Satya Wacana University Press 2015

i

ISBN 978-602-1047-38-5

All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or transmitted in any form or by any means electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial transcription, without the prior written permission of the author, application for which should be addressed to author.

Diterbitkan oleh: Satya Wacana University Press Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga Telp. (0298) 321212

ii

JR, JEMBATAN REKONSILIASI

[Pengenalan Gubernur , Ir. Said M. Assagaff]

I Siapakah John Ruhulessin di mata saya? Pertanyaan itu gampang dijawab, sebab saya sudah mengenal sosok Pendeta ini, dan secara intens mungkin sekitar lebih dari satu dekade. Tetapi apakah harus dijawab dengan sekedar menyebut namanya yang sudah cukup populer? Tentu tidak sedikit orang mengenalnya. Apakah juga dengan menyebut gelar kenabiannya sebagai seorang pendeta, banyak orang mengetahuinya? Menyebutnya sebagai Ketua Sinode GPM pun telah umum diketahui, sebab sosoknya sudah sangat publis. Bahwa sebagai Pendeta, ia bukan hanya milik GPM, tetapi ia menjadi milik semua umat beragama di Maluku. Saya mempunyai tiga cerita kecil yang membuat saya yakin bahwa John Ruhulessin adalah Jembatan Rekonsiliasi. Cerita itu sebagai berikut:

II Seorang tokoh lahir ketika ia bermandi keringat dengan masalah masyarakat; saat tangannya menyeka darah dan luka para korban. Ada pula yang lahir dari kegigihan merajut relasi yang terkoyak akibat konflik, atau menjadi korban di tengah upaya menghentikan pertikaian. Ada juga tokoh yang lahir karena khotbah- khotbah yang menggetarkan, dibarengi keteladanan iii dirinya. Mereka menjadi anutan banyak orang, sehingga kehadiran mereka didambakan, tutur kata mereka ditunggu-tunggu, dan sudah tentu mengalir laksana hujan menyiram tanah gersang. Saya meringkas saja waktu pengenalan terhadap John Ruhulessin ~selanjutnya ditulis JR. Tahun 1999, tatkala terjadi Kerusuhan Ambon, JR diutus Sinode GPM sebagai salah satu anggota Pusat Rujuk Sosial (PRS) yang bertugas mengkaji realitas kerusuhan dan menyusun resolusi perdamaian antarkelompok. Di tengah situasi yang berat itu, saya dapat memahami kesungguhan hatinya, bersama anggota PRS lainnya dan seluruh elemen pemerintahan serta tokoh-tokoh agama, agar konflik dapat segera dihentikan. Dalam masa konflik itu, sebagai Kepala Bappeda Provinsi Maluku, saya ditugaskan berangkat ke Negeri Belanda, untuk urusan kerjasama pengembangan ekonomi. Otomatis Paspor harus segera diurus. Kantor Imigrasi berada di Kudamati. Bagaimana saya bisa menuju kawasan tersebut? Ditemani Tentara. Itu solusi yang sempat terlintas dalam benak saya. Lalu saya berkomunikasi dengan JR. Saya dibuat kaget dan bingung memikirkan, seperti apa JR itu, sebab ia meminta saya agar „Saya yang antar bapak ke sana. Saya jamin bapak pasti aman‟. Di hati kecil saya: „apa maksud JR dengan rencana itu?‟ Saya berusaha merenunginya, dan akhirnya kami bersama-sama ke Kantor Imigrasi di Kudamati. Melewati Batu Gantung dan menyusur jalan Tugu Dolan sampai ke Kantor Imigrasi: „beta darah seng sa tiris lai‟ [darahku mungkin berhenti, takut mati]. Akhirnya kami tiba di Kantor dan harus segera difoto. iv

Masalah baru muncul. Saya mengenakan pakaian dinas PNS. Sementara ketentuan pemotretan paspor tidak boleh dengan seragam/uniform. Saya harus mencari kemeja warna putih. Bagaimana mungkin istri saya atau orang lain disuruh datang dari rumah dan mengantarnya ke Kudamati? Ide gila JR muncul lagi. „Bapak, gampang. Katong pinjam saja dari anana di luar sana (anak-anak Kudamati)‟, begitu katanya. Dalam hatiku, „aduh JR, apa sebenarnya rencanamu dengan saya?‟ Dalam situasi hari itu, saya harus mengatakan, rencana JR bagi saya riskan. Ukuran tubuh saya tidak banyak di antara orang Kudamati. Saya harus pergi dari satu rumah ke rumah yang lain sekedar untuk mengukur kemeja yang pas di badan saya, dan JR menuntun saya bersama beberapa pemuda Kudamati dalam proses „ukur kameja‟ itu. Akhirnya, dapat kemeja yang pas di badan saya, dan sesi pemotretan pun berlangsung. Saya mulai yakin akan kesungguhannya untuk segera membangun perdamaian dengan merekatkan kembali tali persau- daraan di tengah konflik yang sedang berkecamuk. Pesannya saat itu „bapak harus jadi seorang tokoh perdamaian‟. Yah, semoga saja ya Pak John, kata saya dalam hati cemas, saat itu.

III Masih dalam situasi konflik Maluku, saya dipercayakan menjadi Sekretaris Daerah Provinsi Maluku di era kepemimpinan Gubernur Karel Albert Ralahalu. Ini masalah baru lagi, sebab rumah Sekda ada di Batu Meja. Di sampingnya adalah Mako Polda Maluku. Namun apakah ada jaminan keamanan bagi v saya, seorang Muslim yang harus pergi tinggal di tengah permukiman basudara Sarane? Lagi-lagi JR-lah yang membuat saya kembali harus mengambil keputusan etis, antara menjalankan tugas negara dan membantu mencairkan titik-titik beku konflik Maluku, terutama relasi Salam-Sarane. „Bapak musti pi tinggal di rumah dinas. Lalu, beta usul, bapa bajalang dari rumah ka rumah di Batu Meja tuh la bilang par dong: „beta mau tinggal di rumah Sekda, karna beta nih warga Batu Meja‟. Rumah itu bersejarah bagi orang Ambon dan khusus orang Batu Meja, bapa. Jadi dong seng mungkin macam-macam par biking susah bapa. Jang taku, bapa pi saja la jadi orang Batu Meja‟ . Begitu kata-kata JR yang mengalir tanpa ada hambatan sedikit pun. Saya lagi-lagi berpikir, „orang ini masih simpan rencana apa dengan saya?‟ Namun seperti yang pernah terjadi di Kudamati, saya bertekad untuk pergi dan menjadi Warga Batu Meja. Saya kunjungi semua ketua RT dan RW secara langsung, saya menyapa semua tetangga di Batu Meja, dan buktinya saya tinggal di rumah dinas Sekda dalam masa ketika konflik masih panas-panasnya. Ketika digelar acara Bakudapa Warga Batu Meja, saya dikukuhkan sebagai sesepuh warga Batu Meja. Lagi-lagi saya memahami, JR adalah sosok Jembatan Rekonsiliasi yang sudah membawa saya melintasi jembatan itu dengan mengajak semua basudara Salam- Sarane untuk terus berjumpa dalam kasih persaudaraan sejati.

vi

IV Ketika era kepemimpinan Gubernur Karel Albert Ralahalu akan berakhir, JR adalah orang pertama yang menyebut nama saya sebagai calon Wakil Gubernur dan berproses dengan hal itu, sampai saya kemudian menjadi Wakil Gubernur menemani Pak Karel. Bagi saya, dalam keadaan Maluku yang perlu dibangun dari segala sisi, perdamaian menjadi agenda pokok yang berkelanjutan. Visi tentang Maluku yang damai menjadi semacam idiologi yang harus diwujudkan. Karena itu, menjadi Wakil Gubernur Maluku (2008-2013) berarti merealisasi agenda-agenda perdamaian secara nyata di semua level masyarakat. Dalam keadaan itu, saya menemui sosok JR sebagai seorang yang kokoh mengusahakan perdamaian. Melalui GPM, JR merintis berbagai macam dialog perdamaian, dan telah meng-create Jemaat-jemaat GPM sebagai komunitas eksemplaris perdamaian di Maluku dan Maluku Utara. Pada beberapa kesempatan menghadiri Sidang- sidang Gereja, atau pada acara Peresmian Gedung Gereja GPM, saya mendengar langsung khotbah para pendeta tentang perdamaian dan bagaimana Jemaat mempraktekkan itu secara nyata. Memang para Pendeta sudah melakukan tugasnya dengan baik. Saya yakin, era kepemimpinan JR di Sinode GPM (2005-2010, 2010-2015) menjadi era yang semakin mengokohkan dirinya sebagai „JEMBATAN PERDAMAIAN‟. Ia menjadi orang yang mampu menghubungkan semua orang dengan jalan menjadi titian di tengah kesenjangan yang ada. Ia memberi vii dirinya menjadi „jalan yang dilalui‟ oleh semua orang, sehingga kesenjangan jarak dan ruang menjadi hilang. Saya pernah „meniti‟ jembatan itu, karena menurutnya, „bapak harus jadi tokoh perdamaian‟. Setelah saya menjadi Gubernur Maluku dan menyaksikan pendidikan perdamaian dilaksanakan secara sungguh- sungguh oleh GPM, saya dapat memahami mengapa ia pernah mengajak saya ke Kudamati dan tinggal di Batu Meja dalam situasi konflik kala itu. Karena itu jika pada berbagai kesempatan saya menegaskan bahwa Maluku kini telah menjadi laboratorium perdamaian dunia, hal itu tentu datang dari kesungguhan hati banyak orang, dan JR adalah salah satu „jembatan‟ ke arah itu. Demikian sedikit pengenalan saya tentang JR, sang Jembatan Rekonsiliasi.

Gubernur Maluku

Ir. Said M. Assagaff

viii

KATA PENGANTAR Pdt Dr. Andreas A. Yewangoe (Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di )

John Ruhulessin (selanjutnya akan saya sebut John) akan mengakiri masa pelayanannya sebagai Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), setelah melayani selama 10 tahun. Ini sebuah masa pelayanan yang panjang bagi seseorang, tetapi cukup singkat bagi lembaga yang dilayani. Sesungguhnya lembaga seperti GPM yang telah berusia cukup tua, dibandingkan dengan gereja-gereja lain di Indonesia membutuhkan pelayanan yang kontinyu, konsisten, berkesinam- bungan, dan seterusnya, kendati itu tidak berarti harus terus-menerus dilakonkan oleh satu orang. Namun demikian, tetap diharapkan bahwa visi dan misi gereja akan terus berkesinambungan, tidak terputus-putus tanpa arah. Ini berarti, GPM tidak pernah boleh kehilangan jati dirinya, kendati itu tidak berarti harus tetap statis saja. Tetapi di dalam ia menyikapi berbagai perubahan yang ada, GPM tetap setia kepada panggilan mula-mulanya, yaitu melayani dunia yang di dalamnya ia berada sebagaimana Kristus juga telah melakukannya. GPM, dan secara umum masyarakat Maluku pernah mengalami pengalaman sangat pahit ketika konflik berdarah bernuansa agama menguasai wilayah itu. Pada waktu itu, orang-orang sungguh-sungguh hampir putus asa dan sekaligus bertanya, mengapa

ix keakraban yang selama ini dipatrikan di dalam kekerabatan “Pela-Gandong” lenyap begitu saja laksana embun ditiup angin? Seberapa kuatkah kekuatan- kekuatan angkara murka perusak yang berusaha membinasakan kearifan lokal yang sangat dikenal di seluruh dunia ini, sehingga perspektif untuk bangkit lagi kembali hampir-hampir tidak ada? Dalam masa-masa yang penuh gejolak ini, Pendeta I.W.J. Hendriks dan Pendeta John Ruhulessin dan sebelumnya lagi Pendeta Sammy Titaley (yang waktu itu memimpin GPM) memainkan peranan sangat menentukan, bagaimana memulihkan kembali masyarakat yang sudah terpecah- belah ini. Tentu saja ini bukan usaha yang mudah, ketika saling tidak percaya telah menguasai begitu banyak orang. Saya masih ingat bagaimana John, bersama-sama dengan Bapak Theis Eluway mengunjungi Kupang (waktu itu saya Rektor UKAW Kupang) di tengah-tengah konflik yang sedang membara itu, meyakinkan orang-orang Kupang bahwa konflik di Ambon pada hakekatnya bukanlah pertentangan agama, melainkan agama dipergunakan secara keliru oleh mereka yang mempunyai kepentingan lain. Sementara itu saya mendengar, bagaimana John bersama-sama dengan saudara-saudara Muslim membangkitkan kembali harapan, bahwa orang-orang Maluku yang sesama saudara itu bisa lagi pulih seperti sediakala, asal saja ada kejujuran di antara mereka, dan pengaruh-pengaruh luar yang ikut mengail di air keruh bisa dieliminir. Saya kira kita telah melihat hasilnya yang sungguh-sungguh positif. Masyarakat Maluku kembali pulih. Ada damai di sana. Baik dalam MTQ yang x diselenggarakan dua tahun lalu, maupun Pesparawi yang baru saja usai dalam bulan Oktober 2015 lalu ini telah menjadi milik bersama orang-orang Maluku, baik Islam mau pun Kristen. Kita tentu saja sangat terharu ketika utusan-utusan peserta Pesparawi diterima secara adat di Negeri Batu Merah oleh saudara-saudara Muslim. Dulu kalau kita mendengar “Batu Merah”, konotasinya selalu negatif, di negeri itulah terjadi konflik. Sekarang, justru di negeri itu persaudaraan kembali dirajut. Maka benarlah apabila ada yang mengatakan, Maluku merupakan “Laboratorium Perdamaian”. Lalu bagaimana dengan “Pela-Gandong” yang selama ini tatanannya sempat diobrak-obrik? John melakukan kajian mendalam mengenai ini sebagaimana dituangkannya di dalam disertasinya yang dipertahankan di UKSW beberapa tahun lalu berjudul, Etika Publik. Menggali dari Tradisi Pela di Maluku Tengah (UKSW Press, Salatiga). Disertasi ini dikirimkan John kepada saya. Saya sempat membacanya. Saya tidak bisa mengingat semuanya apa yang ditulis di dalam disertasi itu. Namun saya mendapat kesan adanya rasa optimisme, bahwa tatanan “Pela-Gandong” bukan saja bisa dipulihkan, melainkan juga dapat menjadi salah satu sumber nilai bagi sebuah kepemimpinan publik. Tentu saja publik yang dimaksud jauh lebih luas dari gereja (dalam pengertian lokus). Yang dihadapi adalah masyarakat yang sangat beraneka-ragam, dengan berbagai kebutuhan dan tuntutannya. Di tengah-tengah masyarakat seperti inilah gereja hadir. Para pemimpin gereja dengan demikian, dituntut untuk memahami secara mendalam dan mendasar berbagai persoalan xi masyarakat, dan ikut-serta di dalam menyampaikan solusi. Kalau para pemimpin gereja melakukan hal itu, bukanlah karena mereka ingin menonjolkan diri, melainkan mau menyumbang, demi panggilannya bagi penyelesaian persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan. John yang saya kenal adalah seorang yang sangat kritis terhadap segala sesuatu. Di dalam berbagai persidangan gerejawi, beliau selalu menyampaikan suara-suara keras dan tajam, tetapi juga gagasan-gagasan segar. Sayang juga gagasan-gagasan seperti itu masih belum dapat ditangkap sepenuhnya, sehingga kadang- kadang orang menyangka jangan-jangan John hanya berbicara “di awang-awang”. Tetapi saya kira kesenjangan antara apa yang seharusnya (das Sollen) dan apa yang nampak di dalam kenyataan (das Sein) akan selalu kita alami dalam berbagai pengalaman hidup. Namun demikian, kita tidak pernah boleh berhenti berusaha mempersempit kesenjangan itu. Apa yang kelihatannya mustahil hari ini, bisa saja terwujud besok atau di masa depan. Dalam hal inilah saya melihat John sebagai seorang yang optimis. Memimpin GPM sebagai sebuah gereja dengan “seribu pulau” yang dalam banyak hal mesti ditempuh melalui kapal laut dan speedboat tidaklah mudah. Tetapi saya dengar, John telah mengunjungi semua pulau-pulau ini, setidak-tidaknya di mana pusat-pusat klasis terdapat. Buku ini berisikan kumpulan tulisan John yang disampaikan dalam berbagai kesempatan. Ada yang berupa pidato, ada pula makalah dan tulisan-tulisannya lainnya. Melalui kumpulan tulisan ini, kita bisa

xii mengikuti secara saksama pemikiran-pemikiran John selama ini. Pada akhirnya, John tidak lagi menjadi Ketua Sinode GPM. Itu tidak berarti ia berhenti melayani. Saya angkat kembali apa yang saya sampaikan dalam Sidang Sinode GMIT beberapa waktu lalu di Rote, yang saya juga baca dalam sebuah tulisan: “Kita adalah pelayan yang menjadi pemimpin, bukan pemimpin yang menjadi pelayan”. Artinya, nada dasar kita adalah “pelayan”, sehingga kalaupun tidak lagi memimpin kita tetap melayani. Lain halnya kalau nada dasar kita adalah pemimpin. Kita bisa berpura-pura melayani demi pencitraan. Kalau tidak lagi memimpin, lalu kita pun berhenti menjadi pelayan. Saya menghaturkan banyak terimakasih kepada John yang selama kepemim- pinannya telah memperlihatkan kerjasama yang baik, dan menjadi mitra dalam perjalanan ziarah bersama ke masa depan.

Tangerang, 13 Oktober 2015

xiii

CATATAN PENYUNTING

Ide penulisan buku ini bersifat spontan. Mengapa Pak John tidak meninggalkan “sesuatu” bagi GPM dan Maluku bahkan kemanusiaan, setelah memimpin GPM selama sepuluh tahun? Bukanlah ada berbagai jejak karya termasuk gagasan-gagasan yang sangat disayangkan jika “menguap” di udara karena tidak sempat terdokumentasikan. Manakala ide ini mendapat respons positif dari Pak John, maka proses penulisan buku ini dikerjakan. Diniatkan dengan penerbitan buku ini ada jejak- jejak pelayanan yang “terbaca” sehingga bisa membantu melacak “progresifitas” dan keberlanjutan pelayanan gereja (baca:GPM) dari waktu ke waktu. Hal ini senafas dengan moto GPM perihal menanam dan menyiram (1 Kor.3:6). Ironis tentunya jika seseorang hendak menyiram tumbuhan yang ditimbun belukar atau kering dihempas kemarau. Maka menulis buku ibarat menabur benih, merawat dan mencatat pertumbuhannya inci demi inci. Buku yang diberi judul “Gereja dan Kepemimpinan Publik” hendak merangkum “scholarship spirit” seorang JR yang pernah menghasilkan karya akademik tertinggi berupa disertasi berjudul “Etika Publik” tahun 2005. Term “publik” sekaligus menunjukkan kepekaan, visi serta komitmennya terlibat di arena publik itu. Jurgen Habermas memaknai ruang publik sebagai ruang

xiv bersama dimana disana berlangsung kontestasi, negosiasi dan konsensus yang menjamin keragaman aspirasi dan kepentingan semua orang secara setara, tanpa diskriminasi. Gereja berada di ruang publik dan terpanggil untuk menciptakan ruang publik yang sehat dan berkualitas. Melalui corak kepemimpinan gereja yang publik itulah gereja tidak hanya sibuk dengan dirinya sendiri melainkan dapat menyumbang sesuatu yang berarti bagi kebaikan bersama. Sejak tahun 2005 hingga 2015 selama sepuluh tahun JR dipercayakan menakhodai bahtera Gereja Protestan Maluku, setelah sebelumnya memimpin Angkatan Muda GPM selama lima tahun (2000-2005). Seakan Tuhan menyediakan “panggung” sekaligus “punggung” kepada JR dan rekan-rekannya untuk mengartikulasikan gagasan dan konsern bahkan komitmennya terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pluralisme di ruang publik. Tahun 2007 bersama Bung Abidin Wakanno kami mengeditori penerbitan kumpulan tulisan JR dalam sebuah buku berjudul: Pluralisme Berwajah Humanis. Sketsa Pemikiran Dr John Ruhulessin (Galang Press Jogja). Sambutan terhadap penerbitan buku tersebut cukup menggembirakan. Buku tersebut sekaligus menjadi tonggak penegasan pisitioning seorang JR dalam mengusung nilai-nilai pluralisme dalam konteks recovery Maluku pasca konflik. Dua tahun sebelum penerbitan buku Pluralisme Berwajah Humanis sudah terbit bukunya yang berjudul: Etika Publik. Menggali dari Tradisi Pela di Maluku Tengah (UKSW Press 2005). Bersamaan dengan itu pula Pdt Elifas Maspaitella mengeditori dan menerbitkan xv buku JR lainnya “Jelajah Pemikiran Etika” yang merupakan jelajah teori-teori yang digarap JR saat menulis disertasinya di Berkeley Amerika Serikat. Johan Saimima dan saya mengedit buku JR lainnya bertajuk: “Merambah Cita Kemanusiaan Bersama”. Pergulatan Keambonan dan Keindonesiaan (dalam proses percetakan). Buku ini merupakan tesis JR pada program Magister Sosiologi Agama (MSA) UKSW Salatiga 1993 dibawah bimbingan Dr Th Sumartana. Buku ini terdiri atas lima bab. Bab pertama merupakan biografi singkat JR. Bab dua memuat impresi dan apresiasi para sahabat dan kolega. Bab tiga dan empat berisi naskah-naskah Pidato Pembukaan Sidang BPL/MPL Sinode dan pidato HUT GPM. Bab lima memuat tulisan-tulisan terpilih yang pernah dipresentasikan di berbagai forum gerejawi maupun forum lintas agama. Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih disampaikan kepada Pdt. John Ruhulessin yang berkenaan mempercayakan pekerjaan penyuntingan ini kepada kami. Terima kasih kepada Ibu Lien, Joy dan Vano Ruhulessin yang turut men-support penerbitan buku ini. Keluarga pak. John di Amahai, khususnya Oma Mimi Ruhulessin-Sopacua terkasih (Ibu dari pak John) patut disampaikan terima kasih yang tulus. Buku ini merupakan sebentuk “kado” buat Oma Mimi yang pada 20 Agustus 2015 genap berusia 88 tahun. Kepada Gubernur Maluku, Ir Said Assagaf, terima kasih atas sambutan Bapa. Terima kasih kepada Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe mantan Ketua Umum PGI yang juga rekan sekerja JR sewaktu kepemimpinan

xvi beliau di PGI selama dua periode. Pak Yewangoe telah memberikan kata pengantar yang hangat. Sebagian besar naskah pidato telah disimpan dengan baik oleh Bung Noce Picauly, staf sekretariat kantor Sinode GPM. Pdt. Elifas Maspaitella membantu dalam beberapa file terkait. Kepada Bung Noce dan Bung Ely, danke banya lai. Terima kasih kepada Pdt. Helky Veerman, Elvis Batsira dan Yanes Parihala yang membantu penyiapan beberapa hasil wawancara dan naskah terkait. Istri saya Pdt. Ruth Saiya turut membantu dalam perampungan buku ini. Kami pun menyampaikan terima kasih kepada para pemberi impresi dan apresiasi yang berkenan diwawancarai dan atau menyediakan waktu untuk menulis “selembar” impresi terhadap sosok JR. Kepada penerbit UKSW Press terima kasih atas kerjasamanya, khususnya kepada Dr (cand.) Johan Saimima yang mengkoordinasi proses pencetakannya di Salatiga. Terima kasih voor Agus Lopuhaa yang membikin desain sampul buku ini. Buku ini tidak lepas dari keterbatasan. Memahami pergumulan GPM tentu tidak cukup dipotret sepuluh tahun saja. Demikian pun, memahami pemikiran dan kiprah seorang JR tidak cukup ditulis dalam “rekaman sekilas” ini. Olehnya, barangsiapa yang berminat untuk melakukan telaah lanjutan tentang GPM dan atau JR pintu itu terbuka dan prospektif. Akhirnya buku ini dipersembahkan kepada Gereja Protestan Maluku (GPM) dalam mensyukuri delapan dekade (80 tahun) menanam dan menyiram, serta syukur atas perkenaan Tuhan Yesus bagi

xvii kepemimpinan Pdt. John Ruhulessin sepanjang satu dekade.

Semoga buku ini membawa maslahat bagi gereja, masyarakat, bangsa dan kemanusiaan.

Lenteng Agung, 28 Oktober 2015 Penyunting,

Pdt Rudy Rahabeat

xviii

DAFTAR ISI

Sambutan Ir. Said Assagaf (Gubernur Maluku) ...... iii Pengantar Pdt. Dr. A.A Yewangoe (Ketua Umum PGI 2004-2014) ...... ix Catatan Penyunting Pdt. Rudy Rahabeat ...... xiv

BAB I BIOGRAFI SINGKAT ...... 1 Kenangan Masa Kecil ...... 2 Hobi Mengail...... 3 Persahabatan Lintas Suku dan Agama ...... 4 Sekolah Teologia ...... 5 Biografi Intelektual ...... 6 Kiprah dan Partisipasi Sosial Politik ...... 15 Membangun Jembatan Perdamaian dan Persaudaraan . 16 Muhibah Internasional ...... 19 Kalesang Gareja ...... 21 Sosok yang Low Profile ...... 24 Adventus Journey...... 25 Melayani Bersama Keluarga ...... 27

BAB II IMPRESI PARA SAHABAT DAN KOLEGA ...... 31 Pdt. Dr. Jhon Ruhulessin: Tokoh Inspiratif untuk Semua  Dr. Abidin Wakanno ...... 33 JR: Sosok Baik Hati yang Sering “Menahan Hati”  Pdt. Max Syauta ...... 37 “Belajar dari Kepemimpinan Pa John”

xix

 Pdt. Monike Hukubun ...... 44 Teladan dalam Kepemimpinan yang Misional  Marnix Riupassa ...... 48 JR: Sang Dosen “Smart dengan Aroma Parfum yang Khas”  Dr. Wely Tiwer ...... 51 Arti Kehadiran  Pdt. Jerda Djawa ...... 54 Pandai Ambil Hati  Pdt. Sus Moniharapon ...... 59 Membuka Ruang Pengkaderan  Pdt. Tjak Sapulette ...... 61 Di Antara Dua Kutub  Pdt. Elifas Tomix Maspaitella ...... 66 Pemimpin Yang Idealis  Pdt. Jondry Paays ...... 74 Orang Yang Murah Hati Berkatnya Banyak  Drs. Piet Leuwol ...... 76

BAB III PIDATO-PIDATO SIDANG GEREJAWI TINGKAT SINODAL ...... 81 Pidato BPL tahun 2006 di Masohi ...... 83 Pidato BPL tahun 2007 di Tual ...... 94 Pidato BPL tahun 2008 di Kairatu ...... 105 Pidato BPL tahun 2009 di Larat ...... 121 Pidato BPL tahun 2010 di Latuhalat ...... 139 Pidato MPL tahun 2011 di Dobo ...... 149 Pidato MPL tahun 2012 di Tepa ...... 159 Pidato MPL tahun 2013 di Taniwel ...... 176 Pidato MPL tahun 2014 di Lafa ...... 193

xx

BAB IV PIDATO-PIDATO HARI ULANG TAHUN GPM ..... 205 Pidato HUT GPM ke- 72 tahun 2007 ...... 207 Pidato HUT GPM ke- 75 tahun 2010 ...... 219 Pidato HUT GPM ke- 77 tahun 2012 ...... 232 Pidato HUT GPM ke- 78 tahun 2013 ...... 245 Pidato HUT GPM ke- 79 tahun 2014 ...... 257 Pidato HUT GPM ke- 80 tahun 2015 ...... 270

BAB V GAGASAN-GAGASAN VISIONER ...... 285 Dinamika Perubahan GPM ...... 287 Maluku: antara Realitas dan Harapan ...... 293 „God of life, Lead us to Justice and Peace” ...... 305 Gereja dan Masa Depannya ...... 311 Membangun Kebersamaan dalam Tradisi Persaudaraan ...... 323 Perspektif Teologi Gereja tentang Politik ...... 337 Pemilihan Umum: Mempertanyakan Peran Profetis Gereja ...... 344 Refleksi Perjalanan dan Pertumbuhan GPM 2005-2015 serta Harapan 2015-2025 ...... 355

xxi

BAB I BIOGRAFI SINGKAT

Mungkin sebagian orang belum tahu bahwa sebelum menjadi pimpinan gereja dan tokoh publik yang dikenal banyak orang, JR telah melalui jalan-jalan setapak yang berliku. Sejak kecil JR tidak tinggal dengan orang tuanya. Ia menghabiskan masa kecil di pulau Banda sebelum kembali ke Amahai untuk melanjutkan sekolah menengah. Ia merupakan seorang nelayan yang handal. Selalu menemani ayahnya melaut kelak membuat jiwa kecintaan terhadap laut dan kebiasaan memancing ikan terus mewarnai tugas-tugas pelayanannya sebagai pemimpin gereja. Dukungan keluarga besar Ruhulessin- Sopacua bagi JR dalam studi teologi juga merupakan kisah yang menarik. Sebagai anak seorang mantri cacar, JR dengan topangan keluarganya akhirnya bisa sekolah teologia. Bahkan dengan militansi yang luar biasa ia dapat merampungkan studi hingga ke jenjang akademik tertinggi, Doktor.

Ia adalah seorang pendeta yang memilih melayani Tuhan sebagai dosen. Tapi status dosen tidak menyurutkan langkahnya untuk terlibat dalam diskursus dan kiprah sosial politik. Mungkin ini satu sisi yang merupakan kelebihan seorang JR sekaligus sisi yang kadang mendapat sorotan orang-orang yang cenderung merasa tabu ketika mendengar kata “politik” (tepatnya: gereja dan politik). Kiprah dan militansi membangun perdamaian membuat Ir Said Assagaf

1 selaku Gubernur Maluku menyebut JR sebagai “Jembatan Rekonsiliasi”. Ia beberapa kali dinominasikan sebagai penerima Award selaku pekerja perdamaian. Sejarah jualah yang akan memberi Award bagi tokoh yang serius dalam hal dialog dan pluralisme ini.

Bagian ini selain menceritakan sekilas masa kecil JR juga memuat biografi intelektualnya, kiprah dan partisipasi dalam kehidupan sosial politik dan keagamaan serta perannya dalam menata dan mengembangkan pelayanan GPM. Pada akhir bagian ini disajikan impresi keluarganya (istri dan anak-anak) juga refleksi JR terkait kepemimpinannya di GPM selama satu dekade.

Kenangan Masa Kecil: Bermula dari Nusa Ina (Pulau Ibu) Johny Christian Ruhulessin – selanjutnya disingkat JR, dilahirkan di negeri Amahai (pulau Seram/Nusa Ina, Maluku Tengah), 24 Januari 1957. Ayahnya bernama Yohanis Ruhulessin, mantri cacar, lahir di Souhuku, 21 September 1923. Ibunya bernama Maria Fransina Sopacua, lahir di Amahai, 20 Agustus 1927. Bapak Yohanis dan Ibu Maria memiliki delapan orang anak dan tiga puluh cucu serta empat belas cece. Adapun saudara-saudara JR masing-masing: Dominggus Ruhulessin, Yemima Ruhulesin, Batseba Ruhulessin, Christina Ruhulessin, Thomas Ruhulessin, Yospina Ruhulessin dan Alexander Ruhulessin. Sejak kecil JR sudah belajar hidup mandiri. Pada umur enam tahun ia mengikuti pamannya (Bapak Dang Ruhulessin) di pulau Banda. Bapak Dang saat itu bertugas sebagai salah seorang pegawai kesehatan di 2 pulau penghasil pala tersebut. Selama empat tahun ia tinggal di Banda, terpisah dari saudara-saudaranya. Kemudian JR kembali ke Amahai untuk melanjutkan studi di SMP dan SMA Masohi. Untuk pergi sekolah ia berjalan kaki kurang lebih lima kilometer pergi pulang. Ada sebuah kisah unik yang diceritakan Bung Tomy Ruhulessin, adik JR, mengenang masa kecil di Amahai: “Waktu masih kecil kami suka bermain di bawah pohon bintanggor. Ketika sedang bermain datanglah seorang bapak polisi bernama Max Maatuku. Pak polisi tersebut bersama seorang anak laki-laki yang dipunggungnya ada sebuah buntalan berisi sesuatu. Pak polisi Maatuku menyuruh saya untuk memanggil Bapa saya karena anak laki-laki tersebut ingin bertemu dengannya. Saya kemudian berlari ke rumah dan menyampaikan hal tersebut kepada Bapa. Ketika Bapa datang ia langsung menangis sambil memeluk anak laki-laki tersebut. Sejenak kami bertanya dalam hati, mengapa Bapa menangis? “Ini adalah kakak kalian, ini John, kakak kalian. Ia sudah pulang dari Banda”, demikian kata Bapa. Kami pun saling berpelukkan dan menangis – di bawah pohon bintanggor.

Hobi mengail JR kecil mempunyai hobi mengail ikan. Sebagai anak yang tinggal di pesisir pantai, sebagian besar waktu dihabiskan di pantai. Bersama teman-teman sepermainan, mereka sering mencari ikan di sekitar Tanjung Kuako, sebuah tanjung yang indah di negeri Amahai. Ia juga sering menemani ayahnya melaut. Kegiatan itu dilakukan pagi maupun malam hari. Hasil 3 tangkapannya selain guna memenuhi kebutuhan protein keluarga tapi ada juga yang dijual untuk menambah biaya sekolah. Kebiasaan memancing ikan ini terus dilakoninya, termasuk ketika dipercayakan sebagai pimpinan Sinode. Dalam kapasitas selaku Ketua Sinode, ketika mengunjungi jemat-jemaat umumnya para pendeta sudah tahu apa yang mesti disiapkan. Selain untuk urusan acara kegerejaan, JR tidak pernah absen menyempatkan waktu memancing ikan. “Kami dibikin sibuk sekaligus senang karena hobi pak Ketua ini”, kata Pdt Max Syauta, Ketua Klasis GPM Tanimbar Selatan. Hal yang sama disampaikan pula oleh Pdt Tjak Sapulete, Ketua Klasis Lease maupun Pdt Yan Matatula, Ketua Klasis Kairatu. “Bapa ketua ini tidak pernah absen memancing. Ini merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi beliau dan kami juga tentunya,” kenang Pdt Nick Rutumalessy, mantan Ketua Klasis Seram Bagian Barat. Suatu waktu ketika ditanya apa refleksinya terkait hobi memancing itu dengan renyah JR berkata “Murid-murid Yesus juga nelayan toh, makanya kita sebagai murid-murid Yesus masa kini mesti juga bisa memancing baik dalam arti harfiah tapi juga dalam arti yang lebih luas, menjala manusia” jawabnya, sambil tertawa lepas.

Persahabatan Lintas Suku dan Agama Di Amahai sejak dulu sudah ada beberapa orang Bugis yang tinggal di sana. Mereka membuka usaha kecil-kecilan seperti kios pakaian, toko kelontong dan beli hasil (cengkeh dan pala). Ada seorang Bugis namanya Lala Patembo. Ia membuka rumah kopi kecil 4 yang menjadi tempat para supir dan masyarakat sekitar mampir minum sambil ngobrol-ngobrol. JR turut membantu Lala Petembo dalam usaha tersebut. Mencuci gelas dan mengantar kopi adalah tugas sehari-hari selepas pulang sekolah. Uang hasil kerjanya digunakan untuk membeli buku. Perjumpaan dan persahabatan dengan Lala Patembo sedikitnya turut membentuk pengenalan JR akan hidup bersama lintas etnis dan agama. Ketika menjalani studi baik di Ambon maupun di Salatiga, JR senantiasa menjalin persahabatan lintas suku dan agama. Kiprah di organisasi kepemudaan membuka jalan yang luas baginya untuk terus merajut kebersamaan dan menumbuhkan kepekaan tentang hidup bersama dalam perbedaan. Kelak ketika mendapat kesempatan menjadi pemimpin di organisasi semisal AM GPM dan Sinode GPM, JR dengan serius merajut kebersamaan lintas suku dan agama itu. Apalagi saat- saat kepemimpinannya itu, Maluku berada dalam kondisi konflik dan ujian berat terhadap kebersamaan lintas suku dan agama tersebut.

Sekolah Teologia “Bapa rasa seng mampu, tapi Bapa adu nasib. Bapa mau kase satu anak sekolah Pandita”, demikian kata Batseba Ruhulessin adik JR mengenang kata-kata ayah mereka ketika hendak menyekolahkan JR ke sekolah Teologia di Ambon. Waktu itu biaya sekolah Teologia boleh dibilang cukup tinggi untuk masyarakat yang hidup di negeri. Meski diperhadapkan dengan biaya yang besar, tapi orangtua dan keluarga JR tidak menyerah. Dengan 5 segala upaya dilakukan untuk dapat memenuhi tuntutan biaya tersebut, termasuk memanfaatkan hasil dusun kelapa sebaik-baiknya. Tidak hanya itu, Mama Mimi, ibu JR dan adik-adiknya turut bahu membantu memberi dukungan buat studi JR. “Beta dengan mama biasa ke hutan ambil kasbi, diparut dan bikin sagu untuk kirim untuk bung John dan kaka Domi. Katong juga pigi cari kenari untuk bawa ke Ambon”, kata Julia salah seorang kakak JR mengenang masa-masa perjuangan tersebut. Di Ambon JR tinggal di Gudang Arang, di rumah pamannya, Bapak Dang Ruhulessin. JR tinggal bersama kakaknya Domi yang juga sedang sekolah kesehatan. Masa-masa studinya dilalui dengan berbagai pengalaman. Semua itu dijalani dengan sabar dan tekun hingga akhirnya dapat menamatkan studi di Sekolah Tinggi Teologia (STT) GPM tahun 1982. Sehabis kuliah di STT, JR sempat mengikuti masa vikariat selama tiga bulan. Saat itu masih kekurangan tenaga pendeta sehingga masa vikarisnya tidak lama seperti sekarang. Setelah ditahbiskan sebagai pendeta GPM, JR kemudian memutuskan untuk melanjutkan studi di UKSW Salatiga. Di kota kecil Jawa Tengah itulah, JR melanjutkan studi S1, selanjutnya S2 dan S3. Boleh dikatakan Salatiga adalah kota kedua yang sangat berkesan setelah Ambon, dalam perjalanan studi seorang JR.

Biografi Intelektual JR Menarik menelusuri proses dan progres kesarjanaan (scholarship) seorang John Ruhulessin. Secara umum bagian ini hendak melacak jejak-jejak tersebut melalui fase-fase studi sarjana dan pascasarjana. 6

Seperti diketahui JR memulai pendidikan Teologi pada STT GPM tahun 1977. Saat itu belum ada program Sarjana di STT GPM. Visi dan motivasi yang jauh ke depan membuat JR mengambil pilihan untuk melanjutkan studi S1 di UKSW Salatiga tahun 1982. Pilihan ini pula yang mengubah arah seorang JR yang mula-mula bercita-cita menjadi pendeta jemaat, kemudian menjadi staf pengajar di Fakultas Teologi UKIM. Saat menyelesaikan studi S1-nya ia menulis skripsi tentang organisasi GPM. Sayangnya arsip skripsi tercecer entah kemana. Dalam penulisan skripsi itu banyak merujuk pada arsip-arsip yang ditinggalkan mantan Ketua Sinode GPM kala itu, Pdt Thom Pattiasina. “Saat saya datang ke rumah pa Thom, istri beliau berkata: you, John Ruhulessin ya, saya sudah lama menunggu kamu untuk menyerahkan arsip-arsip Bapak kepadamu”. Bagi JR ini sebuah berkat tersendiri, sebab banyak orang yang mencari arsip tersebut, tapi justru ketika ia datang, Ibu Pattiasina dengan senang hati memberikan arsip tersebut kepadanya. Selesai studi S1, JR kembali ke STT GPM menjadi staf pengajar. Waktu itu Rektornya Dr A.N Radjawane. JR turut bekerja bersama Rektor UKIM pertama ini. Ia bekerja sebagai tukang ketik dan tukar antar surat. Ia mengerjakan banyak sekali pekerjaan teknis membantu sang Rektor. Saat itu STT sedang bersiap-siap alih status menjadi UKIM. Tanggal 2 September 1985 STT GPM beralih status menjadi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM). JR adalah salah seorang yang turut berkontribusi dalam proses tersebut. 7

Sebagai seorang dosen, JR membawa sebuah arus pemikiran baru yang berusaha menjadikan teologi sebagai ilmu yang makin “membumi”. Tak ayal atas gebrakan ini, ia dicap sebagai “sekularis dan liberal”. Tetapi sebagaimana dikemukakan beberapa mantan mahasiswanya, justru gebrakan JR inilah membuat ilmu teologi khususnya di Fakultas Teologi UKIM semakin “bergairah”. Perjalanan akademik JR diteruskan saat ia melanjutkan studi lanjut di program Magister Agama dan Masyarakat UKSW Salatiga. Studi ini diakhiri dengan penulisan tesis tahun 1993 berjudul: “Mencari Makna Cita Kemanusiaan Bersama. Suatu Analisis Sejarah Politik Lokal secara Multidimensi pada Sejarah Ambon antara tahun 1945 hingga 1950. Serta Implikasinya bagi Artikulasi Iman Kristen dalam Konteks Pluralisme Masyarakat di Maluku”. Tesis ini dalam proses penerbitan dengan judul “Mencari Makna Cita Kemanusiaan Bersama. Pergulatan Keambonan dan Keindonesiaan”. Dalam tesis ini, sudah terlihat ketajaman dan kepekaan JR terhadap isu-isu sosial di Maluku dan Indonesia pada umumnya. Agar lebih jelas kami kutipkan bagian terakhir tesis tersebut. Menurut JR agar dapat mengimplementasikan visi pembangunan Maluku dan Indonesia, pada umumnya maka penting untuk memperhatikan beberapa hal berikut, sebagai saran: Pertama, kedua kelompok masyarakat agama (Islam dan Kristen) di Maluku dapat mengembangkan kerja sama dan dialog-dialog bersama secara intensif dan produktif untuk membangun wawasan-wawasan bersama, melalui forum-forum informal yang mereka 8 ciptakan sendiri, yang secara bebas dan terbuka berpikir dan discourse secara bersama-sama, di samping forum- forum pertemuan yang secara berkala diadakan. Forum- forum seperti ini sebaiknya berada di luar institusi- institusi formal, dan prakarsa untuk itu sebaiknya datang dari suatu kesadaran dan kebutuhan bersama. Kepentingan dan materi percakapan terutama diarahkan pada wawasan-wawasan sosiologis-teologis mengenai persoalan-persoalan bersama yang dihadapi di Maluku. Obsesi dari forum-forum seperti ini terutama dari kerangka membangun kehidupan masyarakat yang lebih dialogis-demokratis dengan acuan-acuan yang lebih rasional. Untuk menuju ke sana, jalan yang dapat digunakan adalah pendekatan-pendekatan kultural dengan memanfaatkan potensi-potensi kultural yang ada, misalnya pela. Kedua, bagi Gereja Protestan Maluku penting untuk membangun suasana dialogis, keterbukaan dihidupkan melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat akademik dengan wawasan-wawasan keagamaan dan sosial yang berimbang. GPM dikenal dengan amat banyaknya forum pertemuan yang berorientasikan kepentingan institusi, tetapi sangat terbatas dalam forum-forum studi yang dilakukan. Satu hal yang menyebabkan ini terjadi adalah GPM sebetulnya mengalami krisis kader yang amat serius. Oleh karena itu, bagian ini perlu mendapat perhatian yang sangat ketat dari GPM. Sementara itu, penting pula dipikirkan oleh GPM tentang lembaga-lembaga kependidikannya, baik yang bersifat umum maupun pendidikan teologi, agar lulusan-lulusannya mampu berpikir seimbang antar kompetensi teologis dan sosiologis. Serentak dengan itu 9 pula, kandungan kurikulum pendidikan teologi diarahkan secara dinamis, dengan menampung kompetensi-kompetensi tersebut. Satu bahaya yang terjadi pada lembaga pendidikan teologi GPM adalah proses dan dinamika berteologi sama sekali mandek. Arah dan orientasi pendidikan teologi yang berorientasi jemaat sudah waktunya dipikirkan. Sebab yang dihadapi GPM sekarang adalah tanggung jawab membangun masyarakat secara keseluruhan. Ketiga, kecenderungan kemapanan dan hirarkhis dari kelembagaan GPM sudah waktunya dipikirkan. Dalam arti, kelembagaan GPM harus memberi ruang yang cukup bagi kehidupan jemaat yang dialogis dan demokratis. Kepemimpinan Gereja yang birokratis dan sentralistis tidak akan menolong jemaat berpikir secara lebih dinamis dan kreatif. Keakuan kelembagaan gereja akan menutup pintu bagi peran serta potensi intelektual, awam dalam menggumuli persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan secara bersama-sama. Sebagai Gereja, GPM harus mampu mengambil jarak kritis terhadap kecenderungan ideologisasi dan birokratisasi yang terjadi di dalam masyarakat. Bila ini yang terjadi Gereja akan kehilangan fungsi kritisnya di dalam masyarakat. Keempat, bagi pemerintah, persoalan serius yang perlu dipikirkan adalah memberi iklim yang kondusif bagi proses dialogis dan demokratisasi masyarakat. Tanpa hal ini masyarakat akan sangat sulit bergerak. Selain itu, kearifan pemerintah untuk memanfaatkan segenap kekuatan/potensi masyarakat yang ada sangat penting, sebab tanpa fair shared sangat sulit dibayangkan suatu masa depan bersama di Maluku. 10

Artinya, diagnosis pemerintah terhadap persoalan- persoalan keagamaan dan kemasyarakatan bersama yang tepat di Maluku akan sangat membantu pemerintah untuk melakukan terapi-terapi yang tepat pula. Terapi- terapi psikologis, kultural dan ilmiah, akan sangat memungkinkan pengembangan potensi masyarakat secara bersama-sama. Akhirnya, sebagai penutup, tulisan ini tidak atau mencoba memberi tanggapan terhadap persoalan- persoalan bersama yang dihadapi di Maluku. Karena itu, tulisan ini tidak berpretensi menjawab, apalagi sebagai suatu “cetak biru”. Barangkali tepat, bila tulisan ini merupakan gelembung-gelembung kesadaran dari rasa kecintaan untuk sebuah masa depan bersama Maluku dalam negeri Indonesia yang tercinta ini. Rasa dan kecintaan yang diletakkan secara sintesis antara iman dan keambonan. Pada tahun 1994, JR mendaftarkan diri sebagai mahasiswa S3 Sosiologi Agama UKSW Salatiga. Studi ini dilakukan sambil mengajar dan mengerjakan beberapa agenda lainnya. Tak heran, baru pada tahun 2005 JR bisa menyelesaikan studi S3 dengan mempertahankan disertasi berjudul “Etika Publik. Belajar dari Tradisi Pela di Maluku Tengah”. Di sini JR mengintrodusir kata “publik” sebagai refleksi atas keterlibatannya di ruang publik selama ini. Disertasi ini dibukukan dengan judul yang sama. Pada sampul belakang buku tersebut tertulis begini: “Tak puas dengan etika sosial, studi ini membuktikan bahwa suatu etika publik dibutuhkan dalam masyarakat plural. Dalam situasi ketika manusia sedang mencari-cari dasar kehidupan bersama dalam terjangan keras globalisasi dengan berbagai 11 tantangannya, etika publik yang dibangun dari tradisi kebudayaan suatu masyarakat tertentu telah dibuktikan menjadi andalan yang memadai”. Masih dalam buku tersebut, JR meletakkan beberapa pikiran dasar berkaitan dengan etika publik dimaksud dalam kaitan dengan pengalaman konflik Maluku, antara lain sebagai berikut: Konflik Maluku yang berlangsung lebih dari empat tahun, tidak saja memperburuk hubungan-hubungan kemanusiaan atau hubungan lintas agama, hubungan agama dan masyarakat, tetapi merefleksikan retaknya tatanan organik masyarakat Maluku secara keseluruhan. Cara pandang yang mengasumsikan bahwa sumber konflik berdimensi budaya, sumber konflik Maluku terletak pada pertentangan budaya atau pertentangan nilai. Konflik berdimensi budaya ini berhubungan dengan identitas atau konflik pada tataran nilai, dan memiliki aspek yang lebih fundamental, serta akibat-akibatnya yang jaul lebih sensitif, misalnya konflik bermuatan agama atau ideologi politik. Konflik berdimensi ini memecah kelompok ke dalam faksi-faksi, faksi A dan faksi B. Semakin faksi-faksi terbelah menurut garis agama atau etnis atau ideologi politik, konflik semakin tajam. Konflik di Maluku semakin berbahaya, sensitif dan bertahan lama ketika kelompok-kelompok atau individu-individu yang berkonflik terlibat dalam pertentangan-pertentangan nilai-nilai dasar tentang masalah-masalah fundamental seperti keadilan, kebaikan, kebenaran. Masing-masing faksi atau kelompok mengklaim standar-standar nilainya sebagai yang paling benar, paling tulen atau paling asli dari 12 kelompok yang lain. Karenanya, standar-standar nilainya itu harus berlaku universal. Klaim-klaim tersebut pada dasarnya dengan sadar menafikkan kenyataan diferensiasi kelompok atau agama lain. Situasi problematis pada tataran nilai itu semakin bertambah sensitif, ketika gelagat kehidupan keagamaan menunjukkan pendangkalan spiritual sebagai akibat ideologisasi dan politisasi agama untuk tujuan-tujuan yang tidak ada kaitannya dengan agama. Politisasi dan ideologisasi agama telah membuat agama- agama terjebak ke dalam kerangkeng primordialisme dan sektarianisme. keadaan ini mengakibatkan agama kehilangan momentum untuk menjadi agama yang melayani dan membebaskan manusia. Agama malah menjadi alat legitimasi kepentingan politik atas nama kelompok, berhadapan dengan kelompok yang lain. Situasi agama-agama seperti ini menjadi masalah serius ketika agama-agama harus mengambil sikap terhadap pluralisme. Pluralisme sebagai cara pandang yang positif dan optimistik terhadap adanya perbedaan, di antara agama-agama dan di antara kelompok- kelompok masyarakat, mesti diletakan pada dasar yang benar, yakni dasar kultural (emik) dan etik sehingga perbedaan itu ditata dengan lebih baik. Pada tahun yang sama (2015) berbagai teori yang didalami JR saat melakukan studi kepustakaan di Berkeley Amerika Serikat dibukukan dan dieditori oleh Pdt Elifas Maspaitella dengan judul: “Jelajah Pemikiran Etika”. Buku ini merupakan renungan kembali pemikiran etika dari para etikus seperti Reinhold Niebuhr, Gustavo Gitierrez, Stanley Hauerwas, Max L. Stackhouse, Ronald Thiemman, Robert N. Bellah, dan 13

Charles McCoy. JR memiliki alasan tersendiri untuk menghadirkan kembali para etikus ini, yaitu karena kegelisahan dan pergulatan mereka dalam konteks masyarakat, juga gereja mereka itu ternyata memuncul- kan model-model etika Kristen yang baru, suatu model yang melihat bahwa ternyata etika itu tidak harus bersumber dari agama, tapi dari tengah masyarakat, yakni di dalam dinamika dan tradisi sosial masyarakat. Menurutnya hal ini penting, sebab di Indonesia, selama ini pemikiran etika selalu dilihat dalam kaitan dengan sumber-sumber agama, padahal itu merupakan suatu pendekatan lama yang sudah mengalami pembaruan dalam jangka waktu yang panjang. Setidaknya kita perlu belajar dari model-model yang sudah ada, bukan untuk membuat suatu reduplikasi atasnya, tapi untuk lebih setia kepada konteks kita, pada dinamika dan tradisi masyarakat kita, lalu membangun refleksi teologis-etis yang kritis terhadapnya. Tanggapan kita di Indonesia akan berbeda dengan orang lain di tempat dan waktu mereka. Partikularitas itu yang membuat kita bisa memiliki model etika yang lebih relevan. Dengan nada retoris JR bertanya, apa yang harus kita persoalkan di Indonesia kini? Apakah etika agama- agama itu sudah benar-benar menjadi etika yang kontekstual di Indonesia? Kemudian ia melanjutkan, dalam hidup bersama dengan rekan-rekan Muslim, Hindu, Budha di Maluku, saya menyimpulkan bahwa kita memang masih harus lebih terbuka dan berani untuk mengkritik warisan-warisan etika lama yang ada, sambil terbuka pula pada tradisi masyarakat kita, dan membangun suatu etika publik. Dari studi ini, apa yang dimaksudkan dengan “Jalan Baru Etika di Indonesia” 14 adalah Etika Publik itu sendiri sebagaimana ditulis dalam buku “Etika Publik” yang diharapkan menjadi bahan diskursus etika di Indonesia. Menurut JR (2005) teologi dan etika publik melakukan kritik yang tajam terhadap pandangan dualistik di antara orang-orang Kristen dimana teologi dimengerti terbatas hanya mengenai gereja dan tidak kena mengena dengan ruang publik. Diskursus teologi dan etika tidak hanya ditarik dari ruang publik, tetapi juga teologi atau etika menjadi asing terhadap orang- orang di dalam gereja sendiri. Sambil mengutip Ronald F. Thiemann, JR melanjutkan, secara tradisional teologi dimengerti sebagai suatu aktivitas dari komunitas keagamaan. Namun gagasan komunitas telah memposisikan teologi menjadi sempit dan eksklusif. Pengertian komunitas beriman telah direduksi sebagai sebuah komunitas yang terbatas dan elitis. Akibatnya teologi dan etika kehilangan relevansi terhadap umat yang melakukan praktik keagamaan dan kemasyarakat- an dalam ruang publik yang luas.

Kiprah dan Partisipasi Sosial Politik Minat studi pada ilmu-ilmu sosial, khususnya Sosiologi Agama turut mempengaruhi orientasi dan karakter seorang JR dalam berbagai perannya. Ia bukan tipe akademisi menara gading yang berlama-lama di kampus. Sejak mahasiswa di STT GPM ia sudah terlibat dalam organisasi kampus, baik intra maupun ekstra kampus. JR aktif terlibat di organisasi Senat Mahasiswa dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Ia juga aktif pada organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan menjadi pengurus KNPI Propinsi 15

Maluku. Melalui wadah kepemudaan lintas OKP inilah JR memiliki banyak sahabat lintas suku dan agama, yang di kemudian hari ketika ia menjadi pemimpin gereja, turut bersinergi dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Kepekaan dan interes JR untuk soal-soal kemasyarakatan dan politik sudah dilakoninya sejak muda. Ia malah pernah menjadi pengurus partai politik pada zaman PDI-Soerjadi. JR bukanlah seorang praktisi politik saja tetapi ia juga seorang pemikir politik yang diperhitungkan. Analisis-analisis politiknya di media masa turut mewarnai ruang publik di Maluku. Kompetensi JR dalam menyikapi isu-isu politik strategis membuat ia secara profesional – melalui prosedur fit and proper test dipercayakan sebagai salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Maluku. Jabatan ini diembannya selama tiga tahun sejak 2002 sebelum akhirnya jabatan tersebut diletakan secara resmi tahun 2005 ketika ia terpilih sebagai Ketua Sinode GPM. Partisipasi sosial kemasyarakatan JR lainnya adalah menjadi pengurus Palang Merah Indonesia (PMI) Maluku. Di organisasi kemanusiaan yang didirikan Hendry Dunand ini, JR diberi mandat sebagai Sekretaris dan kemudian Wakil Ketua PMI Daerah Maluku. Keterlibatan di PMI yang membuat JR cukup dekat dengan sosok Jusuf Kalla (wakil Presiden RI) yang juga ketua PMI Pusat. Semua ini dimaknainya sebagai panggilan tugas untuk merawat harkat kemanusiaan.

Membangun Jembatan Perdamaian dan Persaudaraan Tanpa mengabaikan peran para tokoh dan masyarakat Maluku pada umumnya, tidaklah berlebihan 16 jika Gubernur Maluku Ir Said Assagaf menyebut JR sebagai salah satu pembangun jembatan perdamaian di Maluku. Gambaran sekilas posisi dan peran JR dalam periode kritis yakni 1999-2005 sedikit banyak dapat menegaskan hal tersebut. Ketika terjadi konflik Maluku tahun 1999, JR dipercayakan sebagai anggota Tim Enam (6) yang di dalamnya ada Bapak Thos Lailosa, Thamrin Ely, Pastor Agus Uluhayanan. Tim ini kemudian berkembang menjadi Pusat Rujuk Sosial (PRS) yang bertugas melakukan kajian dan memberi masukan kepada Pemerintah Daerah Maluku (dalam hal ini Gubernur) terkait langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam menciptakan perdamaian di Maluku. Setahun kemudian, yakni tahun 2000, JR dipercayakan sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (PB AM-GPM). Sebagai pemimpin organisasi kepemudaan GPM, JR berupaya keras merajut perdamaian dan per-saudaraan di Maluku. Seperti dikatakan Pdt Hery Lekahena, Sekretaris Umum PB AM GPM kala itu, JR membangun relasi yang intensif dengan pemerintah daerah dan basudara Muslim serta mendorong AM GPM dalam proses-proses rekonsiliasi. “Ini merupakan sebuah terobosan yang luar biasa saat itu” tegas Pdt Herry Lekahena. Seiring dengan tugasnya sebagai Ketum PB AM GPM, JR pada tahun 2002 diberi kepercayaan sebagai Direktur Pascasarjana Agama dan Kebudayaan UKIM. Seperti disampaikan Pdt. Ike Hukubun selaku Sekretaris Program Pascasarjana, dalam kapasitasnya selaku Direktur pascasarjana, JR melakukan berbagai terobosan di antaranya dengan mengajak mahasiswa Muslim dari 17

IAIN Ambon untuk studi di S2 UKIM dan mengusahakan beasiswa bagi mereka. Para dosen IAIN seperti Abidin Wakano dan Hasbollah Toisuta juga dilibatkan sebagai staf pengajar di pascasarjana UKIM. Sebaliknya ada pula dosen Fakultas Teologi UKIM yang mengajari di IAIN Ambon. Terhadap terobosan ini, Drs. Nour Tawainella mantan pejabat di Kanwil Departemen Agama Propinsi Maluku, yang juga salah seorang dosen IAIN Ambon memberi apresiasi sambil mengharapkan kerjasama tersebut terus ditingkatkan ke depan. “Saya sudah sampaikan kepada Bolla (Dr. Hasbollah Toisuta, Rektor IAIN Ambon) agar kerjasana ini terus dipupuk untuk membina hubungan Salam-Sarane yang manis di Maluku”, ungkapnya suatu saat di rumahnya di Tulehu. Selanjutnya pada saat JR dipercayakan sebagai Ketua Sinode GPM sejak tahun 2005, secara konsisten mendorong dialog dan kerjasama lintas agama. Dalam bingkai recovery Maluku pascakonflik, berbagai program yang digulirkan GPM dalam rangka membangun saling percaya dan kerjasama yang intensif antara basudara Saram-Sarane di Maluku. Dalam kepemimpinannya pula program seperti Live-in para Pendeta di rumah-rumah penduduk Muslim dilakukan, termasuk hingga jelang berakhir masa tugasnya 2015, para mahasiswa IAIN Ambon diberikan kesempatan untuk magang di Balitbang GPM dalam rangka mengenali organisasi GPM dan program-programnya. Dalam kaitan ini, peran Pdt. Jacky Manuputty sebagai salah seorang aktivis perdamaian dan Direktur Balitbang GPM patut disebutkan pula. JR pun terlibat dalam proses pembentukan Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM), sebuah lembaga yang dibentuk oleh Sinode 18

GPM, MUI Maluku dan Keuskupan Amboina dalam rangka kerja-kerja perdamaian dan dialog antaragama. Tentu saja, hal ini hanyalah sebagian dari berbagai kontribusi seorang JR – yang dalam kerjasama dengan berbagai pihak terus merajut perdamaian di Maluku, termasuk berbagai kesempatan melakukan penguatan kepada para pendeta dan warga jemaat GPM untuk tetap commited dengan karya-karya dialog dalam konteks pluralisme di Maluku. Pada ruang-ruang publik, JR membagi gagasan- gagasan dan kegelisahannya tentang pentingnya hidup bersama dalam perbedaan melalui ceramah-ceramah, seminar dan diskusi dalam berbagai forum di Maluku. Sebagian materi-materi tersebut kemudian dibukukan pada tahun 2007 dalam buku berjudul: “Pluralisme Berwajah Humanis”, yang dieditori oleh Abidin Wakano dan Rudy Rahabeat (penerbit Galang Press, ).

Muhibah Internasional Pengalaman pertama ke luar negeri tahun 1981. Waktu itu JR mengikuti program Pertukaran Pemuda Indonesia-Kanada. Kegiatannya berlangsung di New Fonland. Kelanjutan program tersebut adalah tinggal bersama (live in) selama tiga bulan di Langsa . Di Aceh ia tinggal di keluarga Muslim dan diberi tempat untuk ibadah. Selain itu terlibat sebagai Tim Bola Voli di Aceh. Pada tahun 1985 ketika telah menjadi staf pengajar fakultas Teologi UKIM, ia ke Hongkong untuk mengikuti Seminar tentang Doing Theology in Asia. Selanjutnya pada tahun 1996 dalam rangka penulisan disertasi pada Program Sosiologi Agama 19

UKSW Salatiga, JR mendapat kesempatan melakukan studi pustaka selama setahun melalui program Visiting Scholar di GTU Berkeley. Pada tahun yang sama, ia melakukan perjalanan ke Korea Selatan untuk mengikuti kegiatan Peace-making. Pada saat konflik Maluku 1999, dalam kapasitas sebagai salah satu tokoh pemuda dan tokoh rekonsiliasi, JR melakukan perjalanan beberapa kali ke negara- negara Eropa. Dalam perjalanan tahun 2002 dijalin kerjasama dengan gereja-gereja di Belanda, di antaranya Geredja Indjili Maluku (GIM). Masih dalam kaitan rekonsiliasi pada tahun 2004, JR mengikuti program Peace-making di tiga negara bagian Amerika Serikat yakni California, Texas, Las Vegas. JR juga melakukan perjalanan ke Inggris dan Australia terkait upaya-upaya perdamaian, termasuk bersama tokoh-tokoh agama dari Maluku melakukan pembicaraan di Parlemen Eropa. Dalam kapasitas sebagai tokoh gereja dan tokoh masyarakat, JR diutus oleh Kapolri melalui Polda Maluku ke Jepang mengikuti kegiatan mengenai Pemolisian Masyarakat (Polmas) tahun 2006. Untuk keaktifannya di PMI, pada tahun 2007 diutus oleh PMI pusat mengikuti kegiatan Training Leadership di Myanmar. Selanjutnya, dalam kapasitas sebagai Ketua Sinode mengikuti beberapa kegiatan Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja se-dunia (WCC) di antaranya di Porto Alegree Brasil dan Busan Korea Selatan. Beberapa kali melakukan kunjungan ke Bangkok dan Filipina dalam kaitan kerjasama dengan Wycliff Internasional. Ia juga melakukan perjalanan ke Israel, Yordania dan Mesir tahun 2014.

20

Kalesang Gareja Kalesang adalah istilah Melayu Ambon yang dapat diartikan sebagai sikap peduli untuk membenahi, tidak membiarkan dengan tidak terurus. Sesuatu yang sudah ada namun, jika tidak dipedulikan dan dibenahi lama kelamaan bisa mubazir. Ibarat rumah yang sudah lama ditinggal pergi tanpa diurus dengan baik, lama kelamaan akan rusak. Atau rambut anak lelaki yang dibiarkan tumbuh tanpa dirapikan, maka orang tua selalu bilang “Kalesang diri sadiki” (artinya peduli dan benahi diri). Menurut Ibu Meis Dowongi, salah seorang pegawai senior kantor Sinode, JR itu tipe orang yang suka kebersihan. “Antua akan marah jika melihat kondisi tidak rapi. Lihat saja Antua punya penampilan selalu necis, maka antua mau yang lain juga necis”, kata Ibu Meis suatu waktu. Mungkin itu juga yang mendorongnya terus membenahi GPM dalam masa kepemimpinannya baik dalam arti fisik maupun non fisik. Secara fisik banyak bangunan milik gereja yang dibikin jadi bersih dan rapi. Kantor Sinode, Gereja Maranatha dan Baileo Oikumene yang merupakan “ikon fisik” GPM tampil makin elegan di masa kepemimpinannya. Pembenahan sarana fisik lainnya juga terus digalakkan. Renovasi dan pembangunan gedung tambahan kantor Sinode, pembangunan kembali bekas kantor PGIW, Kantor Percetakan GPM, pembangunan pastori Sinode serta pembangunan Christian Center juga merupakan jejak-jejak sejarah pada pada era kepemimpinan JR. Hingga di ujung masa tugasnya masih sempat dicanangkan peletakan batu pertama pembangunan 21

Pusat Pembinaan Spiritualitas GPM di Suli, tanggal 4 November 2015. Ketua panitia pembangunannya Ir. Benny Gaspersz, dana yang diperlukan 6,6 milyar. “Harapan dan kerinduan GPM untuk memiliki sebuah pusat pembinaan GPM selama ini mulai menjadi kenyataan. Hal mana ditandai dengan Peletakan Batu Penjuru di atas tanah pemberian masyarakat Suli bagi Gereja Protestan Maluku. Tuhan menolong proses pembangunannya nanti”, tulis Pdt Yan Matatula, ketua Klasis GPM Kairatu pada fesbuknya. Pdt Steven Atihuta, Sekdep Parpem GPM, mengakui JR melakukan pembenahan menyeluruh terhadap bangunan dan program pemberdayaan di Uraur. Kerjasama dengan Bank Mandiri pusat telah membuat Uraur yang terbengkalai mulai hidup kembali. “Kita harus akui, JR mempunyai banyak relasi dan tidak senang melihat sesuatu tidak terurus dengan baik”, ungkap pendeta yang telah menggapai gelar magisternya dengan menulis tesis tentang pastoral politik gereja. Tentu bukan saja aspek fisik yang menjadi perhatian Sinode. Dalam bingkai semangat kepemimpinan kolegial kolektif di era kepemimpinan JR, juga dilakukan pembenahan secara internal maupun eksternal. Pembenahan sejumlah regulasi gereja; Tata Gereja, Peraturan Pokok, dan peraturan lainnya terus dilakukan. Implementasi kebijakan dana sharing yang dikenal dengan istilah 70:30 tahun 2008 sedikit banyak telah membantu para pendeta dan pegawai organik GPM dalam masalah gaji dan pensiun. Perhatian kepada kesejahteraan pegawai kantor Sinode, juga tidak luput dari perhatian sebagaimana diakui oleh Ibu Meis Dowongi selaku salah seorang pegawai senior kantor 22

Sinode. Pada tahun 2012 diberlakukan Rencana Strategis GPM, sebagai konsekuensi dari amandemen Tata Gereja pada Sidang Sinode GPM tahun 2010 yang mewajibkan tiap-tiap jemaat membuat Renstra (Rencana Strategis) sebagai dokumen perencanaan dan dokumen Prolita (Program Lima Tahunan) di aras Klasis. Untuk maksud ini, pada Mei 2011 dibentuk lembaga Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang GPM) dengan Pdt. Jacky Manuputty sebagai Direkturnya yang pertama. Secara eksternal kepemimpinan di era pasca konflik membuat gereja harus ambil peran dalam proses-proses recovery Maluku. Tugas gereja pada era ini adalah membangun soliditas para pelayan dan umat untuk terus menjaga dan merawat perdamaian yang berkelanjutan di Maluku dan Maluku Utara. Berbagai program yang bermuara pada dialog dan kerjasama lintas agama mewarnai pelayanan GPM sejak kepemimpinan Ketua Sinode sebelumnya (2000-2005), Pdt. Dr. I.W.J. Hendriks dan Sekretaris Umum Pdt. S.J. Mailoa, M.Th. GPM boleh dikatakan merupakan pelopor utama dalam upaya-upaya dialog pada berbagai level. Bagi JR, menjadi pemimpin itu berarti menjadi sahabat. Tidak ada relasi yang kaku dan formalistik. Para pendeta hendaknya dijadikan mitra, bukan atasan dan bawahan. Kepemimpinan yang merangkul, itu kesan yang diberikan oleh Ketua Klasis GPM Pulau Lease, Pdt. Tjak Sapulette kepada figur JR. Demikian pun ruang- ruang yang diberikan kepada orang muda mengambil peran sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. “Ini merupakan upaya pengkaderan yang dilakukan gereja 23 demi keberlangsungan pelayanan dari generasi ke generasi”, terangnya di sebuah kesempatan.

Sosok Yang Low Profile Embong Salampessy, jurnalis dan fotografer, menyebutkan JR sebagai figur yang low profile. “Saat kami melakukan tugas peliputan dengan JR sebagai narasumbernya, JR sangat mudah dijumpai. Tidak birokratis. Bahkan, beliau tahu berita apa yang dibutuhkan para wartawan”, ungkap Embong. Hal yang sama juga disampaikan Pdt. Djerda Djawa sebagaimana termuat dalam bagian impresi (bab 2) buku ini. “Pak John selalu hadir di tengah-tengah jemaat, tidak formal dan bisa dengan cepat bergaul dengan siapa saja” demikian kata Pendeta GMIH yang pernah tinggal di Ambon ini. JR juga diakui sebagai seorang pelobi yang mumpuni dan trampil berdiplomasi. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O Blake, Jr pada saat menyampaikan sambutan resepsi HUT GPM ke-80 tanggal 6 September 2015 di Baileo Siwalima Karpan, kepada JR mengatakan “you are very diplomatic person”. Pada kesempatan itu, sang Dubes juga menyebutkan bahwa GPM adalah simbol perdamaian. Dan ia menyampaikan terima kasih atas upaya GPM memperkuat masyarakat Maluku maupun bangsa Indonesia. Pada acara yang sama, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt Dr Hendriette Lebang-Hutabarat, mengakui bahwa sejak dulu kiprah GPM dalam membangun perdamaian di Maluku dan Indonesia. Bahkan ia menyebutkan bahwa 24 peran dan kontribusi GPM bukan hanya di Maluku dan Maluku Utara, melainkan di Asia dan bahkan dunia. “Nama-nama seperti Dr. Arnold N. Radjawane, Prof. P. D. Latuihamallo, Dr. M.M Hendriks-Ririmasse, adalah utusan-utusan GPM yang berkiprah di lembaga-lembaga oikumenis lingkup Asia dan Dunia. Sebelumnya dalam acara yang sama Gubernur Maluku, Ir. Said Assagaff dalam sambutannya mengatakan GPM merupakan lokomotif pembangunan perdamaian Maluku. Dan berharap GPM dalam usianya yang kian matang agar makin inovatif, adaptif dan responsif terhadap dinamika masyarakat Maluku.

Adventus Journey Boleh dikatakan, bahwa semua Klasis di GPM telah dikunjungi JR. Bahkan pada bulan Juni 2015 JR melakukan kunjungan ke Klasis GKI Biak Utara dan Klasis Biak Selatan. Jelang berakhir masa kepemimpinan JR selaku ketua Sinode, bersama Pdt. Wim Pariama (Wasekum) dan Pnt. Nick Far-Far (anggota MPH) pada awal Desember 2015 melakukan kunjungan pastoral adventus di jemaat-jemaat di Klasis GPM Sula Maluku Utara. JR menyebutnya sebagai “Adventus Journey”. “Saya sangat terharu melihat begitu antusiasnya jemaat- jemaat. Mereka berdiri di sepanjang pantai, menunggu kehadiran MPH Sinode. Saya katakan kepada mereka, bagaimana perasaan saudara-saudara semua ketika menunggu kedatangan kami? Mungkin ada rasa cemas dan gelisah serta kerinduan untuk segera berjumpa. Perasaan itu juga yang muncul saat kita memasuki dan memaknai minggu-minggu Adventus.

25

JR menyadari sungguh bahwa eksistensi jemaat- jemaat di Maluku Utara perlu terus mendapat perhatian, mengingat wilayah ini sudah berada pada propinsi sendiri, yakni Propinsi Maluku Utara. Salah satu pergumulan GPM pasca konflik 1999 adalah menyangkut eksistensi jemaat-jemaat GPM di Maluku Utara. Bahkan pernah terjadi ketegangan antar jemaat GPM di Mayau Klasis Ternate dengan saudara-saudara dari Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). GPM terus membangun percakapan dengan pihak GMIH, sedangkan dengan jemaat-jemaat GPM di Utara senantiasa dilakukan pendampingan dan dukungan. “Beberapa waktu yang lalu kami membawa bantuan mesin speedboad kepada jemaat-jemaat di Mayau dan Tifure (Ternate), sebagai bentuk kepedulian gereja terhadap pergumulan saudara-saudara kita sana, kata JR. Berbagai persoalan yang digumuli jemaat-jemaat GPM membutuhkan kehadiran “para gembala” yang selalu ada di tengah-tengah domba, mendengar dan mengenal domba-domba tersebut. Dalam perjalanan bergereja, ber-GPM hingga usia ke-80, semakin disadari, bahwa kita semakin kecil dan tidak punya arti apa-apa, dan olehnya semakin bergantung kepada Tuhan. Olehnya, menurut JR, para pemimpin GPM ke depan adalah sosok yang mau berkorban, menyatu dengan jemaat-jemaat dan mengasihi mereka dengan sepenuh hati. “Eklesia via torum, gereja yang berjalan, berziarah, sambil menantikan kedatangan Yesus kembali. Dalam ziarah itu, kita mesti benar-benar total dan konsisten melaksanakan tugas pengutusan,

26 kesaksian dan pelayanan, sambil tetap percaya bahwa Allah senantiasa beserta kita”, demikian simpul JR.

Melayani Bersama Keluarga “Saya harus mengakui bahwa istriku sangat menopang tugas-tugas saya, termasuk anak-anak”, ungkap JR suatu waktu. Berbagai masalah yang dihadapi selalu digumuli bersama. “Beta tidak ingin mencampuri urusan kantor. Tapi sebagai suami-istri setiap pergumulan bergereja menjadi pokok doa yang tak henti-hentinya”, demikian suara hati Ibu Lien. Ibu Lien bukan saja seorang istri dan ibu bagi anak-anak, namun sebagai seorang pendeta GPM dengan “jam terbang” yang tinggi sangat menopang dan melengkapi kepemimpinan JR. Ibu Lien memulai masa vikaris di Kei. Enam tahun ia menjadi pendeta jemaat di Jemaat khusus Hok Im Tong, sembilan tahun menjadi Sekretaris Klasis GPM Kota Ambon bersama ketua klasis Pdt. Max Siahaya. Ia selanjutnya menjadi kepala Biro perempuan Sinode GPM empat tahun dari 2004-2008. Kemudian Sekretaris Departemen Keesaan Sinode empat tahun, dan empat tahun tujuh bulan kembali dipercayakan menjadi Ketua Majelis Jemaat Hok Im Tong. Tiga tahun terakhir melayani di Lembaga Pembinaan Jemaat (LPJ) hingga memasuki masa purna bakti tahun 2014. Seabrek pengalaman itu menjadi sangat berarti dalam menunjang tugas suami. “Pernah suatu waktu beta bilang, Ale boleh hebat sebagai dosen tapi kalau pengalaman pelayanan, nasihat beta perlu dipertimbangkan juga” kata Ibu Lien sambil tertawa. Tuhan menganugerahkan dua orang anak dalam kehidupan JR dan Ibu Lien. Anak yang sulung Joy, 27 lengkapnya Joina Stella Ruhulessin, lahir di Ambon, 25 Agustus 1986. Anak yang bungsu bernama Vano, lengkapnya Stevano Dharma Ruhulessin, lahir di Ambon, 20 September 1991. Tentang si bungsu, JR menyebutkan bahwa semasa kuliah di Salatiga ia mengagumi Pendeta Eka Dharmaputera, khususnya gaya berkhotbahnya yang „berapi-api‟. Gaya itu juga yang sedikit banyak mewarnai gaya berkhotbah seorang JR yang tak kalah “berapi-apinya”. Kekaguman itu membuat ia “meminjam” nama Dharma untuk nama tengah anaknya yang bungsu ini. Joy Ruhulessin bekerja sebagai pegawai dinas kesehatan kota Ambon. Ia menikah dengan dokter John Hetharie pada tanggal 28 April 2014 dan pasangan ini dianugerahi seorang anak laki-laki yang diberi nama Jaasiel Hetharie, lahir di Ambon 7 Agustus 2015. Joy turut menunjang tugas-tugas ayahnya. Salah satunya menjadi anggota Komisi PELPEM Sinode GPM. Vano si bungsu pun tidak ketinggalan. Vano adalah sarjana Teknik lulusan Fakultas Teknik UKIM. Saat ini ia bekerja sebagai tenaga honorer pada Balai Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Maluku. Ketika ditanya tentang ayahnya, Vano dengan ringan berkata: “ Menurut beta, papa dan mama juga sama-sama sibuk. Beta sudah terbiasa. Sebagai anak beta seng bisa paksa beta punya kehendak. Karena beta pikir itu papa punya tanggungjawab dan beta harus mendukung papa, apapun itu. Intinya karena papa sibuk jadi katong harus mengerti jua. Biasanya dalam satu bulan papa bisa berangkat sampai beberapa kali. Beta mau bikin bagai-mana, beta 28

oke-oke saja. Beta terima saja. Ini kan bukan for beta punya kepentingan, tapi ini kan for semua. Jadi beta oke-oke saja. Mungkin juga waktu itu beta belum kerja, ka Joy sibuk, mama sibuk, papa sibuk. Sekarang ketika beta sudah kerja beta bisa rasa apa yang papa dan mama dong rasa selama ini.” Nampaklah bahwa keluarga merupakan bagian terpenting dalam perjalanan hidup tiap manusia. Tanggungjawab yang dipercayakan kepada JR memimpin GPM selama satu dekade merupakan bagian yang utuh dari pergumulan keluarga. Ibu Lien, Joy dan Vano adalah anugerah terindah dari Tuhan yang turut memberi semangat dan dorongan saat tantangan datang silih berganti. JR percaya bahwa ketika Tuhan memanggil dan mengutusnya maka Tuhan tidak akan lepas tangan. “Saya mengalami betapa agung dan luar biasa kasih dan kuasa Tuhan. Betul-betul saya alami kuasa Tuhan itu. Ini yang membuat saya makin yakin bahwa Tuhan itu ada dan kasihNya itu nyata”, ungkap JR suatu waktu di . Saat itu JR sedang mengikuti Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja Asia (CCA) yang dilaksanakan di Ancol. “Halo Joy, bagaimana keadaan ade nyong? Jangan lupa minum vitamin e”? JR menelepon anaknya Joy dan menanyakan kondisi cucunya, Jaasiel. “Papa, sangat peduli dengan kami. Waktu mengandung Jaasiel papa sering telepon terus, walaupun papa sangat sibuk. Tapi itulah tanda sayang papa buat kami”, kata Joy sambil tersenyum.

29

Bapak Yohanis Ruhulessin dan Ibu Maria Fransina Sopacua

Oma Mimi, Joy dan Ibu Lien Ruhulessin

30

BAB II IMPRESI PARA SAHABAT, KOLEGA DAN KERABAT

Pdt. Dr. John Ruhulessin: Tokoh Inspiratif untuk Semua  Dr. Abidin Wakano

JR: Sosok Baik Hati yang Sering “Menahan Hati”  Pdt. Max Syauta)

“Belajar dari Kepemimpinan Pa John”  Pdt. Monike Hukubun

Teladan dalam Kepemimpinan yang Misional  Marnix Riupassa

JR: Sang Dosen “Smart dengan Aroma Parfum yang Khas”  Dr. Wely Tiwery

Arti Kehadiran  Pdt. Jerda Djawa

Pandai Ambil Hati  Pdt. Sus Moniharapon

Membuka Ruang Pengkaderan  Pdt. Tjak Sapulette

Di Antara Dua Kutub  Pdt. Elifas Tomix Maspaitella

Pemimpin Yang Idealis  Pdt. Jondry Paays

Orang Yang Murah Hati Berkatnya Banyak  Drs. Piet Leuwol

31

֎֎֎

Awalnya bagian ini diniatkan memuat selembar impresi dan apresiasi dari para rekan, sahabat dan kolega Pdt. John Ruhulessin. Namun, ketika diminta menyampai- kan impresi tersebut secara lisan maupun tertulis, ada yang melebihi selembar itu.

Mereka yang memberi kesan dan apresiasi terhadap sosok JR berasal dari latar belakang yang beragama. Ada ketua Klasis yang kerap berjumpa secara informal maupun formal melalui sidang-sidang gerejawi, ada pegawai kantor Sinode. Ada juga kolega basudara Muslim yang selalu intens membangun komunikasi, relasi dan kerjasama dengan GPM melalui JR.

Impresi dan apresiasi ini bukan sekedar puja-puji yang basi, namun darinya dapat ditangkap “makna kehadiran” meminjam istilah dari Pdt. Jerda Djawa, salah satu pemberi impresi pada bagian ini.

Suasana hati pembaca akan “diaduk” pada bagian ini. Ada rasa kekaguman, pujian, ada juga sinisme dan ironi yang kadang terungkap secara terang-terangan maupun tersirat tentang sosok dengan seribu impresi ini.

32

Pdt. Dr. John Ruhulessin: Tokoh Inspiratif untuk Semua

Pada tahun 2004 tanpa sengaja saya bertemu dengan pak John, demikian panggilan akrab untuk bapak Pdt.Dr. John Ruhulessin, M.Si, tepatnya di Hotel Amans. Saat itu pak John sedang menjabat sebagai ketua umum AM-GPM. Beliau terkejut, dan spontan bertanya kepada saya, “Bung kapan tiba di Ambon, kalau datang bilang-bilang sadiki ka, supaya katong bikin diskusi dengan bung di AM-GPM. Saya menjawab, “sudah sekitar satu minggu pak John”. Saat itu saya sedang melanjutkan kuliah S3 (doktor) di Yogyakarta. Pak John melanjutkan percakapannya, “pascakonflik ini kita membutuhkan pikiran-pikiran baru yang segar dan progresif. Sudah saatnya agama-agama di Maluku mampu bertransformasi membangun dialog dan perjumpaan secara intensif untuk menyelamatkan kemanusiaan yang ada di Maluku ini”. Saya bilang, betul pak John, spirit hidop orang basudara di Maluku ini harus katong kembangkan. “Bung cepat selesaikan Bung pung kuliah, supaya balik kamari katong baku bantu bangun negeri ini. Kalau dalam proses penyelesaian studi ada butuh apa-apa, jang lupa kasih tahu beta, siapa tahu katong bisa baku bantu”. Saya menjawab, pasti pak John, terutama untuk proses penelitian disertasi. Pertemuan yang singkat, tapi sangat berkesan. Pak John telah memberi contoh tentang bagaimana sejatinya hidop orang basudara itu dibangun dan dikembangkan.

33

Menurut saya, hidop orang basudara yang diajarkan pak John dalam konteks masyarakat yang multikultural di Maluku bukan sekedar dipahami sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Tetapi beliau telah mengajarkan tentang prinsip pro-eksistensi dalam kehidupan masyarakat yang multikultural untuk hidup saling memahami, saling menghargai, saling menyayangi, saling membanggakan, dan saling menghidupkan. Inilah yang dimaksud dengan sikap positif menerima multikulturalisme dan pluralisme sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan- ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Selama dua dekade terakhir, GPM telah mengembangkan iklim dialog dan perjumpaan agama- agama yang sangat progresif, khususnya pada masa kepemimpinan bapak Pdt. Dr. I.W.J. Hendriks dan bapak Pdt. Dr. John Ruhulessin. Kedua tokoh ini dapat diterima secara baik oleh umat beragama lain di Maluku, khususnya Muslim. Di masa kedua tokoh ini, dialog dan perjumpaan GPM dengan agama-agama lain, khususnya dengan Islam berjalan sangat jujur, terbuka dan intensif. Dari sini secara pribadi saya merasakan pengalaman spiritual yang sangat dalam ketika berinteraksi dengan warga GPM. Kedua tokoh inilah yang membuka ruang sebesar-besarnya untuk para tokoh umat beragama lain, khususnya para tokoh Islam untuk masuk ke gereja dan naik mimbar gereja GPM.

34

Pak John selalu mengatakan bahwa, kita tidak boleh memandang orang lain dari perspektif kita saja, karena yang demikian sangat subyektif. Tetapi perlu mendengar orang lain secara langsung agar mendapatkan perspektif yang lebih obyektif. Dengan begitu kita dapat membangun rasa saling percaya dan memahami orang lain secara benar. Untuk itu, dalam konteks hidop orang basudara, kita tidak bisa menggunakan perspektif kita saja untuk membangun masa depan, tetapi juga sangat membutuhkan perspektif orang lain dalam rangka membangun kebajikan secara bersama-sama. Hal lain yang sangat menarik bahwa gagasan itu dapat diimplementasikan di level praksis. Secara internal pak John mendorong para pendeta untuk tidak hanya berteori, tetapi dapat merasakan langsung bagaimana pengalaman kehidupan basudara Muslim, melalui program live in para pendeta di pemukiman- pemukiman Muslim. Dampak positifnya, bukan hanya dirasakan para pendeta, tetapi juga keluarga Muslim yang menjadi tempat live in tersebut, yaitu hilangnya rasa saling curiga dan terbangunnya rasa saling memahami dan saling percaya. Bahkan pada masa pak John menjadi ketua Sinode GPM dan pak Hendriks menjadi direktur pascasarjana UKIM Ambon, memberi beasiswa kepada para mahasiswa Muslim untuk melanjutkan studi S2 di UKIM Ambon. Inilah dialog yang sejati, yang dicontohkan oleh tokoh yang sudah melimpah dengan kearifan dan kebijaksanaan. Semoga karya-karya kemanusiaan yang agung seperti ini dapat menginspirasi kita semua dalam

35

merawat dan membangun masa depan yang lebih berkeadaban. Amin

Dr. Abidin Wakano, M. Ag (Direktur ARMC IAIN Ambon dan Ketua MUI Provinsi Maluku)

36

JR: SOSOK BAIK HATI YANG SERING “MENAHAN HATI”: Sebuah Kenangan dan Apresiasi

Perjumpaan dan interaksi dengan Pdt. Dr. John Ruhulessin (biasa disapa dengan akronim JR) Saya alami dalam dua siklus waktu yang berbeda, tetapi melahirkan impresi yang mendalam. Pertama, saat masih menjadi mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Teologi UKIM – Ambon tahun 1994. Waktu itu JR sementara menjalani studi S2, dan dalam waktu tertentu kembali ke kampus sebagai dosen dan ditugaskan mengajar mata kuliah Sosiologi Agama. Perjumpaan awal itu terkesan biasa- biasa saja. Walau dari mulut para senior (bu dan usi), sosok JR dimata mereka terkesan sangat familiar dan baik hati, dalam arti tidak suka mempersulit mahasiswa. Konon, sikap JR ini sering dicap “bertentangan” dengan sikap alm. JMP, alm. WD atau JGD yang dikenal “killer” kala itu. Kesan baik hati dan tidak mau mempersulit mahasiswa itu pertama-tama nampak dalam hal memberi nilai. JR adalah sosok yang tidak pelit dalam memberi nilai akhir atas mata kuliah yang diasuhnya. Itu bukan berarti bahwa JR menganggap kemampuan akademis dari semua mahasiswa sama. Tidak. JR malah mengenal kemampuan setiap mahasiswanya. Bagi JR, nilai akhir adalah akumulasi dari perjuangan seorang mahasiswa untuk makin mengenal dan memahami dirinya, dan siap memberi respons dalam setiap situasi hidup yang dihadapi. Karena itu, dimata saya, dalam 37

memberi nilai akhir, JR tidak mengacu semata-mata kepada hasil tes/ujian. Tetapi kepada totalitas mahasiswa dalam menjalani perkuliahan hari demi hari; seberapa besar upayanya untuk berhasil. Kesan baik hati dan tidak mau mempersulit mahasiswa juga nampak saat mahasiswa hendak mengakhiri studinya. Bukan rahasia lagi, bahwa seminar (judul) skripsi yang berlanjut kepada penelitian dan penulisan skripsi adalah saat dimana kemampuan setiap mahasiswa diuji secara akademis maupun praktis. Tak jarang rancangan judul skripsi yang diajukan mahasiswa dalam seminar ditolak – lebih-lebih saat alm. WD menjabat sebagai Dekan Fakultas Teologi. Mahasiswa yang bersangkutan diminta untuk mencari problematik baru. Kenyataan ini berakibat pada kekecewaan sejumlah mahasiswa. Upaya mereka dianggap tak ada artinya. Pada situasi kritis seperti ini, JR hadir sebagai “penengah”. Mencairkan kebekuan, dan merangkul kembali kedua pihak (mahasiwa dan khususnya alm. WD) untuk mengupayakan win-win solution atas masalah yang dihadapi. Terhadap hal ini, kepentingan JR hanya satu: studi mahasiswa tidak boleh gagal. Perjuangan mahasiswa bersama orang tua tidak boleh sia-sia. Saya beruntung mendapat dosen pembimbing skripsi dalam diri JGD (Pembimbing I) dan JR (Pembimbing II) yang tidak banyak menuntut, tetapi memotivasi dan memberi kesempatan untuk merambah belantara ilmu. JR juga sosok yang memotivasi saya untuk melanjutkan studi dan/atau menjadi koresponden media Suara Pembaruan di Maluku, usai wisuda. Namun kerinduan untuk menjadi pendeta lebih deras memanggil saya untuk segera mendaftarkan diri 38

menjalani orientasi, selanjutnya berangkat ke Jemaat GPM Luang Timur, Klasis GPM Pp. Babar menjalani masa vikariat. Kedua, saat menjadi Pelayan Firman/Pendeta di Gereja Protestan Maluku. Perjumpaan dan interaksi dengan sosok JR makin intensif, dalam tanggung jawab sebagai Ketua Klasis, baik di Klasis GPM Pp. Babar maupun di Klasis GPM Tanimbar Selatan. Sepuluh tahun kepemimpinan JR sebagai Ketua BPH/MPH Sinode GPM, terhitung sejak akhir tahun 2005–2015 adalah perjumpaan dan interaksi yang sangat familiar dan inspiratif, baik secara kelembagaan maupun personal. Tak ada yang membantah, bahwa menjadi seorang Ketua BPH/MPH Sinode di Gereja Protestan Maluku bukanlah “pilihan” yang mudah. Apalagi bagi seorang JR, yang sejak awal “dicap” sebagai pendeta yang berwatak “sekuler”. Akan dibawa kemana GPM ini! Itulah keragu-raguan hampir semua Pelayan Firman/pendeta senior. Itulah juga tantangan pertama bagi JR. Pada situasi ini, JR betul-betul diuji untuk lebih mengandalkan Allah, bukan berharap kepada diri atau kemampuan dan pengetahuan sendiri. Toh, tantangan- tantangan itu, satu demi satu berhasil disibak. Tak ada yang menyangka, JR begitu cepat “berbalik haluan”. Dari seorang yang begitu mengandalkan rasio, menjadi orang yang berpasrah kepada kehendak Allah. Itulah sosok JR pada awal masa kepemimpinannya. Keragu- raguan berkembang menjadi sikap optimisme. Saya ingat, ada saat-saat dalam momen persidangan maupun rapat teknis, dimana terjadi perdebatan soal figur pendeta tertentu yang bermasalah, 39

dan tidak/belum dikenai sanksi oleh BPH/MPH Sinode GPM sesuai aturan gereja yang berlaku. Pada situasi seperti ini, JR selalu berkata: “aturan bukan semata-mata instrumen penyelesaian masalah. Kita butuh instrumen lain yang lebih komprehensif. Instrumen itu adalah semangat atau spirit untuk memandang kepada Allah dan mempertanyakan kehendak-Nya bagi gereja ini”. Jawaban seperti ini memang tidak memuaskan. Tetapi itu adalah jawaban yang sangat teologis. Kelebihan lain yang JR miliki adalah komunikasinya yang “bebas hambatan” dan pendekatannya yang sangat personal. Kelebihan ini membuat JR dapat diterima dan keterima oleh semua kalangan, bukan saja oleh warga gereja, tetapi juga oleh komunitas masyarakat dan agama lain. Juga membuat JR mudah dijumpai, tanpa prosedur atau aturan protokoler yang berbelit-belit, dimana saja dan dalam keadaan apa saja. Perjumpaan-perjumpaan yang sifatnya personal maupun kelembagaan itu membuat JR sering dimintai untuk turun langung ke jemaat-jemaat dalam momen- momen tertentu. Permintaan-permintaan itu selalu ditepati. Tidak soal, dimana letak jemaat itu, dekat atau jauh. Kedekatan dengan jemaat/umat pada satu sisi, dan dengan para Pelayan Firman/pendeta pada sisi lain, membuat JR begitu peduli kepada upaya-upaya penguatan jemaat/umat, tanpa mengabaikan masa depan para Pelayan Firman/pendeta bersama keluarga. Inilah bentuk apresiasi JR yang paling dalam kepada para pendeta bersama keluarga yang bergumul dan melayani di tengah tantangan yang berat, khusus di wilayah- wilayah yang jauh dan terpencil. Karena itu, JR tidak 40

dapat menerima, kalau ada pihak yang meremehkan pelayanan para Pelayan Firman/pendeta. Memang, para pendeta itu punya kekurangan masing-masing. Tetapi dengan meremehkan pekerjaan mereka, kita turut meremehkan pekerjaan Roh Kudus yang bekerja melalui mereka, demikian kata JR. Untuk mempersiapkan kepemimpinan gereja ke depan, JR mengambil langkah mempromosikan sosok-sosok Pelayan Firman/pendeta yang masih muda, energik dan memiliki komitmen untuk mengisi kepemimpinan pada level klasis. Uniknya, JR tahu kemampuan sosok yang dipercayakan untuk mengemban tugas itu. Selain keberpihakkan kepada umat/jemaat, JR juga berusaha mengembangkan jaringan komunikasi, oikumenisasi dan kerjasama dengan gereja-gereja serta lembaga mitra di dalam dan di luar negeri secara intens. Kerjasama-kerjasama itu kini semakin “berbuah”. Walau begitu, JR tidak luput dari sorotan. Pertama, soal kedekatannya dengan pemerintah dan seakan-akan mengabaikan suara profetik gereja terhadap bentuk- bentuk ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat. Kedua, soal “permainan” dalam proses-proses politik jelang iven pilkada, dan lain-lain. Di balik setiap kebaikan hatinya, tidak banyak yang tahu, bahwa JR adalah sosok yang sering “menahan hati”. Soliditas dalam kepemimpinan gereja dan semangat untuk hidup damai dalam keperbedaan dengan siapa saja, membuat JR sering “mengalah” ketika diperhadapkan dengan dan/atau saat mempercakapkan masalah tertentu. Bahkan jika masalah itu berkaitan dengan otoritasnya sebagai Ketua BPH/MPH Sinode. JR juga sosok yang tidak biasa mengekspresikan 41

ketidaksukaan atau ketidaksetujuannya terhadap hal-hal tertentu dalam pertemuan tertentu atau di depan umum, entah berupa sikap, perbuatan atau pemikiran/perkataan seseorang, untuk menghindari “gesekan”. JR akan memilih “menegur” seseorang secara tidak langsung. Tetapi kalaupun ada apresiasi karena kesuksesan atau keberhasilan seseorang atau suatu jemaat dan/atau klasis, maka beliau akan meng- ungkapkannya secara terus terang dan sungguh- sungguh. Tak jarang JR “memasang badan” atau membela staf atau mitra kerjanya, untuk suatu kebijakan yang dianggap keliru. JR juga tak segan-segan meminta maaf kepada stafnya atau mitra kerjanya – walau untuk masalah yang tidak dilakukannya, demi keutuhan kepemimpinan dan pelayanan gereja. Sikap “menahan hati” itu, mungkin saja merupakan perwujudan dari disiplin diri yang kuat dalam diri JR. Dalam setiap tugas apapun, JR selalu melakukannya dengan penuh disiplin. Bahkan memancing ikan sebagai sarana rekreasi, jauh dari hiruk-pikuk keramaian, sambil menjalin relasi dan komunikasi personal, dilakukan oleh JR dengan penuh disiplin. Hobi yang satu ini sering membuat kami “kalang-kabut” sekaligus gembira, jika diberitahu bahwa JR akan datang untuk tugas tertentu. Walau punya sejumlah kelemahan, tak ada yang membantah, peran JR dibalik perkembangan Gereja Protestan Maluku selama sepuluh tahun terakhir ini. Tidak berlebihan, jika melalui kesempatan ini, saya memberi ucapan selamat dan penghargaan atas kiprah dan capainnya itu. Memang, tidak semua problematik yang membelit pelayanan, kesaksian dan persekutuan 42

Gereja Protestan Maluku dapat dituntaskan oleh JR selama kepemimpinannya. Sadar atau tidak, JR telah “menitipkan” standar yang cukup tinggi kepada sosok Ketua MPH Sinode GPM masa bakti 2015–2020. Untuk kekuatiran itu, kita percaya, Roh Kudus tidak akan pernah meninggalkan gereja-Nya. Semoga sosok JR terus menginspirasi kita – khususnya para Pelayan Firman/pendeta dan umat Gereja Protestan Maluku, untuk selalu berserah pada kehendak-Nya, dan terus belajar mematangkan diri dan sikap kepemimpinan dalam upaya “mengawal” perjalanan Gereja Protestan Maluku ke depan.

Laus Deo!

Saumlaki, 20 Agustus 2015.

Pdt. Max Chr. Syauta (Ketua Klasis GPM Tanimbar Selatan).

43

“BELAJAR DARI KEPEMIMPINAN PA JOHN”

Pdt. Dr. John Chr. Ruhulessin, M.Si atau yang akrab disapa „pa John‟, adalah sosok dosen dan pemimpin yang memiliki tiga ciri khas dominan, yakni sangat cerdas, disiplin, dan bertanggung jawab. Kesan ini, tentu bersifat subjektif, lahir dari pengalaman saya bekerja dengan pa John sejak tahun 2002-2006 sebagai sekretaris Prodi S2 Agama dan Kebudayaan Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM). Sebagai Direktur Program tersebut, kecerdasan pa John terlihat jelas dalam berbagai pemikiran brilian yang beliau kemukakan dalam berbagai pertemuan/seminar/ lokakarya dll yang dilakukan secara internal prodi, Fakultas Teologi, universitas (UKIM) maupun secara eksternal dengan berbagai lembaga mitra demi pengembangan prodi. Beliau cerdas, namun tidak suka „bertele-tele‟ dan tidak betah duduk „berlama-lama‟ ketika membahas berbagai hal dalam rapat-rapat maupun kegiatan-kegiatan formal prodi. Gagasan-gagasan brilian tersebut seringkali disampaikan tanpa konsep tertulis, bahkan selalu muncul secara spontan dalam beragam forum. Karena itu, sebagai Sekretaris Prodi, saya secara tidak langsung dipacu untuk „belajar‟ menangkap gagasan brilian beliau secara cermat, cepat dan tepat, untuk selanjutnya mengimplementasikannya secara praksis dalam berbagai program dan kegiatan reguler maupun insidental Prodi S2 pada waktu itu. Pa John juga selalu memberi kepercayaan dan ruang yang luas bagi pengembangan kapasitas diri sebagai Sekretaris Prodi dalam merancang, 44

mendiskusikan, dan menjalankan berbagai kegiatan prodi. Hal ini menurut saya bukan hanya menjadi pola kerja pa John, tetapi juga bagian dari proses pengkaderan yang dilakukan pa John sebagai seorang pemimpin bagi rekan kerjanya yang masih membutuh- kan pengembangan kapasitas dan pengalaman kerja pada waktu itu. Pa John juga adalah sosok pemimpin yang disiplin dan bertanggung jawab, namun tidak kaku dalam menjalankan seluruh keputusan dan kebijakan prodi yang telah dibahas dan ditetapkan bersama dengan para dosen S2 melalui rapat kerja dan rapat- rapat evaluasi secara reguler. Karena itu, selain tugas- tugas reguler prodi di bidang akademik berjalan dengan baik, beberapa kegiatan strategis-insidental prodi dapat diselenggarakan, di antaranya Seminar dan Lokakarya Kurikulum 2002 sekaligus perubahan nama prodi dari „Injil dan Adat‟ menjadi „Agama dan Kebudayaan‟, Pendaftaran prodi ke Kementrian Agama RI tahun 2003 dan Akreditasi prodi oleh konsorsium yang dibentuk oleh Kementrian Agama RI, kerjasama dengan Program Pascasarjana UKSW Salatiga untuk penulisan Tesis dan Ujian Negara bagi para mahasiswa Program S2 Agama dan Kebudayaan UKIM yang membutuhkan Ijazah Negara (sejak tahun 2003). Keberhasilan pa John tersebut tentunya adalah juga bagian dari keberhasilan bersama para dosen S2 dan pihak lembaga (Fakultas, Universitas) yang terus mendukung prodi ini secara positif dan konstruktif. Harus diakui, bahwa kepakaran pa John di bidang Agama dan Masyarakat serta kesungguhannya

45

dalam memperjuangkan perdamaian di bumi Maluku pasca konflik Maluku, tidak hanya diwujudkan dalam gagasan-gagasan brilian yang abstrak, tetapi juga diejawantahkan dalam program strategis yang konkrit melalui prodi ini. Salah satunya yang patut disebutkan, yaitu prodi ini menerima mahasiswa Muslim untuk mengikuti perkuliahan bersama dengan para mahasiswa Kristen yang umumnya terdiri dari para pendeta. Mereka saling belajar dari pengalaman dan kekayaan agama dan kebudayaan masing-masing, saling menghormati dan membangun komitmen untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang damai dan bermartabat di masa depan. Pa John juga mengusahakan beasiswa bagi mereka selama kuliah, baik di Ambon maupun melanjutkan ke UKSW Salatiga untuk kepentingan Tesis dan Ujian Negara. Program ini dimulai sejak tahun 2002 dan berlaku bagi 2 mahasiswa Muslim setiap tahun. Dalam kaitan ini, terlihat bahwa pa John memiliki relasi dan kerjasama yang luas dengan berbagai pihak terkait, baik di dalam maupun di luar negeri. Relasi dan kerjasama tersebut digunakan secara optimal untuk mengembangkan prodi ini, baik secara akademis maupun keuangan. Pa John, sama seperti kita semua, adalah manusia yang juga memiliki berbagai keterbatasan. Namun dalam keterbatasannya, beliau telah melakukan hal-hal yang patut dihargai bahkan dibanggakan sebagai salah satu Direktur Program S2 Agama dan Kebudayaan UKIM pada periode kerjanya. Dari beliau, saya belajar tentang bagaimana mengembangkan kapasitas diri untuk dapat menjalankan tugas-tugas yang berat sebagai

46

Sekretaris Prodi S2 Agama dan Kebudayaan UKIM. Terima kasih pa John.

Kampung Ronodigdayan, 23 Agustus 2015. Pdt Monike Hukubun (Sekretaris Program Pascasarjana Agama dan Kebudayaan UKIM periode 2002-2006, kandidat Doktor Teologi UKDW Yogyakarta) .

47

TELADAN DALAM KEPEMIMPINAN YANG MISIONAL Refleksi Leadership Style dari Pdt. Dr. John Ruhulessin

Saya telah bertemu dengan banyak pemimpin gereja di Indonesia. Namun bagi saya perjumpaan dengan Pdt. Dr. John Ruhulessin, atau yang biasa saya sapa Pak John, sangatlah berbeda. Pertama kali saya berdiskusi panjang dengan Pak John, yaitu saat kami bersama-sama mengikuti Global Gathering Mei 2012 di Chiang May, Thailand. Saat itu Pak John, saya, dan sekitar 500 pemimpin gereja/organisasi dari seluruh dunia mengikuti seminar dari Dr. Chris Wright tentang misi Allah. Di sela-sela waktu istirahat, Pak John mulai membuka percakapan tentang kebutuhan pemahaman misi Allah bagi gereja Indonesia umumnya dan Maluku khususnya kepada para pemimpin yang datang dari Indonesia. “Misi Allah ini sangat penting, oleh karena itu saya pikir baik sekali kalau kita bisa membekali para pemimpin gereja Indonesia dan juga hamba-hamba Tuhan di Gereja Protestan Maluku (GPM),” ujarnya dengan tegas yang masih terngiang-ngiang di kepala saya sampai sekarang. Saat itu saya melihat sosok yang berbicara di depan kami adalah seorang pemimpin gereja yang visioner dan misioner, membuka wawasan dan memberikan dorongan tentang kebutuhan misi Allah untuk mempersatukan gereja-gereja di Indonesia.

48

Belum juga 24 jam berlalu pada hari itu, jiwa pemimpin yang strategis, berani mengambil resiko (risk taker), dan melihat ke depan (futuristic) langsung kelihatan. Tidak panjang lebar, beliau menawarkan GPM menjadi tuan rumah bagi refleksi misi di Indonesia. Selang empat bulan kemudian, sekitar 200 orang pemimpin gereja dari berbagai tempat di Indonesia bersama GPM duduk bersama dalam 4 hari kegiatan refleksi misi Allah 11-14 September 2012 di Jemaat GPM Lazarus, Soya, Ambon. Setelah beberapa kali saya dan Pdt.Dr. John Ruhulessin mengikuti kegiatan bersama, saya dapat merasakan bahwa beliau sangat luwes dalam merajut persahabatan (friendship). Pak John suka sekali duduk bersama pemimpin-pemimpin asing, namun duduk, bercerita, dan bersenda gurau dengan pemimpin- pemimpin lokal. Saya masih ingat, beliau banyak membuka wawasan kami sebagai pemimpin muda dan sangat menaruh perhatian pada hal-hal pribadi yang menjadi kebutuhan para pemimpin muda. Pak John sangat menaruh perhatian bagi masa depan dan pernikahan saya. Berulang kali dia bertanya dan mendorong saya. Saat pernikahan saya tiba, Pak John banyak menolong bahkan rela terbang dari Ambon ke Jakarta dan memberkati pernikahan saya bersama istri. Saya melihat kerendahan hati dan perhatian yang luar biasa dari seorang Pak John. Saya teringat, ketika kami duduk dalam forum- forum internasional, Pak John selalu memberikan ide dan gagasan (ideation) yang cemerlang dalam membangun perspektif misi Allah lewat dimensi praktis dan aktual yang harus dijawab bersama. Beliau bahkan 49

menaruh perhatian besar bagi kemajuan gereja-gereja di Indonesia. Dari apa yang saya saksikan, GPM dalam tiga tahun terakhir telah menjadi pelopor dalam membangun perspektif misi Allah kepada gereja-gereja di Indonesia, dan saya percaya Tuhan telah menempatkan seorang pemimpin Sinode, Pak John, menjadi teladan bagi kita semua dan memakai beliau untuk hormat dan kemuliaan-Nya.

Marnix Riupassa (Direktur Kartidaya Jakarta)

50

JR: Sang Dosen “Smart dengan Aroma Parfum yang Khas”

Mengundang Pa John Ruhulessin, Ketua Sinode GPM untuk memberikan kuliah? “Wow, apa saya punya keberanian untuk itu?” Apa mungkin beliau bisa meluangkan waktu demi mahasiswa STAKPN? Apakah beliau punya cukup waktu untuk memberikan kuliah tersebut? Itulah beberapa pertanyaan yang muncul di benak saya ketika dalam rapat penentuan dosen pengampu mata kuliah Pluralisme dan Multi- kulturalisme di Program Studi Pascasarjana PAK STAKPN Ambon. Saya berusaha menepis keraguan itu dan mencoba menghubungi Pa John pertama kali melalui telepon, baru kemudian surat resmi dari lembaga. Sambil memencet no. hp Pa John, saya masih tetap memiliki dugaan kalau beliau akan menolak mengampu mata kuliah ini atau paling tidak beliau akan meminta seseorang untuk menjadi asistennya untuk mata kuliah tersebut. Maklumlah kesibukan Pa John sebagai Ketua Sinode GPM. Namun apa yang saya perkirakan ternyata terbalik. Pa John dengan senang hati menerima undangan saya untuk mengajar pada Pascasarjana dan beliau langsung meminta waktu setiap Rabu pukul 14.00-16.00. Demikianlah setiap Rabu siang, Pa John sudah hadir di kampus STAKPN Ambon. Salah satu penanda kalau Pa John sudah hadir adalah aroma parfumnya yang khas. Bayangkan kalau siang hari yang pengap tiba-tiba ada aroma parfum yang soft menyebar seisi ruangan, apa rasanya. Jika sengaja ditanya apa merek parfum yang dipakai, beliau akan 51

menjawab sambil tertawa lebar; “Tanya par apa, rahasia dong! Beberapa hal yang menurut saya menjadi kesan kuat tentang Pa John: - Ia adalah sosok pribadi yang disiplin waktu. Pa John selalu hadir 30 menit sebelum kuliah dimulai dan hampir pasti semua mahasiswa belum hadir. Meskipun mahasiswa ditunggu, namun Pa John tidak pernah mengeluh, apalagi marah ataupun memprotes. Salah satu hal yang disenangi dari Pa John adalah beliau ramah kepada siapa saja. - Ia bukanlah tipe pribadi yang suka menjaga imej “jaim”, sebab dengan siapapun, termasuk dengan mahasiwa Pa John bisa duduk santai dan bercerita dengan mereka. Ia tak segan-segan menanyakan nama dan kabar mereka. - Ia orang yang komunikatif dan tidak menampakkan kesan formal. Kapan saja kami bisa menelpon beliau, selalu bisa dijawab. Jika Pa John sibuk dan tak sempat memberikan kuliah, pasti beliau menelpon dan memberi- tahukan sambil minta waktu lain agar tidak merugikan mahasiswa. - Pa John adalah orang yang bertanggungjawab. Meskipun sibuk tetapi beliau selalu memberikan kuliah sampai tuntas dengan 14 x pertemuan. Pikirannya yang cerdas dan gaya mengajarnya yang santai membuat mahasiswa senang mengikuti kuliah beliau.

52

Pa John dalam segala kelebihan dan kekurangannya telah berbagi ilmu dan pengalamannya dengan komunitas STAKPN Ambon. Beliau adalah bagian dari pencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Dangke banya lae Pa John!

Dr. Wely Tiwery (Dosen STAKPN Ambon)

53

ARTI KEHADIRAN

Saya bukan orang GPM tetapi merasa sangat dekat dengan Ambon dan GPM karena historisitas keluarga. Papa saya, mendiang Pdt. O.R. Djawa merupakan utusan GMIH pertama yang melayari bahtera ekumene GMIH, GPM, dan beberapa gereja denominasi lain yang ada di Ambon seperti Bala Keselamatan dan Gereja Pentakosta Pusat Surabaya, di dalam perahu PGIW Maluku. Pengutusan itu membawa saya melanjutkan pendidikan dasar kelas 4 sampai menyelesaikan sekolah menengah atas di Ambon. Termasuk sidi di GPM. Otomatis kehidupan bergereja yang dikenal adalah GPM. Apalagi kemudian, saya menikah dengan lelaki Ambon. Semua ini merajut keambonan saya dan turut membentuk platform bergereja saya. Untuk itu saya berterima kasih kepada Pdt. Rudy Rahabeat yang memberi ruang bagi saya untuk sedikit berbagi tentang kepemimpinan bapak John. Frans Wijsen dalam penelitiannya tentang agama rakyat di Sukumaland, Tansania, mengusulkan salah satu strategi bagi evangelisasi yang liberatif di Sukumaland adalah Latihan Kehadiran (Wijsen, 2010: 377-388). Latihan kehadiran secara sederhana diartikan sebagai hidup dalam solidaritas dengan umat yang dipercayakan Allah dalam rangka menghayati bersama kehadiran-Nya. Kehadiran bukanlah pelayanan jasa pastoral, di mana pelayan datang dalam rangka pelayanan sakramen atau pelayanan tertentu saja dan kemudian kembali. Pelayanan jasa lebih berorientasi 54

pada tugas dan bukan pada umat. Hadir berarti bekerja atau hidup bersama umat. Bukan bekerja untuk umat. Dalam bekerja untuk, umat diperdayakan, tetapi dalam bekerja bersama, umat diberdayakan. Dalam bekerja untuk umat tidak dipandang memiliki sesuatu yang berharga yang patut disharingkan kepada orang lain. Umat merupakan objek. Sementara dalam bekerja bersama, umat diyakini memiliki kekayaan yang melimpah dalam dirinya yang harus digali, dikembangkan dan dibagikan. Dalam bekerja bersama, terjadi proses belajar bagi semua, umat dan pelayan. Landasan teologis tindakan ini adalah kehadiran Allah sendiri yang telah menyingkapkan diri-Nya secara penuh kepada manusia. Implikasinya adalah keselamatan Allah itu harus terus diumumkan dan dinyatakan lewat kehadiran gereja bersama umat/ masyarakat. Hadir dengan cara Kristiani menunjukkan makna kekristenan yang sesungguhnya. Bekerja bersama umat untuk menyatakan kasih Allah, mendampingi yang terluka, merangkul yang tersisih dan membongkar struktur yang menindas, merupakan tindakan aktif menyatakan keselamatan Allah. Untuk membuat tulisan kecil ini saya bercakap dengan beberapa teman Ambon baik pendeta maupun anggota jemaat. Tentu ada banyak kesan yang diberikan.Tetapi kesan umum yang saya tangkap dari percakapan itu adalah kehadiran. Bapak John mereka kenal sebagai pemimpin gereja yang banyak 'turun' mengunjungi jemaat-jemaat yang jauh. Beliau selalu berkesempatan menghadiri peristiwa-peristiwa di jemaat-jemaat. Beliau menghadiri pemakaman pendeta emiritus yang hampir dilupakan orang dan 55

menceritakan sejarah pelayanan mendiang. Beliau juga selalu menyempatkan waktu untuk melayani siapa saja yang membutuhkannya. Istilah Ambon “deng sapa sa” (bersama siapa saja), mengungkapkan suatu sikap terbuka untuk menerima dan mendengar orang lain dari berbagai kalangan, terutama orang-orang muda. Sosoknya yang tidak formal, komunikatif, dan deng sapa sa, memungkinkannya menjadi orang yang 'di dengar'. Kesan teman-teman saya tentang Pak John di atas, terkonfirmasi oleh pengalaman saya sendiri dengan beliau. Persoalan Jemaat GPM Mayau, Batang Dua Ternate, sempat menggoncangkan relasi dua gereja bersaudara ini dan mengharuskan GPM dan GMIH selalu bertemu. Saya melihat Pak John tidak henti- hentinya membangun komunikasi dengan GMIH, dengan teman-teman pelayan yang ada di jemaat-jemaat yang bersangkutan dan juga dengan warga jemaat. Kesan saya inisiatif untuk menyikapi persoalan ini dan menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan selalu datang dari Pak John dan teman-teman GPM. Sebagai pimpinan gereja Pak John serius menyikapi persoalan, mengontrol, memantau dan bertindak. Sikap ini merupakan tindakan mendampingi, menguatkan dan mengarahkan teman-teman di jemaat. Sehingga, ketidakhadiran secara fisik tidak menghalangi pendampingan dan keseriusan menyikapi suatu persoalan. Secara pribadi saya mendapat pembelajaran dari sini yakni bertanggungjawab secara serius terhadap permasalahan yang dihadapi gereja hingga tuntas, tidak membiarkannya mengalir bersama waktu dan menyisakan persoalan atau menghadirkan persoalan 56

baru lagi. Persoalan Mayau, memberi pelajaran kepada saya tentang bagaimana seharusnya para pemimpin gereja mengurusi umatnya. Mengunjungi umat yang bertikai, mendampingi teman pelayan yang ada di situ, memberi penguatan dan nasihat. Semua itu dilakukan dengan hadir. Jabatan strukturalnya sebagai pemimpin gereja tentu membatasinya untuk hadir secara intens dalam satu jemaat dalam pengertian seperti yang dikemukakan Frans Wijsen di atas. Tetapi keseriusannya dalam menyikapi persoalan-persoalan yang dihadapi GPM dengan berkoordinasi bersama pihak Pemerintah maupun pihak yang berkepentingannya tidak dapat dipungkiri. Hadir suatu tindakan yang sederhana, tetapi cukup sulit untuk dilakukan banyak orang. Banyak pelayan hadir, tetapi kehadirannya dalam rangka melakukan jasa pastoral. Banyak pimpinan gereja yang terjebak dalam melakukan jasa pastoral seperti datang membuka persidangan dan pulang tanpa duduk mengikuti rangkaian pergumulan kehidupan jemaat yang dicakapkan selama persidangan. Beberapa pelayan datang melayani sakramen di jemaat tertentu karena di jemaat itu belum ada pendeta. Pelayanan jasa sakramen terjadi ketika pelayan tidak tinggal beberapa waktu untuk mendengar dan menggumuli bersama persoalan kehidupan yang dialami jemaat. Yang lebih memprihatinkan adalah pelayan yang sudah ditempat- kan di tengah-tengah jemaat tetapi kehadirannya tidak dirasakan oleh anggota jemaat. Bukan karena ia tidak tinggal di situ, tetapi orientasi pelayanannya lebih kepada jasa pastoral ; hadir di rumah anggota jemaat jika 57

ada ibadah, ada undangan atau dipanggil untuk berdoa. Pelayan ada tetapi bukan dalam rangka berbagi kehidupan. Seyogyanya pelayan hadir untuk bersama- sama menggali kekayaan kehidupan dan menatanya, sehingga keselamatan itu betul-betul nyata. Kehadiran lebih berorientasi spritualitas dari pada ketrampilan pelayan. Kehadiran lebih bergaung keras dari pada khotbah dengan kata-kata yang memukau. Saya menyebut strategi ini dengan belajar hadir. Hadir butuh dorongan, usaha dan kesungguhan. Hadir membutuhkan kesediaan waktu dan kesediaan diri untuk dibagikan kepada orang lain. Gereja butuh belajar hadir. Saya butuh belajar hadir. Terima kasih untuk bapak John yang telah memberi satu letupan pijaran – tentang kehadiran (presensia)

Pdt. Jerda Djawa (Kandidat Doktor Teologi UKDW Yogjakarta, Pendeta GMIH)

58

PANDAI AMBIL HATI

Pertama, Pa John itu rendah hati. Bagi beta di balik antua punya kelemahan-kelemahan antua pung satu hal yang baik itu antua seng simpan dan balas dendam. Antua murah hati. Antua juga pintar. Itu yang beta lihat antua punya sisi-sisi positif dalam antua punya kepemimpinan. Antua apa adanya. Selain itu, sebagai manusia biasa, antua pung sisi-sisi yang kurang baik bikin antua pung nilai-nilai tambah itu akang sadiki kurang tetapi sejujurnya beta mengapresiasi antua punya kepemimpinan, dan kelebihan-kelebihan. Beta mau coba lihat antua dari antua punya sudut pandang dan bukan beta punya sudut pandang. Setiap manusia, apapun kelebihannya pasti ada punya kekurangan juga. Supaya katong bergantung sepenuhnya untuk Tuhan. Awal-awal, mulai sidang MPL di Masohi. Beta lihat kendala penguasaan terhadap aturan-aturan gereja. Tetapi satu hal yang luar biasa itu antua bersedia untuk bertanya. Satu hal yang beta ingat awal sidang MPL di Masohi itu antua berusaha untuk memperjuangkan 70:30 tetapi gagal toch. Tetapi disitu beta lihat antua bersedia mundur untuk maju dan beta senang, paling senang karena antua mau bertanya, bertanya ke seniornya. Beta lihat antua sering bertanya ke ibu Etha, pa Broery dorang. Saat itu beta lihat antua betul-betul bisa jadi pemimpin di saat orang banyak meragukan kalau antua seng punya banyak pengalaman. Tapi antua mampu, antua mampu mengatasi antua punya banyak kekurangan-kekurangan dan antua bisa “fight”. Itu beta

59

jujur, beta punya pengalaman dengan antua di Jemaat Getsemani, antua apa adanya. Antua punya cara rangkul katong, itu yang bikin semua baik. Misalnya waktu mekar Jemaat Sinar. Beta sebetulnya masuk dapat lihat antua, beta sudah putar jalan sebab beta kecewa. Tetapi caranya untuk merangkul, ambil hati, anggap saja antua mau minta maaf dengan antua punya cara tersendiri. Antua punya cara merangkul itu luar biasa. Antua mengapresiasi katong punya kerja. Orang mungkin menilai antua punya sisi-sisi tertentu tetapi beta mengapresiasi antua.

Pdt Sus Moniharapon, S.Th (Ketua Klasis GPM Kota Ambon)

60

MEMBUKA RUANG PENGKADERAN

Kaderisasi mengasumsikan ada suatu proses melatih, mempersiapkan, memberi kesempatan kepada kader-kader baru untuk memimpin dan membawa pertumbuhan dalam organisasi. Dalam konsepsi seperti itu maka, beta berpendapat bahwa pola pengkaderan di GPM ada dan hidup dalam pola pengorganisasian gereja, pola bina umat melalui wadah dan organisasi pelayanan serta rekruitmen dan up-grading para pelayan atau pemimpin dalam setiap tingkatan pelayanan gereja melalui pengembangan kapasitas para pelayan di tiap jenjang. Yang belum ada adalah suatu konsep dan strategi pengembangan kader yang didesain khusus oleh gereja untuk memperkuat pengkaderan dalam bentuk pelatihan pengembangan bagi kader yang mengisi struktur kepemimpinan gereja secara berkelanjutan. Kalau kepada beta dimintai komentar tentang Pola Pengkaderan dalam kepemimpinan MPH Sinode GPM Periode 2005-2010 & 2010-2015 maka, satu hal yang menonjol adalah pengkaderan di GPM dalam periode ini dipolakan melalui strategi memberi ruang kepada kader-kader muda untuk memimpin dan membawa pertumbuhan dalam gereja. Kultur kepemimpinan di GPM sebelumnya masih kuat pada kultur senioritas namun dalam periode 10 tahun terakhir ini telah terjadi transformasi pola kepemim- pinan gerejawi dimana ruang-ruang kepemimpinan terbuka bagi kader-kader muda untuk memimpin. Di Klasis dan jemaat-jemaat, sudah ada banyak Ketua Klasis 61

dan Ketua Majelis Jemaat yang muda dan sekretaris Klasis atau pendeta jemaatnya lebih senior. Suatu pola pengkaderan yang memadukan kecakapan, kompetensi dan kinerja dengan pengalaman demi menggerakkan pertumbuhan pelayanan. Beberapa hal lain yang memperkuat proses kaderisasi gereja dalam kepemimpinan JR 10 tahun ini, sebagai berikut : Pertama, dalam 10 tahun terkhir, GPM diantarkan untuk memasuki suatu era perubahan paradigmatik, yang kita kenal dengan perubahan paradigma dari penguatan institusi kepada penguatan umat. Hal ini diawali dengan perubahan teologi dan diikuti dengan perubahan peraturan-peraturan gereja, yang secara paradigmatik mengubah cara pandang gereja dan pendekatan gereja. JR selalu mengingatkan para pimpinan Klasis untuk tidak institusional minded tetapi berpikir untuk memperkuat umat. Berpikir dalam kerangka perubahan paradigmatik yang sementara berlangsung dalam gereja. Pola pengkaderan yang dilakukan dengan memperkuat paradigma berpikir para kader gereja. Kedua, dalam periode kepemimpinan 10 tahun terakhir, nampak pula upaya memperkuat kapasitas kader-kader penyelenggara pelayanan gereja. Medianya bermacam-macam, sekalipun belum ada strategi terencana untuk meng-upgrading kader melalui studi lanjut secara formal yang direncanakan gereja namun itu dilakukan melalui pemberian izin studi bagi para pelayan sambil melayani maupun yang diizinkan studi di luar.

62

Selain itu studi-studi pada momentum sidang- sidang gerejawi maupun forum studi lainnya pada forum-forum oikumenis. Yang berlangsung terakhir ini, Konsultasi Studi Gerejawi menyongsong Sidang Sinode GPM di tahun ini. Studi-studi yang diagendakan berkontribusi memperkuat kapasitas penyelenggara pelayanan gereja (kader-kader gereja) memahami realitas problematika yang dihadapi secara internal maupun isu-isu eksternal dalam pergumulan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. JR selalu, sangat kuat memberi perspektif bagi para pimpinan klasis dan kader gereja dengan pikiran- pikirannya yang mendasar untuk meletakkan dan mengartikulasikan posisi dan peran gereja di tengah dinamika perubahan masyarakat, agar gereja tidak kehilangan makna dalam kehadirannya. Beberapa hal dapat disebutkan antara lain : Peran gereja dan agama- agama dalam konteks kemajemukan bangsa, relasi gereja dan negara, gereja dan politik, gereja dalam dinamika otonomi daerah, gereja dan pendidikan, gereja dan lingkungan hidup, gereja, networking dan kemitraan, gereja dan gerakan oikumene, dll. Ketiga, JR sering membuka ruang-ruang perjumpaan bersama para pimpinan klasis dalam komunikasi dengan pihak-pihak lain terutama dalam kerangka kemitraan dengan pemerintah yang dimuarakan pada kepentingan pelayanan jemaat. Keempat, dalam hal memperkuat karakter, mental dan spiritualitas kader, kepemimpinan periode ini memberi perhatian dan mengarahkan gereja untuk memperkuat spiritualitas sebagai kekuatan yang menciri-khaskan kita sebagai gereja. Aksentuasi ini 63

bermakna pula terhadap penyiapan kader gereja agar memiliki spiritualitas kristiani yang baik. Sebagai Pimpinan Sinode, JR mengarahkan GPM supaya memperkuat spiritualitas dan memberi apresiasi kepada langkah-langkah klasis dalam memperkuat spiritualitas para pelayan untuk sungguh-sungguh melayani dengan hati. Kelima, dalam sepuluh tahun terakhir ini, komitmen untuk memperkuat aspek manegerial sesunguhnya terus dimantapkan. Mulai dari perencanaan, pengoganisasian, pengkoordinasian, pengawasan dan pengendalian untuk mencapai tujuan gereja. Penguatan yang terutama adalah memperkuat kader gereja untuk bekerja dalam dinamika perencanaan strategis. Bekerja dalam dinamika perencanaan strategis ini sekaligus menghidupkan apa yang kita sebut dengan prakarsa desentral. Inilah ruang pengembangan kompentensi managerial setiap kader gereja pada setiap tingkatan pelayanan. Dengan RENSTRA dan PROLITA para kader gereja dipolakan untuk bekerja secara terencana, terarah, terukur dan berkesinambungan berbasis pada masalah dan kebutuhan jemaat; meng- hidupkan secara sunguh-sungguh partisipasi sumber daya umat gereja untuk mencapai tujuan gereja. Yang terakhir, suatu hal yang urgen dari pengkaderan adalah keteladanan. Pemimpin perlu menjadi model (role model) bagi proses kaderisasi yang berlangsung dalam gereja. Terlepas dari mungkin ada kekurangan dan kelemahan, tidak berlebihan kalau dikatakan kepemimpinan JR memberi keteladanan tentang menjadi pelayan dan pemimpin yang selalu ada bagi jemaat. Ada dan terlibat intens dengan apa yang 64

menjadi masalah-masalah jemaat/klasis. Pengalaman menangani masalah-masalah konflik di Lease dan agenda-agenda jemaat juga klasis yang membutuhkan kehadiranya, JR selalu ada bagi jemaat. Ini model yang telah ikut diwariskan oleh Pimpinan Sinode GPM pada dua periode terakhir ini. Demikian sedikit komentar terhadap pola pengkaderan yang beta cermati dari kepemimpinan MPH Sinode GPM 10 tahun terakhir, di bawah kepemimpinan Pdt.Dr.John. Chr. Ruhulessin.

Pdt Tjak Sapulette, S.Si (Ketua Klasis GPM PP Lease)

65

DI ANTARA DUA KUTUB: Yang Beta Ketahui tentang JR di antara Orang Banyak yang Mengenalnya

Ruang Pembantu Dekan III Fakultas Teologi UKIM, tempat pertama kali beta mengenal sosok Drs. John Chr. Ruhulessin, M.Si. Tanggal dan bulannya beta lupa sama sekali. Karena memang sulit menelusuri jejak tersebut walau ‟dipaksa‟ mengingat konteks paling awal bertemu sosok JR, yang kala itu menjadi „Dosen Tutor‟ untuk beta bersama 25 teman lainnya. „Ale Elifas ka?‟ Beta cuma bisa menjawab, „iya pa‟. Beta sebenarnya tidak hafal persis apa yang waktu itu disampaikannya. Kalau tidak salah ingat: „Eh bilang tamang-tamang besok jam 3 sore samua nai ka beta rumah di Bere-bere. Cari sampe dapa sa. Sudah, bale kuliah sudah‟. Keesokan hari, beta dipanggil lagi. Waktu itu, JR duduk di „ruang bontal‟ tepat di samping bagian bawah tangga perpustakaan, atau lebih tepatnya di depan Ruang PD III. Beta disuruh ke ruangannya untuk mengambil bahan-bahan pertemuan tutor. Setelah masuk ke ruangannya, justru beta bingung. „Bahan pertemuan Tutor tuh apa? Masalahnya di mejanya hanya ada satu buah asbak (kemudian beta tahu sebagai „barang‟ andalannya) dan setumpuk koran. Beta kembali ke ruang bontal dan menerangkan hal itu, bahwa tidak ada bahan pertemuan Tutor. Maksud beta jangan-jangan beliau lupa. Dengan menyebut „cuma ada koran di atas meja‟. Dengan nada sedikit „bataria‟, „iyo, itu akang tuh. Ose nih onosel, ada baru maso kuliah sa 66

su pikir makalah‟, kilahnya. Beberapa dosen yang duduk waktu itu turut tatawa. Sebagai mahasiswa Semester I, rasa „mau mati sa‟ tentu dapat dilukiskan.

***

Di rumahnya, pada saat pertemuan Tutor pertama. „Ini Usi Lien, beta pung maitua. Katong ana ada dua, Joy deng Vano. Eh, Yani se su kaweng lai? Se onosel e. Se jadi Kordinator Tutor saja‟. Yani yang dimaksud adalah Pdt. Julian Alvaris Oktovius Kermite, saat ini adalah Ketua Majelis Jemaat Air Besar, Klasis GPM Seram Utara. Memperkenalkan Ibu Lien dengan menyebut „Usi‟ bagi kami yang baru selesai Opspekmaru, menunjukkan bahwa itulah relasi ade-kaka yang sebenarnya. Tetapi dalam rasa hormat, kami tetap menyapanya Ibu, karena JR adalah „Bapa Tutor‟. JR telah hadir dalam proses transisi kami sebagai mahasiswa semester I untuk „menggiring‟ kami melompat ke dalam „berita-berita Koran‟yang menjadi bahan pertemuan Tutor perdana setiap saat. Tanpa basa- basi lagi, JR mengangkat koran yang beta bawa dari ruangannya, dan mengatakan kalimat yang membuat katong kembali ke dalam transisi baru. „Kamong jang balajar dari Alkitab saja. Onosel. Balajar dari koran- koran lai, dari buku-buku laeng lai, supaya kamong tau dunya nih babae‟. Setelah menyampaikan beberapa nasehat, dan katong sudah bisa langsung akrab, rencana pertemuan kedua ditentukan.‟Katong pi Hatu. Nanti biking katupa sa, la beta mangael katong makang ikang bakar. Yani, se 67

ator la bilang se bini mamasa saja. Se bini iko lai e, jang se onosel deng anana alus-alus nih‟. Di situ pula, katong mulai akrab dengan Bu Yani dan keluarganya. Saat pertemuan Tutor berlangsung di Hatu, siapa yang harus menemani JR „mangael‟? Katong samua bukang orang Hatu. Dari mana datangnya perahu untuk menyalurkan „bakat Simon Petrus, Johanes dan Andreas‟ –yang ternyata ada pada Bapa Tutor ini? „Ada kaka tingkat yang orang Hatu ka seng? Bilang dia taru parao skali‟. Ini pun sebuah transisi baru. Di mana katong harus mengejawantahkan relasi ade- kaka itu untuk menanggulangi masalah yang „kali ini barat‟. JR kan pendeta. Dosen Fakultas Teologi. Kalau ke jemaat-jemaat kan sebenarnya tidak sulit untuk masalah yang „barat‟ bagi kami itu. Tetapi ia tidak mau mengontak Ketua Majelis Jemaat GPM Hatu waktu itu (Pdt. C. Leunufna, Sm.Th, SH). Rudy Rahabeat, putra Kei, mama Kamariang, lahir besar di Hatu. Bukan anggota tutor Ruhulessin. Dialah sang pemilik dan sekaligus „tukang panggayo‟ yang menjadi „nelayan tersisa‟ di pantai Hatu waktu itu. Teman seangkatan ini disandra bu Yani Kermite, Rudy berperan sebagai „tamang mangael‟ JR waktu itu. Di situlah kutub baru, yang beta maksud dengan transformasi. Bagaimana mengatasi masalah dengan memanfaatkan potensi internal yang terkandung di dalam diri kita sendiri. Bahwa transformasi adalah proses yang harus dijalani justru saat kita sedang di dalam krisis. suatu proses yang bukan hanya memerlukan keberanian (nyali) melainkan inovasi. Setiap orang memiliki potensi itu. dalam konteks kami

68

saat itu, JR telah membukanya kepada kami, mahasiswa Semester I, yang baru berkuliah 6 minggu. Tidak lama katong menjadi anak tutornya, sebab tahun 1994, JR harus melanjutkan pendidikan S3 di UKSW- Salatiga. Beta „diatestasi‟ menjadi anak tutor J. Seleky, M.Th sampai tamat dari Talake.

***

Babakan berikutnya adalah tahun 2001, ketika bersama bu Steve Gaspers dan Max Takaria, katong diminta menjadi Tim Penulis Kurikulum S2 Injil-Adat, yang kemudian bermetamorfosa menjadi Agama dan Kebudayaan, mengikuti nomenklatur di Dikti. JR melibatkan kami yang sama sekali bukanlah warga kampus. Namun peran kami sederhana saja, yakni menterjemahkan UU, Tujuan Study S2 UKIM, harapan Gereja, dan berbagai hasil diskusi bersamanya dan Pdt. W. Davidz, M.Th, sebagai Ketua Tim Kurikulum S2 waktu itu. Tahun 2004, beta secara tidak sengaja, diminta untuk menjadi „tukang ketik‟ disertasinya. Transisi ini sebenarnya tidak sulit bagi beta. Karena tinggal mengetik saja apa yang ditulisnya. Tetapi menjadi menantang karena harus pula mengoreksi kevalidan teori dan hasil penelitiannya. „Ingatang, beta seng mungkin tipu masyarakat deng gareja, Eli. Jadi se cek babae, bila perlu tiap kata. Disertasi tuh bukang cuma par jadi doktor‟. Kata-kata itu telah berhasil membenamkan beta dalam transisi nyaris satu tahun sebagai „tukang ketik‟. Setelah Ujian Promosi dan Bukunya yang berjudul „Etika Publik‟ diterbitkan 69

UKSW Press (2005), barulah beta merasa lepas dari transisi tersebut. Di tahun-tahun itu pula, beta menyaksikan bagaimana JR menghadapi transisi rangkap tiga; yaitu transisi dirinya ~sebagai seorang Sekretaris PMI yang bergelut dengan disertasi dan tugas sebagai Komisioner KPUD Maluku, transisi gereja ~yang pada 2005 menjalani masa peralihan kepemimpinan Sinode, dan transisi masyarakat Maluku ~yang harus keluar dari konflik dan masih tertatih membangun perdamaian. Namun beta yakin, „Etika Publik‟, disertasinya itu memberi kepadanya spiritualitas baru yang membuatnya merasa bertanggungjawab dan harus keluar dari transisi itu. Dalam gumulan menjelang Sidang Sinode GPM tahun 2005, suatu malam di ruang Sekretaris KNPI, kala beta sedang mengubah format catatan kaki disertasinya ~pihak UKSW meminta menggunakan model Turabian, JR lalu berkata begini: „dong minta beta jadi Ketua Sinode, maar beta bilang dong tunggu beta musti tanya dan berdoa deng beta bini deng anana. Jadi Ketua Sinode nih seng gampang jadi musti berdoa tanya Tuhan‟. Cerita selanjutnya sampai ia bersedia, telah melibatkan banyak orang dalam pergumulannya. Tetapi yang beta bisa maknai bahwa, JR mengatasi transisi itu dengan kembali kepada spiritualitas seorang pendeta. Semua orang tentu belajar dari setiap situasinya, dan dengan apa yang sedikit saya ketahui itu, saya yakin Tuhan selalu memberi petunjuk melalui peristiwa dan cara apa pun. Banyak orang tentu tidak tahu, dan semoga JR, Ibu Lien, Joy dan Vano tidak marah, kalau 70

kalimat ini harus beta tulis: „suatu sore, di tahun 2009, beta ke pastori Ketua Sinode, dan JR sedang menyetrika kemeja yang akan dipakai Vano. Malah setelah disetrika necis, Vano justru memilih memakai baju kaos yang ada di dalam lemari‟. Bagian ini bisa dianggap wajar, karena itu bagian peran gender. Tetapi bagi saya, ada bentukan spiritualitas di situ. Mengapa harus sentralisasi keuangan gereja, dalam wujud dana sharing 70:30? Dua alasan pernah JR sampaikan awal sekali ide ini mau dikaji di tahun 2005; yakni (a) dengan PIP/RIPP maka semua jemaat harus bertumbuh bersama. Untuk itu, jalannya hanya kita saling mendukung. Karena kita semua sama-sama sedang terpuruk; (b) kerusuhan membuat semua orang susah. Mari kita pikirkan bagaimana caranya agar jemaat mampu menanggulangi pelayanan dan juga para pendeta dapat gaji sama-sama, dan tidak boleh ada lagi yang „tatunda‟. Ketika ide itu ditolak tahun 2006 dalam Sidang BPL di Masohi, ia terus berusaha menata gerak departemen di lingkup Sinode dan mengevaluasi kelemahan-kelemahan dokumen tersebut. Beta tidak usah mengkisahkan lagi ketika dokumen itu diterima dalam sidang BPL di Tual (2007), dan tidak perlu pula mengkisahkan bagaimana dokumen itu direalisasi di 2008 sampai saat ini. Kita belum melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap kebijakan dana sharing ini. Saya harus obyektif untuk mengatakan bahwa itu salah satu tugas yang belum tuntas dilaksanakan dalam kurun waktu 7 tahun sejak diterapkan sampai saat ini. Tetapi syukurlah karena hal itu sudah menjadi model dalam manajemen keuangan gereja.

71

Peace and trust buliding, adalah „kalimat sakral‟ yang selalu keluar dari mulutnya, dan dilakoninya dengan konsisten. Merajut kembali persaudaraan yang retak dengan basudara Salam, menjadi paradigma pelayanan GPM. Semua pendeta dan jemaat terlibat. Namun sebagai pimpinan Sinode, perspektif dan konsistensinya terhadap hal ini membuat ia selalu ada di tengah jemaat/masyarakat kala terjadi pertikaian. Malah pernah pula dihujani „kritikan tajam‟ (untuk tidak mengatakan „ma***n). Pesannya, „kamong musti rajing turung di bawah‟. Profil Gereja yang meliputi Profil Umat, Pelayan dan Kelembagaan, adalah ide besarnya di tahun 2009 yang diterjemahkan ke dalam Pedoman Implementasi PIP/RIPP GPM Tahap II 2010-2015. Bagaimana itu terwujud, kita masih terus bergumul dengannya. Namun JR selalu menyatakan „gereja yang mengalami krisis adalah gereja yang hidup‟. Ini mengilhami gereja untuk tidak mengabaikan realitas pelayanannya sendiri. Apakah karena itu GPM telah masuk ke dalam suatu transformasi? Beta harus jujur mengatakan, sudah. Tetapi transformasi itu bukanlah proses yang mati. Transformasi adalah langkah bersambung. JR telah berada bersama gereja ini di dalam transisinya. Bukan berarti sudah selesai. Transisi itu akan tetap ada karena sejarah gereja ini berkembang, karakter para pelayan dan umat berkembang terus; misi kerajaan Allah pun tidak pernah berakhir. Itulah yang beta ketahui dari antara banyak orang yang mengenalnya. Satu hal yang terakhir yang meyakinkan beta bahwa di antara kutub transisi dan transformasi itu, JR sudah menjadi bagian dari 72

perkembangan gereja ini adalah karena: „JR itu kakak yang membuka telinga dan hati untuk mendengar usul adik-adiknya‟. Ada bangunan „trust‟ secara mutual dalam kontak dengannya. Terutama ketika berbagi ide.

If you want to build a ship, don‟t drum up the men to gather wood, and give orders. Instead, teach them to yearn for the vast and endless sea‟ (Antonie de Saint-Exupery)

Pdt Elifas Tomix Maspaitella, M.Si (Sahabat JR, Ketua Umum PB AM-GPM periode 2010-2015)

73

PEMIMPIN YANG IDEALIS

JR adalah tipe pemimpin yang idealis dan terbuka untuk membangun kebersamaan di tengah dinamika pluralis, serta memiliki pendapat-pendapat yang kuat dengan argumentasi yang kuat pula. Hal inilah yang mendorong pertumbuhan perubahan untuk menjawab tuntutan-tuntutan dari perkembangan yang mengarah ke masa depan. Mendorong dan membuka kesempatan untuk berkreasi dan maju bagi setiap orang di sekitarnya. Pdt. Dr. J. Ruhulessin, M.Si, adalah tipe pemimpin yang kuat dari aspek tersebut. Mengenal sosoknya dalam proses bergereja sebagai pemimpin di Gereja Protestan Maluku sebagai Ketua Sinode GPM selama 2 periode (2005-2010 dan 2010-2015), adalah juga kesempatan belajar banyak hal secara terbuka. Upaya-upaya yang dilakukan untuk membawa GPM pada perubahan dan pertumbuhan dengan secara terbuka dan relasi yang kuat baik secara internal bergereja maupun relasi dengan pihak lain di luar gereja. Dengan basic expert pluralism, menuntun beliau untuk memimpin gereja menjadi gereja yang secara kontinyu berupaya membangun hubungan- hubungan bergereja ditengah kepelbagaian perbedaan dengan tokoh-tokoh yang lain baik Katolik, Muslim dan lainnya. Sosok yang selalu kaya dengan upaya-upaya yang dilakukan untuk memperbaiki setiap keadaan dan memikirkan orang lain dan melakukan banyak hal untuk mendukung upaya perbaikan bahkan membela orang yang membutuhkan pertolongan bahkan hingga tuntas. Melihat sesuatu secara komprehensif dengan 74

mempertimbangkan detail-detail nilai untuk men- dukung upaya-upaya bersama demi membangun menuju perubahan. Tipe pemimpin yang menyukai kedamaian. Itu terlihat dari berbagai keterlibatannya dalam berbagai kegiatan aktual mendorong perdamaian di bumi Maluku.Tipe memotivasi orang lain untuk bertumbuh. Suka menolong dan setia membangun hidup persaudaraan bahkan terlebih bersama orang-orang yang memiliki integritas. Tipe sosok yang serius dalam membangun dan mengupayakan sesuatu untuk kebaikan. Begitupun orang-orang yang terlibat bersama “dipaksa” untuk secara serius menanganinya bahkan terlibat secara serius dan bahkan dalam perbincangan atau percakapan yang mendalam, dan diberi penghargaan terhadap upaya tersebut. Pdt. DR. J. Chr. Ruhulesin, M.Si, adalah sosok yang murah hati, perhatian dan cukup antusias membawa perubahan, sosok pejuang yang tak kenal lelah. Kadang menjadi tokoh yang memberi pernyataan atau pendapat yang spektakuler di saat-saat yang rumit serta menjadi penengah dalam hal itu. Beliau dikenal oleh jemaat GPM sebagai tokoh dan pemimpin yang terbuka dan tidak formalistis yang menimbulkan kekakuan dalam membangun hubungan baik. Tokoh GPM yang selalu mengutamakan setiap hubungan baik. Itulah Pdt. Dr. J. Chr. Ruhulesin, M.Si – salah satu tokoh Perdamaian di Maluku. Tuhan Berkati.

Pdt. Jondry Paays, S.Si (Sekretaris Klasis GPM Seram Utara, Sekum PB AMGPM 2015-2020)

75

ORANG YANG MURAH HATI BERKATNYA BANYAK

Rudy Rahabeat (RR): Bagaimana kesan Bapak terhadap kepemimpinan pak John Ruhulessin?

Drs Piet Leuwol (PL) : Mau ungkapkan ini kelihatan juga susah, sebab nanti terkesan membanding- bandingkan. Sebab beta ini menjadi bendahara sudah tiga periode untuk dua kepemimpinan. Jadi kadang beta jua seng mau, jang sampe orang berpikir katong banding-banding orang punya seng baik. Tapi kalaupun katong harus menilai, realistis saja toch pa? Beta ini bekerja sebenarnya karena faktor antua juga (pa John). Antua minta langsung, dan dulu kalau kerja beta sudah bertekad, kalau kurang beres beta mundur, itu beta punya sifat. Bukan kurang pas tetapi bila dalam pelaksanaan akang seng berkenan beta mundur. Beta di pemerintah juga begitu. Tetapi beta lihat pa John punya kepemimpinan itu (bukan mau puji sebab puji juga salah) bagus. Katong bisa lihat antua punya hasil-hasil kerja luar biasa. Beta seng mau cabar orang nanti orang yang nilai (memang beta disini karena sudah beberapa kepemimpinan jadi bisa lihat kalau bilang nanti orang kira katong membandingkan). Tetapi antua (pa John) luar biasa. Itu yang buat beta bertahan sampai sekarang. Di pemerintah saja beta bagitu apalagi di gereja. Beta anggap antua itu luar biasa, orang yang mau kerja untuk kepentingan secara menyeluruh. Sekarang apa yang bisa

76

katong lakukan, katong bikin saja, nanti orang lain yang meneruskan. Biasanya dalam satu kepemimpinan, kalau sudah di akhir periode orang seng pusing-pusing lagi, tapi pa John seng begitu, beliau luar biasa. Katong kerja saja. Antua selalu bilang for beta kalau katong siapkan saja samua ini (sarana fisik, sistem pemberian upah dll) supaya ke depan dong hanya pikir for pelayanan saja. Makanya pa John siapkan sarana-sarana dengan catatan kepemimpinan yang berikut jang dong pikir “barang- barang” ini lai. Beta seng tahu deng orang tapi beliau dengan beta selalu bicara bagitu. Karena itu belakangan ini antua selalu upaya ini dan itu.

RR : Bagaimana kondisi keuangan GPM dalam era kepemimpinan pak John?

PL : Kalau beta lihat pa John ini lebih berperan untuk mendapatkan/mencari uang (salah satu). Memang betul kalau katong melihat secara riil antua seng punya penghasilan, tidak. Tetapi antua punya komunikasi cukup besar sehingga ada banyak bantuan. Contoh saja, kalau pakai bensin untuk mobil uang bensin itu satu rupiah pun tidak pernah diambil dari sini. Begitu juga dengan perjalanan dinas padahal itu ada (dianggarkan). Itu kelebihannya. Beta seng tahu orang lain tetapi pa John itu begitu. Ini mungkin karena antua pung relasi cukup besar sehingga membuat antua seng kesulitan. Tetapi banyak orang juga seng seperti itu beta kira. Sekalipun banyak ini, tetapi orang mau lebe banyak lai. Itu beta lihat pola.

77

Salah satu lagi yang beta lihat, pa John paling murah hati. Tapi orang murah hati ini susah kalau kelola uang gereja. Kelola keuangan gereja seng bisa bagitu. Beta tahu persis, antua murah hati luar biasa. Kalau kelola keuangan seng boleh bagitu, seng boleh. Kalau untuk menolong antua sering bilang” beta punya (dana) taktis ada toh, pake dari situ jua”. Itu beta pengalaman dengan pa John, luar biasa murah hatinya itu. Beta tarik kesimpulan secara Injili, orang yang murah hati itu berkatnya banyak. Beta ini sebenarnya sudah minta mundur berulang-ulang kali karena fisik yang makin menurun, tetapi beta berdoa Tuhan supaya bisa sampai selesai dengan pa John.

RR : Bagaimana pandangan Pa Piet untuk pengelolaan keuangan GPM ke depan?

PL : Kalau for beta, keteraturan. Keteraturan pengelolaan. Rahasia keberhasilannya disitu. Administrasi musti bagus, keteraturan musti jalan. Di sini jua musti pintar mengatur, trampil. Beda dengan di pemerintahan, kalau di pemerintah akang (uang) sudah ada. jadi seng pusing jua seng apa, mau pusing apa, sudah ada. Disini “barang” seng ada, akang datang dolo baru katong atur jadi musti pintar-pintar mengatur. Karena apa ? Di gereja ini lebih banyak kebijaksanaan kan. Pemerintah itu aturan, seng boleh langgar yang sudah ditetapkan. Gereja seng bisa, karena di gereja pelayanan jadi musti banyak kebijaksanaan karena itu mesti pintar–pintar. Kalau seng terampil nanti susah, repot. Oleh karena itu ketika beta mau mundur ini, selalu beta ingatkan par antua dorang, mengelola 78

keuangan gereja ini seng mudah. Apalagi sekarang ini pembayaran sudah terpusat. Dulu tidak, dulu katong mengatur itu saja jadi seng masalah. Tapi sekarang sudah terpusat, ini sungguh luar biasa, dan nilainya makin hari makin besar. Dan untuk mengelola dana yang makin besar ini butuh orang yang trampil, seng bisa sabarang. Yang paling pokok itu, dia harus memahami kehidupan gereja. Angkat orang pemerintah kamari misalnya, yang seng tahu dan memahami kehidupan bergereja dan dia terapkan yang di pemerintah disini bisa bentrok. Tetapi beta sudah hidup deng gereja sudah lama jadi mengerti. Jadi kalau katong lihat setelah 2008 pemberlakuan 70:30 (sentralisasi keuangan). Sumber yang paling besar itu dana institusi, 90 % dia membelanjai tiap komponen. Gaji, pensiun, operasional. Sedangkan yang lain-lain itu dari sumbangan- sumbangan tetapi seng banyak. Dana 30 persen yang paling menentukan (90 %). Itu besar dan karena itu beta bilang perhatian harus ke 30 persen itu harus dikelola baik, kalau tidak nanti repot. Kalau kelola baik, beta yakin ke depan peningkatan kesejahteraan pegawai juga akan baik, dan itu dari dana 30 persen. Jadi setiap kali katong upayakan kenaikan, kenaikan. Kesejahteraan pendeta. Sekarang kita masih dibawah standar minimum daerah (UMR). Jadi harus perhatian ke situ.

Drs. Piet Leuwol (Bendahara Kantor Sinode GPM)

79

Vanno Ruhulessin

Mengail Ikan di Saparua

80

BAB III PIDATO-PIDATO SIDANG GEREJAWI TINGKAT SINODAL

Sebagai gereja kita harus punya pengharapan dan sikap yang positif dan optimistik menyongsong masa depan. Namun itu saja tidak cukup. Kita dituntut untuk tidak henti-hentinya berdoa dan terbuka kepada karya Roh Kudus, karya Allah sendiri dalam proses pertumbuhan. Kita harus yakin betul bahwa gereja ini hanya hidup dari kuasa Roh Kudus, hidup dari Allah sendiri. Allah dan RohNya terus berkarya melalui gerejaNya dan manusia untuk menghadirkan kebaikan-kebaikan bagi seluruh umat manusia. Dalam penghayatan semacam itu, maka persidangan BPL ini, harus dipandang tidak hanya sebagai sebuah agenda kelembagaan, tetapi ia adalah sebuah agenda iman, sebuah pergumulan iman. Kita berkumpul bersama dalam semangat persaudaraan sejati, semangat kekeluargaan, merencanakan perubahan yang bermanfaat bagi kemanusiaan bersama. Ini kita kerjakan bersama Tuhan dan Rohnya. Ini adalah tumpuan dan andalan kita. (cuplikan Pidato BPL 2006 di Masohi)

81

Bagian ini berisikan naskah-naskah pidato yang disampaikan Ketua Sinode GPM dalam rentang waktu sembilan tahun sejak tahun 2006-2014. Pidato yang kesepuluh tidak sempat disertakan dalam buku ini karena alasan teknis. Melalui pidato-pidato ini, kita dapat mencermati dinamika dan dialektika pergumulan GPM dari tahun ke tahun, isu-isu apa yang digumuli dan sejauhmana perkembangan yang sedang berlangsung di GPM dan kepulauan Maluku pada umumnya. Secara protokoler setiap Pidato diawali dengan sapaan terhadap tamu undangan dan peserta yang menghadiri persidangan tersebut dan diakhiri dengan ucapan terima kasih, yang umumnya meliputi: Gubernur Maluku, Muspida Maluku, Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Maluku, Wakil Gubernur Maluku, Sekretaris Daerah Propinsi Maluku, Bupati/Walikota Maluku, Pimpinan Lembaga Keagamaan Propinsi Maluku dan Kabupaten/Kota, MUSPIDA Kabupaten/Kota, Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, Badan Pertimbangan Sinode GPM, Badan Pekerja Harian Sinode GPM, Pimpinan Yayasan, non departemen dalam lingkungan Sinode GPM, Para peserta Persidangan Badan Pekerja Lengkap Sinode GPM, Panitia Persidangan BPL serta Seluruh pelayan dan warga jemaat Untuk alasan efisiensi maka bagian sapaan dan ucapan terima kasih tidak disertakan dalam tubuh teks tiap pidato.

82

Pidato Ketua Badan Pekerja Harian Sinode pada Pembukaan Persidangan XXVIII Badan Pekerja Lengkap (BPL) Gereja Protestan Maluku di Masohi Maluku Tengah Tahun 2006

Salam Sejahtera dalam Tuhan Yesus Kristus, Assalamalaikum Wr Wb, Perkenankan saya mengawali sambutan ini dengan mengajak hadirin semua untuk melafaskan puji dan syukur kepada Allah Bapa di surga, Tuhan Yesus Kepala gereja, atas kasihNya bagi kita semua, bagi masyarakat Maluku, juga bagi GPM, yang pada hari ini diperkenankan Tuhan melaksanakan Persidangan ke-28 Badan Pekerja Lengkap. Kita percaya bahwa Allah dalam Kristus dan RohNya, terus berkarya memimpin, mengendalikan, membarui dan memberdayakan gereja ini, agar ia sungguh-sungguh bermakna; menjadi tanda keselamatan dan pembebasan demi terwujudnya kehidupan yang setara, adil, damai, sejahtera dan berperadaban sekarang dan di masa depan. Rasa syukur dan sukacita ini semakin sempurna, ketika persidangan dapat kita gelar dalam suasana dan semangat persaudaraan yang aman, rukun, damai dan penuh kekeluargaan, serta didukung pemerintah dan seluruh masyarakatnya, khususnya masyarakat Maluku Tengah, lebih khusus lagi basudara Salam di kota ini. Ini menjadi bukti otentik dari rasa persatuan dan kesatuan yang terbingkai dari semangat Pela dan Gandong, serta spirit Masohi sebagai spirit kota ini.

83

Bapak gubernur, para tamu yang saya hormati dan kasihi, pelayan dan segenap warga gereja yang berbahagia, Persidangan BPL Sinode adalah lembaga pengambilan keputusan gereja, yang berada di bawah Sinode. Ia bertugas antara lain: menetapkan peraturan pokok organik, mengevaluasi hasil pelaksanaan keputusan Sinode dan BPL Sinode dan Persidangan BPL Sinode (27), mengawasi pelaksanaan pelayanan gereja dan amanat pelayanan GPM serta menjabarkan keputusan-keputusan dan pokok-pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Persidangan Sinode menjadi program-program yang bersifat operasional. Makanya, Persidangan BPL adalah persidangan yang penting dan strategis, yang dari dalamnya diharapkan lahir kebijakan-kebijakan penting yang bersifat lebih fundamental dan komprehensif. Sekaligus merupakan kerangka solusi yang menyeluruh mengenai persoalan- persoalan yang dihadapi GPM. Dengan demikian, kendati pergumulan BPL ini lebih diarahkan pada penyelenggaraan pelayanan satu tahun, tetapi ia mesti dipandang dalam sebuah carapandang yang utuh, komprehensif dan berkesinambungan dalam arah lima tahun ke depan. Dengan maksud agar gagasan-gagasan dasar gereja ini tetap terjaga dan terpelihara dan kemudian dapat diaktualisasikan secara konsekuen, kontekstual, bermutu dan berkesinambungan.

Bapak Gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL, segenap pelayan dan warga gereja yang berhagia, 84

Persidangan Badan Pekerja Lengkap (BPL) ke 28 ini merupakan persidangan BPL pertama bagi BPH periode masa bakti 2005-2010. Sebagai BPL pertama tentu saja sangat diharapkan ia merupakan kesempatan bagi BPH untuk meletakkan arah dan pikiran-pikiran dasar gereja ini agar perjalanan ke depan semakin lebih siap. BPL ke-28 ini dilaksanakan dibawah sorotan tema sentral GPM untuk lima tahun mendatang yakni: “Berubahlah oleh Pembaruan Budimu”, dan sub tema: “Bersama-sama mewujudkan komitmen gereja di tengah dunia dalam perspektif masyarakat beriman yang majemuk.” Tema ini menegaskan komitmen dan ketegasan sikap GPM untuk melakukan pembaruan yang fundamental dan komprehensif. Pembaruan menjadi tanda dari kesetiaan GPM kepada Tuhannya dan kepeduliannya kepada dunia serta manusia yang terus mengalami perubahan sebagai konteks real pelayanannya. Pembaruan menjadi imperatif bagi GPM untuk menjadikan dirinya lebih bermakna dan memiliki signifikansi yang kuat bagi jemaat, masyarakat, kemanusiaan dan bangsa. Pembaruan adalah panggilan Allah yang tersedia bagi gereja untuk menata panggilannya, pelayanannya, persekutuannya, serta tanggung jawabnya sebagai persekutuan beriman yang hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi bagi dunia dan kemanusiaan. Pembaruan budi harus menjadi kekuatan atau spirit yang menolong gereja keluar dari kesibukan dirinya sendiri kepada kepedulian kemanusiaan. Pembaruan budi harus menjadi spirit yang mampu menjadikan kesalehan keagamaan yang cenderung kepada eksklusifisme dan absolutisme kepada 85 kesalehan dalam praksis sosial-kemanusiaan. Begitu pula ia mampu mengubah cara pandang keagamaan yang ideologis dan tekstual kepada carapandang yang lebih terbuka, fungsional, kontekstual dan dialogis- transformatif. Pembaruan budi juga akan menolong untuk mengubah budaya kekerasan menjadi budaya cinta kasih dalam bingkai persaudaraan. Ringkasnya, tema ini mensyaratkan pengubahan pelayanan kemanusiaan yang terarah kepada diri sendiri kepada kepedulian sesama manusia demi keadilan dan kemaslahatan bersama seluruh masyarakat. Sementara sub tema merefleksikan kesadaran GPM sebagai gereja yang diutus ketengah-tengah dunia untuk menjadi tanda keselamatan dan pembebasan bagi dunia dan manusia. Oleh karena itu, gereja harus menanggapi dengan serius konteks gumulnya yang sarat dengan masalah-masalah manusia, masalah kemasyarakatan dan masalah-masalah kebangsaan. Keselamatan yang dikerjakan Tuhan bagi manusia terjadi di dalam gelanggang sejarah manusia dan dunia yang riil. Sub tema ini juga, sekaligus merefleksikan situasi problematik pelayanan, kesaksian dan persekutuan GPM yang dihadapinya, dan ia harus meresponsinya dengan sebuah kerangka solusi yang komprehensif dan fundamental, dengan agenda-agenda yang lebih bermutu, relevan dan kontekstual di tahun pela- yanannya yang baru. Di samping, tentu saja, pembenahan masalah-masalah kelembagaan, kapasitas- nya, keuangan, dan seterusnya. Masalah-masalah mendasar kita juga antara lain: kemajemukan masyarakat, khususnya kemajemukan agama, 86 kemiskinan dan krisis lingkungan, penyakit-penyakit sosial, spiritualitas, tanggung jawab pemulihan masyarakat Maluku terutama dalam kerangka membangun saling percaya, perdamaian dan kepedulian untuk membangun sebuah peradaban Maluku bersaudara ke depan.

Bapak Gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL, para pelayan dan warga GPM yang berbahagia, Pengembangan pelayanan GPM selama ini diarahkan untuk mewujudkan sebuah kehidupan persekutuan beriman atau gereja yang lebih bermutu, fungsional, kontekstual dan transformatif. Pengem- bangan semacam itu, membutuhkan arah, visi, misi serta strategi yang jelas dan mendasar agar penyelenggaraan kehidupan bergereja itu betul-betul berjalan baik, menghasilkan pembaruan dan perbaikan serta kemajuan yang baik, benar dan menyeluruh. Dengan tema “Berubahlah oleh Pembaruan Budimu”, GPM menegas- kan visinya tentang pembaruan yang mengarahkan keseluruhan perencanaan gereja untuk lima tahun mendatang. Isu sentralnya yakni pergeseran paradigma dari penguatan kelembagaan kepada penguatan karakter, dari penguatan struktur kepada penguatan kultur pelayanan berbasis jemaat dan masyarakat serta penguatan pada aspek-aspek moral, etika, spiritual dan kepedulian sosial. Dalam perspektif semacam itu maka kemandirian dan pertumbuhan jemaat (masyarakat) betul-betul menjadi fokus penyelenggaraan pelayanan 87 gereja. Asumsinya, gereja sebagai persekutuan beriman mesti ditata dan diberdayakan sedemikian rupa sehingga ia dapat memainkan peran dan tanggung jawab yang lebih bermutu. Agar ia dapat berfungsi sebagai agen perubahan dalam proses perubahan jemaat dan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, maka penataan kelembagaan dan kultur kelembagaan serta perencanaan pelayanan harus betul-betul didesain secara baik, sehingga ia secara fungsional mampu mentransformasi konteks bergereja dan konteks bermasyarakat dengan lebih dinamis. Oleh karenanya, kultur kelembagaan dan kultur pelayanan harus diarahkan untuk mendorong, dan memberdayakan jemaat (masyarakat) dengan lebih dinamis. Trend perubahan paradigma semacam itu ditopang secara kuat oleh gagasan-gagasan dasar di dalam PIP dan RIPP GPM untuk sepuluh tahun ke depan yang memberi penegasan pada beberapa pergeseran dan penguatan titik tolak, yaitu: Penguatan karakter dengan fokus pada pemandirian, penguatan dan pemberdayaan jemaat (masyarakat), penguatan etika, moral dan spiritualitas, penguatan eklesiologi yang kontekstual dan transformatif, penguatan peace and trust building, penguatan persaudaraan; dialog dan kerjasama lintas iman dan lintas agama, penguatan keadilan dan kesejahteraan umat (masyarakat), serta penguatan kesadaran kebangsaan dan demokrasi.

Bapak Gubernur, para tamu yang saya hormati dan kasihi, Peserta BPL, para pelayan dan warga gereja yang berbahagia, 88

Semua ini tentu saja tidak mudah. Ia tidak seperti membalik telapak tangan atau simsalabim. Mainset GPM semacam itu harus terus teruji dalam relevansinya dengan tantangan masa depan, khususnya tantangan tahun 2007 yang sudah pasti kita hadapi. Berbagai faktor akan berpengaruh dan saling berinteraksi dan akan menghasilkan spektrum permasalahan gereja, masyarakat, agama-agama, kemanusiaan dan bangsa yang kian rumit dan kompleks, yang tentu saja memerlukan sikap dan respon gereja yang cocok dan tepat. Diperkirakan di tahun mendatang masih ada sejumlah persoalan gereja, persoalan sosial- kemasyarakatan, persoalan kemanusiaan, keagamaan dan kebangsaan yang harus ditanggapi dengan lebih serius, dan menuntut Gereja untuk merumuskan sikap dan format pelayanan yang pas. Persoalan-persoalan itu diantaranya: kemiskinan, krisis lingkungan, penyakit- penyakit sosial, korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan. Begitu pula dinamika perubahan masyarakat dalam proses-proses politik dan demokratisasi di era otonomisasi dengan semangat komunalisme yang kian kental, yang dapat mendistorsi kalau bukan mengancam integrasi sosial dan nasional kita. Selain itu, masalah-masalah pengangguran dan tersedianya lapangan pekerjaan yang kian terbatas dibanding dengan tingkat perkembangan dan percepatan manusia atau populasi, yang berakibat pada banyak masalah lain seperti kriminalitas dan penyakit sosial dan kemiskinan di dalam masyarakat. Demikian pula masalah kualitas sumber daya manusia, yang keterkaitannya sangat erat dengan kualitas pendidikan 89 dan kesehatan masyarakat. Dinamika dan gerak globalisasi dan modernisme yang membawa perkembangan nilai-nilai budaya baru di dalam masyarakat, yang pasti berpengaruh kepada keseluruhan tatanan organik masyarakat, baik secara sosial, ekonomi dan budaya. Perkembangan dan kebangkitan agama- agama yang makin marak dewasa ini diperkirakan akan lebih marak di tahun yang akan datang. Ini patut disambut dengan gembira dan dengan antusiasme yang tinggi. Akan tetapi disisi lain, kemajuan dan kebangkitan agama-agama harus dibarengi pula dengan cara pandang keberagamaan yang baru, yang lebih terbuka, fungsional, kontekstual dan transformatif, yang memungkinkan terbangunnnya sebuah kehidupan beragama yang mendororong rasa persatuan dan kesatuan, mempertebal semangat toleransi, sikap inklusif dan pluralistik. Serta keharusan membangun dialog dan kerja sama untuk menjawab masalah-masalah bersama umat manusia. Kita membutuhkan spiritualitas keberagamaan yang lebih emansipatif, bukan birokratik dan formalistik. Spiritualitas yang memungkinkan proses belajar bersama untuk saling menopang, saling memperkaya dan membanggakan dalam hidup keberagamaan kita di Maluku. Dalam konteks Maluku kita akan memasuki fase-fase baru dalam konteks pemulihan Maluku secara lebih parmanen, fundamental dan komprehensif. Ini membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, tidak saja aspek keamanan, tetapi juga keadilan, penegakan hukum, dan kesejahteraan. Tentu saja sebagai gereja, kita harus punya pengharapan dan sikap yang positif dan optimistik 90 menyongsong masa depan. Namun itu saja tidak cukup. Kita dituntut untuk tidak henti-hentinya berdoa dan terbuka kepada karya Roh Kudus, karya Allah sendiri dalam proses pertumbuhan. Kita harus yakin betul bahwa gereja ini hanya hidup dari kuasa Roh Kudus, hidup dari Allah sendiri. Allah dan RohNya terus berkarya melalui gerejaNya dan manusia untuk menghadirkan kebaikan-kebaikan bagi seluruh umat manusia. Dalam penghayatan semacam itu, maka persidangan BPL ini, harus dipandang tidak hanya sebagai sebuah agenda kelembagaan tetapi ia adalah sebuah agenda iman, sebuah pergumulan iman. Kita berkumpul bersama dalam semangat persaudaraan sejati, semangat kekeluargaan, merencanakan perubahan yang bermanfaat bagi kemanusiaan bersama. Ini kita kerjakan bersama Tuhan dan Rohnya. Ini adalah tumpuan dan andalan kita.

Bapak Gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL serta seluruh pelayan dan warga gereja yang berbahagia, Perkenankan saya menyampaikan rasa syukur dalam keyakinan iman yang sungguh bahwa pelaksanaan Persidangan BPL ini adalah kasih Tuhan tidak saja bagi GPM tetapi bagi kita semua, seluruh masyarakat Maluku. GPM telah menjadi sebuah makna sejarah bagi Maluku. Ia ada untuk kemanusiaan bersama di Maluku. Atas nama segenap pelayan dan warga GPM kami berterima kasih kepada semua pihak yang selama ini telah menopang jalannya tugas gereja. Terima kasih kepada basudara Salam se-Maluku, khususnya di 91

Maluku Tengah yang telah menjadi bagian dari kehidupan dan kebanggaan kami warga GPM. Basudara telah memberi sebuah makna baru bagi orang Maluku yang mencintai perbedaan dalam rasa basudara. Kami pun menyampaikan terima kasih kepada basudara Katolik yang sudah dan terus bersama GPM melaksanakan amanat panggilan gereja di bumi seribu pulau ini. Bahwa tugas bersama ini kiranya membuat gereja semakin mampu menjadi berkat bagi orang banyak. Basudara Hindu Dharma dan Budha yang juga selalu ada dalam relasi kasih dengan kami. Sebuah nuansa hidup yang penuh ketenangan dalam meresapi spiritualitas beragama telah menjadi bagian dari proses sharing bersama selama ini. Para pimpinan umat beragama, terima kasih pula untuk kerjasama kita dan terutama dalam penggalakan pembinaan umat yang toleran dan terbuka. Terima kasih pun kepada Pemerintah Daerah: Bapak Gubernur, Bapak Wakil Gubernur, seluruh MUSPIDA Maluku. Para Bupati dan Walikota, patut saya sebut Bupati Maluku Tengah, Pemerintah Negeri, Lurah, Kepala Desa, Ketua RT/RW, yang selalu ada dalam relasi dengan umat GPM, dan dengan tulus dan penuh perhatian mendukung dan membantu GPM dalam tugas-tugas pelayanannya. Terima kasih yang sama saya sampaikan kepada Bapak Panglima Kodam XVI Pattimura dengan seluruh jajarannya, yang selama ini membantu dan bekerjasama dengan GPM. Begitu pula kepada Bapak Kapolda Maluku dan seluruh jajaran POLRI di Maluku,yang selama ini mendukung dan bekerjasama dengan GPM. Terima kasih kami sampaikan kepada saudara-saudara gereja saudara, yang 92 selalu ada dalam hati kami dalam relasi-relasi oikumenis yang dinamis dan kreatif. Kehadiran saudara-saudara sungguh berarti bagi GPM dan panggilan bersama kita di Maluku. Kepada saudara-saudara panitia, terima kasih untuk jerih lelah saudara-saudara. Saudara-saudara telah membuat gereja ini bersukacita karena kesetiaan untuk mengerjakan tugas mempersiapkan BPL ini dengan baik. Semoga Tuhan melimpahkan berkatNya untuk kita semua. Akhirnya, khusus kepada para pelayan dan warga GPM, para peserta BPL, saya menyampaikan terima kasih atas kerjasama dan kebersamaan kita untuk berjalan bersama. Selamat bersidang. Aku, Paulus menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberi pertumbuhan. (1 Korintus 3:6)

Masohi, 19 Nopember 2006

Ketua BPH Sinode GPM

Pdt. Dr. John. Ruhulessin, M.Si.

93

Pidato Ketua Badan Pekerja Harian Sinode pada Pembukaan Persidangan XXIX Badan Pekerja Lengkap (BPL) Gereja Protestan Maluku di Tual Maluku Tenggara Tahun 2007

---- Kehormatan dan kemuliaan kemanusiaan seorang Kristen dan seorang Muslim sama, kehormatan dan kemuliaan kemanusiaan seorang politisi dan seorang tukang becak sama. Kita sama-sama ciptaan Tuhan. Kita tidak mungkin bisa saling mengakui dan menerima dalam kesadaran kemajemukan atau perbedaan itu, tanpa nurani yang saling percaya dan mengakui keluhuran kemanusiaan itu. Kita tidak mungkin saling percaya bila tidak ada rasa keadilan dan kesejahteraan. Perdamaian akan selalu terusik tanpa keadilan dan kesejahteraan ----

Salam Sejahtera dalam Tuhan Yesus Kristus, Wassalamalaikum Wr Wb, Perkenankan saya mengawali sambutan ini dengan mengajak hadirin semua untuk melafaskan puji dan syukur kepada Allah, Tuhan Yesus Kristus Kepala gereja, atas kasihNya bagi kita semua, bagi masyarakat Maluku, bagi GPM, yang pada hari ini diperkenankanNya melaksanakan Persidangan ke-29 Badan Pekerja Lengkap Sinode GPM. Sebagai gereja kita sadar betul bahwa Allah dalam Kristus dan RohNya terus berkarya memimpin, mengendalikan, membarui dan memberdayakan gereja ini agar ia sungguh-sungguh 94 bermakna, menjadi tanda keselamatan dan pembebasan demi terwujudnya kehidupan yang setara, adil, damai, sejahtera dan berperadaban sekarang dan di masa depan. Rasa syukur dan sukacita ini semakin sempurna, ketika persidangan dapat kita gelar di tanah Larvul Ngabal ini, dalam suasana dan semangat persaudaraan yang aman, rukun, damai dan penuh kekeluargaan. Serta didukung pemerintah, TNI dan POLRI dan seluruh masya- rakatnya, masyarakat Maluku Tenggara, lebih khusus masyarakat Evav, dukungan basudara Salam dan Katolik di kota ini. situasi demikian, menjadi bukti otentik dari rasa persatuan dan kesatuan yang terbingkai oleh semangat Larvul Ngabal, serta spirit Ain ni Ain.

Bapak Gubernur, bapak Bupati , para tamu yang saya hormati dan kasihi, Pelayan dan segenap warga gereja yang berbahagia, Persidangan BPL Sinode adalah lembaga pengambilan keputusan gereja, yang berada di bawah Sinode. Ia bertugas antara lain: menetapkan peraturan organik, mengevaluasi hasil pelaksanaan keputusan Sinode dan BPL Sinode dan Persidangan BPL Sinode (29), mengawasi pelaksanaan pelayanan gereja dan amanat pelayanan GPM serta menjabarkan keputusan- keputusan dan pokok-pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Persidangan Sinode, menjadi program- program yang bersifat operasional. Ini berarti Persidangan BPL adalah persidangan yang penting dan strategis yang dari padanya diharapkan lahir kebijakan- kebijakan penting, yang bersifat lebih fundamental dan komprehensif; sekaligus menjadi kerangka solusi mendasar bagi gereja, yang tidak saja mengenai 95 persoalan-persoalan gereja dan agama-agama, tetapi juga persoalan-persoalan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Dengan demikian, kendati pergumulan BPL lebih diarahkan pada penyelenggaraan pelayanan satu tahun, tetapi ia mesti diletakkan dalam kesatuan cara pandang yang utuh, komprehensif dan berkesinambungan dalam arah lima tahun ke depan.

Bapak Gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL, segenap pelayan dan warga gereja yang berbahagia, Sebagai persidangan kedua, maka persidangan BPL ke-29 ini dalam scenario planning lima tahun BPH Sinode masih tetap merupakan tahapan konsolidasi dengan tetap melihat aspek-aspek pengembangan, peningkatan secara kualitatif dari apa yang sudah dilakukan pada tahapan pertama (BPL -28). Konsolidasi dan pengembangan itu masih berkisar pada faktor- faktor strategis, yakni: penguatan profil bergereja, pelayan, umat dan kelembagaan; penguatan kelembagaan dan kultur kelembagaan, capacity building; penguatan visi, misi (teologi, eklesiologi) penguatan kultur dan karakter bergereja, termasuk penguatan cara pandang dan perspektif bergereja yang lebih fungsional, kontekstual dan transformatif; pemberdayaan umat; peningkatan kesejahteraan umat; kemandirian dana termasuk sentralisasi keuangan gereja; penataan aset-aset gereja dan pengungsi. Pengembangan kualitas hubungan-hubungan lintas denominasi, agama-agama dan pemerintah serta

96 lembaga-lembaga seperti UKIM, RS. Sumber Hidup, YPPK, yayasan, dan lain-lain. BPL ke-29 ini dilaksanakan di bawah sorotan tema sentral GPM lima tahunan yakni: “Berubahlah oleh Pembaruan Budimu”, dan sub tema: “Bersama- sama membangun masyarakat majemuk yang saling percaya demi keadilan dan kesejahteraan.” Tema ini menegaskan komitmen dan ketegasan sikap GPM untuk setia, konsisten dan konsekuen mengupayakan pembaruan terus-menerus, yang membawa perubahan dan perbaikan kualitas gereja dan pelayanannya, demi perbaikan masyarakat dan kemanusiaan yang mengalami perubahan konstan. Pembaruan yang dilakukan oleh gereja bukan asal pembaruan, bukan sekedar agar gereja tidak ketinggalan jaman, tetapi pembaruan yang digerakan dari dalam, dari Roh dan Firman, pembaruan budi. Pembaruan yang bersifat paradigmatik; apa gereja itu dan untuk apa ia ada dan bermisi, mengupayakan panggilan dan amanat pelayanannya, memproklamasikan Kabar Baik bagi dunia dan manusia; kabar pembebasan, pertobatan, pengampunan, perdamaian dan persaudaraan bagi manusia. Oleh karenanya pembaruan adalah tanda dari 6 kesetiaan GPM kepada Tuhannya dan kepeduliannya kepada dunia dan manusia. Pembaruan adalah panggilan Allah yang tersedia bagi gereja untuk menata panggilannya, pelayanannya, persekutuannya, serta tanggung jawabnya, sebagai persekutuan beriman yang hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi bagi dunia dan kemanusiaan. Pembaruan budi harus menjadi roh atau spirit yang menggerakkan gereja keluar dari 97 kesibukan dirinya sendiri kepada kepedulian sosial dan masyarakat. Ia menjadi spirit atau roh yang mampu merubah kesalehan atau sakralitas gereja yang cenderung eksklusif dan tertutup kepada kesalehan dalam praksis sosial-kemanusiaan. Dan mengharuskan gereja mampu merubah cara pandang keagamaan yang ideologis dan tekstual, kepada cara pandang yang lebih terbuka, fungsional, kontekstual dan dialogis- transformatif. Ia juga seharusnya menolong gereja merubah budaya kekerasan menjadi budaya cinta kasih dalam bingkai persaudaraan. Merubah pelayanan kemanusiaan yang terarah kepada diri sendiri kepada kepedulian sesama manusia demi keadilan dan kemaslahatan bersama seluruh masyarakat. Singkatnya, sebagai gereja, GPM ada untuk kemanusiaan. Inilah spiritualitas Yesus; setia kepada Allah dan peduli kepada manusia. Itulah spiritualitas gereja sebagai spiritualitas kemuridan. Sedangkan sub tema “bersama-sama mem- bangun masyarakat majemuk yang saling percaya demi keadilan dan kesejahteraan” menegaskan sikap dan kesadaran GPM sebagai gereja untuk menjadi bagian dari masyarakat majemuk yang saling percaya, dan bukan masyarakat majemuk yang saling curiga. Oleh karenanya, sikap terhadap perbedaan bukan sebuah sikap taktis dan politis tetapi sikap yang eksistensial. Sikap yang mengakui perbedaan sebagai anugerah Allah. Perbedaan adalah keniscayaan teologis, sosial dan kultural. Perbedaan atau kemajemukan bukan masalah baru bagi bangsa kita, bagi masyarakat Maluku, yang baru adalah bagaimana kita membangun cara pandang baru; cara pandang yang positif, terbuka dan saling 98 percaya terhadap perbedaan itu. Tanpa saling percaya, kemajemukan atau perbedaan akan menjelma menjadi potensi disintegrasi sosial dan nasional bahkan mungkin melahirkan kekerasan dan anarkisme. Ini berarti dibutuhkan pula pendekatan yang lebih kreatif terhadap kemajemukan baik secara etnis, budaya, agama-agama. Tidak hanya pendekatan kelembagaan melainkan juga pendekatan personal, kultural, dan pendekatan programatis yang lebih menyentuh aspek terdasar dari kebutuhan real manusia; menyentuh krisis kemanusiaan bersama, seperti: krisis lingkungan, kemiskinan, ketidakadilan sosial, penegakan hukum dan HAM, pemerataan, penyakit sosial: HIV-Aids, narkotika, dll. Aspek keadilan dan kesejahteraan serta masalah- masalah kemanusiaan lainnya mesti secara mendasar menjadi ujung tombak pendekatan kita membangun masyarakat majemuk yang saling percaya. Begitu pula ia (keadilan, kesejahteraan, perdamaian, persaudaraan) mesti menjadi tolok ukur dari proses-proses belajar dan hidup bersama, dialog serta kerjasama lintas denominasi, lintas budaya, lintas agama, lintas gender, lintas masyarakat, lintas ideologi politik, lintas status sosial ekonomi, lintas desa-kota, lintas militer-sipil. Sebagai agent of transformation GPM bersama- sama dengan saudara-saudaranya yang lain, gereja- gereja, kekasih-kekasih Katolik dan kekasih-kekasih Muslim, terpanggil dan mempunyai tanggung jawab moral mewujudkan sebuah tatanan masyarakat Maluku, juga masyarakat Maluku Tenggara yang damai, berkeadilan, berkesejahteraan, bersaudara dan berperadaban. Kita tidak mungkin melakukan amanah suci itu tanpa penerimaan dan pengakuan bahwa kita 99 majemuk, kita berbeda. Akan tetapi perbedaan tidak boleh membuat kita terpisah, sebab kita terlahir dari kandungan kultural sebagai orang-orang bersaudara yang satu, dan kemanusiaan kita satu dan sama pula. Kehormatan dan kemuliaan kemanusiaan seorang Kristen dan seorang Muslim sama. Kehormatan dan kemuliaan kemanusiaan seorang politisi dan seorang tukang becak sama. Kita sama-sama ciptaan Tuhan. Kita tidak mungkin bisa saling mengakui dan menerima dalam kesadaran kemajemukan atau perbedaan itu, tanpa nurani yang saling percaya dan mengakui keluhuran kemanusiaan itu. Juga, kita tidak mungkin saling percaya bila tidak ada rasa keadilan dan kesejahteraan. Perdamaian akan selalu terusik tanpa keadilan dan kesejahteraan. Kalau demikian mainset bergereja, mainset beragama, berbangsa dan bermasyarakat, maka geliat dan dinamika perkembangan masyarakat termasuk di dalamnya geliat perkembangan agama dan demokrasi atau politik harus disambut dengan positif dan antusiasme yang tinggi. Itu tanda dari kemajuan sosial, kemajuan manusia. Namun dinamika dan kemajuan sosial termasuk kemajuan demokrasi mesti secara fundamental diletakkan dalam sebuah mainset yang baru, yakni mainset kemanusiaan dan persaudaraan, mainset keadilan, kesejahteraan dan kebaikan atau common good. Dialog ideologi, agama, politik mesti berbasis dan terarah pada penguatan kemanusiaan dan persaudaraan bersama, penguatan common good. Kalau demikian, maka spiritualitas keberagamaan kita bukan spiritual yang oppresif dan represif, tetapi emansipatif, fungsional, transformatif. Demikian pula roh dan 100 karakter politik bukan lagi roh dan karakter kekuasaan, apalagi kekuasaan yang korup, kekuasaan yang memarginalisasi, melainkan kekuasaan yang berkarakter moral, berbudaya dan beretika. Politik dan pembangunan demokrasi bangsa melalui agenda-agenda PILKADA di waktu-waktu mendatang perlu direspons secara cerdas oleh gereja.

Bapak Gubernur, Bapak Bupati, para tamu, yang saya kasihi dan hormati, Peserta Persidangan BPL, pelayan dan jemaat yang berbahagia, Selain isu-isu sentral di atas, gereja masih terus bergumul dengan sejumlah masalah krusial, yakni: (1) distorsi ideologis yang kuat serta ancaman disintegrasi sosial dan nasional, karena rasa ketidakadilan dan kesenjangan. Dalam konteks ini, gereja harus memperkuat ketahanan ideologis Pancasila demi kesejahteraan dan keadilan, kemanusiaan dan persaudaraan sebagai bangsa. (2) Kalau kita bicara tentang prinsip good, clean and effective governance maka prisinsip ini pula harus bisa jadi prinsip dalam penggorganisasian pelayanan gereja. Umat memerlukan transparansi dan akuntabilitas. Tentu saja prinsip ini mesti diaplikasi dalam konteks gereja dan budaya dan kultur birokrasi gereja, yang lebih mengutamakan penguatan karakter, moral dan etika. (3) Meningkatnya pengidap dan penderita narkoba (narkotika) dan penderita HIV-AIDS secara drastis khususnya di kalangan pemuda gereja dan masyarakat. Hal ini 11 sungguh memerlukan perhatian kita semua; gereja, agama-agama, pemerintah dan stakeholder lainnya. Kita 101 harus bahu membahu menangangi masalah serius ini dengan lebih sistematis. (4) Isu bencana alam juga harus kita hadapi bersama-sama. Bagaimana mempersiapkan jemaat-jemaat dan masyarakat menghadapi ancaman- ancaman bencana alam karena pergeseran-pergeseran iklim. Gereja harus bersama-sama dengan agama-agama membangun menajemen penanggulangan bencana sebagai isu bersama. Selain itu, gereja juga harus punya mainset baru tentang bencana yang sifatnya struktural. Ada banyak produk-produk hukum yang secara struktural juga mengakibatkan bencana bagi manusia. Kadang kita sangat sensitif kepada illegal logging atau illegal fishing. Namun saya kira yang lebih berbahaya adalah legal logging dan legal fishing. Kita bisa hitung berapa prosen kebijakan-kebijakan legal yang berdampak buruk bagi pencemaran dan krisis air bersih. (5). Membangun jaringan (networking). Salah satu ciri era global sekarang ini adalah networking yang kuat. Kemajuan Cina, Korea, Thailand, Singapura, Jepang adalah kemajuan networking dalam global market. Tidak usah langsung besar tetapi jemaat-jemaat harus memiliki kesadaran networking. Tidak hanya lintas jemaat, lintas denominasi, lintas agama, tetapi juga lintas gereja. Bagaimana networking dengan GPIB, HKBP, GKJ, mengakses komunikasi dan informasi. Bagaimana database gereja dan infrastuktur komunikasi? (6). Isu kesejahteraan dan kualitas hidup jemaat-jemaat (masyarakat), termasuk para pendeta. Bagaimana mengakses informasi, mengakses skills, mengakses pasar, mengakses transportasi antar pulau? Kita memiliki potensi SDM, tetapi kita tidak memiliki akses terhadap 102 modal, pasar dan networking. Bagaimana kemitraan dengan pemerintah kita bangun? (7). Bagaimana pula kita memperkuat leadership dan manajemen pengelolaan pelayanan gereja yang lebih produktif? Ini juga menjadi masalah yang harus kita benahi. (8) Memperkuat pembinaan profesi. Gereja sering mengabaikan pembinaan warga gereja profesi. Pada hal ini asset SDM yang kuat; para politisi, birokrat, wartawan, pengacara, tukang becak, ojek, sopir, dokter, anggota TNI, Polri, dll. Harus ada agenda pembinaan yang jelas, penguatan karakter tingkah laku moral dan etik. (9). Penguatan pelayan pastoralia. Banyak keluhan kepada gereja karena terabaikannya pembinaan dan pelayanan pastoralia, apalagi dalam konteks masyarakat perkotaan, masyarakat industri, dll. (10) Penguatan kesadaran Hukum dan HAM. Kita tidak mungkin membangun tertib masyarakat tanpa penguatan kesadaran hukum dan HAM. (11) Fenomena bangkitnya gerakan-gerakan pentakostalisme dan kharismatisme. Ini patut kita sambut dengan sikap yang positif dalam rangka memperkuat penguatan visi dan pelayanan serta pembinaan keumatan kita dengan penguatan nilai-nilai spiritual yang lebih transformatif. (12). Penguatan kehidupan beroikumene dalam kerangka berkebang- saan, berkemanusiaan dan beragama di Maluku. Ini memerlukan mainset baru pula. Kiranya melalui persidangan gerejawi ini berbagai persoalan di atas dapat kita sikapi dan responsi dalam semangat kebersamaan sambil tetap mengandalkan Tuhan Yesus Sang Kepala Gereja. Semoga Tuhan melimpahkan berkatNya untuk kita semua. 103

Aku, Paulus menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1 Korintus 3:6)

Tual, 4 Nopember 2007 Ketua BPH Sinode GPM

Pdt. Dr. John. Ruhulessin, M.Si.

104

Pidato Ketua Badan Pekerja Harian Sinode pada Pembukaan Persidangan XXX Badan Pekerja Lengkap (BPL) Gereja Protestan Maluku di Kairatu Seram Bagian Barat Tahun 2008

---- Apapun krisis itu ia harus menjadi titik untuk kita berangkat, tidak boleh melompatinya. Krisis adalah panggilan Allah untuk pembaruan demi masa depan yang terus baru ----

Oleh karenanya isu kemanusiaan selalu akan menjadi isu utama gereja, sebab isu kemanusiaan adalah juga isu utama dalam seluruh peradaban manusia. Gereja seharusnya tidak boleh memperkuat dirinya secara introvert, eksklusif, terarah ke dalam dan sibuk dengan dirinya, melainkan ia terarah ke luar, memperkuat kemanusiaan dan persaudaraan. Sejauh gereja tetap peduli dan terlibat dalam upaya memperkuat kemanusiaan, juga memperkuat masyarakat, gereja tidak pernah akan kehilangan kasih karunia sebagai tanda penyertaan Tuhan. Gereja akan kehilangan jati dirinya, garam itu akan menjadi hambar, terang itu akan tidak lagi bersinar, ketika ia tidak setia lagi kepada Tuhan dan tidak peduli pada kemanusiaan.

Salam Sejahtera dalam Tuhan Yesus Kristus, Wassalamalaikum Wr Wb, Perkenankan saya selaku Ketua BPH Sinode GPM mengajak kita, para tamu dan undangan, segenap 105 pelayan dan warga GPM untuk bersyukur kepada Tuhan dalam Yesus Kristus Kepala Gereja karena perbuatanNya besar dan tuntunanNya begitu indah dalam seluruh realitas pelayanan gereja selama ini. Kasih Tuhan begitu nyata dialami oleh gereja ini dalam sejarah kemanusiaan, keberagamaan, bermasyarakat dan berbangsa di Maluku dan Maluku Utara, juga di Indonesia. Kasih Tuhan, secara khusus, begitu nyata bagi GPM sehingga pada hari ini GPM diperkenankan melaksanakan Persidangan ke-30 Badan Pekerja Lengkap. Kita mengaku bahwa Allah dalam Kristus dan RohNya terus berkarya memimpin, mengendalikan, membarui dan memberdayakan gerejaNya untuk menjadi tanda keselamatan dan pembebasan demi terwujudnya kehidupan yang setara, adil, damai, sejahtera dan berperadaban sekarang dan di masa depan. Banyak hal yang sukar dan pelik khususnya selama setahun ini kita hadapi, namun semuanya dapat kita lewati. Begitu banyak tantangan dan persoalan yang menghadang dan akan terus menantang kita selaku gereja, namun kita bukan hanya mampu memecahkannya tetapi juga mampu melewatinya. Apapun krisis itu, ia harus menjadi titik untuk kita berangkat, tidak boleh melompatinya. Krisis adalah panggilan Allah untuk pembaruan demi masa depan yang terus baru. Oleh karena karya Tuhan tidak pernah berakhir bagi kemanusiaan, masyarakat dan gereja maka selama satu tahun kita menanam dan menyiram, kita sadar dan terbuka oleh kuasa Roh Allah membarui dan memberi pertumbuhan. Ini berarti seluruh karya gereja dalam menanam dan menyiram bukan tanpa kelemahan dan kekurangan. Kesadaran semacam ini merefleksikan 106 bahwa sebagai para pelayan dan umat, kita hanyalah alat, para pekerja yang berkerja di kebun anggurNya dan Tuhan sebagai pemilik kebun itulah yang terus menerus berkarya dengan RohNya memberi pertumbuhan. Selama satu tahun sejak BPL ke XXIX sampai BPL ke XXX ini kita dipanggil baik sebagai gereja, agama-agama lain serta segenap potensi masyarakat telah bekerja bersama dengan semangat persaudaraan untuk mendatangkan perdamaian, pembebasan, sukacita dan pengharapan bagi manusia dan kemanusiaannya. Di mata Tuhan manusia dan kemanusiaanya merupakan satu-satunya orientasi kehadiranNya. KasihNya pada manusia membuat Tuhan menjadi konkrit. Manusia tidak dapat hidup tanpa kasih Tuhan. Gereja sebagai suatu persekutuan yang menerima kasih Allah itu mesti meneruskan karya kasih Allah di dalam seluruh pelayanannya. Kasih Allah itu terefleksi dalam Injil itu sendiri, yaitu : “ berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi manusia serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia, sebab Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan manusia “. Apa yang dilakukan oleh gereja tidak lain yakni melakukan apa yang sudah dilakukan oleh Tuhan, yakni karya keselamatan holistik bagi manusia dan kemanusiannya. Oleh karenanya, isu kemanusiaan selalu akan menjadi isu utama gereja, sebab isu kemanusiaan adalah juga isu utama dalam seluruh peradaban manusia. Gereja seharusnya tidak boleh memperkuat dirinya secara introvert, eksklusif, terarah ke dalam dan sibuk dengan dirinya, melainkan ia terarah ke luar, memperkuat kemanusiaan dan 107 persaudaraan. Sejauh gereja tetap peduli dan terlibat dalam upaya memperkuat kemanusiaan, memperkuat masyarakat, gereja tidak pernah akan kehilangan kasih karunia sebagai tanda penyertaan Tuhan. Gereja akan kehilangan jati dirinya, garam itu akan menjadi hambar, terang itu akan tidak lagi bersinar, ketika ia tidak setia lagi kepada Tuhan dan tidak peduli pada kemanusiaan. Itulah sebabnya, mengapa sejak Sinode ke-35 telah membangun scenario planing yang terimplemen- tasi pada perencanaan pelayanan gereja lima tahunan, paradigma bergereja GPM yang diletakan pada penguatan dan pemberdayaan manusia (jemaat dan masyarakat), penguatan karakter dan kultur bergereja, penguatan etik, moral dan spiritual, penguatan kultur kelembagaan yang melayani, penguatan kehidupan bersama secara pluralistik, penguatan eklesiologi yang fungsional dan transformatif, penguatan kebangsaan, penguatan keadilan, perdamaian, demokratisasi dan kesadaran lingkungan.

Bapak Gubernur, bapak Bupati, para tamu yang saya hormati dan kasihi, Pelayan dan segenap warga gereja yang berbahagia, Sebagai persidangan ketiga maka persidangan BPL ke-30 ini dalam scenario planning lima tahun, BPH Sinode mulai bergeser dari penguatan konsolidasi kepada tahap pengembangan, dengan tetap sadar bahwa konsilidasi tetap menjadi bagian yang terintegrasi dalam upaya pengembangan visi, misi dan program pelayanan gereja dalam semua bidang perencanaan pelayanan gereja. Pengembangan ini akan diarahkan tidak hanya pada revitalisasi apa yang sudah dilakukan melainkan 108 pada pemikiran kembali tentang visi dan misi, (tata gereja), (teologi, eklesiologi, sosial), kelembagaan (kultur dan berbagai perangkat aturan), pola organisasi dan sistem, serta perencanaan program pelayanan. Penguatan kelembagaan dan kultur kelembagaan, capacity building; penguatan visi, misi (teologi, eklesiologi) penguatan kultur dan karakter bergereja, termasuk penguatan cara pandang dan perspektif bergereja yang lebih fungsional, kontekstual dan transformatif; pemberdayaan umat; peningkatan kesejahteraan umat; kemandirian dana termasuk sentralisasi keuangan gereja; penataan aset-aset gereja, dan pengungsi. Pengembangan kualitas hubungan- hubungan lintas denominasi, agama-agama dan dengan pemerintah serta lembaga-lembaga seperti UKIM, Yaperti, RS. Sumber Hidup, YPPK, Yayasan, serta aset- aset gereja. Dengan titik tolak, arah serta perspektif ini, maka Persidangan BPL ke-30 diharapkan lebih dinamis, kritis, kreatif dan evaluatif. Ia tidak saja sebuah legitimasi formal institusional, melainkan mesti memperlihatkan geliat perubahan kultur bergereja yang lebih produktif, yang memiliki kekuatan-kekuatan perubahan pemikiran yang paradigmatif dan memiliki sasaran-sasasan yang jitu dan akurat.

Bapak Gubernur, para tamu, pelayan dan warga gereja yang saya kasihi., Selaku gereja GPM terpanggil untuk setia menegaskan komitmen dan ketegasan sikap untuk konsisten dan konsekuen mengupayakan pembaruan terus-menerus, yang membawa perubahan dan perbaikan kualitas gereja dan pelayanannya, demi 109 perbaikan masyarakat dan kemanusiaan yang mengalami perubahan konstan. Pembaruan yang dilakukan oleh gereja bukan asal pembaruan, bukan sekedar agar gereja tidak ketinggalan jaman, tetapi pembaruan yang digerakan dari dalam, dari Roh dan Firman, pembaruan budi. Pembaruan yang bersifat paradigmatif, apa gereja itu dan untuk apa ia ada dan bermisi, mengupayakan panggilan dan amanat pelayanannya, memproklamasikan Kabar Baik bagi dunia dan manusia; kabar pembebasan, pertobatan, pengampunan, perdamaian dan persaudaraan bagi manusia. Oleh karenanya, pembaruan adalah tanda dari kesetiaan GPM kepada Tuhannya dan kepeduliannya kepada dunia dan manusia. Pembaruan adalah panggilan Allah yang tersedia bagi gereja untuk menata panggilannya, pelayanannya, persekutuannya, serta tanggung jawabnya sebagai persekutuan beriman yang hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi bagi dunia dan kemanusiaan. Pembaruan budi harus menjadi roh atau spirit yang menggerakkan gereja keluar dari kesibukan dirinya sendiri kepada kepedulian sosial dan masyarakat. Ia menjadi spirit atau roh yang mampu merubah kesalehan atau sakralitas gereja yang cenderung eksklusif dan tertutup kepada kesalehan dalam praksis sosial-kemanusiaan. Juga mengharuskan gereja mampu merubah carapandang keagamaan yang ideologis dan tekstual kepada cara pandang yang lebih terbuka, fungsional, kontekstual dan dialogis- transformatif; menolong gereja merubah budaya kekerasan menjadi budaya cinta kasih dalam bingkai persaudaraan. Merubah pelayanan kemanusiaan yang 110 terarah kepada diri sendiri kepada kepedulian sesama manusia demi keadilan dan kemaslahatan bersama seluruh masyarakat. Singkatnya sebagai gereja, GPM ada, bereksistensi untuk kemanusiaan. Inilah spiritualitas Yesus, setia kepada Allah dan peduli kepada manusia, spiritualitas kemuridan. Dengan kesadaran dan cara pandang semacam itu, maka BPL ke-30 ini tetap berpegang pada tema sentral GPM untuk lima tahun sejak 2005-2010, yakni : Berubahlah oleh Pembaruan Budimu. Sebagai gereja, GPM mengerjakan pelayanannya tidak di ruang kosong melainkan di tengah realitas kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Oleh karena itu, sesuai hakikatnya, ia harus memandang dengan serius persoalan-persoalan masyarakat yang hidup dan menantang. Gereja tidak saja memandang dengan serius persoalan-persoalan masyarakat, bangsa, kemanusiaan dan kenagaraan, tetapi lebih dari itu, mengambil sikap yang positif, kritis, realistis dan konstruktif atas persoalan-persoalan yang dihadapi. Kalau pada BPL 29 kita masih memberi penguatan pada masalah kemajemukan dengan tekanan pada aspek saling percaya demi keadilan dan kesejahteraan, maka BPL 30 ini tekanan masih diberikan pada kemajemukan, namun penekanan diletakan pada masalah-masalah demokrasi, kemiskinan dan krisis lingkungan. Gereja menjadi sangat sadar bahwa persoalan kemajemukan di Indonesia tidak mungkin dihindari, secara agama, etnis, budaya, suku, sub-suku, dstnya. Kemajemukan adalah fakta sekaligus kesadaran gereja dalam kerangka memaknai panggilan misionernya. 111

Masalah kemajemukan bukan masalah baru bagi gereja. Yang baru adalah, bagaimana gereja membangun carapadang baru mengenai kemajemukan itu, sehingga terbangunnya kesadaran baru dikalangan pelayan dan umat tentang pentingnya kesadaran perbedaan, dan tanggung jawab memaknai kehidupan bersama yang dalam semangat perbedaan yang setara, berkeadilan, berkedamaian serta menjunjung tegaknya harkat dan mertabat manusia, dan dalam kerangka tanggung jawab mewujudkan kebaikan bersama bagi semua manusia. Kalau sebelumnya penekanan diberikan pada bersama- sama membangun masyarakat majemuk yang saling percaya, maka pada BPL ke-30 bagaimana membangun masyarakat majemuk yang demokratis. Kesadaran pluralisme dan kesadaran demokrasi mesti dibangun bersama-sama. Tidak mungkin membangun masyarakat demokratis tanpa kesadaran kemajemukan, sebaliknya tidak mungkin menata masyarakat majemuk yang setara, adil, damai dan sejahtera tanpa sistem dan mekanisme demokrasi yang sesuai. Dalam masyarakat yang majemuk dan demokratis tidak boleh sampai terjadi ada kelompok masyarakat tertentu entah karena agama, atau etnis atau budaya merasa dimarginalisasi atau termarginalisasi atau didiskriminasi. Ini berimplikasi dalam menata hubungan-hubungan lintas etnis, lintas sub-etnis, lintas pribumi-non pribumi, dstnya. Kesadaran berdemokrasi semakin penting untuk gereja, mengingat panggilan kemasyarakatan gereja tidak bisa tidak, pasti bersentuhan dengan persoalan-persoalan politik atau kemasyarakatan. Pada tahun-tahun mendatang misalnya gereja dan seluruh masyarakat Indonesia akan 112 menghadapi peristiwa-peristiwa politik yang menarik dan menentukan. Bagaimana ketahanan politik gereja dibangun? Belum lagi ada sejumlah pendeta yang mulai melirik dunia politik sebagai dunia pengabdiannya. Apakah politik, apakah demokrasi dan apakah tujuannya? Apakah gereja dan apakah tujuannya? Bagaimana kemudian relasi-relasi ini diletakan dalam cara pandang yang lebih fundamental dan komprehensif? Tidak hanya untuk menjawab apakah pendeta boleh atau tidak menjadi anggota legislatif. Melainkan, bagaimana relasi agama dan politik itu dipandang secara dialektik untuk menjawab masalah- masalah kemanusiaan, termasuk kemiskinan dan krisis lingkungan. Panggilan gereja untuk membangun arah dan perspektif masyarakat majemuk yang demokratis dimaksudkan untuk menolong dan memampukan gereja (masyarakat) mewujudkan panggilan gereja dalam menanggulangi kemiskinan dan krisis lingkungan. Kemiskinan umat (dan masyarakat) oleh gereja masih menjadi persoalan yang amat serius. Kemiskinan tidak dipandang secara material saja atau rohani saja, melainkan kemiskinan secara struktural dan kultural. Kemiskinan terjadi karena masalah-masalah struktur dan budaya. Baik itu struktur politik, ekonomi, budaya, bahkan struktur berpikir teologi dan ajaran gereja sendiri. Bagaimana kemudian gereja mengembangkan mainsetnya yang baru dengan lebih sadar dan kritis terhadap masalah-masalah kemajemukan, demokrasi, kemiskinan dan krisis lingkungan itu? Apakah dan bagaimanakah visi, misi serta perencanaan program pelayanan gereja yang berwawasan dan berperspektif 113 gereja yang berpihak kepada orang-orang miskin dan termarginal, gereja yang sadar akan keutuhan ciptaan? Masalah-masalah lingkungan mengandung dimensinya yang luas. Ia tidak saja menyangkut krisis air bersih, kerusakan hutan, atau pemanasan global, tetapi ia juga menyangkut keadilan dan penanggulang kemiskinan. Ia sangat bersentuhan dengan kemanusiaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang multidimensional; ekonomi, politik, budaya, politik, agama, dstnya. Orientasi gereja yang berorientasi pada kemanusiaan dan nilai-nilai kemanusiaan, meng- haruskan gereja untuk betul-betul mewujudkan panggilan profetiknya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan serta merespon dengan serius masalah- masalah kemanusiaan lainnya, baik itu kemiskinan, krisis lingkungan, dstnya. Semua isu ini mesti secara mendasar menjadi ujung tombak pendekatan kita membangun masyarakat majemuk yang demokratis. Begitu pula keadilan, kesejahteraan, perdamaian, persaudaraan, mesti menjadi tolok ukur dari proses- proses belajar dan hidup bersama, dialog serta kerjasama lintas denominasi, lintas budaya, lintas agama, lintas gender, lintas masyarakat, lintas ideologi politik, lintas pribumi-non pribumi, lintas status sosial ekonomi, lintas desa-kota, lintas militer-sipil. Sebagai agent of transformation, GPM bersama- sama dengan saudara-saudaranya yang lain, gereja- gereja, kekasih-kekasih Katolik dan kekasih-kekasih Muslim, terpanggil dan mempunyai tanggung jawab moral mewujudkan sebuah tatanan masyarakat Maluku dan Maluku Utara, atau masyarakat Seram Bagian Barat yang damai, berkeadilan, berkesejahtraan, bersaudara 114 dan berperadaban. Kita tidak mungkin melakukan amanah suci itu dengan tanpa penerimaan dan pengakuan bahwa kita majemuk, kita berbeda. Akan tetapi perbedaan tidak boleh membuat kita terpisah, sebab kita terlahir dari kandungan kultural sebagai orang-orang bersaudara yang satu, dan kemanusiaan kita satu dan sama pula. Kehormatan dan kemuliaan kemanusiaan seorang Kristen dan seorang Muslim sama. Kehormatan dan kemuliaan kemanusiaan seorang politisi dan seorang tukang becak sama. Kita sama-sama ciptaan Tuhan. Kita tidak mungkin bisa saling mengakui dan menerima dalam kesadaran kemajemukan atau perbedaan itu tanpa kesadaran demokratis dan mengakui keluhuran kemanusiaan itu. Kita juga tidak mungkin bisa merasa demokratis, bila tidak ada rasa keadilan dan kesejahteraan. Perdamaian akan selalu terusik, tanpa keadilan dan kesejahteraan. Dalam perspektif semacam itu, maka Persidangan BPL ke-30 ini dengan amat sadar memilih sub tema: Bersama-Sama Membangun Masyarakat Majemuk yang Demokratis demi Penanggulangan Kemiskinan dan Krisis Lingkungan. Selaku gereja kita bersyukur, sebab Tuhan memberikan kepada kita bumi seribu pulau, Maluku dan Maluku Utara, beserta manusia dengan segala kearifannya. Di Maluku dan Maluku Utara kita memiliki tradisi persaudaraan yang kuat. Tradisi Pela dan Gandong, Larvul Ngabal, Ain ni Nin, Hamaren, Duan Lolat, yang terpintal melintasi batas-batas agama dan negeri. Semuanya merupakan kekuatan yang tidak ternilai dalam membangun masa depan yang penuh damai dan kesentosaan. Semua itu dapat dikembangkan 115 menjadi suatu etika bagi masyarakat Maluku untuk saling berelasi satu terhadap yang lain dalam ruang- ruang publik yang lebih luas. Dalam kesadaran nilai- nilai kultural ini perbedaan bukan lagi merupakan suatu alasan yang membatasi perjumpaan di antara kita dan warga bangsa yang lain. Di atas tradisi-tradisi yagberagam, perjumpaan justru dipahami lebih luas tidak terbatas hanya sebagai suatu yang intrumentalia. Tetapi lebih jauh dari itu, perjumpaan menjadi bagian dari kesadaran untuk memahami dan menerima seluruh perbedaan dengan keterbukaan dan ketulusan. Saya optimis bahwa Maluku dan Maluku Utara akan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi masa depan agama-agama dan pluralisme dari tradisi-tradisi yang dimiliki. Bukan hanya di Maluku dan Maluku Utara, tetapi juga di Indonesia dan dunia. Sebagai gereja, kita mesti juga bersyukur bahwa kondisi bangsa dan negara kita berada dalam perkembangan yang makin baik. Proses demokratisasi makin meluas, tidak hanya pada level nasional. Tetapi juga sampai di desa-desa, bahkan di Kairatu ini. Hal ini tentu saja merupakan hal yang menggembirakan. Proses pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilukada Propinsi, Kabupaten/Kota dapat diikuti oleh seluruh warga bangsa. Hal ini memperlihatkan peran dan emansipasi rakyat makin diperluas. Kita bersyukur pemerintah memiliki political will untuk mendorong perluasan emansipasi politik rakyat. Untuk tahun-tahun yang akan datang, kita akan memasuki tahap-tahap demokratisasi yang menarik baik dalam pemilu legislatif, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden. Pertanyaan bagi kita sejauhmana umat dan masyarakat 116 dipersiapkan untuk itu? Bagaimana ketahanan politik rakyat serta emansipasi rakyat dalam proses-proses politik itu? Ini menjadi tanggung jawab gereja yang tidak dapat dihindari.

Bapak Gubernur, Bapak Bupati, para tamu, Peserta Persidangan BPL, pelayan dan jemaat yang berbahagia, Selain isu-isu sentral di atas, gereja masih terus bergumul dengan sejumlah masalah, krusial, yakni: (1) distorsi idiologis yang kuat serta ancaman disintegrasi sosial dan nasional, karena rasa ketidakadilan dan kesenjangan. (2) Meningkatnya pengidap dan penderita narkoba (narkotika) dan penderita HIV-AIDS secara drastis, juga di kalangan pemuda gereja. (3) Mem- persiapkan jemaat-jemaat dan masyarakat menghapai ancaman-ancaman bencana alam, karena pergeseran- pergeseran iklim. Gereja harus bersama-sama dengan agama-agama, membangun manejemen penanggulangan bencana, sebagai isu bersama. (4). Membangun networking. Termasuk kemitraan setara yang fungsional dengan pemerintah, NGO, dan lembaga-lembaga lain. Kalau gereja mau berkembang secara produktif, maka ia tidak bisa mengabaikan pentingnya networking sebagai salah satu ciri era global sekarang ini (5). Isu kesejahteraan dan kualitas hidup jemaat-jemaat (masyarakat). Hal ini bersangkutpaut dengan peningkatan kapasitas SDM serta pengelolaan SDA. Meningkatkan skills, akses terhadap pasar. (6). Memperkuat leadership dan manajemen pengelolaan pelayanan gereja yang lebih produktif. Sistem yang menopang terbangunnya komunikasi, koordinasi dan 117 sinkronisasi, lintas program, lintas departemen. (7) Memperkuat pembinaan profesi. Gereja sering mengabaikan pembinaan warga gereja profesi. Pada hal ini asset SDM yang kuat; para politisi, birokrat, wartawan, pengacara, tukang becak, ojek, sopir, dokter, anggota TNI, Polri, dll. (8). Penguatan pelayan pastoralia. Banyak keluhan kepada gereja, karena terabaikannya pembinaan dan pelayanan pastoralia. (9) Penguatan kesadaran Hukum dan HAM. Kita tidak mungkin membangun tertib masyarakat, tanpa penguatan kesadaran hukum dan HAM. (10). Bangkitnya gerakan-gerakan pentakostalisme dan kharismatisme. Ini patut kita sambut dengan sikap yang positif, dalam rangka memperkuat penguatan visi dan pelayanan serta pembinaan keumatan kita dengan penguatan nilai-nilai spiritual yang lebih transformatif. (11). Memperkuat kehidupan beroikumene dalam kerangka berkebangsaan, berkemanusiaan dan beragama di Maluku. (12) Penguatan personalitas, sence of calling, kematangan etik, moral dan spiritual di kalangan pelayan.

Bapak gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL serta seluruh pelayan dan warga gereja yang berbahagia Selaku gereja, perjalanan selama satu tahun ini kendati dengan segala keterbatasan, kita telah menyatakan kesetiaan pada panggilan kita di tengah lokus kehidupannya dengan mengerjakan misi pendamaian, pembebasan dan pemanusiaan di Maluku dan Maluku Utara dalam semangat persaudaraan dan 118 kemanusiaan. Seluruh perangkat penyelenggaraan pelayanan gereja yakni para Pendeta, Penginjil, Penatua, Diaken, Tuagama, para Pengurus Wadah Pelayanan, Koordinator Sektor dan Unit, Pengasuh Sekolah Minggu-Tunas Pekabaran Injil, Para Sekdep, Biro, Yayasan-Yayasan, UKIM, para karyawan dan karyawati, termasuk para emeritus telah menyatakan kesetiaan pada panggilan itu. Pelayanan yang saudara-saudara lakukan turut menentukan proses pembentukan karakter jemaat yang diungkapkan dalam tanggung jawab sebagai warga negara di berbagai bidang tugas dan pekerjaan yang diemban. Pelayanan gereja bukan saja untuk meningkatkan kualitas pelayanan gereja secara internal, tetapi juga terarah untuk meningkatkan kualitas dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, bersaudara dan berkemanusiaan serta berbangsa dan bernegara. Pelayanan gereja bukan hanya merealisasikan amanat panggilan gereja di bumi Indonesia, di bumi Maluku dan Maluku Utara, bumi Seram Bagian Barat, tetapi sekaligus merespons tanggung jawab dan panggilan gereja terhadap program pembangunan nasional. Bagi gereja, seluruh kepentingan bangsa dan negara untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih sejahtera, terbuka, demokratis dan egaliter merupakan bagian dari misi gereja itu sendiri. Selama satu tahun ini saudara-saudara semua telah melakukan tugas-tugas pelayanan di tengah kehidupan warga gereja dari orang tua, perempuan, laki-laki, pemuda, anak- remaja dengan profesi apapun baik birokrat, politisi, tukang becak, tukang ojek, wartawan, sopir, kondektur, guru, dokter/mantri, guru, dosen dan lain-lain. Ini 119 semua dimaksudkan agar gereja mampu terlibat dalam kehidupan publik. Rekan-rekan pendeta, Penginjil, Pengasuh, Majelis Jemaat, demikianpun mantan Majelis Jemaat atau Pengurus wadah pelayanan; saudara- saudara semua adalah orang-orang yang menjalankan amanah panggilan melayani Jemaat Tuhan. Apa yang saudara-saudara lakukan bukan hanya merupakan tanggung jawab sebagai warga gereja, tetapi juga bagian dari tanggung jawab sebagai warga negara yang bertanggung jawab untuk kemaslahatan seluruh bangsa. Sebab pelayanan yang kita lakukan di tengah gereja adalah juga dalam rangka penguatan kemanusiaan dan persaudaraan. Akhirnya khusus kepada para pelayan dan warga GPM, para peserta BPL saya menyampaikan terima kasih atas kerjasama dan kebersamaan kita untuk berjalan bersama. Selamat bersidang.

Aku, Paulus menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1 Korintus 3:6)

Kairatu, 26 Oktober 2008. Ketua BPH Sinode GPM.

Pdt. Dr. John. Ruhulessin, M.Si.

120

Pidato Ketua Badan Pekerja Harian Sinode pada Pembukaan Persidangan XXXI Badan Pekerja Lengkap (BPL) Gereja Protestan Maluku di Larat Tahun 2009

Salah satu titik tolak penting dalam siklus kita ialah pergeseran dan penguatan kelembagaan kepada penguatan karakter, penguatan kultur pelayanan, penguatan jemaat sebagai basis kehidupan gereja. Pertanyaan fundamental adalah apakah fokus pewartaan gereja, Injil, penguatan karakter, kultur pelayanan, dan penguatan jemaat dan (masyarakat) sungguh-sungguh telah kita capai sebagai sebuah institusi dan secara fungsional, terutama ketika kita simak secara cermat dalam profil kelembagaan, umat dan pelayan? ... Kita harus mengisi siklus itu dengan visi dan gagasan-gagasan, serta program-program yang yang lebih strategis, visioner dan konkrit, dalam sebuah sistem berpikir yang lebih sistematis, terintegrasi, sinergik dan diharapkan memiliki kekuatan transformasi.

Salam Sejahtera dalam Tuhan Yesus Kristus, Assalam Alaikum Wr Wb, Perkenankan saya selaku Ketua BPH Sinode GPM mengajak kita, para tamu dan undangan, segenap pelayan dan warga GPM untuk bersyukur kepada Tuhan dalam Yesus Kristus Kepala Gereja, karena perbuatanNya besar dan tuntunanNya begitu nyata 121 (2)(6) dalam seluruh realitas pelayanan gereja selama ini. Kasih Tuhan begitu nyata dialami oleh gereja ini dalam sejarah kemanusiaan, keberagamaan, bermasyarakat dan berbangsa di Maluku, di Indonesia. Secara khusus Kasih Tuhan itu begitu nyata bagi GPM, sehingga pada hari ini kita diperkenankan melaksanakan Persidangan ke-31 Badan Pekerja Lengkap. Kita mengaku, bahwa Allah dalam Kristus dan RohNya terus berkarya memimpin, mengendalikan, membarui dan memberdayakan gerejaNya untuk menjadi tanda keselamatan dan pembebasan demi terwujudnya kehidupan yang setara, adil, damai, sejahtera dan berperadaban sekarang dan di masa depan. Dari bumi Sakamese kita berjumpa kembali di bumi Lelemuku, Negeri Duan Lolat. Semua itu menandai betapa luasnya wilayah pelayanan kita secara geografis. Namun, luasnya pelayanan itu sendiri seluas realitas kemanusiaan yang kepadanya kita melaksanakan panggilan pengutusan itu. Harus kita akui banyak hal yang sukar dan pelik khususnya selama setahun ini kita hadapi, dalam mengemban tanggungjawab pelayanan kita. Namun, semuanya dapat kita lewati. Begitu banyak tantangan dan persoalan yang menghadang dan akan terus menantang kita selaku gereja, yang bukan hanya menuntut kita untuk mampu memecahkannya, tetapi juga mampu melewatinya. Mata kita tidak hanya menyaksikan tantangan dan persoalan silih berganti, tetapi kita sungguh-sunggguh merasakan penyertaan dan kemurahan Tuhan yang memampukan kita berdiri, kokoh, mengatasi krisis demi krisis. Apapun krisis itu, ia harus menjadi titik untuk kita berangkat, tidak boleh melompatinya. Krisis adalah panggilan Allah untuk 122 pembaruan demi masa depan yang terus baru. Krisis harus menjadi pembelajaran bagi kita, bagi gereja ini untuk semakin bergantung kepadaNya. Hal ini menegaskan sikap iman bahwa apa yang kita capai selama setahun ini adalah pencapaian bersama-sama dengan Tuhan; prestasi bersama seluruh pelayan dan warga jemaat bersama-sama TuhanNya. Oleh karena karya Tuhan tidak pernah berakhir bagi kemanusiaan, maka selama satu tahun kita menanam dan menyiram, kita sadar dan terbuka oleh kuasa Roh Allah membarui dan memberi pertumbuhan. Ini berarti, seluruh karya gereja dalam menanam dan menyiram, bukan tanpa kelemahan dan kekurangan. Kesadaran semacam ini merefleksikan bahwa sebagai para pelayan dan umat, kita hanyalah alat, para pekerja yang berkerja di kebun anggurNya, dan Tuhan sebagai pemilik kebun yang terus menerus berkarya dengan RohNya memberi pertumbuhan. Dengan begitu, tidak ada diantara kita yang dapat bermegah atas apa yang telah dicapai, sebab semua yang kita capai adalah capaian Tuhan dengan kuasaNya yang menyertai seluruh tugas pelayanan, kesaksian dan pengabdian kita. Selama satu tahun sejak BPL ke-30 sampai BPL ke-31 ini, kita dipanggil baik sebagai gereja, agama- agama, serta segenap potensi masyarakat telah bekerja bersama dengan semangat persaudaraan untuk men- datangkan perdamaian, pembebasan, dan pengharapan bagi manusia dan kemanusiaannya. Di mata Tuhan manusia dan kemanusiaanya merupakan satu-satunya orientasi kehadiranNya. Manusia dan gereja ini tidak dapat hidup tanpa kasih Tuhan. Kasih itu konkrit, bukan di dalam pikiran, melainkan dalam praksis. Gereja 123 (4) sebagai suatu persekutuan yang menerima kasih Allah , mesti meneruskan karya kasih Allah di dalam seluruh pelayanannya. Kasih Allah itu terefleksi dalam Injil itu sendiri, yaitu : “berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi manusia serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia, sebab Injil adalah kekuatan Allah yang menyelematkan manusia“. Apa yang dilakukan oleh gereja tidak lain yakni melakukan apa yang sudah dilakukan oleh Tuhan, yakni karya keselamatan paripurna bagi manusia dan kemanusiaan- nya. Oleh karenanya, isu kemanusiaan selalu akan menjadi isu utama gereja. Dengan begitu, gereja seharusnya tidak boleh memperkuat dirinya secara introvert, eksklusif, terarah kedalam dan sibuk dengan dirinya, melainkan ia terarah ke luar, memperkuat kemanusiaan dan persaudaraan. Sejauh gereja tetap peduli dan terlibat dalam upaya memperkuat kemanusiaan, memperkuat masyarakat, gereja tidak pernah akan kehilangan kasih karunia sebagai tanda penyertaan Tuhan. Sebaliknya ia akan kehilangan jati dirinya, garam itu akan menjadi hambar, terang itu akan tidak lagi bersinar, ketika ia tidak setia lagi kepada Tuhan dan tidak peduli pada kemanusiaan.

Bapak Gubernur, Para tamu dan undangan, Peserta BPL yang saya kasihi, Dengan pendasaran pemikiran seperti telah saya uraikan, perkenankan saya menyampaikan beberapa pokok pikiran pada pembukaan Persidangan ke-31 BPL ini sekaligus menjadi arahan Persidangan BPL ini.

124

1. Selaku bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai gereja kita memiliki siklus lima tahunan yang telah kita jaga, kembangkan secara sinambung selama ini (2005-2010) kita akan memasuki siklus baru (2010-2015) dalam siklus bangsa (2009-2014). Siklus kita bukan siklus kekuasaan, melainkan siklus pelayanan. Artinya, siklus waktu selalu merefleksikan panggilan pelayanan kita yang lebih relevan, bermutu dan kontekstual. Sejarah dengan demikian dalam perspektif siklus itu bukan bersifat kronos (time by time). Waktu selalu harus dimaknai secara kairos. Artinya dalam siklus waktu itu, gereja terpanggil untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, yaitu keadilan, perdamaian, kesejahteraan, demokrasi, penegakan hukum dan HAM, di tengah konteks kehidupan gereja dan dalam ruang publik yang luas. Dalam kaitan itu siklus lima tahunan gereja yang tinggal setahun kita akhiri dan akan masuk siklus baru, bersentuhan langsung dengan umat dan manusia sebagai tujuan pewartaan karya Allah, dan struktur menjadi fungsi untuk pewartaan Injil. Salah satu titik tolak penting dalam siklus kita ialah pergeseran dan penguatan kelembagaan kepada penguatan karakter, penguatan kultur pelayanan, penguatan jemaat sebagai basis kehidupan gereja. Pertanyaan fundamental adalah, apakah fokus pewartaan gereja, Injil, penguatan karakter, kultur pelayanan, dan penguatan jemaat dan (masyarakat) sungguh-sungguh telah kita capai sebagai sebuah institusi dan secara fungsional, terutama ketika kita 125 simak secara cermat dalam profil kelembagaan, umat dan pelayan? Apa artinya implikasi dari pertanyaan ini bagi pengisian siklus tersebut di penghujung siklus ini? Bagaimana program-program pelayanan kita? Kita harus mengisi siklus itu dengan visi dan gagasan-gagasan serta program-program yang lebih strategis, visioner dan konkrit, dalam sebuah sistem berpikir yang lebih sistematis, terintegrasi, sinergik dan diharapkan memiliki kekuatan transformasi. Bagaimana kita melakukan rekonsolidasi, pematang- an dan pemantapan kualitas kehidupan umat (masyarakat), dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat secara komprehensif ditengah dinamika dan geliat perubahan masyarakat, agama- agama, gereja dengan segala tantangannya? Bagaimana pematapan kualitas manusia gereja (SDM) termasuk pembinanan anak, remaja, pemuda, laki-laki, perempuan dan pembinaan profesional? Bagaimana rekonsolidasi dan pemantapan sekolah- sekolah Kristen dan tradisi pendidikan Kristen? Bagaimana koordinasi, sinkronisasi, tetapi juga pemikiran-pemikiran strategis mengenai infra- struktur pelayanan? Bagaimana pemantapan kehidupan beroikumene dan kehidupan kemajemukan dalam gerak yang sangat cepat dari desakan multikulturalisme dan pluralisme dalam kehidupan manusia dan agama-agama? Bagaimana pula pemantapan solidaritas sosial kebangsaan dan demokratisasi? Kelumpuhan kita pertama-tama bukan karena kelumpuhan institusi yang fatal, melainkan ketika 126 (6) kita kehilangan solidaritas dan kepedulian kepada manusia dan kemanusiaan dalam kehidupan kemanusiaan dan kebangsaan kita. Kita melaksanakan persidangan ini dalam situasi dan kondisi bangsa yang prihatin atas gempa yang terjadi di Sumatera Barat. Bagaimana kita membangun solidaritas sosial dan kemanusiaan serta persaudaraan sejati terhadap korban gempa Sumbar ini, sebagai bagian integral dari panggilan misi kita? Terkadang pelayanan diakonal gereja masih sangat karikatif dan belum transformatif. Ini semua mesti kita evaluasi kembali.

2. Persidangan ke-31 ini adalah agenda rutin untuk mengevaluasi kinerja pelayanan kita selama setahun untuk kemudian mengisi siklus itu dengan visi dan program pelayanan yang konkrit. Kita dituntun dengan tema; “BERUBALAH OLEH PEMBARUAN BUDIMU”, dan Sub Tema; “Bersama-Sama Membangun Masyarakat Majemuk Yang Mengasihi Tuhan Dengan Menegakkan Hukum Dan HAM”. Selama empat kali persidangan BPL kita terus dituntun dengan tema sentral, “Berubahlah oleh Pembaruan Budimu”, sebagai “light star”. Ini bintang pemberi arah yang menggerakkan perubahan gereja dari dalam, pembaruan cara pandang, pikiran dan hati (budi) yang digerakkan oleh Roh. Pembaruan tidak asal berubah atau ikut mode. Melainkan perubahan yang dilakukan secara sadar, agar gereja sungguh-sungguh menjadi gereja yang commited pada panggilannya, pada TuhanNya, dan terpanggil untuk melakukan perubahan demi 127 (8) kebaikan dan kemaslahatan manusia dan kemanusiaan; sedangkan isu kemajemukan dipandang oleh gereja sebagai konteks riel gereja. Sudah empat BPL GPM bergulat dengan isu kemajemukan; mulai dari bagaimana gereja membangun pendasaran teologi tentang kemajemukan, membangun saling percaya dalam kemajemukan, menanggulangi kemiskinan dan krisis lingkungan, sampai di BPL ke-31 ini, bagaimana menegakkan Hukum dan HAM. Dalam cara pandang ini, gereja semakin sadar ia bukan satu-satunya, ia butuh kebersamaan dan bersama- sama semua potensi agama, masyarakat dan bangsa untuk topang-menopang membangun kemajemukan dan menegakkan hukum dan HAM. Gereja mengakui kemajemukan adalah fakta dan kesadaran dari bangsa ini. Oleh karenanya, kebersamaan dan bersama-sama adalah cara untuk membangun bangsa ini. Bukan diskriminasi dan atau marginalisasi. Diskriminasi dan marginalisasi karena perbedaan akan menghancurkan tidak hanya kemajemukan melainkan juga keutuhan bangsa ini. Gereja terpanggil bukan hanya untuk membangun jemaat, melainkan juga masyarakat. Bagaimana GPM menjadi gereja yang fungsional, bermutu, terbuka, relevan, dialogis dan transformatif. Sub tema kita kali ini memberi penekanan pula pada aspek masyarakat majemuk yang mengasihi Tuhan. Mengasihi Tuhan adalah mengasihi sesama manusia. Mengasihi sesama sama dengan mengasihi Tuhan. Mengasihi Tuhan itu konkrit, tidak abstrak. “ketika aku lapar kamu memberi aku makan, ketika aku 128 telanjang kamu memberi aku pakaian, ketika aku di dalam penjara kamu melawat aku”, adalah kata-kata Yesus sendiri yang menegaskan apa itu misi dan panggilan gereja. Kata-kata Yesus itu sendiri telah mengubah secara fundamental pengertian gereja tentang teologi itu. Teologi bukan lagi mencari Tuhan yang abstrak, tetapi berteologi adalah bagaimana mengasihi manusia sebagai cara kita mengasihi Tuhan. Gereja tidak lagi hidup dengan menantikan Tuhan yang datang dan baru melayaninya yang akan datang itu, sebab gereja sementara hidup dengan Tuhan yang harus ia layani ditengah geliat perubahan dan kenyataan yang konkrit, yaitu sesamanya sendiri, kemanusiaan itu; orang-orang miskin, tertindas, termarginalisasi, terkebelakang, penderita narkoba, HIV-AIDS, mereka yang mengalami KDRT (perempuan dan anak-anak), dstnya. Bagaimana kemudian program kita menyentuh panggilan gereja untuk penegakan kasih itu? Secara khusus subtema ini menegaskan mengasihi manusia dengan mengasihi Tuhan, melalui penegakan hukum dan HAM. Penegakan hukum dan HAM bukan hanya tugas dan tanggung jawab negara, lembaga-lembaga hukum, aparat Polisi, pengacara. Akan tetapi ia adalah tugas dan ruang pergulatan pelayanan gereja yang konkrit. Ia bagian dari misi yang satu itu. GPM sejak Sinode 35 dan sebelum itu juga, dan khusus dalam siklus lima tahunan yang tinggal setahun ini, telah meletakkan fokus pada pembangunan karakter, character building, pembangunan kultur pelayanan, 129 (10) pembangunan keadilan dalam pergulatan gereja dan pergulatan masyarakat dan keluarga. Bagaimana fokus character building ini (khusus penegakan hukum dan HAM) diimplementasikan dalam pelayanan kita. Bagaimana dan sejauhmana kita beri perhatian pada kekerasan dalam keluarga kepada perempuan dan anak, komersialisasi anak dan perempuan, dengan membangun kesadaran dan advokasi hukum dan HAM? Sejauhmana advokasi hukum dan HAM bagi masyarakat dan warga jemaat yang membutuhkan perlindungan hukum dan HAM? Juga kepada masalah-masalah lingkungan, dstnya. BPL ini kita laksanakan di bumi Lelemuku (negeri yang indah penuh dengan bunga), negeri Duan Lolat yang memiliki keindahan alam dan panorama lingkungan yang mempersona serta kultur persaudaraan yang kuat. Kita bersidang pada Kabupaten yang relatif baru; Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten Maluku Barat Daya. Apa yang dapat gereja lakukan bagi kedua masyarakat di Kabupaten yang baru ini? Apa yang dapat kita kerjakan menolong masyarakat mengatasi isu-isu pembangunan yang mendasar seperti kemiskinan, keterbelakangan, penegakan hukum dan HAM, peningkatan SDM, demokratisasi, masalah kesehatan dan pendidikan, multi- kulturalisme dan pluralisme, percepatan pem- bangunan, dan masih banyak isu lain yang lebih fundamental? Saya sangat yakin, bukan cuma gereja tetapi juga bangsa ini, bahwa pemekaran bukanlah tujuan 130

seluruh kebijakan politik itu. Melainkan pemekaran merupakan instrumen untuk mensejahterakan dan mengatasi keterbelakangan serta keterisolasian masyarakat dalam berbagai aspek. Sebagai gereja, pemekaran memberi implikasi penting bagi gereja untuk melakukan konsolidasi dan pemantapan infrastruktur, koordinasi, komunikasi pelayanan, terutama konsolidasi dan pemantapan dalam siklus pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Gereja mesti proaktif terhadap dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dalam siklus pembangunan yang dilakukan. Kalau tidak gereja akan tertinggal, dan karenanya, gereja juga tetap kritis, positif, realistis dan konstruktif menilai kebijakan pembangunan oleh pemerintah dalam realitas konkrit yang dihadapi. Sebagai gereja, kita harus menopang tradisi demokrasi yang berbasis budaya dalam kultur persaudaraan yang kuat yang bertumbuh dalam masyarakat di bumi Lelemuku, negeri Duan Lolat agar tradisi-tradisi dapat menjadi kekuatan yang dapat mendorong kemajuan masyarakat. Saya sangat yakin apa yang akan dihadapi kedua kabupaten MTB dan MBD di tahun-tahun mendatang, terutama dalam dinamika demokrasi sehinga betul- betul akan merefleksikan kematangan kultur berdemokrasi pada basis budaya negeri Duan Lolat ini.

3. Kita juga bersyukur di pelaksanaan BPL ini, sebab kita baru saja menyaksikan pemilihan umum anggota DPRD/DPR dan DPD serta pemilihan 131 (12) Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Kita bersyukur, sebab semua yang kita lakukan dalam reformasi besar dan maju untuk menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat. Proses seperti itu setidaknya pemilihan pimpinan nasional, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, selain anggota legislatif telah kita lakukan dua kali dalam sejarah bangsa ini. Dengan semua ini kita menyaksikan bahwa bangsa ini sementara memantapkan siklus lima tahunan itu. Kita dapat menyelesaikan semuanya dalam keadaan aman dan damai. Ada kelemahan-kelemahan dalam penyelenggaraan demokrasi, tetapi bangsa tetap menempuh cara-cara yang bermartabat dengan penegakan hukum sebagai mekanisme penyelesaian masalah-masalah politik di negeri ini. Kita memang sudah harus menjadikan rule of law sebagai bagian dari kehidupan sosial di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara untuk membangun disiplin sosial, tata hidup bersama, saling menghargai, saling peduli. Saling menopang dan membantu di tengah masyarakat. Penegakan hukum harus ditempatkan dalam kaitan dengan penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia. Terjaminnya rule of law dan HAM dalam konteks negara yang plural seperti Indonesia akan membantu mengeleminasi menguatnya paham mayoritas-minoritas dalam kehidupan berbangsa. Agama-agama dan khususnya gereja harus mendorong pemerintah untuk memastikan hal itu terjadi dan berlaku di negeri ini. Secara politik kita makin mantap memasuki reformasi ini dengan 132 dukungan seluruh rakyat dan bangsa ini. Pada sisi ini kita memang mengalami kemajuan tetapi kita pun masih terus bergulat dengan persoalan- persoalan lain yang cukup besar dan mendasar dari bangsa ini, yakni isu keterbelakangan di bidang pendidikan, kesehatan, pendapatan per kapita, ketiadaan dan kesenjangan infrastruktur dll, termasuk di kedua Kabupaten ini dan Maluku pada umumnya yang terus dibenahi. Selaku gereja, semua itu adalah bagian dari pergumulannya, sebab kita bukan hanya bagian dari bangsa ini, tetapi kita juga turut mengalami semua dampak dari persoalan- persoalan tersebut sebagai warga bangsa. Kita berhadapan dengan fakta keberagaman bangsa yang begitu plural dengan gagasan kebangsaan yang kadang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Tugas untuk taat asas pada Pancasila bukan hanya tugas partisan tetapi merupakan tugas seluruh elemen bangsa, upaya bersama lintas agama/ golongan. Pancasila harus dapat dijabarkan dalam etika kehidupan bersama di tingkat basis. Suatu kesulitan yang selama ini kurang dikerjakan secara sungguh-sungguh. Hal-hal itu sangat penting artinya, sebab dengan begitu kita dapat menjaga agar kemajuan kita secara politik yaitu kemajuan demokrasi tidak hanya suatu kemajuan yang bersifat formal tetapi kita harus terus berjuang agar kamajuan itu pun bersifat substantif. Artinya sejauhmana demokrasi yang kita perjuangkan secara bersama tidak hanya bertujuan untuk melahirkan pimpinan nasional atau para legislator yang baru, tetapi juga yang terpenting adalah sejauhmana 133 demokrasi itu mampu mengatasi isu-isu keterbelakangan secara ekonomi dan kultural serta isu kebangsaan yang kita hadapi sekarang ini. Dalam kaitan dengan itu, sekarang ini Gereja sudah harus memikirkan kembali secara sungguh-sungguh partisipasi politik Gereja sebagai bagian dari tanggung-jawab profetik gereja di tengah kehidupan berbangsa. Partisipasi politik gereja adalah suatu upaya secara bersama dengan semua agama dan golongan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam membangun kualitas kesejahteraan dan integritas bangsa ini. Partisipasi politik Gereja tidak lain adalah upaya untuk menghadirkan karya Kristus sebagaimana dinyatakan dalam Lukas 4 : 18- 21, Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, dan Ia telah mengutus aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang- orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” Itu adalah basis teologis dan partisipasi politik gereja. Kemanusiaan yang miskin, tertindas, keterbelakangan dan keterisolasian, keadilan dan pendamaian adalah fokus partisipasi politik Gereja. Partisipasi semacam itu, harus diletakkan dalam semangat kebersamaan dengan saudara-saudara kita yang lain untuk memperkuat peran masyarakat sipil kita. Gereja bersama-sama dengan komponen bangsa ini harus bekerjasama meningkatkan kompetensi

134 (14) warga negara untuk terlibat dalam seluruh proses pembangunan bangsa. Partisipasi politik Gereja harus diarahkan dalam upaya membangun kerjasama di antara masyarakat yang majemuk dalam negara Pancasila. Saya kira, kita perlu merumuskan suatu teologi sosial yang terbuka terhadap Pancasila sebagai common values untuk relasi dalam masyarakat yang majemuk. Kerjasama di antara masyarakat yang majemuk hanya dapat terjadi jika ada pengakuan yang sungguh terhadap Pancasila sebagai satu-satunya common values dalam kehidupan berbangsa. Pancasila adalah satu-satunya basis untuk kita mendefinisikan relasi yang majemuk dalam konteks keindonesiaan. Kita harus memperkuat penerimaan Pancasila secara teologis dan mendukung pelaksanaan dalam kehidupan berbangsa yang majemuk. Menolak Pancasila sama dengan menolak kemajemukan sebagai fakta bangsa ini.

4. Tahun ini adalah tahun terakhir masa bakti 2005- 2010 dari pelayanan majelis jemaat di seluruh wilayah pelayanan GPM. Sesudah pelaksanaan BPL ini, kita akan segera melakukan pemilihan Majelis Jemaat GPM tahun pelayanan 2010-2015. Sesudah itu dalam sidang Klasis awal tahun 2010 mendatang kita pun akan memilih Badan Pekerja Klasis untuk tahun pelayanan 2010-2015, sekaligus memilih peserta sidang BPL selama periode 2010-2015 dan peserta sidang Sinode 2010 dari unsur utusan Klasis. Selanjutnya, dipenghujung tahun 2010, kita akan mengimplementasi PIP/RIPP 2005-2015 dan 135

memilih Badan Pekerja Harian Sinode 2010-2015 melalui sidang Sinode 2010. Selama ini, selaku gereja kita telah berhasil mempertahankan dan menjaga siklus lima tahunan itu berjalan dengan baik. Bagaimana kita mengisi siklus terakhir (2010) dengan egenda pelayanan yang lebih bermutu, relevan, kontekstual, dan transformatif, serta lebih siap untuk mempersiapkan visi, misi dan sebuah skenario pelayanan yang lebih pas untuk siklus berikut (2010-2015). Bagaimana pula kita terbuka pada perubahan-perubahan yang bersifat paradigmatik yang dapat menampung proses perubahan gereja ini secara menyeluruh dan fundamental, sehingga memampukan gereja menjawab dinamika dan geliat perubahan gereja, agama-agama, masyarakat dan bangsa serta kemanusiaan?

Bapak gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL serta seluruh pelayan dan warga gereja yang berbahagia, Selaku gereja, perjalanan selama satu tahun ini kendati dengan segala keterbatasan, kita telah menyatakan kesetiaan pada panggilan kita di tengah lokus kehidupannya dengan mengerjakan misi pendamaian, pembebasan dan pemanusiaan di Maluku dalam semangat persaudaraan dan kemanusiaan. Seluruh perangkat penyelenggaraan pelayanan gereja yakni para Pendeta, Penginjil, Penatua, Diaken, Tuagama, para Pengurus Wadah Pelayanan, Koordinator Sektor dan Unit, Pengasuh Sekolah 136

Minggu-Tunas Pekabaran Injil, Para Sekdep, Biro, Yayasan-Yayasan, UKIM, para karyawan dan karyawati, termasuk para emeritus telah menyatakan kesetiaan pada panggilan itu. Peranan saudara-saudara amat besar dalam menanam dan menyiram. Pelayanan gereja bukan saja untuk meningkatkan kualitas pelayanan gereja secara internal, tetapi seluruh pelayanan gereja itu juga terarah untuk meningkatkan kualitas dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, bersaudara dan berkemanusiaan serta berbangsa dan bernegara. Pelayanan gereja bukan hanya merealisasikan amanat panggilan gereja di bumi Maluku, bumi duan lolat, tetapi sekaligus merespons tanggung jawab dan panggilan gereja terhadap pemanusiaan manusia. Selama satu tahun ini, saudara-saudara semua telah melakukan tugas-tugas pelayanan di tengah kehidupan warga gereja dari orang tua, perempuan, laki-laki, pemuda, anak- remaja dengan profesi apapun baik birokrat, politisi, tukang becak, tukang ojek, wartawan, sopir, kondektur, guru, dokter/mantri/staf medis, dosen dan lain-lain. Rekan-rekan Pendeta, Penginjil, Pengasuh, Majelis Jemaat, demikianpun mantan Majelis Jemaat atau Pengurus wadah pelayanan; saudara-saudara semua adalah orang-orang yang menjalankan amanah panggilan melayani Jemaat Tuhan, serta masyarakat dan bangsa. Khusus kepada Majelis Jemaat yang telah melaksanakan masa bakhti 2005-2010, yang akan mengakhiri masa bakhti saudara-saudara, saya dengan rendah hati mengucapkan terima kasih atas jerih dan juang saudara-saudara. Tuhan Allah di sorga memberkati seluruh karya menanam dan menyiram saudara-saudara. 137

Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberi pertumbuhan Larat , 18 Oktober 2009.

Ketua BPH Sinode GPM.

Pdt. Dr. John. Ruhulessin, M.Si

138

Pidato Ketua Badan Pekerja Harian Sinode pada Pembukaan Persidangan XXXII Badan Pekerja Lengkap (BPL) Gereja Protestan Maluku di Latuhalat Kota Ambon Tahun 2010

Semua tahapan dan isi gumulan itu memperlihatkan bahwa menjadi gereja itu „sine qua non‟ dengan melayani manusia, bangsa, masyarakat dan lingkungan ciptaan Tuhan. Menjadi gereja itu memerlukan spiritualitas yang utuh dalam arti kerinduan untuk dekat dengan Tuhan sambil terus melayani sesama dan alam ciptaan Tuhan. Spiritualitas gereja adalah spiritualitas kemuridan yang tidak bisa dipahami dalam bentuk kesalehan pribadi an sich.

Salam Sejahtera dalam Tuhan Yesus Kristus, Assalam Alaikum Wr Wb, Saya mengajak kita semua untuk mempersembahkan puji dan syukur kepada Yesus Kristus Kepala Gereja kita, untuk tapakan sejarah dalam mengukir karya di bumi Seribu Pulau hingga di usia gereja kita yang ke-75 tahun ini. Dari rute pelayaran melintasi pulau-pulau dengan buaian angin Tenggara, dari kota Larat tercinta, oleh kasih sayang Tuhan sang Nahkoda sejati telah mengantar kita singgah di negeri nyiur melambai ini, Latuhalat tercinta. Saya percaya bahwa seluruh karya pelayanan kita dalam hal menanam dan menyiram dari masa ke masa telah ditumbuhkan oleh Tuhan. Tentu, kita tetap sadar bahwa 139 ada saja tantangan yang mendera, badai dan gelombang tetapi biarlah semua itu tidak menyurutkan hasrat hati kita untuk terus bersyukur sambil terus berbenah dan berserah diri kepada Tuhan yang kasihNya tidak pernah berubah; kemarin, sekarang dan selamanya.

Bapak Gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL serta seluruh pelayan dan warga gereja yang berbahagia, Persidangan ke-32 Badan Pekerja Lengkap Sinode GPM yang kita gelar di tahun 2010 ini adalah bagian terakhir dari rangkaian 5 (lima) tahunan pelayanan BPH Sinode GPM 2005-2010, dan suatu awal bagi perjalanan lima tahunan berikutnya di periode 2010-2015. Persidangan ini pula akan mengantar kita untuk menggelar dan mengambil bagian secara bersama-sama dalam persidangan akbar gerejawi di 31 Oktober 2010 yakni Sidang Sinode ke-36 GPM. Oleh sebab itu, boleh dikatakan bahwa BPL kali ini memiliki makna yang strategis. Letak strategis BPL ini bukan saja pada siklus tahunan dan lima tahunan yang tetap, melainkan pada tahapan kedua pelaksanaan PIP/RIPP GPM 2005-2010. Kita sudah melalui implementasi tahapan pertama sebagai tahapan sosialisasi, perencanaan dan pelaksanaan sepanjang 2005-2010, dan kita akan memasuki tahapan kedua, sebagai tahapan pemantapan, kemandirian dan kematangan tahun 2010- 2015. Dari evaluasi tahap pertama ditemui beberapa kelemahan yang mesti kita benahi. Bahwa masih ada aparatur gereja yang belum memahami kaidah 140 penuntun dari PIP/RIPP ini. Hal tersebut membuat perencanaan program berlangsung secara pragmatik dan cenderung project oriented. Dalam artian belum tersasar secara simultan pada pembentukan Profil Gereja yang meliputi profil umat, profil pelayan dan profil kelembagaan secara komperhensif. Rumusan PIP/RIPP yang ada pun dinilai sebagian orang terlalu abstrak dan sulit dijabarkan. Kita juga berhadapan dengan kecenderungan umum yang sudah diwariskan dari waktu ke waktu yakni, fokus pengembangan program lebih dikaitkan dengan Tema dan Sub Tema. Padahal di sisi lain hal ini tidak dibarengi dengan Analisis Sosial pada situasi bergereja, berklasis, berjemaat. Karena itu, program umum pelayanan di level Klasis dan Jemaat masih didominasi oleh program turunan dari aras gereja di atasnya. Ini mengindikasikan bahwa kita belum berani mengembangkan desentralisasi prakarsa secara cermat. Ujung-ujungnya program turunan itu dirancang berulang dari tahun ke tahun tanpa ada evaluasi terhadap kemanfaatannya. Selain itu, rentang kendali pelayanan turut menjadi salah satu faktor sulitnya merekayasa pencapaian profil gereja itu, karena faktor biaya tinggi dalam mengembangkan pelayanan gereja.

Bapak Gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL serta seluruh pelayan dan warga gereja yang berbahagia, Saya mengajak kita untuk menjadikan Persidangan ke-32 BPL ini selain sebagai forum mengevaluasi program tahunan dan rencana program dan anggaran serta visi-visi ke depan, tetapi juga forum 141 ini dapat dimaknai sebagai wahana proyeksi pengembangan konsep PIP/RIPP kita untuk memasuki tahap kedua di tahun 2010-2015. Untuk itu, BPH Sinode telah menyediakan Pedoman Implementasi PIP/RIPP Tahap II untuk memberi arah bagi perencanaan program berkelanjutan sampai tahun 2015. Materi Pedoman Implementasi itu bertujuan mendudukan perspektif bersama mengenai fokus pengembangan program setiap tahunnya selama lima tahun ke depan. Harapannya ialah sampai tahun 2015 kita sudah dapat membentuk profil bergereja yang dicita-citakan dengan makin meningkatnya kapasitas umat, pelayan dan lembaga di setiap aspeknya. Kita juga menyadari bahwa durasi pelayanan di tahun ini relatif singkat, tidak genap setahun karena persiapan-persiapan sidang Sinode mendatang. Saya percaya bahwa selama kurun waktu lima tahun ini kita sudah berusaha secara bersama-sama menata konsep pembaruan gereja itu. Melalui tema dan sub tema yang ada, selama lima tahun ini kita selalu berusaha melihat pergumulan gereja dalam tanggungjawab sosial yang luas, tidak sebatas pada urusan-urusan internal, melainkan peran nyata dalam masyarakat dan lingkungan hidup. Sejak tahun 2005 kita memulai seluruh proses perubahan GPM dengan berpangkal pada Tema „BERUBAHLAH OLEH PEMBARUAN BUDIMU‟. Pencapaian tema ini kita jabarkan dalam sub-sub tema persidangan tahunan BPL, Sidang Klasis dan Sidang Jemaat. Di tahun 2006, GPM secara sadar berusaha mewujudkan kehidupan Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai bingkai sosial untuk mengembangkan masyarakat majemuk beradab. Gumulan itu tidak 142 terhenti di situ, sebab tahun 2007 kita meneruskannya dengan memperkuat komitmen gereja dalam masyarakat yang majemuk. Komitmen gereja untuk mengem- bangkan kesadaran pluralis dikalangan warga gereja yang pro-eksisten. Tidak melihat perbedaan itu sebagai suatu fakta “taken for granted” melainkan menekankan pada perjumpaan dan interaksi sosial secara mutual antar masyarakat dan umat beragama. Pencapaian gumulan tahun 2007 itu kita tingkatkan di tahun 2008 dengan menekankan pada aspek saling percaya demi keadilan dan kesejahteraan. Itu berarti manajemen pluralisme bagi GPM tidak lagi terpusat pada metode dan mekanisme dialog antar iman GPM, tapi sudah melangkah lebih jauh pada bagaimana melakukan usaha-usaha nyata bagi terwujudnya rasa adil dan peningkatan kesejahteraan. Isu-isu sosial seperti itu sudah menjadi konsern gereja yang sungguh- sungguh. Dengan terwujudnya keadilan dan kesejah- teraan, maka ditahun 2009 kita mendorong proses- proses demokratisasi di bangsa dan di daerah ini. Poin menarik dalam tahun ini adalah demokratisasi tidak kita lihat hanya sebagai emansipasi dan partisipasi warga negara dalam tiap agenda politik, tetapi demokratisasi dalam artinya yang sejati yakni penanggulangan kemiskinan dan krisis lingkungan. Bagi GPM apalah artinya demokratisasi jika akses rakyat untuk keluar dari kemiskinan sama sekali tidak tersedia dan lingkungan hidup menjadi tidak terurus. Sambil mengupayakan hal itu, sampai tahun 2010 inilah kita masuk dalam muara perjuangan penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

143

Bapak Gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL serta seluruh pelayan dan warga gereja yang berbahagia, Semua tahapan dan isi gumulan itu memperlihatkan bahwa menjadi gereja itu: „sine qua non‟ dengan melayani manusia, bangsa, masyarakat dan lingkungan ciptaan Tuhan. Menjadi gereja itu memerlukan spiritualitas yang utuh dalam arti kerinduan untuk dekat dengan Tuhan sambil terus melayani sesama dan alam ciptaan Tuhan. Spiritualitas gereja adalah spiritualitas kemuridan yang tidak bisa dipahami dalam bentuk kesalehan pribadi an sich. Gumulan menjadi gereja itu adalah gumulam mengenai pembaruan gereja itu sendiri. Kita ingat semboyan reformasi yakni eklesia semper reformanda, gereja yang membarui dirinya terus menerus. Jika kita bertanya seberapa jauh GPM mengalami perubahan dan ke arah mana perubahan itu? maka jawabannya bukan pada seberapa banyak program yang berhasil dilakukan, tetapi konsistensi kita mencapai perubahan gereja itu sendiri. Tujuan perubahan atau arah perubahan itu adalah pertumbuhan iman, kematangan ekonomi, kematangan sosial politik, kesadaran kebudayaan, kematangan spiritual-etik-moral, kematangan berelasi dalam masyarakat, komitmen pemeliharaan lingkungan hidup, dan rasa adil, sejahtera serta kesantunan warga gereja dalam komunikasi hidup sehari-hari. Semua pembaruan yang kita lakukan senantiasa berporos pada teladan Yesus, serta senantiasa terbuka pada tuntunan karya Roh Kudus.

144

Pilihan tema kita di tahun 2010 ini yakni, “TUHAN ITU BAIK KEPADA SEMUA CIPTAAN” (MAZMUR 145:9) dan Sub Tema: “MENJADI GEREJA YANG DIBARUI UNTUK MENGHADIRKAN KESEJAHTERAAN, KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN DALAM KONTEKS MASYA- RAKAT KEPULAUAN YANG MAJEMUK”. Tema ini merupakan modifikasi terhadap tema PGI yakni “Tuhan itu Baik kepada Semua Orang”. Dengan memberi penekanan pada dimensi Semua Ciptaan, maka hal ini menunjukkan konsern dan konsistensi GPM bukan saja kepada harkat manusia tetapi juga kepada alam ciptaan lain. Memang manusia penting dan harus terus menjadi penting, tetapi itu bukan lalu mengabaikan apalagi mengeksploitasi ciptaan lainnya secara brutal dan semena-mena. Hal „baiknya‟ TUHAN adalah suatu tema teologi yang bisa membangun kesadaran keutuhan yang satu di Indonesia. Paham TUHAN YANG SATU itu kini kita lihat dalam sifat TUHAN yang baik, yaitu yang penuh kasih, cinta, belas kasihan (compassion). Ada dua aspek menarik dari sifat Tuhan yang baik yakni, desire (hasrat, keinginan, motivasi) dan rightouness (kebenaran, keadilan). Artinya dalam sifat TUHAN yang baik itu terkandung motivasi, hasrat, atau keinginan teguh, tidak bisa ditawar-tawar. Ia tidak bisa dirayu atau dimanipulasi. Berarti gereja yang dibarui pun harus konsisten dan tidak boleh diombang-ambingkan, sebab nilai kebenaran yang menjadi inti dari tugas panggilan dan pelayanan gereja. Kedua aspek tersebut juga yang menjadi sumber motivasi untuk menjalankan tugas sesuai amanat Sub Tema kita yang baru ini. Kita sadar bahwa usaha menghadirkan kesejahteraan, keadilan dan 145 keutuhan ciptaan memerlukan motivasi kokoh dan konsistensi keberpihakan gereja yang serius.

Bapak Gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL serta seluruh pelayan dan warga gereja yang berbahagia, Tugas-tugas pokok gereja mesti direalisasi dalam konteks kepulauan Maluku, dengan mendalami secara cermat dinamika di provinsi Maluku dan Maluku Utara dalam perspektif ke-Indonesiaan yang utuh dan pergaulan oikumenis gereja-gereja baik di Indonesia, Asia maupun Dunia. Wawasan tema dan sub tema kita adalah suatu wawasan oikumenis yang terbuka pada berbagai isu sosial dan lingkungan hidup. Saya mau mengajak sidang ini untuk menempatkan seluruh desain pelayanan kita secara terbuka dengan memetakan pula jejaring pelayanan dengan lembaga-lembaga gerejawi lain maupun dengan instansi pemerintah dan seluruh stakeholders. Problem-problem di Maluku Utara perlu mendapat perhatian khusus kita. Saya meminta teman- teman Pendeta, Penatua dan Diaken semua untuk mencoba membuat sebuah “problem mapping” (peta masalah) yang setelah ini bisa memaksimalkan desentralisasi prakarsa gereja di Klasis-klasis di Maluku Utara. Kita cukup menguras energi untuk mengurus terus soal-soal kebersamaan dengan gereja saudara saja, tetapi bagaimana mencari solusi yang bisa membuat gereja-gereja di Maluku Utara itu berjalan bersama-sama sebagai Keluarga Allah dalam dinamika pertumbuhan Maluku Utara yang terus berbenah dan berkembang. Hal yang sama saya mintakan dari teman-teman di 146 semua klasis dalam lingkup provinsi Maluku, sebab perkembangan Kabupaten/Kota se-Maluku juga menuntut gereja untuk lebih pro aktif. Ada visi sentral secara sinodal tetapi teman-teman harus pula menyusun „problem mapping‟ yang pada gilirannya membantu gereja dalam menetapkan kebijakan pelayanan yang jitu.

Bapak Gubernur, para tamu yang saya kasihi dan hormati, Peserta BPL serta seluruh pelayan dan warga gereja yang berbahagia, Perkenankanlah kami menyampaikan semua hal ini agar ke depan kita bisa bersama-sama mengatasi problem kemiskinan yang kita alami bersama di Provinsi Maluku ini. Saya tahu bahwa sebagian besar daerah yang miskin itu adalah juga jemaat-jemaat GPM. Untuk itu saya berharap kita tetap bisa membangun koordinasi untuk memecahkan masalah ini dengan terus menerus mengusahakan kesejahteraan masyarakat. Bagi GPM, jika masalah-masalah komunikasi dan transportasi antar-pulau bisa terus dikembangkan, akses produksi lokal akan terserap ke pasar dan berdampak pada upaya mengatasi kemiskinan. Selain itu gereja menilai bahwa kita perlu melakukan pendampingan yang intensif terhadap proses-proses pengambilan keputusan dan kebijakan, sebab dapat saja pada level ini terjadi ketimpangan yang membuat banyak program pemberdayaan dari pemerintah tidak sampai pada kelompok sasaran yang tepat. Untuk itulah beberapa program pembinaan umat seperti warga gereja profesi dan pastoralia sudah harus menjadi „gaya hidup‟ dan „model pelayanan‟ GPM dari waktu ke waktu. 147

Akhirnya saya memohon dukungan doa kita semua agar Persidangan ke-32 BPL Sinode GPM ini bisa mencapai hasilnya dengan optimal. Terima kasih untuk saudara-saudara Panitia Pelaksana dan warga jemaat GPM Latuhalat yang telah berpartisipasi demi pelaksanaan event gerejawi yang penting ini. Terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu GPM dalam tugas pelayanan selama lima tahun ini. Kami berdoa semoga setiap usaha menanam dan menyiram ditumbuhkan oleh Tuhan dan menghasilkan buah yang lebat dan manis. Selamat Bersidang.

Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberikan pertumbuhan (1 Korintus 3:6).

Ketua Sinode GPM

Pdt. Dr. John Chr. Ruhulesin, M.Si

148

Pidato Ketua Majelis Pekerja Harian Sinode1 pada Pembukaan Persidangan XXXIII Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Gereja Protestan Maluku di Dobo Kabupaten Kepulauan Aru Tahun 2011

Tahun 2010-2015, kita memasuki tahap II implementasi PIP/RIPP 2002-2015. Sesuai PIP/RIPP itu, ada tiga kegiatan yang harus terlaksana yakni kegiatan pemantapan, pengembangan dan kemandirian. Lompatan cukup spektakuler kita hadapi karena Tata Gereja dan Peraturan Pokok menginstruksikan tahun 2012 sudah harus ada pemberlakukan Renstra Jemaat. Untuk itu dalam waktu yang singkat, MPH telah berusaha menyusun perangkat lunak Renstra dengan mengadaptasi teori Renstra yang berlaku umum.

Salam Sejahtera bagi kita semua; Assalamu‟alaikum warahmatulahi wabarakatuh; Terpujilah TUHAN sebab IA baik. KebaikanNya mengatasi langit dan bumi. KemahakuasaanNya melebihi segala akal dan pikiran kita. Walau kita lemah dan berada di dalam krisis tertentu, TUHAN tidak membiarkan kita jatuh, bahkan sekalipun kita jatuh, tidak dibiarkan kita tergeletak, sebab tangan TUHAN menopang dan membangunkan kita kembali. IA menegakan kita berjalan sebab misi damai sejahteraNya

1 Berdasarkan Hasil Sidang Sinode tahun 2010 nama Badan berganti menjadi Majelis Pekerja Harian Sinode. 149 tidak akan dibiarkanNya gagal. PanggilanNya terhadap gereja tidak pernah berhenti. Madah iman itu yang menuntun GPM terus berjalan dan melayani di dalam berbagai situasi krisis hingga tiba di persidangan ke-33 MPL di tanah Jargaria, bumi cendrawasih, lautan mutiara dan karaka ini.

Bapak Gubernur, Bapak Pejabat Bupati Dan Jemaat yang Saya Kasihi; Ide perubahan merupakan imperatif teologi- misiologi GPM sejak tahun 2000. Kita berusaha menatanya melalui berbagai program yang bertendensi pada perubahan teologi dan ajaran gereja, liturgi, aturan gereja serta Desain Pengembangan GPM dalam Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP/RIPP GPM). Dalam tahun 2005 dan 2010, GPM mengalami dua titik transisi yang cukup signifikan. Transisi perubahan pertama di tahun 2005 terjadi melalui pergeseran titik tolak dalam PIP/RIPP GPM 2005-2015. Desain pengembangan GPM dititikberatkan pada penguatan kapasitas pemberdayaan jemaat, sebab cukup lama kita memperkuat kapasitas institusional. Pergeseran titik tolak ini merupakan bentuk kesadaran teologi GPM bahwa gereja yang hidup adalah gereja yang memperkuat jemaatnya, sebab TUHAN yang diimani oleh Gereja adalah TUHAN yang kuat dan Maha Kuasa. Dalam bingkai PIP/RIPP GPM berusaha menjawab dinamika sosial di masyarakat yang mengalami berbagai bentuk keterpurukan dan krisis akibat konflik 1999. Masa pemulihan Maluku sampai 150 tahun 2005 membuat GPM berusaha untuk membentuk karakter dan kapasitas jemaat dalam perspektif peace and trust building. Kita bersyukur bahwa usaha-usaha itu dapat dilangsungkan dan mencapai hasil yang maksimal, juga bersama Pemerintah Daerah dan masyarakat Maluku. Misi GPM terus dibangun dalam kesadaran bahwa gereja terpanggil menghadirkan kasih, keadilan, kesetaraan, perdamaian dan kesejahteraan sebagai tanda-tanda kerajaan Allah di tengah dunia. Untuk tugas ini sejak tahun 2005-2010 yang lalu kita terus membangun wawasan pluralisme dengan memaksimalkan perjumpaan antar umat beragama. Dialog antar umat ditempuh dengan jalan meningkatkan interaksi antar umat di basis-basis tempat tinggal, yakni di dalam lingkungan pemukiman heterogen. Sebab format sosial umat beragama di Maluku telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan, yakni lokasi pemukiman heterogen sudah cukup sempit akibat dari terbangunnya segregasi sosial. Aspek lain yang perlu dilakukan ialah menghidupkan kearifan lokal masyarakat adat di Maluku yang ternyata ampuh untuk memperkokoh ketahanan sosial masyarakat dan umat beragama. Disitulah modal sosial-budaya dan religious masyarakat Maluku yang terbukti efektif serta mampu meredam berbagai aksi agitasi dan provokasi. Apa yang terjadi pada 11 September 2011 memperlihatkan bahwa ketahanan masyarakat kita teruji dalam meredam eskalasi konflik. Ini yang perlu dikembangkan untuk memantapkan basis-basis perdamaian Maluku.

151

Hadiri Yang Saya Hormati; Di tahun 2010, GPM berada dalam situasi transisi melalui penetapan Tata Gereja dan Peraturan Pokok yang baru. Tahun 2010 pun menunjukan betapa GPM cukup serius melihat pergulatan teologi dalam konteks masyarakat majemuk. Seiring dengan penetapan Tata Gereja yang baru ini terjadi pula beberapa perubahan pokok yang sudah mesti disikapi. Perubahan itu juga menjadi bagian dari tugas dalam MPL ke-33 ini: Pertama, Tata Gereja mengisyaratkan bahwa perlu diatur kembali tugas perangkat sinodal dalam hal ini badan-badan Departemen dan Non-Departemen, terkait dengan persidangan MPL Sinode. Kita perlu memperbincangkan kembali tugas-tugas persidangan MPL sesuai dengan Peraturan Pokok tentang Sinode, dan mungkin perlu ditegaskan dalam semacam peraturan tersendiri, misalnya dalam peraturan tentang Pola Organisasi yang secara khusus mengatur tentang tugas dan kewenangan Departemen dan Non- Departemen, terutama secara eksplisit mengenai tugas penyusunan program. Sebab sesuai Tata Gereja, semua perangkat organisasi, badan pembantu pelayanan, para pelayan dan umat berkewajiban menjalankan amanat panggilan gereja, yang dalam tradisi organisasi diwujudkan melalui program pelayanan. Kedua, pasal 9 Tata Gereja, juncto pasal 29 mengisyaratkan bahwa PIP/RIPP GPM merupakan dokumen pokok mengenai desain pelayanan dan pengembangan GPM. Selain sejak tahun 2012, GPM mulai mentradisi pemberlakuan Rencana Strategis Jemaat. 152

Tahun 2010-2015, kita memasuki tahap II implementasi PIP/RIPP 2002-2015. Sesuai PIP/RIPP itu, ada tiga kegiatan yang harus terlaksana yakni kegiatan pemantapan, pengembangan dan kemandirian. Lompatan cukup spektakuler kita hadapi karena ternyata Tata Gereja dan Peraturan Pokok menginstruksikan tahun 2012 sudah harus ada pemberlakukan Renstra Jemaat. Untuk itu, dalam waktu yang singkat, MPH telah berusaha menyusun perangkat lunak Renstra dengan mengadaptasi teori Renstra yang berlaku umum. Renstra Jemaat kita mungkin dipandang tidak lazim dalam tradisi organisasi modern, tetapi perlu saya tegaskan bahwa Renstra Jemaat GPM memang harus seperti itu karena parameter rasionalisasi pengembangan gereja jelas berbeda dari parameter rasionalisasi pengembangan pemerintah atau organisasi lainnya. Yang penting bahwa Renstra Jemaat itu, telah memberi isi gerejawi, teologi dan iman di dalam seluruh desain pelayanan GPM. Renstra Jemaat harus terjadi seperti itu karena tiap jemaat pun memiliki kapasitas sumber daya dan pergumulan yang berbeda satu sama lain. Tetapi hal berjalan bersama harus dibingkai dalam sebuah Renstra yang sekaligus merupakan dokumen teologi dan iman pertumbuhan jemaat dan GPM secara menyeluruh. Sebab itu, Renstra Jemaat yang nanti disusun kiranya memberi fokus pada prioritas pengembangan GPM sebagai implementasi Visi dan Misi, yakni dengan penekanan pada pengembangan kapasitas gereja secara integral yang meliputi kapasitas umat, pelayan dan kelembagaan.

153

Ketiga, satu pekerjaan rumah di Sidang ke-36 Sinode GPM ialah Peraturan Keuangan dan Perbendaharaan GPM. Saya berharap dalam sidang ke- 33 MPL ini kita sudah bisa lebih intensif dan objektif untuk merumuskan poin-poin pokok yang akan membingkai pengkajian kembali peraturan dimaksud. Sejalan dengan itu, evaluasi dana sharing 70:30 % pun sudah mesti lebih maju dalam hal mengatur lalu lintas keuangan gereja dan akuntabilitas pengelolaannya. Keempat, penting bagi GPM dalam tahun 2010- 2015 mempercakapkan secara serius usaha pengembangan pelayanan di Klasis dan Jemaat. Pemekaran dan pembentukan Kabupaten atau Kecamatan baru memperlihatkan bahwa prospek pembangunan di tiap wilayah berlangsung cukup cepat. Pengembangan kawasan pada pulau-pulau yang dahulu kita anggap jauh cukup pesat. Perusahan trans atau multinasional dan internasional sudah beroperasi di kawasan-kawasan itu yang turut mempertanyakan bagaimana rencana pertumbuhan jemaat. Kita percaya bahwa, gereja bertumbuh karena kasih karunia TUHAN dan Roh Kudus. Lebih lagi kita percaya bahwa TUHAN dan Roh Kudus memampukan kita untuk melihat dinamika bermasyarakat kita. Gereja yang percaya kepada TUHAN dan peran Roh Kudus adalah gereja yang mampu menjawab perkembangan sekitarnya. Sebab itu, saya meminta saudara-saudara untuk melihat Renstra Jemaat dan Pengembangan Klasis juga dalam perspektif pertumbuhan wilayah atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Kecamatan di mana gereja ada di situ. Ini bertujuan agar kita berkembang bersama dan tidak menjadi penonton 154 di dalam perubahan kawasan. Sekaligus melaluinya kita membina kematangan dan kapasitas umat GPM. Apa yang diisyaratkan dalam indikator ketercapain PIP/RIPP perlu pula menjadi referensi dalam menata perubahan jemaat ke depan. Kelima, sejalan dengan pemberlakuan Renstra Jemaat, sudah saatnya pula kita memaksimalkan peluang kerjasama dengan berbagai mitra, baik mitra pemerintah, swasta, maupun badan-badan oikumenis. Salah satu prospek kerjasama yang sedang kita galakkan ialah kerjasama dengan Yayasan Pendidikan Harapan untuk pengembangan pendidikan Kristen dalam hal ini sekolah-sekolah YPPK Dr. J.B. Sitanala. Kita sudah melaksanakannya melalui Sekolah Lentera Harapan di Kompleks Persekolahan Rehoboth Ambon. Dalam tahun 2012 akan dilakukan kerjasama serupa di Haruru, Klasis GPM Masohi dan Tual, Klasis GPM Maluku Tenggara. MPH telah menyusun grand scenario nya termasuk mempersiapkan sekolah-sekolah itu pada saat alih kelola di tahun 2014 nantinya. Kita berharap kerjasama ini dapat mengembangkan kapasitas pengelolaan dan pengembangan sekolah-sekolah YPPK Dr.J.B. Sitanala.

Bapak Gubernur dan Undangan yang Kami Hormati; Seluruh prospek pengembangan GPM yang akan terus dilakoni ke depan memerlukan pula perhatian dan dukungan pemerintah daerah. Kita adalah mitra dalam hal membangun masyarakat Maluku yang maju, mandiri, sejahtera, berbudaya dan religious. Ketika di tahun 2012 GPM mempolakan Renstra Jemaat, itu berarti kosentrasi gereja pada usaha-usaha perbaikan 155 ekonomi melalui optimalisasi kerja dan profesionalisme, peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan akan semakin terfokus karena jemaat-jemaat akan menyelenggarakan program kerja yang sesuai dengan masalah rill di jemaat. Masalah rill itu adalah masalah pemerintah pula. Jadi saya percaya jika dalam semua jemaat terpola dalam sistem kerja Renstra, maka dalam Musrenbangdes dan Musrenbang Kecamatan, pemerintah akan mendapati data-data yang rill dari gereja. Dengan demikian intervensi program pemerintah pun akan kena mengena dengan problematika pokok di masyarakat. Itu pun berarti, GPM semakin memberi kontribusi positif kepada pemerintah daerah. Saya pun percaya bahwa ketika di tahun 2012- 2015 semua jemaat mempolakan Renstra, maka pemerintah akan semakin gampang dalam melakukan strategi pembangunan berbasis pulau-pulau kecil di Maluku. Itu berarti banyak hal bisa ditempuh sehingga pulau-pulau kecil itu akan benar menjadi beranda ekonomi daerah yang maju. Dengan demikian, GPM semakin matang dalam menjalankan peran ganda sebagai gereja dan warga masyarakat di Maluku dan Indonesia.

Bapak Pejabat Bupati Kepulauan Aru Dan Hadirin Yang Saya Hormati; Dinamika seperti itu sudah tentu akan ada pula di Kepulauan Aru ini. Apalagi melalui MPL ini pula, kita akan meresmikan 2 klasis baru di Kabupaten Kepulauan Aru. Itu berarti ke depan gereja sudah dapat dikoordinasikan dalam ruang yang lebih kecil dan 156 efektif sehingga kesulitan-kesulitan pengembangan wilayah yang selama ini ada akan bisa diminimalisasi. Dalam pertolongan TUHAN, semua kendala itu pasti akan bisa diselesaikan. Selain pemekaran Klasis di Kepulauan Aru ini, sudah ada pemikiran dan rencana untuk memekarkan pula beberapa Klasis di Maluku Barat Daya dan Pulau- Pulau Lease. Itu berarti bahwa gereja semakin mantap melangkah untuk mengkonsolidasi umat dan misi gereja secara lebih terarah. Memang untuk bertumbuh harus ada ruang-ruang pertumbuhan baru yang diciptakan. Di Maluku Utara kita sedang berusaha keras untuk meningkatkan kapasitas Klasis-Klasis di sana. Ada banyak soal yang kita hadapi sebagai gereja di bumi Moluko Kie Raha, tetapi GPM akan tetap berusaha memantapkan konsolidasi pelayanan dan meningkatkan kapasitas pelayan serta umat sambil menyelesaikan satu persatu masalah-masalah pelayanan, baik dalam relasi antar-umat beragama, dengan gereja-gereja saudara dan dengan pemerintah daerah di sana. Begitu pula di Pulau Buru. Sebab di Pulau terbesar kedua di Provinsi Maluku ini, GPM telah berhasil membangun jemaat-jemaat Pekabaran Injil yang sebagian besar sudah dilembagakan.

Hadirin Yang Kami Hormati; Semua itu menjadi tugas-tugas pokok GPM yang akan terus dilakukan ke depan. Masih banyak problematik lain dalam 19 cluster problematic GPM seperti tampak pada PIP/RIPP yang perlu ditangani secara serius, terutama mengenai kemiskinan, kesehatan dalam hal ini HIV/AIDS dan Narkotika, asset gereja dan 157 keluarga atau Bina Keluarga. Namun, kita percaya bahwa TUHAN selalu memberi kepada kita waktu untuk kita isi dengan kerja dan misi agar masalah- masalah itu bisa tertangani secara baik. Karena itu, saya meminta semua Klasis dan Jemaat melakukan dengan sungguh-sungguh panggilan bergereja kita di segala aspek. Tahun 2012 nanti kita akan berjalan dalam semangat “membangun kebersamaan” sebagaimana diisyaratkan dalam Sub Tema kita. Perspektif kebersamaan ini harus diimplementasi dalam relasi antar-pelayan, antar-umat, antar-umat beragama, tetapi juga dalam relasi kita dengan semesta ciptaan TUHAN. Mewujudkan kebersamaan, sama artinya dengan membangun persaudaraan sejati yang merupakan tujuan TUHAN dengan gereja di tengah dunia dan masyarakat majemuk. Demikian beberapa pokok pikiran dan pendasaran teologi yang hendak saya sampaikan sekaligus sebagai masukan dalam proses-proses sidang kita saat ini. Tuhan Yesus memberkati kita sekalian.

Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberikan pertumbuhan (1 Korintus 3:6).

Ketua Sinode GPM

Pdt. Dr. John Chr. Ruhulesin, M.Si

158

Pidato Ketua Majelis Pekerja Harian Sinode pada Pembukaan Persidangan XXXIII Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Gereja Protestan Maluku di Tepa Kabupaten Maluku Barat Daya Tahun 2012

GPM adalah gereja yang dinamis, yang selama ini terus berupaya menjawab berbagai problematik pelayanan sampai ke pelosok-pelosok kepulauan Maluku dan Maluku Utara. Gereja yang dinamis adalah gereja yang bertanggungjawab. Maka kunci untuk menjadi gereja yang bertanggungjawab terletak pada kesetiaan para pelayan terhadap amanat pengutusannya, serta partisipasi warga Jemaat dalam konteks imamat Am orang Percaya, kedalam seluruh aktivitas pelayanan gereja. Renstra jemaat dan PROLITA Klasis merupakan instrumen kecil dalam upaya kita menumbuhkan spiritualitas menjadi gereja yang bertanggungjawab atau gereja yang missioner.

Salam Sejahtera bagi kita semua; Assalamu‟alaikum warahmatulahi wabarakatuh; Sambil memuji TUHAN YANG BAIK, saya mau mengajak kita semua bersyukur, sebab semua karya menanam dan menyiram di gereja TUHAN ini terus kita lakukan. Sambil terus berusaha menimbulkan semangat menjadi Gereja yang hidup sesuai visi dan misi GPM 2005-2015.

159

Persidangan ke-34 MPL Sinode GPM yang terselenggara di Tepa ini perlu dipahami dalam beberapa kerangka strategis pengembangan Gereja sesuai dengan perubahan tata gereja dan peraturan GPM Tahun 2010. Untuk kepentingan gereja ini kedepan, saya hendak menggambarkan target pelaksanaan Renstra jemaat dalam kesatuan dengan evaluasi PIP/RIPP GPM, sebab Renstra jemaat adalah salah satu langkah implementasi PIP/RIPP guna mencapai visi dan misi GPM. Tahun 2012 – adalah tahun kedua Implementasi PIP/RIPP GPM tahap dua sekaligus tahun pertama pelaksanaan Renstra jemaat dan Program lima tahunan Klasis (PROLITA) sesuai amanat pasal 29 Tata Gereja GPM. Pada tahun ini, jemaat-jemaat telah memasuki suatu situasi baru bergereja yakni melaksanakan pelayanan secara terencana dan terukur. Sebab itu, bagi jemaat yang dapat menyusun Renstra jemaat, Visi dan Misi pengembangan jemaat diharapkan sinkron dengan Visi dan Misi GPM. Sementara bagi jemaat-jemaat yang belum dapat menyusun Renstra jemaat, diharapkan menyusun program pelayanan sesuai dengan garis besar implementasi PIP/RIPP sehingga Visi dan Misi GPM tetap terlaksana dan jemaat mulai membiasakan diri ke dalam pola kerja Renstra. Salah satu elemen pendukung keberhasilan adalah pembentukan tim penyusun Renstra jemaat dan tim asistensi di tingkat Klasis Tahun 2013 - bagi jemaat-jemaat yang sudah menetapkan Renstra jemaat, dapat merancang program pengembangan sesuai arah kebijakan dalam Renstra jemaat itu. Artinya, ada dinamika bertumbuh yang diperoleh pada tahun itu. Sebaliknya bagi jemaat-jemaat yang di tahun 2012 belum menetapkan Renstra tahun 160

2013-2015, dengan bantuan dari Tim Asistensi Klasis Secara khusus, dalam kaitan dengan tugas MPL ke-34 ini, saya berharap kita menuntaskan Definisi dan Bentuk PROGRAM STRATEGIS, PROGRAM KOORDINATIF dan PROGRAM IMPLEMENTATIF agar ke depan tidak terjadi lagi kekeliruan penafsiran, dan alokasi pelaksanaan kegiatan yang tumpah tindih. Isyarat PIP/RIPP tentang sinkronisasi Bidang-bidang Pelayanan Gereja dalam Kapasitas Kelembagaan perlu menjadi catatan pokok di dalam hal ini. Melalui implementasi Rentra Jemaat dan Prolita Klasis itu, kita harapakan gereja ini semakin mampu menjawab problematik pelayanannya, dan sekaligus mendorong desentralisasi prakarsa gereja secara efektif dan kontekstual. Desentralisasi prakarsa merupakan bukti bahwa gereja bergerak dinamis. Gereja yang dinamis adalah gereja yang mampu menjawab amanat panggilan dan pengutusannya dari TUHAN. GPM adalah gereja yang dinamis, yang selama ini telah menjawab berbagai problematik pelayanan sampai ke pelosok-pelosok kepulauan Maluku dan Maluku Utara. Gereja yang dinamis adalah gereja yang bertanggungjawab. Maka kunci untuk menjadi gereja yang bertanggungjawab terletak pada kesetiaan para pelayan terhadap amanat pengutusannya, serta partisipasi warga. Tahun 2014- adalah tahun evaluasi pelaksanaan evaluasi PIP/RIPP yang diperoleh dari hasil monitoring dan evaluasi renstra jemaat. Sebab itu, dokumen laporan sidang jemaat dan sidang klasis harus secara khusus menggambarkan hasil MONEVA Renstra jemaat. Seluruh hasil MONEVA itu menjadi masukan tentang bagaimana pencapaian Visi dan Misi GPM dalam 161

PIP/RIPP GPM 2005-2015. Pada tahun ini, melalui Balitbang GPM sudah dapat dirancang suatu model dokumen perencanaan GPM yang akan dijabarkan pelaksanaannya pada unit-unit pelaksanaan amanat pelayanan GPM yakni departemen (Tingkat Sinode) bidang (Tingkat Klasis) dan Seksi (Tingkat Jemaat) untuk tahun 2015 – 2025. Dengan demikian dalam tahun 2015, kita sudah bisa memastikan Output, Outcome dan Benefit dari pelaksanaan PIP/RIPP GPM dan Renstra jemaat GPM. Di tahun yang sama pula kita sudah dapat menetapkan Dokumen Perencanaan GPM Tahun 2015-2025. Secara khusus dalam kaitan dengan tugas MPL ke-34 ini, saya berharap kita menuntaskan Defenisi dan Bentuk PROGRAM STRATEGIS, PROGRAM KOORDINATIF dan PROGRAM IMPLEMENTATIF agar ke depan tidak terjadi lagi kekeliruan penafsiran, dan alokasi pelaksanaan kegiatan yang tumpah tindih. Isyarat PIP/RIPP tentang sinkronisasi Bidang-bidang Pelayanan Gereja dalam Kapasitas Kelembagaan perlu menjadi catatan pokok bersama kita. Melalui implementasi Renstra Jemaat dan Prolita Klasis itu, kita harapakan gereja ini semakin mampu menjawab problematik pelayanannya sekaligus mendorong desentralisasi prakarsa gereja secara efektif dan kontekstual. Desentralisasi prakarsa merupakan bukti bahwa gereja itu dinamis. Dan gereja yang dinamis adalah gereja yang mampu menjawab amanat panggilan dan pengutusannya dari TUHAN. GPM adalah gereja yang dinamis, yang selama ini terus berupaya menjawab berbagai problematik pelayanan sampai ke pelosok- pelosok kepualauan Maluku dan Maluku Utara. Gereja 162 yang dinamis adalah gereja yang bertanggungjawab. Maka kunci untuk menjadi gereja yang bertanggungjawab terletak pada kesetiaan para pelayan terhadap amanat pengutusannya, serta partisipasi warga Jemaat dalam konteks imamat Am orang Percaya, kedalam seluruh aktivitas pelayanan gereja. Renstra jemaat dan PROLITA Klasis merupakan instrumen kecil dalam upaya kita menumbuhkan spiritualitas menjadi gereja yang bertanggungjawab atau gereja yang missioner.

Bapak Gubernur yang kami banggakan; Menjadi gereja yang dinamis adalah juga sebuah tanggungjawab sosial GPM dalam turut membangun karakter jemaat yang adalah masyarakat itu sendiri. Di samping itu, GPM Telah bersungguh-sungguh dalam membingkai semangat hidup orang basudara di Maluku melalui berbagai cara. GPM selalu berupaya melahirkan kematangan iman, spiritual dan religiusitas yang terbuka untuk menjawab sekian banyak masalah di dunia dan khusus di Maluku serta Maluku Utara. Semisal, upaya kita bersama menjawab kemiskinan. Bagi GPM, sebagaimana terjelma dalam program pelayanan dan renstra-renstra jemaat selama ini upaya kearah itu di lakukan melalui pendekatan Recovery Cultural; atau penataan kembali dalam bentuk penggalian dan pemaknaan ulang karakter berbudaya jemaat dan masyarakat itu sendiri. Sebab itu Visi Pembangunan Daerah Maluku 2008-2013, yakni : „Mewujudkan Maluku yang Sejahtera, Rukun, Religius dan berkualitas dijiwai Semangat Siwalima berbasis kepulauan secara 163 berkelanjutan‟, menjadi relevan pula dengan Visi dan Misi GPM, „Menjadi gereja yang memiliki kualitas iman dan karya secara utuh untuk bersama-sama dengan semua umat manusia dan ciptaan Allah, mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, damai, setara, dan sejahtera sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah.‟ Bagi GPM, dalam upaya mewujudkan kesejahteraan perlu ada proses pematangan dan penataan kembali mentalitas kerja dan usaha jemaat dengan kemampuan mengelola sumber daya alam lokal yang melimpah di dalam jemaat-jemaat itu. Perubahan mind set dalam kerja dan usaha dapat memacu usaha produktif, dan meminimalisasi ketergantungan kepada para pengijon Itulah sebabnya mengapa infrastruktur transportasi harus dibangun sebagai jembatan ekonomi antar pulau. Tepa dan MBD secara umum adalah sebuah fakta kemiskinan struktural yang terjadi. Karena eksperimentasi pembangunan yang belum maksimal, maka kiranya upaya bapak gubernur mendorong percepatan pemberlakuan UU Provinsi kepulauan adalah sebagai sebuah interupsi yang positif dan berwawasan keadilan. Demikianpun niat bapak Gubernur termasuk melalui penyediaan sarana KMP Pulau Marsela, sekurang-kurangnya telah menjawab kekuatiran kita selama ini di kawasan MBD dan Maluku Tenggara pada umumnya. Pada upaya membangun Religiusitas masyarakat Maluku yang religius dan damai, kami merasa bahwa Recovery Cultural pun menjadi basis yang tidak bisa digeserkan. Untuk itu, GPM memberi apresiasi yang tinggi atas keberhasilan bersama pemerintah dan umat beragama di Maluku 164 menyelenggarakan MTQ nasional ke 24 di Ambon, 6-15 Juni 2012 yang lalu. MTQ adalah sebuah tahapan menuju pada peradaban persaudaraan sejati di Indonesia dan dunia. Juga kesuksesan Pesparawi Mahasiswa Tingkat Nasinal ke 12 di UNPATTI Ambon. Recovery Cultural dalam hal perdamaian dan persaudaraan harus disemangati oleh keyakinan bahwa dalam pranata kebudayaan kita seperti Duan-Lolat, Pela-gandong, Kakawai, Ain ni Ain bahkan yang terjelma dalam faksafah masyarakat seperti Kalwedo mengandung nilai-nilai persaudaraan, tanggungjawab, solidaritas, perdamaian sebagai kebaikan dan kebajikan umum orang Maluku dan Maluku Utara.

Peserta MPL Yang saya hormati, Selain pranata dan kearifan lokal yang sudah dimanfaatkan secara meluas, recovery cultural yang sangat ampuh ke arah itu ialah pembinaan keluarga secara intensif. Sebab keluarga sebagai basis pembentukan karakter dan spiritualitas masyarakat dan jemaat merupakan pangkalan pembinaan karakter yang tidak boleh diabaikan. Di luar keluarga, anak telah berjumpa dengan seperangkat nilai komplimenter dan di dalamnya ada nilai-nilai yang dapat menghancurkan kebersamaan, kesatuan, keutuhan dan perdamaian. Itulah sebabnya sub tema dalam persidangan MPL ke-34 ini dimuarakan ke sana. Yakni memperkuat persekutuan dalam kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat untuk kebersamaan yang bermutu dengan seluruh ciptaan.

165

Selain itu fokus pada keluarga di tujukan untuk mendorong pelaksanaan pembinaan keluarga secara intensif guna mengatasi berbagai penyakit sosial dalam masyarakat mulai dari kenakalan remaja, angka putus sekolah yang masih cenderung tinggi, kekerasan dalam rumah tangga, berjudi, minum minuman keras, perselingkuhan, perceraian, angka bunuh diri di kalangan pemuda dan mahasiswa, pekerja sex komersial di kalangan pemuda, ketergantungan narkoba dan mencegah penyebaran virus HIV/AIDS, serta menanggulangi dan mendampingi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Karena itu, perlu dirumuskan secara bersama model bina umat atau secara khusus model pembinaan keluarga (Binakel) sebagaimana telah diisyaratkan dalam beberapa MPL Selama ini. Saya meminta ini menjadi perhatian LPJ GPM. Kiranya dalam menyusun model Binakel, penting pula diperhatikan beberapa bentuk kearifan lokal yang ternyata sangat efektif dalam meningkatkan persekutuan antar-anggota dan antar-keluarga. Semisal, dalam kelompok masyarakat di MTB dan MBD, Persekutuan Duan-Lolat dan Mata Rumah, atau Rumah Tua, merupakan pranata yang dapat dimanfaatkan demi meningkatkan pembinaan keluarga. Pada kelompok masyarakat Tobelo – Galela di Maluku Utara, “kelompok marga” justru menjadi salah satu kekuatan pembinaan keluarga dan antar-keluarga. Jika ini dimanfaatkan, maka aspek “persekutuan” atau “koinonia transformatif” dapat terbangun dengan baik, dan malah terbuka bagi perjumpaan antar-keluarga, antar-anggota keluarga, dan antar-masyarakat. Keberhasilan kita menata pembinaan keluarga akan menjamin kohesi dan 166 integrasi sosial yang luas dalam jemaat dan masyarakat. Aspek Koinonia transformatif tadi, terbangun dalam jemaat dan masyarakat dengan dasar-dasar pemikiran dan praksis teologi yang benar-benar matang.

Peserta persidangan ke 34 MPL Sinode yang saya kasihi Untuk mengimplementasi Sub Tema itu, maka kualitas pelayanan menjadi jaminan. Karena itu, tahun 2013 harus kita pandang sebagai TAHUN PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN dan HIDUP BERGEREJA. Kualitas umat ditentukan oleh peningkatan taraf hidup dan kecerdasan anak melalui akses pendidikan dan kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak. Kematangan sosial dalam berelasi antar-tetangga dan dengan umat beragama lain, serta kematangan spiritual dalam menjawab berbagai problem beragama dan perkembangan denomi- nasionalisme. Apalagi perkembangan pembangunan dewasa ini, penemuan sumber-sumber mineral baru di Maluku, termasuk “Tambang Emas”, berdampak pula pada pembauran sosial antar-etnik. Sehingga kawasan pulau-pulau yang dulunya homogen, termasuk MBD, akan menjadi kawasan yang heterogen/majemuk. Umat kita sudah mesti disiapkan untuk mengelola kehidupan yang majemuk seperti itu. Kualitas pelayan akan ditentukan oleh kemampuannya berefleksi sosial-teologis dalam menjalankan tugas pelayanan dan di tengah jemaat. Ini memerlukan pelayan yang tanggap, memiliki sense of crisis yang tinggi, peduli atau emphathy dengan tugas dan jemaatnya, serta kreatif dalam mendorong kinerja pelayanan di jemaat. 167

Kualitas kelembagaan diukur melalui bagaimana manajemen pelayanan gereja pun tanggap terhadap krisis lingkungan dan alam. Jadi, bukan hanya bagai- mana melestarikan lingkungan melainkan bagaimana membantu meringankan beban sosial dan ekonomi masyarakat yang terkena imbas bencana alam dan krisis lingkungan. Seperti orang-orang Makedonia diharapkan membantu saudara-saudara di Yerusalem, maka kitapun memerlukan manajemen yang lebih empatik. Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan itu, pemekaran beberapa klasis sesuai amanat gereja sudah mesti dilaksanakan secara sistematis. Kita telah melembagakan Klasis-klasis hasil pemekaran Klasis Kepulauan Aru pada Juli 2012 yang lalu. Pada bulan Desember 2012 inipun kita akan segera melembagakan klasis-klasis baru hasil pemekaran Klasis Pulau Ambon. Hal yang sama pula akan terjadi pada Klasis Pulau-pulau Babar. Dengan demikian, sesuai faktanya pada tahun 2013 minimal telah ada 31 klasis di GPM. Sambil kita terus mendorong dan menata pemekaran beberapa klasis baru lagi yakni Klasis Kisar dan Klasis Pulau-pulau Lease. Dengan demikian diperkirakan sampai tahun 2015 telah ada 33 Klasis di GPM. Artinya, kualitas pelayanan akan mudah dibentuk mengingat jangkauan pelayanan yang semakin efektif. Khusus di Pulau-pulau Babar dan Kisar, saya meminta Pemerintah Kabupaten MBD untuk turut mendorong pertumbuhan pelayanan di Klasis-klasis yang akan dimekarkan ini.

Hadirin yang berbahagia, Dengan peningkatan kualitas, kita berupaya mendorong kinerja semua lembaga dan partisipasi 168 jemaat untuk memantangkan proses menggereja kita. Problem-problem krisis dalam masyarakat tetap menjadi bagian dan tugas bergereja. Peristiwa tanah retak, tanah longsor dan banjir Ambon 1 Agustus 2012, adalah sebuah fakta yang harus dilihat pula dalam manajemen palayanan gereja. Pembentukan Relawan Banjir Ambon Melalui MPH dan PB AMGPM adalah satu hal yang harus ditindaklanjuti; sebab konteks geologi dan topografi serta geografis kepulauan Maluku dan Maluku Utara cukup rentan terhadap berbagai potensi bencana. Kondisi ini perlu kita matangkan dalam desain pelayanan kita melalui MPL ini. Manajemen Gereja yang sadar dan tanggap terhadap krisis harus melembaga di semua aras. Kasus HPH Yamdena juga merupakan salah satu perhatian GPM. Tentang ini saya meminta kita tidak berpolemik terkait dengan ijin dan rekomendasi yang adalah ranah pemerintahan dan prosedur hukum. Saya lebih meminta kita melihatnya dari sisi kelestarian lingkungan, hajat hidup masyarakat, dan kemanusiaan. Agar kita dapat secara bijaksana menanggulanginya dengan tidak mengabaikan atau mereduksi proses-proses regulasi yang ada. Hal yang sama pula harus kita gunakan untuk kebijakan serupa di berbagai tempat lainnya, termasuk di pulau Seram. Efek kerusakan lingkungan yang berdampak pada masyarakat yang perlu menjadi perhatian gereja untuk meminta tanggungjawab sosial perusahaan (company sosial responsible). Karena itu kita berharap segala kebijakan tentang HPH dimana pun harus pertama-tama menunjukan etikat baik perusahaan terhadap pelayanan kemanusiaan. Maluku dan Maluku Utara dewasa ini 169 telah berubah menjadi “raksasa migas” yang baru bangun di Timor. Beroperasinya perusahaan-perusahaan emas dan nikel di Maluku dan Maluku Utara telah turut mengubah ekosistem kepulauan dan hutan endemik sarat berbagai potensi satwa dan flora endemik. Perubahan itu hampir tidak bisa kita elak lagi, sebab terlalu banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Kita hanya berharap agar masyarakat tetap memiliki daya tahan yang tinggi terhadap perubahan-perubahan yang sudah tejadi. Hal yang sama juga dengan pelaksanaan eksplorasi migas di blok Marsela. Untuk itu, kami tetap meminta perhatian bapak Gubernur agar blok Marsela ini memberi dampak keuntungan yang besar kepada masyarakat di lokasi tambang; termasuk dalam hal penyiapan infra struktur pendidikan kejuruan, permigasan, dalam hal ini SMK permigasan di MBD dan MTB. Agar anak-anak MBD dan MTB dapat dididik secara khusus demi memenuhi kebutuhan penyerapan tenaga kerja di perusahaan. Sebab selama ini, kita distigmakan sebagai daerah dimana “tidak ada tenaga ahli“. GPM meminta pihak perusahaan melalui Pemerintah daerah untuk merealisasi salah satu CSR- nya dengan jalan mendirikan dan memperlengkapi SMK-SMK permigasan di MBD dan MTB.

Jemaat se-Klasis Pulau-pulau Babar dan MBD yang saya kasihi; Bapak Bupati MBD, bapak Ketua DPRD MBD dan semua jajaran yang saya hormati. GPM selalu mentradisikan MPL di semua jemaat dalam semua klasis di GPM. Kita memang selalu mencari jemaat-jemaat yang sulit bertumbuh dalam sisi 170 infrastrukturnya. Tujuannya supaya melalui pelak- sanaan agenda-agenda yakni Raker YPPK, MPP AMGPM dan MPL, infrastruktur di jemaat dan daerah itu dapat dirangsang untuk bertumbuh. Kita bersyukur, karena kini kita melaksanakannya di pulau Babar dan MBD pada umumnya sebagai salah satu pulau terdepan yang berbatasan dengan luar negeri. Dalam konteks Babar dan MBD sebagai pulau terluar, maka pelaksanaaan sidang-sidang gereja di sini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana keadaan Babar dan MBD yang sesungguhnya. Kita berharap agar melaluinya, bersama pemerintah kita mendorong percepatan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau terdepan yang selama ini telah aman, damai, hanya mereka belum memperoleh akses kesejahteraan secara meluas. Sebab itu, bukan kami mengatakan pendekatan keamanan tidak relevan, melainkan pendekatan kesejahteraan yang harus menjadi tujuan. Karena itu, bapak Bupati dan Pimpinan DPRD Kabupaten MBD, kami menilai rencana pemindahan ibukota ke Tiakur harus pula diletakkan dalam perspektif itu. Tidak boleh ada satu daerah yang merasa didiskriminasi atau takut didiskriminasi oleh pemerintah. Psikologi masyarakat di MBD ini perlu kita pahami secara baik. Terlalu lama saudara-saudara kita disini “dijajah” oleh kebijakan-kebijakan struktural yang memarginalkan mereka. Karena itu, kita harus memandang positif jika ada reaksi penolakkan atas kebijakan pembangunan tertentu. Itu memberi pesan agar kita benar-benar menunjukan itikad baik kita dalam mengembangkan taraf hidup mereka. GPM mendukung dan menilai positif pemindahan ibukota ke 171

Tiakur, dan mesti diikuti dengan kebijakan pembangunan wilayah-wilayah di kepulauan ini secara merata. Dengan demikian, masyarakat di semua kawasan pulau ini merasa tidak ditinggalkan atau diabaikan oleh pemerintahnya sendiri. Saya meminta jemaat-jemaat di MBD untuk mari menopang dan mendoakan rencana ini demi kesejahteraan kita bersama, apalagi semua bagian pulau di MBD adalah jemaat-jemaat GPM

Hadirin yang saya hormati; Melalui kesempatan ini, perkenankan pula saya meminta perhatian kita atas berbagai agenda pembangunan dan demokrasi yang akan berlangsung di Maluku pada tahun 2013 yang akan datang. Posisi politik gereja jelas bahwa kita memfasilitasi dan mendorong berlangsungnya semua agenda itu secara demokratis. Saya kira itu gerejawi. Kita perlu mencitrakan sebuah suasana perdamaian dan persaudaraan dengan meletakkan tujuan pada pembangunan Maluku secara komperhensif; bukan pada perebutan kekuasaan yang dapat menenggelamkan citra kegerejaan kita. Karena itu pendidikan demokrasi harus diintensifkan dalam rangka mengantisipasi berbagai kecenderungan yang tidak kita harapkan. Sudah jelas bahwa dalam demokrasi Maluku 2013 ada sekian banyak warga GPM yang dicalonkan sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Itu membuktikan bahwa pembinaan umat di GPM berhasil dalam membentuk warga jemaat yang berkarakter politik Injili. Kepada saudara-saudara yang dipercayakan menjadi calon gubernur atau wakil gubernur kita 172 mengucapkan selamat dengan harapan saudara-saudara terlebih dapat memelihara kesantunan dan komunikasi politik yang tidak menciderai siapapun.

Hadirin yang saya hormati , Saya mau berterima kasih kepada semua pejabat dan pimpinan daerah, pimpinan desa yang sudah membantu gereja dalam proses-proses melayani selama ini, dengan harapan bahwa ada korelasi dan sinkronisasi dalam menata tugas bersama di jemaat. Penekanan saya pada kesempatan ini memberikan ucapan terima kasih yang tulus sebagai Gereja kepada bapak Gubernur Maluku, yang selalu setia membantu dalam tugas menanam dan menyiram di GPM. Secara pribadi saya memetik sebuah pelajaran penting dari pelajaran bapak Gubernur mengelilingi pulau-pulau di kepulauan Maluku. Tidak berlebihan jika secara teologis saya sebut itu sebagai “jalan-jalan kerasulan” seorang Karel Albert Ralahalu. Kunjungan Bapak Gubernur ke semua pelosok Maluku bagi kami ibarat jalan-jalan rasul seperti Paulus dan Joseph Kam. Bapak berani menantang ombak dan angin, dengan resiko yang berat. Jemaat-jemaat berjumpa secara langsung dan Bapak pun dapat mendengar secara langsung keluh hati mereka, sambil menjawabnya dalam tindakan nyata. Itu menjadi tanda, bahwa karakter kepemimpinan seperti itu yang diharapkan, termasuk Gereja ini. Kami sangat berterima kasih, sebab tahun ini pula adalah tahun terakhir kebersamaan Bapak dengan kami dalam sidang MPL. Kita berharap agar ke depan bapak menjadi seorang “rasul” yang terus berani 173 berteriak tentang nasib “orang pelosok” di Maluku. Karena itu, sebagai Gereja kami ucapkan pula SELAMAT SUKSES atas semua pelayanan kerasulan “yang sudah Bapak jalankan di pemerintahan. Terima kasih kepada Bupati MBD dan semua staf Pimpinan SKPD juga pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten MBD. Terima kasih atas dukungan yang luar biasa terhadap berlangsungnya semua agenda Gereja di kabupaten ini, terutama di Pulau Babar. Kami mendoakan agar dalam tugas-tugas yang kudus ini, saudara-saudara tetap diberi kekuatan, ketabahan, keberanian untuk melayani semua masyarakat. Terima kasih kepada pimpinan Klasis dan MPK Pulau-pulau Babar, yang telah mengkoordinir semua kegiatan persidangan gerejawi di Klasis ini mulai dari Raker YPPK, MPP AMGPM dan MPL Sinode. Terima kasih kepada panitia pelaksana dan semua masyarakat Tepa dari mana saja datangnya. Sebab saudara-saudara telah menunjukkan bagaimana kecintaan kepada Gereja ini, dan terutama kepada pekerjaan kudus punya TUHAN. Semua warga jemaat GPM dimana saja berada, terutama saudara-saudara anggota jemaat se-Klasis Pulau-pulau Babar dan komunitas “Jurnal Babar” sebuah forum Babar di Facebook, yang dipimpin oleh Ketua Klasis GPM Pulau- pulau Babar, yang sangat gencar mensosialisasikan dan menggalang dukungan dan doa dari semua orang Babar di mana saja berada, bagi suksesnya pelaksanaan Raker YPPK, MPP AMGPM dan MPL Sinode ini. Kita berdoa agar kita semua diberi kekuatan oleh TUHAN dalam melaksanakan agenda-agenda kudus ini.

174

Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberikan pertumbuhan (1 Korintus 3:6).

Tepa 11 November 2012 Ketua MPH Sinode GPM

Pdt. DR. John. Chr. Ruhulessin, M.Si

175

Pidato Ketua Majelis Pekerja Harian Sinode pada Pembukaan Persidangan XXXIV Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Gereja Protestan Maluku di Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2013

Saya ingin menyampaikan rasa hormat kepada segenap basudara Muslim dan juga basudara Katolik dari negeri- negeri tetangga yang berkenan hadir pada acara MPL ini. Kehadiran saudara-saudara sungguh berarti bagi kami untuk membangun persaudaraan sejati demi Maluku yang damai, adil, sejahtera dan penuh persaudaraan. Secara khusus saya sampaikan terima kasih untuk basudara Muslim di Sukaraja yang bersedia menjadi tuan dan nyonya rumah dengan menampung sejumlah anggota persidangan MPL.

Salam Sejahtera bagi kita semua; Assalamu‟alaikum warahmatulahi wabarakatuh; Segala puji syukur patut disampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala Gereja, sebab hanya oleh kasih dan penyertaanNya kita dapat berkumpul di klasis Taniwel kabupaten Seram Bagian Barat ini untuk menggumuli tugas-tugas bergereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di tengah-tengah konteks Maluku dan Maluku Utara dan Indonesia pada umumnya. Kita bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena IA telah memimpin gerejaNya dalam pelaya- rannya dari klasis Tepa pada persidangan MPL ke-34, dan tiba di klasis Taniwel Persidangan MPL ke-35. 176

Kendati dalam terpaan gelombang bahtera GPM terus melaju dan tiba dengan selamat di pelabuhan Taniwel. Betapa Tuhan tetap setia memimpin gerejaNya dari waktu ke waktu dan gereja hanya hidup karena kuasa RohNya dan bergantung sepenuhnya padaNya. Pengakuan ini sekaligus mempertegas tanggung jawab kita sebagai kawan sekerja Allah dalam tugas- tugas menanam dan menyiram. Bahwa tugas-tugas menanam dan menyiram selama setahun ini tidak mungkin dikerjakan sendiri oleh MPH atau sendiri oleh para pimpinan Klasis, tetapi melibatkan semua pihak, semua potensi sumber daya gereja; pendeta, majelis jemaat, sektor, dan unit-unit pelayanan, wadah-wadah pelayanan, pengasuh, anak, remaja, pemuda, laki-laki, perempuan, departeman, biro, yayasan, komisi-komisi, karyawan dan karyawati, serta segenap umat dan warga gereja. Untuk itu, perkenankan saya dengan kerendahan hati menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus untuk dukungan, peran, partisipasi dan kerja keras yang telah kita semua sumbangkan dalam tugas- tugas menanam dan menyiram. Semangat kolegialitas yang menjadi tradisi penting kepemimpinan gereja ini mesti selalu di perkuat, dan ditumbuh kembangkan, sebagai spirit kepemimpinan gereja pada semua aras; sinodal, klasis dan jemaat.

Bapak Gubernur, Hadirin, peserta persidangan, para pelayan dan jemaat yang saya kasihi dan dikasihi Tuhan, Persidangan MPL sebagaimana lazimnya merupakan pertemuan evaluasi tahunan yang dilakukan tiap tahun untuk mengevaluasi kinerja MPH dan seluruh gereja ini selama setahun, evaluasi program dan 177 keuangan serta penyusunan program dan keuangan untuk tahun yang akan datang serta kebijakan- kebijakan lain yang dinilai penting untuk tahun pelayanan 2014. Tahun 2013-2015 di dalam skenario penyelenggaraan pelayanan gereja merupakan tahun- tahun implementasi, evaluasi dan penyusunan dokumen perencanaan gereja untuk tahun 2015-2025. Agenda tahun 2013 yang akan diakhiri merupakan tahun dimana dilaksanakan evaluasi penyusunan renstra jemaat, evaluasi renstra dan prolita klasis, penyusunan kurikulum kependetaan, pemantapan peraturan pokok jabatan kependetaan, penyusunan draft dan pemba- hasan, revisi dan pembenahan peraturan keuangan GPM, evaluasi/penyelarasan tata gereja. Agenda tahun 2014, revisi/ penyelarasan tata gereja, peraturan pokok keuangan GPM, peraturan pokok jabatan kependetaan GPM. Pada sidang sinode ke 37 tahun 2015 diharapkan dapat ditetapkan amandemen revisi/penyelarasan tata gereja GPM, peraturan pokok keuangan dan perbendaharaan GPM, peraturan pokok jabatan kependetaan GPM, PIP dan RIPP GPM 2015-2025. Selain agenda-agenda yang disebutkan di atas, pada MPL tahun 2014 dan 2015 diharapkan dapat dibahas dan ditetapkan pula kebijakan-kebijakan strategis penting lainnya, seperti: format pembinaan atau kehidupan spiritual GPM, ajaran gereja, sejarah GPM, pendidikan formal gereja dan pendidikan yang diselenggarakan oleh gereja (YPPK dan YAPERTI), evaluasi dan perumusan kembali seluruh tata pelayanan, evaluasi dan pembenahan yayasan-yayasan yang dianggap perlu. 178

Hadirin, peserta sidang, pelayan dan jemaat yang dikasihi Tuhan, Kita menyelenggarakan persidangan MPL ketika Dewan Gereja Gereja sedunia baru saja menyelesaikan persidanganya yang ke 10 di Busan Korea Selatan dari tanggal 30 Oktober s/d 8 November dengan tema : God of Life: Leds us to Justice and Peace. Tema ini merupakan sebuah doa sekaligus pernyataan iman gereja-gereja terhadap realitas dan masalah- masalah yang dihadapi; perubahan-perubahan dan ancaman terhadap kehidupan. Perubahan yang multidimensional yang mengancam kehidupan seperti; perubahan konteks geopolitik, perubahan konfigurasi kekuasaan, muncul ketegangan dan konflik-konflik baru, kemiskinan, ketidaksetaraan, krisis keuangan yang berakibat pada manusia, masyarakat, bangsa dan gereja, perubahan iklim secara radikal, pengaruh dalam era teknologi informasi dan komunikasi, media yang berpengaruh pada perubahan sosial dan politik, kebebasan beragama dan intoleransi, politisasi agama, hak-hak azasi manusia, perubahan dalam pola-pola eklesiologi dan ekumenis dengan pertumbuhan gerakan- gerakan pantekosta dan kharismatik secara global, perubahan pola-pola sosial dan respon yang beragam dari gereja-gereja. Dalam konteks perubahan yang sangat cepat dan multidimensional dan yang mempengaruhi gereja– gereja, bagaimana kemudian gereja-gereja dipanggil dan diutus menjadi satu, menjadi gereja yang secara bersama-sama, mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi seluruh ciptaan? Bagaimana GPM dan gereja- gereja di dunia dalam imannya kepada Allah kehidupan 179 memberi perhatian terhadap kehidupan, keadilan dan perdamaian, mengambil bagian dalam arak-arakan bersama seluruh gereja mewujudkan tanggung jawabnya? Gereja-gereja disatukan oleh Allah, hidup dalam relasi denganNya, terpanggil dan diutus memperjuangkan kesatuan gereja, serta keadilan dan perdamaian dalam praksis kehidupan.

Hadirin, peserta persidangan, para pelayan, jemaat yang mulia dan yang saya kasihi, Persidangan MPL ke-34 dibingkai oleh Tema : TUHAN ITU BAIK KEPADA SELURUH CIPTAAN dan Sub Tema: MENCERDASKAN UMAT UNTUK BERSAMA-SAMA MELAKUKAN TUGAS PEMBA- RUAN DALAM KEHIDUPAN BERGEREJA, BER- MASYARAKAT DAN BERBANGSA. Tema Tuhan itu baik kepada seluruh ciptaan, telah dan akan terus digumuli sepanjang lima tahun pergumulan pelayanan. Tuhan itu baik kepada seluruh ciptaan mengharuskan gereja untuk melakukan kebaikan Tuhan itu kepada seluruh ciptaan dalam seluruh gerak dan agenda pelayanan. Sub tema MPL ke-34 memberi aksentuasi pada upaya-upaya mencerdaskan umat untuk bersama- sama melakukan tugas pembaruan dam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan berbangsa. Berbicara tentang pencerdasan mencakup berbagai aspek, baik iman, intelektual, sosial, ekologis maupun karakter, integritas, moral-etik dan spiritual. Pencerdasan secara idiologis, politis, ekonomi, kultural, kepemimpinan maupun pendidikan dan keluarga. Pencerdasan itu, juga tidak mungkin dicapai tanpa penguatan infra- struktur yang diperlukan, seperti: pembenahan pendi- 180 dikan formal gereja, lembaga-lembaga pendidikan gereja dari sekolah dasar hingga perguruan tingginya, serta yayasan-yayasan dan seluruh organnya yang bergerak dalam dunia pendidikan, dan juga kebijakan dan strategi penyelengaraan pelayanan gereja secara menyeluruh Bukan hanya lembaga pendidikan dan lembaga keluarga, tetapi juga penyelenggaraan pelayanan gereja mesti dipersiapkan, ditata, didesain dengan sungguh- sungguh. Tidak mungkin umat cerdas kalau pendidikan tidak terurus dengan baik. Begitu pula, bila keluarga- keluarga hidup dalam kemiskinan, kekurangan gizi, tak mungkin terlahir sumber daya umat yang cerdas. Dengan demikian, keluarga tak mungkin menjadi pelopor dalam upaya-upaya pencerdasan. Demikian juga kalau pelayanan tidak berjalan dengan baik, maka sulit dibayangkan lahirnya umat yang cerdas. Dengan kata lain, ketika keluarga rapuh, pedidikan formal gereja tidak terbenahi dengan baik, lembaga-lembaga pendidikan kita tidak terurus dengan baik dan profesional, pelayanan tidak tertata dengan baik, maka harapan umat yang cerdas, harapan terciptanya sumber daya gereja yang cerdas masih harus menempuh jalan panjang yang berliku. Hanya ketika terciptanya kematangan dan kecerdasan umat dan pelayan, maka gereja dapat berbicara tentang tanggung jawabnya untuk bersama semua komponen lain berperan dalam proses pembaruan gereja, masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu peran gereja dalam proses pembaruan itu adalah, bagaimana gereja mengupayakan pencerdasan pelayan dan umat dalam kehidupan demokrasi dan ketahanan sosio-idiologis, sosio-politik, khususnya 181 dalam masalah-masalah kepemimpinan gereja dan kepemimpinan publik sekarang ini. Hal ini menjadi penting oleh karena tahun 2014 ini, gereja dan masyarakat memasuki peristiwa-peristiwa politik, peristiwa-peristiwa kebangsaan dan kenegaraan yang penting dan menentukan, yaitu pemilihan wakil- wakil rakyat di DPRD I, II, DPR RI, DPD serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pertanyaan- nya, apa yang harus dilakukan gereja; baik dalam upaya pencerdasan umat, maupun dalam peran–peran publiknya? Masalahnya tidak terletak hanya pada hal umat memilih siapa sebagai anggota DPRD atau DPR atau DPD atau Presiden dan wakil Presiden. Akan tetapi lebih dari itu, apakah umat cukup cerdas memahami konstelasi sosial-kemasyarakatan, serta pergeseran konfigurasi kekuasaan sekarang ini dan di masa depan dalam hidup berbangsa dan bernegara? Apa dan bagaimanakah seharusnya kepemim- pinan dan peran-peran publik gereja sekarang ini? Apa dan bagaimana kekuasaan itu semestinya dikelolah secara etik dan moral? Mensikapi masalah-masalah itu, maka selama dua hari di dalam MPL ini akan dilakukan study meeting mengenai kepemimpinan publik dan masalah-masalah agraria. Studi ini dipahami sebagai bentuk pendidikan dan pencerdasan sosial politik gereja.

Hadirin, peserta persidangan dan jemaat yang saya kasihi, Pergumulan gereja saat ini dan ke depan tidaklah ringan. Gereja harus terus membenahi diri menghadapi dunia yang terus berubah, menghadapi 182 perubahan budaya yang berlangsung cepat dan menyeluruh. Bahkan gereja mesti bekerja optimal di tengah ketidakteraturan, dan dunia yang cheotik di era modern dan pasca modern. Dalam situasi semacam itu, gereja mesti tetap terbuka kepada perubahan dan kemajuan dan pada saat yang sama berani melepaskan apa yang dinilai tidak lagi menopang perubahan- perubahan ke depan. Begitu pula para pendeta, para pemimpin, diharapkan tidak boleh merasa lelah, atau acuh tak acuh, atau bahkan mungkin tidak lagi tanggap pada sisi kreatifnya yang kian melemah. Apabila para pendeta, para pemimpin mulai merasa lelah, acuh tak acuh dan tidak lagi kreatif, maka para pelayan , para pemimpin akan menjadi faktor penghambat utama perubahan dan kemajuan gereja. Agar kondisi itu tidak tercipta, maka upaya pencerdasan harus dilakukan. Untuk menjawab tugas-tugas dan panggilan penyelenggaraan pelayanan gereja, mengakhiri tahun pelayanan 2013 dan memasuki tahun 2014 dan 2015 serta keprihatinan terhadap masalah pencerdasan pelayan dan umat, maka ada beberapa pikiran pokok yang harus dikerjakan sebagai berikut: Pertama, penyelarasan/ revisi berbagai regulasi gereja agar berguna untuk mengarahkan gereja ini pada pencapaian visi dan misinya, sesuai rekomendasi dan keputusan-keputusan gereja (Persidangan Sinode dan MPL). Diharapkan tim-tim kerja dapat mempersiapkan draft seperti ajaran gereja, sistem perbendaharaan, draft penyelarasan/revisi tata gereja, peraturan pokok jabatan kependetaan, dll. Kedua, dengan memberikan penekanan pada pencerdasan umat untuk bersama-sama melakukan tugas 183 pembaharuan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, dan dengan mereview agenda-agenda pembaruan gereja, terutama dengan pemberlakuan renstra, maka diperlukan pembenahan kepada seluruh pendidikan formal gereja, dan pendidikan gereja baik yang diselenggarakan oleh YPPK maupun oleh Yaperti GPM. Pembenahan mesti dilakukan secara para- digmatik, baik visi, misi serta komponen-komponen perencanaan lainya. Upaya penataan dan pembenahan ini mesti kita lakukan dengan sungguh-sungguh sebagai tanda kesiapan gereja secara proaktif menjemput perubahan-perubahan masyarakat, di dalam era modern, pascamodern serta kemajuan informasi dan globalisasi. Untuk maksud ini, maka departemen-departemen, yayasan-yayasan diharapkan dapat melakukan langkah- langkah evaluasi dan penyusunan draft-draft yang diperlukan. Ketiga, sadar akan perubahan budaya, perubahan paradigma pelayanan gereja, dinamika perkembangan agama-agama, kemajemukan, perkembangan gereja- gereja, tumbuh dan berkembang ekspresi spiritualitas yang beraneka ragam, melemahnya spiritualitas dikalangan pelayan dan umat, berkembangnya spiritualitas tanpa bersandar pada gereja resmi, tercabiknya kehidupan komunal, maka diperlukan suatu kerangka dasar (format) pembinaan spiritualitas atau kehidupan spiritual gereja yang dapat menjadi payung bagi seluruh pelayanan dan umat, serta yang dapat membingkai seluruh aktifitas pelayanan gereja. Suatu kerangka dasar atau format pembinaan spiritual gereja tentu saja mesti dibangun di atas pendasaran teologi dan eklesiologi gereja dengan tetap sadar 184 keberakarannya dalam tradisi bergereja dan konteks pelayanan yang terus dinamis. Kehidupan spiritual yang mau dikembangkan tidak saja meliputi kompenen- komponen doa, meditasi, Bible study, ritual ibadah, dll, akan tetapi bagaimana integrasi spiritualitas di dalam setiap agenda pelayanan gereja. LPJ dan Fakultas Teologi diharapkan dapat mempersiapkannya. Keempat, gereja dan politik. Masalah ini telah digumuli gereja dari waktu ke waktu. Sejak tahun 2010 melalui sidang Sinode ke-36 telah ditegaskan sikap gereja. Namun, masalahnya tidak selesai hanya pada level perumusan regulasi atau rekomendasi. Akan tetapi dibutuhkan penyikapan yang cerdas terkait tanggung jawab gereja di bidang politik, kemudian bagaimana relasi gereja dan negara. Bagi GPM, politik bukan sesuatu yang tabuh. Politik merupakan ruang pelayanan gereja yang mesti disikapi dengan serius. Gereja terpanggil untuk menyatakan panggilan profetiknya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terkait dengan masalah politik praktis, masalah yang dihadapi adalah bagaimana sikap gereja terhadap para pendeta yang terlibat politik praktis, dengan menjadi calon anggota DPRD atau DPR atau DPD? Bagaimana pula gereja mempersiapkan umat untuk memainkan peran-peran politiknya melalui keterlibatannya dalam lembaga-lembaga demokrasi seperti DPRD, DPR, DPD? Hal ini harus mendapat perhatian serius, sebab pada tahun 2014 gereja dan bangsa akan memasuki event politik yakni pemilihan anggota legislatif (DPRD, DPR, DPD) dan diteruskan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI. Tahun 2014 merupakan tahun politik yang sangat menentukan arah kehidupan bangsa 185 ke depan. Sebagaimana diketahui bahwa tahun 2014 dalam skenario pelayanan gereja akan dilaksanakan juga pemilihan majelis jemaat. MPL diharapkan dapat juga memberi perhatian kepada agenda ini. Gereja membutuhkan kualitas sumber daya majelis jemaat yang memiliki kematangan dan kecerdasan secara paripurnah. Mungkin ini harapan yang terlalu idialistik, tetapi bukan berarti gereja tidak dapat mengusahakan hal itu dalam sebuah desain perencanaan rekruitmen majelis. Oleh karena itu, harus ada agenda-agenda gereja melalui persidangan MPL ini. Apa yang harus gereja lakukan? Berkaitan dengan masalah para pendeta yang terlibat anggota legislatif, sikap gereja sudah jelas, yaitu keputusan Persidangan Sinode ke 36, bahwa pendeta yang terlibat politik praktis harus memilih antara tetap menjadi pendeta atau menjadi anggota legislatif. Keputusan ini mungkin perlu diterjemahkan secara konkrit melalui petunjuk teknis pelaksanaan pemberhentian. MPL diharapkan dapat memikirkannya. Sedangkan dalam hubungan dengan peran politik umat, gereja diharapkan dapat melakukan pendampingan dan pencerdasan politik melalui pendidikan politik umat. Pendampingan dan pencerdasan melalui pendidikan politik ini dapat dilakukan secara sinodal, klasis atau jemaat. Terkait dengan pemilihan majelis jemaat, diharapkan MPL dapat melihat masalah-masalah yang mungkin atau diprediksi akan dihadapi. Selain itu, sebelum pemilihan majelis, diharapkan untuk dilakukan sosialisasi peraturan pemilihan, dan penguatan jemaat terhadap masalah-masalah pelayanan gereja secara 186 keseluruhan. Diharapkan melalui agenda-agenda sosialisasi, pendampingan dan pengkondisian jemaat, akan lahir potensi sumber daya manusia yang bersedia menjadi majelis dengan motivasi yang kuat dan memiliki kecerdasan dan kematangan. Kelima, masalah hubungan GPM-GMIH di Maluku Utara. Saya perlu menandaskan hal ini secara khusus karena sejak tahun 1999, pasca konflik sosial dan pasca pemekaran propinsi Maluku dan Maluku Utara maka eksistensi GPM di Maluku Utara memasuki sebuah babakan baru. Hubungan GPM-GMIH mengalami pasang surut seiring dengan dinamika sosial politik di Maluku Utara. Kita pernah bersepakat untuk tidak mendirikan jemaat-jemaat di Halmahera dan sebaliknya, GMIH tidak akan mendirikan jemaat-jemaat di luar Halmahera. Namun, faktanya saat ini sudah ada kurang lebih 9 jemaat GMIH di luar Halmahera yakni di Bacan dan Obi serta Ternate. Bagaimana kemudian Piagam Saling Mengakui dan Menerima antara GPM dan GMIH yang sudah disepakati dapat menjadi payung dalam hubungan GPM –GMIH ke depan? Keenam, masalah-masalah agraria, seperti masalah-masalah pertambangan, HPH, batas-batas tanah, masalah-masalah tanah ulayat, akibat-kibat perubahan iklim dan pemanasan global yang berakibat pada bencana-bencana banjir, naiknya permukaan air laut, dan sebagainya masih terus menjadi kepedulian gereja. Dunia sekarang ini sedang bergerak dari persoalan-persoalan industrial kepada persoalan- persoalan ekologis. Karena itu, diharapkan MPL dapat merumuskan agenda konkrit untuk masalah-masalah ekologis. Bagaimana peran advokasi gereja terhadap 187 masalah-masalah lingkungan? Gereja mesti ikut secara aktif menopang mereka yang bekerja dalam advokasi masalah-masalah agraria dan ekologis. Studi mengenai tanah-ulayat diharapkan dapat pula mempercakapkan masalah-masalah agraria yang dihadapi. Ketujuh, masalah keadilan dan perdamaian tidak pernah selesai dari perhatian gereja. Gereja harus terus mengupayakan keadilan dan perdamaian. Perdamaian sejati tidak akan tercapai tanpa keadilan. Perhatian dan keprihatian gereja atas masalah-masalah keadilan dan perdamaian didasarkan pada penghayatan imannya kepada Allah kehidupan, yang memanggil dan mengutusnya untuk tugas itu. Kepedulian dan perjuangan untuk keadilan dan perdamaian sejati selalu mensyaratkan gereja untuk membangun relasi kemitraan yang kritis dengan kekuasaan. Oleh karena bila kekuasaan di salah-gunakan dapat mengakibatkan ketidak adilan dan ancaman terhadap perdamaian. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa masalah-masalah ketidak adilan dan ancaman terhadap perdamaian yang dihadapi dalam skala lokal juga diakibatkan oleh berbagai korporasi perusahaan-perusahaan multi- nasional. Ada banyak masalah-masalah ketidakadilan dan ancaman terhadap kehidupan dan kemanusiaan dihadapi umat manusia. Sebut saja misalnya, penyakit- penyakit sosial: obat-obat terlarang, narkotik, HIV- AIDS, alkoholik, perceraian, kemiskinan, marginalisasi, konflik dan kekerasan yang disebabkan secara struktural dan sistemik. Begitu pula ancaman terhadap kemanusiaan karena ketidakadilan juga terjadi dalam kebebasan beragama, intoleransi, dll. 188

Masalah perdamaian menjadi masalah penting bagi umat manusia, tak terkecuali bagi kita di Maluku. Gereja dan agama-agama di Maluku dalam kesadaran pluralisme, dan kesadaran orang bersaudara, terus terpanggil dan tertantang untuk membangun dan meningkatkan kualitas hidup damai dalam perspektif orang basudara. Dalam hubungan ini, dialog dan kerjasama lintas masyarakat, lintas agama perlu terus dibangun, diperkuat dengan agenda-agenda konkrit. Selain itu, gereja perlu memperkuat perdamaian dan persaudaraan sejati melalui pengembangan dan penguatan kearifan-kearifan lokal, melalui kerjasama- kerjasama konkrit pada masalah-masalah keadilan dan perdamaian. Kedelapan, masalah kerjasama lintas gereja, lintas agama, dalam semangat dan spirit oikumenis dan persaudaraan sejati masih terus menjadi kepedulian dan keprihatinan GPM. Bagaimana kemudian kerjasama ini diperkuat dengan memberi perhatian tidak hanya pada agenda-agenda ritual tetapi agenda-agenda sosial bersama yang menyentuh masalah-masalah kema- nusiaan bersama seperti, penanggulangan bencana, pemulihan korban-korban HIV AIDs, narkoba, dll. Kesembilan. Masalah pastoralia atau penggem- balaan (pendampingan) adalah masalah yang penting dan harus mendapat perhatian seluruh gereja ini. Harus disadari dan diakui kelemahan gereja ini pada masalah pastoralia. Sementara umat dalam berbagai kategori pelayanan sangat membutuhkan pastoralia dan pendampingan serta penguatan. Berbagai masalah yang dihadapi umat, diduga karena lemahnya aspek pastoralia sebagai salah satu penyebabnya. Agenda-agenda 189 pastoralia gereja yang terbatas pada kegiatan-kegiatan kunjungan akhir tahun atau menjelang hari-hari tertentu tidak cukup dan tidak efektif lagi. Begitu pula penguatan atau pastoralia umat hanya melalui khotbah- khotbah sangat tidak cukup dan tidak efektif. Oleh karena itu, diharapkan seluruh komponen gereja pada semua aras pelayanan, sinode, klasis dan jemaat dengan seluruh perangkat pelayanan dapat mengembangkan agenda-agenda pastoralia/ penggembalaan dan pendampingan secara rurtin, tidak terbatas waktu-waktu tertentu. Aktifitas dan kinerja para pelayan dan majelis di jemaat harus diperkuat pada pastoralia/ penggembalaan dan pendampingan umat. Untuk itu perlu penguatan kapasitas pastoralia, perlu pencerdasan pastoralia. Diharapkan pengorganisasian pelayanan di klasis dan di jemaat-jemaat dapat dikoordinasikan dengan baik. Salah satu agenda penting terkait dengan itu adalah agenda-agenda pemekaran dan pelembagaan jemaat-jemaat yang sudah disepakati dan yang akan dilakukan, harus diprogramkan segera, agar pelayanan jemaat dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Dalam hubungan dengan penguatan dan pencerdasan kapasitas pastoralia ini saya berharap LPJ dan Fakultas Teologi dapat memikirkan dan mempersiapkannya. Fakultas Teologi UKIM dapat mengembangkan program khusus bagi para pendeta, khusus pada penguatan kapasitas dan kecerdasan pastoralia. Melalui sidang MPL ini, dalam tuntunan RohNya dapat dirumuskan pikiran-pikiran cerdas dan bijak, agar dengannya dapat mengarahkan pelayanan menuju umat yang makin cerdas, matang, mandiri dan dewasa dalam segala aspek kehidupan. 190

Pada kesempatan ini saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak Gubernur beserta jajarannya. Bapak Pj. Gubernur, Bapak Saud Situmorang selamat datang di Maluku. GPM akan menjadi partner yang fungsional dalam menopang tugas- tugas Bapak demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh rakyat Maluku. Kepada Forum koordinasi Propinsi Maluku, Bapak Panglima dan Bapak Kapolda dan seluruh jajaran sampai Polsek, Babinsa, saya menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kemitraan selama ini. Bapak Bupati Seram Bagian Barat dengan segenap jajarannya. Pimpinan dan anggota DPRD SBB, saya sampaikan terima kasih atas dukungannya demi terlaksananya MPL ini. Kepada pimpinan umat, saya haturkan terima kasih untuk kebersamaan selama ini. Kebersamaan menjadi kekuatan untuk kemanusiaan sejati dan kemaslahatan segenap masyarakat Maluku. Camat, Muspika, bapak- bapak raja, para pelayan, saniri, ketua majelis, masyarakat Uweng Gabungan, saya menyampaikan terima kasih yang tulus menjadi tuan dan nyonya rumah MPL. Saya ingin menyampaikan rasa hormat kepada segenap basudara Muslim dan juga basudara Katolik dari negeri-negeri tetangga yang berkenan hadir pada acara MPL ini. Kehadiran saudara-saudara sungguh berarti bagi kami untuk membangun persaudaraan sejati demi Maluku yang damai, adil, sejahtera dan penuh persaudaraan. Secara khusus saya sampaikan terima kasih untuk basudara Muslim di Sukaraja yang bersedia menjadi tuan dan nyonya rumah dengan menampung sejumlah anggota persidangan MPL. Panitia Pelaksana Sidang MPL yang sudah bekerja keras demi suksesnya 191 event gerejawi ini, saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang tulus. Tuhan memberkati saudara- saudara dan keluarga. Kepada semua peserta persidangan MPL ke-35, selamat bersidang. Kita sudah ber- pengalaman dalam ber MPL, karenanya kita dapat menyelesaikan persidangan ini tepat waktu, dan menghasilkan keputusan-keputusan yang bernas, jitu dan berbobot. Semoga Tuhan Yesus Kristus sang Kepala Gereja memberkati Bapak/Ibu/Sdr/I semua, sambil kita terus bersatu dan melayani dalam semangat motto GPM: Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (I Korintus 3:6).

Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberikan pertumbuhan (1 Korintus 3:6).

Ketua Sinode GPM

Pdt. Dr. John Chr. Ruhulesin, M.Si

192

Pidato Ketua Majelis Pekerja Harian Sinode pada Pembukaan Persidangan XXXIV Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Gereja Protestan Maluku di Lafa Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2014

Kita telah mendorong pematangan hidup persaudaraan; artinya usaha Peace and trust building sejak tahun 2005 telah membawa kita masuk level menjadi gereja untuk „orang lain‟ (being the church for the other). Kita pun sudah melakoni teologi pertumbuhan (The growing theology) sebagai sebuah kesadaraan sejarah pertumbuhan GPM yang sudah melayari lautan pekabaran Injil empat abad lebih dan menjadi Gereja Bagian Mandiri selama 79 tahun.

Salam Sejahtera bagi kita semua; Assalamu‟alaikum warahmatulahi wabarakatuh; Hari ini saya hendak mengajak kita menimba sebuah makna teologi dari dua tahun penyertaan Tuhan, sang Kepala gereja, pada pergumulan MPL Sinode GPM di Bumi Nusa ina. Makna teologi tersebut erat terkait dengan pengakuan iman kita, bahwa: „Tuhan itu baik kepada semua ciptaan‟. Esensi pengakuan iman itu terpintal dalam refleksi identitas sebagai gereja pulau- pulau yang dihidupi oleh jemaat-jemaat di dalam satuan-satuan kultural sebagai orang Maluku yang terpancar dari Nusa Ina ini. Kesadaran yang terbangun dari dimensi ini ialah bahwa proses dan dinamika pelayanan ber-GPM perlu menumbuhkan rasa cinta dan 193 memiliki yang kuat kepada gereja ini dan panggilan kudus dari Tuhan kepada semua pelayan dan umat. Pada dimensi itulah, maka rasa keterpanggilan dan memiliki (sense of calling and belonging) selalu diupayakan melalui seluruh aspek tugas bergereja. Tekad ke arah itu kita dalami melalui upaya mencerdaskan umat sepanjang tahun 2014, dan kini akan kita kembangkan dengan menggerakkan dimensi yang hakiki dari rasa cinta kasih dan keterpanggilan itu yakni, „spiritualitas‟ sebagai umat dan pelayan. Oleh sebab itu, saya mau mengajak kita bersyukur dan memuji-muji Tuhan, yang hanya oleh kemurahanNya saja kita terpelihara dan dapat berjumpa di Lafa – negeri yang dalam definisi budayanya berarti „dua berusaha saling melindungi‟ – laksana mama dan papa melindungi anaknya. Bagi saya, Lafa tidak sekedar menunjuk pada suatu lokus sosial, tempat pelaksanaan MPL-36. Lafa adalah sebuah falsafah baru bahwa, pencerdasan umat merupakan sebuah upaya kritik sosial. Kita pernah dipengaruhi oleh paham-paham sosial dan keagamaan yang rapuh serta menghancurkan kebersamaan persaudaraan kita. Oleh kritik itu, maka kini Lafa adalah epicentrum baru dari spiritualitas belarasa, yakni spiritualitas yang membimbing kita untuk membebaskan diri dari paham dominasi ke paham persaudaraan; spiritualitas „hidup bersama‟.

Hadirin yang berbahagia, Kita sadar bahwa tugas gereja adalah menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di dunia, berupa kasih, keadilan, perdamaian, persaudaraan dan keutuhan ciptaan Tuhan. Selalu kita pahami bahwa, 194 gereja yang hidup adalah gereja yang mampu menjalankan amanat panggilan dan pengutusan dari Tuhan. GPM adalah gereja yang telah hidup dalam kasih karunia Tuhan, sebab karya menanam dan menyiram telah ditumbuhkan Tuhan dan justru di dalam krisis. Sampai saat ini, saya yakin kita sudah menteologikan tugas itu dengan penuh hikmat Roh Kudus. Kita telah mendorong pematangan hidup persaudaraan; artinya usaha Peace and trust building sejak tahun 2005 telah membawa kita masuk level menjadi gereja untuk „orang lain‟ (being the church for the other). Kita pun sudah melakoni teologi pertumbuhan (The growing theology) sebagai sebuah kesadaraan sejarah pertumbuhan GPM yang sudah melayari lautan pekabaran Injil empat abad lebih dan menjadi Gereja Bagian Mandiri selam 79 tahun. Saya percaya bahwa Tuhan sudah memberi pertumbuhan di berbagai aspek pelayanan GPM. Tahun 2015, kita akan memasuki delapan dekade menjadi gereja yang mandiri. Artinya, sebagai umat dan pelayan kita harus yakin bahwa Tuhan telah menumbuhkan semua benih yang kita tanam dan siram selama ini. Dengan mengatakan telah terlembaganya 32 Klasis GPM, saya tidak bermaksud bahwa pertumbuhan terjadi pada sisi institusi; saya justru memaknainya sebagai semakin luasnya lahan yang harus kita tanami dan sirami terfokus, intensif dan belajar untuk setia dan tekun sebagai gereja yang meresponi panggilan Tuhan. Sisi pertumbuhan lainnya ialah konsentrasi kita selama kurun waktu 2005-2015 dengan PIP/RIPP GPM sudah menumbuhkan aspek-aspek penting dalam pelayanan GPM. Desentralisasi prakarsa yang terejewantah dalam Renstra Jemaat dan Prolita Klasis adalah potret 195 pertumbuhan, karena jemaat telah menteologikan diri dan pelayanannya sendiri, dan merumuskannya menjadi kebutuhan melalui program pelayanan. Pada aspek itu, Tuhan sudah memberi kepada kita jemaat yang matang dan mandiri. Koinonia sebagai bentuk kebersamaan sebagai gereja semakin bertumbuh, baik antar jemaat tetapi juga dalam menanggulangi problematika-problematika umat yang memerlukan peran serta jemaat dan warga gereja profesi. Ada hal yang penting pada sisi ini, yakni bagaimana membangun mata rantai koinonia secara lebih sinergis dan fungsional. Disitulah perlu ada spiritualitas yang kuat. Jadi dalam pertumbuhan itu, kita perlu terus membarui diri. Semangat ecclesia reformata semper reformanda yang kembali kita gemakan dalam HUT ke 79 GPM tahun 2014 inilah yang terus menggelisahkan kita.

Hadirin Yang saya Hormati, Sampai pada titik itu, maka MPL ke-36 ini dilakukan dalam tuntutan tema : „Tuhan itu baik kepada semua ciptaan‟ (Maz. 145:9); dan Sub Tema: „Memperkuat Spiritualitas untuk Pembaruan Gereja, Masyarakat dan Bangsa‟ (Kel. 3:9-10). Spiritualitas di sini dimaknai bukan sebatas bagaimana seseorang membina hubungan dengan pribadi Tuhan dalam wujud berdoa dan beraskese. Spiritualitas adalah dorongan yang melahirkan gaya hidup. Sebab sikap asketis pun selalu terbuka ke arah dunia (The worldly ascetism). Maka spiritualitas yang dijadikan gaya hidup adalah spiritualitas yang mendorong gereja untuk menjadi pembawa keadilan, perdamaian, kesejahteraan, dan 196 keutuhan ciptaan. Warga gereja dan pelayan yang memiliki spiritualitas semacam ini akan sungguh- sungguh melayani Tuhan dan gerejaNya serta memberi kontribusi bagi kemaslahatan rakyat dan bangsa. Belajar dari panggilan Musa membebaskan orang Israel pada Keluaran 3:9-10, maka spiritualitas itu diperlukan karena penderitaan umat sudah terlalu berat. Harus ada usaha serius, sungguh-sungguh, sebuah intervensi kemanusiaan langsung, untuk menghadirkan pembebasan. Kita perlu merumuskan bentuk dan sifat spiritualitas gereja yang diperlukan guna mendorong arah pembaruan GPM ke depan. Kita sudah tidak bisa berdiam diri, sebab dari teks Keluaran 3: 9-10 itu, Tuhan pun sudah tidak mau berdiam diri melihat penderitaan umatNya. Melalui penguatan spiritualitas, kita dimam- pukan untuk terus melakukan tugas pembaruan gereja, masyarakat dan bangsa. Tugas ini tidak pernah berakhir, selama kita masih berada dan berziarah di bumi ini. Spiritualitas itu semakin teruji ketika gereja ambil bagian dalam berbagai problematika kemasyarakatan dan kebangsaan. Gereja tidak sibuk dengan dirirnya sendiri atau menjadi selfie, melainkan menjadi gereja untuk orang lain. Kita semakin didesak oleh berbagai problematik kemanusiaan dan kemasysrakatan yang adalah problematika gereja dan bangsa. Pada kesadaran itu, maka bagi saya, ada dua kutub universal yang perlu menjadi bagian dari diskursus bergereja melalui MPL ke-36 ini. Pertama, empat isu pokok oikumene yang tercetus melalui sidang raya ke-16 PGI di Nias, yakni Kemiskinan, Ketidakadilan, Gerakan Radikalisme dan 197

Krisis Lingkungan Hidup. Mengenai kemiskinan, kita harus mendorong terus program pemberdayaan ekonomi dengan fokus pada usaha peningkatan kedaulatan pangan melalui pangan lokal dan spatial daerah. Ini pun bisa terkorelasi dengan tekad kita untuk mencegah kerusakan lingkungan terutama hutan, sebab hutan adalah satuan ekonomi yang didalamnya ada dusun dan petuanan dati milik masyarakat. Jika satuan ekonomi ini terpelihara maka kemiskinan teratasi. Sementara problem-problem ketidakadilan harus pula kita jawab dengan mendorong terus tugas profetik gereja untuk terus menegakan kebenaran dan keadilan dengan meningkatkan peran warga gereja di semua level. Optimalisasi karya dan pelayanan mereka di tengah masyarakat dan bangsa. Khusus mengenai gerakan radikalisme agama, saya harap supaya melalui MPL ini kita bisa memikirkan model-model diskursus agama-agama yang lebih transformatif. Kita sudah harus bergeser dari sekedar dialog dan kerjasama ke level pendidikan perdamaian, dengan memberi aksentuasi pada kurikulum pendidikan perdamaian dalam lembaga pendidikan formal gereja dan pembinaan umat atau pembinaan keluarga (Binakel). Keempat isu itu telah menjadi „santapan pelayanan‟ GPM yang teraktualisasi dalam PIP/RIPP dan diejewantahkan dalam Renstra Jemaat pada kurun waktu 2010-2015. Artinya, GPM telah ada di depan dalam proses mengatasi isu-isu oikumene tersebut. Karena itu, saya mintakan agar kita memberi fokus pada evaluasi pelaksanaan PIP/RIPP 2005-2015, serta Renstra Jemaat dan Prolita Klasis 2012-2015. Maka salah satu agenda pokok MPL ini ialah evaluasi dokumen 198 perencanaan tersebut guna mendapat masukan bagi penyusunan dokumen perencanaan yang baru, yakni PIP/RIPP GPM 2015-2025. Kedua, gerak cepat pemerintah Republik Indonesia, dengan „Revolusi Mental‟ adalah suatu hal yang harus diresponi. Bagi GPM, „revolusi spiritual‟ adalah sesuatu yang jauh melebihi itu. Dengan menjadikan kejujuran, kesantunan, tanggungjawab, pengabdian, pelayanan, sebagai gaya hidup. Maka niscaya kita membentuk manusia dan pemimpin yang militan untuk membantu masyarakat dan bangsa. Secara khusus mengenai percepatan pembangunan kemari- timan dengan proyek Poros Maritim. Saya mau mengajak kita untuk tidak latah mengatakan bahwa proses maritim itu cocok dengan keadaan kewilayahan Maluku dan Maluku Utara. Karena poros maritim bukanlah soal cocok atau tidak keadaan kewilayahan kita. Poros maritim adalah sebuah prospek pembangunan yang harus ditempatkan terlebih dahulu pada usaha membangun karakter manusia pekerja (homo faber). Artinya, manusia Maluku dan Maluku Utara, atau warga dan pelayan GPM harus terlebih dahulu dibangun untuk memiliki karakter yang kuat, „tahan ombak‟ dan „toma arus‟ untuk menggeserkan berbagai stigma sosial yang selama ini membuat kita tertinggal.

Bapak Wakil Gubernur yang kami hormati, Kami berterimakasih atas langkah cepat Pemerintah Provinsi Maluku untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat secara khusus Menteri BUMN dan Menteri Kelautan dan Perikanan. 199

Bagi kami, langkah itu harus dilanjutkan dengan mempertegas potensi sumber kekayaan alam laut dan pesisir di Maluku, dan juga Maluku Utara. Kita perlu membentuk masyarakat partisipatif, yaitu masyarakat pesisir dan kepulauan yang dapat menjadi pelaku ekonomi di wilayah masing-masing. Karena itu, sub sektor koperasi dan UMKM sudah harus dikembangkan ke pelosok pulau-pulau dengan mendorong terbentuknya perkampungan nelayan yang profesional dan modern. Tanpa itu, maka kita akan terus menjadi penonton termasuk di era kemajuan Poros Maritim. Pemerintah daerah harus mendorong Perguruan Tinggi untuk mempersiapkan kualitas SDM yang handal di bidang industri kelautan dan perikanan. Apakah mungkin perkembangan UKIM sudah harus ke arah itu? ini memerlukan perenungan yang mendalam oleh Yaperti dan UKIM. Maluku memerlukan langkah cepat dan strategis pada sub sektor kelautan, pertanian, kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Namun, pengelolaannya harus sesuai dengan kearifan lokal dan keadaan pulau- pulau serta tidak meninggalkan efek kerusakan global kepada seluruh umat manusia. Kepada pemerintah Provinsi Maluku, DPRD Provinsi Maluku, Pemerintah di semua Kabupaten/Kota, gereja ini merasa perlu untuk terus meminta dilakukannya kajian-kajian yang integratif, dengan fokus pada hak masyarakat adat dan keseimbangan ekosistem dalam penerapan berbagai proyek pembangunan.

200

Hadiri yang saya hormati! Saya meminta agar MPL ini dapat mempercakapkan berbagai hal yang strategis dalam tahun pelayanan 2014 ini, yakni: 1. Ada beberapa tugas pokok yang harus dituntaskan percakapannya di MPL ini, dan akan dilanjutkan dalam Konsultasi Studi Gerejawi di tahun 2015 menyongsong Sidang Sinode tahun 2015 antara lain: a. Konsep Tata Gereja GPM, dalam hal ini dokumen revisi b. Konsep Peraturan Pokok GPM, sebagai turunan dari Tata Gereja c. Konsep Peraturan Perbendaharaan dan Keuangan GPM, yang perlu dirumuskan dan dipercakapkan secara intens termasuk untuk memberi posisi legalis terhadap pemberlakuan Dana Sharing 70:30 yang sudah diberlakukan sejak tahun 2008. d. Evaluasi PIP/RIPP GPM 2005-2015, sebagai dasar dan asumsi perumusan dokumen PIP/RIPP GPM 2015-2025. e. Draft PIP/RIPP GPM 2015-2025, sebagai acuan kerja bagi Balitbang GPM. 2. Posisi strategis Departemen, Non-Departemen, Yayasan Gerejawi dan Badan Usaha Gereja, terkait dengan pelaksanaan Raker serta kewenangan MPL; agar selaras dengan ketentuan Undang-undang yang secara khusus mengenai Yayasan dan/atau bidang tugas Yayasan tersebut. 3. Konsultasi Studi Gerejawi (KSG) adalah forum konsultasi dan studi yang sudah harus diagendakan, dengan tujuan untuk membahas semua dokumen 201

strategis yang akan ditetapkan di Sidang Sinode tahun 2015. Terhadap hal ini, kami berharap agar semua Tim yang telah disusun oleh MPH dapat menuntaskan tugasnya sebelum KSG dimaksud.

Di tahun 2015, dalam kesiapan kita untuk menuntaskan agenda-agenda pokok gereja itu, kami pun hendak menyampaikan kepada seluruh warga gereja agar mensukseskan pelaksanaan MTQ Provinsi di Seram Bagian Barat, Piru dan Pesparawi Tingkat Nasional di Kota Ambon. Kami berterima kasih untuk semua dukungan berbagai pihak dalam pelaksanaan tugas-tugas bergereja selama ini. Secara khusus, dalam kaitan dengan pelaksanaan MPL ini perkenankan atas nama gereja kami menyampaikan terima kasih kepada: Pemerintah Provinsi Maluku, untuk dukungan dan kehadirannya dalam semua agenda gereja, termasuk pada iven MPL saat ini; Ketua DPRD Provinsi Maluku, sekaligus ucapan selamat dan doa untuk semua tugasnya; Pemerintah provinsi Maluku Utara atas kerjasama dan respons positif terhadap tugas-tugas gereja di Maluku Utara; Rekan-rekan pimpinan umat beragama di Maluku dan Maluku Utara, serta pada semua Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Timur atas terselenggaranya semua iven gerejawi tahun 2014, baik MPP ke- 28 AMGPM di Elnusa, maupun Raker ke-12 YPPK di Hatu dan MPL ke-36 di Lafa; Para pimpinan Klasis dan semua Pimpinan Jemaat di seluruh Klasis dan Jemaat GPM; Pimpinan SKPD dalam lingkup Pemerintah Provinsi Maluku, Maluku Utara dan Kabupaten Maluku tengah dan Seram Bagian Timur, Kepala kecamatan Tehoru, Telutih dan Siwalalat 202 serta semua pemerintah negeri; Panitia Pelaksanaan MPL ke-36 Sinode GPM dan semua masyarakat Lafa serta Telutih. Akhirnya, kami mengucapkan selamat bermusyawarah kepada semua peserta; serta selamat berbahagia kepada seluruh warga jemaat atas kasih karunia Tuhan yang terbagi di dalam hidup kita semua di sini. Sekian dan terima kasih; Shalom!

Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberikan pertumbuhan (1 Korintus 3:6).

Lafa, Minggu, 23 November 2014

Ketua Sinode

Pdt. Dr. John Chr. Ruhulessin, M.Si

203

MPH Sinode GPM Periode 2010-2015

Gereja Maranatha Ambon

204

BAB IV PIDATO-PIDATO HARI ULANG TAHUN GPM

---- Perjalanan bersama di tengah masyarakat Maluku dan bangsa Indonesia, menempatkan GPM dalam suatu tanggungjawab untuk mewujudkan suatu tata kehidupan yang harmonis, rukun, toleran, manusiawi dan sejahtera. Karena itu, GPM melakukan suatu evaluasi kritis terhadap seluruh aksentuasi pelayanannya, dan menyadari bahwa paradigma institusionalisasi atau usaha memperkuat institusi adalah suatu bentuk sikap dan perspektif melayani yang justru membuat gereja mengabaikan persoalan- persoalan misi secara mendasar. Kesadaran itu lahir dari suatu refleksi bahwa GPM harus dapat menjadikan dirinya alat perjuangan kemanusiaan; menjadi suatu gereja yang memiliki concern kemanusiaan yang tinggi, yang etis Injili----

(cuplikan naskah Pidato HUT GPM ke-72 tahun 2007)

Tidak semua pidato HUT GPM termuat pada bagian ini. Ada kendala menemukan arsip pidato-pidato tersebut. Olehnya “hanya” enam buah pidato yang disertakan di sini yakni tahun 2007, 2010, 2012, 2013, 2014 dan 2015.

Naskah pidato 2007 dibacakan dan disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Ambon. Sedangkan lainnya

205 dibacakan oleh Ketua Sinode GPM saat Ibadah Syukur HUT GPM.

Pidato-pidato ini menggambarkan visi GPM yang luas, yang tidak terbatas pada dirinya sendiri. Para pembaca akan menemukan refleksi dan proyeksi yang jauh ke depan, menyentuh berbagai dimensi kehidupan. Nampak melalui pidato-pidato ini sisi publik GPM yakni kepekaan dan komitmen moral sosial untuk memberi jawab terhadap berbagai persoalan kemanusiaan, kebangsaan dan kesemestaan.

Hal ini sama sekali tidak melupakan “akar” GPM sebagai basis membangun gagasan-gagasan yang kuat dan senantiasa terbuka pada karya Roh Kudus.

206

PIDATO HARI ULANG TAHUN GPM KE-72 6 September 2007

Para Pendengar dimana saja berada. Warga gereja, dan orang basudara di Maluku, yang saya kasihi dalam Yesus Kristus!

Salam sejahtera! Perkenankan saya, sebagai Ketua BPH Sinode Gereja Protestan Maluku, mengajak kita segenap warga GPM untuk bersyukur kepada TUHAN, dalam Yesus Kristus Kepala Gereja, karena perbuatanNya besar, dan tuntunanNya tetap nyata dalam seluruh realitas pelayanan gereja ini. Sebuah kenyataan kasih karunia yang kita alami sebagai warga gereja dalam sejarah bermasyarakat di Maluku, di Indonesia, dan di dunia ciptaan TUHAN ini. Syukur kita hari ini, adalah sebuah ungkapan sukacita atas pertambahan setahun usia dalam sejarah kemandirian GPM. 72 tahun gereja ini memainkan peran dan tanggungjawab kritisnya di tengah sejarah kemanusiaan di Indonesia, juga sejarah pemberadaban masyarakat Maluku.

Para pendengar yang berbahagia! Perjalanan bersama di tengah masyarakat Maluku dan bangsa Indonesia, menempatkan GPM dalam suatu tanggungjawab untuk mewujudkan suatu tata kehidupan yang harmonis, rukun, toleran, manusiawi dan sejahtera. Karena itu, GPM melakukan suatu evaluasi kritis terhadap seluruh aksentuasi pelayanannya, dan menyadari bahwa

207 paradigma institusionalisasi, atau usaha memperkuat institusi adalah suatu bentuk sikap dan perspektif melayani yang justru membuat gereja mengabaikan persoalan- persoalan misi secara mendasar. Kesadaran itu lahir dari suatu refleksi bahwa GPM harus dapat menjadikan dirinya alat perjuangan kemanusiaan; menjadi suatu gereja yang memiliki concern kemanusiaan yang tinggi, yang etis Injili. Kesadaran itu membuat GPM berusaha membangun paradigma pemberdayaan jemaat dengan mengedepankan proses-proses pertumbuhan karakter dan penciptaan kehidupan jemaat dan gereja sebagai suatu komunitas eksemplaris. Sebagai gereja, paradigma pemberdayaan jemaat itu dilaksanakan sebagai implementasi tugas Pekabaran Injil di tengah-tengah dunia. Injil dimaksud, dipahami sebagai kabar baik, kabar sukacita yang mengandung pesan-pesan kebenaran, keadilan, perdamaian, kesetaraan, demokrasi, toleransi, kesejahteraan dan yang mendorong rasa persaudaraan atau solidaritas sosial yang berpihak pada manusia. Injil itu adalah sebuah peristiwa perjumpaan yang nyata antara TUHAN dengan manusia, dan dalam perjumpaan itu, manusia dipanggil untuk menjadi saksiNya.

Warga gereja dan masyarakat Maluku yang saya kasihi! Komitmen pada pemberdayaan itu, membawa GPM memiliki komitmen yang sama kepada manusia. Melalui Persidangan Sinode ke-35 Tahun 2005, GPM menyatakan sebuah ekklesiologinya yang baru, yang

208 transformatif, sebagai suatu bentuk kesadaran kontekstual dalam seluruh proses bergereja. Gereja ini mengakui bahwa masyarakat Maluku mengalami keterpurukan yang teramat parah akibat krisis multidimensional; krisis yang meluluhlantahkan nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan, dan kemanusiaan sejati di negeri kita tercinta ini. Suatu krisis yang secara langsung mempertanyakan peran humanis agama-agama. Bahwa agama-agama, dan dalam hal itu gereja, mendapat pengujian yang cukup intens untuk semakin memperjelas komitmen teologi gereja sendiri, suatu komitmen untuk memulihkan manusia yang mengalami berbagai macam keterpurukan. Sebagai sesama orang “basudara” di Provinsi Maluku, dan dalam rasa persaudaraan sejati dengan semua orang Indonesia, bahkan dengan semua warga dunia, warga GPM dan segenap masyarakat Maluku telah berjuang untuk mempertegas eksistensi kemanusiaan kita. Kita berkomitmen bersama untuk mengakhiri konflik sosial, dan membangun suatu episode kemanusiaan baru di Maluku. Sebuah tahapan baru dalam kesadaran kita untuk membangun peace and trust building, membangun rekonsiliasi sejati, yang semakin toleran, setara, dan elegan. Sebagai pimpinan gereja, kami bersyukur, sebab dalam sejarah membangun episode kemanusiaan yang baru itu, segenap masyarakat Maluku memiliki kesadaran pluralis baru yang cukup kokoh. Ini adalah suatu anugerah TUHAN, karena kita berusaha membangunnya dengan tulus, jujur, saling menghormati, dan penuh semangat persaudaraan. Bagi GPM, aspek kesadaran pluralis itu

209 menjadi bagian dalam seluruh proses pembinaan dan pembentukan karakter bergereja, yang meliputi usaha meningkatkan kematangan dan kemandirian para pelayan, umat dan profil gereja itu sendiri. Karena itu, pada kesempatan yang bersejarah ini, saya hendak mengajak segenap warga gereja dan masyarakat Maluku untuk membangun kembali Maluku sebagai “baileo kemanusiaan sejati” di Indonesia, dan bahkan di dunia ciptaan TUHAN ini.

Para pendengar, segenap Warga gereja yang saya kasihi! Yang saya maksudkan dengan Maluku sebagai “baileo kemanusiaan sejati” adalah suatu suasana kehidupan eksemplaris. Bahwa Maluku harus kembali menjadi laboratorium di mana persaudaraan itu dijunjung tinggi, seperti yang kita warisi dari tradisi dan budaya masyarakat, suatu kearifan lokal yang adalah anugerah TUHAN kepada kita dalam sejarah ber-Maluku itu sendiri. Di samping itu bahwa Maluku harus kembali menjadi suatu negeri dimana setiap orang benar-benar menghormati dan menghargai pluralitas dan perbedaan- perbedaan yang ada secara santun dan terhormat. Bahwa di Maluku, setiap orang berhak mengembangkan jatidiri dan pencitraan dirinya secara bebas, terbuka dan demokratis. “Baileo kemanusiaan sejati” itu menjadi isyarat bahwa orang-orang Maluku mencintai setiap bentuk perbedaan yang ada, karena perbedaan atau pluralisme itu adalah bagian dari kodrat masyarakat Indonesia, dan dunia. Hal ini penting karena kita berada dalam masyarakat Plural di Indonesia dan di Maluku, dan kita

210 bertanggungjawab menata kehidupan masyarakat secara bersama.

Para pendengar yang saya kasihi dalam Yesus! Secara khusus, dalam moment sukacita atas Ulang Tahun ke-72 GPM ini, saya hendak menegaskan beberapa hal sebagai bagian dari tanggungjawab bergereja kita, khusus kepada para pelayan dan warga GPM. Kita menyadari bersama bahwa kita berada dalam krisis multidimensional, dan ada pula ancaman-ancaman terhadap kemanusiaan dalam wujud masih terjadinya kasus kekerasan bahkan sampai di dalam rumah tangga. Demikian pun bahaya HIV/Aids, narkoba, flu burung, juga kelangkaan minyak tanah, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, dll. Di level negara ini, perubahan peta politik, dan berbagai persoalan ideologis, termasuk isu Separatisme, Terorisme, tetapi juga persoalan hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga, menjadi sinyalamen bahwa kita menghadapi berbagai macam ujian dalam kaitan dengan eksistensi kita sebagai bangsa, serta komitmen ber-NKRI. Itu pertanda, Indonesia yang kita bangun pada 17 Agustus 1945 ini berada dalam proses menjadi sebuah bangsa yang demokratis, Pancasilais, dan bermartabat. Kasus-kasus penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, persoalan-persoalan Pilkada, atau bahkan pertarungan-pertarungan politik yang terus terjadi, adalah pertanda bahwa kita perlu pula meningkatkan kehidupan demokrasi dan penegakan Hukum dan HAM yang adil di tengah bangsa ini. Begitu pun dengan berbagai tuntutan

211 dalam bidang politik, ekonomi, agama-agama, dan kebudayaan. Kami memandang, bahwa memang, ke depan gereja memiliki peran ganda sebagai bagian dari kehadirannya di dalam sejarah bersama dengan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Para pendengar dan warga Gereja yang saya kasihi! Selama 72 Tahun, GPM menjalankan misi pendamaian di tengah-tengah dunia ini. Setiap Pelayan, yakni para Pendeta, Penginjil, Penatua, Diaken, Tuagama, para Pengurus Wadah Pelayanan, Koordinator Sektor dan Unit, Pengasuh Sekolah Minggu-Tunas Pekabaran Injil, demikian pun semua warga gereja dari orang tua, perempuan, laki-laki, pemuda, anak-remaja, telah menyaksikan silih berganti sejarah kehidupan dan peran gereja ini. Rekan-rekan Pendeta dan Penginjil yang sudah Emeritus, demikian pun para mantan Majelis Jemaat, atau Pengurus Wadah Pelayanan, dalam sejarah 72 tahun pelayanan ini adalah orang-orang yang sudah menjalankan amanat panggilan mereka melayani jemaat TUHAN di negeri dan terutama dalam gereja ini. Karena itu, sejarah 72 tahun adalah sesungguhnya sejarah mengenai tugas pelayanan yang sudah kita lakukan bersama, sebagai suatu bagian integral dari proses kita mematangkan gereja ini menjalankan panggilan injilinya di tengah dunia. Kita, pada periode sejarah masing-masing, menghadapi pasang-surut pelayanan, mulai dari level Sinode, Klasis dan Jemaat-jemaat. Bahkan sampai hari ini, kita tetap berada dalam gerak naik-turunnya dinamika

212 pelayanan itu. Dalam semuanya, dengan kesadaran iman bersama kita berdoa: “YA TUHAN TEGUHKANLAH PEKERJAAN PELAYANAN GEREJAMU DEMI KESEJAHTERAAN BANYAK ORANG (Mzm. 90:17, 1 Kor. 3: 6)”. Doa itu adalah Tema Hari Ulang Tahun ke-72 gereja kita ini, dan doa itu adalah Doa seluruh pelayan dan jemaat GPM. Dalam doa terkandung komitmen kita pada kesejahteraan banyak orang, sekaligus motivasi etis injili gereja di usia 72 tahun ini. Aspek kesejahteraan “banyak orang” menjadi realitas pelayanan gereja yang penting. Ini membuktikan bahwa GPM berkomitmen untuk mengusahakan tata kehidupan yang sejahtera di negeri ini, di negara kita. “Kesejahteraan banyak orang”, adalah wujud dari sikap misi GPM yang pluralis. Kita tidak saja merupakan sebuah gereja yang terbuka atau inklusif, tetapi kita akan menjadi gereja yang pluralis, yang melihat persoalan kemanusiaan, yaitu kesejahteraan sebagai arena pertanggungjawaban iman gereja. Fokus pada “kesejahteraan banyak orang” menunjukkan bahwa GPM menjalankan amanat injil yang sejati, yaitu injil bagi kemanusiaan manusia. Injil yang solider dengan orang miskin, orang yang terpenjara, orang yang sakit, orang yang tertekan, orang yang dimanipulasi (Mat. 25), tetapi juga injil yang membuat gereja melakukan fungsi-fungsi penatalayanan terhadap alam dan lingkungan hidup ini. Injil yang menentang tindakan eksploitasi alam dan potensi sumber daya alam, injil yang menentang manipulasi termasuk manipulasi data orang-orang miskin

213 untuk kepentingan sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab. Fokus pada “kesejahteraan banyak orang” membuat GPM menjadi “Gereja untuk sesama” (church for other). Gereja untuk masyarakat Maluku dan Indonesia, tanpa melihat perbedaan latar-belakang sosial apa pun. Dengan komitmen itu, GPM merupakan bagian utuh dari manusia di Maluku dan dunia ini. Ada catatan kritis di usia 72 tahun ini, bahwa “dalam kemajemukan bermasyarakat dan berbangsa apakah gereja masih berperan dominan dalam bidang- bidang hidup tertentu; pendidikan, kesehatan, dll. Apakah gereja tidak merasakan dirinya sebagai fosil yang sudah lumpuh dan mati karena fungsi-fungsi sebagai garam dan terang sudah hambar dan gelap? Bidang-bidang mana yang menjadi hambatan utama?” Catatan ini bermaksud mempertanyakan posisi peran gereja dalam konteks pelayanannya di tengah bangsa dan masyarakat. Peran gereja itu adalah peran segenap warganya. Dalam setiap bidang kehidupan, dituntut peran dan tanggungjawab warga gereja secara efektif. Usia 72 adalah usia yang semakin mematangkan gereja dalam fungsi sosialnya di tengah bangsa dan masyarakat; bukan sebaliknya membuat gereja menjadi lesu dan fosil. Itu yang kami maksudkan dengan menjadikan gereja ini suatu komunitas eksemplaris, menjadi gereja untuk sesama; menjadi gereja yang berpihak pada kemanusiaan melalui peran nyata setiap warga gereja. Komitmen pada pemberdayaan jemaat, adalah wujud dari tugas gereja menggarami dan menerangi dunia ini.

214

Para pendengar yang berbahagia, Terutama Rekan-rekan Pendeta dan Penginjil dimana saja berada, Di usia 72 tahun ini, perkenankan saya mengucapkan selamat atas kerja dan pelayanan kita semua. Saya berharap, kita akan terus meningkatkan kualitas dan kapasitas diri kita, dan tetap berkesadaran teologis kuat, memiliki solidaritas dan kepekaan sosial, ekonomi, politik, kultural yang kuat, dalam mewujudkan amanat dan panggilan bergereja kita. Tugas Menanam dan Menyiram adalah tugas mulia yang mesti dilaksanakan dengan penuh kesetiaan. Kami tetap berusaha menata manajemen pelayanan gereja ini, dengan juga melihat kebutuhan-kebutuhan pelayanan dan pemberdayaan di setiap jemaat, sampai di pelosok sekalipun. Jemaat-jemaat yang baru pulang dari pengungsian, seperti halnya juga jemaat-jemaat yang ada di pulau-pualu terluar, tetap menjadi bagian dari fokus pemberdayaan, dan karena itu, kemitraan kita dengan berbagai pihak tetap dijalankan dalam perspektif kemandirian jemaat. Terima kasih untuk semua kerjasama dan komitmen rekan-rekan semua melayani gereja ini.

Kepada para Pendeta dan Penginjil Emeritus, Ulang tahun ini pun adalah bagian dari karya TUHAN meneguhkan kerja dan pelayanan Bapak/Ibu semuanya di dalam gereja ini sampai sekarang. Karena itu, perkenankan pula saya berdoa agar TUHAN tetap menguatkan Bapak/Ibu dan keluarga semuanya dalam karya kehidupan yang tidak pernah berakhir.

215

Kepada rekan-rekan Majelis Jemaat, para Tuagama, Pengurus Wadah Unit dan Organisasi Pelayanan, serta semua warga Jemaat di setiap Wadah dan Organisasi Pelayanan, termasuk rekan-rekan Pemuda, dan Anak- Remaja, Di ulang tahun ini, saya tetap mengharapkan agar saudara semua diberkati TUHAN, dan tetap menjadi warga gereja yang mampu bersaksi dimana saja. Kita ada dalam masyarakat yang terus berubah, tetapi “Berubahlah Oleh Pembaruan Budimu”. Karena itu, khusus kepada rekan- rekan pemuda, jangan terbuai dangan “kenikmatan narkoba”, sebab itu akan menyeret kita dalam kemalangan yang tiada berakhir. Kepada rekan-rekan warga Jemaat Profesi, saya pun berharap agar kita tetap dalam semangat menjalankan misi gereja di semua profesi itu. Tekunilah profesi anda, sebab di situ pun anda setiap saat bergumul tentang bagaimana mensejahterakan banyak orang. Bekerjalah dengan disiplin, jujur, adil, dan cintailah pekerjaan anda semua. Kepada warga jemaat di semua Jemaat dalam kawasan Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, saya pun mengajak kita bersyukur kepada TUHAN. Bersyukur, karena dalam tahun ini, TUHAN sudah menolong kita sebagai masyarakat Maluku mensukseskan berbagai agenda Pembangunan dan agenda Nasional di Daerah ini. Termasuk penyelenggaraan Pilkada di berbagai Kabupaten, dan terutama pula saudara-saudara kita di Maluku Utara dalam Persiapan Pilkada tahun 2007, serta warga masyarakat Maluku dalam Pilkada Maluku tahun 2008 nanti.

216

Perlu ditegaskan bahwa Gereja bukan sebuah institusi Politik, tetapi Institusi Moral. Sebagai Insititusi moral, gereja bertanggungjawab bersama seluruh stakeholders lainnya, untuk menegakan iklim demokratisasi yang bermoral, beretika, agar proses-proses itu dapat berlangsung secara baik, santun, dan manusiawi. Kami tetap meminta partisipasi politik semua kita untuk menjadikan moment-moment demokrasi ini sebagai moment membangun kedamaian dan kehamornisan.

Para pendengar, warga GPM yang saya kasihi! Segenap masyarakat Maluku yang saya hormati! Dalam gerak sejarah bersama sebagai umat beragama, saya perlu mengingatkan semua warga jemaat, bahwa momentum 72 tahun GPM ini kita rayakan dalam kesempatan yang sama, ketika tanggal 13 September nanti, saudara-saudara kita umat Muslim akan merayakan bulan Suci Ramadhan. Karena itu, peliharalah perdamaian dan toleransi di antara kita, dan topanglah saudara-saudara kita yang Muslim dalam menunaikan ibadah mereka di bulan penuh rahmat itu. Dan perkenankan saya secara khusus atas nama segenap Pelayan dan warga GPM mengucapkan selamat memasuki Bulan Suci Ramadhan, semoga amal ibadah “basudara” diterima Allah, SWT. Akhirnya, perkenankan saya menyampaikan terima kasih Kepada Pemerintah Daerah Maluku dan Maluku Utara, Aparat Keamanan TNI-Polri di Maluku dan Maluku Utara, Para Bupati/Walikota, Camat, Kepala Desa, Raja, Ketua-ketua RT di Maluku dan Maluku Utara, atas kerjasama yang selama ini terjalin antara kita.

217

Terima kasih pun kepada semua Pimpinan Umat Beragama di Maluku dan Maluku Utara; kepada umat beragama dan denominasi gereja yang ada di Maluku dan Maluku Utara, karena saudara-saudara sudah menjadi bagian hidup kami dalam berbagi di tengah pluralitas kita. Akhirnya, perkenankan saya, atas nama semua Pelayan dan Warga Jemaat GPM mengucapkan Selamat Hari Ulang Tahun ke-62 Republik Indonesia, Selamat Ulang Tahun ke-62 Provinsi Maluku, Selamat Ulang Tahun ke-432 Kota Ambon, kiranya TUHAN memberkati kita dalam hidup bersama. Khusus kepada Warga GPM, saya ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-72. TUHAN memberkati kita semua.

Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan Ketua BPH Sinode GPM

Pdt. DR. John Chr. Ruhulessin, M.Si

218

PIDATO HARI ULANG TAHUN GPM KE-75 6 September 2010

Salam Sejahtera bagi Kita Semua, Syalom Assalam alaikum warahmatulahi wabarakatu... Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas kehadiran kita semua di sini selaku para pelaku sekaligus penyaksi sejarah, selaku pelayan dan warga gereja, selaku mitra kerja dan karya dalam menunaikan tugas bersama menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi Maluku ini. Perkenankan saya mengajak kita semua menundukkan kepala sambil mengangkat hati ke hadirat Bapa Sorgawi, untuk mengenang para pendahulu kita, mereka yang telah berkarya dan melayani dengan segenap jiwa raga di gereja dan persada ini (hening sejenak...)

Hadirin Sekalian Yang Saya Hormati Para Pelayan Dan Warga GPM Yang Berbahagia, Perjalanan panjang menapaki tahun demi tahun menatalayani kehidupan umat sebagai Gereja di Maluku dan di Indonesia hingga mencapai usianya yang ke-75, bukanlah sebuah proses yang mudah dan mulus. Dalam rentang waktu 75 tahun, GPM berdiri dan bergerak menantang badai zaman untuk menyatakan kesaksiannya sebagai Gereja yang setia pada panggilan Kristus, Sang Kepala Gereja; menaburkan benih-benih Injil, berkarya bagi pertumbuhan Injil di pulau-pulau di Maluku, dari ujung utara hingga barat daya, serta membangun kehidupan dan kemanusiaan yang bermartabat sebagai perwujudan buah-buah pemberitaan Injil Kristus di

219

Maluku, di Indonesia, bahkan di dunia. Dalam perjalanan itu, tidak sedikit tantangan, goncangan dan hambatan yang kita hadapi dari waktu ke waktu. Hamparan pergumulan dan tantangan di gereja pulau-pulau ini melintasi arus zaman yang kadang nyaris menggentarkan kita untuk meneruskan sejarah gereja ini. Tetapi syukur kepada Tuhan Allah di dalam Kristus sang Jurumudi dan Kepala Gereja, yang selalu menemani dan telah mengantar kita singgah di tapakan ulang tahun ke-75 GPM saat ini. Lafasan syukur ini sekaligus menjadi sebuah pengakuan iman kita bahwa apa yang kita capai hingga kini, tidak lain dan tidak bukan adalah rahmat dan anugerah Tuhan yang luar biasa, yang membuat kita semua terpesona, dan semakin percaya bahwa Tuhan itu ada dan terus berkarya di sepanjang sejarah. Pengakuan iman inilah yang kemudian mesti membuat kita menjadi gereja yang rendah hati serta tetap optimis dan berani untuk mengarungi samudera pelayanan ini dengan tiada digentarkan oleh apapun juga.

Hadirian Sekalian yang saya banggakan, Momentum ulang tahun ke-75 saat ini juga menjadi penting dan bermakna, karena dirayakan oleh umat kristiani warga GPM bersamaan dengan pelaksanaan Ibadah Puasa basudara Salam. Atas nama seluruh umat Kristiani warga GPM, saya hendak menyampaikan SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA DAN MENYONGSONG LEBARAN YANG PENUH RAHMAT DAN AMPUNAN. Kiranya Ibadah Puasa ini merupakan momentum untuk merefleksikan penghayatan iman Islami sebagai solidaritas terhadap kaum miskin papa, serta

220 perjuangan mengendalikan hawa nafsu menuju pemurnian panggilan Allah SWT untuk menjadi Muslimin dan Muslimah sejati. Allah SWT memanggil saudara-saudara untuk menghayati solidaritas tersebut selama satu bulan penuh. Maka bulan Puasa ini hendak kita maknai bersama sebagai bulan solidaritas, yang menempatkan setiap manusia sebagai manusia yang setara di hadapan kemuliaan Allah SWT. Di sinilah momentum ulang tahun ke-75 GPM dan pelaksanaan Ibadah Puasa memiliki keterpautan makna sebagai momentum membangun tali silaturahim dan persaudaraan yang tak lekang oleh waktu. Suatu momentum orang basudara yang menghayati kekayaan imannya sebagai modal sosial (social capital) bagi persaudaraan sejati.

Para pelayan dan segenap warga GPM yang terkasih, Adapun tema perayaan HUT ke-75 GPM saat ini “Menjadi Gereja Yang tahan uji di tengah pusaran zaman”, memberi sinyal simbolis bahwa gereja ini ibarat bahtera yang sedang mengarungi samudera raya. Seperti samudera yang tak selamanya tenang teduh, maka gereja juga tidak lepas dari terjangan arus zaman ini. Tantangan datang silih berganti namun gereja tidak karam. Mengapa? Karena Kristus ada di geladak. Ia ada bersama-sama dengan rombongan musafir yang mengelana mengarungi gereja pulau-pulau ini. 75 tahun perjalanan GPM adalah perjalanan iman yang tidak hanya menyisahkan tanda tanya, tetapi juga penyertaan Tuhan yang tak kunjung lepas. Oleh sebab itu, momentum 75 tahun ini bukan hanya menuntut gereja tahan uji di tengah puzaran zaman, tapi harus memampukan kita semua melampaui badai dan

221 gelombang dan tiba di labuhan sukacita dengan aman. Berbagai krisis yang dihadapi tidak selamanya dipersepsi secara negatif dan pesimis, namun krisis juga dapat menjadi momen kritik diri sekaligus uji diri untuk mengelolanya menjadi kekuatan transformasi demi menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi ini.

Para Pelayan dan Warga Gereja yang Berbahagia, Dalam rentang 75 tahun kehidupan bergereja, sesungguhnya kita telah memasuki tahap-tahap sejarah yang berliku dan bergelombang. Sejak 6 September 1935, para pelayan dan warga gereja di Maluku telah mengambil keputusan yang berani untuk menjadi gereja yang mandiri. Tentu tidak sedikit resiko yang dihadapi terhadap keputusan tersebut. Perlu dicatat bahwa GPM juga berkontribusi dalam menggelorakan nasionalisme dan turut berkontribusi melalui putra-putri terbaiknya, untuk membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, sangat disayangkan jika ada segelintir orang dengan pandangan yang sempit dan ahistoris meragukan komitmen GPM bagi kemajuan bangsa ini. GPM sebagai bagian integral dari bangsa ini turut mengalami pasang surut kehidupan berbangsa dan bernegara. Dinamika politik, jatuh bangun ekonomi nasional serta perubahan budaya pada level nasional dan mondial telah turut mempengaruhi postur GPM. Tentu saja terhadap semua ini gereja tidak menerima begitu saja, tetapi gereja terus berjuang untuk tetap relevan dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitas kristianinya. GPM juga pernah memasuki babakan pertobatan melalui momentum Pesan Tobat 1960, serta babakan kehidupan

222 yang ruwet di era Orde Baru. Sejalan dengan Era Reformasi 1998, sesungguhnya ada secercah harapan untuk meraih hal-hal yang lebih indah. Sayangnya, di awal 1999, GPM diuji kembali dalam badai konflik kemanusiaan yang menyisahkan agenda pelayanan untuk membangun trust and peace building, merawat toleransi dan dialog dalam bingkai budaya orang basudara, serta terus mengusahakan perdamaian yang sejati. Agenda itu terus dilakukan secara sadar dan sistematis dalam satu dasawarsa terakhir ini, dan akan terus dikawal dan dibina demi suatu tatanan hidup bersama yang damai, adil dan sejahtera. Sebagai institusi, GPM terus berbenah di berbagai bidang. Kebijakan keuangan yang dikenal dengan istilah 70:30 merupakan suatu terobosan yang berusaha untuk mengatasi masalah klasik keuangan yang dialami selama bertahun-tahun di gereja ini, termasuk jaminan kelancaran gaji dan pensiun para pegawai organik GPM. Tentu ke depan, masalah keuangan haruslah mendapat perhatian serius, ketika kita hendak mewujudkan ideal kemandirian dana, daya dan teologi. Berbagai program dan kebijakan terus digulirkan untuk memantapkan profil para pelayan. Selain itu, upaya-upaya pemberdayaan umat terus digalakkan, sambil tetap sadar bahwa upaya tersebut tidak bisa dilakukan dalam sekejap dan oleh segelintir orang saja, tetapi membutuhkan dan kerjasama lintas instansi bahkan lintas negara, demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik lagi.

Hadirin sekalian yang saya kasihi, Pusaran arus zaman ini ditandai pula dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, revolusi media

223 komunikasi dengan hasil-hasil yang spektakuler. Pada satu sisi, kita bersyukur atas pencapaian-pencapaian itu, namun pada sisi lain, kita juga mesti mawas diri dan waspada sehingga tidak terbuai dan hilang arah di tengah terjangan perubahan yang nyaris tanpa jeda. Berbagai bentuk cyber crime, video porno, internet dan fesbuk yang menghabiskan banyak waktu manusia, khususnya remaja dan pemuda, jika tidak dicermati maka akan mengambil waktu terbaik untuk membangun relasi yang intim dengan Tuhan dan relasi di dalam keluarga; antara orang tua dan anak-anak, adik, kakak orang sudara bahkan dengan sesama yang lain. Relasi-relasi menjadi sangat teknis, kering dan mekanik. Kehilangan rohnya yang sejati. Sampai saat ini, peredaran narkotika dan obat terlarang nyaris tak dapat dibendung. HIV-AIDS semakin mencemaskan. Semakin canggih usaha pemerintah dan lembaga lainnya untuk memerangi narkoba, pada bandar dan pengedar semakin canggih menggunakan modus operandi dan merasuki para pelanggan. Sebagai bangsa, kita juga merasa miris dengan perilaku segelintir orang- yang tentu saja tidak bijak untuk digeneralisir sebagai mayoritas, ketika melarang sesama saudara seiman untuk beribadah di negara Pancasila yang kita cintai ini. Kita tentu berharap dan meminta ketegasan pemerintah dalam menjamin hak-hak warga negara, termasuk dalam hal beragama. Demikian juga, kita terpanggil untuk membangun komunikasi lintas iman untuk menumbuhkan saling pengertian antara sesama umat beriman. Sudah tidak zamannya lagi gereja menutup diri dan terasing pada gheto-getho, komunitas-komunitas yang tertutup. Tetapi pintu dan jendela dialog mesti

224 dibuka untuk menerima sesama menjadi gereja yang hidup dengan orang lain (church with the other). Dalam kaitan ini pula, GPM senantiasa terbuka dan menjalin kerjasama oikumene baik dalam lingkup regional, nasional bahkan internasional. Kerjasama oikumene ini menjadi tanda bahwa kita semua saling membutuhkan, tinggal di bumi yang sama dan berusaha mewujudkan doa Tuhan Yesus; ut omnes unum sint = agar semuanya menjadi satu. Pada lain pihak, Gereja juga berhadapan dengan proses demokratisasi yang menekankan kinerja, transpransi dan akuntabilitas sehingga gereja juga harus peka dan turut terlibat dalam diskursus demokrasi sambil tetap memberi warga etik moral terhadap demokrasi itu sendiri. Dalam konteks ini, GPM telah memposisikan diri sebagai kekuatan civil society yang bersama-sama dengan elemen lainnya sama-sama memperjuangkan demokrasi yang sejati, dari demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial. Sebagai kekuatan civil society, maka selama ini gereja berusaha mengoptimalkan partisipasi seluruh potensi dan sumber daya yang ada di bumi Maluku. Tanpa menyepelehkan besarnya tantangan sebagai gereja pulau- pulau ini, maka sikap optimis mesti dipegang erat-erat. Sebab kalau gereja sudah pesimis terhadap tantangan, maka bagaimana ia bisa menjadi kekuatan penggerak dan pengubah? Lama kelamaan ia hanyut dibawa arus.

Para Pelayan dan Warga Gereja yang Berbahagia, Perlu saya tandaskan dengan sepenuh hati, bahwa kekuatan gereja ini juga bertumpu pada warga jemaat sebagai kekuatan transformasi pelayanan. Warga jemaat yang mencintai GPM dan berkomitmen untuk terus

225 membangun persekutuan dan solidaritas antar jemaat, klasis dan wilayah. Jemaat-Jemaat GPM sebagai wilayah kepulauan yang terentang dari Tifure sampai ke Wetar dapat saling menopang dan melengkapi. Seperti kata Rasul Paulus: “bertolong-tolonglah menanggung bebanmu, sebab dengan berbuat demikian kita memenuhi hukum Kristus”. Saya menghimbau agar semua warga GPM terus menerus terbuka untuk berbenah, berubah dan dituntun oleh Roh Kudus agar dapat hadir menjadi berkat di daerah ini dan dimana saja kita berada. Oleh sebab itu, melalui momentum bersejarah ini, mari kita tumbuhkan rasa bangga dan rasa cinta kepada gereja ini, Gereja Protestan Maluku.

Hadirin Sekalian yang Saya Kasihi, Perayaan HUT GPM kali ini, juga mengantar GPM memasuki babakan sejarah berikutnya, khususnya persiapan dan pelaksanaan Sidang Sinode ke-36 yang berlangsung tahun ini. Olehnya, lewat kesempatan ini selaku pempinan gereja, saya mengajak kita semua berdoa dan bahu membahu mensukseskan iven gerejawi yang akbar itu. Terkait hal itu, maka Gereja Protestan Maluku dalam arah penatalayanan lima tahun yang akan datang secara sadar hendak memusatkan seluruh orientasi teologi dan pelayanannya di bawah payung tema “Tuhan itu baik kepada semua ciptaan”. Tema ini sekaligus merupakan sebuah pengakuan terhadap kuasa dan kebaikan Tuhan, bukan saja kepada manusia tetapi juga kepada ciptaan yang lain. Oleh sebab itu, GPM dalam kerjasama dengan berbagai komponen lainnya akan berusaha peka dan pro- aktif dalam mencermati dan bersama-sama dengan semua

226 pihak mencari solusi terhadap berbagai persoalan saat ini, seperti kemiskinan, upaya membangun civil society, krisis lingkungan hidup, ketidakadilan sosial, penegakan hukum yang menjamin keamanan masyarakat, manajemen konflik, hak asasi manusia, dan strategi kebudayaan mengelola kemajemukan sosial-budaya-keagamaan dalam konteks kepulauan. Pada titik inilah, GPM terus-menerus memaknai panggilan profetiknya untuk menciptakan perdamaian, memperkokoh persaudaraan umat manusia, berpikir dan bersikap inklusif-pluralistik, serta mendorong proses-proses demokratisasi yang lebih substansial, tidak hanya sekadar demokrasi prosedural. Inilah panggilan Allah dan tanggung jawab GPM.

Para Pelayan dan Warga Gereja yang Berbahagia, Pada kesempatan ini, patutlah ucapan terima kasih disampaikan kepada mereka yang telah menjadi pelaku sejarah sebagai mantan pemimpin di level sinode, klasis dan jemaat-jemaat, baik selaku mantan ketua sinode, ketua klasis dan ketua majelis jemaat, serta pendeta-pendeta jemaat beserta staf dan keluarga mereka. Kita yang ada di sini adalah orang-orang yang diperkenankan Tuhan untuk melanjutkan apa yang telah mereka lakukan. Kita yang ada disini menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa sin hodos, berjalan bersama, antara senior-yunior, laki-laki perempuan, anak dan orang tua, pemuda dan lansia, para pelayan dan umat merupakan sebuah imperatif teologi yang tak dapat dibantah. Sehingga tak beralasan, jika kita berpikir dan bertindak seolah-olah kita yang melakukan segala-galanya. Tidak. Kita semua tak lebih dari para

227

Masnait yang panggayo bersama, manggurebe maju menuju garis finish pelayanan. Terima kasih kepada segenap pelayan khusus se- GPM, yakni para pendeta, penginjil, guru PAK, majelis jemaat dan mantan majelis, penatua dan diaken bersama keluarga yang sama-sama menopang tugas pelayanan. Demikian juga kepada para tuagama, kostor, kolektan, paduan suara, pengiring musik gerejawi, pengurus unit, wadah-wadah pelayanan, para pengasuh, angkatan muda bahkan penagih iuran di jemaat-jemaat. Kepada semua warga gereja profesi; hakim, jaksa, birokrat, polisi, politisi, akademisi, guru, jurnalis, pengusaha, wirausahawan, dokter, bidan, suster, mantri, tenaga penyuluh. Demikian pula para petani dan nelayan, tukang ojek dan tukang becak, para supir, kenek, montir dan pedagang di pasar. Ibu-ibu papalele, jibu-jibu serta mama-mama yang berjualan di pasar maupun pedagang keliling. Terima kasih yang sama disampaikan pula kepada pemerintah daerah Propinsi Maluku dan Maluku Utara, Para Bupati dan Walikota, Camat, Lurah, RW/RT serta segenap aparatur pemerintah. Kepada pimpinan TNI dan Polri bersama seluruh jajarannya di Propinsi Maluku dan Maluku Utara. Gereja dan negara adalah dua entitas yang berbeda tetapi saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain. Harus diakui bahwa program-program pembangunan yang telah diimplementasikan secara konkrit oleh Pemerintah Daerah Maluku hingga pada aras masyarakat kecil memberikan manfaat pula bagi progresivitas pelayanan GPM. Demikian pula sebaliknya, jemaat-jemaat telah menjadi bagian penting dalam menopang program pemerintah. Pembangunan jalan-jalan

228 raya yang membuka keterisolasian antarwilayah di pulau- pulau besar (Seram, Buru, Yamdena), pengadaan sarana transportasi darat dan laut, pembenahan infrastruktur pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan masih banyak lagi yang lain, termasuk pelaksanaan otonomi daerah yang berimplikasi pada pemekaran sejumlah kabupaten baru, telah dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat kepulauan Maluku, yang juga adalah jemaat- jemaat GPM. Tentu saja, kita berharap semua ini akan dijalani dengan panduan etik moral yang kuat sehingga tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan rakyat banyak, khususnya mereka yang kecil, miskin dan papa. Tak lupa pada kesempatan ini mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke-65 Republik Indonesia, Selamat HUT ke-65 Propinsi Maluku, Selamat HUT ke-435 tahun Kota Ambon yang jatuh tanggal 7 September 2010. Selamat dan syukur atas penyelenggaraan iven internasional Sail Banda serta berbagai agenda pembangunan yang terus digalakkan untuk kesejahteraan kita semua di negeri ini. Terima kasih pula, saya ucapkan kepada para pelayan dan anggota gereja yang terhimpun dalam Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Maluku atas kerjasama oikumenisnya selama ini. Juga kepada para pemimpin dan umat beragama, baik basudara Salam, basudara Katolik, basudara Hindu dan Budha serta Konghucu. Harus diakui bahwa peran dan kontribusi agama-agama merupakan hal yang sangat strategis demi membangun saling pengertian, kerjasama serta membangun persaudaraan dan kesejahteraan sejati di negeri multikultural ini.

229

Hadirin sekalian yang terkasih, Bahtera kecil itu kian menua Dimakan langkah ombak, Siul layar, jerit tiang dan tali temali Kelam-pekat cakrawala, Dan rahang gelombang samudera Yang terus menggigit. Tapi sang Nahkoda tetap perkasa, gagah berdiri di haluan

Bahtera kecil itu terus berlayar Berbantal ombak, Berselimut angin, Maka Injil Kerajaan Allah akan diberitakan Terus ke seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa; sesudah itu barulah tiba kesudahannya”. (Puisi Pdt Wim Davidz, M.Th)

Akhirnya, sambil tetap mengingat motto GPM: “Aku menanam, Apolos menyiram tetapi Allah yang memberi pertumbuhan”, maka pada momentum 75 tahun GPM, sebuah usia yang boleh dibilang uzur ini, perkenankan saya mengajak kita mengaminkan pernyataan, ajakan serta pengakuan iman Pemazmur 92 ketika berkata: “ Orang benar pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar untuk memberitakan bahwa, Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku, dan tidak ada kecurangan padaNya”. Samudera pelayanan ini masih akan kita arungi, layar harus kita kencangkan, semangat terus kita kobarkan untuk menerobos melintasi pusaran arus zaman, sambil tetap

230 percaya, bersama Yesus kita akan sampai di tujuan, dimana cinta kasih dan kebahagiaan, keadilan dan kesejahteraan bukan lagi sebuah impian. Dirgahayu gerejaku, GPM. Tuhan berkatilah kami semua. Sekian dan terima kasih. Syalom.

Ketua Sinode GPM

Pdt. Dr. John Chr Ruhulessin, M.Si

231

PIDATO HARI ULANG TAHUN GPM KE-77 6 September 2012

Salam damai „orang basudara‟! „Jadikanlah Seluruh Hidupmu Pujian Syukur Bagi ALlah!‟ Demikianlah Tema Perayaan HUT ke-77 GPM di hari ini, sekaligus sebuah deklarasi iman GPM dalam meresponi penyertaan TUHAN di tengah sejarah Gereja yang berubah dan mengubah di bumi seribu pulau ini. Ecclesia reformata semper reformanda – Gereja yang berubah adalah Gereja yang mengubah dirinya dan dunia. Dilakoni GPM sepanjang sejarah pekabaran injil di tanah ini, sampai periode kemandiriannya di 6 September 1935, dan terus berlangsung hingga saat ini, dan tahun- tahun pelayanan ke depan. Perubahan dan mengubah dunia merupakan hakekat bergereja yang dikehendaki oleh TUHAN. Karena itu, Visi GPM sebagaimana termuat dalam Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan [PIP/RIPP] 2005-2015 adalah: „Menjadi gereja yang memiliki kualitas iman dan karya secara utuh untuk bersama-sama dengan semua umat manusia dan ciptaan Allah mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, damai, setara, dan sejahtera sebagai tanda- tanda Kerajaan Allah di dunia‟. Visi tersebut sekaligus menjadi imperasi kepada GPM untuk menata perubahannya sebagai sebuah perencanaan iman bersama TUHAN. Maka di Ulang Tahun ke-77 ini, „Menjadi gereja yang bersyukur‟ itu merupakan bukti gereja yang dinamis; gereja yang merespons secara fundamental kasih Allah dalam

232 keberpihakan yang konkrit kepada manusia dan dunia. Sebab itu, kekudusan dan kesalehan gereja mesti terukur ketika gereja melakukan pembebasan bagi manusia. Jika hal itu terjadi, maka gereja telah bertindak benar atas panggilannya.

Hadirin yang diberkati TUHAN! Proses perubahan yang berlangsung di dalam gereja ini, terjadi pula karena kegelisahan atau kepekaan gereja yang semakin kuat dari waktu ke waktu. Gereja yang gelisah dan peka adalah gereja yang bertindak benar atas panggilannya. Oleh kegelisahan dan kepekaan itu, gereja merespons perubahan dengan hati yang mantap, karena TUHAN masih tetap mempercayakan tugas mengubah dunia ini kepada gereja. Bentuk respons perubahan yang dilakukan GPM telah terjadi sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Di satu dekade belakangan ini, kita mencoba merancang perubahan yang sistematis itu justru ketika kita dengan sadar melakukan perubahan Tata Gereja sejak tahun 2005, dan baru dapat kita selesaikan bersama di tahun 2010. Artinya kita tidak sekedar berubah, tetapi merancang perubahan itu secara sadar dan terencana sambil memahami apa maksud TUHAN dengan perubahan itu bagi gereja. Seiring dengan perubahan Tata Gereja, GPM telah memaknakan Desentralisasi Prakarsa Jemaat sebagai pijakan perencanaan pelayanan Gereja secara tertib. Proses dan siklus sidang gereja yang diawali melalui Persidangan Jemaat – kemudian secara berjenjang naik ke Persidangan Klasis dan Sidang Majelis Pekerja Lengkap Sinode, menjadi

233 bukti bahwa desentralisasi prakarsa jemaat merupakan suatu pijakan yang tepat. Proses ini kita boboti dengan pemberlakuan Rencana Strategi Pelayanan Jemaat atau Renstra Jemaat, yang telah dimulai dalam Sidang Jemaat tahun 2012 di beberapa Klasis. Seturut dengan itu, beberapa Klasis pun telah menghasilkan Program Lima Tahun atau Prolita Klasis. Dokumen Renstra Jemaat dan Prolita Klasis itu merupakan suatu bentuk respons gereja di level dasar tentang panggilannya menjadi gereja yang melayani di jemaat dan wilayahnya secara praksis.

Para Pelayan dan Jemaat GPM yang berbahagia! Seiring dengan tata perubahan itu, di tahun 2012, kita telah bertekad untuk memantapkan pelaksanaan Renstra Jemaat, sehingga dalam tahun 2013 dan 2014 kita sudah bisa mengevaluasi secara merata pelaksanaan tugas panggilan gereja dalam hal berjalan dan bertumbuh bersama. Karena itu, diharapkan nantinya di tahun 2015, segala hasilnya sudah bisa kita lihat dan kita menata menjadi lebih baik lagi di Dekade Pelayanan yang baru 2015-2025. Saya merasa harus menyampaikan semuanya itu, untuk menegaskan bahwa itulah sebabnya Tema HUT ke- 77 ini adalah sebuah deklarasi iman kita, pelayan dan seluruh jemaat GPM.

Hadirin yang diberkati TUHAN! Perubahan yang dialami dan dilakoni gereja itu terjadi sebab gereja tidak dapat mengasingkan dari dunia yang di dalamnya gereja itu hadir dan melayani. Perbuatan gereja adalah perbuatan teologi dan sebuah akta iman.

234

Karena itu, jika gereja harus merespon perubahan- perubahan dalam masyarakat, respons itu merupakan bukti bahwa gereja hidup sambil mengembangkan sikap kritisnya. Kekritisan gereja itu bersifat positif, konstruktif, dan profetik. Itulah sebabnya, gereja terpanggil membangun penguatan persekutuan dalam kaitan dengan solidaritas kebangsaan. Panggilan ini merupakan bentuk kekritisan gereja atas kasus-kasus kekerasan yang kini kerap terjadi di mana-mana dalam bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekerasan di Sampang dan Solo, serta yang terjadi di Ambon beberapa waktu lalu tidak boleh menghancurkan solidaritas kebangsaan. Semangat „koinonia‟ yang dalam tahun ini menjadi semangat hidup GPM, perlu diejawantahkan secara meluas menjadi semangat persaudaraan sejati antar-sesama warga bangsa. Sebab bagaimana pun juga, kekerasan merupakan bentuk dehumanisasi. Setiap tindakan dehumanisasi tidak selaras dengan ide damai sejahtera dan Kerajaan Allah yang harus dihadirkan gereja dalam hidup bermasyarakat. Sebaliknya, kemanusiaan, di dalam semangat Sosial Injil merupakan semangat pembebasan yang menjadi ciri berteologi gereja di dunia sepanjang masa. Semangat ini yang terus kita gemakan memenuhi bumi Maluku dan Maluku Kie Raha.

Bapak Gubernur, Bapak Walikota dan segenap Jajaran Pemerintahan Daerah yang berbahagia! Tahun ini GPM merayakan Ulang Tahun ke-77, juga di tengah situasi Bencana yang menimpa warga masyarakat Ambon secara khusus dan Maluku pada umumnya. Tanah longsor, tanah retak dan banjir Ambon,

235

1 Agustus 2012 patut disebut sebagai „BENCANA NASIONAL‟. Saya menyebutnya demikian, walau Pemerintah Pusat tidak menganggapnya demikian. Saya menyebutnya demikian, karena penderitaan kemanusiaan merupakan isu global dan isu gereja-gereja di dunia. Walau bencana ini tidak ditetapkan sebagai „BENCANA NASIONAL‟, tetapi kepedulian kita kepada kemanusiaan sangat tidak bergantung pada definisi negara, atau definisi sosial suatu badan atau pihak mana pun. Kepedulian kemanusiaan adalah panggilan universal dari TUHAN kepada seluruh warga dunia, penghuni oikos ini. Kepedulian kemanusiaan adalah inti dari ajaran semua agama di dunia. Karena itu, jika krisis itu melanda kita, pertanda ada krisis ajaran yang fundamental pada agama- agama. Kita bersyukur sebab semua umat beragama, bahkan Badan-badan Gereja di luar Maluku telah bertindak benar atas panggilan menjadi gereja. Partisipasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Gereja Protestan Indonesia, Gereja Kristen Indonesia, Gereja Protestan Indonesia bagian Barat, dan perhimpunan Mahasiswa serta pribadi-pribadi lainnya di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dalam membantu penanganan bencana di Ambon melalui semua stakeholders di Ambon, dan secara khusus melalui Gereja Protestan Maluku, yang secara praksis dijalankan melalui RELAWAN KORBAN BANJIR AMBON- MALUKU AMGPM patut diyakini sebagai cara gereja menjalankan panggilannya. Bagi GPM, penanganan bencana Ambon dan Maluku sangat ditentukan oleh mindset pelayanan sosial secara integral. Kita memerlukan sebuah manajemen yang serius; sebuah manajemen dengan sense of cricis yang

236 mantap. Saya kira, kita sudah mesti mempercakapkannya dalam Persidangan MPL Sinode GPM bulan November nantinya di Klasis Pulau-pulau Babar. Lebih lanjut, perubahan mindset itu pun harus dapat menentukan langkah kita melestarikan lingkungan. Namun, pelestarian lingkungan dalam konteks manajemen itu bukan sekedar recovery enviroment tetapi cultural recovery, yang kiranya pun ada pada setiap perencanaan pembangunan infrastruktur di setiap kabupaten/kota di Maluku dan Maluku Utara; mengingat wilayah kita adalah 8 9 wilayah kepulauan. Oleh GPM, cultural recovery sebagai indikator perubahan mindset pelestarian lingkungan sangat terkait Tema GPM: „TUHAN itu baik kepada semua ciptaan‟. Artinya dengan cultural recovery, GPM sedang mendorong berlangsungnya keutuhan ciptaan dengan jalan mengimplementasi sifat-sifat TUHAN yang baik kepada semua ciptaan secara adil dan berkesinambungan. Saya kira untuk itu, GPM juga siap membantu tiap program pemerintah dalam rangka membangun mindset baru di semua lapisan masyarakat di Maluku dan Maluku Utara.

Bapak Gubernur yang kami kasihi! Di dalam rangka cultural recovery itu pula, GPM hendak melihat penanganan kemiskinan melalui usaha „Peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pening- katan pendapatan rumah tangga‟. Bagi kami, isunya mesti di situ, dan bukan pada beban angka kemiskinan yang ternyata bisa pula diukur berdasarkan kriteria-kriteria yang subyektif.

237

Sebab itu, melalui rencana Pengembangan Ekonomi Jemaat, seperti tampak dalam beberapa Renstra Jemaat-jemaat GPM, indikator kesejahteraan keluarga diukur dari partisipasi keluarga dalam kegiatan ekonomi, dalam hal ini pada sektor UMKM dan pengelolaan potensi spatial di masing-masing daerah atau jemaat, serta peningkatan pendapatan rumah tangga. Karena itu, kita berharap ada sinkronisasi antara program pelayanan Jemaat dengan program pembangunan desa atau negeri, serta program pembangunan di Kecamatan, Kota/ Kabupaten dan Provinsi yang berlangsung di dalam masyarakat. Setidaknya, itu juga merupakan bagian dan cara GPM merespon perubahan secara sosial dan sebagai akta iman gereja yang hidup. Pada sisi yang sama, penanganan berbagai penyakit sosial seperti HIV/Aids, Narkoba, konsumsi minuman keras, aksi-aksi kekerasan bersama, beragam bentuk kriminalitas, didekati pula dengan manajemen pelayanan yang baik serta pastoralia gereja secara langsung kepada mereka yang mengidap berbagai penyakit sosial itu. Para survivor, yakni Orang yang Hidup dengan HIV/Aids [ODHA] adalah „sahabat‟ GPM. Kita sedang menata proses pendampingan pastoral terhadap mereka, dan juga pencegahannya, untuk menekan kurva pengidap HIV/Aids di Maluku dan Maluku Utara. Melalui beberapa kesempatan ibadah di Gereja Maranatha, bersama Komisi Pemuda Klasis GPM Kota Ambon proses-proses itu sudah dilakukan dan kini sedang dimatangkan secara bersama antara Sinode GPM, Klasis GPM Kota Ambon dan PB AMGPM dengan Dinas Kesehatan Kota Ambon.

238

Kita berharap agar semua hal yang disampaikan tadi dapat ditangani secara bersama-sama, sebagai salah satu cara kita meresponi perubahan sosial di Provinsi Maluku serta Maluku Utara. Jika semuanya dapat ditata dan dilaksanakan secara baik, semakin lengkaplah alasan kita menjadikan seluruh hidup kita, pujian syukur bagi Allah.

Hadirin yang berbahagia! Perkenankan Saya menyampaikan satu hal khusus ini kepada semua pimpinan Umat beragama di Maluku, dan terutama kepada Basudara Salam atau Kaum Muslim dan Muslimah di Negeri Cengkeh dan Pala. Pelaksanaan MTQ Nasional ke-24 di Ambon, 8-15 Juni 2012 yang lalu adalah momentum untuk menguatkan common platform dalam bingkai „hidop orang basudara‟ di Indonesia dan dunia. Penguatan common platform menjadi buah dari pelaksanaan MTQ Nasional ke-24, karena kita telah berhasil menghidupkan dan mengintroduksi „hidop orang basudara‟ kepada semua umat beragama di dunia. Saya tidak memaknai itu sebatas pada digunakannya Kampus UKIM sebagai salah satu tempat perlombaan, atau Pastoran Amboina sebagai lokasi Akomodasi salah satu Kontingen MTQ Nasional. Atau pula bukan karena di sepanjang jalan dihiasi lampion Bulan Sabit dan Bintang sebagai „icon Islam‟. Saya memaknainya, karena kita mewujudkan hal „saling percaya‟ di dalam semangat peace and trust building pada kesempatan yang mulia itu. Sebab di dalam „saling percaya‟ itu kita telah mampu menjadi saudara satu

239 terhadap lainnya. Karena itu, atas nama semua Jemaat GPM, kami hendak menyampaikan „dangke banya-banya‟ kepada semua umat Muslim di Indonesia dan khususnya „basudara Salam‟ di Maluku, yang telah memberi peran kepada „saudaranya‟ sendiri dalam turut mensukseskan MTQ Nasional ke-24. Di atas persaudaraan itu kita akan membina kerukunan persaudaraan kita, sebab iman kita berkata: „di dalam persaudaraan yang rukun, TUHAN memerintahkan berkat kehidupan selama-lamanya‟. Mengiring ucapan terima kasih itu, perkenankan pula kami menyampaikan kepada semua basudara: „Selamat Idhul Fitri 1 Syawal 1433 Hijriah‟, kiranya kita tetap diridohi Damai dan Ampunan dari TUHAN Yang Maha Kuasa.

Jemaat dan segenap Pelayan yang berbahagia! Badan Pekerja Harian Sinode AM Gereja Protestan Indonesia yang berkesempatan hadir saat ini. Kita merayakan HUT ke-77 ini pula di dalam komitmen kebersamaan kita sebagai Gereja Bagian Mandiri GPI, yakni ada serangkaian aktifitas GPI yang berlangsung di GPM, khususnya di Klasis GPM Pulau- pulau Lease. Bagi kami, hal itu semakin menunjukkan soliditas oikumene dan prospek mengesanya kita sebagai gereja di Indonesia. Gagasan-gagasan yang terbangun dalam rangkaian kegiatan GPI itu justru menjadi jawaban atas pergumulan kontekstual gereja-gereja di Indonesia dan secara khusus bagi GPM pula. Hubungan Gereja dan Negara adalah pergumulan tua protestantisme di seluruh dunia sejak awal mulanya protestantisme itu sendiri. Di Indonesia,

240 hubungan itu pun menjadi bagian dari sumbangan gereja bagi bangsa. Kita tentu mengingat bagaimana para pendiri PGI, seperti Johannes Leimena, dan kemudian T.B. Simatupang, yang menginspirasi peran profetik gereja dalam bangsa. Bahwa gereja terpanggil melayani bangsa, dan karena itu kehadiran gereja dalam pelayanan kepada bangsa adalah demi perwujudan pembangunan dan demokrasi sebagai wujud pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Karena itu, terima kasih kepada BPHS Am GPI yang telah membantu dalam proses-proses pematangan peran profetik GPM dan GPI secara umum melalui kegiatan-kegiatannya di sini. Dalam rangkaian Ulang Tahun ini pula, Remaja GPM sedang menjalankan Jambore Remaja GPM di Klasis GPM Kairatu. Mereka datang dari Klasis-klasis masing- masing dan membaur dalam sebuah kegiatan akbar; sebagai momentum pembinaan kapasitasnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa GPM harus semakin serius dengan Pembinaan anak dan remaja melalui Pendidikan Formal Gereja. Saya meminta ini menjadi perhatian semua Pendeta dan Pengasuh SM-TPI, sebab anak dan remaja adalah buah dari tugas kita menanam dan menyiram di gereja ini. Kepedulian kita kepada mereka sangat bermakna misiologis, yakni supaya usaha gereja membangun tanda-tanda kerajaan Allah di bumi ini terus berlangsung. Membina anak dan remaja merupakan bagian dari upaya gereja mengosongkan dirinya, sebuah akta kenosis untuk meresapi mengapa TUHAN mau menjadi manusia dan hidup sebagai kanak-kanak hingga dewasa di dunia

241 ini. Kenosis dalam arti ini sekaligus menjadikan kita mampu dan kritis terhadap berbagai tindakan pembodohan kepada anak, kekerasan dan eksploitasi anak, trafficking, pelecehan seksual, dan beragam kasus kekerasan lainnya terhadap anak.

Jemaat yang diberkati TUHAN! Sebelum saya mengakhiri Pidato ini, perkenankan saya pun menyampaikan kepada kita semua, bahwa kita telah bersama-sama melakoni perubahan demokrasi dan politik di Indonesia dan Maluku, serta Maluku Utara. Beberapa rangkaian Pemilihan Kepala Daerah secara langsung telah berjalan secara santun, damai dan bermartabat. Agenda Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Maluku Tengah telah berjalan pula sesuai prosedur Undang-undang di negara ini. Pemerintahan yang telah berhasil terbentuk melalui Pilkada itu, harus ditopang melalui partisipasi semua warga jemaat yang adalah warga masyarakat setempat. Sebab tujuan dari demokrasi adalah integrasi sosial, sehingga proses pembangunan dan pemerintahan sebagai bagian dari pelayanan publik dapat berjalan secara lancar. Gereja dalam hal itu, terpanggil untuk memelihara damai dan saling percaya, serta mendoakan pemerintah yang dipanggil mengusahakan kesejahteraan rakyat di kota dimana mereka diutus pula oleh TUHAN. Di dalam konteks yang sama, saya hendak mengajak kita memberi dukungan positif pada berlangsungnya agenda Pemilukada Maluku dan Maluku Utara tahun 2013 yang akan datang.

242

Karena itu kepada semua kandidat yang telah mensosialisasi dan akan terus mensosialisasi dirinya, kami pun berharap dapat mensosialisasi diri secara akrab, santun dan tetap berpegang pada prinsip hidop orang basudara. Pemerintah yang datang membawa damai, adalah pemerintah yang mencintai rakyatnya. Karena itu pasti ia akan didukung sebab rakyat pun percaya kepadanya. Artinya, biarlah kita pun membangun hal „saling percaya‟ satu sama lain dalam proses-proses ini dan proses-proses bersama ke depan. Saya kira, politik pencideraan tidak sejalan dengan politik hati nurani yang harus menjadi budaya politik kita. Yesus telah menunjukkan hal itu dengan mengajarkan kita untuk jujur dalam janji dan setia dalam melayani sesama. Saya meminta semua warga Jemaat GPM untuk juga bersama-sama menjaga damai dan kebersamaan di kalangan masyarakat luas, serta bersama-sama mencegah kecenderungan yang buruk, termasuk politik uang dan kampanye-kampanye hitam yang dapat mempolarisasi kebersamaan kita atas nama kepentingan kekuasaan, pribadi dan kelompok tertentu. Selama ini jemaat sudah sangat dewasa dalam berdemokrasi. Sebab itu teruslah meminta hikmat dari TUHAN agar pilihan dan panggilanmu tidak salah.

Hadirin yang diberkati TUHAN! Akhirnya, atas nama pimpinan gereja, kami hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang sudah menopang tugas-tugas bergereja selama ini, dan yang telah melayani sampai di usia ke-77 GPM hari ini.

243

Kami terus mendoakan agar kebersamaan dan ketekunan kita melayani pekerjaan kudus di bidang panggilan dan pelayanan kita masing-masing menjadikan kita anak-anak yang diberkati dan dikasihi oleh Allah, TUHAN kita. Karena itu, kiranya Kasih dan Damai dari Yesus Kristus melingkupi kita, sehingga kita tahu bagaimana mempersembahkan hidup ini sebagai pujian dan syukur kepada TUHAN, Allah kita. Terpujilah TUHAN yang telah memberkati tugas menanam dan menyiram di gereja kudus ini.

Aku [Paulus] menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan

Selamat Ulang Tahun ke-77 Gerejaku Selamat Berbahagia Jemaatku Selamat Melayani Wahai Pelayan-pelayan TUHAN

Sekian dan terima kasih Syalom

244

PIDATO HARI ULANG TAHUN GPM KE-78 6 September 2013

Shalom..... Madah syukur patut kita lantunkan kepada Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala Gereja, yang oleh kemurahan dan kasihNya telah mengantar GPM memasuki usia ke-78, pada hari ini 6 september 2013. Kini dan disini, kita mengaku bahwa tanpa Tuhan semuanya tak berarti apa- apa. GPM dapat eksis semata-mata karena kemurahan Tuhan yang juga adalah pemilik tunggal gereja ini. Hanya Tuhanlah yang membuat gereja ini kokoh menghadapi berbagai deraan badai kehidupan. Roh Kudus menggerakkan gereja ini dan menjadi kekuatan gereja yang utama. Adalah tepat, jika kemudian perayaan HUT GPM tahun ini dibingkai dalam tema: KUATKAN KAMI YA ROH KUDUS UNTUK MENJADI TELADAN KEBAIKAN KRISTUS yang terinsipirasi dari surat I Tesalonika 1:2-10. Di sini ada sebuah kredo, sebuah pengakuan tentang pentingnya karya Roh Kudus, bahwa kita hanya dapat menjadi teladan jika kita membuka diri kepada karya Roh Kudus. Keteladanan bukan sekedar sebuah formula manusiawi, tetapi lebih daripada itu, keteladanan adalah buah karya Roh Kudus. Keteladanan tanpa Roh Kudus adalan sebuah kesombongan iman. Keteladanan selalu berbuahkan kebaikan, dan semuanya itu merujuk pada sosok Kristus, sang Teladan Agung. Kristus yang memberi keteladanan sejati, yakni tentang kenosis, pengosongan diri, taat dan berkorban demi kebaikan manusia dan semesta ciptaan.

245

Para Pelayan dan warga jemaat yang saya muliakan, Perayaan HUT GPM yang diawali dengan perayaan HUT Kemerdekaan RI-ke 68 menandaskan bahwa ruang kemerdekaan itu selalu menyediakan kesempatan bagi kita semua untuk bersama-sama berpartisipasi membangun bangsa dan negara. Atau sekali lagi meminjam kata-kata rasul Paulus, kemerdekaan menjadi kesempatan untuk saling melayani di dalam kasih. Seiring dengan itu, kita juga merayakan HUT Propinsi Maluku ke- 68 . Hal ini menegaskan lokus pelayanan GPM yang bersama-sama pemerintah dan elemen lainnya termasuk agama-agama di Maluku yang terus terpanggil untuk menggurebe maju mewujudkan masyarakat Maluku yang sejahtera dan makmur. Di sini Gereja turut bertanggungjawab dalam geliat membangun daerah Maluku, dengan memberi kontribusi positif sesuai talenta yang dimiliki. Belum lama berselang kita juga merayakan Idul Fitri 1343 Hijriah, menjadi sebuah momentum untuk memperkuat silahturahmi bukan saja di kalangan saudara- saudara Muslim tetapi juga di antara agama-agama. Kemudian esok hari, 7 September sebagai bagian dari warga kota Ambon akan merayakan dan mensyukuri HUT Kota Ambon ke-438 Kota Ambon sebagai kota pertama, dimana Injil masuk ke Maluku bahkan Indonesia, terus berbenah alias kalesang untuk menjadikan Ambon yang manis. Ijinkan saya pada kesempatan menyampaikan Dirgahayu Kota Ambon ke-438.

PARA PELAYAN dan Jemaat yang berbahagia, Hingga usianya yang ke-78, Gereja Protestan Maluku bergelut dengan panggilan untuk memperkuat tiga

246 pilar utama kehidupan bergereja yakni pembentukan profil keumatan, profil pelayan dan profil kelembagaan. Ijinkan saya pada kesempatan yang berbahagia ini memberi sebentuk evaluasi sekaligus agenda bergereja, yang masih akan terus digumuli secara bersama-sama. Gereja dan masyarakat di Maluku dan Maluku Utara sepanjang tahun 2012-2013 bergumul dengan persoalan kebencanaan, khususnya banjir. Banjir bukan saja menjadi langganan orang-orang Jakarta, tetapi sudah menyebar ke daerah-daerah. Kota Ambon, kota Ternate dan Bacan di Maluku Utara telah mengalami banjir yang menelan korban jiwa dan materi. GPM turut berduka cita dan bersimpati dengan saudara-saudara yang mengalami musibah banjir, termasuk saudara-saudara kita di Negeri Lima yang harus mengungsi karena jebolnya bendungan Wai Ela. Gereja meminta perhatian pemerintah agar dapat merehabilitasi korban bencana banjir sehingga mereka dapat kembali menikmati hidup yang layak. Bencana yang dialami menjadi sebuah peringatan agar kita memiliki sistem deteksi dini dan memiliki protokoler penanganan bencana yang tetap untuk mengantisipasi dan atau mengatasi bencana yang bisa muncul sewaktu-waktu. Lebih daripada itu, perlu perubahan mindset dalam melihat alam ini. Alam mesti dilihat sebagai “sakramentum”, sesuatu yang suci dan olehnya tidak boleh dieksploitasi dengan semena-mena. Sudah jelas bahwa kebaikan Allah itu bukan saja kepada manusia tetapi juga kepada kepada ciptaan Tuhan yang lain. GPM merespons sekaligus membingkai kesadaran itu dalam tema lima

247 tahunan: TUHAN ITU BAIK KEPADA SEMUA CIPTAAN (Mazmur 145:9). Selanjutnya, tahun 2013-2014 dapat dikatakan sebagai tahun politik. Kita bersyukur bahwa Pemilihan Kepada daerah di Maluku dan Maluku Utara telah dilalui putaran pertama dan akan berlanjut pada putaran kedua. GPM berdoa agar pemilukada di Maluku maupun Maluku Utara dapat berlangsung dengan adil dan damai. Tentu saja, warga gereja yang adalah warga masyarakat perlu berpartisipasi dalam iven-iven politik tersebut secara cerdas. Warga gereja yang adalah warga negara tidak sekedar menggunakan hak pilihnya di TPS tetapi menggunakan kebebasan sebagai warga negara dengan melihat hak politik sebagai anugerah Tuhan yang harus digunakan dengan baik. GPM turut mendorong proses- proses demokratisasi, bukan sekedar pada demokrasi prosedural tetapi lebih mengarah pada demokrasi substansial, dimana semua elemen warga negara dapat berpartisipasi secara optimal. Dalam konteks ini, maka gereja terpanggil untuk terus melakukan pendidikan politik bagi warga gereja demi menumbuhkan ketahanan civil society yang kuat, dan ini mesti dimaknai sebagai misi gereja yang utuh. Hal ini perlu ditegaskan, karena Kristus mengutus gereja ke dalam dunia, dan olehnya berbagai dinamika dunia ini harus disikapi oleh gereja dengan arif dan benar.

Para pelayan dan warga jemaat yang berbahagia Pada aspek kelembagaan, sepanjang tahun 2012- 2013, gereja terus merampungkan Renstra-Renstra Jemaat dan Program Lima Tahunan Klasis. Semua ini bertujuan

248 untuk mendinamiskan pelayanan di jemaat agar terarah dan terukur. Dengan tersedianya dokumen renstra di jemaat-jemaat, diharapkan para penyelenggara pelayanan dapat lebih proaktif melakukan program-program pelayanan secara terukur dan terarah demi pencapaian tujuan bergereja secara keseluruhan. Pada tahun 2013, juga dilakukan pemekaran beberapa klasis dan selanjutnya jemaat-jemaat. Hal ini mesti dilihat bukan sekedar sebuah repons terhadap kebutuhan kelembagaan yang lebih respons terhadap konteks pulau-pulau, yang butuh rentang kendali, tetapi muara dari semuanya adalah agar jemaat-jemaat semakin dinamis dan berkembang. Jemaat-jemaat dilihat sebagai basis gereja ini, dan olehnya keberadaan Klasis harus benar-benar menolong jemaat-jemaat untuk bertumbuh secara dinamis dan progresif. Pemekaran juga mesti dilihat bahwa gereja ini semakin kompleks, seiring perubahan masyarakat yang juga kian kompleks. Menghadapi kompleksitas persoalan ini, gereja tidak mungkin berjalan sendiri. Olehnya relasi dan kerjasama dengan pemerintah dan stakelolders lainnya sangat penting dan strategis. Sepanjang tahun 2013 GPM terus membangun kemitraan dan kerjasama dengan pemerintah daerah dan pihak swasta, termasuk di luar Maluku. GPM terus membangun kemitraan yang dinamis, kemitraan yang efektif untuk menolong masyarakat. Pada sidang MPL tahun 2012 di Tepa, GPM telah menghasilkan Peraturan tentang Kemitraan Jemaat dengan Pemerintah Negeri/Desa. Hal ini menunjukan keseriusan gereja untuk mendorong kemitraan yang terus dinamis dan fungsional. Dengan begitu, dikotomi mimbar dan tahkta mesti dilihat

249 sebagai dua hal yang saling menunjang dan melengkapi. Pada kesempatan ini, saya menegaskan kepada para pendeta dan pelayan khusus di jemaat-jemaat untuk terus membangun komunikasi intensif dengan pemerintah negeri/desa guna mendorong percepatan kesejahteraan rakyat. Hindari kemacetan-kemacetan dan kebuntuan komunikasi, karena hal itu hanya memperlambat usaha- usaha memajukan masyarakat dan jemaat-jemaat. Dinamika masyarakat dan jemaat berubah begitu cepat. Sebab itu, jangan hanya karena kemacetan dan kebuntuan komunikasi, maka makin menambah runyam persoalan yang sebetulnya dapat segera diatasi jika saluran komunikasi tidak mampet. Dalam kaitan ini, saya ingin berbicara tentang leadership style. Gereja mesti mengembangkan gaya kepemimpinan yang merangkul. Bersamaan dengan itu adalah kepemimpinan yang terbuka, termasuk terbuka menerima kritik, bukan kepemimpinan kekuasaan, yang seringkali menggunakan kekuasaan untuk membungkam kritik. Harus diakui, bahwa ada kecenderungan terjadinya krisis kepemimpin yang serius di jemaat-jemaat. Dengan begitu diperlukan revitalisasi kepemimpinan. Alasannya, jemaat saat ini sedang memasuki fase-fase perubahan yang fantastis, jemaat lebih terbuka dan semakin maju serta responsif terhadap perubahan. Karena itu, jika kepemim- pinan di jemaat-jemaat cenderung melemah, saya kuatir para pelayan makin ketinggalan, malah bisa saja menjadi faktor yang menghambat dinamika pertumbuhan jemaat- jemaat ke arah kemandirian. Masih terkait dengan soal kepemimpinan, maka potret kepemimpin ke depan adalah sebuah kepemim-

250 pinan yang oikumenis, sebuah oikumenical leadership yang terbuka dan merangkul gereja-gereja bahkan agama- agama. Kita bukan saja berbicara tentang kader-kader oikumene, tetapi lebih pada sebuah gerekan oikumene yang berbasis di jemaat-jemaat. Bukan sekedar memperkuat dan memperbesar atau memperbanyak wadah atau insitusi lembaga oikumene, tetapi bagaimana gerakan oikumene itu menjadi dinamis dan bermuara pada pemanusiaan manusia lintas gereja, denominasi, suku, agama dan bahkan lintas negara. Oikumene yang memanusiakan manusia, atau meminjam ungkapan saudara-saudara kita dari Minahasa, Sitou Timou Tumou Tou, manusia menjadi manusia kita saling memanusiakan satu sama lain. Dengan demikian, gerakan oikumene juga berarti gerakan keadilan dan perdamaian. Kaitan dengan persoalan oikumene ini, GPM juga terus mengupayakan relasi yang lebih fungsional antara GPM dan GMIH di Maluku Utara termasuk relasi dengan gereja-gereja denominasi yang ada di Maluku dan Maluku Utara.

Para pelayan dan warga GPM yang saya kasihi, GPM ibarat arumbai yang berlayar di samudera yang maha luas. Terkadang laut teduh tetapi terkadang pula badai dan angin sakal datang mengguncang. Di sini, para pelayan dan umat diharapkan memiliki ketahanan iman dan spiritualitas yang kokoh untuk terus berlayar menuju tujuan bersama. Masalah Spiritualitas berkelindan erat dengan soal rasa keterpanggilan (sense of calling) dan rasa memiliki (sense of belonging). Ketika seseorang merasa terpanggil dan merasa memiliki panggilan itu, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin agar

251 panggilan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Yang memanggil gereja adalah Tuhan, dan kita harus percaya bahwa Tuhan pasti memperlengkapi. Tetapi kita juga mesti dengan sengaja memperlengkapi diri secara pribadi atau institusi agar panggilan kita dapat dilaksanakan dengan benar. Tak dapat dipungkiri bahwa akhir-akhir ini terjadi sense of krisis. Krisis yang terbaca pada makin lemahnya semangat melayani, sering mengabaikan tanggungjawab bahkan ada yang lari meninggalkan medan pelayanan. Memang tidak mudah menghadapi tantangan pelayanan GPM sebagai gereja pulau-pulau, namun apakah tidak ada lagi tekad dan komitmen untuk menaklukkan semua tantangan itu bersama Tuhan? Jika para pendahulu kita sebagai perintis gereja ini bisa menerobos belantara Seram dan Tenggara, Buru dan Maluku Utara, apakah kita yang hidup di dunia perubahan saat ini tidak mewarisi milintasi dan semangat juang dan pengabdian mereka? Spritualitas tentu bukan sekedar soal kerohanian. Spiritualitas, juga bukan sekedar kapasitas intelektual. Tetapi sebuah kecerdasan yang utuh, kecerdasaan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, dan juga kecerdasan ekologis. Satu hal lain yang tak kalah penting dan strategis adalah penguatan pendidikan formal gereja. Diperlukan sebuah rethinking (pemikiran ulang) mulai dari Sekolah Minggu hingga Katekisisasi. Bukan cuma peningkatan kapasitas tetapi dibutuhkan sesuatu yang lebih transformatif. Di sini penguatan guru sekolah minggu/ pengasuh dan pengajar katekisasi menjadi sangat penting. mengapa perlu penguatan kapasitas? Karena gereja

252 terpanggil sebagai penyeimbang dalam mekanisme bermasyarakat. Gereja menyuplai manusia yang mampu mendinamiskan kultur demokrasi, kemanusiaan, dan seterusnya. Di perayaan HUT ke 68 ini, gereja tidak dapat menutup mata terhadap berbagai penyakit sosial seperti HIV AIDS, NARKOBA, pratek-praktek kekerasan di ruang domestik maupun ruang publik, termasuk korupsi dan tindakan-tindakan intoleransi terhadap kelompok- kelompok minoritas. Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan semangat untuk mewujudkan cita- cita nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, maka semua elemen terpanggil untuk bergandengan tangan, bahu membahu menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Seluruh pelayan dan warga jemaat yang saya kasihi Ijikan saya pada kesempatan yang berbahagia ini, mengajak kita semua untuk mensyukuri kepemimpinan Tuhan pada Pa Karel Albert Ralahalu yang pada tanggal 15 september yad, akan mengakhiri tugasnya sebagai gubernur Maluku, selama 10 tahun memimpin Maluku. Kita percaya tangan Tuhan yang kuat telah menyertainya selama 10 tahun mengabdi dan berkarya bersama segenap rakyat Maluku. Atas nama GPM, saya menyampaikan apresiasi khusus pada Bapak Karel Albert Ralahalu, yang pada pada tanggal 15 September ini akan mengakhiri tugas beliau sebagai Gubernur Maluku. Sepanjang 10 tahun tugasnya, beliau telah menjadi rekan seperjalanan yang luar biasa. Tidak hanya bagi dan bersama GPM, dan gereja-gereja tetapi dengan dan bersama agama-agama

253 dan segenap umat beragama. Tanpa mengenal lelah, beliau telah mengunjungi pulau-pulau, masyarakat dan jemaat- jemaat di Maluku, dari Wetar sampai ke ujung pulau Buru. Ia ibarat Joseph Kam, sang rasul Maluku, yang tanpa mengenal lelah mengunjungi anak-anak negeri Maluku yang tersebar di propinsi pulau-pulau ini. Ia adalah sosok pemimpin pelayan yang bersama dengan gereja-gereja dan agama-agama di Maluku mengupayakan perdamaian, persaudaraan dan kesejahteraan bagi semua. Pak Karel memimpin dengan hati. Atas nama seluruh pelayan dan umat GPM, kami menyampaikan rasa hormat dan terima kasih buat pa Karel bersama keluarga, ibu sofi dan anak- anak. Rasa hormat, dan terima kasih yang tulus atas nama seluruh pelayan dan jemaat GPM, saya juga sampaikan kepada Bapak Ir. Said Assagaf bersama ibu Retty dan anak anak. Pa Karel dan Pa Bib telah dipercayakan Tuhan Yang Maha Kuasa menghentar Maluku ke halte terakhir 15 september 2013, yang dimulai sejak september 2008. Mereka berdua telah menyelesaikan tugas suci itu dengan segala baik dan sukses. Tentu saja tidak ada gading yang tak retak, namun tidak berkelebihan bila kita katakan bahwa kepemimpinan mereka berdua telah menjadi simbol kebanggaan persaudaraan sejati kemanusiaan bersama di Maluku.

Para Pelayan dan segenap warga gereja yang saya kasihi, Dalam pengakuan atas Kepemimpinan Tuhan bagi GPM itu pula, kita patut melafaskan puji dan syukur sebab pada moment syukur GPM ke 78 ini, kita resmikan dan tabiskan tiga gedung, yaitu Gereja Maranatha (gereja

254 pusat) pusat pembinaan pemuda GPM, dan pastori atau rumah dinas kantor sinode GPM. Gereja Maranatha bagi GPM dan masyarakat Maluku, memiliki makna yang khusus. Ia simbol dari perhatian pemerintah RI kepada kekristenan di Maluku, yang peletakan batu penjurunya dilakukan almarhum President pertama RI, sekaligus pemberian Pemerintah Indonesia untuk GPM. Renovasi total Maranatha kali ini dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Maluku. Hal ini menunjukkan kepedulian dan perhatian pemerintah kepada kehidupan umat beragama di Maluku. Untuk itu, saya dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada pemerintah Propinsi Maluku, Ketua dan segenap anggota DPRD Prov. Maluku, Ibu Sekda, dan semua pihak, terutama basudara Muslim, basudara Katolik, basudara Hindu dan Budha, serta segenap warga gereja yang telah ikut menopang penyelesaian ketiga gedung tersebut. Semoga Tuhan Yesus Kristus, kepala gereja memberkati saudara-saudara semua. Selaku pimpinan GPM, saya harus memberi apresiasi dengan ucapan terim kasih yang tulus kepada pemerintah daerah, pimpinan Kabupaten Kota, camat, kelurahan, desa bahkan RT-RW. Demikian pula kepada aparatur TNI-Polri. Bapak Pangdam dan Kapolda, Dandim dan Kapolres di seluruh Maluku dan Maluku Utara, termasuk Kapolsek, Dandramil hingga Babinsa. Terima kasih kepada tokoh-tokoh agama, serta sesama umat beragama, Basudara Muslim, Katolik, Gereja- gereja saudara, Hindu, Budha dan Konghucu. Terima kasih atas kerjasama yang terjalin selama ini. Last not but least, Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada segenap perangkat pelayan, para Pendeta (termasuk emeritus),

255

Penatua, Diaken, Pengurus Unit/Sektor, Wadah-wadah pelayanan, para pelayan ibadah, Angkatan Muda GPM, serta seluruh badan pembantu pelayanan, termasuk kostor dan tuagama, serta seluruh warga jemaat GPM yang berada di Maluku dan Maluku Utara. Marilah dengan semangat HUT GPM ke-68, kita satukan langkah untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah. Dengan tetap terbuka dan berdoa “Ya Roh Kudus kuatkan kami untuk menjadi teladan kebaikan Kristus sambil tetap mengingat motto GPM: “Aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1 Korintus 3:6). Sekian dan terima kasih. Syalom,.

256

PIDATO HARI ULANG TAHUN GPM KE-79 6 September 2014

Salam sejahtera dalam Tuhan Yesus Kristus! Kami memuji Tuhan dengan tiada hentinya, sebab kasih dan imanmu terus bertumbuh seiring langkah kita melaksanakan amanat agung dari Tuhan di tengah dunia, yaitu untuk menebarkan kasih persaudaraan, perdamaian, mengusahakan kesejahteraan, keadilan dan kebenaran kepada semua, sambil memelihara keutuhan ciptaan Tuhan di dunia. Kesadaran iman itu meyakinkan kita bahwa, benar, Tuhan itu adalah Allah dan Tuhan atas sejarah manusia, bangsa-bangsa dan alam semesta. Dia membentangkan bagi kita hari dalam bilangan bulan dan tahun, serta menggerakkan kita dengan Roh-Nya untuk melaksanakan tugas kita dalam sejarah yang terus bergerak maju. Saya mau menyampaikan Pidato ini sebagai sebuah „Pernyataan Teologis‟ tentang Tuhan yang diimani Gereja, dan secara khusus GPM, dan tentang pelayanan para pelayan dan jemaat secara bersama-sama selama ini. Tuhan, bagi GPM, adalah pembuat dan sekaligus pelaksana sejarah hidup manusia, bangsa-bangsa dan alam semesta. Dalam pengakuan itu, bagi GPM, Tuhan adalah subject matter dan kuasa yang menjadikan manusia, bangsa-bangsa dan alam semesta. Tindakan „menjadikan‟ dalam bahasa teologi Alkitabiah bermakna „membuat‟, „menyebabkan terjadi‟,

257

„mem-bangun‟, „mendandani‟, dan yang paling penting dari itu ialah „menghidupkan‟. Jadi Tuhan berpihak kepada hidup dan mengambil ruang secara langsung dalam ruang kehidupan manusia, bangsa-bangsa dan alam semesta. Ia beroperasi di dalam dan berkarya melalui semua yang dijadikanNya. Ia bukan sebuah kuasa absolut semata, tetapi Ia inhern di dalam segala yang dijadikanNya itu. Kuasa yang ada padaNya itu, digunakan untuk menata, memperlengkapi dan menghidupkan. Sebuah kuasa yang demonstratif untuk tujuan kehidupan sejati. Pengakuan akan Tuhan yang seperti demikian, menegaskan bahwa karya menanam dan menyiram selama kurun waktu 79 Tahun menjadi Gereja Mandiri, atau 4 abad lebih sejak pekabaran injil dimulai di Maluku, telah membuat Tuhan memakai GPM untuk membangun gereja-gereja di Indonesia Timur. Ini bukanlah suatu hal yang harus dipahami dalam arti ekspansif. Sebab komunikasi pekabaran Injil dibangun melalui dialog kehidupan yang bertujuan menguatkan akar-akar pemahaman iman jemaat untuk selebihnya menjadi jemaat kristen yang mandiri dalam segala aspek. Problem relasi injil dan adat dalam sejarah awal bergereja memang sedikit tegang. Tetapi dari hari ke hari GPM sudah dapat membuat peta dan strategi kontekstualisasi, sehingga dialog injil dan adat benar-benar membuat ke-GPM-an itu menjadi suatu warna baru dalam kekristenan dan hidup beragama. Kita mendapati sebuah kekristenan yang meresapi secara arif identitas kultural dan menjadikannya ruang yang inklusif dalam perjumpaan dengan basudara Salam, atau umat beragama lainnya.

258

Bahwa relasi antarumat beragama yang rukun dan teresapi dalam identitas ke-Maluku-an, pernah mengalami ujian yang nyaris membuat agama-agama di Maluku terjerembab. Kita pernah mengalami masa ketika agama- agama menjadi „agama yang lemah‟. Masa itu ialah konflik sosial Maluku 1999-2002. Betapa agama-agama tidak dapat mendinginkan amarah dan dendam. Malah doktrin agama tanpa terhindar, menjadi semacam „motivasi‟ yang membuahkan kekerasan antarsesama. Namun, kesadaran kultural sebagai bagian dari kesadaran teologis telah membuat agama-agama, dalam hal ini Kristen dan Islam, bangkit dan menjadi „agama yang kuat‟. Tatkala agama kembali memainkan fungsi profetiknya dalam rangka membangun rasa saling percaya dan mewujudkan peradaban damai yang sejati antarmanusia dan komunitas di Maluku dan Maluku Utara. Dalam posisi itu, GPM sudah menjadi bagian dari usaha- usaha pemanusiaan dan pemberadaban agama yang humanis. Pada dimensi pertama, yang hendak saya sampaikan, maka realitas agama yang profetik itu dapat muncul karena Tuhan diyakini sebagai Tuhan yang Esa, Tuhan yang Satu. Tuhan yang mendemonstrasikan kuasaNya untuk meluluhkan hati yang penuh amarah dan melembutkan watak keagamaan semua manusia, suku, sub-suku dan bangsa.

Saudara-saudaraku yang diberkati Tuhan! Lakon sejarah menjadi GPM, mengantar kita pada sebuah formulasi teologi tentang bagaimana jemaat

259 memberi dirinya untuk membangun pelayanan gereja bersama semua pelayan. Saya mau menyebut formulasi teologi GPM sebagai TEOLOGI PERTUMBUHAN [the growing theology]. Saya tidak sekedar menegaskan pertumbuhan itu dalam arti teknis-institusionalis, semisal bahwa sampai usia 79 tahun GPM ini telah ada 32 Klasis, 740 Jemaat, 546.507 jiwa, dan 126.026 kepala keluarga, yang meliputi seluruh jemaat di Maluku dan Maluku Utara. Menurut saya TEOLOGI PERTUMBUHAN itu pun bukan ditunjukkan oleh adanya 1.095 pendeta dengan komposisi 492 Pendeta Laki-laki dan 603 Pendeta Perempuan. Sebab teologi pertumbuhan bukanlah soal berapa yang bertumbuh atau berapa yang ada. Teologi pertumbuhan adalah soal keyakinan dan spiritualitas yang mendorong langkah-langkah kreatif, inovatif, dan progresif dalam menjadi gereja yang hidup. Teologi pertumbuhan pertama-tama ditunjukkan oleh pertumbuhan iman jemaat sebagai hasil pembinaan keluarga yang intensif dan sungguh-sungguh. Sebuah teologi dimana rumah tangga atau keluarga benar-benar menjadi pusat belajar beriman. Karena itu, relasi suami- istri terbina dalam saling percaya dan saling menopang. Dimana anak-anak menjadi warga gereja yang matang, dalam arti memahami dirinya, memahami firman dan Tuhan sejak dini. Mereka akan menjadi pribadi pengubah di tengah masyarakat. Semenjak mereka sekolah, spiritualitas kristen sudah menjadi sumber motivasi untuk berprestasi dan kreatif/trampil. Mereka akan mengendalikan perubahan zaman di era global, dan menjadi agen pengubah dalam masyarakat multikultural.

260

Dengan demikian terdapat korelasi yang sistemik dengan pendidikan formal gereja yang memang merupakan wahana pendidikan kualitas iman dan sosial jemaat GPM. Ini memerlukan suatu sistem pelaksanaan PFG yang terukur dan terbuka untuk membarui warga gereja yang siap membarui dunia dimana ia ada. Sebab itu, PFG harus benar-benar menjadi pangkalan pembentukan karakter etis injili. Kelak ketika mereka menjadi warga gereja yang dewasa, mereka akan sanggup memikul salib Yesus sambil membagi kasih, sukacita dan cinta kepada dunia. Itu makna perubahan yang hakiki. Pada titik itulah, Teologi Pertumbuhan mengindikasikan ketangguhan pelayan dalam menata pelayanan gereja. Secara riil, jemaat-jemaat GPM ada di perkotaan, pedesaan, pedalaman, pelosok, pulau-pulau besar, kecil dan terkecil; dalam hamparan orang miskin, tetapi juga dalam kelimpahan sumber kekayaan alam yang belum terkelola secara baik. Jemaat-jemaat GPM ada yang terkonstruksi dalam teritori homogen, tetapi juga heterogen dengan tingkat pembauran sosial, etnik dan agama yang relatif sinergis. Dalam konteks jemaat-jemaat seperti itu, kapasitas pelayan menjadi aspek yang penting. Sepanjang sejarah berGPM dalam dekade ketiga pelaksanaan PIP/RIPP GPM 2005-2015, kapasitas umat, kapasitas pelayan dan kapasitas kelembagaan menjadi aspek utama dalam pembentukan profil gereja. Pertumbuhan spiritualitas merupakan unsur kapasitas utama dalam meningkatkan rasa keterpanggilan dan memiliki jemaat serta pelayan terhadap pekerjaan-

261 pekerjaan Tuhan di dunia. Spiritualitas membuat jemaat dan pelayan melakoni kerjanya dengan jujur, disiplin, rajin, bertanggungjawab, dan tidak menghalalkan berbagai cara atas nama kesejahteraan atau kecukupan secara finansial. Spiritualitas membuat pelayan-pelayan setia melakukan tugas pastoralia, pemberitaan firman, pekabaran injil dan diakonia, memelihara koinonia yang transformatif dengan sesama dan alam semesta. Dengan begitu maka pelayanan GPM bertumbuh. Teologi pertumbuhan adalah juga kegelisahan GPM dengan berbagai problematik yang dihadapi umat, masyarakat di daerah, dalam bangsa dan di dunia. Gereja yang merasakan kegelisahan rakyat atau jemaat adalah tanda gereja yang hidup, sebab gereja itu tetap sadar bahwa ia dipanggil dan diutus Tuhan untuk menghadirkan tanda damai sejahtera di tengah dunia dan masyarakat. Bentuk kegelisahan itu misalnya kemiskinan, keterbelakangan, harapan untuk berdamai, dan rasa keadilan di kalangan masyarakat. Kegelisahan komunitas masyarakat adat terhadap hak-hak ulayatnya yang nyaris hilang oleh gempuran kapitalis. Kegelisahan para sahabat dengan HIV/Aids dan sebagainya. Gereja yang hidup akan memberi respons terhadap kegelisahan itu melalui aksi pelayanan secara praksis dan bukan wacana-wacana homilitis yang menggema dari mimbar-mimbar an-sich. Sebuah praksis yang membuat gereja tampak sedang berada di dalam ranah permasalahan masyarakat/jemaat yang konkrit. Dengan demikian, teologi pertumbuhan adalah teologi di dan dari dalam praksis bergereja.

262

Saudara-saudaraku di dalam Tuhan! Teologi pertumbuhan perlu diejawantah dalam desain strategi pengembangan pelayanan dan institusi GPM. Saya kira, kita sudah bersungguh-sungguh hendak membawa gereja ini mengembangkan kapasitas hidup jemaat; menjadi gereja yang melayani dan memberdayakan. Dalam kurun waktu 2005-2015 ini, GPM mengalami fase-fase pertumbuhan yang cukup berarti: - 2005-2010, sebagai fase pertumbuhan yang difokuskan pada usaha menumbuhkan peace and trust building di Maluku dan Maluku Utara. Sebuah fase yang telah membentuk kehidupan bersama antar-umat beragama di kedua provinsi ini, setelah masa Rekonsiliasi 2002-2005. Pada fase ini, seluruh desain pelayanan GPM diarahkan untuk meningkatkan rasa saling percaya dan menumbuhkan semangat hidup „orang basudara‟. Tuhan telah memberkatinya dengan suasana hidup damai di Maluku dan Maluku Utara. Peran GPM di dalamnya tidak bisa diabaikan, sebab khotbah damai [peace sermon] dan doa damai menjadi inti berita firman Tuhan dan doa semua jemaat di seluruh GPM.

- 2010-2015 kita memasuki fase pertumbuhan dengan beberapa penekanan, antara lain: a. 2011-2012 – pertumbuhan GPM dengan penekanan pada aspek koinonia transformatif di antara jemat/masyarakat, dan koinonia semesta dalam relasi dengan alam ciptaan Tuhan.

263

b. 2012-2013– pertumbuhan GPM dengan penekanan pada tanggungjawab memelihara keutuhan ciptaan dalam arti yang lebih konkrit, yakni pelestarian lingkungan. Dengan penekanan tersebut, GPM ikut mendorong terjaminnya hak-hak masyarakat adat di seluruh Maluku dan Maluku Utara, melalui proses advokasi sosial dan hukum. c. 2013-2014– pertumbuhan GPM dengan penekanan pada tugas mengartikulasi pembinaan umat melalui pencerdasan dan peningkatan kapasitas umat dan pelayan, baik kecerdasan sosial, politik, ekonomi, spiritual, teologi dan intelektual. Dalam usaha pencerdasan itu, pendidikan politik dan pembinaan spiritual dijalankan di semua level dan pada basis-basis rumah tangga jemaat. d. 2014-2015– pertumbuhan GPM sudah harus difokuskan pada usaha menuju Kematangan Bergereja. Karena itu, momentum 79 tahun GPM hari ini ialah momentum pertumbuhan yang mesti membuat gereja ini semakin matang dalam hidup di Maluku, Indonesia dan dunia. Dengan demikian, Teologi Pertumbuhan bagi GPM adalah sebuah daya hidup di bawah terang Injil Yesus Kristus yang mendorong GPM untuk melakukan pembaruan di dalam dirinya, pembaruan hidup umat dan pembaruan hidup pelayan serta masyarakat. Teologi Pertumbuhan dalam arti itu merupakan buah dari pergumulan panjang GPM sejak tahun 2000, melalui spirit „Berubahlah oleh pembaruan budimu‟ [Roma 12:2].

264

Sebab gereja yang dibarui adalah gereja yang dapat membarui dunia. Pembaruan itu merupakan usaha dari suatu proses pertumbuhan yang dicapai. Dalam perspektif itulah, kita memandang GPM pada usia 79 tahun ini dan meletakkan pengharapan kita bagi GPM ke masa depan.

Saudara-saudaraku! Teologi pertumbuhan membantu GPM untuk mengembangkan wawasan kemuridan dan misionernya, sebagai gereja yang hidup dan dilayani oleh hamba-hamba Tuhan yang berhikmat. Bersamaan dengan momentum bersejarah ini, kita baru saja selesai melaksanakan agenda TEMU RAYA PENDETA se-PGI WILAYAH MALUKU dan TEMU RAYA PENGASUH GPM. Dua agenda yang menginspirasi setiap pelayan untuk mengembangkan spiritualitas kepelayanan dalam mewujudkan tugas kudus selaku pelayan Tuhan dan secara khusus pada Pendidikan Formal Gereja. Saya hendak menegaskan itu, sebab dalam bulan November 2014 nanti, gereja ini akan menyelenggarakan event-event penting dan kudus. Pemilihan Majelis Jemaat GPM Periode 2015-2020, pada 3 November 2014, harus dipandang sebagai bagian dari pertumbuhan pelayanan GPM. Karena itu, kepada semua pelayan yang melayani pada periode 2010-2015, atas nama seluruh jemaat dan pelayan GPM, saya menyampaikan banyak terima kasih atas ketekunan dan kesetiaan saudara-saudara melayani sebagai Penatua dan Diaken. Kita doakan supaya mereka yang sudah terjaring dalam proses penjaringan Majelis

265

Jemaat dipersiapkan Tuhan guna pelayanan pekerjaan kudusNya di periode 2015-2020. Terima kasih kepada seluruh Jemaat yang selalu menopang tugas kesaksian dan pelayanan GPM sampai di 79 tahun pelayanan ini. Perkenankan saya menyampaikan syukur pula kepada Tuhan yang sudah memberi bagi gereja ini para Pendeta, Penginjil, Penatua, Diaken, Tuagama, Pengasuh SM-TPI, Pengurus Wadah dan Unit Pelayanan, para kantoria, kolektan, pegawai organik di kantor Sinode, Klasis dan Jemaat, para Paduan Suara, VG, pemain musik gereja, dan semua unsur pelayanan yang pernah melayani pekerjaan Tuhan di gereja kita tercinta ini. Terutama kepada para Mantan Ketua dan Sekretaris Umum Sinode GPM dan Unsur MPH. Kepada mereka yang telah dipanggil Tuhan ke rumahNya yang kekal, kita doakan keluarga mereka agar tetap kuat di dalam Tuhan. Namun, kepada mereka yang ada bahkan di malam ini, kami pun bersyukur sebab Tuhan telah menjadikan bapak/ibu sebagai bagian dari proses pertumbuhan gereja kita ini. Tahun 2015, Gereja ini akan memasuki tahapan pertumbuhan yang baru, melalui persidangan Sinode yang akan menetapkan pula Majelis Pekerja Harian Sinode periode 2015-2020. Saya hanya mau menegaskan bahwa, pemimpin gereja adalah pelayan yang dipilih dan dilengkapi Tuhan untuk melayani gereja dan menggembalakan jemaat yang kudus. Saya dan rekan-rekan MPH lainnya, masih diperkenankan Tuhan menggembalakan gereja dan jemaat Tuhan selaku Ketua Sinode sampai Gereja ini memasuki 8

266

Dekade GPM, atau usia 80 GPM di 6 September 2015 yang akan datang. Bagi saya dan keluarga, itu adalah suatu sukacita tersendiri sebagai seorang hamba Tuhan. Betapa Tuhan telah memberi waktu yang indah itu dalam tahun- tahun pelayanan saya bersama keluarga dan rekan-rekan lainnya. Namun dalam momentum bersejarah di hari ini, saya mau meminta dukungan doa dari semua rekan pelayan dan jemaat GPM, sekiranya Tuhan menghitung saya dalam bilangan pelayan-pelayanNya yang dipilih dan diutusNya melayani Gereja di Indonesia maka perkenankan dan doakan saya untuk proses pencalonan Ketua Umum PGI pada Sidang Raya PGI, 11 November 2014 di Nias. Bagi saya, doa rekan-rekan dan semua jemaat GPM merupakan kekuatan baru yang terus menyanggupkan saya untuk terus menjadi hamba Tuhan bagi gerejaNya. Bagi saya, ini bukanlah sebuah ambisi, melainkan bentuk rasa keterpanggilan diri yang terjadi karena saya yakin akan pembentukan Tuhan atas diri saya melalui GerejaNya yaitu GPM yang tercinta ini. Saya ditahbiskan dan melayani Gereja ini, dan saya yakin, dari sini pulalah Tuhan akan mengungkapkan rahasia-rahasia agungNya bagi kita semua. Akhirnya, perkenankan saya menyampaikan terima kasih kepada:  Pemerintah Provinsi Maluku, dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara atas dukungan dan kerjasama selama ini. Gereja ini akan terus mendoakan bapak-bapak semua, supaya Tuhan memandang bapak-bapak dari tempatNya yang

267

kudus dan memberkati pemerintahan bapak-bapak dan seluruh rakyat Maluku.  Pemerintah Kabupaten/Kota se-Maluku dan Maluku Utara untuk kebersamaan dalam turut mengembangkan jemaat-jemaat dan Klasis-klasis, serta gereja ini secara keseluruhan.  Gereja-gereja Anggota PGI se Wiayah Maluku, yang selama ini telah menjadi bagian dalam kehidupan oikumene.  Basudara Muslim, pimpinan MUI Maluku dan Maluku Utara dan Kabupaten/Kota, untuk menjadi saudara yang bijaksana dalam merangkai kehidupan bersama antarorang basudara di Maluku dan Maluku Utara.  Rektor UKIM dan semua Dekan yang selama ini telah menjadikan GPM bagian dari proses berjalan dan bertumbuh bersama selaku gereja.  Pimpinan Perguruan Tinggi se-Maluku dan Maluku Utara, serta semua Stakeholders di dalam dan Luar Negeri, yang sudah berprakarsa dalam berbagai bentuk kerjasama pengembangan yang berguna bagi pelayanan GPM di berbagai aspek.  Aparatur Keamanan, TNI/Polri untuk fasilitasi keamanan, ketertiban dan perdamaian di Maluku dan Maluku Utara.  Panitia pelaksana Temu Raya Pendeta se-PGIW Maluku, Panitia Temu Raya Pengasuh GPM dan Panitia Hari Raya Gereja yang sudah melaksanakan tiap tugasnya dengan setia. Semoga diberkati Tuhan.

268

 Semua pihak yang diutus Tuhan untuk membantu pelayanan GPM selama ini. Kami tetap berdoa semoga Tuhan memberkati kita semua dan menyatakan kepada kita kasih dan keadilanNya, supaya kita tetap terpelihara dalam hidup bersama untuk melakukan perubahan-perubahan besar bagi daerah, bangsa, dunia dan kemanusiaan.

Aku [Paulus] menanam, Apolos menyiram Tetapi Allah yang memberi pertumbuhan Selamat Ulang Tahun ke-79 GPM

Ketua Sinode GPM Pdt. Dr. John Chr. Ruhulessin, M.Si

269

GEREJA PROTESTAN MALUKU ANGGOTA PGI MAJELIS PEKERJA HARIAN SINODE

Pidato Ketua Sinode Dalam rangka HUT ke-80 GPM Minggu, 6 September 2015

Salam Sejahtera, Salam Damai Orang Basudara! Saya mau mengawali Pidato ini dengan mengutip suatu pernyataan I.H. Enklaar, bahwa: „Joseph Kam, Rasul Maluku, tertarik dengan meterai gereja Ambon yang berbunyi „Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan‟. Meterai atau kini kita sebut moto GPM itu, bagi Joseph Kam, menurut Enklaar, berarti dia sebenarnya hanya menjalankan tugas penginjilan di atas dasar yang sudah ada. Apa yang dilakukannya adalah suatu keberlanjutan. Karena itu, dekade ke dekade ber- GPM, adalah suatu proses berkelanjutan pula. Maka terpujilah Tuhan yang sudah melakukan segala sesuatu sejak masa benih-benih injil ditaburkan, sampai menjadi gereja mandiri dan terus hidup sampai di delapan dekade kemandirian GPM, 6 September 2015. Saya mau menyapa seluruh Jemaat GPM, sebab oleh pertolongan Tuhan yang nyata, saudara-saudara menjadi bukti bahwa gereja ini benar-benar hidup. Gereja ini telah menjadi milik kehidupan rumah tangga dan keluarga, milik satu negeri, desa, dusun, kelurahan, bahkan dalam ikatan suku dan sub suku yang lebih besar.

270

Saudara-saudara ada di seluruh hamparan pulau- pulau di Maluku dan Maluku Utara. Ada yang sudah tersebar ke berbagai pulau dan pelosok Nusantara bahkan di seluruh dunia, tetapi spiritualitas GPM terus terbangun untuk mencari kehendak Allah dimana saja saudara berada. Sejarah GPM, sampai di delapan dekade kemandirian ini mengisyaratkan bahwa, GPM itu sendiri adalah buah dari benih injil dan iman yang telah ditumbuhkan Tuhan. Benih itu disemai di Hative Besar. Kita tidak melupakan peran orang-orang Hukunalo yang mengantar tentara dan para Frater Portugis. Sebab dari situlah benih injil disemai, kemudian ditanam di negeri- negeri di Pulau Ambon, dan terus dibawah ke seluruh kepulauan Maluku, Tanah , , Nusa Tenggara dan bagian lain di Nusantara. Delapan dekade kemandirian GPM adalah kelanjutan misi pekabaran Injil di zaman Gereja Protestan di Hindia Belanda, yang adalah juga kelanjutan dari Kekristenan Roma Katolik, saudara sehati kita itu.

Jemaat yang dikasihi dalam Yesus Kristus! Sebagai gereja yang hidup, masa pembentukan melalui pekabaran Injil merupakan momentum sejarah kasih karunia Tuhan yang sangat luas. Di delapan dekade ini kita bersyukur sebab, sejak semula Tuhan memilih dan mengutus para Utusan Injil, Guru Djemaat, Guru Indjil, Tenaga Utusan Gereja, yang rendah hati, gigih, pantang menyerah oleh tantangan apa pun. Mereka meninggalkan segala miliknya, untuk pergi memberitakan Injil ke „ujung dunia‟ sesuai panggilan

271

Tuhan. Seperti perjalanan Abraham, mereka meninggalkan kampung halaman dengan tidak membawa apa-apa sebagai bekal di perjalanan. Adalah Hehanussa, Huwae, Siwalette, Tuhumury, dan nama-nama lain, yang menunjuk pada keluarga-keluarga kita sendiri. Artinya, Injil dan Gereja ini telah bertumbuh di dalam dan dari keluarga-keluarga Jemaat. Mereka hanya punya iman. Mereka berkeluarga justru ketika mereka sudah tiba di tempat tugas, malah ada yang meninggal di sana karena dibunuh atau sakit, dan malah ada anak mereka meninggal dan dimakamkan di jemaat tempat tugas, dan ketika mereka pindah ke jemaat lain, kuburan anaknya dijaga dan dirawat jemaat. Saya menyaksikan itu secara langsung, tatkala berkunjung ke Klasis GKI Biak Selatan dan Biak Utara. Saya sadar, bahwa Gereja Tuhan di tanah Papua, semua jemaat di sana, sadar bahwa mereka adalah buah penginjilan anak negeri Maluku. Ketika mereka menjaga kuburan dan membuat museum para Guru Indjil, itulah bentuk kesadaran sejarah yang dimana mereka menghormati „karya menanam dan menyiram‟ yang telah bertumbuh dan berbuah atas kasih Tuhan. Teman saya, Ketua Sinode GPI Papua, Pdt. Wim Rumainum, dalam kesempatan berkunjung ke Jemaat Rumahtiga, beberapa waktu lalu berkata: „GPI di Tanah Papua tidak akan pernah melupakan GPM, Rumah Tua Injil yang sudah mendewasakan iman orang Papua‟. Di situlah, kita patut berterima kasih kepada Tuhan, karena proses menjadi gereja kita lakoni untuk benar-benar mencari apa kehendak Tuhan dengan semuanya itu.

272

Jemaat yang dikasihi dalam Yesus Kristus! Delapan dekade menanam, menyiram, bertumbuh dan berbuah, memang harus disyukuri. Oleh tangan Tuhan, GPM bukan hanya belajar menjadi bangsa, melainkan „melahirkan‟ suatu bangsa. Di Dekade Pertama kemandirian GPM, 1945, kita sudah turut melahirkan bangsa. Dalam kesadaran sebagai gereja, pada Dekade kedua, tahun 1950, dengan turut membentuk Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, GPM turut membangun suatu perspektif berIndonesia yang baru di kalangan orang Kristen. Nilai iman dari kedua dekade itu ialah: „GPM berproses sejak awal bagaimana menjadi Indonesia dan bagaimana menjadi Gereja yang Esa di Indonesia. Artinya dalam pencarian akan kehendak Tuhan, GPM membangun spiritualitas persaudaraan dan koinonia yang transformatif. Di situlah GPM telah turut menentukan arah pemikiran berteologi, sikap beriman dan spiritualitas sebagai gereja yang hidup di dalam bangsa Indonesia. Pada dekade-dekade selanjutnya, sejarah bergereja ini telah membawa kita kepada suatu kesadaran teologi dan iman, dimana dengan jujur dan rendah hati, gereja ini mengaku, bahwa kita sudah hidup di luar kuasa dan tuntunan Rohul Kudus. Pesan Tobat 1960 merupakan bentuk kesadaran iman GPM. Bahwa menjadi gereja berarti hidup dan bergantung di dalam Roh dan Kuasa Tuhan. Gereja tidak bergantung pada Roh Kudus adalah Gereja yang melembaga, namun tidak hidup untuk melayani di dunia. Pesan Tobat 1960 adalah juga imperatif teologi GPM mengenai bagaimana menata perubahan diri dan

273 pelayanan. Ecclesia reformata semper reformanda, adalah intisari dari Gerakan Pertobatan GPM 1960. Perubahan dan pembaruan yang ideal bagi gereja adalah „kerendahan hati di bawah tuntunan Rohul Kudus‟. Karena itu, ketika di 1995, GPM mendesain perubahan teologi bergereja, maka di titik itulah sebenarnya kita melanjutkan usaha memantapkan komitmen iman „menjadi gereja yang hidup‟. Pada satu kesempatan, proses perubahan itu saya umpamakan sebagai masa kita menanam, mempersiapkan panen, dan memanen cengkih. Kita tidak boleh hanya puas dengan hasilnya, melainkan kita dituntut untuk melakukan peremajaan tanaman cengkih. Itulah perubahan, artinya tidak berhenti di suatu tahap, tidak berpuas diri atas suatu hasil, melainkan melakukan terus tugas dan karya, karena kita harus terus menjadi gereja dan mengelola „dusun cengkeh‟ milik Tuhan ini.

Jemaat yang berbahagia! Dinamika perubahan itu ternyata membawa GPM menghadapi krisis multidimensional yang turut mempertanyakan refleksi kritis teologi dan iman semua pelayan dan jemaat GPM. Kerusuhan Maluku 1999 adalah krisis Maluku yang menerpa semua orang; warga Salam-Sarane harus mengakui bahwa kita „terseret‟ bersama ke dalam gelombang krisis kemanusiaan itu. Apakah agama-agama sudah mati rasa? Apakah jemaat-jemaat yang hancur itu pasti musnah? Pada sisi itu kita belajar menginsyafi dua hal, yakni:

274

Pertama, gereja yang hidup adalah gereja yang menabur benih damai di atas ladang dehumanisasi. Peace and trust building, sebagai ejawantahan sikap teologi pro- life, menjadi konsep dan tindakan berteologi GPM, bersama Gereja Katolik, Umat Muslim, Hindu, Buddha, dan aliran kepercayaan di Maluku pada saat itu. Artinya, gereja yang mendamaikan adalah gereja yang tidak boleh berjalan dan bekerja sendiri. Gereja yang mendamaikan adalah gereja yang menjadi saudara semua agama. Kita, dan semua elemen agama telah melakukannya demi perdamaian sejati di Maluku. Malah oleh karena itu, kita telah membangun kutub peradaban perdamaian baru, yakni perdamaian di atas dasar kearifan lokal, dan nilai- nilai kebaikan umum budaya masyarakat Maluku dan Maluku Utara. Kita ingat dan mensakralkan kembali jalinan pela, gandong, kaka wai, ain ni ain, kalwedo, kidabela. Semua itu, bagi kita adalah janji luhur dan Injil yang membebaskan. Di situlah kita menjadi gereja untuk mendamaikan. Kedua, jemaat-jemaat GPM ada yang hancur, namun tidak musnah. Sebaliknya muncul jemaat-jemaat baru. Semua itu menandakan bahwa sebagai gereja kita belajar untuk meresapi bagaimana tangan Tuhan berkarya di dalam gerejaNya. Tangan yang tidak kelihatan itu selalu melakukan hal-hal yang tampak nyata. Sebab itu, marilah kita hidup dalam pengharapan.

Hadirin yang berbahagia! Di Delapan dekade GPM, kita masih terus bergumul dengan masalah kemiskinan, keterisolasian wilayah, hasil pembangunan yang belum merata, dan

275 lainnya. Pada level yang lain, masih tinggi angka penyalahgunaan obat-obat terlarang, masih ada stigmatisasi terhadap saudara-saudara kita ODHA, stigmatisasi sosial-politik terhadap masyarakat Maluku. Semua itu adalah juga masalah keumatan yang harus dipecahkan oleh GPM bersama dengan seluruh stakeholders lainnya. Di situlah kita belajar tentang bagaimana menjadi gereja yang peduli. Kepedulian gereja ibarat tugas „menyiram benih‟ dan merawatnya agar tumbuh subur. Gereja belajar memiliki spirit itu dengan membentuk carapandang yang terbuka tentang sesama. GPM harus lebih inklusif sambil mencari pada pranata apakah seluruh problematika keumatan itu dapat kita tanggulangi? Pertanyaan itu menuntun saya untuk merefleksikan kembali makna keluarga dalam strategi pembinaan umat GPM. Keluarga adalah pranata yang tepat untuk menyelesaikan seluruh permasalahan keumatan dan kemasyarakatan. Itulah sebabnya, dalam rangkaian HUT ke-80 GPM, sesuai Rekomendasi Konsultasi Studi Gerejawi 31 Mei – 5 Juni 2015, pada tanggal 30 Agustus 2015 kemarin, kita sudah mencanangkan PEKAN PEMBINAAN SPIRITUALITAS BERBASIS KELUARGA. Saya meminta agar pada Persidangan Sinode nanti, tanggal 30 Agustus kita tetapkan sebagai HARI PEMBINAAN SPIRITUALITAS KELUARGA GPM, dan harus dijadikan bagian program pelayanan gereja di Jemaat-jemaat. Pembinaan Spiritualitas Keluarga harus dilihat sebagai proses mengintegrasikan kembali keluarga- keluarga jemaat. Sebab di era digitalisasi dewasa ini, perjumpaan langsung antar anggota keluarga menjadi

276 terbatas. Ruang perjumpaan diganti dengan gadget atau sarana-prasana IT. Komunikasi antaranggota keluarga berlangsung dalam sikap „tunduk‟, dimana tidak ada kontak mata (eye contact) karena pusat pandangan diarahkan ke gadget. Akibatnya orang tua kehilangan angle untuk memahami kedalaman psikologis anak atau sebaliknya. Nasehat-nasehat pun menjadi sangat virtual; anak terpaksa membaca dan bukan mendengar langsung. Akibatnya, struktur kognisi dan sikap etik anak dibentuk bukan melalui „rangkulan yang hangat‟ tetapi oleh daya tahan batrei gadget, sehingga low bat menjadi faktor eror dalam pembinaan virtual itu. Binakel yang selama ini dilaksanakan rutin, mungkin harus ditransformasi dengan mencari simbol integrasi keluarga. Pada sisi itu saya yakin, sebagai Jemaat GPM, kita kembali diingatkan pada „kehangatan relasi komunikasi dan pelayanan meja makan‟ serta „kekhusyukan doa meja sumbayang dan piring natzar‟. Relasi meja makan harus diciptakan kembali. Saya kira makan di meja makan adalah ritus yang sakral dan relevan untuk mengembalikan nilai kearifan kekeluargaan kita. Dengan menciptakan kembali relasi meja makan, kita pun mengajarkan anak tentang arti berkat, arti kebersamaan dan pentingnya nasehat. Persekutuan doa di meja sumbayang dan piring natzar pun dapat merefresh spiritualitas kita untuk menjadikan Tuhan sebagai pusat/center. Agar anggota keluarga terbiasa untuk mendasari seluruh aktifitasnya pada doa. Saya yakin, GPM ini ada sampai saat ini pun karena doa-doa di meja sumbayang dan piring natzar.

277

Jemaat-jemaat tetap utuh pun karena nasehat-nasehat di meja sumbayang. Kini saatnya kekayaan spiritual (spiritual capital) tersebut kita hidupkan kembali. Dengan menghidupkannya berarti kita mencegah terjangan budaya IT yang dapat merenggangkan relasi keintiman anggota keluarga dan agar kita tidak terjebak dalam virtualisasi pembinaan spiritualitas.

Hadirin yang saya hormati! Akhirnya, atas nama gereja ini kami berterima kasih kepada semua pihak yang sudah mendukung dan turut bersama GPM menggumuli permasalahan- permasalahan keumatan dan kemasyarakatan di Maluku dan Maluku Utara, serta di Indonesia. Kami berterima kasih kepada seluruh keluarga Jemaat GPM di mana saja berada dan pada semua dekade bergereja. Kami berterima kasih kepada semua Guru Indjil, Guru Djemaat, Penginjil, Pendeta, Tuagama, Penatua, Diaken, Pengasuh SMTPI, Pengurus Wadah Pelayanan, Pengurus AMGPM, Muhabeth, semua Pegawai Kantor Gereja di Sinode, Klasis dan Jemaat, serta semua Panitia Gereja, yang telah berkarya di masa dan periode masing- masing. Di antara kita yang hadir saat ini, ada pula saudara- saudara dan rekan-rekan kita secara khusus dari Sinode GKI di Tanah Papua dan Sinode GPI di Tanah Papua, serta Pemerintah Kabupaten Biak Numfor yang turut merasakan betapa hubungan GPM dan GKI serta GPI di Tanah Papua adalah sebuah hubungan Injili yang abadi. Ada pula Pdt. Emeritus Nus Leunufna, Pdt. Emeritus Termas, mereka

278 adalah Tenaga Utusan Gereja GPM angkatan terakhir yang diutus dan memilih tidak meninggalkan tanah pengutusan mereka sampai masa emiritus di tanah Papua. Saya mau berterima kasih atas nama gereja ini kepada saudara- saudara dan keluarga semuanya. Tuhan memberkati. Terima kasih pula kepada Pemerintah Daerah Provinsi Maluku, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara. DPRD Provinsi Maluku, DPRD Provinsi Maluku Utara. Pemerintah Kabupaten/Kota, Kecamatan, Negeri, Desa, Kelurahan, Dusun, RT/RW se-Provinsi Maluku dan se-Provinsi Maluku Utara. Secara khusus, kepada Keluarga Besar Kesultanan Ternate yang telah mempercayakan GPM menjadi „rumah Sultan‟ dengan menyimpan peti Jenazah Sultan di Gereja Soa Tabanga, Jemaat GPM Ternate. Bagi GPM, kepercayaan ini adalah wujud bahwa eksistensi GPM adalah bagian dari eksistensi Maluku dan Maluku Utara. Di situlah tampak gereja yang hidup di dalam kesadaran kultural. Perkenankan saya berterima kasih kepada Ibu Ketua Umum PGI dan Ibu Ketua Umum GPI. Memang dalam dekade ini, Gereja-Gereja di Indonesia sedang menikmati kasih Tuhan melalui pelayan-pelayan perempuan. Bagi saya, ini bukan momentum puncak kesetaraan gender. Realitas ini adalah realitas bergereja, bahwa setiap pelayan dipilih Tuhan dari antara mereka yang telah dikuduskanNya. Terima kasih untuk tetap berproses bersama GPM dalam tugas bergereja di Indonesia. Terima kasih kepada Uskup Diosis Amboina, Ketua MUI Maluku, Ketua MUI Maluku Utara, Ketua Parisada

279

Hindu Dharma, Ketua Walubi, PGIW Maluku, PGIW Maluku Utara, saudara-saudara GMIH, dan semua Gereja Denominasi, yang telah menjadi saudara dan sahabat GPM selama ini. Tuhan memberkati dalam tugas masing-masing. Kepada Bestuur Synode gereja-gereja Maluku di Tanah Belanda, Perwakilan GPM di Jabodetabek dan Washington, kami pun berterima kasih atas jalinan kasih dan kebersamaan sebagai Gereja Maluku di dunia. Terima kasih kepada seluruh Pimpinan Perguruan Tinggi di Maluku dan Maluku Utara yang selalu menjadi bagian dalam proses pengembangan sumber daya umat GPM. Juga semua pimpinan Sekolah jenjang dasar dan menengah di Maluku dan Maluku Utara. Saya mau menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan MPH Sinode GPM Periode 2005-2010 dan 2010-2015, para Sekretaris Departemen, Badan Non Departemen, Kepala Biro, Kepala Percetakan GPM dan Staf, semua pimpinan Yayasan GPM, Bendahara Sinode, para MPK, dan Majelis Jemaat Periode 2005-2010 dan 2010-2015, yang sudah bersama-sama kami menatalayani panggilan di dekade kedelapan ini. Kepada para mantan pimpinan serta anggota BPH/MPH Sinode dan Keluarga, gereja ini berterima kasih karena pada dekade-dekade sebelumnya kita telah dilayani oleh Bapak/Ibu yang adalah pelayan Tuhan. Kita semua sudah melakukan apa yang dapat kita lakukan. Kita hanyalah orang yang menanam dan menyiram. Kita selalu berdoa, Tuhanlah yang memberi pertumbuhan dan buahnya adalah wujud berkat yang indah.

280

Special Thanks for Wyclife Internasional and US Ambasador for Indonesia. Thanks for your coming. It‟s a mercy on this 80‟ Birthday to celebrate the unity of churches as a houshold of God on this universe. Akhirnya, sebagai kado 80 tahun GPM, MPH Sinode mempersembahkan kepada Gereja dan Sejarah Berteologi di GPM, sebuah buku yang berjudul: „DELAPAN DEKADE MENANAM, MENYIRAM, BERTUMBUH DAN BERBUAH: Teologi GPM dalam Praksis Berbangsa dan Bermasyarakat‟. Selain buku ini, akan terbit pula sebuah Buku yang berisi testimoni para pendeta dan jemaat tentang kisah pelayanan dan harapan kepada GPM. Buku „Delapan Dekade Menanam, Menyiram, Bertumbuh dan Berbuah‟ memuat pemikiran dan praksis berteologi yang dilakoni oleh para Pendeta dan Jemaat sebagai subyek berteologi itu sendiri. Membacanya sama dengan membaca peta berteologi GPM dari masa awal 1935 sampai 2015. Suatu peta yang membuat kita harus mendaki gunung, bermain dan bercanda bersama anak- anak, menyusuri lautan, untuk berjumpa dan membangun perdamaian dengan semua basudara lintas agama dan batas apa pun. Ada kearifan-kearifan yang ternyata bukan cuma kita miliki, tetapi sudah dijadikan energi kehidupan seluruh jemaat dan masyarakat lintas agama. Kami sekaligus mempersembahkannya untuk direfleksikan dan dievaluasi secara kritis dan beriman. Karena itu, kami berterima kasih kepada semua penulis/kontributor yang sudah menuangkan keyakinan imannya pada tulisan saudara-saudara. Terima kasih

281 kepada Rektor dan UKSW Press yang telah membantu proses pencetakan buku ini. Akhirnya, di sukacita ini, dalam segala syukur kita, baiklah kita sama-sama berkata:

AKU MENANAM, APOLOS MENYIRAM TETAPI ALLAH YANG MEMBERI PERTUMBUHAN

Semoga Allah sumber segala kasih karunia, di dalam Kristus Anak-Nya dan oleh tuntunan Roh Kudus menyertai GPM, semua pelayan dan jemaat, serta bumi tempat kita melayani sampai selama-lamanya.

Ambon, 6 September 2015 Ketua Sinode GPM

Pdt. Dr. John Chr. Ruhulessin, M.Si

282

Kunjungan ke Pulau Babar MBD

Mahasiswa IAIN Ambon Magang di Litbang GPM

283

BAB V GAGASAN-GAGASAN VISIONER

Seiring dengan perubahan desain pelayanan gereja, kita harus berjalan seirama dengan desain perubahan pembangunan daerah di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Progress pembangunan di kedua Provinsi ini memosisikan GPM sebagai salah satu kekuatan sosial dan moral yang harus turut serta dalam mendesain kemajuan daerah, kesejahteraan rakyat, perdamaian dan rasa saling percaya, demokratisasi dan mengentaskan kemiskinan, memajukan pendidikan dan meningkatkan angka partisipasi sekolah, serta menjamin stabilitas daerah yang semakin mantap. Bagian ini berisikan tulisan-tulisan JR yang dipresentasikan dalam berbagai forum, baik gerejawi maupun lintas agama dengan audiens yang beragam: pemuda, warga gereja dan warga masyarakat pada umumnya. Tulisan-tulisan ini dapat dilihat pula sebagai cara mem-publik-an visi gereja kepada masyarakat luas demi kehidupan bersama yang lebih baik. Ada delapan tulisan pada bagian ini. Masing- masing tulisan selain menggambarkan pergumulan internal gereja, tetapi juga respons gereja terhadap isu- isu sosial seperti politik, tanggungjawab ekologis, pluralisme, dialog, perdamaian dan persaudaraan, serta gerakan oikumene. Tulisan yang terakhir berjudul “Refleksi Perjalanan dan Pertumbuhan GPM 2005-2015 serta Harapan 2015-2025”. Tulisan dimaksud semacam

285 evaluasi singkat sekaligus proyeksi dan harapan ke depan. Diharapkan melalui tulisan-tulisan ini, kita dapat mencermati dinamika kehidupan bergereja dan bagaimana gereja memberi respons terhadap persoalan- persoalan yang dihadapinya. Dengannya pula, kita dapat mengkritisi berbagai celah dan kemungkinan- kemungkinan pengembangan pelayanan gereja di tengah-tengah dunia.

286

DINAMIKA PERUBAHAN GPM

I

Tema „Perubahan‟ telah menjadi pergumulan mendasar GPM sejak tahun 1995, yang diintensifkan uraian dan langkahnya melalui PIP/RIPP GPM 2005- 2015. Artinya dalam dasawarsa ketiga pelaksanaan PIP/RIPP GPM itulah, kita berpacu bersama untuk meredesain pelayanan gereja yang lebih tanggap terhadap konteks dan juga tanggap terhadap krisis yang multidimensional. Dalam konstelasi perubahan itu implementasi PIP/RIPP tahap II tahun 2010-2015 disasarkan, agar program prioritas GPM yakni peningkatan kapasitas gereja yang meliputi kapasitas umat, pelayan dan kelembagaan terimplementasi di semua aras terutama di seluruh jemaat GPM. Ruang ke arah itu kita maksimalkan melalui proses-proses perencanaan pelayanan yang matang, dan bertumpu pada problematik pelayanan yang kontekstual agar gereja tidak kehilangan spirit pertanggungjawaban teologisnya. Seiring dengan perubahan desain pelayanan gereja itu pula, kita harus berjalan seirama dengan desain perubahan pembangunan daerah di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Progress pembangunan di kedua Provinsi ini, memosisikan GPM sebagai salah satu kekuatan sosial dan moral yang harus turut serta dalam mendesain kemajuan daerah, kesejahteraan rakyat, perdamaian dan rasa saling percaya, demokratisasi dan mengentaskan kemiskinan, memajukan pendidikan dan

287 meningkatkan angka partisipasi sekolah, serta menjamin stabilitas daerah yang semakin mantap.

II

Dalam dinamika perubahan itu, Tata Gereja GPM yang ditetapkan dalam Sidang ke-36 Sinode GPM Tahun 2010 mengisyaratkan suatu perubahan fundamental terutama tentang sistem perencanaan pelayanan. Dalam ritme kita menerapkan PIP/RIPP secara tersistem, pemberlakuan Rencana Strategis [Renstra] Jemaat, sesuai pasal 10, jo pasal 29 Tata Gereja GPM, sudah mesti diterapkan di tahun 2012. Sinergi ke arah itu, kita tata bersama melalui MPL ke-33 Sinode GPM di Aru pada tahun 2011 dan dalam tahun ini, sudah banyak jemaat yang mendesain pelayanan sampai tahun 2015 melalui dokumen Renstra Jemaat. Kita berharap agar penerapannya membantu gereja, terutama Klasis, memahami dinamika teritorialnya masing-masing dan mengambil keputusan- keputusan yang tepat untuk mengatur model koordinasi program dan koordinasi kewilayahan. Agar gereja di dalam teritorial klasis itu benar-benar menjadi lokomotif perubahan yang turut serta memainkan peran kontrol yang sejajar dan efektif terhadap dinamika pembangunan kawasan, baik di Maluku maupun Maluku Utara. Renstra Jemaat memuat data-data yang aktual dan valid mengenai kondisi riil di masing-masing jemaat, bahkan data setiap keluarga dan malah keadaan setiap jiwa. Maksudnya data itu kiranya pula menjadi dokumen pendamping perencanaan pembangunan 288 daerah melalui pemerintah kecamatan, kabupaten dan provinsi. Sekaligus agar pembangunan kawasan dapat turut berjalan seirama dengan pelayanan gereja atau sebaliknya. Dengan demikian, gereja memberi isi teologi dalam perubahan wilayah dan masyarakat di kawasan masing-masing.

III

Perubahan yang berikutnya ialah bahwa fokus kita pada pembentukan kapasitas umat, pelayan dan kelembagaan membuat GPM kini berkonsentrasi untuk: - Menciptakan ruang pembinaan dan pemberdayaan umat secara maksimal. Hal ini kiranya dimaksimalkan dengan jalan melibatkan semua potensi sumber daya umat di dalam jemaat. Sebab partisipasi warga gereja merupakan salah satu elemen pendukung keberhasilan pelayanan sesuai Renstra Jemaat. - Meningkatkan kapasitas pelayan melalui pendidikan formal, pendidikan penjenjangan, pendidikan kependetaan dan pendidikan profesi kepelayanan lainnya. Bersamaan dengan itu, seluruh Badan Pembantu Pelayanan di tingkat klasis dan jemaat sudah mesti dipacu pula agar ada sharing yang setara dalam meningkatkan kualitas pelayanan. - Pemekaran Unit, Sektor, Jemaat dan Klasis perlu dilihat sebagai ruang untuk mendorong berfungsinya institusi gereja dalam meningkatkan pelayanan gereja itu sendiri.

289

IV

Masalah-masalah kemiskinan, pendidikan, perdamaian dan rasa saling percaya, korupsi, kerusakan lingkungan, kesehatan dan bahaya HIV/Aids, narkoba, globalisasi dan laju informasi merupakan masalah- masalah menjadi perhatian GPM. Hal itu secara umum sudah digambarkan dalam Pedoman Implementasi PIP/RIPP GPM. Sebagai gereja pulau-pulau, maksimalisasi pelayanan dan koordinasi antar wilayah menjadi perhatian serius. Karena itu, peningkatan infrastruktur transportasi darat, laut dan udara, merupakan bagian mutlak yang kiranya pula menjadi muatan diskursus gereja bersama pemerintah daerah. Kita menyaksikan bahwa usaha ke arah itu terus digalakkan oleh pemerintah daerah. Kepentingan lain dari gereja dengan penataan infrastruktur ini ialah agar jemaat-jemaat dapat menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi yang berkembang seirama dengan daerah-daerah lainnya. Dengan demikian, sistem „multy gate system‟ akan menjadikan jemaat-jemaat GPM sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, sekaligus memecahkan masalah kemiskinan.

V

Dinamika politik dan demokrasi merupakan dimensi lain dari seluruh perhatian GPM dalam konteks perubahan sampai tahun 2015. GPM terus mendorong partisipasi yang tinggi dalam agenda pemilihan umum 290 dan pemilihan umum kepala daerah di Provinsi dan Kabupaten. Hal itu menjadi bagian dari usaha membentuk kesadaran demokrasi dan politik anggota jemaat, sebagai wujud relasi dialektika gereja dengan negara. Pada kabupaten-kabupaten, dimana warga GPM saat ini terhitung sebagai mayoritas, partisipasi politik dan demokrasi dimaksudkan pula agar kultur pemerintahan di daerah itu menjadi kultur melayani, sehingga tercipta pemerintahan yang baik dan bersih [good and clean government], sebab pemerintahan yang baik dan bersih harus dihormati oleh rakyat [Roma 13].

VI

Tentang peace and trust building, kita sudah berpartisipasi dalam mewujudkan hal ini secara sistematis. Ruang dialog dan perjumpaan kita maksimalkan, malah GPM melihat ruang itu harus terjadi dalam intensitas perjumpaan di tempat tinggal atau dalam hidup bertetangga. Demikian pun, di tempat kerja dan sekolah. Pendidikan Agama Kristen [PAK] GPM pun memberi ruang yang besar pada isu ini. Selain itu, kerjasama dengan semua lembaga agama dan antar umat selalu menjadi agenda setiap tahunnya. Aksi-aksi anarkisme atas nama agama atau terhadap satu kelompok agama adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan dan tidak akan dibiarkan terjadi begitu saja. Demikian pun, aksi agitasi dan provokasi mengatasnamakan agama bagi GPM adalah bentuk kafir baru yang harus dilawan. Artinya GPM bermaksud

291 membangun tatanan beragama yang Pancasilais di Indonesia. Salah satu tanggungjawab bersama sebagai gereja dan partisipasi kita pada kehidupan beragama yang toleran, sopan dan beradab di Indonesia adalah dukungan GPM terhadap pelaksanaan MTQ Nasional XXIV yang akan berlangsung di Maluku, Ambon, Juni 2012 mendatang. GPM dan semua umatnya bersama- sama terpanggil menampilkan Maluku sebagai surga agama-agama di dunia. Hal itu harus dimanifestasi dengan jalan menjaga kedamaian dan merevitalisasi nilai pela dan gandong yang sarat kebaikan dan kebijaksanaan umum.

Ambon, 11 Maret 2012

292

MALUKU: ANTARA REALITAS DAN HARAPAN1

1. Beberapa tahun terakhir, wacana tentang Maluku dalam “nada” semacam ini sering muncul dalam dirkursus publik di kota Ambon maupun di beberapa tempat lain. Hal itu menarik. Pertama, wacana itu menunjukkan banyak pihak memiliki kegelisahan tentang masa depan Maluku. Tetapi kegelisahan saja tidak akan pernah cukup. Kegelisahan hanya merupakan awal dari tanda kekritisan kita terhadap situasi dewasa ini. Supaya kegelisahan itu menjadi praksis, maka mesti ada sesuatu yang harus kita kerjakan secara bersama. Mesti ada agenda yang harus dikerjakan supaya kegelisahan itu mendorong emansipasi masyarakat untuk mengembangkan kemajuan bagi kepentingan bersama. Kedua, wacana ini harus ditempatkan dalam sebuah kesadaran berbangsa dan berkemanusiaan yang jelas dan kokoh dalam konteks keindonesiaan yang majemuk. Maluku adalah bagian dari realitas kebangsaan ini.

2. Lalu apa harapan kita? Harapan itu harus menjadi sebuah harapan berbangsa, tetapi juga harapan berkemanusiaan. Artinya, seluruh proses berbangsa harus diletakkan di atas sebuah komitmen untuk membangun kemanusiaan. Kemanusiaan harus

1 Disampaikan dalam Seminar Sehari Yubelium GAMKI, 22 Maret 2012, Swissbel Hotel-Ambon 293 menjadi core (inti) yang harus diperjuangkan. Itu bukan hanya penting untuk membangun bangsa, tetapi di situ ~kemanusiaan~ juga terdapat dasar dari nasionalisme yang selalu hendak kita perjuangkan selaku bangsa. Kesenjangan dalam proses berbangsa terjadi jika kemanusiaan tidak lagi menjadi basis dari seluruh harapan atau visi kita dalam berbangsa. Secara teologis, kemanusiaan setiap orang itu sama. Tidak ada kemanusiaan yang berbeda hanya karena perbedaan agama, golongan, atau warna kulit. Kemanusiaan seorang pengayuh becak sama dengan kemanusiaan seorang presiden atau kaisar. Kemanusiaan itu yang membuat semua orang mau berjuang untuk kemerdekaan sebuah bangsa, walaupun kemerdekaan yang diperjuangkan itu lalu mendapatkan sebagian sebagai rakyat jelata dan sebagian lagi sebagai para pemimpin. Tetapi posisi itu tidak menjadi sebuah masalah, sebab realitas pemimpin dan yang dipimpin adalah sebuah keniscayaan sejarah yang akan selalu terjadi. Yang menjadi masalah di antara mereka (para pemimpin dan rakyatnya) adalah jika kemanusiaan tidak lagi menjadi commonvalues di tengah kehidupan berbangsa. Keruntuhan nasionalisme sebuah bangsa ditandai dengan runtuhnya kesadaran untuk menempatkan kemanusiaan sebagai core dari seluruh proses berbangsa. Kesenjangan sosial, kebijakan-kebijakan yang berpihak pada yang kuat dan menindas yang lemah, perluasan pembangunan fisik tanpa disertai kesejahteraan rakyat, adalah indikator dari rendahnya komitmen untuk mengembangkan kemanusiaan. 294

3. Dalam hubungan dengan itu, sudah tentu harapan kita adalah supaya tercipta keadilan, kebenaran, persaudaraan, kesejahteraan dan perdamaian. Jika kita bertanya, apakah semua itu akan dapat terjadi di dunia ini? Maka secara etimologis, dalam rumpun bahasa manapun juga, semua gagasan itu adalah sesuatu yang sulit terjadi di dunia ini. Secara teologis, visi atau harapan semacam itu tidak akan pernah terjadi “seutuhnya” dengan “sempurna”. Istilah-istilah syaloom atau eirene, yang memiliki pengertian seperti harapan di atas, adalah sesuatu yang tidak akan pernah terwujud di dunia ini. Pertanyaannya, lalu apa peran manusia, apa peran negara, apa peran agama-agama jika semua itu sulit tercapai secara utuh? Kendati semua itu sulit kita capai seutuhnya dengan sempurna, tetapi paling tidak kita punya kesadaran tentang apa yang ingin kita capai atau raih. Secara politis, justru karena semua itu tidak akan pernah kita penuhi secara sempurna, maka proses berbangsa dan bernegara untuk membangun kemanusiaan menjadi sebuah proses yang tidak akan pernah selesai. Sebab, jika kita telah mampu mencapai “visi” berbangsa, maka secara teoritis proses berbangsa telah selesai, tuntas. Begitu pula, proses beriman kita selaku orang percaya pun selalu berada dalam “proses menjadi” yang tidak akan pernah selesai dan tuntas. Di situlah terletak dinamika kehidupan beriman, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, ketika semua yang kita anggap baik (commongood) terus kita perjuangkan secara bersama. Kita selalu berada dalam “proses menjadi” yang tidak pernah selesai 295

dan tuntas. Dalam kenyataan itu, pertanyaan seperti tema kita, “…..Maluku, antara realitas dan harapan…..” adalah sesuatu yang sah, dan sangat sosiologis. Pertanyaan itu selalu menyentak kita untuk kritis terhadap situasi sekarang ini, dan mengingatkan kita untuk tetap setia pada masa depan yang hendak kita masuki. Setidaknya, kendati sebagai bangsa kita sulit untuk mencapai semua itu, tetapi kita kedapatan setia pada jalan itu.

4. Apa yang kita perlukan? Supaya kita tetap setia pada jalan yang kita ingin capai, yakni keadilan, kebenaran, persaudaraan, kesejahteraan dan perdamaian sebagai bagian dari harapan berbangsa dan berkemanusiaan, maka ada beberapa hal yang perlu kita kerjakan:

Pertama, kita perlu merawat wawasan kebangsaan dengan memperkuat wilayah perbatasan. Dalam negara manapun, wawasan kebangsaan itu tidak pernah tuntas dibangun. Kahin pernah berkata, “dalam sebuah bangsa seperti Indonesia, dimana kemerdekaan dicapai karena perjuangan seluruh lapisan masyarakat, bukan semata-mata karena bedil, maka sudah sewajarnya kita mengakui bahwa kemerdekaan republik ini tidak akan tercapai jika nasionalisme kebangsaan Indonesia itu tidak tumbuh, tertanam dan dihidupi oleh segenap rakyat Indonesia yang memilih untuk membebaskan diri

296

dari tekanan dan penindasan.”2 Artinya, merawat wawasan kebangsaan dapat dilakukan dengan jalan berpihak pada kebangsaan dan kemanusiaan. Reaksi terhadap kemanusiaan yang tertindas, tertekan, terjajah, adalah basis dari nasionalisme kebangsaan kita. Jika kita ingin menjaga wawasan kebangsaan, maka itu harus dikerjakan melalui komitmen dan kesungguhan kita untuk berpihak pada kemanusiaan. Merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdampak mengurangi angka kemiskinan dan penderitaan rakyat adalah cara kita menjaga kebersamaan berbangsa. Termasuk memperluas kesejahteraan masyarakat di wilayah “terdepan/beranda” Indonesia yang berbatasan dengan negara lain. Penguatan ketahanan wilayah perbatasan/terdepan/beranda Indonesia harus dikerjakan bukan hanya melalui penguatan ideologi, tetapi juga dengan memperkuat ketahanan sosial, ketahanan manusia, ketahanan ekonomi, ketahanan kultural melalui instrumen kebijakan pembangunan daerah/nasional di sana. Mesti ada dampak dari seluruh pembangunan di pusat-pusat daerah pertumbuhan terhadap kesejahteraan sosial masyarakat di “wilayah terdepan/beranda” negara ini. Persoalan yang krusial dalam negara “berkembang” seperti Indonesia, pertama-tama bukan soal ideologi tetapi soal kemanusiaan (kesejahteraan, keadilan, perdamaian, kesetaraan).

2 George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 83-127 297

Kesadaran tentang kemanusiaan sangat vital, sangat menentukan eksistensi sejarah sosial masyarakat manapun juga.

Kedua, reformasi birokrasi. Jika kita menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik, setidaknya jika kita ingin tetap setia di jalan yang telah kita pilih sebagai commongood, maka reformasi birokrasi adalah sesuatu yang mutlak kita lakukan. Kita sadar benar, bahwa birokrasi bukan “kultur” kita. Birokrasi adalah sebuah kultur dalam peradaban Barat (Eropa) yang kita adopsi sebagai bagian dari cara kita membangun sebuah bangsa/negara. Tidak ada manusia yang terlahir langsung sebagai seorang birokrat. Perlu proses internalisasi yang sistimatis dan progmatik supaya seorang manusia mewarisi karakter seorang birokrat. Satu hal yang penting dan mendasar dari birokrasi adalah fungsinya sebagai intstrumen untuk mengembangkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Kemanusiaan merupakan isu utama dan mendasar, ~termasuk juga konsep “kapitalisme” di awalnya dimaksudkan sebagai tanda dan peningkatan kualitas kemanusiaan manusia yang rasional dan ekonomis~ dalam perubahan peradaban Barat yang mengintrodusir sistem birokrasi. Birokrasi adalah sistem yang sebenarnya dibangun untuk memperbesar kesejahteraan dan menjamin kebebasan individu untuk mengembangkan diri.3 Itu sebabnya, di Barat,

3 Bryan S. Tuner (ed), The Blackwell Companion to Social Theory (Oxford: Blackwell Publisher Ltd, 1996), hal. 435. 298 hingga saat ini, jika seorang pejabat ketahuan korupsi, atau melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat, maka dengan sadar yang bersangkutan akan mundur sebelum proses hukum dijalaninya. Dalam kaitan itu, jika kita mau melakukan reformasi birokrasi, maka reformasi itu harus terarah untuk mengembangkan birokrasi menjadi kultur masyarakat, setidaknya menjadi karakter para birokrat. Supaya mereka menjadi orang-orang yang profesional bekerja dalam sistem birokrasi. Birokrasi harus ditata menjadi fungsi dari pelayanan demi kesejahteraan rakyat. Birokrasi yang benar, dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang merugikan orang banyak. Dalam hubungan dengan itu, kita perlu mengembangkan kualitas sumber daya manusia di Maluku. Pendidikan manusia di Maluku terus mengalami peningkatan. Selalu terdapat korelasi antara derajat sumber daya manusia suatu wilayah dengan tingkat kesejahteraan setempat. Itu semua harus menjadi bagian dari seluruh harapan kita untuk masyarakat dan bangsa ini.

Ketiga, visi pembangunan. Supaya kita tetap setia pada commongood yang telah kita pilih bersama, maka visi pembangunan harus lebih terarah pada dimensi “pembebasan” manusia dari segala aspek yang membatasi prosesnya untuk menjadi sungguh- sungguh manusia. Persoalan manusia bukan hanya supaya mereka menjadi sejahtera, dengan segala sarana dan prasarana yang tersedia. Tetapi kebutuhan manusia yang mendasar adalah 299

kebutuhan untuk mengalami pembebasan. Secara teologis, Erich Fromm, seorang filsuf Jerman berkata,4 “…Kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah mengalami pembebasan. Ketidakpatuhan manusia yang pertama terhadap Tuhan, adalah awal dari sejarah manusia, karena itu adalah perjuangan manusia untuk memperoleh kebebasan. Pembangkangan manusia pada Tuhan terjadi hanya untuk mendapatkan “pembebasan” dari Tuhan. Sehingga dalam teks kitab suci pun, tidak ditemukan pengertian dosa atau yang sejenisnya (kecuali teologi Kristen), untuk menerangkan perbuatan Adam dan Hawa makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Keduanya, tidak menyesali perbutan itu, dengan segala konsekuensinyya. Pun mereka ketika diusir, tidak terdapat penyesalan, sebab dengan mengetahui tentang apa yang baik dan yang jahat, manusia menikmati awal pembebasannya”. Dalam kaitan dengan itu, terlihat bahwa dengan pengertian manusia tentang apa yang baik dari apa yang jahat, maka manusia memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya. Dari tengah situasi pembebasan itulah, manusia memulai upayanya untuk mengembangkan kualitas kemanusiaannya di tengah lingkungan sekitar yang konkrit. Artinya, pengakuan terhadap pembebasan merupakan nilai mendasar dari seluruh perjuangan pembangunan sosial yang hendak kita kerjakan. Dengan

4 Erich Fromm, Manusia menjadi Tuhan. Pergumulan antara “Tuhan Sejarah” dan “Tuhan Alam” (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), hal.46-49. 300 pembebasan itu, maka manusia menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusiawi, bebas dari equal.

Keempat, pembangunan agama. Dewasa ini perkembangan agama-agama makin pesat. Kehidupan beragama tidak lagi menjadi sesuatu yang semata-mata bersifat terbatas, menjadi bagian dari lingkungan privat. Tetapi agama-agama telah bermetamorfosis dalam ruang-ruang publik. Terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan untuk pembangunan masyarakat. Menurut hemat saya, itu sesuatu yang menarik. Tetapi itu saja tidak cukup. Agama-agama harus terlibat bukan demi kepentingan agama itu secara internal. Agama- agama harus menjadi kekuatan moral untuk memberi perhatian yang lebih dalam bagi isu kemanusiaan di tengah proses pembangunan bangsa. Pada segi itu, agama-agama memiliki peluang untuk mengembangkan kerjasama yang lebih efektif untuk menyumbang sesuatu yang mendasar bagi kehidupan berbangsa. Agama-agama harus mendorong agar proses berbangsa dan bernegara ini tetap setia pada jalan yang telah disepakati sebagai commongood yaitu keadilan, kebenaran, kesejahteraan, persaudaraan dan perdamaian. Perbedaan agama tidak perlu diperdebatkan, sebab itu sebuah keniscayaan historis yang tidak terelakkan. Yang lebih produktif adalah bagaimana agama-agama itu dihidupi melalui kesungguhan umat beragama untuk mengerjakan kebaikan bagi semua orang? Kebenaran agama terletak pada sejauhmana agama itu fungsional bagi kemanusiaan. 301

Kemanusiaan setiap orang dalam agama manapun sama, sehingga pada level kemanusiaan itulah, perjuangan agama-agama harus diletakkan. Walaupun terdapat perbedaan agama-agama, tetapi titik perjumpaan kita terletak pada kesadaran iman pada Tuhan mengharuskan kita untuk bertanggung jawab pada apa yang telah Tuhan ciptakan, yakni manusia/kemanusiaan dan lingkungan ciptaannya. Kesungguhan kita untuk memelihara semuanya itu, adalah wujud paling konkrit dari kebenaran iman kita pada Tuhan.

Kelima, kearifan lokal. Jika kita hendak mengembangkan Maluku ke arah yang lebih baik dalam konteks keindonesiaan yang majemuk, maka kultur menjadi sesuatu yang penting. Dalam pengertian kultur, kita kenal kearifan lokal. Kearifan lokal adalah bentuk yang paling dinamis di antara “kultur” yang dimiliki sebuah masyarakat. Bentuk fisik dari kultur tidak dapat diubah, itu menjadi tanda dari sejarah sebuah masyarakat. Tetapi sejarah sebuah masyarakat, bukan hanya tentang sesuatu yang telah terjadi di waktu lampau. Sejarah masyarakat juga memiliki aspek “keakanan”.5 Dalam pengertian itu, kearifan lokal sebuah masyarakat pun memiliki kemungkinan untuk mengalami perkembangan sebagai perluasan,

5 F.R. Ankersmith, Refleksi tentang Sejarah. Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1987), hal.24-26 302

perumitan, kompleks, kualitatif.6 Itu yang disebut dengan “proses peradaban” yang terus berlangsung sepanjang sejarah masyarakat itu. Sebuah proses peradaban tidak akan pernah berhenti, terus berlanjut. Itu artinya, kita perlu mengembangkan secara kritis kearifan lokal yang kita miliki sebagai masyarakat Maluku. Kita memiliki persaudaraan lintas agama, lintas kawasan dalam tradisi Aini Ain, Duan Lolat, Pela dan Gandong, Lawur Ngabal dan lain-lain. Jika kita hendak menempatkan sejarah Maluku sebagai bagian dari sejarah bangsa ini, maka kita pasti punya kesadaran bahwa apapun yang sekarang ada pada kita memiliki kemungkinan untuk berkembang. Secara historis, semua kearifan lokal yang kita miliki pun bukan sesuatu yang datang dari dasar lautan atau dari langit, tetapi semuanya merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan kita. Juga melibatkan masyarakat dan kebudayaan lain di nusantara. Dengan kata lain, kearifan itu mesti menjadi instrumen untuk mengembangkan seluruh harapan dan cita-cita kita, yakni kemajuan dan kesejahteraan bersama daerah dan bangsa ini.

5. Demikian beberapa pemikiran reflektif yang dapat saya berikan untuk kita sharing bersama dalam diskusi menjelang Yubelium GAMKI saat ini. Saya berharap, sukacita Yubelium itu bukan hanya menjadi sukacita bagi GAMKI, tetapi harus menjadi

6 Nobert Elias, The Givilizing. The Development of Manners (New York: Urizen Books, 1978), hal. 16-17 303 sukacita bersama bagi kemanusiaan yang ada di Maluku. Kemalukuan dan Keindonesiaan mesti menjadi fokus pergumulan dan perjuangan untuk menjadi berkat bagi seluruh kemanusiaan masyarakat Maluku dan bangsa ini. Jika kita mau menjadi berkat bagi seluruh kemanusiaan di Maluku, kita harus berkorban. Selamat Yubelium GAMKI.

304

„GOD OF LIFE, LEAD US TO JUSTICE AND PEACE” PERSPEKTIF GEREJA-GEREJA DI MALUKU

Kehadiran gereja-gereja di Maluku dengan fakta pluralisme yang begitu nyata memerlukan kearifan untuk memahami makna kehadiran gereja di tengah dunia. Pergulatan konteks yang begitu menantang membutuhkan perlunya dilakukan rethinking terhadap seluruh gagasan-gagasan misi yang diwarisi oleh gereja- gereja di Maluku. Konflik 1999 di Maluku menandaskan satu hal, bahwa ada sesuatu yang “keliru” dengan cara bergereja kita selama ini, ada sesuatu yang perlu dibenahi dari perspektif teologi yang kita warisi. Cara pandang kita tentang misi, konsep oikumene, konsep eklesiologi serta apa arti Injil Kristus dan Peran Roh Kudus dalam konteks bergereja di tengah masyarakat plural, perlu kita bicarakan lagi. Apa benar teologi kita telah sungguh-sungguh merefleksikan apa yang kita maksudkan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu wajar, sebab itu tanda bahwa kita sementara terus bergumul tentang makna kehadiran gereja di tengah dunia. Hal tersebut, juga pernah dilakukan ketika Perang Dunia I dan Perang Dunia II terjadi, ketika bom atom jatuh di Hirosima dan Nagasaki, ketika Boenhoefer harus berhadapan dengan hukuman mati. Tragedi-tragedi yang dialami gereja, sebagaimana salib yang dihadapi Yesus, mesti membuka cara pandang baru tentang arti misi gereja di tengah dunia, termasuk Maluku. Ini sangat membantu untuk mendewasakan gereja-gereja dalam berteologi dan beriman di tengah konteksnya.

305

Satu aspek yang penting dan mendasar supaya gereja tetap setia pada panggilannya adalah Roh Kudus. Hidup dalam Roh Kudus adalah esensi dari misi Kristen dan sejarah gereja. Roh Kudus menuntun dan membentuk seluruh dimensi spiritualitas yang memberi dasar untuk seluruh aspek dalam hidup manusia, tetapi juga menjadi motivasi dari segenap tindakan gereja. Pertanyaannya, apakah Roh Kudus itu hanya terbatas untuk orang Kristen? Bagaimana posisi “yang lain” terhadap karya Roh Kudus? Apakah orang lain, mereka yang tertindas, tetapi bukan Kristen, tertutup terhadap karya Roh Kudus? Saya berpendapat, Tuhan tidak memberikan Roh Kudus yang menyertai karya Yesus hanya untuk menyelamatkan salah satu aspek dari seluruh hal yang Ia ciptakan, termasuk gereja (Lukas 4:18-19). Itu sebabnya, misi Kristus mesti ditempatkan sebagai sebuah kesadaran kosmik. Kesadaran yang mentransformasi masyarakat yang dimarjinalisasi. Begitu pula gereja, gereja tidak boleh hanya hadir untuk mempresentasikan kesadarannya tentang diri sendiri. Kesadaran gereja tentang misi harus menjadi kesadaran kosmik. Kehadiran gereja harus menjadi tanda dari kehadiran Allah itu. Gereja yang hanya berpikir tentang dirinya sendiri, kehilangan makna selaku gereja yang diutus Tuhan. Gereja tidak boleh terpaku pada batas-batas teritorial, suku, negara dan bangsa. Gereja dihadirkan Tuhan sebagai salah satu dari seluruh ciptaanNya dalam konteks tertentu (budaya/primodial), tetapi gereja tidak boleh terjatuh untuk membangun “kerajaannya” di sana. Gereja harus terus bergerak keluar untuk menjumpai semua orang, semua aspek yang telah Allah ciptakan, termasuk 306 kekuasaan. Itu akan membuat gereja tidak pernah merasa “safe”, dan memang gereja yang diutus oleh Tuhan adalah gereja yang tidak pernah merasa “safe”. Itu yang membuat gereja menjadi persekutuan yang selalu gelisah, dan itu yang memungkinkan iman gereja bisa terus bertumbuh, termasuk teologinya. Dalam konteks masyarakat yang plural, gereja harus berhati-hati agar tidak terjatuh untuk menganggap gereja sebagai “benteng” terhadap yang lain. Gereja-gereja di Maluku mengalami proses pemikiran yang cukup dalam dan kritis terhadap teologinya sendiri, sebagai respons terhadap situasi perubahan dan sejarah sosial di sekitarnya. Termasuk mempertanyakan kembali makna misi yang harus gereja kerjakan, berdasarkan kesaksian Kristus sendiri. Gereja yang melakukan misi adalah gereja yang hidup bersama yang lain, gereja yang menjadi bagian dari semua orang. Sebab tidak mungkin kita menjadi gereja yang sejahtera dan adil di tengah masyarakat miskin dan tertindas. Juga tidak mungkin Tuhan melakukan bagi kita sendiri, karena semua yang di dalam dunia diciptakan dan dicintaiNya. Kerjasama lintas agama mutlak dikerjakan. Allah yang mengutus Yunus ke Niniwe, Yesus yang berjalan ke seluruh Israel, yang berjumpa dengan orang Samaria, dan menyatakan akta keselamatan dalam penderitaan hidup yang mereka alami, adalah tanda bahwa karya Allah itu tertuju pada semua orang. “Yang penting mereka tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri” itu misi yang dikerjakan Allah kepada semua bangsa (Yunus 4:11). Itu artinya konsep misi gereja yang selama ini dimulai dari pusat-pusat kekristenan ke pinggiran, harus 307 mengalami perubahan mendasar. Yesus tidak melakukan misi dari pusat kehidupan orang Yahudi, tetapi dari pusat penderitaan manusia, yakni Galilea, daerah yang sering menjadi korban ketidakadilan dan penindasan. Ia memanggil para murid dari tengah situasi ketidakadilan di sekitar Galilea, yang berjalan menjumpai pinggiran (Matius 4:17-21). Misi Yesus adalah “misi yang bergerak dari pinggiran”. Ini hal yang menarik sebab secara tradisional, orang beranggapan “misi tertuju pada mereka yang ada di pinggiran”. Padahal Allah di dalam Yesus justru melakukan hal yang sebaliknya (I Korintus1:18-31). Mengapa Yesus memulai dari pinggiran? Itu adalah tanda dari keberpihakan Yesus terhadap kemanusiaan yang dilemahkan, dimiskinkan dan ditindas. Yesus ke daerah pinggiran bukan untuk membangun benteng, tetapi untuk memulihkan kemusiaan manusia yang hancur. Perjumpaan Yesus dengan isu-isu kemanusiaan yang konkrit itu membuat Yesus harus mentransformasi bukan hanya cara pandang orang banyak tentang teks-teks keagamaan, tetapi juga mentransformasi teks-teks itu sendiri. Perjumpaan Yesus dengan perempuan yang dituduh berzinah yang berakhir dengan perintah untuk “pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yohanes 8:2-11), percakapanNya yang panjang dengan perempuan Samaria, suatu perjumpaan yang tidak lazim (Yohanes 4:1-42), dialog Yesus yang diawali dengan penolakkan Yesus terhadap permintaan seorang perempuan Kanaan yang anaknya sakit, tetapi berakhir dengan kesediaan Yesus untuk menyembuhkan anak perempuan tersebut (Matius 15:21-28), adalah tanda dari kesetiaanNya pada 308 kemanusiaan. Mengapa Ia setia pada kemanusiaan? Sebab dengan setia pada kemanusiaan, Yesus setia pada Bapa, dengan jalan setia pada apa yang telah BapaNya ciptakan, yakni manusia dan kemanusiaannya. Perjum- paanNya dengan mereka yang tertindas dan sengsara, telah melahirkan “teks-teks” baru yang berpihak pada kemanusiaan untuk membebaskan mereka dari penderitaan hidup. Dalam seluruh perjumpaan itu, Yesus sebenarnya mau menekankan satu hal, bahwa manusia dan kemanusiaan itu sendiri adalah “teks” yang menjadi kenyataan dari seluruh karya Allah. Allah menjadi bermakna, memiliki arti yang lebih dalam bagi manusia, ketika Ia menjadi manusia dalam Kristus. Jika Allah tidak pernah menjadi manusia, mungkin respons dunia terhadap Allah sendiri menjadi berbeda. Jika Allah saja mau menjadi manusia, maka gereja pun harus menjadi bagian dari realitas kemanusiaan di sekitarnya. Itu harus terjadi supaya gereja menjadi bermakna bagi semua orang, semua agama, semua bangsa. Yang menentukan misi gereja, bukan apakah seluruh gereja di Indonesia telah menjadi satu secara organisasi. Sebab pertanyaanya, untuk apa kita harus bersatu? Satu- satunya alasan yang juga menjadi alasan Allah menjadi manusia, hanya karena kemanusiaan semua umat manusia yang perlu ditebus. Itu artinya, kebenaran misi gereja terletak pada sejauh mana dalam kehadirannya. Gereja menjadi tanda dari komitmen dan perbuatan untuk berpihak dan berkorban untuk kemanusiaan. Dari kenyataan itu, seisi dunia tergugah untuk menjadi anak- anak Tuhan, dari berbagai agama dan keyakinan, yang mau berjuang dan berkorban untuk kemanusiaan. Di 309 situ kita menjadi satu untuk meneruskan apa yang telah Kristus kerjakan, yaitu berkorban untuk kemanusiaan (Yohanes 17:1-26). Menurut hemat saya, itulah panggilan Tuhan dan misi yang perlu digumuli oleh seluruh gereja di Indonesia.

310

GEREJA DAN MASA DEPANNYA

Pengantar Saya merasa tema ini menjadi menarik untuk kita bicarakan, justru, karena kita semakin menyadari bahwa sebetulnya gereja dengan seluruh persoalannya adalah persoalan manusia itu sendiri. Kecuali karena keyakinan iman, kita akan mengakui bahwa secara historis gereja inipun dibentuk dan diusahakan oleh manusia sendiri untuk menjawab persoalan- persoalannya sendiri. Oleh karena gereja itu tidak lain adalah respons manusia terhadap karya Allah, maka tidak mungkin kita bisa yakin bahwa proses bergereja kita telah tuntas. Selama kita menjadi manusia, tidak pernah ada yang tuntas. Proses bergereja itu tidak lain adalah proses menanam, menyiram secara terus menerus, lintas generasi. Dalam bukunya, The Cost of Dicipleship, Boenhoefer pernah mengingatkan kita, bahwa pada saat-saat tertentu, jika itu membahayakan dirinya, gereja akan lari dari resiko sebagai murid. Kadang-kadang gereja memilih bersikap seperti Petrus yang menyangkal atau lari meninggalkan Dia. Apa arti kita memperkuat solidaritas dengan agama-agama lain, dan untuk apa itu semua? Apa benar memperkuat gereja itu penting? apakah memang gereja itu harus kuat? Bukankah kemanusiaan itu yang perlu diperkuat, dan jika untuk itu gereja ini harus “hancur lebur”, “disalibkan”, bukankah itu yang dicontohkan Kristus? Apa benar gereja telah menjadi pengertian dari kasih Allah kepada semua umat manusia? Berapa besar energi yang dimiliki gereja telah diberikan kepada 311 kemanusiaan? Apakah gereja telah menjadi tanda dari Kristus yang menyuruh para murid untuk mempersembahkan semua yang mereka punya, 5 roti dan 2 ekor ikan, untuk memberi makan semua orang? Atau gereja justru menjadi lembaga yang tidak jauh berbeda dengan lembaga/perusahaan sosial lain di sekitarnya yang mengutamakan profit dari seluruh usahanya? Dalam kesadaran itu, sangat wajar jika kita bertanya, apakah kita telah bertindak benar selaku gereja? Apakah kita telah mengelolah gereja dengan benar? Apakah gereja masih dipakai Tuhan untuk karya keselamatanNya di tengah dunia? Pertanyaan itu sederhana, tetapi substansial sebagai tanda dari kegelisahan kita. Gelisah itu artinya kita sehat, kita tidak tidur. Hanya mereka yang tidur, yang tidak lagi gelisah. Kristus itu juga selalu gelisah, tidak pernah save. Setiap kali Ia berdoa, Ia selalu “bertanya” kepada BapaNya, tentang apa arti segala hal yang Dia jalani dan alami. Ia tidak punya jawaban pada diriNya, tetapi Ia serahkan seluruh masa depanNya pada kehendak Bapa. Satu hal tetap Ia kerjakan adalah misi. Apa artinya itu? Gereja yang gelisah itu adalah gereja sementara setia pada misi. Kegelisahan adalah tanda kita serius untuk beriman. Sebuah pepatah kuno dari Santo Augustinus, “Credo ut intelligam” – saya beriman agar mampu mengerti secara penuh, mendorong gereja untuk terus mengusahakan pengertian tentang segala sesuatu. Iman memiliki derajat arti atau Tingkat Eksistensi yang menjadi tujuan pengetahuan dan pengertian. Manusia akan mencapai tingkat-tingkat eksistensi yang lebih 312 tinggi jika ia membiarkan nalarnya dituntun oleh iman. Iman tidak mampu melihat kebenaran itu, tetapi betapapun ia menyakini kebenaran yang tersembunyi itu. Keyakinan itu yang mendorong pemikiran menembus isinya dan memberikan kerangka dasarnya. Keyakinan akan kebenaran yang tersembunyi, yang tidak terlihat tetapi dipercayai, itulah yang membuat kita selaku gereja terus berinovasi melalui refleksi dan kontemplasi. Gereja yang terus berkarya melalui pemikiran dan perbuatan adalah tanda dari gereja yang beriman, yang berpikir tentang kebenaran yang tersembunyi itu. Makin ia berpikir, makin dekat ia dengan kebenaran, kendati tidak akan pernah dapat melihatnya. Dengan begitu, gereja yang percaya pada Tuhan, tidak pernah tenang. Artinya, keimanan itu memberi kemungkinan untuk gereja selalu akan bertanya tentang apa kehendak Tuhan dalam kenyataan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menjadi konteksnya, yang terus bergerak.

Persimpangan Jalan Percaya pada Kristus yang bangkit itu artinya gereja menyerahkan dirinya kepada Tuhan yang hidup, yang terus berfirman sepanjang sejarah manusia. Memahami kehendak Tuhan terletak pada sejauhmana gereja peduli dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Di sana terletak persoalan krusial gereja. Gereja di persimpangan jalan adalah satu posisi yang menempatkan gereja untuk harus memilih persoalan kemanusiaan di sekitarnya. Apa benar kita telah menjadi gereja, pada saat ibadah-ibadah kita dipenuhi 313 dan didatangi oleh orang banyak? Apa benar kita telah menjadi gereja, pada saat anggota jemaat kita bertambah; pada saat semakin banyak orang dibaptis dan warga gereja meningkat drastis? Saya justru mencurigai fenomena makin maraknya orang datang ke gereja disebabkan orang semakin sulit merealisasikan arti kemanusiaan dalam konteks kehidupan sosial yang nyata. Ketika tertindas, teraniaya, kemiskinan meningkat dimana-mana, angka pengangguran terus naik, orang justru mencari agama (termasuk gereja), sebab agama cenderung menawarkan sukacita dan kebahagian “sorgawi”semu yang hanya terbatas dalam selebrasi peribadahan. Dunia lalu dianggap sebagai sesuatu yang asing, tak bernilai, sehingga partisipasi warga gereja dalam kehidupan publik menjadi tidak penting. Di situ perkembangan dan kemajuan agama berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas kehidupan sosial. Itu sebabnya, orientasi kehidupan beragama dalam masyarakat modern justru menjadi sangat formalistik, legalistik, sektarian, ekslusif. Orang lebih suka mempersoalkan perbedaan daripada membicarakan kemungkinan berjalan bersama. Keberadaan yang satu dianggap sebagai ancaman terhadap yang lain. Saya kuatir, gereja-gereja juga terseret dalam fenomena seperti itu. Jika Tuhan masih memakai gereja, saya tidak yakin bahwa apa yang sekarang ini justru menjadi tren bergereja di level basis, yang cenderung formalistik, legalistik, sebagai sesuatu yang benar. Saya justru merasa, jika Tuhan memang masih mau memakai gereja, maka Tuhan membutuhkan gereja untuk 314 menjadi penentu pikiran dan sikap banyak orang tentang persoalan-persoalan kemanusiaan yang dialami bersama selaku warga bangsa bahkan warga dunia. Gereja menjadi berarti bagi dunia, jika ia mampu bersikap terbuka dan mau menanggapi persoalan- persoalan yang dialami dunia di sekitarnya sebagai persoalan gereja. Sejauh mana proses berteologi gereja turut merespons isu-isu sosial seperti pluralisme, demokrasi, kesetaraan, gender, keadilan, ilmu pengetahuan dan emansipasi? Gereja dituntut untuk mengembangkan rasionalitasnya (teologi) yang penad dengan kemajuan dan perubahan zaman. Gereja harus berjuang dan berusaha keras untuk membuktikan, bahwa ia memang persekutuan yang masih dipakai Tuhan bagi keselamatan dunia. Gereja yang tidak merespon semua itu, bukan lagi gereja yang diutus ke tengah dunia. Di situ terletak peran Roh Tuhan bagi gereja- gereja. Jika gereja tidak peduli dengan persoalan kemanusiaan, tidak mungkin gereja dapat memperoleh insight (visi) dari Tuhan tentang apa kehendakNya. Yesus memperoleh insight dari BapaNya oleh karena keberpihakanNya terhadap mereka yang tertindas, terpenjara, dibutakan dan teraniaya. Itu semua dapat Yesus lakukan karena Ia tidak hanya menjadi Allah yang hadir di tengah dunia, tetapi serentak dengan itu peduli dan turut mengambil bagian dengan seluruh persoalan di dalamnya. Dalam seluruh karyaNya, Yesus menempatkan kemanusiaan sebagai basis utama. Yesus tidak memulai dari “teks”, tetapi ia memulai dari konteks sebagai “teks” yang hidup, yang ditransformasi dari waktu ke waktu, sepanjang sejarah. Ia tidak 315

“menggali” teks, tetapi Ia menggali pergulatan kemanusiaan di dalam “konteks” untuk melahirkan teks-teks baru yang jauh lebih fungsional bagi keselamatan kemanusiaan. Seluruh karyaNya terpusat pada satu aspek, yakni memperkuat kemanusiaan. Insight sebagai hasi karya Roh dari Tuhan tidak akan diperoleh jika gereja hanya “memejamkan mata” di hadapan Tuhan, tertutup dari konteks di sekitarnya. Dalam konteks masyarakat modern, gereja tertantang untuk membuktikan imannya kepada Kristus yang tersalib. Kristus yang mematahkan ketidakadilan dengan pengorbanan dan cinta kasih kepada semua orang, tanpa terkecuali, termasuk gereja, untuk percaya bahwa kebenaran, keadilan, kesejahteraan itu kendati tidak akan pernah menjadi nyata secara sempurna, tetapi dapat diusahakan di dalam dunia. Bagaimana iman pada Kristus yang meniadakan perbedaan antara Yunani dan Yahudi mampu mendorong gereja untuk memperjuangkan suatu etika publik yang baru, yang berusaha mencari dan mengembangkan persaudaraan dan kebersamaan lintas agama, antar etnis/sub etnis dan politik? Bagaimana iman pada Kristus yang bangkit itu, memampukan gereja untuk terlibat mendorong usaha- usaha bersama di dalam masyarakat untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran bagi semua orang? Bagaimana spiritualitas Kristen yang bertumbuh dari kasih Allah kepada semua umat manusia itu tercermin dalam cinta kasih gereja terhadap mereka yang tergusur, kehilangan hak-hak sebagai manusia, terancam masa depannya? Saya merasa gereja akan mengalami kemandekan apabila gereja hanya berhenti pada soal- 316 soal peribadahan semata. Sebab sejak awal, sejak gereja purba, baptisan maupun sakramen (sacramentum) sebetulnya hanya satu akta proklamasi tentang sesuatu yang harus dikerjakan sebagai bukti konkrit dari proklamasi tersebut. Gereja tidak boleh berhenti hanya pada “proklamasi”. Ia harus bergerak lebih jauh ke perbuatan-perbuatan yang konkrit untuk memper- tanggungjawabkan apa yang diproklamasikannya itu. Sebagaimana Petrus pernah dan telah melakukannya bersama para murid dalam sejarah hidupnya. Itu artinya, gereja tidak akan mungkin menghindar dari resiko berada di jalan salib yang sebelumnya telah diwarnai “ceceran darah” Kristus, selanjutnya diikuti oleh “ceceran darah” Stefanus dan semua rasul. Gereja tidak dapat menghindar dari kemungkinan mengalami nasib yang “pahit dan kelam” karena kesetiaannya pada posisi untuk tetap menjadi gereja. Gereja harus menjadi teladan bagi dunia, dari apa yang telah ia kerjakan, untuk mendorong semua umat manusia yakin dan percaya bahwa salib itu memang bukan suatu kebodohan. Dunia dewasa ini tidak dapat melihat Kristus, apabila gereja menolak untuk bersaksi tentang Kristus dengan melakukan apa yang pernah Kristus lakukan 2000 tahun yang lalu. Choang Seng Song menyebutnya sebagai suatu “transposisi” yang harus gereja terima dan lakukan yaitu melakukan apa yang pernah Kristus lakukan, suatu hal yang turut menentukan mati hidupnya sebagai gereja. Saya kuatir, gereja justru mulai kuatir dan cemas apabila jalan itu harus ditempuhnya dalam era sekarang ini. Bagaimana dengan cara berteologi warga jemaat kita? Ada banyak faktor yang turut membentuk 317 kesadaran berteologi warga masyarakat, sekaligus warga gereja. Saya bersyukur mulai banyak toko-toko buku yang hadir di kota Ambon akhir-akhir ini. Syukur itu juga disertai keprihatinan. Banyak toko-toko buku Kristen (maupun umum, Gramedia) yang menawarkan buku-buku yang berorientasi pada penguatan kesalehan pribadi yang berwatak “rohani” lepas dari tanggung jawab sosial. Kognitif publik termasuk warga gereja dipaksa untuk memahami agama sebagai sekat yang memisahkan dia dari orang beragama lain, dan dijejali dengan refrensi yang memperkuat perbedaan antara satu dengan yang lain. Terlihat jelas bahwa agama- agama tidak dibangun untuk memperkuat kemanusiaan, tetapi diarahkan untuk membangun kebanggaan dan keutamaan diri sendiri. Dalam konteks masyarakat yang majemuk, tren ini tidak menolong gereja untuk memahami proses transformasi. Pandangan iman yang membebaskan diri dari kontrol akal budi akan memberi akar legitimasi terhadap intoleransi dan praktek-praktek kekerasan, terror serta anarkis dalam masyarakat dan dunia global. Begitu pula perkembangan ilmu teologi di Indonesia terasa kurang memberikan perhatian pada aspek sosial dari teologi gereja. Sejauhmana konteks sosiologis Indonesia direspons dan diartikulasikan dalam cara berteologi gereja-gereja? Sejauhmana perubahan dalam kurikulum pendidikan teologi di Indonesia berdampak pada pembaharuan proses berteologi gereja- gereja? Sejauhmana gerakan reformasi serta perubahan- perubahan besar di negeri ini berdampak terhadap teologi gereja-gereja tentang demokrasi dan partisipasi politik warga negara, kekuasaan dan negara? 318

Satu hal yang penting untuk kita perhatikan dari seluruh perubahan bangsa ke arah demokrasi, adalah tentang bagaimana kita memahami umat dalam pelayanan gereja. Gereja cenderung hidup dalam warisan konflik antara kaum awam dan rohaniawan. Yang satu dianggap sebagai obyek, dan yang lain menempatkan dirinya sebagai subyek. Saya kira, ini tidak menolong gereja dalam era demokrasi. Kita bukan gereja yang hidup dalam era Abad Pertengahan. Proses demokrasi harus dilihat sebagai cara Tuhan untuk membarui gereja. Tuhan tidak hanya mengingatkan gereja melalui para pendeta, kaum rohaniawan, tetapi Tuhan juga bisa memakai jemaat untuk menegur, mendidik dan mendewasakan para pelayan. Walaupun secara organisatoris ada pemimpin di dalam jemaat/ gereja, tetapi saya percaya Tuhan sendiri yang terlibat memimpin gereja. Itu sebabnya, Tuhan tidak hanya memakai pendeta sebagai pemimpin gereja ini. Kadang- kadang, saya merasa Tuhan juga memakai jemaat untuk mengingatkan para pemimpin supaya mereka tetap pada track yang benar. Satu hal yang tidak dapat dihindarkan dari proses pelembagaan kehidupan beragama adalah soal kekuasaan. Itu sesuatu yang sah saja, tidak ada yang salah disana. Tetapi pemimpin gereja itu bukan penguasa di dalam gereja. Ia hanya pelayan, hamba yang menanam dan menyiram. Jika ada prestasi, itu karena Tuhan yang memberi pertumbuhan. Yang menjadi soal adalah ketika gereja ingin menjadi sama dengan kekuatan-kekuatan sosial lain dalam masyarakat. Itu yang berbahaya. Hal tersebut bisa membuat seseorang merasa “berkuasa” atas umat. Itu mematikan karakter 319 gereja sebagai persekutuan. Saya kira itu harus benar- benar disadari oleh semua orang. Orang lalu melihat proses peralihan kepemimpinan di dalam gereja sebagai proses kekuasaan. Sebetulnya, pergantian kepemim- pinan di dalam gereja bukan peralihan kekuasaan, sebab kekuasaan gereja sebenarnya ada di tangan Tuhan. Kebangkitan Kristus dari kematian itu sebetulnya punya arti penting terhadap para murid tetapi juga bagi gereja sepanjang masa tentang apa arti kekuasaan dalam gereja. Kebangkitan itu artinya, Tuhan itu tetap yang memimpin dan berkuasa atas gereja ini, dan Dia tidak pernah memberikannya kepada siapapun juga, termasuk kepada mereka yang dipilihNya menjadi pemimpin. Saya merasa ini satu hal yang mesti kita selaku gereja sadar, bahwa itu bisa saja muncul dalam perjalanan kita bergereja. Tantangan besar dan laten yang mengancam masa depan, bukan dari luar gereja, tetapi dari dalam para pemimpin gereja itu sendiri. Jika ditantang dari luar, gereja biasanya lebih solid. Tetapi jika ancaman itu dari dalam, itu artinya kemampuan kohesitas kita sementara lumpuh, gereja itu bisa retak. Bagaimana kita bersikap terhadap pluralisme sebagai fakta tak terbantahkan dari bangsa ini? Apakah masih ada misi gereja? Lalu apa misi itu sekarang ini? Saya kira, ada banyak hal yang membuat gereja-gereja juga kelihatan berbeda satu dari yang lain. Itu sesuatu yang wajar, manusiawi dan tentu saja normal. Perbedaan itu membuat kita bisa saling belajar satu terhadap yang lain. Namun, ada satu hal yang pokok, utama dan mendasar, yakni komitmen terhadap kemanusiaan. Itu adalah aspek yang menentukan, apakah kita masih setia pada Kristus selaku Kepala 320

Gereja? Kepentingan gereja adalah kepentingan kemanusiaan. Tidak ada yang lebih besar dari itu, sebab justru untuk itulah Allah menjadi manusia dan Kristus tersalib.

Penutup Satu hal yang hendak saya katakan mengakhiri beberapa pikiran pengantar ini adalah: gereja perlu mempertimbangkan dimensi akal budi dalam kesadarannya sebagai gereja (teologi) untuk membangkitkan kesadaran kemanusiaan, tetapi juga serentak sebagai umat beragama tentang hak-hak dasarnya sebagai manusia. Hak-hak itu dimiliki seluruh umat manusia tanpa rujukan pada ras, agama atau malah pada kualitas moralnya sendiri. Oleh karena gereja ternyata adalah diri kita sendiri, dengan masalah dan tantangannya sendiri, yang juga dipanggil dari lingkungannya masing-masing, maka dengan begitu masalah dunia dan umat manusia harus menjadi masalah gereja. Sebagaimana Tuhan juga demikian, ketika Ia menjadi manusia maka seluruh persoalan kemanusiaan serta merta juga menjadi persoalannya. Ia tidak mungkin hidup tanpa salib, bahkan kemuliaanNya juga pudar, ketika untuk menjaga dan mempertahankan semua itu, Ia lalu memalingkan wajah dari penderitaan manusia. Supaya Ia menjadi Tuhan yang dipuji dan dimuliakan oleh semua umat manusia dan ciptaanNya, maka Ia harus menderita, mati tetapi bangkit. Dengan kata lain, kebangkitan atau masa depan itu hanya akan digapai oleh gereja, jika ia mau menempuh jalan yang sama dengan TuhanNya, yaitu meminum cawan itu, sesuatu yang juga pernah hampir 321

“ditolakNya”. Artinya, dari sana muncul kesadaran bahwa menjadi gereja itu tidak lain adalah melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan sebagai manusia, tetapi yang tetap harus dilakukan oleh karena Tuhan menghendakinya. Sekian dan terima kasih.

322

MEMBANGUN KEBERSAMAAN DALAM TRADISI PERSAUDARAAN

Pengantar Isu integrasi sosial merupakan tema percakapan yang cukup mewarnai diskusi publik, dari ruang kampus hingga khalayak ramai dalam beberapa dasawarsa terakhir di Indonesia. Sejak dulu, beberapa kampus di Indonesia seperti Universitas Indonesia di Jakarta dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, memang getol mengembangkan ilmu-ilmu sosial maupun budaya yang bersifat fungsional dan berciri integralistik sebagai pendekatan untuk membangun masyarakat Indonesia yang bersatu. Orang banyak mengenal teori fungsionalisme Parson hingga pengembangannya oleh para intelektual Indonesia yang terkenal di zaman itu, seperti Soejono Soekanto dan Selo Soermajan. Apa yang diajarkan di sana, kemudian turut berpengaruh terhadap materi-materi pengajaran ilmu sosial, budaya maupun ekonomi yang diajarkan sejak bangku sekolah tingkat dasar sampai sekolah menengah atas, hingga perguruan tinggi (yang terakhir ini terutama milik pemerintah). Semua itu turut mempengaruhi cara pandang dan tindakan bangsa ini terhadap dunia sosial dan sekitarnya. Terutama tentang bagaimana selaku bangsa, kita menggagas pemikiran dan tindakan-tindakan yang dapat menopang ideologi persatuan bangsa ini. Kendati pemikiran-pemikiran tersebut memang lebih banyak memberi ruang dan kesempatan bagi pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk mendorong integrasi, toch itu semua merupakan tanda 323 keseriusan bangsa ini terhadap paling tidak dua hal: Pertama, bangsa ini memang sementara berhadapan dengan fakta kemajemukan yang merupakan kondisi riil bangsa. Tidak ada seorangpun yang dapat menampik atau menafikan itu (pluralisme) sebagai fakta sosial dan historis bangsa Indonesia. Keindonesiaan tidak melahirkan kemajemukan, tetapi kemajemukan adalah kondisi sosial yang turut melahirkan keindonesiaan. Keindonesiaan harus mampu menampung kemaje- mukan, bukan hanya sebagai sebuah gejala politis bangsa, sebagaimana yang dilakukan oleh para Founding Fathers melalui Pancasila. Tetapi kemajemukan adalah fakta sosiologis dan sejarah yang tidak dapat ditolak. Itu artinya, proses mengindonesia, harus mampu mendorong kita selaku warga bangsa untuk menghasilkan cara pandang dan karakter bangsa yang memandang kemajemukan sebagai sebuah gejala positif. Di sana terdapat kesadaran bahwa kemajemukan merupakan sebuah gejala yang positif. Kemajemukan merupakan sebuah kondisi yang menghidupkan seluruh elemen dan warga bangsa. Itulah telos dari seluruh proses kita selaku bangsa ini. Kedua, terdapatnya kesadaran pemerintah, bahwa perannya untuk mendorong integrasi mutlak diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kemajemukan untuk menentukan tingkat integrasi dalam masyarakat. Proses menjadi bangsa tidak terlepas dari kesungguhan state untuk mendorong pembangunan karakter bangsa agar berjalan lebih dinamis dan kreatif. Hingga saat ini, tema itu terus digemakan sebagai bagian dari kesadaran untuk terus menata dan membenahi bangsa ini. Saya kira, jika kita berbicara 324 tentang membangun kebersamaan dalam tradisi persaudaraan, artinya keindonesiaan adalah sesuatu yang masih perlu kita bangun. Proses membangun bangsa ini tidak hanya dimulai dari atas, state process, tetapi juga harus dimulai dari masyarakat. Sebab keinginan dan desakan untuk menjadi bangsa, dari Sabang sampai Merauke. Keinginan itu harus dihidupi, tidak boleh dibiarkan terlantar, harus disikapi dengan sungguh-sungguh dan penuh keseriusan oleh setiap generasi dalam rentang sejarah bangsa ini.

Indonesia, Sebuah Fakta Bangsa yang Plural dan Terbuka Lalu bagaimana cara kita mengembangkan integrasi dalam konteks masyarakat majemuk dewasa ini? Apa yang kita miliki, sebagai kekuatan untuk menyatukan fakta kemajemukan? Apakah kita punya semacam modal sosial atau pengalaman historis yang dapat menjadi kekuatan untuk membangun grand narative sebagai bangsa yang bersatu? Apa nilai dasar yang dapat menjadi common values bagi bangsa ini? Dalam kaitan dengan itu, tentu kita juga dapat memulai dari apa yang dimiliki bangsa ini. Kita tidak mungkin berbicara tentang integrasi, persaudaraan dan kebersamaan dari sesuatu yang tidak kita punyai. Sebab itu akan berarti bahwa kita tidak punya apa-apa untuk membangun kebersamaan. Justru, saya beranggapan bahwa bangsa ini memiliki banyak tradisi yang dapat dipakai untuk mengembangkan kesadaran bersama selaku bangsa yang majemuk. Beberapa sumber yang digunakan Pramoedya Ananta Toer maupun pendekatan sejarah yang 325 dikembangkan Sartono Kartodirdjo dengan “sejarah sosial”, memberi masukan yang berharga tentang tradisi masyarakat di Nusantara yang begitu terbuka terhadap orang lain/outsider.7 Kelompok masyarakat Manggarai di NTT adalah fakta percampuran masyarakat minang yang datang ke sana dan menyatu dengan masyarakat setempat. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam sejarah penyebaran Islam di pantai utara Jawa, yang turut mengakibatkan terjadinya percampuran pada berbagai segmen masyarakat Islam pesisiran, antara Melayu, Jawa dan Cina.8 Begitu pula persentuhan antara masyarakat Maluku di Pulau Ambon dengan berbagai suku bangsa di Indonesia, menjadi fakta telah terjadinya percampuran atau proses migrasi dari luar ke tengah masyarakat lokal, dan mereka mampu hidup bersama menjadi bagian dari “masyarakat lokal” orang Ambon modern.9 Hal yang sama pula berlangsung di Sulawesi, Sumatera dan Papua, bahwa semua yang disebut sekarang sebagai “masyarakat setempat/asli” sebenarnya adalah hasil dari percampuran yang berlangsung antar

7 Lihat Henk Schulte Nordholt, et al (editor), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia 8 Dapat dilihat dalam penelitian Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam- Jawa. Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya dan Perhimpunan INTI, 2003 ) 9 Dapat dilihat dalam sejarah masyarakat di Tanah Hitu, serta beberapa lokasi pemukiman masyarakat yang sebenarnya bertumbuh karena percampuran antara outsider dan establish. Misalnya Soa dan Waihaong, Ongko Liong dan Batumerah, maupun sejarah marga di Maluku yang semuanya itu, menunjukan terjadinya percampuran. 326 generasi, selama ratusan tahun, melibatkan hampir semua suku bangsa yang ada di Nusantara. Di sisi lain, dari penelitian linguistik akan menunjukkan kesamaan ciri pengucapan kata yang hampir sama antara orang Sunda dan Saparua, yang sama-sama mengubah huruf “f” atau “v” menjadi “p” ketika diucapkan secara lisan.10 Temuan yang kurang lebih sama, juga ditemukan ketika kita meneliti lingkungan kebahasaan dalam konteks masyarkat berkebudayaan Kei, yang melafalkan “v” menjadi “w”, atau “oe” menjadi “u”, hal yang juga berlaku dalam kebudayaan masyarakat Jawa.11 Bukankah itu merupakan bukti terdapatnya kesamaan budaya dalam lingkungan kebahasaan Sansekerta, yang jika diteliti lebih lanjut menunjukan terdapatnya “benang merah” berlangsungnya silang budaya antar daerah dan lintas komunitas/etnis di nusantara?12 Dari fakta historis tersebut, menunjukkan bahwa keindonesiaan sebagai sebuah hubungan lintas suku-sub suku dan etnis sebenarnya telah berlangsung lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Keterbukaan terhadap yang lain bukan sebuah fenomena pasca menjadi negara yang satu di tahun 1945. Tetapi semua

10 Lihat Leonard Bloomfield, Language. Bahasa, terj. I Sutikno (Jakarta: PT Gramedia, 1995) 11 Contohnya pengucapan “Larvul Ngabal” menjadi “Lawur Ngabal” yang mirip dengan pengucapan nama Sansekerta “Adityavarman” menjadi “Adityawarman”. Ibid 12 Lebih jauh tentang silang budaya yang berlangsung di nusantara, dapat dilihat dalam Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. 3 Jilid, terjemahan Winarsih Partadiningrat et al (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 200). 327 itu telah berlangsung jauh sebelumnya, sejak berabad- abad lalu. Dalam kaitan dengan fakta sejarah semacam itu, maka diperlukan sebuah pendekatan yang lebih mampu menjawab atau menjelaskan hal-hal di atas untuk menjadi sebuah kesadaran subjektif selaku bangsa yang terbuka terhadap fakta pluralisme. Atau dengan kata lain, pluralisme adalah konsekuensi dari keterbukaan yang luas dari masyarakat di Nusantara terhadap realitas sekitarnya yang majemuk. Dari segi pendekatan, banyak orang dewasa ini berbicara tentang “ingatan kolektif”. Kesadaran kolektif melampaui ingatan kolektif. Kesadaran kolektif adalah satu pengalaman tentang sesuatu yang sakral. Kemanusiaan dan persaudaran adalah sesuatu yang sakral, dan harus tetap diperjuangkan menjadi bagian dari masa depan kita selaku bangsa.

Tradisi Persaudaraan dalam Konteks Masyarakat Maluku Masyarakat Maluku adalah masyarakat yang tidak menyatu secara kontinental. Masyarakat Maluku adalah masyarakat yang hidup dalam sebuah realitas kepulauan, mereka hidup secara terpisah satu dengan yang lain. Tetapi hingga sekarang ini, mereka tetap memiliki kesadaran sebagai orang Maluku, baik yang ada di bagian utara yang sekarang telah menjadi Provinsi Maluku Utara, maupun Provinsi Maluku. Hampir tidak ada desakan untuk mengganti “Maluku” sebagai istilah yang mencakup atau merepresentasikan manusia dan pulau-pulau yang ada sejak Ternate hingga Wetar. Begitu pun setelah pemekaran kabupaten baru, 328 daerah-daerah di bagian tenggara, tetap menggunakan istilah Maluku sebagai simbol kedaerahan. Itu artinya, Maluku bagi orang Maluku telah menjadi sebuah “kesadaran kolektif” yang muncul karena ingatan historis yang panjang. Memang ada pengaruh kebijakan pada zaman Hindia Belanda yang mengakibatkan tingkat persentuhan di kawasan ini diperlakukan lebih intensif. Tetapi, saya kira bukan hanya itu yang menyatukan mereka. Pengaruh yang lebih kuat adalah tradisi yang hampir sama dalam kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Maluku. Orang Kei memiliki tradisi Larvul Ngabal, Aini Ain, masyarakat Tanimbar memiliki tradisi Duan Lolat, masyarakat Maluku Utara memiliki tradisi Ulisiwa dan Ulilima, masyarakat Seram dan Lease memiliki tradisi Patasiwa dan Patalima, Pela dan Gandong. Semua tradisi itu memiliki benang merah yang sama, yakni persaudaraan sebagai basis yang mengikat mereka sebagai suatu kesatuan. Seluruh tradisi itu dimulai dari kemanusiaan sebagai basis untuk membangun persaudaraan yang utuh. Tanpa sense kemanusiaan, semua tradisi itu tidak akan tercipta. Aspek yang menarik adalah, tradisi-tradisi itu dibentuk dalam konteks masyarakat yang plural, baik dari segi agama maupun asal-usul. Tradisi-tradisi itu dikembangkan dalam konteks kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat yang sementara berada dalam era perjumpaan masyarakat setempat dengan Islam, kekristenan, yang turut melibatkan para pendatang dari berbagai tempat, dalam maupun luar Nusantara dengan segala eksesnya.

329

Era abad ke-14 hingga ke-18 adalah era dimana terjadi banyak perubahan dalam masyarakat lokal di Maluku. Terjadi konflik, tetapi juga pembaruan dan migrasi. Kondisi-kondisi itu turut berpengaruh terhadap setiap perjumpaan yang terjadi antar masyarakat lokal di Maluku. Ada kondisi-kondisi yang positif, tetapi ada juga kondisi yang negatif, ada kondisi dimana masyarakat terpecah satu dengan yang lain karena pengaruh agama dan politik yang berkelindan menyatu disaat itu. Tetapi ada pula relasi baru yang terbentuk karena sentuhan kemanusiaan yang tampak dominan.13 Dalam hubungan dengan itu, maka memang benar jika diikatkan bahwa semua tradisi itu memiliki kandungan nilai-nilai etis dan moral yang cukup kuat. Terdapat disana nilai-nilai etis pada level dasar kebudayaan dan public sphere masyarakat Maluku yang sebetulnya cukup memadai sebagai sebuah supreme God dalam menyiasati segala perubahan dan transformasi sosial yang berlangsung saat itu, yang mengakibatkan kebangkrutan moral masyarakat. Pada sisi tertentu, tradisi-tradisi itu juga merupakan proses

13 Misalnya sejarah Hatuhaha Amarima di pulau Haruku, antara negeri Hulaliu dengan negeri-negeri Islam di sekitarnya setelah perang melawan kekuatan VOC saat itu. Mereka “dipisahkan” oleh VOC dengan pendekatan agama. Agama menjadi faktor yang dimanfaatkan VOC untuk memecah belah kekuatan-kekuatan sosial yang solid saat itu. Tetapi disisi lain, terjadi perjumpaan antara orang-orang Passo dan Batumerah yang menjadi satu sebagai saudara pela setelah orang- orang Batumerah menolong perahu Passo yang hampir tenggelam. Jadi sepanjang era itu, dan juga sesudahnya, ada sejarah perpisahan tetapi ada pula banyak sejarah perjumpaan yang terus dikenang sepanjang masa. Satu hal yang penting disana, agama sering dipakai untuk memisahkan satu dari yang lain. Tetapi tradisi selalu menjadi instrumen untuk mempersatukan satu dengan yang lain. 330 institusionalisasi terhadap nilai-nilai subjektif budaya yang bersifat humanis,14 tetapi juga merupakan bentuk- bentuk nilai yang diproduksi dari kearifan lokal masyarakat. Jika beberapa tempat di Maluku, tradisi- tradisi itu dapat dikembangkan dengan penamaan- penamaan yang berbeda tetapi memiliki substansi yang sama, maka tradisi-tradisi itu sesungguhnya merupakan sebuah tradisi keberadaban publik dan dunia kehidupan yang lahir dari konteks kemanusiaan masyarakat setempat. Apabila tradisi-tradisi itu mengandung nilai- nilai yang melintasi sekat-sekat primordial, maka tradisi itu merupakan sebuah nilai etika publik yang diproduksi masyarakat Maluku, yang memiliki kemungkinan untuk dijadikan sebagai common good and common values dalam suatu public sphere yang lebih luas. Apa yang penting disana, apa aspek etis yang muncul dalam tradisi-tradisi itu? Yang mendasar dari semua tradisi itu adalah janji. Seluruh tradisi itu dibangun atas dasar perjanjian sebagai bagian dari kesadaran kolektif yang terus dibangun sepanjang generasi. Aspek perjanjian di sini menempatkan seluruh tradisi itu sebagai sebuah intitusi etik yang sejak awal dibangun pada nilai-nilai dasar, seperti kesetiaan dan tanggung jawab sebagai tujuan dari kemengadaan manusia dan masyarakat dimanapun dan dalam tradisi apapun. Janji itu menjadi sakral karena aspek etis yang terletak dalam perjanjian tersebut. Janji itu etis karena berkaitan dengan komitmen untuk menjaga martabat dan masa depan masyarakat dan kemanusiaan tertentu. Pelaksanaan janji itu bukan merupakan representasi dari

14 Lihat Anton Bakker 331 rasa hormat terhadap kemanusiaan sebagai bagian dari kesadaran relijius masyarakat pemangku tradisi. Di sana tradisi tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang “sekuler” yang sering diposisikan vis a vis dengan agama. Sebab tanpa ada sense of religious tidak mungkin orang akan sampai pada kesadaran etis. Artinya, tradisi-tradisi itu merupakan cerminan dari proses doing theology oleh masyarakat lokal. Tradisi memang bukan agama dalam pengertian agama yang bersifat konvesional, tetapi ia adalah “agama” jika agama dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Bellah menyebutnya sebagai agama sipil.15 Sebab tradisi sejauh ia mewakili janji tentang kesetiaan dan ketaatan untuk melakukan kebaikan kepada kemanusiaan, maka tradisi itu bersifat sakral. Menurut hemat saya, tradisi-tradisi yang ada di Maluku, merupakan sebuah etika publik yang dapat dikembangkan dengan memperhitungkan tanggung jawab kewarganegaraan.16 Dalam kaitan itu, etika publik yang spesifik adalah sebuah proses untuk menjelasakan mengenai kebaikan secara umum, kebaikan dari komunitas dan apa yang menjadi basis nilai dari kebaikan-kebaikan itu, sekaligus bagaimana itu mungkin untuk dicapai oleh warga atau individu. Etika publik yang dimaksud adalah sebuah gagasan kebaikan dari masyarakat, yang hormat dan committed untuk

15 Lihat Robert Bellah, Beyond Belief. Menemukan Kembali Agama. Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000). Tentang agama sipil lebih jauh dijelaskan dalam Andrew Shanks, Civil Religion, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Jalasultra, 2003). 16 Frances Adenay, Citizenship Ethics: Contributions of classical Virtue Theory and Responbility Ethics (Berkeley: Graduate Theological Union UMI, 1988), hal 15. 332 menjaga kesetiaan terhadap kebaikan-kebaikan, yang dibangun dari dalam paradigma komunitas dengan bersumber pada tradisi. Dalam hubungan dengan itu, tradisi budaya (dan keagamaan) menjadi dasar dari pemikiran etika yang dapat dikembangkan dalam lingkup yang lebih luas, untuk menjawab konteks pergumulan yang lebih kompleks. Perubahan dan transformasi masyarakat Maluku serta Keindonesiaan yang begitu cepat, tentu tidak menjadi alasan tradisi-tradisi tersebut tidak lagi gayut. Mengapa? Sebab di dalam tradisi tersebut, terkandung seperangkat ide mengenai kebaikan dan keutamaan (the good and the virtue) yang dimiliki masyarakat sebagai pengusung peradaban. Tradisi- tradisi, seperti: Pela, Aini Ain, Larvu Ngabal, Duan Lolat, semuanya terbangun dalam suatu nilai dasar yang kuat yakni penghargaan terhadap kemanusiaan. Dalam tradisi itu, seluruh perbedaan agama maupun asal-usul ditansformasi dalam relasi kemanusiaan. Seluruh perbedaan yang tampak dibenamkan dalam kesadaran kemanusiaan yang kuat. Di situ peran agama-agama adalah mengartikulasi tradisi di dalam teologi supaya teologi agama lebih hidup dan dinamis. Pada tataran itu, tradisi menjadi sebuah etika publik yang dikonstruksi di atas prinsip-prinsip pokok kehidupan, sebagai norma etik yang diyakini legalitasnya oleh masyarakat, yang berfungsi sebagai suatu common morality atau common beliefs yang mengarahkan manusia selaku warga atau individu untuk dapat berhubungan dan bekerjasama secara setara, penuh penghargaan dan pengertian pada inti nilai dasar persaudaraan untuk kesejateraan dan kesentosaan 333 manusia dan masyarakat.17 Tradisi-tradisi di atas, muncul sebagai refleksi atas sebuah kesadaran kolektif sebagai satu kesatuan sosial yang terikat menjadi satu melampaui sekat-sekat primordial yang biasanya didasarkan pada hubungan genealogis. Tradisi itu juga lahir dan diikat oleh “angkat sumpah” sebagai sumber legitimasi dan inspirasi relijius, yang sekaligus membingkai nilai-nilai dasar relijiusitas masyarakat setempat. Tradisi budaya yang ada di Maluku, yang melintasi batas-batas primordial telah mendesain ulang prinsip moral semula yang terbatas pada ikatan genealogi dan agama, menjadi sesuatu yang melewati sekat-sekat itu. Redesain moral itu telah menjadikan tradisi sebagai sebuah etik pemeradaban publik yang membingkai kehidupan publik, yang sungguh-sungguh sadar tentang pentingnya kehidupan dan kebaikan bersama. Di situ tradisi mengandung gagasan tentang harmoni dengan alam maupun dengan sejarah dan kemanusiaan yang ada disekitarnya. Redesain tradisi yang terungkap dalam gagasan Pela, Aini Ain, Larvul Ngabal, Duan Lolat adalah sebuah lompatan spiritual yang tertuju pada upaya untuk membangun harmoni dalam relasi-relasi antar kelompok dan komunitas. Harmoni itu dibentuk diatas dasar penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang memungkinkan tradisi itu dapat terus dikembangkan secara terus menerus, sebagai jalan untuk merasionalisasi lingkungan dan space yang lebih luas dan kompleks. Dalam

17 John Chr. Ruhulessin, Etika Publik. Menggali dari Tradisi Pela di Maluku (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2005), hal 313-315. 334 kesadaran itu, tradisi tidak akan pernah stagnan, sejauh tradisi itu berpihak terhadap nilai-nilai dasar kehidupan manusia.

Kesimpulan Ada beberapa hal yang dapat diambil sebagai kesimpulan dalam paparan ini. Pertama, secara sosiologis masyarakat manapun selalu bersifat plural. Tidak ada masyarakat yang homogen, karena kendati pun homogen secara agama, di dalamnya akan terdapat varian-varian keagamaan yang muncul karena tradisi yang berbeda. Jika perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang negatif, maka konflik dan kekerasan akan dianggap sebagai sesuatu yang “sakral”. Itu sebabnya, agama- agama harus berani untuk mengatakan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang teologis, perlu dihargai dan ditopang. Sebab itu, cara pandang yang positif terhadap perbedaan dan pluralisme yang pro eksistensi perlu dikembangkan. Itu harus menjadi karakter dari warga bangsa. Tentu, semua itu tidak akan pernah sekali jadi. Tetapi bangsa ini harus punya komitmen untuk mau melakukan itu semua sebagai bagian dari kesadaran kita untuk menjaga bangsa ini dengan jalan merawat kemanusiaan. Kedua, agama-agama perlu mentransformasi kearifan lokal yang berpihak terhadap kemanusiaan dalam kontribusi teologinya. Teologi dari agama-agama harus menjadi fungsi dari kehidupan dan kemanusiaan, sebab secara teologis kemanusiaan setiap orang adalah sama. Ini mesti dituntaskan dalam proses berteologi agama-agama di Indonesia.

335

Ketiga, diperlukan usaha untuk mengem- bangkan kebersamaan dan persaudaraan dalam masyarakat dengan memperhitungkan tradisi-tradisi lokal yang memiliki kemampuan untuk ditransformasi. Tentu saja seluruh tradisi yang mengandung penghargaan terhadap nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan secara potensial dapat dikembangkan, diperluas dan diperdalam. Masyarakat manapun di Indonesia memiliki pengalaman dan kesadaran pernah hidup bersama dalam pluralitas. Keempat, diperlukan political will dari negara untuk menyokong upaya membangun kebersamaan dan persaudaraan dalam konteks masyarakat lokal. Kita harus lebih banyak mendorong nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis dari cara kita bernegara dan berbangsa. Dalam konteks masyarakat yang plural, pendekatan yang bersifat etis, bertumpu pada rasa hormat terhadap nilai-nilai dasar kehidupan perlu terus dikembangkan. Dengan demikian, proses bernegara dan berbangsa berjalan selaras dengan apa yang sementara diusahakan oleh agama-agama dan masyarakat dalam tradisi mereka. Dengan begitu, harmoni akan menjadi bagian masa depan bangsa. Semua itu tidak mudah, tetapi komitmen untuk mau melakukannya adalah kekuatan terbesar bangsa ini.

Sekian dan terima kasih.

336

PERSPEKTIF TEOLOGI GEREJA TENTANG POLITIK

Pengantar Saya bermaksud membagi beberapa pikiran untuk memetakan realitas politik dewasa ini, sehingga dapat menolong proses bersama sebagai gereja dan bangsa ke depan. Berbicara tentang politik dalam gereja selalu ada cara pandang yang beragam. Cara pandang ini perlu, karena mengindikasikan di dalam gereja sendiri fungsi kritis teologi berlangsung secara lancar. Jika dicermati, termasuk sebagai trend berteologi yang berkembang sampai saat ini, kurang lebih ada dua carapandang gereja/teologi mengenai politik. Cara pandang yang pertama, melihat politik itu sebagai sesuatu yang kotor, tidak bisa didekati oleh gereja. Politik itu bukan persoalan gereja. Ini dipengaruhi oleh perspektif dua kewarganegaraan [two kingdoom], yaitu: pertama, kita adalah warga negara kerajaan surga, dan karena itu kita tidak ada hubungan dengan persoalan-persoalan duniawi. Kita hidup dalam perspektif seperti itu, bahwa sebagai warga kerajaan surga, kita hidup dalam situasi dimana politik tidak bisa dilihat sebagai bagian dari kewargaan kita. Kedua, kita adalah warga dunia yang hidup dengan prinsip-prinsip kerajaan Allah. Ini membuat politik dipandang tabu, kotor dan tidak bisa disentuh. Karena itu, ketika berbicara tentang peran politik gereja, orang merasa gereja tidak boleh berperan secara politik. Hubungan antara agama dan politik sangat dikotomis. Cara pandang yang kedua yang lebih positif, optimistik, melihat iman, agama, gereja dengan politik 337 tidak dalam arti dikotomis melainkan dialogis, dialektis. Pandangan ini melihat bahwa agama dan politik adalah dua entitas yang memiliki otoritas masing-masing, entitas yang tidak bisa diganggu tetapi bisa dimuarakan pada kepentingan-kepentingan etis, kemanusiaan. Saya rasa pandangan ini, kini dimiliki oleh gereja. Politik itu dipahami sebagai ranah dari gereja. Politik itu ranah netral. Ia tidak netral ketika terdistorsi oleh pelaku- pelaku politik. Karena itu, hubungan gereja dengan negara bukan subordinasi tetapi dialektis, yang membangun dialog antara agama dan politik.

Politik dan Kekuasaan Apa pun formulasi kita tentang politik, seluruhnya bermuara pada kekuasaan. Di dalam kekuasaan itu tidak ada yang ideal atau praksis. Politik itu seluruhnya adalah praksis, karena bersentuhan dengan kekuasaan. Karena itu di sinilah letak peran kritis iman, agama, gereja terhadap kekuasaan. Ketika kita bicara tentang politik, kita sedang berbicara tentang bagaimana perspektif kita tentang kekuasaan dimuarakan. Dalam perspektif iman, kita memahami kekuasaan harus berpihak dan melayani rakyat, bukan menindas rakyat. Kita bisa menggunakan sejumlah pikiran Alkitab untuk menopang pemahaman itu, supaya ketika gereja dan AMGPM berbicara tentang kekuasaan atau politik, maka ada basis yang mesti menjadi dasar kita untuk mempercakapkannya. Urgensinya kekuasaan dibicarakan oleh gereja dan AMGPM, karena sebagai sebuah lembaga moral kita mesti memberi perspektif etik, moral kepada kekuasaan, 338 agar kekuasaan itu tidak digunakan secara semena- mena, dan agar politik pun tidak dipahami sebatas pada kekuasaan. Inti kekuasaan yang hendak dibicarakan dalam ranah politik oleh gereja ialah kekuasaan yang melayani rakyat, manusia, kekuasaan yang berwawasan etika, yang bermoral. Perkembangan akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa dimana-mana orang mulai membangun komisi etik. Lembaga-lembaga Negara seperti KPK, KPU, MK punya Komisi Etik. Saya pernah bertanya tentang pendekatan hukum dan keadilan, dan menurut saya belum tentu berdimensi etik. Karena itu, proses-proses hukum dan politik kini banyak digugat karena pertimbangan-pertimbangan etik. Itu menjadi menarik saat ini. KPU dalam proses Pilkada bisa salah karena ia tidak melakukan pertimbangan etik.

Mengapa GPM dan AMGPM Perlu Berbicara Tentang Politik? Jika GPM dan AMGPM berbicara tentang politik, itu karena politik adalah ruang pelayanan yang penting. Politik menjadi tidak penting, ditekankan sekali lagi, karena politik yang seharusnya netral itu kini telah tidak netral, sebab dipakai sebagai instrumen kekuasaan yang korup, menindas, tidak melayani rakyat, dan menjadi tidak bersih. Karena itu, gereja harus mengambil peran agar politik benar-benar berpihak pada rakyat. Kita mengembangkan peran politik, karena kita memiliki jarak kritis atas asumsi moral etik terhadap politik dan kekuasaan. Bagaimana realitas politik dan demokrasi saat ini? Di Indonesia, demokrasi pun telah disalahartikan. 339

Karena itu, proses-proses berdemokrasi pun sudah tidak lagi elegan. Demokrasi prosedural di Indonesia dipahami terbatas pada proses-proses pemilihan umum. Kita membayangkan demokrasi prosedural itu demokrasi akal-akalan. Demokrasi prosedural telah dibajak oleh pengusaha dan penguasa. Sebab itu, saat ini siapa punya duit, dia bisa menjadi Gubernur, Presiden, Walikota. Dengan demikian, demokrasi ini dikuasai oleh oligarki politik yang terdiri dari Penguasa dan Pengusaha. Dalam situasi demokrasi seperti itu, demokrasi baligo telah menjadi salah satu cara yang memperkuat kesan demokrasi prosedural. Akibatnya, para politisi yang memampang fotonya di baligo, spanduk, stiker, kartu nama dibayangkan masyarakat sebagai artis, yang suka memamerkan gaya. Secara umum, mereka yang memasang poster dan baligo itu nyaris tidak mengetahui aspirasi rakyat, malah itu membuktikan bahwa mereka tidak dikenal dan memaksa masyarakat mengenal mereka melalui baligo. Itu artinya, politisi itu tidak berbasis di masyarakat. Kita dapat terjebak dalam demokrasi komunalisme, memilih karena satu marga, kampung, dll. Demokrasi yang seperti itu telah mengeksploitasi sumber-sumber nilai, keuangan, etnis, suku, demokrasi yang mengandalkan mayoritas. Apa yang kita butuhkan dari demokrasi kita? Demokrasi substansial yang berdimensi etik, yaitu kemandirian, kesetaraan, keadilan, kebebasan masyarakat. demokrasi substansial ini sulit diwujudkan karena rakyat kita miskin. Kita belum bisa membangun masyarakat Indonesia yang mandiri. Karena itu, demokrasi prosedural tadi sarat dengan politik uang, sehingga 340 rakyat kita memilih bukan karena kemandirian mereka, tetapi karena mereka dibayar. Karena itu, demokrasi substansial tidak mungkin berkembang jika masyarakatnya miskin. Tugas AMGPM dan GPM adalah mendorong terbangunnya sebuah demokrasi yang beretika. Kalau AMGPM mau membangun kader di bidang politik, bagaimana itu dimulai dari perspektif demokrasi etik? Ini tanggungjawab politik kita, sekaligus bagian dari tanggungjawab iman, moral, etika. Tentang realitas politik di bangsa ini, pertama, dapat dibayangkan dari komposisi 15 Partai ada di satu desa kecil seperti Tifure, Mayau [Maluku Utara]. Masyarakat yang hidup di wilayah yang kecil dengan jumlah masyarakat sedikit, tetapi proses-proses politik ada di sana. Daya dukung yang begitu kecil, tetapi beban politik dan ekonomi tinggi sekali. Ini adalah salah satu problematik politik kita di Maluku dan Maluku Utara. Sekarang kita mengeluh bagaimana kita melihat konvigurasi kekuasaan. Bagaimana sistem pemerintahan yang presidensial saat ini berjalan lagi atau tidak? Atau ada peran-peran presiden yang telah diambil oleh lembaga-lembaga politik yang lain. Sekarang dengan alasan demokrasi, kekuasaan dalam sistem presidensial itu diambil alih oleh lembaga demokrasi yang lain. Itu masalah kedua kita di negeri ini. Pada saat konvensi Calon Presiden PD di Ambon, sebagai tokoh agama saya bertanya: „fakta ketidakadilan, konflik, kesenjangan sosial, ketidakbebasan agama yang terjadi di masyarakat dewasa ini, terjadi karena kesalahan teknis manajemen pembangunan ataukah pada visi dan persepsi tentang 341 kebangsaan kita?” Para calon itu tidak bisa menjawab. Menurut hemat saya bukan cuma soal strategi dan policy pembangunan, tetapi justru karena visi kebangsaan kita yang tidak jelas. Itu persoalan ketiga kita. Tentu ini bukan masalah kecil. Jika kita bicara kesenjangan Timur-Barat, Pusat-Desa, kemiskinan di Maluku-Maluku Utara, maka ada prosentase kecil yang kita dapati, dan itu ketidakadilan oleh sebab visi kebangsaan kita tidak jelas. Bagaimana kita membangun perspektif politik yang menolong kekuasaan berpihak kepada keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kesejahteraan, di situlah masalah kita? Dasar kita adalah keberpihakan moral kita. Bagaimana praksisnya? Yesus memiliki formula „cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati‟, bukan cuma cerdik, tetapi juga tulus, bukan cuma tulus tetapi juga cerdik, karena itu cerdik dan tulus untuk apa? Baca formula ayat itu selengkapnya. Orang-orang seperti Om Yo Leimena dengan kesederhanaannya dapat menjadi Waperdam 7 kali di Republik Indonesia. Apa yang menjadi tipikal Om Yo sehingga bisa diterima, seorang Kristen yang dari Timur tetapi dipercaya Soekarno memimpin negara ini ketika Soekarno berhalangan? Salah satu resepnya ialah Om Yo berhasil melakukan sintesis antara iman kristen dengan perspektif kebangsaan. Itu yang membuat dia menjadi tokoh yang dihormati. Ada banyak tokoh Kristen. Tetapi jika kita bicara tentang peran politik kristen, kita harus memiliki sesuatu yang tipikal, dan itu adalah value aded [nilai tambah] dalam perspektif etik dan moral. Tanpa itu, kita menjadi sama saja dengan kader- kader yang lain. Cara pandang kita tentang demokrasi 342 dan politik harus berbeda, yakni diletakkan pada visi kebangsaan dan visi berimannya. Di situ peran kita menjadi unik.

Mempersiapkan Public Leadership Politik itu memiliki koridor, dimensi. Karena itu, politik tidak gampang. Kita berbicara pada tataran bagaimana mencari perspektif sebagai sebuah visi gereja, bukan politicing. Sebetulnya forum seperti ini adalah bagaimana membangun public leadership di kalangan gereja, dalam batas tertentu harus kita sadari sebagai public leadership yang mesti memiliki prinsip, acuan, common ground morality agar kita menjadi beda dari orang lain. AMGPM harus menjadi public leadership. AMGPM adalah suatu organisasi publik yang betul- betul ada di masyarakat sebagai salah satu OKP. AMGPM harus dibesarkan oleh para pendeta dan oleh gereja, sebab organisasi ini adalah kepanjangan tangan peran profetik gereja. Bukan berarti gereja tidak melakukan peran profetik. Peran inheren dalam gereja, dalam peran profetik. Jika gereja berbicara tentang kekuasaan, bukan dia membunuh kekuasaan tetapi memberi pencerahan kepada jemaat tentang kekuasaan yang melayani.

Materi Pendidikan Politik dan Demokrasi Kader AMGPM Gereja Ayam, Ternate, 24 Maret 2014 [materi ini diketik sesuai paparan lisan Pdt. Dr. John Ruhulessin oleh Elifas Tomix Maspaitella] 343

PEMILIHAN UMUM: MEMPERTANYAKAN PERAN PROFETIS GEREJA

Tindakan Profetis sebagai Proses Berteologi Tema percakapan seminar GPI saat ini, menunjukan bahwa sebagai gereja kita sementara gelisah. Gereja yang gelisah itu adalah gereja yang benar. Gereja akan mampu berteologi dengan baik jika ia sunguh-sungguh mau beriman. Kegelisahan adalah tanda kita serius untuk beriman. Gereja yang tidak lagi gelisah, itu bukan lagi gereja yang menaruh percaya pada Tuhan. Sebuah pepatah kuno dari Santo Augustinus, “Credo ut intelligam” –saya beriman agar mampu mengerti secara penuh, mendorong gereja untuk terus mengusahakan pengertian segala sesuatu. Iman memiliki derajat arti atau Tingkat Eksistensi yang menjadi tujuan pengetahuan dan pengertian. Manusia akan mencapai tingkat-tingkat eksistensi yang lebih tinggi, jika ia membiarkan nalarnya dituntun oleh iman. Iman tidak mampu melihat kebenaran itu, tetapi betapapun ia menyakini kebenaran yang tersembunyi itu. Keyakinan itu yang mendorong pemikiran menembus isinya dan memberikan rumusnya. Iman itu dekat bahkan merupakan syarat pengembangan teologi gereja. Keyakinan akan kebenaran yang tersembunyi, yang tidak terlihat tapi dipercayai. Itulah yang membuat kita selaku gereja terus berinovasi melalui refleksi dan kontemplasi. Gereja yang terus berkarya melalui pemikiran dan perbuatan adalah tanda dari gereja yang beriman, yang berpikir tentang kebenaran yang tersembunyi itu. Makin ia berpikir, 344 makin dekat ia dengan kebenaran itu, kendati tidak akan pernah dapat melihatnya. Dengan begitu, mereka yang percaya kepada Tuhan, tidak pernah tenang. Artinya, keimanan itu memberi kemungkinan untuk gereja selalu akan bertanya tentang apa kehendak Tuhan dalam kenyataan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menjadi konteksnya, yang terus bergerak. Oleh karena Tuhan itu adalah Tuhan yang hidup, maka gagasan dan pemikiran gereja juga harus hidup, selalu berkembang dari masa ke masa. Gereja tidak membutuhkan suatu rumusan teologi yang “paten”, rumusan teologi “babon” yang menjadi “buku pintar” untuk semua era kegerejaan. Saya kira itu yang membuat gereja tidak lagi menjadi persekutuan yang dikehendaki Allah. Mengapa demikian? Sebab kehendak Tuhan itu tidak dapat digenggam tuntas oleh manusia, para teolog di satu era. Allah akan bukan Allah lagi, manakalah rahasia keberadaan diriNya dengan mudah dapat diketahui, diatur dan dikuasai manusia, yang tidak mampu mencerap seluruh keberadaanNya. Artinya, gereja tidak boleh merasa “mapan” dengan semua yang ada, termasuk teologinya. Jika kita mengikuti dengan kritis cara berteologi Yesus, maka sebenarnya Yesus itu sangat menghindari kemapanan dalam cara berpikir keagamaan. Karena kuasa Roh Kudus, Yesus menjadi sangat terbuka pada insight dari Allah. Penolakkan Yesus terhadap orang Farisi, ahli Taurat, bukan karena Yesus tidak setuju dengan Taurat. Tetapi Yesus menolak cara mereka berpikir tentang Taurat. Bukan Taurat yang Yesus tolak, tetapi cara berpikir mereka. Mereka merasa bahwa jabatan keimanan yang mereka sandang itu menjadi 345 basis legitimasi kebenaran dari apa yang mereka katakan. Kesetiaan mereka terhadap Taurat menjadi cara untuk memperkuat institusi keagamaan serta jabatan yang mereka miliki. Kode kekudusan yang dikembangkan dari Taurat membeda-bedakan manusia di hadapan Allah dan akses manusia kepada-Nya: Yahudi-Kafir, kaum saleh, “penduduk negeri”, dan “orang berdosa dan pemungut cukai”, yang sangat diskriminatif. Itu berbeda dengan Yesus. Kritik Yesus terhadap mereka dimulai dari sejauhmana gagasan-gagasan mereka itu fungsional untuk membawa pembebasan bagi kemanusiaan. Cerita tentang perempuan Siro Fenisia yang percaya, ajaran Yesus tentang Khotbah di bukit, kisah perempuan yang berzinah, maupun sikap Yesus kepada orang yang sama- sama disalibkan dengan Dia di Golgota, menunjukan keberpihakan Yesus terhadap kemanusiaan dari mereka yang berdosa. Dimensi profetis dari karya Yesus terletak pada keberpihakanNya pada kemanusiaan, bukan pada usaha untuk memperkuat dimensi kekuasaan lembaga keagamaan. Apa yang hendak kita jaga dan pertahankan, jika kita membangun sikap profetis? Apa artinya bagi gereja? Apa artinya bagi kemanusiaan? Saya kira itu yang penting untuk kita bicarakan.

Posisi Profetis Gereja Sebagai bangsa, kita harus bersyukur dengan seluruh perubahan yang sementara terjadi. Pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2014 adalah bagian dari cara kita menjaga siklus 5 (lima) tahunan bangsa ini. Kita telah selesai memilih anggota legislatif, dan sekarang 346 berada dalam persiapan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 5 (lima) tahun ke depan. Saya melihat, pemilu menjadi strategis karena melalui pemilu kita membangun kepastian mengenai kepemimpinan nasional serta komitmen untuk melanjutkan seluruh proses reformasi dalam berbagai aspek. Reformasi adalah instrument untuk kita mencapai cita-cita bangsa. Nilai- nilainya tentu berasal dari gagasan ideal bangsa yakni Pancasila dan UUD 1945. Pertanyaannya, apakah usaha untuk mencapai cita-cita bangsa secara otomatis menjadi perjuangan gereja? Apakah visi profetis gereja tertuju ke sana? Saya kira tidak seperti itu. Wawasan profetik gereja tidak boleh ditujukan untuk membungkus idiologi politik bangsa manapun, bahkan kendati seluruh tujuannya dianggap mulia. Gereja tidak boleh hadir untuk melegitimasi idiologi politik manapun, secemerlang apapun gagasannya. Kesadaran gereja tentang panggilannya, itu yang mesti menjadi inti dari seluruh gagasan profetik gereja. Proses dialektika negara berbeda dengan dialektika gereja. Gereja tidak dimulai dari penguatan kekuasaan, agresi, kekerasan dan politisasi. Gereja dimulai dari pengampunan dan cinta kasih Allah. Tujuan-tujuan bergereja berbeda dengan tujuan kita bernegara. Gereja tidak boleh jatuh dalam godaan untuk menjadi bagian dari “state” atau mengungkapkan diri sebagai “state” dalam bentuk yang lain. Itu dapat dialami gereja pada suatu masa, ketika seluruh proses bergereja kita tempatkan sebagai proses untuk membangun kekuasaan. Lalu apa gereja itu? Saya kira gereja (yang dipanggil dari) pada hakikatnya adalah “diri kita” sendiri 347 dan “dunia sekitar” kita. Bukan hanya orang percaya yang dipanggil, tetapi berbarengan dengan itu adalah dunia sekitar kita. Secara historis (terkecuali jika berbicara tentang “penciptaan yang utuh” secara iman) gereja dibangun oleh manusia sendiri bersama dunia konkrit di sekitarnya. Persoalan-persoalan gereja dengan demikian adalah persoalan yang dialami oleh manusia dan dunia sekitarnya. Kemampuan gereja untuk hidup bersama dengan semua yang menjadi bagian dari dunia sekitarnya, turut menentukan berhasil tidaknya gereja berada dalam keselamatan Allah. Hal itu terjadi oleh karena sejak awal Allah memanggil gereja sebagai gereja bagi diri sendiri dan tersendiri, tetapi sekaligus yang harus hidup dan berjuang disana, bersama semua yang ada di dalamnya. Seharusnya memang demikian, sebab keselamatan yang diterima gereja dari Allah adalah keselamatan yang diterima karena pengorbanan yang Allah kerjakan untuk semua orang, bukan hanya bagi gereja. Gereja tidak akan mungkin menikmati keselamatan di tengah hancur lebur, luluh lantaknya dunia sekitarnya. Jika dunia sekitar porak-poranda, maka gereja pun akan demikian, turut mengalaminya. Oleh karena itu, dimensi profetis gereja harus dibangun atas dasar solidaritas yang dipolakan Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia dunia, mesti menjadi ciri dan hidup gereja. Salah satu prinsip utama supaya gereja dapat melakukan tugas profetisnya, gereja tidak boleh merasa atau bahkan menjadi “asing” dari lingkungan sekitarnya. Hal itu tampak dalam pengalaman para nabi di zaman Israel hingga Kristus sendiri. Amos, Hosea, Yesaya dan Mikha, terutama sekali bergumul dengan realitas 348 ketidakadilan sosial dalam masyarakat pada zaman mereka. Yunus bahkan diutus ke Niniwe dalam pergulatan batin yang serius. Mereka terhisab dalam realitas sekitarnya, dan dari sana menyampaikan pesan ilahi yang telah menjiwai diri mereka itu kepada masyarakat mereka masing-masing. Pesan mereka begitu tajam, kuat dan memiliki nilai yang berkelanjutan, karena suara mereka adalah perpaduan antara suara Allah dan suara manusia, yang menyatu dalam gugatan, harapan, dan ajakan untuk memperjuangkan kemanusiaan yang otentik. Mereka tidak akan pernah tahu penderitaan masyarakat, jika mereka tidak “menjadi bagian” dari lingkungan sekitarnya. Bahkan Kristus juga adalah contoh konkrit dari Allah yang juga tidak mau mengasinkan diriNya dari realitas kemanusiaan, dengan menjadi manusia dalam diri Yesus. Yesus menggumuli secara intensif realitas sosial pada zamanNya. Dalam realitas kemanusiaan itulah, Yesus mentransformasi penderitaan orang yang selama 38 tahun sakit, membuka diri untuk menyelamatkan anak perempuan Siro Fenisia, menyuruh perempuan berzinah pergi dan jangan berbuat dosa lagi. Semua itu dapat terjadi, karena Allah tidak lagi asing dari penderitaan manusia. Gereja pun harus demikian. Komitmen, perspektif dan praksis profetis gereja harus lahir dari intensitas yang sungguh dan terus menerus bersama dunia di sekitar kita. Serentak di sana, kita juga menjadi tidak terasing dari Allah yang penuh solidaritas itu. Tugas profetis gereja hanya bisa dikerjakan dengan benar, apabila itu dilakukan dalam solidaritas dengan semua orang. Gereja tidak lagi berbicara tentang 349 kepentingan Kristen, atau kelompok dan golongan. Yang mesti kita perjuangkan secara bersama adalah kesetaraan, keadilan, perdamaian dengan semua orang. Gereja harus berpikir dan mengerjakan apa yang terbaik bagi bangsa ini, sebagai perwujudan dari kehendak Tuhan. Gereja harus siap berkorban demi kemanusiaan di Indonesia. Kita harus selalu mengkritik cara pandang kita selama ini sebagai gereja. Kritik itu akan memulihkan fungsi gereja di dalam masyarakat. Teologi itu harus terus berkembang, sebagai respons atas cara kita beriman dalam konteks bersama dunia sekitar kita. Dimensi profetik itu tidak pertama-tama tertuju pada orang lain, tetapi pada kita sebagai gereja. Pemanggilan dan pengutusan yang disampaikan Allah kepada para nabi selalu didahului dengan kritik terhadap sikap para nabi yang hanya ingin memperoleh keselamatan bagi diri sendiri, dan membiarkan orang lain menderita. Gereja tidak boleh begitu. Supaya kita menjadi gereja yang profetis, kita harus pertama-tama betobat, betobat dari cinta diri kepada cinta Tuhan, yang berarti berkorban untuk kemanusiaan. Gereja tidak lagi punya hidden agenda dari agenda bangsa dan negara, gereja harus mampu meyakinkan semua komponen bangsa tentang komitmen gereja terhadap masa depan bangsa dan kemanusiaan. Kendati demikian, gereja sudah tentu bukanlah negara. Yang harus tetap dipertahankan oleh gereja bersama dunia sekitarnya dalam perjuangan profetiknya di Indonesia adalah jaminan bagi tegaknya kemanusiaan. Itu cara kita menjaga bangsa ini.

350

Profetik sebagai Praksis Gereja Perwartaan gereja sebagai suatu tindakan profetis berpusat pada konsep Kerajaan Allah. Perwartaan itu mesti tampak dalam pengajaran dan praksis yang konkrit. Dalam praksis itu, gereja mesti mengusahakan perdamaian, kasih, keadilaan, dan kebenaran sebagai suatu tatanan kehidupan yang baru. “Preferential option for and with the poor and the opperessed” adalah sebuah premis dasar dari kerangka profetis gereja. Keberpihakan kepada semua pihak yang miskin, tertindas, terhisap, dan terpinggirkan dari segi sosio-ekonomis, sosio-politik, bahkan sosio-religius. Dalam konteks itu, kita dapat mengerti posisi Yesus yang menempatkan diri sebagai “Anak Manusia”, suatu gambaran yang muncul dari penghayatan diriNya sebagai bagian dari umat manusia yang begelut dengan kemiskinan, ketertindasan, keterhisapan, dan keterpinggiran. Ajakan Yesus kepada semua orang untuk “mari ikutlah Aku”, mesti mendorong gereja untuk terbuka pada semua kelompok yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Gereja yang dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah bukan gereja yang hanya terbatas pada Kristen sebagai kelompok keagamaan yang konvensional. Gagasan Kerajaan Allah merupakan merupakan gagasan yang inklusif terhadap semua orang. Kekristenan mesti terbuka terhadap agama-agama lain, bekerjasama dengan semua kekuatan sipil yang berjuang untuk perdamaian, keadilan, pluralisme dan kesetaraan. Dengan cara itu, gereja bukan hanya terpanggil untuk mengusahakan kehendak Allah sendirian, tetapi gereja mesti menjadi sebuah komunitas yang dipercaya oleh 351 semua orang. Agar dengan demikian dapat mengajak semua umat manusia berjuang menghadirkan kehendak Tuhan dalam dunia ciptaanNya. Dalam kehidupan politik, saya merasa bahwa seluruh perspektif politik Kristen bertujuan untuk menghadirkan perjumpaan antara Tuhan dan umat manusia. Kekristenan bukan suatu posisi yang menjadi tujuan dari seluruh kehadiran Tuhan. Tetapi Tuhan itu mesti dihadirkan dalam seluruh realitas kemanusiaan. Kekeristenan harus memberitakan bukan hanya tentang Allah yang mengasihi semua orang, tetapi juga Kristus yang mati dan bangkit sebagai tanda keberpihakan Allah kepada semua orang. Kristus yang bangkit adalah bukti dari kuasa Tuhan yang melampaui seluruh kekuatan destruktif dalam struktur sosial yang cenderung menindas dan tidak emansipatif. Gereja harus mendorong proses emansipasi seluruh umat manusia dalam usaha membuka belenggu ketidakadilan dan penindasan. Kredibilitas gereja terletak pada sejauhmana gereja mau bekerja dan berjuang untuk semua umat manusia. Kekristenan harus berani berkorban untuk kemanusiaan sekitarnya. Visi kita tentang misi gereja perlu terus dibaharui dari waktu ke waktu. Misi sebagai praksis berteologi harus tetap terarah pada upaya membangun kemanusiaan. Itu harus tetap menjadi “suluh” yang menuntunn iman gereja pada Tuhan. Dalam hubungan dengan itu semua, peran profetis gereja terkait dengan pelaksanaan pemilu harus ditempatkan bukan hanya untuk membangun demokrasi. Pembangunan demokrasi, emansipasi politik kewargaan, penguatan partisipasi publik terhadap kebijakan publik, harus didukung oleh gereja hanya 352 sejauh itu semua terarah untuk membangun sendi kehidupan baru yang damai, adil, penuh dengan kebaikan, kebenaran, pluralisme dan kesetaraan di tengah masyarakat. Gereja tidak boleh alergi dengan politik, sebab ~sejak Martin Buber yang menyebut PL dan PB dalam hal tertentu sebagai buku-buku teopolitik~ dari pengalaman para nabi hingga Kristus yang “dituduh” sebagai raja Yahudi. Pengakuan terhadapNya sebagai Tuhan segala Tuhan”, maupun yang “mengumpulkan rakyat”, termasuk pelayanan persaudaraan Yesus dan para murid bagi para budak yang sebelumnya tidak memiliki hak politik apapun pada masa itu, yang dikemudian hari turut mempengaruhi hubungan mereka yang orang Yahudi dan Romawi, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan politik. Dengan kata lain, tindakan profetis sudah tentu akan memperhadapkan gereja dengan kehidupan politik yang konkrit. Itu sebabnya gereja sendiri harus memiliki sikap dan perspektif yang jelas, dan yang sungguh-sungguh teologis, dengan mengacu dari apa yang secara terang benderang tampak dalam seluruh kesaksian Alkita. Dimana para nabi hingga Yesus sendiri tidak pernah menafikan konsekuensi politik dari misi yang dilakukan. Mereka semua tidak berpolitik, tetapi mereka menyadari betapa kekuasaan politik harus dibaharui melalui sikap profetik gereja agar kehidupan politik benar-benar menghadirkan pembebasan bagi semua orang. Tetapi untuk semuanya itu, gereja harus juga rela menolak dengan sungguh-sungguh kekuasaan politis. Dengan cara itu, perwartaan gereja akan lebih memiliki 353 bobot dan dampak yang kuat terhadap upaya pengangkatan martabat manusia yang direndahkan dan menjadi korban politik kekuasaan duniawi serta demi kesejahteraan orang banyak.

Penutup Demikian beberapa catatan yang dapat saya sampaikan. Semoga semua ini dapat merangsang diskusi dengan gagasan dan pemikiran yang dapat membantu peran gereja di masa depan.

354

REFLEKSI PERJALANAN DAN PERTUMBUHAN GPM 2005-2015 SERTA HARAPAN 2015-2025

Pengantar Menakar dan merefleksi perjalanan GPM dalam kurun waktu 2005-2015 ini, terdapat fase-fase pertumbuhan yang cukup berarti: - 2005-2010, sebagai fase pertumbuhan yang difokuskan pada usaha menumbuhkan peace and trust building di Maluku dan Maluku Utara. Pada fase ini, seluruh desain pelayanan GPM diarahkan untuk meningkatkan rasa saling percaya dan menumbuhkan semangat hidup „orang basudara‟. Fase ini menentukan apakah GPM dapat keluar dari krisis dan membawa masyarakat keluar darinya atau tidak? Di sini kita bersama-sama mengembangkan kesadaran pluralis di kalangan pelayan dan jemaat, serta menumbuhkan interaksi sosial antarwarga dan antariman. Ruang perjumpaan yang ada dimaksimalkan, serta dikreasikan pula titik-titik temu baru dengan mendayagunakan kearifan lokal masyarakat. - 2010-2015 kita memasuki fase pertumbuhan dengan beberapa penekanan, antara lain: a. 2011-2012 – pertumbuhan GPM dengan penekanan pada aspek koinonia transformatif di antara jemat/masyarakat, dan koinonia semesta dalam relasi dengan alam ciptaan Tuhan. b. 2012-2013 – pertumbuhan GPM dengan penekanan pada tanggungjawab memelihara keutuhan ciptaan dalam arti yang lebih konkrit, 355

yakni pelestarian lingkungan. Dengan penekanan ini, GPM ikut mendorong terjaminnya hak-hak masyarakat adat di seluruh Maluku dan Maluku Utara, dengan proses advokasi sosial dan hukum. c. 2013-2014 – pertumbuhan GPM dengan penekanan pada tugas mengartikulasi pembinaan umat melalui pencerdasan dan peningkatan kapasitas umat dan pelayan, baik kecerdasan sosial, politik, ekonomi, spiritual, teologi dan intelektual. Dalam usaha pencerdasan itu, pendidikan politik dan pembinaan spiritual dijalankan di semua level dan pada basis-basis rumah tangga jemaat. d. 2014-2015 – pertumbuhan GPM sudah harus difokuskan pada usaha menuju Kematangan Bergereja dengan memboboti spiritualitas umat dan pelayan. Pada fase ini, kita sudah mengantar GPM sampai delapan dekade pelayanan sebagai Gereja Bagian Mandiri, dan harus memantapkan posisi perannya ke dekade berikutnya [2015- 2025]. Pemberlakuan Rencana Strategis [Renstra] Jemaat dan Program Lima Tahunan [Prolita] Klasis di tahun 2012, sesuai isyarat Tata Gereja GPM merupakan salah satu point refleksi dalam kaitan dengan perencanaan dan pengembangan GPM. Pada point itulah saya hendak menyampaikan beberapa catatan reflektif.

356

Transformasi Perencanaan Pelayanan GPM Pemberlakuan Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan [PIP/RIPP] GPM sejak 1983 mengisyaratkan bahwa sentralisasi visi dan desentralisasi prakarsa merupakan azas perencanaan pelayanan GPM. Sampai dengan dasawarsa ketiga penerapannya, PIP/RIPP telah menginspirasi perencanaan gereja, walau ditemui desentralisasi prakarsa sama sekali belum berjalan. Visi sentral pelayanan gereja diserap ke dalam program di tingkat Sinodal yang rata-rata menjadi „program turunan‟ sampai ke tingkat jemaat. Hasilnya ialah program pelayanan kurang menyentuh kebutuhan dan menjawab permasalahan riil di tiap tingkatan organisasi [Sinode, Klasis dan Jemaat]. Koreksi terhadapnya dilakukan melalui Pedoman Implementasi PIP/RIPP GPM Tahap II – 2010-2015, dan lebih didaratkan dalam mekanisme perencanaan yang baru di tahun 2010, melalui Tata Gereja GPM yang baru. Wujud penerapannya, yakni melalui pemberlakuan Renstra Jemaat dan Prolita Klasis berbasis analisis sosial yang matang. - Tahun 2011 merupakan tahapan awal perencanaan gereja yang didahului dengan Sosialisasi Tata Gereja, PIP/RIPP GPM Tahap II 2010-2015 di semua Klasis dan Jemaat. - Tahun 2012, sebagai tahun implementasi Renstra Jemaat, dan Program Lima Tahunan [Prolita] Klasis sesuai arahan Tata Gereja GPM Pasal 10 ayat [3], jo Pasal 29. Kenyataannya, belum semua Jemaat menerapkan Renstra dan Prolita sampai dengan tahun 2013. 357

- Tahun 2013 terjadi Pemekaran beberapa Klasis18 - Tahun 2014, semua Klasis, termasuk Klasis yang baru dimekarkan telah menyusun Program Lima Tahunan, walau dalam banyak hal masih mengadaptasi Prolita Klasis induk. - Tahun 2014, terdapat agenda Pemilihan Majelis Jemaat di seluruh Jemaat GPM, dan penahbisannya di tahun 2015 sebagai tahun terakhir pelaksanaan Renstra Jemaat dan Prolita. Artinya, ada perangkat pelayan baru yang perlu memahami Renstra Jemaat dan Prolita Klasis secara baik untuk memandunya dalam penyusunan dokumen baru di tahun 2016-2021. - Tahun 2015 merupakan tahun strategis dalam kaitan dengan penyusunan dokumen PIP/RIPP GPM yang baru [2015-2025]. Dengan demikian, hasil monitoring dan evaluasi selama 10 tahun

18 [1] Klasis Pulau-pulau Aru, menjadi Klasis Pulau Aru, Klasis Pulau Aru Tengah dan Klasis Pulau Aru Selatan; [2] Klasis Pulau Ambon, menjadi Klasis Pulau Ambon, Klasis Pulau Ambon Timur, Klasis Pulau Ambon Utara; [3] Klasis Pulau Babar, menjadi Klasis Pulau Babar dan Klasis Pulau Babar Timur; [4] Klasis Pulau-pulau Kisar, menjadi Klasis Pulau Kisar dan Klasis Pulau Wetar. Pemekaran-pemekaran mana menunjuk pada terbentuknya institusi klasis yang baru, yang memerlukan pula pengembangan pada sisi kelembagaan, terutama pegawai organik di level Klasis [Ketua dan Sekretaris Klasis, Bendahara Klasis, Kasubid Anak-Remaja dan Katekhisasi, Kasubid Perempuan, Kasubid Laki-laki, pegawai administrasi dan Badan-badan Pembantu Pelayanan Klasis]. Pada posisi Ketua dan Sekretaris Klasis sudah lengkap di semua Klasis yang baru. Jabatan Kasubid dan Bendahara yang masih perlu diangkat pegawai organik GPM [pendeta] yang baru. Sehingga perlu ada korelasi sistemik dengan SP-SAPO GPM.

358

perlu digambarkan secara konkrit sebagai ukuran pertumbuhan pelayanan dalam dekade ini.

Menakar Capaian Pelayanan 2010-2015 Dokumen PIP/RIPP 2005-2010 menjadikan pembaruan gereja sebagai paradigma pokok. Dengan demikian, fokus pengembangan pelayanan diarahkan pada pembentukan profil gereja yang meliputi profil umat, profil pelayan dan profil kelembagaan. Seluruh program gereja diarahkan untuk membentuk profil tersebut. Saya hendak mengajak kita hari ini melakukan refleksi lanjutan terhadapnya, sambil memperhatikan beberapa aspek penting yang bisa memboboti atau setidaknya menjadi isyarat bagi penyusunan dokumen PIP/RIPP yang baru, agar ada keberlanjutan dari progres yang sudah dicapai sampai saat ini.19 1. Profil Umat Secara strategis, pembentukan profil umat menjadi konsentrasi pelayanan di tingkat jemaat. Sesuai indikator ketercapaiannya dalam PIP/RIPP; diharapkan ada data yang representatif dari jemaat-jemaat mengenai: - Tingkat kesadaran dan partisipasi beribadah di kalangan umat. - Tingkat pemahaman teologi dan eklesiologi warga jemaat. - Tingkat pertumbuhan ekonomi atau pendapatan rumah tangga.

19 Perhatikan hasil moneva PIP/RIPP 2005-2010 dan 2010-2015 359

- Tingkat penyerapan jemaat dalam pekerjaan [baik yang sudah bekerja maupun yang baru – termasuk yang mengelola lahan atau nelayan, dll]. - Hubungan suami-isteri dan orang tua-anak dalam rumah tangga, khusus apakah masih ada kasus KDRT atau tidak. - Pengelolaan kearifan lokal dalam membina relasi antar-warga. Dalam kaitan dengan profil umat, pada beberapa jemaat, dengan tingkat konflik antar-jemaat/negeri yang kerap terjadi, maka program pembinaan umat yang menjurus pada pembentukan karakter dan rasa persekutuan sebagai warga GPM perlu dikembangkan.

2. Profil Pelayan Acuan kita pada PIP/RIPP GPM, indikator ketercapaian profil pelayan mengasumsikan bahwa profil ini menjadi domain Klasis dan Sinode. Dalam kaitan itu, sesuai PIP/RIPP, perlu ada gambaran yang memadai mengenai: - Apakah kesadaran panggilan dan pengutusan di kalangan Pendeta, Penatua, Diaken, Pengasuh, Katekeit, Pegawai Administrasi, Badan Pembantu Pelayanan di Sinode, Klasis, dan Jemaat sudah terbangun baik? - Bagaimana kemampuan pelayan melakukan refleksi sosial, dan teologi dalam tugas dan di masing-masing jemaat? - Bagaimana kemampuan pelayan bersosialisasi dalam konteks masyarakat majemuk?

360

- Apakah kegiatan pengembangan kapasitas pelayan sudah berlangsung secara reguler dan kontinyu? - Bagaimana dan apa kendala pokok dalam sistem penjenjangan kepangkatan dan kepegawaian? Pada level Klasis diharapkan agar ada: - Kontrol yang efektif terhadap kinerja pelayan di Jemaat. - Pembinaan kesetiaan melayani, terkait fenomena 6:1. - Pembinaan kepada pendeta dan pelayan yang tidak fokus pada tugas gerejawi [sibuk dengan kegiatan lain di luar pelayanan gerejawi]. - Peningkatan program pembinaan kapasitas pelayan secara reguler. Beberapa program yang berlangsung belakangan ini, termasuk Pembinaan Spiritualitas, merupakan metode yang relevan. - Peningkatan kerjasama antarpimpinan umat/ agama di tingkat Klasis dan Jemaat – termasuk hubungan dengan agama lain. Sedangkan di tingkat Sinodal: - Penataan kepangkatan dan penjenjangan perlu terus dievaluasi, dan memerlukan dukungan Klasis. - SP-SAPO perlu diimplementasi. - Berlangsungnya pendidikan kependetaan dengan kurikulum yang lebih sistematis. - Sinkronisasi pelayanan dan kerjasama antardepartemen. - Penataan sistem administrasi dengan standard komputerisasi dan IT [SINFO]. 361

- Pengembangan Media Center GPM. Beberapa regulasi dan dokumen perencanaan yang sudah harus disusun dan diselaraskan demi menopang kinerja pelayanan gereja secara umum dan profil pelayan secara khusus, antara lain: - Tata Gereja. - Peraturan Pokok Tentang Sinode [adaptasi TG]. - Peraturan Pokok Tentang Klasis [adaptasi TG]. - Peraturan Pokok Tentang Jemaat [adaptasi TG]. - Peraturan Pokok Tentang Perbendaharaan dan Keuangan Gereja. - Peraturan Pokok Tentang Jabatan Kependetaan [korelasi dengan Peraturan Kepegawaian]. - Peraturan Pokok Disiplin Gereja dan Penggembalaan. - Pokok-pokok Pemahaman Iman dan Ajaran Gereja. - Soal-soal tentang Pendidikan. - PIP/RIPP GPM 2015-2025.

3. Profil Kelembagaan Beberapa hal yang dapat disebut sebagai pencapaian pelayanan dan pengembangan sesuai arahan PIP/RIPP Tahap II – 2010-2015 antara lain: - Manajemen pelayanan di Sinode, Klasis, Jemaat semakin berkembang, seiring dengan penggunaan Renstra Jemaat dan Prolita Klasis. - Sistem rekruitmen dengan penerapan Kurikulum Pendidikan Kependetaan telah dilaksanakan. Untuk ini, masih perlu pengkajian secara komprehensif melalui Workshop Kurikulum sehingga kelemahan-kelemahan 362

pelaksanaan yang ada di tahap pertama ini bisa dievaluasi dan dibenahi. - Proses rotasi, mutasi dan pengangkatan Pejabat Struktural berbasis kebutuhan, kapasitas dan kinerja mulai terbangun baik terhadap pegawai organik pendeta maupun tenaga administrasi. Pada beberapa Klasis, hasil pemekaran perlu dilengkapi. - Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan telah berlangsung melalui sidang- sidang gereja di setiap level. Termasuk laporan keuangan rutin dalam ibadah jemaat. SINFO GPM pun sudah memuat tools yang memudahkan pencatatan dan pelaporan keuangan gereja. - Telah dibentuk Badan Penelitian dan Pengembangan [Balitbang GPM]. Personil Balitbang sudah cukup representatif, yakni melibatkan tenaga organik gereja [Pendeta] dan warga jemaat profesional. - Telah dibentuk Media Centre GPM yang telah membangun mekanisme publikasi GPM melalui situs www.sinodegpm.com. Tenaga pengelola- nya yang masih harus direkrut, khusus yang ahli dalam bidang IT. - Sinkronisasi tugas antardepartemen dan badan pembantu pelayanan perlu dibangun terus. - Tim Pengembangan Ekonomi [TPE] di Klasis dan Jemaat. Beberapa Klasis telah mengembangkan program-program pember- dayaan sesuai potensi spatial di masing-masing klasis. 363

- Jaringan kerjasama di dalam dan Luar Negeri pun telah terbangun pada beberapa kebutuhan pelayanan, seperti dengan Uniting Church Australia [Melalui Tim Implementing GPM] untuk pemberdayaan perempuan dan anak; Gereja Kristen Indonesia [GKI] untuk pendidikan di Klasis Lease; Gerakan Kemanusiaan Indonesia untuk penanggulangan bencana [bersama AMGPM]; Yayasan Pelita Harapan [untuk pengembangan persekolahan kristen di bawah YPPK pada Kota Ambon – Sekolah Lentera]; Wyclife dan Kartidaya [bersama Departemen PIKOM] untuk penerjamahan Alkitab dan penginjilan.

Harapan Baru Ke 2015-2025 Saya hendak menyampaikan beberapa gagasan pokok untuk direnungi bersama-sama. Menurut saya, PIP/RIPP sebagai dokumen perencanaan GPM merupakan suatu kreasi yang cerdas, mengingat kita diajak untuk merencanakan pelayanan yang benar- benar dapat menjawab kebutuhan dan masalah yang riil atau malah urgent. Renstra Jemaat dan Prolita Klasis pun telah menjadi suatu produk perencanaan yang cerdas, sehingga perlu diejawantahkan secara lebih konsisten. Konsistensinya terukur pada bagaimana penyiapan sumber daya manusia, dalam hal ini para penyusun Renstra Jemaat dan Prolita Klasis yang handal. Dengan demikian, kita tidak bisa menafikkan perlunya serangkaian pelatihan yang komprehensif.

364

Aspek ini menjadi perlu, karena penerapan Renstra Jemaat mengindikasikan bahwa pelayanan gereja harus ditopang oleh: - Dukungan Kelembagaan, dimana semua perangkat pelayanan gereja harus berjalan bersama untuk melaksanakan semua program pelayanan. - Dukungan Anggaran, sebagai indikator kemampuan pembiayaan pelayanan dan dorongan meningkatkan taraf kesejahteraan jemaat/gereja. Perencanaan anggaran pelayanan melalui APB Gereja sudah harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. - Dukungan partisipasi jemaat, sebagai elemen pokok dalam dimensi gerejawi, yakni perwujudan imamat am orang percaya dan kesatuan tubuh Kristus yang saling mendukung dan menopang satu dengan lainnya. Beberapa hal yang menurut saya perlu direnungi memasuki dasawarsa keempat pelaksanaan PIP/RIPP GPM [2015-2025] antara lain: a. Pemetaan Wilayah Pelayanan GPM Dokumen PIP/RIPP GPM 2015-2025 selain harus menukik ke problematik pelayanan sesuai isu-isu strategis, tetapi harus pula melihat pemetaan wilayah pelayanan dalam satuan geo- strategis daerah dan juga ruang relasi kemitraan gereja [antarjemaat dan antarklasis]. Sebab, kondisi tersebut relevan dengan realitas kepulauan, sebagai sebuah realitas perencanaan pelayanan.

365

Wilayah pelayanan Gereja Protestan Maluku merupakan wilayah kepulauan yang membentang dari Tifure di Maluku Utara sampai Liswatu di Wetar, dan meliputi gugusan pulau-pulau dari Kepulauan Sula, Bacan, Obi, Pulau Seram, Pulau Buru, Pulau Ambon dan Lease [Saparua, Nusalaut dan Haruku], kepulauan Kei Besar dan Kei Kecil, pulau-pulau Aru, Pulau Tanimbar, Kepulauan Leti-Moa- Lakor, kepulauan Babar, Damer, Kisar dan Wetar. Kedudukan Klasis menjadi strategis dalam rangka mengkoordinasi jemaat-jemaat agar tugas-tugas gereja dapat berjalan secara maksimal. Jemaat-jemaat GPM merupakan jemaat-jemaat yang tumbuh di pedesaan dan perkotaan dengan corak homogen maupun heterogen, dengan beberapa corak khusus, seperti: - Jemaat homogen di pedesaan dan pegunungan, yang terbentuk di dalam satuan-satuan negeri adat. - Jemaat heterogen di pusat perkotaan dan „kota orde kedua‟ [misalnya Passo, Poka- Rumahtiga-Wayame, Ternate, Sanana, Bacan, Laiwui]. Konflik sosial 1999 pun telah menciptakan pemukiman yang segregatif di perkotaan. Khusus di beberapa Jemaat pada Klasis Pulau Ambon Utara, terbangun kembali pemukiman berbaur [Nania, Negeri Lama, Waiheru, Hunut-Durian Patah, Poka, Rumahtiga, Wayame, Tawiri, Laha]. 366

Fenomena yang sama tampak pula di Maluku Utara dan pada pusat-pusat Klasis [Ternate, Bacan, Obi, Sula]. Sementara beberapa Jemaat yang sama sekali tidak mengalami imbas konflik sosial [banyak di Klasis Pulau-pulau Sula] tetap hidup dalam konteks pembauran sosial. - Jemaat besar dan jemaat kecil menurut satuan jumlah kepala keluarga dan jumlah jiwa. Pada jemaat-jemaat besar ada yang dilayani oleh 2- 5 [dua sampai lima] pendeta organik, sedangkan jemaat-jemaat kecil sampai saat ini ada yang „masih kosong‟ dalam arti belum ada pendeta organik yang melayani di sana.20 Selain itu, ada beberapa jemaat di pedalaman pulau Seram dan Buru yang terbangun dalam dua atau lebih kawasan, atau Sektor Pelayanan dan dilayani oleh satu tenaga pendeta.21 - Klasis Pulau-pulau merupakan fenomena yang unik sekaligus menantang pada aspek koordinatif pelayanan. Ternate sebagai Klasis pulau-pulau, malah kini tersisa 3 [tiga] jemaat yakni Kota Ternate dan dua jemaat di pulau-pulau terkecil,

20 Beberapa Jemaat kecil yang perlu pelayan pendeta misalnya di Klasis Seram Utara. Jemaat-jemaat tersebut merupakan buah pekabaran injil GPM dalam satuan masyarakat suku asli yang perlu sekali ditumbuhkan imannya. 21 Karena itu praktek ‘Jumat Agung’ bergilir masih terjadi sampai saat ini. Pendeta melayani di pusat Jemaat terlebih dahulu kemudian di kawasan jemaat atau pos PI dan/atau Sektor Pelayanan lain yang secara teritorial terpisah dari Jemaat induk. 367

yakni: Tifure dan Mayau [Pulau Batang Dua]. Jemaat Kota Ternate dapat disebut sebagai „jemaat transisi‟ dalam arti lebih banyak tidak menetap dalam waktu yang panjang. Mereka adalah para pegawai atau personil TNI/Polri yang sewaktu-waktu dapat dimutasikan ke tempat lain. Bacan, Obi dan Sula juga merupakan kawasan Klasis pulau-pulau yang unik. Jemaat di pusat-pusat klasis ini, kini kembali hidup membaur dengan „basudara Muslim‟, kecuali pusat Klasis Obi dan Sula yang karena konflik masih ada di luar pusat Klasis lama.22 Pada Klasis-klasis tersebut, dimana tidak terdapat sarana perhubungan darat [jalan raya], pada keadaan cuaca ekstrim akan sulit untuk perhubungan antarjemaat. Seram Barat dan Seram Timur adalah dua Klasis di dataran pulau Seram dengan tipikal Klasis pulau-pulau. Uniknya ialah jemaat- jemaat di pulau-pulau kecil yang terpisah dari dataran pulau Seram adalah jemaat-jemaat yang terbangun dalam riwayat konflik sosial Maluku 1999, dan kini kembali hidup dalam pembauran dengan „basudara Muslim‟. Pada Klasis Pulau-pulau Lease, keberadaan jemaat-jemaat di pulau-pulau ini pun terbilang unik di semua pulaunya. Pulau

22 Klasis Obi semula di Laiwui tetapi karena konflik sosial saat ini masih di Wayaloar. Klasis Pulau-pulau Sula semula di Sanana, sampai saat ini masih di Falabisahaya. 368

Saparua lebih banyak merupakan jemaat homogen dalam satuan negeri adat yang memiliki hubungan genealogis dengan negeri-negeri Salam, misalnya Sirisori, Iha, Ihamahu. Di Pulau Haruku keunikannya ada pada jemaat-jemaat yang juga memiliki pertalian genealogis dan kultural dengan negeri-negeri Muslim. Kariuw sebagai jemaat yang mengalami konflik sosial pun, telah kembali dan membangun hidupnya di negerinya. Relasi dengan „basudara Salam‟ terus dibangun dalam kesadaran kultural. Pulau Nusalaut memiliki keunikan yang telah terbangun sejak zaman dahulu sampai saat ini, yakni di ketujuh negeri yang ada semuanya merupakan Jemaat GPM. Klasis pulau-pulau di Kepulauan Aru Tengah dan Aru Selatan, Tanimbar Selatan, Tanimbar Utara, Pulau Babar, Babar Timur, Damer, Kisar, Wetar, Leti-Moa-Lakor adalah pulau- pulau dengan tingkat tantangan transportasi yang sangat tinggi, terbatasnya sarana perhubungan laut, selain oleh faktor cuaca. Hal mana sangat berdampak pada koordinasi pelayanan. Klasis-klasis ini dan juga Klasis Kei Besar, Buru dan Buru Selatan, dimana tidak terbangun sarana perhubungan darat [dalam hal ini jalan raya],23 maka dalam

23 Sarana perhubungan darat, dalam hal ini jalan raya juga menjadi salah satu tantangan transportasi pada Klasis Seram Utara, Taniwel, 369

keadaan cuaca ekstrim, perhubungan antarjemaat yang harus menempuh laut pun akan sulit dilakukan. - Jemaat-jemaat di kawasan industri dan perkebunan inti rakyat [PIR] dan Hak Pengelolaan Hutan [HPH]. Fenomena ini telah menjadi fenomena lama yang muncul kembali. Klasis pulau Obi dan Pulau Sula adalah salah satu klasis di kawasan HPH yang sudah lama ditinggalkan oleh pihak perusahaan [PT. Djati Group Timbre]. Ironisnya ialah sejak perusahaan beroperasi, jalan hubung antardesa pun tidak terbangun sebagai jalan permanen/beton. Saat ini, Jemaat-jemaat dalam kawasan industri – seperti Perusahaan Nikel di Kawasi, Obi dan Tolong di Sula, perusahaan nikel di Seram Bagian Barat, perusahaan Migas di MTB dan MBD, kawasan HPH di hampir semua jemaat di pulau Taliabu [Sula], Pulau Buru, Seram serta Yamdena, PTP XII Awaya [perkebunan karet dan kelapa, di Klasis Masohi], PT Sumber Daya Wahana [perkebunan kakau di Seram Utara], perusahaan HPH di Buru dan Buru Selatan, PT. Nusa Ina Group dengan perkebunan kelapa sawit di Seram Utara – mengalami masalah lingkungan dan sosial yang cukup

Seram Barat, Telutih dan Buru Selatan dan Buru Utara mengingat jemaat-jemaatnya ada di kawasan pegunungan. Perjalanan ke jemaat- jemaat tersebut memakan waktu 1-3 hari. 370

serius.24 Bencana banjir, kekeringan, tanah longsor, pencemaran air sungai dan sumur, menurunnya debit air tanah dan sungai, pembuangan limbah industri dan ekspansi perluasan hutan telah menjadi fakta sosial dan lingkungan yang tidak terhindarkan dan memerlukan penanggulangan secara terintegrasi. - Jemaat Khusus dan Jemaat Kategorial. Sesuai Tata Gereja GPM Bab I Pasal 2, jemaat adalah perwujudan nyata dari GPM. Karena itu menurut Peraturan Pokok GPM tentang jemaat, Bab III Pasal 3, Jemaat GPM dicirikan sebagai Jemaat Teritorial, Jemaat Kategorial dan Jemaat Khusus. Kedua ciri jemaat yang terakhir itu bersifat transteritorial. Bahwa sampai tahun 2015, telah terdapat tiga Jemaat Khusus, yakni Jemaat Khusus Hok Im Tong Ambon [19…], Jemaat Khusus Hok Im Tong Dobo [2012] dan Jemaat Khusus Hok Im Tong Saparua [2014]. Sementara itu, Jemaat Kategorial yang berbasis dalam Kesatuan TNI/Polri antara lain: Jemaat Kategorial TNI, yaitu: Pniel Bentas [Klasis Pulau Ambon], Kabeth Suli, Halong [Klasis Pulau Ambon Timur], dan Laha [Klasis Pulau Ambon Utara], Waepo [Klasis GPM Masohi]; Jemaat

24 Salah satu yang turut menyita perhatian gereja adalah rencana PT. Menara Group membuka perkebunan tebu di Kepulauan Aru. Proses ini menimbulkan perlawanan sipil di tingkat Jemaat artinya gereja turut mengadvokasi jemaat guna proses pencegahan kerusakan ekologis di sana. 371

Kategorial Polri: Sinar Kasih dan Bukit Kasih [Klasis Kota Ambon], Teratai Kasih [Klasis Pulau Ambon Timur]. - Jemaat teritorial dalam lokasi transmigrasi lokal [translok] dan nasional erat terkait dengan ethos kerja [aspek ekonomi]. Jemaat- jemaat tersebut ada di Klasis GPM Seram Utara, Masohi, Seram Barat Piru, Kairatu, Buru. b. Kemiskinan dan Keadilan Sosial - Konsistensi bergereja untuk mengentaskan kemiskinan jemaat-jemaat mendorong pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi secara berkelanjutan dan komprehensif. Ini terkait dengan kepemilikan lahan produktif milik jemaat yang perlu dijadikan sebagai kapital ekonomi yang handal. Realitasnya ialah banyak lahan milik jemaat yang sudah dijual atau berpindah tangan. Salah satu penyebab realitas itu adalah pola konsumerisme dan terbentuknya ijonisme [kecenderungan untuk berhutang]. - Kemiskinan, kecemburuan sosial dan ketidakseimbangan relasi [unequalibrium] dapat saja terjadi. Problem ini ada di kota maupun desa/negeri sebagai akibat dari tinggi dan mahalnya harga kebutuhan dasar hidup, dan akses ekonomi yang tidak merata atau ketidaksiapan jemaat dalam usaha-usaha perekonomian, terutama di sektor usaha kecil, mikro dan menengah. Keterampilan kerja merupakan indikator utamanya. Selain 372

terbukanya ruang bagi bantuan usaha seperti Kredit Usaha Rakyat [KUR], tetapi animo jemaat untuk berusaha di sektor UMKM cukup rendah. c. Isu Lingkungan - Pengrusakan hutan [land grabbing and deforestasy] merupakan realitas yang kini dihadapi di banyak tempat di Maluku dan Maluku Utara. Sejak 2012, masalah ini sudah menjadi masalah gerejawi. Kita membahasnya dalam tema teologi „keutuhan ciptaan Allah‟ sebagai implementasi tema „Tuhan itu baik kepada semua ciptaan‟. Karena itu, advokasi Aru, Seram Utara, Seram Timur, Seram Barat, Sula, Obi, Romang, Selaru, Buru, dan tempat lainnya harus menjadi langkah gereja. - Eksplorasi pertambangan di Kawasih [Obi], Tolong [Sula], Seram Bagian Barat, Marsela dan Romang [MBD] dan Buru, memerlukan pula perhatian serius gereja, karena terkait dengan masalah-masalah keperdataan jemaat, tetapi juga pengrusakan lingkungan, baik: tanah, air maupun udara. - Limbah perkebunan kelapa sawit PT. Nusa Ina Group di Seram Utara telah menjadi masalah sosial yang berdimensi luas, sampai pada kesehatan masyarakat. d. Relasi Oikumene, Radikalisme dan Hubungan Antaragama Tiga aspek ini sebenarnya dapat diurai masing- masing. Saya meletakkannya secara bersama 373

untuk memberi kesan bahwa dalam relasi antargereja, antaragama saat ini terdapat beberapa kecenderungan yang memerlukan adanya keseriusan dalam pembinaan ajaran dan pemahaman iman. Doktrin selalu dihindari dalam relasi antaragama dan antargereja. Tetapi kenyataannya saat ini, doktrin malah menjadi alat persinggungan yang mau tidak mau harus dibicarakan pula secara bersama bukan untuk melihat perbedaannya [konflik dogmatik] melainkan untuk saling memperkaya dan mengisi [sharing dogmatik]. Semisal isu radikalisme, pomeo „agama tidak mengajar radikalisme‟ ternyata berbanding terbalik dengan penggunaan ajaran dan simbol agama dalam gerakan radikalisme. Artinya ada yang harus dituntaskan, yakni pada level penghayatan beragama [spiritualitas]. Karena itu, ketika GPM melihat pada spiritualitas, saya yakini ke depan kita harus dapat mengakhiri konflik dogmatik dan masuk ke dalam sharing dogmatik sebagai level kesadaran bergereja dan beragama yang transformatif.

Penutup Di bagian akhir catatan ini, saya hendak mengetengahkan beberapa kegelisahan dan sekaligus perenungan untuk merumuskan tema pelayanan GPM 2015-2020, atau sekaligus titik berangkat untuk merumuskan visi gereja dalam PIP/RIPP 2015-2025.

374

- Berjalan bersama sebagai gereja di Indonesia dalam PGI, membuat kita semua kini harus bisa merenungi tema „Tuhan mengangkat kita dari samudera raya‟. Bagi saya, tema itu mengindikasikan ada aspek „pengharapan‟ [Hope] tentang campur tangan Tuhan untuk mengangkat dan memulihkan keadaan manusia di dalam semesta ciptaanNya. Semesta ciptaan Tuhan itu baik. Ketika semesta itu rusak dan mengancam tata kehidupan, maka „pengharapan‟ harus mendorong kita melakukan rangkaian tindakan penatalayanan berupa pemanfaatan/ pengelolaan, pemeliharaan, pelestarian, pencegahan, dan pemulihan. - Samudera raya yang rusak itu merupakan realitas yang kita hadapi dalam banyak bentuk, seperti: abrasi, tanah longsor, illegal logging, deforestasy and land grabbing, pertambangan, migas, limbah industri, dan lainnya. Realitas ini sudah menjadi perhatian dan kesungguhan gereja. Karena itu, bagaimana kita memahaminya sebagai ruang pertanggung- jawaban teologi dan iman, bahwa Tuhan menghendaki kita mengelola seluruh potensi di bumi, di dasar bumi, di laut dan udara secara beriman? Advokasi gereja perlu dilakukan secara komprehensif. Bukan pada level pencegahan dampak hukum melainkan kesadaran eko- teologi dengan memahami dunia sebagai „sacramentum Tuhan‟ – yaitu lingkungan ekosistem dimana Tuhan ada dan bertindak di dalamnya. Tuhan ada di atas tanah, berelasi 375

dengan manusia; kuasaNya pun memengaruhi semua potensi hayati dalam tanah dan di dasar- dasar laut; RohNya tetap mengangkasa dan memberi angin segar kepada umat manusia. - Tuhan dalam arti itu adalah Tuhan yang menggelora kasih. KasihNya itu harus diresponi dengan kesadaran untuk tidak merusakkan alam, yang ujung-ujungnya menimbun derita manusia. Tuhan itu tidak suka ketamakan. Melainkan Ia suka akan orang yang bekerja keras sambil memelihara tatanan ciptaanNya. Ia tidak suka pula pada si pemalas, tetapi menyuruh kita bekerja, karena Ia pun masih bekerja. - Tuhan mengangkat kita dari samudera raya. Ini sekaligus merupakan harapan eskatologis gereja. Bagi kita di GPM eskatologi ini tidak berarti kita menjadi pasif sambil menunggu hari pengangkatan. Terminologi „mengangkat‟ memiliki makna yang luas dan sangat operasional. a. „Mengangkat‟ dalam arti memindahkan [lift, rise] sangat bertendensi sebuah beban yang berat telah dipindahkan atau diangkat dari kita. Karena itu, kita dibebaskan dari beban yang membelenggu.25 Ini memerlukan daya, kekuatan. Artinya, kemandirian daya dan penyiapan SDM atau Sumber Daya Jemaat [SDJ] dan Sumber Daya Pelayan [SDP]

25 Paskah sebagai peristiwa ‘mengangkat’ ada dalam pengertian ini. 376

merupakan salah satu wujud usaha dan pembinaan gereja. b. „Mengangkat‟ dalam arti membersihkan, merapihkan [clear] – ibarat pelayan yang membersihkan meja makan [clear the table] agar bisa dimanfaatkan untuk melayani pelanggan yang lain. Di sini, Tuhan benar- benar melakukan apa yang akhir-akhir ini kita pahami sebagai „sacramentum Tuhan‟. Bahwa Ia berkarya di dalam dunia termasuk untuk mendorong proses-proses pemeli- haraan, konservasi, pelestarian samudera rayaNya. c. „Mengangkat‟ dalam arti memperkenalkan atau meningkatkan kedudukan [promote]. Bahwa Tuhan menjadikan kita sebagai agen misiNya. Dalam dunia sebagai „sacramentum Tuhan‟ itu, kita dijadikan sebagai agen yang dikuduskan olehNya. Sebagai agen misi Tuhan, gereja harus hidup dan menyatakan hidupnya dengan melakukan seluruh amanat panggilan pelayanan. Gereja yang profetik adalah gereja yang diangkat Tuhan untuk memaklumkan kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian. d. „Mengangkat‟ untuk tujuan persembahan [take up]. Karena itu, gereja yang melayani adalah gereja yang dikuduskan oleh Tuhan. Tuhan menjadikan gereja sebagai „persembahan khususNya‟. Maksudnya, gereja didapati telah menjadi milik yang berharga. Saat mana kita ditemui seperti itu? 377

Saat kita melakukan segala perintah dan firman Tuhan. Ini yang kita sadari sebagai perlunya sense of calling and belonging; suatu ranah misiologis yang harus ditumbuhkan dalam diri semua pelayan dan jemaat. Pokok pikiran ini merupakan bagian dari refleksi dan gagasan kepada kita, menuju pada era baru GPM yang kiranya menjadikan gereja ini sebagai agen misi Tuhan di tengah dunia. Sebab era baru yang akan kita masuki ini adalah era di delapan dekade kemandirian GPM. Pada delapan dekade ini, pertumbuhan merupakan hasil menanam dan menyiram yang sudah harus lebih matang. Kita sadari bahwa pertumbuhan adalah wujud kuasa dan campur tangan Tuhan atas pelayanan kita selama ini. Delapan dekade pelayanan GPM menjadi bukti kasih karunia Tuhan yang telah menjadikan kita Gereja yang Hidup. Sebab kita sudah keluar dari krisis, dan menjadikan krisis itu bagian dari semangat untuk terus hidup. [*]

378

Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku

Bersama Menteri Pendidikan Nasional Dr.

379