STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGATASI KONFLIK BUDAYA PASOLA (Studi Tentang Kebudayaan Pasola di Desa Wainyapu Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur)

TESIS

Oleh:

SAMUEL BORA LERO 17610016

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA”APMD” YOGYAKARTA 2018

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : SAMUEL BORA LERO NIM : 17610016

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGATASI KONFLIK BUDAYA PASOLA, Studi Kasus Tentang Kebudayaan Pasola di Desa Wainyapu Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian di Desa Wainyapu Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Yogyakarta, 5 November 2018 Yang membuat pernyataan

Samuel Bora Lero

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus/Tuhan Yang

Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Studi Magister (S2) Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.

Penelitian berjudul “STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM

MENGATASI KONFLIK BUDAYA PASOLA, Penelitian di Desa Wainyapu

Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara

Timur

Terselesaikannya penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dukungan doa, bimbingan maupun saran-saran yang berguna dalam penyusunan tesis. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. R. Widodo Triputro, selaku Direktur Program Magister Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “AMPD” Yogyakarta. 2. Ibu Dr. Yuli Setyowati, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sampai selesainya tesis ini. 3. Bapak Drs. Triyanto Purnomo Raharjo, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sampai selesainya tesis ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “AMPD” Yogyakarta, yang telah membekali banyak ilmu pengetahuan.

iv

5. Saudara-saudari yang telah memberikan dukungan dan menjadi motivator untuk menyelesaikan tesis ini. 6. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “AMPD” Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa dalam usaha penyusunan tesis ini tidak luput dari kekurangan, kesulitan, hambatan maupun rintangan, sehingga tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan kita Yesus Kristus memberikan dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Bapak dan Ibu Dosen dan semua pihak atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak serta menambah wacana pemikiran bagi semua pihak yang berminat pada penelitian dibidang ini.

Yogyakarta, 5 November 2018

Penulis

Samuel Bora Lero

v

MOTTO

Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan Maka terlaksanalah segala rencanamu. (Amsal 16:3)

Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya. (Mazmur 126:5-6)

Tuhan tidak pernah merancangkan kecelakaan dalam hidupku, tetapi rancangan damai sejahtera untuk memberikan kepada ku hari depan yang penuh harapan. (Yeremia 29:11)

Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! (Roma 12:12)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan sukacita tesis ini ku persembahkan kepada:

1. Sahabat karibku Yesus Kristus sang Juruselamat ku yang memberikan napas

kehidupan hingga sampai detik ini dan pemberi damai sejahtera.

2. Almarhum ayah tercinta Petrus Malo Bulu yang sudah bersama para Roh kudus di

surga dan Mama terkasih Magdalena Leda Dapa yang memberikan dukungan doa

setiap saat maupun dukungan lewat materi.

3. Kaka Lodowyek Dapa Ramo beserta istri Mama Helga, kaka Pdt Soleman Ole

Awa bersama istri Mama Calista, kaka guru Simon Boru Lodo, angw guru

Menase L. Pote serta istri terkasih Mama Jhosua, adi bungsu Santy Solagratia

kaka bapak Jhen, kaka Bapak Fani dan kaka Bapak Rio yang dengan sepenuh hati

mendidik, mengajar semua hal tentang hidup, terima kasih untuk didikan,

bimbingan serta dukungan moril maupun materil dalam proses perjuangan

mencari ilmu, Tuhan Yesus baik.

4. Teman-teman sekeluarga besar Kerapatan Gereja Baptis Jemaat

Immanuel Bali yang dengan kerendahan hati mendoakan saya.

5. Teman-teman Ikatan Pemuda Kalimbutadei (IPK), GKNF Babarsari Yogyakarta

dan adi-adi yang telah membantu dalam penelitian, adi Lodo, adi Oncu dan angw

Petu.

6. Masyarakat Kodi dan pada umumnya masyarakat Sumba yang menjaga dan

mencintai budayanya serta pemerintah kabupaten Sumba Barat Daya.

vii

7. Sahabatku bang Gani Latuconsina, Ningrum puspa, Dewi Chatarina, Rizal

Pawane, Jefri Hahang, Rolly Luku, Eky Rahawarin, Arifudin dan Chika

Kadmaerubun.

8. Semua sahabatku dan teman-teman angkatan 19 tahun 2017 STPMD “APMD”

yang telah memberi dukungan dalam proses perkulian sampai pada proses

pembuatan tesis ini. Terima kasih untuk cinta dan kasihnya.

9. Almamater tercintaku Program Magister Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “AMPD” Yogyakarta. 10. Tuhan Yesus memberkati kita semua dengan kasih karuniaNya.

viii

DAFTAR ISI

halaman JUDUL …...... i

LEMBAR PENGESAH …...... ii

PERNYATAAN…...... iii

KATA PENGANT …...... iv

MOTTO...... vi

DAFTAR PERSEMBAHAN...... vii

DAFTAR ISI...... xi

DAFTAR TABEL ...... xii

DAFTAR GAMBAR ...... xiii

DAFTAR LAMPIRAN...... xiv

ABTRAKSI...... xv

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Fokus Penelitian ...... 12

C. Rumusan Masalah ...... 12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 12

1. Tujuan Penelitian...... 12

2. Manfaat Penelitian...... 13

E. Kerangka Konseptual...... 15

1. Konflik Sosial ...... 15

ix

2. Kebudayaan Pasola ...... 24

3. Strategi Pemerintah Daerah ...... 25

F. Kerangka Pemikiran...... 27

G. Metode Penelitian…...... 29

1. Jenis Penelitian ...... 29

2. Obyek Penelitian ...... 31

3. Lokasi Penelitian ...... 31

4. Teknik Pemilihan Subjek Penelitian ...... 32

5. Teknik Pengumpulan Data ...... 33

6. Teknik Analisis Data ...... 34

BAB II PASOLA SEBAGAI BUDAYA DI DESA WAINYAPU

KECAMATAN KODI BALAGHAR KABUPATEN SUMBA BARAT

DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR...... 37

A. NYALE ( Cacing Laut)...... 44

B. KUDA...... 46

C. TOMBAK ...... 48

D. TUJUAN PASOLA...... 49

E. ATURAN-ATURAN DALAM PASOLA...... 49

F. SUKU-SUKU YANG IKUT DALAM PASOLA...... 51

G. TEMPAT DAN PERLENGKAPAN PASOLA...... 53

BAB III NALISIS STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM

MENGATASI KONFLIK BUDAYA PASOLA...... 58

x

A. TEMUAN PENELITIAN...... 58

1. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik dalam

Budaya Pasola...... 59

2. Dampak Konflik dalam Pasola...... 67

3. Strategi Pemerintah Daerah Dalam Mengatasi Konflik Budaya

Pasola...... 70

B. ANALISIS DATA...... 77

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik dalam Pasola..... 77

2. Dampak konflik di dalam Pasola...... 80

3. Strategi pemerintah daerah dalam mengatasi konflik

dalam budaya Pasola...... 81

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...... 85

A. KESIMPULAN...... 85

B. SARAN...... 89

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..

LAMPIRAN

xi

DAFTAR TABEL

Tabel III.I Daftar Informan Penelitian...... 58

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.I Model Kerangka Pikir...... 28

Gambar I.II Jenis cacing laut atau cacing Nyale...... 44

Gambar II.II Kuda Pasola ...... 46

Gambar III.II Tombak Pasola ...... 48

Gambar IV.II Salah satu kampung adat di Kodi kampung Ratenggaro ...... 53

Gambar V.II Pajura atau tinju dengan tangan kanan diberi alas/sarung tinju 55

Gambar VI.II Lapangan Pasola Wainyapu ...... 57

Gambar I.III Forum Polisi Adat Cinta Aman Damai ...... 74

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Ijin penelitian

2. Surat Selesai Penelitian

3. Foto-foto

4. Pertanyaan Penelitian

5. Field Note

xiv

ABTRAKSI

Pasola merupakan serangkian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Tradisi ini berupa perang-perangan’ yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Pasola diselenggarakan setiap tahun pada bulan Februari dan bulan Maret serangkaian upacara adat dilakukan dalam rangka memohon restu para Dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya adalah apa yang disebut Pasola. Setiap kelompok berkisar 100 pemuda yang bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira 1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul. Tujuan penelitian ini adalah: 1). Untuk mendiskripsikan tentang faktor-faktor terjadinya konflik dalam budaya Pasola. 2). Mendeskripsikan mengenai dampak konflik bagi pariwisata, budaya, masyarakat dan Tokoh Adat. 3). Untuk mengkaji dan mendeskripsikan tentang strategi pemerintah daerah dalam mengatasi konflik yang terjadi di desa Wainyapu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Sumber data meliputi data primer dan data sekunder dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi. Informan dalam penelitian ini adalah Rato Adat, masyarakat, sejarawan, pihak keamanan dan pemerintah desa dan pemerintah daerah yang berjumlah 10 orang, informan tersebut merupakan orang-orang yang benar-benar paham tentang Strategi, Pasola dan konflik budaya, dipilih sesuai dengan teknik purposive sampling. Analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/menarik kesimpulan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa dari faktor eskternal, faktor internal dan faktor situasional yang terjadi di dalam Pasola tetap terkoordinasi dengan baik dalam menjaga tradisi Pasola ini. Hubungan tetap terjalin dengan baik antara peserta Pasola, penonton, Rato Adat dan bahkan pihak pemerintah dalam proses penanganan. Penyelesaian konflik sudah terselenggara dengan baik walaupun ada dampak Pasola baik dari segi pariwisata, dampak konflik bagi masyarakat, dampak konflik bagi Tokoh Adat, dampak konflik bagi budaya masih tetap berjalan dengan baik. Hubungan kekeluargaan antara peserta Pasola dengan penonton tetap terjaga dengan baik walaupun terjadi konflik di dalamnya. Pengawasan pemerintah, Rato Adat maupun Forum Polisi Adat Cinta Aman Damai dalam penyelenggaraan tradisi Pasola untuk menghindari konflik masih tetap kondusif.

Kata kunci: Strategi, Pasola dan Konflik budaya

xv

ABSTRACT

Pasola is a series of traditional ceremonies carried out by Sumba people who still adhere to the original religion called Marapu. This tradition is in the form of warfare carried out by two riding groups. Pasola is held every year in February and in March a series of traditional ceremonies is carried out in order to request the blessing of the Gods so that the harvest of the year will work well. The culmination of a series of traditional ceremonies carried out several days earlier was what was called Pasola. Each group ranged from 100 young men armed with spears made of wood with a diameter of about 1.5 cm whose ends were left blunt.

The objectives of this study are: 1). To describe the factors of conflict in Pasola culture. 2). Describe the impact of conflict for tourism, culture, society and Indigenous People. 3). To review and describe the strategies of local government in dealing with conflicts that occur in the village of Wainyapu.

This research was conducted using descriptive qualitative research methods. Data sources include primary data and secondary data with data collection techniques of observation, interviews, and documentation. The informants in this study were Rato Adat, the community, historians, the security forces and the village government and the local government which numbered 10 people, these informants were people who really understood about Strategy, Pasola and cultural conflicts, chosen according to the purposive sampling technique . Data analysis uses data reduction, data presentation, and verification / drawing conclusions.

This study concludes that from external factors, internal factors and situational factors that occur within the Pasola remain well coordinated in maintaining this Pasola tradition. Relationships remained well between Pasola participants, spectators, Indigenous Rato and even the government in the handling process. Conflict resolution has been carried out well despite the impact of Pasola both in terms of tourism, the impact of conflict for the community, the impact of the conflict for Indigenous People, the impact of conflict on culture is still going well. The family relationship between Pasola participants and the audience was well maintained despite conflicts within it. Government oversight, Customary Rato and the Cinta Amanai Customary Police Forum in the implementation of the Pasola tradition to avoid conflict are still conducive.

Keywords: Strategy, Pasola and cultural conflict

xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan merupakan suatu rangkian kegiatan yang terjadi di dalam

masyarakat yang saling berinteraksi yang mengandung semua pengertian nilai-

nilai, norma, ilmu pengetahuan secara keseluruan struktur sosial, religius serta

nilai-nilai lain yang ada serta melekat pada masyarakat. Kebudayaan berasal dari

bahasa sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata “

buddhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat

diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal (Nasution dkk,

2015:14).

Pada dasarnya budaya merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari

kehidupan manusia dan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, terikat dan

tidak bisa terlepas, dimana ada peradaban disitu pasti ada budaya. Keterikatan

seperti ini yang menjadi dasar atau sebagai jati diri suatu bangsa, dilakukan

setiap saat (hari, minggu, bulan dan tahun) hingga menjadi kebiasaan suatu

daerah Nasution dkk (2015:16). Tradisi (bahasa latin: traditio, “diteruskan”) atau

kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah

dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok

masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang

sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang

diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,

karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

1

Kekhasan suatu daerah terdapat banyak nilai kehidupan yang tertanam disetiap budaya yang ada di dunia ini, pada dasarnya setiap nilai budaya selalu berbeda-beda tetapi dari sekian banyaknya budaya yang ada di dunia ini memiliki orientasi-orientasi yang hampir sejalan terhadap yang lainnya. Manusia terlahir dengan bawaanya yang bersifat emosi, nafsu, hasrat dan perasaan dalam sepanjang kehidupan yang dibawah dari lahir hingga mati, semua itu tertanam dalam kepribadiaanya sehingga kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dapat mempengaruhi orang atau kelompok orang di sekitarnya.

Peningkatan keamanan setiap daerah menjadi prioritas utama yang harus dilakukan secara berkelanjutan guna mendapatkan keamanan dan kenyaman bagi warga masyarakat yang ingin hidup dalam ketenangan. Tentunya bersamaan dengan rasa nyaman bagi warga masyarakat itu sendiri, hal ini menjadi faktor penentu dalam tercapainya rasa aman dalam menjalani kehidupan setiap orang. Berangkat dari hal keamanan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan, sudah barang tentu semuanya telah dipersiapkan oleh pemerintah daerah dan hal ini menjadi perhatian bagi daerah Sumba, terlebih khusus kabupaten Sumba Barat Daya pada setiap acara tradisi Pasola dilakukan pada akhir bulan Februari dan awal bulan Maret, Karena pada bulan tersebut akan diadakan Pasola.

Pasola merupakan serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Setiap tahun pada bulan Februari dan bulan Maret serangkaian upacara adat dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut

2 berhasil dengan baik. Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya adalah apa yang disebut Pasola. Di sisi lain Pasola adalah perang-perangan yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Setiap kelompok terdiri dari 100 pemuda yang bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira 1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul. Walaupun tombak tersebut tumpul, Pasola kadang-kadang memakan korban bahkan korban jiwa. Tapi tidak ada dendam dalam pasola. Kalau ada korban dalam Pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.

Akibat kurangnya kecintaan terhadap nilai-nilai budaya yang tertanam dan diimplimentasikan dalam diri mereka sebagai aktor dalam pelaksana budaya Pasola serta kurangnya kesadaran masyarakat akan tradisi di Sumba menjadi faktor munculnya perbedaan pendapat atau beda persepsi diantara meraka, sehingga nilai budaya mulai bergeser.

Seperti yang dilansir dari media (Topik ANTV tradisi Pasola ricuh, polisi hentikan kegiatan, tanggal 17/02/2012) kericuhan terjadi dari kerumunan penonton, yang belum diketahui siapa pelakunya sehingga penonton saling lempar batu dengan peserta pasola, akibatnya banyak peserta dan penonton yang menjadi korban kericuhan, pesta yang berlangsung selama dua hari itu dan diikuti kedua suku besar, antar Kodi Bangedo yang terdiri dari 12 kampung adat dan Kodi Besar yang terdiri dari 15 kampung adat. Kombes Eddy Heriyanto,

Wakapolda NTT terpaksa menghentikan tradisi pasola tersebut karena kericuhan tidak terhindarkan lagi. Menurut tuturan beliau “sayang kalau diwarnai dengan

3 emosi, sudah tidak bagus lagi”. Padahal para pendahulu peserta Pasola sebelumnya tidak pernah terjadi konflik diantara peserta Pasola maupun kedua suku yang ikut berpartisipasi didalamnya, tradisi ini murni dilakukan atas ketaatan terhadap leluhur mereka namun akhir-akhir ini nilai budaya mulai berpinda posisi, dari ketaatan, kecintaan dan kenyaman berpasola sekarang mulai berubah alur lagi dari ketidaktaatan terhadap para dewa hingga terjadinya konflik yang tidak sesuai lagi dengan tradisi awal Pasola.

Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan tujuan hidupnya. Dalam sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik.

Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari dan akan selalu akan terjadi. Dari sini, ada benarnya jika sejarah umat manusia merupakan sejarah konflik. Konflik selalu terjadi di dunia, dalam sistem sosial yang bernama negara, bangsa, organisasi, perusahaan, dan bahkan dalam sistem sosial yang terkecil yang bernama keluarga dan pertemanan. Konflik terjadi di masa lalu, sekarang, dan pasti akan terjadi di masa yang akan datang, (Wirawan,

2010:1-2).

Terjadinya konflik dalam Pasola dikuatirkan tidak akan ada kepuasan dari penonton serta mempengaruhi penonton di tahun-tahun berikutnya, karena trauma dengan konflik yang terjadi di dalam Pasola. Di sisi lain, ketidakmaksimalan tradisi ini dijalankan maka akan berpengaruh munculnya

4 rasa benci, leluhur murka kepada para pelaku Pasola karena tidak taat melakukan tradisi dengan sepenuhnya, serta darah yang tercucur di tanah itu melambangkan kesuburan. Jika dalam prosesi budaya Pasola ini dijalankan belum ada darah yang tercucur dipengaruhi oleh Tombak yang dipakai dalam

Pasola kemungkinan akan terjadi gagal panen pada masa mendatang, karena konflik yang terjadi di dalam Pasola. Dengan begitu, jika tidak ada respon cepat yang dilakukan oleh para stakeholder dalam hal ini Pemerintah, masyarakat dan para Rato adat untuk menangani konflik ini maka akan terjadi kemunduran para penonton di masa mendatang. Jika konflik ini dibiarkan melekat dengan budaya

Pasola serta semakin mengakar, maka kerugian bagi pemerintah (dampak pariwisata) dan para penganut kepercayaan agama Marupa yang menyakini hal tersebut (gagal panen).

Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis ingin meneliti tentang strategi pemerintah daerah dalam mengatasi konflik pada budaya Pasola di desa

Wainyapu kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi

Nusa Tenggara Timur.

Keaslian penelitian dapat dilihat dari beberapa tulisan dibawah ini, demi mengacu pada perbedaaan antara yang peneliti lakukan dengan penelitian yang dilakukan oleh orang lain, yaitu:

1. Penelitian yang diteliti oleh Johana Katharina Diana Wawikere dengan NIM.

11610033 tesis yang berjudul Strategi Pemerintah Daerah Kabupaten

Manggarai Barat Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pengrajin Patung Kayu

Komodo, suatu penelitian deskriptif kualitatif di Badan Pemberdayaan

5

Masyarakat dan Pemerintah Desa kabupaten Manggarai Barat.

Dipublikasikan oleh Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat Desa “Apmd” Yogyakarta. Penelitian yang bersifat deskriptif

kualitatif ini, peneliti mendiskripsikan obyek penelitian dengan

menggambarkan, melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat

sekarang, penelitian ini berfokus pada para pengrajin patung kayu Komodo

dengan unit penelitiannnya adalah pemerintaha kabupaten Manggarai Barat

dalam hal ini Badan Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemerintah Desa,

pemerintah desa Komodo, masyarakat sekitar usaha kerajinan, dan para

pelanggan secara individu maupun kelompok. Teknik pengumpulan datanya

melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Adapun hasil penelitian ini

ditemukan bahwa srategi pemerintah daerah Manggarai Barat daalam

pemberdayaan masyarakat pengrajin patung kayu Komodo yang meliputi tiga

aspek yang pertama, aspek politik/kebijakan yang meliputi dua hal yakni

peningkatan sarana dan prasarana serta peningkatan kualitas sumber daya

manusia dalam bidang pendidikan. Kedua, aspek ekonomi yang meliputi

pemberiaan bantuan modal dan pembuka akses pemasaran. Ketiga, aspek

manajemen yang meliputi strategi yang dilakukan pemerintah yaitu dalam

perencanaan yang dituangkan pada dokumen rencana strategi serta

pelaksanaan program dan kegiatan pemberdayaan kepada masyarakat.

2. Penelitian yang pernah dilakukan Oleh Muhammad Obie, Endriatmo

Soetarto, Titik Sumarti, Dan Saharuddin. Dengan jurnal yang berjudul

Konflik Etnis Di Pesisir Teluk Tomini Tinjauan Sosio-Ekologi Politik ,

6 dipublikasikan oleh STAIN Ponogoro, program Doktor pada Program Studi

Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB. Pesisir Teluk Tomini yang menjadi lokasi kajian karya ini difokuskan di Kabupaten Pohuwato, Provinsi

Gorontalo. Penelitian ini menggunakan paradigma teori kritis. Pilihan pada paradigma terori kritis didasarkan atas pertimbangan bahwa kajian ini memusatkan perhatian pada upaya pemahaman tentang suatu realitas sosial tertentu yang terbentuk dalam konteks kesejarahan tertentu (realisme historis), dalam konteks suatu ajang sosial tertentu (relativisme), dan hanya mungkin dipahami secara kritis (realisme kritis). Kajian ini menggunakan dua strategi, yaitu strategi sosiologi sejarah (historical sociology) dan strategi studi kasus. Strategi sosiologi sejarah digunakan untuk menganalisis tonggak sejarah bermukimnya multi-etnis di pesisir Teluk Tomini, dengan mewawancarai informan kunci, serta mempelajari sejumlah dokumen yang ada. Strategi studi kasus difokuskan pada konflik etnis tidak saja yang terkait dengan penyebab dan jenis-jenis, tetapi juga terkait dengan cara resolusi konflik dilakukan. Data yang terkumpul berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari para aktor sebagai informan kunci yang dilakukan melalui indept interview dan observasi passive participation.

Melalui observasi passive participation, penulis sebagai peneliti datang ke tempat aktor yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh aktor tersebut. Wawancara mendalam dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur (semistructure interview) yang bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dengan cara pihak yang

7 diwawancara dimintai pendapat dan ide-idenya. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen berupa laporan hasil-hasil penelitian sebelumnya, UU,

PP, Kepres, Inpres, Kepmen, Perda, dan lain-lain. Dokumen tersebut berfungsi sebagai pelengkap data hasil wawancara mendalam dan observasi partisipasif. Data sekunder juga berguna untuk mengonfirmasi data lapangan.

Analisis data dalam kajian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Analisis data dilakukan sampai data diperoleh dianggap kredibel dan dengan pengujian kredibilitas data tidak saja melalui triangulasi sumber dan teknik pengumpulan data tetapi juga triangulasi waktu. Hasil dari penelitian ini,

Resolusi konflik melalui dialog terus dilakukan tetapi belum sepenuhnya mencapai kesepakatan. Dialog antara Suku Bajo verus perusahaan kayu cenderung berhasil, tetapi sesungguhnya dilakukan secara opresif. Suku Bajo mengalah karena adanya ancaman dari pemerintah desa ketika itu. Sementara itu, dialog Suku Bajo versus etnis Bugis pemilik tambak belum membuahkan hasil, karena masing-masing aktor cenderung bertahan pada posisinya dan tidak ada yang mengalah. Di samping itu, Suku Bajo yang menolak meluasnya kawasan tambak cenderung mendapat simpatik dari berbagai pihak, baik LSM, Pokja mangrove, maupun DPRD. Belajar dari kompleksnya konflik etnis yang terjadi di wilayah pesisir Teluk Tomini, rencana zonasi

8

diyakini menjadi jalan tengah dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dengan

adanya zonasi, maka wilayah pesisir dibagi dalam zona-zona yang sesuai

dengan peruntukan dan kegiatan yang saling mendukung (compatible) serta

memisahkannya dari berbagai kegiatan yang saling bertentangan

(incompatible). Dengan demikian, wilayah pesisir di Teluk Tomini dapat

dibagi atas zona konservasi sebagai zona inti, zona permukiman, maupun

zona ekonomi sebagai kawasan pemanfaatan untuk peningkatan ekonomi.

3. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Yulita Tamo Ina dengan NPM.

11144300037, skripsi yang Judul Peranan Adat Pasola Sebagai Alat Pemersatu

Antar Daerah Di Kabupaten Sumba Barat Daya Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Dipublikasikan Oleh Program Studi Pendidikan Dan Kewarganegaraan

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta.

Mengunakan metode penelitian kualitatif, dengan berbagai macam prosedur.

Penelitian dilakukan di Desa Bondo Kawango Kecamatan Kodi Kabupaten

Sumba Barat Daya Propinsi Nusa Tenggara Timur. Waktu penelitian

dilaksanakan pada bulan Januari 2015 sampai Februari 2015. Dengan fokus

pada Peranan Adat Pasola sebagai Alat Pemersatu, serta hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa peranan Adat Pasola adalah mempersatukan masyarakat

di Kabupaten Sumba Barat Daya agar lebih mempererat tali persaudaraan

antara satu daerah dengan daerah lain tanpa adanya perbedaan yang mendasar

satu sama lain dan Adat Pasola merupakan upacara penghormatan arwah

leluhur yang telah mendahului kita yang telah mewariskan adat Pasola. Adat

Pasola merupakan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Sumba

terutama yang menganut kepercayaan asli yang disebut Marapu, tujuan dari

9

pada upacara ini adalah untuk meminta keberkahan dan restu dari sang

Pencipta agar panen yang dilaksanakan dimusim panen mendapatkan berkat

yang melimpah dan menuai hasil panen dengan baik.

4. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Supriyono dengan NIM 08100008,

tesis yang berjudul Konflik Sosial Pasca Gempa Bumi Tahun 2006 di

Kabupaten Bantul, dipublikasi oleh Program Pascasarjana Sekolah Tinggi

Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogayakarta. Penelitian ini

dilakukan di Kabupaten Bantul di Kecamatan Pandak dan kecamatan

Bambanglipuro, dengan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini berfungsi

untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan konflik sosial, aktor-aktor

yang terlibat dalam konflik, dinamika konflik, manajemen konflik dalam

menghadapi konflik dan penyelesaian konflik. Obyek penelitian ini adalah

konflik sosial pasca gempa bumi di Kabupaten Bantul tahun 2006,

wawancara dilakukan kepada aparat kecamatan, pemerintah desa, kepala

dusun, kepala dan pengurus LPMD tingkat dusun dan tingkat desa, mantan

ketua pokmas, warga korban gempa. Hasil penelitian menghasilkan pertama,

faktor penyebab konflik telah muncul sejak masa tanggap darurat bencana,

berlanjut masa recovery dan memuncak pada masa rekonstruksi dan

rehabilitasi. Konflik terjadi karena ketidakmampuan tim verifikasi maupun

perilaku sebagian warga dan kepala dusun yang dengan segaja ingin

mendapatkan bantuan dana rekonstruksi dengan cara-cara melanggar

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Faktor penyebab

lainnya adanya kecemburuan sebagian warga terhadap warga lain yang

10

mendapatkan dana rekonstruksi lebih banyak serta adanya provokasi dari

beberapa warga untuk melakukan protes. Kedua, aktor-aktor yang terlibat

dalam konflik meliputi antar warga masyarakat, aparatur pemerintah,

khususnya pemerintah desa, kepala dusun, pengurus RT. Pemerintah desa dan

kepala dusun pada umumnya berada dalam satu pihak sedangkan warga

masyarakat berada di pihak lain. Di tengah masyarakat sendiri terbelah

menjadi dua pihak yang berkonflik. Ketiga, dinamika konflik terjadi sejak

awal tanggap darurat dari yang bersifat laten meningkat menjadi konflik

manifest pada masa rekonstruksi dan rehabilitas. Keempat, manajemen

konflik ditingkat masyarakat dijalankan melalui musyawarah warga,

membuka kotak pengaduan, dan verifikasi ulang. Kelima, penyelesaian yang

telah dilakukan adalah dengan mengelar rekonsiliasi. Tetapi, rekonsiliasi ini

tidak serta merta menghilangkan fakta banyaknya kasus pelanggaran

hukumyang belum diselesaikan oleh intitusi penegak hukum.

Uraian perbedaan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti dengan peneliti yang dilakukan oleh penulis, sebagai berikut:

1. Penelitian dari Johana Katharina Diana Mawikere dengan judul Strategi

Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat Dalam Pemberdayaan

Masyarakat Pengrajin Patung Komodo, letak perbedaannya ada pada tiga

aspek dari si peneliti yaitu tentang aspek Politik/Kebijakan yang meliputi

sarana dan prasarana serta peningkatan kualitas sumber daya manusia, aspek

kedua yaitu tentang ekonomi dalam hal ini pemberian bantuan modal, aspek

ketiga yaitu proses manajemen srategi dalam perencanaan yang dituangkan

11

dalam dokumen rencana strategi serta pelaksanaan program pemberdayaan

masyarakat. Sedangkan letak perbedaan dari peneliti sendiri ada pada proses

dalam strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi konflik Pasola oleh

pemerintah daerah Sumba Barat Daya.

2. Penelitian dari Muhammad Obie, Endriatmo Soetarto, Titik Sumarti, dan

Saharuddin dengan judul Konflik Etnis di Pesisir Teluk Tomini. Letak

perbedaanya ada pada konflik tentang perebutan kepemilikan lahan yang

diklaim oleh suku Bajo dengan pemerintah Kabupaten Pahuwato, sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah strategi yang dilakukan oleh

pemerintah kabupaten Sumba Barat Daya dalam mengatasi konflik Pasola.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Yulita Tamo Ina dengan Judul Peranan Adat

Pasola Sebagai Alat Pemersatu Antar Daerah di Kabupaten Sumba Barat

Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan tujuan agar lebih mempererat

tali persaudaraan antara satu daerah dengan daerah yang lain tanpa adanya

perbedaan yang mendasar, sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan

lebih fokus pada strategi mengatasi konflik Pasola di kabupaten Sumba Barat

Daya.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Supriyono dengan judul Konflik Sosial Pasca

Gempa Bumi Tahun 2006 di Kabupaten Bantul, letak perbedaanya ada pada

proses pembagian dana bantuan yang tidak merata kepada warga yang

terkena dampak gempa bumi dan keterlibatan aparat desa yang melakukan

manipulasi data sehingga menimbulkan kecumburuan dari masyarakat yang

merasa tidak atau kurang mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat.

12

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu lebih cendrung pada

strategi yang akan digunakan oleh pemerintah Sumba Barat Daya dalam

mengatasi konflik Pasola.

B. Fokus Penelitian

Adapun yang menjadi fokus penelitian adalah strategi pemerintah daerah

dalam mengatasi konflik pada Pasola di desa Wainyapu kecamatan Kodi

Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur. Maka

fokus penelitiannya sebagai berikut:

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik dalam budaya Pasola.

2. Dampak konflik di dalam Pasola

3. Strategi pemerintah kabupaten Sumba Barat Daya dalam mengatasi konflik

yang terjadi di dalam budaya Pasola.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang masalah, maka

perumusan masalah yang akan di teliti, yaitu:

1. Apa faktor-faktor penyebab konflik itu terjadi dalam budaya Pasola ?

2. Apa dampak konflik di dalam Pasola ?

3. Bagaimana strategi pemerintah Sumba Barat Daya dalam mengatasi konflik

dalam budaya Pasola ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

13

Berdasarkan pada pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka yang

menjadi tujuan penelitian dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya konflik di dalam

Pasola.

b. Untuk mengetahui dampak konflik di dalam Pasola

c. Untuk mengetahui strategi pemerintah daerah dalam penanganan konflik

di dalam pasola.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

1). Bagi peneliti lain sebagai bahan penelitian lebih lanjut tentang

Pasola maupun konflik yang terjadi didalamnya.

2). Sebagai catatan dan sekaligus bahan evaluasi dalam penanganan

konflik.

3). Bagi Ilmu Pemerintahan sebagai bahan kontribusi terhadap

penambahan ilmu.

b. Manfaat Praktis

1). Bagi peneliti, penelitian ini sebagai sarana aktualisasi diri untuk

mengaplikasikan teori yang telah diperoleh yaitu tentang strategi

pemerintah daerah dalam mengatasi konflik yang terjadi.

2). Bagi Pemerintah Daerah, menjadi acuan dan masukan kepada

pemerintah daerah dalam menangani konflik yang terjadi di Desa

Wainyapu Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat

Daya Provinsi Nusa Tengggara Timur.

14

3). Bagi tokoh agama Marapu, menjadi bahan pertimbangan dalam

menjalankan budaya Pasola untuk terus menjalankan budaya

Pasola walaupun ada konflik yang terjadi, karena ini merupakan

buah ketaatan dalam menjalankan sebagian upacara adat agama

Marapu.

E. Kerangka Konseptual

1. Konflik Sosial Pengertian umum konflik sosial adalah sebagai suatu proses sosial antara

dua pihak atau lebih disaat pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak

lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Latar belakang

sampai terjadinya konflik ialah disaat terjadi perbedaan yang sulit untuk

ditemukan persamaannya/didamaikan/diselesaikan baik itu perbedaan

kepandaian, ciri fisik, pengetahuan, keyakinan, dan adat istiadat.

Konflik sosial berfungsi sebagai faktor positif yang berdampak

membangun (konstruktif) dan faktor negatif yang merusak (destruktif) untuk

kedamaian. Konflik sosial destruktif secara positif adalah sebagai pendorong

berkembangnya modal kedamaian sosial sehingga meningkatkan solidaritas

antar kelompok. Konflik sosial destruktif juga dapat menjaga keutuhan

kelompok dan integrasi sosial masyarakat dan skala yang lebih luas, namun

jika melampui batas toleransi dan kapasitas pihak-pihak yang terlibat dengan

tidak dicarikan solusi yang cepat maka hal tersebut dapat menyebabkan

disintegrasi sosial.

15 a. Pengertian Konflik

Menurut tinjauan etimologis, istilah konflik berasal dari bahasa

Latin configere yang berarti saling menghantam. Akan tetapi, pengertian

tersebut masih sangat luas. Adapun pendapat dari beberapa ahli sosiologi

mengenai konflik sosial sebagai berikut:

1). Menurut Ginting (2005:7), menyatakan bahwa konflik adalah

benturan seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan

antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan

antara individu dan kelompok dan pemerintah.

2). Menurut Limbong (2012:29), konflik diartikan sebagai suatu proses

sosial antara dua orang atau lebih ( bisa juga kelompok ) dimana

salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan

menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

3). Sedangkan menurut Nugroho (2012:444-445), mengemukakan

bahwa pemikiran teori konflik didasari oleh cara pandangan bahwa

setiap sistem sosial (masyarakat, organisasi, negara, dan

sebagainya) merupakan “ajang pertandingan”, baik perorang

maupun kelompok.

Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut dapat

disimpulkan secara sederhana bahwa konflik adalah salah satu bentuk

hubungan antarindividu ataupun antarkelompok dalam masyarakat untuk

mendapatkan sesuatu yang dihargai dan langka yang diikuti dengan

tindakan yang saling ancam serta menghancurkan karena adanya unsur

16

kepentingan dan saling mempertahankan nilai, adat, dan pandangan

ataupun ideologi agar tercapai tujuan yang diinginkan. b. Penyebab Konflik

Konflik terjadi karena adanya perbedaan antara dua individu atau

kelompok dalam masyarakat. Menurut Con (1971:30) konflik disebabkan

dua hal: pertama, kemajemukan horizontal yaitu masyarakat majemuk

secara kultur seperti suku, bangsa, agama, bahasa dan masyarakat

majemuk secara horizontal sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan

profesi. Kedua: kemajemukan vertikal seperti struktur masyarakat yang

tereskplorasikan menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan dan

kekuasaan. Konflik dengan kadar kompetisi yang tinggi akan

mengakibatkan destruktif. Sementara itu, konflik dalam iklim kooperasi

yang tinggi akan mengakibatkan konstruktif. Selain itu, faktor lain

penyebab timbulnya konflik dalam masyarakat.

Berikut ini merupakan sebab-sebab terjadinya konflik dalam masyarakat

yaitu:

1) Perbedaan pendirian dan keyakinan setiap orang yang menyebabkan

konflik antarindividu. Dalam hal ini, masing-masing pihak berusaha

membinasakan lawan, baik fisik maupun pikiran-pikiran dan ide yang

tidak disetujuinya.

2) Perbedaan kebudayaan akan menimbulkan konflik antarindividu,

bahkan antarkelompok. Perbedaan kebudayaan mempengaruhi pola

17

pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan

yang bersangkutan.

3) Perbedaan kepentingan. Hal itu terjadi karena masing-masing pihak

berusaha mengejar tujuan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing

yang berbeda. Konflik karena perbedaan kepentingan ini dalam rangka

memperebutkan kesempatan dan sarana.

4) Perubahan sosial yang cepat akan mengakibatkan disorganisasi dan

perbedaan pendirian.

5) Bentrokan antar kepentingan, antara lain karena masalah ekonomi,

sosial, politik, dan hukum.

6) Ketidakadilan dalam masyarakat.

7) Terkikisnya nilai-nilai kebersamaan dan keharmonisan. Dari berbagai

sebab konflik tersebut, unsur perasaan memegang peran penting dalam

mempertajam perbedaan sehingga setiap pihak berusaha saling

mengalahkan. Konflik yang terjadi dalam masyarakat bisa berubah

menjadi kekerasan apabila konflik sudah pada taraf mencederai,

menyebabkan matinya orang lain, dan menimbulkan kerusakan fisik

atau barang orang lain. c. Bentuk-Bentuk Konflik Sosial

Konflik sosial merupakan gejala sosial yang akan kita temui dalam

kehidupan bermasyarakat. Karakteristik manusia yang beragam baik pada

ciri-ciri fisik, unsur-unsur kebudayaan, emosi, pola-pola perilaku, gagasan,

dan kepentingan maka konflik sosial yang terjadi juga beragam

18 macamnya. Menurut Mitchell (2003:365) konflik atau pertentangan antara banyak kepentingan kelompok, meliputi; nilai budaya, agama, adat istiadat dan etnisitas sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ini ada, dengan demikian konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakan baik bersifat positif dan negatif. Secara garis besar, konflik dibedakan menjadi beberapa bentuk sebagai berikut:

1). Berdasarkan Subjeknya yang Terlibat dalam Konflik

(a). Konflik individual adalah konflik dalam masyarakat antara seorang

individu dengan individu lain.

(b). Konflik kolektif adalah konflik yang melibatkan kelompok individu

dengan kelompok individu lain.

2). Berdasarkan posisi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik

(a). Konflik vertikal adalah konflik yang melibatkan dua pihak atau

lebih yang mempunyai kedudukan tidak sejajar, melainkan antara

atasan dan bawahan dalam suatu instansi.

(b). Konflik horizontal adalah konflik antara dua pihak atau lebih yang

keduanya mempunyai strata yang sejajar bisa dalam satu

lingkungan kerja (intern) bisa juga antarlembaga (exstern).

3). Berdasarkan Bidang-Bidang Kehidupan yang Menjadi Sumber Konflik:

19

(a). Konflik ideologi adalah konflik vertikal atau horizontal yang

melibatkan dua pihak atau lebih dengan inti permasalahan adanya

perbedaan ideologi.

(b). Konflik politik adalah aktivitas individu atau kelompok individu

untuk memperoleh kekuasaan, menjalankan kekuasaan, dan

mempertahankan kekuasaan.

(c). Konflik ekonomi adalah konflik antara dua pihak atau lebih dalam

bidang ekonomi yang mencakup materi atau finansial. Meskipun

demikian, visualisasinya dapat berbentuk konflik-konflik politik

atau konflik antarnegara yang termasuk konflik pertahanan dan

keamanan.

(d). Konflik sosial budaya adalah konflik yang inti permasalahannya

menyangkut bidang-bidang sosial dan budaya, misalnya

menyangkut perbedaan ras, struktur budaya.

(e). Konflik pertahanan dan keamanan adalah konflik antar pemerintah

atau Negara yang memperebutkan wilayah kedaulatan dengan

mengerahkan prajurit atau tentara negara masing-masing.

4). Berdasarkan akibat yang ditimbulkan

(a). Konflik sosial konstruktif adalah konflik sosial yang bersumber dari

koreksi atau kontrol sosial dari satu pihak terhadap pihak yang lain.

Akan tetapi, kontrol sosial ini bermaksud untuk meluruskan

bentuk-bentuk penyimpangan yang terjadi yang dilakukan pihak

lain.

20

(b). Konflik sosial destruktif adalah konflik sosial antara dua pihak atau

lebih yang berakhir dengan kerusakan-kerusakan dan kondisi-

kondisi sosial yang justru makin buruk.

5). Berdasarkan Ruang Lingkupnya.

(a). Konflik antarkelas adalah pertentangan antara dua kelas sosial.

Konflik itu terjadi umumnya dipicu oleh perbedaan kepentingan

antara kedua golongan tersebut.

(b). Konflik antar kelompok adalah persaingan dalam mendapatkan

mata pencaharian hidup yang sama atau karena pemaksaan unsur-

unsur budaya asing. Selain itu, karena ada pemaksaan agama,

dominasi politik, atau adanya konflik tradisional yang terpendam.

(c). Konflik Internasional merupakan pertentangan yang melibatkan

beberapa kelompok negara (blok) karena perbedaan kepentingan.

Banyak kasus terjadinya konflik Internasional sebenarnya bermula

dari konflik antara dua Negara karena masalah politik atau

ekonomi. Konflik berkembang menjadi konflik internasional

karena masing-masing pihak mencari kawan atau sekutu yang

memiliki kesamaan visi atau tujuan terhadap masalah yang

dipertentangkan. Tak jarang pertentangan ini mengakibatkan

timbulnya perang antarnegara. Dengan demikian, terjadilah konflik

internasional. d. Jenis Konflik

21

Berdasarkan sifatnya, menurut Soetrisno (2003:14-16) dibedakan menjadi

dua:

1). Konflik yang bersifat destruktif, karena dipicu oleh rasa kebencian

yang tumbuh dalam tubuh mereka masing-masing yang terlibat

dalam konflik.

2). Konflik yang fungsional, konflik yang menghasilkan perubahan atau

konsensus baru yang bermuara pada perbaikan.

Sedangkan menurut Mulkhan (2001:41) konflik berupa:

1) Konflik vertikal, adalah konflik elit dan massa rakyat.

2) Konflik horizontal, yakni konflik yang berpengaruh pada massa

rakyat sendiri.

Sepadan dengan menurut para ahli diatas, Miall (2002:19)

membedakan konflik menjadi dua bagian yaitu:

1) Konflik simetris (konflik kepentingan antar pihak yang relatif

sama),

2) Konflik asimetris (konflik yang tidak seimbang: mayoritas dan

minoritas, majikan dan bawahan, dan sebagainya)”.

Dari ketiga para sarjana di atas penulis beranggapan bahwa jenis konflik

merupakan faktor yang bertentangan atau konflik yang mempunyai

hubungan antara konflik yang lain didalam kelompok maupun individu. e. Upaya Penyelesaian Konflik

22

Konflik yang terjadi di dalam masyarakat harus segera diselesaikan.

Apabila konflik yang terjadi dibiarkan, kemungkinan akan terjadi tindak kekerasan atau hal-hal lain yang tidak dikehendaki. Beberapa upaya yang dilakukan dalam penyelesaian konflik yaitu:

1. Mediasi

Mediasi adalah upaya untuk menyelesaikan konflik dengan menunujuk

pihak ketiga, hampir sama dengan arbitrasi, bedanya pihak ketiga

hanya penasehat dan penengah saja, keputusan yang diberikan tidak

mengikat. Menurut Wirawan (2010:200) mengatakan bahwa mediasi

merupakan manajemen konflik, dimana pihak-pihak yang terlibat

menyelesaikan konflik mereka melalui negosiasi untuk mencapai

kesepakatan bersama.

2. Ajudikasi

Jika dalam proses mediasi yang dilakukan tidak mendapatkan titik

terangnya maka pemerintah harus melakukan ajudikasi dengan proses

penyelesaian masalah di pengadilan untuk menentukan jalan keluar

atas masalah yang terjadi.

Dalam penelitian ini konflik merupakan pertentangan yang terjadi diantara dua kelompok dalam budaya Pasola pada tradisi yang saling berinteraksi diatas kuda serta dilakukan setiap tahun pada akhir bulan

Februari dan awal bulan Maret di Sumba Barat Daya

23

Penyebab konflik terjadi karena adanya gesekan atau percikan yang

terjadi di dalam masyarakat yang tidak sejalan dengan norma-norma

agama, budaya dalam Pasola dan minimnya sumber daya manusia dalam

memahami arti dari nilai sebuah budaya maupun upaya dalam

menjalankan tradisi sehingga menyebabkan konflik terjadi ditengah

masyarakat.

Bentuk konflik ini merupakan bentuk konflik sosial budaya yang

terjadi ditengah-tengah masyarakat dalam budaya Pasola, karena tidak

terpenuhinya sebuah nilai atau kepuasan yang dijalankan sehingga

menimbulkan konflik itu terjadi terhadap masyarakat.

Jenis konflik yang terjadi dalam masyarakat merupakan suatu

masalah yang terjadi dalam masyarakat karena adanya pertentangan antara

kedua kelompok sehingga muncul konflik.

Upaya penyelesaian konflik adalah dengan cara melakukan mediasi

antara kedua kelompok yang sedang bertikai dan diberikan pemahaman

tentang ketaatan dalam mejalankan sebuah ritual dalam budaya Pasola

serta memberikan pemahaman tentang kecintaan terhadap sebuah budaya,

sehingga budaya itu tetap dijalankan sesuai dengan norma-norma yang ada

didalam budaya itu sendiri.

2. Kebudayaan Pasola

Budaya adalah serangkain tradisi atau kebiasaan yang dilakukan

oleh sekelompok orang yang mempunyai hasil karya, gagasan dan

tindakan dalam rangka melakukan aktivitas dalam kehidupan serta terus

24 berkelanjutan dari masa ke masa. Menurut Deddy dan Jalaludin (2001:18) budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefenisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuain diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Budaya yang terletak pada Pasola adalah sebuah budaya yang tidak terlepas dari cerita tiga orang bersaudara yang berasal dari kampung

Waiwuang yang hendak mencari makan di Sumba bagian timurnya, karena lama tak kunjung pulang maka salah satu istri dari tiga bersaudara itupun kawin lagi dengan orang lain, dalam beberapa waktu itu kembalilah tiga orang itu ke kampung mereka yaitu kampung Waiwuang, setibanya di kampung salah satu dari mereka yang mempunyai istri menanyakan kepada warga tentang keberadaan istrinya, didapatinya cerita bahwa

25

istrinya telah kawin dengan orang lain, singkat cerita mereka mengadakan

pesta Pasola untuk melupakan kesedihan itu.

4. Strategi Pemerintah Daerah

Strategi merupakan salah satu cara yang di pakai oleh individu,

kelompok, instansi pemerintahan maupun swasta dalam mencapai sesuatu

yang ditargetkan, takkalah sebuah strategi menjadi primadona yang sangat

ideal untuk mencapai kemaksimalan pekerjaan. Suatu strategi akan

mencapai kemaksimalan apabilah strategi yang dirancang atau dipikirkan

dengan matang serta positif dan negatifnya bisa dikelolah dengan baik

sehingga tidak merugikan si pemilik strategi tersebut.

Istilah strategi berasal dari bahasa Yunani strategeia (sratus=

militer, dan ag= memimpin), yang artinya seni atau ilmu. Seperti yang

dikemukan oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert, Jr (1995:6-7), konsep

strategi dapat didefenisikan berdasarkan dua persepktif yang berbeda,

yaitu: (1) dari perspektif apa yang suatu kebijakan atau manajemen publik

organisasi ingin lakukan, dan (2) dari perspektif apa yang organisasi

akhirnya lakukan. Berdasarkan yang pertama, strategi dapat didefinisikan

sebagai program untuk menentukan dan mencapai tujuan organisasi dan

mengimplimentasikan misinya. Sedangkan berdasarkan perspektif kedua,

strategi didefenisikan sebagai pola tanggapan atau respon organisasi

terhadap lingkungannya sepanjang waktu, (Enningsih dalam Tjiptono,

2016:9).

26

Strategi yang dikemukan oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert, Jr tersebut penulis menyimpulkan bawah strategi merupakan proses penentuan tentang rencana apa yang akan dilakukan oleh pemimpin yang berfokus pada tujuan jangka panjang pada suatu ornganisasi untuk mencapai tujuannya serta menentukan akan apa yang akan dilakukan kedepannya yang senantiasa meningkat dan terus menerus dilakukan.

Pemerintah daerah Sumba Barat Daya dalam hal ini mempunyai

hak sesuai dengan otonomi daerah untuk mengatur urusan rumah

tangganya sendiri, inti dari pelaksanaan otonomi daerah, yaitu adanya

keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) dalam

menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas

dan peran serta aktif dalam rangka mengembangkan dan memajukan

daerahnya (Boedi Derwantoro, 2001:121).

Melalui otonomi yang diberikan maka kabupaten Sumba Barat

Daya berhak untuk menentukan sikap dalam merancang strategi dalam

penanganan konflik yang terjadi di dalam budaya Pasola, konflik yang

terjadi dalam budaya Pasola dapat menghambat kemajuan daerah

terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang digencarkan

daerah. Oleh karenanya, daerah harus ambil sikap dalam mengatasi

konflik dalam budaya Pasola sehingga konflik yang terjadi tidak

merugikan daerah tersebut dalam hal ini pihak toko agama Marapu

dalam melakukan budaya Pasola setiap tahunnya dan bagi pemerintah

sendiri dalam menambah pendapatan asli daerah lewat budaya Pasola

27

yang juga dikaitkan dengan pariwisata oleh Dinas Pariwisata Kabupaten

Sumba Barat Daya serta retribusi parkir.

F. Kerangka Pemikiran

RATO ADAT

MANAJEMEN KONFLIK PASOLA PEMERINTAH PESERTA PASOLA DAERAH

KONFLIK PASOLA

MASYARAKAT

Gambar 1.1 Model Kerangka Pikir

Kerangka pikir yang penulis paparkan diatas dapat dilihat lebih jelas dengan

uraian sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah dalam hal ini kabupaten Sumba Barat Daya sebagai

stakeholder dalam daerah berhak membuat regulasi yang mengatur tentang

keamanan para peserta Pasola, Rato Adat dan masyarakat sehingga tidak ada

konflik yang terjadi.

2. Rato Adat sebagai Imam dalam adat Pasola memberikan pemahaman lebih

mendalam lagi tentang budaya Pasola dan berkordinasi dengan pemerintah

daerah dalam menciptakan keamanan yang tetap kondusif.

3. Peserta Pasola sebagai pelaku dalam antraksi di atas kuda memberikan

antraksi yang tidak memancing emosi lawan saat melakukan lemparan pada

28

saat mengenai lawan sehingga tidak menimbulkan emosional yang berlebihan

bagi kubu lawan dan penonton tidak ikut terpancing dalam konflik tersebut.

4. Masyarakat sebagai penonton maupun sebagai pendukung diantara dua kubu

harus ikut andil dalam menjaga budaya Pasola dengan tidak ikut-ikutan dalam

konflik yang terjadi serta membantu memeriahkan pesta tersebut dengan cara

menjaga keamanan. Dengan demikian, budaya Pasola dapat berjalan dengan

lancar.

5. Manajemen Konflik Pasola, pola manajemen konflik merupakan salah satu

instrumen yang digunakan untuk meminimalisir konflik dalam Pasola.

Menurut Wirawan (2010:129) manajemen konflik sebagai proses pihak yang

terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkan

untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.

Dari defenisi tersebut, terdapat beberapa kata kunci yang digunakan untuk

lebih memperjelas lagi tentang defenisi tersebut yaitu: (1) pihak yang terlibat

atau pihak ketiga, pihak yang terlibat berupaya mengelola konflik untuk

menciptakan solusi yang menguntungkan dengan menggunakan berbagai

sumber sekecil dan seefesien mungkin. (2) strategi konflik, merupakan proses

penyusunan strategi konflik sebagai rencana untuk mengelola konflik. Jika

tidak dikendalikan, konflik bisa berkembang menjadi konflik destruktif,

dimana masing-masing pihak akan memfokuskan perhatian, tenaga dan

pikiran serta sumber-sumber organisasi bukan untuk mengembangkan

produktivitas, tetapi untuk merusak dan menghancurkan lawan konfliknya.

(3) Mengendalikan konflik, bagi pihak ketiga, manajemen konflik merupakan

29

upaya untuk mengarahkan konflik dari konflik destruktif menjadi konflik

konstruktif. Konflik konstruktif akan mengembangkan kreativitas dan inovasi

pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menciptakan win & win solution, dan

(4) Resolusi konflik, jika manajemen konflik dilakukan oleh pihak yang

terlibat konflik, hal ini bertujuan untuk menciptakan solusi konflik yang

menguntungkan.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan fenomena

sosial secara jelas dan cermat. Dengan mengartikan istilah penelitian

kualitatif sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Bogdan dan

Taylor dalam Moleong (1989:3), mendefenisikan metodologi kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendapat

ini sejalan dengan teorinya Kirk dan Miller dalam Moleong (1989:3).

Menurut kirk dan Miller penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam

ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada

pengamatan pada manusia dalam kawasanya sendiri dan berhubungan dengan

orang-orang tersebut dalam bahasanya dan pristilahannya.

Dengan memperhatikan hal tersebut dan untuk mendapatkan

kesimpulan yang objektif, maka penulis akan menggunakan metode

penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, dimana sumber data berada

30 dalam situasi yang wajar (natural setting), tidak dimanipulasi oleh angket dan tidak dibuat-buat oleh eskperimen. Dalam penelitian ini penulis mengutamakan proses daripada produk mencari makna yang dipandang dari pikiran dan perasaan responden, dengan mementingkan data langsung, oleh sebab itu pengumpulan datanya menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik penelitian ini adalah teknik purposive yang merupakan teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu yang bertujuan agar data yang diperoleh nantinya bisa lebih representatif. Metode diskriptif yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah merupakan metode yang berupaya mendiskripsikan fakta-fakta yang ditemui di lapangan yang berhubungan dengan strategi pemerintah daerah dalam mengatasi konflik dalam budaya Pasola di Desa Wainyapu Kecamatan

Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Studi kasus adalah fokus pada penelitian yang akan dikaji atau diteliti.

Schraman dalam Yin (2012:17) esensi studi kasus, kecenderungan utama dari semua jenis studi kasus, adalah mencoba menjelaskan keputusan- keputusan tentang mengapa studi tersebut dipilih, bagaimana mengimplementasikannya, dan apa hasilnya. Budaya Pasola merupakan suatu tradisi yang hanya ada di pulau Sumba provinsi Nusa Tenggara Timur, selain sebagai budaya ada tantangan sendiri bagi para penonton untuk melihat aksi yang dilakukan oleh dua kelompok yang saling serang dan memacuh adrenalin diatas kuda, kisaran perkelompok itu seratus orang yang ikut berperang. Keberadaan budaya Pasola ini menjadi daya tarik sendiri bagi

31

wisatawan lokal maupun wisatawan asing untuk datang menyaksikan sajian

budaya Pasola tersebut, Pasola diharapkan kedepannya menjadi masuk

ketegori keajaiban dunia dengan tujuan agar pulau Sumba maupun negara

Indonesia lebih dikenal lagi dimata dunia lewat budaya Pasola itu sendiri

maupun dari sektor pariwisatanya.

2. Objek penelitian

Dalam mempermudah serta agar data yang diperoleh nanti sesuai dengan

data yang diperlukan, maka objek penelitian dibatasi fokus pada penelitian

strategi pemerintah daerah dan Konflik sosial pada budaya Pasola di desa

Wainyapu Kecamatan Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa

Tenggara Timur.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Wainyapu Kecamatan Kodi Balaghar

Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pertimbangan

dari pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan karena Pasola yang dilakukan

setiap tahun ini, merupakan tradisi dari turun temurun yang dilakukan oleh

para pendahulu dan merupakan bagian dari adat di pulau Sumba. Kecintaan

penulis terhadap tradisi menjadi pemacu dalam meneliti konflik dalam Pasola

agar kedepannya Pasola tetap dilakukan demi menghormati para leluhur

orang Sumba.

4. Teknik Pemilihan subyek penelitian

Sedangkan yang menjadi subjek penelitiannya adalah individu atau organ

yang akan dijadikan sumber informasi dengan maksud untuk mengetahui

32

peristiwa yang terjadi pada budaya Pasola itu sendiri (Idrus, 2009:91).

Pemilihan subyek penelitian dalam penelitian ini adalah orang-orang yang

memiliki informasi, pengetahuan, pengalaman dan kompetensi terhadap

masalah-masalah yang akan diteliti. Teknik pemilihan subyek penelitian

dilakukan atau informan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

cara Purposive. Dalam hal ini yang menjadi informan adalah:

(a). Penjaga situs kampung Wainyapu dan Pasola,

(b). Rato adat (Imam dalam agama Marapu),

(c). Peserta Pasola.

(d). Kelompok masyarakat

(e). Aparat Desa

(f). Aparat kecamatan.

(g). Kepala dinas KESBANGPOL.

(h). Kepala dinas pariwisata

(i). Ketua polisi adat

(j). Sejarawan

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam sebuah penulisan sebelum melakukan pembahasan, maka penulis

terlebih dahulu melakukan pengumpulan data. Untuk dipakai sebagai uraian,

maka dalam penulisan ini menggunakan teknik-teknik sebagai berikut:

1) Teknik Observasi

33

Teknik observasi adalah sebagai langkah utama dalam mengumpulkan data,

digunakan teknik observasi yaitu untuk mengumpulkan data secara

langsung dengan terjun ke lokasi penelitian agar dapat memperoleh data

yang dibutuhkan. Data ini berkenaan dengan data primer. Menurut

Moleong (1989:117-121) pengamatan dibagi dalam dua jenis pengamatan

yaitu (a). Pengamatan berperanserta, pengamatan berperanserta berasumsi

bahwa cara terbaik dan mungkin satu-satunya cara untuk memahami

beberapa bidang kehidupan sosial ialah dengan jalan membaurkan diri ke

dalam diri orang lain dalam susunan sosialnya. Dalam hal ini peneliti

menganggap dirinya sebagai bagian dari individu atau kelompok yang akan

diteliti, sehingga peniliti dapat bergaul dengan informannya tanpa harus

dianggap sebagai pendatang atau orang asing maupun dalam kelompok

sosial. Pengamatan yang kedua (b). Manusia sebagai instrumen penelitian,

kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia sekaligus

merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data,

dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya. Pengertian

instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia menjadi segalanya dari

keseluruan proses penelitian. Namun, instrumen penelitian di sini

dimaksudkan sebagai alat mengumpulkan data seperti tes pada penelitian

kualitatif.

2) Wawancara

Wawancara atau interview adalah cara pengumpulan data yang dilakukan

oleh seorang peneliti, untuk tujuan suatu tugas tertentu, dimana peneliti

34

mencoba mendapatkan keterangan atau jawaban secara lisan dari informan.

Maksud untuk mengadakan wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln

dan Guba ( Moleong, 1989:135), antara lain: mengkontruksi mengenai

orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan,

kepedulian dan lain-lain kebulatan; memproyeksikan kebulatan-kebulatan

sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang;

memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan

oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.

3) Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi merupakan teknik dimana dalam penelitian mencoba

cara mengumpulkan data melalui buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-

arsip yang berisi pendapat atau teori-teori, dan sebagainya yang relevan

dengan masalah.

6.Teknik Analisis Data.

Teknik dan prosedur analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah teknik analisa data kualitatif, yaitu: analisis data yang terdiri dari tiga

(3) alur kegiatan secara simultan yang terdiri dari reduksi data, penyajian data

dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Definisi analisis data menurut

Moleong (1989:103) proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola, kategori, dan satuan urain dasar sehingga dapat ditemukan tema

dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Miles

dan Huberman ( Sugiyono, 2009:91) menyebut aktivitas dalam analisis data

ini dengan data reduction, data display dan conclusion drawing/verification.

35

Untuk lebih jelasnya akan diuraikan melaluhi tiga alur yang dipergunakan dalam analisis data kualitatif tersebut yaitu sebagai berikut:

1) Reduksi Data

Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau

laporan yang terinci, kemudian direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang

pokok, dan difokuskan pada hal-hal yang penting, serta dicari tema atau

polanya dan diberi susunan yang sistematis sehingga memudahkan dalam

menganalisa. Proses pemilihan, pemusatan, perhatian dan transformasi data

dasar yang muncul dari catatan dilapangan. Melalui reduksi ini di temukan

fenomena-fenomena yang menjadi pokok-pokok temuan dari wawancara.

2) Penyajian Data

Yaitu sebagai format ruang yang mengemukakan informasi secara

sistematis pada penggunaan. Dalam hal ini penulis memilih keputusan

tentang jenis dan bentuk data mana harus dirumuskan dan dimasukkan

dalam konfigurasi sajian baik berupa matrik, bagan dan sebagainya.

3) Verifikasi Data atau Penarikan kesimpulan

Verifikasi data atau penarikan kesimpulan merupakan teknik untuk

mengkaji dan memastikan temuan. Dalam penarikan kesimpulan dilakukan

secara terus menerus oleh peneliti selama berada di lokasi penelitian. Mulai

dari pengumpulan data, penelitian kualitatif mulai arti benda-benda, serta

keteraturan pola dalam teori-teori, penjelasan sebab akibat. Dengan begitu

peneliti melakukan beberapa cara dalam verifikasi data dan penarikan

kesimpulan yaitu; meninjauh ulang dalam catatan-catatan dari peneliti,

36

memikirkan ulang selama penulisan dilakukan sehingga data-datanya valid,

dan serta tinjauan ulang serta mencari informasi dari pihak lain.

BAB II

PASOLA SEBAGAI BUDAYA DI DESA WAINYAPU KECAMATAN KODI BALAGHAR KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Budaya Pasola berawal dari cerita tentang tragedi asmara di padang savana membedah pulau Sumba terbesit pesan Sumba adalah pulaunya para

37 arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian para abdi, abdi ini adalah orang-orang yang setia kepada roh leluhur orang

Sumba yang disebut Marapu dan pada akhirnya muncullah agama lokal di

Sumba yang disebut Marapu. Nama Sumba atau Humba berasal dari nama ibu

Rambu Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku Sumba. Dua pertiga penduduknya adalah pemeluk agama lokal yaitu

Marapu yang khusus berbakti kepada arwah para leluhurnya. Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato (pemangku adat), Pemimpin Suku dan

Imam agung para Marapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu) adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme itu. Sumba, pulau padang savana yang dipergagah kuda- kuda liar yang kuat yang tak kenal lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu warisan leluhur. Binatang unggulan tingkatan mondial itu semakin merambah maraknya perang akbar pasola, perang melempar lembing kayu sambil memacu kuda, untuk menyambut putri Nyale, si putri cantik yang menjelma diri dalam wujud cacing laut yang nikmat gurih.

Pasola berasal dari kata `sola‟ atau `hola‟, yang berarti sejenis Lembing kayu atau Tombak yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa‟ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan

38

Sebagaimana tradisi-tradisi dalam upacara adat di setiap masyarakat, upacara Adat Pasola di Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki arti penting bagi masyarakat setempat. Upacara adat Pasola merupakan upacara puncak kebudayaan masyarakat Sumba. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai suatu penghelatan tradisional masyarakat di Kabupaten Sumba Barat Daya dengan maksud dan tujuan tertentu.

Tujuan pesta Adat “Pasola” tiap tahun diadakan yaitu Pasola merupakan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Sumba terutama yang menganut kepercayaan asli yang disebut “Marapu”, tujuan dari penyelenggaraan Adat

Pasola adalah untuk meminta keberkahan dan restu dari sang pencipta agar panen yang dilaksanakan di musim panen mendapatkan berkah yang melimpah dan menuai hasil yang baik. Pasola diadakan setiap tahun sekali, sebelum kegiatan bertani berlangsung. Pasola bukan hanya sebagai pesta kegembiraan semata, namun lebih pada penghormatan kepada para leluhur, perintah yang di turunkan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka agar Pasola diadakan setiap tahun, menjadikan sebuah kultur adat yang unik khususnya bagi kepercayaan Marapu.

Bagi Agama Marapu, cucuran darah yang tertumpah pada pesta Adat

Pasola bukan merupakan sebuah aib namun merupakan berkat yang melimpah dari sang pencipta untuk kesuburan tanah panenan dan tanah yang mereka diami.

Pasola dianggap sebagai penyelesaian terhadap peristiwa perang suku yang terjadi untuk kembali menjaga perdamaian dan terjalin semangat persaudaraan antar setiap suku sehingga merekapun bisa hidup berdampingan dan menyatu

39 kembali satu sama lainnya. Selama acara Pasola diadakan kedua kelompok yang bermain Pasola dan penonton larut dalam kegembiraan dan kesenangan, menyaksikan pertempuran permainan Pasola yang begitu dramastis, adu ketangkasan, lengkingan teriakan para penonton, ayunan lembing kayu, lincahnya kuda melaju dan lihainya para pemain menghindar tombakan lawan, dan luapan aroma mistis, bercampur menjadi satu dalam suasana penuh kejutan sembari mengucap syukur pada sang pencipta.

Pelaksanaan Pasola tidak hanya merupakan permainan yang bersifat badaniah (profan), melainkan juga mempresentasikan ketaatan para pemeluk kepercayaan Marapu dalam melaksanakan adat istiadat para leluhurnya, oleh karena bersifat sakral, maka sebelum pelaksanaan Pasola para tetua adat melakukan semedi dan Lakutapa (puasa) untuk memohon berkah kebaikan kepada para leluhur dan para Dewa. Selain memiliki nilai sakral, secara fungsional Pasola juga dapat di lihat sebagai elemen pemersatu bagi masyarakat

Sumba. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut kepercayaan “Marapu”

(kepercayaan lokal masyarakat Sumba yang masih menganut aliran animisme dan dinamisme).

Pada hakikatnya merupakan ritual kepercayaan yang bagi para penganut kepercayaannya bersendikan pada elemen alam terpenting yaitu demi menjaga keharmonisan antara manusia dengan ln dan kemakmuran bagi mereka, lazimnya Pasola diselenggarakan sebagai puncak seremoni adat yang disebut

“Nyale” yakni upacara ritual adat untuk memohon restu para Dewa dan arwah

40 nenek moyang sebagai leluhurnya dengan maksud agar panen pada tahun tersebut berhasil dengan baik. Pasola sesungguhnya mengandung nasihat yang sangat dalam, nasihat itu ialah dalam hidup manusia harus bekerja keras, tekun, sabar, jujur, dan bertanggung jawab serta mampu membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, manusia juga dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan antara alam rohani dan alam jasmani, antara kebutuhan fisik material dan kebutuhan mental spiritual.

Para kalangan masyarakat Kodi adanya keyakinan dan prinsip bahwa luka-luka, sakit, atau cedera yang dialami para peserta Pasola, merupakan kenyataan-kenyataan yang harus dialami sebelum mereka meraih kesuksesan dan kemenangan. Mereka harus lebih dahulu berkorba, luka-luka bahkan ajal menjemput mereka saat Pasola tersebut berlangsung serta gigih berjuang dan mengalami aneka penderitaan dan kesulitan sebelum mencapai kesuksesan dan kemenangan, oleh karena itu Pasola berperan sangat penting dalam kehidupan masyarakat.

Menelurusi asal-usulnya, cerita Pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu Kaba sebagaimana dikisahkan dalam cerita orang Waiwuang.

Alkisah ada tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu

Dula. Ketiganya memberitahukan kepada warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan pantai Sumba bagian timurnya untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari kian ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Dengan rasa sedih dan gelisah yang

41 mereka alami akhirnya, mereka pun mengadakan perkabungan dengan belasungkawa sesui dengan melakukan serangkaian upacara adat Sumba pada umumnya atas kepergian kematian para pemimpin mereka.

Dalam kedukaan maha dahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum‟ Umbu

Dulla, Rabu Kaba mulai meninggalkan ras sedihnya dan ingin mendapatkan suami baru, lalu Rabu Kaba mendapat lapangan hati Teda Gaiparona, si palahwan asal Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih namun adat tidak menghendaki perkawinan mereka, karena masih terikat sebagai suami orang, tetapi karena sepasang anak manusia yang tak mampu lagi memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Janda cantik jelita Rabu Kaba diboyong sang palahwan Teda Gaiparona ke kampung halamannya Kodi. Terselang beberapa waktu kemudian, muncullah ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali ke kampung, dan warga Waiwuang menyambut dengan penuh sukacita atas kembalinya tiga bersaudara yaitu

Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula ke hadapan warga

Waiwuang.

Namun rasa sedih tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal istrinya. „Yang mulia Sri Ratu Rabu Kaba telah dilarikan Teda

Gaiparona ke Kampung Kodi,‟ jawab warga Waiwuang pilu. Lalu seluruh warga

Waiwuang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang mabuk kepayang itu.

Keduanya ditemukan di kaki Gunung Bodu Hula.

Walaupun berhasil ditemukan oleh warga Waiwuang di kaki Gunung

Bodu Hula namun Rabu Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda

42

Gaiparona dan tidak ingin kembali. Ia (Umbu Dulla) meminta pertanggungjawaban kepada Teda Gaiparona untuk mengganti belis (mahar) sebagai ganti rugi atas apa yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda

Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis (mahar) pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.

Pada akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta Nyale (cacing laut) dalam wujud

Pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik Rabu

Kaba. Atas dasar hikayat itu, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan

Wanokaka mengadakan bulan Nyale ( bulan pencarian cacing di laut ) dan pesta Pasola.

Akar Pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba menjadikan Pasola tidak sekedar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu. Karena itu Pasola pada tempat yang pertama adalah kultur religius yang mengungkapkan inti religiositas agama

Marapu. Hal ini sangat jelas pada pelaksanaan Pasola, Pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa (puasa) para Rato.

Sedangkan sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran (proses pembersihan diri untuk menghilangkan perbuatan-perbuatan dari hal jahat ) bagi setiap warga Waiwuang, Wanokaka

43 dan Kodi serta pada saat pelaksanaan Pasola, darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan Pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang Pasola.

Pada tempat kedua, Pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum‟ perang damai dalam permainan Pasola.

Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga

Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa yang enak dinikmati. Tetapi peristiwa yang sangat menyakitkan dan tamparan telak terhadap keluarga Waiwuang dan terutama

Umbu Dulla yang punya istri. Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni Nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba. Pada tempat ketiga, Pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam Pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk Pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagi kedua kabisu ( suku ) yang terlibat secara langsung dalam pasola. https://verykaka.wordpress.com/2008/04/14/tradisi-pasola-di-sumba- barat-ntt/.

Adapun bagian-bagian penting dalam persiapan Pasola yaitu:

44

A. Nyale (cacing Laut)

Gamabr I.II Jenis cacing Laut atau cacing Nyale.

Sebelum budaya Pasola dilaksanakan maka di pagi hari masyarakat

mengadakan serangkaian tradisi adat “Bau Nyale”(mencari cacing laut), Tradisi

tersebut merupakan kegiatan menangkap cacing laut yang hanya ada satu tahun

sekali di daerah tersebut, warga akan berbondong-bondong ke sekitar pantai

untuk menangkap Nyale yang merupakan cacing laut. Tradisi “Bau Nyale”

berarti menangkap Nyale, si cacing laut, telah diadakan sejak puluhan bahkan

ratusan tahun yang lalu. Menangkap cacing langka ini merupakan tradisi, karena

selain cacing yang hanya keluar satu tahun sekali di daerah tersebut, cacing ini

pun bermakna kesuburan bagi masyarakat Sumba. Nyale bukan hanya sekadar

cacing bagi masyarakat Sumba, selain sebagai sumber makanan dan kesuburan,

Nyale dapat menggambarkan panen warga. Perkiraan panen langsung tergambar

pada warna nyale yang keluar pada saat penangkapan.

Menurut kepercayaan penduduk setempat, panen akan melimpah apabila

Nyale yang keluar berwarna lengkap, yaitu putih, hitam, hijau, kuning dan

45

coklat. Warna itu juga menentukan pula banyak sedikitnya hujan yang akan

turun ketika bertanam.Semakin banyak Nyale yang keluar menandakan semakin

subur dan melimpah pula hasil panen. Namun, terkadang Nyale tidak keluar

sama sekali ketika penangkapan, seperti pada tahun 2015. Ini terjadi karena

waktu penangkapan yang tidak tepat, karena perhitungannya sendiri biasanya

menggunakan musyawarah para petinggi adat. Maka dari itu jika tidak keluar

pada satu waktu, biasanya dilakukan kembali penangkapan Nyale tersebut.

Setelah pulang dengan membawa banyak Nyale, masyarakat Sumba

melakukan perayaan rasa syukur terhadap panen yang melimpah. Kemudian di

siang harinya dilanjut kegiatan Pasola, yaitu bertarung saling melemparkan

tombak kayu dengan menunggangi kuda sebagai permohonan restu kepada Sang

Dewa.

B. Kuda

46

Gambar II.II Kuda Pasola

Kuda yang digunakan dalam perayaan pesta Pasola ini adalah kuda

Sandelwood, jenis kuda yang menjadi khas pulau Sumba ini, memiliki perawakan yang kokoh, gesit dan lincah. Kuda yang dipakai dalam pesta Pasola tersebut biasanya dirawat lebih baik daripada kuda-kuda peliaraan lainnya yang dipakai sebagai alat tranportasi dan untuk berkebun. Beberapa hari sebelum hari tuk pesta Pasola dilaksanakan, kuda-kuda tersebut dipersiapkan secara khusus dengan diberikan makann-makanan khusus dengan tujuan agar stamina kuda tersebut tetap terjaga, dikarenakan seharian dalam pesta Pasola akan dipakai.

Kuda sandel, atau lebih lengkap kuda Sandalwood Pony, adalah kuda pacu asli Indonesia yang dikembangkkan di Pulau Sumba. Konon kuda ini memiliki moyang kuda arab yang disilangkan dengan kuda poni lokal (grading up) untuk memperbaiki sejumlah penampilannya. Nama "Sandalwood" sendiri dikaitkan dengan cendana (Sandalwood) yang pada masa lampau merupakan komoditas ekspor dari Pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.

Menurut catatan J. de Roo pada tahun 1890, kuda telah menjadi komoditi perdagangan orang Sumba ke daerah lain di paling tidak sejak 1840

47 melalui Waingapu (Sumba Timur) yang kebanyakan dilakukan oleh bangsawan setempat. Populasinya sempat menurun menjelang pertengahan abad ke-20 akibat meluasnya penyakit dan juga persaingan dari ternak sapi ongole Sumba.

Pada masa kini, perbaikan mutu dan penampilan kuda sandel telah menjadi program nasional, dilakukan melalui program pemuliaan murni dan grading up dengan persilangan terhadap kuda "Thoroughbred" asal Australia untuk kecepatan dan tenaga.

Kuda sandel memiliki postur rendah bila dibandingkan kuda-kuda ras dari

Australia atau Amerika. Tinggi punggung kuda antara 130 - 142 Cm. Kuda jenis ini banyak dipakai orang sebagai kuda tarik, kuda tunggang dan bahkan kuda pacu. Keistimewaannya terletak pada kaki dan kukunya yang kuat dan leher besar. Ia juga memiliki daya tahan (endurance) yang istimewa. Warna rambutnya bervariasi: hitam, putih, merah, dragem, hitam maid (brownish black), „bopong‟ (krem), „dawuk‟ (abu-abu), atau juga „plongko‟ (belang).

Kuda bagi masyarakat Nusantara lebih dari sekadar hewan, bahkan pada masyarakat tertentu, kuda dianggap suci karena mampu menopang segala bentuk kegiatan manusia, mulai dari alat transportasi hingga menjadi teman saat berladang.

Kuda ini sampai sekarang masih merupakan kuda yang diternakkan di Pulau

Sumba dan hingga saat inipun kuda inilah yang dipakai dalam proses adat Pasola dan selebihnya dikirim ke pulau-pulau lain seperti Jawa, Madura, dan Bali untuk dipergunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu. Lomba pacuan

48