PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH SEKRETARIAT BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH Jl. Imam Bonjol No. 1 F Telp. 024 – 3519904 (Hunting), Fax 024 – 3519186 Kode Pos 50141 email : [email protected]

STUDI IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL DALAM

PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

DI EKS KARESIDENAN

LAPORAN AKHIR

TAHUN 2014

Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang berlangsung secara perlahan. Beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, hampir tidak mungkin diperkirakan secara akurat kapan, dimana akan terjadi dan besaran kekuatannya. Sedangkan beberapa bencana lainnya seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, letusan gunung api, tsunami, dan anomali cuaca masih dapat diramalkan sebelumnya. Meskipun demikian kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan tersebut terjadi karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya.

Wilayah eks karesidenan Pekalongan yang terdiri dari Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten batang, Kabupaten Pemalang, Kota , Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes merupakan wilayah di Jawa Tengah yang mengalami beragam bencana. Mengingat wilayah tersebut terdiri dari Gunung,pegunungan perbukitan dan pesisir. Pegunungan atau lereng Gunung Slamet yaitu di wilayah Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal dan Brebes, pesisir yaitu diwilayah Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, sebagian pemalang, brebes dan Kota Tegal. Berdasarkan kondisi topografi dapat dilihat jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah tersebut yaitu longsor dan angin puting di wilayah pegunungan dan perbukitan, Ancaman Gunung Berapi Slamet,dan wilayah pesisir bencana yang dominan terjadi adalah banjir dan rob

Berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat sebagai upaya untuk menghadapi bencana melalui berbagai kegiatan agar selamat dan dapat memenuhi kebutuhan di masa depan dalam berbagai unsur kehidupan. Setiap wilayah atau daerah tentunya berbeda dalam upaya tersebut karena tergantung pada lokalitas wilayah atau daerahnya sehingga kemampuan masyarakat lokal tersebut yang ada secara turun – temurun dinamakan kearifan lokal.

Beranjak dari hal tersebut di atas maka, Studi Identifikasi Kearifan Lokal dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Eks Karesidenan Pekalongan perlu dilakukan sebagai pengembangan upaya penanggulangan bencana berbasis masyarakat.

Pada tahapan LAPORAN AKHIR ini berisikan karakteristik kearifan lokal di Eks Karesidenan Pekalongan dan kearifan lokal berbasis mitigasi bencana di Eks Karesidenan Pekalongan, sehingga dihasilkan hasil kajian yang sesuai dengan harapan. Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih.

Tim Penyusun

HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ...... I - 1 1.2 Permasalahan ...... I - 2 1.3 Maksud dan Tujuan Kegiatan ...... I - 5 1.4 Luaran kegiatan ...... I - 5 1.5 Ruang Lingkup Kegiatan ...... I - 5

BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Konsep Bencana ...... II - 1 2.2 Penanggulangan Bencana ...... II - 4 2.3 Mitigasi Bencana ...... II - 9 2.4 Potensi Lokal Wisdom Dalam Mitigasi Bencana ...... II - 9 2.5 Makna Kearifan Lokal ...... II - 11 2.6 Ruang Lingkup Kearifan Lokal ...... II - 12 2.7 Fungsi Kearifan Lokal ...... II - 16 2.8 Kebudayaan Jawa ...... II - 17 2.9 Kearifan Lokal Bagian Budaya Jawa ...... II - 18 2.10 Hermeneutika Geomorfologis mengenai Kearifan Lokal untuk Adaptasi Masyarakat Terhadap Ancaman Bencana Marin ...... II - 19 2.11 Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Jawa Sebagai Bagian Dari Pelestarian Lingkungan ...... II - 21

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH EKS KARESIDENAN PEKALONGAN 3.1 Kondisi Umum ...... III - 1 3.1.1 Kondisi Geografis ...... III - 1 3.1.2 Kondisi Kependudukan ...... III - 2 3.1.3 Kondisi Ekonomi ...... III - 3 3.2 Sejarah Terbentuknya Wilayah Eks Karesidenan Pekalongan...... III - 9 3.3 Rencana Tata Ruang Wilayah Eks Karesidenan Pekalongan ...... III - 15 3.3.1 Sistem Perkotaan ...... III - 15 3.3.2 Daerah Rawan Bencana ...... III - 24

BAB IV METODOLOGI 4.1 Umum ...... IV - 1 4.2 Alur Pikir ...... IV - 1 4.3 Metode Analisis dan Tahapan Pelaksanaan ...... IV - 3 4.4 Kebutuhan Data ...... IV - 7

BAB V INVENTARISASI KEARIFAN LOKAL EKS KARESIDENAN PEKALONGAN 5.1 Kearifan Lokal Masyarakat Jawa Secara Umum ...... V - 1 5.2 Kearifan Lokal Eks Karesidenan Pekalongan Secara Khusus ...... V - 19

BAB VI KEARIFAN LOKAL DALAM PENANGGULANGAN BENCANA EKS KARESIDENAN PEKALONGAN 6.1 Umum ...... VI - 1 6.2 Kearifan Lokal Penanggulangan Bencana Masyarakat Pulau Jawa ...... VI - 1 6.3 Kearifan Lokal Eks Karesidenan Pekalongan Secara Khusus ...... VI - 4

BAB VII REKOMENDASI 7.1 Rekomendasi Kearifan Lokal terhadap Penanggulangan Bencana di Eks Karesidenan Pekalongan ...... VII - 1

DAFTAR PUSTAKA

Tabel 3.1 Luas wilayah Kabupaten/Kota di Karesidenan Pekalongan ...... III – 2 Tabel 3.2 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Eks Karesidenan Pekalongan ...... III – 3 Tabel 3.3 Realisasi Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota di Karesidenan Pekalongan ...... III – 7 Tabel 3.4 PAD Kabupaten/Kota di Karesidenan Pekalongan 2010-2012 (juta rupiah) ...... III – 8 Tabel 3.5 PDRB menurut harga konstan Kabupaten/Kota di Karesidenan Pekalongan ...... III – 8 Tabel 3.6 Sistem Perkotaan Kabupaten/Kota di Karesidenan Pekalongan ...... III – 15 Tabel 3.7 Daerah Rawan Bencana Kabupaten/Kota di Karesidenan Pekalongan ...... III – 24 Tabel 3.8 Rekapitulasi Data Kejadian Bencana Kab/Kota Eks Karesidenan Pekalongan ..... III - 29 Tabel 4.1 Kebutuhan, sumber, dan kegunaan data ...... IV – 7 Tabel 5.1 Tanda Bencana alam menurut masyarakat Jawa ...... V – 8 Tabel 6.1 Tanda Bencana alam menurut masyarakat Jawa ...... VI – 2

Gambar 2.1 Pengelolaan risiko bencana ...... II – 3 Gambar 2.2 Bagan penanggulangan bencana ...... II – 5 Gambar 2.3 Kerangka kerja pengurangan risiko bencana ...... II – 8 Gambar 2.4 Kelembagaan penanganan bencana ...... II – 8 Gambar 3.1 Wilayah Administrasi Karesidenan Pekalongan ...... III – 2 Gambar 3.2 Daerah Rawan Bencana ...... III – 29 Gambar 4.1 Alur Pikir Studi ...... IV – 3 Gambar 4.2 Diagram Tahapan Kegiatan ...... IV – 6 Gambar 5.1 Rumah bagi orang Jawa ...... V – 2 Gambar 5.2 Analogi Joglo ...... V – 3 Gambar 5.3 Kearifan Lokal Pekalongan ...... V – 27 Gambar 5.4 Kearifan Lokal Tegal ...... V – 32 Gambar 5.5 Kearifan Lokal Brebes ...... V – 37 Gambar 5.6 Kearifan Lokal Pemalang ...... V – 46 Gambar 5.7 Kearifan Lokal Batang ...... V – 50

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

1.1 LATAR BELAKANG Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang berlangsung secara perlahan. Beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, hampir tidak mungkin diperkirakan secara akurat kapan, dimana akan terjadi dan besaran kekuatannya. Sedangkan beberapa bencana lainnya seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, letusan gunung api, tsunami, dan anomali cuaca masih dapat diramalkan sebelumnya. Meskipun demikian kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan tersebut terjadi karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui beberapa resolusinya secara aktif menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk memprioritaskan upaya pengurangan risiko bencana sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program pembangunan berkelanjutan. Beberapa resolusi internasional dan regional yang menjadikan landasan bagi upaya pengurangan risiko bencana.

Konferensi Dunia Pengurangan Bencana di Kobe Jepang pada awal tahun 2005 melahirkan Kerangka Aksi Hyogo (KAH) yang ditanda-tangani oleh 168 negara termasuk dimana Indonesia telah meratifikasi Kerangka Aksi Hyogo ini dan berkomitmen untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan yaitu penurunan secara berarti hilangnya nyawa dan aset sosial, ekonomi dan lingkungan karena bencana yang dialami oleh masyarakat dan negara.

Berpijak pada Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework) Paradigma yang berkembang dalam upaya penanggulangan bencana adalah Pengurangan Resiko Bencana. Upaya pengurangan resiko bencana apabila dilakukan sebelum terjadi bencana dengan cara mengenali potensi-potensi ancaman dan kerentanan bencana yang kemudian diikuti dengan kesiap-sediaan terhadap bencana di level masyarakat akan berperan besar

1 | B A B 1

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

dalam menurunkan korban dan resiko-resiko lainnya ketika terjadi bencana, untuk itu peran masyarakat sangat diperlukan karena masyarakat adalah sebagai aktor sekaligus penderita ketika terjadi bencana.

Masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen yang apabila diberdayakan dalam upaya penanggulangan bencana merupakan potensi yang luar biasa sehingga dibutuhkan komitmen yang kuat dan keterlibatan penuh seluruh pemangku kepentingan sehingga penanggulangan bencana menjadi lebih efektif, berhasil guna dan berdaya guna.

Terbangunnya kesadaran pada level masyarakat dalam upaya pengurangan resiko bencana adalah sebagai upaya yang sangat penting untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menurunkan kerentanan individu, keluarga dan masyarakat luas serta adanya perubahan prilaku dan sikap pemerintah dalam menangani permasalahan yang berkaitan dengan kebencanaan yang terjadi di lingkungan masyarakat.

Agar kesadaran masyarakat terbangun perlu adanya penataan kembali managemen penanggulangan bencana yang berpedoman pada pengurangan resiko bencana dengan cara melibatkan masyarakat atau komunitas sebagai aktor utama atau tokoh penting dalam upaya managemen resiko bencana mengingat masyarakat ataupun komunitas adalah komponen yang paling tahu kondisi wilayahnya dan mempunyai berbagai kearifan lokal yang diyakini sebagai upaya antisipasi terjadinya bencana. Berdasarkan asumsi tersebut diharapkan masyarakat mampu melakukan management resiko dan memperkirakan atau menafsirkan pola penanganan berdasarkan kebutuhan, menentukan tujuan, melaksanakan, memonitor dan mampu mengevaluasi berdasarkan pengalaman sendiri yang berdasarkan kekhasan daerah masing-masing. Demikian pula Indonesia yang merupakan salah satu negara yang multi bencana, berbagai cara masyarakat untuk menghadapi bencana telah ada sejak dulu dan terkadang secara turun menurun diwariskan kepada anak cucu sehingga resiko bencana dapat diminimalisir.

Kemampuan menghadapi bencana yang telah dimiliki secara turun-menurun merupakan kekayaan yang perlu dipertahankan karena merupakan salah satu komponen penting dalam upaya Pengurangan Resiko Bencana. Sistem Peringatan Dini terhadap ancaman bencana belum ada secara lengkap, hal ini disebabkan masih kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bencana di wilayah masing-masing, padahal sistem peringatan dini tidak harus menggunakan suatu alat yang canggih dengan harga yang mahal. Sistem peringatan dini dapat berupa kearifan lokal di tiap wilayah yang tanpa disadari sudah ada sejak dahulu kala turun temurun dan sudah hampir terlupakan atau tersisihkan.

2 | B A B 1

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

1.2 PERMASALAHAN Jawa Tengah terdiri dari 35 kabupaten/kota merupakan representasi 10% Indonesia dan merupakan provinsi yang cukup banyak daerah pegunungannya, sehingga secara topografi terbagi menjadi dua bagian yaitu dataran rendah yang terdapat di daerah pinggir Pantai Utara Jawa Tengah yang sering disebut daerah persisir Pantai Utara (Pantura) dan daerah Pantai selatan. Di tengah wilayah provinsi terdapat banyak pegunungan yang di kelilingi dataran rendah disekitarnya. Kawasan pantai utara memiliki dataran rendah yang sempit. Daerah Brebes mempunyai dataran rendah dengan lebar 40 kilometer dari pantai dan terus menyempit hingga Semarang mempunyai lebar 4 kilometer yang bersambung dengan depresi Semarang-Rembang di bagian timur.

Kawasan pantai selatan merupakan dataran rendah yang sempit dengan lebar 10-25 kilometer, kecuali sebagian kecil di daerah yang merupakan perbukitan. Rangkaian utama pegunungan di Jawa Tengah adalah Pegunungan Serayu Utara dan Serayu Selatan yang dipisahkan oleh Depresi Serayu yang membentang dari Majenang (Kabupaten Cilacap), , hingga . Terdapat 6 (enam) gunung berapi aktif di Jawa Tengah, yaitu: Gunung Merapi (di ), Gunung Slamet (di Pemalang), Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing (di Temanggung-Wonosobo), Gunung Lawu (di Karanganyar) serta pegunungan Dieng (di Banjarnegara). Menurut Lembaga Penelitian Tanah-, jenis tanah di Jawa Tengah didominasi oleh tanah latosol, aluvial, dan grumosol sehingga hamparan tanah di daerah ini termasuk tanah yang relatif subur.

Kondisi hidrologis Jawa Tengah dibentuk oleh beberapa aliran sungai. Bengawan Solo merupakan salah satu sungai terpanjang dan merupakan sumber daya air terpenting. Selain itu terdapat sungai yang bermuara di Laut Jawa diantaranya adalah Kali Pemali, Kali Comal, dan Kali Bodri serta sungai yang bermuara di Samudera Hindia diantaranya adalah Luk Ulo dan Cintanduy.

Jawa Tengah memiliki iklim tropis, dengan suhu rata-rata adalah 24,8ºC–31,8ºC dan curah hujan tahunan rata-rata 2.618 milimeter. Daerah dengan curah hujan tinggi terutama terdapat di daerah Kabupaten Kebumen sebesar 3.948 milimeter per tahun. Daerah dengan curah hujan rendah dan sering terjadi kekeringan di musim kemarau berada di daerah Blora, Rembang, Sebagian Grobogan dan sekitarnya serta di bagian selatan Kabupaten Wonogiri.

Penduduk Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh wilayah Jawa Tengah. Umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah kota dibandingkan kabupaten. Rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah sebesar 995 jiwa setiap kilometer persegi. Wilayah kabupaten/kota yang memiliki kepadatan penduduk

3 | B A B 1

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

paling besar adalah Kota (117,55 jiwa per hektar), di posisi kedua adalah Kota Magelang (72,95 jiwa per ha), dan di posisi ketiga adalah Kota Tegal (69,54 jiwa per hektar). Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah memiliki kepadatan penduduk sebesar 39,84 jiwa per hektar. Kabupaten/kota di Jawa Tengah yang memilki kepadatan paling rendah terdapat di Kabupaten Blora (463,61 jiwa per hektar).

Melihat hal tersebut di atas sangatlah wajar apabila jenis bencana yang terjadi di Jawa Tengah beragam, hampir semua tipe bencana alam di Indonesia ada di Jawa Tengah. Selain itu mengingat jumlah penduduk yang cukup besar hampir 14% penduduk Indonesia Jawa tengah mempunyai potensi terjadi bencana sosial.

Jumlah penduduk Jawa Tengah dan Keaneka-ragaman budaya masyarakat yang ada di Jawa Tengah selain merupakan potensi bencana sosial apabila tidak dikelola dengan baik namun merupakan anugrah yang sangat luar biasa karena menyimpan keragaman adat-istiadat dan kebudayaan yang luhur sebagai upaya hidup selaras dengan alam.

Salah satunya adalah kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana tentunya sudah ada dan merupakan kekayaan yang tiada taranya. Namun terkadang warisan tersebut tidak terdokumentasi dengan baik sehingga lama-kelamaan kemampuan adaptasi masyarakat tersebut hilang dengan sendirinya yang berakibat ketika terjadi bencana masyarakat menjadi tergagap dan berada dalam situasi yang buruk yaitu sebagai korban yang kehilangan kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi untuk menghadapi bencana tersebut.

Wilayah eks karesidenan Pekalongan yang terdiri dari Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten batang, Kabupaten Pemalang, Kota Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes merupakan wilayah di Jawa Tengah yang mengalami beragam bencana. Mengingat wilayah tersebut terdiri dari Gunung,pegunungan perbukitan dan pesisir. Pegunungan atau lereng Gunung Slamet yaitu di wilayah Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal dan Brebes, pesisir yaitu diwilayah Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, sebagian pemalang, brebes dan Kota Tegal. Berdasarkan kondisi topografi dapat dilihat jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah tersebut yaitu longsor dan angin puting di wilayah pegunungan dan perbukitan, Ancaman Gunung Berapi Slamet,dan wilayah pesisir bencana yang dominan terjadi adalah banjir dan rob.

Berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat sebagai upaya untuk menghadapi bencana melalui berbagai kegiatan agar selamat dan dapat memenuhi kebutuhan di masa depan dalam berbagai unsur kehidupan. Setiap wilayah atau daerah tentunya

4 | B A B 1

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

berbeda dalam upaya tersebut karena tergantung pada lokalitas wilayah atau daerahnya sehingga kemampuan masyarakat lokal tersebut yang ada secara turun – temurun dinamakan kearifan lokal.

Beranjak dari hal tersebut di atas maka, Studi Identifikasi Kearifan Lokal dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Eks Karesidenan Pekalongan perlu dilakukan sebagai pengembangan upaya penanggulangan bencana berbasis masyarakat.

1.3 MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN Maksud kegiatan ini adalah mengidentifikasi upaya penanggulangan bencana di tingkat masyarakat dengan berbasis kearifan lokal yang diyakini oleh masyarakat lokal di daerah eks Karesidenan Pekalongan sebagai salah satu masukan untuk penyusunan upaya penanggulangan bencana.

Tujuan kegiatan ini adalah : a. Mengidentifikasi kearifan lokal dalam upaya penanggulangan bencana di wilayah eks karesidenan Pekalongan b. Rekomendasi kearifan lokal di eks karesidenan Pekalongan (Kota Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Pekalongan, kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Batang) yang harus dilestarikan sebagai upaya penanggulangan bencana di tingkat masyarakat.

1.4 LUARAN KEGIATAN Luaran kegiatan ini adalah tersusunnya buku hasil studi identifikasi kearifan lokal dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di eks karesidenan Pekalongan.

1.5 RUANG LINGKUP KEGIATAN Ruang lingkup kegiatan ini adalah mengidentifikasi kegiatan budaya di seluruh wilayah eks Karesidenan Pekalongan yaitu Kota Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Pekalongan, kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Batang

Kegiatan budaya atau kebiasaan masyarakat di wilayah studi yang digali adalah kegiatan yang berhubungan dengan upaya penanggulangan bencana terutama yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun.

Lingkup pekerjaan yang harus dilaksanakan adalah : a. Menginventarisasi kegiatan budaya dan kebiasaan masyarakat yang turun menurun di seluruh wilayah eks karesidenan Pekalongan

5 | B A B 1

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

b. Mengidentifikasi kegiatan budaya dan kebiasaan masyarakat yang turun temurun di seluruh wilayah eks karesidenan Pekalongan c. Mengidentifikasi kegiatan budaya dan kebiasaan masyarakat yang turun temurun di wilayah eks karesidenan Pekalongan yang merupakan upaya penanggulangan bencana di tingkat masyarakat. d. Melakukan rekomendasi jenis kegiatan budaya dan kebiasaan masyarakat secara turun menurun yang harus dilestarikan dan disosialisasi ke masyarakat sebagai usaha penanggulangan bencana di tingkat masyarakat.

6 | B A B 1

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

2.1 KONSEP BENCANA Bencana adalah kejadian akibat alam maupun ulah manusia yang secara mendadak atau perlahan terjadi dengan hebatnya mengakibatkan kerugian material, kerusakan lingkungan, dan manusia sehingga masyarakat yang tertimpa harus menanggapinya dengan tindakan yang luar biasa melebihi kemampuannya. Bencana terjadi ketika bahaya dan kerentanan bergabung.

Bahaya akan menjadi bencana apabila masyarakat memiliki kemampuan lebih rendah dibanding bahaya yang datang, atau kerentanan warga lebih tinggi dari bahaya. Semakin tinggi kerentanan seseorang/komunitas, semakin besar risiko yang diterima. Bahaya bencana adalah fenomena alam atau buatan manusia yang DAPAT menimbulkan kerugian isik dan ekonomi serta mengancam jiwa manusia. Berbagai jenis bahaya bencana, meliputi: Alam: gempa bumi, gunung api, banjir, tanah longsor (longsoran), kekeringan, angin kencang, dan lain-lain. Biologis: epidemi/letusan wabah penyakit, HIV/AIDS, lu burung, dan lain-lain Sosial: kerusuhan sosial, perang, konlik masyarakat sipil, terorisme, aktivitas gang/maia, dan lain-lain. Ekonomi: hiperinlasi, runtuhnya ekonomi, hutang/inancial crisis, masa transisi ekono- mi, pengangguran, gagal panen, dan lain-lain. Politik: kegagalan politik, kudeta, dan lain-lain. Kesalahan manusia: kegagalan teknologi/ industri/ nuklir,kecelakaan transportasi, kebakaran kota, dan lain-lain. Lingkungan: polusi udara dan air.

1 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Risiko bencana Risiko bencana adalah besarnya kerugian yang MUNGKIN terjadi (kehilangan nyawa, cedera, kerusakan harta, dan gangguan terhadap kegiatan ekonomi) yang disebabkan oleh suatu fenomena bahaya tertentu saat ancaman bahaya bertemu dengan kerentanan. Risiko bencana terjadi karena bertemunya ancaman bahaya dengan kerentanan yang dipicu oleh potensi bencana tanpa ada kemampuan.

Kerentanan adalah faktor atau kendala yang mengarah dan menimbulkan konsekuensi baik isik, sosial, ekonomi, perilaku, serta motivasi yang berpengaruh buruk (menurunkan kemampuan) masyarakat/komunitas terhadap upaya- upaya penanggulangan bencana. Ada lima kategori Kerentanan, yakni: 1. Kerentanan Alam. Kerentanan yang terkait dengan geografis alam atau struktur dan topograis alam. Misalnya tanah dataran rendah, tanah labil, tebing curam. 2. Kerentanan Fisik / Materi: Kerentanan yang terkait dengan bentuk-bentuk isik, seperti bangunan, rumah, fasilitas umum, dan lainnya). 3. Kerentanan Sosial /Organisasi: Pengalaman menunjukkan bahwa orang yang terkucilkan dari kehidupan sosial, ekonomi dan politik lebih rentan terhadap bencana dibandingkan mereka yang aktif secara organisasi. Pengetahuan dan ketrampilan masyarakat yang minim akan memicu terjadinya kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi dampak bencana. 4. Kerentanan Motivasi: Pengalaman juga menunjukkan bahwa mereka yang tidak memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuannya, terutama dalam menghadapi bencana, mereka tidak dapat mengendalikan emosinya. Mereka akan menjadi lebih parah jika terkena bencana, dibandingkan dengan orang - orang yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk mengubah nasibnya. 5. Kerentanan Ekonomi: orang miskin yang hanya memiliki sumber daya materi yang kurang biasanya lebih menderita ketika terjadi bencana dibandingkan orang kaya. Faktor-faktor tersebut yang membuat mereka lebih rentan dalam menghadapi bencana dan juga mereka memerlukan waktu yang lebih lama untuk bertahan dan pulih ke keadaan normal, dibandingkan mereka yang lebih mampu secara ekonomi.

Pengelolaan risiko bencana Tujuan pengelolaan risiko bencana adalah mengurangi dan mencegah risiko bencana dengan tindakan mengurangi ancaman dan mengurangi kerentanan: 1. Mengurangi Ancaman. Bahaya tetap akan terjadi. Sebagian bahaya alam tidak dapat dicegah agar tidak terjadi, namun kita dapat mengurangi ancamannya. Contoh; penanaman hutan bakau untuk menahan hempasan ombak yang besar.

2 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

2. Mengurangi Kerentanan. Hal terpenting dalam pengurangan risiko bencana adalah menurunkan kerentanan sehingga masyarakat menjadi „tahan‟ (resilience) terhadap bencana. Berbagai perubahan dikarenakan faktor isik, sosial, ekonomi, maupun kondisi geograi menurunkan kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri maupun menanggulangi dampak akibat bahaya alam. Contoh: membangun rumah dengan struktur yang kuat agar tahan terhadap getaran yang diakibatkan gempa bumi. 3. Memperkuat Kapasitas/Kemampuan. Agar ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana semakin kuat, maka kapasitas yang sudah dimiliki perlu ditingkatkan. Contoh: dalam menghadapi banjir yang bersifat musiman, kelompok masyarakat memiliki posko banjir yang siap dijalankan setiap banjir terjadi. Peningkatan kapasitas dilakukan dengan meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana penanggulangan banjir, pelatihan tanggap darurat bagi relawan dan lain sebagainya. 4. Pengurangan Risiko Bencana adalah tindakan Pencegahan, Mitigasi, dan Kesiapsiagaan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana untuk mencegah dan meminimalkan korban jiwa maupun kerugian material. Bisa dilihat dalam Bagan siklus pengelolaan bencana secara komprehensif di bawah ini: 5. Pencegahan adalah upaya untuk menghilangkan maupun mengurangi ancaman bahaya. Contoh: penghijauan, relokasi perumahan warga ke wilayah yang tidak rawan bencana.

Gambar 2.1 Pengelolaan risiko bencana

6. Mitigasi adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana. Berbeda dengan kesiapsiagaan, upaya mitigasi ini biasanya ditujukan untuk jangka yang panjang. Upaya ini dapat berupa tindakan untuk mengurangi risiko bencana, baik berupa pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Contoh: pelatihan untuk

3 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

membangun gerakan jamaah masjid terhadap ancaman bahaya bencana. Ada dua jenis dan bentuk Mitigasi: Mitigasi Struktural: upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang lebih bersifat isik. Mitigasi struktural bisa bersifat fisik maupun kebijakan. Contoh mitigasi fisik: membuat bangunan yang tahan gempa, sehingga ketika bencana gempa terjadi, maka rumah tersebut tidak akan terlalu hancur akibat goncangan gempa. Contoh mitigasi kebijakan: penyusunan Peraturan Daerah tentang Penang- gulangan Bencana. Mitigasi Non-Struktural: segala upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan namun tidak bersifat fisik. Biasanya korban jiwa dan kerugian banyak muncul akibat masyarakat yang tidak siap dalam menghadapi bencana. Misalnya: penyadaran, peningkatan pengetahuan, peningkatan keterampilan. Bentuk Mitigasi: pemberian pelatihan-pelatihan, sehingga kita lebih siap dalam menghadapi bencana. Dengan meningkatnya pengetahuan kita akan kebencanaan, semakin kita tahu bagaimana menghadapi bencana, semakin kita siap menghadapi bencana tersebut, semakin dapat diminimalkan risiko bencananya.

2.2 PENANGGULANGAN BENCANA Sebagai negeri yang sarat dengan ancaman bencana dengan bentangan alam yang jauh lebih luas serta jumlah penduduk yang jauh lebih banyak, semestinya kita tak bertaruh lagi untuk masalah bencana. Program-program dan kegiatan-kegiatan mitigasi dan kesiap-siagaan terhadap bencana harus segera dirintis dan dikembangkan. Pendidikan sadar bencana dan latihan menghadapi bencana mesti segera dibiasakan. Kebijakan dan manajemen penanggulangan bencana mesti segera ditata dan dilahirkan. Pusat- pusat studi dan pelatihan menghadapi bencana wajib untuk dimunculkan dan didukung sepenuhnya.

Indonesia berisiko tinggi terjadi bencana karena : Ancaman tinggi (terkait posisi geograi dan geologi) Kerentanan masyarakat tinggi (demografi, keragaman sosial budaya,pendidikan dan pengetahuan yang masih rendah, kesadaran akan budaya aman yang rendah). Pengurangan Risiko Bencana atau DRR merupakan konsep baru penanganan bencana yang perlu untuk disebarluaskan ke seluruh pelaku penanganan bencana di Indonesia. Telah terjadi perubahan paradigma dalam penanganan bencana di dunia: Dari responsif menjadi preventif. Dari sektoral menjadi multi-sektor. Dari tanggung jawab pemerintah semata menjadi tanggung jawab bersama.

4 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko.

Gambar 2.2 Bagan penanggulangan bencana

Kegiatan Pra Bencana: Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan,padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca bencana. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sebelum bencana dapat berupa pendidikan peningkatan kesadaran bencana (disaster awareness), latihan penanggulangan bencana (disaster drill), penyiapan teknologi tahan bencana (disasterproof),membangun sistem sosial yang tanggap bencana,dan perumusan kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana (disaster management policies). Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta memikirkan tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan saat menghadapi bencana bagaimana memperkecil dampak bencana.

Kegiatan Saat Bencana: Kegiatan yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana,untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi, dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun, masyarakat. Pada saat bencana terjadi biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga moril, maupun material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi eisiensi.

5 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kegiatan Pasca Bencana: Kegiatan pada tahap pasca bencana, dalam bentuk proses perbaikan kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana ke keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhaikan adalah rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan harus memenuhi kaidah- kaidah kebencanaan bukan hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu memprhatikan rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi.

Sejarah Kebijakan Penanggulangan Bencana Keppres No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun2001, dan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretais Bakornas PBP No.2 tahun 2001. Di masa silam, pemerintah Indonesia pernah membentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA) dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1979. Pada tahun 1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana oleh ulah manusia (man-made disaster). Selanjutnya, keppres ini disempurnakan lagi dengan Keppres Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi. Namun usia Keppres No. 106 tahun 1999 pun tidak bertahan lama. Disebabkan antara lain pembubaran Departemen Sosial pada era tersebut yang menyebabkan Bakornas PBP kehilangan salah satu organnya. Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah kemudian menerbitkan Keppres No.3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh Wakil Presiden secara ex oicio menjadi Sekretaris Bakornas PBP. Strategi penanggulangan bencana berdasarkan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001 meliputi empat tahapan yaitu:  tahap penyelamatan;  tahap pemberdayaan;  tahap rekonsiliasi; dan  tahap penempatan. Sedangkan kegiatan penanganan pengungsi meliputi kegiatan- kegiatan:  penyelamatan

6 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

 pendataan  bantuan tanggap darurat  pelibatan masyarakat/ LSM.

Kebijakan Nasional Penanggulangan Bencana UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai kerangka sistem nasional PB di Indonesia. Pelaku utama Penanggulangan Bencana adalah pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dunia usaha. Masyarakat menjadi subyek dalam Penanggulangan Bencana. Prioritas kegiatan/program ditujukan untuk menuju bangsa yang tangguh: Mampu mengantisipasi, Mampu melawan, Mampu bangkit dan pulih kembali. Syarat paham akan management bencana, meliputi: Ancaman, Kerentanan, Kapasitas, Risiko. Pembangunan Sistem Nasional Penanggulangan Bencana sebagai salah satu prioritas program untuk mencapai masyarakat yang tangguh melalui:  Individu tangguh,  Keluarga tangguh,  desa tangguh,  kecamatan tangguh,  Kab/kota tangguh,  provinsi tangguh dan  Nasional tangguh.

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Merupakan kerangka konseptual dari berbagai elemen yang dianggap dapat mengurangi kerentanan dan risiko bencana dalam suatu komunitas, untuk mencegah (preventif) dan mengurangi (mitigasi) dampak yang tidak diinginkan dari ancaman, dalam konteks yang luas dari pembangunan berkelanjutan (UN- ISDR, 2004).

7 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Gambar 2.3 Kerangka kerja pengurangan risiko bencana

Kelembagaan penanganan bencana

Gambar 2.4 Kelembagaan penanganan bencana

Lima prioritas pengurangan risiko bencana: Pertama: Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat. Kedua: Mengidentiikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini. Ketiga: Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat. Keempat: Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana. Kelima: Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.

8 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

2.3 MITIGASI BENCANA Mitigasi bencana adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah bencana atau mengurangi dampak bencana. Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No.131 tahun 2003, mitigasi (diartikan juga sebagai penjinakan) diartikan sebagai upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana yang meliputi kesiap-siagaan dan kewaspadaan.

Kearifan lokal suku-suku pedalaman dalam upaya mencegah dan meminimalisir terjadinya bencana (mitigasi bencana) yang merupakan pengetahuan tradisional yang telah diturunkan sejak ratusantahun bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu. Pengetahuan tersebut biasanya diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi dengan lingkungannya. Sayangnya,kini berbagai pengetahuan lokal dalam berbagai suku bangsa di Indonesia banyak yangmengalami erosi atau bahkan punah dan tidak terdokumentasikan dengan baik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Padahal pengetahuan dan kearifan lokal dapat dipadukan antara empirisme dan rasionalisme sehingga dapat pula digunakan antara lain untuk mitigasi bencana alam berbasis masyarakat lokal (Iskandar, 2009).

2.4 POTENSI LOCAL WISDOM DALAM MITIGASI BENCANA Pemahaman potensi local wisdom yang ada di dalam suatu komunitas tertentu akan banyak digali melalui pendekatan partisipatif. Masyarakat dengan “kemampuan” (pengetahuan lokal, teknologi lokal, kelembagaan lokal) yang mereka miliki akan dengan mudah memahami, dan menerima produk-produk perencanaan dan perancangannya apabila “bahasa” yang digunakan bisa mereka mengerti.

Masyarakat lokal umumnya memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Pengetahuan lokal tersebut biasanya diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi dengan ekosistemnya. Masyarakat lokal yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, misalnya, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Pada saat Gunung Kelud di -Blitar ada kejadian menarik mengenai upaya evakuasi untuk mitigasi bencana yang “tidak” memperhatikan local wisdom. Sepotong wawancara wartawan Reuter (http://www.reuters.com/article/idUSJAK 1381520071019) dengan warga yang “dipaksa” evakuasi sebagai berikut: …… a local villager named as Sugiyem told Reuters. "I am afraid of the mountain erupting but so far there have been no signs," she added, referring to a common local belief about natural phenomena pointing to an eruption."The trees near the crater are still green, animals such as monkeys, snakes and hogs haven't come down. Also, there are stars in the sky. If the mountain

9 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan erupts, it will be cloudy." Sugiyem and her family were, however, finally made to leave by police.

Kearifan lokal mayarakat Pulau Simelue dalam membaca fenomena alam pantai telah menyelamatkan ribuan masyarakat dari bencana Tsunami tanggal 26 Desember 2004. Peringatan dini melalui peringatan “teriakan” semong, (air laut surut dan harus lari kebukit), yang diperoleh secara turun temurun, belajar dari kejadian bencana beberapa puluh tahun lalu. Berbeda dengan masyarakat disekitar Pantai Pangandaran yang justru lari kelaut untuk memungut ikan karena air surut, menyebabkan jumlah korban yang relative banyak. Semong bagi masyarakat Pulau Semelue selalu disosialisasikan dengan cara menjadi dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya dihati setiap penduduk Pulau Simelue. Istilah ini yang menyelamatkan hampir seluruh rakyat Pulau Simelue padahal secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat bencana. Masyarakat yang berasal dari Pulau Simelue dan bekerja di sepanjang pantai barat Sumatra menjadi pahlawan karena menyelamatkan banyak orang dengan menyuruh dan memaksa orang segera berlari secepatnya menuju tempat yang tinggi begitu melihat air laut surut. Pengetahuan lokal (local knowledge), seperti ini sangat banyak ragamnya, dengan istilah dan cara-cara yang telah mentradisi, harus dipandang sebagai suatu potensi dalam perencanaan mitigasi bencana yang berbasis pada potensi local wisdom.

Contoh lain kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang adalah pengelolaan lahan pertanian dengan system teracerring. Model pengelohan tanah ini mampu me-manage lingkungan lereng gunung untuk tetap terjaga stabilitas tanahnya walaupun lereng bukit/gunung rawan terhadap longsor. Kelembagaan Subak di bali untuk pengelolaan pengairan pertanian bukan saja telah mampu menjaga distribusi dan sistem tatakelola air secara baik, tetapi juga kelembagaan subak yang secara sosio-kultural mempu menjaga keharmonisan masyarakat petani. Potensi-potensi lain seperti konsepsi Catur- tunggal pada kota-kota di Jawa, yang memadukan unsur Ruang terbuka kota (alunalun), kraton (pusat Pemerintahan), Masjid (pusat peribadatan) dan Pasar (pusat kegiatan ekonomi) secara harmonis. Konsepsi ini sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi dari tiga orientasi pembangunan kota (development orientation, environmental orientation, dan community orientation). Catur-tunggal telah mendudukan ruang terbuka kota (alun-alun) dalam posisi dan proporsi yang sangat penting, bukan hanya dari sisi penyediaan ruang sosio-cultural, tetapi juga dari sisi penyediaan ruang yang mampu menjaga keseimbangan ekologis di kota.

Masih banyak konsepsi-konsepsi ruang dan teknologi membangun masyarakat local yang telah mentradisi dan telah teruji mampu “mengatasi” masalah-masalah

10 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan lingkungan hidup (mitigasi bencana). Pemanfaan ruang kota dalam konteks perencanaan dan perancangan kota harus berbasis kepada potensi-potensi kearifan local sebagai salah satu upaya mitigasi kebencanaan.

Upaya mitigasi bencana, diperlukan tindakan tegas terhadap penyimpangan rencana tata ruang untuk mencegah bencana yang diakibatkan oleh perbuatan manusia, seperti bencana longsor dan banjir. Pemanfaatan ruang yang tidak tidak responsif bencana akan berakibat pada pemanfaatan yang tidak terkendali dan mengakibatkan risiko kebencanaan yang tinggi. Pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang mengindikasikan menimbulkan terjadinya bencana, harus diberikan sangsi yang tegas. Akan tetapi masyarakat yang menerapkan konsepsi-konsepsi perencanaan mitigasi bencana, baik pada level lingkungan, kawasan, maupun kota harus diberikan incentive atau bonus. Dengan demikian perencanaan mitigasi (mitigation plan) dalam penataan ruang kota akan terjamin implementasinya.

2.5 MAKNA KEARIFAN LOKAL Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal akan mengusung jiwa mereka semakin berbudi luhur. Naritoom (Wagiran, 2010) merumuskan local wisdom dengan definisi, "Local wisdom is the knowledge that discovered or acquired by lokal people through the accumulation of experiences in trials and integrated with the understanding of surrounding nature and culture. Local wisdom is dynamic by function of created local wisdom and connected to the global situation."

Definisi kearifan lokal tersebut, paling tidak menyiratkan beberapa konsep, yaitu: Kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan sebagai petunjuk perilaku seseorang; Kearifan lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya; dan Kearifan lokal itu bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zamannya. Konsep demikian juga sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal selalu terkait dengan kehidupan manusia dan lingkungannya. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga atau filter iklim global yang melanda kehidupan manusia.

11 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kearifan adalah proses dan produk budaya manusia, dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup. Pengertian demikian, mirip pula dengan gagasan Geertz (1973): "Local wisdom is part of culture. Local wisdom is traditional culture element that deeply rooted in human life and community that related with human resources, source of culture, economic, security and laws. lokal wisdom can be viewed as a tradition that related with farming activities, livestock, build house etc"

Kearifan lokal adalah bagian dari budaya. Kearifan lokal Jawa tentu bagian dari budaya Jawa, yang memiliki pandangan hidup tertentu. Berbagai hal tentang hidup manusia, akan memancarkan ratusan dan bahkan ribuan kearifan lokal. Lebih lanjut dikemukakan beberapa karakteristik dari local wisdom, antara lain: local wisdom appears to be simple, but often is elaborate, comprehensive, diverse; It is adapted to local, cultural, and environmental conditions; It is dynamic and flexible; It is tuned to needs of local people; It corresponds with quality and quantity of available resources; and It copes well with changes. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipertegas bahwa kearifan lokal merupakan sebuah budaya kontekstual. Kearifan selalu bersumber dari hidup manusia. Ketika hidup itu berubah, kearifan lokal pun akan berubah pula.

2.6 RUANG LINGKUP KEARIFAN LOKAL Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain.

Oleh karena itu, kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini, dan karena itu pula bisa lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional. Untuk membedakan kearifan lokal yang baru saja muncul dengan kearifan lokal yang sudah lama dikenal komunitas tersebut, dapat digunakan istilah "kearifan kini", "kearifan baru", atau "kearifan kontemporer". Kearifan tradisional dapat disebut "kearifan dulu" atau "kearifan lama".

12 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Berdasarkan waktu pemunculan tersebut di atas, akan hadir kearifan dalam kategori yang beragam. Paling tidak, terdapat dua jenis kearifan lokal, yaitu: Kearifan lokal klasik, lama, tradisional, dan Kearifan lokal baru, masa kini, kontemporer. Kategori semacam ini mencakup berbagai hal dan amat cair bentuknya. Maksudnya, istilah lama dan baru itu seringkali berubah-ubah.

Dari sisi filosofi dasarnya, kearifan dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu: a. gagasan, pemikiran, akal budi yang bersifat abstrak; dan b. kearifan lokal yang berupa hal-hal konkret, dapat dilihat. Kearifan lokal kategori (a) mencakup berbagai pengetahuan, pandangan, nilai serta praktik- praktik dari sebuah komunitas baik yang diperoleh dari generasi sebelumnya dari komunitas tersebut maupun yang didapat oleh komunitas tersebut di masa kini, yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, tetapi dari berbagai pengalaman di masa kini, termasuk juga dari kontaknya dengan masyarakat atau budaya lain. Kearifan lokal kategori (b) biasanya berupa benda-benda artefak, yang menghiasi hidup manusia, dan bermakna simbolik.

Di Indonesia, `kearifan lokal' jelas memunyai makna positif karena `kearifan' selalu dimaknai secara `baik' atau `positif. Pemilihan kata kearifan lokal disadari atau tidak merupakan sebuah strategi untuk membangun, menciptakan citra yang lebih baik mengenai `pengetahuan lokal', yang memang tidak selalu dimaknai secara positif. Dengan menggunakan istilah `kearifan lokal', sadar atau tidak orang lantas bersedia menghargai 'pengetahuan tradisional', 'pengetahuan lokal' warisan nenek moyang dan kemudian bersedia bersusah payah memahaminya untuk bisa memperoleh berbagai kearifan yang ada dalam suatu komunitas, yang mungkin relevan untuk kehidupan manusia di masa kini dan di masa yang akan datang.

Dalam setiap jengkal hidup manusia selalu ada kearifan lokal. Paling tidak, kearifan dapat muncul pada: pemikiran, sikap, dan perilaku. Ketiganya hampir sulit dipisahkan. Jika ketiganya ada yang timpang, maka kearifan lokal tersebut semakin pudar. Dalam pemikiran, sering terdapat akhlak mulia, berbudi luhur, tetapi kalau mobah mosik, solah bawa, tidak baik juga dianggap tidak arif, apalagi kalau tindakannya serba tidak terpuji.

13 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Apa saja dapat tercakup dalam kearifan lokal. Paling tidak cakupan luas kearifan lokal dapat meliputi: pemikiran, sikap, dan tindakan berbahasa, berolah seni, dan bersastra, misalnya karya-karya sastra yang bernuansa filsafat dan niti (wulang); pemikiran, sikap, dan tindakan dalam berbagai artefak budaya, misalnya keris, candi, dekorasi, lukisan, dan sebagainya; dan pemikiran, sikap, dan tindakan sosial bermasyarakat, seperti unggah- ungguh, sopan santun, dan udanegara.

Secara garis besar, kearifan lokal terdiri dari hal-hal yang tidak kasat mata (intangible) dan hal-hal yang kasat mata (tangible). Kearifan yang tidak kasat mata berupa gagasan mulia untuk membangun diri, menyiapkan hidup lebih bijaksana, dan berkarakter mulia. Sebaliknya, kearifan yang berupa hal-hal fisik dan simbolik patut ditafsirkan kembali agar mudah diimplementasikan ke dalam kehidupan.

Dilihat dari jenisnya, local wisdom dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu makanan, pengobatan, teknik produksi, industri rumah tangga, dan pakaian. Klasifikasi ini tentu saja tidak tepat sebab masih banyak hal lain yang mungkin jauh lebih penting. Oleh sebab itu, kearifan lokal tidak dapat dibatasi atau dikotak-kotak. Kategorisasi lebih kompleks dikemukakan Sungri (Wagiran, 2010) yang meliputi pertanian, kerajinan tangan, pengobatan herbal, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, perdagangan, seni budaya, bahasa daerah, philosophi, agama dan budaya serta makanan tradisional.

Suardiman (Wagiran, 2010) mengungkapkan bahwa kearifan lokal identik dengan perilaku manusia berhubungaan dengan: Tuhan, tanda-tanda alam, lingkungan hidup/pertanian, membangun rumah, pendidikan, upacara perkawinan dan kelahiran, makanan, siklus kehidupan manusia dan watak, kesehatan, bencana alam.

14 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Lingkup kearifan lokal dapat pula dibagi menjadi delapan, yaitu: norma-norma lokal yang dikembangkan, seperti „laku Jawa‟, pantangan dan kewajiban; ritual dan tradisi masyarakat serta makna disebaliknya; lagu-lagu rakyat, legenda, mitos dan ceritera rakyat yang biasanya mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh komunitas lokal; informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat, tetua adat, pemimpin spiritual; manuskrip atau kitab-kitab suci yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat; cara-cara komunitas lokal dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari; alat-bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu; dan kondisi sumberdaya alam/ lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam penghidupan masyarakat sehari-hari.

Dalam lingkup budaya, dimensi fisik dari kearifan lokal meliputi aspek: upacara adat, cagar budaya, pariwisata alam, transportasi tradisional, permainan tradisional, prasarana budaya, pakaian adat, warisan budaya, museum, lembaga budaya, kesenian, desa budaya, kesenian dan kerajinan, cerita rakyat, dolanan anak, dan wayang. Sumber kearifan lokal yang lain dapat berupa lingkaran hidup orang Jawa yang meliputi: upacara tingkeban, upacara kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian. Kearifan lokal dapat digali dari suatu daerah tertentu. Dalam lingkup lingkup misalnya, kajian tentang kearifan lokal dapat dikaji dari filosofi nilai budaya kraton yang meliputi: tata ruang, arsitektur bangunan, simbol vegetasi, simbol dan makna upacara serta regalia, sengkalan, pemerintahan, konsepkekuasaan dan kepemimpinan.

15 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Berbagai macam local wisdom merupakan potensi pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal. Itulah sebabnya, dunia pendidikan perlu segera merancang, menentukan model yang paling tepat untuk melakukan penyemaian kearifan lokal. Kearifan lokal dapat menjadi corong pendidikan karakter yang humanis.

2.7 FUNGSI KEARIFAN LOKAL Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam http://www.balipos.co.id, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam maka fungsinya tentu saja juga bermacam-macam. Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi” yang antara lain memberikan informasi tentang fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu: Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya path upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan path pura Panji. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunallkerabat. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client.

Elly Burhainy Faizal (SP Daily) 31 Oktober 2003 dalam http://www.papuaindependent.com mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Beberapa contoh kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:  Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dan hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.  Serawai, , terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dan kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.

16 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

 Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‟ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.  Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat Mau mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.  Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.  Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig.

2.8 KEBUDAYAAN JAWA Kebudayaan Jawa merupakan cermin dari kehidupan masyarakat Jawa. Kearifan lokal bahasa merupakan bagian dari budaya Jawa yang beraneka ragam dan corak. Butir- butir kearifan lokal menjadi lahan yang subur untuk memperkaya khasanah budaya bangsa. Budaya Jawa merupakan salah satu bagian dari beragam kebudayaan dari suku suku yang ada di Indonesia. Budaya yang begitu beragam memberi kearifan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk memaknai dan mengembangkan budaya daerah sebagai kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya. Dalam budaya Jawa menjunjung tinggi arti sebuah kebenaran dan kebersamaan. Hakikat kebenaran lebih berorientasi pada olah rasa, olah cipta yang berorientasi pada rasa tunggal, satu rasa. Hakekat kebersamaan di landasi sikap sayuk rukun gotong royong demi tercapainya kesejahteraan bersama. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan dan owah gingsire jaman dipandang sebagai sesuatu keselarasan hidup yang bener dan pener.

Kebudayaan Indonesia yang bersifat plural dan heterogen dapat melahirkan kearifan lokal (local wisdom) yang dapat memperkuat dan memperkokoh khasanah budaya bangsa Indonesia. Apabila kita memahami kembali mengenai makna kebudayaan dapatlah dikatakan kebudayaan merupakan cermin masyarakat dan tidak bisa dilepaskan dari perilaku masyarakat pendukungnya. Sikap dan konfigurasi yang ada pada perilaku masyarakat tertentu dapat dipahami dengan cara memahami kearifan yang ada pada daerah tertentu. Oleh karenanya kita harus mampu memahami kebudayaan yang berasal dari berbagai masyarakat pendukungnya.

Pada dasarnya masyarakat mempunyai persepsi tertentu untuk dapat memahami kebudayaannya. Persepsi itu seperti berikut:

17 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

1. Mistis Persepsi mistis akan nampak apabila pengetahuan dan pandangan atas diri seseorang diliputi oleh suasana yang gaib, tidak rasional, dan mistis misalkan kepercayaan tentang raja raja Jawa yang bisa bertemu secara langsung dengan Ratu Rara Kidul, seorang ratu yang menguasai laut selatan yang terkenal dengan ombaknya yang ganas. 2. Ontologis Persepsi ontologis menyatakan bahwa ada jarak antara seseorang dengan dunia yang dihadapinya atau dunia yang dipahaminya. Pandangan ontologis bersifat realistis bersifat nyata, konkret. Bahwa segala sesuatu itu nyata ada, wujud, dan konkret. 3. Dan fungsional Persepsi fungsional menunjukkan adanya kesadaran manusia yang menganggap bahwa dunia nyata, dunia konkret, dunia realitas memiliki sifat atau nilai fungsinya dan dapat memberikan makna sesuai dengan fungsinya kepada manusia. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang kritis dan mendalam tentang budaya Jawa. Kebudayaan Jawa sebagai hasil cipta, karsa, karya sebagai fenomena dan realitas sosial yang melibatkan masyarakat pendukungnya untuk berperilaku dan bertindak sesuai dengan cermin budayanya.

2.9 KEARIFAN LOKAL BAGIAN BUDAYA JAWA Masyarakat Jawa mempunyai beberapa kearifan lokal yang merupakan pandangan hidup masyarakat Jawa yang sangat sarat dengan pengalaman religius. Pengalaman religius ini merupakan bentuk kepercayaan dan penghayatan kepada yang Maha Pencipta, Yang Maha Tunggal. Yang Maha Tunggal menjadikan spirit bagi manusia untuk selalu berbuat kebajikan, bersikap penuh kasih, dan menumbuhkan etos kerja yang tinggi. Masyarakat Jawa mempercayai dan meyakini bahwa pengalaman religius sebagai wahana untuk bersikap spiritual sehingga ada keharmonisan antara dunia dengan manusia. Masyarakat Jawa banyak melakukan laku batin untuk menciptakan kehidupan yang harmoni selaras dan seimbang dengan melakukan laku tertentu, seperti:  Berpuasa weton atau tiga hari apit weton  Puasa mutih  Puasa ngrowot  Puasa pati geni  Meditasi  Bersih desa.

18 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kearifan lokal sangat terkait dengan pandangan hidup masyarakat Jawa dan filsafat Jawa. Kearifan lokal merupakan pandangan hidup yang bersumber pada masyarakat pendukung kebudayaan Jawa atau kebudayaan tertentu. Di dalam kearifan lokal tersebut termuat berbagai sikap dan etika moralitas yang bersifat religius juga mengenai ajaran spiritualitas kehidupan manusia dengan alam semesta. Masyarakat Jawa mencari eksestensinya melalui hubungan yang selaras antara rohani dan jasmani. Melalui penyatuan yang harmoni antara rohani dan jasmani itu manusia mampu merealisasikan dirinya secara total dan menyeluruh, mampu menjaga etika dan norma yang berlaku di masyarakat, mampu mengendalikan diri dalam melawan hawa nafsu.

2.10 HERMENEUTIKA GEOMORFOLOGIS MENGENAI KEARIFAN LOKAL UNTUK ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP ANCAMAN BENCANA MARIN Pada UU RI No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pada pasal 1 dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan adaptasi adalah suatu proses untuk memperkuat atau membangun strategi antisipasi dampak perubahan iklim serta melaksanakannya, sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya. Jhamtani dkk. (2009) mengemukakan, bahwa adaptasi merupakan proses menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim yang sudah tidak dapat dicegah lagi, seperti permukaan laut akan naik, sehingga perlu membangun prasarana pemecah gelombang atau memindahkan permukiman penduduk ke tempat yang lebih tinggi.

Berdasarkan tujuannya, Nunn (2004) membedakan antara adaptasi dengan mitigasi. Jika adaptasi bertujuan untuk mengurangi akibat, maka mitigasi bertujuan mengurangi sebab. Isworo (2011) menyatakan, bahwa mitigasi perubahan iklim global merupakan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca untuk jangka panjang, namun bagi negara dengan kerentanan tinggi, Indonesia mestinya mendahulukan adaptasi. Wesnawa (2010) mengemukakan bahwa kearifan lokal biasanya dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Sesuai konsep tersebut, penelitian ini berhasil menemukenaliadanya kearifan lokal yang berupa semiotika kultural atau semiotika naratif, bahwa masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan kepesisiran dinyatakan dalam bentuk nasihat yang turun-temurun, yaitu “Manawa sira urip anèng gisik, sira kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali manèh yogané”. Nasihat turun-temurun dengan bahasa Jawa tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: “Seandainya engkau berkehidupan di pantai, engkau harus merelakan seandainya induknya meminta kembali anaknya”.

19 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Jika diperbandingkan antara nasihat yang berbahasa Jawa dengan yang berbahasa Indonesia secara transliterasi tanpa adanya penafsiran, maka dapat terjadi penyimpangan arti, karena tidak ada hubungan antara berkehidupan di pantai dengan induk yang meminta kembali anaknya. Oleh karena itu, diperlukan hermeneutika kebencanaan yang didasarkan pada keilmuan di bidang geomorfologi atau hermeneutika geomorfologis.

Dalam nasihat tersebut, yang dimaksud dengan induk dimaknai sebagai laut, sedangkan yang dimaksud dengan anak dimaknai sebagai gisik (beach). Ditinjau dari sudut pandang keilmuan bidang geomorfologi, gisik terbentuk oleh aktivitas laut (form of marine origin), yaitu gelombang, arus, dan pasang surut. Ketiga aktivitas laut tersebut secara terus-menerus mengendapkan material lepas (clastic) yang terangkut di dalamnya, sehingga terjadi deposisi di laut dangkal dengan kedalaman dasar laut sama dengan atau kurang dari setengah panjang gelombang (d d” ½L). Deposisi yang terus menerus pada zona tepi pantai (nearshore zone) ini mengakibatkan terbentuknya timbulan sedimen dasar laut atau gosong dekatpantai (nearshore bar).

Gosong dekat pantai ini masih belum muncul ke permukaan laut. Jika gosong tersebut telah muncul ke permukaan laut, maka akan membentuk pulau penghalang (barrier island). Pulau penghalang dikelilingi oleh endapan material lepas yang seringkali tergenang air laut ketika pasang atau kering ketika laut surut. Endapan material lepas itu dikenal sebagai gisik. Gisik adalah pantai yang terjadi dari material lepas, seperti pasir dan atau kerikil.

Menurut kearifan lokal yang berbentuk nasihat tersebut, bahwa gisik itu sifatnya tidak tetap atau belum stabil. Artinya, pada suatu saat gisik yang ada itu dapat hilang akibat material endapannya terbawa kembali ke laut. Oleh karena itu, nasihat tersebut sudah semestinya dimaknai bahwa manusia yang ingin hidup dan berkehidupan di zona pesisir dan pantai harus memahami kondisi alami wilayah kepesisiran yang selalu berubah. Bahkan lingkungan pesisir-pantai yang sudah dihuni masyarakat nelayan dapat terkikis oleh aktivitas laut, sehingga lingkungan hunian tersebut menjadi hilang atau rusak. Kondisi ini memang sesuai dengan konsep geomorfologi tentang ekuilibrium dinamik.

Kearifan lokal ini secara maknawi bersesuaian dengan siklus alami. Pada umumnya gisik itu mengelilingi pulau penghalang. Ditinjau dari sudut pandang etimologi, kata pulau merupakan hasil kontraksi dua kata, yaitu empu dan laut, artinya, yang mempunyai laut. Dengan demikian menurut etimologi, laut itu miliknya pulau atau pulau itu yang empunya laut. Jika diperbandingkan antara kearifan lokal dengan

20 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan konsep etimologi pulau tersebut, maka terdapat perbedaan maknawi yang hakiki. Nasihat untuk beradaptasi dengan lingkungan kepesisiran seperti yang berkembang di tengah masyarakat memiliki makna filsafati siklus alami yang mengarah ke ekuilibrium dinamik, sedangkan konsep etimologi pulau memiliki makna filsafati yang mengarah ke antroposentrisme.

Paham antroposentris memandang manusia sebagai pusat alam semesta, sehingga alam dengan segala isinya menjadi alat pemenuhan kebutuhan manusia. Manusia mamandang dirinya bukan sebagai bagian dari alam, kedudukan manusia ada di luar alam, sehingga manusia memandang dirinya sebagai penguasa alam. Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku yang eksploitatif dan tidak peduli kepada alam, sehingga tidak ada kesadaran, kewajiban, dan tanggung jawab pada diri manusia untuk memelihara dan menjaga alam. Menurut Keraf (2010), paham antroposentris tersebut pada dasarnya berakar pada filsafat Barat yang bermula dari Aristiteles hingga filsuf-filsuf modern sekarang ini.

2.11 KEARIFAN LOKAL DI LINGKUNGAN MASYARAKAT JAWA SEBAGAI BAGIAN DARI PELESTARIAN LINGKUNGAN Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupanbermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma- norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma- norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal.

Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berbunyi Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sedangkan sumberdaya alammerupakan sumberdaya yang mencakup sumberdaya alam hayati maupun non hayati dan sumberdaya buatan.

Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan demikian memerlukan pengelolaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan

21 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan daya tampung lingkungan hidup sehingga dapat meningkatkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri.

Sebagaimana dipahami, dalam beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukimannya.

Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Jika kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pendekatan kebudayaan ini, penguatan modal sosial, seperti pranata sosial budaya, kearifan lokal, dan norma- norma yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup penting menjadi basis yang utama.

Seperti kita ketahui adanya krisis ekonomi dewasa ini, masyarakat yang hidup dengan menggantungkan alam dan mampu menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki dan dilakukan tidak begitu merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun tidak merasa terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern. Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya.

22 | B A B 2

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

3.1 KONDISI UMUM 3.1.1 Kondisi geografis Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi. Dalam satu karesidenan terdiri dari beberapa kabupaten/kota. Meskipun sekarang ini pembagian administratif berdasarkan karesidenan sudah tidak digunakan lagi, namun untuk hal-hal tertentu dan atau untuk memudahkan administrasi biasanya masih menggunakan wilayah eks karesidenan, misalnya saja untuk pembagian kode kendaraan bermotor.

Karesidenan Pekalongan atau bekas Karesidenan Pekalongan yaitu wilayah administratif pemerintahan zaman Hindia-Belanda yang meliputi 6 daerah administratif kabupaten:  Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan  Kabupaten Tegal dan Kota Tegal  Kabupaten Brebes  Kabupaten Pemalang  Kabupaten Batang

Karesidenan Pekalongan berbatasan dengan beberapa daerah, yaitu:  Sebelah utara: Laut Jawa . Sebelah selatan: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga  Sebelah timur: Jawa Barat  Sebelah Barat: Kabupaten Kendal

1 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Gambar 3.1 Wilayah Administrasi Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Brebes merupakan wilayah yang paling luas di Karesidenan Pekalongan (1.657,73 km2), diikuti Kabupaten Pemalang (1.011,90 km2). Kota Pekalongan memiliki wilayah paling kecil di Karesidenan Pekalongan (44,96 km2). Tabel 3.1 Luas wilayah Kabupaten/Kota di Eks Karesidenan Semarang No Kabupaten/Kota Luas Daerah (km2) 1 Kabupaten Batang 788,95 2 Kabupaten Pekalongan 836,13 3 Kabupaten Pemalang 1.011,90 4 Kabupaten Tegal 879,70 5 Kabupaten Brebes 1.657,73 6 Kota Pekalongan 44,96 Total 5219.37 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, 2013

3.1.2 Kondisi kependudukan Kabupaten Brebes memiliki jumlah penduduk paling tinggi (1.770.480 jiwa), diikuti Kabupaten Tegal (1.421.001 jiwa). Kota Pekalongan merupakan daerah yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit (290.347 jiwa) namun memiliki kepadatan penduduk yang paling tinggi (6.458 jiwa/km2). Kabupaten Batang memiliki kepadatan penduduk paling kecil (923 jiwa/km2).

2 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Luas Daerah Jumlah Kepadatan No Kabupaten/Kota (km2) penduduk penduduk 1 Kabupaten Batang 788,95 728.578 923 2 Kabupaten Pekalongan 836,13 861.366 1030 3 Kabupaten Pemalang 1.011,90 1.285.024 1270 4 Kabupaten Tegal 879,70 1.421.001 1615 5 Kabupaten Brebes 1.657,73 1.770.480 1068 6 Kota Pekalongan 44,96 290.347 6458 Total 5219.37 6.356.796 1218 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, 2013

3.1.3 Kondisi ekonomi A. Kabupaten Tegal Di Kabupaten Tegal banyak sekali industri rumah tangga, di antaranya pengecoran dan pengerjaan logam di daerah Talang dan Adiwerna, tekstile (konveksi & tenun tradisional), shuttlecock di daerah Dukuhturi, furniture, dan gerabah. Selain itu warga Kabupaten Tegal banyak juga yang berusaha di sektor pertanian (padi, palawija, bawang, cabe, dan tebu) dan perkebunan terutama di Tegal bagian selatan. Khusus untuk perkebunan banyak dilakukan masyarakat Kecamatan Bumijawa dan Bojong. Di sektor kelautan dan perikanan, nelayan Tegal yang kebanyakan dari mereka adalah warga Kecamatan Suradadi mencari ikan di Laut Jawa sampai ke Laut Tiongkok Selatan (kepulauan Riau). Hasilnya tangkapan mereka jual ke pelabuhan perikanan (pelelangan ikan) , , Pekalongan dan Tegal sendiri. Ada juga pabrik industri bahan baku kapur tulis dan bubuk di daerah Margasari sebagai pemasok utama bubuk di Kabupaten Tegal.

Masyarakat Kabupaten Tegal (khususnya daerah pesisir) juga banyak yang membuka usaha tambak ikan bandeng dan udang windu. Mereka juga menjual nener/benur (bibit ikan bandeng). Di sektor peternakan, masyarakat Tegal banyak mengusahakan peternakan ayam (pedaging & petelur), Itik Tegal (Indian Runner) untuk suplai industri telur asin di Brebes. Ternak kambing, sapi dan kerbau banyak diusahakan secara tradisional oleh masyarakat pedesaan di Tegal.

Masyarakat Kabupaten Tegal banyak yang merantau ke kota kota lain di pulau Jawa terutama Jakarta dan pulau pulau lainnya. Warga Tegal lebih suka menjadi wira swasta, sebagian besar membuka usaha Tegal (warteg) mereka tergabung dalam Kowarteg (Koperasi Warung Tegal), penjual martabak telor (biasanya warga kecamatan Lebaksiu), dan lain-lain. Setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri warga Tegal mudik dari kota kota yang menjadi tempat usahanya, mereka akan membawa uang hasil usaha dan kerja selama di perantauan. Selama masa masa mudik itulah ekonomi

3 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Tegal menjadi lebih semarak perputaran uangnya, ekonomi menjadi lebih dinamis.

B. Kabupaten Brebes  Pertanian dan perkebunan Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trade mark mengingat posisinya sebagai penghasil terbesar komoditi tersebut di tataran nasional. Pusat bawang merah tersebar di 11 kecamatan (dari 17 kecamatan) dengan luas panen per tahun 20.000 - 25.000 hektare. sentra bawang merah tersebar di Kecamatan Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tonjong, Losari, Kersana, Ketanggungan, Larangan, Songgom, Jatibarang, dan sebagian Banjarharjo.

Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan di Brebes. Dari sekitar 1,7 juta penduduk Brebes, sekitar 70 persen bekerja pada sektor pertanian. Sektor ini menyumbang 53 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Brebes, yang 50 persen dari pertanian bawang merah. Budidaya bawang merah diperkirakan mulai berkembang di Brebes sekitar tahun 1950, diperkenalkan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Brebes. Hingga kini budidaya bawang merah menjadi napas kehidupan masyarakat.

Berbagai varietas bawang unggulan juga dihasilkan dari Brebes, antara lain varietas Bima Brebes yang berwarna merah menyala, rasa lebih pedas, dan lebih keras dibandingkan bawang dari luar daerah atau luar negeri. Saat ini, sekitar 23 persen pasokan bawang merah nasional berasal dari Brebes. Sementara untuk wilayah Jawa Tengah, Brebes memasok sekitar 75 persen kebutuhan bawang merah.

Di sektor pertanian sebagai sektor dominan, Kabupaten Brebes tidak hanya menghasilkan bawang merah, namun terdapat komoditas lain. Berbagai komoditas lain yang memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan bagi para investor baik yang berasal dari dalam maupun dari luar Kabupaten Brebes antara lain: kentang granula, cabe merah dan pisang raja, bawang daun dan kubis. Tanaman perkebunan yang berkembang antara lain : nilam, tebu, teh, cengkeh, kapas, kapulaga, mlinjo dan kopi jenis robusta. Produk buah - buahan yang cukup signifikan antara lain ; mangga, semangka dan rambutan.

 Peternakan Di luar sektor pertanian dan perkebunan, Kabupaten Brebes juga mempunyai potensi hijauan makanan ternak yang melimpah dan tersebar hampir di setiap kecamatan. Kondisi itu menjadikan kabupaten ini berkembang berbagai usaha peternakan baik jenis ternak besar maupun kecil antara lain; ternak sapi (jenis lokal sapi jabres), kerbau, domba, kelinci rex, ayam petelur, ayam kampung, ayam potong dan itik. Telur hasil

4 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

ternak itik diolah oleh masyarakat setempat menjadi produk telur asin yang popularitas atas kualitasnya sangat dikenal dan tidak diragukan. Banyak yang menyebut Brebes adalah Kota Telur Asin.  Kehutanan Di sektor kehutanan yang tersebar diwilayah bagian selatan, komoditas yang menjadi unggulan yaitu jati, pinus, mahoni dan sonokeling yang produksinya cukup mengalami peningkatan.

 Pertambangan dan bahan galian Kabupaten Brebes memiliki beberapa potensi sumber daya mineral yang potensial untuk dieksploitasi, meliputi batu kapur, trass, batu splite, dan batu bata, serta potensi sumber minyak bumi dan panas bumi.

 Cadangan batu bara muda Di wilayah Kabupaten Brebes bagian selatan, ditemukan potensi cadangan batu bara muda di desa Bentarsari sebanyak 24,24 juta ton dengan kandungan minyak mencapai 5,30 liter per ton berdasarkan temuan Kementerian ESDM pada tahun 2008. Kandungan batu bara muda ini baru dapat dimanfaatkan sekitara 50 sampai 100 tahun ke depan karena menunggu proses pelapukan dan pengkristalan

 Perikanan Sebagai salah satu daerah yang terletak dalam wilayah pantai utara Pulau Jawa, Kabupaten Brebes mempunyai 5 wilayah kecamatan yang cocok untuk mengembangkan produksi perikanan yakni Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tanjung dan Losari. Hasil produksi perikanan yang menonjol meliputi; bandeng, udang windu, kepiting, rajungan, teri nasi, mujair dan berbagai jenis ikan laut yang lain. Hasil produk perikanan ini oleh masyarakat setempat telah dikembangkan usaha pembuatan Bandeng Presto Duri Lunak dan Terasi.

 Industri Sektor industri merupakan salah satu sektor penting dalam membantu laju perekonomian, oleh sebab itu keberadaan industri sebagai salah satu pilar perekonomian di Kabupaten Brebes telah memberi pengaruh dalam perekonomian daerah, meskipun secara demografi mata pencaharian sebagaian besar penduduk adalah sebagai petani.Kegiatan Industri di Kabupaten Brebes dibagi menjadi beberapa kelompok dan cabang yaitu kelompok industri formal cabang agro, kelompok indutri formal cabang tekstil dan kelompok indutri formal cabang logam, mesin dan elektronik.Industri yang ada di Kabupaten Brebes meliputi industri besar, industri sedang, industri kecil dan industri rumah tangga.

5 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kelompok industri besar merupakan industri formal agro (pabrik teh, pabrik jamur, pabrik gula dan gondorukem).Kelompok industri kecil yang ada di Kabupaten Brebes meliputi industri kecil formal dan non formal. Kelompok industri kecil formal terdiri dari cabang industri agro; elektronika dan aneka; mesin, logam, dan perekayasaan. Sedangkan kelompok industri non formal meliputi industri kimia, agro dan hasil hutan serta elektronika dan aneka.

Kelompok industri kecil yang ada di Kabupaten Brebes meliputi industri kecil formal dan non formal. Kelompok industri kecil formal terdiri dari cabang industri agro; elektronika dan aneka; mesin, logam, dan perekayasaan. Sedangkan kelompok industri non formal meliputi industri kimia, agro dan hasil hutan serta elektronika dan aneka.

Sektor industri yang potensial untuk dikembangkan adalah industri garam iodium diwilayah Kecamtan Wanasari dan Bulakamba, Industri garam curah dengan sentra produksi di wilayah kecamatan Losari, Tanjung, Wanasari dan Brebes, dan industri pengolahan bawang merah

C. Kabupaten Batang Posisi wilayah Kabupaten Batang berada pada jalur ekonomi pulau Jawa sebelah utara. Arus transportasi dan mobilitas yang tinggi di jalur pantura memungkinkan berkembangnya kawasan tersebut yang cukup prospektif di sektor jasa transit dan transportasi.

Kondisi wilayah Kabupaten Batang yang merupakan kombinasi antara daerah pantai, dataran rendah dan pegunungan, menjadikan Kabupaten Batang berpotensi yang sangat besar untuk agroindustri, agrowisata dan agribisnis

Terdapat banyak industri tekstil di wilayah Kabupaten Batang, dari skala rumah tangga sampai industri berorientasi ekspor, antara lain PT Primatex dan PT Saritex. Wilayah Kabupaten Batang sangat strategis dari sisi ekonomi, karena dilewati oleh jalur perdagangan nasional, jalan pantura. Wilayahnya yang memiliki garis pantai yang terhitung panjang berpotensi untuk dikembangkan menjadi pelabuhan perikanan maupun pelabuhan kargo untuk barang-barang hasil produksi industri setempat.

Rencana Pemerintah Pusat untuk membangun jaringan transmisi gas bumi dari Cirebon, Jawa Barat ke Gresik, Jawa Timur memiliki potensi tumbuhnya industri besar disepanjang jalur pipa gas tersebut. Pasokan listrik di wilayah Batang juga dapat diandalkan, karena dilewati oleh jaringan SUTET milik PT PLN (persero). Di beberapa wilayah juga memiliki potensi energi hidro yang dapat dikembangkan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).

6 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Wilayah Batang yang sangat luas, dengan sejarah bencana geologi yang hampir tidak ada, ditunjang sumber daya manusia yang melimpah akan menguntungkan bagi investor yang hendak membangun industri di wilayah ini.

D. Kabupaten Pemalang Kabupaten Pemalang memiliki beberapa industri rumah tangga, antara lain:  Sapu glagah dari Majalangu  Kerajinan kulit ular di Comal  ATBM di Wanarejan  Konveksi di Ulujami  Bagregan asli Kubang

E. Kabupaten Pekalongan Pekalongan telah lama dikenal sebagai kota , dan salah satu pusat produksi batik berada di Kecamatan Buaran dan Wiradesa. Beberapa nama produsen batik yang cukup dikenal diantaranya Batik Humas (singkatan dari Husein Mohammad Assegaff). Sedangkan pabrik sarung (kain palekat) terkenal di Pekalongan antara lain Gajah Duduk dan WadiMoor.

F. Kota Pekalongan Kota Pekalongan memiliki beberapa industri, antara lain:  Galangan kapal kayu  Galangan kapal fiberglass,  Pabrik Es Balok,  Industri Ikan Asin  Industri Pemindangan ikan,  Pabrik pengalengan ikan Maya Food,  Industri Kecil pembuatan terasi,  Pabrik pembuatan fillet ikan,  Industri kerajinan batik,  Industri pembuatan mebel rotan dan Bambu.  Industri Kecil makanan ringan  Pabrik Rokok Sigaret Kretek Tangan  Pabrik Teh

Tabel 3.3 Realisasi Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota di Karesidenan Pekalongan 2010-2012 (ribu rupiah) No Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 1 Kabupaten Batang 644.772.561 794.415.329 933.943.657 2 Kabupaten Pekalongan 749.729.369 924.083.696 1.114.533.219

7 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

No Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 3 Kabupaten Pemalang 969.382.167 1,188.521.216 1.344.382.614 4 Kabupaten Tegal 946.105.335 1.204.377.844 1.354.747.859 5 Kabupaten Brebes 1.103.002.988 1.315.176.063 1.567.078.034 6 Kota Pekalongan 417.191.612 509.929.024 614.166.700 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, 2013

Kabupaten Brebes memiliki nilai penerimaan daerah paling tinggi (Rp 1.567.078.034 ribu), diikuti Kabupaten Tegal (Rp 1.354.747.859 ribu). Kota Pekalongan memiliki nilai penerimaan daerah paling sedikit (Rp 614.166.700 ribu). Tabel 3.4 PAD Kabupaten/Kota di Eks Karesidenan Pekalongan 2010-2012 (ribu rupiah) No Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 1 Kabupaten Batang 45.421.962 60.155.029 84.720.050 2 Kabupaten Pekalongan 67.580.239 82.105.270 114.793.366 3 Kabupaten Pemalang 71.725.736 79.677.543 97.951.208 4 Kabupaten Tegal 73.061.018 90.133.274 118.741.620 5 Kabupaten Brebes 71.025.305 78.275.852 101.806.858 6 Kota Pekalongan 47.495.707 63.344.978 91.205.786 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, 2013

Kabupaten Tegal memiliki nilai PAD paling tinggi (Rp 118.741.620 ribu), diikuti Kabupaten Pekalongan (Rp 114.793.366 ribu). Kota Pekalongan memiliki nilai PAD paling sedikit (Rp 91.205.786 ribu). Tabel 3.5 PDRB menurut harga berlaku Kabupaten/Kota di Eks Karesidenan Pekalongan 2010-2012 (juta rupiah) No Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 1 Kabupaten Batang 5.268.575,82 5.865.055,45 6.198.351,81 2 Kabupaten Pekalongan 7.230.832,36 8.033.444,43 8.934.754,25 3 Kabupaten Pemalang 7.961.378,41 8.859.721,50 9.771.666,56 4 Kabupaten Tegal 7.936.028,74 8.798.459,34 9.802.454,71 5 Kabupaten Brebes 14.629.929,68 16.426.881,40 18.026.804,50 6 Kota Pekalongan 3.803.990,64 2.846.975,05 3.081.836,46 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, 2013

Kabupaten Brebes memiliki nilai PDRB paling tinggi (Rp 18.026.804,50 juta),diikuti Kabupaten Tegal (Rp 9.802.454,71juta). Kota Pekalongan memiliki nilai PDRB paling sedikit (Rp 3.081.836,46 juta).

8 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

3.2 SEJARAH TERBENTUKNYA WILAYAH EKS KARESIDENAN PEKALONGAN Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah provinsi. Dalam satu karesidenan terdiri dari beberapa kapupaten/kota. Meskipun sekarang ini pembagian administratif berdasarkan karesidenan sudah tidak digunakan lagi, namun untuk hal-hal tertentu dan atau untuk memudahkan administrasi biasanya masih menggunakan wilayah eks karesidenan, misalnya saja untuk pembagian kode kendaraan bermotor.

Untuk Provinsi Jawa Tengah terdapat 6 wilayah eks karesidenan, yaitu: 1. Eks Karesidenan Banyumas, yang meliputi: Banyumas Banjarnegara Cilacap Purbalingga 2. Eks Karesidenan Kedu, yang meliputi: Purworejo Temanggung Wonosobo Kebumen Kab. Magelang Kota Magelang 3. Eks Karesidenan Pati, yang meliputi: Pati Kudus Jepara Blora Rembang 4. Eks Karesidenan Pekalongan, yang meliputi: Kab. Pekalongan Kota Pekalongan Batang Kab. Tegal Kota Tegal Brebes Pemalang 5. Eks Karesidenan Semarang, yang meliputi: Kota Semarang Kab. Semarang Kota Kendal

9 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Demak Grobogan 6. Eks Karesidenan Surakarta, yang meliputi: Klaten Boyolali Wonogiri Sukoharjo Sragen Kota Surakarta Karanganyar

A. Sejarah Kabupaten dan Kota Pekalongan Banyak sumber mengatakan bahwa Pekalongan mulai dikenal setelah Bahurekso bersama anak buahnya berhasil membuka Hutan Gambiran/Gambaran, atau dikenal pula Muara Gambaran. Hal ini terjadi setelah Bahurekso gagal didalam penyerangan ke Batavia, bersama anak buahnya kembali ke Pantai Utara Jawa Tengah, namun secara sembunyi-sembunyi, sebab kalau diketahui oleh Pemerintah Sultan Agung pasti ditangkap dan dihukum mati. Sehingga terus melakukan yang disebut TAPA- NGALONG. Dari sinilah muncul prediksi-prediksi berkaitan dengan istilah PEKALONGAN.

Menurut penuturan R. Basuki (Putra Almarhum R. Soenarjo keturunan Bupati Mandurorejo) ; nama Pekalongan berasal dari istilah setempat HALONG - ALONG yang artinya hasil. Jadi Pekalongan disebut juga dengan nama PENGANGSALAN yang artinya pembawa keberuntungan. Sehingga prediksi Topo Ngalong itu hanya gambaran/sanepo yang mempunyai maksud siang hari sembunyi, malam hari keluar untuk mencari nafkah.

Keberadaan Kabupaten Pekalongan secara administratif berdiri sejak 3812 tahun yang lalu. Menurut Tiem Peneliti Sejarah Kabupaten Pekalongan muncul lima prakiraan tentang kapan Kabupaten Pekalongan itu lahir,yaitu: masa prasejarah, masa Kerajaan Demak, masa Kerajaan Islam , masa Penjajahan Hindia Belanda dan masa Pemerintahan Republik Indonesia. Hari Jadi Kabupaten Pekalongan telah ditetapkan pada Hari Kamis Legi Tanggal 25 Agustus 1622 atau pada 12 Robiu'l Awal 1042 H pada masa pemerintahan Kyai Mandoeraredja, beliau merupakan Bupati yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo/ Raja Mataram Islam dan sekaligus sebagai Bupati Pekalongan I. Pembangunan Kabupaten Pekalongan sudah dilakukan sejak zaman Pemerintahan Adipati Notodirdjo (1879 -1920 M) di komplek Alun-alun utara no 1 Kota Pekalongan, bangunan tersebut merupakan rumah bagi para Bupati Pekalongan sekaligus sebagai tempat aktivitas perangkat pemerintahan.

10 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Proses pemindahan Ibukota Kabupaten Pekalongan diawali dengan peresmian sekaligus penggunaan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Pekalongan di Kajen oleh Bupati Drs. H Amat Antono pada tanggal 25 Agustus 2001, kepindahan itu merupakan salah satu tonggak sejarah sebagai momen diawalinya Kajen sebagai Ibukota Kabupaten Pekalongan.

B. Sejarah Kabupaten Tegal Tegal berasal dari nama Tetegal, tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian (Depdikbud Kabupaten Tegal, 1984). Sumber lain menyatakan, nama Tegal dipercaya berasal dari kata Teteguall. Sebutan yang diberikan seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pires yang singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500–an (Suputro, 1955). Kabupaten Tegal berdiri pada tanggal 18 Mei 1601 pada saat Ki Gede Sebayu diangkat sebagai juru demung di Tegal oleh Sultan Mataram dan mulai membangun daerah ini.

C. Sejarah Kabupaten Brebes Ada beberapa pendapat mengenai asal - usul nama Brebes yang di antaranya berasal dari kata di antaranya Brebes berasal dari kata "Bara" dan "Basah", bara berarti hamparan tanah luas dan basah berarti banyak mengandung air. Keduanya cocok dengan keadaan daerah Brebes yang merupakan dataran luas yang berair.Karena perkataan bara di ucapkan bere sedangkan basah di ucapkan besah maka untuk mudahnya di ucapkan Brebes. Dalam Bahasa Jawa perkataan Brebes atau mrebes berarti tansah metu banyune yang berarti selalu keluar airnya.

Nama Brebes muncul sejak zaman Mataram. Kota ini berderet dengan kota-kota tepi pantai lainnya seperti Pekalongan, Pemalang, dan Tegal. Brebes pada saat itu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tegal.

Pada tanggal 17 Januari 1678 di Jepara diadakan pertemuan Adipati Kerajaan Mataram se Jawa Tengah, termasuk Arya Martalaya, Adipati Tegal dan Arya Martapura, Adipati Jepara. Karena tidak setuju dengan acara penandatanganan naskah kerjasama antara Amangkurat Admiral dengan Belanda terutama dalam menumpas pemberontakan Trunajaya dengan imbalan tanah-tanah milik Kerajaan Mataram, maka terjadi perang tanding antara kedua adipati tersebut. Peristiwa berdarah ini merupakan awal mula terjadinya Kabupaten Brebes dengan Bupati berwenang .Sehari setelah peristiwa berdarah tersebut yaitu tanggal 18 Januari 1678, Sri Amangkurat II yang berada di Jepara mengangkat beberapa Adipati/ Bupati sebagai pengagganti Adipati-adipati yang gugur. Untuk kabupaten Brebes di jadikan kabupaten mandiri dengan adipati Arya Suralaya yang merupakan adik dari Arya Martalaya. Pengangkatan Arya Suralaya sekaligus titimangsa pemecahan Kadipaten Tegal

11 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

menjadi dua bagian yaitu Timur tetap di sebut Kadipaten Tegal dan bagian barat di sebut Kabupaten Brebes.

D. Sejarah Kabupaten Pemalang Keberadaan Pemalang dapat dibuktikan berdasarkan berbagai temuan arkeologis pada masa prasejarah. Temuan itu berupa punden berundak dan pemandian di sebelah Barat Daya Kecamatan Moga. Patung Ganesha yang unik, lingga, kuburan dan batu nisan di desa Keropak. Selain itu bukti arkeologis yang menunjukkan adanya unsur- unsur kebudayaan Islam juga dapat dihubungkan seperti adanya kuburan Syeikh Maulana Maghribi di Kawedanan Comal. Kemudian adanya kuburan Rohidin, Sayyid Ngali paman dari Sunan Ampel yang juga memiliki misi untuk mengislamkan penduduk setempat.

Eksistensi Pemalang pada abad XVI dapat dihubungkan dengan catatan Rijkloff van Goens dan data di dalam buku W. Fruin Mees yang menyatakan bahwa pada tahun 1575 Pemalang merupakan salah satu dari 14 daerah merdeka di Pulau Jawa, yang dipimpin oleh seorang pangeran atau raja. Dalam perkembangan kemudian, Panembahan Senopati dan Panembahan Seda Krapyak dari Mataram menaklukkan daerah-daerah tersebut, termasuk di dalamnya Pemalang. Sejak saat itu Pemalang menjadi daerah vasal Mataram yang diperintah oleh Pangeran atau Raja Vasal.

Pemalang dan Kendal pada masa sebelum abad XVII merupakan daerah yang lebih penting dibandingkan dengan Tegal, Pekalongan dan Semarang. Karena itu jalan raya yang menghubungkan daerah pantai utara dengan daerah pedalaman Jawa Tengah (Mataram) yang melintasi Pemalang dan Wiradesa dianggap sebagai jalan paling tua yang menghubungkan dua kawasan tersebut.

Populasi penduduk sebagai pemukiman di pedesaan yang telah teratur muncul pada periode abad awal Masehi hingga abad XIV dan XV, dan kemudian berkembang pesat pada abad XVI, yaitu pada masa meningkatnya perkembangan Islam di Jawa di bawah Kerajaan Demak, Cirebon dan kemudian Mataram.

Pada masa itu Pemalang telah berhasil membentuk pemerintahan tradisional pada sekitar tahun 1575. Tokoh yang asal mulanya dari Pajang bernama Pangeran Benawa. Pangeran ini asal mulanya adalah Raja Jipang yang menggantikan ayahnya yang telah mangkat yaitu Sultan Adiwijaya.

Kedudukan raja ini didahului dengan suatu perseturuan sengit antara dirinya dan Aria Pangiri. Sayang sekali Pangeran Benawa hanya dapat memerintah selama satu tahun. Pangeran Benawa meninggal dunia dan berdasarkan kepercayaan penduduk

12 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

setempat menyatakan bahwa Pangeran Benawa meninggal di Pemalang, dan dimakamkan di Desa Penggarit (sekarang Taman Makam Pahlawan Penggarit).

Pemalang menjadi kesatuan wilayah administratif yang mantap sejak R. Mangoneng, Pangonen atau Mangunoneng menjadi penguasa wilayah Pemalang yang berpusat di sekitar Dukuh Oneng, Desa Bojongbata pada sekitar tahun 1622. Pada masa ini Pemalang merupakan apanage dari Pangeran Purbaya dari Mataram. Menurut beberapa sumber R Mangoneng merupakan tokoh pimpinan daerah yang ikut mendukung kebijakan Sultan Agung. Seorang tokoh yang sangat anti VOC. Dengan demikian Mangoneng dapat dipandang sebagai seorang pemimpin, prajurit, pejuang dan pahlawan bangsa dalam melawan penjajahan Belanda pada abad XVII yaitu perjuangan melawan Belanda di bawah panji-panji Sultan Agung dari Mataram.

Pada sekitar tahun 1652, Sunan Amangkurat II mengangkat Ingabehi Subajaya menjadi Bupati Pemalang setelah Amangkurat II memantapkan tahta pemerintahan di Mataram setelah pemberontakan Trunajaya dapat dipadamkan dengan bantuan VOC pada tahun 1678.

Pusat Kabupaten Pemalang yang pertama terdapat di Desa Oneng. Walaupun tidak ada sisa peninggalan dari Kabupaten ini namun masih ditemukan petunjuk lain. Petunjuk itu berupa sebuah dukuh yang bernama Oneng yang masih bisa ditemukan sekarang ini di Desa Bojongbata. Sedangkan Pusat Kabupaten Pemalang yang kedua dipastikan berada di Ketandan. Sisa-sisa bangunannya masih bisa dilihat sampai sekarang yaitu disekitar Klinik Ketandan (Dinas Kesehatan). Pusat Kabupaten yang ketiga adalah kabupaten yang sekarang ini (Kabupaten Pemalang dekat Alun-alun Kota Pemalang). Kabupaten yang sekarang ini juga merupakan sisa dari bangunan yang didirikan oleh Kolonial Belanda. Yang selanjutnya mengalami beberapa kali rehab dan renovasi bangunan hingga kebentuk bangunan joglo sebagai ciri khas bangunan di Jawa Tengah.

E. Sejarah Kabupaten Batang Batang berasal dari kata “ Ngembat Watang “ yang berarti mengangkat batag kayu.hal ini di ambil dari peristiwa kepahlawanan Ki Ageng Bhahurekso, yang dianggap sebagai cikal bakal Batang. Ki Ageng Bhahurekso adalah anak dari Ki Ageng Cempaluk dari Kesesi (Sebelah Selatan kota Pekalongan, sekarang telah menjadi daerah Kecamatan Kesesi sebagian dari Kabupaten Pekalongan). Adapun legendanya diceritakan sebagai berikut :

Konon pada waktu kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumomempersiapkan daerah-daerah pertanian untuk mencukupi persediaan beras bagi para prajurit Mataram yang akan mengadakan penyerangan

13 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

terhadap VOC di Batavia ( sekarang Jakarta ). Bhahurekso mendapat tugas dari Sultan Agung untuk membuka alas roban untuk dijadikan daerah persawahan. Hambatan dalam melaksanakantugas ternayata cukup banyak. Para pekerja penebang kayu banyak yang sakit dan mati, karena konon diganggu oleh jin, setan, peri kayangan atau silumanpenjaga alas roban. Mahluk – mahluk halus ini dipimpin oleh raja siluman yang bernama Dadang awuk.

Mengenai alas roban, dari beberapa sumber mengatakan, Roban dahulu merupakan hutan alami yang menyeramkan, sehingga dianggap angker dan penuh misteri. Hutan ini dianggap tempat bermukimnya jin, setan, gondoruwo, bahkan raksasa serta orang- orang sesat. Dalam dunia pewayangan, alas roban digambarkan sebagai tempat bermukimnya raksasa Sindumaya, dimana petruk memperoleh bantuan darinya untuk suatu maksud. Bahkan menurut buku Serat Kidungan : Jangkop Babon Asli Keraton Surakarta, disebutkan bahwa di alas roban terdapat penguasa “Bagus Karang” sebagai mahluk lelembut yang sangat menyeramkan.

Berkat kesaktian Bhahurekso, atas gemblengan kanuragan dari ayahandanya Ki Ageng Cempaluk, akhirnya raja-raja siluman itu dapat dikalahkan dan berakhirlah gangguan- gangguan tersebut walaupun dengan satu syarat bahwa raja-raja siluman itu harus mendapat bagian dari hasil panen daerah tersebut.

Kemudian Alas Roban sebelah Barat dapat ditebang seluruhnya. Tugasnya kini tinggal mengusakan pengairan atas lahan yang telah di bukanya itu. Tetapi untuk pelaksanaan sisa pekerjaan inipun tidak luput dari gangguan maupun halangan- halangan dari raja-raja siluman lain.

Gangguan utama adalah dari raja siluman Uling yang bernama Kolo Drubikso. Bendungan yang telah selesai di buat untuk menaikkan air sungai lojahan, yang sekarang bernama Sungai Kramat itu selalu jebol, karena di rusak oleh anak buah Raja Uling. Mengetahui hal itu Bhahurekso langsung turun tangan, semua anak buah raja Uling yang bermarkas di sebuah kedung sungai di serangnya. Korban berjatuhan di pihak Uling, merahnya semburan-semburan darah membuat air di kedung menjadi merah darah kehitaman “gowok”, maka kedung itu dinamakan Kedung Sigawok. Raja Uling marah melihat semua anak buahnya binasa. Dengan pedang swedang tersebut, Bhahurekso dapat dikalahkan. Siasat segera dilakukan, atas nasihat ayahandanya Ki Ageng Cempaluk, Bhahurekso di suruh masuk ke Kaputren kerajaan Uling, untuk merayu adik sang raja yang bernama Drubiksowati, seorang putri siluman yang cantik. Rayuan Bhahurekso berhasil, Drubiksowati mau menceritakan pedang pusaka milik kakaknya itu, dan diserahkan kepadanya. Dengan pedang Swedang ditangan, dengan mudah raja Uling di kalahkan, dengan demikian maka gangguan terhadap bendungan sudah tidak pernah terjadi lagi.

14 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Ternyata air di bendungan itu selalu lancar alirannya, kadang-kadang besar, kadang- kadang kecil, bahkan tidak mengalir sama sekali. Setelah di selidiki ternyata ada batang kayu (watang) besar, yang melintang menghalangi aliran air. Berpuluh – puluh orang disuruh mengangkat memindahkan watang tersebut, tetapi sama sekali tidak berhasil. Akhirnya Bhahurekso turun tangan sendiri. Setelah berdo’a, memusatkan kekuatan dan kesaktiannya, watang yang besar itu dengan mudah dapat diangkat dengan sekali embat patahlah watang itu.

Demikianlah dari peristiwa Ngembat Watang itu terjadilah nama BATANG dari kata Ngem – Bat Watang ( Batang ). Orang Batang sendiri dengan dialeknya menyebut “Mbatang”. Melihat uraian dari sumber lisan atau legenda tersebut, kita dapat memperkirakan sejak kapan nama Batang itu terjadi. Persiapan Mataram untuk menyerang Batavia adalah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo tahun 1613 s/d 1645. Penyerangan pertama ke Batavia pada tahun 1628. Ambilah persiapan sedini-dininya, yaitu awal permulaan Sultan Agung, maka itu terjadi pada tahun 1613.

3.3 RENCANA TATA RUANG WILAYAH KARESIDENAN PEKALONGAN 3.3.1 Sistem Perkotaan Sistem perkotaan, fungsi pelayanan dan lokasi pelayanan di masing-masing kabupaten/kota Karesidenan Pekalongan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.6 Sistem perkotaan Kabupaten/Kota di Karesidenan Pekalongan Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan 1 Kabupaten PKL . Sebagai pusat . Sebagian Kecamatan Batang pemerintahan Kabupaten Kandeman dan Batang, perekonomian Kecamatan (perdagangan dan jasa), Warungasem dengan transportasi, dan pusat di Ibukota permukiman. Batang. . Skala pelayanan melayani tingkat kabupaten. PKLp . Fungsi sebagai . Kawasan perkotaan . pusat pemerintahan Bandar dan Kawasan (skala lokal), Perkotaan Limpung perekonomian (perdagangan dan jasa), transportasi, dan permukiman. Skala pelayanan melayani tingkat kabupaten terutama wilayah Batang

15 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan bagian selatan (pemerataan kutub pertumbuhan wilayah). PPK . Fungsi pelayanan . kawasan perkotaan pemerintahan tingkat Tulis, kawasan kecamatan dan beberapa perkotaan Banyuputih, desa, perekonomian, kawasan perdagangan dan jasa, . perkotaan transportasi, industri dan Warungasem, kawasan permukiman skala perkotaan Kandeman, kecamatan/beberapa kawasan perkotaan desa. . Wonotunggal, kawasan perkotaan Subah, kawasan perkotaan Pecalungan, . kawasan perkotaan Blado, kawasan perkotaan Reban, kawasan perkotaan . Bawang, kawasan perkotaan Tersono, dan kawasan perkotaan Gringsing 2 Kabupaten PKL . Pusat pemerintahan . Perkotaan Brebes, Brebes Kabupaten Brebes, Perkotaan Bumiayu, perekonomian dan Perkotaan (perdagangan dan jasa), Ketanggungan- transportasi, dan Kersana; permukiman. . Skala pelayanan melayani tingkat kabupaten. PPK . Fungsi pelayanan . Ibukota Kecamatan pemerintahan tingkat (IKK) Tanjung, IKK kecamatan dan beberapa Jatibarang, IKK desa, perekonomian, Wanasari, IKK perdagangan dan jasa, Bulakamba, IKK transportasi, industri dan Losari, IKK permukiman skala Banjarharjo, IKK kecamatan/beberapa desa Larangan, IKK Songgom, IKK Tonjong, IKK Sirampog, IKK

16 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan Paguyangan, IKK Bantarkawung, dan IKK Salem; PPL . Fungsi pelayanan . Desa Bentar pemerintahan tingkat Kecamatan Salem, beberapa desa, Desa Kalilangkap perekonomian, Kecamatan Bumiayu, perdagangan dan jasa, Desa Dawuhan transportasi, industri dan Kecamatan Sirampog, permukiman skala Desa Sindangwangi beberapa desa Kecamatan Bantarkawung, Desa Pamulihan Kecamatan Larangan, Desa Cikeusal Kidul Kecamatan Ketanggungan, Desa Bandungsari dan Desa Cikakak Kecamatan Banjarharjo, Desa Bojongsari Kecamatan Losari, Desa Sitanggal Kecamatan Larangan, Desa Banjaratma Kecamatan Bulakamba, dan Desa Sawojajar Kecamatan Wanasari. 3 Kabupaten PKL . Fungsi pusat . Kecamatan Kajen dan Pekalongan pemerintahan kabupaten, Kecamatan Wiradesa; pusat permukiman, pusat pendidikan, pusat pelayanan sosial dan ekonomi skala kabupaten, pusat transportasi wilayah, pengembangan pariwisata, pusat pengembangan permukiman perkotaan, pusat perdagangan dan jasa, industri besar, menengah, kecil dan

17 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan mikro serta pengembangan pertanian tanaman pangan. PKLp . Fungsi pusat . Kecamatan pemerintahan skala Kedungwuni; kecamatan, pengembangan pelayanan sosial dan ekonomi, pengembangan permukiman, kawasan perdagangan dan jasa, pengembangan pusat transportasi,pengembang an kawasan pendidikan dan pengembangan kegiatan industri besar, menengah, kecil dan mikro. PPK . Fungsi pusat . Kecamatan Doro dan pemerintahan skala Kecamatan Sragi. kecamatan, pengembangan pelayanan sosial dan ekonomi, pengembangan permukiman, pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa, pengembangan tanaman perkebunan dan hortikultura, pengembangan tanaman pangan, pengembangan kegiatan wisata air dan pemancingan, pengembangan tanaman hutan rakyat, pengembangan agroindustri, pusat kegiatan transportasi, pengembangan industri menengah, kecil dan mikro.

18 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan 4 Kota PKL . Pusat pemerintahan Kota Kawasan Alun-alun Pekalongan Pekalongan, Pekalongan di sebagian perekonomian Kelurahan Kauman, (perdagangan dan jasa), sebagian Kelurahan transportasi, dan Keputran dan sebagian permukiman. Kelurahan Sugih Waras . Skala pelayanan melayani Kecamatan Pekalongan tingkat kabupaten. Timur sebagai pusat kegiatan perdagangan-jasa skala regional dan pusat pelayanan peribadatan skala regional. PPK . PPK memiliki fungsi . Sub Pusat Pelayanan pelayanan pemerintahan Kota Kecamatan tingkat Pekalongan Utara . kecamatan dan beberapa terletak di desa, perekonomian, . Kelurahan Panjang perdagangan dan jasa, Wetan Kecamatan transportasi, Pekalongan Utara, . industri dan permukiman sebagai pusat skala . pelayanan pendidikan kecamatan/beberapa desa skala regional, pusat pelayanan pemerintahan . skala kecamatan; . Sub Pusat Pelayanan Kota Kecamatan Pekalongan Barat terletak di . Kelurahan Podosugih dan Kelurahan Bendan Kecamatan Pekalongan . Barat, sebagai pusat pelayanan pemerintahan skala kota, pusat . pelayanan pendidikan skala regional dan pusat perdagangan-jasa skala . kota; . Sub Pusat Pelayanan

19 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan Kota Kecamatan Pekalongan Timur terletak di . Kelurahan Gamer Kecamatan Pekalongan Timur, sebagai pusat . perdagangan-jasa skala kota; dan . Sub Pusat Pelayanan Kota Kecamatan Pekalongan Selatan terletak di . Kelurahan Banyurip Kecamatan Pekalongan Selatan, sebagai pusat . perdagangan-jasa skala kecamatan. PPL . Fungsi pelayanan . Kawasan di Kelurahan pemerintahan tingkat Noyontaan Kecamatan beberapa kelurahan, Pekalongan Timur, perekonomian, dengan perdagangan dan jasa, . fungsi pusat transportasi, industri dan perdagangan-jasa skala permukiman skala lingkungan; beberapa kelurahan . Kawasan di Kelurahan Landungsari Kecamatan Pekalongan Timur . dengan fungsi pusat perdagangan-jasa skala lingkungan; . Kawasan di Kelurahan Kuripan Kidul Kecamatan Pekalongan Selatan . dengan fungsi pusat pelayanan pemerintahan skala kecamatan; . Kawasan di Kelurahan Buaran Kecamatan Pekalongan Selatan

20 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan dengan . fungsi pusat pelayanan pendidikan skala kecamatan, pusat pelayanan . kesehatan skala kecamatan dan pusat pengembangan agama Islam . skala kota; . Kawasan di Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Timur dengan . fungsi pusat perdagangan dan jasa skala lingkungan; . Kawasan di Kelurahan Gamer Kecamatan Pekalongan Timur dengan . fungsi pusat perdagangan dan jasa skala lingkungan; dan . Kawasan di Kelurahan Tirto Kecamatan Pekalongan Barat dengan fungsi . pusat pelayanan pemerintahan skala kota dan pusat pelayanan . pendidikan skala kota 5 Kabupaten PKL . Pusat pemerintahan . Kawasan Perkotaan Pemalang Kabupaten Pemalang, Pemalang; dan perekonomian Kawasan Perkotaan (perdagangan dan jasa), Comal. transportasi, dan permukiman. . Skala pelayanan melayani tingkat kabupaten. PKLp . Fungsi sebagai pusat . Kawasan Perkotaan

21 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan pemerintahan (skala Randudongkal; lokal), perekonomian Kawasan Perkotaan (perdagangan dan jasa), Belik; dan Kawasan transportasi, dan Perkotaan Moga. permukiman. PPK . PPK memiliki fungsi . Kawasan Perkotaan pelayanan pemerintahan Ulujami; Kawasan tingkat kecamatan dan Perkotaan beberapa desa, Ampelgading; perekonomian, Kawasan Perkotaan perdagangan dan jasa, Petarukan; Kawasan transportasi, industri dan Perkotaan permukiman skala Bantarbolang; Kawasan kecamatan/beberapa Perkotaan Bodeh; desa. Kawasan Perkotaan Warungpring; Kawasan Perkotaan Watukumpul; dan Kawasan Perkotaan Pulosari. 6 Kabupaten PKL . Fungsi pemerintahan, . Kawasan Perkotaan Tegal perdagangan, pendidikan, Slawi-Adiwerna industri dan militer; PKLp . Fungsi pemerintahan, . Kawasan Perkotaan perdagangan dan Dukuhturi industri; PPK . Fungsi sebagai pusat . Kawasan Perkotaan pemerintahan, Pangkah; perdagangan, ermukiman . Kawasan Perkotaan skala kecamatan Dukuhwaru; . Kawasan Perkotaan Lebaksiu; . Kawasan Perkotaan Bojong; . Kawasan Perkotaan Talang; . Kawasan Perkotaan Kramat; . Kawasan Perkotaan Tarub; . Kawasan Perkotaan Suradadi;

22 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan . Kawasan Perkotaan Warureja; . Kawasan Perkotaan Balapulang; . Kawasan Perkotaan Margasari; . Kawasan Perkotaan Pagerbarang; . Kawasan Perkotaan Bumijawa; . Kawasan Perkotaan Jatinegara; dan . Kawasan Perkotaan Kedungbanteng. 7 Kota Tegal PPK . Fungsi utama meliputi . Kecamatan Tegal pemukiman, pusat Timur pemasaran dan perdagangan, pusat perhubungan dan telekomunikasi, pusat kegiatan usaha jasa dan produksi, serta pusat pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, peribadatan) SPPK . Fungsi untuk pelayanan . , Kraton, permukiman, pendidikan, Kejambon, perdagangan dan jasa Sumurpanggang yang meliputi wilayah Kecamatan Tegal Timur; PPL . Fungsi pelayanan . PL di SPPK Bandung pemerintahan tingkat terbagi atas PL beberapa kelurahan, Kalinyamat Wetan, PL perekonomian, Bandung, PL Debong perdagangan dan jasa, Kidul, I4 di Kelurahan transportasi, industri dan PL Tunon, PL Keturen, permukiman skala PL Debong Kulon, PL beberapa kelurahan Debong Tengah, PL Randugunting; . PL di SPPK Kraton terbagi atas PL Pesurungan Kidul PL

23 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Sistem No Fungsi pelayanan Lokasi /Kota perkotaan Kelurahan Debong Lor, PL Kemandungan PL Pekauman, PL Kraton, PL Tegalsari, PL Muarareja ; . PL di SPPK Kejambon terbagi atas PL Kejambon, PL Slerok, PL Panggung, PL Mangkukusuman, PL Mintaragen; . PL di SPPK Sumurpanggang terbagi atas PL Kaligangsa, PL Krandon, IV3 PL Cabawan, PL Margadana, PL Kalinyamat Kulon, PL Sumurpanggang, PL Pesurungan Lor. Sumber: Hasil analisis RTRW Kabupaten/Kota, 2014

3.3.2 Daerah rawan bencana Kabupaten Batang merupakan daerah rawan bencana tanah longsor, banjir dan rob, serta abrasi. Kabupaten Brebes merupakan daerah rawan banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, kekeringan, gelombang pasang dan abrasi. Kabupaten Pekalongan merupakan daerah rawan bencana longsor, banjir, abrasi dan gelombang pasang, kekeringan. Kota Pekalongan merupakan daerah rawan banjir, rob, abrasi. Kabupaten Pemalang merupakan daerah rawan gelombang pasang dan abrasi, banjir, kekeringan, angin topan, letusan gunung berapi. Kabupaten Tegal merupakan daerah rawan longsor, banjir, abrasi, angin topan, kekeringan, gelombang pasang, kebakaran lahan. Tabel 3.7 Daerah Rawan Bencana Kabupaten/Kota di Karesidenan Pekalongan No Daerah Rawan bencana Lokasi 1 Kabupaten Batang Kawasan rawan tanah Kecamatan Bawang, Blado, Tersono, longsor Gringsing, Banyuputih dan Kecamatan Subah Kawasan rawan abrasi Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis dan Kecamatan Banyuputih Kawasan rawan banjir Kecamatan Batang, Subah, dan rob Gringsing dan Kecamatan

24 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

No Daerah Rawan bencana Lokasi Banyuputih 2 Kabupaten Brebes Kawasan rawan bencana Kecamatan Losari, Kecamatan banjir; Tanjung, Kecamatan Bulakamba, Kecamatan Wanasari, Kecamatan Ketanggungan, dan Kecamatan Brebes Kawasan rawan bencana Kecamatan Tonjong, Kecamatan tanah longsor; Sirampog, Kecamatan Paguyangan, Kecamatan Banjarharjo, Kecamatan Bantarkawung, dan Kecamatan Salem. Kawasan rawan bencana Kecamatan Sirampog dan letusan gunung berapi; Kecamatan Paguyangan. Kawasan rawan bencana Kecamatan Losari, Kecamatan kekeringan; Tanjung, Kecamatan Bulakamba, Kecamatan Wanasari, Kecamatan Brebes, Kecamatan Banjarharjo, Kecamatan Kersana, Kecamatan Ketanggungan, Kecamatan Larangan, Kecamatan Songgom, dan Kecamatan Jatibarang. Kawasan rawan bencana Kawasan pantai di Kabupaten gelombang pasang dan Brebes. abrasi. 3 Kabupaten Kawasan rawan longsor Kecamatan Kandangserang, Pekalongan Kecamatan Paninggaran, Kecamatan Lebakbarang, Kecamatan Petungkriyono, Kecamatan Kesesi, Kecamatan Karanganyar, Kecamatan Kajen, Kecamatan Talun, dan Kecamatan Doro Kawasan rawan banjir; Kecamatan Tirto, Kecamatan Wiradesa, Kecamatan Siwalan, Kecamatan Wonokerto, Kecamatan Sragi, Kecamatan Bojong, Kecamatan Kesesi, Kecamatan Kajen, Kecamatan Buaran, Kecamatan Karangdadap dan Kecamatan . Kawasan rawan abrasi Kecamatan Wonokerto, Kecamatan dan gelombang pasang; Tirto, dan Kecamatan Siwalan. Kawasan rawan Kecamatan Siwalan, Kecamatan kekeringan. Sragi, Kecamatan Kesesi, Kecamatan

25 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

No Daerah Rawan bencana Lokasi Bojong, dan Kecamatan Talun 4 Kota Pekalongan Rawan bencana rob wilayah Kecamatan Pekalongan Utara meliputi Kelurahan Degayu, Kelurahan Krapyak Lor, Kelurahan Pajang Wetan, Kelurahan Panjang Baru, Kelurahan Kandang Panjang dan Kelurahan Bandengan. Rawan bencana banjir Kecamatan Pekalongan Utara meliputi Kelurahan Degayu, Kelurahan Krapyak Lor, Kelurahan Pajang Wetan, Kelurahan Panjang Baru, Kelurahan Kandang Panjang dan Kelurahan Bandengan. Rawan bencana abrasi. sepanjang pantai Pekalongan meliputi Kelurahan Bandengan, Kelurahan Kandang Panjang, Kelurahan Panjang Baru, Kelurahan Panjang Wetan, Kelurahan Krapyak Lor dan Kelurahan Degayu 5 Kabupaten Pemalang Kawasan rawan Kecamatan Pemalang, Kecamatan gelombang pasang dan Taman di Desa Asemdoyong, abrasi Kecamatan Petarukan, Kecamatan Ulujami. Kawasan rawan banjir . Kecamatan Comal; . Kecamatan Pemalang; . Kecamatan Petarukan; . Kecamatan Ampelgading; . Kecamatan Taman; dan . Kecamatan Ulujami. Kawasan rawan Kecamatan Pulosari; dan Kecamatan kekeringan Belik. Kawasan rawan angin . Kecamatan Belik; topan . Kecamatan Watukumpul; . Kecamatan Bodeh; . Kecamatan Randudongkal; . Kecamatan Bantarbolang; . Kecamatan Ampelgading. Kawasan rawan tanah . Kecamatan Watukumpul; longsor . Kecamatan Belik; . Kecamatan Pulosari; . Kecamatan Moga; . Kecamatan Randudongkal; . sepanjang alur DAS Comal

26 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

No Daerah Rawan bencana Lokasi Kawasan rawan letusan Kecamatan Pulosari, Kecamatan gunung berapi Belik. 6 Kabupaten Tegal Kawasan rawan longsor . Kecamatan Balapulang; . Kecamatan Bojong; . Kecamatan Bumijawa; . Kecamatan Jatinegara; . Kecamatan Kedungbanteng; . Kecamatan Lebaksiu; . Kecamatan Margasari; dan . Kecamatan Pangkah. Kawasan rawan banjir . Kecamatan Kramat; . Kecamatan Adiwerna; . Kecamatan Balapulang; . Kecamatan Bojong; . Kecamatan Bumijawa; . Kecamatan Dukuhturi; . Kecamatan Dukuhwaru; . Kecamatan Jatinegara; . Kecamatan Lebaksiu; . Kecamatan Pangkah; . Kecamatan Talang; . Kecamatan Tarub; . Kecamatan Warureja; . Kecamatan Suradadi; . Kecamatan Slawi; dan . Kecamatan Margasari Kawasan rawan abrasi . Kelurahan Dampyak Kecamatan Kramat; . Desa Maribaya Kecamatan Kramat; . Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja; . Desa Demangharja Kecamatan Suradadi; . Desa Suradadi Kecamatan Suradadi; . Desa Bojongsana Kecamatan Suradadi; dan . Desa Purwahamba Kecamatan Suradadi; . Kawasan rawan angin topan sebagaimana Kawasan rawan angin Seluruh kecamatan di Kabupaten

27 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

No Daerah Rawan bencana Lokasi topan Kawasan rawan . Kecamatan Balapulang; kekeringan . Kecamatan Bojong; . Kecamatan Bumijawa; . Kecamatan Jatinegara; . Kecamatan Kedungbanteng; . Kecamatan Lebaksiu; . Kecamatan Margasari; . Kecamatan Pagerbarang; . Kecamatan Pangkah; dan . Kecamatan Warureja. Kawasan rawan . Kecamatan Kramat; gelombang pasang . Kecamatan Suradadi; dan . Kecamatan Warureja. . Kawasan rawan kebakaran Kawasan rawan . Kecamatan Balapulang; kebakaran lahan . Kecamatan Bojong; . Kecamatan Bumijawa; . Kecamatan Jatinegara; . Kecamatan Kedungbanteng; . Kecamatan Lebaksiu; . Kecamatan Margasari; . Kecamatan Pangkah; dan . Kecamatan Warureja. Sumber: Hasil analisis RTRW Kabupaten/Kota, 2014

28 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Tabel 3.8 Rekapitulasi Data Kejadian Bencana Kabupaten/Kota di Eks Karesidenan Pekalongan 2013 Jenis bencana Gelb No Daerah Angin Gempa Letusan Tanah Banjir Pasang / kebakaran Kekeringan Jumlah topan bumi Gn. Api longsor abrasi 1 Kabupaten Batang 2 4 - 1 - - - 8 15 2 Kabupaten Pekalongan 3 6 - - 5 - - 5 19 3 Kabupaten Pemalang 9 - - - 23 - - 1 33 4 Kabupaten Tegal 3 1 1 - 1 - - 1 17 5 Kabupaten Brebes 9 11 - 2 4 - - 62 88 6 Kota Pekalongan ------0 Jumlah 26 22 1 3 33 0 0 77 172 % 15,11 12,80 0,58 1,74 19,18 0 0 44,77 100 Sumber: Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Tengah, Diolah 2014.

29 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kabupaten Tegal merupakan daerah rawan longsor, banjir, abrasi, angin topan, kekeringan, gelombang pasang, kebakaran lahan

Kabupaten Batang merupakan daerah rawan bencana tanah longsor, banjir dan rob, serta abrasi

Kabupaten Pekalongan merupakan daerah rawan bencana longsor, banjir, abrasi dan Kabupaten Brebes merupakan daerah rawan gelombang pasang, kekeringan. banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, kekeringan, gelombang pasang dan abrasi

Kota Pekalongan merupakan daerah rawan banjir, rob, abrasi.

Kabupaten Pemalang merupakan daerah rawan gelombang pasang dan abrasi, banjir, kekeringan, angin topan, letusan gunung berapi.

Gambar 3.2 Daerah Rawan Bencana Eks Karesidenan Pekalongan

30 | B A B 3

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

4.1 UMUM Kegiatan Penyusunan Identifikasi kearifan lokal dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Eks Karesidenan Pekalongan ini didasarkan atas banyaknya kejadian bencana yang terjadi di wilayah tersebut secara rutin setiap tahun. Bencana yang terjadi tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lain, hal ini disebabkan karena setiap jenis bencana yang terjadi biasanya dipengaruhi oleh karakteristik lokasi kejadian. Perbedaan karakteristik lokasi kejadian juga dapat menentukan terjadinya bencana karena bencana dapat terjadi karena perilaku masyarakat dalam berperikehidupan di suatu wilayah yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun dan secara turun temurun yang tanpa disadari menyebabkan terganggunya sistem keseimbangan alam.

Mengingat hal tersebut tentunya cara menghadapi bencana di tingkat masyarakat juga berbeda. Selain itu karena bencana telah terjadi secara rutin, maka masyarakat mempunyai cara tersendiri dalam melakukan mitigasi sehingga pengurangan resiko akibat bencana tanpa disadari telah dilakukan. Cara masyarakat dalam melakukan mitigasi bencana yang dilakukan secara turun temurun dan dilestarikan oleh generasi penerusnya merupakan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang berkembang di masyarakat. Kedua aspek ini merupakan faktor penentu dalam keberhasilan upaya pengurangan risiko bencana, mengingat banyaknya tradisi penanganan bencana yang telah ada dan berkembang di masyarakat. Sebagai subyek masyarakat diharapkan dapat aktif mengakses saluran informasi formal dan non-formal, sehingga upaya pengurangan risiko bencana secara langsung dapat melibatkan masyarakat.

4.2 ALUR PIKIR Suardiman (Wagiran, 2010) mengungkapkan bahwa kearifan lokal identik dengan perilaku manusia berhubungaan dengan: Tuhan,

1 | B A B 4

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

tanda-tanda alam, lingkungan hidup/pertanian, membangun rumah, pendidikan, upacara perkawinan dan kelahiran, makanan, siklus kehidupan manusia dan watak, kesehatan, bencana alam.

Lingkup kearifan lokal dapat pula dibagi menjadi delapan, yaitu: 1. norma-norma lokal yang dikembangkan, seperti ‘laku Jawa’, pantangan dan kewajiban; 2. ritual dan tradisi masyarakat serta makna disebaliknya; 3. lagu-lagu rakyat, legenda, mitos dan ceritera rakyat yang biasanya mengandung pelajaran atau pesan-pesan tertentu yang hanya dikenali oleh komunitas lokal; 4. informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat, tetua adat, pemimpin spiritual; 5. manuskrip atau kitab-kitab suci yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat; 6. cara-cara komunitas lokal dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari; 7. alat-bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu; dan 8. kondisi sumberdaya alam/ lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam penghidupan masyarakat sehari-hari.

Dalam lingkup budaya, dimensi fisik dari kearifan lokal meliputi aspek: 1. upacara adat, 2. cagar budaya, 3. pariwisata alam, 4. transportasi tradisional, 5. permainan tradisional, 6. prasarana budaya, 7. pakaian adat, 8. warisan budaya, 9. museum, 10. lembaga budaya, 11. kesenian, 12. desa budaya, 13. kesenian dan kerajinan, 14. cerita rakyat, 15. dolanan anak, dan

2 | B A B 4

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

16. wayang. Sumber kearifan lokal yang lain dapat berupa lingkaran hidup orang Jawa yang meliputi: upacara tingkeban, upacara kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian.

Berpijak dari hal tersebut diatas, maka dalam studi ini, alur pikir yang dapat disampaikan untuk mempermudah studi adalah sebagai berikut di bawah ini.

Norma Lokal

Ritual dan Tradisi Lokal tidak Legenda, mitos, lagu dan cerita rakyat Kearifan Lokal eks Karesidenan

Pekalongan Informasi dan pengetahuan lokal Penanggulangan Bencana ??? manuskrip

Cara hidup

ya

Alat dan bahan

Identifikasi Kearifan Lokal dalam Kondisi lingkungan hidup Penyelenggaraan Penanggulangan masyarakat Bencana di Eks Karesidenan Pekalongan

Gambar 4.1 Alur Pikir Studi

4.3 METODE ANALISIS DAN TAHAPAN PELAKSANAAN Pada dasarnya pendekatan dan metode penelitian digunakan sebagai kajian tentang metode ilmiah dalam mencari kebenaran yang harus dilakukan secara sistematis, logis, dan empiris. Metode sendiri juga merupakan serangkaian tahapan yang akan diterapkan dalam keseluruhan proses penyusunan studi ini.

Metode deskripsi kualitatif merupakan metode yang dirasa paling tepat untuk melaksanakan kegiatan ini karena pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan cara menginventarisasi kegiatan-kegiatan budaya dan budaya masyarakat di wilayah studi yang sudah dilakukan secara turun menurun dan masih berlangsung sampai saat

3 | B A B 4

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

ini dan dikombinasikan dengan upaya penanggulangan bencana yang bertujuan pengurangan resiko bencana. Metode pelaksanaan kegiatan ini akan disusun dalam berbagai rangkaian tahapan yang merupakan rangkaian langkah kerja dari proses pengidentifikasian kearifan lokal dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Secara keseluruhan proses penyusunan kegiatan ini dibagi dalam empat tahapan atau langkah kerja yaitu: 1. Tahap PENDAHULUAN meliputi kegiatan persiapan awal pekerjaan sampai dengan persiapan survey serta pengkajian awal. Pada tahapan ini lebih kearah pemantapan studi dan sistem (tata cara) pengambilan data (survei). Hasil dari pentahapan ini dirangkai di dalam Laporan Pendahuluan 2. Tahap PENGUMPULAN DATA meliputi pengumpulan data sekunder yang kemudian dianalisis awal mengenai hasil identifikasi kondisi, kelayakan, dan problem yang ada. Hasil pendataan dan analisis awal kemudian akan didalami dengan cara melakukan survey di lokasi kegiatan sebagai upaya klarifikasi kondisi eksisting. 3. Tahap ANALISIS meliputi pengkajian dari hasil tahap pengumpulan data dan dilakukan evaluasi hubungan kearifan lokal dengan upaya penanggulangan bencana. 4. Tahap FINALISASI, meliputi beberapa kegiatan sebagai tahap finalisasi dari seluruh rangkaian kegiatan yang direncanakan. Hasil tahap ini sangat vital di dalam mempengaruhi proses kajian secara keseluruhan.

Langkah-langkah lebih rinci di masing-masing tahapan dapat dicermati sebagai berikut: A. Tahap pendahuluan Di dalam tahap persiapan ini dilakukan beberapa kegiatan sebagai awal (inisiasi) dari seluruh rangkaian kegiatan yang direncanakan. Hasil tahap persiapan ini akan sangat mempengaruhi proses yang dilakukan dalam tahap-tahap selanjutnya. Secara umum pada tahapan pendahuluan terdapat kegiatan utama di dalam tahap persiapan ini, yakni sebagai berikut. 1. Mempelajari peraturan dan landasan teoritik yang terkait dengan kajian. 2. Mempelajari kerangka acuan kerja yang menjadi landasan arahan kajian. 3. Penyusunan penetapan hasil pembelajaran mulai dari penentuan sasaran, lingkup, metode, survei, kajian analisis, tim dan penjadwalan. Bila telah didapatkan tingkat kesesuaian yang diharapkan, maka diteruskan ke tahap berikutnya. Produk dari tahap pendahuluan adalah laporan PENDAHULUAN

B. Tahap Pengumpulan Data Di dalam tahap pengumpulan data ini dilakukan beberapa kegiatan sebagai tahap lanjutan dari seluruh rangkaian kegiatan yang direncanakan. Hasil tahap pendataan

4 | B A B 4

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

dan analisis ini sangat vital di dalam mempengaruhi proses yang dilakukan dalam tahap-tahap selanjutnya.

Pada tahap ini akan dilakukan pengumpulan data, data diperoleh dari sumber sekunder (instansi terkait). Data sekunder ini digunakan sebagai informasi utama dan akan dilengkapi juga studi-studi yang terkait atau yang pernah dilakukan. Hasil yang diperoleh dari pengumpulan data kemudian setelah dilakukan analisis awal akan dilanjutkan untuk didalami dengan cara pengambilan data primer. Data Primer akan diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan masyarakat pelaku kegiatan sebagai klarifikasi dari hasil inventarisasi yang dilakukan sebelumnya dengan alat bantu berupa daftar pertanyaan atau kuisioner.

Pengolahan data dan analisis data awal pada tahap ini merupakan kajian awal atau sementara yang berisikan secara umum analisis mengenai inventarisasi kearifan lokal yang berupa kegiatan budaya dan kebiasaan masyarakat dalam upaya pengurangan resiko bencana. Kajian awal ini penekanannya pada gambaran kondisi saat ini (eksisting). Data yang didapatkan kemudian dikemas dalam bentuk format tertentu, sehingga memudahkan untuk penggunaannya lebih lanjut.

C. Analisis Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah melakukan analisis hasil inventarisasi kearifan lokal yang sesuai dengan kegiatan penanggulangan bencana, sehingga diperoleh benang merah antara kearifan lokal dan upaya pengurangan resiko bencana yang telah dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun.

Hasil tersebut kemudian akan didekati secara ilmiah dengan teori-teori yang diperoleh dari studi literatur sebagai langkah untuk memperoleh jawaban secara logis tentang kearifan lokal sebagai upaya pengurangan resiko bencana di Eks Karesidenan Pekalongan.

Langkah lanjutan dari analisis ini adalah penyusunan bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada di eks Karesidenan Pekalongan yang patut dipertahankan dan menyusun beberapa rekomendasi kearifan lokal yang cocok untuk program pengurangan resiko bencana yang nantinya merupakan pelengkap bagi penyusunan strategi yang akan diambil didalam langkah memperbaiki sistem penanggulangan bencana di Eks Karesidenan Pekalongan secara khusus atau di Jawa Tengah secara umum. Hasil kegiatan pada tahap ini adalah berupa draft laporan akhir.

5 | B A B 4

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

D. Finalisasi Di dalam tahap ini dilakukan beberapa kegiatan sebagai tahap finalisasi dari seluruh rangkaian kegiatan yang direncanakan. Hasil tahap ini sangat vital di dalam mempengaruhi proses kajian secara keseluruhan. Pada Tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah penyempurnaan draft laporan akhir yang telah mendapatkan masukan – masukan dan klarifikasi dari instansi terkait dan stake holder, sehingga diperoleh hasil studi yang optimal sehingga dapat dipergunakan sebagai salah satu masukan dalam penyusunan strategi penanggulangan bencana di Jawa Tengah maupun daerah-daerah lokasi studi. Agar mendapatkan gambaran secara jelas maka diagram tahapan kegiatan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Tahapan Kegiatan Rincian Kegiatan Output Kegiatan

Tahap Pendahuluan 1. Literatur review

2. Penetapan metode Survey 3. Penentuan tim dan jadwal pelaksanaan Laporan Pendahuluan

1. Data Sekunder (Instansional, Studi Tahap Pengumpulan Terdahulu) Data 2. Data Primer (survey di wilayah studi)

Tahap Analisis 1. Inventarisasi dan Pengolahan data Draft Laporan 2. Analisis data 3. Identifikasi Kearifan Akhir Lokal

Tahap Finalisasi Penyempurnaan Laporan Akhir Laporan Akhir

Gambar 4.2 Diagram Tahapan Kegiatan

6 | B A B 4

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

4.4 KEBUTUHAN DATA Di dalam penyusunan dibutuhkan beberapa data pendukung yang diperlukan sebagai bahan untuk mendukung kajian ini. Data yang dibutuhkan yang dijabarkan pada tabel berikut. Tabel 4.1 Kebutuhan, sumber, dan kegunaan data No. Jenis data Sumber data Kegunaan data 1. Data karakteristik resiko - BPBD Jawa Tengah - Sebagai data base bencana jawa Tengah dan - BPBD Kab/Kota di Eks bencana di Eks upaya-upaya Pengurangan Karesidenan Karesidenan Resiko Bencana Pekalongan Pekalongan

2. Data kegiatan Budaya dan - Dinas Pariwisata Jawa Tengah - Untuk mengetahui adat-istiadat masyarakat - Dinas Pendidikan dan kegiatan budaya dan Kebudayaan adat istiadat masyarakat Jawa Tengah di Eks Karesidenan - Dinas Pariwisata di Eks Pekalongan karesidenan Pekalongan - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Eks karesidenan Pekalongan

3. Data Wilayah - Bappeda Propinsi Jawa Tengah - Untuk mengetahui tata - Bappeda kab/kota Eks ruang wilayah daerah Karesidenan Pekalongan studi Sumber: Hasil analisis Tim Konsultan (2014)

7 | B A B 4

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

5.1 KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT JAWA SECARA UMUM. Dalam lingkup budaya menurut Suardiman (Wagiran, 2010), dimensi fisik dari kearifan lokal meliputi aspek: a. upacara adat, b. cagar budaya, c. pariwisata alam, d. transportasi tradisional, e. permainan tradisional, f. prasarana budaya, g. pakaian adat, h. warisan budaya, i. museum, j. lembaga budaya, k. kesenian, l. desa budaya,

Kearifan lokal sangat terkait dengan pandangan hidup masyarakat Jawa dan filsafat Jawa. Kearifan lokal merupakan pandangan hidup yang bersumber pada masyarakat pendukung kebudayaan Jawa atau kebudayaan tertentu. Di dalam kearifan lokal tersebut termuat berbagai sikap dan etika moralitas yang bersifat religius juga mengenai ajaran spiritualitas kehidupan manusia dengan alam semesta.

Masyarakat Jawa mencari eksistensinya melalui hubungan yang selaras antara rohani dan jasmani. Melalui penyatuan yang harmoni antara rohani dan jasmani itu manusia mampu merealisasikan dirinya secara total dan menyeluruh, mampu menjaga etika

1 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

dan norma yang berlaku di masyarakat, mampu mengendalikan diri dalam melawan hawa nafsu.

Berikut ini beberapa kearifan lokal masyarakat Jawa. 1. Rumah Joglo (cagar budaya) Rumah Joglo merupakan salah satu peninggalan nenek moyang kita yang terdahulu dimana yang didirikan pada tahun 1835 ini merupakan saksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dimasa awal pendiriannya, Joglo disebut juga dengan bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya, rumah Joglo berasal dari daerah Propinsi Jawa Tengah dan fungsi yang lebih menonjol adalah sebagai tempat musyawarah masalah kenegaraan dan menyusun strategi dalam melawan Belanda. Pada saat clash II di Yogyakarta, menjadi markas besar tentara pelajar (TP) seluruh Jogjakarta di bawah pimpinan Kapten Martono (Menteri Transmigrasi masa pemerintahan presiden Soeharto).

Gambar 5.1 Rumah bagi orang Jawa

Berdasarkan pada pandangan hidup orang Jawa bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh alam semesta, atau dalam lingkup yang lebih terbatas adalah dari pengaruh lingkungan sekitarnya, maka keberadaan rumah bagi orang Jawa harus mempertimbangkan hubungan tersebut. Joglo sebagai salah satu simbol kebudayaan masyarakat Jawa, merupakan media perantara untuk menyatu dengan Tuhan (kekuatan Ilahi) sebagai tujuan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), berdasar pada kedudukan manusia sebagai seorang individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Nilai filosofis Joglo merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa untuk memiliki sikap batin yang tepat, melakukan tindakan yang tepat, mengetahui tempat yang tepat (dapat menempatkan diri) dan memiliki pengertian yang tepat dalam kehidupan.

2 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Rumah bagi individu Jawa Sebagai personifikasi penghuninya, rumah harus dapat menggambarkan atau tujuan hidup yang ingin dicapai oleh penghuninya. Rumah Jawa dihadapkan pada pilihan empat arah mata angin, yang biasanya hanya menghadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah mata angin menurut kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu:  arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa, dengan sinar putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manusia, merupakan lambang kewibawaan yang dibutuhkan oleh para raja.  Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati, dengan sinar kuning berarti kematian, merupakan lambang kebinasaan atau malapetaka.  Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan sinar hitam berarti penolong segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin, merupakan lambang yang cerah, ceria dan penuh harapan.  Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma, dengan sinar merah berarti kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan terhadap bencana yang akan menimpanya.

Gambar 5.2 Analogi Joglo

Rumah bagi individu Jawa sangat penting untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kontrol teritorial, yang selanjutnya akan mendefinisikan keberadaan dan statusnya. Sebuah rumah merupakan bentuk eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai personifikasi penghuninya juga ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang mengacu pada dimensi tubuh penghuni, yaitu kepala rumah tangga.

Rumah merupakan pelindung dari kekacauan dan kesialan yang berada di luar rumah. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan sumur yang letaknya berdekatan dengan regol. Seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada tubuhnya di

3 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

jalanan. Di rumahlah orang menemukan ketenteraman terlindung dari dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.

Rumah bagi keluarga Jawa Rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki kehidupan yang mapan. Ini menegaskan kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu memiliki rumah tangga sendiri. Kepemilikan terhadap rumah dan tanah merupakan hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan terhadap benda-benda lainnya.

Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan untuk dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah membiarkan sebagian besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga menjadi gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah terlihat dari luar oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi dan kebebasan bagi keluarga yang menghuni.

Peran utama rumah adalah sebagai tempat menetap, melanjutkan keturunan serta menopang kehidupan sebuah keluarga. Seringkali di depan senthong (kamar) dapat dipasang foto-foto leluhur sebagai simbol kesinambungan keturunan. Secara khusus, senthong tengah berfungsi sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai titik penghubung antara rumah, sawah dan dunia nenek moyang melindungi keduanya.

Joglo dalam kehidupan masyarakat Jawa Ukuran dan bentuk rumah merupakan lambang kedudukan sosial keluarga yang menempatinya dalam suatu masyarakat. Hanya kaum bangsawan saja yang awalnya diperbolehkan memiliki Joglo. Untuk orang desa pada umumnya menggunakan bentuk Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo dengan tipologi rumah Jawa lainnya adalah konstruksi atapnya yang memiliki brunjung lebih menjulang tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan tumpang sari, yaitu yang ditopang oleh empat tiang utama yang disebut saka guru. Bagian saka guru dan tumpang sari biasanya sarat dengan ukiran, baik yang rumit maupun yang sederhana. Material yang digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya menggunakan kayu jati, akibatnya harga Joglo lebih mahal dari tipologi rumah Jawa lainnya. Jadi Joglo menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata sosial atas.

Pertunjukan-pertunjukan seni yang diadakan oleh tuan rumah di pendhapa untuk khalayak umum, mempertegas stratifikasi sosial yang berlaku juga menjadi bentuk ekspansi kewenangan tuan rumah terhadap lingkungan sekitarnya.

4 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Pendhapa juga digunakan bagi kaum lelaki untuk bersosialisasi sehingga kemudian mempertegas bahkan membentuk nilai-nilai kemasyarakatan.

Sebagai personifikasi dari penghuninya, bagian-bagian Joglo (peninggian lantai- dinding-atap) dapat dianalogikan secara fisik menurut bagian-bagian tubuh manusia (kaki-badan-kepala) dan secara non-fisik menurut perjalanan hidupnya (lahir-hidup-mati).

Sehingga kemudian nilai-nilai filosofis yang dimiliki oleh orang Jawa juga dapat diterapkan sebagai nilai-nilai filosofis Joglo sebagai rumah Jawa. Nilai-nilai kosmologi yang dipercaya dan diwariskan oleh orang Jawa melalui mitos, terepresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap yang dominan menunjukkan bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya (pikiran dan ide) karena dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa manusia untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mati untuk menemui Tuhan.

Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah tatanan secara keseluruhan segala sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur Joglo. Pada gambar di atas ditandai oleh daerah yang berwarna hijau.

Karena secara non-fisik area tersebut dapat dianalogikan sebagai „hidup‟, maka nilai filosofis interior Joglo dapat dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan bagi orang Jawa. Sehingga nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan suatu usaha dalam mencapai kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju kepada Tuhan. Usaha mencapai kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika Jawa.

2. Memayu Hayuning Bawana (Sastra Jawa) Memayu hayuning bawana adalah kearifan lokal Jawa yang amat spiritual. Orang yang menguasai memayu hayuning bawana dengan sendirinya akan bijak dalam hidup.

Berdasarkan pembahasan budi luhur ke arah memayu hayuning bawana, tampak bahwa manusia hidup sebagai makhluk multi dimensional. Paling tidak, manusia harus berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Dalam hubungan itu, seperti dipaparkan dalam puisi Sastra Mistik Penghayat Kepercayaan (SMPK) diperlukan budi luhur agar kelak dapat mencapai cita-cita hakiki yaitu kemanunggalan. Yang perlu dicermati, dari konsep demikian agar manusia tidak terjebak pada wawasan bahwa mistik sebagai dunia misteri yang dahsyat, sulit tersentuh.

5 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Sastra mistik yang menuju memayu hayuning bawana tidak lain juga hidup kita sendiri, dari persoalan sederhana hingga yang kompleks. Jika ramah lingkungan, sebenarnya kita telah berusaha memayu hayuning bawana. Jika kita membuang sampah (bathang), hingga tetangga tidak merasa terganggu, dengan cara dibakar, ditimbun, dan seterusnya jelas implikasi hal ini. Sebaliknya, jika kita membuang sampah berbau di sembarang tempat (diecret-ecret), itu tidak lagi memperindah dunia. Orang yang membuang sampah secara arif, penuh kebijakan, telah merujuk pada laku mistik praksis. Sebaliknya, bagi yang membuang sampah sengaja atau tidak telah menjadi rasanan pihak lain, jelas bertentangan dengan mistik praksis. SMPK semacam itu boleh dipandang sebagai karya eksoterik. Ciri eksoterik tampak pada upaya getaran sastra yang ke arah kebahagiaan orang lain. Manakala orang lain merasa nyaman, dunia tentram, kita tidak memiliki musuh. Sebaliknya, jika persoalan sampah saja mengundang permusuhan, sebagai tanda memayu hayuning bawana telah pudar.

Memayu hayuning bawana adalah watak moral luhur yang verusaha memelihara kedamaian dunia. Tingkah laku seseorang yang hanya bertekad mewujudkan ketentraman dan kesejahteraan manusia di dunia. Dalam alam modern seperti sekarang ini, ungkapan ini dapat disamakan dengan usaha memelihara perdamaian dunia, agar bebas dari rasa kemiskinan, kelaparan, dan kekurangan serta peperangan. Maksud pandangan ini, dapat disaksikan manakala manusia tidak selalu bermusuhan, dapat menghargai pluralitas, dan tolerensi tinggi dikedepankan. Perbedaan pandangan, status, religi, dan sebagainya adalah amanah. Perbedaan justru rahmat.

Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa watak mamayu hayuning bawana adalah watak yang ingin memelihara keseimbangan kosmos sehingga tercipta harmonis. Jika harmonis telah tercapai dalam kehidupan, maka akan tercapai ketentraman abadi di dalam hidup sehingga dunia bebas dari rasa ketakutan, peperangan dan kelaparan, kekurangan dan sebagainya. Watak dan sikap ini sangat didambakan siapa saja, apalagi generasi muda yang kelak akan menjadi generasi penerus cita-cita bangsa dan akan menjadi pemimpin negara. Itulah mutiara moral ideologis. Dinyatakan mutiara moral karena terkandung pesan watak atau kepribadian luhur. Adapun ideologis memuat cita-cita luhur. Kedua hal ini apabila mampu menyatu akan menyelamatkan dunia Jawa secara komprehensif.

Setiap orang hendaknya "menghiasi" bangsa "memperindah" bangsanya, yaitu mengusahakan keselamatan bangsanya. Kata indah dalam kaitan ini tidak lain sebagai manifestasi ”hayu”. Hayu, dapat dimaknai hidup, hidup berarti selamat. Hidup yang harmoni, akan selamat sekurang- kurangnya di dunia. Untuk itu,

6 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

menurut orang Jawa, caranya ialah orang harus menepati semua kewajibannya. Orang hidup harus bekerja dan pekerjaan merupakan suatu kewajiban hidup yang besar demi dan selaras dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat terdiri dari keluarga- keluarga yang harus dibela dan dihidupi. Mengusahakan keselamatan bangsa dimulai dari mengusahakan keselamatan keluarga dan keturunannya.

Kalau orang kehilangan martabatnya, tidak menetapi kewajibannya, keselamatan keluarga akan terancam dan ini berarti keselamatan serta kesejahteraan bangsa akan terancam pula. Moral yang tinggi diperlukan agar orang tetap bertanggung jawab akan kewajibannya. Kemerosotan akhlak akan menghancurkan suatu bangsa. Jadi, setiap orang atau pribadi perlu memiliki moral yang tinggi, termasuk juga para pemimpin bangsa. Mereka seharusnya tidak hanya memimpin dengan keahlian, terutama dengan teladan hidup pribadi yang tanpa cela.

Uraian di atas terkandung makna simbolik bahwa kehidupan penghayat selalu berlandaskan budi luhur ke arah moralitas mulia. Bingkai etik atau moral ini yang menuntun penghayat dalam paguyuban maupun masyarakat menjalankan akhlak mulia. Dengan cara ini, keberterimaan masyarakat dan pihak lain akan lebih positif terhadap penghayat. Selain itu, dengan bersikap moral yang terpuji, penghayat juga tertuntun ke jalan hidup yang harmoni. Ketentraman hidup justru dapat diraih dengan bertindak yang menghiasi dunia, sesuai dengan tuntunan budi luhur.

Budi luhur ke arah moral kejawen juga menjadi bekal penghayat mencapai makrifat sosial. Akhirnya, kehidupan mereka dapat damai dan sejahtera lahir batin. Dalam konteks demikian, bisa direnungkan konsep yang terdapat dalam buku Himpunan Pitutur Luhur (Istiasih, 2001:66-67) bahwa memayu hayuning bawana sungguh istilah yang luhur. Ada berbagai padanan makna memayu hayuning pribadi, memayu hayuning kulawarga, memayu hayuning sesama, dan memayu hayuning bawana, yang porosnya adalah mewujudkan keadaan yang selamat, sejahtera, dan bahwa diri sendiri, keluarga, sesama, dan dunia sebagai satu total sinergik harmonis.

Atas dasar hal tersebut, menarik disimak uraian mistis bahwa mamayu ayuning bawana hendaklah dimengerti menurut arti `menghiasi dunia'. Penghiasan tersebut dilakukan oleh manusia, wakil Tuhan dengan menjalankan kewajibannya dengan teliti sehingga dengan demikian kesejahteraan bumi (Indonesia) tercapai. Senada dengan itu, Suseno (1980: 150) menyatakan mamayu hayuning bawana berarti memperindah dunia dan dengan demikian membenarkan kesadaran kosmos. Sebaliknya, mengejar kepentingan-kepentingan egois harus ditegur

7 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

karena mengacaukan keselarasan masyarakat dan kosmos. Lebih tegas lagi Mulder (1983: 40) menjelaskan mamayu hayuning bawana, berarti menghiasi dunia.

Pendapat-pendapat demikian, intinya menukik pada perilaku orang Jawa yang peduli kosmos. Menjaga atau melestarikan adalah kunci tercapainya bawana indah. Dalam konteks bawana, memang terkandung istilah sarira (pribadi), bangsa, dan negara. Totalitas menghiasi dunia ini tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain. Siapa pun yang menjadi pelaku (penghias), semestinya memperhatikan kosmos secara proporsional. Jika salah satu unsur terabaikan, maka harmoni bawana juga sulit tercapai. Bayangkan, ketika gempa besar melanda di belahan bumi Indonesia, mungkin sekali tatanan kosmos kita kurang baik. Kita telah melupakan aspek memayu hayuning bawana, hingga alam melakukan ”perlawanan”. Dengan demikian, budi luhur yang berbasis pada konteks mistik telah mengantarkan penghayat kepercayaan semakin dekat dengan Tuhan. Kedekatan dibangun oleh laku-laku mistik yang mementingkan kehidupan bersama, bukan kepentingan pribadi. Kunci dari seluruh aktivitas mistik memayu hayuning bawana ini pada konsepsi tapa ngrame dan sepi ing pamrih. Akibatnya, penghayat akan mencapai keseimbangan hidup, baik sebagai makhluk sosial maupun pribadi. Kedekatan dengan Tuhan melalui aktivitas hidup yang memperhatikan sesama akan memupuk jiwa sosial.

3. Kepercayaan terhadap tanda-tanda hadirnya bencana alam Tanda-tanda akan hadirnya bencana alam alam masyarakat Jawa berpedoman pada kearifan lokal yang sudah dipercaya turun menurun. Berikut ini merupakan identifikasi tanda-tanda hadirnya bencana menurut masyarakat Jawa. Tabel 5.1 Tabel tanda bencana menurut masyarakat Jawa No Jenis bencana Tanda - tanda 1 Gempa bumi Ada hujan abu, suasana gelap, ayam berteriak-teriak, ada suara greg-greg, ada hujan deras dan angin kencang, ada suara gler. 2 Gunung meletus Ada gempa pelan dan hujan abu, ada tanda-tanda gemuruh yang hebat, tanah bergetar, hewan-hewan yang terdiri dari harimau dan kera turun ke permukiman penduduk, udara panas, ada suara gemuruh yang mengerikan dan keras serta tidak berhenti. 3 Angin putting beliung Ada kabut, bentuk awan bergelombang (ampak – ampak). 4 Tsunami Ada suara „gler‟ dari arah laut, laut mundur ke belakang (surut), biasanya terjadi jumat kliwon (air mulai naik), nelayan mendapat ikan yang besar- besar. 5 Tanah longsor Ada hujan deras, biasanya yang longsor di atas dulu, umumnya terjadi di daerah pereng (miring), tanah

8 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

No Jenis bencana Tanda - tanda bagian bawah bebatuan (tidak ada tanaman), tanah bergerak, ada awan putih atau mega yang berjalan jika terjadi waktu musim kemarau. Sumber: Kompilasi data (2014)

4. Falsafah masyarakat pesisir Jawa Beberapa falsafah masyarakat pesisir Jawa berupa semiotika kultural atau semiotika naratif yang ada antara lain: Nasihat yang turun-temurun bagi masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan kepesisiran dinyatakan dalam bentuk “Manawa sira urip anèng gisik, sira kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali manèh yogané”. Nasihat turun-temurun dengan bahasa Jawa tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: “Seandainya engkau berkehidupan di pantai, engkau harus merelakan seandainya induknya meminta kembali anaknya”. Dalam nasihat tersebut, yang dimaksud dengan induk dimaknai sebagai laut, sedangkan yang dimaksud dengan anak dimaknai sebagai gisik (beach).

Menurut kearifan lokal yang berbentuk nasihat tersebut, bahwa gisik itu sifatnya tidak tetap atau belum stabil. Artinya, pada suatu saat gisik yang ada itu dapat hilang akibat material endapannya terbawa kembali ke laut. Oleh karena itu, nasihat tersebut sudah semestinya dimaknai bahwa manusia yang ingin hidup dan berkehidupan di zona pesisir dan pantai harus mamahami kondisi alami wilayah kepesisiran yang selalu berubah. Bahkan lingkungan pesisir-pantai yang sudah dihuni masyarakat nelayan dapat terkikis oleh aktivitas laut, sehingga lingkungan hunian tersebut menjadi hilang atau rusak.

Ditinjau dari sudut pandang etimologi, kata pulau merupakan hasil kontraksi dua kata, yaitu empu dan laut, artinya, yang mempunyai laut. Dengan demikian menurut etimologi, laut itu miliknya pulau atau pulau itu yang empunya laut.

Primbon masyarakat pesisir. Fenomena yang terjadi berulang-ulang, disimpan dalam ingatan sebagai “simpanan”. Istilah “simpanan” dalam bahasa Jawa adalah “simpenan” atau istilah lainnya adalah “parimbu-an” atau “pa-simpen- an”. Seiring dengan perkembangan kata, istilah “parimbuan” berubah bunyi (salin swara) menjadi “perimbon” dan sekarang dikenal dengan istilah “primbon”. Primbon merupakan simpanan hasil pengingatingatan orang atas kejadian dan pengalaman baik maupun buruk yang menimpanya dan dituturkan secara turun menurun antargenerasi.

9 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Masyarakat pesisir Jawa telah mengamati secara berulang-ulang anomali perilaku hewan menjelang datangnya banjir. Jika pada musim penghujan banyak hewan kepiting (bukan rajungan) naik ke teras rumah atau masuk ke rumah penduduk, maka keadaan itu oleh masyarakat dijadikan tanda (semeion) akan datangnya banjir. Berdasarkan semiologi Saussure, kepiting yang naik ke teras itu sebagai penanda atau indeks dalam analisis semiotika Pierce, sedangkan banjir sebagai petanda. Perilaku kepiting tersebut merupakan bentuk adaptasi tingkah laku hewan akibat tanggapannya terhadap kondisi lingkungan, sehingga terjadi perubahan tingkah laku.

Dalam masyarakat Pantura juga berkembang semiotika kultural yang berupa nasihat atau “pepéling” dalam bentuk “pétangan” atau “pétungan”. Karena “pétangan” itu ada di dalam budaya Jawa, maka sering disebut sebagai “Pétangan Jawa”. “Pétangan Jawa” merupakan tradisi perhitungan dengan sistem nilai atau angka berdasarkan peredaran alam dengan tujuan untuk menyerasikan kegiatan manusia di Bumi ini dengan kondisi alami yang mempengaruhinya. Dasar filsafati “Pétangan Jawa” ada tiga macam, yakni filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama.

Dasar “Pétangan Jawa” terletak pada konsep metafisika Jawa yang fundamental, yaitu “cocok” atau “sesuai”, yang merupakan salah satu cara menyesuaikan diri untuk menghindarkan ketidakselarasan atau ketidakharmonisan dengan tatanan yang telah diatur oleh Tuhan. Makna filsafati kehidupan masyarakat yang didasarkan pada “Pétangan Jawa” mengacu pada pandangan filsafati ekosentrisme, yang dalam hal ini manusia berusaha menyesuaikan diri dengan alam. Berbeda dengan pandangan filsafati antroposentrisme, yang dalam hal ini manusia dapat merusak alam karena manusia menguasai alam.

“Pétangan Jawa”, yaitu terjadinya “Dina Rèntèng” pada musim penghujan biasanya terjadi hujan lebat yang terus-menerus, sehingga terjadi banjir di wilayah tersebut. Pengertian “Dina Rèntèng” adalah hari-hari (tiga hari) yang secara berturut-turut memiliki nilai berjumlah 13 atau 14. “Dina Rèntèng” yang nilainya berjumlah 13 adalah Jumat Pon, Sabtu Wage, dan Minggu Kliwon, sedangkan yang nilainya berjumlah 14 adalah Jumat Kliwon, Sabtu Legi, dan Minggu Paing.

Konsep “Dina Rèntèng” tersebut merupakan gabungan antara saptawara (tujuh hari dari Minggu hingga Sabtu) dan pancawara (lima hari pasaran,dari Kliwon hingga Wage). Konsep saptawara didasarkan pada pengaruh tatasurya (Matahari, Bulan, dan planet) terhadap Bumi, sedangkan konsep pancawara

10 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

didasarkan pada lima unsur pembentuk alam, baik makrokosmos maupun mikrokosmos, yaitu tanah, air, api, udara, dan ether. Namun ada pula yang menyatakan pancawara itu berasal dari sistem mancapat, yaitu sistem yang membagi arah mata angin menjadi empat bagian utama (timur, selatan, barat, dan utara) serta bagian pusatnya sebagai yang kelima.

Berdasarkan konsep saptawara tersebut pada saat terjadi “Dina Rèntèng” pada musim penghujan terjadi hujan lebat berturut-turut selama tiga hari, sehingga terjadi banjir di wilayah itu. Berdasarkan semiologi Saussure “Dina Rèntèng” itu sebagai penanda atau simbol dalam analisis semiotika Pierce, sedangkan banjir sebagai petanda.

5. Pranoto Mongso Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda- tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya.

Urut-urutan pranoto mongso adalah sebagai berikut: Kasa berumur 41 hari (22 Juni – 1 Agustus). Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam polowijo. Karo berumur 23 hari (2 – 24 Agustus). Polowijo mulai tumbuh, pohon randu dan mangga mulai bersemi, tanah mulai retak/berlubang, suasana kering dan panas. Katiga/katelu berumur 24 hari (25 Agustus-17 September). Sumur-sumur mulai kering dananin yang berdebu. Tanah tidak dapat ditanami (jika tanpa irigasi) karena tidak ada air dan panas. Palawija mulai panen. Kapat berumur 25 hari (18 September -12 Oktober) Musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gogo, pohon kapuk mulai berbuah Kalima berumur 27 hari (13 Oktober – 8 Nopember). Mulai ada hujan, petani mulai membetulkan sawah dan membuat pengairan di pinggir sawah, mulai menyebar padi gogo, pohon asam berdaun muda. Kanem berumur 43 hari (9 Nopember – 21 Desember). Musim orang membajak sawah, petani mulai pekerjaannya di sawah, petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan.

11 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kapitu berumur 43 hari (22 Desember – 2 Februari ). Para petani mulai menanam padi, banyak hujan, banyak sungai yang banjir, angin kencang Kawolu berumur 26 hari, tiap 4 tahun sekali berumur 27 hari (3 Februari-28 Februari Padi mulai hijau, uret mulai banyak Kasanga berumur 25 hari (1 – 25 Maret). Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, tonggeret mulai bersuara Kasepuluh berumur 24 hari (26 Maret-18 April). Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan bunting desta berumur 23 hari (19 April-11Mei). Petani mulai panen raya sadha berumur 41 hari (12 Mei – 21 Juni) . Petani mulai menjemur padi dan memasukkannya ke lumbung.

Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga mempengaruhi pergeseran musim hujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian pranoto mongso ini tetap menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam.Berkaitan dengan tantangan maka pemanasan global juga menjadi tantangan petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal di Jawa

6. Nyabuk Gunung. Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit Sumbing dan Sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor/erosi.

7. Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin) Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat tersebut, tetapi memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena merasa takut kalau akan berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar, hal ini sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon tersebut berarti menjaga sumber air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan biasanya didekat pohon tersebut ada sumber air.

8. Budaya Ngrowot Ngrowot adalah tindakan mengkonsumsi krowotan, yaitu pala kependhem misalnya ketela dan ubi jalar. Ada juga yang mengartikan ngrowot dengan hanya mengkonsumsi ubi-ubian dan buah-buahan, namun beberapa orang menyebut

12 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

perilaku mengkonsumsi buah-buahan dengan istilah „ngalong‟ (mengingatkan kita pada perilaku kalong yang makan buah-buahan). Pendapat lain menyatakan ngrowot berarti hanya makan ketela, ubi jalar, talas, uwi, ganyong, maupun garut. Dalam artian luas ngrowot bermakna menumpukan sumber tenaga dari sumber karbohidrat lokal selain beras yang istilah kerennya diversifikasi pangan. Hal ini menunjukkan kearifan budaya lokal, leluhur kita telah menerapkan diversifikasi pangan bahkan sebelum istilah ini marak didengungkan.

Budaya ngrowot meniadakan/mengurangi ketergantungan pada beras yang membutuhkan infra struktur mahal. Berarti juga pendayagunaan sumberdaya lokal pekarangan yang bersifat tahan naungan, tegalan dengan input rendah, dan bertujuan memenuhi kecukupan gizi dengan swadaya lokal.

Selain makna harafiah dari pola konsumsi ngrowot, didalamnya tergantung makna filosofis yang bersifat fundamental. Makna kebersahajaan, mengoptimalkan potensi lokal yang ada, sebagai ungkapan keprihatinan, „lantaran‟/laku untuk menata hati menggapai cita-cita yang lebih hakiki maupun pernyataan manusia sebagai bagian dari keutuhan alam ciptaan Tuhan.

9. Nasi Tumpeng Nasi tumpeng merupakan kuliner khas Jawa, penyajiannya pun sangat khas. Nasi yang berbentuk kerucut itu selalu diletakkan di atas tampah (semacam nampan bundar dari anyaman bambu) yang dialasi dengan daun pisang. Kemudian lauk pauk yang bermacam-macam itu ditata mengelilingi nasi.

Nasi tumpeng merupakan masakan khas Suku Jawa yang biasa dihidangkan dalam perayaan atau acara-acara adat Jawa. Selain itu, sebagian masyarakat moderen juga sering menyajikan nasi tumpeng dalam perayaan non-adat, seperti syukuran ulang tahun dan peresmian sebuah instansi atau tempat usaha. Sehingga, nasi tumpeng semakin populer di kalangan masyarakat umum. Termasuk saya yang berasal dari Kalimantan.

Bentuk kerucut pada nasi tumpeng merepresentasikan bentuk gunung. Gunung sebagai pasak bumi melambangkan pasak bumi yang mengukuhkan bumi, ibaratnya pasak yang mengikat dua batang kayu dan menjadikannya kokoh bersatu. Sedangkan lauk pauk yang beraneka rasa (asam, manis, pedas, asin) menggambarkan kehidupan kita yang selalu berganti hari demi hari. Kadangkala kehidupan kita manis dan menyenangkan. Di lain waktu, bisa saja kehidupan kita

13 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

terasa kecut karena kesedihan, atau mungkin pedas karena kekecewaan mendalam yang menyebabkan kemarahan. Itulah makna di balik nasi tumpeng, sebuah simbol kekuatan (pasak bumi) yang ditengah asam garam suka duka kehidupan. Berdasarkan latar belakang tersebut, nasi tumpeng pun menjadi sajian yang umum tersedia pada acara selamatan atau syukuran.

Filosofi nasi tumpeng Nasi putih: bentuk gunung atau kerucut melambangkan tangan yang merapat menyembah kepada Tuhan. Dapat dikatakan, nasi tumpeng merupakan perwujudan dari rasa syulur, persembahan sekaligus permohonan kepada Tuhan. Cara pandang ini didukung dengan ajaran kejawen (ajaran adat Jawa) yang menganggap gunung adalah tempat yang kudus dan suci, serta hubungannya yang erat dengan langit dan surga.

Dalam ajaran Hindu yang dulu tersebar di Pulau Jawa, gunung adalah sumber awal kehidupan. Pada kisah Mahabaratha diceritakan tentang gunung Mandara yang mengalir air kehidupan (amerta), dan siapa yang meminumnya akan mendapat keselamatan. Ini adalah cikal-bakal tradisi tumpeng dalam acara selamatan. Bentuk ini juga dapat dimaknai sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin “naik” dan “tinggi”. Selain itu, nasi putih melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah berasal dari sumber yang bersih atau halal.

Ayam: ayam jago (jantan) yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental), merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati diraih dengan mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri.

Ikan Lele: dahulu lauk ikan yang digunakan adalah ikan lele bukan banding atau gurami atau lainnya. Ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan symbol ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling sulit sekalipun.

Ikan Teri / Gereh Pethek: Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan kerukunan.

14 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan.

Sayuran dan urab-uraban: Sayuran yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung symbol-simbol antara lain: Kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, tercapai. Bayam (bayem) berarti ayem tentrem atau nyaman dan tenteram, Taoge/cambah yang berarti tumbuh, Kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/innovative, Brambang (bawang merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang baik buruknya, cabe merah diujung tumpeng merupakan symbol dilah/api yang meberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain. Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya. Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Dalam selamatan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang “dituakan” sebagai penghormatan. Setelah itu, nasi tumpeng disantap bersama- sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.

10. Wiwitan Orang Jawa melakukan upacara wiwitan sebelum panen padi sehingga ada pelajaran untuk membiasakan memilih benih unggul buatannya sendiri sebelum dilakukan pemanenan padi yang akan diperjualbelikan atau untuk konsumsi. Menyiapkan benih unggul adalah sangat penting bagi keberlanjutan usaha tani.

11. Punden Di desa-desa masa lalu Jawa selalu ada tempat yang disebut punden berupa hutan lebat dan disampingnya adalah makam. Segala jenis tanaman yang tumbuh di punden tidak boleh diganggu keberadaannya kecuali untuk dilestarikan dan

15 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

dikembangkan. Punden biasanya memberi manfaat pada kelestarian sumber air dan ketersediaan plasma nutfah lokal.

12. Pitutur Luhur. Dalam filsafah jawa dikenal pitutur luhur berarti kata-kata luhur atau bisa juga diartikan kata-kata bijak. Bagi masyarakat Jawa, pitutur luhur diperoleh dari leluhur mereka yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan tentang bagaimana bersikap sesama manusia maupun perlakuan terhadap alam. Filsafat jawa juga mengajarkan kita bagaimana bersikap kepada alam.

Aja nggugu karepe dhewe, jika diterjemahkan berarti jangan berbuat sekehendak sendiri. Kata-kata ini mengajarkan tentang bagaimana kita harus mengendalikan diri untuk tidak berbuat semena-mena kepada orang lain. Mengajarkan kita tentang bagaimana mengelola nafsu, mengendalikan nafsu, dan bukan dikendalikan oleh nafsu. Tidak berbuat semena-mena kepada orang lain berarti juga tidak berbuat semena-mena terhadap alam. Jika berbuat demikian, kerusakan alam karena ulah manusia demi kepentingan pribadi akan berdampak pula pada orang lain.

Ibu bumi, bapa aksa. Artinya ibu adalah bumi, bapak adalah langit. Maksudnya bumi adalah simbol ibu yang memberikan kesuburan tanah sebagai tempat kegiatan pertanian. Langit adalah simbol bapak yang memberikan keberkahan lewat hujan. Ajaran ini mengajarkan kita bagaimana menyayangi, melindungi, dan menghormati bumi beserta langit sebagaimana kita melakukannya kepada kedua orang tua. Jika kita merusak bumi, maka langit pun akan ikut marah. Seperti halnya jika kita berbuat tidak baik kepada ibu, maka bapak pun akan marah, demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh adanya perusakan hutan. Hutan merupakan penopang keseimbangan ekosistem. Jika dirusak, maka ekosistem akan kacau dan iklim menjadi tidak menentu. Akibatnya langit menunjukan kemarahannya dengan fenomena seperti badai, curah hujan tinggi, dan lain-lain.

Asta brata atau delapan ajaran. Merupakan ajaran kemanusiaan dan kepemimpinan. Ajaran ini juga sering diajarkan kepada putra mahkota raja-raja jawa. Ajaran ini bertolak pada filsafat bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan awan. Dalam perkembangannya asta brata tidak diajarkan hanya kepada putra mahkota kerajaan, tetapi juga kepada masyarakat luas. Delapan elemen tersebut merupakan elemen yang saling berkaitan satu sama lain dan memiliki pengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia.

16 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah yang berarti kerukunan menumbuhkan kekuatan, perpecahan menumbuhkan kerusakan. Secara jelas menganjurkan kita untuk hidup rukun, dalam arti masyarakat yang terintegrasi.

13. Babad Tanah Jawa Dalam penciptaan peradaban jawa tidak lepas dari mitos dan alam. Diceritakan menurut Babad Tanah jawa, dahulu tanah jawa berupa hutan rimba yang dihuni oleh sekelompok makluk halus. Kemudian manusia datang dan membangun peradaban di Pulau Jawa. Manusia tersebut adalah seorang pendeta dari kerajaan arab yang mendapatkan titah dari rajanya untuk membangun peradaban di tempat tersebut, Ketika ingin menjalankan tugasnya, pendeta itu didatangi Semar, tokoh wayang yang lucu dan bijak, sebagai pemimpin dari makhluk halus di jawa. Semar merasa keberatan dengan kedatangan pendeta itu karena anak cucunya takut dengan ilmu dan agama yang dia miliki. Namun pendeta tersebut tidak akan menggangu mereka, jika mereka juga tidak menggangu manusia. Pendeta tersebut memberikan penawaran kepada Semar untuk memerintahkan anak cucunya pindah ke gunung dan laut selatan. Semar pun juga meminta kepada pendeta untuk memperingatkan manusia untuk jangan merusak gunung dan laut selatan, karena itu adalah tempat tinggal para penunggu tanah jawa. Jika manusia merusak tempat tinggalnya, maka mereka akan menciptakn bencana sebagai balasan kepada manusia yang merusak alam mereka. Di ceritakan perjanjian antara pendeta dengan semar menemui kata sepakat sampai Pulau Jawa tumbuh peradabannya.

Terlepas dari benar tidaknya, mitos yang diceritakan dalam Babad Tanah Jawa tersebut memberikan pelajaran kepada masyarakat bagaimana sikap manusia terhadap alam. Meskipun dalam cerita tersebut terdapat unsur gaib, namun masyarakat terutama yang bersifat tradisional relatif dapat mengikuti perintah yang secara tersirat dalam cerita tersebut.

Bentuk-bentuk penghormatan kepada gunung dan hutan sebagai ruang yang diyakini sebagai tempat yang “berpenghuni” dalam arti terdapat kekuatan gaib atau istilahnya angker, ternyata menciptakan cara berperilaku yang tidak jauh dengan prinsip konservasi. Dalam prinsip konservasi yang dibutuhkan adalah rasa saling menghormati dan menjaga alam. Masyarakat cenderung akan berpikir ulang jika melakukan kegiatan di tempat-tempat yang dianggap angker. Mereka akan menjaga dan menghormati tempat-tempat tersebut. Meskipun bentuk dari penghormatan tersebut seringkali berupa ritual-ritual tertentu, namun dalam hal ini mampu menciptakan sikap bijaksana untuk menghargai alam. Suatu tempat yang dianggap angker membuat aktifitas manusia jarang dilakukan di tempat tersebut. Hal ini justru dapat menjaga keseimbangan ekosistem karena kurangnya aktifitas manusia.

17 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

14. Paribasan, Bebasan, dan Saloka. Ungkapan yang menggambarkan sikap dan pandangan hidup masyarakat Jawa, antara lain: Giri lusi janna kena ingina ‟tidak boleh menghina orang lain‟ Alon-alon waton kelakon Luwih becik alon-alon waton kelakon, tinimbang kebat kliwat mengandung nilai bahwa salah satu sikap hidup orang Jawa yang tidak ingin gagal dalam meraih apa yang diinginkan. Kata alon-alon di dalamnya sebenarnya tersirat makna cara. Jadi, alon-alon hanyalah cara bagaimana seseorang akan mencapai tujuan karena yang penting adalah kriteria yaitu waton kelakon (harus terlaksana) daripada kebat kliwat (tergesa-gesa tetapi gagal) Hamangku, hamengku, hamengkoni. Hamangku, hamengku, hamengkoni. Hamangku diartikan sebagai sikap dan pandangan yang harus berani bertanggung jawab terhadap kewajibannya, hamengku diartikan sebagai sikap dan pandangan yang harus berani ngrengkuh (mengaku sebagai kewajibannya dan hamengkoni dalam arti selalu bersikap berani melindungi dalam segala situasi. Jadi, seorang pemimpin dalam pandangan masyarakat Jawa itu harus selalu berani bertanggung jawab, mengakui rakyatnya sebagai bagian dari hidupnya dan setiap saat harus selalu melindungi dalam segala kondisi dan situasi. Ing arsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani Ungkapan ini juga berasal dari bahasa Jawa dan mengandung nilai-nilai yang sangat baik untuk panutan seorang pemimpin. Apabila seseorang benar-benar ingin disebut sebagai seorang pemimpin, dia harus selalu berada di depan untuk memberikan contoh yang baik dalam bentuk sikap, ucapan, dan tindakan yang selalu konsisten. Manakala seorang pemimpin berada di tengah- tengah rakyatnya, dia harus mangun karsa (memberi semangat) agar rakyat tidak mudah putus asa jika menghadapi segala macam cobaan. Ketika dia di belakang, dia harus selalu tut wuri handayani (mau mendorong) agar rakyatnya selalu maju. Melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wan. Melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani dalam arti segala prestasi yang dicapai dalam suatu tempat atau negara akan selalu dijaga oleh rakyatnya dengan baik karena rakyat merasa ikut memiliki melu handarbeni, dan jika ada orang lain yang akan merusak tatanan yang sudah mapan, rakyat juga akan ikut membela melu hangrungkebi. Namun, semua itu dilakukan setelah mengetahui secara pasti duduk persoalan mana yang benar dan mana yang salah dengan mulat sarira hangrasa wani (mawas diri). Nglurug tanpa bala, menang tanpa angsorake

18 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, artinya segala persoalan dapat diselesaikan sendiri dengan baik tanpa harus merendahkan martabat orang lain yang bermasalah dengan dirinya. Weweh tanpa kelangan (memberi tanpa harus kehilangan sesuatu) Yitna yuwana, lena kena Kencana wingka Sepi ing pamrih rame ing gawe (orang yang bekerja sungguh-sungguh tanpa menginginkan imbalan)

Ungkapan–ungkapan yang berhubungan dengan tekad kuat: Rawe-rawe rantas -malang tuntas (segala sesuatu yang menghalangi akan diberantas) Sura dira jayaning rat, pangruwating diyu, lebur dening pangastuti. (siapa pun harus berani membasmi angkara murka untuk membela kebenaran karena adanya keyakinan bahwa angkara murka pasti dapat dikalahkan oleh kebaikan). Opor bebek, mateng awake dhewek (orang yang sukses karena usaha sendiri)

Ungkapan yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan: Golekana tapake kontul nglayang (carilah jejak kaki burung kontul) Golekana galihing kangkung (carilah terasnya pohon kangkung) Golekana susuhing angin (carilah sarangnya angin) Manunggaling kawula gusti (bersatunya alam kecil dan alam besar)

5.2 KEARIFAN LOKAL EKS KARESIDENAN PEKALONGAN SECARA KHUSUS. A. Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan memiliki kebudayaan yang similar. Beberapa budaya dan kesenian di Kota Pekalongan antara lain: Tari Sintren Sintren adalah kesenian tradisional masyarakat Pekalongan dan sekitarnya, Sintren adalah sebuah tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Sulandono. Tersebut dalam kisah bahwa Sulandono adalah putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Kir Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung

19 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

melalui alam goib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan R. Sulandono.

Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari betul-betul masih dalam keadaan suci (perawan). Sinteren diperankan seorang gaadis yang masih suci, dibantu oleh pawangnya dan diiringi gending 6 orang sesuai Pengembangan tari sintren sebagai hiburan budaya maka dilengkapi dengan penari pendamping dan bador (lawak).

Didalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, Si pawang (dalang) sering mengundang Rokh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bilamana hal itu dapat berhasil maka pemain Sintren akan kelihatan lebih cantik dan dalam membawakan tarian lebih lincah dan mempesonakan. banyak berpengaruh gaya dan motif Cina.

Simtudorror Merupakan kesenian tradisional yang bernafaskan Islam dengan menggunakan Rebana dan Jidor sebagai alat musiknya. Kesenian ini beranggotakan antara 15 orang - 20 orang, dengan diiringi musik mereka melantunkan puji- pujian atau sholawatan sebagai ungkapan syukur dan permohonan keselamatan dunia dan akhiran pada Allah SWT. Kesenian ini biasa digunakan pada saat pembukaan acara khajatan atau selamatan yang diselenggarakan oleh warga masyarakat Kota Pekalongan yang terkenal dengan ketaatannya dalam menjalankan perintah Agama.

Lopisan Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855 M. kali pertama yang mengelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso.

Beliau wafat di Magelang sedang makam beliau terletak dikompleks pemakaman Masjid Payaman Magelang, yang hingga kini makamnya masih banyak dikunjungi

20 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

peziarah dari segenap penjuru tanah air, khususnya Jawa Tengah, baik pagi, siang, sore ataupun malam hari sepanjang tahun.

Adapun Khoulnya bertepatan dengan Syawalan disini (Kota Pekalongan); yaitu tanggal 8 Syawal tahun hijriyah. Pada tanggal 8 Syawalnya, masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, merekapun membuat acara „open house’ menerima para tamu baik dari manca desa maupun manca kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong- bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal.

Tradisi Pek Chun Tradisi Pek Chun pada hakekatnya hampir sama dengan tradisi sedekah laut atau Nyadran hanya saja, tradisi ini diselenggarakan oleh warga Tionghoa di Kota Pekalongan. Pada prinsipnya acaranya sama, hanya penyelenggara, isi perahu dan waktunya yang berbeda. Tradisi Pek Chun dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa menurut kalender China pada perayaan tahun baru china atau imlek. Acara yang mengiringi tradisi Pek Chun adalah Pentas seni Barongsai dan kesenian masyarakat china lainnya serta makan bersama dan pelaksanaan berbagai lomba. Jumlah pengunjung pada pelaksanaan tradisi Nyadran dan Pek Chun mencapai ribuan orang, yang berasal dari seluruh pelosok Kota Pekalongan dan masyarakat sekitarnya serta wisatawan mancanegara yang kebetulan berada di Kota Pekalongan.

Samproh Samproh merupakan kesenian tradisional yang bernafaskan Islam, yang beranggotakan beberapa wanita dengan diiringi lantunan alat musik seperti Rebana, Sedangkan Simtuduror juga merupakan kesenian tradisional yang bernafaskan Islam dengan menggunakan Rebana dan Jidor sebagai alat musiknya. Kesenian ini beranggotakan antara 15 orang - 20 orang, dengan diiringi musik mereka melantunkan puji-pujian atau sholawatan sebagai ungkapan syukur dan permohonan keselamatan dunia dan akhiran pada Allah SWT. Kesenian ini biasa digunakan pada saat pembukaan acara khajatan atau selamatan yang

21 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

diselenggarakan oleh warga masyarakat Kota Pekalongan yang terkenal dengan ketaatannya dalam menjalankan perintah Agama.

Sedekah Laut/ Nyadran Tradisi Sedekah Laut / Nyadran banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kota Pekalongan yang biasa disebut Tradisi Nyadran. Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat nelayan Kota Pekalongan setiap bulan Syuro sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil laut yang melimpah. Pada tradisi ini para nelayan bersama masyarakat mengadakan Ritual Sadranan dengan menghias kapal-kapal nelayan yang berisi sesaji antara lain Kepala Kerbau, aneka jajan pasar, wayang Dewi Sri dan Pandawa Lima, aneka mainan anak-anak, serta setelah melalui beberapa prosesi dan do‟a selamatan kemudian dibawa ketengah laut untuk dilarung yang diawali pelarungan Kepala Kerbau oleh seorang Tokoh Spiritual. 13 Isi perahu yang telah dilarung akan menjadi rebutan anak-anak nelayan dengan harapan mendapat barokah dari Allah SWT melalui barang-barang yang dilarung tersebut. Pada saat yang bersamaan diselenggarakan juga Ritual Pementasan Wayang Kulit dengan cerita Bedog Basu yang menceritakan terjadinya ikan di darat dam di laut, serta berbagai kegiatan lomba olahraga, kesenian dan kulirner ikan hasil tangkapan nelayan.

Kain batik Pekalongan Pemakaian kain pada masa lampau merupakan salah satu sarana untuk menutupi bagian tubuh. Bersamaan dengan proses pembudayaan dan tingkat kebutuhan. fungsi dari pemakaian kain berkembang menjadi pelengkap keindahan maupun symbol untuk perhajatan terhadap Tuhan yang disembah. Penggunaan kain pada jaman Indonesia-Hindu di Jawa dilakukan menurut kebutuhannya dan untuk melengkapi keindahan dibuatlah sejenis kain ikat pinggul yang diberi nama uncal, sampur dan bira.

Kain yang sesuai dengan tingkat derajat pemakaiannya digunakan untuk upacara keagamaan dan upacara manusuk sima. Kain-kain itu terdiri dari beberapa jenis, misalnya kain kaliyaga, jaro, pinilai, rangga, bira, atamaraksa, dan sebagainya. barang-barang semacam itu dinamakan pasak-pasak. hadiah tersebut tidak selalu datang dari raja tetapi bisa juga diberikan oleh pejabat bawahan seperti kepala desa kepada raja atau rakyat.

Pada prasasti poh disebutkan bahwa para ketua desa dan orang-orang tua di poh mempersembahkan kain jenis jaro kepada sri maharaja. Selain itu, kain jenis jaro beserta emas sebanyak 5 suwarno (gram) diberikan kepada nenek raja dalam jumlah yang sama. Selanjutnya, satu stel kain jenis kaliyaga dan emas sebanyak 4 suwarno diberikan kepada rakyanapatih. Suatu ketika kepada pejabat tinggi

22 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

lainnya juga diberikan kain jenis kaliyaga dan emas 1 suwarno. Kain jenis kaliyaga dan jaro merupakan kain pilihan yang pantas untuk raja atau orang yang berderajat tinggi, sedangkan jenis kain untuk rakyat biasa dan para wanita adalah jenis pinilai. Apabila melihat tingkat sosial pemakai kain pinilai adalah golongan rendah, maka bisa dikatakan kain tersebut, ada juga nama wdihan yang berarti kain untuk laki-laki yang disebut bebed dan kain perempuan disebut tapih.

Masyarakat di beberapa tempat di desa-desa Jawa maupun Pekalongan kuno sudah terbiasa memakai tapih dan bebed, sedangkan anak-anak memakai jenis kain rangga. Pemakaian kain jenis bebed maupun tapih tidak saja putih polos sesuai aslinya , tetapi diberi warna serta ragam hias dengan cara membatik utuk menambah keindahan serta tujuan tertentu dan dibuat oleh golongan pengrajin yang disebut astacandala. Meskipun para astacandala terdiri dari golongan rakyat biasa, mereka mendapat tempat atau kedudukan yang dihormati karena kepandaiannya oleh para pu atau pendeta. Kain batik tersebut selain dibuat untuk bebed atau tapih, juga dipakai sebagai benda pelengkap upacara keagamaan. batik dengan hiasan dan warna tertentu dipakai sebagai alas tempat sesaji dalam pura.

Secara ekonomis, batik pada masa lampau belum menunjukan sebagai barang yang diperdagangkan. pemakaian kain berpola masih terbatas digunakan oleh kalangan masyarakat tertentu, seperti para brahmana dan pendeta. Para raja dan keluarganya lebih banyak menerima hadiah kain bercorak atau sulaman dengan hiasan tertentu seperti halnya tenun patola dari India (pantai gujarat) atau Thailand yang dibuat dengan teknik tenun ganda. oleh karena kain-kain tersebut mahal dana semakin langka sehingga sulit dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, maka golonan astacandala membuat kain dengan ragam hias yang sama namun dengan teknik berbeda yaitu teknik batik. itulah pertama kali pembuatan kain dengan ragam hias batik dimulai.

Ragam hias batik kuno Secara umum, perkembangan ragam hias batik kuno pertama kali diilhami dari bentuk ragam hias pahatan tiga dimensi yang terdapat pada relief candi maupun hiasan arca. Kedua adalah bentuk tumbuh-tumbuhan (flora) dan binatang (fauna) seperti sulur-sulur daun, bunga, ikan, burung, dan singa. Adapun yang ketiga adalah bentuk garis atau bidang berbentuk geometris yang mengandung lambang tanda perhitungan hari dan bulan serta bentuk bangun tertutup berupa garis-garis, segitiga, setengah bulatan, bulatan-bulatan, atau yang lainnya. Bentuk segitiga atau bulatan, bentuk ikal, dan garis gelombang dikenal sebagai ragam hias pilin, meander, dan swastika. Ragam hiasan seperti itu sebenarnya sudah hadir dan sudah umum pada masa prasejarah, khususnya pada jaman perunggu.

23 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

peninggalan nenek moyang berupa batu kubur di pulau sumbah telah menggunakan ragam hias semacam itu.

Ragam hias segitiga adalah ragam hias yang dalam istilah jawa disebut “tumpal” dan maknanya lambang kekuasaan. Beberapa sumber menyebutkan ragam hias tersebut berasal dari India dan merupakan stilirisasi gigi buaya sebagai lambang penolak bala. Ragam hias segitiga pada batik terdapat pada sarung, kain kepala (pada ujung kanan dan kiri kain) serta kain stengah kepala (1 ujung saja yang mempunyai ragam hias segitiga). Ragam hias “tumpal” banyak dipakai untuk hiasan bagian kepala (jakata makuto) arca. Pohon hayat yang disebut kapaltaru membentuk sulur daun yang dijaga oleh naga juga dipakai oleh ragam hias “tumpal”.

Ada beberapa pola batik pada masa hindu kuno dijawa, antara lain pola kawong, tumpal, ceplokan. padmasabha, dan sebagainya. semuanya itu menjadi dasar bentuk pola-pola ragam hias batik. Pola semacam itu bersumber dari lingkaran candi, sedangkan untuk pola kawong, tumpal, ceplokan dipengaruhi oleh bentuk ragam hias yang terdapat pada hiasan kubur batu pada masa prasejarah. Masing- masing ragam hias memiliki ragam seni, dan makna perlambangan yang secara bersinambungan dapat menyatu menjadi sebuah hiasan kuno. Pada masa lampau, kerejaan yang pada waktu itu berada di pemerintahan mataram kuno. Penggunaan dan pembuatan batik terus berlangsung hingga abad XII setelah kekuasaan Mataram Hindu pindah ke Jawa Timur dan menjelang keruntuhannya pada abad XVI.

Ragam hias yang menjadi ragam batik terus dikembangkan oleh keluarga didalam kraton sampai dengan periode mataram baru pada abad XVI masehi dan kesakralannya dijadikannya sebagai simbol status suatu jabatan. Meskipun masyarakat saat itu membuat batik, baik untuk pelengkap sarana upacara maupun dipakai sebagai busana dalam pengembangannya masih ketinggalan apabila dibandingkan dengan batik-batik yang dibuat di daerah pedalaman dan pusat kerajaan.

Batik kuno Pekalongan Berdasarkan penelitian pada beberapa batik yang terdapat di dua desa yaitu Desa Deles, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang dan Desa Lebak Barang di Kabupaten Pekalongan, terdapat indikasi bahwa batik di kedua desa tersebut menunjukkan pola batik pekalongan kuno. Pola batik itu terdiri dari tiga bidang dengan garis pinggir berbentuk padmasana dan garis ratna sambawa, sedangkan pada bagian tengah batik tersebut terdapat ragam hias bulatan dan ukel yang menunjukkan bahwa teknik pembuatannya dilakukan dengan dua cara.

24 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Batik Pesisiran Pertumbuhan seni kerajinan batik yang ditentukan oleh pola,warna,dan ragam hias itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan jaman. Masa Demak adalah masa orientasi budaya keraton bercorak Islam yang berasal dari lingkungan masyarakat pesisir utara Jawa. Konsepsi Islam memberikan ruang terciptanya suatu identitas yang mengacu pada bangunan suci seperti masjid,atau makam. Suatu hal yang spesifik bahwa ragam hias pada masa Hindu- Jawa Tengah sampai jaman Majapahit merupakan ragam hias yang sudah baku bertolak pada bangunan keraton dan candi. Ragam hias lama seperti tumpal, ukel, kawung dan sulur daun, masih terpahat pada ukiran pintu dan panil-panil tiang masjid Demak.

Demikian pula halnya deagan warna-warna yang menghiasi keseluruhan bangunan. warna hijau,merah,serta kuning emas telah menunjukkan corak yang khas sebagai prototype warna bangunan keraton majapahit yang pernah ditangani oleh Tionghoa pada abad XIV. Sesuatu yang sangat spesifik adalah corak bangunan dan hiasannya yang menampilkan warna-warna Cina. Hal itu menandakan adanya persamaan persepsi tentang kedua unsur budaya yang berkembang pada masa Hindu Konfusius ke dalam Islam. Munculnya pola meander dan pilin ke dalam bentuk ragam hias pra Islam adalah suatu bagian dari bentuk stilirisasi (yang disesuaikan) dengan corak yang berkembang saat itu. Oleh karenanya, hiasan medallion yang menempel pada hiasan masjid mantingan di makam Ratu Kalinyamat, Jepara, telah disamarkan dalam bentuk arabiksi. ragam hias daun atau sulur rambat seperti daun teratai dan bentuk eceng-ecengan pada hiasan masjid mantingan juga terlihat diterapkan dalam batik yang disebut corak “Demakan”.

Stilirisasi pola pada batik pesisiran yang mendapat pengaruh dari lingkungannya tidak saja bersumber dari masjid atau makam tetapi juga dari lingkungan alam. Pola yang disebut “kapal kandas” pada batik rembang dan “tritis” pada batik lasem adalah salah satu contoh diantara batik dari kedua daerah itu yang diperkirakan berkembang pada awal abad XVI dan XVII masehi. Batik “kapal kandas” mewakili kota pada saat kota yang bersangkutan merupakan kota pelabuhan. stilirisasi bentuk ragam hias perahu pecaling, ombak-ombak laut, dan gunung yang dilengkapi dengan ragam hias sulur rambat telah diekspresikan dengan media lilin pada kain sehingga terbentuklah sebuah lukisan klasik anonym yaitu batik. pada pola batik itu, sekilas dapat memberikan petunjuk adanya sejarah kota di pesisir utara jawa pada pertengahan abad XVI dan XVII masehi. Jepara, Demak, dan Tuban disebut sebagai wilayah sandang garba “raja kaum pedagang”. sebutan itu mengindikasikan bahwa pada jaman duhulu kota-kota tersebut merupakan kota pelabuhan yang sangat penting. kata “sandang” sudah menunjukan adanya perdagangan pakaian yang berjalan seiring dengan

25 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

perdagangan beras yang menjadi primadona pada masa itu. Meskipun kapasitasnya tidak terlalu besar, pedagang cina-rembang telah memanfaatkan pembuatan batik sebagai barang kaomoditi. Penyebaran batik pesisiran dari kota- kota di Jawa pada masa Demak dan sesudahnya, berkembang sejak hubungan berdagang lalau lintas antar pulau berlangsung. pada tahun 1614 penguasaan wilayah oleh raj-raja mataram pada tahun itu lebih cenderung kearah bagian timur sampai pulau madura, bali, dan lombok.

Orientasi ragam hias pada batik Madura mengacu pada perkembangan ragam hias batik Jawa. Namun demikian, berbagai pengaruh ragam hias lokal pada makam raja-raja Tjakraningrat juga kita dapati sebagai sumber inspirasi bagi pembatik Madura. Hal tersebut dapat dipahami mengingat pada masa itu kerajaan Mataram menjangkau pulau Madura hingga ujung timur dan bukti peninggalannya dapat kita lihat di keraton Sumenep. Objek flora dan fauna seperti salur rambat, salur gelung, ombat laut, mega mendung, gunung, dan jenis binatang seperti garuda, singa, dan banteng, yang terbingkai dalam bentuk medallion telah memberikan aksentuasi secara samar-samar sebagai kelengkapan ragam hias lama yang lahir pada masa pra sejarah dan masa hindu-jawa tengah seperti pola kawun, ceplokan, maupun hias ukel dan tumpal.

Selain batik Madura dan Pekalongan dengan warna-warni yang sangat mencolok, batik-batik di pesisir utara Jawa seperti Demak, Rembang, dan Lasem, hampir semuanya menunjukan warna yang jelas warna klasik soga, nila dan mengkudu yang mendapatkan warna tambahan kuning dan hijau. Pada awalnya warna tersebut selalu diperoleh dari bahan pewarna alam. Akhirnya, pola batik pesisiran adalah sebuah adaptasi dari pola lama yang berasal dari batik pedalaman / keraton yang digabung dengan stilirisasi pola baru setelah terjadinya konversi Islam di Jawa serta pengaruh ragam hias dari kaum pendatang manca negara seperti Cina, India, Arab, dan Belanda.

26 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Falsafah Manawa sira urip anèng gisik, sira kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali manèh yogane NORMA- NORMA Pitutur luhur : Aja nggugu karepe dhewe, Ibu bumi, LOKAL bapa aksa., Asta brata, Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.

Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin) Wiwitan Tari Sintren RITUAL DAN TRADISI Lopisan Pek Chun Sedekah laut / nyadran

Babad tanah Jawa, sejarah Pekalongan Simtudorror LAGU, LEGENDA, CERITA Samproh

Pranoto mongso Kepercayaan terhadap tanda-tanda hadirnya bencana INFORMASI DATA alam Petangan Jawa

Sastra Jawa Memayu Hayuning Bawana Primbon MANUSKRIP Paribasan, bebasan, Saloka Kejawen

Nyabuk Gunung CARA KOMUNITAS Budaya Ngrowot LOKAL MEMENUHI

KEBUTUHAN

Punden

SUMBER DAYA ALAM

Rumah joglo Nasi tumpeng untuk selamatan ALAT / BAHAN Kain batik Pekalongan Batik Pesisir

Gambar 5.3 Kearifan Lokal Pekalongan

27 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

B. Kabupaten Tegal Beberapa budaya dan kesenian Kabupaten Tegal antara lain: Rebo Wekasan Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah hari Rabu di minggu terakhir di bulan Safar (dalam bahasa Jawa: Sapar). Masyarakat Jawa percaya bahwa bencana dan mala petaka banyak terjadi pada hari itu. Sehingga mereka perlu melakukan upaya pencegahan agar bencana dan mala petaka ini tidak terjadi pada mereka. Maka pada hari itu masyarakat banyak yang melaksanakan shalat Rebo Wekasan, mandi di sungai, mengunjungi sanak saudara, bahkan membuat serangkaian acara selama seharian yang kemudian ditutup dengan pertunjukkan wayang, dan lain sebagainya.

Setiap daerah memiliki cara dan keunikan masing-masing dalam pada saat Rebo Wekasan ini. Tak terkecuali di Tegal, acara ini pun menjadi sebuah tradisi yang masih dilaksanakan sampai sekarang ini. Masyarakat Tegal banyak yang mempercayai kalau pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar ini, akan banyak bencana dan mala petaka. Sehingga banyak dari mereka, baik itu anak-anak sampai orang dewasa melakukan berbagai upaya untuk terhindar dari bencana dan mala petaka tersebut. Tradisi yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Tegal dalam menghadapi Rebo Wekasan, yaitu tradisi mencukur beberapa helai rambut dan tradisi membuat bubur merah dan putih, yang kemudian dibagikan ke tetangga mereka. Tak ada bukti tertulis mengenai tradisi ini. Kapan tradisi mulai dilaksanakan dan siapa yang memulainya belum ada yang mengetahui. Akan tetapi, tradisi ini seakan sudah menjalar dalam masyarakat dan seakan jika tidak dilaksanakan, bencana dan mala petaka akan datang menimpa mereka.

Selain tradisi mencukur rambut dan juga membuat bubur, ada juga tradisi unik lain yang dilaksanakan di Tegal selama Rebo Wekasan. Tradisi itu dilaksanakan di dua kecamatan di Tegal, yaitu di Suradadi dan Lebaksiu. Meskipun pada dasarnya sama, yaitu untuk memperingati Rebo Wekasan, tetapi kegiatan yang dilaksanakan berbeda.

Sedekah Laut Prosesi ini diawali dengan melarung sebuah perahu berisi beraneka macam sesaji, seperti buah- buahan, nasi tumpeng lengkap dengan lauk- pauknya hingga kepala seekor kerbau ke tengah laut. Setelah dilarung, ratusan nelayan dan masyarakat sekitar berlomba memperebutkan aneka persembahan dan mengambil air laut yang disiramkan ke tubuh. Berebut

28 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

sesaji dan mengambil air laut dipercaya membawa keberuntungan bagi nelayan di kawasan Pantai Utara Pulau Jawa (Pantura) tersebut.

Usai melarung sesaji, malam harinya acara berlanjut dengan pergelaran wayang kulit semalam suntuk. Ritual ini digelar setahun sekali secara turun-temurun. Selain sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tradisi ini juga dianggap sebagai tolak bala agar dijauhkan dari bencana.

Tari topeng Endel Tari Topeng Endel adalah jenis tari tunggal dimana penarinya menggunakan topeng yang berbentuk lukisan wajah cantik. Tari ini ditarikan oleh penari wanita dengan gayanya yang lincah, genit dan gendhil/ ganjen. Salah salah satu kekhasan Tari topeng Endel adalah iringan yang menggunakan musik Jawa dengan gendhing Tegalan, ragam gerak yang khas seperti giyul dan jeglong yang hanya ada di Topeng Tegal. Giyul adalah menggoyangkan pinggul dengan posisi kaki jejer jenjeng tangan kiri menthang lurus sedangkan tangan kanan lurus ke bawah. Jeglong adalah kaki tanjak kanan, tangan kiri sampur, tangan kanan nekuk, Ialu proses jeglong.

Ditinjau dari bahasanya, topeng adalah penutup wajah yang terbuat dari kayu atau kertas yang berbentuk wajah manusia atau binatang. Sementara Endel dalam bahasa Jawa adalah Batur Wadon ( pembantu wanita/ pengiring ), ( Atmojo, 1990 : 94 ) sedangkan dalam BahasaTegal Endel diartikan sebagai ganjen, lincah atau genit. Tari Topeng Endel menggambarkan seorang pembantu yang tugasnya menghibur ratu dengan karakter lincah , genit dan ganjen. Dalam pementasanya, tari ini dapat dimainkan secara tunggal, tetapi tidak menutup kemungkinan diartikan secara berpasangan atau masal.

Dalam pertunjukan Tari Topeng Endel tidak mengandung makna tertentu namun unsur keindahan dalam gerak sangat diutamakan sehingga mampu membawakan keindahan, kedinamisan dan kelincahan dalam penyajian gerak contohnya gerak lontang, jeglong, egolan, yang memberi arti endel yang lincah dan gendil.

Budaya Moci (Nge-teh) Sejak abad ke 17 budaya nge-Teh sudah menjadi tradisi bagi warga tegal, budaya dari turun temurun ini telah menjadikan kota tegal sebagai ikon Teh Poci. Tradisi moci sudah sangat melekat bagi warga tegal, sebagai pengerat tali silaturahmi dan tali persaudaraan, teh yang disajikan secara khusus ini yang membuat bentuk serta rasanya tergolong unik dari cara nge-teh bagi sebagian

29 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

orang. Teh ini ditempatkan pada tempat khusus yakni dari poci yang terbuat dari tanah liat beserta cangkirnya yang juga terbuat dari tanah liat, sehingga teh poci umumnya disajikan dalam wadah nampan yang berisi poci dan dua buah gelas. Kesemuanya terbuat dari tanah liat.

Biasanya cara penyajian teh yang digunakan dari daun teh hijau yang beraroma wangi melati yang dituang pada poci dengan menggunakan air mendidih, kemudian gula yang dipakai bukan dari gula pasir melainkan memakai gula batu. Aroma beserta rasa yang memikat biasa disebut jakwir-jakwir tegal panggilan teman akrab warga tegal yakni WASGITEL singkatan dari wangi, panas, sepet, legit, lan (dan) kentel (kental). Tradisi minum poci ini enaknya dinikmati saat berkumpul dengan kerabat maupun teman dekat, sebagai penambah nikmat teh ini juga bisa didampingi dengan tempe mendoan hangat. Suasana ini sebagai bukti bahwa keeratan maupun pengikat persaudaraan dapat dibentuk dari secangkir teh poci wasgitel.

Mantu Poci Mantu Poci adalah salah satu kebudayaan di wilayah Tegal, dengan acara inti melangsungkan 'pesta perkawinan' antara sepasang poci tanah berukuran raksasa. Mantu poci pada umumnya diselenggarakan oleh pasangan suami istri yang telah lama berumah tangga namun belum juga dikarunai keturunan. Seperti layaknya pesta perkawinan, mantu poci juga dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan undangan. Lengkap dengan dekorasi, sajian makanan, dan beraneka pementasan untuk menghibur para undangan yang hadir. Tak lupa pula, di pintu masuk ruang resepsi disediakan kotak sumbangan berbentuk rumah. Selain sebagai harapan agar pasangan suami istri segera mendapatkan keturunan, mantu poci juga bertujuan agar penyelenggara merasa seperti menjadi layaknya orang tua yang telah berhasil membesarkan putra putri mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar dengan mengundang sanak saudara, dan relasi.

Warung Tegal Sebagian besar kalangan percaya Warteg bermula sejak tahun 1950-an hingga 1960-an. Saat itu pembangunan infrastruktur di ibukota demikian pesat. Sejumlah proyek dikerjakan, yang menimbulkan efek berganda (multiplier effect) sejumlah pekerja (tukang dan kuli) yang cukup banyak. Pekerja bangunan ini umumnya mendirikan bedeng-bedeng sementara di lokasi proyek. Selain tempat tinggal, pekerja ini membutuhkan konsumsi yang dapat dijangkau koceknya: murah, dan banyak.

Peluang ini rupanya dibaca secara kreatif oleh warga Tegal. Kelompok imigran asal Tegal di ibukota mulai menyediakan layanan kuliner di lokasi proyek. Mereka

30 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

mampu menjual produk yang murah dan banyak, yang kemudian menjadi satu stereotip Warteg yang dikenal publik hingga hari ini. Realitas ini kemudian menjadikan stereotip awal Warteg: berada di sekitar lokasi proyek, dibuat dari bahan-bahan semi permanen seperti halnya bedeng pekerja proyek, bersifat musiman mengikuti periodisasi pengerjaan proyek, dikerjakan oleh 3-5 pekerj yang umumnya laki-laki.

Umumnya Warteg diusahakan oleh kelompok keluarga (family) yang bergantian mengelola. Bila tak kebagian mengelola, mereka pulang ke kampung mengelola lahan pertanian yang ada. Berbeda dengan Rumah Makan yang juga umumnya dikelola oleh tenaga kerja laki-laki, pemanfaatan tenaga kerja laki-laki pada Warteg disebabkan oleh alasan praktis, tidak memperhitungkan sistem nilai matriarkhi di Minang yang kabarnya mendudukkan perempuan dalam posisi kultural yang tinggi.

Bangunan Warteg saat ini umumnya tidak lagi berbentuk bedeng darurat. Banyak bangunan Warteg dibuat semi permanen atau permanen. Ciri umum yang masih melekat adalah luas Warteg yang umumnya sempit sekitar 15-20 m2, serta bercat biru dan berada di lokasi yang ramai. Sajian yang disuguhkan umumnya terdiri dari banyak ragam sayur dan lauk, tak kurang dari 12 jenis sayur dan maksimal terdapat 4 jenis lauk yang disajikan. Tentang cat biru pada Warteg, ada ceritanya. Kawasan Tegal sebagai daerah asal pengusaha Warteg berada pada topografi pesisir sekaligus agrarian. Topografi pesisir ini kemudian menginspirasi pengusaha untuk mengecat biru Wartegnya.

Tradisi ruwatan di Tegal Ruwatan dilakukan masyarakat Tegal sebagai usaha memohon Melalui ruwatan, masyarakat memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dijauhkan dari bala (bencana). Masyarakat membawa hasil bumi berupa sayur, buah, serta replika kepala kerbau yang kemudian dilarung ke laut. Bersamaan dengan acara ruwatan tersebut juga dipentaskan pagelaran wayang kulit.

31 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Falsafah Manawa sira urip anèng gisik, sira kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali manèh yogane NORMA- NORMA Pitutur luhur : Aja nggugu karepe dhewe, Ibu bumi, bapa LOKAL aksa., Asta brata, Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Rebo Wekasan

Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin) RITUAL DAN TRADISI Sedekah laut Tari Topeng Endel Budaya Moci (Nge-teh) Mantu Poci Ruwatan

Babad tanah Jawa LAGU, LEGENDA, Sejarah asal usul Tegal CERITA

Pranoto mongso Kepercayaan terhadap tanda-tanda hadirnya bencana alam INFORMASI DATA Petangan Jawa

Sastra Jawa Memayu Hayuning Bawana Primbon MANUSKRIP Paribasan, bebasan, Saloka Kejawen

Nyabuk Gunung CARA KOMUNITAS Budaya Ngrowot LOKAL MEMENUHI KEBUTUHAN

Punden SUMBER DAYA ALAM

Rumah joglo Nasi tumpeng untuk selamatan

ALAT / BAHAN Warung tegal

Gambar 5.4 Kearifan Lokal Tegal

32 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

C. Kabupaten Brebes Beberapa budaya dan kesenian Kabupaten Brebes antara lain: Burokan Kemunculan seni Burokan berdasarkan tuturan para senimannya berawal dari sekitar tahun 1934 seorang penduduk desa Kalimaro Kecamatan Babakan bernama abah Kalil membuat sebuah kreasi baru seni Badawang (boneka-boneka berukuran besar) yaitu berupa Kuda Terbang Buroq, konon ia diilhami oleh cerita rakyat yang hidup di kalangan masyarakat Islam tentang perjalanan Isra Mi‟raj Nabi Muhamad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dengan menunggang hewan kuda bersayap yang disebut Buroq.

Pertunjukan Burokan biasanya dipakai dalam beberapa perayaan, seperti Khataman, Sunatan, perkawinan, Marhabaan dll. Biasanya dilakukan mulai pagi hari berkeliling kampung di sekitar lokasi perayaan tersebut. Adapun boneka- boneka Badawang di luar Buroq, terdapat pula boneka Gajah, Macan, dll. Di mana sebelumnya disediakan terlebih dahulu sesajen lengkap sebagai persyaratan di awal pertunjukan. Kemudian ketua rombongan memeriksa semua perlengkapan pertunjukan sambil membaca doa. Pertunjukan dimulai dengan Tetalu lalu bergerak perlahan dengan lantunan lagu Asroqol (berupa salawat Nabi dan Barzanji). Musik pengiring Burokan biasanya terdiri dari 3 buah dogdog (besar, sedang, kecil), 4 genjring, 1 simbal, organ, gitar, gitar melodi, kromong, suling, kecrek. Di dalam pertunjukan berfungsi sebagai pengiring tarian juga pengiring nyanyian.

Makna yang tersembunyi dibalik bentuk pertunjukan Burokan, antara lain: Makna syukuran bagi siapapun yang menanggap Burokan, terutama dianggap sebagai seni pertunjukan rakyat yang Islami; Makna sinkretis bagi yang melihatnya dari tradisi Badawang (boneka-boneka yang ada muncul dari cara berfikir mitis totemistik yang berasal dari hubungan arkaistik sebelum Islam menjadi agama dominan di Cirebon); Makna akulturasi bagi benda yang bernama Buroq (sebagai pinjaman dari daerah Timur Tengah terkait dengan kisah Isra Mi‟raj Nabi Muhamad SAW yang dipercayai sebagian masyarakat Cirebon sebagai dongeng dari tempat-tempat pengajian yang diabadikan juga dalam lukisan-lukisan kaca)

Sintren Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat danJawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, Kabupaten Kuningan, danPekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.

33 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati Kendal yang pertama hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang dijuluki Dewi Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono.

Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan). sintren jg mempunyai keunikan tersendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat musiknya yang terbuat dari tembikar atau gembyung dan kipas dari bambu yang ketika ditabuh dengan cara tertentu menimbulkan suara yg khas. Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak).

Dogdog kliwon Dogdog Kaliwon adalah jenis kesenian pagelaran yang tumbuh subur di Kecamatan Salem, Brebes. Kesenian ini lahir dengan nama dogdog yang dalam istilah Jawa berartimenabuh. Karena kerap dipentaskan pada malam Kliwon, kesenian ini kemudian diberi nama dogdog kaliwon. Dogdog kaliwon biasanya dimainkan 4-10 orang yang memainkan alat musik seperti gendang. Bedanya, gendang yang kemudian dikenal dengan dogdog itu menggunakan bahan baku dari pohon enau, baik yang besar maupun kecil.

Kuntulan Kuntulan adalah salah satu seni budaya khas masyarakat Brebes pesisiran pantura berupa seni beladiri pencak silat yang di mainkan lebih dari satu orang yang diiringi dengan musik berupa gendang. Kuntulan bukan hanya memainkan jurus- jurus silat saja tapi juga di gabung dengan permainan ilmu tenaga dalam. Kata kuntulan sendiri berasal dari kata “Kuntul” yaitu nama dari salah satu burung laut berbulu putih seperti burung bangau tapi berekor pendek dan larinya sangat cepat, itulah sebabnya seni kuntulan berkembang di daerah pesisiran pantura Brebes, terutama tahun 90 an group kuntulan semakin banyak di desa-desa pesisir seiring dengan berkembangnya perguruan-perguruan pencak silat seperti perguruan jaka poleng, tai chi, tapak suci, dll. Kesenian kuntulan biasnya di mainkan saat acara-

34 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

acara tertentu seperti karnaval agustusan, karnaval akhir pelajaran sekolah madrasah diniyah.

Tari topeng brebes Tari Topeng Brebes merupakan jenis tari topeng yang berkembang di wilayah Kabupaten Brebes khususnya berkembang di Kecamatan Losari yang terdapat pengaruh dari kebudayaan di wilayah Cirebon Jawa Barat. Tari topeng Brebes menceritakan legenda Joko Bluwo, seorang pemuda petani desa yang berwajah buruk rupa berkeinginan untuk mempersunting putri raja yang cantik jelita bernama Putri Candra Kirana. Dikisahkan, keinginan Joko Bluwo akhirnya dikabulkan sang raja, setelah Joko Bluwo memenuhi syarat yang diajukan Raja. Namun, di tengah pesta pernikahan, seorang raja dari kaum raksasa yang juga berkeinginan menikahi putri Candra Kirana datang dan membuat kekacauan. Dia mengajak bertarung pada Joko Bluwo untuk memperebutkan sang putri. Joko Bluwo akhirnya berhasil mengalahkan raja raksasa dan hidup bahagia bersama putri Candra Kirana.

Tari topeng sinok Tari Topeng Sinok adalah salah satu seni tari khas asal Brebes yang diciptakan oleh Suparyanto dari Dewan Kesenian Kabupaten Brebes yang menggambarkan perempuan yang cantik, luwes dan treingginas. Tarian Topeng Sinok, menceritakan tentang perempuan Brebes, yang pada umumnya mereka merupakan adalah wanita pekerja keras. Kecantikan, keluwesan, dan kenggunannya tak mengurangi kecintaan mereka pada alam dan pekerjaannya sebagai petani. Tari yang merupakan paduan bentuk seni Cirebon, Banyumas dan Surakarta tersebut, seolah hendak mengatakan bahwa perempuan daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat ini bukanlah pribadi yang manja, cengeng, dan malas.

Reog banjarharjo Reog Banjarharjo adalah salah satu kesenian tradisional yang berkembang di wilayah tengah Kabupaten Brebes tepatnya di Kecamatan Banjarharjo yang nyaris punah. Berbeda dengan reog yang selama kita kenal dari Ponorogo, Jawa Timur. Dalam pertunjukan Reog Ponorogo ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa. Tapi reog asal Brebes, dimainkan dua orang bertopeng. Reog Banjarharjo dimainkan oleh dua orang, satu orang ditokohkan sebagai orang yang baik, dan satunya berwatak jahat. Tokoh yang baik mengenakan topeng pentul, dan yang

35 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

jahat barongan. Dua lakon ini bertarung ketika pertunjukan berlangsung. Ceriteranya mengisahkan seputar mahluk halus yang menghuni sebuah tempat atau rumah. Manakala rumah itu akan ditempati, pentul datang untuk mengusir mahluk halus (barongan). Keduanya biasanya bertarung lebih dulu, sampai akhirnya dimenangkan pentul. Untuk memeriahkan atraksi dua tokoh itu, diiringi musik yang dimainkan tujuh orang satu juru kawi atau sinden. Yaitu, empat orang membawa tetabuhan seperti kendang yang digendong di depan, satu orang memainkan terompet, gong dan satu lagi kecrek. Tetabuhan kendang dipukul dengan tongkat, sambil menari mengikuti irama musik.

36 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Falsafah Manawa sira urip anèng gisik, sira kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali manèh yogane NORMA- NORMA Pitutur luhur : Aja nggugu karepe dhewe, Ibu bumi, bapa LOKAL aksa., Asta brata, Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Rebo Wekasan

Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada

Pohon Besar (Beringin) RITUAL DAN TRADISI Sintren Kuntulan Tari topeng Brebes Tari topeng sinok Reog Banjarharjo

Babad tanah Jawa, asal usul Brebes LAGU, LEGENDA, Burokan CERITA Doddog kliwon

Pranoto mongso

Kepercayaan terhadap tanda-tanda hadirnya bencana alam INFORMASI DATA Petangan Jawa

Sastra Jawa Memayu Hayuning Bawana Primbon MANUSKRIP Paribasan, bebasan, Saloka Kejawen

Nyabuk Gunung CARA KOMUNITAS Budaya Ngrowot LOKAL MEMENUHI KEBUTUHAN

Punden

SUMBER DAYA ALAM

Rumah joglo Nasi tumpeng untuk selamatan ALAT / BAHAN

Gambar 5.5 Kearifan Lokal Brebes

37 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

D. Kabupaten Pemalang Beberapa budaya dan kesenian Kabupaten Pemalang antara lain: Mitos memakan sayur gandul Masyarakat sekitar Gunung Slamet. Cerita rakyat yang berkembang tentang Gunung Slamet di daerah Banyumas dan sekitarnya antara lain mengenai mitos sayur gandul. Jika Gunung Slamet menunjukkan gejala akan meletus (dalam status waspada), masyarakat akan berusaha meredakan sehingga gunung tidak sampai status siapa. Masyarakat di sekitar Gunung Slamet akan memasak buah pepaya yang masih muda dan menyantapnya sebagai pelengkap makan nasi. Buah pepaya dikenal buah "gandul" oleh warga masyarakat sekitar Gunung Slamet. Gandul artinya menahan agar kejadian yang menghawatirkan banyak manusia di Banyumas tidak terjadi, sehingga tertahan dan Gunung Selamat yang berstatus Waspada akan tertahan pada status tersebut

Ritual tolak bala masyarakat sekitar Gunung Slamet. Masyarakat sekitar Gunung Slamet sering melakukan ritual tolak bala dengan cara membuat kupat berisi nasi dan selembar daun salam. Benda tersebut digantung di pintu masuk rumah. Ritual tersebut dilakukan agar masyarakat selamat dari kemurkaan gunung. Selain ketupat selamat, ritual tumpengan atau selamatan juga dilakukan. Dalam tumpeng tersebut berisi “jangan gandul” atau sayur pepaya, urap, ingkung ayam. Ritual tersebut biasa dilakukan masyarakat di Desa Klakaran, Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Desa di lereng Gunung Slamet itu berada di radius 13 kilometer dari puncak. Selain membuat kupat, masyarakat juga mengenakan atribut berupa kalung dan gelang yang terbuat dari bambu kuning. Atribut kalung dan gelang dari bambu kuning tersebut dipercaya warga akan dapat menyelamatkan anak-anak mereka dari bahaya.

Cerita rakyat Asal muasal Nama gunung Slamet Menurut cerita, Slamet dalam bahasa Indonesia artinya “selamat”. Setidaknya sejak jaman kakek buyut hingga sekarang gunung tersebut tidak pernah “terbatuk - batuk” apalagi meletus. Keberadaan gunung yang memberikan rasa aman dan tenang selama ini seakan memberikan “keselamatan” bagi masyarakat di sekitarnya. Ada semacam anggapan dimasyarakat bahwa jika sejak dulu Gunung Slamet tersebut sering meletus atau lainnya maka mungkin sejak dulu pula gunung tersebut tidak akan dinamakan Gunung Slamet. Itulah mengapa gunung tersebut dinamakan Gunung Slamet hingga sekarang.

38 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Meski hanya cerita mitos, namun akibat yang dibayangkan sungguh mengerikan. Mitos menceritakan apabila meletusnya Gunung Slamet akan “membelah” Pulau Jawa menjadi dua bagian. Entah itu karena timbulnya rekahan besar yang membentang dari utara ke selatan ( dan air laut mengalir masuk hingga menyatu ) atau karena masing - masing wilayah di barat dan timur bergeser saling menjauh. Letaknya yang hampir tepat ditengah - tengah antara batas pantai utara dan pantai selatan, serta dikelilingi setidaknya 5 wilayah kabupaten yang berbatasan langsung ( Brebes, Tegal, Pemalang, Banyumas, Purbalingga ) dan 2 wilayah yang tidak langsung ( Kabupaten Cilacap, Kota Tegal ) dimana jika kita lihat di peta akan membentuk suatu garis lurus yang membelah Pulau Jawa.

Sesaji Masyarakat Pemalang Selatan, terutama masyarakat Desa Karangsari sering membuat sesaji yang diletakkan di setiap persimpangan jalan, sawah, sumber air maupun sungai. terjadi dalam masyarakatnya. Sesaji tersebut berisi berbagai macam jenis hasil bumi yang dihasilkan, seperti padi, palapendhem, palawija. . Hasil bumi tersebut diranggkai di tempat sesaji yang terbuat dari bambu, dan diletakan di setiap persimpangan jalan (pertigaan maupun perempatan jalan), lahan pertanian (sawah) warga yang menjadi mata pencaharian utama bagi para petani yang ada di desa saya, lalu di sumber air yang sebagaimana air tersebut digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebelum meletakan sesaji tersebut di tempat-tempat yang dianggap memiliki hal mistik oleh warga desa, dilakkukan tasyakuran / slametan terlebih dahulu di balai desa, dengan harapan supaya satu tahun kedepan akan lebih baik dari tahun sebelumnya. Tradisi tersebut dilaksanakan oleh warga desa secara rutin, setiap menyambut malam pergantian tahun baru islam (malam 1 suro).

Bubur merah putih untuk selamatan weton Kepercayaan Jawa mengatakan doa atau “bancakan” - weton dilakukan pada malam hari weton. Weton merupakan kombinasi hari penanggalan masehi dan hari penanggalan Jawa. Kalau penanggalan masehi punya hari Minggu – Sabtu, penanggalan Jawa mengenal istilah “pasaran” yang terdiri dari: Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing. „Bancakan‟ bubur merah putih dilakukan untuk mengingatkan akan proses kelahiran, yaitu menyatunya bapak dan ibu yang dilambangkan dalam bentuk bubur merah (perlambang ibu) dan putih (perlambang bapak). Kemudian bubur tadi dibagikan ke para tetangga dan saudara terdekat. Terkadang bagi-bagi bancaan ini bisa dibarengi dengan nasi gudangan, nasi ayam, nasi kotak ataupun dalam bentuk lain. Manfaat dan tujuan bancakan weton adalah untuk “ngopahi sing momong”,

39 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

karena masyarakat Jawa percaya dan memahami jika setiap orang ada yang momong (pamomong) atau “pengasuh dan pembimbing” secara metafisik. Pamomong bertugas selalu membimbing dan mengarahkan agar seseorang tidak salah langkah, agar supaya lakune selalu „pener, dan pas. Pamomong sebisanya selalu menjaga agar kita bisa terhindar dari perilaku yang keliru, tidak tepat, ceroboh, merugikan.

Mitos Pantai Widuri Pemalang Dahulu, lebih kurang tiga abad silam, di wilayah Pemalang sebelah utara masih banyak hutan rawa. Tanah daratan yang ada kurang subur. Di tempat itu tinggallah seorang yang bernama Ki Pedaringan. Di panggil Ki karena memang ia seorang laki-laki yang sudah cukup tua. Ki Pedaringan termasuk salah seorang yang cukup ulet dalam mengolah tanahKarena ketekunan dan keuletan Ki Pedaringan dalam mengolah tanah garapan, lambat laun tanah yang tadinya kurang subur, berubah menjadi tanah yang cukup subur. Ki Pedaringan memperistri Nyi Widuri yang usianya 15 tahun lebih muda darinya. Pada suatu hari saat Ki Pedaringan masih bekerja di sawah, rumah mereka didatangi oleh Pangeran Purbaya yang sedang terluka. Nyi Widuri membantu merawat Pangeran Purbaya.

Saat Ki Pedaringan pulang, Nyi Widuri menceritakan kedatangan Pangeran Purbaya, namun Ki Pedaringan menyangka Nyi Widuri berselingkuh. Untuk membuktikan dirinya tidak berselingkuh, Nyi Widuri menggunakan keris Simangklan yang ditinggalkan Pangeran Purbaya. Jika ia berselingkuh maka tetesan darah akibat goresan keris akan berubah warna menjadi merah, namun jika ia tidak berselingkuh akan berwarna putih. Ternyata tetesan darah Nyi Widuri berubah warna menjadi ungu. Ki Pedaringan mencoba mencari tahu artinya dengan pergi menyusul Pangeran Purbaya ke Mataram. Namun ia tidak pernah kembali ke rumah, karena ia menjadi abdi dalem setelah bertemu Pangeran Purbaya.

Nyi Widuri setia menunggu kepulangan Ki Pedaringan hingga ajalnya. Sampai sekarang tempat dimana Nyi Widuri tinggal dikenal dengan nama Widuri dan kembang widuri sampai sekarang berwarna ungu. Selain itu orang mengenal nama Widuri sebagai lambang kesetiaan. Orang-orang mempercayai kalau sepasang kekasih memadu janji di Pantai Widuri Pemalang akan menjadi pasangan yang setia sampai tua.

Dolanan Mantra Duk – Duk Gleng Dolanan ini biasanya dilakukan oleh 3 atau 4 anak yang dilakukan diatas Pasir. Teknisnya adalah pasir dibuat gunung gunungan, nah diatas gunung itu kemudian

40 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

ditancapkan semacam bendera kecil yang dibuat dari lidi (biting bhs jawa). Anak anak yang melingkari gunungan pasir dengan bendera dipuncaknya, kemudian melakukan ritual pembacaan mantra: sambil mengais ngais pasir dengan telunjuk. Masing masing pemain harus sportif mengais sambil menyanyi bareng mengikuti irama mantra.

Kaisan dan hentakan kecil pada pasir secara repetitif dan berirama akan menjadikan gunungan menjadi longsor. Nah bendera biting di puncak akan ikut jatuh dan mengarah ke salah satu peserta. Saat itulah permainan berakhir, siapa yang kejatuhan bendera, dialah yang kalah. Kemudian peserta yang kalah biasanya dihukum gendong, nyanyi atau yang lain tergantung kesepakatan. Ada pelajaran dibalik permainan Dolanan asli Pemalangan, Duk Duk Gleng Taine Celeng. Permainan ini melatih keberanian pada si anak untuk mengambil resiko keberanian dan juga sportifitas selain strategi pengambilan keputusan. Logikanya jika kita bermain mengais pasir mengikuti irama mantra niscaya akan selamat, beda jika kaisannya sporadis, kecenderungan bendera akan jatuh ke tempat kita.. Itu aturannya. Karena secara teknis gunungan pasir lebih stabil dan tingkat longsornya lebih kecil

Baritan atau sedekah laut Baritan atau sedekah laut adalah prosesi melarung Jolen ke tengah laut yang dilaksanakan para nelayan sebagai upacara rasa syukur atas hasil usaha menangkap ikan di laut. Sedekah laut diselenggarakan tiap tahun sekali pada Maulud, setiap Selasa atau Jumat Kliwon. Sebelum upacara pelarungan, diadakan tirakatan bersama yang dihadiri para nelayan, tokoh masyarakat setempat dan para pejabat terkait dengan mengambil lokasi di Tempat Pelelangan Ikan. Pembacaan doa dan tahlil menyertai upacara ini dengan maksud agar pelaksanaan upacara ini dapat berjalan lancar, selamat dan tidak menyimpang dari aturan agama.

Krangkeng Kesenian tradisional ini dikenal masyarakat Pemalang sejak tiga abad silam. Berawal dari peristiwa penyerbuan Batavia oleh laskar Mataram. Pemalang yang saat itu termasuk dalam wilayah Mataram membantu laskar Sultan Agung dengan mengirim prajurit-prajurit

41 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

terbaiknya. Cara menghasilkan prajurit tangguh saat itu ialah melatih para pemuda dengan ilmu kanuragan dan olah keprajuritan. Caranya setiap latihan olah kanuragan selalu diiringi musik atau tetabuhan. Kegiatan latihan olah kanuragan yang diiringi musik kini masih terus berlangsung, bahkan kian meluas. Materi yang ditampilkan kian berkembang dan diperkaya berbagai jenis ketangkasan lainnya seperti atraksi kekebalan tubuh dan ketrampilan akrobatik. Olah kanuragan kini telah beralih fungsi menjadi sebuah kegiatan kesenian dan tontonan yang menarik. Inilah cikal bakal lahirnya kesenian krangkeng.

Sintren Sintren merupakan kesenian rakyat yang cukup populer di wilayah Karesidenan Pekalongan terutama di kalangan masyarakat pantura. Sintren konon berasal dari legenda Sularsih-Sulandono. Sulandono adalah putera ari pasangan suami-istri Joko Bahu dan Ratnasari yang menurut kisah adalah pendiri Kota Batang, Pekalongan dan wilayah sekitarnya. Sintren menggambarkan perjalanan hidup dan kesucian seorang gadis yang diperankan seorang gadis belia yang masih suci, belum akil-balik dan tidak pernah terjamah tangan lelaki. Pertunjukan sintren diawali tembang yang menarik perhatian para penonton yakni "Kukus Gunung". Berikutnya gadis calon sintren yang mengenakan pakaian biasa dimasukkan ke dalam kurungan dalam keadaan tangan terikat. Setelah si gadis berada dalam kurungan, kemenyan pun dibakar sementara para pelantun lagu mengalunkan tembang "Yu Sintren" yang bertujuan memanggil kekuatan dari luar. Kekuatan inilah yang nantinya mengganti busana calon sintren. Selanjutnya akan tampak sesosok bidadari yang mengenakan pakaian kebesaran lengkap dengan kacamata hitam, berdiri anggun lalu berienggang-lenggok mengikuti irama gamelan yang dimainkan para penabuh. Pada zaman dulu, selain sebagai sarana hiburan dan ajang komunikasi muda-mudi untuk cari jodoh, sintren juga digunakan sebagai mediasi untuk meminta turun hujan. Sekarang, sintren pun dipentaskan untuk memeriahkan hari-hari besar nasional, acara hajatan atau pun untuk menyambut tamu resmi.

Jaran Kepang Jaran kepang atau Kuda Lumping adalah jenis kesenian tradisional yang umumnya dikenal di masyarakat Jawa Tengah. Kesenian ini merupakan jenis permainan yang menyertakan unsur magis karena pada adegan tertentu pemainnya memainkan atraksi yang tidak mungkin

42 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

dilakukan manusia biasa seperti adegan makan pecahan kaca. Dari sejumlah kesenian Jaran Kepang yang ada di Jawa Tengah, Pemalang mungkin memiliki beberapa kelebihan berupa inovasi seperti adanya adegan cukup unik dimana dua atau tiga orang pemain dijadikan manusia setengah robot yang bisa duduk atau berdiri mematung berjam-jam lamanya. Kesenian Jaran Kepang biasanya dipentaskan pada acara hajatan, upacara hari besar nasional atau pun menyambut kunjungan tamu resmi.

Kuntulan Kesenian ini mulai dikenal masyarakat Pemalang pada sekitar awal abad 20 yaitu pada saat di tanah air banyak muncul pergerakan kebangsaan. Tokoh-tokoh masyarakat Pemalang saat itu tak mau ketinggalan ikut dalam kancah perjuangan nasional. Dibentuklah perkumpulan bela diri, khususnya pencak silat. Kegiatan bela diri ini ketika itu selalu diiringi rebana dan pukulan bedug serta dikumandangkan pula doa-doa salawat Nabi sehingga terkesan sebagai kegiatan kesenian dan keagamaan. Setelah kemerdekaan kegiatan ini yang kemudian di kenalkan dengan nama kuntulan tetap berlangsung dan berubah dari alat perjuangan menjadi sarana hiburan. Kesenian ini biasanya dipentaskan para acara peringatan hari besar nasional, hajatan atau pun menyambut tamu resmi. Kesenian kuntulan tampak menarik karena memadukan jurus-jurus bela diri yang nampak artistik, demonstrasi akrobatik dan keindahan musik rebana dan bedug.

Musik tek-tek Dilihat dari bentuk fisik serta suara yang ditimbulkan, musik tek-tek merupakan jenis alat musik ritmis (non- nada). Pada awalnya hanya beberapa potong bambu wulung yang dipukul secara ritmis dan membentuk suara yang khas, namun belakangan muncul bentuk angklung yang memberikan nuansa melodis. Tentu saja ini sudah keluar dari bentuk baku tek-tek itu sendiri, sebab angklung juga sudah mempunyai wilayah sendiri. Pada musik angklung melodi yang ditimbulkan adalah tonalitas diatonik (diatonic scale), di mana nada yang tersusun adalah rentetan nada yang strukturnya menganut standard musik dunia yang menggunakan pola jarak baku. Tentu saja ini bertolak belakang dengan kebanyakan musik tradisi Jawa yang kebanyakan menganut sistem tonalitas pentatonis (pentatonic scale), lazim dibagi dalam titi laras slendro dan pelog. Kalau dengan titi laras pelog masih bisa disejajarkan karena ada pola jarak yang sama antara keduanya, namun jika lagu yang dinyanyikan berlatar

43 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

belakang titi laras slendro, maka akan ada pemaksaan dalam menyajikannya. Namun demikian, dalam permainan tek-tek tidak ada yang tabu dalam menyanyikan lagu. Tak peduli fals atau tidak, yang penting ramai dan menghibur. Penggunaan tonalitas diatonik ini memberikan keleluasaan bagi penggarap musik tek-tek dalam mengoleksi lagu-lagu yang diadaptasi ke dalam musik jenis ini, mulai dari lagu daerah Jawa Tengah, lagu Sunda, Bali, Maluku, Tapanuli, bahkan lagu mancanegara baik di Asia maupun lagu barat, mulai lagu dangdut, campursari hingga populer. Oleh karena itu musik tek-tek sangat fleksibel dan relatif mudah di samping pola ritmenya yang sederhana juga penggunaan unsur harmoni yang tidak rumit. Unsur harmoni dalam hal ini hanya berkisar pada keselarasan antara bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh instrumen melodis dan ritmis, belum sampai pada tingkat penggunaan akor sebagaimana dalam musik yang lain.

Penampilan tek-tek tidak seru jika tidak melibatkan penari sebagai hiasan penampilan, penyanyi biasanya dirangkap oleh penabuh kenthongan yang suaranya lantang serta bisa mengimbangi volume instrumen. Yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan seorang dirigen yang mereka sebut mayoret lengkap dengan tongkat komando (stik major leader). Mayoret bisa dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan, atau bahkan yang lebih kemayu lagi, waria. Dalam hal ini dibutuhkan pula seorang koreografer yang bertugas menata gerak bagi penari-penari penghias penampilan. Selai itu ada pula petugas perancang (desain) aksesoris yang akan mendukung segi visual, seperti kuda kepang, ornamen instrumen, hingga pemunculan gunungan (kekayon).

Legenda „Romo Bebek‟ Gunung Slamet berada di lima kabupaten di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas ini. Usai terjadi 'erupsi kecil' di Gunung Slamet terkadang muncul fenomena awan membentuk 'Romo Bebek'. Selain dipercaya warga sekitar sebagai penguasa Gunung Slamet, 'Romo Bebek' sebutan yang sering dilontarkan oleh warga sekitar adalah 'momongan' (asuhan) dari Kyai Slamet, sebutan Gunung Slamet di era masa sekarang. Kyai Slamet konon diangkat sebagai Tumenggung (pengawal) sang penguasa Laut Pantai Selatan, Ratu Kidul. Kyai Slamet diserahi Ibu Ratu Kidul untuk mengasuh dua gunung yang didekatnya, yaitu Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang pernah muncul fenomena awan membentuk tokoh pewayangan yaitu Kyai Semar.

44 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kemunculan Romo Bebek ini dipercaya masyarakat sebagai simbol perbuatan untuk 'angon' (saling mengasuh) sesama warga. Sejarahnya kidul (Ratu Kidul) dan Sungai Serayu. Romo Bebek diberikan ke Romo Slamet disuruh untuk angon. Angon dalam artian yang luas yaitu nuntun (mengarahkan) kepada hal yang baik. Beberapa kalangan masyarakat menyebut „Romo Bebek‟ sebagai 'Togok'.

Togok, merupakan tokoh pewayangan dewa yang kemunculannya di dunia hampir bersamaan dengan tokoh Semar. Namun, togok ini mempunyai karakter 'mbodoni' atau tahu tapi pura-pura tidak tahu. "Bibirnya menyerupai tokoh wayang di Jawa seperti togok. Karakternya 'orang tiyeng' (pura-pura tidak mengerti) akan kebenaran kalau orang Banyumasan bilang. Jika manusia tidak saling mengasuh, mengasih dan mengasah (belajar bersama), maka bencana yang akan didapatkan di negeri ini.

45 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Falsafah Manawa sira urip anèng gisik, sira kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali manèh yogane NORMA- NORMA Pitutur luhur : Aja nggugu karepe dhewe, Ibu bumi, bapa LOKAL aksa., Asta brata, Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Rebo Wekasan

Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin) Mitos memakan sayur gandul di sekitar gunung Slamet Tolak Bala di sekitar Gunung Slamet Sesaji Bubur merah putih untuk selamatan weton RITUAL DAN TRADISI Sedekah laut Krangkeng Sintren Jaran kepang Kuntulan

Babad tanah Jawa, asal usul Pemalang LAGU, LEGENDA, Asal usul nama Gunung Slamet, legenda Romo Bebek CERITA Pantai Widuri Dolanan mantra Dug-dug Gleng Music tek-tek

Pranoto mongso Kepercayaan terhadap tanda-tanda hadirnya bencana alam INFORMASI DATA Petangan Jawa

Sastra Jawa Memayu Hayuning Bawana MANUSKRIP Primbon Paribasan, bebasan, Saloka Kejawen

CARA KOMUNITAS Nyabuk Gunung LOKAL MEMENUHI KEBUTUHAN Budaya Ngrowot

Punden SUMBER DAYA ALAM

Rumah joglo Nasi tumpeng untuk selamatan ALAT / BAHAN

Gambar 5.6 Kearifan Lokal Pemalang

46 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

E. Kabupaten Batang Beberapa budaya dan kesenian Kabupaten Batang antara lain: Tari Lengger Tari Lengger mengisahkan tentang pertemuan Raden Panji Asmarabangun dengan Dewi Candra Kirana: atraksi tarian sangat menarik, ada penari naik kendi dan ada yang disunggi di bahu sambil menari dengan senang dan gembira, tarian ini dilengkapi dengan sesajian dan dibacakan mantra-mantra oleh sesepuh. Kesenian tradisional ini menggunakan gamelan sebagai alat musiknya dan diikuti penari wanita (lengger) yang biasa ditampilkan pada acara hajatan / peresmian sebagai penyambutan serta setiap ada acara hari besar, seperti penyambutan tahun baru masehi.

Tari Sintren Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantan sari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).

Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak).

Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona

47 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Nyadran Upacara Nyadran atau pesta laut ini merupakan tradisi dari Jaman pra-Islam, yaitu ketika Jawa masih berada di Jaman Hindu-Buddha (Majapahit) dan (Mataram Kuno). Walau tradisi ini telah berlangsung lama, upacara nyadran tetap menjadi kontroversi di kalangan masyarakat dan kelompok keagamaan.

Awal perkembangannya, Upacara Nyadran berinti dengan pelarungan kepala sapi dan diikuti dengan pesta makan oleh para penduduk sekitar, namun seiring jaman Upacara Nyadran berkembang hingga adanya beberapa ritual suci yang dilakuakan seperti mabuk masal, sesembah kapal dan hiburan/perayaan. Doa yang digunakan yang semula menggunakan mantra-mantra jawa, kini telah diselingi oleh bacaan-bacaan arab, dimana didalamnya dimaksudkan untuk sebuah keselamatan dan rasa syukur. Di Desa Klidang Lor Kabupaten Batang, nyadran diadakan dua kali dalam setahun, di desa ini juga terdapat kegiatan yang unik pula, seperti sesembah perahu selama dua hari. Sesembah perahu dimaksudkan agar, perahu yang hendak digunakan saat berlayar mencari ikan, akan mendapatkan keselamatan dan dijauhkan dari segala bencana (tolak bala).

Upacara Kendit Budaya dan istiadat yang masih dipercaya oleh warga setempat, yaitu melakukan upacara penyembelihan kambing 'Kendit' yang dilakukan pada Rabu Wage, bulan Jumadil Awal sebagai upaya 'tolak balak' agar desanya tidak terkena musibah. Selain itu, warga Desa Sodong juga melakukan tradisi upacara panen padi dengan menyajikan makanan 'jadah pasar'.

Seni Dengklung Seni dengklung, awalnya lahir dan berkembang di wilayah Kecamatan Blado, kemudian berkembang ke Kecamatan Bandar. Kesenian yang dikelompokkan dalam "musik rakyat" ini bernafaskan agama Islam dan dimainkan oleh kaum wanita.

Kesenian Kuda Lumping Merupakan jenis kesenian rakyat dengan tema cerita Menak. Tari kuda lumping pada dasarnya adalah tarian rakyat yang menggunakan unsur magig, dengan diiringi oleh musik gamelan dan seperangkat angklung sebagai pengiring lagu- lagu pengantar dalam memanggil dan mengeluarkan roh halus dari tubuh/ badan si penari yang kerasukan roh halus. Sejarah singkat lahirnya tari kuda lumping Awal berdirinya kuda lumping Turonggo Budoyo yaitu pada tanggal 22 April 1979 yang dipandegani oleh bapak Mismin yang pada waktu itu akan mengadakan karnaval di tingkat desa, berhubung warga Lebeng desa Wanar Kecamatan

48 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Tersono Kabupaten Batang haus akan hiburan khususnya kesenian tradisional kuda lumping.

Ritual malam Jumat Kliwon Tradisi malam Jumat Kliwon atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kliwonan berkaitan dengan cerita rakyat atau legenda dari daerah setempat yaitu Kabupaten Batang. Pada mulanya tradisi ini diadakan dengan maksud untuk mengenang jasa leluhur dan nenek moyang Batang yang dulunya telahmembangun daerah Batang. Tradisi Kliwonan yang dulunya digunakan untuk ajang melakukan ritual-ritual sederhana kemudian berkembang seperti sekarangini. Kliwonan di daerah Batang mengalami perubahan dari bentuk dan fungsiyang secara sesungguhnya. Pada awalnya Tradisi Kliwonan merupakan sarana atau tempat pengobatan bagi orang sakit. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang mencakup multi dimensi, tradisi Kliwonan mengalami perubahan fungsimenjadi sebuah pasar yang sering disebut dengan pasar kliwonan. Tradisikliwonan ini diselenggarakan di alun-alun Kota Batang setiap 35 hari sekali atau disebut selapan dina menurut perhitungan Jawa tepatnya pada malam Jumat Kliwon

Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Kliwonan Kliwonan ini dikatakan suatu tradisi karena dilaksanakan secara turun-temurun dan dipercaya oleh masyarakat mempunyai banyak makna serta nilai-nilai di dalamnya. Seperti halnya dalam tradisi Kliwonan yang sekarang ini kemudian memunculkan empat unsur nilai budaya, sosial, agama dan ekonomi yang merupakan perangkat struktur dalam kehidupan masyarakat Batang terkait dengan tradisi Kliwonan ini baik secara individu maupun secara sosial.

Nilai-nilai budaya dalam tradisi Kliwonan telah menyatu dengan jiwa masyarakat pendukungnya tanpa mereka sadari, seperti solidaritas diantara masyarakat pendukung. Dalam tradisi ini tidak terdapat norma-norma mengikat, sistem hukum, dan aturan-aturan khusus yang dilakukan. Norma aturan tersebut adalah suatu kesepakatan bersama yang tidak tertulis, secara sadar dan tidak sadar mereka melaksanakan tradisi Kliwonan sesuai dengan cara dan kebiasaan mereka tersebut, seperti pelaksaan ritual mandi, berdagang dan berjalan-jalan.

Dalam tradisi Kliwonan yang terkandung di dalamnya adalah nilai moralitas dan etos. Nilai mentalitas suatu penilaian terhadap tindakan yang dianggap baik. Dan setiap budaya pasti mempunyai kategori dan standar untuk mengevaluasi tingkahlaku atau tindakan tindakan berpola manusia. Dalam tradisi Kliwonan nilai moralitas mencakup pada solidaritas diantara masyarakat pendukung, tindakan berpola yang terdapat dalam tradisi Kliwonan yang dianggap pantas, hubungan dengan anggota-anggota baru dan nilai ketertiban.

49 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Falsafah Manawa sira urip anèng gisik, sira kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali manèh yogane NORMA- NORMA Pitutur luhur : Aja nggugu karepe dhewe, Ibu bumi, bapa LOKAL aksa., Asta brata, Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Rebo Wekasan

Menganggap Suatu Tempat Keramat Khususnya Pada Pohon Besar (Beringin) RITUAL DAN TRADISI Tari Lengger Tari Sintren

Nyadran

Babad tanah Jawa LAGU, LEGENDA, CERITA Asal usul Batang

Pranoto mongso Kepercayaan terhadap tanda-tanda hadirnya bencana alam INFORMASI DATA Petangan Jawa

Sastra Jawa Memayu Hayuning Bawana MANUSKRIP Primbon Paribasan, bebasan, Saloka Kejawen

CARA KOMUNITAS Nyabuk Gunung LOKAL MEMENUHI Budaya Ngrowot KEBUTUHAN

Punden SUMBER DAYA ALAM

Rumah joglo ALAT / BAHAN Nasi tumpeng untuk selamatan

Gambar 5.7 Kearifan Lokal Batang

50 | B A B 5

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

6.1 Umum Penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang bersiklus artinya merupakan suatu kegiatan yang terus menerus dan saling berkaitan. Kegiatan penanggulangan bencana meliputi kegiatan pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana.

Kegiatan pra-bencana adalah kegiatan yang dilakukan pada saat tidak terjadi bencana yang bersifat mitigasi bencana dan kesiap-siagaan yang berarti upaya penghindaran diri dari risiko bencana. Sedangkan tanggap darurat adalah upaya pengurangan resiko bencana pada saat terjadi bencana serta pasca bencana merupakan kegiatan pemulihan sehingga bisa kembali pulih seperti sedia kala bahkan menjadi lebih baik dari sebelum terjadi bencana.

Berbagai ragam kearifan lokal di Karesidenan Pekalongan telah terinventarisasi, namun tidak semua kearifan lokal yang ada merupakan upaya masyarakat dalam penanggulangan bencana. Dalam bab ini dilakukan pembahasan kearifan lokal yang berhubungan dengan upaya penanggulangan bencana.

6.2 Kearifan Lokal Penanggulangan Bencana Masyarakat Pulau Jawa Wilayah eks Karesidenan Semarang terdiri dari wilayah pesisir diutara dan perbukitan diwilayah selatan, timur dan barat, dari ke enam kota dan kabupaten pada eks karesidenan ini Kota Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Demak adalah wilayah yang terletak di pesisir pantai utar sedangkan Kabupaten Semarang, Grobogan dan Kota Salatiga merupakan wilayah perbukitan.

1 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dari beberapa sumber, terdapat bentuk kearifan lokal yang berupa kepercayaan masyarakat jawa terhadap tanda-tanda akan terjadi bencana alam secara umum yang telah dipercaya secara turun temurun, adapun tanda-tanda hadirnya bencana menurut masyarakat Jawa adalah sebagai berikut di bawah ini. Tabel 6.1 Tanda bencana menurut masyarakat Jawa No Jenis bencana Tanda - tanda 1 Gempa bumi Ada hujan abu, suasana gelap, ayam berteriak-teriak, ada suara greg-greg, ada hujan deras dan angin kencang, ada suara gler.

2 Gunung meletus Ada gempa pelan dan hujan abu, ada tanda-tanda gemuruh yang hebat, tanah bergetar, hewan-hewan yang terdiri dari harimau dan kera turun ke permukiman penduduk, udara panas, ada suara gemuruh yang mengerikan dan keras serta tidak berhenti.

3 Angin putting beliung Ada kabut, bentuk awan bergelombang (ampak – ampak).

4 Tsunami Ada suara „gler‟ dari arah laut, laut mundur ke belakang (surut), biasanya terjadi jumat kliwon (air mulai naik), nelayan mendapat ikan yang besar- besar.

5 Tanah longsor Ada hujan deras, biasanya yang longsor di atas dulu, umumnya terjadi di daerah pereng (miring), tanah bagian bawah bebatuan (tidak ada tanaman), tanah bergerak, ada awan putih atau mega yang berjalan jika terjadi waktu musim kemarau. Sumber: Kompilasi data (2014)

Selain kepercayaan masyarakat yang turun temurun, terdapat kearifan lokal yang berbentuk falsafah masyarakat terutama yang diyakini oleh secara umum masyarakat pesisir jawa yang berupa nasihat yang turun-temurun bagi masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan kepesisiran dinyatakan dalam bentuk “Manawa sira urip anèng gisik, sira kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali manèh yogané”. Nasihat turun-temurun dengan bahasa Jawa tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: “Seandainya engkau berkehidupan di pantai, engkau harus merelakan seandainya induknya meminta kembali anaknya”. Dalam nasihat tersebut, yang dimaksud dengan induk dimaknai sebagai laut, sedangkan yang dimaksud dengan anak dimaknai sebagai gisik (beach).

2 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Menurut kearifan lokal yang berbentuk nasihat tersebut, bahwa gisik itu sifatnya tidak tetap atau belum stabil. Artinya, pada suatu saat gisik yang ada itu dapat hilang akibat material endapannya terbawa kembali ke laut. Oleh karena itu, nasihat tersebut sudah semestinya dimaknai bahwa manusia yang ingin hidup dan berkehidupan di zona pesisir dan pantai harus mamahami kondisi alami wilayah kepesisiran yang selalu berubah. Bahkan lingkungan pesisir-pantai yang sudah dihuni masyarakat nelayan dapat terkikis oleh aktivitas laut, sehingga lingkungan hunian tersebut menjadi hilang atau rusak.

Berdasarkan falsafah di atas, terlihat bahwa di daerah pesisir berpotensi bencana abrasi yang akan menyebabkan kerusakan daerah pesisir sehingga masyarakat terutama daerah pesisir harus melakukan penjagaan agar wilayah pesisir tidak terabrasi secara besar-besaran dengan berbagai kemajuan ilmu dan teknologi yang tidak meninggalkan budaya setempat. Selain itu proses abrasi merupakan proses alami yang dialami pantai, dengan pitutur tersebut diharapkan masyarakat membangun kesiap-siagaan terhadap ancaman risiko abrasi.

Selain itu masyarakat pesisir Jawa telah melakukan pengamatan secara berulang- ulang anomali perilaku hewan menjelang datangnya banjir. Jika pada musim penghujan banyak hewan kepiting (bukan rajungan) naik ke teras rumah atau masuk ke rumah penduduk, maka keadaan itu oleh masyarakat dijadikan tanda (semeion) akan datangnya banjir.

Dalam masyarakat Pantura juga berkembang nasihat atau “pepéling” dalam bentuk “pétangan” atau “pétungan”. Karena “pétangan” itu ada di dalam budaya Jawa, maka sering disebut sebagai “Pétangan Jawa”. “Pétangan Jawa”, yang berkembang di masyarakat jawa secara umum adalah terjadinya “Dina Rèntèng” pada musim penghujan sehingga biasanya terjadi hujan lebat yang terus-menerus, yang berakibat terjadi banjir di wilayah tersebut. Pengertian “Dina Rèntèng” adalah hari-hari (tiga hari) yang secara berturut-turut memiliki nilai berjumlah 13 atau 14. “Dina Rèntèng” yang nilainya berjumlah 13 adalah Jumat Pon, Sabtu Wage, dan Minggu Kliwon, sedangkan yang nilainya berjumlah 14 adalah Jumat Kliwon, Sabtu Legi, dan Minggu Paing. Petangan jawa tersebut merupakan penanda untuk usaha kesiap-siagaan terhadap terjadinya bencana banjir pada saat musim hujan sehingga masyarakat mampu terhindar dari risiko bencana akibat banjir.

Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit Sumbing dan Sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di

3 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor/erosi.

Upaya nyabuk gunung ini merupakan upaya mitigasi bencana yang dilakukan masyarakat di kawasan perbukitan. Penjelasan secara teknis adalah bahwa dengan membuat terasering mengikuti kontur atau ketinggian yang ada, akan mampu mengalirkan air secara natural mengikuti alur yang ada tanpa pemotongan alur secara vertikal sehingga tidak mengganggu perkuatan alami dari struktur tanah.

Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat tersebut, tetapi memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena merasa takut kalau akan berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar, hal ini sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon tersebut berarti menjaga sumber air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan biasanya didekat pohon tersebut ada sumber air. Upaya yang demikian adalah merupakan upaya mitigasi bencana terhadap kekurangan air untuk sumber kehidupan terutama pada musim kemarau. Hal ini mengingatkan bahwa pada saat ini banyak sumber air yang dieksploitasi dengan besar-besaran tanpa ada upaya melakukan konservasi sehingga dimasa depan risiko kekurangan air bersih kemungkinan besar akan terjadi.

Ngrowot adalah tindakan mengkonsumsi krowotan, yaitu pala kependhem misalnya ketela dan ubi jalar. Ada juga yang mengartikan ngrowot dengan hanya mengkonsumsi ubi-ubian dan buah-buahan, namun beberapa orang menyebut perilaku mengkonsumsi buah-buahan dengan istilah „ngalong‟ (mengingatkan kita pada perilaku kalong yang makan buah-buahan). Pendapat lain menyatakan ngrowot berarti hanya makan ketela, ubi jalar, talas, uwi, ganyong, maupun garut. Dalam artian luas ngrowot bermakna menumpukan sumber tenaga dari sumber karbohidrat lokal selain beras yang istilah kerennya diversifikasi pangan. Hal ini menunjukkan kearifan budaya lokal, leluhur kita telah menerapkan diversifikasi pangan bahkan sebelum istilah ini marak didengungkan. Upaya ini merupakan bentuk kesiap-siagaan terhadap risiko bencana kekeringan dan gagal panen terutama komoditas beras yang merupakan sumber karbohidrat utama bagi masyarakat jawa.

6.3 Kearifan Lokal Eks Karesidenan Pekalongan Secara Khusus. A. Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan memiliki kebudayaan yang similar. Beberapa budaya dan kesenian di Kota Pekalongan yang memberikan pengaruh terhadap penanggulangan bencana antara lain:

4 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Pengaruh Kearifan lokal Tari Sintren terhadap penanggulangan bencana Sintren adalah kesenian tradisional masyarakat Pekalongan dan sekitarnya, Sintren adalah sebuah tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Sulandono. Tersebut dalam kisah bahwa Sulandono adalah putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari.Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Kir Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam goib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan R. Sulandono.

Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari betul-betul masih dalam keadaan suci (perawan). Sinteren diperankan seorang gaadis yang masih suci, dibantu oleh pawangnya dan diiringi gending 6 orang sesuai Pengembangan tari sintren sebagai hiburan budaya maka dilengkapi dengan penari pendamping dan bador (lawak).

Didalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, Si pawang (dalang) sering mengundang Rokh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bilamana hal itu dapat berhasil maka pemain Sintren akan kelihatan lebih cantik dan dalam membawakan tarian lebih lincah dan mempesonakan.banyak berpengaruh gaya dan motif Cina. Kesenian ini menunjukkan adanya akulturasi kebudayaan dengan cina, hal ini menunjukkan bahwa bencana sosial merupakan ancaman bagi Kota dan Kabupaten Pekalongan sehingga upaya masyarakat melakukan asimilasi perpaduan budaya agar terhindar dari kerusuhan karena perbedaan etnis.

Pengaruh Kearifan lokal Simtudorror terhadap penanggulangan bencana Merupakan kesenian tradisional yang bernafaskan Islam dengan menggunakan Rebana dan Jidor sebagai alat musiknya.Kesenian ini beranggotakan antara 15 orang - 20 orang, dengan diiringi musik mereka melantunkan puji-pujian atau sholawatan sebagai ungkapan syukur dan permohonan keselamatan dunia dan akhiran pada Allah SWT. Kesenian ini biasa digunakan pada saat pembukaan acara khajatan atau selamatan yang diselenggarakan oleh warga masyarakat Kota Pekalongan yang terkenal dengan ketaatannya dalam menjalankan perintah Agama. Acara ini merupakan salah satu upaya mitigasi bencana dengan cara

5 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

memohon keselamatan agar dijauhkan dari marabahaya dan makna yang dalam adalah memupuk kerjasama antar warga yang tercermin dari kerjasama antar pemain kesenian tersebut.

Pengaruh Kearifan lokal Lopisan terhadap penanggulangan bencana Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855 M. kali pertama yang mengelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso.

Beliau wafat di Magelang sedang makam beliau terletak dikompleks pemakaman Masjid Payaman Magelang, yang hingga kini makamnya masih banyak dikunjungi peziarah dari segenap penjuru tanah air, khususnya Jawa Tengah, baik pagi, siang, sore ataupun malam hari sepanjang tahun.

Adapun Khoulnya bertepatan dengan Syawalan disini (Kota Pekalongan); yaitu tanggal 8 Syawal tahun hijriyah. Pada tanggal 8 Syawalnya, masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, merekapun membuat acara „open house‟ menerima para tamu baik dari manca desa maupun manca kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturahmipada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Kegiatan ini adalah upaya mitigasi bencana sosial karena menjalin persaudaraan antar sesama warga dalam berbagai dusun sehingga didalam penanggulangan bencana merupakan cikal bakal untuk menjalin kerjasama dan program sister village.

Pengaruh Kearifan lokal Pek Chun terhadap penanggulangan bencana Tradisi Pek Chun pada hakekatnya hampir sama dengan tradisi sedekah laut atau Nyadran hanya saja, tradisi ini diselenggarakan oleh warga Tionghoa di Kota Pekalongan. Pada prinsipnya acaranya sama, hanya penyelenggara, isi perahu dan waktunya yang berbeda. Tradisi Pek Chun dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa menurut kalender China pada perayaan tahun baru china atau imlek. Acara yang mengiringi tradisi Pek Chun adalah Pentas seni Barongsai dan kesenian masyarakat china lainnya serta makan bersama dan pelaksanaan berbagai lomba. Jumlah pengunjung pada pelaksanaan tradisi Nyadran dan Pek Chun mencapai ribuan orang, yang berasal dari seluruh pelosok Kota Pekalongan dan masyarakat sekitarnya serta wisatawan mancanegara yang kebetulan berada di Kota Pekalongan. Hal ini menunjukkan kerukunan antar etnis yang ada dan kegiatan ini dapat diisi dengan berbagai sosialisasi kebencanaan

6 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Pengaruh Kearifan lokal Sedekah Laut/ Nyadran terhadap penanggulangan bencana Tradisi Sedekah Laut / Nyadran banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kota Pekalongan yang biasa disebut Tradisi Nyadran. Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat nelayan Kota Pekalongan setiap bulan Syuro sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil laut yang melimpah. Pada tradisi ini para nelayan bersama masyarakat mengadakan Ritual Sadranan dengan menghias kapal-kapal nelayan yang berisi sesaji antara lain Kepala Kerbau, aneka jajan pasar, wayang Dewi Sri dan Pandawa Lima, aneka mainan anak-anak, serta setelah melalui beberapa prosesi dan do‟a selamatan kemudian dibawa ketengah laut untuk dilarung yang diawali pelarungan Kepala Kerbau oleh seorang Tokoh Spiritual. 13 Isi perahu yang telah dilarung akan menjadi rebutan anak-anak nelayan dengan harapan mendapat barokah dari Allah SWT melalui barang-barang yang dilarung tersebut. Pada saat yang bersamaan diselenggarakan juga Ritual Pementasan Wayang Kulit dengan cerita Bedog Basu yang menceritakan terjadinya ikan di darat dam di laut, serta berbagai kegiatan lomba olahraga, kesenian dan kulirner ikan hasil tangkapan nelayan. Kegiatan ini jika ditinjau berdasarkan kegiatan penanggulangan bencana merupakan usaha pencegahan bencana namun dibaliknya merupakan petunjuk bahwa di Kota Pekalongan mempunyai ancaman bencana dari laut berupa gelombang, abrasi dan rob.

Pengaruh Kearifan lokal Batik Pesisiran terhadap penanggulangan bencana Pertumbuhan seni kerajinan batik yang ditentukan oleh pola,warna,dan ragam hias itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan jaman. Masa Demak adalah masa orientasi budaya keraton bercorak Islam yang berasal dari lingkungan masyarakat pesisir utara Jawa. Konsepsi Islam memberikan ruang terciptanya suatu identitas yang mengacu pada bangunan suci seperti masjid,atau makam. Suatu hal yang spesifik bahwa ragam hias pada masa Hindu- Jawa Tengah sampai jaman Majapahit merupakan ragam hias yang sudah baku bertolak pada bangunan keraton dan candi. Ragam hias lama seperti tumpal, ukel, kawung dan sulur daun, masih terpahat pada ukiran pintu dan panil-panil tiang masjid Demak.

Demikian pula halnya deagan warna-warna yang menghiasi keseluruhan bangunan. warna hijau,merah,serta kuning emas telah menunjukkan corak yang khas sebagai prototype warna bangunan keraton majapahit yang pernah ditangani oleh Tionghoa pada abad XIV. Sesuatu yang sangat spesifik adalah corak bangunan dan hiasannya yang menampilkan warna-warna Cina. Hal itu menandakan adanya persamaan persepsi tentang kedua unsur budaya yang berkembang pada masa Hindu Konfusius ke dalam Islam. Munculnya pola

7 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

meander dan pilin ke dalam bentuk ragam hias pra Islam adalah suatu bagian dari bentuk stilirisasi (yang disesuaikan) dengan corak yang berkembang saat itu. Oleh karenanya, hiasan medallion yang menempel pada hiasan masjid mantingan di makam Ratu Kalinyamat, Jepara, telah disamarkan dalam bentuk arabiksi. ragam hias daun atau sulur rambat seperti daun teratai dan bentuk eceng-ecengan pada hiasan masjid mantingan juga terlihat diterapkan dalam batik yang disebut corak “Demakan”.

Stilirisasi pola pada batik pesisiran yang mendapat pengaruh dari lingkungannya tidak saja bersumber dari masjid atau makam tetapi juga dari lingkungan alam. Pola yang disebut “kapal kandas” pada batik rembang dan “tritis” pada batik lasem adalah salah satu contoh diantara batik dari kedua daerah itu yang diperkirakan berkembang pada awal abad XVI dan XVII masehi. Batik “kapal kandas” mewakili kota pada saat kota yang bersangkutan merupakan kota pelabuhan. stilirisasi bentuk ragam hias perahu pecaling, ombak-ombak laut, dan gunung yang dilengkapi dengan ragam hias sulur rambat telah diekspresikan dengan media lilin pada kain sehingga terbentuklah sebuah lukisan klasik anonym yaitu batik. pada pola batik itu, sekilas dapat memberikan petunjuk adanya sejarah kota di pesisir utara jawa pada pertengahan abad XVI dan XVII masehi. Jepara, Demak, dan Tuban disebut sebagai wilayah sandang garba “raja kaum pedagang”. sebutan itu mengindikasikan bahwa pada jaman duhulu kota-kota tersebut merupakan kota pelabuhan yang sangat penting. kata “sandang” sudah menunjukan adanya perdagangan pakaian yang berjalan seiring dengan perdagangan beras yang menjadi primadona pada masa itu. Meskipun kapasitasnya tidak terlalu besar, pedagang cina-rembang telah memanfaatkan pembuatan batik sebagai barang kaomoditi. Penyebaran batik pesisiran dari kota- kota di Jawa pada masa Demak dan sesudahnya, berkembang sejak hubungan berdagang lalau lintas antar pulau berlangsung. pada tahun 1614 penguasaan wilayah oleh raj-raja mataram pada tahun itu lebih cenderung kearah bagian timur sampai pulau madura, bali, dan lombok. Pola batik apabila dihubungkan dengan upaya penanggulangan bencana menunjukkan ancaman bencana di Pekalongan adalah berasal dari laut, gunung, keberagaman etnis, agama dan suku bangsa.

B. Kabupaten Tegal Beberapa budaya dan kesenian Kabupaten Tegal yang memberikan pengaruh terhadap penanggulangan bencana antara lain: Pengaruh Kearifan lokal Rebo Wekasan terhadap penanggulangan bencana Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah hari Rabu di minggu terakhir di bulan Safar (dalam bahasa Jawa: Sapar). Masyarakat Jawa percaya bahwa bencana dan mala petaka banyak terjadi pada hari itu. Sehingga mereka perlu melakukan upaya

8 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

pencegahan agar bencana dan mala petaka ini tidak terjadi pada mereka. Maka pada hari itu masyarakat banyak yang melaksanakan shalat Rebo Wekasan, mandi di sungai, mengunjungi sanak saudara, bahkan membuat serangkaian acara selama seharian yang kemudian ditutup dengan pertunjukkan wayang, dan lain sebagainya.

Setiap daerah memiliki cara dan keunikan masing-masing dalam pada saat Rebo Wekasan ini. Tak terkecuali di Tegal, acara ini pun menjadi sebuah tradisi yang masih dilaksanakan sampai sekarang ini. Masyarakat Tegal banyak yang mempercayai kalau pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar ini, akan banyak bencana dan mala petaka. Sehingga banyak dari mereka, baik itu anak-anak sampai orang dewasa melakukan berbagai upaya untuk terhindar dari bencana dan mala petaka tersebut. Tradisi yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Tegal dalam menghadapi Rebo Wekasan, yaitu tradisi mencukur beberapa helai rambut dan tradisi membuat bubur merah dan putih, yang kemudian dibagikan ke tetangga mereka. Tak ada bukti tertulis mengenai tradisi ini. Kapan tradisi mulai dilaksanakan dan siapa yang memulainya belum ada yang mengetahui. Akan tetapi, tradisi ini seakan sudah menjalar dalam masyarakat dan seakan jika tidak dilaksanakan, bencana dan mala petaka akan datang menimpa mereka. Selain tradisi mencukur rambut dan juga membuat bubur, ada juga tradisi unik lain yang dilaksanakan di Tegal selama Rebo Wekasan. Tradisi itu dilaksanakan di dua kecamatan di Tegal, yaitu di Suradadi dan Lebaksiu. Meskipun pada dasarnya sama, yaitu untuk memperingati Rebo Wekasan, tetapi kegiatan yang dilaksanakan berbeda. Ritual ini apabila dihubungkan dengan upaya penanggulangan bencana adalah upaya pencegahan terhadap terjadinya bencana yang akan terjadi dengan cara permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan membersihkan diri yang dilambangkan dengan mencukur rambut dan upaya kesiap-siagaan dengan cara membuat bubur yang dibagikan ke tetangga yang mempunyai makna mempererat silaturahmi dan kerjasama antar warga untuk menghadapi bencana atau malapetaka yang mungkin terjadi.

Pengaruh Kearifan lokal Sedekah Laut terhadap penanggulangan bencana Prosesi ini diawali dengan melarung sebuah perahu berisi beraneka macam sesaji, seperti buah-buahan, nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya hingga kepala seekor kerbau ke tengah laut. Setelah dilarung, ratusan nelayan dan masyarakat sekitar berlomba memperebutkan aneka persembahan dan mengambil air laut yang disiramkan ke tubuh. Berebut sesaji dan mengambil air laut dipercaya membawa keberuntungan bagi nelayan di kawasan Pantai Utara Pulau Jawa (Pantura) tersebut.

9 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Usai melarung sesaji, malam harinya acara berlanjut dengan pergelaran wayang kulit semalam suntuk. Ritual ini digelar setahun sekali secara turun-temurun. Selain sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tradisi ini juga dianggap sebagai tolak bala agar dijauhkan dari bencana. Ritual ini merupakan usaha untuk pencegahan terhadap bencana yang datang dari laut yang diwujudkan dengan persembahan hasil bumi ke laut dan acara pegelaran wayang kulit merupakan salah satu usaha mengingatkan kepada warga tentang berbagai hal sehingga masyarakat selalu mengingat Tuhan karena pada pagelaran tersebut berisi nasehat-nasehat bijak dalam berkehidupan sehingga pada acara tersebut dapat disisipi tentang upaya penanggulangn bencana yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Pengaruh Kearifan lokal Budaya Moci (Nge-teh) terhadap penanggulangan bencana Sejak abad ke 17 budaya nge-Teh sudah menjadi tradisi bagi warga tegal, budaya dari turun temurun ini telah menjadikan kota tegal sebagai ikon Teh Poci. Tradisi moci sudah sangat melekat bagi warga tegal, sebagai pengerat tali silaturahmi dan tali persaudaraan, teh yang disajikan secara khusus ini yang membuat bentuk serta rasanya tergolong unik dari cara nge-teh bagi sebagian orang. Teh ini ditempatkan pada tempat khusus yakni dari poci yang terbuat dari tanah liat beserta cangkirnya yang juga terbuat dari tanah liat, sehingga teh poci umumnya disajikan dalam wadah nampan yang berisi poci dan dua buah gelas. Kesemuanya terbuat dari tanah liat.

Biasanya cara penyajian teh yang digunakan dari daun teh hijau yang beraroma wangi melati yang dituang pada poci dengan menggunakan air mendidih, kemudian gula yang dipakai bukan dari gula pasir melainkan memakai gula batu. Aroma beserta rasa yang memikat biasa disebut jakwir-jakwir tegal panggilan teman akrab warga tegal yakni WASGITEL singkatan dari wangi, panas, sepet, legit, lan (dan) kentel (kental). Tradisi minum poci ini enaknya dinikmati saat berkumpul dengan kerabat maupun teman dekat, sebagai penambah nikmat teh ini juga bisa didampingi dengan tempe mendoan hangat. Suasana ini sebagai bukti bahwa keeratan maupun pengikat persaudaraan dapat dibentuk dari secangkir teh poci wasgitel. Budaya masyarakat ini merupakan perwujudan kesatuan dan persaudaraan antar warga yang merupakan potensi besar untuk upaya penanggulangan Bencana berbasis masyarakat karena dengan eratnya hubungan persaudaraan tentunya perbedaan-perbedaan pandangan dapat tereliminasi sehingga kesatuan gerak dan langkah dalam berbagai hal mudah terbentuk.

10 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Pengaruh Kearifan lokal Mantu Poci terhadap penanggulangan bencana Mantu Poci adalah salah satu kebudayaan di wilayah Tegal, dengan acara inti melangsungkan 'pesta perkawinan' antara sepasang poci tanah berukuran raksasa. Mantu poci pada umumnya diselenggarakan oleh pasangan suami istri yang telah lama berumah tangga namun belum juga dikarunai keturunan. Seperti layaknya pesta perkawinan, mantu poci juga dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan undangan. Lengkap dengan dekorasi, sajian makanan, dan beraneka pementasan untuk menghibur para undangan yang hadir. Tak lupa pula, di pintu masuk ruang resepsi disediakan kotak sumbangan berbentuk rumah. Selain sebagai harapan agar pasangan suami istri segera mendapatkan keturunan, mantu poci juga bertujuan agar penyelenggara merasa seperti menjadi layaknya orang tua yang telah berhasil membesarkan putra putri mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar dengan mengundang sanak saudara, dan relasi. Ritual ini merupakan upaya mempererat persaudaraan antar warga yang dapat sebagai modal besar untuk upaya penanggulangan bencana

Pengaruh Kearifan lokal ruwatan terhadap penanggulangan bencana Ruwatan dilakukan masyarakat Tegal sebagai usaha memohon Melalui ruwatan, masyarakat memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dijauhkan dari bala (bencana). Masyarakat membawa hasil bumi berupa sayur, buah, serta replika kepala kerbau yang kemudian dilarung ke laut. Bersamaan dengan acara ruwatan tersebut juga dipentaskan pagelaran wayang kulit. Acara ini hampir sama dengan tradisi sedekah laut, namun dilakukan oleh masyarakat yang tinggalnya tidak di daerah pesisir. Inti kegiatan ini adalah pencegahan terhadap bencana dengan cara permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan pagelaran wayang kulit yang selalu diselenggarakan untuk menutup kegiatan ini dapat dipergunakan untuk sosialisasi penanggulangan bencana bagi masyarakat.

C. Kabupaten Brebes Beberapa budaya dan kesenian Kabupaten Brebes terkait dengan penanggulangan bencana antara lain: Pengaruh Kearifan lokal Burokan terhadap penanggulangan bencana Kemunculan seni Burokan berdasarkan tuturan para senimannya berawal dari sekitar tahun 1934 seorang penduduk desa Kalimaro Kecamatan Babakan bernama abah Kalil membuat sebuah kreasi baru seni Badawang (boneka-boneka berukuran besar) yaitu berupa Kuda Terbang Buroq, konon ia diilhami oleh cerita rakyat yang hidup di kalangan masyarakat Islam tentang perjalanan Isra Mi‟raj Nabi Muhamad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dengan menunggang hewan kuda bersayap yang disebut Buroq.

11 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Pertunjukan Burokan biasanya dipakai dalam beberapa perayaan, seperti Khataman, Sunatan, perkawinan, Marhabaan dll. Biasanya dilakukan mulai pagi hari berkeliling kampung di sekitar lokasi perayaan tersebut. Adapun boneka- boneka Badawang di luar Buroq, terdapat pula boneka Gajah, Macan, dll. Di mana sebelumnya disediakan terlebih dahulu sesajen lengkap sebagai persyaratan di awal pertunjukan. Kemudian ketua rombongan memeriksa semua perlengkapan pertunjukan sambil membaca doa. Pertunjukan dimulai dengan Tetalu lalu bergerak perlahan dengan lantunan lagu Asroqol (berupa salawat Nabi dan Barzanji). Musik pengiring Burokan biasanya terdiri dari 3 buah dogdog (besar, sedang, kecil), 4 genjring, 1 simbal, organ, gitar, gitar melodi, kromong, suling, kecrek. Di dalam pertunjukan berfungsi sebagai pengiring tarian juga pengiring nyanyian.

Makna yang tersembunyi dibalik bentuk pertunjukan Burokan, antara lain: Makna syukuran bagi siapapun yang menanggap Burokan, terutama dianggap sebagai seni pertunjukan rakyat yang Islami; Makna sinkretis bagi yang melihatnya dari tradisi Badawang (boneka-boneka yang ada muncul dari cara berfikir mitis totemistik yang berasal dari hubungan arkaistik sebelum Islam menjadi agama dominan di Cirebon); Makna akulturasi bagi benda yang bernama Buroq (sebagai pinjaman dari daerah Timur Tengah terkait dengan kisah Isra Mi‟raj Nabi Muhamad SAW yang dipercayai sebagian masyarakat Cirebon sebagai dongeng dari tempat-tempat pengajian yang diabadikan juga dalam lukisan-lukisan kaca). Kesenian rakyat ini adalah perwujudan penyatuan berbagai budaya etnis yang ada di daerah Brebes yaitu budaya cina, arab (islam) dan Jawa. Selain itu Budaya ini mengisyaratkan agar masyarakat dapat hidup harmonis dengan lingkungan. Makna bagi penanggulangan bencana adalah mengingatkan agar Masyarakat Brebes selalu hidup harmonis dengan lingkungan dan selalu mengingat kepada sang Pencipta sehingga apabila hal tersebut selalu dilakukan tentunya akan terhindar dari malapetaka atau bencana.

Pengaruh Kearifan lokal Sintren terhadap penanggulangan bencana Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, Kabupaten Kuningan, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.

Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati Kendal yang pertama hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang dijuluki

12 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Dewi Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono.

Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan). sintren jg mempunyai keunikan tersendiri yaitu terlihat dari panggung alat-alat musiknya yang terbuat dari tembikar atau gembyung dan kipas dari bambu yang ketika ditabuh dengan cara tertentu menimbulkan suara yg khas. Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak). Kesenian ini menunjukkan adanya akulturasi kebudayaan dengan cina, hal ini menunjukkan bahwa bencana sosial merupakan ancaman bagi Kabupaten Brebes sehingga upaya masyarakat melakukan asimilasi perpaduan budaya agar terhindar dari kerusuhan karena perbedaan etnis

Pengaruh Kearifan lokal Dogdog kliwon terhadap penanggulangan bencana Dogdog Kaliwon adalah jenis kesenian pagelaran yang tumbuh subur di Kecamatan Salem, Brebes. Kesenian ini lahir dengan nama dogdog yang dalam istilah Jawa berarti menabuh. Karena kerap dipentaskan pada malam Kliwon, kesenian ini kemudian diberi nama dogdog kaliwon. Dogdog kaliwon biasanya dimainkan 4-10 orang yang memainkan alat musik seperti gendang. Bedanya, gendang yang kemudian dikenal dengan dogdog itu menggunakan bahan baku dari pohon enau, baik yang besar maupun kecil. Kesenian ini bermakna bagi penanggulangan bencana adalah mengingatkan kepada masyarakat untuk selalu siap-siaga dalam menghadapi bencana dengan cara menjalin kerjasama dan persamaan persepsi dengan melakukan pertemuan untuk melihat pertunjukan setiap malam kliwon (5 hari sekali). Kesenian ini sebaiknya tidak hanya dinikmati tetapi pasca melihat kesenian ini diharapkan terjadi komunikasi antar warga terutama yang hadir untuk membicarakan berbagai hal/masalah yang dihadapi oleh warga atau komunitas termasuk masalah penanggulangan bencana.

13 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Pengaruh Kearifan lokal Kuntulan terhadap penanggulangan bencana Kuntulan adalah salah satu seni budaya khas masyarakat Brebes pesisiran pantura berupa seni beladiri pencak silat yang di mainkan lebih dari satu orang yang diiringi dengan musik berupa gendang. Kuntulan bukan hanya memainkan jurus- jurus silat saja tapi juga di gabung dengan permainan ilmu tenaga dalam. Kata kuntulan sendiri berasal dari kata “Kuntul” yaitu nama dari salah satu burung laut berbulu putih seperti burung bangau tapi berekor pendek dan larinya sangat cepat, itulah sebabnya seni kuntulan berkembang di daerah pesisiran pantura Brebes, terutama tahun 90 an group kuntulan semakin banyak di desa-desa pesisir seiring dengan berkembangnya perguruan-perguruan pencak silat seperti perguruan jaka poleng, tai chi, tapak suci, dll. Kesenian kuntulan biasnya di mainkan saat acara- acara tertentu seperti karnaval agustusan, karnaval akhir pelajaran sekolah madrasah diniyah. Kesenian merupakan perwujudan kesiap-siagaan Warga Brebes dalam menghadapi berbagai masalah dengan kemampuan bela diri dan kemampuan fisik lainnya.

Pengaruh Kearifan lokal Tari topeng sinok terhadap penanggulangan bencana Tari Topeng Sinok adalah salah satu seni tari khas asal Brebes yang diciptakan oleh Suparyanto dari Dewan Kesenian Kabupaten Brebes yang menggambarkan perempuan yang cantik, luwes dan treingginas. Tarian Topeng Sinok, menceritakan tentang perempuan Brebes, yang pada umumnya mereka merupakan adalah wanita pekerja keras. Kecantikan, keluwesan, dan keanggunannya tak mengurangi kecintaan mereka pada alam dan pekerjaannya sebagai petani. Tari yang merupakan paduan bentuk seni Cirebon, Banyumas dan Surakarta tersebut, seolah hendak mengatakan bahwa perempuan daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat ini bukanlah pribadi yang manja, cengeng, dan malas. Tarian ini menunjukkan bahwa Warga perempuan Kabupaten Brebes adalah warga yang tanggap akan situasi dan kondisi wilayah Brebes. Selain itu menunjukkan masyarakat Brebes mempunyai pemikiran bahwa perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam berbagi kegiatan di Kabupaten Brebes. Hal diatas merupakan modal awal yang baik untuk penanggulangan bencana karena upaya pelibatan perempuan sangat penting untuk kegiatan penanggulangan bencana.

Pengaruh Kearifan lokal Reog banjarharjo terhadap penanggulangan bencana Reog Banjarharjo adalah salah satu kesenian tradisional yang berkembang di wilayah tengah Kabupaten Brebes tepatnya di Kecamatan Banjarharjo yang nyaris punah. Berbeda dengan reog yang selama kita kenal dari Ponorogo, Jawa Timur. Dalam pertunjukan Reog Ponorogo ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk

14 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa. Tapi reog asal Brebes, dimainkan dua orang bertopeng. Reog Banjarharjo dimainkan oleh dua orang, satu orang ditokohkan sebagai orang yang baik, dan satunya berwatak jahat. Tokoh yang baik mengenakan topeng pentul, dan yang jahat barongan. Dua lakon ini bertarung ketika pertunjukan berlangsung. Ceriteranya mengisahkan seputar mahluk halus yang menghuni sebuah tempat atau rumah. Manakala rumah itu akan ditempati, pentul datang untuk mengusir mahluk halus (barongan). Keduanya biasanya bertarung lebih dulu, sampai akhirnya dimenangkan pentul. Untuk memeriahkan atraksi dua tokoh itu, diiringi musik yang dimainkan tujuh orang satu juru kawi atau sinden. Yaitu, empat orang membawa tetabuhan seperti kendang yang digendong di depan, satu orang memainkan terompet, gong dan satu lagi kecrek. Tetabuhan kendang dipukul dengan tongkat, sambil menari mengikuti irama musik. Kesenian ini bermakna dalam bagi penanggulangan bencana bahwa di semua tempat kejadian bencana mungkin terjadi sehingga dituntut kesiap-siagaan. Kesiap-siagaan tidak hanya dilakukan ditingkat komunitas namun dituntut sampai dengan tingkat keluarga. Sehingga harapan bagi upaya penanggulangan bencana bahwa warga masyarakat Brebes selalu siap-siaga menghadapi bencana sampai level keluarga.

D. Kabupaten Pemalang Beberapa budaya dan kesenian Kabupaten Pemalang terkait dengan penanggulangan bencana antara lain: Mitos memakan sayur gandul Masyarakat sekitar Gunung Slamet. Cerita rakyat yang berkembang tentang Gunung Slamet di daerah Banyumas dan sekitarnya antara lain mengenai mitos sayur gandul. Jika Gunung Slamet menunjukkan gejala akan meletus (dalam status waspada), masyarakat akan berusaha meredakan sehingga gunung tidak sampai status siapa. Masyarakat di sekitar Gunung Slamet akan memasak buah pepaya yang masih muda dan menyantapnya sebagai pelengkap makan nasi. Buah pepaya dikenal buah "gandul" oleh warga masyarakat sekitar Gunung Slamet. Gandul artinya menahan agar kejadian yang menghawatirkan banyak manusia di Banyumas tidak terjadi, sehingga tertahan dan Gunung Selamat yang berstatus Waspada akan tertahan pada status tersebut. Ritual masyarakat ini merupakan usaha pencegahan terhadap terjadinya bencana erupsi Gunung Slamet dengan cara permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Gunung Slamet tidak memberikan bencana bagi warga sekitarnya.

Ritual tolak bala masyarakat sekitar Gunung Slamet. Masyarakat sekitar Gunung Slamet sering melakukan ritual tolak bala dengan cara membuat kupat berisi nasi dan selembar daun salam. Benda tersebut digantung di pintu masuk rumah. Ritual tersebut dilakukan agar masyarakat selamat dari kemurkaan gunung.

15 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Selain ketupat selamat, ritual tumpengan atau selamatan juga dilakukan. Dalam tumpeng tersebut berisi “jangan gandul” atau sayur pepaya, urap, ingkung ayam. Ritual tersebut biasa dilakukan masyarakat di Desa Klakaran, Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.Desa di lereng Gunung Slamet itu berada di radius 13 kilometer dari puncak. Selain membuat kupat, masyarakat juga mengenakan atribut berupa kalung dan gelang yang terbuat dari bambu kuning. Atribut kalung dan gelang dari bambu kuning tersebut dipercaya warga akan dapat menyelamatkan anak-anak mereka dari bahaya. Ritual selamatan bermakna permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari akibat bencana erupsi Gunung Slamet. Sedangkan atribut kalung dan gelang bambu kuning bermakna bagi penanggulangan bencana adalah untuk memberi tanda bagi warga bahwa anak-anak yang berada di wilayah tersebut adalah termasuk warga atau kaum rentan yang harus segera dievakuasi apabila terjadi bencana sehingga merupakan upaya pendataan bagi tim evakuasi bencana.

Cerita rakyat Asal muasal Nama gunung Slamet Menurut cerita, Slamet dalam bahasa Indonesia artinya “selamat”. Setidaknya sejak jaman kakek buyut hingga sekarang gunung tersebut tidak pernah “terbatuk - batuk” apalagi meletus. Keberadaan gunung yang memberikan rasa aman dan tenang selama ini seakan memberikan “keselamatan” bagi masyarakat di sekitarnya.

Ada semacam anggapan dimasyarakat bahwa jika sejak dulu Gunung Slamet tersebut sering meletus atau lainnya maka mungkin sejak dulu pula gunung tersebut tidak akan dinamakan Gunung Slamet. Itulah mengapa gunung tersebut dinamakan Gunung Slamet hingga sekarang.

Meski hanya cerita mitos, namun akibat yang dibayangkan sungguh mengerikan. Mitos menceritakan apabila meletusnya Gunung Slamet akan “membelah” Pulau Jawa menjadi dua bagian. Entah itu karena timbulnya rekahan besar yang membentang dari utara ke selatan ( dan air laut mengalir masuk hingga menyatu ) atau karena masing - masing wilayah di barat dan timur bergeser saling menjauh. Letaknya yang hampir tepat ditengah - tengah antara batas pantai utara dan pantai selatan, serta dikelilingi setidaknya 5 wilayah kabupaten yang berbatasan langsung ( Brebes, Tegal, Pemalang, Banyumas, Purbalingga ) dan 2 wilayah yang tidak langsung ( Kabupaten Cilacap, Kota Tegal ) dimana jika kita lihat di peta akan membentuk suatu garis lurus yang membelah Pulau Jawa. Mitos ini mengisyaratkan bahwa ancaman di wilayah sekitar Gunung Slamet tidak hanya erupsi Gunung Slamet tetapi juga masalah retakan atau patahan kerak bumi di jalur Gunung Slamet.

16 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Pengaruh Kearifan lokal sesaji terhadap penanggulangan bencana Masyarakat Pemalang Selatan, terutama masyarakat Desa Karangsari sering membuat sesaji yang diletakkan di setiap persimpangan jalan, sawah, sumber air maupun sungai. terjadi dalam masyarakatnya.Sesaji tersebut berisi berbagai macam jenis hasil bumi yang dihasilkan, seperti padi, palapendhem, palawija. . Hasil bumi tersebut diranggkai di tempat sesaji yang terbuat dari bambu, dan diletakan di setiap persimpangan jalan (pertigaan maupun perempatan jalan), lahan pertanian (sawah) warga yang menjadi mata pencaharian utama bagi para petani yang ada di desa saya, lalu di sumber air yang sebagaimana air tersebut digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Sebelum meletakan sesaji tersebut di tempat-tempat yang dianggap memiliki hal mistik oleh warga desa, dilakkukan tasyakuran / slametan terlebih dahulu di balai desa, dengan harapan supaya satu tahun kedepan akan lebih baik dari tahun sebelumnya.Tradisi tersebut dilaksanakan oleh warga desa secara rutin, setiap menyambut malam pergantian tahun baru islam (malam 1 suro). Tradisi ini adalah upaya pencegahan terhadap bencana yang terjadi di simpang jalan mengingat simpang jalan adalah titik konflik lalu lintas yang memungkinkan terjadi kecelakaan sehingga dengan diletakkan sesaji di tengah-tengah maka masyarakat akan hati-hati ketika melalui simpang tersebut sehingga kecelakaan lalu lintas tidak akan terjadi. Selain itu sesaji yang diletakkan di mata air bermakna mengingatkan kepada warga untuk menjaga mata air itu agar tidak rusak sehingga bencana kekeringan bagi warga dapat terhindarkan.

Bubur merah putih untuk selamatan weton Kepercayaan Jawa mengatakan doa atau “bancakan” - weton dilakukan pada malam hari weton. Weton merupakan kombinasi hari penanggalan masehi dan hari penanggalan Jawa. Kalau penanggalan masehi punya hari Minggu – Sabtu, penanggalan Jawa mengenal istilah “pasaran” yang terdiri dari: Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing. „Bancakan‟ bubur merah putih dilakukan untuk mengingatkan akan proses kelahiran, yaitu menyatunya bapak dan ibu yang dilambangkan dalam bentuk bubur merah (perlambang ibu) dan putih (perlambang bapak). Kemudian bubur tadi dibagikan ke para tetangga dan saudara terdekat. Terkadang bagi-bagi bancaan ini bisa dibarengi dengan nasi gudangan, nasi ayam, nasi kotak ataupun dalam bentuk lain.Manfaat dan tujuan bancakan weton adalah untuk “ngopahi sing momong”, karena masyarakat Jawa percaya dan memahami jika setiap orang ada yang momong (pamomong) atau “pengasuh dan pembimbing” secara metafisik. Pamomong bertugas selalu membimbing dan mengarahkan agar seseorang tidak salah langkah, agar supaya lakune selalu „pener, dan pas. Pamomong sebisanya selalu menjaga agar kita bisa terhindar dari perilaku yang keliru, tidak tepat, ceroboh, merugikan. Peringatan

17 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

ini mengisyaratkan kepada masyarakat bahwa harus menjaga kerukunan dengan sesama warga sehingga agar sesama warga saling mengingatkan satu sama lain untuk selalu berjalan pada jalur kebaikan sehingga terhindar dari perilaku keliru dalam melangkah. Makna bagi penanggulangan bencana adalah kerukunan antar warga harus selalu diutamakan terutama dalam upaya penanggulangan bencana sehingga terhindar dari malapetaka atau risiko bencana.

Pengaruh Kearifan lokal dolanan mantra duk-duk gleng terhadap penanggulangan bencana Dolanan ini biasanya dilakukan oleh 3 atau 4 anak yang dilakukan diatas Pasir. Teknisnya adalah pasir dibuat gunung gunungan, nah diatas gunung itu kemudian ditancapkan semacam bendera kecil yang dibuat dari lidi (biting bhs jawa). Anak anak yang melingkari gunungan pasir dengan bendera dipuncaknya, kemudian melakukan ritual pembacaan mantra: sambil mengais ngais pasir dengan telunjuk. Masing masing pemain harus sportif mengais sambil menyanyi bareng mengikuti irama mantra.

Kaisan dan hentakan kecil pada pasir secara repetitif dan berirama akan menjadikan gunungan menjadi longsor. Nah bendera biting di puncak akan ikut jatuh dan mengarah ke salah satu peserta. Saat itulah permainan berakhir, siapa yang kejatuhan bendera, dialah yang kalah. Kemudian peserta yang kalah biasanya dihukum gendong, nyanyi atau yang lain tergantung kesepakatan.

Ada pelajaran dibalik permainan Dolanan asli Pemalangan, Duk Duk Gleng Taine Celeng. Permainan ini melatih keberanian pada si anak untuk mengambil resiko keberanian dan juga sportifitas selain strategi pengambilan keputusan. Logikanya jika kita bermain mengais pasir mengikuti irama mantra niscaya akan selamat, beda jika kaisannya sporadis, kecenderungan bendera akan jatuh ke tempat kita.. Itu aturannya. Karena secara teknis gunungan pasir lebih stabil dan tingkat longsornya lebih kecil. Dolanan ini bermakna adanya ancaman bencana yang ada di Pemalang berasal dari gunung (erupsi dan longsoran). Permainan ini mengisyaratkan apabila masyarakat mengelola guning dengan mengikut aturan yang ada (mantra yang dinyanyikan) niscaya akan terhindar dari ancaman bencana yang ada.

Pengaruh Kearifan lokal Baritan atau sedekah laut terhadap penanggulangan bencana Baritan atau sedekah laut adalah prosesi melarung Jolen ketengah laut yang dilaksanakan para nelayan sebagai upacara rasa syukur atas hasil usaha menangkap ikan di laut. Sedekah laut diselenggarakan setahun sekali pada Maulud, yaitu setiap Selasa atau Jumat Kliwon. Sebelum upacara pelarungan,

18 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

diadakan tirakatan bersama yang dihadiri para nelayan, tokoh masyarakat setempat dan para pejabat terkait dengan mengambil lokasi di Tempat Pelelangan Ikan. Pembacaan doa dan tahlil menyertai upacara ini dengan maksud agar pelaksanaan upacara ini dapat berjalan lancar, selamat dan tidak menyimpang dari aturan agama. Upacara ini adalah cara warga masyarakat pesisir Pemalang (nelayan) untuk memohon kepada Tuhan agar terhindar dari bencana yang datang dari laut. Upaya ini jika dilihat dari sudut penanggulangan bencana adalah upaya pencegahan terhadap bencana, namun jika dimaknai lebih dalam lagi bahwa salah satu ancaman bencana bagi Kabupaten Pemalang adalah berasal dari laut.

Pengaruh Kearifan lokal Krangkeng terhadap penanggulangan bencana Kesenian tradisional ini dikenal masyarakat Pemalang sejak tiga abad silam. Berawal dari peristiwa penyerbuan Batavia oleh laskar Mataram. Pemalang yang saat itu termasuk dalam wilayah Mataram membantu laskar SultanAgung dengan mengirim prajurit-prajurit terbaiknya. Cara menghasilkan prajurit tangguh saat itu ialah melatih para pemuda dengan ilmu kanuragan dan olah keprajuritan. Caranya setiap latihan olah kanuragan selalu diiringi musik atau tetabuhan.

Kegiatan latihan olah kanuragan yang diiringi musik kini masih terus berlangsung, bahkan kian meluas. Materi yang ditampilkan kian berkembangdan diperkaya berbagai jenis ketangkasan lainnya seperti atraksi kekebalan tubuh dan ketrampilan akrobatik. Olah kanuragan kini telah beralih fungsi menjadi sebuah kegiatan kesenian dan tontonan yang menarik. Inilah cikal bakal lahirnya kesenian krangkeng. Kesenian ini memberikan makna pada bidang penanggulangan bencana adalah wujud kesiap-siagaan bagi warga masyarakat pemalang terhadap kejadian bencana yang mungkin mengancam daerahnya.

Pengaruh Kearifan lokal Sintren terhadap penanggulangan bencana Sintren merupakan kesenian rakyat yang cukup populer diwilayah Karesidenan Pekalongan terutama di kalangan masyarakat pantura.Sintren konon berasal dari legenda Sularsih-Sulandono. Sulandono adalah putera ari pasangan suami-istri Joko Bahu dan Ratnasari yang menurutkisah adalah pendiri Kota Batang, Pekalongan dan wilayah sekitarnya. Sintre nmenggambarkan perjalanan hidup dan kesucian seorang gadis yang diperankanseorang gadis belia yang masih suci, belum akil-balik dan tidak pernah terjamahtangan lelaki.

Pertunjukan sintren diawali tembang yang menarik perhatian para penonton yakni "Kukus Gunung". Berikutnya gadis calon sintren yang mengenakan pakaian biasa dimasukkan ke dalam kurungan dalam keadaan tangan terikat.Setelah si gadis berada dalam kurungan, kemenyan pun dibakar sementara para pelantun lagu

19 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

mengalunkan tembang "Yu Sintren" yang bertujuan memanggil kekuatan dari luar. Kekuatan inilah yang nantinya mengganti busana calon sintren.

Selanjutnya akan tampak sesosok bidadari yang mengenakan pakaiankebesaran lengkap dengan kacamata hitam, berdiri anggun lalu berlenggang-lenggok mengikuti irama gamelan yang dimainkan para penabuh. Pada zaman dulu, selain sebagai sarana hiburan dan ajang komunikasi muda-mudi untuk cari jodoh, sintren juga digunakan sebagai mediasi untuk meminta turun hujan. Sekarang, sintren pun dipentaskan untuk memeriahkan hari-hari besar nasional, acara hajatan atau pun untuk menyambut tamu resmi. Kekhususan dari kesenian sintren di Kabupaten Pemalang selain perpaduan budaya masyarakat juga merupakan usaha pencegahan bencana kekeringan akibat musim kemarau jika dilihat dari prespektif penanggulangan bencana dengan cara permohonan kepada Tuhan yang Maha Kuasa.

Pengaruh Kearifan lokal Jaran Kepang terhadap penanggulangan bencana Jaran kepang atau Kuda Lumping adalah jenis kesenian tradisional yang umumnya dikenal di masyarakat Jawa Tengah. Kesenian inimerupakan jenis permainan yang menyertakan unsur magis karena pada adegan tertentu pemainnya memainkan atraksi yang tidak mungkin dilakukan manusia biasaseperti adegan makan pecahan kaca. Dari sejumlah kesenian Jaran Kepang yang ada di Jawa Tengah, Pemalang mungkin memiliki beberapa kelebihan berupa inovasi seperti adanya adegan cukup unik dimana dua atau tiga orang pemain dijadikan manusia setengah robot yang bisa duduk atau berdiri mematung berjam- jam lamanya.Kesenian Jaran Kepang biasanya dipentaskan pada acara hajatan,upacara hari besar nasional atau pun menyambut kunjungan tamu resmi. Kesenian ini menggambarkan kemampuan fisik warga pemalang dan upaya kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana apabila ditinjau dari penanggulangan bencana.

Pengaruh Kearifan lokal Kuntulan terhadap penanggulangan bencana Kesenian ini mulai dikenal masyarakat Pemalang pada sekitar awal abad 20 yaitu pada saat di tanah air banyak muncul pergerakan kebangsaan. Tokoh-tokoh masyarakat Pemalang saat itu tak mau ketinggalan ikut dalam kancah perjuangan nasional. Dibentuklah perkumpulan bela diri, khususnya pencak silat.Kegiatan bela diri ini ketika itu selalu diiringi rebana dan pukulan bedug serta dikumandangkan pula doa-doa salawat Nabi sehingga terkesan sebagai kegiatan kesenian dan keagamaan.

20 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Setelah kemerdekaan kegiatan ini yang kemudian di kenalkan dengan nama kuntulan tetap berlangsung dan berubah dari alat perjuangan menjadi sarana hiburan. Kesenian ini biasanya dipentaskan para acara peringatan hari besar nasional, hajatan atau pun menyambut tamu resmi. Kesenian kuntulan tampak menarik karena memadukan jurus-jurus bela diri yang nampak artistik,demonstrasi akrobatik dan keindahan musik rebana dan bedug. Kesenian ini menunjukkan kesiap-siagaan dan kekompakan dalam menghadapi berbagai marabahaya yang menghadang warga masyarakat apabila ditinjau dari prespektif kebencanaan.

Pengaruh Kearifan lokal Musik tek-tek terhadap penanggulangan bencana Dilihat dari bentuk fisik serta suara yang ditimbulkan, musik tek-tek merupakan jenis alat musik ritmis (non-nada). Pada awalnya hanya beberapa potong bambu wulung yang dipukul secara ritmis dan membentuk suara yang khas, namun belakangan muncul bentuk angklung yang memberikan nuansa melodis. Tentu saja ini sudah keluar dari bentuk baku tek-tek itu sendiri, sebab angklung juga sudah mempunyai wilayah sendiri. Pada musik angklung melodi yang ditimbulkan adalah tonalitas diatonik (diatonic scale), di mana nada yang tersusun adalah rentetan nada yang strukturnya menganut standard musik dunia yang menggunakan pola jarak baku. Tentu saja ini bertolak belakang dengan kebanyakan musik tradisi Jawa yang kebanyakan menganut sistem tonalitas pentatonis (pentatonic scale), lazim dibagi dalam titi laras slendro dan pelog. Kalau dengan titi laras pelog masih bisa disejajarkan karena ada pola jarak yang sama antara keduanya, namun jika lagu yang dinyanyikan berlatar belakang titi laras slendro, maka akan ada pemaksaan dalam menyajikannya. Namun demikian, dalam permainan tek-tek tidak ada yang tabu dalam menyanyikan lagu. Tak peduli fals atau tidak, yang penting ramai dan menghibur. Penggunaan tonalitas diatonik ini memberikan keleluasaan bagi penggarap musik tek-tek dalam mengoleksi lagu-lagu yang diadaptasi ke dalam musik jenis ini, mulai dari lagu daerah Jawa Tengah, lagu Sunda, Bali, Maluku, Tapanuli, bahkan lagu mancanegara baik di Asia maupun lagu barat, mulai lagu dangdut, campursari hingga populer. Oleh karena itu musik tek-tek sangat fleksibel dan relatif mudah di samping pola ritmenya yang sederhana juga penggunaan unsur harmoni yang tidak rumit. Unsur harmoni dalam hal ini hanya berkisar pada keselarasan antara bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh instrumen melodis dan ritmis, belum sampai pada tingkat penggunaan akor sebagaimana dalam musik yang lain.

21 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Penampilan tek-tek tidak seru jika tidak melibatkan penari sebagai hiasan penampilan, penyanyi biasanya dirangkap oleh penabuh kenthongan yang suaranya lantang serta bisa mengimbangi volume instrumen. Yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan seorang dirigen yang mereka sebut mayoret lengkap dengan tongkat komando (stik major leader). Mayoret bisa dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan, atau bahkan yang lebih kemayu lagi, waria. Dalam hal ini dibutuhkan pula seorang koreografer yang bertugas menata gerak bagi penari-penari penghias penampilan. Selai itu ada pula petugas perancang (desain) aksesoris yang akan mendukung segi visual, seperti kuda kepang, ornamen instrumen, hingga pemunculan gunungan (kekayon). Kesenian ini adalah menunjukkan keberagaman budaya warga pemalang apabila dilihat dari pakaian yang dipakai namun tetap dapat disatukan dalam kesatuan irama dengan adanya musik dan pimpinan rombongan. Kesenian ini bila dilihat dari sudut kebencanaan alat musik dan suara musiknya dapat dikembangkan sebagai cara berkomunikasi bagi warga masyarakat terutama dalam penanggulangan bencana sebagai early warning system dengan cara kesepakatan isyarat suara.

E. Kabupaten Batang Beberapa budaya dan kesenian Kabupaten Batang terkait dengan penanggulangan bencana antara lain: Pengaruh Kearifan lokal Tari Lengger terhadap penanggulangan bencana Tari Lengger mengisahkan tentang pertemuan Raden Panji Asmarabangun dengan Dewi Candra Kirana: atraksi tarian sangat menarik, ada penari naik kendi dan ada yang disunggi di bahu sambil menari dengan senang dan gembira, tarian ini dilengkapi dengan sesajian dan dibacakan mantra-mantra oleh sesepuh. Kesenian tradisional ini menggunakan gamelan sebagai alat musiknya dan diikuti penari wanita (lengger) yang biasa ditampilkan pada acara hajatan / peresmian sebagai penyambutan serta setiap ada acara hari besar, seperti penyambutan tahun baru masehi. Berdasarkan pakaian yang dipakai dapat didekati dari prespektif kebencanaan bahwa masyarakat Kabupaten Batang mempunyai keberagaman etnis, suku dan budaya yaitu perpaduan dari budaya china dan jawa. Selain itu berdasarkan ceritanya adalah mengambil cerita dari Jawa Timur yaitu jaman kerajaan Jenggala dan Kediri.

Pengaruh Kearifan lokal Tari Sintren terhadap penanggulangan bencana Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi

22 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantan sari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).

Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak).

Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona. Kesenian ini menunjukkan adanya akulturasi kebudayaan dengan cina, hal ini menunjukkan bahwa bencana sosial merupakan ancaman bagi Kabupaten Batang hingga upaya masyarakat melakukan asimilasi perpaduan budaya agar terhindar dari kerusuhan karena perbedaan etnis.

Pengaruh Kearifan lokal nyadran terhadap penanggulangan bencana Upacara Nyadran atau pesta laut ini merupakan tradisi dari Jaman pra-Islam, yaitu ketika Jawa masih berada di Jaman Hindu-Buddha (Majapahit) dan (Mataram Kuno). Walau tradisi ini telah berlangsung lama, upacara nyadran tetap menjadi kontroversi di kalangan masyarakat dan kelompok keagamaan.

Awal perkembangannya, Upacara Nyadran berinti dengan pelarungan kepala sapi dan diikuti dengan pesta makan oleh para penduduk sekitar, namun seiring jaman Upacara Nyadran berkembang hingga adanya beberapa ritual suci yang dilakuakan seperti mabuk masal, sesembah kapal dan hiburan/perayaan. Doa yang digunakan yang semula menggunakan mantra-mantra jawa, kini telah diselingi oleh bacaan-bacaan arab, dimana didalamnya dimaksudkan untuk sebuah keselamatan dan rasa syukur.

Di Desa Klidang Lor Kabupaten Batang, nyadran diadakan dua kali dalam setahun, di desa ini juga terdapat kegiatan yang unik pula, seperti sesembah perahu selama dua hari. Sesembah perahu dimaksudkan agar, perahu yang

23 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

hendak digunakan saat berlayar mencari ikan, akan mendapatkan keselamatan dan dijauhkan dari segala bencana (tolak bala). Upacara ini merupakan cara masyarakat pesisir Kabupaten Batang untuk memohon kepada Tuhan untuk dijauhkan dari bencana terutama dari laut. Selain itu terlihat dalam perkembangan budaya ini terdapat asimilasi antara budaya jawa dan islam dan adanya penghilangan ritual yang kurang baik yaitu mabuk massal.

Pengaruh Kearifan lokal upacara kendil terhadap penanggulangan bencana Budaya dan istiadat yang masih dipercaya oleh warga setempat, yaitu melakukan upacara penyembelihan kambing 'Kendit' yang dilakukan pada Rabu Wage, bulan Jumadil Awal sebagai upaya 'tolak balak' agar desanya tidak terkena musibah. Selain itu, warga Desa Sodong juga melakukan tradisi upacara panen padi dengan menyajikan makanan 'jadah pasar'. Upacara ini adalah langkah yang diambil masyarakat yang melakukan pencegahan bencana dengan cara memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa.

Pengaruh Kearifan lokal seni dengklung terhadap penanggulangan bencana Seni dengklung, awalnya lahir dan berkembang di wilayah Kecamatan Blado, kemudian berkembang ke Kecamatan Bandar. Kesenian yang dikelompokkan dalam "musik rakyat" ini bernafaskan agama Islam dan dimainkan oleh kaum wanita. Kesenian ini merepresentasikan bahwa di Kabupaten Batang perempuan mempunyai peran atau porsi tertentu dalam kegiatan artinya adalah bahwa Masyarakat Batang mengakui kesetaraan kaum perempuan. Hal demikian mempunyai efek positif bagi penanggulangan bencana yaitu masyarakat Batang mengakui peluang untuk keterlibatan langsung perempuan dalam kegiatan tersebut.

Pengaruh Kearifan lokal kesenian kuda lumping terhadap penanggulangan bencana Merupakan jenis kesenian rakyat dengan tema cerita Menak. Tari kuda lumping pada dasarnya adalah tarian rakyat yang menggunakan unsur magis, dengan diiringi oleh musik gamelan dan seperangkat angklung sebagai pengiring lagu- lagu pengantar dalam memanggil dan mengeluarkan roh halus dari tubuh/ badan si penari yang kerasukan roh halus. Sejarah singkat lahirnya tari kuda lumping Awal berdirinya kuda lumping Turonggo Budoyo yaitu pada tanggal 22 April 1979 yang dipandegani oleh bapak Mismin yang pada waktu itu akan mengadakan karnaval di tingkat desa, berhubung warga Lebeng desa Wanar Kecamatan Tersono Kabupaten Batang haus akan hiburan khususnya kesenian tradisional kuda lumping. Inti dari kesenian ini adalah kesiap-siagaan masyarakat baik secara jasmani dan rohani dalam menanggulangi bencana apabila ditinjau dari sudut penanggulangan bencana.

24 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

Pengaruh Kearifan lokal ritual malam jumat kliwon terhadap penanggulangan bencana Tradisi malam Jumat Kliwon atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kliwonan berkaitan dengan cerita rakyat atau legenda dari daerah setempat yaitu Kabupaten Batang. Pada mulanya tradisi ini diadakan dengan maksud untuk mengenang jasa leluhur dan nenek moyang Batang yang dulunya telah membangun daerah Batang. Tradisi Kliwonan yang dulunya digunakan untuk ajang melakukan ritual-ritual sederhana kemudian berkembang seperti sekarang ini. Kliwonan di daerah Batang mengalami perubahan dari bentuk dan fungsi yang secara sesungguhnya. Pada awalnya Tradisi Kliwonan merupakan sarana atau tempat pengobatan bagi orang sakit. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang mencakup multi dimensi, tradisi Kliwonan mengalami perubahan fungsi menjadi sebuah pasar yang sering disebut dengan pasar kliwonan. Tradisi kliwonan ini diselenggarakan di alun-alun Kota Batang setiap 35 hari sekali atau disebut selapan dina menurut perhitungan Jawa tepatnya pada malam Jumat Kliwon.

Kliwonan ini dikatakan suatu tradisi karena dilaksanakan secara turun-temurun dan dipercaya oleh masyarakat mempunyai banyak makna serta nilai-nilai di dalamnya. Seperti halnya dalam tradisi Kliwonan yang sekarang ini kemudian memunculkan empat unsur nilai budaya, sosial, agama dan ekonomi yang merupakan perangkat struktur dalam kehidupan masyarakat Batang terkait dengan tradisi Kliwonan ini baik secara individu maupun secara sosial.

Nilai-nilai budaya dalam tradisi Kliwonan telah menyatu dengan jiwa masyarakat pendukungnya tanpa mereka sadari, seperti solidaritas diantara masyarakat pendukung. Dalam tradisi ini tidak terdapat norma-norma mengikat, sistem hukum, dan aturan-aturan khusus yang dilakukan. Norma aturan tersebut adalah suatu kesepakatan bersama yang tidak tertulis, secara sadar dan tidak sadar mereka melaksanakan tradisi Kliwonan sesuai dengan cara dan kebiasaan mereka tersebut, seperti pelaksaan ritual mandi, berdagang dan berjalan-jalan.

Dalam tradisi Kliwonan yang terkandung di dalamnya adalah nilai moralitas dan etos. Nilai mentalitas suatu penilaian terhadap tindakan yang dianggap baik. Dan setiap budaya pasti mempunyai kategori dan standar untuk mengevaluasi tingkah laku atau tindakan tindakan berpola manusia. Dalam tradisi Kliwonan nilai moralitas mencakup pada solidaritas diantara masyarakat pendukung, tindakan berpola yang terdapat dalam tradisi Kliwonan yang dianggap pantas, hubungan dengan anggota-anggota baru dan nilai ketertiban. Tradisi ini sangat besar pengaruhnya terhadap kegiatan penanggulangan bencana karena tradisi ini

25 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

merupakan ajang masyarakat Batang untuk saling menjaga kerukunan, menyamakan persepsi dan menjalin komunikasi untuk menyampaikan berbagai informasi dan pemecahan masalah. Tradisi ini dapat digunakan untuk melakukan sosialisasi, penyusunan program dan penyatuan persepsi dalam kegiatan penanggulangan bencana.

26 | B A B 6

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

7.1 Rekomendasi Kearifan Lokal terhadap Penanggulangan Bencana di Eks Karesidenan Pekalongan Berdasarkan analisis kearifan lokal terhadap penanggulangan bencana di eks Karesidenan Pekalongan yang tersaji dalam bab sebelumnya, maka rekomendasi yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut, 1. Berbagai kearifan lokal yang ada di masyarakat Pulau Jawa ternyata dipahami dan diyakini oleh masyarakat di eks Karesidenan Pekalongan sehingga hal tersebut perlu dilestarikan dan ditularkan kepada generasi selanjutnya sehingga mampu meningkatkan upaya penanggulangan bencana yang berbasis pada kearifan lokal 2. Kearifan lokal yang ada di eks Karesidenan Pekalongan meliputi pakaian adat, ritual atau upacara, legenda/cerita rakyat, tarian rakyat, corak batik, pohon keramat dan obyek wisata ternyata mampu menggambarkan ancaman dan risiko bencana, dan upaya penanggulangan bencana baik sebelum terjadi bencana, tanggap darurat maupun pemulihan. 3. Kearifan lokal yang ada di Kota dan Kabupaten Pekalongan adalah berupa kesenian sintren, simtudorror, ritual lopisan, tradisi pekchun, nyadran dan motif batik dapat menggambarkan kondisi kebencanaan di daerah tersebut. 4. Kesenian Sintren merupakan perwujudan perpaduan budaya masyarakat yang bermukim di Kota dan Kabupaten Pekalongan. Hal ini terlihat dari ragam pakaian yang dikenakan pemain kesenian dan alat musik yang digunakan yaitu budaya china, arab dan jawa. Hal tersebut apabila ditinjau dari sudut pandang penanggulangan bencana adalah bahwa salah satu ancaman bencana yang mungkin terjadi adalah bencana sosial karena keberagaman suku, etnis dan agama. 5. Simtudorror adalah kesenian di Kabupaten dan Kota Pekalongan yang menggambarkan pencegahan terjadinya bencana dengan cara memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 6. Tradisi Lopisan yang dilakukan masyarakat Kota Pekalongan adalah usaha masyarakat untuk menjalin kerjasama, silaturahmi, kebersamaam dan komunikasi 1 | B A B 7

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

antar dusun sehingga apabila dikaitkan dengan upaya penanggulangan bencana adalah sebagai cikal bakal program sister village. 7. Tradisi Pekchun pada tahun baru imlek dan nyadran atau sedekah laut pada tahun baru jawa merupakan kegiatan yang hampir sama yang dilakukan di Kota Pekalongan yaitu ungkapan syukur dan permohonan perlindungan Tuhan agar tidak terjadi bencana terutama dari laut. Selain itu kegiatan ini mengisyaratkan bahwa Kota Pekalongan mempunyai ancaman bencana yang berasal dari laut. Rangkaian kegiatan ini yang menampilkan berbagai atraksi dapat diisi dengan sosialisasi masalah kebencanaan. 8. Motif batik pesisisiran yang dimiliki Kota dan Kabupaten Pekalongan menyampaikan makna bahwa di kedua daerah tersebut mempunyai ancaman bencana yang berasal dari laut, gunung dan keberagaman etnis, budaya dan agama. 9. Ritual Rebo Wekasan, sedekah laut, moci mantu poci dan ruwatan merupakan budaya lokal Kabupaten dan Kota Tegal yang sarat maknanya dengan penanggulangan bencana. 10. Ritual Rebo Wekasan menggambarkan pencegahan dan kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana yang mungkin terjadi karena dipercaya setiap rabu terakhir pada bulan sapar bencana banyak menghampiri. 11. Sedekah laut dan ruwatan yang dilakukan masyarakat Tegal mengandung makna dalam penanggulangan bencana adalah sebagai cara pencegahan terjadinya bencana dan sebagai pertanda bahwa salah satu ancaman bencana adalah berasal dari laut. Rangkaian acara ini dapat diisi dengan sosialisasi dan penyadaran masalah kebencanaan pada pagelaran wayang kulit. 12. Budaya moci dan mantu poci di masyarakat Tegal merupakan gambaran kesiap- siagaan warga dalam menghadapi bencana dengan cara memupuk kerukunan, kerjasama dan penyatuan persepsi antar warga. 13. Kabupaten Brebes mempunyai jenis kesenian yang erat kaitannya dengan penanggulangan bencana yaitu burokan, sintren,dog-dog kliwon, kuntulan, tari topeng sinok dan reok banjarharjo. 14. Burokan adalah kesenian yang menggambarkan dan mengingatkan kepada warga Brebes untuk hidup selaras dengan lingkungan agar terhindar dari bencana , sedangkan sintren melambangkan keberagaman etnis yang ada di Brebes sehingga rawan terhadap bencana sosial. Berdasarkan siklus penanggulangan bencana keduanya merupakan upaya pencegahan kejadian bencana. 15. Kesenian dog-dog kliwon adalah kesenian yang dipertontonkan setiap pasaran kliwon dan kebiasaan warga adalah ditonton secara bersama-sama, makna kegiatan jika dilihat dari prespektif penanggulangan bencana adalah upaya kesiap- siagaan dengan cara menjalin kerjasama, kebersamaan dan komunikasi antar

2 | B A B 7

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

warga. Sedangkan kuntulan lebih pada kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana dari sisi fisik jasmani. 16. Tari topeng sinok menggambarkan keterlibatan dan peranan kaum perempuan di Kabupaten Brebes. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender telah dipahami masyarakat Brebes dengan baik sehingga merupakan modal yang baik dalam penanggulangan bencana yaitu pelibatan kaum perempuan. 17. Reog Banjarharjo apabila dihubungkan dengan penanggulangan bencana adalah menggambarkan bahwa kesiap-siagaan terhadap bencana harus dilakukan dari tingkat keluarga, sehingga budaya sadar bencana sudah melembaga dari satuan masyarakat terkecil. 18. Budaya dan kesenian di Kabupaten Pemalang yang sarat dengan penanggulangan bencana adalah mitos gunung slamet dan ritualnya, sintren, kuntulan, krangkeng, dolanan duk-duk gleng, musik tek-tek, baritan dan jaran kepang serta sesaji selamatan. 19. Gunung Slamet merupakan ancaman utama di daerah Pemalang sehingga dalam upaya pencegahan maka masyarakat melakukan ritual selamatan dengan membuat sayur gandul, kupat selamat dan kalung-gelang bambu kuning. Selain ancaman erupsi Gunung Slamet, mitos asal muasal Gunung Slamet mengisyaratkan akan ancaman bencana akibat jalur retakan di sekitar Gunung Slamet. 20. Kesenian Sintren adalah pencegahan bencana kekeringan pada musim kemarau. Sedangkan Jaran Kepang, Kuntulan dan Krangkeng adalah menggambarkan kesiap-siagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. 21. Dolanan Duk-duk gleng merupakan upaya pencegahan terhadap bencana yang berasal dari gunung karena mengandung makna apabila dalam memanfaatkan alam sesuai dengan aturan yang ada (mantra duk-duk gleng) maka bencana akibat gunung atau perbukitan tidak akan terjadi. Sedangkan musik tek-tek merupakan kesenian yang apabila dikembangkan lebih lanjut dapat dijadikan sebagai alat komunikasi antar warga terutama untuk early warning system bencana dengan cara penyatuan dan kesepakatan suara sebagai isyarat. 22. Baritan atau sedekah laut merupakan pertanda bagi masyarakat Pemalang bahwa salah satu ancaman bencana yang ada adalah berasal dari laut, Sedangkan sesaji di simpang dan selamatan weton adalah perwujudan pencegahan terhadap bencana dengan mengingatkan atau memberi tanda tempat-tempat yang rawan bencana. 23. Kabupaten Batang mempunyai jenis kesenian tradisional, tradisi dan ritual yang berhubungan dengan kegiatan penanggulangan bencana yaitu lengger, sintren, nyadran, kendit, seni dengklung, kuda lumping dan kliwonan. 24. Tarian lengger dan sintren merefleksi dibidang kebencanaan adalah pakaian yang dikenakan penari merupakan perpaduan budaya china, arab dan jawa sehingga

3 | B A B 7

Studi Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di EKs Karesidenan Pekalongan

mengisyaratkan bahwa Kabupaten Batang mempunyai ancaman berupa bencana sosial akibat keragaman etnis dan budaya. 25. Ritual atau upacara nyadran dan kendit merupakan cara pencegahan bencana yang dilakukan masyarakat Kabupaten Batang yaitu dengan memohon perlindungan kepada Tuhan yang Maha kuasa. Sedangkan kesenian kuda lumping bermakna kesiap-siagaan masyarakat secara lahir dan batin dalam menghadapi berbagai ancaman bencana. 26. Kesenian dengklung adalah kesenian yang menggambarkan keterlibatan kaum perempuan dalam berbagai kegiatan di Kabupaten Batang, hal ini menunjukkan masyarakat mengakui kesetaraan gender. Pemahaman ini sangat bermanfaat bagi upaya penanggulangan bencana di segala kegiatan. 27. Kliwonan merupakan tradisi yang mengedepankan komunikasi, kerjasama dan kebersamaan dalam upaya membangun Kabupaten Batang, Tradisi ini sangat penting terutama dalam penyatuan gerak dalam penanggulangan bencana dalam berbagai kegiatan. 28. Berbagai ritual atau upacara adat yang ada di daerah eks Karesidenan Pekalongan dilengkapi dengan pagelaran wayang kulit,ketoprak, drama tradisional, ceramah dan berbagai kegiatan pencerahan sehingga pagelaran budaya-budaya tersebut dapat disisipi dengan sosialisai kebencanaan yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang ancaman, resiko dan penanggulangan bencana di tingkat masyarakat.

4 | B A B 7

Peraturan/Undang-Undang Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011 - 2031 Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Brebes Tahun 2010 – 2030. Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pekalongan Tahun 2011 – 2031. Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang Tahun 2011 – 2031. Peraturan Daerah Kabupaten Tegal Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tegal Tahun 2012 – 2032. Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 30 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan Tahun 2009 – 2029.

Buku/Jurnal/Seminar/Majalah Abdurrahman, Oman. 2013. Geologi Linewatan dari hingga Banjarnegara. Majalah Geomagz vol. 3 no. 1 Maret 2013, hal. 54-79. Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2013. Panduan Pelatihan Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana. Jakarta. Herawati, Nanik. 2012. Kearifan Lokal Bagian Budaya Jawa. Magistra No.79 Tahun XXIV Maret 2012. Kusumah, Siti Dioyana, dkk. 2011. Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Kriswati & Prambada. 2009. Korelasi Parameter Suhu Air Panas, Kegempaan dan Letusan Gunung Slamet April-Mei 2009. Buletin Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, vol. 4 no. 2 Agustus 2009, hal. 19-26. Nawiyanto, dkk. 2011. Pangan, Makan dan Ketahanan Pangan: Konsepsi Etnis Jawa dan Madura. Galangpress dan Pusat Penelitian Budaya dan pariwisata Universitas Jember. Sarwoto, dkk. 2010. Identifikasi Sains Asli (Indigenous Science) Sistem Pranata Mangsa Melalui Kajian Etnosains. Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS. Sri Hartatik, Endang. 2008. Upacara Tradisi yang Masih Berkembang di Masyarakat Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah. Diknas Provinsi Jawa Tengah. Sunarto. 2011. Pemaknaan Filsafati Kearifan Lokal Untuk Adaptasi Masyarakat Terhadap Ancaman Bencana Marin dan Fluvial di Lingkungan Kepesisiran. Forum Geografi Vol.25 No.1 Juli 2011. Sutawidjaja & Sukhyar. 2009. Cinder Cones of Mount Slamet, Central , Indonesia. Jurnal Geologi Indonesia, vol. 4 no. 1 Maret 2009, hal. 57-75. Wagiran.2012. Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana. Jurnal Pendidikan Karakter Tahun II Nomor 3 Oktober 2012.

Artikel/Website http://www.merdeka.com http://www.infometafisik.com http://map-bms.wikipedia.org http://www.solopos.com http://chk2489.blogspot.com http://edukasi.kompasiana.com/2014/03/18 http://kekunaan.blogspot.com http://kisahlawas.blogspot.com http://gemasastranusantara.wordpress.com http://negeriangin-negeriangin.blogspot.com/2012/03/diwak.html http://saeitubaik.blogspot.com