EKSPLORASI GEOARKEOLOGI PULAU SABU: SALAH SATU PULAU TERDEPAN DI NUSA TENGGARA TIMUR Sabu Island Geoarchaeological Exploration as One of The Outer Islands in

M. Fadhlan S. Intan

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jln. Raya Condet Pejaten No.4, Jakarta Selatan 12510 [email protected]

Naskah diterima : 1 September 2016 Naskah diperiksa : 13 September 2016 Naskah disetujui : 14 Oktober 2016

Abstract. island with its cluster islands including Sabu Raijua Regency is located in the south of Republic of . Researches conducted in East Nusa Tenggara began in 1950s by Th. Verhoeven in Flores and islands. Next research was by National Research Center of Archaeology in Flores, Timor and (1970), in Atambua and Savu (1980), and in Savu (2010). The researches in Savu so far were focused more on archeology and ethnography, while geological aspect has not been done yet. This article will try to explain about geological condi- tion in Savu island in general.The purpose and goal of the research is to determine the geological condition Savu in detail, including landscape, rock composition, and geological structure. The method used, is the survey. The results shows that Savu consists of plain morphological unit and feeble wave morphological unit with altitude 0-350 meters above sea level. Rock composition consists of marl, tufa, limestone, alluvial, and passed by normal fault. Archaeological data in Savu island are in form of paleolithic, megalithic, indigenous villages, and caves.

Keywords: Savu, Environmental geology, Archeology resources

Abstrak. Pulau Sabu dengan gugusan pulaunya termasuk Kabupaten Sabu Raijua, terletak di se- latan Negara Republik Indonesia. Penelitian di Nusa Tenggara Timur berawal oleh Th. Verhoeven tahun 1950an di Pulau Flores dan Timor. Selanjutnya Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1970 di Flores, Timor, dan Sumba, tahun 1980 di Atambua dan Pulau Sabu, serta tahun 2010 di Pulau Sabu. Penelitian yang telah dilaksanakan di Pulau Sabu selama ini, lebih banyak terfokus pada arkeologi, dan etnografi, sedangkan penelitian yang bersifat geologi belum per- nah dilaksanakan. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan penelitian di Pulau Sabu adalah bagaimana kondisi geologi di daerah tersebut, terkait dengan keberadaan situs arkeologi. Maksud dan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi geologi Pulau Sabu secara detil yang meliputi bentang alam, batuan penyusun, dan struktur geologi. Metode yang digunakan, adalah survei. Hasil penelitian di Pulau Sabu terdiri dari satuan morfologi dataran, dan satuan morfologi bergelombang lemah, dengan ketinggian adalah 0-350 meter diatas permukaan air laut. Batuan penyusun adalah napal, tufa, batugamping, dan aluvial, serta dilalui Sesar Normal. Kepurbaka- laan di Pulau Sabu berupa paleolitik, megalitik, perkampungan adat, dan gua.

Kata Kunci: Pulau Sabu, Lingkungan geologi, Sumberdaya arkeologi

I. Pendahuluan 5 pulau terdepan Republik Indonesia di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri Nusa Tenggara Timur. atas 566 pulau, dan baru 432 pulau yang diberi Pulau Sabu dengan gugusan pulau yang nama dan memiliki titik koordinat. Dari jumlah mengelilinginya yaitu Pulau Raijua, Pulau tersebut, 43 pulau telah berpenghuni termasuk Dana, Pulau Wadu Mea, dan Pulau Kelara,

131 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (131-146)

Gambar 1. Keletakan Pulau Sabu (Lokasi Penelitian) dalam Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Sumber: BPS 2014) saat ini berstatus sebagai kabupaten dengan Australia, sehingga pada umumnya memiliki nama Kabupaten Sabu Raijua dengan ibukota musim kemarau panjang dengan curah hujan di Menia. Raijua adalah nama pulau kedua yang rendah. Pulau ini beriklim kering dan terbesar di sebelah baratdaya Pulau Sabu (BPS menurut L. R. Oldemam bertipe D4 dan 2014). E4, dengan kondisi iklim seperti ini maka Secara geografis, Pulau Sabu yang musim hujan sangat pendek yaitu 14 sampai berjarak 445 Mil dari Kab. dari ujung 69 hari hujan. Musim kemarau di kabupaten baratdaya-barat Pulau Timor ini dikelilingi ini berkisar antara 7-8 bulan. Musim hujan oleh Laut Sawu di utara, timur, dan barat, serta yang pendek itu hanya terjadi pada bulan Samudera Hindia di selatan. Berada di antara Desember sampai Maret. Berdasarkan koordinat 10o25’7,12” - 10o49’45,83” Lintang data tersebut, curah hujan terendah terjadi Selatan dan 121o16’10,78” - 122o0’30,26” di Pulau Raijua dan yang tertinggi di Bujur Timur. Pulau Sabu merupakan pulau Kecamatan Sabu Timur. Dalam setahun terpencil dengan luas 460,78 km persegi. hanya 14-69 hari musim hujan (BPS 2014). Dari Kabupaten Kupang Pulau tersebut Hingga tahun 2014, kabupaten ini terdiri dapat dijangkau dengan kapal laut selama 18 atas 6 kecamatan, 58 desa dan 5 kelurahan. jam berlayar atau 45 menit dengan pesawat Kecamatan Sabu Barat merupakan pusat (BPS 2014). Pulau Sabu tercantum dalam pemerintahan dan Seba merupakan ibukota Peta Rupa Bumi Indonesia lembar-lembar kecamatan sekaligus sebagai ibukota 2205-421 (Seba); 2205-143 (Loboae); 2205- kabupaten (BPS 2014). Apabila dikaitkan 134 (Lederaba); 2205-422 (Bolou), berskala dengan letak posisi geografis yang berada 1:25.000. pada persilangan dunia, tentu menempatkan Pulau Sabu merupakan salah satu pulau Indonesia pada posisi yang sangat strategis terdepan, kondisi iklimnya dipengaruhi oleh dan diperhitungkan oleh negara-negara lain, keletakan yang berdekatan dengan Benua sehingga akses ancaman terbesar terhadap

132 Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan

Gambar 2. Pulau Sabu dan Pulau Raijua Peta Topografi Lembar Seba Indonesia SC 51-10 Edition 1-AMS 1955) (Sumber:Service 1955) kedaulatan dan integritas wilayah daratan fauna vertebrata di daerah sekitar Atambua NKRI adalah melalui pulau-pulau terdepan (Kabupaten Belu, Timor) dan di daerah sekitar (Waluyo Hadi 2006). Pulau Sabu yang berasal dari Kala Pleistosen. Penelitian di wilayah Nusa Tenggara Sejak penelitian yang dilakukan oleh Soejono Timur pertama kali diteliti oleh Th. Verhoeven dan Sartono pada tahun 1984, tentang sekitar tahun 1950an, namun lebih banyak sumberdaya arkeologi prasejarah di Pulau dilakukan di daerah Flores dan Timor, Sabu, Puslit Arkenas kembali melakukan dengan hasil penelitiannya lebih banyak penelitian di Pulau Sabu pada tahun 2010 mengungkapkan cara-cara hidup manusia (Tim Penelitian 2010). masa lalu seperti berburu dan mengumpul Penelitian yang telah dilaksanakan di makanan tingkat sederhana (paleolitik) dan Pulau Sabu selama ini, lebih banyak terfokus masa bercocok tanam (neolitik) (Verhoeven pada arkeologi, dan etnografi, sedangkan 1968 dalam Tim Penelitian 2010). Selanjutnya penelitian yang bersifat lingkungan geologi Puslit Arkenas pada tahun 1970 dan 1980an secara rinci belum pernah dilaksanakan. melakukan penelitian di Flores, Timor, dan Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan Sumba yang menghasilkan budaya paleolitik penelitian di Pulau Sabu terkait dengan di Situs Manikim, dan Situs Noelbaki. Pada keberadaan situs-situs arkeologi, dapat sekitar pertengahan tahun 1980-an, Soejono dirumuskan sebagai berikut: a. bagaimana dan Sartono juga melaporkan adanya berbagai kondisi bentang alam daerah penelitian temuan alat-alat paleolitik serta beberapa fosil (satuan geomorfik, pola dan stadia sungai);

133 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (131-146) Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan b. bagaimana stratigrafi daerah penelitian semen. Hasil analisis akan memberikan (kontak antar satuan batuan) dan; c. bagaimana produk nama batuan. permasalahan struktur geologi daerah b. Geomorfologi, penentuan bentuk bentang penelitian (struktur geologi apa saja yang alam akan mempergunakan Sistem mengontrol daerah penelitian). Desaunettes 1977 (Todd 1980), yang Maksud dari penelitian ini adalah untuk didasarkan atas besarnya kemiringan lereng melakukan pemetaan geologi permukaan dan beda tinggi relief suatu tempat. Hasilnya secara umum sebagai salah satu upaya untuk adalah pembagian wilayah berdasarkan menyajikan informasi geologi yang ada, ketinggian dalam bentuk prosentase lereng. serta melakukan suatu analisa berdasarkan Pengamatan sungai dilakukan untuk atas data pada daerah penelitian. Tujuan dari melihat pola pengeringan (drainage basin), penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi misalnya klasifikasi berdasarkan atas lingkungan geologi Pulau Sabu secara detail kuantitas air, pola dan stadia sungai. yang meliputi geomorfologi, stratigrafi dan c. Struktur Geologi: Pengamatan struktur struktur geologi. geologi di lapangan akan dilanjutkan melalui analisis jenis struktur, misalnya 2. Metode patahan (fault) apakah jenis patahan Metode penelitian yang digunakan normal (normal fault), patahan naik dalam penelitian ini, dilakukan dengan (thrust fault), patahan geser (strike fault) beberapa tahap, yang diawali dengan: dan sebagainya. Lipatan (fold) apakah Kajian Pustaka, dilakukan dengan sinklin ataukah antiklin. Kekar (joint) mempelajari lokasi penelitian dari peneliti apakah kekar tiang (columnar joint) terdahulu, buku, jurnal, maupun dari internet. atau kekar lembar (sheet joint). Survei, dilakukan dengan mengamati Terakhir dilakukan interpretasi peta keadaan geomorfologinya yang mencakup geologi dan peta topografi. Manfaat yang bentuk bentang alam, dan bentuk sungai. dapat kita peroleh dalam penelitian ini Kemudian lithologi yang mencakup jenis adalah selain mendapat pengetahuan tentang batuan, batas penyebaran batuan, dan urut- kondisi geologi Pulau Sabu, juga mengetahui urutan pengendapan. Selanjutnya struktur proses-proses geologis yang terjadi, terkait geologi yang terdapat di wilayah penelitian, dengan keberadaan situs arkeologi di wilayah misalnya patahan (fault), lipatan (fold) dan tersebut. kekar (joint) melalui pengukuran jurus (strike) dan kemiringan (dip). Selama survei akan 3. Hasil dan Pembahasan dilakukan pengambilan sampel batuan yang Indonesia Timur terletak pada akan digunakan dalam analisa laboratoris. pertemuan tiga lempeng yang besar, yaitu Analisis, hasil pengamatan lapangan Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik, sehingga akan di analisis lebih lanjut di laboratorium wilayah ini merupakan daerah yang gerak maupun dalam bentuk pembuatan peta (peta tektoniknya termasuk dalam kategori cukup geologi, peta geomorfologi). Langkah analisis aktif. Dalam teori tektonik lempeng, daerah ini akan disesuaikan dengan kebutuhan dan urutan sangat istimewa karena keberadaan beberapa kerja geologi, yaitu: runtunan dari undak terumbu koral terangkat a. Lithologi, sampel batuan di analisis, melalui berumur kuarter. Undak terumbu koral di petrologi, unsur batuan yang di analisis daerah ini dapat mencapai ketinggian beberapa adalah jenis batuan, warna, kandungan ratus meter diatas permukaan air laut, terutama mineral, tekstur, struktur, fragmen, matriks, di Pulau Timor dan pulau-pulau lain di

134 Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan sekitarnya (busur luar dari bagian timur busur singkapan-singkapan kecil di seluruh pulau. sunda), dimana hal ini merupakan bukti adanya Batuan-batuan tersebut adalah batupasir, tumbukan kerak Benua Australia/New Guinea batulempung, konglomerat, skali, tufa lensa terhadap busur banda (Jouannic dkk. 1988). batubara, napal dan batugamping berfosil. Bemmelen (1949), menyatakan pulau-pulau Keseluruhan dari batuan ini berumur Eosen. sunda kecil yang termasuk busur luar adalah Pada zaman Neogen, di Pulau Timor (termasuk Dana, Raijua, Sawu, Roti, Semau dan Timor. Pulau Sabu) dijumpai batuan konglomerat Punggungan bawah laut dari selatan Jawa dasar, batugamping konglomerat, batugamping muncul sampai 1200 meter. Ketinggian palung berlapis, napal globigerina serta tufa. Pada hampir beberapa ratus meter. Selanjutnya cekungan bagian tengah yang merupakan suatu sumbu geantiklinal itu naik lagi sampai ke terban sepanjang poros barat-timur pulau ini Pulau Sawu, Dana dan Raijua. Untuk Pulau dan batuan-batuan tersebut berumur Miosen Timor, pengangkatan geantiklinal yang lebar (Sartono 1979). dari pulau-pulau lain di Indonesia, di Timor terdapat depresi memanjang pada bagian 3.1 Kondisi Lingkungan Geologi Pulau puncaknya, yang dapat diikuti dari Teluk Sabu Kupang sampai ke perbatasan Timor Timur dan Menurut Thornbury (1964), menyatakan berakhir pada muara Sungai Lois (Bemmelen bahwa morfologi atau bentuk bentang alam 1949). suatu wilayah akan dipengaruhi oleh beberapa Berdasarkan hasil penelitian di daerah faktor yaitu: Pulau Rote, Sabu, Kupang dan sekitarnya a. Lithologi penyusun bentang alam yang diperoleh pemahaman bahwa, tujuh undak berbeda akan mempunyai sifat resistensi sebagai dasar penelitian memperlihatkan yang berbeda terhadap gaya eksogen yang pengangkatan Pulau Timor dan Pulau Sabu, bekerja, sehingga akan memperlihatkan Pulau Rote adalah 0,3 mm/tahun sejak periode kenampakan bentang alam yang berbeda. antara pengesan terakhir. Undak-undak ini b. Struktur geologi merupakan hal yang terlihat di situs Noelbaki 5 (lima) undak, di memegang peranan penting dalam wilayah Atambua terlihat 8 (delapan) undak pembentukan bentang alam, walaupun (Jouannic dkk. 1988). lithologi penyusun sama pada daerah yang Secara regional stratigrafi Pulau Timor terkena struktur, akan memperlihatkan (termasuk Pulau Sabu) telah diajukan oleh kenampakan bentang alam yang berbeda Sartono S (1979), yaitu dimulai dari zaman dengan daerah yang belum atau tidak Perm (masa Paleozoikum) yang terbagi mengalami gangguan struktur. atas fasies yang berbeda dan lingkungan c. Stadia suatu daerah juga merupakan hal pengendapan yang berbeda. Perbedaan yang penting karena dapat mempengaruhi menyolok dapat terlihat pada fasies Kekneno bentang alam, walaupun lithologi penyusun dengan fasies Sonnebait, sedang fasies Fatu bentang alam sama, tetapi stadia suatu dengan fasies Sonnebait tidak begitu jelas. daerah berbeda, akan memperlihatkan Selanjutnya adalah dari masa Mesozoikum bentang alam yang berbeda pula. yang dimulai dari zaman Trias dengan lima d. Tingkat perkembangan erosi, merupakan macam fasies, dan zaman jura yang terdiri faktor yang penting dalam pembentukan dari batu lempung, skali dan konkresi. Untuk bentang alam. Perubahan atau perbedaan zaman paleogen, batuan yang terbentuk cuaca akan mempercepat tingkat pelapukan, diendapkan secara transgresi di atas endapan- sehingga proses erosi yang berlangsung endapan Pratersier dan tersebar luas berupa akan lebih cepat (Thornbury 1964).

135 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (131-146)

Berdasarkan hal tersebut, maka secara Dai Gama, dan Sungai Namata (Sungai umum bentuk bentang alam (morfologi) Pulau Tenihawu). Sabu dan sekitarnya, memperlihatkan kondisi Keseluruhan sungai-sungai di wilayah dataran bergelombang. Kondisi bentang alam Pulau Sabu dan sekitarnya, memberikan seperti ini, apabila di klasifikasikan dengan kenampakan Pola Pengeringan Dendritik mempergunakan Sistem Desaunettes (1977), dan Pola Pengeringan Rectangular (Lobeck dalam (Todd 1980), maka Pulau Sabu dan 1939; Thornbury 1964). Sungai-sungai sekitarnya terbagi atas dua satuan morfologi tersebut diatas termasuk pada kelompok yaitu: Satuan Morfologi Dataran, dan Satuan sungai yang berstadia Sungai Dewasa- Morfologi Bergelombang Lemah. Secara Tua (old-mature river stadium), dan Stadia umum ketinggian Pulau Sabu adalah 0 - 350 Sungai Tua (old stadium) (Lobeck 1939; meter di atas permukaan air laut. Thornbury 1964). Berdasarkan klasifikasi Pola aliran permukaan (surface atas kuantitas air, maka sungai-sungai yang drainage pattern) sungai-sungai di lokasi terdapat di Pulau Sabu termasuk pada Sungai penelitian menunjukkan bahwa umumnya Periodik (permanen) dan Sungai Episodik aliran menuju ke arah selatan ke utara dan (intermittent) (Lobeck 1939; Thornbury arah utara ke selatan mengikuti bentuk 1964) bentang alam lokasi penelitian. Sungai- Batuan penyusun wilayah Pulau Sabu sungai yang mengalir di wilayah Pulau sekitarnya, pada pengamatan lapangan, Sabu dan sekitarnya yang teramati selama tersusun oleh napal, tufa, batugamping, dan penelitian adalah: Sungai Hai Rawu, Sungai alluvial. Kabila, Sungai Ujula, Sungai Rae Bara Hasil analisis petrologi dari batuan- (Sungai Loko Dabba), Sungai Doka Lubba, batuan tersebut adalah sebagai berikut: Sungai Ayunatta, Sungai Lede Mera, Sungai a. Aluvial terdiri dari pasir, lanau, dan Loko Titimone (Sungai Hego), Sungai lempung serta merupakan hasil pelapukan

Gambar 3. Geologi Pulau Sabu Nusa Tenggara Timur (Sumber: Rosidi dkk. 1996)

136 Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan

batuan penyusun situs. Satuan batuan Wilayah Pulau Sabu dan sekitarnya ini terhampar di bagian dataran rendah, merupakan suatu wilayah yang dilalui oleh dan berumur Holosen (Rosidi dkk. 1996). struktur geologi (Tim Penelitian 2010). b. Satuan batugamping di Pulau Sabu, Berdasarkan kenampakan fisiografis yang dapat dibagi menjadi dua yaitu ditunjang dengan data-data lapangan, struktur batugamping, dan batugamping terumbu. geologi tersebut adalah Sesar Normal (normal Kedua batuan ini berumur Plistosen fault) (Billing 1972). (Rosidi dkk. 1996). Berdasarkan Sesar normal yang terletak di selatan klasifikasi atas genesanya, maka batuan Sungai Namata (Sungai Tenihawu) dan tersebut, termasuk pada batuan sedimen Benteng Kekoro berarah timur-barat, bagian kimia (Huang 1962; Pettijohn P 1975). utara merupakan bagian yang turun (down) dan c. Batuan tufa berumur Pliosen hingga bagian selatan merupakan bagian yang naik Plistosen (Rosidi dkk. 1996). Berdasarkan (up). Selanjutnya Sesar normal yang sejajar genesa, batuan ini termasuk pada batuan dengan Sungai Kabila berarah utara – selatan, sedimen vulkanik (pyroclastic) (Huang bagian timur merupakan bagian yang turun 1962; Pettijohn 1975). (down) dan bagian barat merupakan bagian d. Batunapal berumur Pliosen hingga yang naik (up) (Tim Penelitian 2010). Plistosen (Rosidi dkk 1996). Berdasarkan atas genesanya batu napal termasuk 3.2 Potensi Kepurbakalaan Pulau Sabu batuan sedimen mekanik (epyclastic) Pengamatan potensi kepurbakalaan di (Huang 1962; Pettijohn, P 1975). Pulau Sabu dilakukan di aliran-aliran sungai, e. Batulempung berumur Miosen Tengah tinggalan megalitik, perkampungan adat, dan hingga Pliosen Akhir (Rosidi dkk. 1996), di gua-gua hunian, serta kegiatan ekskavasi batulempung tersebut berstruktur sisik di Teras-2 Sungai Dai Gama. Adapun potensi ikan (scaly clay) (Huang 1962; Pettijohn kepurbakalaan di Pulau Sabu adalah sebagai 1975). berikut:

Gambar 4. Lokasi dan sebaran situs di Pulau Sabu, Provinsi Nusa Tenggara Timur Sumber: Global Mapper 2009)

137 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (131-146) Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan

a. Sungai Hai Rawu c. Sungai Uju La Sungai Hai Rawu termasuk wilayah Sungai Uju La termasuk wilayah Desa Rae Dewa, Kecamatan Sabu Barat, Desa Dai Eko, Kecamatan Hawu Mehara, Kabupaten Sabu Raijua, secara geografis Kabupaten Sabu Raijua, secara geografis terletak pada 10º31’01,3” Lintang Selatan terletak pada 10º32’35,2” LS 121º45’16,2” BT, 121º47’54,2” Bujur Timur, dengan ketinggian dengan ketinggian 10 meter diatas permukaan 5 meter diatas permukaan air laut. Sungai air laut. Sungai Uju La terletak pada satuan Hai Rawu terletak pada satuan morfologi morfologi dataran dengan kemiringan lereng dataran dengan kemiringan lereng 0%-2%, 0%-2%, sungainya berstadia tua, mengalir dari sungainya berstadia tua, mengalir dari selatan selatan ke utara dan bermuara di Laut Sawu. ke utara dan bermuara di Laut Sawu. Batuan Batuan penyusunnya adalah batuan melange penyusunnya adalah Aluvial (Alluvium) (Qa), yang mengandung lempung dengan struktur dan berumur Holosen (Huang 1962; Pettijohn sisik ikan (scaly clay) (Tmb) dari Kompleks 1975; Rosidi dkk. 1996). Berdasarkan hasil Bobonaro, dan berumur Miosen Tengah pengamatan aliran sungai ini jarak jelajah hingga Pliosen Akhir (Huang 1962; Pettijohn sekitar 1 km, berhasil ditemukan sejumlah 1975; Rosidi dkk. 1996). Berdasarkan hasil 2 buah artefak litik berupa kapak perimbas pengamatan aliran sungai ini jarak jelajah (chopper) 1 buah dan batu inti (core) 1 buah sekitar 1 km ke arah hulu dan berhasil dari bahan batuan jasper. Lokasi ini termasuk ditemukan sejumlah 5 buah artefak litik berupa kategori kurang potensial terhadap sumberdaya serpih dengan retus (retouched flakes) dan 1 arkeologi prasejarah (Tim Penelitian 2010). buah batu inti (core) dari bahan batuan chert, jasper, batugamping kersikan dan tufaan. b. Sungai Kebila Lokasi ini termasuk kategori cukup potensial Sungai Kebila terletak diperbatasan terhadap sumberdaya arkeologi prasejarah antara Desa Lede Ana dengan Desa Dai (Tim Penelitian 2010). Eko, Kecamatan Hawu Mehara, Kabupaten Sabu Raijua, secara geografis terletak pada d. Sungai Doka Lubba 10º32’19,7” Lintang Selatan 121º45’45,7” Sungai Doka Lubba (Sungai Rae Bana) Bujur Timur, dengan ketinggian 9 meter diatas termasuk wilayah Desa Ledeke, Kecamatan permukaan air laut. Sungai Kebila terletak pada Sabu Liae, Kabupaten Sabu Raijua, secara satuan morfologi dataran dengan kemiringan geografis 10º36’04,9” Lintang Selatan lereng 0%-2%, sungainya berstadia tua, 121º51’47,6” Bujur Timur, dengan ketinggian mengalir dari selatan ke utara dan bermuara 20 meter diatas permukaan air laut. Sungai di Laut Sawu. Batuan penyusunnya adalah Doka Lubba (Sungai Rae Bana) terletak pada batugamping koral (coraline limestone) (Ql), satuan morfologi dataran dengan kemiringan dan berumur Plistosen (Huang 1962; Pettijohn lereng 0%-2%, sungainya berstadia dewasa- 1975; Rosidi dkk. 1996), serta termasuk pada tua, mengalir dari timur laut ke selatan dan batuan sedimen kimia (Huang 1962; Pettijohn bermuara di Sungai Rae Bara (Sungai Loko 1975). Berdasarkan hasil pengamatan aliran Dabba). Batuan penyusunnya adalah batuan sungai ini jarak jelajah sekitar 1 km ke arah hulu melange yang mengandung lempung dengan dan hilir berhasil ditemukan sejumlah 2 buah struktur sisik ikan (scaly clay) (Tmb) dari artefak litik berupa serpih besar dengan retus Kompleks Bobonaro, dan berumur Miosen (side scraper) dan batu inti (core) dari bahan Tengah hingga Pliosen Akhir (Huang 1962; batuan chert dan jasper. Lokasi ini termasuk Pettijohn 1975; Rosidi dkk. 1996). Hasil kategori cukup potensial terhadap sumberdaya pengamatan hanya ditemukan 1 buah artefak arkeologi prasejarah (Tim Penelitian 2010). litik berupa serpih dengan retus (retouched

138 Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan flakes) dari bahan batuan jasper merah. pengamatan permukaan pengamatan, tidak Lokasi ini termasuk kategori kurang potensial ditemukan satu-pun jejak tinggalan artefak terhadap sumberdaya arkeologi prasejarah litik. Lokasi ini termasuk kategori tidak (Tim Penelitian 2010). berpotensi terhadap sumberdaya arkeologi prasejarah (Tim Penelitian 2010). e. Sungai Ayunatta Sungai Ayunatta, termasuk wilayah Desa g. Sungai Loko Titimone Ledeke, Kecamatan Sabu Liae, Kabupaten Sungai Loko Titimone atau Sungai Hego, Sabu Raijua, secara geografis terletak pada termasuk wilayah Desa Lobo Rui, Kecamatan 10º32’37,7” Lintang Selatan 121º51’16,4” Sabu Liae, Kabupaten Sabu Raijua, secara Bujur Timur, dengan ketinggian 55 meter geografis terletak pada 10º36’25,1” Lintang diatas permukaan air laut. Sungai Ayunatta Selatan 121º49’36,3” Bujur Timur, dengan terletak pada satuan morfologi dataran ketinggian 35 meter diatas permukaan air dengan kemiringan lereng 0%-2%, sungainya laut. Sungai Loko Titimone atau Sungai Hego berstadia tua, mengalir dari selatan ke utara dan terletak pada satuan morfologi dataran dengan bermuara di Laut Sawu. Batuan penyusunnya kemiringan lereng 0%-2%, sungainya berstadia adalah batuan melange yang mengandung tua, mengalir dari timur laut ke barat laut lalu ke lempung dengan struktur sisik ikan (scaly clay) selatan dan bermuara di Samudera Indonesia. (Tmb) dari Kompleks Bobonaro, dan berumur Batuan penyusunnya adalah batuan melange Miosen Tengah hingga Pliosen Akhir (Huang yang mengandung lempung dengan struktur 1962; Pettijohn 1975; Rosidi dkk. 1996). sisik ikan (scaly clay) (Tmb) dari Kompleks Hasil pengamatan ditemukan sejumlah 6 buah Bobonaro, dan berumur Miosen Tengah artefak litik berupa serpih dengan retus (4 side hingga Pliosen Akhir (Huang 1962; Pettijohn scrapers dan 1 notched scraper) dan 1 buah tatal 1975; Rosidi dkk. 1996). Hasil pengamatan, (chip) dari bahan batuan jasper merah, chert ditemukan 2 buah artefak litik berupa serpih dan gamping kersikan. Lokasi ini termasuk besar dengan retus (side scrapers) dari bahan kategori cukup potensial terhadap sumberdaya batuan jasper merah dan gamping kersikan. arkeologi prasejarah (Tim Penelitian 2010). Lokasi ini termasuk kategori kurang potensial terhadap sumberdaya arkeologi prasejarah f. Sungai Lede Mera (Tim Penelitian 2010). Sungai Lede Mera, termasuk wilayah Desa Lobo Rui, Kecamatan Sabu Liae, h. Sungai Dai Gama Kabupaten Sabu Raijua, secara geografis Sungai Dai Gama, termasuk wilayah terletak pada 10º35’28,7” Lintang Selatan Desa Robo Aba, Kecamatan Sabu Barat, 121º51’13,2” Bujur Timur, dengan ketinggian Kabupaten Sabu Raijua, secara geografis 35 meter diatas permukaan air laut. Sungai terletak pada 10º27’52,5” Lintang Selatan Lede Mera terletak pada satuan morfologi 121º51’56,1” Bujur Timur, dengan ketinggian dataran dengan kemiringan lereng 0%-2%, 13 meter diatas permukaan air laut. Sungai Dai sungainya berstadia dewasa-tua, mengalir dari Gama terletak pada satuan morfologi dataran utara ke selatan dan bermuara di Sungai Loko dengan kemiringan lereng 0%-2%, sungainya Dobba. Batuan penyusunnya adalah batuan berstadia tua, mengalir dari tenggara ke barat melange yang mengandung lempung dengan laut dan bermuara di Laut Sawu. Batuan struktur sisik ikan (scaly clay) (Tmb) dari penyusunnya adalah Aluvial (Alluvium) (Qa), Kompleks Bobonaro, dan berumur Miosen dan berumur Holosen (Huang 1962; Pettijohn Tengah hingga Pliosen Akhir (Huang 1962; 1975; Rosidi dkk. 1996). Pengamatan secara Pettijohn 1975; Rosidi dkk. 1996). Hasil detil, ditemukan sejumlah artefak litik yang

139 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (131-146) sangat melimpah, namun hanya diambil Sabu Barat, secara geografis terletak pada sebanyak 33 buah yang dipilih secara selektif 10º30’27,1” Lintang Selatan 121º50’45,8” (selective sampling). Temuan tersebut antara Bujur Timur, dengan ketinggian 10 meter lain berupa batu inti (cores) 11 buah, serpih diatas permukaan air laut. Sungai Dai Gama besar (big flakes) 3 buah, serpih tebal (4 buah), terletak pada satuan morfologi dataran kapak perimbas (chopper) 1 buah, kapak dengan kemiringan lereng 0%-2%, sungainya penetak (chopping-tool) 2 buah, pahat genggam berstadia tua, mengalir dari selatan ke utara dan (hand-adze) 1 buah, dan serpih dengan retus bermuara di Laut Sawu. Batuan penyusunnya 11 buah (terdiri dari 7 serut samping, 2 bilah, adalah Aluvial (Alluvium) (Qa) (Huang 1962; 1 serut cekung, dan 1 gurdi). Pada umumnya Pettijohn, P 1975), dan berumur Plistosen bahan baku alat dibuat dari jenis batuan jasper (Huang 1962; Pettijohn 1975; Rosidi dkk. merah, chert, tufa dan gamping kersikan. 1996), serta termasuk pada batuan sedimen Lokasi ini termasuk kategori sangat potensial kimia (Huang 1962; Pettijohn 1975). Hasil terhadap sumberdaya arkeologi prasejarah pengamatan memperlihatkan tidak ditemukan (Tim Penelitian 2010). satu-pun jejak tinggalan artefak litik. Lokasi i. Sungai Dai Gama ini termasuk kategori tidak berpotensi terhadap Sungai Dai Gama merupakan lokasi sumberdaya arkeologi prasejarah (Tim ekskavasi dilakukan di teras-2 Sungai Dai Penelitian 2010). Gama, termasuk wilayah Desa Robo Aba, k. Gua Lia Madira Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Gua Lia Madira merupakan gua kaki secara geografis terletak pada 10º27’56,2” bukit yang termasuk jenis luweng yang Lintang Selatan 121º52’00,7” Bujur Timur, terletak wilayah Desa Dai Eko, Kecamatan dengan ketinggian 27 meter diatas permukaan Hawu Mehara, Kabupaten Sabu Raijua. Secara air laut. Sungai Dai Gama terletak pada satuan asrtonomis berada pada 10º35’35,6” Lintang morfologi dataran dengan kemiringan lereng Selatan 121º45’21,1” Bujur Timur dengan 0%-2%, dengan batuan penyusun adalah ketinggian 142 meter di atas permukaan air batugamping koral (coraline limestone) (Ql), laut. Gua ini menghadap ke barat (N250ºE), dan berumur Plistosen (Huang 1962; Pettijohn tinggi pintu gua 110 cm, lebar pintu 300 cm, 1975; Rosidi dkk. 1996), serta termasuk pada panjang lorong ke dalam 12 -15 meter, tinggi batuan sedimen kimia (Huang 1962; Pettijohn ruang (lantai ke atap) ± 3 meter, dan lebar 1975). Hasil ekskavasi ditemukan alat-alat ruang ± 5 meter. Gua Lia Madira terletak pada litik berupa batu inti, serpih besar, serpih satuan morfologi bergelombang lemah dengan tebal, kapak perimbas, kapak penetak, pahat kemiringan lereng 2%-8%, dengan batuan genggam, serpih dengan retus (serut samping), penyusun adalah batugamping koral (coraline serpih dengan retus (bilah), serpih dengan retus limestone) (Ql), dan berumur Plistosen (Huang (serut cekung, dan serpih dengan retus (gurdi). 1962; Pettijohn 1975; Rosidi dkk. 1996), serta Ketinggian teras-2 Sungai Dai Gama 14 meter termasuk pada batuan sedimen kimia (Huang diatas permukaan air Sungai Dai Gama, dengan 1962; Pettijohn 1975). Tinggalan budaya ini jarak (garis lurus) antara lokasi ekskavasi memiliki ornament dengan sirkulasi udara dengan Sungai Dai Gama adalah 177,76 meter termasuk buruk. Gua ini memiliki kandungan (Tim Penelitian 2010). air tanah yang cukup melimpah, sehingga j. Sungai Namata dimanfaatkan oleh penduduk sekitarnya. Sungai Namata atau Sungai Tenihawu, Dalam survei permukaan di Gua Lia Madira, termasuk wilayah Desa Rae Loro, Kecamatan tidak terdapat indikator temuan arkeologis, gua

140 Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan tersebut tidak layak huni dan tidak potensial adat yang tersisa. Kampung Rae Ba juga (Tim Penelitian 2010). memiliki 22 buah ra dare (kubur dari batu yang berbentuk trapezium menyerupai waruga) l. Megalitik Kekoro (Tim Penelitian 2010). Megalitik Kekoro termasuk wilayah Desa Rae Loro, Kecamatan Sabu Barat, n. Kampung Adat Namata Kabupaten Sabu Raijua, secara geografis Kampung Adat Namata termasuk terletak pada 10º29’45,2” Lintang Selatan wilayah Desa Rae Loro, Kecamatan Sabu 121º51’22,4” Bujur Timur, dengan ketinggian Barat, Kabupaten Sabu Raijua, secara 50 meter diatas permukaan air laut. Megalitik geografis terletak pada 10º30’38,8” Lintang Kekoro terletak pada satuan morfologi dataran Selatan 121º50’43,9” Bujur Timur dengan dengan kemiringan lereng 0%-2%, dengan ketinggian 16 meter diatas permukaan air laut. batuan penyusun adalah batuan melange Kampung Adat Namata terletak pada satuan yang mengandung lempung dengan struktur morfologi dataran dengan kemiringan lereng sisik ikan (scaly clay) (Tmb) dari Kompleks 0%-2%, dengan batuan penyusun adalah Bobonaro, dan berumur Miosen Tengah batuan melange yang mengandung lempung hingga Pliosen Akhir (Huang 1962; Pettijohn dengan struktur sisik ikan (scaly clay) (Tmb) 1975; Rosidi dkk. 1996). Lokasi ini dulu bekas dari Kompleks Bobonaro, dan berumur perkampungan adat yang sekarang sudah Miosen Tengah hingga Pliosen Akhir (Huang ditinggalkan. Dahulu Suku Kekoro tinggal 1962; Pettijohn 1975; Rosidi dkk. 1996). Di di kampung ini, namun ketika kalah perang Kampung adat Namata terdapat tinggalan melawan Suku Namata, Suku Kekoro pindah megalit dengan berbagai bentuk, kebanyakan ke Menia. Pada masa penjajahan Belanda, berbentuk bulat, tetapi ada juga yang berbentuk Kampung Kekoro dimanfaatkan sebagai persegi tidak beraturan. Ada yang diletakkan benteng lengkap dengan penjara karena pada suatu wadah tersendiri tetapi banyak lokasinya dianggap strategis. Peninggalan juga yang diletakkan tanpa wadah (langsung megalitik Suku kekoro yang masih tersisa di atas permukaan tanah). Menurut kisah para saat ini hanya sebuah batu bulat datar (Tim penduduk batu-batu ini dahulunya dibawa dari Penelitian 2010). seberang laut oleh para leluhur, setibanya di pantai ditarik dengan menggunakan seutas tali m. Megalitik dan Kampung Adat Rae Ba (Tim Penelitian 2010). Megalitik dan Kampung Adat Rae Ba termasuk wilayah Desa Bodae, Kecamatan o. Kampung Adat Nada Owe Sabu Timur, Kabupaten Sabu Raijua, secara Kampung Adat Nada Owe atau geografis terletak pada 10º28’30,3” Lintang Kampung Adat Kolorae termasuk wilayah Selatan 121º59’11,3” Bujur Timur, dengan Desa Pedarro, Kecamatan Hawu Mehara, ketinggian 30 meter diatas permukaan air Kabupaten Sabu Raijua, secara geografis laut. Megalitik dan Kampung Adat Rae Ba terletak pada 10º35’35,6” Lintang Selatan terletak pada satuan morfologi dataran dengan 121º45’21,1” Bujur Timur dengan ketinggian kemiringan lereng 0%-2%, dengan batuan 142 meter diatas permukaan air laut. Kampung penyusun adalah tufa (tuff) (QTn) (Huang Adat Nada Owe atau Kampung Adat Kolorae 1962; Pettijohn 1975) dari Formasi Noele, dan terletak pada satuan morfologi bergelombang berumur Pliosen hingga Plistosen (Rosidi dkk. lemah dengan kemiringan lereng 2%-8%, 1996). Lokasi ini dahulunya perkampungan dengan batuan penyusun adalah batuan yang sekarang sudah ditinggalkan sebagian melange yang mengandung lempung dengan besar penduduknya dan hanya ada satu rumah struktur sisik ikan (scaly clay) (Tmb) dari

141 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (131-146)

Kompleks Bobonaro, dan berumur Miosen megalitik yang polanya membentuk lingkaran Tengah hingga Pliosen Akhir (Huang 1962; (Tim Penelitian 2010). Pettijohn 1975; Rosidi dkk. 1996). Di kampung r. Benteng Hurati adat ini terdapat tiga buah rumah adat dengan Benteng Hurati termasuk wilayah Desa nama due duru, rahi mengngi dan tulu de. Kedoro, Kecamatan Sabu Timur, Kabupaten Selain rumah adat juga terdapat peninggalan Sabu Raijua, secara geografis terletak pada megalitik berupa batu bulat yang disebut batu 10º29’36,2” Lintang Selatan 121º58’31,9” bulan dan tiga fosil kayu yang oleh penduduk Bujur Timur, dengan ketinggian 75 meter disebut batu bintang (Tim Penelitian 2010). diatas permukaan air laut. Benteng Hurati p. Kampung Adat Kudjiratu terletak pada satuan morfologi dataran dengan Kampung Adat Kudjiratu termasuk kemiringan lereng 0%-2%, dengan batuan wilayah Desa Bodae, Kecamatan Sabu Timur, penyusun adalah batugamping koral (coraline Kabupaten Sabu Raijua, secara geografis limestone) (Ql), dan berumur Plistosen (Huang terletak pada 10º28’03,8” Lintang Selatan 1962; Pettijohn 1975; Rosidi dkk. 1996), serta 121º59’14,9” Bujur Timur, dengan ketinggian termasuk pada batuan sedimen kimia (Huang 20 meter diatas permukaan air laut. Kampung 1962; Pettijohn 1975). Hasil pengamatan Adat Kudjiratu terletak pada satuan morfologi memperlihatkan, bahwa areal ini dahulu dataran dengan kemiringan lereng 0%-2%, merupakan bekas permukiman (kampung adat) dengan batuan penyusun adalah batugamping yang dikelilingi oleh benteng batu. Di dalam koral (coraline limestone) (Ql), dan berumur benteng terdapat beberapa tinggalan megalitik Plistosen (Huang 1962; Pettijohn 1975; Rosidi dan bekas makam Belanda, serta pecahan- dkk. 1996), serta termasuk pada batuan pecahan keramik asing yang tersebar di sekitar sedimen kimia (Huang 1962; Pettijohn 1975). situs. Kampung ini sudah lama ditinggalkan Di kampung adat ini terdapat 11 rumah penduduknya, dan tinggalan yang masih adat, dan tinggalan megalitik (Tim Penelitian tersisa antara lain: Pondasi rumah (ammu 2010). ketujala), Altar Sesaji (Wadu udu), Tempat duduk (Kolorai), dan 2 (dua) buah meriam q. Kampung Adat Rae Nalai (Tim Penelitian 2010). Kampung Adat Rae Nalai termasuk wilayah Desa Kedoro, Kecamatan Sabu Timur, s. Istana Teni Hawu Kabupaten Sabu Raijua, secara geografis Istana Teni Hawu termasuk wilayah terletak pada 10º29’15,2” Lintang Selatan kelurahan Mebba, Kecamatan Sabu Barat, 121º58’39,9” Bujur Timur, dengan ketinggian Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Sabu 70 meter diatas permukaan air laut. Kampung Raijua, secara geografis terletak pada Adat Rae Nalai terletak pada satuan morfologi 10º29’58,0” Lintang Selatan 121º50’21,0” dataran dengan kemiringan lereng 0%-2%, Bujur Timur dengan ketinggian 15 meter dengan batuan penyusun adalah tufa (tuff) diatas permukaan air laut. Istana Teni Hawu (QTn) (Huang 1962; Pettijohn 1975) dari terletak pada satuan morfologi dataran dengan Formasi Noele, dan berumur Pliosen hingga kemiringan lereng 0%-2%, dengan batuan Plistosen (Rosidi dkk. 1996). Di kampung adat penyusun adalah batugamping koral (coraline ini, sudah lama ditinggal penduduknya, tidak limestone) (Ql), dan berumur Plistosen (Huang ada lagi bangunan rumah, yang tersisa hanya 1962; Pettijohn 1975; Rosidi dkk. 1996), bekas pondasi rumah (ammu ketujala) dan batu serta termasuk pada batuan sedimen kimia tempat menyelenggarakan upacara baptis. Di (Huang 1962; Pettijohn, P 1975). Di lokasi Kampung Rae Nalai terdapat delapan tinggalan ini terdapat dua bangunan berupa sebuah

142 Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan rumah adat dari seorang Raja Sabu dan sebuah rawan terhadap provokasi dan “iming- bangunan (gedung) rumah berarsitek Belanda. iming” negara asing untuk melakukan tindak Rumah adat di lokasi ini berbentuk rumah pelanggaran, seperti membiarkan bahkan panggung dari kayu dengan atap dari daun membantu pihak asing dalam upaya lontar, sedangkan bangunan istana Belanda pengerukan pasir, illegal loging, illegal fishing, tersebut konon temboknya dibangun dengan dan penyeludupan barang-barang terlarang, campuran kulit kerbau yang dimasak, sejenis maka selayaknyalah dilakukan pencegahan tanaman tali (serat) putri, dan minuman tuak lebih dini segala bentuk kerawanan dan (moke) (Tim Penelitian 2010). ancaman di seluruh pulau- pulau terdepan (Waluyo 2006). 3.3 Pulau Sabu Sebagai Pulau Terdepan Sebagai negara kepulauan yang Negara Kesatuan Republik Indonesia berwawasan nusantara, maka Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri harus menjaga keutuhan wilayahnya. Pulau- atas ribuan pulau besar dan kecil (17.508 pulau terluar biasanya merupakan wilayah pulau) yang tersebar dengan luas 8,5 juta km² terpencil, terbelakang dan miskin bahkan (Apriliani Sugiarto 1995 dalam Agung 2009). tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Luas keseluruhan wilayah tersebut hanya Pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini kurang lebih 2,0 juta km² yang merupakan secara geografis sangatlah strategis, karena luas daratan yang terbagi dalam 33 daerah berdasarkan pulau inilah batas negara kita propinsi se-Indonesia. Ini berarti sebagian ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya besar batas wilayah negara kita dengan negara mendapatkan perhatian dan pengawasan asing berupa perairan atau laut. Di dalamnya serius agar tidak menimbulkan permasalahan terkandung limpahan kekayaan alam baik yang dapat menggangu keutuhan wilayah yang sudah dieksploitasi maupun yang belum Indonesia, khususnya pulau yang terletak di (Agung 2009). Memperhatikan kondisi di atas, wilayah perbatasan dengan negara negara yang maka tuntutan pengamanan sumber daya alam tidak/belum memiliki perjanjian (agreement) dan pengamanan wilayah perbatasan bersifat dengan Indonesia. Dari 92 pulau terluar yang vital dan strategis. Pembangunan wilayah dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau yang perbatasan berdimensi dua aspek, pertama harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau pembangunan dalam negeri yang mencakup tersebut adalah Pulau Rondo, Berhala, Nipa, aspek peningkatan kesejahteraan dalam arti Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo, luas, kedua pembangunan luar negeri yang Dana, Batek, Marampit dan Pulau Bras (Jaelani mencakup hubungan dengan negara tetangga 2006). berupa kerjasama dengan mengeleminir Pulau Sabu sebagai salah satu pulau konflik/pertentangan. Masyarakat wilayah terdepan, kondisi topografinya hampir perbatasan perlu dibina secara berkelanjutan didominasi oleh ketinggian antara 0–100 meter agar menjadi kekuatan handal dalam upaya diatas permukaan laut meliputi hampir sebagian mewujudkan kesejahteraan dan keamanan bagi luas wilayah Kabupaten Sabu Raijua (6 seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula agar kecamatan). Kecamatan di Raijua, Sabu Barat tidak muncul eskalasi kepentingan yang lebih dan Hawu Mehara berada di ketinggian 0-100 luas maka batas wilayah dan batas kedaulatan dpl. Sejauh mata memandang hanya nampak haruslah jelas (Agung 2009). bukit-bukit kapur yang kurang subur dengan Ditinjau dari berbagai aspek kehidupan beberapa puncak perbukitan yang menjulang masyarakat pulau-pulau terdepan yang gersang. Berdasarkan keadaan batuan, Pulau berpenduduk, secara umum memang sangat Sabu terdapat kelompok jenis tanah dominan

143 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (131-146) Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan yaitu Alluvial, Grumosol, Litosol, Mediteran 350 meter diatas permukaan air laut. Pola aliran dengan tesktur tanah halus sampai kasar. Pada permukaan (surface drainage pattern) sungai- umumnya ditemukan gunung-gunung kapur sungai di lokasi penelitian menunjukkan bahwa yang terbentang di sepanjang kawasan pulau pada umumnya arah aliran ke arah selatan ke ini (BPS 2014). utara dan arah utara ke selatan mengikuti bentuk Kondisi topografi bergunung-gunung dan bentang alam Pulau Sabu. Sungai-sungai di berbukit dengan kemiringan lereng mencapai wilayah Pulau Sabu dan sekitarnya berpola 45°, permukaan tanah kritis dan gundul pengeringan Dendritik, Pola Pengeringan sehingga peka terhadap erosi. Topografi yang Rectangular, Berstadia Sungai Dewasa-Tua seperti ini menimbulkan isolasi fisik, isolasi (old-mature river stadium), Stadia Sungai Tua ekonomi dan sosial, apalagi oleh kurangnya (old stadium), Sungai Periodik (permanent) dukungan infrastruktur seperti jalan dan dan Sungai Episodik (intermittent). jembatan di berbagai kecamatan. Sementara Batuan penyusun wilayah Pulau Sabu transportasi ke pulau-pulau tertentu seringkali adalah napal yang berumur Pliosen hingga agak mahal karena rendahnya frekuensi sarana Plistosen, tufa yang berumur Pliosen hingga perhubungan ke beberapa pulau, dimana hal Plistosen, batugamping dan batugamping tentunya juga mempengaruhi harga barang dan terumbu yang berumur Plistosen, serta aluvial jasa di pulau tersebut (BPS 2014). yang berumur Holosen. Wilayah Pulau Sabu Kondisi lingkungan geologi Pulau Sabu dan sekitarnya merupakan suatu wilayah yang dilalui oleh struktur geologi berupa Sesar sangat menarik baik dari struktur geologi Normal (normal fault). maupun batuan penyusun. Pulau dengan Hasil penelitian di Pulau Sabu telah luas 460,78 km² telah terkoyak-koyak oleh dikunjungi 19 lokasi, yang terdiri dari 10 lokasi patáhan (fault), demikian pula dengan batuan situs yang menunjukkan budaya dari masa penyusun, ditemukan batuan ultra basa yang paleolitik, 1 lokasi situs yang menunjukan berumur Pra-Perm (270-240 juta tahun yang budaya dari masa neolitik, dan 8 lokasi situs lalu) hingga aluvial yang berumur Holosen yang menunjukan budaya tradisi megalitik. (11.430 tahun yang lalu). Selain itu, juga Situs dari masa paleolitik yang berjumlah 10 ditemukan Poton (mud volcano) seperti yang lokasi, 2 lokasi dikategorikan kedalam “sangat ditemukan di Sidoarjo (lumpur Lapindo), potensial”, 3 lokasi ”cukup potensial”, 3 walaupun lumpur yang keluar tidaklah sebesar lokasi ”kurang potensial”, dan 2 lokasi ”tidak yang terjadi di Sidoarjo, namun menyembur potensial”, sedangkan satu lokasi neolitik hingga saat ini. Poton tersebut ditemukan di ternyata masuk kedalam kategori ”tidak Teluk Deme di sebelah timur laut Kotahawu. potensial”, dan dari 8 lokasi tradisi megalitik, Kondisi seperti inilah yang membuat Pulau umumnya termasuk kedalam kategori “sangat Sabu sebagai salah satu gugus pulau terdepan, potensial”. memungkinkan menjadi incaran negara lain, Peninggalan arkeologis dari berbagai tempat mempelajari geologi wilayah timur masa di Pulau Sabu, antara lain paleolitik, Indonesia. neolitik, tradisi megalitik. Kehidupan paleolitik, umumnya di sekitar sungai, kehidupan neolitik 4. Penutup umumnya di dalam gua, dan tradisi megalitik Bentang alam (morfologi) Pulau ditemukan di perkampungan rumah adat. Sabu dan sekitarnya terbagi atas dua satuan Pulau Sabu mempunyai sumberdaya morfologi yaitu: Satuan Morfologi Dataran, budaya dan tinggalan arkeologis yang sangat dan Satuan Morfologi Bergelombang Lemah. unik dan menarik; yaitu mulai dari kurun Secara umum ketinggian Pulau Sabu adalah 0 - waktu paleolitik hingga ke kurun waktu

144 Eksplorasi Geoarkeologi Pulau Sabu: Salah Satu Pulau Terdepan di Nusa Tenggara Timur, M. Fadhlan S. Intan tradisi megalitik. Sumberdaya budaya di ini Yudhagama Jurnal, Media Informasi pada umumnya masih terlindungi dan terjaga Dan Komunikasi TNI AD. 83 (Tahun XXIX Edisi Juni 2009): 90–100. dengan baik karena peranan masyarakat masih kuat memegang teguh adat-istiadat dan tradisi Bemmelen, R.W. van. 1949. “The Geology of leluhur. Di samping itu, kondisi lingkungan dan Indonesia” IA. Martinus Nijhoff, The Hague. geografis yang terpencil serta sulit dijangkau oleh masyarakat luar, secara tidak langsung Billing, M.P. 1972. Structural Geology. Englewood Cliggs, New Jersey: Prentice- telah ikut ‘memproteksi’ tinggalan-tinggalan Hall, Inc. arkeologis di Pulau Sabu (Tim Penelitian 2010). BPS. 2014. “Sabu Raijua dalam Angka 2014.” Kerjasama Pemda Kabupaten Sabu Penelitian arkeologi di Pulau Sabu, Raijua dengan BPS Kabupateng Kupang. Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Global Mapper 2009. “Software Versi-11”. Tenggara Timur, telah membuka cakrawala dan pandangan baru tentang potensi tinggalan Huang, Walter T. 1962. Petrology. McGraw-Hill Book Company. budaya di wilayah ini, khususnya yang berkaitan dengan tinggalan arkeologi dari masa Jaelani M. Lalu. 2006. “Pulau-Pulau Terluar prasejarah (Plistosen). Pulau Sabu mempunyai dan Batas NKRI.” Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. potensi besar dan prioritas untuk penelitian Surabaya.: ITS, Sukolilo, 1–5. arkeologi yang lebih terfokus dan sistematis. Jouannic, C., Hoang, C. T., Hantoro, W. S. & Penelitian selanjutnya diperlukan untuk Delinom, R. M. 1988. “Uplift Rate of Coral memberikan data tentang gambaran sejarah Reef Terraces in the Areas of Kupang, tertua serta potensi sumberdaya budaya dan : Preliminary Results. lingkungan di pulau ini (Tim Penelitian 2010). Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology” 68. Amsterdam: Elsevier Yang menarik dari Pulau Sabu, adalah Science Publishers B.V., - Printed in The selain kondisi lingkungan geologinya, ternyata Netherlands: 259–72. menjadi pulau dengan kehidupan yang sangat Lobeck, A. K. n.d. Geomorphology, An panjang, terbukti dengan ditemukannya Introduction To The Study of Landscape. budaya paleolitik, neolitik, hingga budaya 1939. New York and London: Mc Graw tradisi megalitik yang ditemukan kampung- Hill Book Company Inc. kampung adat. Masyarakat masa lalu memilih Lobeck, A K. 1940. “Geomorphology.” Pulau Sabu sebagai tempat hunian, karena Article. Science Education 24 (5). sumberdaya alam yang melimpah untuk McGraw-Hill Book Company, Inc.: 296. doi:10.1002/sce.3730240525. kelangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih banyak memberi Pettijohn, P. J. 1975. Sedimentary Rocks. New York: Harper and Brothers. perhatian khusus kepada pulau kecil ini, karena menyimpan tinggalan arkeologi yang Rosidi, H.M.D. 1996. “Peta Geologi Lembar melimpah, dan dapat lokasi dalam mempelajari Kupang-Atambua, Timor.” Bandung: Puslitbang Geologi. ilmu-ilmu kebumian, serta dapat dimanfaatkan sebagai salah satu objek wisata di Nusa Sartono S. 1979. “Stratigrafi Indonesia. Fak Teknik Geologi,.” In , 37–39. Bandung: Tenggara Timur. Institut Teknologi Bandung. Service, Army Map. 1955. “Peta Topografi Daftar Pustaka Lembar SC 51-10 (Seba) Series T503 Agung, Zamani. 2009. “Sengketa Ambalat, Edition 1-AMS Indonesia 1:250.000.” Diplomasi atau Perang: Sebuah Analisis Thornbury, W.D. 1964. Princyple of Kritis Terhadap Integritas Negara Geomorphology. New York: John Kesatuan Republik Indonesia.” Willey and Sons. Inc.

145 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (131-146)

Tim Penelitian. 2010. “Penelitian Sumberdaya Arkeologi Prasejarah di Pulau Sabu, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur.” Jakarta. Todd, D.K. 1980. Groundwater Hydrology. Second Edi. New York: John Willey and Son’s. Waluyo Hadi. 2006. “Pelibatan TNI AD dalam Mempertahankan Kedaulatan Pulau- Pulau Terdepan di Wilayah Daratan NKRI.”

146