PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR

DI KABUPATEN GOWA, SELATAN

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniaora (M.Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Oleh:

I M R A N

116322014

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2014

i PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PERSETUJUAN

TESIS

KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR

DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

Oleh:

I M R A N

116322014

Telah disetujui oleh

Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. …………………………

Pembimbing Tanggal 11 Agustus 2014

ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PENGESAHAN TESIS KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

Oleh:

I M R A N

116322014

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal 14 Juli 2014 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua : Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. …………………………

Sekertaris : Dr. Katrin Bandel …………………………

Anggota :

1. Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D. ………………………….

2. Dr. Stanislaus Sunardi ………………………….

3. Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. ………………………….

Yogyakarta, 11 Agustus 2014

Direktur Program Pascasarjana

Prof. Dr. A. Supratiknya

iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : I M R A N

NIM : 116322014

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas : Universitas Sanata Dharma

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

Judul : Konstruksi Messianisme Jamaah An-Nadzir di Kabupaten Gowa,

Sulawesi Selatan

Pembimbing : Albertus Bagus Laksana, S.J, S.S, Ph.D.

Tanggal diuji : 14 Juli 2014

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam skripsi/ karya tulis/ makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum)yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 11 Agustus 2014

Yang memberikan pernyataan

I M R A N

iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : I M R A N

NIM : 116322016

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

KONSTRUKSI MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 11 Agustus 2014

Yang menyatakan

I M R A N

v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PENGANTAR

Ketika saya pertama kali akan melakukan penelitian pada jamaah an-Nadzir, messianisme bukanlah tema utama penelitian ini. Tema penelitian saya saat itu berjudul

Representasi dan Politik Identitas Jamaah An-Nadzir di Sulewesi Selatan. Konsentrasi penilitian saya ubah setelah melakukan observasi lapangan di mana saya menemukan bahwa keseluruhan wacana dan praktik teologi jamaah an-Nadzir diikat dan berpusat pada sebuah semangat messianistik. Perubahan tema penilitian ini tidak lepas dari arahan bapak St. Sunardi yang membantu saya melihat sentralitas semangat messianisme tersebut. Perubahan tema tersebut sebenarnya tidak menghilangkan topik awal tentang representasi dan politik identitas, sebab bagaimanapun juga messianisme adalah pembentukan sebuah wacana yang sarat dengang representasi dan politik identitas.

Wacana messianisme Islam sangat erat kaitannya dengan Islam Syiah. Literatur menyangkut messinanisme Islam sangat banyak ditulis dalam kerangka teologi Syiah.

Bagaimana tidak, dalam doktrin Syiah messianisme atau mahdisme merupakan fondasi keyakinan (Aqidah). Syiah meyakini bahwa setelah nabi terdapat para pemimpin terpilih (imam) yang bertugas menjadi penjaga risalah ilahi, kepemimpinan tersebut berakhir pada Imam Mahdi yang gaib pada sekitar tahun 250 hijriah dan dipercayai akan muncul kembali pada waktu yang telah ditentukan Tuhan.

Hubungan erat antara wacana messianisme dalam Islam yang menjadi tema utama penelitian ini dan teologi Syiah melahirkan sebuah pengalaman psikologis bagi saya –saya belum berani menyebutnya sebagai pengalaman spiritual. Saya adalah

vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

seseorang yang tumbuh dalam tradisi pesantren. Enam tahun masa sekolah mulai dari madrasah Tsanawiyah (SMP) sampai Madrasah Aliah saya tempuh di pondok pesantren

Darud Dakwah Wal Irsyad al-Ikhlas Takkalasi, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

Pesantren saya tersebut seperti kebanyakan pesantren di beraliran Sunni.

Praktis seluruh pengetahuan teologis saya dibentuk dari konstruksi teologi Ahlus

Sunnah.

Sejak di pesantren saya telah bertemu dengan wacana Syiah melalui berbagai kitab kuning, tapi itu dilakukan dalam rangka menolak klaim-klaim Syiah. Penelitian ini seperti yang saya katakan sebelumnya sangat erat dengan teologi Syiah mengharuskan saya untuk membaca literatur-literatur tersebut dari sudut pandang baru dan berbeda.

Pengalaman membaca tersebut membuat saya menyadari kompleksitas sejarah Islam dari masa lalu sampai hari ini. Harus saya akui bahwa saya menaruh simpati pada teologi Syiah –sebab saya belum yakin untuk mengatakan bahwa saya Syiah-.

Pengalaman ini saya sampaikan hanya untuk jujur tentang bagaimana pengalaman saya melakukan penelitian ini. Namun demikian, simpati tersebut tidak akan membuat penelitian lebih condong untuk mendukung klaim salah satu sekte atau bersifat tidak netral. Sama sekali tidak. Toh lagi pula tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai kampanye atas sebuah konstruksi teologi tertentu, bahkan penelitian ini dimaksudkan untuk memperlihatkan unsur-unsur kreasi dan relasi wacana/kekuasaan dalam pelbagai klaim teologis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya harus saya sampaikan kepada pembimbing tesis saya, Romo Bagus Laksana. berkat bimbingan, masukan dan arahan beliau tesis ini

vii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mendapatkan pola dan logikanya. Kepada seluruh dosen Ilmu Religi dan Budaya, bapak

St. Sunardi, Romo Subanar, Romo Beny H. Juliawan, bapak George Junus Aditjonro,

Mbak Katrin Bandel, dan bapak A. Supratiknya, Romo Haryatmoko, berkat mereka semua horizon pengetahuan saya menjadi semakin bertambah.

Terima kasih juga saya haturkan kepada teman-teman seangkatan di IRB,

Arham Rahman, Kurniasih, Vini Oktaviani Handayani, Wahmuji, Frans Pangrante,

Lamser, Doni Agung Setiawan, dan teman-teman lain yang tidak sempat saya sebutkan satu per satu. Peran mereka sangat besar selama saya menempuh studi bukan hanya sebagai teman nongkrong, tetapi juga sebagai parner diskusi yang langsung maupun tidak langsung memberi kontribusi terhadap penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada pihak Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP) yang telah bersedia mendanai penelitian ini.

Akhirnya, inilah tesis saya, harapan saya tesis ini dapat memberi kontribusi dalam dinamika ilmu pengetahuan khususnya untuk bidang kajian budaya dan religious studies.

Yogyakarta, 7 Juli 2014

Penulis imran

viii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRAK

Manusia selalu merasa ada yang kurang dari dirinya dan terus menerus berusaha dipenuhi. ‘Kekurangan’ tersebut bisa disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, politik, budaya, agama yang dianggap tidak ideal. Kekurangan tersebut menghadirkan rasa tidak puas yang pada akhirnya melahirkan resistensi melalui berbagai cara. Salah satu kelompok yang merasa tidak puas atau menganggap realitas hidup saat ini bukanlah realitas yang ideal dan ‘semestinya ada’ adalah Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ketidakpuasaan Jamaah an-Nadzir disebabkan konstruksi mereka tentang bagaimana seharusnya kehidupan beragama dalam Islam menurut imaji mereka yang semakin tergerus oleh arus modernisasi dan sekularisasi. Ketidakpuasan tersebut mendorong Jamaah an-Nadzir untuk membentuk sebuah komunitas mandiri di mana mereka dapat menjalankan apa yang mereka yakini secara bebas.

Gerakan yang diusung oleh Jamaah an-Nadzir sangat kental dengan unsur messianisme. Messianisme adalah sebuah gerakan yang mengharapkan dan berusaha mewujudkan ‘pemerintahan ideal’ setelah zaman yang dianggap bobrok di bawah kepemimpinan tokoh tertentu yang dianggap sebagai perwujudan kehendak ilahi. Messianisme an-Nadzir didasarkan pada klaim teologi Islam. Komunitas an-Nadzir meyakini dan sekaligus mengklaim bahwa mereka sedang mempersiapkan kedatangan sosok mesias Islam, Imam Mahdi. Imam Mahdi dalam konstruksi jamaah dibuat berbeda dengan konstruksi kelompok Islam lainnya. Di sini, mereka menambahkan unsur narasi lokal, seperti penghubungan sosok Imam Mahdi dengan tokoh lokal Kahar Muzakkar dan pendiri komunitas, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

Messianisme an-Nadzir dalam penilitian ini akan dipandang dari perspektif invention of tradition untuk menelusuri sejauh mana gagasan messianisme an-Nadzir hadir sebagai sebuah kreasi. Kreasi messianisme Jamaaah an-Nadzir tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep mesianisme yang telah mapan. Penelitian ini juga berusaha menelusuri dan menunjukkan kompleksitas relasi wacana/kekuasaan yang terdapat dalam berbagai konsep messianisme, sebab bagaimana pun juga messianisme merupakan sebuah medan kontestasi di mana makna terus menerus dipertarungkan.

Kata Kunci; Gerakan Keagamaan, Messianisme, Konstruksi, Kreasi, Relasi Wacana/Kekuasaan.

ix PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRACT

Human being always feels that there is something missing, so they try to fullfil it. It can be caused of economic, political, religious and cultural disparity. It causes dissatisfaction that in turn stimulates resistance in many ways. One such dissatisfied community with the dissatisfaction is an-Nadzir community, who lives in Gowa District, South Sulawesi. They are not satisfied with the Islamic religious condition. This dissatisfaction is stimulated by their perspective on the ideal image of religious society, and for them, the Islamic religious condition nowadays is too much influenced by the modernity and secularity. As a result, they have built an autonomous community, in which they can freely live the life based on what they believe.

The movement is dominated by messianism movement. Messianism is a movement that tries to implement ideal governance, since they claim that the world has degenerated under the figure of the representation of God in the world. An-Nadzir messianism is based on an Islamic theological claim. They believe that the savior messiah, Imam Mahdi, would appear in this world, and they have to prepare for it. The Imam Mahdi concept is constructed differently from the other constructions. The Imam Mahdi concept is contextualized with local story. It is connected to the figure of Kahar Muzakkar and the founding father of the community, Kyai Samsuri Abdul Madjid.

In this thesis, An-Nadzir messianism is viewed from the perspective of “invention of tradition”, to investigate the emergence of an-Nadzir as a creation. The an-Nadzir messianism construction is closely related to the other established concepts of messianism. This research tries to investigate as well as to show the complexity, the power/knowledge relation of the messianism concepts. It is finally to show that messianism is an arena of ongoing contestation/negotiation for truth.

Key words: Religious Movement, Messianism, Construction, Invention, Power/Knowledge Relation.

x PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR ISI

JUDUL TESIS ……………………………………………………………………….. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………………….. ii

PENGESAHAN ……………………………………………………………………… iii

PERNYATAAN ……………………………………………………………………… iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ……………………………………………………... v

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….. vi

ABSTRAK …………………………………………………………………………… ix

ABSTRACT ………………………………………………………………………….. x

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… xi

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ……………………………………………………… 1 B. TEMA ………………………………………………………………………... 12 C. RUMUSAN MASALAH …………………………………………………… 12 D. TUJUAN PENELITIAN …………………………………………………… 13 E. MANFAAT PENELITIAN ………………………………………………… 14 F. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS ……………….. 15 F.1. Tinjauan Pustaka ………………………………………………………. 15 F.2. Kerangka Teori ………………………………………………………… 20 G. METODE PENELITIAN …………………………………………………... 36

H. PENGOLAHAN DATA …………………………………………………….. 38 I. SISTEMATIKA PENULISAN ……………………………………………... 38

xi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB II

GENEALOGI JAMAAH AN-NADZIR

A. Letak Geografis ……………………………………………………………… 39 B. Sejarah Kemunculan An-Nadzir …………………………………………… 42 C. Politik Interaksi Keseharian ...... 52 D. Paham (Interpretasi) Teologis : Upaya kembali Kepada Yang “Asli” ...... 62

BAB III

KONSTRUKSI WACANA MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR

A. Messianisme dalam Berbagai Konstruksi .………………………………… 75 B. Messianisme di Indonesia …………………………………………………... 88 C. Konstruksi Messianisme Jamaah an-Nadzir ……………………………… 98

BAB IV

KONTRUKSI KEPEMIMPINAN JAMAAH AN-NADZIR

A. Konstruksi Kepemimpinan Islam: Sebuah Polemik …………………… 121

B. Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan ………… 135

C. Konstruksi Sistem Kepemimpinan Jamaah An-Nadzir ………………… 149

BAB V PENUTUP

A. Messianisme = Revivalisme? ……………………………………………… 166

B. Messianisme Sebagai Medan Kontestasi …………………………………. 168

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 178

xii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Proses liberalisasi dan globalisasi dalam berbagai bentuk yang sedang melanda seluruh penjuru dunia serta berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia membuat beberapa kalangan meramalkan bahwa kehidupan manusia akan terbawa pada arus kehidupan yang lebih sekular. Manusia cenderung akan meninggalkan agama atau setidak-tidaknya era ini akan ditandai dengan berkurangnya aspek religiusitas umat manusia. Namun, ramalan tersebut sepertinya tidak sepenuhnya tepat jika kita tempatkan dalam konteks masyarakat Indonesia. Globalisasi ternyata tidak serta merta membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang lebih sekular, beberapa fenomena bahkan menunjukkan bahwa terjadi semacam penguatan aspek religuitas dan gerakan-gerakan keagamaan pada masyarakat.

Fenomena penguatan atau kebangkitan gerakan keagamaan sebenarnya bukanlah fenomena khas Indonesia. Di tempat lain fenomena yang demikian itu juga dapat dengan mudah dijumpai. Hal ini boleh jadi adalah respon terhadap modernisasi yang disikapi secara beragam oleh berbagai pihak. Bagi kaum Modernis, sekularisasi terhadap dimensi kehidupan manusia dianggap sebagai jalan menuju pencerahan umat manusia dari belenggu fenomena agama yang „terbelakang‟, „tahayyul‟ atau

„reaksioner‟. Sebaliknya oleh kelompok yang menolak ide modernitas (termasuk oleh sebagian kelompok agama), modernisasi (sekularisasi) dianggap sebagai penyebab utama dekadensi nilai-nilai agama, baik dalam ranah masyarakat maupun dalam ranah individu. Meskipun terlihat saling bertentangan, namun relasi kedua kelompok ini PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 2

sepertinya tidak sekadar dalam bentuk pengingkaran satu sama lain, tetapi juga terdapat adaptasi dan negosiasi di antara keduanya.

Bagaimana asal-usul kebangkitan agama ini bisa muncul? Peter L Berger dalam artikelnya „The Desecularization Of The World‟1 mengajukan dua jawaban. Pertama, modernitas cenderung memporak-porandakan kepastian-kepastian yang telah diterima secara taken for granted oleh masyarakat sepanjang zaman. Tindakan ini amat tidak disukai oleh penganut agama yang tidak bersikap toleran serta gerakan-gerakan keagamaan yang menghendaki kepastian tersebut dapat dipertahankan. Kedua, kenyataan bahwa pandangan sekuler tentang realitas memperoleh tempat sosial yang penting dalam kultur elit, sehingga menimbulkan kemarahan dari kalangan yang tidak ikut ambil bagian, dan kalangan yang merasa hal tersebut akan menimbulkan pengaruh buruk.

Selain fenomena penguatan keagamaan, salah satu fenomena yang menarik adalah munculnya aliran-aliran keagamaan yang lebih beragam. Hal ini disebabkan keleluasaan untuk berkumpul dan berpendapat yang sudah dapat dilakukan secara lebih terbuka oleh masyarakat setelah sekian lama dibungkam dan dikekang rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Namun pertumbuhan keberagaman aliran dan penafsiran yang berkaitan dengan persoalan keagamaan tersebut bukannya tanpa persoalan. Kehadiran berbagai aliran baru (sebagian bahkan telah ada sebelum reformasi) seringkali tidak dibarengi dengan kedewasaan untuk saling menerima perbedaan. Kelompok minoritas seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif. Beberapa

1 Lih, Peter L Berger, Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia, Penerbit Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2003 Hlm 32 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 3

komunitas agama non-mainstream bahkan didefinisikan sebagai aliran sesat oleh komunitas dominan/ mainstream atau oleh institusi Negara. Tidak hanya itu, komunitas yang didefinisikan sesat tersebut bahkan kerap kali mendapatkan perlakuan kekerasan yang mengancam keselamatan hidup mereka. Sebut saja penyerangan, pengusiran, dan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia atau penyerangan yang menyebabkan kerugian material dan korban jiwa terhadap komunitas

Syiah di Sampang, Madura oleh kelompok tertentu dengan dalih bahwa hal itu dilakukan sebagai tindakan protektif „terhadap keyakinan yang benar‟.

Terlepas dari segala macam pembelaan yang diutarakan setiap kali terjadi konflik berbau agama (baik antar kelompok seagama maupun antar agama) yang sering dianggap hanya merupakan rekayasa konflik dan untuk kepentingan politis tertentu, namun hal yang sepertinya sulit dipungkiri adalah bahwa benih kebencian terhadap kelompok yang „berbeda‟ memang sungguh ada dan telah ditanamkan baik secara sadar maupun tidak sadar. Sebab provokasi tidak akan berhasil dengan mudah jika benih- benih kebencian tidak ada. Sebagian besar penganut agama masih tidak bisa menerima kelompok lain yang „berbeda‟ dengan kelompoknya. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada jarak antara ajaran agama yang katanya membawa spirit perdamaian dengan tindakan „beragama‟2.

Fenomena lain yang muncul belakangan- walaupun sebenarnya fenomena ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru- adalah munculnya komunitas-komunitas agama dengan semangat messianistik. Gerakan messianistik adalah sebuah gerakan

2Lih, Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi‟, Gramedia, , 2010, Hlm 83 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 4

keagamaan yang merindukan datangnya juru selamat untuk menyelamatkan kehidupan manusia dan menegakkan hukum Tuhan secara menyeluruh. Dalam beberapa penelitian terdahulu, gerakan agama yang berorientasi messianistik kerap dihubungkan dengan keadaan sosial masyarakat yang carut marut (baik dari segi sosial, ekonomi politik, dan agama). Gerakan messianistik juga dalam arti tertentu kerap dianggap sarat dengan semangat revolusioner dan olehnya itu dianggap sangat berpotensi mengancam stabilitas kekuasaan pemerintah3.

Namun demikian, apakah gerakan agama yang messianistik selalu muncul sebagai respon atas ketidakjelasan kondisi sosial masyarakat? Apakah semua gerakan messianistik secara reduksionis dapat dikatakan berpretensi mengganggu kemapanan kekuasaan? Kompleksitas dalam gerakan messianistik inilah yang ingin saya coba telusuri melalui aspek-aspek gerakan messianistik yang terdapat dalam komunitas

Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Gerakan messianistik sendiri bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia.

Berbagai macam gerakan messianistik telah dikenal oleh masyarakat nusantara bahkan ketika Indonesia sebagai Negara belum ada. Masyarakat Jawa misalnya telah mengenal konsep Ratu Adil yang biasanya dihubungkan dengan ramalan dari Prabu Jayabaya tentang keadaan masa depan masyarakat Jawa4. Masyarakat di Sulawesi Selatan yang menjadi lokasi penelitian ini juga telah mengenal konsep messianisme sejak lama lewat konsep to- manurung. Konsep tentang to- manurung ini sendiri sebenarnya tidak serta

3 Lih Sartono, Ratu Adil, Sinar Harapan, 1984, hlm 10 4 Lih Sartono Kartodirdjo, Catatan Tentang Segi-segi Messianistis dalam Sejarah Indonesia, Universitas Gadja Mada, 1959, hlm 7 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 5

merta mengandung arti messianis, namun dalam perkembangannya konsep to- manurung sangat kental dengan unsur-unsur messianistik.

Konsep To manurung sendiri merupakan konsep yang erat kaitannya dengan sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan (Kerajaan Gowa,

Bone, Soppeng). Kedatangan to manurung di Sulawesi Selatan digambarkan oleh lontara5sebagai sesuatu yang dihajatkan, antara lain untuk mengakhiri keadaan yang sedang kacau balau6. Pengharapan tentang datangnya to-manurung seringkali muncul apabila masyarakat berhadapan dengan ketidakpastian sosial yang berlangsung secara terus menerus. Konsep ataupun gerakan yang bersifat messianistik seperti ini di

Sulawesi Selatan mengalami metafora setelah perjumpaan antara unsur kepercayaan lokal dengan unsur eskatologi Islam. Hal yang sama sepertinya juga berlaku dalam konsep Ratu Adil masyarakat Jawa, bahkan dalam arti tertentu konsep tentang Ratu adil di Jawa sedikit lebih kompleks karena mempertemukan unsur kepercayaan/kebudayaan lokal yang bertemu dengan konsep Hindu-Budha dan konsep eskatologi Islam.

Komunitas Jamaah an-Nadzir adalah kelompok Islam minoritas yang terdapat di wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Jamaah an-Nadzir yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang tersebut memilih bertempat tinggal sebagai sebuah komunitas mandiri di tempat yang cukup terpencil tepatnya di tepi danau Mawang,

Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan sekitar 20 Kilometer dari kota Makassar.

Selain di Kabupaten Gowa, Komunitas an-Nadzir memiliki jaringan di berbagai daerah

5Manuskrip sejarah yang biasanya berkaitan dengan masyarakat, tokoh, atau sejarah kerajaan yang ditulis dalam aksara lokal 6 Lih Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, 1995, hlm 416 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 6

di Indonesia, mulai dari Jakarta, Medan, Banjarmasin, Batam, Dumai, Batubara, Bogor, dan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.7

Jamaah an-Nadzir di Indonesia didirikan oleh Kyai Syamsuri Abdul Madjid pada tahun 1998 yang melakukan perjalanan dakwah ke berbagai daerah di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar dan di Luwu. Menariknya, Kyai

Syamsuri Abdul Madjid oleh anggota Jamaah an-Nadzir kerap dikaitkan sebagai sosok titisan Kahar Muzakkar, tokoh pejuang gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Di awal keberadaannya, Jamaah an-Nadzir ini sempat menimbulkan kecurigaan dari berbagai pihak, bahkan kepolisian dan intelejen sempat mendatangi komunitas mereka karena dicurigai melakukan praktik terorisme ataupun menyebarkan ajaran „sesat‟.

Anggapan bernada miring tersebut dikarenakan Jamaah an-Nadzir ini memiliki kekhasan yang membedakannya atau dianggap berbeda dengan umat Muslim pada umumnya. Kekhasan itu salah satunya berasal dari tampilan fisik mereka yang berbeda.

Jamaah an-Nadzir yang bermukim di Desa Mawang (sebagian Jamaah tidak bermukim pada pemukiman komunitas) diwajibkan memanjangkan rambut dan mewarnainya, selain itu mereka juga lebih sering menampilkan diri dengan memakai sorban hitam.

Tak ketinggalan, mereka juga memakai celak. Sedang kaum muslimah an-Nadzir menggunakan jilbab besar disertai kain cadar penutup muka, namun tidak sedikit juga muslimah an-Nadzir yang hanya mengenakan jilbab biasa seperti kebanyakan wanita muslim pada umumnya. Tata cara berpakaian seperti ini bahkan telah mereka terapkan pada anak-anak mereka sejak dini. Tata cara berpakaian dan penampilan fisik yang

7Nusantaraislam.blogspot.com. Menengok Perkampungan Jamaah An Nadzir di Sulsel. Diakses tanggal 6 Juni 2012 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 7

berbeda dengan penampilan umat Islam pada umumnya dalam pandangan jamaah ini disandarkan pada hadits-hadits shohih dalam rangka melaksanakan sunnah rasul.

Kekhasan Jamaah an-Nadzir tidak hanya terletak pada penampilan fisik dan tafsiran teologi mereka tetapi juga cara hidup dan pola ekonomi mereka. Komunitas an-

Nadzir berusaha mengembangkan sebuah pola ekonomi mandiri untuk menghidupi dan membiayai komunitas mereka. Komunitas ini menyadari bahwa ekonomi yang kuat dapat menjadi landasan komunitas agar tetap utuh, apalagi komunitas ini kebanyakan adalah pendatang yang meninggalkan daerah dan pekerjaan mereka sebelumnya untuk hidup sebagai sebuah komunitas. Hal ini membuat pengelolaan ekonomi sangat dibutuhkan demi kelanjutan hidup komunitas.

Pada awalnya, komunitas an-Nadzir lebih banyak bergerak di bidang pertanian dan pertambakan serta budi daya ikan. Jamaah an-Nadzir sejauh ini berhasil mengembangkan kedua sektor tersebut. Keberhasilan mereka mengelola pertanian dan perikanan membuat sebagian masyarakat setempat tertarik bekerja sama dengan komunitas ini dengan memberikan lahan mereka untuk dikelola oleh Jamaah an-Nadzir dengan sistem bagi hasil. Komunitas an-Nadzir juga mulai merambah dunia usaha dengan membuka beberapa usaha seperti bengkel sepeda motor, warung pulsa dan handphone, usaha depot air galon, dan membuka pasar tradisional. Usaha ekonomi mandiri ini tidak hanya mereka peruntukkan kepada komunitas saja tetapi juga untuk masyarakat umum yang ada di sekitar daerah Mawang. Menariknya mata pencaharian jamaah ini tidak bersifat individu, namun merupakan pekerjaan jama‟ah. Seluruh potensi usaha kreatif dilakukan atas nama komunitas dan keuntungan dari usaha tidak PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 8

menjadi milik individu-individu melainkan diperuntukan untuk pengembangan komunitas.

Sisi lain yang menarik dari jamaah ini adalah metode pendidikan dan pembelajaran yang mereka terapkan pada anak-anak mereka. Jamaah an-Nadzir mengembangkan sistem pendidikan mandiri kepada anak-anak mereka. Mereka tidak memasukkan anak-anak ke sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta. Mereka mengambil alih pendidikan anak-anak mereka dengan mengadakan pendidikan sendiri dengan menggunakan tenaga pengajar dari kalangan mereka sendiri. Mereka hanya mengajarkan Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Hafalan

Alqur‟an dalam sebuah madrasah dengan tetap menerapkan disiplin waktu. Pola pendidikan an-Nadzir ini sedikit banyak mirip dengan pola pendidikan ala pesantren tradisional.

Sistem pendidikan seperti ini tidak menyediakan ijazah sebagaimana layaknya sekolah-sekolah formal. Mereka sendiri tidak memproyeksikan anak-anak mereka untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mereka hanya mempersiapkan anak-anak mereka sebagai pelanjut dari cita-cita komunitas di masa depan. Melalui sistem pendidikan yang seperti ini, Jamaah an-Nadzir mendekonstruksi pemikiran mainstream tentang pendidikan. Mereka seakan merevisi pandangan konvensional bahwa mereka tidak akan bisa hidup “layak” tanpa bantuan sistem pendidikan formal. Jamaah an-Nadzir membuktikan bahwa sebuah komunitas dapat “melanjutkan hidup” tanpa harus terjebak dalam sistem pendidikan formal yang telah tergerus dalam logika pasar kapitalisme. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 9

Membicarakan sebuah komunitas agama (Islam) minoritas di Indonesia sepertinya tidak lengkap tanpa membicarakan aspek tafsiran teologi yang mereka yakini. Persoalan penafsiran keagamaan yang berbeda inilah yang kerap menjadi musabab utama perlakuan diskriminatif dan pelabelan hal-hal tertentu pada mereka.

Namun, pembicaraan tentang hal ini tidak dalam rangka meneguhkan atau melemahkan argumen komunitas tertentu. Semua keunikan itu akan lebih dipandang sebagai sebuah bentuk politik identitas yang ditujukan untuk kepentingan dan maksud tertentu dari komunitas tersebut.

Komunitas Jamaah an-Nadzir seringkali dianggap sebagai komunitas revivalis atau fundamentalis karena cara mereka menafsirkan teks-teks suci (Al-Quran dan

Hadist) yang dianggap sangat skriptualis dan tekstual. Praktik-praktik keagamaan mereka termasuk konstruksi identitas dan tampilan fisik mereka biasanya dijadikan sebagai landasan dari pelabelan revivalis mereka.

Salah satu yang membedakan Jamaah an-Nadzir dengan umat Islam kebanyakan adalah cara mereka merayakan bulan suci Ramadhan. Pada bulan suci

Ramadhan Jamaah an-Nadzir hanya melaksanakan ibadah puasa dan meniadakan ibadah shalat tarawih di malam hari. Peniadaan ini dalam pandangan Jamaah an-Nadzir karena ditakutkan shalat tarawih akan dianggap wajib. Mereka merujuk kepada nabi yang semasa hidupnya hanya melakukan ibadah tarawih pada malam ke 23, 25, dan 27 bulan Ramadhan. Dalam pandangan an-Nadzir umat Islam sekarang ini seakan-akan menjadikan ibadah shalat tarawih sebagi sebuah kewajiban. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 10

Hal lain yang menarik dari komunitas ini dan berbeda dengan kebanyakan orang Islam di Indonesia adalah mengenai penentuan waktu shalat. Dalam penentuan waktu shalat mereka tidak berpatokan pada jam (walaupun mereka tidak serta merta menolak penggunaan jam) melainkan lebih berpatokan pada tanda-tanda alam. Salah satu perbedaan mencolok adalah tidak seperti mayoritas umat Islam yang melaksanakan shalat isya di malam hari mereka melaksanakan shalat isya pada dini hari antara pukul

03.00-04.00. Bagi mereka waktu itu adalah waktu yang utama (afdhal) dan mereka tidak merasa berat apalagi terbebani melaksanakannya di waktu tersebut.

Komunitas Jamaah an-Nadzir menolak memasukkan diri dalam klasifikasi Syiah maupun Sunni, dua sekte aliran yang paling dominan dalam Islam. Mereka bukan Syiah maupun Sunni. Jamaah an-Nadzir mengklaim bahwa mereka adalah Ahlul Bait. Dalam

Islam dominan Ahlul Bait biasanya digunakan sebagai istilah untuk merujuk pada keturunan atau keluarga nabi. Bagi Jamaah an-Nadzir Ahlul Bait adalah orang-orang yang melaksanakan sunnah nabi mulai dari sunnah yang kecil hingga sunnah yang besar. Itu berarti Ahlul Bait adalah orang yang meletakkan nabi sebagai teladan dalam segala hal. Komunitas an-Nadzir mencoba merebut ruang dan makna tentang siapa

Ahlul Bait sesungguhnya dengan berupaya keras mempraktikkan kehidupan Nabi dan sahabatnya, dan berupaya menerjemahkan keseluruhan praktik ibadah mereka sebagai bagian dari “asli” nabi dalam kehidupan sehari-hari.

Komunitas an-Nadzir juga meyakini konsep tentang „messianisme‟.

Messianisme adalah suatu pandangan yang mengandaikan munculnya seorang „mesias‟ atau penyelamat umat yang akan mengeluarkan manusia dari kondisi sosial yang sedang mengalami degradasi. Sang mesias selalu memberikan harapan akan kehidupan baru PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 11

yang lebih layak. Lebih dari itu, Sang mesias pun menampilkan legitimasi ketuhanan pada dirinya, misalnya sebagai penerima wahyu dari Tuhan.

Jamaah an-Nadzir meyakini mesias menurut mereka adalah Imam Mahdi. Imam

Mahdi adalah keturunan atau keluarga nabi yang diramalkan akan muncul pada akhir zaman. Menurut Jamaah an-Nadzir Imam Mahdi telah turun dan membawa peringatan kepada umat Islam. Menariknya, Imam Mahdi sebagaimana diyakini oleh Komunitas an-Nadzir adalah Kahar Muzakkar yang mewujud dalam diri Abah Syamsuri Madjid

(pendiri An-Nadzir). Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa Kahar Muzakkar atau Abah

Syamsuri Madjid telah mengalami tiga kali gaib. Gaib Sugra ketika dia masih kecil, kemudian gaib di La Solo (ketika dia dianggap mati), dan terakhir dia terhijab tahun

2006 (tahun meninggalnya Abah Syamsuri Madjid). Oleh karena Imam Mahdi telah muncul, maka kehidupan manusia saat ini menurut Jamaah ini telah memasuki fase akhir zaman.

Rencana penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri seperti apa aspek-aspek gerakan messianistik yang terdapat pada komunitas Jamaah an-Nadzir di kabupaten

Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat bagaimana ideologi messianistik tersebut dirumuskan dan dijalankan serta aspek-aspek yang membedakannya dengan gerakan-gerakan messianistik lainnya.

Penelitian terkait keberadaan komunitas Jamaah an-Nadzir sendiri sudah pernah dilakukan oleh beberapa orang untuk kepentingan yang beragam. Salah satu penelitian tentang Jamaah an-Nadzir pernah dilakukan oleh Saprillah, peneliti Balai Litbang

Departemen Agama kota Makassar. Penelitian tersebut diterbitkan oleh Jurnal al-Qurba.

Penelitian Saprillah berjudul „Jamaah an-Nadzir, Melawan Arus Membangun PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 12

Kemandirian‟. Penelitian lain yang bersifat lebih akademis dilakukan oleh Muhammad

Taufan dengan judul „Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟ dan penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja dengan judul „Gerakan Islam Non Mainstream,

Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟. Dua penelitian terakhir merupakan penelitian untuk kepentingan disertasi.

Rencana penelitian ini ingin menelusuri bagaimana Jamaah an-Nadzir merumuskan paham messianistik mereka dan bagaimana paham atau keyakinan tersebut dijalankan atau dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat bagaimana kompleksitas wacana yang membangun konsep messianistik yang mereka pahami, keadaan sosial yang menjadi tempat kemunculannya serta metode kepemimpinan yang mereka terapkan.

B. TEMA

Adapun tema penelitian ini adalah „Aspek-aspek Messianistik pada Jamaah an-

Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan‟.

C. RUMUSAN MASALAH

Arah penelitian ini sebagaimana telah sedikit banyak dipaparkan dalam latar belakang dimaksudkan untuk menelusuri aspek-aspek messianisme dari komunitas

Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah keadaan lingkungan sosial yang melahirkan gerakan

messianistik tersebut? PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 13

2. Seperti apa ideologi messianistik yang dipahami dan dikonstruksi oleh

Jamaah an-Nadzir dan digunakan untuk apa?

3. Seperti apakah bentuk kepemimpinan (leadership) yang dikembangkan

oleh komunitas Jamaah an-Nadzir yang ada di Kabupaten Gowa,

Sulawesi Selatan?

D. TUJUAN PENELITIAN

Merujuk pada rumusan masalah di atas maka adapun tujuan dari penelitian

adalah:

1. Menelusuri bagaimanakah kondisi sosial yang melahirkan gerakan

messianistik yang dipahami oleh komunitas Jamaah an-Nadzir di

Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk

melihat bagaimana latar belakang sosial yang sedikit banyak melatar

belakangi munculnya gerakan messianistik sebagaimana dipahami oleh

komunitas ini.

2. Mengurai seperti apa ideologi messianistik yang dipahami,

dikembangkan dan dijalankan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten

Gowa, Sulawesi Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk menelusuri

perbedaan-perbedaan konsep tentang messianistik yang dipahami oleh

komunitas ini. Bagian ini juga dimaksudkan untuk memperlihatkan

kekhasan dari paham messianistik Jamaah an-Nadzir dibandingkan

dengan ideologi messianistik yang dipahami oleh komunitas lain. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 14

3. Menjelaskan bagaimana metode kepemimpinan yang dibangun dan

dilaksanakan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulawesi

Selatan. Bagian ini dimaksudkan untuk melihat pola kepemimpinan yang

terdapat dalam komunitas ini. Hal ini penting mengingat pola

kepemimpinan biasanya memegang peranan sentral dalam gerakan-

gerakan messianistik seperti ini.

E. MANFAAT PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Perkembangan khasanah Ilmu pengetahuan humaniora khususnya kajian

budaya. Penelitian ini diharapkan akan memperkaya eksplorasi terhadap

komunitas-komunitas minoritas dengan menggunakan pendekatan

penelitian dengan perspektif kajian budaya di Indonesia.

2. Masyarakat luas pada umumnya agar dapat lebih bijak menanggapi

berbagai perbedaan dan pluralitas dalam dinamika kehidupan

bermasyarakat.

3. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti/mahasiswa lain yang

ingin mengangkat topik serupa terutama untuk hal-hal yang tidak dibahas

secara komperehensif dalam penelitian ini.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 15

F. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

F.1. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada bagian latar belakang tentang beberapa penelitian baik yang mengkaji komunitas an-Nadzir maupun komunitas minoritas lain di Sulawesi Selatan. Bagian ini akan memaparkan kelebihan dan kelemahan dari setiap penelitian ini. Bagian ini juga akan menunjukkan perbedaan dan kekhasan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Pertama, penelitian yang dilakukan Saprillah dengan judul „Jamaah an-Nadzir,

Membangun Arus Membangun Kemandirian‟. Penelitian ini menggambarkan sejarah kemunculan, pola hidup dan bagaimana paham keagamaan khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat oleh Jamaah an-Nadzir. Kelemahan penelitian terletak pada inkonsistensi argumentasinya. Sebagai contoh, di awal tulisan penulis menyanjung pola pendidikan yang diterapkan oleh Jamaah an-Nadzir sebagai sebuah metode alternatif dan kreatif serta dapat keluar dari logika mainstream bagaimana masyarakat menilai pendidikan formal sebagai jaminan kesuksesan hidup, namun di akhir dia merekomendasikan Pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional sebagai upaya untuk menjawab keraguan komunitas ini terhadap pentingnya pendidikan

(melalui jalur sekolah formal). Inkonsistensi lain adalah pemaparannya tentang pentingnya pluralitas dan kedewasaan menerima perbedaaan, namun lagi-lagi di akhir tulisannya dia beranggapan bahwa komunitas ini bisa menjadi ancaman terhadap

„Islam‟ di masa depan. Penulis seperti hanya ingin menjadi legitimasi baru terhadap wacana mainstream. Hal ini mungkin disebabkan karena penulis adalah peneliti Litbang PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 16

Departemen Agama, tulisan seperti ini biasanya dimaksudkan untuk kepentingan pengeluaran kebijakan pembinaan keagamaan di masyarakat.8

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Taufan dengan judul

„Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟. Penelitian ini memfokuskan diri pada aspek sosiologi hukum Jamaah an-Nadzir yang dipertentangkan atau diperhadapkan dengan hukum positif dan hukum Islam. Penelitian yang dilakukan oleh Taufan ini juga ingin meneliti sejauh mana Jamaah an-Nadzir melenceng atau tidak dari kategori benar- sesatnya paham tafsir keagamaan- dalam konteks ini adalah agama Islam- yang telah dibakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pihak yang dianggap berwenang9.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Jamaah an-Nadzir bukanlah sebuah komunitas yang mengembangkan paham aliran sesat jika merujuk pada kriteria sesat yang ditetapkan MUI. Perbedaan yang terdapat dalam paham dan praktik keagamaan merupakan sesuatu yang hanya bersifat furu‟iyah, bukan sesuatu yang ushuliyah.

Taufan juga mengatakan bahwa keberadaan komunitas ini jika ditinjau dari perspektif hukum positif adalah sah karena Negara melalui konstitusi menjamin warga Negara untuk menganut agama dan kepercayaannya secara tulus tanpa paksaan dari siapapun dan golongan apapun. Aliran baru seperti an-Nadzir dilihat oleh Taufan sebagai sebuah revisi, kritik atau bahkan sebagai titik balik dari ajaran induknya.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja dengan judul Gerakan

Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟.

8Lih Saprillah, Jamaah an-Nadzir, Membangun Arus Membangun Kemandirian‟, Jurnal Alqurba 9 Lih Taufan,Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir‟, Universitas Islam Negeri Alauddin, 2012. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 17

Penelitian ini memfokuskan diri pada dimensi sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir sebagai strategi pemberdayaan Jamaah. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa gerakan pemberdayaan sosial-ekonomi Jamaah an-Nadzir lebih berorientasi pada kesalehan sosial dan keselamatan individual untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Penegakkan syariat dan hukum Tuhan harus dimulai dari masing-masing individu dan kelompok. Berdasarkan hal tersebut Jamaah an-Nadzir tidak mengganggap pendirian negara Islam sebagai sesuatu yang penting. Sikap anti pendirian negara Islam menurut

Mustaqim merupakan sikap positif dari gerakan An-Nadzir. Jamaah ini tidak menjadikan pendirian negara Islam sebagai agenda perjuangan, dan karena itu mereka menolak penggunaan jalur politik, tetapi mereka lebih menitikberatkan nilai Islam pada kepentingan sosial ekonomi. Perjuangan penegakan syariat Islam dianggapn sebagai perjuangan individual karena keselamatan akhirat memang bersifat nafsi-nafsi atau individual.10 Jamaah an-Nadzir dianggap sukses menjalankan sebuah sistem ekonomi mandiri yang berbasis pada pengembangan ekonomi kreatif. Keberhasilan Jamaah an-

Nadzir itu tidak hanya sebatas pada komunitas mereka tetapi juga memberi banyak manfaat terhadap masyarakat sekitar yang tanahnya mereka kelola. Jamaah an-Nadzir disukai karena mereka menerapkan prinsip-prinsip kenabian dalam perkara muamalat mereka.

Selain penelitian terdahulu tentang Jamaah an-Nadzir, pada bagian ini juga akan disebutkan beberapa penelitian dengan tema gerakan messianistik yang telah dilakukan sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Vittorio Lanternari dalam bukunya The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults

10Lih Mustaqim Pabbaja, „Gerakan Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan‟, Universitas Gadja Mada, 2013. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 18

pada bagian „Messianic Movement in Asia and Indonesia‟. Penelitian ini mengidentifikasi kemunculan orang-orang kharismatik yang mengombinasikan antara gagasan mitos tradisional lokal dengan ide-ide messianisme Islam11.

Peran para orang kharismatik yang biasanya adalah pemimpin agama ini sangat sentral karena orang-orang itulah yang berkeliling melakukan agitasi ke masyarakat.

Para pemimpin agama ini umumnya menyebarkan isu anti Belanda. Kebencian terhadap penjajah (Belanda) semakin diperkuat dengan ide perang suci untuk mengusir penjajah sekaligus juga dalam rangka mewujudkan ide messianisme yang mereka yakini.

Gerakan messianik yang diteliti oleh Lanternari yang mengambil setting masyarakat

Indonesia (Jawa) ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok petani. Kedatangan juru selamat yang dijanjikan diramalkan akan didahului oleh bencana, kerusuhan, dan ketidakpastian sosial. Karena kepercayaan dan keinginan yang kuat untuk meraih apa yang diramalkan membuat masyarakat menurut Lanternari dengan mudah mengaitkan sebuah peristiwa untuk dikaitkan dengan apa yang diramalkan.

Gerakan messianik di Indonesia mempunyai ciri yang berbeda dengan gerakan messianistik di tempat lain. Perbedaan gerakan messianistik itu terletak pada ketiadaan unsur kristianitas dan tidak adanya peran organisasi gereja dalam gerakan messianisme di Indonesia. Lebih jauh Lanternari mengatakan bahwa elemen messianisme di

Indonesia dibentuk oleh inti ajaran pagan- mungkin maksudnya adalah kepercayaan lokal-, unsur Hindu-Budha, doktrin mahdisme (Islam) dan pesan messianisme baru.12

11 Lih Lanternari, The Religion of the Oppressed: A Study of Modern Messianic Cults, London. Macgibbon & kee,1963, hlm 265 12I bid‟ hlm 267 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 19

Selanjutnya adalah penelitian tentang konsep Ratu Adil dalam masyarakat Jawa yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo. Dalam penelitian ini diberikan berbagai contoh gerakan messianisme di Jawa yang terjadi antara abad 19 dan 20. Gerakan messianistik tersebut kebanyakan didasarkan pada berbagai versi ramalan Prabu

Jayabaya.13 Salah satunya dan yang paling terkenal adalah pemberontakan Pangeran

Diponegoro yang mengklaim diri sebagai Erucakra. Ciri khas ramalan-ramalan juru selamat Jawa menurut Sartono meskipun pada dasarnya bersifat non-Islam, namun memuat unsur eskatologi Islam. Hal ini menunjukkan adanya negosiasi antara kepercayaan lokal dan Islam.14

Kedatangan juru selamat di Jawa diramalkan akan ditandai dengan bencana- bencana alam, dekadensi moral dan kemelaratan di kalangan masyarakat. Kedatangan sang mesias akan mengakhiri ketidakadilan dan memulihkan keharmonisan. Sang mesias akan menghalau penguasa yang lalim (Belanda) dan mendirikan Negara yang adil di mana masyarakat akan hidup sejahtera dengan makanan dan pakaian yang melimpah. Sang mesias juga akan menghapuskan wajib kerja dan wajib pajak yang besar dan memberatkan rakyat.

Gerakan messianistik yang terjadi di banyak tempat di Jawa antara abad 19 dan

20 berlangsung di bawah penjajahan Belanda maka gerakan messianistik yang terjadi saat itu juga memunculkan gejala nativisme sebagai reaksi terhadap kekuasaan asing kulit putih. Kekuasaan orang asing dianggap mengancam pengertian tentang identitas

Jawa- khususnya di kalangan petani- karena meningkatnya hegemoni politik dan

13Seorang raja Kediri, jawa timur, yang hidup sekitar abad kedua belas 14 Lihat Sartono, Ratu Adil, Sinar Harapan, 1984, hlm 58 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 20

kekuasaan asing. Pada masa itu, bukan hanya Belanda yang dimusuhi dan dibenci, tetapi juga kalangan etnis Cina dan kalangan pribumi yang berkomplot dengan Belanda karena akses mereka yang lebih luas dan besar terhadap pengelolaan sumber daya alam.

Para nativis mengharapkan dan membayangkan kedatangan suatu masyarakat di mana orang kulit putih terusir dan sekutu-sekutu pribumi mereka digulingkan.

Penelitian ini secara spesifik mengambil aspek yang berbeda. Penelitian ini ingin melihat bagaimana ideologi messianistik yang dipahami, direkonstruksi dan dijalankan oleh Jamaah an- Nadzir yang ada di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga ingin menelusuri apa yang berbeda dalam messianisme mereka dengan gerakan messianisme yang sudah pernah ada. Penelitian ini difokuskan pada tema tentang aspek messianisme yang terdapat dalam komunitas Jamaah an-Nadzir. Penelitian tentang tema messianisme pada Jamaah an-Nadzir sepanjang penulusuran saya belum pernah diteliti secara mendalam oleh para peneliti terdahulu. Penelitian terdahulu tentang Jamaah an-

Nadzir, jikalau pun menyebut tentang aspek messianistiknya sepertinya hanya diperlakukan sebagai data penunjang dan dibicarakan secara sekadarnya saja. Oleh karena itu, penelitian ini ingin memfokuskan diri untuk menelusuri aspek messianistik seperti apa yang dikonstruksi oleh komunitas an-Nadzir, bukan dalam kerangka justifikasi benar-sesat melainkan melihat kompleksitas wacana dan unsur-unsur yang membangunnya.

F.2. Kerangka Teori

Kerangka teori yang akan digunakan sebagai sudut pandang dalam penelitian ini adalah konsep mengenai „The Invention of Tradition‟ (bila dialih bahasakan ke dalam PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 21

Bahasa Indonesia mungkin bisa kita sebut „penciptaan tradisi‟). Salah satu buku yang memfokuskan penelitian dan elaborasinya terhadap konsep „the Invention oh Tradition‟ dan berbagi contohnya di berbagai negara adalah sebuah buku berjudul The Invention of

Tradition. Buku yang dieditori oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger merupakan kumpulan esai tentang berbagai penelitian dengan tema „invention of tradition‟ yang dilakukan di berbagai daerah dan negara. Walau dilakukan di berbagai negara, namun buku ini tampaknya lebih berfokus pada negara-negara bekas jajahan Inggris (seperti

India, Afrika, Skotlandia dan sebagainya).

Konsep invention of tradition bukanlah sebuah konsep yang sangat „teoritis‟ jika dibandingkan dengan teori besar seperti psikoanalisa, poskolonialisme dan sebagainya.

Konsep ini hanya seperti sebuah batasan dan fokus penelitian. Dalam pengantarnya pada buku tersebut Eric Hobsbawm menjelaskan tentang konsep „invention of tradition‟ sebagai

“Invented tradition” is taken to mean a set of practices, normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past. In fact, where possible, they normally attempt to establish continuity with a suitable historic past.15 Penjelasan Hobsbawm tersebut menunjukkan bahwa „Invented Tradition‟ yang terjadi di berbagai tempat bukanlah praktek natural, melainkan sebuah praktek yang memang sengaja disusun sedemikian rupa untuk maksud - kebanyakan sangat bersifat politis- dan dalam kurun waktu tertentu. Menariknya, „penciptaan tradisi‟ tersebut senantiasa mengandaikan keterhubungan atau kontinuitas dengan masa lalu. Artinya,

15 Lih Eric Hobsbawm & Terence Ranger, The Invention Of Tradition, Cambridge University Press, 1983, hlm 1 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 22

masa lalu berusaha dimaknai ulang pada masa sekarang. Masa lalu dimaknai kembali untuk menyusun kondisi yang diekspektasikan pada masa sekarang dan masa depan.

Pemaknaan kembali ini- yang tentunya sekali lagi sarat nuansa politis- sangat memungkinkan terjadinya pertarungan wacana dalam rangka merebut atau memapankan makna tertentu.

Buku The Invention of Tradition berusaha menunjukkan bahwa banyak „tradisi‟ di berbagai tempat di dunia yang diklaim sebagai tradisi yang asli, kuno, sudah ada sejak dulu, sebenarnya adalah sebuah hal yang masih baru-dalam hal waktu kemunculannya –dan merupakan hasil ciptaan- dalam arti tidak sepenuhnya „asli‟. Hal ini salah satunya dapat kita lihat dalam Penjelasan Hugh Trevor-Roper tentang

„invented tradition‟ yang dia teliti di Skotlandia. Esai Hugh Trevor-Roper ini sangat dekat dengan definisi Hobsbawm tentang konsep „Invented Tradition‟ pada pengantar buku. Dalam esainya, "The Invention of Tradition: The Highlander Tradisi Skotlandia,"

Trevor-Roper mengeksplorasi cara-cara di mana Skotlandia berusaha untuk melestarikan warisan mereka dalam menghadapi peryatuan dengan Inggris. Secara khusus, ia meneliti asal-usul Skotlandia dan pakaian "tradisional" mereka, untuk menemukan bahwa kedua hal ini sebagian besar adalah hasil kreasi, tetapi diterima dengan cepat dan dikultuskan oleh masyarakat Skotlandia sebagai budaya asli

Skotlandia.

Hugh Trevor-Roper memfokuskan penelitiannya pada pakaian traditional

Skotlandia yang disebut „kilt‟ (pakaian traditional yang bentuknya agak mirip rok) yang oleh masyarakat Skotlandia pada saat ini dianggap sebagai sebuah identitas nasional mereka, sebagai sesuatu yang ‟asli‟ Skotlandia dan sudah ada sejak dulu. Hugh PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 23

menunjukkan bahwa apa yang mereka klaim kuno itu sebenarnya adalah hal baru- dalam kemunculannya-, karena itu baru muncul sekital akhir abad 18 dan awal abad

1916.

Hugh Trevor-Roper memperlihatkan bagaimana konstruksi budaya Skotlandia dibangun. Menurut Trevor-Roper, penciptaan tradisi Highland Skotlandia terjadi dalam tiga tahap. Pertama, terdapat pemberontakan budaya melawan Irlandia: hal ini menyebabkan terjadinya perampasan budaya Irlandia dan penulisan ulang sejarah awal

Skotlandia, yang berpuncak pada klaim „kurang ajar‟ bahwa Scotlandia adalah „ibu- bangsa‟ dan asal-usul budaya Irlandia. Kedua, terdapat penciptaan tradisi Skotlandia yang baru, diwacanakan sebagai sesuatu yang kuno, asli dan khas. Ketiga, ada proses dimana tradisi-tradisi baru tersebut disebarkan ke wilayah-wilayah lain di Skotlandia17.

Melalui penjelasan tentang bagaimana dinamika dan hegemoni wacana yang tedapat dalam ide tentang „kilt‟ pada masyarakat Skotlandia, Hugh sepertinya ingin menunjukkan bahwa „kilt‟ bukan hanya sesuatu yang baru tetapi juga tidak sepenuhnya asli dan khas Skotlandia sebagaimana yang diterima dan diyakini oleh masyarakat

Skotlandia.

Penelitian lain yang mengkaji praktek „penciptaan tradisi‟ adalah penelitian yang dilakukan oleh Bernard S. Cohn. Dalam esainya yang berjudul „Representing Authority in Victorian India‟ Bernard mengeksplorasi cara-cara kolonial Inggris di India sekitar abad 18 dalam merekayasa dan menciptakan representasi otoritas baru yang berusaha mereka ambil alih dari raja-raja lokal India.

16 Hugh Trevor-Roper, The Invention of Tradition: The Highland Tradition of Scotland dalam buku The Invention of Tradition, Cambridge University Press, 1983, hlm 16. 17 Ibid, hlm 16. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 24

Fokus Bernard terhadap bagaimana representasi otoritas dibangun pada masa penjajahan Inggris di India adalah untuk menunjukkan kompleksitas pembentukan dan perubahannya dari waktu ke waktu. Pada saat penjajahan Inggris terhadap India, pemerintah Inggris berusaha mengkodifikasi konsep tentang tatanan otoritas yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara masyrakat India, penguasa-penguasa lokal dalam relasi mereka dengan pemerintah kolonial Inggris18. Inggris, yang memulai pemerintahan mereka sebagai „outsider', tiba-tiba memposisikan diri menjadi „insider' dengan menjadikan India sebagai wilayah kedaulatan Inggris. Untuk memperoleh simpati masyarakat India –khususnya para raja-raja lokal-, Inggris meyakinkan masyarakat India bahwa di bawah kekuasaan mereka, hak, martabat dan kontrol atas wilayah akan dihormati oleh pemerintah kolonial. Inggris juga menjanjikan penegakan hukum yang adil serta kebebasan untuk menjalankan keyakinan dan agama masing- masing mengingat India adalah sebuah wilayah dengan kepercayaan agama dan budaya yang berbeda-beda. Lebih dari itu, Inggris menjanjikan kemajuan ekonomi, sebuah hal yang sebenarnya menjadi konsen utama Inggris di India.

Upaya kodifikasi tentang representasi otoritas ini dimanifestasikan dalam berbagai ritual dan simbol. Misalnya melalui pembedaan pakaian dan pengaturan posisi dalam ritual yang menunjukkan hirarki kedudukan seseorang. Semakin dekat posisi/tempat seseorang dengan tempat raja (diatur dengan cara barisan memanjang) menandakan bahwa hirarki sosialnya semakin tinggi. Pada fase awal upaya representasi otoritas ini, Inggris masih banyak harus bernegosiasi dengan adat kerajaan Mughal yang sangat kental. Namun, setelah kegagalan upaya pemberontakan tahun 1857 yang

18 Bernard S. Cohn, „Representing Authority in Victorian India‟ dalam buku The Invention of Tradition, Cambridge University Press, 1983, hlm 165 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 25

menyebabkan akhir kekaisaran Mughal dan membuat hegemoni Inggris menjadi semakin kuat, Inggris kemudian mengangkat diri sebagai satu-satunya pusat kekuasaan dan otoritas. Inggris menetapkan sebuah tatanan sosial baru dimana kriteria kebangsawanan diatur oleh kolonial Inggris berdasarkan pendapatan dan tingkat loyalitas mereka kepada kerajaan Inggris19.

Pada fase di mana hegemoni Inggris sudah menguat, pemerintah Inggris berusaha melakukan proses penyatuan seluruh raja-raja lokal di bawah hegemoni mereka dan untuk menjamin loyalitas raja-raja lokal tersebut terhadap Inggris. Raja-raja lokal mengambil peran yang penting karena mereka adalah adalah simbol komunitas, klan, bahkan keragaman agama dan budaya. Penyatuan ini dipandang penting karena meskipun Inggris menguasai India, namun masyarakat India hanya loyal kepada raja- raja lokal mereka, bukan kepada pemerintah kolonial. Memastikan loyalitas para raja lokal berarti garansi pula terhadap loyalitas masyarakat. Proses penyatuan ini dilakukan lewat berbagai pertemuan dan ritual yang sarat simbol/kodifikasi. Proses-proses kodifikasi representasi otoritas inilah yang oleh Bernard dipandang sebagai sebuah praktek „invention of tradition‟.

Penelitian yang tampaknya agak sedikit menyimpang dari definisi Hobsbawm adalah penelitian David Cannadine yang berjudul, " The Context, Performance and

Meaning of Ritual: The British Monarchy and the 'Invention of Tradition', c. 1820-1977"

Mungkin penting bahwa Cannadine menempatkan 'penemuan tradisi' dalam tanda kutip, karena artikel ini memaparkan tradisi baru yang „diciptakan‟ di Inggris, dan lebih lanjut artikel ini mengupas tentang perubahan persepsi kerajaan Inggris. Cannadine

19 Ibid, hlm 180. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 26

menekankan cara bahwa tradisi secara aktual seputar upacara kerajaan mengalami sedikit perubahan, misalnya, keluarga kerajaan terus menggunakan kereta kuda yang ditarik sebagai sarana transportasi bahkan setelah kebanyakan orang lain sudah menggunakan mobil. Persepsi penggunaan kereta, bagaimanapun, berubah secara drastis –di mana kereta kerajaan sebelumnya dipandang sebagai kendaraan yang biasa, lalu kemudian digunakan untuk melambangkan kekunoan dengan penggunaan kereta tersebut. Sementara praktik tradisi itu sendiri tidak banyak berubah, makna dari tradisi yang mengalami banyak perubahan. Inilah yang menjadi letak perbedaan penelitian

Cannadine dengan penelitian lain di dalam buku ini, jika yang lain meneliti bagaimana praktek tradisi „diciptakan‟, maka Cannadine menunjukkan aspek lain dari „invented tradition‟ di mana praktik tradisinya masih sama, namun pemaknaannya yang sudah diubah.

Konsep „Invention of Tradition‟ inilah yang akan saya gunakan sebagai kerangka dalam melihat fenomena messianisme yang terdapat pada Jamaah an-Nadzir di Kabupaten Gowa. Messianisme adalah gerakan yang mengamsumsikan bahwa di akhir zaman- banyak yang mengatakan akhir zaman itu adalah masa sekarang ini- akan datang seorang mesias yang akan mengeluarkan manusia dari belenggu penderitaan dan akan membawa manusia menuju masa gemilang yang dipenuhi dengan limpahan kesejahteraan serta penegakan keadilan yang merata bagi seluruh umat manusia.

Gerakan messianisme dalam banyak kasus sangat berasosiasi dengan gerakan keagamaan. Gerakan messianisme yang berbasis agama seperti pernah dipandang sinis- mungkin juga masih- oleh kaum modernis karena dianggap sebagai sesuatu yang PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 27

bersifat tahayyul, fantasi, kesadaran palsu, dan dogmatis20. Namun demikain, kiranya gerakan messianis yang berbasis agama sekalipun saat ini tidak dapat lagi dipandang sebagai gerakan keagamaan semata, karena dalam gerakan tersebut juga terdapat dimensi sekuler dan simbolis yang sangat kental seperti politik, ekonomi, bahkan budaya.

Konsep „Invention of Tradition‟ akan digunakan untuk melihat bagaimana messianisme Jamaah an-Nadzir dikonstruksi, bagaimana relasi konsep messianisme

Jamaah an-Nadzir dengan konsep-konsep messianistis lain yang telah ada sebelumnya, sejauh mana konsep-konsep tersebut mempengaruhi mereka serta bagaimana konsep tersebut dimodifikasi untuk menetapkan konsep messianisme tersendiri yang „khas‟ an-

Nadzir. Penelitian ini juga akan melihat bagaimana konsep tersebut dipraktekkan dalam kehidupan mereka dan tantangan, serta hubungannya dengan masa lalu yang direpresentasikan melalui penciptaan simbol-simbol dan narasi yang mereka bangun.

Membicarakan konsep messianisme dan bagaimana hal tersebut dikonstruksikan sepertinya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang konstruksi identitas. Richard

Beardsworth dengan mengutip Derrida dalam essaynya „The Messianic Now: A Secular

Response‟ mengatakan bahwa messianisme sebagai sebuah identitas- salah satu hal yang menandai kebangkitan agama abad XX-XXI- sangat mungkin kemunculannya disebabkan oleh kontaminasi identitas yang menyebabkan adanya keinginan untuk kembali ke identitas awal yang dianggap ideal. Bagi Derrida sebagaimana disebutkan

20Lih Arthur Bradley and Paul Fletcher, „The Politics to Come: A History of Futurity‟ dalam „The Politics to Come:Power, Modernity and the Messianic‟, Continum, 2010 hlm 2 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 28

Beardsworth, sebenarnya tidak ada kebangkitan agama sebab agama hanya bisa dimulai dan dimulai kembali21.

Konsep identitas yang dipahami dalam ilmu budaya sebagai sesuatu yang selalu berada dalam konstruksi, senantiasa dalam proses dan tidak pernah sempurna kiranya sejalan dengan konsep „Invention of Tradition‟ yang melihat bahwa banyak praktik budaya adalah hasil dari proses „penciptaan‟ yang dilakukan secara terus menerus.

Kedua konsep ini juga mengandaikan adanya imaji terhadap „other‟ dalam konstruksi tersebut dan kontinuitas dengan masa lalu.

Di Indonesia, terdapat beberapa penelitian yang dapat dilihat sebagai penelitian dengan konsep „invention of tradition‟ atau menggunanakan konsep-konsep yang mirip dengan konsep „invention of tradition‟ meskipun menggunakan bahasa atau istilah yang berbeda. Salah satu dari penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Jhon

Pemberton pada masyarakat Jawa melalui bukunya „On the Subject of ‟.

Pemberton sendiri dalam bukunya tidak pernah menyatakan tentang konsep invention of tradition secara ekspilisit, namun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa penelitian Pemberton tersebut tidak dapat dipandang sebagai penelitian dengan konsep invention of tradition. Kedekatan penelitian Pemberton dengan konsep

„invention of tradition‟ sudah dapat kita lihat dari subjudul bukunya On The Subject Of

Java yang menunjukkan bahwa Pemberton sejak awal telah menempat kejawaan bukan sebagai sesuatu yang sudah terberi (meskipun pastinya banyak klaim tentang keaslian, kekunoan dan sebagainya) melainkan sesuatu yang sudah melalui pelbagai macam

21Lih Richard Beardsworth, The Messianic Now: A Secular Response dalam The Politics to Come: A History of Futurity, Continum, 2010 hlm 18. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 29

pembentukan atau konstruksi. Kedekatan dengan konsep „invention of tradition‟ semakin dipertegas melalui pernyataan Pemberton pada bagian pendahuluan bukunya

Walau saya menelaah dalam-dalam manuskrip-manuskrip Jawa dari beberapa abad yang lalu, saya tidak melakukannya dalam rangka menulis sejarah dari, misalnya Jawa abad kesembilan belas melainkan saya lakukan itu dalam upaya untuk menulis mengarungi balik arus kronologi, ke belakang sampai ke wacana mengenai asal-usul yang memengaruhi masa kini Orde Baru22. Penegasan Pemberton tentang fokus penelitiannya tersebut memperlihatkan bahwa seperti halnya konsep „invention of tradition‟ yang memandang sejarah masa lalu atau lebih tepatnya konstruksi tentang masa lalu kerap dihubungkan dan digunakan secara politis untuk membentuk masyarakat masa kini. Pemberton juga menggunakan pandangan yang demikian itu dalam konteks bagaimana Orde Baru berusaha merekonstruksi konsep-konsep kejawaan tertentu secara politis selama periode kekuasaan mereka.

Objek penelitian Pemberton adalah Jawa khususnya Jawa tengah dan secara lebih spesifik banyak berkaitan dengan kesultanan Surakarta dari rentan abad kedelapan belas sampai dengan masa-masa kejayaan Orde Baru (sekitar tahun 1980an). Sekali lagi, hal ini tidak cukup hanya dipahami dalam kerangka kronologis karena data-data yang disajikan Pemberton memperlihatkan bagaimana wacana tentang apa yang disebut

„Jawa‟, „tradisi‟, „ritual‟ digunakan untuk proyek politis khususnya oleh rezim Orde

Baru.

Pada bab-bab awal bukunya, Pemberton berargumentasi bahwa apa yang disebut

„Jawa‟ yang adiluhung merupakan hasil dari sebuah kontruksi panjang, berubah-ubah

22 Lih Jhon Pemberton, „On The Subject Of Java, Mata Bangsa, 2003, hlm 36 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 30

dan terkadang penuh dengan intrik. Pembentukan „Jawa‟ pun dipengaruhi oleh berbagai macam unsur dari „luar‟. Bagaimanapun, pengalaman sebagai masyarakat kolonial menjadikan „Jawa‟ mengalami perjumpaan budaya yang memberi banyak pengaruh dalam pembentukan apa yang disebut „Jawa‟ itu sendiri. Salah satu efek dari perjumpaan tersebut dapat kita lihat pada busana. Sebagaimana dicontohkan pemberton dalam bukunya,

Dengan inspirasi yang cemerlang, pangeran itu mengambil gunting dan memotong buntut dari pakaian resmi Belanda (rokkie Walandi) (sehingga terdapat ruangan di punggung guna menyelipkan sebuah keris yang anggun). Dia memakai kain batiknya yang terbagus (bukan celana panjang) dan menciptakan mode terbaru untuk Surakarta tahun 1870an23. Kutipan di atas menceritakan kreasi penciptaan busana oleh Mangkunegara IV ketika dia diundang menghadiri upacara pembukaan pesanggrahan Pakubuwana. Jas itu menjadi busana yang dipilih bagi pengantin-pengantin laki-laki priayi pada pergantian abad dua puluh yang ingin mencapai , puncak-puncak baru pristise „Jawa‟. Setelah beberapa lama, jas yang dipribumikan ini menjadi busana ritual yang disyaratkan untuk pengantin laki-laki Jawa Tengah „tradisional‟, sebagai gambaran-gambaran dari subjek- subjek kultural yang dimaksudkan untuk memunculkan kembali wibawa „Jawa‟24. Apa yang dilakukan oleh Mangkunagara adalah sebuah upaya menciptakan sebuah identitas baru mandiri (cara Jawi) karena merasa identitas dirinya berbeda dengan kolonial

Belanda (cara Walandi) meski tetap menggunakan yang disediakan oleh Belanda tersebut (rokkie Walandi) namun diberi sebuah konstruksi makna baru.

23 Ibid, Hlm 152 24 Ibid, hlm 152 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 31

Praktik yang dilakukan oleh Mangkunagara kurang lebih mempunyai kesamaan dengan cara an-Nadzir membangun konstruksi messianisme mereka. Meski Nampak banyak dipengaruhi oleh konsep messianisme yang umum dalam Islam (khususnya konsep messianisme Syiah), namun an-Nadzir memberikan sebuah konstruksi makna baru pada konsep messianisme tersebut dan dengannya membentuk identitas messianisme an-Nadzir yang mandiri.

Pemberton juga banyak memberi focus penelitiannya pada bagaimana Orde

Baru memainkan wacana seputar apa yang disebut „tradisi‟. Rezim Orde Baru pimpinan

Soeharto menurut Pemberton memang berusaha mewacanakan penguatan kembali

„tradisi‟ tetapi harus dalam bingkai regulasi Orde Baru. Orde Baru menggalakkan sekaligus mengontrol apa yang disebut „tradisi‟. Sebagai contoh, praktik upacara bersih desa yang dekat dengan nuansa mistis tetap dianjurkan, tetapi ritual rebutan yang merupakan rangkaian bahkan dianggap sebagai klimaks upacara dihilangkan karena dianggap berpotensi mwnimbulkan kerusuhan25. Era rezim Orde Baru memang ditandai oleh „kediaman massif‟, dalam ukuran Orde Baru, Indonesia yang tentram adalah yang hening tanpa insiden.

Kerangka Invention of Tradition yang digunakan dalam penelitian ini akan berusaha dilengkapi dengan konsep wacana Foucauldian karena konsep Invention of

Tradition dirasa terlalu deskriftif. Konsep wacana Foucauldian dimaksudkan untuk melihat secara kritis bagaimana wacana messianisme dibentuk dan relasi-relasi kekuasaan-pengetahuan yang menyertainya. Bagaimanapun messianisme adalah sebuah

25 Ibid Hlm 34-347 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 32

medan wacana liar di mana komunitas-komunitas yang terlibat di dalamnya saling menegasikan demi mengafirmasi klaim kebenaran konstruksi wacana mereka.

Analisis wacana Foucault tidak mendekati wacana dari sisi orang yang mengucapkannya atau struktur formalnya melainkan dari kaidah-kaidah yang membuat wacana itu dipakai. Foucault tidak mencari kekuatan fasis wacana dalam bahasa melainkan dalam wacana dan di luar wacana. Dia tertarik pada gejala mengapa dalam sejarah muncul wacana yang mendorong orang untuk mengucapkannya terus- menerus26. Pendekatan ini pada intinya ingin memeriksa peristiwa-peristiwa sejarah dalam kaitannya dengan cara orang mengalami dirinya sendiri (the constitution of the self)27.

Kebanyakan penelitian Foucault berkaitan dengan sejarah seperti penelitiannya terhadap bagaimana konstruksi wacana seksualitas dan sejarah kelahiran penjara, namun

Foucault tidak hanya memahami sejarah semata sebagai sebuah peristiwa kronologis melainkan peristiwa-peristiwa tersebut difokuskan pada bagaiamana relasi rezim kekuasaan-pengetahuan-kenikmatan yang menopang wacana/peristiwa sejarah tersebut28. Penelitian Foucault tentang sejarah seksualitas bukan merupakan sejarah representasi melainkan bagaimana seksualitas berusaha diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan kepatuhan terhadap wacana tertentu.

Pemikiran Foucault memang tidak bisa dilepaskan dari persoalan relasi kekuasaan. kalau orang biasanya berbicara tentang kekuasaan dan Negara, sekarang

26 Hang out mata kuliah, St. Sunardi, Teori Wacana dalam The History of Sexsuality, hlm 2 27 Ibid hlm 4 28 Lih Foucault, The History of Sexuality, Vol I: An Introduction, (New York, Vintage, 1978) hlm11 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 33

tentang kekuasaan dan subjek. Berlawanan dengan pandangan Marxis, Foucault menentang paham kekuasaan dari atas oleh pusat kekuasaan Negara. Tekanan pada hubungan kekuasaan tidak mengacu pada sistem umum dominasi oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Melainkan beragamnya hubungan kekuasaan. Syarat- syarat kemungkinan pemahaman kekuasaan tidak terpusat pada satu titik atau sumber otoritas29. Menurut Foucault, kita seharusnya bersikap nominalis dalam memandang kekuasaan. kekuasaan bukanlah lembaga, kekuasaan bukan pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada beberapa orang. Kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu30.

Kekuasaan yang di maksudkan Foucault bukan Kekuasaan dengan huruf besar sebagai himpunan lembaga dan perangkat yang menjamin kepatuhan warga negara31.

Biasanya kekuasaan disamakan dengan dengan milik. Kuasa dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Tetapi dalam pandangan Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senatiasa mengalami pergeseran32. Menurut Foucault kekuasaan ada di mana-mana, bukan karena kekuasaan mencakupi segala hal, namun karena kekuasaan datang dari mana-mana. Dengan memahami kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar, maka relasi kekuasaan dapat ditemui dalam berbagai interaksi masyarakat dan kegiatan sosial seperti sekolah, rumah sakit, penjara dan sebagainya.

29 Lih, Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, hlm 2 . 30 Lih Foucault, The History of Sexuality, Vol I: An Introduction, (New York, Vintage, 1978) hlm 93. 31 Ibid hlm 92 32 Lih, K. Bertens, Filsafat Barat Perancis, Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm 320 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 34

Pelaksanaan kekuasaan bukan pertama-tama melalui kekerasan atau masalah persetujuan (Hobbes, Locke), tetapi seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, atau melalui paksaan dan larangan. Jadi kekuasaan pertama-tama bukan represi (Freud, Reich) atau pertarungan kekuatan ( Machiavelli, Marx) dan bukan pula fungsi dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi ideologi (Marx).

Foucault mengatakan kekuasaan harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Kekuasaan berarti perang bisu, yang menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh kita masing-masing33.

Selain mengatakan bahwa kekuasaan sesuatu yang lebih dipraktikkan daripda dimiliki dan tersebar, Foucault juga mengatakan bahwa di mana pun kekuasaan berada, selalu ada resistensi yang menyertainya34. Perlawanan tersebut tidak berada pada posisi di luar kekuasaan. perlawan ada karena kekuasaan itu sendiri. Berkaitan dengan penelitian ini apa yang dipraktikkan Jamaah an-Nadzir sangat mungkin dilihat sebagai sebuah bentuk resistensi terhadap wacana Islam dominan.

Foucault mengoreksi imaji negatif yang sering dilekatkan pada kekuasaan sebagai sesuatu yang dilaksanakan dengan cara-cara represif, menyensor, mengabstraksi dan menyembunyikan. Bagi Foucault, kekuasaan tidak hanya represif tetapi juga produktif. Kekuasaan memproduksi realitas, kekuasaan memproduksi ruang lingkup

33 Lih, Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, hlm 4. 34 Lih Foucault, The History of Sexuality, Vol I: An Introduction, (New York, Vintage, 1978) hlm 95 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 35

objek dan ritus-ritus kebenaran. Kekuasaan dalam mekanisme disiplinnya menghasilkan individu dan pengetahuan35.

Lalu apa yang menjadi sasaran kekuasaan? menurut Foucault, sasaran kekuasaan adalah tubuh. Tubuh di manipulasi, dilatih, dikoreksi, dibuat menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya36. Tubuh selalu menjadi objek sasaran kuasa baik dalam arti anatomi metafisik seperti yang dibuav oleh para dokter maupun filsuf, maupun dalam arti „teknis politis‟ yang mau mengatur, mengontrol atau mengoreksi segala aktivitas tubuh. Kuasa dari masa ke masa selalu menyentuh tubuh, hanya cara, ukuran, dan sasaran kontrolnya saja yang selalu berubah- ubah37.

Membicarakan konsep kekuasaan Foucault tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Antara pengetahuan dan kekuasaan terdapat relasi yang saling mengandaikan. Tidak ada praktik pelaksanaan kekuasaan yang tidak memunculkan pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi kuasa38. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek. Foucault mendefenisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat

35 Lih, Foucault, Discipline and Punish; the Birth of the Prison, Vintage Books, 1995, hlm 194 36 Ibid hlm 12 37 Lih Sunu Hardiyanta, Disiplin Tubuh; Bengkel Individu Modern, LKIS, 1997, hlm 75 38 Discipline and Punish; the Birth of the Prison, Vintage Books, 1995, hlm 27 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 36

kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan, karena ilmuilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan39.

Disiplin dan norma menjadi konsep kunci dalam mekanisme kekuasaan.

Kekuasaan ingin mencapai tubuh yang selalu patuh. Untuk kepentingan tersebut diperlukan sebuah penerapan disiplin yang sistematis. Sistematisasi tersebut mendapatkan bentuknya melalui model penjara panoptik. Bangunan panoptikon merupakan bangunan besar, berbentuk melingkar dengar menara pengawas terdapat di tengah-tengahnya. Melalui mekanisme panoptik, pengawas dapat secara terus menerus memantau individu tanpa pernah dilihat oleh mereka yang diawasi. Model ini menciptakan dalam diri subjek perasaan senantiasa diawasi. Pada akhirnya orang menciptakan pengawas dari dalam dirinya sendiri

Agama merupakan salah satu lembaga produksi kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat, terutama dalam masyarakav seperti Indonesia. dia tidak bisa dilepaskan dari mekanisme dan teknik kekuasaan normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus.

Melalui teknik itu akan dihasilkan identitas yang memudahkan pencapaian baik dari pemeluknya, maupun ketakutan dari mereka yang tidak termasuk bagiannya40.

G. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dan akan dilakukan dengan pengambilan data di lapangan yang terkait konsep-konsep messianistis dan pengamalannya dalam keseharian. Metode yang digunakan dalam

39 Lih, Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, hlm 5 40Ibid hlm 9 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 37

dipakai dalam pendekatan ini seperti indepth interview (wawancara mendalam), dan observasi lapangan. Penelitian ini akan menggunakan lived experience and discourse.

Pendekatan ini dipilih karena aspek lived experience akan memfokuskan penelitian ini pada pengalaman subjek/pelaku dalam kaitannya dengan kekuatan diskursus yang bekerja di lingkungan sosialnya. Adapun metodologi penelitian akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah informasi tentang konsep-konsep messianistik

yang dirumuskan, diyakini dan dijalankan oleh Jamaah an-Nadzir di Kabupaten

Gowa, Sulawesi Selatan. Data yang ditemukan akan dianalisis berdasarkan

pendekatan dan perspektif teoretik yang digunakan untuk menemukan aspek-

aspek yang menjadi fokus penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah

komunitas Jamaah an-Nadzir yang ada di Kabupaten Gowa, masyarakat sekitar

dan institusi keagamaan setempat yang bersentuhan dan mempunyai pengalaman

langsung dengan Jamaah an-Nadzir.

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data, akan digunakan tiga cara:

2.1. Observasi

Observasi dilakukan untuk melihat secara faktual sasaran yang diteliti.

Observasi yang dimaksudkan adalah mengamati pihak-pihak yang tepat dan

mempunyai keterkaitan dengan objek penelitian.

2.2. Wawancara PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 38

Wawancara dalam penelitian ini akan dilakukan dengan subjek penelitian

yang terdiri dari anggota Jamaah an-Nadzir sendiri, masyarakat sekitar

Jamaah an-Nadzir dan institusi pemerintah yang berkaitan dengan Jamaah

an-Nadzir. Metode ini berpretensi menelusuri informasi sedalam-dalamnya

sehingga apa yang diharapkan bisa ditemukan.

2.3. Dokumentasi

Dokumentasi dimaksudkan untuk mengumpulkan data-data berupa catatan-

catatan peristiwa baik yang berupa tulisan, gambar, data visualisasi dan

sebagainya.

H. Pengolahan Data

Data-data yang nantinya diperoleh dari penelitian lapangan dengan cara yang

telah dijelaskan dalam metodologi penelitian (observasi, wawancara, dan

dokumentasi) kemudian akan dianalisis lebih jauh untuk menemukan konsep

messianistik seperti apa yang ditemukan dalam penelitian.

I. Sistematika Penulisan

Penelitian ini direncanakan akan terdiri dari lima bab. Bab I dari penelitian

ini berisikan bab pendahuluan. Bab II direncanakan akan memuat tentang

tinjauan historis keberadaan komunitas Jamaah an-Nadzir di kabupaten Gowa,

Sulawesi Selatan sekaligus menjawab rumusan masalah pertama. Bab III Akan

digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua dari rencana penelitian ini.

Bab IV akan diusahakan untuk menjawab rumusan masalah ketiga dari

penelitian, dan bab IV atau bab terakhir berisi kesimpulan dan saran penelitian.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 39

BAB II

GENEALOGI JAMAAH AN-NADZIR

A. Letak Geografis

Pada bagian ini akan dipaparkan lokasi letak geografis Jamaah an-Nadzir. Letak geografis Jamaah an-Nadzir ini menjadi penting karena letak geografis tersebut tidak hanya sekadar menjadi data informatif saja, tetapi oleh Jamaah an-Nadzir lokasi tempat bermukim mereka tersebut dikonstruksi sedimikan rupa untuk merepresentasikan diri mereka. Lokasi mereka tersebut dikonstruksi menjadi wadah konsep messianistik mereka dan merupakan titik berangkat dari apa yang mereka sebut sebagai „perjalanan akhir zaman‟.

Komunitas Jamaah an-Nadzir secara geografis terletak di Kelurahan

Romanglompoa yang termasuk ke dalam wilayah administratif kecamatan

Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kelurahan ini memiliki luas wilayah kurang lebih 252.950 Ha. Wilayah Kecamatan Bontorannu di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Somba Opu dan Kecamatan Pattalassang, sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Bontomanai, sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan

Borongloe, sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Somba Opu. Wilayah komunitas An-Nadzir terletak di bagian Timur Kabupaten Gowa dengan jarak tempuh kurang lebih tujuh kilometer dari ibukota Kabupaten Gowa, Sungguminasa.

Berdasarkan data penelitian Mustaqim Pabbaja yang dilakukan di kantor kelurahan Romanglompoa pada April tahun 2012, penduduk kelurahan Romanglompoa secara keseluruhan berjumlah 5549 jiwa, dengan perbandingan jumlah penduduk PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 40

menurut jenis kelamin sebanyak 2824 jiwa laki-laki sedangkan wanita berjumlah 2725 jiwa. Jumlah kepala keluarga secara keseluruhan 1586 kk, dengan perbandingan dua lingkungan yaitu Romanglompoa berjumlah 904 kk, sedangkan lingkungan Mawang berjumlah 682 kk.41

Akses menuju daerah pemukiman Komunitas Jamaah an-Nadzir sebenarnya cukup mudah karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Pemukiman An-

Nadzir hanya berjarak sekitar kurang lebih 20 kilometer dari pusat Kota Makassar, sementara dari ibukota Kabupaten Gowa pemukiman ini hanya berjarak sekitar 7 kilometer. Untuk sampai ke pemukiman Jamaah an-Nadzir dibutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit dari kota Makassar dengan menggunakan kendaraan roda dua, hanya saja, sebagian jalanan menuju pemukiman ini masih belum diaspal.

Jamaah an-Nadzir bertempat tinggal di belakang Sekolah Tinggi Pertanian dan

Perikanan (STPP) Gowa di sekitar danau Mawang yang berada di dekat kaki Gunung

Bawakaraeng42. Sebelum memasuki lingkungan area Jamaah an-Nadzir ini kita harus melewati sebuah bangunan kecil dari kayu yang mereka sebut sebagai posko An-Nadzir.

Di tempat ini ditugaskan seorang anggota jamaah untuk mengidentifikasi setiap orang selain anggota jamaah dan warga sekitar yang ingin memasuki wilayah Jamaah an-

Nadzir. Tidak seorang pun yang bukan anggota jamaah dapat masuk ke wilayah mereka dan memperoleh informasi lebih dalam tentang Jamaah an-Nadzir tanpa terlebih dahulu melewati proses „interogasi‟ di tempat ini. Untuk mendapatkan informasi dari anggota

41 Mustaqim, Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Sebagai Strategi Penanganan Gerakan Islam Non- Maenstream 42 Salah satu gunung yang terkenal di Sulawesi Selatan. Gunung ini banyak dimitoskan oleh orang-orang lokal sebagai gunung keramat yang merupakan tempat para wali-wali Allah bersemayam. Bahkan ada beberapa komunitas religius tertentu yang datang ke gunung ini untuk melakukan ritual dan ibadah tertentu. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 41

Jamaah an-Nadzir mengenai komunitasnya dapat dikatakan cukup sulit karena semua akses informasi harus terlebih dahulu mendapat restu dari pimpinan jamaah, wawancara dengan anggota jamaah pun hanya dapat dilakukan dengan orang tertentu karena tidak semua anggota jamaah bersedia diwawancarai. Hal ini mungkin dilakukan oleh Jamaah an-Nadzir untuk mencegah potensi perbedaan informasi yang keluar tentang komunitas mereka.

Jamaah an-Nadzir membagi wilayah aktivitas mereka dalam dua tempat yaitu wilayah pondok dan wilayah markas. Wilayah pondok adalah wilayah pemukiman yang dikhususkan bagi anggota jamaah yang telah berkeluarga dan kaum perempuan.

Wilayah pondok berada di sebelah utara dekat perbukitan (kampung Batua dan sekitarnya). Luas wilayah yang dijadikan sebagai pondok atau pemukiman sekitar 10 ha. Sedangkan wilayah Markaz adalah pusat aktivitas sosial keagamaan komunitas

Jamaah an-Nadzir yang biasanya dipenuhi dengan para anggota Jamaah dewasa, pemuda, dan anak-anak laki-laki. Wilayah „markaz‟ ini berada di pinggir danau

Mawang. Di tempat ini terdapat sebuah surau yang didirikan di atas danau Mawang sebagai pusat ibadah dan pendidikan bagi anak-anak mereka. Sekitar 50 meter dari surau terdapat sebuah rumah kecil yang mereka sebut kantor. Bangunan ini digunakan untuk menerima tamu sekaligus juga sebagai dapur umum. Di wilayah „markaz‟ juga terdapat beberapa tenda yang dipakai oleh para pemuda untuk bermalam. Jamaah an-

Nadzir memang memisahkan tempat menginap antara laki-laki (pemuda yang belum PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 42

menikah dan anak-anak) dan perempuan sebelum usia mereka memasuki fase akil baligh43.

B. Sejarah Kemunculan An-Nadzir.

Bagian ini akan menjelaskan awal kemunculan Jamaah an-Nadzir di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Selain itu, juga akan dijelaskan pasang surut perkembangan Jamaah an-Nadzir dalam mempertahankan eksistensi komunitas mereka.

Pada subbab ini juga akan dipaparkan bagaimana komunitas ini membangun konstruksi identitas mereka, pilihan cara Jamaah an-Nadzir menampilkan diri serta sistem yang mereka bangun dalam komunitas mereka yang dipandang agak berbeda dengan kebanyakan masyarakat/komunitas lainnya.

Komunitas Jamaah an-Nadzir muncul dan berkembang melalui kedatangan seorang da‟i Malaysia kelahiran Dumai, Pekanbaru bernama Kiai Samsuri Abdul

Madjid sekitar tahun 1998 yang melakukan perjalanan dakwah ke berbagai wilayah di

Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan, khususnya di kota Makassar dan Kabupaten

Luwu. Kiai Samsuri menitikberatkan dakwahnya pada pemurnian aqidah dan sunnah serta pengembalian akhlak kaum Muslim sebagaimana yang telah diajarkan oleh

Rasulullah.

Sebelum menggunakan nama An-Nadzir kelompok ini bernama jamaah

Jundullah, akan tetapi, pada tahun 2001 penggunaan nama Jundullah tersebut mendapat gugatan dari Agus Dwi Karna yang merupakan aktivis Laskar Jundullah, sebuah Laskar yang dibentuk oleh Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) yang

43 Wawancara dengan Ismail ( kepala dapur umum An-Nadzir) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 43

mengklaim telah lebih dahulu menggunakan nama Jundullah. Akibat gugatan tersebut jamaah ini kemudian berganti nama menjadi yayasan An-Nadzir pada tahun 2002.

Menurut pengakuan Lukman Bakti ( Taufan 147: 2012), setelah mendapat gugatan karena pemakaian nama Jundullah tersebut, Syamsuri Abdul Madjid melakukan munajat untuk meminta petunjuk kepada Allah. Setelah bermunajat, dia membuka Al-

Quran dan menemukan kata An-Nadzir. Dia lalu bermunajat lagi dan kembali membuka

Al-Quran dan menemukan kata yang sama. Hal itu terjadi sebanyak tiga kali sehingga kyai Samsuri menyimpulkan bahwa nama tersebut merupakan nama yang diridhai oleh

Allah untuk digunakan. Nama An-Nadzir juga dianggap sejalan dengan misi kenabian yang pernah dijalankan oleh Rasulullah sebagai pemberi peringatan kepada manusia.

Sejak saat itu dia mengirim pesan singkat ke berbagai media untuk menyatakan bahwa nama Jundullah tidak lagi digunakan oleh komunitasnya dan segala hal yang terkait dengan nama tersebut tidak ada lagi sangkut pautnya dengan jamaah pimpinan Samsuri.

Dia dan jamaahnya tidak lagi bertanggung jawab jika terdapat masalah di kemudian hari terkait dengan nama Jundullah.

Kata an-Nadzir sendiri secara etimologis berarti pemberi sebagai „pemberi peringatan‟. Jamaah an-Nadzir melalui semangat yang terkandung dari namanya menurut mereka berusaha menyeru dan mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran nabi Muhammad yang „murni‟. Menurut Jamaah an-Nadzir, ajaran Islam saat ini dinilai tidak lagi „murni‟ karena telah bercampur baur dan dipengaruhi oleh banyak hal di luar Islam. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 44

Komunitas an-Nadzir memiliki jaringan ke berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Medan, Banjarmasin, Batam, Dumai, Batubara, Bogor, dan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Khusus di Sulawesi Selatan, perkembangan awal An-Nadzir dimulai di tanah Luwu. Terutama ketika Abah Syamsuri Madjid masih eksis melakukan dakwah keagamaan di Luwu, pengikut An-Nadzir mulai berkembang di Kota Palopo dan beberapa tempat di Kabupaten Luwu. Namun, ketika kegiatan dakwah Abah

Syamsuri Madjid mulai jarang dilakukan, bahkan setelah ia meninggal dunia pada tahun

2006, Komunitas an-Nadzir di Luwu mengalami stagnasi. Puncaknya, ketika pemerintah daerah mengeluarkan surat keputusan untuk menghentikan segala bentuk aktivitas an-Nadzir di tanah Luwu dengan berbagai pertimbangan (lihat hasil penelitian

Balai Litbang Agama tentang komunitas An-Nadzir di Luwu tahun 2006) 44.

Setelah mengalami stagnasi karena pelarangan aktivitas oleh institusi pemerintah dan meninggalnya Kiai Samsuri Abdul Madjid selaku pemimpin mereka, Jamaah an-

Nadzir mau tidak mau harus mencari lokasi baru jika mereka ingin eksistensi jamaahnya tidak terhenti. Para pengikut Jamaah an-Nadzir kemudian mencari lahan untuk mendirikan perkampungan mereka secara mandiri. Kehadiran perkampungan mandiri merupakan sesuatu yang sangat penting menurut mereka, sebab kehadiran perkampungan mandiri menjadi salah satu jaminan Jamaah an-Nadzir dapat menjalankan ibadah dengan tenang, nyaman dan aman dari „gangguan‟ dan ancaman pihak luar.

Jamaah dalam pengertian An-Nadzir bukan hanya sekedar sekumpulan orang yang berkumpul di waktu tertentu seperti jamaah mesjid atau jamaah pengajian. Jamaah

44 Lih Saprillah hlm 3 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 45

yang sesungguhnya menurut mereka adalah sekelompok orang yang hidup bersama selama 24 jam dalam sehari semalam untuk merintis dan menegakkan nilai-nilai keselamatan (Islam) sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Untuk mewujudkan cita- cita mereka itulah sangat diperlukan sebuah pemukiman mandiri di mana mereka bisa mengorganisir jamaah mereka dengan baik.45

Setelah melalui berbagai dialog akhirnya daerah Mawang dipilih sebagai tempat bermukim baru Jamaah an-Nadzir. Sepanjang penelitian saya terdapat berbagai alasan mengapa Mawang dipilih sebagai basis perkumpulan mereka. Alasan yang pertama lebih bersifat „rasional‟ dibanding alasan lainnya yang lebih sarat dengan upaya mistifikasi daerah Mawang itu sendiri. Alasan yang lebih „rasional‟ terlihat dari argumentasi Ustadz Lukman Bakti46 dalam acara silaturahmi Jamaah an-Nadzir sebagaimana yang dikutip Taufan (2012: 153).

“…Bukan karena saya orang Sulawesi dan bukan karena saya dekat di Mawang, lalu saya katakan Mawang sangat kaya. Pertama, secara geografis, sumber daya alamnya adalah pertanian. Kemudian berbicara dari segi kapasitas, kita bisa akses dengan harga yang masih minim dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Kedua, dari segi integrasi lokasi, kita bisa bebaskan sampai beberapa hektar dalam satu lahan yang tidak terpisah-pisah. Berarti kita bisa mendapatkan akses lokasi yang menyatu, tidak parsial dengan harga yang masih bisa dijangkau. Ketiga, faktor iklimnya. Adapun resistensi masyarakat Insya Allah itu bisa dieliminir dengan pemberian pemahaman-pemahaman yang tidak memberikan suatu bentuk pemaksaan atau bentuk pengajakan kepada mereka. Yang terpenting, saya bilang, di sini ada tokoh. Di sini ada tokoh kita, walaupun orangnya muda, tapi sangat dituakan dalam pandangan siapapun. Dia secara biologis, secara logika, secara otak saya bilang, dia cukup dewasa. Itulah sahabat kita ustadz Rangka. Dia memang tokoh di Kabupaten Gowa ini. Nah, Alhamdulillah Allah telah memberikan kepadanya satu kekuatan.

45 Wawancara dengan salah satu anggota Jamaah bernama Arif 46 Salah seorang unsur pimpinan Jamaah an-Nadzir. Dia adalah seorang insinyur pertanian lulusan salah satu perguruan tinggi di makassar. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 46

Argumentasi lain yang tampaknya dibangun dalam upaya memistifikasi

Mawang sebagai tempat yang sakral saya temukan dalam berbagai wawancara dengan beberapa anggota jamaah. Menurut mereka Mawang adalah tempat pertama di muka bumi. Pemaknaan seperti ini mereka kaitkan dengan arti kata „mawang‟ yang dalam bahasa Makassar berarti „terapung‟ atau „muncul‟. Lebih jauh mereka memitoskan

Mawang secara khusus dan Kabupaten Gowa secara umum sebagai „Qum‟ yang akan menjadi tempat kemunculan Imam Mahdi yang akan menegakkan panji-panji kebenaran hukum Tuhan47.

Jamaah an-Nadzir sendiri mulai menempati daerah Mawang sebagai basis utama pembangunan Jamaah mereka pada tahun 2006. Di tempat ini mereka mengelola lahan seluas sekitar 20 Ha. Lahan sebesar itu mereka gunakan untuk berbagai kepentingan di antaranya sebagai lahan pemukiman, lahan pertanian, budidaya ikan, sarana ibadah, tempat berdagang dan lain-lain.

Hal yang menarik dari Jamaah an-Nadzir adalah latar belakang asal usul mereka yang berbeda-beda yang tentunya menimbulkan pengalaman diasporik di antara mereka.

Para jamaah yang mendiami daerah Mawang ini berasal dari berbagai daerah, etnis, dan latar belakang yang sangat beragam. Kebanyakan Anggota Jamaah an-Nadzir berasal dari daerah Luwu, Palopo, Bone, dan berbagai wilayah di Sulawesi Selatan, namun sebagian jamaah juga ada yang berasal dari Sumatera, Jawa, dan daerah lainnya di Indonesia termasuk para penduduk lokal yang beralih menjadi pengikut mereka. Kedatangan mereka sejak tahun 2006 ini bukan dengan dengan cara serentak

47 Wawancara dengan Jamaah bernama Arif PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 47

melainkan secara berangsur-angsur hingga menjadi sebuah komunitas yang cukup mapan sekarang ini.

Tindakan para pengikut Jamaah an-Nadzir yang melakukan perjalanan

„berhijrah‟ merupakan sebuah tindakan yang sangat revolusioner setidak-tidaknya bagi mereka sendiri. Bagaimana tidak, para Jamaah an-Nadzir yang memilih untuk bermukim di Mawang ini rela meninggalkan kampung halaman mereka, harta benda, pekerjaan, bahkan keluarga. Beberapa anggota jamaah pun mengaku bahwa ada di antara mereka yang dikucilkan oleh keluarga karena pilihannya untuk menjadi anggota

Jamaah an-Nadzir.

Berdasarkan tempat tinggalnya Jamaah an-Nadzir terbagi dua yaitu jamaah mukim dan jamaah non mukim. Jamaah non mukim adalah jamaah yang tidak berdomisili di Mawang karena berbagai alasan, sedangkan jamaah mukim adalah yang berdomisili di Mawang. Jamaah an-Nadzir yang bermukim di Mawang Kabupaten

Gowa, Sulawesi Selatan ini dapat dengan mudah dikenali. Hal ini disebabkan tampilan fisik mereka yang pada umumnya berbeda dengan orang kebanyakan atau umat Islam kebanyakan. Jamaah laki-laki An-Nadzir rata-rata berambut panjang sebahu, selain itu mereka juga mewarnai rambutnya (dengan warna dominan kuning atau merah). Para

Jamaah laki-laki juga memelihara jenggot dan memanjangkannya. Ciri khas lain Jamaah an-Nadzir adalah pakaiannya. Mereka biasanya memakai jubah dan sorban di kepala, serta memakai celak. Cara berpakaian seperti mereka gunakan khususnya jika meraka akan melakukan ibadah (shalat), namun jika sedang beraktivitas, tidak sedikit dari jamaah yang berpakaian biasa saja - tanpa jubah dan sorban-. Sementara itu jamaah perempuan berpakaian tertutup dengan jilbab besar disertai kain penutup muka. Tata PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 48

cara berpakaian dan tampilan fisik seperti ini juga mereka terapkan kepada anak-anak mereka. Selain itu para anggota jamaah yang sudah dewasa juga selalu membawa badik48 di balik celana jika mereka bepergian di sekitar wilayah kelurahan yang mereka tempati. Menariknya, kebiasaan membawa senjata tajam ini terkesan dibiarkan dan dimaklumi oleh aparat keamanan setempat dan dianggap sebagai sesuatu yang „khas‟

An-Nadzir.

Tata cara berpakaian dan tampilan fisik seperti ini menurut Jamaah an-Nadzir merupakan tata cara berpakaian yang terapkan oleh Rasulullah kepada umatnya. Mereka berpakaian seperti itu dalam rangka menjalankan perintah dan sunnah Rasulullah.

Argumentasi mengenai cara berpakaian mereka dapat dilihat dari petikan wawancara yang saya lakukan dengan seorang jamaah bernama Ismail yang merupakan salah satu pengikut awal Jamaah an-Nadzir.

Begini, kami di sini itu hanya berusaha menjalankan sunnah Rasulullah. Dalam menjalankan sunnah rasul itu kami di sini tidak memilih-milih mana sunnah yang ringan atau menguntungkan kami saja. Tata cara berpakaian seperti ini itu adalah sunnah nabi. Nabi itu ketika memasuki Makkah pada saat Fathul Makkah mengepang dua rambutnya dan mengecat rambutnya. Bagaimana mungkin nabi bisa mengepang rambutnya kalau rambutnya itu pendek seperti rambutmu. Yang bisa dikepang hanya rambut yang panjang. Jamaah an-Nadzir melakukan kritik balik terhadap orang-orang yang mengkritik cara berpakaian mereka yang cenderung dianggap esensialis, puritan dan terlalu skriptualis dalam memaknai teks-teks suci dengan mengatakan bahwa umat Islam saat ini sudah jauh meninggalkan ajaran nabi dalam tata cara berpenampilan. Menurut

Jamaah an-Nadzir saat ini tata cara berpakaian laki-laki dan perempuan Muslim sudah terbalik, di mana laki-laki berpenampilan tertutup sementara para perempuan malah

48 Senjata tajam khas Sulawesi Selatan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 49

berpakaian lebih terbuka. Fenomena yang demikian itu menurut An-Nadzir sudah bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad.

„Keekstreman‟ fashion yang dipilih oleh komunitas Jamaah an-Nadzir sempat menimbulkan kecurigaan berbagai pihak bahwa mereka terkait dengan gerakan radikal

Islam tertentu. Kepolisian daerah Sulawesi Selatan bahkan pernah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap Jamaah an-Nadzir. Namun dari hasil penelusuran, kepolisian tidak menemukan adanya bukti atau indikasi bahwa komunitas

Jamaah terlibat dalam gerakan terorisme atau gerakan radikal tertentu. Untuk menghindari fitnah, Jamaah an-Nadzir memeriksa dengan teliti siapa saja yang masuk ke wilayah mereka, mereka bahkan melakukan ronda setiap malam untuk menghidari upaya tertentu dari pihak manapun yang ingin berniat jahat (memfitnah) mereka.

Perbedaan pilihan busana dan cara menampilkan diri bukan tanpa resiko, dalam masyarakat multikultur, pakaian seringkali menjadi ajang perjuangan yang paling panas dan keras. Sebagai sebuah simbol identitas budaya yang padat dan kelihatan, pakaian menjadi permasalahan penting bagi para individu yang terlibat, pakaian membangkitkan segala perilaku kecemasan dan kemarahan yang sadar maupun tidak sadar dalam masyarakat yang lebih luas.49 Pakaian sebagai identitas yang tampak secara jelas memang rentan mengundang persoalan/dipersoalkan. Identitas pakaian yang dipakai untuk mengafirmasi identitas tertentu untuk membedakan identitas diri/komunitas dengan orang lain/komunitas lain dapat mengundang polemik apabila tidak ditanggapi secara dewasa.

49 Lih Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism, hlm 322 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 50

Di Indonesia, polemik berpakaian sendiri memang kerap menjadi persoalan yang banyak mengundang berbagai respon. Salah satunya adalah pro dan kontra Rancangan

Undang-Undang (RUU) anti pornografi. Rancangan Undang-Undang Pornografi adalah sebuah produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi.

Undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.50

Undang-undang (UU) ini oleh para penggugatnya ditentang karena dianggap bahwa akan terlalu jauh mengatur hal-hal yang sangat pribadi dan personal dalam masyarakat. Undang-undang ini juga berpretensi melahirkan upaya penyeragaman budaya di tengah pluralitas dan keragamaan sosial budaya masyarakat Indonesia. undang-undang pornografi dianggap satu standar norma dan susila, padahal standar norma dan susila itu berbeda pada setiap tempat dan kebudayaan. UU Pornografi juga diandaikan menyudutkan kaum perempuan dan anak-anak yang kerap dianggap pemicu dari kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Pengesahan UU ini meletimigasi stigma diskriminatif tertentu yang dilekatkan terhadap perempuan.51

Berbagai alasan tersebut di atas membuat beberapa kalangan seperti kalangan pekerja seni, akademisi, budayawan, anggota LSM dengan tegas menolak Rancangan

Undang-Undang tersebut. Beberapa daerah juga dengan tegas menolak UU Pornografi dan menyatakan tidak akan akan menjalankan RUU tersebut jika tetap disahkan menjadi

UU oleh pemerintah. Daerah-daerah yang menolak itu antara lain; , NTT, Sulawesi

Utara, Papua Barat, dan Sumatera Utara. Namun demikian, kalangan yang mendukung

50 Http. Wikipedia.com. Undang-Undang Pornografi 51 http , kesimpulan Komnas Perempuan dalam Judicial Review UU tentang Pornografi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 51

UU pornografi juga tidak kalah banyak, beberapa ormas besar bahkan termasuk di dalamnya seperti MUI, ICMI, FPI, Hizbut Tahrir dan lain-lain. Pendapat pro- kontra ini menimbulkan berbagai aksi massa- baik menolak atau mendukung-, perbedatan dan propaganda yang saling menyerang wacana satu sama lain.

Tata cara berpakaian dan penampilan fisik Jamaah an-Nadzir yang berbeda- ataupun dianggap berbeda- dengan umat Islam kebanyakan juga sempat mengundang banyak kecurigaan dari masyarakat setempat dan berbagai pihak lain. Bagaimana tidak cara berpakaian Jamaah an-Nadzir (berambut panjang dan diwarnai, memakai jubah, bercadar bagi yang perempuan, serta membawa badik) bukanlah cara berpakaian yang lazim di kalangan umat Islam apalagi di lingkungan yang ditinggali komunitas an-

Nadzir yang berada di pelosok desa. Namun demikian Jamaah an-Nadzir mampu menyakinkan masyarakat dan istitusi keagamaan setempat bahwa tata cara berpakaian mereka itu bukanlah sebuah hal yang bertentangan ataupun menyimpan dari kaidah- kaidah syariat Islam. Bahkan, tata cara berpakaian dan tampilan fisik yang demikian itulah menurut Jamaah an-Nadzir merupakan manifestasi dari ajaran yang dicontohkan dan dianjurkan oleh Rasulullah tentang cara berpakaian dan berpenampilan yang sepatutnya diteladani oleh segenap umat Muslim.

Bagi Jamaah an-Nadzir meneladani kehidupan sebagaimana yang dicontohkan nabi adalah sebuah keharusan. Apa yang mereka lakukan adalah menjalanka sunnah

Rasullullah secara keseluruhan tanpa memilih-milih secara politis mana sunnah sifatnya ringan dilakukan ataupun yang berat. Dengan argumentasi seperti itu, komunitas

Jamaah an-Nadzir seolah menggugat orang-orang yang memproblematisir tata cara berpakaian ataupun cara jamaah ini menampilkan diri sebagai sebuah gugatan yang PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 52

salah alamat, dan bahkan „sebenarnya‟ orang maupun komunitas lain yang mengugat itulah yang dianggap tidak menjalankan Islam secara „kaffah‟.

C. Politik Interaksi Keseharian

Bagian ini akan menjelaskan bagaimana politik identitas yang dibangun oleh

Jamaah an-Nadzir berhadapan dengan masyarakat sekitar, pemerintah dan komunitas di luar mereka. Politik identitas ini mencakup bagaimana pola interaksi Jamaah an-Nadzir dengan komunitas di luar mereka serta cara jamaah ini menegosiasikan paham interpretasi teologi mereka yang cukup berbeda. Penilitian ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai penelitian teologi melainkan sebagai penelitian cultural studies, namun membicarakan Jamaah an-Nadzir tidak bisa dilakukan tanpa membicarakan pemahaman teologi mereka sebab selain memang komunitas ini adalah komunitas agama tetapi yan lebih penting lagi bahwa pemahaman teologis mereka itulah yang menjadi pusat alasan dari seluruh kegiatan jamaah ini, bahkan yang menyangkut hal-hal

„sekular‟ sekalipun.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar Jamaah an-

Nadzir yang bermukim di daerah Mawang bukanlah merupakan warga asli daerah

Mawang melainkan para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang memutuskan untuk „berhijrah‟ ke Mawang untuk menjalani kehidupan ber-Islam yang lebih sempurna sebagai sebuah jamaah yang utuh. Kedatangan para jamaah yang berasal dari luar desa Mawang pada khususnya atau dari luar Kabupaten Gowa pada umumnya tentunya membuat para jamaah yang merupakan transmigran itu harus berbaur dengan masyarakat setempat. Perjumpaan antara Jamaah an-Nadzir dengan penduduk lokal PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 53

tentunya melahirkan negosiasi-negosiasi kebudayaan karena tidak sedikit anggota

Jamaah an-Nadzir berasal dari luar pulau Sulawesi yang mempunyai latar belakang budaya yang sedikit banyak berbeda dengan budaya masyarakat setempat.

Para jamaah dari luar daerah (baik dari Sulawesi Selatan sendiri maupun yang berasal dari luar pulau Sulawesi) yang memutuskan untuk menjadi jamaah mukim di

Mawang semuanya telah meninggalkan pekerjaan dan sebagian besar harta bendanya di tempat asal mereka. Kedatangan mereka ke Mawang adalah dengan status sebagai pengangguran. Namun demikian, keputusan Jamaah an-Nadzir untuk membuat komunitas mandiri di daerah Mawang kelihatannya telah dipersiapkan dengan matang.

Selain membeli lahan yang cukup luas untuk digunakan sebagai lahan tempat tinggal, mereka juga membeli lahan untuk digarap sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Di samping bertani sebagai pekerjaan utama sebagian besar jamaah, Jamaah an-Nadzir juga menggarap berbagai usaha di bidang lain.

Jamaah an-Nadzir bersifat tertutup atau ekslusif dalam hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan (aqidah). Mereka tidak akan meladeni usaha konfortasi dari kelompok-kelompok yang ingin mempermasalahkan interpretasi teologi yang mereka yakini. Mereka juga tidak pernah melakukan upaya-upaya „dakwah‟ atau ajakan kepada masyarakat sekitar ataupun komunitas lain untuk mempercayai dan menjalankan ibadah sebagaimana yang mereka lakukan. Bagi Jamaah an-Nadzir dakwah dengan mengajak atau mendatangi orang lain secara langsung bukanlah prioritas, namun demikian an-

Nadzir tetap terbuka kepada siapapun yang datang ke komunitas mereka untuk belajar.

Bagi an-Nadzir, cara mereka menampilkan diri (dengan pakaian dan semacamnya) serta tata cara mereka beribadah sudah merupakan „dakwah‟ dan peringatan bagi umat Islam PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 54

bahwa saat ini umat Islam telah semakin jauh dari ajaran yang telah dinubuatkan oleh

Rasulullah.

Meskipun eksklusif dalam perkara keyakinan, namun tidak demikian halnya dalam persoalan interaksi sosial. Jamaah an-Nadzir bukanlah komunitas yang mengisolir diri dari masyarakat di luar komunitas mereka. Jamaah an-Nadzir sangat terbuka dan berbaur dengan masyarakat setempat, bahkan dalam banyak hal melakukan berbagai macam kerjasama usaha dengan masyarakat sekitar. Jamaah an-Nadzir juga bukan komunitas yang menolak modernisme dalam pengertian perkembangan dan kemajuan teknologi secara membabi buta.

Meski komunitas ini lebih dikenal sebagai komunitas keagamaan, mereka cukup melek ekonomi. Komunitas ini menyadari bahwa ekonomi adalah basis yang sangat penting bagi perkembangan suatu komunitas. Tanpa basis ekonomi yang kuat tentu mereka akan goyah sebagai komunitas yang utuh. Mata pencaharian atau pekerjaan

Jamaah an-Nadzir biasanya ditentukan oleh pemimpin mereka yang bernama Daeng

Rangka. Daeng Rangka yang merupakan penduduk asli Mawang mempunyai wewenang untuk membagi tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh setiap anggota jamaah. Hal ini tidak mengherankan sebab Daeng Rangka adalah pemimpin jamaah yang biasa mereka sebut dengan panggilan abah atau panglima. Selain itu, Daeng rangka merupakan putra asli daerah tentunya mengetahui seluk beluk potensi daerah

Mawang dan dinamika masyarakatnya adalah sosok tokoh yang dihormati dan disegani di lingkungan Mawang. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 55

Jamaah an-Nadzir menjadikan pertanian sebagai tumpuan mata pencaharian utama jamaah. Mereka mengelola lahan pertanian milik sendiri yang telah mereka beli dari penduduk sekitar. Selain itu mereka juga mengelola lahan pertanian milik warga setempat dengan sistem bagi hasil. Jamaah an-Nadzir cukup berhasil mengelola lahan pertanian yang ada di lingkungan Mawang. Lahan-lahan yang sebelumnya merupakan

„lahan tidur‟ di tangan Jamaah an-Nadzir berhasil dijadikan sebagai lahan produktif.

Keberhasilan Jamaah an-Nadzir di bidang pertanian mendapat apresiasi dari pemerintah setempat dengan menjadikan daerah lingkungan mereka sebagai daerah percontohan di bidang pertanian.

Masyarakat setempat yang bekerja sama dengan Jamaah an-Nadzir dengan cara memberikan lahan (sawah) mereka untuk digarap juga sangat senang. Bagaimana tidak, semenjak tanah mereka dikelola oleh Jamaah an-Nadzir hasil panen mereka menjadi berlipat ganda dibanding sewaktu mereka mengelolalnya sendiri. Keterampilan Jamaah an-Nadzir di bidang pertanian sedikit banyak dikarenakan beberapa anggota jamaah merupakan sarjana pertanian. Beberapa anggota jamaah memang bergelar sarjana bahkan ada juga yang bergelar magister yang rela meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya untuk bergabung dengan Jamaah an-Nadzir lainnya di Mawang.

Selain karena hasil panen yang lebih banyak, masyarakat yang dikelola lahan pertaniannya oleh Jamaah an-Nadzir juga senang dengan sistem bagi hasil yang terapkkan oleh Jamaah an-Nadzir. Sistem bagi hasil dalam mekanisme an-Nadzir biasanya dilakukan dengan sistem bagi dua. Sistem bagi dua yang dilakukan oleh

Jamaah an-Nadzir diserahkan sepenuhnya kepada pemilik tanah, dan membiarkan mereka membagikan kepada Jamaah an-Nadzir. Berapapun yang diberikan oleh pemilik PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 56

tanah, itulah yang diterima an-Nadzir. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan kecurigaan dari pemilik tanah dan sekaligus untuk transparansi. Komunitas an-Nadzir mengedepankan sikap kejujuran dan keterbukaan. Sekali lagi kejujuran dan keterbukaan yang mereka terapkan dalam bermuamalat ini adalah upaya menerapkan ajaran Nabi

Muhammad dalam segenap urusan mereka, baik dalam hal yang „murni‟ ibadah maupun dalam urusan keduniaan. Praktek muamalat (ekonomi) yang dicontohkan oleh Jamaah an-Nadzir ini seolah merupakan sebuah bentuk kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis yang saat ini menjadi hegemoni di tengah masyarakat yang hanya mementingkan keuntungan semata bahkan bila perlu ditempuh dengan cara-cara yang tidak jujur dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Jamaah an-Nadzir juga mengelola lahan pertambakan. Mereka berhasil mengubah danau Mawang yang sebelumnnya hanya merupakan danau biasa yang tidak produktif menjadi sebuah lahan tambak yang dapat menghidupi komunitas. Dalam mengelola usaha pertanian dan tambak mereka, Jamaah an-Nadzir mengembangkan sistem mina. Sistem mina adalah sistem menanam padi diselingi dengan tambak ikan mas. Sejauh ini usaha mereka cukup berhasil. Pemerintah Kabupaten Gowa bahkan memberi apresiasi yang tinggi dengan menghadiri pesta panen komunitas ini. Dinas perikanan Kabupaten Gowa pun ikut memberi perhatian dengan menghibahkan bibit ikan mas untuk dikelola. Bahkan gubernur pun menyempatkan diri datang dan memberi bantuan bibit ikan.

Setelah cukup sukses di bidang pertanian dan pertambakan, komunitas an-

Nadzir mulai merambah dunia usaha lain dengan membuka usaha seperti bengkel motor, depot isi ulang air minum, fotocopy, counter HP, membuka pasar tradisional dan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 57

usaha jual beli beras. Menariknya unit usaha yang dimiliki oleh komunitas ini yang rata- rata hanya merupakan unit usaha kecil-menengah, namun hampir keseluruhannya mempunyai surat keputusan (SK) badan hukum. Hal ini mungkin adalah hal biasa, namun kepemilikan badan hukum untuk sebuah unit usaha kecil adalah hal yang jarang diperdulikan oleh masyarakat setempat, apalagi unit usaha milik Jamaah an-Nadzir hanya terletak di daerah pedalaman. Hal ini menunjukkan bagaimana komunitas an-

Nadzir adalah komunitas yang sangat paham organisasi, melek ekonomi-politik serta memahami secara sadar cara mereka merepresentasikan diri untuk mempertahankan eksistensi komunitas.

Dari keseluruhan hasil usaha yang dikelola oleh anggota Jamaah an-Nadzir, menariknya hasil tersebut tidak dimiliki oleh tiap-tiap anggota yang bekerja itu.

Keuntungan dari setiap hasil kerja anggota jamaah dikelola oleh sebuah baitul mal, baitul mal inilah yang mengurus peruntukan hasil kerja anggota jamaah. Sebagian besar hasil kerja dibagikan kembali kepada anggota keluarga berdasarkan proporsi kebutuhan mereka. Sebagian lagi disimpan untuk keperluan komunitas.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa komunitas Jamaah an-Nadzir sangat terbuka dalam hal interaksi sosial dengan komunitas di luar kelompok mereka.

Hal tersebut dibuktikan dengan kegiatan muamalat mereka yang mau tidak mau tentunya melibatkan masyarakat sekitar dan komunitas lain. Interaksi mereka dengan komunitas lain tidak hanya terbatas pada persoalan muamalat saja, namun juga dalam interaksi sosial lainnya. Jamaah an-Nadzir senantiasa turut terlibat membantu kegiatan masyarakat maupun pemerintah setempat. Keterbukaan Jamaah an-Nadzir terhadap masyarakat dan komunitas lain, membuat beberapa masyarakat sekitar tertarik menjadi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 58

anggota Jamaah an-Nadzir secara sukarela karena Jamaah an-Nadzir tidak pernah melakukan usaha propaganda kepada orang lain untuk bergabung ataupun ikut mempercayai keyakinan mereka.

Tidak hanya membangun relasi yang baik dengan pemerintah, Jamaah an-Nadzir juga membangun relasi yang sangat baik dengan unsur pemerintah mulai dari tingkat desa sampai ke tingkat provinsi. Di tingkat desa mereka secara aktif melaporkan perkembangan keberadaan jumlah jamaah mereka yang menetap di daerah administrtif

Mawang. Selain itu, mereka juga aktif membantu kegiatan desa dan kecamatan seperti ikut terlibat menjadi panitia pengamanan pemilu dan sebagainya.

Interaksi dan hubungan baik yang dijalin oleh Jamaah an-Nadzir tidak berhenti hanya pada tingkat pemerintah desa, tetapi juga dengan unsur pemerintahan yang lebih luas. Hal ini dibuktikan dengan kerjasama mereka dengan pemerintah kabupaten.

Jamaah an-Nadzir oleh pemerintah Kabupaten Gowa dipercaya untuk mengelola danau

Mawang dan lahan perkebunan milik pemerintah setempat. Keberadaan lokasi pemukiman Jamaah an-Nadzir yang terletak di belakang sebuah sekolah tinggi pertanian milik pemerintah dianggap membawa dampak yang baik bagi keamanan lingkungan setempat. Sebelum Jamaah an-Nadzir tinggal di sana, daerah Mawang dikenal sebagai daerah rawan tindak kejahatan seperti penodongan, perampokan dan tindak kejahatan lainnya. Namun semenjak keberadaan Jamaah an-Nadzir di daerah tersebut tindak kejahatan yang demikian tersebut sudah tidak pernah terjadi lagi.

Sebagai komunitas Islam yang agak berbeda dengan komunitas Islam kebanyakan khususnya yang ada di Indonesia baik dalam hal cara mereka PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 59

merepresentasikan diri secara fisik maupun dalam persoalan interpretasi teologis,

Jamaah an-Nadzir mau tidak mau harus berhadapan dengan institusi keagamaan pemerintah (Departemen Agama) sebagai representasi wakil pemerintah yang berwenang dalam perkara-perkara keagamaan di masyarakat. Dengan institusi agama tersebut, Jamaah an-Nadzir membuka diri untuk berdialog. Dialog dimaksudkan oleh

Jamaah an-Nadzir sebagai media untuk menjelaskan dan mengklarisifikasi keyakinan dan praktek ber-Islam mereka yang oleh banyak orang secara sepihak dianggap menyimpang ataupun diklaim sesat. Jamaah an-Nadzir berusaha menunjukkan bahwa seperti umat Islam lainnya, keyakinan dan praktik ibadah mereka yang dianggap berbeda sebenarnya juga didasarkan pada al-Quran dan hadist nabi, dua rujukan utama umat Islam.

Dari hasil berbagai rangkaian dialog yang dilakukan jamaah an-Nadzir dengan

Departemen agama, akhirnya Departemen Agama sampai pada kesimpulan bahwa sampai saat ini Jamaah an-Nadzir tidak bisa dikatakan sesat. Pernyataan Departemen

Agama yang terkesan mendua dan masih menyimpan nada curiga bahwa tidak menutup kemungkinan Jamaah an-Nadzir di masa depan masih dapat berpotensi menerapkan paham-paham yang dianggap melenceng dari nilai-nilai keIslaman yang „benar‟.

Bagaimana pun representasi yang dilakukan oleh institusi agama milik Negara tersebut, namun Departemen Agama memberi apresiasi yang baik terhadap dampak baik yang dibawa oleh An-Nadzir semenjak keberadaan mereka di daerah Mawang.

Menurut Departemen Agama, keberadaan Jamaah an-Nadzir di kawasan tersebut membuat praktik-praktik kemusyrikan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat setempat seperti membawa sesajen dan memotong hewan kurban di tempat-tempat yang PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 60

dianggap keramat dan suci perlahan-lahan mulai ditinggalkan hingga saat ini tidak terdapat lagi ritual-ritual semacam itu.

Bagusnya mereka merubah banyak praktek musyrik dan tidak memaksakan pemahaman mereka pada masyarakat. Dulu di Mawang itu kan ada batu yang dianggap keramat. Orang-orang di sini sebut saukang namanya. Disitu orang bawa makanan, potong hewan dan batu itu dijadikan sesembahan. Itu yang dirubah Jamaah an-Nadzir. Sekarang tempat itu dijadikan sebagai tempat makan-makan bahkan dijadikan tempat shalat.52 Hubungan baik an-Nadzir dengan Departemen Agama tidak terbatas dalam dialog persoalan paham keagamaan, di luar itu Jamaah an-Nadzir secara aktif melaporkan catatan peristiwa nikah yang terjadi di komunitas mereka. Tidak hanya sekadar melaporkan sebagai kewajiban administratif, tetapi juga mempercayakan para penghulu nikah Departemen Agama untuk menikahkan anak-anak mereka. Hal ini mungkin terlihat sebagai hal yang lumrah, namun hal ini menjadi tidak biasa apabila dilakukan oleh sebuah komunitas yang menganggap „keislaman‟ mereka lebih baik dibandingkan keislaman komunitas di luar mereka. Hanya saja, untuk urusan pernikahan, sampai saat ini jamaah masih membatasi komunitas mereka untuk menikah hanya antar komunitas saja. Alasannya adalah Jamaah an-Nadzir tidak mau mengambil resiko perbedaan paham keagamaan akan menjadi bumerang, karena bagi Jamaah an-

Nadzir pernikahan tidak hanya menyangkut urusan duniawi semata, tetapi juga urusan akhirat.

Hal lain yang juga menarik dari Jamaah an-Nadzir adalah keputusan mereka untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah formal baik milik pemerintah maupun swasta. Mereka hanya mengajari anak-anak mereka secara

52 wawancara dengan kepala seksi penerangan masyarkat DEPAG Gowa PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 61

otodidak. Yang diajarkan pun terbatas pada kemampuan membaca, berhitung, dan baca tulis Al-Quran. Selain itu, sejak kecil anak-anak mereka telah diajarkan kemampuan bercocok tanam, berkebun, dan berniaga sebagai modal untuk bertahan hidup. Menurut

Jamaah an-Nadzir, kurikulum sekolah-sekolah yang ada saat ini hanya menjauhkan anak-anak dari kehidupan agama yang „seharusnya‟, lagipula menurut Jamaah an-

Nadzir fase hidup yang sedang kita jalani ini adalah fase akhir zaman di mana kehidupan dunia bukan lagi prioritas, kehidupan akhiratlah yang seharusnya dikedepankan dengan menghidupkan kembali kehidupan kenabian sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW di masa lalu.

Hubungan baik yang dipelihara Jamaah an-Nadzir dengan berbagai unsur di luar mereka (pemerintah dan masyarakat) merupakan salah satu bentuk negosiasi yang mereka lakukan demi kepentingan dan keamanan komunitas mereka. Dengan menjalin hubungan dan interaksi yang baik dengan masyarakat setempat, Jamaah an-Nadzir membuka keran keterbukaan dan komunikasi yang baik sehingga perasaan saling mencurigai satu sama dapat terhindarkan. Dengan hubungan baik ini masyarakat setempat bahkan siap menjadi pelindung jika ada unsur-unsur luar yang ingin mengusik

Jamaah an-Nadzir.

Hubungan masyarakat di sini dengan Jamaah an-Nadzir sangat baik, bahkan sebagian Jamaah an-Nadzir banyak yang bekerja sebagai penggarap sawah masyrakat. Warga di sini sudah menganggap an-Nadzir sebagai warga kami, bukan orang lain. Kalau ada orang yang mau mengganggu Jamaah an-Nadzir maka warga tidak akan segan membantu. Jamaah an-Nadzir adalah orang- orang baik, mereka bukan orang jahat meskipun mereka berambut panjang dan berpirang.53

53 wawancara dengan pegawai kelurahan Mawang. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 62

D. Paham (interpretasi) Teologis : Upaya kembali Kepada Yang “Asli”

Pada subbab ini akan dipaparkan bagaimana pemahaman dan konsep teologis yang dipahami oleh Jamaah an-Nadzir. Bagian ini juga dimaksudkan untuk memperlihatkan perbedaan konsep ataupun praktik keagamaan yang dijalankan oleh

Jamaah an-Nadzir dengan kebanyakan komunitas Islam lainnya di Indonesia. paham teologis yang kami maksudkan di sini mencakup pemahaman tentang masalah ketuhanan (tauhid), praktik ibadah-ibadah inti dalam ajaran agama Islam (seperti salat, puasa, zakat, dan haji). Selain itu juga akan dipaparkan mistifikasi yang dikonstruksikan Jamaah an-Nadzir terhadap komunitas mereka sebagai komunitas pilihan.

Jamaah an-Nadzir menyakini bahwa apa yang mereka praktikkan adalah dalam rangka menegakkan Dinul Islam. Dalam pengertian Jamaah an-Nadzir kata diin yang oleh kebanyakan terjemahan di Indonesia diterjemahkan sepadan dengan kata agama bukanlah berarti demikian. Bagi An-Nadzir kata din berarti hukum. Bagi mereka Dinul Islam berarti hukum keselamatan. Setiap orang dapat mengaku beragama Islam namun belum tentu dia betul-betul Islam dalam arti sebenarnya.

Islam adalah jalan keselamatan. Jalan keselamatan tersebut mengandaikan hukum atau rambu-rambu dalam mencapai puncak dari jalan keselamatan. Barang siapa yang ingin selamat tentunya harus mengikuti dan menjalankan hukum yang telah ditentukan dalam hal ini oleh Tuhan dan telah dengan sempurna diajarkan melalui nabi dan rasul-Nya. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 63

Selain itu, Jamaah an-Nadzir juga tidak mau dikategorikan dengan label Sunni maupun Syiah, dua sekte terbesar dalam dunia Islam. Mereka menyebut komunitas mereka sebagai Ahlul Bait. Ahlul Bait dalam pengertian an-Nadzir bukanlah keluarga nabi sebagaimana yang lazim dipahami. Menurut Jamaah an-Nadzir pengertian ahlulbait itu ada dua, yang pertama, keluarga langsung nabi Muhammad yang berasal dari keturunan hasil pernikahan antara Ali bin Abi Thalib dan puteri nabi, Fatimah. Kedua, defenisi Ahlulbait (versi An-Nadzir) adalah orang-orang yang melaksanakan sunnah nabi mulai dari sunnah yang kecil hingga sunnah yang besar tanpa memilah-milih ajaran yang dianggap ringan atau hanya menguntungkan dirinya sendiri. Itu berarti ahlul bait adalah orang yang meletakkan nabi sebagai teladan dalam segala hal. Dalam proyek mengikuti nabi itu-lah, komunitas an-Nadzir memanjangkan rambut hingga sebahu, memakai jubah, tongkat sebagai upaya menghadirkan sosok nabi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan klaim seperti ini, Jamaah an-Nadzir berusaha merivisi definisi ahlulbait yang terbatas hanya pada keturunan nabi saja. Apa yang dilakukan Jamaah an-

Nadzir ini adalah sebuah usaha politik identitas untuk menampilkan diri sebagai komunitas yang lebih „berIslam‟ (sehingga tidak mungkin sesat) dengan menjadikan kehidupan nabi sebagai medan kontestasi.

Penolakan Jamaah an-Nadzir dikategorikan sebagai penganut Sunni ataupun

Syiah adalah karena sekte ini mereka anggap telah mencampur baurkan ajaran Islam dengan berbagai kepentingan dunia (politik, ekonomi, budaya) sehingga menjadikan ajaran Islam tidak lagi „murni‟ sebagaimana di masa Rasulullah hidup. Bahkan terkait dua sekte yang diketahui saling bertentangan ini, Jamaah an-Nadzir mempunyai klaim yang sangat luar biasa jika tidak bisa dikatakan muluk-muluk. Jamaah an-Nadzir PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 64

mengklaim jika masanya tiba, Jamaah an-Nadzirlah yang akan menyatukan seluruh umat Islam dunia, termasuk pertentangan berkepanjangan antara Sunni-Syiah.

Hal yang pertama-tama ditekankan oleh an-Nadzir kepada komunitas mereka adalah persoalan tauhid. Tauhid menjadi perkara yang paling utama karena pada tauhidlah kunci keislaman seseorang terletak. Komunitas an-Nadzir meyakini bahwa kunci keselamatan dunia dan akhirat adalah kesaksian terhadap lafadz syahadatain

(Asyhadu allaa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah).

Persaksian terhadap syahadatain merupakan manifestasi kecintaan kepada Allah dan

Nabi Muhammad SAW. Mengikuti perintah Allah dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai suri tauladan adalah manifestasi persaksian seorang Muslim melalui dua kalimat syahadat.

Komunitas an-Nadzir mensyaratkan keharusan mengenal Tuhan sebagai hal yang mutlak dilakukan oleh umat Islam yang ingin selamat dunia dan akhirat. Untuk mengenalkan Tuhan kepada manusialah yang merupakan agenda utama mengapa para

Nabi dan rasul diutus ke muka bumi. Menurut Jamaah an-Nadzir, bagaimana mungkin seorang Muslim dapat bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang dia sembah selain Allah jika dia tidak mengenal Tuhannya. Dalam upaya mengenal Tuhan inilah Jamaah an-

Nadzir punya caranya sendiri, dalam paham tauhid an-Nadzir Allah adalah sebuah nama, sebuah nama tentu punya bentuk, lalu seperti apakah Tuhan itu? Tentunya bentuk

Tuhan pastilah sempurna. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa bentuk Allah itu seperti bentuk manusia, alasannya adalah karena manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, Allah adalah penguasa dan raja manusia. Apa mungkin raja kambing bentuknya seperti ayam? Manusia yang mengenal Allah adalah manusia yang PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 65

mengenali dirinya sendiri, darimana dia berasal, mengetahui apa yang menjadi tugasnya dan bagaimana seharusnya dia bertindak dalam menjalani kehidupan di dunia.

Demikian argumentasi An-Nadzir.

Konsep hakikat diri yang kami adalah barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Adam, barang siapa mengenal Adam akan mengenal Muhammad, barang siapa mengenal ruh akan mengenal Allah. Siapa Adam? Adam adalah manusia yang kita antar ke liang lahad . Manusia yang sudah tidak lagi mempunyai daya dan upaya. Siapa Muhammad? Muhammad itu adalah setiap individu manusia. Baik dia Muslim, Yahudi, Majusi dan Nasrani. Siapa ruh? Ruh adalah diri kita sendiri, perwujudan dari zat Allah.54 Pernyataan seperti yang dikemukakan Jamaah an-Nadzir itu bukanlah sebuah pernyataan yang lazim dalam paham kebanyakan umat Islam, khususnya di Indonesia.

Pernyataan yang demikian itu di Indonesia dapat menjadikan seseorang atau komunitas dapat diklaim kafir atau sesat karena dianggap menyamakan Tuhan dengan mahluk, padahal Tuhan itu tidak ada padanannya sesuatu apapun. Di Indonesia sendiri, paham yang hampir mirip dengan pemahaman Jamaah an-Nadzir sebenarnya telah dikenal di

Indonesia khususnya dalam masyarakat Jawa yaitu konsep Manunggaling Kawula Gusti yang dipopulerkan oleh Syehk Siti Djenar.

Pemahaman tauhid Jamaah an-Nadzir yang mempunyai unsur pantheististik tersebut kelihatannya dipengaruhi oleh pemikiran filsuf sekaligus seorang sufi bernama

Muhyiddin Ibn „Arabi. Pemikiran Ibn Arabi memang banyak mempengaruhi berbagai aliran tasawuf di Indonesia. Menurut Ibnu „Arabi hanya ada satu realitas dalam eksistensi. Realitas ini dapat dipandang dari dua sudut berbeda, pertama kita namakan

Haqq (yang Nyata = yang Ril) apabila kita pandang Haqq itu sebagai esensi dari semua fenomena. Dan kedua, dinamakan Khalq apabila kita pandang sebagai fenomena yang

54 wawancara dengan Ismail. Anggota Jamaah an-Nadzir. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 66

memanifestasikan Esensi itu. Haqq dan Khalq. Realitas dan penampilan. Yang Satu dan Yang banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari satu realitas, ia adalah satu kesatuan nyata (riel unity) tapi beragam secara empiris (empirical diversity).

Realitas ini adalah Tuhan. Dalam ekspresi bahasa teologis, Yang Satu adalah al Haqq

(Yang Ril = Tuhan), Yang banyak adalah al Khalq (wujud-wujud cipataan = dunia fenomena). Yang Satu adalah Tuhan (Lord), Yang Banyak adalah hamba-hamba

(slaves)55.

Pemahaman tauhid Jamaah an-Nadzir yang juga terlihat dipengaruhi pemikiran

Ibn Arabi adalah Metaphor tentang „cermin‟ (mirror) dan „image‟ (kesan) yang erat sekali kaitannya dengan objek dan bayang-bayangnya. Klaim ini didasarkan pada wawancara saya dengan seorang jamaah bernama Ismail terkait pemahaman tauhid

Jamaah an-Nadzir. Dalam upaya mengenali tuhan dia mendasarkan penjelasan pemahaman tauhid Jamaah an-Nadzir pada sebuah cerita tentang seekor burung yang ingin bertemu dan melihat „rajanya‟. Di ujung pencarian si burung ternyata yang dia dapati adalah sebuah cermin memantulkan citra dirinya sendiri. Yang satu dipandang sebagai suatu objek yang image nya direfleksikan di dalam cermin-cermin yang berbeda. Yang Banyak (dunia fenomena) adalah bayangan, bayang-bayang (shadow) luar objek Ril.

Dalam praktik ibadah dan pemahaman fiqh Jamaah an-Nadzir pun cukup berbeda dengan praktik mayoritas masyarakat Muslim Indonesia. Jamaah an-Nadzir mengaku tidak mengikuti atau berpedoman pada mazhab apapun sebagaimana lazimnya sebuah komunitas umat Islam. Jamaah an-Nadzir menurut mereka hanya berpedoman

55 Lih Afifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, Gaya Media Pratama,1989, hlm 25. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 67

pada Alquran dan sunnah Rasul. Apa yang dilakukan Jamaah an-Nadzir ini dapat dilihat sebagai sebuah tandingan dari tradisi mayoritas umat Islam yang mengatur secara ketat siapa yang berhak dan dapat menafsirkan teks-teks suci (Alquran dan hadist) sehingga penafsiran hanya menjadi dominasi kaum ulama, orang-orang yang bukan ulama dianggap tidak bisa menafsirkan teks suci karena kurang ilmu.

Pelaksanaan fiqh tertentu secara ketat terkadang membuat seseorang atau komunitas dicap fundamentalis. Dalam tradisi fiqh orang yang dianggap melakukan upaya peletakan dasar-dasar keagamaan baik secara hukum (fiqh) maupun secara politis menurut Adonis (2007:33) dilakukan oleh Al-imam Muhammad bin Idris asy-Syafi‟i.56

Menurut asy-Syafi‟I baik dan buruk, perintah dan larangan harus disandarkan pada Al- kitab dan sunnah. Ia bersifat syar‟iyyah, bukan rasional57. Dalam rangka interpretasi al-

Kitab dan Sunnah inilah asy-Syafii menetapkan syarat yang ketat. Orang yang berhak melakukan interpretasi hanya orang-orang mengusai Alquran dan Sunnah, selain itu dia juga harus dengan menguasai bahasa Arab dengan baik (dimensi dan tradisinya) serta aspek-aspek keilmuan Islam lainnya58. Syarat yang demikian ketat ini membuat penafsiran tentang Islam (khususnya dari segi hukum) hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang saja.

Perbedaan Jamaah an-Nadzir dalam urusan ibadah pertama-tama dapat dilihat pada lafaz azan yang mereka gunakan, Jamaah an-Nadzir menambahkan lafaz “hayya alal khairil amar” (mari melaksanakan perbuatan yang baik”) setelah lafaz hayya alal

56 Lebih dikenal dengan nama Imam Syafi‟I. salah satu dari empat imam mazhab besar dalam tradisi Sunni. Di Indonesia, fiqh imam Syafi‟i adalah fiqh mayoritas yang digunakan oleh umat Islam. 57 Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam vol II hlm 13 58 Ibid., hlm 25 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 68

shalat dalam lafaz azan mereka. Menurut mereka, lafaz yang demikian itu merupakan lafaz yang diucapkan pada masa kenabian dahulu.

Perbedaan praktik ibadah Jamaah an-Nadzir dengan komunitas Muslim kebanyakan juga dapat dilihat dari tata cara melakukan shalat. Tidak seperti kebanyakan umat Muslim di Indonesia yang melakukan shalat dengan cara bersedekap setelah takbiratul ihram, Jamaah an-Nadzir melakukan shalat dengan meluruskan tangan rapat dengan paha, tidak membedakan cara duduk tasyahud awal dan tasyahud akhir, mengucapkan salam hanya sekali tanpa memalingkan muka ke kiri dan ke kanan, serta tidak mengusap muka setelah mengucapkan salam. Selain perbedaan tersebut, tata cara lainnya cenderung sama dengan komunitas Muslim lainnya.

Tidak hanya berbeda dalam tata cara gerakan shalat, an-Nadzir juga terlihat berbeda dalam penentuan waktu shalat. Dalam menentukan waktu-waktu shalat jamah an-Nadzir berpatokan pada tanda-tanda alam. Komunitas An-Nadzir melakukan shalat

Dhuhur dan Asar secara berdekatan. Ini terkait dengan sistem penentuan waktu Dhuhur mereka yang agak berbeda dengan cara penentuan waktu masyarakat Muslim di

Indonesia pada umumnya. Awal waktu Dhuhur dalam tradisi an-Nadzir adalah ketika suatu benda sama panjang dengan separuh bayangannya. Jika diukur dengan menggunakan jam kira-kira jam 15.00 lebih. Sedangkan waktu akhir Dhuhur adalah ketika bayangan benda sama panjangnya dari bendanya, atau sekitar jam 17.00.

Kemudian, dalam pelaksanaan shalat Dhuhur dan Asar, mereka mengakhirkan waktu

Dhuhur dan mempercepat waktu Asar. Sehingga terlihat seperti menjamak dua shalat. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 69

Waktu shalat yang ditentukan oleh Jamaah an-Nadzir ini menurut mereka didasarkan dan merupakan tuntunan yang terdapat dalam Alquran59.

Begitu pula dengan shalat Magrib dan shalat Isya. Waktu Magrib dimulai ketika sudah terlihat mega atau awan merah di ufuk Barat, dan awan merah di Timur telah hilang. Bila diukur dengan jam, sekitar pukul 18.30. Sedangkan waktu Isya masuk setelah awan merah di ufuk Barat telah hilang yang berarti malam telah turun hingga fajar menyingsing. Shalat Magrib dilakukan pada pukul 18.30, Shalat Isya dilakukan sekitar pukul 03.00-04.00 malam, sedangkan Shalat Subuh dilakukan ketika selesainya fajar kadzib atau sekitar pukul 06.00 pagi. Hal lain juga yang berbeda adalah dalam pelaksanaan shalat jumat. Jika komunitas Muslim lain biasanya mengisi khutbah jumat dengan berbagai tema ceramah, khutbah dalam komunitas Jamaah an-Nadzir hanya diisi dengan wasiat takwa dalam bahasa Arab tanpa ada campuran bahasa lain. Dalam pandangan Jamaah an-Nadzir, khutbah jumat adalah dua rakaat pengganti shalat dhuhur sehingga berbicara selain bahasa Arab dapat merusak keabsahan shalat.

Perbedaan penentuan waktu shalat Jamaah an-Nadzir juga berdampak perbedaan pelaksanaan puasa yang mereka lakukan. Jadwal imsak dan jadwal berbuka puasa

Jamaah an-Nadzir sedikit lebih lambat dibandingkan dengan mayoritas umat Islam di

Indonesia. hal ini disebabkan karena waktu shalat subuh yang merupakan ukuran imsak dan waktu shalat magrib yang merupakan ukuran berbuka puasa dilaksanakan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Waktu imsak dan berbuka puasa yang mereka praktikkan ini juga merupakan tuntunan yang telah dijelaskan dalam Alquran

59 Q.S Hud 115 (dan dirikan shalat di dua tepi siang) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 70

menurut Jamaah an-Nadzir60. Dalam pandangan Jamaah an-Nadzir waktu berbuka puasa yang dilakukan kebanyakan umat Islam sesungguhnya belumlah waktu berbuka yang disyaratkan karena belum memasuki permulaan malam (waktu shalat magrib), dengan pernyataan ini, komunitas ini terkesan ingin meneguhkan pendapat mereka sekaligus secara tersirat meyalahkan komunitas lain karena bagi an-Nadzir kebanyakan orang

Islam saat ini sudah berbuka pada waktu di mana seharusnya orang masih melaksanakan puasa.

Masih menyangkut puasa Ramadhan, Jamaah an-Nadzir sering kali berbeda dengan masyarakat Islam di Indonesia dalam penentuan satu Ramadhan dan satu

Syawal. Sekurang-kurangnya dalam empat tahun belakangan, komunitas An-Nadzir selalu lebih dulu satu atau dua hari melaksanakan puasa dan hari raya id dari versi pemerintah. Perbedaan penentuan awal Ramadahan dan Syawal tersebut membuat komunitas ini dikenal luas di Indonesia karena perbedaan mereka dalam penentuan awal

Ramadhan dan hari raya selalu menjadi sorotan media setiap tahun. an-Nadzir melakukan kombinasi rukyah dan hisab dalam menentukan waktu ramadhan. Rukyah biasanya dilakukan dengan melihat bulan, melihat air pasang, dan kondisi angin di lautan. Sedangkan hisab dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan waktu Sya‟ban.

Menurut mereka, jika kita telah mengetahui penentuan awal Sya‟ban maka akan sangat mudah menentukan awal Ramadhan.

Pandangan tentang zakat fitrah juga berbeda dengan masyarakat Islam pada umumnya. Komunitas An-Nadzir menganggap bahwa zakat fitrah tidak berlaku untuk semua orang Islam. Kewajiban zakat fitrah hanya berlaku untuk orang Islam yang telah

60 Q.S al-Baqrah 187 (makan dan minumlah sampai jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam di waktu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 71

mukallaf atau baligh. Sedangkan anak-anak usia pra-baligh tidak diwajibkan untuk membayar zakat fitrah sebagaimana anak-anak yang belum baligh belum wajib melaksanakan perintah ibadah lainnya. Ini karena anak-anak masih terbebas dari dosa, karena itu mereka belum diwajibkan membayar zakat fitrah. Praktik kebanyakan umat

Islam yang mewajibkan zakat fitrah bagi seluruh umat Muslim bahkan bagi anak yang baru lahir sebelum hari raya Idulfitri menurut ustad Lukman61 adalah sebuah bentuk politisasi agama oleh pihak agamawan dan pemerintah untuk memperkaya diri sendiri atau golongannya.

Hal lain yang menarik adalah pandangan Jamaah an-Nadzir tentang pelaksanaan ibadah haji. Jamaah an-Nadzir tidak memprioritaskan penganutnya untuk melaksanakan ibadah haji yang merupakan salah satu rukun Islam. Menurut Arif –salah satu anggota

Jamaah an-Nadzir- pelaksanaan ibadah haji dewasa ini kebanyakan hanya dijadikan sebagai ajang rekreasi, bukan lagi ibadah dan semangat mendapatkan ridho Tuhan yang menjadi tujuan utama. Banyak orang yang menunaikan ibadah haji untuk kepentingan duniawi, seperti untuk meraih kehormatan atau kebanggaan sosial tertentu.

Praktik dan konstruksi ibadah an-Nadzir yang demikian itu sebenarnya bukanlah hal yang sepenuhnya baru meski dalam konteks masyarakat Indonesia masih dianggap tidak lazim. Praktik dan tata cara ibadah Jamaah an-Nadzir dalam banyak hal tampak memiliki banyak kemiripan dengan tata cara ibadah kaum Syiah. Mulai dari penentuan waktu shalat, azan, tata cara pelaksanaan shalat, zakat (kecuali penentuan waktu puasa yang direkonstruksi sendiri). Meski demikian, komunitas ini menganggap bahwa

61 Salah satu pemuka Jamaah an-Nadzir PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 72

kesamaan itu, bukan karena mereka mengambil secara sengaja model ibadah kelompok

Syiah, tetapi karena tata cara yang demikian itulah yang benar.

Pemahaman interpretasi teologis dan praktik ibadah jamaah membuat komunitas ini oleh beberapa pihak62 dianggap fundamentalis ataupun revivalis. Namun bagi

Jamaah an-Nadzir tuduhan semacam itu atau bahkan mereka dituduh gila sekalipun tidak mereka permasalahkan karena mereka meyakini bahwa „kegilaan‟ mereka adalah kegilaan terhadap Tuhan. Bahkan Jamaah an-Nadzir menggunakan serangan semacam itu mengafirmasi komunitas mereka. Jika mereka oleh komunitas lain dianggap „aneh‟ atau semacamnya, maka Jamaah an-Nadzir menganggap klaim yang demikian itu berarti semakin mendekatkan mereka pada janji Tuhan bahwa Islam di akhir zaman akan kembali asing sebagaimana Islam itu adalah sesuatu yang asing awal kemunculannya meskipun saat itu kuantitas umat Islam sangatlah banyak63.

Jamaah an-Nadzir mengkonstruksi komunitas mereka sebagai komunitas yang telah dijanjikan Allah dalam Alquran64. Mereka meyakini bahwa komunitas mereka adalah kelompok pembawa panji-panji hitam dari Timur di akhir zaman sebagaimana telah dijanjikan dalam hadist Rasulullah65. Jamaah an-Nadzir berusaha melakukan

62 Salah satunya adalah Departemen Agama Makassar melalui penelitian yang dilakukan oleh pegawainya (Saprillah; Jamaah an-Nadzir: Melawan Arus, Membangun Kemandirian)

63 Wawancara dengan ustad rangka 64 Wahai orang-orang beriman! Barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya (Islam), niscaya kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, mereka bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang kafir, dan mereka tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela. Itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dia kehendaki. (QS.Al-Maidah 5:54) 65 Dari Abdullah bin Umar ra berkata: “Adalah Rasulullah SAW bersama-sama dengan sekumpulan Muhajirin dan Anshar, Ali bin Abi Thalib kw di sebelah kirinya dan Al-Abbas di sebelah kanannya, ketika Al-Abbas dan seorang lelaki dari kalangan Anshar bersitegang. Sahabat Anshar itu berbicara agak kasar kepada Al-Abbas. Maka Rasulullah saw memegang tangan Al-Abbas dan tangan Ali lalu bersabda, „Dari keturunannya (sambil menunjuk ke arah Al-Abbas) akan datang seorang pemuda yang akan memenuhkan dunia ini dengan penindasan dan kedzaliman, dan dari keturunannya (sambil menunjuk Ali) muncul seorang lelaki yang akan memenuhkan dunia ini dengan keadilan dan kesaksamaan. Jika kamu PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 73

redefenisi tentang makna Timur untuk mengafirmasi argumentasi bahwa merekalah komunitas dari Timur yang dijanjikan tersebut sekaligus menegasikan kelompok- kelompok lain yang juga mengklaim kelompok sebagai kelompok yang dijanjikan.

Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa timur yang dimaksud bukanlah dari jazirah Arab melainkan wilayah Nusantara atau tepatnya Kabupaten Gowa secara khusus. Menurut mereka, Gowa terletak pada wilayah paling timur, jikapun ada wilayah yang lebih timur dari Gowa tetapi komunitas yang mejalankan dan menghidupkan kembali dimensi kehidupan kenabian hanya ada di tanah Gowa, yakni komunitas mereka. Kelompok panji-panji hitam diartikan sebagai komunitas yang akan menegakkan kembali hukum- hukum Islam. Dalam rangka merepresentasi diri sebagai kelompok pembawa „panji- panji hitam‟ inilah mereka memilih warna hitam sebagai warna pakaian komunitas.

Meskipun terlihat atau dianggap fundamentalis, namun di sisi yang lain Jamaah an-Nadzir membangun mistifikasi terhadap komunitas mereka yang nampak paradox ataupun kontradiktif dengan sisi fundamentalismenya66. Hal tersebut dapat dilihat dari penafsiran kreatif yang dilakukan terhadap ramalan-ramalan tentang akhir zaman dalam teologi Islam yang berusaha dileburkan dengan beberapa narasi lokal sehingga menimbulkan kesan hybrid. Penggunaan narasi lokal ini menarik karena sebagaimana semua melihat yang demikian, berbaiatlah kepada Putera dari Bani Tamim itu yang datang dari arah Timur. Dialah pemilik Panji-panji Al-Mahdi.” (HR. At-Tabrani, Abu Nuaim, Al-Khatib dan Al- Kidji). Dikutip dari buku Pemuda Bani Tamim, Perintis Jalan Imam Mahdi karya Sayyid Muhammad Al- Jundi. 66 Saya pernah punya pengalaman unik terkait paradox ini ketika saya melakukan penelitian pada Jamaah an-Nadzir. Saya melakukan wawancara dengan ustad Rangka (pimpinan Jamaah an-Nadzir) di damping dua anggotanya. Ketika masuk shalat magrib, saya ikut berjamaah dengan mereka. Menariknya kami hanya bertayammum padahal disana banyak air yang dapat digunakan untuk berwudhu. Karena kami sholat di tempat yang lumayan sempit unvuk menampung kami berempat untuk sholat berdiri, maka kami sholat di atas kursi, padahal kami sangat mungkin mencari tempat yang lebih luas. Hal ini tentu saja tidak seperti yang dipahami dalam fiqh kebanyakan umat Islam dimana bertayammum tidak diperbolehkan jika seseorang dapat memperoleh air bersih dan tidak sakit. Orang juga tidak dibenarkan sholat duduk jika dia mampu berdiri. Mengetahui keheranan saya, Rangka mengatakan kalau yang dia lakukan itu adalah perintah Allah, dan dia menjamin jika dia salah maka dia yang akan menanggung dosa saya. Dengan ini dia berusaha mengklaim diri telah mencapai derajat spiritual tertentu. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 74

telah disebutkan bahwa Jamaah an-Nadzir adalah komunitas diaspora dari berbagai latar belakang etnis. Misalnya Jamaah an-Nadzir menganggap “Qum” yang diyakini sebagai tempat munculnya Al-Mahdi adalah sinonim dari kata “Gowa.” Daerah “Qum” atau

“Gowa” ini, senantiasa dijaga oleh Allah SWT. Bahkan wilayah inilah terdapat suatu tempat berkumpulnya para waliyullah menunggu datangnya ketetapan Allah SWT. 67

Jika kita telusuri sejarah, maka di daerah “Qum” atau “Gowa” ini kita akan menemukan benang merah yang tersambung dari silsilah keturunan salah seorang waliyullah yang sangat dikenal, yakni Syeikh Yusuf yang merupakan anak keturunan dari Nabiullah Khaidir Ibnu Abbas Balyamulkan Rijema Alfahanisu Al-Ajiru Abul Abbas Balyamulkan as. Di wilayah “Qum” atau “Gowa” inilah yang menjadi basis dan tempat mempersiapkan, melatih dan mendidik pasukan inti 313 tersebut. Suatu ketika Syeikh Yusuf melalui dialog spiritual pernah mengatakan : “Sesungguhnya yang paling berbahagia di antara para waliyyullah di akhir zaman ini adalah saya (Syeikh Yusuf). Mengapa demikian? Oleh karena dari anak cucu dan keturunan sayalah nanti yang paling banyak terlibat, mempersiapkan dan mendampingi Imamul „Adzma Al- Mahdi Al-Muntadzar as di akhir zaman68. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa komunitas mereka bukan hanya sekadar komunitas yang dijanjikan, lebih dari itu mereka meyakini bahwa mereka merupakan komunitas yang dipilih Tuhan untuk mengembalikan kejayaan Islam di akhir zaman.

Dalam rangka mencitrakan diri sebagai komunitas pilihan ini, Jamaah an-Nadzir banyak mengajukan klaim yang tampak agak sulit diterima logika, seperti Tuhan maujud dalam perjalanan mereka, para nabi juga dan malaikat juga hadir (dalam spirit yang mewujud dalam tubuh manusia) menemani perjalanan akhir zaman tersebut. Tentang hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya.

67 Sebagian masyarakat suku Makassar (termasuk masyarakat Gowa) meyakini bahwa gunung Bawakaraeng adalah tempat persemayaman para wali. 68 wawancara dengan arif. Anggota Jamaah an-Nadzir.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 75

BAB III

KONSTRUKSI WACANA MESSIANISME JAMAAH AN-NADZIR

A. Messianisme dalam Berbagai Kosntruksi

Messianisme adalah gagasan bahwa di akhir zaman, akan muncul seorang pemimpin- spritual dan politik- yang akan mengakhiri penderitaan panjang sebagian besar umat manusia dan membawa kehidupan manusia menuju masa paling gemilang dalam sejarah peradaban manusia, pemimpin tersebut akan memenuhi dunia dengan kesejahterahaan dan keadilan serta memusnahkan kezaliman dan penindasan di seluruh penjuru dunia. Gagasan atau pengharapan terhadap sosok messianis merupakan hal yang telah lama ada. Konsep tentang messianisme adalah konsep universal yang dapat ditemui pada hampir seluruh agama-agama besar dunia, khususnya pada agama-agama samawi –Yahudi, Kristen, Islam. Gagasan messianistik juga terdapat dalam agama

Hindu, Buddha, dan Zoroaster.

Gagasan messianisme pada setiap agama berbeda-beda dan menunjukkan kekhasannya masing-masing. Orang Yahudi meyakini bahwa mereka sedang menunggu mesias mereka yang belum datang, berbeda dengan Umat Kristen yang sedang menunggu kedatangan kedua Sang Messiah69. Umat Hindu menunggu kedatangan

„Krishna Kedua‟, penganut agama Buddha menantikan kedatangan tokoh yang serupa dengan Mahatma Gautama, Kaum Sikh mengharapkan kedatangan seorang Guru lagi, sementara Umat Islam menanti kebangkitan tokoh messianik mereka, Imam Mahdi70.

69Lih Sachedina, Islamic Messianism The Idea of Mahdi in Twelver Shi'ism, State University of New York Press, Albany, 1981, hlm 2 70Lih Saleh Asyabib Nahdi, Imam Mahdi atau RatuAdil?, Arista Brahmatyasa, 1992, Hlm 1 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 76

Pengharapan akan seorang pembebas –meskipun dalam konstruksi yang berbeda- menunjukkan bahwa gagasan messianisme adalah sesuatu yang umum diyakini dalam agama-agama dunia.

Istilah Messianisme sendiri merupakan istilah yang sangat dekat dengan doktrin teologi Yahudi-Kristen. Penggunaan istilah tersebut mungkin terasa aneh jika ditempatkan dalam konteks Islam, namun demikian, istilah tersebut tetap sangat mungkin digunakan dalam konteks Islam jika sedari awal kita telah menetapkan dalam arti apa kita menggunakan istilah tesebut. Penggunaan istilah messianisme untuk mengkaji sosok messias Islam (Mahdi) salah satunya dapat kita lihat dari penilitian

Abdulaziz Abdulhussein Sachedina tentang konsep messianistik dalam Islam Syiah

Imamiyah71.

Gagasan messianisme Islam sedikit banyak dipengaruhi ataupun memiliki kesamaan dengan gagasan messianisme Yahudi-Kristen. Bagaimanapun juga, Islam- seperti juga Yahudi-Kristen –mengatakan dan mendasarkan tradisi agamanya pada tradisi monoteisme Nabi Ibrahim. Meskipun kesamaan dengan ide-ide messiah Yahudi-

Kristen, gagasan Mahdi yang dimiliki oleh Umat Islam tetap memiliki warna yang khas

Islam. Doktrin Islam tentang keselamatan tidak memahami manusia sebagai orang berdosa yang harus diselamatkan melalui regenerasi spiritual. Doktrin keselamatan

Islam juga tidak menjanjikan keselamatan dan pengampunan hanya untuk bangsa tertentu dengan jaminan dari realisasi Kerajaan Allah di tanah yang dijanjikan untuk

71Lih Sachedina, Islamic Messianism The Idea of Mahdi in Twelver Shi'ism, State University of New York Press, Albany, 1981, hlm 1 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 77

sebuah komunitas otonom yang unik72. Doktin keselamatan dalam Islam bersifat lebih kosmopolitan, Penekanan dasar keselamatan Islam terletak pada tanggung jawab historis dari pengikutnya melalui pembentukan masyarakat religio-politik yang ideal, sebuah ummah, yang beranggotakan seluruh umat Muslim di setiap penjuru dunia yang percaya pada Allah dan wahyu-Nya melalui Muhammad.

Sebelum lebih lanjut membicarakan tentang messianisme Jamaah an-Nadzir – yang menjadi objek material kajian ini- perlu kami tekankan kembali bahwa penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mengafirmasi ataupun membenarkan klaim tertentu dari berbagai pihak tentang siapa sosok Imam Mahdi. Penelitian ini juga tidak akan membahas tentang otentitas dalil-dalil (hadist) yang digunakan oleh berbagai kelompok

Islam untuk mereprepsentasikan pemahaman mereka tentang Imam Mahdi. Penelitian ini bukanlah penelitian kajian teologi melainkan dimaksudkan sebagai penelitian kajian budaya. Messianisme dalam hal ini dipandang sebagai sebuah fenomena budaya yang terdapat di masyarakat –dalam hal ini adalah Jamaah an-Nadzir-. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan atau menyalahkan klaim tertentu, melainkan berupaya menelusuri bagaimana konsep tersebut dibangun, hal-hal yang mempengaruhinya, serta bagaimana konsep tersebut dipraktikkan.

Sosok messianik dalam teologi Islam adalah seseorang yang dikenal dengan nama al-Mahdi al-Muntadzar. Sejak kapan kepercayaan terhadap Imam Mahdi muncul dan menjadi merata di lingkungan Islam? Menjawab pertanyaan tersebut Ibrahim Amini dalam bukunya (2002:3) menulis bahwa terdapat perselisihan tentang asal-usul kepercayaan terhadap Imam Mahdi. Ada yang menyatakan bahwa ide tentang Imam

72 Ibid hlm 2 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 78

Mahdi baru muncul sekitar paruh kedua abad pertama hijriah (abad 7 M), masa-masa di mana Umat Islam disibukkan dengan perselisihan internal. Namun demikian, sebagian besar Umat Islam meyakini bahwa gagasan tentang Imam Mahdi telah ada sejak zaman

Nabi dimana Nabi Muhammad menyampaikan ihwal tentang kedatangan al-Mahdi lebih dari sekali73.

Sosok Imam Mahdi adalah sosok yang sangat familiar bagi umat Islam, kebangkitannya dinanti oleh umat Muslim setiap dari setiap generasi. Kemasyhuran

Imam Mahdi tesebut diakui oleh sosiolog Islam ternama, Ibn Khaldun. Dalam

Muqaddimah Ibn Khaldun mengatakan bahwa gagasan tentang messianisme telah masyhur di kalangan umat Islam sepanjang zaman; bahwasanya pada akhir zaman pasti akan muncul seorang pria dari keluarga Nabi (Ahlulbait), yang akan menegakkan agama, menampakkan keadilan, ditaati oleh kaum Muslim, serta menjadi penguasa kerajaan-kerajaan Islam, dia akan disebut al-Mahdi74 (pemimpin yang diberi petunjuk ketuhanan).

Meskipun gagasan tentang Imam Mahdi adalah perkara yang familiar bagi Umat

Islam, namun interpretasi tentang siapa sosok Mahdi begitu beragam. Sepanjang perjalanan sejarah Islam, telah banyak orang atau kelompok yang mengklaim diri atau pemimpin mereka sebagai sosok Mahdi yang dijanjikan. Beberapa tokoh di masa lalu yang pernah dilekatkan status sebagai Imam mahdi sebagaimana ditulis oleh Ibrahim

Amini dalam bukunya adalah Muhammad bin Hanafiyyah yang dianggap sebagai al-

Mahdi oleh sebagian kaum Muslim. Ia diyakini masih hidup dan menghuni eksistensi

73Lih Ibrahim Amini, Imam Mahdi: Penerus Kepemimpinan Ilahi, Islamic center, 2002, hlm 3 74 Lih Ibn Khaldun, Muqaddimah, Pustaka Firdaus, 2008, hlm 386 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 79

gaib di Gunung Radwah. Dia akan bangkit lagi di masa depan dan akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan. Sebuah kelompok yang disebut al-Jarudiyah di antara kaum Zaidiyah percaya bahwa Muhammad bin Abdullah bin Hasan adalah Mahdi, dan ia dalam persembunyiannya75. Bahkan seorang khalifah Abbasyiah bernama

Muhammad bin Abu Ja‟far al-Mansur menggelari dirinya sebagai al-Mahdi untuk meraih simpati masyarakat pada saat itu76.

Membicarakan tentang konsep tokoh messianistik dalam Islam sangat sulit dilepaskan dari dimensi politis karena bangunan konstruksi messianisme kelompok- kelompok Islam biasanya sangat dipengaruhi oleh afiliasi politik mereka. Bahkan, perpecahan Islam pada awalnya bukanlah karena perbedaan interpretasi teologis melainkan perbedaan pandangan politik dalam membangun ummah pasca meninggalnya

Muhammad. Pada fase awal Islam, messianisme menguat- sebelumnya telah dinyatakan bahwa gagasan messianik telah ada semenjak zaman Nabi- khususnya setelah pembantaian cucu Muhammad, Husain bin Ali di padang Karbala. Hal ini adalah respon terhadap para pemimpin imperium Islam yang dianggap tidak adil dan telah membawa

Islam keluar dari spirit awal yang dibawa Muhammad sehingga masyarakat merindukan sosok ideal yang mereka harap akan membawa kesatuan ummah dan menegakkan keadilan.

Pada umumnya umat Islam meyakini bahwa sosok Imam Mahdi yang dijanjikan di akhir zaman adalah keturunan Nabi Muhammad (ahlul bait) dari pernikahan putrinya

75 Ibid hlm 31 76 Lih Armstrong Islam: Sejarah singkat, jendela, 2003, hlm 63 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 80

Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib77. Meski demikian, sosok al-Mahdi secara ril masih seringkali menuai perbedaan dan perdebatan. Perbedaan ini sekali lagi tidak bisa dilepaskan dari pilihan politik- dan teologi- yang mereka anut yang menimbulkan perbedaan dalam konstruksi tentang siapa sosok al-Mahdi.

Perbedaan konstruksi messianik tersebut terlihat jelas pada dua sekte Islam terbesar, Sunni dan Syiah. Kelompok Sunni- secara umum- hanya mempercayai bahwa figur Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari keturunan Nabi, namun tidak secara pasti menentukan siapa sosok Imam Mahdi, bahkan mereka memercayai bahwa Imam

Mahdi belum lahir dan belum pernah eksis di dunia ini78. Selain itu, juga terdapat kelompok Sunni yang meyakini bahwa sosok Messiah pada akhir zaman adalah Yesus

(Isa ibn Maryam). Kepercayaan terhadap sosok mesias dalam kelompok Sunni tidak menempati posisi yang teramat penting sebagaimana dipahami kelompok Syiah –meski demikian kepercayaan terhadap Imam mahdi dalam Sunni tetaplah penting khususnya jika dikaitkan dengan keimanan terhadap hari kiamat- yang menjadikannya sebagai basis aqidah.

Sementara itu, konstruksi messianisme kelompok Islam Syiah mengambil dimensi yang berbeda dengan kelompok Islam Sunni. Konsep messianisme kelompok

Syiah sendiri terbagi-bagi dalam banyak versi. Namun, dalam tulisan ini hanya akan dikemukakan konstruksi pemahaman messianistik Syiah Itsna Asyariyah (Syiah Imam

77 Meskipun demikian tetap ada sekelompok kecil orang yang mengklaim diri Al-mahdi walau bukan berasal dari itrah-garis keturunan- Nabi Muhammad. Salah satu contohnya adalah khalifah Abbasiyah yang telah sebutkan. Bahkan ada beberapa hadis yang dibuat untuk menguatkan wacana tersebut. Namun demikian hal itu tidak menjadi konsentrasi dalam penelitian ini. 78 Lih Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Lentera Hati, 2007, hlm 128 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 81

Dua Belas) atau juga dikenal dengan nama Syiah Imamiah yang merupakan kelompok

Syiah mayoritas saat ini.

Berbeda dengan kelompok Sunni, dalam paham Syiah kepercayaan tentang sosok messiah merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Kepercayaan terhadap sosok messiah (al-Mahdi) menempati posisi yang penting dalam Syiah karena perkara itu merupakan salah satu fondasi keimanan mereka, khususnya yang berkaitan dengan masalah imamah –lebih jauh mengenai persoalan imamah akan dipaparkan dalam bab selanjutnya.

Syiah yang merupakan sebuah kelompok –awalnya politik lalu juga menjadi teologis- loyalis Ali bin Abi Thalib ketika terjadi fitnah79dan persilihan pada abad-abad permulaan sejarah Islam meyakini bahwa sosok Imam Mahdi yang dijanjikan adalah keturunan nabi yang berasal dari hasil perkawinan putrinya Fatimah dengan Ali bin Abi

Thalib. Secara lebih spesifik kaum Syiah Imamiah menyatakan bahwa Imam Mahdi berasal dari keturunan Husain- karena Fatimah dan Ali juga punya anak laki-laki lain bernama Hasan- dan merupakan keturunan kesembilan dari cucu Rasulullah yang syahid di padang Karbala tersebut. Konstruksi tentang asal usul keturunan ini menjadi penting dalam Syiah Imamiyah karena konstruksi tentang garis keturunan tersebut menjadi pembeda dengan sekte Syiah lainnya, dan secara lebih luas membedakan konstruksi messianisme mereka dengan kelompok Islam lainnya.

Bagi kaum Syiah Imamiah, Imam Mahdi telah dilahirkan ke dunia ini dan telah eksis. Al-Mahdi al-Muntazar merupakan Imam kedua belas mereka. Beliau bernama

79 Istilah ini digunakan oleh Armstrong dalam bukunya Islam; Sejarah Singkat, Jendela, 2003. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 82

Muhammad ibn Hasan al-Askari yang digelari al-Mahdi80. Beliau adalah anak laki-laki dari Imam kesebelas mereka, Imam Hasan al-Askari. Klaim Mahdi Syiah ini seringkali diragukan oleh pihak lain karena kurangnya saksi selain dari pihak Syiah yang menyaksikan dan mengetahui tentang kelahiran dan masa kecil Imam Mahdi tersebut.

Namun demikian, pihak Syiah berargumen bahwa kelahiran Imam Mahdi memang harus dirahasiakan saat itu oleh ayahnya untuk menjaga keselamatan jiwa Imam mengingat kondisi politik saat itu yang tidak berpihak dan membahayakan bagi kaum

Syiah- apatah lagi para Imam dan keluarganya- di bawah imperium dua dinasti awal

Islam, yaitu dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang tidak segan memenjarakan bahkan membunuh para ahlulbait apabila dianggap berpotensi mengganggu stabilitas kekuasaan81.

Syiah Imamiyah percaya tentang adanya imam-imam yang ditetapkan oleh Nabi

Muhammad atau Imam sebelumnya. Namun dalam penetapan jumlah, kriteria, dan sifat-sifat imam kaum Syiah berbeda. Syiah Itsna Asyariyah meyakini adanya dua belas

Imam, kesemuanya memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Sayyidina al-

Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, Putri Muhammad.

Berikut adalah urutan imam-imam sebagaimana diyakini oleh kelompok Syiah

Istna Asyariyah :

1. Ali ibn Abi Thalib 23 SH- 40 H 2. Hasan ibn Ali (az-Zaki) 2 H-50 H 3. Husain ibn Ali (Sayyid asy-Syuhada) 3-61 H

80 Imam Mahdi dalam Syiah dikenal dengan berbagai macam gelar seperti al-Hujjah, al-Qasim al- Muntazar, Shahib az-Zaman, namun yang paling populer adalah gelar al-Mahdi. 81 Lih Baqir Shadr, Imam Mahdi Sebagai Simbol Perdamaian Dunia, penerbit al-Huda, 2004, hlm 132 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 83

4. Ali ibn al-Husain (Zainal Abidin) 38 – 95 H 5. Abu Ja‟far Muhammad bin Ali (al-Baqir) 57-114 H 6. Abu Abdullah Ja‟far bin Muhammad (al-Shadiq) 83-148 H 7. Abu Ibrahim Musa bin Ja‟far (al-Kadzim) 128 – 183 8. Abu Hasan Ali ibn Musa (ar-Ridha) 148-203 H 9. Abu Ja‟far Muhammad bin Ali (al-Jawad) 195-220 H 10. Abu Hasan Ali bin Muhammad (al-Hadi) 212-254 H 11. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali (al-Askari) 232-260 H 12. Abu al-Qasim Muhammad bin al-Hasan (al-Mahdi). 255 H -

Dari pemaparan singkat di atas, jelaslah bahwa Syiah Imamiyah meyakini bahwa Imam Mahdi telah lahir dan telah eksis di dunia ini. Imam Mahdi dalam versi

Syiah dilahirkan pada tanggal 15 Sya‟ban tahun 255 Hijriah menurut pendapat yang masyhur82. Namun demikian, revolusi politik dan sosial yang menjadi tugas Imam belum dapat dijalankan saat itu karena usianya yang masih muda dan waktu tersebut belumlah waktu yang ditentukan untuk al-Mahdi oleh Tuhan.

Imam Mahdi dalam kepercayaan Syiah Imamiah mengalami dua masa kegaiban yaitu ghaib kubra ( gaib panjang) dan ghaib shugra ( gaib pendek). Kegaiban pendek

Imam Mahdi dimulai sejak wafat ayahnya, Imam Hasan al-Askari pada tahun 260

Hijriah83. Selama periode kegaiban pendek tersebut, tugas keimaman al-Mahdi terhadap kaum Syiah beliau wakilkan melalui perantara yang dipilih olehnya. Ghaib Shugra berakhir seiring dengan wafatnya perantara terakhir Imam yaitu Abu al-Hasan Ali as-

Samary yang wafat pada tanggal 15 Sya‟ban 329 Hijriah. Dengan demikian periode kegaiban pendek Imam mahdi berlangsung selama 70 tahun.

82 Lih Anwar Muhammad Aris (Ed), Teladan Abadi Imam Mahdi, penerbit al-Huda,2007, hlm 147 83 Ibid hlm 178-179. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 84

Dengan berakhirnya periode Ghaib Shugra, Imam Mahdi dalam pandangan

Syiah Imamiyah memasuki periode Ghaib Kubra. Kegaiban panjang ditandai melalui wafatnya perantara terahkir sementara Imam tidak menunjuk pengganti untuk menjadi perantara baru antara Imam dan kaum Syiah. Periode ini akan berlangsung tanpa batas waktu yang ditentukan. Imam Mahdi baru akan muncul pada waktu yang dikehendaki oleh Tuhan.

Kebangkitan Imam Mahdi, mesias Islam, setelah kegaiban panjang, merupakan konsekuensi langsung dari doktrin ghayba. Doktrin kegaiban mengandaikan atau mengharuskan adanya kebangkitan kembali. Okultasi, seberapa pun panjang waktunya, masih keadaan sementara untuk Imam Kedua Belas Syiah dalam rangka konsolidasi posisinya sebelum ia bangkit sebagai pemulih kemurnian Islam. Doktrin kegaiban ini menurut Sachedina mempunyai dua tujuan: pertama, doktrin ini menjadi penghibur para pengikut Imam (Syiah) sekaligus menjaga harapan pemulihan pemerintahan Islam yang murni melalui al-Mahdi. kedua, doktrin tersebut dapat membenarkan keterlambatan kebangkitan Imam karena tanda-tanda yang diramalkan tentang kemenangan Mahdi, belum terpenuhi 84.

Periode kegaiban panjang Imam Mahdi –versi Syiah- yang telah berlangsung sangat lama membuat cerita ini terkesan mirip dongeng atau legenda yang sulit ditemui dalam kehidupan nyata. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa hidup lebih dari

1000 tahun? Hal ini pulalah yang membuat kaum Sunni –yang mempercayai akan kemunculan Imam Mahdi- menolak klaim kaum Syiah yang mereka anggap kurang

84 Lih Sachedina, Islamic Messianism The Idea of Mahdi in Twelver Shi'ism, State University of New York Press, Albany, 1981, hlm 151 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 85

logis. Namun demikian, tuduhan tersebut dijawab oleh ulama-ulama Syiah bahwa umur panjang Imam Mahdi adalah sesuatu hal yang mungkin secara logis dan teoritis.

Argumentasi mereka berusaha diperkuat melalui beberapa contoh penelitian sains dan argumen filosofis, namun hal tesebut tidak akan saya jelaskan pada tulisan ini.85

Hal lain yang juga menjadi polemik adalah waktu dan tempat kebangkitan Imam

Mahdi. Sebagaian besar kelompok Islam –baik Sunni maupun Syiah- tidak menentukan secara pasti kapan waktu kebangkitan al-Mahdi yang mereka yakini. Ketidaktetapan waktu tersebut menimbulkan berbagai spekulasi mengenai waktu kebangkitan al-Mahdi di kalangan umat Islam. Dalam tradisi Syiah, mayoritas meyakini bahwa hari kebangkitan Imam Mahdi akan bertepatan dengan hari kesepuluh bulan Muharram, yaitu hari Asyura, yang akan jatuh pada hari Sabtu, di salah satu tahun ganjil dari kalender hijrah86.

Pilihan hari ini menunjukan sisi politis doktrin tersebut sebab Asyura menempati posisi yang signifikan dalam sejarah Syi'ah. Itu adalah hari di mana al-Husain, keluarga dan pengikutnya menjadi martir karena pembantaian pasukan Yazid bin Muawiyah. peringatan 'Asyura' oleh komunitas Syi'ah menunjukkan bahwa „Asyura‟ tidak hanya sebagai peringatan kesedihan mereka untuk penderitaan yang diderita oleh keluarga

Nabi, tetapi juga kerinduan mereka untuk keturunan Imam ini untuk bangkit melawan keadaan sosial yang tak tertahankan dan membangun hukum yang adil dan setara.

85 Untuk informasi tentang argumentasi para ulama Syiah terkait umur panjang Imam Mahdi bisa dilihat salah satunya pada buku Imam Mahdi Sebagai Perdamaian Dunia yang disusun oleh Muhammad Baqir ass-Shadr dkk, diterbitkan oleh penerbit al-Huda. 86 Ibid hlm 157

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 86

Hal yang juga dispekulasikan adalah tempat kemunculan Imam Mahdi. Ada beberapa versi kaum Syiah mengenai tempat kemunculan al-Mahdi, ada yang menyebut al-Mahdi akan muncul di Karbala, ada pula yang menyebut Kufah tempat ibukota Ali, namun yang paling masyhur adalah bahwa Imam Mahdi akan muncul dari Mekkah87.

Pilihan-pilihan tempat tersebut sekali lagi erat kaitannya dengan sejarah dan muatan politis. Karbala, sebagaimana kita tahu adalah tempat di mana al-Husain –putra Ali dan cucu Nabi- beserta keluarga dan pengikutnya dibunuh. Kufah adalah kota yang dijadikan Ali bin Abi Thalib sebagai ibukota negara ketika beliau menjadi Amirul

Mu‟minin. Periode kepemerintahan Ali merupakan periode yang idealisasi kaum Syiah.

Sementara Makkah, adalah kota di mana Islam Lahir, Makkah juga menjadi simbol penyatuan umat.

Sebelum kedatangan Imam Mahdi, keadaan dunia ini diramalkan akan dipenuhi dengan berbagai gejolak sosial, keterpurukan ekonomi dan dekandensi moral yang membuat keadaan masyarakat menjadi kacau balau. Imam Mahdi akan muncul untuk memenuhi dunia dengan keadilan dan kesetaraan melalui penegakan hukum- hukum Tuhan setelah sebelumnya dunia ini dipenuhi dengan ketidakadilan dan penindasan. Dia akan mengalahkan pasukan-pasukan musuh dan hukum-hukum Thogut.

Bersama dengan Isa ibn Maryam akan membunuh Dajjal, bahkan Nabi Isa (Yesus) akan shalat di belakang Imam Mahdi yang menandakan afirmasi terhadap ketokohan ilahi al-

Mahdi dan klaim Islam bahwa mereka adalah agama samawi yang paling „benar‟ di mata Tuhan.

87 Ibid hlm 160 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 87

Kemunculan sang messiah (Imam Mahdi) –yang selalu dimohonkan agar dipercepat kemunculannya dalam banyak doa-doa kaum Syiah- akan mengakhiri inferioritas kaum Syiah dari segi politik dan hegemoni kekuasaan. Syiah Imamiyah

Istna Asyariyah yang mendapatkan bentuk defenitifnya melalui Imam Ja‟far as-Shadiq memang menyarankan pengikutnya untuk melakukan taqiyaah (semacam „politik bisu‟) menghadapi represi daulah Umayyah dan Abbasiyah pada saat itu. „Politik bisu‟ tersebut dilakukan untuk menyelamatkan kaum Syiah dari kemusnahan, karena serangkaian upaya pemberontakan fisik secara langsung terhadap imperium Islam saat itu terbukti tidak berhasil. „Politik bisu‟ tersebut akan senantiasa dilakukan sampai sang

Messiah, Imam Mahdi al-Muntazar yang dijanjikan akan datang dan mengakhiri penindasan yang mereka alami serta mengembalikan Islam pada masa kejayaan seperti ketika Muhammad masih hidup.

Ketidakjelasan ataupun keluwesan berkaitan dengan perkara waktu dan tempat kebangkitan Imam Mahdi membuat banyak orang maupun kelompok melakukan spekulasi mengenai hal tersebut. Banyak argumentasi digunakan untuk menguatkan klaim tersebut, baik yang terkesan hanya konstruksi mitos maupun klaim yang berusaha nampak ilmiah. Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Jaber Bolushi melalui buku kontroversialnya, Oktober 2015 Imam Mahdi Akan Datang.

Dalam usahanya meramalkan waktu kedatangan Imam Mahdi, Bolushi menggunakan metode al-jumal al-taqlidi dan jumal al-shagir, yaitu sebuah mekanisme hitung-hitungan yang berkembang dalam tradisi bahasa Arab. Ini salah satu peninggalan klasik dalam sejarah Arab tentang bagaimana menyingkap angka yang tersembunyi di balik huruf dan kalimat. Dengan itu, kita dapat menyingkap petunjuk rahasia yang PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 88

tersembunyi dalam kata-kata88. Al-jumal al-taqlidi dan jumal al-shagir berisi rumus lengkap angka (nilai) sebuah huruf. Dengan menggunakan rumus tersebut, dapat dihitung nilai sebuah kalimat. Caranya dengan menjumlahkan nilai setiap kalimatnya.

Dengan menggunakan ayat-ayat Alquran tertentu yang dianggap berkaitan dengan

Mahdi untuk kemudian dihitung berdasarkan metode di atas. Bolushi sampai pada kesimpulan yang sangat spekulatif bahwa Imam Mahdi akan muncul pada oktober

2015.89

B. Messianisme di Indonesia

Di Indonesia, juga terdapat berbagai gagasan messianistik yang tersebar di berbagai wilayah nusantara. Konsep-konsep messianisme di Indonesia begitu beragam karena budaya masyarakat Indonesia yang memang tidak tunggal. Konsep-konsep tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh agama. Agama memang nampaknya seringkali menggunakan narasi kebudayaan lokal untuk dinarasikan ulang agar sesuai dengam konsep agamanya meski tetap mengakomodasi kekhasan narasi lokalnya.

Gagasan messianistik di Indonesia salah satunya dapat kita temui pada masyarakat Jawa. Berbagai ramalan tentang masa depan tanah Jawa –pasca kemerdekaan ramalan tersebut seringkali digunakan untuk meramalkan masa depan

Indonesia- dan janji akan datangnya sosok pemimpin messianik dapat dengan mudah ditemui dalam narasi-narasi lokal Jawa. Konsep messianistik orang Jawa biasanya dikaitkan dengan ramala-ramalan Prabu Jayabaya dan penyair futurustik Jawa,

88 Lih Jaber Bolushi, Oktober 2015 Imam Mahdi Akan Datang, Papyrus Publishing, 2006, hlm 13 89 Ibid hlm 79 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 89

Ranggowarsito yang hidup di Kasunanan Surakarta pada penghujung abad ke 19 (1802-

1873).

Nama lengkap Prabu Jayabaya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Sri

Warmeswara Madhu-sudanawartanindita Parakrama Digyottunggadewa. Prabu

Jayabaya memerintah Kediri antara tahun 1135-1157 Masehi90. Ramalan Jayabaya berkisar pada klasifikasi masyarakat Jawa di dua zaman, yaitui zaman edan di mana mereka hidup dan zaman emas yang diharapkan. Pembagian dua zaman ini mencakup dua dimensi waktu yaitu masa kini (present) dan masa depan (future).

Sebelum sampai ke zaman keemasan -seringkali juga disebut dengan istilah zaman kalasuka- masyarakat Indonesia menurut ramalan Jayabaya harus terlebih dahulu melalui Zaman Kalabendhu atau zaman edan. Zaman kalabendhu ini merupakan zaman yang serba tidak enak, zaman penuh penderitaan. Pada masa ini kebenaran akan sulit dicari. Para intelektual dan tokoh-tokoh agama agama enggan menyampaikan kebenaran karena takut pada penguasa yang zalim. Akibatnya, kejahatan semakin menjadi-jadi sebab masyarakat kehilangan sosok yang dapat dijadikan panutan hidup91.

Selain kehilangan figur, masyarakat Jawa pada zaman itu juga diramalkan akan menghadapi cobaan hidup lainnya berupa musibah yang datang bertubi-tubi. Bencana alam melanda silih berganti. Banjir menenggelamkan rumah dan hasil pertanian.

Gunung berapi silih bergantian meletus, menumpahkan lahar dan material-material lainnya. Keadaan yang demikian itu tentu semakin menambah beban derita rakyat.

90 Lih Soesetro, Satrio Piningit, Media Presindo, 1999, hlm 19 91 Lih Ea Pamungkas, Satria Piningit, Navila Idea, 2008, hlm 51 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 90

Ketika penderitaan rakyat kecil sudah sampai pada puncaknya, sementara para pemimpin rakyat sibuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya tanpa peduli nasib rakyat, ketika dekandensi moral sudah sangat merajalela, ketika tatanan hukum tidak lagi digunakan untuk menegakkan keadilan, maka pada saat itu akan muncul pemimpin juru selamat, Ratu Adil- selain dengan nama Ratu Adil, sosok mesias orang Jawa juga dikenal dengan sebutan Satrio Piningit. Di bawah kepemimpinannya kejahatan akan ditumpas, negara akan menjadi makmur, rakyat sejahtera, dan hukum Tuhan akan ditegakkan seadil-adilnya.

Kepercayaan akan datangnya seorang Ratu Adil itu, sebagai sebuah gagasan messianistis tersebar luas di pulau Jawa dan pada waktu-waktu tertentu menjadi sangat aktual seperti pada awal zaman Jepang dan pada masa Revolusi. Gagasan messianistik

Jawa –melalui konsep Ratu Adil tersebut- memuat unsur sinkretisme antara mitologi dan kosmolgi Hindu di satu sisi dan gagasan Mahdisme dan eskatologi Islam di sisi yang lain.

Menurut Sartono Kartodirdjo, Meskipun bersifat spekulatif- teoritis, Ramalan

Jayabaya dalam sejarah Indonesia merupakan kekuatan praktis yang hidup dalam masyarakat. Fungsi Pralambang Jayabaya tampak dengan jelasnya dalam fakta-fakta historis yang menyebabkan huru-hara atau kerusuhan di masa lampau. Fakta-fakta itu sebagai gerakan dapat dikembalikan sebabnya kepada sebuah motif, yaitu kepercayaan akan kedatangan Ratu Adil, suatu messianisme dalam bentuk konkrit92.

92 Lih Sartono Kartodirdjo, Catatan Tentang Segi-segi Messianistis dalam Sejarah Indonesia, Universitas Gadja Mada, 1959, hlm PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 91

Ramalan Jayabaya adalah sebuah gambaran atau pandangan dunia manusia dalam menghadapi realitas sosialnya. Menurut Sartono ramalan Jayabaya adalah sebuah bentuk filsafat sejarah. Sebagai sebuah filsafat sejarah, ramalan Jayabaya mengandung unsur mitologis pada bagian awal, bersifat kronologis pada bagian pertengahan, dan kembali memuat unsur mitologis pada bagian akhirnya.

Unsur mitologis pada bagian awal dari Pralambang Jayabaya terlihat dalam cerita tentang kolonialisasi orang-orang dari Rum dan perang melawan roh-roh pada masa-masa awal tanah Jawa93. Mitologi ini memuat kosmologi dan kejadian-kejadian yang diandaikan terjadi pada masa-masa awal keberadaan tanah Jawa. Menariknya,

Pralambang Jayabaya menurut versi serat Jayabaya berbeda dengan cerita mitologi Jawa lainnya yang hampir selalu menunjukkan adanya pengaruh Hindu dengan penyebutan dewa dan nama-nama Hindu misalnya. Serat Jayabaya malah menunjukkan pengaruh kebudayaan Islam, seperti pemukiman Rum, sementara cerita tentang dewa-dewa tidak tercantum.

Unsur kronolgis Pralambang Jayabaya terlihat pada termuatnya risalah sejarah

Jawa meskipun tidak ditampilkan secara historis-kritis. Namun Pralambang Jayabaya menyebut fase-fase kerajaan dan pemerintahan di Jawa. Pralambang Jayabaya merupakan sebuah ramalan post eventum, yaitu ramalan yang meliputi jamannya, sedang masa setelahnya mengandung unsur konstruksi harapan94. Dengan demikian

Pralambang Jayabaya tidak dapat dikualisifikasikan sebagai ramalan sepenuhnya karena memuat unsur sejarah meskipun tidak dengan cara yang ketat. Unsur kronologis

93 Untuk versi lengkap Pralambang jayabaya saya tampilkan pada bagian lampiran 94 Ibid hlm 12 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 92

mempunyai fungsi untuk memperkuat bagian profetis yang banyak termuat dalamn ramalan-ramalan tersebut oleh karena kronologi sebagai ramalan post eventrum dapat dikonfirmasikan sedikit banyaknya dengan realitas sejarah serta dapat digunakan untuk mengadaikan masa yang akan datang. Selain itu, unsur kronologis juga berfungsi sebagai penghubung dua bagian yang mitologis.

Bagian akhir ramalan jayabaya menurut Sartono kembali lagi bersifat mitologis melalui harapan akan kedatangan Ratu Adil95. Harapan messianistis- melalui pengharapan terhadap sosok Ratu Adil- dalam serat Jayabaya dengan jelas memperlihatkan unsur pengaruh eskatologi Islam yang kental. Tokoh Ratu adil biasanya dihubungkan dengan mesias Islam, Imam Mahdi. Sebab-sebab dan tanda-tanda kemunculannya pun banyak mengadopsi konsep messianisme Islam di mana dikatakan bahwa sebelum kedatangan sosok supranatural pilihan Tuhan akan didahului oleh keadaan yang kacau karena tidak adanya hukum yang jadi pedoman penegakan keadilan, pemimpin yang zalim, korupsi yang merajalela, kemerosotan nilai-nilai moral dan seterusnya. Kedatangan sosok mesias (Ratu Adil atau Imam Mahdi) akan mengubah nasib masyarakat dan mengembalikan kehidupan masyarakat kepada kehidupan yang agung, makmur dan sejahtera melalui penegakan hukum ilahi yang adil.

Kesadaran waktu yang terdapat dalam konsep messianisme masyarakat Jawa telah membedakan tiga dimensi waktu, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa depan.

Unsur eskatologi dalam gagasan messianistik tersebut menunjukkan tujuan transenden di atas peristiwa-peristiwa sejarah sehingga sejarah mendapat makna, yaitu mewujudkan persiapan menuju masa depan yang menjadi harapan. Unsur eskatologis membawa

95 Ibid hlm 13 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 93

proses kehidupan dan peristiwa-peristiwa pada tujuan tertentu, bukan sekadar proses siklis tanpa tujuan.

Messianisme tidak bisa dipandang sinis sebagai hanya suatu spekulasi tentang kejadian-kejadian di masa depan, tetapi juga merupakan sebuah kekuatan yang mendorong pada tindakan-tindakan untuk merubah situasi. Messianisme mengandaikan ada situasi yang ingin dirubah karena dipandang sebagai situasi krisis, penuh dengan penderitaan, kezaliman, dan dekadensi. Ada perbedaan besar yang dirasakan antara konsep yang diidealisasi dengan realitas yang terjadi. Kesadaran akan hal tersebut menimbulkan harapan akan perubahan yang mendatangkan keadilan, kemakmuran, dan regenerasi. Harapan-harapan tersebut seringkali membangkitkan sentimen revolusioner, yang dapat diperkuat oleh ideologi keagamaan, seperti perang sabil melawan orang- orang kafir.

Luwesnya konsep Ratu Adil/Satria Piningit dalam masyarakat Jawa seperti juga dalam gagasan dalam ide Mahdisme Islam membuat banyak orang atau kelompok mengklaim diri sebagai Ratu Adil itu sendiri maupun sebagai orang yang diberi wangsit dari sang Ratu Adil. Salah satu penelitian yang cukup komperehensif memberikan gambaran bagaimana gagasan tentang Ratu Adil diaktualisasikan menjadi tindakan- tindakan dan dikontestasikan sebagai wacana adalah penelitian yang dilakukan oleh

Sartono. Fokus Sartono adalah dimensi revolusioner yang terdapat pada gagasan messianistik Ratu Adil yang di masa lalu banyak menimbulkan huru-hara dan kerusahan akibat upaya pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda, khususnya sepanjang abad 19. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 94

Sartono mencatat peristiwa-peristiwa pergolakan keagamaan di Jawa pada rentan waktu antara abad 19 sampai dengan abad 20. Pada rentan masa tersebut, beberapa gerakan keagamaan mempunyai corak gerakan messianistis. Gerakan-gerakan messianistik tersebut banyak didasari oleh semangat-semangat religius, sehingga perjuangan untuk merealisasikan harapan messianistis tersebut dianggap sebagai suatu gerakan „suci‟. Hal ini mungkin membuat kita berfikir bahwa gerakan-gerakan tersebut cenderung fundamentalis, namun demikian kita harus berhati-hati karena terdapat juga banyak gerakan atau komunitas messianistis yang memakai cara-cara damai dan terbuka.

Salah satu gerakan yang dicatat Sartono sebagai gerakan yang menggunakan gagasan messianistik adalah pemberontakan pentani pada tahun 1888. Perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan oleh Satono sebagai petani bukanlah para petani biasa semata, melainkan juga para pemuka agama, orang-orang kaya dan terhormat di lingkungannya yang menjadi para pemimpin pemberontakan. Para pemimipin inilah yang mengembangkan dan menyebarkan berbagai ramalan dan visi sejarah yang sudah turun temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau Imam Mahdi96. Gerakan ini juga ditandai dengan kebencian terhadap dominasi Belanda dan rasa permusuhan terhadap segala hal yang berbau asing. Hal ini disebabkan oleh rasa ketersingkiran para elit pribumi dalam hirarki sosial dan tatanan politik pemerintahan sejak Belanda mendominasi kekuasaan di daerah mereka. Pada masa-masa ini juga marak kebangkitan dan peningkatan kesalehan beragama yang ditandai dengan peningkatan jumlah orang berangkat haji. Dominasi dan penjajahan Belanda diandaikan sebagai sebuah kondisi

96 Lih Sartono, Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888 dalam buku Islam di Asia Tenggara; Perpektif Sejarah, LP3ES, 1989, hlm 217 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 95

yang tidak ideal, sebagai sebab kemerosotan masyarakat di berbagai bidang, menjadikan realitas ini sebagai hal yang bertentangan dengan semangat messianisme yang membuat penggunaan wacana messianistik sebagai wacana gerakan menjadi rasional.

Contoh lain yang diberikan Sartono tentang gerakan-gerakan di masa lalu adalah peristiwa pemberontakan Pangeran Diponegoro yang mengambil nama Erucakra, salah tokoh messianis yang diramalkan dalam Pralambang Jayabaya ketika ia memberontak melawan kekuasaan Sultan Amangkurat IV, kira-kira tahun 1720. Pangeran pemberontak termasyhur, Pangeran Diponegoro yang lain kira-kira seabad kemudian juga mempunyai gelar Erucakra. Menurut autobiografinya ia mengaku telah menerima wahyu dari Ratu Adil sendiri, yang menyuruhnya mengusir penguasa asing97. Selain itu, juga ada gerakan bernama Kobra (Jumadilkbra) yang berpusat di bagian selatan daerah

Pekalongan dan di bagian utara daerah Banyumas, Jawa Tengah. Pelopornya adalah seorang guru agama bernama Ahmad Ngisa yang menyatakan bahwa Syekh

Jumadilkubra dari Wanabadra telah memberikan pesan suci kepadanya. Ia meramalkan akan datangnya Erucakra untuk melawan dan mengusir penguasa asing98.

Berbagai contoh gerakan-gerakan messianisme di atas menunjukkan bahwa gerakan-gerakan yang dipelopori oleh semangat messianistik tersebut mempunyai semangat revolusiner dan sangat berpotensi menjadi ancaman terhadap kemapanan sebuah Rezim. Penderitaan karena keadaan ekonomi yang sangat menekan atau modernisasi sebagai akibat dari penetrasi ekonomi dan teknik Barat (Belanda) dapat pula menghidupkan harapan messianistis. Bencana alam atau degenerasi sosial, politik,

97 Lih Sartono, Ratu Adil, Sinar Harapan, 1984, hlm 16 98 Ibid hlm 21-22 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 96

moral dengan mudah dibuat identik dengan gejala-gejala pendahuluan kedatangan Ratu

Adil. Persiapan untuk menyambut Ratu Adil perlu dilakukan dengan menertibkan lagi kehidupan masyarakat. Krisis dapat diatasi dengan perjuangan melawan yang menimbulkan krisis itu, umpamanya pengaruh kebudayaan asing.

Fenomena-fenomena gerakan messianistik sebagaimana yang dicontohkan oleh

Sartono menunjukan sebuah hal menarik, yaitu posisi orang Barat dalam representasi gerakan tersebut. Gerakan-gerakan messianitik tersebut bahkan hampir tidak dapat dipahami tanpa memasukkan unsur Barat. Orang Barat dipahami sebagai sesuatu yang antagonis sehingga patut untuk dibenci dan dimusuhi. Barat diandaikan sebagai penyebab dari ketertindasan sosial, ekonomi dan politik. Barat adalah penyebab kemerosotan moral. Pendeknya, Barat dipahami sebagai penyebab dari hal-hal tidak ideal yang melanda masyarakat. Keadaan seperti membuat masyarakat merindukan kondisi masa lampau tertentu yang telah diidealisasikan, yaitu zaman sebelum kedatangan para penguasan asing Barat.

Hal lain yang juga menarik adalah fakta bahwa kebanyakan dari gerakan messianistik abad 19 dan 20 adalah gerakan yang dipelopori oleh masyarakat petani.

Memahami petani di sini harus kita tempatkan dalam kurun waktu tersebut.

Ketidakberdayaan politik petani dalam hirarki sosial membuatnya tertarik pada unsur- unsur kekuatan gaib untuk melindungi dirinya dari bahaya dunia luar yang akrab.

Ramalan-ramalan masa lalu seperti Ratu Adil dan gagasan messianistik lainnya akhirnya mendapat tempat karena gagasan tersebut memberi rasa perlindungan dan pengharapan akan masa depan yang lebih baik. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 97

Gagasan messianistik di lingkungan orang Jawa tampaknya tidak hanya terdapat di masa lampau melainkan tetap terpelihara hingga saat ini. berbagai peristiwa yang terjadi di nusantara kerap dikaitkan atau diinterpretasikan sebagai perwujudan dari hal- hal yang telah diramalkan sejak dahulu. Masih segar dalam ingatan, bagaimana peristiwa kejatuhan Soeharto setelah lebih dari 32 tahun berkuasa dikait-kaitkan dengan ramalan tertentu dan berusaha diberi kesan bahwa kejadian itu sudah diramalkan sejak dulu. Terkait kejatuhan soeharto yang dikaitkan dengan konsep Kejawaan terlihat dalam buku Soesatyo dia mana dia menulis

Satu suro tahun 1998 jatuh pada hari Rabu wage, tepatnya 29 April 1998. Tahunnya alip (hitungan tahun pertama). Hari Rabu, menurut perhitungan Jawa adalah awal dari sepekan. Jadi, sejak satu suro, semua kembali ke perhitungan awal. Setiap pribadi orang akan ditagih. „sing salah seleh, sing nandur ngundhuh‟ (yang salah akan tersingkir, yang menanam akan memetik hasilnya). Terbukti tiga minggu setelah tahun baru Jawa, Soeharto lengser keprabon dan menerima hujatan serta tuntutan untuk diadili sesuai dengan perbuatannya di masa lalu99. Gagasan messianistis yang sedemikian terbuka terhadap beragam interpretasi dan klaim tampaknya memang dapat digunakan sebagai wacana politis untuk kepentingan tertentu. Berbagai peristiwa dapat dikonstruksi sebagai tanda dari ramalan ataupun janji yang telah tertuang dari teks-teks suci. Dalam konteks Indonesia saat ini, tak jarang pula banyak orang yang berusaha meramalkan tokoh-tokoh tertentu sebagai calon messias baik yang dikaitkan dengan klaim teologis maupun tidak, khususnya

99 Lih Soesetro, Satria Piningit, Media Presindo, 1999, hlm 5 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 98

menjelang peristiwa politik seperti pemilu100. Pada akhirnya gagasan messianistis menjadi sebuah wacana luas yang dapat dikontestasikan dalam berbagai medan.

C. Konstruksi Messianisme Jamaah an-Nadzir

Jamaah an-Nadzir sebagai sebuah komunitas yang terbentuk dari berbagai latar belakang anggota jamaah disatukan oleh satu konstruksi gagasan messianistis.

Pengharapan terhadap sosok messianistis inilah yang menyatukan mereka untuk berada di Mawang. Konstruksi gagasan messianistis menjadi semangat inti yang menjadi pengikat gerakan Jamaah an-Nadzir, bahkan semua konstruksi wacana dan praktik hidup mereka pada dasarnya dilakukan untuk memperkuat dan mewujudkan gagasan messianistik mereka.

Sebagai sebuah komunitas agama, konsep messianisme Jamaah an-Nadzir banyak terpengaruh atau mengambil doktrin eskatologis Islam yang mereka modifikasi/interpretasikan secara berbeda sebagai dasar pembentukan konsep messianistis mereka. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa Imam Mahdi telah lahir dan telah eksis, tetapi saat ini sedang berada dalam periode kegaiban. Keberadaan Jamaah an-Nadzir di Mawang Kabupaten Gowa dengan segala aktifitas serta praktik keagaamaan mereka dalam pandangan Jamaah an-Nadzir tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mempersiapkan kedatangan/kebangkitan Imam Zaman (al-Mahdi).

100 Lih, Arwan Tuti Artha, Satria Pinilih: Siapa Pantas Jadi Ratu Adil?, Galangpress, 2008, Salah satu buku yang berusaha menganalisis potensi berbagai politisi nasional saat ini yang dianggap potensial menjadi „Ratu Adil‟ atau „Satria pinilih‟ Indonesia selanjutnya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 99

Jamaah an-Nadzir meyakini messias menurut mereka adalah Imam Mahdi.

Imam Mahdi adalah keturunan atau keluarga nabi yang diramalkan akan muncul pada akhir zaman. Menurut Jamaah an-Nadzir Imam Mahdi telah turun dan membawa peringatan kepada umat Islam. Dalam pemahaman Jamaah an-Nadzir, Imam Mahdi telah dilahirkan di dunia sekitar tahun 250 Hijriah. Kepercayaan an-Nadzir bahwa Imam

Mahdi telah pernah ada dan akan eksis kembali pada suatu waktu yang ditentukan oleh

Tuhan sangat mirip dengan kepercayaan Syiah Imamiyah. Bahkan, tahun yang mereka sebutkan sebagai tahun kelahiran sang Imam juga sama sebagaimana diyakini kelompok

Syiah Imamiah.

Di Sulawesi Selatan sendiri, pengaruh Islam Syiah telah lama ada, bahkan sejak masa-masa awal penyebaran Islam di kerajaan Gowa pada abad XVII. Adalah seseorang bernama Sayyid Jalaluddin al-Aidid yang punya kaitan erat dengan sekte Islam Syiah yang pernah berusaha mengajak raja Gowa untuk memeluk Islam, namun ditolak101.

Sayyid Jalaluddin akhirnya pindah daerah Gowa ke daerah Cikoang102. Di daerah ini, ia berhasil meng-Islamkan beberapa kelompok bangsawan dan masyarakat sekitar. Di tempat ini Sayyid Jalaluddin mendirikan sebuah padepokan pendidikan Islam, salah satu murid Jalaluddin adalah tokoh kharismatik Sulawesi Selatan yang terkenal, Syekh

Yusuf al-Makassari.

Meskipun memiliki kemiripan dengan kepercayaan messianisme Syiah, namun gagasan messianisme Jamaah an-Nadzir tidak sepenuhnya sama dengan konsep

101 Lih Suryadi Mappangara & Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Lamacca Press, 2003, hlm 77 102 Daerah ini terletak di selatan kabupaten Gowa, saat ini Cikoang merupakan daerah administrative kab. Takalar. Di Cikoang setiap tahunnya di adakan peringatan Maudu Lompoa, sebuah peringatan maulid Nabi Muhammad yang diselenggarakan dengan sangat meriah dan berlimpah berbagai makanan dan sajian. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 100

messianisme Syiah. Jamaah an-Nadzir memodifikasi konsep messianisme dan eskatologi Islam –Sunni dan Syiah– untuk mengkonstruksi konsep messianistik baru yang hanya identik dengan komunitas mereka. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa

Imam Mahdi mengalami beberapa periode kegaiban. Pertama yaitu ketika Imam Mahdi masih kecil, kemudian Imam Mahdi muncul lagi menurut Jamaah an-Nadzir dalam diri

Kahar Muzakkar, lalu kemudian Imam Mahdi terhijab seiring dengan menghilangnya – ataupun meninggalnya- Kahar Muzakkar. Imam Mahdi kemudian muncul lagi dalam sosok Imam Syamsuri Madjid (pendiri Jamaah an-Nadzir), lalu kemudian terhijab lagi pada tahun 2006 ketika Syamsuri Madjid meninggal. Fase terhijab ini juga dianggap sebagai gaib kubra di mana setelah kegaiban tersebut Imam Mahdi akan muncul dalam wujud „aslinya‟ untuk memenuhi janji Tuhan.

Penggunaan sosok Kahar Muzakkar sebagai tokoh yang dikaitkan ataupun diklaim sebagai al-Mahdi adalah sebuah hal yang menarik. Bagaimana pun juga Kahar

Muzakkar adalah seorang tokoh yang kontroversial. Dia adalah serang tokoh pejuang sekaligus pemberontak karena pernah dianggap melakukan upaya makar terhadap

NKRI, sosok yang banyak dibenci sebagian kalangan masyarakat, tetapi tidak sedikit pula yang mencintai dan menaruh simpati terhadap perjuangannya.

Nama asli Kahar Muzakkar adalah La Domeng. Lahir di desa Lanipa, Palopo,

Luwu, Sulawesi Selatan pada tanggal 24 Maret 1921. Ayahnya bernama Malinrang adalah seorang petani yang cukup mampu dan tergolong aristokrasi rendah. Dengan kedudukan dan kemampuan orang tuanya, ketika usianya sudah mencapai tujuh belas tahun ia dikirim ke Surakarta untuk belajar di sekolah perguruan Islam Kweekschool PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 101

Muhammadiyah, dari tahun 1938 sampai 1941103. Selama menjalani masa pendidikannya di Surakarta, Kahar Muzakkar terlibat aktif dalam berbagai organisasi di antaranya menjadi salah seorang pemimpin lokal Pemuda Muhammadiyah di

Hizbulwathan, sebuah gerakan kepanduan Muhammadiyah.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Kahar Muzakkar sempat kembali ke daerah asalnya di Sulawesi. Namun karena pengaruh Islam modernis yang dibawanya,

Kahar Muzakkar berselisih paham dengan kepala dan tokoh-tokoh adat setempat. Kahar oleh sebagian kepala adat dianggap telah mengutuk sistem feodal yang berlaku di

Sulawesi Selatan dan menganjurkan dihapuskannya aristokrasi yang membuat para tokoh adat marah. Dia pun akhirnya dihukum dibuang dari Sulawesi Selatan. Setelah itu, Kahar Muzakkar akhirnya kembali lagi ke Surakarta pada tahun 1943.

Kahar Muzakkar merupakan tokoh yang paradoksal. Dia adalah seorang pejuang sekaligus pemberontak. Dalam perjalanan perjuangannya, dia merupakan salah seorang pengawal Soekarno ketika Soekarno menyampaikan salah satu pidato rapat umumnya di lapangan Merdeka Jakarta, 19 september 1945104. Sebelum melakukan tindakan separatif (baca; pemberontakan), Kahar Muzakkar adalah seorang anggota Tentara

Nasional Indonesia. Bahkan, latar belakang ketentaraannyalah yang menjadi pemicu awal pemberontakannya. Kahar Muzakkar kecewa karena tuntutannya untuk menjadikan seluruh tentara gerilyawan yang berperang merebut kemerdekaan di wilayah Sulawesi sebagai tentara Nasional Indonesia dan hak historisnya untuk

103 Lihat Usman, Tragedi Patriot Pemberontakan Kahar Muzakkar, Narasi, Yogyakarta, 2009, hlm 13 104 Ibid hlm 13 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 102

memimpin pasukan Tentara Nasional Indonesia di Sulawesi Selatan sebagai seorang perwira senior tidak dipenuhi pemerintah.

Penolakan pemerintah dikarenakan sebagian besar para mantan gerilyawan revolusi kemerdekaan tersebut dianggap tidak mempunyai kualifikasi pendidikan yang baik untuk dijadikan sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia. Pemerintah Indonesia saat itu, lebih memilih para prajurit yang pernah mengenyam pendidikan Eropa untuk dijadikan sebagai tentara –khususnya untuk posisi-posisi strategis- dibanding dengan para mantan gerilyawan revolusi kemerdekaan yang hanya mengeyam pendidikan

„tradisional‟. Pendidikan tradisional yang dimaksud di sini termasuk pula pendidikan

Islam.

Kekecewaan Kahar Muzakkar dan para kelompok gerilyawan revolusi kemerdekaan terhadap sikap pemerintah membuat mereka mengundurkan diri ke hutan untuk membagun perlawanan gerilya baru. Bedanya jika dulu gerilya dilakukan untuk melawan Belanda, gerilya kali ini adalah untuk melawan rezim pemerintah Indonesia saat itu. Dalam perjalanan pemberontakannya, Kahar Muzakkar dan pasukan gerilyawannya kemudian menjadikan isu Islam sebagai wacana gerakannya. Pada tahun

1953 Kahar Muzakkar menyatakan bahwa Sulawesi Selatan dan daerah Indonesia

Timur lainnya sebagai bagaian dari Negara Islam Indonesia (NII) bentukan SM

Kartosuwiryo. Bersamaan dengan itu, ia juga mengganti nama pasukannya dengan nama Tentara Islam Indonesia105. Dengan menggunakan Islam, Kahar Muzakkar mulai memungut berbagai pajak dari masyarakat seperti pajak pembangunan, pajak

105 Ibid hlm 92 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 103

perjuangan, pajak ternak dan pajak pendapatan atas nama Negara Islam Indonesia106.

Gerakan Islam yang diusung oleh Kahar cenderung bersifat puritan. Dia sangat membenci sistem feodal, karena itu Kahar Muzakkar melarang pemakaian gelar kebangsawanan seperti Andi dan Daeng untuk menciptakan masyarakat setara yang dibayangkannya. Hal tersebut membuatnya banyak dibenci kalangan bangsawan. Selain itu, Kahar dan pasukannya juga menyerang paham mistik masyarakat pra Islam di

Sulawesi Selatan. Para tokoh spiritual pra Islam seperti komunitas Bissu disingkirkan.

Hukum Islam (syariat) dijadikan sebagai tonggak utama dalam penataan masyarakat.

Selain dekat dengan wacana Islam, Kahar Muzakkar sendiri sebenarnya dekat dengan wacana Marxisme. Islam sepertinya memberi keuntungan lebih besar terhadap gerakannya. Melalui wacana Islam, Kahar memperoleh banyak dukungan dari kalangan bangsawan yang juga merasa kecewa dengan pemerintah107, hal yang mana dirasa akan hilang jika Marxisme yang dijadikan sebagai wacana utama gerakan. Kahar berusaha mempertahankan dukungan mereka tanpa mengorbankan tujuan untuk mencapai keadilan sosial. Islam dengan prinsip persamaan haknya juga dapat digunakan sebagai serangan tak langsung terhadap feodalisme108. Gerakan Kahar Muzakkar juga hampir tidak bisa dilepaskan dari sentimen kedaerahan saat itu. Dalam hal ini, Islam dipakai sebagai antagonisme antara „kita‟ dan „mereka‟. „Kita‟ adalah para pemberontak yang merupakan putra asli daerah, sedang „mereka‟ adalah orang-orang Kristen Minahas dan

106 Ibid hlm 93 107 Banyak bangsawan yang terlibat aktif menjadi gerilyawan semasa pendudukan Jepang dan Belanda. Mereka juga sangat menderita pada masa-masa tersebut. Setelah kemerdekaan, mereka berharap dapat direkrut menjadi anggota TNI, namun seperti banyak gerilyawan lainnya di Sulawesi Selatan, sangat sedikit dari mereka yang mempunyai latar belakan pendidikan Barat yang dijadikan standar utama pemerintah dalam rekrutmen tentara nasional. 108 Lih, Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar; Dari Tradisi ke DI/TII, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989, hlm 200 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 104

orang abangan- jika istilah ini masih bisa dipakai- Jawa yang banyak menduduki jabatan-jabatan publik penting di Sulawesi Selatan saat itu yang sekaligus adalah lawan di medan pertempuran109.

Pemberontakan Kahar Muzakkar berlangsung pada rentang waktu antara tahun

1950 sampai dengan tahun 1965. Melalui serangkaian operasi militer panjang untuk meredam pemberontakannya, gerakan Kahar Muzakkar dan pasukan akhirnya dapat diakhiri. Kahar Muzakkar sendiri dinyatakan tewas tertembak pada tanggal 3 Februari

1965 di tangan pasukan Divisi Siliwangi yang dikirim khusus menghabisi gerakannya.

Namun demikian jasad dan makamnya tak pernah dipublikasi secara jelas kepada masyarakat.

Kesimpangsiuran berita kematian Kahar Muzakkar membuat banyak orang berspekulasi dan pada akhirnya dimistifikasi. Mistifikasi tersebut membuat wacana tentang sosok Kahar dapat dibawa kemana saja. Beberapa orang (termasuk beberapa mantan anggota pasukannya) meyakini bahwa Kahar tidak meninggal pada saat operasi militer tahun 1965 tersebut. Dia dianggap sosok yang kebal peluru. Kesamaran tentang berita kematian Kahar inilah yang sepertinya digunakan oleh Syamsuri Madjid untuk mendapatkan simpati masyarakat ketika dia melakukan dakwahnya di Luwu, Sulawesi

Selatan.

Seperti telah disebutkan di atas, Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa sebelum muncul dalam sosok „aslinya‟ Imam Mahdi telah mewujud dalam sosok Kahar

Muzakkar dan Syamsuri Madjid. Penggunaan sosok Kahar Muzakkar dimungkinkan

109 Ibid hlm 333 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 105

karena kesamaan cita-cita menegakkan hukum Islam secara kaffah meski an-Nadzir tidak memahaminya dalam konteks Negara sebagaimana dicita-citakan Kahar. An-

Nadzir memahami dan menciptakan konstruksi tentang penegakan Hukum Islam dalam wacana doktrin eskatologi Islam sebagai upaya pemenuhan janji ilahi dan percepatan kedatangan sosok messianis, Imam Mahdi. Sosok Kahar Muzakkar juga sangat mungkin digunakan sebagai wacana politis meraih simpati masyarakat. Bagaimanapun komunitas an-Nadzir di Sulawesi Selatan awalnya berbasi di kabupaten Luwu, sebuah distrik yang merupakan basis pendukung loyalis dan pusat perjuangan Kahar Muzakkar di masa lalu.

Dengan mewacanakan sosok Kahar dan Syamsuri sebagai Imam Mahdi membuat penyamaan sosok Syamsuri sebagai Kahar tak dapat dihindari. Bahkan pada awalnya Syamsuri tidak menolak anggapan ini110. Pengakuan Syamsuri sebagai sosok

Kahar Muzakkar menimbulkan polemik di antara keluarga Kahar. Keluarga besar Kahar akhirnya meminta Syamsuri membuat pernyataan tertulis bahwa dirinya bukanlah

Kahar Muzakkar. Syamsuri akhirnya memenuhi permintaan itu. Dalam surat pernyataannya yang dimuat majalah Sabili No. 15 Th. VIII, 5 Januari 2001 Syamsuri menyatakan „saya adalah Syamsuri Abdul Madjid dan Kahar Muzakkar adalah Kahar

Muzakkar yang sama kita ketahui telah meninggal dunia‟111. Meskipun telah menyatakan bahwa dia bukan Kahar, namun doktrin messianis tentang Imam Mahdi masih menggunakan sosok Kahar maupun Syamsuri tersebut dalam penciptaan wacana messianistis an-Nadzir hingga saat ini.

110 Lih Taufan, Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir, hlm 145 111 Ibid hlm 147. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 106

Berbeda dengan doktin messianis Syiah, konstruksi messinistik Jamaah an-

Nadzir lebih berpusat pada sosok yang akan mempersiapkan kemunculan dan revolusi

Imam Mahdi, bukan pada klaim tentang sosok al-Mahdi sebagaimana kelompok Syiah.

Sosok yang dimaksud Jamaah an-Nadzir adalah seseorang yang dijuluki Pemuda Bani

Tamim. Pemusatan doktrin messianistik an-Nadzir pada sosok ini dapat dipahami karena sosok Pemuda Bani Tamim adalah orang yang menurut mereka akan membangun sebuah komunitas kuat pembela sang Mahdi. Melalui sosok inilah Jamaah an-Nadzir membangun wacana tentang komunitas mereka sebagai komunitas pilihan

Tuhan.

Pemuda Bani Tamim dalam pandangan Jamaah an-Nadzir adalah tokoh sentralitas112 dunia di akhir zaman. Ada beberapa gelar atau julukan yang melekat pada diri Pemuda Bani Tamim, antara lain, Syuaib bin Saleh At-Tamimi, Rijalullah (laki- lakinya Allah), Abdisshalehah (hamba yang dishalehkan), Al-Mansyur dan sebagainya.

Dia merupakan sosok pemimpin akhir zaman yang akan mendahului dan mempersiapkan syarat-syarat bagi terciptanya revolusi ilahi oleh Imamul „Azdma Al-

Mahdi Al-Muntazar113. Sebagaimana al-Mahdi, Pemuda Bani Tamim juga diwacanakan sebagai sosok pilihan ilahi. Hal tersebut bahkan sudah ditunjukkan dari pemilihan namanya. Tamim (tamamah) dalam bahasa Arab bermakna sempurna. Menurut Ustad

Rangka (pemimpin Jamaah an-Nadzir) ukuran kesempurnaan manusia adalah jika manusia tersebut telah mengenali Tuhannya dan bertemu dengannya. Pemuda Bani

Tamim menurut klaim Rangka telah sempurna keimanannya kepada tuhan karena telah

112 Istilah yang digunakan Jamaah an-Nadzir untuk memistifikasi sosok Pemuda Bani Tamim yang mereka yakini 113 Wawancara dengan Arif (anggota Jamaah an-Nadzir) PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 107

bertemu dengan Tuhan sebagaimana yang pernah dialami Muhammad pada peristiwa

Isra Mi‟raj114.

Pemuda Bani Tamim dalam konstruksi an-Nadzir dapat disamakan dengan sosok Satria Piningit” atau “Ratu Adil dalam messianisme Jawa. Namun an-Nadzir menegasi kemungkinan kemunculan sosok messianis dari Jawa. Tidak seperti dalam konsep messianistis Jawa di mana wacana messianitis tidak selalu harus sepenuhnya teologis-eskatologis tetapi sangat mungkin juga dalam wacana politik, an-Nadzir memandang dan memahami messianisme dalam wacana yang sangat teologis (meski bukan berarti tidak politis). Dalam pandangan an-Nadzir, di tanah Jawa tidak akan muncul sosok messias karena Jawa sudah dipenuhi dengan berbagai kemaksiatan dan ketiadaan sebuah komunitas ummah yang secara konsisten menjalankan Islam secara

„benar‟. Negasi an-Nadzir ini sedikit banyak menyerupai sentimen kedaerahan yang dijadikan wacana dalam pemberontakan Kahar Muzakkar di masa lalu, dengan menegasikan Jawa, Jamaah an-Nadzir sekaligus juga berusaha memapankan citra yang mereka konstruksi seputar komunitasnya.

Lalu siapa Pemuda Bani Tamim atau Satria Piningit atau Ratu Adil menurut

Jamaah an-Nadzir? Menurut mereka, Pemuda Bani Tamim adalah seseorang yang dijuluki “Assa‟na Gowa” atau aslinya Gowa. Ia adalah keturunan Raja dari Polong

Bangkeng Gowa yang memakai nama gelar “Daey”. Lebih lanjut, an-Nadzir menghubung-hubungkan klaim mereka tentang Pemuda Bani Tamim dengan tokoh ulama kharismatik Sulawesi Selatan, Syekh Yusuf al-Makassari. Pemuda Bani Tamim diklaim masih dari keturunan keluarga Syehk Yusuf yang merupakan keturunan dari

114 Wawancara dengan Rangka. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 108

Nabiullah Khaidir Ibnu Abbas Balyamulkan Rije‟ma Alfahanisu Al-Ajiru Abul Abbas

Balyamulkan as. Tapi ia bukan anak keturunan dari Syaikh Yusuf, melainkan beliau adalah berasal dari keturunan anak cucu yang ketujuh dari Nabiullah Khaidir as, salah seorang dari keturunan inilah yang dipilih oleh Allah SWT untuk menjadi Pemuda Bani

Tamim115. Dalam berbagai naskah kuno Sulawesi Selatan, Syekh Yusuf memang dimistifikasi sebagai anak dari tokoh mistis Nabi Khidir yang memiliki berbagai karamah sejak dia dilahirkan.116 Hal itu dilakukan untuk memberi legitimasi kuat terhadap kewaliyan dan kekaramahan Syehk Yusuf yang menjadi wacana sentral dalam masyarakat Sulawesi Selatan.

Lalu siapakah Pemuda Bani Tamim itu dalam eksistensinya saat ini? Jamaah an-

Nadzir tidak secara pasti menyebutkan tokoh tertentu, namun dalam berbagai kesempatan, secara tersirat kliam tersebut disematkan kepada pemimpin mereka saat ini,

Ustad Rangka. Misalnya dalam sebuah wawancara Ustad Rangka berkata

Saya tahu siapa itu Pemuda Bani Tamim, aku sangat kenal dengannya. Aku sering tidur dengannya, apa yang aku makan itu pulalah yang dia makan117. Dalam berbagai kesempatan pula, Ustad Rangka sebagaimana disebutkan oleh sering menggunakan wacana mistis tentang kekebalan ketika diajak berargumentasi tentang konsep aqidah

Kalau kau yakin Tuhanmu allah, kau yakin bahwasanya allah yang cabut nyawamu klo kau mati, sekarang kau tebas saya duluan, setelah itu gantian

115 Wawncara dengan arif. 116 Lih Gibson, Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara, Ininnawa,2012, hlm 86-90 117 Wawancara dengan Rangka PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 109

saya yang tebasko, betul dak aqidahmu dak melenceng, maksudnya bukan parang ini yang cabut nyawamu118. Terdapat beberapa hal menarik pada seputar pembentukan wacana tentang

Pemuda Bani Tamim an-Nadzir. Hal itu terlihat dari klaim tentang gelar bangsawan

Makassar (Gowa) „daey‟ yang mereka sebut yang sama sekali tidak terdapat atau tidak pernah ditercatat dalam sejarah tradisi suku Makassar di Sulawesi Selatan. Sepanjang catatan sejarah, suku Makassar tidak pernah mengenal gelar „daey‟ sebagai nama untuk gelar kebangsawanan Makassar. Gelar kebangsawanan Makassar biasanya dikenal dengan sebutan Karaeng atau Daeng. Dalam stratifakasi masyarakat Makassar di masa lalu, manusia dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Karaeng, Tu Maradeka, dan Ata119.

Karaeng adalah kelas sosial atas yang dihuni oleh para bangsawan. Tu Maradeka adalah lapisan masyarakat kelas menengah yang biasanya merupakan jumlah kelas sosial mayoritas. Sedangkan ata adalah budak atau abdi. klaim tentang kebangsawanan tersebut juga terkesan paradoks, karena kebangsawanan dalam masyarakat Bugis-

Makassar bukanlah sesuatu yang kaku, setiap orang berpotensi untuk „naik kelas‟ sosial menjadi bangsawan meskipun dia sebenarnya bukan dari kelas tersebut dengan berbagai cara semisal perkawinan dan sebagainya120.

Hal lain yang menarik dari konstruksi wacana seputar Pemuda bani Tamim jamaah an-Nazdir adalah pernyataan tentang relasi pemuda Bani Tamim dengan ulama kharismati, Syekh Yusuf. Hal tersebut tampak tipikal dengan pengasimilasian tokoh

118 Wawancara dengan Kepala Seksi Penerangan Dan Penyuluhan Agama Masyarakat Kementerian Agama Kabupaten Gowa. 119 Untuk penjelasan lebih lanjut tentang pembagian stratifikasi soasial masyarakat Makassar lih Hamid Abdullah, Manusia Bugis Makassar, Inti Idayu Press, Jakarta, 1985, hlm 111 120 Lih Pelras, Manusia Bugis, Nalar, Jakarta, 2006, hlm 196 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 110

Kahar Muzakkar dengan sosok Mahdi121. Hal itu menunjukkan bagaimana an-Nadzir banyak menggunakan narasi lokal yang telah melekat namun samar-samar dalam konstruksi messianis mereka. konstruksi tentang Kahar Muzakkar dibangun ketika basis jamaah an-Nazdir masih berada di kabupaten Luwu- tanah kelahiran dan basis Kahar pada masa pemberontakannaya- sewaktu pemimpin mereka Syamsuri Madjid masih hidup- tokoh yang diklaim reinkarnasi Kahar. Sementara ketokohan Syehk Yusuf dipergunakan ketika komunitas ini telah mapan di Mawang Kabupaten Gowa. Hal tersebut sepertinya bertujuan untuk mengangkat sosok Ustad Rangka, pemimpin komunitas yang juga merupakan warga Gowa.

Dengan membangun kontruksi messianis semacam itu, Jamaah an-Nadzir menempatkan konstruksi messianis mereka dalam sebuah medan kontestasi. Setiap konstruksi mesianistis pastilah menyatakan bahwa klaim merekalah yang „benar‟.

Jamaah an-Nadzir seperti telah dikatakan sebelumnya menegasikan potensi messias dari

Jawa, selain itu mesti banyak memakai doktrin messianis Syiah dalam konstruksi messianis mereka, namun mereka pula menolak klaim Syiah khususnya berkaitan dengan pemuda Bani Tamim. Penolakan ini bukan sekadar karena menganggap diri berbeda dengan Syiah, melainkan juga menentukan konstruksi lanjutan mereka berkaitan dengan tempat kemunculan komunitas pilihan calon pembela sang Mahdi.

Jamaah an-Nadzir memulai pembentukan wacana mereka tentang asal usul komunitas yang dijanjikan melalui sebuah perkataan yang disandarkan kepada

Sayyidina Ali „suatu saat kaum bangsa Arab akan tercengang melihat Al-Quran

121 Telah umum dan mapan diketahui bahwa kedua tokoh (Syekh Yusuf dan Kahar Muzakkar) Sulawesi Selatan tersebut dimistifikasi dan dianggap keramat oleh banyak masyarakat Sulawesi Selatan, baik semasa hidupnya terlebih setelah kematian mereka. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 111

dibawa oleh kaum lain yang tidak dipahami bahasanya”122. Dalil-dalil teologis, seperti apapun interpretasinya, entah itu diambil dari teks-teks suci (Qur‟an), Sabda-sabda Nabi

Muhammad, maupun perkataan tokoh-tokoh kharismatik masa lalu (seperti sahabat nabi atau wali ternama) sangat dibutuhkan dalam konstruksi messianistis- khususnya jika messiahnisme dipahami dalam konteks eskatologis sebagaimana dipahami Jamaah an-

Nadzir- untuk menguatkan konstruksi tersebut. Perkataan Sayyidina Ali di atas oleh an-

Nadzir kemudian digunakan untuk mengklaim komunitas mereka sebagai komunitas pilihan yang dimaksud teks tersebut.

Menurut Jamaah an-Nadzir, kaum atau komunitas yang dimaksudkan teks tersebut adalah kaumnya Salman Al-Farisi atau keturunan dari Nabi Khidir as yang berasal dari Gowa Makassar Sulawesi Selatan. Hal ini sekali lagi memperlihatkan kepada kita bagaimana Jamaah an-Nadzir menggunakan fakta sejarah yang sifatnya samar-samar untuk dimistifikasi dan dikaitkan dengan komunitas mereka. Salman al-

Farisi menurut an-Nadzir bukanlah sahabat biasa, tetapi merupakan jelmaan Nabi

Khidir as123.

Salman itu tidak lain dan tidak bukan sosok Nabi khidir yang mendampingi Nabi Muhammad. Nabi khidir itu mendampingi semua nabi-nabi Allah. Nah di masa Nabi Muhammad dia berwujud dalam sosok Salman al- Farisi124

122 Teks ini dikutip dari Tulisan Muhammad Al-Jundi yang berjudul Pemuda Bani Tamim Perintis Jalan Imam Mahdi hlm 8. Tulisan ini merupakan ini adalah buku yang diberikan kepada saya oleh Arif (anggota an-Nadzir). Buku ini berisi tentang argumentasi Jamaah an-Nadzir berkaitan dengan konstruksi mereka tentang sosok pemuda Bani Tamim menurut mereka. 123 Sosok mistis dan misterius dalam teologi Islam. Khidir diyakini sebagai seorang Nabi yang telah hidup jauh sebelum masa Muhammad. Dalam Alquran dicatat bahwa nabi Musa as bahkan pernah berguru kepadanya. Nabi Khidir diyakini punya mu‟jizat dapat berumur panjang dan masih hidup sampai hari kiamat. 124 Wawancara dengan Arif PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 112

Salman al-Farisi adalah sosok sahabat setia Nabi. Dia adalah tokoh yang berjasa dalam Perang Khandaq. Strateginya untuk membuat parit di sekeliling kota madinah demi menghalau pasukan Quraisy saat itu terbukti telah memberikan kemenangan bagi umat Islam. Bahkan, Salman oleh Nabi dianggap sebagai salah satu ahlulbait. Salman juga merupakan orang pertama yang menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa asing, yaitu bahasa Persia125. Yang samar-samar terkait Salman adalah tahun kematiannya yang tidak diketahui secara pasti. Ada yang mengatakan Salman meninggal pada masa pemerintahan Usman, ada pula yang mengatakan pada Masa pemerintahan Ali. Salman juga diklaim berumur panjang, ada yang mengatakan beliau hidup 250 tahun ada pula yang menyebut 350 tahun. Kesamaran itulah yang mungkin digunakan oleh an-Nadzir untuk mengklaim Salman sebagai Khidir, yang juga dipercayai berumur panjang.

Dengan mengatakan bahwa kaum yang dijanjikan adalah keturunan Salman, maka

Jamaah an-Nadzir menempatkan Salman pada posisi yang sangat tinggi, hal tersebut bukanlah sesuatu yang hanya khas an-Nadzir, dalam tradisi Syiah, Salman ditempatkan sebagai tokoh yang sangat dihormati karena Salman adalah sahabat setia dan merupakan

„syiah‟ (baca: pembela) Ali. Selain itu, kepada Salman juga disandarkan sebuah hadist yang digunakan untuk memapankan doktrin imamah Syiah, khususnya Syiah Imam Dua belas.

Untuk mempertegas klaim bahwa kaum yang dimaksudkan teks tersebut adalah komunitas mereka yang berasal dari Gowa, Sulawesi Selatan Jamaah an-Nadzir menggunakan penekanan bahasa yang tidak dikenali pada teks tersebut. Menurut an-

Nadzir ada lima buah aksara yang dipakai dan akan berkuasa di dunia. Antara lain,

125 Lih, Jafar Yahaghi, An Introduction to Early Persian Qur'anic Translations hlm 1 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 113

aksara Latin, aksara China, aksara India, aksara Arab dan aksara Lontara126. Dari kelima aksara tersebut, sudah empat aksara pernah menguasai dunia, sehingga tinggal satu lagi aksara yang akan mendapatkan gilirannya yakni “aksara Lontara” yang berasal dari

Gowa, Sulawesi Selatan127.

Dalam berbagai Hadis juga disebutkan bahwa komunitas yang akan mempersiapkan jalan bagi Imam Mahdi berasal dari timur128. Teks tersebut yang hanya menyebut kata timur tanpa merujuk pada sebuah tempat tertentu memunculkan berbagai interpretasi dan akhirnya menjadi medan konstestasi bagi para pengklaimnya. Jaman an-

Nadzir menginterpretasikan timur sebagai daerah “Qum.” atau Gowa Sulawesi Selatan .

Dari wilayah “Qum” inilah Pemuda Bani Tamim bergerak melakukan pembinaan sedikit demi sedikit, secara terus menerus dan istiqamah, sambil menunggu ketetapan- ketetapan Allah SWT selanjutnya. Jamaah an-Nadzir mengklaim bahwa timur dalam teks tersebut adalah timur tempat mereka berada karena menurut mereka tak ada lagi sebuah jamaah di timur yang secara konsisten menjalankan kehidupan sebagaimana yang dijalankan oleh Rasulullah di masa lalu.

Perlu dipahami bahwa “Qum” adalah sinonim dari kata “Gowa.” Daerah “Qum” atau “Gowa” ini, senantiasa dijaga oleh Allah SWT. Bahkan di daerah atau wilayah inilah terdapat suatu tempat berkumpulnya para waliyullah menunggu datangnya ketetapan Allah SWT129. Tokoh Pemuda Bani Tamim dimistifikasi oleh Jamaah an-Nadzir sebagai seseorang yang mendapatkan bimbingan dan pendidikan (tarbiyah) langsung dari Allah

126 Nama aksara lokal di Sulawesi Selatan. 127 Wawancara dengan Arif. 128 Salah satunya adalah hadist yang diriwatkan oleh Ibnu Majah „ Akan keluar sekelompok manusia dari timur, mereka akan meratakan Jalan (bagi kemunculan) Mahdi‟.; dikuti dari buku „Laga Pamungkas: Duet Imam Mahdi dan Isa ibn Maryam Memipin Dunia‟ karya Najamuddin Thabasi hlm 65 129 Tempat yang dimaksud adalah Gunung Bawakaraeng. Muhammad al-Jundi hlm 32 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 114

SWT sebagaimana Imam Mahdi as. Dia digambarkan sebagai sosok dengan supranatural yang sempurna. Dia diklaim mengusai berbagai keterampilan beladiri, cakap dalam strategi perang, dan menguasai semua bidang ilmu pengetahuan sebab ilmunya adalah ilmu ladunni (pengetahuan langsung dari Tuhan). Untuk melindungi diri dari serangan terhadap klaim mereka tentang sosok Pemuda Bani tamim yang terasa sedikit kurang logis ada manusia yang demikian itu, mereka biasanya berdalih bahwa tak ada yang tak mungkin jika Allah yang berkehendak.

Antara Imam Mahdi dengan Pemuda Bani Tamim digambarkan bagaikan tubuh dengan roh. Artinya, ketika salah satu diantaranya tidak ada, tidak berfungsi atau tidak berperan sebagaimana mestinya, baiat seseorang terhadap Mahdi tidak akan diterima sebelum dia berbaiat kepada Pemuda Bani Tamim130. Dengan menjadikan pemuda bani

Tamim sebagai tokoh sentral- tentu bersama dengan Mahdi-, Jamaah an-Nadzir membentuk sebuah konsep messianistis yang berbeda dengan kebanyakan konsep messias Islam yang biasanya menjadikan Mahdi sebagai „pusat‟.

Pemuda Bani Tamim menurut Jamaah an-Nadzir memiliki peran penting untuk mempersiapkan setidak-tidaknya dua hal. Pertama, bertugas untuk mempersiapkan pasukan inti berjumlah 313 orang yang akan menjadi balatentara Pemuda Bani Tamim dan Imamul „Adzma Al-Mahdi demi tegaknya Daulah Islamiyah dengan sistem

Khilafah di akhir zaman ini. Kedua, bertugas untuk mempersiapkan wilayah kekuasaan untuk al-Mahdi dirintis dan dimulai dari wilayah “Qum”131

130 Lih, Muhammad, Pemuda Bani Tamim Perintis Jalan Imam Mahdi, Pustaka Tarbiyah, 2010, hlm 57 131 Lih Najamuddin Thabasi, Laga pamungkas: Duet Imam Mahdi dan Isa al-Masih Memimpin Dunia, penerbit Al-Huda, 2010, hlm 76 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 115

Selain memusatkan Pemuda Bani Tamim sebagai tokoh sentral konstruksi messianis mereka, Jamaah an-Nadzir juga menempatkan wacana „ketimuran‟ dalam posisi yang sangat penting. Bahkan, Fungsi Bani Tamim dalam wacana messianistis an-

Nadzir digunakan untuk mengafirmasi konstruksi tentang timur yang mereka maksudkan. Menurut an-Nadzir Semua orang yang terlibat membangun dan membina pusat pemerintahan Imam Mahdi itu adalah orang-orang „Timur‟, yakni kaum atau bangsa yang menetap di „Timur‟, yang memeluk dan mengamalkan ajaran Muhammad

Rasulullah saw lebih baik dari bangsa-bangsa lain. Dari kalangan ini pulalah asal para ikhwan. Ikhwan dalam pengertian an-Nadzir adalah orang-orang yang akan menjadi pendamping dan pembela al-Mahdi. Mereka adalah pasukan pembawa panji-panji hitam dari timur. Kedudukan Ikhwan ini disetarakan dengan kedudukan sahabat-sahabat setia

Muhammad di masa lalu.

Konstruksi dan perebutan makna tentang komunitas yang akan mempersiapkan proses kedatangan Imam Mahdi tidak hanya dilakukan oleh an-

Nadzir, sepanjang sejarah Islam telah banyak usaha dan klaim terhadap wacana ini.

Di Iran – yang notabene masyarakatnya mayoritas Syiah-, interpretasi seperti ini juga banyak terjadi. Mereka mengkalialm bhawa orang Iran nantinya akan memgeang peran fundamental dalam kebangkitan Imam Zaman (al-Mahdi) as132.

Bangunan konsep orang Iran terhadap wacana tersebut cenderung mirip dengan apa yang dikonstruksi oleh an-Nadzir bahkan dalil-dalil teologis yang dipakai untuk

132 Ibid hlm 131 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 116

mengafirmasi wacana tersebut juga sedikit banyak memiliki persamaan meski dengan interpretasi yang berbeda133.

Sebagaimana lazim dalam berbagai konsep messiasnisme, dunia dan keadaan yang sedang berlangsung saat ini dipandang sebagai dunia yang telah mengalami dekadensi akut, jauh dari cita-cita ideal sebuah masyarakat ilahiah. Jamaah an-

Nadzir juga memandang dunia dengan cara pandang yang tidak jauh berbeda dengan argumentasi messianic lainnya. menurut an-Nadzir penyebab utama kemerosotan kualitas hidup manusia adalah karena pilihan hukum yang dipakai. Dalam pandangan an-Nadzir, hukum, peraturan dan undang-undang yang dipakai saat ini adalah hukum, peraturan dan undang-undang produk manusia. Yang sesungguhnya, dalam hukum tersebut banyak sekali yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah

SWT134.

133 Hadist-hadist yang akan saya sebutkan dibawah ini beserta interpretasinya yang menurut saya politis, saya kutip dari buku yang ditulis Najamuddin Thabasi, Laga pamungkas : Duet Imam Mahdi dan Isa al- Masih Memimpin Dunia, hlm 76 Dari nabi Saw bersabda: bendera-bendera hitam berdatangan dari Timur, seolah-olah hati mereka terbuat dari potongan-potongan besi. Siapapun yang mendengar seruan mereka, maka hendaklah dia mendatangi mereka lalu berbaiat kepada mereka walaupun dia harus merangkak di atas salju. Hadist yang digunakan kaum Iran ini kurang lebih sama dengan yang digunakan oleh an-Nadzir, perbedaannya hanya pada interpretasi tentang timur, di mana orang kelompok Iran tersebut memahami bahwa Timur yang dimaksud adalah wilayah Iran, sementara an-Nadzir menginterpretasikan Timur sebagai kab. Gowa, tempat dimana komunitas mereka berada. Hadist lain yang dikutip adalah Dari imam Baqir as (salah satu dari 12 imam Syiah) dimana beliau berkata : para sahabat al-Qaim berjumlah 313 orang yang merupakan orang ajam (non-Arab). Interpretasi tentang makna dari kata non-Arab inilah yang melahirkan sebuah medan kontestasi, orang Iran menafsirkan bahwa orang non-Arab yang dimaksud adalah orang-orang Persia (Iran), sedangkan an- Nadzir sebagaimana kita tahu memaknainya sebagai orang Makassar (Gowa). Yang juga menarik dari banyaknya persamaan antara konstruksi messianic Iran Syiah dan Jamaah an-Nadzir adalh interpretasi tentang „Qum‟. Jika di Iran memang terdapat sebuah wilayah bernama Qum yang memang sering disebut dalam konsep messianisme Syiah, sementara itu an-Nadzir member makna baru terhadap kata Qum, menurut mereka itulah adalah sinonim dari kata Goa, sehingga yang dimaksud adalah Gowa, tempat dimana mereka bermukim. 134 Wawancara dengan Arif PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 117

Pengabaian hukum ilahi, yang tertuang dalam kitab-kitab suci sebagai pedoman hidup manusia dalam pandangan an-Nadzir telah mehalirkan berbagai kezaliman dan penderitaan. Tidak hanya itu, dalam pandangan an-Nadzir, bahkan hukum Tuhan pun telah direduksi oleh manusia sehingga kehidupan beragama telah banyak

„diselewengkan‟. Agama bahkan digunakan sebagai sarana kekuasaan. Kedatangan al-

Mahdi bertujuan untuk mengembalikan dan menegakkan kembali hukum Tuhan dan meluruskan kembali kehidupan beragama umat manusia sebagaimana mestinya. Selain misi yang terkesan teologis tersebut, Imam Mahdi sebagai seorang pemimpin akan memenuhi dunia dengan keadilan. Keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan yang dicapai berkat implikasi penegakan hukum-hukum Tuhan.

Pewacanaan penegakan kembali hukum Tuhan tentunya memerlukan sebuah konsep hukum lain untuk dipertentangkan sebagai sebuah proses identifikasi. Seperti kebanyakan gerakan radikal Islam, Jamaah an-Nadzir juga menuduh kekuatan hegemoni

Barat baik dari segi ekonomi, politik dan budaya sebagai biang keladi dekandensi hidup manusia, utamanya sebagai penyebab keterpurukan Islam. Namun demikian, meskipun dibenci, Barat di sini dibutuhkan karena selain sebagai ancaman, Barat juga telah melahirkan sebuah pengharapan baru dari antagonismenya dengan Islam.

Pertentangan dan revolusi sebagai tujuan kebangkitan al-Mahdi tentunya mengadaikan terjadinya perebutan kekuasaan. Dalam hal ini an-Nadzir sepertinya mengambil jalan berbeda dengan kelompok Islam radikal lainnya, alih-alih mewacanakan gerakan kekerasan, an-Nadzir malah memilih jalan yang lebih „damai‟.

An-Nadzir mempercayai adanya peran supranatural dalam imaji proses meraih kekuasaan bagi al-Mahdi. Inilah pula yang mungkin menjadi alas an mengapa PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 118

konstruksi messianic an-Nadzir sangat kental dengan kesan supranatural yang terkesan agak „irasional‟. Menurut an-Nadzir Manusia yang mati di dunia karena menentang perjalanan ini jumlahnya sangat banyak. Kebanyakan di antara mereka yang mati itu bukan karena terlibat dalam peperangan, akan tetapi di rumah atau di rumah sakit.

Karena dahsyatnya peristiwa ini, banyak manusia yang dijadikan Allah SWT mengidap penyakit kronis, terutama penyakit jantung dan tekanan darah tinggi. Sehingga para musuh-musuh Islam yang mengidap penyakit jantung dan tekanan darah tinggi, akan segera mati. Sebab hati mereka sangat sakit dan sangat marah dengan munculnya pemimpin baru dari kalangan ummat Muslim yang menggantikan kekuasaan Barat yang selama ini menguasai peradaban manusia di dunia135.

Konsep messianisme an-Nadzir yang telah dipaparkan di atas terkesan revivalis di mana terdapat sebuah masa di waktu lampau yang telah diidealisasi dan berusaha untuk direbut kembali. Dalam messianisme an-Nadzir, masa itu adalah masa atau era

Muhammad. Kerinduan dan hasrat untuk mewujudkan kembali kehidupan sebagaimana di masa kenabian merupakan hal sentral dalam messianisme an-Nadzir, bahkan mahdisme Islam secara umum. Mahdi diandaikan sebagai tokoh yang akan mewujudkan hal tersebut.

Bangunan konstruksi an-Nadzir bahkan banyak menggunakan cerita tentang masa tersebut untuk digunakan dan diinterpretasikan sesuai kebutuhan mereka sekarang.

Cerita tentang ikhwan (sahabat dan pendukung Mahdi) yang dianggap setara dengan sahabat-sahabat Rasul, jumlah pasukan Mahdi yang berjumlah 313 orang yang terinspirasi dari cerita heroik perang Badar dimana 313 orang pasukan Muhammad

135 Muhammad al Jundi, Pemuda Bani Tamim perintis Jalan al-Mahdi, Pustaka Tarbiyah, 2010, PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 119

mengalahkan ribuan pasukan musuh adalah bukti bagaimana kehidupan kenabian adalah hal yang paling dihasrati. Dan dengan itu mengutuk sistem saat ini yang dianggap sepenuhnya dikuasai Barat.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 120

BAB IV

KONTRUKSI KEPEMIMPINAN JAMAAH AN-NADZIR

Bab ini akan memaparkan konsep kepemimpinan yang dipraktikkan oleh

Jamaah an-Nadzir. Konsep kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam gerakan-gerakan dengan latar belakang messianisme seperti komunitas Jamaah an-

Nadzir. Gerakan messianisme hampir selalu mengandaikan adanya peran sentral tokoh pemimpin kharismatik di belakang setiap gerakan messianistik. Gagasan messinistik tidak bisa hadir sebagai „praktik‟ sosial jika tidak ada tokoh kharismatik yang dirujuk, terlepas apakah tokoh tersebut hadir secara nyata ataupun gaib (sebagaimana dalam konsep messianisme Syiah misalnya).

Pada bagian ini akan dipaparkan konsep kepemimpinan (imamah) dalam teologi

Islam, khususnya sebagaimana dipahami oleh dua sekte terbesar Islam, Sunni dan

Syiah. Hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa bahkan dalam kategori yang kelihatannya teologis sekalipun selalu terdapat unsur politis dan konstruksi wacana yang terus menerus dipertarungkan. Setelah memeriksa konsep kepemimpinan (imamah) dalam Islam secara umum, pembahasan mengenai konsep kepemimpinan Islam akan diarahkan untuk melihat bagaimana konsep tersebut dipraktikkan dalam skala yang lebih lokal, khususnya di Sulawesi Selatan. Sebagaimana kita tahu bahwa banyak kerajaan nusantara di masa lalu melakukan konversi menjadi kerajaan Islam bukan semata karena alasan teologis, melainkan juga alasan politis karena konsep kepemimpinan Islam dianggap dapat memberikan keuntungan politis lebih banyak dalam rangka memapankan dan menancapkan secara lebih dalam hegemoni kekuasaan, khususnya bagi para raja atau sultan masa lampau. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 121

Pada akhirnya bab ini akan memaparkan konsep kepemimpinan (politik dan telogis) yang diterapkan oleh Jamaah an-Nadzir, hal-hal yang mempengaruhi konsep tersebut, kreasi an-Nadzir terhadap konsep kepemimpinan (imamah) yang merupakan sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari konstruksi messianisme mereka.

A. Konstruksi Kepemimpinan Islam: Sebuah Polemik

Perpecahan umat dalam sejarah Islam pertama-tama bukanlah perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi teologis melainkan disebabkan karena perbedaan pandangan politik dalam membangun ummah dan sistem kepemimpinan seperti apa yang seharusnya diterapkan oleh umat Islam pasca meninggalnya Muhammad.

Perbedaan pandangan tersebut –yang pada mulanya adalah masalah politik- pada akhirnya meluas ke ranah teologi dan melahirkan berbagai macam penafsiran teologi dalam Islam.

Umat manusia sebagai mahluk sosial, di sepanjang sejarah dan di berbagai letak geografis, memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dalam proses hidup sebagai sebuah kelompok masyarakat, manusia cenderung untuk menamai kelompok masyarakat tersebut dengan nama-nama tertentu. Nama yang diberikan mengandaikan adanya konsepsi dan pandangan kelompok-kelompok tersebut terhadap imaji mereka mengenai kehidupan sosial dan konsep-konsep terapan yang mereka sepakati dalam rangka menggapai kehidupan sosial yang mereka cita-citakan.

Islam menyebut kesatuan kelompok mereka sebagai ummah. Ali Syariati dalam bukunya Ummah dan Imamah mengontestasikan kata ummah tersebut dengan beragam kata dalam berbagai bahasa yang memiliki kedekatan makna dengan kata ummah, PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 122

semisal nation (bangsa), qabilah (kabilah), society/jama‟ah (masyarakat), tha‟ifah

(kelompok), race (ras) dan seterusnya. Bagi Syariati, istilah ummah jauh melampaui istilah-istilah lain yang telah disebutkan. Istilah ummah secara prinsipil berarti jalan yang terang. Artinya, sebuah kelompok manusia yang sedang menuju ke jalan tertentu.

Dengan demikian, kepemimpinan dan teladan, jalan dan tempat yang dilalui, tercakup pula dalam istilah ummah ini. Dengan berpijak pada pengertian itu, maka keturunan, tanah air, perkumpulan, kebersamaan baik dalam tujuan, profesi, ras, status sosial, dan gaya hidup yang dipandang sebagai pengikat paling dasar dan sakral antar individu tidak termasuk dalam hubungan tadi. Satu-satunya pengikat paling penting yang mempersatukan individu-individu dalam konsep ummah Islam adalah pilihan jalan yang mereka lalui. Singkatnya, ummah adalah sekumpulan manusia yang memilih jalan yang sama demi menuju suatu tujuan136. Gerakan yang mengarah ke tujuan bersama itulah yang menjadi landasan ideologis dalam konsep ummah.

Konsep ummah dalam pandangan Islam dengan demikian bersifat kosmopolitan. Yang ingin dicapai oleh ummah adalah sebuah kekerabatan umat manusia yang melampaui batas-batas teritorial, keturunan, profesi, suku dan ras.

Ummah –dari manapun anggotanya berasal– disatukan dalam kesamaan jalan yang dipilih (aqidah), jalan yang dimaksud disini adalah ajaran Islam yang telah disampaikan

Muhammad melalui risalah kenabiannya sebagai sebuah sarana pemersatu. Sisi kosmopolitan konsep ummah inilah yang menjadikannya melampaui istilah lain dalam pandangan Syariati, sebab istilah-istilah yang disebutkan terdahulu seluruhnya mengisyaratkan adanya kelompok manusia yang menonjolkan bentuk, karakteristik, dan

136 Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Rausyan Fikr, 2012, hlm 44-45. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 123

kondisi-kondisi lokalnya. Semua istilah tersebut bagi Syariati bersifat statis dan tidak mengandung unsur gerakan. Sedangkan ummah sebagai sebuah istilah sudah merupakan sebuah istilah yang dinamis.

Kedinamisan konsep ummah terletak pada tujuan yang hendak dicapai, keberadaan tujuan mempersatukan setiap anggota yang memilih „jalan‟ yang sama untuk senantiasa bergerak, berpindah, berhijrah untuk terus menjaga agar cita-cita dan tujuan komunitas dapat diraih. Sebagai sebuah kelompok masyarakat, konsep ummah tentu tidak bisa terwujud tanpa adanya kepemimpinan kolektif. Dengan kata lain, ummah hanya bisa eksis dengan adanya kepemimpinan (imamah) yang kuat. Tidak mungkin ada ummah yang kuat tanpa kepemimpinan (imamah) kuat.

Dalam sejarah Islam, wacana kepemimpinan- entah disebut dengan istilah imamah, khilafah, atau istilah lainnya- merupakan wacana yang sangat kontroversial pasca meninggalnya Nabi Muhammad sampai-sampai konsepsi mengenai kepemimpinan tersebut digiring pada absah tidaknya cara beragama seseorang. Dua sekte besar Islam, Sunni dan Syiah bertentangan dalam mengkonstruksi gagasan mengenai konsep kepemimpinan Islam setelah meninggalnya Muhammad. Bahkan, perbedaan konstruksi tersebut menjadi salah satu penyebab utama kedua kelompok saling menegasikan.

Konstruksi kepemimpinan Islam Syiah lazim dikenal dengan istilah imamah.

Dalam pandangan Syiah, imamah adalah manifestasi dari risalah kepemimpinan dan bimbingan individu dan masyarakat yang bertujuan untuk mengarahkan kehidupan umat dari realitas yang „kini ada‟ menuju „ realitas yang seharusnya ada‟ semaksimal yang PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 124

bisa dilakukan137. Upaya mencapai kehidupan yang idealisasi tersebut tidak didasarkan pada keinginan pribadi Imam, melainkan atas dasar konsep baku yang menjadi kewajiban bagi Imam lebih dari individu lainnya. Inilah yang membedakan imamah dengan kepemimpinan diktator. Konsep baku yang dimaksud harus dijalankan oleh imam adalah konsep kehidupan ilahiah yang telah mewujud dalam kitab suci dan wahyu/ilham yang diperoleh dari Tuhan.

Pengertian imam bersifat lebih umum dibanding pengertian pemimpin politik, penguasa, raja, ketua partai dan istilah-istilah lain yang mungkin memiliki kedekatan makna dengan kata imam. Istilah imam merupakan ungkapan dari perwujudan manusia yang membentuk ruh, moral, dan cara hidupnya sebagai petunjuk bagi umat manusia tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia dan bagaimana seharusnya hidup itu138.

Konsep imamah sebagaimana dijelaskan menunjukkan bagaimana pentingnya kedudukan imamah dalam konstruksi aqidah Syiah yang menjadi salah satu fondasi keimanan menurut paham mereka. Seorang imam dalam konstruksi Syiah bukan hanya merupakan pemimpin dalam persoalan-persoalan keagamaan umat, tetapi juga bertanggung jawab menjadi pemimpin dalam perkara-perkara keduniawian misalnya dalam hal-hal yang menyangkut urusan ekonomi-politik umat139.

Imam sebagaimana nabi dalam paham Syiah seharusnya menjadi pemimpin dan pembimbing umat dalam dua dimensi kehidupan, agama dan politik meskipun sejarah mencatat bahwa dari dua belas Imam Syiah hanya Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali dalam periode singkat yang pernah memegang jabatan sebagai khalifah. Muhammad

137 Ibid hlm 88 138 Ibid hlm, 131 139 Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, Rausyan Fikr institute, 2012, hlm 82. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 125

sebagai seorang Nabi adalah pemimpin spiritual umat Islam tetapi pada saat yang sama juga merupakan seorang panglima perang yang tak segan turun ke medan perang dan berada di garis depan pertempuran. Selain itu nabi juga terlibat dan menjadi aktor utama strategi politik umat dalam menghadapi segala macam potensi ancaman terhadap umat

Islam. singkatnya, dalam pemahaman Syiah, kepemimpinan (imamah) melingkupi hal- hal administratif kekuasaan dan spiritual, keduanya merupakan hal yang tidak terpisah dari tanggung jawab keimaman meski dimensi spiritual adalah hal yang lebih utama.

Idealisasi kelompok Syiah terhadap sosok Nabi Muhammad sebagai sosok pemimpin yang melingkupi kehidupan spiritual dan admistrasi pemerintahan umat mengisyaratkan bahwa mereka menolak pemisahan antara agama dan Negara. Dalam pandangan Syiah, pemisahan antara agama dan Negara bukan sebuah praktik yang didasarkan pada ajaran Islam sebagaimana dicontohkan oleh Muhammad, meskipun kebanyakan praktik seperti itu diterapkan dibanyak Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim saat ini. Dikotomi ulama-umara (pemimpin spiritual-pemerintah) dinilai bukan praktik Islam, melainkan produk sejarah Islam140. Sebab dengan pemisahan tugas tersebut sang Imam hanya akan tampil sebagai pemimpin agama tempat umat mengembalikan segala persoalan-persoalan keagamaan tetapi tidak punya otoritas dalam regulasi kekuasaan politik. Pandangan Syiah yang demikian ini tidak terlepas dari keberatan Syiah mengenai suksesi kepemimpinan pasca meninggalnya

Muhammad yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga membawa konsekuensi sejarah Islam melenceng dari spirit dan cita-cita yang dibawa oleh

Muhammad.

140 Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Rausyan Fikr institute, 2012, hlm 44-45 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 126

Dalam doktrin teologi syiah, Manusia membutuhkan imam yang terpelihara dari dosa dan menjadi penjaga hukum syariat bagi mereka, mengingatkan mereka untuk menghormati syariat dengan jalan memberitakan pahala yang dijanjikan Allah bagi yang menaatinya dan ancaman siksaan bagi mengingkarinya. Kebutuhan manusia akan

Imam serupa dengan kebutuhan manusia terhadap sosok nabi yang memberitahukan perbedaan antara hal-hal yang diperboleh dan hal-hal yang dilarang141. Keberadaan seorang imam dalam pandangan Syiah adalah sesuatu yang wajib ada seperti keharusan

Tuhan mengutus seorang Rasul kepada umat manusia, sebab tidak mungkin Tuhan menuntut ketaatan manusia tanpa mengirimkan nabi yang mengabarkan perintahNya.

Imamah adalah persoalan mendasar agama dalam doktrin Syiah. Dari sudut pandang Syiah, imamah adalah bentuk dari pemerintahan Tuhan. Jabatan imamah sama dengan kenabian. Maka, ia merupakan perintah Tuhan dalam penunjukannya, sebagaimana dalam kenabian. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang utama antara kenabian dan imamah. Kenabian adalah pendirian risalah, sedangkan imamah adalah penjaga bagi risalah tersebut142. Doktrin Syiah yang menempatkan imam dalam posisi yang sangat tinggi tersebut – hampir sederajat dengan kenabian- ditolak oleh kelompok

Sunni, dalam pandangan mereka, kelompok Syiah terlalu berlebih-lebihan dalam merepresentasikan kemuliaan Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya (ahlulbait).

Fungsi kenabian dan keimaman dalam doktrin Syiah bisa saja bergabung dalam diri satu orang ataupun terpisah. Seseorang bisa saja adalah seorang nabi dan Imam

(dalam arti sebagai regulator dan pembawa risalah) seperti Ibrahim dan Muhammad,

141 Lih Haidar Amuli, dari Syariat Menuju Hakikat, Mizan, 2005, hlm 207 142 Lih, Mujtaba Musawi, Teologi Islam Syiah ; kajian Tekstuan Rasional Prinsip-prinsip Islam, penerbit Al-Huda. 2004. Hlm 239 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 127

namun tidak semua nabi adalah juga sekaligus imam, pun tidak semua imam adalah

Nabi. Menurut Syiah, sudah jelas bahwa akhir kenabian adalah kenabian Muhammad.

Sekarang tidak ada lagi nabi dan tidak ada lagi agama baru yang akan dibawa oleh manusia siapapun, hanya ada satu agama dan itu adalah Islam. Namun demikian berakhirnya masa kenabian tidak berarti kepemimpinan Tuhan juga berakhir.

Berkaitan dengan doktrin keimaman sebagai hal yang serupa dengan kenabian,

Syiah mengajukan argumentasi bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Sepanjang hidupnya, Muhammad telah mengajarkan seperangkat aturan hidup yang lengkap.

Namun apakah sepanjang sejarah hidupnya Nabi telah menyampaikan semua ajaran

Islam kepada umat secara umum. Masa 23 tahun kenabian dianggap tidak cukup bagi nabi untuk menyampaikan seluruh hukum Islam kepada seluruh Muslimin. Jika Nabi

Muhammad yang semasa hidupnya begitu memperhatikan tindakan-tindakan alami seperti makan, minum, dan tidur dan memberi ratusan perintah berkaitan dengan perkara-perkara tersebut, lalu bagaimana mungkin dia bisa begitu lalai atau mendiamkan perkara penting dengan tidak mempersiapkan calon penggantinya di mana masa depan umat dan agama yang telah dirintisnya dipertaruhkan143. Oleh karena itu, pastilah ada satu atau lebih dari kalangan sahabat Nabi yang memperoleh pengetahuan lengkap mengenai Islam langsung dari Nabi dan dalam posisi untuk menerangkan ajaran Islam setelah dia meninggal dengan cara seperti yang dilakukan Nabi

Muhammad semasa hidupnya. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa Nabi menerima

143 Lih, Allamah Thabathaba‟I, Islam Syiah; Asal-Usul dan Perkembangannya, Grafiti pers. 1989. hlm 202 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 128

wahyu langsung dari Allah, sedangkan mereka (para imam) mendaptakan pengetahuan ini melalui Nabi Muhammad144.

Seorang imam dalam paham Syiah merupakan pengejewantahan perintah Tuhan.

Para imam adalah hujjah (bukti) keagungan dan karunia Allah bagi umat manusia yang pada awalnya telah diwujudkan melalui pesan kenabian dan kitab-kitab suci. Syiah mempercayai bahwa setiap zaman sampai hari kiamat pasti akan ditandai oleh keberadaan Imam- sebagai hujjah Tuhan entah dia hadir secara fisik atau gaib145.

Konsep Syiah ini sangat dekat dengan konsep sufi tentang Insan Kamil atau „manusia sempurna‟. Rumi pernah menyebutkan bahwa di setiap zaman ada seorang wali, qaim

(penguasa zaman). Di setiap zaman ada seorang manusia sempurna yang memiliki seluruh keunggulan manusiawi. Tidak ada zaman tanpa keberadaan manusia sempurna yang sering digambarkan sebagai quthb (kutub, poros, otoritas).

Sebagai penjaga risalah kenabian dan hujjah dari Allah yang merupakan tugas yang sangat berat, seorang imam dalam paham Syiah haruslah maksum (terpelihara dari kemungkinan berbuat salah dan dosa) sebagaimana kemaksuman para nabi dan rasul146.

Kemaksuman imam adalah sesuatu yang bersifat otomatis. Jika imamah sebagai sesuatu yang melengkapi kenabian untuk tujuan menerangkan agama secara mendetail, maka sudah tentu keberadaan imam merupakan keniscayaan dan imam itu harus maksum sebagaimana para nabi. Syiah tidak menerima gagasan bahwa kemaksuman imam bukan hal mendasar dengan dalih bahwa imam (pemimpin) dapat diperingatkan atau

144 Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, Rausyan Fikr Institute, 2012, hlm 84 145 Pembagian hadir dan gaib dilakukan untuk mengakomodasi konsep Syiah tentang Imam Mahdi yang dalam pandangan mereka sedang berada dalam proses kegaiban. Manusia sempurna yang menjadi penguasa zaman saat ini dalam konstruksi Syiah adalah imam Mahdi dalam periode kegaiban tersebut. 146 Lih Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, hlm 88 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 129

diluruskan oleh umat apabila dia cenderung untuk melakukan kekeliruan, sebab kewajiban umat adalah mengikuti imam, bukan membimbingnya. Di sinilah kemaksuman imam mengambil peran penting dalam konstruksi imamah Syiah, tidak dapat dibayangkan seseorang yang diutus Tuhan untuk memandu umat manusia memerlukan bimbingan dan dapat berbuat keliru atau dosa. Sebab tidak mungkin Tuhan memerintahkan untuk taat pada seseorang yang tidak suci dan berpotensi melakukan dosa.

Dengan mengklaim bahwa imamah adalah bentuk pemerintahan ilahiah mengisyaratkan bahwa pengetahuan sang imam juga merupakan pengetahaun dari sumber ilahi, meski para imam tidak menerima wahyu yang juga berakhir seiring berakhirnya periode kenabian. Murtadha Muthahhari mengutip perkataan imam Ali bin

Abi Thalib mengatakan bahwa pengetahuan masuk ke mereka- para imam- sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran. Dengan kata lain pengetahuan mereka bersifat intuitif, bukan hasil belajar, bebas dari kesalahan dan kekeliruan147. Dengan konstruksi seperti itu, akal, kehendak, pertimbangan pribadi nampaknya merupakan sesuatu yang agak asing dalam konstruksi imamah yang sangat mengedapankan kultus individu tersebut.

Lalu bagaimanakah cara penetapan seseorang menjadi Imam? Kelompok Syiah meyakini bahwa keimaman adalah suatu yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah diri imam itu sendiri, dan bukan faktor eksternal semisal pengangkatan atau pemilihan. Seorang imam yang terpilih tetaplah seorang imam meski dia muncul dari balik penjara atau mimbar rasul, baik dia didukung oleh seluruh umat

147 Ibid hlm 180 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 130

atau keagungannya hanya diketahui dan diakui oleh tujuh atau delapan kelompok orang saja148. Dengan kata lain, seorang manusia tidak memilih imam, mereka hanya dapat mengakui kelayakannya saja sebagai seorang Imam. Hal ini mungkin sedikit lebih sama dengan analogi bahwa seorang sastrawan dengan bakat dan kualitas karyanya yang bagus tetap seorang sastrawan meski hanya sedikit yang mengakui kesastrawanannya.

Seorang imam dalam aqidah Syiah tidak diangkat melalui proses pemilihan, pencalonan, pewarisan, atau melalui musyawarah dan konsensus melainkan melalui penunjukan ilahi. Syiah menolak mekanisme pemilihan ataupun otoritas rakyat dalam penentuan Imam karena suara mayoritas tidak menjamin bahwa pemimpin yang terpilih melalui mekanisme tersebut adalah pemimpin yang layak. Pilihan manusia bisa salah, karena itu, jika pemilihan terhadap seorang imam diserahkan pada rakyat, maka pilihan itu akan merusak segenap tatanan moral. Olehnya itu, bimbingan spiritual manusia harus dipercayakan pada orang-orang yang ditunjuk secara ilahiah149.

Sebagai sebuah persoalan yang mencakup berbagai macam aspek seperti kepemimpinan spiritual dan administrasi kekuasaan, karakteristik, dan tanggung jawab yang pelik dan rumit, maka imamah dalam konstruksi teologi Syiah terbatas hanya pada pribadi-pribadi tertentu sebagaimana halnya dengan kenabian. Berbeda dengan administrasi pemerintahan yang tidak terbatas pada masa, sistem, dan orang-orang tertentu. Bertolak dari sini, maka para washi Rasulullah atau para imam Syiah dalam konstruksi Syiah Imamiyah, hanya berjumlah dua belas Imam, tidak lebih yang berasal dari para ahlulbait dimulai dari Imam Ali bin Abi Thalib dan seterusnya hingga berakhir

148 Lih Ali Syariati, Ummah dan Imamah, hlm 172 149 Lih, Ameer Ali, the Spirit of Islam, Penerbit Navila, 2008, hlm 365 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 131

pada Imam Mahdi (250 H-)150. Dari sini kita dapat melihat dengan jelas betapa kontruksi imamah adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dengan konstruksi messianisme

Syiah.

Persoalan imamah adalah persoalan yang kompleks dan kontroversial –jika tidak bisa dikatakan suram- dalam sejarah Islam. Persoalan ini adalah penyebab pertama dan utama dalam perselisihan umat Islam. Persoalan ini telah melahirkan pertentangan wacana yang tidak berkesudahan di antara dua kelompok besar Islam, Sunni maupun

Syiah. Kelompok Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad sebenarnya telah mempersiapkan dan menunjuk suksesornya sebelum dia meninggal. Orang yang dianggap telah ditunjuk oleh Nabi tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi. Sementara menurut kelompok Sunni, kepemimpinan Islam tidak harus didasarkan pada prinsip teokrasi dan aristokrasi sebagaimana konsep imamah yang diyakini komunitas Syiah.

Banyak peristiwa sejarah maupun teks suci (al-Quran maupun hadist) yang diklaim oleh kelompok Syiah sebagai bukti pengangkatan Ali sebagai suksesor Nabi.

Salah satunya adalah peristiwa Ghadir Khum. Ketika nabi dalam perjalanan pulang dari haji wada‟ bersama para sahabat, beliau berhenti di sebuah tempat bernama Gahdir

Khum dan berkata „barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. Hadis ini oleh komunitas Syiah dianggap sebagai bukti penunjukkan

150 Kelompok-kelompok Syiah memiliki perbedaan dalam penentuan jumlah para imam. Perbedaan ini tidak terlepas dari kontestasi perihal konstruksi tentang siapa sosok al-mahdi dalam sekte-sekte Syiah. Namun kelompok mayoritas Syiah yang dikenal dengan syiah imamiyah atau Syiah istna asyariah meyakini para imam berjumlah dua belas orang. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 132

Rasulullah terhadap Ali untuk menjadi pemimpin umat Islam sepeninggalnya.

Keyakinan bahwa Nabi sesungguhnya telah menunjuk pengganti sebelum dia meninggal membuat kelompok Syiah radikal menolak kepemimpinan tiga Amirul

Mukminin awal karena ketiganya (Abu Bakar, Umar, dan Usman) dianggap merampas apa yang seharusnya menjadi hak Ali bin Abi Thalib.

Pendirian Syiah terhadap mahdisme mengindikasikan janji Tuhan tentang kemenangan puncak dari pemerintahan ilahi pada akhir sejarah manusia di bumi dalam bentuk sebuah pemerintahan ilahi global yang memberikan kedamaian, keamanan, kesejahteraan, dan spiritualitas untuk umat manusia. Perspektif teologi ini mengemukakan sebuah pandangan alternatif terhadap teori Barat tentang manusia khususnya dalam kaitannya dengan regulasi sistem pemerintahan151.

Doktin tentang jaminan „keselamatan dan kesejahteraan sempurna‟ secara tidak langsung mengandaikan imaji tentang keberadaan sebuah pemerintahan global.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konsep pemerintahan Islam dalam cita- citanya membangun sebuah ummah yang mandiri bersifat kosmopolitan, melampaui batas-batas teritorial, suku dan bangsa. Dalam konteks ini, Islam nampaknya memiliki kemiripan dengan konsep globalisasi Barat yang berusaha menerapkan sebuah hegemoni melampaui batas-batas Negara sehingga wacana tentang kedaulatan Negara merupakan sesuatu yang berusaha dipudarkan. Namun demikian, Islam mengklaim bahwa konsep pemerintahan globalnya memiliki perbedaan mendasar pada konstruksi bagaimana hubungan antara agama dan politik. Jika globalisasi dan modernisme Barat

151 Hamid Hadji Haidar, Mahdisme; Sebuah Perspektif Teologi Globalis, dalam Oliver Leaman (ed) Pemerintahan Akhir Zaman, Penerbit al-Huda, 2005, hlm 192 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 133

dibangun atas dasar sekularisasi yang membuat agama dianggap sebagai penghambat dan olehnya itu harus disingkirkan, maka dalam konstruksi pemerintahan Islam agama dan politik adalah dua entitas yang saling mengandaikan. Sebagai Negara berlandaskan agama ( sebagai hukum), maka moralitas adalah dimensi yang ditata sedemikan rupa, karena penataan moralitas dikonstruksi sebagai bagian dari jalan keselamatan dan penegakan kepemimpinan ilahi. Pemerintahan Islam –khususnya berkaitan dengan imaji pemerintahan ilahi di akhir zaman- juga mengklaim berbeda dengan konsep pemerintahan Barat dalam implementasi keadilan sosial dan ekonomi di mana yang kaya mengangkangi yang miskin. Dalam konstruksi pemerintahan Islam, ummah yang kuat harus dibangun berdasarkan persamaan hak dan keadilan.

Berbeda dengan kelompok Syiah, Mayoritas kelompok Sunni menganggap imamah sebatas sebagai jabatan kekhalifaan (kepemimpinan sosial). Imamah dan kekhalifaan, dalam pandangan Sunni adalah dua istilah yang sinonim. Khalifah dalam pandangan Sunni adalah seseorang yang menerima jabatan kepemimpinan umat melalui sebuah pemilihan. Ini berarti jabatan khalifah adalah tanggung jawab sosial, bukan berdasarkan pengangkatan Tuhan (atas penunjukannya). Keunggulan dalam hal ilmu dan takwa –apalagi kemaksuman- bukan syarat wajib dalam kekhalifaan. Bahkan, seandainya seorang khalifah keluar dari batas-batas ketakwaan dan melakukan perbuatan dosa, hal tersebut tidak berpengaruh pada kelangsungan jabatan kekhalifaannya.

Pemilihan khalifah dalam perspektif Sunni dilaksanakan dengan tiga cara yaitu melalui kesepakatan umat, penunjukan khalifah sebelumnya, atau melalui musyawarah.

Menurut kelompok Sunni, kedudukan imam tidak hanya terbatas pada keluarga PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 134

Muhammad saja. Seorang Imam tidak perlu adil, bijak, atau tanpa dosa (maksum) dalam hidupnya. Seorang imam juga tidak perlu orang yang paling unggul pada zamannya, asalkan seseorang itu merdeka, dewasa, tidak gila dan memiliki kemampuan mengatur urusan sehari-hari Negara, maka ia berhak dipilih menjadi imam. Dalam Sunni juga terdapat doktrin bahwa kelaliman imam tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk menurunkannya, meskipun dalam faktanya doktrin ini tidak terlalu ditaati oleh kaum muslim. Mungkin doktrin tersebut diciptakan oleh masa-masa imperium tertentu untuk memapankan kekuasaan dengan dalih demi stabilitas.

Pemaparan panjang lebar konsep imamah baik dari perspektif Syiah maupun

Sunni saya anggap penting sebagai jalan untuk memahami unsur konstruksi imamah yang dibangun Jamaah an-Nadzir. Bagaimanapun juga, konstruksi imamah an-Nadzir yang tidak bisa dipisahkan dengan bangunan messianisme mereka dibangun melalui modifakasi konsep imamah Sunni dan Syiah. Meski konsep imamah Sunni dan Syiah mempunyai perbedaan fundamental, namun Jamaah an-Nadzir tidak meniru secara persis salah satu dari konsep imamah tersebut melainkan mengakomodasi keduanya untuk membentuk konsep imamah mereka secara khas. Hal ini sepertinya dilakukan untuk membedakan diri sekaligus juga menegasikan kedua kelompok besar Islam tersebut karena bagaimanapun Jamaah an-Nadzir tidak merasa sebagai salah satu bagian dari keduanya.

B. Dinamika Konstuksi Pemerintahan Islam di Sulawesi Selatan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 135

Pengaruh Islam di Sulawesi Selatan yang baru memeluk agama tersebut pada awal abad ketujuh belas152 telah menancapkan pengaruh sangat kuat dengan menjadi salah bagian tatanan adat masyarakat Bugis-Makassar. Norma-norma adat yang disebut panngadakkang/panngadderreng dilebur bersama dengan norma-norma agama yang disebut sara‟ (berasal dari kata syariat yang berarti tatanan hukum-hukum Islam). Oleh karena itu, pelanggaran terhadap norma-norma agama pada akhirnya menjadi identik dengan pelanggaran terhadap adat. Integrasi ajaran Islam ke dalam adat istiadat dan kehidupan masyarakat menyebabkan sendi-sendi adat istiadat menjadi sebagai berikut; ada‟. rapang, wari, bicara, dan aspek hukum Islam nyaitu sara‟153.

Fakta bahwa Islam telah mempunyai pengaruh sangat besar pada pusat-pusat perdagangan dan perniagaan yang terletak di sepanjang wilayah nusantara semisal,

Malaka, Sumatera, Jawa Timur, dan kepulauan Maluku memberi peran sangat besar dalam proses Islamisasi masyarakat Bugis-Makassar lewat perjumpaan mereka dengan para pedagang Arab maupun melayu, namun demikian proses Islamisasi di Makassar – dalam konteks ini adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo –adalah sebuah proses kompleks yang tidak dapat disimplifikasi ke dalam satu sebab besar dan tunggal karena Islamisasi bukanlah sebuah proses yang berjalan selangkah demi selangkah yang secara otomatis

152 Para Ahli berselisih mengenai tahun yang dianggap menandai masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Ada yang menyebut tahun 1603, 1605, dan 1606 Masehi sebagai tahun masuknya Islam di Makassar. J. Noorduyn dalam menyikapi berbagai perbedaan penyebutan tahun masuknya Islam di Makassar menyimpulkan bahwa tahun 1605 sebagai tahun di mana Islam dijadikan sebagai agama kerajaan Gowa- Tallo. Menurut Noorduyn, meski berbeda-berbeda dalam penyebutan tahun, namun catatan-catatan sejarah baik dari sumber-sumber Makassar maupun sumber Belanda menyebutkan tanggal yang sama yaitu pada tanggal 22 September atau bertepatan dengan 9 Jumadil Awwal Hijriah. Mengingat jumlah hari dalam penanggalan Hijriah yang terdiri dari 354 hari sementara penanggalan Masehi terdiri dari 365 atau 366 maka tidak mungkin dalam 2 tahun tanggal pada kedua system penanggalan tersebut jatuh pada pecan yang sama. Tanggal 22 September/9 Jumadil Awal hanya cocok dengan tahun 1605. Lih, Noorduyn, Islamisasi Makasaar, Bhratara, 1972. 153 Lih Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Lamacca Press, 2003, hlm 13. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 136

dapat dimengerti dalam satu sebab saja. Pada kenyataannya, Islam berhasil mengkonversikan hampir seluruh masyarakat nusantara bahkan sampai ke pelosok pedalaman, tidak hanya terbatas pada daerah pesisir yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan.

Cerita tentang masuknya Islam sebagaimana berkembang dalam cerita rakyat banyak dibumbui dengan kesan-kesan mitologis supranatural. Salah satu dari versi tersebut menceritakan tentang ihwal kedatangan Datuk ri Bandang ke pelabuhan Tallo dengan menumpang perahu ajaib. Setelah mendarat di pantai Makassar, Datuk ri

Bandang bergegas dan melaksanakan Shalat. Gerakan Shalat Datuk ri Bandang menggemparkan rakyat Tallo karena dianggap sebagai gerakan yang asing dan aneh.

Kejadian tersebut akhirnya disampaikan kepada Raja Tallo, Mangkubumi kerajaan

Gowa I Mallingkang Daeng Mannyonri Karaeng Katangka. Raja Tallo pun bergegas untuk menemui Datuk ri Bandang, namun di tengah jalan dia dicegat oleh orang tua yang menanyakan ke mana Raja hendak pergi. Orang tua tersebut kemudian menuliskan sebuah rajah yang ternyata adalah dua kalimat syahadat di tangan Baginda Raja Tallo untuk diperlihatkan kepada Datuk ri Bandang. Melihat tulisan tersebut, Datuk ri

Bandang takjub dan mengatakan bahwa orang tua yang menemui Raja tak lain dan tak bukan adalah perwujudan dari Nabi Muhammad sendiri. Kejadian tersebut membuat

Raja Tallo mantap untuk memilih agama baru tersebut, Islam.

Pertemuan antara Raja Tallo dan „Nabi Muhammad‟ dalam bahasa Makassar disebut sebagai „mangkasaraki Nabbiya ri Tallo‟ yang artinya nabi menampakkan dirinya di Tallo. Sebagian kelompok masyarakat di Makassar memberi interpretasi kalimat itu sebagai dasar penamaan kota Makassar, tetapi interpretasi ini agak sulit PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 137

dibuktikan secara ilmiah mengingat nama Makassar telah dikenal sejak abad XII sebagaimana tertulis dalam buku Nagarakertagama, karangan Prapanca154.

Cerita di atas mengesankan bahwa Islam adalah agama baru yang asing dan tidak dikenal Sultan ataupun rakyat sebelumnya. Padahal dapat dipastikan bahwa

Karaeng dan sebagian besar rakyat khususnya mereka yang bermukim di daerah pesisir sedikit banyak telah mengenal Islam melalui perjumpaan dengan para saudagar- saudagar Arab dan Melayu yang beragama Islam. Bahkan sebelum Raja Tallo memeluk

Islam, di Makassar telah terdapat sebuah masjid yang dibangun pemukiman orang- orang melayu yang beragama Islam.

Pelabuhan Makassar di masa abad ketujuh belas memang menjadi salah satu pelabuhan yang ramai dan sibuk apalagi setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis.

Raja Gowa saat itu membuka akses seluas-luasnya terhadap lalu lintas perdagangan di perairan Makassar bagi siapapun. Hal tersebut dapat kita lihat kutipan pernyataan Sultan

Alauddin yang terkenal dalam menanggapi pemintaan Belanda (VOC) kepada Sultan untuk melarang kapal-kapal Portugis melakukan aktivitas perdagangan di pelabuhan

Makassar.

Tuhan menciptakan tanah dan laut; tanah yang Dia bagi di antara umat manusia dan laut di mana Dia memberi kesamaan. Saya (Raja Gowa) belum pernah mendengar bahwa ada orang yang dilarang untuk mengarungi lautan.155 Proses Islamisasi Sulawesi Selatan tidak bisa dibicarakan tanpa menyebutkan peran vital tiga datuk mubaligh dari Minangkabau. Mereka adalah Abdul Makmur

154 Lih, Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVI, Yayasan Obor, 2005, hlm 98. 155 Lih, Anthony Reid, Pluralism an Progress in Seventeenth- Century Makassar, Published by KITLV, hlm 436 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 138

Khatib Tunggal Datuk ri Bandang, Sulaiman Khatib Sulung Datuk Patimang, dan Abdul

Jawad Khatib Bungsu atau lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Meski sebelum ketiga datuk tersebut komunitas Melayu telah lama ada di Makassar, namun mereka tidak mampu mengkonversikan raja-raja Gowa menjadi Muslim. Barulah melalui peran ketiga datuk, raja Gowa-Tallo berhasil dikonversikan ke dalam Islam. Kedatangan para mubaligh Minangkabau ini juga sekaligus untuk mengimbangi misi Katolik di Sulawesi

Selatan156.

Sebelum memeluk Islam, orang-orang Bugis-Makassar telah mempunyai agama lokal yang meraka anut. Agama lokal pra-Islam tersebut juga tidak bisa dengan dimensi kekuasaan karena kepercayaan lokal tersebut menjadi penopang kekuasaan para raja dan bangsawan di Sulawesi Selatan. Dalam masyarakat Bugis-Makassar raja diidentifikasi dalam hal fungsinya sebagai penjamin spiritual dan kesejahteraan material seluruh masyarakat. Dia dianggap sebagai perantara penting hubungan antara umat manusia di muka bumi ini dan para dewa (atau Tuhan) dari „alam atas‟ dan di sisi lain, raja juga berfungsi sebagai alat rakyat dalam mempertahankan adat, atau hukum dan kearifan lokal masyarakat157.

Kedudukan raja yang tinggi tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstruksi mitologis yang dipercayai oleh masyarakat Bugis-Makassar. Dalam mitologi orang

Bugis, bumi dijelaskan pada awalnya berada dalam kekacauan. Para dewa dan dewi dari

„alam atas‟ memutuskan untuk mengirim Batara Guru, putra tertua dari dewa utama, To

156 Lih, Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVI, Yayasan Obor, 2005, hlm 89. 157 Lih, Leonard Y. Andaya, Kingship-Adat Rivalry and the Role of Islam in South Sulawesi, Published by Cambridge University Press, hlm 22. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 139

Palanroe (Sang Pencipta), juga dikenal sebagai To Patotoe, untuk mengubah kekacauan ini menjadi tempat hunian bagi manusia. We Nyilitimo', putri dari dewa utama dari

Dunia Bawah, bersama dengan lima putri yang lebih rendah, didelegasikan untuk melayani sebagai sahabat dan istri bagi Batara Guru di bumi. Mereka bertemu di Ware',

Luwu' dan memulai peradaban yang menyebar ke seluruh Sulawesi dan ke tempat lain.

Setelah beberapa jangka waktu Batara Guru dan istrinya kembali ke alam atas, meninggalkan anak-anak mereka untuk menguasai bumi158.

Dalam kerajaan Bugis-Makassar, manusia yang diutus untuk mengakhiri periode kekacauan di muka bumi disebut To (Bugis) / Tu (Makassar) Manurung, atau "orang yang turun dari alam atas" secara tiba-tiba. Semua kerajaan di Sulawesi Selatan mengklaim kerajaan mereka diawali dengan pemerintahan seorang Tu Manurung.

Sumber-sumber lokal tidak banyak menerangkan secara pasti mengenai kapan periode

Tu Manurung ini terjadi. Keturunan dari para Tu Manurung ini yang kemudian menjadi raja-raja di Sulawesi Selatan‟. Kisah kedatangan Tu Manurung biasanya disertai dengan objek-objek pusaka yang disebut Gaukeng atau regalia. Regalia pada perkembangannya menjadi semacam legimatimator kedudukan raja. Raja yang dilantik tanpa regalia tersebut akan dianggap tidak sempurna kedudukannya sebagai seorang raja. Dari sini konsep Tu Manurung masyarakat Bugis-Makassar ini seperti saya sebutkan pada bagian sebelumnya sangat kental dengan semangat messianistik.

Penjelasan singkat mengenai unsur-unsur mitologis yang membentuk kerajaan- kerajaan Sulawesi Selatan di masa lalu khususnya kerajaan Gowa-Tallo yang merupakan kerajaan terbesar dan memegang peranan paling penting dalam proses

158 Ibid hlm 23 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 140

Islamisasi masyarakat Sulawesi Selatan dengan menjadikan Islam sebagai agama

Negara memberikan gambaran kepada kita bagaimana mitos tersebut kental dengan kultus individu yang direpresentasikan melalui tokoh Tu Manurung. Mitos mengenai asal-usul manusia dan pemerintahan kerajaan di Sulawesi Selatan yang dikonstruksi sebagai hasil campur tangan para Dewa yang mengirim anaknya ke muka bumi untuk mengatasi kekacauan dan menempatkan keturunannya sebagai penguasa mengesankan usaha untuk mengklaim bahwa pemerintahan di tempat tersebut merupakan pemerintahan „ilahiah‟, dan bahwa penguasa adalah „bayang-bayang‟ dan representasi dari kehendak yang Maha kuasa. Pemaparan mengenai kepercayaan mitologis masyarakat Sulawesi Selatan menurut saya penting untuk memperlihatkan sisi politis penerimaan agama Islam karena agama Islam masih memiliki kedekatan konstruksi dalam hal regulasi kekuasaan dengan konstruksi mitologis masyarakat setempat yang digantikannya.

Tanpa berusaha mereduksi pengalaman spiritual pengalaman Raja Gowa-Tallo dan masyarakat Sulawesi Selatan masa lalu yang melakukan konversi menjadi Muslim, namun penerimaan agama Islam sebagai agama Negara tidak bisa dilepaskan dari muatan-muatan politis. Konon, sebelum memilih Islam, Raja Tallo, Mangkubumi kerajaan Gowa bingung apakah harus memilih menjadi Katolik yang merupakan agama orang-orang Portugis atau memilih menjadi Muslim yang merupakan agama orang- orang Melayu. Menurut salah satu versi cerita mengenai proses awal Islamisasi di

Gowa, bahwa untuk mengatasi kebimbangan raja terhadap kedua agama tersebut, raja

Tallo meminta didatangkan paderi Portugis dari Malaka dan ulama Islam dari .

Siapapun yang terlebih dahulu sampai maka agamanya yang akan dianut raja dan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 141

rakyatnya. Pada akhirnya ulama Islamlah menurut versi ini yang terlebih dahulu sampai ke Makassar159.

Penerimaan Islam berkaiatan erat dengan kesadaran para penguasa Sulawesi

Selatan bahwa Islam adalah kekuatan dinamis dan kuat. Hal tersebut dibuktikan melalui kerajaan Islam seperti kerajaan Ternate, Sulu, dan kerajaan Aceh yang sangat terpengaruh oleh kerajaan Mughal di India yang kebesarannya telah sampai ke telinga para penguasa Makassar. Pengaruh Islam juga sangat kental dalam bahasa Melayu yang menjadi lingua franca perdagangan di seluruh Nusantara 160.

Dari ketiga datuk yang menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, salah satu dari mereka menyebarkan Islam melalui pendekatan esetoris Syariah atau praktik ortodoks hukum Islam, sementara yang lain menyebarkan Islam melalui pendekatan sufi atau mistisisme Islam. Para penguasa Bugis-Makassar terpengaruh dua bentuk kesadaran

Islam ini, baik pemahaman pada wahyu kenabian yang dipahami dalam syariah dan teologi maupun dari mistikus sufi yang mengaku dapat mengetahui yang Real atau al-

Haqq (Tuhan) yang tidak dapat diketahui melalui permukaan agama (syariah), tetapi melalui pengalaman langsung dengan Tuhan161.

Konsep sufi yang berkembang di Makassar dan umumnya pada kerajaan- kerajaan Islam di Nusantara adalah konsep raja sebagai Insan Kamil atau „manusia sempurna. konsep ini secara sangat eksplisit memberikan legitimasi dukungan teologis kepada para raja atau sultan. Salah satu pendukung konsep ini adalah ulama terkenal

159 Lih Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Lamacca Press, 2003, hlm 83. 160 Lih, Leonard Y. Andaya, Kingship-Adat Rivalry and the Role of Islam in South Sulawesi, Published by Cambridge University Press, hlm 31. 161 Ibid hlm 34 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 142

Hamzah Pansuri yang sempat bermukim selama beberapa waktu di Aceh. Dalam salah satu karyanya, Hamzah Pansuri mengungkapkan kecenderungannya terhadap konsepsi penguasa sufi.

Penguasa alam semesta, hanya raja, pusat alam semesta, yang paling agung, kesempurnaan yang lengkap. Salah satu pilihan Allah, sempurna dalam persekutuan (dengan-Nya), Raja yang paling bijaksana dan sempurna untuk memecat162. Konsep sufi yang aplikatif tersebut dan ketenaran kerajaan-kerajaan Islam nusantara tentunya menjadi salah satu alasan penerimaan Islam oleh kerajaan Gowa-

Tallo. Dengan menjadi Muslim, Sultan memperoleh berbagai keistemaan dan keunggulan atas seluruh manusia (rakyat) karena dikonstruksi sebagai „wakil Tuhan di bumi‟. Konsep „insan kamil‟ versi ini membangun konstruksi bahwa Tuhan memilih dua kelas anak manusia yang Dia beri keunggulan atas manusia lainnya, kedua kelompok manusia tersebut adalah para nabi dan para raja. Untuk membimbing manusia mengenal-Nya, Tuhan mengirimkan para nabi. Sementara untuk menjamin kesejahteraan dan kebijaksanaan-Nya, Tuhan mengirim para raja. Seorang sultan harus dicintai dan diikuti. Membenci raja dianggap perbuatan yang salah, bersengketa dengannya adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Untuk memperkuat klaim seperti ini biasanya dinukilkan kutipan ayat suci yang menyebutkan tentang „keharusan taat kepada Allah, Rasulullah, dan para pemegang otoritas163 (penguasa, raja, sultan, atau semacamnya). Propaganda keharusan untuk taat pada pemangku otoritas seperti ini bahkan masih digunakan sampai saat ini.

162 Ibid hlm 34 163 Q.S an-Nisa ayat 59 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 143

Kedudukan raja di kerajaan Gowa yang disebut „Sombayya‟ memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat kerajaan Gowa memandang Sombaya sebagai titisan dewata yang „berdarah putih‟ yang merupakan anak keturunan tumanurung164. Gagasan ini memperlihatkan kemiripan dengan gagasan mengenai „insan kamil‟ Islam yang memberikan kedudukan istimewa kepada para sultan. Dengan melakukan konversi ke dalam Islam, raja Sulawesi Selatan tidak akan kehilangan konstruksi kewibawaannya yang sebelumnya disediakan melalui mitos-mitos lokal, malah semakin ditinggikan.

Jika sebelum terjadinya Islamisasi raja dipandang sebagai bayang-bayang Tuhan, setelah Islamisasi raja direpresentasikan sebagai wakil Tuhan di bumi. Sebagai "wakil

Allah di bumi", seorang penguasa muslim (Sultan), berdiri di puncak struktur administrasi Islam, yang membentang mulai dari istana, pusat-pusat kota sampai ke sudut terkecil di seluruh penjuru wilayahnya.

Konsep Islam sufi ini nampak mengakomodasi konsep kepemimpinan Sunni maupun Syiah. Meskipun tidak seperti Syiah yang menggambungkan peran sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin politik, namun pengklaiman raja sebagai wakil

Tuhan adalah usaha untuk mendapatkan legitimasi religius bahwa pemerintahan sang raja adalah pemerintahan yang didasarkan pada pemerintahan dan kehendak ilahiah.

Bagaimanapun interpretasi sufistik memang seringkali dianggap memiliki kedekatan dengan kontruksi interpretasi teologi Syiah. Dari sini kita dapat melihat bagaimana wacana pengetahuan –dalam konteks ini adalah wacana/pengetahuan religius- dan kekuasan –meminjam bahasa Foucault- adalah sesuatu yang saling mengandaikan dan

164 Lih, Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Lamacca Press, 2003, hlm 84 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 144

tidak bisa dipisahkan, kedauanya hadir secara bersamaan dan saling menopang untuk mewujud dalam sebuah praktik sosial tertentu dalam berbagai ranah.

Konsep „insan kamil‟atau „manusia sempurna‟ yang dalam sangat populer pada kerajaan-kerajaan Islam nusantara masa lalu mungkin tidak lepas dari pengaruh aliran filsafat timur yang dibangun atas landasan pensakralan tokoh-tokoh, wali-wali, dewa- dewa, atau para guru-guru sufi. Gagasan mengenai „insan kamil‟ biasanya disandarkan pada tokoh-tokoh besar filsuf dan atau para guru-guru besar sufi semisal al-Farabi,

Imam Gazali, Ibn Taimiyah Ibn Arabi, al-Jilli dan tokoh-tokoh besar lainnya.

Perwujudan insan kamil yang dianggap sempurna mewujud dalam diri dan kepribadian

Nabi Muhammad. Namun posisi tersebut juga dapat diraih atau setidaknya didekati oleh manusia lain dengan mencontoh dan meneladani sosok dan kepribadian Muhammad.

Manusia sempurna merupakan copy (nuskha) Tuhan. Tuhan menciptakan manusia dalam bayangan diri-Nya165. Untuk menggapai posisi tersebut dibutuhkan latihan penyucian diri secara terus-menerus. Konsep yang kelihatannya sangat bersifat teologis dan personal juga digunakan dalam wacana kekuasaan. konsepsi ini diantaranya diperkenalkan oleh al-Gazali dan Ibn Taimiyah. Al-Gazali berpendapat bahwa raja atau imam merupakan „bayangan Tuhan di bumi‟. Kekuasaan imam adalah kekuasaan yang muqaddas (yang disucikan) yang harus dihormati dan ditaati oleh setiap rakyat. Al-Gazali mengemukakan bahwa untuk menjadi imam (raja) seseorang haruslah memenuhi beberapa persyaratan yaitu: dewasa, berakal, merdeka sempurna penglihatan dan pendengarannya. Sementara Ibn Taimiyah mengatakan bahwa raja sesungguhnya

165 Lih, M. Dawam Rahardjo (ed), Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, Grafiti Pres, 1985, hlm112. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 145

adalah bayangan Tuhan di muka bumi166. Konsep raja sebagai „bayangan Tuhan‟ menurut Milner merupakan pengaruh dari pengaruh pemikiran politik Islam Persia.

Konsep ini telah diterapkan oleh para raja-raja Babilonia pra-Islam yang mempengaruhi raja-raja Persia dan kemudian mempengaruhi Islam. Konsep semacam ini pernah juga dipropagandakan oleh rezim pemerintahan Bani Abbasiyah167.

Setelah memeluk Islam, Raja Gowa merasa wajib untuk menyebarkan Islam ke seluruh Sulawesi selatan. Beberapa kerajaan seperti kerajaan Sawitto dan Mandar menerima ajakan tersebut secara damai. Namun tidak demikian halnya dengan kerajaan

Tellumpoccoe yang terdiri dari kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo yang menolak ajakan untuk menganut agama Islam dari Raja Gowa. Terhadap kerajaan Tellumpoccoe ini

Gowa menyatakan perang suci atau dalam bahasa Makassar dikenal sebagai bundu sallang (perang untuk mengislamkan ketiga kerajaan tersebut). Di sinilah sisi politis penerimaan Islam sekali lagi mendapatkan tempat, penolakan terhadap ajakan menjadi

Islam memberikan Gowa alasan untuk menginvasi ketiga kerajaan Bugis tersebut yang merupakan saingan terberat mereka dalam menancapkan hegemoni di seluruh jazirah

Sulawesi Selatan. Setelah melalui serangkaian serangan, berturut-turut Soppeng akhirnya takluk dan menerima Islam pada tahun 1609, kerajaan Wajo takluk pada tahun

1610, sementara Bone takluk setahun setelahnya. Berkaitan dengan aspek politis invasi

Gowa tersebut Noorduyn berkomentar,

166 Lih, Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Lamacca Press, 2003, hlm 158-159. 167 Lih A.C. Milner, Islam and the Muslim State, dalam M.B Hooker (ed), Islam in South-East Asia, E.J Brill, 1988, hlm 37 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 146

Bagi Gowa, arti pengiriman pasukan itu bukan hanya soal memenuhi kewajiban suci. Dalam hal ini Gowa berhasil menaklukkan kerajaan Bugis secara telak… dan terutama Bone, musuh lamanya di semenanjung itu168. Ada beberapa model kekuasaan yang politis yang pernah berkembang di

Sulawesi Selatan di mana wacana Islam dan kompleksitas kekuasaan saling mengandaikan. Salah satunya adalah konsep Insan Kamil yang telah dibahas yang dijadikan raja-raja Sulawesi Selatan sebagai untuk melegitimasi diri di mata rakyat dan untuk menjalin baru dengan penguasa-penguasa Islam lain diseluruh kepulauan Asia

Tenggara. Model kedua mewujud dalam keunggulan spiritual yang berada dalam diri orang-orang suci kosmopolitan, berbeda dengan yang pertama, orang-orang kharismatik ini sering lahir dari keluarga biasa yang menjaga jarak dengan pusat-pusat kekuasaan politisi korup. Mereka mengejar pengetahuan dan kekuasaan bukan dengan mendaki hierarki lapisan sosial, namun lewat perjalanan melampaui dunia demi mencari pengetahuan universal. Salah satu „orang suci‟ semacam ini adalah Syekh Yusuf al-

Makassari169. Sampai saat sosoknya masih sangat dihormati dan dimistifikasi masyarakat Makassar, pusaranya yang dianggap tersebar di berbagai tempat tidak pernah sepi pengunjung.

Model ketiga adalah sebuah model mistis Islam yang berusaha meredam kesetiaan terhadap tokoh-tokoh Islam lokal dan menekankan kesetiaan kepada rasul universal Islam, Muhammad. Model ini berkembang pada akhir abad ke 18, sebagian sebagai respon atas meluasnya ekspansi Eropa. Model kesetiaan terhadap Nabi ini diekspresikan melalui berbagai ritual seperti peringatan Maulid dan pembacaan

168 Lih, Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVI, Yayasan Obor, 2005, hlm 119 169 Lih Thomas, Gibson, Kekuasaan Raja, Syeikh dan Ambtenaar, Ininnawa, 2009, hlm 302 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 147

Barazanji, sebuah karya terkenal ditulis oleh Jaffar al-Barazanji yang menceritakan perjalanan hidup Nabi Muhammad dalam bentuk prosa170. Pembacaan Barazanji menjadi ritual yang terkandung dalam seluruh siklus hidup orang Bugis-Makassar mulai dari kelahiran sampai kematian.

Model keempat adalah pemujaan terhadap tindak jihad di mana kematian dalam peperangan menjadi pilihan bagi mereka yang telah dipermalukan VOC secara tak terperi171. VOC dianggap sebagai representasi kekuasaan kafir, tujuan jihad bukan untuk mengalahkan musuh di dunia, melainkan meraih berkah spiritual di hari kemudian.

Dalam model seperti perbedaan identitas menjadi utama, „aku‟ dan „kamu‟, „kita‟ dan

„mereka senantiasa dikontestasikan. Konsep jihad ini pula yang menginspirasi para gerilyawan muslim di bawah panji DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar dari rentang tahun

1950 sampai1965.

Model kelima berkembang pada abad ke 19. Masa ini ditandai dengan banyaknya orang-orang Sulawesi Selatan yang sudah bisa mengakses perjalanan ibadah haji, para haji baru tersebut sepulang dari timur tengah mengkritik banyak praktik ritual yang mereka bid‟ah. Model ini terus berkembang sampai abad 20 ketika sistem pendidikan Eropa sudah mulai diperkenalkan di Hindia Belanda. Perkembangan ini membangkitkan pergerakan Islam modernis semisal Muhammadiyah yang melancarkan sikap permusuhan terhadap ritual-ritual tradisional masyarakat yang dianggap mengekalkan sistem kebangsawanan, terhadap persaudaraan sufi tradisional, dan juga terhadap kekuasaan Kolonial Eropa.

170 Ibid, hlm 303 171 Ibid, hlm 304 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 148

Model-model penerapan kepemimpinan yang dijelaskan Gibson tersebut senantiasa muncul dalam konteks ritual tertentu. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti dalam sebuah periode tertentu dalam sejarah masyarakat yang kompleks seperti masyarakat hanya berlaku sebuah tatanan politik dan kekuasaan tunggal. Ada banyak model dan konstruksi kepemimpinan (kekuasaan) yang senantiasa bersaing. Model konstruksi kepemimpinan politik dan keagamaan yang diedialisasi sekalipun tidak pernah lepas dari tantangan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Foucault bahwa setiap usaha pendisiplinan untuk memanpankan bentuk-bentuk kekuasaan pasti akan selalu menemui perlawanan. Lagi pula, pengalaman religius masyarakat Bugis-

Makassar dan narasi Islam di Sulawesi Selatan adalah sebuah narasi kompleks yang tidak bisa direduksi dalam satu narasi tunggal.

C. Konstruksi Sistem Kepemimpinan Jamaah an-Nadzir

Aspek kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam komunitas an-

Nadzir. Aspek kepemimpinan tersebut bukan hanya dikonstruksi sebagai sesuatu yang harus ada untuk menjamin regulasi kehidupan komunitas sebagaimana lazimnya dalam organisasi-organisasi biasa, tetapi juga berperan menjamin eksistensi Jamaah an-Nadzir dalam menghadapi berbagai ancaman dari luar. Eksistensi dan kestabilan Jamaah an-

Nadzir di Mawang kabupaten Gowa dengan berbagai „ketidaklaziman‟ teologi yang mereka yakini dan praktikkan tidak bisa dilepaskan dari peran ketokohan dan kharisma pemimpin jamaah mereka. Lebih dari itu, seperti kebanyakan gerakan messianistik, aspek kepemimpinan adalah bagian tidak terpisahkan dari konstruksi messianistik yang mereka bangun. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 149

Melalui pengantar singkat di atas, dapat dilihat bagaimana penting dan vitalnya peran tokoh kharismatik dalam gerakan-gerakan messianistik seperti Jamaah an-Nadzir bahkan sangat sering keberadaan seseorang yang direpresentasikan sebagai tokoh kharismatik supranatural menjadi sebab awal dan mapannya kelompok-kelompok gerakan messianistik. Dalam konteks Jamaah an-Nadzir, usaha representasi diri sebagai tokoh kharismatik dimulai oleh pendiri Jamaah an-Nadzir, Kyai Samsuri Madjid.

Dalam berbagai kegiatan dakwahnya di Indonesia, Kyai Samsuri Abdul Madjid menitikberatkan ajarannya pada pemurnian syariat (hukum) dan aqidah. Dalam pandangan Jamaah an-Nadzir, saat ini ajaran Islam telah banyak diubah dari apa yang telah teladankan oleh Nabi Muhammad. Kyai Syamsuri Abdul Madjid mengklaim bahwa apa yang dia ajarkan adalah upaya untuk menegakkan kembali Hukum Tuhan di muka bumi. Selain penegakan hukum Tuhan, Kyai Samsuri juga menekankan ajarannya pada pemurnian aqidah dan proses manusia mengenal tuhan. Dalam perspektif Kyai

Samsuri, kebanyakan umat Islam saat ini hanya mengenal nama-nama dari Tuhan, sementara wujud dan esensi Tuhan mereka tidak kenal, padahal hakikat menjadi Islam menurut Syamsuri172 –yang kemudian menjadi pemahaman Jamaah an-Nadzir- adalah pengenalan terhadap tuhan.

Kyai Samsuri, oleh para anggota Jamaah an-Nadzir disebut dengan panggilan abah atau Imam Besar. Penamaan itu secara nyata menunjukkan bagaimana Kyai

Syamsuri yang merupakan founding father komunitas direpresentasikan sebagai puncak dari dinamika kepemimpinan yang dipahami oleh Jamaah an-Nadzir. Lebih dari itu, penamaan tersebut juga merepresentasikan kemuliaan Kyai Samsuri sebagai seorang

172 Dikutip dari salah satu catatan rekaman dakwah Kyai Syamsuri Abdul Madjid PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 150

pribadi dalam pandangan an-Nadzir. Dia dianggap sebagai pengayom dan pembimbing spiritual komunitas yang tidak terbantahkan.

Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa pemimpin mereka, kyai Syamsuri Madjid adalah perwujudan sosok Imam Mahdi. Sosok Syamsuri juga dianggap sebagai

„reinkarnasi‟ sosok Kahar Muzakkar, yang berarti secara tidak langsung juga mengklaim bahwa Kahar Muzakkar juga adalah sosok Imam Mahdi. Seperti kaum

Syiah, An-Nadzir juga meyakini bahwa Imam Mahdi mengalami beberapa tahap kegaiban. Namun demikian, Jamaah an-Nadzir membangun konstruksi wacana kegaiban yang berbeda dengan Syiah meski dengan pola yang mirip.

Menurut an-Nadzir, Imam Mahdi pertama kali gaib sewaktu dia masih kecil, lalu kemudian muncul lagi sebagai sosok Kahar Muzakkar, kemudian dalam sosok Kyai

Samsuri Madjid. Ketika kyai Samsyuri Meninggal dunia di Jakarta pada Sabtu, 12

Agustus 2006, oleh Jamaah an-Nadzir Kyai Syamsuri tidak disebut meninggal melainkan mereka menyebut pemimpin mereka tersebut „gaib‟. Pemakaian kata gaib tersebut berkaitan erat dengan keyakinan mereka tentang siapa sosok al-Mahdi.

Kematian Kyai Syamsuri oleh Jamaah an-Nadzir disebut sebagai peristiwa „Ghaib

Kubra‟. Imam Mahdi menurut an-Nadzir akan muncul kembali dalam wujud aslinya dari arah „timur‟ untuk menegakkan hukum Tuhan dan menebarkan keadilan ilahiah ke seluruh penjuru dunia.

Sepeninggal Kyai Syamsuri, Jamaah an-Nadzir dipimpin oleh dua orang murid langsung Kyai Syamsuri yang bernama ustad Lukman Bakti dan ustad Rangka. Ustadz

Lukman Bakti lahir di Pattedong, Palopo, 14 Desember 1969. Dia menyelesaikan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 151

Sekolah Dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) semuanya di kabupaten

Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Setamat SMA, dia melanjutkan pendidikannya pada jurusan Adronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Muslim Indonesia dan meraih gelar sarjana pertanian. Sebagai salah satu pimpinan Jamaah an-Nadzir, Ustad Lukman Bakti berperan menjadi representasi atau perwakilan jamaah dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan hubungan jamaah dengan kelompok di luar mereka. Ustad Lukman lah yang senantiasa memberi pernyataan mengenai Jamaah an-Nadzir semisal kepada media atau institusi lainnya. Hal ini mungkin tidak bisa dilepaskan dari pengalamannya semasa kuliah yang aktif dalam berbagai organisasi mahasiswa semisal HMI sehingga oleh anggota Jamaah an-Nadzir dia dianggap dapat menyampaikan gagasan-gagasan komunitas secara retoris.

Sementara itu, pemimpin tertinggi Jamaah an-Nadzir adalah ustad Rangka

Hanong. Oleh anggota jamaah dia biasanya disebut dengan panggilan „panglima‟ atau

„‟abah‟. Ustadz Rangka merupakan penduduk asli Mawang. Sebelum bergabung dengan

Jamaah an-Nadzir dia merupakan tokoh masyarakat yang disegani di daerah Gowa.

Ustadz Rangka oleh masyarakat setempat dianggap memiliki kekebalan terhadap senjata tajam, wacana tentang kekebalan dirinya terhadap senjata juga kerap dia jadikan sebagai instrumen dalam berdakwah seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya.

Ketokohan dan kharisma ustad Rangka khususnya sebagai seorang „jawara‟ diakui oleh banyak pihak.

Di Mawang itu banyak anak-anak nakal, pemudanya di sana rata-rata bertatto, bahkan ustad Rangka juga dulu itu nakal. Ustad rangka itu, kalau PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 152

anak-anak nakal sekitar Gowa Takalar Jeneponto, sebut namanya saja mereka takut. 173 Ketokohan dan kharisma ustadz Rangka pula lah yang menjadi alasan rasional

Jamaah an-Nadzir menjadikan Mawang sebagai daerah basis komunitas dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Kehadiran tokoh yang disegani masyarakat seperti ustadz Rangka memberi jaminan rasa aman dan kebebasan untuk melaksanakan praktik- praktik keagamaan yang agak „nyentrik‟ seperti Jamaah an-Nadzir tanpa kekhawatiran akan adanya gangguan dan ancaman dari pihak luar atau masyarakat sekitar.

Dalam pendeskripsiannya mengenai sosok ustadz Rangka, Mustaqim Pabbaja mengatakan bahwa eksistensi Jamaah an-Nadzir di lingkungan Mawang memang tidak dapat dilepaskan dari peran besar ustad Rangka. Dia merupakan putera asli Mawang dan memiliki tanah yang cukup luas di sekitar danau Mawang. Selain itu, Daeng

Rangka dikenal sebagi Tolo atau orang berani, bahkan ustad Rangka juga dianggap memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang yang konon diperolehnya dengan cara gaib. Secara penampilan Daeng Rangka memang terlihat sangar, berbadan besar, dengan gaya bicara yang tegas dan keras174.

Selain karena ketokohan dan kharisma pribadi ustadz Rangka, stabilitas eksistensi Jamaah an-Nadzir juga disebabkan oleh dukungan dan apresiasi oleh pihak luar khususnya dari institusi pemerintah (pemerintah daerah dan DEPAG kabupaten) karena komunitas dianggap membawa spirit pembaharuan dan mampu mengubah lingkungan sekitarnya menjadi lebih baik. Sebelum ditinggali oleh Jamaah an-Nadzir,

173 Wawancara dengan Kepala Seksi Penerangan Masyarakat Departemen Agama Kabupaten Gowa 174 Mustaqim Pabbaja, Gerakan Islam Non-Mainstream di Indonesia, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir di Sulawesi Selatan, Universitas Gadja Mada, 2013, hlm 67 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 153

daerah Mawang merupakan lokasi yang rawan tindak kriminal seperti perampokan atau penodongan, Jamaah an-Nadzir juga dianggap berjasa menghilangkan praktek saukang175 yang dianggap merupakan perbuatan syirik. Selain itu, keberadaan an-

Nadzir dengan segala keterampilan yang mereka miliki telah mengubah tanah sekitar yang sebelumnya hanya lahan mati (karena dikeramatkan dan dianggap daerah rawan) menjadi lahan produktif dan berdaya guna.

Sebagai seorang putra daerah dan tokoh masyarakat setempat, ustadz Rangka berperan mengatur regulasi seluruh anggota Jamaah an-Nadzir. Ustadz Rangka lah yang menentukan tugas dan pekerjaan sehari-hari termasuk mata pencaharian seorang jamaah, khususnya bagi para jamaah yang berasal dari luar kota Gowa atau dari luar provinsi Sulawesi Selatan sebab mereka datang tanpa membawa banyak harta benda serta kebanyakan dari mereka telah meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya untuk bergabung dalam komunitas.

Jamaah an-Nadzir membagi dua model komunitas mereka ke dalam dua bentuk perkumpulan. Pertama, berbentuk yayasan. Pola ini digunakan oleh Jamaah an-Nadzir untuk mendapatkan kepastian dan jaminan hukum bagi komunitasnya. Dengan mendaftarkan sebagai sebuah lembaga masyarakat (yayasan), komunitas ini mendapatkan pengakuan dan legitimasi dari Negara. Pola taat hukum seperti juga mereka terapkan pada semua bidang usaha mereka. meskipun hanya memiliki usaha

175 Saukang adalah semacam praktik membawa berbagai sesajian atau binatang ternak untuk disembelih ditempat-tempat tertentu yang dianggap keramat dengan maksud untuk mencari berkah dari nenek moyang atau arwah tertentu. Oleh para pemuka agama, praktek ini dianggap sebagai praktik peninggalan masyarakat Sulawesi Selatan pra-Islam yang dikategorikan sebagai praktik syirik. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 154

kecil seperti bengkel motor, depot air minum dan koperasi, namun keseluruhan unit usaha tersebut tercatat memiliki Badan Hukum.

Pola ini menunjukkan bagaimana komunitas ini sangat mengerti hukum dan sadar politik. Proteksi terhadap stabilitas eksistensi komunitas dari berbagai arah telah mereka pertimbangkan dengan sangat hati-hati sejak dini. Bentuk kedua adalah majelis.

Pola kedua ini merupakan inti dari semangat dan cita-cita Jamaah an-Nadzir untuk berkumpul dan mendirikan sebuah komunitas dan wilayah mandiri di mana mereka dapat menjalankan nilai-nilai religious yang mereka yakini.

An-nadzir itu dua, ada yayasan dan ada orang yang berkumpul yang disebut majelis. Yayasan ini sebenarnya hanya untuk bingkai karena kita hidup di Negara hukum, yang menuntut kita secara hukum untuk ada legalitas dalam sebuah kelembagaan, jadi an-Nadzir berbentuk yayasan. Sebagai yayasan berpusat di Jakarta, tetapi sebagai majelis berpusat di Makassar tepatnya di sini (mawang), secara yayasan kita tetap menggunakan struktur yayasan. Sedangkan majelis tidak dalam bentuk struktur lembaga tetapi dia adalah kumpulan orang-orang yang melakukan baiat sami‟na wa ata‟na terhadap baiatnya176. Dalam mengelola dinamika komunitas, Jamaah an-Nadzir menerapkan sebuah sistem kepemimpinan yang mereka sebut „imamah‟. Sistem imamah dalam konteks pemahaman an-Nadzir adalah kepemimpinan spiritual, bukan organisasi. Penekanan

Jamaah an-Nadzir pada kepemimpinan spiritual menunjukkan pengaruh dan adopsi dari konsep imamah Syiah. Konstruksi serta cara mereka merepresentasikan sosok pendiri jamaah, kyai Samsuri Abdul Madjid sebagai imam Mahdi menguatkan pengaruh teologi

Syiah dalam konsep kepemimpinan an-Nadzir. Sebagaimana imamah Syiah, imamah an-Nadzir cenderung menggunakan perspektif „kapasitas individual‟ dalam melihat dan

176 Dikutip dari wawancara dengan ustad Lukman dalam Mustaqim Pabbaja, Gerakan Islam Non- Mainstream di Indonesia, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir di Sulawesi Selatan, Universitas Gadja Mada, 2013, hlm 131 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 155

memilih seorang pemimpin. Seorang imam an-Nadzir digelari „imam besar‟, jabatan ini dahulunya dipegang oleh K.H Syamsuri Abdul Madjid.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim Pabbaja di tahun 2011 menyebutkan bahwa sepeninggal Syamsuri posisi sebagai pemimpin jamaah digantikan oleh kedua muridnya yaitu uztad Rangka dan ustad Lukman. Namun demikian, mereka hanya berperan sebagai regulator kepemimpinan jamaah yang disebut amir, bukan imam atau pemimpin spiritual. Pergantian kepemimpinan menurut Jamaah an-Nadzir tidak didasarkan pada periodisasi tertentu, tetapi kapasitas pemimpin. Hal inilah yang menyebabkan Jamaah an-Nadzir tetap menganggap Syamsuri Madjid sebagai imam besar karena belum ada yang mereka yakini layak menggantikan dan memenuhi kapasitas untuk menjadi seorang imam177.

Kalau dalam majelis kita, Imam Besar itu masih almarhum. Kami belum melakukan pergantian karena kapasitas di antara kami sadar betul belum ada yang menyamai beliau. Sehingga kami mengamalkan apa yang beliau ajarkan. Tetapi untuk pertanggungjawaban wilayah, peran imam diambil alih oleh amir178. Fakta berbeda saya temukan ketika saya melakukan penelitian terhadap komunitas ini pada tahun 2012-2013. Peran sebagai pemimipin spiritual –meski tidak menggunakan gelar sebagai Imam Besar seperti Kyai Samsuri- jamaah mulai dikampanyekan oleh ustadz Rangka. Kampanye ini tidak bisa dilepaskan dari manifestasi nilai-nilai messianistik sebagaimana di pahami Jamaah an-Nadzir. Ustadz

Rangka memang tidak mengklaim diri sebagai al-Mahdi, melainkan sebagai sosok

Pemuda Bani Tamim yang akan merintis jalan bagi kekuasaan Imam Mahdi.

177 Ibid, hlm 132 178 Ibid, hlm 133 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 156

Penyebutan atau pelekatan panggilan „abah‟ dan panglima terhadap ustadz

Rangka yang telah saya sebutkan sebelumnya merupakan sesuatu yang bersifat politis dan merupakan bagian dari representasi praktik messianistis Jamaah an-Nadzir. Gelar

„panglima‟ tidak hanya mengandaikan bahwa Jamaah an-Nadzir menganggap ustadz

Rangka sebagai pemimpin komunitas biasa tetapi gelar tersebut sangat kental dengan muatan pesan messianistis Jamaah an-Nadzir. Oleh Jamaah an-Nadzir, ustad Rangka dianggap sebagai perwujudan dari Pemuda Bani Tamim yang akan merintis dan melapangkan jalan bagi kekuasaan akhir jaman Imam Mahdi. Dalam berbagai kesempatan, ustad Rangka sendiri seringkali mengklaim dan mendeklarasikan dirinya sebagai Pemuda Bani Tamim.

“Aku jamin kamu, apa yang kuajarkan ini adalah kebenaran yang datang dari Allah SWT. Dan sekiranya salah yang kusampaikan ini maka akulah yang bertanggung jawab. Sampaikan kepada dunia dan catat, akulah pemuda bani tamim,” seru Uztad Rangka Hanong dengan suara tinggi di depan jamaah shalat Idul Adha yang dilaksanakan di kebun kelapa sawit Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STTP) Mawang Gowa, Senin (14/10).179 Tapi yakinlah, kaum inilah dari timur yang dirindukan oleh nabimu. ” tandasnya disambut teriakan histeris spiritual jamaahnya. “Dan sampaikan kepada semuanya bahwa yang kamu (umat Islam) tunggu di akhir jaman (Imam Al Mahdi) sudah muncul di timur. Aku sahabat Al Mahdi,” Deklarasi ustad Rangka bahwa dirinya adalah Pemuda Bani Tamim merupakan bagaian dari rangkaian konstruksi messianistis Jamaah an-Nadzir mengenai tahapan- tahapan kondisi akhir zaman dalam imaji mereka. kehadiran seorang Pemuda Bani

Tamim dalam konstruksi messianistis Jamaah an-Nadzir adalah syarat utama bagi kehadiran sang pembebas yang telah lama dinanti, al-Mahdi. Konstruksi tentang sosok

179 Dikutip dari blog resmi Jamaah an-Nadzir http://annadzirmawang.blogspot.com/2013/11/pimpinan- nadzir-mawang-deklarasi.html. kalimat ini juga beberapa kali diucapakan ustad Rangka kepada saya pada saat saya melakukan penelitian lapangan. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 157

perintis sebelum kedatangan al-Mahdi (Pemuda Bani Tamim) sebagaimana konstruksi tentang sosok Imam Mahdi itu sendiri merupakn sebuah wacana yang terus diperebutkan. Olehnya itu, konstruksi Jamaah an-Nadzir mengenai Pemuda Bani

Tamim berusaha disesuaikan dengan kondisi sosial dan ciri fisik dari tokoh yang mereka klaim sebagai Pemuda Bani Tamim.

Kembali pada persoalan konstruksi kepemimpinan atau imamah, Jamaah an-

Nadzir menerapkan sistem baiat untuk menjamin kesetiaan dan kepatuhan seorang anggota jamaah. Kepatuhan dan kesetiaan tersebut mencakup hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan sekular maupun yang teologis. Bagi Jamaah an-Nadzir, baiat merupakan dasar utama menjadi seorang muslim. Tanpa adanya baiat seseorang tidak dapat menjalankan ibadah dengan keyakinan yang sempurna. Baiat memberikan rasa aman dan menjadi dasar bahwa apa yang diajarkan oleh sang imam adalah kebenaran.

Baiat sebenarnya bukanlah hal yang asing dalam wacana Islam. Namun demikian, pemaknaan terhadap fungsi baiat sangat beragam dalam konstruksi kelompok-kelompok Islam. Sebagian kelompok Islam mengkonstruksi bahwa baiat hanya merupakan pernyataan kesetiaan dan pengakuan terhadap kekuasaan para pemimpin sosial dan politik umat. Dalam konstruksi semacam ini, Imam hanya diakui sebagai pemimpin sosial dan politik, tetapi tidak memiliki wewenang sebagai pemimpin spiritual ummah. Sementara itu, sebagian kelompok Islam menganggap baiat adalah pernyataan kesetian kepada Imam sebagai seorang pemimpin baik secara politik maupun spiritual. Dalam konstruksi yang seperti ini, Imam ditempatkan dalam posisi yang sangat istimewa melebihi semua orang, olehnya itu, seorang imam biasanya dikonstruksi memiliki kelebihan-kelebihan supranatural/ilahiah. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 158

Jamaah an-Nadzir menganggap baiat sebagai pernyataan kepatuhan baik secara politik maupun teologis terhadap seorang Imam. Untuk merasionalkan klaimnya mereka memberikan sebuah argumentasi (dalil) yang dianggap sebagai legitimasi teologis dari konsep baiat yang mereka yakini. Argumentasi an-Nadzir tentang baiat sebagai sebuah fondasi agama didasarkan pada sebuah ungkapan „tidak ada Islam kecuali berjamaah, tidak ada jamaah tanpa imamah, tidak ada imamah tanpa ketaatan, dan tidak ada ketaatan tanpa baiat. Barangsiapa yang keluar dari jamaah maka dia telah keluar dari

Islam180.

Di sinilah kita sekali lagi melihat bagaimana Jamaah an-Nadzir melakukan kreasi terhadap konsep-konsep yang telah lama ada dan memberikan interpretasi baru yang „khas‟ mereka terhadap konsep tersebut. Ungkapan yang digunakan oleh an-

Nadzir sebagai argumentasi konsep imamah mereka adalah ungkapan dari khalifah kedua, Umar bin Khattab. Umar adalah sahabat Nabi yang diedialisasi oleh kelompok

Islam Sunni. Berangkat dari hal tersebut, ungkapan Umar bin Khattab tentunya oleh kelompok Sunni tidak dipahami sebagai legitimasi terhadap keistimewaan orang tertentu yang membuat dia punya hak untuk menjadi pemimpin politik sekaligus spiritual. Perkataan Umar oleh kelompok Sunni akan lebih diinterpretasikan bahwa umat Islam seharusnya berusaha menjaga persatuan dan menghindari perselihan politik dengan mendukung suara mayoritas umat Islam (jamaah)181.

180 Wawancara dengan Arif (humas Jamaah an-Nadzir) 181 Perlu saya tekankan kembali bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keaslian hadist ((baik dari sisi konten maupun sanadnya) tidak menjadi konsentrasi penelitian ini, hadist tersebut dikutip hanya karena disampaikan oleh narasumber dan saya anggap penting sebagai data penelitian. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 159

Sementara itu, konsep kepemimpinan atau imamah sebagaimana dipahami dan dipraktekkan oleh Jamaah an-Nadzir lebih mirip dengan konsep imamah Syiah yang mengutamakan kultus individu yang dianggap memiliki keutamaan, kemuliaan, dan legitimasi ilahiah untuk menjadi pemimpin manusia dalam segala dimensi kehidupan mereka. Namun demikian, an-Nadzir lebih memilih menggunakan dalil yang memiliki kedekatan dengan teologi Sunni untuk membedakan konstruksi identitas mereka baik dengan kelompok Sunni maupun dengan kelompok Syiah.

Pembedaan diri dengan Kelompok Sunni maupun Syiah -meski tetap menggunakan beberapa konsep dari kedua kelompok tersebut- selain bagian dari representasi dan identifikasi identitas, juga merupakan bagian dari konstruksi messianistis Jamaah an-Nadzir. Bagaimanapun wacana messianistis adalah sebuah medan kontestasi di mana di dalamnya setiap kelompok akan saling menegasikan dan mengklaim konstruksi mereka sebagai yang paling benar.

Jamaah an-Nadzir mengklaim bahwa pertentangan antara kelompok Sunni maupun Syiah tidak akan bisa diselesaikan oleh kedua kelompok tersebut. Menurut

Jamaah an-Nadzir, umat Islam di akhir zaman akan dipersatukan oleh an-Nadzir, termasuk Sunni dan Syiah. Dengan mengatakan hal yang seperti ini, sesungguhnya komunitas ini ingin meneguhkan bahwa kelompok mereka adalah sekte Islam yang paling benar dalam mengimplementasikan ajaran Nabi Muhammad. Kontestasi mengenai siapa kelompok Islam yang paling benar memang telah menjadi medan makna yang terus diperebutkan sejak dulu. Hal ini biasanya didasarkan pada sabda Nabi

Muhammhad bahwa sepeninggal dirinya Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 160

hanya satu golongan yang masuk surga. Konstruksi tentang kelompok yang satu itulah yang terus menerus diperebutkan.

Islam terbagi menjadi 73 golongan, 72 diantaranya ditempatkan di neraka, dan hanya satu yang selamat. Golongan yang selamat ini tidak bercampur baur antara yang hak dan yang batal. Yang satu golongan itu tidak bercampur baur dengan dengan 72 golongan yang lain. Golongan ini adalah dari al-Mahdi. Ini adalah perjalanan akhir zaman, rasullullah bersabda sekiranya Allah akan mengkiamatkan dunia hari ini, maka allah akan menundanya dan mendatangkan dari keturunanku seseorang yang nama orang tuanya sama dengan nama orang tuaku, namanya sama dengan namaku. Dia bergelar al-Mahdi Abdullah. Tapi sebelum kedatangan al- Mahdi kita terlebih dahulu bertemu dengan tokoh sentralisasi akhir zaman yang akan merintis jalan al-Mahdi yaitu Pemuda Bani Tamim182. Dalam doktrin imamah Jamaah an-Nadzir, Seorang imam yang dibaiat memberikan garansi bahwa apa yang dia ajarkan pada jamaahnya adalah benar dan berasal dari Tuhan, jika sekiranya apa yang diajarkan tidak benar sementara orang yang berbaiat itu taat kepada sang imam maka sang imamlah yang bertanggung jawab di hadapan Allah untuk membebaskannya dan memikul hukuman dari Tuhan. Itulah baiat , kata Ustadz Rangka183.

Doktrin baiat yang demikian tersebut menempatkan imam dalam posisi yang sangat tinggi dan istimewa, dia merupakan representasi dari kehendak ilahiah dan wakil

Tuhan di bumi. Doktrin ini sangat mirip dengan representasi Syiah mengenai seorang

Imam yang dikonstruksi sebagai penjaga risalah kenabian. Seseorang yang mengklaim menjamin apa yang diajarkan adalah benar dari Tuhan, tentu secara tidak langsung mengandaikan bahwa dirinya telah sangat mengenal Tuhan dan merupakan wakilnya.

Pola seperti itu adalah pola yang lazim dalam gerakan-gerakan eskatologis

182 Wawancara dengan Ismail (anggota Jamaah an-Nadzir) 183 Wawancara dengan ustadz Rangka PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 161

(messianisme) di mana seseorang mengkalim menerima wahyu dari Tuhan ataupun wangsit dari sang Messias untuk mempersiapkan kedatangannya. Dengan membangun konstruksi imam sebagai wakil Tuhan, An-Nadzir juga mengafirmasi klaim Syiah seputar kemaksuman seorang imam.

Kampanye seperti itulah yang dilakukan oleh Kyai Samsuri yang diklaim sebagai perwujudan imam Mahdi, maupun oleh ustadz Rangka yang mengklaim diri sebagai Pemuda Bani Tamim, sang perintis jalan al-Mahdi. Baik kyai Samsuri maupun ustadz Rangka mengklaim serta menjamin apa yang dia ajarkan benar dan siap mempertanggung jawabkannnya di depan Tuhan. Klaim seperti ini pernah disampaikan oleh Rangka ketika mengajak saya shalat magrib berjamaah dengan hanya bertayammum sementara untuk mendapatkan air untuk berwudhu masih sangat mungkin. Praktik ini adalah sebuah praktik yang tidak lazim jika diukur dari pemahaman syariat umat Islam mayoritas.

Beliau (abah Syamsuri Madjid) telah menggaransi kepada kami bahwa kalau yang kuajarkan ini salah maka aku akan bertanggung jawab di hadapan Allah, maka dari itu kami menjalankan apa yang telah diajarkan dan siap mati untuk mempertahankan ajarannya karena kami telah digaransi184. Konstruksi an-Nadzir bahwa para pemimpin mereka adalah orang-orang kharismatik yang memiliki legitimasi ilahi merupakan sebuah usaha untuk mendapatkan legitimasi teologis. Hal ini seperti diperlihatkan dalam tulisan ini adalah praktik yang sudah lama ada. Raja-raja terdahulu memodifikasi konsep insan kamil untuk

184 Lih Taufan, Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah an-Nadzir, UIN Alauddin Makassar, tidak diterbitkan, hlm 162 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 162

mendapatkan legitimasi teologis atas regulasi kekuasaan mereka dan memapankan kharisma dan wibawa mereka di depan rakyat.

Terkait dengan gagasan bagaimana pemerintahan Islam seharusnya berjalan, an-

Nadzir memiliki gagasan berbeda dibanding dengan komunitas-komunitas yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan Islam yang kerap menuntut pendirian atau pembentukan Negara Islam. Bagi Jamaah an-Nadzir, pendirian Negara Islam tidak menjadi sebuah keharusan, mereka lebih memilih menerapkan konsep-konsep Islam menjadi sebuah praktik dalam komunitasnya sendiri.

Yang mau diselamatkan itu adalah batang tubuh (individu-individu), bukan bangsa dan Negara. Ngapain kita bikin Negara Islam sementara kita tidak selamat? Tapi biar kita hidup dalam Negara Islam tetapi kita hidup di dalam Islam, selamat itu yang lebih baik185. Argumentasi an-Nadzir di atas mungkin sedikit bertentangan dengan argumentasi dan pemahaman mereka bahwa Islam mereka pahami bukan sekadar sebagai agama melainkan sebagai seperangkat hukum. Lalu bagaimana perangkat hukum tersebut dapat terlaksana tanpa adanya sebuah sistem pemerintahan yamg menjamin? Hal ini mungkin dilakukan oleh jamaah an-Nadir untuk memberi kesan bahwa mereka adalah kelompok yang menghargai pluralitas, dan upaya untuk membangun representasi tandingan bahwa Islam sama sekali bukanlah agama kekerasan jika dilihat dari semangat yang dibangun oleh pendirinya, Nabi Muhammad.

Hari ini kita paksakan bikin Negara Islam, harus dicantumkan Negara yang berasaskan Islam. Setelah itu apa kita dapat? Kita membom ke sana kemari, kita membunuh ke sana kemari, membuat kekacauan ke sana kemari hanya untuk memenuhi kita punya hasrat untuk berkuasa. Nabi tidak mencontohkan itu.

185 Ibid hlm 163 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 163

Meskipun tidak memiliki niatan untuk mendirikan sebuah Negara Islam, bukan berarti Jamaah an-Nadzir tidak memiliki imaji dan hasrat terhadap kekuasaan. Seperti halnya gerakan-gerakan messianistik lainnya, puncak dari gerakan messianistis yang dimajinasikan oleh Jamaah an-Nadzir adalah terbentuknya sebuah pemerintahan global yang akan dipimpin oleh seorang wakil Tuhan (Imam Mahdi) yang akan menyebarkan keadilan dan kesejahteraan ke seluruh dunia melalui penegakan Hukum Tuhan.

Hasrat dan cita-cita messianistik yang mengidamkan sebuah pemerintahan Islam global biasanya dikaitkan dengan konsep ideal masyarakat muslim yang dianggap bertentangan dengan realitas yang ada saat ini. Kesenjangan antara „realitas yang semestinya ada‟ dengan „realitas yang ada‟ ini biasanya diaqnggap karena Islam sudah dipengaruhi oleh konsep asing diluar Islam. Dalam konteks ini, hal- hal yang bersifat

Barat –baik kebudayaan maupun pemikirannya- dianggap paling banyak memberi pengaruh yang buruk terhadap dunia Islam. Perbedaan konstruksi identitas antara Barat dan Timur ini semakin meningkat sebab tidak jarang pula dunia Barat merepresentasikan Islam sebagai agama yang kolot, berbahaya dan penuh dengan kekerasan.

Kesenjangan tersebut salah satunya berusaha diatasi oleh kelompok-kelompok

Islam dengan menyerukan untuk kembali kepada Islam yang „hakiki‟, kembali pada semangat awal Islam. Kelompok-kelompok gerakan messianis merupakan salah satu penganjur gerakan kembali ke „awal‟, ke masa tertentu yang mereka idealkan. Dalam konteks Islam, konsep ini mendapatkan ruangnya dalam eskatologi Islam yang menjanjikan kedatangan tokoh revolusioner dari keturunan Nabi Muhammad yang akan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 164

mengembalikan ajaran dan kejayaan umat Muslim sebagaimana yang telah dilakukan

Nabi Muhammad di masa lalu.

Jika berpatokan pada konsep yang diyakini Syiah dan dalam banyak hal diamini oleh Jamaah an-Nadzir, maka pemerintahan Imam Mahdi yang mereka bayangkan akan dijalankan dengan konsep imamah. Menurut Ali Syariati, Imamah tidak menjadikan sebagai tujuannya penerimaan masyarakat umum atau kepentingan orang-orang elit, melainkan atas asas risalah, sehingga ia memilih „apa yang sudah semestinya. Jadi tidak menjatuhkan pilihan atas dasar „kemaslhatan‟, melainkan atas dasar „hakikat‟ yang dimunculkan oleh ideologi dan risalah yang tidak diyakini kecuali oleh keseluruhan umat186.

Secara eksplisit konsep imamah di atas sedikit bertentangan dengan konsep kepemimpinan demokratis yang saat ini dianggap sebagai konsep kepemimpinan paling ideal di mana kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, sementara para pemimpin hanya penerima mandat dan pelaksana amanah rakyat. Konsep imamah tersebut lebih mirip dengan konsep kepemimpinan otoriter di mana puncak kepimpinan ada di tangan pemimpin tertinggi yang berhak menetukan segala regulasi dan urusan kenegaraan.

Meski memiliki kesamaan khususnya dalam hal kulutus individu, namun konsep imamah diklaim berbeda dengan kepemimpinan oteoriter sebab kepemimpinan otoriter dilandaskan pada pemikiran dan keinginan ideal pemimpin otoriter, sementara dalam imamah, seorang imam bertindak bukan atas keinginan pribadinya melainkan pada apa yang telah tertulis dalam risalah. Singkatnya pemerintahan otoriter adalah bentuk pemerintahan sekuler, sedangkan imamah adalah bentuk pemerintahan religius.

186 Lih, Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Rausyan Fikr, 2012, hlm 63 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 165

Konsep kepemimpinan yang ditetapkan Jamaah an-Nadzir terhadap komunitas mereka dapat dilihat sebagai sebuah mekanisme pendisiplinan tubuh. Konsep imamah yang disertai dengan baiat dalam hal ini menjadi alat pendisiplinan. Baiat menjadi penjamin ketaatan dan kesetiaaan seluruh anggota jamaah. Seorang anggota jamaah yang memutuskan berbaiat tentunya telah sampai pada keyakinan yang teguh bahwa apa yang dipilih untuk dijalani adalah benar. Keharusan berbaiat untuk menjadi anggota jamaah juga sekaligus berfungsi sebagai unsur panoptik sehingga seseorang menjadi senantiasa taat dan disiplin.

Kontruksi kepemimpian Jamaah an-Nadzir bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru, mereka hanya memodifikasi dan menggabungkan unsur-unsur konstruksi kepemimpinan Sunni maupun Syiah. Dengan kreasi mereka tersebut, an-Nadzir tidak hanya sedang berusaha membedakan diri dengan kelompok-kelompok tersebut tetapi juga sekaligus dapat dilihat resistensi dari narasi-narasi kanon Islam yang selama ini dikuasai oleh kedua kelompok tersebut khususnya berkaitan dengan konstruksi kepemimpinan dan interpretasi mengenai hal-hal yang berbau eskatologi Islam – termasuk di dalamnya adalah messianisme.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 166

BAB V

PENUTUP

A. Messianisme = Revivalisme?

Mungkin kita bisa mengatakan bahwa pola dasar yang selalu terdapat dalam gerakan-gerakan messianistis adalah adanya anggapan bahwa masa atau realitas yang mewujud saat ini merupakan realitas yang telah terdistorsi, bukan realitas „yang seharusnya ada‟. Berangkat dari anggapan demikian itu, sebuah gerakan messianistis biasanya mengidealisasikan masa-masa tertentu di masa lalu yang dikonstruksi sebagai zaman keemasan, di mana kehidupan dan moralitas masih „agung‟, di mana kehidupan berlangsung dengan adil dan setara karena ditopang oleh penegakan hukum dan kepemimpinan ilahiah.

Ketidakpuasaan terhadap kondisi sosial yang ada inilah yang melahirkan gerakan-gerakan messianisme. Hal ini bisa dimengerti sebab messianisme memberikan janji-janji akan perbaikan terhadap seluruh dimensi kehidupan sosial. Namun demikian, janji perbaikan dalam messianisme –khususnya dalam konsep messianisme Islam- tidak bisa dicapai hanya dengan menunggu, itu adalah sesuatu yang harus dirintis dan dipersiapkan untuk menggapai kembali kehidupan yang sama seperti kehidupan di masa yang diidealisasi menurut imaji mereka. Upaya untuk mempersiapkan jalan bagikekuasaan sang mesias kemudian melahirkan berbagai macam klaim dan praktik gerakan messsianistik.

Idealisasi terhadap masa tertentu membuat sebuah gerakan messianisme cenderung berusaha untuk menghidupkan kembali hal-hal yang mereka anggap PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 167

diterapkan pada masa tersebut mulai dari cara berpakaian, interaksi sosial, dan pola hidup. Usaha meniru segala hal yang berkaitan dengan masa lalu tersebut pastilah merupakan sebuah konstruksi atau kreasi, karena bagaimanapun mereka berjarak dari dari apa yang mereka klaim „asli‟ baik dari segi waktu maupun dari segi pengetahuan terhadap masa itu.

Ketidakpuasan terhadap kondisi sosial, ekonomi, terlebih kehidupan beragama membuat gerakan messianisme cenderung memiliki corak revolusioner. Corak revolusioner gerakan messinisme ini kerap dianggap berpotensi mengganggu kemapanan kekuasaan. Corak seperti initelah diperlihatkan dalam penelitian Sartono

Kartodidjo terhadap pemberontakan petani Banten 1888 yang dibangun di atas harapan- harapan messianistik sehingga menimbulkan resistensi kuat terhadap kekuasaan kolonial dan para bangsawan pribumi yang dianggap antek kolonial187.

Fenomena berbeda dengan apa yang ditemukan oleh Sartono pada gerakan- gerakan messianisme pada abad 18 dan 19 yang memiliki corak revolusioner menentang kekuasaan Negara –dalam hal ini kekuasaan kolonial Belanda- saya temukan pada gerakan messianistik Jamaah an-Nadzir. Alih-alih menentang kekuasaan pemerintah,

Jamaah an-Nadzir dalam banyak hal malah banyak bekerjasama dengan pihak pemerintah khususnya dalam bidang pertanian dan perkebunan. Jamaah ini dianggap berhasil mengubah lahan mati menjadi lahan produktif.

Namun demikian, Jamaah an-Nadzir bukannya tidak memiliki corak revolusioner khususnya jika menyangkut dengan praktik-praktik keagaamaan. Seperti kebanyakan gerakan messianisme dengan corak keagaamaan yang lebih kental,

187Lih Sartono, Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888 dalam buku Islam di Asia Tenggara; Perpektif Sejarah, LP3ES, 1989. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 168

messianisme Jamaah an-Nadzir juga didorong oleh kejenuhan terhadap realitas kehidupan beragama. Kejenuhan tersebut membuat Jamaah an-Nadzirmenerapkan cara pandang dan praktik keagamaan „baru‟.

Praktik keagamaanJamaah an-Nadzir seperti cara dan penentuan waktu shalat, puasa dan konstruksi syariat lainnya yang dianggap agak „nyeleneh‟ karena cenderung berbeda dengan praktik mayoritas umat Islam di Indonesia dan diklaim an-Nadzir sebagai ajaran „asli‟ Nabi Muhammad sesungguhnya bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru atau hasil ciptaan dan kreasi Jamaah an-Nadzir sendiri. Kebanyakan praktik ibadah an-Nadzir –seperti tata cara shalat dan puasa- memiliki kemiripan dengan konstruksi teologi Syiah, meski Jamaah an-Nadzir tidak mau diklasifikasikan sebagai sempalan salah satu dari dua sekte besar Islam, Sunni dan Syiah.

B. Messianisme Sebagai Medan Kontestasi

Membicarakan Jamaah an-Nadzir sepertinya tidak akan terasa lengkap tanpa menyinggung persoalan konstruksi messianisme mereka. Harapan messianistislah yang menyatukan anggota-anggota Jamaah an-Nadzir dari berbagai latar belakang pendidikan, suku, dan profesi untuk kemudian berkumpul dan membuat sebuah komunitas mandiri di Mawang, Kabupaten Gowa. Pembentukan komunitas tersebut mereka anggap adalah tonggak awal untuk membuat jalan dan harapan-harapan messianistik mereka menjadi mungkin.

Gerakan messianisme biasanya mengkonstruksi tempat-tempat tertentu yang diklaim memiliki karamah-karamah tertentu. Pola tersebut telah kita lihat misalnya dalam konsep messianisme Syiah yang mengkultuskan tempat seperti Qum, Kufah, atau PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 169

Mekkah sebagai tempat yang diyakini sebagai tempat di mana Imam Mahdi akan memulai gerakan revolusionernya.

Hal serupa juga dipraktikkan oleh Jamaah an-Nadzir yang mengkonstruksi

Mawang sebagai tanah keramat. Bagi an-Nadzir, Mawang bukan hanya tempat domisili semata, lebih dari itu, Mawang dikonstruksi sebagai tanah pertama di muka bumi.

Konstruksi seperti itu sebenarnya adalah hal yang lumrah pada masyarakat Sulawesi

Selatan. Beberapa kelompok seperti masyarakat Kajang Kabupaten Bulukumba juga mengklaim bahwa tempat mereka adalah tempat pertama di muka bumi. Klaim seperti itu biasanya diperebutkan untuk mendapatkan legitimasi lokal sebagai daerah yang suci dan bersahaja.

Pengkultusan terhadap tempat-tempat tertentu adalah bagian dari konstruksi dan representasi dari wacana messianistik yang mereka bangun. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwaMawang adalah tempat di mana Imam Mahdi yang dinantikan akan muncul.

Klaim ini mereka dasarkan pada dalil teologis bahwa Imam Mahdi akan muncul dan memulai suksesi kepemimpinannya dari wilayah „timur‟. Oleh an-Nadzir, „timur‟ mereka pahami sebagai daerah Mawang sebab dalam pandangan mereka tidak ada lagi komunitas yang mempraktikkan ajaran Nabi Muhammad secara konsisten di „timur‟ selain mereka.

Beragamnya konstruksi messianisme dalam kelompok-kelompok Islam disebabkan dalil-dalil teologis yang mengambang sehingga sangat terbuka untuk berbagai macam interpretasi. Upaya merebut makna tentang „timur‟ seperti yang dilakukan oleh Jamaah an-Nadzir dan juga gerakan messianisme Islam lainnya didasarkan pada hadist-hadist berkaitan dengan eskatologi Islam yang menyebutkan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 170

bahwa mesias Islam akan datang dari arah timur dari kalangan non Arab. Selain Jamaah an-Nadzir, konstruksi serupa telah lama dikampanyekan oleh komunitas-komunitas

Syiah di Iran. Interpretasi-interpretasi yang dibentuk oleh berbagai kelompok Islam itu merupakan sebuah konstruksi untuk mengafirmasi konsep-konsep messianistik yang mereka yakini. Sebagai sebuah konstruksi konsep-konsep tersebut tidak bisa dilepaskan dari muatan-muatan politis dan pertarungan wacana di dalamnya.

Konsep messianisme an-Nadzir dibangun dari klaim-klaim eskatologi Islam.

Berbicara mengenai konsep-konsep teologi Islam –termasuk permasalahan konsep messianisme- mungkin sangat sulit tanpa melibatkan konsep teologi yang dibangun oleh kelompok Sunni-Syiah sebagai dua kelompok Islam terbesar apalagi jika kita membicarakannya dalm konteks komparasi untuk melihat kompleksitas dari berbagai konstruksi yang berbeda itu.

Jamaah an-Nadzir bagaimanapun juga terpengaruh dan menggunakan konsep

Syiah maupun Sunni pada seluruh wacana dan praktik teologi mereka. Meski demikian,

Jamaah an-Nadzir memodifikasi dan menggabungkan kedua konsep tersebut untuk membangun sebuah konsep yang „khas‟ mereka. penggabungan konsep Sunni dan Syiah membuat konsep messianisme an-Nadzir tidak identik dengan keduanya dan sekaligus membentuk konstruksi identitas yang berbeda. Bagaimanapun juga, messianisme adalah sebuah medan pertarungan wacana yang bersifat hitam putih, yang ingin direbut dan dimapankan adalah klaim siapa yang paling „benar‟. Olehnya itu, pembedaan konstruksi identitas „aku‟ dan „kamu‟, „kita‟ dan „mereka‟ seperti menjadi sesuatu yang mutlak dibutuhkan. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 171

Sebagaimana lazimnya mayoritas umat Islam, Jamaah an-Nadzir meyakini mesias akhir zaman adalah Imam Mahdi. Imam Mahdi dipercayai adalah keturunan nabi

Muhammad (ahlulbait) dari pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah, putri nabi

Muhammad. Namun demikian, Jamaah an-Nadzir memberi nuansa lokal dalam konstruksi mereka tentang siapa Imam Mahdi itu. Jamaah an-Nadzir meyakini bahwa

Imam Mahdi telah lahir dan pernah eksis di bumi ini, mereka mempercayai bahwa

Imam Mahdi lahir sekitar tahun 250 hijriah dan mengalami beberapa periode kegaiban.

Kegaiban pertama terjadi ketika Imam masih kecil yang disebut sebagai ghaib shugra. Imam Mahdi dalam kepercayaan Jamaah an-Nadzir kemudian mewujud dalam sosok Kahar Muzakkar, pemimpin gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Imam Mahdi kemudian muncul lagi dalam sosok pendiri Jamaah an-Nadzir, Kyai Syamsuri Abdul

Madjid. Ketika Kyai Samsuri meninggal pada tahun 2006, peristiwa itu diklaim oleh an-

Nadzir sebagai ghaib kubra. Imam Mahdi dipercayai akan muncul lagi untuk menebarkan keadilan ke seluruh penjuru bumi melalui penegakan hukum ilahi setelah sekian lama dunia dianggap dipenuhi oleh berbagai macam kebatilan.

Konstruksi an-Nadzir tentang Imam Mahdi yang demikian itu sangat mirip dengan konstruksi Syiah yang sama-sama meyakini bahwa Imam Mahdi telah lahir dan mengalami beberapa periode kegaiban. Berkebalikan dengan konstruksi Syiah dan an-

Nadzir, kelompok Sunni meyakini bahwa Imam Mahdi belum pernah dilahirkan ke dunia, bahkan sebagian kelompok Sunni meyakini bahwa Imam Mahdi sesungguhnya adalah Isa ibnu Maryam (Yesus) yang akan kembali lagi ke muka bumi dengan membawa agama Muhammad. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 172

Penggunaan unsur narasi dan tokoh kharismatik lokal dalam konstruksi messianisme Jamaah an-Nadzir selain dilakukan untuk kepentingan pembedaan indentitas dengan konstruksi messianisme Syiah juga sangat mungkin dipenuhi dengan muatan politis untuk meraih simpati masyarakat lokal, Kyai Samsuri dikonstruksi sebagai jelmaan Kahar Muzakkar yang dianggap perwujudan Imam Mahdi.

Bagaimanapun juga daerah kabuten Luwu yang menjadi basis awal gerakan Jamaah an-

Nadzir dikenal luas sebagai basis loyalis Kahar dan mengkultuskannya sebagai sosok yang menmpunyai kemampuan supranatural. Selain itu, gerakan Kahar yang berhasrat mendirikan sebuah Negara berlandaskan hukum Islam memiliki kedekatan dengan semangat an-Nadzir yang berusaha menghidupkan kembali kehidupan kenabian meski

Jamaah an-Nadzir tidak atau belum memahaminya dalam konteks pendirian sebuah negara Islam.

Konstruksi messianisme an-Nadzir sebenarnya lebih terpusat pada konstruksi tentang tokoh dan kelompok yang dianggap akan menyiapkan jalan bagi kekuasaan sang mesias dibanding konstruksi tentang siapa Imam Mahdi itu sendiri. Sosok tersebut dalam konstruksi an-Nadzir adalah Pemuda Bani Tamim. Sosok ini dikonstruksi memilik keunggulan-keunggulan manusiawi yang bersifat supranatural dan merupakan pengejawantahan kehendak ilahi. Sementara itu, komunitas yang dianggap akan menjadi pembela dan pasukan Imam Mahdi dan Pemuda Bani Tamim adalah Jamaah an-Nadzir sendiri dengan berbagai klaim mereka yang telah saya sampaikan pada bab- bab terdahulu.

Pembicaraan mengenai gerakan messianisme tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh kharismatik. Peran tokoh kharismatik menjadi hal sentral karena sebuah PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 173

gerakan messianistis biasanya dimulai dengan klaim seorang tokoh kharismatik dan diamini oleh pengikutnya yang mengklaim diri sebagai pengejawantahan dari sebuah konsep messianisme tertentu entah itu dari konsep messianisme lokal maupun konsep messianisme yang berkaitan dengan konsep eskatologi agama.

Keberadaan seorang tokoh kharimatik ini seolah menjadi syarat utama sebuah konsep messianisme dapat menwujud sebagai sebuah „praktik‟. Dalam konteks Jamaah an-Nadzir, peran sebagai tokoh kharismatik itu disandarkan pada sosok Kyai Samsuri yang dianggap sebagai jelmaan Imam Mahdi. Setelah Kyai Samsuri meninggal, peran tersebut diambil oleh Ustad Rangka yang mengklaim diri sebagai sosok Pemuda Bani

Tamim.

Dalam menjalankan regulasi komunitas mereka, Jamaah an-Nadzir menerapkan konsep kepemimpinan imamah. Untuk menjamin konsep imamah tersebut, Jamaah an-

Nadzir menerapkan sistem baiat, yaitu pernyataan kesetiaan, ketaatan, dan kepercayaan bahwa apa yang dijarkan oleh pemimpin tertinggi (imam) adalah benar. Sistem kepemimpinan seperti sangat kental kultus individu yang mengkonstruksi bahwa sang imam adalah wakil Tuhan di muka bumi.

Konsep kepimpinan imamah adalah konsep lazim dalam wacana kepemimpinan

Islam meski dengan interpretasi yang berbeda-beda di antara kelompok-kelompok

Islam. Wacana kepemimpinan dalam Islam merupakan sebuah masalah pelik dan kompleks, bahkan wacana tersebut menjadi penyebab utama lahirnya sekte-sekte Islam sejak masa- masa awal sejarah Islam. Konsep imamah an-Nadzir lebih mirip dengan konsep imamah Syiah meski mereka lebih memilih menggunakan dalil dalil Sunni dalam mengafirmasi konstruksi mereka. Pemilihan sebuah dalil dalam wacana Islam- PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 174

terutama hadist- adalah sesuatu yang sangat politis dalam Islam karena menunjukkan orientasi teologis dan politik sebuah kelompok. Hal ini sekali menunjukkan unsur kreasi dan pembedaan identifikasi diri Jamaah an-Nadzir.

Apa yang dipraktikkan an-Nadzir dengan mengkonstruksi diri berbeda dengan kelompok-kelompok Islam mulai dari cara berpakaian sampai konsep messianisme mereka adalah upaya untuk menciptakan sebuah representasi wacana messianistik

„baru‟. Tampilan fisik dan busana berpakaian yang berbeda digunakan untuk mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang paling benar dalam meneladani ajaran

„asli‟ nabi Muhammad. Serangan bahwa apa yang mereka yakini berbeda dengan Islam mainstream khususnya dalam konteks Indonesia malah digunakan untuk mengafirmasi klaim „keaslian‟ mereka dengan mengatakan bahwa Islam datang sebagai sesuatu yang asing dan di akhir zaman akan kembali menjadi asing meski bukan dalam artian kuantitas. Anggapan bahwa praktik mereka menyimpang dibalikkan dengan membangun konstruksi bahwa mereka adalah kelompok kecil yang menjalankan Islam yang „asli‟.

Konstruksi cara berpakaian an-Nadzir selain sebagai bentuk penciptaan klaim messianistik dan pembedaan diri dengan kelompok Islam lain juga merupakan – meminjam bahasa Foucault- sebuah mekanisme pendisiplinan diri. Dengan tampilan fisik dan cara berpakaian demikian, seorang anggota Jamaah an-Nadzir akan selalu merasa harus mencitrakan diri sebagaimana konsep teologis yang mereka yakini.

Pakaian tersebut menjadi elemen panoptik yang membuat mereka selalu bertindak dalam batas-batas konstruksi mereka. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 175

Selain melalui politik berbusana,mekanisme pendisiplinan diri (tubuh) lain yang juga dipraktikkan oleh Jamaah an-Nadziradalah melalui konsep imamah yang mengharuskan baiat dalam penerapannya. Dengan berbaiat, seorang jamaah menyatakan kepatuhan dan kepercayaan sepenuhnya terhadap apa yang diajarkan oleh pemimpinnya. Metode ini menjamin kesetiaan jamaah, sebab metode kepemimpinan kultus individu itu, pengingkaran terhadap imam dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap kehendak Tuhan karena imam adalah wakil Tuhan di muka bumi.

Upaya pembentukan konstruksi messianisme yang berbeda oleh jamaah an-

Nadzir dapat dilihat sebagai sebuah pembentukan wacana-pengetahuan baru dalam gelanggang pertarungan konsep-konsep messianistik. Jamaah an-Nadzir menggunakan klaim-klaim eskatologi Islam yang diinterpretasikan secara mandiri untuk mengafirmasi konstruksi messianisme yang mereka bangun. Selain dari sumber teks-teks suci tersebut,

Jamaah an-Nadzir juga menggunakan dengan sangat cerdik narasi lokal yang mereka berikan nuansa interpretasi baru. Bisa dikatakan an-Nadzir membangun konsep pengetahuan narasi lokal masa lalu tersebut untuk membentuk sebuah ekspektasi dan orientasi masa depan.

Interpretasi teologi dan narasi masa lalu yang digunakan untuk membentuk sebuah konstruksi tertentu tentang masa depan adalah sesuatu yang sangat politis.

Wacana dan pengetahuan teologi yang dimiliki dan oleh jamaah an-Nadzir menjadi media mereka membangun sebuah pengertian baru dan perebutan wacana mengenai apa yang mereka anggap sebagai messianisme „yang benar‟. Untuk menguatkan klaim mereka, Jamaah an-Nadzir berusaha menurunkan konsep messianisme menjadi „praktik‟ dalam kehidupan sehari-hari mereka. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 176

Pada akhirnya messianisme adalah sebuah medan kontestasi yang sangat terbuka. Berbagai macam interpretasi dan klaim menjadi sesuatu yang sulit dihindari.

Sebagai sebuah medan kontestasi, messianisme menghadirkan berbagai macam wacana dan relasi kekuasaan. Wacana dan kekuasaan yang saling mengandaikan tersebut berusaha mendisplinkan orang-orang yang terlibat dalam dinamika wacana/kekuasaan tersebut188. Messianisme an-Nadzir adalah sebuah usaha penciptaan sebuah wacana/kekuasaan di antara konsep messiniasme lainnya. Seperti kata Michel Foucault, kekuasaan itu tersebar di mana-mana, bukan sesuatu yang dimiliki. Messianisme an-

Nadzir juga dapat dipandang sebagai perlawanan atas wacana messianisme yang telah lebih dulu mapan. Seperti ungkapan Foucault, where there is power, there is resistance189.

Sebagai sebuah wacana-pengetahuan, messianisme an-Nadzir selain sebagai bentuk resistensi terhadap wacana-wacana messianisme kelompok mainstream, juga merupakan sebuah bentuk produksi pengetahuan. Produksi pengetahuan an-Nadzir melalui konstruksi messianisme mereka menghasilkan hal-hal yang produktif –meski dari sisi yang berbeda mungkin dianggap berpotensi destruktif- seperti menghasilkan bentuk kesalehan religious dan tubuh yang patuh di antara anggota jamaah mereka yang merupakan tuntutan dan konsekuensi dari konsep messianistik tersebut.

Penelitian ini diharapkan dapat menerangi penelitian-penelitian dengan tema messianistik atau gerakan keagamaan lainnya yang saat ini seperti menemukan nafasnya kembali di tengah kejenuhan terhadap arus modernisasi dan sekularisasi sehingga penilitian ini tidak hanya berhenti di tataran lokal sebagai informasi akan adanya

188Lih, William E. Deal and Timothy K. Beal, Theory for Religious Studies, Routledge, 2005, hlm 72 189Lih, Michel Foucault, The History of Sexsuality, Vol I: An Introduction(New York, Vintage, 1978) hlm 95 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 177

gerakan messianistik di daerah tertentu. Penelitian ini juga dapat berguna untuk melihat sisi politis dari berbagai macam klaim dan praktik yang disandarkan pada sebuah konsep atau wacana messianistik yang kerap muncul bahkan dalam perkara sekuler semacam pemilu elektoral.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 178

DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar, Jakarta. Inti Idayu Press. Adonis, 2007. Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam Jilid II. Yogyakarta. PT LKiS Pelangi Aksara. Affifi, A.E, 1995. A Mistical Philosopy of Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Jakarta. PT Gaya Media Pratama. Ali, Ameer. 2008. the Spirit of Islam, Yogyakarta. Penerbit Navila. Al-Jundi, Sayyid Muhammad, 2010. Pemuda Bani Tamim Perintis Jalan Imam Mahdi . Makassar. Penerbit Bumi Tarbiyah Bumi Allah Indonesia. Amini, Ibrahim. 2002 Imam Mahdi: Penerus Kepemimpinan Ilahi, Jakarta. Islamic Center. Amuli, Haidar. 2005. Dari Syariat Menuju Hakikat,Bandung. Mizan. Aris, Muhammad, Anwar (Ed). 2007 Teladan Abadi Imam Mahdi, Jakarta. Penerbit al-Huda. Armstrong, Karen. 2003. Islam: Sejarah Singkat, Yogyakarta. Jendela. Berger, Peter (ed), 2003. Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia. Yogyakarta. Penerbit Ar-Ruzz. Bertens, K. 2001. Filsafat Barat Perancis. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama,. Bolushi, Jaber. 2006. Oktober 2015 Imam Mahdi Akan Datang, Jakarta. Papyrus Publishing.

Bradley, Arthur and Fletcher, Paul (Eds), 2010. The Politics to Come: A History of Futurity. London. Continuum International Publishing Group.

Deal, William E, and Beal, Timothy K.. 2005. Theory for Religious Studies, New York. Routledge. Foucault, Michel. 1995. Discipline and Punish; the Birth of the Prison, New York. Vintage Books. Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality, Vol I: An Introduction. New York. Vintage. Gibson, Thomas. 2012. Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara, Makassar. Penerbit Ininnawa. Gibson, Thomas. 2009. Kekuasaan Raja, Syeikh dan Ambtenaar, Makassar. Penerbit Ininnawa. Hall, Stuart, 1994. ‘The Question of Cultural Identity’, The Polity Reader in Cultural Theory, Polity Press, Cambridge. Hardiyanta, Sunu. 1997. Disiplin Tubuh; Bengkel Individu Modern, Yogyakarta. LKiS Haryatmoko, 2010. ‘Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi’. Jakarta, Gramedia. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 179

Harvey, Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar; Dari Tradisi ke DI/TII, Jakarta . Pustaka Utama Grafiti. Hobsbawm, Eric & Ranger, Terence (Eds). 2000. The Invention Of Tradition, Cambridge, Great Britain: Cambridge University Press. Ibrahim, Ahmad dkk. 1989. Islam di Asia Tenggara; Perspektif Sejarah. Jakarta. LP3ES Kartodirdjo, Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta. Sinar Harapan. Kartodirdjo, Sartono, 1959. ‘Catatan Tentang Segi-Segi Messianistis Dalam Sejarah Indonesia’.Yogyakarta. Penerbit Universitas Gadjah Mada Khaldun, Ibn. 2008. Muqaddimah, Jakarta. Pustaka Firdaus. Lanternari, Vittorio,1963. ‘The Religion of the Oppressed: A study of modern messianic cults’. London. Macgibbon & kee Mappangara, Suryadi & Abbas,Irwan. 2003. Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Makassar. Lamacca Press. Mattulada, 1995. LATOA: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropolgi Politik Orang Bugis’. Makassar. Hasanuddin University Press. Milner, A.C. 1988. Islam and the Muslim State, dalam M.B Hooker (ed), Islam in South-East Asia, Leiden. E.J Brill. Musawi, Mujtaba. 2004. Teologi Islam Syiah ; kajian Tekstuan Rasional Prinsip-prinsip Islam, Jakarta. Penerbit Al-Huda. Muthahhari, Murtadha. 2012. Imamah dan Khilafah, Yogyakarta. Rausyan Fikr institute. Muthahhari, Murtadha. 1991. Kepemimpinan Islam, Banda Aceh. Penerbit Gua Hira. Noorduyn, J. 1972. Islamisasi Makasaar, Jakarta. Bhratara. Leaman, Oliver (ed). 2005. Pemerintahan Akhir Zaman, Jakarta. Penerbit al-Huda. Pabbaja, Mustaqim, 2013. Gerakan Islam Non Mainstream, Studi Tentang Jamaah an-Nadzir Di Sulawesi Selatan. Universitas Gadja Mada. Pamungkas, Ea. 2008. Satria Piningit, Yogyakarta. Navila Idea. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis, Jakarta, Nalar. Parekh, Bikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism, Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Pemberton, Jhon. 2003 .‘JAWA’, On The Subject Of Java. Yogyakarta. Mata Bangsa. Rahardjo, M. Dawam (ed). 1985. Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta. PT. Grafiti Pres. Sachedina, Abdulazis. 1981. Islamic Messianism The Idea of Mahdi in Twelver Shi'ism. Albany. State University of New York Press. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 180

Saprahillah, Jamaah An-nadzir: Melawan Arus, Membangun Kemandirian, Jurnal Alqurba, Makassar. Sewang, Ahmad. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVI, Jakarta. Yayasan Obor. Shadr, Baqir dkk. 2004. Imam Mahdi Sebagai Simbol Perdamaian Dunia, Jakarta. Penerbit al-Huda. Shihab, Quraish. 2007. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Tangerang. Lentera Hati. Soesetro, D. 1999. Satrio Piningit, Yogyakarta. Media Presindo. Syariati, Ali. 2012. Ummah dan Imamah, Yogyakarta. Rausyan Fikr. Taufan, Muhammad, 2012. Tinjauan Sosiologi Hukum Jamaah An-Nadzir. Makassar. Universitas Islam Negeri Alauddin. Tuti Artha, Arwan. 2008. Satria Pinilih: Siapa Pantas Jadi Ratu Adil?, Yogyakarta. Galangpress. Thabasi, Najamuddin. 2010 Laga Pamungkas: Duet Imam Mahdi dan Isa ibn Maryam Memipin Dunia’. Jakarta. Penerbit Al-Huda. Thabathaba’I, Allamah. 1989. Islam Syiah; Asal-Usul dan Perkembangannya, Jakarta. Pustaka Utama Grafiti. Usman, 2009. Tragedi Patriot Pemberontakan Kahar Muzakkar, Yogyakarta. Narasi. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 181

Sumber Jurnal dan Artikel

Andaya, Leonard Y. Kingship-Adat Rivalry and the Role of Islam in South Sulawesi, Published by Cambridge University Press, Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, St. Sunardi, Teori Wacana dalam The History of Sexsuality. Hand out Mata Kuliah, tidak diterbitkan. Jafar Yahaghi, An Introduction to Early Persian Qur'anic Translations Reid, Anthony. Pluralism an Progress in Seventeenth-Century Makassar, Published by KITLV

Sumber Internet http, Kesimpulan Komnas Perempuan dalam Judicial Review UU tentang Pornografi (diakses tanggal 25 April 2013) http://publikasi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/2036/824. (diakses 7 Juli 2012) Http. Wikipedia.com. Undang-Undang Pornografi (diakses tanggal 25 April 2013) Harycalonpsikolog.wordpress.com/.../wawancara-dengan-jamaah-an-nadzir (diakses tanggal 6 Juni 2012). http://annadzirmawang.blogspot.com/2013/11/pimpinan-nadzir-mawang-deklarasi.html. (diakses tanggal 8 Juni 2014) Nusantaraislam.blogspot.com. Menengok Perkampungan Jamaah An Nadzir di Sulsel. (diakses tanggal 6 Juni 2012). Thesaltasin wordpress.com. Lebih Dekat dengan Jamaah An Nadzir-Sulsel . (diakses tanggal 6 Juni 2012).