Humanisme Dalam Foto Karya Samuel Aranda Pemenang Photo of the Year World Press Photo 2012 SKRIPSI Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Almamater Wartawan Surabaya” Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Ilmu Komunikasi.

Oleh : Zulfikar Firdaus NPM : 12.21.0011

KEKHUSUSAN : PUBLIC RELATIONS

SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA 2018

1

ABSTRAK

Fotografi jurnalistik saat ini mulai menjadi primadona bagi masyarakat fotografi, baik dari pelaku atau penikmat fotografi berbondong-bondong mengenal foto jurnalistik lebih dalam. Orisinalitas foto, fakta, kode etik, serta cara bertutur atau story telling melalui foto menjadi poin-poin yang menarik untuk di diskusikan. Banyak peristiwa penting dan fenomena di dunia yang direkam dengan baik oleh para pewarta, salah satunya Samuel Aranda. Fotografer spesialis daerah konflik yang bekerja pada New York Times tersebut, berhasil merekam momen haru salah satu pejuang revolusi Yaman, Fatima al-Qaws saat menemukan Zayed (anaknya) terbaring koma di camp kesehatan . Foto karya Samuel Aranda menggambarkan kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya yang menjadi korban konflik saat badai revolusi Arab yang dikenal sebagai menghantam Yaman. Berlatar bealakang permasalahan tersebut, peneliti memunculkan pertanyaan “Apa pesan humanisme yang terkandung dalam karya foto Samuel Aranda, pemenang Photo of The Year World Press Photo 2012? dengan mengungkap makna denotasi, konotasi, serta mitos, menurut semiotika Roland Bhartes. Berdasarkan data yang telah dikaji mengunakan semiotika Roland Bhartes, peneliti memperoleh beberapa hasil, yaitu: makna denotasi yang menggambarkan kondisi Fatimah dan Zayed, makna konotasi menggambarkan apa yang tengah dirasakan oleh Fatima saat menemukan Zayed terbaring koma, dan pada mitos dapat diketahui bahwa humanisme tergambar dari kasih sayang Fatima kepada Zayed. Dari hasil penelitian ini, dapat dibuktikan bahwa foto jurnalistik tak sekadar foto yang merekam peristiwa dengan keasliannya, tapi juga pesan-pesan yang terkandung didalamnya.

Kata Kunci : Fotografi, Foto Jurnalistik, Humanisme, Semiotika, Roland Bhartes, World Press Photo, Samuel Aranda

VII

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillahirrabilalamin, Segala puji dan syukur peneliti sampaikan atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Humanisme dalam Foto Karya Samuel Aranda Pemenang World Press Photo of The Year 2012.” Pada kesempatan lain, peneliti juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada orangtua yang sabar menanti keberhasilan anaknya dalam menyelesaikan progam pendidikan di kampus Stikosa-AWS. Selain itu, dukungan dari berbagai pihak turut menyertai peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada : 1. Dr. Hernani Sirikit, M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat telaten membimbing peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini. 2. Kawan Diskusi saya, Mbak Ratna Puspita Sari, M.Med.Kom, Ibu Suprihatin, S.Pd, serta Mbak Putri Aisyiyah Rachma Dewi, M.Med.Kom, 3. Semua anggota UKM Himmarfi yang menempa mental saya, Rozi Shrekus, Syaiful Anwar, Hendriansyah, Kukuh Rangga, Abdiel Bebong. Lemah teles, Gusti Allah sing mbales 4. Semua anggota KOPI Production, khususnya Escalation yang telah mengajarkan saya arti kekeluargaan. 5. Untuk Amalia Irawati, terimakasih banyak. 6. Untuk semua staff Stikosa-AWS yang sering saya repoti selama di kampus. 7. Untuk Mas Zurqoni, Halaman Pengelana, Cokro Squad, Qimas Yunanto, Istiqomatul, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

VI

Semoga kebaikan yang tercurah mendapat balasan setimpal dari Allah SWT.

Surabaya,………………..2018

Peneliti

VI

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Skema Signifikasi Dua Tahap Roland Bharthes……………………34

Gambar 2.1 Foto Tunggal Karya Samuel Aranda……………………………….45

IX

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Peta Tanda Roland Bhartes……………………………………………32

Tabel 1.2 Kerangka Berfikir……………………………………………………..40

X

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Fotografi merupakan sebuah sebuah kegiatan atau proses melukis

dengan cahaya dan menjadikannya sebuah gambar menggunakan medium

kamera. Kata fotografi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Fos yang

memiliki arti cahaya, dan Grafo yang memiliki arti menulis atau melukis.

Seperti lukisan ataupun fotografi juga menjadi salah satu alat penyampai

pesan dengan unsur rupa (visual) yang dilakukan oleh fotografer sebagai

komunikator kepada masyarakat sebagai komunikan. Fotografi sendiri

memiliki banyak aliran ataupun genre, seperti Human Interest, Arsitektur,

Salon, Lanskap, Kontemporer, Hitam-Putih, Jurnalistik, dan juga Street

Photography.

Selain aliran atau genre foto, dalam kegiatan fotografi ada juga teknis

cara bertutur atau story telling yang dilakukan fotografer dalam

menyampaikan sebuah pesan melalui bentuk visual foto. Cara bertutur yang

berkembang saat ini antara lain foto tunggal atau single photo dan foto

jamak yang memiliki turunan pendekatan secara story

(narrative/descriptive), essay, atau dokumenter. Penggunaan foto tunggal

biasa digunakan oleh media massa cetak koran, dimana fotografer dituntut

untuk membuat sebuah foto yang mampu berdiri sendiri dengan kata lain

tidak ada foto pendamping dalam sebuah berita, sedangkan foto jamak

merupakan rangkaian dari beberapa foto yang membentuk sebuah rangkaian

1

cerita yang utuh, kebanyakan cara bertutur seperti ini digunakan oleh media massa cetak majalah maupun online.

Salah satu aliran yang sedang naik daun dalam dunia fotografi saat ini adalah fotografi jurnalistik. Fotografi jurnalistik sendiri merupakan aliran fotografi yang kegiatannya dibatasi oleh kaidah jurnalistik serta diatur oleh kode etik jurnalistik. Awalnya fotografi jurnalistik hanya dilakukan oleh press atau pewarta untuk kepentingan media massa, dan karya-karya foto jurnalistik pun hanya disebarkan melalui media massa yang menaungi pewarta tersebut. Dewasa ini fotografi jurnalistik tidak hanya dilakukan oleh pewarta foto saja, masyarakat umum pun dapat melakukan kegiatan fotografi jurnalistik berbekal kata jurnalisme warga atau citizens journalism yang merupakan pengembangan dari aliran fotografi jurnalistik. Untuk media penyebarannya sendiri, fotografi jurnalistik yang dihasilkan oleh warga bisa disebar melalui media personal website, blog, instagram, atau media sosial pribadi lainnya.

Dilansir pada laman website jagokata.com Tokoh fotografi dunia,

Ansel Easton Adams pernah memunculkan sebuah ungkapan, Fotografi lebih dari sekedar sebuah sarana ide komunikasi faktual, fotografi adalah sebuah seni kreatif. Begitu juga dengan Elliot Erwitt yang memiliki pedoman bahwa fotografi merupakan sebuah seni observasi, dimana didalamnya fotografi dia bisa menemukan suatu hal yang menyenangkan di tempat biasa. Elliott Erwitt pun telah menemukan bahwa hal tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang dilihat oleh orang lain mengenai suatu

2

objek, akan tetapi melalui perspektif fotografer dalam melihat objek foto.

Senada dengan Ansel Adams dan Elliott Erwitt, Robert Capa, salah satu fotografer perang mengatakan, Jika fotomu kurang bagus, itu karena kamu kurang dekat dengan objekmu. Kutipan tersebut tertulis dalam buku

Tubagus P. Svarajati yang berjudul Photagogos.

Fotografi jurnalistik sendiri memiliki peran dan efek yang sangat besar dalam proses penyebaran informasi di seluruh penjuru dunia, hal ini pernah dibuktikan oleh salah satu media massa cetak di German Tabloid

Bild yang mencetak edisi khusus tanpa menggunakan foto sama sekali.

Redaksi Tabloid Blid pun melakukan survey untuk mengetahui berapa banyak orang yang mau membaca tabloidnya jika dicetak tanpa foto, hasilnya hanya ada 2 orang yang mau membaca tabloid tanpa foto. Hal ini menandakan bahwa foto memang memiliki peran yang sangat krusial dalam memenuhi kebutuhan sebuah berita. Dengan adanya foto dalam sebuah berita, sehingga pembaca tidak perlu menerka-nerka kondisi sesungguhnya yang sedang terjadi.

Sebuah organisasi non profit dari Belanda yang dinaungi langsung oleh Pangeran Bernhard (pangeran Belanda), World Press Photo atau yang biasa disingkat WPP, rutin menyelenggarakan lomba bergengsi untuk karya- karya foto jurnalistik di seluruh penjuru dunia. Organisasi yang lahir 61 tahun silam, secara tidak langsung menjadi sumber literasi bagi fotografer jurnalistik dunia dikarenakan isu-isu yang ditampilkan merupakan isu dunia hingga konflik dalam negeri seperti isu pemberontakan hingga pertarungan

3

antar gangster. Dalam setiap lomba yang diselenggarakan, WPP memiliki juri yang tidak hanya berlatar belakang jurnalis, melainkan ada pula yang berlatar belakang arsitek, praktisi seni rupa, psikolog, dll. Setiap karya foto yang berhasil memenangkan penghargaan dari WPP akan dipamerkan keliling ke 35 negara.

Samuel Aranda, salah satu pewarta foto spesialis daerah konflik kelahiran Barcelona, Spanyol, berhasi meraih penghargaan World Press

Photo of the Year 2012. Foto tersebut juga meraih 1st prize single kategori

People in the News. Foto karya Samuel Aranda menggambarkan kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya yang menjadi korban konflik saat badai revolusi arab yang dikenal sebagai Arab Spring menghantam Yaman.

Revolusi Yaman diulai pada Januari 2011, dipicu oleh pergerakan yang sama di dan Mesir. Rakyat Yaman yang tak sanggup lagi menahan emosi atas pemerintahan Yaman yang kala itu di pimpin oleh

Presiden Ali Abdulah Saleh yang telah memimpin Yaman selama 33 tahun.

Mengutip artikel berita dari Arrahmannews, Yaman mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir. Yaman telah dianggap sebagai negara miskin yang masih menderita sampai hari ini. Dikutip dari laman berita arrahmannews.com orang-orang Yaman berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dimana mereka tinggal, namun mereka belum menerima hasil yang mereka inginkan..Itu semua dimulai dengan revolusi Yaman pada

2011, diikuti oleh pengaruh Houthi atau Ansarullah atas Yaman yang mengarah ke agresi Amerika Saudi di Yaman.

4

Foto Samuel Aranda sendiri menarik minat peneliti untuk meneliti lebih dalam mengenai unsur humanisme yang terkandung di dalamnya.

Sekilas melihat foto tersebut, peneliti menangkap imaji “Pieta” dari foto karya Samuel Aranda yang memperlihatkan seorang Ibu yang bercadar memeluk anaknya yang sedang terkulai lemas.

Sebelumnya, pada tahun 2010 terdapat penelitian yang disusun oleh

Mochammad Subecky Nurcahyo dan Wahyu Triatmojo yang membahas tentang pesan humanisme dalam karya foto dengan judul “Pesan

Humanisme Dalam Foto Jurnalistik Vivere-Dare To Life Karya Mamuk

Ismuntoro”. Dalam penelitian tersebut, Becky serta Wahyu mencoba menjabarkan pesan humanis dalam sudut pandang semiotik yang terkandung dalam karya-karya foto milik Mamuk Ismuntoro. Proses penjabaran tersebut mencakup prosedur konotasi dan pemaknaan foto berdasarkan makna denotasi dan konotasi. Prosedur konotasi berisi penjabaran prosedur yang memengaruhi gambar, sedangkan makna denotasi dan konotasi digunakan untuk mengetahui sejauh mana pemaknaan yang didapat peneliti melalui analisis semiotik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mochammad Subecky Nurcahyo dan Wahyu Triatmojo, dapat ditemukan 3 pokok pembahasan yang muncul dalam penilitian pesan humanisme melalui semiotika. Pokok-pokok bahasan yaitu tentang objek, pose, serta fotogenia.

Dalam penelitian kali ini, peneliti menggunakan teori semiotik, sebuah studi tentang tanda-tanda (sign), fungsi tanda, serta produksi makna.

5

Semiotik sendiri telah menjadi salah satu kajian yang banyak digunakan dalam teori komunikasi. Semiotik sendiri terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri (Littlejhon,

2009).

Tanda adalah sesuatu yang berarti untuk orang lain. Studi semiotik tanda-tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda. Dengan kata lain, ide semiotik (tanda, makna, denotatum,dan interpretan) dapat diterapkan untuk semua bidang kehidupan selama tidak ada prasyarat terpenuhi, yaitu ada artinya diberikan, ada makna dan interpretasi (Cristomy dan Lucky Yuwono 2004:79).

Barthes juga menambahkan dalam “Retorika Citra”, ciri khas foto

adalah sebuah pencampuran antara konotasi dan denotasi. Intervensi

manusia dalam fotografi seperti tata letak, jarak pengambilan gambar,

pencahayaan, fokus dan sebagainya adalah bagian dari proses

konotasi. Barthes juga menyebutkan enam prosedur yang

mempengaruhi gambar sebagai analogon atau representasi sempurna

dari sebuah realitas (Sunardi, 2002:187).

Prosedur-prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar,

yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi

langsung terhadap realita itu sendiri (Trick Effect, Pose dan

Objects) dan konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis

foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax). Melalui prosedur 6

inilah, seorang fotografer dapat menentukan berbagai unsur

seperti tanda, hubungan, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan

seseorang dalam membaca foto.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam

penelitian kali ini adalah :

- Apa pesan Humanisme dari foto tunggal karya Samuel Aranda pemenang

World Press Photo of the Year 2012 dilihat dari perspektif foto jurnalistik?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1.3.1 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian untuk mengetahui makna pesan humanisme

dalam foto tunggal karya Samuel Aranda pemenang World Press Photo of

the Year 2012.

1.3.2 MANFAAT PENELITIAN

1.3.2.1 MANFAAT TEORETIS

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi

atau rujukan bagi peneliti lain yang akan melakukan

penelitian tentang foto atau metode yang sama.

7

1.3.2.2 MANFAAT PRAKTIS

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa menambah

wawasan dalam mengkaji foto jurnalistik.

1.4 KAJIAN PUSTAKA

1.4.1 Komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh

seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah

sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun

tak langsung melalui media. Ilmu Komunikasi, apabila

diaplikasikan secara benar akan mampu mencegah dan

menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku,

antarbangsa, dan antar ras, membina kesatuan dan persatuan umat

manusia penghuni bumi. Ada beberapa definisi Komunikasi

menurut para ahli (Deddy Mulyana, 2007 : 68) :

1. Harold Lasswell : komunikasi pada dasarnya

merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa?

Mengatakan apa? Dengan saluran apa? Kepada siapa?

Dengan akibat atau hasil apa?

2. Everett M. Rogers : komunikasi adalah proses

dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu

8

penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah

tingkah laku mereka.

3. Raymond S. Ross : komunikasi adalah suatu proses

menyortir, memilih dan mengirimkan simbol-simbol

sedemikian rupa sehingga membantu pendengar

membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang

serupa dengan yang dimaksudkan komunikator.

4. Carl I. Hovland : komunikasi adalah proses yang

memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan

rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk

mengubah perilaku orang lain (komunikate).

5. Gerald R. Miller : komunikasi terjadi ketika suatua

sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima

dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku

penerima.

Komunikasi menyarankan bahwa sutau pikiran, sutau makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Akan tetapi definisi – definisi kontemporer menyarankan bahwa komunikasi meujuk pada cara berbagi hal seperti “Kita berbgi pikiran”, “Kita mendiskusikan makna”, dan “Kita mengirimkan pesan”. Dalam “bahasa” komunikasi, pernyataan dinamakan pesan (message), orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator), sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan (communicatee). Komunikasi berarti

9

proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan, sehingga jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek, pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang

(symbol). Konkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah bahasa (Effendy, 2003).

1.4.2. Fotografi

Fotografi berasal dari kata photos (cahaya) dan graphos

(mencatat / melukis). Secara harfiah fotografi berarti mencatat atau

melukis dengan cahaya (Darmawan, 2009 : 20). Fotografi adalah

suatu proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari

suatu obyek tertentu. Secara harfiah fotografi berasal dari 2 kata yaitu

photo yang berarti cahaya dan graph yang berarti tulisan atau lukisan.

Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk

menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam

pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka

cahaya.

1.3.1.1 Elemen Visual Fotografi

Elemen-elemen yang ada dalam gambar atau visual

merupakan unsur terpenting dalam penyampaian pesan.

Adapun elemen-elemen visual dalam fotografi diantaranya

adalah: 10

Komposisi:

Komposisi merupakan cara mengatur elemen-elemen dalam sebuah foto. Komposisi penting dilakukan untuk menunjukkan point of interest atau titik perhatian, mendekati objek, dan melakukan cropping. Tujuannya adalah untuk menentukan inti dari cerita yang ingin disampaikan dalam foto dan apa saja yang tidak dimasukkan serta bagaimana cara mengaturnya. Pemahaman tentang komposisi sangat mendukung fotografer untuk mendapatkan sudut pandang yang menarik.

Dalam fotografi menyusun komposisi berarti menyusun elemen-elemen foto. Komposisi adalah suatu tindakan seni atau cara untuk merangkai, menata dan membentuk berbagai unsur yang hendak ditampilkan dalam sebuah foto menjadi tampilan yang baik, menarik dan enak dilihat (Sugiarto, 2005:

18).

Komposisi secara sederhana diartikan sebagai cara menata elemen-elemen dalam gambar, elemen-elemen ini mencakup garis, bentuk, warna, terang dan gelap dan elemen lainnya. Dengan komposisi, foto akan tampak lebih menarik dan enak dipandang. Dengan mengatur komposisi foto, kita

11

juga dapat membangun “mood” suatu foto dan keseimbangan keseluruhan objek foto. Melatih kepekaan mata untuk menangkap berbagai unsur dan mengasah rasa estetik dalam pribadi pemotret.

Subjek:

Penempatan objek yang tepat akan menampilkan penggambaran karakter subjek dengan baik sehingga dapat mengkomunikasikan tema yang dimaksud secara visual.

Background dan Foreground (latar belakang dan latar depan):

Latar belakang (background) adalah benda-benda atau elemen yang ada di belakang objek foto, sedangkan latar depan

(foreground) adalah benda-benda atau elemen yang ada di depan objek foto. Keduanya berfungsi untuk menempatkan objek agar lebih menarik tanpa menimbulkan kesan dominan.

Frame (bingkai):

Fungsi bingkai atau frame adalah untuk memperindah penampilan. Bingkai akan membatasi dan menonjolkan objek foto dan mendukung objek tersebut agar memberikan kesan tertentu.

12

Warna:

Kebanyakan orang sering menghubungkan atau mengasosiasikan warna-warna tertentu dengan perasaan atau mood. Beberapa warna dapat memunculkan sebuah perasaan tertentu. Warna merupakan kekuatan foto, melalui warna mata mudah menangkap suatupesan dan kesan tertentu. Warna dapat memberikan kesan tentang hati manusia atau suasana di suatu tempat (Fies, dalam Yozardi, 2003).

Garis:

Lingkungan tersusun dari garis-garis alami, garis cakrawala, jalan lurus dan sebagainya. Garis dapat digunakan untuk menambah daya tarik foto (Kim dalam Yozardi, 2003).

Pola:

Pola atau pengulangan bentuk, merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah komposisi foto. Komposisi pola dapat dibuat dengan warna, garis atau bentuk, tetapi dengan pengulangan objek sehingga terkesan artistik.

Format:

Ada dua macam format dalam foto, horisontal dan vertikal. Format yang sering dipakai adalah format horisontal karena sesuai dengan desain kamera. Format foto atau layout

13

tergantung pada subjek yang ingin ditonjolkan, layout atau

format horisontal memberi kesan luas sedangkan vertikal

memberi kesan tinggi.

Isi bidang foto:

Tatanan bidang foto akan menghilangkan kekacauan atau

latar belakang yang menjemukan. Jauh dekat jarak memotret

akan membantu memfokuskan perhatian pengamat foto

terhadap subjek (Kim, dalam Yozardi, 2003).

Field of view:

Beberapa jenis komposisi yang umum digunakan dari

segi ukuran adalah sebagai berikut :

- Extreme Close Up : Pengambilan gambar yang sangat dekat

sekali dengan objek, sehingga detil objek seperti pori-pori

kulit akan jelas terlihat.

- Head Shot : Pengambilan gambar sebatas kepala hingga

dagu.

- Close Up : Pengambilan gambar dari atas kepala hingga

bahu.

- Medium Close Up : Pengambilan gambar dari atas kepala

hingga dada.

14

- Mid Shot (setengah badan) : Pengambilan gambar dari atas

kepala hingga pinggang.

- Medium Shot (Tiga perempat badan) : Pengambilan gambar

dari atas kepala hingga lutut.

- Full Shot (Seluruh Badan) : Pengambilan gambar dari atas

kepala hingga kaki.

- Long Shot : Pengambilan gambar dengan memberikan porsi

background atau foreground lebih banyak sehinnga objek

terlihat kecil atau jauh.

Sudut Pemotretan (angle)

Dengan sudut pemotretan (angle) fotografer dapat

menunjukkan apa dan bagaimanakesan yang ingin

ditampilkan. Seperti misalanya memotret oseseorang dari low

angle akan memeberikan orang itu kesan berwibawa (Wijono,

dalam Yozardi, 2003).

Adapun macam-macam angle yaitu:

1. Eye view : Sudut pengambilan ini memberi kesan yang sama

dengan cara mata kita melihat terhadap objek. Posisi dan arah

kamera memandang objek yang akan diambil layaknya mata

kita melihat objek secara biasa. Kamera dan lensa sejajar

dengan objek. Pengambilan angle eye view biasanya digunakan

15

untuk mengambil foto potret manusia, aktivitas manusia, dimana posisi kamera layaknya posisi mata kita sendiri.

2. Low Angle : Posisi kamera lebih rendah dari objek foto serta menghadap ke atas dan memberikan kesan kemewahan, kebesaran, atau kekuatan dari sebuah objek. Fotografer menggunakan sudut pengambilan foto ini untuk memotret bangunan agar memberikan kesan yang megah dari bangunan tersebut. Juga pada sebagaian fotografer memanfaatkan low angle untuk memotret manusia.

3. High Angle : Angle ini digunakan untuk menangkap kesan luas dari objek. Dengan high angle kita bisa memasukkan elemen pendukung objek yang akan kita abadikan kedalam frame. Kesan dari penggunaan sudut pengambilan foto ini akan memberikan kesan kecil atas objek foto. Pemanfaatan pengambilan foto dengan high angle juga bisa menghasilkan foto yang berbeda. Misalnya saat mengambil foto keramaian pasar, atau jalanan yang macet.

4. Bird Eye : Menggunakan sudut pengambilan ini, sebagai fotografer kita bisa memberikan kesan yang luas dalam foto yang kita hasilkan, ibarat penglihatan seekor burung. Memotret dengan sudut pengambilan ini digunakan untuk membuat foto

16

tentang suatu daerah, area perkotaan, atapun menggambarkan

lanskap.

5. Frog Eye : Memotret dengan angle frog eye, posisi kamera

bisa saja sejajar dengan tanah. Hal ini biasanya digunakan

untuk memotret objek yang posisinya berada diatas tanah.

Untuk mengambil foto dengan sudut pengambilan ini, tak

jarang pula fotografer sampai tiduran ditanah untuk

menghasilkan foto yang bagus.

1.4.3. Fotografi Jurnalistik

Fotografi jurnalistik adalah aliran fotografi yang lebih mementingkan sifat obyektif ketimbang subyektif karena harus bersifat fakta dan apa adanya. Foto jurnalistik merupakan hasil jerih payah seorang fotografer jurnalistik (kerap juga disebut pewarta foto, foto jurnalis atau wartawan foto) yang dianggap dapat mengekspresikan sudut pandang sang fotografer namun pesan komunikasinya memiliki arti yang jauh lebih luas daripada hanya sekedar arti dari sudut pandang sang fotografer. Sebuah foto jurnalistik yang baik tidak hanya sebatas pembahasan visual atau foto belaka, teks foto yang kuat berdasarkan fakta dan data akan memberikan nilai lebih secara lengkap sebuah informasi yang akan diberikan kepada pembaca.

17

Oscar Motuloh dari Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) menjelaskan bahwa foto jurnalistik merupakan suatu media komunikasi yang menggabungkan elemen verbal dan visual. Elemen penting ini terlihat pada foto-foto jurnalistik di media cetak, yang merupakan dasar dari pemaknaan foto jurnalistik secara umum. Oscar

Motuloh dalam Presentasi Workshop Gerakan Sinau Foto 1 Antara

Jatim menuturkan, Jurnalistik adalah suatu pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat.

Fotografi jurnalistik adalah salah satu aliran fotografi yang lebih mengutamakan realita dibandingkan dengan aliran lainnya.

Mengutip buku Jurnalistik : Pendekatan Teori dan Praktek, dalam dunia jurnalistik, foto menjadi hal yang paling penting untuk mewakili sebuah pemberitaan atau informasi yang tidak dapat disampaikan hanya dengan sebuah tulisan. (Asep Saeful Muhtadi, 1999 : 100)

Kekuatan foto jurnalistik tidak terlepas dari nilai berita atau news value, yaitu seperangkat kriteria untuk menilai apakah sebuah kejadian cukup penting untuk diliput dan dijadikan sebuah berita yang harus disebarluaskan ke masyarakat. Sejumlah faktor yang membuat sebuah kejadian memiliki nilai berita. Sumadiria berpendapat (dalam

Sudarman 2008:80-88).

18

Menurut Frank P.Hoy, pada bukunya yang berjudul Photo

Journalism The Visual Approach, ada delapan karakter foto jurnalistik adalah sebagai berikut:

1. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto. Komunikasi

yang dilakukan akan mengekspresikan pandangan wartawan

foto terhadap suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan

merupakan ekpresi pribadi.

2. Medium foto jurnalistik adalah media cetak koran atau

majalah, dan media internet seperti kantor berita.

3. Kegiatan foto jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita.

4. Foto jurnalistik adalah paduan dari foto dan teks foto.

5. Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek,

sekaligus pembaca foto jurnalistik.

6. Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak.

Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan

harus segera diterima orang yang beraneka ragam.

7. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto.

8. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak

penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amandemen

kebebasan berbicara dan kebebasan pers (Alwi, 2004 : 4).

19

World Press Photo Fundation membagi jenis-jenis foto jurnalistik menjadi sembilan, yaitu:

1) Spot News.

Foto insidential, yang terjadi tanpa perencanaan

sebelumnya. Contoh: foto bencana alam, kerusuhuan,

bentrokan, teror bom, pembunuhan, tabrakan, kecelakaan dll.

2) General News.

Foto yang telah terjadwal sebelumnya. Contoh:

Sidang, Pemilu, Piala Dunia, PON, peresmian jembatan,

pembukaan pameran dll.

3) People In The News.

Adalah sebuah sajian foto tentang manusia (orang)

yang menjadi sorotan di sebuah berita. Kecenderungan yang

disajikan lebih ke profil atau sosok seseorang. Bisa karena

kelucuannya, ketokohannya, atau justru salah satu dari

korban aksi teror, korban bom dll.

20

4) Daily Life.

Tentang segala aktifitas manusia yang mampu menggugah perasaan dalam kesehariannya lebih ke human interest. Contohnya: seorang tua yang sedang menggendong beban yang berat, pedagang makanan dll.

5) Sosial and Environment.

Foto yang menggambarkan tentang kehidupan sosial masyarakat dengan lingkungan hidupnya.

6) Art and Culture.

Foto yang dibuat menyangkut seni dan budaya secara luas, seperti pertunjukkan balet, pertunjukan yang terkait dengan masalah budaya dan musik dll.

7) Science and Technology.

Foto yang menyangkut perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di muka bumi. Misalnya penemuan situs purbakala, pemotretan organ tubuh, proses operasi seorang pasien dll.

8) Portraiture.

Foto yang menggambarkan sosok wajah seseorang baik secara close up maupun semacam medium shot. Foto ditampilkan karena kekhasan pada wajah yang dimilikinya.

21

9) Sport.

Foto -foto yang dibuat dari peristiwa olahraga dari

seluruh cabang olahraga apa saja. Baik olahraga tradisional

maupun olahraga yang telah banyak dikenal oleh masyarakat.

1.4.4 Humanisme

Arti humanisme secara harfiah adalah humanista (Latin) sama dengan kata humble (kesederhanaan dan kerendahan hati/ kesahajaan), dan kata humus (tanah atau bumi). Humanisme menunjuk pada tabiat kodrati (human nature), perasaan-batini (feeling), dan kebaikan hati

(kindness) manusia (Reese, 1980: 235). Humanisme sebagai aliran filsafat yang menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi dan sumber nilai terakhir untuk memupuk perkembangan kreatif dan moral manusia secara rasional dan tanpa acuan dari konsep-konsep adikodrati (Lorens Bagus, 2005: 295-296). Sehingga untuk memahaminya diperlukan landasan pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan, empati, serta penerimaan atas kompleksitas dari keunikannya dalam kehidupan nyata. Humanisme dengan dasar kebebasan merupakan pendidikan yang didukung oleh manusia yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi atau sarana utamanya. Sebagai alasan utama seni liberal dijadikan sebagai sarana

22

terpenting pada waktu itu adalah kenyataan bahwa manusia (hanya dengan seni liberal) tergugah untuk menjadi manusia, menjadi makhluk bebas yang tidak terkungkung oleh kekuatan dari luar dirinya

(Abidin, 2002 : 27). Meski kebebasan (liberalisasi) merupakan tema khusus dalam humanisme, tetapi kebebasan yang diperjuangkan bukanlah kebebasan yang absolut. Kebebasan yang mereka perjuangkan adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi: kebebasan manusia pada batas-batas alam, sejarah dan masyarakat.

Maka dalam kebebasan tersebut, aliran semacam naturalisme mendapatkan mendapatkan posisi yang layak dalam semangat mereka.

Keluhuran jiwa manusia sebagai sumber yang memancarkan kebebasan, tidak dapat dipisahkan dari mortalitas tubuh sebagai bagian dari ruang dan waktu yang fana.

Zainal Abidin memberikan penjelasan bahwa humanisme akan mudah dipahami bila kita meninjau dari dua sisi, yakni sisi historis dan sisi aliran-aliran dalam filsafat. Dari sisi historis, humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan kesusteraan yang awalnya muncul di Itali pada paruh kedua abad ke-14, gerakan ini boleh dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya Eropa. Sedangkan dari sisi aliran filsafat adalah sebagai paham yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat tinggi, sentral dan penting, baik dalam perenungan teoretis-filsafati

23

maupun dalam praktis kehidupan sehari-hari. Kedua sisi ini

merupakan dasar otonomisasi manusia sebagai ukuran setiap penilaian

dan refrensi utama dari setiap kejadian alam semesta. Di mana

manusia merupakan pusat dari realitas.

Sehingga secara historis munculnya humanisme sebagai

gerakan pemikiran bersumber pada keinginan manusia untuk

mengembalikan fitrah dasar kemanusiaan, sebagai makhluk yang

otonom dengan kemampuan rasionalitasnya dan kemerdekaan

berfikirnya, gerakan ini bisa jadi juga lahir sebuah semangat

perlawanan setiap kekuatan yang “memasung” kemampuan dasar

alami manusia. Yang pada saranya lahir untuk memanusiakan

manusia sebagai objek dengan kesadarannya bukan sebagai objek

tanpa kesadaran.

Frederick Edword, mengemukakan beberapa pengertian

humanisme yaitu sebagai berikut :

1. Humanisme Renaissance, sebagai semangat belajar yang mulai

berkembang pada khir abad pertengahan, ditandai dengan

bangkitnya kembali karya-karya klasik dan keyakinan yang

diperbaharui atas kemampuan manusia untuk menentukan

kebenaran dan kepalsuan bagi diri mereka sendiri.

2. Humanisme Literer, yaitu penyerahan kepada budaya humanitas

atau literer

24

3. Humanisme Cultur, adalah budaya rasional dan empiris, khususnya

yang berasal dari Romawi dan Yunani Kuno dan Revolusi

sepanjang sejarah Eropa, sekarang ini menjadi bagian yang

medasar dari pendekatan Barat terhadap ilmu pengetahuan, teori

politik, etika dan hukum

4. Humanisme Filsufi, yaitu pengekspresian cara hidup yang

dipusatkan pada kebutuhan dan minat manusia, yang meliputi

humanisme kristiani dan humanisme modern.

5. Humanisme Kristiani, yaitu filsafat yang menekankan pemenuhan

diri dalam rangka prinsip-prinsip kristiani.

6. Humanisme Modern, yaitu sebuah pemikiran filsafat yang menolak

hal-hal supranatural, ia bersandar pada kemampuan akal dan ilmu

pengetahuan, demokrasi dan kasih sayang manusia. Humanisme ini

mempunyai sifat sekuler dan religius.

7. Humanisme Sekuler, adalah perkambangan lanjutan dari era

pencerahan adab ke-18 dan abad ke-19

8. Humanisme Raligius, sebagai humanisme yang muncul dari

budaya etis, utilitarianisme dan universalisme.

Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian

manusia daripada berfokus kepada “ketidak normalan” atau “sakit”

seperti dilihat oleh teori psikoanalisa freud. Pendekatan ini melihat

25

kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.

Kemampuan bertindak positif ini disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pembelajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini

(Herpratiwi, 2009).

Kemampuan positif disini erat kaitanya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam dominan efektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, kesadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.

1.4.5 Semiotika

Semiotika merupakan sebuah studi yang mengkaji tentang tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut merupakan perangkat yang dipakai dalam mencari suatu jalan di dunia,di tengah kehidupan manusia, dan bersama manusia-manusia (Sobur, 2009:15). Semiotika membantu kita sebagai manusia untuk memahami apa yang terjadi melalui sebuah tanda atau kode.

Dalam sejarahnya, semiotika berasal dari kata Semion (bahasa

Yunani) yang berarti tanda. Sederhananya semiotika di definisikan

26

sebagai teori tentang tanda, sedangkan tanda itu sendiri memiliki makna yang mengkomunikasikan berbagai macam pesan kepada seseorang.

Analisis semiotika merupakan metode untuk menganalisis dan memberikan makna terhadap lambang-lambang yang terdapat pada sebuah paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam konteks ini adalah segala bentuk serta sistem lambang yang terdapat pada media massa maupun yang ada di luar media massa

(karya seni).

Menurut John Fiske (2011:60), semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu:

1. Tanda, terdiri dari studi mengenai berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda tersebut menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda tersebut terkait dengan manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Hal ini bergantung pada penggunaan kode dan tanda untuk keberadan dan bentuknya sendiri.

Pada dasarnya, semiotika memelajari tentang kode-kode sebagai tanda atau sesuatu yang memiliki makna. Semiotika juga

27

meliputi tanda-tanda visual dan verbal, serta semua tanda yang mampu ditangkap oleh panca indera. Tanda-tanda yang tertangkap tersebut akan membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan sebuah pesan tertulis dari perilaku manusia, pesan tersebut kemudian diterima sehingga makna pesan tersebut akan lebih mudah dimengerti.

Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan.

Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai- nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan.

Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda.

Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Kriyantono, 2007 : 261). Dalam perkembangannya,

28

semiotika mempunyai dua tokoh sentral yang memiliki latar

belakang berbeda, yaitu Charles Sanders Pierce dan Ferdinand De

Saussure.

Saussure memiliki latar belakang keilmuan linguistik. Ia

memandang tanda sebagai sesuatu yang dapat dimaknai dengan

melihat hubungan antara petanda dan penanda yang biasa disebut

signifikasi. Dalam hal ini Saussure menegaskan bahwa dalam

memaknai sebuah tanda perlu adanya kesepakatan sosial. Tanda-

tanda tersebut berupa bunyi-bunyian dan gambar (Sobur, 2006).

Sedangkan Pierce memandang bahwa semiotika merupakan

sesuatu yang berkaitan dengan logika (Kris Budiman, 2004 : 3).

Logika mempelajari bagaimana manusia bernalar yang menurut

Pierce dapat dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut

memungkinkan manusia dalam berpikir, berkomunikasi dengan

orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh

kehidupan manusia.

1.4.6 Semiotika Roland Barthes

Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda

yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang

mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi dan bergantung pada

kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada

29

makna tambahan (connotative) dan arti penunjukkan (denotative)

(Sobur, 2004 :126).

Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Roland

Barthes lahir tahun 1915 di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, di sebelah barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir stukturalis yang mempraktekkan model lingustik dan semiologi Saussurean (Sobur, 2006: 63).

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah “order of signification” Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan pertandaan)

Barthes terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, dan second orders of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi.

Teori Barthes memfokuskan pada gagasan tentang signifikasi dua tahap, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah definisi objektif kata tersebut, sedangkan konotasi adalah makna subjektif atau emosionalnya (Sobur, 2003 : 263). Adapun langkah model Semiotik Roland Barthes sebagai berikut :

30

Signifier Signified

Denotatif Sign

Conotatif Signifier Conotatif Signified

Conotatif Sign

Tabel 1.1

Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz 1999, dalam (Sobur, 2003:69)

Dari peta Barthes tersebut terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4) Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Sobur, 2004:69). Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.

Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri.

Sebuah tanda yang kita lihat pasti atau suatu denotasi.

Makna denotasi adalah apa yang kelihatan pada gambar, dengan kata lain gambar dengan sendirinya memunculkan denotasi.

31

Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi ketika konotasi tersebut sudah umum digunakan dan dipahami bersama sebagai makna yang kaku.

Gambar 1.1

Skema Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes

Sumber: Alex Sobur, 2004: 127

Berdasar gambar diatas Barthes, seperti yang dikutip (Fiske dalam

Sobur, 2009 : 128) menjelaskan: Signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap ke dua. Hal ini mengambarkan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai

32

makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata- kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata

“penyuapan” dengan “memberi uang pelicin”. Dengan kata lain denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.

Pada signifikasi tahap ke dua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah memiliki suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya.

Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.

1.4.6.1 Semiotika Fotografi Roland Barthes

Sebuah foto memiliki makna tersendiri yang disampaikan kepada khalayak atau penikmat foto. Makna tersebut berupa makna denotasi dan konotasi. Setiap manusia pasti memiliki cara pandang dalam memahami sebuah makna yang berbeda. Disinilah peran fotografer dalam mengambil gambar. Apakah fotografer tersebut berhasil membuat pemahaman khalayak menjadi sama sehingga pesan yang diterima sesuai dengan apa yang ingin disampaikan sebelumnya atau tidak sama sekali. Barthes juga menambahkan

33

bahwa peran seorang pembaca sangat penting, karena akan menunjukkan apakah pesan yang disampaikan tersebut dapat diterima atau tidak. Barthes memaparkan pengertian denotasi sebagai signifikasi tingkat pertama melihat bahwa denotasi mempunyai makna yang sebenarnya.

Tahap pemaknaan denotasi ini dapat dilihat melalui kasat mata tanpa harus melakukan penafsiran terlebih dahulu. Makna denotasi pada fotografi menyatakan apa yang ada dan terlihat dalam gambar. Sedangkan untuk konotasi yang merupakan sifat asli dari tanda adalah makna yang tidak sebenarnya. Makna ini mengacu pada nilai, emosi dan asosiasi yang menimbulkan pada pembaca dan juga membuat pembaca membayangkan makna tersebut. Tahap pemaknaan ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah tahap dimana seseorang menghubungkan tanda-tanda dalam foto dengan suatu unsur kebudayaan secara umum sehingga ditemukan atau tercipta suatu makna yang baru.

Foto memiliki makna tersendiri yang disampaikan kepada khalayak atau penikmat foto. Makna tersebut berupa makna denotasi dan konotasi. Setiap orang pasti memiliki cara pandang yang berbeda dalam memahami sebuah makna. Disinilah peran fotografer dalam mengambil gambar atau foto itu agar bisa menyampaikan pesan yang ingin disampaikan. Fotografi dipandang mampu mempresentasikan dunia secara transparan, seperti apa

34

yang terjadi pada kenyataannya. Transparansi tersebut yang umumnya diterima orang sebagai sebuah kekuatan foto.

Dengan transparansi itulah fotografi menyampaikan pesan secara langsung. Tanpa perlu ditafsirkan, kita dapat langsung mengakui bahwa foto yang diambil merujuk pada kenyataan yang sebenarnya. Foto dapat berkomunikasi bukan hanya dengan menggunakan makna denotasi, tetapi juga memakai konotasi atau pesan simbolik. Barthes juga menambahkan dalam “Retorika Citra”, ciri khas foto adalah sebuah pencampuran antara konotasi dan denotasi. Intervensi manusia dalam fotografi seperti tata letak, jarak pengambilan gambar, pencahayaan, fokus dan sebagainya adalah bagian dari proses konotasi.

Beberapa tahapan membaca sebuah foto dijelaskan Barthes dalam esainya yang berjudul The Photography Message (Sunardi,

2002). Tahapan tersebut yaitu perspektif, kognitif, dan etis- ideologis Perspektif merupakan tahapan yang menjelaskan tentang seseorang yang mencoba memindahkan sebuah gambar ke kategori verbal yang berupa imajinasi. Contohnya, terdapat sebuah gambar yang memperlihatkan seorang pria dan kerbau ditengah sawah.

Seorang pembaca foto akan melihatnya sebagai petani yang sedang membajak sawah. Tetapi tidak semua pandangan tentang foto tersebut sama, karena setiap manusia atau setiap pembaca foto memiliki interpretasi yang berbeda-beda.

35

Selanjutnya adalah kognitif, yaitu tahapan yang dilakukan untuk pengumpulan dan penghubungan unsur-unsur historis dari makna denotasi atau makna sebenarnya. Dalam tahapan ini seorang pembaca foto akan mengaitkannya dengan mitos yang berkembang dalam masyarakat. Tahapan yang terakhir adalah etis-ideologis,yaitu penanda yang siap dibuat menjadi sebuah kalimat.

Barthes juga menyebutkan enam prosedur yang mempengaruhi gambar sebagai analogon atau representasi sempurna dari sebuah realitas (Sunardi, 2002:187).

Prosedur-prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri (Trick Effect, Pose dan

Objects) dan konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax). Melalui prosedur inilah, seorang fotografer dapat menentukan berbagai unsur seperti tanda, hubungan, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan seseorang dalam membaca foto.

Prosedur-prosedur tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu rekayasa secara langsung yang mempengaruhi realitas itu sendiri dan rekayasa yang termasuk ke dalam wilayah estetis.

Dalam rekayasa secara langsung yang mempengaruhi realitas itu sendiri terdapat trick effect, pose, dan pemilihan objek. Trick Effect adalah suatu proses manipulasi foto secara berlebihan untuk

36

menyampaikan sebuah berita karena terkadang gambar yang diambil tidak sesuai dengan pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh fotografer itu sendiri.

Pose merupakan gaya, posisi, ekspresi, dan sikap objek yang terlihat dalam foto. Fotografer yang ingin mengambil foto berita tentang seseorang harus memperhatikan hal tersebut.

Selanjutnya adalah pemilihan objek yang dilakukan oleh fotografer.

Objek yang dipilih sangat berperan penting dalam penyampain pesan melalui foto tersebut dan dapat menjadi point of interest

(POI). Dalam rekayasa yang kedua juga terdapat tiga bagian, yaitu photogenia, aestheticism, dan sintaksis.

Photogenia merupakan teknik yang dilakukan oleh fotografer. Teknik tersebut terdiri dari lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman gambar), bluring (keburaman), panning

(kecepatan), moving (efek gerak), freezing (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek), dan sebagainya. Aesthecisim, yaitu komposisi gambar yang dapat menimbulkan makna konotasi.

Sedangkan sintaksis adalah rangkaian cerita dari isi foto yang ditampilkan. Foto tersebut biasanya disertai dengan caption atau keterangan foto sehingga dapat membatasi makna konotasi yang ditimbulkan. Keenam cara yang telah disebutkan dapat digunakan, namun tidak selalu cara tersebut dominan terhadap sebuah foto berita (Sunardi, 2002 : 173-174).

37

Sebuah foto tidak hanya dapat dilihat dari makna

denotasinya saja karena foto juga mengandung makna lain

didalamnya, yaitu konotasi dan mitos. Foto juga berada pada

tataran komunikasi yang mempunyai unsur lain seperti teks

tertulis, keterangan foto (caption), judul, dan artikel yang

mendukung foto tersebut.

1.5 KERANGKA BERPIKIR

Foto Karya Samuel Aranda pemenang kontes foto Worldpress Photo

kategori Photo of the Year tahun 2012

Teori Humanisme

Fotografi Jurnalistik

Semiotika Roland Barthes

Denotasi Konotasi Mitos

Analisis

Nilai Humanisme Dalam Foto Karya Samuel Aranda

Tabel 1.2

38

1.6 OBJEK PENELITIAN

Foto yang akan peneliti gunakan sebagai objek dalam

penelitian kali ini yaitu foto tunggal karya Samuel Aranda yang

menunjukkan seorang Ibu memeluk anaknya saat konflik revolusi

Yaman 2011. Foto yang menggambarkan dampak dari revolusi

Yaman tersebut berhasil meraih penghargaan World Press Photo

of the Year 2012.

1.7 METODE PENELITIAN

Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif untuk

memberikan penjelasan yang detail pada makna humanisme

dalam foto tunggal karya Samuel Aranda.

1.7.1. METODE RISET

Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif

dibantu dengan teori semiotika prosedur konotasi citra

Roland Barthes. Cara ini diharapkan dapat menjelaskan

makna pesan Humanisme yang tersirat dalam foto tunggal

karya Samuel Aranda.

1.7.2 JENIS DAN SUMBER DATA

39

1.7.2.1 JENIS DATA

Berdasarkan sumbernya, jenis data dua yaitu

data primer dan data sekunder. Foto karya Samuel

Aranda yang diambil dari website World Press

Photo sebagai data primer. Wawancara dari

beberapa pakar foto jurnalistik menjadi data

sekunder dalam penelitian kali ini.

1.7.2.2 SUMBER DATA

Sumber data dalam penelitian ini dua, yaitu

sumber data primer dan sekunder. Sumber data

primer merupakan sasaran utama dalam penelitian

ini sedangkan sumber data sekunder merupakan

pengaplikasian dari sumber data primer sebagai

pendukung dan penguat dalam penelitian.

Data primer dalam penelitian ini diperoleh

dari website Worldpress Photo 2012.

1.7.3 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Penulis menggunakan dua teknik dalam

penelitian ini, yaitu wawancara dan studi

kepustakaan.

40

1.7.3.1 WAWANCARA

Wawancara yaitu suatu kegiatan yang

dilakukan untuk mendapatkan informasi secara

langsung dengan mengajukan pertanyaan-

pertanyaan kepada para responden.1 Dalam

penelitian ini penulis mewawancarai para ahli

fotografi cerita di tingkat Nasional yaitu Oscar

Motuloh selaku Direktur GFJA (Galeri

Fotografi Jurnalistik Antara), Mamuk Ismuntoro

selaku Fotografer dokumenter dan founder

Matanesia Institute, Fully Syafi fotografer EPA

Photos (Europan Pressphoto Agency)

kontributor Indonesia.

1.7.3.2 STUDI KEPUSTAKAAN

Penulis mengumpulkan dan mempelajari

data melalui literatur dan sumber bacaan, seperti

buku-buku yang relevan dengan masalah yang

dibahas dan mendukung penelitian.

1 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 39

41

1.7.4 TEKNIK ANALISIS

Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland

Barthes. Sedangkan untuk menjawab rumusan masalah,

penelitian ini menggunakan enam prosedur konotasi citra

untuk memunculkan konotasi dalam proses produksi foto,

yaitu Trick Effect, Pose, Object untuk konotasi yang

diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung

terhadap realita itu sendir, dan Photogenia serta Aestheticism

untuk konotasi yang terproduksi melalui wilayah estetis foto.

1.7.5. TEKNIK ANALISIS DAN INTEPRETASI DATA

Penelitian ini menggunakan metode semiotika

Roland Barthes dengan enam prosedur konotasi cerita.

42

BAB 2

DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

2.1. Foto tunggal karya Samuel Aranda pemenang World Press Photo of

the Year 2012.

Gambar 2.1

Caption Foto dalam Bahasa Inggris :

Fatima al-Qaws cradles her son Zayed (18), who is suffering from the effects of tear gas after participating in a street demonstration, in Sanaa, , on 15 October. Ongoing protests against the 33-year-long regime of authoritarian

President escalated that day. Witnesses said that thousands marched down Zubairy Street, a main city thoroughfare, and were fired on when they reached a government checkpoint near the Ministry of Foreign Affairs.

1

Some demonstrators retreated, others carried on and were shot at again. At least 12 people were killed and some 30 injured. Ms Qaws—who was herself involved in resistance to the regime—found her son after a second visit to look for him, among the wounded at a mosque that was being used as a temporary field hospital. Zayed remained in a coma for two days after the incident. He was injured on two further occasions, as demonstrations continued. On 23 November,

President Saleh flew to Saudi Arabia, and signed an agreement transferring power to his deputy, Abdurabu Mansur Hadi. Saleh’s rule ended formally when Hadi was sworn in as president, following an election, on 25 February 2012.

Commissioned by for The New York Times

Teks foto dalam Bahasa Indonesia :

Fatima al-Qaws memeluk putranya Zayed (18), yang menderita akibat gas air mata setelah berpartisipasi dalam demonstrasi jalanan, di Sanaa, Yaman, pada

15 Oktober. Protes yang sedang berlangsung terhadap rezim otoriter Presiden Ali

Abdullah Saleh selama 33 tahun meningkat pada hari itu. Para saksi mengatakan bahwa ribuan orang berbaris di Zubairy Street, sebuah jalan utama kota, dan ditembak ketika mereka mencapai pos pemeriksaan pemerintah dekat

Kementerian Luar Negeri.

Beberapa demonstran mundur, yang lain melanjutkan dan ditembak lagi.

Setidaknya 12 orang tewas dan 30 lainnya luka-luka. Ms Qaws — yang terlibat

2

dalam perlawanan terhadap rezim — menemukan putranya setelah kunjungan kedua untuk mencarinya, di antara mereka yang terluka di sebuah masjid yang digunakan sebagai rumah sakit lapangan sementara. Zayed tetap koma selama dua hari setelah insiden itu. Dia terluka pada dua kesempatan lebih lanjut, karena demonstrasi terus berlanjut. Pada 23 November, Presiden Saleh terbang ke Arab

Saudi, dan menandatangani perjanjian untuk mentransfer kekuasaan kepada wakilnya, Abdurabu Mansur Hadi. Aturan Saleh berakhir secara resmi ketika

Hadi dilantik sebagai presiden, setelah pemilihan, pada 25 Februari 2012.

Ditugaskan oleh untuk The New York Time

2.2 Fotografer

Samuel Aranda adalah pewarta foto muda Catalunya yang lahir

pada 1979 di Santa Coloma de Gramanet, Barcelona, Spanyol. Saat

berusia 19 tahun, dia memulai karir jurnalistiknya untuk El Pais dan El

Periodico de Catalunya. Beberapa tahun kemudian dia melanglang ke

Timur Tengah untuk meliput konflik Israel-Palestina bagi kantor berita

Spanyol EFE.

Sejak 2004 dia bergabung dengan AFP, meliput beragam konflik

politik dan sosial di kampung halamannya, Pakistan, serta Gaza, Lebanon,

Palestina, Maroko, dan Sahara Barat.

3

Dua tahun kemudian, Aranda mulai berkiprah dalam raihan

penghargaan lokal. Imaji-imajinya mulai tampil di Visa Pour L’Image dan

juga dalam program dokumenter BBC. Dia lalu melanjutkan karirnya

sebagai pewarta foto lepas. Dia membuat sejumlah proyek visual di Laut

Aral Uzbekistan, India, kemerdekaan Kosovo, Afsel sebelum Piala Dunia,

Moldova, anak jalanan di Bukares dan mafia Camorra di Napoli.

Perjalanannya meliput revolusi musim semi Arab, di Tunisia, Mesir, Libia

dan Yemen yang melalui karyanya, akhirnya mengantarnya ke puncak

pencapaian di blantika fotografi jurnalistik dunia. Dia juga memasok foto

untuk New York Times dan El Magazine de la Vanguardia. Sekarang dia

berkantor di Tunisia mewakili Corbis Images.

2.3 World Press Photo Foundation

World Press Photo Foundation adalah sebuah oganisasi

fotografi dunia yang berdiri sejak tahun 1955 dan berbasis di

Amsterdam, yang setiap tahun menyelenggarakan kontes atau

penghargaan foto berskala internasional yang di ikuti oleh kalangan

fotografer dari berbagai belahan penjuru dunia.

Penghargaan pertama World Press Photo diadakan pada tahun

1955 yaitu saat seorang anggota serikat foto jurnalis Belanda, Zilveren

Camera memiliki gagasan untuk menciptakan kompetisi internasional

terutama dibidang foto. Penghargaan ini diharapkan dapat memperoleh

manfaat dari hasil karya fotografer kelas internasional. Peran World 4

Press Photo Foundation tidak hanya dari kontes, pameran, dan penghargaan saja, tetapi peran World Press Photo Foundation yang edukatif dan komunikatif juga merupakan unsur penting yang tidak bisa diabaikan.

World Press Photo Foundation merupakan suatu wadah bagi para fotografer jurnalis untuk menampilkan karyanya di dunia internasional. Fotografer kontestan yang mengikuti lomba dari World

Press Photo Foundation ini harus memenuhi syarat dan kriteria yang telah ditentukan. Dalam lomba ini tidak semua orang dapat mengikutinya.

Syarat utama menjadi kontestan lomba World Press Photo Foundation adalah harus seorang wartawan, khususnya pewarta foto. Foto yang dihasilkan harus memiliki isu global bahkan juga internasional. Isu tersebut sedang menjadi topik penting di dunia internasional baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Unsur teknik dan visual atau komposisi foto pun harus diperhatikan karena merupakan salah satu yang menjadi penilaian para juri World Press Photo Foundation.

Untuk kontes fotonya sendiri, World Press Photo membagi menjadi beberapa kategori yaitu: Contemporary Issues, Daily Life,

General News, Long-Term Projects, Nature, People, Sports, dan Spot

News. Dari berbagai jenis -jenis foto jurnalistik yang telah disebutkan di atas World Press Photo Foundation selalu membagi dengan jenis foto single (foto tunggal) dan foto stories (foto cerita) pada kontes atau

5

kompetisinya. Kontes berskala internasional ini di ikuti oleh ribuan fotografer dari seluruh penjuru dunia. Para fotografer tersebut menampilkan karya foto yang telah diambil dalam kurun waktu satu tahun belakangan.

Organisasi yang dilindungi Pangeran Bernhard dari Belanda ini, memiliki visi dan misi untuk mendukung dan mempromosikan karya foto para fotografer professional di kalangan internasional. Sampai saat ini World Press Photo berkembang sebagai platform untuk jurnalisme foto dan pertukaran informasi yang bebas.

World Press Photo ini juga termasuk organisasi terbesar di dunia dan kontes fotografi bergengsi kelas interatsional yang di ikuti oleh berbagai kalangan fotografer jurnalistik dari berbagai belahan penjuru dunia.

Kegiatan yang dilakukan oleh World Press Photo Foundation diantaranya adalah proyek yang bersifat pendidikan, kegiatan seminar untuk fotografer, agen foto dan editor foto. Kegiatan tersebut diselenggarakan di berbagai Negara dan memiliki tujuan untuk mendapatkan pengetahuan praktis mengenai profesionalisme dari sejumlah orang yang paling berkompeten dibidang foto jurnalistik.

*Peraturan dalam kontes World Press Photo peneliti sajikan dalam bentuk lampiran.

6

BAB 3

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1 ANALISIS FOTO KARYA SAMUEL ARANDA

A. Makna Denotatif

Foto karya Samuel Aranda

Gambar 3.1

Elemen denotatif yang terlihat pada foto Samuel terdiri dari

seorang wanita mengenakan abaya dan purdah berwarna hitam,

mengenakan sarung tangan putih serta membawa shoulder bag

berwarna hitam dengan motif garis warna-warni. Selain itu

nampak seorang lelaki bertelanjang dada, memiliki bulu dada,

rambut ikal, dan cambang tipis, bersandar pada wanita yang

memeluknya.

1

Posisi wanita pada foto tersebut duduk bersimpuh sambil

memeluk lelaki tersebut dari samping kiri. Objek lelaki tersebut

merebahkan dirinya di pelukan objek wanita, tangan kanan objek

wanita memegang area leher dan kepala objek lelaki, kepala

objek lelaki disandarkan pada bahu kanan objek wanita. Tangan

kiri objek wanita memegang lengan kanan objek lelaki. Pada

lengan kiri objek lelaki terdapat sebuah tulisan berwarna hitam.

Di sisi kiri objek wanita terdapat objek pria yang hanya

terlihat bagian kepala sebelah kanan dan bahu bagian kanan. Pria

tersebut bertelanjang dada, berbaring diatas karpet berwarna

hijau tua dengan corak bunga berwarna kuning ke-emasan. Objek

pria tersebut berbaring dengan posisi setengah badan bersandar

dinding triplek berwarna natural.

B. Makna Konotatif

1) Trick effect

Dalam foto ini tidak ada unsur Trick Effect.

Fotografer merekam kejadian nyata, tanpa adanya

penambahan atau penggabungan objek lain di luar

kejadian nyata atau rekayasa (digital imaging) ke dalam

foto ini.

Untuk warna juga tidak nampak perubahan yang

mencolok. Warna kulit objek terlihat natural,begitu juga

2

dengan warna papan yang menjadi latar belakang foto.

Dalam kode etik jurnalistik, editing yang diperbolehkan

yaitu editing yang tidak merubah keaslian objek yaitu,

White Balance, Saturasi, Gelap/Terang. Kontras,

Cropping, mengubah gambar warna menjadi

monochrome (hitam-putih).

Peniliti meyakini tidak adanya trick effect pada foto

ini karena peraturan yang ada di World Press Photo tidak

memperbolehkan semua peserta melakukan digital

imaging atau penambahan objek diluar objek asli pada

foto saat proses editing (aturan World Press Photo ada di

lampiran).

2) Pose

Pose atau sikap tubuh dari objek foto yang ada di

dalam karya Samuel Aranda tergambar objek wanita

duduk bersimpuh memeluk dan menyandarkan tubuh

objek pria pada tubuhnya. Adegan atau pose tersebut

nampak seperti reka adegan saat Bunda Maria memeluk

Yesus yang baru diturunkan dari penyaliban pada

peristiwa Via Dolorosa (jalan salib).

3

3) Object

Objek dalam foto ini ada tiga orang, terdiri dari dua

lelaki dan satu wanita, hanya saja salah satu objek lelaki

hanya nampak sedikit bagian bahu kanan dan sisi kepala

kanan. Objek wanita memakai abaya dan purdah

berwarna hitam, bersarung tangan putih dengan objek

bunga Yamazakura (sakura liar) memeluk seorang lelaki

lunglai yang bertelanjang dada dengan coretan spidol di

lengan kiri. Objek wanita berusaha menyandarkan kepala

objek lelaki ke bahunya. Terlihat juga objek wanita

membawa shoulder bag di tangan kirinya.

Dilihat dari latar belakang foto, kejadian tersebut

diambil di dalam ruangan. Triplek berwarna natural

dengan alas karpet berwarna hijau dan memiliki corak

seperti corak yang ada pada karpet masjid, serta cahaya

yang datang dari samping kiri objek (side light).

4) Photogenia (Teknik Foto)

Ada beberapa teknik yang digunakan dalam

pengambilan foto ini. Pertama, Rule of Third (aturan

sepertiga bagian) dimana fotografer menempatkan objek

pada sepertiga bagian sisi kiri dari sembilan bidang yang

ada. Teknik yang kedua yaitu all focus, dimana fotografer

4

memberikan ruang tajam ke semua objek yang ada di

dalam frame.

Fotografer merekam kejadian ini dengan sudut

pandang sejajar mata (eye level) dengan pencahayaan

natural (bukan cahaya lampu). Foto jurnalistik dengan

obyek manusia yang diambil secara eye level umumnya

memiliki tujuan menyetarakan obyek dengan audience,

dengan kata lain fotografer ingin menyetarakan strata

sosial audience dengan obyek foto. Dari segi

pencahayaan terlihat datangnya arah cahaya dari sisi kiri

objek dan intensitas cahaya yang soft (lembut) seperti

cahaya matahari saat pagi dan sore hari. Kiri identik

dengan pergerakan perlawanan atas kesewenang-

wenangan pemerintah atau revolusi sebuah negara, sesuai

dengan arah datangnya cahaya matahari yang lembut (soft

light) pada foto Samuel Aranda memberi arti bahwa

revolusi yang diperjuangkan masyarakat Yaman akan

segera terwujud.

5) Aestheticism (Komposisi)

Komposisi dalam foto ini untuk porsi 2 objek utama

ditampilkan seimbang, kedua objek memiliki ruang tajam

yang sama (tidak ada yang blur) serta diambil dengan

5

angle eye level atau sejajar dengan pandangan mata. Dari

komposisi tersebut, kesan setara antara fotografer, objek,

serta audience, memiliki derajat atau hak yang sama.

Pemilihan low angle, high angle, dan eye level dalam

memotret potraiture memiliki tujuan serta maksud yang

berbeda.

Pengambilan foto portrait menggunakan sudut

pandang high angle akan memunculkan kesan iba bahkan

memunculkan asumsi bahwa derajat objek lebih rendah

daripada audience, sebaliknya jika pengambilan portrait

tersebut menggunakan sudut pandang low angle kesan

gagah dan berwibawa akan muncul pada objek, biasanya

digunakan saat memotret potret tokoh.

Dalam foto ini jika ditarik garis akan nampak garis

imajiner berbentuk segitiga, dimulai dari bahu kanan

objek lelaki yang dipeluk, kemudian naik ke siku kanan

objek wanita, naik lagi ke bagian kepala objek lelaki dan

terus naik hingga ke ujung kepala objek wanita. Setelah

itu garis turun dari ujung kepala objek wanita menuju

ujung kepala objek lelaki di sebelah kiri objek wanita.

6) Syntax

6

Foto ini menceritakan tentang seorang Ibu bernama

Fatima Al-Qaws memeluk putranya, Zayed (18 tahun)

yang kesakitan akibat terkena gas air mata setelah

berpartisipasi dalam demonstrasi di Sanaa, Yaman pada

tanggal 15 oktober 2011.

Zayed merupakan demonstran yang menentang

rezim otoriter Ali Abdullah Saleh yang kala itu menjabat

sebagai presiden dan telah memimpin Yaman selama 33

tahun. Fatimah menemukan Zayed saat dia mendapat

penanganan medis di sebuah masjid yang difungsikan

sebagai rumah sakit darurat. Akibat insiden tersebut,

Zayed mengalami koma selama dua hari.

C. Mitos

Peneliti mendapat sebuah wujud kasih sayang orangtua

kepada anak yang sedang terluka. Peneliti meyakini bahwa kedua

objek yang ada di dalam foto adalah Ibu dan anak, dilihat dari

ajaran agama Islam yang melarang wanita dan pria saling

bersentuhan kulit jika memang bukan mahramnya. Mahram

untuk seorang wanita muslim yaitu orang tua kandung, saudara

kandung wanita, serta suami dan anak kandung. Sedangkan

gambaran di dalam objek foto karya Samuel Aranda, objek

7

wanita begitu erat mendekap objek lelaki, hal itu menandakan

bahwa obyek lelaki merupakan mahram objek wanita.

Gesture yang ditunjukkan oleh kedua objek utama dalam

foto memiliki similiarity dengan gesture patung Pieta karya

Michelangelo yang ada di Basilika,Santo Petrus, Roma, Italia,

serta pada scene film arahan Mel Gibson yang berjudul The

Passion of the Christ (2004), keduanya merupakan representasi

kejadian Via Dolorosa atau jalan salib yang tertulis pada injil

Markus. Gesture yang ditampilkan foto Samuel Aranda, patung

Pieta, serta potongan scene The Passion of the Christ merupakan

representasi dari bentuk kasih sayang seseorang terhadap orang

yang berharga dalam hidupnya.

3.2 PEMBAHASAN

Sesuai dengan apa yang peneliti jabarkan pada bab

sebelumnya, pada bab ini peneliti menganalisis foto tunggal karya Samuel

Aranda menggunakan pendekatan semiotika Roland Bhartes. Pada tahap

pertama yaitu Denotasi, peneliti menangkap objek wanita yang sedang

memeluk serta menyangga tubuh objek pria yang lemas dengan penuh

kasih sayang.

Pada tahap konotasi, peneliti mengamati mode atau cara

berpakaian objek wanita untuk mengetahui latar belakang budaya serta

kondisi lingkungan dari objek foto. Mode bisa dimetaforakan sebagai kulit

8

sosial yang membawa pesan mengenai gaya hidup dan budaya yang sedang berkembang di suatu komunitas tertentu. Salah satu penulis dan sejarawan asal Skotlandia, Thomas Carlyle mengatakan “Pakaian adalah perlambang jiwa. Pakaian tidak bisa dipisahkan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia.”

Dalam foto ini, objek wanita tampak menggunakan purdah dan niqab berwarna hitam, mengenakan sarung tangan serta membawa

Shoulderbag bermotif garis. Dari gaya berpakaian objek wanita bisa diartikan bahwa objek merupakan wanita muslim, diperkuat dengan ketentuan Islam untuk wanita dalam berbusana yang tertulis dalam Al-

Qur’an surah An-Nur ayat 31, jika dalam bahasa Indonesia berbunyi “dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka.”

Untuk sarung tangan yang dikenakan oleh Fatima (objek wanita dalam foto) terlihat seperti sarung tangan paramedis. Akan tetapi Fatima tidak sedang menggunakan sarung tangan untuk kegiatan medis, terlihat dari hiasan motif bunga yang dibordir pada sisi punggung tangan. Dari model sarung tangan tersebut bisa diartikan bahwa Fatima mengenakan sarung tangan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya gesekan atau sentuha kulit secara langsung dengan pria yang bukan mahramnya sesuai syariat Islam.

Untuk Shoulderbag yang digunakan Fatima merupakan tas dengan desain kasual. Shoulderbag memiliki volume besar dengan tali

9

yang lebih panjang dari handbag agar bisa digantungkan pada bahu. Dari shoulderbag yang digunakan oleh Fatima, menandakan bahwa dia sedang bepergian tidak jauh dari rumah, karena memang fungsi dari shoulderbag yang digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti kuliah, hang out, ataupun belanja.

Selain dari mode, kesamaan gesture yang ada pada foto karya

Samuel Aranda dengan patung Pieta dan potongan scene film The Passion of The Christ yang keduanya merupakan representasi dari peristiwa Via

Dolorosa versi Injil Markus. Patung Pieta dibuat oleh Michelangelo pada era reinassance atau renesan yang berarti lahir kembali. Era renesan merupakan era kesenian yang berlatar belakang religi dan budaya pada masa Yunani klasik dan Romawi kuno. Menurut Soedarso, Sp. dalam buku Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern (2000:14) “namun beberapa abad sesudah itulah para seniman betul-betul merupakan individu-individu yang bebas karena sesudah masa Renaissance mereka sekedar berganti Tuan, dari menghambakan diri kepada gereja beralih kepada raja. Tentu saja pergantian Tuan ini menimbulkan juga pergantian tema lukisan, dari menggambarkan cerita-cerita religius berubah jadi tema-tema kesukaan raja, khususnya raja-raja absolut.”

10

Gambar 3.2 Patung Pieta dan scen film The Passion Of Christ

Pada tahapan terakhir yaitu mitos, adanya similiarity antara foto

Samuel Aranda dengan patung Pieta dan film The Passion of The Christ, penggambaran kasih sayang orang tua sangat jelas terlihat pada foto karya

Samuel Aranda. Menurut Radityo Widiatmojo dalam handbook materi

Visual Literacy untuk kelas Sinau Foto Antara, bahwa gesture atau bahasa tubuh merupakan bahasa universal. Dalam buku yang sama dijelaskan bahwa ”similiarity terjadi ketika anda melihat sesuatu yang mirip, dan mata anda mencerna informasi tersebut sebagai sebuah kelompok.”

Foto Samuel Aranda memiliki informasi visual yang mirip dengan

Pieta, ketika ada dua informasi visual yang mirip maka mata akan mempengaruhi pikiran untuk mengaitkan visual yang mirip tersebut.

Setelah kedua visual tersebut terkait, akan tergali makna baru dari konteks yang ada di dalam foto. Berdasarkan pengalaman visual peneliti dari patung Pieta serta potongan scene dalam film The Passion of Christ, gesture dari objek yang ada dalam foto Samuel Aranda mirip dengan gesture Bunda Maria memeluk jenazah Yesus saat diturunkan dari salib.

11

BAB 4

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan analisis dan interpretasi atas hasil analisis tentang

humanisme dalam foto karya Samuel Aranda menggunakan pendekatan

semiotika Roland Barthes, peneliti menyimpulkan bahwa karya foto

Samuel Aranda mengandung unsur kasih sayang orang tua terhadap

anaknya. Dalam foto tersebut, Fatima al-Qaws menyangga tubuh Zayed

dengan pelukan. Zayed yang terluka akibat bom asap saat melakukan aksi

demonstrasi terhadap pemerintah Yaman, ditemukan oleh Fatima di

sebuah masjid yang dijadikan ruang kesehatan darurat.

Dari kejadian yang diabadikan oleh Samuel Aranda dalam medium

foto seakan mengajak audience untuk turut merasakan apa yang dirasakan

oleh masyarakat Yaman, khususnya Fatima al-Qaws. Pengambilan

momentum secara sejajar atau eye level secara tidak langsung

mengisyaratkan bahwa kita sebagai manusia memiliki kedudukan yang

sama atau sejajar, bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang ingin

keluarganya menjadi korban dalam sebuah konflik atau peperangan.

Selain yang peneliti jabarkan sebelumnya, pada foto karya Samuel

Aranda juga terdapat unsur humanisme Renaissance atau renesan yang

memiliki arti lahir kembali. Peneliti mengambil kesimpulan tersebut

dilatar belakangi oleh persamaan gesture dari objek foto Samuel aranda

1

dengan patung Pieta karya Michelangelo yang dibuat pada era seni

Renaissance. Gesture serta unsur religi yang lekat, sama-sama tersirat pada

hasil karya Samuel Aranda dan Michelangelo.

Oleh karena itu peneliti dapat memberi kesimpulan bahwa foto

karya Samuel Aranda menggambarkan Humanisme Renaissance, yaitu

humanisme dengan latar belakang ajaran intelektual Yunani dan Romawi

yang berkembang pada abad 14-15 di Italia.

4.2 SARAN

Peneliti memberi saran untuk masyarakat umum, khususnya

penggiat fotografi. Memaknai sebuah karya foto atau karya seni lainnya

tidak cukup berhenti pada apa yang tersirat secara kasat mata, bayak unsur

yang bisa dikaji dari sebuah karya seni seperti, semantik, literasi visual,

gestalt, serta unsur lain yang tidak bisa peneliti sebutkan satu-persatu.

Kemampuan diri dalam mengkaji sangat perlu diasah agar kita tidak

tertinggal oleh negara-negara maju di dunia. Murid sekolah dasar di

beberapa negara Eropa sudah diperkenalkan dengan literasi visual,

sedangkan di Indonesia mungkin kita tidak akan mengenal literasi visual

jika kita tidak berkecimpung di dunia visual.

2

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2002. Teori dan Praktek Konseling Humanistik. Bandung: PT. Refika Aditama.

Budiman, Kris. (2004). Semiotika Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI.

Darmawan, Ferry. 2009. Dunia Dalam Bingkai (Dari Fotografi Film Hingga Fotografi Digital). Bandung : Graha Ilmu.

E. Gordon, Ian. Theories Of Visual Perception. Hove dan New York: Psychology Press, 2004.

Fiske, John. 2011. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta : Jalasutra.

Foss A. Karen, Stephen W. Littlejohn. 2009 Teori Komunikasi, Jakarta : Salemba Humanika.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Noth, Winfried. 1990. Handbook Of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Reese, L. William, 1980, Dictionary of Philosophy and Religion. New Jersey: Humanity Press.

P. Svarajati, Tubagus. Photagogos; Terang Gelap Fotografi Indonesia. Semarang: Suka Buku, 2013.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. ______. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. 1

Wijaya, Taufan. Foto Jurnalistik. Jakarta: CV. Sahabat, 2011

Daftar Referensi Lain

Bamford.A (2003) The New Visual Literacy White Paper dalam https://www.adobe.com/content/dam/adobe/en/education/pdfs/visual- literacy-wp.pdf (akses 5 mei 2018)

Handbook Visual Literacy Workshop Foto Jurnalistik “Gerakan Sinau Foto 3” Antara Jatim

Materi Workshop Foto Jurnalistik “Gerakan Sinau Foto 3” Antara Jatim www.cnn.com www.indocell.net/yesaya http://indo.amuslima.com/kenapa-di-saudi-arabia-wanita-harus- mengenakan-abaya-hitam/ http://www.worldpressphoto.org/collection/photo/2012/photo-of-the- year/samuel-aranda www.kompas.com www.tempo.co www.worldpressphoto.org

2

LAMPIRAN

World Press Photo merupakan suatu wadah bagi para jurnalis foto untuk menampilkan karyanya di dunia internasional. Kontestan yang mengikuti World Press Photo ini harus memenuhi syarat dan kriteria yang telah ditentukan. Dalam kontes World Press Photo ini tidak semua orang dapat mengikutinya. Syarat utama menjadi kontestan

World Press Photo adalah harus seorang profesional atau wartawan, khususnya wartawan foto. Adapun syarat mengikuti kontesnya adalah sebagai berikut:

1. Kontes World Press Photo hanya terbuka untuk fotografer

profesional. Ini harus ditetapkan dengan memberikan

bukti status profesional (termasuk, namun tidak terbatas

pada, scan kartu pers; dokumen keanggotaan dari

asosiasi fotografi profesional; kartu anggota serikat

jurnalisme; surat referensi dari agen foto, editor foto atau

publikasi).

2. Fotografer haruslah pemilik dari foto yang dikirim atas

nama mereka.

3. Fotografer atau agen atau perwakilan atas nama

fotografer, harus menjadi pemegang hak cipta, atau telah

disahkan oleh pemegang hak cipta untuk mengirimkan

gambar.

XI

4. Satu foto hanya dapat dimasukkan sekali, baik sebagai

kategori foto tunggal, foto cerita, atau foto proyek jangka

panjang. Foto yang dikirim lebih dari sekali akan dihapus

dari kontes.

5. Gambar dapat dikirim baik telah diterbitkan maupun tidak.

6. Spesifikasi gambar yang dikirim harus mengikuti:

 Di upload menggunakan format .jpeg/.jpg.

 Di save kualitas medium.

 Sisi terpanjang minimal 3000 px

 Harus memiliki profil ICC tertanam. Adobe RGB

atau sRGB dianjurkan untuk gambar warna, Gamma

2.2 untuk hitam dan putih. Bukan CMYK.

7. Gambar tidak harus menunjukkan nama fotografer,

lembaga, atau publikasi, atau informasi lain atau watermark

(rincian ini dapat dimasukkan dalam metadata dari gambar

tetapi tidak harus terlihat pada gambar itu sendiri).

8. Semua gambar harus memiliki keterangan yang akurat,

ditulis dalam bahasa Inggris dan berisi semua informasi

yang digambarkan dalam keterangan.

9. Hanya gambar single eksposure atau satu frame yang

diterima. Adapun yang tidak diterima adalah:

 Multiple exposures, polyptychs (diptychs, triptychs,

dan juga forth).

XI

 Penggabungan gambar panorama baik itu dari

kamera langsung atau dengan aplikasi editing

gambar.

10. Isi gambar tidak boleh diubah dengan menambahkan,

mengatur ulang, membalikkan, mendistorsi atau

menghapus orang dan / atau benda dari dalam frame.

Ada dua pengecualian:

i. Cropping untuk menghilangkan rincian asing

diizinkan;

ii. Menghapus debu sensor kamera atau goresan

pada scan negatif diperbolehkan.

11. Penyesuaian warna atau konversi ke grayscale yang

tidak mengubah konten yang diizinkan, dengan dua

pengecualian:

a. Perubahan warna yang mungkin tidak

mengakibatkan perubahan signifikan, sehingga

warna yang diproses menyimpang dari warna

aslinya.

b. Perubahan dalam kepadatan, kontras, warna dan

/ atau tingkat kejenuhan yang mengubah konten

dengan mengaburkan atau menghilangkan latar

belakang, dan / atau benda atau orang di latar

belakang gambar, tidak diizinkan.

XI

12. Peserta yang karyanya telah dikeluarkan untuk

mengubah konten dalam dua kontes akan dicegah dari

memasuki kontes selama lima tahun setelah pengecualian

kedua.

13. Hanya entri upload dan dikirim melalui website entri akan

diterima.

14. Pemegang hak cipta memiliki hak cipta dari karya

mereka. Untuk gambar pemenang, pemegang hak cipta

mengizinkan World Press Photo Foundation untuk

penggunaan non-eksklusif terbatas gambar resolusi tinggi

untuk kegiatan di semua media, termasuk media sosial,

online dan cetak, dalam kaitannya dengan kontes,

pameran, buku tahunan, arsip masyarakat, dan semua

kegiatan promosi dan pendidikan untuk dan di bawah

naungan World Press Photo Foundation, tanpa imbalan

apapun.

15. Untuk semua gambar, kecuali gambar pememang,

pemegang hak cipta memberikan penggunaan World

Press Photo Foundation non-eksklusif gambar resolusi

rendah dalam arsip non-publik untuk kegiatan pendidikan

dan penelitian, tanpa imbalan apapun.

16. Pemegang hak cipta mewakili dan menjamin bahwa

pengajuan gambar tidak melanggar hukum apapun, dan

lebih lanjut bahwa tidak ada pihak ketiga bisa menahan

XI

klaim atau keberatan mengenai hak yang diberikan kepada

World Press Photo Foundation.

17. Aturan Masuk dan sengketa, proses atau klaim dalam

bentuk apapun yang timbul dari atau dengan cara

apapun yang berkaitan dengan Aturan Entri (termasuk

setiap sengketa atau klaim non-kontrak), akan diatur

oleh hukum Belanda.

18. Setiap sengketa yang timbul dari Aturan Entri (apakah

kontrak atau non-kontrak) diputuskan semata-mata dan

secara eksklusif oleh pengadilan yang kompeten dari

Amsterdam.

19. Kondisi yang ditetapkan dalam Peraturan bersifat mengikat,

dan World Press Photo Foundation berhak untuk

menolak atau mengecualikan entri pada setiap

kebijakannya sendiri.

XI