SEBARAN SUMBER DAYA ARKEOLOGI DI KABUPATEN MOROWALI: GAMBARAN TOLERANSI MASYARAKAT MASA LALU Distribution of Archaeological Resources in Morowali Regency: The Image of Tolerance of People in the Past

Irfanuddin Wahid Marzuki Balai Arkeologi Yogyakarta Jl. Gedongkuning No. 174, Yogyakarta Email: [email protected]

Naskah diterima: 12-01-2016; direvisi: 15-03-2016; disetujui: 25-07-2016

Abstract Kabupaten Morowali has abundance archeological resources that have not been explored optimally. The resources are spread from coastal areas to karst hills along the areas of Kabupaten Morowali. This research aims to compile the data of the resources together with its spreading location and to understand the description of Morowali people tolerance in the past. The research was descriptive, and using inductive approach and historical archaeology approach. The results of this research are natural caves once functioning as a graveyard in Kecamatan Lembo and the area surround, old mosque, fort, tomb, palace, and colonial building. Based on historical data and interpretation of archaeological data, people of Morowali have known tolerance and harmony in the past. Morowali communities live in harmony despite having different ethnicities and religions because of their strong kinship. Keywords: archeological resources, tolerance, morowali.

Abstrak Kabupaten Morowali mempunyai potensi tinggalan sumber daya arkeologi yang sampai saat ini belum tergali secara optimal. Peninggalan sumber daya arkeologi tersebar di wilayah pesisir sampai di wilayah perbukitan karst yang membentang sepanjang wilayah Kabupaten Morowali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendata sumber daya arkeologi di wilayah Kabupaten Morowali, sebarannya, dan mengetahui gambaran toleransi masyarakat Morowali masa lalu berdasarkan tinggalan tersebut. Penelitian ini bersifat dekriptif dengan menggunakan penalaran induktif dan pendekatan arkeologi kesejarahan. Hasil penelitian berupa gua-gua alam yang berfungsi sebagai penguburan di wilayah Kecamatan Lembo dan sekitarnya, masjid tua, benteng, makam, bekas istana, dan bangunan kolonial. Berdasarkan data sejarah dan interpretasi data arkeologis yang ada, masyarakat Morowali telah mengenal toleransi kerukunan pada masa lalu. Masyarakat Morowali hidup rukun, walaupun berbeda etnis dan agama karena adanya ikatan kekerabatan yang kuat. Kata kunci: sumber daya arkeologi, toleransi, morowali.

PENDAHULUAN Morowali berbatasan dengan Kabupaten Kabupaten Morowali terbentuk pada dan Banggai di sebelah utara, Provinsi tahun 1999 berdasarkan UU No. 51 tahun Selatan dan Propinsi Sulawesi Tenggara di 1999, dengan luas wilayah 45.453 km2 yang sebelah selatan, Teluk Tolo di sebelah timur, terdiri atas daratan seluas 15.490,12 km2 dan dan Kabupaten Poso, serta Provinsi Sulawesi perairan 29.962,88 km2. Secara administratif Selatan di sebelah barat (www.sulteng.go.id). terbagi menjadi 13 wilayah kecamatan, 299 Sejarah Kabupaten Morowali tidak lepas desa, dan 10 kelurahan. Wilayah Kabupaten dari sejarah dua kerajaan yang terdapat di

Sebaran Sumberdaya Arkeologi di Kabupaten Morowali 81 Irfanuddin Wahid Marzuki Kabupaten Morowali, yaitu Kerajaan dan struktural (T). Bentuk lahan aluvial yang (Tobungku) dan Mori (Wita Mori). Kerajaan terbentuk dari proses fluvial umumnya tersebar Bungku menganut agama Islam dan berlokasi di dataran rendah dengan kemiringan antara di daerah Bungku. Kerajaan ini menguasai 0-3% yang banyak dijumpai di sekitar sungai- bagian selatan wilayah Kabupaten Morowali. sungai besar. Bentuk lahan marine tersebar Sementara itu, Kerajaan Mori menganut pada wilayah datar agak cekung di sepanjang agama Kristen dan berlokasi di Kolonedale. pantai. Bentuk lahan tektonik dan vulkanik Kerajaan ini menguasai wilayah bagian tersebar pada relief yang bergelombang sampai utara. Secara genealogis, penduduk kedua bergunung. Akibat bentuk lahan yang bervariasi kerajaan mempunyai hubungan erat dan tidak maka wilayah Kabupaten Morowali memiliki bermusuhan satu sama lain (Poelinggomang topografi yang bervariasi. Tanah di wilayah 2008, 17). Kabupaten Morowali berdasarkan klasifikasi Masyarakat Morowali mulai mengalami soil taxonomy terdiri dari beberapa ordo tanah, pergolakan ketika era otonomi daerah, dengan yaitu alfisols, entisols, ultisols, inoptisols, dimekarkannya Morowali menjadi kabupaten inceptisols, histosol, endisols, oxisols, vertisols, terpisah dari Poso. Peningkatan status menjadi dan mellisols. Sebagian besar tanah di wilayah kabupaten baru ternyata menimbulkan konflik ini tergolong subur dengan indikasi 45,44% dalam elit lokal Morowali (Darwis 2012; tanahnya bertekstur sedang, 43,87% bertekstur Marunduh 2015). Konflik elit politik lokal halus dan hanya 10,55% yang bertekstur kasar membawa masyarakat Morowali terpecah (Badan Pusat Statistik 2013). berdasarkan etnis dan agama (Marunduh 2015, Balai Arkeologi Manado pertama kali 9). Pada tahun 2013, Kabupaten Morowali mengadakan penelitian arkeologi di Kabupaten terpecah menjadi dua, yaitu Morowali Induk Morowali pada tahun 2011. Pada pelaksanaan dengan ibu kota Bungku, dan Morowali Utara survei tersebut, masih terdapat beberapa dengan ibu kota Kolonedale. Nama Morowali tinggalan sumber daya arkeologi yang belum merupakan nama sebuah gunung di daerah terdata. Menurut informasi yang didapat dari Cagar Alam Morowali. Pemilihan nama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Morowali merupakan kesepakatan antara pihak Sulawesi Tengah, terdapat tinggalan benteng Mori dan Bungku. Sebelumnya pihak Mori di daerah Wosu dan Bungku. Selain informasi menginginkan nama Mori-Bungku, sedangkan tentang adanya benteng, didapat pula informasi pihak Bungku menginginkan Bungku-Mori tentang sebaran gua, baik yang difungsikan (Marunduh 2015, 153). sebagai pemukiman ataupun penguburan di Wilayah Kabupaten Morowali merupakan wilayah Kabupaten Morowali. Oleh karena itu, daerah tropis yang memiliki dua musim yaitu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendata musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan tinggalan sumber daya arkeologi yang ada. klasifikasi Schmidt Fergusson, wilayah Permasalahan yang dibahas dalam penelitian Morowali tergolong iklim A (sangat basah) ini adalah apa saja potensi sumber daya dengan suhu udara rata-rata bulanan berkisar arkeologi dan bagaimana sebarannya di wilayah antara 25,800C sampai 28,40C. Secara geologis, Kabupaten Morowali dan bagaimana sumber wilayah Kabupaten Morowali tersusun atas daya arkeologi tersebut dapat mengambarkan beberapa jenis batuan yang antara lain, toleransi masyarakat Morowali pada masa lalu. batuan mollase, batuan kapur, batuan skiss, Tujuan penelitian ini adalah untuk batuan basik, ultra basik, dan sedimen. Secara mengetahui potensi tinggalan sumber daya geomorfologi, wilayah ini tersusun atas beberapa arkeologi dan sebarannya di wilayah Kabupaten bentuk lahan (landform), yaitu bentuk lahan Morowali. Selain itu, untuk melihat bagaimana aluvial (A), marine (M), vulkanik (V), tektonik, tinggalan sumber daya arkeologi dapat

82 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (81 - 92) menggambarkan adanya toleransi kerukunan sumber daya. Penelitian arkeologi ruang dalam masyarakat Morowali pada masa lampau. tidak hanya melakukan analisis terhadap situs Sasaran dari penelitian ini adalah tinggalan permukiman saja, tetapi mencakup semua arkeologi yang terdapat di wilayah Kabupaten tempat pusat aktivitas manusia masa lalu Morowali. (Mundardjito 2002, 2-4). Sebaran situs dapat Pemanfaatan gua sebagai tempat hunian dikelompokkan berdasarkan lokasi geografis atau wilayah administrasi. diperkirakan mulai dikenal pada kala Pasca Plestosen. Perubahan iklim merupakan salah METODE satu penyebab pemanfaatan gua sebagai Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, tempat hunian. Manusia memilih lokasi yang yaitu memberikan gambaran data arkeologi yang berdekatan dengan sumber air dan bahan ditemukan, baik dalam kerangka waktu, bentuk, makanan (Poesponegoro 1993, 125). Kegunaan maupun keruangan serta mengungkapkan gua-gua pada awalnya hanya sebagai tempat hubungan di antara variabel penelitian hunian, namun kemudian berubah menjadi (Puslitbang Arkenas 2008, 20). Penelitian tempat penguburan dan kegiatan spiritual ini menggunakan penalaran induktif, yaitu lainnya (Sugiyanto 2009, 138). penelitian yang berdasarkan pada pengamatan, Berdasarkan hasil penelitian arkeologi kemudian disimpulkan sebagai gejala yang tahun 2012, beberapa kecamatan di Kabupaten bersifat umum atau generalisasi empiris Morowali terdata 13 situs dengan rincian 5 situs (Tanudirdjo 1989, 34). Pengamatan dilakukan gua yaitu Gua Gililana dengan temuan cangkang terhadap tinggalan sumber daya arkeologi kerang, tatal batu, fragmen gerabah, tulang, dan yang ada, kemudian disimpulkan berdasarkan gigi manusia. Gua Batu Putih dengan temuan analisis yang digunakan. Pendekatan arkeologi cangkang kerang, serpih bilah, tatal, fragmen kesejarahan digunakan untuk mengetahui gerabah, dan tulang, serta tengkorak manusia. sejarah Kerajaan Mori dan Bungku. Arkeologi Gua Tapohulu dengan temuan cangkang kerang, kesejarahan merupakan sebuah pendekatan serpih bilah, tatal, dan fragmen gerabah. Gua yang menggabungkan antara sejarah, arkeologi, Tombea dengan temuan berupa tengkorak dan geografi, dan etnografi. Arkeologi kesejarahan tulang manusia. Gua Morokopa dengan temuan menitikberatkan kajian tinggalan arkeologi cangkang kerang, serpih bilah, tatal batu, dengan catatan tertulis yang berkaitan dengan fragmen gerabah, stoneware, porselin, dan sejarah tinggalan tersebut (Funari 1999, 1-3). tengkorak, serta tulang manusia. Dua situs tebing di tepi laut dengan temuan Sebelum melakukan penelitian, objek dan berupa lukisan cap tangan serta sebuah situs lokasi penelitian ditentukan terlebih dahulu. terbuka yaitu situs tanah merah dengan temuan Objek penelitian berupa tinggalan sumber daya berupa serpih bilah dan tatal batu, fragmen arkeologi yang terdapat di wilayah Kabupaten gerabah, dan bekas coran logam (Azis 2011, Morowali. 23). Penelitian sebaran tinggalan arkeologi Tahap pengumpulan data dilakukan merupakan suatu penelitian arkeologi yang melalui studi pustaka, observasi, dan bersifat keruangan. Penelitian arkeologi ruang wawancara. Secara umum, data yang didapat menitikberatkan perhatian pada pengkajian dalam proses pengumpulan data dibagi dimensi ruang (spatial) dari benda dan situs dalam dua kelompok besar, yaitu data primer arkeologi pengkajian atas dimensi bentuk dan data sekunder. Data primer didapatkan (formal) dan waktu (temporal). Studi arkeologi ruang menitikberatkan perhatian terhadap melalui survei potensi sumber daya arkeologi sebaran benda-benda dan situs arkeologi, di Kabupaten Morowali dan akan dilakukan hubungan antara benda dengan benda, situs pendeskripsian, pengukuran, pemetaan dengan situs, serta hubungan antara benda wilayah situs, penggambaran, pemotretan, dan atau situs dengan lingkungan fisiknya sebagai perekaman video atas tinggalan sumber daya

Sebaran Sumberdaya Arkeologi di Kabupaten Morowali 83 Irfanuddin Wahid Marzuki arkeologi yang didapatkan. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa data pendukung yang didapat melalui studi pustaka dan wawancara, baik dengan penduduk setempat maupun dengan yang mengetahui adanya tinggalan sumber daya arkeologi di wilayah Kabupaten Morowali. Semua data yang didapatkan selanjutnya dianalisis dan diinterpretasi yang nantinya akan menghasilkan suatu penggambaran, antara lain tentang aktivitas apa saja yang pernah berlangsung di wilayah tersebut. Tahap analisis Gambar 1. Masjid Tua Bungku. meliputi analisis morfologi, analisis teknologi, (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Manado) dan analisis kontekstual (Puslitbang Arkenas di tengah perkebunan kakao. Masjid Kerajaan 2008, 99-100). Interpretasi data dilakukan Bungku ini sempat tidak digunakan lagi pada dengan melihat sebaran tinggalan sumber daya tahun 1972 karena kondisi konstruksinya arkeologi yang ada yang dikaitkan dengan yang tidak aman. Masjid ini sempat dipugar kondisi sosial budaya dan sejarah masyarakat oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Morowali masa lalu. Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan HASIL DAN PEMBAHASAN dan Kebudayaan pada tahun 1992-1994. Kabupaten Morowali mempunyai potensi Material masjid merupakan perpaduan sumber daya arkeologi dari masa prasejarah antara tembok bata dan kayu dengan lantai hingga Islam/kolonial. Tinggalan sumber daya menggunakan ubin berwarna merah bata. arkeologi di Kabupaten Morowali tersebut Masjid berbentuk persegi panjang dengan tersebar di beberapa lokasi, mulai dari pantai, ukuran 13,75 meter x 23 meter. Menara masjid dataran rendah, hingga perbukitan. Tinggalan beratap susun lima yang menggambarkan rukun sumber daya arkeologi Kabupaten Morowali Islam. Material atap dahulu menggunakan ijuk, antara lain sebagai berikut. namun saat ini sudah diganti dengan seng. Tidak seperti bangunan lain yang dibangun pada Masjid Tua Bungku masa 1800 sampai 1900-an, konstruksi dinding Masjid ini terletak di pusat kota Bungku, masjid tidak menggunakan penopang kayu tepatnya di Desa Marsaoleh, Kecamatan pada bagian tengah tembok. Tiang penopang Bungku Tengah. Bangunan masjid ini sudah kayu justru berada di dalam masjid dan di luar ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh dinding tembok masjid. Tebal material tembok pemerintah pusat. Kondisi masjid masih terawat dinding masjid 44 cm. Tiang utama (soko guru) dengan baik dan digunakan untuk ibadah berjumlah empat dengan tinggi sekitar 12 meter sehari-hari (gambar 1). Masjid ini merupakan dan menggunakan kayu utuh dengan ukuran masjid kedua Kerajaan Bungku yang dibangun 28,5 cm2. pada tahun 1835-1836, atas prakarsa Raja Pintu masuk utama (babussalam) terbuat Bungku VII yang bernama Moh. Baba. Pada dari kayu besi dengan ukuran lebar 158 cm, tahun 1935-1936, bangunan diperbaiki dan tinggi 268 cm dan tebal 14 cm. Pintu berupa diperluas oleh Raja Bungku XII yang bernama pintu kupu-kupu dengan material daun pintu Abdurazak. Masjid pertama Kerajaan Bungku dari kayu besi dengan ukuran tinggi 201 cm. berada di dekat lokasi Benteng Kota Bajo, Jendela berjumlah delapan buah, dengan rincian namun saat ini tinggal pondasi saja dan berada dua di bagian depan, dua di belakang dan dua di

84 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (81 - 92) sisi kiri kanan. Material jendela menggunakan biasanya terdapat alun-alun, kedaton, dan kayu besi dengan hiasan jalusi dari kayu. masjid tidak terdapat di Kerajaan Bungku. Jendela berukuran 128 cm x 137 cm dan menggunakan daun jendela model kupu-kupu. Benteng Kota Bajo Pintu dan jendela dicat dengan warna hijau dan Benteng ini merupakan benteng tradisional kuning. Serambi masjid berukuran 3,5 meter yang dibangun rakyat Kerajaan Bungku secara x 13,75 meter. Material ubin sebagian besar gotong-royong. Secara administrasi, benteng sudah diganti dengan keramik, namun masih ini terletak di Desa Bahontobungku, Kecamatan menyisakan bagian aslinya. Menurut penuturan Bungku Tengah. Lokasi benteng berada di juru pelihara Masjid Bungku, ubin yang asli puncak Bukit Fafontofure, sehingga Benteng didatangkan dari Singapura. Di sebelah selatan Kota Bajo juga dikenal dengan nama Benteng masjid, terdapat bangunan sumur tua untuk Fafontofure. Kata fafontofure berasal dari kata memenuhi kebutuhan air wudhu. Kondisi saat fafon yang berarti ‘di atas’, to artinya ‘manusia’, ini terdapat bangunan pendopo baru di depan dan fure yang berarti ‘banyak’, sehingga masjid. fafontofure berarti ‘di atas tempat orang Teknologi pembangunan masjid banyak’. Struktur benteng terdiri dari tumpukan menggunakan perpaduan antara teknologi kayu batu karang dan batu kapur dengan lapisan dan tembok. Dinding masjid menggunakan kalero (perekat dari bubur batu kapur). Benteng tembok bata spesi dengan ketebalan 44 cm. dibuat akhir abad ke-15 oleh Raja Bungku Tidak seperti konstruksi bangunan tembok tanpa bantuan pihak luar. Menurut catatan pada masa Islam/kolonial di Sulawesi, dinding sejarah Hikayat Landschap Boengkoe, Benteng masjid tidak menggunakan tulang dari kayu. Kota Bajo berukuran panjang 170 meter dan Tiang kayu penyangga atap diletakkan di luar lebar bagian tengah 60 meter. Tinggi dinding tembok. Konstruksi bangunan menggunakan benteng bagian timur 12 meter dan bagian kayu dengan pasak. Hiasan yang terdapat pada barat 3 meter. Benteng Kota Bajo dirusak oleh masjid ini sangat sederhana, hanya terdapat pasukan Ternate pada tahun 1841 (gambar 2). sedikit ukiran di atas mihrab yang dicat Bentuk benteng menyerupai kapal dan berada warna merah, putih, hijau, dan kuning. Islam di puncak bukit, sehingga dapat melihat laut di menganggap masjid lebih baik apabila dibuat sekitar Kota Bungku dengan bebas (Manuskrip sesederhana mungkin, terutama di bagian Tidak Diterbitkan 1931). Kondisi benteng saat dalam. Hal ini dimaksudkan agar jemaah ini sudah banyak ditumbuhi pohon-pohon lebih khusyuk dalam menjalankan ibadahnya besar, dan sebagian sudah longsor. Perlu adanya (Ambary 1998, 40). Bangunan masjid ini upaya pelestarian Benteng Kota Bajo, sehingga merupakan masjid Kerajaan Bungku pada masa anak cucu dapat menikmati hasil kebudayaan dahulu. Hal ini dapat dilihat dari lokasinya yang dari nenek moyang. berada di tengah pemukiman dan berdekatan Benteng Kota Bajo dapat dikategorikan dengan keraton. Kerajaan Bungku merupakan dalam kelompok benteng Nusantara. Benteng kerajaan Islam yang berdiri tahun 1672 (Mahid Nusantara umumya dibangun oleh komunitas et al. 2012, 155). Berbeda dengan struktur kota yang berbeda di kepulauan Nusantara. Fungsi kerajaan Islam di Jawa, Kerajaan Bungku tidak benteng untuk melindungi atau mempertahankan mempunyai keraton yang tetap. Raja yang diri dari serangan musuh. Benteng Nusantara terpilih akan menjadikan rumahnya sebagai tidak mengikuti prinsip benteng kolonial, baik keraton. Apabila raja meninggal dan terpilih bentuk, ukuran, material bangunan, teknik raja baru, keraton akan berpindah ke rumah raja konstruksi, maupun sistem perlengkapan yang baru (Mahid et al. 2012, 133). Dengan pertahanan lainnya. Benteng Nusantara demikian, struktur perkotaan masa Islam yang dibangun berdasarkan tingkat teknologi yang

Sebaran Sumberdaya Arkeologi di Kabupaten Morowali 85 Irfanuddin Wahid Marzuki Gambar 2. Dinding benteng dengan lapisan kalero (kiri) dan tanpa lapisan (kanan). (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Manado) dimiliki oleh masyarakat pendukungnya dan Makam Kacili Surabi menyesuaikan dengan kondisi alam sekitarnya Makam ini berada di Bukit Ba’a yang (Mundardjito dan Effendi 2010, 26-27). secara administrasi berada di Desa Wosu, Kecamatan Bungku Barat. Menurut informasi, Makam dan Bekas Istana Raja Bungku II makam ini merupakan Makam Kacili Surabi Ahmad Hadie beserta pengawal-pengawalnya. Kacili Surabi Makam ini terletak di Kecamatan merupakan raja ketiga Kerajaan Bungku yang Bungku Tengah. Lokasi bekas istana dan memerintah pada tahun 1747 (Mahid 2012, makam menyatu dengan permakaman umum, 469). Lokasi makam berada di bukit kecil, di hanya terletak di bagian atas. Bentuk makam tengah perkebunan sawit. Kondisi makam saat persegi panjang, sama dengan makam-makam ini kurang terawat dan hanya tersisa tumpukan tua yang mendapat pengaruh Islam di wilayah batu. Makam ditumbuhi semak belukar Sulawesi Tengah. Batu nisan terbuat dari semen sehingga agak sulit untuk mengenalinya. dan tidak terdapat jirat, serta merupakan bekas istana dan Makam Raja Bungku II Ahmad Gua Puwasu Hadie. Kondisi makam saat ini terawat baik, Secara administrasi, gua ini termasuk walaupun lingkungan sekelilingnya kurang dalam wilayah Desa Wara’a, Kecamatan terawat (gambar 3). Lembo. Lokasi gua dekat dengan perkebunan karet penduduk, berjarak sekitar 1,5 km dari Jalan Raya Tentena-Bungku. Gua Puwasu merupakan gua alam dengan pintu masuk menghadap ke timur (gambar 4). Gua ini merupakan gua penguburan kedua (secondary burial) suku Kolo-Kolo. Ketika seseorang meninggal, mayatnya diletakkan pada bagian atas rumah. Setelah tinggal tulang dan tengkorak, diletakkan dalam sebuah peti panjang yang disebut karontambea yang terbuat dari kayu utuh. Bagian penutup terbuat dari kayu datar Gambar 3. Bekas istana dan makam dan tidak memiliki motif hiasan tertentu yang Raja Ahmad Hadie II. dipahatkan pada karontambea. Setelah itu (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Manado) dilakukan prosesi upacara untuk diletakkan

86 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (81 - 92) itu, juga ditemukan adanya fragmen gerabah polos dan hias pada Gua Puwasu. Teknik pembuatan gerabah menggunakan teknik roda putar. Hal ini dapat dilihat dari adanya alur memutar yang sangat halus di badan gerabah. Hiasan yang terdapat di gerabah Gua Puwasu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu motif jala, garis, dan cat (slip merah). Pembakaran gerabah tampaknya menggunakan pembakaran langsung (tidak menggunakan tungku). Hal ini dapat dilihat dari adanya warna hitam di Gambar 4. Gua Puwasu. badan gerabah (Soegondho 1995, 58). Gerabah (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Manado) yang ditemukan di Gua Puwasu nampaknya merupakan wadah yang digunakan dalam di dalam gua. Karontambea diletakkan aktivitas sehari-hari dan disertakan sebagi bekal menggantung pada langit-langit gua agar kubur, bukan sebagai wadah kubur. Hal ini terjaga keamanannya. Peletakan karontambea dapat dilihat dari bentuk fragmen gerabah, dan menggunakan kayu penyangga yang disebut adanya bekas pemakaian pada fragmen gerabah. kulahi dan diikat dengan tali ijuk. Jenis kayu Menurut James (dalam Soejono 2008, 83), yang digunakan sebagai karontambea adalah penyertaan bekal kubur, baik berupa perhiasan kayu palumba. Sebagai pelengkap, disertakan maupun senjata, merupakan gejala yang umum bekal kubur dalam peti mati (karontambea) ditemukan semenjak zaman berburu tingkat tersebut, berupa gerabah, keramik, uang logam, sederhana. Kepercayaan akan kelangsungan manik-manik, dan perhiasan. hidup di alam baka menghendaki agar Tinggalan arkeologis yang terdapat di dibawakan bekal kubur untuk kelangsungan Gua Puwasu adalah tinggalan rangka manusia hidupnya. yang ditempatkan pada bagian dalam dan mulut gua. Sebagian rangka manusia tersebut telah Gua Guci ditempatkan ke dalam wadah baru berbentuk Secara administrasi, gua ini termasuk peti oleh masyarakat. Selain temuan rangka dalam wilayah Desa Beteleme, Kecamatan manusia, juga ditemukan adanya bekal kubur Lembo. Lokasi gua tidak jauh dari pemukiman yang ditemukan bersama rangka, dan sebagian penduduk, dan berada pada ketinggian dengan tercecer di depan pintu masuk gua. Berdasarkan kemiringan sekitar 450. Pintu masuk gua temuan yang ada, bekal kubur berupa perhiasan menghadap ke timur. Untuk mencapai mulut (gelang, anting, dan cincin dari logam), keramik, gua diperlukan tenaga yang ekstra, karena manik-manik, dan senjata (gambar 5). Selain medannya sangat terjal dan curam. Mulut gua tidak begitu besar, namun memiliki lorong sangat dalam. Terdapat banyak stalaktit dan stalagmit di dalam gua. Tinggalan arkeologis yang terdapat dalam Gua Guci hampir sama dengan Gua Puwasu. Bagian mulut gua banyak ditemukan pecahan- pecahan wadah gerabah dan tulang-tulang manusia (gambar 6). Bagian dalam ditemukan pula tinggalan yang sama. Berbeda dengan Gambar 5. Temuan manik-manik Gua Puwasu. wadah kubur yang ditemukan di Gua Puwasu, (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Manado)

Sebaran Sumberdaya Arkeologi di Kabupaten Morowali 87 Irfanuddin Wahid Marzuki tersebut merupakan gua penguburan atau pernah dijadikan tempat hunian. Penguburan dalam gua-gua yang dilakukan masyarakat Morowali dengan menyertakan bekal kubur tentunya tidak dilakukan secara diam-diam dan sendiri-sendiri. Berdasarkan temuan yang ada di situs-situs gua tersebut, terdapat lebih dari satu individu dan menggunakan berbagai macam wadah kubur.

Ceruk Korompeeli Gambar 6. Bagian dalam Gua Guci. Ceruk ini berada di belakang Gereja Desa (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Manado) Korompeeli, Kecamatan Lembo. Kenampakan gua cukup luas dan terbagi dalam beberapa wadah kubur di Gua Guci berupa gerabah ruangan. Indikasi hunian masa lalu yang dengan tutup. Sebagian besar gerabah sudah ditemukan berupa sisa fragmen gerabah yang pecah dan tinggal beberapa yang masih utuh. banyak ditemukan di lokasi ceruk. Sampel Gerabah yang ditemukan di Gua Guci berukuran tinggalan arkeologis yang didapatkan di ceruk lebih besar dan tebal dibandingkan dengan Korompeeli berupa fragmen gerabah polos dan temuan di Gua Puwasu. Teknik pembuatan hias, serta cangkang mollusca. gerabahnya sama, yaitu menggunakan teknik roda berputar. Pada beberapa bagian (pegangan) Sebaran Tinggalan Sumber Daya Arkeologi menggunakan teknik tempel. Teknik hiasan Berdasarkan hasil survei tahun 2011 dan yang digunakan juga sama, yaitu teknik gores. tahun 2013, sebaran tinggalan sumber daya Motif hiasan berupa garis-garis dan jala. Pada arkeologi di Kabupaten Morowali menyebar gerabah temuan Gua Guci juga terdapat adanya hampir di semua wilayah. Tinggalan sumber sisa aktivitas pada gerabah tersebut. Tinggalan daya arkeologi yang terbanyak berupa gua- gerabah yang ditemukan di Gua Guci relatif gua penguburan yang menyebar sepanjang utuh dibandingkan dengan temuan Gua Puwasu. wilayah Kabupaten Morowali. Tinggalan Hal ini dimungkinkan karena lokasi Gua Guci sumber daya arkeologi masa Islam dan kolonial yang lebih susah dijangkau dibandingkan Gua terdapat di pusat pemerintahan, yaitu Bungku Puwasu. dan Kolonedale. Bungku merupakan ibu kota Tradisi penguburan dalam gua pada Kerajaan Bungku, sedangkan Kolonedale masyarakat Morowali nampaknya berkelanjutan merupakan ibu kota Kerajaan Mori. Selain itu, dari daerah Sulawesi Tenggara (suku Tolaki). Kolonedale juga merupakan pelabuhan laut Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya yang telah berperan semenjak masa penjajahan temuan gua dengan ribuan tengkorak oleh tim Belanda. ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi (Kompas. Sebaran sumber daya arkeologi di com 2013). Tradisi ini berlanjut hingga wilayah Kabupaten Morowali tidak hanya diketahui Sulawesi Tengah. Penguburan dalam gua berdasarkan hasil survei tahun 2013 saja, tampaknya dilakukan masyarakat di Morowali namun digabungkan juga dengan data hasil sebelum mereka mengenal agama. Setelah survei tahun 2011. Berdasarkan hasil survei masuknya agama Kristen dan Islam, penguburan tahun 2011, telah didata sebanyak 13 situs yang dalam gua sudah tidak dilakukan lagi. Kegiatan mempunyai potensi sumber daya arkeologi. ekskavasi perlu dilakukan untuk mengetahui Ketigabelas situs tersebut berupa situs gua lebih lanjut untuk mengetahui apakah gua prasejarah (lukisan gua), Islam, dan kolonial.

88 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (81 - 92) Sebaran sumber daya arkeologi tahun 2011 Lokasi lukisan tebing batu semuanya berada terdapat di wilayah Kecamatan Petasia, di tebing pinggir laut, dan susah dijangkau. Lembo, dan Bungku Tengah (Azis 2011, 22), Situs masa Islam/kolonial yang sebanyak tujuh sedangkan hasil survei tahun 2013 mencatat situs berada di daerah permukiman perkotaan adanya enam situs yang berhasil didata. Jumlah dataran rendah, dan satu situs berada di dataran keseluruhan data dari hasil survei dua periode tinggi, yaitu Benteng Kota Bajo. tersebut berjumlah 19 situs arkeologi (tabel 1). Kesembilan belas situs sumber daya arkeologi Gambaran Toleransi Masyarakat Masa Lalu di wilayah Kabupaten Morowali tersebut dapat Toleransi masyarakat Morowali sudah dikelompokkan sebagai berikut: gua (hunian terjalin sejak lama, walaupun berbeda agama dan penguburan) sebanyak 9 situs (47%), dan etnis. Menurut Adriani (dalam Henley 2005, lukisan tebing sebanyak 2 situs (11%), dan 28), ikatan kekerabatan masyarakat Morowali Islam/kolonial sebanyak 8 situs (42%). sejak dahulu sangat erat dan merupakan satu- Berdasarkan letak topografi dan satunya sumber perdamaian dan kerukunan, kemudahan mencapai lokasi sumber daya sehingga masuknya pengaruh dari luar (agama arkeologi, temuan gua prasejarah yang berada Islam dan Kristen) tidak mengubah toleransi di di tebing terjal yang susah dijangkau sebanyak antara mereka. Peristiwa konflik agama di Poso lima situs, yaitu Gua Gililana, lukisan tebing tahun 1998 tidak banyak berpengaruh terhadap Batu Putih, Ceruk Tapohulu, lukisan tebing toleransi masyarakat Morowali. Konflik justru Tapohulu, dan Gua Guci (45%), sedangkan yang terjadi setelah era pemekaran kabupaten yang mudah dijangkau sebanyak enam situs (55%). diawali dengan elit politik lokal, lalu merambah

Tabel 1. Sebaran tinggalan sumber daya arkeologi di wilayah Kabupaten Morowali berdasarkan wilayah adminsitrasi.

No Kecamatan Temuan Keterangan 1 Petasia Gua Gililana survei tahun 2011 2 Ceruk Batu Putih survei tahun 2011 3 Lukisan tebing Batu Putih survei tahun 2011 4 Ceruk Tapohulu survei tahun 2011 5 Lukisan tebing Tapohulu survei tahun 2011 6 Bukit Merah Open Site survei tahun 2011 7 Ceruk Tombea survei tahun 2011 8 Istana Raja Mori survei tahun 2011 9 Makam Raja Mori survei tahun 2011 10 Bangunan Kolonial survei tahun 2011 11 Lembo Kompleks Gua Morokopa survei tahun 2011 12 Gua Puwasu survei tahun 2013 13 Gua Guci survei tahun 2013 14 Ceruk Korompeeli survei tahun 2013 15 Bungku Barat Makam Kacili Surabi survei tahun 2013 16 Bungku Tengah Bekas istana dan Makam Raja Ahmad Hadie survei tahun 2013 17 Bekas istana Kerajaan Bungku survei tahun 2011 18 Masjid tua Bungku survei tahun 2011 dan 2013 19 Benteng Kota Bajo (Fafontofure) survei tahun 2013 (Sumber: Dokumen pribadi)

Sebaran Sumberdaya Arkeologi di Kabupaten Morowali 89 Irfanuddin Wahid Marzuki ke masyarakat bawah. Kerukunan dan toleransi Mori bersifat heterogen dan multikultural. masyarakat Morowali sejak dahulu dapat Menurut Kruyt (dalam Darwis 2012, 125), ditelusuri dari sejarah dan tinggalan sumber penduduk Mori dibedakan menjadi pribumi daya arkeologi yang ada. asli Mori dan penduduk asli bukan Mori. Wilayah Bungku dahulu merupakan Struktur pemerintahan Kerajaan Mori dipegang wilayah Kerajaaan Bungku (dalam arsip golongan bangsawan yang disebut ana Belanda disebut dengan Tambuku atau mokole (Poelinggomang 2008, 15). Pada masa Tobungku), yaitu sebuah kerajaan vasal dari pendudukan Belanda, Kerajaan Mori tidak mau Kerajaan Ternate (Henley 2005, 246). Raja tunduk pada pemerintahan Belanda, sehingga yang terakhir memerintah Kerajaan Bungku menyebabkan terjadinya Perang Mori. Perang adalah Abdu Rabiie yang memerintah antara Mori terjadi dua kali, yaitu tahun 1856 dan tahun 1938-1950 (Hasan et al. 2004, 77). tahun 1907. Kekalahan dalam Perang Mori Kata “bungku” sekarang ini, jika dilihat dari menyebabkan Kerajaan Mori menjadi wilayah sudut pandang etnis, geografis, dan lanskap, kekuasaan kolonial Belanda (Poelinggomang memiliki beberapa makna atau pengertian. 2008, 20). Sudut pandang etnis merujuk kepada suatu Indikasi toleransi dan kerukunan etnis yang terdapat di wilayah Kabupaten masyarakat dalam masyarakat Morowali, Morowali. Sudut pandang geografis merujuk berdasarkan tinggalan sumber daya pada wilayah eks lanskap Tambuku/Tombuku arkeologi, yaitu tidak ditemukan bangunan (Bungku) yang membentang dari Kecamatan pertahanan di sekitar permukiman masyarakat Menui Kepulauan sampai dengan Kecamatan Morowali. Adanya bangunan pertahanan Mamo Salato. Sudut pandang lanskap merujuk dapat digambarkan bahwa daerah tersebut bekas lanskap (kerajaan) yang pernah berdiri tidak aman dan mendapat ancaman dari sejak abad ke-16 sampai tahun 1950 (Mahid et luar. Berdasarkan pengamatan di lapangan, al. 2012, 26). bangunan pertahanan yang ada, yaitu Benteng Struktur kepemimpinan masyarakat Kota Bajo, kemungkinan dipergunakan sebagai Bungku terbagi menjadi dua, yaitu formal pengintaian musuh yang datang dari arah laut, dan informal. Struktur formal yaitu pemimpin bukan bangunan pertahanan dari serangan pemerintahan yang berada dalam pemerintahan musuh. Hal ini dikarenakan posisi benteng negara . Pemimpin informal dikenal yang sangat strategis, yaitu di puncak bukit dengan istilah mia-mia motu’a (orang-orang yang jauh dari permukiman atau pusat kerajaan. yang dituakan), pemuka agama, dan dukun Dengan membangun benteng pengintaian di (Mahid et al. 2012, 93-94). Menurut Darwis atas bukit, pengamatan musuh yang datang (2012, 124), pemimpin pemerintahan Bungku dari arah laut dapat dilakukan dengan saksama. pada masa lalu disebut babatu junia, dengan Selain itu, tinggalan struktur bangunan benteng jabatan tertinggi disebut pau (raja). Pemimpin ini tidak terdapat bastion yang biasanya ada agama disebut bobatu akherati, yang dipimpin pada bangunan benteng pada umumnya. lakino agama. Berdasarkan sumber tertulis, yaitu Kerajaan Mori merupakan sebuah Hikayat Landschap Boengkoe (Manuskrip kerajaan persemakmuran yang terdiri dari Tidak Diterbitkan 1931) dan Algemeene beberapa kerajaan kecil. Wilayah Mori pada Verslaag Manado 1852 (Arsip Manado 51), masa lampau dibagi menjadi tiga, yaitu Mori musuh yang sering menyerang wilayah Bungku Atas (Boven Mori), Mori Bawah (Beneden merupakan bajak laut yang berasal dari Tobelo Mori), dan wilayah pegunungan di bagian (Maluku Utara) dan Mindanau (Filipina). Bajak selatan (Poelinggomang 2008, 17). Kerajaan laut Tobelo dan Mindanau sangat ditakuti oleh

90 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (81 - 92) masyarakat sekitar Laut Sulawesi pada abad Azis, Nasrullah. 2011. “Survei Potensi Sumber Daya ke-18 sampai 19 (Henley 2005, 246; Lapian Arkeologi Kabupaten Morowali Provinsi 2009, 136). Sulawesi Tengah.” Laporan Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Manado, KESIMPULAN Manado. Badan Pusat Statistik. 2013. Morowali Dalam Tinggalan sumber daya arkeologi di Angka. Morowali: Badan Pusat Statistik. Kabupaten Morowali meliputi tinggalan masa Darwis. 2012. “Konflik Elit Politik Lokal dalam prasejarah dan masa Islam/kolonial. Tinggalan Pemekaran Daerah di Kabupaten Morowali.” masa prasejarah berupa Gua Puwasu di Desa Disertasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Wara’a, Gua Guci di Desa Beteleme, dan Ceruk Politik, Universitas Gadjah Mada. Korompeeli. Tinggalan masa Islam/kolonial Funari, Pedro P.A., Sian Jones, dan Martin Hall. berupa Masjid Tua Bungku, Benteng Kota 1999. “Archaeology in History.” Dalam Bajo, Bekas Istana dan Makam Raja Bungku, Historical Archaeology Back From the serta Makam Kacili Surabi di Wosu. Edge, disunting oleh Pedro Paulo A. Funari, Secara keseluruhan, sebaran potensi Martin Hall, dan Sian Jones, 1-20. London: sumber daya arkeologi meliputi wilayah Routledge. Hasan, Darwis, Syakir Mahid, dan Maliadi. 2004. Petasia, Lembo, Bungku Barat, dan Bungku Sejarah Poso. Yogyakarta: Penerbit Tiara Tengah. Jumlah situs yang terdata sampai tahun Wacana. 2013 sebanyak 19 situs yang terbagi ke dalam Henley, David. 2005. Fertility, Food, and Fever: situs prasejarah dan Islam/kolonial. Sebagian Population, Economy, and Environment in besar situs arkeologi yang terdapat di Morowali North and , 1600-1930. merupakan situs prasejarah. Kondisi situs-situs Leiden: KITLV Press. prasejarah di Morowali umumnya masih terawat Kompas.com. 2013. “Goa Penuh Tengkorak Itu dengan baik karena terletak pada wilayah yang adalah Kuburan Suku Mekongga.” Kompas. sulit dijangkau. com. Dipublikasikan 20 Mei 2013. http://sains. Berdasarkan sejarah dan tinggalan kompas.com/read/2013/05/20/1843092/Goa. sumber daya arkeologi yang ada di wilayah Penuh.Tengkorak.Itu.adalah.Kuburan.Suku. Mekongga. Morowali, telah terjalin toleransi kerukunan Lapian, A.B. 2009. Orang Laut Bajak Laut Raja dalam masyarakat Morowali sejak lama. Ikatan Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad kekerabatan yang erat merupakan pengikat XIX. Jakarta: Komunitas Bambu. kerukunan dan perdamaian dalam masyarakat Mahid, Syakir, Sadi Haliadi, dan Wilman Darsono. Morowali. Latar belakang agama yang berbeda 2012. Sejarah Kerajaan Bungku. Yogyakarta: antara Kerajaan Mori dan Bungku tidak Ombak. menghalangi terjadinya toleransi di antara Manuskrip Tidak Diterbitkan. 1931. Hikayat mereka. Berkaca dari kondisi tersebut, dapat Landschap Boengkoe, terkutip dari archief diambil pelajaran bagi elit politik lokal saat toea toelisan Arab jang dikoempoelkan oleh ini untuk kembali hidup berdampingan dengan p.s Ahmad Hadie, Radja Tomboekoe. Koleksi rukun dan damai dalam membangun wilayah Anton Abraham Cense. KITLV, Leiden. Marunduh, Kary Marjuni. 2015. “Kontestasi Morowali. Kekuasaan Elit Politik Lokal Pasca Pemekaran Daerah Kabupaten Morowali DAFTAR PUSTAKA Provinsi Sulawesi Tengah.” Disertasi, Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Program Doktor Studi Ilmu Politik Sekolah Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Universitas Gadjah Mada. Ilmu. Arsip Manado 51. Algemeene Verslaag Manado 1852. Arsip Nasional Republik Indonesia.

Sebaran Sumberdaya Arkeologi di Kabupaten Morowali 91 Irfanuddin Wahid Marzuki Mundardjito. 2002. Pertimbangan Ekologis Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di Penempatan Situs Masa Hindu dan Buda Indonesia Dari Masa Prasejarah Hingga di Daerah Yogyakarta. Jakarta: Wedatama Masa Kini. Jakarta: Himpunan Keramik Widya Sastra. Indonesia. Mundardjito dan Ivan Efendi. 2010. “Nusantara Soejono, R.P. 2008. Sistem-Sistem Penguburan Forts.” Dalam Inventory and Identification pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Jakarta: Forts in Indonesia. Jakarta: Pusat Puslitbang Arkenas. Dokumentasi Arsitektur. Sugiyanto, Bambang. 2009. “Pola Pemanfaatan Poelinggomang, Edward L. 2008. Kerajaan Mori Gua-Gua Hunian Prasejarah di Kalimantan Sejarah Dari Sulawesi Tengah. Jakarta: Selatan dan Timur.” Bulletin Naditira Widya Komunitas Bambu. 3 (2): 133-144. Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Tanudirdjo, Daud Aris. 1989. “Ragam Metode Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka. Penelitian Arkeologi dalam Skripsi Karya Puslitbang Arkenas (Pusat Penelitian dan Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Pengembangan Arkeologi Nasional). 2008. Mada.” Laporan Penelitian, Fakultas Sastra Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Puslitbang Arkenas. www.sulteng.go.id. Diakses 8 Juli 2013.

92 Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus 2016 (81 - 92)