapatkan perlakukan penjarangan untuk mendapatkan tegakan dengan pertumbuhan baik. Jika ditanam polikultur dengan tanaman lain, maka jarak tanam dapat menyesuaikan dengan jenis yang ditanam di lahan tersebut, serta model polikultur yang diinginkan. Pilihan pola tanam akan menentukan kerapatan individu per hektar.

5.2 Pemeliharaan Tanaman

a. Penyulaman

Setelah ditanam, ada kemungkinan anakan mengalami kematian. Kematian anakan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain serangan hama, kompetisi dengan gulma, dirusak/dimakan binatang, karena cuaca, ataupun karena cara penanaman yang tidak benar. Jika ada anakan yang tidak tumbuh, maka dilakukan penggantian tanaman dengan anakan yang baru, yang disebut penyulaman. Kegiatan penyulaman bertujuan agar jumlah tanaman per hektar yang tumbuh nantinya dapat sesuai standard atau jumlah yang diinginkan. Tanaman yang habis disulam diberi pupuk secara intensif agar dapat mengejar pertumbuhan dengan tanaman awal. Penyulaman pertama dapat dilakukan sekitar 2-4 minggu setelah tanam, jika memang sudah ada tanaman yang mati. Penyulaman kedua dapat dilakukan pada waktu pemeliharaan tahun pertama (sebelum tanaman berumur 1 tahun). Agar pertumbuhan bibit sulaman tidak tertinggal dengan tanaman lain, maka dipilih bibit yang baik disertai pemeliharaan yang intensif.

32 b. Penyiangan dan Pendangiran Saat awal pertumbuhan adalah masa yang penting bagi anakan pohon. Karena itu, setelah bibit Kayu Bawang ditanam di lahan, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan antara lain pembersihan gulma dan pemupukan. Pembersihan gulma sangat penting untuk dilakukan. Gulma dapat menghambat pertumbuhan anakan karena anakan akan berkompetisi mendapatkan air dan hara dengan gulma. Kompetisi dengan gulma akan membuat penurunan volume kayu yang seharusnya dihasilkan dari suatu lahan. Pengendalian gulma selama tiga tahun pertama pertumbuhan akan meningkatkan pertumbuhan anakan (West 2006). Perkembangan awal yang baik selama tiga tahun tersebut akan mempengaruhi kecepatan tumbuh tahun-tahun berikutnya. Karena itu, perbersihan gulma sangat penting dilakukan. Pembersihan gulma dapat dilakukan secara mekanis/manual atau kimiawi. Secara manual, gulma dapat dilakukan dengan metode membersihkan di sekitar anakan (melingkar), pembersihan jalur atau pembersihan total lahan yang ada. Untuk Kayu Bawang yang ditanam secara agroforestry dengan jenis tanaman lain, maka biasanya pembersihan tanaman Kayu Bawang dari gulma bersama dengan pembersihan gulma yang juga mengganggu tanaman lainnya. Untuk pembersihan gulma secara kimiawi, maka perlu dihindari herbisida yang digunakan mengenai anakan yang ada.

33

Gambar 10. Perkembangan anakan Kayu Bawang. Gambar (a) adalah anakan yang sudah ditanam 1,5 tahun, dimana ketika ditanam bibit berumur 4 bulan dan lahan tanam dilakukan pembersihan gulma. Sedangkan gambar (b) dan (c) adalah anakan Kayu Bawang yang telah ditanam selama 4 bulan, dimana ketika ditanam, bibit berumur 4 bulan dan lahan belum dibersihkan gulmanya.

c. Pemupukan Pemberian pupuk juga berpengaruh terhadap pertumbuhan semai Kayu Bawang. Aplikasi pupuk dasar Green Farm dan SP36 mampu memacu pertumbuhan tanaman, dengan didukung kegiatan pemeliharaan plot Kayu Bawang secara reguler. Dosis Green Farm 200 gram/lubang tanam merupakan dosis yang efektif dan efisien dalam memacu pertumbuhan Kayu Bawang. Sedangakan untuk SP36, dosis 25 gram/lubang tanam memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan Kayu Bawang (Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang, 2010).

34 d. Pemberantasan Hama dan Penyakit

Kayu memiliki beberapa jenis hama dan penyakit yang sering menyerang. Hama yang sering ditemui menyerang Kayu Bawang antara lain kumbang penggerek batang (Xystrocera globosa), ulat kantong (Pteroma plagiophelps), belalang (Valanga nigricornis), rayap (Cryptotermes sp) dan semut (Polyrhachys dives). Menurut Utami (2012), kumbang penggerek (Xystrocera globosa) merupakan hama yang paling potensial (dibandingkan hama lainnya) yang menyerang kayu bawang dengan persentase dan intensitas serangan sebesar 11% dan 21% pada tanaman berumur 1,5 tahun. Sedangkan penyakit yang sering menyerang tanaman Kayu Bawang adalah penyakit busuk akar (Rigidiporus sp.), bercak daun dan mati pucuk dan busuk akar. Serangan penyakit ini dapat terjadi pada tegakan Kayu Bawang dengan berbagai tingkat umur. Menurut Utami (2012), pengendalian secara fisik mekanik mampu menekan serangan busuk akar, sedangkan pengendalian dengan pestisida berbahan aktif fipronil mampu menekan serangan kumbang penggerek.

e. Pemangkasan

Sesuai hasil pengamatan di lapangan, tegakan Kayu Bawang yang ditanam di tempat yang lapang, ada kecenderungan ukuran cabang cukup besar, diameter cabang dapat mencapai 1/3 dari diameter batang. Hal ini kurang menguntungkan bagi pertumbuhan Kayu Bawang yang diperuntukan bagi kayu pertukangan. Idealnya, cabang pohon berdiameter kecil, sehingga dapat mengalami luruh alami, dan menyisakan batang utama yang berdiameter besar dan lurus. Karena itu, jarak penanaman awal Kayu Bawang dibuat rapat, kemudian secara bertahap dijarangi. Misal: 5 x 2,5 m atau 5 x 3 m, yang setelah penjarangan I menjadi 5 x 5 m dan 5 x 6 m. Dengan pemangkasan yang dilakukan sejak awal, maka diharapkan tegakan Kayu Bawang tumbuh seperti yang diharapkan.

35

Adapun teknik seleksi pohon Kayu Bawang yang memiliki diameter cabang yang kecil dan dapat meluruh sendiri, perlu diupayakan oleh pada pemulia pohon baik dari kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau dari Perguruan Tinggi. Jika telah ditemukan pohon induk yang memiliki karakter dimaksud, maka dapat digunakan sebagai bahan untuk membangun kebun benih. Sehingga penanaman dengan benih yang didapatkan dari kebun benih ini maka akan mengurangi biaya untuk pemangkasan.

36

BAB VI PENUTUP

Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) merupakan salah satu jenis kayu andalan Propinsi Bengkulu. Penanaman yang telah dilakukan oleh masyarakat menunjukkan bahwa penanaman komoditi kayu ini cukup menjanjikan. Potensi pemanfaatannya pun cukup luas. Namun, walaupun penanaman jenis ini sudah meluas, prinsip silvikultur dalam pengelolaan tegakan belum diterapkan secara memadai. Dengan dipilihnya Kayu Bawang sebagai salah satu jenis yang dikembangkan dalam ITTO Project PD 477/07 Rev.4 (F), maka pengumpulan dan pendistribusian informasi mengenai budidaya Kayu Bawang menjadi penting. Kayu Bawang ini juga cukup potensial untuk dikembangkan tidak hanya di lokasi asalnya saja, tetapi juga di lokasi pengembangannya lain, baik di Bengkulu maupun di luar Propinsi Bengkulu. Karena itu, perlu disebarluaskan data dan informasi mengenai Kayu Bawang, antara lain meliputi persyaratan tumbuh, status pengembangan dan pengelolaan, potensi sumber benih yang berkualitas, serta teknik pembibitan. Petunjuk teknis ini merupakan bagian dari upaya tersebut.

37

DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang pada Tegakan Monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 5(2): 64-70.

Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang. 2010. Penelitian Budidaya Jenis Kayu Bawang. BPK Palembang, Palembang.

Bradford K. J. 1995. Water relations in seed germination. In J. Kigel & G. Galili (Eds), Seed development and germination (pp. 351-398). Marcel Dekker, New York.

Copeland L. O and McDonald M. B. 2001. Principles of seed science and technology ( 4th ed). Kluwer Academic, Dordrecht.

Departemen Kehutanan. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Standar Sumber Benih. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.

Depari E. K, Susatya A dan Wiryono. 2013. Potensi Standing Stock dan Carbon pada Tegakan Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum blume) di Hutan Rakyat Bengkulu. Laporan Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Depari E. K. 2011. Pengetahuan Lokal Budidaya Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) di Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Agriculture, 21 (2).

Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu. 2013. Rencana Kehutanan Tingkat Propinsi Bengkulu. Dishutprop Bengkulu, Bengkulu.

Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu Bawang. Bengkulu. Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, Bengkulu.

Kunarso A dan Siahaan H. 2008. Pemetaan Sebaran Pohon Induk Jenis Prioritas Sumatera Selatan. Info Hutan 5 (1): 35-43.

Mulawarman, Roshetko J, Sasongko SM, dan Iriantono D. 2002. Pengelolaan Benih Pohon, ICRAF & Winrock International, Bogor.

Nuriyatin N, Apriyanto E, Syatria N dan Saprinurdin. 2003. Ketahanan Lima Jenis Kayu Berdasarkan Posisi Kayu di Pohon terhadap Serangan Rayap. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 5(2): 77-82.

38

Riyanto, H. D. 2001. Kayu Bawang (sp) Berpotensi untuk Kayu Pertukangan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang, 12 Nopember 2001. Palembang

Siahaan H, Herdiana N, Rahman T, Sagala N. 2006. Peningkatan pertumbuhan bibit Kayu Bawang (Protium javanicum Burm. F) dengan aplikasi arang kompos dan naungan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Padang 20 September 2006. Padang: 165-170

Siahaan H, Herdiana N, Rahman T. 2008. Pengaruh Periode dan Ruang Simpan Terhadap Perkecambahan Benih Kayu Bawang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 5 (2): 83-90.

Siahaan H, Herdiana N, Rahman T. 2008. Pengaruh periode dan ruang simpan terhadap perkecambahan benih Kayu Bawang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 5 (2): 83-90.

Siahaan H, Suhendang E, Rusolono T dan Sumadi A. 2011. Pertumbuhan Tegakan Kayu Bawang (Disoxylum mollissimum) pada Berbagai Pola Tanam dan Kerapatan Tegakan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8 (4): 225 – 237.

Sosef MSM, Hong LT, Prawirohatmodjo S (Editor). 1998. Resources of South-East Asia. Prosea 5(3), Bogor.

Utami, S. 2012. Pengendalian Hama dan Penyakit Kayu Bawang (Disoxylum mollissimum). Badan Penelitian Kehutanan, Palembang.

West P. W. 2006. Growing Plantation Forests. Springer-Verlag, Berlin.

39