1

SINTESIS DAN KARAKTERISASI MAGNET BERBASIS BARIUM HEKSAFERIT - ALUMINA

TESIS

Oleh

TAUFIK HIDAYAT HIA 137026001/FIS

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

2

SINTESIS DAN KARAKTERISASI MAGNET BERBASIS BARIUM HEKSAFERIT - ALUMINA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Fisika pada Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

Oleh

TAUFIK HIDAYAT HIA 137026001/FIS

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

3

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : SINTESIS DAN KARAKTERISASI MAGNET BERBASIS BARIUM HEKSAFERIT- ALUMINA

Nama Mahasiswa : TAUFIK HIDAYAT HIA Nomor Induk Mahasiswa : 137026001 Program Studi : Magister Ilmu Fisika Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Nasruddin MN, M.Eng.Sc Prof. Drs. Perdamean Sebayang, M.Sc Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Dr. Nasruddin MN, M.Eng.Sc Dr. Sutarman, M.Sc NIP 19550706 198102 1 002 NIP 19631026 199103 1 001

4

PERNYATAAN ORISINALITAS

SINTESIS DAN KARAKTERISASI MAGNET BERBASIS BARIUM HEKSAFERIT – ALUMINA

T E S I S

Dengan saya mengatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, 27 Juli 2015

TAUFIK HIDAYAT HIA NIM 137026001

5

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : TAUFIK HIDAYAT HIA N I M : 137026001 Program Studi : Magister Ilmu Fisika Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul : Sintesis dan Karakterisasi Magnet Berbasis Barium Heksaferit – Alumina Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty Non- Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 27 Juli 2015

TAUFIK HIDAYAT HIA

6

Telah diuji pada Tanggal : 27 Juli 2015

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Dr. Nasruddin MN, M.Eng.Sc Anggota : 1. Prof. Drs. Perdamean Sebayang, M.Sc 2. Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc 3. Prof. Drs. M. Syukur, M.S 4. Dr. Kerista Sebayang, M.S

7

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI Nama lengkap berikut gelar : Taufik Hidayat Hia, S.Pd Tempat dan Tanggal Lahir : Lolohia, 15 September 1980 Alamat Rumah : Desa Lolohia, Kec. Mandrehe Barat, Kab. Nias Barat, Prov. Sumatera Utara Telepon/Faks/HP : 0813 7036 9849 E-mail : [email protected] Instansi Tempat Bekerja : SMK Negeri 2 Mandrehe Barat Alamat Kantor : Desa Lolohia, Kec. Mandrehe Barat, Kab. Nias Barat, Prov. Sumatera Utara Telepon/Faks/HP : -

DATA PENDIDIKAN SD : SDN 076716 Lolohia Tamat : 1993 SMP : SLTP Negeri 3 Mandrehe Tamat : 1996 SMA : SMA Negeri 1 Mandrehe Tamat : 1999 Strata-1 : Universitas Negeri Medan Tamat : 2005

8

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkatNya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul : “Sintesis dan Karakterisasi Magnet Berbasis Barium Heksaferit-Alumina”. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Master Fisika pada Program Studi Ilmu Fisika Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara - Medan. Dalam penyusunan tesis ini banyak masukan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : - Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp. A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara – Medan. - Dr. Sutarman, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara - Medan. - Dr. Nasruddin MN, M.Eng. Sc., selaku Ketua Program Studi Magister Fisika Universitas Sumatera Utara – Medan dan sekaligus sebagai pembimbing satu yang selalu memberikan masukan. - Prof. Drs. Perdamean Sebayang, M.Sc., selaku pembimbing dua dan pembimbing lapangan yang selalu bersedia meluangkan waktunya dalam mengarahkan dan membimbing, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. - Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc (pembanding I), Prof. Drs. M. Syukur, MS (pembanding II) dan Dr. Kerista Sebayang, M.S (Pembanding II) yang selalu memberikan masukan. - Prof. Dr. Masno Ginting, M.Sc., selaku pembimbing lapangan yang bersedia meluangkan waktunya dalam mengarahkan dan membimbing, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik serta pendamping pembimbing lapangan Mas Boy, Mbak Ayu Yuswitasari, Mas Ibrahim dan Mas Lukman yang selalu sabar membantu dalam penggunaan alat-alat laboratorium. - Isteri tercinta Enasuciwati Gulo, Ayahanda tercinta Daliaro Hia, Ibunda tercinta Rusifina Wau dan seluruh keluarga yang selalu mendukung dan memotivasi serta mendoakan dengan penuh keikhlasan, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. - Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan adik-adik Fisika S1 Universitas Sumatera Utara – Medan (tugas akhir di LIPI tahun 2015) yang selalu bersedia membantu dalam proses penelitian. Dalam penulisan tesis ini disadari bahwa masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan masukan dari pembaca demi kesempurnaan tesis ini sangat diharapkan. Akhir kata, kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa yang membalas kebaikan dari semua pihak dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di , Amin.

Medan, 27 Juli 2015

TAUFIK HIDAYAT HIA 9

SINTESIS DAN KARAKTERISASI MAGNET BERBASIS BARIUM HEKSAFERIT – ALUMINA

ABSTRAK

Telah berhasil dibuat magnet permanen berbasis BaFe12O19-Al2O3 melalui metode metalurgi serbuk. Variabel penelitian yang dilakukan adalah bahan barium heksaferit (BaFe12O19) ditambahkan Al2O3 dengan variasi komposisi 100:0, 60:40, 50:50 dan 40:60 (% berat), serta suhu sintering 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C yang masing-masing ditahan selama 2 jam. Besaran-besaran yang diamati meliputi densitas, porositas, fluks densitas, kurva histerisis, analisa mikrostruktur dengan XRD dan SEM. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan 3 Al2O3 menghasilkan true density berkisar 3570-4450 kg/m , green body density berkisar 2600-3270 kg/m3, bulk density berkisar 4030-5170 kg/m3, porositas berkisar 19,28-24,79%, shrinkage berkisar 2,37-10,92%, flux density magnetik berkisar 13,00-65,45 Gauss, remanensi Br berkisar 0,03-0,20 kGauss, koersivitas HCJ berkisar 0,082-0,096 kOe dan BHmax berkisar 0,046-0,290 MGOe. Kedua bahan sebagian besar bereaksi, struktur fasa yang dihasilkan FeAl2O3, BaFeO3, Fe2O3, Ba3Al2O6 dan Fe3O4. Sedangkan morfologinya relatif homogen dengan bentuk partikel menyerupai batang dan ukuran partikel < 1 μm. Komposisi dan 0 suhu optimum adalah 40% wt Al2O3 pada suhu 1050 C dengan menghasilkan bulk density 4340 kg/m3, porositas 22,98%, shrinkage 6,27% dan flux density 63,00 Gauss. Magnet permanen yang dihasilkan bersifat soft magnetik yang diharapkan dapat digunakan sebagai media recording atau material absorben microwave.

Kata kunci : BaFe12O19, Al2O3, Sintering, Bulk Density, Magnetik flux density, SEM, XRD.

10

SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION BASED MAGNET BARIUM HEXAFERRITE - ALUMINA

ABSTRACT

Permanent magnet based on BaFe12O19 - Al2O3 by powder metallurgy method has been made. Variables of the research is barium hexaferrite (BaFe12O19) materials added Al2O3 with variations in the composition of 100:0, 60:40, 50:50 and 40:60 (% weight) and the sintering temperature of 900, 950, 1000, 1050 and 1100 0C with holding time of 2 hours. Quantities observed were include density, porosity, flux density, hysteresis curve, microstructure analysis by XRD and SEM. From the observation indicate that the addition of Al2O3 to produce true density ranges from 3570 to 4450 kg/m3, green body density ranges from 2600 to 3270 kg/m3, bulk density ranges from 4030 to 5170 kg/m3, porosity ranges from 19.28 to 24.79%, shrinkage ranges from 2.37 to 10.92%, magnetic flux density ranges from 13.00 to 65.45 Gauss, remanence Br ranges from 0.03 to 0.20 kGauss, coercivity HCJ ranges from 0.082 to 0.096 kOe and BHmax ranges from 0.046 to 0.290 MGOe. Both materials are generally reacted, the resulting phase structure FeAl2O3, BaFeO3, Fe2O3, Ba3Al2O6 and Fe3O4. The morphology is relatively homogeneous with the particle shape resembles a rod with a particle size < 1 μm. The best composition and temperature is 40 %wt Al2O3 at a temperature of 1050 0C with a bulk density of 4340 kg/m3, porosity of 22.98%, shrinkage of 6.27% and flux density 63.00 Gauss. The resulting permanent magnet are soft magnetic expected to be used as recording media or microwave absorbent material.

Keywords : BaFe12O19, Al2O3, Sintering, Bulk Density, Magnetic flux density, SEM, XRD.

11

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...... i ABSTRAK ...... ii ABSTRACT ...... iii DAFTAR ISI ...... iv DAFTAR TABEL ...... vi DAFTAR GAMBAR ...... vii DAFTAR LAMPIRAN ...... ix BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Perumusan Masalah ...... 2 1.3 Batasan Masalah ...... 2 1.4 Tujuan Penelitian ...... 3 1.5 Manfaat Penelitian ...... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 4 2.1 Barium Ferit ...... 4 2.1.1 Kisi Kristal Barium Heksaferit ...... 4 2.1.2 Sifat Magnet Barium Heksaferit ...... 5 2.2 Alumina (Al2O3) ...... 6 2.3 Polyvinyl Alkohol (PVA) ...... 9 2.4 Pengertian Magnet ...... 10 2.4.1 Medan Magnet ...... 11 2.4.2 Momen Magnetik ...... 11 2.4.3 Induksi Mangetik ...... 12 2.4.4 Kuat Medan Magnetik ...... 12 2.4.5 Intensitas Kemagnetan ...... 13 2.4.6 Macam-macam Magnet ...... 13 2.4.7 Sifat-sifat Magnet Permanen ...... 14 2.4.7.1 Koersvitas ...... 14 2.4.7.2 Remanen dan Keterlambatan ...... 15 2.4.7.3 Saturasi Magnetisasi ...... 15 2.4.7.4 Medan Anisotropi ...... 15 2.4.7.5 Temperatur Curie (Tc) ...... 17 2.4.8 Bahan Magnetik ...... 17 2.4.8.1 Bahan Diamagnetik ...... 17 2.4.8.2 Bahan Paramagnetik ...... 18 2.4.8.3 Bahan Ferromagnetik ...... 19 2.4.9 Material Magnet Lunak dan Magnet Keras ...... 20 2.4.10 Jenis Magnet Permanen ...... 21 2.5 Metalurgi Serbuk ...... 22 2.6 Proses Kalsinasi ...... 23 2.7 Proses Sintering ...... 23 2.7.1 Tahapan Sintering ...... 24 2.7.2 Klasifikasi Sintering ...... 26 12

2.7.3 Efek Sintering Terhadap Sifat Sampel ...... 27 2.8 Karakterisasi dan Evaluasi Magnet Permanen ...... 27 2.8.1 Uji Difraksi Sinar-X (XRD) ...... 28 2.8.2 Scanning Electron Microscope (SEM) ...... 29 2.8.3 Permagraph ...... 30 2.8.4 Uji Densitas ...... 30 2.8.5 Porositas ...... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...... 33 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...... 33 3.2 Peralatan dan Bahan ...... 33 3.2.1 Peralatan ...... 33 3.2.2 Bahan ...... 34 3.3 Diagram Alir Penelitian ...... 34 3.4 Prosedur Penelitian ...... 35 3.4.1 Kalsinasi Bahan Baku ...... 36 3.4.2 Pencampuran Bahan Baku ...... 36 3.4.3 Proses Kompaksi ...... 37 3.4.4 Proses Sintering ...... 37 3.4.5 Magnetisasi ...... 37 3.5 Karakterisasi ...... 37 3.5.1 Karakterisasi Sifat Fisik ...... 37 3.5.1.1 Bulk Density ...... 37 3.5.1.2 Porositas ...... 38 3.5.1.3 X-Ray Diffraction (XRD) ...... 38 3.5.1.1 Struktur Mikro ...... 38 3.5.2 Karakterisasi Sifat Magnetik ...... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 39 4.1 Particle Size Analyzer (PSA) ...... 39 4.2 True Density ...... 42 4.3 Gree Body Density ...... 43 4.4 Bulk Density ...... 45 4.5 Porositas ...... 46 4.6 Shrinkage ...... 48 4.7 Analisa X-Ray Diffraction (XRD) ...... 49 4.8 Scanning Electron Microscope (SEM) ...... 50 4.9 Fulx Density Magnetik ...... 51 4.10 Kurva Histerisis ...... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...... 55 5.1 Kesimpulan ...... 55 5.2 Saran ...... 55

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

13

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel 2.1 Sifat-sifat Keramik Alumina 8 2.2 Nilai Kerapatan dari Beberapa Jenis Ferrite 15 4.1 Data Hasil Distribusi Diameter Partikel Barium 40 Heksa Ferit dan Alumina 4.2 Data Densitas Serbuk (True Density) BaFe12O19 42 dengan Penambahan Al2O3 (% wt) sesudah dimilling 48 jam 4.3 Data Green Body Density dari Bahan Magnet 44 BaFe12O19 dengan Penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang Dikompaksi pada Tekanan 35 kgf/cm2 dan ditahan selama 1 menit 4.4 Data Bulk Density dari Bahan Magnet BaFe12O19 45 dengan Penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang Disinter pada Suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C dan Masing-masing Ditahan Selama 2 jam 4.5 Data Porositas dari Bahan Magnet BaFe12O19 46 dengan Penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang Disinter pada Suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C dan Masing-masing Ditahan Selama 2 jam 4.6 Data Shrinkage dari Bahan Magnet BaFe12O19 48 dengan Penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang Disinter pada Suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C dan Ditahan Selama 2 jam 4.7 Hubungan Flux Density Magnetik Terhadap Suhu 52 Sintering dari BaFe12O19 dengan Penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) 4.8 Hubungan Sifat Magnet Terhadap Suhu Sintering 53 dari BaFe12O19 dengan Penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt)

14

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman 2.1 Struktur Barium Heksaferit 5 2.2 Struktur Kristal Mineral Korondum Alumina 6 2.3 Grafik Transformasi Fasa Alumina 8 2.4 Struktur Ikatan Kimia PVA 9 2.5 Arah Momen Magnetik Bahan Nonmagnetik 12 2.6 Arah Momen Magnetik Bahan Magnetik 12 2.7 Arah Domain-domain dalam Bahan Paramagnetik 18 Sebelum Diberi Medan Magnet Luar 2.8 Arah Domain dalam Bahan Paramagnetik Setelah 19 Diberi Medan Magnet Luar 2.9 Histeresis Material Magnet (a) Material Lunak 20 (b) Material Keras 2.10 Arah Partikel pada Magnet Isotropi dan Anisotropi 22 (a) Arah Partikel Acak (Isotrop) (b) Arah Partikel Searah (Anisotropi) 2.11 Proses Sinter Padat (a) Sebelum Sinter Partikel 26 Mempunyai Permukaan Masing-masing (b) Setelah Sinter Hanya Mempunyai Satu Permukaan 2.12 Pengaruh Suhu Sintering pada (1) Porositas, (2) 27 Densitas, (3) Tahanan Listrik, (4) Kekuatan, dan (5) Ukuran Butir 2.13 Geometri Sebuah Difraktometer Sinar-X 28 3.1 Diagram Alir dari Pembuatan Magnet Berbasis 35 Barium Heksaferit – Alumina dengan Perekat PVA 3.2 Alat Pengukur Massa (Neraca) 37 4.1 Histogram distribusi ukuran partikel (a) BaFe12O19 41 0 0 kalsinasi 1000 C, (b) Al2O3 kalsinasi 1000 C, (c) BaFe12O19+Al2O3 digiling selama 48 jam 4.2 Grafik hubungan true density terhadap penambahan 43 alumina (% wt) sesudah digiling selama 48 jam 4.3 Grafik hubungan green body density terhadap 44 penambahan alumina (% wt) yang dikompaksi pada tekanan 35 kgf/cm2 dan ditahan selama 1 menit 4.4 Hubungan bulk density terhadap suhu sintering dari 45 bahan Magnet BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) 4.5 Grafik hubungan porositas terhadap temperatur 47 bahan Magnet BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) 4.6 Hubungan nilai shrinkage terhadap suhu sintering 48 dari BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) 4.7 Pola XRD dari BaFe12O19 dan Al2O3 setelah 49 dikalsinasi pada suhu 1000 0C (2 jam) serta disinter pada suhu 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C (2 jam) 15

Sambungan…

4.8 Hasil Analisis SEM (Distribusi dan Ukuran butir) 51 4.9 Hubungan flux density terhadap suhu sintering dari 52 BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) 4.10 Hubungan Sifat magnet terhadap suhu sintering dari 53 BaFe12O19 dengan penambahan 40% Al2O3 (wt)

16

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman Lampiran A Hasil Pengukuran True Density BaFe12O19 yang 61 ditambahkan dengan Al2O3 (Milling 48 jam) B Hasil Pengukuran Green Body Density BaFe12O19 62 yang ditambahkan dengan Al2O3 (Milling 48 jam) C Hasil Pengukuran Bulk Density dan Porositas 64 BaFe12O19 yang ditambahkan dengan Al2O3 dan Disintering pada Suhu 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C (2 jam) D Dokumentasi 67 F Density of Water (g/mL) vs. Temperature (0C) 68 G Standard Test Method for Water Absorption, Bulk 69 Density, Apparent Porosity, and Apparent Spesific Gravity of Fired Whiteware Product H Mesh vs. Micron Comparison Chart 71

9

SINTESIS DAN KARAKTERISASI MAGNET BERBASIS BARIUM HEKSAFERIT – ALUMINA

ABSTRAK

Telah berhasil dibuat magnet permanen berbasis BaFe12O19-Al2O3 melalui metode metalurgi serbuk. Variabel penelitian yang dilakukan adalah bahan barium heksaferit (BaFe12O19) ditambahkan Al2O3 dengan variasi komposisi 100:0, 60:40, 50:50 dan 40:60 (% berat), serta suhu sintering 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C yang masing-masing ditahan selama 2 jam. Besaran-besaran yang diamati meliputi densitas, porositas, fluks densitas, kurva histerisis, analisa mikrostruktur dengan XRD dan SEM. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan 3 Al2O3 menghasilkan true density berkisar 3570-4450 kg/m , green body density berkisar 2600-3270 kg/m3, bulk density berkisar 4030-5170 kg/m3, porositas berkisar 19,28-24,79%, shrinkage berkisar 2,37-10,92%, flux density magnetik berkisar 13,00-65,45 Gauss, remanensi Br berkisar 0,03-0,20 kGauss, koersivitas HCJ berkisar 0,082-0,096 kOe dan BHmax berkisar 0,046-0,290 MGOe. Kedua bahan sebagian besar bereaksi, struktur fasa yang dihasilkan FeAl2O3, BaFeO3, Fe2O3, Ba3Al2O6 dan Fe3O4. Sedangkan morfologinya relatif homogen dengan bentuk partikel menyerupai batang dan ukuran partikel < 1 μm. Komposisi dan 0 suhu optimum adalah 40% wt Al2O3 pada suhu 1050 C dengan menghasilkan bulk density 4340 kg/m3, porositas 22,98%, shrinkage 6,27% dan flux density 63,00 Gauss. Magnet permanen yang dihasilkan bersifat soft magnetik yang diharapkan dapat digunakan sebagai media recording atau material absorben microwave.

Kata kunci : BaFe12O19, Al2O3, Sintering, Bulk Density, Magnetik flux density, SEM, XRD.

10

SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION BASED MAGNET BARIUM HEXAFERRITE - ALUMINA

ABSTRACT

Permanent magnet based on BaFe12O19 - Al2O3 by powder metallurgy method has been made. Variables of the research is barium hexaferrite (BaFe12O19) materials added Al2O3 with variations in the composition of 100:0, 60:40, 50:50 and 40:60 (% weight) and the sintering temperature of 900, 950, 1000, 1050 and 1100 0C with holding time of 2 hours. Quantities observed were include density, porosity, flux density, hysteresis curve, microstructure analysis by XRD and SEM. From the observation indicate that the addition of Al2O3 to produce true density ranges from 3570 to 4450 kg/m3, green body density ranges from 2600 to 3270 kg/m3, bulk density ranges from 4030 to 5170 kg/m3, porosity ranges from 19.28 to 24.79%, shrinkage ranges from 2.37 to 10.92%, magnetic flux density ranges from 13.00 to 65.45 Gauss, remanence Br ranges from 0.03 to 0.20 kGauss, coercivity HCJ ranges from 0.082 to 0.096 kOe and BHmax ranges from 0.046 to 0.290 MGOe. Both materials are generally reacted, the resulting phase structure FeAl2O3, BaFeO3, Fe2O3, Ba3Al2O6 and Fe3O4. The morphology is relatively homogeneous with the particle shape resembles a rod with a particle size < 1 μm. The best composition and temperature is 40 %wt Al2O3 at a temperature of 1050 0C with a bulk density of 4340 kg/m3, porosity of 22.98%, shrinkage of 6.27% and flux density 63.00 Gauss. The resulting permanent magnet are soft magnetic expected to be used as recording media or microwave absorbent material.

Keywords : BaFe12O19, Al2O3, Sintering, Bulk Density, Magnetic flux density, SEM, XRD.

17

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi material magnetik di dunia industri sangat pesat, dimana material magnet saat ini diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti bidang elektronik, sensor dan biomaterial. Material magnet berdasarkan sifatnya dibagi dua jenis, yaitu : magnet lunak (soft magnetic) dan magnet keras (hard magnetic) (Masno et al. 2006). Magnet lunak merupakan suatu sifat bahan yang tidak permanen, dimana bahan akan berubah menjadi magnet apabila ada arus yang diberikan dan sifat magnetnya akan hilang bila arus dilepaskan. Sedangkan magnet keras merupakan suatu bahan yang sengaja dibuat bersifat magnet secara permanen (Moulson & Herbert, 2003).

Barium heksaferit (BaFe12O19) dikenal sebagai magnet permanen dengan struktur heksagonal yang sesuai dengan space group P 63/mmc (Smith, 1959). Barium heksaferit memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan tidak mudah terkorosi (Snoek, 1947). Pemakaian senyawa ini sangat diminati, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memproduksi dengan subtitusi kation yang bisa ke dalam BaFe12O19 guna meningkatkan sifat magnetiknya.

Magnet permanen BaFe12O19 memiliki beberapa keunggulan antara lain : harganya murah, nilai koersivitas (HC) tinggi, saturasi magnet (MS) tinggi dan suhu transisi (Tc = suhu curie) cukup tinggi, serta memiliki sifat kimia yang stabil dan tahan korosi (Bin yu dkk. 2007; Alexandre dkk. 2008; Kojima H 1985). Magnet berbasis ferit memiliki bidang aplikasi yang sangat luas, serta memiliki daya saing pasar yang sangat tinggi (Sudirman et al. 2002). Hal ini merupakan salah satu faktor yang mendorong dikembangkannya magnet berbasis ferit dan disubsitusi alumina dengan pengikat polivinil alkohol. Pada dasarnya semua bahan yang penyusun utamanya mengandung besi dinamakan ferit dan merupakan salah satu komponen dalam pembuatan magnet (Idayanti et al. 2002). Aluminium oksida (alumina) adalah senyawa kimia dari aluminium dan oksigen dengan rumus kimia Al2O3. Senyawa alumina merupakan insulator listrik yang baik karena memiliki kapasitas panas yang besar, sehingga digunakan secara

1 18

luas sebagai bahan isolator suhu tinggi (Xu et al. 1994). Alumina merupakan senyawa berpori, sehingga dimanfaatkan sebagai absorben (Ghababazade et al. 2007). Sifat lain dari alumina yang sangat mendukung aplikasinya adalah daya tahan terhadap korosi (Mirjalili et al. 2011) dan titik lebur yang tinggi mencapai 2050 oC (Moulson & Herbert, 2003). Pembuatan magnet permanen (barium heksaferit) dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti sol-gel dan metalurgi serbuk (Priyono et al. 2004). Metode metalurgi serbuk sering digunakan karena relatif ekonomis dan mudah dilakukan, tetapi metode ini memiliki beberapa kelemahan seperti ketidakseragaman kimia, ukuran partikel kasar dan kontaminasi pengotor selama proses milling (Tang et al. 2005). Penelitian yang akan dilakukan adalah sintesis dan karakterisasi magnet berbasis barium heksaferit (BaFe12O19)-alumina (Al2O3) dengan bahan pengikat polivinil alkohol (PVA) melalui metode melalurgi serbuk.

1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah adalah : 1. Bagaimana proses pembuatan magnet berbasis barium heksaferit dan Alumina dengan metode metalurgi serbuk? 2. Bagaimana pengaruh komposisi serbuk barium heksaferit dan alumina (% wt) terhadap sifat fisis dan sifat kemagnetan magnet yang dihasilkan? 3. Bagaimana pengaruh suhu sintering terhadap sifat fisis dan sifat kemagnetan pada magnet yang dihasilkan? 4. Bagaimana mikrostruktur, sifat fisis dan sifat kemagnetan magnet yang dihasilkan?

1.3. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bahan magnet yang digunakan adalah serbuk barium heksaferit

(BaFe12O19) dan Alumina (Al2O3) dengan variasi komposisi 100:0, 60:40, 50:50 dan 40:60 (% wt). 2. Suhu sintering yang digunakan 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C dan masing-masing ditahan selama 2 jam pada suhu tersebut. 19

3. Karakterisasi : analisis mikrostruktur dengan X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscope (SEM), pengujian sifat fisis densitas, porositas dan shrinkage. 4. Pengujian sifat magnet dengan Gaussmeter dan Permagraph.

1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Membuat magnet berbasis barium heksaferit-alumina. 2. Mengetahui karakteristik dan sifat magnet.

1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini, antara lain : 1. Diperolehnya informasi tentang pembuatan magnet berbasis barium heksaferit - alumina dengan metode metalurgi serbuk, serta karakterisasi mikrostruktur, sifat fisis dan sifat kemagnetan magnet yang dihasilkan. 2. Diperolehnya material magnet dengan sifat mekanik dan sifat kemagnetan yang lebih baik (Br, Hc, BHmaks, mikrostruktur dan sifat fisis yang baik). 3. Diperolehnya soft magnet yang diharapkan dapat dimanfaatkan pada media perekaman dan absorben microwave.

20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Barium Ferit Magnet keras (ferit) yang banyak digunakan biasanya memiliki komposisi dari barium atau stronsium dengan oksida besi yang telah dikembangkan sejak 1960. Bahan magnet ferit memiliki sifat mekanik dengan kekerasan dan sifat magnetik yang cukup tinggi. Meskipun karakteristik energinya yang lebih rendah dibandingkan dengan magnet keras lainnya seperti NdFeB, SmCo, dan Alniko. Barium ferit sering digunakan dalam pembuatan keramik magnet keras karena barium ferit mempunyai medan saturasi yang lebar, serta kesetabilan kimianya yang tinggi (cullity). Ketepatan kontrol ukuran partikel dan bentuk dari partikel barium ferit membutuhkan informasi yang berbeda dari strategi perbandingan dengan spinel ferit (Yamauchi et al. 2009).

2.1.1 Kisi Kristal Barium Heksaferit Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan memisalkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik mempunyai lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dibedakan meskipun dilihat dari segala arah. Bila setiap titik tersebut dihubungkan, maka akan diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik yang memenuhi ruang. Salah satu contoh yang menunjukkan kisi sebuah kisi kristal barium heksaferit ditunjukkan pada Gambar 2.1.

4 21

Gambar 2.1. Struktur Barium Heksaferit (Moulson & Herbert, 2003)

Struktur magnet barium heksaferit terdiri atas bagian kubik spinel (S) yang terpisah oleh bagian heksagonal closed-packed (R) berisi ion Ba. Setiap bagian S terdiri dari dua lapisan yang mengandung empat buah ion oksigen dan paralel dengan bidang dasar heksagonal dengan tiga kation antara setiap lapisan. Bagian R terdiri atas tiga lapis ion oksigen, dimana pada lapis tengah suatu ion oksigen diganti dengan ion Ba. Setiap unit sel mengandung 10 lapisan oksigen dengan Ba menggantikan ion oksigen setiap 5 (lima) lapis. Dalam satu unit sel setiap bagian

S mempunyai rumus kimia Fe6O8, setiap bagian R mempunyai rumus kimia

BaFe6O11 dan rumus kimia total adalah BaFe12O19. Tempat ion Fe adalah tetrahedral dan oktahedral dan satu sisi yang lain dikelilingi oleh 5 (lima) oksigen membentuk suatu piramida trigonal.

2.1.2 Sifat Magnet Barium Heksaferit Ukuran untuk mengetahui besarnya sifat magnetik suatu bahan adalah besarnya harga induksi remanen (Br), koersivitas (Hc) dan energi produk maksimum (BHmaks). Induksi remanen didefinisikan sebagai nilai induksi B yang sisa apabila suatu bahan dimagnetisasi jenuh dan kemudian medan magnet luar diturunkan menjadi nol, sehingga induksi remanen sering juga disebut 22

magnetisasi sisa. Koersivitas adalah medan balik yang dibutuhkan untuk mengembalikan induksi magnet B menjadi nol dari harga B = Br. Sedangkan BHmaks adalah hasil kali B dan H yang terbesar pada kuadran kedua kurva histeresis. Proses milling tanpa disertai proses annealing dapat menurunkan sifat magnetik bahan barium heksaferit, tetapi proses milling yang disertai proses annealing hingga temperatur 1000 0C yang ditahan selama 3 jam dapat memperbaiki sifat magnetik bahan barium heksaferit karena kerusakan sistem fasa ataupun struktur kristal akibat proses milling tidak ada lagi (Akmal Johan, 2010). Korelasi antara true density dengan ukuran partikel dan bulk density dengan ukuran partikel adalah berbanding terbalik. Semakin kecil ukuran partikel, maka kepadatannya akan semakin besar. Hasil uji kekerasan menunjukkan bahwa hubungan antara hardness dengan ukuran partikel adalah juga berbanding terbalik. Sedangkan sifat magnet yang dihasilkan tidak secara langsung berkorelasi dengan ukuran butir (Ayu et al. 2012). Semakin besarnya kadar

Alumina yang ditambahkan pada BaFe12O19 dan dibantu dengan proses sinter akan menurunkan kadar pori dari bahan serta sangat berpengaruh terhadap ukuran butir sehingga mempengaruhi sifat ekstrinsik bahan magnet BaO.6(Fe2O3) dibandingkan tanpa aditive.

2.2 Alumina (Al2O3) Aluminium oksida (alumina) adalah senyawa kimia dari aluminium dan oksigen dengan rumus kimia Al2O3. Secara alami, alumina terdiri dari mineral korondum dan memiliki bentuk kristal seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Struktur kristal mineral korondum alumina (Hudson et al. 2002).

23

Senyawa ini termasuk dalam kelompok material aplikasi karena memiliki sifat-sifat yang sangat mendukung pemanfaatannya dalam berbagai peruntukan. Senyawa alumina merupakan insulator listrik yang baik karena memiliki kapasitas panas yang besar, sehingga digunakan secara luas sebagai bahan isolator suhu tinggi (Xu et al. 1994). Alumina juga dikenal sebagai senyawa berpori sehingga dimanfaatkan sebagai absorben (Ghababazade et al. 2007). Sifat lain dari alumina yang sangat mendukung aplikasinya adalah daya tahan terhadap korosi (Mirjalili et al. 2011) dan titik lebur yang tinggi, yakni mencapai 2050 oC (Moulson & Herbert, 2003). Secara umum alumina ditemukan dalam tiga fasa, yaitu γ, β, dan α-alumina, ketiga fasa tersebut memiliki sifat-sifat yang berbeda sehingga memiliki aplikasi yang berbeda. Beta alumina (β-Al2O3) memiliki sifat tahan api yang sangat baik dan dapat digunakan dalam berbagai aplikasi keramik seperti pembuatan tungku furnace (Ismunandar, 2004). Gamma alumina (γ-Al2O3) banyak digunakan sebagai material katalis, misalnya dalam penyulingan minyak bumi (Knozinger and Ratnasamy, 1978) dan digunakan dalam bidang otomotif (Paglia, et al., 2004;

Wang et al., 2009). Alfa alumina (α-Al2O3) mempunyai struktur kristal heksagonal dengan parameter kisi a = 4,7588 dan c = 12,9910 nm. Alfa alumina banyak digunakan sebagai salah satu bahan refraktori dari kelompok oksida, karena bahan tersebut mempunyai sifat fisik, mekanik dan termal yang sangat baik (Mirjalili et al. 2011). Fasa paling stabil dari alumina adalah fasa alfa alumina (α-Al2O3), dalam proses perlakuan termal α-Al2O3 diperoleh melalui transformasi fasa yang diawali dari Boehmite AlO(OH) yaitu : Boehmite → γ-alumina→δ-alumina→θ-alumina→β-alumina→α-alumina (Beitollahi et al. 2010). Transformasi fasa alumina ditunjukkan dalam Gambar 2.3.

24

Gambar 2.3. Grafik transformasi fasa alumina (Yang, 2003).

Alumina (Al2O3) tergolong salah satu jenis keramik oksida atau keramik teknik yang aplikasinya cukup luas baik di bidang elektronik maupun di bidang mekanik. Berdasarkan komposisinya, alumina ada dua macam yaitu alumina murni dan alumina tidak murni. Alumina murni merupakan polimorfi material yang berdasarkan struktur kristalnya dapat digolongkan menjadi dua yaitu γ-Al2O3 dan α-Al2O3 disebut corundum (Buchanan, 1986). Alumina tidak murni merupakan kombinasi dari dua jenis oksida, misalnya antara Na2O dengan Al2O3 yang membentuk struktur baru yang disebut dengan beta alumina dengan formula stochiometri Na2O.11Al2O3. Beta alumina sendiri memiliki beberapa struktur kristal antara lain : Na-β′ Al2O3 dan Na-β″ Al2O3 (Buchanan, 1986; Moulson & Herbert, 2003). Aplikasi dari beta alumina di bidang elektronik karena memiliki konduktivitas listrik yang cukup tinggi (memiliki konduktivitas ion 30 Sm-1 pada suhu 300 0C), sehingga sangat baik digunakan sebagai bahan elektrolit pada baterai padat (Moulson & Herbert, 2003). Tabel 2.1 Sifat-sifat Keramik Alumina (Burkin A.R, 1987)

Jenis-jenis alumina No Sifat Fisis Satuan Catatan Sandy Floury 1 Al2O3 % 5 90 Sinar-X 2 Berat Jenis g/cm3 3,5 3,9 3 Sudut Letak derajat 30 40 11000 4 Permukaan Letak m2 42 2 5 Densitas Bebas g/cm3 1,1 0,8 6 Densitas Terikat g/cm3 1,3 1,0 Kehilangan dalam 7 % 1,8 0,2 Pemijaran 25

Perkembangan teknologi yang semakin pesat di bidang elektronik khususnya dalam bidang energy storage seperti baterai yang memiliki daya kapasitas penyimpanan yang tinggi. Beta alumina salah satu material baterai yang sudah mulai dikembangkan. Ketersedian bahan baku alumina di alam Indonesia cukup melimpah dalam bentuk mineral bauksit, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Beta alumina memiliki sifat mekanik yang lebih rendah dibandingkan dengan corundum. Perkembangan material alumina yang sangat pesat, secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan dalam rekayasa sintesis alumina. Sintesis alumina yang telah dilakukan sebelumnya antara lain dengan menggunakan metode sol-gel (Ibrahim dan Abu Ayana, 2009), metode hidrotermal (Liu et al. 2008), metode spray pyrolysis (Tsunenori et al. 2011), metode presipitasi (Parida et al. 2009), metode logam-terlarut asam yang menghasilkan fasa tunggal korundum (α-Al2O3) pada temperatur 1100 0C. Kenaikan temperatur kalsinasi dari 1000 0C ke 1100 0C meningkatkan kristalinitas dengan sangat signifikan (Dianita Wardani dan Suminar Pratapa, 2014) dan metode-metode lain yang sedang dikembangkan.

2.3 Polyvinyl Alkohol (PVA) Polyvinyl Alkohol (PVA) mengandung sekelompok styryl pyridium yang digunakan sebagai polimer foto sensitif. Polimer ini dapat digunakan sebagai material bioteknologi (material yang dapat digunakan sebagai interface untuk penumbuhan sel, protein dan enzim) karena PVA tidak membuat kekebalan (tidak membentuk antibody dalam tubuh), tidak mengalami mutasi dan tidak bersifat carcinogenic. Sehubungan dengan hal tersebut, PVA digunakan sebagai membran tembus oksigen untuk penumbuhan enzim Glucose Oxidase (GOD). Sifat PVA adalah tidak berwarna, mudah terlarut dalam air dan mudah terbakar. Ikatan kimia dari PVA adalah sebagai berikut :

Gambar 2.4. Struktur ikatan kimia PVA 26

PVA yang larut dalam air dihasilkan melalui proses hidrolisis Polyvivylacetate, dimana Polyvinylacetate tersebut terbentuk dari penggabungan molekul-molekul (polimerisasi) dari monomer vinylacetate. Proses hidrolisis diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu hidrolisis penuh dan hidrolisis sebagian. Sifat-sifat umum dari Polyvinyl Alcohol (PVA) adalah sebagai berikut : butiran atau serbuk berwarna putih kerapatan volume = 642 kg/m3, pH = 5-7, titik leleh : (210-230) 0C untuk hidrolisis penuh dan (150-190) 0C untuk hidrolisis sebagian, resistivitas elektrik : (3.1–3.8) x 107 Ωcm. PVA mempunyai sifat berubah warna secara perlahan-lahan ketika berada pada suhu 100 0C dan akan berubah menjadi hitam ketika berada pada suhu di atas 160 0C. Selain berubah warna, PVA dapat memisah secara perlahan-lahan pada suhu diatas 180 0C. PVA tidak dapat larut dalam tubuh binatang, tumbuhan dan bahan berminyak serta kepadatan PVA tidak terbatas ketika dilindungi dari uap. PVA cukup mudah larut dalam air, tetapi kelarutannya tergantung dari derajat polimerisasi dan derajat hidrolisis. PVA dengan derajat polimerisasi yang rendah lebih mudah dilarutkan dalam air. Polyvinyl alcohol dengan tingkat hidrolisis sebagian lebih mudah dilarutkan dibandingkan dengan tingkat hidrolisis penuh dan kecepatan larut PVA tergantung pada suhu pelarut. Hidrolisis sebagian lebih mudah terlarut dibandingkan dengan hidrolisis penuh pada suhu ruang. PVA dapat digunakan sebagai lapisan tipis yang sensitif khususnya dalam matrik immobilisasi untuk berbagai aplikasi. Jaringan polimerik PVA dihasilkan dari penggunaan glutaraldehyde atau dengan teknik pembuatan gel agar menjadi polimer yang sensitif terhadap cahaya.

2.4 Pengertian Magnet Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan magnet. Asal kata magnet diduga dari kata magnesia, nama suatu daerah di Asia kecil. Menurut cerita di daerah itu sekitar 4.000 tahun yang lalu telah ditemukan sejenis batu yang memiliki sifat dapat menarik besi, baja atau campuran logam lainnya. Benda yang dapat menarik besi atau baja inilah yang disebut magnet. 27

Dalam kehidupan sehari-hari kata “magnet” sering dikonotasikan dengan menarik benda. Peralatan elektronik yang menggunakan bahan magnet, antara lain : bel listrik, telepon, dinamo, alat-alat ukur listrik, kompas dan sebagainya. Magnet sudah dimanfaatkan pada industri otomotif dan sebagainya. Magnet terdiri magnet-magnet kecil yang memiliki arah yang sama (tersusun teratur), magnet- magnet kecil ini disebut magnet elementer. Logam yang bukan magnet, magnet elementernya mempunyai arah sembarangan (tidak teratur), sehingga efeknya saling meniadakan dan mengakibatkan tidak adanya kutub-kutub magnet pada ujung logam. Setiap magnet memiliki dua kutub, yaitu : utara dan selatan. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung-ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub-kutubnya. Magnet dapat menarik benda lain, beberapa benda bahkan dapat menarik lebih kuat bahan logam dan daya tarik setiap logam berbeda terhadap magnet. Besi dan baja adalah dua contoh material yang mempunyai daya tarik yang tinggi terhadap magnet. Sedangkan, oksigen cair adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang rendah oleh magnet. Satuan intensitas magnet menurut sistem metrik Satuan Internasional (SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnetik adalah weber (1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi.

2.4.1 Medan Magnet Medan magnet adalah daerah disekitar magnet yang masih merasakan adanya gaya magnet. Jika sebatang magnet diletakkan dalam suatu ruang, maka setiap titik dalam ruang akan terdapat medan magnetik. Arah medan magnetik di suatu titik didefenisikan sebagai arah yang ditunjukkan oleh kutub utara jarum kompas ketika ditempatkan pada titik tersebut.

2.4.2 Momen Magnetik Bila terdapat dua buah kutub magnet yang berlawanan +m dan –m terpisah sejauh l, maka besarnya momen magnetiknya : = m l (2.1)

푴���⃑ 풓� 28

dengan adalah sebuah vektor dalam arah vektor unit berarah dari kutub negatif ke푀��⃑ kutub positif. Arah momen magnetik dari atom 푟bahan̂ non magnetik adalah acak sehingga momen magnetik resultannya menjadi nol. Sebaliknya di dalam bahan magnetik, arah momen magnetik atom-atom bahan itu teratur sehingga momen magnetik resultan tidak nol.

Gambar 2.5. Arah Momen Magnetik Bahan Nonmagnetik

Gambar 2.6. Arah Momen Magnetik Bahan Magnetik

Satuan momen magnet dalam cgs adalah gauss.cm3 atau emu dan dalam SI mempunyai satuan A.m2.

2.4.3 Induksi Magnetik Suatu bahan magnetik yang diletakkan dalam medan luar akan menghasilkan medan tersendiri yang dapat meningkatkan nilai total퐻�� ⃑medan magnetik bahan tersebut. Induksi퐻��⃑ magnetik yang didefinisikan sebagai medan total bahan, dapat dituliskan sebagai : = + (2.2) ′ Hubungan medan푩��⃑ sekunder푯���⃑ 푯���� ⃑ =4π , satuan dalam cgs adalah gauss, sedangkan dalam geofisika eksplorasi dipakai퐻��⃑ 푀��⃑ satuan gamma퐵�⃑ (g) dan dalam SI adalah tesla (T) atau nanoTesla (nT).

2.4.4 Kuat Medan Magnetik

Kuat medan magnet ( ) pada suatu titik yang berjarak r dari m1 didefinisikan sebagai gaya persatuan퐻��⃑ kuat kutub magnet, dapat dituliskan sebagai : 29

= = (Oersted) (2.3) 푭��⃑ 풎ퟏ ퟐ 푯���⃑ 풎ퟐ 흁ퟎ풓 풓�⃑ dengan r adalah jarak titik pengukuran dari m. mempunyai satuan A/m dalam

SI sedangkan dalam cgs mempunyai satuan oersted.퐻��⃑ 퐻��⃑ 2.4.5 Intensitas Kemagnetan Sejumlah benda-benda magnet dapat dipandang sebagai sekumpulan benda magnetik. Apabila benda magnet tersebut diletakkan dalam medan luar, benda tersebut menjadi termagnetisasi karena induksi. Dengan demikian, intensitas kemagnetan didefinisikan sebagai tingkat kemampuan menyearahkan momen- momen magnetik dalam medan magnetik luar atau momen magnetik persatuan volume. Satuan magnetisasi dalam cgs adalah gauss atau emu.cm-3 dan dalam SI adalah Am-1.

= = (2.4) ���⃑ 푴 풎풍풓� dimana : 푰⃑ I =푽 Intensitas푽 Kemagnetan (Am-1) V = Volume (m3)

2.4.6 Macam-macam Magnet Berdasarkan sifat kemagnetannya magnet dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Magnet Permanen Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut magnet alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap. Magnet permanen dibuat dalam berbagai bentuk dan dapat dibedakan menurut bentuknya menjadi : 1) Magnet batang 2) Magnet ladam (sepatu kuda) 3) Magnet jarum 4) Magnet silinder 5) Magnet lingkaran

30

b. Magnet Remanen Magnet remanen adalah suatu bahan yang hanya dapat menghasilkan medan magnet yang bersifat sementara. Medan magnet remanen dihasilkan dengan cara mengalirkan arus listrik atau digosok-gosokkan dengan magnet alam. Bila suatu bahan pengantar dialiri arus listrik, besarnya medan magnet yang dihasilkan tergantung pada besar arus listrik yang dialirkan. Medan magnet remanen yang digunakan kebanyakan dihasilkan oleh arus dalam kumparan yang berinti besi. Medan magnet yang dihasilkan cukup kuat, jika kumparan berisi besi atau bahan sejenis dan sistem ini dinamakan elektromagnet. Keuntungan elektromagnet adalah kemagnetannya dapat dibuat sangat kuat, tergantung dengan arus yang dialirkan dan kemagnetannya dapat dihilangkan dengan memutuskan arus listriknya.

2.4.7 Sifat-Sifat Magnet Permanen Sifat-sifat magnet permanen (hard magnetic) dipengaruhi oleh kemurnian bahan, ukuran bulir (grain size), orientsi kristal dan temperatur. Semakin tinggi temperatur annealing, maka semakin rendah permeabilitas, semakin tinggi koersivitas dan setelah maksimum kemudian menurun lagi, semakin tinggi remanensi dan setelah maksimum kemudian menurun lagi (Edi Istiyono, 2009).

2.4.7.1 Koersivitas Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet, semakin besar gaya koersivitasnya semakin tinggi sifat magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi, sifat kemagnetannya tidak mudah dihilangkan dan kemagnetannya akan hilang dengan intensitas magnet H yang besar. Sedangkan, bahan soft magnet mempunyai medan magnet B sebesar µ0M dalam magnet permanen. Magnetisasi bukan merupakan fungsi linier yang sederhana dari rapat fluks, karena nilai dari medan magnet H yang digunakan dalam magnet permanen secara umum jauh lebih besar dari pada dalam bahan soft magnet (Young Joon An, 2008).

31

2.4.7.2 Remanen atau Ketertambatan Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses magnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan atau remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B menunjukkan harga tertentu. Koersivitas pada magnet permanen akan menjadi kecil, jika remanensi dalam magnetisasi kecil. Besar nilai remanensi yang dikombinasikan dengan besar koersivitas menjadi sangat penting (Priyono dkk, 2004).

2.4.7.3 Saturasi Magnetisasi Saturasi magnetisasi adalah keadaan dimana terjadi kejenuhan, nilai medan magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H semakin bertambah. Remanensi tergantung pada saturasi magnetisasi dan saturasi magnet permanen lebih besar dari pada soft magnet. Kerapatan dari bahan ferit lebih rendah dibandingkan dengan logam lain dalam ukuran yang sama. Nilai saturasi dari bahan ferit relatif rendah, sehingga mudah dihilangkan. Nilai kerapatan ferit dapat dilihat dalam daftar tabel 2.1 dan perbandingannya dengan material megnetik yang lain. Tabel 2.2 Nilai Kerapatan dari beberapa jenis Ferrite (Prihatin dan Sujito, 2005)

No Ferrite Kerapatan, ρ (g/cm3) 1 Zinc Ferrite 5,4 2 Cadmium 5,76 3 Ferrous 5,24 Hexagonal 4 Barium 5,3 5 Strontium 5,12 6 MnZn (high permeability) 4,29 7 MnZn (recording head) 4,7–4,75

2.4.7.4 Medan Anisotropi Medan anisotropi (HA) merupakan nilai instrinsik yang sangat penting dari magnet permanen karena nilai ini dapat didefinisikan sebagai koersivitas maksimum yang menunjukkan besar medan magnet luar yang diberikan dengan arah berlawanan untuk menghilangkan medan magnet permanen. Anisotropi salah 32

satu metode dalam pembuatan magnet dengan tujuan untuk menyearahkan domain daripada magnet tersebut. Dalam proses pembentukan magnet dengan anisotropi dilakukan dalam medan magnet, sehingga partikel-partikel pada magnet terorientasi dan umumnya dilakukan dengan cara basah (Young Joon An, 2008). Anisotropi pada magnet disebabkan oleh beberapa faktor seperti bentuk magnet, struktur kristal, efek stress dan sebagainya. Anisotropi kristal banyak dimiliki oleh material feromagnetik yang disebut sebagai Magnetocrystalline Anisotropy, yaitu bahan magnet yang mempunyai sumbu mudah (easy axis) sehingga mudah dimagnetisasi (soft magnetic). Spin momen magnet terarah dan searah dengan sumbu mudah tersebut. Pada keadaan stabil, energi total magnet atau magnetisasi kristal sama dengan sumbu mudah. Hard magnetic memerlukan energi untuk merubah vektor dari sumbu mudah ke sumbu keras (hard axis). Energi yang dibutuhkan untuk mengarahkan arah momen magnet menjauhi sumbu mudah disebut magnetocrystalline energy atau anisotropy energy (EA). Besarnya nilai EA dapat ditulis dalam persamaan (S. Puneet, 2008) : 2n EA = ΣKn sin θ (2.5) dimana θ adalah sudut yang terbentuk dari easy axis ke hard axis, sedangkan Kn disebut konstanta anisotropi. Rumus molekul umum magnet ferit adalah

MO.6Fe2O3, dengan M dapat disubtitusi dengan Ba, Sr dan Pb. Struktur

BaO.6Fe2O3 atau lebih dikenal dengan sebutan barium heksaferit merupakan senyawa magnetik yang memiliki fasa tepat untuk aplikasi magnet permanen (Yue Liu, dkk, 2011). Berdasarkan rumus kimia dan struktur kristalnya, barium heksaferit dikelompokkan menjadi 5 (lima) tipe, yaitu : tipe-M (BaFe12O19), tipe-

W (BaMe2Fe16O27), tipe-X (Ba2Me2Fe28O46), tipe-Y(Ba2Me2Fe12O22) dan tipe-Z

(Ba2Me2Fe24O41), Me merupakan ion logam transisi bivalen. Tipe-M disebut barium heksagonal ferit (BaM) merupakan oksida keramik yang paling banyak dimanfaatkan secara komersial. Kurva histerisis magnet permanen jenis ini memiliki koersivitas yang relatif tidak besar sehingga senyawa tersebut juga berpeluang cukup baik untuk aplikasi media penyimpan data (magnetic recording) dan magneto optic materials (R. Nowosielski, dkk, 2007). Beragam penelitian dasar dalam meningkatan sifat magnetik barium heksagonal ferit masih terus dikembangkan. Sifat magnetik meliputi medan 33

magnet remanensi, koersivitas dan medan magnet saturasi. Beberapa cara untuk meningkatkan sifat-sifat tersebut antara lain mengoptimalkan metode pembuatan magnet, seperti menghasilkan produk magnet dengan proses pembuatan pada temperatur rendah dengan waktu reaksi pendek, kemurnian tinggi dan kristalinitas yang lebih baik. Selain itu dengan memperkecil ukuran butir atau substitusi ion Fe+3 dengan berbagai ion lain seperti Zn+2, Ni+2,Co+2, Ti+4 dan Mn+2 juga dapat meningkatkan sifat magnetiknya. Subtitusi ion Fe+3 pada magnet heksagonal ferit tersebut yang dapat digunakan untuk aplikasi pada frekuensi ultra tinggi (UHF) (Darminto, dkk, 2011).

2. 4.7.5 Temperatur Curie (TC) Temperature Curie (Tc) didefinisikan sebagai temperatur kritis dimana fase magnetik bertransisi dari konfigurasi struktur magnetik yang teratur menjadi tidak teratur. Takanori, 2011 menganalisa sifat magnet dan pengaruhnya terhadap temperatur Curie dengan mensubsitusi ion Ti dan Co. Dari hasil penelitiannya pada komposisi x = 2,5% mol, sifat ferromagnetik berubah menjadi paramagnetik dan nilai temperatur Curie naik seiring naiknya komposisi subsitusi Ti dan Co. Dimana untuk x = 2,5% mol temperatur curienya adalah 692 0C sedangkan pada x = 5% mol temperatur Curienya 730 0C. Hal tersebut juga mempengaruhi penurunan nilai remanensinya.

2.4.8 Bahan Magnetik Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam komponen pembentuknya. Berdasarkan perilaku molekulnya di dalam medan magnetik luar, bahan magnetik terdiri atas tiga kategori, yaitu paramagnetik, ferromagnteik dan diamagnetik.

2.4.8.1 Bahan Diamagnetik Bahan diamagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing-masing atom/molekulya adalah nol, tetapi medan magnet akibat orbit dan spin elektronnya tidak nol (Halliday & Resnick, 1989). Bahan diamagnetik tidak mempunyai momen dipol magnet permanen dan seandainya diberi medan magnet luar, maka elektron-elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sehingga 34

menghasilkan resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan medan magnet luar tersebut. Sifat diamagnetik bahan diakibatkan oleh gerak orbital elektron dan atom mempunyai orbital elektron, sehingga semua bahan bersifat diamagnetik. Bahan dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan tersebut mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan dan bahan diamagnetik hampir semua spin elektron berpasangan, sehingga bahan diamagnetik tidak menarik garis gaya.

Permeabilitas bahan diamagnetik : μ<μ0 dengan suseptibilitas magnetik bahan : -5 3 χm<0. Nilai bahan diamagnetik mempunyai orde negatif 10 m /kg. Beberapa contoh bahan diamagnetik yaitu : bismut, perak, emas, tembaga dan seng.

2.4.8.2 Bahan Paramagnetik Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing-masing atom/molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomis total seluruh atom/molekul dalam bahan nol karena gerakan atom/molekul tidak terarah, sehingga resultan medan magnet atomis masing-masing atom saling meniadakan (Halliday & Resnick, 1989).

Gambar 2.7 Arah domain-domain dalam bahan paramagnetik sebelum diberi medan magnet luar

Bahan ini jika diberi medan magnet luar, elektron-elektronnya akan berusaha untuk menyearahkan resultan medan magnet atomisnya dengan medan magnet luar. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah karena pengaruh medan magnet luar.

35

Gambar 2.8 Arah domain dalam bahan paramagnetik setelah diberi medan magnet luar

Spin elektron yang tidak berpasangan di dalam bahan ini relatif sedikit, sehingga garis-garis gaya yang tertarik dengan bahan ini relatif sedikit. Dalam bahan paramagnetik, medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan dengan medan B dalam ruang hampa. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-5 sampai 10-3 m3/kg, sedangkan permeabilitasnya adalah µ>µ0. Beberapa contoh bahan paramagnetik, yaitu : alumunium, magnesium dan wolfram.

2.4.8.3 Bahan Ferromagnetik Bahan ferromagnetik mempunyai resultan medan magnet atomis besar, hal ini disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ferromagnetik sebagian besar spin elektronnya tidak berpasangan dan masing-masing spin elektron yang tidak berpasangan menimbulkan medan magnetik, sehingga medan magnet total yang dihasilkan dalam satu atom menjadi lebih besar (Halliday & Resnick, 1989). Medan magnet dari masing-masing atom dalam bahan ferromagnetik sangat kuat, sehingga atom-atom tetangganya sebagian besar menyearahkan diri membentuk kelompok-kelompok yang disebut dengan domain. Momen magnet tiap domain dalam bahan ferromagnetik tanpa medan eksternal paralel, tetapi domain-domain diorientasikan secara acak dan yang lain akan terdistorsi karena pengaruh medan eksternal. Domain dengan momen magnet paralel terhadap medan eksternal akan mengembang dan yang lain mengerut. Semua domain akan menyearahkan diri dengan medan eksternal pada titik saturasi, artinya seluruh domain sudah terarahkan. Penambahan medan magnet luar tidak memberi pengaruh karena tidak ada domain yang perlu disejajarkan dan keadaan ini disebut penjenuhan (saturasi). 36

Bahan ferromagnetik mempunyai sifat remanensi (setelah medan magnet luar dihilangkan tetap memiliki medan magnet) dan bahan ferromagnetik sangat baik sebagai sumber magnet permanen. Permeabilitas bahan : µ>>µ0 dengan suseptibilitas bahan : χm>>0. Contoh bahan ferromagnetik, yaitu : besi dan baja. Sifat kemagnetan bahan ferromagnetik akan hilang pada temperatur currie, dan temperatur currie pada besi 770 oC dan baja 1043 oC. Sifat bahan ferromagnetik biasanya terdapat dalam bahan ferit. Ferit merupakan bahan dasar magnet permanen yang banyak digunakan dalam industri- industri elektronika, seperti loudspeaker, motor-motor listrik, dynamo dan KWH- Meter.

2.4.9 Material Magnet Lunak dan Magnet Keras Material magnetik diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : material magnetik lemah (soft magnetic) dan material magnetik kuat (hard magnetic). Penggolongan ini berdasarkan kekuatan medan koersifnya, dimana material magnetik lemah (soft magnetic) memiliki medan koersif yang lemah dan material magnetik kuat (hard magnetic) memiliki medan koersif yang kuat. Perbedaan antara material magnetik lemah (soft magnetic) dan magnetik kuat (hard magnetic) ditunjukkkan pada gambar diagram histerisis atau hysteresis loop.

Gambar 2.9 Histeris Material Magnet (a) Material lunak, (b) Material keras

37

Diagram histeresis di atas menunjukkan kurva histeresis untuk material magnetik lunak pada gambar (a) dan material magnetik keras pada gambar (b). H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam spesimen tersisa magnetisme residual Br yang disebut residual remanen dan diperlukan medan magnet Hc (gaya koersif) dengan arah yang berlawanan untuk menghilangkannya. Magnet lunak mudah dimagnetisasi dan mudah mengalami demagnetisasi, seperti tampak pada Gambar 2.9. Nilai H yang rendah sudah memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam logam, tetapi tidak memerlukan medan Hc yang besar untuk menghilangkannya. Magnet keras adalah material yang sulit dimagnetisasi dan sulit didemagnetisasi, karena hasil kali medan magnet (A/m) dan induksi (V.det/m2) merupakan energi persatuan volume. Luas daerah hasil integrasi di dalam loop histerisis sama dengan energi yang diperlukan untuk satu siklus magnetisasi mulai dari 0 sampai +H hingga –H sampai 0. Energi yang dibutuhkan magnet lunak dapat diabaikan, tetapi medan magnet keras memerlukan energi tinggi dan pada suhu ruang demagnetisasi dapat diabaikan.

2.4.10 Jenis Magnet Permanen Produk magnet permanen ada dua macam berdasarkan teknik pembuatannya, yaitu magnet permanen isotropi dan magnet permanen anisotropi.

Gambar 2.10 Arah partikel pada magnet isotropi dan anisotropi (a) Arah partikel acak (Isotrop) (b) Arah partikel searah (Anisotrop) (Masno et al. 2006).

Proses pembentukkan magnet permanen isotropi arah domain partikel magnetnya acak, sedangkan anisotropi pembentukkannya dilakukan dalam medan magnet sehingga arah domain magnet partikelnya mengarah pada satu arah tertentu seperti ditunjukkan pada gambar 2.10. Magnet permanen isotropi 38

memiliki sifat magnet (remanensi magnet) yang lebih kecil dibandingkan dengan magnet permanen anisotropi.

2.5 Metalurgi Serbuk Metalurgi serbuk merupakan salah satu teknik produksi dengan menggunakan serbuk sebagai material awal sebelum proses pembentukan. Prinsip metalurgi serbuk adalah memadatkan sebuk logam menjadi bentuk yang dinginkan dan kemudian memanaskannya di bawah temperatur titik lebur. Langkah-langkah dasar pada proses metalurgi serbuk, yaitu : pembuatan serbuk, mixing, compaction, sintering dan finishing. Keuntungan pada proses metalurgi serbuk antara lain : 1. Efisiensi pemakaian bahan yang sangat tinggi (mendekati 100%). 2. Tingkat terjadinya cacat seperti segregasi dan kontaminasi sangat rendah. 3. Stabilitas dimensi sangat tinggi. 4. Adanya kemudahan dalam proses standarisasi dan otomatisasi. 5. Tidak menimbulkan tekstur pada produk. 6. Ukuran butir dapat disesuaikan dengan kebutuhan. 7. Adanya kemudahan dalam pembuatan produk paduan, khususnya pada produk yang sulit didapatkan dengan proses pengecoran (casting). 8. Porositas produk dapat dikontrol . 9. Sangat tepat digunakan pada material dengan kemurnian tinggi. 10. Dapat digunakan pada pembuatan material komposit dengan matriks logam. Sedangkan kelemahan pada proses metalurgi serbuk, sebagai berikut : 1. Serbuk logam mahal dan sulit untuk disimpan. 2. Beberapa jenis produk tidak dapat dibuat secara ekonomis. 3. Tidak dapat digunakan pada bentuk produk yang rumit. 4. Logam dengan titik lebur yang rendah, sangat sulit untuk disinter dan oksida logam tidak dapat direduksi. 5. Beberapa jenis serbuk logam yang halus mudah meledak. 6. Sulit mendapatkan kepadatan yang merata.

39

2.6 Proses Kalsinasi Proses kalsinasi adalah proses pembakaran tahap awal yang merupakan reaksi dekomposisi secara endothermic dan berfungsi untuk melepaskan gas-gas dalam bentuk karbonat atau hidroksida sehingga menghasilkan serbuk dalam bentuk oksida dengan kemurnian yang tinggi. Kalsinasi dilakukan pada suhu tinggi yang suhunya tergantung pada jenis bahannya. Kalsinasi merupakan tahapan perlakuan panas terhadap campuran serbuk pada suhu tertentu. Kalsinasi diperlukan sebagai penyiapan serbuk keramik pada proses selanjutnya, untuk mendapatkan ukuran partikel yang optimum serta menguraikan senyawa-senyawa dalam bentuk garam atau dihidrat menjadi oksida dan untuk membentuk fasa kristal. Peristiwa yang terjadi selama proses kalsinasi antara lain (James S.R,1988) : o a. Pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung sekitar suhu 100 C sampai 300 0C. 0 b. Pelepasan gas-gas, seperti : CO2 berlangsung sekitar suhu 600 C dan pada tahap ini terjadi pengurangan berat yang cukup berarti. c. Pada suhu lebih tinggi (sekitar 800 0C) struktur kristalnya sudah terbentuk dan ikatan diantara partikel serbuk belum kuat serta mudah lepas.

2.7 Proses Sintering Proses sintering pada magnet keramik adalah suatu proses pemadatan/densifikasi dari sekumpulan serbuk pada suhu tinggi mendekati titik leburnya. Proses sintering menyebabkan terjadinya perubahan struktur mikro seperti pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir (grain growth), peningkatan densitas dan penyusutan (shrinkage). Beberapa variabel yang mempengaruhi kecepatan sintering yaitu densitas awal, ukuran partikel, atmosfer sintering, waktu dan kecepatan pemanasan. Sintering merupakan tahapan pembuatan keramik yang sangat penting dan menentukan sifat-sifat produk keramik. Tujuan dari pembakaran adalah untuk mengaglomerasikan partikel ke dalam massa koheren melalui proses sintering. Defenisi sintering adalah pengikatan massa partikel pada serbuk oleh atraksi molekul atau atom dalam bentuk padat dengan perlakuan panas dan menyebabkan kekuatan pada massa serbuk. 40

Faktor-faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering antara lain : jenis bahan, komposisi, bahan pengotornya dan ukuran partikel. Proses sintering berlangsung apabila : a. Adanya transfer materi diantara butiran yang disebut proses difusi. b. Adanya sumber energi yang dapat mengaktifkan transfer materi, energi tersebut digunakan untuk menggerakkan butiran hingga terjadi kontak dan ikatan yang sempurna. Difusi adalah aktivitas termal yang membutuhkan energi minimum pada pergerakan atom atau ion dalam mencapai energi yang sama atau lebih energi aktivitas dalam membebaskannya dari posisi awal dan bergerak ke tempat yang lain yang memungkinkannya. Energi untuk menggerakkan proses sintering disebut gaya dorong (drying force) yang ada hubungannya dengan energi permukaan butiran (γ).

2.7.1 Tahapan Sintering Tahapan sintering menurut Hirschhorn (1970) pada sampel yang telah dikompaksi sebelumya sebagai berikut : 1. Ikatan Awal Antar Partikel Serbuk. Pada saat sampel mengalami proses sinter, maka akan terjadi pengikatan diri. Proses ini meliputi difusi atom-atom yang mengarah kepada pergerakan dari batas butir. Ikatan ini terjadi pada tempat dimana terdapat kontak fisik antar partikel-partikel yang berdekatan. Tahapan ikatan awal tidak menyebabkan terjadinya suatu perubahan dimensi sampel. Semakin tinggi berat jenis sampel, maka akan banyak bidang kontak antar partikel, sehingga proses pengikatan yang terjadi dalam proses sinter juga semakin besar. Elemen-elemen pengotor berupa serbuk akan menghalangi terjadinya proses pengikatan, elemen pengotor akan berkumpul dipermukaan batas butir dan mengurangi jumlah bidang kontak antar partikel. 2. Tahap Pertumbuhan Leher. Tahapan kedua yang tejadi pada proses sintering adalah pertumbuhan leher. Hal ini berhubungan dengan tahap pertama, yaitu pengikatan awal antar partikel yang menyebabkan terbentuknya daerah yang disebut dengan leher (neck) dan leher ini akan terus berkembang menjadi besar selama proses sintering berlangsung. 41

Pertumbuhan leher tersebut terjadi karena adanya perpindahan massa, tetapi tidak mempengaruhi jumlah porositas yang ada dan juga tidak menyebabkan terjadinya penyusutan. Proses pertumbuhan leher ini akan menuju kepada tahap penghalusan dari saluran-saluran pori antar partikel serbuk yang berhubungan dan proses ini berlangsung secara bertahap. 3. Tahap Penutupan Saluran Pori. Perubahan utama yang terjadi selama proses sinter adalah penutupan saluran pori yang saling berhubungan sehingga menyebabkan perkembangan pori menjadi tertutup. Hal ini merupakan perubahan penting dan secara khusus pada pori yang saling berhubungan untuk pengangkutan cairan, seperti pada saringan-saringan dan bantalan yang dapat melumas sendiri. Salah satu penyebab terjadinya proses ini adalah pertumbuhan butiran. Proses penutupan saluran ini dapat terjadi karena penyusutan pori (tahap kelima dari proses sinter) yang menyebabkan kontak baru yang akan terbentuk di antara permukaan-permukaan pori. 4. Tahapan Pembulatan Pori. Setelah tahap pertumbuhan leher, material dipindahkan di permukaan pori dan pori tersebut akan menuju ke daerah leher yang mengakibatkan permukaan dinding tersebut menjadi halus. Bila perpindahan massa terjadi terus-menerus melalui daerah leher, maka pori disekitar permukaan leher akan semakin mengecil. Dengan temperatur dan waktu yang cukup pada saat proses sinter, maka penutupan pori akan lebih sempurna. 5. Tahap Penyusutan Merupakan tahap yang terjadi dalam proses sinter. Hal ini berhubungan dengan proses densifikasi (pemadatan) yang terjadi. Tahap penyusutan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan volume dan sampel yang telah disinter akan mejadi lebih padat. Dengan adanya penyusutan, maka kepadatan pori akan meningkat dan dengan sendirinya sifat mekanis dari bahan tersebut juga akan meningkat, khususnya kekuatan dari sampel setelah sinter. Tahap penyusutan pori ini terjadi akibat pergerakan gas-gas yang terdapat di 42

daerah pori dan keluar menuju permukaan. Dengan demikian tahap ini akan meningkatkan berat jenis yang telah disinter. 6. Tahap Pengkasaran Pori Proses ini akan terjadi apabila kelima tahap sebelumnya terjadi dengan sempurna. Pengkasaran pori akan terjadi akibat adanya proses bersatunya lubang-lubang kecil dan pori yang tersisa akan menjadi besar serta kasar. Jumlah total dari pori adalah tetap, tetapi volume pori berkurang dengan diimbangi oleh pembesaran pori tersebut (Randall M. German, 1991).

2.7.2 Klasifikasi Sintering Sintering dapat diklasifikasikan dalam dua bagian besar yaitu sintering dalam keadaan padat (solid state sintering) dan sintering fasa cair (liquid phase sintering). Sintering dalam keadaan padat dalam pembuatan material yang diberi tekanan diasumsikan sebagai fasa tunggal oleh karena tingkat pengotornya rendah. Sedangkan sintering pada fasa cair adalah sintering untuk serbuk yang disertai terbentuknya fasa liquid selama proses sintering berlangsung.

Gambar 2.11 Proses sinter padat (a) Sebelum sinter partikel mempunyai permukaan masing-masing. (b) Setelah sinter hanya mempunyai satu permukaan (Van Vlack, 1989)

Dari gambar 2.11, dapat dilihat bahwa proses sintering dalam keadaan padat selama sintering terjadi penyusutan serbuk, kekuatan dari material akan bertambah, pori-pori dan ukuran butir berubah. Perubahan ini diakibatkan oleh sifat dasar dari serbuk itu sendiri, kondisi tekanan, aditif, waktu sintering dan suhu. Proses sintering memerlukan waktu dan suhu pemanasan yang cukup agar partikel halus dapat menjadi padat. Sinter tanpa cairan memerlukan difusi dalam 43

bahan padat itu sendiri, sehingga diperlukan suhu tinggi dalam proses sintering (Van Vlack, 1989).

2.7.3 Efek Sintering Terhadap Sifat Sampel Efek suhu sintering terhadap sifat bahan (porositas, densitas, tahanan listrik, kekuatan mekanik dan ukuran butir) selama proses pemadatan serbuk ditunjukkan pada gambar 2.12.

Gambar 2.12. Pengaruh suhu sintering pada (1) Porositas, (2) Densitas, (3) Tahanan listrik, (4) Kekuatan, dan (5) Ukuran butir (M M. Ristic, 1979)

Dari gambar 2.12, dapat diktahui bahwa proses sintering yang dimulai dari suhu T1 dapat meningkatkan tahanan listrik dan nilai porositas menurun dengan kenaikan suhu sintering, sedangkan densitas, kekuatan dan ukuran butir bertambah besar secara eksponensial seiring dengan kenaikan suhu sintering (M M. Ristic, 1979).

2.8 Karakterisasi dan Evaluasi Magnet Permanen Karakterisasi dan evaluasi material magnet permanen sangat diperlukan setelah produk magnet permanen dihasilkan, maka produk magnet permanen yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karakterisasi material yang dibahas adalah karakterisasi struktur kristal dengan menggunakan alat difraksi sinar-X, SEM atau OM dan karakterisasi sifat kemagnetan menggunakan Gaussmeter dan Permagraph, sedangkan evaluasi sifat fisis magnet dibatasi pada densitas, porositas dan shrinkage.

44

2.8.1 Uji Difraksi Sinar-X (XRD) Tujuan pengujian difraksi sinar-X (XRD) dilakukan adalah untuk menentukan fasa yang terbentuk setelah serbuk mengalami proses kalsinasi dan bulk mengalami proses sintering. Dari data yang akan dihasilkan dapat diprediksi ukuran kristal serbuk dan bulk dengan bantuan software Match. Ukuran kristalin ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Makin lebar puncak difraksi yang dihasilkan, maka makin kecil ukuran kristal serbuk. Hubungan antara ukuran kristal dengan lebar puncak difraksi sinar-X dapat diproksimasi dengan persamaan Schrerer berikut :

D ≈ (2.6)

흀 dengan D adalah ukuran (diameter)푩 푪풐풔 휽 kristal, λ adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan (λ = 0,154056 nm), θ adalah sudut Bragg, B adalah FWHM satu puncak yang dipilih. Geometri peralatan difraksi sinar – X diperlihatkan pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13 Geometri sebuah Difraktometer sinar–X.

Ada 3 komponen dasar suatu difraktometer sinar-X yaitu : 1. Sumber Sinar X 2. Spesimen (Bahan Uji) 3. Detektor sinar X Ketiga komponen tersebut terletak di sekeliling lingkaran yang disebut lingkaran pemfokus. Sudut antara permukaan bidang spesimen dan sumber sinar-X adalah sudut Bragg (θ). Sudut antara projeksi sumber sinar-X dan detektor adalah 2θ. Berdasarkan pola difraksi sinar-X yang dihasilkan dengan geometri ini sering disebut sebagai penyidikan (scans) θ-2θ (theta-dua theta). Pada geometri θ-2θ 45

sumber sinar-X tetap dan detektor bergerak melalui suatu jangkauan (range) sudut. Jejari (radius) lingkaran pemfokus tidak konstan, tetapi bertambah besar bila 2θ berkurang. Range pengukuran 2θ biasanya dari 00 sampai sekitar 1700. Pada eksperimen tidak diharuskan menyidik seluruh sudut tersebut, pemilihan rangenya tergantung pada struktur kristal material (jika diketahui) dan waktu yang diperlukan untuk memperoleh pola difraksinya. Untuk spesimen yang tidak diketahui range sudut yang besar sering dilakukan karena posisi refleksi- refleksinya belum diketahui. Geometri yang digunakan pada umumnya adalah θ-2θ, tetapi ada geometri yang lain seperti geometri θ-θ (theta-theta) dimana detektor dan sumber sinar-X keduanya bergerak pada bidang vertikal dalam arah yang berlawanan di atas pusat spesimennya. Pada beberapa bentuk analisis difraksi sinar-X sampel dapat dimiringkan dan dirotasikan disekitar sumbu ψ (psi). Lingkaran difraktometer pada gambar 2.13 berbeda dari lingkaran pemfokusnya. Lingkaran difraktometer berpusat pada spesimen dan detektor dengan sumber sinar-X, keduanya berada di sekeliling lingkaran. Jejari lingkaran difraktometer adalah tetap, lingkaran difraktometer dinyatakan sebagai lingkaran goniometer. Goniometer adalah komponen sentral dari suatu difraktometer sinar-X dan mengandung pemegang sampel (sample holder). Pada kebanyakan difraktometer serbuk goniometernya adalah vertikal.

2.8.2 Scanning Electron Microscope (SEM) Tujuan pengujian melalui SEM (Scaning Electron Microscope) dilakukan adalah untuk mengamati morfologi dari sampel. Keuntungan penggunaan elektron adalah mendapatkan beberapa jenis pantulan yang berguna untuk keperluan karakterisasi. Jika elektron mengenai suatu benda, maka timbul dua jenis pantulan yaitu pantulan elastis dan pantulan non elastis. Pada sebuah mikroskop elektron (SEM) terdapat beberapa peralatan utama antara lain : 1. Piston elektron, biasanya berupa filament yang terbuat dari unsur yang mudah melepas elektron missal tungsten. 2. Lensa untuk elektron, berupa lensa magnetis karena elektron yang bermuatan negatif dapat dibelokkan oleh medan magnet. 46

3. Sistem vakum, karena elektron sangat kecil dan ringan. Seandainya ada molekul udara yang lain, elektron yang berjalan menuju sasaran akan terpencar oleh tumbukan sebelum mengenai sasaran dan penghilangan molekul udara menjadi sangat penting. Prinsip kerja dari SEM sebagai berikut : 1. Sebuah piston elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan anoda. 2. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju ke sampel. 3. Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pemindai. 4. Ketika elektron mengenai sampel, maka sampel akan mengeluarkan elektron baru yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor (CRT)

2.8.3 Permagraph Permagraph merupakan salah satu alat ukur sifat magnet dari berbagai kelompok seperti Alnico, Ferrite atau dari logam tanah jarang. Sifat magnet yang diukur oleh permagraph antara lain koersifitas Hc, nilai produk maksimum (BH)max dan remanensi Br. Permagraph C memiliki perlengkapan pengukuran kurva histerisis bahan permanen magnet seperti : elektronik EF 4-1F, elektromagnet EP 2/E (kuat medan magnet sampai dengan 1800 kA/m = 2.2 Tesla), komputer dan printer. Hasil yang dapat diperoleh dari permagraph C : mengukur kurva histerisis magnet permanen (B-H curve), menentukan kuantitas magnet seperti koersifitas, remanensi, nilai produk maksimum, pengukuran dengan surrounding coils untuk menentukan nilai rata-rata magnetik dan pengukuran distribusi kuat medan magnet permanen dengan pole coils.

2.8.4 Uji Densitas Densitas (ρ) adalah suatu ukuran massa (m) persatuan volume (V) suatu material dalam satuan gram/cm3. Beberapa faktor yang mempengaruhi densitas adalah ukuran dan berat atom suatu elemen, kuatnya pengepakan atom dalam struktur kristal dan besarnya porositas dalam mikrostruktur (Mujiman, 2004). 47

Densitas dapat digunakan dalam berbagai cara dengan arti yang berbeda. Modifikasi kata densitas adalah densitas kristalografi, densitas bulk, densitas teoritik dan densitas gravitasi spesifik. Densitas kristalografi adalah densitas ideal dari struktur kristal spesifik yang dihitung dari data komposisi kimia dan dari data spasi atom yang diperoleh dari difraksi sinar–X. Densitas teoritik adalah densitas material yang mengandung porositas mikrostruktur nol. Bulk body termasuk porositas, cacat kisi, fasa-fasa dan densitas gravitasi spesifik adalah densitas material relatif terhadap volume air yang sama pada suhu 4 0C. Densitas bahan yang sudah tercampur (serbuk) dianalisa menggunakan piknometer. Mengukur massa piknometer (m1), massa piknometer dan aquades

(m2), massa piknometer dan serbuk sampel (m3), massa piknometer serbuk sampel dan aquades (m4). Densitasnya dihitung menggunakan persamaan : ( ) = (2.7) ( ) ( ) 풎ퟑ−풎ퟏ 흆풔 풎ퟐ−풎ퟏ − 풎ퟒ−풎ퟑ 풙 흆풂풊풓 dengan : 3 s = densitas serbuk bahan sampel (kg/m ), m1 = massa piknometer kosong (kg), 휌m2 = massa aquades dan piknometer (kg), m3 = massa piknometer dan serbuk bahan sampel (kg) m4 = massa piknometer, serbuk bahan sampel dan aquades (kg) 3 3 o air = 0,99651 g/cm = 996,51 kg/m ( air pada saat suhunya 27 C)

휌 Pada pengujian bulk density mengacu휌 pada standar (ASTM C373-88-2006) menggunakan metode Archimedes dengan mengukur massa kering sampel dan massa basahnya, densitas sampel dihitung dengan persamaan :

= (2.8) 풎풌 풎풌−풎풃 풂풊풓 dimana : ρ 흆 = bulk density풙 흆 (kg/m3) mk = massa kering (kg) mb = massa basah (kg) 3 3 o ρair = 0,99651 g/cm = 996,51 kg/m ( air pada saat suhunya 27 C)

2.8.5 Porositas 휌 Porositas pada suatu material keramik dinyatakan dalam persen (%) rongga atau fraksi volum dari suatu rongga pada material tersebut. Besarnya porositas pada meterial keramik dapat bervariasi dari 0% sampai dengan 90% tergantung dari jenis dan aplikasi keramik. Ada dua jenis porositas yaitu porositas terbuka 48

dan tertutup. Pori yang tertutup umumnya sulit untuk ditentukan, pori tersebut merupakan suatu rongga yang terjebak dalam suatu padatan serta tidak ada akses untuk keluar ke permukaan luar, sedangkan pori terbuka masih memiliki akses ke permukaan luar walaupun permukaan tersebut berada ditengah padatan. Porositas suatu bahan umumnya dinyatakan sebagai porositas terbuka atau apparent porosity (Mujiman, 2004). Secara umum pada suhu yang tinggi pembakaran material bersifat keramik akan menghasilkan porositas yang kecil dan sebaliknya pada suhu yang rendah akan menghasilkan porositas material yang lebih besar, maka porositas yang lebih baik akan dihasilkan pada suhu yang lebih tinggi. Porositas terbuka dapat dirumuskan dalan persamaan : ( – ) % Porositas = x 100 % (2.9) 풎풌 풎풃 풎풌 dengan : mb = massa saturasi sampel (kg) mk = massa sampel kering (kg)

49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 4 (empat) bulan, mulai 09 Februari 2015 sampai dengan 3 Juni 2015 di Pusat Penelitian Pengembangan Fisika (P2F) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)–Puspitek Serpong dan Pusat Penelitian Elektronika dan Komunikasi (PPET) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) .

3.2. Peralatan dan Bahan

Peralatan dan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : 3.2.1. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : a. Spatula, sebagai alat untuk mengambil sampel yang berbentuk bubuk. b. Neraca Digital 4 digit GF 600, fungsinya untuk menimbang bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan magnet. c. Piknometer (pyrex, 50 mL) digunakan untuk menghitung densitas serbuk. d. Gelas ukur (500 mL) tempat aquades. e. Planetary Ballmill (PBM-4) digunakan untuk menghaluskan/meratakan campuran bahan dan membentuk paduan dari unsur yang dimasukkan. f. Particle Size Analyzer (PSA) merk CILAS 1190 Liquid digunakan untuk mengukur particle size distribution. g. Jangka sorong digital, berfungsi sebagai alat ukur dimensi sampel magnet. h. Oven, berfungsi untuk mengeringkan sampel setelah mengalami pencampuran dan pencetakan. i. Thermolyne Furnace High Temperature tipe 46200 yang digunakan untuk mengkalsinasi sampel (serbuk) dengan temperatur maksimal 1250 0C. j. Furnace Vacuum tipe XD-1400VF yang digunakan untuk tempat pembakaran sampel dalam proses sintering.

33 50

k. Mortar, fungsinya sebagai tempat penghancuran bahan sehingga menjadi butiran kecil. l. X-Ray Diffraction (XRD) merk Shimadzu yang dapat digunakan sebagai alat karakterisasi struktur sampel. m. Scanning Electron Microscope (SEM) merk Hitachi SU3500, berfungsi sebagai alat karakterisasi struktur mikro dari sampel. n. Cetakan (Molding) digunakan untuk mencetak sampel berdiameter 12 mm. o. Hydraulic press (Hidraulic Jack) berfungsi untuk menekan pada proses cold compaction sampel yang telah dimasukkan ke dalam cetakan dengan kekuatan tekanan tertentu dengan kapasitas maksimum tekanan 100 kgf/cm2. p. Cawan keramik, berfungsi sebagai tempat sampel saat proses sintering. q. Magnetizer, fungsinya untuk memberikan medan magnetik pada sampel (magnetisasi) dengan tegangan 1000 volt. r. Gaussmeter, sebagai alat untuk mengukur besarnya medan magnet sampel. s. Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH Permagraph C yang digunakan sebagai alat karakterisasi intensitas magnetik dari sampel.

3.2.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : a. Powder Barium Heksaferit, grade industri (product ) b. Powder Alumina product E. Merck c. Polivinil Alkohol d. Aquades

3.3. Diagram Alir Penelitian Diagram alir dari pembuatan magnet berbasis barium heksaferit - alumina dengan perekat PVA dapat dilihat pada gambar 3.1.

51

BaFe12O19 Al2O3

0 0 Kalsinasi (1000 C, 2 Jam) Kalsinasi (1000 C, 2 Jam)

XRD

Pengukuran Densitas Serbuk

Timbang, Campur dan Milling (48 Jam), Komposisi 100:0, 60:40, 50:50 dan 40:60 (% wt)

Pengukuran densitas serbuk hasil campuran Penambahan PVA (2% wt)

Pencetakan Tekanan 35 kgf/cm2 selama 1 menit

Sintering 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C selama 2 jam

Pengukuran Sifat Fisis

(Bulk density, Porositas dan Shrinkage)

Karakterisasi Mikrostruktur Magnetisasi XRD dan SEM

Karakterisasi Sifat Magnet (Kuat magnet, Koersivitas, Remanensi dan Energi produk maksimum)

Gambar 3.1. Diagram alir dari pembuatan magnet berbasis barium heksaferit-alumina dengan perekat PVA

3.4. Prosedur Penelitian Tahap penelitian yang dilakukan dalam pembuatan magnet berbasisi barium heksaferit - alumina dengan perekat PVA terdiri atas kalsinasi bahan baku, pencampuran bahan baku, proses kompaksi/pencetakan, pengeringan sampel dan magnetisasi. Tahap-tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut. 52

3.4.1. Kalsinasi Bahan Baku Barium heksaferit dan alumina masing-masing dikalsinasi dengan menggunakan Thermolyne Furnace High Temperature tipe 46200 pada suhu 1000 oC selama 2 jam untuk kemudian diayak sampai diperoleh serbuk halus.

3.4.2. Pencampuran Bahan Baku Barium heksaferit dan alumina ditimbang menggunakan neraca digital 4 digit dengan komposisi masing-masing, yaitu 100:0, 60:40, 50:50 dan 40:60 dengan massa total 100 gram. Kemudian, dilakukan pencampuran menggunakan PBM selama 48 jam. Pengukuran densitas serbuk (true density) dilakukan dengan menggunakan piknometer dan langkah-langkahnya sebagai berikut : 1. Piknometer dibersihkan dengan sabun dan air, kemudian dibersihkan dengan menggunakan cotton bud dan tissue. 2. Piknometer dikeringkan di dalam oven selama ±15 menit. Pada saat dikeringkan, permukaan piknometer diarahkan ke bawah agar uap air turun ke bawah (piknometer harus sekering mungkin).

3. Piknometer kosong ditimbang dan dicatat hasilnya (m1). 4. Aquades dimasukkan ke dalam piknometer tanpa bergelembung (pipet tetes dimiringkan ke dinding piknometer).

5. Ditimbang dan dicatat hasilnya (m2). 6. Aquades kemudian dibuang, piknometer dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama ±15 menit. 7. Dimasukkan serbuk yang akan diukur densitasnya ke dalam piknometer dan diusahakan tidak mengenai dinding piknometer.

8. Ditimbang dan dicatat hasilnya (m3). 9. Dimasukkan aquades hingga penuh dan ditunggu beberapa saat hingga seluruh serbuk benar-benar mengendap di dasar piknometer.

10. Ditimbang dan dicatat hasilnya (m4). Densitas serbuk ditentukan dengan persamaan 2.7.

53

3.4.3. Proses Kompaksi Serbuk hasil pencampuran dengan masing-masing komposisi ditimbang sebanyak 1,5 g lalu dicampur dengan PVA (0,03 g) menggunakan mortar tangan. Setelah cukup homogen, sampel dimasukkan ke dalam cetakan (moulding) untuk kemudian dilakukan proses kompaksi menggunakan hydraulic press dengan tekanan 35 kgf/cm2 selama ±1 menit agar diperoleh sampel dengan hasil yang maksimal.

3.4.4. Proses Sintering Sampel yang telah dikompaksi selanjutnya disinter menggunakan Furnace High Temperature tipe XD-1400VF pada suhu 900 0C, 950 oC, 1000 oC, 1050 0C dan 1100 oC selama ± 2 jam.

3.5. Karakterisasi Karakterisasi sampel yang dilakukan pada penelitian ini adalah karakterisasi sifat fisis dan sifat magnetik.

3.5.1. Karakterisasi Sifat Fisis Karakterisasi sifat fisis yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

3.5.1.1. Bulk Density Prosedur kerja untuk menentukan besarnya bulk density (g/cm3) sampel berbentuk pellet adalah sebagai berikut : 1. Menyusun alat pengukur massa (neraca) seperti gambar 3.2

Gambar 3.2 Alat pengukur massa (neraca)

2. Menuangkan air kira-kira ¾ dari volume beaker glass 100 ml, selanjutnya dikalibrasi. 54

3. Pellet direbus dalam air (±35 0C) selama 10 menit dan memasukkan pellet ke

beaker glass yang berisi air, selanjutnya ditimbang massanya (mb). 4. Melakukan langkah tersebut di atas untuk semua sampel. 5. Pellet yang sudah ditimbang, selanjutnya di oven pada suhu 80 0C selama 12 jam untuk menghilangkan air.

6. Pellet yang sudah kering ditimbang kembali dengan necara pegas (mk). Bulk density ditentukan dengan menggunakan persamaan 2.8.

3.5.1.2. Porositas Porositas yang dihitung adalah porositas terbuka dengan mengukur massa kering dan massa basah sampel, serta dapat ditentukan dengan persamaan 2.9.

3.5.1.3. X-Ray Diffraction (XRD) XRD merupakan pengujian yang digunakan untuk mengetahui fasa yang terbentuk pada suatu sampel. Dalam penelitian ini, pengujian dengan XRD dilakukan pada masing-masing bahan (BaFe12O19 dan Al2O3) setelah dikalsinasi (1000 0C, 2 jam) dan setelah dicampur serta disintering (900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C).

3.5.1.4. Struktur Mikro Struktur mikro dapat dianalisis salah satunya dengan menggunakan pengujian Scanning Electron Microscope (SEM). SEM adalah alat yang dapat memberikan hasil detail permukaan sampel dan objek yang diamati secara tiga dimensi. Tujuan dilakukannya pengujian analisis mikrostruktur sampel adalah untuk mengetahui mikrostruktur bahan dalam gambar tiga dimensi.

3.5.2. Karakterisasi Sifat Magnetik Sampel dimagnetisasi dengan menggunakan Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH Impulse magnetizer K-Series dengan V = 1000 volt dan I yang dihasilkan sekitar 5,23–5,30 kA. Sampel yang telah dimagnetisasi, selanjutnya dikarakterisasi sifat magnetiknya. Karakterisasi sifat magnet dilakukan dengan menggunakan gaussmeter untuk mengetahui kuat medan magnet dan menggunakan Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH Permagraph C untuk menganalisis sampel dengan keluaran berupa kurva histerisis (Br dan Hc). 55

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam mengubah sifat magnetik pada barium heksaferit (BaFe12O19) yang bersifat hard magnet menjadi soft magnet, maka bahan BaFe12O19 tersebut ditambahkan alumina (Al2O3) dengan variasi komposisi 0, 40, 50 dan 60 % berat dan parameter proses lainnya adalah suhu sintering (900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C). Keberhasilan dari penelitian ini sangat ditentukan oleh mikrostruktur, sifat fisis, magnetik (flux density dan B-H curve). Sehubungan dengan itu beberapa karakterisasi yang perlu diamati meliputi : perubahan distribusi ukuran partikel dengan menggunakan Particle Size Analyzer (PSA), pengukuran densitas, porositas, linier shrinkage, flux density magnetic, analisa struktur mikro dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscope (SEM), serta kurva histerisis (B-H curve).

4.1 Particle Size Analyzer (PSA) Tujuan penggunaan Particle Size Analyzer (PSA) adalah untuk mengetahui dan mengontrol distribusi ukuran partikel yang dibutuhkan. Hasil pengukuran distribusi ukuran partikel melalui Particle Size Analyzer (PSA) diperlihatkan pada gambar 4.1 dan disajikan pada tabel 4.1. Setelah dikalsinasi pada temperatur 1000 0C selama 2 jam, distribusi diameter partikel barium heksaferit 11,39-36,91 µm dengan diameter rata-rata 9,69 µm dan alumina 1,79 – 21,47 µm dengan diameter rata-rata 23,53 µm. Sedangkan distribusi diameter partikel barium heksaferit dan alumina setelah milling selama 48 jam adalah 3,48-16,11 µm dengan diameter rata-rata 9,80 µm.

39 56

Tabel 4.1. Data Hasil Distribusi Diameter Partikel Barium Heksaferit dan Alumina

Distribusi Diameter Diameter Rata- Bahan Partikel rata Partikel (μm) (μm)

Serbuk BaFe12O19 (Kalsinasi 1000 0C, 2 1,37-21,47 9,69 jam) Serbuk Al O (Kalsinasi 2 3 11,39-36,91 23,53 1000 0C, 2 jam) Serbuk BaFe O +Al O 12 19 2 3 3,48-16,11 9,80 (Milling 48 jam)

(a)

57

(b)

(c)

Gambar 4.1 Histogram distribusi ukuran partikel (a) BaFe12O19 0 0 kalsinasi 1000 C, (b) Al2O3 kalsinasi 1000 C, (c) BaFe12O19 + Al2O3 digiling selama 48 jam. 58

Gambar 4.1 merupakan histogram distribusi sampel bahan (a) BaFe12O19 0 yang dikalsinasi pada suhu 1000 C selama 2 jam, (b) Al2O3 yang dikalsinasi pada 0 suhu 1000 C selama 2 jam, (c) BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 yang digiling selama 48 jam. Dari histogram digambarkan secara keseluruhan untuk populasi ditribusi partikel berada pada 50% atau setengah dari populasi untuk 0 bahan : BaFe12O19 (kalsinasi pada suhu 1000 C selama 2 jam), Al2O3 (kalsinasi 0 pada suhu 1000 C selama 2 jam) dan BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 yang digiling selama 48 jam. Ukuran partikel bahan BaFe12O19 dengan penambahan

Al2O3 yang digiling selama 48 jam mengalami peningkatan dari 9,69 μm menjadi 9,80 μm (sekitar 1,14%) dan hal ini kemungkinan terjadi karena setelah kalsinasi ukuran partikel Al2O3 lebih besar dibandingkan dengan ukuran partikel BaFe12O19 (23,53 : 9,69 μm).

4.2 True Density Pengukuran true density dari bahan barium heksaferit dengan penambahan alumina 0, 40, 50 dan 60 (% wt) yang dikalsinasi pada suhu 1000 0C selama 2 jam dan digiling selama 48 jam menggunakan piknometer, dimana cairan pembanding adalah aquades. Hasil pengukuran true density diperlihatkan pada gambar 4.2 dan disajikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Data densitas serbuk (true density) BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (% wt) sesudah dimilling 48 jam.

Komposisi Al2O3 True Density True Density (% wt) Pengukuran (kg/m3) Teoritis (kg/m3) 0 4450 5300 40 3870 4580 50 3740 4400 60 3570 4220

59

5500

) 5300 3 5000 4580 4500 4450 4400 4220 Teoritis 4000 3870 Eksperimen 3740

True Density (kg/m 3570 3500 0 10 20 30 40 50 60

Komposisi Al2O3 (% wt)

Gambar 4.2 Grafik hubungan true density terhadap penambahan alumina (% wt) sesudah digiling selama 48 jam

Pada gambar 4.2 diperlihatkan bahwa dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) pada BaFe12O19 menurunkan nilai true density karena nilai true density BaFe12O19 lebih besar dibandingkan dengan nilai true density Al2O3, beragamnya ukuran butir dan belum terjadinya ikatan antara BaFe12O19 dengan

Al2O3. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Matthews dan Rawlings (1994), bahwa ukuran partikel yang lebih halus dengan bentuk yang lebih teratur memiliki kemampuan mengisi ke dalam matriks yang lebih baik dari pada serbuk dengan ukuran yang lebih besar dengan bentuk serpihan.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang densitas bahan BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 berbagai konsentrasi yang dilakukan oleh Priyono, 3 3 dkk., 2004 (0% Al2O3 = 4,71 gram/m ; 0,5% Al2O3 = 4,74 gram/m ; 1,0% Al2O3 3 3 = 4,79 gram/m dan 1,5% Al2O3 = 4,98 gram/m ), maka densitas BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 dalam penelitian ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian sebelumnya tetapi berbanding lurus dengan teoritis. Hal ini kemungkinan terjadi karena dalam penelitian sebelumnya menambahkan Al2O3 dalam konsentrasi yang sangat kecil (≤ 1,5%).

4.3 Green Body Density

Pengukuran green body density bahan magnet berbasis BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang dikompaksi pada tekanan 35 kgf/cm2 dan ditahan selama 1 menit dilakukan dengan menghitung perbandingan 60

massa dengan volume sampel. Hasil pengukuran green body bahan magnet

BaFe12O19 diperlihatkan pada Gambar 4.3 dan disajikan pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Data Green Body density dari bahan magnet BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang dikompaksi pada tekanan 35 kgf/cm2 dan ditahan selama 1 menit.

Komposisi Green Body Density Green Body Density Alumina (% wt) Eksperimen (kg/m³) Teoritis (kg/m3) 0 3270 5300 40 2720 4580 50 2690 4400 60 2600 4220

5500 ) 3 5000 5300

4500 4580 4400 4000 4220 Eksperimen 3500 Teoritis 3000 3270 2720 2690

Green Body Density (kg/m BodyDensity Green 2600 2500 0 10 20 30 40 50 60 Komposisi Alumina (% wt)

Gambar 4.3 Grafik hubungan green body density terhadap penambahan alumina (% wt) yang dikompaksi pada tekanan 35 kgf/cm2 dan ditahan selama 1 menit.

Gambar 4.3 memperlihatkan bahwa nilai green body density dari bahan magnet BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) cenderung menurun dan berkisar antara 2600-3270 kg/m3. Menurut literatur (Robert, C.P. 2012) nilai densitas barium ferit adalah sekitar 5,28 g/cm3 (5280 kg/m3) dan apabila hasil eksperimen dibandingkan dengan hasil teoritis, maka nilai densifikasi yang tercapai masing-masing 61,70% (0% wt Al2O3); 59,39% (40% wt

Al2O3); 61,14% (50% wt Al2O3) dan 61,61% (60% wt Al2O3) dengan rata-rata sekitar 60,96%. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena tekanan pada saat 61

kompaksi kurang tinggi dan seharusnya menggunakan kompaksi dengan tekanan 2 di atas 35 kgf/cm (, 2010).

4.4 Bulk Density

Pengukuran bulk density bahan magnet berbasis BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang disinter pada suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 oC dan masing-masing ditahan selama 2 jam dilakukan dengan menggunakan prinsip Archimedes (ASTM C373-88-2006). Hasil pengukuran bulk density bahan magnet BaFe12O19 diperlihatkan pada Gambar 4.4 dan disajikan pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Data bulk density dari bahan magnet BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang disinter pada suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 oC dan masing- masing ditahan selama 2 jam.

Bulk Density dengan Penambahan %wt Al2O3 Temperatur 3 No (kg/m ) (ºC) 0 40 50 60 1 900 5170 4070 4040 4030 2 950 4900 4250 4050 4030 3 1000 4810 4290 4250 4050 4 1050 4710 4340 4130 4080 5 1100 4680 4150 4130 4080

5250 ) 3 5000 4750 0% wt Al2O3 40% wt Al2O3 4500 50% wt Al2O3 4250 60% wt Al2O3

Bulk Density (kg/m 4000 3750

900 950 1000 1050 1100

Temperatur (0C)

Gambar 4.4 Hubungan bulk density terhadap suhu sintering dari bahan magnet BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt). 62

Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa nilai bulk density dari bahan magnet

BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) adalah berkisar antara 4030–5170 kg/m3. Kemudian suhu sintering yang paling optimum untuk o masing-masing sampel berada pada suhu 1050 C (40 dan 60% Al2O3) dan 1000 o C (50% Al2O3) dengan holding time selama 2 jam. Menurut referensi Yong An, Sung., 2002, bahwa semakin tinggi temperatur sintering maka semakin tinggi nilai densitasnya sebelum mencapai kondisi deformasi pada material tersebut.

Pernyataan ini didukung dengan Al2O3 yang mampu mengisi batas butir pada saat proses sintering (Priyono, dkk., 2004), sehingga nilai densitasnya semakin meningkat seiring penambahan suhu sintering. Sedangkan penurunan nilai bulk density terjadi kemungkinan disebabkan oleh perbesaran ukuran butir yang terjadi pada saat proses sintering dengan temperatur yang lebih tinggi, sehingga mengakibatkan terjadinya perbesaran rongga.

4.5. Porositas

Pengukuran porositas dari bahan magnet berbasis BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang disinter pada suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 oC dan masing-masing ditahan selama 2 jam dilakukan dengan menggunakan prinsip Archimedes (ASTM C373-88-2006). Hasil pengukuran porositas diperlihatkan pada Gambar 4.5 dan disajikan pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Data porositas dari bahan magnet BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang disinter pada suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 oC dan masing- masing ditahan selama 2 jam.

Temperatur Porositas dengan Penambahan %wt Al2O3 (%) No (ºC) 0 40 50 60 1 900 19,28 24,49 24,67 24,79 2 950 20,20 23,46 24,62 24,74 3 1000 20,58 23,23 23,47 24,59 4 1050 21,01 22,98 24,15 24,41 5 1100 21,29 23,98 24,24 24,44

63

25

24

23 0% Al2O3 40% Al2O3 22 50% Al2O3 Porositas(%) 21 60% Al2O3 20

19 900 950 1000 1050 1100 Temperatur (ºC) Gambar 4.5 Grafik hubungan porositas terhadap temperatur bahan magnet BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt).

Gambar 4.5 memperlihatkan bahwa nilai porositas dari bahan magnet

BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang disinter pada suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 oC dan masing-masing ditahan selama 2 jam adalah berkisar antara 19,28–24,79%. Berdasarkan hasil tersebut, suhu o o sintering optimum adalah 900 C (0% Al2O3; porositas = 19,28%), 1050 C (40 o dan 60% Al2O3; porositas = 22,98 dan 24,41%) dan 1000 C (50% Al2O3; porositas = 24,15%). Kemudian porositas cenderung bertambah setelah suhu optimum dan kemungkinan hal ini terjadi karena adanya perbesaran butir (grain) selama proses sintering pada suhu yang lebih tinggi, sehingga ukuran butir menjadi lebih besar dan semakin banyak rongga yang terbentuk serta meningkatkan porositas (Tang, Xin., 2005).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang porositas bahan BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 berbagai konsentrasi yang dilakukan oleh Priyono, dkk., 2004 (0% Al2O3 = 10,79%; 0,5% Al2O3 = 5,29%; 1,0% Al2O3 = 5,28% 3 gram/m dan 1,5% Al2O3 = 5,27%), maka porositas BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 dalam penelitian ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian sebelumnya. Hal ini kemungkinan terjadi karena dalam penelitian sebelumnya menambahkan Al2O3 dalam konsentrasi yang sangat kecil (≤ 1,5%).

64

4.6 Shrinkage

Besaran nilai shrinkage dari bahan magnet berbasis BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang disinter pada suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 oC yang masing-masing pada suhu tersebut ditahan selama 2 jam, diukur dengan menggunakan jangka sorong. Hasil pengukuran shrinkage dari bahan magnet tersebut diperlihatkan pada Gambar 4.6 dan disajikan pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Data nilai shrinkage dari bahan magnet BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang disinter pada suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 oC ditahan selama 2 jam.

Temperatur Shrinkage dengan Penambahan % wt Al2O3 (%) No (ºC) 0 40 50 60 1 900 2,37 3,85 4,90 4,41 2 950 4,78 4,91 5,46 5,14 3 1000 6,03 4,96 5,48 5,37 4 1050 9,22 6,27 6,43 6,32 5 1100 10,92 7,13 6,57 7,04

12

10 8 0%wt Al2O3 6 40%wt Al2O3

(%) Shrinkage 4 50%wt Al2O3 60%wt Al2O3 2 900 950 1000 1050 1100 Temperatur (ºC)

Gambar 4.6 Hubungan nilai shrinkage terhadap suhu sintering dari BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt).

Pada Gambar 4.6 diperlihatkan hubungan antara nilai shrinkage terhadap suhu sintering 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C (masing-masing ditahan selama

2 jam) dari BaFe12O19 yang ditambahkan dengan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) diperoleh nilai shrinkage tertinggi pada suhu 1100 0C (2 jam), yaitu 65

masing-masing 10,92, 7,13, 6,57 dan 7,04%. Kemudian penambahan suhu sintering pada setiap sampel cenderung meningkatkan nilai shrinkage, tetapi penambahan Al2O3 (% wt) cenderung memperlambat peningkatan nilai shrinkage.

Hal tersebut kemungkinan terjadi karena pada saat proses sintering Al2O3 menyusup ke batas butir, sehingga terjadi perlambatan penyusutan dan peredaman pertumbuhan butir.

4.7 Analisa X-Ray Diffraction (XRD) Analisa struktur kristal barium heksaferit dan alumina dilakukan dengan menggunakan alat X-Ray Diffraction (XRD) yang bertujuan untuk mengamati fasa-fasa yang terbentuk pada sampel uji setelah proses kalsinasi (1000 0C, 2 jam) dan sintering pada suhu 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C (2 jam) dalam pembuatan magnet berbasis barium heksaferit-alumina.

Gambar 4.7 Pola XRD dari BaFe12O19 dan Al2O3 setelah dikalsinasi pada suhu 1000 0C (2 jam) serta disinter pada suhu 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C (2 jam).

Pada Gambar 4.7, ditunjukkan Hasil analisa X-Ray Diffraction (XRD) dari 0 serbuk BaFe12O19 dan Al2O3 setelah dikalsinasi pada suhu 1000 C, masing- masing telah menghasilkan fasa tunggal BaFe12O19 dan Al2O3. Fasa BaFe12O19 mempunyai parameter kisi a=b≠c dengan nilai a = 5,892 Å, c = 23,183 Å dan 66

volume sel (V) dapat dihitung dengan formula V = a x b x c (Perdamean, et al. 3 2011), maka V = 804,813 Å . Tiga puncak tertinggi pada struktur BaFe12O19, masing-masing pada sudut 2θ sebesar 32.269, 34.204 dan 37.2483. Sedangkan fasa Al2O3 mempunyai parameter kisi trigonal (hexagonal axes) a≠b≠c dengan nilai a = 4.7517 Å, b = 12.9650 Å, c = 2.8400 Å dan volume sel (V) = 174,960 3 Å . Tiga puncak tertinggi pada struktur Al2O3, masing-masing pada sudut 2θ sebesar 67.19, 35.18 dan 32.885. Terbentuknya fasa tunggal dari BaFe12O19 dan

Al2O3 dipengaruhi oleh suhu dan perlakuan, sesuai dengan teori.

Hasil analisa X-Ray Diffraction (XRD) dari BaFe12O19 dengan penambahan 2 Al2O3 setelah dikompaksi (tekanan 35 kgf/cm ) dan disinter pada suhu 900, 950, 0 1000, 1050 dan 1100 C, telah menghasilkan beberapa fasa antara lain : FeAl2O3,

BaFeO3, Fe2O3, Ba3Al2O6 dan Fe3O4. Tiga puncak tertinggi masing-masing pada sudut 2θ sebesar 36,53, 58,81 dan 64,62. Terbentuknya fasa FeAl2O3, BaFeO3,

Fe2O3, Ba3Al2O6 dan Fe3O4 sangat dipengaruhi oleh suhu sintering. Adanya beberapa fasa baru yang terbentuk, menunjukkan bahwa telah terjadinya reaksi antara kedua bahan baku yang pada dasarnya fasa tersebut belum ada sebelum proses sinter dilakukan. Jadi, perubahan yang terjadi tidak hanya pada mikrostruktur, seperti pertumbuhan butir (grain growth) yang berkaitan dengan densifikasi, tetapi juga terjadi reaksi. Dalam proses ini akan terbentuk batas-batas butir yang merupakan tahap permulaan rekristalisasi sampai stabil pada suhu tinggi. Kemudian apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya tentang hasil uji XRD bahan BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 berbagai konsentrasi yang dilakukan oleh Priyono, dkk., 2004 (fase didominasi oleh fase BaO6(Fe2O3), fase Fe2O3 dan fasa Al2O3), maka hasil uji XRD

BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Hal ini kemungkinan terjadi karena dalam penelitian sebelumnya menambahkan Al2O3 dalam konsentrasi yang sangat kecil (≤ 1,5%).

4.8 Scanning Electron Microscope (SEM) Pengujian selanjutnya adalah menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) yang berfungsi untuk mengetahui ukuran butir, distribusinya, unsur-unsur yang terkandung dalam sampel dan mendeteksi keberadaan Al2O3 yang ditambahkan pada BaFe12O19. Hasil analisa morfologi dari magnet berbasis 67

BaFe12O19-Al2O3 dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) diperlihatkan pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8 Hasil Analisis SEM (Distribusi dan Ukuran butir).

Gambar 4.8 tersebut menunjukkan bahwa magnet berbasis BaFe12O19-Al2O3 yang disinter pada suhu 1000 0C selama 2 jam mempunyai ukuran partikel <1 μm.

Bentuk partikel yang diperoleh berupa batang, Al2O3 sebagian besar bereaksi dengan BaFe12O19 dan tersebar secara merata pada permukaan, tetapi masih terlihat adanya penumpukkan pada titik tertentu dan rongga-rongga pada material tersebut.

4.9 Flux Density Magnetik

Besaran flux density magnetik dari bahan magnet berbasis BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang disinter pada suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 oC yang masing-masing pada suhu tersebut ditahan selama 2 jam, diukur dengan menggunakan Gaussmeter. Hasil pengukuran flux density magnetik dari bahan magnet tersebut diperlihatkan pada Gambar 4.9 dan disajikan pada tabel 4.7.

68

Tabel 4.7 Hubungan Flux density magnetik terhadap suhu sintering dari BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt)

Temperatur Flux Density dengan Penambahan %wt Al2O3 (Gauss) No 0 ( C) 0 40 50 60 1 900 13,00 13,00 12,60 12,60 2 950 48,00 42,30 21,40 21,10 3 1000 65,45 51,15 37,45 27,15 4 1050 53,65 63,00 48,30 43,45 5 1100 32,45 56,50 43,80 38,90 75

62 49 0% Al2O3 40% Al2O3 36 50% Al2O3

23 60% Al2O3 FluxDensity (Gauss) 10 900 950 1000 1050 1100 Temperatur (ºC) Gambar 4.9 Hubungan flux density terhadap suhu sintering dari BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt).

Gambar 4.9 memperlihatkan bahwa nilai maksimum flux density dari 0 magnet BaFe12O19 adalah pada suhu sintering 1000 C (0% wt Al2O3) dan 1050 0 C (40, 50 dan 60% wt Al2O3). Nilai flux density yang tertinggi diperoleh pada

BaFe12O19, yaitu sebesar 65,45 Gauss dan nilai flux density terendah adalah pada konsentrasi 50 dan 60 % wt Al2O3, yaitu sebesar 12,60 Gauss. Dengan demikian penambahan Al2O3 cenderung menurunkan nilai flux density, sehingga sifat magnetik barium hexaferrite yang semula termasuk tipe hard magnet berubah menjadi soft magnet. Menurut penelitian sebelumnya dalam penelitiannya menjelaskan bahwa susunan atom akan mempengaruhi sifat kerapatan fluks magnet, semakin rapat susunan atomnya maka semakin besar kerapatan fluks (flux density) magnet, sehingga arah orientasi partikel magnet akan lebih mudah diarahkan (Yue Liu, 2011).

69

4.10 Kurva Histerisis Pengujian karakteristik sifat magnet menggunakan permagraph, karena dari kurva histerisis yang diperoleh akan didapatkan nilai koersivitasnya. Berdasarkan nilai koersivitas, maka akan diketahui tingkat keberhasilan pembuatan hard magnet menjadi soft magnet. Kurva histerisis (B-H Curve) dari bahan magnet berbasis BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 (0, 40, 50 dan 60% wt) yang disinter pada suhu : 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 oC dan ditahan selama 2 jam pada suhu tersebut dapat diamati dengan menggunakan permagraph dan diperlihatkan pada Gambar 4.10. Dari kurva histerisis tersebut dapat diketahui besarnya remanensi (Br), koersivitas (HCJ dan HCB) dan energi produk maksimum (BHmax), seperti terlihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Hubungan Sifat magnet terhadap suhu sintering dari BaFe12O19 dengan penambahan 40% Al2O3 (wt).

Sifat Magnet o Temperatur ( C) Br HCJ HCB BHmax (kG) (kOe) (kOe) (MGOe) 900 0,03 0,096 0,009 0,290 950 0,15 0,087 0,015 0,052 1100 0,20 0,082 0,014 0,046

0,50 0,40

0,30 0,20

0,10 900 0C 0,00 950 0C

B (kG) B -15 -10 -5 -0,10 0 5 10 15 1100 0C -0,20 -0,30 -0,40

-0,50

H (kOe) Gambar 4.10 Hubungan Sifat magnet terhadap suhu sintering dari BaFe12O19 dengan penambahan 40% Al2O3 (wt). 70

Pada kurva histerisis tersebut diperlihatkan bahwa efek penambahan Al2O3 menyebabkan terjadinya penurunan nilai remanensi (Br) dan penurunan nilai koersivitas (HCJ dan HCB). Kondisi ini sangat diinginkan karena barium heksaferit yang semula adalah hard magnet telah berubah menjadi soft magnet. Pada penelitian sebelumnya mengatakan bahwa semakin besar konsentrasi dopping yang ditambahkan, maka semakin kecil nilai koersivitas yang dihasilkan (Yue Liu, 2011). o Pada suhu 900 C dengan penambahan 40% wt Al2O3 menghasilkan nilai remanensi, Br = 0,03 kGauss, koersivitas (HCJ dan HCB) masing-masing sebesar 0,096 dan 0,009 kOe, sedangkan energi produk maksimum (BHmax) yang dihasilkan adalah sebesar 0,290 MGOe. Pada suhu 950 oC dengan komposisi 40%

Al2O3 menghasilkan nilai remanensi, Br = 0,15 kGauss, koersivitas (HCJ dan

HCB) masing-masing sebesar 0,087 dan 0,015 kOe, energi produk maksimum (BHmax) yang dihasilkan adalah sebesar 0,052 MGOe. Sedangkan pada suhu o 1100 C dengan komposisi 40% Al2O3 menghasilkan nilai remanensi, Br = 0,20 kGauss, koersivitas (HCJ dan HCB) masing-masing sebesar 0,082 dan 0,014 kOe, energi produk maksimum (BHmax) yang dihasilkan adalah sebesar 0,046 MGOe.

Ternyata efek penambahan Al2O3 pada barium hexaferrite akan memberikan nilai remanensi, Br terendah pada suhu 900 oC yaitu sebesar 0.03 kGauss dan BHmax terendah pada suhu 950 dan 1100 oC, yaitu sebesar 0,046 MGOe, sedangkan nilai o o koersivitas (HCJ dan HCB) terendah yaitu pada suhu 1100 C dan 900 C (0,082 dan 0.009 kOe). Kemudian apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya tentang sifat kemagnetan BaFe12O19 anisotropi yang dilakukan oleh Moulson dan Herbert, 2003 (Hc = 320 kAm-1; BHmax = 35 kJm-3; Br = 0,4 T dan 0 Tc = 450 C), maka sifat kemagnetan BaFe12O19 dengan penambahan Al2O3 semakin kecil atau dengan kata lain sifat kemagnetan BaFe12O19 sudah berubah menjadi soft magnet karena material magnetik diklasifikasi menjadi hard magnet jika Hc>150 kA/m (Moulson dan Herbert, 2003).

71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembuatan soft magnet berbasis BaFe12O19 - Al2O3 dengan metode metalurgi serbuk dan hasil-hasil pengujian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Telah berhasil dibuat soft magnet berbasis BaFe12O19 - Al2O3 dengan metode metalurgi serbuk yang dapat dimanfaatkan pada media perekaman dan absorben microwave..

2. Penambahan komposisi Al2O3 cenderung menurunkan nilai bulk density dan flux density. 3. Soft magnet yang dihasilkan memiliki nilai koersifitas antara 0,096 kOe (900 0C), 0,082 kOe (1000 0C) dan 0,082 kOe (1100 0C).

4. Kondisi optimum dicapai pada penambahan 40% wt Al2O3 dengan suhu sintering 1050 0C (2 jam), dimana nilai bulk density, porositas, shrinkage, flux density adalah masing-masing 4340 kg/m3, 22,98%, 6,27% dan 63,00 Gauss. 5. Morfologi soft magnet yang dihasilkan relatif homogen dengan bentuk partikel menyerupai batang dengan ukuran partikel < 1 μm. Kesimpulan di atas menunjukkan bahwa hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.

5.2 SARAN

Penelitian lebih lanjut dalam pembuatan soft magnet berbasis BaFe12O19-

Al2O3 diharapkan dapat : 1. Dilakukan dengan komposisi yang berbeda sebagai acuan atau pembanding dari hasil penelitian. 2. Dilakukan dengan tekanan kompaksi di atas 3,43x104 N/m2 supaya densifikasi sampel lebih maksimal, sehingga pada saat proses sintering tidak terjadi penyusutan yang signifikan. 3. Dilakukan pengujian lebih dalam terutama yang berkaitan dengan sifat elektrik dan sifat magnet lainnya yang belum diukur dalam penelitian ini, misalnya reflection loss, absorption, konduktivitas listrik dan lainnya.

55 72

DAFTAR PUSTAKA

Akmal Johan. 2010. Analisis Bahan Magnet Nanokristalin Barium Heksaferit (BaO·6Fe2O3) dengan Menggunakan High-Energy Milling. Jurnal Penelitian Sains. Volume 14 Nomor 1(B): 14105.

Alexandre, R., Buenoa, Maria, L., Gregorib, Maria C.S. 2008. No´ Bregac. Journal of Magnetism and Magnetic Materials. 320: 864-870.

Awan Maghfirah. 2007. Pembuatan Keramik Paduan Zirkonia (ZrO2) dengan Alumina (Al2O3) dan Karakterisasinya [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Pascasarjana.

Ayu, Y.S., Perdamean, S., dan Muljadi. 2012. Pembuatan dan Karakterisasi Magnet Bonded BaO.6Fe2O3 dengan Variasi Ukuran Partikel. Jurnal Sains Materi Indonesia Akreditasi LIPI Nomor : 395/D/2012. Vol. 13, No. 3: 168 – 172.

Beitollahi, A., Hosseini, H., and Sapoorlaki, H. 2010. Synthesis and Characterization of Al2O3-ZrO2 Nanocomposite Powder by Sucrose Process. Journal of Material Science: Material in Electronic. Vol. 21, pp. 130-136.

Bin Yu, Lu Qi, Hui Sun, Jian-Zhong Ye. 2007. J Mater Sci 42: 3783-3788.

Buchanan, R.C. 1986. Ceramic Materials for Electronics. Marcel Dekker. New York and Basel.

Burkin, A.R. (ed.), 1987. Production of Aluminum and Alumina. John Wiley, New York.

Darminto, M. Zainuri, El Indahnia Kamariyah, 2011, Sintesis Serbuk Barium Heksaferit Dengan Metode Kopresipitasi. Seminar Nasional Pascasarjana XI- ITS, Surabaya, 27 Juli 2011, Jurusan Fisika FMIPA.

Dianita, W., Suminar, P. 2014. Identifikasi Fasa pada Sintesis Al2O3 dengan Metode Logam-Terlarut Asam. Jurnal Sains dan Seni Pomits. Vol. 3, No.2: 2337-3520 (2301-928X Print).

Edi Istiyono. 2009. Analisis Sifat Magnetik Bahan yang Mengalami Proses Annealing Dan Quenching. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA; Yogyakarta, 16 Mei 2009. Yogyakarta; Universitas Negeri Yogyakarta. hlm F311-F319.

73

German, R. M. 1991. Fundamental of Sintering. Engineered Materials Handbook. Vol 4, Ceramic-Glasses, L. F Heather, W.D Nikki,ed. The Materials Information Society. Ghababazade, R., Mirhabibi, A., Pourasad, J., Brown, A., Brydson, A., Amiri, M.J. 2007. Study of Phase Composition and Stability of Explosive Synthesis Nanosized Al2O3. Journal Surface Science. Vol. 601, pp. 2864.

Halliday & Resnick. 1989. Fisika. : Erlangga.

Hirschhorn J.S. 1969. Advanced Experimental Techniques in Powder Metalurgy. Plenum Press, New York

Hirschhorn J.S. and Kempton H.R. 1970. Advanced Experimental Techniques in Powder Metalurgy. Volume 5. Plenum Press, New York

Ibrahim, D.M and Abu-Ayana, Y.M. 2009. Preparation of Nano Alumina via Resin Synthesis. Journal of Materials Chemistry and Physics: Elsevier. Volume 113, Issues 2–3: 579–586

Idayanti, N., dan Dedi. 2002. Pembuatan Magnet Permanen Ferit untuk FlowMeter. Jurnal Fisika HFI. Vol A5 No.0528. Tangerang: Himpunan Fisika Indonesia.

Ismunandar. 2004. Padatan Oksida Logam : Struktur, Sintesis dan Sifat-sifatnya. Bandung: Departemen Kimia FMIPA ITB

James S.R. 1988. Introduction to the principles of ceramic processing. John Willey & Sons,Inc. Singapore.

Kerista Sebayang, Achmad Maulana Soehada, Anggito P Tetuko, Perdamean Sebayang. 2013. Microstructure, Magnetic Properties and Microwave Absorption of BaFe(12-x)MnxO19 Soft Magnet. Presented at International Seminar on Magnetic Materials; Batam, 2013.

Knozinger, H., Ratnasamy, and Catal, P. 1978. Pulse Electric Current Sintering and Strength of Sintered Alumina Using γ-Alumina Powders Prepared by the Sol-gel Method. Journal of Science Enggenering. Vol. 17, pp. 31.

Kojima, H. 1982. Fundamental Properties of Hexagonal Ferrites with Magnetoplumbite Structure. vol. 3; ed. E. P. Wohlfarth, North Holland Publishing Company, Amsterdam.

Liu, Ye., Ma, D., Han, X., Bao, X., Frandsen, W., Wang, D., Su, D. 2008. Hydrithermal synthesis of microscale boehmite and gamma nanoleaves alumina. Materials Letters. 62: 1297 – 1301.

Masno, G., Muljadi, dan Perdamean, S. 2006. Pembuatan Magnet Permanen Isotropik Berbasis Nd-Fe-B dan Karakterisasinya. Teknologi Indonesia. Volume 29 No. 1: 27-30. 74

Mathews, F.L. & Rawlings, R.D. 1994. Composite Materials: Engineering and science. Chapman & Hall Publisher, London. Mirjalili, F., Hasmaliza, M., Luqman, C. 2011. Preparation of Nano Scale α- Al2O3 Powder by The Sol Gel Method. Ceramic Silikaty. Vol. 55, No. 4, pp. 378-383.

Mokhtar, N., Abdullah, M. HJ, & Ahmad, S. HJ. 2012. Structural and Magnetic Properties of Type-M Barium Ferrite–Thermoplastic Natural Rubber Nanocomposites. Sains Malaysiana 41(9)(2012): 1125–1131

Moulson, A.J., and Herbert, J.M. (second ed), 2003. Electroceramics: Materials, Properties and Applications. John Wiley & Sons Ltd, England.

Mujiman. 2004. Sintesis Dan Karekterisasi Keramik Alumina (Al2O3) Terhadap Aditif Titania (TiO2) Heksaferit (Studi kasus di Lembaga Ilmu penelitian Indonesia, Jakarta). [Skripsi]. Lampung: Universitas Lampung Bandar Lampung, Program Sarjana S-1.

Muljadi. 2010. Pembuatan Nano Partikel Ba-Hexa Ferrite (BaO.6Fe2O3) Magnet Permanent dan Karakterisasinya. Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI. Pusat Peneltian Fisika (P2F) LIPI

Paglia, G., Buckley, C.E., Rohl, A.L., Hart, R.D., Winter, K. & Studer, A.J. 2004. Boehmite Derived γ-Alumina System. 1. Structural Evolution with Temperature, with the Identification and Structural Determination of a New Transition Phase, γ’-Alumina. Chemistry of Materials, 16 (2) : 220.

Parida, K.M., Pradhan, A.C., Das, & Sahu, N. 2009. Synthesis and characterization of nano-sized porous gamma-alumina by control precipitation method. Mater. Chem. Phys. 113: 244–248.

Perdamean, S., Muljadi, Wisnu, A.A. 2011. Kajian Struktur Mikro terhadap Sifat Magnetik pada Magnet Permanen BaO.6Fe2O3. Telaah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Vol. 29 (2): 55-62.

Prihatin, Sujito. 2005. Pembuatan Serbuk Barium Ferit (BaO.6Fe203 ) Dengan Bahan Oasar Pasir Besi Pantai Bayuran Kabupaten Jepara Jawa Tengah dan Karakterisasi Sifat Magnetik. [Skripsi]. Semarang: Universitas Semarang, Program Sarjana S-1.

Priyono., Yuli, A., Happy, T. dan Ainie Khuriati, R.S. 2004. Efek Aditiv Al2O3 Terhadap Struktur dan Sifat Fisis Magnet Permanen BaO.6(Fe2O3). Jurnal Berkala Fisika. Vol. 7 No. 2: 69-73.

R. Nowosielski, R. Babilas, G. Dercz, L. Pajak, J. Wrona. 2007. Structure and Properties of Barium Ferrite Powders Prepared by Milling and Annealing. Archives of Materials Science and Engineering, Vol 28, Issue 12, p 735- 742. 75

Ristic, M. M. 1977. Sintering New Developments. Material Science Monographs. Vol 4, Proceeding of 4th International Round Table Conference on Sintering, Dubrovnik, Yugoslavia, September 5 – 10, 1979, Elsevier Scientif Publishing Company, Amsterdam-Oxford, New York.

Robert, C.P. 2012. Hexagonal Ferrites: A Review of The Synthesis, Properties and Applications of Hexaferrite Ceramics. Progress in Materials Science. 57: 1191–1334.

Smith and Wijn. 1959. Physical Properties of Ferrimagnetic Oxides in Relation to Their Technical Application. Philips Researc, Netherland.

Snoek, J.L. 1947. New Development in Ferromagnetics Material. New York

Sudarsono. 2012. Kajian Sifat Mekanik Material Komposit Propeller Kincir Angin Standard Naca 4415 Modifikasi. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode II Yogyakarta.

Takanori Tsutaoka and Nobuyoshi Koga. 2013. Magnetic Phase Transitions in Substituted Barium Ferrites BaFe12-x(Ti0.5Co0.5)xO19 (x=0–5). Journal of Magnetism and Magnetic Materials. 325:36–41.

Tang, X. 2005. Influence of Synthesis Variables on The Phase Component and Magnetic Properties of M-Baferrite Powders Prepared Via Sugar-Nitrates Process. Journal of Material Science. ISSN 0022-2461.

Tsunenori, W., Yoshihisa, M., Takeo, M., Hiroshi, D., Hiroyoshi, K., Saburo, H., Kenji, W., Masashi, I. 2011. Synthesis of γ-Ga2O3–Al2O3 solid solutions by spray pyrolysis method. Ceramics International. Volume 37, Issue 8: 3183- 3192

Utami, I., Sunardi, Suraida. 2013. Sintesis Dan Karakterisasi Gamma Alumina (γ- Al2o3) Dari Kaolin Asal Tatakan, Kalimantan Selatan Berdasarkan Variasi Temperatur Kalsinasi. Jurnal Ilmiah Kimia Molekul. Volume 8 No.1: 31-42.

Van Vlack, L.H. 1989. Ilmu dan Teknologi Bahan-bahan Logam dan Bukan Logam, Edisi kelima. Erlangga, Jakarta.

Wang, Y.H., J. Wang, M.Q. Shen, & W.L. Wang. 2009. Synthesis and Properties of Thermostable γ-Alumina Prepared by Hydrolysis of Phosphide Aluminum. Journal of Alloys and Compounds. 467(1-2): 405-412.

Xu, Z., Xiao, F.S., Purnell, S.K., Alexeev, O., Kawi, S., Deutsch, S.E., and Gates, B.C. 1994. Sol-gel Synthesis of Transparent Alumina Gel and Pure Gamma Alumina by Urea Hydrolysis of Alumina Nitrate. Journal Matterial Science. Vol. 10, pp. 485-490.

76

Yamauchi, T., Tsukahara,Y., Sakata, T., Mori, H., Chikata, T., Katih, S., Wada, Y. 2009. Barium Ferrite Powder Preparet By Microwave-Indu Ced Hydrothermal Reaction And Madnet Ic Property. Juornal Of Magnetism and Magnetic Material: Elsevier.

Yong An, Sung., In Bo Shim., and Chui Sung Kim. 2002. Mossbauer and Magnetic Properties of Co-Ti Substituted Barium Hexaferrite Nanoparticles. Journal of Applied Physics. Vol. 91, No. 10.

Young Joon An, Ken Nishida, Takashi Yamamoto, Shunkichi Ueda and Takeshi Deguchi, 2008, Characteristic Evaluations of Microwave Absorbers Using Dielectric and Magnetic Composite Materials. Journal of Ceramic Processing Research. Vol. 9, 430-436.

Yue Liu, Hong-bo Zhang, Ji-dong Duan, Ying Liu, Yu Gao, Li-li Wang, and Yang Li. 2011. Magnetic Properties of Mn/Co/Sn Substituted Barium Heksaferits Synthesized by an Improved Co-precipitation Method. Advances Materials Research Vols. 239-242 pp 3052-3055, Switzerland.

Yue Liu, Michael G.B., Drew, Ying Liu. 2011. Preparation and Magnetik Properties of Barium Ferrites Substituted with Manganese, Cobalt, and Tin. Journal of Magnetism and Magnetic Materials, 323, 945–953.

77

Lampiran A : Hasil Pengukuran True Density BaFe12O19 yang ditambahkan dengan Al2O3 (Milling 48 jam) a. 0% Alumina : ( ) ρ = ( ) ( ) m1 = 27,62 g 3 1 , 푚 −푚 m2 = 77,79 g = x 0,99651 푎푖푟 m, 2−m1 − m4−m3 푥 휌 m = 54,66 g 16 77 3 3 = 3,57 g/cm m4 = 98,77 g 4 68 3 ρair = 0,99651 g/cm (ρair pada saat suhunya 27 oC) ( ) ρ = ( ) ( ) 3 1 , 푚 −푚 = 0,99651 m, 2−m1 − m4−m3 푎푖푟 27 04 푥 휌 = 4,45 g/cm3 6 06 푥 b. 40% Alumina : m1 = 27,62 g m2 = 77,79 g m3 = 42,63 g m4 = 88,71 g 3 ρair = 0,99651 g/cm (ρair pada saat suhunya 27 oC) ( ) ρ = ( ) ( ) 3 1 , 푚 −푚 = 0,99651 m, 2−m1 − m4−m3 푎푖푟 15 01 푥 휌 = 3,87 g/cm3 3 87 푥 c. 50% Alumina : m1 = 27,62 g m2 = 77,79 g m3 = 43,00 g m4 = 89,07 g 3 ρair = 0,99651 g/cm (ρair pada saat suhunya 27 oC) ( ) ρ = ( ) ( ) 3 1 , 푚 −푚 = x 0,99651 m,2−m1 − m4−m3 푎푖푟 15 38 푥 휌 = 3,74 g/cm3 4 1 d. 60% Alumina : m1 = 27,62 g m2 = 77,79 g m3 = 44,39 g m4 = 89,88 g 3 ρair = 0,99651 g/cm (ρair pada saat suhunya 27 oC) 78

Keterangan : m1 = massa piknometer (g) m2 = massa piknometer+alumina (g) m3 = massa piknometer+alumina+aquades (g) m4 = massa piknometer+aquades (g)

Komposisi Al2O3 True Density Eksperimen True Density Teoritis (% wt) (g/cm3) (g/cm3) 0 4,45 5,30 40 3,87 4,58 50 3,74 4,40 60 3,57 4,22

Lampiran B : Hasil Pengukuran Green Body Density BaFe12O19 yang ditambahkan dengan Al2O3 (Milling 48 jam)

1. Barium Heksaferit dan Alumina (100:0) Pengukuran t (mm) d (mm) m (g) V (cm³) ρ (g/cm³) 1 3,98 12,13 1,47 0,46 3,20 2 4,02 12,09 1,50 0,46 3,25 3 4,08 12,11 1,56 0,47 3,32 4 4,02 12,10 1,48 0,46 3,20 5 4,00 12,10 1,50 0,46 3,26 6 4,03 12,12 1,52 0,46 3,27 7 3,91 12,13 1,49 0,45 3,30 8 3,97 12,12 1,50 0,46 3,28 9 3,98 12,12 1,49 0,46 3,25 10 3,91 12,13 1,49 0,45 3,30 11 3,91 12,12 1,48 0,45 3,28 12 4,02 12,12 1,49 0,46 3,21 13 4,02 12,13 1,49 0,46 3,21 14 3,93 12,12 1,49 0,45 3,29 15 4,14 12,10 1,60 0,48 3,36 3,27

79

2. Barium Heksaferit dan Alumina (60:40) Pengukuran t (mm) d (mm) m (g) V (cm³) ρ (g/cm³) 1 4,92 12,09 1,50 0,56 2,66 2 4,88 12,09 1,50 0,56 2,68 3 4,90 12,13 1,50 0,57 2,65 4 4,83 12,09 1,50 0,55 2,71 5 4,80 12,13 1,50 0,55 2,71 6 4,79 12,08 1,50 0,55 2,73 7 4,80 12,10 1,51 0,55 2,74 8 4,81 12,09 1,48 0,55 2,68 9 4,82 12,12 1,52 0,56 2,73 10 4,72 12,07 1,50 0,54 2,78 11 4,79 12,09 1,51 0,55 2,75 12 4,77 12,11 1,49 0,55 2,71 13 4,77 12,09 1,47 0,55 2,69 14 4,76 12,09 1,49 0,55 2,73 15 4,74 12,11 1,49 0,55 2,73 16 4,71 12,07 1,50 0,54 2,78 2,72 3. Barium Heksaferit dan Alumina (50:50)

Pengukuran t (mm) d (mm) m (g) V (cm³) ρ (g/cm³) 1 4,88 12,13 1,50 0,56 2,66 2 4,87 12,09 1,48 0,56 2,65 3 4,86 12,14 1,50 0,56 2,67 4 4,87 12,07 1,51 0,56 2,71 5 4,85 12,08 1,49 0,56 2,68 6 4,90 12,06 1,51 0,56 2,70 7 4,86 12,08 1,49 0,56 2,68 8 4,87 12,09 1,48 0,56 2,65 9 4,93 12,06 1,51 0,56 2,68 10 4,84 12,08 1,47 0,55 2,65 11 4,85 12,06 1,51 0,55 2,73 12 4,86 12,09 1,51 0,56 2,71 13 4,88 12,08 1,52 0,56 2,72 14 4,85 12,11 1,49 0,56 2,67 15 4,39 12,06 1,40 0,50 2,79 2,69

80

4. Barium Heksaferit dan Alumina (40:60)

Pengukuran t (mm) d (mm) m (g) V (cm³) ρ (g/cm³) 1 5,01 12,13 1,51 0,58 2,61 2 5,07 12,07 1,49 0,58 2,57 3 5,03 12,13 1,51 0,58 2,60 4 4,92 12,13 1,48 0,57 2,60 5 5,05 12,07 1,51 0,58 2,61 6 5,09 12,09 1,52 0,58 2,60 7 5,06 12,07 1,51 0,58 2,61 8 5,09 12,07 1,51 0,58 2,59 9 5,05 12,07 1,51 0,58 2,61 10 5,04 12,05 1,51 0,57 2,63 11 5,09 12,09 1,51 0,58 2,59 12 5,05 12,08 1,50 0,58 2,59 13 5,03 12,11 1,50 0,58 2,59 14 5,08 12,07 1,53 0,58 2,63 15 4,88 12,07 1,44 0,56 2,58 2,60

BaFe12O19+Al2O3 (100:0), pengukuran 1 : V = πr2 x t = π( d)2 x t

1 2 = (3,14)(2 12,13) (3,98) = 4561 ,70 mm3 = 0,464 cm3 ρ = 푚, = 푉, 1 47 = 3,20 g/cm3 0 46

Komposisi Green Body True Density Alumina (% wt) Density (g/cm³) Teoritis (g/cm3) 0 3,27 5,30 40 2,72 4,58 50 2,69 4,40 60 2,60 4,22

81

Lampiran C : Hasil Pengukuran Bulk Density dan Porositas BaFe12O19 yang ditambahkan dengan Al2O3 dan Disintering pada Suhu 900, 950, 1000, 1050 dan 1100 0C (2 jam)

1. Barium Heksaferit dan Alumina (100:0)

t ρ P Pengukuran d (mm) V (cm³) m (g) m (g) (mm) b k (g/cm³) (%) 1 3,48 10,57 0,10 0,930 1,151 5,19 19,20 900 ºC 2 3,52 10,47 0,10 0,981 1,216 5,16 19,57 3 3,54 10,57 0,10 0,916 1,132 5,17 19,08 4 3,68 11,58 0,12 1,115 1,416 4,91 20,21 950 ºC 5 3,63 11,51 0,12 1,119 1,414 4,89 20,19 6 3,90 11,54 0,13 1,115 1,407 4,90 20,20 7 3,69 11,37 0,12 1,102 1,403 4,84 20,59 1000 ºC 8 3,76 11,36 0,12 1,163 1,482 4,79 20,58 9 3,83 11,41 0,12 1,123 1,429 4,80 20,57 10 3,74 11,00 0,11 1,117 1,416 4,72 21,01 1050 ºC 11 3,68 10,99 0,11 1,125 1,421 4,71 21,00 12 3,84 11,01 0,12 1,201 1,513 4,70 21,02 13 3,60 10,80 0,10 1,111 1,412 4,67 21,32 1100 ºC 14 3,57 10,81 0,10 1,119 1,422 4,68 21,31 15 3,62 10,79 0,11 1,112 1,412 4,69 21,25

2. Barium Heksaferit dan Alumina (60:40)

t ρ P Pengukuran d (mm) V (cm³) m (g) m (g) (mm) b k (g/cm³) (%) 1 4,35 11,21 0,14 0,982 1,298 4,09 24,35 900 ºC 2 4,44 11,27 0,14 0,975 1,293 4,05 24,59 3 4,46 11,33 0,14 0,963 1,276 4,06 24,53 4 4,51 11,47 0,15 1,017 1,331 4,22 23,59 950 ºC 5 4,52 11,48 0,15 1,027 1,345 4,21 23,64 6 4,54 11,54 0,15 1,042 1,356 4,30 23,16 7 4,51 11,42 0,15 1,017 1,339 4,30 23,22 1000 ºC 8 4,82 11,55 0,16 1,019 1,327 4,29 23,21 9 4,65 11,54 0,15 1,020 1,329 4,29 23,25 10 4,58 11,44 0,15 1,016 1,321 4,32 23,09 1050 ºC 11 4,65 11,39 0,15 1,015 1,318 4,33 22,99

12 4,44 11,46 0,15 1,035 1,343 4,35 22,93

13 4,41 11,04 0,13 1,023 1,327 4,35 22,91 14 4,47 11,32 0,14 1,040 1,365 4,19 23,81 1100 ºC 15 4,64 11,14 0,14 1,000 1,319 4,12 24,18 16 4,48 11,26 0,14 1,041 1,369 4,16 23,96

82

3. Barium Heksaferit dan Alumina (50:50)

t ρ P Pengukuran d (mm) V (cm³) m (g) m (g) (mm) b k (g/cm³) (%) 1 4,53 11,19 0,14 0,998 1,336 4,05 24,68 900 ºC 2 4,63 11,27 0,15 0,996 1,327 4,03 24,66 3 4,60 11,25 0,15 0,983 1,305 4,04 24,67 4 4,57 11,44 0,15 0,979 1,299 4,05 24,63 950 ºC 5 4,63 11,41 0,15 0,997 1,323 4,04 24,64 6 4,61 11,40 0,15 1,006 1,334 4,05 24,59 7 4,64 11,51 0,15 1,028 1,346 4,22 23,63 1000 ºC 8 4,74 11,57 0,16 1,030 1,343 4,28 23,31 9 4,63 11,43 0,15 1,003 1,323 4,25 23,47 10 4,66 11,35 0,15 1,021 1,346 4,13 24,15 1050 ºC 11 4,56 11,33 0,15 1,005 1,323 4,15 24,04 12 4,15 11,24 0,13 0,924 1,220 4,11 24,26 13 4,67 11,28 0,15 1,017 1,345 4,09 24,39 1100 ºC 14 4,59 11,31 0,15 1,028 1,350 4,18 24,24 15 4,59 11,26 0,15 1,036 1,365 4,13 24,10

4. Barium Heksaferit dan Alumina (40:60)

t ρ P Pengukuran d (mm) V (cm³) m (g) m (g) (mm) b k (g/cm³) (%) 1 4,69 11,56 0,16 0,974 1,292 4,05 24,78 900 ºC 2 4,84 11,58 0,16 0,990 1,316 4,02 24,77 3 4,93 11,55 0,16 0,979 1,302 4,02 24,81 4 4,75 11,45 0,16 0,981 1,303 4,03 24,71 950 ºC 5 4,78 11,46 0,16 0,960 1,276 4,02 24,76 6 4,79 11,45 0,16 0,996 1,318 4,04 24,74 7 4,88 11,47 0,16 0,969 1,295 4,05 24,59 1000 ºC 8 4,74 11,46 0,16 0,977 1,300 4,04 24,85 9 4,88 11,45 0,16 0,992 1,311 4,06 24,33 10 4,58 11,33 0,15 0,928 1,230 4,06 24,55 1050 ºC 11 4,80 11,33 0,15 0,987 1,307 4,07 24,48 12 4,71 11,30 0,15 0,990 1,306 4,12 24,20 13 4,79 11,19 0,15 1,011 1,338 4,08 24,44 1100 ºC 14 4,76 11,23 0,15 0,993 1,321 4,07 24,43 15 4,77 11,24 0,15 0,977 1,302 4,09 24,45

Keterangan : mb = massa basah sampel (g) mk = massa kering sampel (g) ρ = bulk density (g/cm3) P = porositas (%)

83

Hasil Pengukuran Bulk Density dan Porositas BaFe12O19 yang ditambahkan 0 dengan Al2O3 dan Disintering pada Suhu 900 C (2 jam), pengukran 1 :

Bulk Density : = (2.8) 푘 푚1,151 = 푘 푏 푎푖푟 0,99651 휌 푚1,151−푚0,930푥 휌 = 5,19 g/cm3 − Porositas : 푥 ( – ) % Porositas = x 100 % (2.9) 푘 푏 ( 푚, 푚, ) = 100% , 푘 1 151푚−0 930 = 19,20% 1 151 푥

Bulk Density dengan Penambahan %wt Al2O3 Temperatur 3 No (g/cm ) (ºC) 0 40 50 60 1 900 5,17 4,07 4,04 4,03 2 950 4,90 4,25 4,05 4,03 3 1000 4,81 4,29 4,25 4,05 4 1050 4,71 4,34 4,13 4,08 5 1100 4,68 4,15 4,13 4,08

Temperatur Porositas dengan Penambahan %wt Al2O3 (%) No (ºC) 0 40 50 60 1 900 19,28 24,49 24,67 24,79 2 950 20,20 23,46 24,62 24,74 3 1000 20,58 23,23 23,47 24,59 4 1050 21,01 22,98 24,15 24,41 5 1100 21,29 23,98 24,24 24,44

84

Lampiran D : Dokumentasi

Alumina (Al2O3) Barium Heksaferit (BaFe12O19)

Planetary Ballmill (PBM) Tabung Jar

Hydraulic Press Furnace Vacuum Tipe XD-1400VF 85

Neraca Digital & Gelas Ukur Particle Size Analyzer (PSA)

Scanning Electron Microscope X-Ray Diffraction (XRD) (SEM)

Gaussmeter Magnetizer

S A M P E L