BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islamic Center Adalah Ruang Dimana Kegiatan Ummat Islam Berlangsung. Islamic Center Di Indon
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islamic Center adalah ruang dimana kegiatan ummat islam berlangsung. Islamic Center di Indonesia tidak lahir sendiri. Ia dikembangkan dari negara negara barat untuk menampung kegiatan islami seperti sholat, ceramah agama, dan kegiatan lainnya yang behubungan dengan ke-Islaman. Islamic Center muncul pertama kali karena adanya keresahan ummat muslim di negara barat yang menjadi minoritas. Sulit rasanya bagi mereka untuk melaksanakan ibadah juga bersilaturahmi dengan ummat muslim lainnya. Artinya, Islamic Center muncul sebagai wadah ummat muslim disana untuk melakukan kegiatan Islami mereka, sebagai pengganti masjid yang sedari awal dinisbatkan sebagai pusat kegiatan muslim. Seperti kata Prof. Syafii Karim dalam (Muis A, 2010 p. 12) bahwa "Islamic Center merupakan istilah yang berasal dari negara-negara barat yang dimana minoritas masyarakatnya beragama Islam. Jadi untuk memenuhi segala kebutuhan akan kegiatan-kegiatan Islam mereka kesulitan untuk mencari tempat. Untuk itu aktivitas-akivitas Islam tersebut dipusatkan dalam suatu wadah yang disebut Islamic Center." Islamic Center (IC) sebagai pusat umat islam di luar negeri ini pun kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Islamic Center banyak dibangun di Indonesia, meski Islam di Indonesia bukanlah agama minoritas. Islamic Center pertama di Indonesia yaitu PUSDAI (Pusat Dakwah Islam) di jawa barat. Islamic center muncul pada tahun 1978 tepatnya pada saat pemerintahan Gubernur H. Aang Kunaefi. Saat itu islamic center menjadi perbincangan oleh para umat muslim di Jawa Barat. Kemudian pada tanggal 11 September 1980 dilakukan musyawarah yang hasilnya adalah persetujuan perealisaisan gagasan pembangunan Islamic center di Jawa Barat. Dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa fungsi utama islamic center adalah sebagai sebuah sarana dalam mengembangkan dan menyebarkan Islam dan kebudayaan islam di Jawa Barat. Selain itu, dibangunnya Islamic Center ini juga diharap dapat menciptakan sumber daya manusia umat islam yang mempunyai daya cipta, berdaya pembaharuan, bertaqwa serta berilmu (Awang Rozi, 2013, p. 2 & 3) 1 Semenjak itu, islamic center semakin banyak bermunculan diberbagai daerah seperti di jakarta yaitu JIC (Jakarta Islamic Center) yang awalnya merupakan tempat prostitusi yang dilokalisasi bernama kramat tunggak, kemudian tempat itu mendapat kecaman dari masyarakat sehingga digusur dan dibangunlah Jakarta Islamic Center yang mulai aktif di gunakan pada tahun 2002. Sampai di sini, Islamic Centre sebagai sebuah praktik kebudayaan sebenarnya punya problem sendiri terkait dengan pemaknaan Islamic Center sendiri dalam konteks Indonesia. Sebagai sebuah praktik budaya yang diadopsi dari luar, Islamic Center di Indonesia diterjemahkan dengan cara yang mungkin tidak sama dengan Islamic Center yang ada di Barat. Islamic Centre juga dibangun di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kota Mataram berada di pulau Lombok, pulau yang dikenali sebagai pulau seribu masjid dan mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Islamic Center di Mataram mempunyai luas 7,6 hektar dengan bangunan utama yaitu Masjid Raya Hubbul Wathan yang tinggi dan megah. Masjid yang dibangun pada tahun 2010 lalu ini memiliki fasilitas ballroom, ruang meeting, dan beberapa ruang VIP lainnya. Uniknya Islamic Center di Kota Mataram malah menjadi ‘ikon’ dari pulau seribu masjid ini. Dari sekian banyak masjid yang ada di kota mataram, Islamic Center menjadi masjid terbesar dan termewah di pulau seribu masjid ini. Islamic Center telah menjadi ikon dari kota Mataram yang akrab disebut Pulau seribu masjid dengan fungsi yang sangat beragam, mulai dari sholat lima waktu, kajian agama dengan Ustadz dan UIama, sebagai pasar seni, pengadaan event, juga tempat wisata religi dan terbuka untuk umum baik masyarakat lokal maupun mancanegara. (Effendi, 2016 : Kompasiana, di akses 3 Mei 2019). Kepala Dinas Pariwisata bekerjasama dengan pengurus Islamic Center pada bulan mei – juni 2017 lalu untuk mengadakan rangkaian kegiatan dibulan Ramadhan yaitu “Pesona Khazanah Ramadhan. Acara ini mejadikan kegiatan keagamaan sebagai fokus utama. Rangkaian acara dimulai dari seremoni pembukaan dengan acara tabligh akbar yang dipimpin oleh Tuan Guru Bajang (TGB) dan Ustadz Yusuf Mansyur. Prof. Dr. Syeikh Khalid Barakat yang berasal dari Lebanon juga ikut meramaikan acara, kemudian Syeikh Ezzat El-Sayyed dari Mesir, Syeikh Mouad 2 Douaik dari Maroko serta Syeikh Ahmad Jalal Abdullah Yahya dari Yordania. Para imam besar tersebut bergiliran memimpin sholat taraweh di Islamic Center Mataram. Selain acara keagamaan, beberapa acara hiburan juga dipersiapkan di Islamic Center. Mulai dari kampung kuliner yang diadakan saat Ramadan, kaligrafi, yang masih bertemakan islami sampai event dan lomba yang diadakan untuk umum seperti lomba membuat VLOG (Video Blog), dan foto. Dinas pariwisata juga menyediakan fasilitas penunjang yaitu Wi-fi untuk para pengunjung Islamic Center Mataram. Islamic Center sekarang bukan lagi hanya menjadi tempat untuk melakukan kegiatan keagamaan, namun juga sebagai tempat berkumpul, tempat wisata, bahkan menjadi tempat untuk mengadakan event dan pesta yang meriah. Islamic Center di Lombok mengalami hibridisasi budaya. Hibridasi budaya yaitu ketika batasan yang telah ada didalam sebuah sistem kebudayaan terjadi pelenturan dan akhirnya terjadi ketidakjelasan atau keambiguan terkait apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Hal ini kemudian menghasilkan suatu ruang baru yang sangat berpotensi dimaknai secara beragam oleh masyarakat, bahkan tidak terbatas .Peneliti berasumsi, adanya Islamic Center merupakan fenomena baru dimana terdapat usaha untuk memamerkan Islam yang tidak sekuler, idealis dan kaku. Kemudian untuk membaca fenomena ini, Asef Bayat menawarkan kerangka baru dalam menganalisa yaitu Post- Islamisme. Post-Islamisme mempunyai ciri yaitu Islam yang cenderung pragmatis, realistis dan bersedia berdamai dengan realitas. Salah satu contoh fenomena yang terjadi yaitu di Teheran, Iran, Ketika ruang publik Islamisme pada tahun 1980-an yang kemudian berubah dan menjadi titik kemunculan post-Islamisme. Pada saat itu, Iran mengalami puncak Islamisme dimana pendirian negara Islam didasarkan pada Wilayatul Faqih (Pemerintahan tertinggi berasal dari ahli hukum Islam). Pada masa ini, semua hukum harus berlaku sesuai dengan prinsip prinsip Islam. Islamisme yang secara umum didasarkan pada pembacaan tentang Islam dan ditafsirkan sebagai sistem sosial, politik, ekonomi, dan moral yang lengkap telah menjawab semua persoalan manusia (Bayat, 2007, p. 97) Artinya Islamisme bersifat tertutup, eksklusif, tidak toleran terhadap kemajemukan dan memonopoli kebenaran Islam dimana ideologinya bersifat absolut dan totaliter pula sehingga menutup kemungkinan untuk berdampingan dengan 3 banyak pandangan yang berbeda disekitarnya. Teheran mengalami krisis pemerintahan pada bangsanya secara menyeluruh yang akibatnya pada kepadatan penduduk, polusi, pengelolaan negara yang tidak beraturan dan terlemahkan oleh perang suadara. Kota Teheran juga awalnya adalah kota yang di dalalmnya terbagi antara dua daerah, yaitu utara dan selatan. Dalam bukunya, Asef Bayat menyebutnya sebagai kelainan internal, dimana daerah selatan pada masa pemerintahan sebelumnya adalah yang tradisional dan miskin sedangkan utara adalah daerah yang berada dalam naungan rezim Islamisme yaitu yang kaya dan terbaratkan. Kemudian pada tahun 1989, Presiden baru Rafsanjani menunjuk Ghulam Husein Karbaschi (mantan mahasiswa teologi yang telah menjadi perencana kota) untuk menetralisir semua kekacauan. Setelahnya, Teheran telah mempunyai karakter baru dan berubah menjadi kota yang hampir tidak mencirikan “Kota Islam” dalam kurun waktu delapan tahun. Simbolisme, Jalan tol, papan iklan, mall, pusat perbelanjaan telah menjadi pertanda awal munculnya Pos-Islamisme dalam ruang public kota. Kota baru ini akhirnya pun mengeliminasi sosial dan budaya yang telah memisahkan antara utara dan selatan. Karbaschi melakukan pembaharuan kota, menciptakan banyak taman public, membangun komplek budaya didaerah selatan,serta jalan penghubung antara utara dan selatan. Menurut Karbaschi, taman taman public ini merupakan sebuah taman sentral yang mempunyai visi pemandangan sebagai pintu keamanan social dimana kelas social, perbedaan etnik bercampur bersama ruang rekreasi yang aman secara moral (Bayat, 2007, p. 99). Ruang yang terbentuk dari Gerakan Pos Islamisme ini pada akhirnya menjadi acuan penelitini dalam mengidentifikasi Islamic Center Mataram sebagai Ruang Post Islamsime. Dalam konteks teoritis dan praktis penelitian ini menjadi penting dalam membawa wacana dan perspektif post-Islamisme ke jantung kegiatan Islam yakni masjid/Islamic Center. Dalam konteks disiplin komunikasi, penelitian ini penting untuk melihat bagaimana teknologi media/komunikasi modern turut mengkonstruk ruang religius. Selama ini penelitian Islamic Center diteliti oleh disiplin lain, misalnya, Islamic Center pernah di teliti oleh Rida Mardia, mahasiswi UIN Makassar Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik, jurusan sosiolog agama tahun 2017. Objek dalam penelitiannya adalah Islamic Center Dato Tiro kota Bulukumba. Penelitiannya berfokus pada bagaimana Islamic Center mengalami perubahan fungsi menjadi 4 tempat wisata dan berfoto, kemudian mengangap hal tersebut terjadi karena adanya aturan yang kurang tegas dan tidak jelas dari pengurus Islamic Center. Berbeda dengan penelitian ini, Peneliti berasumsi bahwa perubahan atau pemultifungsian Islamic Center dapat dilihat dengan cara yang berbeda melalui Pos-Islamisme,