KEBERPIHAKAN MEDIA TERHADAP BERITA KONFLIK PARTAI : ANALISIS WACANA KRITIS

THE SIDING OF THE MEDIA IN THE CONFLICTING NEWS OF GOLKAR PARTY; CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS

MUHAMMAD DAHLAN ABUBAKAR

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

KEBERPIHAKAN MEDIA TERHADAP BERITA KONFLIK PARTAI GOLKAR; ANALISIS WACANA KRITIS

THE SIDING OF THE MEDIA IN THE CONFLICTING NEWS OF GOLKAR PARTY; CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS

MUHAMMAD DAHLAN ABUBAKAR

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

KEBERPIHAKAN MEDIA TERHADAP BERITA KONFLIK PARTAI GOLKAR; ANALISIS WACANA KRITIS

DISERTASI

Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Doktor

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

Disusun dan diajukan oleh

MUHAMMAD DAHLAN ABUBAKAR

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Pernyataan Keaslian Disertasi

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Dahlan Abubakar NIM : P0300312004 Program Studi : Linguistik

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil saya sendiri, bukan merupakan pengambialihan tulisan atau pemikiran orang lain.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan sebagian atau keseluruhan Disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya tersebut.

Makassar, April 2018

Yang menyatakan,

Muhammad Dahlan Abubakar

PRAKATA

Pertama-tama peneliti mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah swt, karena atas inayah-Nya jualah, sehingga peneliti dapat mwngikuti program pendidikan doktor ini dan menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Peneliti menyadari terlalu banyak kendala yang dihadapi, baik yang berkaitan dengan aspek teoretis maupun unsur teknis penulisan dalam penyelesaian disertasi ini. Kesulitan yang dihadapi adalah belum adanya penelitian- penelitian terdahulu untuk sekadar dijadikan rujukan dalam penulisan rangkuman hasil penelitian ini. Penelitian yang menggunakan teori yang sama lebih banyak melihat dan mengkajinya dari sisi komunikasi dan masih langka yang menganalisis teks berita media untuk melihat kecenderungan- kecenderungan tertentu di balik pemberitaan tersebut, terlebih lagi berita yang berkaitan dengan konflik suatu partai.

Namun demikian, terlalu banyak pihak yang ikut memberi andil bagi penyelesaian disertasi ini, sehingga terwujud sebagaimana hasilnya sekarang. Oleh sebab itu, perkenankan pada kesempatan ini peneliti dari hati yang paling tulus dan ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga. Ucapan terima kasih paling awal peneliti alamatkan kepada

Prof.Dr.H. Muhammad Darwis, M.S. selaku Promotor, yang tidak saja memberikan bimbingan, memberi arahan, tetapi juga menuntun peneliti lebih fokus pada kajian yang menjadi domain peneliti dari awal. Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada Prof.Dr.Lukman, M.S. yang karena memperoleh tugas dari universitas harus bertugas di Korea Selatan tidak

i dapat melanjutkan proses pembimbingan penulisan disertasi ini hingga akhir, memberi banyak masuk bagi awal-awal penggarapan disertasi ini.

Kemudian ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada

Dr.Hj.Nurhayati, M.Hum, dan Dr.Ikhwan M.Said, M.Hum, masing-masing sebagai Ko-Promotor yang telah memberi masukan yang sangat bermanfaat bagi penyusunan dan perbaikan disertasi ini.

Terima kasih juga peneliti ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. H.Hamzah

Machmoed, M.A., Prof.Dr.Tadjuddin Maknun, S.U., Dr.Hj Ery Iswary, M.Hum, sebagai penguji dan Bapak Prof.Dr.H.Zainuddin Taha, selaku penguji eksternal.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada para Rektor

Universitas Hasanuddin masing-masing pada masanya; Prof.Dr,

H.A.Amiruddin (1973-1982), Prof.Dr.A.Hasan Walinono (1982-1984),

Prof.Dr.Ir. Fachrudin (1984-1989) – ketiganya almarhum --, Prof.Dr.H.Basri

Hasanuddin, M.A. (1989-1993, 1993-1997), Prof. Dr.Ir. Radi A.Gany (1997-

2001, 2001-2006), Prof.Dr.dr. Idrus A. Paturusi, SBO.Sp.BO (2006-2010,

2010-2014), dan Prof.Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. (2014-2018 dan

2018-2022) atas segala kepercayaannya selama peneliti menjadi salah seorang stafnya di Hubungan Masyarakat Universitas Hasanuddin dalam rentang waktu yang panjang. (1980-2017) dan sebagai Kepala Humas

Universitas Hasanuddin (1988-1998, 2001-2012, dan 2015-2017).

Terima kasih serupa peneliti sampaikan kepada Bapak Prof.Dr.Ir.

Mursalim sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

ii pada masanya memberikan dorongan yang tiada henti kepada peneliti agar tetap semangat menyelesaikan pendidikan doktor ini.

Atas dorongannya yang tiada henti, ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada para Dekan Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin pada masanya masing-masing yakni, Dr. Mustafa Makka, Dr. H. Aminuddin

Ram, M.Ed., Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, M.S., Prof. Drs. H.

Burhanuddin Arafah, M.Hum, Ph.D., dan Prof.Dr. Akin Duli, M.A., tempat peneliti mengabdikan diri sebagai aparatur sipil Negara (ASN) hingga memasuki masa purnabakti 1 Februari 2017.

Peneliti juga menyampaikan terima kasih kepada adik Nasrullah Nara,

S.Sos, M.Si (staf Redaksi Harian Kompas) dan Bapak Alman (Pusat

Dokumentasi Litbang Harian Republika) yang telah membantu peneliti dalam penyediaan data daring yang digunakan dalam penyusunan disertasi ini. Terima kasih serupa disampaikan kepada Drs. M.Yusuf, SU, Drs.Hasan

Ali, M.Hum, dan Dr.AB Takko , M.Hum, selaku Ketua Departemen

Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin pada masanya masing-masing dan seluruh teman dosen di Departemen Sastra

Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Juga kepada teman-teman dosen, Dr.Fathur Rahman, M.Hum, Dr.Andi Akhmar, M.Hum,

Dr. H.Tammasse Balla, M.Hum, teman seperjuangan Dr. Lalu Santana,

M.Hum, Suradi Yasil, Edy Wahyono, Fitri Arniati, dan teman-teman dosen di

Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Hasanuddin. Kepada Ibu Dra.Ratna Ardjo, peneliti secara khusus

iii menyampaikan ucapan terima kasih, karena selalu memberi dorongan kepada peneliti segera menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih yang sama penulis ucapkan kepada teman-teman dosen Universitas Muslim Indonesia

(UMI) Makassar, Dr. Emma Bazergan, M.Hum, Dr. A.Mulyani Kone, M.Hum,

Dr.Rusdiah, M.Hum, Dr. Rabiah, M.Hum, Drs. Usman Ismail, M.A., dan

Rayudaswati Budi, S.Sos, M.Si,

Akhirnya, peneliti menyampaikan terima kasih kepada orangtua tercinta H.Abubakar H.Yakub dan Hj.Hafsah H.Abidin, istri Hj.Hana

Abubakar, AMK, anak-anak: Haryadi S.Sos, dan Haryati, S.E. dan menantu

Briptu Pol. Ahmad Amiruddin cucu-cucu: Muhammad Syahrizal,

St.Syahriana, Zhafira Alifia Ahmad, dan Talita Aqila Ahmad, Saudara- saudara peneliti: H.Sofwan, S.H. M.Hum, Drs.Kaharuddin, Nurhayati, S.E.,

Dra.Sri Suharni, Ahmad Muslim, S.H., dan Siti Farida S.Sos, yang tidak henti-hentinya memberi dorongan kepada peneliti untuk menyelesaikan pendidikan doktor ini.

Terima kasih serupa peneliti sampaikan kepada adik sepupu

Prof.Dr.H.Ahmad Thib Raya, M.A dan Prof.Dr.Hj Musdah Mulia, M.A.,

Dr.H.Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Hj. R.Nina Damayanti, S.H. yang tidak henti-hentinya ikut mendorong peneliti menyelesaikan pendidikan doktor ini.

Begitu pun terima kasih serupa disampaikan kepada Anakda Raviqa, S.S.,

M.Hum dan rekan Drs.Basuki Hariyanto yang ikut membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih serupa peneliti sampaikan kepada teman-teman Pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)

iv

Sulawesi Selatan masa bakti 2017-2021, teman-teman Pengurus Yayasan

Lembaga Pers Sulawesi Selatan (YLPSS), Pengurus Ikatan Penulis

Keluarga Berencana (IPKB) Sulawesi Selatan, dan Pengurus Kerukunan

Keluarga Bima (KKB) Sulawesi Selatan yang ikut memberi semangat hingga peneliti mampu menyelesaikan program pendidikan doktor ini.

Terakhir peneliti ingin menyampaikan terima kasih disertai doa kepada

Almarhumah Ananda Dr. Pratiwi Syarief, S.S., M.Hum, yang berpulang ke rakhmatullah pada tanggal 5 Mei 2018, yang setelah meraih gelar akademik tertinggi pada Program Studi Ilmu Linguistik di almamater ini pada tahun

2015 tidak henti-hentinya terus memberikan dorongan kepada penulis disertai kata-kata ‘’teruslah bersemangat..’’. Semoga Allah swt memberikan tempat yang layak di sisi-Nya. Amin ya rabbil alamin.

Semoga ilmu yang tertuang di dalam karya disertasi ini bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara serta untuk kehidupan akademik di masa mendatang. Amin.

Makassar, Mei 2018

Muhammad Dahlan Abubakar

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGAJUAN

PRAKATA ……………………..……………………………………………… i

ABSTRAK …………………………………………………………………… vi

ABSTRACT ……………………..……………………..…………………….. vii

DAFTAR ISI ……………………..……………………..…………………….. viii

DAFTAR SINGKATAN……………………..……………………………….. xii

DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. xiv

BAB I PENDAHULUAN ……………………..……………………………. 1

A. Latar Belakang ……………………..……………………………….. 1

B. Rumusan Masalah ……………………..…………………………… 21

C. Tujuan Penelitian ……………………..……………………………… 22

D. Manfaat Penelitian ……………………..……………………………. 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………..……………………… 24

A. Landasan Teori ……………………..………………………………. 24

1. Analisis Wacana Kritis ……………………..…………………….. 24

2. Pengertian Wacana dan AWK …………………………………. 30

3. Pendekatan AWK ……………………..…………………………. 33

3.1 Model van Dijk ……………………..……………………….. 34

3.2 Model Fiarclough ……………………..……………………… 36

3.3 Perangkat Framing Gamson …………………………….. 38

4. Analisis Bahasa Kritis (Linguistik Kritis) ………………………. 42

viii

5. Analisis Wacana Pendekatan Prancis ……………………….. 44

6. Pendekatan Kognisi Sosial …………………………………….. 45

7. Pendekatan Perubahan Sosial ………………………………… 45

8. Pendekatan Wacana Sejarah ………………………………….. 47

9. Analisis Teks Berita ……………………..………………………. 47

9.1 Tujuan Penelitian ………………………………………….. 49

9.2 Realitas yang Diteliti ……………………………………… 50

9.3 Fokus Penelitian ……………………..…………………….. 52

9.4 Posisi Peneliti ……………………..……………………….. 54

9.5 Cara Penelitian ……………………..………………………. 55

10. Media dan Berita dari Paradigma Kritis ……………………… 57

10.1 Fakta ……………………..………………………………… 58

10.2 Posisi Media ……………………..…………………………. 60

10.3 Posisi Wartawan ……………………..…………………….. 61

10.4 Hasil Liputan ……………………..………………………… 64

11. Teori Fungsi Bahasa ……………………..…………………….. 68

11.1 Sintaksis ……………………..…………………………….. 71

11.2 Kalimat ……………………..……………………………… 72

11.3 Klausa ……………………..……………………………… 73

11.4 Frasa ……………………..……………………………….. 74

11.5 Kata ……………………..…………………………………. 76

11.6 Kosakata ……………………..……………………………. 78

12. Piranti Kebahasaan ……………………..………………………. 78

12. 1 Struktur Mikro dan Elemen Semantik ………………….. 79

ix

12.1.1 Latar ……………………..………………………….. 79

12.1.2 Detil ……………………..…………………………. 81

12.1.3 Maksud ……………………..…………………….. 82

12.2 Elemen Praksis Sosiokultural …………………………… 83

12.2.1 Situasional ……………………………………….. 86

12.2.2 Institusional ……………………………………….. 87

12.2.3 Sosial ……………………..……………………….. 90

12.3 Perangkat Framing ……………………..………………… 97

12.3.1 Metafora ………………………………………….. 99

12.3.2 Frasa ……………………..………………………. 101

12.3.3 Kausalitas ………………………………………… 101

B. Tinjauan Hasil Penelitian ………………………………………….. 104

1. Struktur Mikro ……………………..……………………………. 104

2. Sosiokultural ……………………..…………………………….. 108

3. Sistem Framing ……………………..…………………………. 109

C. Wacana Kritis dan Berita Konflik Partai Golkar ………………… 111

D. Kerangka Pikir …………...... 114

E. Definisi Operasional ……………………..………………………... 117

BAB III METODE PENELITIAN ……………………..…………………… 120

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ………………………………… 120

B. Data dan Sumber Data ……………………..……………………... 121

C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data …………………………. 122

1. Metode ...… ………………………………………………………. 122

2. Teknik …………………………………………………………….... 123 x

D. Teknik Analisis Data ……………………..………………………… 124

1. Pendekatan Analisis Semantik...... 126

2. Pendekatan Analisis Sosiokultural … ………………………….. 127

3. Pendekatan Analisis Perangkat Framing ……………………… 128

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………. 131

1. Analisis Struktur Mikro dan Elemen Semantik ……………….. 131

1.1 Latar ……………………..…………………………………… 131

1.2 Detil ……………………..……………………………………. 140

1.3 Maksud ………………………………………………………. 150

2. Analisis Praksis Sosiokultural …………………………………… 159

2.1 Situasional ……………………..……………………………. 160

2.2 Institusional ……………………..…………………………… 169

2.3 Sosial ……………………..…………………………………. 179

3. Perangkat Framing ……………………..………………………. 188

3.1 Metafora ……………………..……………………………… 189

3.2 Frasa ……………………..…………………………………. 200

3.3 Analisis Kausalitas ………………………………………… 211

a. Kompas …………………………………………………….. 224

b. Republika …………………………………………………… 225

c. Koran Tempo ……………………………………………….. 226

BAB V PENUTUP ……………………..……………………………………. 229

A. Simpulan ……………………..………………………………………. 229

B. Saran ……………………..……………………..………………..….. 230

C. Refleksi ……………………..……………………..………………… 231 xi

DAFTAR PUSTAKA ……………………..………………………………… 233

LAMPIRAN DATA PENELITIAN ……………………………………………. 243

BIODATA ……………………………………………………………………… 306

xii

DAFTAR SINGKATAN

AL = Agung Laksono

ARB =

AWK = Analisis Wacana Kritis

DPD = Dewan Pimpinan Daerah

DPP = Dewan Pimpinan Pusat

DPR = Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

F-PG = Fraksi Partai Golkar

Gerindra = Gerakan Indonesia Raya

G.30.S = Gerakan Tiga Puluh September

Golkar = Golongan Karya

HAM = Hak Asasi Manusia

Hanura = Hati Nurani Rakyat

ICAL = Aburizal Bakrie

K = Kompas

KBBI = Kamus Besar Bahasa Indonesia

KIH = Koalisi Indonesia Hebat

KMP = Koalisi Merah Putih

KPU = Komisi Pemilihan Umum

KT = Koran Tempo

MA = Mahkamah Agung

Menkumham = Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Munaslub = Musyawarah Nasional Luar Biasa

MPG = Mahkamah Partai Golkar xiii

Munas = Musyawarah Nasional

NasDem = Nasional Demokrat

PAN = Partai Amanat Nasional

Pilkada = pemilihan kepala daerah

PKI = Partai Komunis Indonesia

PKS = Partai Keadilan Sejahtera

PN = Pengadilan Negeri

PPP = Partai Persatuan Pembangunan

PTUN = Pengadilan Tata Usaha Negara

PWI = Persatuan Wartawan Indonesia

R = Republika

Rapimnas = Rapat Pimpinan Nasional

RI = Republik Indonesia

SBY =

SK = Surat Keputusan

TV = Televisi

UIN = Universitas Islam Negeri

UNJ = Universitas Negeri

UU = Undang-undang

Wantim = Dewan Pertimbangan

xiv

DAFTAR TABEL

.

Tabel 1 : Sampel Teks Berita 12

Tabel 2 : Struktur Teks Model van Dijk 35

Tabel 3 : Elemen Teori van Dijk 35

Tabel 4 : Piranti Kebahasaan yang Diteliti 36

Tabel 5 : Model Teori Fairclough 37

Tabel 6 : Dimensi Praksis Sosiokultural 38

Tabel 7 : Perangkat Framing Teori Gamson 40

Tabel 8 : Perangkat Framing Penelitian 42

Tabel 9 : Karakter Penelitian Teks 49

Tabel 10: Pandangan Pluralis dan Kritis 57

Tabel 11: Contoh Variabel Latar 80

Tabel 12: Contoh Variabel Detil 82

Tabel 13: Contoh Variabel Maksud 83

Tabel 14: Bagan Kerangka Pikir 117

Tabel 15: Tabel Berita Media Sampel 125

Tabel 16: Proses Analisis Data Penelitian 129

Tabel 17: Tabel Metafora 198

Tabel 18 Variabel Frase 209

Tabel 19: Distribusi Keberpihakan Media 220

Tabel 19: Distribusi Keberpihakan pada Sosok 227

xv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wacana yang diberitakan media massa, khususnya media cetak, menjadi objek kajian kebahasaan yang menarik. Bahasa terus bertumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang intelek. Melalui bahasa sikap berpihak dapat ditunjukkan, tetapi melalui bahasa pula sikap netral bisa disingkap meskipun kelihatan sudah dibuat netral. Bahasa mempunyai pengaruh besar dalam memahami tujuan dan kepentingan media.

Penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang digunakan menjadi acuan utama untuk mengetahui alam pemikiran sumber berita dalam media massa.

Beberapa waktu terakhir ini informasi dan berita yang disiarkan media massa dan daring (online) telah menimbulkan polemik dan kehebohan di negara ini sampai berujung ke pengadilan. Akhirnya, para pakar bahasa pun dilibatkan untuk menganalisis konten kebahasaan yang digunakan di dalam wacana tersebut.

Salah satu wacana di media yang sempat menarik perhatian publik di

Indonesia beberapa waktu yang lalu adalah berita konflik Partai Golongan

Karya (Golkar). Hal ini disebabkan sepanjang usia kemerdekaan Republik

Indonesia yang menjelang memasuki 73 tahun (1945-2018), hampir separuh waktu (32 tahun) dipimpin oleh pemerintahan yang dikendalikan Partai

Golkar. Partai tersebut telah mengawal dan memimpin negara ini pada masa-masa sulit, yakni pasca-pemberontakan Partai Komunis Indonesia

(PKI) yang dikenal dengan Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S). Oleh 2

sebab itu, selama kehadirannya partai tersebut selalu menjadi pendukung utama rezim pemerintah yang berkuasa.

Ketika Presiden Republik Indonesia beralih ke B.J.Habibie, juga

Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan terakhir Susilo Bambang

Yudhoyono, Partai Golkar selalu mendukung pemerintah. Namun, ketika pemilihan presiden pada tahun 2014, tiba-tiba Partai Golkar berbalik haluan.

Partai ini pertama kali beroposisi dengan pemerintah selama kurang lebih hampir dua tahun. Ini terjadi dikarenakan pada pencalonan presiden tahun

2014, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) yang gagal diusung sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden, mengarahkan dukungan partainya kepada duet -, yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bersama Partai Amanat

Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan juga Partai Golkar sendiri. Padahal, pada kubu rivalnya ada M. yang juga mantan

Ketua Umum Partai Golkar maju sebagai calon wakil presiden bersama calon presiden .

Langkah ARB mengarahkan dukungan partainya ke kubu Prabowo

Subianto-Hatta Rajasa inilah yang menjadi pemicu pecahnya kepengurusan

Partai Golkar hasil musyawarah nasional (Munas) Riau 2014. Kepengurusan

Partai Golkar terpecah menjadi dua kubu, yaitu ARB dkk yang mendukung

Prabowo Subianto - Hatta Rajasa dan R. Agung Laksono (AL) bersama beberapa orang anggota Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Golkar lainnya yang bergabung mendukung pasangan Joko Widodo - M.Jusuf Kalla.

Terpecahnya dukungan ini merupakan awal terjadinya konflik berkepanjangan yang dialami kedua kubu di internal partai tersebut. Konflik 3

ini berkembang dengan saling klaim ‘’kepemilikan’’ partai yang sudah berusia 53 tahun itu hingga pemilihan presiden dan wakil presiden tahun

2014.

Konflik internal partai ini semakin tajam setelah terpilihnya pasangan

Joko Widodo - M.Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik

Indonesia periode 2014-2019. Partai Golkar yang selama puluhan tahun berdirinya selalu mendukung pemerintah, pada tahun 2014 hingga sebelum terpilihnya sebagai Ketua Umum Partai Golkar 17 Mei 2016 justru menjadi partai oposisi. Perilaku politik Partai Golkar yang demikian dinilai oleh kubu AL telah keluar dari khittah partai.

Pada awal Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan

Golkar yang dipimpin oleh Pada April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara

(PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan sela menunda pelaksanaan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu AL. Dengan dibacakannya putusan PTUN itu, kepengurusan Partai Golkar yang sah saat itu adalah hasil Munas Riau tahun 2009. Upaya rekonsiliasi pun dilakukan

Wakil Presiden M.Jusuf Kalla yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar.

Kesepakatan hanya terjadi pada tataran atas partai belaka, sebab dalam tataran struktur pengurus daerah rekonsiliasi itu seperti tidak pernah terjadi.

Bahkan imbas yang paling nyata dan transparan dari konflik itu berpengaruh pada pengusungan calon kepala daerah oleh partai karena kedua pihak masing-masing mengusung jagoan dan pilihan yang berbeda. Konflik akhirnya teratasi setelah berlangsungnya munas Partai Golkar di Bali Nusa 4

Dua Convention Center (BNBCC) pada 17 Mei 2016 yang memilih Setya

Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2016-2021. Namun masa kepemimpinan Setya Novanto hanya berjalan hingga Desember 2017 karena dia terlibat kasus korupsi dana Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Elektronik. Dia diganti oleh yang menjabat Menteri

Perindustrian Kabinet Joko Widodo-M.Jusuf Kalla dalam Musyawarah

Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Jakarta pada tanggal 18-20

Desember 2017..

Pemberitaan tentang konflik Partai Golkar di media sejatinya harus berimbang dan tidak memihak kepada salah satu kubu yang berkonflik.

Operasional peliputan yang dilakukan para wartawan harus mengacu pada

Kode Etik Jurnalistik sebagai himpunan etika profesi kewartawanan.

Kebebasan pers tersebut ditandai dengan adanya kebebasan untuk melakukan kontrol sosial di samping fungsi pers lainnya sebagai pembawa dan pemberi informasi, media pendidikan, dan hiburan. Di dalam mewujudkan kebebasan tersebut, pers memanfaatkan bahasa dalam menyajikan informasi kepada khalayak sesuai karakteristiknya.

Menurut Shaffat (2008), kebebasan pers yang hakiki terjadi ketika pers mampu menempatkan diri di tengah kebebasan yang dinikmatinya.

Sebaliknya, kebebasan ini tidak mempunyai arti sama sekali manakala pers tidak menghiraukan rambu-rambu yang berlaku, karena pers tidak lagi bebas berbuat menjalankan tugasnya, tetapi terbelenggu pelanggaran dan sanksi yang diterimanya.

Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) disebutkan ‘’Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat, Wartawan 5

Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur-adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interprestasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya’’.

Arief (2015) mengemukakan, pada penilaian yang ekstrem, memang tidak ada media yang sepenuhnya netral. Netralitas itu hanya mitos atau jargon semata. Apalagi di tengah-tengah kepemilikan media di Indonesia saat ini yang terkonsentrasi pada segelintir elite. Yang bukan kebetulan, pemilik media itu di antaranya merangkap sebagai politisi, ketua umum partai, dan calon presiden sekaligus. Sungguh, netralitas media seperti sebuah lawakan di negeri ini.

Noam Chomsky dalam Arief (2015) menyebutkan, media selalu memiliki bias-bias tertentu di dalam dirinya. Media tidak pernah bisa memosisikan dirinya seperti layaknya burung onta yang steril. Media pasti berpihak. Sialnya lagi, media berpihak dan loyal pertama-tama bukan pada warga – seperti yang ditekankan Tom Rosentiel dalam Sembilan Elemen

Jurnalisme-nya – melainkan pada para saudagar.

Secara yuridis formal berdasarkan Kode Etik Jurnalistik tersebut menuntut setiap wartawan hendaknya menyajikan berita secara berimbang, yakni dengan meliput kedua belah pihak yang terkait dengan suatu berita.

Akan tetapi, .River (2003) menegaskan bahwa tidak ada netralitas media alias tidak ada media/jurnalistik yang netral. Jurnalistik atau media ‘’selalu’’ berpihak, yaitu kepada pemiliknya. Dalam dunia jurnalistik yang dikenal adalah media yang independen dan bebas. Media yang netral dan bebas ini di belahan bumi mana pun tidak akan pernah ditemukan. Amerika Serikat 6

yang dikenal sebagai negara liberal dan kerap menjadi ‘’kiblat’’ kebebasan pers di jagat ini, justru menempatkan diri sebagai negara bukan menjadi lahan yang subur bagi media bebas.

Sebuah catatan Kristina Borjesson (2006), editor buku ‘’Mesin

Penindas Pers, membongkar Kebebasan Pers di Amerika’’ yang berisi kesaksian sejumlah wartawan top Amerika peraih penghargaan korban pemberangusan sistematis menarik disimak.

’’Saya kira pers dicotok hidungnya dan saya kira pers mencotok hidungnya sendiri.. Maaf, harus saya katakan begitu, tetapi tentu televisi – dan mungkin pada tingkat tertentu termasuk televisi saya -- diintimidasi pemerintah dan para serdadunya di FOX News. Dan, nyatanya itu menghadirkan iklim ketakutan dan swa-sensor dalam hal siaran yang kami lakukan…Semua sikap politik dalam pandangan saya – apakah itu pemerintah, intelijen, wartawan, siapa pun – tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan keras, misalnya tentang senjata pemusnah missal. Maksud saya, sepertinya ini adalah disinformasi pada tingkat yang paling tinggi.

(Christine Amampour dari CNN dan CBS pada acara Topic yang diasuh Tina Brown di CNBC pada 10 September 2003).

Inilah gambaran netralitas dan independensi media di Amerika

Serikat. Apabila yang dikatakan River itu bukan sesuatu yang baru, namun dalam penelitian ini perlu dibuktikan seberapa jauh keberpihakan media di

Indonesia melalui produksi teks yang dilakukan wartawan dalam memberitakan konflik Partai Golkar.

Atamakusumah (2009) menyebutkan, kebebasan pers adalah kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi seluas-luasnya, kebebasan untuk dapat memilih media sesuai dengan minat dan aspirasi mereka, serta kebebasan untuk dapat menyalurkan pendapat, kritik, dan keluhan mereka melalui media pers. Di dalam melaksanakan kebebasannya, seyogianya pers harus tetap netral dan memberitakan 7

sesuatu secara berimbang, tetapi dalam kenyataannya media mengindikasikan keberpihakan. Salah satu contoh pada pemilihan presiden

(Pilpres) 2014, media terpecah menentukan pilihan masing-masing ketika dua stasiun TV swasta nasional mengusung calon presidennya masing- masing. Akibatnya, terjadi pemberitaan yang tidak seimbang dan berpihak.

Selama ini parameter keberpihakan dan kenetralan media terhadap suatu objek pemberitaan masih diukur berdasarkan indikator Kode Etik

Jurnalistik yang mensyaratkan keberimbangan informasi pemberitaan (cover both side atau konfirmasi). Indikator tersebut merupakan penjabaran aturan normatif yang melihat peliputan dari sisi kesetaraan dan kesamaan hak.

Ukuran keberpihakan dan kenetralan media berdasarkan isi (konten) berita belum menjadi bagian dari penilaian terhadap keberpihakan atau kenetralan media dalam pemberitaan selama ini.

Media massa, khususnya media cetak memberitakan secara berkesinambungan konflik di tubuh Partai Golkar ini. Harian Kompas,

Republika, dan Koran Tempo memberitakan konflik internal partai ini dalam kurun waktu yang panjang. Ketiga media cetak tersebut secara kasat mata masih dianggap berada di posisi yang netral jika dilihat dari kaidah jurnalistik, yakni sesuai kode etik jurnalistik. Akan tetapi, jika dianalisis dengan menggunakan teori analisis wacana kritis (AWK), pemberitaan ketiga media cetak tersebut sangat berpotensi menunjukkan adanya kecenderungan keberpihakan. Untuk memperlihatkan keberpihakan tersebut media menggunakan pihak lain untuk menyatakan pandangannya. Misalnya, menggunakan nara sumber tertentu untuk menyampaikan pendapatnya yang secara langsung atau tidak berpotensi menguntungkan satu pihak dan 8

merugikan pihak lain. Padahal, nara sumber tersebut terindikasi cenderung menguntungkan pihak tertentu. Oleh sebab itu, melalui AWK pemberitaan konflik Partai Golkar ini diidentifikasi bagaimana piranti linguistik berperan dan bekerja menjelaskan aspek kebahasaan dalam mengungkap keberpihakan tiga media cetak tersebut berdasarkan ketiga teori yang digunakan. Sikap-sikap seperti ini dapat ditemukan dan diungkap melalui teks wacana berita media massa dengan menggunakan analisis AWK sebagaimana yang menjadi kajian dalam penelitian ini, yakni berita konflik

Partai Golkar.

Diaz Abraham dalam tulisannya berjudul ‘’Mempersoalkan

Keberpihakan Media, Sama saja Bertanya Kapan Kiamat Tiba’’ (ditulis di

Kompasiana, 10 Oktober 2016 dan diunduh di google.com 14 April 2018) menyebutkan, kita sebagai penikmat produk media merasa dikhianati akibat keberpihakan orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan produk pers, baik cetak, online (daring) maupun audiovisual. Media yang dimiliki oleh anggota atau pengurus parpol, keberpihakan akan sangat terlihat lewat sajian beritanya. Lalu bagaimana keberpihakan itu terjawab pada media yang dinilai secara tersirat mendukung salah satu pasangan calon?

‘’Keberpihakan akan sangat terasa ketika pesta demokrasi akan berlangsung,’’ tulis Diaz Abraham.

Abd. Hannan dalam tulisannya berjudul ‘’Filosofi Keberpihakan Media

Massa’’ ( ditulis 27 Desember 2016 dan diunduh 14 April 2018) menyebutkan, benar memang jika dikatakan bahwa isu keberpihakan media massa belakangan ini cenderung kehilangan fungsi dan peran sosialnya. 9

Kecanggihan media massa melakukan komodifikasi dan membangun opini memungkinkan dirinya melahirkan realitas baru melebihi realitas sebenarnya.

Media memiiliki latar belakang sosiokultural sendiri. Harian Kompas didirikan oleh mendiang Petrus Kanisius (PK) Ojong atau Ojong Peng Koen bersama Jakob Oetama. Kompas pertama kali terbit 28 Juli 1965.

Sebelumnya, keduanya mendirikan majalah bulanan Intisari yang terbit pertama tahun 1963. Jacob Oetama sendiri merintis kariernya sebagai wartawan mingguan Penabur pada tahun 1955. Setelah Ojong meninggal dunia, Jacob Oetama-lah yang menjadi nakhoda membesarkan Kompas.

Dewasa ini Kompas menjadi surat kabar terkemuka di Indonesia dalam rumpun usaha Kelompok Kompas Gramedia (KKG).

Menurut Hamad (2004:116), nama Kompas sering diplesetkan dengan

Komando Pastor atau Komando Pak Seda. Tentulah ini ada dasarnya. Ketika harian ini akan didirikan, situasi saat itu – yakni tahun 1963, surat kabar mempunyai afiliasi politik – mengharuskan Kompas memiliki afiliasi politik juga. Akhirnya, Kompas pun berafiliasi dengan Partai Katolik yang diketuai

Frans Seda.

Kehadiran Republika tidak dapat dipisahkan dari kelahiran Ikatan

Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Republika lahir sebagai perwujudan salah satu program ICMI. Yang terakhir ini terbentuk 5 Desember 1990.

Melalui Yayasan Abdi Bangsa yang dibentuk 17 Agustus 1992, ICMI menetapkan tiga program utama; (1) Pengembangan Islamic Centre; (2)

Pengembangan Centre for Information and Development Studies (CIDES) dan: (3) penerbitan harian umum Republika. 10

Penerbitan Pers sesuai UU Pokok Pers harus berbadan usaha.

Untuk itulah Yayasan Abdi Bangsa mendirikan PT Abdi Bangsa pada 28

November 1992. Sebulan kemudian, 19 Desember 1992 Republika memperoleh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan mulai resmi berdiri 4 Januari 1993.

Untuk memahami Republika kita harus mengetahui ICMI. Organisasi ini bukanlah sekadar perkumpulan cendekiawan muslim, melainkan juga sebagai perhimpunan kekuatan politik Islam yang pada masa-masa 70-an dan 80-an banyak dipinggirkan oleh rezim Golkar dan militer (Hamad, 2004).

Dengan motor penggerak utama B.J.Habibie (Menristek yang kemudian menjadi wakil presiden dan presiden), ICMI lahir dan bergerak penuh dengan muatan politik Islam.

Ideologi Republika adalah ideologi pemiliknya, PT Abdi Bangsa, yaitu kebangsaan, kerakyatan, dan keislaman dengan tujuan mempercepat terbentuknya masyarakat madani (civil society). Orientasi inilah yang sehari- hari dituangkan Republika dalam bentuk informasi dan sajian lainnya.

Republika menampilkan Islam dalam wajah moderat (Hamad,2004:122).

Koran Tempo terbentuk karena adanya perkembangan pesat dialami majalah Tempo. Ketika Tempo memasuki usia yang ke-30 pada 2 April 2001 diterbitkanlah Koran Tempo. Kehadiran Koran Tempo bertujuan untuk mengembalikan prinsip-prinsip jurnalistik harian yang terabaikan, yaitu: cepat, lugas, tajam, dan ringkas.

Dalam pandangan Hall (1982), pada proses produksi berita terdapat tiga ideologi profesional jurnalis sebagai berikut. Pertama, nilai berita. Tiap hari terdapat ribuan peristiwa di seluruh dunia, tetapi tidak semua peristiwa 11

bisa disebut sebagai berita. Karena dalam ideologi jurnalis, sebuah peristiwa itu bisa diangkat sebagai berita tergantung pada nilai berita yang dikandungnya, mulai dari ketokohan, konflik, menimbulkan keharuan atau justru ketakutan, humor, atau bisa juga dramatik. Ideologi ini secara tidak langsung mengonstruksi peristiwa, yang hanya peristiwa tertentu yang layak disebut berita. Ideologi ini menentukan dan mengontrol kerja jurnalis.

Reporter di lapangan akan memilah peristiwa yang diberitakan. Redaktur di kantor akan memilah berita bernilai tinggi untuk ditempatkan di halaman depan. Bagian desain akan membuat ilustrasi untuk peristiwa bernilai tinggi dan seterusnya.

Kedua, kategori berita. Setelah peristiwa didefinisikan sebagai berita, pada tingkat ini redaksi mempunyai pandangan professional yang dikenal sebagai kategori berita. Peristiwa tertentu yang dikategorikan sebagai berita hangat (hard news) harus disajikan sesegera mungkin. Peristiwa lain yang tidak membutuhkan kecepatan dalam pelaporan dikategorikan sebagai feature.

Ketiga, objektivitas. Ideologi ini berhubungan dengan prosedur dan standar kerja redaksi. Produksi berita pada dasarnya adalah proses mengolah peristiwa menjadi informasi yang disebarkan kepada khalayak, bahwa yang disajikan oleh jurnalis adalah kebenaran. Dalam pemberitaan, yang dapat menjamin laporan jurnalis tersebut benar nyata (terjadi) adalah objektivitas (ideologi profesional) yang dibentuk dari ketaatan atas sejumlah prosedur kerja profesional, antara lain, fakta harus dicek ulang, laporan harus berimbang, dan meliput dua sisi (cover both sides). 12

Kehadiran Koran Tempo lebih didorong oleh kepentingan konfergensi dan ekonomi media. Majalah Tempo yang sudah merasa besar merasa perlu memiliki usaha lain, sehingga didirikanlah Koran Tempo yang terbit setiap hari, berjalan seiring dengan media daringnya www.tempo.co. dan mengimbangi Tempo versi majalah terbit mingguan dengan laporan yang mendalam dan investigatif.

Berikut sampel teks berita tiga media cetak yang dijadikan objek di dalam penelitian ini.

Tabel 1 SAMPEL TEKS BERITA No. Media Contoh Teks Wacana edisi 1. Harian Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie 4-12-2014 Kompas mengungkap satu rahasia saat menyampaikan pidato penutupan Musyawarah Nasional IX Partai Golkar, Kamis (4/12). Rahasia yang diungkap adalah tanggapan istri, Tatty Murnitriati setelah Aburizal kembali ditetapkan sebagai ketua umum periode 2014-2019. Aburizal menuturkan, dia mendapat banyak ucapan selamat sesaat setelah ditetapkan sebagai ketua umum. Ucapan itu tak hanya disampaikan langsung, tetapi juga masuk dari telepon genggamnya melalui layanan pesan singkat. ‘’Saya kasih tahu rahasia. Tapi pas saya sampai, istri saya bilang ‘masih mau diuyel-uyel lima tahun lagi? Sudah dihina-hina. Saya ketawa saja,’’ kata Aburizal disambut tawa peserta dan tamu Munas IX. 2. Harian Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar pada 4-12-2014 Republika Rabu (3/12) menetapkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum periode 2014-2019. Ical ditetapkan secara aklamasi menyusul tidak adanya calon ketua umum selain pria yang dikenal dengan nama Ical ini. ‘’Dengan begitu, Aburizal Bakrie telah mendapat dukungan 100 persen dari pemegang hak suara,’’ kata Ketua Sidang Munas Nurdin Halid, yang memimpin jalannya proses pemilihan ketua umum di Hotel Westin Nusa Dua, Bali, Rabu (3/12). 3. Koran Tempo Rombongan Agus juga tidak bisa masuk ke ruangan, 4-12-2014 karena dikunci dengan sistem sidik jari. Satu-satunya pemegang akses adalah Sekretaris Fraksi Fayakhun Andriadi. Agus Gumiwang menuding Fayakhun juga kehilangan akses, karena sistem pengamanan sudah diganti. Akibat tidak masuk, Agus memilih melaporkan Ade Komaruddin dan Bambang Soesatyo ke Markas Besar Polri. ‘’Kami laporkan dengan perbuatan melawan hukum,’’ kata Agus.

13

Berdasarkan tabel di atas terlihat ketiga media cetak pada edisi yang sama menurunkan berita terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai

Golkar dalam Munas Bali dari sudut pandang yang berbeda. Kompas tidak memfokuskan terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar, tetapi lebih memilih mengangkat kisah istrinya di balik keterpilihan suaminya.

Kompas pun mengungkapkan pernyataan Aburizal Bakrie yang menginformasikan banyaknya ucapan selamat yang disampaikan kepadanya yang sangat kontradiktif dengan apa yang dikemukakan istrinya. Menilik berita yang diturunkan media ini memperlihatkan keberpihakan kepada ARB karena ada penonjolan informasi tunggal mengenai ARB.

Jika dilihat dari piranti kebahasaan berdasarkan elemen semantik struktur mikro variabel latar, komunikator, dalam hal ini ARB mengisahkan respons atas keberhasilannya terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Dengan pemaparan teks ini, Kompas telah menempatkan ARB pada posisi yang menguntungkan, sehingga kubu lawannya, AL, terpinggirkan.

Berdasarkan variabel latar, Kompas berpihak kepada ARB.

Akan tetapi jika kita menganalisis berdasarkan perangkat framing dengan variabel frasa yang merujuk pada kata ‘’diuyel-uyel’’ dan ‘’sudah dihina-hina’’, jelas mengindikasikan merusak citra ARB dan pada sisi lain kubu AL terindikasi diuntungkan, sehingga Kompas melalui variabel frasa analisis perangkat framing ini cenderung berpihak kepada AL.

Republika memberitakan terpilihnya ARB apa adanya. Jika dianalisis berdasarkan variabel maksud elemen semantik pada struktur mikro, media ini cenderung mengindikasikan berpihak terhadap ARB. Sebab, media cenderung mengemukakan yang positif saja terhadap ARB, misalnya melalui 14

kalimat ‘’terpilih secara aklamasi menyusul tidak adanya calon ketua umum selain pria yang dikenal dengan nama Ical ini’’. Begitu pun dengan kalimat

‘’Dengan begitu, Aburizal Bakrie telah mendapat dukungan 100 persen dari pemegang hak suara’’.

Akan tetapi jika dianalisis berdasarkan perangkat framing variabel frasa, khususnya merujuk pada frasa ‘’aklamasi’’ jelas mengindikasikan bahwa suksesi ketua umum Partai Golkar tersebut berlangsung tidak demokratis karena publik sudah mengetahui dari pemberitaan media terdapat beberapa calon ketua umum. Frasa ‘’aklamasi’’ dapat bermakna bahwa pemilihan ketua umum berlangsung tidak fair, sehingga Republika tertindikasi berpihak kepada AL.

Adapun Koran Tempo mengangkat berita sebagai akibat dari terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar, yakni terjadinya konflik di dalam tubuh Fraksi Partai Golkar di DPR. Berdasarkan analisis struktur mikro elemen semantik dengan variabel maksud media ini menonjolkan peran kubu AL yang diwakili Agus Gumiwang yang termasuk salah seorang yang dipecat ARB. Informasi mengenai situasi yang dialami Agus dan rombongannya yang ‘’tidak bisa masuk ke ruangan, karena dikunci dengan sistem sidik jari’’ memberikan kesan negatif terhadap kubu ARB. Apalagi dengan adanya kalimat ‘’Kami laporkan dengan perbuatan melawan hukum’’, jelas memarginalkan posisi kubu ARB, sehingga Koran Tempo melalui piranti kebehasaan elemen semantik variabel maksud cenderung berpihak kepada

AL.

Demikian halnya jika dilihat dari variabel frasa analisis perangkat framing yang merujuk pada frasa ‘’menuding Fayakhun’’ jelas 15

memarginalkan ARB, sehingga pada variabel ini pun Koran Tempo cenderung berpihak pada AL.

Demikian salah satu contoh analisis teks berdasarkan piranti kebahasaan elemen semantik struktur mikro dan variabel frasa analisis perangkat framing dalam penelitian ini untuk mengungkapkan keberpihakan media terhadap berita konflik Partai Golkar.Dengan demikian akan dapat diungkapkan bukti kebahasaan bahwa media cetak sulit berposisi netral dalam memberitakan konflik Partai Golkar. Keberpihakan ini dapat dianalisis dari isi pemberitaan (teks berita) dan wacana yang dimuat melalui ketiga media cetak tersebut dengan menggunakan model AWK (Critical Discourse

Analysis).

Berikut beberapa alasan dipilih permasalahan tersebut sebagai objek kajian:

Pertama, dari berbagai referensi yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan AWK yang menitikberatkan pada aspek kebahasaan terhadap berita konflik suatu partai di Indonesia dalam media cetak selama ini belum pernah diteliti, lebih khusus lagi yang mengungkapkan keberpihakan media.

Penelitian berkaitan dengan AWK dilakukan oleh Badara (2012) berjudul

’’Analisis Wacana, Teori Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media’’.

Penelitian tersebut membahas konten berita beberapa surat kabar yang dijadikan sampel, sedangkan penelitian ini secara khusus difokuskan pada

AWK terhadap teks berita konflik Partai Golkar yang dimuat tiga media cetak yang masing-masing dinilai sebagai media yang bersifat netral.

Dikatakan netral, karena media tersebut dimiliki dan diterbitkan oleh mereka 16

yang tidak terlibat di dalam dunia politik sehingga dalam pemberitaannya lebih mengedepankan keberimbangan.

Kedua, analisis wacana berita media cetak merupakan kajian kebahasaan yang menarik karena dapat mengungkapkan kecenderungan pemberitaan media terhadap realitas yang terjadi di masyarakat. Melalui analisis ini diharapkan terungkap praktik media memanfaatkan bahasa untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang terlibat di dalam suatu pemberitaan, termasuk aktor yang ada di belakang pemberitaan serta kecenderungan media mengungkapkan keberpihakannya pada salah satu pihak. Melalui analisis ini dapat diungkap ketimpangan kekuasaan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat

Fairclough dan Wodak yang melihat AWK dapat menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. (Badara, 2012: 28)

Ketiga, melalui media cetak dari kajian AWK dicoba dilihat bagaimana media membingkai suatu berita (analisys framing) dalam memahami seseorang atau kelompok atau peristiwa tertentu yang akan ditulis. Kita mengambil contoh konkret ketika berlangsung pemilihan presiden pada tahun 2014 melalui dua media TV, yakni Metro TV dengan TVOne.

Keduanya mendukung kepentingan dua kekuatan koalisi partai politik masing-masing.

Keempat, dapat mengungkapkan praktik media memanfaatkan pihak lain (pihak ketiga) untuk menyatakan pendapatnya tentang konflik suatu partai politik yang dapat dianggap seirama dengan pandangan media tersebut. Biasanya media cetak memanfaatkan para pakar yang sesuai 17

dengan kompetensinya sebagai narasumber untuk menganalisis suatu konflik partai politik yang terjadi. Oleh sebab itu, sering kita menemukan satu media memanfaatkan pakar tertentu untuk mengomentari suatu masalah, termasuk dalam kaitannya dengan konflik Partai Golkar ini.

Kelima, konflik merupakan salah satu dari sejumlah elemen penting dalam berita. Media selalu menempatkan berita yang mengandung konflik pada halaman depan media cetak dan berita awal pada radio dan televisi.

Dalam berbagai peristiwa selalu ada konflik dan ketegangan yang menjadi daya tarik bagi khalayak. Konflik hampir melanda semua ranah kehidupan dan aktivitas manusia, baik di bidang politik, olahraga, kriminal, kekerasan rumah tangga, lembaga pemerintah, maupun parlemen, yang pada umumnya bersentuhan dengan perbedaan opini. Rolnicki dkk. (2008:12-13) mengatakan, kebanyakan berita konflik memuat nilai berita lain, seperti drama dan keganjilan, dan karenanya menimbulkan dampak emosional. Hal seperti ini amat menarik bagi banyak pembaca dan karenanya media terkadang melebih-lebihkan unsur ini. Konflik bisa berupa konflik fisik dan mental. Bahkan berita tentang ide seseorang versus pandangan orang lain biasanya diwarnai dengan konflik. Semakin menonjol pertentangannya, makin besar nilai berita.

Pemilihan narasumber yang sangat lazim digunakan oleh media karena cenderung dikaitkan dengan hubungan emosional narasumber dengan pihak yang bermasalah, dalam hal ini partai yang berkonflik. Menurut

Siregar (2014:233), media atau jurnalis bisa saja tidak independen jika dinyatakan secara terbuka sejak awal. Masalah independen dan netralitas itu adalah dua hal yang berbeda. Tetapi intinya, media harus berpihak kepada 18

kepentingan umum. Dalam hal kasus konflik Partai Golkar, kepentingan umum yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat umum, baik simpatisan

Partai Golkar maupun yang bukan pendukungnya. Mereka menginginkan konflik tersebut berakhir.

Dalam kasus berita konflik Partai Golkar ini berdasarkan tesis, ketiga media tersebut dalam berita-berita tertentu menempatkan diri netral, tetapi juga pada berita yang lain berpihak. Realitas ini ditentukan oleh konten dan narasumber berita yang diperoleh para wartawan. Narasumber tertentu ada yang cenderung sama sekali memihak kepada salah satu kubu, tetapi ada juga narasumber yang cukup moderat dan selalu menempatkan diri secara berimbang atau tidak memihak. Oleh sebab itu, tidak mengherankan Kompas pada salah satu beritanya cenderung memihak kepada Aburizal Bakrie, namun pada berita lain bisa memihak Agung Laksono. Hal ini disebabkan konten dan narasumber yang dipilih media dalam memproduksi teks berita.

Akan tetapi pada intinya memperlihatkan bahwa media cenderung berpihak.

Tiga media tersebut dalam memberitakan konflik Partai Golkar cenderung selalu berbeda dalam pemilihan topik atau tema pemberitaannya.

Hal ini disebabkan setiap media selalu berkompetisi tampil dengan isi berita yang berbeda antara satu sama lainnya. Meskipun wartawan ketiga media tersebut hadir dalam satu acara, misalnya dalam konferensi pers, saat semua informasi yang diberikan kepada media yang hadir sama, tetapi

Kompas misalnya selalu berusaha mencari informasi yang berbeda dengan yang dijelaskan narasumber. Salah satu trik yang dilakukan adalah ketika sesi tanya jawab dengan narasumber, Kompas tidak akan bertanya dengan semua pertanyaan yang hendak diajukan. Selalu ada pertanyaan kunci yang 19

akan diajukan ke narasumber ketika acara jumpa pers selesai. Wartawan tersebut akan berusaha mengajukan pertanyaan kunci tersebut kepada narasumber ketika akan menuju kantor atau kendaraannya, sehingga informasi yang diperolehnya berbeda dengan wartawan lain yang menghadiri acara tersebut. Oleh sebab itu, sulit menemukan ada konten dan substansi berita yang sama dari ketiga media yang dijadikan sampel.

Berita konflik Partai Golkar ini dianalisis dengan menggunakan teori

AWK van Djik, yakni dengan melihat struktur mikro yang berkaitan aspek semantik dengan variabel analisis terdiri atas elemen latar, detil, dan maksud. Pemilihan variabel ini dianggap dapat mewakili analisis teks wacana berita konflik Partai Golkar dari sisi piranti kebahasaan. Misalnya dalam pemberitaan yang mengungkapkan masalah latar yang menjadi elemen analisis semantik Kompas menurunkan berita yang mengungkapkan

‘’dukungan daerah terhadap Aburizal Bakrie untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum Partai Golkar’’ (K.27-11-2014).

Latar yang dikemukakan Kompas ini melegitimasi kuatnya dukungan dan berpihak pada ARB. Republika dalam pemberitaannya 4 Desember

2014 menurunkan berita ‘’Ical menjadi satu-satunya calon ketua umum setelah dua bakal calon lain, MS Hidayat dan Airlangga Hartarto menyatakan mundur’’. Berita ini juga menguntungkan ARB, sehingga dianggap berpihak kepada ARB. Koran Tempo pun menonjolkan dukungan terhadap ARB sebagaimana dilansir melalui beritanya tanggal 26 November 2014.’’

Aburizal mengklaim telah didukung oleh 463 dari 560 pemegang suara dalam mausyawarah nasional’’. Koran Tempo melalui berita ini pun menunjukkan keberpihakan kepada ARB. 20

Melalui teori Fairclough analisis wacana dibagi ke dalam dimensi teks, praktik wacana (discourse practise), dan praksis sosiokultural

(sociocultural pratice). Di sini dipilih analisis dari sisi praksis sosiokultural karena aspek praktik wacana tidak menggunakan data teks, tetapi lebih kepada bagaimana proses suatu teks diproduksi oleh media dan dikonsumsi oleh khalayak.

Sementara untuk teori William Gamson digunakan analisis perangkat framing yang terdiri atas: framing device (perangkat bingkai) mencakup metafora dan frasa dan reasoning device (perangkat penalaran) yang berkaitan dengan kausalitas (sebab akibat).

Penelitian terhadap teori van Dijk didasarkan pada pemikiran bahwa suatu wacana dapat dianalisis dari struktur mikro yang mencakup aspek semantik untuk melihat pemaknaan di dalam teks wacana berita dengan menggunakan tiga variabel yang dianalisis. Melalui analisis wacana dari segi semantik dapat diungkapkan latar suatu peristiwa di dalam wacana; detil, yakni kendali informasi yang ditampilkan seseorang baik yang menguntungkan maupun merugikan suatu pihak, dan; maksud, yakni elemen yang menguntungkan komunikator diuraikan secara eksplisit dan jelas dan sebaliknya aspek yang merugikan diuraikan tersamar.

Teori Norman Fairclough digunakan karena dapat mengungkapkan piranti kebahasaan dari aspek sosiokultural yang mencakup elemen situasional, yakni bagaimana situasi ketika teks diproduksi. Adapun aspek institusional berkaitan dengan bagaimana dalam praktik produksi teks wartawan dan media dipengaruhi oleh institusi secara internal atau eksternal. Sementara aspek sosial lebih dititikberatkan untuk melihat pada 21

aspek makro seperti sistem politik, ekonomi, dan budaya masyarakat secara keseluruhan.

Teori William Gamson digunakan untuk melihat bagaimana wartawan membuat berita sebagai bentuk kegiatan mengonstruksi realitas.

Kecenderungan wartawan mengonstruksi realitas ini dapat dilihat dari sisi perangkat bingkai (framing device) dan perangkat penalaran (reasoning device)..

Ketiga teori ini akan saling terkait, yakni bagaimana piranti kebahasaan diungkap melalui pemaknaan (semantik) pada teori van Dijk juga dapat digunakan untuk mengungkapkan aspek sosiokultural model

Fairclough. Pengungkapan pemaknaan dan pengungkapan hubungan sosiokultural teks juga dapat berkontribusi pada analisis framing yang digunakan wartawan dalam mengonstruksi realitas. Berdasarkan hubungan tersebut, ketiga teori ini saling melengkapi dalam penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, permasalahan yang hendak diungkapkan di dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana struktur mikro, khususnya elemen semantik dalam

mengungkapkan keberpihakan media terhadap berita konflik Partai

Golkar.

2. Bagaimana praksis sosiokultural dapat mengungkapkan

keberpihakan media terhadap berita konflik Partai Golkar.

3 Bagaimana perangkat framing dapat menjelaskan keberpihakan

media terhadap berita konflik Partai Golkar. 22

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah:

1. Untuk menjelaskan piranti kebahasaan, khususnya aspek semantik

dalam mengungkapkan keberpihakan media dalam produksi teks

terhadap berita konflik Partai Golkar.

2. Untuk mengungkapkan aspek praksis sosiokultural dalam

mengungkapkan keberpihakan media terhadap berita konflik Partai

Golkar.

3. Untuk mendeskripsikan bagaimana media membingkai peristiwa

(framing) dalam mengonstruksi realitas untuk mengungkapkan

keberpihakan media dalam pemberitan konflik Partai Golkar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan antara lain:

1. Teoretis:

Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Kepentingan teoretis terhadap kajian linguistik, khususnya

berkaitan dengan AWK wacana media massa.

b, Memberikan sumbangan dan bandingan terhadap teori-teori

linguistik, sosiolinguistik, wacana, dan pragmatik, khususnya

yang berkaitan dengan wacana konflik sebuah partai.

2. Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan: 23

a. dapat memberi manfaat dan koreksi terhadap penggunaan

bahasa melalui pemberitaan, khususnya yang direpresentasikan

oleh berita ketiga media cetak, terutama menyangkut berita

konflik suatu partai. b. Mengaplikasikan berbagai varian wacana, khususnya kajian

wacana kritis terhadap berita tentang konflik internal Partai

Golkar yang dimuat di harian Kompas, harian Republika, dan

Koran Tempo.

24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Analisis Wacana Kritis (AWK)

Analisis Wacana Kritis (AWK) merupakan satu pendekatan kontemporer dalam mengkaji bahasa dan wacana dalam berbagai institusi sosial. Para peneliti AWK terutama berutang budi kepada sejumlah intelektual, yakni Teun van Dijk, Norman Fairclough, Gunther Kress, van

Leeuwen, dan Wodak yang dalam simposium kecil di Universitas Amsterdam mencetuskan Critical Discourse Analysis (CDA) pada Januari 1991. Segera setelah munculnya CDA tersebut, nama-nama seperti Michael Fowler,

Antonio Gramsci, sekolah Frankfurt, dan Louis Althusser mengembangkan kajian AWK ini. Stuart Hall termasuk salah seorang yang berhasil menerjemahkan dengan baik teori Gramsci mengenai hegemoni di satu sisi dan teori Althusser tentang ideologi bersama koleganya di Center for

Contemporary Cultural Studies at Birmingham di Inggris.

Fairclough dan Wodak (1997, dalam Eriyanto, 2001) menyebutkan,

AWK melihat pemakaian bahasa, baik tuturan maupun tulisan yang merupakan bentuk praktik sosial. Wacana sebagai praktik sosial menimbulkan sebuah hubungan dialeksis di antara peristiwa deskriptif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.

Wacana dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara kelas sosial.

AWK dalam dua pengertian (Titscher, dkk.2000:144-145; Wodak

2006:9-12) dalam Subagio dan Kone (2017): 25

Pertama, AWK berdasarkan pada gagasan-gagasan kritis sekolah

Frankfurt, khususnya Hibermas. Dia mengatakan, AWK harus merefleksikan dan mengindahkan konteks historis dan interaksi yang dilibatinya.

Kedua, AWK merupakan kelanjutan dari tradisi linguistik kritis. Istilah linguistik kritis pertama kali muncul dalam kaitannya dengan kajian para pengikut Halliday (terutama Roger Fowler, Gunter Kress, dan Bob Hudge) tentang fungsi bahasa dalam masyarakat.

Hasil analisis wacana kritis pemberitaan mengenai konflik internal

Partai Golkar dapat mengungkapkan banyak kecenderungan kebahasaan dan kepentingan, baik kecenderungan dan kepentingan masyarakat dan kelompok, maupun kecenderungan dan kepentingan politik, dalam hal ini kekuasaan. Kecenderungan dan kepentingan ini dapat diketahui dengan menggunakan analisis wacana kritis (AWK), yakni bagaimana para pihak menggunakan dan memanfaatkan bahasa untuk menyampaikan kepentingan dan memenangkan wacana publiknya masing-masing.

Berdasarkan wacana (bahasa) kita dapat mengetahui bagaimana suatu masyarakat, kelompok, dan kekuasaan memiliki kepentingan dalam suatu konflik wacana, seperti yang terjadi dan melandai Partai Golkar.

Menurut A.S. Hikam dalam Eriyanto (2001:4), paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana.

Pertama, diwakili oleh kaum positivisme-empiris, yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman- pengalaman manusia dapat dianggap secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai kenyataan-kenyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki 26

hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri antara pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis atau semantik. Oleh sebab itu, tata bahasa kebenaran adalah bidang utama dari aliran ini.

Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat bahasa dan pengertian bersama. Wacana kemudian diukur dengan pertimbangan kebenaran/ ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik).

Kedua, disebut sebagai konstruktivisme yang dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Aliran konstruktivisme memandang bahwa bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektivitas belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai aktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan- hubungan sosialnya. Subjek menurut Hikam (Eriyanto, 2001:5) memiliki kemampuan mengontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.

Dalam paradigma ini bahasa dipahami diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang 27

mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan ini dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari pembicara.

Ketiga, disebut pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang dianggap kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Pandangan konstruktivisme menurut Hikam (Eriyanto, 2001:6) masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis.

Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh sebab itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar dan mengungkap kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, dan topik apa yang 28

dibicarakan. Karena menggunakan wacana kritis, maka kategori ini juga disebut sebagai analisis wacana kritis (Critical Discouse Analysis) untuk membedakannya dengan kategori kesatu dan kedua (Discourse Analysis).

Untuk menyempurnakan pandangan tersebut, Fairclough (1995) mengemukakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan kritis. Dia mengemukakan, wacana harus dipandang secara simultan, yaitu sebagai (1) teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) praksis kewacanaan, yaitu produksi teks dan interpretasi teks, (3) praksis sosiokultural, yaitu perubahan-perubahan masyarakat, institusi, budaya, yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana.

Ketiga dimensi wacana oleh Fairclough (1995:98) disebutnya sebagai

’’dimensi wacana’’, menganalisis wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana secara integral. Ketiga dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Studi mengenai analisis wacana kritis juga dilakukan oleh sekelompok pengajar di Universitas Eart Anglia yang menganut aliran linguistik Eropa

Kontinental, terdiri atas Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan

Tony Trew yang menandai munculnya buku Critical Linguistic yang memandang bahwa bahasa sebagai praktik sosial. Para linguis kritis percaya bahwa plihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala seperti ideologi, politik, sosial, dan kultural. Implikasikanya, masyarakat dapat dimanipulasi dalam aturan yang baik sesuai dengan apa yang dikehendaki dan dinilai peran dan statusnya ke dalam dikotomi atasan-bawahan, superior-inferior melalui strategi sosial yang melibatkan aspek kekuasaan, aturan, 29

subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan yang semuanya merupakan bagian integral dari sistem kontrol masyarakat. (Darma,

2009:84).

Dalam membentuk model analisisnya, Fowler dkk mendasarkan pada teori Halliday, yaitu mengenai struktur dan fungsi bahasa yang menjadi dasar struktur tata bahasa yang kemudian dikomunikasikan kepada khalayak.

Pandangan Halliday (1978, 1985) ini meliputi (1) bahasa sebagai semiotis sosial, (2) fungsi bahasa menyangkut tiga komponen fungsi semantis, yaitu ideasional, interpesonal, dan tekstual. Fowler dkk meletakkan tata bahasa dan praktik pemakaiannnya untuk mengetahui praktik ideologi.

Ahli lain yang membahas kajian analisis wacana ini adalah Theo van

Leuwen yang memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalkan posisinya di dalam suatu wacana. Analisis ahli ini secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor (bisa individu atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan.

Ada dua pusat perhatian yang menjadi fokus kajian Leeuwen, yakni;

Pertama, proses pengeluaran (ekslusi) apakah dalam suatu teks berita, adakah aktor atau kelompok yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi wacana apa yang dipakai untuk itu. Proses pengeluaran ini, secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak terhadap sesuatu itu dan melegitimasi posisi penalaran tertentu, contoh berita mengenai perkosaan.

Apakah laki-laki dan perempuan ditampilkan secara utuh ataukah ada pihak yang dikeluarkan dari teks. Kalau laki-laki dikeluarkan dari teks, maka pemahaman yang muncul adalah bukan laki-laki yang salah. Pemerkosaan 30

itu adalah masalah perempuan itu sendiri, perempuanlah yang menjadi penyebab sehingga diperkosa.

Kedua, proses memasukkan (inclusion), yakni yang berhubungan dengan pertanyaan bagaimana masing-masing pihak atau kelompok ditampilkan lewat pemberitaan. Baik proses ekslusi maupun inklusi menggunakan apa yang disebut sebagai strategi wacana. Dengan memakai kata, kalimat, informasi, atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok diinterpretasikan dalam teks. (Darma,

2009:85).

Salah seorang yang tidak dapat dilupakan dalam kajian wacana ini adalah William A. Gamson. Gagasannya terutama menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapat umum di sisi yang lain dengan menggunakan analisis bingkai (framing analysis). Dalam pandangan

Gamson, wacana media adalah elemen penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atau suatu isu atau peristiwa. Ia menyebutkan, pendapat umum tidak cukup hanya didasarkan pada data survei khalayak, tetapi data.tersebut perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan bagaimana media mengemas dan menyajikan suatu isu. Bagaimana media menyajikan suatu isu, menentukan bagaimana khalayak mehami dan mengerti suatu isu.

2. Pengertian Wacana dan AWK

Akhir-akhir ini wacana menjadi objek kajian yang menarik, karena di dalam wacana terdapat pandangan dan gagasan yang terkandung dari subjek dan objek pengguna bahasa. Banyak pakar memberikan pendapat 31

mengenai wacana, misalnya, Kridalaksana (1993:231) menyebutkan bahwa wacana (discourse) merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

Wacana menurut Collins Concise English Dictionary,1988 (Eriyanto,

2001:2); 1. Komunikasi verbal, ucapan, percakapan; 2. Sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; 3. sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.

Adapun di dalam Longman Dictionary of the English Language, 1984

(Eriyanto, 2001:2) disebutkan, wacana: 1. sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; 2. pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah, dan sebagainya sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan.

Badudu (2003) dalam ’’Wacana’’ Kompas (20 Maret 2000) mengemukakan bahwa wacana: 1. Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentu satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; 2. kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu memunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.

Fenomena wacana dipandang Crystal (1985: 96) sebagai unit linguistik yang lebih besar dari klausa atau kalimat sebagaimana terungkap dalam A Dictionary of Linguistic and Phoentic. Dia mengemukakan bahwa 32

wacana dengan rangkaian sinambung bahasa, khususnya bahasa lisan lebih luas dari kalimat. Wacana dianggap sebagai sebagai sekelompok ujaran dari suatu peristiwa wicara yang dapat dikenali seperti lelucon, pidato, dan khutbah dan wawancara. Sedangkan Stubbs (Darma, 2009:68) mengartikan wacana sebagai organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa, dengan kata lain unit-unit linguistik lebih besar dari klausa atau kalimat seperti pertukaran-pertukaran percakapan dan teks-teks tertulis. Sementara

Richard & Platt (1992: 96) (dalam Darma, 2009) mengemukakan bahwa wacana merupakan istilah umum untuk contoh penggunaan bahasa, yaitu bahasa yang diproduksi sebagai hasil tindak komunikasi.

Pandangan deskriptif mengenai wacana dikemukakan oleh Fairclough di dalam bukunya berjudul Media Discourse (1995) yang dikutip Darma

(2009:69) sebagai berikut: (1) wacana dalam pandangan deskriptif terhalang dalam dimensi penjelasan (eksplanasi) tentang bagaimana praksis-praksis diskursif. Praktik wacana seperti ini menurut Fairclough adalah seperti wawancara, pidato, dan dialog dibentuk secara sosial atau pengaruh sosialnya. (2) prinsip interprestasi terhadap wacana yang salah satunya menggunakan prinsip lokalitas sangat tidak memadai. Prinsip lokalitas merupakan tuntutan kepada pendengar, pembaca, dan analisis wacana untuk tidak menciptakan konteks yang lebih luas dan yang diperlukan agar dapat diperoleh penafsiran yang paling mendekati maksud yang asli diberikan oleh pemberi pesan.

Vaas (1992:9) dalam Titscher dkk. (2009:42-43) menjelaskan makna

’wacana’ sebagai berikut:

1. (secara umum): tuturan, percakapan, diskusi; 33

2. penyajian diskursif sederet pemikiran dengan menggunakan

serangkaian pernyataan;

3. serangkaian pernyataan atau ujaran, sederet pernyataan;

4. bentuk sebuah rangkaian pernyataan/ungkapan; yang dapat

berupa (arkeologi), wacana ilmiah, puitis, religius;

5. perilaku yang diatur kaidah yang menggiring ke arah latarnya

serangkaian atau sistem pernyataan-pernyataan yang saling

terkait (berbagai bentuk pengetahuan) (kedokteran, psikologi, dan

sebagainya) (misalnya, dalam karya Michel Angelo)

6. bahasa sebagai sesuatu yang dipraktikkan; bahasa tutur (misalnya

dalam karya Paul Ricoeur);

7. bahasa sebagai suatu totalitas; seluruh bidang linguistik;

8. mendiskusikan dan mempertanyakan kriteria validitas dengan

tujuan menghasilkan konsensus di antara peserta wacana

(misalnya, dalam karya Jurgen Habermas).

3. Pendekatan AWK

Penelitian ini menggunakan tiga teori, yakni model Teun van Dijk,

Norman Fairclough, dan William Gamson. Model van Dijk digunakan untuk menjelaskan piranti kebahasaan berdasarkan variabel-variabel struktur mikro untuk mengungkapkan keberpihakan media dalam pemberitan konflik Partai

Golkar. Teori Fairclough digunakan untuk mengungkapkan aspek kebahasaan praksis sosiokultural dalam mengungkapkan keberpihakan media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Sedangkan teori Gamson 34

digunakan untuk menjelaskan keberpihakan media dalam berita konflik

Partai Golkar dari aspek perangkat framing.

3.1 Model van Dijk

Model van Dijk boleh jadi merupakan model yang paling banyak digunakan karena dia mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis. Model yang dipakai van Dijk disebut sebagai ‘’kognisi sosial’’. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang juga harus diamati.

Model analisis van Dijk berkaitan dengan ketiga dimensi wacana ini selain menyangkut kognisi sosial, juga berkaitan dengan masalah teks dan konteks. Dalam dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan tema tertentu. Sementara yang berkaitan dengan konteks mencakup bagaimana konteks sosial, struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat memengaruhi produksi teks.

Model van Dijk dalam penelitian ini memilih dimensi teks yang menurut dia terdiri atas beberapa struktur/tingkat yang masing-masing saling mendukung.

Ia membagi ketiga struktur itu mencakup, struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Ketiga struktur teks tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

35

Tabel 2 Struktur Teks Model van Dijk Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topic/tema yang diangkat oleh suatu teks. Superstruktur Kerangka suatu teks seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks. Tabel: Eriyanto 2001:227

Menurut van Dijk, pemakaian kata, kalimat, preposisi, retorika tertentu oleh media merupakan bagian dari strategi wartawan. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata sebagai cara erkomunikasi, melainkan dipandang sebagai politik berkomunikasi – suatu cara untuk memengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan memperkuat legitimas, dan menyingkirkan lawan atau penentang. Elemen van Dijk dapat diuraikan sebagai berikut.

Tabel 3

Elemen Teori van Dijk Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen

Struktur Makro TEMATIK Tema/Topik yang dikedepankan dalam suatu Topik berita Superstruktur SKEMATIK Bagaimana bagian dan urutan berita Skema diskemakan dalam teks berita utuh Struktur Mikro SEMANTIK Latar, Detil, Makna yang ingin ditekankan dalam teks Maksud, Pra- berita. Misalnya dengan memberi detil pada anggapan, satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan Nominalisasi mengurangi detil sisi lain. Struktur Mikro SINTAKSIS Bentuk kalimat, Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang Koherensi, kata dipilih Ganti Struktur Mikro STILISTIK Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam Leksikon teks berita Struktur Mikro RETORIS Grafis, Metafora, Bagaimana dan dengan cara penekanan Ekspresi. dilakukan Tabel: Eriyanto,2011 hlm 228-229

36

Penulis memilih Teori van Dijk dalam penelitian ini pada struktur wacana struktur mikro dengan hal yang diamati semantik yang mencakup tiga variabel, yakni latar, detil, dan maksud sebagaimana pada tabel berikut ini.

Tabel 4 Piranti kebahasaan yang diteliti Struktur Wacana Aspek yang Diamati Elemen/variabel Struktur Mikro Semantik Latar, detail, maksud, Makna yang hendak disampaikan dalam teks berita

Ketiga elemen ini dipilih karena dianggap dapat merepresentasikan analisis piranti kebahasaan dalam mengungkapkan keberpihakan media dalam berita konflik Partai Golkar. Hasil analisis tersebut dapat berkorelasi dengan hasil analisis menurut teori praksis sosiokultural Fairclough dan analisis model perangkat framing teori Gamson yang mengindikasikan kecenderungan keperpihakan media dalam pemberitaan konflik Partai

Golkar.

3.2 Model Fairclough

Norman Fairclough membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga dia mengombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Jadi, Fairclough menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro.

Fairclough membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi, yakni teks, discourse practice (praktik wacana), dan socialcultural practice (praksis sosiokultural). Dalam pandangan Fairclough, teks dianalisis secara linguistic 37

dengan melihat kosakata, semantic dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata dan kalimat tersebut digabung, sehingga membentuk pengertian. Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah berikut.

Model teori Fairclough ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5 Model Teori Fairclough Teks Discourse Practise Sociocultural Practise Tata Produksi Konsumsi Kosakata Semantik Kalimat Teks Teks Situasional Institusional Sosial

Dari tiga dimensi teori Fairclough tersebut yang hendak diungkap adalah:

Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideology tertentu. Kedua, relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, seperti apakah teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dan identitas wartawan dan pembaca serta bagaimana personal dan identitas tersebut hendak ditampilkan.

Di antara ketiga dimensi teori Fairclough ini, penulis memilih dimensi praksis sosiokultural. Analisis terhadap dimensi ini didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Ruang redaksi dan wartawan bukanlah bidang atau kotak kosong yang steril, melainkan sangat ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Praksis sosiokultural ini memang tidak berhubungan 38

langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami oleh wartawan.

Bagaimana dimensi praksis sosiokultural ini menentukan teks, menurut Fairclough, hubungan ini bukan langsung, melainkan dimediasi oleh praktik wacana. Jika ideologi dan kepercayaan masyarakat itu paternalistic, maka hubungannya dengan teks akan dimediasi oleh bagaimana teks tersebut diproduksi dalam suatu proses dan praktik pembentukan wacana.

Pada dimensi praksis sosiokultural ini, Fairclough membuat tiga level analisis, yakni level situasional, institusional, dan level sosial. Level situasional adalah konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi di antaranya memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut diproduksi. Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas, unik, sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain. Jika wacana dipahami sebagai suatu tindakan, maka tindakan itu sesungguhnya upaya untuk merespons situasi dan konteks sosial tertentu.

Dimensi praksis sosiokultural ini dapat digambarkan melalui tabel berikut:

Tabel 6 Dimensi Praksis Sosiokultural Dimensi Variabel Hal yang diamati

Situasional Konteks situasional ketika teks diproduksi Institusional Bagaimana pengaruh institusi dan organisasi Praksis Sosiokultural dalam produksi wacana Sosial Bagaimana aspek social budaya ikut memengaruhi produksi teks wacana

3.3 Perangkat Framing Gamson

Analisis perangkat framing merupakan paradigma alternatif yang lebih kritis untuk melihat realitas lain di balik wacana media massa. Sejumlah ahli memperkenalkan analisis framing ini antara lain, Irvin Goffman, Murray 39

Edelman, Robert M.Entman, William A.Gamson, dan Andre Modigliani atau

Elizabeth C.Hanson. Dalam penelitian ini digunakan teori William A.Gamson.

Menurut Deddy Mulyana dalam Eriyanto (2011), analisis framing cocok digunakan untuk melihat konteks sosial budaya suatu wacana, khususnya hubungan antara berita dengan ideologi, yaitu proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, memproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi.

Gagasan Gamson terutama menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapat umum di sisi yang lain. Dalam pandangannya wacana media adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa. Dalam formulasi

Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gagasan ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana.(Eriyanto, 2011:261). Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) yang menjadi wadah konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Kemasan tersebut merupakan skema atau struktur pemahaman yang dipakai oleh seseorang ketika mengonstruksi pesan-pesan yang disampaikan dan menafsirkan pesan yang diterima.

Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa ke mana berita tersebut. Menurut Gamson dan Modigliani frame adalah cara bercerita atau gugusan ide yang teorganisasi sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan 40

objek dan wacana. Kemasan disebutnya sebagai rangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan.

Jika diberi kerangka, maka teori Gamson dapat dilihat sesuai tabel berikut ini:

Tabel 7 Perangkat Framing Teori Gamson

Framing Devices Reasoning Devices (Perangkat Framing) (Perangkat Penalaran) Methapors Roots Perumpamaan atau pengandaian Analisis kausal atau sebab akibat Catchpharases Appeals to principle Frase yang menarik, kontras, menonjol dalam Premis dasar, klaim-klaim moral. suatu wacana. Ini umumnya berupa jargon atau slogan. Exemplaar Consequences Mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian (bisa Efek atau konsekuensi yang didapat dari teori, perbandingan) yang memperjelas bingkai. bingkai. Depiction Penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Depiction ini umumnya berupa kosakata, leksikon untuk melabeli sesuatu Visual Images Gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun ataupun grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan Sumber Eriyanto, Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media,(: LKiS Group, 2011), Hlm. 262

Dari tabel elemen teori Gamson tersebut dipilih dua elemen untuk unsur perangkat pembingkaian dan satu elemen untuk perangkat penalaran.

Perangkat pembingkaian mencakup: metafora yakni perumpamaan atau pengandaian, frasa yang menarik dan menonjol dalam suatu wacana.

Sementara untuk perangkat penalaran mencakup analisis roots yakni analisis kausal atau sebab akibat. Pemilihan tiga elemen analisis ini dipandang cukup untuk merepresentasikan analisis perangkat framing dikaitkan dengan analisis struktor mikro teori van Dijk dan analisis praksis sosiokultural Fairclough.

Elemen analisis metafora teori Gamson bahwa dalam suatu berita seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok melalui suatu teks, tetapi juga kiasan, ungkapan dan metafora yang dimaksudkan sebagai 41

ornamen atau bumbu agar tidak membosankan. Akan tetapi pemakaian metafora tertentu boleh jadi merupakan petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora dapat menjadi landasan berpikir , alasan pembenar, bahkan bahan yang ditekankan kepada khalayak. Wartawan sering menggunakan ungkapan tertentu misalnya ‘’sandiwara baru Setya

Novanto’’ yang merujuk kepada perilaku yang bersangkutan terus berkelit dan mengelak dalam penuntutan kasus dugaan korupsi KTP-elektronik.

Rentetan perilaku yang bersangkutan selama proses hukumnya hingga sampai ke kursi terdakwa oleh wartawan dibingkai dengan pilihan ungkapan seperti yang termaktub dalam diksi ‘’sandiwara baru Setya Novanto’’. Di dalam benak khalayak yang tergambar adalah rentetan peristiwa yang dilakukan Novanto hingga duduk di kursi pesakitan tanpa wartawan perlu menjelaskan secara detil.

Dalam elemen frasa wartawan berusaha menggunakan diksi yang tidak umum untuk membingkai suatu realitas dalam membentuk suatu teks wacana. Dalam suatu rezim yang otoriter seperti pada era Orde Baru, wartawan meminjam istilah atau jargon yang banyak digunakan oleh rezim tersebut. Misalnya, kita mengenal istilah; pembangunan, tinggal landas, anti-

Pancasila, subversif, inkonstitusional (yang juga masih digunakan hingga kini untuk merujuk kepada pihak yang melanggar undang-undang) dan sebagainya,

Dalam elemen analisis sebab akibat (kausalitas) Gamson mengemukakan bahwa gagasan yang dikemukakan tampak beralasan, tidak mengada-ada, benar, alamiah, dan memang demikian adanya. (Eriyanto,

2011). Realitas ini dilakukan dalam teks berita dengan mengaitkan sebab- 42

akibat fakta satu sebagai dasar fakta lain, dan sebagainya. Elemen yang digunakan dalam perangkat pembingkai ini memberikan citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu. Contoh teks wacana berita seperti ini adalah ‘’Rakyat berhak mengetahui kualitas calon presiden, agar rakyat tidak membeli kucing dalam karung. Calon presiden harus berani menampilkan program di depan rakyat dan berani pula dikritik, supaya elite politik tidak mendapat cek kosong’’

Aspek perangkat framing yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan melalui tabel berikut ini.

Tabel 8 Perangkat Framing Penelitian Framing Devices Reasoning Devices (Perangkat Framing) (Perangkat Penalaran) Methapors Roots Perumpamaan atau pengandaian Analisis kausal atau sebab akibat Catchpharases . Frasa yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana. Ini umumnya berupa jargon atau slogan.

4. Analisis Bahasa Kritis (Linguistik Kritis)

Pendekatan Analisis Bahasa Kritis dibangun oleh sekelompok pengajar di Universitas East Anglia pada tahun 1970-an. Pendekatan wacana yang dipakai banyak dipengaruhi oleh teori sistemik tentang bahasa yang diperkenalkan oleh Halliday. Hampir mirip dengan Analisis Wacana

Perancis, Analisis Bahasa Kritis ini memusatkan analisis wacana pada bahasa dan menghubungkannya dengan ideologi. Bedanya, kalau Pecheux dengan Teori Perancisnya itu, aspek kebahasaan ini didekati dengan teori 43

yang abstrak, mengenai formasi diskursif, Analisis Bahasa Kritis justru lebih konkret dengan melihat gramatika.

Menurut Eriyanto (2001:15), inti dari gagasan Analisis Bahasa Kritis adalah melihat bagaimana gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai, Bahasa, baik pilihan kata maupun struktur gramatika, dipahami sebagai sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna ideologi tertentu.

Ideologi dalam taraf yang umum menunjukkan bagaimana satu kelompok berusaha menenangkan dukungan politik, dan bagaimana kelompok lain berusaha dimarjinalkan melalui pemakaian bahasa dan struktur gramatika tertentu.Thompson (2015:16) menyebutkan, konsep ideologi dapat digunakan untuk merujuk cara-cara bagaimana makna digunakan dalam hal tertentu, untuk membangun dan mempertahankan relasi kekuasaan yang secara sistematis bersifat asimetris, -- yang kemudian disebut ’’relasi dominasi’’. Ideologi secara luas dinyatakan, adalah makna yang digunakan untuk kekuasaan.

Oleh karena itu, studi ideologi mensyaratkan untuk menginvestigasi cara-cara bagaimana makna dikonstruk dan disampaikan melalui bentuk- bentuk simbol dalam jenisnya yang bervariasi; dari ungkapan bahasa sehari- hari hingga citra teks yang kompleks. . Ia mensyaratkan kita untuk menginvestigasi konteks sosial tempat diterapkan dan disebarkannya bentuk-bentuk simbol dan itu mempertanyakan kita, apakah -- demikian juga bagaimana – makna yang dimobilisasi bentuk-bentuk simbol yang digunakan 44

dalam konteks tertentu, untuk membangun dan mempertahankan relasi dominasi.

5. Analisis Wacana Pendekatan Prancis.

Dalam pandangan Pacheux, bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa dan materialisasi bahasa pada ideologi. Keduanya

(Eriyanto, 2001:16), kata yang digunakan dan makna dari kata-kata menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan, yang dengan melalui itu berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya. Pacheux memusatkan perhatian pada efek ideologi dan formasi diskursus yang memosisikan seseorang sebagai subjek dalam situasi tertentu.

Menurut Althusser, bagaimana seseorang ditempatkan secara imajiner dalam posisi tertentu, wacana menyediakan efek ideologis, berupa pemosisian ideologi seseorang. Lebih dalam, formasi diskursif seseorang ditempatkan dalam keseluruhan praktik dominasi dalam masyarakat.

Pendekatan Marxist struktiral Althusser (Jorgensen & Phillips, 2010:28) secara erat mengaitkan subjek dengan ideologi; individu menjadi subjek ideologis melalui proses interpelasi. Dalam proses itulah wacana menjadikan individu sebagai subjek. Althusser mendefinisikan ideologi sebagai sistem representasi yang menyamarkan hubungan-hubungan kita yang sesungguhnya satu sama lain dalam masyarakat dengan cara mengonstruk hubungan-hubungan imajiner antara orang-orang dan antara mereka sendiri dalam formasi sosial. Interpelasi menggambarkan proses bahasa yang dialami dalam mengonstruksi suatu posisi sosial individu atau seseorang dan 45

dengan demikian membuatnya menjadi subjek ideologis. (Jorgensen &

Phillips, 2010:29).

6. Pendekatan Kognisi Sosial

Teun van Dijk dari Universitas Amsterdam, Belanda, mengembangkan teori kognisi sosial ini. Van Dijk dan koleganya dalam kurun waktu yang lama sejak 1980-an meneliti berita-berita surat kabar Eropa, terutama untuk melihat bagaimana kelompok minoritas ditampilkan. Titik perhatian van Dijk adalah pada masalah etnis, rasialis, dan pengungsi. Pendekatan ini disebut koginisi sosial, karena van Dijk melihat faktor kognisi sebagai elemen penting dalam produksi wacana. Wacana dilihat bukan hanya dari unsur wacana, melainkan menyertakan bagaimana wacana itu diproduksi. Proses produksi wacana ini menyertakan suatu proses yang disebut kognisi sosial. Dari analisis teks dapat diketahui bahwa wacana cenderung memarginalkan kelompok minoritas dalam pembicaraan publik. Akan tetapi menurut van Dijk, wacana seperti ini hanya tumbuh dalam suasana kognisi pembuat teks yang memang berpandangan cenderung memarginalkan kelompok minoritas.

(Eriyanto, 2001:17).

7. Pendekatan Perubahan Sosial

Analisis wacana ini terutama memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial. Fairclough banyak dipengaruhi oleh Foucault dan pemikiran intertekstualitas Julia Kristeva dan Bakhtin. Wacana dalam konteks Faiclough dipandang sebagai praktik sosial, sehingga ada hubungan dialektis antara praktik diskursif tersebut dengan identitas dan relasi sosial. 46

Wacana juga melekat dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu.

(Eriyanto, 2001:17).

Jika dijelaskan kerangka analisis wacana Fairclough meliputi:

1. Proses produksi teks, mencakup deskripsi (analisis teks) dan

interprestasi. Proses interpretasi berkaitan dengan analisis proses.

2. Praktik wacana mencakup eksplanasi (analisis sosial) dan

sosiokultural (situasi, institusi, kelas sosial). (Badara, 2012:66).

Teun van Dijk menjadi tokoh utama pengajar di Universitas

Amsterdam, Belanda, pada tahun 1980-an mengembangkan pendekatan koginisi sosial ini. Dijk meneliti berita-berita di surat kabar Eropa terutama untuk melihat bagaimana kelompok minoritas ditampilkan. Titik perhatian van

Dijk adalah pada masalah etnis, rasialisme, dan pengungsi. Pendekatan yang dia lakukan disebut koginisi sosial, karena van Dijk melihat faktor kognisi sebagai elemen penting dalam produksi wacana. Wacana dilihat bukan hanya dari struktur wacana, melainkan juga menyertakan bagaimana wacana itu diproduksi. Proses produksi wacana itu, menurut van Dijk, menyertakan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. (Eriyanto,

2011:16)

Teun van Dijk memberi contoh, dari analisis seks misalnya dapat diketahui bahwa wacana cenderung memarginalkan kelompok minoritas dalam pembicaraan publik. Akan tetapi, menurut van Dijk, wacana semacam ini hanya tumbuh dalam suasana kognisi pembuat teks yang memang berpandangan cenderung memarginalkan kelompok minoritas. Oleh sebab itu, dengan melakukan penelitian yang komprehensif mengenai kognisi social 47

ini akan dapat dilihat sejauh mana keterkaitan tersebut, sehingga wacana dapat dilihat secara utuh. (Eriyanto, 2011:17).

8. Pendekatan Wacana Sejarah

Pendekatan wacana sejarah dikembangkan oleh sekelompok pengajar di Vienna di bawah Ruth Wodak. Dia dan koleganya, terutama dipengaruhi oleh pemikiran dari sekolah Frankfurt, khususnya Jurgen

Hubermas. Penelitiannya terutama ditujukan untuk menunjukkan bagaimana wacana seksisme, antisemit, rasialisme dalam media dan masyarakat kontemporer. Disebut historis, karena menurut Wodak dkk . analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan. Penggambaran buruk atau rasis suatu kelompok, menurut Wodak (Eriyanto, 2001:18) terbangun lewat proses sejarah yang panjang. Prasangka, bias, misrepresentasi, dan sebagainya harus dibongkar dengan melakukan tinjauan sejarah, karena prasangka itu adalah peninggalan atau warisan lama yang panjang.

9. Analisis Teks Berita

Masalah utama yang dibahas dalam bagian ini adalah bagaimana penelitian harus dijalankan dan bagaimana teks berita seharusnya dianalisis.

Dalam studi penelitian isi media, menurut Eriyanto (2001:47) paling tidak ada dua paradigma besar. Pertama, paradigma positivistik atau juga dikenal sebagai empiris/pluralis. Kedua, paradigma kritis. Paradigma positivistik melihat proses komunikasi mengarah pada terciptanya konsensus dan kesamaan arti. Oleh sebab itu, media dilihat sebagai saluran yang bebas, tempat beragam pandangan bertemu dan bersatu. Paradigma ini percaya 48

bahwa masa depan dapat diprediksikan dan dikontrol. Titik perhatian paradigima ini terutama bahwa proses komunikasi melalui proses yang linier, dari sumber ke penerima melalui media.

Sebaliknya, paradigma kritis justru berlawanan dengan pandangan paradigma positivistik. Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Oleh karena itu, pertanyaan pertama dari paradigma kritis adalah siapakah

(orang/kelompok) yang menguasai media? Apa keuntungan yang didapat oleh seseorang /kelompok tersebut dengan mengontrol media? Pihak mana yang tidak dominan, sehingga tidak memunyai akses dan kontrol terhadap media, bahkan banyak menjadi objek pengontrolan.

Aliran kritis melihat bahwa struktur sosial sebagai konteks yang sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi, termasuk komunikasi massa. Karena menurut pandangan dari paradigma ini, komunikasi tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan yang ada yang memengaruhi berlangsungnya komunikasi.

Dari sudut cara analisis, kedua paradigma ini memiliki perbedaan yang mendasar. Paradigma empiris/positivistik menggunakan analisis isi yang kuantitatif dengan kategori yang ketat dan analisis statistik. Data-data yang diperoleh juga melalui pengujian hipotesis tertentu. Sedangkan paradigma kritis umumnya menggunakan analisis isi yang kualitatif dan menggunakan penafsiran sebagai basis utama memaknai temuan.

Karakteristik penelitian teks yang berdasarkan kedua paradigma ini dapat dijelaskan melalui tabel berikut ini: 49

Tabel 9 KARAKTERISTIK PENELITIAN TEKS PARADIGMA POSITIVISTIK PARADIGMA KRITIS TUJUAN PENELITIAN Eksplanasi, prediksi, dan kontrol Kritik sosial, transformasi, emansipasi, dan penguatan sosial REALITAS Objective realism Historical realism Ada realitas yang ’’real’’ yang diatur oleh Realitas yang teramati merupakan kaidah-kaidah tertentu yang berlaku nrealitas semua yang telah terbentuk universal walaupun kebenaran oleh proses sejarah dan kekuatan- pengetahuan tentang itu mungkin hanya kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi, bisa diperoleh secara probabilistik politik. POSISI PENELITI Berperan sebagai disinterested scientist Menempatkan diri sebagai aktivis, dan netral advokat, dan transformative intellectual

CARA PENELITIAN Objektif Subjektif Analisis teks tidak boleh menyertakan Titik perhatian analisis pada penafsiran penafsiran individu subjektif peneliti atas teks Intervensionis Partisipatif Pengujian hipotesis dalam struktur Mengutamakan analisis komprehensif hipothetico-deductive method dengan kontekstual dan multi level analisis yang analisis kuantitatif dan tes statistik bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial Kriteria kualitas penelitian Kriteria kualitas penelitian Objektif, reliabel, dan valid Historical Situadness: sejauh mana penelitian memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari teks berita. Sumber: Adaptasi dari Dedy N.Hidayat “Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi” dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol III/April 1999.

9.1 Tujuan Penelitian

Penelitian kritis bertujuan untuk mengkritik dan transformasi hubungan sosial yang timpang. Intinya, penelitian kritis bertujuan menghilangkan keyakinan dan gagasan palsu tentang masyarakat dan mengkritik kekuasaan yang tidak seimbang serta struktur yang mendominasi dan meninfas orang.

Dalam melakukan analisis teks berita, penelitian dari tipe kritis pertama kali melihat realitas dan hubungan sosial berlangsung dalam situasi yang timpang. Media bukanlah saluran yang bebas, tempat semua kekuatan sosial saling berinteraksi dan berhubungan. Sebaliknya, media hanya dimiliki oleh kelompok yang dominan, sehingga mereka lebih memunyai kesempatan dan 50

akses untuk memengaruhi dan memaknai peristiwa peristiwa berdasarkan pandangan mereka. Media bahkan menjadi sarana di mana kelompok dominan bukan hanya memantapkan posisi mereka, melainkan juga memarginalkan dan meminggirkan posisi kelompok yang tidak dominan.

Menurut Eriyanto (2001:53), penelitian kritis ini umumnya sudah diawali dengan “prasangka” terhadap realitas yang diteliti. Pemberitaan yang berhubungan dengan buruh, wanita, imigran, masyarakat lokal, dan kelompok bawah lain bukanlah pemberitaan yang netral, melainkan lebih menguntungkan kelompok yang dominan, dalam hal ini adalah majikan atau kelompok dominan. Mereka bukan hanya menjadi objek pemberitaan yang buruk, melainkan juga terus menerus dipinggirkan dalam pemberitaan.

Ketidakadilan, relasi sosial yang timpang dalam pemberitaan itulah yang menjadi titik tolak penelitian teks dan tipe kritis ini.

9.2 Realitas yang akan diteliti

Jika pada pandangan positivistik diandaikan ada realitas yang riil yang berlaku universal dan diatur dengan kaidah-kaidah tertentu. Sebaliknya, dalam pandangan kritis tidak ada realitas yang benar-benar riil, karena realitas yang muncul sebenarnya adalah realitas semu yang terbentuk bukan melalui proses alami, melainkan oleh proses sejarah dan kekuatan sosial politik, dan ekonomi. Pandangan kritis ini agak mirip dengan pandangan kontruktivisme yang melihat realitas sebagai hasil kontruksi manusia atas realitas. Namun pandangan kritis menolak pandangan kontruktivisme yang seolah melihat manusia sebagai determinan utama yang bisa menafsirkan dan mengonstruksikan realitas. Sebab, konstruksi itu dibatasi oleh struktur 51

sosial tertentu, bahkan yang sering terjadi, manusia tinggal menerima begitu saja hasil konstruksi dari strukrur sosial yang sudah timpang tersebut.

Contohnya hubungan laki-laki dan perempuan dilihat pandangan positivisme sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang demikian adanya. Tetapi kontruktivisme melihat bagaimana setiap orang pada dasarnya mempunyai pemikiran dan bisa mengonstruksi hubungan tersebut yang tentu saja melibatkan emosi dan pengalaman hidup personal. Pandangan kritis menolak pandangan seperti ini dan yakin bahwa meskipun individu mempunyai kebebasan untuk melakukan konstruksi, tetapi ia juga dibatasi oleh struktur sosial di mana dia diposisikan dan akan menafsirkan realitas tersebut berdasarkan posisi dia berada.

Berbeda dengan pandangan positivistik, paradigma kritis memahami realitas bukan dibentuk oleh alam (nature), bukan alam, melainkan dibentuk oleh manusia. Mark Horkheimer, salah seorang tokoh penting dari Sekolah

Frankfurt, mengkritik sifat positivistik yang memisahkan teori dengan praksis.

Teori kritis tidak pernah membiarkan fakta objektif berada di luar dirinya secara lahiriah, seperti dilakukan oleh positivistik. Teori kritis justru menganggap bahwa realitas objektif itu adalah produk yang ada dalam kontrol subjek. (Eriyanto, 2001:54).

Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengonstruksikan realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa, bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, melainkan juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat 52

besar untuk memengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan oleh realitas yang dikonstruksikannya.

Setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apa pun, menurut Sobur (2001:88), pada hakikatnya adalah usaha mengonstruksikan realitas. Seseorang mahasiswa yang baru pulang dari berdemo di gedung DPR/MPR, kemudian menceritakan keadaan dirinya atau pengalamannya, pada dasarnya ia mengonstruksikan realitas tersebut.

Begitu pun halnya dengan wartawan, adalah mengisahkan hasil laporan kesaksiannya atas realitas yang dialami (diliput)-nya kepada khalayak melalui media. Dengan demikian wartawan selalu terlibat dalam usaha-usaha mengonstruksikan realitas, yakni mengumpulkan fakta yang dikumpulkan ke dalam suatu bentuk laporan jurnalistik berupa berita (news), karangan khas (features), atau gabungan keduanya (new features). Karena menceritakan pelbagai kejadian dan peristiwa itu, maka tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan. Laporan jurnalistik di media, pada dasarnya tidak lebih dari hasil penyusunan realitas-realitas dalam bentuk sebuah cerita.

9.3 Fokus Penelitian

Pada pendekatan positivistik, diandaikan ada realitas yang bersifat objektif, sesuatu yang ada di luar diri peneliti. Oleh sebab itu, peneliti harus membuat jarak sejauh mungkin dengan objek yang ditelitinya. Sebaliknya, dalam pandangan kritis hubungan antara peneliti dengan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Karena titik penelitiannya adalah pada realitas yang dianggap ada dan netral, maka dalam tradisi penelitian 53

positivistik, analisis diarahkan untuk menemukan ada atau tidaknya bias dengan meneliti sumber berita, pihak-pihak yang diwawancarai, bobot dari penulisannya, dan kecenderungan pemberitaan. Kalau ada kekeliruan atau bias, penjelasan umumnya juga ditekankan dengan mencari sumber-sumber ksalahan yang mungkin ada, waktu yang terbatas bagi wartawan, keterbatasan ruang atau kekeliruan wartawan, dan sebagainya.

Hal inilah yang berbeda dengan pendekatan kritis. Penempatan sumber berita yang menonjol dibandingkan sumber lain, menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain, liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain, tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan.

Padahal dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 1 disebutkan bahwa ’’Wartawan

Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang aktual, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran berimbang sebagaimana termuat pada butir (c) penafsiran pasal ini menyebutkan bahwa “berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara”. Bunyi dan penafsiran pasal 1 Kode Etik Jurnalistik ini diperkuat oleh pasal 3 yang berunyi

“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”. (Priyambodo, 2010:138-140).

Mengapa pandangan kritis menganggap bahwa pelanggaran terhadap keberimbangan berita tersebut sebagai suatu praktik pekerjaan wartawan, tampaknya konsep ideologi dapat menjelaskan duduk persoalannya. Artinya, ideologi wartawan dan media bersangkutan yang secara strategis 54

menghasilkan laporan semacam (tidak berimbang) itu. Ideologi wartawanlah yang membuat laporan yang memihak satu pandangan, dan menempatkan pandangan satu lainnya lebih penting dibandingkan pandangan kelompok lain. Hal seperti ini oleh pendekatan positivistik dianggap sebagai tidak benar, sementara dalam pandangan kritis dipandang sebagai praksis jurnalistik, wujud dari pencerminan ideologi. Oleh sebab itu untuk meneliti praksis jurnalistik seperti ini bukan diteliti pada sumber biasnya, melainkan pada aspek ideologi di balik media yang melahirkan berita semacam itu.

Karena media juga dianggap sebagai instrumen ideologi yang dimanfaatkan untuk menyebarkan pengaruh dan dominasinya kepada kelompok lain.

9.4 Posisi Peneliti

Salah satu pandangan analisis kritis adalah menyatakan bahwa peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai ketika memandang subjek penelitian. Analisis kritis menolah pandangan positivistik yang memandang peneliti sebagai subjek yang netral dan bebas nilai. Analisis yang sifatnya kritis, umumnya beranjak dari pandangan atau nilai tertentu yang diyakini oleh peneliti seperti dikemukakan Lawrence Newman dalam Eriyanto

(2001:59).

Oleh sebab itu, keberpihakan peneliti dan posisi peneliti atas suatu masalah sangat menentukan bagaimana data/teks ditafsirkan. Misalnya analisis pemberitaan atas kekerasan terhadap wanita. Ideologi peneliti

(feminis misalnya) akan sangat memengaruhi bagaimana teks itu harus dimaknai dan ditafsirkan. Bagi penganut aliran feminis jelas akan berpandangan bahwa posisi laki-laki dan perempuan itu seharusnya sejajar. 55

Namun dalam kenyataannya di masyarakat, posisi wanita selalu dimarginalkan. Ini jelas akan ditentang oleh pandangan positivistik yang menginginkan peneliti tidak boleh memihak, karena keberpihakannya itu akan membuat hasil penelitiannya tidak objektif.

Analisis kritis bahkan memandang peneliti itu seperti layaknya seorang aktivis yang memunyai komitmen terhadap nilai-nilai tertentu yang diperjuangkan. Tidak memandang seperti paradigma positivistik yang menempatkan peneliti sebagai objek yang netral, otonom, dan tidak mempunyai potensi apa pun kecuali menyampaikan temuan. Dalam pandangan positivistik, penelitian pertama-tama haruslah menjawab bagaimana pemberitaan media atas kasus kekerasan terhadap wanita.

Dalam pandangan kritis justru bukan deskriptif dan eksplanatif, melainkan kritik sosial. Peneliti menunjukkan dan mengkritik bagaimana media selama ini ikut melestarikan bias gender dengan menggambarkan wanita secara buruk, misalnya. Pada kenyataannya posisi wanita selalu dilemahkan atau dimarginalkan yang ditandai beberapa aspek kebahasaan (linguistik) di dalam pemberitaan.

9.5 Cara penelitian

Analisis pada paradigma kritis mendasarkan diri pada penafsiran peneliti pada teks. Hal ini sangat berbeda dengan ketika kita menggunakan analisis isi kuantitatif (positivistik) yang menghindari penafsiran. Paradigma kritis lebih ke penafsiran karena dengan penafsiran kita dapatkan dunia dari dalam, masuk menyelami dalam teks, dan menyingkap makna yang ada di 56

baliknya. Paradigma positivistik justru bergerak pada apa yang terlihat dalam teks, sehingga makna dalam atau di balik teks tersebut tidak dapat diungkap.

Dalam pemberitaan mengenai pemerkosaan misalnya, dalam teks ada foto pelaku perkosaan yang dipotret dari belakang, sehingga khalayak tidak mengetahui wajahnya dan hanya melihat punggung. Dalam analisis isi kuantitatif (posivistik), foto seperti ini tidak ditafsirkan lebih jauh, selain dihitung apakah berita pemerkosaan itu ditambahi dengan foto dan berapa banyaknya. Namun pada analisis teks kritis, pertanyaannya tidak hanya sampai di sana, tetapi juga menafsirkan apa makna yang muncul dengan bentuk representasi semacam itu dalam foto. Mengapa foto pelaku diambil dari belakang. Mengapa foto tersebut tidak diambil dari depan, sehingga khalayak bisa mengenali dan melihat wajah pelaku? Kita dapat menafsirkan foto semacam ini sebagai bias gender. Bisa jadi dengan penampilan foto pelaku seperti ini secara tidak langsung menyugestikan bahwa ia tidak bersalah atau paling tidak belum terbukti kesalahannya.

Penelitian kritis tidak dapat menghindari unsur subjektivitas. Ketika menafsirkan suatu teks, pengalaman, latar belakang budaya peneliti, pendidikan, afiliasi politik, bahkan keberpihakan memengaruhi hasil interpretasi sebagaimana dikemukakan Lawrence Newman dalam Eriyanto

(2001:62). Penelitian kritis dipandang bagus jika peneliti mampu memerhatikan konteks sosial, ekonomi, politik, dan analisis komprehensif yang lain.

Namun yang jelas dari segi etika dan moral, penampilan foto seperti ini sesuai dengan tuntutan kode etik jurnalistik sebagaimana termaktub dalam pasal 5 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi “Wartawan Indonesia 57

tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Identitas yang dimaksudkan di sini termasuk memperlihatkan wajah pelaku kejahatan yang memungkinkan khalayak mengenalinya, sehingga akan muncul penghakiman oleh masyarakat akibat pemuatan berita di media.

10. Media dan Berita dari Paradigma Kritis

Paradigma pluralis percaya bahwa wartawan media adalah entitas yang otonom, dan berita yang dihasilkan haruslah mengandung realitas yang terjadi di lapangan. Paradigma kritis justru memunyai pandangan tersendiri terhadap berita yang bersumber pada bagaimana berita itu diproduksi dan bagaimana kedudukan wartawan dan media bersangkutan dalam kedudukan proses produksi berita. Paradigma kritis juga mempertanyakan posisi wartawan dan media dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Perbedaan pandangan pluralis dengan pandangan kritis dapat digambarkan selengkapnya sebagai berikut:

Tabel 10 PANDANGAN PLURALIS & KRITIS PANDANGAN PLURALIS PANDANGAN KRITIS FAKTA Ada fakta yang real yang diatur oleh kaidah- Fakta merupakan hasil dari proses kaidah tertentu yang berlaku universal pertarungan antara kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat Berita adalah cermin dan refleksi dari Berita tidak mungkin merupakan kenyataan. Oleh karena itu, berita haruslah cermin dan refleksi dari realitas, karena sama dan sebangundengan fakta yang berita yang terbentuk hanya cerminan hendak diliput dari kepentingan kekuatan dominan POSISI MEDIA Media adalah sarana yang bebas dan netral Media hanya dikuasai oleh kelompok tempat semua kelompok masyarakat saling dominan dan menjadi sarana untuk berdiskusi yang tidak dominan memojokkan kelompok lain Media menggambarkan diskusi apa yang Media hanya dimanfaatkan dan ada dalam masyarakat menjadi alat kelompok dominan

58

POSISI WARTAWAN Nilai dan ideologi berada di luar proses Nilai dan ideologi wartawan tidak dapat peliputan berita dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa Wartawan berperan sebagai pelapor Wartawan berperan sebagai partisipan dari kelompok yang ada di dalam masyarakat Tujuan peliputan dan penulisan Tujuan peliputan dan penulisan berita: berita:eksplanasi dan menjelaskan apa pemihakan kelompok sendiri dan atau adanya memburukkan kelompok pihak lain Penjaga gerbang (gatekeeping) Sensor diri Landasan etis Landasan ideologis Profesionalisme sebagai keuntungan Profesionalisme sebagai kontrol Wartawan sebagai bagian dari tim untuk Sebagai pekerja yang memunyai posisi mencari kebenaran berbeda dalam kelas sosial

HASIL LIPUTAN Liputan dua sisi, dua pihak, dan kredibel Mencerminkan ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, atau politik tertentu Objektif menyingkirkan opini dan pandangan Tidak objektif, karena wartawan adalah subjektif dari pemberitaan bagian dari kelompok/struktur sosial tertentu yang lebih besar Memakai bahasa yang tidak menimbulkan Bahasa menunjukkan bagaimana penafsiran yang beraneka kelompok sendiri diunggulkan dan memarginalkan kelompok lain. Sumber : Eriyanto (2001:32-34).

10.1 Fakta

Basis dari semua berita adalah fakta dan ada hubungan dependen antara fakta dengan khalayak, fakta dengan daya tarik. Pada dasarnya, tugas seorang wartawan (reporter) adalah membuat fakta menjadi menarik bagi khalayak tertentu. Misalnya, reporter sebuah majalah berita sekolah harus menulis berita yang menarik bagi pembaca sekolah. Berita untuk sekolah tentu akan ditulis dengan cara yang berbeda dengan berita untuk koran kota atau koran nasional.

Fakta dalam konsepsi pluralis, diandaikan ada realitas yang bersifat eksternal, yang ada dan hadir sebelum seorang wartawan meliputnya. Jadi ada realitas yang objektif, yang harus diambil dan diliput oleh seorang wartawan. Ini sangat berbeda dengan fakta menurut pandangan kritis. Bagi 59

kaum kritis, realitas adalah kenyataan semu yang telah terbentuk oleh proses kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Oleh sebab itu, mengharapkan realitas apa adanya menurut pandangan kritis adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena realitas yang ada sudah terjebak dalam cakupan kelompok sosial, politik, dan ekonomi yang dominan.

Dalam pandangan kaum pluralis, berita adalah refleksi dan pencerminan dari realitas. Berita adalah mirror fo reality, sehingga dia harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan, sebagaimana dikemukakan

Daniel H. Hallin dan Paulo Mancini ’’Speaking of the President’’ dalam

Michael Gurevitch dan Mark R.Levy (ed.),’’Mass Communication Review

Yearbook, Vol.5, 1985, hlm.205 (Eriyanto, 2001:34). Pendekatan ini ditolak oleh kaum kritis, karena menganggap berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung bagaimana pertarungan itu terjadi yang umumnya dimenangkan oleh kekuatan dominan dalam masyarakat.

Pandangan kritis menyatakan bahwa realitas yang hadir di depan wartawan sesungguhnya merupakan realitas yang telah terdistorsi. Realitas tersebut telah disaring dan disuarakan oleh kelompok yang dominan di dalam masyarakat. Realitas pada dasarnya tidak lebih dari pertarungan antara berbagai kelompok untuk menonjolkan basis penafsiran masing-masing, sehingga realitas yang hadir bukan realitas yang alamiah, melainkan sudah melalui proses pemaknaan kelompok yang dominan.

60

10.2 Posisi Media

Pertarungan antara kelompok pluralis dengan pandangan kritis juga berlangsung sampai pada mempersoalkan posisi media. Kaum pluralis memandang media sebagai saluran yang bebas dan netral, yang menempatkan semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi dan pandangannya secara bebas. Pandangan kritis justru melihat bahwa media bukan hanya alat dari kelompok dominan, melainkan juga memproduksi ideologi yang dominan. Media membantu kelompok dominan menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain, dan membentuk konsensus antaranggota komunitas. Melalui medialah, ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapannya seperti dikemukakan David

Barrat, Media Sociology (Eriyanto, 2001:36).

Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, melainkan ia juga merupakan subjek yang mengonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan bias, dan pemihakannya. Media merupakan agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas dengan kepentingannya. Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Di sini, media bukan sarana yang netral yang menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan itulah yang akan tampil dalam pemberitaan.

Titik penting dalam memahami media menurut pandangan kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan. Menurut Hall

(1986), makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik. 61

Media massa pada dasarnya tidak memproduksi, tetapi menentukan realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle) perjuangan dalam memenangkan wacana.

Menurut Stuart Hall dalam Eriyanto (2001:34), realitas tidaklah secara sederhana dapat dilihat sebagai satu set fakta, tetapi hasil dari ideologi atau pandangan tertentu. Definisi mengenai realitas ini diproduksi secara terus- menerus melalui praktik bahasa – yang dalam hal ini – selalu bermakna sebagai pendefinisian secara selektif realitas yang hendak ditampilkan.

Implikasinya adalah suatu persoalan atau peristiwa di dunia nyata tidak mengandung atau menunjukkan makna integral, tunggal, dan intrinsik.

Makna yang muncul hanyalah makna yang ditranformasikan melalui bahasa.

Makna dalam konteks ini adalah sebuah produksi sosial, hasil dari sebuah praktik. Bahasa dan simbolisasi adalah perangkat yang digunakan untuk memproduksi makna.

10.3 Posisi Wartawan

Wartawan merupakan subjek yang memproduksi berita melalui rangkaian realitas yang saling bertentangan menurut pandangan pluralis dan kaum kritis. Pendekatan pluralis menghendaki agar nilai dan hal-hal di luar objek dihilangkan dalam proses pembuatan berita. Maksudnya, pertimbangan moral yang dalam banyak hal selalu diterjemahkan sebagai bentuk keberpihakan hendaknya disingkirkan. Intinya realitas harus didudukkan dalam fungsinya sebagai realitas yang faktual, yang tidak boleh 62

dikotori oleh pertimbangan subyektif. Wartawan di sini, fungsinya hanyalah sebagai pelapor yang hanya tugasnya menjalankan tugas untuk memberitakan fakta dan tidak diperkenankan munculnya nilai moral dan nilai tertentu. Pertimbangan-pertimbangan ini dapat membelokkan wartawan – apa pun alasannya – menjauhi realitas yang sesungguhnya. Berita ditulis hanyalah untuk fungsi penjelas (eksplanasi) dalam menjelaskan fakta dan realitas.

Pandangan ini justru berlawanan dengan pendapat kalangan kritis yang menilai bahwa aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Pandangan kritis melihat bahwa moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu – umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu – adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengonstruksi realitas.

Wartawan bukan hanya pelapor – disadari atau tidak – melainkan ia juga partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena fungsinya itu, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, melainkan juga membentuk realitas sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Ini disebabkan, wartawan tidak dipandang sebagai subjek yang netral dan otonom. Wartadan adalah bagian dari anggota suatu kelompok dalam masyarakat yang akan menilai sesuai dengan kepentingan kelompoknya.

Intinya, menurut pandangan kritis, wartawan adalah partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Dia bagian dari kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat, sehingga pemberitaan yang dia lakukan pada 63

dasarnya sukar dihindari sikap partisipan. Dia memunyai nilai-nilai tertentu yang hendak diperjuangkannya yang berpengaruh besar dalam isi pemberitaan. Hasil akhirnya sudah dapat ditebak adalah pemihakan pada kelompok sendiri, dan memburukkan kelompok lain.

Perbedaan mendasar antara pandangan pluralis dan kritis adalah pada bagaimana wartawan dilihat, terutama bagaimana kerja profesional dari wartawan itu dipahami. Dalam pandangan liberal percaya, sekadar pembanding, bahwa media adalah sebuah sistem kerja yang dilandasi oleh pembagian kerja yang rasional. Kerja dan posisi wartawan diatur dalam serangkaian praktik profesionalisme dan etik yang mendasari tindakan wartawan. Sebaliknya, pandangan kritis melihat wartawan dan kerja jurnalistik yang dilakukannya tidak dapat dilepaskan dari sistem kelas. Media dalam bentuknya yang umum juga merupakan bagian dari praktik sistem kelas dan kerja jurnalistik yang tidak dapat dilepaskan dari bagian dari kelas yang ada: elite dan tidak dominan.

Oleh sebab itu, kerja jurnalistik tidak bisa dipahami semata sebagai kerja profesional di mana wartawan dan mereka yang bekerja diatur dengan hukum-hukum profesional, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari praktik kelas. Wartawan adalah kelas tersendiri dan hubungannya dengan redaktur, pemilik modal, dan pemasaran adalah relasi antarkelas yang berbeda, bukan hubungan profesional. (Eriyanto, 2011:41). Kini wartawan yang mengandalkan idealisme sudah semakin menipis, karena mereka sudah terjebak oleh intervensi yang signifikan dari pemilik media. Kita dapat saksikan ketika pemilihan presiden 2014 dua stasiun televisi mewakili pemilik media untuk menyalurkan kepentingan politiknya. 64

10.4 Hasil Liputan

Realitas perbedaan pandangan antara pendekatan pluralis dan kritis di lapangan, juga memengaruhi cara kerja para wartawan dalam mengemas berita. Dalam pandangan pluralis ada standar yang baku hasil pekerjaan jurnalistik yang tentu saja mengacu kepada norma dan etika yang ditetapkan.

Pandangan pluralis selalu berpegang teguh pada peliputan yang berimbang, netral, dua sisi, dan objektif. Peliputan yang berimbang artinya menampilkan pandangan yang setara pihak-pihak yang terlibat yang hendak diberitakan.

Prinsip berimbang ini adalah peliputan dua sisi, yakni ketika wartawan memberi kesempatan yang sama terhadap para pihak yang hendak diberitakan untuk memberii pandangan terhadap suatu masalah. Sementara prinsip netral adalah dalam menulis dan mencari bahan wartawan tidak boleh berpihak pada salah satu orang atau kelompok yang kelak bisa melahirkan laporan yang tidak seimbang. Prinsip ini juga dilengkapi dengan prinsip objektif, di mana wartawan harus dengan sadar mencegah masuknya pandangan atau pendapat pribadi dan opini ke dalam hasil liputan atau pemberitaannya. Fakta adalah apa yang diliput dan ditulis merupakan apa yang terjadi, tidak dikecilkan dan dibesarkan. Ini dari peliputan dan pemberitaan menurut pandangan pluralis adalah menghindari bias. Bias dalam pemberitaan adalah sesuatu yang harus dihindari oleh setiap wartawan dalam pemberitaannya, karena dapat berakibat lahirnya reaksi dari khalayak. Ketika muncul reaksi seperti ini dalam tingkat yang sangat masif seperti melalui suatu protes yang melibatkan banyak orang secara tidak langsung akan memengaruhi sisi psikologis kenyamanan kerja para 65

wartawan. Penelitian mengenai media umumnya diarahkan kepada bagaimana melihat ada atau tidaknya bias dalam suatu pemberitaan media.

Pandangan pluralis seperti ini justru sangat paradoks dengan pendapat kalangan kritis. Pandangan kritis berpendapat, suatu laporan dilihat bukan pada bagaimana laporan itu baik atau buruk, melainkan selalu dilihat realitas demikian kenyataannya. Jika seorang wartawan menulis berita dengan hanya memperoleh pandangan dari satu pihak saja, tidak dapat dinilai benar atau salah, tetapi lebih dilihat bahwa wartawan itu melakukan hal tersebut dalam kerangka ideologi tertentu. Wartawan adalah bagian dari kelompok dominan yang bertujuan meminggirkan kelompok yang tidak dominan. Jadi, dalam setiap pemberitaan selalu ada pihak yang tidak dominan dan kerapkali dipinggirkan dalam pemberitaan. Oleh sebab itu, penelitian terhadap media juga selalu diarahkan bagaimana mencari ideologi wartawan tersebut dan bagaimana ideologi itu diimplementasikan melalui pemberitaan yang ada untuk memarginalkan suatu kelom pok. (Eriyanto,

2001:45).

Dalam pandangan pluralis wartawan haruslah menghindari subjektivitas. Implementasi dari prinsip ini adalah jika wartawan mampu membedakan dan memisahkan informasi yang bernilai fakta dan opini.

Ketika dia mengungkapkan suatu fakta, wartawan hanya mengambil dan membahasakan apa yang terjadi tanpa melibatkan pertimbangan subjektifnya. Pandangan pluralis ini ditentang oleh pandangan kritis yang menilai bahwa wartawan merupakan bagian terkecil dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang lebih besar. Pengaruh modal dan kepemilikan media, politik kelas, sangat memengaruhi fakta apa yang diambil dan 66

bagaimana berita dikemas. Pewrsoalannya, bukan wartawan tidak objektif, melainkan struktur di luar diri wartawan itu yang mempropagandakan nilai- nilai tertentu. Struktur yang secara umum menindas tersebut pada akhirnya akan memengaruhi pemberitaan.

Berkaitan dengan bahasa jurnalistik, pandangan pluralis berpendapat seharusnya wartawan menggunakan bahasa yang straight, langsung, tanpa opini dan penafsiran wartawan sehingga tampak benar fungsi bahasa sebagai pengantar realitas. Bahasa dalam berita menurut pandangan pluralis dapat menyampaikan realitas apa adanya kepada khalayak. Sebaliknya, pandangan kritis justru memiliki konsepsi berbeda dalam memandang bahasa. Pertanyaannya, apakah mungkin bahasa objektif, karena dalam kenyataannya bahasa tidak mungkin terlepas dari ideologi dan politik penggunanya. Oleh sebab itu, mengandaikan bahasa sebagai representasi realitas sosial adalah sesuatu yang mustahil. ’’Bahasa tidak mungkin bebas nilai, karena begitu realitas hendak dibahasakan selalu terkandung ideologi dan penilaian,’’ kata Morley dan Hacket dalam Eriyanto (2001:46).

11. Teori Fungsi Bahasa

Bahasa bukan saja merupakan bentuk dan isi penuturan, melainkan juga sebagai alat atau instrumen dari proses berpikir manusia. Melalui bahasa manusia dapat berkomunikasi dengan manusia yang lainnya. Dalam berkomunikasi tersebut manusia menggunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer yang dapat diperkuat oleh gerak-gerik tubuh yang nyata, yang dikenal dengan body language ’bahasa tubuh’. 67

Wang (2010) mengemukakan bahwa analisis bahasa juga dapat dilihat dari fungsi ideal transitif teks yang merupakan dasar sistem semantik yang membentuk dunia pengalaman dalam meletakkan pengelolaan tipe-tipe proses bahasa. Halliday (Wang, 2010) membagi proses-proses itu ke dalam beberapa tipe proses, antara lain material, dental, relasional, perilaku, verbal, dan ekstensial. Oleh sebab itu, menurut Keraf (1989:2), bahasa mencakup dua bidang, yaitu yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan makna, yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau hal yang diwakilinya. Bunyi tersebut merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita, sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain.

Saussure (1989:89) berpendapat, apa pun cara yang dipakai, gejala bahasa terus menerus memperlihatkan dua muka yang berkaitan dan muka yang satu hanya ada kalau muka yang lainnya. Misalnya,(1) suku-suku kata yang dilafalkan merupakan kesan akustis yang tertangkap oleh telinga, tetapi bunyi-bunyi itu tidak akan ada tanpa alat-alat bunyi: demikianlah /n/ hanya dalam kaitan kedua aspek tersebut. Jadi, kita tidak dapat memeras langue dalam bentuk bunyi, maupun memisahkan bunyi dari gerak mulut. Timbal- baliknya, orang tidak mungkin merumuskan gerak alat-alat bunyi kalau tidak menggunakan kesan akustik.

Saussure terkenal dengan membagi aspek bahasa itu ke dalam langue dan parole. Langue merupakan produk masyarakat dari langage dan suatu konvensi yang perlu, yang diterima oleh seluruh masyarakat untuk memungkinkan berfungsi langage pada diri setiap individu. Adapun parole menurut Saussure (1988:80) adalah suatu tindak individual dari kemauan 68

dan kecerdasan yang dalam bentuknya perlu dibedakan; (1) kombinasi- kombinasi kode bahasa yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya; dan (2) mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan dia mengungkapkan kembinasi-kombinasi tersebut.

Barthes (2007) menilai bahwa pandangan dikotomis bahasa

Saussure dengan aspek langue dan parole yang multiforma dan heteroklit

(berkomibinasi), adalah sebuah realitas keutuhan unit, yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebab, realitas ini termasuk dan sekaligus dalam segala yang fisik (le physique), segala yang fisiologis (le physiologique), dan segala yang psikologis (le psychologieque), termasuk juga yang dalam segala hal yang bersifat individual (I”individual) dan segala yang social (le social).

Nababan (1985) menyimpulkan, adanya dua aspek kajian bahasa

(langue), yaitu kajian yang menitikberatkan pada hakikat bahasa dan kajian yang berhubungan dengan fungsinya: 1) Hakikat bahasa: persoalan ini dikaji oleh para ahli linguistik.(2) Fungsi bahasa: kajian fungsi bahasa yang paling mendasar adalah berkenaan dengan kebutuhan berkomunikasi dan interaksi sosial.

Kajian mengenai hakikat bahasa (Chaer, 2007) biasa pula disebut kajian mikrolinguistik yang mengarahkan kajiannya pada struktur internal suatu bahasa tertentu agau struktur internal suatu bahasa pada umumnya, seperti pada kajian pada bunyi (phonetics, phonology), kajian pada kata

(morphology), atau kajian pada kalimat (syntax) atau pada pakna manka

(semantics), dan wacana (discourse). Adapun makrolinguistik adalah suatu kajian yang menyelidiki bahasa kaitannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, seperti hubungan bahasa dengan budaya (antropholinguistic), 69

hubungannya dengan jiwa manusia (psycholinguistic), hubungannya dengan karya sastra (stylistics), dan kajian yang berkaitan dengan masyarakat pemakai bahasa disebut sociolinguistics.

Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu (Keraf, 1989) dalam garis besarnya dapat berupa : (a) untuk menyatakan ekspresi; (b) sebagai alat komunikasi; (c) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; dan (d) sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial.

Berdasarkan landasan teoretis tersebut dilakukan penelitian bahasa yang mengacu kepada karakteristik produk bunyi bahasa baik berupa objek penelitian secara tertulis maupun secara lisan. Penelitian bahasa dengan objek tertulis berupa produk teks dalam bentuk wacana, baik yang diungkapkan dalam bentuk tertulis (cetak) maupun dalam bentuk lisan

(suara). Penelitian bahasa yang menggunakan objek tertulis cetak misalnya dapat dilakukan terhadap produk wacana berita melalui media cetak. Adapun penelitian bahasa dengan objek lisan adalah melalui rekaman teks yang bersumber dari produk suara (voice). Misalnya, meneliti berbagai gejala bahasa dari berita-berita radio atau televisi.

Mahsun (2005:2) mengatakan yang dimaksudkan dengan penelitian bahasa adalah penelitian yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis terhadap objek sasaran yang berupa bunyi tutur (bahasa). Dikatakan sistematis maksudnya bahwa penelitian itu dilakukan secara sistemik dan terencana. Terkontrol dimaksudkan bahwa setiap aktivitas yang dilakukan dalam masing-masing tahapan dapat dikontrol, baik proses pelaksanaan kegiatannya maupun hasil yang dicapai melalui kegiatan tersebut. Penelitian bahasa yang bersifat empiris maksudnya adalah bahwa fenomena lingual 70

yang menjadi objek penelitian bahasa itu benar-benar bersumber pada fakta lingual yang senyatanya digunakan oleh penuturnya. Sementara penelitian bahasa yang bersifat kritis adalah kritis terhadap hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang diperkirakan terjadi antara bunyi tutur sebagai objek penelitian bahasa dengan fenomena ekstralingual yang memungkinkan bunyi itu muncul.

Penelitian mengenai wacana yang merupakan aspek internal dari bahasa juga dapat dilakukan dengan menggunakan objek wacana berita media massa. Berdasarkan hierarkinya wacana merupakan tataran bahasa yang terbesar, tertinggi, dan terlengkap (Darma, 2009:1). Wacana dikatakan terlengkap, karena mencakup tataran di bawahnya, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan ditunjang oleh unsur lainnya, yaitu situasi pemakaian dalam masyarakat. Wacana dibentuk oleh paragraf-paragraf, sedangkan paragraf dibentuk oleh kalimat-kalimat. Kalimat dibentuk dari susunan kata yang secara gramatikal mengandung satu pengertian yang lengkap.

Dalam menganalisis suatu produk bahasa yang berbentuk wacana, terlebih dahulu dikemukakan landasan teoretis anasir pembentuk wacana yang mencakup:

1. Sintaksis

2. Kalimat

3. Klausa

4. Frasa

5. Kata

6. Kosakata 71

11.1 Sintaksis

Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan’’ dan tattein yang berarti menempatkan. Secara etimologis, sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata atau kelompok kata menjadi kalimat

(Putrajasa, 1989). Banyak juga pakar memberikan definisi tentang sintaksis ini. Ramlan (1996) mengatakan bahwa sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa.

Suparman (1985) mendefinisikan sintaksis sebagai cabang tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa sintaksis adalah telaah mengenai pola-pola yang dipergunakan sebagai sarana untuk menggabung-gabungkan kata menjadi kalimat. (Stryker, 1969). Sementara Boch dan Trager (1942) mengatakan bahwa sintaksis adalah analisis mengenai konstruksi-konstruksi yang hanya mengikutsertakan bentuk-bentuk bebas. Berdasarkan pendapat- pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah studi tentang hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain. Hubungan tersebut akan membentuk frasa, klausa, dan kalimat.

Bloomfield (1995) mengatakan bahwa tiap-tiap konstruksi sintaktis menunjukkan dua (atau kadang-kadang lebih) bentuk bebas yang digabungkan menjadi sebuah frasa, yang boleh kita sebut frasa resultan.

Frasa resultan mungkin termasuk kelas bentuk yang lain dari kelas bentuk setiap konstituennya.

Ibrahim (1979) menyebutkan bahwa sintaksis adalah istilah para ahli bahasa untuk menanamkan beberapa pola, dengan pola-pola itu morfem- morfem disusun menjadi kalimat. 72

11.2 Kalimat

Keraf (1989:38) berpendapat bahwa kalimat merupakan suatu bentuk bahasa yang mencoba menyusun dan menuangkan gagasan-gagasan seseorang secara terbuka untuk dikomunikasikan kepada orang lain. Dalam berkomunikasi, kita memerlukan bahasa sebagai medium karena dapat memberikan kemungkinan yang sangat luas bila dibandingkan cara-cara lain, misalnya gerak-gerik, isyarat-isyarat dengan bendera atau panji, asap dan sebagainya. Penguasaan bahasa tidak saja mencakup persoalan penguasaan kaidah-kaidah atau pola-pola sintaksis bahasa, tetapi juga mencakup beberapa aspek;

(1). Penguasaan secara aktif sejumlah besar perbendaharaan kata

(kosakata) bahasa tersebut.

(2). Penguasaan kaidah-kaidah sintaksis bahasa itu secara aktif.

(3). Kemampuan menemukan gaya yang paling cocok untuk

menyampaikan gagasan-gagasan.

(4). Tingkat penalaran (logika) yang dimiliki seseorang.

Kalimat adalah satuan bahasa yang relatif dapat berdiri sendiri, memunyai pola intonasi akhir dan terdiri atas klausa (Cook 1971). Sementara

Ramlan (1996) mengatakan bahwa kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik,

Pandangan Ramlan ini dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara turun naik dan keras lembut disertai jeda dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan asimilasi bunyi atau pun proses fonologis lainnya. 73

Kridalaksana (1993) menyebutkan bahwa kalimat (sentence) adalah

1.satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, memunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri atas klausa. 2. Klausa bebas yang menjadi bagian kognitif percakapan; satuan preposisi yang merupakan gabungan klausa atau merupakan satu klausa, yang membentuk satuan yang bebas, jawaban minimal, seruan, salam, dsb. 3, konstruksi gramatikal yang terdiri atas satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu, dan dapat berdiri sendiri sebagai satu satuan.

Kalimat-kalimat dalam setiap ujaran (Bloomfield,1995) dipisahkan hanya karena nyatanya setiap kalimat merupakan bentuk bahasa yang mandiri, tidak diselipkan dalam bentuk bahasa yang lebih besar dengan suatu konstruksi gramatikal. Dalam bahasa Inggris, dan dalam banyak bahasa lain, kalimat-kalimat dipisahkan dengan modulasi, yaitu penggunaan fonem-fonem sekunder. Dalam bahasa Inggris, fonem-fonem tinggi nada menandai akhir kalimat, dan membedakan tiga tipe kalimat utama: John ran away {.} John ran away {?} Who ran away {?}

11.3 Klausa

Klausa merupakan unsur dari kalimat. Kridalaksana (1993) mengatakan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subyek dan predikat dan memunyai potensi untuk menjadi kalimat. Contohnya: Selamat pagi; Si Ali membaca majalah. Menurut Cook (1971), klausa hanya mengandung satu predikat. Adapun Ramlan (1996) mengatakan,unsur fungsional yang selalu 74

ada dalam klausa adalah predikat (P), unsur-unsur lain mungkin ada, juga mungkin tidak ada. Contohnya:

Rusa itu berlari

Pahlawan itu menyerang musuh

Mereka bermain bola

Klausa adalah ‘’suat tali tagmem-tagmem yang terdiri atas atau mencakup satu dan hanya satu predikat atau tagmem sejenis predikat dalam tali itu dan yang urutan morfem sebagai hasil manifestasinya khusus mengisi jalur-jalur pada tingkat kalimat’’ (Elson and Pickett, 1969, Tarigan 1989).

Sulaeman (1992) menyebutkan, klausa sebenarnya memiliki persyaratan fungsional yang sama dengan kalimat (misalnya kalimat sederhana), sehingga seorang pembelajar sintaksis acapkali sukar membedakan keduanya. Dalam pengertian pola urutan, klausa lebih terbatas daripada kalimat. Kalimat boleh terbentuk dari beberapa klausa, sedangkan klausa tidak terbentuk dari beberapa kalimat.

11.4 Frasa

Frasa sebagaimana klausa, juga merupakan kelompok kata yang menduduki satu dalam suatu kalimat, meskipun tidak semua frasa merupakan kelompok kata (Putrajaya, 2002). Dia mengatakan, ada tiga hal yang berkaitan dengan frasa, yakni (a) penukaran letak frasa, (b) bentuk frasa, dan (c) frasa-frasa utama.

Misalnya: ‘’Seminggu yang lalu, mahasiswa baru itu belum dikenal

oleh mereka’’. 75

Kalimat tersebut di atas terdiri atas empat frasa, yaitu (1) seminggu yang lalu, (2) mahasiswa baru itu, (3) belum dikenal, dan (4) oleh mereka.

Frasa-frasa tersebut dapat dipertukarkan, contohnya:

(1) Seminggu yang lalu, oleh mereka mahasiswa baru itu belum dikenal

(2) Seminggu yang lalu, mahasiswa baru itu oleh mereka belum dikenal.

(3) Seminggu yang lalu, belum dikenal oleh mereka mahasiswa baru itu.

(4) Mahasiswa baru itu, seminggu yang lalu belum dikenal oleh mereka.

(5) Mahasiswa baru itu, seminggu yang lalu oleh mereka belum dikenal.

Kridalaksana (1993) mengatakan bahwa frasa merupakan gabungan dua kata yang sifatnya tidak predikatif, gabungan itu dapat rapat, dapat renggang, misalnya, gunung tinggi adalah frasa karena merupakan konstruksi nonpredikatif; konstruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frasa, karena bersifat predikatif.

Batasan frasa menurut Tarigan (1989) adalah satu linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak memunyai ciri-ciri klausa dan khususnya, tetapi tidak selalu, mengisi jalur- jalur pada tingkat klausa. (Elson and Pickett, 1969).

Parera (1994) menjelaskan bahwa frase-frase yang hingga kini oleh tata bahasa tradisional ditetapkan sebagai bentuk majemuk dan atau dicalonkan sebagai bentuk majemuk tidak lain daripada pembentukan frase berdasarkan analogi. Frase dalam bahasa Indonesia dapat berpolisemi secara leksikal berdasarkan konteks situasi dan konvensi. Pandangan

Parera ini didasarkan ketiadaan batas yang jelas dalam kontinum yang bersifat majemuk dan bersifat frase.

76

11.5 Kata

Kata merupakan unsur terkecil dari sebuah kalimat. Menurut Darwis

(2012) kata adalah sebuah struktur dan struktur itu ialah susunan unsur secara linear, yaitu dari kiri ke kanan. Morfem menjadi salah satu unsur dalam suatu struktur kata. Dalam hal ini ada kata yang hanya terdiri atas satu morfem saja. Istilahnya kata monomorfemis. Ada pula yang lebih dari satu morfem. Sebutannya ialah kata polimorfemis atau plurimorfemis.

(Verhar 1978, Darwis 2012) memilih penggunaan istilah monomorfemis dan polimorfemis saja.

Menurut Darwis kadang-kadang sebuah kata terdiri atas unsur morfem asal+morfem asal. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah kata majemuk. Kridalaksana (Darwis, 2012) dalam hal ini menggunakan istilah leksem, yaitu leksem+leksem menghasilkan paduam leksem dan sebagai kata yang bebas, ia dapat disebut kata majemuk.

Contohnya adalah matahari, saputangan, dan sebagainya.

Adapula sebuah kata yang terdiri atas struktur morfem asal+afiks seperti latihan, bimbingan, pembimbing, dan sebagainya. Bahkan, dalam bahasa Indonesia, misalnya dapat dijumpai kata (polimorfemis) yang terdiri atas satu morfem asal dan lebih dari satu afiks atau lebih. Contoh kata-kata dengan struktur morfemis demikian adalah berkesudahan, memberhentikan, mempermain-mainkan, dan sebagainya.

Kridalaksana (1993) memberi batasan bahwa kata adalah 1. morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas..2. satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal (mis, batu, rumah, 77

dating, dsb) atau gabungan morfem (mis.. pejuang, mengikuti, , mahakuasa dsb). Dalam beberapa bahasa a.l. dalam B.Inggris, pola tekanan juga menandai kata.

Hockett (1965) menulis, sehari-hari penggunaan kata Inggris “word” adalah juga sangat tidak tepat. Secara umum, orang awam terlihat menulis, sebagai kelas-kelas kata yang ditemukan tertulis antara ruang berturut-turut.

Jadi, matchbox adalah satu kata, match box dua kata, dan match-box dua atau satu kata, tergantung pada cuaca atau tidak tanda hubung ditafsirkan sebagai semacam ruang khusus. Kejadian ini mencerminkan kombinasi tunggal sebuah morfem dengan pronounciation tunggal - diabaikan.

Menurut Hockett (1965), ketika melihat bahasa langsung melalui tulisan, kita harus mencari kriteria lain untuk menentukan kata-kata. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan, tetapi itu tidak menghasilkan sesuatu yang identik. Kriteria yang paling mudah untuk menerapkan unit hasil yang paling kecil seperti “words” dari orang awam dan kita akan memiliki cadangan istilah. Kriteria lainnya menghasilkan unit yang berbeda yang lebih radikal dari orang-orang awam tentang “words” dan kita tidak akan menyebutnya ‘’words’’ meskipun sifatnya seperti kata. Sebaliknya, kita akan memperkenalkan istilah khusus untuk sebutan itu.

Keraf (2007) mengatakan bahwa tidak ada suatu batasan mengenai kata yang sahih bagi semua bahasa di dunia. Dalam mendeskripsi banyak bahasa di dunia diperlukan sebuah unit yang disebut kata,namun bagi sebagian, pengertian kata dibatasi secara fonologis. Kata merupakan sebuah unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis, entah 78

morfologis) dan secara relative memiliki distribusi yang lebih bebas.

Distribusi yang bebas misalnya dapat dilihat dalam kalimat: Saya memukul anjing itu; anjing itu dipukul; kupukul anjing itu.

Yang paling penting dari rangkaian kata-kata tersebut adalah pengertian yang tersirat di balik kata yang digunakan itu.Setiap anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan komunikasi, selalu berusaha agar orang-orang lain dapat memahaminya dan di samping itu, ia harus bisa memahami orang lain. Dengan cara ini komunikasi akan dapat berlangsung dengan baik dan harmonis.

11.6 Kosakata

Kosakata dalam bahasa Inggris dikenal sebagai vocabulary

(perbendaharaan kata). Kridalaksana (1993) mengidentikkan kosakata dengan vocabulary dan leksikon.. Dia mendefinisikan leksikon adalah: 1. komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa. 2. kekayaan kata yang dimiliki seseorang pembicara, penulis, atau bahasa. Kosakata: perbendaharaan kata. 3. daftar kata yang tersusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis.

12. Piranti Kebahasaan

Dalam penelitian ini digunakan piranti kebahasaan untuk mengungkapkan netralitas dan keberpihakan media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Analisis piranti kebahasaan yang dipilih dalam penelitian ini adalah elemen semantik Struktur Mikro teori Teun van Dijk 79

dengan variable analisis terdiri atas; latar, detil, dan maksud. Analisis ini dipadukan dengan elemen sosiokultural teori Norman Fairclough dengan variabel analisis situasional, institusional, dan sosial. Teori William A.

Gamson tentang sistem framing juga akan melengkapi analisis piranti kebahasaan ini dengan variable yang dipilih metafora, frasa, dan kausalitas.

Secara rinci piranti kebahasaan yang digunakan dapat dijelaskan sebagai berikut.

12.1 Elemen Semantik

Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro yang merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur, merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana kerangka suatu teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dalam suatu teks yang meliputi kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.(dalam Eriyanto, 2001).

12.1.1 Latar

Di dalam penelitian ini dipilih aspek yang diamati bagian kecil dari suatu teks yang terdiri atas aspek semantik, Aspek semantik yang diamati adalah elemen latar, detil, dan maksud. Pemilihan aspek semantik ini dianggap dapat merepresentasikan piranti kebahasaan dalam 80

mengungkapkan kecenderungan media dalam memosisikan diri netral atau berpihak pada suatu kubu tertentu. Pada teori van Dijk ini contohnya pada variabel latar merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi semantik

(arti) yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulisnya. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

Apakah latar ini secara tersembunyi mengungkapkan keberpihakan media pada kubu tertentu atau tetap memperlihatkan kenetralannya.

Latar merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi semantik

(arti) yang ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang berita yang ditulis. Latar ini selain juga menginformasikan kepada pembaca kaitan berita sebelumnya, juga dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Menurut

Eriyanto (2001:235) latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Oleh karena itu, latar teks merupakan elemen yang berguna untuk membongkar apa maksud yang yang hendak disampaikan oleh wartawan.

Berikut ini diberikan beberapa contoh tentang AWK teori van Dijk menggunakan piranti kebahasaan bekerja pada tiga elemen berikut.

Tabel 11 Contoh Variabel Latar Tanpa Latar Pencabutan pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di tubuh partai berlambang beringin tersebut. Latar Pencabutan pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar hasi Musyawarah Nasional Jakarta oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di tubuh partai berlambang beringin tersebut. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H.Laoly menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 23 AH,11,01 tanggal 20 Desember 2015 tentang penetapan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono. SK ini juga tidak mencantumkan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah (K.2-1-2016) . 81

Pada tabel di atas menunjukkan bahwa berita Kompas (2-1-2016) pada paragraf pertama ditampilkan hanya menjelaskan informasi dasar tanpa mengungkapkan latar belakang berita tersebut. Wartawan dalam memproduksi teks menggunakan elemen latar untuk memperjelas suatu pemberitaan, sehingga khalayak akan mengetahui ke arah mana media tersebut memiliki kecenderungan. Dalam berita ini Kompas memperlihatkan keberpihakan kepada kubu Aburizal Bakrie karena legalitas kepengurusan

Partai Golkar versi Munas Ancol Jakarta dibatalkan. Secara implisit media ini juga mengungkapkan bahwa SK pencabutan pengesahan kepengurusan

Partai Golkar versi Munas Ancol tidak mencantumkan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah.

Meskipun tidak dicantumkan dalam surat keputusan tersebut, tetapi dalam keputusan Dewan Pertimbangan Partai disebutkan bahwa kepengurusan partai kembali ke produk hasil Munas Pekanbaru yang menetapkan Aburizal

Bakrie sebagai ketua umum.

12.1.2 Detil

Dalam variabel detil teori van Dijk berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit kalau itu merugikan kedudukannya. Informasi yang menguntungkan komunikator bukan hanya ditampilkan secara berlebihan, melainkan juga dengan detil yang lengkap jika perlu dengan data. Contoh penggunaan elemen detil dapat dilihat berikut ini. 82

Tabel 12

Contoh Variabel Detil Tanpa Detil Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2) menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Detil Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2) menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan itu merupakan putusan sela pengadilan, menjawab eksepsi tergugat dari pengacara kepengurusan Golkar Munas Ancol, atas penggugat Golkar Munas Bali. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Oloan Harianja mengatakan, pengadilan tingkat satu itu tak punya kompetensi menjadi pengadil dualisme partai. Dalam runutan putusan selanjutnya, hakim memutuskan, mengembalikan penyelesaian kepengurusan Golkar ke mekanisme partai. …..Dijelaskan Hakim Oloan, putusan majelis berpijak pada ketentuan UU Partai Politik Nomor 2/2011, terutama pasal 32 yang menyatakan sengketa partai harus diselesaikan di internal partai, berupa mahkamah partai atau apa pun namanya. (R.25-2-2015).

Detil yang lengkap dan panjang lebar sebagaimana dalam berita

Republika (25-2-2015) tersebut merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. Elemen detil juga merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit dan kadang-kadang tidak perlu disampaikan secara terbuka. Dalam berita tersebut, Republika mengindikasikan diri netral karena tidak ada kubu yang berkonflik diuntungkan.

12.1.3 Maksud

Variabel maksud sesuai teori van Dijk, hampir sama dengan elemen detil, hanya saja di dalam elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas.

Sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersama, implisit, dan tersembunyi.

83

Tabel 13

Contoh variabel maksud Implisit Wakil Ketua DPR menyatakan, Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat akan menyatakan status quo atas kepengurusan Fraksi Partai Golkar di lembaga legislatif. Eksplisit Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan, Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat akan menyatakan status quo atas kepengurusan Fraksi Partai Golkar di lembaga legislatif. ‘’Pimpinan tidak bisa membacakan dua surat perombakan fraksi, jadi kami anggap status quo sampai inkracht,’’ kata politikus Partai Gerindra ini di Gedung Parlemen, Senayan, kemarin. Status quo ini diberikan lantaran kepengurusan antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menjalar ke Fraksi Golkar di DPR. Aburizal dan Agung Laksono melayangkan surat kepada pimpinan DPR yang berisi penjelasan atas putusan Mahkamah Partai. Surat masuk dari kedua pihak yang bersangkutan tersebut tak dibacakan lantaran masih ada upaya hukum dari kubu Aburizal melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Utara. Mereka menyoal surat keputusan pengesahan pengurus Partai Golkar versi Agung Laksono oleh Kementerian Hukum dan HAM. (KT.2-4-2015).

Koran Tempo (tabel 8) dengan komunikator Fadli Zon pada kalimat pertama secara implisit menyatakan bahwa kepengurusan Fraksi Partai

Golkar di DPR dalam kondisi status quo. Posisi status quo ini kemudian diungkapkan secara eksplisit dengan menjelaskan rincian permasalahan yang menjadi penyebab munculnya status quo tersebut. Elemen maksud di dalam berita ini memperlihatkan netralitas Koran Tempo karena tidak mengindikasikan keberpihakan kepada salah satu kubu yang berkonflik, karena kedua pihak yang berkonflik tidak diuntungkan atau pun dirugikan.

12.2 Elemen Praksis Sosiokultural

Jika van Dijk menghubungkan teks dengan konteks piranti kebahasaan, Norman Fairclough membawa AWK ke ranah yang lebih luas, yakni bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang lebih makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis social dan 84

budaya, sehingga ia mengombinasikan tradisi analisis tekstual – yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup – dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dia adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh.

Menurut Eriyanto (2001:285), Fairclough membangun suatu model yang yang mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik dan pemiliran social politik, dan secara umum diintegrasikan pada perubahan social. Oleh sebab itu, model yang dia kemukakan tersebut juga disebut sebagai model perubahan social (social change). Menurut Fairclough, wacana mempunyai tiga efek. Pertama, wacana memberikan andil dalam mengonstrksi identitas social dan posisi subjek. Kedua, wacana membantu mengonstruksi relasi social di antara orang-orang. Ketiga, wacana memberikan kontribusi dalam mengonstruksi sistem pengetahuan dan kepercayaan. Ketiga efek dari wacana ini merupakan fungsi dari bahasa dan dimensi dari makna yang dihubungkan dengan identitas, relasional, dan fungsi ideasional dari bahasa.

Fairclough membagi wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse, dan sociocultural. Dalam modelnya, teks dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata, semantik, dan kalimat. Ia pun memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah yakni: pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin disampaikan di dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologi tertentu. Kedua, relasi, merujuk pada analisis 85

bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, seperti apakah teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dari identitas ini hendak ditampilkan.

Pada analisis discourse practice Fairclough melihat bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi. Teks dibentuk lewat praktik diskursus yang akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Misalnya wacana di kelas yang terbentuk lewat suatu praktik diskursus yang melibatkan bagaimana hubungan antara guru dengan murid, bagaimana guru menyampaikan pelajaran, bagaimana pola hubungan dan posisi murid dalam pelajaran di kelas, dan sebagainya. Pola hubungan yang demokratis memungkinkan para murid mengajukan pendapat secara bebas tentu saja akan menghasilkan wacana yang berbeda dengan suasana kelas di mana pembicaraan lebih dikuasai oleh guru. Jika murid tidak boleh berpendapat dan guru sebagai penyampai tunggal materi pelajaran, maka hubungan tersebut juga akan berbeda. Semua ini adalah bentuk praktik diskursus yang membentuk wacana.

Analisis sociocultural practice teori Fairclough didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukan bidang atau kotak kosong yang steril, melainkan sangat ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Sociocultural practice memang tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Misalnya teks yang merendahkan 86

dan memarginalkan posisi perempuan. Teks seperti ini merepresentasikan ideologi patriarkal yang ada dalam masyarakat. Artinya, ideologi masyarakat yang patriarkal itu berperan dalam membentuk teks yang cenderung memarginalkan perempuan. Ideologi patriarkal ini banyak ditemukan di berbagai tempat dan situasi, di sekolah, di dalam keluarga, dan sebagainya.

Ideologi ini selalu menomorduakan perempuan itulah yang menjadi kajian di dalam teks wacana.

Praksis sosiokultural menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat. Menurut Fairclough (1995) bahwa representasi dari wacana dalam berita media dapat dilihat sebagai proses sosial yang cukup penting. Detil halus ideologi tampak pada representasi wacana yang mungkin dibentuk untuk suatu determinasi sosial dan berdampak sosial.

12.2.1 Situasional

Penelitian ini dititikberatkan pada aspek sociocultural practice.

Fairclough membuat tiga level analisis pada praksis sosiokultural ini, yakni level situasional, institusional, dan sosial. Contoh wacana teks berita berikut ini menggambarkan bagaimana teks itu diproduksi dengan merespons situasi yang terjadi pada saat teks diproduksi.

Penetapan Ical sebagai ketua umum langsung disambut riuh peserta munas. Mereka langsung mendekati Ical untuk mengucapkan selamat. Yel-yel dukungan untuk Ical pun turut meriuhkan arena sidang munas. ‘’ARB (Aburizal Bakrie) siapa yang punya, ARB siapa yang punya, yang punya kita semua,’’ demikian yel-yel terdengar. (R.4-12-2014). Pada level situasional diungkapkan berkaitan dengan konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi di antaranya memperhatikan situasional ketika 87

teks tersebut diproduksi. Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas, unik, sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain.

Kalau wacana itu dipahami sebagai satu tindakan, maka tindakan itu sesungguhnya adalah upaya untuk merespons situasi dan konteks sosial tertentu.

Pemberitaan mengenai Timor Timur sebelum dan sesudah jajak pendapat bisa jadi berbeda dan wacana yang muncul pun berbeda karena setiap peristiwa dibalut dengan konteks situasi yang khas, yang melibatkan emosi dan nuansa tertentu. Gambaran situasi yang menyelimuti situasi ikut memberi pengaruh terhadap wacana berita yang diproduksi oleh wartawan.

Teks berita tersebut boleh jadi akan mengindikasikan keberpihakan media dan di sisi lain menggambarkan netralitas media.

12.2.2 Institusional

Level analisis kedua adalah institusional yakni melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dari dalam diri media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses produksi berita.

Salah satu contoh berita yang berkaitan dengan variabel ini dapat dilihat pada contoh berikut.

Pencabutan pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut. Munas diyakini menjadi satu-satunya solusi bagi partai politik tertua di Indonesia ini untuk keluar dari kemelut internal. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H.Lauly menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor .HH. 23. AH.11.01 tanggal 30 Desember 2015 tentang penetapan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono. SK ini juga tidak mencantumkan DPP Partai Golkar 88

hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah. (K.2-1-2016).

Peran institusional ini sangat menentukan konten teks berita apakah mengindikasikan keberpihakan atau media tetap menjaga kenetralannya sebagaimana yang menjadi keinginan publik. Menurut Eriyanto (2001) faktor institusi yang penting adalah institusi yang berhubungan dengan ekonomi media. Produksi berita di media kini tidak mungkin bisa dilepaskan dari pengaruh ekonomi media yang sedikit banyak bisa berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Pertama, adalah pengiklan yang menentukan kelangsungan hidup media. Berita harus dibuat sedemikian rupa sehingga menarik minat orang beriklan di media yang dikelolanya.

Kedua, khalayak pembaca yang dalam industri modern ditunjukkan dengan data yang seperti oplah dan rating. Ketiga, persaingan antarmedia.

Pada dasarnya media memperebutkan pembaca dan pengiklan yang sama dan ia berhadapan dengan peristiwa yang sama pula. Oleh sebab itu, persaingan antarmedia pun dapat menjadi faktor yang menentukan bagaimana berita diproduksi. Keempat, bentuk intervensi institusi ekonomi antara lain adalah modal atau kepemilikan terhadap media. Dalam kaitan dengan kepemilikan media ini membuat media menjadi tidak sensitif dengan berita-berita yang berkaitan atau mempunyai hubungan dengan pemilik media.

Hamad (2004:85) mengatakan, datangnya era reformasi sebetulnya tidak banyak berpengaruh terhadap struktur kepemilikan atau konglomerasi media. Kebebasan pers sebagai salah satu buah gerakan reformasi justru menambah rasa aman bagi pengusaha media. Dengan ditiadakannya 89

lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan sesuai

Peraturan Menteri Penerangan No.01/Tahun 1984 mengenai tata cara memperoleh SIUPP yang kemudian dicabut Menteri Penerangan Yunus

Yosfiah di masa Pemerintahan B.J.Habibie, kecemasan para pengusaha media dan ancaman pembreidelan hilang sama sekali. Terlebih lagi dengan dibubarkannya Departemen Penerangan oleh Presiden , industri pers di Indonesia berlangsung melalui mekanisme pasar. Puncaknya adalah keterbukaan pers Indonesia terhadap masuknya modal asing seperti tertuang di dalam Pasal 11 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menghadapi pengaruh institusional, khususnya organisasi iklan, wartawan harus membuat ‘’berita yang baik’’ yang disukai dan dibaca oleh banyak orang. Institusi lain yang berpengaruh terhadap media adalah politik.

Pertama, institusi politik yang memengaruhi kehidupan dan kebijakan yang dilakukan oleh media. Misalnya institusi negara yang bisa menentukan sejauh mana kondisi dan limitasi politis di tempat media terbit yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap wacana yang diberitakan. Di negara yang menempatkan pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan kontrol dan pengendalian, maka wacana yang muncul di media menjadi lain dan berpotensi mengancam keberlangsungan kehidupan media tersebut. Media akan memilih wacana berita yang tidak berpotensi membahayakan eksistensinya.. Di negara yang otoriter seperti ketika pemerintahan Orde

Baru yang ditandai oleh pembredeilan, berpengaruh terhadap kebijakan produksi teks di ruang redaksi. Sebuah peristiwa yang menarik dan penting diketahui oleh khalayak pembaca dan berhasil diperoleh wartawan di lapangan, di ruang redaksi terpaksa tidak diturunkan karena dianggap dapat 90

membahayakan posisi media bersangkutan. Di sini, institusi politik tersebut tidak berpengaruh secara langsung terhadap teks berita yang dihasilkan, tetapi terutama menentukan bagaimana suasana ruang redaksi (news room) bergejolak menyikapi suatu informasi.

Kedua, institusi politik dalam arti bahwa media digunakan oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat. Media dapat digunakan oleh kekuatan politik di dalam masyarakat untuk melemahkan dan memarginalkan kelompok lain, di antaranya dengan menggunakan kekuatan media. Bentuk paling ekstrem dari elemen ini adalah media partisan yang sengaja dibentuk untuk mendukung gagasan atau kekuatan politik tertentu dengan menggunakan media sebagai alatnya. Contoh yang paling nyata ketika kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 ketika dua stasiun TV saling berhadapan mendukung gagasan politik kubunya masing- masing, yakni TV One mendukung pasangan Prabowo Subianto - Hatta

Rajasa dengan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Metro TV mendukung pasangan Joko Widodo – M.Jusuf Kalla yang dilabeli dengan Koalisi

Indonesia Hebat (KIH).

12.2.3 Sosial

Level analisis ketiga Fairclough pada elemen praksis sosialkultural ini adalah faktor sosial yang ikut sangat berpengaruh dalam produksi teks berita. Bahkan Fairclough mengatakan bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level sosial budaya masyarakat, misalnya, turut menentukan perkembangan dari wacana media.

Aspek sosial ini lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem 91

ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan di dalam masyarakat dan sejauh mana nilai-nilai kelompok yang berkuasa itu memengaruhi dan menentukan media. Di dalam masyarakat yang kental mengenal ideologi patriarkal maka akan melihat wanita sebagai kelas dua di bawah laki-laki dan nilai ini akan memengaruhi pemberitaan. Dalam berita konflik Partai Golkar variabel sosial dapat disimak melalui salah satu berita berikut:

Dukungan daerah terhadap Aburizal Bakrie untuk mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum Partai Golkar menguat. Dugaan akan adanya skenario dari dewan pimpinan pusat untuk mempercepat penyelenggaraan Musyawarah Nasional Partai Golkar tanggal 27 November 2014 pun muncul dan dikhawatirkan sejumlah pihak … Meski demikian Sekretaris Jenderal Partai Golkar , saat ditemui pers, Senin (10/11), membantah adanya skenario bahwa DPP Golkar sudah menetapkan tanggal munas itu. ‘’Nanti (tanggal munas), kan, terserah peserta rapimnas (rapat pimpinan nasional). Mereka nanti yang menetapkan tanggal munas,’’ ujarnya. Meski demikian, Idrus membenarkan adanya dukungan massif kepada Ketua Umum Aburizal Bakrie. ‘’Ada banyak surat dan faks yang masuk menyatakan dukungan ke beliau,’’ katanya. (K.11-11-2014). Kata “daerah” dan “dewan pimpinan pusat” merujuk kepada representasi kekuatan sosial yang terlibat di dalam produksi teks berita.

Makna kata dan klausa di atas menunjukkan dukungan sosial politik yang terselubung di dalam wacana teks berita.

Fairclough dan Wodak (1997) berpendapat, AWK memandang pemakaian bahasa baik tuturan maupun lisan merupakan bentuk dari praksis sosial. Wacana sebagai praksis sosial melahirkan hubungan dialeksis di antara peristiwa deskriptif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuk atau melingkupinya. Wacana dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasan yang tidak seimbang antara kelas 92

sosial, laki-laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas melalui representasi dalam posisi sosial yang ditampilkan.

Analisis sociocultural practise (praksis sosiokultural) seperti dikemukakan Eriyanto (2001:320) didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Ruang redaksi atau wartawan, bukanlah bidang atau kotak kosong yang steril, melainkan ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Praksis sosiokultural ini memang tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Misalnya, sebuah teks yang dikendalikan atau memarjinalkan posisi perempuan atau suatu kelompok. Teks semacam ini merepresentasikan ideologi patriarhat yang ada dalam masyarakat. Artinya, ideologi masyarakat yang patriarhat itu berperan dalam membentuk teks yang patriarhat juga. Ideologi seperti ini tersebar pada banyak tempat, pada banyak bidang, tempat kerja, saat wawancara, di dalam keluarga, di sekolah, dan banyak lagi.

Bagaimana praksis sosiokultural ini menentukan teks? Menurut

Fairclough (Eriyanto, 2001:321), hubungan itu bukan langsung, melainkan dimediasi oleh praktik wacana. Jika ideologi dan kepercayaan masyarakat itu paternalistik, maka hubungan akan dimediasi oleh teks yang diproduksi dalam suatu proses dan praktik pembentukan wacana. Mediasi meliputi dua hal. Pertama, bagaimana teks tersebut diproduksi. Ideologi patriarhat itu akan mewujud dalam teks tersebut diproduksi dalam ruang-ruang kerja redaksional dan penentuan berita yang akan menghasilkan teks berita tertentu. Praksis wacana inilah yang secara langsung akan menentukan teks yang patriarhat tersebut diproduksi. Kedua, khalayak juga akan 93

mengonsumsi dan menerima teks tersebut dalam pandangan yang patriarhat. Khalayak memang suka membaca berita mengenai pemerkosaan yang korbannya wanita. Dengan penafsiran konsumsi semacam ini, teks yang bias gender tersebut tidak dipandang aneh oleh khalayak, dianggap sebagai suatu kenyataan, tidak perlu dkritisi.

Faktor institusi yang penting yang penting adalah berbubungan dengan ekonomi media. Produksi berita di media kini tidak mungkin bisa dilepaskan dari pengaruh ekonomi media yang sedikit banyak bisa berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan.

Pertama, tentu saja pengiklan yang menentukan kelangsungan hidup media. Berita harus dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak saja menarik perhatian dan minat orang untuk beriklan di media tersebut, tetapi juga tidak memberikan pemahaman negatif pengiklan yang dapat saja berimbas pada keengganan pengiklan memasang produknya pada masa yang akan datang.

Kedua, khalayak pembaca yang dalam industri modern ditunjukkan dengan data-data seperti oplah dan rating. Ukurannya adalah menjadi bahan bacaan dan tontonan sebanyak-banyaknya orang. Karena berpotensi menarik khalayak sebanyak-banyaknya, wartawan yang memproduksi berita harus menciptakan “berita yang baik” yang dibaca dan disukai oleh banyak orang. Tema yang diangkat dipilih, disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan khalayak. Guna menarik perhatian khalayak, dan pada akhirnya pengiklan, pemberitaan pada akhirnya juga melakukan dramatisasi isu, sehingga menarik minat orang untuk membaca atau melihat berita.

Ketiga, persaingan antarmedia terjadi, karena pada dasarnya media memperebutkan pembaca dan pengiklan yang sama dan berhadapan 94

dengan peristiwa yang sama pula. Oleh sebab itu, persaingan antarmedia dapat menjadi faktor yang menentukan bagaimana berita diproduksi.

Keempat, bentuk intervensi institusi ekonomi lain adalah modal atau kepemilikan terhadap media. Media menjadi tidak sensitif terhadap berita- berita yang berkaitan atau mempunyai hubungan dengan pemilik modal.

Kepemilikan ini juga harus dihubungkan secara luas dengan jejaring kapitalisme yang merambah dan memasuki bidang apa saja, termasuk bidang media.

Selain ekonomi media, Eriyanto (2001:324) juga mengatakan bahwa faktor institusi lain yang berpengaruh adalah politik. Kesatu, institusi politik yang memengaruhi kehidupan dan kebijakan yang dilakukan oleh media.

Misalnya, institusi negara yang bisa menentukan sejauh mana kondisi dan limitasi politis di mana media terbit yang sedikit banyak akan sangat berpengaruh terhadap wacana yang diberitakan. Di negara, tempat pemerintah memiliki wewenang dapat melakukan kontrol dan pengendalian, seperti ketika pemerintahan Orde Baru, maka akan bisa memengaruhi secara signifikan wacana yang muncul di media. Media akan tunduk untuk menghindari gangguan terhadap kelanjutan kehidupan media tersebut, misalnya pencabutan izin terbit atau pembreidelan seperti yang terjadi pada saat Harmoko menjabat Menteri Penerangan di bawah Presiden Soeharto.

Berita yang semula diperoleh di lapangan dianggap menarik bagi wartawan, di ruang redaksi terpaksa diturunkan, karena dianggap dapat membahayakan posisi media yang bersangkutan. Posisi institusi politik tidak berpengaruh langsung terhadap teks berita yang dihasilkan, tetapi sangat menentukan suasana ruang redaksi (news room). Pertimbangan tersebut 95

menentukan apakah peristiwa tertentu akan diberitakan apa adanya ataukah dipotong. Kalau dipotong, bagian mana yang dihilangkan, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, produksi berita melibatkan faktor yang kompleks, karena menyertakan dan berkaitan dengan banyak kekuatan dan aspek yang ada dalam masyarakat dan hasil akhir dari seluruh proses negosiasi semacam itu adalah berita. Pengaruh institusi politik ini juga dapat dideteksi pertama, bagaimana institusi tersebut melakukan regulasi dan aneka pengaturan yang membatasi proses produksi berita. Regulasi dan berbagai pelarangan dan kewajiban yang harus dilakukan akan menentukan apa yang bisa dan boleh diliput.

Kedua, institusi politik dalam arti bahwa media digunakan oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyatakat. Media bisa menjadi alat kekuatan-kekuatan dominan yang ada dalam masyarakat untuk merendahkan dan memarjinalkan kelompok ;lain, di antaranya dengan menggunakan media. Contohnya, media menyediakan ruang promosi bagi kekuatan-kekuatan politik tertentu. Bentuk ekstrem dari elemen ini adalah media partisan yang sengaja dibentuk untuk mendukung gagasan dan kekuatan politik tertentu dengan menggunakan media sebagai alatnya.

Politik lewat media tersebut selain dengan media partisan yang memang secara sengaja diciptakan untuk tujuan politik, juga kontrol terhadap pikiran khalayak yang dilakukan secara tidak sengaja oleh media. Contoh konkret terjadi ketika berlangsung pemilihan presiden (pilpres) 2014, ketika dua media TV nasional menjadi media partisan yang memperjuangkan kelompoknya masing-masing. 96

Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitan adalah faktor sosial. Fairclough (Eriyanto, 2001: 325) menegaskan bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level sosial, budaya masyarakat, misalnya, turut menentukan perkembangan dari wacana media. Kalau aspek situasional lebih mengarah pada waktu dan suasana yang mikro (konteks peristiwa saat teks berita dibuat), aspek sosial lebih melihat pada aspek makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini menentukan siapa yang berkuasa dan nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat dan kelompok yang berkuasa memengaruhi dan menentukan media. Misalnya dalam masyarakat sangat kental ideologi patriarhat yang melihat wanita sebagai kelas dua di bawah laki-laki, nilai-nilai ini akan ikut memengaruhi pemberitaan. Teks berita yang dibuat oleh wartawan dari sistem politik otoriter tentu saja berbeda dengan teks berita dari wartawan yang dihasilkan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang ditandai dengan persaingan dan perebutan modal, tentu saja akan berbeda dengan teks berita dalam sistem ekonomi sosialisme.

Dari seluruh aspek teori Fairclough tersebut, penulis menggunakan aspek praksis sosiokultural untuk mengungkapkan sisi sosial wacana dengan memilih elemen situasional yang dijadikan sebagai aspek yang mencerminkan situasi teks diproduksi; elemen institusional menyangkut pengaruh institusi dalam praktik produksi wacana); dan elemen sosial yang lebih melihat faktor makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat. 97

12.3 Perangkat Framing

Pendekatan perangkat framing (pembingkaian) dalam kajian wacana kritis adalah satu pendekatan untuk mengetahui perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.

Cara pandang ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian apa yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa ke mana berita tersebut. Badara (2012:10) mengatakan, framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa, sehingga dihasilkan sebuah wacana (discourse). Pembentukan frame ini didasarkan atas berbagai kepentingan internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politik maupun ideologis. Secara praktis analisis framing ini menggambarkan praktik wartawan membingkai suatu realitas.

Metode pembingkaian seperti ini digunakan wartawan yang oleh

Hamad (2004:108) disebut sebagai agenda tersembunyi media di balik teks yang dibuatnya. Dan, amanat yang diusung media tersebut hanya dapat diungkap dengan menggunakan AWK, khususnya menggunakan analisis pembingkaian.

Pendekatan analisis perangkat framing memandang wacana berita sebagai semacam arena perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dan pokok persoalan wacana. Masing-masing pihak menawarkan perspektif dalam memberikan pemaknaan terhadap suatu persoalan agar diterima oleh khalayak. Media massa dipandang sebagai pentas bertemunya pihak-pihak dengan beragam kepentingan, latar belakang, dan sudut pandang yang tidak sama. Setiap pihak – disadari atau tidak – berusaha menonjolkan dasar penafsiran, klaim atau argumentasi 98

masing-masing berkaitan dengan persoalan yang diberitakan. Contoh soal yang paling nyata, topik-topik diskusi para pengunjung warung kopi (warkop) adalah membahas wacana berita yang menarik pada hari itu menurut versi dan penafsiran mereka masing-masing.

Framing sebuah berita bertujuan dapat memudahkan untuk memahami, mengklasifikasi, bertindak, dan mengantisipasi akibat yang mungkin lahir dari suatu peristiwa. Framing pun berguna untuk menyodorkan realitas kepada khalayak mengenai suatu hal untuk memberi informasi, memperoleh kesan, mengubah kesan pembaca agau menyusun kembali kesan dalam benak pembaca. Singkatnya membuat pembaca berpikir sebagaimana yang dipikirkan media. (Eriyanto, 2011).

Dalam penelitian ini dipilih elemen analisis perangkat framing

(pembingkaian), yakni metafora, frasa, dan analisis kausalitas model perangkat penalaran karena ketiga elemen tersebut sudah mewakili analisis dalam penelitian ini dan saling melengkapi dengan analisis berdasarkan teori-teori lain yang digunakan. Elemen-elemen tersebut akan dianalisis dengan objek kajian wacana berita tiga media cetak yang dijadikan sampel penelitian. Dari analisis menggunakan perangkat framing (pembingkaian) diharapkan terungkap praktik wartawan ,mengonstruksi realitas atau peristiwa menjadi teks wacana berita untuk memengaruhi pendapat khalayak atau pembaca serta memosisikan media-media itu berpihak.

Perangkat pembingkaian ini berhubungan atau berkaitan langsung dengan ide atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita. Pembingkaian ini ditandai dengan pemakaian kata, kalimat, grafik/gambar, dan metafora tertentu, akan tetapi dalam penelitian ini penulis menggunakan metafora dan 99

frasa pada elemen perangkat pembingkaian serta kausalitas sebagai salah satu elemen perangkat penalaran. Elemen-elemen ini dapat ditandai serta merujuk pada gagasan atau ide sentral tertentu. Analisis melalui elemen- elemen tersebut diharapkan dapat mengungkapkan cara kerja wartawan melakukan pembingkaian dalam pemberitaan konflik Partai Golkar.

Salah satu pisau analisis pembingkaian dalam perangkat framing ini menurut Gamson dan Modigliani (Eriyanto ,2001:262) mencakup framing devices (perangkat pembingkaian) dan Reasoning Devices (perangkat penalaran). Perangkat pembingkaian meliputi methapors (perumpaman atau pengandaian), Catchphrases (frasa), exemplar (mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian yang memperjelas bingkai), depiction (penggambaran atau pelukisan suatu isu yang konotatif), dan visual images (gambar, grafiks, citra) yang mendukung bingkai secara keseluruhan.

Dari seluruh variabel analisis perangkat framing tersebut dalam penelitian ini penulis memilih dua variabel pada perangkat framing, yakni metafora dan frasa dan satu variabel pada perangkat penalaran, yakni roots atau sebab akibat (kausalitas). Pemilihan variabel-variabel tersebut dianggap cukup merepresentasikan analisis perangkat framing dalam penelitian yang dikombinasikan dengan analisis piranti kebahasaan pada teori van Dijk dan

Fairclough untuk mengungkapkan keberpihakan media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar.

12.3.1 Metafora

Variabel metafora dalam penelitian analisis wacana kritis menjadi aspek yang menarik, sehingga baik Gamson maupun van Dijk juga sama- 100

sama memasukkan variabel ini di dalam teorinya. Seorang wartawan di dalam memproduksi teks berita tidak hanya menyampaikan pesan pokok, tetapi juga selalu memiliki kecenderungan menyampaikan kiasan atau ungkapan yang merupakan ornamen atau bumbu dari teks.

Dalam penelitian ini dipilih dua variabel yakni metafora dan frasa menurut teori Gamson. Penggunaan metafora dalam analisis perangkat pembingkaian (framing) bertujuan untuk melihat penggunaan piranti kebahasaan pengandaian atau perumpamaan dalam suatu teks, dalam hal ini teks wacana berita untuk menjelaskan dan mengungkapkan keberpihakan media. Misalnya dalam contoh data berikut ini:

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditunjuk Mahkamah Partai Golkar sebagai Ketua Tim Transisi Penyelesaian Konflik Internal Partai Golkar mengingatkan, Golkar tidak milik satu atau dua orang. Golkar juga bukan perusahaan, melainkan partai politik. (K.18-1-2016).

Kata ‘’perusahaan’’ dalam teks di atas dimaksudkan sebagai perumpamaan terhadap pengelolaan partai sebagai satu lembaga politik yang menjurus kepada model pengelolaan organisasi bisnis. Menurut

Moeliono (1991) majas metafora kata “perusahaan” merupakan majas perbandingan, yakni membandingkan partai politik (dalam hal ini Partai

Golkar) dengan perusahaan. Wahab (1986) mengatakan bahwa secara gramatikal membedakan metafora atas: (i) metafora nominatif (baik yang subjektif maupun yang objektif), (ii) metafora predikatif, dan (iii) metafora kalimat. Dalam penelitian ini metafora yang digunakan dalam pengertian metafora nominatif yang berkaitan dengan objek.

101

12.3.2 Frasa

Variabel kedua yang dipilih adalah frasa, yakni mengidentifikasi penggunaan piranti kebahasaan frasa dalam teks wacana berita konflik

Partai Golkar untuk menjelaskan keberpihakan media. Contoh penggunaan frasa dalam teks wacana berita adalah sebagai berikut:

Politikus senior Partai Golkar itu menilai, perpecahan internal Partai Golkar sudah tergolong parah dan eksesif. Konflik tidak hanya di antara dua kubu DPP Partai Golkar, yakni kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, tetapi juga di internal kedua kubu. Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi-faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan.( K.8-1-2016).

Penggunaan frasa atau ungkapan “saling jegal” dalam penelitian ini merupakan salah satu aspek piranti kebahasaan yang dapat mengungkapkan keberpihakan dan netralitas media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Pemilihan frasa dalam pemberitaan merupakan agenda diskusi dan debat yang terjadi di ruang redaksi, terutama pilihan frasa yang ditempatkan pada judul berita. Hal ini disebabkan judul berita harus mampu memberikan daya hentak dan kejut kepada para pembaca.

12.3.3 Kausalitas

Analisis kausalitas akan mengungkapkan kecenderungan dan alasan wartawan dalam memproduksi teks dari sisi sebab akibat. Bahwa teks yang diproduksi melalui wacana berita tidak mengada-ada, tetapi itu benar, alamiah, faktual, dan memang apa adanya. Ketika khalayak mencari koherensi antara kalimat yang satu dengan yang lainnya akan ditemukan kohesivitasnya. Elemen sebab akibat ini dapat ditandai sebagai pemicu lahirnya suatu hasil atau akibat. Misalnya, dalam kasus terjadinya konflik

Partai Golkar merupakan akibat, sedangkan terpecahnya dukungan 102

terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden 2014 merupakan sebab.

Akan tetapi pada perkembangan berikutnya. konflik yang semula menjadi akibat, akan berubah posisi sebagai sebab, jika muncul akibat lain dari konflik tersebut. Dalam kasus konflik Partai Golkar yang menjadi pemicunya adalah terpecahnya dukungan para elite pengurus Dewan

Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dan kawan- kawan ke kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan kubu Agung

Laksono dan kawan-kawan yang mendukung pasangan Joko Widodo-

M.Jusuf Kalla para pemilihan presiden 2014. Oleh sebab itu, pemicu awal tersebut melahirkan sejumlah akibat lain. Misalnya, perebutan kursi ketua fraksi di DPR merupakan akibat, sedang yang menjadi sebab adalah konflik

Partai Golkar.

Oleh sebab itu, antara fakta yang satu dengan yang lainnya harus saling berhubungan (berkoherensi). Antara kalimat yang satu dengan yang lain saling mendukung, satu bagian yang lain, satu bagian menjadi sebab atau akibat dari proposisi yang lain. Proposisi menurut Kridalaksana (1993) adalah konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi dari pembicaraan; terjadi dari predikator yang berkaitan dengan satu argumen atau lebih.

Analisis pembingkaian berdasarkan variabel ini lebih menekankan kepada perangkat penalaran, yakni bagaimana suatu teks berita disertai dengan penjelasan yang berdasar penalaran atau pemikiran suatu fakta.

Penjelasan penalaran seperti ini juga dikaitkan dengan hubungan antara teks 103

yang satu dengan yang lainnya yang lebih memberikan proses pencerahan dan pemahaman keapada seseorang. Misalnya saja dalam teks berikut ini:

“Rakyat berhak mengetahui kualitas calon presiden agar rakyat tidak membeli kucing dalam karung. Karena itu, calon presiden harus berani menampilkan program di depan rakyat, dan berani pula dikiritik. Supaya elite politik tidak mendapat cek kosong”. (Eriyanto,2011).

Variabel kausalitas dalam teks wacana berita pada penelitian ini adalah bagaimana wartawan sebagai pihak yang memproduksi teks menampilkan satu fakta yang saling terkait dalam hubungan sebab akibat.

Pengembangan dan penjabaran akibat suatu fakta yang menjadi sebab munculnya suatu peristiwa dapat beragam. Setiap munculnya akibat baru dari fakta berita tersebut merupakan ‘’makanan empuk’’ bagi media dalam usahanya terus mengembangkan berita suatu kasus, seperti halnya dengan berita konflik Partai Golkar. Konflik partai politik merupakan tambang berita yang sangat menarik perhatian publik karena berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama, yakni Agustus 2014 hingga Mei 2016.

Penerapan variabel.kausalitas dalam penelitian ini dapat dilihat pada data teks berita berikut ini:

Dualisme kepemimpinan Partai Golkar tak hanya menunjukkan ajang perebutan kekuasaan internal partai, tetapi juga melupakan kewajiban mengelola partai dengan baik. Akibatnya, listrik, gaji karyawan, dan pajak serta biaya pengamanan kantor DPP Partai Golkar pun tertunggak dan belum juga dibayarkan. (K.3-1-2016).

Pada teks berita tersebut di atas fakta yang menjadi pemicu pertama konflik sudah tidak mengemuka dalam teks berita. Justru yang tampak adalah terjadinya dualisme kepemimpinan yang mengindikasikan terjadinya perebuatan kekuasaan di internal partai. Dualisme kepemimpinan sebagai 104

sebab kemudian melahirkan akibat yakni terabaikannya kewajiban partai terhadap pengelolaan rumah tangga partai dan kesejahteraan para karyawannya.

Analisis piranti kebahasan elemen kausalitas terhadap teks-teks diharapkan dapat mengungkapkan keberpihakan dan netralitas tiga media yang dijadikan sampel dalam berita konflik Partai Golkar.

B. Tinjauan Hasil Penelitian

1. Struktur Mikro

Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini juga dilakukan oleh Jufri (2006) untuk penulisan disertasi yang berjudul “Struktur Wacana Lontara La Galigo”.

Penelitian ini berfokus pada wacana Klasik Lontara La Galigo menggunakan pendekatan linguistik kritis dengan mengadaptasi model Teun van Dijk. Di dalam penelitiannya, dia merepresentasikan ideologi kalimat kultural yang dikaitkan dengan ketiga struktur dari teori van Dijk, yakni struktur super, struktur makro, dan struktur mikro yang merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan juga menemukan ideologi yang terbuka dan ideologi yang tertutup. Hasil penelitian Jufri ini setidak-tidaknya dapat membangkitkan semangat dan kesadaran masyarakat, khususnya masyarakat Bugis untuk mengkaji budaya lokalnya, khusus yang tersimpan di dalam naskah-naskah lama, seperti Lontara. Meskipun peneliti tersebut menggunakan teori yang sama dengan yang dilakukan dalam penelitian ini, namun objek yang diteliti berbeda. 105

Penelitian lain dengan judul “Analisis Wacana Kritis: Strategi Politik dalam Penggunaan Bahasa dalam Pidato Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono” dilakukan oleh Sumarti (2009). Fokus penelitian ini berkaitan dengan profil kebahasaan Wacana Politik SBY pada tataran struktur makro, mikro yang lebih pada konteks proses produksi dan kebermaknaan. AWK memandang bahasa sebagai suatu bentuk praktik sosial. Dalam pidatonya,

SBY menggunakan strategi memanfaatkan kata-kata pesona (kata yang bernuansa reformasi dan keterbukaan). Pengambilan naskah pidato SBY juga dilakukan secara acak dengan berorientasi pada pendekatan verbal, yakni wacana pidato yang diungkapkan SBY dan diekspresikan dalam wujud rangkaian kalimat, seperti kalimat ajakan, kalimat harapan, dan kalimat pernyataan.

Penelitian yang dilakukan Sumarti tersebut menganalisis strategi politik dalam penggunaan bahasa dari sisi AWK pidato-pidato yang digunakan Susilo Bambang Yudhoyono. Di dalam penelitian ini meskipun digunakan teori yang sama dengan peneliti tersebut, namun berbeda dalam memilih objek penelitian, yakni berusaha mengungkapkan dan mendeskripsikan keberpihakan dan netralitas media cetak dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Objek penelitian Sumarti lebih fokus pada wacana pidato seorang tokoh, sementara penulis menganalisis tiga suratkabar yang dijadikan populasi dengan sampel teks berita-berita dari ketiga media tersebut sebagai bahan analisis.

Penelitian lain dilakukan Azis berjudul “Analisis Wacana Kritis Berita

Politik Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2009” yang bertujuan mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan mengeksplanasi 106

representasi ideologi dalam struktur makro, mikro dan struktur super berita politik pemilihan presiden dan wakil presiden RI tahun 2009. Peneliti dalam karyanya menemukan hasil tentang ideologi dalam berita politik pemilihan presiden dan wakil presiden RI tahun 2009 yang direpresentasikan melalui tiga unsur, yakni struktur makro, mikro, dan struktur super.

Dalam struktur super direpresentasikan melalui dua topik utama, yakni tampilan peristiwa dan topik tampilan tokoh. Struktur makro merepresentasikan ideologi melalui penggunaan kosakata yang meliputi: (1) kosakata yang diperjuangkan, (2) relasi makna, (3) metafora, (4) kategori kata, (5) penggunaan gaya bahasa, (6) kosakata informal, dan (7) pronominal. Pada struktur super, representasi ideologi melalui bagian pendahuluan dan pembahasan berita.

Penelitian yang dilakukan Azis mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan mengeksplanasi representasi ideologi dalam struktur makro, mikro, dan struktur super berita politik pemilihan presiden dan wakil presiden RI tahun

2009, berbeda dengan yang dilakukan penulis. Penulis dalam penelitian ini mengungkapkan dan mendeskripsikan aspek piranti linguistik dan menganalisis bagaimana tiga teori (van Dijk, Fairxlough, dan Gamson) bekerja dalam menganalisis wacana keberpihakan dan netralitas media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar.

Penelitian lain yang menggunakan teori van Dijk dilakukan Kone

(2017) berjudul “Konfigurasi Ideologi pada Pidato Soekarno: Analisis Wacana

Kritis”. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan, menginterpretasi, dan mengeksplanasi konfigurasi ideologi dalam struktur super, struktur makro, dan struktur mikro wacana Pidato Soekarno tahun 1965-1967 dengan 107

menggunakan AWK model Teun van Dijk sebagai model utama yang dipadu dengan model Norman Fairclough dengan elemen analisis praktik kewacanaan dan praksis sosiokultural.

Hasil penelitian Kone menunjukkan bahwa konfigurasi ideologi pada teks pidato Soekarno 1965-1967 direpresentasikan dalam tiga struktur, yaitu: struktur super, struktur makro, dan struktur mikro. Dalam struktur super, konfigurasi ideologi melalui bagian pendahuluan dan pembahasan pidato.

Struktur makro, konfigurasi ideologi direpresentasikan melalui dua topik utama, yaitu latar historis, dan tampilan peristiwa tahun 1965 dan tahun

1966. Latar historis dilihat secara eksplisit dan secara implisit. Struktur mikro, konfigurasi ideologi direpresentasikan melalui penggunaan kosakata dan penggunaan kalimat. Konfigurasi ideologi melalui kalimat meliputi: (1) kalimat eksprensial, (2) kalimat relasional, dan (3) kalimat ekspresi. Sementara konfigurasi ideologi melalui pilihan kata terdiri atas: (1) relasi makna: sinonim, antonym, (2) metafora, terdiri atas: metafora nominatif, metafora predikat, dan metafora kalimat, (3) repetisi, (4) kata serapan, dan (5) pronominal persona.

Meskipun teori yang digunakan Kone sama dalam penelitian ini, elemen analisis dan objek yang dikaji berbeda. Di dalam penelitian penulis digunakan elemen struktur mikro terhadap teks wacana berita yang struktur wacananya sama sekali berbeda dengan struktur wacana pidato yang memiliki pendahuluan dan pembahasan. Teks wacana berita sama sekali tidak memiliki pendahuluan dan pembahasan, karena semua teks wacana merupakan suatu informasi yang utuh dan lengkap. Oleh sebab itu, hasil- hasil penelitian terdahulu berbeda dengan yang dilakukan peneliti. 108

2. Sosiokultural

Penelitian lain yang menggunakan satu teori yakni Norman Fairclough dilakukan oleh Hamad (2004) berjudul “Konstruksi Realitas Politik dalam

Media Massa, Sebuah Studi Critical Discourse Analisys terhadap Berita- berita Politik”. Penelitian ini secara khusus membahas konstruksi realitas politik berita-berita sembilan partai politik dari sepuluh koran nasional selama kampanye Pemilu tahun 1999 dengan menggunakan teori Fairclough.

Penelitian Hamad dengan Penulis berbeda. Penulis menggunakan tiga teori yang saling melengkapi dengan objek kajian teks berita konflik Partai Golkar yang dimuat tiga media cetak, sehingga berbeda dengan apa yang diteliti oleh Hamad.

Penelitian lain dilakukan oleh Badara (2007) sebagai bahan disertasi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berjudul “Analisis Wacana: Teori,

Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media” menggunakan teori Van

Leeuwen. Penelitian ini yang kemudian direformulasi menjadi sebuah buku ajar yang dijadikan penuntun dalam penelitian yang berkaitan dengan kajian analisis wacana untuk mengungkap lebih jauh dan misi yang tersembunyi di balik wacana media. Penelitian Badara menyoal masalah penerapan analisis wacana pada beberapa surat kabar mencakup lead wacana berita, judul wacana berita, dan isi wacana berita, tetapi tidak secara khusus dan terperinci membahas wacana berita media. Badara membahas judul wacana berita dari sisi strategi wacana, sementara penulis lebih fokus membahas dan mengkaji aspek berita secara lebih komprehensif, yakni dari sisi penggunaan teks dari elemen struktur mikro, praksis sosiokultural, dan 109

analisis pembingkaian (framing analysis) berita konflik Partai Golkar untuk mengungkapkan keberpihakan dan netralitas ketiga media cetak.

Penelitian yang berkaitan dengan penggunaan teori AWK juga dilakukan oleh Khan (2015) dengan judul “Bahasa Advokasi Media Islam di

Indonesia: Analisis Wacana Kritis,” yang dipertahankan dalam ujian promosi doktor di Universitas Hasanuddin pada tanggal 21 Januari 2015. Penelitian

Khan secara khusus menganalisis bahasa advokasi media Islam di

Indonesia dengan menggunakan tiga media cetak Islam sebagai sampel, yakni Majalah “Sabili”, Majalah “Suara Hidayatullah”, dan Tabloid “Media

Umat” menggunakan teori Roger Fowler dan teori framing William

A.Gamson. Meskipun menggunakan AWK sebagai pisau analisis, Khan secara khusus membahas bahasa advokasi sebagai objek kajiannya.

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji berita konflik partai politik pada ketiga media yang dijadikan sampel dengan pendekatan teori yang berbeda dengan

Khan, sehingga kedua penelitian ini berbeda.

3. Perangkat Framing

Khan dalam pembahasan penelitiannya yang menggunakan teori framing Gamson menganalisis level konteks. Dalam penelitiannya, Khan mengungkapkan terdapat korelasi analisis teks dan konteks yang menjadi karakteristik linguistik bahasa advokasi, yaitu dalam analisis teks berita.

Dalam analisis konteks media Sabili yang dijadikan sampel dengan media majalah Suara Hidayatullah dan Tabloid Media Umat. Jadi antara penelitian

Khan dengan penulis berbeda aspek yang hendak dikaji. 110

Penelitian yang membahas analisis framing juga dilakukan Nurdin

(2002) dengan teori Zhongdang Pan dan Gerald M.Kosicki yang secara khusus membeberkan citra Amerika Serikat dan sekutunya terhadap rencana mereka menyerang Irak yang bersumber dari 271 unit berita harian Fajar.

Nurdin menggunakan formulasi AWK model Teun van Dijk.

Penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan penelitian- penelitian terdahulu, meskipun menggunakan teori AWK yang sama. Objek penelitian penulis adalah berita konflik internal Partai Golkar. Perbedaan yang menonjol dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah pemanfaatan piranti linguistik dalam wacana berita konflik Partai Golkar berdasarkan teori van Dijk, Fairclough, dan Gamson untuk mengungkapkan keberpihakan dan netralitas ketiga media cetak.

Dari beberapa kajian terdahulu banyak penelitian yang menggunakan

AWK berkaitan dengan kajian dari sisi disiplin ilmu komunikasi. Adapun kajian AWK yang menganalisis pirantik linguistik tentang berita konflik suatu partai politik yang memadukan model struktur mikro Teun van Dijk, model sosiokultural Norman Fairclough, dan analisis framing William A.Gamson merupakan kajian baru sebagaimana dipilih dalam penulisan disertasi ini.

Ketiga teori ini masing-masing akan saling melengkapi. Struktur mikro akan mengungkapkan keberpihakan da netralitas masing-masing media melalui analisis teks dengan menggunakan elemen semantik dalam wacana berita konflik Partai Golkar. Analisis praksis sosiokultural pun akan mengungkapkan keberpihakan dan netralitas media berdasarkan elemen situasional, institusional, dan sosial. Sementara melalui analisis perangkat framing juga dengan elemen analisis perangkat framing metafora dan frasa 111

serta perangkat penalaran kausalitas akan diungkapkan keberpihakan dan netralitas masing-masing media. Dengan demikian, jelas ketiga variabel utama analisis ini akan saling menunjang dalam mengungkapkan keberpihakan dan netralitas tiga media tersebut. Jadi, analisis ketiga teori ini akan bermuara pada upaya mengungkapkan keberpihakan dan netralitas tiga media melalui teks wacana berita konflik Partai Golkar yang dijadikan sampel dalam penelitian ini.

C. Wacana Kritis dan Berita Konflik Partai Golkar

Dalam pemberitaan tiga media cetak yang dijadikan sampel akan dilihat bagaimana berita konflik Partai Golkar dianalisis menggunakan pisau

AWK. Bagaimana setiap media melihat fakta yang diberitakan sesuai dengan pandangan pluralis yang menempatkan fakta apa adanya dan wartawan meliput suatu realitas eksternal yang ada di luar diri seorang wartawan.

Pandangan ini berlawanan dengan pandangan kritis yang menempatkan fakta adalah sesuatu yang semu, karena merupakan partarungan ideologi dari kelompok dan aspek sosial, politik, dan ekonomi yang dominan.

Bagaimana ketiga media memosisikan dirinya masing-masing dianalisis melalui analisis wacana kritis. Dan, bagaimana posisi wartawan dalam pandangan pluralis dan kritis berkaitan dengan berita konflik Partai Golkar tersebut.

Bagaimana wacana pemberitaan konflik Partai Golkar ketiga media akan mengungkapkan aspek ideologis masing-masing pihak yang berkonflik dengan menggunakan kata dan kalimat tertentu sebagai bentuk pertarungan untuk memenangkan kelompoknya masing-masing. Juga berkaitan dengan 112

penekanan makna di balik kata dan kalimat yang digunakan dalam wacana tersebut. Suatu wacana terdiri atas tiga struktur yang saling mendukung antara satu struktur dengan struktur yang lainnya, yakni struktur super, struktur mikro, dan struktur makro (van Dijk, 1998, Eriyanto, 2001).

Perspektif AWK dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa aspek, yakni (1) struktur linguistik, membuat sistem, mentransformasi, mengatur ide, dan mengklarifikasi informasi: (2) teks sebagai realitas wacana, (3) bahasa sebagai alat mengklasifikasikan pengalaman berupa kategori kultural; (4) fitur-fitur wacana yang merupakan gejala yang mencerminkan perbedaan kelas, kekuasaan, dan dominasi; (5) terdapat dominasi satu bentuk ideologi diskursif tertentu; (6) terdapat hubungan dialektif antara struktur mikro dan struktur makro (sosiokultural); (7) wacana bersifat historis, wacana diproduksi dan tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan konteks, dan (8) analisis wacana bersifat penafsiran dan eksplanatori,

Pandangan para ahli tersebut relevan dengan upaya analisis yang dilakukan terhadap pemberitaan ketiga media tersebut tentang konflik Partai

Golkar. Di dalam berita konflik Partai Golkar merupakan rangkaian wacana yang terdiri atas; (1) struktur linguistik, membuat sistem, mentranformasi, mengatur gagasan/ideologi, dan mengklarifikasi fakta atau informasi sebagai bahan pemberitaan konflik; (2) berita konflik Partai Golkar merupakan teks wacana; (3) bahasa yang digunakan dalam berita konflik Partai Golkar sebagai alat untuk mengklasifikasi pengalaman para pihak yang berkonflik berupa kategori ideologi; (4) fitur-fitur wacana dalam berita konflik Partai

Golkar ketiga media merupakan gejala persoalan yang menarik perhatian publik, karena berkaitan dengan pertarungan ideologi dan kepentingan dari 113

kelompok dominan dan tidak dominan; (5) dalam berita konflik Partai Golkar terdapat kelompok yang dominan dengan ideologis diskursif tertentu; (6) dalam berita konflik Partai Golkar terdapat hubungan dialektis antara struktur mikro dan struktur makro; (7) wacana berita konflik Partai Golkar bersifat historis, karena berhubungan wacana yang diproduksi sebelumnya

(intertekstual).

Wacana berita konflik Partai Golkar ini merupakan wacana sosial politik dan ideologis yang menarik dikaji, karena selain pertama kali terjadi, juga melanda partai besar yang memiliki rekam jejak sebagai pendukung pemerintah yang berkuasa dalam rentang waktu yang lama, yakni sepanjang pemerintahan Orde Baru. Sisi yang menarik lain, konflik ini telah membawa dampak yang serius dalam proses kehidupan berpemerintahan, berbangsa, dan bernegara, khususnya yang berkaitan dengan pengusulan nama calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia. Hingga kini, dualisme di tubuh Partai Golkar juga berimbas kepada adanya dualisme dalam pemberian rekomendasi terhadap calon kepala/wakil kepala daerah di seluruh daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak Desember 2015.

Secara umum ketiga media cetak yang dijadikan objek penelitian memiliki kecenderungan tersendiri terhadap pemberitaan konflik Partai

Golkar. harian Kompas misalnya, secara selektif memberitakan konflik ini.

Sejak awal konflik November 2014 Januari 2016, penulis menemukan sejumlah berita yang menyorot konflik ini. Demikian halnya dengan harian

Republika. Sementara Koran Tempo memberi ruang (space) yang cukup 114

besar terhadap berita konflik ini. Media ini hampir setiap hari memberitakan konflik tersebut secara rutin.

D. Kerangka Pikir

AWK pada penelitian ini memanfaatan objek kajian meda massa dengan menggunakan piranti kebahasaan untuk mengungkap keberpihakan media. Objek difokuskan pada pemberitaan konflik Partai Golkar yang dimuat oleh tiga media cetak, yakni harian Kompas, harian Republika, dan Koran

Tempo dengan menggunakan teori Teun van Dijk, Norman Fairclough, dan

William Gamson. Dari tiga media cetak tersebut dipilih teks berita kemudian dianalisis dengan menggunakan ketiga teori tersebut sebelumnya.

Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa menurut van

Dijk wacana terdiri atas tiga struktur yang masing-masing bagian saling berhubungan dan mendukung, yakni: struktur super, struktur makro, dan struktur mikro. Namun dalam penelitian ini dipilih struktur mikro dengan elemen analisis semantik yang mencakup variabel: latar, detil, dan maksud.

Teori Fairclough dititikberatkan pada analisis wacana dengan melihat dimensi praksis sosiokultural yang meliputi tiga variabel yakni; situasional, institusional, dan sosial. Sedangkan analisis framing teori William A. Gamson dipilih elemen perangkat framing variabel metafora dan frasa dan elemen perangkat penalaran dipilih variabel kausalitas (sebab-akibat).

Analisis menggunakan piranti kebahasaan terhadap tiga teori tersebut diharapkan mengungkap kecenderungan keberpihakan tiga media dalam teks wacana pemberitaan konflik Partai Golkar. Setiap analisis variabel piranti kebahasaan terhadap teks wacana berita yang dimuat tiga media 115

cetak tersebut dikaji kecenderungan keberpihakannya sebagai produk akhir hasil penelitian ini.

Wartawan sebagai penulis berita bukan merupakan pihak yang bebas nilai, melainkan subjek pemberitaan yang tidak dapat dipisahkan dengan berbagai kepentingan, misalnya kepentingan pemodal dan pelaku politik yang menjadi mitranya. Hal ini dapat diungkapkan melalui pilihan teks dan bahasa yang digunakan, di samping penonjolan aspek-aspek tertentu yang berpotensi menguntungkan atau merugikan suatu pihak yang ada dalam pemberitan. Oleh sebab itu, AWK merupakan pisau analisis yang tepat untuk mengungkapkan aspek kecenderungan media atau sosok tertentu yang direpresentasikan oleh media dalam suatu wacana, khususnya di dalam teks berita.

Penelitian ini memilih aspek praksis sosiokultural untuk melihat aspek- aspek sosiokultural yang memengaruhi wartawan dalam memproduksi teks.

Variabel-variabel itu meliputi: situasional, institusional, dan sosial. Elemen situasional melihat situasi dan kondisi pada saat teks diproduksi. Elemen institusional untuk menggambarkan apakah peran institusional internal dan eksternal media berpengaruh terhadap wartawan dalam memproduksi teks.

Adapun elemen sosial adalah untuk mengungkapkan aspek makro yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang ikut memengaruhi wartawan dalam memproduksi teks.

Pada teori analisis perangkat framing (pembingkaian) William Gamson digunakan dua variabel pada elemen perangkat pembingkaian, yakni metafora dan frasa, dan satu variabel pada elemen perangkat penalaran, yakni kausalitas. Variabel metafora dalam analisis pembingkiaian ini 116

menganalisis praktik wartawan mengonstruksi realitas atau peristiwa dengan menggunakan perumpamaan yang relevan dengan realitas. Variabel frasa dimaksudkan untuk menganalisis kecenderungan wartawan memilih diksi- diksi yang lain dan berbeda dengan yang lazim digunakan dalam mengonstruksi realitas terhadap suatu peristiwa dalam teks. Sedangkan variabel kausalitas pada perangkat penalaran pembingkaian akan menganalisis kecenderungan wartawan mengonstruksi realitas di dalam teks dengan mencari hubungan sebab akibat antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain.

Dengan menggunakan ketiga teori ini diharapkan berita konflik Partai

Golkar yang dikaji menurut pisau analisis wacana kritis dapat diungkapkan sejumlah ‘’misteri’’ piranti kebahasaan yang memperlihatkan keberpihakan ketiga media cetak dalam pemberitan konflik Partai Golkar. 117

BAGAN KERANGKA PIKIR

E. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman dalam pembahasan hasil penelitian, maka perlu dijelaskan batasan-batasan yang fungsional dalam kaitannya dengan penulisan hasil penelitian ini. Beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Berita adalah informasi tentang suatu peristiwa atau kejadian yang

luar biasa dan disiarkan oleh media massa (cetak, elektronik).dan

media daring.

2. Konflik, yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berita

berkaitan dengan perebutan kekuasaan dari dua pihak atas legalitas

kepemimpinan partai politik, dalam hal ini Partai Golkar.

3. Partai Golkar yang pada awalnya dikenal dengan Golongan Karya

(Golkar) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), 118

adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai Golkar berdiri pada

masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 20

Oktober 1964 yang disponsori oleh Angkatan Darat untuk menandingi

pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik. Dalam

perkembangannya, Golongan Karya kini berubah menjadi Partai

Golkar.

7. Latar merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi semantik

(arti) yang hendak ditampilkan.

8. Detil, berkaitan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang.

Komunikasi akan menampilkan secara berlebihan informasi yang

menguntungkan dirinya atau secara berlebihan informasi yang

menguntungkan. Sebaliknya, akan menampilkan informasi dalam

jumlah sedikit (bahkan bila perlu tidak disampaikan) kalau hal itu

merugikan kedudukannya.

9. Maksud, elemen ini hampir sama dengan detil, tetapi dalam detil

informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan

detil yang panjang. Informasi yang menguntungkan komunikator

diuraikan secara eksplisit dan jelas.

10. Situasional, ialah konteks sosial bagaimana teks itu diproduksi di

antaranya dengan memperhatikan aspek situasional ketika teks itu

diproduksi.

11. Institusional, ialah melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi

dalam praktiks produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dari dalam

lingkup media itu sendiri, boleh juga kekuatan-kekuatan eksternal di

luar media yang menentukan proses produksi berita. 119

12. Metafora dalam konteks penelitian ini berkaitan dengan

perumpamaan dan pengandaian yang merupakan ornamen atau

bumbu dalam menyampaikan informasi agar tidak membosankan.

13. Frasa: merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak melewati

batas fungsi. Dalam pembahasan penelitian ini digunakan istilah frasa

yang juga merujuk kepada kata majemuk dan idiom yang menjadi

salah satu variabel dalam analisis perangkat framing.

14. Kausalitas, perihal kausal, perihal sebab akibat, yakni yang merujuk

pada peristiwa atau kejadian yang lahir dari proses sebab dan akibat.

15. Keberpihakan, yakni posisi satu media yang mengindikasikan

menguntungkan salah satu pihak dari dua kubu yang berkonflik.

120

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan teori kritis menggunakan metode AWK model Teun A.Van

Dijk Norman Faiclough, dan William Gamson memanfaatkan pendekatan kuantitatif dalam mendeskripsikan data dan mengukur aspek-aspek tertentu, dalam hal ini dalam menganalisis teks berita yang merujuk pada keberpihakan media yang menjadi temuan penelitian. Bogdan dan Taylor

(Moleong, 1996:3) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Kirk dan Miller (Lexy

J.Moleong 1996:3) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam peristilahannya. Sementara Sigit (1996:156) menyebutkan bahwa metode kualitatif mempelajari situasi dunia nyata dengan mengadakan kontak secara langsung dan dekat dengan orang-orang, situasi-situasi, dan fenomena-fenomena yang dipelajari, pengalaman pribadi peneliti untuk mencari penemuan-penemuan dalam konteks sosial, historis, dan temporal.

Adapun penelitian deskriptif menurut Sugiyono (1997:6) adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri, yaitu tanpa membuat 121

perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. Data deskriptif adalah data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar. Oleh sebab itu, laporan penelitian akan berisi sejumlah kutipan data untuk memberikan gambaran laporan penyajian. Pendeskpsian menjadi sangat penting, karena data yang digunakan berupa kata-kata dan juga perilaku orang, sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas terhadap masalah yang dibahas. Proses penafsiran pun sangat diperlukan dalam menganalisis data untuk mengungkap sejumlah makna.

Menurut Gibbons (dalam Ibrahim, 2005), dengan interpretasi diharapkan dapat melampaui data yang diperoleh dari penelitian empirik.

Sebab data itu sendiri seringkali merupakan makna dan praktik objek berita bahasa. Tetapi hal itu sering menjadi permulaan yang samar dan terartikulasi secara tidak sempurna. Oleh sebab itu, untuk menampakkan makna yang sebenarnya, maka kita membutuhkan interpretasi terhadap data, khususnya yang berhubungan dengan analisis berita-berita media.

B. Data dan Sumber Data

1. Data penelitian adalah teks-teks berita mengenai konflik Partai

Golkar pada surat kabar harian Kompas, harian Republika, dan

Koran Tempo.

2. Sumber Data:

(a) Harian Kompas yang diterbitkan tanggal 14 Agustus, 23 Agustus,

11 November, 19 November, 4 Desember 2014; 11 Maret 2015;

dan tanggal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 12 Januari 2016, 122

(b) Harian Republika yang diterbitkan tanggal 14, 23, Agustus, 19,

27, November, 4 Desember 2014 dan 25, 26 Februari, 11, 17,

23, dan 25 Maret, 20 April, 11 dan 20 Mei.2015.

(c) Koran Tempo yang diterbitkan pada tanggal 21, dan 30

November, tanggal 4, 11 dan 17 Desember (2014); tanggal 5

dan 28 Maret, tanggal 2, 4, 8, 16, 21, dan 22 April serta tanggal

19 dan 23 Mei 2015.

C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik sebagai berikut:

1. Metode

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah metode simak. Metode simak menurut Mahsun (2005:92), yakni cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis. Penggunaan metode simak pada bahasa tertulis biasanya digunakan pada naskah-naskah kuno (terutama untuk peneliti linguistik historis komparatif), teks narasi, bahasa-bahasa pada media massa dan lain-lain. Dalam penelitian ini peneliti menyimak teks berita pada tiga media cetak tersebut.

123

2. Teknik

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat dalam hal ini pengetikan menggunakan laptop. Objek penelitian penulis adalah bahasa tertulis, maka teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik catat, yakni mengetik paragraf atau beberapa paragraf teks berita yang dibutuhkan berdasarkan pilihan variabel penelitian ketiga teori yang digunakan.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan kebutuhan kajian dan analisis. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian tersebut digunakan teknik berikut ini:

a. Penelusuran pustaka dengan mempelajari dan mengkaji literatur

yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti untuk

mendukung asumi landasan teori yang akan dibahas.

b. Mendokumentasikan teks berita-berita konflik Partai Golkar pada

harian Kompas, harian Republika, dan Koran Tempo. Setiap

media dari tiga media diteliti dan diseleksi masing-masing harian

Kompas sebanyak 15 berita, harian Republika 14 berita, dan

Koran Tempo sebanyak 15 berita. Akan tetapi masing-masing

media diteliti sebanyak 27 teks yang berupa satu atau lebih

paragraf dari setiap berita, disesuaikan dengan jumlah variabel

berdasarkan tiga teori yang digunakan. Setiap variabel dianalisis

tiga sampel teks berita. Pada satu sampel teks berita dapat

digunakan untuk menganalisis lebih dari satu variabel analisis

teori. Bahkan untuk wacana berita yang teksnya panjang dapat

dipilih beberapa variabel pada paragraf-paragrafnya. 124

c. Teks berita yang terdiri atas satu atau lebih paragraf diklasifikasi

dan dikelompokkan berdasarkan variabel-variabel teori yang

dipilih, yakni elemen semantik teori van Dijk, elemen praksis

sosiokultural Fairclough dan perangkat framing teori Gamson.

d. Teks-teks berupa paragraf berita tersebut dianalisis dengan

analisis wacana kritis van Dijk dan Norman Fairclough serta

analisis perangkat framing model William A.Gamson untuk

mengungkapkan keberpihakan media terhadap pemberitaan

konflik Partai Golkar.

D. Teknik Analisis Data

Berdasarkan hasil penyeleksian data teks-teks berita pada harian

Kompas, antara Agustus-Desember 2014, Maret 2015 dan sepanjang

Januari 2016, maka dipilih secara acak dan purposif diperoleh 15 naskah berita yang berisi pemberitaan konflik Partai Golkar. Dari 15 naskah berita tersebut disimak dan dicatat paragraf yang berisi teks berita yang sesuai dengan variabel kebutuhan penelitian. Hasil penyeleksian teks-teks berita tersebut terakumulasi sebanyak 27 paragraf teks berita yang dianalisis.

Seleksi berita-berita pada Harian Republika antara Agustus-

Desember 2014, dan Februari-Mei 2015 diperoleh 14 naskah berita yang dimuat atau terbit selama tanggal pemuatan yang dipilih secara acak dan purposif. Naskah berita tersebut disimak dan dicatat untuk menentukan paragraf yang berisi teks berita yang releven dengan variabel penelitian.

Di dalam satu naskah berita ataupun dalam satu paragraf teks berita 125

dapat merepresentasikan lebih dari satu variabel yang dapat dianalisis.

Akumulasi paragraf teks berita yang dianalisis berjumlah 27 teks berita.

Terakhir, seleksi berita-berita pada Koran Tempo mencakup 15 naskah berita. Di dalam satu naskah berita sebagaimana pada harian

Kompas dan harian Republika, juga dapat merepresentasikan beberapa paragraf teks yang dapat dianalisis lebih dari satu variabel. Total jumlah paragraf teks media ini yang dipilih 27 teks berita. Setiap berita dapat mencakup beberapa elemen dan variabel analisis, bahkan ada sampel teks berita dari paragraf yang sama dapat digunakan untuk menganalisis lebih dari satu variabel penelitian pada teori yang lain. Adapun daftar judul dan jumlah berita yang dijadikan sampel pada tiga media cetak tersebut dapat dilihat pada tabel 15 berikut ini:

Tabel 15 TABEL BERITA MEDIA SAMPEL NAMA MEDIA NO. EDISI/TGL JUDUL HLM TERBIT 1. 14 AGUSTUS 2014 Hajrianto Ramaikan Bursa Calon Ketum 4 2 23 AGUSTUS 2014 JK; Tradisi Golkar di Pemerintahan 2 3 11 NOVEMBER 2014 Skenario Percepatan Munas Disorot 4 4. 19 NOVEMBER 2014 DPD Golkar Hendaki Munas 30 November 3 5 4 DESEMBER 2014 Aburizal Jadi Ketum Golkar Lagi, Apa Tanggapan Istrinya? 2 6. 11 MARET 2015 Agung Ajak Ical Bergabung 2 KOMPAS 7. 2 JANUARI 2016 Musyawarah Nasional Solusi Bentuk Pengurus Baru 1 8 3 JANUARI 2016 Tunggakan Warnai Konflik Golkar 3 9. 4 JANUARI 2016 Konflik Diharap Selesai 2 10. 5 JANUARI 2016 Jusuf Kalla: Munas Tinggal Tunggu Waktu 2 11. 6 JANUARI 2016 Munas Dipercepat Jadi Solusi, Hari Ini Mahkamah Partai 2 Golkar Bersidang 12. 7 JANUARI 2016 Golkar ke Pemerintah, KMP Terancam Jadi Kekuatan yang 2 Tidak Efektif 13. 8 JANUARI 2016 Golkar Terancam Bubar, Pergantian Ketua DPR Munculkan 2 Polemik 14. 9 JANUARI 2016 Konflik Partai Golkar: Munar Bersama Jadi Solusi 1, 15 15. 12 JANUARI 2016 Presiden Panggil Kedua Kubu, Konflik yang Berkepanjangan 2 Menyulitkan Partai Golkar

1. 14 AGUSTUS 2014 Ical Minta Calon Taat Aturan 4 2. 23 AGUSTUS 2014 Koalisi Merah Putih Klaim Solid, Keretakan Koalisi Prabowo- 9 Hatta Diyakini akan Terjadi dalam Waktu Dekat 3. 19 NOVEMBER 2014 Aroma Politik Transaksional Menyeruak Menjelang 4 Musyawarah Nasional (Munas) IX Golkar 4. 27 NOVEMBER 2014 Pemerintah Tolak Munas di Bali, Golkar Memprotes Intervensi Menko 1 Polhukam 5. 4 DESEMBER 2014 Kembali Pimpin Golkar, Ical Terpilih Aklamasi 1 6 25 FEBRUARI 2015 Konflik Golkar Dikembalikan ke Mahkamah Partai 3 126

REPUBLIKA 7 26 FEBRUARI 2015 Saksi Ungkap Politik Uang 4 8 11 MARET 2015 Pemerintah Menangkan Kubu Agung 1 9. 17 MARET 2015 Konflik Golkar, Anak ‘’Kudeta’’ Posisi Bapak 4 10. 23 MARET 2015 Konflik Golkar Berpotensi Lahirkan Partai Baru 4 11. 25 MARET 2015 Perombakan Fraksi Golkar DPR, Kubu Agung: Itu Urusan Partai Bukan 1 DPR 12. 20 APRIL 2015 Jimly Minta Jangan Salahkan Yasonna 4 13. 11 MEI 2015 Golkar Menuju Zero Sum Game? 27 14. 20 MEI 2015 Menkumham dan Agung Laksono Ajukan Banding 4

1 21 November 2014 Elite Golkar Bersatu Hadang Aburizal B9 2 30 November 2014 Agung Tuding Aburizal Tak Serius Islah 2 3 4 Desember 2014 Golkar Dinilai Kianati Rakyat B6 4 11 Desember 2014 Kubu Agung Kritik Inkonsistensi Aburizal B8 5 17 Desember 2014 Golkar Sulawesi Selatan Ingin Dua Kubu Islah A2 6 5 Maret 2015 Pemerintah Bisa Akomodasi Putusan Mahkamah Partai B7 TEMPO 7 28 Maret 2015 Jusuf Kalla Sarankan Kubu Aburizal Menyerah B8 8 2 April 2015 Fraksi Golkar Status Quo B7 9 4 April 2015 Kader Golkar Ancam Pindah Partai A3 10 8 April 2015 Aburizal Singkirkan Kubu Agungdari Komisi Hukum B8 11 16 April 2015 Kubu Agung Tak Akui Apel Akbar Golkar Sulsel B8 12 21 April 2015 Kubu Agung Kecam Nurdin Halid B1 13 22 April 2015 Syahrul Konsolidasi dengan Ribuan Kader B5 14 19 Mei 2015 KPU Tetap Akui Kubu Agung B7 15 23 Mei 2015 Islah Golkar Buntu Lagi B7

1. Pendekatan Analisis Semantik

Analisis teks berita dilakukan dengan analisis wacana kritis model

Teun van Dijk, yaitu dengan elemen semantik pada variabel latar, detil, dan maksud, untuk mengungkapkan kecenderungan keberpihakan media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Dari teks dapat ditemukan struktur dan konteks kalimat yang mengandung makna yang menggambarkan keberpihakan media terhadap salah satu dari dua kubu yang berkonflik yang antara lain dapat diidentifikasi dengan (a) adanya kalimat yang mengungkapkan klaim kebenaran, efek pengucilan atau menyudutkan dan marginalisasi salah satu pihak. (b) Penampilan tokoh atau komunikator yang dipilih media dapat mengindikasikan kecenderungan pengucilan atau pemarginalan salah satu pihak. (c)

Hubungan interteks berita yang merupakan kutipan komunikator atau narasumber yang dapat mendukung analisis keberpihakan media. 127

Dari analisis dengan ketiga indikator tersebut diharapkan dapat diungkap aspek makna teks berita berdasarkan tiga variabel (latar, detil, dan maksud) yang merujuk kepada keberpihakan media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Keberpihakan yang dimaksud adalah keberpihakan kepada salah satu kubu yang berkonflik, yakni kubu

Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.

2. Analisis Praksis Sosiokultural

Analisis praksis sosiokultural akan mengungkapkan bagaimana konteks sosial yang ada di luar media dapat memengaruhi produksi wacana yang muncul di media. Oleh karena, ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau kotak kosong yang steril, melainkan sangat ditentukan oleh faktor eksternal media. Konteks sosial wacana tersebut dapat ditemukan dalam teks berita yang mencakup: (a) Aspek situasional, yakni bagaimana media menggambarkan dan mengonstruksi teks berita berdasarkan situasi riel yang dipotretnya. Penggambaran situasi ini akan berimplikasi pada adanya pengucilan, pemarginalan, dan klaim kebenaran yang terungkap melalui teks berita. Gambaran teks situasional seperti ini akan bermuara pada keberpihakan dan kenetralan media. (b). Aspek institusional melihat bagaimana pengaruh organisasi dalam praktik produksi wacana teks berita. Pemilihan tokoh, komunikator, dan narasumber dengan latar belakang institusional tertentu yang dilakukan wartawan dalam pernyataan-pernyataannya berpotensi mengindikasikan keberpihakan kepada salah satu pihak yang berkonflik. Teks berita yang mengindikasikan pengucilan, pemarginalan, dan merugikan salah satu 128

pihak yang bersumber dari komunikator dengan latar belakang institusional tertentu dapat menggambarkan keberpihakan terhadap salah satu pihak. (c). Aspek sosial dalam analisis dimaksudkan untuk mengungkapkan faktor sosial yang berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Penonjolan yang dilakukan oleh media dengan menggunakan level dan lembaga sosial tertentu terhadap salah satu pihak (karena pihak lain dimarginalkan) dapat berimplikasi terhadap keberpihakan media. Pihak-pihak yang memperoleh porsi dukungan sosial dalam wacana berita yang diproduksi wartawan akan memberikan terindikasi cenderung memperlihatkan keberpihakan media.

3. Analisis Perangkat Framing

Analisis framing diharapkan dapat menjelaskan bagaimana media mengonstruksi realitas, meliput apa yang diberitakan, dan yang luput dari pemberitaan, apa yang ditonjolkan dan apa yang dihilangkan atau dilupakan. Analis framing dilakukan dengan (a) perangkat framing (faming device), yakni untuk menemukan gagasan utama yang ada di dalam teks melalui variabel metafora dan frasa. Perangkat framing yang diidentifikasi dan dianalisis adalah kata, frasa, dan klausa yang mengindikasikan adanya pemarginalan terhadap salah satu pihak. (b) Perangkat penalaran

(reasoning device), yakni analisis yang berkaitan dengan kohesi dan koherensi dari teks yang merujuk kepada gagasan tertentu yang berimplikasi pada keberpihakan media. 129

Kedua perangkat ini digunakan untuk menganalisis teks berita yang berimplikasi terhadap kecenderungan media mengindikasikan keberpihakan terhadap salah satu pihak. Keberpihakan tersebut dapat diidentifikasi dengan penggunaan perumpaman, pilihan frasa, dan hubungan antar teks di dalam kalimat yang menggambarkan ketidaknetralan media dalam pemberitaannya. Jika disimpulkan, penelitian keberpihakan media terhadap pemberitaan konflik Partai Golkar sebagai berikut:

Tabel 16

PROSES ANALISIS DATA PENELITIAN

PENJELASAN UMUM

Masing-masing tiga media dipilih 27 teks berita sebagai data yang akan dianalisis berdasarkan tahapan sebagai berikut:

1. ELEMEN SEMANTIK

Setiap data wacana berita mengandung makna yang ada dalam teks berita

(a) Latar

Pilihan teks berita yang memengaruhi semantik (arti) yang ditampilkan ke arah mana pembaca hendak dibawa.

(b) Detil

Kontrol informasi yang ditampilkan seseorang melalui media dengan mengungkapkan informasi yang menguntungkan dirinya secara berlebihan dan sebaliknya.

(c) Maksud

Komunikator atau media mengungkapkan informasi yang menguntingkan diuraikan secara eksplisit dan jelas

2. ELEMEN PRAKSIS SOSIOKULTURAL

Bagaimana mengungkapkan konteks social di luar media memengaruhi wacana yang muncul di media

(a) Situasional

Bagaimana teks diproduksi berkaitan dengan konteks situasiional yang terjadi.

(b) Institusional

Bagaimana pengaruh organisasi dan institusi/komunikator dalam praktik produksi wacana teks berita. 130

(c) Sosial

Mengungkapkan faktor sosial yang berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan.

3. PERANGKAT FRAMING

(a) Perangkat Framing (Framing Device)

Bagaimana media mengonstruksi realitas, meliput apa yang diberitakan, dan yang luput dari pemberitaan, apa yang ditonjolkan dan apa yang dihilangkan atau dilupakan.

(1) Methapors (Metafora)

Perumpamaan atau pengandaian

(2) Frasa

Frasa menarik, kontras menonjol dalam suatu wacana. Biasanya berupa jargon atau slogan

(b) Perangkat Penalaran (Reasoning Device)

Roots (Kausalitas)

Analisis kausal atau sebab akibat

4. PERBANDINGAN ANALISIS KETIGA MEDIA

Perbandingan analisis masing-masing pada elemen semantik,praksis sosiokultural, dan perangkat framing

KEBERPIHAKAN MEDIA TERHADAP PEMBERITAAN

KONFLIK PARTAI GOLKAR

131

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sebagaimana dibahas pada Bab Metode Penelitian, AWK berita konflik Partai Golkar menggunakan tiga teori yang saling melengkapi, yakni Teori Struktur Mikro Teun A van Dijk, Teori Sosiokultural Norman

Fairclough, dan Teori Analisis Pembingkaian (Framing Analysis) William

A. Gramson. Analisis teks menggunakan elemen Struktur Mikro dengan aspek yang diamati semantik dengan tiga variabel analisis, yakni latar, detil, dan maksud. Analisis sosiokultural teori Fairclough menggunakan analisis dengan elemen situasional, institusional, dan sosial. Sementara analisis framing menggunakan teori Gamson dengan tiga variabel yang dianalisis, masing-masing metafora, frasa, dan sebab akibat (kausalitas).

1. Analisis Struktur Mikro dan Elemen Semantik

Piranti kebahasaan pada elemen semantik digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkapkan posisi keberpihakan dan netralitas media dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Analisis wacana kritis berita Konflik Partai Golkar dari aspek semantik ini mencakup tiga elemen, yakni latar, detil, dan maksud. Berdasarkan uraian tersebut, berikut ini diuraikan masing-masing kutipan wacana berita yang sesuai dengan masing-masing elemen tersebut.

1.1 Latar

Latar merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi makna

(semantik) yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika hendak 132

menulis berita terlebih dahulu akan menentukan latar belakang suatu peristiwa yang hendak dijadikan berita. Latar belakang ini dalam rumus berita dikenal dengan kata tanya mengapa (why), yang merupakan salah satu unsur atau pertanyaan dalam pelaksanaan operasional kegiatan jurnalistik seorang wartawan. Unsur dan pertanyaan lainnya adalah what, who, where, when, dan how. Unsur-unsur ini harus terakumulasi di dalam satu berita, sehingga berita dapat dikatakan lengkap dan memenuhi seluruh unsur berita.

Di dalam berita konflik Partai Golkar Harian Kompas memilih latar berita sebagaimana contoh pada berita berikut (5 Maret 2015):

(K-1). Muladi juga menyoroti sempitnya jarak antara waktu suksesi kepemimpinan Golkar dengan suksesi kepemimpinan nasional. Hal itulah yang dianggapnya menjadi pemantik pecahnya konflik konflik di Golkar karena ada perdebatan keras mengenai waktu pelaksanaan Musyawarah Nasional IX. Perselisihan kepengurusan di tubuh Partai Golkar memuncak karena perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar. Kubu yang berseberangan dengan Aburizal Bakrie menuding penetapan waktu munas tak demokratis dan merupakan skenario memenangkan calon tertentu secara aklamasi. Rapat pleno penentuan waktu Munas IX yang digelar di Kantor DPP Partai Golkar pada 24-25 November 2014 diwarnai kericuhan. (K. 5-3-2015).

Bagian dari kalimat yang dicetak tebal tersebut pada (K-1) di dalam paragraf berikut ini mencerminkan keberpihakan komunikator sekaligus merepresentrasikan keberpihakan media. Kompas memanfaatkan teks melalui kalimat yang dicetak tebal tersebut mengucilkan atau memarginalkan salah satu pihak, yakni Aburixal Bakrie. Muladi selaku

Ketua Mahkamah Partai Golkar sebagai komunikator melalui kalimat tersebut mengungkapkan ketidakpuasan salah satu pihak yang bertikai, yakni AL. Teks berita yang ditampilkan Kompas pun tidak berimbang, 133

sehingga makin memperkuat keberpihakan Kompas. Kompas

‘’meminjam’’ pandangan Muladi, tetapi wacana yang dikemukakan memosisikan media ini berpihak kepada AL. Kompas dengan memilih latar seperti itu, hendak membawa pandangan khalayak ke arah yang dikehendaki sesuai pandangannya. Elemen latar ini merupakan alasan pembenar terjadinya konflik partai.

Media Kompas cenderung mengemukakan latar yang berbeda dengan media lain sesuai dengan konteks wacana berita yang akan diturunkan. Misalnya dalam pemberitaan edisi 11 November 2014 menjelang pelaksanaan Musyawarah Nasional Partai Golkar kubu ARB di

Bali, Kompas menurunkan berita seperti berikut:

(K-2). Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 2004-2009 Jusuf Kalla mengatakan tradisi Partai Golkar selama ini selalu berada di dalam pemerintahan dan mendukung pemerintah. Oleh karena itu, sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Golkar, musyawarah nasional digelar pada awal Oktober. ‘’Ini bukan pendapat saya, AD/ART Golkar yang menyatakan itu, dan tradisi Golkar sejak berdiri hingga sekarang ini, ya, memang begitu,;; kata JK, yang kini wakil presiden terpilih bersama presiden terpilih Joko Widodo kepada Kompas, Sabtu (23/8) di Jakarta. Menurut JK di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie Golkar bukannya mendukung mantan ketua umumnya yang pada Pemilu Presiden 9 Juli lalu maju sebagai calon wapres mendampingi calon presiden Jokowi, melainkan memilih mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto- Hatta Rajasa. (K.23-8-2014).

Dalam berita (K-2), Kompas menempatkan latar di paragraf awal sebagai penjelasan. Akan tetapi inti dari variabel latar berita yang merujuk kepada keberpihakan media justru dapat ditemukan pada kalimat yang dicetak tebal. Kalimat tersebut di atas mengindikasikan keberpihakan media yang terungkap melalui pernyataan komunikator yang dipilih.

Pernyataan tersebut mengkritik salah satu kubu yang bertikai, yakni ARB. 134

Pemarginalan salah satu dari dua pihak yang bertikai dalam suatu teks wacana berita jelas menunjukkan keberpihakan media yang bersangkutan. Komunikator yang dipilih Kompas adalah Jusuf Kalla secara tegas mengindikasikan keberpihakan Kompas kepada kubu AL karena sejak awal terjadinya konflik AL merapat ke pemerintahan Joko

Widodo-M.Jusuf Kalla. Apa yang dikemukakan komunikator adalah kebenaran normatif, tetapi ditilik dari catatan kritis dalam wacana teks ini

Kompas dengan komunikator pilihannya telah menunjukkan keberpihakan kepada AL karena secara tidak langsung memihak AL dengan menonjolkan ‘’kesalahan’’ ARB yang tidak mendukung mantan ketua umum partai yang dipimpinnya.

Pada pemberitaan tanggal 19 November 2014, setelah melihat perkembangan dualisme kepemimpinan partai tidak menemukan titik temu, menyikapi kekhawatiran akan munculnya partai baru, Kompas menurunkan berita dengan latar sebagai berikut.

(K-3) Sejarah mencatat, kekecewaan terhadap Golkar pada tahun 2004 melahirkan Partai Hanura, kekecewaan Prabowo atas partai beringin melahirkan Gerindra, dan kekecewaan dalam Munas di Palembang melahirkan Partai Nasdem. Haruskah kekecewaan baru melahirkan parpol baru yang akhirnya tak lebih dari ‘’duplikat Golkar;’’. Karena itu, sebelum Golkar benar-benar terkubur ke dalam sumur dasar sejarah, tak ada pilihan lain bagi Aburizal Bakrie kecuali berlapang dada dan membiarkan lahirnya kepemimpinan baru dari rahim munas mendatang. Jangan membiarkan oligarki menggerus tubuh Golkar. (K.19-11-2014).

Kompas pada teks berita di atas menempatkan diri sebagai komunikator dengan mengungkapkan kembali latar belakang sejarah perpecahan di kubu Partai Golkar. Sebagai media, Kompas berusaha menempatkan diri secara netral, karena pandangannya dalam teks ini 135

justru mengarah kepada institusional Partai Golkar. Akan tetapi jika merujuk pada kalimat yang dicetak tebal tersebut Kompas terindikasi menekan ARB dan terindikasi menyatakan keberpihakan kepada salah satu pihak, yakni terhadap kubu AL.

Harian Republika dalam pemberitaan tanggal 25 Maret 2015 menyoroti masalah hasil sidang pengadilan yang mengadili kasus dualisme kepemimpinan partai sebagai berikut.

(R-1) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (24/2), menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan ini merupakan putusan sela pengadilan, menjawab eksepsi tergugat dari pengacara kepengurusan Golkar Munas Ancol, atas penggugat Golkar Munas Bali. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Oloan Harianja mengatakan, pengadilan tingkat satu itu tak punya kompetensi menjadi pengadil dualisme partai. Dalam runutan putusan selanjutnya, hakim memutuskan, mengembalikan penyelesaian kepengurusan Golkar ke mekanisme partai. (R.25-3-2015).

Dalam berita (R-1) yang dicetak tebal di atas, latar yang dipilih

Republika tersebut lebih netral, karena tidak menguntungkan ataupun merugikan salah satu dari kedua kubu yang bertikai. Mekanisme partai yang dimaksud adalah Mahkamah Partai. Akan tetapi, jika merujuk pada posisi lembaga internal Partai Golkar tersebut yang didominasi oleh individu yang berpihak kepada AL, maka dapat disimpulkan Kompas memanfaatkan posisi Mahkamah Partai cenderung berpihak kepada kubu AL.

Republika mengungkapkan latar pemberitaan ini justru pada bagian akhir dari alinea wacana berita. Sama halnya dengan berita yang diturunkan media ini 23 Maret 2015 sebagai berikut.

(R-2) Konflik Partai Golkar dinilai berpotensi dapat menimbulkan partai baru. Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto 136

menjelaskan, hal yang sama sudah pernah terjadi pada partai berlambang pohon beriingin ini sebanyak empat kali. (R.23-3- 2015).

Latar ini pada kalimat yang dicetak bold menjelaskan tentang konflik yang pernah terjadi sebelumnya. Kalimat tersebut mempenjelas pernyataan komunikator atau narasumber yang merujuk pada konflik tersebut. Republika dalam berita ini memilih latar yang sama seperti diungkapkan Kompas (K-3) tentang kemungkinan munculnya partai baru.

Kekhawatiran itu ternyata terbukti dengan terverifikasinya Partai Berkarya pimpinan Tommy Soeharto. Melalui teks wacana tersebut Republika berusaha menempatkan diri pada posisi netral. Akan tetapi pernyataan komunikator tersebut secara implisit justru lebih menyoroti kubu ARB yang dinilai sebagai pemicu terjadinya konflik. Alasan ini berdasarkan kenyataan bahwa pasca-Munas Partai Golkar Pekanbaru yang menempatkan ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2014-

2019, telah terbentuk tiga partai baru, yakni Partai Nasdem, Partai

Hanura, Partai Perindo, dan terakhir Partai Berkarya. Berdasarkan analisis teks tersebut, media ini berpihak pada AL.

Pada berita lain, latar juga diungkapkan Republika pada kalimat awal pemberitaannya tertanggal 11 Mei 2015 sebagai berikut.

(R-3)….Merupakan kerugian besar, kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar , jika Golkar secara institusional tak mengajukan calon dalam pilkada. Sebab, itu bisa membawa konsekuensi Golkar terpelanting dari deretan partai papan atas. ‘’Tidak ikutnya Golkar dalam pilkada akan berpengaruh pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019,’’ katanya dalam konferensi pers awal Mei lalu. …..Pilkada kali ini memang punya nilai besar secara politik. Sebab, pilkada kali ini sama dengan separuh pemilu. Pilkada serentak digelar di 269 daerah atau 49,63 persen dari total 542 daerah. Ke-269 pilkada itu sendiri, 137

terdiri atas delapan pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota. (R.11-5-2015).

Republika yang mengutip Akbar Tandjung sebagai komunikator menempatkan unsur latar pada bagian akhir berita. Teks yang dikutip media ini mengandung pesan yang dialamatkan kepada kedua kubu yang bertikai tentang pentingnya Partai Golkar segera mengakhiri konflik dan dapat mengikuti Republika melalui teks wacana ini berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang netral, tetapi pernyataan Akbar

Tandjung yang membeberkan situasi kritis Partai Golkar cenderung mengancam posisi ARB sehingga cenderung berpihak kepada kubu AL.

Berdasarkan variabel latar yang dianalisis dalam tiga teks berita yang dijadilkan sampel dapat disimpulkan bahwa Republika berpihak dalam hal ini kepada AL.

Koran Tempo melalui pemberitaan pada tanggal 26 November

2014 menempatkan latar pada bagian awal berita, sebagaimana dalam berita sebagai berikut.

(KT-1). Mantan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla, menerima banyak aduan dari kader partai beringin soal kepemimpinan Aburizal Bakrie. Menurut Kalla, sebagian dari mereka kecewa terhadap Aburizal yang dinilai gagal memimpin Golkar sejak 2009. ‘’Banyak sekali yang lapor. Saya sampaikan langsung ke Ical,’’ kata Wakil Presiden kemarin. (KT.26-11-2014).

Koran Tempo memanfaatkan pernyataan M.Jusuf Kalla yang dicetak tebal sebagai latar pemberitaannya. Pernyataan ini secara langsung menekan ARB, sehingga dengan jelas dapat dikatakan bahwa media ini berpihak, yakni kepada pihak AL. Inilah bentuk praktik media memanfaatkan pihak lain (nara sumber) secara tidak langsung 138

mengungkapkan secara implisit keberpihakannya pada salah satu kubu yang berkonflik, dalam hal ini kubu AL karena pernyataan M.Jusuf Kalla mengindikasikan memarginalkan kubu ARB. Dalam hal ini Koran Tempo dinilai telah berpihak kepada kubu AL.

Demikian pula pada bagian lain berita edisi terbit yang sama,

Koran Tempo menurunkan berita sebagai berikut.

(KT-2). Lantaran dianggap gagal, Aburizal dinilai tak layak maju kembali sebagai Ketua Umum Golkar. Salah satu kader yang paling keras bersuara adalah Yorrys Raweyai, mantan Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar. ‘’Memang apa yang sudah Aburizal berikan kepada Golkar selama lima tahun ini,’’ kata dia kemarin. (KT.26-11-2014).

Koran Tempo menggunakan narasumber yang berlawanan dengan kubu ARB untuk ‘’menyerang’’ kubu lain, yakni kubu ARB. Kalimat narasumber yang dicetak tebal tersebut secara langsung merugikan pihak lain, yakni ARB. Dengan menganggap ARB gagal dan ditambah lagi dengan pernyataan tersebut media ikut memperkuat ‘’serangan’’ terhadap kubu ARB. Media pun memanfaatkan pernyataan narasumber tersebut mewakili pandangannya berkaitan dengan kegagalan ARB menurut versi komunikator. Koran Tempo secara eksplisit membeberkan kegagalan ARB selama memimpin Partai Golkar. Pernyataan komunikator tersebut telah memperlihatkan sikap menguntungkan dan berpihak pada AL.

Yoris Raweyai sebagai komunikator yang dipilih Koran Tempo, selain merupakan salah seorang Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas

Pekanbaru, juga merupakan salah seorang yang dengan keras mengkritik 139

kepemimpinan Aburizal Bakrie pasca-terjadinya konflik dan mendukung kepemimpinan Agung Laksono.

Pada berita pada hari (26 November 2014) yang sama, Koran

Tempo menurunkan berita yang juga menempatkan latar di bagian awal wacana berita, seperti dalam berita berikut ini.

(KT-3). Aburizal Bakrie mengklaim telah didukung oleh 463 dari 560 pemegang suara dalam Musyawarah Nasional – ajang untuk memilih ketua umum – untuk maju lagi. Dalam Anggaran Rumah Tangga Golkar, salah satu syarat pencalonan adalah kandidat mesti didukung sekurang-kurangnya 30 persen pemegang suara. Hal inilah yang memberatkan para calon. Apalagi, Aburizal merencanakan Musyawarah Nasional diselenggarakan akhir bulan ini, ketika para pesaingnya belum matang menggalang dukungan. (KT.26-11-2014).

Berita yang dimuat pada edisi yang sama dengan pernyataan (KT-

2) ternyata tidak menjawab pertanyaan secara langsung terhadap pernyataan yang dikemukakan Yorrys Raweyai yang dijadikan latar oleh

Koran Tempo. Media ini menurunkan latar dengan memilih kalimat yang dicetak tebal yang memperlihatkan kecenderungan Koran Tempo mengunggulkan ARB dibandingkan pihak lainnya yang akan maju dalam

Munas Partai Golkar. Kubu ARB oleh media lebih mengemukakan data pendukung pemegang suara dalam musyawarah nasional. Dengan pengungkapan data teks ini, Koran Tempo secara eksplisit mengindikasikan menguntungkan ARB secara politis, akan tetapi secara implisit di balik pernyataannya, komunikator, ARB memperlihatkan strategi negatif dalam memenangkan pemilihan, sehingga berpotensi memberikan citra negatif kepada pihaknya yang pada sisi lain akan memberikan dampak positif kepada AL. Dampaknya adalah dukungan 140

terhadap AL jauh lebih besar dibandingkan terhadap ARB. Pada contoh teks wacana ini Koran Tempo lebih cenderung berpihak kepada AL.

Berdasarkan hasil analisis penggunaan variabel latar menunjukkan ketiga media cetak memperlihatkan keberpihakan dalam pemberitaan konflik Partai Golkar. Hal ini disebabkan ketiga media cetak telah memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan latar untuk mengungkapkan akar permasalahan yang menjadi sumber terjadinya konflik Partai Golkar. Pengungkapan latar ini yang memberi ruang kepada narasumber atau komunikator mengungkapkan latar belakang suatu teks diproduksi kemudian mendorong ketiga media terjebak dalam pemberitaan yang berpihak. Bahkan keberpihakan ini merujuk kepada salah satu kubu, yakni AL (lihat Tabel 15).

1.2 Detil

Detil merupakan salah satu strategi bagaimana wartawan dalam mengekspresikan sikapnya secara implisit. Wartawan tidak perlu menyampaikan secara terbuka sikapnya, namun dari detil yang dikemukakan akan dapat menggambarkan bagaimana wacana yang dikembangkan suatu media. Simak dalam pemberitaan Harian Kompas

(29 November 2014) sebagai berikut.

(K-4). Rencana Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar untuk tetap menggelar musyawarah nasional mulai Minggu (30/11) di Bali membuat partai itu berada di ambang perpecahan. Tim Penyelamat Partai Golkar yang dipimpin Agung Laksono tetap menolak mengakui dan hadir di acara tersebut. Jumat (28/11) mulai pukul 20.30, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung menggelar pertemuan tertutup dengan anggota Tim Penyelamat Partai Golkar, seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan Agung Gunanjar di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta. Hingga pukul 23.30, pertemuan masih berlangsung. Informasi yang 141

dihimpun Kompas, dalam pertemuan itu, Akbar membujuk para anggota Tim Penyelamat partai Golkar untuk menghadiri Munas IX di Bali. Namun, para anggota Tim Penyelamat Partai Golkar berpendapat, munas itu tidak sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai. ‘’Mengakui (Munas Bali) saja tidak, kenapa harus hadir? Memang saya goblok?’’ ujar anggota Tim Penyelamat partai Golkar, Yorris Raweyai, kemarin riang. (K.29-11-2014). Kompas mengungkapkan detil dalam teks wacana berita tersebut di atas sebagai penjelasan dari topik utama berita tentang rencana Munas IX di Bali yang dinilai sebagai ambang perpecahan partai. Gambaran detil suasana dalam pertemuan tersebut menunjukkan bagaimana Kompas memanfaatkan kubu AL selaku Tim Penyelamat Partai Golkar memperlihatkan penolakannya terhadap pelaksanaan Munas di Bali.

Penonjolan detil sikap kubu AL yang dipilih Kompas dalam teks berita yang dicetak tebal (K-4) secara langsung memarginalkan kubu ARB. Teks ini pun dapat dinilai media telah berpihak pada salah satu kubu, yakni AL.

Ada tiga pernyataan yang dapat dijadikan sebagai pemarkah kebahasaan yang dapat menunjukkan implikasi keberpihakan media terhadap salah satu kubu yang berkonflik, yakni Agung Laksono.

Pertama;

“Informasi yang diperoleh Kompas, dalam pertemuan itu Akbar

membujuk para anggota Tim Penyelamat Partai Golkar untuk

menghadiri Munas IX di Bali”.

Kedua,

“Namun, para anggota Tim Penyelamat Partai Golkar berpendapat,

munas itu tidak sesuai dengan anggaran/anggaran rumah tangga

partai”.

Ketiga, pada teks wacana: 142

“Mengakui (Munas Bali) saja tidak, kenapa harus hadir? Memang

saya goblok?”.

Penggunaan diksi “membujuk” pada diktum pertama di atas menunjukkan bahwa posisi AL sangat dominan bagi tercapainya

“perdamaian” dalam mengakhiri konflik. Pada diktum kedua, memperlihatkan bahwa Kompas melalui komunikator Yoris Raweyai mengkritik kubu ARB yang melanggar aturan partai, sehingga memberikan pencitraan positif bagi AL. Pada diktum ketiga, menunjukkan konsistensi kubu AL menyikapi penyelesaian konflik dengan tidak mengakui munas yang akan diselenggarakan kubu ARB. Kalimat diktum ketiga ini menempatkan kubu ARB sebagai pihak yang melanggar aturan organisasi.

Kompas dalam hal ini menyajikan strategi teks wacana berita yang

‘’cantik’’ untuk menyatakan keberpihakannya kepada salah satu kubu yang berkonflik. Berkaitan dengan teks berita di atas (K-4), Kompas menyajikan detil situasi yang terjadi dalam pertemuan antara Ketua

Dewan Pertimbangan Partai Golkar dengan Tim Penyelamat Partai untuk secara implisit menyatakan keberpihakannya. Pengungkapan konten berita seperti ini di samping membawa khalayak memahami konteks yang dikendalikan media, juga memperkuat posisi keberpihakan media terhadap salah satu pihak yang berkonflik, yakni kepada kubu AL.

Harian tersebut juga mengekspresikan detil melalui pemberitaannya terkait dengan sejarah konflik Partai Golkar pada masa lalu, seperti dalam pemberitaan 19 November 2014 sebagai berikut.

(K-5). Musyawarah Nasional IX Partai Golkar akhirnya hanya menyisakan Aburizal Bakrie sebagai calon kuat Ketua Umum 143

Golkar 2014-2019. Hal ini terjadi setelah Airlangga Hartarto mundur dari pencalonan ketua umum. “Saya menarik diri dari pencalonan di munas. Dan, saya tak bertanggung jawab atas hasil akhir putusan munas. Namun, saya memastikan tetap berada di Golkar,” kata Airlangga, Senin (1/12) oukul 22.35 Wita, di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali. Airlangga menarik diri dari pencalonan setelah ruang bersaing secara demokratis telah ditutup. Tata tertib hanya diketok. Teman-teman tak mendapat (bahan) sampai Senin subuh. “Saya tadi sempat interupsi dan Ketua Dewan Pertimbangan juga sempat minta dibahas (pasal) satu per satu, tetapi tetap diketok,” ujarnya, (K.19-11-2014).

Detil yang digunakan Kompas dalam berita (K-5) adalah dengan merinci penjelasan dari munculnya ARB sebagai calon tunggal Ketua

Umum Partai Golkar 2014-2019. Kompas menggunakan komunikator

Airlangga Hartarto sebagai salah satu pihak yang ikut dalam kontestasi pemilihan ketua umum munas, tetapi tidak diberi ruang berkompetisi secara demokratis untuk menginformasikan kepada khalayak .suasana munas tersebut. Dari teks wacana berita ini secara implisit munas tersebut berlangsung secara tidak demokratis. Pilihan teks Kompas yang mendeskripsi pernyataan komunikator ini berindikasi kepada pembentukan citra negatif terhadap ARB. Pernyataan Airlangga melalui teks ini dapat disimpulkan Kompas berpihak pada salah satu kubu, yakni

AL.

Berita Kompas (23 Agustus 2014) ini diturunkan setelah pemilihan presiden/wakil presiden. Media ini memilih narasumber salah seorang yang menjadi korban pemecatan kubu ARB sebagai detil untuk mengungkapkan sikapnya membela narasumber tersebut.

(K-6) Secara terpisah, salah seorang kader Golkar yang dipecat, Poempida Hidayatullah, khawatir, apabila Golkar terlambat merespons perkembangan politik setelah putusan sengketa perolehan suara di Mahkamah Konstitusi, yang menolak 144

permohonan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta, kerugian justru di Partai Golkar sendiri. …Berdasarkan analisis Poempida, jika Golkar tetap berada di Koalisi Merah Putih, ironi politik Golkar akan terjadi. “Masa Golkar harus beroposisi dengan kadernya dan mantan ketua umumnya sendiri,” tuturnya. (K.23-8-2014).

Kompas merinci detil ini berkaitan dengan kerugian yang bakal dialami Partai Golkar jika tidak segera keluar dari Koalisi Merah Putih.

Sebab jika berada di koalisi tersebut, Partai Golkar akan beroposisi dengan kader dan mantan ketua umumnya. Pilihan kalimat detil yang dicetak tebal sebagaimana wacana Kompas ini merupakan satu bentuk kritikan yang ironis terhadap ARB. Realitas ini merupakan penentangan terhadap khittah Partai Golkar selama ini yang selalu berada dan mendukung pemerintah yang berkuasa. Secara eksplisit Kompas melalui teks wacana berita di atas lebih bersifat netral, karena pernyataan komunikator lebih ditujukan kepada institusi partai. Akan tetapi jika disimak secara implisit Kompas sebenarnya mengkritik ARB yang memimpin

Partai Golkar dan berada di posisi Koalisi Merah Putih (KMP) yang beroposisi dengan pemerintah yang notabene wakil presidennya adalah mantan Ketua Umum Partai Golkar sebagaimana terungkap dalam pernyataan komunikator, sehingga dapat dipandang memberikan citra positif kepada AL. Berdasarkan variabel detil dari tiga teks berita yang dianalisis, Kompas menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu kubu, yakni AL. Keberpihakan ini direpresentasikan pada pemilihan komunikator dan konten yang disampaikan oleh para komunikator.

Dalam menurunkan berita mengenai satu masalah, apalagi berkaitan dengan konflik, media selalu berusaha untuk tampil berbeda 145

dengan media yang lainnya. Jika pemberitaan itu berbeda dengan media lainnya – meskipun tema besarnya sama – redaksi menganggapnya sebagai suatu keunggulan.

Pada berita yang diturunkan pada tanggal 4 Desember 2014, sehari setelah penyelenggaraan Munas IX Bali, Republika menurunkan berita sebagai berikut.

(R-4). Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar pada Rabu (3/12) menetapkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum periode 2014-2019. Ical ditetapkan secara aklamasi menyusul tidak adanya calon ketua umum selain pria yang dikenal dengan nama Ical itu. “Dengan begitu, Aburizal Bakrie telah mendapat dukungan 100 persen dari pemegang hak suara,” kata Ketua Sidang Munas Nurdin Halid yang memimpin jalannya proses pemilihan ketua umum di Hotel Westin Nusa Dua Bali, Rabu (3/12). (R.4-12- 2014).

Republika dengan penonjolan berita terpilihnya ARB mengindikasikan keberpihakannya kepada kubu yang bersangkutan.

Dukungan 100% pemilih juga memperkuat fakta yang dibangun di dalam teks wacana berita ini. Melalui detil ini yang dicetak tebal tersebut

Republika memperlihatkan keberpihakan kepada ARB. Pilihan teks tersebut di atas secara eksplisit menggiring media berpihak kepada salah satu kubu, yakni ARB.

Pasca terpilihnya ARB dalam Munas Bali tersebut, membuat intensitas pemberitaan mengenai konflik partai politik ini semakin tinggi.

Hal ini disebabkan munculnya reaksi kubu lain dalam konflik internal tersebut. Dapat dilihat pada berita harian Republika (11 Maret 2015) berikut ini.

(R-5) Pemerintah lewat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Lauly mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar kubu Agung Laksono. Menkumham mengklaim, 146

pengesahan pengurus DPP hasil munas Ancol itu sesuai dengan keputusan Mahkamah Partai Golkar. …Menurut dia, putusan itu ia ambil selepas kubu Agung Laksono menyerahkan surat keputusan Mahkamah Partai Golkar pada Rabu (4/3/2015) lalu yang mereka klaim mengesahkan kepengurusan munas Ancol. Yasonna mengatakan, keputusan yang diambil kemarin berdasarkan pasal 32 ayat 5 UU tentang Partai Politik. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat. Yasonna menilai, putusan tersebut menyatakan bahwa kepengurusan hasil Munas Ancol yang sah. Untuk menindaklanjuti kepengurusan partai tersebut, Yasonna meminta Agung Laksono segera membentuk kepengurusan Partai Golkar dengan mengakomodasi kader partai dari kubu lain sebagaimana ditentuklan dalam keputusaN Mahkamah partai. (R.11-3-2015).

Yang dijadikan detil media dalam berita tersebut adalah penjelasan tentang pasal dalam UU tentang Partai Politik. Kutipan ini bagi media merupakan pembenaran terhadap berita tersebut, tetapi di pihak lain, ada pihak atau kubu yang dirugikan dengan pernyataan tersebut sebagaimana pada kalimat yang dicetak tebal. Melalui teks wacana berita tersebut yang mengutip komunikator secara eksplisit Republika berpihak kepada kubu

AL karena suara komunikator merepresentasikan posisi pemerintah..

Sementara dalam beritanya pada edisi 20 Mei 2015, media ini menurunkan berita yang masih sekitar Menteri Hukum dan HAM dan pengamat politik sebagai komunikator dengan detil sebagai berikut.

(R-6). Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Ketua Umum Partai Golkar hasil munas Ancol Agung Laksono sama-sama mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada Senin (18/5) majelis hakim yang dipimpin Teguh Setya Bakti dalam persidangan final terkait sengketa kepengurusan Partai Golkar membatalkan Surat Keputusan (SK) Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono. ….Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, upaya pengajuan banding sebagai bentuk indikasi Agung Laksono dan Menkumham belum merasa bersalah. Berdasarkan penilaiannya, kubu 147

Agung masih belum ada keinginan untuk berdamai, sehingga upaya banding akhirnya dilakukan. (R.20-5-2015).

Koran Tempo melalui teks wacana berita di atas mengedepankan pembatalan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM oleh PTUN, yang berarti menguntungkan dan berpihak pada kubu ARB. Secara implisit media tidak menyebutkan dalam teks bahwa keputusan PTUN itu mengesahkan kemenangan kubu ARB atas kubu AL. Akan tetapi Koran

Tempo masih berusaha mengimbangi pernyataan narasumber yang menguntungkan kubu ARB dengan mengutip pernyataan pengamat politik yang diposisikan sebagai pihak independen. Teks pernyataan pengamat yang dicetak tebal ini meskipun berusaha memosisikan media secara berimbang, akan tetapi mengindikasikan merugikan kubu AL, terutama diindikasikan melalui kalimat “Berdasarkan penilaiannya, kubu

AL belum ada keinginan untuk berdamai…”. Pada sisi lain, kalimat pernyataan pengamat politik tersebut mengindikasikan pemerintah bersekutu dengan AL menghadapi kubu ARB, sehingga Koran Tempo cenderung berpihak kepada AL.

Koran Tempo termasuk satu dari tiga media sampel yang menurunkan berita dengan intensitas tinggi. Simak berita (5 Maret 2015) berikut ini.

(KT-4) Kubu Aburizal tidak mau kalah. Diwakili Sekretaris Jenderal kepengurusan munas Bali, Idrus Marham, mereka mendatangi kantor Kementerian beberapa jam kemudian. Idrus ditemani Bendahara Partai Bambang Soesatyo dan wakil ketua Ade Komaruddin, menyerahkan laporan kepada Menteri Laoly. Dia juga minta Menteri konsisten dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tertanggal 15 Desember 2014 yang menetapkan keabsahan munas Pekanbaru tahun 2009. “Perselisihan masih berjalan. Jadi, menteri tidak bisa mengesahkan kepengurusan mana pun,” kata Idrus. 148

Menurut dia, kubunya sedang mengajukan banding atas putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dengan begitu, masih ada langkah hukum yang tidak bisa diintervensi bahkan oleh mahkamah partai. (KT.5-3-2015).

Dalam berita (KT-4) menampilkan detil dengan mendeskripsi aktivitas kubu ARB yang mendatangi Kantor Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia untuk menyerahkan laporan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Secara keseluruhan detil yang ditampilkan media ini berimplikasi bahwa Koran Tempo melalui teks wacana berita ini terindikasi berpihak kepada kubu ARB karena di dalam teks ini sama sekali tidak disebutkan informasi dari kubu AL.

Pemberitaan Koran Tempo tanggal 2 April 2015 menurunkan perkembangan lain dari konflik ini yang terjadi di Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) seperti yang terlihat pada berita berikut ini.

(KT-5) Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat akan menyatakan status quo atas kepengurusan Fraksi Partai Golkar di lembaga legislatif. ’’Pimpinan tak bisa membacakan dua surat perombakan fraksi, jadi kami anggap status quo sampai inkracht,’ kata politikus Partai Gerindra ini di Gedung Parlemen, Senayan, kemarin. Status quo ini diberikan lantaran kepengurusan antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menjalan ke Fraksi Golkar di DPR. Aburizal dan Agung Laksono melayangkan surat kepada pimpinan DPR yang berisi penjelasan atas putusan Mahkamah Partai. Surat masuk dari kedua pihak yang bersangkutan tersebut tak dibacakan lantaran masih ada upaya hukum dari kubu Aburizal melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Utara. Mereka menyoal surat keputusan pengesahan pengurus Partai Golkar versi Agung Laksono oleh Kementerian Hukum dan HAM. (KT.2-4- 2015).

Detil yang dipilih Koran Tempo dalam berita (KT-5) ditempatkan tidak pada awal berita, tetapi pada kalimat kedua, yakni tidak dapat menerima dan membacakan dua surat perombakan fraksi. Detil yang 149

digunakan media ini bersikap netral, karena pernyataan komunikator yang dicetak tebal tersebut tidak merujuk dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik. Akan tetapi karena ada pernyataan mengenai status quo, jelas kepemimpinan Partai

Golkar yang diakui adalah produk Munas Riau yang dipimpin ARB, sehingga Koran Tempo berimplikasi berpihak pada ARB.

Dalam pemberitaan pada hari yang sama (2 April 2015), media ini juga memuat penjelasan yang memberi indikasi menguntungkan kepada salah satu kubu yang bertikai, seperti berikut ini.

(KT-6) Putusan sela Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Utara kemarin memberi angin segar bagi pengurus Golkar pimpinan Aburizal Bakrie. Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menunda eksekusi surat keputusan Menteri Hukum dan HAM. ‘’Dari putusan penundaan ini kepengurusan Pengurus Pusat Partai Golkar Agung Laksono tak boleh mengambil tindakan administratif apa pun juga,’’ kata kuasa hukum Aburizal Bakrie dalam twitter-nya kemarin. Menurut Yusril, hakim PTTUN Jakarta Utara menunda eksekusi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM dan mengembalikan kepengurusan Partai Golkar sesuai dengan Musyawarah Nasional Riau. Putusan ini menambah lama konflik Golkar di tingkat pusat, daerah, dan DPR. Yusril mengatakan, pengurus Golkar versi Aburizal dan Sekretaris Jenderal Idrus Marham berhak membatalkan seluruh keputusan administratif kubu Agung. (KT.2-4- 2015).

Pada berita (KT-6), Koran Tempo menempatkan detil pada kalimat pertama dan kalimat kedua yang dicetak tebal menjadikan kubu ARB memiliki alasan mempertahankan kepengurusan Partai Golkar. Melalui teks tersebut Koran Tempo terindikasi berpihak pada kubu ARB.

Berdasarkan analisis variabel detil teks berita menunjukkan bahwa ketiga media merujuk pada keberpihakan. Jika merujuk kepada sosok, 3 teks berita Kompas berpihak pada AL, masing-masing 1 teks berita 150

Republika berpihak pada AL dan ARB, dan 2 teks berita Koran Tempo berpihak pada ARB dan 1 teks berita lainnya pada AL.

1.3 Maksud

Elemen maksud sebenarnya hampir sama dengan elemen detil.

Perbedaan antara kedua elemen ini, dalam elemen detil informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dalam detil yang panjang, dan informasi yang merugikan tidak disebutkan sama sekali, bahkan disembunyikan. Dalam Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas.

Berita Kompas tanggal 14 Agustus 2014 merupakan awal-awal informasi konflik internal partai ini. Dualisme kepemimpinan partai politik ini dipicu oleh terpecahnya dukungan personil Dewan Pimpinan Pusat

(DPP) Partai Golkar kepada masing-masing calon presiden-calon wakil presiden yang maju ke pentas pemilihan presiden. Seiring dengan terpecahnya dukungan ini, Ketua Umum Partai Golkar ARB memecat tiga kadernya. Salah seorang yang jadi korban adalah Nusron Wahid yang juga menjadi anggota legislatif terpilih partai berlambang pohon beringin tersebut. Kompas menurunkan berita tersebut sebagai berikut.

(K-7) Calon anggota legislator terpilih Partai Golkar yang juga Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor menilai, surat yang disiapkan DPP Partai Golkar kepada Komisi Pemilihan Umum terkait pencoretannya bersama Agus Gumiwang Kartasasmita dari kursi DPR periode 2014-2019 dan digantikan kader lain cacat hukum. ’’Surat dari DPP Golkar itu cacat hukum,’’ kata Nusron, peraih suara terbanyak pada pileg 2014-2019 dengan 243.000 suara di Jakarta, Selasa (19/8). Nusron mengatakan, jangka waktu penyelesaian konflik yakni 60 hari sejak pemberhentian sebagai anggota partai belum terlampaui. Dalam Surat Keputusan DPP Partai Golkar tertanggal 24 Juni 2014, DPP Golkar memberhentikan tiga kader Golkar dari 151

keanggotaan Partai Golkar. Tiga kader itu adalah Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid, dan Poempida Hidayatullah. Apabila dihitung, 60 hari baru akan terlampaui 23 Agustus 2014. …Terkait pemecatannya, Nusron mengirimkan surat ke DPP Golkar yang ditembuskan ke Mahkamah Partai Golkar. Nusron berupaya menjawab pemecatan dari DPP Golkar. (K.14-8-2014).

Dalam teks berita tersebut di atas, komunikator dalam hal ini

Nusron oleh Kompas diberi ruang yang cukup untuk mengungkapkan pernyataannya dan secara maksimal mengungkapkan banyak hal yang menguntungkan atau alasan pembenar terkait dengan pemecatan dirinya.

Elemen maksud menempatkan informasi yang menguntungkan komunikator diuraikan secara detil dan panjang serta eksplisit dan jelas, seperti pada kalimat yang dicetak tebal. Kompas melalui narasumber atau komunikator yang dipilih sebagai subjek berita sama sekali menyembunyikan aspek yang berindikasi merugikan, sehingga dalam teks wacana berita ini media cenderung berpihak. Kompas sama sekali tidak menyebutkan mengapa komunikator dicoret sebagai anggota legislatif terpilih, padahal dia merupakan peraih suara terbanyak. Oleh karena komunikator memprotes keputusan ARB dan dengan rangkaian pernyataannya berpotensi negatif terhadap citra ARB, maka menempatkan Kompas berpihak kepada kubu AL.

Sehubungan dengan konflik yang berlarut-larut ini, Kompas melalui pemberitaan 8 Januari 2016 menggunakan narasumber yang masih ada hubungannya dengan Partai Golkar, sebagaimana berita berikut.

(K-8). Partai Golkar dikhawatirkan bubar jika konflik internal di tubuh partai politik itu terus dibiarkan. Oleh karena itu, semua pihak diminta untuk bersama-sama menyelesaikan konflik dengan menggelar musyawarah nasional bersama. Kekhawatiran itu disampaikan mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar Hajriyanto Y.Thohari di Jakarta, Kamis 152

(7/10). ‘’Kalau konflik dibiarkan, Partai Golkar menuju limbo (batas) sejarah. Mungkin memang hanya sampai di sini masa berlaku Partai Golkar. Masa peredarannya sudah selesai,’’ tuturnya. Politikus senior Partai Golkar itu menilai, perpecahan internal Partai Golkar sudah tergolong parah dan eksesif. Konflik tidak hanya di antara dua kubu DPP Partai Golkar, yakni kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, tetapi juga di internal kedua kubu. Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi-faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan. Kondisi ini, salah satunya terlihat dalam pergantian pimpinan Fraksi Partai Golkar (F- PG) di DPR. Setelah ditunjuk menjadi Ketua F-PG oleh Aburizal, Setya Novanto mengganti kepengurusan F-PG. Salah satunya, jabatan Sekretaris F-PG yang sebelumnya dipegang oleh Bambang Soesatyo diberikan kepada Aziz Syamsuddin. Padahal, pengajuan Novanto sebagai Ketua F-PG belum ditetapkan oleh pimpinan DPR. (K.8-1-2016).

Kompas menggunakan elemen maksud dengan mengangkat kekhawatiran konflik yang berpotensi membubarkan Partai Golkar yang secara utuh tercantum dalam teks berita tersebut di atas. Narasumber yang digunakan untuk memperkuat elemen ini adalah mantan kader

Golkar, sehingga pernyataannya masih memiliki relasi kuat dengan keberadaan partai. Pernyataan yang dikutip media ini merupakan satu bentuk keprihatinan seorang kader yang masih memiliki hubungan emosional dengan Partai Golkar. Di dalam teks wacana berita di atas (K-

8), Kompas berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang netral, tetapi secara implisit mengkritik langkah ARB yang menetapkan Setya Novanto sebagai Ketua Fraksi F-PG padahal belum ditetapkan oleh Pimpinan DPR, sehingga mengindikasikan berpihak pada kubu AL.

Media selalu berusaha mencari variasi pemberitaan yang terkait dengan suatu isu atau masalah untuk memberi gambaran kaitan suatu masalah yang sedang diberitakan. Misalnya, berkaitan dengan masalah konflik Partai Golkar, Kompas 9 Januari 2016 menurunkan berita yang 153

berkaitan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang sangat berkepentingan dengan partai politik, khususnya Partai Golkar.

Dapat disimak melalui berita berikut.

(K-9). Komisioner Komisi Pemilihan Umum mendorong Partai Golkar dan PPP segera menyelesaikan sengketa kepengurusan. Setelah itu, kedua partai tersebut agar mengurus pengesahan kepengurusan di Kementerian Hukum dah HAM. Tanpa itu, kedua partai dikhawatirkan tak bisa mengikuti pilkada serentak gelombang kedua awal 2017. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay, di Kantor KPU di Jakarta, umat (8/1) menuturkan, KPU sulit menindaklanjuti berbagai urusan administrasi berkaitan dengan kedua partai itu (Golkar dan PPP) tanpa ada surat keputusan pengesahan kepengurusan dan Kemenhukham. Kondisi ini, kata Hadar, bisa merugikan Partai Golkar dan PPP. (K.9-1-2016).

Media memilih komunikator pihak yang di luar Partai Golkar, tetapi masih memiliki ketergantungan, yakni sebagai lembaga yang menentukan lolos-tidaknya suatu partai diverifikasi agar dapat ikut dalam kontestasi pemilihan legislatif atau pemilihan presiden. Media secara implisit memanfaatkan KPU sebagai pemberi pressure agar konflik ini segera selesai. Melalui pernyataan tersebut kedua kubu menjadi sadar untuk segera mencari jalan keluar bagi penyelesaian konflik. Melalui teks wacana berita tersebut di atas ini Kompas menempatkan diri bersikap netral.

Republika (26 Februari 2015) melukiskan elemen maksud dengan mengungkapkan sidang Mahkamah Partai Golkar dengan teks wacana berita sebagai berikut.

(R-7 Sidang Mahkamah partai Golkar di kantor FPP Golkar, Slipi, Jakarta kembali digelar pada Rabu (25/2). Dalam persidangan, keterangan saksi dari kubu Aburizal Bakrie (Ical) menyatakan adanya pemberian uang untuk mengikuti musyawarah nasional di Ancol, Jakarta. Kesaksian serupa sempat disampaikan saksi pihak pemohon (Agung Laksono), Achmad Goesra, pada 17 154

Februari lalu. Mantan bendahara umum Partai Golkar itu mengaku mendapat transfer uang miliaran rupiah setelah meneken surat pernyataan akan mendukung Aburizal Bakrie sebagai ketua umum pada Munas Bali. Pada persidangan mahkamah kemarin, satu dari 12 saksi yang diajukan kubu Ical menghadirkan Ketua Harian DPD Partai Golkar Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat, Daliyus K. Dia mengaku menghadiri munas di Bali dan Ancol. Daliyus pun mengaku mendapatkan pesangon dari masing-masing penyelenggara munas. .(R.26-4-2014).

Dalam berita di atas (R-7), Republika berusaha memosisikan diri sebagai pihak yang netral karena informasi dari kedua kubu yang bertikai sama-sama melemahkan atau merugikan. Media menginformasikan berita melalui teks wacana tersebut apa adanya dan menyerahkan kepada khalayak untuk menilai kubu mana yang benar. Informasi yang berkaitan dengan perilaku seseorang yang terkait dengan suatu masalah yang sedang merebut perhatian khalayak selalu menarik menjadi bahan pemberitaan media. Dalam berita tersebut, kubu ARB menuding terjadinya politik uang dalam munas Ancol yang dipimpin AL, tetapi media kemudian mengutip pernyataan mantan bendahara umum seperti dalam kalimat yang dicetak tebal telah melemahkan posisi ARB. Teks wacana yang dikemukakan mantan bendahara umum tersebut secara implisit melemahkan kubu ARB karena yang bersangkutan merupakan bagian dari infrastruktur partai. Pernyataan yang dicetak tebal tersebut menempatkan Republika secara tidak sadar telah melemahkan posisi

ARB dan berpihak kepada kubu AL.

Elemen maksud juga tertuang melalui pemberitaan Republika (23

Maret 2015) dengan mengutip narasumber salah seorang pengamat politik. Meskipun pandangan narasumber ini tidak menguntungkan dari 155

sisi komunikator, tetapi pada sisi lain di samping memperlihatkan netralitas narasumber tersebut, juga mengoreksi para elite partai politik tersebut. Simak berita berikut.

(R-8) Konflik Partai Golkar dinilai berpotensi dapat menimbulkan partai baru. Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto menjelaskan, hal yang sama sudah pernah terjadi pada partai berlambang pohon beringin ini sebanyak empat kali. Menurutnya, dualisme kepengurusan Golkar belum memperlihatkan tanda-tanda islah antara kubu Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono. ‘’Golkar sudah biasa berkonflik, saat ini sudah menghasilkan empat partai, kalau konflik sekarang melahirkan partai baru, itu wajar. (R.23-3- 2015).

Media dalam kasus-kasus yang spesifik selalu mencari komunikator yang dapat menyoroti suatu permasalahan sesuai kompetensinya, sehingga khalayak dapat memahami pesan yang hendak disampaikan bagi penyelesaian suatu kasus. Pemilihan komunikator yang jadi pakar dalam suatu disiplin ilmu atau penelitian dipandang memiliki kenetralan sama dengan dalam teks wacana berita (R-8). Jika kita berkaca pada pemilihan presiden 2014, banyak pakar yang juga terpecah oleh kepentingan media. Misalnya, stasiun Metro TV dan TVOne masing- masing memiliki komunikator dan narasumber tersendiri, yang dalam memberikan komentar selalu menguntungkan media yang memanfaatkannya. Dalam teks berita Republika di atas tidak dijumpai adanya unsur yang menunjukkan keberpihakan pada salah satu pihak yang berkonflik, sehingga dapat disimpulkan media ini netral.

Republika juga menggunakan Akbar Tandjung selaku Ketua Dewan

Pertimbangan Partai Golkar sebagai narasumber untuk memberi penekanan terhadap penyelesaian konflik partai. Apa yang dikemukakan 156

tersebut dapat dibaca melalui pemberitaan pada tanggal 11 Mei 2015 sebagai berikut.

(R-9) Merupakan kerugian besar, kata Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tandjung, jika Golkar secara institusional tak bisa mengajukan calon dalam pilkada. Sebab, itu bisa membawa konsekuensi Golkar terpelanting dari deretan partai papan atas. ‘’Tidak ikutnya Golkar dalam pilkada akan berpengaruh pada pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019,’’ katanya dalam konferensi pers awal Mei lalu. Pilkada kali ini memang punya nilai besar secara politik. Sebab, pilkada kali ini sama saja dengan separuh pemilu. Pilkada serentak digelar di 269 daerah atau 49,63 persen dari total 542 daerah. Ke-269 pilkada itu terdiri atas delapan pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota. (R.11-5- 2015).

Republika di dalam berita tersebut di atas memanfaatkan elemen maksud dengan mengutip pernyataan komunikator sebagai peringatan bagi Partai Golkar yang akan mengalami kerugian jika secara institusional tidak ikut dalam pesta demokrasi. Pernyataan narasumber atau komunikator itu juga secara langsung merupakan pandangan media yang memfasilitasi dan mengakomodasi pernyataannya. Media melalui teks wacana berita tersebut mencoba memosisikan diri sebagai pihak yang netral, akan tetapi jika merujuk kepada pemicu terjadinya konflik hingga tidak ikutnya Partai Golkar pada pilkada, jelas secara tersirat yang dituding.adalah ARB. Langkahnya mendukung pasangan Prabowo

Subianto-Hatta Rajasa menjadi cikal bakal terjadinya konflik, sehingga melalui teks ini Republika terindikasi memihak kepada AL.

Koran Tempo merespons konflik Partai Golkar dengan menurunkan berita sebagaimana yang dimuat pada 21 November 2014, sebagai berikut.

(KT-7) Tujuh elite Partai Golkar mewacanakan bersama-sama ‘’menggempur’’ Ketua Umum Aburizal Bakrie pada Musyawarah 157

Nasional (Munas) Golkar pada 30 November. Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono mengatakan, persekutuan para calon ketua umum untuk membendung Aburizal terpilih kembali dalam musyawarah tersebut. ‘’Kami akan mengambil langkah jitu,’’ kata Agung saat dihubungi kemarin. Agung belum bisa memastikan bentuk kerja sama dengan para calon ketua umum lainnya, yaitu MS Hidayat, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, Airlangga Hartarto, Hajriyanto Y.Thohari, dan Zainuddin Amali. (KT.21-11-2014).

Komunikator yang dipilih dalam berita (KT-7) adalah para elite

Partai Golkar. Klausa ‘’mewacanakan bersama-sama ‘’mengempur’’

Ketua Umum ARB pada Munas Golkar 30 November, dipandang sebagai elemen maksud yang digunakan komunikator dalam berita tersebut.

Pernyataan tersebut jelas akan menguntungkan komunikator dan di pihak lain kubu ARB dipandang sebagai pihak yang dimarginalkan dengan pemberitaan ini. Secara eksplisit pernyataan melalui teks wacana berita tersebut di atas mengindikasikan media berposisi tidak netral atau berpihak pada kubu AL, karena pihak ARB tidak berusaha dikonfirmasi untuk menanggapi pernyataan para subjek berita.

Elemen maksud ini juga diungkapkan Koran Tempo melalui pemberitaannya 26 November 2014, sebagai berikut.

(KT-8). Mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla menerima banyak aduan dari kader partai peringin soal kepemimpinan Aburizal Bakrie. Menurut Kalla, sebagian dari mereka kecewa terhadap Aburizal yang dinilai gagal memimpin Golkar sejak 2009. ‘’Banyak sekali yang lapor. Saya sampaikan langsung ke Ical,’’ kata Wakil Presiden kemarin. ….Sebagai solusi Kalla langsung menyampaikan kekecewaan kader kepada Aburizal. Kalla menginginkan Aburizal menyelesaikan masalah internal tersebut sendiri. Ini kedua kalinya Kalla menyindir Aburizal. Beberapa waktu yang lalu, dia mengingatkan capaian Aburizal selama memimpin Golkar. Suara dalam Pemilihan Umum 2014 memang menurun. Golkar hanya memperoleh 91 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, berkurang dari 107 kursi pada pemilihan umum sebelumnya. Golkar 158

juga gagal menyorongkan calon dalam pemilihan presiden. (KT.26- 11-2014).

Pernyataan M.Jusuf Kalla yang dicetak tebal dan diikuti rincian pada kalimat-kalimat berikutnya yang dikutip Koran Tempo tersebut berindikasi mengecilkan peran ARB dalam memimpin Partai Golkar.

Bahkan untuk memperkuat pernyataannya itu, komunikator mengungkapkan laporan dan aduan dari kader tentang kegagalan kepemimpinan Ical, panggilan ARB. Dengan pernyataan tersebut, media memberi kesan kepada khalayak bahwa Partai Golkar perlu mencari figur lain sebagai ketua umumnya. Praktik pemberitaan seperti ini merupakan taktik media memanfaatkan komunikator untuk ‘’menitip’’ pandangannya.

Pernyataan komunikator tersebut di atas cenderung berpihak pada kubu

AL.

Dalam berita berikut ini, Koran Tempo menurunkan berita tanggal 7

April 2015 yang mengutip salah seorang narasumber yang sudah dapat diduga posisinya berada di kubu ARB. Apakah posisi seseorang akan memengaruhi wacana yang disampaikan, kita simak berita berikut.

(KT-9). Sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar kubu Musyawarah Nasional Bali pimpinan Aburizal Bakrie di Komisi Hukum memanfaatkan rapat ini untuk mencecar Laoly menyangkut keputusannya mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono, hasil Munas Jakarta. ‘’Putusan Menhukham membuat kondisi memanas. Ini betul-betul menyangkut persoalan kader di daerah,’’ kata anggota Fraksi Golkar Ahmadi Noor Supit.(KT-7-4-2015). Kutipan teks berita (KT-9) di atas secara eksplisit menempatkan media yang direpresentasikan oleh komunikator berpihak pada salah satu kubu, yakni kubu ARB. Elemen maksud di dalam teks ini diungkapkan melalui penonjolan fakta melalui teks yang dipilih dan menguntungkan 159

komunikator. Penonjolan informasi melalui teks yang dicetak tebal mengindikasikan keberpihakan media kepada salah satu kubu yang berkonflik, yakni kubu ARB.

Berdasarkan hasil analisis variabel maksud tersebut menunjukkan bahwa dari sembilan teks, tujuh teks di antaranya dari tiga media cetak memperlihatkan keberpihakan dan dua teks lainnya mengindikasikan netralitas media. Pada variabel ini, dua teks berita Kompas menunjukkan keberpihakan dan satu teks berita merujuk pada netralitas. Sebanyak dua teks berita Republika mengindikasikan keberpihakan dan satu teks berita merujuk pada netralitas media. Sementara Koran Tempo tiga teks berita merujuk kepada keberpihakan.

Jika merujuk keberpihakan pada sosok, pada variabel maksud ini masing-masing dua teks berita dari tiga media berpihak pada AL dan satu teks berita Koran Tempo berpihak pada ARB.

2. Analisis Praksis Sosiokultural

Analisis praktis sosiokultural didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi wacana yang muncul di media. Ruang redaksi atau wartawan sendiri bukanlah bidang atau kotak kosong yang steril, melainkan ikut ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Praktik sosiokultural ini melukiskan bagaimana kekuatan- kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat dan praktik sosiokultural ini menentukan teks. 160

Menurut Fairclough, hubungan itu bukan langsung, melainkan dimediasi oleh praktik wacana. Dia menyebutkan tiga level analisis pada praktik sosiokultural ini, yakni situasional, institusional, dan sosial.

2.1 Situasional

Elemen situasional adalah dalam situasi dan kondisi apa media memproduksi suatu teks. Teks dihasilkan dalam kondisi dan situasi yang khas, karena di dalam fakta yang menjadi unsur berita ada sesuatu yang khas dan unik, sehingga membuat teks itu berbeda dengan yang lain. Jika suatu wacana itu dipahami sebagai suatu tindakan, maka tindakan tersebut merupakan respons dari sebuah situasi atau konteks sosial tertentu.

Santoso (2012:91) mengatakan bahwa situasi merupakan lingkungan tempat teks diproduksi. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan – baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi. Dalam pandangan Halliday (Santoso, 2012:91) konteks situasi terdiri atas tiga unsur: (1) medan wacana (field of discourse), (b) pelibat atau partisipan wacana (tenor of discourse), dan (c) sarana atau modus wacana (mode of discourse).

Pemberitaan suatu peristiwa antara sebelum dan sesudah kejadian jelas situasinya akan berbeda. Begitu pun halnya dalam wacana berita, selalu ditemukan adanya situasi yang memengaruhi wartawan dalam menulis berita atau memproduksi suatu teks. Kita dapat menyimak contoh teks berita berikut.

(K-10). Sekitar 10 menit setelah Agung Laksono bertemu Presiden, di tempat yang sama Aburizal Bakrie juga bertemu Presiden. 161

Bedanya, Agung datang ke Istana sendiri, sedangkan Aburizal datang didampingi Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. (K.12-1-2016).

Rincian waktu yang dijelaskan komunikator atau wartawan dalam wacana berita tersebut di atas (K-10) menjelaskan situasi dan kondisi kedua subjek di dalam berita melaksanakan sesuatu, dalam hal ini bertemu Presiden. Wartawan menggambarkan situasi seperti ini di dalam suatu pemberitaan dimaksudkan agar khalayak dapat menangkap situasi apa yang dilihat dan disaksikan wartawan dalam peristiwa tersebut yang muncul dalam teks berita. Di dalam suatu laporan deskriptif, penggambaran situasi seperti ini menjadi bagian terpenting di dalam satu pemberitaan media cetak, lebih khusus terhadap pemberitaan satu masalah yang menyita perhatian sebagian besar khalayak. Misalnya saja, sidang kasus pembunuhan Mirna yang yang mendudukkan Yessica

Kemala Wongso sebagai tersangka tunggal dalam kasus tersebut gambaran situasi bagi media cetak sangat penting karena melalui deskripsi situasi seperti itu pembaca seolah-olah ikut hadir dalam peristiwa itu.

Di dalam berita di atas (K-10), Kompas berusaha netral dengan menampilkan perwakilan kedua kubu yang bertikai. Akan tetapi, teks tentang ARB yang didampingi oleh Sekretaris Jenderal Idrus Marham dapat memberi penafsiran lain dari khalayak bahwa kehadiran AL secara organisatoris tidak terlalu kuat, sebab kubu ARB masih didukung oleh perangkat organisasi yang masih solid yang merupakan produk Munas

Partai Golkar di Pekanbaru sebagaimana terwakili pada kalimat yang 162

dicetak tebal. Penafsiran di dalam teks berita ini mengindikasikan Kompas secara implisit memberi indikasi berpihak kepada kubu ARB.

Di dalam berita berikut ini (K-11) wartawan menjelaskan posisi komunikator atau narasumber yang menjelaskan kegiatan yang dilakukannya sebagai gambaran situasi dalam berita.

(K-11). Dorongan supaya Munas Partai Golkar segera dilangsungkan, menurut Muliadi, disampaikan banyak pihak, termasuk para senior dan pendiri partai. ‘’Saya bertemu beberapa tokoh penting, pertama Pak Jusuf Kalla, kedua Pak Habibie, kemudian Andi Mattalatta, anggota Mahkamah Partai Golkar, dan beberapa orang lainnya,’’ kata Muladi. , (K.6-1-2016).

Media melalui wartawannya menjelaskan situasi dari sebuah fakta yang diproduksi menjadi teks berita. Penjelasan mengenai situasi yang terungkap dalam teks akan memberi gambaran dan pemahaman kepada pembaca tentang ke arah mana media membawa pembaca menerima informasi tersebut. Wartawan sebagai komunikator membahasakan situasi yang dilakukan oleh komunikator tersebut untuk memperkuat pernyataan yang menjadi objek berita, yakni munas. Pada teks wacana berita yang dicetak tebal, Kompas dalam hal ini justru mengindikasikan berpihak kepada kubu AL. Oleh karena, para tokoh yang dilibatkan dalam pertemuan dengan komunikator tersebut dikenal berpihak kepada AL.

Berita Kompas (K-12) berikut ini mengangkat masalah konflik yang juga berlangsung di lembaga DPR RI yang melibatkan para kader Partai

Golkar, yakni adanya faksi-faksi yang muncul di masing-masing kubu.

Dapat disimak melalui kutipan berita berikut.

(K-12). Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi- faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan. Kondisi ini salah satunya terlihat dalam pergantian pimpinan Fraksi Partai Golkar (F-PG) di DPR. Setelah ditunjuk menjadi Ketua F-PG oleh 163

Aburizal, Setya Novanto mengganti kepengurusan F-PG. Salah satunya jabatan Sekretaris F-PG yang sebelumnya dipegang Bambang Soesatyo, diberikan kepada Aziz Syamsuddin. Padahal, pengajuan Novanto sebagai Ketua F-PG belum ditetapkan oleh pimpinan DPR. (K.8-1-2016).

Wartawan dalam mengemas berita ini menggambarkan situasi yang terjadi di internal masing-masing kubu, yakni kubu ARB dan kubu

AL. Melalui gambaran situasi tersebut, Kompas berusaha netral dengan menjelaskan terjadinya faksi-faksi di tiap kubu yang berkonflik. Tetapi dengan penjelasan pada kalimat teks yang dicetak tebal mengindikasikan satu kritikan kepada kubu ARB yang memberikan kesan tidak mampu memimpin partai hingga mengalami kehancuran secara internal dan

Kompas secara implisit memperlihatkan keberpihakannya kepada AL.

Republika (R-10) menggambarkan berita kembali terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali 3 Desember 2014 dengan gambaran situasi sebagai berikut.

(R-10). Penetapan Ical sebagai ketua umum langsung disambut riuh para peserta munas. Mereka langsung mendekati Ical untuk mengucapkan selamat. Yel-yel dukungan untuk Ical pun turut meriuhkan arena sidang munas.’’ARB (Aburizal Bakrie) siapa yang punya. ARB siapa yang punya, yang punya kita semua,’’ demikian yel-yel terdengar. (R.4-12-2014).

Wartawan sebagai pembuat teks dalam berita (R-10) menggambarkan situasi terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai

Golkar dengan memilih aktivitas riuh rendah para peserta munas. Dari seluruh teks yang dipilih secara eksplisit wartawan sebagai komunikator memperlihatkan bahwa terpilihnya ARB oleh semua peserta yang hadir yang merupakan wakil dari beberapa daerah. Wartawan juga menambahkan ilustrasi situasi dengan mengutip ucapan langsung para 164

peserta munas untuk memperkuat gambaran respons situasi atas peristiwa tersebut. Dengan gambaran situasi dalam teks seperti itu,

Republika melegitimasi dan berpihak pada kepemimpinan ARB. Teks wacana berita tersebut menggambarkan bahwa kepemimpinan ARB disambut gembira oleh para peserta yang hadir dalam munas tersebut.

Pada berita berikut ini, Republika menggambarkan situasi dan respons salah satu kubu yang berkonflik terhadap putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Barat, sebagaimana ditulis berikut.

(R-11). Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2) menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan itu merupakan putusan sela pengadilan menjawab eksepsi tergugat dari pengacara kepengurusan Golkar Munas Ancol atas penggugat Golkar Munas Bali. ‘’Dengan ini menyatakan, gugatan atas penggugat tidak dapat diterima,’’ kata Hakim Oloan di PN Jakarta Barat. Menanggapi putusan itu, Partai Golkar hasil Munas Bali akan menempuh jalur kasasi di Mahkamah Agung (MA). ‘’Saya ikut hadir dalam rapat internal DPP Partai Golkar (hasil Munas Bali) pascaputusan sela PN Jakarta Barat. Golkar akan menempuh kasasi ke Mahkamah Agung,’’ kata kuasa hukum Golkar kubu aburizal Bakrie, Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan. (R. 25-2-2015).

Kalimat yang digunakan wartawan pada kalimat berita yang dicetak tebal tersebut di atas (R-11) menggunakan pandangannya untuk menggambarkan situasi yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat sebelum putusan sela dibacakan. Kalimat ini untuk mengantar sebelum wartawan memproduksi teks dengan mengutip ucapan langsung komunikator pada kalimat kedua wacana berita ini. Untuk memberi gambaran sekaligus mengonfirmasi hasil sidang yang membacakan putusan sela tersebut, wartawan kembali menjadi komunikator dengan mencantumkan pendapat salah satu kubu yang terkait dengan konflik, yakni ARB yang diwakili kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra. Posisi 165

komunikator pun beralih kepada Yusril Ihza Mahendra, karena wartawan mengutip langsung pernyataannya. Meskipun wartawan mengutip pendapat komunikator (Yusril Ihza Mahendra) akan tetapi produk teks yang bersumber dari media ini akan menggambarkan pada pihak mana media tersebut berpihak. Dalam hal ini Republika dalam berita ini berpihak kepada ARB sebagaimana direpresentasikan pada kalimat yang dicetak tebal.

Gambaran situasi yang terungkap dalam berita (R-12) ini disampaikan secara implisit. Wartawan membuat satu simpulan terjadinya respons yang berbeda dari kedua kubu pasca-putusan sidang Majelis

Pertimbangan Partai Golkar yang membuat kedua kubu tidak juga bersatu dan mengakhiri konflik.

(R-12). Pasca-putusan sidang Majelis Pertimbangan Partai Golkar, juga tidak membuat dua kubu yang ada di Golkar kembali bersatu. Bahkan, jika salah satu pihak sudah mendapat surat keputusan Menteri Hukum dan HAM, maka pihak lainnya akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). (R.23-3-2015).

Gambaran situasi lain berkembang di dalam kalimat kedua pada teks wacana berita tersebut di atas karena ketika ada salah satu kubu yang telah memperoleh surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia, kubu lain pun melakukan aksi dengan menempuh jalur hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Wartawan menyimpulkan langkah yang diambil masing-masing kubu dengan melukiskan situasi sesuai pengamatannya dengan memosisikan diri netral. Dari gambaran situasi di dalam teks tersebut, tidak ada pihak yang dimarginalkan.

Koran Tempo menggambarkan situasi dan kondisi produksi teks yang dilakukan wartawan melalui berita berikut. 166

(KT-10). Menurut Kalla, sebagian dari mereka kecewa terhadap Aburizal yang dinilai gagal memimpin Golkar sejak 2009. ‘’Banyak sekali yang lapor. Saya sampaikan langsung ke Ical,’’ kata Wakil . …Ini kedua kalinya Kalla menyindir Aburizal. Beberapa waktu yang lalu dia mengingatkan capaian Aburizal selama memimpin Golkar. Suara Golkar dalam pemilihan umum 2014 memang menurun hanya memperoleh 91 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, berkurang dari 107 kursi pada pemilihan sebelumnya. Golkar juga gagal menyorongkan calon dalam pemilihan presiden. (KT.26-11-2014).

Wartawan dalam hal ini bertindak sebagai komunikator mengutip pernyataan narasumber (M.Jusuf Kalla) sebagai pihak ketiga untuk menggambarkan situasi sikap yang mengantar pernyataan narasumber pada kalimat yang dicetak tebal. Pada kalimat pertama pembuka paragraf berita ini wartawan sebagai komunikator mengemas kalimat yang mencerminkan pandangannya, sekaligus merepresentasikan posisi media.

Wartawan sebagai produser teks selalu memiliki kecenderungan untuk membuat simpulan terhadap suatu fakta yang kelak sebagai kalimat pengantar sebelum mengutip kalimat langsung seorang narasumber.

Melalui pandangan narasumber yang dikutipnya dan dicetak tebal di atas,

Koran Tempo mengindikasikan keberpihakannya kepada kubu AL yang ditandai pilihan teks wacana berita yang dikutipnya. Untuk memperkuat pernyataannya, wartawan mencantumkan data pendukung, sehingga melegitimasi pemberitaannya.

Dalam berita ini (K-11), Koran Tempo menjelaskan situasi waktu untuk menjelaskan rincian informasi berikutnya sebagaimana dapat disimak dalam berita berikut.

(KT-11). Jumat malam lalu, Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung menemui Agung Laksono untuk mengajukan tawaran dari Aburizal Bakrie. Saat itu Akbar mengatakan, konflik di partainya mulai mencair, karena Aburizal dan Agung sepakat 167

menunda musyawarah nasional. Tetapi menurut Akbar, belum memutuskan bulan pelaksanaan musyawarah. ‘’Aburizal bersedia melaksanakan musyawarah tahun depan, tapi bukan Januari, ‘’tuturnya setelah bertemu dengan Agung Laksono di kantor Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar. (KT.30-11-2014).

Sebagaimana pada berita-berita sebelumnya, baik Kompas dan

Republika, Koran Tempo pun selalu membuat teks dengan menggambarkan situasi yang terjadi berkaitan dengan inti berita utama.

Gambaran situasi ini selalu dikemukakan sebagai pengantar untuk menambahkan kutipan langsung dari narasumber yang ditempatkan sebagai pendukung gambaran situasi yang dimaksud. Wartawan juga menempatkan pernyataan langsung narasumber sebagai alasan pembenar terhadap apa yang digambarkannya. Dalam berita di atas (KT-

11), dari teks wacana yang dikutip media berusaha bersikap netral. Akan tetapi jika disimak secara mendalam terhadap teks di atas ada kesan bahwa kubu AL berada pada posisi yang lebih menguntungkan, sehingga media terindikasi memiliki keberpihakan kepada salah satu kubu, yakni

AL.

Dari rapat dengar pendapat antara Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia dengan Komisi Hukum DPR RI, wartawan Koran Tempo menggambarkan situasinya seperti berikut.

(KT-12). Sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar kubu Musyawarah Nasional Bali pimpinan Aburizal Bakrie di Komisi Hukum memanfaatkan rapat itu untuk mencecar Laoly menyangkut keputusannya mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono, hasil Munas Jakarta. ‘’Putusan Menhukham membuat kondisi memanas. Ini betul-betul menyangkut persoalan kader di daerah,’’ kata anggota Fraksi Golkar, Ahmadi Noor Supit. (KT.7-4-2015).

168

Wartawan sebagai komunikator menggambarkan situasi rapat seperti terungkap pada kalimat pertama kutipan berita tersebut (K-12) di atas. Gambaran situasi yang dideskripsikan oleh wartawan melalui teks yang dicetak tebal mengindikasikan keberpihakan media pada kubu ARB.

Teks tersebut kemudian maknanya berkoherensi dengan kutipan langsung dari anggota Fraksi Partai Golkar, Ahmadi Noor Supit. Kutipan langsung tersebut secara tidak langsung merupakan dampak yang membuat para anggota DPR Komisi Hukum mencecar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan banyak pertanyaan. Dalam praktiknya, gambaran situasi ini cenderung digunakan oleh wartawan atau media untuk menjustifikasi apa yang akan dikemukakan oleh narasumber atau komunikator. Dari teks wacana yang dipilihnya, Koran Tempo telah memosisikan diri memarginalkan posisi Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia dan di sisi lain menguntungkan kubu ARB yang diwakili Ahmadi

Supit Noor. Kalimat ‘’mencecar Laoly’’ mengesankan,ada pihak yang mengalami pressure dan di pihak lain ada pihak yang melakukan pressure. Secara implisit Koran Tempo telah memosisikan diri berpihak kepada kubu ARB.

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis variabel situasional ini, tiga media lebih dominan menunjukkan keberpihakan yang mencakup 8 teks berita dan 1 teks berita merujuk pada netralitas. Kompas pada variabel ini secara utuh berpihak. Jika merujuk pada sosok, 2 teks berita berpihak pada AL dan 1 teks berita pada ARB. Sementara 2 teks berita

Republika berujuk pada keberpihakan dan 1 teks berita lainnya menunjukkan netralitas. Jika merujuk pada sosok, 2 teks berita Republika 169

berpihak pada ARB. Tiga teks berita Koran Tempo menunjukkan keberpihakan, 2 teks berita di antaranya berpihak pada sosok AL dan 1 teks berita pada ARB.

2.2 Institusional

Wartawan sulit melepaskan diri dari pengaruh internal dan eksternal organisasi media. Pengaruh internal media bersumber dari kalangan pemilik modal media, sementara pihak eksternal adalah organisasi atau lembaga yang berpengaruh terhadap media dan wartawan. Ketika pemerintahan Orde Baru, media dan wartawan dominan dipengaruhi oleh organisasi atau lembaga eksternal media, seperti lembaga keamanan dan

Depatemen Penerangan di tingkat pusat dan provinsi. Lembaga-lembaga tersebut dalam strukturnya di pemerintah pusat dapat mengambil tindakan yang sangat mematikan media, yakni pembreidelan atau dilarang terbit.

Pembredelan atau pelarangan penyiaran dalam bentuknya adalah berupa penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Alasan pembredelan biasanya adalah pemberitaan di media yang bersangkutan menjurus kepada hal-hal yang menyinggung penguasa dan atau lapisan masyarakat tertentu. Contoh-contoh pembredelan yang pernah terjadi di Indonesia, dikutip di Wikipedia

(diunduh 23 Oktober 2017, pukul 16.30 Wita), terbitan Jakarta meliputi:

Majalah Tempo, Harian Abadi, Harian Indonesia Raya, Harian KAMI,

Harian Pedoman, Harian Pemuda Indonesia, Harian Sinar Harapan,

Harian The Jakarta Times, Harian Wenang, Majalah Ekspres, Tabloid

Detik, Majalah Editor. Di Surabaya meliputi: Harian Nusantara dan Harian 170

Suluh Berita, sementara di Bandung adalah Majalah Mahasiswa Indonesia yang diterbitkan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Elemen institusional dalam kajian AWK intensitas mengungkapkan pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. Salah satu institusi yang penting adalah institusi yang berhubungan dengan ekonomi media. Institusi yang dimaksudkan tidak lain adalah lembaga pengelola iklan atau advertorial yang menjadi mitra media selalu berhubungan untuk menjalin kerja sama promosi dan advertorial. Hal ini sangat penting karena para pengiklan akan sangat menentukan keberlanjutan kehidupan suatu media. Terhadap pengaruh institusi eksternal seperti ini tidak ada pilihan lain bagi setiap wartawan kecuali membuat dan menciptakan

‘’berita yang baik’’ yang disukai oleh banyak orang.

Institusi lain yang berpengaruh terhadap perkembangan media adalah lembaga politik, misalnya partai politik. Dalam sebuah negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, yang terasa berdampak besar terhadap ekonomi media adalah peran yang dimainkan institusi atau lembaga pengelola iklan dan pemerintah yang juga menjadi tambang iklan bagi media. Lembaga politik nanti berperan ketika tiba saatnya musim pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan legislatif (pileg), yakni saat mereka ingin mempromosikan dirinya agar memperoleh pilihan dan suara yang besar dari khalayak pemilih.

Dalam pandangan Fairlough berkaitan dengan elemen institusional ini dimaksudkan bagaimana institusi dan kekuatan-kekuatan eksternal media menggunakan media untuk menyampaikan kepentingannya. Media bisa menjadi alat kekuatan-kekuatan dominan yang ada dalam 171

masyarakat untuk merendahkan dan memarginalkan kelompok lain, di antaranya dengan menggunakan kekuatan media. (Eriyanto, 2001:325).

Dalam praktiknya saat ini, apa yang dikemukakan Fairclough tersebut sulit ditemukan secara transparan pada tiga media yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan, tiga media tersebut dari segi ekonomi sudah dianggap mapan. Jika ada institusi politik memanfaatkan media-media tersebut misalnya tentu dalam bentuk promosi atau iklan berbayar pada media-media tersebut secara signifikan.

Pembahasan peran elemen institusional dalam penelitian penulis ini diarahkan kepada aspek media menggunakan simbol-simbol institusional yang melekat pada komunikator atau narasumber dengan maksud untuk memengaruhi pendapat khalayak. Setidak-tidaknya di balik pemanfaatan komunikator berlabel institusional tertentu media telah memainkan peran mewujudkan agenda tersembunyi media untuk menyampaikan pandangannya terhadap suatu masalah sesuai dengan kehendaknya. .

Pada berita Kompas berikut ini, peran institusional yang digunakan sebagai elemen dalam AWK adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia.

(K-13). Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor.M.HH-23.AH.AH.11.01 tanggal 20 Desember 2015 untuk mencabut SK Nomor M. JJ -01. AH. 11. 01 tanggal 23 Maret 2015 tentang penetapan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono. SK ini juga tidak mencantumkan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah.(K. 2-1- 2016).

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam konflik Partai Golkar menempati peran yang cukup signifikan, karena menjadi subjek penting 172

dalam penyelesaian konflik. Pengaruh institusional lembaga ini menjadi sentral dalam beberapa kali penyelesaian konflik, karena keputusannya secara timbal balik menguntungkan dan merugikan salah satu pihak yang berkonflik. Tetapi dalam berita tersebut di atas (K-13), posisi institusional lembaga ini tidak memihak kepada kubu mana pun di antara kedua pihak yang berkonflik. Akan tetapi secara institusional, Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia berusaha menyembunyikan keberpihakannya kepada kubu AL karena di balik pencabutan surat keputusannya terhadap penetapan kubu AL tidak mencantumkan keabsahan kepengurusan versi hasil Munas Bali yang memenangkan kubu ARB. Kompas secara implisit berusaha bersikap netral karena seharusnya jika ada surat keputusan kepengurusan yang dicabut, maka di satu pihak ada surat keputusan kepengurusan yang diakui. Di sini, secara tersirat sebenarnya yang diuntungkan adalah kubu ARB yang masih menjabat ketua umum Partai

Golkar versi munas Pekanbaru.

Penggunaan posisi institusional M.Jusuf Kalla dalam pemberitaan konflik Partai Golkar berada pada intensitas yang cukup tinggi. Misalnya di antaranya dalam berita berikut.

(K-14). Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar meyakini, penyelesaian konflik internal di Partai Golkar tinggal menunggu waktu. Kedua kubu kepengurusan, yakni hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan Munas Jakarta yang diketuai Agung Laksono, sudah menyepakati adanya penyatuan pengurus guna menggelar rapat pimpinan nasional, yang disusul kemudian dengan penyelenggaraan musyawarah nasional. (K.5-1-2016).

Wartawan menempatkan Jusuf Kalla sebagai komunikator dalam konflik Partai Golkar dalam tiga posisi institusional, yakni sebagai wakil 173

presiden, mantan Ketua Umum Partai Golkar, dan sebagai pihak yang mewakili lembaga mediasi yang disepakati oleh kedua kubu. M.Jusuf Kalla dapat berperan dengan masing-masing posisinya untuk melakukan pressure kepada para pihak untuk menyelesaikan konflik. Berbicara sebagai representasi institusional, komunikator berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang netral. Walaupun dalam posisi institusionalnya

Jusuf Kalla berusaha bersikap netral, akan tetapi dalam berbagai wacana yang disampaikan cenderung memperlihatkan keberpihakan kepada kubu

AL.

Kompas dalam pemberitaan berikut ini menempatkan lembaga kepresidenan sebagai elemen institusional dalam berita berikut ini.

(K-15). Pimpinan kedua kubu, kemarin, bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta. Namun, mereka diterima secara terpisah. Awalnya, Presiden menerima Ketua Umum Partai Golkar versi Musyawarah Nasional (Munas) Ancol, Jakarta, Agung Laksono. Setelah itu, Presiden menerima Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali Aburizal Bakrie .…..Kehadirannya di Istana, menurut Aburizal, untuk memberikan dukungan dan bergabung duduk bersama pemerintah. ‘’Untuk melakukan suatu pembangunan dalam keadaan yang sangat sulit ini, diperlukan suatu stabilitas politik. Partai merasa sebagai suatu partai yang cukup besar harus bisa duduk bersama pemerintah untuk dapat memantapkan stabilitas politik dalam menjalankan pembangunan nasional,’’ katanya. (K.12-1-2016).

Penempatan posisi lembaga presiden sebagai elemen institusional dalam berita ini jelas akan memberikan pengaruh tersendiri bagi penyelesaian konflik. Presiden sebagai lembaga politik tertinggi secara langsung atau tidak merupakan institusi yang sangat diperhatikan dan ditunggu kebijakannya dalam penyelesaian konflik. Melalui diplomasi dengan pimpinan lembaga politik diharapkan penyelesaian konflik segera terwujud, meskipun sebagai kepala negara, Presiden tidak dapat secara 174

langsung mengintervensi penyelesaian konflik suatu partai dan berusaha menempatkan diri sebagai posisi yang netral.

Republika mengangkat posisi Pengadilan Negeri Jakarta Barat sebagai elemen institusional yang ikut berpengaruh dalam penyelesaian konflik. Pengadilan telah memainkan peran penting dalam upaya penyelesaian konflik ini, kendati keputusan itu harus dikembalikan ke mekanisme partai.

(R-13). Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2) menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan ini merupakan putusan sela pengadilan, menjawab eksepsi tergugat dari penggugat kepengurusan Golkar Munas Ancol, atas penggugat Golkar Munas Bali. (R.25-2-3015).

Wartawan dalam memberitakan suatu informasi selalu berupaya memanfaatkan posisi dan peran institusional suatu narasumber atau komunikator untuk melegitimasi dan menjustifikasi suatu permasalahan atau berita melalui pernyataannya. Pernyataan tersebut jelas akan menarik perhatian khalayak mengingat posisi institusionalnya yang sangat penting dalam penyelesaian konflik suatu lembaga politik. Wartawan memilih narasumber atau komunikator tersebut mengingat institusi ini sesuai harapan kedua pihak dapat memberikan keadilan dalam penyelesaian konflik. Dikaitkan dengan variabel institusional, Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat telah menempatkan diri sebagai pihak yang netral, meskipun penolakan tersebut cenderung memihak kepada kubu AL selaku tergugat karena tuntutan penggugat (AL) kembali mentah dengan vonis pengadilan tidak dapat mengadili kasus dualisme kepengurusan

Partai Golkar. 175

Seperti juga Kompas, Republika pun menempatkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai lembaga atau institusi yang ikut menjadi gantungan harapan dalam penyelesaian konflik.

(R-14). Pemerintah lewat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar kubu Agung Laksono. Menkumham mengklaim, pengesahan pengurus DPP hasil munas Ancol itu sesuai dengan keputusan Mahkamah Partai Golkar. ‘’Kami memutuskan mengabulkan untuk menerima kepengurusan DPP Partai Golkar hasil munas Ancol secara selektif di bawah kepemimpinan Agung Laksono,’’ katanya di kantor Kemenkumham, Selasa (10/3). Menurut dia, keputusan itu ia ambil selepas Agung Laksono menyerahkan surat putusan Mahkamah Partai Golkar pada Rabu (4/3) lalu yang mereka klaim mengesahkan kepengurusan munas Ancol. (R.11-3-2015).

Republika memanfaatkan posisi institusional Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia sebagai komunikator dengan keputusannya mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar salah satu kubu.

Keputusan ini menempatkan Republika memosisikan diri berpihak kepada kubu AL. Pemanfaatan posisi institusional komunikator melalui pernyataannya mengindikasikan keberpihakan kepada salah satu pihak.

Lambang institusional pemerintahan yang terlibat dalam memberikan pernyataan mengenai konflik ini cenderung berpihak kepada AL.

Republika juga masih memilih elemen institusional yang sama, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam berita berikut ini, terkait dengan keputusan institusi lain, yakni Pengadilan Tata Usaha

Negara (PTUN) Jakarta sebagaimana dalam berita berikut.

(R-15). Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dan Ketua Umum Partai Golkar hasil munas Ancol Agung Laksono sama-sama mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada Senin (18/5) majelis hakim yang dipimpin Teguh Setya Bakti dalam persidangan final terkait sengketa kepengurusan Partai Golkar membatalkan 176

Surat Keputusan (SK) Menhukham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono. (R.20-5-2015).

Penyertaan lembaga institusional Pengadilan Tata Usaha Negara

(PTUN) yang membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan kepengurusan DPP Partai Golkar versi AL jelas menguntungkan ARB.

Wartawan memiliki kecenderungan terhadap penempatan salah satu subjek berita dengan posisi institusionalnya, yakni memengaruhi pendapat atau opini publik tentang suatu masalah yang sedang diberitakan. Putusan

PTUN tersebut meskipun tidak disebutkan secara jelas dalam teks wacana berita, akan tetapi secara implisit mengarah kepada pengakuan terhadap kubu ARB yang memenangkan perkara di sidang PTUN. Dalam teks wacana berita ini secara implisit media berpihak kepada kubu ARB.

Koran Tempo menurunkan berita 5 Maret 2015, tiga bulan pasca

ARB terpilih kembali sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas

Bali, 3 Desember 2014, sebagai berikut.

(KT-13). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly memberi sinyal akan mengakomodasi putusan Mahkamah Partai Golkar untuk menyelesaikan kisruh kepengurusan di partai beringin tersebut. Menurut Laoly, berdasarkan Undang-Undang Partai Politik, pengadilan tidak berhak memutuskan dualisme kepemimpinan partai beringin. (KT.5-3-2015).

Peran institusional yang dipilih Koran Tempo dengan subjek berita

(KT-13) secara transparan dikemukakan wartawan dengan frasa

‘’memberi sinyal’’. Melalui penempatan posisi institusional tersebut, wartawan telah mengendalikan pendapat khalayak, karena didukung pula oleh putusan institusional lembaga yang merupakan kelengkapan partai, yakni Mahkamah Partai Golkar. Wartawan menambahkan pernyataan 177

subjek institusi yang menyebutkan bahwa pengadilan tidak berhak menyelesaikan konflik internal partai sesuai Undang-Undang Partai Politik.

Akan tetapi dengan menggunakan frasa ‘’memberi sinyal’’ media mengisyaratkan berpihak pada kubu AL.

Koran Tempo juga menempatkan M.Jusuf Kalla dengan posisi institusonalnya sebagai wakil presiden dalam berita berikut.

(KT-14). Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Aburizal Bakrie taat kepada keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengakui kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono. Menurut Kalla, Aburizal seharusnya bersikap bijaksana setelah melalui sengketa di Mahkamah Partai Golkar. (KT.28-3-2015).

Kecenderungan wartawan memilih M.Jusuf Kalla sebagai komunikator atau narasumber dalam berita ini, karena dia memiliki tiga posisi institusional yang silih berganti atau secara simultan dapat digunakan oleh wartawan sebagai label, yakni sebagai wakil presiden, mantan Ketua Umum Partai Golkar, dan sebagai tim mediasi penyelesaian konflik. Wartawan dalam memanfaatkan ketiga posisi M.Jusuf Kalla tinggal menyesuaikan saja posisi narasumber sesuai dengan konteks dan substansi permasalahan yang sedang mengemuka berkaitan dengan konflik partai politik tersebut. Melalui pernyataannnya dalam berita di atas

(K-14), secara transparan M.Jusuf Kalla memihak kepada AL.

Dalam berita berikut ini, Koran Tempo menempatkan Komisi

Hukum DPR untuk mengungkapkan peristiwa yang dijadikan berita dalam konflik ini.

(KT-15). Komisi Hukum DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly di ruang rapat Komisi Hukum di Kompleks gedung DPR, kemarin malam. Sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar kubu Musyawarah Nasional Bali pimpinan Aburizal Bakrie di Komisi Hukum 178

memanfaatkan rapat ini untuk mencecar Laoly menyangkut keputusannya mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono, hasil Munas Jakarta. (KT.7-4-2015).

Posisi anggota DPR di era reformasi ini telah memegang peranan penting, karena merupakan representasi dari rakyat, sehingga setiap wakil rakyat memperoleh hak yang sama untuk menyampaikan pendapat.

Dalam kasus konflik Partai Golkar ini, wartawan memanfaatkan lembaga institusional Komisi III Hukum DPR sebagai wadah untuk mengungkapkan pandangannya berkaitan dengan rapat dengar pendapat Komisi Hukum

DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Wartawan menggunakan lembaga institusional tersebut yang mencecar Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan berbagai pertanyaan seputar keputusannya mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar kubu AL.

Ini merupakan salah satu cara wartawan memanfaatkan posisi institusional suatu lembaga sebagai komunikator dalam mengungkapkan pernyataannya yang sekaligus diposisikan sebagai pandangan media.

Secara langsung atau tidak, media telah memosisikan diri berpihak kepada para anggota DPR yang juga merupakan kubu dari ARB.

Pemosisian diri media tidak selalu permanen, tetapi selalu disesuaikan dengan wacana yang berkembang dari setiap komunikator. Dengan posisi seperti ini media dapat dikatakan sebagai pihak yang mendua. Sikap

‘’mendua’’ juga dapat terjadi terhadap sosok komunikator yang secara kebetulan menempati posisi jabatan politik atau publik tertentu, misalnya

M.Jusuf Kalla yang selalu dijadikan sebagai narasumber atau komunikator oleh media dalam memproduksi teks. 179

Berdasarkan analisis variabel institusional dari ketiga media dominan menunjukkan keberpihakan yang direpresentasikan oleh 7 teks dan 2 teks lainnya merujuk pada netralitas media. Keberpihakan Kompas dan Republika direpresentasikan masing-masing melalui 2 teks berita dan

1 teks berita merujuk pada netralitas. Jika merujuk pada sosok, masih- masing 1 teks berita Kompas dan Republika berpihak pada ARB dan AL.

Sementara 3 teks berita Koran Tempo merujuk pada keberpihakan. Dua teks berita di antaranya berpihak pada sosok AL dan 1 teks berita pada

ARB.

2.3 Sosial

Wartawan saat memproduksi teks dalam pemberitaan sulit menghindarkan diri dari pengaruh faktor sosial. Menurut Fairclough

(Eriyanto, 2001:325), wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Apa yang dikemukakan Fairclough relevan dengan realitas yang terjadi di Indonesia pada peralihan era Orde Baru ke

Orde Reformasi. Pada masa Orde Baru wacana berita berlaku prinsip dari atas ke bawah, karena pemerintah menerapkan kekuasaan otoriter.

Sebaliknya di era reformasi, pemberitaan berlangsung secara timbal balik, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Artinya, masyarakat yang sudah menikmati kebebasan ikut menciptakan wacana berita melalui pemberitaan media. Pada level sosial dan budaya misalnya, masyarakat turut menentukan perkembangan wacana media.

Aspek sosial dalam analisis Fairclough ini lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya 180

masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini menentukan siapa yang berkuasa, dan nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat.

Bagaimana kelompok yang berkuasa memengaruhi dan menentukan media. Teks berita yang dibuat wartawan pada masa pemerintahan otoriter, tentu berbeda dengan teks berita yang dibuat pada masa era reformasi.

Di dalam penelitian yang berkaitan dengan peran sosial ini dilihat seperti apa media memanfaatkan pengaruh sistem politik, ekonomi, dan sosial budaya untuk kepentingan penyelesaian kasus konflik Partai

Golkar. Wartawan atau media memanfaatkan komunikator yang berlabel kelembagaan tertentu dari sisi yang spesifik, misalnya, ilmu pengetahuan, untuk memberi penekanan kepada para pihak untuk berpikir sebagaimana ditawarkan media.

Kompas dalam berita berikut ini memanfaatkan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menyampaikan pandangannya kepada khalayak berkaitan dengan konflik partai tersebut.

(K-16). Pengamat politik Syamsuddin Haris dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sabtu (2/1) di Jakarta mengatakan, kepengurusan transisi Partai Golkar diperlukan untuk menyelenggarakan Munas 2016 yang akan memilih kepengurusan baru, Kepengurusan baru diharapkan mengakomodasi kepentingan pihak yang bersengketa. ‘’Masa depan Partai Golkar harus diselamatkan. Pembentukan pengurus transisi Partai Golkar diperlukan untuk menggelar Munas 2016 mengingat hasil Munas Bali atau pun Ancol Jakarta, sama-sama tak diakui,’’ ujar Syamsuddin. (K.3-1-2016).

Pandangan-pandangan seperti ini dimanfaatkan media untuk melihat suatu persoalan dari sisi yang lain, seperti kepakaran.

Narasumber yang dipilih selalu dilabeli dengan lembaga sebagaimana 181

dicetak tebal, baik ilmu pengetahuan, sosial politik, maupun budaya tempat narasumber itu bekerja. Pencantuman nama lembaga seperti ini disesuaikan dengan relevansi pengetahuan narasumber berkaitan dengan masalah yang disoroti akan memperkuat posisi legitimasi pemberitaan media. Melalui pandangan pakar ini, Kompas menempatkan diri sebagai pihak yang netral. Netralitas dan keberpihakan sangat diperhatikan oleh Kompas untuk melegitimasi pandangannya itu berterima dan diterima khalayak.

Dalam berita berikut ini, Kompas menempatkan lembaga pemilihan umum untuk mengungkapkan pendapatnya.

(K-17). Komisi Pemilihan Umum mendorong Partai Golkar dan PPP segera menyelesaikan sengketa kepengurusan. Setelah itu, kedua partai tersebut agar mengurus pengesahan kepengurusan di Kementerian Hukum dan HAM. Tanpa itu, kedua partai dikhawatirkan tak bisa mengikuti pilkada serentak mendatang gelombang kedua awal 2017. (K.9-1-2016).

Kelembagaan Komisi Pemilihan Umum dalam konteks berita ini sebenarnya lebih bersifat seperti apa media memanfaatkan suatu institusi untuk menekan suatu pihak. Dalam hal ini, Kompas ‘’meminjam’’ pandangan KPU sebagai salah satu lembaga untuk memberi solusi terhadap penyelesaian konflik kedua kubu. Melalui pandangan lembaga

KPU, Kompas menempatkan diri sebagai pihak yang netral.

Kompas menggunakan ‘stempel’ istana yang merupakan simbol dari kekuasaan dalam mengungkapkan berita berikut ini.

(K-18). …..Kehadirannya di Istana, menurut Aburizal, untuk memberikan dukungan dan bergabung duduk bersama pemerintah. ‘’Untuk melakukan suatu pembangunan dalam keadaan yang sangat sulit ini, diperlukan suatu stabilitas politik. Partai merasa sebagai suatu partai yang cukup besar harus bisa duduk bersama 182

pemerintah untuk dapat memantapkan stabilitas politik dalam menjalankan pembangunan nasional,’’ katanya. (K.12-1-2016).

Penggunaan label lembaga politik istana tersebut diharapkan diperoleh hasil-hasil yang positif dan setidak-tidaknya ada solusi segera terhadap penyelesaian masalah konflik. Komunikator (ARB) melalui pernyataannya memberi isyarat bahwa perdamaian dengan kubu AL sudah di ambang pintu. ‘’Untuk melakukan suatu pembangunan dalam keadaan yang sangat sulit ini, diperlukan suatu stabilitas politik. Partai merasa sebagai suatu partai yang cukup besar harus bisa duduk bersama pemerintah untuk dapat memantapkan stabilitas politik dalam menjalankan pembangunan nasional’’. Kompas melalui wacana yang dibangunnya dalam teks wacana berita tersebut berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang netral, tetapi penonjolan ARB yang hendak bergabung dengan pemerintah, jelas menguntungkan pihak AL yang sejak konflik berada di pihak pemerintah. Dengan demikian dalam teks berita ini

Kompas berimplikasi berpihak pada AL.

Republika menurunkan satu berita yang menarik tentang imbas dari konflik Partai Golkar di tingkat pusat terhadap daerah. Antara ayah dan anak juga terjadi ‘’konflik’’ sebagaimana terjadi di DPP Patai Golkar antara kubu ARB dan AL. Tetapi ada nuansa sistem sosial budaya yang

‘’mengalir’’ di dalam konflik antara ayah dan anak ini yang justru tetap mempersatukan keduanya. Simak berita berikut.

(R-16). Alzier yang dikenal sangat sayang kepada anak-anaknya, tidak terpengaruh dengan langkah politik mereka. Menurut dia, urusan politik adalah politik, bukan untuk memisahkan anggota keluarga. Dia tetap mendorong Heru untuk menuju dunia politik. Alzier ingin menyumbangkan pengalamannya yang sudah malang melintang di kancah politik, termasuk menjadi calon 183

gubernur yang gagal dilantik di era Presiden Megawati Soekarnoputri pada Desember 2002. (R.17-3-2015).

Wartawan menampilkan subjek berita, yakni Alzier, sang ayah, dengan anaknya Heru yang berseteru dalam bidang politik. Akan tetapi lembaga sosial hubungan kekerabatan antarayah dan anak tidak memutuskan harmonisasi mereka senagai keluarga. Melalui kalimat yang dicetak tebal di atas, dengan jelas ada batas yang jelas antara ruang hubungan kekeluargaan dengan kepentingan politik. Ini membuktikan bahwa sistem sosial budaya di dalam keluarga atau masyarakat mereka masih tetap dikedepankan dan harus dibedakan dengan perbedaan aliran politik. Ini merupakan salah satu sisi tersirat yang diungkapkan media dalam merepresentasikan eksistensi dan pengaruh sistem sosial budaya yang ada di dalam masyarakat dikaitkan dengan aktivitas politik.

Republika melalui teks wacana berita yang dipilihnya secara langsung atau tidak, berpihak kepada ARB karena Alzier yang bertindak sebagai komunikator dalam teks berita ini merupakan Pengurus DPD Partai Golkar

Lampung versi ARB.

Dalam berita berikut ini, Republika menggunakan simbol sosial

M.Jusuf Kalla sebagai seorang personil lembaga politik. Seperti juga dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, M.Jusuf Kalla dalam penyelesaian konflik Partai Golkar ini merepresentasikan tiga entitas, yakni wakil presiden, mantan Ketua Umum Partai Golkar, dan sosok yang dipilih sebagai mediator penyelesaian konflik bersama para tokoh yang lainnya, seperti B.J.Habibie. Pada berita berikut ini, institusi yang digunakan adalah lembaga wakil presiden. 184

(R-17). Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, dia akan memfasilitasi perdamaian kedua belah kubu Partai Golkar. Menurut Kalla, perdamaian antarkedua kubu sangat penting agar Golkar dapat mengikuti pilkada serentak yang akan digelar pada akhir tahun ini. (R.20-5-2015).

Media mengungkapkan pernyataan komunikator (M.Jusuf Kalla) dalam kapasitasnya sebagai lembaga pemerintah (wakil presiden) memberi sinyal positif bagi penyelesaian konflik dengan menyediakan fasilitas bagi kedua kubu Partai Golkar. Fasilitas ini tentu saja sesuai yang dibutuhkan bagi penyelesaian konflik. Sebagai orang yang pernah memimpin partai berlambang beringin dan Partai Golkar selama ini adalah partai yang selalu berada bersama dengan pemerintah, Jusuf Kalla sangat berkepentingan dalam penyelesaian konflik ini. Republika dalam beberapa teks wacana berita sebelumnya yang mengutip pernyataan

M.Jusuf Kalla kerap berpihak kepada AL, tetapi dalam berita tersebut di atas menempatkan diri sebagai pihak yang netral. Kondisi ini dapat saja berubah sesuai dengan teks wacana berita yang ditulis media.

Pada wacana berita berikut ini, wartawan menggunakan lembaga internal Partai Golkar dengan harapan dapat berpengaruh dalam penyelesaian konflik, yakni Dewan Pertimbangan (Wantim).

(R-18). Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, pihaknya telah mengirim surat permohonan intervensi kepada Mahkamah Partai Golkar. Ini bertujuan untuk memutuskan penyelenggaraan munas bersama antara kedua kubu yang berselisih di internal Partai Beringin. ‘’Kami (jajaran Wantim) telah menyiapkan surat yang akan disampaikan kepada Mahkamah Partai Golkar dalam bentuk permohonan intervensi terhadap situasi yang sudah berjalan antara pengurus Bali (kubu Aburizal Bakrie) dan Ancol (kubu Agung Laksono),’’ kata Akbar. (R.25-2-2015)..

185

Media selalu mencari beragam jurus untuk menemukan narasumber atau komunikator dalam menyampaikan pesannya. Biasanya, narasumber yang dipilih adalah yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang sedang diwacanakan. Menurut Yurnaldi (2013, 52), wartawan harus memiliki indera keenam untuk mengetahui mana yang jadi berita, mana yang bukan, Juga, menemukan dan menggali narasumber untuk melengkapi fakta dan peristiwa. Ukuran keberhasilannya, narasumber yang dihubungi tepat dan memberikan bahan/berita yang diperlukan. Apa yang dilakukan oleh wartawan

Republika tersebut di atas adalah sesuai dengan panduan yang diberlakukan kepada seorang wartawan, yakni menemukan narasumber yang tepat berkaitan dengan berita yang berkaitan dengan konflik Partai

Golkar. Melalui teks wacana berita tersebut (R-18) Republika menempatkan posisi Mahkamah Partai Golkar sebagai penentu terwujudnya penyelesaian konflik. Mahkamah Partai didukung oleh personil yang mendukung AL, sedangkan lembaga Dewan Pertimbangan justru berpihak pada ARB sehingga dalam teks berita ini Republika menempatkan diri dalam posisi netral.

Pemberitaan mengenai konflik Pertai Golkar dari segi jurnalisme mampu memetakan sejumlah narasumber yang selalu dipilih oleh media untuk mendukung pemberitaannya. Salah satu narasumber atau komunikator yang selalu dipilih adalah M.Jusuf Kalla yang memiliki tiga kapasitas sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Koran

Tempo memilih Jusuf Kalla dengan posisinya sebagai mantan Ketua

Umum Partai Golkar sebagaimana dikutip dalam berita berikut. 186

(KT-16). Mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla menerima banyak aduan dari kader partai beringin soal kepemimpinan Aburizal Bakrie. Menurut Kalla, sebagian dari mereka kecewa terhadap Aburizal yang dinilai gagal memimpin Golkar sejak 2009. ‘’Banyak sekali yang lapor. Saya sampaikan langsung ke Ical,’’ kata Wakil Presiden kemarin. (KT.26-11-2014). Pada berita tersebut di atas wartawan lebih memilih kapasitas Jusuf

Kalla sebagai mantan ketua umum karena ada koherensi antara apa yang terjadi dengan apa yang hendak dilakukannya. Yang terjadi adalah laporan atau aduan yang disampaikan kader partai beringin, sementara yang hendaknya dilakukan adalah menyampaikan aduan tersebut kepada penerimanya, ARB. Wartawan selalu cerdik memilih kapasitas seorang narasumber dikaitkan dengan kondisi tertentu dalam menyampaikan berita. Menurut Yurnaldi (2013:53) wartawan yang sukses adalah mereka yang dikaruniai dan bisa memanfaatkan kecerdikannya. Ia harus selalu berusaha keras mendapatkan gagasan orisinal dalam mengumpulkan berita, terutama dalam hal reportase investigasi. M.Jusuf Kalla dalam konflik Partai Golkar dalam banyak pernyataannya selalu mengindikasikan berpihak kepada AL. Hal itu tidak dapat dipisahkan posisi AL yang mendukung pencalonan M.Jusuf Kalla sebagai wakil presiden bersama

Joko Widodo yang diposisikan sebagai calon presiden pada tahun 2014.

Dalam teks wacana berita ini, Koran Tempo dengan narasumber M.Jusuf

Kalla berpihak kepada AL.

Media memanfaatkan lembaga internal Partai Golkar untuk menyampaikan pendapatnya kepada khalayak dengan mewartakan langkah yang diambil Presidium Penyelamatan Partai. Ini merupakan upaya awal ketika konflik partai ini baru berlangsung beberapa bulan pasca-pemilihan presiden yang mengakibatkan kepengurusan DPP Partai 187

Golkar terpecah dua, yakni kubu ARB dan kubu AL, sebagaimana dalam berita berikut.

(KT-17). Rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar membekukan kepengurusan Aburizal Bakrie. Selanjutnya kepemimpinan partai diambilalih Presidium Penyelamatan Partai. ‘’Kami ambil langkah ini untuk penyelamatan partai,’’ ujar Ketua Mahkamah partai Muladi seusai rapat pleno di kantor DPP Golkar kemarin, Menurut Muladi, pengambilalihan kepengurusan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai. Pemberhentian Aburizal diklaim oleh karena diputuskan dalam rapat pleno yang dihadiri mayoritas pengurus. (KT.26-11-2014).

Media menempatkan Muladi sebagai Ketua Mahkamah Partai

Golkar yang membawa bendera DPP Partai Golkar. Mahkamah Partai merupakan lembaga yang berhak menyelesaikan masalah-masalah internal partai beringin tersebut. Pesan yang tersirat atau tersurat dari penempatan Muladi dalam kapasitasnya sebagai Ketua Mahkamah Partai adalah untuk memberi informasi kepada publik bahwa lembaga ini memiliki legitimasi untuk menyelesaikan konflik. Koran Tempo melalui komunikator Muladi memosisikan diri sebagai pihak yang berpihak kepada

AL yang memimpin Presidium Penyelamat Partai Golkar.

Ada informasi yang bertentangan antara wacana berita Koran

Tempo (KT-17) dengan berita berikut ini (KT-18) yang bersumber dari komunikator atau narasumber yang sama. Hal ini disebabkan, Muladi pada berita (KT-17) dan pada berita (KT-18) merepresentasikan posisi yang berbeda. Pada beruta (K-17), Muladi sebagai bagian dari peserta

Rapat Pleno DPP Partai Golkar, sementara pada berita (KT-18) merepresentasikan posisinya sebagai Ketua Mahkamah Partai.

(KT-18). Menurut Muladi, selama belum ada keputusan yang final dan mengikat, baik dari Mahkamah Partai maupun pengadilan, kepengurusan Golkar yang sah adalah versi hasil Munas 188

Pekanbaru yang diketuai Aburizal Bakrie dengan Sekretaris Jenderal Idrus Marham. ‘’Jadi, sekarang ketua umumnya tetap Aburizal,’’ Muladi menegaskan. (KT 5-3-2015).

Perubahan pesan atau wacana seperti ini lumrah terjadi dalam suatu peristiwa yang terus berkembang. Apalagi dalam kasus konflik

Partai Golkar berbagai institusi internal dan eksternal terlibat ikut menyelesaikan konflik. Dengan pernyataan Muladi tersebut, mengindikasikan kepengurusan DPP Partai Golkar kembali ke kondisi dan posisi sesuai hasil Munas Pekanbaru. Posisi itu mengindikasikan, sejatinya kedua kubu harus sama-sama menaatinya. Koran Tempo berusaha netral dalam teks wacana berita ini, tetapi dengan pernyataan komunikator yang dipilihnya (Muladi) mengindikasikan berpihak kepada kubu ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Pekanbaru.

Berdasarkan pembahasan dan analisis variabel sosial tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga cukup dominan menunjukkan keberpihakannya dengan 5 teks berita dan 4 berita lainnya merujuk pada netralitas. Satu teks berita Kompas dan Republika masing-masing menunjukkan keberpihakan dan 2 teks berita lainnya merujuk pada netralitas. Jika merujuk pada sosok, masing-masing 1 teks berita Kompas dan juga Republika berpihak pada AL. Tiga teks berita Koran Tempo merujuk pada keberpihakan, 2 teks berita di antaranya berpihak pada

ARB dan 1 teks berita pada AL.

3. Perangkat Framing

Analisis Perangkat framing dalam penelitian ini menggunakan dua elemen, yakni perangkat framing itu sendiri yang terdiri atas variabel metafora dan variabel frasa, dan perangkat penalaran dengan variabel 189

yang dipilih adalah roots atau sebab akibat (kausalitas). Pemilihan ketiga variabel tersebut dianggap cukup merepresentasikan analisis data dalam mengungkapkan keberpihakan media terhadap berita konflik Partai Golkar dengan menggunakan perangkat framing. Menurut Sobur (2001), berdasarkan konsep psikologi, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu yang lebih besar.

Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam memengaruhi penilaian individu dalam penarikan simpulan.

3.1 Metafora

Penggunaan metafora oleh wartawan dalam penulisan berita termasuk majas bahasa pers. Majas adalah bahasa yang maknanya melampaui batas bahasa yang lazim (Laksana, 2010:4). Salah satu di antara majas bahasa pers adalah penggunaan metafora. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) IV disebutkan, metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Di dalam wacana berita wartawan sering menggunakan metafora yang merupakan kutipan dari pernyataan nara sumber sebagai variasi dalam penulisan berita. Penggunaan metafora yang bersumber dari gagasan wartawan hanya boleh dilakukan pada karya jurnalistik berbentuk karangan khas (feature) ataupun laporan (reportase).

Sumadiria (2006) mengatakan, metafora termasuk ke dalam kelompok gaya bahasa kiasan. Kiasan menunjuk pada perbandingan atau 190

pengandaian dua hal secara langsung dalam bentuk frasa atau klausa singkat dan sederhana. Misalnya, putri malam (bulan), bunga bangsa

(pahlawan), kaki tangan (pelaku aksi kejahatan), buah tangan (oleh-oleh), panjang tangan (mencuri), buah hati (orang yang dicintai), dan sebagainya.

Dalam pemberitaan konflik Partai Golkar yang dilakukan tiga media, juga kerap ditemukan adanya penggunaan metafora yang bersumber dari kutipan pernyataan narasumber atau komunikator yang menjadi subjek pemberitaan.

Pada berita berikut, Kompas menggunakan metafora sebagai bagian dalam membingkai berita yang bersumber dari nara sumber Wakil

Presiden M.Jusuf Kalla sebagaimana dimuat pada edisi 18 Januari 2016:

(K-19). Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditunjuk Mahkamah Partai Golkar sebagai Ketua Tim Transisi Penyelesaian Konflik Internal Partai Golkar mengingatkan, Golkar tidak milik satu atau dua orang. Golkar juga bukan perusahaan, melainkan partai politik. ‘’……’Mau siapa nanti pimpinannya, terserah melalui proses yang demokratis. Tidak proses yang dipaksa-paksakan, disogok-sogok, dan sebagainya. Golkar ini parpol, bukan perusahaan,’’ kata Kalla, yang menyatakan tak ingin kembali menjadi ketua umum partai itu di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (17/1/2016). (K.18-1-2016).

Media ini mengungkap pernyataan M.Jusuf Kalla yang menggunakan kata perusahaan sebagai analogi yang dalam pembahasan ini juga dikategorikan sebagai metafora dalam membingkai berita ini. Penggunaan metafora ini secara langsung dialamatkan kepada

ARB yang cenderung memimpin Partai Golkar meniru gaya kepemimpinannya dalam mengendalikan perusahaan-perusahaan yang dimilikinya (Bakrie Group). Kompas menegaskan kembali metafora yang digunakan narasumber pada kalimat yang berupa kutipan langsung. Dari 191

kutipan teks wacana berita tersebut di atas Kompas mengindikasikan berpihak kepada AL. Alasannya, penggunaan metafora ‘’perusahaan’’ cenderung merugikan citra ARB karena memimpin partai politik meniru model mengelola sebuah perusahaan bisnis. Pernyataan ini di pihak lain memberikan citra dan dampak positif terhadap AL.

Pada wacana berita (K-20) Kompas mengutip pernyataan Akbar

Tandjung dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai

Golkar yang mengungkapkan keprihatinannya terhadap imbas konflik

Partai Golkar dan pengaruhnya merembes ke daerah-daerah.

(K-20). Dorongan untuk pelaksanaan Munas 2016 semakin menguat. Akbar mengatakan, sejumlah pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar tingkat provinsi sudah menyuarakan keinginan agar munas segera diselenggarakan. ‘’Mereka di daerah pun tidak punya induk. Dampak buruk dari konflik ini contohnya bisa dirasakan saat pilkada serentak 2015 lalu, saat perolehan suara partai kecil sekali,’’ kata Akbar. (K.4-1-2016).

Penggunaan klausa ‘’tidak punya induk’’ merujuk kepada kondisi

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar yang sedang dalam kondisi dualisme kepemimpinan, sehingga Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tidak memiliki induk organisasi yang dapat diikuti. Kondisi ini dapat berakibat buruk bagi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada), saat para kader dari Partai Golkar tidak dapat ambil bagian karena masih terbelit legitimasi kepengurusan yang sah. Kompas melalui teks wacana berita ini sepintas mengindikasikan netral, tetapi melalui klausa teks berita ‘’saat pilkada serentak 2015 lalu, perolehan suara partai kecil sekali’’ justru memarginalkan ARB dan menguntungkan (berpihak pada) AL.

Alasannya, pemarginalan terhadap ARB terjadi karena publik selalu merujuk pemicu konflik muncul adalah ARB, yakni ketika memutuskan 192

Partai Golkar yang dipimpinnya mendukung pasangan Prabowo Subianto-

Hatta Rajasa pada pemilihan presiden 2014. Dukungan tersebut berlarut- larut hingga pasca-pelantikan presiden/wakil presiden 2014. Padahal, sejak kelahirannya Partai Golkar merupakan partai pemerintah dan salah satu partai pendukung pemerintah.

Kompas pada wacana berita (K-21) mengonstruksi realitas terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar dengan menulis teks sebagaimana dalam berita berikut ini:

(K-21). Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengungkap satu rahasia saat menyampaikan pidato penutupan Musyawarah Nasional IX Partai Golkar, Kamis (4/12). Rahasia yang diungkap adalah tanggapan istri, Tatty Murnitriati setelah Aburizal kembali ditetapkan sebagai ketua umum periode 2014-2019. Aburizal menuturkan, dia mendapat banyak ucapan selamat sesaat setelah ditetapkan sebagai ketua umum. Ucapan itu tak hanya disampaikan langsung, tetapi juga masuk dari telepon genggamnya melalui layanan pesan singkat. ‘’Saya kasih tahu rahasia. Tapi pas saya sampai, istri saya bilang ‘masih mau diuyel-uyel lima tahun lagi? Sudah dihina-hina. Saya ketawa saja,’’ kata Aburizal disambut tawa peserta dan tamu Munas IX. (K.4-12-2014).

Kompas tidak memfokuskan konstruksi teks pada terpilihnya ARB sebagai Ketua Umum Partai Golkar, tetapi memilih mengisahkan respons istrinya atas keterpilihannya itu. Tatty Murnitriati kemudian memilih perumpaman dalam bahasa Jawa yang dicetak tebal, diuyel-uyel, yang pengertiannya identik dengan diremas-remas sebagai respons kritis atas keterpilihan suaminya sebagai nakoda Partai Golkar lima tahun mendatang. Kata ulang dalam bahasa Jawa tersebut kemudian dipertegas lagi dalam bahasa Indonesia ‘’Sudah dihina-hina’’ yang merupakan penegasan dari perumpamaan yang dipilih komunikator dalam berita ini.

Pilihan metafora ini merujuk kepada pihak yang berlawanan dengan kubu 193

ARB, yakni AL. Melalui kata ‘’diuyel-uyel’’ tersebut Kompas sebenarnya secara implisit mengungkapkan kelemahan ARB dan di pihak lain mengunggulkan kubu AL. Oleh karena makna kata ‘’diuyel-uyel’’ tersebut mengindikasikan AL berada di atas angin, sehingga merepresentasikan kekuatan kubu AL yang terindikasi melemahkan ARB. Melalui teks berita tersebut, Kompas berpihak kepada AL.

Republika dalam berita ini (R-19) menurunkan teks berita yang merupakan pandangan wartawan, karena dalam alinea berita ini tidak ditemukan narasumber berita yang dikutip. Pandangan media sebagai pengantar yang merujuk kepada penjelasan berita yang mengutip kalimat langsung narasumber berita pada alinea kedua:

(R-19). Perseteruan dua kubu Partai Golkar yang kian panjang dan lebar, membuat ketar-ketir banyak kalangan. Jika tidak segera direm, konflik tersebut dikhawatirkan akan melampaui batas waktu pencalonan kepala daerah, sehingga bisa membuat Partai Beringin ketinggalan kereta pesta demokrasi lokal tahun ini. ‘’Saya akan mengutuk jikalau konflik ini ternyata tidak mengikutkan Golkar dalam pilkada,’’ kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I Partai Golkar Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo dalam apel akbar yang dihadiri belasan ribu kader Golkar di Makassar, akhir April lalu seperti dikutip harian Fajar. (R.11-5- 2015).

Metafora ‘’ketinggalan kereta’’ yang digunakan Republika dalam membingkai berita ini bermakna, Partai Golkar tidak akan mengikutkan kadernya dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Pilihan metafora tersebut mengindikasikan Republika berpihak kepada AL karena setiap kegagalan partai dalam mengikuti agenda pesta demokrasi selalu merujuk kepada pihak yang memicu terjadinya konflik yang bersalah, yakni ARB.

Pandangan seperti ini dapat dianggap sebagai kebenaran universal, karena timbulnya konflik internal Partai Golkar justru terjadi ketika 194

pemilihan presiden 2014 yang dipicu oleh langkah ARB berpihak pada pasangan calon presiden/calon wakil presiden yang ternyata tidak tampil sebagai pemenang, sehingga melalui teks ini Republika dengan cantik berpihak kepada AL.

Pada berita (R-20) berikut ini, Republika menggunakan satu pepatah atau perumpaman dalam membingkai berita yang menampilkan narasumber Komisi Pemilihan Umum (KPU).

(R-20). Garis mati yang semakin dekat, sementara konflik belum bisa diprediksi kapan berakhir, membuat KPU kian banyak mendapat tekanan, baik dari kubu Aburizal maupun kubu Agung Laksono. KPU pun bak pelanduk yang terjepit di antara pertarungan dua gajah, yaitu masing-masing Partai Golkar dan koalisi di belakangnya. (R.11-5-2015).

Wartawan menggunakan perumpamaan dengan mengutip sebuah pepatah ‘’bak pelanduk yang terjepit di antara pertarungan dua gajah’’ untuk mengonstruksi realitas yang dihadapi oleh KPU. Penggunaan metafora seperti ini lebih memberikan kesan dan perluasan makna kebahasaan yang lebih realistik dibandingkan menggunakan ungkapan verbal yang sudah sering digunakan wartawan, misalnya, KPU berada di posisi yang terjepit. Kutipan teks ini mengindikasikan KPU berada di antara dua kekuatan yang saling berebut dominasi dan legitimasi.

Republika berpihak kepada kedua kubu yang berkonflik, karena berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang netral Jika KPU terindikasi memiliki keberpihakan kepada salah satu kubu, maka jelas akan menjadi sorotan publik, terutama kubu yang merasa dirugikan.

Pada berita (R-21), Republika mengangkat berita antara sang ayah, Alzier Dianis Tabranie dan anaknya, Heru Sambodo, yang berbeda 195

pilihan di kepengurusan Partai Golkar Bandar sebagai akibat dari perpecahan di DPP Partai Golkar. Republika memilih menggunakan klausa ‘’bertepuk kedua tangan’’ sebagai metafora dalam wacana berita tersebut.

(R-21). Heru merupakan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Kota Bandar Lampung. Sejak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan surat yang mengesahkan Golkar pimpinan Agung Laksono, Heru terpaksa meninggalkan pilihan politik bapaknya yang berkiblat ke kubu Ical. Pilihan politik tersebut bertepuk kedua tangan. Agung Laksono menunjuknya untuk duduk di jabatan Ketua Umum DPD I Golkar Lampung Munas Ancol. Dia menjabat sebagai pelaksana tugas untuk menggantikan bapaknya, Alzier Dianis Tabranie. (R.17-3-2015).

Metafora dalam bentuk klausa ‘’bertepuk kedua tangan’’ identik dengan kalimat ‘’disambut baik’’ yang berimplikasi memperoleh dukungan dari kubu AL dengan menempatkannya sebagai pelaksana tugas Ketua

Umum DPD I Golkar Lampung. Penggunaan klausa ‘’bertepuk kedua tangan’’ tidak begitu populer di kalangan pemakai bahasa, jika dibandingkan klausa ‘’bertepuk sebelah tangan’’ yang maknanya lebih mengarah kepada hal yang tidak menguntungkan. Kutipan teks wacana berita ini memosisikan Republika memihak kubu AL karena memarginalkan peran yang dimainkan Alzier yang merepresentasikan kubu ARB.

Koran Tempo juga dalam pemberitaannya sering menggunakan sistem framing (bingkai) untuk memberi makna dan variasi kalimat.

Misalnya saja dalam berita (KT-19) berikut.

(KT-19). Politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, Menteri Hukum bermain api. ‘’Wajib hukumnya bagi pemerintah untuk menjaga jarak dengan partai yang sedang diselimuti masalah internal,’’ ujar Bambang.( KT.17-12-2014).

196

Koran Tempo mengutip pernyataan salah seorang politikus Partai

Golkar pendukung ARB ketika mengomentari langkah yang diambil

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang cenderung memihak kubu

AL dalam menyikapi konflik Partai Golkar. Langkah itu dinilai Bambang

Soesatyo bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ‘’bermain api’’.

Makna perumpamaan ini mengacu kepada tindakan berbahaya yang berpotensi terhadap munculnya bencana.. ‘’Bermain api’’ merujuk kepada kemungkinan timbulnya bahaya-bahaya yang tidak dapat diprediksi berkaitan dengan konflik ini. Koran Tempo dengan pilihan metafora tersebut untuk memproduksi teks mengkritik kebijakan Menteri Hukum dan HAM yang sejak awal merupakan representasi pemerintah dan mendukung AL. Melalui metafora tersebut media ini memosisikan

Menteri Hukum dan HAM sebagai pihak dirugikan, sehingga mengindikasikan berpihak pada ARB. .

Pada berita (KT-20) berikut ini, Koran Tempo menggunakan metafora ‘’membendung’’ untuk membingkai berita berikut.

(KT-20). Tujuh elite Partai Golkar merencanakan bersama-sama menggempur Ketua Umum Aburizal Bakrie pada Musyawarah Nasional (Munas) Golkar pada 30 November. Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono mengatakan persekutuan para calon ketua umum untuk membendung manuver sekaligus mencegah Aburizal terpilih kembali dalam musyawarah tersebut. (KT.21-11-2014).

Koran Tempo menggunakan perumpamaan ‘’membendung’’ sebagai upaya defensif terhadap suatu langkah yang dilakukan pihak lain, dalam hal ini kubu ARB. Kata ‘’membendung’’ berasal dari kata dasar

‘’bendung’’ yang penggunaannya lebih banyak merujuk kepada

‘’menahan’’ air di sungai atau laut, dan tanggul. Dengan demikian makna 197

metaforis ‘’membendung’’ yang digunakan dalam wacana berita ini berarti menahan gerakan dalam hal ini dari kubu ARB. Metafora yang digunakan dalam teks wacana berita tersebut secara implisit mengindikasikan ketidakberdayaan kubu ARB terhadap ‘gerak maju; kubu AL yang berintikan tujuh elite Partai Golkar. Metafora dalam teks berita ini memperlihatkan adanya kekuatan besar dari kubu AL yang berusaha menahan laju ARB. Pesan yang dapat disimpulkan dari analisis wacana kritis teks ini, Koran Tempo menempatkan AL pada posisi yang menguntungkan dan di pihak lain ARB sebagai kubu yang dilemahkan.

Dengan demikian melalui variabel metafora dalam teks ini, Koran Tempo menguntungkan dan berpihak pada AL.

Realitas penggunaan teks ini sejalan dengan yang dikatakan van

Dijk (Eriyanto, 2011) bahwa banyak informasi dalam suatu teks tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi implisit. Kata, klausa, dan ekspresi tekstual lainnya boleh jadi mengisyaratkan konsep atau proposisi yang dapat diduga berdasarkan pengetahuan yang menjadi latar belakangnya.

Sementara pada berita berikut (KT-21) ini, Koran Tempo mengangkat pernyataan AL sebagai salah satu kubu yang bertikai dalam tubuh Partai Golkar yang mengomentari rencana Munas Partai Golkar kubu ARB di Bali.

(KT-21). Agung juga mengaku menerima informasi bahwa musyawarah nasional di Bali akan berlangsung sangat cepat. ‘’Yang penting memenangkan Aburizal,’’ ujarnya. Sedangkan program partai baru akan dibahas tahun depan. ‘’Munas di Bali ini forum paling gelap gulita selama saya 40 tahun di Golkar’’.( KT.30- 11-2014).

198

Penggunaan perumpamaan ‘’gelap gulita’’ di dalam berita ini merujuk kepada penilaian bahwa musyawarah nasional yang akan dilaksanakan di Bali tidak memiliki program dan agenda yang jelas untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan munas tersebut masih meraba-raba apa yang akan menjadi agendanya. Koran Tempo melalui teks wacana berita ini memosisikan diri berpihak kepada kubu AL dan memarginalkan kubu ARB lewat pesan teks yang dipilihnya.

Alasannya bahwa dengan munas tersebut penuh dengan permainan gelap (tidak fair), sarat dengan praktik penyimpangan, di antaranya terjadinya politik uang sehingga sangat berpotensi memberikan pandangan dan kesan negatif dan merugikan citra ARB, sehingga melalui metafora ini Koran Tempo mengindikasikan berpihak pada kubu

AL.

Untuk lebih jelasnya, indikasi keberpihakan melalui variabel metafora ketiga media terhadap kedua sosok tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 17

MENGUNTUNGKAN VARIABEL METAFORA Kompas Republika Koran Tempo - - bermain api ARB ------perusahaan ketinggalan kereta - AL tak punya induk bertepuk kedua membendung tangan diuyel-uyel - gelap gulita

Harian Kompas melalui metafora pada tiga teks yang dikutip di atas jelas sekali berpihak kepada AL. Kompas mengumpamakan ARB memimpin Partai Golkar layaknya sebuah ‘’perusahaan’’, sehingga harus dikembalikan kepada pengelolaan yang benar. Konflik yang terjadi menyebabkan pengurus daerah partai politik ‘’tidak punya induk’’ 199

mengindikasikan bahwa Partai Golkar di bawah kepemimpin ARB mengalami kerusakan dari dalam. Penggunaan metafora ‘’diuyel-uyel’’ mencerminkan bahwa ARB diobok-obok dan diposisikan sebagai pihak yang dimarfinalkan karena salah memimpin dalam mengendalikan partai.

Republika pada dua teks berita melalui metafora ‘’ketinggalan kereta’’ dan ‘’bertepuk kedua tangan’’ merujuk keberpihakan kepada AL.

Fakta kebahasaan metafora ‘’ketinggalan kereta’’ mengindikasikan bahwa

Partai Golkar tidak dapat berpartisipasi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) karena terjadinya konflik yang berlarut-larut. Khalayak sangat maklum bahwa pemicu konflik adalah ARB. Metafora ‘’bertepuk kedua tangan’’ di dalam teks berita tersebut mengindikasikan dukungan terhadap sang anak, Heru, yang mendukung AL yang berhadapan dengan ayahnya Alzier, yang mendukung ARB di DPD I Partai Golkar Lampung.

Satu teks berita Republika mengindikasikan netralitasnya.

Koran Tempo memperlihatkan kecenderungan berpihak pada tiga teks berita. Dua teks berpihak AL melalui metafora ‘membendung’’ dan

‘’gelap gulita’’. Metafora ‘’membendung’’ berarti mencegah dan menahan

ARB melakukan aksi untuk melaksanakan aktivitas organisasi, yakni menyelenggarakan munas. Penggunaan metafora ini jelas menguntungkan AL karena sebagai pihak yang aktif melakukan berbagai upaya untuk meredam aktivitas ARB. Adapun penggunaan metafora

‘’gelap gulita’’ mengandung makna yang sangat merugikan ARB karena di balik penggunaan metafora ini Koran Tempo ingin menyatakan bahwa kegiatan munas yang dilakukan ARB tidak fair. penuh dengan penyimpangan, dan kesepakatan yang tidak transparan. Satu teks berita 200

yang dianalisis menunjukkan berpihak kepada ARB, yakni melalui metafora ‘’bermain api’’ yang mengindikasikan peringatan kepada kubu pendukung AL agar tidak melakukan tindakan berbahaya bagi pencitraan dirinya.

3.2 Frasa

Dalam penelitian ini digunakan batasan bahwa kata majemuk memiliki kesamaan bentuk dengan frasa dan idiom, yang masing-masing dapat berwujud kelompok kata. Adapun frasa itu merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak melewati batas fungsi sebagaimana dikemukakan Darwis (2012). Oleh karena di dalam analisis perangkat framing tidak terdapat kata majemuk sebagai salah satu variabelnya, maka dalam analisis ini penggunaan idiom dan kata majemuk juga merujuk pada frasa menurut konteksnya masing-masing.

Kompas pada berita yang dimuat 11 Maret 2015 (K-22) menggunakan pernyataan AL sebagai komunikator, sebagaimana berita berikut.

(K-22). Ketua Umum Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta Agung Laksono mengajak kubu Aburizal Bakrie bergabung. Seruan ini menyusul keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly yang mengakui secara selektif kepengurusan DPP Partai Golkar Munas Jakarta. ‘’Kami mengajak kader, simpatisan, dan keluarga besar Partai Golkar untuk kembali bersatu dan melangkah bersama demi kebesaran partai,’’ kata Agung Laksono dalam konferensi pers yang diselenggarakan tepat sesudah pengumuman putusan Menkumham Selasa (10/3) di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Jakarta. (K.11-3-2015).

Dalam berita di atas dengan menggunakan frasa yang dicetak tebal, Kompas menempatkan kubu AL sebagai pihak yang diuntungkan. 201

Pernyataan dengan frasa ‘’kembali bersatu’’ dan ‘’melangkah bersama’’ memosisikan AL sebagai pihak yang mengendalikan Partai Golkar dan di sisi lain kubu ARB dikerdilkan. Penggunaan frasa tersebut diperkuat dengan pernyataan . dalam klausa ‘’mengakui secara selektif’’ kepengurusan Munas Jakarta yang dipimpin AL. Kompas dengan sangat jelas berpihak kepada kubu AL. Klausa tersebut mengindikasikan keberpihakan pemerintah yang direpresentasikan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia terhadap kubu AL. Pemihakan ini terjadi, karena tidak ditemukan adanya frasa yang mengecam Menteri Hukum dan HAM, sehingga berarti Kompas menyetujui SK Menteri. Hal ini berarti Kompas berpihak pada kubu AL.

Pada berita yang lain, Kompas juga menyoroti kondisi internal tiap kubu yang melahirkan friksi-friksi internal. Media ini memanfaatkan komunikator yang sama dengan berita (K-23) menyoroti kondisi internal partai sebagai berikut.

(K-23). Politikus senior Partai Golkar itu menilai, perpecahan internal Partai Golkar sudah tergolong parah dan eksesif. Konflik tidak hanya di antara dua kubu DPP Partai Golkar, yakni kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, tetapi juga di internal kedua kubu. Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi-faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan.(K.8- 1-2016).

Kompas menggunakan frasa ‘’saling jegal’’ adalah partikel yang menyatakan perbuatan yang berbalas-balasan. Secara gramatikal frasa ini menggambarkan perbuatan yang berbalas-balasan di antara dua pihak yang saling berhadapan. Makna kata ‘’saling jegal’’ ini terikat konteks pada kalimatnya yang ditandai dengan kata dalam kalimat ‘’di antara dua kubu DPP Partai Golkar, tetapi juga di internal kedua kubu’’. Makna kata 202

‘’di antara’’ merujuk kepada kedua pihak, dalam hal ini ARB dan AL, sementara kata ‘’tetapi’’ adalah kata penghubung untuk menyatakan hal yang bertentangan atau tidak selaras yang menjelaskan terjadinya pertentangan friksi-friksi yang muncul pada masing-masing kubu. Konteks maksud kalimat ini menggambarkan tajamnya persaingan di internal kubu masing-masing pihak yang bertikai, hingga secara internal masing-masing kubu pun terjadi kubu-kubuan. Makna ‘’saling jegal’’ dalam wacana berita tersebut adalah terjadinya aksi saling menghalangi di antara faksi-faksi di tiap-tiap kubu. Adverbia ‘’saling’’ merupakan kata untuk menerangkan perbuatan yang berbalas-balasan antara kalangan internal kubu ARB dengan kalangan internal kubu AL. Di dalam masing-masing kubu ini muncul friksi-friksi yang saling menghalangi mengindikasikan bahwa

Partai Golkar terbelah dengan munculnya faksi-faksi. Kompas melalui teks ini mengesankan Partai Golkar di bawah kepemimpinan yang gagal.

Kesan ini merujuk kepada kepemimpinan ARB, sehingga Kompas terindikasi berpihak pada kubu AL.

Sementara dalam berita berikut ini (K-24), mengutip pernyataan

M.Jusuf Kalla Kompas menulis berita berikut.

(K-24). Menanggapi tunggakan kantor DPP Partai Golkar, Kalla yang pernah memimpin Partai Golkar mengatakan, Partai Golkar pasti akan membayarnya segera. Menyusul terjadinya konflik Partai Golkar, awal April 2015, kubu Agung akhirnya merebut di Slipi dari tangan DPP Partai Golkar yang dipimpin Aburizal. Perebutan Kantor DPP Golkar sempat diwarnai keributan di antara para kader muda pendukung Partai Golkar. Meskipun kepolisian turun tangan, kantor DPP Golkar akhirnya dikuasai kubu Agung, hingga terjadinya upaya rujuk yang dipelopori Wapres Kalla menjelang kampanye pilkada lalu. (K.3-1-2016).

203

Kata ‘’turun tangan’’ yang digunakan dalam berita di atas merupakan kata majemuk idiomatik (Darwis, 2012), yakni idiom yang berkategori kata majemuk, tetapi tidak semua kata majemuk berstatus idiom. Pada frasa yang dicetak tebal didukung oleh kata ‘’kepolisian’’ dan dikuti dengan klausa ‘’kantor DPP akhirnya dikuasai kubu Agung’’ jelas mengindikasikan keberpihakan Kompas pada kubu AL. Frasa ‘’akhirnya’’ pun menjadi penanda kebahasaan yang bermakna dari satu situasi yang berlangsung dalam proses panjang dan mencapai klimaksnya.

Dalam konteks wacana berita ini, komunikator menggunakan diksi tersebut dengan tujuan (makna) turut campur dan menyelesaikan sesuatu.

Media sebenarnya memosisikan diri sebagai pihak yang netral dengan teks wacana berita yang dipilihnya, akan tetapi konten berita yang menyebut ‘’akhirnya dikuasai kubu Agung…’’ karena di sisi lain mengindikasikan ada kubu yang lebih diuntungkan, yakni AL dan di sisi lain ada pihak dirugikan dengan teks berita ini, yakni ARB. Melalui teks wacana ini Kompas mengindikasikan berpihak pada AL.

Republika mengutip Direktur Eksekutif Kode Inisiatif, Veri Junaidi menulis berita (R-22) sebagai berikut.

(R-22). Jadi, konflik Golkar ini memang ruwet, dan punya banyak efek domino yang terus menciptakan masalah baru. Persoalannya, Golkar – juga PPP – serius mau ikut pilkada atau mau berasyik masyuk dengan konflik, yang kali ini bisa jadi bukan win-win atau win-lose, tapi akan mengarah menjadi kalah jadi abu, menang jadi arang. Zero sum game!. (R.11-5-2015).

‘’Efek domino’’ yang digunakan pada berita ini merupakan kata majemuk idiomatik, yakni kata majemuk yang memiliki kategori sama dengan idiom sebagaimana dikemukakan Darwis (2012). Penggunaan 204

kata majemuk ini merupakan bentuk kecaman terhadap para pihak yang menyebabkan konflik berkepanjangan dan telah berimbas dan berdampak pada sejumlah masalah lain. Dampak inilah yang digambarkan komunikator sebagai terjadinya ‘’efek domino’’, yakni efek kumulatif dari suatu peristiwa yang dapat memicu peristiwa lainnya, yang tentu saja biasanya tidak diinginkan dan tak terhindarkan. Republika melalui teks ini mengesankan Partai Golkar sedang sakit dan kondisi itu terjadi di bawah kepemimpinan ARB. Dengan demikian melalui frasa tersebut, Republika mengindikasikan keberpihakan pada kubu AL.

Republika juga mengutip pernyataan pengamat politik LIPI lainnya,

Firman Noor mengomentari konflik Partai Golkar sebagaimana dalam berita (R-23) berikut.

(R-23). Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, upaya pengajuan banding sebagai bentuk indikasi Agung Laksono dan Menkumham belum merasa salah. Berdasarkan penilaiannya, kubu Agung masih belum ada keinginan untuk berdamai sehingga upaya banding akhirnya dilakukan. Hingga saat ini, kata Firman, belum ada titik temu antara kubu Agung Laksono dengan kubu Aburizal Bakrie. Keduanya masih merasa menjadi pihak yang seharusnya menjalani roda organisasi partai berlambang pohon beringin tersebut. (R.20- 5-2015).

‘’Titik temu’’ termasuk kata majemuk idiomatik yang bermakna kesepakatan atau kesepahaman. Kata ‘’titik temu’’ secara leksikal bermakna titik tempat dua buah garis atau lebih dan sebagainya bertemu.

Dua kubu yang bertikai dalam konteks ini belum sampai pada pada satu titik kesepakatan. Republika memberi penekanan melalui teks tersebut berkaitan dengan belum diperoleh kesepakatan untuk menyelesaikan konflik. Teks ini menggambarkan pernyataan komunikator menguntungkan 205

posisi AL, karena tidak ada frasa yang melemahkannya, malah justru menguntungkan antara lain melalui frasa. ‘’belum merasa salah’’. Dengan demikian Republika melalui frasa ‘’titik temu’’ terindikasi berpihak kepada

AL.

Kasus perseteruan ayah, Alzier Dianis Tabranie dengan anak, Heru

Sambodo, di tubuh Partai Golkar Bandar Lampung, juga diangkat

Republika dalam bentuk karangan khas. Wartawan yang bertindak sebagai komunikator memperoleh dispensasi bebas menggunakan piranti kebahasaan, khususnya istilah atau idiom yang sesuai dengan rasa bahasa.

(R-24). Alzier yang dikenal sangat sayang kepada anak-anaknya, tidak terpengaruh dengan langkah politik mereka. Menurut dia, urusan politik adalah urusan politik, bukan untuk memisahkan anggota keluarga. Dia tetap mendorong Heru untuk menuju dunia politik. Alzier ingin menyumbangkan pengalamannya yang sudah malang melintang di kancah politik, termasuk menjadi calon gubernur yang gagal dilantik di era Presiden Megawati Soekarnoputri pada Desember 2002. (R.17-3-2015).

Wartawan Republika menggunakan kata majemuk idiomatik

‘’malang melintang’’ untuk menunjukkan keber-pengalaman-an salah satu subjek di dalam berita ini, yakni Alzier, sang ayah dari Heru Sambodo.

‘’Malang melintang’’ termasuk kata majemuk idiomatik yang bermakna

‘’terletak tidak beraturan’’ (ada yang melintang, ada yang membujur). Akan tetapi dalam konteks wacana ini ‘’malang melintang’’ lebih dekat dengan makna lebih berpengalaman. Berdasarkan catatan wacana kritis, teks ini memberi nilai lebih kepada Alzier dengan mengkedepankan pengalamannya yang dimiliki selama karier politiknya. Alzier (ayah) dalam konflik kedua kubu Partai Golkar ini berada di kubu ARB, sedangkan Heru 206

(anak) berada di kubu AL. Republika melalui teks ini mengindikasikan berpihak kepada ARB karena mengunggulkan Alzier yang lebih memiliki banyak pengalaman karier politik dibandingkan anaknya, Heru Sambodo.

Republika juga menambahkan data Alzier yang termasuk calon gubernur yang gagal dilantik pada tahun 2002 sebagai aspek yang menguntungkan dan menguatkan keberpihakannya pada kubu ARB.

Pada berita Koran Tempo (KT-22) berikut ini, wartawan bertindak sebagai komunikator untuk memberi latar kalimat kedua yang mengutip narasumber Fadli Zon berikut.

(KT-22). Kubu Aburizal Bakrie mendapat angin segar putusan sela PTUN. Jakarta. Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat akan menyatakan status quo atas kepengurusan Fraksi Partai Golkar di lembaga legislatif. ‘’Pimpinan tak bisa membacakan dua surat perombakan fraksi, jadi kami anggap status quo sampai inkracht,’’ kata politikus Partai Gerindra ini di Gedung Parlemen Senayan, kemarin. (KT.2-4-2015).

Pemakaian kata majemuk idiomatik ‘’angin segar’’ mengandung makna menguntungkan bagi yang terkena ‘terpaan’’ angin tersebut, yakni kubu ARB. Kata majemuk idiomatik menurut Darwis (2012), yakni idiom yang berkategori kata majemuk, tetapi tidak semua kata majemuk berstatus idiom Secara leksikal kata majemuk tersebut bermakna menciptakan suasana yang menyejukkan dalam hal ini terhadap pihak yang disebut dalam wacana tersebut. Melalui teks ini, Koran Tempo berusaha memperlihatkan netralitasnya, tetapi dengan menggunakan kata majemuk ‘’angin segar’’, dan frasa ‘’status quo’’ mengindikasikan bahwa pimpinan fraksi di DPR tersebut tetap berada di bawah kendali ARB, karena dominan pimpinan dan anggota fraksi terdiri atas orang-orang 207

yang mendukung ARB. Melalui frasa ini, Koran Tempo mengindikasikan berpihak kepada kubu ARB.

Koran Tempo mengutip pernyataan salah seorang kader Partai

Golkar Hajriyanto Thohari sebagaimana diberitakan pada tanggal 26

November 2014, seminggu sebelum DPP Partai Golkar kubu ARB menggelar Munas di Bali 3 Desember 2014.

(KT-23). Untuk mencegah politik uang di musyawarah, salah seorang calon ketua umum Hajriyanto Thohari mengusulkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi dilibatkan. Banyak peserta musyawarah yang juga penyelenggara negara, mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, gubernur, bupati, wali kota, hingga anggota DPRD. Sebagai penyelenggara negara mereka dilarang menerima dan/atau memberikan rasuah. (KT.26-11-2014).

Kata majemuk ‘’politik uang’’ atau money politic, ramai digunakan pasca-era reformasi dan berlangsungnya demokratisasi dalam berbagai suksesi pemilihan kepala daerah atau presiden maupun pemilihan legislatif di Indonesia. ‘’Politik uang’’ bermakna praktik politik menggunakan uang sebagai kekuatan. Dalam praktiknya, uang dibagi- bagikan kepada para pihak yang menentukan keterpilihan seseorang untuk suatu jabatan tertentu, misalnya ‘presiden, gubernur, bupati, wali kota, anggota legislatif’’. Kini, ‘’politik uang’’ sudah merambat dan merembes ke berbagai aspek kehidupan birokrasi berbangsa dan bernegara yang berpotensi berkaitan dengan rasuah (korupsi) atau suap.

Koran Tempo dalam teks berita ini cenderung mencemarkan nama ARB, karena dalam banyak pemberitaan isu politik uang ini terkuak melalui media. Dengan demikian Koran Tempo melalui teks ini menguntungkan dan berpihak pada kubu AL. 208

Koran Tempo membingkai realitas pertemuan antara Ketua Umum

Partai Demokrat dengan Presiden Jokowi, sebagai mana ditulis berikut ini:.

(KT-24). Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah bertemu dengan Presiden Jokowi membahas perpu, yakin parlemen akan menyetujui pilkada langsung. Apalagi setelah sikap Golkar versi Ical berbalik arah. ‘’Ini suara rakyat yang harus terus diperjuangkan,’’ kata dia di UIN Ciputat, kemarin. (KT.11-12-2014).

‘’Berbalik arah’’ sebenarnya berasal dari kata majemuk ‘’balik arah’’, kemudian memperoleh prefik /ber/ untuk mempertegas kata tersebut sebagai kata majemuk yang bermakna ‘’aktif’’. Sebagai komunikator, wartawan membingkai peristiwa itu dalam teks dengan menggunakan kalimat ’’ Apalagi setelah sikap Golkar versi Ical ‘’berbalik arah’’. Makna

‘’balik arah’’ adalah memutar haluan. ‘’Haluan’’ awal Partai Golkar adalah berada pada Koalisi Merah Putih (KMP). Fungsi prefiks /ber/ pada kata

‘’berbalik’’ menunjukkan bertindak sesuai dengan makna kata dasar atau berada dalam keadaan (balik). Namun dalam konteks wacana berita ini, komunikator menyampaikan pesan melalui frasa ‘’berbalik arah’’ identik dengan berubah haluan, berubah pikiran, dan berubah dukungan. Teks ini sebenarnya tidak mengarah kepada persoalan konflik, tetapi lebih menekankan kepada dukungan ARB kepada pemerintah, sehingga Koran

Tempo melalui teks ini dinilai lebih menguntungkan dan berpihak terhadap

AL yang lebih awal mendukung pemerintah.

Jika dirinci keberpihakan tiga media dapat dirumuskan sebagai berikut:

209

Tabel 18

MENGUNTUNGKAN VARIABEL FRASA Kompas Republika Koran Tempo - - angin segar ARB - - - - Malang melintang - mengakui secara efek domino - AL selektif saling jegal titik temu politik uang turun tangan - berbalik arah

Kompas pada variabel frasa dalam tiga teks berita seperti

‘’mengakui secara selektif’’ merujuk kepada dukungan terhadap AL yang bersumber dari pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang merepresentasikan posisi pemerintah dan mendukung AL. Pada sisi lain frasa ini mengindikasikan pemarginalan pihak ARB.

Frasa ‘’saling jegal’’ mencerminkan kondisi partai tersebut tidak terkendali lagi. Pemicu ‘’hura hara’’ partai ini jelas mengarah kepada ARB yang melahirkan konflik. Frasa ini jelas merugikan image sebagai ketua umum partai yang terpilih di Munas Pekanbaru dan di sisi lain menguntungkan AL.

Pada frasa ‘’turun tangan’’ jelas keberpihakan kepolisian di teks ini merepresentasikan pemerintah, sehingga kubu AL berhasil merebut kantor DPP Partai Golkar. Kompas memanfaatkan frasa tersebut secara cantik dengan mengutip, ‘’meskipun kepolisian turun tangan, Agung

Laksoni berhasil menguasai DPP Partai Golkar’’.

Republika dalam dua teks berita mengindikasikan keberpihakan terhadap AL melalui frasa ‘’efek domino’’ dan ‘’titik temu’’. Frasa ‘’efek domino’’ menggambarkan dampak konflik yang dipicu oleh langkah ARB yang menempatkan Partai Golkar sebagai oposisi pemerintah, merembes 210

dalam berbagai aspek. Misalnya tentang kepemimpinan partai, keanggotaan fraksi di DPR, penentuan calon peserta pilkada, penguasaan secretariat DPP Partai Golkar, dan sebagainya.

Frasa ‘’titik temu’’ juga mengindikasikan keberpihakan Republika terhadap AL karena media menyatakan bahwa kubu AL belum merasa bersalah, sehingga masih memiliki hak untuk mengendalikan partai. Media memandang AL memiliki kepercayaan diri sebagai pihak yang dianggap benar karena tetap memosisikan diri sebagai pihak yang berada di pihak pemerintah sebagaimana layaknya selama ini.

Republika menunjukkan keberpihakan kepada ARB melalui satu teks dengan frasa ‘’malang melintang’’ yang merujuk pernyataan terhadap sosok Alzier yang mendukung ARB melawan anaknya Heru yang mendukung AL. Penggunaan frasa tersebut jelas menguntungkan ARB, karena Alzier dianggap memiliki banyak pengalaman dalam perpolitikan dibandingkan Heru anaknya.

Koran Tempo menunjukkan keberpihakan terhadap ARB melalui satu teks berita dengan frasa ‘’angin segar’’ dan ‘’status quo’’. Dua frasa dalam satu teks berita ini sebenarnya memiliki hubungan sebab akibat karena ‘’status quo’’ yang diposisikan oleh DPR terhadap kedua kubu, jelas menguntungkan ARB.. Alasannya, status quo berarti mengembalikan kepemimpinan partai sesuai hasil munas Riau yang dipimpin ARB.

Koran Tempo menunjukkan keberpihakan terhadap AL melalui frasa pada dua teks berita, yakni ‘’politik uang’’ dan ‘’berbalik arah’’. Frasa politik uang jelas menurunkan citra ARB dalam memimpin partai yang penuh dengan transaksional, sehingga menguntungkan AL. Frasa 211

‘’berbalik arah’’ yang dipilih Koran Tempo juga menguntungkan AL karena

ARB yang sejak konflik bermula berseberangan dengan pemerintah akhirnya berubah arah mendukung pemerintah.

3.3 Analisis Kausalitas

Berita Kompas berikut ini menampilkan dua fakta atau peristiwa yang terpisah, tetapi berkaitan satu sama lain, karena adanya hubungan kausalitas.

(K-25). Dualisme kepemimpinan Partai Golkar tak hanya menunjukkan ajang perebutan kekuasaan internal partai, tetapi juga melupakan kewajiban mengelola partai dengan baik. Akibatnya, listrik, gaji karyawan, dan pajak serta biaya pengamanan kantor DPP Partai Golkar pun tertunggak dan belum juga dibayarkan. (K.3-1-2016).

Wartawan menempatkan ‘’dualisme kepemimpinan’’ Partai Golkar menjadi sebab terjadinya ‘’ajang perebutan kekuasaan internal partai’’ yang sekaligus sebagai elemen akibat. Elemen akibat yang lain adalah berkaitan dengan masalah pembiayaan kantor DPP Partai Golkar yang direpresentasi oleh teks ‘’Akibatnya, gaji karyawan, dan pajak serta biaya pengamanan kantor DPP Partai Golkar pun tertunggak dan belum juga dibayarkan’’. Kedua fakta ini dikonstruksi oleh wartawan menjadi saling berhubungan dalam format sebab akibat (kausalitas). Proses pembingkaian ini dimaksudkan agar khalayak dapat melihat suatu peristiwa atau kejadian yang dikemas melalui teks berita dalam perspektif yang berbeda dan tidak berdiri sendiri. Dari kacamata wacana kritis, teks ini menempatkan Kompas mengaitkan bahwa kaitan peristiwa dalam berita tersebut dipicu oleh penyebab awal, yakni konflik. Berdasarkan teks 212

tersebut, publik dapat menilai bahwa pemicu terjadinya konflik hingga lahir efek domino konflik tersebut, jelas akan merujuk pada ARB yang salah memimpin partai. Kompas melalui teks ini menguntungkan dan berpihak pada AL.

Berita berikut ini (K-26) sebenarnya masih berkaitan dengan wacana berita (K-25), tetapi wartawan mengangkat dampak konflik ke perspektif masalah yang lain meskipun tetap ada kaitannya.

(K-26). Menyusul terjadinya konflik Partai Golkar, awal April 2015 kubu Agung akhirnya merebut kantor DPP Golkar di Slipi dari tangan DPP Partai Golkar yang dipimpin Aburizal. Perebutan kantor DPP Golkar sempat diwarnai keributan di antara para kader muda pendukung Partai Golkar. Meskipun kepolisian sempat turun tangan, kantor DPP Golkar akhirnya dikuasai kubu Agung hingga terjadinya upaya rujuk yang dipelopori Wapres Kalla menjelang kampanye pilkada lalu. (K.3-1-2016).

Konflik Partai Golkar dikonstruksi oleh wartawan di dalam teks dengan mengungkapkan dampaknya, yakni terjadi perebutan kantor DPP

Partai Golkar sebagai variabel akibat, dan konflik sebagai elemen sebab.

Wartawan mengonstruksi realitas perebutan kantor itu sebagai akibat dan konflik internal Partai Golkar sebagai sebab. Dalam teks ini secara substansial konten wacana yang dikemukakan, Kompas berpihak kepada kubu AL.

Berita Kompas berikut ini melihat kasus konflik Partai Golkar dari sisi yang lain, yang tentu saja berbeda dengan kedua contoh sebelumnya.

(K-27). Ketua Harian Partai Golkar hasil Munas Bali MS Hidayat menambahkan, konflik internal yang berkepanjangan di Partai Golkar, yakni antara kepengurusan hasil Munas Bali dan Munas Jakarta, menjadi salah satu pertimbangan khusus kubunya ingin merapat ke pemerintah. Konflik ini membuat Golkar tidak solid secara internal dan merugi. (K.7-1-2016).

213

Wartawan menempatkan realitas konflik partai yang berkepanjangan dengan mengonstruksinya menjadi salah satu sebab, sehingga ada upaya Partai Golkar itu merapat ke pemerintah. Klausa

‘’merapat ke pemerintah’’ ini dapat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada (konflik) di dalam wacana berita ini. Berada pada pemerintah adalah satu langkah yang diharapkan Pemerintah Presiden Joko Widodo, karena ketika berlangsungnya pemilihan presiden, Partai Golkar berada di

Koalisi Merah Putih (KMP) yang berlawanan dengan kubu pemerintah yang berlabel Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Tidak menyatunya Partai

Golkar dengan pemerintah pada awalnya oleh banyak kalangan dinilai

Partai Golkar telah keluar dari khittah-nya, yakni posisi yang selama ini selalu sejalan dengan pemerintah. Melalui teks wacana berita ini Kompas mengindikan pesan yang diungkapkan komunikator lebih menguntungkan

AL yang didukung pemerintah.

Republika menyoroti kisruh yang terjadi di tubuh Partai Golkar dengan mengangkat perspektif yang lain. Meskipun tidak secara transparan menyebutkan masalah konflik, akan tetapi secara tersirat wartawan mengutip narasumber Akbar Tandjung yang mengungkapkan pernyataannya memiliki koherensi yang kuat dengan konflik.

(R-25). Merupakan kerugian besar, kata Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tandjung, jika Golkar secara institusional tak bisa mengajukan calon dalam pilkada. Sebab itu, bisa membawa konsekuensi Golkar terpelanting dari deretan partai papan atas. Tidak ikutnya Golkar dalam pilkada akan berpengaruh pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019,’’ katanya dalam konferensi pers awal Mei lalu. (R.11-5- 2015).

214

Pada berita tersebut di atas (R-25) klausa ‘’kerugian besar’’ merupakan akibat dari klausa ‘’secara institusional tak bisa mengajukan calon dalam pilkada’’ (elemen sebab). Elemen sebab yang lainnya adalah

‘’terpelanting dari deretan partai papan atas’’. Sedangkan dalam kalimat ‘’

Tidak ikutnya Golkar dalam pilkada akan berpengaruh pada Pemilu

Legislatif dan Pemilu Presiden 2019’’ mengandung elemen sebab-akibat

(kausalitas). Dalam catatan kritis, sama dengan variabel sebelumnya, teks ini juga mengindikasikan pemahaman publik kembali melihat pemicu terjadinya konflik. Dengan demikian, pihak yang bertanggungjawab terhadap kemelut partai ini adalah ARB dan di pihak lain akan memberi citra positif terhadap AL. Dengan demikian Kompas melalui teks berita tersebut berpihak pada AL.

Metode pembingkaian seperti ini digunakan wartawan yang oleh

Hamad (2004:108) disebut sebagai agenda tersembunyi media di balik teks yang dibuatnya. Dan, amanat yang diusung media tersebut hanya dapat diungkap dengan menggunakan AWK, khususnya menggunakan analisis pembingkaian.

Republika menurunkan kisah perseteruan antara ayah, Alzier

Dianis Tabranie dengan anaknya, Heru Sambodo, seperti perselisihan memperebutkan legitimasi partai antara kubu ARB dan kubu AL di tingkat pusat, seperti yang dilukiskan berikut ini.

(R-26). Politik tak mengenal istilah kawan dan lawan. Yang ada hanyalah kepentingan. Kisruh di tubuh Partai Golkar antara kubu Ketua Umum DPP Hasil Munas Bali, Aburizal Bakrie dengan Ketua Umum DPP hasil Munas Ancol, Agung Laksono, ikut berdampak kepada perseteruan Heru Sambodo dengan ayahnya Dianis Tabranie. Heru merupakan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Kota Bandar Lampung, Sejak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan surat yang mengesahkan 215

Golkar pimpinan Agung Laksono, Heru terpaksa meninggalkan pilihan politik bapaknya yang berkiblat ke kubu Ical. Pilihan politik tersebut bertepuk kedua tangan. Agung Laksono menunjukkan untuk duduk di jabatan Ketua Umum DPD I Golkar Lampung Munas Ancol. Dia menjabat sebagai pelaksana tugas untuk menggantikan bapaknya, Alzier Dianis Tabranie. (R.17-3-2015).

Republika membingkai sedemikian rupa kisah perseteruan antara

Alizier Dianis Tabranie, sang ayah, dengan anaknya Heru Sambodo sebagai akibat terjadinya perebutan kepemimpinan Partai Golkar di tingkat pusat. Kalimat yang dicetak tebal menunjukkan elemen sebab-akibat yang terungkap di dalamnya sesuai perangkat penalaran framing. Perseteruan yang terjadi di tubuh Partai Golkar DPD I Bandar Lampung itu dipicu oleh konflik yang terjadi di DPP Partai Golkar antara kubu ARB dan kubu AL.

Konstruksi realitas yang bernuansa sebab akibat yang dibangun wartawan ini tidak saja memberi perspektif tentang dampak konflik Partai Golkar di pusat, tetapi juga ditarik ke perspektif kehidupan sosial politik keluarga.

Tujuan pembingkaian ini tidak lain adalah bagaimana suatu berita itu bermakna bagi khalayak dari sudut pandang yang lain, yakni aspek sosial budaya. Republika berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang netral dalam teks wacana berita ini, akan tetapi di dalam teks berita ini secara implisit menonjolkan dan berpihak pada Heru Sambodo yang berkiblat ke kubu AL dengan penggunaan frasa ‘’bertepuk.kedua tangan’’.

Republika pada berita ini menurunkan pernyataan seorang pengamat politik yang juga melihat konflik Partai Golkar dari perspektif yang lain, sebagaimana dalam berita berikut.

(R-27). Konflik Partai Golkar dinilai berpotensi dapat menimbulkan partai baru. Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto menjelaskan, hal yang sama sudah pernah terjadi pada 216

partai berlambang pohon beringin ini sebanyak empat kali. (23-3- 2015).

Konflik Partai Golkar jika diibaratkan sebagai batang besar dari suatu permasalahan, sehingga akan melahirkan begitu banyak cabang persoalan baru. Cabang persoalan baru tersebut merupakan akibat dari batang masalah awal yang terjadi, yakni konflik. Wartawan mengonstruksi realitas konflik tersebut dengan mengaitkannya dengan akibat yang kemungkinan muncul, yakni lahirnya partai baru. Realitas ini bukan sesuatu yang mustahil, karena sebelumnya, konflik Partai Golkar pernah melahirkan partai baru. Setelah munas di Pekanbaru tahun 2009, Surya

Paloh yang gagal dalam pemilihan ketua umum partai berlambang beringin tersebut merasa tidak puas dan akhirnya mendirikan organisasi masyarakat (ormas) Nasional Demokrat (NasDem) yang kini berubah menjadi partai NasDem. Demikian pula Wiranto yang merasa tidak puas dengan Partai Golkar mendirikan partai baru, yakni Partai Hati Nurani

Rakyat (Hanura). Prabowo Subianto yang juga kecewa dengan Golkar mendirikan partai baru, yakni partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Republika melalui teks berita yang diproduksinya mencoba menempatkan diri sebagai pihak yang netral, tetapi publik akan selalu memiliki kesan bahwa pemicu terjadinya konflik dan beragam dampak yang ditimbulkannya adalah ARB, sehingga melalui teks ini Republika cenderung berpihak pada kubu AL.

Berita Koran Tempo 21 November 2014 ini merupakan informasi friksi paling awal yang kemudian memunculkan dualisme di tubuh partai

Golkar hingga lahirnya konflik. 217

(KT-25). Aburizal memecat tiga kader Golkar yang memilih merapat ke kubu calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ketiganya adalah Ketua DPP Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, Wakil Bendahara DPP Partai Golkar Nusron Wahid, serta Poempida Hidayatulloh. Bos Grup Bakrie itu juga hampir menyingkirkan Agung Laksono dari kursi Wakil Ketua Umum Golkar lantaran terus memaksakan Musyawarah Nasional diselenggarakan pada Oktober 2014. (KT.21-11-2014).

Koran Tempo membangun konstruksi realitas dengan menempatkan aksi merapatnya tiga kader Partai Golkar sebagai elemen sebab, sedangkan memecat tiga kader merupakan elemen akibat.

Kedua realitas itu saling berkoherensi dalam tataran kausalitas. Pesan dari teks yang dibangun media ini pada satu sisi memperlihatkan kapasitas dan otoritas salah satu kubu sehingga otomatis Koran Tempo secara langsung atau tidak dinilai berpihak kepada ARB karena memarginalkan kubu AL yang menjadi bagian dari ketiga kader yang dipecat.

Realitas dengar pendapat yang terjadi di Gedung DPR dalam pandangan media sebenarnya adalah peristiwa biasa dan rutin. Namun, wartawan yang cerdik mampu mengonstruksi realitas dengan melihat perkembangan wacana dalam dalam pertemuan itu sebagai bagian untuk membangun teks berita yang menarik. Misalnya saja melalui berita berikut.

(KT-26). Sekretaris Fraksi Partai Golkar kubu Aburizal yang juga anggota Komisi Hukum, Bambang Soesatyo, mengatakan, apa yang dilakukan Yasonna bisa mengancam Presiden Joko Widodo. ‘’Saya khawatir apa yang dilakukan menteri bisa merambat ke presiden,’’ kata Bambang. (KT.7-4-2015).

Koran Tempo mengangkat posisi komunikator, Bambang Soesatyo dengan pernyataannya yang sangat ‘’tajam’’. Meskipun langkah yang 218

dilakukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak dijelaskan di dalam wacana berita ini, tetapi komunikator mengantongi informasi mengenai kebijakan yang diambil sang menteri, sehingga lahir acara dengar pendapat. Kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakui kubu Agung Laksono, menurut komunikator akan melahirkan akibat, dapat ‘’merambat’’ ke presiden. Pengertian ‘’merambat’’ berarti berpengaruh terhadap posisi presiden sebagai kepala negara. Apa yang dilakukan wartawan dengan memproduksi teks seperti dalam berita (KT-

26) adalah menyajikan berita dengan perspektif yang lain, sehingga khalayak tidak jenuh dengan informasi yang dikemas dengan kata-kata dan kalimat yang monoton. Koran Tempo dengan penekanan pada teks ini mengindikasikan berpihak pada kubu ARB yang se-kubu dengan komunikator.

Berita Koran Tempo berikut ini menggambarkan dampak konflik

Partai Golkar di tingkat pusat yang merembes ke daerah-daerah:

(KT-27). Pelaksana tugas Ketua Partai Golkar Sulawesi Selatan kubu Agung Laksono, Yusril Ananta Baharuddin, tidak mengakui adanya apel akbar yang bakal digelar kepengurusan Syahrul Yasin Limpo pada 26 April nanti di Anjungan Pantai Losari Makassar. (KT.16-4-2015).

Wartawan dalam memproduksi teks selalu berusaha mencari sudut pandang yang baru dan lain terhadap suatu masalah yang sedang booming jadi berita. Dalam kasus konflik Partai Golkar di pusat, wartawan pun selalu berusaha mencari akibat dari konflik tersebut di daerah-daerah

(Dewan Pimpinan Daerah). Pada kalimat yang dicetak tebal di atas, hanyalah akibat, sementara elemen sebab-nya hanya sebatas pada klausa sosok seorang Syahrul Yasin Limpo yang bersikap tidak secara 219

tegas mendukung salah satu kubu yang bertikai. Akan tetapi, kubu AL mengindikasikan Syahrul Yasin Limpo berpihak pada kubu ARB.

Meskipun dalam kenyataannya mantan Gubernur Sulawesi Selatan (per 8

April 2018) justru tidak diikutkan dalam gerbong Partai Golkar karena ikut bertarung dengan Setya Novanto pada Munas di Bali 17 Mei 2016.

Sebagaimana dibahas sebelumnya, konflik selalu berpotensi menimbulkan akibat yang lain dan tidak terduga. Akibat terjadi dualisme kepemimpinan di pusat, di tingkat provinsi juga terpecah ke dalam dua kubu. Kristalisasi kedua kubu ini juga muncul hingga ke daerah. Wartawan selalu berusaha menawarkan cara pandang yang baru terhadap suatu permasalahan, khususnya dalam konflik Partai Golkar. Media dalam hal ini membingkai peristiwa dalam konstruksi tertentu. Wacana berita konflik

Partai Golkar telah memberi ruang kepada penulis untuk melihat perspektif kebahasaan yang sangat komprehensif jika dianalisis menggunakan elemen-elemen AWK. Koran Tempo melalui pemberitaan ini memosisikan diri berpihak kepada kubu AL.

Berdasarkan hasil hasil analisis variabel kausalitas menunjukkan bahwa tiga media cetak sangat dominan menunjukkan keberpihakan terhadap AL, yakni tujuh teks berita pada seluruh variabel dan dua teks berita lainnya memperlihatkan keberpihakan terhadap ARB.

Kompas dan Republika secara dominan berpihak pada kubu AL, sementara Koran Tempo sebanyak 2 teks berpihak pada kubu ARB dan satu teks lainnya pada kubu AL.

Indikator keberpihakan terungkap jika suatu media tidak lagi mampu mempertahankan kenetralannya dalam pemberitaan. Indikasinya 220

ketidaknetralan ini adalah jika di dalam teks suatu media ditemukan anasir yang cenderung merugikan dan memarginalkan salah satu pihak.

Pandangan filosofis bahwa tidak ada media yang netral dan hanya dikenal media iendependen jelas memberi ruang kepada media untuk boleh berpihak atau netral. Selama ini belum ada penelitian yang secara khusus mengkaji aspek keberpihakan media dalam suatu pemberitaan terhadap suatu kasus atau masalah berdasarkan piranti kebahasaan.

Penelitian yang berkaitan dengan wacana media lebih banyak dilakukan dengan menganalisis fakta wacana komunikasi dari aspek kajian ilmu komunikasi.

Keberpihakan media dalam berita konflik Partai Golkar yang ditemukan pada tiga media yang dijadikan sampel dapat disimak melalui tabel berikut ini:

Tabel 19

ELEMEN DISTRIBUSI KEBERPIHAKAN MEDIA

Kompas Republika Koran Tempo Total 1.Semantik Berpihak Netral Berpihak Netral Berpihak Netral Berpihak Netral a. Latar 3 0 3 0 3 0 9 0 b.Detil 3 0 2 1 3 0 8 1 c.Maksud. 2 1 2 1 3 0 7 2 Total 8 1 7 2 9 0 24 3 2.Sosiokultural a.Situasional 3 0 2 1 3 0 8 1 b.Institusional 2 1 2 1 3 0 7 2

c.Sosial 1 2 1 2 3 0 5 4 Total 6 3 5 4 9 0 20 7 3. Framing a. Metafora 3 0 2 1 3 0 8 1 b. Frasa 3 0 3 0 3 0 9 0 c. Kausalitas 3 0 3 0 3 0 9 0 Total 9 0 8 1 9 0 26 1 Jumlah 1,2,& 3 23 4 20 7 27 0 70 11 Tabel berdasarkan hasil analisis data. N = 81 (100%) Berdasarkan jumlah data yang dianalisis tersebut (Tabel 18) dari

81 teks berita (N=100%), sebanyak 70 teks berita (86,41%) di antaranya menunjukkan keberpihakan media, sedangkan 11 teks berita (13,58%) merujuk kepada netralitas media. Tingkat keberpihakan (N=70 teks berita) 221

tertinggi ditunjukkan Koran Tempo sebanyak 27 teks berita (38,57%), sementara Kompas 23 teks berita (32,85%) dan Republika juga 20 teks berita (28,57%). Tingginya persentase keberpihakan Koran Tempo menunjukkan bahwa media ini benar-benar memiliki dan memanfaatkan independensinya dalam mengemas berita dan menghendaki konflik tersebut segera berakhir dengan kecenderungan berpihak pada.posisi AL, karena Partai Golkar sebagai salah satu partai besar harus dikelola secara lebih baik dan terbuka oleh sosok yang tepat.

Jika dilihat dari piranti kebahasaan berdasarkan elemen semantik yang digunakan dalam merepresentasikan keberpihakan menunjukkan 24 teks berita (34,28%). Keberpihakan tertinggi diperoleh melalui penggunaan teks berita dengan variabel latar 9 teks berita (12,85%), yang berarti ketiga media menunjukkan sikap berpihak yang sama melalui ketiga variabel tersebut, Keberpihakan yang ditunjukkan melalui variabel detil 8 teks berita (11,42%), dan variabel 7 teks berita (10%).

Berdasarkan elemen praksis sosiokultural menunjukkan bahwa sebanyak 20 teks berita (28,57%) menunjukkan keberpihakan.

Keberpihakan tertinggi ditemukan pada variabel situasional, 8 teks berita

(11,42%), institusional 7 teks berita (10%), dan variabel sosial 5 teks berita

(7,14%). Penonjolan keberpihakan tiga media pada variabel situasional berdasarkan pandangan bahwa media mengonstruksi situasi yang berperan dalam pembuatan teks berita sehingga berpotensi dan mengindikasikan menguntungkan salah satu pihak. Sementara penonjolan variabel institusional menunjukkan bahwa media cenderung menggunakan perangkat komunikator yang berlatar belakang lembaga 222

tertentu untuk melegitimasi suatu pernyataan yang berpotensi dapat memengaruhi khalayak.

Sementara keberpihakan pada elemen perangkat framing ditemukan 26 teks berita (37,14%). Persentase keberpihakan tertinggi ditemukan pada variabel frasa dan kausalitas masing-masing 9 teks berita

(12,85%) dan variabel metafora 8 teks berita (11,42%). Kecenderungan media mengonstruksi realitas dengan memanfaatkan variabel metafora, frasa, dan kausalitas menunjukkan bahwa media mengendalikan informasi melalui produksi teks dengan memanfaatkan aspek-aspek lain yang tidak lazim, yakni dengan perumpamaan, pemilihan diksi, dan penggunaan hubungan sebab akibat dalam perangkat pembingkaian realitas. Media menggunakan ikon-ikon kebahasaan yang spesifik untuk mengungkapkan keberpihakan, misalnya dalam tiga contoh penggunaan perangkat framing ‘’bermain api’’ (metafora), ‘’ saling jegal’’ (frasa), dan

‘’dualisme kepemimpinan’’ (kausalitas).

Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketiga media melalui piranti kebahasaan elemen semantik, praksis sosiokultural, dan perangkat framing menghendaki ada figur baru yang memimpin Partai Golkar pasca-konflik. Kecenderungan media tersebut ditandai dengan penggunaan piranti kebahasaan elemen semantik, elemen praksis sosial, dan perangkat framing yang sangat dominan di dalam teks berita. Misalnya dengan menggunakan metafora kata ‘’perusahaan’’ yang secara langsung mengkritik ARB yang memimpin

Partai Golkar menggunakan model usaha bisnis. Demikian juga halnya dengan kritik yang dilakukan media yang menggunakan frasa ‘’gelap 223

gulita’’ terhadap penyelenggaraan munas Bali yang berhasil memilih kembali ARB sebagai ketua umum Partai Golkar yang menggiring pendapat umum bahwa munas tersebut berlangsung tidak adil. Frasa ini merujuk kepada praktik munas yang berpotensi tidak fair dan penuh dengan penyimpangan. Demikian halnya dengan penggunaan variabel kausalitas ‘’dualisme kepemimpinan’’ yang berimplikasi terhadap rasa tidak puas khalayak publik akan selalu merujuk kepada pemicu penyebab terjadinya konfliknya, yakni sosok ARB.

Hasil analisis lain dapat disimpulkan bahwa media memosisikan

Partai Golkar sebagai partai politik besar dan selama puluhan tahun merupakan pendukung utama pemerintah, sejatinya harus tetap menempatkan diri sebagai bagian dari kekuatan politik pemerintah. Hal ini ditandai dengan pemilihan komunikator dan narasumber yang dilakukan media yang pro-AL sebagai pendukung pemerintah.

Alasan lain media mendukung AL dan memarginalkan ARB bahwa

Partai Golkar harus dikelola secara sehat. Tidak diwarnai oleh permainan politik uang seperti yang ditengarai terjadi sebelum munas Bali digelar.

Keberpihakan terhadap AL juga mengindikasikan bahwa pengelolaan partai di bawah ARB telah terjebak ke dalam praktik transaksi finansial yang sangat sistemik karena pada saat pemilihan ketua umum saja politik uang berlangsung secara massif. Media menghendaki Partai Golkar sebagai partai besar dan berpengalaman dalam perpolitikan di

Indonesianya hendaknya dapat menjadi partai yang dapat diteladani dalam hal beretika dan bermoral politik. 224

Keberpihakan media terhadap AL juga mengandung maksud bahwa pengelolaan partai politik harus dilakukan secara terbuka dan transparan serta tidak terkesan hanya dilakukan oleh segelintir orang tertentu di dalam partai. Media melalui keberpihakannya terhadap AL tersebut menginginkan Partai Golkar harus dikelola secara sehat dan jauh lebih baik.

Adapun keberpihakan berdasarkan masing-masing media dapat dipaparkan sebagai berikut:

a. Kompas

Sebanyak 70 teks berita (100%) yang merujuk kepada keberpihakan media dalam berita konflik Partai Golkar, sebanyak 23 teks berita (32,85%) di antaranya menunjukkan keberpihakan Kompas. Pada variabel latar detil, situasional, metafora, frasa, dan kausalitas harian ini menunjukkan keberpihakannya yang sangat dominan, masing-masing 3 teks berita (4,28%) dari total keberpihakan media. Ini menunjukkan bahwa pada elemen semantik Kompas secara signifikan menunjukkan keberpihakan. Terdapat 2 teks berita (2,46%) yang menunjukkan keberpihakan media ini ditemukan pada variabel maksud.

Berdasarkan pembahasan ini menunjukkan bahwa pada elemen semantik Kompas menunjukkan keberpihakan yang sangat dominan terhadap AL dibandingkan terhadap ARB dengan perbandingan antara keduanya 8:0 karena 1 teks berita (1,23%) menunjukkan netralitas.

Keberpihakan tersebut didukung oleh piranti kebahasaan sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya. 225

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa Kompas memiliki kecenderungan berpihak kepada pemerintah yang direpresentasikan dengan keberpihakannya terhadap AL. Di pihak lain, media ini menghendaki agar Partai Golkar segera mengakhiri pengendalian partai di bawah kepemimpinan ARB.

b. Republika

Sebanyak 20 teks berita (28,57%) Republika merujuk kepada keberpihakan. Keberpihakan yang mencakup masing-masing 3 teks berita

(4,28%) direpresentasikan pada variable latar, frasa, dan kausalitas.

Sebanyak masing-masing 2 teks berita (2,46%) pada variabel detil, maksud, situasional, institusional. Keberpihakan pada sosok, 15 teks berita (21,42%) merujuk kepada AL dan 5 teks berita (7,14%) berpihak kepada ARB. Dua teks berita lainnya merujuk pada netralitas media.

Pada elemen semantik, Republika memperlihatkan keberpihakan yang sangat signifikan, yakni sebanyak 7 teks berita (10%) yang terdiri atas 3 teks berita (4,28%) pada variabel latar, dan masing-masing 2 teks be rita (2,46%) pada variabel detil dan variabel maksud.

Pada elemen praksis sosiokultural Republika juga memperlihatkan keberpihakan, meskipun dengan persentase yang kecil dengan perbandingan antara keberpihakan dan netralitas 5:4 teks berita.

Keberpihakan media ini masing-masing 2 teks berita (2,46%) pada variabel situasional dan institusional, dan 1 teks berita (1,23%) pada variabel sosial.

226

c. Koran Tempo

Tiga media yang dijadikan sampel, Koran Tempo memperlihatkan keberpihakan tertinggi dalam teks berita konflik Partai Golkar, yakni 27 teks berita (38,57%). Keberpihakan ditunjukkan Koran Tempo pada seluruh variabel, yakni masing-masing 3 teks berita. Tingginya persentase keberpihakan pada variabel-variabel tersebut menunjukkan

Koran Tempo telah menjaga independensinya dalam memberitakan kasus konflik ini secara maksimal.

Jika ditilik dari aspek keberpihakan pada sosok, Koran Tempo memperlihatkan selisih yang cukup signifikan, yakni 16 teks berita (22,

85%) pada sosok AL dan 11 teks berita (15,71%) terhadap ARB. Seperti juga Kompas dan Republika, keberpihakan Koran Tempo tertinggi pada variabel latar, yakni 3 teks berita.

Dominasi keberpihakan Koran Tempo yang menonjol pada variabel-variabel tersebut menunjukkan kecenderungan media ini memanfaatkan informasi tentang latar suatu peristiwa, pengungkapan aspek yang menguntungkan oleh komunikator terhadap objek yang diberitakan, intervensi kelembagaan para komunikator, penggunaan piranti kebahasaan pada perangkat framing yang berkaitan dengan perumpamaan atau analogi, frasa, dan pengungkapan hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa ketika teks diproduksi.

Aspek kebahasaan yang ditemukan dalam pembahasan misalnya dalam teks berita Koran Tempo antara lain penggunaan frasa

‘’membendung’’ yang memberi kesan menguntungkan pihak AL karena kubu ARB dipandang sebagai posisi yang dimarginalkan dalam teks 227

tersebut. Demikian halnya pada variabel frasa ‘’berbalik arah’’ yang merujuk kepada perubahan sikap kubu ARB yang mendukung pemerintah. Makna dari frasa ini jelas menguntungkan AL yang dari awal berada di kubu pemerintah.

Konflik Partai Golkar yang berlangsung hampir dua tahun sebenarnya melibatkan perseteruan di antara kedua kubu, dengan sosok utama ARB dengan beberapa orang pengurus lainnya dan AL dengan beberapa orang yang dipecat oleh ARB yang menjadi salah satu pemicu lahirnya konflik. Oleh sebab itu di dalam analisis keberpihakan media terhadap berita Konflik Partai Golkar juga erat hubungan bahkan tidak dapat dipisahkan dengan keberpihakan terhadap kedua sosok yang menjadi tokoh utama konflik.

Hasil penelitian membuktikan bahwa dari 81 teks berita yang dianalisis, 70 teks berita (86,41%) merujuk kepada keberpihakan tiga media dan 11 teks berita (13,58%) menunjukkan kenetralan media.

Distribusi keberpihakan kedua sosok (ARB dan AL) dapat dilihat pada tabel (Tabel 20) berikut ini:

Tabel 20 ELEMEN DISTRIBUSI KEBERPIHAKAN PADA SOSOK KOMPAS REPUBLIKA KORAN TEMPO TOTAL 1.SEMANTIK ARB AL ARB AL ARB AL ARB AL a. Latar 0 3 0 3 0 3 0 9 b. Detil 0 3 1 1 2 1 3 5 c. Maksud 0 2 0 2 1 2 1 6 Total 0 8 1 6 3 6 4 20 2.SOSIOKULTURAL a. Situasional 1 2 2 0 1 2 4 4 b. Institusional 1 1 1 1 1 2 3 4 c. Sosial 0 1 0 1 2 1 2 3 Total 2 4 3 2 4 5 9 11 3.FRAMING a. Metafora 0 3 0 2 1 2 1 7 b. Frasa 0 3 1 2 1 2 2 7 c. Kausalitas 0 3 0 3 2 1 2 7 Total 0 9 1 7 4 5 5 21 Jumlah 1,2,& 3 2 21 5 15 11 16 18 52 Tabel berdasarkan data yang dianalisis N=70 (100%).

228

Dari total 70 (100%) teks berita yang merujuk kepada keberpihakan media dalam berita konflik Partai Golkar sebanyak 52 (74%) di antaranya berpihak kepada AL dan hanya 18 teks berita (25,71%) berpihak kepada

ARB. Keberpihakan media terhadap AL lebih tinggi dibandingkan ARB terepresentasi pada seluruh variabel penelitian yang digunakan (tabel 18), kecuali pada variabel situasional yang berimbang masing-masing 4 teks berita (5,71%).

Tingginya angka keberpihakan terhadap AL melalui variabel latar karena ketiga media cetak cenderung menitikberatkan teks berita yang diproduksi berdasarkan latar belakang masalah. Kecenderungan ini merupakan indikasi karakteristik media yang mengemukakan akar masalah terjadinya suatu kejadian, dalam hal ini konflik. Di dalam ilmu jurnalisme kecenderungan ini dikenal sebagai perwujudan menggali formulasi informasi jawaban terhadap pertanyaan how (bagaimana) dan why (mengapa), sehingga pertanyaan yang muncul bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi terakumulasi dalam jawaban yang berwujud realitas produksi teks yang dilakukan wartawan dengan menggunakan variabel latar.

229

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian AWK berita Konflik Partai Golkar berdasarkan teori stuktur mikro Teun A van Dijk, elemen praksis sosiokultural teori Norman Fairclough, dan teori perangkat framing

(pembingkaian) William Gamson diuraikan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil analisis data teks berita (81 =100%) elemen

semantik menunjukkan bahwa keberpihakan tiga media ditemukan

pada seluruh variabel sebanyak 24 teks berita (29,62%).

Keberpihakan Koran Tempo tertinggi dan ditemukan pada seluruh

variabel. Keberpihakan Kompas mencakup 8 teks berita, dan dan

Republika ditemukan sebanyak 6 teks berita. Jika merujuk

keberpihakan terhadap sosok sebanyak 20 teks berita merujuk

kepada AL dan 4 teks berita terhadap ARB. Keberpihakan terhadap

sosok AL teringgi ditemukan pada Kompas yakni sebanyak 8 teks

berita, dan Republika serta Koran Tempo masing-masing 6 teks

berita.

2. Tingkat keberpihakan tiga media juga ditemukan pada seluruh elemen

praksis sosiokultural sebanyak 20 teks berita (24,69%). Keberpihakan

tertinggi ditemukan pada Koran Tempo, yakni 9 teks berita yang berarti

tersebar pada seluruh variabel. Ini mengindikan bahwa Koran Tempo

secara siginifikan menggunakan independensinya dalam

memberitakan konflik Partai Golkar. Keberpihakan Kompas terdapat 230

pada 6 teks berita dan Republika 5 teks berita. Jika merujuk

keberpihakan terhadap sosok ditemukan 11 teks berita merujuk

terhadap sosok AL dan 9 teks berita pada ARB. Keberpihakan

terhadap AL tertinggi ditunjukkan Koran Tempo sebanyak 5 teks berita,

Kompas dan Republika masing-masing 4 teks berita

3. Tingkat keberpihakan tiga media pada elemen perangkat framing lebih

dominan mencakup 26 teks berita (32,09%). Kompas dan Koran

Tempo menunjukkan keberpihakan tertinggi, yakni masing-masing 9

teks berita yang mencakup pada seluruh variabel. Keberpihakan

Republika ditemukan pada 8 teks berita. Jika dilihat pada

keberpihakan terhadap sosok, 21 teks berita merujuk kepada AL dan

5 teks berita pada ARB. Kompas secara utuh, 9 teks berita berpihak

pada AL, sementara Republika sebanyak 7 teks berita, dan Koran

Tempo 5 teks berita.

B. SARAN-SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan simpulan yang telah dikemukakan, penulis menyarankan sebagai berikut:

1. AWK tentang berita konflik suatu partai adalah kasus pertama di

Indonesia, sehingga perlu dikembangkan terus sebagai masukan

untuk memetakan dan mengembangkan analisis dan kajian

kebahasaan dalam wacana berita.

2. AWK tentang berita konflik suatu partai merupakan fakta yang bernilai

berita dan menarik yang dapat mengungkapkan misteri piranti 231

kebahasaan, sehingga ke depan diperlukan penelitian lanjutan

berdasarkan aspek-aspek kebahasaan yang lain.

3. Sehubungan dengan kemajuan komunikasi dan informasi yang

menempatkan media sebagai pilar keempat demokrasi diharapkan

kajian AWK ini dapat dikembangkan lebih lanjut dan kepada media

massa (cetak, elektronik, dan daring) agar lebih memosisikan diri

secara berimbang, tidak saja keberimbangan secara normatif melalui

penerapan Kode Etik Jurnalistik berkaitan dengan peliputan kedua sisi

(the both side coverage), tetapi juga keberimbangan dalam porsi

konten teks yang diberitakan.

C. REFLEKSI

Berdasarkan hasil analisis pada bab IV dikemukakan beberapa refleksi atas temuan penelitian sebagai berikut:

1. Media karena tidak boleh memasukkan opini di dalam suatu teks

berita, maka cenderung memanfaatkan narasumber tertentu untuk

menyertakan pandangan atau pendapatnya mengenai suatu objek

pemberitaan.

2. Dalam setiap pemberitaan media cenderung berpihak atau tidak netral,

karena tidak berimbangnya kuantitas konten pernyataan masing-

masing pihak yang berhadapan dalam pemberitaan. Keberimbangan

pemberitaan sesuai Kode Etik Jurnalistik yang normatif dan

mengharuskan wartawan melakukan peliputan kedua sisi (both

coverage) ternyata tidak paralel dengan keberimbangan pemberitaan 232

berdasarkan konten berbagai elemen dalam AWK yang mengurai

wacana teks berita dari berbagai elemen pisau analisis.

3. Penerapan teori AWK untuk menganalisis teks wacana berita akan

memberi pemahaman dan pengetahuan sangat mendasar bagi para

bahasawan, lebih khusus bagi para pakar dan praktisi pers dalam

mengungkapkan praktik terselubung yang dilakukan oleh suatu media

dalam suatu kasus atau peristiwa.

233

DAFTAR PUSTAKA

Abas, Lutfi.1992. Linguistik Deskriptif dan Nahu Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Abubakar, M.Dahlan. 2001. ‘’Karakteristik Morfologik Penulisan Judul Berita Media Cetak’’. Tesis Makassar, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Agger, Ben.2006. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Alwasilah, A.Chaedar.1990. Sosiologi Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.

Alwi, Hasan, dkk (ed.), 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud.

Alwi, Hasan & Dendy Sugono.2003. Politik Bahasa, Risalah Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Andriadi, Fayakhun.2014. Golkar Transformer. Jakarta: Penerbit RMBOOKS

Antila, Raimo.1972. An Introduction Historical and Comparative Linguistics. New York: Macmillan Publishing Co.Inc.

Anwar, Rosihan. 1984. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita.

Arief,Yovantra dan Wisnu Prasetya Utomo.2015. Orde Media, Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru. Yogyakarta: INSIST Press dan Remotivi.

Arifin, Anwar. 1991. Komunikasi Politik dan Pers Indonesia. Makassar: Laboratorium Komunikasi Fisip Universitas Hasanuddin.

Atmakusumah, 2009. Tuntutan Zaman, Kebebasan Pers dan Ekspresi. Jakarta: Spasi & VHR Book Yayasan Tifa.

Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana, Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Prenada Media Group.

Badudu, J.S. 2003. Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

234

Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. (Terj.). Yogyakarta: Jalasutra.

------2007.L’aventure Semiologique, Terjemahan oleh Stefanus Aswar Herwinko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bloch,B. & Trager,L.G. 1942. Outline of Linguistics Analysis of Syntactic Theories. London: Pergamon.

Bloomfield, Leonard.1995. Language (Bahasa) (Terj.) Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Blount, Ben G. 1974. Language, Culture and Society. Winthrop Publisher, Inc. Massachusettts.

Borjesson, Kristina. (ed.). 2006. Mesin Penindas Pers, Membongkar Kebebasan Pers Amerika, Kesaksian Sejumlah Wartawan Top Peraih Penghargaan Korban Pemberangusan Sistematis. Bandung: Q-Press (Kelompok Penerbit Pustaka Hidayah).

Briggs, Asa & Peter Burke.2006. Sejarah Sosial Media; Dari Gutenberg sampai Internet. Jakarta: Yayasan Obor.

Budiman, Arief. 2003. Semiotika Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

------2005. Kamus Lengkap Frase Kata Kerja Inggris- Indonesia. Bandung: Pustaka Grafika.

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

------. 2010. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Cogswell, David.2006. Chomsky untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book.

Comrie, Bernard. 1981. Language Universal and Linguistic Typology. England; Basil Blackwell Publisher Limited.

Cook, S.J. : Walter A. 1971. Introduction of Tagmemik Analysis, Sidney- Toronto: Holt Rine hart & Winston.

Crystal, David. 1985. A Dictionary of Linguistics and Phonetic. Oxford, Basic Blackwell.

Dardjowidjojo, Soenjono.2005. Psikolinguistik, Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.

235

Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Irama Media.

Darwis, Muhammad. 2012. Morfologi Bahasa Indonesia Bidang Verba. Makassar: CV.Menara Intan.

Dayakisna, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang (UMM),

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. 2003. Mencari Media yang Bebas dan Bertanggungjawab. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi-Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia V. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Dewabrata, A.M., 2004, Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Dewan Pers, UNESCO. 2003. Mengatur Kebebasan Pers. Jakarta: Dewan Pers –UNESCO.

Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: PT.Eresco.

Duranti, Alessandro.1997.Linguistic Anthropology. UK: Cambridge University Press,

Ecip.S. dkk (Ed.). 1984. PPKJ 1983 Kerja Sama Deppen-Unhas. Ujungpandang: Unhas.

Edkins, Jenny- Nick Vaughan Williams. 2013. (Terj.) Teori-Teori Kritis. Jogjakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Elson, Benjamin & Pickett; Velma. 1969. An Introduction to Morphology and Syntax. Santa Ana, California: Summes Institute of Linguistik

Eriyanto, 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Jogjakarta: LKiS

------, 2011. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Jogjakarta: LkiS.

------, 2011. Analisis Isi, Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group.

------, 2013. Analisis Naratif Dasar-Dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group. 236

------, 2014. Analisis Jaringan Komunikasi. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group.

Fairlough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Edward Arnold.

------1995. Critical Discourse Analysis the Critical Study of Language. London and New York: Longman.

------, N.and Ruth Wodak.1997. ‘’Critical Discourse Analysis, AM Overview,’’ Dalam Teun van Dijk (ed) Discourse and Interaction. London: Sage Publications 67-97.

Habermas, Jurgen.2007. Kritik atas Rasio Fungsionalis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Hadi, Parni. 1998. ‘’Peran Media Massa Cetak dalam Pemasyarakatan Hasil Pembakuan Bahasa’’. Makalah pada Kongres Bahasa Indonesia VII Jakarta.

Halliday,M.A.K. 1978. Language ss Social Semiotic, Great Britain: Edward Arnold.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Sebuah Studi Critical Discourse Analisys terhadap Berita-berita Politik, Jakarta: Penerbit Grant.

Hidayat, Amir F. & Elis N.Rahman AR..2006. Ensiklopedi Bahasa-Bahasa Dunia Peristilahan dalam Bahasa. Bandung: CV Pustaka Grafika.

Hill, David T.2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hockett, Charles T., 1965. A Course in Modern Linguistics, New York: The MacMillan Company.

Hymes, Dell.1964. Language in Culture and Society. Harper & Row, Publisher, New York: Evanston, and London.

Ibrahim, Anwar. 2005. Strategi Legitimasi dalam Budaya Politik Bugis di Tanah Bone, Makassar: Tesis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Ibrahim Syukur & Machrus Syamsuddin. 1979. Prinsip & Metode Linguistik Historis. Surabaya-Indonesia: Penerbit Usaha Nasional

Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya.. Jakarta: Prenada Media Group.

237

Iswara, Luwi. 2011. Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas Penebit Buku

Jorgensen, Marianne W & Phillips, Louse J. 2010. (Terj.) Analisis Wacana, Teori & Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Junaedhi, Kurniawan. 1991. Ensiklopedia Pers Indonesia.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Jufri. 2008. Analisis Wacana Kritis. Makassar: Badan Penerbit UNM

Kaelan, M.S.2006. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya terhadap Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.

Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Ende: Nusa Indah.

------. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Khan, Ayub. 2015. ‘’Bahasa Advokasi Media Islam di Indonesia; Analisis Wacana Kritis’’. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

Kone, A. Mulyani. 2017. ‘’Konfigurasi Ideologi pada Pidato Soekarno Analisis Wacana Kritis’’. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

Kovach, Bill & Tom Rosentiel. 2001. The Elements of Journalistism, Terjemahan oleh Yusi A.Pareanom. Jakarta: Yayasan Pantau, Institut Studi Arus Informasi, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

------1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Krisnawan, J. 1997. Pers Memihak Golkar? Jakarta: Penerbit Institut Studi Arus Informasi. Laksana, I Ketut Darma. 2010. Majas dalam Bahasa Pers. Denpasar: Udayana University Press.

Lyons, John.1992. Bahasa dan Linguistik, Suatu Pengenalan. (Terj). Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan

Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Rajawali Pers.

238

Maleong, Lexy J.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mallarangeng, Rizal. 2010. Pers Orde Baru, Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan Freedom Institute,

Moeliono, A.M. 1991. Santun Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana . Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.

Mulyana, Dedi & Jalaluddin Rakhmat.2006. Komunikasi Antarbudaya, Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Nababan, P.W.J.1993. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Napoli, Donna Jo.1996. Linguistics An Introduction. New York: Offord University Press.

Noth, Winfried. 1985. Handbook of Semiotics (Advances of Semiotics). Terjemahan, Surabaya: Airlangga University Press.

Hurdin, Elvis. 2003. Konstruksi Berita Serangan Amerika Serikat dan Sekutunya ke Irak pada Harian Fajar: Sebuah Analisis Framing, Program Studi Jurnalistik, Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Tesis, Universitas Hasanuddin. Oetama, Jacob. 2001. Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Parera, Jos Daniel.1993. Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustama Utama.

Priyambodo. 2010. Standar Kompetensi Wartawan. Jakarta: Dewan Pers.

Progres-Pusat Bahasa Depdiknas. 2003. Kamus Istilah Jurnalistik. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.2003. Kamus Istilah Jurnalistik. Jakarta: Progres dan Departemen Pendidikan Nasional. 239

Putrajasa, Ida Bagus. 2010. Analisis Kalimat, Fungsi, Kategori, dan Peran. Bandung: PT Refika Aditama.

Rahardi, R.Kunjana.2006. Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa. Bahasa Indonesia dalam Dinamika Konteks Ekstrabahasa. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Rahyono, FX. 2012. Studi Makna. Jakarta: Penerbit Penaku

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya,

Ramlan, 1996. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

Ranjabar, Jacobus/2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2014. STILISTIKA Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Revitch, Diane & Abigail Thernstrom (ed).2005. Demokrasi Klasik & Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

River, William L. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Rolnicki, Tom E. Dkk. 2008.Scholastic Journalism, Terjemahan oleh Tri Wibowo, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Sadtono, E. 2003. Setan Bahasa & Pemahaman Lintas Budaya. Semarang: Masscom Media.

Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra.

------2012. Studi Bahasa Kritis, Menguak Bahasa Membongkar Kuasa. Bandung: Penerbit Mandar Maju.

Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial, Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press.

Sarwoko, Tri Adi. 2007. Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Saussure, de Ferdinand. 1989. (Terj.). Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. 240

Schiffrin, Deborah, Deborah Tannen, and Heidi E.Hamilton. 2001. The Handbook of Discourse Analysis. Malden, Massachusets: Blackwell Publisher.

Sen, Krishna & David Hill. 2001. Media, Budaya, dan Politik di Indonesia. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi-PT Media Lintas Inti Nusantara.

Shaffat, Idri, 2008. Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Siahaan, Hotman M. et.al. 2001. Pers yang Gamang, Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Siebert, Fred. S, Theodore Peterson, Wilbur Schramm. 1986 (Terj.) Empat Teori Pers. Jakarta: Penerbit Intermasa

Simanungkalit, Salomo.2006. 111 Kolom Bahasa Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas .

Simarmata, Salvatore. 2014. Media & Politik, Sikap Pers terhadap Pemerintahan Koalisi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Siregar, Amir Effendy, 2014. Mengawal Demokratisasi Media: Menolak Konsentrasi, Membangun Keberagaman. Jakarta: Kompas Penerbit Buku.

Siregar, Ashadi, 1999. Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa. Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan (LP3S).

Siregar, Ras. 1987. Bahasa Indonesia Jurnalistik. Jakarta: Pustaka Grafika.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya

------2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya

Stryker, S.I.1969. Applied Linguistics: Principles and Techniques dalam Forum Volume VII No.5..

Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: Penerbit LkiS.

241

Sulaeman, Hanafie. 1992. Sintaksis Bahasa Indonesia. Disertasi Universitas Padjadjaran Bandung.

Sumarsono, 2004. Buku Ajar Filsafat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sunardi, ST.2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik .

Suparman.H. 1988.Pengantar Analisis Bahasa dan Wacana hingga Tatabunyi. Singaraja: FKIP Unud.

Susanto, Anthony Freddy. 2005. Semiotika Hukum, Dari Delonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna. Bandung: Refika Aditama.

Suwarso, Lukas, dkk.2004. Media dan Pemilu 2004. SEAPA. Jakarta:

Syah, Sirikit. 1999. Media Massa di Bawah Kapitalisme. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar

Tarigan, Henry Guntur. 1989. Pengajaran Tata Bahasa Tagmemik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Tempo & The World Bank, 2002. Hak Memberitakan, Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo.

Thomas, Linda & Shan Wareing. 2007. (Terj.) Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar

Thompson, John.B. 2015. Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa. Jogjakarta: Penerbit IRCiSoD

Titscher, Stefan, dkk.2009.(terj.) Metode Analisis Teks & Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Usman, Ahmad. 2008. Mari Belajar Meneliti. Yogyakarta: Penerbit Genta Press.

Verhaar, J.W.M. 1983. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wahab, A.1986. ‘’Berfikir Metaforis’’ dan Impikasinya dalam Pengajaran (Bahasa)’’, Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Tahun 7, no.3. hlm 169-176.

Wahid, Sugirah & Juanda. 2006. Analisis Wacana. Makassar: Badan Penerbit UNM.

242

Wang, Junling. 2010. A Critical Discourse Analysis of Barack Obama’s Speeches. Journal of Language Teaching and Research, Vol.1 No.3 pp.254-261, May 2010. ISSN 1798-1769. Academy Publisher Manufactured of Finland..

Wibisono, Christianto, 1992. Pengetahuan Dasar Jurnalistik, Jakarta: Penerbit Media Sejahtera.

Zoest. Aart van. 1991.Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotika. Jakarta: Intermasa. Website/Internet:

Abd.Hannan, ‘’Filosofi Keberpihakan Media Massa’’ (ditulis 27 Desember 2016 dan diunduh melalui google.com 14 April 2018)

Abraham Diaz, ‘’Mempersoalkan Keberpihakan Media, Sama saja Bertanya Kapan Kiamat Tiba’’ (ditulis di Kompasiana, 10 Oktober 2016 dan diunduh di google.com 14 April 2018).

243

LAMPIRAN DATA PENELITIAN

244

HARIAN KOMPAS

245

HARIAN KOMPAS

KOMPAS(Nasional) - Kamis, 14 Aug 2014 Halaman: 04 Penulis: RYO; OSA; WHY Ukuran: 3858 Pengindex: pik.hendra

DINAMIKA GOLKAR Hajriyanto Ramaikan Bursa Calon Ketum Jakarta, Kompas - Ketua Partai Golkar yang juga Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari mengatakan siap meramaikan bursa calon ketua umum pada Musyawarah Nasional Partai Golkar mendatang. Namun, ia tidak mau larut dalam perdebatan internal kapan munas akan digelar, tahun 2014 atau 2015.

”Munas digelar tahun 2014 atau 2015 itu tidak urgen. Saat ini yang urgen bagi Golkar adalah penataan organisasi dan idealisme politik partai, terutama untuk menghadapi Pemilu 2019,” kata Hajriyanto, Rabu (13/8).

Menurut Hajriyanto, pihak yang menginginkan munas digelar tahun 2014 atau 2015 memiliki alasan yang kuat. Pihak yang menginginkan munas digelar tahun 2014 didasarkan pada AD/ART partai, sedangkan yang menginginkan digelar tahun 2015 didasarkan pada kesepakatan Munas 2009. Jika kedua pihak tidak bisa menyelesaikan perbedaan itu, ia menyarankan untuk membawa persoalan tersebut ke arbitrase nasional atau di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Meski demikian, Wakil Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Agung Laksono yang juga calon ketum partai itu menghendaki munas digelar tahun 2014.

Sementara itu, calon ketum Partai Golkar lainnya, MS Hidayat, mengatakan, pencalonannya akan mengikuti semua ketentuan yang ditetapkan partainya sehingga tidak menimbulkan kontradiksi dan kontroversi internal. Prinsipnya, suksesi kepemimpinan tetap akan terjadi dalam tubuh Partai Golkar cepat atau lambat.

”Saya akan mengikuti semua prosedur dan ketentuan yang diberlakukan dalam munas mendatang,” ujarnya.

Reformis Golkar

Secara terpisah, Ketua Koordinator Eksponen Ormas Tri Karya Golkar Zainal Bintang mengultimatum DPP Golkar untuk membentuk panitia munas selambatnya 22 Agustus 2014. Jika panitia munas tidak dibentuk, pendiri dan ormas Tri Karya akan turun tangan membentuk panitia munas.

246

Tri Karya Golkar terdiri dari Soksi, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), dan Kosgoro 57.

Menurut Zainal, Tri Karya akan membentuk panitia dengan diawali pertemuan kader reformis Golkar. ”Melihat tindakan DPP Golkar yang tiap hari memecat kader, saya yakin banyak kaum reformis Golkar yang hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan paling lambat akhir Agustus 2014,” ujar Zainal.

Tri Karya Golkar bersikeras munas digelar paling lambat 5-8 Oktober 2014. Hal tersebut sesuai Pasal 30 Ayat 2 butir a Anggaran Dasar Partai Golkar yang mengatur bahwa munas diadakan sekali dalam lima tahun.

Namun, Zainal bersikeras bahwa penyelenggaraan munas pada tahun 2015 akan inkonstitusional menurut aturan Partai Golkar. ”Rekomendasi Munas VIII Partai Golkar di Pekanbaru (pada tahun 2009) juga tidak memiliki dasar hukum kuat,” ujarnya.

Rekomendasi nomor lima dari Munas VIII berbunyi, ”Agar musyawarah- musyarawah Partai Golkar tidak berbenturan dengan jadwal pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014, yang berpotensi memecah belah perhatian dan mengganggu soliditas partai, dipandang perlu memperpanjang akhir jabatan pengurus hingga tahun 2015.”

”Itu, kan, kata-katanya ’dipandang perlu’, jadi tidak harus (digelar tahun 2015). Lagipula, karena tidak ada calon presiden dari Golkar, maka rekomendasi nomor lima itu dengan sendirinya gugur,” tutur Zainal.

Sebagai pendiri Golkar, Suhardiman juga mendorong suksesi secepatnya dilakukan. Dia menegaskan, kandidat calon ketum Partai Golkar tidak boleh dipatok berdasarkan ukuran umur. ”Yang penting, punya leadership, kepemimpinan yang tinggi. Jadi, tidak harus pula seorang yang sudah senior,” ujarnya. Dia menambahkan, calon ketum Partai Golkar harus menguasai isu Indonesia dan juga Ibu Kota.Suhardiman yang mengakui keunggulan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum partai, mengidamkan partainya dipimpin tokoh sekelas Megawati.

”Partai Golkar pasti punya kader sekelas Megawati, jika dicari,” ujarnya. (RYO/OSA/WHY)

KOMPAS(Nasional) - Selasa, 11 Nov 2014 Halaman: 04 Penulis: RYO Ukuran: 3171 Pengindex: pik.pry

PARTAI GOLKAR Skenario Percepatan Munas Disorot Jakarta, Kompas - Dukungan daerah terhadap Aburizal Bakrie untuk mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum Partai Golkar menguat. Dugaan akan adanya skenario dari dewan pimpinan pusat untuk mempercepat penyelenggaraan Musyawarah Nasional Partai Golkar tanggal 247

27 November 2014 pun muncul dan dikhawatirkan sejumlah pihak.

Meski demikian, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, saat ditemui pers, Senin (10/11), membantah adanya skenario bahwa DPP Golkar sudah menetapkan tanggal munas itu. ”Nanti (tanggal munas), kan, terserah peserta rapimnas (rapat pimpinan nasional). Mereka nanti yang menetapkan tanggal munas,” ujarnya.

Rapimnas Golkar itu akan digelar pada 17-18 November 2014 di Yogyakarta.

Idrus juga membantah adanya skenario bahwa rapimnas itu nantinya langsung ditingkatkan statusnya menjadi Munas Golkar. ”Kan, munas harus ada DPD tingkat kabupaten/kota, juga organisasi pendiri dan sayap Golkar,” ujarnya.

Meski demikian, Idrus membenarkan adanya dukungan masif kepada Ketua Umum Aburizal Bakrie. ”Ada banyak surat dan faks yang masuk menyatakan dukungan ke beliau,” katanya.

”Sebagai kader yang baik, apabila Pak Aburizal didesak untuk maju lagi menjadi ketua umum, ya pasti diterima,” tambahnya.

Mau menang sendiri

Sementara itu, politisi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, menyatakan bahwa Ketua DPP sudah diminta untuk menyiapkan bahan laporan pertanggungjawaban untuk dibacakan dalam munas. ”Itu tadi mereka diminta bersiap menghadapi Munas 27 November di Bandung,” ujarnya.

Agun menegaskan, jika munas ternyata sudah didesain dipercepat, sama saja DPP Golkar saat ini mau menang sendiri dengan cara-cara tidak demokratis. ”Mungkin saja bahan munas sudah dipersiapkan untuk kemudian langsung diputuskan dalam rapimnas,” katanya.

Agun juga mendengar adanya persyaratan untuk dapat maju menjadi ketua umum, yakni harus didukung 10 DPD provinsi dan 30 persen DPD kabupaten/kota.

”Ini jelas memotong kesempatan bagi calon ketua umum lain untuk maju. Saya khawatir tahu-tahu ada yang ditetapkan secara aklamasi menjadi ketua umum,” ujar Agun.

Sejauh ini, selain Aburizal, sudah ada tujuh kandidat yang mencalonkan diri. Mereka adalah MS Hidayat, HR Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, Erlangga Hartarto, Zainuddin Amali, dan Hajriyanto Y Thohari.

Wakil Sekjen Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, dalam kesempatan terpisah, membenarkan adanya kekhawatiran kader bahwa DPP Partai Golkar akan menggelar munas secara tidak adil dan sportif. Terlebih lagi, beredar informasi Munas Golkar akan diadakan pada 27 November 2014 di Bandung.

”Munas itu sangat strategis sehingga perlu dirapatkan bersama dengan pengurus. Harusnya ada rapat pleno sehingga organisasi ini bisa berjalan 248

sesuai prosedur,” kata Ace.

Juru Bicara Poros Muda Partai Golkar Andi Sinulingga bertekad mengawal proses ini, mulai dari rapat pleno DPP, rapimnas, hingga munas. ”Kami pasti akan mengawal seluruh proses karena ini penting untuk masa depan Golkar,” ujarnya. (RYO)

'Saya khawatir tahu-tahu ada yang ditetapkan secara aklamasi menjadi ketua umum.' Agun Gunandjar Sudarsa

KOMPAS(Nasional) - Rabu, 19 Nov 2014 Halaman: 03 Penulis: RYO; HRS Ukuran: 3060 Foto: 1 Pengindex: pik.lis 249

RAPIMNAS GOLKAR DPD Golkar Hendaki Munas 30 November Yogyakarta, Kompas — Dewan Pimpinan Daerah I Partai Golkar menghendaki Musyawarah Nasional IX Golkar dilaksanakan pada 30 November 2014. DPD tingkat I Partai Golkar bahkan mendukung Aburizal Bakrie untuk kembali maju sebagai calon ketua umum.

Demikian hasil pemaparan dan laporan DPD tingkat I Golkar, Selasa (18/11), dalam Rapat Pimpinan Nasional VII Golkar di Yogyakarta. Pemaparan 34 DPD I Golkar tersebut disampaikan bergantian dalam forum tertutup. Ormas Golkar yang mempunyai hak suara juga menyampaikan pemaparan mereka.

Koordinator Forum Musyawarah DPD I Partai Golkar se-Indonesia Ridwan Bae mengatakan, percepatan munas dapat mencegah konflik di antara calon ketua umum. ”Bayangkan, saya mau ke rumah Pak (MS) Hidayat, misalnya, ya tujuh calon ketua umum lainnya langsung curiga,” ujarnya.

”(Sikap saling curiga) tidak dapat dibiarkan hingga satu bulan lebih. Jadi, saya merasa jeda waktu 11 hari hingga munas adalah yang terbaik,” ujar Ridwan Bae, yang juga Ketua DPD I Golkar Sulawesi Tenggara.

Ketua Panitia Pengarah Rapimnas VII Golkar Nurdin Halid mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa DPD I Golkar menggelar munas pada akhir November 2014.

”Golkar perlu membahas, di antaranya, konsolidasi Koalisi Merah Putih, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pilkada, dan kenaikan harga bahan bakar minyak,” ujarnya.

Libatkan KPK

Ditemui di sela-sela rapimnas, politisi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa menduga ada rekayasa dalam sikap DPD tingkat I. ”Bagaimana mungkin tiap DPD punya pandangan sama? Mereka setuju munas tanggal 30 November dan kalau tidak di Bandung, ya di Jawa Barat,” ujarnya.

Agar tidak ada politik uang, Agun menyarankan, Komisi Pemberantasan Korupsi ”turun mengawal” Munas Golkar.

”Apalagi, ada isu permainan uang demi mendapatkan dukungan suara,” ujarnya.

Calon ketua umum Golkar Agung Laksono mengatakan, Munas IX idealnya digelar pada Januari 2015 sesuai hasil rapat pleno DPP Golkar dan rekomendasi Munas VIII di Riau tahun 2009.

Agung menduga usulan percepatan munas dibuat untuk menguntungkan Aburizal Bakrie. ”Ada berita bahwa percepatan itu agar calon selain dia (Aburizal) bisa dikalahkan,” ujarnya. 250

Dalam sambutan pembukaan di Rapimnas VII Golkar, Aburizal mengakui perebutan kursi ketua umum Golkar 2015-2019 cukup panas. Namun, dia berharap, kompetisi tersebut tetap berlangsung sehat sesuai aturan partai dan tidak mengakibatkan perpecahan partai.

Dia juga berharap semua kandidat dapat menerima hasil Munas IX secara legawa. ”Calon yang kalah harus bersedia mendukung kandidat yang menang. Sementara calon yang menang harus merangkul kandidat yang kalah. Jika hal itu dapat dilakukan, tidak akan ada perpecahan,” kata Aburizal. (RYO/HRS)

Kompas 4 Desember 2014 Aburizal Jadi Ketum Golkar Lagi, Apa Tanggapan Istrinya? BADUNG, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengungkap satu rahasia saat menyampaikan pidato penutupan Musyawarah Nasional IX Partai Golkar, Kamis (4/12/2014). Rahasia yang diungkap adalah tanggapan istri, Tatty Murnitriati, setelah Aburizal kembali ditetapkan sebagai ketua umum periode 2014-2019.

Aburizal menuturkan, dia mendapat banyak ucapan selamat sesaat setelah ditetapkan sebagai ketua umum. Ucapan itu tak hanya disampaikan langsung, tapi juga masuk dari telepon genggamnya melalui layanan pesan singkat.

"Saya kasih tahu rahasia. Tapi pas saya sampai, istri saya bilang 'masih mau diuyel-uyel lima tahun lagi? Sudah dihina-hina.' Saya ketawa saja," kata Aburizal, disambut tawa peserta dan tamu Munas IX.

Aburizal menjelaskan, dia memilih tidak menanggapi pernyataan istrinya karena tidak ingin berdebat. "Karena kalau debat saya kalah," tuturnya.

Saat menyampaikan pidato penutupan, hadir juga sejumlah pimpinan partai anggota Koalisi Merah Putih. Di antaranya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PPP Djan Faridz, dan Presiden PKS Anis Matta. Setelah berpidato, Aburizal kemudian memimpin upacara penutupan yang menandakan berakhirnya Munas IX Partai Golkar.

KOMPAS(Nasional) - Rabu, 11 Mar 2015 Halaman: 02 Penulis: AGE; NTA; WHY Ukuran: 4570 Foto: 1 Pengindex: pik.hendra

Agung Ajak Ical Bergabung Surat Keputusan Menkumham Yasonna H Laoly Dipertanyakan

JAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta Agung Laksono mengajak kubu Aburizal Bakrie bergabung. Seruan ini 251

menyusul keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly yang mengakui secara selektif kepengurusan DPP Partai Golkar Munas Jakarta.

”Kami mengajak kader, simpatisan, dan keluarga besar Partai Golkar untuk kembali bersatu dan melangkah bersama demi kebesaran partai,” kata Agung dalam konferensi pers yang diselenggarakan tepat sesudah pengumuman putusan Menkumham, Selasa (10/3), di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Jakarta.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Munas Jakarta Priyo Budi Santoso mengatakan, pihaknya akan memberikan posisi yang baik dan strategis untuk kader-kader asal Munas Bali yang dipimpin Aburizal yang akrab dipanggil Ical di kepengurusan.

Menkumham Yasonna Laoly mengambil keputusan empat hari setelah DPP Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung mendaftarkan susunan kepengurusannya ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham.

Yasonna menyatakan, keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG), Selasa (3/3). Berdasarkan amar putusan MPG, Yasonna menambahkan.

KOMPAS(Nasional) - Sabtu, 02 Jan 2016 Halaman: 01 Penulis: RYO; NTA Ukuran: 2610 Pengindex: pik.lis

Partai Golkar

Musyawarah Nasional Solusi Bentuk Pengurus Baru

JAKARTA, KOMPAS — Pencabutan pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Jakarta oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakibatkan kekosongan kepemimpinan di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut. Munas diyakini menjadi satu-satunya solusi bagi partai politik tertua di Indonesia itu untuk keluar dari kemelut internal.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor M.HH-23.AH.11.01 tanggal 30 Desember 2015 untuk mencabut SK Nomor M.HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015 tentang penetapan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono. SK ini juga tidak mencantumkan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah.

”Saya sejak Januari (2015) sudah meminta munas luar biasa. Ketika itu saya melihat konflik Golkar tak akan dapat dituntaskan hanya melalui jalur hukum. Namun, Aburizal mengatakan, ’Proses hukum akan selesai pada pertengahan 252

April (2015)’. Ya sudah, saya ikuti. Eh, ternyata tidak selesai juga,” ujar Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar hasil Munas Bali Akbar Tandjung saat dihubungi, Jumat (1/1).

Akbar mengatakan, sampai kini ia tetap konsisten. ”Hanya, sekarang tidak lagi munas bersama, tetapi munas yang berdasarkan AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga),” ujar Ketua Umum Partai Golkar periode 1998-2003 ini.

Ia menyayangkan, nasihatnya tidak diindahkan. ”Lihat saja, dari 269 pilkada, ternyata Partai Golkar hanya ikut di 116 pilkada. Itu pun hanya menang di 49 daerah atau kira-kira hanya 20 persen,” katanya.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Jakarta Priyo Budi Santoso mengatakan, munas bersama merupakan satu-satunya jalan keluar untuk menyatukan kedua kubu. Pasalnya, kepengurusan hasil Munas Riau tahun 2010 masa jabatannya sudah berakhir 31 Desember 2015 sehingga sejak Jumat 1 Januari 2016, Partai Golkar mengalami kekosongan kekuasaan.

”Tidak ada satu pun kepengurusan yang bisa mewakili dan mengatasnamakan Partai Golkar. Implikasinya pada seluruh organ dan produk-produk politik Golkar bisa dianggap ilegal,” kata Priyo.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar hasil Munas Bali Idrus Marham menilai SK Menteri Hukum dan HAM justru mengesahkan kepengurusan pimpinan Aburizal. Pencabutan SK pengesahan kepengurusan kubu Agung berarti kepengurusan Munas Riau 2010-2015 sah, yang menggelar Munas Bali.

Bendahara Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, desakan munas bersama tidak bisa diabaikan.

(RYO/NTA)

KOMPAS(Nasional) - Minggu, 03 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: OSA; NTA; RYO Ukuran: 4976 Pengindex: pik.lis

Tunggakan Warnai Konflik Golkar

Listrik, Gaji, dan Pajak Masih Belum Dibayar

JAKARTA, KOMPAS — Dualisme kepemimpinan Partai Golkar tak hanya menunjukkan ajang perebutan kekuasaan internal partai, tetapi juga melupakan kewajiban mengelola organisasi partai dengan baik. Akibatnya, listrik, gaji karyawan, dan pajak serta biaya pengamanan kantor DPP Partai Golkar pun tertunggak dan belum juga dibayarkan.

Tokoh senior Partai Golkar Yorrys Raweyai yang dihubungi Kompas di 253

Amerika Serikat, Sabtu (2/1), mengatakan, akibat konflik berkepanjangan Partai Golkar, kondisi kantor DPP Partai Golkar di Jalan Anggrek Nelly Murni, Slipi, Jakarta, menghadapi masalah. Hingga kini, mulai dari listrik, gaji karyawan, pajak, hingga biaya pengamanan kantor masih tertunggak. Total seluruhnya yang harus dibayar kantor DPP Partai Golkar tercatat sekitar Rp 400 juta.

”Saya sendiri heran. Waktu konflik sedikit mereda dengan dicapainya kesepakatan untuk menghadapi pemilihan kepala daerah pada Desember lalu, kantor disepakati dipakai bersama oleh kedua kubu, yaitu kubu DPP Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional di Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan kubu DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol, Jakarta, dengan pimpinan Agung Laksono,” kata Yorrys.

Menurut dia, kesepahaman dicapai karena kedua kubu sama-sama memiliki kepentingan menghadapi pilkada. Kesepakatannya, kantor DPP Partai Golkar dipakai mulai dari masa kampanye hingga silaturahim nasional (silatnas) Partai Golkar.

Saat konflik semakin tajam, Yorrys akhirnya mengundurkan diri dari kepengurusan DPP Partai Golkar pimpinan Agung. ”Sebagai tim penyelamat partai, saya mulai melihat adanya gelagat kurang baik, di antaranya tunggakan-tunggakan terhadap kewajiban kantor yang tak ditangani. Bahkan, gaji karyawan pun belum dibayar hingga waktu tiga bulan. Oleh karena itu, saya kecewa dan mundur. Bagaimana mengurus partai yang jauh lebih besar kalau memperhatikan kondisi internal rumah tangga partai saja tidak baik,” ujarnya.

Terlalu dibesar-besarkan

Terkait tunggakan kantor DPP Partai Golkar, Bendahara DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, pihaknya segera melunasinya. ”Tunggakan listrik, pajak, dan gaji karyawan yang ditinggal kabur oleh kubu Partai Golkar Ancol pada pekan depan akan kami lunasi,” katanya.

Namun, Bendahara Umum DPP Partai Golkar versi Munas Jakarta Sari Yuliati menganggap tunggakan listrik di kantor DPP Golkar di Slipi terlalu dibesar- besarkan. ”Setahun terakhir ini, kewajiban kantor Golkar justru saya yang bayar. Kalau sekarang masih ada tunggakan, ya, ayo, kita bayar sama-sama, separuh-separuh. Jangan kami (kubu Munas Jakarta) saja,” tutur Sari.

Menurut dia, jangan semua tunggakan utang ditanggung oleh kubu DPP Golkar hasil Munas Jakarta. Alasannya, kantor DPP Partai Golkar sejak menjelang pilkada lalu digunakan bersama oleh kedua kubu Partai Golkar yang bersengketa.

”Masak, untuk bayar 50 persen saja yang kemarin itu tidak mau. Ada nafsu besar untuk berkuasa, tetapi untuk mengurus yang kecil-kecil (pembayaran tunggakan) tidak mau,” kata Sari membalikkan tuduhan Yorrys. 254

Sari memaparkan, ketika awalnya diserahi tugas untuk mengurus kantor DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta, pihaknya juga sudah memberesi tunggakan pembayaran listrik yang ditinggalkan oleh DPP Partai Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal. ”Waktu itu, saya bereskan sendiri dibantu teman-teman. Saya, ini, malas ribut-ribut dan cerita-cerita ke mana-mana,” ujarnya.

Selain membayar tagihan listrik, Sari juga mengaku membayar tagihan telepon dan biaya rutin pegawai. Porsi terbesarnya tetap pada tagihan listrik yang disebabkan besarnya beban abonemen. Untuk itu, Sari harus merogoh koceknya hingga lebih dari Rp 500 juta per bulan pasca kantor DPP Partai Golkar dikuasai kubu Agung.

Menanggapi tunggakan kantor DPP Partai Golkar, Kalla yang pernah memimpin Partai Golkar mengatakan, Partai Golkar pasti akan membayarnya segera.

Menyusul terjadinya konflik Partai Golkar, awal April 2015, kubu Agung akhirnya merebut kantor DPP Golkar di Slipi dari tangan DPP Partai Golkar yang dipimpin Aburizal. Perebutan kantor DPP Golkar sempat diwarnai keributan di antara para kader muda pendukung Partai Golkar. Meskipun kepolisian sempat turun tangan, kantor DPP Golkar akhirnya dikuasai kubu Agung hingga terjadinya upaya rujuk yang dipelopori Wapres Kalla menjelang kampanye pilkada lalu.

Memalukan

Pengamat senior Para Syndicate Toto Sugiarto menilai, persoalan teknis pembayaran kantor, apalagi terkait dengan kewajiban membayar pajak, semestinya bisa diselesaikan dengan cepat dan secara internal. Tidak perlu diumbar ke luar. ”Ini sangat memalukan. Siapa pun yang menggunakan aset partai semestinya wajib menutup biaya-biaya operasionalnya,” katanya.

Toto juga menilai, tunggakan kantor DPP Partai Golkar menunjukkan Partai Golkar bukan lagi partai papan atas yang pantas diperhitungkan. Alasannya, Golkar tak mampu menyelesaikannya dengan baik.

(OSA/NTA/RYO)

KOMPAS(Nasional) - Senin, 04 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: AGE Ukuran: 4592 Foto: 2 Pengindex: pik.feni

Konflik Diharap Selesai

Rekomendasi Mahkamah Partai Golkar Ditunggu 255

JAKARTA, KOMPAS — Rekomendasi Mahkamah Partai Golkar terkait wacana penyelenggaraan musyawarah nasional dalam waktu dekat amat dinantikan. Pasalnya, saat ini hanya Mahkamah Partai Golkar yang masih memiliki dasar legalitas dan belum demisioner.

Saat ini tidak ada satu kepengurusan Partai Golkar pun yang dianggap sah oleh negara sejak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada 30 Desember 2015 mencabut surat keputusan (SK) kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta yang diketuai Agung Laksono. Namun, Menkumham juga tidak mengesahkan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie. Langkah Menkumham itu dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap putusan Mahkamah Agung pada 20 Oktober 2015.

”Saat ini terjadi kepemimpinan yang vakum di Partai Golkar. Satu-satunya jalan keluar adalah menyelenggarakan munas untuk membentuk kepengurusan baru. Dalam waktu dekat, kami akan bertemu dengan Mahkamah Partai Golkar dan menyampaikan sikap kami agar diperhatikan Mahkamah Partai dan dijadikan masukan untuk mengeluarkan suatu rekomendasi solusi terbaik,” kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar hasil Munas Riau 2009 Akbar Tandjung, di Jakarta, Minggu (3/1).

Pernyataan itu disampaikan seusai Dewan Pertimbangan Partai Golkar hasil Munas Riau menerima kunjungan silaturahim dari Generasi Muda Partai Golkar. Selain Akbar, anggota Dewan Pertimbangan Partai Golkar yang hadir dalam acara itu antara lain Mahadi Sinambela, Sri Rejeki, Ibrahim A, dan Simon Patrice.

Akbar mengatakan, rekomendasi dari Mahkamah Partai Golkar tidak akan diragukan keabsahannya karena datang dari institusi yang masih memiliki dasar legalitas serta terdiri atas kedua kubu kepengurusan partai. Mahkamah Partai Golkar baru akan demisioner setelah kepengurusan baru terbentuk dan membentuk mahkamah partai yang baru.

Dorongan untuk pelaksanaan Munas 2016 semakin menguat. Akbar mengatakan, sejumlah pengurus Dewan Pengurus Daerah (DPD) Golkar tingkat provinsi sudah menyuarakan keinginan agar munas segera diselenggarakan. ”Mereka di daerah pun tidak punya induk. Dampak buruk dari konflik ini contohnya bisa dirasakan saat pilkada serentak 2015 lalu, saat perolehan suara partai kecil sekali,” kata Akbar.

Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Ahmad Doli Kurnia mengatakan, satu- satunya waktu bagi Golkar untuk berkonsolidasi adalah tahun 2016. Pasalnya, pada 2017, partai akan sibuk menghadapi pilkada serentak gelombang kedua. Sementara 2018 akan disibukkan dengan persiapan menghadapi Pemilu 2019. Karena itu, munas harus diselenggarakan pada 2016.

”Nantinya munas yang akan melahirkan legal standing baru bagi Partai Golkar. Siapa pun yang terpanggil untuk menjadi ketua umum partai berikutnya, dipersilakan, semua terbuka,” ujar Doli.

Rapat konsultasi

Namun, Bendahara Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, munas bukan satu-satunya jalan keluar meski ia mengakui dorongan ke arah itu akhir-akhir ini semakin kuat. Untuk menanggapi dorongan adanya munas 256

tersebut, Senin (4/1) hari ini DPP Golkar hasil Munas Bali akan mengadakan rapat konsultasi dengan semua DPD tingkat I dan II se-Indonesia di Bali.

”Dalam rapat itu, semua persoalan akan kami bahas dan akan kami putuskan dalam rapimnas tanggal 18 Januari di Jakarta, termasuk di dalamnya tentang skenario terbaik penyelesaian konflik internal,” kata Bambang.

Adapun DPP Golkar hasil Munas Jakarta sejak awal menyambut baik usulan penyelenggaraan Munas 2016. Bahkan, kepengurusan di bawah kepemimpinan Agung Laksono itu sudah membentuk Tim 7 yang terdiri dari Agus Gumiwang Kartasasmita, Ibnu Munzir, Gusti Iskandar, Zainudin Amali, Taufik Hidayat, Priyo Budi Santoso, dan Ali Wongso. Tim itu dibentuk untuk membicarakan teknis penyelenggaraan munas bersama.

”Waktunya sudah sempit, dalam waktu enam bulan ini konflik sudah harus bisa diselesaikan. Jika tidak, ini bahaya untuk keberadaan partai ke depan. Kami mendukung dan menunggu Mahkamah Partai mengeluarkan rekomendasi solusi terbaik penyelesaian konflik,” kata Ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta Ace Hasan Syadzili.

(AGE)

KOMPAS(Nasional) - Selasa, 05 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: WHY; RYO; GAL Ukuran: 3334 Pengindex: pik.nnk

Partai Golkar

Jusuf Kalla: Munas Tinggal Tunggu Waktu

JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar meyakini, penyelesaian konflik internal di Partai Golkar tinggal menunggu waktu. Kedua kubu kepengurusan, yaitu hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan Munas Jakarta yang diketuai Agung Laksono, sudah menyepakati adanya penyatuan pengurus guna menggelar rapat pimpinan nasional, yang disusul kemudian dengan penyelenggaraan musyawarah nasional.

”Jadi, sebenarnya hanya soal waktu. Kita setuju, Pak Agung Laksono dan Pak Aburizal setuju. Menjelang akhir tahun lalu sudah setuju merumuskan penyatuan pengurus. Mudah-mudahan setelah minggu ini bisa dimulai pembicaraannya. Setelah itu, bikin rapimnas membicarakan bagaimana ke depan, di antaranya Munas Golkar,” kata Kalla, Senin (4/1), di Kantor Wapres, Jakarta.

Menurut dia, persetujuan tentang tahapan yang perlu dilalui, seperti rapimnas, sudah disepakati pada 18 Desember 2015. ”Tahapan penyatuan atau 257

rekonsiliasi pengurus di tingkat pusat maupun daerah perlu dilakukan untuk memperjelas siapa yang akan menjadi peserta rapimnas serta untuk menggelar munas,” papar Kalla.

Beberapa hari sebelumnya, Kalla menyatakan, pembentukan pengurus sementara dilakukan dengan menunjuk lima perwakilan dari tiap kubu Partai Golkar yang berseteru (Kompas, 3/1).

Juru bicara Poros Muda Partai Golkar, Andi Sinulingga, menilai, skema yang diusulkan Kalla masuk akal bagi penyelesaian konflik Partai Golkar. ”Dari awal saya setuju dengan munas bersama,” tuturnya.

Namun, kata Andi, lebih tepat jika Mahkamah Partai Golkar (MPG) hasil Munas Riau 2009 yang memberikan lampu hijau bagi pelaksanaan munas. ”Hari Selasa (hari ini) kami berencana bertemu MPG,” ujarnya.

Fungsionaris Partai Golkar Agun Gunanjar Sudarsa menambahkan, sebenarnya sudah ada mekanisme menuntaskan konflik internal di Partai Golkar. ”Di antaranya ada rapat-rapat dan musyawarah, rapimnas, dan munas. Jadi, konflik hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme internal partai yang mengedepankan prinsip-prinsip arif, bijak, dan berkeadilan,” kataa Agun.

Sementara itu, walaupun sempat terdengar info kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali berencana mendaftarkan kembali kepengurusannya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, hingga Senin sore, hal itu belum juga menunjukkan tanda-tanda kepastian.

Bendahara Umum DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, pengurus masih mempersiapkan persyaratan. ”Sepertinya tidak Senin ini,” ujar Bambang.

Cabut SK

Kementerian Hukum dan HAM akan mencabut surat keputusan (SK) pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan hasil Muktamar Surabaya yang dipimpin M Romahurmuziy sebelum 15 Januari ini.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum pada Kementerian Hukum dan HAM Aidir Amin Daud menuturkan, langkah itu merupakan respons atas putusan Mahkamah Agung atas sengketa kepengurusan DPP PPP.

Namun, Aidir belum bisa merinci detail surat pembatalan itu serta implikasinya bagi kepengurusan DPP PPP. Ia juga menyampaikan, pembatalan itu tidak langsung diikuti dengan penerbitan SK pengesahan kepengurusan DPP PPP hasil Muktamar Jakarta yang diketuai Djan Faridz. ”Satu-satu dahulu. Pencabutan lebih dulu,” tuturnya. 258

(WHY/RYO/GAL)

KOMPAS(Nasional) - Rabu, 06 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: INA; AGE; WHY Ukuran: 4512 Foto: 1 Pengindex: pik.erna

Munas Dipercepat Jadi Solusi

Hari Ini, Mahkamah Partai Golkar Bersidang

JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Partai Golkar hasil Munas Riau 2009, Rabu (6/1) ini, bersidang untuk mencari solusi terkait konflik kepengurusan di partai itu. Terkait hal ini, Ketua MPG Muladi berpendapat, musyawarah nasional yang dipercepat menjadi solusi untuk menyelesaikan konflik.

”Salah satu alternatif penyelesaian adalah munas dipercepat,” kata Ketua Mahkamah Partai Golkar (MPG) Muladi, kemarin.

Seperti diketahui, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mencabut Surat Keputusan (SK) Menkumham yang mengesahkan kepengurusan hasil Munas Golkar di Jakarta, dengan Ketua Umum Agung Laksono. Namun, pemerintah tidak mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan hasil Munas Golkar di Bali, dengan Ketua Umum Aburizal Bakrie.

Dengan tidak adanya pengesahan kepengurusan yang baru itu, kepengurusan Partai Golkar yang diakui pemerintah adalah kepengurusan hasil Munas di Riau tahun 2009. Namun, kepengurusan hasil Munas Riau itu berakhir pada 2015.

Muladi menuturkan, tiga anggota MPG lainnya yang akan menghadiri rapat MPG hari ini, yaitu Andi Mattalatta, Djasri Marin, dan Natabaya, punya sikap serupa dengan dirinya bahwa munas dipercepat jadi alternatif solusi di Golkar.

MPG hasil Munas Riau beranggotakan lima orang. Satu anggota lagi, yaitu Aulia A Rahman, kini bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Ceko, tidak akan hadir di rapat MPG hari ini.

Dorongan supaya Munas Partai Golkar segera dilangsungkan, menurut Muladi, disampaikan banyak pihak, termasuk para senior dan pendiri partai. ”Saya bertemu beberapa tokoh penting, pertama Pak Jusuf Kalla, kedua Pak Habibie, kemudian Andi Mattalatta, anggota Mahkamah Partai Golkar, dan beberapa orang lain,” kata Muladi.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar hasil Munas Jakarta Zainudin Amali berpendapat, satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik internal Golkar adalah menyelenggarakan munas dalam waktu dekat.

Satu-satunya institusi partai yang masih belum demisioner sampai saat ini adalah MPG yang dibentuk pada 2012. Karena itu, MPG dapat merekomendasikan penyelenggaraan munas, lengkap dengan ketetapan 259

teknisnya. Ini berarti MPG yang akan menunjuk orang-orang yang berhak menentukan penyelenggara rapimnas dan munas.

”Bisa dipilih orang yang netral dan punya ketokohan. Jika dari kedua kubu yang berselisih, dikhawatirkan akan lama penyelesaiannya,” kata Zainudin.

Sejumlah nama

Anggota Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Anwar Arifin, menambahkan, dalam pertemuan anggota Wantim dengan anggota MPG, Andi Mattalatta, Senin lalu, diusulkan sejumlah nama tokoh senior sebagai pihak yang akan membentuk panitia penyelenggara munas. Mereka adalah BJ Habibie, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, serta Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sebagai perwakilan tiap-tiap kubu.

”Usulan itu datang dari Pak Andi Mattalatta. Maka, kita sekarang tinggal menunggu hasil sidang dan rekomendasi dari MPG seperti apa,” kata Anwar.

Namun, rapat konsultasi antara pengurus Partai Golkar hasil Munas Bali dan Dewan Pengurus Daerah (DPD) tingkat I di Bali, Senin lalu, merekomendasikan agar munas tidak diselenggarakan sebelum 2019.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Nurdin Halid beralasan, meski Menkumham tidak mengesahkan kepengurusan mana pun setelah mencabut SK kepengurusan hasil Munas Jakarta, kubu Munas Bali masih dianggap sah dari persepsi hukum.

Rapat konsultasi itu juga merekomendasikan adanya peninjauan ulang pola hubungan partai dengan pemerintah. Ini karena, menurut Nurdin Halid, aspirasi sebagian besar DPD tingkat I adalah Golkar harus bergabung dengan pemerintah daripada ada di luar pemerintahan.

Dalam acara itu, DPP Golkar juga didorong memberi teguran kepada Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung karena mengusulkan menyelenggarakan munas.

Menanggapi hal ini, Akbar menyebut rekomendasi rapat konsultasi itu tidak sah karena diselenggarakan oleh kepengurusan Partai Golkar yang tak diakui pemerintah.

(INA/AGE/WHY)

KOMPAS(Nasional) - Kamis, 07 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: AGE; HAR Ukuran: 4850 Foto: 1 Pengindex: pik.nnk

Golkar ke Pemerintah

KMP Terancam Jadi Kekuatan yang Tidak Efektif 260

JAKARTA, KOMPAS — Kepengurusan Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Bali 2014 yang diketuai Aburizal Bakrie menyatakan keinginannya untuk merapat ke pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengapresiasi keinginan itu selama tidak dimaksudkan untuk memperoleh kursi di kabinet.

”Saya apresiasi Pak Ical (Aburizal Bakrie). Yang dimaksud Pak Ical bergabung tentu mendukung pemerintah, bukan untuk menjadi menteri, sebab di kabinet sudah penuh,” kata Kalla sambil tertawa, Rabu (6/1), di Jakarta.

Menteri Dalam Negeri , yang adalah kader PDI-P, juga menyambut baik keinginan pengurus Partai Golkar kubu Aburizal tersebut. ”Namun, jangan ada syarat apa pun karena pemerintah ini bekerja untuk rakyat dan bangsa,” kata Tjahjo Kumolo.

Keinginan Golkar untuk bergabung dengan pemerintah itu disampaikan seusai rapat konsultasi Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar hasil Munas Bali dengan pengurus daerah tingkat provinsi di Bali, Senin lalu.

Rapat itu merekomendasikan agar DPP mengkaji ulang pola hubungan dengan pemerintah. Rekomendasi itu akan ditindaklanjuti di Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar di Daerah Istimewa Yogyakarta, 23-25 Januari mendatang.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Nurdin Halid menjelaskan, keinginan pengurus daerah tingkat provinsi agar Golkar merapat ke pemerintahan didasarkan pada pertimbangan historis. Secara ideologis, Golkar sejak lahir sudah menempatkan diri sebagai partai pemerintah.

”Selain itu, pertimbangan lain, di tengah kondisi perpolitikan saat ini, akan lebih banyak manfaatnya apabila Golkar merapat ke pemerintah,” kata Nurdin Halid.

Ketua Harian Partai Golkar hasil Munas Bali MS Hidayat menambahkan, konflik internal yang berkepanjangan di Partai Golkar, yakni antara kepengurusan hasil Munas Bali dan Munas Jakarta, menjadi salah satu pertimbangan khusus kubunya ingin merapat ke pemerintah. Konflik itu membuat Golkar semakin tidak solid secara internal serta merugi.

”Namun, saya rasa pemerintah juga pasti akan mempertimbangkan dulu apakah Golkar bisa melakukan konsolidasi dengan pemerintah? Akan dipertimbangkan kekuatan Golkar yang semakin tidak solid dan dukungannya yang semakin mengecil karena konflik internal. Maka, pada akhirnya semua terpulang ke Golkar sendiri, apakah Golkar bisa mengonsolidasi kekuatannya dan menyelesaikan konflik internalnya dalam waktu dekat atau tidak,” kata Hidayat.

Kalkulasi politik

Hidayat menuturkan, Koalisi Merah Putih (KMP), dimana Golkar hasil Munas Bali ada di dalamnya, secara faktual ke depan tidak lagi menjadi kekuatan 261

politik yang efektif.

”Kenyataan itu harus dihadapi. Semua anggota parpol di KMP secara individu pasti punya perhitungan politik tersendiri. KMP menjadi tidak efektif karena satu per satu partai dengan masalah internal masing-masing akan memiliki kalkulasi politik sendiri dan memutuskan merapat ke pemerintahan,” tutur Hidayat.

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, partainya menghormati keputusan apa pun yang akan diambil oleh Partai Golkar di kemudian hari. KMP yang selama ini berada di luar pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak mengintervensi keinginan Golkar. Namun, ia khawatir, dengan semakin banyaknya partai politik yang merapat ke pemerintahan, kekuatan penyeimbang akan terganggu.

”Sebenarnya akan lebih efektif kalau kekuatan pemerintah dan kekuatan di luar pemerintah itu seimbang. Namun, kalau mayoritas (partai politik) mutlak ke sana (pemerintah), tentu saja pengawasan bisa menjadi tidak efektif,” kata Muzani.

Pada tahun 2015, Partai Amanat Nasional (PAN) yang sebelumnya bergabung dengan KMP resmi mengumumkan merapat ke pemerintahan. Pada akhir tahun lalu, meski menegaskan tetap menjadi bagian KMP, Partai Keadilan Sejahtera mendatangi Istana Negara dan bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo untuk bersilaturahim. Kini, Partai Golkar menyusul mengutarakan keinginan merapat ke pemerintahan. Padahal, Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Aburizal Bakrie saat ini masih menjabat Ketua Presidium KMP.

”Kami masih berprasangka baik. Masih menganggap KMP eksis sampai sekarang. Kami harus percaya tokoh-tokoh KMP yang sampai sekarang menyediakan diri dalam hubungan emosi dengan KMP. Hubungan emosional di antara partai-partai politik di KMP sangat terjaga,” kata Muzani.(AGE/HAR)

KOMPAS(Nasional) - Jumat, 08 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: NTA; AGE; INA; OSA Ukuran: 3951 Pengindex: pik.erna

Golkar Terancam Bubar

Pergantian Ketua DPR Munculkan Polemik

JAKARTA, KOMPAS — Partai Golkar dikhawatirkan bubar jika konflik internal di tubuh partai politik itu terus dibiarkan. Oleh karena itu, semua pihak diminta untuk bersama-sama menyelesaikan konflik dengan menggelar musyawarah nasional bersama.

Kekhawatiran itu disampaikan mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari di Jakarta, Kamis (7/1). ”Kalau konflik dibiarkan, Partai Golkar menuju limbo (batas) sejarah. Mungkin 262

memang hanya sampai di sini masa berlaku Partai Golkar. Masa peredarannya sudah selesai,” tuturnya.

Politikus senior Partai Golkar itu menilai, perpecahan internal Partai Golkar sudah tergolong parah dan eksesif. Konflik tidak hanya di antara dua kubu DPP Partai Golkar, yakni kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, tetapi juga di internal kedua kubu.

Faksi-faksi muncul di kubu Aburizal dan kubu Agung. Faksi-faksi di tiap-tiap kubu itu saling jegal dan menjatuhkan.

Kondisi itu salah satunya terlihat dalam pergantian pimpinan Fraksi Partai Golkar (F-PG) di DPR. Setelah ditunjuk menjadi Ketua F-PG oleh Aburizal, Setya Novanto mengganti kepengurusan F-PG. Salah satunya jabatan Sekretaris F-PG yang sebelumnya dipegang oleh Bambang Soesatyo diberikan kepada Aziz Syamsuddin. Padahal, pengajuan Novanto sebagai Ketua F-PG belum ditetapkan oleh pimpinan DPR.

”Peta konflik Golkar sekarang ini sangat mengerikan. Ini semua akibat pembiaran para elite Golkar,” tutur Hajriyanto.

Jika Partai Golkar tidak ingin bubar, Hajriyanto menyarankan agar para elite partai segera menyelesaikan konflik. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk menyelesaikan konflik adalah munas bersama. ”Tidak ada jalan keluar lain, kecuali munas,” katanya.

Revisi UU MD3

Kendati saat ini tak ada kepengurusan Partai Golkar yang diakui pemerintah, pengajuan kader partai itu, yakni Ade Komaruddin, sebagai calon ketua DPR pengganti Novanto tetap akan diproses.

Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon menegaskan, DPR akan menggunakan mekanisme penggantian pimpinan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) serta Peraturan DPR No 1/2014 tentang Tata Tertib DPR. Dalam peraturan itu dinyatakan, pimpinan yang mengundurkan diri digantikan oleh anggota lain dari fraksi yang sama. Dengan demikian, yang berhak mengajukan pengganti Novanto adalah F-PG.

Namun, Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR Arif Wibowo berpendapat, proses pergantian ketua DPR akan sulit dilakukan karena tidak ada kekuatan hukum yang kini mendasari Partai Golkar.

Untuk itu, lanjut Arif, posisi ketua DPR sebaiknya dipegang dulu oleh Pelaksana Tugas Ketua DPR, yaitu Fadli Zon.

PDI-P selanjutnya mendorong adanya revisi UU MD3 dengan tujuan mengembalikan kursi pimpinan DPR berdasarkan asas proporsionalitas 263

perolehan kursi di DPR.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Dimyati Natakusumah mendukung rencana revisi UU MD3 dan pengocokan ulang kursi pimpinan DPR. Menurut dia, agar situasi kondusif, pembagian jatah kursi kepemimpinan di DPR harus dilakukan secara proporsional.

Menurut Dimyati, kondisi peta perpolitikan di DPR yang kini praktis tanpa batas jelas antara koalisi partai politik pendukung pemerintah dan oposisi akan membantu mempermudah proses revisi UU MD3.

Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto khawatir, usulan perombakan UU MD3 itu akan menimbulkan kegaduhan yang akhirnya mengganggu kinerja DPR.

Selain itu, tambah anggota Badan Legislasi DPR, Martin Hutabarat, revisi UU MD3 membutuhkan waktu yang panjang. Sebelum dibahas, revisi UU MD3 harus diusulkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Jika ingin dibahas di tahun 2016, revisi UU MD3 harus diusulkan pula menjadi RUU prioritas Prolegnas 2016.

Sampai saat ini, lanjut Martin, belum ada komisi, fraksi, ataupun anggota yang secara resmi mengusulkan revisi UU MD3.

(NTA/AGE/INA/OSA)

KOMPAS(Nasional) - Sabtu, 09 Jan 2016 Halaman: 01, 15 Penulis: NSA; TAM; AGE; NTA Ukuran: 4827 Pengindex: pik.susy

Konflik Partai Golkar

Munas Bersama Menjadi Solusi

JAKARTA, KOMPAS — Musyawarah nasional bersama menjadi solusi yang paling mungkin bagi Partai Golkar untuk mengakhiri konflik kepengurusan. Dua kubu kepengurusan di partai itu, yaitu hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan hasil Munas Jakarta yang diketuai Agung Laksono, perlu segera duduk bersama untuk mempercepat penyelenggaraan munas itu pada tahun ini.

Munas bersama ini, menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bahtiar Effendy, Jumat (8/1), di Jakarta, juga mendesak dilakukan karena pada awal 2017 akan digelar pilkada serentak.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, menambahkan, munas bersama itu dibutuhkan bagi Golkar untuk membentuk kepengurusan yang sah. Dengan demikian, partai itu dapat optimal mengikuti 264

pilkada 2017 yang tahapannya akan dimulai pertengahan tahun ini.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mencabut surat keputusan (SK) Menkumham yang mengesahkan kepengurusan hasil Munas Golkar di Jakarta. Namun, pemerintah tidak mengeluarkan SK yang mengesahkan hasil Munas Golkar di Bali. Dengan demikian, kepengurusan Partai Golkar yang diakui pemerintah adalah kepengurusan hasil Munas Riau pada 2009. Namun, kepengurusan itu telah berakhir pada 2015.

Meski masih terlibat konflik kepengurusan, Golkar diperbolehkan mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015. Akan tetapi, dari 264 daerah yang saat itu menggelar pilkada, kata Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, Golkar hanya ikut di 116 daerah dan menang di 49 daerah. (Kompas, 2/1).

Namun, Bahtiar mengingatkan, munas hanya merupakan jalan keluar jangka pendek bagi Golkar untuk menyelesaikan konflik. Hal yang tidak kalah penting adalah kedewasaan para elite partai dalam menyikapi dinamika di internal Partai Golkar.

”Golkar harus berani mengambil sikap bahwa dinamika di dalam partai tidak bersifat zero-sum game (saling mematikan). Sifat itu merupakan penyakit kronis bagi demokrasi sehingga harus dihindari,” ujarnya.

Taufiq Hidayat, Ketua DPP Partai Golkar kubu Agung Laksono, juga mengatakan, munas merupakan satu-satu jalan untuk menyelamatkan Partai Golkar. Oleh karena itu, dia meminta pengurus Golkar kubu Aburizal Bakrie menunjukkan itikad baik dengan bersama-sama menggelar munas.

”Sekarang seharusnya semua fokus untuk menyelamatkan Partai Golkar,” katanya.

Terpecah

Pengurus Partai Golkar hasil Munas Bali menanggapi ajakan munas bersama ini secara berbeda. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmadi Noor Supit dan Ketua Harian Partai Golkar MS Hidayat menyetujui ajakan itu.

”Partai ini bukan perusahaan yang dimiliki pribadi atau golongan. Munas harus dilihat sebagai solusi yang harus disadari dan diterima semua pihak, termasuk Pak Aburizal. Apalagi, sudah banyak desakan untuk munas, termasuk dari para tokoh senior dan pinisepuh yang dihormati,” kata Noor Supit,

Desakan agar munas bersama segera diselenggarakan sudah disuarakan sejumlah tokoh senior Golkar, seperti Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan BJ Habibie. Para kader muda Golkar juga sudah menyampaikan aspirasi serupa.

”Dari banyaknya opini publik, pendapat para sesepuh, semua menghendaki konsolidasi secara internal melalui penyelenggaraan munaslub (munas luar biasa). Saya kira itu merupakan hal yang harus dihadapi partai,” kata MS 265

Hidayat.

Bendahara Umum DPP Partai Golkar hasil Munas Bali Bambang Soesatyo mengatakan, munas atau munas luar biasa bisa saja digelar jika diusulkan dan didukung oleh dua pertiga DPD I di seluruh Indonesia. ”Jadi, keputusan munas atau tidak serahkan saja pada DPD I,” katanya.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Sharif Cicip Sutardjo mengatakan, suara yang muncul dari faksi-faksi di internal kubu Bali patut dihargai dan dijadikan masukan.

Terkait hal itu, hari Minggu (10/1), kubu Munas Bali akan mengadakan rapat pengurus yang dipimpin Aburizal Bakrie. Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Fadel Muhammad menyebutkan, tiga agenda akan dibahas. Pertama, keinginan agar Golkar tetap bisa bersatu. Kedua, usulan penyelenggaraan munas 2016. Ketiga, tindak lanjut dari langkah Menkumham mencabut SK kepengurusan partai.

Rajamin Sirait, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Sumatera Utara kubu Agung Laksono, berharap konflik di tubuh partainya segera berakhir.

”Kami sudah merasakan betapa rugi Partai Golkar pada pilkada Desember lalu. Banyak kader Golkar gagal mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Kalaupun bisa mencalonkan, harus menghadapi sengketa yang berkepanjangan,” ujar Rajamin.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Kota Bandung Deden Y Hidayat menuturkan, konflik yang terjadi selama satu tahun terakhir ini telah menguras energi dan tidak efektif bagi perkembangan Partai Golkar. (NSA/TAM/AGE/NTA)

KOMPAS(Nasional) - Selasa, 12 Jan 2016 Halaman: 02 Penulis: WHY; NDY Ukuran: 3691 Pengindex: pik.pry

Presiden Panggil Kedua Kubu

Konflik yang Berkepanjangan Menyulitkan Partai Golkar

JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memanggil pimpinan dari kedua kubu Partai Golkar yang berseteru, Senin (11/1). Presiden berharap konflik partai tersebut segera diakhiri. Konflik yang berkepanjangan dikhawatirkan akan memengaruhi proses pemerintahan ataupun hubungan di legislatif.

Meredanya konflik Partai Golkar juga diharapkan bisa menciptakan stabilitas politik, yang secara tidak langsung membawa dampak bagi program pemerintah, terutama dalam percepatan pembangunan. 266

Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan, Presiden menginginkan agar partai politik menjadi elemen penting dalam berdemokrasi.

”Diharapkan semua partai yang sedang menghadapi masalah internal harus segera melakukan sinergi, konsolidasi, dan segera menyelesaikan konfliknya, serta terus berpartisipasi dalam mengembangkan demokrasi yang sehat,” kata Pratikno.

Pimpinan kedua kubu Partai Golkar, kemarin, bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta. Namun, mereka diterima Presiden secara terpisah. Awalnya Presiden menerima Ketua Umum Partai Golkar versi Musyawarah Nasional (Munas) Ancol, Jakarta, Agung Laksono. Setelah itu, Presiden menerima Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali Aburizal Bakrie.

Seusai bertemu Presiden, kepada wartawan Agung menyatakan, dalam pertemuan itu Presiden lebih banyak mendengarkan apa yang disampaikannya.

Kepada Presiden, lanjut Agung, dia menyampaikan bahwa penyelesaian konflik Partai Golkar hanya bisa dilakukan melalui Mahkamah Partai Golkar, yang merupakan satu-satunya institusi partai yang memiliki legalitas.

”Partai Golkar ada, pemimpinnya ada. Namun, tidak ada satu pun pihak yang mengantongi izin resmi pemerintah. Baik kubu Munas Ancol yang dicabut maupun Munas Bali yang tidak disahkan, begitu pun munas hasil Riau yang sekarang sudah habis masa berlakunya. Ini tentu akan menyulitkan kehidupan partai dan menyulitkan dalam kontribusinya bagi negara,” kata Agung.

Menurut Agung, pihaknya tidak ingin berlama-lama dengan kondisi seperti saat ini, di mana Partai Golkar terbelah. Adapun jalan keluar yang bisa diambil Partai Golkar adalah menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub), dengan panitia penyelenggaranya dan pesertanya melibatkan dua kubu.

Sekitar 10 menit setelah Agung Laksono bertemu Presiden, di tempat yang sama Aburizal Bakrie juga bertemu Presiden. Bedanya, Agung datang ke Istana sendiri, sedangkan Aburizal datang didampingi Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.

Sementara itu, Aburizal Bakrie mengungkapkan, konflik dualisme kepengurusan di Partai Golkar sudah selesai dengan pencabutan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengesahan PP Partai Golkar versi Munas Jakarta, serta putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Tinggi Jakarta tentang keabsahan DPP Partai versi Munas Bali.. 267

Bergabung pemerintah

Kehadirannya di Istana, menurut Aburizal, untuk memberikan dukungan dan bergabung duduk bersama pemerintah. ”Untuk melakukan suatu pembangunan dalam keadaan yang sangat sulit ini, diperlukan suatu stabilitas politik. Partai merasa sebagai suatu partai yang cukup besar harus bisa duduk bersama pemerintah untuk dapat memantapkan stabilitas politik dalam menjalankan pembangunan nasional,” katanya.

Langkah tersebut, menurut Aburizal, sudah dikomunikasikan baik dengan Prabowo Subianto maupun dengan pimpinan partai lain yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menambahkan, pemerintah berharap konflik yang dihadapi parpol, termasuk di Partai Golkar, bisa segera diselesaikan dengan mekanisme internal partai.

(WHY/NDY)

HARIAN REPUBLIKA

268

DATA REPUBLIKA REPUBLIKA -- Rabu, 19 Nopember 2014 Halaman : 4 Penulis : antara ed: Muhammad Fakhruddin Ukuran : 2547 bytes Satu Suara DPD Rp 700 Juta Aroma politik transaksional menyeruak menjelang Musyawarah Nasional (Munas) IX Golkar. Meski sulit dibuktikan, dalam setiap munas pemilik suara akan menerima sejumlah dana yang sangat banyak dan pemberian dana berasal dari tim pemenangan calon ketua umum. Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Golkar Sulawesi Selatan HM Roem memprediksi, di Munas Golkar yang akan digelar pada 2015, harga satu suara akan sedikit lebih tinggi, yakni mencapai Rp 700 juta. HM Roem menilai, harga satu suara sebesar Rp 700 juta di Musyawarah Nasional Golkar itu masih terbilang kecil. "Di Munas lalu, satu suara harganya Rp 500 juta. Saat itu, pertarungan antara Surya Paloh dan Aburizal Bakrie (Ical) untuk menduduki Ketua Umum," ungkapnya di Makassar, Senin (18/11) Menurut HM Roem, dana tersebut sengaja disiapkan untuk biaya operasional tim, termasuk uang saku bagi pemilik hak suara. Meski demikian, Ketua DPRD Sulsel ini berharap, tidak ada lagi politik uang yang terjadi di munas mendatang. Hal itu demi menghindari terjadinya konflik internal. "Kita berharap, tidak ada lagi hal-hal seperti ini karena kalau ini berlangsung terus akan merusak tatanan demokrasi," ucapnya. Mantan Ketua Komisi A DPRD Sulsel ini juga menjelaskan, bila satu DPD II atau DPD I dapat saja meraih dana yang lebih banyak bila mencoba bermain di sejumlah calon yang akan maju. "Mereka bisa saja membagi diri, ada yang bergabung dengan calon A, B, C, dan seterusnya. Padahal, suaranya di munas hanya satu yang masuk bilik untuk memilih, yakni ketua DPD. Jadi, memungkinkan ada DPD yang mendapat Rp 1 miliar lebih, bergantung bagaimana mereka bermain," jelasnya. Bendahara DDPD I Partai Golkar Jawa Tengah Sasmito mewaspadai potensi terjadinya praktik politik uang pada pemilihan ketua umum. Sasmito secara tegas meminta Partai Golkar untuk mulai meninggalkan praktik politik uang dalam pemilihan ketua umumnya. "Perlu ada pengawasan agar pemilihan ketua umum pada munas mendatang benar- benar bebas dari politik uang," ujarnya. 269

Ia mengharapkan, setiap calon ketua umum yang akan maju pada munas mempunyai program dan rencana kebijakan untuk membangun Partai Golkar di masa mendatang. Ketua DPD I Partai Golkar Jateng Wisnu Suhardono menambahkan, pihaknya membebaskan seluruh DPD II Partai Golkar di wilayah Provinsi Jateng untuk memilih ketua umum. "Silakan menilai masing-masing calon ketua umum untuk kebaikan Golkar, khususnya Golkar Jateng ke depan," katanya. antara ed: muhammad fakhruddin REPUBLIKA - Rabu, 19 Nopember 2014 Halaman : 4 Penulis : Heri Purwata Ukuran : 3393 bytes Ical Berharap Munas IX Fair Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Priyo Budi Santoso bertemu di Kraton Kidul, Yogyakarta. YOGYAKARTA -- Partai Golkar menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) VII Partai Golkar di Yogyakarta pada 18-19 November 2014. Rapimnas digelar guna mempersiapkan Musyawarah Nasional (Munas) IX Golkar dengan agenda utama pemilihan ketua umum (ketum). Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie berharap proses persaingan untuk memperebutkan posisi ketum dalam Musyawarah Nasional IX partai berlambang beringin itu berlangsung secara fair. "Kita (kader Partai Golkar) harus berani membangun demokrasi yang fair dengan menonjolkan prinsip persaingan yang sportif," kata Ical, sapaan akrab Aburizal saat membuka Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta, Selasa (18/11). Demokrasi yang fair dan sehat, menurut dia, dapat dikatakan berhasil hanya apabila kader yang kalah kemudian juga dapat mendukung sepenuhnya kader yang menang. "Yang menang juga harus memegang prinsip 'menang tanpa ngasorake' (menang dengan tidak menunjukkan kesombongan). Itu penting untuk kebesaran Partai Golkar," ujar Ical. Saat ini, terdapat sedikitnya tujuh bakal calon ketum Partai Golkar, antara lain Agung Laksono, Hajriyanto Thohari, Agus Gumiwang, Priyo Budi Santoso, Zainuddin Amali, MS Hidayat, dan Airlangga Hartanto. Ical diprediksi bakal kembali maju mencalonkan diri sebagai ketum Golkar periode selanjutnya. Tokoh senior Partai Golkar sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menilai, Partai Golkar perlu melakukan regenerasi kepemimpinan agar tetap menjadi partai besar. "Periode kepemimpinan di Partai Golkar adalah lima tahunan, setelah satu periode berakhir perlu ada regenerasi kepemimpinan," kata Sultan usai bertemu dengan calon ketum Partai Golkar Priyo Budi Santoso. Sultan dan Priyo Budi Santoso melakukan pertemuan tertutup di kediaman Sultan di Kraton Kidul, Yogyakarta, pada Senin (17/11) malam 270

mulai pukul 22.30 WIB. Sultan mendorong kader muda potensial agar diberikan kesempatan untuk memimpin Partai Golkar. Sementara itu, Priyo Budi Santoso hanya tersenyum ketika disinggung apakah pertemuan tertutup itu menunjukkan dukungan dari Sultan terhadap dirinya yang maju sebagai calon ketum Partai Golkar. "Dalam pertemuan itu, saya dan Sultan hanya membicarakan berbagai permasalahan bangsa secara nasional. Bicara Partai Golkar malah sedikit sekali," kata Priyo. Pengamat Politik dari Saiful Mujani Research and Consulting, Djayadi Hanan, menyarankan agar Golkar meniru PDI Perjuangan yang banyak membuka ruang bagi kader muda untuk memimpin. Djayadi mencontohkan kesuksesan PDIP dengan melahirkan pemimpin, seperti Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, Tri Rismaharini di Surabaya hingga Presiden Jokowi. Kalau diperhatikan di Golkar figur-figur mudanya kan belum. Tokoh-tokoh di Golkar saat ini justru masih orang-orang yang masih berkaitan dengan orde baru, kata Djayadi. Meski demikian, menurut Djayadi, berarti Golkar tidak memiliki kader- kader muda potensial. Sebagai partai yang dewasa berpolitik, menurut Direktur Eksekutif SMRC ini, justru Golkar punya banyak kader-kader muda yang potensial. Hanya, saat ini kepengurusan di Golkar, menurut dia, tengah terjadi oligarki kepemimpinan yang menghalangi kader-kader muda untuk unjuk gigi. Itu lah problem utama di Golkar yang harus diselesaikan, ucap Djayadi. n c01/c08 ed: muhammad fakhruddin

REPUBLIKA -- Sabtu, 23 Agustus 2014 Halaman : 9 Penulis : c54/c87, Irfan Fitrat, Erdy Nasrul Ukuran : 3605 bytes Koalisi Merah Putih Klaim Solid Keretakan koalisi pendukung Prabowo-Hatta diyakini akan terjadi dalam waktu dekat. JAKARTA Harapan par tai Koalisi Merah Putih pendukung pasangan caprescawapres Prabowo Subianto- Hatta Rajasa tidak terpenuhi di Mahkamah Kontitusi (MK). Majelis hakim kontitusi pada Kamis (21/8) telah menolak seluruh permohonan Prabowo-Hatta. Tapi, pascaputusan MK, barisan partai dalam Koa lisi Merah Putih masih menyatakan solid. Wakil Ketua Umum DPP Par tai Golkar Fadel Muhammad mengatakan, partainya menghargai dan menghormati ke putusan mahkamah. Ia meng indikasikan putusan itu tidak mengubah posisi Partai Golkar. Kami tetap di Koalisi Me rah Putih, solid, ujar Fadel, ke pada Republika, Jumat (22/8). Dengan berada di dalam koalisi Merah Putih, konsekuensinya Partai Golkar akan berada di luar pemerintah. Fadel menilai, partainya sudah siap untuk berada pada posisi itu. Tidak ada masalah di luar dan di dalam pemerintahan. PDIP (PDI Perjuangan) pun dulu seperti itu, kata man tan menteri Kelautan dan Perikanan itu. 271

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah pun menga takan, partainya masih mempunyai tugas ke depan. Semua siap ke depan untuk menyongsong kehidupan politik yang lebih baik, ujarnya, kemarin. Menurut Fahri, PKS akan te tap berada di koalisi Merah Putih. Ia pun mempunyai keyakinan partai lain akan tetap solid memegang komitmen untuk tetap berada dalam koa lisi tersebut. Ia mengata kan, pimpinan partai Koalisi Me rah Putih pun sepakat un tuk tetap ber satu. Semua ha dir menyata kan sikap yang sa ma. Semua menerima (putus an MK). Se mua siap, kata Fahri. Juru Bicara Tim Perjuangan Merah Putih Ali Mochtar Ngabalin, kemarin, menyampaikan pesan dari Prabowo. Kita tidak berhenti, tapi inilah awal dari sebuah perge rakan awal, sebuah tantangan baru kita, awal dari kita me mulai melakukan konsolida si, ujar dia selepas menjadi pem bicara dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (22/8). Koalisi Merah Putih, menu rut Ngabalin, sudah siap menjadi kekuatan penyeimbang, baik di parlemen ataupun di luar pemerintahan. Ia mengingatkan, kekuasaan itu memiliki kecenderungan untuk koruptif dan otoriter. Ia me nilai, pemerintahan ke depan pun tidak mustahil akan masuk ke dalamnya. Karena itu, harus ada kekuatan penyeimbang, ujar politikus Partai Golkar itu. Ketua Umum PAN Hatta Ra jasa juga sempat memaparkan komitmennya untuk tetap bersama Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PPP, dan PBB, dalam koa lisi Merah Putih. Kita akan tetap bersama- sama, im buhnya di Jakarta, seusai bertemu pimpinan koalisi di salah satu hotel di Jakarta, Jumat (22/8) dini hari WIB. Sekretaris Jenderal PAN Taufik Kurniawan menyatakan, pertemuan pimpinan koalisi bagian dari konsolidasi. Intinya, penegasan Koalisi Merah Putih konsisten ber ada di luar pemerintahan. Dia membantah isu yang beredar bahwa PAN akan bergabung dalam koalisi Jokowi- JK. Sudah jelas keputusannya, PAN tetap dalam Koalisi Merah Putih, kata Taufik Pengamat politik Lingkar Madani Indonesia (Lima Indonesia) Ray Rangkuti berpandangan, keretakan dalam tubuh Koalisi Merah Putih akan terjadi dalam waktu dekat. Menurut Ray, koalisi yang berlandaskan kepentingan pragmatis sangat mudah sekali goyah. Saya percaya, dalam hitungan bulan akan retak karena basisnya isu, kata Ray. Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito menambahkan, kekuatan Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta ting gal 40 persen. Ikatan mereka tidak kuat, kata Arie. c54/c87 ed: andri saubani REPUBLIKA -- Kamis, 14 Agustus 2014 Halaman : 4 Penulis : elba damhuri / Muhammad Iqbal Ukuran : 4362 bytes Ical Minta Calon Ketum Taat Aturan 272

JAKARTA -- Politisi senior Partai Golkar MS Hidayat telah mendeklarasikan diri sebagai calon ketua umum partai berlambang beringin. Hidayat mengaku tidak memusingkan, apakah musyarawah nasional Golkar untuk memilih ketua umum dihelat pada 2014 atau 2015."Jadi, keinginan Pak Ical (Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie) itu para calon yang akan mengikuti munas diminta menaati keputusan partai," kata MS Hidayat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (13/5). Pada prinsipnya, lanjut Hidayat, dia tidak ingin berbenturan dengan regulasi atau aturan yang ditetapkan partai. Sekarang 2015, andai kata dipercepat, saya ikut ketentuan," kata Hidayat yang juga menjabat sebagai menteri perindustrian itu. Terkait pencalonannya, Hidayat mengaku telah memperoleh restu dari Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie. "Saya minta izin baik-baik. Dan kemudian beliau mengizinkan dan beliau minta agar mengikuti aturan yang sudah diputuskan oleh DPP," kata Hidayat. Jika terpilih, Hidayat mengaku akan melaksanakan reorganisasi, regenerasi, hingga revitalisasi, agar program-program Golkar lebih realistis dan tajam. Mantan jaksa agung Marzuki Darussman menilai, deklarasi pencalonan MS Hidayat sebagai ketua umum Partai Golkar tidak ada sangkut pautnya dengan kisruh internal partai itu. Menurut Marzuki, selaku Ketua Tim Sukses MS Hidayat, pencalonan Hidayat sebagai ketua umum partai berlambang Pohon Beringin itu telah dirancang dan dipersiapkan sejak lama. Pencalonan Pak MS Hidayat adalah terkait pengambilalihan partai. Kita tidak berseteru dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, kata Marzuki dalam siaran pers kepada Republika, Rabu (13/8). Hidayat yang mengawali kariernya sebagai pengusaha adalah seorang aktivis politik sejak awal berdirinya Partai Golkar. Berbagai aspek politik, katanya, telah melekat dalam pribadi Hidayat. Marzuki mengaku optimistis sebagai tokoh senior Hidayat akan mampu mengayomi dan mengakomodasi berbagai kepentingan di internal Partai Golkar. Selain Hidayat, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar sekaligus Wakil Ketua Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) Hajriyanto Thohari, mengaku siap menjadi calon ketua umum. Hajriyanto tidak menghiraukan waktu munas. "Kalau saya kelihatannya sudah siap maju sebagai calon ketua umum tahun 2014, saya akan pilih 2014. Tapi, kalau siapnya saya ini 2015, ya saya akan condong memilih yang 2015," kata Hajriyanto. Sebagai persiapan, Hajriyanto bersama rekan-rekannya tengah memetakan semua aspek. Ia menjalaninya dengan rileks. "Kita akan maju santai, karena slogan kita ber-Golkar dengan gembira. Selama ini kita melihat ber-Golkar ini tidak gembira." 273

Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menegaskan, tidak ada perdebatan lagi ihwal munas partainya, sebab mayoritas Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar sudah meminta munas dilakukan tahun depan. "Sebanyak 31 dari 33 DPD Golkar tingkat provinsi menyatakan secara tertulis mendukung pelaksanaan munas 2015, jadi sebetulnya tidak ada perdebatan lagi," kata Doli. Dia mengatakan, saat ini ada dua penafsiran terkait Munas Golkar, yakni apakah munas kesembilan dilakukan sesuai AD/ART yakni tahun ini, atau sesuai rekomendasi khusus bahwa munas kesembilan dilakukan 2015. Dia menekankan, baik ketentuan AD/ART maupun rekomendasi khusus itu kedua-duanya merupakan produk dari munas. Untuk menentukan mana yang lebih kuat pengaruhnya, maka harus dilakukan munas luar biasa. "Sedangkan munas luar biasa itu baru bisa terlaksana atas permintaan 2/3 DPD tingkat provinsi. Masalahnya 31 DPD sudah meminta munas dilakukan 2015," kata dia menegaskan. Dia juga menyerukan bahwa Ketua Umum Aburizal Bakrie telah menegaskan bahwa pemberlakuan munas tahun depan bukanlah kemauan pribadi melainkan sebuah amanat yang telah disampaikan. Sebelumnya sejumlah kader Golkar lintas generasi mendorong munas diberlakukan tahun ini sesuai jadwal, karena mereka menilai posisi Golkar sudah keluar dari jalurnya. Mereka juga menilai kepemimpinan Ical di Golkar sangat otoriter, contohnya dengan memecat kader hanya karena mendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dalam Pilpres 2014. , elba damhuri/antara ed: muhammad fakhruddin REPUBLIKA - Rabu, 25 Februari 2015 Halaman : 3 Penulis : c02/c05/Bambang Noroyono Ukuran : 3261 bytes

Konflik Golkar Dikembalikan Ke Mahkamah Partai

JAKARTA -- Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Selasa (24/2), menolak mengadili konflik dualisme Partai Golkar. Penolakan itu merupakan putusan sela pengadilan, menjawab eksepsi tergugat dari pengacara kepengurusan Golkar Munas Ancol, atas penggugat Golkar Munas Bali.

Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Oloan Harianja mengatakan, pengadilan tingkat satu itu tak punya kompetensi menjadi pengadil dualisme partai. Dalam runutan putusan selanjutnya, hakim memutuskan, mengembalikan penyelesaian kepengurusan Golkar ke mekanisme partai.

“Dengan ini menyatakan, gugatan atas penggugat tidak dapat diterima,” kata Hakim Oloan, di PN Jakarta Barat. Ditambahkan olehnya, dengan putusan tersebut, hakim menerima eksepsi tergugat dan membebankan biaya peradilan sebesar Rp 1,2 juta kepada penggugat.

Dijelaskan Hakim Oloan, putusan majelis berpijak pada ketentuan UU Partai Politik Nomor 2/2011. Terutama pasal 32 yang menyatakan 274

sengketa partai harus diselesaikan di internal partai, berupa mahkamah partai atau apa pun namanya. Proses itu, harus dilalui sebelum diajukan ke pengadilan.

Oloan menambahkan, saat ini proses pengadilan di internal Partai Golkar sedang berlangsung. Hal tersebut dibuktikan hakim dengan adanya surat berkop Mahkamah Partai Golkar (MPG), yang meminta PN Jakarta Barat tidak memutuskan perkara Golkar, lantaran MPG masih bersidang.

Menanggapi putusan itu, Partai Golkar hasil Munas Bali akan menempuh jalur kasasi di Mahkamah Agung (MA). “Saya ikut hadir dalam rapat internal DPP Partai Golkar (hasil Munas Bali) pascaputusan sela PN Jakarta Barat. Golkar akan menempuh kasasi ke Mahkamah Agung,” kata kuasa hukum Golkar kubu Aburizal Bakrie, Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan.

Putusan ini bermula dari gugatan Ketua Umum Golkar Munas Bali, Aburizal Bakrie (ARB), terhadap Ketua Umum Golkar Munas Ancol, Agung Laksono. Kedua pucuk pemimpin partai ini saling berebut soal kepengurusan Golkar yang sah.

Agung pun menggugat persoalan serupa di PN Jakarta Pusat. Putusan di PN Jakarta Pusat pun sama, menolak gugatan Agung, dan mengembalikan penyelesaian konflik tersebut ke MPG. Pascaputusan PN Jakarta Pusat tersebut, Ketua MPG Golkar, Rabu (18/2), memutuskan untuk bersidang. Putusan MPG, akan dibacakan pada Rabu (25/2).

*Munas bersama

*Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, pihaknya telah mengirimkan surat permohonan intervensi kepada Mahkamah Partai Golkar. Ini bertujuan untuk memutuskan penyelenggaraan munas bersama antara kedua kubu yang berselisih di internal Partai Beringin.

“Kami (jajaran Wantim) telah menyiapkan surat yang akan disampaikan kepada Mahkamah Partai Golkar dalam bentuk permohonan intervensi terhadap situasi yang sudah berjalan antara pengurus Bali (kubu Aburizal Bakrie) dan Ancol (kubu Agung Laksono),” kata Akbar. Akbar mengatakan, melalui surat itu, Dewan Perangan memohon Mahkamah Partai Golkar bisa mempertimbangkan mengeluarkan putusan terkait perlunya penyelenggaraan munas bersama. Dewan Pertimbangan memandang penyelenggaraan munas bersama adalah jalan tengah terbaik dan tercepat untuk menyelesaikan persoalan internal Golkar secara tuntas. n c02/c05 ed:muhammad hafil Kamis , 26 February 2015, 13:00 WIB Saksi Ungkap Politik Uang

275

JAKARTA — Sidang Mahkamah Partai Golkar di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta, kembali digelar pada Rabu (25/2). Dalam persidangan, keterangan saksi dari kubu Aburizal Bakrie (Ical) menyatakan adanya pemberian uang untuk mengikuti musyawarah nasional di Ancol, Jakarta. Kesaksian serupa sempat disampaikan saksi pihak pemohon (Agung Laksono), Achmad Goesra, pada 17 Februari lalu. Mantan bendahara umum Partai Golkar itu mengaku mendapat transfer uang miliaran rupiah setelah meneken surat pernyataan akan mendukung Aburizal Bakrie sebagai ketua umum pada Munas Bali.

Pada persidangan mahkamah kemarin, satu dari 12 saksi yang diajukan kubu Ical menghadirkan Ketua Harian DPD Partai Golkar, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat, Daliyus K. Dia mengaku menghadiri munas di Bali dan Ancol. Dalius pun mengaku mendapatkan pesangon dari masing-masing penyelenggara munas.

"Dari Munas Bali saya dikasih ‘ongkos’ dari Padang ke Bali," kata dia, saat bersaksi di sidang Mahkamah Partai Golkar. Ia melanjutkan, usai menghadiri Munas Bali pada 30 November sampai 4 Desember 2014, dia pun kembali dihubungi penyelenggara Munas Ancol. Akan tetapi, Daliyus enggan mengungkapkan siapa yang menghubunginya ketika itu. Dia menjelaskan, perintah datang ke Munas Ancol datang dari salah satu petinggi Golkar Munas Ancol. Kehadirannya ke Munas Ancol itu pun, ujarnya, dibekali uang. "Kita hadir di Ancol karena dapat uang lah. Enggak usah terlalu dibahas, kan kita semua saudara," ujar Daliyus di hadapan hakim mahkamah. Setelah mendapatkan uang, Daliyus membuat surat keputusan Munas Ancol yang menghasilkan terpilihnya Agung Laksono tanpa diteken sekretaris. Dia mengklaim surat tersebut tidak sah. Oleh karena itu, dia pun mengakui kehadirannya di Munas Ancol juga tidak sah. Pengakuan Daliyus ini pun membingungkan anggota Mahkamah Partai Golkar Andi Mattalata. Dia pun tertawa mendengarkan kesaksian Daliyus. Menurut Andi, sebagai saksi dari kubu Munas Bali, Daliyus harusnya memberatkan kubu Munas Ancol. Namun, ujarnya, kesaksiannya juga mengungkap praktik politik uang di Munas Bali. "Jadi, Anda ini kanan kiri oke. Tapi, yang di Bali, okenya resmi," kata Andi. Daliyus pun menjawab, "Iya". Kesaksian serupa disampaikan dari saksi pihak pemohon (Agung Laksono), Achmad Goesra, pada 17 Februari lalu. Mantan bendahara umum Partai Golkar itu mengaku mendapat transfer uang senilai Rp 1,5 miliar setelah meneken surat pernyataan akan mendukung Aburizal Bakrie sebagai ketua umum pada Munas Bali. Goesra pun mengaku mendapati uang tersebut di rekening DPD Golkar . Merasa ada yang janggal, Goesra lantas mundur dari kepesertaan Munas Bali. Pada sidang mahkamah kemarin, kesaksian Goesra dibantah Ketua Steering Comitee Nurdin Halid. Salah satu termohon dalam sidang mahkamah tersebut membantah tudingan jika dia telah mentransfer uang senilai Rp 1,5 miliar ke DPD Golkar Papua. Dia juga membantah tuduhan pelarangan beberapa fungsionaris partai yang punya hak suara dalam Munas Bali. 276

Nurdin mengancam akan memidanakan kepengurusan Golkar Munas Ancol karena telah menuduhnya menyuap. Nurdin meminta agar Ketua Umum Golkar Munas Ancol Agung Laksono menghadirkan saksi-saksi terkait tuduhan tersebut. Eks ketua umum PSSI itu mengatakan, ancaman pidana itu bisa dianulir jika kubu Agung Laksono sanggup menghadirkan saksi-saksi penerima sogokan dalam sidang mahkamah agar bisa dikonfrontasi. "Ini fitnah. Pencemaran nama baik saya," kata dia di dalam sidang. DitundaSementara itu, Putusan sidang Mahkamah Partai Golkar ditunda. Ketua mahkamah Muladi mengatakan, majelis hakim merencanakan untuk membacakan keputusan final sidang pada pekan depan. "Kita (majelis hakim) merencanakan membuat keputusan minggu depan," kata Muladi, saat sidang Mahkamah Partai Golkar. Ungkapan Muladi mengubah rencana pembacaan putusan yang direncanakan kemarin. MP Golkar bersidang sudah tiga kali. Sidang tersebut untuk memutus perkara dualisme partai tersebut. Pada sidang ketiga, hakim mahkamah berencana membacakan putusan. Hanya, hadirnya kepengurusan kubu Aburizal Bakrie membuat putusan ditunda. Selama ini Golkar Munas Bali kerap menolak hadir dalam sidang mahkamah. Pada sidang ketiga, kepengurusan Golkar Munas Bali hadir. Mereka antara lain Fadel Muhammad, Aziz Syamsuddin, Nurdin Khalid, Theo L Sambuaga, serta Idrus Marham. Sementara itu, Ketua Umum Golkar Munas Bali Aburizal Bakrie mewakilkan kehadirannya kepada kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Para termohon yang menghadirkan 12 saksi mendesak mahkamah untuk menunda putusan sidang. Para saksi merupakan perwakilan ketua-ketua DPD I dan II Golkar. Para saksi diajukan termohon untuk menyanggah tuduhan kepengurusan Golkar Munas Ancol terkait adanya paksaan agar memilih Aburizal Bakrie sebagai pemimpin partai tersebut. ed: a syalaby ichsan

REPUBLIKA - Selasa, 17 Maret 2015 Halaman : 4 Penulis : Mursalin Yasland Ukuran : 3452 bytes

Konflik Golkar, Anak 'Kudeta' Posisi Bapak

Politik tak mengenal istilah kawan dan lawan. Yang ada hanyalah kepentingan. Kisruh di tubuh Partai Golkar antara kubu Ketua Umum DPP hasil Munas Bali, Aburizal Bakrie, dengan Ketua Umum DPP hasil Munas Ancol, Agung Laksono, turut berdampak kepada perseteruan Heru Sambodo dengan ayahnya, Dianis Thabranie.

Heru merupakan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Kota Bandar Lampung. Sejak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan surat yang mengesahkan Golkar pimpinan Agung Laksono, Heru terpaksa meninggalkan pilihan politik bapaknya yang berkiblat kepada kubu Ical.

Pilihan politik tersebut bertepuk kedua tangan. Agung Laksono menunjuknya untuk duduk di jabatan Ketua Umum DPD I Golkar Lampung 277

Munas Ancol. Dia menjabat sebagai pelaksana tugas untuk menggantikan bapaknya, Alzier Dianis Tabranie.

Cikal bakal perbedaan politik bapak-anak ini sudah terlihat menjelang pemilihan anggota legislatif lalu. Heru yang menjabat Ketua DPD II Golkar Lampung, selalu berseberangan dengan bapaknya selaku Ketua DPD I. Saat Munaslub DPD II Golkar Lampung dihelat, Heru terjegal. Posisinya digantikan Toni Eka Chandra. Namun, Heru masih duduk di kursi DPRD Kota Bandar Lampung, untuk periode yang kedua.

Alzier yang dikenal sangat sayang kepada anak-anaknya, tidak terpengaruh dengan langkah politik mereka. Menurut dia, urusan politik adalah politik, bukan untuk memisahkan anggota keluarga. Dia tetap mendorong Heru untuk menuju dunia politik. Alzier ingin menyumbangkan pengalamannya yang sudah malang melintang di kancah politik, termasuk menjadi calon gubernur yang gagal dilantik di era Presiden Megawati Soekarnoputri pada Desember 2002.

Meski demikian, sikap Alzier kukuh. Dia yakin, kader, pengurus, dan anggota DPRD se-Lampung tetap solid menyikapi perbedaan yang terjadi di tubuh partai berlambang beringin tersebut, baik nasional maupun lokal.

Menurutnya, semua kader, pengurus, dan anggota dewan tetap mendukung kepemimpinan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketua umum.

“Sampai saat ini, kami, kader dan pengurus, termasuk anggota dewan dari Golkar masih solid mendukung ARB,” kata Alzier Dianis Thabranie kepada Republika, Senin (16/3). Ia mengatakan, surat Menkumham bukan surat keputusan, apalagi penetapan kubu Agung Laksono yang sah. “Jangan seolah-olah surat Menkumham itu sudah mendapat pengesahan dari pemerintah (kubu Agung Laksono),” katanya. Apalagi, kata dia, DPP PG sudah mengajukan gugatan hukum ke pengadilan negeri terkait persoalan ini.

Heru mengambil pilihan berbeda. Atas sikapnya itu, Agung Laksono pun menghadiahi Heru kursi empuk DPD I Lampung. Menurut DPP versi Agung, ujarnya, Ketua Umum DPD I PG Lampung (Alzier), tidak mampu menjalankan roda organisasi dengan baik. “Mungkin DPP melihat DPD I tidak ada program dan grand desain untuk membesarkan partai, yang ada memecat kader berprestasi,” katanya.

Dia mengaku akan memperkuat kepengurusan DPD I setelah keluarnya surat Menkumham. Ia mengatakan, nama-nama yang akan masuk kepengurusan DPD I masih dalam pembahasan. Yang jelas, ungkap dia, nama-nama coordinator daerah kabupaten/kota akan masuk dalam jajaran pengurus. “Sudah banyak yang ingin merapat ke kubu Agung,” katanya.

278

Adanya upaya 'invasi' dari sang anak, tidak membuat Alzier diam. “Seluruh kader dan pengurus, apalagi anggota dewan dari Golkar, tetap setia dan solid mendukung ARB,” katanya. n ed: a syalaby ichsan

REPUBLIKA - Senin, 23 Maret 2015 Halaman : 4 Penulis : agus raharjo Ukuran : 1429 bytes

Konflik Golkar Berpotensi Lahirkan Parpol Baru

JAKARTA -- Konflik Partai Golkar dinilai berpotensi dapat menimbulkan partai baru. Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto menjelaskan, hal yang sama sudah pernah terjadi pada partai berlambang pohon beringin ini sebanyak empat kali.

Menurutnya, dualisme kepengurusan Golkar belum memperlihatkan tanda-tanda islah antara kubu Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono. “Golkar sudah biasa berkonflik, saat ini sudah menghasilkan empat partai, kalau konflik sekarang melahirkan partai baru itu wajar,” kata Nico, Sabtu (21/3).

Dengan pengalaman itu, imbuh Nico, menjadi tantangan bagi Golkar untuk tetap mempertahankan eksistensinya. Selama ini, ketika Golkar tengah konflik yang berujung pada perpecahan, pilihannya hanya dua, turun perolehan suara atau tetap mempertahankan. Ini jadi tantangan tersendiri bagi kedua kubu yang berkonflik.

“Politisi Golkar harus sadar mereka selalu terlibat konflik internal yang justru merugikan mereka sendiri,” kata dia. Dua kubu kepengurusan Golkar memang tidak terlihat akan islah untuk menyelesaikan konflik di internal mereka.

Pascaputusan sidang Majelis Pertimbangan Partai Golkar, juga tidak membuat dua kubu yang ada di Golkar kembali bersatu. Bahkan, jika salah satu pihak sudah mendapat surat keputusan Menteri Hukum dan HAM, maka pihak lainnya akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). N agus raharjo ed: a syalaby ichsan

REPUBLIKA - Senin, 20 April 2015 Halaman : 4 Penulis : Agus Raharjo Ukuran : 3038 bytes

Jimly Minta Jangan Salahkan Yasonna

JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengingatkan semua pihak untuk berhenti menyalahkan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly. Menurutnya, Yasonna sudah berusaha untuk membuat rujuk kedua pihak yang bertikai di internal Partai Golkar. 279

Jimly mengatakan, para pihak yang bertikai memiliki persepi masing- masing terkait dengan putusan hukum soal konflik Golkar. Menurutnya, biarkan pengadilan yang akan memutuskan siapa yang dianggap benar dalam dualisme kepengurusan partai berlambang pohon beringin ini. “Jangan salahkan Menkumham. Ini masalah internal partai yang sedang berkonflik,” kata Jimly dalam keterangan pers yang diterima Republika, Ahad (19/4).

Jimly menambahkan, islah menjadi jalan yang paling bermartabat untuk dualisme kepengurusan Partai Golkar. Namun, kedua kubu lebih memilih untuk menyelesaikan perselisihan internal ini dengan jalur hukum di pengadilan. Jimly mengungkapkan, semua pihak harusnya menunggu hasil putusan tetap di pengadilan karena perselisihan Golkar sudah diserahkan ke jalur hukum.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini menambahkan, kedua pihak dapat mendesak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mempercepat pengeluaran putusan. Namun, diyakini Jimly, putusan PTUN juga tidak akan bisa memuaskan pihak yang kalah. “Maka akan ada banding, lalu kasasi, intinya akan lama juga,” kata dia.

Sebab itu, kata Jimly, biarkan mereka yang berkonflik menikmati konfliknya. Tidak perlu diganggu. Dalam rapat kerja antara Komisi III DPR RI dengan Menkumham beberapa waktu lalu, Yasonna Laoly dicecar banyak pertanyaan soal SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono hasil munas Jakarta.

Komisi III berpendapat bahwa SK pengesahan yang dikeluarkan Menkumham dasarnya adalah menerjemahkan secara keliru hasil putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG). Ketua Komisi III yang juga kader Golkar kubu Aburizal Bakrie, Aziz Syamsuddin, bahkan berulang kali meminta kepada Menkumham untuk menunjukkan bunyi amar putusan sidang MPG yang memenangkan kubu Agung Laksono.

“Tolong ditunjukkan karena saya tidak menemukan satu kalimat pun dari putusan Mahkamah Partai yang mengakui pengurus munas Ancol atau pun munas Bali,” kata Aziz. Ketika itu, Yasonna mengatakan, penerbitan SK pengesahan kepengurusan Agung Laksono didasarkan fakta yuridis hasil sidang MPG yang dipahaminya.

Menurutnya, MPG sudah memutuskan mengakui kepengurusan Golkar hasil munas Ancol dan memberikan empat rekomendasi. Yaitu, menghindari pihak yang menang untuk menguasai penuh, merehabilitasi kader yang dipecat, membuat kepengurusan bersama, dan kubu yang kalah tidak membentuk partai baru.

Yasonna mengakui kalau MPG tidak mencapai kesepahaman. Namun, bukan berarti tidak menghasilkan keputusan. Menurutnya, ini adalah soal cara melihat yang berbeda dari hasil sidang MPG. “Karena sekarang 280

sudah berlanjut di pengadilan, mari kita lanjutkan di pengadilan,” kata Yasonna menegaskan. n ed: a syalaby ichsan

REPUBLIKA - Senin, 11 Mei 2015 Halaman : 27 Penulis : Harun Husein Ukuran : 9508 bytes

Golkar Menuju Zero Sum Game?

*Akbar Tandjung mengatakan Munaslub merupakan satu-satunya solusi bagi Golkar.*

Perseteruan dua kubu Partai Golkar yang kian panjang dan lebar, membuat ketar-ketir banyak kalang an. Jika tak segera direm, konflik tersebut dikhawatirkan akan melampaui batas waktu pencalonan kepala daerah, sehingga bisa membuat Partai Beringin ketinggalan kereta pesta demokrasi lokal tahun ini.

“Saya akan mengutuk jikalau konflik itu ternyata tidak mengikutkan Golkar dalam pilkada,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I Partai Golkar Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, dalam apel akbar yang dihadiri belasan ribu kader Golkar, di Makassar, akhir April lalu, seperti dikutip harian Fajar. Wajar belaka jika Syahrul yang juga gubernur Sulsel itu meradang. Sebab, di Sulsel ada 11 kabupaten yang menggelar pilkada tahun ini. Yaitu, Gowa, Maros, Bulukumba, Barru, Luwu Utara, Luwu Timur, Tana Toraja, Toraja Utara, Pangkajene Kepulauan, Soppeng, dan Kepulauan Selayar. Dan Golkar, yang selalu menjadi pemenang di Sulsel, terancam tak bisa mengajukan calon.

Berkata Syahrul, “Selesaikan konflikmu di Jakarta. Konflik itu hanya akan merugikan Golkar.”

Syahrul pun seperti mengisyaratkan untuk bersiap terhadap kemungkinan terburuk. Terlihat dari pernyataannya bahwa kader Golkar bisa saja mengendarai partai lain dalam pilkada. “Jangan galau. Yang penting [kader] Golkar ikut,” tandasnya pada kesempatan terpisah (Republika, 4/4).

Seruan kedua kubu agar para calon kepala daerah tetap optimistis bahwa Golkar akan tetap ikut pilkada, kini memang tak cukup lagi. Di tengah ketidakpastian, kader Golkar yang terkenal pragmatis, kini mulai membuka emergency exit, yaitu menggunakan partai lain sebagai kendaraan untuk mencalonkan diri.

Ada dua situasi penting yang mem buat para kader Golkar cemas. Pertama, soal waktu. Pendaftaran calon kepala daerah — berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2/2015 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada — dilaksanakan pada 26-28 Juli. 281

Ini waktu memang masih dua bulan lebih. Tapi, sudah terbilang sempit. Karena, kebanyakan partai –termasuk Golkar— harus berkoalisi untuk mengajukan pasangan calon, sebab tak ada partai yang benar-benar besar. Dan proses penjajakan itu belum tentu sebentar.

UU No 8/2015 tentang Pilkada mensyaratkan pasangan calon diajukan oleh partai atau gabungan partai yang meraih minimal 20 persen kursi DPRD, atau 25 persen suara dalam pemilu legislatif. Angka ini di atas rata-rata perolehan kursi dan suara partai untuk tingkat nasional.

Kedua, soal kepengurusan mana yang bisa mengajukan calon. Draf PKPU tentang Pencalonan menyatakan jika kepengurusan masih berkonflik secara hukum (Golkar maupun PPP), maka KPU tidak akan menerima pengajuan calon dari kubu mana pun yang bertikai, sampai turun keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Padahal, untuk mencapai putusan yang inkracht, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Peneliti CSIS Philip Vermonte mengatakan, adanya ketentuan baru di Pasal 42 UU No 8/2015 tentang Pilkada, bahwa pendaftaran pasangan calon gubernur, bupati, dan wali kota harus disertai SK pengurus partai tingkat pusat tentang persetujuan atas calon yang diusulkan, kian mempersulit partai-partai.

“Di UU sebelumnya ketentuan ini tidak ada. Tapi di UU Pilkada yang baru, ketentuan ini muncul, karena adanya koalisi (KMP dan KIH). Itu sebenarnya bagus, biar koalisi dari pusat hingga daerah lebih predictable, tidak seperti sekarang yang belang-bentong. Tapi, sekarang membuat mereka kesulitan sendiri, karena SK dari DPP mana yang nanti dipakai,” katanya.

*Munaslub *

Merupakan kerugian besar, kata Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tandjung, jika Golkar secara institusional tak bisa mengajukan calon dalam pilkada. Sebab, itu bisa membawa konsekuensi Golkar terpelanting dari de retan partai papan atas. “[Tidak ikut nya Golkar dalam pilkada] akan berpengaruh pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019,” katanya dalam konferensi pers awal Mei lalu.

Pilkada kali ini memang punya nilai besar secara politik. Sebab, pilkada kali ini sama saja dengan separuh pemilu. Pilkada serentak digelar di 269 daerah atau 49,63 persen dari total 542 daerah. Ke-269 pilkada itu terdiri atas delapan pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota.

Tak ikutnya Golkar, bisa jadi bakal menciptakan sirkulasi elite yang dramatis. Karena, selama ini Golkar adalah penguasa daerah. Menurut Philip Vermonte, sebuah data menyebutkan kader Golkar menduduki 160 282

kursi kepala daerah di seluruh Indonesia, baik sebagai gubernur, bupati, wali kota, atau wakilnya.

Sebelumnya, berbagai cara sudah ditempuh untuk menyelesaikan konflik ini. Mulai dari cara halus seperti perundingan islah, cara kasar dengan mengerahkan massa untuk menduduki kantor DPP dan ruang fraksi, Mahkamah Partai, hingga bolak-balik ke tiga pengadilan yaitu PN Jakbar, PN Jakpus, dan PN Jakarta Utara. Namun, belum kunjung selesai.

Sialnya, saat konflik Golkar masih berlangsung di meja hijau, situasi bertambah runyam karena Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang berasal dari PDIP, tiba-tiba menerbitkan surat ke pu tusan mengesahkan kepengurusan kubu Munas Ancol yang pro Jokowi. Maka, ruang pengadilan yang disambangi pun bertambah, karena kubu Munas Bali menggugat SK Kemenkumham ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Buntutnya, pada 1 April lalu, PTUN menurunkan putusan sela, yang menunda pemberlakuan SK Menkumham sampai ada keputusan yang inkracht. Dan, sejak hari itu, yang berlaku adalah kepengurusan Golkar hasil Munas Riau 2009. Karena berbagai cara sudah ditempuh, Akbar Tandjung memandang kartu terakhir yang tersisa agar Golkar selamat ikut pilkada adalah Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Dia mengusulkan Munaslub digelar Mei ini.

Akbar mengatakan Munaslub merupakan satu-satunya cara, karena proses hukum akan makan waktu lama, dan proses islah sudah tak mungkin lagi. “Keadaan partai sudah genting dan memaksa, solusinya adalah Munaslub,” kata Akbar.

Tapi, sejak dilontarkan, gagasan menggelar Munaslub ini masih dianggap sepi oleh kedua kubu yang bertikai. Antara lain karena mahal di ongkos. Biaya penyelenggaraan Munaslub sekitar Rp 30 miliar. Selain itu, dalam putusan Mahkamah Partai Golkar disebutkan bahwa Munaslub baru digelar pada Oktober 2016. Pertanyaan lainnya, kubu mana yang akan menggelarnya.

Namun, Akbar mengatakan Munaslub bisa tetap digelar kendati salah satu kubu menolak. “Sesuai dengan AD/ART Pasal 30, jika dua pertiga dewan pimpinan daerah hadir, maka Munaslub akan berlangsung,” katanya.

Menurut Pasal 30 tersebut, syarat menggela Munaslub adalah partai dalam keadaan terancam atau menghadapi hal ihwal kegentingan yang memaksa; DPP melanggar AD/ART, atau; DPP tidak dapat melaksanakan amanat Munas sehingga organisasi tidak berjalan sesuai dengan fungsinya.

*Tekanan kepada KPU*

283

Garis mati yang semakin dekat, se mentara konflik belum bisa diprediksi kapan berakhir, membuat KPU kian banyak mendapat tekanan, baik dari kubu Aburizal maupun kubu Agung Laksono. KPU pun bak pelanduk yang terjepit di antara pertarungan dua gajah, yaitu masing-masing kubu Partai Golkar dan koalisi di belakangnya.

Tekanan dari kubu Aburizal dan KMP, misalnya, muncul lewat proses konsultasi PKPU tentang pencalonan. Pada 4 Mei lalu, DPR menggelar pertemuan tertutup dipimpin Wakil Ketua DPR, Fadli Zon; dan dihadiri Ketua Komisi II, Rambe Kamarulzaman; Ke pala Biro Hukum Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto, serta: anggota KPU, Hadar Nafis Gumay.

Rapat itu menghasilkan tiga hal. Pertama, meminta KPU menerima rekomendasi Komisi II: apabila hingga pendaftaran peserta pilkada pada 26-28 Juli berakhir dan belum ada putusan pengadilan yang inkracht, maka partai yang sedang bersengketa dapat menggunakan putusan pengadilan terakhir pada saat itu. Kedua, merevisi UU Pilkada dan UU Parpol untuk memberi payung hukum kepada PKPU tentang pencalonan, agar mengakomodasi putusan pengadilan yang belum inkracht itu. Ketiga, meminta MA dan MK mengeluarkan fatwa soal sengketa partai menjelang pilkada.

Sebaliknya, kubu Agung Laksono pun mengancam akan menguji materi PKPU pencalonan ke Mahkahmah Konstitusi jika kelak disahkan. Sebab, mereka menilai seharusnya KPU tidak memuat klausul yang harus menunggu keputusan pengadilan yang inkracht, tapi mendasarkan pendaftaran kepala daerah berdasarkan SK Kemenkumham.

Persoalan lainnya, putusan inkracht yang dimaksud KPU dalam PKPU tentang Pencalonan itu belum jelas. Apakah gugatan di pengadilan negeri atau PTUN. Direktur Eksekutif Kode Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan kalau yang dimaksud adalah putusan PTUN, maka itu tidak menyelesaikan masalah. Sebab, penyelesaian sengketa partai, seperti dimaksud oleh UU Partai Politik, bukan lah di PTUN, tapi di pengadilan negeri. “Menurut UU Parpol, kalau tidak selesai di Mahkamah Partai, maka diselesaikan di Pengadilan Negeri. Jadi, harus menunggu putusan inkracht perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri, bahkan sampai kasasi ke MA,” katanya.

Jadi, konflik Golkar ini memang ruwet, dan punya banyak efek domino yang terus menciptakan masalah baru. Persoalannya, Golkar –juga PPP— serius mau ikut pilkada atau mau berasyik masyuk dengan konflik, yang kali ini bisa jadi bukan win-win atau win-lose, tapi akan mengarah menjadi kalah jadi abu, menang jadi arang. Zero sum game!

REPUBLIKA - Rabu, 20 Mei 2015 Halaman : 1 Penulis : Mas Alamil Huda/Dessy Suciati Saputri Ukuran : 6472 bytes

Menkumham dan Agung Laksono Ajukan Banding

284

JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dan Ketua Umum Partai Golkar hasil munas Ancol Agung Laksono sama-sama mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada Senin (18/5), majelis hakim yang dipimpin Teguh Setya Bakti dalam persidangan final terkait sengketa kepengurusan Partai Golkar membatalkan Surat Keputusan (SK) Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono.

“Terkait dengan putusan PTUN, Menteri Hukum dan HAM melalui kuasa hokum akan mengajukan banding. Saya ulangi sekali lagi, banding,” kata Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri Kemenkumham Ferdinand Siagian, di gedung Kemenkumham, Jakarta, Selasa (19/5).

Saat mengumumkan banding, Ferdinand duduk berdampingan dengan Ketua DPP Partai Golkar kubu Agung Laksono, Lawrance Siburian. Dalam kesempatan tersebut, keduanya bergantian menyampaikan alasan terkait upaya banding, baik yang dilakukan Menkumham maupun Golkar kubu Agung.

Ferdinand mengatakan, Menkumham bersama kuasa hukum dan para ahli hokum tata negara akan mempelajari putusan PTUN Jakarta untuk menyiapkan memori banding. Dalam diktum putusan PTUN, kata dia, tidak ada putusan yang menyatakan bahwa kepengurusan Golkar dikembalikan pada putusan hasil munas Riau.

Mengenai pilkada serentak yang waktunya semakin dekat, Ferdinand mengatakan, Kemenkumham menyerahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut dia, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan lembaga penyelenggara pemilu tersebut.

Adapun Lawrance mengatakan, kehadirannya di Kemenkumham tak lain karena Golkar kubu Agung Laksono sebagai penggugat intervensi ingin menyampaikan bahwa mereka juga sudah mengajukan banding. “Sudah kami daftarkan dan kami bayar,” kata Lawrance, di kantor Kemenkumham, Selasa (19/5).

Menurut dia, banding sudah diajukan sejak 15 menit setelah putusan majelis hakim PTUN mengabulkan gugatan Golkar kubu Aburizal Bakrie. Sejak putusan dibacakan, kubu Agung merasa banyak kejanggalan yang ada dalam putusan majelis hakim.

Lawrance menilai, putusan majelis hakim ultra petita atau melebihi dari tuntutan yang diminta terkait objek gugatan. Putusan PTUN yang menyatakan kepengurusan partai beringin kembali sesuai SK Menkumham tahun 2009 atau hasil munas Riau dinilai melebihi kewenangan. “Itu keliru. Objek yang diadili itu SK Menkumham 13 Maret 2015. Hakim tidak punya kewenangan itu (menyatakan kembali ke SK 2009),” ujar dia.

285

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, upaya pengajuan banding sebagai bentuk indikasi Agung Laksono dan Menkumham belum merasa kalah. Berdasarkan penilaiannya, kubu Agung masih belum ada keinginan untuk berdamai sehingga upaya banding akhirnya dilakukan.

Hingga saat ini, kata Firman, belum ada titik temu antara kubu Agung dengan kubu Aburizal Bakrie. Keduanya masih merasa menjadi pihak yang seharusnya menjalani roda organisasi partai berlambang pohon beringin tersebut.

Padahal, menurut Firman, kubu Ical sudah berusaha melakukan upaya rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini bertujuan untuk memulihkan hubungan dan menyelesaikan perbedaan antara keduanya. Namun, ibarat gayung tak bersambut, upaya kubu Aburizal masih belum terwujud.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, dia akan memfasilitasi perdamaian kedua belah kubu Partai Golkar. Menurut Kalla, perdamaian antar kedua kubu sangat penting agar Golkar dapat mengikuti pilkada serentak yang akan digelar pada akhir tahun ini.

“Ini tidak bisa diberikan arahan, hanya bisa difasilitasi bagaimana kedua belah pihak. Saya yakin dua-duanya ingin Golkar tetap berperanan hadir di setiap kegiatan, apalagi pilkada. Oleh karena itu, kita lagi cari jalan bagaimana,” kata Kalla, di kantor Wapres, Jakarta.

Kalla mengaku telah berkomunikasi dengan pengurus kedua kubu guna membicarakan permasalahan internal partai. Wapres berharap penyelesaian konflik ini dapat segera dilakukan.

Mengenai upaya banding yang diajukan Menkumham, Wapres menyatakan tak memberikan arahan terkait hal tersebut. Kalla hanya menginginkan agar kedua kubu Golkar dapat bersatu dan kompak terlebih dahulu agar dapat mengikuti pilkada. “Banding atau tidak, itu soal berbeda. Tetapi yang penting bagaimana ini kompak dulu supaya bisa masuk pilkada,” ujarnya.

Mantan ketua umum Partai Golkar Akbar Tandjung mengusulkan digelarnya musyawarah nasional luar biasa (munaslub) guna mengakhiri polemic internal Golkar. Munaslub, kata dia, adalah jalan keluar yang termaktub dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar. “Dengan syarat didukung dua per tiga DPD tingkat I dan didukung juga DPD tingkat II,” kata Akbar.

Akbar melanjutkan, selain bisa mengakhiri kisruh antara Agung dan Abrizal, munaslub merupakan cara agar Golkar bisa mengikuti pilkada. Dalam munaslub tersebut, kader-kader Golkar akan memilih lagi ketua umum partai yang baru. Baik Aburizal dan Agung tetap dipersilakan jika ingin maju lagi menjadi calon. “Dengan syarat, tetap memberi ruang pada 286

anggota Golkar lainnya yang akan mencalonkan diri menjadi ketua umum,” ujar Akbar.

Pengamat politik Muhammad Qodari menilai kubu Agung dan Aburizal tidak bisa mendaftarkan diri untuk ikut pilkada. Alasannya, belum ada keputusan hukum yang memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Qodari pun menduga, konflik Golkar masih akan terus berkepanjangan.

Ketua KPU Husni Kamil Manik berharap, partai-partai yang kepengurusannya masih bersengketa bisa segera islah. Apabila proses penyelesaian hokum di pengadilan belum berkekuatan tetap, maka akan mengganggu proses pendaftaran calon pasangan yang akan mengikuti pilkada serentak pada 26-28 Juli mendatang.

Husni melanjutkan, KPU akan merujuk pada undang-undang, dalam hal ini tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 36 tentang tahapan pencalonan pilkada serentak.

Komisioner KPU Arief Budiman menambahkan, seluruh putusan PTUN belum berlaku jika masih ada banding. Oleh karena itu, KPU akan secara resmi mengirimkan surat ke PTUN terkait salinan putusan tersebut.

“Ketika ada banding, ya kita harus nunggu inkracht, makanya kita kirim surat cek ada banding atau tidak. KPU tidak boleh komentari isi putusan. Kita tunggu saja 26-28 Juli mendatang mana yang bisa mendaftar,” ujarnya.n fauziah mursid/agus raharjo/c23/c26/c32/c36 ed: eh ismail

User Online : 4 | ©Copyright 2007 PT Republika Media Mandiri

Perombakan Fraksi Golkar DPR, Kubu Agung: Itu Urusan Partai Bukan DPR Rabu 25 March 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua DPP Partai Golkar Munas Ancol, Ibnu Munzir, mengatakan pimpinan DPR tidak membahas surat yang dilayangkan Partai Golkar Kubu Agung Laksono dalam rapat paripurna karena menghadapi hambatan administratif. "Tidak dibahas karena suratnya baru masuk, pimpinan masih mencari dasar hukumnya," ujarnya, saat dihubungi ROL, Rabu (25/3). Menurutnya pembahasan surat yang berisikan pergantian struktur kepemimpinan fraksi Partai Golkar itu, akan segera dibahas pada sidang paripurna berikutnya. Sedangkan, secara internal, kepengurusan fraksi itu sudah berlaku, tanpa perlu persetujuan pimpinan DPR. "Itu urusan partai, bukan hak pimpinan DPR, apalagi sekarang legal statusnya sudah jelas," katanya. Sebelumnya, sejumlah anggota fraksi Golkar Munas Ancol, seperti Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan keberatan karena sidang paripurna tak menggubris surat dari DPP Golkar (Munas Ancol) yang disampaikan kepada DPR pada Senin (23/3). 287

Diungkapkan Agus, pergantian yang dimaksud ialah, bahwa mulai bertanggal 23 Maret 2015, struktur kepemimpinan fraksi Partai Golkar di DPR pindah tangan pascapengesehan kepengurusan Golkar oleh Kemenkumham, Senin (23/3), dari semula dipimpin oleh Ade Komaruddin, kepada Agus Gumiwang Kartasasmita.

288

KORAN TEMPO 289

290

291

292

293

294

295

296

297

298

299

300

301

302

303

304

305

BIODATA

306

BIODATA LENGKAP No. 1. Nama Lengkap Dr.H. M. Dahlan Abubakar, M.Hum. 2. Tempat/tgl lahir Bima, 12 Januari 1952 3. Pekerjaan Pensunan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas (per 1-2-2017) 4. Alamat rumah Jl.Komunikasi II/G-7 Komp. Unhas Biringromang Makassar 5. HP 0811448820 6. Pangkat/Gol/Akhir Pembina/IV/b 7. Jabatan fungsional Lektor Kepala terakhir 8. Mata Kuliah Diampuh Penulisan Kreatif FIB Unhas Hingga 2017 Jurnalistik Sastra FIB Unhas Hingga 2017 Bahasa dan Media FIB Unhas Hingga 2017 Bahasa Indonesia MKU Unhas 2015- Kehumasan & Penulisan Kreatif UMI Makassar 2011- Produk Media Humas UMI 2016 Bahasa Jurnalistik UMI 2016- 9. Pendidikan 1964 SDN Kanca Monta Bima Nusa Tenggara Barat 1968 SMP Tangga Monta Bima Nusa Tenggara Barat 1971 SMA Negeri Bima Nusa Tenggara Barat 1976 Sarjana Muda Fak.Sastra Unhas Makassar 1981 Sarjana Sastra Fakultas Sastra Unhas 2001 Magister Program Pascasarjana Unhas 2018 Program Doktor PPS Universitas Hasanuddin 10. Keluarga Ayah H.Abubakar H.Yakub (Pensiunan Guru SD) Ibu Hj Hafsah H.Abidin (IRT) Istri Hj Hana Abubakar, AMK (Pensiunan RSWS) Anak 1. Haryadi, S.Sos.(Honorer di Unhas) 2. Haryati, S.Sos (IRT) Saudara 1. H.Sofwan, S.H., M.Hum (Dosen Unram) 2.Drs.Kaharuddin (Wkl Ketua PAN Kab.Bima) 3.Siti Nurhayati, S.E. (Wiraswasta di Sulteng) 4.Dra.Sri Suharni (Guru SMA/Ponpes Parado) 5.Siti Farida, S.Sos (Guru SMAN 1 Parado Bima) 6.Ahmad Muslim, S.H.(Wiraswasta di Bima) 11. Riwayat Pekerjaan 1980-2001 Staf Administrasi Universitas Hasanuddin 2001-2017 Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas 12. Riwayat Jabatan 1988-1998 Kepala Humas Masyarakat Unhas 2001-2012 Kepala Humas Unhas 2015-2017 Kepala Humas dan Protokol Unhas 13. Jabatan lain 1975-2017 Wartawan dan Ketua Penyunting Identitas Unhas 1976-2007 Wartawan hingga Pemred Harian Pedoman Rakyat 1976-1983 Koresponden Harian Suara Karya Jakarta di Sulsel 1988-1992 Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulsel 2006 - Pembinaan Mingguan Perintis Nusantara Makassar 2007 Pembina Mingguan Indonesia Pos, Makassar 2009 - Pemimpin Redaksi Majalah PROFILES 2015 - Redaktur Pelaksana Majalah INTI Sulsel 2017 - Kepala Redaksi kabarmakassar.com 2018 Pemimpin Redaksi PedomanRakyat.id.co 14. Riwayat Organisasi 1974-1975 Seksi Pendidikan Senat Mahasiswa Fak.Sastra Unhasi 1976-1977 Ketua Seksi Publikasi dan Dokumentasi Sema FS Unhas 1977-1978 Sekretaris Umum Senat Mahasiswa FS Unhas 1984 Sekretaris Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Makassar 15 Organisasi Profesi 1983 - Persatuan Wartawan Indonesia 2001 - Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) 2001 - Himpunan Pemerhati Bahasa Media 16. Tulisan Ilmiah Bahan Ajar 1. Jurnalistik Sastra (2006) 2. Masyarakat Kesenian Indonesia (2006) 17. Jurnal Ilmiah 2006 Ekonomi Kata, Dispensasi atau Penyimpangan (ElSim) 2007 Implikasi Ekonomi Kata dalam Bahasa Pers (Analisis Judul Berita Media Cetak (Lensa Budaya, Vol.II.No.3, ISSN 0126- 351X 2013 Transformasi Sosial Peran Media Massa (Komunika, UMI) 2013 Inkonsistituionalitas Bahasa Pejabat (Pelangi Budaya FIB UH) 2017 Background Analysis of the Golkar Partay Conflict News Media Dimuat pada International Journal of Science Research (IJSR) Vol..6 Issue 11, November 2017, ISSN (Online) 2319- 7064. 18. Penelitian 1976 1. Penelitian Alat Musik Sulsel, di Mandar dan di Toraja 2001 2. Karakteristik Morfologik Penulisan Judul Berita Surat Kabar (Tesis, 2001) 307

2008 3. Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua Bersama WIM Poli dan Siti Bulqis 2017 4. Keberpihakan Media terhadap Berita Konflik Partai Golkar: Analisis Wacana Kritis (Disertasi, 2018) 19. Buku (Penulis) 1985 1.Promosi Perdagangan Sulawesi Selatan 1999 2.Nakoda dari Timur, Biografi A.Amiruddin 2003 3. Roman Biografi Zainal Basrie Palaguna 2003 4. Berguru dari Keawaman (Kisah-Kisah Radi A.Gany) 2003 5. INCO Mengalir di Tengah Gejolak Pertambangan 2005 6. Melintasi Belantara Keilmuan (Biografi Prof.Dr.Ir. Wi- Narni Monoarfa 2005 7. Anekdot dan Keajaiban Ibadah Haji 2007 8. H.M.Amin Syam: Militer Madani 2008 9. Menerobos Prahara, Biografi Habel Melkias Suwae 2009 10.Ferry Zulkarnain, Memimpin dengan Nurani 2009 11.Gadis Takut Hujan kumpulan cerpen bersama Prariwi Syarif 2009 12.Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua Bersama WIM Poli dan Siti Bulqis 2009 13. Suara yang Memberdayakan, edisi revisi bersama WIM Poli 2009 14. Brother Tua 2010 15. Menerobos Blokade Kelelawar Hitam 2011 16. Ramang Macan Bola 2012 17. K.H.Muhammad Hasan, B.A.:Guru, Tabib dan Mis- Teri Jin 2012 18. Asa dari Bunyu 2014 19.Prof.Dr.H.A.Amiruddin Untold Stories 2014 20.Drg.H.Halimah Dg.Sikati, Pahlawan Pendidikan Tanpa Pamrih 2015 21. Drs.H.A.Soetomo, M.Si:Tegas dalam Bingkai Peradaban 2015 22. Prof.Dr.Ahmad Thib Raya: Putra sang Guru yang Misteri Jin 2015 23. SYL IV bersama Agus Sumantri 2016 24 H.Abubakar H.Yakub: Sekolah di Bawan Ancaman Bom 2016 25.Prof.Dr.Ahmad Thib Raya: 182 Hari Mengemban Amanat 2016 26.Terobosan SYL (Catatan Para wartawan) bersama A.Manaf Rahman 2016 27.Winarni Monoarfa, Setia dalam Pengabdian 2017 28. Kotaku Rumahku bersama La Ode Arfah Rahman 2018 29. SYL Undervover bersama Subhan Yusuf, Paharud- Din Palapa, Agus Sumantri, dan Ahmad Saransi. 20. Sebagai Editor 2001 1.Pembangunan Berdimensi Insaniah Radi A.Gany 2004 2. Kampus sebagai Rahim Budaya Perdamaian 2005 3. Takutlah pada Orang Jujur (HD Mangemba) 2005 4.Jepang, Politik Domestik, Global dan Regional Oleh Abdul Irsan (bersama TR Andi Lolo) 2007 7. Maha Guru di Mata para Guru, 75 Tahun A.Amiruddin 2008 8. Gadis Berjaket Merah oleh Pratiwi Syarif 2009 9. Dendam Konflik Poso oleh Hasrullah 2009 10. Pendidikan Usia Sekolah ILO-Unicef 2009 11. Realitas Tanpa Mimpi (Radi A.Gany) 2010 12. Gadis Nisan oleh Pratiwi Syarief 2010 13.Peningkatan Produksi Beras Nasional, Perspektif & Tantangan (Radi A.Gany)_ 2014 14. Perspektif Hukum di Era Reformasi oleh Abustan 2014 15. Menyaksikan Pertarungan Manusia Tikus Oleh Dwia aries Tina Pulubuhu 2014 16. Merangkul Mimpi di Negeri Salju oleh Iin Utami Fadhilah Tammasse 2016 17. Drs.HAndi Burhanuddin, M.Si: Membangun Tanah Wajo oleh Imran Ismail 2017 18. Mahasiswa Tanpa Batas Iin Utami Fadhillah 2018 19. Membumikan Konsumen oleh Abustan 2018 20. Pemimpin Berjiwa Staf oleh Hanny Joardin 21. Prestasi 1975 1. Juara I Lomba Mengarang Cerpen se-KMUP 1978 2. Juara I Lomba Foto Porseni Mahasiswa se-Sulsel 308

1978 3. Juara II Lomba Mengarang di Tempat Identitas Unhas 1980 4.Juara I Lomba Hemat Energi se-Sulsel 1983 5. Juara I Lomba Mengarang di Tempat HUT Identitas Unhas 1985 6. Juara I Lomba Penulis PMI Ujungpandang 1987 7. Juara I Lomba Karya Tulis Feature Media PWI Pusat 1987 8. Juara III Lomba Karya Tulis HUT Koperasi se-Sulsel 1989 9. Juara I Lomba Karya Tulis Reportase Media Cetak Oleh PWI Pusat 1990 10. Juara I Lomba Karya Tulis KB Lestari penye- Lenggara PWI Pusat-BKKBN Pusat 1996 11. Juara I Lomba karya Tulis HUT Korpri se-Unhas 1997 12. Juara I Lomba Karya Tulis HUT Korpri se-Unhas 2000 13. Juara I Lomba Karua Tulis HUT Semen Tonasa 2002 14. Juara II Lomba Karya Tulis Pembangunan Sulawesi Selatan 2003 15. Juara I Lomba Karya Tulis HUT PT Telkomsel 2013 16. Juara I Lomba Karya Tulis Otonomi Daerah dilaksa- nakan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Kota Seluruh Indonesia (APKASI) Pusat 22. Kunjungan ke Luar 1982 1. India, Meliput Asian Games IX New Delhi Negeri 1992 2. Arab Saudi, Menunaikan Ibadah Haji 1992 3. Thailand, ikut Seminar Infrastruktur Asia 1995 4. Sabah Malaysia, Penerbangan Perdana Pesawat Merpati 1995 5.Singapura, Hadiri Expo Singapura-Indonesia 1996 6. Singapura, Kunjungan Wisata 1996 7. Arab Saudi, Menunaikan Ibadah Umrah 1996 9. Korea Selatan, Liput PSM vs Pohang Atom 1996 10.Italia, Meninjau Pertambangan * Pabrik Marmar 1996 11.Bangladesh, Ikut PSM ke Turnamen Piala Bangabandhu 2001 12. RR Cina, Mengunjungi Universitas Xiamen 2003 13. Jepang, Wakili Indonesia dalam rombongan Wartawan ASEAN memenuhi undangan Kementerian Luar Negeri Jepang 2004 14. Kinibalu, Malaysia, Hadiri Friendship Game BIMP EAGA 2008 15. Brunei Darussalam, Hadiri Friendship Games BIMP EAGA 2010 16. Thailand, Ikut Konferensi PTN Indonesia- Thailand 2011 17. Darwin Australia, mengunjungi Darwin University dan menyambut tim Korpala Unhas 2013 18.Jepang, Menghadiri Meeting KKN Universitas Jepang-Indonesia di Koci 2014 19. Malaysia, kunjungan ke Universiti Teknologi Malaysia di Johor Baru 2017 20. Arab Saudi, Menunaikan Ibadah Umrah 23. Lain-Lain 1985-1986, 1. Pengurus Komisaris Daerah (Komda) PSSI Sulawesi 1996-2000 Selatan 1996- 2. Pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sulawesi Selatan 1993-1994 3. Pengurus Persatuan Sepakbola Makassar (PSM) 1999-2000 4. Pengurus Persatuan Sepakbola Makassar (PSM) 1996-2000 5. Pengurus Persatuan Bola Voli (PBVSI) Sulsel 2001-2010 6. Pengurus Persatuan Bola Voli (PBVSI) Sulsel 1996-2000 7. Pengurus Persatuan Tinju Amatir Nasional Sulsel 2001-2005 8. Pengurus Persatuan Bultangkis Seluruh Indonesia Makassar 1987-1986 9. Pengurus Persatuan Renang Seluruh Indonesia Sulsel 2009-2013 10. Pengurus Persatuan Renang Seluruh Indonesia Sulsel 1995-1999 11.Pengurus Federasi Karate-Do Indonesia (FORKI) Sulsel 2000- 12. Pengurus Badan Pembina Olahraga Mahasiswa Indonesia Sulawesi Selatan 2002,2006 13. Panitia PORDA Sulsel Luwu dan Bone 2010 14. Panitia PORDA Sulsel Kabupaten Pangkep 2003,2005 15. Panitia Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS) 2007,2009 Sulawesi Selatan 2017 309

1983,1985, 16. Peserta dan Atlet Pekan Olahraga Wartawan Nasional 1988,1990, (PORWANAS Sulawesi Selatan 1993,1996 1999,2001 2005,2008 2010 2000,2004 17. Panitia Pekan Olahraga Nasional (PON) Provinsi Sulsel 2008,2012 2016