perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TETUA DAN HASIL

PERSILANGAN ANGGREK HITAM ( pandurata Lindl.)

DISERTASI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor Program Doktor Ilmu Pertanian

Oleh

SRI HARTATI

NIM T. 651108006

PROGRAM DOKTOR ILMU PERTANIAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA commit to201 user5

i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TETUA DAN HASIL

PERSILANGAN ANGGREK HITAM (Coelogyne pandurata Lindl)

DISERTASI

Oleh SRI HARTATI NIM T 651108006

Tim Penguji Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. NIP 195707071981031006 ……………… Sekretaris Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS NIP 196107171986011001 ……………. Anggota Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS Penguji NIP 195602251986011001 …………… Dr. Ir. Supriyadi, M.S. NIP 195813081985031003 …………… Prof. Dr. Ir. Nandariyah, M.S. NIP 195408051981032002 …………… Prof. Dr.Ir. Ahmad Yunus, M.S. NIP 196107171986011001 …………… Dr. Ir. Djati Waluyo Djoar, M.S.

NIP 195102021980031003 …………… Dr. Ir. Parjanto, M.P.

NIP 196203231988031001 …………… Dr. Ir. Widyatmani Sih Dewi, M.P.

NIP 196311231987032002 …………… Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto, DEA NIP 196102181985031003

Telah dipertahankan di depan penguji pada sidang Ujian Disertasi

dan dinyatakan telah memenuhi syarat pada tanggal 26 Maret 2015

Mengetahui Rektor

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prof.commit Dr. toRavik user Karsidi , M.S. NIP 195707071981031006

ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI DAN PUBLIKASI

DISERTASI

Saya menyatakan sebenar-benarnya bahwa :

Disertasi yang berjudul “Analisis Keragaman Genetik Tetua Dan

Hasil Persilangan Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata Lindl.)” ini adalah karya ilmiah saya sendiri dan tidak terdapat isi karangan yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan yang disebutkan sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar pustaka. Apabila ternyata dalam naskah disertasi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, maka saya bersedia menerima sangsi dan diproses sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003 pasal 25 ayat 2 dan pasal 70). Publikasi sebagian atau keseluruhan isi disertasi pada Journal atau frum ilmiah harus menyertakan tim promotor sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sangsi akademik

yang berlaku.

Surakarta, Maret 2015

Mahasiswa,

Sri Hartati

NIM T. 651108006

commit to user

iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas

Rahmat dan HidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

dan penulisan disertasi yang berjudul “ANALISIS KERAGAMAN

GENETIK TETUA DAN HASIL PERSILANGAN ANGGREK HITAM

(Coelogyne pandurata Lindl.)”. Sejak dimulainya penelitian, hingga selesai penulisan disertasi ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik berupa bimbingan, bantuan moral material, gagasan yang kesemuanya sangat bermanfaat bagi penulis. Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret sekaligus sebagai ketua tim penguji ujian terbuka. 2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, Direktur Pascasarjana merangkap ko- promotor yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran penelitian sampai penyelesaian disertasi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Bambang Puji Asmanto, MS, Dekan Fakultas Pertanian yang

telah memberikan ijin belajar dan tim penguji.

4. Prof. Dr. Ir. Nandariyah, MS, selaku Promotor yang dengan penuh

kearifan telah memberikan bimbingan, nasehat, petunjuk arahan sejak dari

perencanaan dan selama pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian

disertasi ini,

5. Dr. Ir. Djati Waluyo Djoar, MS, selaku ko-promotor yang dengan penuh

kesabaran, pengertian dan ketulusan telah banyak memberikan bimbingan

dan, dorongan moral yang sangat berguna dalam pelaksanaan penelitian

sampai selesainya penulisan disertasi ini,

6. Dr. Ir. Supriyadi, MS selaku Ketua Program Studi S3 Ilmu Pertanian dan

tim penguji.

7. Dr. Ir. Widyatmani Sih Dewi, M.P. selaku sekertaris Program Studi S3 Ilmu Pertanian dan tim commitpenguji .to user

iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8. Prof (Riset) Dr. Ir. Y. Purwanto DEA, dari Pusat Penelitian Biologi LIPI

Bogor selaku penguji yang banyak memberikan masukan berharga.

9. Dr. Ir. Parjanto MP selaku tim penilai dan penguji

10. Ir. Susilo Hambeg Poromarto MSi., PhD. selaku tim penilai

11. Prof. Dr. Ir. Edi Purwanto MSc selaku penilai seminar hasil.

12. Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor,

13. Koordinator Kebon Anggrek Kebon Raya LIPI Bogor Ir. Dwi Murti Puspitaningtyas, MSi dan Dr. Ir. Joko Ridho atas fasilitas kebun dan materi yang disediakan. Sdr. Ponco Yulianto, Bu Yuniar, Pak Supardi, Bu Yupi, Bu Liza, Bu Sutini yang telah banyak membantu pelaksanaan di lapang. 14. Kepala Laboratorium Genetika Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor Dr. Ir. Yuyu S. Poerba, Teknisi Lab Genetika LIPI Bogor: Bu Tri, Mbak Herlina, Bapak Fajar, dan Pak Hafid (Lab Sitologi –LIPI Bogor). 15. Prof. Sobir dan mbak Sulasih dari Pusat Kajian Hortikultura dan Tropika IPB Bogor atas ijin pemakaian Laboratorium Molekuler. 16. Teman-teman kuliah S3 Ilmu Pertanian angkatan 2011: Ir. Sukaya, MS., Ir. Edi Tri Haryanto, MP., Ir. Endang Setyo Mulyo, MSi., Ir. Dwi Harjoko,

MP., Dra. Farida Yuliani, MS., Ir. Priyono, MP., Ir. Catur Sulistyorini,

MM. yang telah memberi dukungan dan semangat untuk menyelesaikan

disertasi ini.

17. Sdr. Thithin, Riya, Linda, Hespriawan mahasiswa Agroteknologi Fakultas

Pertanian UNSyang telah ikut membantu pelaksanaan penelitian.

18. Penghormatan dan ucapan terima kasih yang khusus disampaikan kepada

suami tercinta Prof. Dr. Ir. Ongko Cahyono, M.Sc dan semua anakku

Doan Perdana ST, MT dan istrinya Imas Nurliah, dr. Febrian Dwi Cahyo

Sp.An. M. Kes. dan istrinya dr. Hanindia Riani Prabaningtyas serta

Adiptya Cahya Mahendra S. Ked. Atas semua pengorbanan dukungan

moril dan matertiil serta kasih sayang yang tulus selama kuliah S3 Ilmu

Pertanian di Pasca Sarjana UNS. Penulis menyadaricommit bahwa to disertasi user ini masih jauh dari sempurna,

v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT sehingga saran dan kritik

yang bersifat membangun dalam menyempurnakan disertasi ini sangat

penulis harapkan.

Akhirnya penulis berharap disertasi ini dapat dapat bermanfat untuk

perkembangan anggrek di Indonesia.

(Sri Hartati)

commit to user

vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.), merupakan salah satu anggrek langka Kalimantan Timur yang memiliki kekhasan bunga besar, berwarna hijau dengan lidah berwarna hitam. Anggrek ini perlu dilestarikan

melalui persilangan dengan spesies lain. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendapatkan informasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp dan menentukan kedekatan genetik antara anggrek hitam dengan spesies lain dalam genus Coelogyne berdasarkan karakter morfologi dan molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DN. (2) mendapatkan metode persilangan yang kompatibel antara C. pandurata dengan tetua terpilih. (3) mendapatkan informasi karakter sitologi (kromosom) dan tingkat ploidi pada F1 hasil persilangan antara C. pandurata dengan tetua terpilih. (4) mendapatkan informasi besarnya keragaman baru pada F1 hasil persilangan C. pandurata berdasarkan penanda molekuler RAPD dan ISSR (InterSimple Sequence Repeats). Bahan yang digunakan adalah tanaman anggrek koleksi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor yaitu Coelogyne spp. meliputi: C. pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis dan C. rumphii. Penelitian dilakukan dalam lima kajian yaitu: (1) Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi. Identifikasi dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan 45 karakter; (2) Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan penanda molekuler RAPD. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan 11 macam primer; (3) Teknik hibridisasi untuk menambah ragam genetic anggrek hitam meliputi tiga metode: crossing (♀ C. pandurata x ♂ C.

rumphii), reciprocal (♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata) dan selfing yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma pada satu bunga dalam satu tanaman; (4)

Identifikasi hasil persilangan anggrek C. pandurata. dengan C. rumphii berdasarkan analisis sitologi menggunakan metode Squasing dan flow cytometry menggunakan alat Partec CyFlow space (Partec GmbH); (5)

Identifikasi hasil persilangan anggrek C. pandurata dengan C. rumphii berdasarkan molekuler RAPD dan ISSR menggunakan 6 primer RAPD

dan 4 primer ISSR Analisis data dilakukan sebagai berikut. skoring data morfologi dilakukan dari hasil deskripsi menjadi data biner. Data molekuler diamati

dengan menentukan skor berdasarkan ada atau tidaknya pita DNA. Pita DNA diterjemahkan dalam data biner, jika ada nilai 1 dan jika tidak ada nilai 0. Analisis klaster/gerombol dilakukan dengan program NTSYSpc

versi 2.02i dengan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method of Arithmatic Average) fungsi SimQual (Rohlf , 2000).

Hasil penentuan keragaman baik secara morfologi maupun secara molekuler dari enam spesies anggrek dari genus Coelogyne spp diperoleh commit to user karakter yang beragam secara morfologi antara 2% – 22% dan secara

vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

molekuler menggunakan 11 primer RAPD antara 45% – 69%. Dari enam spesies tersebut, C. rumphii merupakan spesies yang memiliki keragaman

paling rendah atau memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan C. pandurata, yakni secara morfologi memiliki kemiripan 93% dan secara

molekuler memiliki kemiripan berkisar 50%. Dengan demikian hasil penelitian ini merokemendasikan C. rumphii untuk dipilih menjadi tetua untuk disilangkan dengan C. pandurata.

Persilangan antara C. pandurata dan C. rumphii adalah kompatibel penuh dengan tingkat keberhasilan persilangan mencapai 100% pada semua metode persilangan yang digunakan. Metode crossing memiliki resiko buah rontok tertinggi hingga 50%, dibanding metode yang lain yang hanya mencapai 25%. Namun metode crossing menghasilkan buah lebih cepat masak yakni 158 hari, sedangkan pada metode reciprocal mencapai 191 hari dan metode selfing mencapai kisaran antara 155 – 201 hari. Hasil analisis kromosom menunjukkan tetua C. pandurata memiliki jumlah kromosom 2n=36 dan tetua C. rumphii 2n=72 sedangkan F1 hasil persilangan memiliki jumlah kromosom 2n=54. Hasil analisis ploidi dengan flow cytometry diperoleh hasil keturunan F1 yang mempunyai susunan kromosom triploid 2n=3x dari persilangan C. pandurata diploid (2n=2x) dan C. rumphii tetraploid (2n=4x). Penelitian ini berhasil mendapatkan keragaman baru pada F1 hasil persilangan antara C. pandurata dan C. rumphii. F1 hasil persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii terdapat ragam baru sebesar 6% (RAPD) dan 11% (ISSR). Sedangkan untuk F1 dari persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii terdapat ragam baru sebesar 10% (RAPD dan 3% (ISSR).

Kata kunci: Anggrek Hitam, Flow Cytometry, ISSR, morfologi, RAPD, Sitologi,

commit to user

viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Black orchid (Coelogyne pandurata Lindl.) is one of the endangered

orchids from East Kalimantan hving very exciting large green flowers with a unique black tongue. This orchid should be conserved by crossing with other species.

The research aims (1) to assess information of the genetic diversity of the members of Coelogyne genus based on morphological characters and molecular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and to select one species that having the closest genetic relationship to C, pandurata, (2) to assess the most compatible crossing method for crossing of C. pandurata, (3) to assess information of the cytology characters (chromosomes) and ploidy of the F1 hybrid (off springs of the cross) of C. pandurata and (4) to assess the genetic diversity of the F1 hybrids of C. pandurata based on molecular RAPD and ISSR (Inter Simple Sequence Repeats). The orchids used as experimental materials were six species of Coelogyne genus, C.pandurata, C.massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis and C. rumphii. Those species are taken from the collection of The Bogor Conservation Centre (Kebun Raya Bogor). The research was done in five experiments: (1) Identification of genetic diversity of Coelogyne spp based on morphological markers. Identification was done descriptively using 45 characters; (2) Identification of the genetic diversity of Coelogyne spp based on molecular RAPD markers. Identification was carried out by in 11 different primers; (3) Hybridization methods to increase genetic diversity of C. pandurata.. The hybridization was conducted in three methods, which were: crossing (♀C. pandurata x ♂C. rumphii), reciprocal (♀C. rumphii x ♂ C.pandurata) and

selfing (pollinia transferred to the stigma of the one flower in one plant; (4) Identification of the F1 hybrids of C. pandurata. x C. rumphii based on cytology analized using squashing and flow cytometry using a Partec

CyFlow space (Partec GmbH); (5) Identification of the F1 hybrids of C. pandurata. x C. rumphii based on molecular diversity using the 6 primers RAPD and 4 primers ISSR.

Data analysis was done as follow: morphological data were converted from the descriptive data into binary data. Molecular data were

determined using a score based on the presence or absence of DNA bands. The DNA bands were translated into binary data, which was 1 for a value and 0 for no value. The cluster analysis was done using the NTSYSpc

program version 2.02i with UPGMA method (Unweighted Pair Group Method of arithmetic Average) function SimQual (Rohlf, 2000). Shape of chromosomes were analyzed further by the relative asymmetry index.

Study on morphological identification as well as molecular identification found that there were diversity among the six members of the Coelogyne genus. The morphological characters varied from 2% to 22%, while molecular charactercommit showed to userwider diversity, which was from 45% to 69%. This study found that among the six members of Coelogyne genus,

ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. rumphii performed the lowest diversity compared to C.pandurata. These two species showed closed genetic relationship which was 93% in

morphological similarity and 50% in molecular similiratity. The result recommending that C. rumphii should be selected as a parent for crossing

with C. pandurata. This study confirmed that the crossing of C. pandurata x C. rumphii was fully compatible with crossover success percentage was 100% for all

crossing methods, crossing, resiprocal and selfing. Crossing method (♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii) performed better result compared to the other methods (reciprocal and selfing) in term of fruit rippening and protocorm emergence. Fruit of orchids rippened at 158 days after pollination (dap) using crossing method, 191 dap using reciprocal method, and 155 – 201 dap using selfing method. However crossing method had higher risk for fruit fall before rippening, 50%. The study showed that C. pandurata had a chromosome number of 2n=36, C. rumphii had a chromosome number of 2n=72 and the hybrid had a number of chromosomes of 2n=54. The flow cytrometry analysis found that the parent of C. pandurata had diploid (2n=2x), C. rumphii had tetraploid (2n=4x), and the F1 hybrids had triploid (2n=3x), The identification of the F1 hybrid based on the molecular RAPD showed that the crossing of ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii created the F1 hybrid having a new diversity of 6% (RAPD) and 11% (ISSR). While the crossing of ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii created the hybrid having new diversity of 10% (RAPD) and 3% (ISSR).

Keyword: Black Orchid, Cytology, Flow Cytometry, ISSR, Morphology, RAPD,

commit to user

x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………….. i

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………. ii

PERNYATAAN KEASLIAN DESERTASI DAN

PUBLIKASI DISERTASI ...... iii KATA PENGANTAR ……………………………………………… iv ABSTRAK ….………………………………………………………. vii ABSTRACT ………………………………………………………… ix DAFTAR ISI ……………………………………………………….. xi DAFTAR TABEL ………………………………………………….. xiii DAFTAR GAMBAR ………………………………………………. xiv DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………. xvi BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………. 1 A. Latar Belakang ………………………………………. 1 B. Perumusan Masalah ………………………………….. 4 C. Tujuan Penelitian …………………………………….. 4 D. Manfaat Penelitian ………………………………….. 5 BAB II. LANDASAN TEORI ………………………………….. 6

A. Tinjauan Pustaka …………………………………….. 6

B. Kerangka Berpikir …………………………………… 13

C. Hipotesis …………………………………………….. 16

D. Kebaharuan (Novelty) ………………………………. 16

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……………………….. 17

A. Tempat Penelitian …………………………………… 17

B. Waktu Penelitian ……………………………………. 17

C. Tatalaksana Penelitian ………………………………. 17

1. Identifikasi keragaman genetik anggrek

Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi …. 17

2. Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan penanda commit to user

xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

molekuler RAPD …………………………………. 18

3. Teknik Hibridisasi untuk menambah ragam genetik Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata) ...... …...... 20

4. Identifikasi hasil persilangan anggrek Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii berdasarkan sitologi dan flow cytometry ...... 21

5. Identifikasi hasil persilangan anggrek hitam

mengunakan marka molekuler RAPD dan ISSR ... 23 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….... 26 A. Hasil Penelitian .…………………………………..… 26 1. Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi ...... 2 6 2. Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan marka molekuler RAPD ..……… 31 3. Teknik Hibridisasi untuk menambah ragam genetik Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata ) ... 38 4. Identifikasi hasil persilangan anggrek Coelogyne pandurata secara sitologi dan flow cytometry ..….. 45 5. Identifikasi hasil persilangan anggrek hitam menggunakan marka molekuler RAPD dan ISSR .. 55 B. Pembahasan Umum ………………………………….. 70

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ………..…… 80

A. Kesimpulan ..………………………………………... 80

B. Implikasi ………………………………..…………… 81

C. Saran …………………………………………………. 82

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 83

LAMPIRAN ……………………………………………………….. 94

commit to user

xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis primer dan urutan nukleotida penyusunnya …………...... 19

2. Bentuk kromosom berdasarkan rasio lengan kromosom ...... 22

3. Bahan tanaman berdasarkan asal dan ketinggian tempat...... 27 4. Matrik kemiripan berdasarkan penanda morfologi...... 28 5. Primer, pita polimorfisme dan persentase polimorfisme dengan RAPD...... 35 6. Matrik kemiripan Coelogyne spp berdasarkan RAPD dengan 11primer ...... 36 7. Rata-rata persentase keberhasilan persilangan, tingkat kompatibilitas dan saat buah terbentuk ...... 40 8. Rata-rata persentase buah rontok, umur buah masak dan saat terbentuk protokorm ...... 43 9. Jumlah, ukuran dan bentuk kromosom tetua dan hybrid anggrek Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii ...... 48

10. Urutan Primer, pita polimorfisme dan persentase polimorfisme pada analisis RAPD ...... 59

11. Urutan Primer, pita polimorfisme dan persentase pol imorfisme memenggunakan marka molekuler ISSR ...... 66

commit to user

xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alur penelitian ...... 15

2. Bahan penelitian tanaman anggrek Coelogyne spp ...... 18 3. Dendogram pengelompokan Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi ...... 29 4. Dendrogram pengelompokan Coelogyne spp berdasarkan penanda RAPD menggunakan 11 primer ...... 36

5. Metode Polinasi terhadap persentase buah rontok ...... 42 6. Metode polinasi terhadap umur buah masak anggrek ...... 43 7. Metode polinasi terhadap saat terbentuk protokorm ...... 44 8. Jumlah kromosom a). Tetua Coelogyne pandurata 2n=36, b). Tetua Coelogyne rumphii 2n=72, c). hybrid Coelogyne

pandurata sebagai tetua jantan 2n=54,serta d). hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua betina 2n=54 ...... 49 9. Kariotipe a) Tetua Coelogyne pandurata, b) Tetua Coelogyne rumphii, c) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua jantan serta d) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua betina ...... 52

10. Histogram hasil flow cytometry A:C. pandurata, B:C. rumphii, C:♀C. pandurata x ♂C. rumphii, D:C. pandurata x ♀C. rumphii... 53

Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPA 02 ...... 60 11.

12. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPA 07 ...... 61

13. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 12...... 61

14. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 17...... 62

15. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 18 ...... 62

16. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPD 11...... 63

17. Dendrogram hasil persilangan ♂ C. pandurata dan ♀ C. rumphii.. 64

18. Dendrogram hasil persilangan ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii... 64

19. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 814...... 67 20. Hasil amplifikasi DNAcommit dengan to user primer UBC 826...... 67

xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 807...... 68

22. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 810...... 68

23. Dendrogram hasil persilangan ♂ C. pandurata dan♀ C. rumphii... 69

24. Dendrogram hasil persilangan ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii... 69

commit to user

xv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Study on Morphological Characteristics of Different Species of

Coelogyne Orchid ………………………………………………… 94

2. Genetic Diversity of Orchid Coelogyne spp by Molecular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Markers ………… 103 3. Hybridization Technique Of Black Orchid (Coelogyne pandurata) Toenrich The Genetic Diversity and To Rescue The Genetic Extinction …………………………………………… 113 4. Cytological Studies On Black Orchid Hybrid …………………… 123 5. Identification Hybrid Coelogyne pandurata Based On Molecular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and ISSR ………………………………………………………. … 132

6. Hasil pengamatan karakterisasi morfologi Coelogyne spp ...... 142 7. Hasil amplifikasi anggrek Coelogyne spp menggunakan 11 primer RAPD ...... 148 8. Interpretasi amplifikasi DNA anggrek Coelogyne spp dengan 11 primer...... 150 9. Ukuran dan bentuk kromosom C. pandurata ...... 152 10. Ukuran dan bentuk kromosom tetua C. rumphii ...... 153

11. Ukuran dan bentuk kromosom F1 ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii ... 154

12. Ukuran dan bentuk kromosom F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ... 155 13. Idiogram C. pandurata, C. rumphii dan F1 ...... 157

14. Matriks kemiripan F1 ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii

berdasarkan RAPD ...... 158 15. Matriks kemiripan F1 ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii

berdasarkan RAPD ...... 160

16. Matriks kemiripan F1 ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii berdasarkan ISSR ...... 161

17. Matriks kemiripan F1 ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii

berdasarkan ISSR ...... 162

commit to user

xvi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia memiliki sumber plasma nutfah tanaman anggrek dan lebih

dari 5.000 spesies anggrek atau sekitar seperlima dari total anggrek yang

ada di dunia terdapat di Indonesia (Handoyo dan Prasetya, 2006). Tanaman anggrek merupakan salah satu jenis tanaman hias yang dinikmati keindahan bunganya karena setiap jenis bunga anggrek memiliki bentuk, corak, warna dan wangi yang khas sehingga semua orang tidak jenuh untuk menikmatinya. Keunggulan tanaman anggrek ditentukan oleh warna, ukuran, bentuk, susunan, jumlah kuntum bunga pertangkai, panjang tangkai dan daya tahan kesegaran bunga (Widiastoety et al., 2010). Keragaman warna dan bentuk bunga anggrek merupakan faktor penting yang menentukan keindahannya. Anggrek merupakan tanaman hias yang sangat potensial sebagai penghasil devisa, semakin unik dan langka tanaman anggrek semakin tinggi nilai ekonominya (Handoyo dan Prasetya, 2006). Permasalahan yang ada selama ini produksi bunga anggrek masih jauh dari permintaan pasar,

meskipun Indonesia merupakan sumber plasma nutfah anggrek. Bahkan

kebutuhan dalam negeri masih banyak didatangkan dari luar negeri. Negara

pensuplai anggrek antara lain dari Thailand. Data BPS 2012 menunjukkan

bahwa terjadi kesenjangan antara nilai ekspor dan impor anggrek di

Indonesia. Produksi dan nilai impor anggrek Indonesia mengalami fluktuasi

dari tahun ke tahun. Nilai ekspor anggrek tahun 2008 sebesar $ 740.751

Tahun 2009 nilai ekspor anggrek mengalami peningkatan menjadi $

1.040.544, namun pada tahun 2010 hingga tahun 2012 mengalami

penurunan hingga $ 668.956. Sedangkan nilai impor anggrek tahun 2008

sebesar $ 78.265. Tahun 2009 nilai impor anggrek mengalami peningkatan

sebesar $ 434.071 dan tahun 2010 turun hingga mencapai 40.154, tahun

2011 dan tahun 2012 mengalami peningkatan hingga sebesar $ 49.272. commit to user Walaupun terjadi fluktuasi dari data ekspor impor dapat dikatakan terjadi

1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2

surplus bagi Indonesia. (Dirjen Hortikultura, 2012). Hal inilah yang

mendorong penelitian-penelitian anggrek untuk peningkatan kualitas,

meningkatkan ragam genetik dengan menambah jenis-jenis baru yang

bernilai ekonomis, melakukan persilangan antara anggrek dan kuantitas

anggrek.

Salah satu genus anggrek yang terkenal adalah genus Coelogyne

Lindl. Terdiri dari 200 spesies yang tersebar di seluruh Asia Tenggara dengan pusat keragaman utama di Kalimantan, Sumatra, dan Himalaya. Genus ini tumbuh epifit di daerah tropis dataran rendah dan pegunungan terutama di hutan-hutan. Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl), merupakan salah satu jenis anggrek langka dari dari genus Coelogyne yang dilindungi pemerintah di Indonesia. Ciri khas dari C. pandurata adalah bunga besar berwarna hijau dengan lidah hitam. Warna hitam merupakan sifat langka yang dibutuhkan oleh para ahli pemuliaan tanaman untuk menghasilkan silangan baru dengan corak warna bunga yang lebih menarik. Anggrek Coelogyne yang lain antara lain C. rumphii yang mempunyai bunga kecil warna kuning dengan lidah coklat. Untuk menambah keragaman genetik baru perlu dilakukan

persilangan anggrek hitam dengan jenis lainnya. Dalam program

persilangan anggrek tahap awal yang dilakukan adalah memilih tetua yang

memiliki kedekatan hubungan genetik, sebagai salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap keberhasilan persilangan. Kedekatan genetik antara

tetua dapat didekati dengan metode identifikasi dan pengelompokan

anggrek Coelogyne baik secara morfologi dan secara molekuler. Setelah

dapat diketahui kedekatan genetiknya maka dapat dilakukan persilangan.

Dalam penelitian ini yang dimaksud identifikasi morfologi adalah

proses yang digunakan untuk mengetahui karakter fenotip dari suatu

tanaman, dengan mengamati daun, batang, bunga, buah, akar dan lain

sebagainya yang mencakup seluruh morfologi tanaman dan mengetahui

hubungan kekerabatan antara spesies. (Susantidiana et al., 2009; Purwantoro et al., 2005).commit Adanya to user kelemahan dalam identifikasi secara morfologi dapat diatasi dengan identifikasi molekuler.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3

Marka molekuler merupakan marka yang efektif dalam analisis

genetik (Yunus, 2007) karena sifat genetik cenderung stabil pada

perubahan lingkungan dan tidak dipengaruhi oleh umur sehingga marka

genetik dapat memberikan informasi yang relatif lebih akurat (Julisaniah

et al., 2008). Teknik identifikasi molekuler yang digunakan pada penelitian

ini adalah penggunaan marka RAPD (Random Amplified Polymorphic

DNA) dan marka ISSR (InterSimple Sequence Repeats). Teknik RAPD merupakan metode analisis pada tingkat DNA yang menggunakan primer acak yang dapat digunakan untuk menetapkan hubungan kekerabatan antar spesies tanaman (Arya et al., 2011; Vural et al., 2009; Das et al., 2009; Verma et al., 2009). Hasil pengelompokan didapatkan tetua-tetua yang dapat digunakan sebagai bahan persilangan. Intersimple Sequence Repeats (ISSR) banyak digunakan untuk mengidentifikasi spesies, kultivar ataupun populasi suatu spesies dan sangat berguna sebagai alat pendeteksi keragaman genetik suatu spesies tanaman yang mempunyai variasi genetik yang sangat luas (Romeida et al., 2012). Perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan tetua yang mempunyai kedekatan genetik dengan anggrek hitam (C. pandurata Lindl.) dengan

melakukan identifikasi anggrek Coelogyne spp. secara morfologi yang

didukung penanda molekuler RAPD. Selanjutnya dilakukan penelitian

persilangan anggrek hitam (C. pandurata Lindl.) dengan tetua terpilih.

Persilangan dilakukan secara bolak-balik untuk mengetahui daya

kompatibilitas dan daya fertilitasnya. Daya kompatibilitas adalah

persentase kemampuan membentuk buah. Daya fertilitas adalah

kemampuan terjadinya fertilisasi/ pembuahan (Widiastoety, 2003).

Selain identifikasi morfologi dan molekuler di atas juga diperlukan

identifikasi hasil persilangan secara sitologi dengan mengamati kromosom

meliputi jumlah, bentuk, ukuran dan susunan kromosom (kariotipe) serta

identifikasi secara molekuler (RAPD, ISSR).

Target dari penelitian ini adalah didapatkan varian baru hasil persilangan Coelogyne commit pandurata to user. dengan tetua terpilih yang dapat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4

diidentifikasi berdasarkan analisis sitologi, flow cytometry dan molekuler

(RAPD, ISSR).

B. Perumusan masalah

Penggunaan karakter morfologi secara fenotipik merupakan metode

yang mudah namun terkadang dapat berubah-ubah karena pengaruh faktor

lingkungan dan membutuhkan sampel yang banyak. Oleh karena itu, perlu adanya proses penentuan hubungan kekerabatan berbagai spesies tanaman anggrek yang dapat dilakukan secara fenotipik dan genotipik. Hubungan kekerabatan secara fenotipik dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi. Sedangkan secara genotipik dapat dilakukan secara sitologi dan molekuler. Persilangan dilakukan dengan berbagai metode persilangan yaitu crossing, reciprocal dan selfing. Untuk mendeteksi keturunan hasil persilangan dari tetua terpilih perlu dilakukan identifikasi yang dalam penelitian ini digunakan metode dengan analisis sitologi, flow cytometry dan molekuler (RAPD, ISSR). Dari uraian diatas perlu perumusan masalah sebagai berikut: 1. Belum diketahui keragaman dan kedekatan genetik (kekerabatan) antara

anggrek hitam (Coelogyne pandurata) dengan spesies lain dalam genus

Coelogyne spp yang dapat digunakan sebagai tetua persilangan.

2. Belum diketahui metode persilangan yang mempunyai tingkat

keberhasilan yang tinggi dalam persilangan antara Coelogyne

pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp.

3. Belum diketahui keragaman hasil persilangan anggrek hitam

berdasarkan sitologi (kromosom) dan flow cytometry (tingkat ploidi).

4. Belum diketahui besarnya keragaman baru hasil persilangan Coelogyne

pandurata berdasarkan penanda molekuler RAPD dan ISSR

(InterSimple Sequence Repeats).

C. Tujuan penelitian 1. Mendapatkan informasicommit keragaman to user genetik anggrek Coelogyne spp dan menentukan kedekatan genetik antara anggrek hitam (Coelogyne

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5

pandurata) dengan spesies lain dalam genus Coelogyne yang dapat

digunakan sebagai tetua berdasarkan karakter morfologi dan molekuler

RAPD.

2. Mendapatkan metode persilangan yang kompatibel (crossing, reciprocal

dan selfing) antara anggrek hitam dengan tetua terpilih.

3. Mendapatkan informasi karakter sitologi (kromosom) dan tingkat ploidi

pada F1 hasil persilangan antara anggrek hitam dengan tetua terpilih. 4. Mendapatkan informasi besarnya keragaman baru pada individu F1 hasil persilangan anggrek hitam berdasarkan penanda molekuler RAPD dan ISSR (InterSimple Sequence Repeats).

D. Manfaat Penelitian 1. Diperoleh pengelompokan genus Coelogyne spp berdasarkan hubungan kekerabatan. 2. Diperoleh metode persilangan yang kompatibel antara anggrek hitam (Coelogyne pandurata ) dengan tetua terpilih. 3. Diperoleh varian anggrek baru hasil persilangan anggrek hitam.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Morfologi Tanaman Anggrek

Anggrek genus Coelogyne spp, terdiri dari 200 spesies yang tersebar

di seluruh Asia Tenggara dengan pusat keragaman utama di Kalimantan,

Sumatera, dan Himalaya. Kebanyakan tumbuh di daerah tropis dataran rendah dan hutan. (Butzin, 1992 dalam Gravendeel et al., 2001). Klasifikasi anggrek Coelogyne sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Orchidales Famili : Genus : Coelogyne Anggrek Coelogyne spp mempunyai tipe pertumbuhan epifit, bentuk daun ellipticus, perbungaan muncul diantara 2 ketiak daun dengan bentuk daun lanseolatus (Musa et al., 2013). Empat tipe tanaman anggrek

berdasarkan tempat tumbuhnya menurut Sumardi dan Prabowo (2010);

Syukur et al., 2012 yaitu: (a). Anggrek epifit tumbuh menunpang pada

batang atau cabang lain. Contoh: anggrek bulan, Dendrobium sp., Cattleya

sp. (b). Anggrek terestrial juga disebut anggrek tanah adalah anggrek yang

tumbuh di tanah dan membutuhkan cahaya matahari langsung. Contoh:

Vanda sp., Arachnis sp. (c). Anggrek Litofit adalah anggrek yang tumbuh

pada batu-batuan atau tanah berbatu dan tahan terhadap cahaya matahari

penuh. Anggrek ini mengambil makanan dari air hujan, udara, humus.

Contoh: Cytopedium, Paphiopedilum. (d). Anggrek saprofit tumbuh pada

media yang mengandung humus atau daun-daun kering serta membutuhkan

sedikit cahaya matahari. Contoh: Calanthe, Gooddyera sp.

Tipe pertumbuhan tanaman anggrek epifit menurut Sutopo (2009) yaitu (a). Monopodial, yaknicommit anggrek to user yang hanya memiliki satu batang dan satu titik tumbuh. Batang utama terus tumbuh dan tidak terbatas

6 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7

panjangnya. Bentuk batangnya ramping dan tidak berumbi. Tangkai bunga

akan keluar di antara dua ketiak daun. Anggrek jenis ini dapat diperbanyak

dengan cara stek, batang dan biji. Contoh genus Aerides, Arachnis, Vanda,

Phalaenopsis, Renanthera dan lain-lain. (b). Simpodial adalah anggrek

yang memiliki batang utama yang tersusun oleh ruas-ruas tanaman. Batang

utama berhenti tumbuh pada akhir musim, dan akan menghasilkan

pertumbuhan baru pada musin berikutnya. Anggrek tipe simpodial mempunyai batang yang berumbi semu (pseudobulb) yang berfungsi sebagai cadangan makanan, yang tumbuh pada setiap akhir musim pertumbuhan, seringkali dilanjutkan dengan fase berbunga. Akar anggrek tumbuh dari risom, bentuknya silindris, menebal, berbentuk benang atau bercabang dan biasanya panjang seperti Aerides. Bunga anggrek berkelamin dua (hermaprodit), yaitu pollen dan putik terdapat di dalam satu bunga, sedangkan karakter kelaminnya adalah monoandrae yaitu kelamin jantan dan betina terletak pada satu tempat (Syukur et al., 2012). Pada umumnya bunga anggrek tersusun dalam bentuk lateral inflorescence seperti Cymbidium, Oncidium, Odontoglossum, Lycaste dan Phaius. Tetapi adapula bunga yang muncul dari bagian dasar

atau samping pseudobulb, tumbuh pada pseudobulb pendek tanpa daun-

daun atau muncul langsung dari risom diantara pseudobulb (Sutopo, 2009).

Bunga anggrek tersusun dalam karangan bunga. Jumlah kuntum bunga

pada satu karangan dapat terdiri dari satu sampai banyak kuntum.

Karangan bunga pada beberapa spesies letaknya terminal, sedangkan pada

sebagian besar letaknya aksilar (Ayu et al., 2012). Menurut Comber

(2001), bunga anggrek memiliki beberapa bagian utama yaitu sepal (daun

kelopak), petal (daun mahkota), stamen (benang sari), pistil (putik) dan

ovarium (bakal buah). Sepal anggrek berjumlah tiga buah. Sepal bagian

atas disebut sepal dorsal, sedangkan dua lainnya disebut sepal lateral.

Anggrek memiliki tiga buah petal. Petal pertama dan kedua letaknya

berseling dengan sepal. Petal ketiga mengalami modifikasi menjadi labellum (bibir). Padacommit labellum to user terdapat gumpalan-gumpalan yang mengandung protein, minyak dan zat pewangi. Warna bunga tananan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8

anggrek sangat bervariasi dan berfungsi untuk menarik serangga hingga

pada bunga untuk mengadakan polinasi (penyerbukan).

Colum (tugu) yang terdapat pada bagian tengah bunga merupakan

tempat alat reproduksi jantan dan alat reproduksi betina. Pada ujung

columnya terdapat anter atau kepala sari yang merupakan gumpalan serbuk

sari atau polinia. Polinia tertutup dengan sebuah cap (anther cap). Stigma

(kepala putik) terletak di bawah rostellum dan menghadap ke labellum. Ovarium bersatu dengan dasar bunga dan terletak di bawah colum, sepal, dan petal. Biji anggrek tidak mengandung endosperm. Oleh karena itu, perkecambahannya dilakukan menggunakan media kultur jaringan.Biji pada tanaman anggrek diperoleh melalui proses penyerbukan (polinasi) yang diikuti dengan pembuahan. Persilangan pada tanaman anggrek tidak bisa terjadi secara alami kecuali pada jenis anggrek tertentu, oleh karena anggrek memiliki struktur bunga yang khas dengan kepala putik yang terletak di dalam maka sulit terjangkau serangga. Penyerbukan alami dengan bantuan angin juga jarang terjadi. Salah satu cara adalah penyerbukan dengan bantuan manusia (Andayani, 2007).

Bentuk dan ukuran buah anggrek yang disebut dengan capsule sangat

bervariasi, dari yang berukuran kecil seperti pada Dendrobium

canaliculatum sampai berukuran besar pada Catlleya. Bentuk buah

umumnya lonjong dengan sedikit variasi, ada yang bulat gemuk, dengan

kulit buah licin, ada yang memiliki semacam rambut dan sebagainya

(Sutopo, 2009)

2. Studi Keragaman DNA dengan Penanda RAPD dan ISSR

Karakterisasi genotipik adalah karakterisasi dengan memperhatikan

susunan gen atau DNA yang merupakan ciri khas dari masing-masing

spesies (Jones et al., 1998). Karakterisasi bertujuan untuk mengetahui

identitas satu spesies berdasarkan susuan gen atau DNA. Selain itu karakteristik genotipik jugacommit didapatkan to user pengelompokan atau klaster.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

9

Karakter genotipik dapat dilakukan secara sitologi dan molekuler

(Fatchiyah et al., 2011). Seiring berkembangnya teknologi ada beberapa

teknik dan penanda untuk menganalisis hubungan kekerabatan dengan

penanda molekuler. Penanda molekuler tersebut antara lain RAPD

(Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment

Length Polymorphism), RFLP (Restriction Fragment Length

Polymorphism), SSR (Simple Sequence Repeat), ISSR (InterSimple Sequence Repeat). RAPD adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk mempelajari keragaman antar spesies, dalam satu spesies dan antar populasi. Profil konstruksi RAPD memiliki beberapa keunggulan, seperti kecepatan proses, biaya rendah dan penggunaan sejumlah kecil bahan tanaman antara lain pada tanaman Trichodesma indicum (Verma et al., 2009). RAPD merupakan dasar dari metoda pendeteksian aksesi-aksesi anggrek yang dijadikan tetua maupun hasil persilangannya, misalnya untuk identifikasi kultivar Dendrobium, penanda RAPD mampu membedakan tetua dalam persilangan antar atau intra-sectional dan diperoleh hibrida (Inthawong et al., 2006). Beberapa penelitian menggunakan teknik RAPD antara lain,

keragaman genetik pada tanaman hias antara lain anggrek Doritis

(Katengam dan Padcharee, 2008), pada tanaman anggrek Aerides

(Sivanaswari et al., 2011), identifikasi analisis genetik pada anggrek Vanda

(Tanee et al., 2012), karakterisasi anggrek Phalaenopsis (Niknejad et al.,

2009), interspesifik hibridisasi Begonia (Chen dan Mii, 2012), variasi

genetik spesies Iris (Azimi et al., 2012). Selain itu studi keragaman genetik

pada tanaman pangan dan lainnya lainnya misalnya perbedaan genetik

interspesifik dan analisis kekerabatan genus Jatropha (Sudheer, 2009),

evaluasi keragaman genetik Pisum sativum (Gowhar et al., 2010) dan

identifikasi keragaman genetik salak Jawa (Nandariyah, 2007).

Metode RAPD dapat menunjukkan perbedaan dari masing-masing

jenis anggrek yang diidentifikasi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pola- pola keragaman anggrekcommit (Sulistianingsih to user et al., 2010; Parab dan Krishnan, 2008; Susantidiana et al., 2009). Tanaman anggrek merupakan tanaman

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

hias yang memiliki pola keragaman yang tinggi (Maiti et al., 2009; Xue et

al., 2010; Khosravi et al., 2009). Tanaman ketumbar (Coriandrum sativum)

memiliki pola pita polimorfisme dengan persentase 43.24%, (Nisha et al.,

2011) lebih tinggi dari Dacydium pierrei 33,3% dan Cathaya argrophylla

(32%) (Wang et al., 2009).

Marka ISSR dihasilkan oleh amplifikasi DNA dengan PCR yang

menggunakan primer tunggal. Intersimple Sequence Repeats (ISSR) digunakan untuk membentuk hubungan kekerabatan Grevillea, tanaman asli Australia (Pharmawati et al., 2004), penentuan kekerabatan strawberry (Fragaria ananassa Duch) yang diambil dari Fruit Breeding Departmen’s, Research Institute of Pomologi and Floriculture, Polandia (Kuras et al., 2004), keragaman genetik gandum di Cina Barat (Hou et al., 2005). Intersimple Sequence Repeats (ISSR) memiliki reproduksibilitas tinggi dari pada RAPD pada beberapa tanaman (Guo et al., 2009), karena penggunaan primer yang lebih panjang (16-25) basa nukleotida) dibandingkan primer RAPD (10 basa nukleotida), yang menggunakan suhu annealing yang tinggi (45-600 C). Intersimple Sequence Repeats (ISSR) kebanyakan tersegregasi sebagai marka yang dominan mengikuti

penurunan Hukum Mendel (Astarini, 2009). Penanda bersifat dominan,

yaitu tidak dapat membedakan individu yang homozigot dan heterozigot,

sedangkan penanda kodominan dapat membedakan individu yang

homozigot dan heterozigot. Sampai saat ini informasi mengenai keragaman

genetik hasil persilangan tanaman anggrek yang dapat digunakan untuk

perbaikan karakter belum banyak tersedia.

3. Persilangan Anggrek

Hibridisasi atau persilangan adalah metode dalam menghasilkan

kultivar tanaman baru yaitu dengan cara menyilangkan dua atau lebih

tanaman yang memiliki konstitusi genetik berbeda dengan tujuan untuk

menggabungkan karekter-karakter baik dalam satu tanaman, menambah keragaman genetik, memperluascommit to user variabilitas genetik tanaman melalui rekombinasi gen, dan untuk mendapatkan hibrid vigor. Pemilihan tetua

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

atau kombinasi hibrid merupakan hal yang sangat penting dalam

pemuliaan tanaman dan hal tersebut sangat menentukan keberhasilan atau

kegagalan program pemuliaan (Poehlman dan Quick 1983 dalam

Damayanti 2006).

Persilangan anggrek ditujukan untuk mendapatkan varietas baru

dengan warna dan bentuk yang menarik, mahkota bunga kompak dan

bertekstur tebal sehingga dapat tahan lama sebagai bunga potong, jumlah kuntum banyak dan tidak ada kuntum bunga yang gugur dini akibat kelainan genetis serta produksi bunga tinggi (Hadi, 2005). Menurut Andayani (2007) persilangan pada anggrek dapat dilakukan melalui perlakuan penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang. Penyerbukan sendiri artinya putik satu bunga diserbuki dengan benangsari (polen) berasal dari bunga yang sama. Penyerbukan silang artinya putik pada satu bunga diserbuki dengan menggunakan serbuksari yang berasal dari bunga pada tanaman lain tetapi masih satu jenis tanaman. Pemilihan tetua merupakan tahap awal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu program hibridisasi. Menurut Widiastoety et al. (2010) dalam pemilihan induk jantan dan betina yang akan

disilangkan harus disertai penguasaan sifat-sifat kedua induk tersebut,

termasuk sifat dominan seperti ukuran bunga, warna dan bentuk bunga

yang akan muncul pada turunannya. Agar persilangan berhasil, sebaiknya

dipilih induk betina yang mempunyai kuntum bunga yang kuat, tidak cepat

layu atau gugur, mempunyai tangkai putik dan bakal buah yang lebih

pendek agar tabung polen dapat mudah mencapai kantong embrio yang

terdapat pada bagian bawah bakal.

Persilangan bisa dikatakan berhasil apabila 3-4 hari setelah

persilangan tangkai kuntum bunga induk betina masih segar atau berwarna

kehijauan. Beberapa hari kemudian kelopak dan mahkota bunganya layu,

kering dan akhirnya rontok, kemudian muncul calon buah yang berbentuk

bulat telur dan berwarna hijau (Iswanto, 2005). Setelah terjadi fertilisasi, zigot akan terbentuk yangcommit selanjutnya to user tumbuh dan berkembang menjadi embrio di dalam biji. Setelah terbentuk, zigot dapat dikecambahkan atau

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

ditumbuhkan secara in vitro. Proses tersebut dapat berlangsung apabila ada

kecocokan antara pollen dan ovum (Darmono, 2006).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyilangkan anggrek adalah

persilangan sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Persilangan akan berhasil

bila dilakukan sehari atau dua hari setelah bunga mekar atau minggu

pertama sampai minggu kelima sejak bunga mekar (Darmono, 2003 cit.

Hartati, 2006). Mekarnya kuncup-kuncup bunga merupakan suatu tanda bahwa putik telah masak dan siap untuk menerima serbuk sari yang akan disilangkan (Darjanto dan Siti, 1990 dalam Hartati, 2008). Melalui persilangan menyebabkan munculnya genotip - genotip baru yang dapat menambah karakter tanaman. Menurut Chaudari (1971) dalam Rostini (2005), walaupun persilangan tidak menghasilkan gen-gen baru, namun rekombinasi genetik dari gen-gen yang dimiliki kedua tetua memungkinkan diperolehnya variasi atau kombinasi gen-gen baru. Penelitian Tanee et al. (2012) pada tanaman hybrid Vanda dibandingkan dengan tetuanya, dengan analisis RAPD dapat membedakan anggrek liar, hibrida, spesies pada tiga kelompok yang berbeda.

4. Sitologi Anggrek

Sitologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang sel.

Kromosom adalah bahan genetik yang terletak di dalam sel. Kromosom

adalah suatu struktur makro molekul yang berisi DNA dimana informasi

genetik dalam sel disimpan. Perbedaan kromosom menggambarkan

perbedaan kandungan genetik pada suatu individu. Individu dalam satu

spesies mempunyai jumlah kromosom sama tetapi spesies yang berbeda

dalam satu genus mempunyai jumlah kromosom berbeda (Suliartini et al.,

2004). Individu-individu dalam satu spesies biasanya mempunyai jumlah

kromosom sama, tetapi spesies yang berbeda dalam satu genus sering

mempunyai jumlah kromosom berbeda. Tipe dan jumlah kromosom setiap

makhluk hidup berbeda-beda. Dengan mikroskop perbesaran 1000x seluruh kromosom dapatcommit dibedakan to user satu dengan yang lain dari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

penampilannya. Hal ini dikarenakan ukuran kromosom dan posisi

sentromernya berbeda.

Ramesh dan Renganathan (2013a) menyatakan bahwa spesies

Coelogyne corymbosa memiliki kromosom 2n=26 dan Coelogyne

fimbriata 2n=22, dan disebut sebagai diploid sedangkan pada penelitian

sebelumnya menyatakan bahwa spesies tersebut memiliki kromosom

2n=44. Pada anggota Orchidaceae, menunjukkan variasi kromosom somatik yang dipelajari dari 2n=10 sampai 40. Spesies yang memiliki kromosom somatik 30 yaitu Coelogyne breviscapa 2n=32 dan Coelogyne cristata 2n=26 dianggap sebagai triploid. Anggrek yang memiliki jumlah kromosom n=19 lebih banyak dari pada yang memiliki jumlah kromosom n=20. Terdapat sekitar 280 spesies anggrek memiliki jumlah kromosom n=19, sedangkan yang memiliki jumlah kromosom n=20 sekitar 274 spesies. Anggrek Phalaenopsis pinlong cinderela dan Phalaenopsis Joane Killeup June memiliki jumlah kromosom 2n=40 (Hartati, 2010). Anggrek alam tetua Paraphalaeonopsis serpentilingua memiliki jumlah kromosom 2n=40, hasil persilangannya menunjukkan jumlah kromosom 2n=38. Anggrek tetua Rhyncostiles

gigantea common memiliki jumlah kromosom 2n=40, hasil persilangannya

2n=40. Tetua Paraphalaeonopsis labukensis memiliki jumlah kromosom

2n=40, hasil persilangannya 2n=38 (Hartati, 2011). Penelitian Balanos et

al. (2008), membuktikan bahwa kromosom induk Phalaenopsis sp

mempunyai 2n=38 tetapi pada keturunannya Doritaenopsis memberikan

hasil jumlah kromosom yang berbeda 2n=76.

B. Kerangka Berpikir

Indonesia memiliki kekayaan ragam plasma nutfah anggrek yang

bernilai ekonomis dan belum semua teridentifikasi. Salah satu anggrek

yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah anggrek hitam (Coelogyne

pandurata) yang berasal dari Provinsi Kalimantan Timur. Anggrek hitam mempunyai karakter bungacommit yang to user unik yakni berukuran besar, berwarna hijau dengan lidah hitam tersusun pada rangkaian tandan dengan panjang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

15-20 cm dan jumlah bunganya mencapai 14 kuntum per tandan. Warna

hitam pada lidah bunga merupakan sifat yang langka, yang dibutuhkan oleh

para ahli pemuliaan tanaman untuk menghasilkan silangan baru..

Oleh karena di habitat aslinya jenis ini sudah sukar ditemukan,

maka usaha pembudidayaan dan peningkatan ragam genetik harus

dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan persilangan dengan

jenis lain. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan persilangan pada tanaman anggrek adalah kedekatan hubungan kekerabatan. Tanaman anggrek yang berkerabat dekat akan meningkatkan peluang keberhasilan. Oleh karena itu untuk melakukan persilangan pada Coelogyne pandurata perlu dilakukan seleksi tetua yakni spesies lain dari genus Coelogyne spp Untuk mengetahui keragaman dan hubungan kekerabatan pada tanaman anggrek dapat dilakukan dengan karakterisasi menggunakan penanda morfologi dan karakterisasi menggunakan penanda molekuler. Karakterisasi menggunakan penanda morfologi biasanya dipengaruhi lingkungan. Penanda molekuler dapat memberikan gambaran yang lebih akurat, karena analisis deoxyribo nucleid acid (DNA) sebagai materi

genetik tidak dipengaruhi lingkungan. Penanda molekuler RAPD

merupakan salah satu yang dimanfaatkan dalam kegiatan pemuliaan

anggrek. Hasil karakterisasi menggunakan penanda morfologi dan

molekuler RAPD digunakan untuk menyeleksi tetua yang mempunyai

kedekatan genetik dengan anggrek hitam (Coelogyne pandurata).

Tetua terpilih tersebut akan digunakan sebagai bahan persilangan.

Metode persilangan yang digunakan juga dapat menentukan keberhasilan

persilangan. Untuk itu persilangan antara Coelogyne pandurata dengan

tetua terpilih perlu diuji dengan menggunakan metode crossing, reciprocal

dan selfing.

Keragaman pada hasil persilangan anggrek dapat diketahui dengan

menggunakan analisis sitologi, flow cytometry, molekuler RAPD dan ISSR. Dengan analisis tersebutcommit akanto user dapat diprediksi apakah F1 dari hasil persilangan anggrek menghasilkan karakter baru yang berbeda dari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

induknya.

Upaya memecahkan permasalahan kelangkaan anggrek hitam

Coelogyne pandurata di atas maka penelitian ini dilaksanakan melalui alur

penelitian yang tersaji pada Gambar 1 berikut.

Keragaman anggrek Coelogyne spp.

Kajian 1 dan 2 Pemilihan ragam Didapatkan Identifikasi anggrek genetik/ seleksi tetua terpilih Coelogyne berdasarkan karakter Coelogyne spp.berdasarkan morfologi dan rumphii karakter morfologi dan molekuler RAPD molekuler RAPD

Kajian 3 Didapatkan

Hibridisasi: crossing, biji hasil reciprocal dan selfing persilangan

Kajian 4 dan 5 Identifikasi hasil

persilangan Coelogyne

pandurata secara sitologi, flow cytometry,

molekuler RAPD dan ISSR

Teridentifikasi

keragaman F1

hasil persilangan

Didapatkan

Varian baru Anggrek

Gambarcommit 1. Diagram to user alur penelitian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

C. Hipotesis

1. Terdapat keragaman dan kedekatan genetik (kekerabatan) Coelogyne

pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp.

2. Terdapat persilangan yang kompatibel antara Coelogyne pandurata

dengan dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp.

3. Terdapat varian baru pada F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata

dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp. berdasarkan sitologi (kromosom dan tingkat ploidi) 4. Terdapat varian baru pada F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp. berdasarkan penanda molekuler RAPD dan ISSR (InterSimple Sequence Repeats).

D. Kebaharuan (Novelty) Kebaharuan (novelty) yang telah didapatkan dari beberapa kajian yang dilakukan adalah: 1. Metode persilangan yang kompatibel antara Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii. 2. Teridentifikasi susunan kromosom anggrek Coelogyne pandurata

diploid (2n=2x=36) dan Coelogyne rumphii tetraploid (2n=4x=72)

3 Diperoleh varian baru F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata dan

Coelogyne rumphii berdasarkan analisis sitologi yang mempunyai

susunan kromosom triploid 2n=3x=54

4 Diperoleh varian baru F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata dan

Coelogyne rumphii berdasarkan analisis molekuler.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat Penelitian

Karakterisasi morfologi dan persilangan dilakukan di Pusat

Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor, Analisis flow cytrometry,

Analisis molekuler dilakukan di Laboratorium Pusat Kajian Hortikultura

dan Tropika IPB Bogor dan Laboratorium Genetika Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor, Analisis Sitologi dilakukan di Laboratorium Sitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor.

B. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan April 2012 sampai Nopember 2014

C. Tatalaksana Penelitian Tahap-tahap kegiatan penelitian meliputi lima kajian

1. Identifikasi keragaman anggrek Coelogyne spp berdasarkan karakter morfologi. Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI

Bogor Jawa Barat.

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian merupakan koleksi

tanaman di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor meliputi

6 spesies anggrek dari genus Coelogyne spp yaitu C. pandurata, C.

massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis dan C. rumphii.

Identifikasi karakter morfologi dilakukan secara deskriptif

berdasarkan pengamatan langsung dan pendokumentasian bagian-bagian

tanaman anggrek Coelogyne spp, meliputi 45 karakter (Gravendeel and

Voogel, 2000), terdapat pada lampiran 6.

Analisis data dilakukan menggunakan skoring data morfologi dari

data deskriptif ke dalam suatu bentuk skor secara biner. Besarnya

kemiripan genetik antar individu diperoleh dari analisis klaster atau gerombol menggunakancommit program to user NTSYSpc versi 2.02i dengan metode

17 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

UPGMA (Unweighted Pair Group Method of Arithmatic Average) fungsi

SimQual (Rohlf, 1998).

Coelogyne pandurata Coelogyne massangeana Kalimantan Timur Sumatra Barat

Coelogyne mayeriana Coelogyne asperata Kalimantan Barat Kalimantan

Coelogyne celebensis Coelogyne rumphii

Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan

Gambar 2. Bahan penelitian tanaman anggrek Coelogyne spp.

2. Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan

penanda molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Kajian Hortikultura dan Tropika

(PKHT) IPB Bogor dan Laboratorium Genetika Pusat Penelitian Biologi

LIPI Bogor. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 6 spesies:

Coelogyne pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C.

celebensis dan C. rumphii. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah: CTAB,

H2O, HCl, NaCL, EDTA, PVPP, NaCl, merkaptoetanol, CIAA (kloroform

isoamylalkohol), Na Asetat, primer, master mix untuk PCR, agarose, buffer

TAE, dan buffer TE gel loading.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi timbangan

analitik, mesin centrifuge, vortex, inkubator, gene quant, asppirator, ,

mesin PCR, elektroforesis tank, cetakan agarose, biorad dan kamera digital. Tahapan penelitian meliputi ekstraksi DNA, uji kuantitas dan kualitas DNA, reaksi amplifikasi, dan elektroforesis. DNA genom diekstraksi dari daun muda menurut metode CTAB (Doyle dan Doyle, 1987), dengan beberapa modifikasi. Uji kualitas DNA, membuat elektroforesis agarosa dan dimasukkan ke dalam cetakan yang mengandung TAE penyangga. Mempersiapkan DNA lambda sebagai pembanding. Pencampuran setiap sampel DNA dengan pewarna pemuatan sebagai pemberat. Seleksi primer Operon Technology (Operon Almaeda, 2000) digunakan untuk mendapatkan produk amplifikasi dengan tingkat polimorfisme yang tinggi. Primer yang digunakan adalah 11 primer dari 15

primer yang diuji adalah OPA 02, OPA 07, OPA 09, OPA 13, OPA 16,

OPB 12, OPB17, OPB 18, OPD 02, OPD 08 dan OPD11. Adapun jenis

primer dan urutan nukleotida yang digunakan pada penelitian ini dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Jenis primer dan urutan nukleotida penyusunnya

No Primer Sequence 5’ to 3’ 1 OPA-02 TGCCGAGCTG 2 OPA-07 GAAACGGGTG

3 OPA-09 GGGTAACGCC 4 OPA-13 CAGCACCCAC

5 OPA-16 AGCCAGCGAA 6 OPB-12 CCTTGACGCA

7 OPB-17 AGGGAACGAG 8 OPB-18 CCACAGCAGT 9 OPD-02 GGACCCAACC 10 OPD-08 GTGTGCCCCAcommit to user 11 OPD-11 AGCGCCATTG

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

Amplifikasi PCR dilakukan sebanyak 45 siklus yang terdiri dari

beberapa tahap yaitu preheating 95oC selama 5 menit, denaturasi suhu

95oC selama 30 detik, annealing 36oC selama 30 detik, elongasi 72oC

selama 1 menit dan elongasi akhir 72oC selama 5 menit. Proses

elektroforesis dilakukan untuk mengetahui kenampakan pita DNA. Gel

hasil elektroforesis direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) selama

30 menit. Hasil elektroforesis diamati di bawah UV transluminator kemudian difoto dengan kamera.

Analisis Data Keragaman genetik diamati dengan menentukan skor berdasarkan ada atau tidaknya pita DNA. Pita DNA diterjemahkan dalam data biner, jika ada nilai 1 dan jika tidak ada nilai 0. Analisis pengelompokan dilakukan secara cluster analysis menggunakan program NTSYSpc (Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis System) versi 2.02 (Rolhf, 1998) dengan metode Unweight Pair Group Method Arithmetic (UPGMA) fungsi SIMQUAL (Similarity Qualitative). Matrik kemiripan menggunakan koefisien Dice (Rolhf, 1998), sehingga akan diperoleh

dendrogram hubungan kekerabatan anggrek Coelogyne spp .

3. Teknik Hibridisasi untuk menambah ragam genetik anggrek hitam

(Coelogyne pandurata)

Hasil kajian pertama dengan penanda morfologi dan kajian kedua

dengan penanda molekuler diperoleh tetua terpilih C. rumphii yang

mempunyai kedekatan genetik dengan C. pandurata, yang akan digunakan

sebagai bahan hibridisasi. Persilangan dilakukan di Pusat Konservasi

Tumbuhan Kebun Raya LIPI Bogor, dilanjutkan penumbuhan biji secara

invitro di laboratorium Kultur Jaringan Kebon Raya Bogor dan di

Laboratorium Fisiologi dan Bioteknologi Fakultas Pertanian UNS.

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tetua tanaman anggrek hitamcommit (C. pandurata to user ) dan tetua tanaman anggrek C.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

rumphii. Alat yang digunakan adalah pinset, tusuk gigi, kertas label,

benang, dan loupe.

Persilangan dilakukan pada pagi hari pukul 07.00 – 10.00 pada

tanaman yang telah mekar penuh dengan menyilangkan induk C. pandurata

dan C. rumphii sebagai tetua jantan atau betina. Polinia ditransfer dari

anther ke stigma dengan menggunakan tusuk gigi steril. Persilangan

dilakukan pada 4 individu yang berbunga sebagai ulangan, dengan metode sebagai berikut: (i) crossing: C. pandurata sebagai induk betina yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma antara dua bunga yang berbeda berasal dari dua individu tanaman, (ii) reciprocal: C. pandurata sebagai induk jantan, (iii) selfing yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma pada satu bunga dalam satu tanaman. Setelah penyerbukan dilakukan pengamatan persentase keberhasilan persilangan, buah rontok dan kemasakan buah serta terbentuknya protokorm diamati secara teratur.

4. Identifikasi hasil persilangan Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii berdasarkan analisis sitologi dan flow cytometry.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika dan Laboratorium

Sitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor. Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini meliputi tetua anggrek C. pandurata, tetua anggrek C.

rumphii, F1 hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii, F1 hasil

persilangan ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata.

Metode penelitian meliputi dua percobaan: Analisis Sitologi dan

Flow Cytometry

a. Analisis Sitologi

Analisis sitologi ini dilakukan untuk mengetahui jumlah kromosom,

bentuk kromosom dan ukuran kromosom tetua dan hasil silangannya. Cara

kerja: ujung akar sepanjang 1 cm dimasukkan ke dalam botol berisi 8- 0 Hydroxyquinoline 0.002 M dan disimpan selama 24 jam pada suhu 20 C, selanjutnya ujung akar difiksasicommit todengan user asam asetat 45% selama 10 menit, akar dipindahkan ke dalam larutan HCL 1 N : asam asetat 45% (3:1) pada

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

0 suhu 60 C selama 2-2.5 menit (dipanaskan), pewarnaan akar menggunakan

orcein 2%. Ujung akar dipotong sepanjang 1-2 mm, kemudian diletakkan

diatas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup dengan media orcein

2%, selanjutnya ujung akar dipijit atau dipukul-pukul halus dengan pinset

dan dipanaskan, preparat diamati dengan mikroskop Olympus CX31. Sel

terpilih diamati dengan perbesaran 40 x 10, kromosom dihitung dengan

perbesaran 1000 x. Dari tiap preparat yang berisi ujung akar, dipilih beberapa sel yang menunjukkan fase metaphase dan tidak terjadi tumpang tindih antar sel dan antar kromosom, pada fase tersebut kromosom tampak menyebar, sehingga memudahkan dalam pengamatan. Variabel pengamatan jumlah kromosom dilaksanakan dengan menggunakan metode squash menurut Darnaedi (1991) dan Manton (1950). Pengamatan meliputi jumlah kromosom, ukuran kromosom dan bentuk kromosom. Penentuan bentuk kromosom mengacu pada cara Ciupercescu et al. (1990) cit. Parjanto et al. (2003), dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Bentuk kromosom berdasarkan rasio lengan kromosom Bentuk kromosom Rasio lengan ( ⁄ )

Metasentrik (m) 1,0 < r ≤ 1,7 Submetasentrik (sm) 1,7 < r ≤ 3,0

Akrosentrik (a) 3,0 < r ≤ 7,0 Telosentrik (t) ≥ 7,0

b. Analisis Flow Cytometry

Analisis Flow Cytometry dilakukan untuk mengetahui tingkat ploidi

tetua dan hasil silangannya. Cara kerja: Potongan daun (0.5 cm2) dicacah

menggunakan silet di dalam cawan petri yang berisi 250 µl buffer ekstraksi.

Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring menggunakan Partec 30 µl

Cell Trics filter. Pewarnaan menggunakan buffer PI (Propidium Iodide)

dan RNAse (1 ml), selanjutnya diinkubasi selama 30 menit sebelum

dianalisis dalam flow cytometry.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

5. Identifikasi hasil persilangan Coelogyne pandurata dengan Coelogyne

rumphii menggunakan marka molekuler RAPD dan ISSR.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Pusat Penelitian

Biologi LIPI-Bogor. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi

tetua tanaman anggrek C. pandurata, tetua anggrek C. rumphii, F1 hasil

persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii, F1 hasil persilangan ♀ C.

rumphi x ♂ C. pandurata. Metode penelitian meliputi ekstraksi DNA, genom DNA diekstraksi mengikuti metodologi yang dijelaskan oleh Doyle dan Doyle (1987), dengan beberapa modifikasi. Isolasi sampel daun segar + 0.4 g, daun segar digerus dengan pestle dalam tube 1.5 ml sampai halus, ditambah + 0.03 g PVP dan + 0.1 g pasir kuarsa (untuk membantu penggerusan), Memasukkan sampel yang sudah halus kedalam tube (1.5 ml) yang telah diisi dengan 800 ul buffer ekstraksi, kemudian diInkubasi dalam suhu 65oC selama 1 jam di waterbath. Ditambahkan 700 ul C:I (chloroform:isoamil alkohol, 24:1) dan di campur rata kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit pada suhu kamar. Mengambil supernatan yang terbentuk 500 ul kemudian ditambahkan 500 ul Et-OH absolut kemudian o diinkubasi dalam freezer -20 C selama 12 jam. Sentrifuse dengan

kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit, kemudian buang supernatan,

kemudian dikeringanginkan 15 menit, pellet dilarutkan dengan 300 ul

ddH2O kemudian ditambah 15 ul RNAse (200 ug/ ml). Diinkubasi dalam

suhu 37oC selama 30 menit dan tambahkan 300 ul PCI (phenol chloroform

isoamilalkohol, 24:1:1) lalu di campur. Sentrifuse dengan kecepatan 12.000

rpm selama 15 menit dan mengambil 500 ul supernatan dan ditambahkan

dengan 500 ul CI (24:1), dicampur rata kemudian disentrifugasi dengan

kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Mengambil supernatan yang

terbentuk dan tambahkan Et-OH absolut dengan volume 1:1 dan diinkubasi o dalam freezer -20 C selama 12 jam. Sentrifugasi dengan kecepatan 12.000

rpm selama 15 menit. Buang supernatan dan cuci dengan alkohol 80 % dan dilakukan sentrifugasi lagicommit dengan to userkecepatan 12.000 rpm selama 15 menit,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

pelet dikeringkan dengan dikering anginkan. Pelet yang terbentuk

diencerkan dengan 25 ul TE.

Uji kualitas DNA dilakukan dengan elektroforesis dengan

membandingkan dengan DNA lamda. Hal ini dilakukan untuk mengetahui

tingkat kualitas DNA: a. Agarose dibuat dan diletakkan dalam cetakan

elektroforesis dan dibiarkan sampai padat, b. Gel agarose dimasukkan ke

dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE, sampai terendam, c. DNA lambda disiapkan sebagai pembanding. d. Masing-masing DNA sampel dicampur dengan loading dye sebagai pemberat, e. DNA lambda dan DNA sampel yang telah dicampur dengan loading dye dimasukkan pada sumuran gel elektroforesis, kemudian dilakukan elektroforesis selama 57 menit pada voltase 50 volt, f. Gel hasil eletroforesis direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) selama 30 menit, g. Hasil elektroforesis diamati di bawah UV transluminator kemudian difoto dengan kamera, h. Hasil foto dilihat dan dibandingkan antara DNA sampel dengan DNA lambda, dengan ditandai ada atau tidaknya pita DNA. Seleksi primer dari Operon Technology (Operon Almaeda, 2000) digunakan untuk mendapatkan produk amplifikasi dengan tingkat

polimorfisme yang tinggi.

Enam RAPD primer: OPA-02, OPA-07, OPB-12, OPB-17, OPB-18, OPD-

11 (Operon Technology Ltd) dan empat primer ISSR yang dipilih adalah

primer yang digunakan pada anggrek Cattleya labiata (Lucas et al., 2012)

yaitu UBC 814, UBC 826, UBC 807 dan UBC 810 dan pada anggrek

Cymbidium sinense ( Jiang et al., 2011) yaitu UBC 826 dan UBC 807.

Analisis data

Analisis keragaman genetik berdasarkan data fragmen DNA yaitu ada

atau tidaknya pita DNA. Profil pita DNA diterjemahkan dalam data biner

dengan ketentuan nilai 0 untuk tidak ada pita dan nilai 1 untuk ada pita

DNA pada satu posisi yang sama dari jenis anggrek yang dibandingkan.

Untuk mengetahui besarnya keragaman maupun kemiripan genetik antar individu tetua dan hasil commitpersilang to anuser denga n menggunakan analisis klaster atau gerombol. Analisis klaster dilakukan dengan program NTSYSpc versi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

2.02i dengan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method of

Arithmatic Average) fungsi SimQual (Rohlf, 1998).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Identifikasi Keragaman Genetik Coelogyne spp berdasarkan Penanda Morfologi

a. Pendahuluan Family Orchidaceae, salah satu family tanaman bunga terbanyak, dengan keragaman spesies yang tinggi (Wallace, 2003; Niknejad et al., 2009). Karakterisasi tanaman merupakan kegiatan untuk menemukan deskripsi masing-masing spesies digunakan sebagai bahan untuk menentukan hubungan kekerabatan antar spesies. Hubungan kekerabatan berbagai jenis tanaman merupakan sumber informasi awal untuk hibridisasi untuk menghasilkan variasi. Xu et al. (2010) menyatakan bahwa semakin jauh hubungan genetik tanaman, semakin sulit untuk persilangan. Maka dibutuhkan untuk proses penentuan kekerabatan berbagai macam jenis anggrek. Penentuan kekerabatan dapat dilakukan fenotipe dengan pengamatan

morfologis. Salah satu keberhasilan persilangan adalah hubungan erat

antara kekerabatan genetik tetua. Oleh karena itu, perlu untuk

mengidentifikasi keragaman genetik dan menentukan kedekatan genetik

antara C. pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne digunakan

sebagai tetua dengan menggunakan penanda morfologi.

b. Bahan dan Metode

Bahan tanaman koleksi dari Pusat Konservasi tumbuhan Kebun Raya

LIPI Bogor beberapa spesies Coelogyne spp (Tabel 3)

commit to user

26 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

Tabel 3. Bahan tanaman berdasarkan asal dan ketinggian tempat

No Nama anggrek Asal Ketinggian

tempat (m. dpl) 1 Coelogyne pandurata Kalimantan Timur 100

2 Coelogyne massangeana Sumatra Barat 1150-2100 3 Coelogyne mayeriana Jambi 100

4 Coelogyne asperata Kalimantan Barat 320/ 1000 5 Coelogyne celebensis Sulawesi Selatan 826/ 220 6 Coelogyne rumphii Sulawesi Selatan 100-2000

Metode penelitian: Penelitian dilakukan dengan cara pengamatan morfologi secara langsung dan mendokumentasikan bagian-bagian dari 6 spesies anggrek Coelogyne. Karakterisasi dilakukan terhadap batang, daun, bunga serta akar meliputi 45 karakter dengan menggunakan skoring menurut Gravendeel dan Vogel (2000), terdapat pada lampiran 6. Analisis data dilakukan menggunakan skoring data morfologi dari deskripsi menjadi data biner. Karakter morfologi dianalisis dengan menandai ada (1) atau tidak ada (0) untuk setiap karakter yang dihasilkan. Untuk mengetahui besarnya keragaman maupun kemiripan antar individu menggunakan analisis klaster/ gerombol. Analysis klaster dilakukan dengan program NTSYSpc versi 2.02i dengan metode UPGMA

(Unweighted Pair Group Method of Arithmatic Average) fungsi SimQual

(Rohlf, 1998).

c. Hasil dan Pembahasan

Identifikasi morfologi dari enam spesies Coelogyne yaitu C.

pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis dan

C. rumphii meliputi 45 karakter (Gravendeel dan Vogel, 2000) seperti

rimpang, umbi semu, tipe perbungaan, batang penumpu, tangkai majemuk,

daun pelindung, bakal buah, mahkota, kelopak, bibir, kepingan ketiga pada

bibir bunga, epichile, leher tugu, benang sari, tangkai memanjang alat

kelamin jantan dan betina.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

Tabel 4. Matrik kemiripan berdasarkan penanda morfologi

1 2 3 4 5 6

1 1.00 2 0.93 1.00 3 0.93 0.91 1.00

4 0.95 0.93 0.93 1.00 5 0.78 0.75 0.80 0.73 1.00

6 0.80 0.78 0.82 0.75 0.98 1.00 Keterangan : 1= C. rumphii 4= C. mayeriana 2= C. pandurata 5= C. asperata 3= C. massangeana 6= C. celebensis

Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai kemiripan antar anggrek Coelogyne berkisar antara 0.73-0.98. Nilai kemiripan sifat morfologi antar spesies yang besar mencerminkan kemiripan atau dekatnya kekerabatan antara satu spesies dengan spesies lainnya. Nilai kemiripan 0.73 terdapat antara C. mayeriana dengan C. asperata. Nilai kemiripan paling dekat adalah 0.98 terdapat antara C. asperata dan C. celebensis. Karena dalam penelitian ini yang menjadi target untuk dilakukan peningkatan ragam genetik adalah C. pandurata maka akan dipilih sebagai tetua yang dimiliki kedekatan genetik adalah C. pandurata. C. pandurata. menunjukkan

koefisien kemiripan 0.93 dengan C. rumphii dan C. mayeriana.

Dari karakter yang diamati terdapat perbedaan sifat morfologi yaitu

pada bunga C. pandurata warna hijau dengan lidah hitam bentuk petal

(mahkota) bulat telur, jumlah daun pada bulb dua sedang C. rumphii warna

kuning lidah coklat bentuk petal lurus, jumlah daun pada bulb satu.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

Gambar 3. Dendrogram pengelompokan Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi

Gambar 3 menunjukkan bahwa klasifikasi dari enam spesies Coelogyne berdasarkan morfologi dengan koefisien kemiripan 0.93 menghasilkan tiga kelompok yaitu kelompok pertama terdiri atas C. rumphii, C. mayeriana, dan C. pandurata, kelompok kedua C. massangeana, sedang kelompok ketiga terdiri atas C. asperata dan C. celebensis dengan perbedaan morfologi pada tangkai majemuk daun

pelindung bawah, daun pelindung selaput bunga, mahkota, leher tugu. C.

mayeriana tidak termasuk anggrek langka, mekar bunga tidak serentak

serta jarang berbunga.

Jika anggrek dalam kelompok yang sama dilakukan persilangan maka

kemungkinan persilangan akan berhasil (Purwantoro et al. 2005).

Dendrogram gambar 3 menunjukkan adanya kemiripan antara 78% - 98%

atau keragaman genetik antar spesies berkisar 2% - 22%. Hal ini sesuai

pendapat dari Maiti et al., 2009 dan Khosravi et al., 2009 yang mengatakan

bahwa tanaman anggrek merupakan tanaman yang memiliki pola

keragaman yang tinggi

C. celebensis dan C. rumphii, terdapat di Semenanjung Malaysia,

Sumatera, Jawa, Kalimantan,commit Sulawesito user dan Maluku. Spesies ini semua memiliki pseudobulb unifoliate kecuali C. celebensis dan C.asperata, yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

juga dapat memiliki beberapa pseudobulbs berdaun dua, persamaan lain

didukung dengan sub kelompok C. celebensis dan C. rumphii, yang

keduanya memiliki daun pelindung bunga lonjong.

Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan dengan hasil deskripsi

yang dilakukan oleh Gravendeel dan Vogel, 2000 yaitu pada jumlah bunga

pada setiap tangkai, batang penumpu pada bunga, daun pelindung bawah,

mekarnya bunga, kelopak, bakal buah, bibir, kepingan ketiga pada bibir bunga, leher tugu, benang sari dan tangkai yang menunjang alat kelamin betina dan jantan. Perbedaan karakter dalam satu spesies anggrek dapat terjadi karena respon anggrek terhadap lingkungan tempat tumbuhnya. Cahaya mempunyai pengaruh terhadap anggrek secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung yatiu pada proses fotosintesis dan pengaruh tidak langsung yaitu terhadap pertumbuhan, perkecambahan dan pembungaannya.

d. Kesimpulan Hasil penentuan keragaman secara morfologi dari enam spesies

anggrek dari genus Coelogyne spp yaitu Coelogyne pandurata , Coelogyne

massangeana, Coelogyne mayeriana, Coelogyne asperata, Coelogyne

celebensis dan Coelogyne rumphii diperoleh karakter yang beragam antara

2% – 22%. Dari enam spesies tersebut, Coelogyne rumphii dan Coelogyne

mayeriana merupakan spesies yang memiliki keragaman paling rendah

atau memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan Coelogyne

pandurata, yakni secara morfologi memiliki kemiripan 93%, sehingga

berpeluang untuk dipilih menjadi tetua persilangan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

2. Identifikasi Keragaman Genetik Coelogyne spp berdasarkan Marka

Molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

a. Pendahuluan

Dalam rangka untuk meningkatkan keragaman suatu spesies melalui

persilangan maka dibutuhkan proses penentuan kekerabatan berbagai jenis

anggrek. Penentuan kekerabatan dapat dilakukan secara genotipik adalah penentuan kekerabatan dengan memperhatikan susunan gen atau DNA (Jones et al., 1998). Hubungan kekerabatan berbagai jenis tanaman merupakan sumber informasi awal yang digunakan dalam program hibridisasi untuk menghasilkan variasi. Xue et al. (2010), menyatakan bahwa semakin jauh spesies hubungan genetik tanaman, semakin sulit untuk disilangkan. dengan memperhatikan susunan gen atau DNA (Jones et al., 1998). Analisis RAPD adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan hubungan kekerabatan antar spesies tanaman (Arya et al., 2011; Vural et al., 2009, Das et al., 2009, Verma et al., 2009). RAPD mendasarkan pada metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yaitu reaksi

untuk memperbanyak fragmen DNA menggunakan primer oligonukleotida

(Khosravi et al., 2009). Dalam RAPD ini digunakan primer tunggal dengan

urutan nukleotida acak. Penggunaan primer pendek dengan 10 sekuen basa

sekitar 10 mer memungkinkan dihasilkan potongan/ pita DNA (Parab dan

Krishnan, 2008 dan Maiti et al., 2009). Riedy et al. (1992); Inthawong et

al. (2006) dan Azzrai (2005) menyebutkan beberapa keuntungan RAPD

yaitu (1) biaya murah, (2) jumlah sampel DNA yang digunakan sedikit (3)

mudah pelaksanaan, (4) primer yang digunakan mudah diperoleh .

Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi keragaman genetik dan

menentukan tetua yang mempunyai kedekatan genetik antara anggrek

hitam C. pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp

berdasarkan marka molekuler RAPD. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

b. Bahan dan Metode

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian adalah beberapa

spesies dari anggrek Genus Coelogyne spp koleksi dari Kebun Raya LIPI

Bogor (Tabel 3). Bahan kimia yang diperlukan dalam analisis DNA total

dengan metode RAPD-PCR adalah: CTAB, EDTA, Tris-HCL, PVPP,

aquades steril, mercaptoethanol, NaCl, pasir kuarsa, kloroform, isoamil,

alkohol, etanole absolut, alkohol 70 %, buffer PCR master mix yang berisi campuran dNTP, polimerase Taq DNA, MgCl2, dan primer. Primer yang digunakan adalah 11 primer dari 15 primer yang diuji yaitu OPA 02, OPA 07, OPA 09, OPA 13, OPA 16, OPB 12, OPB 17, OPB 18, OPD 02, OPD 08 dan OPD 11. Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a). Mengambil sampel masing-masing spesies diambil 1 gram daun muda, dicuci bersih dengan alkohol. b). Sampel dihaluskan dengan mortar dan ditambahkan sekitar 0,1 gram PVPP (polivinil poli pirilidon) digerus dalam Nitrogen cair sampai halus. c). Sampel dimasukkan kedalam tabung ependorf volume 1,5 ml, ditambahkan 5 ml buffer ekstraksi (2% CTAB,

100 nM Tris HCl pH 8, NaCl 1,4 M, EDTA 20 nM) dan ditambah

merkaptoetanol 1 % sebanyak 5 µL.Campuran dikocok dengan vortex dan

diinkubasi selama 15 menit pada suhu 65oC, d). DNA dalam supernatan

dimurnikan dengan CIAA (Chloroform Isoamyl alcohol) 24:1, dicampur

dengan mengggunakan vortex, kemudian disentrifugasi pada kecepatan

o 11.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4 C, e). Supernatan dipindahkan

pada tabung baru dengan menggunakan pipet mikro dan ditambahkan 5 ml o isopropanol dingin, diinkubasi selama 15 jam pada suhu 20 C di dalam

freezer. h). Sampel dikeluarkan dari freezer dan disentrifus selama 10 menit

dengan kecepatan 11.000 rpm, i). DNA dimurnikan dengan menambahkan

alkohol 70% dan disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 8000 rpm,

j).Cairan dibuang, endapan DNA dikeringkan dengan cara membalikkan tabung eppendorf, k). Endapancommit to DNA user dilarutkan dalam 1 ml buffer TE,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

ditambahkan Natrium Asetat 3 M pada pH 5,2 sebanyak 1/ 10 volume

alkohol absolut sebanyak 2,5 volume.

Uji Kualitas DNA

Uji kualitas DNA hasil ekstraksi dilakukan dengan tahapan sebagai

berikut:

a). Melarutkan 0,36 g bubuk agarose dalam 30 ml larutan TAE (Tris base,

Asam asetat glasial, EDTA) dan dipanaskan dalam microwave selama dua menit. Larutan agarosa ditambah larutan etidium bromida sebanyak 1,5 dituang dalam cetakan elektroforesis dan dibiarkan sampai padat. b). Gel agarose dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE, sampai terendam. c). DNA lambda disiapkan sebagai pembanding, d). Masing-masing DNA sampel dicampur dengan loading dye sebagai pemberat, e). DNA lambda dan DNA sampel yang telah dicampur dengan loading dye dimasukkan pada sumuran gel elektroforesis, kemudian dielektroforesis selama 57 menit pada voltase 50 vol, f). Gel hasil eletroforesis direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) selama 30 menit, g). Hasil elektroforesis diamati di bawah UV transluminator kemudian difoto dengan kamera. h). Hasil foto dilihat dan dibandingkan

antara DNA sampel dengan DNA lambda, dengan ditandai ada atau

tidaknya pita DNA.

Amplifikasi RAPD

Lima belas primer RAPD dari Operon Technologies, USA diuji

dengan DNA dari tanaman yang dipilih. Sebelas primer yang menunjukkan

hasil jelas dan dipilih untuk amplifikasi DNA (PCR - RAPD). Sampel

DNA dicampur dengan PCR master mix yang berisi MgCl, taq polimerase,

dNTP dan memasukkan ke dalam mesin PCR selama 45 siklus yang terdiri o dari beberapa tahap yaitu preheating 95 C selama 5 menit, denaturasi suhu o o o 95 C selama 30 detik, annealing 36 C selama 30 detik, elongasi 72 C o selama 1 menit dan elongasi akhir 72 C selama 5 menit. Visualisasi DNA

hasil RAPD PCR menggunakan transluminnator UV dan dipotret dengan kamera. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

Analisis Data

Analisis data yang diperoleh hasil elektroforesis berupa penampilan

pola pita DNA dimulai dengan melakukan skor data. Untuk mengetahui

besarnya keragaman maupun kemiripan antar individu menggunakan

analisis klaster/ gerombol. Analysis klaster dilakukan dengan program

NTSYSpc versi 2.02i dengan metode UPGMA (Unweighted Pair Group

Method of Arithmatic Average) fungsi SimQual (Rohlf, 1998).

c. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelas primer yang digunakan mampu menunjukkan DNA genomik anggrek dengan jumlah dan ukuran pita DNA yang sangat beragam dengan pola polimorfisme. Pola pita DNA yang dihasilkan dari analisis dengan RAPD mempunyai ukuran fragmen berkisar antara 200 bp sampai 3500 bp (Tabel 5). Sebelas primer digunakan untuk menguji kemiripan dan hubungan kekerabatan antara enam spesies Coelogyne, yaitu C. pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis, C. rumphii.

Gambar 4. Hasil amplifikasi RAPD dari enam spesies Coelogyne dari primer OPA 7, OPB 12 dan OPB 17. 1. C.pandurata, 2. C. massangeana, 3. C. mayeriana, 4. C. asperata,5. C.celebensis, 6.C. rumphicommit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

Dari 11 primer RAPD yang digunakan pola pita DNA yang

dihasilkan mempunyai ukuran fragmen berkisar antara 200 bp sampai 3500

bp (Tabel 2)

Hasil amplifikasi pita dari primer yang digunakan primer OPB 17

menghasilkan pita terbanyak yaitu 26 pita pada ukuran 200 bp sampai 1500

bp. (Gambar 4)

Tabel 5 menunjukkan bahwa total pita yang dihasilkan oleh sebelas primer adalah 79 dengan amplifikasi rata-rata 7,02 per pita primer, dimana 79 pita polimorfik. Jumlah pita polimorfik per rentang primer dari 5 sampai 10 dengan rata-rata persentase polimorfisme adalah 100 %. Tabel 5. Primer, pita polimorfisme dan persentase polimorfisme dengan analisis RAPD

No Primer Sequence 5’ to 3’ Ukuran Jumla Pita % (bp) pita Polimor Polimor fis fis 1 OPA-02 TGCCGAGCTG 300-750 13 5 100 2 OPA-07 GAAACGGGTG 300-2000 16 9 100 3 OPA-09 GGGTAACGCC 250-1500 11 6 100 4 OPA-13 CAGCACCCAC 250-1000 12 7 100 5 OPA-16 AGCCAGCGAA 250-2000 15 10 100 6 OPB-12 CCTTGACGCA 4001600 11 8 100 7 OPB-17 AGGGAACGAG 200-1500 26 10 100

8 OPB-18 CCACAGCAGT 600-1600 9 5 100 9 OPD-02 GGACCCAACC 250-3500 23 8 100 10 OPD-08 GTGTGCCCCA 750-3000 16 6 100

11 OPD-11 AGCGCCATTG 500-3500 16 5 100 Total 168 79 Rata-rata 15.27 7.02 100

Hasil amplifikasi pita dari primer yang digunakan primer OPB 17

menghasilkan pita terbanyak yaitu 26 pita pada ukuran 200 bp sampai 1500

bp. Primer yang menghasilkan pita paling sedikit yaitu OPB 18, dengan 9

pita dari ukuran 600 bp sampai 1600 bp ( Tabel 5 dan Lampiran 8).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

Tabel 6. Matrik kemiripan Coelogyne spp berdasarkan RAPD dengan 11

primer

1 2 3 4 5 6

1 1.00 2 0.33 1.00 3 0.42 0.33 1.00

4 0.38 0.35 0.54 1.00 5 0.44 0.23 0.45 0.38 1.00 6 0.50 0.30 0.26 0.28 0.48 1.00 Keterangan : 1= C. pandurata 4= C. asperata 2= C. massangeana 5= C. celebensis 3= C. Mayeriana 6= C. rumphii

Dari Tabel 6 terlihat yang paling besar kemiripannya adalah C. mayeriana dan C. asperata yaitu 0.54, dan yang paling kecil kemiripannya adalah antara C. massangeana dan C. celebensis yaitu 0.23. Pada penelitian ini untuk mendapatkan tetua yang mempunyai kedekatan dengan C. pandurata dengan spsies lain adalah C. rumphii memiliki koefisien kemiripan 0.50, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tetua dalam persilangan (Tabel 6).

Gambar 5. Dendrogram pengelompokan Coelogyne spp berdasarkan penanda RAPD menggunakan 11 primer commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

Hasil penelitian menunjukkan dari enam spesies membentuk empat

kelompok pada tingkat kemiripan 0.50 (Gambar 5). Kelompok pertama

terdiri dari spesies C. pandurata, C. rumphii, kelompok kedua C.

celebensis, kelompok ketiga terdiri dari C. mayeriana dan C. asperata.

Kelompok keempat terdiri dari C. massangeana.

Dari Gambar 5 diatas terlihat bahwa kemiripan paling dekat adalah

C. mayeriana dan C. asperata (0.55), diikuti C. pandurata dan C. rumphii (0.50). Karena dalam penelitian ini yang menjadi target untuk dilakukan peningkatan ragam genetik adalah C. pandurata maka akan dipilih sebagai tetua yang dimiliki kedekatan genetik adalah C. pandurata dan C. rumphii. Adanya kombinasi yang baik antara primer dan tingkat DNA anggrek menghasilkan pita DNA yang banyak sehingga dapat memberikan data yang baik untuk penentuan kekerabatan anggrek (Xu et al., 2010). Pada kemiripan 55% C. asperata terdapat satu kelompok dengan C. mayeriana. Berdasarkan hasil identifikasi molekuler menggunakan AFLP oleh Gravendel dan Vogel (2000) pada anggrek Coelogyne menunjukkan perbedaan. C. pandurata memiliki kemiripan 0.92 dengan C. asperata.

d. Kesimpulan

Hasil penentuan keragaman secara molekuler dari enam spesies

anggrek dari genus Coelogyne spp yaitu Coelogyne pandurata, Coelogyne

massangeana, Coelogyne mayeriana, Coelogyne asperata, Coelogyne

celebensis dan Coelogyne rumphii diperoleh karakter yang beragam secara

molekuler antara 45% – 69%. Dari enam spesies tersebut, Coelogyne

rumphii memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan Coelogyne

pandurata, yakni berkisar 50%.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

3. Teknik Hibridisasi Untuk Menambah Ragam Genetik Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata)

a. Pendahuluan

Anggrek hitam (C. pandurata) merupakan anggrek endemik

Kalimantan timur yang saat ini keberadaannya terancam punah. Ciri khas

C. pandurata adalah dengan bunga berukuran besar berwarna hijau dengan lidah hitam. Disamping keindahannya, anggrek ini memilki nilai ekonomi yang tinggi karena berpotensi sebagai induk persilangan yang berharga. Di habitat aslinya jenis ini sudah sukar ditemukan sehingga usaha pembudidayaan dan peningkatan ragam genetik harus dilakukan sebelum kepunahan terjadi. Keluarga anggrek (Orchidaceae) merupakan salah satu familia tumbuhan berbunga terbanyak di dunia yang mencakup spesies alami dan spesies hasil persilangan (Xiang et al., 2003). Anggrek genus Coelogyne Lindl mempunyai lebih dari 200 spesies, dengan daerah penyebaran India, China, Indonesia dan Pulau Fuji, dengan pusat di Kalimantan, Sumatra dan Himalaya (Devi et al., 2012). Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl)

merupakan salah satu anggrek langka yang dilindungi pemerintah

Indonesia dan endemik yang berasal dari Kalimantan timur dengan

karakteristik bunga berukuran besar berwarna hijau dengan lidah hitam.

Disamping keindahannya, anggrek ini memilki nilai ekonomi yang tinggi

karena berpotensi sebagai induk persilangan yang berharga. Di habitat

aslinya jenis ini sukar ditemukan sehingga usaha pembudidayaan dan

peningkatan ragam genetik harus dilakukan sebelum kepunahan terjadi.

Untuk menambah keragaman genetik baru perlu dilakukan

persilangan dengan jenis lain. Pemilihan tetua merupakan tahap awal yang

sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu program hibridisasi.

Salah satu penentu keberhasilan persilangan adalah kedekatan hubungan

kekerabatan genetik antar tetua. Untuk mendapatkan tetua yang mempunyai kedekatan genetik dengancommit anggrek to userHitam (Coelogyne pandurata) dengan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

melakukan identifikasi anggrek Coelogyne spp secara morfologi (penelitian

1 dan molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) (penelitian

2). Hasil penelitian 1 dan 2 merekomendasikan Coelogyne rumphii untuk

dipilih menjadi tetua persilangan karena memiliki keragaman secara

morfologi dan molekuler paling rendah dengan kata lain memiliki

kemiripan paling besar dengan Coelogyne pandurata. Selanjutnya

dilakukan persilangan anggrek hitam (Coelogyne pandurata) dengan tetua terpilih Coelogyne rumphii dan diperoleh biji hasil persilangan yang telah ditumbuhkan secara kultur invitro. Persilangan C. pandurata yang mempunyai bunga besar warna hijau dengan lidah hitam namun jarang berbunga (2-3 kali dalam setahun), serta pembungaan tidak serentak yang disilangkan dengan C. rumphii mempunyai bunga kecil warna bunga kuning yang dengan lidah coklat namun sering berbunga (hampir setiap bulan) serta pembungaan serentak, diharapkan dapat menambah ragam genetik dan mengevaluasi keberhasilan persilangan dari tiga macam metode persilangan.

b. Metode penelitian

Bahan: C. rumphii sebagai tetua terpilih yang mempunyai kedekatan

dengan C. pandurata yang merupakan hasil penelitian kajian pertama

(penanda morfologi) dan kajian kedua (penanda molekuler RAPD). C.

pandurata dan C. rumphii yang dipakai dalam penelitian adalah tanaman

koleksi Kebun Raya LIPI Bogor. Tempat penelitian dilakukan di Pusat

Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor. Persilangan dilakukan

pada pagi hari pukul 07.00–10.00 dengan menyilangkan tetua terpilih

sebagai tetua jantan atau betina. Persilangan dilakukan pada 4 individu

sebagai ulangan, dengan metode sebagai berikut: (i) crossing (♀ C.

pandurata x ♂ C. rumphii), yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma antara

dua bunga yang berbeda dan berasal dari dua individu tanaman, (ii)

reciprocal (♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata), yaitu persilangan kebalikan dari induk jantan dan indukcommit betina to ,user (iii) selfing yaitu polinia ditransfer ke

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

dalam stigma pada satu bunga dalam satu tanaman.

Setelah panen benih disterilkan dengan alkohol 70% selama 5 menit.

Polong dibilas 4 kali dengan air suling steril sebelum dipindahkan ke kotak

laminar. Benih ditanam secara kultur invitro pada media dasar Knudson C

+ air kelapa 150 ml/ l + ekstrak tauge 150 g/ l + agar 7 g/ l + arang aktif 1g/

l, pH 5,6. Pengamatan meliputi: persentase keberhasilan persilangan, saat

buah terbentuk, persentase buah rontok, umur buah masak, saat terbentuk protokorm.

c. Hasil dan Pembahasan 1) Persentase keberhasilan persilangan Persilangan akan berhasil bila dilakukan sehari atau dua hari setelah bunga mekar atau minggu pertama sampai minggu kelima sejak bunga mekar (Darmono, 2003 dalam Hartati, 2006). Tabel 7. Rata-rata persentase keberhasilan persilangan, tingkat kompatibilitas dan saat buah terbentuk No A B C D E F 1 F1 ♀ C.pandurata x crossing 4 100 kompatibel 4 ♂C.rumphii 2 F1 ♀ C.rumphii x ♂C reciprocal 4 100 kompatibel 4 pandurata

3 Coelogyne pandurata selfing 1 4 100 kompatibel 6 4 Coelogyne rumphii selfing 2 4 100 kompatibel 5

Keterangan : A. Jenis Anggrek B. Metode pollinasi

C. Jumlah bunga disilangkan D. Keberhasilan persilangan (%)

E. Tingkat kompatibilitas F. Saat terbentuk buah (hari)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

Pada Tabel 7 terlihat bahwa persilangan yang dilakukan menunjukkan

tingkat kompatibilitas baik secara crossing, reciprocal maupun secara

selfing dengan persentase keberhasilan persilangan 100%. Hal ini berbeda

dengan penelitian Sivanaswari et al.(2011) menyatakan anggrek Aerides

odorata sebagai betina keberhasilan persilangan 0-60%, secara resiprocal

anggrek Aerides odorata sebagai jantan 25-62%.

Pada hasil penelitian ini tingkat kompatibilitas dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu: kompatibel penuh (di atas 60%), inkompatibel sebagian 30% – 60% dan inkompatibel penuh (dibawah 30%). Persilangan dikatakan berhasil apabila 3-4 hari setelah persilangan tangkai kuntum bunga induk betina masih segar atau berwarna kehijauan, kelopak dan mahkota bunganya layu, kering dan akhirnya rontok, kemudian muncul calon buah yang berbentuk memanjang dan berwarna hijau (Iswanto, 2005). Persilangan dilakukan secara bolak-balik (resiprocal) untuk membandingkan dan mengetahui daya kompatibilitas dan daya fertilitasnya. Daya kompatibilitas adalah persentase kemampuan membentuk buah, sedangkan daya fertilitas adalah kemampuan terjadinya

fertilisasi (pembuahan) (Widiastoety, 2003). Persilangan antara

Phalaenopsis sp dan Vanda tricolor bersifat kompatibel, jika Vanda

tricolor sebagai induk betina (Hartati, 2010). Metode pemuliaan

konvensional dengan menggunakan persilangan, seperti intraspesifik dan

interspesifik spesies anggrek, adalah cara umum untuk membuat varietas

baru (Semiarti et al., 2007).

2) Persentase buah rontok

Morfologi bunga anggrek sedikit rumit memiliki struktur batang yang

disebut leher tugu, dibagian pangkal leher tugu memiliki anther didalamnya

terdapat serbuksari disebut pollinarium. Stigma terletak sub apikal pada

colum yang disebut rostellum. Keberhasilan penyerbukan terjadi ketika

pollinarium dapat dimasukkan ke rostellum tersebut (Chaturvedi dan commit to user Shonali, 2010). Pada percobaan tahun 2005 Oleh Tremblay et al., 2005

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

dalam Cheng et al., 2009 menunjukkan kegagalan membentuk buah apabila

penyerbukan dilakukan pada bunga yang sama (autogamy) maupun lain

bunga pada tanaman yang sama (geitonogamy), hal ini karena adanya

ketidak cocokan pada tanaman Orchidaceae.

Hasil penelitian pada Tabel 7 menunjukkan bahwa semua metode

persilangan bersifat kompatibel 100%.

100

75

50 Fruit fall (%) fall Fruit 25

0 Crossing Resiprok Selfing 1 Selfing 2 Metode polinasi

Gambar 6. Metode Polinasi terhadap persentase buah rontok

Kerontokan buah pada crossing, reciprocal maupun selfing (Gambar 6)

dapat disebabkan faktor luar dan fisiologis. Menurut Darjanto dan Satifah

(1990), embrio dan endosperm di dalam bakal biji tidak normal. Kandung

embrio tersebut tidak dapat tumbuh terus hingga menjadi besar, hal ini

mengakibatkan buah yang terbentuk akan gugur atau rontok sebelum

matang.

3) Umur buah masak

Persentase buah siap panen dan buah rontok ditentukan oleh

banyaknya bakal buah yang siap panen atau buah rontok dari total bakal

buah yang terbentuk. Tabel 8 menunjukkan bahwa pada persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii umur buah masak 158 hari dan secara reciprocal commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

pada persilangan ♀ Coelogyne rumphii x ♂ Coelogyne pandurata umur

buah masak (panen) 191 hari.

Jika dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa

penyerbukan sendiri (selfing) C pandurata menghasilkan umur buah masak

lebih cepat dibanding dengan persilangan yang lain. Penelitian Sivanaswari

et al. (2011) menunjukkan bahwa umur masak buah pada persilangan

beberapa anggrek Aerides spp dengan secara crossing (persilangan) Aerides odorata sebagai induk betina menghasilkan umur masak buah berkisar 0- 179 hari, secara reciprocal Aerides odorata sebagai induk jantan umur masak buah berkisar antara 116 – 184 hari.

Tabel 8. Rata-rata persentase buah rontok, umur buah masak dan saat terbentuk protokorm. No Anggrek Metode Persentase Umur Saat polinasi buah rontok buah terbentuk (%) masak protokorm (hari) (hari) 1 F1♀ C. pandurata x crossing 50 158 22 ♂ C. rumphii 2 F1 ♀ C.rumphii x ♂ reciprocal 25 191 48 C pandurata 3 Coelogyne pandurata selfing 1 25 155 26 4 Coelogyne rumphii selfing 2 25 201 94

210

190

170

150 (days) maturityFruit

130 Crossing Resiprok Selfing 1 Selfing 2 Metode polinasi

Gambar 7. Metodecommit pol toinasi user terhadap umur buah masak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

4) Saat terbentuk protokorm

Menurut Teixeira et al. (2008) perkembangan planlet dari biji

anggrek dapat menjadi langsung maupun tidak langsung melalui protokorm

(PLB). Selain itu, PLB dibedakan embrio anggrek dapat menjadi dua

struktur bipolar yang berbeda, yaitu tunas dan meristem akar.

90

70

50

30

Saat terbentuk protokorm (hari) protokormterbentuk Saat 10 crossing resiprok selfing 1 selfing 2 Metode Pollinasi

Gambar 8. Metode pollinasi terhadap saat terbentuk protokorm

Dari Tabel 8 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa saat terbentuknya

protokorm hasil persilangan secara crossing pada anggrek ♀ C. pandurata

x ♂ C. rumphii adalah 22 hari, secara reciprocal ♀ C. rumphii x ♂ C.

pandurata adalah 48 hari, sedang pada persilangan secara selfing pada C.

pandurata adalah 26 hari dan C. rumphii adalah 94 hari.

d. Kesimpulan

1) Persentase keberhasilan persilangan 100% (kompatibel penuh) pada

tiga metode persilangan: crossing, reciprocal maupun selfing.

2) Umur masak buah hasil crossing adalah 158 hari, reciprocal 195 hari

dan selfing 155-201 hari, sedangkan untuk waktu terbentuk protokorm

pada crossing: 22 hari reciprocal: 48 hari dan selfing: 26-94 hari commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

4. Identifikasi Hasil Persilangan Anggrek Coelogyne pandurata dengan C. rumphii berdasarkan analisis Sitologi dan Flow Cytometry

a. Pendahuluan

Karakter sitologi anggrek sangat penting dipelajari untuk mendukung

keberhasilan pemuliaan anggrek. Tanaman anggrek adalah jenis tanaman yang mempunyai keragaman fenotipe yang sangat besar. Kekerabatan secara fenotipe merupakan kekerabatan yang didasarkan pada analisis sejumlah penampilan fenotipe dari suatu organisme. Hubungan kekerabatan antara dua individu atau populasi dapat diukur berdasarkan kesamaan sejumlah karakter dengan asumsi bahwa karakter-karakter berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan susunan genetik. Bentuk, ukuran dan jumlah kromosom setiap spesies pada dasarnya selalu tetap, sehingga sangat bernilai untuk tujuan taksonomi, mengetahui keanekaragaman, hubungan kekerabatan dan evolusi, meskipun dalam keadaan tertentu dapat pula terjadi variasi ( Lindsey and Grell, 1967). Berdasarkan bentuk, jumlah dan ukuran kromosom dapat dibuat peta standard yang disebut kariotipe atau karyogram.

Informasi sitologi tanaman anggrek di Indonesia belum banyak

diketahui. Pengenalan tanaman anggrek berdasarkan karakter sitologi akan

sangat mendukung keberhasilan pemuliaan tanaman anggrek. Oleh karena

itu perlu dilakukan peneltian guna mempelajari keragaman kromosom, pola

karyotipe serta tingkat ploidi tetua dan hasil persilangannya.

b. Bahan dan Metode

Bahan penelitian adalah bagian ujung akar dari tetua anggrek dan F1

hasil persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii dan F1 hasil persilangan

♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii. Pembuatan preparat kromosom dilakukan

di Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor. Cara kerja analisis sitologi menggunakan metode squasing menurut Darnaedi (1991) dan Manton commit to user (1950). Potongan akar direndam dalam larutan 0,002 M 8-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

o Hydroxyquinoline selama 3-5 jam pada suhu 4 C, kemudian dibilas dengan

aquades, dan difiksasi dalam 45% asam asetat selama 10 menit. Potongan

pucuk (meristem) dimasukkan kedalam tabung reaksi berisi campuran

larutan1 N HCl dan 45% asam asetat dengan perbandingan 1:3, kemudian

diinkubasi kedalam air dengan suhu 60oC selama 1- 5 menit, dan diwarnai

dengan aceto-orcein 2%. Setelah itu potongan meristem ditekan pada object

glass, kemudian diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 x 10 untuk perhitungan jumlah kromosom. Variabel pengamatan jumlah kromosom dilakukan dengan menggunakan metode squash menurut Darnaedi (1991) dan Manton (1950). Sel-sel metaphase awal yang menunjukkan penyebaran kromosom dipotret dan dibuat mikografnya. Pengamatan meliputi: a) Jumlah kromosom, pengamatan jumlah kromosom dapat dilakukan secara langsung waktu pengamatan, yaitu setelah kromosom tampak jelas pada mikroskop perbesaran 100 x 10, atau dapat menghitung pada hasil pemotretan (hasil cetak gambar), b) Ukuran kromosom, setelah didapat gambar kromosom yang diamati dengan mikroskop cahaya, maka ukuran kromosom yang diamati adalah panjang kromosom. Panjang kromosom diukur

menggunakan objek micrometer, meliputi panjang lengan panjang (q),

panjang lengan pendek (p), dan panjang total, yaitu hasil penjumlahan

panjang lengan panjang dan panjang lengan pendek (q+p), c). Bentuk

kromosom, bentuk kromosom ditentukan berdasarkan rasio panjang

lenganpanjang dan lengan pendek ( ⁄ ). Penentuan bentuk kromosom

mengacu pada cara Ciupercescu et al. (1990) cit. Parjanto et al. (2003).

Bentuk kromosom dapat dianalisis lebih lanjut dengan Analisis indeks

asimetri relatif. Analisis indeks asimetri relatif (asimetry index = Asl %)

(Ruas dkk, 1995) dengan rumus sebagai berikut :

total lengan panjang kromosom set AsI% = x 100 % total panjang kromosom set commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

Analisis Data: Hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif

berdasarkan pengamatan dari gambar kromosom hasil pemotretan dan data

pengamatan ukuran dan bentuk kromosom. Selanjutnya hasil pengamatan

digunakan untuk menentukan kariotipe. Variabel Pengamatan meliputi:

jumlah, ukuran, bentuk, kromosom dan pola kariotipe.

Selain mengamati jumlah kromosom, juga dilakukan analisis ploidi

dengan flow cytometer. Analisis ploidi dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor, menggunakan alat Partec CyFlow space (Partec GmbH) yang dilengkapi dengan diode pumped solid-state laser 920 mW) pada panjang gelombang 488 nm dan laser diode pada panjang gelombang 638 nm (25 mW). Potongan daun (0.5 cm2) dicacah menggunakan silet di dalam cawan petriyang berisi 250 µl buffer ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring menggunakan Partec 30 µl CellTrics filter. Pewarnaan menggunakan buffer PI (Propidium Iodide) dan Rnase (1 ml), selanjutnya diinkubasi selama 30 menit sebelum dianalisis dalam flow cytometri.

c. Hasil dan Pembahasan

1) Analisis Sitologi

Dalam taksonomi tumbuhan pengamatan morfologi kromosom sangat

penting. Menurut Ramesh dan Renganathan (2013a), kromosom dapat

diklasifikasikan berdasarkan ukurannya, yaitu kromosom berukuran

panjang, sedang dan pendek. Di bawah ini adalah kelompok ukuran

kromosom yang telah diketahui:

a) Kromosom berukuran panjang (lebih dari 5,0 μM)

b) Kromosom berukuran sedang (3,0-4,9 μM)

c) Kromosom berukuran pendek (0,1-2,9 μM)

Ukuran kromosom dapat diketahui dengan melakukan pengukuran

panjang lengan kromosom. Panjang lengan kromosom yang diamati

meliputi panjang lengan panjang (q) dan panjang lengan pendek (p), sehingga bisa diketahui commit panjang to total user kromosom (q+p) dan nisbah lengan (r=q/ p).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

Tabel 9. Jumlah, ukuran dan bentuk kromosom tetua dan hybrid anggrek Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii

No Anggrek Jumlah Ploidi Total Nisbah AsI Bentuk (2n) lengan lengan (%) 1 C. pandurata 36 2x 2.98 ± 0.15 1.26 ± 0.55 18 m 0.12

2 C. rumphii 72 4x 2.24 ± 0.15 1.40 ± 0.57 36 m 0.13 3 F1♀ C. rumphii x 54 3x 2.85 ± 0.14 1.08 ± 0.52 27 m ♂C. pandurata 0.05 4 F1 ♀ C. pandurata 54 3x 2.50 ± 1.23 ± 0.55 27 m x ♂ C. rumphii 0.10 0.07

Berdasarkan Tabel 9 dan Gambar 9 dapat diketahui bahwa tetua dan hasil silangnya memiliki jumlah kromosom yang berbeda, tetua Coelogyne pandurata memiliki kromosom diploid (2n=36) dan Coelogyne rumphii memiliki kromosom tetraploid (2n=72) dan F1 baik dari hasil persilangan Coelogyne pandurata sebagai jantan dan betina memiliki kromosom triploid (2n=54). Jumlah kromosom merupakan karakteristik kromosom paling mudah diamati jika dibandingkan dengan karakteristik kromosom lainnya seperti bentuk kromosom dan kariotipe.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

A b

C d

Gambar 9. Jumlah kromosom a) Tetua Coelogyne pandurata 2n=36, b) Tetua Coelogyne rumphii 2n=72, c) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua jantan 2n=54, serta d) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua betina 2n=54.

Penelitian membuktikan jumlah dan bentuk kromosom pada setiap sel

spesies tumbuhan adalah tetap. Setiap sel mempunyai jumlah kromosom

yang khas dan setiap kromosom dalam satu spesies mempunyai struktur

yang khas pula. Konsistensi kromosom banyak dimanfaatkan oleh para ahli

taksonomi untuk membantu memecahkan permasalahan yang berhubungan

dengan morfologi tumbuhan (Wulandari et al., 2006).

Hasil peneltian Ramesh dan Renganathan (2013b) menunjukkan

bahwa spesies Coelogyne corymbosa memiliki kromosom 2n=26 dan

Coelogyne fimbriata 2n=22, sedangkan pada penelitian sebelumnya spesies

tersebut memiliki kromosom 2n=44. Anggota Tamilnadu Orchidaceae, menunjukkan variasi kromosomcommit tosomatik user yang dipelajari dari 2n=10 sampai

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

40. Spesies yang memiliki kromosom 2n=20 yaitu, Coelogyne corymbosa

2n=26 dan Coelogyne fimbriata 2n=22 diploid. Spesies memiliki

kromosom somatik 30 yaitu Coelogyne breviscapa 2n=32 dan Coelogyne

cristata 2n=26 dianggap sebagai triploid. Spesies diploid, triploid dan

tetraploid adalah contoh untuk euploids dengan kromosom dasar n=10.

Jenis anggrek yang memiliki jumlah kromosom n=19 lebih banyak

dari pada yang memiliki jumlah kromosom n=20. Terdapat sekitar 280 spesies anggrek memiliki jumlah kromosom n=19, sedangkan yang memiliki jumlah kromosom n=20 sekitar 274 spesies. Menurut Utami dan Hartati (2012) Vanda tricolor termasuk salah satu spesies anggrek yang memiliki jumlah kromosom n=19. Hasil penelitian Hartati (2010) jumlah kromosom anggrek Phalaenopsis pinlong cinderela dan Phalaenopsis Joane Killeup June 2n=40, Selanjutnya penelitian Hartati (2011) menunjukkan jumlah kromosom anggrek alam tetua Paraphalaeonopsis serpentilingua 2n=40, sedang hasil persilangannya 2n=38. Anggrek alam tetua Rhyncostiles gigantea common 2n=40, hasil persilangannya 2n=40. Tetua Paraphalaeonopsis labukensis 2n=40, hasil persilangannya 2n=38. Berdasarkan Tabel 9 di atas dapat diketahui bentuk kromosom tetua

dan hybridnya adalah metasentrik. Kromosom anggrek biasanya berbentuk

metasentrik, bentuk kromosom diukur berdasarkan rasio panjang lengan

kromosom (r = q/ p), penggolongan bentuk kromosom mengikuti cara

Ciupercescu et al. (1990) cit Parjanto et al. (2003). Menurut Suminah et al.

(2002) tumbuhan umumnya sering memiliki kromosom bentuk metasentrik.

Diperjelas dengan pendapat Ramesh dan Renganathan (2013a) menyatakan

bahwa umumnya tanaman anggrek memiliki kromosom berbentuk

metasentrik.

Indeks asimetris menuju angka 50% atau menunjukkan kecilnya

tingkat ketidaksamaan, sehingga untuk tetua dan hybrid mempunyai bentuk

kromosom metasentrik (Tabel 9). Hasil perhitungan dari Indek asimetris

(AsI %) didapatkan bahwa Indek asimetris rata-rata dari C. pandurata sebesar 55%, C. rumphiicommit sebesar to 57 user%, F1 hasil persilangan ♂ C. pandurata

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

x ♀ C. rumphii sebesar 52% dan F1 hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂

C. rumphii sebesar 55%.

Menurut Ruas et al. (1995) Indek asimetris (AsI %) dihitung untuk

keseluruhan kromosom set. Indek asimetri yang menuju angka 100%

menunjukkan besarnya ketidaksamaan panjang kedua lengan kromosom,

dimana bentuk metasentris menjadi minoritas dalam kromosom set.

Sebaliknya indek asimetri yang mendekati angka 50% menunjukkan kecilnya keragaman panjang kedua lengan kromosom, dimana bentuk metasentris dominan. Berdasarkan letak sentromer, bentuk kromosom dibedakan menjadi 4 macam yaitu metasentrik, submetasentrik, akrosentrik dan telosentrik. Letak sentromer merupakan salah satu sifat morfologi kromosom yang penting dalam identifikasi kromosom. Antara kromosom yang berbentuk metasentrik dan submetasentrik terkadang tidak dapat dibedakan secara langsung satu dengan yang lainnya. Spesies dari keluarga anggrek memiliki kromosom 2n=20 yaitu, Gastrochilus indicus dan Liparis atropupuraea bersifat diploid, memiliki kromosom somatik 30 yaitu Eulphia epidendrea, Malaxis versicolor dan Oberonia verticillata sebagai triploid, kromosom somatik 40 Coelogyne

ovalis, Eria reticosa dan Spathoglottis plicata sebagai tetraploids.spesies

diploid, triploid dan spesies tetraploid adalah contoh untuk euploids. Eria

pauciflora (2n=38), Habenaria grandifloriformis (2n=22), Habenaria

rariflora, (2n=42), Habenaria viridiflora (2n = 22), Luisia birchea dan

(2n=38), Nervilia plicata (2n =24) semua spesies ini sebagai aneuploids

(Ramesh dan Renganathan, 2013b).

Susunan kariotipe dapat digunakan untuk mengetahui penyimpangan

kromosom baik dalam jumlah dan struktur kromosom yang terjadi pada

waktu pembelahan sel dan dapat dicari hubungannya dengan kelainan yang

terjadi pada anatomi, morfologi dan fisiologi suatu makhluk hidup. Hasil

penelitian dengan analisis sitologi menunjukkan pada Tabel 9 dan Gambar

10 tetua anggrek Coelogyne pandurata memiliki jumlah kromosom 2n=36 dan tetua Coelogyne rumphiicommit memiliki to user jumlah kromosom 2n=72 dan hasil persilangan hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua jantan dan hybrid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

Coelogyne pandurata sebagai tetua betina memiliki jumlah kromosom

sama yaitu 2n=54.

A B

C D

Gambar 10. Kariotipe a) Tetua Coelogyne pandurata, b) Tetua Coelogyne rumphii, c) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua jantan serta d) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua betina

Kromosom yang dipasangkan dengan homolognya sering

mempunyai kemiripan bentuk dan ukuran sehingga menimbulkan kesulitan

dalam penentuan pasangan homolog.

2) Analisis flow cytometry

Selain mengamati jumlah, bentuk dan ukuran kromosom juga

dilakukan analisis ploidi dengan flow cytometry untuk mendukung hasil

analisis secara sitologi. Berdasarkan histogram (Gambar 11) C. pandurata

mempunyai tingkat ploidi 2x (diploid) sehingga jumlah kromosom

2n=2x=36, C. rumphii mempunyai tingkat ploidi 4x (tetraploid) sehingga

jumlah kromosom 2n=4x=72 dan hybrid mempunyai tingkat ploidi 3x

(triploid) sehingga jumlah kromosomnya 2n=3x=54, maka hasil analisis flow cytometry untuk melengkapicommit to hasil user analisis sitologi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

A B

C D

Gambar 11. Histrogram hasil flow cytometry , A: C. pandurata, B: C. rumphii, C: ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii, D: ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii

Hasil penelitian Aoyama et al. (2013) yang menyatakan bahwa hasil

persilangan anggrek dari tetua C. crispa pada tingkat ploidi 2n=2x=44 dan

C. Gavilu 2n=4x=88 didapatkan hybrid berada di tingkat ploidi 2n=3x=66.

d. Kesimpulan

1) Terdapat perbedaan jumlah dan ukuran kromosom tetua anggrek

Coelogyne pandurata dan tetua anggrek Coelogyne rumphii dengan

hasil persilangannya. commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

2) Pola kariotipe tetua dan hasil persilangannya mempunyai bentuk

metasentrik.

3) Diperoleh anggrek triploid (2n=2x=54) merupakan hasil persilangan

C. pandurata diploid (2n=3x=36) dengan C. rumphii tetraploid

(2n=4x=72).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

5. Identifikasi hasil persilangan Anggrek Coelogyne pandurata dengan

Coelogyne rumphii berdasarkan Molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan ISSR (Intersimple Sequence Repeat)

a. Pendahuluan

Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.) merupakan salah satu

anggrek langka yang dilindungi pemerintah Indonesia, dengan karakteristik bunga berukuran besar berwarna hijau dengan lidah hitam dengan daerah penyebaran India, China, Indonesia dan Pulau Fiji. Daerah pusat penyebarannya ada di Kalimantan, Sumatra dan Himalaya (Devi et al., 2012). Untuk menambah keragaman genetik baru perlu dilakukan persilangan dengan jenis lain. Pemilihan tetua merupakan tahap awal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu program hibridisasi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis hubungan kekerabatan antar spesies tanaman dan keragaman genetik adalah dengan menggunakan analisis RAPD (Arya et al., 2011; Das et al.,2009; Niknejad et al.,2009). Tanaman anggrek merupakan tanaman khas yang memiliki pola keragaman yang tinggi (Khosravi et al.,2009). Tanaman hybrid Vanda dibandingkan dengan tetuanya, dengan

analisis RAPD telah berhasil digunakan untuk membedakan interspesies

maupun antar spesies (Tanee et al., 2012). Dendrogram yang terbentuk

dapat digunakan untuk membedakan anggrek liar, hibrida, spesies satu

sama lain dengan pengelompokan yang berbeda. ISSR memiliki

reproduksibilitas tinggi karena penggunaan primer yang lebih panjang (16-

25 basa nukleotida) dibandingkan primer RAPD (10 basa nukleotida), yang

memungkinkan suhu annealing yang tinggi (45-600C).Marka ISSR

merupakan metode yang cepat, sederhana, murah dan mempunyai

reproduksibilitas tinggi dengan penggunaan primer yang panjang dan

kekuatan yang tinggi dicapai dengan suhu annealing (Gurcan et al., 2009).

Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi

hasil persilangan anggrek hitam (Coelogyne pandurata) dengan tetua commit to user terpilih Coleogyne rumphii dengan menggunakan penanda molekuler

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan ISSR (Intersimple

Sequence Repeat).

b. Bahan dan Metode

Bahan tanaman anggrek Coelogyne pandurata dan Coelogyne

rumphii koleksi dari Kebon Raya LIPI Bogor, masing-masing dengan 3

sampel tetua yang sudah diekstraksi DNA tetua dan 10 sampel masing- masning F1 hasil persilangan C. pandurata sebagai tetua jantan dan C. pandurata sebagai tetua betina..Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah, CTAB (Cetyltrimethyl Ammonium Bromide) 10%, PVPP (polivinilpolipirilidon), buffer Tris-HCl 1M, EDTA 0,5 M, NaCl 5M, CIAA (Chloroform IsoamylAlcohol), isopropanol, etanol 70%, buffer ekstraksi, buffer TE (Tris HCl EDTA), buffer TAE, loading buffer, natrium

asetat, primer, master mix PCR (H2O, stoffel buffer, dNTP, MgCl2, dan enzim Taq Polymerase), agarose, gel loading, dan EtBr (Etidium Bromida). Enam RAPD primer: OPA-02, OPA-07, OPB-12, OPB-17 OPB-18, OPD- 11 (Operon Technology Ltd) dan empat primer ISSR yaitu UBC 814, UBC 826, UBC 807, UBC 810.

Alat yang digunakan adalah microtube (tabung eppendorf ) ukuran 2

ml; 1,5 ml; 0,5 ml, mikropipet, rak, timbangan analitik, mesin sentrifus,

vortex, mini beadbreater, rotator, inkubator, 96 well reaction plate, mesin

PCR, eletroforesis tank, cetakan agarose (tray), biorad, kamera dan

komputer.

Penelitian dilaksanakan sebagai berikut:

1) Ekstraksi DNA

DNA genom diisolasi dari daun muda menurut metode CTAB, cethyl

trimethyl ammonium bromide (Doyle dan Doyle (1987), dengan beberapa

modifikasi.a. Menimbang sampel daun segar + 0,4 g, daun digerus dengan

mortar ditambah + 0.03 g PVP dan + 0.1 g pasir kuarsa (untuk membantu

penggerusan), gerus daun segar dengan pestle dalam tube 1.5 ml, sampai halus, b. sampel yang sudahcommit halus to userdimasukkan kedalam tube (1.5 ml) yang telah diisi dengan 800 ul buffer ekstraksi, kemudian diinkubasi dalam suhu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

o 65 C selama 1 jam di waterbath, c. 700 ul C:I (chloroform : :isoamil

alkohol, 24:1) ditambahkan dan di campur rata kemudian disentrifugasi

dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit pada suhu kamar,

d.Supernatan yang terbentuk diambil 500 ul ditambahkan 500 ul Et-OH

absolut kemudian diinkubasi dalam freezer -20oC selama 12 jam, e.

Supernatan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit,

kemudian supernatan dibuang, dikeringanginkan 15 menit, pellet dilarutkan dengan 300 ul dH2O kemudian ditambah 15 ul RNAse (200 ug/ ml), f. pellet diinkubasi dalam suhu 37oC selama 30 menit dan tambahkan 300 ul PCI (phenol chloroform isoamilalkohol, 24:1:1) lalu di campur, g. Sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit dan mengambil 500 ul supernatan dan ditambahkan 500 ul CI (24:1), dicampur rata kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit, g. Supernatan yang terbentuk diambil, ditambahkan dengan Et-OH absolut dengan volume 1:1 dan diinkubasi dalam freezer -20oC selama 2 jam sampai semalaman, h. Supernatan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan dicuci dengan alkohol 80 % dan dilakukan sentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama

15 menit, pelet dikering anginkan atau dengan vacum dryer , i. pelet yang

terbentuk di encerkan dengan 25 ul TE.

Uji kualitas DNA, dilakukan dengan elektroforesis dengan

membanding-kan dengan DNA lamda. Hal ini dilakukan untuk mengetahui

tingkat kualitas DNA: a. Agarose dibuat dan diletakkan dalam cetakan

elektroforesis dan dibiarkan sampai padat, b. Gel agarose dimasukkan ke

dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE, sampai terendam, c. DNA

lambda disiapkan sebagai pembanding. d. Masing-masing DNA sampel

dicampur dengan loading dye sebagai pemberat, e. DNA lambda dan DNA

sampel yang telah dicampur dengan loading dye dimasukkan pada sumuran

gel elektroforesis, kemudian dielektroforesis selama 57 menit pada voltase

50 volt, f. Gel hasil eletroforesis direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) selama 30 menitcommit, g. Hasil to user elektroforesis diamati di bawah UV transluminator kemudian difoto dengan kamera, h. Hasil foto dilihat dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

dibandingkan antara DNA sampel dengan DNA lambda, dengan ditandai

ada atau tidaknya pita DNA

2) Amplifikasi DNA

Amplifikasi DNA pada Takara Thermocycler (Williams et al.,1990)

dilakukan dengan jumlah volume reaksi PCR 15 ml terdiri dari 0,2 nM

dNTP, 1X reaksi penyangga; 2ml MgCl; 10 ng DNA sampel, 0,5 pmole

primer tunggal, dan 1 unit Taq DNA polimerase (Promega). Reaksi PCR dilakukan sebanyak 45 siklus yang terdiri dari beberapa tahap yaitu denaturasi suhu 94oC selama 30 detik , annealing 36oC selama 1menit, elongasi 72oC selama 2 menit dan elongasi akhir 72oC selama 7 menit. Produk PCR diamati dengan gel elektroforesis dengan menggunakan gel agarose atau gel poliakrilamida dan diamati dengan uv-transiluminator. Reaksi PCR dilakukan dua kali untuk memastikan reproduksibilitas RAPD dan ISSR. PCR produk divisualisasikan pada 2% gel agarosa elektroforesis selama 60 menit pada 50 Volt. Hal ini diikuti oleh EtBr pewarnaan (0,15 mL/ ml), sebelum difoto dalam gel dokumentasi sistem (Atto Bioinstruments) dan 100 bp tangga (Promega) digunakan sebagai penanda DNA.

3) Analisis Data

Data RAPD dan ISSR diterjemahkan ke dalam data biner (ada pita =

1; tidak ada pita = 0). Analisis kemiripan genetik antar individu

menggunakan analisis klaster, metode UPGMA (Unweighted Pair Group

Method of Aritmatic Average). Kemiripan antara asesi dihitung

menggunakan soft-ware NTSYS version 2.20 pc (Rohlf, 1998).

c. Hasil dan Pembahasan

1) Analisis RAPD

Intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer dipengaruhi

oleh kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA. Cetakan DNA yang

mengandung senyawa-senyawa seperti polisakarida dan senyawa fenolik sering menghasilkan pitacommit DNA to yang user redup (Poerba dan Martanti, 2008). Hal tersebut yang memungkinkan tidak semua marka RAPD dapat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

teramplifikasi pada tanaman hybrid maupun tanaman tetuanya. Hasil pita

kemudian dianalisis, hanya pita yang menunjukkan amplifikasi yang

digunakan untuk scoring dan untuk analisis lebih lanjut (Arya et al., 2011).

Tabel 10. Urutan Primer, pita polimorfisme dan, persentase polimorfisme

pada analisis RAPD

No Primer Sequence 5’ to 3’ Ukuran Pita Pita poly- % (bp) teramp morfis poly- lifikasi morfis 1 OPA-02 TGCCGAGCTG 450-1900 10 10 100 2 OPA-07 GAAACGGGTG 350-1700 8 8 100 3 OPB-12 CCTTGACGCA 350-1400 7 7 100 4 OPB-17 AGGGAACGAG 200-2100 10 10 100 5 OPB-18 CCACAGCAGT 400-2200 8 8 100 6 OPD-11 AGCGCCATTG 500-1500 7 7 100 ∑ 50 50 Rata-rata 8.3 8.3 100

Polimorfisme merupakan gambaran amplifikasi yang diperoleh dari perbedaan fragmen DNA yang diobservasi dan diskor sebagai ada atau tidaknya perbedaan sekuen sehingga menunjukkan ada tidaknya variasi (Gregor, 2000). Pada penelitian ini digunakan enam marka baik pada persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii maupun ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii 100% yang masuk ke dalam kriteria polimorfis (Tabel 10).

1500 150

1000

700 600 500 400

Gambar 12. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPA 02: 1-3: C.pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16 : hybrid ♀ C. rumphii

x ♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii; Pita putatif; Pita spesifik pada C. rumphii

Shasany (2005) menjelaskan bahwa identifikasi hibrid dapat

ditegaskan dengan melihatcommit pita to-pita user spesifik pada salah satu dari kedua jenis tetua yang diwarisi oleh individu turunannya. Dari gambar 12 terlihat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

C.pandurata berbeda pola pita dengan C. rumphii, pada 1500 bp C.

pandurata tidak terlihat pita (kosong), sedangkan C. rumphii memiliki pita.

Jadi pola pita Coelogyne pandurata berbeda dengan C. rumphii.

Primer OPA 02 terdapat 1 pita yang hadir pada kedua tetuanya dan

diturunkan pada semua F1 (600 bp). Juga terdapat pita yang hadir pada

salah satu tetua tetapi tidak dijumpai pada F1 (450, 700 dan 1500 bp). 1

pita spesifik (1300 bp) dimana C. pandurata sebagai jantan menurunkan pada 60% individu hybrid. Pita putatif (500 bp), kedua tetua jenis tetua yang diwarisi oleh individu turunannya.

3000

1500

1000 800 700 600 500 400

Gambar 13. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPA 07: 1-3, C. pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C.

rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26: hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii; Pita spesifik pada C.

rumphii

Primer OPA 07 menghasilkan 2 pita spesifik dari tetua C. rumphii

yaitu pada 450 bp dan 700 bp, dimana pita yang hadir pada salah satu tetua

yaitu C. rumphii diturunkan pada semua F1. Sementara C. pandurata tidak

menurunkan pada F1 (350 bp dan 600 bp).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

3000

1500

1000 900 800 500 400

200

Gambar 14. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 17: 1-3 : C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26: hybrid ♀ C.pandurata x ♂ C.rumphii; Pita putatif, Pita spesifik pada C. rumphii

Primer OPB 17 pada 200 bp dan 1500 bp tidak menurunkan ke F1. Sementara pada 1000 bp kedua tetua menurunkan pada semua F1 atau yang biasa disebut hybrid putatif. Pada primer ini juga diketahui bahwa terdapat pita yang dihasilkan dari tetua tetapi tidak diturunkan pada F1 (200, 900 dan 1500 bp), juga sebaliknya pada tetua tidak hadir namun pada F1 hadir (700, 1200 dan 2100 bp).

3000

1500 \

1000 900

600 500 400 300

Gambar 15. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 12: 1-3 : C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x

♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii; Pita spesifik pada C. pandurata; Pita spesifikcommit pada C. to rumphii user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

Primer OPB 12 menghasilkan 3 pita spesifik, satu pita pada 800 bp

individu hybrid menghasilkan pita spesifik dari tetua ♂C. pandurata,

sementara 2 pita pada 350 bp dan 1000 bp diturunkan oleh tetua C.

rumphii.

30003000

15001500

10001000 900 900 800800 700800700 600600 500500 400400 300300 200200 100100

Gambar 16. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 18: 1-3 : C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ; Pita spesifik pada C. pandurata; Pita spesifik pada C. rumphii

Primer OPB 18 terdapat pita spesifik pada hybrid tetua C. pandurata (800 bp) dan 2 pita spesifik tetua dimana C. rumphii menurunkan pada

individu hybrid terdapat pada 950 bp dan 1600 bp.

3000

1500

1000 900 800 700 500 400

Gambar 17. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPD 11: 1-3 : C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x

♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphi; Pita spesifik pada C. pandurata; Pita spesifikcommit pada C. to rumphiiuser

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

Primer OPD 11 terdapat 4 pita spesifik, 2 pita dari tetua C. pandurata

yang menurunkan pada individu hybrid 800 bp dan pada 900 bp. Sementara

2 pita lainnya berasal dari tetua C. rumphii pada 700 bp dan 1200 bp

menurunkan individu hybrid. Selain itu juga ditemukan tidak hadirnya pita

pada kedua tetua tetapi hadir pada F1 (1500 bp) yang terlihat pada Gambar

16.

Beberapa pita DNA yang muncul pada hybrid tapi tidak ditemukan pada tetua kemungkinan terjadi rekombinasi atau mutasi. Hasil penelitian ini 4 dari 6 marka menunjukkan hal tersebut pada gambar 11, 12, 13 dan 14 terdiri dari OPA 02, OPA 07, OPB 17 dan OPD 11dan gambar 11 dan 14 terdapat 2 marka yaitu OPA 02 dan OPB 17. Sebaliknya pindah silang kromosom selama miosis dapat menyebabkan hilangnya sisi primer sehingga primer teramplifikasi pada tetua tetapi tidak teramplifikasi pada F1 (Tiyagi et al., 1992). Setiap pita yang hadir pada hybrid tidak selalu hadir pada tetuanya, begitu pula sebaliknya. Hasil silang antara ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii juga menunjukkan adanya primer yang digunakan sebagai markah spesies.

Gambar 18. Dendrogram hasil persilangan ♂C. pandurata x ♀ C. rumphii analisis molekuler menggunakan marka RAPD pada individu-

individu tetua (1-3 ♂ C. pandurata dan 4-6 ♀ C. rumphii) dan hybridnya (7-16) commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

Pada Gambar 18 menunjukkan bahwa tetua memiliki keragaman

genetik 40% dan dan hybrid dari ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii memiliki

keragaman genetik 46%, sehingga terdapat ragam baru sebesar 6%.

Gambar 19. Dendrogram hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii menggunakan marka RAPD pada individu-individu tetua (1-3 ♀ C. pandurata dan 4-6 ♂ C. rumphii) dan hybridnya (7-16)

Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa tetua memiliki keragaman genetik 40% dan hybrid memiliki keragaman genetik 50%, sehingga terdapat varian baru 10%

Tanaman hybrid Vanda dengan tetuanya, menggunakan analisis

RAPD telah berhasil digunakan untuk persilangan antar tanaman dari dua

spesies yang berbeda dan genus yang sama (Tanee et al., 2012). Hasil

dendrogram dapat membedakan anggrek liar, hibrida, spesies dengan tiga

kelompok yang berbeda.

Informasi hubungan genetik diantara individu di dalam dan diantara

spesies mempunyai kegunaan bagi perbaikan tanaman. Pendugaan

hubungan genetik berguna mengelola plasma nutfah, identifikasi kultifar,

seleksi tetua untuk persilangan, serta mengurangi jumlah individu yang

dibutuhkan untuk pengambilan sampel dengan kisaran keragaman genetik

yang luas (Julisaniah et al., 2008). Kombinasi hibrida dalam garis hibrida yang berbeda menunjukkan kompatibilitas yang berbeda (Yuping et al., commit to user 2012). Hubungan kekerabatan dari hasil analisis RAPD di atas masih perlu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

dilakukan pengujian ulang melalui persilangan. Ketika dilakukan

persilangan balik dari semua yang kompatibel, ditemukan bahwa tidak

satupun dapat menghasilkan hibrida (Inthawong et al., 2006). Hal ini

menunjukkan bahwa spesies tertentu dapat digunakan sebagai satu-satunya

tanaman tetua betina dan tidak bisa digunakan sebagai donor serbuk sari.

Perbanyakan Dendrobium membutuhkan waktu untuk menguji

kompatibilitas persilangan interspesifik dan studi tentang faktor-faktor persilangan tidak kompatibel (Gregor et al., 2000).

2) Analisis ISSR Identifikasi secara molekuler menggunakan ISSR sudah berhasil dan sangat efektif digunakan pada berbagai jenis tanaman, diantaranya sudah dilakukan untuk mendeteksi keragaman genetik 31 spesies Dendrobium (Wang et al, 2009). Pada penelitian ini digunakan empat marka ISSR baik pada persilangan dengan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii maupun ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii menunjukkan 91.32% yang masuk ke dalam kriteria polimorfis. Total pita yang dihasilkan dari empat primer adalah 30 dengan pita teramplifikasi rata-rata 7,5 pita per primer (Tabel 11). Sedang

pada Tabel 10 pada hasil analisis menggunakan enam primer RAPD

menunjukkan 100 % pita polimorfis, total pita yang dihasilkan 50 dengan

pita teramplifikasi rata-rata 8.3 pita per primer. Perbedaan hasil pada

analisis RAPD dengan ISSR pada penelitian ini juga dilakukan pada

anggrek Rhynchostylis retusa penelitian Parab and Krishnan (2008)

menggunakan analisis RAPD menghasilkan pita polimorfis 76.13% (4.38)

dengan pita teramplifikasi 5.79 pita per primer, menggunakan analisis ISSR

menghasilkan pita polimorfis 62.6% (3.2) dengan pita teramplifikasi 4.28

pita per primer. Penelitian lain Kusumadewi dan Mansur (2012) pada

Hybrid Nepenthes hookeriana menggunakan 5 primer RAPD menghasilkan

pita polimorfis 100% (10.6) dan 3 primer ISSR menghasilkan pita

polimorfis 96.8 % (9.3) commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

Tabel 11. Urutan Primer, pita polimorfisme dan persentase polimorfisme menggunakan marka molekuler ISSR

No Primer Sequence 5’ to 3’ Ukuran Pita Pita poli- % poli- (bp) teram morfisme morfisme plifik asi

1 UBC 814 5’CTC TCT CTC 250-1100 8 7 87.5% TCT CTC TA-3’ 2 UBC826 5’ACA CAC ACA 400-1600 9 7 77.8% CAC ACA CC-3’ 3 UBC 807 5’AGA GAG AGA 600-1500 6 6 100% GAG AGA GT-3’ 4 UBC 810 5’GAG AGA GAG 300-1200 7 7 100% AGA GAG AT-3’ ∑ 30 27 Rata-rata 7.5 6.75 91.32%

1000 900 800 700

500 400

Gambar 20. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 814: 1-3 : C.pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii

x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ; Pita spesifik pada C. rumphii

Berdasarkan Gambar 20 di atas dapat diketahui bahwa primer UBC

814 dapat mengamplifikasi pita pada 250 bp hingga 1100 bp.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

1000 900 800 700

500 400

Gambar 21. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 826: 1-3: C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ; Pita putatif

Berdasarkan Gambar 21 menunjukkan bahwa primer UBC 826 mampu mendeteksi adanya pita putatif pada 900 bp, kedua tetua menurunkan pada hybridnya.

1500

1000 900 800 700

500 400

Gambar 22. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 807: 1-3 : C.

pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26:hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii

Berdasarkan Gambar 22 di atas dapat diketahui bahwa primer UBC 807 mampu mendeteksi commitadanya toragam user baru pada hybrid di 1300 dan 1500 bp.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

1500

1000 900 800 700

500 400

Gambar 23. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 810: 1-3: C. pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26: hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ; Pita putatif.

Berdasarkan Gambar 23 di atas dapat diketahui bahwa primer UBC 810 mampu mendeteksi adanya pita putatif pada 300 bp dan 400 bp, kedua tetua menurunkan pada hybridnya

Gambar 24. Dendrogram hasil persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii

menggunakan marka ISSR pada individu-individu tetua (1-3 ♂ C. pandurata dan 4-6 ♀ C. rumphii) dan hybridnya (7-16)

Pada Gambar 24 menunjukkan bahwa tetua memiliki keragaman

genetik 32% dan hybrid dari ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii memiliki kemiripan genetik 57%commit atau to keragaman user genetik 43% sehingga dapat disimpulkan terdapat ragam baru dengan C. pandurata sebesar 11%.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

Gambar 25. Dendrogram hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii analisis molekuler menggunakan marka ISSR pada individu- individu tetua (1- 3 ♀ C. pandurata dan 4-6 ♂ C. rumphii) dan hybridnya (7-16)

Gambar 25 menunjukkan bahwa tetua memiliki ( keragaman genetik 32% dan hybrid dari ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii memiliki keragaman genetik 35%, sehingga terdapat ragam baru dengan sebesar 3%.

d. Kesimpulan

1) Pada analisis RAPD hybrid ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii terdapat

ragam baru sebesar 6%. Sementara untuk hybrid dari ♀ C. pandurata x

♂ C. rumphii terdapat ragam baru sebesar 10%.

2) Pada analisis dengan ISSR hybrid dari ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii

terdapat ragam baru sebesar 11%. Sementara untuk hybrid dari ♀ C.

pandurata x ♂ C. rumphii terdapat ragam baru 3%.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

B. PEMBAHASAN UMUM

Penelitian yang dilakukan belum ada yang meneliti dan menghasilkan

calon hibrida anggrek, metode dan menambah pengetahuan mengenai

perkembangan anggrek secara lengkap keragaman morfologi dan sitologi

serta keberhasilan persilangan.

Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.) merupakan jenis

anggrek epifit yang saat ini keberadaannya terancam punah. Disamping kelangkaannya, anggrek ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena berpotensi sebagai induk persilangan yang berharga. Informasi yang akurat mengenai masing-masing induk membantu pemulia untuk mendapatkan kombinasi gen secara tepat, selain itu informasi mengenai metode persilangan juga merupakan suatu hal yang penting. Program Pemuliaan Tanaman memerlukan informasi tentang keragaman dan klasifikasi yang dapat menunjukkan tingkat dan hubungan antara kultivar sebagai dasar untuk seleksi (Nandariyah, 2010). Hubungan kekerabatan atau jarak genetik membawa implikasi di bidang pemuliaan. Semakin tinggi nilai koefisien kemiripan maka kemiripan penampilan tanaman semakin tinggi, spesies-spesies yang terdapat pada satu kelompok

menunjukkan dekatnya hubungan kekerabatan.

Penelitian ini telah berhasil mengidentifikasi keragaman genetik

tanaman anggrek Coelogyne spp menggunakan karakter morfologi maupun

marka molekuler. Karakterisasi berdasarkan penanda morfologi biasanya

dipengaruhi lingkungan, sementara karakterisasi menggunakan marka

molekuler tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Perbedaan lain penggunaan

penanda morfologi diamati semua bagian tanaman yaitu akar, batang, daun

dan bunga pada semua fase pertumbuhan dan biasanya hanya diamati

karakter kualitatif saja, sedang dengan marka molekuler hanya

menggunakan 0.4 gram sampel daun muda sudah dapat memberikan

gambaran yang akurat dan menyeluruh adanya perbedaan keragaman

genetik. Susantidiana et al.(2009) menyatakan identifikasi morfologi suatu tanaman dilakukan dengancommit mengamati to user daun, batang, bunga, buah, akar dan lain sebagainya yang mencakup seluruh morfologi tanaman.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan marka RAPD

yaitu ternyata lebih akurat mengidentifikasi keragaman genetik

dibandingkan dengan menggunakan karakter morfologi. Pengamatan

berdasarkan morfologi sudah diamati sebanyak 45 karakter yang setara

dengan 79 lokus pada penanda molekuler RAPD. Setiap karakter diperoleh

keragaman morfologi sebanyak 111 sub karakter yang setara dengan 168

pita yang muncul pada gel agarose hasil elektrofresis menggunakan marka molekuler RAPD. Terjadi perbedaan pengelompokan berdasarkan analisis kluster antara penanda morfologi dengan marka molekuler RAPD karena terdapat perbedaan koefisien kemiripan berdasarkan morfologi antara 0.78- 0.98, sedang menggunakan marka molekuler antara 0.23-0.54. Susantidiana et al. (2009) mengatakan bahwa kemiripan antar aksesi yang besar menunjukkan bahwa aksesi-aksesi tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Menurut Lu (2011) dan Yam (1994), semakin dekat koefisien kemiripan antara satu jenis anggrek akan semakin besar kemiripan dan jarak genetiknya, sehingga kemungkinan untuk dilakukan persilangan akan semakin besar dan tingkat keberhasilannya semakin tinggi.

Penggunaan penanda morfologi terbentuk tiga kelompok, dengan

koefisien kemiripan yang tinggi 0.92. Kelompok pertama terdiri dari C.

rumphii, C. mayeriana, C. pandurata, kelompok kedua C. massangeana

dan kelompok ketiga C. asperata dan C. celebensis. Hasil ini berbeda pada

penelitian Kartikaningrum et al. (2004) melakukan karakterisasi anggrek

Spathoglottis sp., terdapat keragaman karakter kualitatif pada bunga

terutama bentuk sepal dan petalnya, sedangkan karakter-karakter pada daun

tidak terdapat keragaman. Hasil analisis yang dilakukan pada beberapa

aksesi Spathoglotis memperoleh koefisien kemiripan 74% atau tingkat

keragaman karakter morfologi sebesar 26% .

Hasil koefisien kemiripan menggunakan marka RAPD berkisar 0,23-

0,54, pada kemiripan 0.50 membentuk empat kelompok yaitu kelompok pertama terdiri dari C.commit pandurata, to user C. rumphii, kelompok kedua C. celebensis, kelompok ketiga C. mayeriana dan C. asperata, kelompok

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

keempat C. massangeana. Menurut Juliansah et al. (2008), informasi

hubungan genetik di antara individu di dalam dan di antara spesies

mempunyai kegunaan penting bagi perbaikan tanaman. Dalam program

pemuliaan tanaman, pendugaan hubungan sangat berguna untuk mengelola

plasma nutfah, identifikasi kultivar, membantu seleksi tetua untuk

persilangan.

Perbedaan hasil pengelompokan karakter morfologi dan molekuler RAPD pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Kartikaningrum et al. (2004) yang menyatakan bahwa pengelompokan 13 anggrek subtribe Sarcanthinae karakter morfologi tidak konsisten dengan hasil pola pita DNA. Demikian juga penelitian Purwantoro et al. (2005) menjelaskan bahwa adanya perbedaan pada karakter bunga yang terlihat pada diameter bunga, panjang kelopak bunga, aroma bunga dan ada tidaknya sifat nobel juga dapat menyebabkan spesies-spesies Dendrobium berada pada empat klaster yang berbeda. Fenotipe suatu individu dapat dikendalikan lingkungan. Penggunaan karakter morfologi merupakan metode yang mudah dan cepat, namun terdapat kendala karena pengaruh faktor lingkungan (Khanuja et al., 2005 dalam Nandariyah, 2007). Oleh karena

itu, perlu didukung secara molekuler RAPD untuk penentuan hubungan

kekerabatan. Adanya kombinasi yang baik antara primer dan DNA

menghasilkan produk amplifikasi berupa pita DNA yang banyak sehingga

memberikan data yang baik untuk penentuan hubungan kekerabatan

anggrek (Xu et al., 2010)

Analisis RAPD adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk

mengatur dan melihat karakteristik yang digunakan untuk menganalisis

hubungan kekerabatan antar spesies tanaman (Arya et al., 2011; Vural et

al., 2009; Das et al., 2009; Verma et al., 2009). Riedy et al. (1992); Azzrai

(2005) menyebutkan keuntungan RAPD meliputi (1) memerlukan biaya

yang murah, (2) jumlah sampel DNA yang digunakan sedikit (Inthawong et

al., 2006), (3) mudah pelaksanaan, (4) primer mudah diperoleh. Dari 16 primer yangcommit diseleksi, to user sebanyak 11 primer menghasilkan 79 pita rata-rata 7,02 dengan pita 100% polimorfis. Menurut Nienhuis et al.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

(1994), jumlah pita DNA polimorfis dalam suatu analisis keragaman

genetik menentukan tingkat keragaman suatu populasi sehingga banyaknya

pita DNA polimorfis akan menggambarkan keadaan genom suatu tanaman.

Berdasarkan dua dendrogram hasil analisis secara morfologi dan

molekuler tersebut dapat diketahui bahwa dari keenam spesies yang

digunakan Coelogyne pandurata memiliki hubungan kekerabatan yang

lebih dekat dengan Coelogyne rumphii, sehingga pada penelitian ini C. rumphii untuk disilangkan dengan C. pandurata. Selanjutnya dilakukan penelitian dengan melakukan persilangan antara anggrek Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii. Hubungan kekerabatan atau jarak genetik membawa implikasi di bidang pemuliaan. Semakin tinggi nilai koefisien kemiripan maka kemiripan penampilan tanaman akan semakin tinggi. Hasil penelitian ini memberikan implikasi terhadap pemilihan kombinasi tetua untuk persilangan Hasil persilangan yang beragam dapat disarankan menggunakan tanaman-tanaman yang memiliki koefisien kemiripan yang rendah (Hartatik, 2000). Namun tingkat keberhasilan persilangan akan semakin rendah, karena kesesuaiannya semakin rendah, bila berhasil maka kemungkinan mendapatkan kombinasi baru yang sangat

berbeda, keragamannya tinggi dalam jumlah yang besar menjadi sangat

memungkinkan.

Metode pemuliaan konvensional dengan menggunakan crossing,

seperti intraspesifik dan hibridisasi interspesifik spesies anggrek adalah

cara umum untuk membuat varietas baru (Semiarti et al., 2007). Dijelaskan

oleh Chaturvedi dan Shonali (2010) bahwa morfologi bunga anggrek

sedikit rumit memiliki struktur batang yang disebut colum, dibagian

pangkal leher tugu memiliki anther yang didalamnya terdapat serbuksari

yang disebut pollinarium. Stigma terletak sub apikal pada leher tugu yang

disebut rostellum. Keberhasilan penyerbukan terjadi ketika pollinarium

dapat dimasukkan ke rostellum tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua metode persilangan bersifat kompatibel (keberhasilancommit to user persilangan 100%) karena antar tetua yang disilangkan mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Hasil

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

penelitian Nielsen, 1999 menyatakan bahwa keberhasilan dalam

persilangan yang menghasilkan hybrid biasanya ditandai dengan hubungan

kekerabatan yang dekat.

Hasil penelitian keberhasilan persilangan menunjukkan 100% pada

semua metode persilangan crossing : Coelogyne pandurata sebagai tetua

betina dengan Coelogyne rumphii sebagai tetua jantan, reciprocal:

menyilangkan Coelogyne rumphii sebagai betina dengan Coelogyne pandurata sebagai jantan dan selfing yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma pada satu bunga dalam satu tanaman. Hasil penelitian ini sesuai penelitian Sasongko et al. (2010) melaporkan bahwa keberhasilan persilangan anggrek Vanda tricolor dan Vanda limbata pada semua metode persilangan baik secara selfing, crossing maupun reciprocal adalah sebesar 100%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sivanaswari et al. (2011) menyatakan bahwa pada anggrek Aerides odorata keberhasilan persilangan secara crossing adalah berkisar 0-60%, secara reciprocal berkisar 25-62%. Hasil berbeda juga pada penelitian Hartati et al. (2014) menyatakan bahwa keberhasilan persilangan ♀ Vanda celebica x ♂ Vanda insignis 100% sedang persilangan reciprocalnya 33%, persilangan ♀ Vanda

celebica x ♂ Vanda tricolor keberhasilan persilangan adalah sebesar 67%,

reciprocalnya adalah 0%. Keberhasilan persilangan anggrek ditentukan

oleh beberapa faktor, antara lain memiliki hubungan evolusi atau

kekerabatan yang dekat (Topik dan Pancoro, 2008). Dalam persilangan

anggrek, selain pemilihan tetua merupakan salah satu faktor penting yang

mempengaruhi keberhasilan suatu persilangan, sering menjadi kendala

dalam hibridisasi adalah perbedaan waktu dalam pematangan bunga,

kerusakan bagian bunga serta adanya inkompatibilitas dan sterilitas

(Chaudhari 1971 dalam Damayanti, 2006).

Penelitian Hartati (2010) pada persilangan antara Phalaenopsis sp

dan Vanda tricolor bersifat kompatibel, namun untuk menghasilkan biji

Vanda tricolor sebagai induk betina berpeluang lebih besar dari pada secara reciprocal (kebalikannya).commit Menurut to user Iswanto (2005) persilangan dikatakan berhasil apabila 3-4 hari setelah persilangan tangkai kuntum bunga induk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

betina masih segar atau berwarna kehijauan. Beberapa hari kemudian

kelopak dan mahkota bunganya layu, kering dan akhirnya rontok,

kemudian muncul calon buah yang berbentuk memanjang dan berwarna

hijau.

Hasil penelitian menunjukkan (Tabel 8) umur masak buah pada

persilangan secara reciprocal 195 hari lebih lama dibanding secara crossing

158 hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hartati et al. (2014) menyatakan bahwa umur buah masak pada persilangan Vanda celebica secara crossing berkisar antara 122-154 hari sedangkan reciprocal adalah berkisar 186-262 hari. Demikian juga penelitian Sivanaswari et al. (2011) menunjukkan bahwa umur masak buah pada persilangan beberapa anggrek Aerides spp secara crossing (persilangan) Aerides odorata berkisar antara 0-179 hari sedangkan jika secara reciprocal Aerides odorata berkisar antara 116-184 hari. Pada penelitian ini dilakukan persilangan anggrek hitam (Coelogyne pandurata) dengan tetua terpilih Coelogyne rumphii dan diperoleh biji hasil persilangan yang telah ditumbuhkan secara kultur invitro. Dengan melakukan persilangan Coelogyne pandurata yang mempunyai bunga besar

warna hijau dengan lidah hitam namun jarang berbunga (2-3 kali dalam

setahun), serta pembungaannya tidak serentak disilangkan dengan

Coelogyne rumphii yang mempunyai bunga kecil warna bunga kuning

dengan lidah coklat namun sering berbunga (hampir setiap bulan) serta

pembungaan serentak, diharapkan akan diperoleh varian baru yang

menambah keragaman genetik.

Dalam taksonomi tumbuhan pengamatan kromosom sangatlah

penting. Jumlah kromosom merupakan karakteristik sitologi yang paling

mudah diamati jika dibandingkan dengan karakteristik kromosom yang

lainnya seperti bentuk kromosom dan kariotipe. Susunan kariotipe dapat

digunakan untuk mengetahui penyimpangan kromosom baik dalam jumlah

dan struktur kromosom yang terjadi pada waktu pembelahan sel dan dapat dicari hubungannnya dengancommit kelainan to user yang terjadi pada anatomi, morfologi dan fisiologi suatu makhluk hidup. Hasil penelitian menunjukkan jumlah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

kromosom tetua anggrek C. pandurata 2n=36, tetua C. rumphii memiliki

jumlah kromosom 2n=72, hybrid C. pandurata sebagai induk jantan dan

hybrid C. pandurata sebagai induk betina memiliki jumlah kromosom

2n=54.

Jumlah kromosom anggrek adalah diploid, yaitu satu pasang

kromosom terdiri atas dua set kromosom homolog. Oleh karena itu variasi

jumlah set kromosom (ploidi) pada tanaman salak termasuk dalam kelompok euploidi, yaitu keadaan bahwa jumlah kromosom yang diamati dari suatu makluk hidup merupakan kelipatan dari jumlah kromosom dasarnya. Penelitian Balanos et al. (2008), membuktikan bahwa kromosom induk Phalaenopsis sp mempunyai 2n=38 tetapi pada keturunannya Doritaenopsis memberikan hasil jumlah kromosom yang berbeda 2n=72. Berdasarkan penelitian dari Davina (2009) pada anggrek di Argentina diketahui bahwa dari 19 anggrek yang diteliti jumlah kromosom paling sedikit adalah 2n=26 pada Eltroplectris schlechteriana dan paling banyak 2n=108 pada Catasetum fimbriatum. Penelitian Ramesh dan Renganathan (2013b) pada 5 spesies anggrek Coelogyne dapat diketahui bahwa jumlah kromosom paling sedikit adalah C. barbata Griff 2n=18 dan paling banyak

C. breviscapa Lindl 2n=32.

Analisis flow cytometry dapat diketahui berdasarkan tingkat ploidi

dan jumlah kromosomnya yaitu C. pandurata mempunyai 2n=2x=36, C.

rumphii mempunyai 2n=4x=72 dan hybrid 2n=3x=54. Perbedaan ukuran

kromosom pada spesies tanaman yang sama dimungkinkan terjadi karena

kromosom yang diukur berasal dari sel dan tanaman yang berbeda sehingga

dimungkinkan ada selisih waktu pembelahan sel. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Parjanto et al. (2003) bahwa pada sel yang berbeda dapat terjadi

perbedaan ukuran panjang kromosom yang disebabkan oleh perbedaan

tingkat kondensasi kromosom.

Penelitian Aoyama et al. (2013) pada beberapa tanaman anggrek

tanah yang menyatakan bahwa hasil persilangan dari tetua pada tingkat ploidi 2n=2x=44 dan 2n=4x=88commit to didapatkan user hybrid berada di tingkat ploidi 2n=3x=66. Pada penelitian Lee et al. (2011) pada anggrek Paphiopedilum

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

dan hybridnya, pada tetua P. delenatii , P. micranthum, P. bellatulum, P.

rothshildianum masing-masing mempunyai kromosom 2n=26, P. callosum

mempunyai 2n=29 dan P. glaucophylum 2n=31, pada hybridnya P.

delenatii x P. micanthum mempunyai 2n=26, P. delenatii x P. bellatulum

2n=26, P. delenatii x P. rothshildianum 2n=26, P.delenatii x P. callosum

2n=29, P. delenatii x glaucophylum 2n=31. Pada penelitian Cox et al., 1998

jumlah kromosom seksi Barbata, seksi Cochlopetalum, seksi Paphiopedilum 2n=30-37. Balanos et al. (2008) juga menjelaskan bahwa pada hasil silang Doritaenopsis dan Phalaenopsis dihasilkan hybrid Doritaenopsis I-Hsin Purple Jewel dengan tingkat ploidi 2n=3x=57. Identifikasi hasil persilangan pada penelitian ini menggunakan enam primer RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) yaitu: OPA-02, OPA-07, OPB-12, OPB-17 OPB-18, OPD-11 menunjukkan 100% pita adalah polimorfis, total pita yang dihasilkan adalah 50 dengan pita teramplifikasi rata-rata 8.3 pita per primer. Pada ISSR (Intersimple Sequence Repeat) menggunakan empat primer ISSR yaitu UBC 814, UBC 826, UBC 807, UBC 810 menunjukkan 91.32% pita polimorfis. Total pita yang dihasilkan dari empat primer adalah 30 dengan pita teramplifikasi

rata-rata 7.5 pita per primer.

Perbedaan hasil analisis RAPD dengan ISSR pada penelitian ini juga

dilakukan penelitian oleh Parab and Krishnan (2008) pada anggrek

Rhynchostylis retusa dengan menggunakan analisis RAPD menghasilkan

pita polimorfis 76.13% (4.38) dengan pita teramplifikasi 5.79 pita per

primer, menggunakan analisis ISSR menghasilkan pita polimorfis lebih

rendah yaitu 62.6% (3.2) dengan pita teramplifikasi 4.28 pita per primer.

Demikian juga penelitian Poerba dan Ahmad (2010) menjelaskan bahwa

penanda RAPD dan ISSR mampu mendeteksi DNA polymorfisme yang

dapat menggambarkan hubungan kekerabatan kultivar pisang dengan

menggunakan analisis RAPD menunjukkan bahwa 96.82% pita polimorfis

yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil analisis dengan menggunakan ISSR adalah 92.86% polimcommitorfis. to Guo user et al. (2009) menyatakan bahwa ISSR dapat menghasilkan pola polimorfisme lebih tinggi dari pada RAPD.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

Polimorfisme merupakan gambaran amplifikasi yang diperoleh dari

perbedaan fragmen DNA yang diobservasi dan diskor sebagai ada atau

tidaknya perbedaan sekuen sehingga menunjukkan ada tidaknya variasi

(Gregor et al., (2000). Intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap

primer dipengaruhi oleh kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA. Cetakan

DNA yang mengandung senyawa-senyawa seperti polisakarida dan

senyawa fenolik sering menghasilkan pita DNA yang redup (Poerba dan Martanti 2008). Hal tersebut memungkinkan tidak semua marka RAPD dapat teramplifikasi pada tanaman F1 hasil persilangan maupun tanaman tetuanya. Hasil pita kemudian dianalisis, hanya pita yang menunjukkan amplifikasi yang digunakan untuk scoring dan untuk analisis lebih lanjut (Arya et al., 2011). Dendrogram hasil analisis dengan RAPD (gambar 18 dan gambar 19) menunjukkan bahwa tetua memiliki keragaman genetik 40% dan hybrid dari persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii memiliki keragaman genetik 46%, sehingga terdapat ragam baru sebesar 6%. Sementara untuk hybrid dari persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii memiliki keragaman genetik 50%, hal ini menunjukkan adanya penambahan

keragaman genetik tanaman sebesar 10%. Keragaman genetik merupakan

variasi genetik yang dimiliki oleh individu dalam suatu populasi yang

menempati suatu ekosistem. Suryanto (2008) menyatakan keragaman

genetik dapat terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA.

Berdasarkan hasil dendrogram dapat diketahui bahwa terdapat

perbedaan antara hasil persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii serta ♀

C. pandurata x ♂ C. rumphii. Pada hasil persilangan ♂ C. pandurata dan ♀

C. rumphii sebagian hybrid mengikuti tetua betina atau C. rumphii. Pada

hasil persilangan ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii, hybrid mengikuti tetua

betina C. pandurata. Sehingga dapat dikatakan bahwa tetua betina lebih

dominan menurunkan sifatnya pada hybrid dibandingkan dengan tetua

jantan. Penelitian Inthawong et al. (2006) yang menyatakan bahwa hasil analisis RAPD dengan menggunakancommit to user primer OPF 06, hybrid yang berada di 273 bp, 490 bp dan 564 bp mengikuti tetua betinanya yaitu Dendrobium

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

trigonopus. Inthawong et al. (2006) juga menjelaskan bahwa berdasarkan

penanda RAPD dapat diketahui bahwa DNA dari hibrida Dendrobium

merupakan hasil kombinasi dari ke dua tetuanya.

Dendrogram hasil analisis dengan ISSR menggambarkan hubungan

genetik antara semua aksesi yang diuji. Hasil dendrogram (gambar 24 dan

25) dapat memberikan informasi bahwa tetua memiliki keragaman genetik

32% sedangkan hybridnya dari persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii memiliki keragaman genetik 43%, sehingga terdapat keragaman genetik baru sebesar 11%. Sementara untuk hybrid dari persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii memiliki keragaman genetik 35%, maka dapat diketahui terdapat ragam baru sebesar 3%. Secara umum keragaman genetik dari suatu populasi dapat terjadi karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari suatu tempat ke tempat lain. Zhang et al. (2012) menjelaskan dari hasil penelitian keragaman genetik hybrid interspesifik Aechma gomosepala dan A. recurvata var. recurvata menggunakan penanda SRAP diketahui bahwa dari ke 40 hybrid yang diteliti menunjukkan 37 hybrid terpisah pada kelompok yang berbeda sementara 3 hybrid lainnya menjadi satu kelompok dengan tetuanya.

Kusumadewi dan Mansur (2012) menjelaskan bahwa penanda RAPD dan

ISSR dapat digunakan untuk mendeteksi adanya hybrid Nepenthes

hookeriana. Tanee et al. (2012) menjelaskan bahwa proses hibridisasi

berpotensi dapat mendorong peningkatan keragaman genetik pada spesies

Vanda. Penelitian Romeida et al. (2012) pada tanaman Spathoglottis

plicata mengatakan penanda ISSR banyak digunakan untuk

mengidentifikasi spesies, kultivar ataupun populasi suatu spesies yang

mirip dengan level variasi genetik yang rendah dan sangat berguna sebagai

alat pendeteksi keragaman genetik suatu spesies tanaman yang mempunyai

variasi genetik yang sangat luas.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Hasil penentuan keragaman baik secara morfologi maupun secara

molekuler dari enam spesies anggrek dari genus Coelogyne spp yaitu

Coelogyne pandurata, Coelogyne massangeana, Coelogyne

mayeriana, Coelogyne asperata, Coelogyne celebensis dan Coelogyne rumphii diperoleh karakter yang beragam secara morfologi antara 2% – 22% dan secara molekuler antara 45% – 69%. Dari enam spesies tersebut, Coelogyne rumphii merupakan spesies yang memiliki keragaman paling rendah atau memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan Coelogyne pandurata, yakni secara morfologi memiliki kemiripan 93% dan secara molekuler memiliki kemiripan berkisar 50%. Dengan demikian hasil penelitian ini merokemendasikan Coelogyne rumphii untuk dipilih menjadi tetua untuk disilangkan dengan Coelogyne pandurata. 2. Persilangan antara Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii

adalah kompatibel penuh dengan tingkat keberhasilan persilangan

mencapai 100% pada semua metode persilangan yang digunakan,

crossing, reciprocal dan selfing. Metode crossing (♀ Coelogyne

pandurata x ♂ Coelogyne rumphii) memiliki resiko buah rontok tertinggi

hingga 50%, dibanding metode yang lain yang hanya mencapai 25%. Namun

metode crossing menghasilkan buah lebih cepat masak yakni 158 hari,

sedangkan pada metode reciprocal mencapai 191 hari dan metode selfing

mencapai kisaran antara 155 – 201 hari. Metode crossing juga menghasilkan

saat terbentuk protokorm paling cepat, 22 hari dibanding metode reciprocal

yang mencapai 48 hari dan metode selfing yang mencapai 26 – 94 hari.

3. Analisis kromosom menunjukkan persilangan antara Coelogyne

pandurata dan Coelogyne rumphii menghasilkan perbedaan jumlah

kromosom antara tetua dan individu F1 hasil persilangannya. Tetua commit to user Coelogyne pandurata memiliki jumlah kromosom 2n=36 dan tetua

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

Coelogyne rumphii memiliki jumlah kromosom 2n=72 sedangkan F1

hasil persilangan Coelogyne pandurata baik sebagai induk jantan

maupun sebagai induk betina memiliki jumlah kromosom yang sama

yaitu 2n=54. Hasil analisis ploidi dengan flow cytometry diperoleh

hasil keturunan F1 yang mempunyai susunan kromosom 2n=3x=

triploid dari persilangan Coelogyne pandurata (2n=2x=diploid) dan

Coelogyne rumphii (2n=4x=tetraploid). Namun hasil persilangan ini memiliki pola kariotipe yang sama dengan tetuanya, yakni mempunyai bentuk metasentrik. 4. Diperoleh keragaman baru pada individu F1 hasil persilangan antara Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii. Pada analisis RAPD, F1 hasil persilangan ♂ Coelogyne pandurata x ♀ Coelogyne rumphii terdapat ragam baru sebesar 6%. Sementara untuk F1 dari ♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii terdapat ragam baru sebesar 10%. Pada analisis dengan ISSR, F1 dari ♂ Coelogyne pandurata x ♀ Coelogyne rumphii terdapat ragam baru sebesar 11%. Sementara untuk F1 dari ♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii terdapat

ragam baru sebesar 3%.

B. Implikasi

1. Penelitian ini memberikan sumbangan tentang teknik persilangan

anggrek secara crossing, reciprocal dan selfing yang menunjukkan

kompatibel penuh dan dapat mencegah kepunahan genetik.

2. Memberikan informasi tetua-tetua yang mempunyai kedekatan untuk

disilangkan dan menambah keragaman genetik.

3. Untuk merakit varaian baru anggrek yang diinginkan konsumen antara

lain pada karakter bunga: bentuk (keunikan), warna, ukuran, lama

mekar, jumlah kuntum.

4. Metode identifikasi awal sebelum tanaman berbunga pada F1 hasil persilangan untuk membuktikancommit to user ada tidaknya keragaman baru.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

C. Saran

1. Perlu kajian lebih lanjut terhadap anggrek F1 hasil persilangan

Coelogyne pandurata x Coelogyne rumphii yang meliputi karakterisasi

fenotip sampai tanaman berbunga.

2. Perlu dilakukan persilangan antara Coelogyne pandurata dengan

Coelogyne mayeriana dan persilangan antara Coelogyne asperata

dengan Coelogyne celebensis untuk menambah keragaman anggrek Coelogyne spp.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

83

DAFTAR PUSTAKA

Andayani N. 2007. Pengaruh Waktu Poliinasi Terhadap Keberhasilan

Persilangan Anggrek Dendrobium. Bulletin Ilmiah Instiper, 14(2): 14-21.

Aoyama M, Claudia A and Ximena CB. 2013. Chromosome numbers of some terrestrial orchids in Chile. Chromosome Botany, 8: 23-27.

Arditti J and Ernst R. 1993. Micropropagation of orchids, Pp 682. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Arya V, Yadav S, and Yadav JP. 2011. Intra Specific Genetic Diversity Of Different Accessions Of Cassia Occidentalis By RAPD Marker. Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 1(22): 1-8.

Astarini, I. A. 2009. Aplikasi Marka Molekuler untuk Peningkatan Kualitas Produksi Kembang Kol (Brassica oleraceae var. botrytis). Editor : Wirawan, IGP, Supartana P, dan Juliasih, SM. Penerbit Universitas Udayana. Denpasar. Ayu APP, Ardhana IGP dan Pharmawati M. 2012. Keanekaragaman anggrek epifit di kawasan taman wisata alam danau buyan- tamblingan. Jurnal Metamorfosa, 1(1): 11-16. Azimi SY, Sadeghian V, Ahari R, Khazaei F, Hafashjani AF. 2012. Genetic Variation Of Iranian Iris Species Using Morphological Characteristics And RAPD Markers. International. Journal of Agriculture Science, 2(9): 875-889.

Azrai M. 2005. Pemanfaatan markah molekuler dalam Proses Seleksi Pemuliaan Tanaman. Journal Agro- Biogen, 1(1): 26-37.

Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Panen, Produksi dan Produksivitas tanaman anggrek 2009-2012.

Balanos P, ShihWC, Fure CC. 2008. Meiotic Chromosome Behavior and

Capsule Setting in Doritaenopsis Hybrid. Journal America Society Horticulture Science, 133(1): 107-116.

Brito L, Carvalho A, Martin A, Harrison JSH and Pinto G. 2006. Morphological, yield, cytological and molecular characterization of a

Bread wheat × Tritordeum F1 hybrid. Indian Academy of Sciences, 85(2): 123-131.

Chaturvedi SK and Chaturvedi S. 2010. Biotic Pollination in Aerides odorata Lour (Orchidaceae). The International Journal of Plant

Reproduction Biology, 2(1): 45-49. Chen YM and Mii M. 2012. Interspecific hybridization of Begonia semperflorens (sectioncommit to Begoniauser ) with B. pearcei (section

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

Eupetalum) for introducingyellow flower color. Original paper. Plant Biotechnology, 29(1): 77-85.

Cheng J, Shi J, Shangguan FZ, Dafni A, Deng ZH and Luo YB. 2009. The

pollination of a self-incompatible, food-mimic orchid, Coelogyne fimbriata (Orchidaceae), by female Vespula wasps. Journal Annal

of Botany, 104(3): 565–571. Chung SY dan Choi SH. 2012. Genetic variability and relationship among

interspecific hybrid cultivar and parental species of Paphiopedilum via ribosom DNA sequence analysis. Plant Systematics Evolution, 298(10): 1897-1990. Cox AV, Abdelnour GJ, Bennet MD, and Leitch IJ. 1998. Genome size and karyotipe evolution in the slepper orchid (Cypripedioidene: Orchidaceae). American Journal of Botany, 85(5): 681-687. Damayanti F. 2006. Laporan Akhir Program Hibah Kompetisi (PHK) A3: Pembentukan Beberapa Hibrida Anggrek serta Pengaruh Beberapa Media Perkecambahan dan Media Perbanyakan Cepat secara In Vitro pada Beberapa Anggrek Hibrida. Bandung: Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Padjajaran. Darjanto dan Satifah, S. 1990. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. Gramedia. Jakarta. Darmono DW. 2006. Menghasilkan Anggrek Silangan. Penebar Swadaya. Jakarta Darnaedi D. 1991. Informasi Tentang Kromosom. Pelatihan Sitogenetika Tumbuhan PAU Ilmu Hayat IPB. 5 Nopember Desember 1991. IPB Bogor.

Das BK, Jena RC and Samal KC. 2009. Optimization Of DNA Isolation And PCR Protocol For RAPD Analysis Of Banana/ Plantain (Musa Spp). Agriculture Science, 1(2): 21-25.

Davina JR. 2009. Chromosome studies in Orchidaceae from Argentina.

Genetics and Molecular Biology, 32(4): 811-821.

Devi BC, Shibu BS and Wesly PS. 2012. In vitro Regeneration of Coelogyne stricta Direct Somatic Embryogenesis. Journal Tropical Medicine , 13(2): 153-161.

Dirjen Hortikultura Deptan. 2012. Prospek dan Arah Pengembangan

Agribisnis Anggrek. http:// Agri-research.or.id/ special/ komoditas/ b3anggrek, diakses 12 Januari 2013.

Donald J, Robinson, Carmel VH, Elizabeth G. 2011. Naturalization of The

Nun’s Hood Orchid(Phaius Tankervilleae: Orchidaceae) In Central Florida. Journal Botany Research Institute Texas, 5(1): 337-339. Doyle JJ and Doyle JL. commit1987. A to Rapid user DNA Isolation procedure for small quantities of fresh leaf tissue. Phytochemical Bulletin, 19: 11-15.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

85

Dwiatmini K, Mattjik NA, Aswidinnoor H dan Matius TNL. 2003. Analisis Pengelompokan dan Hubungan kekerabatan spesies Anggrek

Phalaenopsis Berdasarkan Kunci Determinasi Fenotipik dan Marka Molekuler RAPD. Jurnal Hortikultura, 13(1): 16-23.

Fatchiyah, Arumingtyas, Widyarti, Rahayu. 2011. Biologi Molekuler,

Prinsip Dasar Analisis. Jakarta. Erlangga.

Gowhar A, Mudasir, K. Rajdeep, Shikha M K, Srivastava. 2010. Evaluation Of Genetic Diversity In Pea (Pisum sativum L) Using RAPD Analysis.Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 16: 1-5. Gravendeel B and Vogel EF. 2000. Total Evidence Phylogeny of Coelogyne and Allied Genera (Coelogininae, Epidendrodidae, Orchidaceae) Based on Morphologycal, anatomical and Moleculer Characters. In Reorganising the Orchid genus Coelogyne Chapter 3. ISBN 90-71236-48-X. Gravendeel B, Chase MW, Vogel EF, Roos MC, Ted HM, and Bachmann K. 2001. Molecular phylogeny of Coelogyne (; Orchidaceae) based on plastid RFLPS, matK, and nuclear ribosomal ITS sequences: evidence for polyphyly. American Journal of Botany, 88(10): 1915-1927. Gregor Mc CE, Lambert CA, Grylic MM, LouwJH and Warnich L. 2000. A comparison assessment of DNA finger printing technique (RAPD, ISSR, AFLP, and SSR) in tetraploid potato (Solanum tuberosum L.) germplasma. Euphytica, 113: 135-144. Guo HB, HuangKY, ZhouTS, Wu QH, ZhangYJ and Liang ZS. 2009. DNA Isolation, optimization of ISSR-PCR system and Primers

screening of Scutellaria baicalensis. Journal Medicine Plant Research, 3(11): 898-901.

Gurcan K, Mehlender SA dan Cristofori V. 2009. Inter Simple Sequence

Repeats (ISSR) Markers in Hazelnut.Acta horticulturae, 845(1): 159-162.

Hadi. 2005. Budidaya Tanaman Anggrek. www.deptan.go.id/ ditlinhorti/ . Diakses tanggal 14 Desember 2011.

Handoyo F dan Prasetya R. 2006. Native Orchids of Indonesia. Indonesian

Orchid Society of Jakarta (PAI Jakarta).ISBN. 9789799522511: 244 hal.

Hartati S. 2006. Pengaruh Persilangan Intergenerik Dan Umur Mekar Bunga Terhadap Kemampuan Silang Anggrek Phalaenopsis sp. dan

Doritis pulcherrima var. champornensis. Prosiding Simposium dan Konggres Nasional PERIPI ke VI September 2006. di Bogor.

_ . 2008. Pengaruhcommit PersilanganIntergenerik to user dan Umur Mekar Bunga Terhadap Kemampuan Silang Anggrek Vanda sp. dan Phalaenopsis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

sp. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2008. LPPM. Dikti. Surakarta.

______. 2010. The intergeneric crossing of Phalaenopsis sp. and Vanda

tricolor. Jurnal of Biotechnologi and Biodiversity, 1(1): 26-30.

. .2011. Identifikasi Keragaman Anggrek Alam Hasil Persilangan Internegerik Secara Morfologi dan Sitologi Dalam Mendukung Perkembangan Anggrek Di Indonesia. Laporan Peneltian Hibah

Bersaing Tahun I. Hartati S, Sumijati, Pardono dan Cahyono O. 2014. Perbaikan Genetik Anggrek Alam Vanda spp melalui persilangan Interspesifik dalam mendukung perkembangan anggrek di Indonesia. Caraka tani. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 29(1): 31-34. Hou C, Yong,Yan Z, Wei Y and Zheng Y. 2005. Genetic Diversity in Barley from West China Based on RAPD and ISSR Analysis. Barley Genetic Newsletter, 35: 9-22.

Inthawong S, Weenun B, Nuttha K and Pimchai A. 2006. Analysis of Intersectional Hybrid of Dendrobium by RAPD Technique. Kasetsart Journal, 40(2): 456-461. Iswanto H. 2005. Merawat dan Membungakan Anggrek Phalaenopsis. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Jiang JL, Hu X., Liu J and Wang H. 2011. Genetic Diversity and Population structure of 151 Cymbidium sinense cultivars. Journal of Horticulture and Forestry, 3(4): 104-114.

Jones, Kuenhle, and Arumuganathan 1998. Nuclear DNA content of 26

Orchid (Orchidaceae) genera with emphasis on Dendrobium.Annal of Botany, 82: 189-194.

Julisanah NI, Sulistyowati L., dan Sugiharto, AN. 2008. Analisis Kekerabatan Mentimun (Cucumis sativus L.) menggunakan Metode RAPD-PCR dan Isozim. Jurnal Biodiversitas, 9(2): 99-102.

Kartikaningrum S, Effendie K, Soedjono S, Widiastoety D, Hidayat NQ

dan Prasetio RW. 2004. Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Anggrek Spathoglottis dan Pemanfaatannya. Prosiding Seminar

Nasional Florikultura, Bogor, 4-5 Agustus: 104-110.

Khoddamzadeh AA, Sinniah UR, Kadir MA, Kadzimin SB, Mahmood M and Sreeramana. 2010. Detection of Somaclonal Variation by Random Amplified Polymorphic DNA Analysis During

Micropropagation of Phalaenopsis bellina (Rchb.f.) Christenson. Africa Journal of Biotechnology, 9(40): 6632-6639.

Khosravi AR, Kadir MA,commit Kadzemin to user SB, Zaman FQ, and De Silva AE. 2009. RAPD Analysis Of Cholchicine Induced Variation Of The

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

87

Dendrobium Serdang Beauty. Africa Journal of Biotechnology, 8(8): 1455-1465.

Kuras A, Korbin, M and Zueawicz E. 2004. Comparison of Suitability of

RAPD and ISSR Techniques for Determination of Strawberry (Fragaria x ananassa Duch.) relationship. Biotechnologia, (2)79:

189-193.

Kusumadewi SYdan Mansur M. 2012. The Occurrence of Hybrid in Nepenthes hookeriana Lindl. From Central Kalimantan can be Detected by RAPD and ISSR Markers, HAYATI Journal of Biosciences, 19(1): 18-24. Lee YI, Chang FC and Chung MC. 2011. Chromosome pairing affinities in interspecific hybrids reflect phylogenetic distances among lady’a slipper orchids (Paphiopedilum). Journal Annals of Botany, 108: 113-121. Lindsley, DC and Grell EH 1967. Genetics variation of Drosophilla melanogaster. Washington D.C.: Carnegie Institute of Washington. Liu LW, Zhao LP, Gong YQ, Wang MX, Chen LM, Yang JL, Wang Y, Yu FM, and Wang LZ. 2008. DNA fingerprinting and genetic diversity analysis of late-bolting radish cultivars with RAPD, ISSR and SRAP markers. Scientia, 116(3): 240–247. Lu J, Hu X, Liu J and Wang H. 2011. Genetic diversity and population structure of 151 Cymbidium sinense cultivars. Journal of Horticulture and Forestry, 3(4): 104-114.

Lucas, RP, Allivia RCR, Ana VCS, Katily LGP. 2012. Genetic Diversity and Population structure in the Brazilian Cattleya labiata

(Orchidaceae) using RAPD and ISSR markers. Plant Systematics and Evolution, 298(10) p. 1815.

Maiti B, Shekar M, Khusiramani R., and Kasunasagar I. 2009. Evaluation Of RAPD-PCR And Protein Profile Analysis To Differentiate

Vibrio harveyi Strains Prevalent Along The Southwest Coast Of India. Journal of Genetics, 88(3): 273-279.

Manton I. 1950.Problems Cytology and Evolution in the Pteridophyta. New York : Cambridge Univ Pr.: 158-208.

Meesawat U, SrisawatT, Eksomtramage L and KanchanapoomK. 2008.

Nuclear DNA content of the pigeon orchid (Dendrobium crumenatum Sw.) with the analysis of flow cytometry.

Songklanakarin Journal Science Technololgy, 30(3): 277-280.

Mehetre SS, Aher AR, Shinde GC, Gomes M and Eapen S. 2004. RAPD analysis of interspesific hybrid between Gossypium arboreum and commit to user Gossypium stocksii. Caryologia, 57(2): 167-171.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

Musa FF, Syamsuardi, Arbain A. 2013. Keanekaragaman Jenis Orchidaceae (Anggrek-anggrekan)Di Kawasan Hutan Lindung

Gunung Talang Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas, 2(2): 153-160.

Nandariyah. 2007. Identifikasi Keragaman Genetik Kultivar Salak Jawa

Berdasarkan Analisis RAPD. Agrosains, 9(2): 70-76. ______. 2010. Morphology and RAPD (Random Amplification of

Polymorphic DNA) based classification of genetic variability of Java Salacca (Salacca zalacca Gaertner. Voss). Jurnal Biotechnology and Biodiversity, 1(1): 8-13. Nielsen LR, Siegismund HR. 1999. Interspecific differentiation and hybridization in Vanilla species (Orchidaceae). Heredity, 83(5): 560–567. Niknejad A, Kadir MA, Kadzimin SB, Abdullah NAP, Sorkheh K. 2009. Moleculer characterization and phylogenetic relationship among and within species of Phalaenopsis (Epdendroideae: Orchidaceae) base on RAPD analysis. African Journal of Biotechnology, 8(20): 5225-5240. Nisha P,Jakhar ML and Malik CP. 2011. Analysis of genetic diversity in coriander (Coriandrum sativum L.) varieties using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) markers. Journal Microbiology of Biotechnology Research, 1(4): 206-215. Nugraheni, YM . 2006. Studi Variasi Genetik Tanaman Uji Provenans Glirisidia sepium (Jacq.) steud di Wanagama I dengan Analisis Isozim. Skripsi S1. UGM. Yogyakarta.

Operon almaeda USA. 2000. Operon RAPD primer Sequencer. USA.

Pablo B, Chin SW and Chen FC. 2008. Meiotic Chromosome Behavior and

Capsule Setting in Doritaenopsis Hybrid. Journal American Society Horticulture Sciences, 133(1): 107-116.

Parab, G.V and Krishnan S. 2008. Assessment Of Genetic Variation Among Populations Of Rhynchostylis Retusa An Epiphytic Orchid From Goa, India Using ISSR And RAPD Marker. Journal of

Biotechnology, 7(17): 313-319.

Parjanto, Mulyopawiro S, Artama WT dan Purwantoro A. 2003. Kariotipe Kromosom Salak. Zuriat, 14(2): 21-28.

Pharmawati M, Yan G and Mc Farlane IJ. 2004. Application of RAPD and ISSR Marker to Analyse Molecular Relationship in Grevillea

(Proteace). Australian Systematic Botani, 17: 49-61.

Pharmawati M. 2009. Optimalisasicommit to user Ekstraksi DNA dan PCR-RAPD pada Gravillea spp. (Proteaceae), Jurnal Biologi, 13(1): 12-16.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

89

Poerba YS dan Martanti D. 2008. Keragaman Genetik Berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA pada Amorphopallus

muelleri Blume di Jawa. Jurnal Biodiversitas, 9(4): 245-249.

Poerba YS dan Ahmad F. 2010. Genetic variability among 18 cultivars of cooking bananas and plantains by RAPD and ISSR markers. Jurnal

Biodiversitas, 11(3): 118-123. Pritam C, Banerjee N dan Chaudhary B. 2012. Genetic Characterization of

Selected Medicinal Dendrobium (Orchidaceae) Species Using Molecular Markers. Research Journal of Biology, 2(4): 117-125. Purwantoro A, Ambarwati E dan Setyaningsih F. 2005. Kekerabatan antar anggrek spesies berdasarkan morfologi tanaman dan bunga. Jurnal Ilmu Pertanian, 1(1): 1-11. Ramesh T and Renganathan P. 2013. Genetic variation analyses on some Coelogyne species of Orchidaceae. International Journal of Current Tr Research, 2(1): 126-131. Ramesh, T and Renganathan P. 2013 a. Chromosome analyses on different species of orchidaceae. International Journal Research Institute, 1(1): 1-9. Ramesh, T and Renganathan P. 2013 b. Chromosome studies on some Tainia and Epidendrum species of Orchidaceae. International Journal of Current Tr. Research, 2(1): 108-114. Riedy MF, Hamilton WJ, Aquadro CF. 1992. Excess of non parental band in offspring from know pedigrees assayed using RAPD PCR. Nucleic Acid Research, 20(4): 918.

Rohlf. 1998. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis

Syersion Version 2,02. Exerter sorfware. New York.

Romeida, A, Surjono HS, Agus Purwito, Dewi S, Rustikawati. 2012. Variasi Genetik Mutan Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Berdasarkan Marker ISSR. Jurnal Agronomi Indonesia, 40(3): 218-

224

Ruas CF, RuasPM, MatzenbacherNI, Ross G, Bernini Cand VanzelaALL. 1995. Cytogenetic Studies of Some Hypochoeris Spesies

(Compositae) from Brazil. American Journal of Botany, 82(3): 369-375.

Sasongko AB, Indrianto A, Semiarti E. 2010. Identifikasi Genotip Hibrida

Hasil Persilangan Anggrek Lokal Vanda tricolor Lindl var suavis asal Merapi dan Vanda limbata Blume dengan PCR-RFLP pada

daerah intergenik Tml-F DNA kloroplas. Prosiding Seminar Nasional Biologi Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 commit to user September 2010. Hal. 754-757.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

90

Semiarti E, Indrianto A, Purwantoro A, Isminingsih S, Suseno N, Ishikawa T, Yoshioka Y, Machida Y, Machida C. 2007. Agrobacterium-

mediated transformation of the wild orchid spesies Phalaenopsis amabilis. Plant Biotechnology, 24(2): 265-272.

Shasany AK, Darokar MP, Dhawan S,. Gupta AK, Gupta S, Shukla AK,

Patra N Kand Khanuja SPS. 2005. Use RAPD and AFLP Markers to Identify Inter- and Intraspesific Hybrids of Mentha. Journal of Heredity, 96(5): 542-549.

Sik L, Kesercioglu T and Candan F. 2009. Chromosome numbers of two Colchicum L. species, C.burttii and C. balansae, from Turkey. African Journal of Biotechnology, 8(18): 4358-4362.

Sivanaswari, Chalaparmal, Thohirah, LA , Fadelah, AA , dan Abdullah, NAP. 2011. Hybridization of several Aerides species and in vitro germination of its hybrid. African Journal of Biotechnology, 10(53): 10864-10870. Srivastava R, Shukla S, Soni A, dan Kumar A, 2009. RAPD-based genetic relationships in different Bougainvillea cultivars. Crop Breeding and Applied Biotechnology, 9: 154-163. Sudheer PDVN, Meenakshi, Sarkar R, Boricha G, Reddy MP. 2009. A simplifies method for extraction of high quality genomic DNA from Jatropha curcas for genetic diversity and moleculer marker studies. Indian Journal of Biotechnology, 8(2): 187-192.

Suliartini N, Purwantoro A dan Sulistyaningsih E. 2004. Keragaman Genetik dalam Spesies Caladium bicolor Berdasarkan Analisis

Kariotipe. Agrosains, 17(2): 235-244.

Sulistianingsih R, Semiarti E, Purwantoro A., Mangoendidjojo. 2010. Analisis keragaman genetic mutan anggrek Phalaenopsis amabilis

L, blume dengan RAPD. Seminar Nasional Biologi UGM Jogyakarta.

Sumardi KN dan Prabowo G. 2010. Asyiknya Memelihara Anggrek.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sungkumlong &Deb CR. 2008. Effect of different factors on immature embryo culture PLBs differentiation and RAPID mass multiplication of Coelogyne suaveolens (lindl) Hook. India Journal of

Experimental Biology, 46(4): 243-248.

Susantidiana, Wijaya A, Lakitan B dan Surahman M. 2009. The Identification of Some Accessions of Jatropha curcas L.Using Morphological and RAPD Analysis. Jurnal Agronomi Indonesia,

37(2): 167-173. Sutopo L. 2009. Pemuliaancommit tanaman to user Anggrek. Penerbit CV Asrori Malang. 143 hal.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

91

Tanee T,Chadmuk P, Sudmoon R, Chaveerach A, and Noikotr K. 2012. Genetic analysis for identification, genomic template stability in

hybrids and barcodes of the Vanda species (Orchidaceae) of Thailand. African Journal of Biotechnology, 11(55): 11772-11781.

Teixeira daSilva JA, Kauth PJ, Dutra D, Johnson TR, Stewart SL, Kane

ME, and Vendrame W. 2008. Techniques and applications of in vitro orchid seed germination. 1st edn. Teixeira da Silva JA, editor. Isleworth, UK: Global Science Books Ltd.Floriculture, ornamental and plant biotechnology, 5: 375-391. Tiyagi BR, Ahmad T and Bahl JR.1992. Cytology, genetics and breeding of commercially important Mentha species. Curr. Research Medicinal. Arom. Plant Sciences (now Journal Medicinal Arom. Plant Sciences), 14: 51-56. Topik H dan Pancoro A. 2008. Kajian Filogeenetika Molekuler dan Peranannya dalam mnyediakan Informasi Dasar untuk meningkatkan Kualitas Sumber Genetik Anggrek. Jurnal Agro- Biogen, 4(1): 35-40. Truta G, Vochitha CM, Rosu MM and Zamfirache. 2013. Karyotype traits in Romania selection of edible blue honeysuckle. Turky Journal Biology, 37(1): 60-68.

Utami DS dan Hartati S. 2012. Perbaikan Genetik Anggrek melalui Persilangan Intergenerik dan Perbanyakan Secara In Vitro dalam Mendukung Perkembangan Anggrek di Indonesia. Agrineça, 12(2): 104-116.

Verma N, Koche V, Tiwari KL and Mishra SK. 2009. RAPD analysis

reveal genetic variation in difeerent population of Trichodesma indicum – A perennial medicinal herb. Journal of Biotechnology, 8(18): 4333-4338.

Vural, Cingili and Dageri. 2009. Optimization Of DNA Isolation For

RAPD-PCR Analisys Of Selected (Echinaceae purpurea L. Moench) Medicinal Plant Of Conservation Concern From Turkey.

Journal Of Medicinal Plants Research 3(1): 16-19.

Wallace LE. 2003. Moleculer evidence for allopolyploid speciation and

recurrent origins in Platanthera huronensis (Orchidaceae ). International Journal Plant Science, 164(6): 907-916.

Wang HZ. 1963. A study on The Self and Cross Incompatibility in The

Sweet Potato in Taiwan. Proceeding American Society of Horticultural Science, 84: 424-430.

------. 2008. DNA fingerprinting and genetic diversity analysis of late- commit to user bolting radish cultivars with RAPD, ISSR and SRAP markers. Scientia, 116(3): 240–247.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

92

Wang HZ, Feng SG, LU JJ, Shi NN, Liu JJ. 2009. Phylogenetic study and molekculer identification of 31 Dendrobium species using inter-

simple sequent repeat (ISSR) markers. Scientia Horticulturae, 122(3): 140-447.

Widiastoety D. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Penebar Swadaya.

Jakarta. Widiastoety D, Solvia N, Soedarjo M.2010. Potensi Anggrek Dendrobium

dalam meningkatkan variasi dan Kualitas Anggrek Bunga Potong. Jurnal Litbang Pertanian, 29(3): 101-106. Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalsky JA, Tingley SV. 1990. DNA plolymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research, 18(22): 6531-6535. Xiang N and Hong Y. 2003. Genetic Analysis Of Tropical Orchid Hybrid (Dendrobium) With Flourescence Amplified Fragment Length Polymorphisme (AFLP). Journal American Society Hortikultura Science,128(5): 731-735.

Xu, Yu and Kumar. 2010. Characterization of floral organ identity genes of Orchid Dendrobium crumenantum. Journal Moleculer Biology Biotechnology, 8(1): 185-187. Xue D, Feng S, Zhao H, Jiang H, Shen B, Shi N, Lu J, Liu J and Wang H. 2010. The Linkage Maps Of Dendrobium Species Based On RAPD And SRAP Marker. Journal of Genetic and Genomic, 37(3): 197- 204. Yam TW. 1994. Breeding with Paraphlaenopsis. American Orchid

Society. Bulletin, 63(12): 1359-1365

Yih CNg and Saleh NM. 2011. In vitro propagation of Paphiopedilum

orchid through formation of protocorm-like bodies. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 105: 193-202.

Yulia ND dan Russeani NS. 2008. Studi Habitat Dan Inventarisasi Dendrobium capra J.J Smith Di Kabupaten Madiun Dan Bojonegoro.

Jurnal Biodiversitas, 9(3): 190-193. Yunus, A. 2007. Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha

curcas L.) Berdasarkan Penanda Isozim. Jurnal Biodiversitas, 8(3): 249-252.

Yuping Z, Wang W, Li X and Zhao X. 2012. Study on Interspecific

Compatibility of Different Combinations Inner (Inter) Lily Hybrids. Journal of Scientific Research, 11(5): 567-574.

Zha, Luo, Wang, Wei and Jiang. 2009. Genetic Characterization Of Nine Medical Dendrobium Species Using RAPD. African Journal Of commit to user Biotechnology, 8 (10): 2054-2058.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

93

Zhang F, Ge YY, Wang WY, Shen XL and YuXY. 2012. Assessing genetic divergence in interspecific hybrid of Aechmea gomosepala and A.

recurvata var. recurvata using inflorescence characteristic and sequence-related amplified polymorphism markers. Genetic and

Molecular research, 11(4): 4169-4178.

Zietkiewict E, Rafalski A and Labuda D. 1994. Genome fingerprinting by Simple Sequence Repeat (SSR) Anchored Polymerase Chain Reaction Amplification. Genome, 20(2): 176-183.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

Lampiran 1

Paper Accepted for”Indian Journal of Agricultural

Research” . (Scopus )

STUDY ON MORPHOLOGICAL CHARACTERISTICS OF DIFFERENT SPECIES OF Coelogyne ORCHID Sri Hartati1 Nandariyah2 Ahmad Yunus3 Djati W.Djoar 4

1 Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, E- mail: [email protected]

ABSTRACT

In plant breeding programs need in formation about the diversity, classification to demonstrate the level and the relationship between the cultivars as the basisfor selection.One barrier crossing success is the close relationship between parental genetic kinship. The study was aimed to classify the orchid species and relationship between the different 6 spesies of genus Coelogyne spp was determined using Characterization of morphology. The research use genus Coelogyne

taken from region in Indonesia were collected from Bogor botanical garden Indonesia.

Dice similarity coefficient ranged from 0.73 – 0.98. A dendrogram contructed based on the UPGMA clustering method revealed three clusters 0,93 similirity level. First cluster was C. rumphii, C.mayeriana

and C. pandurata The second clusters C.massangeana. The three clusters was C. asperata and C. celebensis.

Key words: Orchid,Coelogyne, charactertization,diversity, morphology

INTRODUCTION

The family Orchidaceae, one of the largest families of

Flowering plants, is characterized by its high species diversity and wide

range of reproduction and distribution strategies, which have resulted in

a variety of patterns of genetic differentiation among populations commit to user (Wallace, 2003; Niknejad et al., 2009).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

95

Inplant breeding programs need information about the diversity

and classification to demonstrate the level and the relationship between

the cultivars as the basisfor selection (Nandariyah, 2010).

Characterization of the plantis an activity to find the description of each

species were used as materials to determine the phylogenetic

relationship between species.

Phylogenetic relationship of various species of plants are a source of initial information to hybridization to produce variations. Xue et al., (2010) states that the farther a species of plant genetic relationship, the more difficult also to be crossed. Hence the need for the process of determining kinship various species of orchids. Determination of kinship can be performed phenotypic and genotypic. Phenotypically kinship performed by morphological observation. One barrier crossing success is the close relationship between parental genetic kinship. Therefore, in this study attempted to classify the orchid species based on morphological characteristics.

MATERIALS AND METHODS

Plant material

Six species from genus Coelogyne were collected from a

collection of Bogor botanical garden Indonesia, as well as their

corresponding names in the collection, general geographical

distribution and specific origin (Table 1)

Table 1. Plant material according to origin and altitude

No Name of Orchid Locality and Altitude Habitat 1 Coelogyne pandurata East Kalimantan 100

2 Coelogyne massangeana West Sumatra 1150-2100 3 Coelogyne mayeriana Kalimantan 100

4 Coelogyne asperata Wesr Kalimantan 320-1000 5 Coelogyne celebensis South Sulawesi 826-220

6 Coelogyne rumphii South Sulawesi 100-2000 commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

96

Morphology characters

Morphological characterization was conducted by applying the

Desriptor and Characterization list Gravendeel and Vogel (2000) with

45 characters. Morphological data of six spesies Coelogyne i.e, C.

pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C.celebensis

and C. rumphii was observed. The data was transformed into numeral

form and was analyzed by NTSYS. While studying Coelogyne genus, 45 characters (Gravendeel and Vogel, 2000) were taken under consideration in which the characters like rhizome, pseudobulbs, inflorescens, scape, rhachis, floral bract flowers, ovary, petal, sepal, lip, hypochile, epichile, column, pollinia, stipes, trichomes on leaf surface, stomata.

a b

c d

e f

Fig. 1. Morphological orchid Coelogyne spp : a. C. pandurata b.C.

massangeana c. C. mayeriana d. C. asperata e. C. celebensis f. C. rumphii (Bogor botanical garden Indonesia, 2012) commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

97

Statistical analysis

Descriptive data observations in the transfer into a binary form of

a score, a score of zero (0) if the trait is not found in a plant and a score

of one (1) if the nature of the plants owned by the observed.The data

obtained were analyzed with the NTSYS-PC (Numerical Taxonomy

and Multivariative Analysis System) version 2:02 Unweight pair group

method with arithmetic method (UPGMA) function SIMQUAL (Qualitative Similarity) and utilized to obtain the genetic similarity matrix using Dice coefficient (Rohlf (1998), the UPGMA (Unweighted Pair Group Method using Arithmetic Average) clustering method was used to contruct a dendrogram. RESULTS AND DISCUSSION Xue et al. (2010) stated that the more distant phylogenetic relationship of a plant species, the success of the smaller crosses. Then needed for the process of determining kinship various types of orchids. Phenotypically kinship based on observations conducted morphological and phenotypic appearance of a species Table 1. Matrix similrity based on morphological character

1 2 3 4 5 6

1 1.00 2 0.93 1.00 3 0.93 0.91 1.00

4 0.95 0.93 0.93 1.00 5 0.78 0.75 0.80 0.73 1.00

6 0.80 0.78 0.82 0.75 0.98 1.00 Explanation

1 : C. rumphii 4 : C. mayeriana

2 : C. pandurata 5 : C. asperata 3 : C. massangeana 6 : C. celebensis

The dendrogram could be arranged used to Un-weight Pair Group

Method Using Arithmatic Average (UPGMA) The NTSYS analysis

showed that UPGMA cluster can be divides into three cluster 0,93 commit to user similirity level (Fig. 2). First cluster, Coelogyne rumphii, Coelogyne

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

98

mayeriana and Coelogyne pandurata (Black Orchid). The second cluster

Coelogyne massangeana and three clusters, C. asperata and C.

celebensis with different at pseudobulb number of leaves, rhachis sterile

bracts on base, rhachis internodes, floral bract, petals, column length,

column wing, column apex. C. rumphii. C. pandurata and different at

pseudobulb number of leaves, rhachis sterile bracts on base, rhachis

internodes, floral bract, petals, column length, column wing and column apex.

Fig 2. Dendrogram of Coelogyne spp based on Morphological characters

The plants of six Coelogyne showed slight morphological

differences such as variation in pseudobolb, rachis, Flowers, petals, lip,

and column, as like:

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

99

A B C

Fig 3. Morphological differences such as variation in Flower : A = Coelogyne pandurata (opening in succession), B = Coelogyne mayeriana (opening (almost) simultaneously) C = Coelogyne asperata (opening in succession)

b

a

Fig 4. Morphological differences such as variation in Petals : a = Coelogyne pandurata (ovate-oblong) (Sierra et al., 2000),

b = Coelogyne rumphii (linear) (Gravendeel and De Vogel, 2000)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

100

Fig 5. Morphological differences such as variation in column :

a = Coelogyne asperata (Short, Column 8 –17 by 3–4.5 mm; column foot small) (Sierra et al., 2000),

b = Coelogyne celebensis (Long, Column 36 –37 by 9 –11

mm) (Gravendeel and De Vogel, 2000)

These species all have not hypochile, epichile, trichomes on leaf surface,

stomata and epidermal crystals. Another well supported subclade unites

C. celebensis and C. rumphii, which both have not rhachis sterile bracts,

rhachis internodes, hypochile, epichile, trichomes on leaf surface and

stomata.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

101

CONCLUSIONS

The dendrogram result indicated a considerable level of

morphological into three cluster with 0,93 similirity level. First cluster are

Coelogyne rumphii, C. mayeriana and C. pandurata. Two clusters C.

massangeana. C. rumphii and C. pandurata different at pseudobulb number

of leaves, rhachis sterile bracts on base, rhachis internodes, floral bract,

petals, column length, column wing and column apex. The three clusters consist of C. asperata and C. celebensis with different at pseudobulb number of leaves, rhachis sterile bracts on base, rhachis internodes, floral bract, petals, column length, column wing, column apex.

REFERENCES

Gravendeel B and. DE VogelEF. 2000. Total Evidence Phylogeny of Coelogyne and Allied Genera (Coelogininae, Epidendrodidae, Orchidaceae) Based on Morphologycal, anatomical and Moleculer Characters. In Reorganising the Orchid genus Coelogyne Chapter 3. ISBN 90-71236-48-X Gravendeel B and DE VogelEF. 2000. Revision of Coelogyne Section Speciosae (Orchidaceae). Chapter 4. ISBN 90-71236-48-X Nandariyah. 2010. Morphology and RAPD (Random Amplification of

Polymorphic DNA) based classification of genetic variability of Java

Salacca (Salacca zalacca Gaertner. Voss). Journal Biotechnology and Biodiversity 1(1): 8-13

Niknejad A, Kadir MA, Kadzimin SB, Abdullah NAP, Sorkheh K. 2009. Moleculer characterization and phylogenetic relationship among and

within species of Phalaenopsis (Epdendroideae: Orchidaceae) base on RAPD analysis. Africa Journal Biotechnology 8(20): 5225-5240

Rohlf. 1998. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis

Version 2,02. Exerter sorfware. New York.

Sierra SEC, B. Gravendeel and EF De Vogel. 2000. Revision Of Coelogyne Section Verrucosae (Orchidaceae): A New Sectional Delimitation Based On Morphological And Molecular Evidence. Chapter 6. ISBN

90-71236-48-X

Wallace LE (2003) Moleculer evidence for allopolyploid speciation and recurrent origins in Platanthera huronensis (Orchidaceae ). International Journalcommit Plant to Science user , 164(6): 907-916

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

102

Xue D, Feng S, Zhao H, Jiang H, Shen B, Shi N, Lu J, Liu J and Wang H. 2010. The Linkage Maps Of Dendrobium Species Based On RAPD

And SRAP Marker. Journal of Genetic and Genomic, 37(3): 197-204.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

103

Lampiran 2

International Journal of Applied Agricultural Research

ISSN 0973-2683 Volume 9, Number 2 (2014) pp. 147-154 © Research India Publications http:// www.ripublication.com

Genetic Diversity of Orchid Coelogyne spp by Molecular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Markers

Sri Hartati1 Nandariyah2 Ahmad Yunus3 Djati W.Djoar 4

1 Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, E- mail: [email protected]

ABSTRACT

The study was aimed to investigate the genetic diversity species of genus Coelogyne spp was determined using Randomly Amplified

Polymorphic DNA (RAPD). Fifteen RAPD markers were used and only eleven of the give reproducible result primer used OPA 02, OPA

07, OPA 09, OPA 13,OPA 16, OPB 12, OPB 17, OPB 18, OPD 02, OPD 08 and OPD 11. RAPD primers produced 79 amplified fragments varying from 200 bp

to 3500 bp in size. 100 % of the amplification bands were polymorphic. At a size of 250 bp to 3000 bp band amplified so that most of the possible is also a ribbon depicting distinctive character.

The dendrogram result indicated a considerable level of the molecular RAPD analysis showed six species forming three clusters with 46%

similarity level. First cluster are C. pandurata, C. rumphii and C. celebensis. The second clusters are C. mayeriana and C. asperata the other three is C. massangeana. The range of genetic distance of six

species from genus Coelogyne was from 0.23-0.54.

Key words : Coelogyne, Genetic, Moleculer,Orchid, RAPD

commit to user INTRODUCTION Group of orchid (Orchidaceae) is one of the largest families of

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

104

flowering plants in the world that includes natural species and species

from crosses (Xiang and Hong, 2003).In plant breeding programs need

information about the variety and classification to demonstrate the level

and the relationship between the cultivars as the basis for selection

(Nandariyah, 2010)

Characterization of the plant is an activity to find a description of

each species were used as materials to determine the phylogenetic relationship between species. Phylogenetic relationship of different/ several species of plantsis a source of initial information to hybrid is to produce variations. Xue et al. 2010), states that the farther a species of plant genetic relationship, the more difficult also to be crossed. Hence the need for the process of determining kinship several species of orchids. Determination of kinship can be performed phenotypic and genotypic. Phenotypically kinship performed by morphological observation. While genotypic characterization is the characterization with attention to the arrangement of genes or DNA that are characteristic of each species (Jones et al., 1998). RAPD fundamental to the Polymerase Chain Reaction ( PCR ) reaction is to amplify the DNA fragments using an oligonucleotide primer

(Khosravi et al., 2009). Technique was using a single primer DNA with

random nucleotide sequences.

One barrier crossing success is the close relationship between parental

genetic kinship. Therefore, this research is used to investigate the genetic

diversity orchid species of genus Coelogyne spp based on molecular

RAPD.

MATERIAL AND METHODS

Plant material

Six species from genus Coelogyne were collected from a collection of

Bogor Botanical garden Indonesia, as well as their corresponding names in

the collection, general geographical distribution and specific origin (Table commit to user 1).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

105

Some required ingredients in the total DNA analysis with RAPD-PCR

method are: CTAB, EDTA, Tris-HCL, PVPP, aquades sterile,

mercaptoethanol, NaCl, quartz sands, chloroform, isoamyl, alcohol, ethanol

absolute, alcohol 70%, PCR buffer reaction, dNTP mix, Taq DNA

polymerase, MgCl2, and primer. There were 11 from 15 tested primer used,

which are OPA 02, OPA 07, OPA 09, OPA 13,OPA 16, OPB 12, OPB 17,

OPB 18, OPD 02, OPD 08 and OPD 11.

Table 1. Plant material according to origin and altitude No Name of Orchid Locality and Habitat Altitude (m) 1 Coelogyne pandurata East Kalimantan 100 2 Coelogyne massangeana West Sumatra 1150-2100 3 Coelogyne mayeriana Kalimantan 100 4 Coelogyne asperata Wesr Kalimantan 320/ 1000 5 Coelogyne celebensis South Sulawesi 826/ 220 6 Coelogyne rumphii South Sulawesi 100-2000

a b

c d

e f

Fig. 1. a. C. pandurata b. C. massangeana c. C. mayeriana d. C. asperata e. C. celebensis f. C. rumphii (Bogor botanicalcommit garden to Indonesia user , 2012)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

106

DNA extraction

Genomic DNA was extracted following the methodology described by

Doyle and Doyle (1987), with some modifications. DNA Isolation was

conducted from 1 g of young leaves then suspended in 20 ml, of Extraction

buffer (20 nM EDTA at pH 8.0, 100 M Tris-HCl at pH 8.0, 1.5 M Nacl, 2%

CTAB and 1% merkaptoethanol 1% 5 µL. The suspension was mixed well,

incubates at 60 0C for 45 min, followed by chloroform isoamyl alcohol (24:1) extraction and precipitation with 0.6 volume of isopropanol at 200C for 1 h. The DNA was pelleted down by centrifugation at 12.000 rpm for 10 min andwas then suspended in TE buffer (10 M Tris-HCl and 1M EDTA pH 8.0). The DNA was purifed from RNA and protein by standart procedures 15 and its concentration was estimated by agarose and electrophoresis and staining with ethidium bromibe. Isolated DNA was visualized for its quantity and quality by running them in 1% Agarose gel electrophoresis.

RAPD Amplification DNA amplification was performed in Takara Thermocycler according to Williams et al. (1990) in Poerba and Ahmad (2010) with total volume of

PCR reaction of 15 µl consisting of 0.2 nMdNTPs; 1X reaction buffer;

2mM MgCl2; 10 ng of DNA sample; 0.5 pmole of single primer; and 1 unit

of Taq DNA polymerase (Promega). Fifteen RAPD primers obtained from

Operon Technologies, USA were tested initially with randomly selected

individuals from populations. Eleven primers that showed clear and

reproducible result were use in the analyses. PCR reaction was conducted

twice to ensure the reproducibility of RAPD. PCR products were visualized

in 2% agarose gel electrophoresis for 60 min at 50 Volt. This was followed

by EtBr staining (0.15 µl mL-1) before photographed in gel documentation

system (Atto Bio instruments) and 100 bp ladder (Promega) was used as

DNA marker.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

107

Statistical analysis

The amplification products were analysed by marking their presence (1) or

absence (0) for each DNA fragment generated. The data obtained were

analyzed with the NTSYS-PC (Numerical Taxonomy and Multivariative

Analysis System) version 2:02 Unweight pair group method with arithmetic

method (UPGMA) function SIMQUAL (Qualitative Similarity) and

utilized to obtain the genetic similarity matrix using Dice coefficient (Rohlf (1998), The UPGMA (Unweighted Pair Group Method using Arithmetic Average) clustering method was used to construct a dendrogram.

RESULTS AND DISCUSSION RAPD analysis of one of the methods that can be used to set and see the features that are used to analyze the phylogenetic relationship between species of plants (Arya et al., 2011; Vural et al., 2009; Das et al., 2009; Verma et al., 2009). The results showed that the elevent primers used were able to amplify orchid genomic DNA with the number and size of DNA bands were very diverse, showing a pattern of polymorphism. Population genetics of large number of plant species were studied using RAPD (Carlos, et al., 2006))

Table 2. Primer, sequences, polymorphic bands and percentage

polymorphism in RAPD analysis No Primer Sequence 5’ to 3’ Size (bp) Amplified Polymor- % poly- bands phic bands Morphis m

1 OPA-02 TGCCGAGCTG 300-750 5 5 100 2 OPA-07 GAAACGGGTG 300-2000 9 9 100 3 OPA-09 GGGTAACGCC 250-1500 6 6 100 4 OPA-13 CAGCACCCAC 250-1000 7 7 100 5 OPA-16 AGCCAGCGAA 250-2000 10 10 100

6 OPB-12 CCTTGACGCA 400-1600 8 8 100 7 OPB-17 AGGGAACGAG 200-1500 10 10 100 8 OPB-18 CCACAGCAGT 600-1600 5 5 100 9 OPD-02 GGACCCAACC 250-3500 8 8 100 10 OPD-08 GTGTGCCCCA 750-3000 6 6 100

11 OPD-11 AGCGCCATTG 500-3500 5 5 100 79 79 commit to user 7.02 7.02 100

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

108

In the present study, we used eleven primer of RAPD to examine the

relationship between the six species of Coelogyne, ie. C. pandurata, C.

massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis, C. rumphii. The

result presented to describe the use of this phylogenetically confirmative

DNA based method to address the interspecific genetic relationships.

Eleven primers were used for the present study and all of them successfully

amplified polymorphic DNA bands (Table 2). The total amplified band generated by eleven amplifying primers was 79 with an average amplification of 7.02 bands per primer, of which 79 bands were polymorphic. The number of polymorphic bands per primer range from five to ten with average percentage polymorphism generated by these bands was 100%. The size of amplified products from all the primers varied between 200 bp and 3500 bp. The minimum size of 200 bp amplification product was generated from primer OPB 17, while the maximum size of 3500 bp was generated with primer OPD11. Table 3. Matrix similarity Coelogyne spp base on RAPD 11 primers 1 2 3 4 5 6 1 1.00 2 0.33 1.00 3 0.42 0.33 1.00 4 0.38 0.35 0.54 1.00

5 0.44 0.23 0.45 0.38 1.00 6 0.50 0.30 0.26 0.28 0.48 1.00

Note : 1= C. pandurata 4= C. asperata

2= C. massangeana 5= C. celebensis 3= C. Mayeriana 6= C. rumphii

The matrix similarity coefficient range from 0.23 to 0.54. The highest

similarity coefficient (0.54) was observed between C. mayeriana and C.

asperata. The results of DNA amplification using four primer orchid does

not always produce the band with the same intensity. The difference in the

intensity of each band can not be used to estimate copy number of base

pairs in each RAPD bands. The intensity of DNA amplification on any commit to user primary outcome is strongly influenced by the purity and concentration of

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

109

the template DNA and the distribution of the site template DNA primer.

Population genetic of large number of plant species were studied using

RAPD (Parab and Krishnan, 2008).

Fig. 2. Dendrogram of Coelogyne spp based on the RAPD result 11 primers 1. C. pandurata, 2. C. massangeana, 3. C. mayeriana, 4. C. asperata, 5. C. celebensis, 6. C. rumphii

The dendrogram was constructed based on simple matching coefficients taking into account the presence or absence of bands. The NTSYS analysis showed that UPGMA cluster can be divided into three clusters 0.46

similarity level (Fig. 3). First cluster C. pandurata, C. rumphii and C.

celebensis. The second cluster consists of C. mayeriana and C. asperata.

However, the other three C. massangeana.The existence of a good

combination between the primer and DNA amplification orchids produce a

DNA band that much so as to provide good data for the determination of

kinship orchid (Xue et al., 2010).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

110

M D1 D2 D3 D4 D5 D6 M D1 D2 D3 D4 D5 D6 M D1 D2 D3 D4 D5D6 M D1 D2 D3 D4 D5 D6 DDDDD6D6 D6

OPA 07 OPA 13 OPA 02 OPA 09

Fig. 3 RAPD amplification profile of spesies Coelogyne with different primers. Line (1-6): 1. C.pandurata, 2. C. massangeana, 3. C. mayeriana, 4. C. asperata,5. C.celebensis, 6.C. rumphi

CONCLUSIONS 1. The moleculer RAPD analysis showed three clusters with 46 % similirity level. First cluster Coelogyne pandurata, Coelogyne rumphii and Coelogyne celebensis. The second cluster consists of Coelogyne mayeriana and Coelogyne asperata. However, the other three Coelogyne massangeana

2. RAPD primers produced 79 amplified fragments varying from 200 bp

to 3500 bp in size 100 % of the amplification bands were

polymorphic.

ACKNOWLEDGEMENT

This work was financially supported by Penelitian Unggulan

PerguruanTinggi from Directorate Generale of Higher Education (DGHE),

Indonesian Ministry of Education, No.3385a/ UN27.16/ PN/ 2014 for Sri

Hartati, Agriculture Faculty of Sebelas Maret University. We appreciate

Yuyu S. Poerba and Herlina of Genetic Laboratory Biological Research

Centre LIPI Bogor.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

111

REFERENCES

[1] Arya V, Yadav S and Yadav JP. 2011. Intra Specific Genetic Diversity Of Different Accessions Of Cassia Occidentalis by

RAPD Marker. Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 1(22): 1-8 [2] Carlos F V, Victor P, Peter F and Jorge L. 2006. Genetic diversity

and structure in fragmented populations of the tropical orchid Myrmecophila christinae var. christinae. Biotropica, 38: 754-763 [3] Das BK, Jena RC and Samal KC. 2009. Optimization of DNA Isolation and PCR protocol for RAPD Analysis Of Banana/ Plantain (Musaspp). Agriculture Science, 1(2): 21-25 [4] Doyle, J.J., Doyle J.L.,1987. A Rapid DNA Isolation procedure for small quantities of fresh leaf tissue. Phytochem. Bull. 19: 11-15 [5] Jones, Kuenhle and Arumuganathan 1998. Nuclear DNA content of 26 Orchid (Orchidaceae) genera with emphasis on Dendrobium.Annal of Botany, 82: 189-194 [6] Khosravi AR, Kadir MA, Kadzemin, SB, Zaman FQ and De Silva AE. 2009. RAPD Analysis of Cholchicine Induced Variation of the Dendrobium Serdang Beauty. African Journal of Biotechnology, 8(8): 1455-1465 [7] Nandariyah. 2010. Morphology and RAPD (Random Amplification of Polymorphic DNA) based classification of genetic variability of Java Salacca (Salacca zalacca Gaertner.Voss). Journal Biotechnology and Biodiversity, 1(1): 8-13 [8] Parab GVand Krishnan S. 2008. Assessment Of Genetic Variation Among Populations Of Rhynchostylis retusaan Epiphytic Orchid from Goa, India Using ISSR And RAPD Marker. Journal of

Biotechnology, 7(17): 313-319 [9] Poerba YS. and Ahmad F. 2010. Genetic variability among 18 cultivars of cooking bananas and plantains by RAPD and ISSR

markers. Journal Biodiversitas, 11(3): 118-123 [10] Rohlf. 1998. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis Syersion Version 2,02. Exertersorfware. New York.

[11] Verma neelambra, Koche V, Tiwari KL and Mishra SK. 2009. RAPD analysis reveal genetic variation in difeerent population of

Trichodesma indicum – A perennial medicinal herb. Journal of Biotechnology, 8(18): 4333-4338 [12] Vural, Cingili and Dageri. 2009. Optimization Of DNA Isolation

For RAPD-PCR Analisys Of Selected (Echinaceae purpurea L. Moench) Medicinal Plant Of Conservation Concern From Turkey. Journal of Medicinal Plants Research, 3(1): 16-19

[13] Wallace LE. (2003) Moleculer evidence for allopolyploid speciation and recurrent origins in Platanthe rahuronensis (Orchidaceae). International Journal Plant Science, 164(6): 907-916 [14] Xiang, N. and Y.commit Hong, 2003.to user Genetic Analysis Of Tropical Orchid Hybrid (Dendrobium) With Flourescence Amplified Fragment

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

112

Length Polymorphisme (AFLP). American Society Horticultura Science,128(5): 731-735

[15] Xue Dawei, Feng.S., Zhao, H., Jiang H., Shen, B., Shi N., Lu J., Liu J., Wang H, 2010. The Linkage Maps of Dendrobium Species

Based on RAPD and SRAP Marker. Journal of Genetic and Genomic, 37(3): 197-204

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id113

Lampiran 3

Hybridization Technique of Black Orchid (Coelogyne pandurata LINDL) Toenrich the Genetic Diversity and to Rescue the Genetic Extinction Sri Hartati1 Nandariyah2 Ahmad Yunus3 Djati W.Djoar 4

1 Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, E- mail: [email protected]

ABSTRACT

Coelogyne pandurata Lindl,an exotic and valuable orchid species

from eastern Kalimantan is currently endangered existence. The objectives of this study were to rescue the genetic extinction of

the Coelogyne pandurata Lindl as well as to create new genetics through crossbreeding with other species. Crosses were performed at 4 to 6 flowering individuals. Pollens were transferred from the anther to the

stigma by using sterile toothpicks, with the following methods: (i) selfing, (ii) crossing, (iii) reciprocal. The parameters observed included: percentage of success in crossing, the percentage of fallen fruit, age of ripening fruit,

time of protocorm formation. The results showed that the ability of crossing for each intersection

were as follows: crossing (♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii) was 100%, reciprocal: (♀ Coelogyne rumphii x ♂ Coelogyne pandurata) was 100% and selfing was 100%. The percentage of fallen fruit were as follows: crossingcommit was 50%,to user reciprocal was 25% and selfing was 25%. Age of ripening fruit are as follows: crossing was 158 days,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id114

reciprocal was 191 days and selfing pollination was 195-201 days. Time of protocorm formation were as follows: crossing was 22 days reciprocal was

48 days and selfing was 26-94 days.

Keywords : crossing, extinction, protocorm, reciprocal, selfing

INTRODUCTION

Group of orchid (Orchidaceae) is one of the largest families of floweringplants in the world that includes natural species and species from crosses (Xiang et al., 2003). The genus of Coelogyne Lindl is one of more than 200 sympodial epiphytes with the deployment area of India, China, Indonesia and Fiji Island centering in Kalimantan, Sumatra and the Himalaya (Devi et al., 2012). One of the rare species of Coelogyne Lindl protected by the government of Indonesia is black orchid (Coelogyne pandurata Lindl.), This spesies of orchid, naturally found in eastern Kalimantan, is very exciting with the characters of large green flowers with a black tongue protruding from its centre. Therefore this orchid has high economic value. However the existence of black orchid is currently being endangered and

now hard to find even in its native habitat, so the saving cultivation should

be done before extinction occurs.

One of the possible action to save the genetic extinction is by

crossing it to the other species. Selection of the elders having high

compatibility to be crossed is very important in determining the success of

a hybridization program

One barrier in crossing success is that between the crossed parents

should have a close genetic kinship. The previous research has been

conducted in 2012 to select elders that have a genetic proximity to the

Black Orchid (Coelogyne pandurata Lindl) using morphological

characterization and molecular characterization of RAPD (Random

Amplified Polymorphic DNA). The study found that Coleogyne rumphii commit to user was the selected parent to be crossed with Black Orchid.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id115

The cross of Coelogyne pandurata Lindl and Coleogyne rumphii

was done in the present research. The seeds obtained from the crosses were

grown in vitro using tissue culture.

By crossing of Coelogyne pandurata having big green flower and

black tongue and rarely flowering (2-3 times a year) and Coelogyne

rumphii having small yellow flower with brown tongue but simultaneous

and almost every months flowering, was expected to obtain new variants having combination characters and to enrich genetic diversity.

MATERIALS AND METHODS

1. Materials: Coelogyne pandurata and Coelogyne rumphii (collection of Bogor Botanical Garden Indonesia). 2. Place of experiment: Center Bogor Botanical Garden plant conservation 3. Methods : There were three kinds of crosses: (i) Selfing: pollen transfer to the stigma of a flower on one plant, (ii) Crossing: ♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii, (iii) Reciprocal : ♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii.

Crossing was conducted in the morning (07:00 to 10:00 am) and

performed at 4-6 flowering orchids. Pollens are transferred from

the anther to the stigma by using sterile toothpicks.

After harvesting the seeds sterilized with 70 % alcohol for 5

minutes . The pods were rinsed 4 times with sterile distilled water

before being transferred to a laminar box. Seeds were cultured in

medium with basic media of Knudson C + coconut milk (150 ml/

l) + bean extract (150 g/ l) + gelatin (7 g/ l) + activated charcoal

(1g/ l), pH 5.6

4. Observed parameter: percentage of crossing success, age of ripen fruit,

the percentage of fruit loss, and time of protocorm (seed germination). commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id116

RESULTS AND DISCUSSION

Based on the study of Hartati et al. (2013), morphological

characters of Black orchids (Coelogyne pandurata Lindl.) are epiphytic

with simpodial growth type, lanceolate breech- shape leaf, star-shape

flower. The positions of the flower is at the basal, its color ispale green

with black tongue, about 9.1 cm long and 10.35 width, the dorsal sepalis5.37 cmlong and 2cmwidth, the lateral sepals is 4.38 cm long and 1.46 cm width, the petal is 5.1 cm long and 1.3 cm width. The curve of the lip is at the threshold and the cross section flipped into the transverse lip. Each node contains big pseudobulb, 11.4 cm long, 2.78 cm width and 4,5 cm thick. The numbers of pollinia are 4, number of florets per stem are 7- 8, length of blooming duration is 6 days, the number of flower stalks is 1 - 2, not simultaneous flowering and only 2-3 times flowering season per year .Coelogyne rumphii orchids are epiphytic orchids with the type of growth: simpodial , lanceolate breech shape leaf, star-shape flower, light yellow flowers with brown tongue, flowering position in tip, flower stalk length of 30 cm, length of flowers is 4.4 cm, width of 5.1 cm, dorsal sepals is 4.36 cm x 1.42 cm, lateral sepals of 4.44 cm x1,1cm, petal of 4.2 cm x 3.5 cm,

the location of the curve of the lips is at the basal, reverse lip cross section

is very deep, large pseudobulb size, 10.5 cm long, 3.9 cm width, and 3.1

cm thick. The number of polliniais 4, number of florets per stem is 1,

length of blooming duration is 8 days, the number flower stalks is 3-5,

flowering simultaneously and almost every month.

Figure 1. C.commit pandurata to user Figure 2. C. rumphii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id117

Percentage of Crosses Success

Several days after that petal and crown of the female flower will

withered, dry and fallen, then emerge the small length wise

fruit.Sivanaswari et al. (2011) also stated that if crosses was made less than

a week after flower bloom, the surface of the stigma is receptive to pollen.

After 2 weeks, the flower closes and pollen becomes brownish and

receptive. It is important to reach flowering in different individuals at the same time for pollination through artificial hybridization. This study showed that whatever the method of pollination, it succeeds to form fruit (Table 1). Selection of elders to be crossed is very important in determining the success of a cross breeding program. Table 1 . Percentage of successful crosses, level of compatibility and time of fruit emergence No Parental crosses Pollination Number Success Compatibil Time of method flower of ful ity level fruit crossed crosses emergen (%) ce (days) 1 ♀ C. pandurata Crossing 4 100 Compatible 4 x ♂C. rumphii 2 ♀ C. rumphii x Reciprocal 6 100 Compatible 4 ♂C pandurata 3 C. pandurata Selfing 4 100 Compatible 6 4 C. rumphii Selfing 4 100 Compatible 5

Study of Sivanaswari et al. (2011) showed that Aerides odorata as

female resulted successful crosses of 0-60 %, while in the reciprocal cross

of Aerides odorata as males resulted 25-62 %. Described by Chaturvedi

and Shonali (2010) that the morphology of the orchid flower is slightly

complicated by stem structure called column, and at the apical section of

the column whose anther which has pollen inside called pollinarium. The

stigma lies in the sub-apical column called rostellum. The success of

pollination occurs when pollinarium can be incorporated into the rostellum.

Percentage of fruit loss

The orchid pollinationcommit usuallyto user takes place with an assistance of insects/ bees.The flower of Coelogyne species isdominated by yellow-green

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id118

(Clayton, 2002 in Cheng et al,. 2009). The study of Tremblay et al., (2005)

in Cheng et al., (2009) showed a failure to form fruit if the pollination is

done on the same flower (autogamy) or another flower on the same plant

(geitonogamy). This is due to a mismatch in the Orchidaceae plants.

Semiarti et al., (2007) stated that the conventional breeding

methods through crossing, such as interspecific hybridization is a common

way to create new varieties. Based on the classification of Wang (1963) are generally grouped three groups, namely compatibility which are: compatible (above 20 % success), incompatible majority (10-20 %) and fully incompatible (below 10 %). Research results in Table 1 show that all methods are compatible crosses (50 % -100 %). The study done by Hartati (2010) in a cross between Phalaenopsis and Vanda tricolor sp are compatible, but to produce seeds Phalaenopsis sp as a male parent and a female parent Vanda tricolor as likely to be greater than the reciprocal.

100

75

50

Fruit (%) fall 25

0 Crossing Reciprok Selfing 1 Selfing 2

Pollination method

Figure 3. Effect of pollination method to the percentage offruit fall

Time of fruit maturity

The percentage of harvested fruit set is determined by the number of

total fruit and fall fruit. On cross of ♀Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne

rumphii fruit ripening took place at 158 days and the reciprocal crosses of commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id119

♀Coelogyne rumphii x ♂ Coelogyne pandurata took place longer time, 191

days (Table 2).

Data in Table 2 indicated that time of fruit maturity in self-

pollination (selfing) was longer than if the plant crosses in the crossing or

in the reciprocal.

Compared to the study by Sivanaswari et al., (2011) showed that

the time of fruit maturity on the crossing of Aerides odorata as the female parent ranged from 0-179 days and the reciprocal cross, Aerides odorata as the male parent, ranged from 116-184 days. Tabel 2. Mean time of fruit matirity and time of protocorm emergence

No Parental crosses Pollination Percentage Time of Time of method of fallen fruit protocorm fruit (%) maturity emergence (days) (days) 1 ♀ C. pandurata Crossing 50 158 22 x ♂C. rumphii 2 ♀ C.rumphii x Reciprocal 25 191 48 ♂C pandurata 3 Coelogyne Selfing 25 155 26 pandurata 4 Coelogyne Selfing 25 201 94 rumphii

210

190

170

150

Fruit maturity(days)

130 Crossing Reciprocal Selfing 1 Selfing 2 Pollination method

commit to user Figure 4. Effect of pollination methods to the time of fruit maturity

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id120

Protocorm Emergence

90

70

50

30

10 Time of protocormemergence(days) crossing resiprok selfing 1 selfing 2 Pollination method

Figure 5. Effect of pollination method to the protocorm emergence

Protocorm Emergence The study showed that the crossing methods affected the protocorm emergence. The crossing of ♀Coelogyne pandurata x ♂Coelogyne rumphii protocorm emerged at 22 days, the reciprocal cross of ♀Coelogyne rumphii x ♂ Coelogyne pandurata emerged at 48 days, while the selfing in Coelogyne pandurata emerged at 26 days and Coelogyne rumphii at 94

days (Table 2)

Invitro orchid seed germination is influenced by several factors such

as the age of the seeds, nutrient media and sources of organic carbon

(Mohanty et al., 2012). Further more Arditti and Emst (1993) mentions that

incertain or chid species, after 20 days on germination medium, the cells in

the basal part of the embryo will divide and accumulate tannins.

According to Teixeira et al., (2008) development of orchid plant lets

from the seeds could be directly or indirectly through secondary protocorm

(PLBs). In addition, PLBs differentiated embryonic tissue that can develop

bipolar two different structures, namely, the shoot and root meristems.

Thus this structure can grow into plant lets when grown on appropriate commit to user nutrient medium (Yih and Saleh, 2011).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id121

CONCLUSION

A cross of ♀Coelogyne pandurata x ♂Coelogyne rumphii in the

methods of crossing, selfing and reciprocal cross are compatible and 100%

successful. Time of fruit maturity at the cross of ♀ Coelogyne pandurata x

♂ Coelogyne rumphii is 158 days, at the reciprocal cross of ♀ Coelogyne

rumphii x ♂ Coelogyne pandurata is 191 days and at the selfing is 155- 201days. Time of protocorm at the cross of ♀Coelogyne pandurata x ♂Coelogyne rumphii is 22 days and at the reciprocal cross of ♀Coelogyne pandurata x ♂Coelogyne rumphii is 48 days while at the selfing of Coelogyne pandurata and on Coelogyne rumphii ranged from 26-94 days.

REFERENCE

Arditti J and Ernst R. 1993. Micropropagation of orchids, pp 682. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Chaturvedi SK and Chaturvedi S. 2010. Biotic Pollination in Aerides odorata Lour (Orchidaceae). The International Journal of Plant Reproductive Biology, 2(1): 45-49.

Cheng J, Shi J, Shangguan FZ, Dafni A, Deng ZH andLuo YB, 2009. The pollination of a self-incompatible, food-mimic orchid, Coelogyne

fimbriata (Orchidaceae), by female Vespula wasps. Journal Annal of Botany, 104(3): 565–571.

Devi BC, Shibu BS and Wesly PS. 2012. In vitro Regeneration of

Coelogyne stricta Direct Somatic Embryogenesis. Journal Tropical Medicine Plants, 13(2): 153-161

Hartati S. 2010. The intergeneric crossing of Phalaenopsis sp. and Vanda tricolor. Jurnal of Biotechnologi and Biodiversity, 1(1): 26-30

Hartati S, Nandariyah, Yunus A, Djoar JW. 2014. Kekerabatan Anggrek Coelogyne spp Secara Morfologi Dalam Rangka Pelestarian Plasma

Nutfah. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Science 18 Januari 2014 hal.361-366

Semiarti E, Indrianto A, commitPurwantoro to user A, Isminingsih S, Suseno N, Ishikawa T, Yoshioka Y, Machida Y, Machida C. 2007. Agrobacterium-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id122

mediated transformation of the wild orchid spesies Phalaenopsis amabilis. Plant Biotechnology, 24 (2): 265-272.

Sivanaswari, Chalaparmal, Thohirah, LA , Fadelah, AA , dan Abdullah,

NAP. 2011. Hybridization of several Aerides species and in vitro germination of its hybrid. African Journal of Biotecnology, 10(53):

10864-10870.

Teixeira da Silva JA, Kauth PJ, Dutra D, Johnson TR, Stewart SL, Kane ME, Vendrame W, 2008. Techniques and applications of in vitro orchid seed germination. 1st edn. Teixeira da Silva JA, editor. Isleworth, UK: Global Science Books Ltd; p. 375-391. Vol. V, Floriculture, ornamental and plant biotechnology: advances and topical issues.

Wang H. 1963. A study on The Self and Cross Incompatibility in The Sweet Potato in Taiwan. Proceeding American Society of Horticultural Science. 84: 424-430. Xiang. 2003. Genetic Analysis Of Tropical Orchid Hybrid (Dendrobium) With Flourosece Amplified Fragment Length Polymorphisme (AFLP). Journal American Society Hortikultura Science, 128(5): 731- 735

Yih CNg and Saleh NM. 2011. In vitro propagation of Paphiopedilum orchid through formation of protocorm-like bodies. Plant Cell, Tissue and Organ Culture105: 193-202.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id123

Lampiran 4

Botanical Journal of the Linnean Society (Scopus)

CYTOLOGICAL STUDIES ON BLACK ORCHID HYBRID 1 2 3 4 Sri Hartati Nandariyah Ahmad Yunus Djati W.Djoar

1 Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, E- mail: [email protected]

Absract Cytological character of orchid is very important to study to support the success of breeding. The study aimed to assess the chromosomal number, karyotype pattern and ploidy level of F1 hybrid of Black Orchid (Coelogyne pandurata). This study shows that the chromosomal number of the F1 hybrid of Coelogyne pandurata (2n=36) >< Coelogyne rumphii (2n=72) is 2n=54. Ploidy analysis by flow cytometry shows that F1 hybrid shows triploid (2n=2x=54) different from the parent Coelogyne pandurata which is diploid (2n=2x=36) and the parent Coelogyne rumphii which is tetraploid (2n=2x=72). However both parents and their F1 hybrid performed the same karyotype pattern, which is metacentric.

Keywords: Chromosome, Cytologi, Coelogyne, flow cytometry, ploidy

Introduction

Group of orchid (Orchidaceae) is one of the largest families of

flowering plants in the world that includes natural species and species from

crosses (Xiang et al., 2003). The genus of Coelogyne Lindl is one of more

than 200 sympodial epiphytes with the deployment area of India, China,

Indonesia and Fiji Island centering in Kalimantan, Sumatra and the

Himalaya (Devi et al., 2012). One of the rare species of Coelogyne Lindl

protected by the government of Indonesia is black orchid (Coelogyne

pandurata Lindl.), This spesies of orchid, naturally found in eastern commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id124

Kalimantan, is very exciting with the characters of large green flowers with

a black tongue protruding from its centre.

Therefore this orchid has high economic value. However the

existence of black orchid is currently being endangered and now hard to

find even in its native habitat, so the saving cultivation should be done

before extinction occurs.

Orchid plants are plant species that have a very large diversity of phenotypes. Kinship was based phenotypic analysis of a number of appearances on the phenotype of an organism. Phylogenetic relationship between two individuals or populations can be measured by the number of characters in common with the assumption that different characters are caused by differences in genetic make up. The introduction of natural orchid character based on cytology would strongly support the success of plant breeding orchids. However, research on natural orchid plant cytology is very rarely done. Based on the above the writer is interested in conducting research on identification of Black Orchid (Coelogyne pandurata) and Coelogyne rumphii as the parents and their F1 hybrid.based on cytological characters in Laboratory Research

Center for Biology LIPI, Bogor Indonesia.

MATERIALS AND METHODS

Plant material: Coelogyne pandurata and Coelogyne rumphii were taken

from the living a collection of Bogor Botanical Garden LIPI Indonesia and

hybrid from Coelogyne pandurata >< Coelogyne rumphii

A B

Figure 1. The flower of C. pandurata (A) and C. rumphii (B) commit to user (Bogor Botanical Garden Indonesia , 2012)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id125

Chromosome preparation

Chromosome analysis of the parent orchid and their hybrid was

taken using the root tips. Calculation of the number of chromosomes,

carried out at the Research Center for Biology LIPI Bogor Indonesia, was

done based on the method of Manton (1950). Pieces of roots are soaked in

a solution of 0.002 M 8 – Hydroxyquinoline at ca 4°C for 3-5 hours and then fixed in 45 % acetic acid for 10 minutes. They were macerated in a mixture of 1 N HCl and 45 % acetic acid (1:3) at 60°C for 1-5 minutes and then stained with 2 % aceto-orcein. After that piece meristem pressed on object glass, and then observed under a microscope with a magnification x 1000 for the calculation of the number of chromosomes. Ploidy analysis was conducted using a space CyFlow ® (Partec GmbH) equipped with a diode pumped solid - state laser 920 mW) at a wave length of 488 nm and a laser diode at a wavelength of 638 nm (25 mW). Leaf pieces (0.5 cm2) chopped using a razor blade in a petri dish containing 250 mL of extraction buffer. After 30-90 seconds of extraction buffer was filtered using a Partec 30 mL Cell Trics filters. Using PI staining buffer (propidium Iodide) and RNase (1 ml), incubated for 30 min and then

analyzed in a flow cytometry before. As used control Coelogyne 2n = 36.

The observed variables include: the number of chromosome,

karyotype pattern and the ploidy level. The data were analyzed

descriptively.

RESULTS AND DISCUSSION

In plant taxonomy, chromosome observation is very important. The

number of chromosomes is cytological characters most easily observed

when compared to other chromosomal characteristics such as size and

shape of chromosomes. This study shows that the parent Coelogyne

pandurata has a chromosomal number of 2n = 36 and the parent Coelogyne

rumphii has a chromosomalcommit number to user of 2n = 72. The F1 hybrid of the cross

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id126

of Coelogyne pandurata >< Coelogyne rumphii has a chromosomal number

of 2n = 54 (Table 1).

This study is in line with the previous research done by Balanos et al.

(2008). They found that the hybrid Doritaenopsis had different number of

chromosome (2n=72) with the parent of Phalaenopsis sp (2n=38). Davina

(2009) also reported that the chromosomal number of 19 orchids being

studied varied from the lowest of 2n=26 Eltroplectris schlechteriana to the highest of 2n=108 Catasetum fimbriatum. Furthermore, Ramesh and Renganathan (2013a) reported that from five species of Coelogyne spp. The chromosome number ranged from the lowest of 2n=18 Coelogyne barbata Griff and the highest of 2n=32 Coelogyne breviscapa Lindl.

Table 1. Chromosome number, karyotype and ploidy Coelogyne pandurata and Coelogyne rumphii No Orchid Chromosome Ploidy Karyotype (2n) Level 1 C. pandurata 36 2x metacentric

2 C. rumphii 72 4x metacentric

3 F1 Hybrid (♀C. rumphii x 54 3x metacentric ♂C. pandurata)

4 F1 Hybrid (♀ C. pandurata x 54 3x metacentric ♂ C. rumphii)

Genome analysis provides valuable information about species

relationship and therefore, plays an important role in plant breeding

program. The genome affinities between parental species were

conventionally appraised according to the chromosome pairing behavior

observed at meiotic MI in F1 hybrids (Singh, 2003 cit Lee et al., 2011).

The number and form of chromosomes in each cell plant species are

fixed. Each cell has a characteristic number of chromosomes and each

chromosome in one species also has a distinctive structure. Consistency chromosome widely usedcommit by taxonomists to user to help solve problems related to plant morphology. As reported by Persson (1993) cit Sik et al. (2009) that

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id127

reported 75% Colchicum species examined had 90% and 67% polyploidy

chromosomes of species with a basic chromosome number polyploidy

based of n=7 and n=9. Levels can ploidy affect the size of the growth rate,

plant, stress tolerance and other important agronomic characteristics

(Walker et al, 2005; Ferchichi et al., 2006 cit Kahlaoui et al. (2009).

Begum and Alam (2005) showed that of the seven species of

orchids being observed, four species had the chromosome number of 2n = 38 karyotype patterns in species Peristylus constrictus, Luisia grovesii, Sarcanthus appendiculatus and Rhyncostylis retusa. Meanwhile, three other species had the number of chromosomes with different patterns of karyotype is Iridifolia oberonia 2n = 30, Pholidota pallid 2n = 40 and Phaius tankervilliae 2n = 52. Therefore, it can be concluded that along with changes in chromosome karyotype also ensures important role in evolution. Orchids usually have metacentric shaped chromosomes. The shape is determined by the ratio of the length of chromosome arm chromosome (r=q/ p). Ramesh and Renganathan (2013b) states that orchids generally have shaped metacentric chromosomes. The results of this study confirmed that, all observed orchids have metacentric chromosome (Figure 2).

Truta et al. (2013), states that the karyotype with metacentric and

submetacentric chromosome types are considered primitive and least

developed, because they are not supported restructuration and significant

genetic rearrangements during evolution. The trend toward karyotype

asymmetrization by increasing the number of telocentric chromosome is a

progressive step in the evolution of karyotype and have an impact on the

evolution of species.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id128

a b

c d

Figure 4 Karyotype a) Parent C. pandurata (2n=36), b) Parent C. rumphii (2n=72), c) Hybrid C. pandurata as male parent (2n=54) and d) Hybrid C. pandurata as female parent (2n=54)

This study showed the change in ploidy level of the hybrid from the parents. The parent C. pandurata was diploid and the parent C. rumphii was tetraploid and the cross of both parents generated the hybrid which was

a triploid. This result indicate that there may appear new character in the

hybrid. According to research Tra'vnı'cek et al (2012) of the species

Gymnadenia among this sample was found five different ploidies (2x, 3x,

4x, 5x, and 6x) and (Tra'vnı'cek et al., 2011) notice in the previous note that

these cytotypes known as tetraploid, hexaploid, octoploid, etc.This result

also in line with the research of Aoyama et al. (2013) which states that the

results of a cross from the parent in the ploidy level 2n = 2x = 44 and 2n =

4x = 88 obtained the hybrid of the ploidy level 2n = 3x = 66. Moreover, in

the study by Lee et al. (2011) on Paphiopedilum orchids and hybrid, the

parents P. delenatii, P. micranthum P.bellatulum, P. rothshildianum which

all had 2n = 26, P. callosum had 2n=29 and P. glaucophylum had 2n=1, the

hybrid of P..delenatii >< P. micanthum had 2n =26, P. delenatii >< P. commit to user bellatulum 2n=26, P. delenatii >< P. rothshildianum had 2n=26,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id129

P..delenatii >< P. callosum had 2n= 29, P. delenatii >< P. glaucophylum

had 2n = 31. Balanos et al. (2008) also explains that the cross of

Doritaenopsis sp. and Phalaenopsis sp. Generated the hybrid Hsin

Doritaenopsis I Purple Jewel with 2n = 3x ploidy level = 57.

a b

c d

Figure 5. Result from Flow Cytometry (a) C. pandurata, (b) C. rumphii, (c)

♀C. pandurata x ♂C. rumphii, (d) ♂C. pandurata x ♀C. rumphii

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id130

Conclusion

a. Chromosomal number of black orchid (Coelogyne pandurata) is 2n=36,

Coelogyne rumphii is 2n=72 and the hybrid is 2n=54.

b. Karyotype patterns of black orchid C. rumphii, C. pandurata and the

hybrid is metacentric.

c. Ploidy level of hybrid from the cross of diploid C. pandurata and tetraploid C. rumphii is triploid.

REFERENCES Aoyama M, Claudia A and Ximena CB. 2013. Chromosome numbers of some terrestrial orchids in Chile. Chromosome Botany, 8: 23-27. Balanos P, Shih-Wen C, Fure-Chyi C. 2008. Meiotic Chromosome Behavior and Capsule Setting in Doritaenopsis Hybrid. Journal American Society Horticulture Science, 133(1): 107-116. Begum dan Alam SS. 2005. Karyotype Analysis Of Seven Orchid Species From Bangladesh. Bangladesh Journal of Botany, 34(1): 31-36

Davina , JR, Mauro G, Juan CC, Diego HH, Ruben DA, Irma SI and Ana IH. 2009. Chromosome studies in Orchidaceae from Argentina. Genetics and Molecular Biology, 32(4): 811-821.

Devi BC, Shibu BS and Wesly PS. 2012. In vitro Regeneration of Coelogyne stricta Direct Somatic Embryogenesis. Journal Tropical

Medicine Plants,13(2): 153-16.1

Kahlaoui K, David JW, E. Correal, P. Martínez-Gómez, H. Hassenand S. Bouzid. 2009. The morphology, chromosome number and nuclearDNA content of Tunisian populations of three Vicia pecies.

African Journal of Biotechnology, 8(14): 3184-3191

Lee YI, Chang FC, Chung MC. 2011. Chromosome pairing affinities in interspecific hybrids reflect phylogenetic distances among lady’a slipper orchids (Paphiopedilum). Jourmal Annals of Botany, 108:

113-121

Manton I. 1950. Problems Cytology and Evolution in the Pteridophyta. New York : Cambridge Univ Pr.: 158-208.

Ramesh, T dan P. Renganathan. 2013 a. Chromosome studies on some

Tainia and Epidendrum species of Orchidaceae. International Journal Research Institute, 2 (1): 108-114 commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id131

Ramesh, T dan P. Renganathan. 2013 b. Chromosome analyses on different species of orchidaceae. International Journal Research Institute, 1

(1): 1-9

Sik, L., Teoman K and Feyza C. 2009. Chromosome numbers of two Colchicum L. species, C.burttii and C. balansae, from Turkey.

.African Journal of Biotechnology, 8(18): 4358-4362 Tiryaki,I. and M. Tuna. 2012. Determination of intraspecific nuclear DNA

content variationin common vetch (Vicia sativa L.) lines and cultivars based ontwo distinct internal reference standards. Turky Journal of Agricicultural, 36: 645-653 Tra´vnı´cˇek P, J. Jersa´kova´, Kuba´tova´, J. Krejcˇı´kova´, Richard M.B,M. Lucˇanova´, E. Krajnı´kova´, T. Teˇsˇitelova´, Z. S ˇ tı´pkova´, Jean-Pierre A,Emilia B, E. Jermakowicz, O. Cabanne, W. Durka, P. Efimov, M. Hedre´n, Carlos E.H, K. Kreutz, T. Kull, K. Tali, O. Marchand, M. Rey, Florian P.S, V. C ˇ urn and J. Suda, 2012. Minority cytotypes in European populations of the Gymnadenia conopsea complex (Orchidaceae) greatly increase intraspecific and intrapopulation diversity. Annals of Botany, 110: 977–986. Tra´vnı´cˇek P, Kuba´tova´ B, C ˇ urn V, et al. 2011. Remarkable coexistence of multiple cytotypes of the Gymnadenia conopsea aggregate (the fragrant orchid): evidence from flow cytometry. Annals of Botany 107:77–87. Truta, G. Vochitha, C.M. Rosu, M.M. Zamfirache. 2013. Karyotype traits in Romania selection of edible blue honeysuckle. Turky Journal of Biology 37: 60-68

Turpeinen T, Kulmala J, Nevo E. 1999. Genome size variation in Hordeum spontaneum populations. Genome, 42: 1094-1099.

Walker DJ, Monino I, Correal E. 2006. Genome size in Bituminaria

bituminosa (L) C.H. Stirton (Fabaceae) populations: separation of true differences from environmental effects on DNA determination. Environ. Exp. Bot. 55: 258-265.

Xiang. 2003. Genetic Analysis Of Tropical Orchid Hybrid (Dendrobium)

With Flourosece Amplified Fragment Length Polymorphisme (AFLP). Journal American Society Hortikultura Science 128(5):

731-735

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id132

Lampiran 5

IDENTIFICATION HYBRID Coelogyne pandurata BASED ON

MOLECULAR RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) AND ISSR (Inter Simple Sequence Repeat). 1 2 3 4 Sri Hartati Nandariyah Ahmad Yunus Djati W.Djoar

1 Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, E- mail: [email protected]

Abstract Black orchid (Coelogyne pandurata Lindl.) is a natural orchid endemic to eastern Kalimantan existence is currently threatened with extinction. Tujuan Objective: to determine the genetic diversity among parent orchids and Hybrid black orchid Coelogyne pandurata with Coelogyne rumphii based on molecular markers RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and ISSR (Intersimple Sequence Repeat).Molecular analysis using RAPD molecular markers with 6 primary and ISSR using 4 primary.Crossover study conducted in Genetics Biological Research Center of LIPI Bogor Indonesia. Isolasi DNA menggunakan metode CTAB dan

diamplifikasi dengan PCR.

Analisys with RAPD to be present variation between parents of hybrid with range of genetic. If parents of C. pandurata has range of genetic 0.60 and then hybrid from ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii has

range of genetic 0.54, can to conclude present a new variation 6%. Hybrid from ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii has range of genetic 0.50, can to

conclude present a new variation 10%. Analisys with ISSR also to be present variation between parents of hybrid with range of genetic. If parents of C. pandurata has range of genetic 0.32 and then hybrid from ♂ C.

pandurata x ♀ C. rumphii has range of genetic 0.43, can to conclude present a new variation 11%. Hybrid from ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii

has range of genetic 0.35 can to conclude present a new variation 3%.

Keywords: Orchid, Coelogyne, RAPD, parent, the results of crossing

INTRODUCTION Black orchid (Coelogynecommit to user pandurata Lindl.) is one endangered orchids Indonesian government, with the characteristics of large green

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id133

flowers with a black tongue the distribution area of India, China, Indonesia

and Fiji Island. Regional distribution center in Borneo, Sumatra and

Himalaya (Devi et al,. 2012). To save the genetic extinction of black

orchids and to add new genetic diversity necessary to cross to the other

types. Election of parent is an early stage is very important in determining

the success of a hybridization program.

One method that can be used to analyze the phylogenetic relationship between plant species and genetic diversity is to use RAPD analysis (Arya et al,.2011; Das et al,. 2009; Niknejad et al,. 2009). Orchid plant is a plant that has a pattern typical more diversity (Khosravi et al.,2009). ISSR has high reproducibility due to the use of longer primers (16- 25 nucleotide) compared RAPD primers (10 nucleotide bases), which allows the use of high annealing temperature (45-60oC). ISSR most segregated as dominant markers to follow the inheritance Mendel (Astarini, 2009). Vanda hybrid plants compared with the parent, the RAPD analysis has been successfully used to distinguish between interspesies or

spesies(Tanee et al,. 2012). Dendrogram formed can be used to distinguish

wild orchids, hybrids, species from each other with different patterns.

Therefore it is necessary to investigate the genetic diversity and

similarity of parent and the F1 results of cross than black orchid

(Coelogyne pandurata Lindl.) with elected parent Coleogyne rumphii using

molecular markers RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and

ISSR (Inter Simple Sequence Repeat).

METHODS

The plant material

Materials orchids Coelogyne pandurata and Coelogyne rumphii

collection of Bogor botanical garden LIPI, each with 3 samples as parent and 10 samples Hybrid commitfrom crosses to user include replicates one and two). The

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id134

chemicals used in this study is, CTAB (Cetyltrimethyl Ammonium

Bromide) 10%, PVPP (polivinilpolipirilidon), Tris-HCl buffer 1 M, 0.5 M

EDTA, 5 M NaCl, CIAA (Chloroform Isoamyl Alcohol), isopropanol,

ethanol 70%, the extraction buffer, TE buffer (Tris HCl EDTA), TAE

buffer, loading buffer, sodium acetate, primers, PCR master mix (H2O,

Stoffel buffer, dNTPs, MgCl , and Taq polymerase enzyme), agarose, gel 2 loading, and EtBr (ethidium bromide). Extraction of DNA Total genomic DNA was isolated from dried silica leaves according to (Delaporta et al., 1983) with the addition of RNAse treatment (100 mg/ l). Isolation of DNA visualized in quantity and quality in a 1% Agarose gel electrophoresis. Data Analysis Each RAPD and ISSR bands pattern will be considered as a separate putative locus. Only distinct, reproducible, fragments were resolved selected and scored for presence (1) and absence (0) of a band. binary matrix of RAPD phenotypes would then be assembled for analysis. A similarity matrix was built and subjected to cluster analysis after the

group method with arithmetic mean (UPGMA) of NTSYS -pc computer

program version 2.20.

RESULTS AND DISCUSSION

The intensity of DNA bands in each primary amplification product

is affected by the purity and concentration of DNA template. DNA

template containing compounds such as polysaccharides and phenolic

compounds often produce DNA bands faint (Poerba and Martanti 2008). It

allows not all that RAPD markers can be amplified in plants and the hybrid

parent plant. All loci in parent can be found in hybrid , except in a few

individual markers hybrid OPA 07 with ♀C. pandurata. The results are

then analyzed the tape, the tape showed only amplification used for scoring and for analysis further (commitArya et toal,. user 2011 ).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id135

Table 1. Primer sequence, polymorphic bands and percentage of

polymorphism in RAPD analysis No Primer Sequence 5’ to 3’ Size (bp) Amplified polymor % Bands phic polymorp bands hism 1 OPA-02 TGCCGAGCTG 450-1900 10 10 100 2 OPA-07 GAAACGGGTG 350-1700 8 8 100 3 OPB-12 CCTTGACGCA 350-1400 7 7 100 4 OPB-17 AGGGAACGAG 200-2100 10 10 100 5 OPB-18 CCACAGCAGT 400-2200 8 8 100 6 OPD-11 AGCGCCATTG 500-1500 7 7 100 ∑ 50 50 Rata-rata 8.3 8.3 100

Polymorphism exhibited by RAPD markers due to various things such as deletions that eliminate the primary binding, which makes insertion of DNA fragments become too big for polymerase, nucleotide substitution at the primary cause of attachment failure or additions or deletions polymerase that causes small DNA fragments become smaller and enlarged. Polymorphism is a picture obtained by amplification of the DNA fragment differences were observed and scored as the presence or absence of sequence differences that indicate the presence or absence variation

(Gregor et al.,2000). Pada penelitian ini digunakan enam marka baik pada

persilangan dengan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii and ♀ C. pandurata x

♂ C. rumphii 100% yang masuk ke dalam kriteria polimorfis.

Tabel 2. Primer sequence, polymorphic bands and percentage of polymorphism in ISSR analysis

No Primer Sequence 5’ to 3’ size (bp) Amplified polymorphic % Bands bands polymorph ism 1 UBC 814 5’CTC TCT CTC 250-1100 8 7 87.5% TCT CTC TA-3’

2 UBC826 5’ACA CAC ACA 400-1600 9 7 77.8% CAC ACA CC-3’ 3 UBC 807 5’AGA GAG AGA 600-1500 6 6 100% GAG AGA GT-3’ 4 UBC 810 5’GAG AGA GAG 300-1200 7 7 100% AGA GAG AT-3’ commit to∑ user 30 27 Rata-rata 7.5 6.75 91.32%

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id136

RAPD produce bands polymorphic 100% and ISSR 91.32%. This

matter as wel asstatement of Metais et al. (2000) about ISSR and RAPD

bot marker can producebands polymorphic from Phaseolus vulgaris.

Figure 1. The results of DNA amplification with primers OPB 12: 1-3 : C. pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii;

3000

1500

1000 900 800

500 400

Figure 2. The results of DNA amplification with primers OPB 18: 1-3 : C. pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C.

rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii

3000

1500 1000

700 600 500 400

Figure 3. The results of DNA amplification with primers UBC 814 : 1-3 : C. pandurata,commit 4-6 : toC. userrumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id137

3000

1500

1000

700 600 500 400

Figure 4. The results of DNA amplification with primers UBC 826 : 1-3 : C.pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii

a b

Figur 5. Dendrogram a. Results of a cross ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii

b.Results of a cross ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii analysis using RAPD markers in individuals parent (1-3 C. pandurata and 4-6 C. rumphii) and hybrid crosses of the two parent (7-16)

UPGMA cluster analysis resulted in a dendrogram depicting the

genetic relationship between all accessions tested. RAPD Analisys.

Result of cross ♂ C. pandurata and ♀ C. rumphii at similarities

33% showed all hybrid individuals gathered together with parent ♀ C.

rumphii. While the result of cross ♀ C. pandurata and ♂ C. rumphii at similarities 26% showedcommit of all to hybrid user individuals gathered together with

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id138

parent ♀ C. pandurata. Vanda hybrid plants with a parent, RAPD analysis

has been successfully used to interspesies and between spesies (Tanee et

al., 2012).

b a

Figur 6. Dendrogram a. Results of a cross ♂C. pandurata x ♀ C. rumphii b. Results of a cross♀ C. pandurata x ♂C. rumphii analysis using ISSR markers in individuals parent (1-3 C. pandurata and 4-6 C. rumphii) and hybrid crosses of the two parent (7-16)

ISSR analysis results from crosses of ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii on the similarity of 54% indicates frist cluster is ♂ C. pandurata and hybrid 9, 10 and 11.Second cluster is ♀C. rumphii parent and another

hybrid. While the results of a cross ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii on the

similarity of 52% indicates frist cluster is ♂ C. rumphii and individual

hybrid number 9 and second cluster is ♀ C. pandurata with another hybrid.

Results dendrogram can distinguish wild orchids, hybrids, species from one

another by three different levels. Success in interspecific hybrid crosses

produce typically characterized by close kinship (Nielsen, 1999).

Information on the genetic relationships among individuals within

and between species have utility for crop improvement. Estimation of

useful genetic relationship manage germplasm, kultifar identification,

selection parent to cross, as well as reducing the number of individuals

needed for sampling with a wide range of genetic diversity (Julisaniah et

al.., 2008). Hybrid combinations in different hybrid lines indicate commit to user compatibility different (Yuping et al., 2012). Phylogenetic relationship of

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id139

the results of RAPD analysis above still needs to be done through cross

retesting. When do the reverse of all cross-compatible, it was found that

none could produce hybrids (Inthawong et al., 2006). This suggests that

certain species may be used as a sole mother plant and can not be used as

the pollen donor. Propagation of Dendrobium takes time to test the

compatibility of interspecific crosses and study of the factors compatible

not cross (Gregor et al., 2000). Based dendogram images either using RAPD and ISSR markers can be seen that there is a difference between the results of a cross ♂ C. pandurata and ♀ C. rumphii and ♀ C. pandurata and ♂ C. rumphii. In the results of a cross ♂ C. pandurata and ♀ C. rumphii, hybrid follow female parents or C. rumphii. In the results of a cross ♀ C. pandurata and ♂ C. rumphii, hybrid follow female parents or C. pandurata.

CONCLUTION

1. Analisys with RAPD to be present variation between parents of hybrid with range of genetic. If parents of C. pandurata has range of genetic 0.60 and then hybrid from ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii has range of

genetic 0.54, can to conclude present a new variation 6%. Hybrid from

♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii has range of genetic 0.50, can to

conclude present a new variation 10%.

2. Analisys with ISSR also to be present variation between parents of

hybrid with range of genetic. If parents of C. pandurata has range of

genetic 0.32 and then hybrid from ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii has

range of genetic 0.43, can to conclude present a new variation 11%.

Hybrid from ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii has range of genetic 0.35

can to conclude present a new variation 3%.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id140

REFERENCES

Arya V, Yadav S, and Yadav JP. 2011. Intra Specific Genetic Diversity Of Different Accessions of Cassia occidentalis By RAPD Marker. Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 1(22): 1-8

Astarini IA. 2009. Aplikasi Marka Molekuler untuk Peningkatan Kualitas

Produksi Kembang Kol (Brassica oleraceae var. botrytis). Editor : Wirawan, I.G.P., Supartana, P., dan Juliasih, S. M. Denpasar : Universitas Udayana. Das BK, Jena RC and Samal KC. 2009. Optimization Of DNA Isolation And PCR Protocol For RAPD Analysis Of Banana/ Plantain (Musa Spp). Agriculture Science, 1(2): 21-25 Devi BC, ShibuBS and Wesly PS. 2012. In vitro Regeneration of Coelogyne stricta Direct Somatic Embryogenesis . Journal Tropical Medicine Plants, 13(2): 153-161 Gregor Mc, CE, LambertCA, GrylicMM, LouwJH, and Warnich L. 2000. A comparison assessment of DNA finger printing technique (RAPD, ISSR, AFLP, and SSR) in tetraploid potato (Solanum tuberosum L.) germplasm. Euphytica 113: 135 – 144. Inthawong, Budinthya, Kuanprasert, and Apavatjrut. 2006. Analysis of intersectional hybrid of Dendrobium by RAPD technique. Kasetsart Journal (Nat. Sci), 40(2): 456-461

Julisaniah NI, Sulistyowati L, dan Sugiharto AN. 2008. Analisis Kekerabatan Mentimun (Cucumis sativus L.) menggunakan Metode

RAPD-PCR dan Isozim. Jurnal Biodiversitas, 9(2): 99-102.

Khosravi AR, Kadir MA, Kadzemin SB, Zaman FQ, and De Silva AE. 2009. RAPD Analysis Of Cholchicine Induced Variation Of The

Dendrobium Serdang Beauty. African Journal Of Biotechnology, 8 (8): 1455-1465

Metais I, Aubry C, Hamon B, Jalouzot R & Peltier D.2000. Description and analysis of genetic diversity between commercial bean lines

(Phaseolus vulgaris,L.). Theory Applied Genetic 101: 1207-1214.

Nielsen LR, Siegismund HR . 1999. Interspecific differentiation and hybridization in Vanilla species (Orchidaceae). Heredity 83(5): 560- 567

Niknejad A, Kadir MA, Kadzimin SB, Abdullah NAP, Sorkheh K. 2009.

Moleculer characterization and phylogenetic relationship among and within species of Phalaenopsis (Epdendroideae: Orchidaceae)

base on RAPD analysis. Africa Journal Biotechnology, 8: 5225- 5240 commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id141

Poerba, YS dan Martanti D. 2008. Keragaman Genetik Berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA pada Amorphopallus

muelleri Blume di Jawa. Jurnal Biodiversitas, 9(4): 245 – 249.

Rohlf, FJ 2000. NT SYS-pc: Numeral Taxonomy and Multivariate Analysis System Version 2.1. User Guide. Departement of Ecology

and Evolution State University of New York. Tanee T, Chadmuk P, Sudmoon R, Chaveerach A, and Noikotr K. 2012.

Genetic analysis for identification, genomic template stability in hybrids and barcodes of the Vanda species (Orchidaceae) of Thailand. African Journal of Biotechnology, 11(55): 11772-11781. Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalsky JA, Tingley SV. 1990. DNA plolymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research,18(22): 6531-6535. Yuping Z, Wang W, Li X dan Zhao X. 2012. Study on Interspecific Compatibility of Different Combinations Inner (Inter) Lily Hybrids. Journal of Scientific Research 11(5): 567-574

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

142

Lampiran 6. Hasil Pengamatan karakterisasi Morfologi Coelogyne spp

Characters No Characters C. pandurata C. massangeana C. mayeriana C. asperata C. celebensis C. rumphii Rhizome/ 1. Present/ ada 1. Present/ ada 1. Present/ ada 1. Present/ ada 1. Present/ ada 1. Present/ ada 1 Rizoma Pseudobulbs/ batang 1. Present/ ada 1. Present/ ada 1. Present/ ada 1. Present/ ada 1. Present/ ada 1. Present/ ada 2 semu(umbi semu) 2. More than one 2. More than one 2. More than one 2. More than one 2. More than one 2. More than one Pseudobulbs, lifetime/ 3 year/ lebih dari year/ lebih dari year/ lebih dari year/ lebih dari year/ lebih dari year/ lebih dari daya tahan batang semu satu tahun satu tahun satu tahun satu tahun satu tahun satu tahun Pseudobulb, number of 1. One/ satu 1. One/ satu 1. One/ satu 1. One/ satu 1. One/ satu 1. One/ satu 4 internodes/ jumlah ruas pada bulb Pseudobulb, number of 2. Two or more/ 2. Two or more/ 2. Two or more/ 2. Two or more/ 1. One/ satu 1. One/ satu 5 leaves/ jumlah daun dua atau lebih dua atau lebih dua atau lebih dua atau lebih pada bulb 2. Proteranthous/ 2. Proteranthous/ 2. Proteranthous/ 2. Proteranthous / 2. Proteranthous/ 2. Proteranthous/ Inflorescens, type/ tipe bunga muncul bunga muncul bunga muncul bunga muncul bunga muncul bunga muncul 6 perbungaan sebelum daun sebelum daun sebelum daun sebelum daun sebelum daun sebelum daun

1. (sub) erect/ 1. (sub) erect/ 1. (sub) erect/ 1. (sub) erect/ 1. (sub) erect/ 1. (sub) erect/ Inflorescens, position/ 7 tegak tegak tegak tegak tegak tegak posisi perbungaan

1. up to 15/ 1. up to 15/ 1. up to 15/ 1. up to 15/ 1. up to 15/ 1. up to 15/ Inflorescens, number of sampai dengan sampai dengan sampai dengan sampai dengan sampai dengan sampai dengan 15 8 flowers/ jumlah bunga 15 15 15 15 15 pada tangkai

9 Scape, sterile bracts on 1. present/ ada 1. present/ ada 1. present/ ada 1. present/ ada 1. present/ ada 1. present/ ada

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

143

base/ batang penumpu pada bunga, Scape, shape in cross 2. terete/ silinder 2. terete/ silinder 2. terete/ silinder 2. terete/ silinder 2. terete/ silinder 2. terete/ silinder section/ batang 10 penumpu pada bunga, bentuk pada bagian melintang Rhachis, sterile bracts 1. present/ ada 1. present/ ada 1. present/ ada 1. present/ ada 2. absent/ tidak 2. absent/ tidak on base/ tangkai ada ada 11 majemuk, daun pelindung bawah (selaput) 2. non imbricate/ 2. non imbricate/ 2. non imbricate/ 2. non imbricate/ 1. imbricate/ 1. imbricate/ Rhachis, sterile bracts tidak bersusun tidak bersusun tidak bersusun tidak bersusun bersusun genteng bersusun genteng 12 on base 2. non imbricate/ 2. non imbricate/ tidak bersusun tidak bersusun 1. extremely 1. extremely 1. extremely 1. extremely 1. extremely 1. extremely swollen/ sangat swollen/ sangat swollen/ sangat swollen/ sangat swollen/ sangat swollen/ sangat Rhachis, internodes/ membengkak membengkak membengkak membengkak membengkak membengkak 13 ruas 2. not swollen/ 2. not swollen/

tidak tidak membengkak membengkak 2. persistent/ 2. persistent/ 2. persistent/ 2. persistent/ 1. caducous/ 1. caducous/ Floral bract/ daun 14 pelindung (selaput tidak luruh tidak luruh tidak luruh tidak luruh cepat luruh cepat luruh bunga) (bertahan) (bertahan) (bertahan) (bertahan)

1. opening in 1. opening in 2. opening 1. opening in 1. opening in 1. opening in 15 Flowers / bunga succession succession (almost) succession succession succession

simultaneously

1. glabrous/ 1. glabrous/ 1. glabrous/ 1. glabrous/ 1. glabrous/ 1. glabrous/ 16 Ovary/ bakal buah gundul gundul gundul gundul gundul gundul

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

144

2. ovate-oblong/ 2. ovate-oblong/ 2. ovate-oblong/ 2. ovate-oblong/ 1. linear/ lurus 1. linear/ lurus 17 Petals/ mahkota bulat telur- bulat telur- bulat telur- bulat telur- lonjong lonjong lonjong lonjong 1. saccate/ 1. saccate/ 1. saccate/ 1. saccate/ 1. saccate/ 1. saccate/ seperti Sepals, base/ kelopak, seperti kantong seperti kantong seperti kantong seperti kantong seperti kantong kantong 18 dasar (melengkung) (melengkung) (melengkung) (melengkung) (melengkung) (melengkung)

1. glabrous/ 1. glabrous/ 1. glabrous/ 1. glabrous/ 1. glabrous/ 1. glabrous/ Sepals, indumentum/ 19 gundul gundul gundul gundul gundul gundul kelopak,

Lateral sepals/ kelopak 1. free/ bebas 1. free/ bebas 1. free/ bebas 1. free/ bebas 1. free/ bebas 1. free/ bebas 20 bawah 1. sigmoid/ 1. sigmoid/ 1. sigmoid/ 1. sigmoid/ 1. sigmoid/ 1. sigmoid/ berombak- berombak- berombak- berombak- berombak- berombak-ombak 21 Lip, base/ bibir, dasar ombak ombak ombak ombak ombak

3. larger than 30 1. between 10 2. larger than 30 3. larger than 30 3. larger than 30 3. larger than 30 Lip, length/ bibir, mm/ lebih besar and 30 mm/ mm/ lebih besar mm/ lebih besar mm/ lebih besar mm/ lebih besar 22 panjang dari 30 mm antara 10 dan 30 dari 30 mm dari 30 mm dari 30 mm dari 30 mm

mm 1. rounded/ 1. rounded/ 1. rounded/ 1. rounded/ 1. rounded/ 1. rounded/ membulat membulat membulat membulat membulat membulat

Hypochile, base/ 2. saccate/ 2. saccate/ 2. saccate/ 2. saccate/ 2. saccate/ 2. saccate/ seperti 23 kepingan ketiga pada seperti kantong seperti kantong seperti kantong seperti kantong seperti kantong kantong bibir bunga, pangkal (melengkung) (melengkung) (melengkung) (melengkung) (melengkung) (melengkung)

3. spurred/ 3. spurred/ 3. spurred/ 3. spurred/ 3. spurred/ 3. spurred/ memacu memacu memacu memacu memacu memacu Hypochile, lateral lobes 1. narrow/ 1. narrow/ 1. narrow/ 1. narrow/ 1. narrow/ 1. narrow/ sempit 24 size / ukuran keping sempit sempit sempit sempit sempit 2. broad/ luas

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

145

bibir bunga bawah 2. broad/ luas 2. broad/ luas 2. broad/ luas 2. broad/ luas 2. broad/ luas 3. absent/ tidak 3. absent/ tidak 3. absent/ tidak 3. absent/ tidak 3. absent/ tidak 3. absent/ tidak ada ada ada ada ada ada 1. continuing 1. continuing 1. continuing 1. continuing 1. continuing 1. continuing towards tha base/ towards tha base/ towards tha base/ towards tha base/ towards tha base/ towards tha base/ menjulang dari menjulang dari menjulang dari menjulang dari menjulang dari menjulang dari 25 Hypochile, lateral lobes dasar dasar dasar dasar dasar dasar 2. not continuing 2. not continuing 2. not continuing 2. not continuing 2. not continuing 2. not continuing towards the base towards the base towards the base towards the base towards the base towards the base 1. erect/ tegak 1. erect/ tegak 1. erect/ tegak 1. erect/ tegak 1. erect/ tegak 1. erect/ tegak Hypochile, lateral lobes 26 2. spreading/ 2. spreading/ 2. spreading/ 2. spreading/ 2. spreading/ 2. spreading/ position menyebar menyebar menyebar menyebar menyebar menyebar Hypochile, keels 1. 0 1. 0 1. 0 1. 0 1. 0 1. 0 number (jumlah tunas- 2. 2-3 2. 2-3 2. 2-3 2. 2-3 2. 2-3 2. 2-3 27 bag tanaman seperti 3. More than 3 3. More than 3 3. More than 3 3. More than 3 3. More than 3 3. More than 3 biduk) 1. Decurrent 1. Decurrent 1. Decurrent 1. Decurrent 1. Decurrent 1. Decurrent plate-like plate-like plate-like plate-like plate-like plate-like projections with projections with projections with projections with projections with projections with undulating crest undulating crest undulating crest undulating crest undulating crest undulating crest

2. More or less 2. More or less 2. More or less 2. More or less 2. More or less 2. More or less fused irregular fused irregular fused irregular fused irregular fused irregular fused irregular Hypochile, keels shape rounded warts rounded warts rounded warts rounded warts rounded warts rounded warts 28 (bentuk tunas) 3. Elongate 3. Elongate 3. Elongate 3. Elongate 3. Elongate 3. Elongate plate- plate-like plate-like plate-like plate-like plate-like like projections projections with projections with projections with projections with projections with with glabrous

glabrous apices glabrous apices glabrous apices glabrous apices glabrous apices apices 4. Decurrent 4. Decurrent 4. Decurrent 4. Decurrent 4. Decurrent 4. Decurrent plate-like plate-like plate-like plate-like plate-like plate-like

projections with projections with projections with projections with projections with projections with

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

146

fimbriate margin fimbriate margin fimbriate margin fimbriate margin fimbriate margin fimbriate margin 5. Elongate 5. Elongate 5. Elongate 5. Elongate 5. Elongate 5. Elongate plate- plate-like plate-like plate-like plate-like plate-like like projections projections with projections with projections with projections with projections with with stellately stellately stellately stellately stellately stellately arranged hairs at arranged hairs at arranged hairs at arranged hairs at arranged hairs at arranged hairs at the apices the apices the apices the apices the apices the apices Hypochile, callus/ 1. Present 1. Present 1. Present 1. Present 1. Present 1. Present 29 belulang pada bibir 2. Absen 2. Absen 2. Absen 2. Absen 2. Absen 2. Absen 1. Absen 1. Absen 1. Absen 1. Absen 1. Absen 1. Absen 30 Epichile, lateral lobes 2. Present 2. Present 2. Present 2. Present 2. Present 2. Present 1. semi- 1. semi- 1. semi- 1. semi- 1. semi- 1. semi-orbicular, orbicular, widely orbicular, widely orbicular, widely orbicular, widely orbicular, widely widely retuse Epichile, lateral lobes retuse retuse retuse retuse retuse 2. not orbicular 31 shape 2. not orbicular 2. not orbicular 2. not orbicular 2. not orbicular 2. not orbicular only slightly only slightly only slightly only slightly only slightly only slightly retuse retuse retuse retuse retuse retuse Epichile, number of 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 32 keels 33 Epichile, apex margin 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent

Column, length/ leher 1. Short 2. Long 2. Long 1. Short 2. Long 2. Long 34 tugu, panjang Column, connected to 1. up to middle/ 1. up to middle/ 1. up to middle/ 1. up to middle/ 1. up to middle/ 1. up to middle/

35 lip / leher tugu, sampai ke tengah sampai ke tengah sampai ke tengah sampai ke tengah sampai ke tengah sampai ke tengah terhubung dengan bibir

Column, stelidia/ leher 1. Present 2. Absen 1. Present 1. Present 1. Present 1. Present 36 tugu, gigi tugu 2. present only at 2. present only at 2. present only at 2. present only at 1. present over 1. present over

37 Column, wing the apex the apex the apex the apex total length total length

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

147

1. with small 1. with small 1. with small 1. with small 2. with large 2. with large 38 Column, apex wings wings wings wings wings wings Pollinia, number/ 1. 4 1. 4 1. 4 1. 4 1. 4 1. 4 39 benang sari, jumlah Stipes/ tangkai yang 2. Present 2. Present 2. Present 2. Present 2. Present 2. Present 40 menunjang alat kelamin betina&jantan Pollinia, caudicle/ 1. small 1. small 1. small 1. small 1. small 1. small 41 benang sari , ekor serbuk sari Trichomes on leaf 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 42 surface/ bulu pada permukaan daun 43 Stomata/ mulut daun 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent Epidermal crystals/ 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 44 kristal kulit ari Stegmata in 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 1. absent 45 sclerenchymatous tissues

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id148

Lampiran 7. Hasil Amplifikasi anggrek Ceologyne spp menggunakan 11

primer RAPD

M D1 D2 D3 D4 M D1 D2 D3 D4 D5 M D1 D2 D3 D4 D5 D6 D55555D4DdD5D5D6 D6D666D6

OPA 02 OPA 09 OPA 16

OPA 07 OPA 13 OPB 12

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id149

OPB 17 OPB 18 OPD 02

M D1 D2 D3 D4 D5 D6 M D1 D2 D3 D4 D5 D6 Keterangan:

D1= C. pandurata D2= C. massangeana D3= C. mayeriana D4= C. asperata D5= C. celebensis D6= C. rumphii

OPD 08 OPD 11

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id150

Tabel 8. Interpretasi Amplifikasi DNA Anggrek Coelogynespp dengan 11

primer

Primer Ukuran D1 D2 D3 D4 D5 D6

OPA 300

02 400

500

550

750

OPA 300

07 400

500

600

700

800

1200

1700

2000

OPA 250 09 300

350

550

750

1500

OPA 250 13 300

400

550

600

800

1000

OPA 250

16 300

350

500

600

800

900

1000

1500

2000 commit to user

OPB 400

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id151

12 500

600

800

900

1100

1200

1600

OPB 200

17 300

400

500

600

800

900

1000

1200

1500

OPB 600

18 800

900

1200

1600 OPD 250

02 750 1000

1500

2000

2500

3000

3500 OPD 750

08 1000

1500

2000

2500

3000

OPD 500

11 1500

2500

3000 3500 commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id152

Lampiran 9. Ukuran dan Bentuk kromosom Coelogyne pandurata

Pasangan Panjang Kromosom (x ± SD, µm) Nisbah Bentuk Krom. Lengan Lengan Lengan lengan Kromosom Panjang (q) Pendek (p) Total (q + p) (r=q/ p)

1 2.56 ± 0.12 2.39 ± 0.10 4.94 ± 0.21 1.07 ± 0.01 metasentrik 2 2.39 ± 0.25 2.25 ± 0.46 4.64 ± 0.71 1.06 ± 0.15 metasentrik

3 2.04 ± 0.17 1.60 ± 0.02 3.64 ± 0.16 1.27 ± 0.12 metasentrik

4 1.79 ± 0.07 1.63 ± 0.12 3.42 ± 0.05 1.10 ± 0.14 metasentrik 5 1.89 ± 0.05 1.46 ± 0.06 3.35 ± 0.11 1.29 ± 0.02 metasentrik 6 1.82 ± 0.04 1.38 ± 0.02 3.20 ± 0.01 1.32 ± 0.05 metasentrik 7 1.77 ± 0.12 1.41 ± 0.02 3.18 ± 0.15 1.26 ± 0.07 metasentrik 8 1.60 ± 0.01 1.38 ± 0.11 2.97 ± 0.12 1.16 ± 0.10 metasentrik 9 1.58 ± 0.04 1.22 ± 0.01 2.80 ± 0.06 1.30 ± 0.02 metasentrik 10 1.52 ± 0.04 1.20 ± 0.06 2.72 ± 0.02 1.27 ± 0.11 metasentrik 11 1.58 ± 0.09 1.11 ± 0.08 2.68 ± 0.01 1.43 ± 0.17 metasentrik 12 1.45 ± 0.05 1.22 ± 0.05 2.67 ± 0.01 1.19 ± 0.10 metasentrik 13 1.52 ± 0.11 1.15 ± 0.05 2.66 ± 0.16 1.32 ± 0.03 metasentrik 14 1.37 ± 0.08 1.07 ± 0.01 2.44 ± 0.09 1.28 ± 0.07 metasentrik 15 1.25 ± 0.14 1.06 ± 0.13 2.31 ± 0.01 1.18 ± 0.34 metasentrik 16 1.45 ± 0.10 0.87 ± 0.08 2.32 ± 0.11 1.67 ± 0.32 metasentrik 17 1.19 ± 0.20 0.98 ± 0.18 2.17 ± 0.38 1.21 ± 0.04 metasentrik 18 0.91 ± 0.27 0.72 ± 0.03 1.63 ± 0.08 1.26 ± 0.03 metasentrik Total 53.71 ± 2.72 22.65 ± 2.09 Rerata 2.98 ± 0.15 1.26 ± 0.12

AsI = 0,55

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id153

Lampiran 10. Ukuran dan Bentuk kromosom Coelogyna rumphii

Pasanga Panjang Kromosom (x ± SD, µm) Nisbah Bentuk n Krom. Lengan Lengan Lengan lengan Kromosom Panjang (q) Pendek (p) Total (q + p) (r=q/ p)

1 2.68 ± 0.39 2.25 ± 0.16 4.93 ± 0.55 1.19 ± 0.09 metasentrik 2 2.14 ± 0.19 2.02 ± 0.37 4.16 ± 0.57 1.06 ± 0.14 metasentrik

3 1.87 ± 0.24 1.49 ± 0.31 3.36 ± 0.07 1.25 ± 0.61 metasentrik 4 1.99 ± 0.21 1.26 ± 0.08 3.25 ± 0.12 1.58 ± 0.24 metasentrik 5 1.70 ± 0.04 1.38 ± 0.11 3.08 ± 0.06 1.24 ± 0.14 metasentrik 6 1.76 ± 0.02 1.23 ± 0.01 2.99 ± 0.03 1.42 ± 0.01 metasentrik 7 1.73 ± 0.17 1.21 ± 0.13 2.94 ± 0.04 1.43 ± 0.26 metasentrik 8 1.49 ± 0.02 1.40 ± 0.18 2.89 ± 0.16 1.06 ± 0.19 metasentrik 9 1.52 ± 0.05 1.15 ± 0.06 2.67 ± 0.27 1.33 ± 0.03 metasentrik 10 1.45 ± 0.08 1.06 ± 0.05 2.50 ± 0.03 1.37 ± 0.13 metasentrik 11 1.33 ± 0.01 1.13 ± 0.04 2.46 ± 0.05 1.18 ± 0.02 metasentrik 12 1.31 ± 0.08 1.08 ± 0.07 2.39 ± 0.15 1.21 ± 0.01 metasentrik 13 1.20 ± 0.05 0.98 ± 0.06 2.18 ± 0.01 1.22 ± 0.14 metasentrik 14 1.27 ± 0.07 0.90 ± 0.01 2.17 ± 0.08 1.42 ± 0.07 metasentrik 15 1.17 ± 0.04 0.89 ± 0.06 2.05 ± 0.02 1.32 ± 0.13 metasentrik 16 1.11 ± 0.08 0.97 ± 0.10 2.08 ± 0.18 1.14 ± 0.04 metasentrik 17 0.99 ± 0.09 0.83 ± 0.04 1.82 ± 0.13 1.20 ± 0.05 metasentrik 18 0.87 ± 0.12 0.77 ± 0.18 1.64 ± 0.36 1.12 ± 0.04 metasentrik 19 0.61 ± 0.19 0.52 ± 0.16 1.13 ± 0.36 1.17 ± 0.04 metasentrik 20 0.90 ± 0.16 0.76 ± 0.14 1.66 ± 0.30 1.18 ± 0.03 metasentrik 21 1.18 ± 0.28 0.82 ± 0.16 2.00 ± 0.44 1.44 ± 0.15 metasentrik 22 1.09 ± 0.14 0.75 ± 0.04 1.84 ± 0.17 1.45 ± 0.15 metasentrik

23 1.10 ± 0.05 0.74 ± 0.05 1.84 ± 0.09 1.49 ± 0.02 metasentrik 24 1.20 ± 0.06 0.81 ± 0.04 2.01 ± 0.10 1.48 ± 0.02 metasentrik

25 1.15 ± 0.05 0.74 ± 0.04 1.89 ± 0.09 1.55 ± 0.04 metasentrik 26 1.11 ± 0.04 0.83 ± 0.05 1.94 ± 0.06 1.34 ± 0.11 metasentrik

27 1.14 ± 0.02 0.60 ± 0.12 1.74 ± 0.10 1.90 ± 0.28 metasentrik 28 1.11 ± 0.02 0.73 ± 0.12 1.84 ± 0.10 1.52 ± 0.29 metasentrik 29 1.05 ± 0.05 0.58 ± 0.08 1.63 ± 0.11 1.81 ± 0.20 metasentrik

30 1.11 ± 0.03 0.76 ± 0.09 1.87 ± 0.13 1.46 ± 0.19 metasentrik 31 1.07 ± 0.03 0.64 ± 0.09 1.71 ± 0.12 1.67 ± 0.18 metasentrik

32 1.13 ± 0.03 0.64 ± 0.07 1.77 ± 0.08 1.77 ± 0.16 metasentrik 33 1.06 ± 0.04 0.55 ± 0.05 1.61 ± 0.08 1.93 ± 0.13 metasentrik

34 0.99 ± 0.07 0.55 ± 0.05 1.54 ± 0.12 1.80 ± 0.09 metasentrik 35 0.85 ± 0.12 0.65 ± 0.10 1.50 ± 0.06 1.31 ± 0.52 metasentrik

36 0.90 ± 0.12 0.71 ± 0.13 1.61 ± 0.06 1.27 ± 0.61 metasentrik total 80.66 ± 5.28 50.27 ± 4.64

rerata 2.24 ± 0.15 1.40 ± 0.13 commit to user AsI = 0,57

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id154

Lampiran 11. Ukuran dan bentuk kromosom F1 ♀ C. rumphii x ♂ C.

pandurata

Pasangan Panjang Kromosom (x ± SD, µm) Nisbah Bentuk Krom. lengan Kromosom lengan lengan lengan total panjang(q) pendek (p) (q + p) (r=q/ p) 1 1.73 ± 0,09 1.65 ± 0,12 3.38 ± 0,21 1.05 ± 0.03 metasentrik

2 1.72± 0,09 1.57 ± 0,13 3.29 ± 0,19 1.10 ± 0.05 metasentrik 3 1.70 ± 0,21 1.66 ± 0,14 3.36 ± 0,07 1.02 ± 0.03 metasentrik 4 1.68 ± 0,21 1.57 ± 0,15 3.35 ± 0,30 1.07 ± 0.06 metasentrik 5 1.69 ± 0,40 1.47 ± 0,16 3.16 ± 0,35 1.15 ± 0.09 metasentrik 6 1.66 ± 0,19 1.63 ± 0,17 3.29 ± 0,05 1.02 ± 0.05 metasentrik 7 1.39 ± 0,02 1.28 ± 0,18 2.67 ± 0,17 1.09 ± 0.06 metasentrik 8 1.61 ± 0,02 1.38 ± 0,19 2.99 ± 0,11 1.17 ± 0.04 metasentrik 9 1.49 ± 0,01 1.34 ± 0,20 2.83 ± 0,29 1.11 ± 0.07 metasentrik 10 1.81 ± 0,04 1.49 ± 0,21 3.30 ± 0,04 1.21 ± 0.13 metasentrik 11 1.51 ± 0,02 1.47 ± 0,22 2.98 ± 0,02 1.03 ± 0.04 metasentrik 12 1.46 ± 0,03 1.35 ± 0,23 2.81 ± 0,13 1,08 ± 0.01 metasentrik 13 1.47 ± 0,14 1.37 ± 0,24 2.84 ± 0,11 1.07 ± 0.00 metasentrik 14 1.44 ± 0,09 1.35 ± 0,25 2.79 ± 0,09 0.07 ± 0.01 metasentrik 15 1,39 ± 0,19 1.27 ± 0,26 2,66 ± 0,07 1.09 ± 0.01 metasentrik 16 1,44 ± 0,12 1.32 ± 0,27 2,76± 0,02 1.09 ± 0.02 metasentrik 17 1.33 ± 0,05 1.26 ± 0,28 2,59 ± 0,12 1.06 ± 0.02 metasentrik 18 1,49 ± 0,05 1.44 ± 0,29 2,93 ± 0,14 1.03 ± 0.03 metasentrik 19 1.35 ± 0,09 1.29 ± 0,30 2,64 ± 0,16 1.05 ± 0.01 metasentrik

20 1.27± 0,09 1.15± 0,04 2.42 ± 0,09 1.10 ± 0.04 metasentrik

21 1.49± 0,19 1.24± 0,22 2.73 ± 0,19 1.20 ± 0.08 metasentrik 22 1.32± 0,22 1.26 ± 0,14 2.58± 0,22 1.05 ± 0.08 metasentrik

23 1.23 ± 0,14 1.2 ± 0,07 2.43± 0,12 1.03 ± 0.10 metasentrik

24 1.46± 0,24 1,23± 0,19 2.69 ± 0,19 1.19 ± 0.09 metasentrik 25 1.33 ± 0,07 1.31± 0,24 2.64± 0,22 1.02 ± 0.10 metasentrik

26 1.26± 0,19 1.23 ± 0,14 2.49± 0,21 1.02 ± 0.10 metasentrik 27 1.21 ± 0,14 1.12± 0,22 2.33± 0,29 1.08 ± 0.04 metasentrik

Total 76.83 ± 3.65 29.24 ± 1.37

Rerata 2.85 ± 0.14 1.08 ± 0.05

AsI = 0,52

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id155

Lampiran 12. Ukuran dan bentuk kromosom F1 ♀ C. pandurata x ♂ C.

rumphii

Pasangan Panjang Kromosom (x ± SD, µm) Nisbah Bentuk Krom. lengan Kromosom Lengan Lengan Lengan Panjang (q) Pendek (p) Total (q + p) (r=q/ p) 1 2.05 ± 0.17 1.84 ± 0.16 3.90 ± 0.35 1.12 ± 0.01 metasentrik

2 1.79 ± 0.04 1.62 ± 0.13 3.40 ± 0.10 1.11 ± 0.13 metasentrik 3 1.84 ± 0.03 1.43 ± 0.04 3.27 ± 0.01 1.28 ± 0.05 metasentrik 4 1.88 ± 0.04 1.38 ± 0.07 3.26 ± 0.03 1.36 ± 0.10 metasentrik 5 1.93 ± 0.16 1.29 ± 0.01 3.21 ± 0.15 1.50 ± 0.14 metasentrik 6 1.70 ± 0.13 1.31 ± 0.01 3.00 ± 0.14 1.30 ± 0.09 metasentrik 7 1.51 ± 0.05 1.29 ± 0.02 2.80 ± 0.07 1.17 ± 0.02 metasentrik 8 1.44 ± 0.04 1.26 ± 0.01 2.70 ± 0.05 1.14 ± 0.02 metasentrik 9 1.38 ± 0.04 1.25 ± 0.13 2.63 ± 0.10 1.11 ± 0.17 metasentrik 10 1.43 ± 0.07 1.06 ± 0.05 2.49 ± 0.02 1.35 ± 0.12 metasentrik 11 1.34 ± 0.03 1.13 ± 0.01 2.47 ± 0.02 1.18 ± 0.04 metasentrik 12 1.29 ± 0.07 1.15 ± 0.06 2.44 ± 0.13 1.13 ± 0.01 metasentrik 13 1.19 ± 0.02 1.07 ± 0.11 2.26 ± 0.13 1.12 ± 0.11 metasentrik 14 1.16 ± 0.07 0.92 ± 0.12 2.08 ± 0.13 1.27 ± 0.08 metasentrik 15 1.33 ± 0.09 1.19 ± 0.14 2.52 ± 0.31 1.12 ± 0.09 metasentrik 16 1.21 ± 0.09 1.00 ± 0.14 2.21 ± 0.22 1.21 ± 0.08 metasentrik 17 1.29 ± 0.06 1.01 ± 0.11 2.30 ± 0.06 1.28 ± 0.08 metasentrik 18 1.19 ± 0.05 1.08 ± 0.05 2.27 ± 0.02 1.10b± 0.09 metasentrik 19 1.23 ± 0.05 1.01 ± 0.04 2.24 ± 0.02 1.22 ± 0.09 metasentrik

20 1.20 ± 0.02 0.97 ± 0.06 2.17 ± 0.05 1.24 ± 0.07 metasentrik

21 1.13 ± 0.05 0.98 ± 0.02 2.11 ± 0.04 1.15 ± 0.04 metasentrik 22 1.22 ± 0.05 0.97 ± 0.07 2.19 ± 0.06 1.26 ± 0.06 metasentrik

23 1.13 ± 0.05 0.87 ± 0.06 2.00 ± 0.13 1.30 ± 0.08 metasentrik

24 1.10 ± 0.07 0.83 ± 0.07 1.93 ± 0.05 1.33 ± 0.03 metasentrik 25 1.15 ± 0.03 0.91 ± 0.04 2.06± 0.09 1.26 ± 0.03 metasentrik

26 1.10 ± 0.03 0.84 ± 0.04 1.94 ± 0.08 1.31 ± 0.03 metasentrik 27 1.03 ± 0.06 0.74 ± 0.09 1.77 ± 0.12 1.39 ± 0.06 metasentrik

Total 67.58 ± 2.68 33.29 ± 1.92

Rerata 2.50 ± 0.10 1.23 ± 0.07

AsI = 0,55

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id156

Lampiran 13. Idiogram C. pandurata, C. rumphii dan F1

Idiogram Coelogyne pandurata

k

e 4 d n

e p

n a 3 g

n e L 2

1

0 0

g n

a 1 j n a p

n a

g 2 n e L 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 4

Idiogram Coelogyne rumphii

4 k e d

n e p

n 3 a g n e L 2

1

0 0

g n 1 a j n

a p

n

a 2 g

n e L 3

19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 4

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id157

Idiogram F1 ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata

4

k e d

n e p

n 3 a

g

n e

L 2

1

0 0

g 1 n a j n a p

n

a 2 g n

e 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 L 3

4

Idiogram F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii

4 k e

d n e p

n 3 a g n

e L 2

1

0 0

1 g n a j

n a p

n

a 2 g n e 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 L 3

4

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id158

Lampiran 14. Matrix kemiripan F1 ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata

berdasarkan RAPD

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1.00 0.85 1.00

0.60 0.60 1.00 0.09 0.09 0.04 1.00 0.09 0.09 0.09 0.86 1.00 0.12 0.12 0.08 0.81 0.81 1.00 0.26 0.32 0.26 0.25 0.25 0.22 1.00 0.25 0.30 0.25 0.24 0.24 0.22 0.74 1.00 0.25 0.30 0.30 0.29 0.29 0.26 0.59 0.52 1.00 0.18 0.18 0.14 0.27 0.22 0.24 0.68 0.65 0.52 1.00 0.19 0.24 0.19 0.23 0.23 0.21 0.64 0.68 0.54 0.69 1.00 0.10 0.10 0.10 0.37 0.37 0.38 0.37 0.39 0.27 0.43 0.39 1.00 0.10 0.10 0.10 0.43 0.43 0.44 0.37 0.39 0.31 0.43 0.39 0.90 1.00 0.10 0.10 0.10 0.43 0.43 0.44 0.37 0.39 0.31 0.43 0.39 0.90 1.00 1.00 0.10 0.10 0.10 0.43 0.43 0.44 0.37 0.39 0.31 0.48 0.44 0.82 0.82 0.82 1.00 0.11 0.11 0.11 0.48 0.48 0.48 0.35 0.37 0.33 0.46 0.42 0.73 0.73 0.73 0.90 1.00 Keterangan : 1-3 : C. pandurata sebagai jantan, 4-6 : C. rumphii sebagai betina, 7-16 : Hybrid

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id159

Lampiran 15. Matrix kemiripan F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii berdasarkan RAPD

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1.00 0.85 1.00

0.60 0.60 1.00 0.09 0.09 0.04 1.00 0.09 0.09 0.09 0.86 1.00 0.12 0.12 0.08 0.81 0.81 1.00 0.25 0.25 0.20 0.11 0.11 0.09 1.00 0.26 0.31 0.31 0.06 0.09 0.08 0.67 1.00 0.26 0.26 0.21 0.03 0.03 0.03 0.75 0.69 1.00 0.29 0.29 0.29 0.07 0.10 0.09 0.68 0.78 0.71 1.00 0.24 0.24 0.18 0.04 0.04 0.03 0.78 0.56 0.72 0.65 1.00 0.19 0.19 0.19 0.10 0.14 0.13 0.61 0.52 0.56 0.58 0.57 1.00 0.32 0.32 0.21 0.11 0.11 0.14 0.52 0.44 0.48 0.50 0.55 0.64 1.00 0.26 0.26 0.26 0.07 0.11 0.10 0.59 0.56 0.62 0.64 0.55 0.64 0.42 1.00 0.27 0.33 0.27 0.11 0.11 0.10 0.54 0.58 0.65 0.59 0.50 0.52 0.43 0.57 1.00 0.22 0.27 0.27 0.13 0.17 0.16 0.62 0.65 0.73 0.60 0.52 0.54 0.41 0.58 0.76 1.00 Keterangan : 1-3 : C. pandurata sebagai betina, 4-6 : C. rumphii sebagai jantan, 17-26 : Hybrid

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id160

Lampiran 16. Matrix kemiripan F1 ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata berdasarkan ISSR

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 1.00 2 0.89 1.00 3 0.63 0.76 1.00 4 0.43 0.52 0.52 1.00

5 0.42 0.50 0.50 0.94 1.00 6 0.43 0.52 0.52 0.89 0.94 1.00 7 0.48 0.56 0.50 0.64 0.68 0.64 1.00 8 0.56 0.63 0.52 0.53 0.57 0.59 0.78 1.00 9 0.70 0.63 0.40 0.36 0.35 0.36 0.37 0.44 1.00 10 0.57 0.59 0.45 0.48 0.52 0.54 0.58 0.65 0.67 1.00 11 0.57 0.59 0.39 0.36 0.40 0.42 0.52 0.65 0.50 0.70 1.00 12 0.37 0.40 0.39 0.70 0.75 0.79 0.64 0.59 0.36 0.62 0.54 1.00 13 0.33 0.41 0.40 0.76 0.81 0.76 0.76 0.64 0.32 0.54 0.48 0.85 1.00 14 0.33 0.41 0.40 0.76 0.81 0.76 0.76 0.64 0.32 0.54 0.48 0.85 1.00 1.00 15 0.33 0.41 0.40 0.76 0.81 0.76 0.76 0.64 0.32 0.54 0.48 0.85 1.00 1.00 1.00 16 0.37 0.44 0.44 0.81 0.86 0.81 0.80 0.68 0.31 0.52 0.46 0.81 0.95 0.95 0.95 1.00

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id161

Lampiran 17. Matrix kemiripan F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii berdasarkan ISSR

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 1.00 2 0.89 1.00

3 0.63 0.74 1.00 4 0.43 0.52 0.52 1.00 5 0.42 0.50 0.50 0.94 1.00 6 0.43 0.52 0.52 0.89 0.94 1.00 7 0.48 0.56 0.50 0.52 0.56 0.52 1.00 8 0.48 0.56 0.43 0.46 0.50 0.46 0.69 1.00 9 0.70 0.71 0.50 0.46 0.50 0.52 0.50 0.50 1.00 10 0.56 0.65 0.52 0.54 0.58 0.54 0.64 0.65 0.73 1.00 11 0.50 0.58 0.40 0.48 0.52 0.48 0.64 0.73 0.65 0.82 1.00 12 0.48 0.56 0.50 0.52 0.56 0.52 0.62 0.50 0.64 0.65 0.58 1.00 13 0.33 0.36 0.35 0.53 0.58 0.53 0.50 0.50 0.43 0.45 0.39 0.58 1.00 14 0.41 0.50 0.50 0.60 0.65 0.60 0.56 0.65 0.50 0.67 0.52 0.65 0.68 1.00 15 0.30 0.39 0.45 0.55 0.60 0.55 0.59 0.52 0.45 0.62 0.62 0.60 0.53 0.70 1.00 16 0.50 0.58 0.52 0.61 0.65 0.61 0.71 0.58 0.58 0.67 0.60 0.90 0.60 0.75 0.70 1.00

commit to user