Satya Wacana University Press 2015
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Satya Wacana University Press 2015 i ISBN 978-602-1047-38-5 All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or transmitted in any form or by any means electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial transcription, without the prior written permission of the author, application for which should be addressed to author. Diterbitkan oleh: Satya Wacana University Press Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga Telp. (0298) 321212 ii JR, JEMBATAN REKONSILIASI [Pengenalan Gubernur Maluku, Ir. Said M. Assagaff] I Siapakah John Ruhulessin di mata saya? Pertanyaan itu gampang dijawab, sebab saya sudah mengenal sosok Pendeta ini, dan secara intens mungkin sekitar lebih dari satu dekade. Tetapi apakah harus dijawab dengan sekedar menyebut namanya yang sudah cukup populer? Tentu tidak sedikit orang mengenalnya. Apakah juga dengan menyebut gelar kenabiannya sebagai seorang pendeta, banyak orang mengetahuinya? Menyebutnya sebagai Ketua Sinode GPM pun telah umum diketahui, sebab sosoknya sudah sangat publis. Bahwa sebagai Pendeta, ia bukan hanya milik GPM, tetapi ia menjadi milik semua umat beragama di Maluku. Saya mempunyai tiga cerita kecil yang membuat saya yakin bahwa John Ruhulessin adalah Jembatan Rekonsiliasi. Cerita itu sebagai berikut: II Seorang tokoh lahir ketika ia bermandi keringat dengan masalah masyarakat; saat tangannya menyeka darah dan luka para korban. Ada pula yang lahir dari kegigihan merajut relasi yang terkoyak akibat konflik, atau menjadi korban di tengah upaya menghentikan pertikaian. Ada juga tokoh yang lahir karena khotbah- khotbah yang menggetarkan, dibarengi keteladanan iii dirinya. Mereka menjadi anutan banyak orang, sehingga kehadiran mereka didambakan, tutur kata mereka ditunggu-tunggu, dan sudah tentu mengalir laksana hujan menyiram tanah gersang. Saya meringkas saja waktu pengenalan terhadap John Ruhulessin ~selanjutnya ditulis JR. Tahun 1999, tatkala terjadi Kerusuhan Ambon, JR diutus Sinode GPM sebagai salah satu anggota Pusat Rujuk Sosial (PRS) yang bertugas mengkaji realitas kerusuhan dan menyusun resolusi perdamaian antarkelompok. Di tengah situasi yang berat itu, saya dapat memahami kesungguhan hatinya, bersama anggota PRS lainnya dan seluruh elemen pemerintahan serta tokoh-tokoh agama, agar konflik dapat segera dihentikan. Dalam masa konflik itu, sebagai Kepala Bappeda Provinsi Maluku, saya ditugaskan berangkat ke Negeri Belanda, untuk urusan kerjasama pengembangan ekonomi. Otomatis Paspor harus segera diurus. Kantor Imigrasi berada di Kudamati. Bagaimana saya bisa menuju kawasan tersebut? Ditemani Tentara. Itu solusi yang sempat terlintas dalam benak saya. Lalu saya berkomunikasi dengan JR. Saya dibuat kaget dan bingung memikirkan, seperti apa JR itu, sebab ia meminta saya agar „Saya yang antar bapak ke sana. Saya jamin bapak pasti aman‟. Di hati kecil saya: „apa maksud JR dengan rencana itu?‟ Saya berusaha merenunginya, dan akhirnya kami bersama-sama ke Kantor Imigrasi di Kudamati. Melewati Batu Gantung dan menyusur jalan Tugu Dolan sampai ke Kantor Imigrasi: „beta darah seng sa tiris lai‟ [darahku mungkin berhenti, takut mati]. Akhirnya kami tiba di Kantor dan harus segera difoto. iv Masalah baru muncul. Saya mengenakan pakaian dinas PNS. Sementara ketentuan pemotretan paspor tidak boleh dengan seragam/uniform. Saya harus mencari kemeja warna putih. Bagaimana mungkin istri saya atau orang lain disuruh datang dari rumah dan mengantarnya ke Kudamati? Ide gila JR muncul lagi. „Bapak, gampang. Katong pinjam saja dari anana di luar sana (anak-anak Kudamati)‟, begitu katanya. Dalam hatiku, „aduh JR, apa sebenarnya rencanamu dengan saya?‟ Dalam situasi hari itu, saya harus mengatakan, rencana JR bagi saya riskan. Ukuran tubuh saya tidak banyak di antara orang Kudamati. Saya harus pergi dari satu rumah ke rumah yang lain sekedar untuk mengukur kemeja yang pas di badan saya, dan JR menuntun saya bersama beberapa pemuda Kudamati dalam proses „ukur kameja‟ itu. Akhirnya, dapat kemeja yang pas di badan saya, dan sesi pemotretan pun berlangsung. Saya mulai yakin akan kesungguhannya untuk segera membangun perdamaian dengan merekatkan kembali tali persau- daraan di tengah konflik yang sedang berkecamuk. Pesannya saat itu „bapak harus jadi seorang tokoh perdamaian‟. Yah, semoga saja ya Pak John, kata saya dalam hati cemas, saat itu. III Masih dalam situasi konflik Maluku, saya dipercayakan menjadi Sekretaris Daerah Provinsi Maluku di era kepemimpinan Gubernur Karel Albert Ralahalu. Ini masalah baru lagi, sebab rumah Sekda ada di Batu Meja. Di sampingnya adalah Mako Polda Maluku. Namun apakah ada jaminan keamanan bagi v saya, seorang Muslim yang harus pergi tinggal di tengah permukiman basudara Sarane? Lagi-lagi JR-lah yang membuat saya kembali harus mengambil keputusan etis, antara menjalankan tugas negara dan membantu mencairkan titik-titik beku konflik Maluku, terutama relasi Salam-Sarane. „Bapak musti pi tinggal di rumah dinas. Lalu, beta usul, bapa bajalang dari rumah ka rumah di Batu Meja tuh la bilang par dong: „beta mau tinggal di rumah Sekda, karna beta nih warga Batu Meja‟. Rumah itu bersejarah bagi orang Ambon dan khusus orang Batu Meja, bapa. Jadi dong seng mungkin macam-macam par biking susah bapa. Jang taku, bapa pi saja la jadi orang Batu Meja‟ . Begitu kata-kata JR yang mengalir tanpa ada hambatan sedikit pun. Saya lagi-lagi berpikir, „orang ini masih simpan rencana apa dengan saya?‟ Namun seperti yang pernah terjadi di Kudamati, saya bertekad untuk pergi dan menjadi Warga Batu Meja. Saya kunjungi semua ketua RT dan RW secara langsung, saya menyapa semua tetangga di Batu Meja, dan buktinya saya tinggal di rumah dinas Sekda dalam masa ketika konflik masih panas-panasnya. Ketika digelar acara Bakudapa Warga Batu Meja, saya dikukuhkan sebagai sesepuh warga Batu Meja. Lagi-lagi saya memahami, JR adalah sosok Jembatan Rekonsiliasi yang sudah membawa saya melintasi jembatan itu dengan mengajak semua basudara Salam- Sarane untuk terus berjumpa dalam kasih persaudaraan sejati. vi IV Ketika era kepemimpinan Gubernur Karel Albert Ralahalu akan berakhir, JR adalah orang pertama yang menyebut nama saya sebagai calon Wakil Gubernur dan berproses dengan hal itu, sampai saya kemudian menjadi Wakil Gubernur menemani Pak Karel. Bagi saya, dalam keadaan Maluku yang perlu dibangun dari segala sisi, perdamaian menjadi agenda pokok yang berkelanjutan. Visi tentang Maluku yang damai menjadi semacam idiologi yang harus diwujudkan. Karena itu, menjadi Wakil Gubernur Maluku (2008-2013) berarti merealisasi agenda-agenda perdamaian secara nyata di semua level masyarakat. Dalam keadaan itu, saya menemui sosok JR sebagai seorang yang kokoh mengusahakan perdamaian. Melalui GPM, JR merintis berbagai macam dialog perdamaian, dan telah meng-create Jemaat-jemaat GPM sebagai komunitas eksemplaris perdamaian di Maluku dan Maluku Utara. Pada beberapa kesempatan menghadiri Sidang- sidang Gereja, atau pada acara Peresmian Gedung Gereja GPM, saya mendengar langsung khotbah para pendeta tentang perdamaian dan bagaimana Jemaat mempraktekkan itu secara nyata. Memang para Pendeta sudah melakukan tugasnya dengan baik. Saya yakin, era kepemimpinan JR di Sinode GPM (2005-2010, 2010-2015) menjadi era yang semakin mengokohkan dirinya sebagai „JEMBATAN PERDAMAIAN‟. Ia menjadi orang yang mampu menghubungkan semua orang dengan jalan menjadi titian di tengah kesenjangan yang ada. Ia memberi vii dirinya menjadi „jalan yang dilalui‟ oleh semua orang, sehingga kesenjangan jarak dan ruang menjadi hilang. Saya pernah „meniti‟ jembatan itu, karena menurutnya, „bapak harus jadi tokoh perdamaian‟. Setelah saya menjadi Gubernur Maluku dan menyaksikan pendidikan perdamaian dilaksanakan secara sungguh- sungguh oleh GPM, saya dapat memahami mengapa ia pernah mengajak saya ke Kudamati dan tinggal di Batu Meja dalam situasi konflik kala itu. Karena itu jika pada berbagai kesempatan saya menegaskan bahwa Maluku kini telah menjadi laboratorium perdamaian dunia, hal itu tentu datang dari kesungguhan hati banyak orang, dan JR adalah salah satu „jembatan‟ ke arah itu. Demikian sedikit pengenalan saya tentang JR, sang Jembatan Rekonsiliasi. Gubernur Maluku Ir. Said M. Assagaff viii KATA PENGANTAR Pdt Dr. Andreas A. Yewangoe (Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) John Ruhulessin (selanjutnya akan saya sebut John) akan mengakiri masa pelayanannya sebagai Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), setelah melayani selama 10 tahun. Ini sebuah masa pelayanan yang panjang bagi seseorang, tetapi cukup singkat bagi lembaga yang dilayani. Sesungguhnya lembaga seperti GPM yang telah berusia cukup tua, dibandingkan dengan gereja-gereja lain di Indonesia membutuhkan pelayanan yang kontinyu, konsisten, berkesinam- bungan, dan seterusnya, kendati itu tidak berarti harus terus-menerus dilakonkan oleh satu orang. Namun demikian, tetap diharapkan bahwa visi dan misi gereja akan terus berkesinambungan, tidak terputus-putus tanpa arah. Ini berarti, GPM tidak pernah boleh kehilangan jati dirinya, kendati itu tidak berarti harus tetap statis saja. Tetapi di dalam ia menyikapi berbagai perubahan yang ada, GPM tetap setia kepada panggilan mula-mulanya, yaitu melayani dunia yang di dalamnya ia berada sebagaimana Kristus juga telah melakukannya. GPM, dan secara umum masyarakat Maluku pernah mengalami pengalaman sangat pahit ketika konflik berdarah bernuansa agama menguasai wilayah itu. Pada waktu itu, orang-orang