BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Islamic Center adalah ruang dimana kegiatan ummat islam berlangsung. Islamic Center di tidak lahir sendiri. Ia dikembangkan dari negara negara barat untuk menampung kegiatan islami seperti sholat, ceramah agama, dan kegiatan lainnya yang behubungan dengan ke-Islaman. Islamic Center muncul pertama kali karena adanya keresahan ummat muslim di negara barat yang menjadi minoritas. Sulit rasanya bagi mereka untuk melaksanakan ibadah juga bersilaturahmi dengan ummat muslim lainnya.

Artinya, Islamic Center muncul sebagai wadah ummat muslim disana untuk melakukan kegiatan Islami mereka, sebagai pengganti masjid yang sedari awal dinisbatkan sebagai pusat kegiatan muslim. Seperti kata Prof. Syafii Karim dalam (Muis A, 2010 p. 12) bahwa

"Islamic Center merupakan istilah yang berasal dari negara-negara barat yang dimana minoritas masyarakatnya beragama Islam. Jadi untuk memenuhi segala kebutuhan akan kegiatan-kegiatan Islam mereka kesulitan untuk mencari tempat. Untuk itu aktivitas-akivitas Islam tersebut dipusatkan dalam suatu wadah yang disebut Islamic Center." Islamic Center (IC) sebagai pusat umat islam di luar negeri ini pun kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Islamic Center banyak dibangun di Indonesia, meski Islam di Indonesia bukanlah agama minoritas.

Islamic Center pertama di Indonesia yaitu PUSDAI (Pusat Dakwah Islam) di jawa barat. Islamic center muncul pada tahun 1978 tepatnya pada saat pemerintahan Gubernur H. Aang Kunaefi. Saat itu islamic center menjadi perbincangan oleh para umat muslim di Jawa Barat. Kemudian pada tanggal 11 September 1980 dilakukan musyawarah yang hasilnya adalah persetujuan perealisaisan gagasan pembangunan Islamic center di Jawa Barat. Dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa fungsi utama islamic center adalah sebagai sebuah sarana dalam mengembangkan dan menyebarkan Islam dan kebudayaan islam di Jawa Barat. Selain itu, dibangunnya Islamic Center ini juga diharap dapat menciptakan sumber daya manusia umat islam yang mempunyai daya cipta, berdaya pembaharuan, bertaqwa serta berilmu (Awang Rozi, 2013, p. 2 & 3)

1

Semenjak itu, islamic center semakin banyak bermunculan diberbagai daerah seperti di yaitu JIC (Jakarta Islamic Center) yang awalnya merupakan tempat prostitusi yang dilokalisasi bernama kramat tunggak, kemudian tempat itu mendapat kecaman dari masyarakat sehingga digusur dan dibangunlah Jakarta Islamic Center yang mulai aktif di gunakan pada tahun 2002.

Sampai di sini, Islamic Centre sebagai sebuah praktik kebudayaan sebenarnya punya problem sendiri terkait dengan pemaknaan Islamic Center sendiri dalam konteks Indonesia. Sebagai sebuah praktik budaya yang diadopsi dari luar, Islamic Center di Indonesia diterjemahkan dengan cara yang mungkin tidak sama dengan Islamic Center yang ada di Barat.

Islamic Centre juga dibangun di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kota Mataram berada di pulau Lombok, pulau yang dikenali sebagai pulau seribu masjid dan mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Islamic Center di Mataram mempunyai luas 7,6 hektar dengan bangunan utama yaitu Masjid Raya Hubbul Wathan yang tinggi dan megah. Masjid yang dibangun pada tahun 2010 lalu ini memiliki fasilitas ballroom, ruang meeting, dan beberapa ruang VIP lainnya.

Uniknya Islamic Center di Kota Mataram malah menjadi ‘ikon’ dari pulau seribu masjid ini. Dari sekian banyak masjid yang ada di kota mataram, Islamic Center menjadi masjid terbesar dan termewah di pulau seribu masjid ini. Islamic Center telah menjadi ikon dari kota Mataram yang akrab disebut Pulau seribu masjid dengan fungsi yang sangat beragam, mulai dari sholat lima waktu, kajian agama dengan Ustadz dan UIama, sebagai pasar seni, pengadaan event, juga tempat wisata religi dan terbuka untuk umum baik masyarakat lokal maupun mancanegara. (Effendi, 2016 : Kompasiana, di akses 3 Mei 2019).

Kepala Dinas Pariwisata bekerjasama dengan pengurus Islamic Center pada bulan mei – juni 2017 lalu untuk mengadakan rangkaian kegiatan dibulan Ramadhan yaitu “Pesona Khazanah Ramadhan. Acara ini mejadikan kegiatan keagamaan sebagai fokus utama. Rangkaian acara dimulai dari seremoni pembukaan dengan acara yang dipimpin oleh Tuan Guru Bajang (TGB) dan Ustadz Yusuf Mansyur. Prof. Dr. Syeikh Khalid Barakat yang berasal dari Lebanon juga ikut meramaikan acara, kemudian Syeikh Ezzat El-Sayyed dari Mesir, Syeikh Mouad

2

Douaik dari Maroko serta Syeikh Ahmad Jalal Abdullah Yahya dari Yordania. Para imam besar tersebut bergiliran memimpin sholat taraweh di Islamic Center Mataram.

Selain acara keagamaan, beberapa acara hiburan juga dipersiapkan di Islamic Center. Mulai dari kampung kuliner yang diadakan saat Ramadan, kaligrafi, yang masih bertemakan islami sampai event dan lomba yang diadakan untuk umum seperti lomba membuat VLOG (Video Blog), dan foto. Dinas pariwisata juga menyediakan fasilitas penunjang yaitu Wi-fi untuk para pengunjung Islamic Center Mataram.

Islamic Center sekarang bukan lagi hanya menjadi tempat untuk melakukan kegiatan keagamaan, namun juga sebagai tempat berkumpul, tempat wisata, bahkan menjadi tempat untuk mengadakan event dan pesta yang meriah. Islamic Center di Lombok mengalami hibridisasi budaya. Hibridasi budaya yaitu ketika batasan yang telah ada didalam sebuah sistem kebudayaan terjadi pelenturan dan akhirnya terjadi ketidakjelasan atau keambiguan terkait apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Hal ini kemudian menghasilkan suatu ruang baru yang sangat berpotensi dimaknai secara beragam oleh masyarakat, bahkan tidak terbatas .Peneliti berasumsi, adanya Islamic Center merupakan fenomena baru dimana terdapat usaha untuk memamerkan Islam yang tidak sekuler, idealis dan kaku. Kemudian untuk membaca fenomena ini, Asef Bayat menawarkan kerangka baru dalam menganalisa yaitu Post- Islamisme. Post-Islamisme mempunyai ciri yaitu Islam yang cenderung pragmatis, realistis dan bersedia berdamai dengan realitas.

Salah satu contoh fenomena yang terjadi yaitu di Teheran, Iran, Ketika ruang publik Islamisme pada tahun 1980-an yang kemudian berubah dan menjadi titik kemunculan post-Islamisme. Pada saat itu, Iran mengalami puncak Islamisme dimana pendirian negara Islam didasarkan pada Wilayatul Faqih (Pemerintahan tertinggi berasal dari ahli hukum Islam). Pada masa ini, semua hukum harus berlaku sesuai dengan prinsip prinsip Islam.

Islamisme yang secara umum didasarkan pada pembacaan tentang Islam dan ditafsirkan sebagai sistem sosial, politik, ekonomi, dan moral yang lengkap telah menjawab semua persoalan manusia (Bayat, 2007, p. 97)

Artinya Islamisme bersifat tertutup, eksklusif, tidak toleran terhadap kemajemukan dan memonopoli kebenaran Islam dimana ideologinya bersifat absolut dan totaliter pula sehingga menutup kemungkinan untuk berdampingan dengan

3 banyak pandangan yang berbeda disekitarnya. Teheran mengalami krisis pemerintahan pada bangsanya secara menyeluruh yang akibatnya pada kepadatan penduduk, polusi, pengelolaan negara yang tidak beraturan dan terlemahkan oleh perang suadara. Kota Teheran juga awalnya adalah kota yang di dalalmnya terbagi antara dua daerah, yaitu utara dan selatan. Dalam bukunya, Asef Bayat menyebutnya sebagai kelainan internal, dimana daerah selatan pada masa pemerintahan sebelumnya adalah yang tradisional dan miskin sedangkan utara adalah daerah yang berada dalam naungan rezim Islamisme yaitu yang kaya dan terbaratkan.

Kemudian pada tahun 1989, Presiden baru Rafsanjani menunjuk Ghulam Husein Karbaschi (mantan mahasiswa teologi yang telah menjadi perencana kota) untuk menetralisir semua kekacauan. Setelahnya, Teheran telah mempunyai karakter baru dan berubah menjadi kota yang hampir tidak mencirikan “Kota Islam” dalam kurun waktu delapan tahun. Simbolisme, Jalan tol, papan iklan, mall, pusat perbelanjaan telah menjadi pertanda awal munculnya Pos-Islamisme dalam ruang public kota. Kota baru ini akhirnya pun mengeliminasi sosial dan budaya yang telah memisahkan antara utara dan selatan. Karbaschi melakukan pembaharuan kota, menciptakan banyak taman public, membangun komplek budaya didaerah selatan,serta jalan penghubung antara utara dan selatan. Menurut Karbaschi, taman taman public ini merupakan sebuah taman sentral yang mempunyai visi pemandangan sebagai pintu keamanan social dimana kelas social, perbedaan etnik bercampur bersama ruang rekreasi yang aman secara moral (Bayat, 2007, p. 99). Ruang yang terbentuk dari Gerakan Pos Islamisme ini pada akhirnya menjadi acuan penelitini dalam mengidentifikasi Islamic Center Mataram sebagai Ruang Post Islamsime.

Dalam konteks teoritis dan praktis penelitian ini menjadi penting dalam membawa wacana dan perspektif post-Islamisme ke jantung kegiatan Islam yakni masjid/Islamic Center. Dalam konteks disiplin komunikasi, penelitian ini penting untuk melihat bagaimana teknologi media/komunikasi modern turut mengkonstruk ruang religius. Selama ini penelitian Islamic Center diteliti oleh disiplin lain, misalnya, Islamic Center pernah di teliti oleh Rida Mardia, mahasiswi UIN Makassar Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik, jurusan sosiolog agama tahun 2017. Objek dalam penelitiannya adalah Islamic Center Dato Tiro kota Bulukumba. Penelitiannya berfokus pada bagaimana Islamic Center mengalami perubahan fungsi menjadi

4 tempat wisata dan berfoto, kemudian mengangap hal tersebut terjadi karena adanya aturan yang kurang tegas dan tidak jelas dari pengurus Islamic Center. Berbeda dengan penelitian ini, Peneliti berasumsi bahwa perubahan atau pemultifungsian Islamic Center dapat dilihat dengan cara yang berbeda melalui Pos-Islamisme, dimana Islamic Center merupakan manifestasi dari Islam yang terbuka.

B. Rumusan Masalah Penelitian ini adalah penelitian mengenai produksi ruang Post-Islamism. Dalam produksi ruang tersebut penelitian ini memfokuskan bagaimana media dan komunikasi berperan serta dalam produksi ruang tersebut. Islamic Center dalam penelitian ini dianggap sebagai praktik ruang post-Islamism sehingga, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tindak komunikasi turut mengkonstruksi Islamic Center Kota Mataram sebagai ruang Post-Islamism?

Inti proyek pos-Islamisme terletak pada percampuran antara cita- cita republican dan etika-etika agama, dengan "demokrasi agama" sebagai misi politiknya. (Bayat, 2007, p. 89)

Islamic Center di Lombok dirumuskan sebagai ruang post-Islamism. Dalam bukunya, Asef Bayat menuliskan bahwa Pos Islamisme mengusung visi tentang masyarakat dan pemerintah yang di ekpresikan dalam cara pandang baru melihat ruang public, gender, politik mahasiswa, negara dan yang paling penting adalah kaitannya dengan pemikiran agama (Bayat, 2007, p. 89). Namun kehati-hatian terlihat dalam tulisan asef bayat yang tidak ingin terburu buru mengklaim bahwa konsep post-Islamisme relevan di pakai untuk fenomena fenomena di negara seperti Indonesia dan mengatakan bahwa konsepnya hanya relevan digunakan di negara Timur Tengah (Heryanto, 2015, p. 63). Perlu adanya sedikit modifikasi serta adaaptasi untuk membaca fenomena yang ada di Indonesia misal dalam melihat Islamic Center. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara Post-Islamis politis yang berkaitan langsung dengan negara seperti fokus dalam buku Asef bayat dengan Post- Islamis dalam ruang yang menyangkut pemaknaan ruang melalui mediasi yang menjadi focus dari penelitian ini. Ruang Post-Islamism dalam penelitian ini mengibaratkan Islamic Center Mataram layaknya “Taman Central” yang dibuat oleh Karbaschi (Perencana Kota)

5 di Teheran, dimana ruang ini merupakan pintu bercampurnya kelas sosial, etnik yang berbeda serta tempat rekreasi yang aman secara moral. Ruang Islamic Center didefinisikan sebagai ruang religi sekaligus ruang yang diwacanakan sebagai tempat pariwisata sesuai fungsinya, kemudian orang ramai datang berwisata dan menikmati dunia (Bersenang senang) tanpa takut kehilangan keimanannya. Fokus penelitian ini adalah bagaimana Islamic Center dimediasi sehingga menciptakan ruang pos- Islamisme Studi yang mempelajari komunikasi dan fungsinya dalam pembentukan ruang adalah komunikasi geografi. Falkheimer dan Jansson (2006) melihat ada tiga konsep media/komunikasi yang penting dalam komunikasi geografi, yakni mediasi (bagaimana ruang direpresentasikan), mediatiasi ruang (bagaimana logika teknologi mempengaruhi orang mempengaruhi ruang) dan mediatisasi pengalaman tentang ruang. Dalam hal ini pertanyaan ini akan disederhanakan menjadi satu saja yaitu mediasi. Oleh karena itu, pertanyaan dalam peneitian ini adalah : 1. Bagaimana Islamic Center Mataram dibentuk oleh praktik mediasi? 2. Ruang seperti apa yang terbentuk dari proses mediasi Islamic Center?

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain : 1. Untuk mengetahui bagaimana Islamic Center Mataram di mediasi 2. Untuk membuktikan bahwa Islamic Center adalah manifestasi dari ruang Post-Islamisme yang ditopang oleh mediasi

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini merupakan penelitian yang melihat Islamic Center dengan konsep ruang Pos-Islamisme. Pos-Islamisme dalam buku asef bayat berfokus pada Post-Islamisme politis yang berada ditingkat negara , namun konsep dan praktik-praktik yang terjadi diruang kota dapat sekiranya dapat di adposi juga di modifikasi sehingga relevan dengan fenomena spasialitas di Islamic Center Mataram. Oleh karena itu manfaat dari penelitian ini adalah membuka medan permasalahan baru yang meletakkan Islamic Center sebagai legitimasi dari Pos- Isalmisme. Penelitian ini juga bisa menjadi kritik dari studi Islamic Center

6

sebelumnya yang mengatakan bahwa terdapat sebuah kesalahan sistem sehingga pemultifungsian di Islamic Center adalah satu hal yang menyimpang.

2. Manfaat Praktis Adanya penelitian ini sebagai sebuah studi baru melihat Islamic Center tentunya akan bermanfaat menambah pengalaman dan wawasan sekaligus sebagai referensi untuk peneliti peneliti baik studi Komunikasi Geografi maupun Islamic Center setelah ini.

E. Tinjauan Pustaka 1. Islamic Center Penelitian terkait Islamic Center tergolong sangat jarang, khusunya yang meneliti dari studi Komunikasi dan Ruang. Ada beberapa yang meneliti Islamic Center namun dengan konsep dan sudut pandang yang berbeda, Kebanyakan dari peneliti berasal dari bidang Arsitektur dan perancanaan dimana melihat Islamic Center dari segi rancangan bangunan, strategi Desain dan sebagainya. Salah satu penelitian yang membahas studi Islamic Center yang mendekati dengan penelitian ini adalah penelitian pada tahun 2018 yang dilakukan oleh Mustain, Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Judul penelitian ini yaitu Islamic Center dan Peran Kekuasaan dalam Konstruksi Identitas Islam di Lombok. Penelitian ini melihat masyarakat, para Gubernur Bupati Walikota sebagai aktor dalam proses kontestasi Identitas agama dalam kehidupan sosial ditingkat nasional dan regional. Adanya kontestasi ini adalah akibat dari kebebasan keterbukan bangsa. Wujud dari kontestasi tersebut yaitu munculnya simbol simbol agama yang kuat yang diciptakan oleh para penguasa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menunjukan hasik bahwa Tuan Guru Bajang (TGB) mempunyai peran yangn signifikan dalam membangun simbol Islam dan dengan dukungan APBD 2011-2014, Pengelolaan yang baik oleh UPT dan tentunya sumbangan dari masyarakat sekitar. Penelitian berikutnya terkait studi Islamic Center yaitu oleh Rida Mardia, Mahasiswa UIN Alaluddin Makassar pada tahun 2017 dengan judul PERUBAHAN FUNGSI MASJID ISLAMIC CENTER DATO TIRO SEBAGAI DESTINASI WISATA DI KOTA BULUKUMBA. Penelitian ini berbicara mengenai perubahan fungsi Islamic Center Dato Tiro seagai destinasi

7 wisata di Bulukumba. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Masjid Islamic Center Dato Tiro Bulukumba pada dasarnya berfungsi sebagai tempat beribadah umat Islam dan sebagai pusat kegiatan keagamaan di Bulukumba namun seiring berkembangnya waktu dan media informasi di era modernisasi, terjadi perubahan dalam hal peningkatan fungsi sebagai destinasi wisata pada Masjid Islamic Center Dato Tiro Bulukumba. Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan dalam hal pengingkatan fungsi Masjid Islamic Center sebagai destinasi wisata adalah Keindahan bentuk dan keunikan Masjid yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan pelancong namun tidak untuk beribadah akan tetapi hanya datang untuk melihat dan menikmati keindahan suasana di Masjid. Setiap pengunjung yang datang kebanyakan hanya mengabadikan momen, berfoto dan Masjid Islamic Center Dato Tiro sebagai latarnya, Selain itu keberadaan kafe-kafe yang berada disekitaran Masjid juga telah memberikan ruang bagi para pengunjung untuk menikmati suasana di sekitaran Islamic Center Dato Tiro. Masjid ini menjadi tempat rekreasi dan foto-foto karena adanya aturan yang kurang tegas dan tidak jelas dari pengurus Masjid. Islamic Center juga pernah diteliti oleh Ilham Syahputra, Mahasiswa Program Sarjana Desain Interior , Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Penelitiannya berjudul STUDI PERANCANGAN ISLAMIC CENTER LHOKSEUMAWE MELALUI PENDEKATAN SECARA MODERN DENGAN TETAP MEMPERTAHANKAN UNSUR LOKAL KONTEN DAN SPIRITUALITAS ISLAM. Penelitian ini membahas bagaimana Islamic Center dulunya hanya di kenal sebagai Masjid yang mempunyai fungsi memfasilitasi manunsia dalam aktifitas hablumminallahnya. Namun era modern di Indonesia khususnya Islamic Center di kota Lhokseumawe yang kini dijadikan kompleks yang didalamnya tidak hanya ada masjid, melainkan ada bangunan bangunan yang difungsikan sebagai bentuk perwujudan islam yang bersifat kemasyarakatan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana Lhoksemuawe kini semakin jauh dengan ajaran islam, sehingga Islamic Center dengan desain modern, unsur tradisinional dan spiritual di perlukan sehingga dapat menbuat masyarakatnya kembali ke ajaran Islam. Kesimpulan dari penelitian ini mengatakan bahwa Islamic center yang mengikuti perkembangan zaman dengan tidak mengesampingkan unsur lokal dan spiritualitas, akan mampu

8 mewujudkan segala tujuan serta visi misi dari pengadaan fasilitas tersebut. Hal tersebut diyakini mampu mengembalikan identitas umat muslim sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah dengan mempertahankan prinsip hablumminallah dan hablumminannas serta hablum minal alamin dalam kehidupan sehari hari. Sebuah tempat yang islami layaknya Islamic Center lainnya yang pernah diteliti adalah Islamic Center di Manado. Penelitian ini dilakukan oleh Imannuddin, E. Deddy dan M. Faizah mahasiswa dan dosen Program studi arsitektur Unevirsitas Sam Ratulangi. Judul penelitiannya adalah ISLAMIC CONTEMPORER CULTURAL CENTER DI MANADO SYMBOL KALIGRAFI ARABESQUE SEBAGAI STRATEGI DESAIN. Penelitian ini berangkat dari masalah dimana belum tersedianya wadah tempat orang orang mendapatkan informasi mengenai islam secara lengkap dan menyeluruh sekaligus tempat kegiatan yang mempuyai nuansa islami dan menjadi pemersatu muslim di kota Manado. Penelitian dalam penelitian ini mempunyai opini bahwa manado membutuhkan sebuah tempat yang mewadahi kegiatan umat muslim yang dijadikan satu tempat sekaligus dengan tempat dimana mereka bisa berekreasi sebagai pemenu kebutuuhan jasmani dan rohani yang bersifat religi.. Penelitian ini juga berusaha melakukan proses perancangan terhadap Islamic Contemporer Cultural Center (ICCC) di Manado menggunakan konsep arabesque dengan metode pendekatan simbolisme kaligrafi. Lingkup pelayanan dalam rancangannya antara lain, edukasi, aktifitas rekreasi dan pemberian informasi seputar Islam yang mendatangkan keuntungan. Islamic Center ini nantinya diharapkan dapat memfasilitasi serta mengakomodassi ragam kebudayaan islami kemudian di pelajari serta dikembangkan menjadi tempat wisata kebudayaan islam. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu dengan adanya diselesaikannya penelitian ini , symbol di ICCC yang berkaitan tidak hanya menjadi pajangan semata, namun juga bisa menjadi hal yang bisa menginformasikan warga muslim Utara kepada masyarakat luas. Sulawesi Utara. Adanya ICCC juga diharapka menjadi wada agar umat muslin di Manado bisa lebih beriman dan bertaqwa. Nasir Rahman, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta juga pernah meneliti Islamic Center sebagai tugas dan syarat memperoleh Gelar sarjananya di Fakultas Agama Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam tahun

9

2013. Penelitiannya berjudul PEMANFAATAN ISLAMIC CENTER SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN NON FORMAL (Studi Kasus di Islamic Centre Al-Barokah Purwontoro Wonogiri) Penelitian ini berangkat dari masalah bahwa sistem sekolah formal yang ada saat ini tidak mampu memenuhi tntutan pemenuhan kebutuhan masyarakat dibidang pendidikan terutama membenuk kepribadian, hal tersebut memicu munculnya pendidikan non formal berupa pendidikan umum, keterampilan dan pendidikan islam berupa kajian kitab. Penelitian ini membahas salah satu lembaga pendidikan non formal yang mampu menampung kegiatan yang berfokus pada penngembangan agama dan kebudayaan yaitu Islamic Center. Penelitian ini ingin melihat bagaimana kemudian efektifitas islamic center dalam perannya sebagai lembaga pendidikan nonformal. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa Islamic Center ini sudah difungsikan dengan baik juga memiliki program pendidikan yang efektif, tetapi sedikit terganggu karena tidak tersedianya sarana dan pra sarana yang dapat menunjang program program tersebut. Faktor penghambatnya antara lain, adanya multi peran dari pengurus masjid sehingga ketika mengerjakan satu pekerjaan, satu pekerjaan lainnya dilalaikan. Selain itu, pandangan negatif dari beberapa masyarakat tentang dakwah disana, partisipasi masyarakat, juga yang paling penting yaitu sarana dan pra sarana.

F. Kerangka Teori 1. Komunikasi Geografi Komunikasi dan Geografi memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, dimana terletak pada kenyataan bahwa semua bentuk dari komunikasi terjadi dalam sebuah ruang sehingga ruang dapat mengkonstruk tindak komunikasi didalam ruang atau sebaliknya. (Jansson & Falkheimer, 2006, p. 7). Komunikasi geografi adalah merupakan sebuah bidang studi yamg lahir karena adanya keambiguan ruang dan juga konteks yang disebabkan karena perkembangan teknologi (Jansson & Falkheimer, 2006, p. 9&10) Komunikasi geografi adalah studi yang melihat bahwa ruang tidaklah alamiah atau ruang tidak selamanya stabil, karena menurut Lefebvre dalam bukunya Production of Space, ruang adalah sebuah produk “Space is real in the same sense that commodities are real since (social) space is a (social) product” (Lefebvre, 1991, p. 26). Tanpa komunikasi, sebuah tempat hanyalah di artikan

10 sebagai “place”, namun dengan komunikasi yang terjadi didalamnya, “place” dapat diartikan sebagai “space” yang dinamis dan selalu diproduksi secara sosial. Menurut Gould (1991) juga, Ruang ditata melalui komunikasi yang mempengaruhi cara benda bergerak melaluinya, sehingga tidak ada geografi tanpa komunikasi. Jansson menggagas tiga bidang kaji komunikasi, yang pertama adalah mediasi ruang (mediation of space). Mediasi ruang adalah kajian mengenai bagaimana suatu ruang di gambarkan juga di representasikan lewat berbagai media seperti penggambaran sebuah tempat sebagai icon kota via televisi, spanduk, banner dan lainnya. Kemudian yang kedua adalah Mediatisasi ruang (Mediatitation of space), yaitu bidang kajian dimana kegiatan, aktivitas dan kondisi material lainnya dari sebuah ruang dapat menentukan bagaimana ruang tersebut terdefinisikan. Yang ketiga adalah pengalaman keruangan individu yang termediatisasi (Mediatised Sense of Space) dimana kajian pada fakta imajinasi dan pengalaman individu atas ruang, tidak hanya terdiri dari mitos maupun ideology, tetapi harapan akan ruang tersebut ( Dhona, 2018, p. 13).

2. Peran Mediasi dalam Produksi Ruang Seorang sosiolog marxis yang berasal dari Prancis yaitu Henri Lefebvre mengatakan bahwa tidak ada ruang yang ideal, karena sebuah ruang dalam kehidupan masyarakat kapitalis modern tidak pernah berhenti di perebutkan. Pihak pihak yang mempunyai kepentingan akan selalu mencari cara agar dapat mendominasi penggunaan dan pemanfaatan bahkan cara berpikir manusia mengenai ruang. Mereka akan memproduksi segala bentuk pengetahuan untuk mempertahankan hegemoninya atas ruang tersebut. Menurut Lefebvre, ruang merupakan ruang sosial karena ruang adalah sebuah produk sosial.

“Space is real in the same sense that commodities are real since (social) space is a (social) product” (Lefebvre, 1991, p. 26).

Lefebvre menggunakan konsep production of space, yang berisi pemahaman mengenai ruang yang terkait pada realitas sosial. Lefebvre mengatakan bahwa ruang tidak pernah ada “sebagaimana dirinya”, ruang selalu diproduksi secara sosial. Ruang selalu akan memamerkan dirinya sendiri (a desire of self exhibition) karena nilai dari sebuah ruang akan terbentuk ketika

11 ruang tersebut digunakan. Pada era modern, komoditas menjadi sangat berkembang dan terus mengalamai artikulasi oleh kapitalis, oleh karenanya urbanisasi diartikan lewat bagaimana cara kapitalisme melakukan produksi di sebuah ruang dan mereka jadikan sebagai ajang produksi komoditas yang dibuat berdasarkan kepentingan sehingga ruang menjadi terdefinisikan secara tidak alamiah/netral. (Pamungkas, 2016) Hal ini pada akhirnya berdampak pada pengetahuan yang dihegemoni dan reproduksi secara terus menerus dengan mempertahankan konsep ruang dengan hasrat eksistensi dirinya. Konsekuensinya kemudian adalah pengetahuan tentang sebuah ruang hanya menjadi objek lewat ideologi yang mengatasnamakan netralitas ilmu pengetahuan dan pada akhirnya melupakan sejarah sosial berkembangnya masyarakat yang menjadi aktor penting hidupnya dalam menghidupkan sebuah ruang. Lefebvre menjelaskan bagaimana ruang sosial dihasilkan dengan tiga rangkaian konseptual, diantaranya : 1. Praktek Spasial (Spatial Practice) Praktek keruangan berhubungan dengan produksi dan reproduksi yang terjadi dalam sebuah ruang. Masyarakat mempunyai peran dan keterlibatan yang sangat penting dalam praktek keruangan terkait kepemilikan atas ruang. Ruang disini adalah bagaimana kemudian di praktekkan oleh penggunanya dalam kehidupan sehari hari yang mempengaruhi cara mereka memikirkan ruang tersebut (Lefebvre, 1991, p. .33). 2. Representasi Ruang (Representation of Spaces) Representasi ruang adalah bagaimana kemudian ruang dikonsep sehingga ia disebut sebagai ruang. Representasi ruang bisa dapat dilihat lewat beberapa media seperti peta, tanda, teks, informasi yang digambarkan bahkan hubungan hubungan yang bersifat frontal. Intinya adalah bagaimana sebuah ruang di represenasikan oleh hal hal diatas.(Lefebvre, 1991, p .33) 3. Ruang Representasional (Representational Spaces) Ruang ini Lefebvre sebut sebagai ruang yang nyata atau ruang yang hidup (Lived Space). Ruang representasional berkaitan langsung dengan berbagai macam simbol dan bentuk pencitraan yang memvisualisasikan

12

ruang seperti halnya pengguna yang berinteraksi melalui simbol simbol yanng dibuat untuk menunjukkan informasi tertentu. (Lefebvre, 1991, p .33) Jansson juga mengajukan tiga bidang kajian yang serupa dangan Lefebvre konsep Lefebvre diatas yaitu Mediasi (Mediation), Mediatisasi (Mediatisation of space) dan Pengalaman keruangan atas ruang (a mediated sense of space). Namun pada penelitian ini, peneliti hanya berfokus pada dua bidang kajian yang menjadi pertanyaan yaitu tindakan mediasi dan praktik mediatisasi yang terjadi di Islamic Center. Mediasi adalah bidang kaji terkait simbol simbol yang merepresentasikan sebuah ruang dulu, sekarang maupun yang akan datang. Bidang kaji ini akan lebih menjelaskan bagaimana sebuah ruang dikonstruksikan oleh media juga tindakan komunikasi dan kemudian terjadi sirkulasi representasi dalam ruang. Konten mediasi, aktor, Institusi, penerimaan khalayak (Presepsi, resepsi, encoding dan decoding) terhadap mediasi adalah objek yang dapat di kaji dalam mediasi (Dhona, 2018, p. 13). Sedangkan mediatisasi yaitu ketika logika media mempengaruhi cara manusia memperlakukan ruang. Dalam tulisannya, (Dhona, 2018, p.14) bahwa Jansson mengatakan mediatisasi seolah olah adalah sebuah determinasi media dalam kehidupan sosial. Namun konsep mediatisasi tidak juga mengakui bahwa media membentuk subjeknya, karena determinasi media disuguhkan untuk melihat bagaimana tarik ulur antara subjek dan media dalam menciptakan sebuah ruang. Penerimaan teknologi sebagai sebab dalam relasi sosial dan proses komunikasi, bukan berarti menerima kemutlakan teknologi (determinisme teknologi) atas realitas sosial (Falkheimer & Jansson, 2006, p. 16)

3. Post-Islamism dan Ruang Post-Islamism Konsep yang digunakan dalam melihat Gejala keruangan yang terjadi di Islamic Center yaitu Post-Islamism. Post-Islamism adalah sebuah konsep yang diusung oleh Asef Bayat, Seorang sarjana Iran-Amerika yang juga merupakan Profesor Sosiologi dan studi Timur Tengah di University of Illinois di Urbana- Champaign. Bayat telah menerbitkan secara luas tentang isu-isu sosiologi politik, gerakan sosial , ruang kota dan politik , politik dan religiositas sehari-hari, Islam

13 kontemporer, dan Timur Tengah Muslim. Dia telah melakukan studi ekstensif tentang Revolusi Islam Iran, gerakan-gerakan Islam dalam perspektif komparatif sejak tahun 1970-an, non-pergerakan kaum miskin kota, pemuda Muslim, dan wanita, politik kesenangan, dan Musim Semi Arab. (Bayat, 2007) Salah satu karya besar Asef Bayat adalah gagasan Post-Islamismnya yang merupakan kategori paradigma baru dalam melihat gerakan politik Islam dimana telah terjadi perubahan paradigma dan gerakan politik Islam di kalangan muslim garis keras Iran, dari yang eksklusif, militan, dogmatis ke arah paradigma dan gerakan yang menghargai toleransi, inklusivitas dan pluralitas. Perubahan terjadi di Iran pada tahun 1988 pasca peran Iran-Irak yang mengakibatkan transformasi sosial politik, dan intelektual di bawah pemerintahan Presiden Rafsanjani. Pada tahun ini, iran terlepas dari belenggu Islamisme yang ekstrim, dimana pada saat itu pemerintahan tertinggi didasarkan pada ahli hukum Islam dan menetapkan semua hukum hukum di Iran berdasarkan syariat Islam. Kemudian Iran ibukota (Teheran) berubah menjadi kota yang mempunyai wajah baru dan hampir tidak mencermikan “Kota Islam” melalui praktik praktiknya. Sejumlah mall perbelanjaan dan departemen store, dengan atap yang tinggi, gang-gang yang luas, tempat-tempat parkir yang luas, adalah yang pertama kali di dalam sejarah kota Iran. Kemudian juga “Taman Sentral” yang Karbaschi (mantan mahasiswa teologi yang telah menjadi perencana kota) gagas dengan visi pemandangan dan taman-taman publik sebagai katup keamanan sosial yang menyebabkan kelas-kelas sosial dan etnik- etnik berbeda bercampur bersama, ruang-ruang rekreasi yang secara moral aman, telah menjadi simbol terbentuknya ruang Post-Islamisme, Dipahami sebagai aman secara moral, pusat-pusat budaya ini menarik perempuan- perempuan muda dari keluargakeluarga tradisional, yang jika tidak terasing di rumah berarti berada di ruang-ruang agama yang terkontrol, untuk melakukan aktivitas-aktivitas sekuler dan rekreasi artistik (Bayat, 2007, p. 101), artinya Ruang Post-Islamisme adalah bukan ruang yang Islamis dimana ruang ini inklusif, bebas dan tidak memisahkan sehingga memungkinkan ruang ini menjadi tempat berlindung yang relative bebas dan pada akhirnya mempercepat munculnya aktor aktor sosial baru. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, Islamic Center di asumsikan sebagai ruang Post-Islamism berdasarkan praktik yang terjadi di sana seperti

14

bercampurnya tempat Ibadah dan tempat wisata sehingga tidak dapat dibedakan antara jamaah dan wisatawan, kemudian juga acara acara seremonial oleh para konsumen ruang, Bazaar (Pasar) dan aktivitas aktivitas lainnya disamping agenda kegiatan keagaman (sholat, kajian, tadarus, dll) di Islamic Center. Sedangkan aktor sosial baru digambarkan kepada para jamaah dan atau wisatawan yang membuat ruang Islamic Center terdefinisi.

G. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian ini menggunakan paradigma kritis (Denzim, N. K., & Lincoln, Y. S. 1994; Dimock, J P. 2015) dimana ciri salah satu cirinya yaitu pemahaman kritis mengenai sebuah realitas. Realitas dalam sudut pandang kritis adalah sebuah relitas yang semu. Realitas tersebut tidaklah alamiah tetapi terbentuk karena sebuah konstruk dari kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Penulis meyakini bahwa ruang yang merupakan produk sosial menurut Lefebvre dalam tulisannya “Production of Space” adalah bentuk kontruksi yang diperoleh dari kontestasi kapitalis untuk mengontrol pemikiran dan penggunaan atas ruang. Islamic Center mengalami pemultifungsian diaman ia tidak hanya menjadi sebuah ruang religi, namun juga ruang ang dapat di interpretasikan sebagai ruang pariwisata oleh pengguna ruang. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peneliti melihat bahwa pembentukan sebuah ruang tidaklah netral melainkan di pengaruhi oleh kuasa tertentu. Pemultifungsian Islamic Center Mataram di hipotesakan sebagai manifestasi terjadinya kontestasi dalam memperebutkan pemaknaan atas ruang.

2. Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini adalah Deskriptif Kualitatif dengan metode Analitis. Nazir (2011, p. 52) mendefinisikan bahwa metode deskriptif merupakan satu metode yang digunakan untuk meneliti perilaku kelompok manusia, suatu subjek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau pun kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Penelitian ini berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan fakta terkait fenomena keruangan yang dilihat sebagai ruang Pos-Islamisme yaitu Islamic

15

Center mataram. Fakta didapat melalui data yang telah diobservasi, wawancara, studi literatur dan kemudian dianalisis serta dijelaskan kaitannya dengan konsep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Post-Islamisme.

3. Metode Pengumpulan data Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan data primer dimana data ini diperoleh langsung dari hasil observasi, wawancara maupun studi literatur yang dilakukan sendiri oleh peneliti dilapagan. a. Observasi Observasi adalah sebuah metode pengumpulan data dimana peneliti terjun langsung ke lapangan dan melakukan pengamatan terhadap objek yang ingin di teliti agar peneliti dapat lebih dekat dengan objeknya (Riduwan, 2004, p. 104). Observasi dilakukan di Kawasan Islamic Center Mataram dengan melihat aktivitas yang dilakukan oleh para pengguna ruang disana. Selain itu observasi yang dilakukan juga berupa mengamati konten mediasi yang dilakukan oleh pengelola Islamic Center. Melalui observasi, peneliti dapat melihat fakta fakta mengenai objek yang di teliti sehingga sangat berguna untuk menentukan pertanyaan pertanyaan untuk menggali informasi melalui wawancara dengan informan

b. Wawancara Wawancara adalah percakapan yang diilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data dari informannya. Dalam metode ini peneliti langsung bertatap muka dengan respondennya dengan tujuan mendapatkan informasi secara lisan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam menjawab masalah dalam penelitian (Lexy J Moleong, 1991, p. 135). Pada penelitian ini, responden yang diwawancara adalah mereka yang datang ke Islamic Center, pengelola dan juga pedagang untuk melihat keberagaman dalam memaknai Islamic Center. Hasil wawancara dengan informan dalam penelitian ini berguna untuk mengkonfirmasi wacana yang timbul di Islamic Center Mataram ,

16

c. Studi Literatur/Kepustakaan Studi Literatur/Kepustakaan adalah cara pengumpulan data dengan mengumpulkan dan mencari informasi melalui material yang ada di perpustakaan, buku, koran, majalah, naskah publikasi, skripsi dokumen dan sebagainya yang dapat membantu mendapatkan data penelitian (Koentjaraningrat, 1983, p. 420). Studi literatur akan dilakukan oleh peneliti untuk memenuhi kebutuhan spatial historynya. Selain kebutuhan spatial historys, peneliti juga harus melakukan studi literatur terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan juga konsep yang hendak digunakan.

4. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan Analisis Wacana Foucault yang merupakan salah satu analisis teks media untuk membedah bagaimana cara media mengkonstruksi sebuah wacana. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Analisis wacana melihat pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai praktek social. Bahasa dianalisis bukan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan konteks. Konteks di sini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu (Halwati, 2013). Peneliti percaya bahwa terbentuknya Islamic Center sebagai ruang Wisata Religi tidak terjadi begitu saja melainkan adanya proses produksi ruang didalamnya yang dilakukan oleh penguasa dalam menghegemoni pengetahuan atas ruang

17

5. Jadwal Penelitian

Oktober 2018 November 2018 Januari-April 2019 Mei-Juli 2019 NO KEGIATAN 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Survey Lapangan 1 (Islamic Center) 2 Wawancara 3 Analisis data 4 Pembuatan Skripsi

Tabel 1. Jadwal Penelitian

18