Pengelolaan Pelayanan Transportasi Publik : Studi Kasus Pengelolaan Trans Jogja

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Politik pada Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Disusun Oleh: Satya Lesmana 08/267660/SP/23011

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013 Abstraksi Trans Jogja merupakan solusi yang dipilih oleh pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengatasi permasalahan pelayanan transportasi publik di wilayah Yogyakarta. Pelayanan transportasi publik ini menerapkan model New Public Management dalam pengelolaannya, program Trans Jogja diimplementasikan oleh PT. Jogja Tugu Trans sebagai operator dibawah kontrol dan suport Dinas Perhubungan Propinsi Yogyakarta. Hadirnya model NPM dalam program Trans Jogja menciptakan urgensi untuk melihat proses pengelolaannya sekaligus dinamika relasi kuasa antar aktor dalam pengelolaan program tersebut. Untuk meneliti pengelolaan program Transjogja dan dinamika antar aktor yang berada di dalamnya, peneliti menggunakan metode studi kasus dalam penggalian data. Penggunaan metode studi kasus, dikarenakan fenomena ini merupakan peristiwa mutakhir yang bisa digali secara mendalam dengan studi mendalam terhadap program untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam pengelolaan program. Data primer untuk penggalian data diperoleh melalui wawancara dengan pihak terkait yaitu pihak PT. JTT, Dinas Perhubungan Provinsi DIY, UPTD Transjogja dan Masyarakat pengguna jasa Transjogja. Wawancara dilakukan dengan teknik snowballing untuk mengurangi bias penelitian. Agar kevalidan data terjamin, data sekunder yang berasal dari dokumen penelitian, surat kabar, majalah dan pencarian data internet dipergunakan untuk memperkuat argumen yang diperoleh dari data primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program Trans Jogja merupakan solusi yang dipilih oleh Pemerintahan Provinsi Yogyakarta untuk menciptakan model transportasi perkotaan yang baik. Pemerintah dalam pengelolaan Trans Jogja menggunakan model NPM. Terdapat aktor swasta yaitu PT. Jogja Tugu Trans sebagai operator, UPTD Trans Jogja sebagai pelaksana teknis dibawah Dinas Perhubungan Provinsi Yogyakarta sebagai inisiator. Dalam relasi kuasanya, Dinas Perhubungan Provinsi Yogyakarta masih banyak mendominasi dalam berbagai aspek pengelolaan program. Hal tersebut membuat model NPM berjalan “tanggung” karena kinerja dalam pengelolaan program Trans Jogja masih menemui beberapa hambatan. Walaupun demikian kinerja kerjasama antara Pemerintahan Provinsi dan PT. JTT , sudah memenuhi persyaratan kerjasama Pemerintah dan Swasta yang baik. Hambatan muncul justru dari model manajemen pelayanan publik yaitu NPM, yang dinilai kurang memperhatikan konteks sosial dan politik di Yogyakarta. Faktor tersebut diperparah dengan adanya faktor internal dan eksternal, baik meliputi bagian manajemen organisasional, kontrak kerja, serta regulasi nasional sendiri yang perlu banyak evaluasi, namun masih menempuh jalan win-win solution yang dinilai main aman dan kurang mengambil resiko. ( Kata Kunci: New Public Management, pelayanan publik, transportasi, Trans Jogja )

x

Daftar Isi

Abstraksi ...... x BAB I Memahami Pengelolaan Pelayanan Publik Trans Jogja ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 6 C. Tujuan Penelitian ...... 6 D. Kerangka Teori ...... 7 D.1 Pelayanan Publik ...... 7 D.2 Kinerja Pelayanan Publik Berbasis New Public Management ...... 14 D.3 Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Pelayanan Publik ...... 18

E. Definisi Konseptual ...... 22 F. Definisi Operasional ...... 23 G. Metodologi Penelitian ...... 26 H. Sistematika Bab ...... 32 BAB II Trans Jogja: Kebijakan Pemerintah Provinsi DIY dalam Penyediaan Transportasi Perkotaan ...... 33

A. Pendahuluan ...... 33 B. Inisiasi Pembentukan Trans Jogja ...... 33 C. Diskursus Ide Antar Aktor Dalam Pembentukan Trans Jogja ...... 36 D. Bentuk Pelayanan Publik Trans Jogja ...... 43 E. Penutup ...... 54

BAB III Pengelolaan Trans Jogja ...... 55 A. Pendahuluan ...... 55 B. Struktur Kelembagaan Trans Jogja...... 55 C. Pengelolaan dan Mekanisme Kerja Trans Jogja ...... 62 1. Relasi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Trans Jogja ...... 62 2. Kinerja Trans Jogja ...... 66 D. Penutup ...... 70

BAB IV Analisis Kinerja Trans Jogja Sebagai Sarana Transportasi Kota Yang

Diharapkan Masyarakat ...... 71

A. Pendahuluan ...... 71 B. Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Trans Jogja ...... 75 C. Relasi Antar Aktor: Negara versus Swasta...... 85 D. Masa Depan Trans Jogja...... 97 E. Penutup ...... 101 BAB V Penutup ...... 103 A. Kesimpulan ...... 103 B. Rekomendasi ...... 106 Daftar Pustaka...... 108 BAB I

Memahami Pengelolaan Pelayanan Publik Trans Jogja

A. Latar Belakang

Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata dan kota pelajar, merupakan kota yang banyak dikunjungi oleh pendatang dari luar daerah maupun luar negeri. Mobilitas penduduk dan kaum pendatang baik yang tinggal sementara maupun sekedar berwisata cukup tinggi, sehingga memerlukan sarana transportasi yang memadai.

Karena tidak semua orang mempunyai kendaraan pribadi maka sarana angkutan umum (transportasi publik) sangat diperlukan.

Pada awalnya sarana angkutan umum kota diselenggarakan oleh masyarakat atau pihak swasta, baik yang tradisional (becak dan andong) maupun angkutan modern (angkot, bus Kota maupun taksi). Dalam perkembangannya kemudian Perum

DAMRI ikut memberikan pelayanan angkutan kota dengan mengoperasikan bus bus berukuran sedang sehingga memberikan pilihan sarana angkutan kota yang lebih banyak bagi masyarakat. Namun demikian secara umum pelayanan angkutan kota di

Yogyakarta masih kurang memuaskan.

Angkutan kota (angkot) dan bus bus perkotaan yang dikelola swasta seperti

ASPADA, KOBUTRI, Koperasi Pemuda dan lain-lain tidak menunjukkan peningkatan kualitas pelayanannya. Berbagai jenis kendaraan yang dioperasikan kurang terawat, peremajaan kendaraan tidak terencana dengan baik sehingga berbagai sarana angkutan kota tersebut semakin lama semakin buruk tampilannya. Diluar itu, disiplin para pengemudi dan awak angkutan kota tersebut juga kurang baik sehingga

1

sering terjadi kebut-kebutan di jalan, berebut penumpang, parkir ditempat yang tidak semestinya (ngetem). Hal-hal yang disebutkan sebelumnya menyebabkan ketidaknyamanan bagi masyarakat sebagai pengguna. Oleh karena itu, sebagian penumpang yang masih memanfaatkan jasa transportasi umum tersebut tidak mempunyai pilihan lain atau dalam pengertian lainnya terpaksa.

Untuk membantu masyarakat memperoleh pelayanan umum yang baik dalam bidang transportasi kota dan dilain pihak diharapkan bisa mendorong peningkatan mutu pelayanan angkutan kota oleh swasta, maka Pemerintah Propinsi DIY mencanangkan program Bus Rapid Trans (BRT). Program BRT dirancang oleh

Pemerintah Propinsi DIY agar masyarakat bisa mendapat pelayanan angkutan kota yang aman, cepat, murah dan nyaman. Karena penyediaan sarana angkutan kota berupa bus Kota memerlukan dana yang besar dan Pemprov merasa tidak mampu menyelenggarakan sendiri, maka program tersebut dilaksanakan bersama-sama dengan pihak swasta. Pemprov juga mengikut sertakan Pemerintah Kota Yogyakarta, karena bagian terbesar dari pelayanan BRT mencakup wilayah perkotaan.

Pada tahun 2008 Trans Jogja hadir sebagai bentuk inovasi pemerintah dalam penyediaan transportasi publik dengan mengedepankan kualitas dan kenyamanan.

Trans Jogja merupakan sebuah sistem transportasi bus cepat, murah dan ber-AC di seputar Kota Yogyakarta, . Ia hadir sebagai salah satu bagian dari program penerapan Bus Rapid Transit (BRT) yang dicanangkan Dinas Perhubungan. Sistem ini mulai dioperasikan pada awal bulan Maret 2008 oleh Dinas Perhubungan,

2

Pemerintah Provinsi DIY. Motto pelayanannya adalah "Aman, Nyaman, Andal,

Terjangkau, dan Ramah lingkungan".

Sistem yang menggunakan bus berukuran sedang ini menerapkan sistem tertutup, dalam arti penumpang tidak dapat memasuki bus tanpa melewati gerbang pemeriksaan, seperti juga Trans Jakarta. Selain itu, diterapkan sistem pembayaran yang berbeda-beda: sekali jalan, tiket berlangganan pelajar, dan tiket berlangganan umum. Ada tiga macam tiket yang dapat dibeli oleh penumpang, yaitu tiket sekali jalan (single trip), dan tiket umum berlangganan. Tiket ini berbeda dengan karcis bus biasa karena merupakan merupakan kartu pintar (smart card). Karcis akan diperiksa secara otomatis melalui suatu mesin yang akan membuka pintu secara otomatis.

Penumpang dapat berganti bus tanpa harus membayar biaya tambahan, asalkan masih dalam satu tujuan.

Pengelola Trans Jogja adalah PT. Jogja Tugu Trans, sebagai wujud konsorsium empat koperasi pengelola transportasi umum kota dan pedesaan di Yogya

(Koperasi Pemuda Sleman, Kopata, Aspada, dan Puskopkar) dan Perum DAMRI.1

Tujuan dicanangkannya Trans Jogja adalah untuk memberikan pelayanan prima dalam sektor transportasi publik dengan menggandeng pihak swasta sebagai pengelola. Sebuah solusi dan inovasi merupakan tag line sekaligus visi dari perwujudan Trans Jogja sebagai pilihan baru bagi masyarakat terhadap alat mobilitas atau transportasi sehari-hari.

1 Informasi umum tentang Trans Jogja diunduh pada http://Trans Jogja.com/Trans Jogja/ diakses pada tanggal 29 Maret 2011 pukul 01.00 WIB.

3

Hadirnya Trans Jogja sebagai upaya Pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang baik dengan model New Public Management ternyata masih jauh dari sempurna. Setelah berlangsung selama hampir lima tahun, Trans Jogja belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Pada realitasnya, nampak mengenai berbagai problematika ataupun kekurangan di berbagai aspek. Esensi sekaligus inti utama pengadaan Trans Jogja adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan transportasi publik masal yang prima. Hal tersebut berkaitan secara langsung dengan pengurangan permasalahan perkotaan seperti kemacetan dan polusi. Hadirnya Trans Jogja juga diharapkan dapat meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi.

Adapun alasan mengapa masyarakat enggan menggunakan Trans Jogja adalah faktor kenyamanan. Ironis ketika konsep “kenyamanan” yang sejatinya menjadi salah satu motto pelayanan tidak dapat dipenuhi. Bentuk konkritnya adalah pada keahlian maupun kelayakan supir. Hal ini menjadi salah satu kekhawatiran pengguna seperti

Irine Meilina Sari yang secara langsung memposting keluhannya ke situs Harian

Jogja pada 27 Januari 2011. Berikut adalah kutipan dari isi keluhan yang dibuatnya.

... Kepada dinas terkait mohon segera ditindak dengan tegas sopir bus trans

jogja jalur 2A no bus 39 yang bertugas pada hari Kamis, 27 Januari 2011

shift pagi karena ugal2an dalam mengemudikan bus trans khususnya saat

melintasi jalan ring road utara (dari perempatan jombor ke shelter monjali

utara)sehingga hampir merugikan pemakai jalan lainnya.. Sebelum menerima

4

sopir apakah tidak ada proper test untuk sopir tersebut ya kok sopir seperti

itu bisa diperkerjakan dalam layanan publik? ...

(http://www.harianjogja.com/salams/slist/?page=2)

Apa yang disampaikan Irine merupakan salah satu contoh saja. Dari dua argument tersebut tersimpulkan mengenai efectiveness dan satisfaction dari pelayanan Trans

Jogja.

Setelah sampai pada realitas dari perspective pengguna, terdapat missing link ketika Trans Jogja yang notabene adalah sebuah bentuk pelayanan dalam sektor publik (public solution) tidak dapat efektif memenuhi objektif perihal pembuatannya saat dihadapkan dengan private solution seperti sepeda motor atau bahkan mobil.

Missing link yang disebutkan terlihat dari masih lemahnya posisi Trans Jogja dalam skala pilihan masyarakat perihal alat mobilitas atau transportasi terlepas dari kepemilikan pribadi atau umum. Hal tersebut dibuktikan dari volume kendaraan bermotor khususnya roda dua yang semakin hari semakin bertambah.

Melihat pertumbuhan kendaraan bermotor di Yogyakarta, Dinas Pengelolaan

Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) DIY mencatat sedikitnya setiap bulan sekitar

8.900 kendaraan bertambah di jalanan Kota Yogyakarta pada rentang tahung 2010 –

2011. Terdiri dari 8.000 unit sepeda motor dan 900 kendaraan roda empat.2 Sedikit banyak data tersebut bisa dijadikan acuan terhadap lemahnya posisi Trans Jogja dalam skala pilihan alat transportasi oleh masyarakat.

2 Data pertumbuhan volume kendaraan Yogyakarta pada http://jogja.tribunnews.com/2012/01/10/jumlah-kendaraan-di-yogya-bertambah-8.900-per-bulan diakses pada tanggal 27 November 2012 pukul 01.47 WIB.

5

Kinerja pelayanan Trans Jogja dan kondisi yang stagnan bahkan menurun, menimbulkan pertanyaan “Bagaimana Pemerintah Daerah merancang dan mengelola

Program Trans Jogja yang sebenarnya sangat diperlukan oleh masyarakat banyak tersebut, sehingga tidak memberikan hasil yang memuaskan”. Pertanyaan tersebut penyusun turunkan menjadi sebuah fokus yaitu:

 Bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi Yogyakarta untuk menyediakan

transportasi publik yang baik dan bagaimana pengelolaan program tersebut.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengelolaan Trans Jogja sebagai upaya penyediaan pelayanan transportasi kota yang baik di Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menciptakan transportasi

perkotaan yang baik melalui proses inisiasi program Trans Jogja.

2. Mengetahui penyebab stagnansi perkembangan Trans Jogja baik secara

kualitas maupun infrastruktur dilihat dari aspek pengelolaan. Serta

mengidentifikasi jalan keluar yang sepatutnya ditempuh untuk mengatasinya.

6

D. Kerangka Teori

D1. Pelayanan Publik

D1.A. Konsep Pelayanan Publik

Pemerintah sebagai pihak dengan otoritas tertinggi dalam urusan kemaslahatan warga negara tentunya memiliki idealisme tersendiri perihal kebijakan yang mereka produksi. Dalam konteks pelayanan publik, melalui instruksi Presiden

Nomor 1 tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan3, suatu pelayanan publik harus mengandung unsur-unsur dasar berupa: hak dan kewajiban antara pemberi dan pengguna layanan harus jelas, pengaturan mengenai penyesuaian kondisi, kebutuhan, serta kemampuan masyarakat terhadap layanan harus berdasar pada perundang-undangan dengan tetap memegang prinsip efektivitas dan efisiensi, serta penjaminan unsur kepuasan masyarakat terhadap kualitas dan proses dari pelayanan publik.4 Dari argumen diatas maka terlihat bagaimana permasalahan pelayanan publik ini sangat terpusat dan terfokus kepada masyarakat sebagai objek dan pengguna jasa.

Pentingnya melihat pelayanan publik sebagai produk pemerintah kepada masyarakat dari berbagai aspek. Penilaian terhadapnya pun tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi harus dilihat pula dari indikator-indikator yang

3 Lihat Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan. 4 Hardiyansyah, Kualitas Pelayanan Publik: Konsep, Dimensi, Indikator dan Implementasi, Konsep Pelayanan Publik (Yogyakarta: Gava Media, 2011), hal. 43.

7

melekat pada pengguna jasa seperti satisfaction, akuntabilitas dan responsivitas, terlebih lagi dalam konteks hubungan Negara - Warga Negara perihal penyediaan pelayanan publik.

Konsep mengenai pelayanan publik sangat beragam, salah satunya adalah memahaminya sebagai suatu pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non-jasa yang dilakukan baik itu oleh pemerintah maupun badan usaha.5 Setiap Negara dimanapun serta apapun bentuk pemerintahannya selalu membutuhkan pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan suatu keharusan bagi Negara ataupun pemerintahan untuk melayani warga negaranya.

Dalam memahami lebih jauh mengenai konsep pelayanan publik, ada baiknya untuk menguraikan mengenai apa yang disebut sebagai sector publik dan privat.

Pemahaman terhadap keduanya sudah lama menggema dalam perdebatan diskursus ilmiah. Sector publik merupakan bidang studi administrative, sedangkan sector privat adalah bidang studi manajemen.6 Menurut Bruce McCallum, antara administrative dan manajemen akan terasa blur terkait distingsi, tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan berusaha melihat peranan respektif penyelenggara, tujuan, akuntabilitas, koordinasi, keterlibatan politik dalam pembuatan keputusan dan personalitas.

5 Ahmad Ainur Rohman, Mas’ud Sa’id, dkk, Reformasi Pelayanan Publik, Paradigma Pelayanan Publik (Magelang: Program Sekolah Demokrasi, PLACIDS, Averroes, KID, 2010), hal. 3. 6 Ibid, hal. 6.

8

Setelah melakukan identifikasi bentuk pelayanan publik yang disediakan

Trans Jogja, maka akan muncul kesimpulan mengenai posisi pengguna, apakah sebagai konsumen ataukah citizen. Dalam sector privat, pengguna jasa atau barang akan diposisikan sebagai konsumen dimana terlekat padanya konsep choice.

Sementara dalam sector publik, hal tersebut akan berbanding terbalik berikut definisi- definisi yang mengikutinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hambleton dan

Hoggett (1990 dalam McKewitt, 1999, pp. 41-2) berikut:

1. Beberapa jenis pelayanan public baik secara de jure ataupun de facto

adalah kewajiban, dan konsumen tidak dapat memilih. Pelayanan publik

bersifat monopoli.

2. Keterbatasan akses warganegara karena keterbatasan anggaran dan SDM.

3. Sangat beragamnya kebutuhan masyarakat.

Dalam konteks penelitian mengenai pelayanan publik, penting untuk melihat karakter pelayanan tersebut. Apakah Negara memiliki peranan yang dominan

(universalistis) ataukah residual. Argument tersebut menjadi akar dari identifikasi mengenai variable selanjutnya (posisi masyarakat, konsumen atau citizen). Dengan mengetahui hasil identifikasi tersebut, maka jawaban daripada rumusan masalah akan menjawab setidaknya dua variable dasar tentang pelayanan public yaitu efektivitas dan kepuasan.

D1.B. Perkembangan Teori Pelayanan Publik

Pemahaman mengenai manajemen pelayanan publik terbilang baru menjadi fokus utama. Dalam ilmu administrasi publik, terjadi pergeseran paradigma ketika

9

muncul istilah the new public administration yang dimunculkan pertama kali oleh H.

George Frederickson di Amerika Serikat. Ia melakukan analisa terhadap dua aspek, yaitu nilai dan tujuan. Bagaimana administrasi negara konvensional sangat menekankan nilai efisiensi, ekonomis, rasional, serta objektif dalam implementasi dan teorinya. Sementara tujuannya yang mengutamakan efisiensi dalam hal penggunaan sumberdaya dalam usaha penyediaan pelayanan menjadi tidak relevan dalam era modernisasi masiv di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.7

Tuntutan akan sebuah perubahan pun muncul beriringan dari berbagai elemen masyarakat. Substansi tuntutan berisikan akar permasalahan dari ketidakefektifan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Ide mengenai fleksibilitas konsep, protokoler serta kekakuan birokrasi, eksklusifitas dan sentralisasi kewenangan menjadi acuan dasar dalam usaha perubahan yang diajukan. Perubahan dalam hal teoritis terjadi dalam konsep batasan yang selama ini sangat berbau “kepemerintahan” sementara konsep mengenai “administrasi publik” dijadikan formalitas. Kemudian nilai-nilai publik seperti kepentingan publik dan keadilan sosial menjadi dua kata kunci utama dalam arah perubahan yang akan dituju.

Dalam perkembangan teoritis manajemen publik, ketidak puasan banyak muncul diberbagai belahan dunia oleh para ahli. Hal terebut mencuat lantaran adanya simplifikasi hubungan publik dengan birokrasi publik yang disamakan dengan hubungan antara konsumen dengan penjual di sektor swasta. Perspektif publik

7 Achmad Nurmandi, Ibid, hal. 9.

10

sebagai citizen dipahami sebagai sesuatu yang luas dan lengkap sesuai dengan kedudukan warga negara dalam konteks negara demokrasi.

Berbicara mengenai pelayanan publik adalah juga berbicara mengenai kepentingan dari publik itu sendiri. Adalah sebuah hal yang utama apabila suatu pemerintahan mampu memberikan solusi kongkrit terkait artikulasi dan realisasi terhadap kepentingan publik. Guna mempertegas pemahaman, teori proses politik memahami kepentingan publik sebagai produk dari proses politik yang berjalan dan kemudian miliki hubungan ketergantungan dengan proses publik. Menurut Robert

Dahl, partisipasi secara menyeluruh akan sangat sukar dilakukan dan maka dari itu kelompok-kelompok kepentingan muncul untuk mengambil alih. Bagaimana kemudian relasi yang tercipta antara kelompok-kelompok kepentingan dengan negara sebagai otoritas tertinggi lah yang dipahami sebagai kepentingan publik disamping munculnya ide mengenai individualisme, kapitaslis dan privat .8

Pergeseran ataupun perubahan paradigma dalam ide mengenai pelayanan publik dinilai sebagai sebuah dialektika dimana hal tersebut dipahami sebagai sebuah kesepakatan dari hasil interaksi sosial di masyarakat. Proses perubahan akan sangat disesuaikan dengan kebutuhan, begitulah kira-kira hematnya. Adapun penjelasan terhadap perubahan tersebut akan diawali dengan sebuah tabel.

8 Ibid, hal. 19.

11

Administrasi Negara Administrasi New Public

Konvensional Negara Baru Management

Teori & Teori politik dan ilmu Keterkaitan ilmu & Teori ekonomi

Epistimologi sosial naif nilai berbasis ilmu sosial

positif

Rasionalitas & Rasionalitas synoptic Manusia sebagai Kemampuan Teknis model perilaku atau administrative makhluk sosial dan ekonomi; manusia management Dalam pengambilan

keputusan

menggunakan

kepentingan pribadi

Konsepsi Didefinisikan secara Kepentingan kaum Mewakili

Kepentingan Publik politis dan tercantum marjinal kepentingan pribadi

dalam konstitusi

Pihak yang Klien dan Konstituen Masyarakat Pelanggan menerima tanggung marjinal jawab pejabat publik

Peranan Pemerintah Mengendalikan Regulasi dan Mengarahkan

( Mendesain dan Fasilitator (Katalis)

melaksanakan

kebijakan pada satu

kebijakan )

12

Mekanisme untuk Mengadministrasikan Desentralisasi Menciptakan mencapai objektif program melalui mekanisme struktur kebijakan instansi pemerintah insentif untuk

mencapai objektif

kebijakan melalui

lembaga swasta dan

non-profit

Akuntabilitas Hirarki. Administrator Mekanisme pasar

bertanggungjawab

pada politisi

Diskresi Diskresi terbatas Peluang yang luas administrasi diberikan pada pejabat sesuai dengan

administrasi peluang bisnis

Struktur organisasi Birokratis, Top -Down Desentralisasi

dengan kontrol

tetap dalam

organisasi

Motivasi Sesuai dengan gaji Kewajiban pada Spirit wiraswasta administrator kemanusiaan

Sumber : Janet V. Denhardt & Robert B. Denhardt, The New public Service, M.E. Sharpe,

New York, 2003, hh. 28-9 dan H. George Frederickson, Administrasi Negara Baru, (terjh, Al

Gozie Usman), LP3ES, 1987.

13

Melihat pelayanan publik masal yang disediakan oleh PT. Jogja Tugu Trans, konsep new public management merupakan konsep yang dipergunakan oleh perusahaan tersebut dalam memberikan pelayanan. Hal ini terlihat dari peranan pemerintah sebagai inisiator dan katalisator perihal efektifitas pelayanan publik melalui kehadiran Trans Jogja. Kemudian dengan hadirnya pihak swasta (PT. Jogja

Tugu Trans, sebagai bentuk dari konsorsium koperasi dan DAMRI) sebagai pengelola dan otoritas tertinggi dalam implementasi kebijakan. Mekanisme pasar yang diterapkan dalam akuntabilitas. Ada pula cara sederhana dengan menganalisa kebijakan yang melatar belakanginya namun hal tersebut bukanlah substansi dominan dalam tulisan ini. Kehadiran swasta dalam sektor publik diharapkan pemerintah sebagai rangsangan bagi terciptanya sebuah pelayanan publik yang berkualitas dan prima.

D2. Kinerja Pelayanan Publik Berbasis New Public Management

Perubahan dalam paradigma pelayanan publik akan membawa implikasi langsung terhadap peran pemerintah dan ruang lingkup dari pelayanan publik itu sendiri. Menurut Kickert, Klijn & Koppenjan, konsep new public management memberi implikasi terhadap pergeseran peran pemerintah sebagai governance yang memiliki karakteristik interdependensi, continuing interactions, trust dan otonom.9

Interdependensi disini dapat dipahami bahwa semua organisasi yang terlibat dalam jaringan pengambilan kebijakan mempunyai ciri saling tergantung satu sama lain.

Tidak ada pihak yang merasa dan menempatkan diri secara independen sehingga

9 Ibid, hal. 30.

14

merasa menjadi aktor tunggal yang dominan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian pemahaman tentang governance akan lebih luas cakupannya dari government ala old public administration. Cakupan luas yang diasumsikan terlihat dari tercakupnya pemerintah dan semua pihak di luar pemerintah.

Berbagai problematika yang muncul belakangan perihal permasalahan publik disebabkan oleh dominasi dan absolutisme government dalam mengelola sektor publik. Hal tersebut memunculkan perspektif baru yang mencoba mengambil alih kemudian merubah peran pemerintah serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam tujuan bersama. Bidang kegiatan yang selama ini banyak didominasi pemerintah akan lebih banyak diserahkan pada publik, baik itu mekanisme kepemilikan (privatisasi) ataupun pengambilan keputusan (desentralisasi).

Pelayanan Publik Sektor Privat

Undang-undang, peraturan pemerintah, Program perusahaan, arahan direktur aturan hukum

Kebutuhan ekonomi nasional Kebutuhan pasar

Relatif terbuka pada pemerintah dan Relatif rahasia; menekankan kepercayaan pengambilan keputusan; menekankan bisnis keterwakilan

Berpihak pada publik; melibatkan banyak Fokus utama pada shareholders dan pihak stakeholders manajemen

Mempunyai nilai dan tujuan banyak: Relatif terbatas

 Pelayanan

15

 Kepentingan publik

 Pemerataan

 Profesionalisme

 Partisipasi pelanggan

 Perdagangan kompleks

Sumber utama berasal dari pajak Sumber utama berasal dari keuntungan dan

pinjaman

Sumber : Clive Holtham, “Key Challenges for Public Service Delivery”, dalam Leslie

Willcoeks dan Jenny Harrow (peny), Rediscovering Public Services Management, McGraw-

Hill Book Company, London, 1992, h. 85-6.

Memandang efektifitas dan efisiensi sebuah pelayanan publik merupakan hal penting sebagai analisa kualitas maupun kinerja dari subjek yang dimaksud. Sebelum melangkah labih jauh, definisi mengenai dua kata kunci yang telah disebutkan akan sangat berbeda. Adapun efektifitas dipahami sebagai doing the right things sementara efisiensi dipahami sebagai doing the things right terkait jalannya suatu program ataupun hal transaksional. Permasalahan maupun perdebatan mencuat ketika konsep mengenai efektifitas dan efisiensi yang notabene aplikatif terhadap sektor privat digunakan untuk menganalisa suatu program dari sektor publik. Karena konteks antara sektor publik dan privat berbanding terbalik bila sektor publik sangat kualitatif sementara sektor privat sangat kuantitatif. Adanya kesamaan dalam aspek manajemen menjadi pijakan dasar penerapan efektifitas dan efisiensi kedalam program sektor

16

publik. Maka dari itu, untuk melihat efektifitas dan efisiensi pelayanan publik dipergunakan pendekatan integratif dalam melihat kinerja.10

Pendekatan integratif adalah pendekatan alternatif yang merupakan gabungan dari pendekatan sasaran (goal approach), pendekatan sumber (system resources approach) dan pendekatan proses (process approach). Kinerja pelayanan yang dipergunakan dalam pendekatan integratif terfokus pada perhatian antara relasi penyedia dan pengguna serta melihat kerangka ketergantungannya. Bagaimana kemudian berbagai kelompok yang ada didalam dan diluar organisasi (karyawan, pemilik, konsumen, dsb.) memiliki relasi dan kepentingan terhadap performa pelayana publik yang disediakan oleh penyedia.11

“Costumer satisfaction is costumers perception that a supplier has met or exceeded their expectation.”. Dari definisi yang dikemukakan Fitzsimmon tersebut, muncul lah cara atau definisi pengukuran kualitas pelayanan publik melalui kepuasan pelanggan dengan cara mengetahui sejauhmana pelanggan yang lari atau pindah kepada opsi ataupun alternatif lainnya serta melihat kesenjangan antara visi dan realitas perihal pelayanan yang diberikan atau digunakan ( antara pelayanan yang didambakan dengan realitas pelayanan yang dirasakan).12

Kualifikasi pelayanan publik yang didambakan oleh konsumen adalah pelayanan publik yang responsif dan dapat dipertanggung jawabkan bentuknya.

10 Ahmad Ainur Rohman, Mas’ud Sa’id, dkk, Ibid, hal. 17. 11 Ibid, hal. 21. 12 Hardiyansyah, Kualitas Pelayanan Publik: Konsep, Dimensi, Indikator dan Implementasi, Konsep Pelayanan Publik (Yogyakarta: Gava Media, 2011), hal. 47.

17

Terdapat enam variabel yang ideal dalam implementasi New Public Management dalam teori desentralisasi pelayanan publik menurut Mierlo, keenam variabel yang dimaksud adalah:

1. Desentralisasi sistem birokrasi yng monolitik kepada aktor lain

2. Desentralisasi anggaran dan kontrol finansial

3. Desentralisasi kelembagaan dan struktur organisasional

4. Efisiensi manajerial dan anggaran secara keseluruhan

5. Pemisahan filosofi produksi dan provisi

6. Perubahan struktur kekuasaan dengan melihat dinamika realitas

D.3 Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Pelayanan Publik

Dalam prinsip kerjasama antara Pemerintah dengan Swasta tentu saja pilihan rasional merupakan pertimbangan dalam menerima atau menolak kerjasama.

Sehingga prinsip utama yang dipegang oleh kedua belah pihak adalah win-win solution atau positive sum game. Bentuk kerjasama pengelolaan sumber daya antara

Pemerintah dan Swasta perkembangannya mencapai tahap paling ekstrim yaitu perpindahan kepemilikan, hingga bentuk moderat berupa pelonggaran regulasi serta pelimpahan kontrak kerjasama.

Saat kerjasama antara Pemerintah dan Swasta sudah terjalin, kewenangan dalam pengelolaan sumber daya pun pasti akan mengalami perubahan yang cukup

18

signifikan. Kewenangan yang diberikan Pemerintah kepada Swasta dapat dibedakan menjadi dua bentuk kewenangan :13

1. Kewenangan untuk mengelola kegiatan pelayanan publik dalam jangka

waktu tertentu dengan penetapan kerjasama yang ditentukan Pemeirntah.

2. Kewenangan untuk memanfaatkan kekayaan milik daerah, baik dengan

berdiri sendiri ataupun kerjasama dengan lembaga tertentu.

Walhasil dengan adanya perbedaan kewenangan yang dilimpahkan dari

Pemerintah kepada Swasta, otomatis akan berimplikasi dalam sistem yang mengikat kerjasama tersebut. Sistem yang mengikat kerjasama antara Pemerintah dengan

Swasta disebut dengan Kontrak. Kontrak bertujuan untuk meminimalisasi resiko yang terjadi dalam suatu bentuk usaha, baik di pihak Pemerintah maupun Swasta.

Setidaknya ada lima bentuk kontrak kerjasama antara Pemerintah dan Swasta, berikut adalah bentuknya :14

a. Kontrak Pelayanan ( Service Contract ) : Kontrak yang terjalin bersifat dalam bentuk pemberian pelayanan jasa dalam pelayanan publik tertentu.

::Pelayanan jasa yang dimaksud misalnya perawatan jaringan, pencatatan meter, penagihan rekening, dsb.

13 Tim Penyusun Modul Pengelolaan Sumber Daya, Pengelolaan Sumber Daya, Kerjasama Pemerintah dengan Swasta ( Yogyakarta : PLOD Press, Tahun), Hal. 116.

14 Ibid, hal. 117-119

19

b. Kontrak Kelola ( Management Contract ) : Bentuk kontrak yang menghendaki mitra swasta untuk mengelola prasarana/sarana milik pemerintah. Yang dikontrakkan adalah jabatan dalam suatu organisasi / management saja.

c. Kontrak Sewa ( Lease Contract ) : Konrak kerjasama bagi swasta untuk menyewakan infrastruktur dalam jangka waktu tertentu untuk dioperasikan dan dipelihara. Modal disediakan oleh pihak swasta untuk pengoperasian, pemeliharaan, dan perawatan infrastruktur. Contoh pembangunan instalasi pengelolaan air.

d. Kontrak Bangun : Kontrak ini sifatnya merehabilitasi suatu bentuk kelola kerjasama yang semuanya berawal dari inisiasi pihak swasta untuk merehabilitasi bentuk pelayanan tertentu.

e. Kontrak Konsensi ( Concession Contract – CC ) : Bentuk kontrak kerjasama penuh antara swasta dan pemerintah baik meliputi desain pembangunan, pengoperasian, perawatan, penyediaan modal kerja, hingga pengembangan usaha.

Pada saat bentuk kontrak sudah jelas ditentukan dalam KPS ( Kerjasama

Pemerintah dan Swasta), sangat penting untuk melihat pendekatan secara konseptual untuk melihat kriteria ideal dalam kerjasama tersebut. Secara konseptual, kontrak kerjasama Pemerintah dengan Swasta dapat dilihat dalam tabel berikut :

No Variabel Identifikasi

Barang publik yang ditarik biaya 1 Karakteristik Pelayanan pemakaiannya.

2 Penerima Manfaat Kelompok yang dapat diidentifikasi

20

Persepsi Masyarakat Terhadap 3 Pelayanan Dasar Kebutuhan

4 Karakteristik Biaya Dapat Dipecah

Hubungan dan Kemauan untuk 5 Sedang Membayar

Pentingnya Pengukuran

6 terhadap Kualitas dan Tinggi

Kuantitas dari jasa yang ada

7 Efek Limpahan dari Pelayanan Tinggi

8 Investasi Modal dari Pelayanan Sedang atau besar

Kapasitas LSM untuk Dalam lingkungan yang tinggi tingkat 9 Menyediakan Pelayanan ini spesialisasinya

Tingkat Keterbutuhan 10 Sedang atau tinggi Teknologi

Hadirnya evaluasi konseptual dalam bentuk kerjasama Pemerintah dan Swasta dengan variabel tersebut, merupakan suatu cara untuk meperlihatkan pengelolaan yang seharusnya terjadi untuk menciptakan keberlangsungan dari suatu implementasi pelayanan publik yang sesuai dengan rencana pemilihan kontrak.15

15 Ibid, hal. 129.

21

E. Definisi Konseptual

Sebuah tulisan hendaknya memiliki suatu batasan atas permasalahan yang hendak diteliti agar fokus dan kejelasan topik tidak simpang siur untuk diinterpretasikan oleh pembaca. Adapun penjabaran mengenai istilah-istilah ataupun tema yang akan sering muncul dan digunakan antara lain:

Pelayanan publik dimaknai sebagai suatu bentuk pemberian terhadap masyarakat berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non-jasa yang dilakukan baik itu oleh pemerintah maupun badan usaha. Definisi tersebut sekiranya menjadi pijakan dasar dalam melakukan identifikasi selanjutnya mengenai karakter pelayanan publik itu sendiri yang dapat dilihat dari model yang tercipta antara relasi dua aktor utama (pemberi – penerima).

Transportasi publik merupakan suatu bentuk transportasi dengan muatan lebih dari lima penumpang tanpa supir. Penekanan terhadap definisi terlihat dari kuantitas maupun daya tampung yang dimiliki oleh sebuah alat transportasi yang dimaksud.

Sektor publik memiliki definisi sebagai suatu urusan dalam konteks negara dan masyarakat dengan penerapan nilai pelayanan, kepentingan publik, equalitas serta didukung aturan hukum berbentuk Undang-Undang ataupun peraturan pemerintah.

Kinerja Pelayanan publik dimaksudkan sebagai bentuk penilaian terhadap suatu pelayanan dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan pelayanan publik. Adapun efektif yang dipahami disini adalah tercapainya tujuan, visi, misi, dsb. terkait kebijakan maupun produk yang menjadi esensi dari pelayanan publik itu sendiri. Selanjutnya mengikuti di belakangnya dua

22

variabel lain yang juga penting yaitu aksesibilitas (kemudahan masyarakat terkait akses) dan afordabilitas (keterjangkauan pelayanan oleh daya beli masyarakat).

Kemudian efisiensi yang dimaksudkan adalah penilaian berkarakter kuantitatif dengan dua variabel, yaitu utility (pemanfaatan guna sarana dan prasarana transportasi yang dimaksud) dan beban publik yang dipahami sebagai perbandingan antara manfaat pelayanan dengan investasi yang dibiayai oleh pemerintah.16

Kerjasama Pemerintah dengan Swasta didefinisikan sebagai bentuk perubahan paradigma pembangunan dan pelayanan yang tidak lagi menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya aktor dengan otoritas absolute dalam urusan publik khususnya pelayanan publik. Peningkatan kinerja dan inovasi merupakan dua kata kunci dalam istilah ini.

F. Definisi Operasional

1. Pelayanan Publik Berbasis New Public Management

A. Karakter Pelayanan Publik Dalam Logika New Public Management

Tujuh variabel indikator pelayanan publik berbasis New Public Management:

 Ide teoritik pemberian pelayanan publik

 Definisis publik

 Peran pemerintah

 Penyedia pelayanan

 Mekanisme kebijakan publik yang berlaku

16 Drs. H.A. Abbas Salim, Manajemen Transportasi, QCD Dalam Sistrannas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 276.

23

 Kontrol akuntabilitas

 Perilaku organisasi penyedia pelayanan publik

B. Relasi Aktor Dalam Logika New Public Management

 Identifikasi peran pihak pemerintah

 Identifikasi peran pihak swasta

 Melihat ada tidaknya posisi masyarakat sebagai konsumen dalam proses

pemberian pelayanan publik.

2. Kinerja Pelayanan Publik Berbasis New Public Management

1. Efektifitas Pelayanan Publik

Analisa terhadap efektifitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui:

a. Membandingkan visi-misi maupun latar belakang kehadiran model

Transportasi Trans Jogja dengan fakta di lapangan.

b. Melihat aksesibilitas, bagaimana akses untuk memperoleh pelayanan.

c. Melihat afordabilitas, bagaimana daya beli masyarakat dapat menjangkau

pelayanan yang dimaksud.

2. Efisiensi Pelayanan Publik

Analisa terhadap efisiensi pelayanan publik dapat dilakukan melalui:

a. Menganalisa variabel utility (pemanfaatan guna sarana dan prasarana

transportasi yang dimaksud) dengan melihat fakta daripada rasionalitas

pengguna jasa.

24

b. Menganalisa variabel beban publik melalui perbandingan antara manfaat

pelayanan dengan jumlah investasi yang dibiayai oleh pemerintah. Manfaat

pelayanan yang dimaksud adalah bagaimana implikasinya terhadap kehidupan

masyarakat pengguna jasa yang dimaksud.

3. Enam variabel ideal pelayanan publik berbasis New Public Management

 Desentralisasi sistem birokrasi yng monolitik kepada aktor lain

 Desentralisasi anggaran dan kontrol finansial

 Desentralisasi kelembagaan dan struktur organisasional

 Efisiensi manajerial dan anggaran secara keseluruhan

 Pemisahan filosofi produksi dan provisi

 Perubahan struktur kekuasaan dengan melihat dinamika realitas

3. Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Pelayanan Publik

 Analisa bentuk pelimpahan wewenang dari Pemerintah terhadap Swasta

dalam suatu kerjasama dengan melihat type pemberian wewenang

pengelolaan atau pemberian wewenang pemanfaatan fssilitas.

 Mengidentifikasikan jenis kontrak kerjasama yang dipilih Pemerintah dan

Swasta termasuk kategori jenis kerjasama kontrak apa.

 Identifikasi konseptual kerjasama pemerintah dan swasta untuk melihat

ketersesuaian aplikatif teori dari program.

25

G. Metodologi Penelitian

G.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Studi kasus dianggap relevan dengan konteks penelitian dikarenakan keberadaan teori yang telah dipaparkan pada bagian landasan teori tidak secara tegas mengikat dalam proses penelitian. konsep-konsep yang ada pada teori tersebut bersifat fleksibel hanya bersifat mengarahkan bukan membatasi.17

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelayanan publik yang disediakan oleh sebuah perusahaan swasta bernama PT. Jogja Tugu Trans dalam aspek karakteristik, efektifitas dan efisiensi. Bagaimana aspek-aspek yang disebutkan membutuhkan penelitian menyeluruh terhadap unit analisa yang dimaksud, mulai dari pembentukan awal, relasi kerja dengan pemerintah melalui dinas propinsi, serta pengelolaan produk oleh unit yang dimaksud. Fokus penelitian ini dapat dipararelkan dengan karakteristik studi kasus yang mempelajari seluruh unit secara totalitas, bukan hanya aspek-aspek atau variabel dari unit ini.18 Pemilihan studi kasus dalam penelitian ini juga didasarkan pada bentuk pertanyaan penelitian yang menggunakan makna “bagaimana?” (Bagaimana pelayanan publik masal yang disediakan oleh PT.

Jogja Tugu Trans?). Kemudian fokus penelitian yang kontemporer dikarenakan kasus mengenai konsep pelayanan publik ini masih menarik untuk dikaji di masa depan

17 Sotirios Sarantakos, Social Research ( Melbourne : Mac Milan Education Australia, 1993 ), hal. 13. 18 Ibid, hal 259.

26

mengingat paradigma mengenai pelayanan publik akan bergeser maupun berubah- ubah seiring perkembangan masyarakat dan negara.

Bagaimana kasus yang dipilih sangatlah bersifat sistemik dan spesifik.

Sistemik yang dipahami dalam konteks ini adalah bahwa kasus yang dipilih merupakan bagian dari sebuah alur kebijakan pemerintah berkaitan dengan sistem transportasi. Kemudian spesifik dikarenakan kasus yang diambil dalam aspek kewilayahannya sangatlah khusus dan tidak bisa dipakai untuk melihat konsep yang sama di kawasan lain. Spesifik yang dipahami juga bahwasanya konsep mengenai pelayanan publik itu sendiri sudah terfokus pada satu bidang (transportasi publik) sehingga tidak akan relevan untuk dipakai maupun dipergunakan untuk menganalisa bidang lainnya.19

G.2 Unit Analisis Data

Penelitian mengenai pelayanan publik masal yang disediakan oleh PT. Jogja

Tugu Trans akan mengambil sumber informasi melalui segenap aktor yang terlibat dalam manajemen pengelolaan perusahaan yang menjadi objek penelitian. Bagaimana posisi, jabatan, maupun kapasitas aktor dalam perusahaan dipahami sebagai tingkatan kemampuan dalam memberikan informasi. Untuk mendapatkan data mengenai karakteristik pelayanan publik yang disediakan oleh PT. Jogja Tugu Trans, maka diperlukan pengetahuan mendalam mengenainya yang hanya bisa didapatkan dari aktor berjabatan tinggi dalam internal perusahaan. Informasi yang didapat akan di

19 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, Studi Kasus ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009 ), hal. 300.

27

cross check dengan informasi dari dinas perhubungan propinsi selaku pihak negara yang menjadi insiator kerja sama sehingga validasi pun terjamin.

Perlu adanya unit analisa eksternal (masyarakat), karena kasus ini terkait pelayanan publik yang notabene merupakan bentuk pemberian hak dari pemerintah kepada masyarakat. Hal ini dilakukan juga agar menjaga validasi data, sehingga interpretasi yang dibuat akan objektif karena informasi berasal dari dua aktor utama dalam konteks pelayanan publik, yaitu pemberi dan penerima jasa.

G.3 Teknik Pengumpulan Data

G.3.1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

Pemanfaatan data primer lebih dominan daripada data sekunder. Data primer dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis data pokok yang dibutuhkan. Data primer pertama adalah data mengenai Pelayanan Publik dan PT. Jogja Tugu Trans. Data ini berisikan informasi mengenai karakteristik pelayanan publik yang disediakan oleh PT. Jogja

Tugu Trans, bagaimana karakter tersebut terbentuk dilihat dari bagaimana kontrak kerja yang terjalin antara PT. Jogja Tugu Trans dengan Dinas Perhubungan Propinsi.

Data-data tersebut diperoleh dari dua instansi yang melakukan relasi.

Data primer kedua adalah data mengenai efektifitas pelayanan publik model transportasi modern Trans Jogja. Data ini berisikan informasi mengenai implementasi pelayanan publik terhadap pengguna jasa melalui indikator aksesibilitas dan afordabilitas. Dari dua indikator tersebut, maka pertanyaan mengenai efektifitas

28

pelayanan publik dan barang bisa diajukan. Data-data tersebut didapatkan dari masyarakat yang diposisikan sebagai pengguna jasa aktif.

Data primer ketiga adalah mengenai efisiensi pelayanan publik model transportasi modern Trans Jogja. Data ini berisikan informasi mengenai implementasi pelayanan publik terhadap pengguna jasa melalui indikator utility dan beban publik.

Utility yang dipahami disini adalah bagaimana model transportasi seperti Trans Jogja bisa menjadi bentuk transportasi tunggal dalam artian cakupannya terhadap trayek maupun jalur bisa dipenuhi. Kemudian beban publik yang dipahami disini adalah bagaimana efisiensi yang dihasilkan terkait biaya maupun nilai ekonomi yang dikeluarkan oleh pengguna jasa, setelah itu dikaitkan pula dengan investasi yang dilakukan oleh negara terhadap model transportasi yang dimaksud. Data-data teraebut diperoleh dari masyarakat sebagai pengguna jasa dan Dinas Perhubungan Propinsi sebagai inisiator model transportasi.

Data sekunder meliputi jurnal-jurnal yang memuat data tentang model transportasi Trans Jogja dari aspek pengguna jasa (kepuasan, kualitas pelayanan) maupun aspek pemberi jasa (inovasi, peningkatan mutu layanan, pelayanan tambahan). Selain itu juga dari situs-situs internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

G.3.2. Cara Mengumpulkan Data

Dalam meneliti, peneliti akan berusaha masuk kedalam instansi formal terlebih dahulu dengan berposisi sebagai mahasiswa tingkat akhir yang akan menulis skripsi. Karena konteksnya adalah instansi formal dan perusahaan yang notabene

29

bersifat eksklusif, maka pencarian informan pun akan menemui kesulitan pada prosesnya. Cara peneliti untuk mensiasatinya adalah dengan menggunakan snowball sample yang merupakan siasat terjitu dengan menemui satu informan terlebih dahulu untuk kemudian berproses sehingga sampai pada informan kunci yang memiliki kapasitas, jabatan, serta kompetensi untuk memberikan data.

Menyusun skala prioritas berdasarkan rekomendasi dari bagian unit analisis data serta mempersiapkan interview guide merupakan persiapan awal dalam proses mendapatkan data. Ketika pada prosesnya akan juga dilakukan inovasi teknik wawancara dengan menggunakan alat perekam (bertambah satu kebutuhan untuk membeli alat perekam). Wawancara akan efektif apabila terdapat hubungan inter personal antara peneliti dengan informan, maka dari itu peneliti akan berusaha untuk membangunnya dengan cara tersendiri. Begitu dominan dan vital data yang didapatkan dari hasil wawancara tetapi terdapat cara lain untuk mendapatkan data yang tak kalah penting. Cara tersebut adalah dengan melakukan observasi non partisipan. Cara ini dilakukan dengan menghadiri rapat direksi, rapat koordinasi antara PT. Jogja Tugu Trans dengan Dinas Perhubungan Propinsi, serta pelaporan kontrak kerja bulanan oleh PT. Jogja Tugu Trans.

Sebagaimana yang telah disampaikan mengenai pengumpulan data, terdapat suatu bentuk pencarian data yang juga efektif namun tidak formal. Hal tersebut diwujudkan dalam proses pembangunan inter personal dengan informan baik itu PT.

Jogja Tugu Trans ataupun Dinas Perhubungan Propinsi. Kegiatan santai dan obrolan ringan akan dilakukan. Relasi yang timbul mungkin dapat dianalogikan seperti relasi

30

pertemanan. Pada fase ini peneliti akan berusaha total untuk menunjukkan kemampuan tersebut.

Data sekunder berupa jurnal penelitian maupun survey dari suatu lembaga mengenai Trans Jogja dan pelayanan publik akan diperoleh dari internet. Data-data tersebut nantinya akan menjadi penyeimbang subyektifitas peneliti dalam menginterpretasikan data. Bahkan data-data sekunder ini bisa menjadi penguat argumen dan inspirasi bagi peneliti.

G.4 Teknis Analisa Data

Langkah pertama yang akan dilakukan untuk menganalisis data adalah membuat transkrip dari setiap wawancara yang dilakukan. Untuk wawancara yang tidak direkam dilakukan dengan mengumpulkan catatan wawancara. Transkip dari berbagai informan tersebut kemudian diklasifikasikan sesuai dengan kategori bab

(seperti yang tertera pada poin sumber data). Setelah terkumpul dalam suatu kategori bab, transkip tersebut dibaca kembali dan terjadi proses seleksi substansial. Dengan demikian data-data tersebut dapat dianalisis dan diparalelkan dengan teori yang ada.

Setelah itu ada baiknya untuk melakukan diskusi dengan dosen pembimbing terkait kualitas data. Setelah proses-proses yang disebutkan dilaksanakan, maka kesimpulan pun bisa dibuat. Pembuatan kesimpulan dilakukan dengan melihat bentuk pelayanan publik yang disediakan oleh PT. Jogja Tugu Trans kepada masyarakat pengguna jasa.

Bagaimana kemudian dua variabel analisa yaitu efektifitas dan efisiensi akan menjadi senjata utama dalam menjawab pertanyaan penelitian. Dimungkinkan akan terjadi penemuan penelitian tambahan yang hadir sejalan dengan penelitian ini berlangsung.

31

H. Sistematika Bab

Sistematika hasil penelitian ini dibagi kedalam lima bab. Bab pertama merupakan adalah bab yang memuat latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan dari penulisan penelitian. Pendalaman dalam bab ini berisi pemaparan konsep pelayanan publik, new public management, dan konsep kerjasama antara Pemerintah dan Swasta. Bab kedua berisi tentang pembentukan dan inisiasi dari Transjogja, yang memunculkan banyak latar cerita mengenai penitngnya kehadiran dari Trans Jogja.

Bab ketiga menceritakan dinamika kelembagaan yang terbentuk dalam pengelolaan

Trans Jogja, yang berpengaruh terhadap mekanisme serta kualitas dari pelayanan

Trans Jogja yang disediakan oleh PT. Jogja Tugu Trans. Bab keempat bercerita mengenai pendalaman implikasi yang hadir serta refleksi terhadap keterkaitan konseptual dalam pelaksanaan pengelolaaan Trans Jogja. Sedangkan bab kelima akan diisi dengan kesimpulan penelitian dan posisi hasil penelitian ini terhadap pengelolaan pelayanan Trans Jogja yang hadir di DIY.

32

BAB II

Trans Jogja: Kebijakan Pemerintah Provinsi DIY dalam Penyediaan

Transportasi Perkotaan

A. Pendahuluan

Bagian ini berisikan pendalaman tema yang dimulai dari inisiasi pembentukan

Trans Jogja dilanjutkan dengan melihat diskursus ide antar aktor maupun stakeholder yang terkait dalam inisiasi pembentukan Trans Jogja yang kemudian ditutup dengan bentuk pelayanan publik Trans Jogja. Hadirnya diskursus ide antar aktor dalam inisiasi pembentukan Trans Jogja merupakan pengantar ide untuk menentukan jenis pelayanan publik Trans Jogja. Identifikasi tersebut bertujuan nantinya untuk melihat karakteristik dari pelayanan yang akan diberikan.

Bentuk pelayanan publik Transjogja adalah sebuah pembahasan untuk memperlihatkan keunikan dari latar permasalahan yang diambil. Pada bagian ini dapat menunjukkan pentingnya pembahasan mengenai Trans Jogja sebagai bentuk inovasi dari pelayanan publik transportasi yang hadir di Yogyakarta. Sehingga dari inovasi yang terjadi merupakan salah satu cara untuk melihat mekanisme dari kerjasama yang terjadi antara PT. JTT dan Dinas Perhubungan DIY.

B. Inisiasi Pembentukan Trans Jogja

Kota Yogyakarta sebagai kota dengan berbagai daya tarik dari segi wisata maupun pendidikan misalnya menjadi kota yang penuh dan padat disetiap jamnya .

Sebut saja keberadaan Malioboro dan Keraton Yogyakarta Hadiningrat menjadi dua

33

dari sekian objek kunjungan wisata yang menarik dan mengundang penasaran bagi turis domestik maupun mancanegara. Kepadatan serta kemacetan menjadi salah satu problematika lawas bagi suatu kota tak terkecuali Kota Yogyakarta sendiri. Dengan kehadiran turis wisatawan maupun mahasiswa memunculkan urgensi dengan tingkat prioritas tinggi perihal pemenuhan model transportasi publik massal yang ideal.

Definisi ideal yang dimaksud tentunya berdasar pada kualitas bentuk pelayanan publik, karena sejatinya Trans Jogja merupakan bentuk pelayanan publik modern.

Inisiasi sebuah bentuk transportasi publik massal modern bernama Trans

Jogja berawal dari studi reformasi angkutan umum yang dilakukan oleh MSTT UGM

(Magister Sistem dan Teknik Transportasi Universitas Gadjah Mada) pada tahun

2005 atas instruksi Departemen Perhubungan Provinsi Yogyakarta. Studi tersebut mendapatkan hasil observasi berupa adanya penurunan load factor, hasil survey pada tahun 2004 menunjukkan load factor rata – rata angkutan umum di Yogyakarta berada pada angka 27 %.20 Penurunan tersebut disebabkan oleh beragam faktor diantaranya adalah penurunan kualitas pelayanan terhadap konsumen akibat orientasi kejar setoran yang berdampak pada lamanya angkutan untuk ngetem, pengangkutan penumpang di sembarang tempat, dan sebagainya.

Berangkat dari argumen yang telah dipaparkan sebelumnya, muncullah sebuah pemikiran mengenai sebuah bentuk manajemen transportasi yang berbasis buy the service. Adapun manajemen tersebut merupakan inovasi bagi basis manajemen

20 Melihat Laporan hasil Studi Reformasi Angkutan Umum, Bab I bagian pendahuluan.

34

transportasi dengan menghilangkan orientasi setoran kemudian orientasi tersebut digantikan dengan orientasi pelayanan. Untuk urusan profit, sistem yang diterapkan ini memiliki mekanisme pembayaran kepada pemilik bus, sopir dan petugas lainnya berdasarkan kilometer yang telah ditempuh (5.390 Rupiah per Kilometer per Unit)21 sehingga orientasi pelayanan lah yang dipegang oleh operator nantinya. Setelah lima bulan studi itupun berlanjut pada tahap-tahap pengambilan kesimpulan dan perancangan resolusi hingga akhirnya pada tahap pembuatan segala legal aspect yang mengikutinya (perjanjian kerja sama antara pemerintah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta dengan PT. Jogja Tugu Trans, MOU atau surat persetujuan).22

Trans Jogja merupakan sistem transportasi bus cepat, murah dan ber-AC di seputar Kota Yogyakarta. Kebijakan Trans Jogja merupakan salah satu bagian dari program penerapan Bus Rapid Transit (BRT) yang dikeluarkan oleh Dinas

Perhubungan melalui PT. Jogja Tugu Trans sebagai perusahaan provider penyedia sarana transportasi. Sistem pelayanan transportasi publik masal ini mulai dioperasikan pada Maret 2008. Dengan dasar pelayanan “Aman, Nyaman, Andal,

Terjangkau, dan Ramah lingkungan”. Peningkatan pelayanan ini bertujuan untuk

21 Melihat Surat Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Provinsi D.I.Y. dengan PT. Jogja Tugu Trans nomor 34/PERJ/GUB/XI/2008 kolom nomor dua poin tiga.

22 Hasil wawancara dengan bapak Agus Minang Satyo Nugroho selaku kepala UPT Trans Jogja Dishubkominfo Provinsi D.I.Y.

35

memberikan angkutan umum transportasi terhadap masyarakat berbasis buy the service serta menciptakan kondisi angkutan umum yang kondusif.23

Bus Trans Jogja menggunakan bus (berukuran sedang) ini menerapkan sistem tertutup, dalam arti penumpang tidak dapat memasuki bus tanpa melewati shelter (

Halte ). Sistem pembayaran yang berbeda-beda: sekali jalan, tiket pelajar, dan tiket umum berlangganan. Ada tiga macam tiket yang dapat dibeli oleh penumpang, yaitu tiket sekali jalan (single trip), dan tiket umum berlangganan. Tiket ini berbeda dengan karcis bus biasa karena merupakan merupakan kartu pintar (smart card). Karcis akan diperiksa secara otomatis melalui suatu mesin yang akan membuka pintu secara otomatis. Penumpang dapat berganti bus tanpa harus membayar biaya tambahan, asalkan masih dalam satu tujuanMelihat proses pembentukannya, Trans Jogja yang diplot sebagai model transportasi publik massal yang efisien oleh pemerintah menjadi hal yang menarik untuk dipertanyakan mengenai mekanisme kerjasama antar aktor baik pemerintah melalui Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta sebagai Institusi

Pemerintah dan PT Jogja Tugu Trans sebagai pihak swasta yang mengatur keberlangsungan model transportasi yang dimaksud.

C. Diskursus Ide Antar Aktor Dalam Pembentukan Trans Jogja

Berbicara mengenai efektifitas pastilah membawa kita pada persoalan perbandingan atau komparasi teori terhadap realitasnya di lapangan. Efektifitas pelayanan yang disediakan oleh model transportasi trans jogja dapat diidentifikasi

23 Baca lampiran mengenai surat edaran 551 / 296 Dinas Perhubungan Provinsi Yogyakarta

36

melalui tiga variabel. Ketiga variabel tersebut adalah identifikasi visi dan misi terhadap realitas di lapangan, identifikasi aksesibilitas dimana akan banyak menyinggung persoalan bagaimana akses untuk memperoleh pelayanan, dan identifikasi affordabilitas mengenai bagaimana daya beli masyarakat dapat menjangkau pelayanan yang dimaksud.

Penting kiranya untuk melihat kembali mengenai visi dan misi dari trans jogja sebagai produk reformatif pelayanan birokrasi. Adapaun logika “buy the service” menjadi tujuan utama yang mencakup secara keseluruhan. Definisi dari buy the service itu sendiri adalah bahwa masyarakat yang menggunakan jasa berposisi sebagai konsumen yang dalam pengertiannya menjadi raja dalam struktur transaksional dengan demand yang tinggi terhadap kualitas pelayanan. Kualitas memiliki cakupan definisi yang luas namun dalam konteks pelayanan trans jogja, hal tersebut dikerangkai oleh tujuan yaitu pemberian pelayanan transportasi masal yang kualitasnya bisa bersaing dengan kendaraan pribadi baik secara kenyamanan, ketepatan serta kecepatannya dan kesemuanya itu dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat dengan tarif yang telah ditentukan sebelumnya.

Dari argumen tersebut terlihat jelas bagaimana orientasi pemberi jasa pun harus menyesuaikan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa profit oriented swasta sangatlah berbanding terbalik dengan service oriented milik pemerintah. Dalam konteks trans jogja, kedua prinsip tersebut saling sinergis untuk membentuk sebuah idealisme baru bernama New Public Management yang telah banyak dibahas pada bab sebelumnya.

37

Lanjut kepada visi dan misi setelahnya dimana trans jogja ini diharapkan menjadi primadona dalam skala prioritas penggunaan model transportasi alias menjadi model transportasi tulang punggung yang dapat diandalkan. Salah satu problemnya adalah menyisihkan dominasi kendaraan bermotor pribadi baik yang beroda dua ataupun empat yang kita bersama ketahui dalam realitasnya menimbulkan masalah sebut saja kemacetan dan polusi. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa terdapat sembilan poin utama yang menjadi visi sekaligus misi yang diharapkan tercapai dengan adanya Trans Jogja ini, berikut adalah penjabarannya:

1) Mengurangi kemacetan lalu lintas di wilayah DIY.

2) Meningkatkan keamanan, kenyamanan dan ketepatan waktu dalam

menggunakan fasilitas transportasi dengan sistem “Buy The Service”.

Adapun penjelasan mengenai prinsip buy the service:

 Mengganti sistem setoran menjadi sistem pembelian pelayanan.

 Operator dibayar berdasar kilometer layanan, bukan jumlah penumpang.

 Operator / Pengemudi / Kru hanya berkonsentrasi pada pelayanan prima

kepada masyarakat.

 Adanya standar pelayanan tertentu yang harus dipenuhi.

 Berbasis public service, bukan profit.

 Mekanisme subsidi kepada masyarakat dapat berjalan baik.

3) Memberikan fasilitas pelayanan transportasi yang murah dan terjangkau

kepada masyarakat.

4) Mengubah paradigma masyarakat terhadap angkutan umum.

38

5) Mengurangi pemakaian kendaraan pribadi.

6) Mengurangi konsumsi BBM.

7) Mengurangi beban parker di dalam kota.

8) Mengurangi polusi udara dan suara.

9) Mengurangi social cost masyarakat.24

Sembilan poin ini sebenarnya berangkat dari realitas di lapangan ketika transportasi umum di Kota Yogyakarta menjadi sesuatu hal yang dianggap tidak relevan.

Merupakan rahasia umum bahwa Kota Yogyakarta yang juga disebut sebagai “Kota

Budaya” dan “Kota Pelajar” merupakan kota yang memiliki tingkat mobilitas penduduk yang tinggi, memerlukan adanya sarana transportasi yang handal, aman, nyaman dengan jadwal yang pasti dan mampu mendukung perkembangan kota, sehingga dapat memuaskan pengguna jasa transportasi dan mampu mengurangi kesemrawutan dalam berlalu lintas serta ramah lingkungan.

Jumlah bus kota yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta rata-rata yang beroperasi sejumlah 525 unit per hari dari jumlah bus sebanyak 591 unit bus.

Bahkan secara umum kondisinya sangat memprihatinkan sebagai dampak dari meningkatnya biaya operasional dan menurunnya minat masyarakat menggunakan jasa angkutan umum. Pemerintah Provinsi menimbang armada transportasi di

Yogyakarta saat ini terutama di wilayah perkotaan dianggap tidak mampu

24 Wawancara dengan Bpk. Tito selaku Direksi Human Resource Departement dari PT. Jogja Tugu Trans

39

mengurangi kepadatan lalu lintas akibat banyaknya warga yang memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Saat ini kendaraan pribadi masih menjadi andalan bagi individu individu di daerah perkotaan sebagai alat transportasi. Secara umum dapat diamati masyarakat kota Yogyakarta masih cukup banyak melakukan pergerakan dengan kendaraan pribadi. Hal ini juga dipicu oleh mudahnya masyarakat untuk mengajukan kredit kepemilikan sepeda motor. Selain itu masyarakat Yogyakarta pada umumnya berpendapat angkutan umum perkotaan yang ada selama ini kurang memberikan pelayanan sehingga tidak menjadi pilihan masyarakat. Kondisi armada yang buruk, seringnya angkutan tidak berjadwal, kalaupun terdapat jadwal tetapi tidak tepat, merupakan alasan alasan klasik yang menyebabkan masyarakat perkotaan lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.

Dengan keadaan ini merupakan alasan kuat mengapa masyarakat enggan untuk beralih menggunakan transportasi umum perkotaan di yogyakarta. Masyarakat menilai kinerja pelayanan pemerintah dalam bidang transportasi belum sesuai dengan harapan. Pentingnya serta besarnya beban berupa ekspektasi dan objektif yang diemban Trans Jogja menjadi poin menarik ketika dihadapkan dengan realitas bahwa keberadaannya terbentur dengan berbagai permasalahan dan kondisi yang dibahas selanjutnya.

Sebelum berbicara jauh mengenai realitas, terlebih dahulu kita dalami mengenai aspirasi dari berbagai stakeholder terkait kemunculan model transportasi trans jogja. Berdasarkan Studi Reformasi Angkutan Umum Dinas Perhubungan

40

Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005, terdapat enam segmentasi stakeholder yang secara nyata mengalami perubahan semenjak trans jogja secara resmi beroperasi. Keenam stakeholder tersebut memiliki aspirasi sekaligus ekspektasi terhadap trans jogja. Berikut penjelasannya:

a) Legislatif dan Eksekutif, secara jelas mereka mendukung adanya upaya

peningkatan pelayanan terhadap masyarakat salah satunya kehadiran trans

jogja yang diharapkan berpihak penuh pada masyarakat dan bertujuan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan angkutan umum, bukan semata untuk

mendapatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Keduanya pun siap dengan

segala konsekuensi yang mengikuti termasuk persiapan subsidi karena sekali

lagi PAD bukan tujuan utama melainkan peningkatan kualitas pelayanan.

Subsidi tersebut pun dapat berasal dari APBD ataupun APBN melalui dana

kompensasi BBM.

b) Masyarakat umum, masyarakat umum sebagai salah satu pengguna jasa

sangat mendukung dan menantikan efektifitas trans jogja. Mereka

mendambakan peningkatan kualitas dari aspek kenyamanan, keandalan

(waktu tempuh dan ketepatan waktu), dan keselamatan lalu lintas terkait

dengan pengemudi. Mereka pun berharap tarif yang bersahabat serta

penempatan shelter yang strategis dan menguntungkan bagi masyarakat. Dan

terakhir masyarakat umum berpendapat bahwa karakter jalan raya Yogyakarta

dirasa kurang memadai untuk adanya penambahan jalur baru.

41

c) Koperasi, pemilik dan seluruh pekerja terkait bis perkotaan dan AKDP,

mendukung dan mengharapkan sustainability dari model trans jogja sekalipun

rejim berganti. Secara terang-terangan mereka meminta transparansi dan

keikutsertaan dalam program ini. Adapun intinya adalah partisipasi dan

keterlibatan mereka akan berdampak baik kepada kesejahteraan mereka

sendiri. Konsistensi akan regulasi pun menjadi poin penting yang mereka

kemukakan terkait kontrak terhadap operator dan mekanisme lelang “proyek”.

d) Koperasi, pemilik dan pengemudi taksi, mendukung program trans jogja

dengan harapan tidak berkurangnya pendapatan mereka dan mereka pun dapat

menjadi model transportasi penyambung dari shelter.

e) Petugas parkir dan PKL, mendukung dengan lantang dan berharap dapat

berpartisipasi terhadap pertimbangan penempatan shelter.

f) Masyarakat different ability, mendukung dan berharap adanya fasilitas bagi

mereka untuk aksesibilitas ke shelter. Kemudian mereka pun meminta

kemudahan di dalam bis semisal space khusus bagi pengguna kursi roda dan

tempat pelayanan penuh dari petugas untuk membantu mereka naik dan

turun.25

25 Melihat Bab 4: Aspirasi stakeholder pada Hasil Studi Reformasi Angkutan Umum Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005.

42

D. Bentuk Pelayanan Publik Trans Jogja

Aksesibilitas merupakan salah satu poin yang menjadi pertimbangan untuk menentukan bentuk pelayanan transportasi publik yang prima. Terdapat setidaknya tiga poin penting disaat membicarakan aksesibilitas dalam konteks Trans Jogja, poin- poin tersebut antara lain adalah sistem tiket, halte atau shelter serta trayek.

Tiket Trans Jogja yang menerapkan efisiensi sistem transaksi yang ramah lingkungan merupakan sebuah sistem moderen yang bersifat jangka panjang.

Penumpang hanya cukup membeli satu kali tiket saja di salah satu shelter. Adapun mekanisme ticketing tersebut akan dijelaskan melalui gambar berikut.

43

Penumpang datang ke tempat henti atau shelter kemudian membeli tiket kepada petugas shelter 1. Kemudian tiket tersebut dimasukkan ke dalam mesin sehingga pintu ruang tempat henti akan membuka. Setelah pintu membuka kemudian calon penumpang masuk ke ruang tunggu sambil menunggu kedatangan bus yang dimaksud. Setelah bus datang, penumpang dari bus akan terlebih dahulu atau didahulukan untuk turun dan masuk ke ruang tunggu di shelter. Setelah semua penumpang turun, barulah petugas shelter 2 mempersilahkan dan membuka pintu shelter untuk penumpang naik ke dalam bus yang dimaksud.

Shelter atau halte Trans Jogja diciptakan sedemikian rupa agar memudahkan masyarakat sebagai pengguna jasa untuk mengakses. Adapun pertimbangan pembangunan maupun penempatan halte sangat dipengaruhi oleh realitas infrastruktur jalan di Yogyakarta khususnya kota Yogyakarta. Sempitnya lebar jalan perkotaan, terbatasnya lahan trotoar akibat tingginya intensitas PKL (pedagang kaki lima) serta pengalihan ruas jalan dan trotoar sebagai lahan parkir memunculkan banyak sekali dilema dalam realisasi halte yang sesuai kualifikasi dan standar.

Menurut pak Agus Noto selaku pengelola teknis lalu lintas Dinas Perhubungan Kota

Yogyakarta, terdapat beberapa persyaratan mendasar perihal pembangunan dan penempatan halte Trans Jogja yaitu terletak pada jalur pejalan kaki, dekat dengan pusat kegiatan masyarakat baik ekonomi, pendidikan dan sosial, aman terhadap kriminalitas dan kecelakaan lalu lintas, yang terakhir dan terpenting ialah tidak mengganggu kelancaran lalu lintas di jalan.

44

Adapun pertimbangan lain yang berasal dari aspirasi masyarakat pada tahun

2005 dalam Studi Reformasi Transportasi Angkutan Umum oleh MSTT UGM mendeskripsikan bahwa Halte atau Shelter ditujukan untuk memiliki sejumlah fasilitas antara lain tempat tunggu penumpang yang tidak mangganggu pejalan kaki dan aman dari lalulintas, tempat berteduh, rambu dan marka jalan, informasi tentang rute dan jalur serta jadual angkutan yang dimaksud serta pagar pengaman. Berikut adalah pemetaan Shelter Trans Jogja dengan Studi Reformasi Transportasi Angkutan

Umum oleh MSTT UGM sebagai referensi.

Trayek dan penentuan polanya merupakan salah satu aspek utama yang menjadi suatu pertimbangan mendasar ketika dihadapkan pada permasalahan pelayanan transportasi. Menurut Undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, definisi trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk pelayanan jasa angkutan orang dengan mobil angkutan umum yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak tetap. Untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat kota Yogyakarta, maka sesuai dengan hasil studi MSTT UGM tahun 2005 terbentuklah trayek Trans Jogja dengan beberapa variabel pertimbangan utama yakni dapat dijangkau oleh mahasiswa dan pekerja kantoran yang notabene menjadi sasaran utama sehingga objek institusi pendidikan dan perkantoran menjadi dua objek dengan skala prioritas tertinggi. Berikut ini adalah data trayek Trans Jogja yang efektif dioperasikan:

45

Trayek Rute

Trayek 1A Terminal , Bandara Adisucipto, Stasiun Tugu, Malioboro, JEC (Kalasan, Maguwoharjo, Janti bawah, UIN Kalijaga, Demangan, Gramedia, Tugu, Kantor Pos Besar, Gondomanan, Pasar Sentul, SGM, Gembira Loka, Babadan Gedongkuning, Blok O, Janti atas, kembali lagi) Trayek 1B Bandara Adisucipto, JEC, Kantor Pos Besar, Pingit, UGM (Maguwoharjo, Janti bawah, Blok O, Babadan Gedongkuning, Gembira Loka, SGM, Pasar Sentul, Gondomanan, RS PKU Muhammadiyah, Pasar Kembang, Badran, Bundaran SAMSAT, Tugu, Gramedia, Bundaran UGM, Colombo, Demangan, UIN Kalijaga, kembali lagi) Trayek 2A Terminal Jombor, Malioboro, Basen, Kridosono, UGM, Terminal Condong Catur (Monjali, Tugu, Stasiun Tugu, Kantor Pos Besar, Gondomanan, Jokteng Wetan, Tungka, Gambiran, Rejowinangun, Babadan Gedongkuning, Gembira Loka, SGM, Cendana, Mandala Krida, Gayam, Fly Over Lempuyangan, UKDW, Galeria, Gramedia, Colombo, Kentungan, kembali lagi) Trayek 2B Terminal Jombor, Terminal Condong Catur, UGM, Kridosono, Basen, Kantor Pos Besar, Wirobrajan, Pingit (Monjali, Kentungan, Colombo, Gramedia, UKDW, Fly Over Lempuyangan, Gayam, Mandala Krida, Cendana, SGM, Gembira Loka, Babadan Gedongkuning, Rejowinangun, Tungka, Jokteng Wetan, Gondomanan, RS PKU Muhammadiyah, Ngabean, BPK, Badran, Bundaran SAMSAT, Tugu, kembali lagi) Trayek 3A Terminal Giwangan, Kotagede, Bandara Adisucipto, Ringroad Utara, MM UGM, Pingit, Malioboro, Jokteng Kulon (Tegal Gendu, HS Silver, Nyi Pembayun, Pegadaian Kotagede, Basen, Rejowinangun, Babadan Gedongkuning, JEC, Blok O, Janti atas, Janti, Maguwoharjo, Terminal Condong Catur, Kentungan, Mirota Kampus, Gondolayu, Tugu, Bundaran Samsat, Badran, Pasar Kembang, Stasiun Tugu, Kantor Pos Besar, RS PKU Muhammadiyah, Ngabean, Pelengkung Gading, Jokteng wetan, Tungka, Wirosaban, kembali lagi) Trayek 3B Terminal Giwangan, Jokteng Kulon, Pingit, MM UGM, Ringroad Utara, Bandara Adisucipto, Kotagede (Tegal Gendhu, Wirosaban, Tungka, Jokteng Wetan, Pelengkung Gading, Ngabean, RS PKU Muhammadiyah, Pasar Kembang, Badran, Bundaran SAMSAT, Tugu, Gondolayu, Mirota Kampus, Kentungan, Terminal Condong Catur, Maguwoharjo, Janti bawah, Blok O, JEC, Babadan Gedongkuning, Rejowinangun, Basen, Pegadaian Kotagede, Nyi Pembayun, HS Silver, kembali lagi)

46

Sumber: Studi Evaluasi Kinerja Trans Jogja dan Rencana Pengembangan tahun

2011 oleh MSTT UGM, poin 2 – 17 dan 2 – 18.

Dalam perencanaan jaringan trayek Trans Jogja, ada beberapa parameter yang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Hal yang pertama adalah Pola Tata Guna

Lahan, yang dimaksudkan adalah bagaimana kemudian pelayanan transportasi diusahakan mampu menyediakan aksesibilitas yang baik. Untuk memenuhi hal itu, lintasan trayek transportasi diusahakan melewati tata guna tanah dengan potensi permintaan yang tinggi. Demikian juga lokasi-lokasi yang menjadi potensial tujuan bepergian diusahakan menjadi prioritas pelayanan. Berikutnya adalah Pola

Pergerakan Penumpang Angkutan Umum dimana dijelaskan bahwa rute transportasi yang baik adalah arah yang mengikuti pola pergerakan pengguna jasa angkutan umum sehingga tercipta pergerakan yang lebih efisien. Trayek angkutan umum harus dirancang sesuai dengan pola pergerakan penduduk yang terjadi, sehingga transfer moda yang terjadi pada saat penumpang mengadakan perjalanan dengan angkutan umum dapat diminimumkan.

Adapun Kepadatan Penduduk menjadi pertimbangan ketika dihadapkan dengan potensi permintaan yang tinggi dari konsumen sehingga trayek angkutan umum yang ada diusahakan sedekat mungkin menjangkau wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Pelayanan angkutan umum, selain memperhatikan wilayah- wilayah potensial pelayanan, juga menjangkau semua wilayah perkotaan yang ada.

Hal itu sesuai dengan konsep pemerataan pelayanan terhadap penyediaan fasilitas angkutan umum (daerah pelayanan). Parameter yang terakhir adalah karakteristik

47

jaringan jalan bagaimana kondisi jaringan akan menentukan pola pelayanan trayek angkutan umum. Karakteristik jaringan jalan meliputi konfigurasi, klasifikasi, fungsi, lebar jalan, dan tipe operasi jalur. Operasi angkutan umum sangat dipengaruhi oleh karakteristik jaringan jalan yang ada.

Masuk ke pembahasan selanjutnya yakni affordabilitas. Aspek affordabilitas merupakan aspek yang cukup vital mengingat kesanggupan pengguna jasa untuk

“membeli” pelayanan akan sangat berdampak tinggi terhadap load factor dari trans jogja pada nantinya. Dari hasil survey okupansi yang dilakukan oleh MSTT pada tahun 2011 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun perkembangan load factor bus Trans Jogja menunjukkan kondisi stagnansi yang cenderung menurun walau angkanya tidak terlalu signifikan. Berikut ini merupakan paparan data load factor Trans Jogja pada tahun 2011:

Ruas Pengamatan Menuju 1A 1B 2A 2B 3A 3B

Jl. Imogiri Utara 19,06% 15,00 %

Jl. Imogiri Selatan 8,00% 20,83 %

Jl. Kusumanegara Barat 32,66% 23,93%

Jl. Kusumanegara Timur 23,64% 6,11%

Jl. Sultan Agung Barat 20,00%

Jl. Sultan Agung Timur 18,06%

Jl. Wahid Hasyim Utara 14,06% 15,63

48

%

Jl. Wahid Hasyim Selatan 14,06% 13,75%

Jl. HOS Cokroaminoto Utara 14,72%

Jl. Kaliurang Utara 21,56 %

Jl. Kaliurang Selatan 24,64%

Jl. Adisucipto Barat 57,95%

Jl. Adisucipto Timur 15,71%

Rata – rata 33,2% 22,8% 23,9% 12,2% 16,4% 18,3%

Pengukuran Load Factor Trans Jogja, data hasil studi evaluasi kinerja Trans Jogja dan rencana pengembangan tahun 2011 oleh MSTT UGM.

Hasil pengamatan mengindikasikan load factor bus Trans Jogja yang tertinggi dipunyai oleh trayek 1A, sedangkan yang paling sedikit adalah trayek 2B. Dengan kisaran faktor muat bus yang kurang dari 70%, maka ada beberapa kesimpulan nyata mengenai eksistensi moda transportasi Trans Jogja di kota Yogyakarta. Pola trayek yang diciptakan sejatinya telah mengakomodasi kebutuhan masyarakat sebagai pengguna namun nyatanya load factor yang dihasilkan masih dibawah angka persentase 50%. Dari hasil survey yang mangatakan bahwa trayek 1A menjadi trayek dengan jumlah load factor rata-rata terbanyak mengindikasikan bahwa koordinat berupa halte dan tempat pemberhentian yang dilalui merupakan destinasi masyarakat kota Yogyakarta yang memiliki intensitas dan prioritas tinggi. Hal tersebut salah satunya diwakilkan oleh Stasiun Tugu, Bandara Adisucipto dan Malioboro yang

49

notabene merupakan destinasi wisata sekaligus tempat lalu lalangnya wisatawan domestik maupun mancanegara. Kedua aspek yang telah dibahas yaitu aksesibilitas dan affordabilitas merupakan dua variabel penting dalam penentuan bentuk pelayanan transportasi publik yang prima. Berpijak dari argumen tersebut maka dapat disimpulkan ide pengembangan transportasi publik Trans Jogja berinovasi pada kedua aspek tersebut.

Penting kiranya untuk menganalisa lebih lanjut mengenai identifikasi barang dalam dua kategori yaitu public goods dan private goods setelah melihat aspek aksesibilitas dan affordabilitas yang telah dikemukakakan sebelumnya. Sangatlah jelas bahwa Trans Jogja merupakan public goods. Argumen tersebut dibuktikan melalui identifikasi asas-asas pembentukan dimana Trans Jogja secara nyata menggunakan undang-undang yang memiliki otoritas negara sebagai pijakan dasar.

Namun disamping itu, adanya perjanjian kerja sama dan memorandum of understanding menunjukkan bahwa Negara melalui Pemerintah Provinsi D.I.Y. dan

Dinas Perhubungan Provinsi dan Kota Yogyakarta tidak berperan sebagai pihak tunggal dikarenakan adanya PT. Jogja Tugu Trans sebagai pihak swasta (operator).

Tetapi selama undang-undang yang menjadi asas dan bukan program perusahaan atau arahan direksi yang menjadi asas pembentukan produk, maka Trans Jogja dikategorikan sebagai barang publik.

Identifikasi berikutnya adalah orientasi pelayanan yang dapat dilihat dari sasaran pengguna barang. Dalam konteks Trans Jogja, pengguna barang adalah warga

50

negara. Argumen tersebut muncul dari identifikasi mekanisme pemberi dan pengguna barang dimana Trans Jogja menggunakan subsidi dalam pengoperasiannya sehingga interaksi yang tercipta bersifat pemenuhan hak warga negara dan bukanlah transaksional. Identifikasi yang ketiga adalah teknik pengambilan keputusan dimana

Trans Jogja menerapkan asas transparansi dan keterwakilan dengan perjanjian kerja sama sebagai bentuk konkretnya. Adanya surat perjanjian kerja sama menunjukkan bahwa kedua pihak (antara pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan

PT. Jogja Tugu Trans) sama sama mengetahui dengan pasti mengenai kewenangannya masing-masing. Adapun perubahan mengenai teknis atau legal aspect sekalipun, keduanya pasti akan sama-sama tahu.

Identifikasi yang selanjutnya adalah asas pelayanan dimana dalam visi misi dan realitasnya yang relevan menunjukkan bahwa Trans Jogja secara nyata mengusung orientasi pelayanan dan bukan keuntungan dengan kepentingan publik sebagai prioritas dikarenakan subsidi dan quality kontrol oleh pemerintah melalui

Dinas Perhubungan Provinsi. Kemudian mengedepankan profesionalitas melalui mekanisme pengangkatan pegawai dari street level sampai pada top level dengan kualifikasi dan fit and proper test yang tertera jelas dalam perjanjian kerja sama.

Kemudian mekanisme evaluasi dari dua arah baik masyarakat sebagai pengguna jasa melalui berbagai bentuk partisipasi dan kritik maupun Dinas Perhubungan Provinsi sebagai penyedia dan otoritas perwakilan pemerintah dalam aspek regulatory melalui evaluasi berkala (per- hari oleh Dinas Perhubungan Kota dan Per- tahun oleh Dinas

51

Perhubungan Provinsi). Identifikasi yang selanjutnya adalah sumber pendapatan dimana jelas bahwa Trans Jogja beroperasi berkat subsidi dan bukan oleh profit.

Setelah mengidentifikasi pelayanan publik maka permasalahan selanjutnya adalah identifikasi model dari pelayanan publik yang dihasilkan. Berikut adalah tabel mengenai identifikasi beserta variabel yang mempengaruhinya.

Tabel Identifikasi Pelayanan Publik Trans Jogja oleh PT. Jogja Tugu Trans

No Variabel Model Pemberlakuan

1 Ide teoritik pemberian Awal terbentuknya pemerintah pelayanan publik provinsi DIY melalui dishub berusaha untuk memberikan model transportasi massa yang efisien bagi pengeluaran daerah sekaligus peningkatan mutu transportasi public yang sudah dinilai tidak layak. 2 Definisi publik Pengguna Trans Jogja ( Costumer ) 3 Peran Pemerintah Pemerintah melalui Dinas Perhubungan Provinsi Yogyakarta hanya berlaku sebagai steering agent yang mengerahkan kekuatan pasar masyarakat untuk menggunakan transportasi public tersebut. 4 Penyedia pelayanan Swasta melalui PT. Jogja Tugu Trans 5 Mekanisme kebijakan Kebijakan transportasi yang pelayanan publik yang dikeluarkan bersifat kontrak keja berlaku pemberian pelayanan public dengan

52

menerapkan isentif dan disinsentif pada pelayanan melalui kontrak.26 6 Kontrol Akuntabilitas Akuntabilitas dinilai berdasarkan outcomes yang dihasilkan oleh PT. JTT berupa keuntungan yang akan dibagi secara terpusat oleh Pemerintah DIY melalui Dinas Perhubungan 7 Perilaku organisasi Organisasi penyedia pelayanan penyedia pelayanan publik termotivasi secara ekonomi untuk memaksimalkan profit yang ada untuk peningkatan pelayanan. Saat ini PT. JTT masih dibawah control yang cukup besar dari Dinas Perhubungan

Setelah melihat rincian tabel di atas berikut identifikasi mengenai bentuk barang dan jasa yang didefinisikan dari Trans Jogja itu sendiri terdapat sebuah kesimpulan yang tidak bisa disanggah bahwa Trans Jogja merupakan salah satu bentuk reformasi pelayanan publik melalui ide New Public Management. Bagaimana kemudian New Public Management merupakan bentuk pelayanan publik gaya baru dimana terlibatnya pihak swasta dalam urusan publik namun wewenangnya dibatasi oleh asas negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara perihal orientasi pemenuhan pelayanan. Adapun pembatasan yang dimaksud secara khusus didefinisikan melalui mekanisme regulasi, kontrol beserta evaluasi yang tentunya

26 Melihat Surat Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Provinsi D.I.Y. dengan PT. Jogja Tugu Trans nomor 34/PERJ/GUB/II/2008.

53

dilakukan oleh negara melalui pemerintah sebagai otoritas tertinggi perihal urusan pemenuhan hak warga negara.

E. Penutup

Trans Jogja hadir dari ruwetnya masalah transportasi yang ada di Yogyakarta.

Yogyakarta sebagai pusat pendidikan, budaya, dan wisata dirasa perlu memberikan pelayanan transportasi yang memiliki standar kenyamanan prima. Diskursus dalam inisiasi pembentukan Trans Jogja pun terlihat sebagai salah satu mekanisme manajemen konflik untuk mengakomodasi kepentingan dari semua pihak. Walhasil dengan berbagai pengajuan model operasional, akhirnya tepilihlah pihak swasta sebagai upaya untuk menciptakan pelayanan prima Transportasi dengan menggandeng PT. Jogja Tugu Trans sebagai mitra operasional program Trans Jogja.

Dengan digandengnya PT. JTT merupakan salah satu bentuk inovasi dalam penyediaan pelayanan publik di Yogyakarta. Bentuk manajerial yang dipakai adalah pengelolaan berbasis New Public Management. Dengan diadopsinya NPM diharapkan adanya kualitas yang Prima sesuai dengan harga yang ditawarkan oleh

Pemerintah. Aspek kenyamanan seperti shelter keberangkatan-pemberhentian, trayek yang tertata, armada bus ber ac dengan kenyamanan bus patas serta ticketing modern merupakan jualan utama yang diberikan oleh PT. JTT dalam penerapan program

Trans Jogja.

54

BAB III

Pengelolaan Trans Jogja

A. Pendahuluan

Bagian ini membahas mengenai struktur kelembagaan Trans Jogja dimana terdapat Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, Unit Pelaksana Teknis Daerah Trans Jogja dan PT. Jogja Tugu Trans yang pembahasannya dilanjutkan ke persoalan pengelolaan dan mekanisme kerja.

Identifikasi pertama dilakukan untuk melihat struktur kelembagaan dari aktor – aktor yang mengelola program Transjogja.

Disaat struktur kelembagaan sudah terjabarkan, penting untuk melihat struktur mekanisme kerja dan kualitas kinerja yang dihasilkan oleh penyedia layanan Trans

Jogja. Mekanisme kerja yang terjadi sangat ditentukan oleh struktur kelembagaan dalam pengelolaan. Hasilnya akan meciptakan sebuah mekanisme dan kualitas dari bentuk pelaynan Trans Jogja yang diharapkan.

B. Struktur Kelembagaan Trans Jogja

Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Provinsi DIY

Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta merupakan Dinas eksekutif Pemerintahan di Provinsi DIY yang memiliki otoritas dalam masalah pengembangan perhubungan, komunikasi, dan informatika yang berada Provinsi DIY. Dinas ini merupakan salah satu bentuk reformasi birokrasi dari Pemerintah Provinsi DIY dalam menggabungkan Dinas

Perhubungan dan Dinas Komunikasi dan Informatika, sebagai salah satu bentuk

55

untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi dalam birokrasi Pemerintahan. Dalam visinya dinas ini memiliki peran utama dalam terwujudnya pengembangan transportasi berkelanjutan yang mendukung pariwisata, pendidikan dan budaya, serta terwujudnya Jogja Cyber Province dan masyarakat informasi yang berbasis pengetahuan di Provinsi DIY. Tujuan utama dari dinas ini dalam kinerja birokrasinya terwujud dalam bentuk penggabungan sustainable development transportation yang modern dan dimanfaatkan dengan kemajuan dari teknologi berbasis good governance.27

27 Profil Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika diunduh dari http://dishub- diy.net/Profil/visi-a-misi-dinas-perhubungan.html pada 20 Maret 2013 Pukul 11.54 WIB.

56

Gambar 1. Struktur Organisasi Dinas Perhubungan, Komunikasi dan

Informatika

Melalui struktur organisasi pada gambar di atas, Dishubkominfo Provinsi memiliki pembagian tugas yang jelas dalam usaha untuk mewujudkan visi dan misinya. Tercatat terdapat enam bidang teknis kerja dan dua UPTD ( Unit Pelaksana

Teknis Daerah ), yaitu Bidang Angkutan Darat; Bidang Lalu Lintas Darat dan Laut;

Bidang Pos, Telekomunikasi dan Perhubungan Udara; Bidang Layanan Teknologi dan Manajemen Informasi; Bidang Pemberdayaan Masyarakat Informasi; Kantor

Pengendalian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; UPTD Trans Jogja dan UPTD Plaza

Informasi. Bidang – bidang tersebut dikepalai oleh seorang Kepala Dinas yang bertanggungjawab secara langsung kepada Gubernur Provinsi DIY.

Bentuk real dalam pengaplikasian dari visi dan misi yang tercetus mengenai hadirnya pelayanan publik transportasi, adalah terciptanya pelayanan Trans Jogja sebagai bus rapi transit pertama di Yogyakarta. Peranan Dinas Perhubungan,

Komunikasi dan Informasi dalam terwujudnya Trans Jogja adalah sebagai berikut :

1. Sebagai inisiator awal terbentuknya kebijakan mengenai Trans Jogja.

2. Sebagai penyusun legal draft, penjaringan opini publik dan regulator dalam

terbentuknya Trans Jogja.

57

3. Penjalanan mekanisme teknis pengawas operator Trans Jogja sebelum

terbentuknya UPTD.28

Selepas UPTD Trans Jogja dibentuk oleh Dishubkominfo DIY, otomatis peranan

Dishubkominfo dalam aplikasi pelayanan publik transportasi Trans Jogja tersebut tidak lagi menjadi unit pelaksana teknis dalam pengoperasian Trans Jogja.

Dishubkominfo saat ini menjadi inisiator, regulator drafter, dan pengawas kinerja

UPTD dimana nantinya UPTD Trans Jogja harus bertanggung jawab secara penuh terhadap pelaksanaan kebijakan pelayanan publik Trans Jogja ini.

UPTD Trans Jogja ( Unit Pelaksana Teknis Daerah )

UPTD Trans Jogja dibentuk berdasarkan Pergub DIY No. 36 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPTD dan UPLTD Provinsi DIY. Pemebntukan dari UPTD ini diatur dalam pasal 38, dalam pasal tersebut UPTD memiliki kepala

UPTD, Subbagian Tata Usaha, Seksi Operasional dan Pengendalian, Seksi Sarana dan Prasarana, dan kelompok Jabatan Fungsional. Dalam penjalanannya, UPTD

Trans Jogja memiliki struktur organisasi sebagai berikut :

28 Wujudkan Impian Angkutan Kota yang Aman dan Nyaman diunduh dari http://hubdat.dephub.go.id/newsletter-infohubdat/9-edisi-juni-tahun-2008/download. pada 20 Maret 2013 Pukul 12.53 WIB

58

Kepala UPTD

Jabatan Subbagian

Fungsional Tata Usaha

Seksi Operasional Seksi Sarana dan Dan Prasarana Pengendalian

Gambar 2. Bagan Organisasional UPTD Trans Jogja

Sehingga dapat disimpulkan keberadaan dari UPTD ini sebagai bentuk organisasi teknis yang bertanggungjawab secara langsung mengenai pelaksaan, pengawasan dan evaluasi dari program Trans Jogja. Pelaksanaan dan Pengawasan dimaksudkan UPTD ini bertugas untuk melakukan tindakan-tindakan dalam mewujudkan keberlangsungan dari Trans Jogja secara langsung seperti membuat peraturan kepada operator tentang sistem aturan main ( trayek, kontrak operator, pengelolaan administrasi dan pengurusan administrasi ) berlangsungnya program

Trans Jogja. Sedangkan fungsi evaluasi dijalankan sebagai bentuk pengkajian antara kontrak yang sudah dibangun dengan operator, dengan kenyataan penjalanan kebijakan Trans Jogja oleh operator yang berada dilapangan.29 Evaluasi yang dijalankan oleh UPTD terhadap operator Trans Jogja ini diberlakukan setiap enam

29 Studi Kelayakan Sistem Reformasi Transportasi Angkutan Umum Perkotaan di Provinsi DIY oleh Dishubkominfo Tahun 2005, hal. 10-8.

59

hingga duabelas bulan sekali oleh UPTD.30 Dalam evaluasi tersebut UPTD Trans

Jogja memiliki wewenang untuk memberikan sanksi terhadap operator jika melakukan pelanggaran terhadap kontrak.

PT. Jogja Tugu Trans

PT Jogja Tugu Trans merupakan sebagai wujud konsorsium empat koperasi pengelola transportasi umum kota dan pedesaan di Yogya (Koperasi Pemuda Sleman,

Kopata, Aspada, dan Puskopkar) dan Perum DAMRI. Saat ini Dinas Perhubungan kota Yogyakarta berusaha menggandeng koperasi yang lain dan berusaha mengintegrasikan sistem transportasi umum melalui PT . Jogja Tugu Trans. Hal tersebut berdasar pada dari Surat Edaran 551 / 296 Dinas Perhubungan Provinsi DIY yang berdasar pada : 1. PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan; 2. Perda

Provinsi DIY No. 1 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Umum; 3. Perda

Provinsi DIY No. 2 Tahun Tahun 2008 tentang Retribusi Jasa Umum; dan 4. Pergub

DIY No. 5 Tahun 2008. 31

Dalam kebijakan pelayanan publik Trans Jogja, PT. JTT merupakan operator yang menjalankan bus dalam kebijakan Trans Jogja. PT. JTT harus bisa menjalankan operasional kegiatan Trans Jogja sesuai dengan kontrak yang dibangun dengan

Dishubkominfo sesuai dengan tarif yang telah ditentukan. Segala tanggung jawab operasional angkutan adalah tanggung jawab dari PT.JTT baik meliputi pengadaan

30 Wawancara dengan Ibu Etik ( Staff UPTD Trans Jogja )

31 Hasil wawancara dengan segenap direksi Dinas Perhubungan Provinsi DIY yang dimuat dalam makalah kebijakan publik “ Memahami peran Dinas Perhubungan Provinsi DIY “.

60

bus, sopir, pegawai operasional perusahaan, hingga perawatan kendaraan. Saat ini tersedia 90 bus sejumlah 70 bus milik PT . JTT dan 20 bus hibah dari dirjen perhubungan darat. Selain itu PT. JTT saat ini menjalankan delapan trayek Trans

Jogja yang melayani penumpang.

Bagan Organisasional Penyelenggara Trans Jogja

Dari penjelasan mengenai penyelenggara Trans Jogja di atas, dapat terlihat jika dalam penjalanan kebijakan Trans Jogja mengadopsi rencana alternatif point D yang terdapat dalam kajian reformasi angkutan umum.32 Dalam point tersebut disebutkan jika kebijakan Trans Jogja merupakan kebijakan yang menjadi tanggung jawab utama dari Dishubkeminfo yang dijalankan oleh UPTD ( Unit Pelaksana

Teknis Daerah ) Trans Jogja. UPTD menunjuk PT. JTT sebagai perusahaan yang menjalankan operasionalisasi dari program pelayanan publik transportasi Trans Jogja, sebagai upaya untuk penghematan program kebijakan pemerintah, membuka peluang kompetisi bagi swasta, dan memberikan pelayanan publik yang baik dan nyaman setara dengan kualitas swasta.33

32 Ibid, Studi Kelayakan Reformasi Angkutan Umum, hal. 10-22.

33 Ibid, hal. 10-3.

61

Gubernur

Dishub

UPTD TRANS

JOGJA

PT. JTT

Gambar 3. Struktur Organisasi Penyelenggara Trans Jogja

C. Pengelolaan dan Mekanisme Kerja Trans Jogja

1. Relasi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Trans Jogja

Dalam pengelolaan Trans Jogja ada dua pihak yang berperan penting dalam ketersediaan pelayanan publik sebagai penyedia. Pihak Dinas Perhubungan Provinsi

Yogyakarta yang berperan sebagai penginisiasi kebijakan. Sedangkan pihak PT. Jogja

Tugu Trans merupakan ujung tombak perusahaan yang menyediakan pelayanan transportasi publik masal.

Dinas Perhubungan berperan sebagai pihak yang menginisiasi kebijakan sekaligus mengontrol pihak swasta. Perannya mereka memberikan trayek kepada PT .

Jogja Tugu Trans untuk transportasi massal. Penempatan shelter juga merupakan tanggung jawab dari Dinas Perhubungan sebagai otoritas tertinggi yang diakui masyarakat. Selain itu segala jenis bentuk keuangan dan pengelolaan inovasi dari

62

transportasi Trans Jogja merupakan wewenang Dishub. Sebagai contoh saat ini kita masih sering melihat bus Trans Jogja yang menjadi media periklanan beberapa perusahaan, hal tersebut merupakan tanggung jawab dari pengelolaan Dinas

Perhubungan.34

PT. Jogja Tugu Trans sendiri saat ini peran dalam menyediakan pelayanan publik masih dibilang minimal. Wewenang yang ada berupa : 1. Penyediaan bus dan perawatan bus Trans Jogja; 2. Perekrutan pegawai dan juru mudi yang mengurusi

Trans Jogja. Wewenang tersebut bagi pihak ketiga sebagai perusahaan masih diakui sangat kurang oleh direksi PT. Jogja Tugu Trans.35

Ketimpangan dari relasi kuasa yang terjadi terlihat dari pembagian tugas antara PT. JTT dan Dinas Perhubungan . Relasi kuasa lebih besar terjadi pada Dinas

Perhubungan. Padahal melihat konsep NPM pada identifikasi pelayanan publik Trans

Jogja tersebut sekiranya titik berat tumpuan pelayanan publik harus berada pada pihak PT. JTT. Sebuah perusahaan yang menjadi penyedia pelayanan publik seharusnya diberi otonomi yang cukup luas untuk memberikan inovasi bentuk pelayanan demi peningkatan kualitas. Dampaknya adalah dilemma dan berbagai masalah yang muncul bagi PT. JTT dan masyarakat yang ingin menggunakan transportasi publik massal tersebut.

34 Wawancara dengan Ibu Wati selaku Staff Human Resource Departement dari PT. Jogja Tugu Trans 35 Wawancara dengan Bpk. Tito selaku Direksi Human Resource Departement dari PT. Jogja Tugu Trans

63

Seperti yang sudah disebut dalam pembahasan sebelumnya, pelayanan publik yang disajikan oleh Trans Jogja ini hadir dengan sistem yang tidak jelas. Yang dimaksud dengan hal tersebut adalah adanya campur tangan Dinas Perhubungan yang cenderung mendominasi wewenang pelaksanaan transportasi serta melarang PT.

Jogja Tugu Trans untuk berimprovisasi demi sebuah inovasi yang pada akhirnya justru menguntungkan berbagai pihak, entah itu masyarakat, Kota Jogja hingga PT.

Jogja Tugu Trans sendiri. Memang perlu digaris bawahi bahwa PT. Jogja Tugu Trans bukanlah perusahaan privat yang akan terus berkembang serta berinovasi demi mengejar profit serta kepuasan konsumen, namun hanyalah sebatas operator pelayanan transportasi publik yang diberikan mandat oleh Dinas Perhubungan untuk menjalankan hal tersebut. Dalam hal ini, Dinas Perhubungan adalah satu satunya aktor yang memiliki otoritas atas segala hal yang menyangkut dengan operasionalisasi PT. Jogja Tugu Trans. Logika pasar yang terdapat dalam NPM tidak berjalan dalam kasus ini. maka wajar saja jika disebut memiliki sistem yang tidak jelas.

Berangkat dari masalah kurangnya dana operasionalisasi armada dan hal lain yang berkaitan adalah rumitnya Birokrasi Dinas Perhubungan dalam hal pencairan dana untuk biaya perawatan armada dan biaya operasional perusahaan. Kurangnya perhatian Dishub dalam hal ini justru membuat pelayanan publik di sektor transportasi akan semakin memburuk disusul oleh berbagai masalah yang menyangkut dengan kurangnya jumlah armada yang optimal untuk beroperasi, shelter yang terbatas serta trayek yang kurang tepat sasaran yang pada akhirnya akan

64

menimbulkan sebuah efek domino kompleksitas masalah dalam hal pelayanan publik di sektor transportasi.

Implikasi yang hadir akibat hal tersebut, pihak PT Jogja Tugu Trans harus memutar otak untuk menambah pemasukan perusahaan demi meningkatkan operasional perusahaan. Hal tersebut biasanya dilakukan dengan tindakan mengakali harga onderdil kendaraan yang harus mendapatkan perawatan. Bisa dibilang hal tersebut termasuk tindakan koruptif. Jika mengandalkan uang ganti trayek yang diberikan Dinas Perhubungan Provinsi DIY saja, perawatan bus seringkali mengalami hambatan dana. Padahal perawatan bus membutuhkan dana yang cukup tinggi, tidak sebanding dengan harga kompensasi trayek .36

Proyek Trans Jogja diharapkan akan menjadi alat transportasi massal yang terintegrasi dengan Kota Jogja. Namun dengan hadirnya beberapa masalah yang saling berkaitan satu dengan lainnya justru memunculkan kompleksitas masalah yang semakin sulit untuk dicari jalan keluarnya. Ditambah dengan masalah terakhir yang menyebutkan bahwa PT. JTT memiliki masa kontrak dengan Dishub dalam hal pengadaan pelayanan publik di sektor transportasi hingga tahun 2015. PT. JTT yang hanya berperan sebagai operator berpendapat bahwa tenggang tahun yang diberikan dirasa kurang cukup untuk mengintegrasikan proyek transportasi massal di Kota

Jogja, mengingat berbagai masalah yang muncul satu per satu. Dalam pembahasan

36 Baca lampiran kompensasi trayek per kilometer.

65

berikutnya akan dikupas secara mendalam mengenai bentuk pelayanan publik yang dihasilkan dari model kerjasama swasta dan pemerintah terhadap transportasi publik.

2. Kinerja Trans Jogja

Pada bagian ini pembahasan akan berlanjut pada aspek kinerja Trans Jogja terhadap masyarakat selaku pengguna pelayanan. Bagian ini akan banyak membahas mengenai opini dan penilaian masyarakat terhadap segala sesuatunya khususnya hal teknis yang melekat pada Trans Jogja. Terdapat sebuah survei yang telah dilakukan oleh MSTT UGM pada tahun 2011. Adapun berikut ini adalah kesimpulan akhir mengenai kinerja pelayanan Trans Jogja dari sudut pandang pengguna.

Responden Tidak Cukup dan Kurang Berlebihan memuaskan sesuai harapan memuaskan

Penumpang waktu tunggu informasi jalur jarak berjalan kemudahan Trans Jogja di halte dan sebagainya ke perhentian mendapatkan angkutan tiket *100 orang random kenyamanan keamanan dari jam pelayanan tarif perjalanan sampling halte tindak kriminal

ketepatan keselamatan jangkauan waktu atau pelayanan jadwal

kenyamanan pelayanan duduk dalam awak bus kendaraan

kebersihan waktu atau halte, lama kendaraan dan perjalanan sebagainya

pergantian antara rute

66

Setelah kita lihat penilaian masyarakat sebagai pengguna terhadap permasalahan kualitas khususnya teknis, pembicaraan mengenai anggaran menjadi hal selanjutnya yang perlu diteliti. Anggaran yang dibicarakan adalah hasil dari

“keleluasaan” wewenang PT. Jogja Tugu Trans selaku operator yang pada kenyataannya berada pada skala paling minimum yang berbanding terbalik dengan dominannya otoritas Dishub.

Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa moda transportasi modern Trans Jogja ini merupakan suatu inovasi dalam bidang pelayanan publik transportasi masal dengan menggandeng pihak swasta sebagai operator. Hubungan antara keduanya bersifat transaksional dimana PT. JTT selaku pihak swasta berperan sebagai operator yang menggerakan usahanya melalui subsidi pemerintah melalui

UPTD dalam urusan penyediaan pelayanan transportasi publik masal.

Bagaimana kemudian penilaian terhadap produk atau jasa merupakan hasil akhir setelah adanya proses analisa antara dua variabel, yakni pengeluaran dan pemasukan. Penilaian terhadap efisiensi nya suatu produk dapat dilihat dari analisa variabel beban publik melalui perbandingan antara manfaat pelayanan dengan jumlah investasi yang dibiayai oleh pemerintah. Hal tersebut dilakukan dalam konteks Trans

Jogja ini dengan melihat jumlah subsidi sebagai pemasukan dengan fix cost maupun variabel cost sebagai inti dari pengeluaran, sehingga akan muncul kesimpulan pada hasil akhir nantinya. Namun terdapat sebuah kajian yang dilakukan oleh MSTT UGM selaku pihak ketiga dalam melihat anggaran baik fix coast ataupun variable cost melalui penghitungan pengeluaran operator dengan melihat pengeluaran pada tahun

67

2010. Pembahasan tidak akan melebar jauh hingga membicarakan permasalahan angka, yang ada adalah analisa teoritik mengenai mekanisme kerja antara UPTD

Trans Jogja dengan PT. Jogja Tugu Trans. Mekanisme New Public Management dengan minimumnya bargaining position pihak swasta dengan peran hanya sebagai operator maupun eksekutor membuat hal-hal mengenai biaya dan angka menjadi sorotan yang paling sering diperdebatkan. Adapun pada kenyataannya mekanisme pembayaran PT. JTT melalui subsidi pembayaran per kilometer menjadikan posisi operator berada pada keadaan yang “sempit”. Ketika operator dihadapkan dengan sebuah nominal Rp. 5.190/km/bus, nampak ketidakleluasaan baginya yang notabene benda swasta dengan orientasi profit untuk menggerakkan apalagi berimprovisasi terkait kualitas.

Data konkrit 2010 melalui studi analisa oleh MSTT UGM mengenai Biaya

Operasional Kendaraan yakni jumlah kilometer total pada tahun tersebut adalah

5.316.065,363 kemudian dikalikan dengan subsidi Rp. 5190/kilometer/bis menghasilkan angka Rp. 27.590.379.233,97. Sementara pada tagihannya hanya muncul angka sejumlah Rp. 26.214.882.229,65 sehingga terdapat margin sejumlah

Rp. 1.375.497.004,34. Dalam konteks New Public Management, profit bagi pihak swasta merupakan sesuatu hal yang dihalalkan mengingat mekanisme dari konsep tersebut dengan menggandeng pihak swasta dalam perkara pelayanan publik dengan sistem subsidi. Walaupun konteks permasalahannya adalah ranah publik, tetapi swasta tetaplah swasta dengan orientasi profitnya sehingga ruang bagi profit akan selalu tercipta maupun diciptakan.

68

Apabila kita merenungi paparan argumen sebelumnya dengan merujuk juga pada paparan angka, rigidnya permasalahan angka subsidi dan anggaran merupakan poin pertama yang sebenarnya menjadi salah satu penyebab stagnansi dalam persoalan kualitas layanan yang berdampak pada efektifitas kehadiran Trans Jogja terhadap masyarakat. Logika bisnis adalah sederhana ketika produsen memproduksi barang dengan biaya katakanlah seribu maka harga jualnya pun tidak akan berada pada kisaran yang sama. Adanya margin tersebutlah yang membuat produsen itu mendapatkan profit. Pun begitu halnya dengan konteks PT. JTT selaku operator yang mendapatkan harga pada kisaran Rp. 5.190/kilometer/bus maka yang mereka lakukan adalah berusaha memainkan variabel pengeluaran terutama dalam ranah variable cost yang sejatinya dapat dimanipulasi.

Berbicara masalah kinerja Trans Jogja, hasil analisa baik data, literatur maupun lapangan menyimpulkan keadaan yang berada di garis tengah dalam skala efektivitas namun peningkatannya akan memberikan dampak yang signifikan terhadap Trans Jogja itu sendiri kedepannya. Pembicaraan mengenai efisiensi lah juga perlu disoroti mengingat mekanisme yang tengah berlangsung memposisikan PT. JTT selaku operator menjadi “sempit” ruang geraknya guna meningkatkan kinerja pengelolaan operasi program Trans Jogja dan itu menjadi perkara besar ketika permasalahan anggaranlah yang dihadapi. Berbicara masalah produk atau jasa akan membawa kita pada pembicaraan mengenai masalah klasik yaitu harga. Dalam konteks Trans Jogja, pengeluaran menjadi suatu aspek yang dapat dimanipulasi dan

69

ketika manipulasi itu dilakukan maka secara otomatis degradasi kualitas lah yang kemudian terjadi.

D. Penutup

Struktur kelembagaan dari Trans Jogja memperlihatkan adanya alur hierarkis dalam penyediaan pelaynan publik transportasi. Inisiator dalam program ini adalah

Dinas Perhubungan Provinsi DIY yang bertugas menciptakan legal framework dan aturan main dalam pelaksanaan program. Setelah program Trans Jogja sudah berjalan, Dinas Perhubungan Provinsi DIY membentuk unit pelaksana teknis yaiu

UPTD Trans Jogja sebagai pengawas teknis dan pengembanganan usaha program

Trans Jogja. Sedangkan di level manajerial operasional dari pelaksanaan program, wewenang dilimpahkan kepada PT. Jogja Tugu Trans.

Tolok ukur nyata yang sederhana dilihat dari mekanisme dan kualitas program

Trans Jogja berada pada kinerja PT. Jogja Tugu Trans. Data sekunder memperlihatkan jika dalam beberapa aspek pelaksanaan program Trans Jogja perlu adanya peningkatan kinerja, karena selama ini program berada dalam titik stagnansi kinerja. Adanya permasalahan itu, tidak bisa dipungkiri terjadi karena wewenang kerjasama yang terjadi dan posisi kelembagaan dari PT. JTT hanya sebatas sebagai fungsi manajerial operasional dari pelayanan yang diberikan.

70

BAB IV

Analisis Pengelolaan Trans Jogja Sebagai Sarana Transportasi Kota Yang

Diharapkan Masyarakat

A. Pendahuluan

Bagian ini berisikan analisa implikasi kehadiran Trans Jogja dengan melihat beberapa faktor dan aspek. Pada bagian awal, pembahasan dimulai dengan paparan realitas Trans Jogja terhadap pengguna, bagaimana kemudian peranan Trans Jogja dalam kehidupan masyarakat terkait kehadirannya sebagai inovasi pelayanan transportasi publik. Bagian ini dibagi menjadi dua sub bab yaitu relasi antar aktor:

Negara versus swasta yang berusaha membantu kita melihat posisi masing-masing aktor dalam struktur otoritas kemudian pengelolaan pelayanan publik yang berusaha mencari faktor eksternal mengapa swasta menjadi pilihan bagi operasional Trans

Jogja dan bukan pembentukan BUMD yang notabene lebih efektif dan efisien kemudian masuk pada dilema mekanisme New Public Management secara teoritik dan juga kontrak kerja maupun kesepakatan kerja lainnya beserta regulasi yang mengkerangkai Trans Jogja.

Trans Jogja sebagai moda transportasi modern menjadi sebuah produk yang diproyeksikan sebagai jawaban akan tuntutan masyarakat akan pelayanan transportasi publik masal efektif dan efisien. Kehadirannya menjadi harapan ditengah usaha pemerintah Provinsi dan kota untuk menyelaraskan pembangunan di segala lini urusan publik. Terhitung sejak efektif pengoperasiannya pada tahun 2008 yang lalu,

Trans Jogja mengalami pasang surut terkait efektifitasnya dalam menjalankan fungsi

71

khususnya pada aspek permasalahan transportasi perkotaan di kota Yogyakarta. Peran

Bus Trans Jogja sebagai Angkutan Massal dalam Penyelesaian Masalah transportasi perkotaan di Yogyakarta mampu berperan dalam mendukung pelaksanaan reformasi transportasi angkutan umum DIY. Selain itu, PT. JTT merupakan penyedia layanan angkutan umum yang dapat diandalkan dan memenuhi standar pelayanan minimal.

PT. JTT juga mendukung pertumbuhan ekonomi dan pariwisata di Provinsi DIY.

Berbicara mengenai kelebihan, bus Trans Jogja ini dinilai memiliki beberapa kelebihan dibanding moda transportasi konvensional yang sudah ada sebelumnya.

Seperti halnya Bus way di Jakarta, Bus Trans Jogja juga menggunakan sistem ticketing. Demikian pula untuk naik turunnya penumpang tidak bisa dilakukan di sembarang tempat, tetapi harus naik di halte (shelter). Namun berbeda dengan bus way yang telah diterapkan di Jakarta, jalur Bus Trans Jogja ini tidak memiliki jalur khusus. Jalur Trans Jogja bercampur dengan kendaraan lainnya. Pengoperasian bus patas ini memakan dana yang cukup besar. Setiap pengoperasian dua armada bus

Trans Jogja menggantikan tiga armada bus lama. Bus trans Jogja sendiri telah disiapkan lima puluh empat armada bus. Operasi lima puluh empat armada bus ini mematikan seratus delapan trayek reguler. Bus Trans Jogja ini memiliki kapasitas dua puluh dua tempat duduk dan dua puluh spot berdiri . Bus ini dilengkapi dengan AC, pintu otomatis, power steering. Setiap satu bus terdapat seorang pramudi dan seorang pramugara/ri yang bertugas memberikan informasi mengenai tempat pemberhentian, jarak, waktu tempuh dan informasi lain kepada penumpang . Dari lima puluh empat bus yang ada, sebanyak empat puluh delapan bus melayani enam trayek dengan jam

72

operasi antara pukul 05.30-21.30, dengan jarak waktu antara bus satu dengan bus yang lain tiap jalur sekitar empat belas menit. Dari lima puluh empat bus patas tersebut dua puluh buah merupakan bantuan dari Pemerntah sedangkan sisanya adalah aset dari PT. Jogja Tugu Trans (PT. JTT). PT JTT sebagai operator bus patas

Trans Jogja telah menyediakan sejumlah awak bus yaitu seratus delapan belas pramudi dan seratus tujuh belas pramugara/ri. Masing masing awak bertugas dalam dua shift yaitu pukul 05.30-13.30 dan 13.30-21.30. Terdapat enam rute trayek yang akan dioperasikan.

Dalam kenyataannya, upaya pemerintah dalam mewujudkan dan merealisasikan Trans Jogja ini bukan berarti tidak mengalami hambatan. Terjadi beberapa polemik yang membuat realisasi Trans Jogja mundur dari rencana.

Sebenarnya, Trans Jogja berniat diluncurkan pada Desember 2007, namun berbagai masalah menjadi hambatan mulai dari masalah fisik, hingga terjadi perdebatan yang terjadi pada saat pembahasan dewan. Banyaknya pihak yang terlibat dalam kebijakan transportasi Trans Jogja tentunya mempengaruhi kebijakan tersebut. Mulai dari tahap penggagasan hingga dioperasikan masing-masing pihak tersebut tentunya memiliki pendapat dan gagasan masing masing. Pendapat dan gagasan ini muncul didasarkan pada masing-masing motivasinya. Masing masing memiliki kepentingan yang ingin diwujudkan dalam Trans Jogja ini. Adanya kepentingan, motivasi, ide dan pendapat yang berbeda beda inilah yang terkadang menimbulkan polemik dan benturan.

Banturan dan polemik tidak hanya berhenti pada tataran elite. Melainkan juga pada masyarakat. Masyarakat memiliki pendapat tersendiri mengenai kebijakan baru ini.

73

Bagaimanapun juga Kebijakan Trans Jogja bukanlah kebijakan yang langsung dapat memuaskan semua, butuh pengembangan dan perbaikan.

Pada awal pencetusan sistem ini, belum terjadi pemahaman yang sama dan selaras mengenai Trans Jogja, baik antara pelaku Trans Jogja dengan masyarakat itu sendiri. Pada awal akan dioperasikannya Trans Jogja sempat terdapat kekhawatiran dari sopir bus Konvensional tentang pendapatan yang akan terpengaruh (menurun).

Padahal, dengan adanya Bus Trans Jogja dapat memeberikan pilihan alternatif transportasi yang nyaman bagi masyarakat, tujuannya melakukan perombakan sistem transportasi dan melakukan peremajaan angkutan. Bagitu juga segmen yang dituju berbeda, sehingga masyarakat dapat memilih sistem transportasi yang diinginkan, apakah ber-AC dan memiliki ketetapan waktu seperti Trans Jogja, atau tidak ber-AC dan tidak memiliki ketetapan waktu dengan naik angkutan bus biasa.

Pelaksanaan ini juga membutuhkan dana yang besar, padahal kondisi keuangan PT. JTT kurang memungkinkan untuk membeli 34 unit bus. Maka dari itu,

PT. JTT bekerja sama dengan pihak bank sebagai penyedia dana dalam hal pengadaan 34 unit bus tersebut. Perubahan sistem organisasi, yang sebelumnya adalah pengurus sebuah koperasi dan kini harus mengelola sebuah perseroan ”PT”, membuat para pelaku ini harus beradaptasi untuk menjalankan sistem ini sesuai standar operasional minimum. Apalagi, para anggota konsorsium harus bisa memahami proses pengelolaan kendaraan, yang sebelumnya armada bus dapat dimiliki oleh anggota koperasi, namun sekarang seluruh armada merupakan aset perusahaan. Apalagi dahulu, yang setiap harinya selalu mendapat fresh money ,

74

namun sekarang anggota konsorsium ini hanya mendapat deviden yang dibagikan setiap tahun sekali / akhir tahun.

Banyak beredarnya isu kurangnya sosialisasi disoroti oleh masyarakat pada awal pengoperasian Trans Jogja. Padahal sosialisasi sudah dilakukan oleh PT. JTT guna memperkenalkan Bus Trans Jogja kepada masyarakat luas baik melalui media cetak maupun elektronik. PT. JTT sering melakukan dialog interaktif di TVRI dan

RRI, wawancara dengan ”KOMPAS”, ”Kedaulatan Rakyat”, dan surat kabar lainnya, memasang spanduk, serta PT. JTT juga membagikan brosur mengenai informasi Bus

Trans Jogja diharapkan dapat lebih memperluas informasi tentang sistem transportasi ini.

B. Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Transjogja

NPM Tanggung, Kualitas yang Stagnan dan Perawatan Infrastruktur Bus

Dalam penerapan program Trans Jogja yang berlandaskan secara teoritis New

Public Management ( NPM ) ternyata tidak sesempurna yang diharapkan outputnya dengan kata lain “ NPM Tanggung “. Tanggungnya dari Trans Jogja tersebut tidak bisa dipungkiri karena hasil penilaian dari output yang dihasilkan oleh program ini cenderung menunjukkan angka yang stagnan dalam load factor dan pemasukan yang didapat.37 Selain itu hasil dari efesiensi dan efektifitas program yang menghasilkan kualitas dari penyelenggaraan Trans Jogja sendiri tidak menunjukkan hasil signifikansi yang sangat memuaskan pelanggan dalam semua aspek. Kepuasan

37 Lihat Lampiran mengenai Pemasukan Trans Jogja.

75

kualitas dan bentuk perubahan pelayanan publik yang sangat signifikan hanya ditunjukkann dengan bentuk perubahan transportasi publik yang terjadwal dan pelayanan terhadap pelanggan yang dinilai cukup prima. Sayangnya, dalam segi ketepatan waktu dan infrastruktur bus Trans Jogja mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Saat ini keberadaan bus dinilai makin buruk dengan berbagai fasilitas yang tidak lagi berfungsi secara maksimal.

Senada dengan hal tersebut pihak Trans Jogja pun membenarkan banyak dinilai publik kualitas pelayanan Trans Jogja tidak bisa berjalanan maksimum dilihat dari infrastruktur bus yang semakin memburuk. Media dan masyarakat sering menyoroti masalah AC ( Air Conditioner ) bus yang tidak menyala, pintu otomatis yang rusak, kendaraan yang mogok hingga masalah jendela yang rusak. Wajar saja jika masyarakat dan media jika melihat hal tersebut, karena tampilan infrastruktur bus tersebut yang membuat masyarakat tertarik untuk menggunakan Trans Jogja. Pihak

Trans Jogja menilai masyarakat dan media tidak bisa disalahkan dalam menanggapi permasalahan yang terjadi, justru adanya kritikan tersebut harus menjadi cambukan bagi pihak operator untuk lebih meningkatkan kualitas dari pelayanan Trans Jogja.

Hadirnya masalah perawatan dari infrastruktur bus, pihak PT. Jogja Tugu

Trans memiliki alasan dan sudut pandang sendiri sebagai bentuk pembelaan terhadap posisinya sebagai operator. Sebagai analagi dari jasa operator pihak PT.JTT menganalogikan dengan pemberian uang saku, “Katakanlah saya diberi uang saku untuk kuliah pada tahun pertama kita diberi 10 ribu per tahun berikutnya kita diberi dengan jumlah yang sama. Padahal dari tahun ke tahun kebutuhan pokok kita

76

semakin banyak. Setelah masuk tahun ketiga dan berikutnya memang kami kewalahan, karena biaya operasional dari tahun ke tahun memang meningkat mengikuti arus ekonomi nasional bahkan global. Adanya kondisi penyusutan nilai barang dalam aspek teknis yang terkategorisasi dalam Fix Cost yaitu bus membuat urgensi akan fleksibilitas anggaran. Adapun Variabel Cost yang tak luput juga dari ketidakstabilan harga dari BBM, perawatan, lembur, UMP, hingga UMR.

Perdebatannya sekarang adalah relevansi teori dalam regulasi maupun kontrak kerja dengan dinamika sosial ekonomi menjadi wacana besar yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Adapun beban biaya yang diberikan operator juga mencakup biaya maintenance kendaraan dan operasional dari perusahaan, sedangkan sumber pemasukan hanya berasal dari subsidi yang diberikan atas penyelenggaraan jasa angkutan publik massal. Cukup rasional jika PT. JTT merasa kewalahan untuk mengurus semua urusan keuangan jika bersumber dari satu pemasukan saja.

Mengenai masalah pemberitaan media dan tanggapan dari masyarakat mengenai infrastruktur bus, pihak PT. JTT mengindikasikan perlunya adanya pencerahan informasi dari bebrbagai pihak. Hal ini dikarenakan tidak semua bus yang dipergunakan oleh PT. JTT semuanya milik mereka, sebagian merupakan pinjaman dari Pemerintah sebagai bantuan investasi. PT. JTT memiliki bus dengan karoseri

Trisakti, sedangkan Pemerintah Provinsi DIY memiliki bus dengan karoseri Delima

Jaya. Karoseri yang dimiliki oleh Pemerintah dianggap tidak terkenal dan mumpuni untuk bis yang baru saja dimodifikasikan. Di saat bus pemberian baru saja datang, cat

77

yang ada di bis sudah terkelupas, kemudian datang ada beberapa bus macet dan tidak mau menyala serta AC nya juga mati. Masalah busi pecah, dan banyak sparepart lain yang tidak berfungsi juga tidak diindahkan oleh Pemerintah Provinsi DIY.

Sebenarnya ada berita acara pada masalah tersebut, dan pihak PT. JTT sudah memberikan pada Dinas Perhubungan DIY tetapi belum ditindaklanjuti.38

Pihak Dinas Perhubungan DIY mengatakan segala aspek perjanjian kerja dengan PT.JTT sudah tertuang dalam kontrak. Hal tersebut termasuk masalah keuangan dalam pembiayaan operator. Sehingga disaat PT.JTT sudah menjadi mitra

Dinas Perhubungan dalam pelaksanaan program Trans Jogja, otomatis segala peraturan yang tertuang yang menjadi hak dan kewajiban bagi PT.JTT menjadi tanggung jawab bagi perusahaan tersebut. Kontrak tersebut mengikat bagi operator selama 7 tahun semenjak diberlakukannya program Trans Jogja oleh Dinas

Perhubungan Provinsi DIY. Selain itu dalam rumusan bentuk organisasional dalam pelaksanaan program Trans Jogja ini, posisi dan wewenang dari PT.JTT tetap berada di bawah pengaturan Dinas Perhubungan DIY melalui UPTD Trans Jogja.

Pada Tahun 2009-2011 sebenarnya solusi peningkatan pembiayaan program

Trans Jogja oleh Dinas Perhubungan DIY sudah dilakukan dengan menggandeng pihak swasta untuk menjadi sponsor dalam pembiayaan Trans Jogja. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan armada bis Trans Jogja sebagai media banner promosi berjalan bagi perusahaan atau badan usaha yang ingin mempromosikan

38 Wawancara dengan Bapak. Tito, HRD PT. Jogja Tugu Trans.

78

produknya. Perusahaan yang mempromosikan produknya melalui program Trans

Jogja adalah PT. Alfamart, Kids Fun, dan Kebun Binatang Gembiraloka. Promosi yang dilakukan tersebut dilakukan dengan memampang logo perusahaan pada sekeliling armada bis Trans Jogja. Logo tersebut dipasang dengan menggunakan stiker yang menempel pada cat armada bis. Biaya promosi tersebut sepenuhnya dikelola oleh Dinas Perhubungan DIY untuk menambah pembiayaan dalam pelaksanaan program Trans Jogja.39

Usaha yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan DIY ternyata tidak membawa maslahat yang baik dalam pelaksanaan program Trans Jogja oleh operator. Media promosi yang ditempelkan pada armada bus justru menambah biaya perawatan armada oleh operator. Media promosi tersebut membuat infrastruktur bis menjadi berkarat dan membuat kebocoran di beberapa bagian bis. Hal tersebut dikeluhkan oleh PT. JTT dan akhirnya inovasi tersebut dihentikan karena justru menambah biaya perawatan. Terlebih lagi dalam pengelolaan dana sponsor tersebut tidak dikelola oleh

PT.JTT, Dinas Perhubungan DIY mengelola semuanya. Sumber dana dalam perbaikan dan perawatan tersebut dikembalikan lagi kepada pihak operator.

Melihat masalah stagnansi hasil produksi pelayanan dan infastruktur armada bis yang nampak, dari hal ini dapat terlihat adanya keterbatasan wewenang dari pihak

PT. JTT dalam mengembangkan kualitas pelayanan publik yang prima. Ada beberapa faktor yang mendasari wewenang tersebut diantaranya adalah desain organisasional

39 Wawancara dengan Bpk. Rizki, Pejabat UPTD Trans Jogja.

79

yang tidak bersahabat dan kontrak kerja yang mengikat. Walhasil yang terjadi adalah tanggungnya penerapan NPM yang dicita-citakan oleh Dinas Perhubungan DIY. Di saat menganalisis faktor lain pun dalam tinjauan untuk melihat ouput kualitas pelayanan publik yang dihasilkan pasti akan tetap hadir keterbatasan yang dilakukan operator, karena adanya batasan relasi kuasa dan bargaining position dalam pengoperasian program Trans Jogja.

Kontrak Kerja, Kontekstualisasi Pemerintahan di DIY dan Faktor Eksternal

Kontrak kerja merupakan suatu hal yang sangat mengikat dan banyak dibahas dalam pelaksanaan suatu program NPM di suatu daerah, tak terkecuali pelaksanaan program Trans Jogja di DIY. Hadirnya kontrak kerja merupakan suatu alat untuk mengikat serta mengontrol kinerja dari pihak operator dalam pemberian pelayanan publik. Jika dalam pemberian wewenang operator kepada suatu perusahaan tidak memiliki kontrol yang mengikat, dikhawatirkan hal tersebut akan berimbas kepada pelayanan yang dihasilkan oleh penyedia layanan. Terlebih lagi jika melihat dari watak perusahaan yang mengedepankan profit, Pemerintah tidak ingin mengambil resiko untuk menyusahkan masyarakat dalam pemberian pelayanan publik.

Kontrak kerja yang disusun dalam pelaksanaan program Trans Jogja merupakan rumusan yang dilakukan antara pihak inisiator, unit kerja dan operator.

Walhasil kontrak yang dihasilkan memuat aturan main, standar pelayanan, hingga penalty bagi operator. Kontrak yang dihasilkan mengikat PT. JTT selama tujuh tahun dalam pelaksanaan program. Sayangnya, dalam penerapannya kontrak tersebut justru membuat keterbatasan dalam pihak operator untuk memberikan pelayanan yang

80

prima. Kontrak tersebut justru dalam isinya banyak memberikan ketidakleluasaan bagi pihak operator. Bagi pihak Dinas Perhubungan DIY, kontrak adalah bagian yang dikatakan sebagai konsekuensi dari operator yang mau bergabung dalam program

Trans Jogja.

Pihak PT. JTT sendiri mengatakan adanya kontrak tersebut harus perlu adanya peninjauan ulang dalam pelaksanaannya. Sudah seringkali dalam rapat evaluasi dilakukan public hearing antar stakeholder dalam pelaksanaan program Trans Jogja setiap tahunnya. Tetapi dalam pembahasan di public hearing tidak menghasilkan sesuatu hal yang berimplikasi penuh terhadap hadirnya kontrak kerja antara operator dan insiator. Memang ada ruang untuk menegosiasikan kontrak dengan pihak Dinas

Perhubungan DIY, tetapi di perusahaan hal tersebut menjadi wewenang bagi Dewan

Direksi. Dewan Direksi telah berupaya untuk membahas kontrak kerja tersebut, hingga saat ini perubahan yang signifikan pun belum ada dan mengubah kebijakan kontrak yang hadir. Hal yang sangat dikhawatirkan bagi PT. JTT adalah saat evaluasi akhir dan kontrak kerja telah habis, nasib pekerja dan keberlangsungan dari PT. JTT pun masih belum pasti.40

Selain hadirnya kontrak dengan Dinas Perhubungan faktor – faktor eksternal juga banyak ditemui berpengaruh dalam pelaksanaan program Trans Jogja yang hadir di Yogyakarta. Faktor eksternal tersebut berhasil dielaborasikan dari hasil wawancara dengan berbagai stakeholder narasumber penelitian ini. Faktor pertama

40 Wawancara dengan Bpk. Tito, HR PT. JTT.

81

adalah dimensi kekuasaan dan Pemerintaha yang hadir di Yogyakarta, karakteristik kekuasaan yang bersifat Sultanistik ( patron-client ) yang kental, penduduk yang nrimo, dan anti konflik dalam memberikan solusi permasalahan merupakan ciri khas yang kental dalam kontekstualisasi penerapan kebijakan yang hadir di Provinsi

Yogyakarta.

Karakteristik kontekstualisasi kekuasaan tersebut nampak pertama kali dalam inisiasi perumusan dari program Trans Jogja. Sebelum inisiasi Trans Jogja trayek perjalanan transportasi publik sebanyak 108 unit hanya dimiliki oleh bus kota.

Sedangkan pemerintah membutuhkan trayek tersebut untuk menjalankan program

Trans Jogja, yang berjalan pada trayek tersebut. Apakah mungkin kalaupun pemerintah memberikan tender ke bus pedesaan atau antar kota ataupun bus antar kota antar provinsi, rasanya tidak mungkin dan tidak relevan. Jika bis diluar DIY sendiri ingin masuk dalam program, sangatlah tidak mungkin, karena yang memiliki ijin trayek hanyalah konsorsium pemilik 108 trayek tersebut. Walhasil terbentuklah

PT JTT, karena konsorsium ini bergabung di atas kesepakatan ataupun kesepahaman diantara 5 koperasi tersebut. Karena mereka yang memiliki ijin trayek untuk beroperasi di kota yogyakarta. Sebelum program Trans Jogja berlangsung, sebelumnya ada 500-600 bus kota yang beroperasi dan mereka semua memiliki ijin trayek.

Bayangkan dengan jumlah tersebut, apakah itu tidak menimbulkan keruwetan dan kemacetan jika tidak dikurangi jumlahnya. Selain itu adanya Trans Jogja pasti akan mengundang konflik bagi koperasi penyedia armada bis yang lain. Karena

82

pemerintah DIY mengetahui yang memiliki ijin trayek tersebut adalah koperasi yang tergabung dalam konsorsium atau PT. JTT, maka diberikanlah kepada PT. JTT.

Mengetahui ini adalah program berdasar pada peraturan Gubernur PT. JTT pun mengiyakan untuk menjadi mitra Pemerintah dalam penyediaan operasional program

Trans Jogja.

Hal lain yang tampak mengenai karakteristik kekuasaan dengan konteks

Yogyakarta adalah dalam masalah negoisasi kontrak dengan Dinas Perhubungan

DIY. Tidak ada langkah signifikan yang bisa dilakukan dalam bernegosiasikan mengenai isi kontrak yang diberikan. Pihak PT. JTT sendiri mengakui tidak ada langkah signifikan yang bisa dilakukan, karena untuk menghindari konflik. PT. JTT menambahkan logika yang dibangun dengan NPM ini memang secara ideal teoritik susah dilakukan di Yogyakarta, karena kontekstualisasi Pemerintahan DIY itu sendiri. Logika sosial dan politik jika digabungkan dengan logika ekonomi PT.JTT saat ini memang akan bertolak belakang, pihak PT.JTT ingin berkreasi tetapi Dewan sendiri masih terikat nilai-nilai tertentu. Masalah kontekstualisasi kondisi sosial dan politik dari DIY dan hubungannya dengan penerapan program Trans Jogja memang perlu penelitian lebih lanjut, setidaknya menurut keterangan berbagai narasumber hal tersebut termasuk faktor eksternal yang berpengaruh dalam tata kelola program

Trans Jogja.41

41 Wawancara dengan Bpk. Tito, HR PT. JTT.

83

Faktor eksternal yang lain dalam penerapan transportasi publik massal yang berpengaruh adalah keberadaan dari kebijakan legislasi mengenai pengelolaan transportasi publik massal dan industri otomotif di Indonesia. Keberadaan transportasi massal seperti Trans Jogja, TransJakarta, Trans Semarang, Trans

Pakuan, Trans Mahakam merupakan upaya pemerintah untuk optimalisasi dalam pengelolaan angkutan publik agar menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia.

Sayangnya hingga saat ini sistem transportasi publik massal tersebut belum menjadi pilihan utama bagi masyarakat yang ada di Indonesia.

Faktor kebijakan mengenai pembatasan produksi industri otomotif dan beban bea kredit kendaraan bermotor yang masih ringan sangat mempengaruhi choice dari pengguna untuk mempergunakan transportasi umum publik. Maka dari itu perlu adanya kebijakan nasional yang mengatasi masalah tersebut. Pengembangan transportasi publik massal dari bahasan mengenai program Trans Jogja memerlukan adanya dukungan dari multi stakeholders. Jika inisiasi dan dukungan hanya berada disatu pihak saja, jenis pengembangan dengan teori pelayanan publik apapun pastinya tidak akan berjalan secara optimal.42 Saat ini perlu diacungi jempol, jika pelaksanaan

Trans Jogja merupakan salah satu dari 5 besar sistem transportasi massal yang berlangsung di Indonesia dan menjadi acuan bagi beberapa daerah untuk dilakukan studinya.

42 Wawancara dengan Bpk. Agus Minang, Pejabat UPTD Trans Jogja.

84

C. Relasi Antar Aktor: Negara versus Swasta

Kehadiran aktor swasta dalam ranah maupun urusan publik yang sejatinya menjadi otoritas tunggal negara menjadi sebuah situasi unik ditengah usaha negara untuk mulai melakukan reformasi pelayanan publik. Dalam konteks Trans Jogja, setidaknya terdapat dua aktor menurut beberapa Surat Kerjasama maupun MOU

(Memorandum of Understanding). Kedua aktor itupun memiliki dan terikat dengan perjanjian yang berisikan kewenangan maupun fungsi yang diemban masing-masing aktor. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta sebagaimana yang telah dibahas pada sebelumnya memiliki peran sebagai inisiator, regulator drafter, dan pengawas kinerja pengelolaan Trans Jogja.

Poin yang perlu disorot adalah pada fungsi regulator drafter dimana otoritas tertinggi dalam struktur dimiliki olehnya. Implikasi dari regulasi akan sangat signifikan terhadap PT. Jogja Tugu Trans dalam operasional Trans Jogja. Sejatinya regulasi merupakan pijakan dasar, bahan pertimbangan maupun pengikat PT. Jogja Tugu

Trans selaku operator. Adapun PT. Jogja Tugu Trans selaku aktor operasional menjadi pihak yang terkesan terima beres terhadap segala permasalahan baik legal aspect maupun kebijakan teknis terkait teknis kendaraan yang masuk dalam variable cost. Celaka adalah ketika terjadi “miss” perkiraan antara teori dan praktiknya tidak relevan, dalam situasi seperti ini lah operator menjadi pihak yang merugi dan disorot.

Untuk melihat lebih dalam perihal peran dan bentuk konkritnya, tabel dibawah dapat menjadi referensinya.

85

No. Aktor Peran Deskripsi

1. Dinas Perhubungan Inisiator dan Regulator 1. Melakukan inisiasi program dengan langkah observasi realitas melalui studi lapangan dengan menggandeng pihak outsource yaitu akademisi.

2. Mengkaji hasil studi untuk kemudian merumuskan program sebagai jawaban dari hasil studi.

3. Menciptakan landasan legal aspek dan regulasi yang mengkerangkai pergerakan program

4. Membuat desain organisasional dalam pengelolaan program.

5. Melakukan inisiasi konsorsium dalam pembentukan PT. Jogja Tugu Trans sebagai operator.

6. Membenuk UPTD Trans Jogja sebagai implementator

86

program.

2. UPTD Trans Jogja Implementator (include 1. Menjadi representasi evaluasi) Dinas Perhubungan dalam permasalahan Trans Jogja.

2. Mengelola hajat serta kesinambungan program Trans Jogja.

3. Monitoring dan evaluasi peregerakan Trans Jogja.

3. PT. Jogja Tugu Operator 1. Partner dalam Trans program Trans Jogja sebagai street level (ujung tombak) birokrasi dalam konteks pelayanan Trans Jogja.

2. Mengurusi permasalahan manajerial teknis Trans Jogja. (baik Fix cost items maupun Variable cost items)

3. Mengelola operasional Trans Jogja sehari-hari.

4. Masyarakat Konsumen 1. Pengguna jasa sebagai sasaran pelayanan.

87

2. Elemen penting dalam proses monitoring dan evaluasi. Berada pada skala parameter evaluasi tertinggi.

3. Refleksi terhadap pelayanan publik.

Melihat pelayanan publik bila dihadapkan pada kondisi ideal dan mengkomparasinya dengan realitas lapangan menciptakan gap yang signifikan.

Dalam teori desentralisasi pelayanan publik khususnya bentuk New Public

Management, terdapat enam variabel atau elemen penting yang menjadi core utama dalam membuat produk (pelayanan publik) menjadi efektif dan efisien dengan kualitas yang meningkat. Berikut penjelasan teoritisnya dalam konteks pelayanan publik masal transportasi Trans Jogja:43

 Desentralisasi sistem birokrasi yang monolitik kepada aktor lain (agensi)

Pelayanan publik yang merupakan produk negara melalui aktor dan sistem birokrasi dengan segala diskresi yang dimilikinya membuat kondisi inefektif dan inefisiensi tercipta dalam konteks outputnya. Adapun kecenderungan keberpihakan atapun tendensi dan orientasi tertentu menimbulkan setiap keputusan yang diambil oleh pihak negara menjadi tidak “menguntungkan” bagi partner maupun aktor lain.

43 New Public Management, a Key Paradigm for Reforming Public Management in Romanian Administration oleh Armenia Andonicenau diunduh dari www.ramp.ase.ro/en/_data/files/articole/8_05.pdf‎ pada 15 April 2013 Pukul 10.52 WIB.

88

Definisi keuntungan disini memiliki makna yaitu keleluasaan ruang gerak bagi PT.

Jogja Tugu Trans untuk berimprovisasi sebagai pihak swasta dalam konteks Trans

Jogja.

Perbedaan orientasi dan mekanisme kerja menimbulkan benturan dalam proses berjalannya kerja sama dalam pengelolaan Trans Jogja sebagaimana yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Untuk menjembatani relasi antara pihak negara (Dinas Perhubungan Provinsi D.I.Y.) dengan pihak swasta (PT. Jogja Tugu

Trans) dalam persoalan kerja sama Trans Jogja maka pembentukan agensi atau pihak

“tengah” yang secara otoritas masih memiliki kewenangan negara namun terjun langsung dalam proses keseharian Trans Jogja dan berelaborasi langsung dengan PT.

Jogja Tugu Trans menjadi penting. Hadirnya UPTD Trans Jogja menjadi bentuk nyata pemerintah dalam meningkatkan dan mengupayakan peningkatan kualitas untuk lebih prima dan koordinasi menjadi lebih berkualitas dari kedua arah.

 Desentralisasi anggaran dan kontrol finansial

Dalam pengelolaan dana Trans Jogja, Dinas Perhubungan dan pemerintah daerah lah yang berada pada otoritas tertinggi. Segala seusatu hal yang berkaitan dengan penganggaran dan rasionalisasi budget berada dalam kewenangan dinas perhubungan dengan berpijak pada regulasi maupun legal aspect yang telah dibuat sebelumnya. Adapun posisi PT. Jogja Tugu Trans sebagai pihak swasta pada kenyataannya tidak leluasa terkait aspek anggaran dan penentuan fix cost dan variable cost. Untuk memaksimalisasi proses pelimpahan kewenangan anggaran maka agensi

89

atau konkritnya UPTD Trans Jogja menjadi aktor dominan dalam penentuan maupun perumusan anggaran. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, UPTD berada pada posisi yang netral dan tanpa tendensi serta berada pada posisi yang sangat dekat dengan pihak operator. Dengan keberadaan wewenang anggaran dalam UPTD, diharapkan koordinasi antar aktor khususnya urusan anggaran menjadi lebih efektif dan efisien terkait prosesnya. Elemen inilah yang belum sempurna pelaksanaannya, bagaimana kemudian pihak swasta atau operator dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingannya terkait anggaran.

Dengan bertambahnya ruang bagi PT. Jogja Tugu Trans untuk berimprovisasi maka visi maupun objektif mengenai harapan akan pelayanan yang prima, efektif dan efisien lambat laun akan tercapai. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa aspek anggaran merupakan aspek terpenting perihal konteks pelayanan publik dalam kebijakan maupun program pemerintah terlebih lagi yang ada kaitannya dengan pihak ketiga yaitu swasta. Anggaran menjadi aspek vital dalam proses kebijakan publik, apabila dianalogikan aspek anggaran menjadi darah dalam anatomi kebijakan publik (peredaran darah).

 Desentralisasi kelembagaan dan struktur organisasional

Sebagaimana yang telah dipaparkan pada poin pertama bahwa kemunculan aktor ketiga dalam relasi new public management merupakan usaha dalam menciptakan independensi lembaga terhadap tendensi baik negara maupun swasta.

Dengan mengusung azas netral dan tanpa tendensi, pengelolaan pelayanan dapat

90

berjalan “leluasa” khususnya dalam aspek finansial maupun teknis legal aspect.

Dalam poin ini, aspek desentralisasi kewenangan dan penyebaran fungsi lah yang menjadi fokus utama. Bagaimana kemudian dalam konteks Trans Jogja hal tersebut dapat diakomodir lewat kehadiran UPTD.

 Efisiensi manajerial dan anggaran secara keseluruhan

Kata kunci keberhasilan New Public Management sesungguhnya terletak dalam urusan efisiensi dan “bypassing” prosedur. Melekatnya berbagai macam diskresi dalam tubuh birokrasi yang secara nyata lambat dan inefisien dapat ditanggulangi dengan UPTD. Aspek finansial khususnya anggaran pun tak lepas dari otoritas UPTD dalam relasi negara swasta dalam konteks Trans Jogja. Pengelolaan

Trans Jogja oleh UPTD merupakan bentuk konkrit usaha efisiensi manajerial

(pengelolaan) sekaligus anggaran yang selama ini terlalu lambat prosesnya ketika dikelola oleh Pemerintah.

 Pemisahan filosofi produksi (orientasi pasar) dan provisi (penyediaan

produk)

Berbicara mengenai New Public Management pastilah bermuara pada situasi klasik dimana pergesekan orientasi antara profit dan pelayanan terjadi. Hal tersebut sangat wajar muncul dikarenakan terdapat campur tangan swasta dalam urusan pelayanan publik yang dalam keadaan normalnya dikelola dan dikuasai oleh negara lewat lembaganya. Situasi yang sangat sah untuk dikategorisasikan sebagai dilema dan permasalahan ini dalam poin ini justru dijadikan poin penting dalam usaha

91

penguatan new Public Management. Hal yang harus difokuskan adalah bagaimana kemudian pergesekan orientasi tersebut dapat dikelola. Konkritnya adalah dengan menciptakan pemisah antara dua koridor yang berbeda tersebut.

Apabila kita lihat melalui tiga aktor utama, terdapat dua kutub besar yaitu

Dinas Perhubungan selaku aktor negara kemudian PT. Jogja Tugu Trans selaku aktor swasta dengan UPTD berada pada rentang equilibrium selaku aktor yang menghubungkan kedua kutub tersebut. Dinas Perhubungan selaku aktor negara dengan orientasi pelayanan secara nyata telah mensupport penuh Trans Jogja melalui subsidi dan proteksi lewat regulasi. Bagaimana subsidi khususnya menjadi aspek vital dalam orientasi pelayanan yang dimaksud sehingga besarnya subsidi akan secara otomatis berjalan selaras dengan implementasi orientasi pelayanan. Kemudian PT.

Jogja Tugu Trans dalam konteks teori ini selayaknya mendapat ruang gerak yang lebih luas khususnya dalam aspek inovasi dan penganggaran. Hal tersebutlah yang dalam realitasnya sulit dilakukan. UPTD sebagai “mediator” memiliki peranan kelamin ganda sesuai dengan apa atau siap yang dihadapinya. Kurang lebihnya fungsi koordinasi dan mediasi menjadi penting ketika UPTD itu sendiri harus berhadapan dengan salah satu dari dua kutub yang telah dibahas sebelumnya. Fleksibilitas menjadi fokus dan kata kunci bila melihat dua alur ataupun dua bentuk UPTD ketika berhadapan dengan Dinas Perhubungan maupun PT. Jogja Tugu Trans.

92

 Perubahan struktur kekuasaan dengan melihat dinamika realitas

Poin terakhir merupakan langkah maupun opsi final ketika keadaan stagnan merupakan keadaan yang terjadi dalam pengelolaan Trans Jogja. Bagaimana perubahan kelembagaan harus menjadi langkah yang diambil. Evaluasi dan monitoring menjadi bahan pertimbangan dalam menilai efektifitas sekaligus efisiensi kerja. Tak menutup kemungkinan bila perubahan mendasar seperti pergantian direksi maupun justru pemutusan kontrak kerja dapat dilakukan untuk kemudian membuka lelang terhadap Trans Jogja kepada Perusahaan lainnya baik yang berasal dari ranah swasta maupun daerah.

Setelah berhasil diidentifikasikan ke dalam bentuk ideal dari NPM yang sudah berlangsung, penting kiranya untuk melihat kontekstualisasi yang terjadi jika dihubungkan dalam konsep bentuk kerjasama Pemerintah dan Swasta sebagau langkah untuk mengevaluasi, variabel mana dalam kerjasama yang perlu ditingkatkan dalam pelaksanaan program. Berikut adalah penjabarannya :

No Variabel Identifikasi Ideal Pelaksanaan Transjogja

Pengguna harus membayar Barang publik yang Karakteristik tiket Transjogja di shelter 1 ditarik biaya Pelayanan untuk menggunakan jasa pemakaiannya. transportasi publik.

Kelompok yang dapat Konsumen yang 2 Penerima Manfaat diidentifikasi disegmentasikan bagi

93

wisatawan, pelajar,

mahasiswa, hingga difabel

Penataan trasnportasi

publik adalah

permasalahan publik dasar Persepsi Masyarakat 3 Pelayanan Dasar yang perlu disediakan Terhadap Kebutuhan Pemerintah DIY untuk

mengurai permasalahan

trasnportasi yang terjadi.

Adanya pembagian biaya

4 Karakteristik Biaya Dapat Dipecah dan pemasukan tertentu

yang diatur dalam kontrak

Tarif yang berlaku di

Transjogja merupakan tarif

subsidi Pemerintah

Hubungan dan Yogyakarta yang dijaga

5 Kemauan untuk Sedang harganya ( Rp. 3000 )

Membayar untuk menarik kemauan

masyarakat membayar

untuk mendapatkan

kualitas yang lebih baik

94

dalam transportasi

Standar operasional yang

berbeda dengan angkutan

transportasi yang lain

merupakan suatu hal yang Pentingnya menjadi spesial dalam Pengukuran terhadap Transjogja. Pentingnya 6 Kualitas dan Tinggi adanya pengukuran Kuantitas dari jasa kualitas dan kuantitas yang ada merupakan suatu hal yang

menjadi concern dari PT

JTT yang tertuang dalam

studi akademik.

Pelayanan yang harus

dilakukan oleh PT. JTT Efek Limpahan dari 7 Tinggi meliputi operasional, Pelayanan pelayanan lapangan hingga

maintenance infrastruktur.

Modal dalam desain Investasi Modal dari 8 Sedang atau besar Transjogja utamanya Pelayanan dikucurkan oleh

95

Pemerintah dengan

beberapa pengajuan

kontrak modal yang

ditujukan bagi operator

Lingkungan dan konteks

Kapasitas LSM untuk Dalam lingkungan yang sosial di Yogyakarta perlu

9 Menyediakan tinggi tingkat perhatian dan keunikan

Pelayanan ini spesialisasinya khusus dalam perhatian

manajemen konflik

Pentingnya peningkatan

standar pelayanan tentunya

perlu pemahaman IT yang

cukup baik. Tingkat Keterbutuhan 10 Sedang atau tinggi Operasionailisasi dari Teknologi Transjogja saat ini pun

ditunjang dengan sistem

shelter dan ticketing yang

modern.

Bentuk kerjasama Dishub DIY dan Transjogja dapat menghasilkan bentuk kerjasama yang baik antara Pemerintah dan Swasta. Konsep kerjasama Swasta dan Pemerintah

96

dalam program Trans Jogja dapat diuraikan dalam sepuluh indikator poin kerjasama yang ideal.Adanya kekurangan dalam kerjasama pengelolaan Trans Jogja ternyata berada pada penerapan model pengelolaan New Public Management yang tidak maksimal. Konsep pengelolaan pelayanan publik yang dipilih dalam program Trans

Jogja, sebaiknya bisa disesuaikan dengan konteks sosial dan politik di wilayah

Yogyakarta untuk memaksimalkan kinerja kerjasama Swasta dan Pemerintah.

D. Masa Depan Pengelolaan Trans Jogja

Berbicara masalah realitas dalam konteks Trans jogja, masyarakat kota

Yogyakarta menjadi elemen paling besar pengaruhnya terhadap pencapaian Trans

Jogja. Sebagaimana yang telah banyak dibicarakan dan dianalisa pada pembahasan sebelumnya, pencapaian visi melalui efektifitas dan efisiensi menjadi inti dari keberhasilan Trans Jogja untuk menjadi model Transportasi utama dalam skala pilihan masyarakat. Kenyataan bahwa Trans Jogja menjadi alternatif merupakan kesimpulan terhadap belum terpenuhinya berbagai hal baik teknis maupun non-teknis terutama berkaitan dengan infrastruktur yaitu armada bus dan shelter.

Tujuh puluh empat unit bus dengan lima puluh empat unit bus yang aktif beroperasi kedalam enam trayek kenyataannya belum dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan sarana mobilitas. Masyarakat menilai kinerja Trans Jogja belum sepenuhnya efektif terutama melihat sisi teknis infrastrukturnya dimana unit bus aktif beroperasi yang berjumlah lima puluh empat pada kenyataannya belum dapat memenuhi target waktu jarak bus dengan unit bus lainnya sehingga waktu tunggu pengguna di shelter menjadi lama dan hal tersebut berpengaruh terhadap

97

pilihan masyarakat akan pilihan penggunaan model transportasi. Masih dalam kategori teknis infrastruktur, shelter menjadi elemen penting juga terhadap pilihan masyarakat untuk menggunakan Trans Jogja. Shelter Trans Jogja yang berjumlah tujuh puluh enam dan persebarannya masih belum bisa memenuhi harapan masyarakat.44

Tahun 2013, perkembangan perkotaaan Yogyakarta dapat dikategorikan massive dengan banyaknya hotel dan perkantoran baik yang berbentuk gedung tunggal maupun ruko pertokoan. Kaitannya dengan shelter dan mobilitas masyarakat sangatlah kentara dikarenakan adanya lokasi kegiatan sosial ekonomi baru haruslah diikuti dengan pengembangan shelter sebagai upaya penertiban lalu lintas perkotaan yang ideal dan sesuai tujuan dari reformasi pelayanan publik khususnya transportasi.

Pada permasalahan shelter ini, nampak adanya dilema dalam pengelolaan Trans Jogja khususnya pada aspek idealisme birokrasi dalam proses pengelolaan Trans Jogja.

Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, kewenangan pengembangan teknis infrastruktur menjadi milik Dinas Perhubungan Provinsi sehingga responsivitas terhadap perubahan maupun pengembangan menjadi lamban karena terbentur dengan hal protokoler dan prosedural khas birokrasi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa terdapat patologi dalam tubuh birokrat maupun prosedur birokratis. Penyakit yang telah begitu meluas hingga ke berbagai tingkat baik top maupun street level yaitu “birokratisasi” yang sarat akan inefisiensi, protokoler dan hierarkis. Ketiganya

44 Wawancara dengan beberapa narasumber dari pengguna (Bapak Ari beserta ibu dan Gurdho Pangarso) pada tanggal 4 Juni 2013 pukul 16.00 WIB.

98

menurut Weber dan Parkinsons sangatlah menghambat perkembangan kualitas dan dua aspek penting lainnya yakni efektifitas dan efisiensi yang berimplikasi pada upaya peningkatan pelayanan publik tanpa terkecuali pelayanan publik masal Trans

Jogja.45

Stagnansi merupakan gambaran dan kesimpulan yang sangat jelas dalam melihat Trans Jogja, masyarakat dan pemerintah. Ketiganya belum dapat menciptakan sinergisitas yang menguntungkan dan sistematis sesuai ekspektasi dan tujuan awal yakni menciptakan hubungan yang responsive perihal penyediaan, penggunaan dan maksimalisasi pelayanan publik khususnya dalam bidang transportasi publik masal. Kemacetan, load factor yang kian hari menurun dan belum nyatanya pengembangan teknis infrastruktur terutama unit bus dan shelter menjadi pertimbangan dalam statement di awal paragraf mengenai Trans Jogja.

Tahun 2015 mendatang seharusnya menjadi momentum perubahan ke arah yang lebih baik bagi Trans Jogja dikarenakan masa kontrak operator akan habis dan menurut teorinya, lelang proyek menjadi prosedur yang ideal sebagai upaya peningkatan kinerja dan kualitas kedepannya. Akan tetapi mengingat konteks Trans

Jogja dimana pada proses pembentukan dan inisiasinya terdapat “toleransi” yang terbilang cukup besar dan luas terhadap koperasi-koperasi yang mengurusi hajat transportasi di kota Yogyakarta sehingga kata “lelang” mungkin akan menjadi wacana karena itu sama saja membunuh hidup orang-orang yang bekerja di Koperasi

45 Suryadi, Pengembangan Kinerja Publik, Patologi Birokrasi: Hambatan Pembaharuan Birokrasi (Bandung: Revika Aditama, 2009), hal. 85.

99

Pemuda Sleman, Kopata, Aspada, dan Puskopkar dan Perum DAMRI yang telah berkonsorsium atas inisiasi Dinas Perhubungan menjadi PT. Jogja Tugu Trans.46

Kita bersama dapat memperkirakan bagaimana keadaan Trans Jogja setelah tahun 2015. Namun perubahan kearah positif masih dapat direalisasikan apabila terjadi kompromi dari pihak pemerintah terhadap pihak operator (swasta) khususnya dalam hal kewenangan, bargaining position dan “ruang gerak” yang selama enam tahun kebelakang terbentur dan sangat terbatasi oleh regulasi dan MOU yang disetujui oleh kedua pihak pada fase awal pembentukan. Terbukanya ruang gerak operator untuk menjalankan orientasi profit yang berimbas pada improvisasi anggaran dan pengembangan kualitas pelayanan dengan orientasi profit dengan kontrol dan suport melalui subsidi dalam kewenangan pihak pemerintah serta fungsi mediasi, koordinasi dan kontrol oleh UPTD Trans Jogja menjadi kolaborasi yang sinergis dalam pengelolaan Trans Jogja kedepannya. Adapun realisasi pengembangan menjadi agenda yang memiliki prioritas tinggi terutama pada sektor teknis infrastruktur yaitu perbanyak unit bus dan persebaran shelter pada titik-titik potensial baru. Dan tidak menutup kemungkinan terjadi kontribusi masing-masing pihak yang terlibat baik perusahaan, tempat bisnis maupun instansi pendidikan seperti UGM, UPN, UNY maupun lainnya untuk ikut berpartisipasi dan terintegrasi dalam pengembangan Trans

Jogja melalui permasalahan ticketing maupun penyediaan shelter yang disesuaikan dengan kondisi jalan maupun lokasi. Dua agenda jangka pendek tersebut peneliti nilai

46 Wawancara dengan Bpk. Agus Minang, Pejabat UPTD Trans Jogja.

100

menjadi hal yang realistis dan signifikan terhadap upaya maksimalisasi pelayanan dan secara massive menarik perhatian dan niat masyarakat untuk mulai aktif menggunakan Trans Jogja dan menjadikannya opsi utama sarana mobilitas di kota

Yogyakarta.

Melihat jenis kerjasama yang terjadi antara Dinas Perhubungan DIY dan PT.

JTT merupakan sebuah bentuk kontrak kelola ( management contract ). Dimana wewenang pengelolaan infrastruktur pelayanan publik yang terjadi dilimpahkan kepada PT. JTT dengan menggunakan pembiayaan fixed cost tertentu dan kontrak serta desain pengembangan usaha oleh Dinas Perhubungan. Pemerintah di masa mendatang dapat mencari kembali ke depannya operator yang mau mengurus management dari pelaksanaan program transportasi yang berlangsung dan untuk meminimalisasi resiko jika program tidak berjalan secara maksimal. Sedangkan, bagi

PT. JTT agar meminimalisasi hal tersebut, dapat mereevaluasi bentuk kontrak yang sudah disepakati , karena evaluasi jenis kontrak merupakan suatu langkah yang harus ditempuh dalam kerjasama Pemerintah dan Swasts, selain itu cara tersebut merupakan salah satu cara untuk menilai kualitas dari kerjasama yang sudah berlaku.

E. Penutup

Dalam pelaksanaan program Trans Jogja yang berlangsung di Yogykarta ternyata cukup mengalami dinamika dalam pengelolaan dan penerimaan yang berlangsung di Masyarakat. Masyarakat saat ini belum mengoptimalisasikan secara penuh hadirnya Trans Jogja bagi angkutan transportasi publik. Dalam

101

pengelolaannya sendiri, multi stakeholders yang menjadi bagian dalam program ini juga mengalami dinamika tersendiri yang dapat ditunjukkan dengan relasi antar aktor yang dibangun, berikut dengan wewenang masing-masing aktor dalam pengelolaan yang terjadi. Masalah infrastruktur armada bis merupakan salah satu gambaran dan sorotan yang menjadi momok tersendiri bagi pelaksanaan program Trans Jogja.

Dinamika yang terjadi dalam pengaplikasian program Trans Jogja ini, terlihat dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal dalam penerapannya.

Diantaranya, faktor internal mengenai kontrak kerja dan bargaining position.

Sedangkan faktor eksternal berupa kontekstualisasi kondisi sosial dan ekonomi di

Yogyakarta serta mengenai kebijakan legislatif yang mengatur mengenai hadirnya transportasi publik massal yang perlu dukungan dalam pembatasan mengenai kebijakan bagi industri otomotif.

NPM tanggung mungkin itu yang bisa dikatakan dalam penerapan Trans

Jogja di Yogyakarta. Secara teoritik dalam keberhasilan penyelenggaraan NPM untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi maksimal harus memenuhi beberapa poin persyaratan. Menariknya jika dilihat dari sudut pandang teoritik dari Kerjasama

Pemerintah dan Swasta, tidak menunjukkan adanya penyimpangan dan inkonsistensi.

Dalam pelaksanaannya Trans Jogja, hanya mampu memenuhi syarat dari beberapa poin mengenai pelaksanaan NPM yang ideal, mungkin faktor itulah yang menyebabkan tidak maksimalnya dalam pemaksimalan hasil kualitas program.

Pengaruh tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program Trans Jogja di Yogyakarta baik secara internal ataupun eksternal.

102

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Moda transportasi Trans Jogja merupakan salah satu penerapan dari sistem transportasi publik massal yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta. Trans Jogja menggunakan sistem Bus Rapid Transit (BRT) sebagai basis dalam penerapan sistem transportasi publik moderen mulai beroperasi sejak Maret 2008. Menggunakan fasilitas yang berbeda seperti adanya halte khusus, trayek yang tertata dan Air Conditioner sebagai inovasi yang diberikan sebagai salah satu bentuk pelayanan publik yang baik bagi penduduk yang berada di Yogyakarta.

Inisiasi dari ide Trans Jogja berdasar dari Pergub No. 5 tahun 2008 dan mengadaptasi bentuk pelayanan publik “ New Public Management “. Dalam bagan organisasionalnya Trans Jogja menunjuk PT. Jogja Tugu Trans sebagai operator dalam operasionalisasi Trans Jogja sehari-hari. Operator yang ditunjuk merupakan pihak swasta yang berhasil memenangkan tender yang diberikan oleh Dinas

Perhubungan Provinsi Yogyakarta. Namun permasalahan tender tersebut sejatinya masih rancu. Karena pada kenyataannya, toleransi dan manajemen konflik lah yang menjadi dasar bagi pihak pemerintah untuk melakukan inisiasi konsorsium terhadap empat koperasi dan satu BUMD yang kemudian berubah menjadi PT. Jogja Tugu

Trans guna pemenuhan kualifikasi serta standarisasi hubungan kerja. Hal ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam penerapan program tersebut.

103

PT. Jogja Tugu Trans merupakan konsorsium dari empat koperasi angkutan perkotaan dan pedesaan yang beroperasi di Yogyakarta dan Perum Dameri.

Konsorsium tersebut berisi Koperasi Pemuda Sleman, Kopata, Aspada, Puskopkar, dan Perum DAMRI . PT. Jogja Tugu Trans memang sengaja terbentuk, karena bagian dari koperasi itulah yang memenuhi syarat subsidi, armada kendaraan hingga trayek yang sudah dimiliki. Kinerja operator terikat kontrak dengan Dinas Perhubungan

Provinsi DIY selama 7 tahun untuk menjaga kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh operator.

Selama penerapan program Trans Jogja, kinerja dalam penyediaan pelayanan publik merupakan kata kunci untuk melihat proses keberlangsungan dari program ini.

Pada kenyataannya, program Trans Jogja belum menjadi pilihan utama dalam transportasi publik massal bagi penduduk di Yogyakarta. Sedangkan dari segi efisiensi dan kewenangan, Trans Jogja belum bisa mencapai taraf ideal dalam tahapan pembiayaan penyediaan pelayanan publik transportasi. Permasalahan pemasukan dan biaya yang dikeluarkan selalu menjadi perdebatan dalam public hearing antara PT. JTT dengan Dinas Perhubungan Provinsi DIY.

Pengelolaan Trans Jogja dengan mekanisme dan dinamikanya akan berimplikasi pada kualitas pelayanan publik yang diberikan. Pengelolaan berbasis

New Public Management pada kenyataannya tidak mampu menciptakan hasil yang didambakan sebelumnya. Pertimbangan untuk mengelola jenis manajerial pelayanan publik yang akan diterapkan setidaknya harus mengikuti konteks sosial dan politik yang berlaku. Selain itu untuk melihat kesuksesan dalam pengelolaan ketersesuaian

104

konseptual dalam bentuk kerjasama Swasta dan Pemerintah harus dievaluasi konsepsinya terlebih daulu.

Penerapan Trans Jogja sebagai sebuah inovasi pelayanan transportasi publik di Yogyakarta memberikan dinamika dalam operasionalisasi yang menghasilkan relasi antar aktor yang berbeda secara teoritik yang diharapkan. Kebijakan dalam pengelolaan transportasi ini menghasilkan relasi kuasa yang tidak imbang dalam kerjasama tersebut bagi PT. JTT. Kontrol dari Dinas Perhubungan Provinsi DIY ( termasuk UPTD Trans Jogja ) menimbulkan masalah internal mengenai kontrak yang dinilai masih merugikan dan susah dinegosiasikan bagi PT. JTT. Hal tersebut berimplikasi pada pelayanan yang diberikan yang saat ini menjadi stagnan dan tidak berkembang secara maksimal. Masalah tersebut ditambah lagi dengan adanya faktor eksternal seperti kontekstualisasi sosial dan ekonomi di Yogyakarta hingga kebijakan yang belum mendukung transportasi publik, sehingga membuat sosialisasi dari program dan rencana – rencana strategis pengembangan program menjadi suatu hal yang main aman dan negotiable (memiliki daya toleransi relatif besar).

Dinamika kontrak kerjasama Pemerintah dan Swasta akan memperlihatkan masa depan dari Trans Jogja sendiri. Hubungan PT. JTT dan Dinas Perhubungan

Provinsi termasuk dalam kategorisasi dalam bentuk kontrak kelola ( management contract ). Wajar saja jika keterbatasan dari pihak swasta sangat nampak, karena dalam perjanjian kontrak ini swasta hanya sebagai pihak operasional, pelayanan dan perawatan. Sedangkan grand design pengembangan produk, modal dan kepemilikan program merupakan wewenang penuh dari Pemerintah.

105

Secara keseluruhan pelaksanaan manajemen pengelolaan NPM pada program

Trans Jogja dikatakan sebagai NPM yang “tanggung” dan pernyataan tersebut membawa kesimpulan bahwa logika tersebut tidak relevan. Tanggungnya NPM yang berlangsung dapat dievaluasi dari 6 poin faktor pelaksanaan NPM yang ideal. Masih ada banyak kekurangan dalam masalah desentralisasi anggaran dan finansial; efisiensi manajerial dan anggaran yang tidak bisa diwujudkan oleh UPTD; hingga kurang tegasnya pemisahan filosofi antara produksi dan provisi pelayanan publik akibat kontekstualisasi kondisi sosial dan ekonomi yang berlangsung di Yogyakarta.

Tetapi dari segi positifnya, Trans Jogja sendiri dalam syarat kerjasama

Pemerintah dan Swasta menunjukkan konsistensi konseptual dalam kontrak yang terbangun. Pemerintah memang menghendaki adanya kerjasama dengan pihak dari swasta. Sehingga jika adanya evaluasi dalam pengelolaan program yang perlu menjadi perhatian khusus adalah model jenis pengelolaan pelayanan publiknya ataupun jenis kontrak kerja yang akan diadaptasi oleh Pemerintah.

B. Rekomendasi

Penelitian mengenai pengelolaan pelayanan transportasi publik Trans Jogja merupakan salah satu langkah untuk melihat perkembangan penyediaan bentuk pelayanan publik yang terjadi di Indonesia. Trans Jogja memberikan gambaran jika bentuk serta pengelolaan pelayanan publik secara teoritik ternyata harus dipertimbangkan dan dipikirkan lebih dalam lagi, karena logika idealnya keadaaan sosial dan teknis suatu ranah maupun produk harus menjadi bahan pertimbangan bagi jenis dan bentuk pengelolaan pelayanan publik ( model ) yang diterapkan. Jika

106

pemerintah Yogyakarta masih bersikukuh dengan model pengelolaan Trans Jogja yang tengah berlangsung, maka pengkajian ulang mengenai kontrak kerja khususnyaa kewenangan pihak swasta harus dilakukan secepatnya. Hal tersebut guna mencapai kondisi ideal sesuai teori sehingga model pengelolaan yang berlangsung dapat dilihat secara utuh kinerjanya. Adapun alternatif lain yaitu merubah model pengelolaan yang sesuai dengan konteks kondisi sosial dan ekonomi di Yogyakarta.

107

Daftar Pustaka

Buku Ahmad Ainur Rohman, Mas’ud Sa’id, dkk. 2010. Reformasi Pelayanan Publik. Magelang: Program Sekolah Demokrasi, PLACIDS, Averroes, KID. Dwiyanto, Agus Dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik Indonesia. Yogyakarta : Press Hardiyansyah. 2011. Kualitas Pelayanan Publik: Konsep, Dimensi, Indikator dan Implementasi. Yogyakarta: Gava Media. McCallum, Bruce. 1984. The Public Service Manager : An Introduction to Personal Management Australian Public Service. Melbourne : Logman Ceshire Ltd. Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Nurmandi, Achmad. 2010. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta : PT. Sinergi Visi Utama. Salim, Abbas. 1993. Manajemen Transportasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sarantakos, Sotirios. 1993. Social Research. Melbourne : Mac Milan Education Australia. Suryadi. 2009. Pengembangan Kinerja Publik. Bandung: Revika Aditama. Tim Penyusun. 2004. Mengelola Dinamika Politik dan Sumber Daya Daerah. Yogyakarta: Program S2 PLOD dan Departemen Dalam Negeri.

Internet Data pertumbuhan volume kendaraan Yogyakarta pada http://jogja.tribunnews.com/2012/01/10/jumlah-kendaraan-di-yogya-bertambah-8.900-per- bulan Informasi umum tentang Trans Jogja diunduh pada http://Trans Jogja.com/Trans Jogja/

108

Informasi umum tentang berita seputar Trans Jogja diunduh pada http://news.okezone.com/read/2008/02/25/1/86494/ http://www.harianjogja.com/salams/slist/?page=2 Profil Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika diunduh dari http://dishub-diy.net/Profil/visi-a-misi-dinas-perhubungan.html pada 20 Maret 2013 Pukul 11.54 WIB

Wujudkan Impian Angkutan Kota yang Aman dan Nyaman diunduh dari http://hubdat.dephub.go.id/newsletter-infohubdat/9-edisi-juni-tahun- 2008/download. pada 20 Maret 2013 Pukul 12.53 WIB

Perundangan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Jurnal Penelitian

Hasil Studi Reformasi Angkutan Umum Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005

New Public Management, a Key Paradigm for Reforming Public Management in Romanian Administration oleh Armenia Andonicenau diunduh dari www.ramp.ase.ro/en/_data/files/articole/8_05.pdf‎ pada 15 April 2013 Pukul 10.52 WIB.

Studi Evaluasi Kinerja Trans Jogja dan Rencana Pengembangan tahun 2011 oleh MSTT UGM

109

Wawancara

1. Bapak Agus Minang ( Kepala UPTD Trans Jogja ). 2. Bapak Tito ( Staf HR PT. Jogja Tugu Trans ). 3. Bapak Rizki ( Staf Ahli UPTD Trans Jogja ). 4. Bapak Agus Noto ( Kepala Bagian Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta ). 5. Ibu Wati ( Sekretaris Direksi PT. Jogja Tugu Trans ). 6. Pengguna Trans Jogja : Bpk. Ari, Ibu. Ari, Sdr. Gurdho.

110