ISSN (P): 1693-7147 ISSN (E): 2527-8665 uurrnnaall JJPemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni 2018

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

No Akreditasi : 676/AU2/P2MI-LIPI/07/2015 Berlaku Juli 2015 s/d 2018 ISSN (P): 1693-7147 ISSN (E): 2527-8665

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Volume 12 No. 1, Juni 2018

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan adalah media resmi publikasi ilmiah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jurnal ini menerima dan mempublikasikan tulisan hasil penelitian yang berhubungan dengan bioscience seperti silvikultur/budidaya, perbenihan, pemuliaan, genetika, bioteknologi, hama/penyakit, fisiologi dan konservasi genetik dengan frekuensi terbit dua kali setahun, Juni dan Desember.

Susunan Dewan Penyunting (Editorial Board)

Penanggung jawab (Insured Editor): Penyunting/Editor Tata Letak (Layout Ir. Tandya Tjahjana, M. Si. Editors): Ketua Dewan Penyunting (Editor in Chief): Edy Wibowo, S. Hut., M. Eng. Dr. Ir. Anto Rimbawanto, M. Agr. Administrasi laman e-journal (Web Admin) (Bioteknologi Hutan, Genetika Hutan, Edy Wibowo, S. Hut., M. Eng. BBPPBPTH) Uki Maharani Pramukti, S. Kom Redaktur (Managing Editors): Endang Dwi Lestariningsih, S. IP. Retisa Mutiaradevi, S.Kom., M.CA Maya Retnasari, A. Md. Nunuk Tri Retnaningsih, S. Hut., M. Eng. Sekretariat Redaksi (Secretariat) Penyunting/Editor Bagian (Section Editors): Fithry Ardhany, S. Hut., M. Sc. Dr. Istiana Prihartini, S.Si, M.Si Endang Dwi Lestariningsih, S. IP. Fithry Ardhany, S. Hut., M. Sc. Uki Maharani Pramukti, S. Kom Sumardi, S. Hut, M.Sc Maya Retnasari, A. Md. Nunuk Tri Retnaningsih, S. Hut., M. Eng. Diterbitkan oleh: Endang Dwi Lestariningsih, S. IP. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Uki Maharani Pramukti, S. Kom Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Maya Retnasari, A. Md. Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Penyunting/Editor Draft Naskah Final Kementerian Lingkungan Hidup dan (Proofreaders): Kehutanan Dr. Ir. Anto Rimbawanto, M. Agr. Alamat: Dr. Ir. Arif Nirsatmanto, M. Sc. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Retisa Mutiaradevi, S.Kom., M.CA Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Nunuk Tri Retnaningsih, S. Hut., M. Eng. Indonesia - 55582

Telp. +62-274 895954, 896080; Fax. +62-274 896080 email: [email protected]

Cover : Foto Kebun Pangkas Jati (Tectona grandis) Oleh: Edy Wibowo ISSN (P): 1693-7147 ISSN (E): 2527-8665

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Volume 12 No. 1, Juni 2018

Penyunting (Editors): Dr. Ir. Anto Rimbawanto, M. Agr. Dr. Ir. Eko Bhakti Hardiyanto Bioteknologi Hutan, Genetika Hutan, Pemuliaan Tanaman Hutan, BBPPBPTH, Indonesia Universitas Gadjah Mada, Indonesia Prof. Dr. Ir. Suryo Hardiwinoto, M. Agr. Sc. Dr. Sapto Indrioko, S. Hut., M. P. Silvikultur, Bioteknologi Hutan, Pemuliaan Pohon, Genetika Universitas Gadjah Mada, Indonesia Hutan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia Prof. Dr. Ir. Muh. Restu, M. P. Genetika dan Pemuliaan Hutan, Ir. Arif Wibowo, M.Agr Universitas Hassanudin, Indonesia Mikologi Universitas Gadjah Mada, Indonesia Dr. Ir. Arif Nirsatmanto, M. Sc. Pemuliaan Tanaman Hutan, ILG. Nurtjahjaningsih, S.Si, M.Sc, Ph.D BBPPBPTH, Indonesia Genetika BBPPBPTH, Indonesia Dr. Ir. Budi Tjahjono Proteksi Tanaman/Phytopatology, Dr. Noor Khomsah Kartikawati, S.Hut., M.P. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Indonesia Genetika BBPPBPTH, Indonesia

Mitra Bestari (Reviewers): Prof. Dr. Mohammad Na'iem, M. Agr. Sc. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P. Pemuliaan Tanaman Hutan, Pemuliaan Tanaman Hutan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia BBPPBPTH, Indonesia Prof. Dr. Ir. H. Djoko Marsono Dr. Anto Rimbawanto Konservasi Sumber Daya Hutan, Genetika Molekuler Universitas Gadjah Mada, Indonesia BBPPBPTH, Indonesia Prof. Dr. Ir. Susamto, M. Sc. Dr. Ir. Taryono, M. Sc. Proteksi Tanaman, Bioteknologi Tanaman, Universitas Gadjah Mada, Indonesia Universitas Gadjah Mada, Indonesia Prof. Dr. Ir. Sumardi, M. For. Sc. Dr. Ir. Supriyanto, DEA Perlindungan Hutan dan Kesehatan Hutan, Pemuliaan Tanaman, Institut Pertanian (INSTIPER) Yogyakarta, Institut Pertanian Bogor, Indonesia Indonesia Dr. Ir. Sumarwoto P. S., M. P. Dr. Ir. Arif Nirsatmanto, M. Sc. Teknologi Benih dan Produksi Tanaman, Pemuliaan Tanaman Hutan, Universitas Pembangunan Nasional, Indonesia BBPPBPTH, Indonesia Dr. Ir. Eny Faridah, M. Sc. Fisiologi Pohon dan Biologi Molekuler, Universitas Gadjah Mada, Indonesia

ISSN (P) : 1693-7147 ISSN (E) : 2527-8665

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Volume 12 No. 1, Juni 2018

1. PENGUJIAN PENANDA JENIS SPESIFIK PADA JAMUR YANG BERPOTENSI SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI PENYAKIT BUSUK AKAR PADA AKASIA Assessment of species specific primers for fungi as biological control agent of root rot disease in Acacia Istiana Prihatini, Anto Rimbawanto, Desy Puspitasari dan Dayin Fauzi ...... 1 – 11

2. PERTUMBUHAN BIBIT HASIL OKULASI PADA BEBERAPA KLON JATI DARI GUNUNGKIDUL DAN WONOGIRI Growth performance of bud grafted teak clones from Gunungkidul and Wonogiri Hamdan Adma Adinugraha dan Abdul Azis Efendi ...... 13 – 23

3. INTERAKSI FAMILI × LOKASI PADA UJI KETURUNAN GENERASI KEDUA Eucalyptus pellita Family × site interaction observed in second-generation progeny trial of Eucalyptus pellita Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Nirsatmanto ...... 25 – 39

4. EMBRIOGENESIS SOMATIK ROTAN TOHITI (Calamus inops Becc. ex Heyne) Somatic embryogenesis of tohiti rattan (Calamus inops Becc. ex Heyne) Yelnititis ...... 41 – 50

5. PERTUMBUHAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.) PADA LAHAN MARGINAL BERJENIS TANAH ULTISOL DI RIAU Growth of Anthocephalus cadamba Miq. in marginal land ultisol soil in Riau Ahmad Junaedi ...... 51 – 63

6. SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KETURUNAN GENERASI KEDUA KAYUPUTIH (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) DI GUNUNGKIDUL Selection and genetic gain observed at second generation progeny trial of cajuput (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) in Gunungkidul Sumardi, Noor Khomsah Kartikawati, Prastyono dan Anto Rimbawanto ...... 65 – 73

7. PENINGKATAN KUALITAS BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) DAN MALAPARI (Pongamia pinnata L.) DENGAN APLIKASI MIKORIZA DAN Trichoderma spp. Quality improvement of nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) and malapari (Pongamia pinnata L.) seedlings by Trichoderma spp. and mycorrhizal applications Benyamin Dendang dan Aditya Hani ...... 75 – 84

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

ISSN (P): 1693-7147 | ISSN (E): 2527-8665 Volume 12 No. 1, Juni 2018

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa ijin dan biaya UDC/ODC 630*443 UDC/ODC 630*232.328.1 Istiana Prihatini, Anto Rimbawanto, Desy Puspitasari Hamdan Adma Adinugraha dan Abdul Azis Efendi dan Dayin Fauzi PERTUMBUHAN BIBIT HASIL OKULASI PENGUJIAN PENANDA JENIS SPESIFIK PADA BEBERAPA KLON JATI DARI PADA JAMUR YANG BERPOTENSI SEBAGAI GUNUNGKIDUL DAN WONOGIRI AGENS PENGENDALI HAYATI PENYAKIT Growth performance of bud grafted teak clones from BUSUK AKAR PADA AKASIA Gunungkidul and Wonogiri Assessment of species specific primers for fungi as J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni biological control agent of root rot disease in Acacia 2018, p. 13 – 23 J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni Multiplication of teak clones can be conducted by 2018, p.1 – 11 using vegetative methods either macro or in vitro. In Root rot caused by Ganoderma philippii (Bres. & this research, several teak clones collected from Henn. ex Sacc.) Bres., is an important disease in Gunungkidul and Wonogiri were propagated using Acacia plantation. A strategy to control this disease bud grafting technique to know the variation of their is currently being developed, particularly on the growth ability in the nursery. This research arranged application of biological control agent (BCA). in nested design, with 25 clones nested in 3 locations Species specific primers for rapid identification of of scion source (clonal test at Gunungkidul, progeny potential fungi as BCA were developed. This study test in Gunungkidul and clonal test in Wonogiri). aimed to obtain the best DNA condition and the best Each treatment was repeated in 5 replications and primers for species specific identification. DNA with each replication consisted of 10 bud grafted seedlings. 20× dilution is the best condition for amplification of The result showed that there were significant the ITS fragment thus used for rapid species variations of growth among the clones in all identification. The best primer set to detect Cerrena observation characters, whereas the location of scion sp. is CrF1/CrR1, while PbF2/PbR2 is the best source was not significant. The best survival primer set for Phlebiopsis sp. 1. There was no percentage of bud grafting from 3 sites of scion source specific primer suitable to detect Phlebia sp. 1 and were Clone 8 from the clonal test in Gunungkidul, Phlebia sp. 2 only, but Pl-2F1/Pl-2R4 is the best Clone 64 from progeny test in Gunungkidul, Clone 43 primer set for Phlebia spp. and 87 from the clonal test in Wonogiri. Keywords: DNA dilution, Ganoderma, PCR Keywords: growth ability, vegetative propagation, primers, rapid identification scion

UDC/ODC 630*165.41 UDC/ODC 630*168 Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Yelnititis Nirsatmanto EMBRIOGENESIS SOMATIK ROTAN TOHITI INTERAKSI FAMILI × LOKASI PADA UJI (Calamus inops Becc. ex Heyne) KETURUNAN GENERASI KEDUA Eucalyptus Somatic embryogenesis of tohiti rattan (Calamus pellita inops Becc. ex Heyne) Family × site interaction observed in second- J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni generation progeny trial of Eucalyptus pellita 2018, p. 41 - 50 J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni The conventional propagation of tohiti rattan still 2018, p. 25 - 39 faces problem because of infrequent fruiting season The interaction assessment of genotype and and limited seed production. Somatic embryogenesis environment is necessary to find out an effective is an alternative technique to solve the problem. The selection strategy in progeny trial, particularly in purpose of this experiment is to obtain the best growth advanced generations. This study aims to observe the regulator treatments for embryogenic callus and effect of family × site interaction in second somatic embryo formation of tohiti rattan. Murashige generation progeny trial of Eucalyptus pellita and Skoog (MS) basal medium was used as growth planted at two locations: Wonogiri, Central Java and medium. The experiment was conducted in three Pelaihari, South Kalimantan. The trials design were stages: seed germination, embriogenic callus completely randomized block design (CRBD) with 49 induction and somatic embryo induction. MS medium families, 6-10 blocks, 5 tree-plot and 4 m × 1.5 m without plant growth regulator was used for aseptic spacing. Data measurements included height, seed germination. MS medium supplemented with diameter at breast height, and stem volume at two growth regulator of BA (Benzyl adenine) of 0.5 – 2.0 and four years age. The study results showed that the mg/l was used for embryogenic callus induction. MS families had significant differences (p<0.01) for all medium supplemented with BA 1.0 mg/l in measured traits at two and four years age, but the combination with hormone 2.4-D of 0.0 – 1.0 mg/l family and site interaction was not statistically was used for somatic embryo induction. The seed significant. Family heritability across the two sites germination percentage, visual performance on were moderate to high for all traits with the type B embryogenic callus and somatic embryo were genetic correlation ranged from 0.67 to 0.94. observed. The results showed that the percentage of Heritability and genetic correlation tended to be aseptically seed germination reached 90%. MS higher as tree getting older. Less than 16% of medium supplemented with 1.0 mg/l BA is the best families showed an interactive rank changes in the media for embryogenic callus induction with friable, two locations based on multiple-traits selection white and yellowish of callus which was observed index. In general, family selection by combining data after four months of induction culture. The BA of 1.0 from the two sites of progeny trial provided higher mg/l in combination with 2.4-D of 1.0 mg/l provided genetic gain than those by indirect selection, but it the highest number of the formed somatic embryo.The was varied to those direct selection on each site. performance of somatic embryos formation from this Therefore, these results imply that, the strategy for treatment was likely as zygotic embryo. family selection by combining data from the two sites Keywords Murashige and Skoog, Benzyl adenin, of progeny trials should be practiced in appropriate : combination and direction by considering the somatic embryo, plantlet magnitude of genetic variation.

Keywords: tree improvement, genetically improved seed, realized genetic gain, seedling seed orchad

UDC/ODC 630*181.65 UDC/ODC 630*165.4 Ahmad Junaedi Sumardi, Noor Khomsah Kartikawati, Prastyono dan PERTUMBUHAN JABON (Anthocephalus Anto Rimbawanto cadamba Miq.) PADA LAHAN MARGINAL SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK BERJENIS TANAH ULTISOL DI RIAU PADA UJI KETURUNAN Growth of Anthocephalus cadamba Miq. in marginal GENERASI KEDUA KAYUPUTIH land ultisol soil in Riau (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni DI GUNUNGKIDUL 2018, p. 51 – 63 Selection and genetic gain observed at second Study on growth of jabon (Anthocephalus cadamba generation progeny trial of cajuput (Melaleuca Miq) as native tree species that suitable for pulpwood cajuputi subsp. cajuputi) in Gunungkidul on ultisol-soil land is required, as most pulpwood J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni plantation occur in this type of soil. The experiment 2018, p. 65 – 73 was conducted in ex Acacia mangium (second Breeding for cajuput in Indonesia has moved into rotation) in Riau to evaluate the growth performance advanced generation breeding cycle through of jabon on marginal land ultisol soil. This study establishing second-generation progeny trial. A series assigned experiment plots of jabon with three of selection would be practiced in the trial before planting spaces (2 m × 2 m; 2 m × 3 m and 3 m × 3 converting into a seedling seed orchard to produce m) and four blocks in Randomized Block Design. The genetically improved seed. In this study, a series of poor growth was exhibited by jabon on marginal selection, followed by prediction of genetic gain will land ultisol. It was suggested that the poor growth be observed in the second-generation progeny trial of related to the negative effects of low N and P soil, cajuput established at Gunungkidul. The trial was laid high Al soil, and threats of pest, disease, weed as out in randomized complete block design (RCBD), 65 well. The result study indicated that jabon was not families, three tree-plot, four replications, and suitable to be developed as pulpwood species in spacing of 3 × 1,5 meter. Measurement was marginal lands ultisol of pulpwood plantation in conducted on height and diameter at 24 months age. Riau. In the trial, within-plot selection has been practiced Keywords: native tree species, growth, pulpwood, phenotypicaly by retaining one of the best tree out of industrial plantation the three tree within each plot. Succesive family selection was then simulated from the result of within- plot selection. Results of study showed that estimates of heritabily for diameter were higher than that for height. Genetic and phenotypic correlation between the two traits was moderate at around 0.57. Within- plot selection practiced in the trial resulted positive selection differential for all measured traits. Diameter showed higher coefficient weight of selection (0.4280) than height (0.0406) which indicates that the practiced within-plot selection was more imposed for diameter than that for height. Genetic gain from within-plot selection calculated using selection index were 20.76% for diameter and 12.73% for height. Simulated family selection using the same coefficient weight as within-plot selection resulted lower genetic gain at around 12.26% and 7.52% for diameter and height, respectivelly. Keywords: selection index, within-plot selection, family selection, genetic parameter, coefficient of weight

UDC/ODC 630*232.315.2

Benyamin Dendang dan Aditya Hani PENINGKATAN KUALITAS BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) DAN MALAPARI (Pongamia pinnata L.) DENGAN APLIKASI MIKORIZA DAN Trichoderma spp. Quality improvement of nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) and malapari (Pongamia pinnata L.) seedlings by Trichoderma spp. and mycorrhizal applications J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni 2018, p. 75 – 84 Nyamplung and malapari are potential bioenergy crops on marginal land to be developed on the coastal land. The constraints of the coastal land is the limited water and soil nutrient. Input technology is needed in order to suceed the crop planting such as by using bio fertilizer. Mycorrhizae plays an essential role in helping plants to absorb phosphate and increase the resistance to drought. Trichoderma spp., involves in producing beneficial hormones for metabolism and helps break down organic matter. Utilization of biofertilizer is still rarely used as treatment in bioenergy plant seedlings. This study aimed to determine the quality of nyamplung and malapari seedlings after mycorrhizal and Trichoderma spp application in the nursery. Experiments were arranged in a complete randomized block design (RCBD). The treatments of media include: soil as control (T), soil+organic fertilizer with ratio of 3:1(TK), soil+organic fertilizer+mycorhizae 10 g (TKM), soil+organic fertilizer+Trichoderma spp., 10 g (TKT), soil+organic fertilizer+mycorrhizal 10 g+Trichoderma spp., 10 g (TC). The treatments were applied when the seedlings reached one month old. Biofertilizer was sown around seedling roots. Each treatment consisted of 50 samples and 3 replications so the total seedlings were 750 seedlings. The results showed that after 6 and 12 months, treatment in malapari with organic fertilizer + mikoriza + TC gained 67.5% taller and 427% larger on dry weight of leaf than the control, whereas in nyamplung seedlings, TC treatment resulted in better growth with diameter 8% larger, root length 78.56% longer, and total dry weight 7.88% heavier compared to control. Keywords: biofuel, coastal land, bio fertilizer

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

ISSN (P): 1693-7147 | ISSN (E): 2527-8665 Volume 12 No.1, Juni 2018

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa ijin dan biaya UDC/ODC 630*443 UDC/ODC 630*232.328.1 Istiana Prihatini, Anto Rimbawanto, Desy Puspitasari Hamdan Adma Adinugraha dan Abdul Azis Efendi dan Dayin Fauzi PERTUMBUHAN BIBIT HASIL OKULASI PENGUJIAN PENANDA JENIS SPESIFIK PADA BEBERAPA KLON JATI DARI PADA JAMUR YANG BERPOTENSI SEBAGAI GUNUNGKIDUL DAN WONOGIRI AGENS PENGENDALI HAYATI PENYAKIT Growth performance of bud grafted teak clones from BUSUK AKAR PADA AKASIA Gunungkidul and Wonogiri Assessment of species specific primers for fungi as J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni biological control agent of root rot disease in Acacia 2018, p. 13 – 23 J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni Perbanyakan klon jati dapat dilakukan secara 2018, p.1 - 11 vegetatif baik secara makro maupun in vitro. Pada Penyakit busuk akar yang disebabkan oleh jamur penelitian ini dilakukan perbanyakan beberapa klon Ganoderma philippii (Bres. & Henn. ex Sacc.) Bres., jati yang dikoleksi di Gunungkidul dan Wonogiri merupakan salah satu penyakit penting pada hutan dengan teknik okulasi untuk mengetahui variasi tanaman akasia. Saat ini strategi manajemen untuk kemampuan tumbuhnya di persemaian. Penelitian ini pengendalian penyakit ini sedang dikembangkan, menggunakan rancangan tersarang, dengan perlakuan khususnya aplikasi agens pengendali hayati (APH). 25 klon jati yang tersarang pada 3 lokasi Penanda DNA (primer) yang spesifik untuk pengambilan scion (uji klon di Gunung kidul, uji identifikasi secara cepat untuk jenis jamur yang keturunan di Gunungkidul dan uji klon di Wonogiri). berpotensi sebagai APH telah dikembangkan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali dan setiap Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kondisi ulangan terdiri atas 10 sampel bibit hasil okulasi. DNA jamur yang tepat untuk pengujian serta Hasil pengamatan menunjukkan adanya variasi pasangan penanda DNA yang paling tepat untuk pertumbuhan yang berbeda nyata antar klon pada identifikasi jenis jamur. DNA dengan pengenceran semua karakter pengamatan, sedangkan lokasi 20× merupakan kondisi terbaik yang dipakai dalam pengambilan scion tidak berpengaruh nyata. proses amplifikasi fragmen DNA ITS, sehingga Persentase hidup okulasi terbaik dari 3 lokasi kondisi ini digunakan pada pengujian lebih lanjut pengambilan scion yaitu Klon 8 dari plot uji klon di menggunakan penanda spesifik jenis. Pasangan Gunungkidul, Klon 64 dari plot uji keturunan di penanda DNA terbaik untuk mendeteksi jamur Gunungkidul, Klon 43 dan 87 dari plot uji klon di Cerrena sp. adalah CrF1/CrR1, sedangkan Wonogiri. PbF2/PbR2 merupakan penanda DNA terbaik untuk Kata kunci: kemampuan pertumbuhan, mendeteksi jamur Phlebiopsis sp. 1. Tidak ada perbanyakan vegetatif, scion penanda spesifik yang mampu mendeteksi jenis jamur Phlebia sp. 1 dan Phlebia sp. 2 saja, namun Pl- 2F1/Pl-2R4 merupakan penanda yang paling baik untuk mendeteksi jamur Phlebia spp.

Kata kunci: pengenceran DNA, Ganoderma,

primer PCR, identifikasi cepat

UDC/ODC 630*165.41 UDC/ODC 630*168 Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Yelnititis Nirsatmanto EMBRIOGENESIS SOMATIK ROTAN TOHITI INTERAKSI FAMILI × LOKASI PADA UJI (Calamus inops Becc. ex Heyne) KETURUNAN GENERASI KEDUA Eucalyptus Somatic embryogenesis of tohiti rattan (Calamus pellita inops Becc. ex Heyne) Family × site interaction observed in second- J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni generation progeny trial of Eucalyptus pellita 2018, p. 41 - 50 J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni Perbanyakan rotan tohiti secara konvensional masih 2018, p. 25 - 39 mempunyai beberapa masalah karena musim berbuah Pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan perlu yang tidak menentu dan jumlah buah yang terbatas. diamati untuk menetapkan strategi seleksi yang Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk efektif dalam plot uji keturunan, khususnya pada memecahkan masalah ini adalah melalui teknologi generasi tingkat lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk embriogenesis somatik. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengamatan pengaruh interaksi famili × mendapatkan zat pengatur tumbuh terbaik pada lokasi pada uji keturunan generasi kedua jenis induksi kalus embriogenik dan induksi embrio Eucalyptus pellita yang dibangun di dua lokasi: somatik rotan tohiti. Media dasar Murashige dan Wonogiri, Jawa Tengah dan Pelaihari, Kalimantan Skoog (MS) digunakan sebagai media tumbuh. Selatan. Sebanyak 49 famili diuji menggunakan Penelitian dilakukan dalam 3 tahap kegiatan, yaitu rancangan acak lengkap berblok (RALB), 6-10 blok, perkecambahan biji, induksi kalus embriogenik dan 5 pohon per plot dan jarak tanam 4 m × 1,5 m. induksi embrio somatik. Media MS tanpa Pengukuran data meliputi tinggi, diameter setinggi penambahan zat pengatur tumbuh digunakan untuk dada, dan volume batang pada umur 2 dan 4 tahun. perkecambahan biji secara aseptik. Untuk induksi Hasil penelitian menunjukkan bahwa famili yang kalus embriogenik diberikan perlakuan BA (Benzyl diuji berbeda nyata (p<0,01) pada seluruh sifat yang adenine) konsentrasi (0,5 – 2,0 mg/l) pada media MS. diamati, sedangkan interaksi famili × lokasi tidak Pada tahap induksi embrio somatik diberikan berbeda nyata. Nilai heritabilitas famili berkisar perlakuan BA 1 mg/l yang dikombinasikan dengan sedang – tinggi pada semua sifat dengan nilai Tipe B 2,4-D konsentrasi 0,0– 1,0 mg/l. Pengamatan korelasi genetik berkisar 0,67 – 0,94. Nilai dilakukan terhadap persentase biji berkecambah, heritabilitas dan korelasi genetik cenderung semakin penampilan visual kalus embriogenik dan embrio tinggi seiring dengan bertambahnya umur tanaman. somatik yang dihasilkan. Hasil penelitian Kurang dari 16% dari famili yang diuji menunjukkan menunjukkan bahwa persentase biji yang tumbuh perubahan rangking yang interaktif antarlokasi secara aseptik mencapai 90%. Modifikasi media MS berdasarkan nilai indeks seleksi multi-sifat. Secara dengan penambahan BA 1,0 mg/l merupakan umum seleksi famili berdasarkan gabungan data dari perlakuan terbaik untuk induksi kalus embriogenik. kedua lokasi plot uji keturunan menunjukkan nilai Kalus embriogenik yang terbentuk mempunyai perolehan genetik yang lebih tinggi dibandingkan tekstur remah, berwarna putih bening dan kekuningan seleksi tidak langsung, namun bervariatif terhadap pada empat bulan induksi. BA 1,0 mg/l yang seleksi langsung pada masing-masing lokasi. Hal ini dikombinasikan dengan 2,4-D 1,0 mg/l pada media memberikan implikasi bahwa strategi seleksi famili MS memberikan jumlah embrio somatik terbanyak. dengan penggabungan data dari dua lokasi yang diuji Embrio somatik diperoleh dari perlakuan ini perlu dilakukan pada kombinasi dan arah yang tepat mempunyai penampilan yang sama seperti embrio dengan memperhatikan besarnya variasi genetik yang zigotik. ada. Kata kunci: Murashige dan Skoog, Benzyl Kata kunci: analisa multi lokasi, parameter adenine, embrio somatik, plantlet genetik, pemuliaan pohon, seleksi famili

UDC/ODC 630*181.65 UDC/ODC 630*165.4 Ahmad Junaedi Sumardi, Noor Khomsah Kartikawati, Prastyono dan PERTUMBUHAN JABON (Anthocephalus Anto Rimbawanto cadamba Miq.) PADA LAHAN MARGINAL SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK BERJENIS TANAH ULTISOL DI RIAU PADA UJI KETURUNAN Growth of Anthocephalus cadamba Miq. in marginal GENERASI KEDUA KAYUPUTIH land ultisol soil in Riau (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni DI GUNUNGKIDUL 2018, p. 51 – 63 Selection and genetic gain observed at second Kajian mengenai pertumbuhan jabon (Anthocephalus generation progeny trial of cajuput (Melaleuca cadamba Miq.) sebagai jenis pohon lokal potensial cajuputi subsp. cajuputi) in Gunungkidul untuk kayu pulp di tanah marginal ultisol perlu J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, dilakukan. Hal ini dikarenakan sebagian besar lokasi Juni 2018, p. 65 - 73 hutan tanaman pulp berada di tipe lahan dengan jenis Pemuliaan kayuputih di Indonesia mulai memasuki tanah ultisol. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pada pemuliaan generasi tingkat lanjut dengan pertumbuhan jabon di lahan marginal berjenis tanah dibangunnya uji keturunan generasi kedua. ultisol pada areal bekas hutan tanaman Acacia Serangkaian kegiatan seleksi akan dilakukan pada mangium (rotasi kedua) di Riau. Penelitian dilakukan plot uji keturunan sebelum dikonversi menjadi kebun dengan membangun plot uji penanaman jabon benih untuk menghasilkan benih unggul. Pada menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) penelitian ini serangkaian kegiatan seleksi dan dengan 3 tiga jarak tanam (2 m × 3 m, 2 m × 3 m dan prediksi perolehan genetik akan dilakukan pada plot 3 m × 3 m) sebagai perlakukan dan 4 blok ulangan. uji keturunan generasi kedua kayuputih di Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan Gunungkidul. Plot uji dibangun dengan jabon di lahan marginal ultisol tidak optimal menggunakan rancangan acak lengkap berblok dikarenakan adanya dugaan pengaruh negatif dari (RALB), 65 famili, tiga tree-plot, empat ulangan, dan kandungan N dan P tanah yang rendah, Al tanah yang jarak tanam 3 × 1,5 meter. Pengukuran tinggi dan tinggi serta gangguan hama, gulma dan penyakit. diameter dilakukan pada tanaman umur 24 bulan. Hasil ini mengindikasikan bahwa jabon saat ini Pada plot uji keturunan ini, seleksi dalam plot telah belum dapat dikembangkan sebagai penghasil kayu dilakukan secara fenotipik dengan mempertahankan pulp pada lahan marginal berjenis tanah ultisol di salah satu pohon terbaik dari tiga pohon dalam setiap Riau. plot. Seleksi famili selanjutnya disimulasikan dari Kata kunci: jenis pohon lokal, pertumbuhan, hasil seleksi dalam plot. Hasil penelitian kayu pulp, hutan tanaman industri menunjukkan bahwa estimasi heritabilitas sifat diameter lebih tinggi daripada sifat tinggi. Korelasi genetik dan fenotipik antara dua sifat tersebut termasuk sedang (0,57). Seleksi dalam plot yang telah dilakukan menghasilkan diferensial seleksi positif untuk semua sifat yang diukur. Sifat diameter menunjukkan koefisien bobot seleksi yang lebih tinggi (0,4280) daripada sifat tinggi (0,0406), yang menunjukkan bahwa seleksi dalam plot lebih diprioritaskan pada sifat diameter. Perolehan genetik hasil seleksi dalam plot yang dihitung menggunakan indeks seleksi adalah sebesar 20,76% untuk diameter dan 12,73% untuk tinggi. Simulasi seleksi famili menggunakan koefisien bobot yang sama seperti pada seleksi dalam plot menghasilkan perolehan genetik lebih rendah yaitu 12,26% (diameter) dan 7,52% (tinggi). Kata kunci: indek seleksi, seleksi dalam plot, seleksi famili, parameter genetik, koefisien bobot

UDC/ODC 630*232.315.2

Benyamin Dendang dan Aditya Hani PENINGKATAN KUALITAS BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) DAN MALAPARI (Pongamia pinnata L.) DENGAN APLIKASI MIKORIZA DAN Trichoderma spp. Quality improvement of nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) and malapari (Pongamia pinnata L.) seedlings by Trichoderma spp. and mycorrhizal applications J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni 2018, p. 75 – 84 Nyamplung dan malapari merupakan tanaman penghasil bioenergi yang potensial untuk dikembangkan di lahan marginal. Salah satu kendala dalam pengembangan lahan pantai adalah ketersediaan air dan kesuburan tanah yang rendah. Teknologi untuk meningkatkan keberhasilan penanaman salah satunya dengan pemanfaatan pupuk hayati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian mikoriza dan Trichoderma spp., pada media pembibitan bibit malapari dan nyamplung di persemaian. Pengamatan menggunakan metode rancangan acak kelompok lengkap (RAKL). Rancangan penelitian perbedaan media tanam bibit yaitu: tanah sebagai kontrol (T), tanah + pupuk organik perbandingan 3:1 (TK), tanah + pupuk organik + mikoriza perbandingan 3:1:10 gram per polybag (TKM), tanah + pupuk organik + Trichoderma spp., perbandingan 3:1:10 gram per polybag (TKT), tanah + pupuk organik + mikoriza 10 gr + Trichoderma spp., 10 gr per polybag (TC). Aplikasi dilakukan pada saat bibit berumur 1 (satu) bulan dengan cara ditaburkan di sekitar perakaran bibit. Setiap perlakuan terdiri dari 50 sampel yang diulang 3 kali, sehingga jumlah bibit keseluruhan adalah 750 bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 6 dan 12 bulan perlakuan, bibit malapari dengan perlakuan TC memiliki tinggi dan berat kering daun yang lebih besar (67,5% dan 427%) dibanding kontrol (tanah), sedangkan bibit nyamplung dengan perlakuan TC menghasilkan pertumbuhan lebih baik dengan kenaikan diameter 8%, panjang akar 78,56%, dan berat kering total 7,88% dibandingkan kontrol (T). Kata kunci: bioenergi, lahan pantai, pupuk hayati

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Prof. Dr. Mohammad Na'iem, M. Agr. Sc. (Pemuliaan Tanaman Hutan, UGM) 2. Dr. Ir. Taryono, M. Sc. (Bioteknologi Tanaman, UGM) 3. Prof. Dr. Ir. H. Djoko Marsono (Konservasi Sumber Daya Hutan, UGM) 4. Prof. Dr. Ir. Susamto, M. Sc. (Proteksi Tanaman, UGM) 5. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P. (Pemuliaan Tanaman Hutan, BBPPBPTH)

Selaku mitra bebestari (Peer reviewers) atas telaah dan saran terhadap isi naskah yang dimuat pada Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 1, Juni 2018.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.12. No. 1, Juni 2018, p. 1 - 11

PENGUJIAN PENANDA JENIS SPESIFIK PADA JAMUR YANG BERPOTENSI SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI PENYAKIT BUSUK AKAR PADA AKASIA Assessment of species specific primers for fungi as biological control agent of root rot disease in Acacia

Istiana Prihatini1, Anto Rimbawanto1, Desy Puspitasari1 dan Dayin Fauzi2 1) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar, Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia email: [email protected] 2) Mahasiswa Program Studi Biologi, Fakultas Teknobiologi, Universitas Atmajaya Jl. Babarsari 44, Yogyakarta, Indonesia

Tanggal diterima: 17 Mei 2017, Tanggal direvisi: 9 Agustus 2017, Disetujui terbit: 4 Desember 2017

ABSTRACT Root rot caused by Ganoderma philippii (Bres. & Henn. ex Sacc.) Bres., is an important disease in Acacia plantation. A strategy to control this disease is currently being developed, particularly on the application of biological control agent (BCA). Species specific primers for rapid identification of potential fungi as BCA were developed. This study aimed to obtain the best DNA condition and the best primers for species specific identification. DNA with 20× dilution is the best condition for amplification of the ITS fragment thus used for rapid species identification. The best primer set to detect Cerrena sp. is CrF1/CrR1, while PbF2/PbR2 is the best primer set for Phlebiopsis sp. 1. There was no specific primer suitable to detect Phlebia sp. 1 and Phlebia sp. 2 only, but Pl-2F1/Pl-2R4 is the best primer set for Phlebia spp. Keywords: DNA dilution, Ganoderma, PCR primers, rapid identification

ABSTRAK Penyakit busuk akar yang disebabkan oleh jamur Ganoderma philippii (Bres. & Henn. ex Sacc.) Bres., merupakan salah satu penyakit penting pada hutan tanaman akasia. Saat ini strategi manajemen untuk pengendalian penyakit ini sedang dikembangkan, khususnya aplikasi agens pengendali hayati (APH). Penanda DNA (primer) yang spesifik untuk identifikasi secara cepat untuk jenis jamur yang berpotensi sebagai APH telah dikembangkan. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kondisi DNA jamur yang tepat untuk pengujian serta pasangan penanda DNA yang paling tepat untuk identifikasi jenis jamur. DNA dengan pengenceran 20× merupakan kondisi terbaik yang dipakai dalam proses amplifikasi fragmen DNA ITS, sehingga kondisi ini digunakan pada pengujian lebih lanjut menggunakan penanda spesifik jenis. Pasangan penanda DNA terbaik untuk mendeteksi jamur Cerrena sp. adalah CrF1/CrR1, sedangkan PbF2/PbR2 merupakan penanda DNA terbaik untuk mendeteksi jamur Phlebiopsis sp. 1. Tidak ada penanda spesifik yang mampu mendeteksi jenis jamur Phlebia sp. 1 dan Phlebia sp. 2 saja, namun Pl-2F1/Pl-2R4 merupakan penanda yang paling baik untuk mendeteksi jamur Phlebia spp. Kata kunci: pengenceran DNA, Ganoderma, primer PCR, identifikasi cepat Salah satu jenis penyakit yang umum I. PENDAHULUAN terjadi pada tanaman akasia adalah busuk akar Akasia (Acacia mangium Willd.) yang disebabkan oleh jamur Ganoderma merupakan jenis tanaman hutan yang banyak philippii (Bres. & Henn. ex Sacc.) Bres., (Glen digunakan sebagai bahan baku industri, seperti et al., 2009; Puspitasari & Rimbawanto, 2010; pulp dan kertas, furniture, medium-density Puspitasari, Rimbawanto, & Hidayati, 2009). fiberboard (MDF), plywood, lantai dan Penyakit ini menyebabkan tingginya kematian konstruksi ringan lainnya. Namun, pohon hingga 3% - 28% pada tanaman akasia permasalahan saat ini adalah produktivitas umur 3-5 tahun pada rotasi kedua (Irianto et al., akasia mengalami penurunan karena adanya 2006). Gejala umum yang muncul misalnya hama dan penyakit. daun menjadi kuning klorotik, mengecil dan

1 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.12. No. 1, Juni 2018, p. 1 – 11 jarang, tajuk muda layu secara serentak, dan II. BAHAN DAN METODE pohon yang terserang umumnya mengelompok A. Waktu dan tempat karena jamur menyebar melalui kontak akar Penelitian dilakukan di Laboratorium (Mohammed, Rimbawanto, & Page, 2014). Genetika Molekular Balai Besar Penelitian dan Oleh karena itu, diperlukan suatu cara atau Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan strategi yang dapat mengatasi permasalahan Tanaman Hutan (B2PPBPTH) Yogyakarta pada tersebut, salah satunya adalah dengan tanggal 23 Juni 2015 – 10 Agustus 2015. penggunaan agens pengendali hayati (APH). Terdapat beberapa jenis jamur dengan track B. Bahan penelitian record yang bagus sebagai pengendali hayati Bahan yang digunakan adalah 12 isolat sebelumnya dari koleksi isolat yang dimiliki dari enam jenis jamur (Cerrena sp., Phlebiopsis dari hasil isolasi sampel di lapangan, antara lain sp. 1, dan Phlebia spp.) yang telah jamur Phlebiopsis sp. 1 (Agustini, Wahyuno, teridentifikasi secara molekuler (Glen et al., Indrayadi, & Glen, 2014), jamur Cerrena sp. 2014) dan berpotensi sebagai APH jamur dan jamur Phlebia spp (Agustini, Francis, Glen, patogen G. philippii penyebab penyakit busuk Indrayadi, & Mohammed, 2014). Dua dari tiga akar pada akasia (Tabel 1). jenis jamur tersebut telah dipelajari potensinya sebagai APH untuk mengendalikan jamur Tabel 1. Sampel isolat jamur yang memiliki patogen G. philippii (Heru Indrayadi, potensi sebagai agens pengendali hayati komunikasi pribadi, 5 Mei 2012). Beberapa Ganoderma philippii metode aplikasi penggunaan APH tersebut juga No. sampel Kode isolat Jenis sedang dipelajari, salah satunya adalah dengan 1 Cr-1 Cerrena sp. 2 Cr-2 Cerrena sp. melihat kemampuan APH tersebut dalam 3 Cr-4 Cerrena sp. mengkolonisasi tunggul untuk mempercepat 4 Cr-6 Cerrena sp. proses pelapukan tunggul dan serasah kayu. 5 Pb-1 Phlebiopsis sp. 1 6 Pb-2 Phlebiopsis sp. 1 Sekuens internal transcribed spacer 7 Pb-8 Phlebiopsis sp. 1 (ITS) pada ribosomal DNA (rDNA) dapat 8 Pb-11 Phlebiopsis sp. 1 digunakan sebagai karakter untuk mendeteksi 9 Pl-1 Phlebia brevispora keberadaan jamur pada tanaman, sedangkan 10 Pl-2 Phlebia sp. 1 11 Pl-3 Phlebia sp. 2 penanda spesifik jenis dapat digunakan untuk 12 Pl-4 Phlebia sp. 3 mengidentifikasi jenis jamur secara cepat. Penanda spesifik untuk jenis-jenis jamur yang C. Ekstraksi dan purifikasi DNA berpotensi sebagai APH saat ini sedang Metode ektraksi dan purifikasi yang dikembangkan, dengan beberapa kandidat dilakukan pada penelitian ini merupakan primers (Morag Glen, komunikasi pribadi, 24 modifikasi dari metode Glen, et al. (2002). Juni 2014). Penelitian ini dilakukan untuk Ekstraksi DNA dari miselium jamur dilakukan mengetahui tingkat pengenceran DNA terbaik menggunakan SDS buffer dengan cara antara 10× dan 20× DNA hasil ekstraksi, menambahkan lima buah gotri (stainless bead) menguji penanda (primer) spesifik jenis jamur ukuran 2.3 mM (Biospec) ke dalam microtube yang telah dipelajari potensinya sebagai agens ukuran 2 mL yang telah berisi sampel isolat pengendali hayati terhadap penyakit busuk akar jamur. Larutan SDS buffer (Raeder & Broda, yang menyerang tanaman akasia serta 1985) sebanyak 250 µL ditambahkan ke setiap mengetahui primer spesifik terbaik untuk setiap microtube sebelum sampel dihancurkan spesies jamur yang diuji. menggunakan mesin mini bead beater-8 (Biospec) selama 5 menit. Sampel yang telah dihancurkan kemudian diinkubasi pada suhu

2 Pengujian Penanda Jenis Spesifik pada Jamur yang Berpotensi sebagai Agens Pengendali Hayati Penyakit Busuk Akar pada Akasia Istiana Prihatini, Anto Rimbawanto, Desy Puspitasari, dan Dayin Fauzi 65oC selama 1 jam pada mesin incubator mini mengambil 10 µL DNA jamur hasil ekstraksi dual-14 (Hybaid). dan ditambah 90 µL TE, sehingga volume total Sampel kemudian disentrifugasi selama menjadi 100 µL. DNA dari hasil pengenceran 15 menit dengan kecepatan 14.000 rpm 10× tersebut kemudian dilanjutkan ke proses menggunakan mesin low speed centrifuge pengenceran DNA 20× dengan cara mengambil LC121 (Tomy). Supernatan hasil sentrifugasi 50 µL DNA hasil pengenceran 10×, ditambah diambil sebanyak ± 250 µL dan dimasukkan ke dengan 50 µL TE. DNA hasil pengenceran dalam microtube baru yang telah diisi dengan tersebut dapat disimpan di dalam lemari silika (glass milk) sebanyak 10 µL dan 750 µL pendingin pada suhu -20oC sebelum digunakan NaI. Microtube tersebut kemudian pada proses PCR. dihomogenisasi menggunakan mesin vortex D. Amplifikasi DNA menggunakan penanda (Scientific Industries), kemudian didinginkan ITS1-F/ITS-4 dan primer spesifik jenis dalam ice bath selama 15 menit sambil sesekali (species specific PCR) dibolak-balik. Sentrifugasi selama 20 detik pada Primer yang digunakan dalam penelitian kecepatan 14.000 rpm dilakukan untuk ini meliputi primer ITS1F, (Gardes & Bruns, memisahkan pelet silika yang mengikat DNA 1993), ITS4 (White, Bruns, Lee, & Taylor, dengan supernatan yang kemudian dibuang. 1990), dan 14 set primer spesifik (Morag Glen, Pelet yang tertinggal dalam microtube tidak diterbitkan; Tabel 2). Konsentrasi akhir disuspensi ulang dalam larutan wash solution bahan yang digunakan dalam PCR adalah: 67 sebanyak 750 µL. Langkah selanjutnya, proses mM Tris-HCl, pH 8.8; 16 mM (NH ) SO homogenisasi dengan mesin vortex hingga pelet 4 2 4 (dalam 10× NH -based reaction buffer dari tercampur rata, kemudian disentrifugasi kembali 4 Bioline); 2.0 mM magnesium chloride selama 20 detik dengan kecepatan 14.000 rpm. (Promega); 200 μM deoxynucleotide Cairan supernatan dibuang, kemudian pelet triphosphate (Bioline); 0.25 μM oligonucleotide kembali dilarutkan dalam etanol 100% sebanyak primer (Geneworks); 0.02 unit/μL Mangotaq 750 µL. Sampel kembali dihomogenisasi dan DNA polymerase (Bioline); 0.2 μgμL-1 bovine disentrifugasi seperti sebelumnya. Supernatan serum albumin (Fisher Biotech) untuk dibuang dan pelet yang tertinggal dalam tube mengurangi hambatan enzim yang mungkin ada kemudian dikering-anginkan dalam ruangan dalam template DNA (Kreader, 1996); 10 μL aseptis atau dalam Laminair Air Flow (LAF) ± DNA diencerkan dalam TE (1/40) sebagai 60 menit. template dan air steril (Otsuka) untuk membuat Pelet kemudian dilarutkan dalam 50 µL volume mencapai 50 μL. TE buffer, kemudian diinkubasi pada suhu 45oC Amplifikasi dilakukan dengan selama 10 menit. Setelah proses inkubasi, menggunakan mesin GeneAmp® PCR System semua tube disentrifugasi selama 2 menit 9700 (Applied Biosystem) pada profil suhu dengan kecepatan 14.000 rpm. Supernatan yang sebagai berikut: 95°C selama 3 menit, diikuti diperoleh dari hasil sentrifugasi tersebut, dengan 35 siklus dari 94°C selama 30 detik, kemudian diambil dan dipindahkan ke dalam 55°C selama 30 detik dan 72°C selama 2 menit, tube yang baru. DNA isolat jamur hasil serta ekstensi akhir pada suhu 72°C selama 7 ekstraksi tersebut kemudian disimpan di dalam menit. Adapun untuk amplifikasi fragmen DNA lemari pendingin pada suhu -20oC hingga dengan penanda spesifik menggunakan profil dilakukan analisis DNA. suhu yang sama dengan amplifikasi fragmen DNA hasil ektraksi diencerkan 10× dan ITS, kecuali pada tahapan annealing 20×, untuk mengetahui kondisi terbaik DNA menggunakan suhu 62°C. Kedua proses PCR yang akan digunakan pada proses amplifikasi tersebut berlangsung kurang lebih selama 2 jam. DNA. Pengenceran 10× dilakukan dengan cara

3 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.12. No. 1, Juni 2018, p. 1 – 11

E. Elektroforesis dan visualisasi gel Setelah proses elektroforesis selesai dilakukan Elektroforesis dilakukan pada gel proses visualisasi gel untuk melihat hasil agarose 1% yang sudah ditambahkan 2,5 µL elektroforesis menggunakan mesin Gel Doc Ethidium bromide (EtBr) per 40 µL larutan system (Biorad). Gambar pita yang 1×TBE. Gel agarose kemudian dimasukkan ke menunjukkan adanya produk hasil amplifikasi dalam bak elektroforesis yang telah berisi DNA dapat teramati dengan adanya sinar 1×TBE buffer dengan penambahan EtBr 200 ultraviolet. Gambar gel didokumentasikan µL/L. Tangki elektroforesis dialiri listrik dengan menggunakan kamera yang terdapat pada mesin tegangan sebesar 120 volt selama ± 1 jam. Gel Doc dan disimpan dalam format JPEG.

Tabel 2. Daftar primer yang digunakan dalam amplifikasi PCR spesifik jenis serta nama jenis jamur yang akan terdeteksi No Nama primer Jenis jamur yang akan dideteksi 1 CrF1/CrR1 (Set 1) Cerrena sp. 2 CrF2/CrR1 (Set 2) Cerrena sp. 3 PbF1/PbR1(Set 1) Phlebiopsis sp. 1 4 PbF1/PbR2 (Set 2) Phlebiopsis sp. 1 5 PbF2/PbR1 (Set 3) Phlebiopsis sp. 1 6 PbF2/PbR2 (Set 4) Phlebiopsis sp. 1 7 Pl-2F1/Pl-2R2 (Set 1) Phlebia sp. 1 8 Pl-2F3/Pl-2R2 (Set 2) Phlebia sp. 1 9 Pl-2F1/Pl-2R4 (Set 3) Phlebia sp. 1 10 Pl-2F3/Pl-2R4 (Set 4) Phlebia sp. 1 11 Pl-3F1/Pl-3R2 (Set 5) Phlebia sp. 2 12 Pl-3F3/Pl-3R2 (Set 6) Phlebia sp. 2 13 Pl-3F1/Pl-3R4 (Set 7) Phlebia sp. 2 14 Pl-3F3/Pl-3R4 (Set 8) Phlebia sp. 2 Sumber: Morag Glen, tidak diterbitkan

sampel dengan pengenceran 20×, 10 isolat III. HASIL DAN PEMBAHASAN menunjukkan adanya pita DNA dan 2 sampel A. Hasil tidak menunjukkan adanya pita DNA yaitu Pb-1 dan Pb-11 (Gambar 1B; Tabel 3). 1. Isolasi DNA dan amplifikasi DNA dengan PCR ITS 2. Amplifikasi DNA menggunakan penanda spesifik untuk jenis Cerrena sp. Amplifikasi fragmen ITS menggunakan pasangan primer ITS1F/ITS4 dilakukan untuk Dua pasang primer spesifik CrF1/CrR1 mendeteksi adanya DNA jamur dari hasil (Set 1) dan CrF2/CrR1 (Set 2), digunakan pada ekstraksi 12 isolat menggunakan buffer SDS amplifikasi PCR untuk mendeteksi jenis jamur sedangkan penggunaan tingkat pengenceran Cerrena sp. (Tabel 4). Hasil amplifikasi DNA yang berbeda (10× dan 20×) dilakukan menggunakan primer spesifik Cerrena Set 1 untuk menguji tingkat pengenceran DNA menunjukkan adanya pita DNA untuk isolat Cr- terbaik yang dapat menghasilkan pita DNA 1 sampai Cr-6. Pada beberapa sampel yang lain paling jelas dan tebal. Hasil amplifikasi yaitu isolat Pb-2 dan Pl-1 juga terlihat adanya terhadap DNA dari 12 isolat jamur pada tingkat pita DNA yang lemah. Sementara itu, hasil pengenceran DNA sebanyak 10×, pita (band) amplifikasi menggunakan primer Cerrena Set 2 DNA muncul pada 9 isolat, terdapat 3 isolat menunjukkan adanya pita DNA pada isolat Cr- yang tidak memunculkan pita DNA yaitu Pb-8, 1, Cr-2 dan Cr-4 dan pita DNA yang lemah Pb-11 dan Pl-4 (Gambar 1A; Tabel 3). Pada pada isolat Cr-6 dan isolat Pb-2. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa primer Cerrena

4 Pengujian Penanda Jenis Spesifik pada Jamur yang Berpotensi sebagai Agens Pengendali Hayati Penyakit Busuk Akar pada Akasia Istiana Prihatini, Anto Rimbawanto, Desy Puspitasari, dan Dayin Fauzi Set 1 memberikan hasil yang lebih baik 2B). Adapun hasil amplifikasi menggunakan dibandingkan dengan primer Cerrena Set 2 primer spesifik Phlebiopsis Set 3 (Gambar 2C) dalam mendeteksi DNA jenis jamur Cerrena sp. dan Phlebiopsis Set 4 (Gambar 2D) Pita DNA dengan intensitas paling kuat menunjukkan adanya pita DNA dengan dihasilkan oleh amplifikasi menggunakan intensitas sedang pada isolat Pb-1, Pb-2 dan Pb- primer Phlebiopsis Set 1 (Gambar 2A). Adapun 8. Amplifikasi menggunakan primer Phlebiopsis amplifikasi menggunakan pasangan primer Set 1, Set 2, dan Set 3 pada beberapa isolat Phlebiopsis Set 2 menunjukkan hasil yang sama Phlebia spp. juga menghasilkan adanya pita dengan primer Set 1, kecuali pada isolat Pb-2 DNA yang teramplifikasi namun tidak sekuat pita DNA yang dihasilkan lebih tipis (Gambar pada isolat-isolat Phlebiobsis sp. 1.

A

B

Gambar 1. Amplifikasi fragmen ITS (550bp) dari 12 isolat jamur menggunakan penanda ITS1F/ITS4. Gambar A menunjukkan hasil amplifikasi menggunakan pengenceran 10×, sedang gambar B menggunakan pengenceran 20×. L adalah DNA ladder 100bp, Cr adalah isolat Cerrena sp., Pb adalah isolat Phlebiopsis sp. 1, dan Pl adalah isolat Phlebia spp., P adalah kontrol positif (Ganoderma philippii) dan N adalah kontrol negatif (air steril)

Tabel 3. Hasil amplifikasi PCR-ITS menggunakan primer ITS1F/ITS4 dengan tingkat pengenceran DNA 10× dan 20× Tingkat pengenceran DNA No Kode isolat Jenis jamur 10× 20× 1 Cr-1 Cerrena sp. ++ +++ 2 Cr-2 Cerrena sp. + +++ 3 Cr-4 Cerrena sp. ++ +++ 4 Cr-6 Cerrena sp. ++ +++ 5 Pb-1 Phlebiopsis sp. 1 +++ - 6 Pb-2 Phlebiopsis sp. 1 + +++ 7 Pb-8 Phlebiopsis sp. 1 - +++ 8 Pb-11 Phlebiopsis sp. 1 - - 9 Pl-1 Phlebia brevispora ++ +++ 10 Pl-2 Phlebia sp. 1 - +++ 11 Pl-3 Phlebia sp. 2 + +++ 12 Pl-4 Phlebia sp. 3 - +++ 13 Kontrol positif Ganoderma philippii +++ 14 Kontrol negatif Air steril -

Keterangan: + + + = ada pita DNA dengan intensitas kuat, + + = ada pita DNA dengan intensitas sedang, + = ada pita DNA dengan intensitas lemah, ‒ = tidak ada pita DNA

5 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.12. No. 1, Juni 2018, p. 1 – 11

Tabel 4. Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer spesifik jenis Cerrena sp. dengan tingkat pengenceran DNA 20× Pasangan primer No Kode isolat CrF1/CrR1 (Set 1) CrF2/CrR1 (Set 2) 1 Cr-1* + + + + + 2 Cr-2* + + + + + 3 Cr-4* + + + + + 4 Cr-6* + - 5 Pb-1 - - 6 Pb-2 + + 7 Pb-8 - - 8 Pb-11 - - 9 Pl-1 + - 10 Pl-2 - - 11 Pl-3 - - 12 Pl-4 - - 13 Kontrol positif (Cerrena sp.) + + + + + + 14 Kontrol negatif (air steril) - - Keterangan: + + + = ada pita DNA dengan intensitas kuat, + + = ada pita DNA dengan intensitas sedang, + = ada pita DNA dengan intensitas lemah, ‒ = tidak ada pita DNA. Cr adalah isolat Cerrena sp., Pb adalah isolat Phlebiopsis sp. 1 dan Pl adalah isolat Phlebia spp. * = Isolat yang menjadi target deteksi

Tabel 5. Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer spesifik jenis Phlebiopsis sp. 1 dengan tingkat pengenceran DNA 20× Pasangan primer No Kode sampel PbF1/PbR1 PbF1/PbR2 PbF2/PbR1 PbF2/PbR2 (Set 1) (Set 2) (Set 3) (Set 4) 1 Cr-1 - - - - 2 Cr-2 - - - - 3 Cr-4 - - - - 4 Cr-6 - - - - 5 Pb-1* + + + + + + + + + + 6 Pb-2* + + + + + + + + 7 Pb-8* + + + + + + + + + + 8 Pb-11* - - - - 9 Pl-1 + + + - 10 Pl-2 + + + - 11 Pl-3 + - - - 12 Pl-4 + - - - 13 Kontrol positif + + + + + + + + + + (Phlebiopsis sp.1) 14 Kontrol negatif - - - - (air steril) Keterangan: + + + = ada pita DNA dengan intensitas kuat, + + = ada pita DNA dengan intensitas sedang, + = ada pita DNA dengan intensitas lemah, ‒ = tidak ada pita DNA. Cr adalah isolat Cerrena sp., Pb adalah isolat Phlebiopsis sp. 1 dan Pl adalah isolat Phlebia spp. * = Isolat yang menjadi target deteksi

6 Pengujian Penanda Jenis Spesifik pada Jamur yang Berpotensi sebagai Agens Pengendali Hayati Penyakit Busuk Akar pada Akasia Istiana Prihatini, Anto Rimbawanto, Desy Puspitasari, dan Dayin Fauzi

A

B

C

D

Gambar 2. Amplifikasi PCR menggunakan penanda spesifik untuk jenis Phlebiospsis sp.1, primer PbF1/PbR1 (Set 1) (A), primer PbF1/PbR2 (Set 2) (B), primer PbF2/PbR1 (Set 3) (C), primer PbF2/PbR2 (Set 4) (D) pada 12 isolat jamur. Cr adalah isolat Cerrena sp., Pb adalah isolat Phlebiopsis sp. 1, Pl adalah isolat Phlebia spp., L adalah DNA ladder 100bp, P adalah kontrol positif (Phlebiopsis sp.1) dan N adalah kontrol negatif (air steril)

3. Amplifikasi DNA menggunakan penanda disimpan pada suhu 14oC untuk menghindari spesifik untuk jenis Phlebia spp. proses pembekuan (freezing) dan pencairan Empat pasang primer spesifik yaitu: Pl- (thawing) yang terus menerus. Adapun sampel- 2F1/Pl-2R2 (Set 1), Pl-2F3/Pl-2R2 (Set 2), Pl- sampel DNA yang jarang digunakan o 2F1/Pl-2R4 (Set 3) dan Pl-2F3/Pl-2R4 (Set 4) penyimpanan dilakukan pada suhu -20 C. Pada dikembangkan untuk mendeteksi jenis jamur pengujian dengan penanda Phlebia spp., Phlebia sp.1. Adapun empat pasang primer berikutnya, digunakan dua sampel DNA baru yang lain yaitu, Pl-3F1/Pl-3R2 (Set 5), Pl- sebagai kontrol positif, dan hasil PCR 3F3/Pl-3R2 (Set 6), Pl-3F1/Pl-3R4 (Set 7) dan menunjukkan adanya amplifikasi pada kedua Pl-3F3/Pl-3R4 (Set 8) dikembangkan untuk sampel tersebut (Gambar 4 A, B, C dan D). mendeteksi jamur Phlebia sp. 2. Hasil Amplifikasi DNA menggunakan empat amplifikasi menggunakan pasangan primer- primer spesifik Phlebia sp. 1 menghasilkan pita primer tersebut menunjukkan adanya pita DNA DNA dengan intensitas kuat pada isolat jamur dengan intensitas yang lemah hingga kuat pada Phlebia sp. 1 (Pl-2), namun pita DNA juga empat isolat Phlebia spp., (Tabel 6, Gambar muncul pada jenis lain yaitu pada isolat Pl-4 3&4), meskipun pada sampel untuk kontrol (intensitas kuat) dan pada isolat Pl-3 dan Pl-1 positif tidak terjadi amplifikasi (Gambar 3 A, B (intensitas sedang). dan D). Tidak terjadinya amplikasi pada kontrol Empat pasangan primer yang positif mungkin disebabkan karena sampel dikembangkan untuk mendeteksi jenis Phlebia DNA telah mengalami degradasi atau sp. 2 (Set 5 – Set 8) berhasil mendeteksi jenis kerusakan. Degradasi sampel DNA tersebut tersebut (isolat Pl-3), dengan menghasilkan pita dapat disebabkan oleh penggunaan rutin dalam DNA yang kuat. Namun primer-primer tersebut jangka waktu yang lama serta penyimpanan juga mampu mengamplifikasi DNA jenis lain pada suhu kurang optimal. Pada sampel-sampel dengan munculnya pita DNA dengan intensitas DNA yang rutin di gunakan DNA biasanya sedang hingga kuat Pl-4.

7 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.12. No. 1, Juni 2018, p. 1 – 11

Tabel 6. Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer spesifik jenis Phlebia sp.1 dan Phlebia sp.2 dengan tingkat pengenceran DNA 20× Pasangan primer No Kode sampel Set 1 Set 2 Set 3 Set 4 Set 5 Set 6 Set 7 Set 8 1 Cr-1 + + + + + + + + + + + + 2 Cr-2 + + + + - - - + 3 Cr-4 + + + + + + + + + + + + 4 Cr-6 ------5 Pb-1 ------6 Pb-2 ------7 Pb-8 ------8 Pb-11 ------9 Pl-1 - - + + - + - - - 10 Pl-2* + + + + + + + + + + + + - - - - 11 Pl-3* + + + + + + + + + + + + + + + + + 12 Pl-4 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + 13 Kontrol positif - - + + - + + + + + + + + + + + + (Phlebia spp.) 14 Kontrol negatif ------(air steril) Keterangan: + + + = ada pita DNA dengan intensitas kuat, + + = ada pita DNA dengan intensitas sedang, + = ada pita DNA dengan intensitas lemah, ‒ = tidak ada pita DNA. Cr adalah isolat Cerrena sp., Pb adalah isolat Phlebiopsis sp. 1 dan Pl adalah isolat Phlebia spp. * = Isolat yang menjadi target deteksi

A

B

C

D

Gambar 3. Amplifikasi PCR menggunakan penanda spesifik untuk jenis Phlebia sp.1, primer Pl-2F1/Pl-2R2 (Set 1) (A), primer Pl-2F3/Pl-2R2 (Set 2) (B), primer Pl-2F1/Pl-2R4 (Set 3) (C), dan primer Pl- 2F3/Pl-2R4 (Set 4) (D) pada 12 isolat jamur. Cr adalah isolat Cerrena sp., Pb adalah isolat Phlebiopsis sp. 1, Pl adalah isolat Phlebia spp., L adalah DNA ladder 100bp, P1 adalah kontrol positif (Phlebia sp.1) dan N adalah kontrol negatif (air steril)

8 Pengujian Penanda Jenis Spesifik pada Jamur yang Berpotensi sebagai Agens Pengendali Hayati Penyakit Busuk Akar pada Akasia Istiana Prihatini, Anto Rimbawanto, Desy Puspitasari, dan Dayin Fauzi

A

B

C

D

Gambar 4. Amplifikasi PCR menggunakan penanda spesifik untuk jenis Phlebia sp.2, primer Pl-3F1/Pl-3R2 (Set 5) (A), primer Pl-3F3/Pl-3R2 (Set 6) (B), primer Pl-3F1/Pl-3R4 (Set 7) (C), dan primer Pl- 3F3/Pl-3R4 (Set 8) (D) pada 12 isolat jamur. Cr adalah isolat Cerrena sp., Pb adalah isolat Phlebiopsis sp. 1, Pl adalah isolat Phlebia spp., L adalah DNA ladder 100bp, P1 dan P2 adalah kontrol positif (Phlebia sp.2) dan N adalah kontrol negatif (air steril)

B. Pembahasan menunjukkan bahwa konsentrasi DNA template DNA jamur berhasil diekstraksi yang digunakan pada proses amplifikasi sangat menggunakan larutan (buffer) Sodium dodecyl berpengaruh dalam proses amplifikasi. Menurut sulphate (SDS) yang dikembangkan oleh (Weeden, Timmerman, Hemmat, Kneen, & (Raeder & Broda, 1985) dan telah dimodifikasi Lodhi, 1992), konsentrasi DNA cetakan yang oleh (Glen, Tommerup, Bougher, & O’Brien, terlalu kecil sering menghasilkan pita DNA 2002). Metode ini telah banyak digunakan yang lemah atau tidak jelas. sebagai metode ekstraksi DNA dari berbagai Pada pengujian dua set penanda yang jenis sampel jamur selain miselium, misalnya dikembangkan untuk mendeteksi Cerrena sp. badan buah atau sporocarp (Yuskianti et al., menunjukkan bahwa penanda Set 1 2014) maupun jamur endofit dari organ tanaman (CrF1/CrR1) memberikan hasil yang lebih baik (Prihatini, 2014; Prihatini, Glen, Wardlaw, dibandingkan dengan penanda Set 2 Ratkowsky, & Mohammed, 2015). (CrF2/CrR1) dalam mendeteksi DNA jenis Hasil ekstraksi DNA yang telah jamur Cerrena sp. Munculnya pita DNA tipis diencerkan 10× dan 20× digunakan pada pada isolat jamur jenis lain (Pb-2 dan Pl-1) pengujian awal penanda ITS untuk menentukan dapat dimungkinkan karena adanya kontaminasi konsentrasi DNA yang paling optimal dalam DNA karena amplifikasi hanya muncul pada proses amplifikasi DNA. Penggunaan DNA dua isolat dari dua jenis jamur yang berbeda. dengan pengenceran 20× memberikan hasil Pengujian terhadap empat penanda amplifikasi paling baik karena sebagian besar spesifik untuk mendeteksi DNA jamur sampel yang diuji menghasilkan pita DNA Phlebiopsis sp. 1, menunjukkan bahwa empat dengan intensitas yang kuat. Pada pengujian set penanda tersebut mampu mendeteksi jenis lanjutan menggunakan penanda spesifik jenis target meskipun ada satu sampel Phlebiopsis sp. digunakan DNA dengan pengenceran 20×. 1 (isolat Pb-11) yang tidak teramplifikasi. Tidak Perbedaan hasil amplifikasi DNA mengunakan terjadinya proses amplifikasi DNA terhadap tingkat pengenceran DNA 10× dan 20×, sampel tersebut dapat disebabkan karena

9 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.12. No. 1, Juni 2018, p. 1 – 11 kualitas DNA yang digunakan sebagai template kontaminasi DNA dalam penyiapan reaksi PCR, tidak bagus. Proses amplifikasi terhadap sampel karena amplifikasi tidak memunculkan pita pada isolat Pb-11 menggunakan penanda ITS1F/ITS4 genus Phlebiopsis yang memiliki susunan DNA juga tidak menunjukkan adanya hasil lebih mirip dengan Phlebia spp. Kontaminasi amplifikasi DNA yang baik pada pengenceran DNA merupakan hal yang mungkin terjadi 10× maupun 20×. dalam penggunaan penanda spesifik (Yuskianti Tiga pasang penanda spesifik jenis et al., 2014), oleh karena itu penggunaan Phlebiobsis sp. 1 (Set 1 – Set 3) juga penanda spesifik untuk mendeteksi jenis-jenis memberikan hasil positif terhadap empat isolat jamur tertentu, misalnya pada Phlebia spp. Phlebia spp., namun pita DNA yang dihasilkan memerlukan kehati-hatian karena adanya tidak sejelas pada isolat-isolat Phlebiobsis sp. 1. kemungkinan untuk mendapatkan amplifikasi Adanya pita DNA tipis yang dihasilkan oleh dari jenis jamur yang lain yang masih erat empat isolat jenis Phlebia spp. menggunakan kekerabatannya dengan Phlebia spp. Hal lain tiga penanda spesifik untuk jenis jamur yang dapat dilakukan untuk mendapatkan Phlebiopsis sp. 1, dapat disebabkan karena penanda yang lain yang lebih spesifik untuk Phlebia spp. memiliki kemiripan urutan basa mendeteksi jenis-jenis tertentu adalah DNA dengan jamur Phlebiopsis sp. 1, sehingga merancang dan mengembangkan penanda- terjadi proses amplifikasi DNA pada saat penanda spesifik yang lain. Hal ini penting dilakukan PCR. Pita DNA yang dihasilkan oleh dilakukan terutama jika ada beberapa jenis jenis jamur lain pada amplifikasi menggunakan Phlebia tertentu yang akan dikembangkan lebih penanda spesifik jamur Phlebiopsis sp. 1 bukan lanjut sebagai APH. merupakan pita tunggal yang kuat, melainkan berupa beberapa pita yang lemah, sehingga hal IV. KESIMPULAN ini dapat digunakan sebagai pembeda antara Hasil penelitian ini membuktikan bahwa jenis Phlebiopsis sp. 1 dengan Phlebia spp. pasangan penanda DNA yang telah Penanda Phlebiopsis Set 4 (PbF2/PbR2) dikembangkan berhasil digunakan untuk memiliki kemampuan deteksi yang lebih baik mengidentifikasi jamur Cerrena sp. 1 dan apabila dibandingkan dengan tiga set penanda Phlebiopsis sp. 1, namun tidak dapat digunakan yang lain karena penanda ini tidak untuk identifikasi jenis jamur Phlebia sp. 1 dan menghasilkan produk amplifikasi DNA dari Phlebia sp. 2. Dengan hasil penelitian ini isolat jamur yang bukan jenis target. identifikasi APH akan lebih mudah dilakukan. Pengujian delapan pasang penanda untuk mendeteksi jenis jamur Phlebia sp. 1 dan UCAPAN TERIMA KASIH Phlebia sp. 2 menunjukkan bahwa semua Penelitian ini merupakan bagian dari pasangan penanda tersebut mampu proyek FST/2014/068 dengan judul mengamplifikasi DNA jenis target, namun juga “Management Strategies for Acacia Plantation mampu mendeteksi jenis non target dari genus Diseases in Indonesia and Vietnam”, yang yang sama (Phlebia) dan dari genus yang merupakan kerjasama penelitian antara Balai berbeda (Cerrena sp.). Adanya amplifikasi dari Besar Penelitian dan Pengembangan genus yang sama dapat disebabkan adanya Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan kemiripan susunan basa DNA dari fragmen ITS dan University of Tasmania, yang didukung yang digunakan sebagai dasar pengembangan dana dari Australian Centre for International penanda spesifik yang digunakan dalam Agriculture Research (ACIAR). Penulis penelitian ini (Morag Glen, komunikasi pribadi, mengucapkan terima kasih kepada Morag Glen 24 Juni 2014). Adanya amplifikasi dari genus Cerrena mungkin disebabkan oleh adanya

10 Pengujian Penanda Jenis Spesifik pada Jamur yang Berpotensi sebagai Agens Pengendali Hayati Penyakit Busuk Akar pada Akasia Istiana Prihatini, Anto Rimbawanto, Desy Puspitasari, dan Dayin Fauzi yang telah menyediakan penanda spesifik jenis Mohammed, C. L., Rimbawanto, A., & Page, D. E. untuk diuji dalam penelitian ini. (2014). Management of basidiomycete root- and stem-rot diseases in oil palm, rubber and tropical hardwood plantation crops. Forest DAFTAR PUSTAKA Pathology, 44(6), 428–446. Agustini, L., Francis, A., Glen, M., Indrayadi, H., & http://doi.org/10.1111/efp.12140 Mohammed, C. L. (2014). Signs and Prihatini, I. (2014). Identification of endophyte fungi identification of fungal root-rot pathogens in of Pinus radiata needles using direct DNA tropical Eucalyptus pellita plantations. Forest extraction methods. Jurnal Pemuliaan Pathology, 44(6), 486–495. Tanaman, 8(3), 30–42. http://doi.org/10.1111/efp.12145 Prihatini, I., Glen, M., Wardlaw, T. J., Ratkowsky, Agustini, L., Wahyuno, D., Indrayadi, H., & Glen, D. A., & Mohammed, C. L. (2015). Needle M. (2014). In vitro interaction between fungi in young Tasmanian Pinus radiata Phlebiopsis sp. and Ganoderma philippii plantations in relation to elevation and isolates. Forest Pathology, 44(6), 472–476. rainfall. New Zealand Journal of Forestry http://doi.org/10.1111/efp.12143 Science, 45(1), 1-10. Gardes, M., & Bruns, T. D. (1993). ITS primers with http://doi.org/10.1186/s40490-015-0055-6 enhanced specificity for basidiomycetes, Puspitasari, D., & Rimbawanto, A. (2010). Uji application to the identification of somatik inkompatibilitas Ganoderma philipii mycorrihiza and rusts. Molecular Ecology, untuk mengetahui pola sebaran penyakit 2(May 2016), 113–118. http://doi.org/Doi busuk akar pada tanaman Acacia mangium. 10.1111/J.1365-294x.1993.Tb00005.X Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 4(1), 49 - Glen, M., Bougher, N. L., Francis, A. A., Nigg, S. 61. Q., Lee, S. S., Irianto, R. S. B., … Puspitasari, D., Rimbawanto, A., & Hidayati, N. Mohammed, C. L. (2009). Ganoderma and (2009). Karakterisasi morfologi dan verifikasi Amauroderma species associated with root- DNA penyebab busuk akar Acacia mangium. rot disease of Acacia mangium plantation Jurnal Pemuliaan Tanaman, 3(2), 83–93. trees in Indonesia and Malaysia. Australasian Plant Pathology, 38(4), 345–356. Raeder, U., & Broda, P. (1985). Rapid preparation of http://doi.org/10.1071/AP09008 DNA from filamentous fungi. Letters in Applied Microbiology, 1(1), 17–20. Glen, M., Tommerup, I. C., Bougher, N. L., & O’Brien, P. A. (2002). Are Sebacinaceae Weeden, N., Timmerman, G., Hemmat, M., Kneen, common and widespread ectomycorrhizal B., & Lodhi, M. (1992). Inheritance and associates of Eucalyptus species in Australian reliability of RAPD markers in application of forests? Mycorrhiza, 12(5), 243–247. RAPD technology to plant breeding. In: Joint http://doi.org/10.1007/s00572-002-0180-y Plant Breeding Symposia Series (November 1, 1992), Minneapolis, MN. Crop Science Glen, M., Yuskianti, V., Puspitasari, D., Francis, A., Society of America, Madison, WI. pp.12-17. Agustini, L., Rimbawanto, A., … Mohammed, C. L. (2014). Identification of White, T. J., Bruns, T., Lee, S., & Taylor, J. (1990). basidiomycete fungi in Indonesian hardwood Amplification and direct sequencing of fungal plantations by DNA barcoding. Forest ribosomal RNA genes for phylogenetics. PCR Pathology, 44(6), 496–508. protocols: A guide to methods and http://doi.org/10.1111/efp.12146 applications. Academic Press, Inc. Irianto, R. S. B., Barry, K., Hidayati, N., Ito, S., Yuskianti, V., Glen, M., Puspitasari, D., Francis, A., Fiani, A., Rimbawanto, A., & Mohammed, C. Rimbawanto, A., Gafur, A., … Mohammed, (2006). Incidence and spatial analysis of root C. L. (2014). Species-specific PCR for rapid rot of Acacia mangium in Indonesia. Journal identification of Ganoderma philippii and of Tropical Forest Science, 18(3), 157–165. Ganoderma mastoporum from Acacia mangium and Eucalyptus pellita plantations Kreader, C. A. (1996). Relief of amplification in Indonesia. Forest Pathology, 44(6), 477– inhibition in PCR with bovine serum albumin 485. http://doi.org/10.1111/efp.12144. or T4 gene 32 protein. Applied and Environmental Microbiology, 62, 1102–1106.

11 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.12. No. 1, Juni 2018, p. 1 – 11

12 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 13 - 23

PERTUMBUHAN BIBIT HASIL OKULASI PADA BEBERAPA KLON JATI DARI GUNUNGKIDUL DAN WONOGIRI Growth performance of bud grafted teak clones from Gunungkidul and Wonogiri

Hamdan Adma Adinugraha1 dan Abdul Azis Efendi2 1)Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia email: [email protected] 2)Institut Pertanian (INTAN) Yogyakarta Jl. Magelang Km 5.6, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

Tanggal diterima: 17 Mei 2017, Tanggal direvisi: 7 Juni 2017, Disetujui terbit: 10 April 2018

ABSTRACT Multiplication of teak clones can be conducted by using vegetative methods either macro or in vitro. In this research, several teak clones collected from Gunungkidul and Wonogiri were propagated using bud grafting technique to know the variation of their growth ability in the nursery. This research arranged in nested design, with 25 clones nested in 3 locations of scion source (clonal test at Gunungkidul, progeny test in Gunungkidul and clonal test in Wonogiri). Each treatment was repeated in 5 replications and each replication consisted of 10 bud grafted seedlings. The result showed that there were significant variations of growth among the clones in all observation characters, whereas the location of scion source was not significant. The best survival percentage of bud grafting from 3 sites of scion source were Clone 8 from the clonal test in Gunungkidul, Clone 64 from progeny test in Gunungkidul, Clone 43 and 87 from the clonal test in Wonogiri. Keywords: growth ability, vegetative propagation, scion

ABSTRAK Perbanyakan klon jati dapat dilakukan secara vegetatif baik secara makro maupun in vitro. Pada penelitian ini dilakukan perbanyakan beberapa klon jati yang dikoleksi di Gunungkidul dan Wonogiri dengan teknik okulasi untuk mengetahui variasi kemampuan tumbuhnya di persemaian. Penelitian ini menggunakan rancangan tersarang, dengan perlakuan 25 klon jati yang tersarang pada 3 lokasi pengambilan scion (uji klon di Gunung kidul, uji keturunan di Gunungkidul dan uji klon di Wonogiri). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali dan setiap ulangan terdiri atas 10 sampel bibit hasil okulasi. Hasil pengamatan menunjukkan adanya variasi pertumbuhan yang berbeda nyata antar klon pada semua karakter pengamatan, sedangkan lokasi pengambilan scion tidak berpengaruh nyata. Persentase hidup okulasi terbaik dari 3 lokasi pengambilan scion yaitu Klon 8 dari plot uji klon di Gunungkidul, Klon 64 dari plot uji keturunan di Gunungkidul, Klon 43 dan 87 dari plot uji klon di Wonogiri. Kata kunci: kemampuan pertumbuhan, perbanyakan vegetatif, scion 2007). Sementara itu produksi kayu jati terus I. PENDAHULUAN mengalami penurunan setiap tahun. Pada tahun Sejalan dengan peningkatan jumlah 2014 dilaporkan bahwa jumlah produksi kayu penduduk maka kebutuhan bahan baku kayu jati nasional mencapai 633.000 m3, dan pun terus meningkat. Demikian halnya dengan berkurang produksinya pada tahun 2015 kayu jati, setiap tahun menunjukkan jumlah menjadi 513.700 m3 (Badan Pusat Statistik, permintaan yang tinggi. Malik, Wijaya, dan 2016). Dengan demikian pengembangan hutan Handayani (2008) melaporkan bahwa masih tanaman terutama pada hutan rakyat sangat terdapat kekurangan pasokan kayu jati yang penting dilakukan dan mempunyai prospek yang sangat besar pada daerah-daerah sentra industri cerah, terlebih jati merupakan jenis yang sangat mebel di Jawa. Dilaporkan bahwa untuk populer serta risetnya sudah sangat maju wilayah sentra industri mebel di Jepara saja (Sofyan, Na’iem, & Indrioko, 2011). 3 memerlukan 1,5-2,2 juta m kayu per tahun Upaya mendapatkan benih unggul (Roda, Cadene, Guizol, Santoso, & Fauzan, tanaman jati, telah dilakukan penelitian

13 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 13 - 23 pemuliaan jati oleh Perhutani, Badan Litbang II. BAHAN DAN METODE Kehutanan dan perguruan tinggi (Adinugraha, A. Waktu dan tempat Pudjiono, & Mahfudz, 2013; Hadiyan, 2009; Pengambilan bahan tanaman untuk scion Siregar, Siregar, Karlinasari, & Yunanto, 2008). dilakukan di plot uji klon jati umur 13 tahun di Kegiatan yang dilakukan antara lain penelitian KHDTK Watusipat, Gunungkidul, Daerah uji klon dan uji keturunan jati, pembangunan Istimewa Yogyakarta (DIY), plot uji klon jati kebun benih semai, kebun benih klon dan kebun umur 10 tahun di Kawasan Hutan Dengan pangkas. Dari serangkaian kegiatan penelitian Tujuan Khusus (KHDTK) Alas Ketu, tersebut kemudian dilakukan seleksi pohon- Wonogiri, Jawa Tengah dan plot uji keturunan pohon (individu) unggulan yang memiliki jati umur 9 tahun di KHDTK Playen, potensi atau prospek untuk dikembangkan Gunungkidul, DIY, masing-masing lokasi secara luas pada masa yang akan datang. Ciri- sebanyak 10 klon. Pengadaan bibit jati untuk ciri pohon unggulan tersebut antara lain tinggi bahan batang bawah (rootstock) dilakukan di pohon dominan, tinggi bebas cabang, diameter persemaian Balai Besar Penelitian dan batang dominan, batang lurus, bebas Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan hama/penyakit dan memiliki pertumbuhan yang Tanaman Hutan (BBPPBPTH). Kegiatan cepat (Goh et al., 2013). penyiapan bibit rootstock dilakukan pada Beberapa klon unggulan telah diseleksi Agustus-September 2016, pengambilan bahan pada plot uji klon jati di Gunungkidul dan scion dan pembuatan okulasi pada Oktober Wonogiri (Adinugraha et al., 2014). Tahap 2016. Selanjutnya pengamatan pertumbuhan selanjutnya adalah perbanyakan klon-klon bibit okulasi dilaksanakan sampai dengan tersebut secara vegetatif. Salah satu teknik yang Januari 2017. banyak dilakukan untuk memperbanyak klon- klon jati adalah teknik okulasi atau bud grafting B. Bahan dan alat (Pudjiono & Adinugraha, 2013; Win, Tun, & Bahan tanaman yang digunakan untuk Htum, 1982). Keuntungan perbanyakan rootstock adalah bibit jati hasil perbanyakan tanaman dengan cara ini adalah menyelamatkan generatif yang telah berumur sekitar 1 tahun sifat genetik yang superior pada tetua dan dengan diameter batang rata-rata 1-3 cm diturunkan kepada anakan hasil perbanyakan (Gambar 1-1A). Bibit rootstock ditempatkan vegetatif (Palanisamy, Hegde, & Yi, 2009). dan dipelihara di bedeng persemaian yaitu Selain itu, keunggulan lainnya antara lain disiram secara rutin 1-2 kali sehari dan gulma pelaksanaannya relatif mudah, persentase yang tumbuh dibersihkan setiap sebulan sekali. keberhasilan tinggi dan efisien dalam Bahan tanaman untuk scion berupa mata penggunaan mata entres karena satu tunas yang dalam kondisi dorman pada cabang/ranting dapat menghasilkan beberapa cabang/ranting (Gambar 1-2A) yang dikoleksi bahan tanaman (Junaidi, Atminingsih, & dari 30 pohon induk terpilih di tiga plot uji Siagian, 2014). genetik di Gunungkidul dan Wonogiri. Akan Tujuan dari penelitian ini untuk tetapi pada waktu pelaksanaan okulasi, terdapat mempelajari kemampuan tumbuh bibit hasil 1 pohon induk dari plot uji keturunan dan 4 klon okulasi dari beberapa klon jati yang dikoleksi di dari plot uji klon di Wonogiri yang memiliki Gunungkidul dan Wonogiri. Dari penelitian ini jumlah scion tidak mencukupi. Dengan diharapkan dapat tersedia bibit jati yang dapat demikian jumlah klon yang digunakan dalam dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangan penelitian ini hanya 25 klon jati sebagaimana pertanaman klon jati baik berupa pembangunan disajikan pada Lampiran 1. Pengambilan kebun benih klon maupun plot kebun pangkas di cabang/ranting dilakukan dengan cara lokasi yang lain.

14 Pertumbuhan Bibit Hasil Okulasi pada Beberapa Klon Jati dari Gunungkidul dan Wonogiri Hamdan Adma Adinugraha dan Abdul Azis Efendi pemanjatan pohon induk yang selanjutnya menyiapkan scion dan rootstock. Bahan untuk dilakukan pemotongan sebanyak 20 cabang/ pengikat okulasi yang digunakan berupa plastik ranting yang panjangnya rata-rata 50 cm yang kuat dan lentur ukuran 20 cm x 5 cm atau (Gambar 1-2A). Cabang/ranting dari masing- parafilm. Alat tulis dan blanko pengamatan masing pohon induk kemudian diikat dan diberi digunakan untuk kegiatan pengamatan label sesesui nomor pohon induknya. pertumbuhan bibit hasil okulasi di persemaian. Bahan lain yang digunakan yaitu bambu, C. Prosedur penelitian kawat dan plastik sungkup yang diperlukan Pembuatan bibit secara okulasi dilakukan untuk membuat bedengan sungkup agar mampu di persemaian sebagaimana metode yang menjaga kelembaban udara yang tinggi (±80%). dilaporkan dalam penelitian sebelumnya Kondisi kelembaban yang tinggi tersebut sangat (Pudjiono & Adinugraha, 2013; Sulaeman, penting untuk memacu pertumbuhan scion yang 2014; Suwandi & Adinugraha, 2016). Adapun ditempelkan. Label plastik digunakan untuk tahapan kegiatan pembuatan okulasi jati tersebut memberi identitas pada setiap bibit hasil okulasi disajikan pada Gambar 1 dengan rincian yang dihasilkan supaya tidak tercampur. kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pisau/cutter dan gunting stek digunakan untuk

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4

Gambar 1. Tahapan pembuatan bibit okulasi jati di persemaian Tahap 1. Pemilihan bibit jati untuk root stock cm mengunakan pisau/cutter pada posisi 10 a. Bibit jati untuk rootstock dipilih yang sehat, cm dari permukaan media (Gambar 1-1B). batangnya cukup lurus dan telah memiliki Tahap 2. Penyiapan scion ukuran diameter batang sekitar 1-3 cm. a. Bahan scion yang digunakan berupa mata Bibit disiapkan di bedeng persemaian tunas pada cabang/ranting yang dikoleksi sebelum dilakukan pembuatan okulasi dari pohon induk yang sudah dipilih dilakukan (Gambar 1-1A). (Gambar 1-2A). Scion yang digunakan b. Batang rootstock dipangkas setinggi 15-20 adalah yang masih dalam kondisi dorman cm dari permukaan media menggunakan yaitu mata tunas yang belum tumbuh gunting stek. Selanjutnya kulit batang bibit menjadi calon tunas. disayat sepanjang 3-5 cm dan lebar 1-1,5

15 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 13 - 23 b. Ranting yang memiliki sepasang mata tunas dipelihara sampai siap tanam yaitu pada dorman dipotong sepanjang ±7 cm dan umur ±4-6 bulan (Gambar 1-4B). dibelah menjadi 2 bagian, kemudian Pembuatan bibit okulasi dilakukan secara permukaan bagian potongan dan belahannya bertahap per lokasi pengambilan klon jati. Mulai dihaluskan dengan pisau cutter dan dari kegiatan pengambilan scion di lapangan disesuaikan dengan ukuran panjang sayatan dan pembuatan okulasi di persemaian pada kulit batang rootstock (Gambar 1-2B). diperlukan waktu selama 2-4 hari. Total waktu yang diperlukan untuk pembuatan okulasi dari Tahap 3. Penempelan scion pada rootstock ketiga lokasi sumber scion tersebut sekitar 2 a. Scion ditempelkan pada bagian sayatan kulit minggu. Oleh karena itu untuk memudahkan batang rootstock dengan hati-hati kemudian dalam pengamatan umur bibit okulasi maka diikat dengan plastik yang lentur. Ikatan dibuat label pada bibit okulasi yang dimulai dari bagian bawah ke atas dan mencantumkan nomor klon dan tanggal kembali ke bawah hingga seluruh daerah pelaksanaan okulasi. tempelan tertutup rapat kecuali pada bagian mata tunasnya harus tetap terbuka agar D. Rancangan penelitian pertumbuhan tunas tidak terhalangi Rancangan penelitian yang digunakan (Gambar 1-3A). adalah rancangan tersarang dengan perlakuan 25 b. Bibit hasil okulasi ditempatkan pada klon tanaman jati yang tersarang pada 3 lokasi bedengan persemaian yang ditutup dengan pengambilan scion. Dari plot uji klon jati di sungkup dari bahan plastik. Penempatan Gunungkidul sebanyak 10 klon, dari plot uji bibit hasil okulasi dikelompokkan menurut keturunan jati di Gunungkidul sebanyak 9 nomor klon dan lokasi sumber scion untuk pohon induk dan dari plot uji klon jati di memudahkan dalam melaksanakan Wonogiri sebanyak 6 klon. Setiap perlakuan pengamatan hasil okulasi (Gambar 1-3B). menggunakan 10 sampel bibit okulasi yang Selanjutnya bedeng persemaian diberi diulang sebanyak 5 kali, sehingga jumlah semua naungan paranet dengan intensitas cahaya unit pengamatan seluruhnya sebanyak 1250 65%. bibit. Kegiatan pengamatan dilakukan secara Tahap 4. Pemeliharaan bibit hasil okulasi periodik setiap minggu sekali selama 3 bulan a. Bibit hasil okulasi dipelihara secara rutin pengamatan yang meliputi persentase hidup yang meliputi penyiraman dan pemotongan bibit hasil okulasi, panjang tunas, diameter tunas lateral (trubusan) yang tumbuh pada tunas, jumlah buku/nodus per tunas dan jumlah rootstock (pewiwilan). Penyiraman daun per tunas. dilakukan cukup sekali sehari yang E. Analisis data dilakukan secara hati-hati agar tidak Untuk mengetahui variasi pertumbuhan menyemprot bagian tempelan scion. bibit hasil okulasi dilakukan analisis sidik Pewiwilan harus dilakukan agar scion dapat ragam pada seluruh data hasil pengamatan yang tumbuh secara optimal (Gambar 1-4A). dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Duncan b. Setelah tunas tumbuh dengan baik (umur Multiple Range Test) apabila terdapat perbedaan bibit okulasi ± 4-6 minggu), sungkup plastik yang nyata antar perlakuan (Sastrosupadi, mulai dibuka secara bertahap, supaya bibit 2013). Data persentase hidup okulasi terlebih dapat beradaptasi dengan kondisi dahulu ditransformasi ke bentuk arcsin sebelum lingkungan terbuka. Setelah bibit dianalisis. Model linear yang digunakan, yaitu: menunjukkan pertumbuhan yang baik, maka

sungkup dapat dibuka seluruhnya dan bibit

16 Pertumbuhan Bibit Hasil Okulasi pada Beberapa Klon Jati dari Gunungkidul dan Wonogiri Hamdan Adma Adinugraha dan Abdul Azis Efendi

Yijk = µ+ Li + Kj(i) + eijk hidup rata-rata secara keseluruhan 44,03% Keterangan: (Gambar 2). Pengamatan pada umur 1 bulan rerata persentase hidup masih cukup tinggi, Yijk = respon yang diamati µ = nilai tengah umum yaitu 79,37% yang bervariasi dari 26,00%- 100%, akan tetapi mengalami penurunan pada Li = pengaruh faktor lokasi ke-i pengamatan umur 2 dan 3 bulan (Tabel 1). Kj( i ) = pengaruh faktor klon ke-j yang tersarang pada faktor lokasi ke-i Setelah dilakukan aklimatisasi, rata-rata angka kematian bibit okulasi secara keseluruhan eijk = galat percobaan sampai umur 3 bulan masih sangat tinggi yaitu III. HASIL DAN PEMBAHASAN mencapai 55,97%. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini (Tabel 1) menunjukkan rerata A. Persentase hidup okulasi yang lebih rendah dibandingkan uji coba Hasil pengamatan bibit hasil okulasi jati sebelumnya yaitu persentase hidup 67,9%- sampai dengan umur 3 bulan menunjukkan 77,7% pada umur 2 bulan (Pudjiono & adanya variasi tingkat keberhasilan tumbuhnya. Adinugraha, 2013). Demikian pula Dieters et al. Secara umum persentase hidup bibit okulasi (2014) melaporkan persentase hidup okulasi jati klon jati sampai dengan umur 3 bulan bervariasi di Laos sampai umur 4 bulan rata-rata 70%. mulai dari 18,00% - 76,00% dengan persentase

Tabel 1. Rerata persentase hidup okulasi jati dari 3 lokasi pengambilan scion Persentase hidup okulasi (%) Lokasi pengambilan scion Umur 1 bulan Umur 2 bulan Umur 3 bulan Uji klon jati di Gunungkidul 88,00 59,00 47,00 Uji keturunan jati di Gunungkidul 68,44 50,46 42,50 Uji klon jati di Wonogiri 81,67 56,21 42,60 Rata-rata 79,37 55,22 44,03

Gambar 2. Persentase hidup bibit okulasi jati dari 3 lokasi pada umur 3 bulan Kemampuan tumbuh bibit hasil okulasi di juga sangat diperlukan untuk meningkatkan persemaian dapat disebabkan oleh banyak faktor keberhasilan okulasi (Albacete et al., 2015; seperti umur pohon induk dan umur bahan Chipojola et al., 2013; Cholid, Hariyadi, tanaman, musim/waktu pelaksanaan okulasi, Susanto, Djumali, & Purwoko, 2014; Kumar, kompatibilitas antara scion dan rootstock, suhu 2011; Mng’omba, Akinnifesi, Sileshi, & Ajayi, lingkungan dan kelembaban udara. Selain itu 2010). Rerata persentase hidup okulasi dari ke-3 tingkat keahlian tenaga pelaksana di persemaian lokasi relatif sama (Tabel 1) diduga karena

17 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 13 - 23 umur tanaman di ke-3 lokasi pengambilan scion yang sama dengan scion yang langsung tidak jauh berbeda, yaitu berkisar antara 10-13 diokulasi. tahun. Dengan demikian tingginya angka B. Variasi pertumbuhan bibit hasil kematian bibit okulasi diduga karena perbedaan okulasi klon yang digunakan atau terjadinya Pengamatan terhadap pertumbuhan bibit pengendalian kondisi lingkungan yang kurang jati hasil okulasi dari 25 klon jati pada umur 3 tepat. bulan menunjukkan adanya variasi antar klon Pengendalian kondisi kelembaban udara pada semua faktor yang diamati. Dari hasil yang tinggi sangat diperlukan untuk menunjang analisis sidik ragam diketahui bahwa faktor klon keberhasilan tumbuh okulasi jati. Persentase memberikan pengaruh yang sangat nyata hidup okulasi jati pada ruangan ditutup plastik terhadap variasi persentase hidup okulasi, yang kelembaban udaranya terkontrol (moist panjang tunas, diameter tunas, jumlah nodus chamber) lebih baik dari pada yang dilakukan di dan jumlah daun, sedangkan lokasi sumber tempat terbuka (Win et al., 1982). Penelitian ini scion tidak berpengaruh nyata pada semua menggunakan cara yang sama yaitu karakter yang diamati (Tabel 2). Hasil tersebut menempatkan bibit hasil okulasi pada bedengan sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa kemudian ditutup dengan sungkup plastik. scion yang diambil dari pohon induk/klon yang Persentase hidup rata-rata terbaik sampai umur berbeda menyebabkan adanya variasi yang 3 bulan sebesar 76% pada Klon 8 (Gambar 2). nyata pada tingkat keberhasilan tumbuh okulasi Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode jati (Adinugraha et al., 2013; Indrioko et al., okulasi yang diterapkan dapat memberikan hasil 2010). Meskipun demikian menurut Hartmann relatif lebih baik dibandingkan dengan cara et al., (2010) bahwa variasi pertumbuhan bibit menutup masing-masing bibit okulasi dengan okulasi pada tanaman ternyata tidak kantong plastik atau cara terbuka (tanpa ditutup dikendalikan oleh gen atau mekanisme plastik) seperti yang dilaporkan oleh Santoso fisiologis yang sama melainkan dipengaruhi dan Wardani (2006) dan Indrioko, Faridah, dan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut Widhianto (2010) dimana persentase hidup rata- diantaranya adalah faktor anatomi tanaman, rata terbaik hanya mencapai 35,53% - 37,03%. kandungan karbohidrat pada bagian tanaman, Efek lokasi sumber scion diduga dan efek fitohormon. Santos et al. (2014) juga berhubungan dengan waktu yang diperlukan melaporkan bahwa variasi tingkat keberhasilan untuk penyimpanan scion selama perjalanan grafting dan okulasi antar pohon induk terutama dari lokasi ke persemaian. Secara umum pada disebabkan oleh adanya variasi tingkat beberapa penelitian okulasi tanaman berkayu juvenilitasnya. dilaporkan bahwa lama simpan scion sangat Pertumbuhan bibit jati hasil okulasi mempengaruhi tingkat keberhasilan tumbuhnya sampai umur 3 bulan menunjukkan rerata (Saefudin & Wardiana, 2015; Suharjo & panjang tunas 24,55 cm, diameter tunas 6,63 Hasniati, 2017). Pada penelitian ini waktu yang mm, jumlah nodus 3,97 dan jumlah daun diperlukan untuk penyimpanan scion mulai dari pertunas 7,64 helai. Rerata pertumbuhan tunas pengambilan, pengangkutan sampai dengan dari ketiga lokasi relatif seragam (tidak berbeda selesainya pembuatan okulasi rata-rata selama 3 nyata) meskipun pertumbuhan bibit okulasi klon hari. Hasil yang diperoleh dari ketiga lokasi dari uji klon di Gunungkidul cenderung lebih menunjukkan tingkat keberhasilan yang relatif baik (Tabel 3). Pada Tabel 4 disajikan hasil uji sama/tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hasil Duncan (DMRT) yang menunjukkan respon serupa dilaporkan oleh Pangastuti (2017) bahwa pertumbuhan klon jati yang bervariasi pada scion jati yang disimpan dalam pelepah pisang setiap karakter yang diamati. Panjang tunas selama 4 hari masih memiliki persentase hidup

18 Pertumbuhan Bibit Hasil Okulasi pada Beberapa Klon Jati dari Gunungkidul dan Wonogiri Hamdan Adma Adinugraha dan Abdul Azis Efendi terbaik sebesar 30,54 cm ditunjukkan oleh Klon dan kondisi fisiologis bibit rootstock juga sangat 34 dan terpendek Klon 13 (20,50 cm). Diameter mempengaruhi keberhasilan tumbuh bibit tunas terbesar ditunjukkan oleh Klon 9 (10,73 sambungan/okulasi di persemaian (Borowicz & mm) dan terkecil Klon 56 (5,51 mm). Jumlah Armstrong, 2012; Lim, Poffley, & Bowman, nodus tunas terbanyak ditunjukkan oleh Klon 34 1992; Mng’omba et al., 2010). Dari pengamatan (4,46 nodus) dan paling sedikit Klon 55 (3,59 diketahui adanya kegagalan tumbuh scion yang nodus). Adapun jumlah daun terbanyak diikuti dengan matinya bibit rootstock, ditunjukkan oleh Klon 56 (8,44 helai) dan menunjukkan bahwa kondisi fisiologis bibit paling sedikit Klon 55 (6,5 helai). Hasil tersebut rootstock yang digunakan tidak baik. Oleh menunjukkan tingkat pertumbuhan yang karena itu keahlian dalam memilih bibit bervariasi antarklon pada setiap karakter rootstock pada waktu pelaksanaan okulasi pengamatan. Klon 8, 64 dan 43 menunjukkan sangat penting. Menurut Kumar (2011) bibit persentase hidup terbaik pada masing-masing rootstock terbaik apabila berasal dari klon yang lokasi (Gambar 2), namun kecepatan tumbuh sama dengan scion karena memiliki tingkat tunasnya lebih lambat dari Klon 3, 31, 34, 5 dan kompatibilitas terbaik. 9 (Tabel 4). Selain faktor scion, tingkat vigoritas

Tabel 2. Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit hasil okulasi dari beberapa klon jati pada umur 3 bulan Kuadrat tengah Sumber variasi Persentase Panjang Diameter Jumlah Jumlah hidup tunas tunas nodus daun Replikasi 62,95 79,64 13,78 0,91 4,18 Lokasi 45,88 ns 32,90 ns 6,88 ns 1,29 ns 5,10 ns Klon (Lokasi) 542,32 ** 187,99 ** 27,81 ** 1,54 ** 7,99 ** Galat 47,75 32,63 12,03 0,67 2,37 Keterangan: ** = berbeda nyata pada taraf uji 0,01 ns = tidak berbeda nyata

Tabel 3. Rerata pertumbuhan bibit hasil okulasi dari beberapa klon jati pada umur 3 bulan Panjang tunas Diameter tunas Jumlah Jumlah Lokasi pengambilan scion (cm) (mm) nodus daun Uji klon jati di Gunungkidul 24,72 6,86 4,05 7,82 Uji keturunan jati di Gunungkidul 23,89 6,71 3,96 7,74 Uji klon jati di Wonogiri 25,04 6,42 3,90 7,35 Rata-rata 24,55 6,63 3,97 7,64

Penggunaan rootstock yang beragam asalnya meskipun spesies yang sama dapat menyebabkan variasi keberhasilan tumbuh bibit hasil okulasi. Selanjutnya untuk memperoleh pertumbuhan bibit yang optimal, maka faktor lingkungan seperti temperatur, intensitas cahaya matahari, ketersediaan air dan unsur hara pada media harus diperhatikan (Hartmann et al., 2010; Kumar, 2011). Oleh karena itu bibit jati hasil okulasi (Gambar 3) harus dipelihara secara Gambar 3. Bibit hasil okulasi jati umur 3 bulan di rutin yang meliputi penyiraman, penyiangan, persemaian pemupukan, penjarangan bibit dan pemberantasan hama/penyakit.

19 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 13 - 23

Tabel 4. Hasil uji DMRT pertumbuhan bibit hasil okulasi dari beberapa klon jati pada umur 3 bulan Panjang tunas Diameter tunas Jumlah Jumlah (cm) (mm) nodus daun Klon Rerata DMRT Klon Rerata DMRT Klon Rerata DMRT Klon Rerata DMRT 34 30,54 a 9 10,73 a 34 4,46 a 56 8,44 a 3 30,42 a 5 8,80 ab 56 4,44 a 34 8,38 ab 5 28,76 ab 87 7,15 bc 5 4,38 ab 94 8,33 ab 31 25,86 bc 8 7,09 bc 3 4,33 ab 57 8,22 ab 18 25,27 cd 31 7,08 bc 57 4,28 abc 26 8,19 ab 87 25,13 cd 3 7,00 bc 31 4,19 abc 1 8,14 ab 86 25,07 cd 55 7,00 bc 18 4,18 abcd 5 8,11 ab 97 25,00 cd 16 6,99 bc 16 4,17 abcd 3 8,09 ab 1 24,90 cd 26 6,98 bc 9 4,08 abcd 18 8,09 ab 55 24,88 cde 34 6,98 bc 26 4,07 abcd 31 8,00 ab 9 24,69 cde 7 6,95 bc 86 4,00 abcd 43 7,97 abc 102 23,92 cdef 18 6,80 bc 89 3,95 abcd 86 7,93 abc 26 23,77 cdef 13 6,69 bc 65 3,95 abcd 82 7,90 abc 89 23,76 cdef 64 6,31 c 43 3,94 abcd 89 7,86 abc 65 23,75 cdef 97 5,93 c 13 3,94 abcd 9 7,85 abc 57 23,72 cdef 57 5,88 c 102 3,92 abcd 16 7,83 abc 56 23,56 cdef 65 5,85 c 1 3,90 abcd 65 7,65 abc 82 23,48 cdef 102 5,82 c 7 3,88 abcd 97 7,64 abc 7 23,44 cdef 89 5,76 c 97 3,86 bcd 102 7,50 abcd 8 23,41 cdef 86 5,72 c 64 3,78 bcd 8 7,41 abcd 43 23,30 cdef 82 5,64 c 94 3,78 bcd 7 7,37 abcd 94 23,11 cdef 94 5,57 c 87 3,77 bcd 13 7,28 abcd 64 21,38 def 43 5,56 c 8 3,73 bcd 87 6,87 cd 16 20,91 ef 1 5,54 c 82 3,71 bcd 64 6,57 d 13 20,50 f 56 5,51 c 55 3,59 d 55 6,50 d Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

IV. KESIMPULAN Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang berpartisipasi pada penelitian Variasi tingkat pertumbuhan bibit hasil ini, terutama Bapak Ponimin dan Widodo yang okulasi jati pada umur 3 bulan tidak berbeda telah membantu pelaksanaan kegiatan sejak dari nyata antarlokasi pengambilan scion, akan tetapi pembuatan okulasi, pemeliharaan dan sangat berbeda nyata antarklon/pohon induk. pengamatan bibit di persemaian. Persentase hidup terbaik hasil okulasi adalah Klon 8 dari plot uji klon jati di Gunungkidul DAFTAR PUSTAKA (76%), Klon 64 dari plot uji keturunan di Adinugraha, H. A., Pudjiono, S., Fauzi, M. A., Gunungkidul (72%), Klon 43 dan 87 dari plot Hasnah, T. M., Setyobudi, Suwandi, & uji klon di Wonogiri (56%). Rata-rata Susanto. (2014). Populasi Pemuliaan Untuk Kayu Pertukangan Daun Panjang. pertumbuhan tunas dari empat klon jati tersebut Yogyakarta: Balai Besar Penelitian yaitu panjang tunas 21,38 - 25,13 cm, diameter Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. tunas 5,56 - 7,15 mm, jumlah nodus 4 dan Adinugraha, H. A., Pudjiono, S., & Mahfudz. (2013). jumlah daun 7 - 8 helai. Variasi pertumbuhan dan parameter genetik uji keturunan jati umur 5 tahun di gunung UCAPAN TERIMA KASIH kidul, yogyakarta. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 7(3), 167–178. Penelitian ini merupakan bagian Albacete, A., Martínez-Andújar, C., Martínez-Pérez, penelitian Pemuliaan Jenis Kayu Pertukangan A., Thompson, A. J., Dodd, I. C., & Pérez- pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Alfocea, F. (2015). Unravelling Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. rootstock×scion interactions to improve food

20 Pertumbuhan Bibit Hasil Okulasi pada Beberapa Klon Jati dari Gunungkidul dan Wonogiri Hamdan Adma Adinugraha dan Abdul Azis Efendi

security. Journal of Experimental Botany, Kumar, G. N. M. (2011). Propagation of Plants by 66(8), 2211–2226. Grafting and Budding. Washington: https://doi.org/10.1093/jxb/erv027 Washington State University Extension, Oregon State University, University of Idaho Badan Pusat Statistik. (2016). Statistik Produksi and the U.S. Department of Agriculture Kehutanan 2015. Jakarta: Badan Pusat cooperating. Statistik. Lim, T. K., Poffley, M., & Bowman, L. (1992). New Borowicz, V. A., & Armstrong, J. E. (2012). Grafting Techniques for Exotic Fruit Trees. Resource limitation and the role of a hemiparasite on a restored prairie. Oecologia, Malik, J., Wijaya, H. B., & Handayani, W. (2008). 169, 783–702. Kajian Permasalahan Industri Kayu Dalam https://doi.org/10.1007/s00442-011-2222-7 Kaitannya Dengan Kebijakan Pembangunan Terminal Kayu Terpadu di Jawa Tengah. Chipojola, F. M., Mwase, W. F., Kwapata, M. B., Analisis Kebijakan Kehutanan (Vol. 5 No.1). Njoloma, J. P., Bokosi, J. M., & Maliro, M. F. (2013). Effect of tree age, scion source and Mng’omba, S. A., Akinnifesi, F. K., Sileshi, G., & grafting period on the grafting success of Ajayi, O. C. (2010). Rootstock growth and cashew nut (Anacardium occidentale L.). development for increased graft success of African Journal of Agricultural, 8(46), 5785– mango (Mangifera indica) in the nursery. 5790. https://doi.org/10.5897/AJAR10.879 African Journal of Biotechnology, 9(9), 1317–1324. Cholid, M., Hariyadi, Susanto, S., Djumali, & https://doi.org/10.5897/AJB10.668 Purwoko, B. S. (2014). Affects of Grafting Time and Grafting Meyhods Used on Scion Palanisamy, K., Hegde, M., & Yi, J. (2009). Teak ( and Rootstock Compatibility of Physic Nut Tectona grandis Linn . f.): A Renowned (Jatropha curcas L.). Asian Journal of Commercial Timber Species. Journal of Agricultural Research, 8(3), 150–163. Forest Science, 25(1), 1–24. Dieters, M., Sakanphet, S., Sodarak, H., Savathvong, Pangastuti, S. (2017). Pengaruh Lama Simpan S., Souliyasak, B., & Kanyavong, K. (2014). Entres Jati (Tectona grandis) Dalam Media Exploration of teak agroforestry system in Pelepah Pisang Terhadap Keberhasilan Luang Prabang,Lao PDR. (T. Bartlett, Ed.). Okulasi. Bandar Lampung: Universitas Canberra Australia: ACIAR. Lampung. Goh, D. K. S., Aparudin, Y. J., Lwi, A. A., Apammu, Pudjiono, S., & Adinugraha, H. A. (2013). Pengaruh M. L., Lori, A. F., & Onteuuis, O. M. (2013). klon dan waktu okulasi terhadap Growth differences and genetic parameter pertumbuhan dan persentase hidup okulasi estimates of 15 teak (Tectona grandis L. f.) jati (Tectona grandis L. f.). Wana Benih, genotypes of various ages clonally 14(3), 103–108. propagated by microcuttings and planted Roda, J.M., Cadene, P., Guizol, P., Santoso, L., & under humid tropical conditions. Silvae Fauzan, A.U. (2007). Atlas Industri Mebel Genetica, 62, 196–206. Kayu di Jepara, Indonesia. Bogor: Center for Hadiyan, Y. (2009). Keragaman pertumbuhan uji International Forestry Research. keturunan jati (Tectona grandis L. f.) umur 5 Saefudin, S., & Wardiana, E. (2015). Pengaruh tahun di Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Periode dan Media Penyimpanan Entres Pemuliaan Tanaman Hutan, 3(2), 95–102. terhadap Keberhasilan Okulasi Hijau dan Hartmann, H. T., Kester, D. E., Davies, F. T., & Kandungan Air Entres pada Tanaman Karet. Geneve, R. . (2010). Plant propagation: Jurnal Tanaman Industri Dan Penyegar, principles and practices (7th ed.). New 2(1), 13. Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River. https://doi.org/10.21082/jtidp.v2n1.2015.p13- 20 Indrioko, S., Faridah, E., & Widhianto, A. Y. (2010). Keberhasilan okulasi jati (Tectona grandis Santos, A. F. A., Almeida, B. C., Herrique, G. F., L.f.) hasil eksplorasi di Gunung Kidul. Jurnal Favare, H. G., Filho, J. B., Costa, R. B., & Ilmu Kehutanan, 4(2), 87–97. Brondani, G. E. (2014). Clones production of Tectona grandis. Advances in Forestry Junaidi, Atminingsih, & Siagian, N. (2014). Science, 1(2), 75–82. Pengaruh Jenis Mata Entres dan Klon Terhadap Keberhasilan Okulasi dan Santoso, B., & Wardani, B. W. (2006). Variasi Pertumbuhan Tunas Pada Okulasi Hijau di pertumbuhan jati muna hasil okulasi. Jurnal Polibeg. Junal Penelitian Karet, 32(1), 21– Hutan Tanaman, 3(3), 165–173. 30.

21 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 13 - 23

Sastrosupadi, A. (2013). Rancangan Percobaan International Journal Journal of Innovative Praktis Bidang Pertanian. (Revisi). Science, Engineering and Technology, 4(8), Yogyakarta: Kanisius. 184–189. Siregar, I. Z., Siregar, U. J., Karlinasari, L., & Sulaeman, M. (2014). Teknik grafting Yunanto, T. (2008). Pengembangan metode (penyambungan) pada jati (Tectona grandis penanda genetika molekuler untuk lacak L. f.). Informasi Teknis, 12(2), 69–79. balak (Studi Kasus Pada Jati). Jurnal Ilmu Suwandi, & Adinugraha, H. A. (2016). Pembuatan Pertanian Indonesia, 13(2), 56–68. Model Kebun Pangkas Jati di Persemaian. Sofyan, A., Na’iem, M., & Indrioko, S. (2011). Informasi Teknis, 14(1), 1–10. Perolehan genetik pada uji klon jati (Tectona Win, U. S., Tun, U. T., & Htum, N. (1982). grandis L. f.) umur 3 tahun di KHDTK Preliminary Study on Methods of Grafting Kemampo Sumatera Selatan. Jurnal Teak (Tectona Grandis Linn.) for Vegetative Penelitian Hutan Tanaman, 8(3), 179–186. Propagation. Forest Research Institute, Suharjo, & Hasniati. (2017). Optimisation of scion to Myanmar. Leaflet, (13), 81–82. increase the success of grafting in durian tree.

22 Pertumbuhan Bibit Hasil Okulasi pada Beberapa Klon Jati dari Gunungkidul dan Wonogiri Hamdan Adma Adinugraha dan Abdul Azis Efendi

Lampiran 1. Klon jati yang diperbanyak secara vegetatif di persemaian

Nomor Tinggi Diameter Plot uji dan lokasi Asal klon Klon pohon (m) batang (cm) 1 15,50 18,00 Uji klon Gunungkidul Cepu, Jawa Tengah 3 18,00 26,00 Uji klon Gunungkidul Cepu, Jawa Tengah 5 12,11 13,28 Uji klon Wonogiri Madiun, Jawa Timur 7 15,00 17,50 Uji klon Gunungkidul Gunungkidul, DIY 8 17,00 17,00 Uji klon Gunungkidul Gunungkidul, DIY 9 9,60 9,96 Uji keturunan Gunungkidul Muna 13 18,05 29,50 Uji klon Gunungkidul Cepu, Jawa Tengah 16 14,30 19,80 Uji klon Gunungkidul Lamongan, Jawa Timur 18 17,20 20,20 Uji klon Gunungkidul Muna 26 14,92 21,00 Uji klon Gunungkidul Lamongan, Jawa Timur 31 15,02 20,00 Uji klon Gunungkidul Fitotek 34 17,00 16,00 Uji klon Gunungkidul Fitotek 43 16,21 13,95 Uji klon Wonogiri Thailand 55 8,69 8,83 Uji keturunan Gunungkidul Cepu, Jawa Tengah 56 10,75 11,43 Uji keturunan Gunungkidul Cepu, Jawa Tengah 57 9,36 9,68 Uji keturunan Gunungkidul Cepu, Jawa Tengah 64 12,04 13,10 Uji keturunan Gunungkidul Cepu, Jawa Tengah 65 9,77 10,12 Uji keturunan Gunungkidul Cepu, Jawa Tengah 82 14,40 18,05 Uji klon Wonogiri Madiun, Jawa Timur 86 10,14 10,47 Uji keturunan Gunungkidul Cepu, Jawa Tengah 87 10,23 10,74 Uji klon Wonogiri Cepu, Jawa Tengah 89 16,44 21,61 Uji klon Wonogiri Cepu, Jawa Tengah 94 16,62 21,91 Uji klon Wonogiri Cepu, Jawa Tengah 97 11,48 12,50 Uji keturunan Gunungkidul Kateri, NTT 102 9,16 9,34 Uji keturunan Gunungkidul Kateri, NTT

23 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 13 - 23

24 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 25 - 39

INTERAKSI FAMILI × LOKASI PADA UJI KETURUNAN GENERASI KEDUA Eucalyptus pellita Family × site interaction observed in second-generation progeny trial of Eucalyptus pellita

Fasis Mangkuwibowo1, Sapto Indrioko2, dan Arif Nirsatmanto3 1)Mahasiswa Pasca Sarjana, Prodi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Jl. Agro No. 1, Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta, Indonesia email: [email protected] 2) Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Jl. Agro No. 1, Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta, Indonesia 3) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

Tanggal diterima: 4 Desember 2017, Tanggal direvisi: 28 Desember 2017, Disetujui terbit: 17 April 2018

ABSTRACT The interaction assessment of genotype and environment is necessary to find out an effective selection strategy in progeny trial, particularly in advanced generations. This study aims to observe the effect of family × site interaction in second generation progeny trial of Eucalyptus pellita planted at two locations: Wonogiri, Central Java and Pelaihari, South Kalimantan. The trials design were completely randomized block design (CRBD) with 49 families, 6-10 blocks, 5 tree-plot and 4 m × 1.5 m spacing. Data measurements included height, diameter at breast height, and stem volume at two and four years age. The study results showed that the families had significant differences (p<0.01) for all measured traits at two and four years age, but the family and site interaction was not statistically significant. Family heritability across the two sites were moderate to high for all traits with the type B genetic correlation ranged from 0.67 to 0.94. Heritability and genetic correlation tended to be higher as tree getting older. Less than 16% of families showed an interactive rank changes in the two locations based on multiple-traits selection index. In general, family selection by combining data from the two sites of progeny trial provided higher genetic gain than those by indirect selection, but it was varied to those direct selection on each site. Therefore, these results imply that, the strategy for family selection by combining data from the two sites of progeny trials should be practiced in appropriate combination and direction by considering the magnitude of genetic variation. Keywords: multi site analysis, genetic parameters, tree improvement, family selection

ABSTRAK Pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan perlu diamati untuk menetapkan strategi seleksi yang efektif dalam plot uji keturunan, khususnya pada generasi tingkat lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengamatan pengaruh interaksi famili × lokasi pada uji keturunan generasi kedua jenis Eucalyptus pellita yang dibangun di dua lokasi: Wonogiri, Jawa Tengah dan Pelaihari, Kalimantan Selatan. Sebanyak 49 famili diuji menggunakan rancangan acak lengkap berblok (RALB), 6-10 blok, 5 pohon per plot dan jarak tanam 4 m × 1,5 m. Pengukuran data meliputi tinggi, diameter setinggi dada, dan volume batang pada umur 2 dan 4 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa famili yang diuji berbeda nyata (p<0,01) pada seluruh sifat yang diamati, sedangkan interaksi famili × lokasi tidak berbeda nyata. Nilai heritabilitas famili berkisar sedang – tinggi pada semua sifat dengan nilai Tipe B korelasi genetik berkisar 0,67 – 0,94. Nilai heritabilitas dan korelasi genetik cenderung semakin tinggi seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kurang dari 16% dari famili yang diuji menunjukkan perubahan rangking yang interaktif antarlokasi berdasarkan nilai indeks seleksi multi-sifat. Secara umum seleksi famili berdasarkan gabungan data dari kedua lokasi plot uji keturunan menunjukkan nilai perolehan genetik yang lebih tinggi dibandingkan seleksi tidak langsung, namun bervariatif terhadap seleksi langsung pada masing-masing lokasi. Hal ini memberikan implikasi bahwa strategi seleksi famili dengan penggabungan data dari dua lokasi yang diuji perlu dilakukan pada kombinasi dan arah yang tepat dengan memperhatikan besarnya variasi genetik yang ada. Kata kunci: analisa multi lokasi, parameter genetik, pemuliaan pohon, seleksi famili

25 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 11 No. 2, Desember 2017, p. 25 - 39

berbeda dan strategi pemanfaatan benih unggul I. PENDAHULUAN yang akan dihasilkan dari program pemuliaan. Oleh karena adanya serangan hama dan Adanya interaksi genetik dengan penyakit yang serius pada Acacia mangium lingkungan merupakan salah satu faktor yang sebagai spesies andalan hutan tanaman industri dapat mempengaruhi efektivitas seleksi. dewasa ini, ekaliptus telah menjadi spesies Pengaruh interaksi ini bisa diamati melalui pengganti yang banyak ditanam pada hutan besarnya variasi yang terjadi pada interaksi tanaman industri di Indonesia dan Malaysia famili × lokasi di dalam uji keturunan yang (Brawner et al., 2015; Harwood, Hardiyanto, & dibangun pada beberapa lokasi yang berbeda. Yong, 2015; Harwood & Nambiar, 2014; Pengaruh interaksi famili × lokasi terhadap Tarigan, Roux, Van Wyk, Tjahjono, & efektivitas seleksi akan semakin nyata apabila Wingfield, 2011). Terdapat peningkatan luas antarlokasi uji keturunan memiliki perbedaan hutan tanaman ekaliptus yang cukup signifikan kondisi lingkungan yang ekstrem (Zobel & di dunia dan saat ini tercatat mencapai 20 juta Talbert, 1984), khususnya untuk mengantisipasi hektar (Harwood et al., 2015). Eucalyptus kebutuhan akan ketersediaan lahan tanam yang pellita merupakan salah satu spesies ekaliptus semakin meningkat. Penelitian telah dilakukan yang banyak ditanam di Indonesia, dan upaya untuk mengetahui pengaruh interaksi famili × peningkatan produktivitasnya terus ditingkatkan lokasi pada uji keturunan generasi pertama jenis baik melalui pemuliaan generasi tingkat lanjut E. pellita (Leksono, 2009). Namun demikian maupun aplikasi silvikultur intensif (Brawner, observasi interaksi famili × lokasi belum Bush, Macdonell, Warburton, & Clegg, 2010; dilaporkan pada uji keturunan generasi kedua. Hardiyanto, 2003; Hung et al., 2014; Kurinobu Disamping perbedaan karena lokasi pengujian, & Rimbawanto, 2002; Pinyopusarerk & efek dari seleksi selama siklus pemuliaan Harwood, 2010). Sebagai antisipasi penanaman generasi pertama diduga juga akan memberikan E. pellita pada berbagai kondisi lahan tanam pengaruh terhadap besarnya interaksi famili × yang bervariasi (iklim, jenis dan kesuburan lokasi pada pemuliaan generasi kedua (Brawner tanah), kegiatan pemuliaan tanaman et al., 2010). dilaksanakan melalui pembangunan plot uji Dalam penelitian ini disajikan hasil keturunan di beberapa lokasi dengan kondisi pengamatan pengaruh interaksi famili × lokasi lingkungan yang berbeda. pada uji keturunan generasi kedua E. pellita Seleksi merupakan salah satu tahapan yang dibangun di dua lokasi yang memiliki penting dalam proses pemuliaan tanaman untuk karakteristik klimatologis dan tanah yang mendapatkan benih yang unggul (Zobel & berbeda. Hasil penelitian diharapkan akan Talbert, 1984). Kegiatan seleksi dilaksanakan memberikan manfaat dalam memperbaiki melalui pemilihan pohon induk yang unggul strategi seleksi pada kebun benih E. pellita secara genetik di dalam uji keturunan sehingga sehingga potensi perolehan genetik dan mampu menghasilkan keturunan yang baik. produktivitasnya bisa lebih ditingkatkan pada Salah satu tolok ukur terpenting dalam kondisi lahan tanam yang bervariasi, baik pada pelaksanaan seleksi adalah diperolehnya lahan yang optimal maupun sub optimal bagi perolehan genetik (genetic gain) dan pertumbuhan E. pellita. peningkatan produktivitas tanaman. Namun demikian terdapat banyak faktor yang dapat II. BAHAN DAN METODE mempengaruhi keberhasilan dan efektivitas A. Bahan seleksi, khususnya berkaitan dengan strategi Uji keturunan penyerbukan bebas (open seleksi pada sebaran lokasi uji keturunan yang pollinated progeny trial) generasi kedua

26 Interaksi Famili × Lokasi pada Uji Keturunan Generasi Kedua Eucalyptus pellita Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Nirsatmanto

E. pellita yang dibangun Balai Besar Penelitian dalam plot (within-plot selection) telah dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan dilakukan pada masing-masing uji keturunan Tanaman Hutan Yogyakarta di dua lokasi, yaitu pada umur 2 tahun (sesaat setelah pengukuran di Wonogiri, Jawa Tengah dan Pelaihari, pada umur 2 tahun) dengan intensitas Kalimantan Selatan (Leksono, Nirsatmanto, penjarangan sebesar 40% (Wonogiri) dan 60% Setyaji, & Surip, 2005). Uji keturunan (Pelaihari). Deskripsi uji keturunan generasi kemudian secara bertahap dikonversi menjadi kedua E. pellita dan kondisi lingkungan plot uji keturunan melalui penjarangan. disajikan pada Tabel 1. Penjarangan seleksi melalui penebangan pohon

Tabel 1. Deskripsi uji keturunan generasi kedua E. pellita, kondisi klimatologis dan jenis tanah Lokasi Uraian Wonogiri Pelaihari 07 0 32' – 80 15' LS 3 058 ' - 4 0 08' LS Geografis 110 0 41' -111o18' BT 114 037 ' - 114 0 42' BT Ketinggian tempat (m dpl) 141 m 15 m Tipe iklim C (Schmidt dan Ferguson) B (Schmidt dan Ferguson) Curah hujan (mm/tahun) 1.878 mm/tahun 2.730 mm/tahun Suhu (o C) 21 0 C - 33 0 C 22 0 C – 33 0 C Jenis tanah Vertisols Ultisols Tahun tanam 2004 2003 Jumlah famili 49 49 Provenans Indonesia, Papua Nugini Indonesia, Papua Nugini rancangan acak lengkap berblok rancangan acak lengkap berblok Rancangan percobaan (RALB), 4 blok, masing-masing plot (RALB), 10 blok, masing-masing 5 pohon per plot) plot 5 pohon per plot) Jarak tanam 4 × 1,5 m 4 × 1,5 m Sumber: Leksono et al. (2005)

B. Metode penelitian 2. Analisis data 1. Pengumpulan data a) Analisis Varians Pada masing-masing uji keturunan, tinggi Data rata-rata plot, yaitu rata-rata semua total tanaman dan diameter setinggi dada diukur individu tanaman dari setiap famili di dalam pada umur 2 dan 4 tahun. Pada umur 2 tahun setiap blok, dilakukan analisis varians pengukuran tinggi dan diameter dilakukan menggunakan dua model, yaitu 1) analisa data sebelum penjarangan pertama dilaksanakan. satu lokasi dan 2) analisa data multi-lokasi Pengukuran tinggi tanaman dilaksanakan (Johnson, 1992; Matheson & Raymond, 1984): menggunakan galah ukur, sedangkan untuk Satu lokasi diameter menggunakan pita ukur diameter Yij =  + Bi + Fj+ Eij...... (2) (diameter tape). Data tinggi dan diameter dimana : digunakan untuk menghitung volume batang Yij : pengamatan rata-rata plot (famili ke- dengan rumus (Wahyu Edi, komunikasi pribadi, j di dalam blok ke-i) 7 Oktober 2015):  : rata-rata umum V= exp (-10,8706) × T1,2596 × D1,93168...... (1) Bi : pengaruh blok ke-i, keterangan: Fj : pengaruh famili ke-j

D : diameter setinggi dada (cm) Eij : galat T : tinggi pohon (meter)

27 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 11 No. 2, Desember 2017, p. 25 - 39

Multi-lokasi Yijk =  + Li + B (L)ji + Fk + FLki + Eijk...... (3) Estimasi korelasi genetik Type-B untuk dimana : sifat yang sama antarlokasi ke-x dan ke-y Yijk : pengamatan rata-rata plot (famili ke-k di dalam blok ke-j dan lokasi dihitung dengan rumus sebagai berikut ke-i, (Yamada, 1962): 2 2 2  : rata-rata umum rB =  f/( f +  fl) ...... (7) dimana: L : pengaruh lokasi ke-i i 2  f : komponen varians famili B (L)ji : pengaruh blok ke-j dalam lokasi 2 ke-i  fl : komponen varians interaksi famili × lokasi Fk : pengaruh famili ke-k FLki : pengaruh interaksi famili ke-k dan d) Perolehan genetik lokasi ke-i Koefisien bobot masing-masing sifat Eijk : galat Semua variabel dalam penelitian ini dalam penghitungan indeks seleksi untuk dianggap sebagai pengaruh random/random penentuan rangking famili pada satu lokasi dan effect, kecuali variabel blok dan lokasi. multi-lokasi dihitung menggunakan prosedur (Burdon, 1979): b) Nilai heritabilitas -1 b = Pf × Gf × a ...... (8) Nilai heritabilitas famili dihitung pada dimana: b : vektor koefisien bobot masing- satu lokasi dan multi-lokasi dengan masing sifat menggunakan rumus masing-masing sebagai Pf : matriks varians dan kovarians berikut (Johnson, 1992; Wright, 1976): fenotipik (ukuran 3 × 3 untuk satu Satu lokasi lokasi dan 6 × 6 untuk multi-lokasi) Gf : matriks varians dan kovarians 2 2 2 2 h f =  f / [ e/B +  f ] ...... (4) genetik a : vektor bobot ekonomi masing- Multi-lokasi masing sifat (dalam penelitian 2 2 2 2 2 dihitung sebagai invers fenotipik h f =  f/ [ f +  fl /L+  e/BL] ...... (5) dimana: standar deviasi) 2 h f : heritabilitas famili Selanjutnya taksiran nilai perolehan 2  f : komponen varians famili genetik masing-masing sifat sebagai respons 2  fl : komponen varians interaksi famili seleksi dihitung dengan menggunakan rumus × lokasi (Hazel, 1943): 2 ’ ’ ½  e : komponen varians eror Δg = i x Gf x b/(b x Pf x b) ...... (9) B : jumlah blok per lokasi dimana: L : jumlah lokasi i : intensitas seleksi (diasumsikan 1 untuk memudahkan c) Korelasi genetik penghitungan)

Estimasi korelasi genetik antarsifat pada Gf : matriks varians dan kovarian satu lokasi dihitung dengan rumus sebagai genetik berikut: Pf : matriks varian dan kovarian 2 2 ½ fenotipik ra = f(xy) / ( f(x) x  f(y)) ...... (6) dimana: b : vektor koefisien bobot masing- masing sifat ra : korelasi genetik 2 Untuk mengetahui respons perolehan  f(x) : komponen varians famili sifat ke-x 2 genetik hasil seleksi tidak langsung (seleksi  f(y) : komponen varians famili sifat ke-y berdasarkan lokasi yang lain), ukuran matrik Gf’ f(xy) : komponen kovarians famili sifat ke-x dan sifat ke-y yang digunakan adalah 6 × 6 yang tersusun atas

28 Interaksi Famili × Lokasi pada Uji Keturunan Generasi Kedua Eucalyptus pellita Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Nirsatmanto matrik varians dan kovarians genetik dari E. pellita dibandingkan Wonogiri (Leksono, masing-masing lokasi berdimensi 3 × 3 dan 2009; Sunarti, Na’iem, Hardiyanto, & Indrioko, matrik Type-B kovarians berdimensi 3 × 3 2013). Uji keturunan E. pellita generasi kedua (Nirsatmanto et al., 1996). di Pelaihari menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan uji keturunan III. HASIL DAN PEMBAHASAN generasi pertama pada beberapa tapak di A. Pertumbuhan tanaman Sumatera. Hardiyanto (2003) melaporkan pertumbuhan E. pellita umur 2 tahun dari Pertumbuhan uji keturunan E. pellita beberapa provenans yang ditanam di Sumatera generasi kedua di Pelaihari, Kalimantan Selatan Selatan pada tanah podsolik dan curah hujan dan Wonogiri, Jawa Tengah umur 2 dan 4 tahun 2700 mm/tahun berkisar 8 m - 9,8 m (tinggi) disajikan pada Tabel 2. Secara umum uji dan 7,2 – 8,3 cm (diameter). Sementara itu keturunan di Pelaihari menunjukkan Brawner et al. (2010) melaporkan pertumbuhan pertumbuhan tinggi dan diameter 2 – 3 kali E. pellita umur 2 tahun di Sumatera Utara pada lebih cepat dibandingkan dengan di Wonogiri. tanah andisol dan curah hujan 2000-3000 Hal ini disebabkan adanya perbedaan tapak mm/tahun berkisar 7,8 m – 9,2 m (tinggi) dan (jenis tanah dan kondisi klimatologis) di antara 8,6 cm – 9 cm (diameter). kedua lokasi. Pelaihari memiliki tapak (jenis tanah) yang lebih baik untuk pertumbuhan

Tabel 2. Pertumbuhan tananam uji keturunan generasi kedua Eucalyptus pellita di Pelaihari dan Wonogiri umur 2 dan 4 tahun Pelaihari Wonogiri Sifat 2 tahun 4 tahun 2 tahun 4 tahun Tinggi (m) 12,17±0,05 18,81±0,98 4,02±0,05 10,50±0,09 Diameter batang (cm) 9,59±0,05 16,16±0,08 3,76±0,05 8,94±0,09 Volume batang (x 10-3 m3) 38,74±0,49 175,85±2,54 1,96±0,08 28,50±0,74

Walaupun menunjukkan pertumbuhan lokasi di Wonogiri dan ±140 (×10-3) m3 untuk yang berbeda (Tabel 2), riap pertumbuhan tinggi lokasi di Pelaihari. dari umur 2 tahun ke 4 tahun di kedua plot uji Penjarangan seleksi di dalam plot diduga keturunan menunjukkan tren yang sama, yaitu juga telah memberikan pengaruh pada berkisar ±6 m. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan riap diameter batang E. pellita perbedaan pertumbuhan diduga tidak terlalu umur 4 tahun. Rasio penjarangan seleksi plot uji mempengaruhi ekspresi riap tumbuh tinggi keturunan di Wonogiri hanya 40% (masih tanaman pada dua rentang waktu pengamatan di tersisa 3 pohon per plot), sementara itu dalam plot uji keturunan generasi kedua penjarangan seleksi di Pelaihari sebesar 60% E. pellita. Tekanan terhadap pertumbuhan tinggi (masih tersisa 2 pohon per plot). Hal ini tanaman di Wonogiri diduga lebih disebabkan mengindikasikan bahwa tanaman E. pellita karena kondisi tapak, khususnya pada tahap sangat sensitif terhadap kerapatan tegakan dan awal pertumbuhan tanaman. Sementara untuk kompetisi antar individu tanaman. Pertumbuhan diameter batang, terdapat perbedaan riap pada riap diameter selanjutnya juga telah kisaran ±5 cm untuk Wonogiri dan ±7 cm untuk mempengaruhi besarnya riap volume batang Pelaihari. Begitu pula volume batang (Tabel 2). Hal ini diduga karena volume batang memberikan perbedaan riap pada kisaran angka dihitung sebagai fungsi dari tinggi tanaman dan yang lebih besar, yaitu ±26 (×10-3) m3 untuk diameter batang dimana proporsi diameter batang memberikan pengaruh yang lebih besar

29 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 11 No. 2, Desember 2017, p. 25 - 39 dibandingkan tinggi, sebagaimana terlihat pada Sementara itu ekspresi variasi genetik belum persamaan yang digunakan (Rumus 1). terlihat secara nyata pada sifat diameter umur 2 Optimalisasi pertumbuhan diameter dan tahun di Wonogiri. kerapatan tegakan nampaknya akan sangat Variasi genetik yang besar pada uji menguntungkan dalam peningkatan volume keturunan E. pellita juga disebabkan oleh tegakan E. pellita. Clutter, Fortson, Pienaar, komposisi materi genetik dan pola rancangan Britste, dan Bailey (1983) menyatakan bahwa percobaan yang digunakan. Uji keturunan volume tegakan tidak hanya berhubungan dibangun menggunakan famili-famili dengan dengan volume pohon tetapi juga berhubungan sebaran populasi asal yang cukup lebar yang dengan faktor lain, seperti pertumbuhan meliputi provenans dari Indonesia dan Papua diameter, kerapatan tegakan dan tempat tumbuh. Nugini (Tabel 1). Sebagaimana dilaporkan pada beberapa studi bahwa E. pellita memiliki variasi B. Analisis satu lokasi genetik antar populasi yang besar (House & 1. Analisis varians Bell, 1996). Uji keturunan generasi kedua Hasil analisis varians terhadap tinggi, E. pellita dibangun dengan rancangan populasi diameter dan volume batang pada uji keturunan tunggal dimana famili-famili yang diuji generasi kedua E. pellita disajikan pada Tabel 3. merupakan gabungan dari berbagai provenans Famili memberikan pengaruh yang nyata pada yang berbeda (Leksono et al., 2005). Oleh seluruh sifat yang diamati, kecuali sifat diameter karena itu perlu dicatat di sini bahwa pengaruh umur 2 tahun pada plot uji keturunan di variasi provenans diduga telah memberikan Wonogiri. Hal ini menunjukkan bahwa variasi kontribusi yang cukup besar pada variasi famili, genetik yang diekspresikan oleh pertumbuhan sehingga diduga telah memberikan bias estimasi famili yang diuji adalah cukup besar, walaupun yang lebih tinggi (over estimated) pada kedua lokasi plot uji memiliki tingkat kesuburan besarnya variasi famili. dan kondisi tapak yang sangat berbeda.

Tabel 3. Nilai kuadrat tengah pada analisis varians terhadap sifat tinggi, diameter dan volume batang pada uji keturunan generasi kedua Eucalyptus pellita di Pelaihari dan Wonogiri umur 2 dan 4 tahun Sumber Pelaihari Wonogiri Sifat Variasi db 2 tahun 4 tahun db 2 tahun 4 tahun Tinggi Blok 9 20,1016 62,7622 3 1,0086 28,5104 Famili 48 3,7913(p<0,0003) 11,0703(p<0,0001) 48 1,3555(p<0,0253) 4,3380(p<0,0069) Galat 397 1,9460 4,4721 131 0,8695 2,4738 Diameter Blok 9 4,6927 14,8264 3 4,0686 12,3936 Famili 48 4,0658(p<0,0001) 13,2762(p<0,0001) 48 1,4818(p<0,0704) 4,0565(p<0,0016) Galat 397 1,2531 5,0739 131 1,0516 2,4738 Volume Blok 9 736,3472 8276,1113 3 0,7756 1150,1823 Famili 48 346,2201(p<0,0001) 8092,4585(p<0,0001)) 48 3,3147(p<0,0420) 262,7217(p<0,0082) Galat 397 133,1201 3093,3501 131 2,2295 151,2873 Keterangan: Angka dalam kurung adalah nilai tingkat uji signifikansi

2. Heritabilitas Wonogiri pada seluruh sifat dan umur. Nilai Hasil penghitungan estimasi nilai heritabilitas famili di kedua lokasi plot uji heritabilitas famili pada uji keturunan generasi keturunan termasuk kategori sedang - tinggi kedua E. pellita di Pelaihari dan Wonogiri (Cotterill, 1987). disajikan pada Tabel 4. Secara umum nilai Besarnya nilai heritabilitas merupakan heritabilitas famili menunjukkan nilai yang cerminan dari pengaruh variasi famili yang diuji lebih besar di Pelaihari dibandingkan dengan di di uji keturunan. Terdapat perbedaan nilai

30 Interaksi Famili × Lokasi pada Uji Keturunan Generasi Kedua Eucalyptus pellita Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Nirsatmanto heritabilitas antarsifat pada kedua lokasi plot uji lebih cepat sehingga menekan munculnya keturunan di mana diameter dan volume batang variasi genetik pada diameter dan volume menunjukkan nilai heritabilitas yang lebih besar batang (Foster, 1986; Muir, 2005). dibandingkan dengan tinggi tanaman, kecuali 3. Korelasi genetik pada umur 2 tahun di Wonogiri. Hal ini Hasil penghitungan nilai korelasi genetik sebagaimana terlihat pada lemahnya pengaruh dan korelasi fenotipik antarsifat yang diamati di variasi famili untuk sifat diameter dan volume kedua uji keturunan generasi kedua E. pellita batang umur 2 tahun di Wonogiri (Tabel 3) disajikan pada Tabel 5. Secara umum korelasi yang berdampak pada nilai heritabilitas yang genetik menunjukkan nilai yang lebih kuat paling rendah dibandingkan dengan tinggi (>0,9) dibandingkan dengan korelasi fenotipik tanaman (Tabel 4). di kedua lokasi kebun benih.

Tabel 4. Estimasi nilai heritabilitas famili pada uji keturunan generasi kedua Eucalyptus Tabel 5. Hasil penghitungan nilai korelasi genetik pellita di Pelaihari dan Wonogiri umur 2 dan korelasi fenotipik antarsifat yang dan 4 tahun diamati pada uji keturunan generasi kedua Eucalyptus pellita di Pelaihari dan Pelaihari Wonogiri Sifat Wonogiri umur 2 dan 4 tahun 2 tahun 4 tahun 2 tahun 4 tahun Umur Tinggi 0,46 0,56 0,34 0,35 Sifat 2 tahun 4 tahun Diameter 0,73 0,63 0,28 0,48 Tinggi Diameter Tinggi Diameter Volume 0,64 0,61 0,31 0,37 Pelaihari Tinggi - 0,94 - 0,70 Secara umum besarnya nilai heritabilitas Diameter 0,78 - 0,63 - Wonogiri menunjukkan bahwa ekspresi pengaruh variasi Tinggi - 0,96 - 0,99 famili pada uji keturunan generasi kedua Diameter 0,95 - 0,88 - E. pellita terlihat lebih nyata pada lokasi dengan Keterangan: Angka bagian atas diagonal kondisi tapak yang cocok bagi pertumbuhan merupakan nilai korelasi genetik dan E. pellita. Hal ini sebagaimana terlihat pada bagian bawah diagonal merupakan nilai korelasi fenotipik besarnya nilai heritabilitas famili di lokasi Pelaihari dibandingkan dengan di Wonogiri Lemahnya korelasi genetik antara sifat (Tabel 4). Variasi genetik cenderung akan diameter batang dengan tinggi tanaman pada semakin tinggi pada populasi tanaman yang umur 4 tahun di Pelaihari (0,70) diduga sebagai memiliki pertumbuhan yang lebih besar dan dampak dari pengaruh penjarangan seleksi kondisi lingkungan yang lebih sesuai (Carson, dalam plot yang telah dilaksanakan sebanyak 1991; Cotterill & Dean, 1988). Namun dua kali (rasio penjarangan 60%). Penjarangan demikian, terdapat perbedaan tren nilai seleksi dilaksanakan dengan prioritas seleksi heritabilitas antara umur 2 dengan 4 tahun di berdasarkan tingkat pertumbuhan tanaman di masing-masing lokasi. Di Pelaihari, nilai dalam masing-masing plot (5 tree-plot) dan heritabilitas tinggi cenderung naik dari umur 2 kurang mempertimbangkan jarak antar tanaman. tahun ke umur 4 tahun, sedangkan untuk Pengaruh pembukaan ruang tumbuh setelah diameter batang dan volume batang heritabilitas penjarangan ini diduga memacu pertumbuhan cenderung turun. Di Wonogiri, nilai heritabilitas diameter yang lebih cepat namun bervariatif cenderung naik dari umur 2 tahun ke umur 4 sesuai dengan ruang tumbuh yang ada pada tahun pada semua sifat yang diamati. Hal ini masing-masing famili. Sementara itu kondisi diduga disebabkan karena lebih besarnya tingkat yang sama tidak terjadi pada plot uji keturunan kompetisi yang terjadi antar individu tanaman di di Wonogiri, karena pertumbuhan tanaman yang Pelaihari karena pertumbuhan tanaman yang lebih lambat dan penjarangan seleksi

31 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 11 No. 2, Desember 2017, p. 25 - 39 dilaksanakan dengan rasio yang lebih rendah (multiple-trait selection), seleksi pada kedua uji (40%). Pada jenis ekaliptus lainnya, Kien, keturunan generasi kedua E. pellita ini akan Jansson, Harwood, dan Thinh, (2009) juga telah lebih efektif apabila sifat diameter batang melaporkan adanya pengaruh tingkat diberikan bobot kriteria seleksi yang lebih besar penjarangan seleksi yang tinggi terhadap dibandingkan dengan tinggi tanaman. Hal ini distribusi variasi genetik, nilai heritabilitas dan disamping karena nilai heritabilitas yang korelasi genetik pada uji keturunan cenderung lebih besar (Tabel 4) dan korelasi E. urophylla. Secara umum penjarangan seleksi genetik antarsifat yang tinggi, diameter batang cenderung akan melambungkan (inflated) merupakan sifat yang paling mudah untuk estimasi nilai heritabilitas (Matheson & diukur / diamati di lapangan. Raymond, 1984). C. Analisis multi lokasi Korelasi genetik antarsifat yang cukup kuat pada kedua uji keturunan ini akan 1. Analisis varians memberikan implikasi terhadap efisiensi seleksi Analisis multi lokasi dilakukan dengan dan perolehan genetik yang dihasilkan. Kriteria menggabungkan data dari kedua plot uji seleksi berdasarkan tinggi maupun diameter keturunan generasi kedua E. pellita di Pelaihari batang akan memberikan nilai yang positif pada dengan Wonogiri. Penggabungan data dilakukan perbaikan sifat volume batang. Sebagaimana pada setiap umur pengamatan, umur 2 tahun dan diketahui bahwa volume batang merupakan 4 tahun untuk setiap sifat yang diamati, tinggi, salah satu variabel pertumbuhan tanaman yang diameter dan volume. Hasil analisis varians banyak digunakan sebagai tolok ukur multi lokasi masing-masing sifat sebagaimana produktivitas tegakan tanaman hutan. Namun disajikan pada Tabel 6. demikian, dalam rangka seleksi multi sifat

Tabel 6. Nilai kuadrat tengah pada analisis varians multi lokasi terhadap sifat tinggi, diameter, volume batang pada uji keturunan generasi kedua Eucalyptus pellita di Pelaihari dan Wonogiri umur 2 dan 4 tahun Umur Kuadrat tengah Sumber variasi db (tahun) Tinggi Diameter Volume 2 Lokasi 1 8797,04 4608,14 180676,62 Blok (Lokasi) 12 15,35 4,68 60,91 Famili 48 3,97 (p<0,0027) 3,93 (p<0,0001) 256,99 (p<0,3566) Famili ×Lokasi 48 1,17 (p<0,9384) 1,61 (p<0,0682) 92,53 (p<0,6290) Galat 528 1,67 1,20 100,64 4 Lokasi 1 9069,01 6661,17 2768016,25 Blok (Lokasi) 12 53,56 14,79 6463,81 Famili 48 12,90 (p<0,0001) 12,89 (p<0,0002) 6455,84(p<0,1725) Famili×Lokasi 48 2,50 (p<0,9758) 4,44 (p<0,4307) 1899,23 (p<0,8249) Galat 528 3,97 4,33 2363,41 Keterangan: Angka dalam kurung adalah nilai tingkat uji signifikansi

Secara umum pada analisis multi lokasi, besarnya variasi genetik yang ada pada uji famili menunjukkan perbedaan yang sangat keturunan generasi kedua E. pellita. Secara nyata pada seluruh sifat yang diamati, kecuali umum perbedaan pertumbuhan tanaman karena volume batang. Tingginya pengaruh famili pada umur (2 dan 4 tahun) dan tingkat kesuburan analisis multi lokasi ini juga merupakan tapak pada masing-masing lokasi tidak cerminan dari tingginya pengaruh famili pada mengurangi besarnya variasi genetik. masing-masing lokasi (Tabel 3). Perbedaan Hasil pengamatan interaksi antara faktor umur dan lokasi mampu mempertahankan genetik dan lingkungan menunjukkan bahwa

32 Interaksi Famili × Lokasi pada Uji Keturunan Generasi Kedua Eucalyptus pellita Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Nirsatmanto secara umum interaksi tidak memberikan Hodge (1989), bahwa efisiensi seleksi melalui pengaruh yang nyata. Hal ini menunjukkan analisis multi lokasi juga dipengaruhi oleh bahwa kinerja famili relatif stabil pada kedua besarnya korelasi genetik yang dihitung lokasi uji keturunan walaupun terdapat berdasarkan hasil korelasi genetik Tipe-B. perbedaan kondisi tapak. Di samping itu 2. Heritabilitas perbedaan ratio penjarangan seleksi dalam plot Hasil estimasi heritabilitas famili pada yang telah dilakukan juga tidak memberikan analisis multi lokasi dua uji keturunan generasi pengaruh yang nyata terhadap kestabilan kedua E. pellita disajikan pada Tabel 8. Secara genetik E. pellita. Shelbourne (1972) umum besarnya nilai heritabilitas masuk menyatakan bahwa variasi karena adanya kategori sedang – tinggi dan sedikit bervariatif interaksi genetik dengan lingkungan akan antar tiga sifat yang diamati. Namun demikian, memberikan dampak yang cukup besar dalam nilai heritabilitas masing-masing sifat relatif pelaksanaan seleksi apabila besarnya proporsi stabil pada dua umur tanaman. rasio interaksi terhadap variasi famili melebihi angka 50%. Dalam penelitian ini rasio interaksi famili × lokasi terhadap variasi famili cukup Tabel 8. Estimasi nilai heritabilitas famili pada analisis multi lokasi uji keturunan rendah pada semua sifat, yaitu berkisar 11%- generasi kedua Eucalyptus pellita umur 2 48% pada umur 2 tahun, dan 3%-24% pada dan 4 tahun di Pelaihari dan Wonogiri umur 4 tahun. Umur Volume Tinggi Diameter Kestabilan famili pada kedua lokasi plot (tahun) batang 2 0,76 0,54 0,65 uji keturunan juga terlihat dari tingginya nilai 4 0,86 0,65 0,74 korelasi genetik Tipe-B (Tabel 7). Secara umum korelasi Tipe-B dari dua uji keturunan generasi Nilai heritabilitas tertinggi ditemukan kedua E. pellita menunjukan nilai yang lebih pada sifat tinggi tanaman, diikuti oleh volume besar untuk sifat tinggi tanaman (>0,85) diikuti batang dan diameter. Hal ini mencerminkan oleh volume batang dan diameter. bahwa pada analisis multi lokasi sifat tinggi tanaman memiliki variasi genetik yang lebih Tabel 7. Korelasi genetik Tipe-B pada analisis besar dibandingkan dengan kedua sifat lainnya. multi lokasi uji keturunan generasi kedua Kondisi ini berbeda dengan nilai heritabilitas Eucalyptus pellita umur 2 dan 4 tahun di pada analisis satu lokasi di mana tinggi Pelaihari dan Wonogiri menunjukkan nilai yang lebih rendah (Tabel 4). Umur Volume Tinggi Diameter (tahun) Batang Penggabungan data dua lokasi pada analisis 2 0,89 0,74 0,67 multi lokasi lebih meningkatkan variabilitas 4 0,94 0,80 0,87 pada sifat tinggi tanaman dibandingkan dengan

diameter dan volume batang. Di samping itu, Korelasi genetik pada umur 4 tahun walaupun interaksi famili × lokasi tidak menunjukkan nilai yang lebih besar menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel 6), dibandingkan umur 2 tahun. Sifat dengan variasi semakin melemahnya interaksi, sebagaimana famili yang besar dan interaksi famili × lokasi ditunjukkan naiknya nilai p, cenderung akan yang lemah cenderung memiliki nilai korelasi menaikkan estimasi heritabilitas famili. genetik yang lebih tinggi. Kuatnya nilai korelasi ini memberikan indikasi besarnya potensi 3. Rangking famili pemanfaatan informasi kinerja famili dari kedua Hasil penghitungan rangking famili lokasi dalam pelaksanaan seleksi uji keturunan dilaksanakan dengan mengacu pada 2 model, generasi kedua E. pellita. Sebagaimana yaitu 1) model seleksi langsung (direct disampaikan oleh Bourdon (1977); White dan selection) berdasarkan data famili terpilih pada

33 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 11 No. 2, Desember 2017, p. 25 - 39 masing-masing lokasi, dan 2) model gabungan gabungan multi lokasi (Gambar 1) juga (combined selection) familli terpilih menunjukkan bahwa nilai korelasi uji keturunan berdasarkan data gabungan dari dua lokasi uji di Pelaihari lebih besar (r=0,87-0,92) keturunan. Selanjutnya nilai indeks untuk dibandingkan nilai di Wonogiri (r=0,57-0,81) menentukan rangking famili dihitung pada kedua umur pengamatan. Nilai korelasi menggunakan indeks seleksi multi sifat semakin tinggi pada umur 4 tahun dibandingkan (multiple traits-selection index) berdasarkan dua pada umur 2 tahun. Semakin tinggi nilai sifat yang diamati yaitu tinggi dan diameter. koefisien korelasi akan mencerminkan semakin Hasil penentuan rangking famili tingginya kesesuaian dan kestabilan rangking berdasarkan nilai indeks seleksi multi-sifat famili pada satu lokasi uji keturunan terhadap menunjukkan bahwa secara umum rangking rangking famili gabungan kedua lokasi. Hal ini famili dari 49 famili umur 2 tahun dan 4 tahun menunjukkan bahwa rangking famili pada uji menunjukkan kestabilan yang bervariatif, keturunan generasi kedua E. pellita relatif stabil walaupun hasil analisis varians berdasarkan satu walaupun terdapat perbedaan kondisi tapak sifat menunjukkan interaksi famili dan lokasi yang sangat ekstrem dan kondisi lain yang tidak berbeda nyata (Tabel 6). Kisaran deviasi memungkinkan terjadinya ekspresi genetik yang rata-rata famili, yaitu deviasi antara rangking bervariatif, seperti semakin tua umur tanaman famili pada seleksi langsung terhadap rangking dan potensi peningkatan kompetisi antar famili pada seleksi gabungan, juga bervariatif. individu tanaman atau mortalitas (Foster, 1986). Sebagian besar jumlah famili berada pada 4. Perolehan genetik kisaran deviasi 25% - 50%. Sementara itu hanya Perolehan genetik dihitung berdasarkan sebagian kecil (<10 famili) berada pada kisaran tiga model seleksi pada analisis multi lokasi, deviasi di atas 50%. Ditemukannya beberapa yaitu 1) perolehan genetik sebagai hasil dari famili yang interaktif pada penelitian ini seleksi langsung (direct selection), 2) perolehan memberikan indikasi bahwa walaupun interaksi genetik sebagai hasil dari seleksi tidak langsung famili × lokasi tidak berbeda nyata berdasarkan (indirect selection), 3) perolehan genetik analisis satu sifat (Tabel 6), perubahan rangking sebagai hasil dari seleksi gabungan dua lokasi famili masih bisa terjadi pada analisis multi- (combined selection). Hasil perolehan genetik sifat (Namkoong, Kang, & Brouard, 1988). pada dua uji keturunan generasi kedua E. pellita Korelasi nilai indeks rangking famili satu umur 2 dan 4 tahun disajikan pada Gambar 2. lokasi terhadap nilai indeks rangking famili

Gambar 1. Korelasi antara indeks analisis satu lokasi terhadap indeks analisis multi lokasi pada dua plot uji keturunan generasi kedua Eucalyptus pellita umur 2 tahun dan 4 tahun

34 Interaksi Famili × Lokasi pada Uji Keturunan Generasi Kedua Eucalyptus pellita Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Nirsatmanto

Keterangan: dbh = diameter setinggi dada

Gambar 2. Perolehan genetik pada dua uji keturunan generasi kedua Eucalyptus pellita umur 2 tahun dan 4 tahun di Pelaihari dan Wonogiri. ( seleksi langsung, seleksi tidak langsung, seleksi gabungan) Secara umum perolehan genetik umur 4 volume batang pada pohon ukuran kecil tahun menunjukkan nilai lebih besar dibandingkan pohon ukuran besar. dibandingkan umur 2 tahun dengan nilai Walaupun interaksi tidak berbeda nyata tertinggi ditemukan pada volume batang. Nilai (Tabel 6), adanya beberapa famili yang perolehan genetik hasil seleksi langsung interaktif di kedua lokasi berdasarkan nilai terbesar ditemukan pada uji keturunan di indeks seleksi multi-sifat telah memberikan Wonogiri untuk sifat volume batang umur 4 pengaruh pada nilai perolehan genetik yang tahun (15,8%) dan terendah pada uji keturunan bervariatif baik antarsifat maupun antar umur. di Pelaihari untuk sifat tinggi umur 2 tahun Sebagai perbandingan, nilai perolehan genetik (2,9%). Namun demikian besarnya perolehan uji keturunan generasi kedua E. pellita pada genetik volume batang di Wonogiri ini diduga penelitian ini lebih kecil dibandingkan lebih disebabkan adanya efek perbedaan ukuran perolehan genetik uji keturunan generasi skala metriknya (scale effect). Hal ini pertama E. pellita umur 20 bulan di Pelaihari sebagaimana terlihat perbedaan volume batang dimana perolehan genetik berkisar 6% – 7% di Pelaihari 6 kali lebih besar dibandingkan untuk sifat tinggi dan diameter (Kurinobu, volume batang di Wonogiri pada umur 4 tahun Nirsatmanto, & Leksono, 1996). Perbedaan nilai (Tabel 2). Zobel dan Talbert (1984) menyatakan perolehan genetik ini diduga karena turunnya bahwa karena adanya perbedaan ukuran variasi genetik yang terjadi pada uji keturunan pertumbuhan yang cukup besar, persentase generasi kedua. Hal ini sebagaimana superioritas cenderung melonjak tinggi pada ditunjukkan jumlah famili pada generasi

35 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 11 No. 2, Desember 2017, p. 25 - 39 pertama sebanyak 117 famili (Kurinobu et al., gabungan kedua lokasi uji keturunan akan lebih 1996), sedangkan jumlah famili terseleksi yang menguntungkan pada pasangan lokasi yang digunakan pada generasi kedua dalam penelitian memiliki variabilitas genetik yang lebih besar. ini sebanyak 49 famili. Zobel dan Talbert Secara umum uji keturunan di Wonogiri (1984) menyatakan bahwa jumlah famili yang merupakan pasangan yang optimal untuk tidak berkerabat (unrelated) cenderung semakin digunakan sebagai kriteria seleksi pada uji kecil seiring dengan peningkatan generasi keturunan di Pelaihari pada semua sifat yang pemuliaan yang dilampaui. diamati. Namun demikian analisis gabungan Analisis multi lokasi memberikan kedua lokasi mampu memberikan perolehan dampak positif yang lebih besar terhadap seleksi genetik yang lebih besar dibandingkan seleksi famili pada uji keturunan di Pelaihari tidak langsung pada semua sifat dan umur di sebagaimana ditunjukkan dengan semakin Pelaihari. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya perolehan genetik pada seleksi tidak walaupun kedua lokasi memiliki perbedaan langsung dan seleksi gabungan dibandingkan kondisi lingkungan yang cukup besar baik dengan seleksi langsung (Gambar 2). Sementara secara klimatologis maupun edaphis (Tabel 1), itu analisis multi lokasi tidak memberikan penggabungan data dari kedua lokasi uji perolehan genetik yang lebih baik terhadap keturunan mampu meningkatkan variasi antar seleksi pada uji keturunan di Wonogiri, famili yang diuji sehingga meningkatkan nilai khususnya pada umur 4 tahun dimana perolehan perolehan genetiknya. Peningkatan besarnya genetik analisis tidak langsung maupun variasi sebagaimana terlihat dari nilai gabungan menunjukkan nilai yang lebih rendah heritabilitas famili pada analisis multi lokasi dibandingkan analisis langsung. Hal ini terjadi (Tabel 7) dibandingkan nilai heritabilitas pada diduga karena adanya perbedaan besarnya analisa satu lokasi (Tabel 4). variabilitas genetik diantara kedua lokasi Perolehan genetik merupakan tolok ukur (Yamada, 1962). Uji keturunan di Pelaihari yang sangat penting dalam melihat efektifitas memiliki variabilitas yang lebih besar seleksi dan optimalisasi pengaruh interaksi dibandingkan dengan Wonogiri, sebagaimana genetik × lingkungan pada uji keturunan terlihat dari nilai heritabilitasnya (Tabel 4). generasi kedua E. pellita. Tidak adanya Pada umur 2 tahun, seleksi tidak langsung interaksi famili × lokasi pada uji keturunan dan seleksi gabungan memberikan nilai generasi kedua E. pellita pada penelitian ini perolehan genetik yang bervariatif pada masing- (Tabel 6) memberikan indikasi efektifitas yang masing sifat dan lokasi, sedangkan pada umur 4 lebih tinggi apabila seleksi dilaksanakan melalui tahun kedua model seleksi menunjukkan respon kombinasi data dari kedua lokasi plot uji yang spesifik pada masing-masing lokasi. keturunan, baik melalui seleksi tidak langsung Seleksi tidak langsung dan seleksi gabungan maupun seleksi gabungan. Dampak efektivitas memberikan nilai perolehan genetik yang seleksi ini terlihat cukup nyata khususnya pada rendah pada uji keturunan di Wonogiri. seleksi uji keturunan di Pelaihari. Nilai Sebaliknya seleksi tidak langsung maupun perolehan genetik hasil seleksi gabungan seleksi gabungan mampu memberikan nilai terbesar ditemukan pada sifat volume batang perolehan yang lebih besar pada uji keturunan di umur 4 tahun di Pelaihari, yaitu sebesar 17,2% Pelaihari. Hal ini menunjukkan bahwa (Gambar 2). Beberapa penelitian juga walaupun secara statistik interaksi famili × melaporkan diperolehnya efektivitas seleksi lokasi tidak ada, seleksi famili pada dua kebun yang lebih tinggi melalui penggabungan data benih generasi kedua E. pellita memerlukan dari beberapa lokasi uji keturunan: jenis kombinasi dan arah seleksi yang tepat. Dengan E. urophylla (Nirsatmanto et al., 1996), kata lain bahwa seleksi berdasarkan data

36 Interaksi Famili × Lokasi pada Uji Keturunan Generasi Kedua Eucalyptus pellita Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Nirsatmanto

A. mangium (Nirsatmanto, Suhaendi, & acaciivora symptom expression in a diverse Charomaini, 1996; Setyaji, 2013). Acacia mangium breeding population. Southern Forests: A Journal of Forest Science, 77(1), 83–90. IV. KESIMPULAN https://doi.org/10.2989/20702620.2015.1007 412 Interaksi famili × lokasi pada uji keturunan generasi kedua E. pellita umur 2 dan Burdon, R. D. (1979). Generalisation of multi-trait selection indices using information from 4 tahun di Pelaihari dan Wonogiri tidak several sites. New Zealand Journal of menunjukkan pengaruh yang nyata untuk sifat Forestry Science, 9(2), 145–152. tinggi, diameter dan volume batang. Secara Carson, S. D. (1991). Genotype x environment umum seleksi famili melalui penggabungan data interaction and optimal number of progeny dari kedua lokasi uji keturunan akan lebih test sites for improving Pinus radiata pine in New Zealand. New Zealand Journal of efektif dalam meningkatkan nilai perolehan Forestry Science, 21(1), 32–49. genetik. Analisis multi lokasi melalui seleksi Clutter, J. L., Fortson, J. C., Pienaar, L. V., Britste, gabungan (combined selection) dua uji G. H., & Bailey, R. L. (1983). Timber keturunan maupun seleksi tidak langsung Management : Quantitative Approach. New York, USA: John Willey & Sons. (indirect selection) memberikan efektivitas seleksi yang lebih besar dibandingkan seleksi Cotterill, P. P. (1987). Short Note: On estimating heritability according to practical langsung (direct selection) untuk uji keturunan applications. Silvae Genetica. di Pelaihari umur 4 tahun dengan peningkatan Cotterill, P. P., & Dean, C. A. (1988). Changes in the nilai perolehan genetik mencapai ±50%. genetic control of growth of radiata pine to 16 years and efficiencies of early selection. UCAPAN TERIMA KASIH Silvae Genetica, 37(3–4), 138–146. Retrieved from Tulisan merupakan bagian dari studi S-2 https://www.thuenen.de/media/institute/fg/P Penulis pada Pasca Sarjana Universitas Gadjah DF/Silvae_Genetica/1988/Vol._37_Heft_3- Mada. Ucapan terima kasih penulis sampaikan 4/37_3-4_138.pdf kepada Tim Peneliti Pemuliaan Akasia, Foster, G. S. (1986). Trends in genetic parameters Ekaliptus dan Jabon: Dr. Sri Sunarti, Teguh with stand development and their influence on early selection for volume growth in Setyaji S. Hut, M. Sc, Surip, S. Hut, M. Sc, Dwi Loblolly pine. Forest Science (Vol. 32). Kartikaningtyas, S. Hut, Bety Rahma Hardiyanto, E. B. (2003). Growth and genetic handayani, S. Hut, M. Sc, Dwi Siwi Y S. Hut., improvement of Eucalyptus pellita in South dan Maryono yang membantu dalam Sumatra, Indonesia. In J. W. Turnbull (Ed.), Eucalypts in Asia (pp. 82–88). Zhanjiang, pengumpulan serta analisis data. Guangdong, People’s Republic of China.

DAFTAR PUSTAKA Harwood, C. E., Hardiyanto, E. B., & Yong, W. C. (2015). Genetic improvement of tropical Bourdon, R. D. (1977). Genetic Correlation as a acacias: achievements and challenges. Concept for Studing Genotype-Enviroment Southern Forests: A Journal of Forest Interaction inf Forest Tree Breeding. Silvae Science, 77(1), 11–18. Genética, 6, 5–6. https://doi.org/10.2989/20702620.2014.9993 Brawner, J. T., Bush, D. J., Macdonell, P. F., 02 Warburton, P. M., & Clegg, P. A. (2010). Harwood, C. E., & Nambiar, E. K. S. (2014). Genetic parameters of red mahogany Sustainable plantation forestry in South-East breeding populations grown in the tropics. Asia. Canberra. Australian Forestry, 73(3), 177–183. https://doi.org/10.1080/00049158.2010.1067 Hazel, L. N. (1943). The genetic basis for 6324 constructing selection indexes. Genetics, 28, 476–490. Brawner, J. T., Japarudin, Y., Lapammu, M., Rauf, R., Boden, D., & Wingfield, M. J. (2015). House, A. P. N., & Bell, J. C. (1996). Genetic Evaluating the inheritance of Ceratocystis diversity, mating system and systematic

37 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 11 No. 2, Desember 2017, p. 25 - 39

relationships in two red mahoganies, Matheson, A. C., & Raymond, C. A. (1984). The Eucalyptus pellita and E. scias. Australian impact of genotype x environment Journal of Botany - AUST J BOT (Vol. 44). interactions on Australian Pinus radiata https://doi.org/10.1071/BT9960157 breeding programs. Australian Forest Research, 14, 11–25. Retrieved from Hung, T. D., Brawner, J. T., Meder, R., Lee, D. J., https://epubs.scu.edu.au/cpcg_pubs/615/ Southerton, S., Thinh, H., & Dieters, M. (2014). Estimates of genetic parameters for Muir, W. M. (2005). Incorporation of competitive growth and wood properties in Eucalyptus effects in forest tree or breeding pellita F. Muell. to support tree breeding in programs. Genetics, 170(3), 1247–1259. Vietnam. Annals of Forest Science (Vol. 72). https://doi.org/10.1534/genetics.104.035956 https://doi.org/10.1007/s13595-014-0426-9 Namkoong, G., Kang, H. C., & Brouard, J. S. (1988). Johnson, I. G. (1992). Family site interactions in Tree breeding: principles and strategies. radiata pine families in new south wales Springer-Verlag. australia. Silvae Genetica, 41(1), 55–62. Nirsatmanto, A., Seido, K., Kurinobu, S., Na’iem, Retrieved from M., Hardiyanto, E. B., & Suseno, O. H. https://eurekamag.org/research/007/343/0073 (1996). Analysis of provenance−progeny 43955.php tests of Eucalyptus urophylla established at Kien, N. D., Jansson, G., Harwood, C., & Thinh, H. two locations in Indonesia. In M. J. Dieters, H. (2009). Genetic control of growth and A. C. Matheson, D. G. Nikles, C. E. form in Eucalyptus urophylla in Northern Harwood, & S. M. Walker (Eds.), Tree Vietnam. Journal of Tropical Forest Science, improvement for sustainable tropical 21(1), 50–65. Retrieved from forestry: Proceeding of the QFRI-IUFRO http://www.jstor.org/stable/23616562 Conference, Caloundra, Australia. 27 October – 1 November 1996ent for Kurinobu, S., Nirsatmanto, A., & Leksono, B. Sustainable Tropical Forestry. Proceedings (1996). Prediction genetic gain by within-plot of QFRI-IUFRO Conference (pp. 206–207). selection in seedling seed orchards of Acacia Caloundra, Queensland, Australia: mangium and Eucalyptus with application of Queensland Forestry Research Institute, retrospective selection index: Tree Gynpie. improvement for sustainable tropical forestry. In M. J. Dieters, A. C. Matheson, D. G. Nirsatmanto, A., Suhaendi, H., & Charomaini, M. Nikles, C. E. Hrwood, & S. M. Walker (1996). Investigation on family - site (Eds.), QFRI-IUFRO Conf. (pp. 158–163). interaction of Acacia mangium seedling seed Caloundra, Queensland, Australia: orchard established at two locations in Queensland Forestry Research Institute, Indonesia. In A. Rimbawanto, A. Gympie. Widyatmoko, H. Suhaendi, & T. Furukoshi (Eds.), International Seminar Proceeding: Kurinobu, S., & Rimbawanto, A. (2002). Genetic Tropical Plantation Establishment, improvement of plantation species in Improving Productivity Through Genetic Indonesia-Summary of Project Achievement Practices (pp. 12–18). Yogyakarta, (JICA Forest Tree Improvement Phase II). In Indonesia: Forest Tree Improvement A. Rimbawanto & M. Susanto (Eds.), Research and Development Institute-Japan Proceedings of international conference on International Cooperation Agency. advances in genetic improvement of tropical tree species, 1-3 October 2002, Yogyakarta, Pinyopusarerk, K., & Harwood, C. E. (2010). Indonesia. Yogyakarta: Centre for Forest Advanced-generation breeding and Biotechnology and Tree Improvement. deployment of Acacia and Eucalyptus species and hybrids in Some Asian Countries. In H. Leksono, B. (2009). Breeding zones based on C. Sim, L. T. Hong, & R. Jalonen (Eds.), genotype-environment interaction in seedling International Symposium on Forest Genetic seed orchards of Eucalyptus pellita in Resources–Conservation and Sustainable Indonesia. Journal of Forestry Research, Utilization towards climate change 6(1), 74–84. mitigation and adaptation (pp. 104–107). Leksono, B., Nirsatmanto, A., Setyaji, T., & Surip. Kuala Lumpur, Malaysia: FRIM, APAFRI (2005). General information of seed source and Bioversity International. (F-2) of A. mangium, A. crassicarpa and E. Setyaji, T. (2013). Interaksi famili x lokasi pada uji pellita establishment in Wonogiri, Central keturunan generasi kedua Acacia mangium di Java. Yogyakarta. Sumatera dan Kalimantan. Jurnal Pemuliaan

38 Interaksi Famili × Lokasi pada Uji Keturunan Generasi Kedua Eucalyptus pellita Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Nirsatmanto

Tanaman Hutan, 7(1), 41–52. White, T. L., & Hodge, G. R. (1989). Predicting https://doi.org/10.20886/jpth.2013.7.1.41-52 breeding values with applications in forest tree improvement (Vol. 33). Springer Shelbourne, C. J. A. (1972). Genotype-environment Netherlands. Retrieved from interaction: its study and its implications in https://link.springer.com/book/10.1007%2F9 forest tree improvement. In IUFRO Genetics- 78-94-015-7833-2 SABRAO Joint Symposia (p. B-1(I), 1-28). Tokyo, Japan: The Government Forest Wright, J. W. (1976). Introduction to forest genetics Experiment Station of Japan. (United Kin). New York San Francisco: Academic Press Inc. (London) LTD. Sunarti, S., Na’iem, M., Hardiyanto, E. B., & https://doi.org/10.1016/B978-0-12-765250- Indrioko, S. (2013). Breeding strategy of 4.50023-X Acacia Hybrid (Acacia mangium × A. auriculiformis) to increase forest plantation Yamada, Y. (1962). Genotype by environment productivity in Indonesia. Jurnal Manajemen interaction and genetic correlation of the Hutan Tropika (Journal of Tropical Forest same trait under different environments. Management), XIX(2), 128–137. 遺伝學雑誌, 37(6), 498–509. https://doi.org/10.7226/jtfm.19.2.128 https://doi.org/10.1266/jjg.37.498 Tarigan, M., Roux, J., Van Wyk, M., Tjahjono, B., & Zobel, B., & Talbert, J. (1984). Applied forest tree Wingfield, M. J. (2011). A new wilt and die- improvement. New York, Brisbane, Toronto, back disease of Acacia mangium associated Singapore: John Willey and Sons. with Ceratocystis manginecans and C. acaciivora sp. nov. in Indonesia. South African Journal of Botany, 77(2), 292–304. https://doi.org/10.1016/j.sajb.2010.08.006

39 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 11 No. 2, Desember 2017, p. 25 - 39

40 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50

EMBRIOGENESIS SOMATIK ROTAN TOHITI (Calamus inops Becc. ex Heyne) Somatic embryogenesis of tohiti rattan (Calamus inops Becc. ex Heyne)

Yelnititis Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia email: [email protected]

Tanggal diterima: 16 Juni 2017, Tanggal direvisi: 9 Agustus 2017, Disetujui terbit: 18 April 2018

ABSTRACT The conventional propagation of tohiti rattan still faces problem because of infrequent fruiting season and limited seed production. Somatic embryogenesis is an alternative technique to solve the problem. The purpose of this experiment is to obtain the best growth regulator treatments for embryogenic callus and somatic embryo formation of tohiti rattan. Murashige and Skoog (MS) basal medium was used as growth medium. The experiment was conducted in three stages: seed germination, embriogenic callus induction and somatic embryo induction. MS medium without plant growth regulator was used for aseptic seed germination. MS medium supplemented with growth regulator of BA (Benzyl adenine) of 0.5 – 2.0 mg/l was used for embryogenic callus induction. MS medium supplemented with BA 1.0 mg/l in combination with hormone 2.4-D of 0.0 – 1.0 mg/l was used for somatic embryo induction. The seed germination percentage, visual performance on embryogenic callus and somatic embryo were observed. The results showed that the percentage of aseptically seed germination reached 90%. MS medium supplemented with 1.0 mg/l BA is the best media for embryogenic callus induction with friable, white and yellowish of callus which was observed after four months of induction culture. The BA of 1.0 mg/l in combination with 2.4-D of 1.0 mg/l provided the highest number of the formed somatic embryo.The performance of somatic embryos formation from this treatment was likely as zygotic embryo. Keywords: Murashige and Skoog, Benzyl adenin, somatic embryo, plantlet

ABSTRAK Perbanyakan rotan tohiti secara konvensional masih mempunyai beberapa masalah karena musim berbuah yang tidak menentu dan jumlah buah yang terbatas. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah ini adalah melalui teknologi embriogenesis somatik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan zat pengatur tumbuh terbaik pada induksi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik rotan tohiti. Media dasar Murashige dan Skoog (MS) digunakan sebagai media tumbuh. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap kegiatan, yaitu perkecambahan biji, induksi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik. Media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh digunakan untuk perkecambahan biji secara aseptik. Untuk induksi kalus embriogenik diberikan perlakuan BA (Benzyl adenine) konsentrasi (0,5 – 2,0 mg/l) pada media MS. Pada tahap induksi embrio somatik diberikan perlakuan BA 1 mg/l yang dikombinasikan dengan 2,4-D konsentrasi 0,0– 1,0 mg/l. Pengamatan dilakukan terhadap persentase biji berkecambah, penampilan visual kalus embriogenik dan embrio somatik yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase biji yang tumbuh secara aseptik mencapai 90%. Modifikasi media MS dengan penambahan BA 1,0 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk induksi kalus embriogenik. Kalus embriogenik yang terbentuk mempunyai tekstur remah, berwarna putih bening dan kekuningan pada empat bulan induksi. BA 1,0 mg/l yang dikombinasikan dengan 2,4-D 1,0 mg/l pada media MS memberikan jumlah embrio somatik terbanyak. Embrio somatik diperoleh dari perlakuan ini mempunyai penampilan yang sama seperti embrio zigotik. Kata kunci: Murashige dan Skoog, Benzyl adenine, embrio somatik, plantlet dari daerah pantai sampai pegunungan dengan I. PENDAHULUAN ketinggian 0 – 2900 meter diatas permukaan Rotan merupakan salah satu hasil hutan laut. Secara ekologis rotan tumbuh dengan bukan kayu (HHBK) yang mempunyai nilai subur di berbagai tempat, baik dataran rendah ekonomi cukup tinggi sebagai sumber devisa maupun agak tinggi terutama di daerah yang negara yang dalam pemanfaatannya banyak lembab (Kalima, 2008). melibatkan petani (Kalima & Jasni, 2010). Indonesia merupakan salah satu negara Rotan tumbuh secara alami dan tersebar mulai penghasil rotan terbanyak di dunia dengan 297

41 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50 jenis rotan yang termasuk ke dalam 9 marga jaringan somatik yang dapat berkembang (Witono, 1999), dimana 50 jenis diantaranya membentuk tanaman normal baru. Zhou et al., mempunyai nilai ekonomi tinggi. Menurut (2010) menyatakan bahwa embriogenesis Pribadi (2012), 85% produksi rotan dunia somatik adalah suatu metode perbanyakan berasal dari Indonesia. Namun demikian 90% vegetatif yang cepat dan efektif. Embriogenesis kebutuhan masih disuplai dari hutan alam dan somatik dapat dilakukan melalui dua cara yaitu hanya 10% yang berasal dari hasil budidaya secara langsung dan secara tidak langsung. rotan (Kalima & Jasni, 2015). Memperhatikan Embriogenesis somatik langsung adalah kondisi ini dalam Permenhut no. 19 tahun 2009 pembentukan embrio somatik yang langsung rotan telah ditetapkan sebagai salah satu dari jaringan eksplan sedangkan embriogenesis komoditas HHBK yang pengembangannya somatik tidak langsung adalah pembentukan perlu dilaksanakan dengan sistem budidaya. embrio somatik melalui proliferasi kalus Salah satu jenis rotan yang memiliki nilai (Hussein, Ibrahim, & Kiong, 2006). ekonomi tinggi adalah rotan tohiti (Calamus Embriogenesis somatik mempunyai beberapa inops Becc. ex Heyne). Batang rotan tohiti agak keuntungan antara lain tingkat multiplikasi yang keras dan tidak begitu mudah dibelah-belah tinggi, bibit yang dihasilkan seragam dan mudah sehingga sangat baik digunakan untuk digunakan pada medium cair sehingga cocok pembuatan mebel, penahan pasir di gurun pasir, sebagai salah satu teknologi yang perlu sandaran kapal, pengisi batang sepeda, dikembangkan dalam budidaya rotan. pengganti kerangka baja (Baharuddin & Media kultur dan zat pengatur tumbuh Taskirawati, 2009). Secara alami jenis ini (ZPT) yang tepat merupakan komponen penting tumbuh di daerah berbukit dan ditemukan yang akan mempengaruhi keberhasilan hampir di seluruh daratan Sulawesi. Namun embriogenesis somatik suatu jenis tanaman. demikian terdapat beberapa kendala dalam Muchtar, Winata, Wattimena, dan Yahya (1997) budidaya rotan tohiti karena musim berbuah melaporkan bahwa diantara dua jenis sitokinin yang tidak menentu dan ketersediaan biji yang yang digunakan, penggunaan BAP semakin menurun. Hal ini karena rotan tohiti (6-Benzylaminopurine) merupakan zat pengatur tumbuh tunggal dan tidak berumpun sehingga tumbuh yang paling baik untuk perbanyakan hanya dapat dipanen satu kali. Sementara itu tunas rotan manau. Namun demikian sampai selama ini perbanyakannya hanya dapat saat ini belum ada penelitian tentang teknik dilakukan dengan biji. Pemanenan melalui embriogenesis somatik pada budidaya rotan penebangan batang rotan sebelum masa tohiti. Untuk itu penelitian ini dilakukan dalam reproduktif ini akan memutus mata rantai upaya mendapatkan zat pengatur tumbuh terbaik regenerasinya sehingga berakibat buahnya akan pada induksi kalus embriogenik dan induksi semakin jarang diperoleh. Untuk itu upaya embrio somatik rotan tohiti. Penelitian perbanyakan tanaman melalui teknologi diharapkan mampu menghasilkan teknologi pembiakan vegetatif baik secara makro maupun perbanyakan melalui budidaya jaringan untuk mikro melalui budidaya jaringan perlu untuk mendukung sistem budidaya rotan tohiti. dilakukan. Sampai saat ini perbanyakan rotan II. BAHAN DAN METODE melalui budidaya jaringan belum banyak A. Waktu dan tempat dilaporkan. Budidaya jaringan dapat dilakukan Pengambilan buah rotan tohiti dilakukan melalui tiga cara, yaitu pembentukan tunas pada bulan Desember 2015. Penelitian aksilar, pembentukan tunas adventif dan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik Balai Besar Penelitian dan Pengembangan adalah proses pembentukan embrio dari sel atau

42 Embriogenesis Somatik Rotan Tohiti (Calamus inops Becc. ex Heyne) Yelnititis

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, 1. Perkecambahan biji Yogyakarta dari bulan Januari 2016 sampai Biji yang sudah dicuci bersih selanjutnya bulan Desember 2016. disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70%, B. Bahan dan alat Bayclin® 15% dan 10% masing-masing selama 5 menit, 10 menit dan 15 menit serta dibilas 1. Bahan dengan air steril. Biji yang sudah disterilisasi Bahan tanaman yang digunakan sebagai dikecambahkan pada media dasar MS tanpa sumber eksplan diambil dari desa Nopa Bomba, penambahan zat pengatur tumbuh dan KPHP Dolago Tanggunung, Sulawesi Tengah. ditempatkan di ruang gelap. Persentase biji Bagian tanaman yang digunakan sebagai berkecambah dihitung dengan membandingkan sumber eksplan adalah buah rotan tohiti. Jumlah jumlah biji yang berkecambah dengan jumlah biji rotan tohiti yang digunakan sangat terbatas biji yang dikecambahkan × 100%. Kecambah yaitu sebanyak 162 biji. Bahan kimia yang yang dihasilkan dan bebas dari kontaminan digunakan sebagai media tumbuh berasal dari dijadikan sebagai eksplan untuk tahapan komposisi media dasar Murashige dan Skoog kegiatan selanjutnya. (MS) yang diperkaya dengan vitamin B dan agar sebagai pemadat. Adapun zat pengatur 2. Induksi kalus embriogenik tumbuh yang digunakan adalah BA Pada tahap induksi kalus embriogenik, (Benzyladenine) dan 2,4-D. kecambah yang utuh dan steril berumur dua bulan dengan ukuran 1,5 – 2,0 cm dipisahkan 2. Alat dari kulit bijinya yang keras (cangkang) Peralatan yang digunakan dalam kemudian ditumbuhkan pada modifikasi media penelitian ini antara lain timbangan analitik, hot MS dengan penambahan perlakuan konsentrasi plate dan magnetic stirrer, alat-alat gelas, pH zat pengatur tumbuh sebagai berikut : meter, botol kultur, alumunium foil, autoklaf, a. BA 0,5 mg/l, laminar air flow (LAF), pinset, scalpel, gunting, b. BA 1,0 mg/l, cling wrap, spidol, pensil dan lain-lain. c. BA 1,5 mg/l, C. Prosedur kerja d. BA 2,0 mg/l, Buah rotan tohiti direndam selama dua Pengamatan dilakukan terhadap tanggap malam sehingga kulitnya menjadi lunak. pertumbuhan dan penampilan biakan secara Kemudian bijinya dikeluarkan dan dipisahkan visual. Pengamatan dilakukan setiap 4 minggu dari kulitnya, ditempatkan dalam wadah berisi sampai umur 20 minggu. Rancangan yang air dan biji yang tenggelam dalam air digunakan digunakan pada tahap induksi kalus sebagai eksplan. Biji dicuci dengan embriogenik adalah Rancangan Acak Lengkap menggunakan sabun cair lalu dibilas dengan air (RAL). Masing-masing perlakuan terdiri dari 10 sampai bersih, diikuti dengan perendaman botol dan masing-masing botol berisi 1 eksplan dalam 1 gram/liter (0,1%) larutan fungisida yang berasal dari satu potong kecambah. Antracol selama 15 menit dan dibilas dengan air sampai bersih. 3. Induksi embrio somatik Penelitian dilakukan dalam tiga tahap Pada tahap induksi embrio somatik, kalus kegiatan, yaitu 1) perkecambahan biji, 2) embriogenik berwarna putih bening yang induksi kalus embriogenik dan 3) induksi diperoleh dari perlakuan konsentrasi BA terbaik embrio somatik. (BA 1,0 mg/l) ditumbuhkan kembali pada modifikasi media MS yang ditambahkan kombinasi zat pengatur tumbuh BA 1,0 mg/l

43 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50 dengan beberapa konsentrasi zat pengatur D. Analisis data tumbuh 2,4-D sebagai berikut: Data hasil penelitian dianalisa dengan analisis sidik ragam dan apabila terdapat a. BA 1,0 mg/l + 2,4-D 0,0 mg/l perbedaan dilanjutkan dengan DMRT (Duncan b. BA 1,0 mg/l + 2,4-D 0,5 mg/l Multiple Range Test). c. BA 1,0 mg/l + 2,4-D 0,75 mg/l III. HASIL DAN PEMBAHASAN d. BA 1,0 mg/l + 2,4-D 1,0 mg/l. A. Perkecambahan biji Pengamatan dilakukan setiap 4 minggu Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji selama 16 minggu. Parameter yang diamati rotan tohiti yang dikecambahkan secara aseptik meliputi tanggapan pertumbuhan, jumlah pada media dasar MS tanpa zat pengatur embrio somatik yang dihasilkan dan penampilan tumbuh mulai memperlihatkan tanggapan visual embrio somatik. Rancangan yang proses perkecambahan pada hari ke-enam digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap setelah tanam. Hasil ini hampir sama dengan (RAL). Masing-masing perlakuan terdiri dari 10 perkecambahan benih rotan jernang yaitu pada botol dan setiap botol berisi potongan kalus hari ke-tujuh setelah ditanam (Winarni, Fitriani, dengan ukuran 1 × 1 cm. Pada penelitian ini Purnomo, & Panjaitan, 2017). Sedangkan dari tidak ada ulangan perlakuan karena keterbatasan penelitian Kusdi dan Muslimin (2008) eksplan kalus yang dihasilkan. menunjukkan bahwa kecepatan daya 4. Perkecambahan embrio berkecambah benih rotan manau lebih lambat Embrio somatik fase koleoptilar yang yaitu 36,7 hari setelah tanam. diperoleh pada tahap sebelumnya dipisahkan Tanggapan perkecambahan diawali dengan menggunakan scalpel, dan dengan munculnya calon tunas berwarna putih dikecambahkan pada modifikasi media MS (Gambar 1a) pada titik tumbuh. Calon tunas dengan perlakuan penambahan zat pengatur secara perlahan bertambah besar diikuti dengan tumbuh BA konsentrasi 0,25; 0,5 dan 0,75 mg/l. muncul dan memanjangnya akar berjumlah Masing-masing perlakuan terdiri dari 7 botol. antara 3 - 4 buah yang melekat erat pada cangkangnya pada minggu ke-delapan (Gambar 1b dan 1c).

a b c

Gambar 1. Proses perkecambahan rotan tohiti secara aseptik pada umur 6 hari (a), 4 dan 8 minggu (b) dan 12 minggu (c) Dari 162 biji yang dikecambahkan, 94% bakteri. Hasil ini lebih baik dibandingkan diantaranya dapat berkecambah. Namun dengan daya berkecambah rotan manau yaitu demikian dari jumlah tersebut hanya 40% sebanyak 83,3% (Kusdi & Muslimin, 2008) dan dihasilkan kecambah yang steril, sedangkan daya berkecambah rotan jernang sebanyak 80% 60% mengalami kontaminasi terutama (Winarni et al., 2017). Kontaminasi yang disebabkan oleh jamur dan juga dijumpai disebabkan oleh jamur dicirikan dengan adanya

44 Embriogenesis Somatik Rotan Tohiti (Calamus inops Becc. ex Heyne) Yelnititis spora yang berwarna putih atau hitam konsentrasi 0,5 mg/l memperlihatkan tergantung pada jenis jamurnya, sedangkan pertumbuhan yang lebih lambat dan tidak kontaminasi yang disebabkan bakteri dicirikan terbentuk kalus (Gambar 2a). Sedangkan dengan adanya lendir berwarna putih susu atau eksplan yang ditumbuhkan pada perlakuan BA kemerahan. dengan konsentrasi yang lebih tinggi, yaitu 1,0 mg/l sampai 2,0 mg/l cenderung memicu B. Induksi kalus embriogenik terbentuknya kalus (Gambar 2b dan 2c). Hal ini Penggunaan eksplan yang steril diduga bahwa rotan tohiti mempunyai merupakan kunci utama dalam budidaya kandungan auksin endogen yang tinggi. Adanya jaringan. Biakan kecambah kecil dan steril yang penambahan sitokinin eksogen pada media diperoleh dari tahap perkecambahan yang sudah tumbuh dan diserap oleh eksplan menyebabkan berumur 60 hari dan tinggi antara 1,5 cm – 2,0 terjadinya perubahan kandungan hormon cm dipisahkan dari kulit biji yang keras endogen dan keseimbangan antara auksin dan (cangkang) kemudian ditumbuhkan kembali sitokinin di dalam jaringan. Kandungan auksin pada media induksi kalus embriogenik. dan sitokinin yang seimbang akan merangsang Hasil penelitian menunjukkan bahwa terbentuknya kalus. Menurut Ikeuchi et al., penggunaan BA pada konsentrasi yang berbeda (2013) kandungan auksin dan sitokinin yang memberikan tanggapan yang bervariasi terhadap seimbang akan merangsang induksi kalus, pertumbuhan kalus (Tabel 1). Eksplan yang konsentrasi auksin yang relatif tinggi akan ditumbuhkan pada media MS dengan perlakuan menginduksi akar dan kandungan sitokinin yang penambahan zat pengatur tumbuh BA relatif tinggi akan menginduksi tunas.

a b c

Gambar 2. Perkembangan induksi kalus embriogenik eksplan rotan tohiti umur 8 minggu yang ditumbuhkan pada Media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh BA 0,5 mg/l (a); 1,0-2,0 mg/ l (b dan c)

Tanggapan pertama yang teramati pada jika dikombinasikan dengan auksin (Lestari, tahap induksi kalus dari eksplan rotan tohiti 2011; Anniasari, Putri, & Muliawati, 2016). adalah terjadinya pembesaran pada bagian Pada penelitian ini penggunaan BA berperan pangkal eksplan yang ditumbuhkan. Hal ini dalam induksi kalus. Vondráková, Krajňáková, disebabkan karena terjadinya proses Fischerová, Vágner, dan Eliášová (2016) pembelahan sel akibat adanya penambahan zat menyatakan bahwa sitokinin dibutuhkan untuk pangatur tumbuh BA ke dalam media tumbuh induksi kultur embriogenik pada beberapa yang digunakan. BA merupakan zat pengatur spesies tanaman. tumbuh kelompok sitokinin yang berperan Dalam penelitian ini kalus mulai dalam induksi tunas, pertumbuhan dan terbentuk pada 7 – 10 minggu setelah eksplan perkembangan tanaman seperti pembelahan sel ditumbuhkan. Kalus hanya terbentuk pada

45 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50 bagian pangkal eksplan yang menyentuh media bagian meristem yang mudah diinduksi dengan yang langsung menyerap nutrisi (Gambar 2b). adanya perlakuan penambahan zat pengatur Disamping itu pangkal eksplan merupakan tumbuh.

Tabel 1. Persentase pembentukan dan kenampakan visual kalus pada induksi kalus embriogenetik eksplan rotan tohiti dengan perlakuan zat pengatur tumbuh BA sampai umur 17 minggu Perlakuan (mg/l) Induksi kalus (%) Visual kalus yang terbentuk BA 0,5 0 Tidak terbentuk kalus BA 1,0 50 Kalus remah, embriogenik, warna putih bening BA 1,5 20 Kalus kompak, warna kehijauan BA 2,0 20 Kalus kompak, warna kehijauan

Persentase eksplan rotan tohiti yang dapat dengan konsentrasi 0,5 mg/l dikombinasikan membentuk kalus pada penelitian ini adalah 0% dengan kinetin 0,2 mg/l menghasilkan kalus - 50% (Tabel 1). Induksi kalus paling tinggi granular, remah dan berwarna kekuningan. dihasilkan dari perlakuan BA 1,0 mg/l, yaitu C. Induksi embrio somatik sebanyak 50%. Menurut Eshraghi, Zarghami, Induksi embrio somatik dilakukan dengan dan Mirabdulbaghi (2005) perlakuan dan jenis menggunakan eksplan kalus yang dihasilkan zat pengatur tumbuh yang berbeda memberikan pada tahap induksi kalus embriogenik. Kalus pengaruh yang berbeda terhadap induksi kalus. embriogenik yang diperoleh pada tahap induksi Selain menghasilkan persentase pembentukan dari perlakuan BA 1,0 mg/l dilakukan subkultur kalus paling tinggi, perlakuan BA 1,0 mg/l juga secara berulang pada perlakuan yang sama merupakan perlakuan terbaik untuk penampilan untuk mendapatkan jumlah kalus embriogenik visual kalus yang terbentuk dimana kalus yang yang mencukupi. Kalus selanjutnya dipindahkan dihasilkan mempunyai tekstur remah dan dan ditumbuhkan pada media induksi embrio berwarna putih bening dengan sel-sel berukuran somatik. kecil dan permukaan sel-selnya halus (Gambar Secara umum perlakuan pada media 3a). Hasil yang sama dilaporkan oleh Zang et induksi embrio somatik rotan tohiti al., (2016) bahwa perlakuan terbaik untuk menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kualitas kalus adalah penggunaan penambahan rata-rata jumlah embrio somatik (Tabel 2). zat pengatur tumbuh BA 1,0 mg/l. Dilihat dari Semua perlakuan dapat merangsang kalus kenampakan visualnya, kalus yang dihasilkan embriogenik rotan tohiti berkembang menjadi dari perlakuan ini merupakan kalus embrio somatik dengan rata-rata jumlah embrio embriogenik. Oetami (2015) menyatakan bahwa antara 3,0-5,6 (Tabel 2). Embrio somatik paling kalus embrionik dicirikan dengan tekstur remah banyak dihasilkan dari perlakuan kombinasi BA dan mudah dipisahkan. Selanjutnya Rusdianto 1,0 mg/l + 2,4-D 1,0 mg/l dengan rata-rata dan Indrianto (2012) melaporkan bahwa kalus jumlah embrio somatik sebanyak 5,6. embriogenik umumnya berwarna putih bening Penambahan 2,4-D pada konsentrasi 1,0 mg/l ke atau putih kekuningan dan remah. Pengaruh dalam media tumbuh yang sudah mengandung efektivitas penambahan zat pengatur tumbuh BA 1,0 mg/l diduga mendorong terjadinya BA pada induksi kalus embriogenik juga telah perubahan keseimbangan kandungan zat dilaporkan pada beberapa jenis tanaman. Puhan pengatur tumbuh di dalam biakan kalus dan Rath (2012) melaporkan bahwa kalus sehingga merangsang peningkatan pembentukan embriogenik dari eksplan bibit Desmodium embrio somatik dari kalus embriogenik yang gangeticum L., dapat terbentuk dari perlakuan ditumbuhkan. BA dengan konsentrasi 0,5 mg/l. Zhou et al., (2010) juga melaporkan bahwa perlakuan BA

46 Embriogenesis Somatik Rotan Tohiti (Calamus inops Becc. ex Heyne) Yelnititis

Tabel 2. Jumlah embrio somatik rotan tohiti dari kombinasi zat pengatur tumbuh BA dengan 2,4-D Perlakuan Rata-rata jumlah embrio Visual embrio somatik (mg/l) somatik BA 1,0 + 2,4-D 0,0 3,0 c Batang besar, jelas, daun normal BA 1,0 + 2,4-D 0,5 4,0 b Batang sedang, pendek BA 1,0 + 2,4-D 0,75 4,6 b Batang sedang, pendek BA 1,0 + 2,4-D 1,0 5,6 a Batang sedang, pendek

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Perkembangan induksi embrio somatik lain zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dari eksplan kalus embriogenik rotan tohiti dalam media tumbuh, tipe kalus dan kondisi secara visual sebagaimana disajikan pada biakan. Menurut Zhou et al., (2010) zat Gambar 3. Kalus embriogenik rotan tohiti pengatur tumbuh memainkan peranan yang awalnya berwarna putih bening (Gambar 3a) sangat penting dalam induksi kalus. Selanjutnya dan mulai memperlihatkan pertumbuhan dengan Lim, Ling, dan Hussein (2009) menyatakan ukuran kalus yang bertambah besar menjadi dua bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh kali lipat dalam periode delapan minggu. Hal ini eksogen penting dalam optimalisasi induksi dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara kalus.

a b

c d b

Gambar 3. Perkembangan kalus embriogenik menjadi embrio somatik pada rotan tohiti. Kalus embriogenik (a), embrio fase skutelar (b), embrio fase koleoptilar (c) dan planlet (d)

47 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50

Dari pengamatan yang dilakukan selama monokotil meliputi tahap globular, skutelar dan masa pertumbuhan dan perkembangannya, kalus koleoptilar. Walaupun penelitian lainnya pada embriogenik tidak memperlihatkan perubahan jenis tanaman sagu menunjukkan bahwa warna (Gambar 3a) dan tetap berwarna putih perkembangan embrio somatik menyerupai fase bening sampai terbentuk embrio somatik. perkembangan embrio zigotik yang meliputi Secara visual pembentukan embrio somatik fase globular, fase hati, fase torpedo dan fase pada rotan tohiti dalam penelitian ini tidak kotiledon (Kasi & Sumaryono, 2006). mengikuti pola embriogenesis somatik yang Jumlah embrio somatik yang dihasilkan umumnya diawali dengan terbentuknya embrio dari perlakuan BA 1,0 mg/l tanpa 2,4-D lebih somatik fase globular. Secara perlahan-lahan, sedikit dibandingkan dengan perlakuan dari sela-sela sel kalus embriogenik yang kombinasi BA 1,0 mg/l dengan tambahan 2,4-D berwarna putih bening, muncul embrio somatik (Tabel 2) dan mempunyai penampilan visual fase skutelar berwarna putih susu (Gambar 3b) yang berbeda. Embrio somatik yang dihasilkan yang berkembang menjadi fase koleoptilar mempunyai penampilan yang lebih normal (Gambar 3c), dan selanjutnya menjadi plantlet dimana masing-masing organnya dapat (Gambar 3d). Perkembangan embrio somatik dibedakan dengan jelas (Gambar 4a). Selain itu dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian hampir semua embrio yang dihasilkan Guan, Li, Fan, dan Su (2016) dan Arnold, berukuran lebih besar dibandingkan dengan Sabala, Bozhkov, Dyachok, dan Filonova perlakuan kombinasi BA dan 2,4-D (Gambar (2002) yang melaporkan bahwa tahapan 4b). perkembangan embrio somatik pada tanaman

a b b

Gambar 4. Embrio somatik rotan tohiti pada perlakuan BA tanpa 2,4-D (a) dan BA + 2,4-D (b) Dilihat dari penampilan secara visual, Sumaryono, 2006; Sumaryono, Riyadi, & Kasi, embrio somatik yang dihasilkan dari perlakuan 2009). BA yang dikombinasikan dengan 2,4-D Embrio somatik tahap koleoptilar masih mempunyai morfologi yang beragam. Embrio menempel antara satu dengan yang lain somatik yang diperoleh umumnya berukuran (Gambar 3c), tetapi ada batas yang jelas kecil, pendek dan mengalami pertumbuhan yang antarembrio somatik sehingga mudah lambat (Gambar 4b). Selain itu morfologi dipisahkan dengan scalpel. Embrio somatik daunnya juga beragam yaitu tebal, berkerut dan koleoptilar yang sudah dipisahkan dengan tinggi bersatu antara lembaran satu sama lainnya. Hal 1,0 – 2,0 cm dicoba ditumbuhkan pada ini sangat dipengaruhi oleh perlakuan zat perlakuan BA 0,25; 0,5 mg/l dan 0,75 mg/l. pengatur tumbuh yang digunakan pada media Dari tiga perlakuan BA yang digunakan, tumbuh. Hasil yang sama juga ditemukan pada perlakuan BA 0,75 mg/l memberikan tanggapan kultur jaringan tanaman sagu (Kasi & paling baik untuk pertumbuhan embrio somatik koleoptilar menjadi plantlet (Gambar 5).

48 Embriogenesis Somatik Rotan Tohiti (Calamus inops Becc. ex Heyne) Yelnititis

a b c

Gambar 5. Perkembangan embrio somatik rotan tohiti menjadi plantlet.Umur 5 minggu (a) dan umur 7 minggu (b dan c)

Tanggap pertama perkembangan lebih kontribusinya dalam penyediaan biji rotan tohiti lanjut embrio somatik nampak pada munculnya sebagai sumber tanaman yang digunakan dalam daun baru (pucuk) pada umur 5 minggu setelah penelitian ini. ditumbuhkan (Gambar 5a). Pada umur 7 minggu daunnya sudah membuka seperti daun normal DAFTAR PUSTAKA (Gambar 5b), namun tidak diikuti dengan Anniasari, E. D., Putri, R. B. A., & Muliawati, E. S. (2016). Penggunaan BA dan NAA untuk pertumbuhan akar. Hal ini diduga disebabkan merangsang pembentukan tunas lengkeng karena kandungan sitokinin yang ada di dalam dataran rendah (Dimocarpus longan) secara jaringan sudah melebihi batas keseimbangan in vitro. Bioteknologi, 13(2), 43–53. https://doi.org/10.13057/biotek/c130201 sehingga memberikan pengaruh pada pertumbuhan bagian atas tanaman. Untuk Arnold, S. von, Sabala, I., Bozhkov, P., Dyachok, J., & Filonova, L. (2002). Developmental merangsang pertumbuhan akar embrio somatik pathways of somatic embryogenesis. Plant rotan tohiti dibutuhkan perlakuan lebih lanjut Cell ,Tissue and Organ Culture, 69, 233–249. melalui penambahan auksin pada media https://doi.org/10.1023/A tumbuh. Hal yang sama juga dilaporkan pada Baharuddin, & Taskirawati, I. (2009). Hasil hutan bukan kayu. Makasar: Fakultas Kehutanan, tanaman sagu bahwa untuk induksi akar plantlet Universitas Hasanuddin. diperlukan penambahan auksin pada media https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324. tumbuh (Kasi & Sumaryono, 2006). 004 Eshraghi, P., Zarghami, R., & Mirabdulbaghi, M. IV. KESIMPULAN (2005). Somatic embryogenesis in two Iranian date palm cultivars. African Journal Budidaya jaringan melalui teknologi of Bitechnology, 4(11), 1309–1312. embriogenesis somatik pada rotan tohiti bisa Guan, Y., Li, S.-G., Fan, X.-F., & Su, Z.-H. (2016). dilakukan dengan baik. Penambahan zat Application of somatic embryogenesis in pengatur tumbuh BA (Benzyl adenine) 1.0 mg/l woody plants. Frontiers in Plant Science, 7(June), 1–12. pada media dasar Murashige and Skoog (MS) https://doi.org/10.3389/fpls.2016.00938 merupakan perlakuan terbaik untuk induksi Hussein, S., Ibrahim, R., & Kiong, A. L. P. (2006). kalus embriogenik. Jumlah embrio somatik Somatic embryogenesis: an alternative terbanyak ditemukan pada perlakuan method for in vitro micropropagation. penambahan zat pengatur tumbuh kombinasi Iranian Journal of Biotechnology, 4(3), 156– 161. BA 1,0 mg/l + 2,4-D 1,0 mg/l pada media MS. Ikeuchi, M., Sugimoto, K., & Iwase, A. (2013). Plant Callus : Mechanisms of Induction and UCAPAN TERIMA KASIH Repression. The Plant Cell, 25(September), Ucapan terima kasih disampaikan kepada 3159–3173. ibu Dr. Diana Prameswari dari Pusat Penelitian https://doi.org/10.1105/tpc.113.116053 dan Pengembangan Hutan (P3H) Bogor atas

49 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 41 - 50

Kalima, T. (2008). Keragaman Spesies Rotan yang Puhan, P., & Rath, S. P. (2012). Induction, Belum Dimanfaatkan di Hutan Tumbang Development and Germination of Somatic Hiran, Katingan, Kalimantan Tengah. Jurnal Embryos from in vitro Grown Seedling Info Hutan, 5(2), 161–175. Explants in Desmodium gangeticum L.: Medicinal Plant. Research Journal of Kalima, T., & Jasni. (2010). Tingkat kelimpahan Medicinal Plant, 6(5), 346–369. populasi spesies rotan di hutan lindung Batu Kapar, Gorontalo Utara. Jurnal Penelitian Rusdianto, & Indrianto, A. (2012). Induksi kalus Hutan Dan Konservasi Alam, 7(4), 439–450. embriogenik pada wortel (Daucus carota L.) menggunakan 2,4-Dichlorophenoxy Acetic Kalima, T., & Jasni. (2015). Prioritas penelitian dan Acid (2,4-D). Jurnal Bionature, 13(2), 136– pengembangan jenis rotan andalan setempat. 140. In Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon (Vol. 1, pp. 1868–1876). Surakarta: Masyarakat Sumaryono, Riyadi, I., & Kasi, P. D. (2009). Clonal Biodiversitas Indonesia. Propagation of Sago Palm (Metroxylon sagu https://doi.org/10.13057/psnmbi/m0108220 Rottb.) through Tissue Culture, 2(1), 1–4. Retrieved from Kasi, P. D., & Sumaryono. (2006). Keragaman https://www.researchgate.net/profile/Pauline_ morfologi selama perkembangan embrio Kasi/publication/236004883_Clonal_propaga somatik sagu (Metroxylon sagu Rottb.). tion_of_sago_palm_through_tissue_culture/li Menara Perkebunan, 74(1), 43–51. nks/02e7e51591005e6462000000.pdf Kusdi, & Muslimin, I. (2008). Perkecambahan benih Vondráková, Z., Krajňáková, J., Fischerová, L., rotan manau (Calamus manan Miq .) Vágner, M., & Eliášová, K. (2016). berdasarkan berat benih dan jenis media Physiology and role of plant growth tabur. Info Hutan, V(4), 347–354. regulators in somatic embryogenesis. In J. M. Lestari, E. G. (2011). Peranan Zat Pengatur Tumbuh B. and H.-K. M. Yill-Sung Park (Ed.), dalam Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Vegetative Propagation of Forest Trees (pp. Jaringan. Jurnal AgroBiogen, 7(1), 63–68. 123–169). Seoul, Korea: National Institute of https://doi.org/10.21082/jbio.v7n1.2011.p63- Forest Science (NIFoS). 68 Winarni, E., Fitriani, A., Purnomo, & Panjaitan, S. Lim, Z. X., Ling, A. P. K., & Hussein, S. (2009). (2017). Daya kecambah benih rotan jernang Callus Induction of Ocimum sanctum and (Daemonorops draco Blume) dengan Estimation of Its Total Flavonoids Content. berbagai perlakuan perendaman dalam air. Asian Journal of Agricultural Sciences, 1(2), Jurnal Hutan Tropis, 5(2), 120–126. 55–61. Witono, J. R. (1999). Konservasi rotan Indonesia di Muchtar, H., Winata, L., Wattimena, G. ., & Yahya, Kebun Raya Bogor. In Prosiding seminar S. (1997). The Effect of Two Kind of hasil-hasil penelitian ilmu hayat (pp. 230– Cytokinin (BAP and Kinetin) and Auxin on 242). Bogor. Multiplication Formation in Rattan Manau Zang, Q., Zhou, L., Zhuge, F., Yang, H., Wang, X., (Calamus manan Miquel) by in vitro & Lin, X. (2016). Callus induction and Technicque. Retrieved May 2, 2018, from regeneration via shoot tips of Dendrocalamus http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/ hamiltonii. SpringerPlus, 5:1799, 1–7. 45250 https://doi.org/10.1186/s40064-016-3520-7 Oetami, R. F. (2015). Kombinasi embriogenesis Zhou, Q., ZH, J., TD, H., WG, L., AH, S., Dai, X., & langsung dan Tak Langsung pada Z, L. (2010). Plant regeneration via somatic Perbanyakan Kopi Robusta. Warta Pusat embryogenesis from root explants of Hevea Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia, 27(2), brasiliensis. African Journal of 1–5. Biotechnology, 9(48), 8168–8173. Pribadi, H. (2012). Kajian ekonomi pengembangan https://doi.org/10.5897/AJB10.969 usaha industri mebel rotan di kota Palu

Provinsi Sulawesi Tengah (Pendekatan analitikal SWOT dan liniear programming). Jurnal Hutan Tropis, 13(2), 111–120.

50 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 51 - 63

PERTUMBUHAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.) PADA LAHAN MARGINAL BERJENIS TANAH ULTISOL DI RIAU Growth of Anthocephalus cadamba Miq. in marginal land ultisol soil in Riau

Ahmad Junaedi 1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan Jl. Raya Bangkinang-Kuok Km. 9. Bangkinang, Kampar, Riau, Indonesia email: [email protected]

Tanggal diterima: 14 Oktober 2017, Tanggal direvisi: 10 November 2017, Disetujui terbit: 21 April 2018

ABSTRACT Study on growth of jabon (Anthocephalus cadamba Miq) as native tree species that suitable for pulpwood on ultisol-soil land is required, as most pulpwood plantation occur in this type of soil. The experiment was conducted in ex Acacia mangium (second rotation) in Riau to evaluate the growth performance of jabon on marginal land ultisol soil. This study assigned experiment plots of jabon with three planting spaces (2 m × 2 m; 2 m × 3 m and 3 m × 3 m) and four blocks in Randomized Block Design. The poor growth was exhibited by jabon on marginal land ultisol. It was suggested that the poor growth related to the negative effects of low N and P soil, high Al soil, and threats of pest, disease, weed as well. The result study indicated that jabon was not suitable to be developed as pulpwood species in marginal lands ultisol of pulpwood plantation in Riau. Keywords: native tree species, growth, pulpwood, industrial plantation

ABSTRAK Kajian mengenai pertumbuhan jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) sebagai jenis pohon lokal potensial untuk kayu pulp di tanah marginal ultisol perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan sebagian besar lokasi hutan tanaman pulp berada di tipe lahan dengan jenis tanah ultisol. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pertumbuhan jabon di lahan marginal berjenis tanah ultisol pada areal bekas hutan tanaman Acacia mangium (rotasi kedua) di Riau. Penelitian dilakukan dengan membangun plot uji penanaman jabon menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 tiga jarak tanam (2 m × 3 m, 2 m × 3 m dan 3 m × 3 m) sebagai perlakuan dan 4 blok ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan jabon di lahan marginal ultisol tidak optimal dikarenakan adanya dugaan pengaruh negatif dari kandungan N dan P tanah yang rendah, Al tanah yang tinggi serta gangguan hama, gulma dan penyakit. Hasil ini mengindikasikan bahwa jabon saat ini belum dapat dikembangkan sebagai penghasil kayu pulp pada lahan marginal berjenis tanah ultisol di Riau. Kata kunci: jenis pohon lokal, pertumbuhan, kayu pulp, hutan tanaman industri 2007; Carpenter, Nichols, & Sandi, 2004; I. PENDAHULUAN Daryono, 2009). Namun demikian, upaya Hutan tanaman industri (HTI) pulp yang mencari jenis pohon lokal yang akan ditanam di ada di Riau umumnya dibangun di lahan lahan tipe tersebut masih diperlukan, mengingat marginal berjenis tanah ultisol. Tipe lahan ini bahwa jenis eksotik (Acacia spp dan Eucalyptus mempunyai kesuburan yang rendah dan spp) yang saat ini masih dikembangkan di HTI cenderung terus menurun dengan bertambahnya mengalami penurunan produktivitas (Francis et rotasi (Wasis, 2006). Karakteristik ini al., 2014; Harwood & Nambiar, 2014; Nurcan, berpotensi memberikan pengaruh negatif Refdanil, Sribudiani, & Sudarmalik, 2014) terhadap pertumbuhan tanaman, sekalipun jenis Salah satu jenis pohon lokal yang diduga yang ditanam merupakan jenis pohon asli berpotensi untuk dikembangkan sebagai setempat (lokal). Beberapa penelitian telah penghasil kayu pulp di HTI adalah jabon menunjukkan bahwa beberapa jenis lokal tidak (Anthocephalus cadamba Miq.). Jabon dapat tumbuh optimal di lahan marginal dan merupakan salah satu jenis pohon lokal cepat bahkan tidak lebih baik dibandingkan jenis tumbuh yang mempunyai serat kayu yang eksotik (Calvo-Alvarado, Arias, & Richter, termasuk ke dalam kelas I dan II untuk bahan

51 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 51 - 63 baku pulp (Aprianis & Rahmyanti, 2009; pertumbuhan (galah ukur, kaliper dan meteran) Indrawan, Efiyanti, Tampubolon, & Roliadi, serta seperangkat alat pengendali gulma dan 2015; Otsamo, Adjers, Hadi, Kuusipalo, & pengambil sampel tanah. Vuokko, 1997; Phillips, Yasman, Brash, & C. Rancangan percobaan Gardingen, 2002). Namun, kajian mengenai Penelitian ini difokuskan terhadap pertumbuhan jabon di tanah ultisol HTI pulp performa pertumbuhan jabon di lahan ultisol. perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum jenis Namun, karena performa jabon tersebut ini akan dikembangkan dalam skala yang luas. diarahkan untuk menilai potensinya sebagai Kajian tersebut dilakukan agar kemungkinan bahan baku pulp, maka tiga jarak tanam yang terjadinya kegagalan berupa pertumbuhan dan mungkin digunakan di HTI pulp dijadikan produktivitas jabon yang tidak optimal akibat sebagai perlakuan, yaitu S1 = 2 m × 2 m, S2 = 2 pengaruh negatif beberapa sifat tanah ultisol m × 3 m dan S3 = 3 m × 3 m. Masing-masing dapat diketahui lebih awal. perlakuan jarak tanam tersebut disusun di Penelitian ini bertujuan untuk lapangan berdasarkan rancangan acak kelompok mengetahui performa pertumbuhan jabon yang (RAK), dengan 4 blok ulangan dan luas masing- ditanam pada lahan marginal berjenis tanah masing petak perlakuan adalah 800 m2 (20 m × ultisol. Informasi yang diperoleh akan 40 m). Pembagian blok ini mengakomodasi digunakan sebagai bahan penilaian awal kemungkinan adanya perbedaan/variasi sifat kelayakan jabon untuk dikembangkan di HTI- tanah di dalam plot peneltian. pulp. D. Pemeliharaan II. BAHAN DAN METODE Pemeliharaan tanaman berupa A. Lokasi penelitian pemupukan dan pengendalian gulma dilakukan Penelitian dilaksanakan di areal konsesi secara seragam untuk semua perlakuan jarak hutan tanaman industri (HTI) pulp PT. Riau tanam jabon. Pupuk diberikan sesuai teknik Andalan Pulp & Paper (RAPP) yang berada di pemupukan yang biasa digunakan oleh PT. Kecamatan Baserah, Kabupaten Kuantan RAPP untuk A. mangium berupa pupuk dasar Singingi, Riau (koordinat geografis di titik TSP 80 g/tanaman serta pupuk susulan urea 40 tengah plot adalah 101o48’1’’ LS dan g/tanaman dan KCl 50 g/tanaman. Gulma 00o20’57’’ BT). Lahan yang digunakan dikendalikan dua kali yakni pada umur sekitar 6 merupakan lahan bekas tebangan Acacia bulan (secara kimiawi) dan 1,5 tahun (secara mangium (rotasi II). Kondisi fisik lokasi fisik + kimiawi). penelitian secara umum adalah jenis tanah E. Pengumpulan data ultisol, ketinggian 85 m dpl, bertipe iklim A Data yang dikumpulkan meliputi (Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson), suhu paramater pertumbuhan dan sifat tanah di udara rerata tahunan 27oC, kelembaban udara bawah tegakan. Pengamatan pertumbuhan rerata tahunan 80% dan jumlah curah hujan dilakukan secara sensus, kecuali untuk tanaman rerata tahunan 2.438 mm/tahun (Nurwahyudi & pada baris terluar/border. Sementara itu, data Tarigan, 2004). sifat tanah diperoleh dari studi literatur (data B. Bahan dan alat sekunder) dan pengamatan langsung di Bahan yang digunakan dalam penelitian lapangan. ini meliputi bibit jabon (asal benih dari tegakan Variabel pertumbuhan yang diamati teridentifikasi di Kediri), pupuk, pestisida dan meliputi jumlah tanaman yang hidup, tinggi sampel tanah. Sementara itu, peralatan yang total dan diameter setinggi dada (DBH). digunakan antara lain adalah alat ukur Pengukuran tersebut dilakukan pada umur 0,5

52 Pertumbuhan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) pada Lahan Marginal Berjenis Tanah Ultisol di Riau Ahmad Junaedi tahun – 4 tahun. Untuk memperoleh nilai angka Sedangkan volume kayu (m3/ha) dihitung bentuk jabon (f), diameter seksi pohon (tiap 1 dengan persamaan: m) diukur pada umur 2 dan 3 tahun. Pengukuran Volume per ha = Vt×Po×Sr ini disesuaikan dengan kepentingan jabon dimana, Vt = Volume per pohon, Po = populasi sebagai bahan baku pulp yakni sampai awal pohon/ha dan Sr = persen hidup. mencapai diameter 4 cm (Srihadiono, 2005). Analisis statistik dengan ANOVA Nilai f ini yang selanjutnya digunakan untuk dilakukan untuk mengetahui pengaruh jarak menghitung volume kayu jabon sebagai bahan tanam dan perbedaan blok (ulangan) terhadap baku pulp. pertumbuhan, produksi dan produktivitas jabon. Data sifat tanah awal atau sebelum Data produktivitas ditransformasi terlebih dilakukannya pembangunan plot menggunakan dahulu ke bentuk akar sebelum dilakukan laporan menurut Nurwahyudi dan Tarigan ANOVA, karena variasi datanya yang relatif (2004). Hal ini dilakukan karena sifat tanah besar. Selanjutnya, uji lanjut Duncan dilakukan sebelum pembangunan plot penelitian tidak apabila terdapat pengaruh sumber keragaman diamati. Selanjutnya, sifat tanah diamati pada yang signifikan (p<0,05) terhadap variabel yang umur 3 tahun untuk mengetahui variabel yang diamati. Untuk mengetahui hubungan berhubungan kuat dengan pertumbuhan. Contoh pertumbuhan dengan sifat tanah dilakukan tanah diambil secara purposive sampling, analisis korelasi dan regresi. Regresi hanya berdasarkan adanya variasi pertumbuhan yakni dilakukan terhadap variabel tanah yang menurut perbedaan blok sehingga diperoleh 4 berhubungan erat (r> 0,5) dengan pertumbuhan. contoh tanah komposit. Semua contoh tanah tersebut dikirim ke laboratorium Balai III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan dan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Pekanbaru untuk dianalisa A. Sifat tanah lokasi penelitian sifat kimianya. Analisa tersebut dilakukan Sifat tanah yang masam hingga sangat terhadap variabel pH (pH meter) dan masam dengan tingkat kesuburan yang rendah kandungan hara meliputi C (Kurmis), N total merupakan penciri tanah ultisol (Cristancho, (Kjeldhal), P tersedian (Bray I), K dapat ditukar Hanafi, Omar, & Rafii, 2011; Egbuchua, 2014; (Ekstrak Amonium Acetat 1 N pH 7) dan Al3+ Fujii, 2014). Ciri ini terlihat pada tanah ultisol (Ekstrak KCl 1N). di lokasi penelitian yang masuk kategori sangat masam baik pada saat sebelum tanam/Aa (pH = F. Analisa data 3,60±1,02) maupun ketika tiga tahun setelah Volume kayu sebagai bahan baku pulp penanaman/A3t (pH = 3,80 ± 0,17). Tingkat per pohon (m3/pohon) dan volume kayu (m3/ha) kesuburan tanahnya pun secara umum termasuk jabon dihitung secara kuantitatif. Persamaan rendah, sebagimana ditunjukkan oleh yang digunakan untuk menghitungnya adalah kandungan unsur haranya yang rendah baik (Masota, Zahabu, Malimbwi, Bollandsås, & pada Aa maupun A3t (Tabel 1). Karakteristik Eid, 2014): tanah ultisol di lokasi penelitian ini secara Volume per pohon = 0,25 × π × (DBH)2 × H × f umum mirip atau berada pada kisaran sifat tanah dimana, π = 3,14; DBH = diameter setinggi ultisol yang ada di beberapa lokasi lainnya dada (m); H = tinggi total (m); f = angka bentuk seperti yang ada di Kalimantan, Sumatera Barat, untuk kayu pulp (f = Va/Vs, dengan Va = Nigeria dan Brazil (Egbuchua, 2014; Ezeaku, Volume aktual dihitung dengan metode smallian Eze, & Oku, 2015; Joslin et al., 2011; Prasetyo, dan Vs = volume silinder). Suharta, & Subagyo, 2001; Shamshuddin & Kapok, 2010; Yulnafatmawita & Adrinal, 2014)

53 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 51 - 63

Tabel 1. Sifat tanah ultisol di lokasi penelitian dan lokasi lainnya Nilai (Status*) Variabel sifat tanah Aa A3t B BJ (g cm-3) 1,15 ±0,03 1,24 – 1,42 3,60 ±1,02 3,80 ± 0,17 3,83 – 5,50 pH (H O) 2 (Sangat masam) (Sangat masam) (Sangat masam – masam) 1,96 ± 0,13 1,03 ± 0,38 0,77 – 1,24 C (%) (Rendah) (Sangat rendah) (Sangat rendah – rendah) 0,22 ± 0,01 0,17 ± 0,04 0,06 – 0,13 N Total (%) (Sedang) (Rendah) (Sangat rendah – rendah) 5,96 ± 1,38 6,25 – 15,25 C/N 8,78 (Rendah) (Rendah) (Rendah – sedang) 2,83 ± 0,23 10,94 ± 5,20 3,03 – 7,10 P tersedia (ppm) (Sangat rendah/very low) (Rendah/low) (Sangat rendah) 0,295 ± 0,03 0,39 ± 0,067 0,11 – 0,20 K (c mol/kg) (Sedang) (Sedang) (Rendah) 0,74 ± 0,17 Ca (c mol/kg) - 0,70 – 2,75 (Rendah) (Rendah) 0,68 ± 0,08 0,1 – 1,79 Mg (c mol/kg) - (Rendah) (Sangat rendah – sedang) Na (c mol/kg) 0,12 ± 0,002 (Rendah) - 0,03 - 0,05 (sangat rendah) KTK (c mol/kg) 12,98 (Rendah) 8,55 ± 1,18 (Rendah) Kejenuhan basa (%) 14,21 ± 2,87 (Rendah)

Keterangan: Aa = di lokasi awal penelitian (Nurwahyudi & Tarigan, 2004); A3t = di lokasi penelitian setelah 3 tahun penanaman (data primer); B = di lokasi tanah ultisol lainnya (Egbuchua, 2014; Ezeaku et al., 2015; Joslin et al., 2011; Prasetyo et al., 2001; Shamshuddin & Kapok, 2010; Yulnafatmawita & Adrinal, 2014); * = mengacu ke Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam (Hardjowigeno, 1992); KTK = kapasitas tukar kation; nilai pada kolom Aa dan A3t = rerata ±sd; nilai pada kolom B = minimum – maximum

B. Pertumbuhan tanaman Jabon menunjukkan kecenderungan Kemampuan hidup jabon yang ditanam di peningkatan performa pertumbuhan selama tanah marginal ultisol bekas A. mangium umur 0,5 - 2 tahun, walaupun secara termasuk tinggi sampai umur dua tahun (rerata keseluruhan riap tumbuh jabon terus mengalami 84%), apabila didasarkan kepada kriteria penurunan selama periode pengamatan (1 – 4 (Menteri Kehutanan RI, 2009). Namun, tahun). Kemudian, pertumbuhannya relatif kemampuan hidupnya menurun secara nyata lambat dan cenderung tetap (stagnant) selama (p<0,05) pada umur 3 dan 4 tahun. umur 2 – 4 tahun (Gambar 1). Adapun rerata Kemampuan hidupya pada umur 3 tahun pertumbuhannya pada umur 4 tahun adalah termasuk sedang (persen hidup 70% - 79%) dan tinggi 4,17 m (riap 1,04 m/tahun) dan diameter pada umur 4 tahun termasuk sangat rendah 5,15 cm (riap 1,29 cm/tahun). (persen hidup <60%). Namun demikian, jika Persen hidup dan rerata pertumbuhan didasarkan kepada kriteria Román-Dañobeytia, jabon pada umur 1 – 4 tahun tidak secara nyata Levy-Tacher, Aronson, Rodrigues, dan (p>0,05) dipengaruhi oleh jarak tanam. Castellanos-Albores (2012) yang mensyaratkan Pengaruh nyata terhadap persen hidup bahwa kemampuan hidup dikategorikan tinggi pertumbuhan jabon ditunjukkan oleh perbedaan apabila persen hidupnya >50% maka secara blok perlakuan. Rerata persen hidup dan keseluruhan kemampuan hidup jabon sampai pertumbuhan jabon di Blok III dan blok IV pada umur 4 tahun termasuk tinggi (Tabel 2). secara nyata (p<0,05) lebih baik dibandingkan blok I dan II (Tabel 2, Gambar 1 dan 2).

54 Pertumbuhan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) pada Lahan Marginal Berjenis Tanah Ultisol di Riau Ahmad Junaedi

Tabel 2. Persen hidup jabon pada lahan marginal ultisol di Riau Umur Jarak tanam 0,5 tahun 1,5 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 2 m × 2 m 91,30 ± 8,59 a 91,00 ± 7,56 a 83,00 ± 14,32 a 75,30 ± 18,40 a 57,60 ± 21,05 a 2 m × 3 m 91,70 ± 5,89 a 88,50 ± 7,38 a 87,20 ± 4,86 a 74,70 ± 9,91 a 60,10 ± 14,54 a 3 m × 3 m 93,40 ± 6,74 a 90,30 ± 9,00 a 83,30 ± 13,84 a 72,60 ± 17,06 a 44,80 ± 29,67 a Rerata 92,10 ± 1,12 89,90 ± 1,28 84,5 ± 2,31 74,2 ± 1,44 54,20 ± 8,21 Blok I 86,60 ±5,78 b 82,80 ±5,51 c 76,40 ±7,35 b 60,60 ±7,65 b 29,60 ±8,14 b II 87,00 ±4,24 b 85,60 ±5,78 bc 74,10 ±6,85 b 62,50 ±1,39 b 49,10 ±25,70 ab III 98,60 ±1,39 a 97,70 ±0,80 a 96,30 ±2,89 a 90,70 ±4,24 a 75,50 ±6,85 a IV 96,30 ±2,89 a 93,50 ±4,24 ab 91,20 ±2,12 a 82,90 ±4,24 a 62,50 ±8,45 a Rerata 92,10 ± 6,22 89,90 ± 6,88 84,50 ± 10,93 74,20 ± 14,94 54,20 ± 19,59 Keterangan: nilai = rerata ±sd; huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan secara statistik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Jabon yang ditanam di tanah marginal termasuk rendah yakni sekitar 1,39 – 5,11 ultisol pada penelitian ini tidak dapat tumbuh ton/ha/tahun (Cuevas & Lugo, 1998; optimal. Pertumbuhannya tidak menunjukkan Rahmayanti, Kosasih, Siswanto, & Sunarato, karakter sebagai jenis fastgrowing dan tidak 2014). Kurangnya asupan hara dari serasah dan lebih baik dibandingkan beberapa penelitian tidak adanya tambahan hara melalui pupuk sebelumnya. Beberapa penelitan telah susulan setelah umur 2 tahun menyebabkan menunjukkan bahwa riap tinggi dan diameter tidak terpenuhinya kebutuhan hara untuk jabon pada rentang umur 2 – 4 tahun dapat pertumbuhan, sehingga jabon tumbuh relatif mencapai 1,62 – 4,21 m/tahun dan 2,03 – 5,25 tetap pada umur 3 dan 4 tahun. cm/tahun (Abdulah, Mindawati, & Kosasih, Analisa korelasi dan regresi lebih lanjut 2013; Bijalwan, Dobriyal, & Bhartiya, 2014; menunjukkan bahwa defisiensi N (r = 0,44 - Seo, Kim, Chun, Mansur, & Lee, 2015; Bastoni 0,69) dan P (r = 0,92 - 0,96) serta berlebihnya 2002 dalam Siahaan & Rahman, 2007; Al (r = ((- 0,82) – (-0,61)) di dalam tanah Wahyudi, 2012; Zuhaidi, 2013; Zuhaidi, merupakan faktor yang diduga kuat Hashim, Sarifah, & Norhazaedawati, 2012). menghambat pertumbuhan jabon (Tabel 3). Kondisi lahan yang tidak subur Ketiga unsur hara tanah tersebut berdasarkan sebagaimana dicirikan oleh rendahnya analisis regresi dapat mempengaruhi kandungan hara diduga menjadi salah satu pertumbuhan jabon di lahan marginal ultisol faktor penyebab tidak optimalnya pertumbuhan pada kisaran 27% - 92% (Tabel 4). Akan tetapi, jabon pada penelitian ini. Kondisi ini hubungan atau pengaruh ini secara statistik sebenarnya sudah diantisipasi dengan tidak nyata (p>0,05). Hal ini diduga karena pemupukan pada saat penanaman. Namun, sedikitnya jumlah sampel (ulangan) yang pupuk yang diberikan tersebut kemungkinan dianalisa (n = 4). Namun demikan, pengaruh hanya mampu memenuhi kebutuhan hara jabon negatif kekurangan hara P dan N tanah, serta sampai umur 2 tahun. Padahal, persaingan berlebihnya Al tanah telah diketahui dan dalam memperoleh hara akan semakin dibuktikan secara ilmiah sebagai faktor penting meningkat dengan bertambahnya umur yang menghambat pertumbuhan tanaman. tanaman. Sementara itu, asupan hara dari Kandungan P dan N pada tanah-tanah dekomposisi serasah daun jabon, nampaknya tropis seperti ultisol diketahui rendah dan secara tidak optimal karena produktivitas serasah jabon umum telah dianggap sebagai faktor pembatas

55 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 51 - 63 pertumbuhan (Agren, Wetterstedt, & Billberger, pembentukan rambut akar, pembentukan 2012; Fujii, 2014; Nottingham et al., 2015; klorofil, pemanjangan akar dan pertumbuhan Yang, Thornton, Ricciuto, & Post, 2014). Hal pucuk (Moosavi & Ronaghi, 2011; Rehmus, ini dikarenakan rendahnya kandungan N akan Bigalke, Valarezo, & Mora, 2015; Yang et al., menghambat proses penyusunan protein, DNA, 2015; Yu, Liu, Wang, Chen, & Xu, 2011). RNA dan klorofil, sedangkan rendahnya P akan Faktor lain yang diduga menyebabkan menghambat pembentukan ATP, gula dan asam tidak optimalnya pertumbuhan jabon adalah nukleat (McCauley, 2011). Sementara itu, keberadaan organisme pengganggu tanaman kandungan Al tanah yang berlebih merupakan (OPT) berupa gulma, hama dan penyakit. racun dan menjadi salah satu faktor utama yang (Pribadi, 2010a, 2010b, 2012) dan (Pribadi & menghambat pertumbuhan dan bahkan Anggraeni, 2011) melaporkan bahwa beberapa menyebabkan kematian tanaman (Brunner & OPT yang mengganggu tegakan jabon di lokasi Sperisen, 2013; Hodson, 2012). Hal ini penelitian adalah Arthochista hilaralis (hama); dikarenakan Al yang berlebih dapat Ottcloa sp dan Scleria sumatrensis (gulma) menghambat penyerapan unsur hara makro, serta penyakit leaf spot, busuk akar dan batang.

Blok I 7 Blok II 6 Blok III 6 Blok IV 5 Rerata/Average

5

4

4 Tinggi (m) Tinggi

Tinggi (m) Tinggi 3 3 2 m X 2 m 2 2 2 m X 3 m

1 3 m X 3 m 1 Rerata/Average 0 0 0 1 2 3 4 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 Umur (tahun) Umur (tahun)

4 4 2 m X 2 m Blok I

2 m X 3 m Blok II

Blok III

) 3 3 m X 3 m 3 ) Blok IV

Rerata/Average Rerata/Average

m/tahun m/tahun

2 2 Riap tinggi ( tinggiRiap Riap tinggi ( tinggiRiap 1 1

0 0 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 Umur (tahun) Umur (tahun)

Gambar 1. Pertumbuhan dan riap tinggi jabon pada lahan marginal ultisol di Riau

56 Pertumbuhan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) pada Lahan Marginal Berjenis Tanah Ultisol di Riau Ahmad Junaedi

7 2 m X 2 m 7 2 m X 3 m 6 3 m X 3 m 6 Rerata/Average

5 5

4 4

DBH (cm) DBH 3 DBH (cm) DBH 3 Blok I Blok II 2 2 Blok III 1 1 Blok IV Rerata/Average 0 0 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 5 Umur (tahun) Umur (tahun)

5 5 Blok I 2 m X 2 m Blok II 4

4 2 m X 3 m Blok III

3 m X 3 m Blok IV 3 3 Rerata/Average Rerata/Average

2 2

Riap DBH (cm/tahun) DBH Riap Riap DBH (cm/tahun) DBH Riap 1 1

0 0 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 Umur (tahun) Umur (tahun) Gambar 2. Pertumbuhan dan riap diameter jabon pada lahan marginal ultisol di Riau

Tabel 3. Nilai koefisien korelasi (r) antara variabel pertumbuhan, produksi dan produktivitas jabon dengan sifat tanah pada lahan marginal ultisol di Riau Variabel pertumbuhan Sifat tanah Persen hidup Tinggi DBH Volume Riap Volume C 0,17 tn 0,13 tn 0,04 tn 0,01 tn 0,09 tn N 0,69 tn 0,44 tn 0,53 tn 0,57 tn 0,63 tn C/N -0,34 tn -0,60 tn -0,52 tn -0,48 tn -0,41 tn pH 0,14 tn 0,43 tn 0,34 tn 0,32 tn 0,24 tn P 0,96 tn 0,92 tn 0,95 tn 0,92 tn 0,93 tn Al - 0,82 tn - 0,61 tn -0,68 tn -0,71 tn -0,77 tn Keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

.

57 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 51 - 63

Tabel 4. Persamaan regresi linier antara parameter pertumbuhan dengan sifat tanah No. Parameter Persamaan regresi R2 SV = 243,48.N + 32,80 0,48tn DBH = 11,675.N + 2,78 0,28tn SV = 2,694.P + 49,23 0,93tn tn 1 Pertumbuhan H = 0,1065.P + 3,1573 0.84 DBH = 0,1371.P + 3,620 0,90tn SV = -31,676.Al + 124.63 0,68tn H = -1,329.Al + 6,098 0,38tn DBH = -1,658.Al + 7,406 0,47tn V = 0,0382.N - 0,0012 0,32tn 2 Volume kayu V = 0,0004.P + 0,0017 0,84tn V = -0,0053.Al + 0,0137 0,51tn MAIV = 26,889.N - 1,916 0,40tn 3 Riap volume MAIV = 0,296.P + 0,012 0,84tn MAIV = -3,575.Al + 8,348 0,59tn Keterangan: SV = Persen hidup (%); H = tinggi (m); DBH = diameter/ (cm); V = volume kayu (m3/pohon); MAI = riap volume (m3/ha/tahun); N = Nitrogen tanah/ (%); P = Posfor tanah/ (ppm); Al = Aluminium tanah/ (cmol/kg); tn = tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% Hama A. hilaralis dan gulma merupakan volume kayu per satuan luasnya (m3/ha) dan OPT utama yang mengganggu pertumbuhan riapnya (m3/ha/tahun) menurun mulai umur dua jabon. Larva A. hilaralis memangsa sebagian dan tiga tahun (Gambar 3 dan 4). Volume kayu besar (98%) daun dan menyebabkan defoliasi per satuan luas rerata untuk bahan baku pulp (gundul) sehingga akan mengganggu yang diperoleh pada akhir pengamatan (umur 4 fotosintesis. Gangguan fotosintesis ini tahun) adalah 7,65 m3/ha. Sementara itu, rerata menyebabkan pertumbuhan jabon tidak optimal. riap puncak yang diperoleh pada umur 2 tahun Serangan A. hilaralis pada tingkat lanjut adalah 3,00 m3/ha/tahun (Gambar 4). akan menyebabkan jabon mati pucuk (die back). Volume kayu per pohon jabon tidak Seriusnya serangan hama jenis ini terutama dipengaruhi secara nyata (p>0,05) oleh jarak didukung oleh kemampuan pertumbuhan dan tanam. Pengaruh jarak tanam nampak nyata reproduksinya yang sangat cepat (Susanty, (p<0,05) terhadap volume kayu per satuan luas Farikhah, & Mansur, 2014). Sementara itu, (m3/ha) dan riapnya, dimana produktivitas yang tidak adanya pengendalian gulma setelah jabon paling tinggi diperoleh pada jarak tanam yang berumur 2 tahun dan ditambah dengan paling sempit yakni 2 m × 2 m. Sementara itu, meningkatnya sinar matahari yang sampai ke seperti pada pertumbuhan, blok berpengaruh lantai hutan (akibat defoliasi) menyebabkan nyata (p<0,05) terhadap volume kayu per semakin rapat dan beragamnya tutupan gulma. pohon, volume kayu per satuan luas dan riap Gulma tersebut menghambat dan menyebabkan volume kayu. Volume kayu per pohon, volume kematian jabon melalui persaingan dalam kayu per satuan luas dan riap volume kayu memperoleh hara, sifat allelopatinya, maupun jabon di blok III dan IV secara nyata (p<0,05) melalui hambatan fisik seperti lilitannya. lebih baik dibandingkan blok I dan II. Volume kayu yang diperoleh merupakan C. Volume kayu dan kelayakan parameter utama yang digunakan untuk menilai pengembangan jabon kelayakan jenis jabon untuk dikembangkan Volume kayu per pohon jabon terus sebagai penghasil kayu HTI pulp. Jabon meningkat seiring bertambahnya umur, tetapi

58 Pertumbuhan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) pada Lahan Marginal Berjenis Tanah Ultisol di Riau Ahmad Junaedi dikatakan layak dikembangkan di HTI, apabila dikembangkan yakni Acacia spp. dan kayu yang diperoleh lebih banyak atau Eucalyptus spp. mendekati jenis eksotik yang selama ini banyak

0.009 0.012 2 m X 2 m Blok I 0.008 Blok II

2 m X 3 m 0.007 0.01 Blok III 3 m x 3 m Blok IV 0.006 0.008 Rerata/Average Rerata/Average 0.005 0.006

0.004 Volume (m3/pohon) Volume

0.003 0.004

0.002 (m3/pohon) Volume 0.002 0.001

0 0 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 Umur (tahun) Umur (tahun)

Gambar 3. Volume kayu untuk pulp yang dihasilkan pohon jabon pada lahan marginal ultisol di Riau

Volume kayu per satuan luas jabon yang 1960 menjadi 38 m3/ha/tahun pada tahun 2008 ditanam di lahan marginal ultisol pada akibat tindakan silvikultur intensif yang penelitian ini secara umum termasuk rendah. mengacu pada hasil penelitian intensif dan Riap volumenya pun (3 m3/ha/tahun) lebih berkesinambungan (Gonçalves, Stape, Laclau, rendah dibandingkan jenis eksotik. Adapun, riap Bouillet, & Ranger, 2008). volume jenis eksotik Eucalyptus urograndis dan Penelitian ini telah menunjukkan A. mangium pada rotasi kedua adalah masing- beberapa faktor yang diduga berpengaruh kuat masing 34,88 m3/ha/tahun dan 15 - 17 terhadap pertumbuhan jabon; yaitu N, P dan Al m3/ha/tahun (Harwood & Nambiar, 2014; tanah serta keberadaan hama, penyakit dan Mindawati, Indrawan, Mansur, & Rusdiana, gulma (OPT). Berdasarkan hal ini, penelitian 2010). Dengan perbandingan ini, nampak bahwa lanjutan yang penting dilakukan dalam rangka untuk saat ini jabon belum layak untuk mengoptimalkan pertumbuhan jabon di lahan dikembangkan di HTI. Walaupun demikian, marginal ultisol adalah manipulasi lingkungan peluang pengembangan jabon di HTI masih untuk meningkatkan kandungan N dan P tanah, dimungkinkan apabila dilakukan penelitian serapan P dan N tanah oleh tanaman, yang intensif dan berkesinambungan. Kegiatan menurunkan tingkat keracuan Al tanah, serta penelitian seperti ini akan menghasilkan mengurangi/mengendalikan gangguan OPT berbagai temuan yang bisa digunakan sebagai (terutama hama A. hilaralis). Upaya lainnya bahan/acuan dalam tindakan silvikutur intensif adalah dengan melakukan program pemuliaan jenis jabon di lahan marginal ultisol. Dengan pohon untuk memperoleh bibit/klon yang demikian, kayu yang diperoleh dari penanaman mempunyai toleransi tinggi di tanah masam, jabon di lahan marginal ultisol kemungkinan miskin hara dan beraluminium tinggi. Yang et masih bisa ditingkatkan. Hal ini sebagaimana al. (2015) telah memperlihatkan beberapa klon meningkatnya riap volume kayu Eucalyptus Eucalyptus spp. dengan kemampuan toleransi spp. di Brazil, dari 10 m3/ha/tahun pada tahun yang tinggi terhadap pengaruh negatif Al.

59 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 51 - 63

16 16 2 m X 2 m Blok I 15 15 Blok II 14 2 m X 3 m 14 Blok III 13 3 m X 3 m 13 Blok IV Rerata/Average 12 Rerata/Average 12 11 11 10 10 9 9 8 8 7 7 6 6 5 5 4 4

Volume per luas (m3/ha) luas per Volume 3

3 Volume per satuan luas (m3/ha) (m3/ha) luas satuan per Volume 2 2 1 1 0 0 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 Umur (tahun) Umur (tahun)

6 2 m X 2 m 6 Blok I Blok II 2 m X 3 m Blok III 3 m X 3 m Blok IV

5 Rerata (Average) 5 Rerata/Average

4 4

3 3

2 2 Riap Volume Riap Volume (m3/ha/tahun)

Riap Volume (m3/ha/tahun) Volume Riap 1 1

0 0 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 Umur (tahun) Umur (tahun Gambar 4. Volume kayu jabon untuk pulp per satuan luas dan riapnya pada lahan marginal ultisol di Riau

dikembangkan sebagai penghasil kayu pulp di IV. KESIMPULAN hutan tanaman industri yang umumnya berada Jabon yang ditanam pada lahan marginal pada lahan marginal berjenis tanah ultisol. berjenis tanah ultisol bekas hutan tanaman A. mangium (rotasi kedua) tidak dapat tumbuh UCAPAN TERIMA KASIH dengan baik. Jika tidak ada upaya untuk Terima kasih disampaikan penulis kepada meningkatkan pertumbuhannya (misalnya berbagai pihak yang telah membantu melalui program pemuliaan pohon ataupun pelaksanaan penelitian dan penulisan naskah ini intensifikasi tindakan silvikultur seperti yakni teknisi BP2TSTH, pimpinan dan staf manipulasi lingkungan dan pengendalian hama Research & Development PT. RAPP, Yanto penyakit), jenis ini belum layak untuk

60 Pertumbuhan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) pada Lahan Marginal Berjenis Tanah Ultisol di Riau Ahmad Junaedi

Rochmayanto dan pihak lain yang tidak dapat plantation species. Forest Ecology and disebut satu persatu. Management, 112, 263–279. Daryono, H. (2009). Potensi, permasalahan dan DAFTAR PUSTAKA kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan hutan dan lahan rawa gambut secara lestari. Abdulah, L., Mindawati, N., & Kosasih, A. S. Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(1981), 71– (2013). Evaluasi pertumbuhan awal jabon di 101. Hutan Rakyat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 10(3), 119–128. Egbuchua, C. N. (2014). Variability in Soil Properties as Influenced by Different Land Agren, G. I., Wetterstedt, J. A. ., & Billberger, M. F. Use Types in an Ultisols of the Tropical . (2012). Nutrient limitation on terrestrial Region, Delta State, Nigeria Collins Nnamdi plant growth – modeling the interaction Egbuchua. Agricultura Tropica Et between nitrogen and phosphorus. New Subtropica, 47(2), 43–48. Phytologist, 194, 953–960. https://doi.org/10.2478/ats-2014-0006 https://doi.org/doi: 10.1111/j.1469- 8137.2012.04116.x Ezeaku, P. I., Eze, F. U., & Oku, E. (2015). Profile distribution and degradation of soil properties Aprianis, Y., & Rahmyanti, S. (2009). Dimensi serat of an ultisol in Nsukka semi-humid area of dan nilai turunannya dari tujuh jenis kayu Nigeria. African Journal of Agricultural asal provinsi jambi. Jurnal Penelitian Hasil Research, 10(11), 1306–1311. Hutan, 27(1), 1–15. https://doi.org/10.5897/AJAR2013.8446 Bijalwan, A., Dobriyal, M. J. R., & Bhartiya, J. K. Francis, B. A., Beadle, C., Puspitasari, D., Irianto, (2014). A potential fast growing tree for R., Agustini, L., Rimbawanto, A., … Agroforestry and Carbon Sequestration in Hardiyanto, E. (2014). Disease progression in India: Anthocephalus cadamba (Rox .). plantations of Acacia mangium a ff ected by American Journal of Agriculture and red root rot (Ganoderma philippii), 44, 447– Forestry, 2(6), 296–301. 459. https://doi.org/10.1111/efp.12141 https://doi.org/10.11648/j.ajaf.20140206.21 Fujii, K. (2014). Soil acidification and adaptations of Brunner, I., & Sperisen, C. (2013). Aluminum plants and microorganisms in Bornean exclusion and aluminum tolerance in woody tropical forests. Ecological Research, 29(3), plants. Plant Science, 4(June), 1–12. 371–381. https://doi.org/10.1007/s11284- https://doi.org/10.3389/fpls.2013.00172 014-1144-3 Calvo-Alvarado, J. C., Arias, D., & Richter, D. D. Gonçalves, J. L. M., Stape, J. L., Laclau, J. P., (2007). Early growth performance of native Bouillet, J. P., & Ranger, J. (2008). Assessing and introduced fast growing tree species in the effects of early silvicultural management wet to sub-humid climates of the Southern on long-term site productivity of fast-growing region of Costa Rica. Forest Ecology and eucalypt plantations: The Brazilian Management, 242, 227–235. experience. Southern Forests, 70(2), 105– https://doi.org/10.1016/j.foreco.2007.01.034 118. Carpenter, F. L., Nichols, J. D., & Sandi, E. (2004). https://doi.org/10.2989/SOUTH.FOR.2008.7 Early growth of native and exotic trees 0.2.6.534 planted on degraded tropical pasture. Forest Harwood, C. E., & Nambiar, E. K. S. (2014). Ecology and Management, 196(2–3), 367– Sustainable plantation forestry in South-East 378. Asia. Canberra. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2004.03.030 Hodson, M. J. (2012). Metal toxicity and tolerance in Cristancho, J. A., Hanafi, M. M., Omar, S. R. S., & plants. Oxford. Rafii, M. Y. (2011). Alleviation of soil acidity improves the performance of oil palm Indrawan, D. A., Efiyanti, L., Tampubolon, R. M., & progenies planted on an acid Ultisol. Acta Roliadi, H. (2015). Pembuatan pulp untuk Agriculture Scandinavia Section B - Soil and kertas bungkus dari bahan serat alternatif. Plant Science, 61, 487–498. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 33(4), 283– https://doi.org/10.1080/09064710.2010.5064 302. 48 Joslin, A. H., Markewitz, D., Morris, L. A., Deassis, Cuevas, E., & Lugo, A. E. (1998). Dynamics of F., Figueiredo, R. O., & Kato, O. R. (2011). organic matter and nutrient return from Five native tree species and manioc under litterfall in stands of ten tropical tree slash-and-mulch agroforestry in the eastern Amazon of Brazil : plant growth and soil

61 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 51 - 63

responses. Agroforestry Systems, 81, 1–14. Phillips, P. D., Yasman, I., Brash, T. E., & https://doi.org/10.1007/s10457-010-9356-1 Gardingen, P. R. Van. (2002). Grouping tree species for analysis of forest data in Masota, A. M., Zahabu, E., Malimbwi, R. E., Kalimantan (Indonesian Borneo). Forest Bollandsås, O. M., & Eid, T. H. (2014). Ecology and Management, 157, 205–216. Volume Models for Single Trees in Tropical Rainforests in Tanzania. Journal of Energy Prasetyo, B. H., Suharta, N., & Subagyo, H. (2001). and Natural Resources, 3(5), 66. Chemical and mineralogical properties of https://doi.org/10.11648/j.jenr.20140305.12 Ultisol of Sasamba Area, East Kalimantan. Indonesian Journal of Agriculture Science, McCauley, A. (2011). Plant Nutrient Functions and 2(2), 37–47. Deficiency and Toxicity Symptoms. Nutrient Management Module, 9, 1–16. Pribadi, A. (2010a). Inventarisasi berbagai jenis penyakit dan gula pada tegakan jabon Menteri Kehutanan RI. Peraturan Menteri Kehutan (Anthocephalus cadamba). Badan Litbang Republik Indonesia Tentang Pedoman dan Inovasi Lingkungan Hidup dan Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan, Kehutanan. Pub. L. No. P.60/Menhut-II/2009 (2009). Republik Indonesia. Pribadi, A. (2010b). Serangan hama dan tingkat kerusakan daun akibat hama defoliator pada Mindawati, N., Indrawan, A., Mansur, I., & tegakan jabon (Anthocephalus cadamba Rusdiana, O. (2010). Kajian pertumbuhan Miq.). Jurnal Penelitian Hutan Dan tegaka hybrid Eucalyptus urograndis di Konservasi Alam, 2(4), 451–458. Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(1), 39–50. Pribadi, A. (2012). Pest and diseases attacking Cadamba (Anthocephalus cadamba) Moosavi, A. A., & Ronaghi, A. (2011). Influence of plantation at Riau Province. In P. Parthama, foliar and soil applications of iron and A. F. Mas’ud, N. Mindawati, G. Pari, H. manganese on soybean dry matter yield and Krisnawati, Krsidianto, … D. R. Nurrochmat iron-manganese relationship in a Calcareous (Eds.), Proceeding INAFOR 2011 (pp. 418– soil. Australian Journal of Crop Science, 429). Bogor. 5(12), 1550–1556. Pribadi, A., & Anggraeni, I. (2011). Pengaruh Nottingham, A. T., Turner, B. L., Whitaker, J., Ostle, temperatur dan kelembaban terhadap tingkat N. J., Mcnamara, N. P., Bardgett, R. D., & kerusakan jabon (Anthocephalus cadamba) Salinas, N. (2015). Soil microbial nutrient oleh Arthrochista hilaralis. Jurnal Penelitian constraints along a tropical forest elevation Hutan Tanaman, 8(1), 1–7. gradient : a belowground test of a biogeochemical paradigm. Biogeosciens, 12, Rahmayanti, Kosasih, S., Siswanto, A. B., & 6071–6083. https://doi.org/10.5194/bg-12- Sunarato. (2014). Silvikultur jenis alternatif 6071-2015 kayu serat untuk pulp di lahan mineral (Laporan Hasil Penelitian tidak Nurcan, Refdanil, Sribudiani, E., & Sudarmalik. dipublikasikan). Kuok, Riau. (2014). Selling price of Acacia Llog analisys by approaching the production cost of Rehmus, A., Bigalke, M., Valarezo, C., & Mora, J. plantation forest. Jurnal Analisis Kebijakan (2015). Aluminum toxicity to tropical Kehutanan, 1(1), 1–13. montane forest tree seedlings in southern Ecuador : Response of nutrient status to Nurwahyudi, & Tarigan, M. (2004). Logging elevated Al concentrations. Plant Soil, 388, Residue Management and Productivity in 87–97. https://doi.org/10.1007/s11104-014- Short-rotation Acacia mangium Plantations in 2276-5 Riau Provi .... In E. K. . Nambiar, J. Ranger, A. Tiarks, & T. Toma (Eds.), Proceeding of Román-Dañobeytia, F. J., Levy-Tacher, S. I., Workshops : Site Management and Aronson, J., Rodrigues, R. R., & Castellanos- Productivity in Tropical Platation Forests Albores, J. (2012). Testing the Performance (pp. 109–119). Congo and China: CIFOR. of Fourteen Native Tropical Tree Species in Two Abandoned Pastures of the Lacandon Otsamo, A. (2001). Forest plantations on Imperata Rainforest Region of Chiapas, Mexico. grasslands in Indonesia. Restoration Ecology, 20(3), 378–386. Otsamo, A., Adjers, G., Hadi, T. S., Kuusipalo, J., & https://doi.org/10.1111/j.1526- Vuokko, R. (1997). Evaluation of 100X.2011.00779.x reforestation potential of 83 tree species Seo, J., Kim, H., Chun, J.-H., Mansur, I., & Lee, C.- planted on Imperata cylindrica dominated B. (2015). Silvicultural practice and growth grassland. New Forests, 14, 127–143.

62 Pertumbuhan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) pada Lahan Marginal Berjenis Tanah Ultisol di Riau Ahmad Junaedi

of the jabon tree (Anthocephalus cadamba Yang, M., Tan, L., Xu, Y., Zhao, Y., Cheng, F., & Miq.) in community forests of West Java , Ye, S. (2015). Effect of Low pH and Indonesia. Journal of Agriculture & Life Aluminum Toxicity on the Photosynthetic Science, 49(4), 81–93. Characteristics of Different Fast-Growing https://doi.org/http://dx.doi.org/10.14397/jals. Eucalyptus Vegetatively Propagated Clones. 2015.49.4.81 Plos One, 10(6), 1–16. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0130963 Shamshuddin, J., & Kapok, J. R. (2010). Effect of Ground Basalt on Chemical Properties of an Yang, X., Thornton, P. E., Ricciuto, D. M., & Post, Ultisoi and Oxisol in Malaysia. Pertanika J. W. M. (2014). The role of phosphorus Trop. Agric. Sci, 33(August 2009), 7–14. dynamics in tropical forests – a modeling study using CLM-CNP. Biogeosciens, 11, Siahaan, H., & Rahman, T. (2007). Peningkatan 1667–1681. https://doi.org/10.5194/bg-11- mutu benih jenis prioritas sumatera bagian 1667-2014 selatan dalam mendukung pembangunan hutan tanaman. In Hendromono, S. Bustomi, Yu, H. N., Liu, P., Wang, Z. Y., Chen, W. R., & Xu, & M. K. Sallata (Eds.), Prosiding Seminar: G. D. (2011). The effect of aluminum Peran IPTEK dalam Mendukung treatments on the root growth and cell Pembangunan Hutan Tanaman dan ultrastructure of two soybean genotypes. Kesejahteraan Masyarakat. Kayu Agung – Crop Protection, 30(3), 323–328. OKI, 7 Desember 2006. (pp. 31–37). Kayu https://doi.org/10.1016/j.cropro.2010.11.024 Agung, OKI, Palembang: Puslitbang Hutan Yulnafatmawita, & Adrinal. (2014). Physical Tanaman. characteristics of ultisols and the impact on Srihadiono, U. I. (2005). Hutan tanaman industri: soil loss during sorbean (Glycine max Merr) skenario masa depan kehutanan Indonesia. cultivation. Agrivita, 36(1), 57–64. Palembang: Musi Hutan Persada. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.17503/Agr ivita-2014-36-1-p057-064 Susanty, S. C., Farikhah, N., & Mansur, I. (2014). Neraca Kehidupan hilaralis Zuhaidi, Y. A. (2013). Crown diameter prediction pada tanaman jabon (Anthocephalus model for plantation-grown Miq.). Jurnal Penelitian Hutan cadamba. Journal of Tropical Forest Science, Tanaman, 11(2), 99–104. 25(4), 446–453. Wahyudi. (2012). Analisis Pertumbuhan Dan Hasil Zuhaidi, Y. A., Hashim, M. ., Sarifah, K., & Tanaman. Jurnal Perennial, 8(1), 19–24. Norhazaedawati, B. (2012). Domestication of lesser known Tropical species Neolamarckia Wasis, B. (2006). Perbandingan Kualitas Tempat cadamba among the small scale forest Tumbuh antara Daur Pertama dengan Daur owners. In IUFRO 2012 Small-Scale Kedua pada Hutan Tanaman Acacia Forestry: Science for Solutions. mangium Willd (Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan). Institut Pertanian Bogor.

63 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 51 - 63

64 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 65 - 73

SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KETURUNAN GENERASI KEDUA KAYUPUTIH (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) DI GUNUNGKIDUL Selection and genetic gain observed at second generation progeny trial of cajuput (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) in Gunungkidul

Sumardi, Noor Khomsah Kartikawati, Prastyono dan Anto Rimbawanto Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta email: [email protected]

Tanggal diterima: 16 Juni 2017, Tanggal direvisi: 9 Agustus 2017, Disetujui terbit: 30 Mei 2018

ABSTRACT Breeding for cajuput in Indonesia has moved into advanced generation breeding cycle through establishing second-generation progeny trial. A series of selection would be practiced in the trial before converting into a seedling seed orchard to produce genetically improved seed. In this study, a series of selection, followed by prediction of genetic gain will be observed in the second-generation progeny trial of cajuput established at Gunungkidul. The trial was laid out in randomized complete block design (RCBD), 65 families, three tree-plot, four replications, and spacing of 3 × 1,5 meter. Measurement was conducted on height and diameter at 24 months age. In the trial, within-plot selection has been practiced phenotypicaly by retaining one of the best tree out of the three tree within each plot. Succesive family selection was then simulated from the result of within- plot selection. Results of study showed that estimates of heritabily for diameter were higher than that for height. Genetic and phenotypic correlation between the two traits was moderate at around 0.57. Within-plot selection practiced in the trial resulted positive selection differential for all measured traits. Diameter showed higher coefficient weight of selection (0.4280) than height (0.0406) which indicates that the practiced within-plot selection was more imposed for diameter than that for height. Genetic gain from within-plot selection calculated using selection index were 20.76% for diameter and 12.73% for height. Simulated family selection using the same coefficient weight as within-plot selection resulted lower genetic gain at around 12.26% and 7.52% for diameter and height, respectivelly. Keywords: selection index, within-plot selection, family selection, genetic parameter, coefficient of weight

ABSTRAK Pemuliaan kayuputih di Indonesia mulai memasuki pada pemuliaan generasi tingkat lanjut dengan dibangunnya uji keturunan generasi kedua. Serangkaian kegiatan seleksi akan dilakukan pada plot uji keturunan sebelum dikonversi menjadi kebun benih untuk menghasilkan benih unggul. Pada penelitian ini serangkaian kegiatan seleksi dan prediksi perolehan genetik akan dilakukan pada plot uji keturunan generasi kedua kayuputih di Gunungkidul. Plot uji dibangun dengan menggunakan rancangan acak lengkap berblok (RALB), 65 famili, tiga tree-plot, empat ulangan, dan jarak tanam 3 × 1,5 meter. Pengukuran tinggi dan diameter dilakukan pada tanaman umur 24 bulan. Pada plot uji keturunan ini, seleksi dalam plot telah dilakukan secara fenotipik dengan mempertahankan salah satu pohon terbaik dari tiga pohon dalam setiap plot. Seleksi famili selanjutnya disimulasikan dari hasil seleksi dalam plot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa estimasi heritabilitas sifat diameter lebih tinggi daripada sifat tinggi. Korelasi genetik dan fenotipik antara dua sifat tersebut termasuk sedang (0,57). Seleksi dalam plot yang telah dilakukan menghasilkan diferensial seleksi positif untuk semua sifat yang diukur. Sifat diameter menunjukkan koefisien bobot seleksi yang lebih tinggi (0,4280) daripada sifat tinggi (0,0406), yang menunjukkan bahwa seleksi dalam plot lebih diprioritaskan pada sifat diameter. Perolehan genetik hasil seleksi dalam plot yang dihitung menggunakan indeks seleksi adalah sebesar 20,76% untuk diameter dan 12,73% untuk tinggi. Simulasi seleksi famili menggunakan koefisien bobot yang sama seperti pada seleksi dalam plot menghasilkan perolehan genetik lebih rendah yaitu 12,26% (diameter) dan 7,52% (tinggi). Kata kunci: indek seleksi, seleksi dalam plot, seleksi famili, parameter genetik, koefisien bobot yang menghasilkan minyak atsiri dari hasil I. PENDAHULUAN penyulingan daunnya, yang dimanfaatkan oleh Kayuputih (Melaleuca cajuputi subsp. industri minyak kayuputih sebagai bahan dasar cajuputi) merupakan salah satu jenis tanaman pembuatan obat gosok untuk penghangat dan

65 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 65 - 73 aroma terapi (Kartikawati, Na’iem, Hardiyanto, (advanced generation breeding program), & Rimbawanto, 2013). Indonesia sebagai perolehan genetik secara akumulatif dihitung konsumen sekaligus produsen minyak berdasarkan jumlah perolehan genetik dari kayuputih belum mampu mencukupi kebutuhan setiap generasi pemuliaan yang dilampaui nasionalnya sebanyak 1.500 ton per tahun, (Handayani et al., 2017). sehingga terpaksa harus melakukan impor Walaupun pemuliaan kayuputih sudah minyak eucalyptus dari RRC sebagai substitusi memasuki generasi kedua (Kartikawati et al., (Kartikawati, Rimbawanto, Susanto, 2014), informasi seleksi dan perolehan Baskorowati, & Prastyono, 2014). Oleh karena genetiknya belum pernah dilaporkan. Untuk itu itu untuk mendukung pemenuhan kebutuhan penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan minyak kayuputih nasional perlu dilakukan mengetahui informasi parameter genetik dan perluasan dan pemuliaan tanaman untuk seleksi serta pengaruhnya terhadap perolehan meningkatkan rendemen dan kualitas minyak. genetik pada uji keturunan F2 kayuputih di Upaya pemuliaan tanaman kayuputih Gunungkidul. Hasil penelitian ini diharapkan telah dimulai dengan membangun kebun benih dapat memberikan manfaat terhadap proses uji keturunan skala kecil pada tahun 1998 di seleksi yang lebih terarah dan konsisten serta Paliyan Kabupaten Gunungkidul dengan mencegah hilangnya potensi genetik dalam menggunakan 19 famili yang berasal dari pemuliaan kayuputih generasi kedua. Kepulauan Buru, Ambon, Seram, dan Australia bagian barat dan utara (Kartikawati & Sumardi, II. BAHAN DAN METODE 2017). Untuk memperluas basis genetiknya A. Lokasi penelitian pada tahun 2002 dibangun kebun benih uji Penelitian di lakukan pada plot uji keturunan generasi pertama (F1) di Gundih, keturunan F2 kayuputih di Petak 93, Playen, Ponorogo dan Cepu (Kartikawati et al., 2014). Kabupaten Gunungkidul. Lokasi penelitian Upaya peningkatan kualitas genetik kayuputih ° ° terletak pada 7 59′10” – 7 59′42” Lintang berlanjut pada pembangunan plot uji keturunan ° ° Selatan dan 110 30′00” – 110 30′59” Bujur generasi kedua (F2) pada tahun 2008 dengan Timur. Secara administratif Petak 93 Playen materi genetik berasal dari pohon plus kebun terletak di Desa Banyusoco, Kecamatan Playen, benih F1 dan beberapa famili hasil persilangan Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah terkendali (Kartikawati et al., 2014). Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan klasifikasi Pembangunan plot uji keturunan selain iklim Schmidt dan Ferguson Petak 93 Playen dimanfaatkan sebagai populasi pengujian termasuk tipe iklim C dengan curah hujan 1.894 genetik untuk mengetahui parameter genetik, mm/tahun yang terjadi pada bulan November juga akan digunakan sebagai populasi penghasil hingga Maret (Saputra, 2010). Topografi lokasi benih unggul (Zobel & Talbert, 1984). Plot uji penelitian berdasarkan kategori Keputusan keturunan dapat digunakan sebagai populasi Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 penghasil benih unggul setelah melalui dan No. 683/Kpts/Um/8/1981, termasuk dalam serangkaian penjarangan seleksi berdasarkan kategori datar dengan kelerengan antara 0 – 8%. parameter genetik (Handayani, Sunarti, & Nirsatmanto, 2017). Proses seleksi yang B. Bahan dan alat penelitian dilakukan akan diarahkan untuk mendapatkan Bahan penelitian yang digunakan adalah perolehan genetik yang optimal dan mencegah tanaman kayuputih pada plot uji keturunan F2 di kemungkinan terjadinya kehilangan potensi Petak 93, Playen umur 24 bulan. Penelitian perolehan genetik (loss potential genetic gain) dilakukan dengan pengukuran tinggi dan (Surip, Indrioko, Nirsatmanto, & Setyaji, 2017). diameter tanaman menggunakan galah dan Pada program pemuliaan generasi tingkat lanjut kaliper. Data yang diperoleh ditabulasi

66 Seleksi dan Perolehan Genetik pada Uji Keturunan Generasi Kedua Kayuputih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) di Gunungkidul Sumardi, Noor Khomsah Kartikawati, Prastyono, dan Anto Rimbawanto menggunakan alat tulis dan tally-sheet untuk menggunakan rumus sebagai berikut (Zobel & selanjutnya dianalisis menggunakan alat bantu Talbert, 1984): komputer. Heritabilitas individu: 2 2 2 2 2 C. Metode penelitian hi = 3 x σf / (σf + σfb + σw ) ….....…(2) Rancangan penelitian yang digunakan dimana: 2 pada plot uji keturunan F2 adalah rancangan hi : heritabilitas individu 2 acak lengkap berblok (RALB) yang terdiri dari σf : komponen varians famili 2 65 famili, 3 tree-plot dan 4 blok sebagai ulangan σfb : komponen varians interaksi antara serta jarak tanam 3 × 1,5 m. Sebanyak 65 famili famili × blok σ 2 : komponen varians dalam plot yang diuji tersebut berasal dari 13 famili half - w sib dari kebun benih F1 di Paliyan; 32 famili Heritabilitas famili: half - sib dari kebun benih F1 di Ponorogo, 2 2 2 2 2 hf = σf / (σf + σfb /b + σw /nb) ……....(3) Gundih dan Cepu; 12 famili full- sib dari kebun dimana: benih F1 di Ponorogo. Pada plot ini juga 2 digunakan sebanyak 8 famili infusi sebagai hf : heritabilitas famili kontrol yang terdiri dari 5 famili dari tegakan b : rerata harmonik jumlah blok n : rerata harmonik jumlah pohon per alam di Ambon, 2 famili dari tegakan di plot Gundih, dan 1 famili dari tegakan di Ponorogo. Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah Korelasi genetik (rgij) dan fenotipik (rpij) sifat tinggi dan diameter setinggi dada, dan antar varibel yang diamati dihitung dengan dilakukan pada bulan Desember tahun 2010. menggunakan rumus sebagai berikut (Falconer, Penjarangan seleksi dalam plot (within-plot 1960): selection) telah dilaksanakan di dalam plot uji 2 2 ½ rgij = covf(ij) / (σfi x σfj ) ……..….…....(4) keturunan dengan membuang dua pohon 2 2 ½ rpij = covp(ij) / (σpi x σpj ) ……...... (5) terjelek dalam setiap plot pada umur 44 bulan. dimana, covf(ij) dan covp(ij) masing-masing D. Analisis data secara berurutan merupakan kovarians famili 1. Analisis varians dan parameter genetik dan kovarians fenotipik antara sifat ke-i 2 2 2 Analisis varians dan kovarians dihitung dengan sifat ke-j. Sedangkan σfi , σfj , σpi , 2 menggunakan data dari setiap individu pohon σpj masing-masing secara berurutan dengan model linear: merupakan komponen varians famili untuk sifat ke-i dan ke-j, dan komponen varians Yijk = µ + Ri + Fj + RFij + Eijk .…....….(1) fenotipik untuk sifat ke-i dan ke-j. dimana: 2. Seleksi dan perolehan genetik Yijk : observasi individu ke-k di dalam ulangan ke-i dan famili ke-j, Seleksi dilaksanakan berdasarkan indeks Fj : pengaruh famili ke-j, seleksi yang merupakan gabungan dua sifat RFij : pengaruh interaksi blok ke-i dengan sebagai kriteria seleksi, yaitu tinggi dan famili ke-j, dan diameter. Penetapan koefisien bobot masing- Eijk : galat masing sifat dan prediksi perolehan genetik Parameter genetik yang dihitung meliputi dihitung melalui langkah-langkah sebagai heritabilitas, korelasi genetik, dan perolehan berikut (Nirsatmanto & Kurinobu, 2002): genetik. Nilai heritabilitas terbagi menjadi a. diferensial seleksi (Δpw) yang dihitung heritabilitas individu dan heritabilitas famili, sebagai perbedaan antara satu pohon terbaik yang dihitung pada masing-masing sifat dengan setelah penjarangan seleksi di dalam setiap plot terhadap rata-rata populasi awal pada

67 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 65 - 73

masing-masing sifat, kemudian digunakan Berdasarkan data jumlah individu dalam untuk menurunkan koefisien bobot dalam plot (3 pohon per plot), rata-rata persen hidup

plot (bw) untuk setiap sifat dengan rumus: tanaman di dalam plot sebesar 72,33% atau rata- -1 bw = Pw x Δpw ….…………..…….….(6) rata jumlah tanaman yang hidup di dalam setiap b. prediksi perolehan genetik hasil seleksi plot sebanyak 2,17 tanaman. Persen hidup tanaman kayuputih pada plot uji sebagaimana dalam plot (Δgw) dihitung dengan rumus berikut (Yamada, 1977): disampaikan di atas menunjukkan bahwa daya adaptasi tanaman kayuputih di lokasi tersebut Δgw = Gw x bw………………...... ……..(7) cukup tinggi pada lokasi tanah yang relatif dimana, G adalah matrik varians-kovarians w kurang subur dengan curah hujan 1.894 genetik dalam plot yang dihitung sebagai 3/4 mm/tahun (Saputra, 2010). Tingginya persen dari varians dan kovarians genetik aditif, hidup tanaman uji kemungkinan disebabkan c. korelasi biserial (r ) untuk menilai b oleh sifat tanaman kayuputih yang dapat kecocokan indeks yang diperoleh dengan beradaptasi pada kondisi lahan yang bervariasi. rumus (6), dihitung dengan menggunakan Kayuputih mampu beradaptasi dengan baik rumus berikut (Yamada, 1977): pada dataran rendah hingga tinggi dan pada r = (I – I) / (I – I) ...... (8) b s q kondisi tanah subur hingga marginal dimana, I adalah nilai indeks rata-rata (Mawaddah, Mansur, & Saria, 2012). Persen seluruh populasi, Is adalah rata-rata nilai hidup tanaman kayuputih uji keturunan di indeks dari individu terpilih berdasarkan Gunungkidul tersebut lebih tinggi dibanding seleksi aktual pada umur 44 bulan, dan Iq dengan persen hidup tanaman kayuputih uji adalah rata-rata nilai indeks dari individu keturunan di Pulau Timor, Nusa Tenggara terpilih berdasarkan nilai indeks tertinggi, Timur pada umur yang sama yaitu sebesar 60% d. prediksi perolehan genetik hasil seleksi (Sumardi, 2017). famili (∆gf) dihitung dengan rumus sebagai Berdasarkan data persen hidup tanaman berikut (Hazel, 1943): pada plot uji keturunan F2 kayuputih di 1/2 ∆gf = Gf x bw / (bw’ x Pf x bw) ...... (9) Gunungkidul, maka kondisi tanaman tersebut

dimana, Gf adalah matrik varians-kovarians secara umum layak dan memenuhi syarat teknis

genetik famili, dan Pf adalah matrik varians- untuk digunakan sebagai obyek penelitian yang kovarians fenotipik. berkaitan dengan seleksi pohon dalam plot dan seleksi famili. Penelitian yang melibatkan III. HASIL DAN PEMBAHASAN tindakan seleksi pohon dalam plot dan seleksi A. Daya adaptasi dan pertumbuhan famili menghendaki adanya persen hidup tanaman tanaman tinggi. Hal ini disebabkan karena persen hidup tanaman menjadi faktor penting Daya adaptasi yang ditunjukkan oleh dalam tindakan pemuliaan tanaman untuk persen hidup tanaman kayuputih pada plot uji menjaga validitas analisis data (Chambers & keturunan F2 di Gunungkidul sampai dengan Borralho, 1997). umur 24 bulan relatif cukup baik. Hal tersebut Selain persen hidup tanaman, data terlihat dari rata-rata persen hidup tanaman pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman secara keseluruhan sebesar 77,44%. Beberapa kayuputih pada plot uji juga menunjukkan blok tanaman uji terdiri dari famili yang tidak tingkat pertumbuhan yang baik. Data lengkap sebagai akibat kematian seluruh pertumbuhan tanaman berupa tinggi dan individu pohon dalam satu plot pada beberapa diameter tanaman disajikan pada Tabel 1. famili: pada blok 1 sebanyak 2 famili, blok 2 Secara umum laju pertumbuhan diameter sebanyak 5 famili, blok 3 sebanyak 2 famili. tanaman lebih cepat dibanding dengan laju

68 Seleksi dan Perolehan Genetik pada Uji Keturunan Generasi Kedua Kayuputih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) di Gunungkidul Sumardi, Noor Khomsah Kartikawati, Prastyono, dan Anto Rimbawanto pertumbuhan tinggi tanaman. Habitus asli Kondisi lahan kurang subur pada lokasi tanaman kayuputih yang cenderung bercabang penelitian di Gunungkidul diduga tidak banyak dan bertajuk tebal cenderung memacu memberikan dampak buruk pada normalitas pertumbuhan diameter lebih dominan. pertumbuhan tanaman kayuputih. B. Heritabilitas dan korelasi genetik Tabel 1. Pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman kayuputih pada plot uji Nilai heritabilitas digunakan untuk keturunan F2 umur 24 bulan di mengetahui proporsi faktor genetik yang Gunungkidul, Yogyakarta diturunkan dari induk kepada keturunannya Parameter Tinggi (m) Diameter (cm) (Zobel & Talbert, 1984). Komponen varians dan Rata-rata 2,83 3,10 estimasi nilai heritabilitas pada plot uji Maksimal 4,81 7,06 keturunan F2 kayuputih disajikan pada Tabel 2. Minimal 0,15 0,10 Komponen varians famili sifat diameter lebih Standar deviasi 1,80 1,51 tinggi dibanding sifat tinggi, sedangkan Koefisien variasi 16,71 20,83 komponen varians interaksi dan komponen

varians dalam plot sifat diameter lebih rendah Perbedaan laju pertumbuhan tinggi dan dibanding sifat tinggi. Proporsi nilai komponen diameter tanaman uji keturunan F2 kayuputih di varians tersebut akan memberikan pengaruh Gunungkidul tersebut juga terlihat dari tingkat positif terhadap nilai heritabilitas. Sebagaimana variasi fenotipiknya. Koefisien variasi diameter dilaporkan oleh Handayani et al., (2017) bahwa terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan perbedaan proporsi nilai komponen varians koefisien variasi tinggi tanaman (Tabel 1). dalam plot terhadap komponen varians famili Namun demikian, secara umum variasi akan memberikan dampak pada perbedaan fenotipik tanaman menunjukkan bahwa tanaman estimasi nilai heritabilitas. Semakin besar nilai kayuputih pada plot uji keturunan tersebut komponen varians famili yang diikuti dengan masih memiliki pertumbuhan tanaman yang semakin rendahnya komponen varians interaksi normal sebagaimana habitus tanaman aslinya. dan komponen varians dalam plot akan Sebagai perbandingan data pertumbuhan menghasilkan nilai heritabilitas semakin besar. tanaman uji keturunan kayuputih di Pulau Taksiran nilai heritabilitas merupakan rasio Timor pada umur yang sama menunjukkan perbandingan antara varian aditif terhadap total rerata tinggi tanaman sebesar 1,13 m dan varian fenotipik (Li et al., 2016). diameter sebesar 0,77 cm (Sumardi, 2017).

2 2 Tabel 2. Nilai komponen varians, heritabilitas individu (hi ) dan heritabilitas famili (hf ) pada plot uji keturunan F2 kayuputih umur 24 bulan di Gunungkidul, Yogyakarta Komponen varians Sifat h 2 h 2 Famili Famili × blok Dalam plot i f Tinggi 0,2214 0,4382 2,5677 0,2058 0,3576 (6,86%) (13,58%) (79,56%) Diameter 0,2796 0,2418 1,6797 0,3810 0,5301 (12,70%) (10,99%) (76,31%) Keterangan: Angka dalam kurung adalah proporsi (%) komponen varians terhadap total fenotipik varians

Nilai heritabilitas individu untuk sifat Besarnya nilai heritabilitas individu tersebut diameter lebih besar dibanding sifat tinggi, memberikan indikasi bahwa seleksi dalam plot dimana sifat diameter memiliki perbedaan berdasarkan sifat diameter berpotensi proporsi antara varians dalam plot terhadap memberikan perolehan genetik yang lebih besar. varians famili lebih kecil dibanding sifat tinggi. Namun demikian pada seleksi multi sifat

69 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 65 - 73 melalui indeks seleksi sebagaimana Korelasi genetik dan korelasi fenotipik dilaksanakan dalam penelitian ini, besarnya antara kedua sifat yakni diameter dengan tinggi dampak seleksi terhadap perolehan genetik juga memiliki nilai yang sama, dan menunjukkan akan ditentukan oleh korelasi genetik serta nilai korelasi antara kedua sifat yang tidak terlalu koefisien bobot antarsifat yang dijadikan kuat. Hal ini memberikan indikasi bahwa kedua sebagai kriteria seleksi. sifat yang diamati, yaitu tinggi dan diameter, Nilai heritabilitas famili menunjukkan perlu digunakan secara bersama-sama sebagai nilai yang lebih besar dibanding heritabilitas kriteria seleksi. Namun demikian mengingat individu pada semua sifat. Namun demikian, seleksi yang dilakukan pada plot uji keturunan berdasarkan tingkat kategorinya nilai F2 kayuputih ini adalah menggunakan indeks heritabilitas famili lebih rendah dibanding seleksi, maka penentuan koefisien bobot heritabilitas individu. Nilai heritabilitas famili masing-masing sifat perlu ditetapkan secara termasuk kategori rendah – sedang (0,3576 – lebih cermat agar nilai perolehan genetiknya 0,5301), sedangkan nilai heritabilitas individu lebih terarah dan sesuai dengan target termasuk kategori sedang – tinggi (0,2058 – produktivitas dan keunggulan yang diharapkan. 0,3810). Kedua nilai heritabilitas ini akan C. Seleksi dan perolehan genetik memberikan dampak pada peningkatan perolehan genetik akumulatif di dalam plot uji 1. Seleksi dalam plot keturunan F2 kayuputih. Hal ini karena plot uji Seleksi dalam plot merupakan kegiatan keturunan dibangun dengan menggunakan 3 penjarangan seleksi yang pertama kali tree-plot dan 4 blok ulangan dan kegiatan dilaksanakan pada plot uji keturunan F2 seleksi secara bertahap akan dilakukan melalui kayuputih. Selanjutnya penerapan indeks seleksi seleksi dalam famili dan seleksi antar famili. pada penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil Disamping nilai heritabilitas, seleksi penjarangan seleksi dalam plot tersebut, yaitu dalam plot uji keturunan juga akan dipengaruhi dengan menyisakan 1 individu terbaik dari 3 oleh korelasi genetik antarsifat. Korelasi genetik individu di dalam setiap plot secara fenotipik. digunakan untuk mengetahui kedekatan Diferensial seleksi, koefisien bobot dan prediksi hubungan genetik antara sifat. Nilai tersebut perolehan genetik sebagai hasil seleksi dalam berperan dalam menentukan prediksi pengaruh plot disajikan pada Tabel 4. Hasil seleksi dan efektifitas seleksi suatu sifat (Gaspar, melalui seleksi 1 individu pohon terbaik dalam Louzada, Aguiar, & Almeida, 2008). Korelasi setiap plot memberikan nilai diferensial seleksi genetik dan korelasi fenotipik antarsifat pada positif pada kedua sifat yang diamati. Hal ini plot uji keturunan F2 kayuputih disajikan pada menunjukkan bahwa seleksi dalam plot sudah Tabel 3. Nilai korelasi fenotipik antarsifat pada dilaksanakan sesuai dengan arah target penelitian ini yang merupakan nilai korelasi produktivitas yang diharapkan. fenotipik rata-rata famili memberikan angka Hasil seleksi dalam plot juga yang positif. menunjukkan bahwa sifat diameter memiliki koefisien bobot jauh lebih besar, yakni sepuluh Tabel 3. Korelasi genetik dan fenotipik antara kali lipat dibanding sifat tinggi (Tabel 4). Hal sifat diameter dan tinggi pada plot uji ini memberikan indikasi bahwa seleksi dalam keturunan F2 kayuputih umur 24 bulan plot yang dilaksanakan secara fenotipik pada di Gunungkidul plot uji keturunan F2 kayuputih di Gunungkidul Sifat Tinggi Diameter Tinggi - 0,57 tersebut lebih ditekankan pada sifat diameter Diameter 0,57 - daripada sifat tinggi. Pola seleksi ini sejalan Keterangan: korelasi fenotipik (di atas diagonal), dengan tujuan pemuliaan kayuputih dimana korelasi genetik (di bawah diagonal) dengan meningkatkan sifat diameter cenderung

70 Seleksi dan Perolehan Genetik pada Uji Keturunan Generasi Kedua Kayuputih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) di Gunungkidul Sumardi, Noor Khomsah Kartikawati, Prastyono, dan Anto Rimbawanto akan mempengaruhi jumlah percabangan yang dimiliki. Percabangan yang banyak akan kayuputih yang dihasilkan untuk produksi menghasilkan biomassa daun yang semakin biomassa daun. Semakin besar diameter maka tinggi dan pada akhirnya akan berdampak pada akan memicu semakin banyak percabangan peningkatan produksi minyak kayuputihnya.

Tabel 4. Hasil penerapan indeks seleksi untuk seleksi dalam plot dan seleksi famili pada plot uji keturunan F2 kayuputih umur 24 bulan di Gunungkidul Seleksi dalam plot Seleksi famii Sifat Diferensial Koefisien Perolehan genetik Perolehan genetik seleksi bobot (%) (%) a rb = 0,585 Tinggi 0,4799 0,0406 12,73 7,52 Diameter 0,7546 0,4280 20,76 12,26

Keterangan: a merupakan koefisien korelasi biserial

Nilai estimasi perolehan genetik hasil optimalisasi perolehan genetik akumulatif yang seleksi dalam plot untuk sifat diameter dua kali akan dihasilkan. lipat lebih tinggi dibanding dengan sifat tinggi Kesesuaian antara penjarangan seleksi (Tabel 4). Tingginya nilai perolehan genetik dalam plot di lapangan dengan seleksi sifat diameter merupakan dampak dari tingginya berdasarkan nilai indeks seleksi dapat dilihat nilai heritabilitas (Tabel 1) dan diferensial dari nilai korelasi biserial. Dalam penelitian ini seleksi, serta cerminan dari koefisien bobot nilai biserial korelasi menunjukkan nilai sedang yang digunakan pada seleksi untuk sifat (rb=0,59) (Tabel 4). Hal ini memberikan tersebut. Besarnya nilai perolehan genetik hasil indikasi adanya korelasi nilai indeks tingkat seleksi dalam plot menunjukkan bahwa sedang antara pohon terpilih di dalam plot koefisien bobot yang digunakan dalam indeks secara fenotipik dengan yang dipilih seleksi cukup optimal dan sesuai dengan target berdasarkan nilai indeks seleksi. peningkatan produktivitas kayuputih yang Rendahnya nilai korelasi biserial pada diharapkan dimana sifat diameter mendapatkan penelitian ini diduga disebabkan oleh dua perolehan genetik yang besar. Hal menarik faktor. Pertama, jeda rentang waktu antara lainnya dari penelitian ini adalah bahwa pengukuran (umur 24 bulan) dengan walaupun seleksi dalam plot yang dilakukan pelaksanaan penjarangan seleksi (umur 44 merupakan seleksi fenotipik, namun mampu bulan) cukup lebar. Hal ini menyebabkan memberikan perolehan genetik yang relatif perbedaan kondisi pertumbuhan tanaman pada besar untuk kedua sifat (>10%). Hal ini saat pengukuran dengan pada saat penjarangan menunjukkan bahwa dalam pemuliaan sehingga menyebabkan nilai korelasi yang kayuputih seleksi dalam plot merupakan rendah. Kemungkinan kedua, performa tahapan yang penting sebagai bagian dari pertumbuhan tanaman kayuputih sebagai dasar seleksi individu di dalam famili (within family penjarangan seleksi dalam plot di lapangan selection), karena mampu memberikan berbeda dengan kriteria seleksi yang digunakan tambahan perolehan genetik yang besar. Hasil dalam indeks seleksi. Sebagaimana diketahui ini juga memberikan implikasi bahwa rancangan habitus tanaman kayuputih didominasi oleh plot uji keturunan untuk kayuputih dengan performa percabangan sehingga diduga sifat ini memperbanyak jumlah tree-plot dan ulangan lebih banyak digunakan sebagai dasar seleksi akan menjadi langkah awal yang penting dalam dalam plot di lapangan dan bukan pada sifat tinggi dan diameter yang digunakan sebagai

71 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 65 - 73 dasar perhitungan indeks seleksi. Sebagai Hasil penelitian melalui dua tahap perbandingan nilai biserial korelasi pada seleksi, yaitu seleksi dalam plot dan seleksi tanaman Acacia mangium umur 40 bulan famili, juga memberikan indikasi bahwa menunjukkan nilai yang hampir sama atau prioritas pemilihan sifat sebagai kriteria seleksi sedikit lebih rendah (rb=0,51) (Handayani et al., berdasarkan nilai koefisien bobot hasil seleksi 2017) dan pada tanaman jabon merah umur 46 dalam plot bisa digunakan dengan baik pada bulan menunjukkan nilai yang lebih tinggi seleksi famili. Hal ini sebagaimana ditunjukkan

(rb=0,89) (Surip et al., 2017). nilai positif dan konsistensi perolehan genetik sesuai target produktivitas yang diharapkan 2. Seleksi famili dalam pemuliaan kayuputih, yaitu keunggulan Tahap seleksi lebih lanjut setelah seleksi yang lebih besar pada sifat diameter. Secara dalam plot pada plot uji keturunan F2 kayuputih akumulatif, total perolehan genetik dari dua adalah seleksi famili. Dalam penelitian ini tahap seleksi sebesar >30% untuk diameter dan seleksi famili dilakukan secara simulasi >20% untuk tinggi (Gambar 1). menggunakan indeks seleksi berdasarkan dua kriteria seleksi dan koefisien bobot yang sama sebagaimana seleksi dalam plot, yaitu tinggi dan 35 30 diameter. Perolehan genetik hasil simulasi 25 seleksi famili menunjukkan nilai yang lebih 20 rendah dibandingkan dengan seleksi dalam plot 15 10 (Tabel 4). Namun demikian kedua sifat 5 menunjukkan urutan besaran perolehan genetik (%) genetik Perolehan 0 yang sama, yaitu terbesar pada diameter dan Tinggi Diameter Sifat yang diukur terendah pada tinggi. Kecilnya variasi genetik

(Tabel 1), diduga mendorong rendahnya Gambar 1. Perolehan genetik pada plot uji perolehan genetik pada seleksi famili keturunan F2 kayuputih umur 24 bulan di Gunungkidul. ( seleksi dalam dibandingkan dengan seleksi dalam plot plot, seleksi famili) walaupun intensitas seleksi (IS) yang digunakan Sebagaimana diuraikan pada paragraf lebih tinggi. Seleksi dalam plot menggunakan sebelumnya bahwa sifat diameter merupakan rasio seleksi sebesar ±33% (IS = 0,85), komponen penting dalam peningkatan sedangkan pada seleksi famili rasio seleksi produktivitas biomassa daun kayuputih. Hal ini sebesar ±37% (IS=1). karena dengan diameter yang besar cenderung Faktor lain yang diduga bisa akan menghasilkan jumlah percabangan dan menyebabkan lemahnya ekspresi genetik dari jumlah daun yang lebih banyak sehingga famili yang diuji adalah kemungkinan adanya meningkatkan produktivitas biomassa. interaksi famili dengan lokasi. Famili yang diuji pada plot uji keturunan F2 di Gunungkidul ini IV. KESIMPULAN berasal dari plot uji keturunan F1 yang tumbuh di beberapa lokasi yang berbeda, yaitu Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua Ponorogo, Gundih dan Cepu. Untuk itu tahapan seleksi pada plot uji keturunan F2 observasi lebih lanjut dampak interaksi famili × kayuputih di Gunungkidul, yaitu seleksi dalam lokasi ini perlu dilakukan. Hal ini disamping plot dan seleksi famili, terbukti mampu akan bermanfaat untuk mengetahui pola strategi memberikan perolehan genetik yang cukup penyebaran benih yang dihasilkan, juga untuk besar dalam pemuliaan kayuputih (>20%). mengetahui strategi seleksi famili yang tepat Seleksi multi sifat menggunakan indeks seleksi pada plot uji keturunan kayuputih. dari dua kriteria seleksi, yaitu tinggi dan

72 Seleksi dan Perolehan Genetik pada Uji Keturunan Generasi Kedua Kayuputih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) di Gunungkidul Sumardi, Noor Khomsah Kartikawati, Prastyono, dan Anto Rimbawanto diameter, memberikan arah yang tepat dalam Penerbit IPB Press. pencapaian target peningkatan produktivitas Kartikawati, N. K., & Sumardi. (2017). Crossing kayuputih, khususnya dalam peningkatan potential of open pollination in cajuputi seedling seed orchard at Paliyan, Gunungkidul. biomassa daun. Untuk itu dalam proses seleksi Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 6(1), pada plot uji keturunan F2 kayuputih, sifat 41–51. diameter perlu mendapatkan prioritas bobot https://doi.org/http://dx.doi.org/10.18330/jwall yang lebih tinggi sebagai kriteria seleksi. acea.2017.vol6iss1pp41-51 Li, X., Lund, M. S., Zhang, Q., Costa, C. N., UCAPAN TERIMA KASIH Ducrocq, V., & Su, G. (2016). Short communication: Improving accuracy of Ucapan terima kasih disampaikan kepada predicting breeding values in Brazilian Sukijan dan Alin Maryani sebagai teknisi Holstein population by adding data from Nordic and French Holstein populations. penelitian kayuputih dan Suroto sebagai tenaga Journal of Dairy Science, 99(6), 4574–4579. pengawas lapangan yang telah membantu dalam https://doi.org/10.3168/jds.2015-10609 pembangunan plot penelitian dan pengumpulan Mawaddah, M., Mansur, I., & Saria, L. (2012). data. Selain itu terimakasih juga disampaikan Pertumbuhan kayuputih (Melaleuca kepada semua pihak baik secara langsung leucadendron Linn .) dan Longkida (Nauclea orientalis Linn.) pada kondisi tergenang air maupun tidak langsung yang telah membantu asam tambang in flooded condition of acid penelitian ini. mine water. Jurnal Silvikultur Tropika, 3(2), 71–75. DAFTAR PUSTAKA Nirsatmanto, A., & Kurinobu, S. (2002). Trend of Chambers, P. G., & Borralho, N. M. (1997). within-plot selection practiced in two seedling Importance of Survival in Short-Rotation Tree seed orchards of Acacia mangium in Indonesia. Breeding Programs. Canadian Journal of Journal of Forest Research, 7(2), 49–52. Forest Research, 27(6), 911–917. Saputra, M. H. (2010). Evaluasi awal uji keturunan Falconer, D. S. (1960). Introduction to Quantitatie F2 kayuputih (Melaleuca cajuputi subsp. Genetics. New York: The Ronald Press Co. cajuputi Powell) sampai umur 6 Bulan di Playen, Gunungkidul. Universitas Gadjah Gaspar, M. J., Louzada, J. L., Aguiar, A., & Mada. Almeida, M. H. (2008). Genetic correlations between wood quality traits of Pinus pinaster Sumardi. (2017). Taksiran parameter genetik Ait. Annals of Forest Science, 65, 1–6. pertumbuhan tanaman uji keturunan F2 kayuputih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) Handayani, B. R., Sunarti, S., & Nirsatmanto, A. di Pulau Timor. In A. Septiasari, A. Astuti, I. (2017). Selection and genetic gain in third- N. Berlian, K. Kharismamurti, N. C. generation seedling seed orchard of Acacia Merdekawati, & Y. R. Alkarim (Eds.), mangium. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, Prosiding Semnas Biodiversitas (Vol. 6, pp. 11(1), 57–66. 103–106). Solo: Kelompok Studi Biodiversitas https://doi.org/10.20886/jpth.2017.11.1.57-66 Program Studi Biologi FMIPA UNS. Hazel, L. N. (1943). The genetic basis for Surip, Indrioko, S., Nirsatmanto, A., & Setyaji, T. constructing selection indexes. Genetics, 28, (2017). Pengaruh seleksi terhadap perolehan 476–490. genetik pada uji keturunan generasi pertama Kartikawati, N. K., Na’iem, M., Hardiyanto, E. B., & (F-1) jabon merah (Anthocephalus Rimbawanto, A. (2013). Improvement of seed macrophyllus Roxb. Havil.) di Wonogiri. orchard management based on mating system Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 11(1), of cajuputi trees. Indonesian Journal of 183–194. Biotechnology, 18(I), 26–35. Yamada, Y. (1977). Evaluation of the Culling Kartikawati, N. K., Rimbawanto, A., Susanto, M., Variate Used by Breeders in Actual Selection. Baskorowati, L., & Prastyono. (2014). Genetic, 86, 885–889. Budidaya dan prospek pengembangan Zobel, B., & Talbert, J. (1984). Applied forest tree kayuputih (Melaleuca cajuputi). (M. Na’iem, improvement. New York, Brisbane, Toronto, Mahfudz, & S. B. Prabawa, Eds.). Bogor: PT Singapore: John Willey and Sons.

73 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 65 - 73

74 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 75 - 84

PENINGKATAN KUALITAS BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) DAN MALAPARI (Pongamia pinnata L.) DENGAN APLIKASI MIKORIZA DAN Trichoderma spp. Quality improvement of nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) and malapari (Pongamia pinnata L.) seedlings by Trichoderma spp. and mycorrhizal applications

Benyamin Dendang dan Aditya Hani Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry Jl. Ciamis – Banjar Km 4, Jawa Barat, Indonesia email: [email protected]

Tanggal diterima: 7 Desember 2017, Tanggal direvisi: 19 Desember 2017, Disetujui terbit: 30 Mei 2018

ABSTRACT Nyamplung and malapari are potential bioenergy crops on marginal land to be developed on the coastal land. The constraints of the coastal land is the limited water and soil nutrient. Input technology is needed in order to suceed the crop planting such as by using bio fertilizer. Mycorrhizae plays an essential role in helping plants to absorb phosphate and increase the resistance to drought. Trichoderma spp. involves in producing beneficial hormones for metabolism and helps break down organic matter. Utilization of biofertilizer is still rarely used as treatment in bioenergy plant seedlings. This study aimed to determine the quality of nyamplung and malapari seedlings after mycorrhizal and Trichoderma spp. application in the nursery. Experiments were arranged in a complete randomized block design (RCBD). The treatments of media include: soil as control (T), soil + organic fertilizer with ratio of 3:1(TK), soil + organic fertilizer + mycorhizae 10 g (TKM), soil + organic fertilizer + Trichoderma spp. 10 g (TKT), soil + organic fertilizer + mycorrhizal 10 g + Trichoderma spp. 10 g (TC). The treatments were applied when the seedlings reached one month old. Biofertilizer was sown around seedling roots. Each treatment consisted of 50 samples and 3 replications so the total seedlings were 750 seedlings. The results showed that after 6 and 12 months, treatment in malapari with organic fertilizer + mikoriza + TC gained 67.5% taller and 427% larger on dry weight of leaf than the control, whereas in nyamplung seedlings, TC treatment resulted in better growth with diameter 8% larger, root length 78.56% longer, and total dry weight 7.88% heavier compared to control. Keywords: biofuel, coastal land, bio fertilizer

ABSTRAK Nyamplung dan malapari merupakan tanaman penghasil bioenergi yang potensial untuk dikembangkan di lahan marginal. Salah satu kendala dalam pengembangan lahan pantai adalah ketersediaan air dan kesuburan tanah yang rendah. Teknologi untuk meningkatkan keberhasilan penanaman salah satunya dengan pemanfaatan pupuk hayati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian mikoriza dan Trichoderma spp. pada media pembibitan bibit malapari dan nyamplung di persemaian. Pengamatan menggunakan metode rancangan acak kelompok lengkap (RAKL). Rancangan penelitian perbedaan media tanam bibit yaitu: tanah sebagai kontrol (T), tanah + pupuk organik perbandingan 3:1 (TK), tanah + pupuk organik + mikoriza perbandingan 3:1:10 gram per polybag (TKM), tanah + pupuk organik + Trichoderma spp. perbandingan 3:1:10 gram per polybag (TKT), tanah + pupuk organik + mikoriza 10 gr + Trichoderma spp. 10 gr per polybag (TC). Aplikasi dilakukan pada saat bibit berumur 1 (satu) bulan dengan cara ditaburkan di sekitar perakaran bibit. Setiap perlakuan terdiri dari 50 sampel yang diulang 3 kali, sehingga jumlah bibit keseluruhan adalah 750 bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 6 dan 12 bulan perlakuan, bibit malapari dengan perlakuan TC memiliki tinggi dan berat kering daun yang lebih besar (67,5% dan 427%) dibanding kontrol (tanah), sedangkan bibit nyamplung dengan perlakuan TC menghasilkan pertumbuhan lebih baik dengan kenaikan diameter 8%, panjang akar 78,56%, dan berat kering total 7,88% dibandingkan kontrol (T). Kata kunci: bioenergi, lahan pantai, pupuk hayati

75 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 75 - 84

bagian dari program rehabilitasi lahan. Salah I. PENDAHULUAN satu kendala pada lahan tersebut adalah Salah satu program pemerintah saat ini ketersediaan air serta kondisi suhu dan adalah mengembangkan energi biofuel sebagai kelembaban yang ekstrim. Hal ini memerlukan pengganti dari energi fosil yang ada saat ini. masukan teknologi sehingga tanaman Bioenergi memiliki kelebihan salah satunya mempunyai adaptasi yang tinggi. Salah satu karena dapat diperbaharui sehingga teknologi tersebut adalah pemanfaatan mikroba pemanfaatannya dapat dirasakan dari generasi tanah seperti mikoriza yang membantu tanaman ke generasi serta lebih bersih dari emisi bahan menyerap pospat dan ketahanan terhadap pencemar dibanding energi biofuel (Sugiyono, kekeringan serta Trichoderma spp. yang 2005). Direktorat Jenderal Energi Baru (2014) berperan dalam menghasilkan hormon dan menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan pengurai bahan organik. Penyerapan unsur hara pada tahun 2016 penggunaan energi biofuel dapat ditingkatkan salah satunya apabila sebesar 20% berupa biodisel. Sumber bahan terdapat asosiasi antara akar tanaman sekunder baku biodisel yang berpeluang untuk dengan jamur tertentu (Elviati & Siregar, 2010). dikembangkan adalah sawit, jarak pagar, kemiri Syamsuwida, Putri, Kurniaty, dan Aminah sunan dan nyamplung. (2015) menyebutkan bahwa bibit malapari dapat Kementerian Lingkungan Hidup dan tumbuh baik apabila diberi 2,5 gram mikoriza + Kehutanan turut serta dalam mengembangkan 1 gram NPK. Penggunaan pupuk hayati dengan tanaman penghasil bioenergi. Jenis tanaman pupuk organik (kompos) perlu ditingkatkan yang dikembangkan yaitu nyamplung sehingga dapat mengurangi ketergantungan (Calophyllum inophyllum L.) dan malapari terhadap pupuk kimia serta lebih ramah (Pongamia pinnata L). Nyamplung dan lingkungan. malapari mempunyai peluang untuk Sinergisme antara mikoriza, Trichoderma dikembangkan karena kedua jenis tersebut tidak spp. dan pupuk organik diharapkan dapat bersaing dengan kebutuhan pangan seperti terbawa oleh tanaman pada saat dipindah ke halnya minyak sawit. Selain itu, biji malapari lapangan sehingga pertumbuhan tanaman dan nyamplung mempunyai rendemen yang meningkat. Sari, Mardhiansyah, dan Sribudiani cukup tinggi (27-39%) dan 40-73% (Dwitama, (2014) menyebutkan bahwa penggunaan Nasib, Sitepu, Suandi, & Simpen, 2016). mikoriza dan Trichoderma pada bibit meranti Malapari dan nyamplung merupakan jenis untuk penanaman di lahan gambut memberikan penyusun hutan pantai. Secara alami tanaman pengaruh positif terhadap pertumbuhan, tersebut tumbuh di sepanjang pantai yang dapat sedangkan pada bibit jabon pemberian mikoriza tumbuh optimal dari ketinggian 0 - 200 mdpl, dapat meningkatkan pertumbuhan semai pada dengan tanah liat berpasir, tanah berpasir dan media yang berasal dari limbah batubara tanah liat bergumpal-gumpal dengan kondisi (Tamin, 2016). Trichoderma terbukti mampu masin dan alkalin (Danu & Putri, 2013). mengendalikan jamur ganoderma serta memacu Pemanfaatan kedua jenis tersebut masih terbatas pertumbuhan bibit sengon (Dendang & Hani, untuk bahan bangunan, pembuatan kapal, 2014; Herliyana, Jamilah, Taniwiryono, & tanaman obat maupun kayu bakar (Alimah, Firmansyah, 2015). Tchameni et al. (2011) 2010; Hadi, 2009). menyebutkan bahwa pemberian mikoriza dan Tanaman bioenergi potensial untuk Trichoderma secara bersamaan menghasilkan dikembangkan di lahan marginal, lahan kritis tinggi, berat basah tunas dan akar lebih besar maupun lahan pantai sehingga selain tidak dibandingkan bibit kakao tanpa perlakuan. bersaing dengan tanaman pertanian juga sebagai Trichoderma bersama akar tanaman akan melepaskan hormon auxin, peptida, senyawa

76 Peningkatan Kualitas Bibit Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) dan Malapari (Pongamia pinnata L.) dengan Aplikasi Mikoriza dan Trichoderma spp. Benyamin Dendang dan Aditya Hani organik di tanah sekitar perakaran dan berbagai 2. Alat senyawa metabolisme aktif yang lain yang Alat yang digunakan adalah: cangkul, memacu perkembangan perakaran sehingga penggaris, meteran, pengukur diameter dapat meningkatkan serapan hara untuk (caliper), oven dan alat tulis. meningkatkan pertumbuhan tanaman (López- C. Metode penelitian Bucio, Pelagio-Flores, & Herrera-Estrella, 2015). Pemanfaatan mikoriza, Trichoderma dan Penelitian ini dilakukan dengan pupuk organik pada jenis tanaman penghasil menggunakan Rancangan Acak Kelompok bioenergi belum banyak dilakukan. Padahal Lengkap (RAKL) dengan 4 macam perlakuan pengembangan kedua jenis tersebut umumnya media dan 1 kontrol. Setiap perlakuan terdiri dilakukan pada lahan marginal yaitu pantai dari 50 sampel yang diulang sebanyak 3 ulangan berpasir, sehingga bibit yang dipersiapkan harus sehingga jumlah bibit keseluruhan adalah 750 mempunyai kualitas baik serta cepat beradaptasi bibit. Mikoriza dan Trichoderma spp. diberikan dengan kondisi marginal. Penelitian ini sebelum penanaman. bertujuan untuk mengetahui kualitas bibit Benih langsung dikecambahkan ke dalam nyamplung dan malapari yang diaplikasi dengan polybag yang berisi media tanah (T); tanah + kompos, mikoriza dan Trichoderma spp. sampai kompos perbandingan 3:1 (TK); tanah + umur 6 bulan di persemaian. kompos + mikoriza 10 gram (TKM); tanah + kompos + Trichoderma spp. 10 gr (TKT) dan II. METODE PENELITIAN tanah + kompos + mikoriza 10 gr + Trichoderma spp. 10 gr (TC). A. Waktu dan tempat Pengukuran bibit dilakukan pada saat Penelitian dilaksanakan mulai bulan umur bibit 2, 4, 6 dan 12 bulan dengan Agustus 2015 sampai bulan Oktober 2016 di parameter yang diukur meliputi tinggi, diameter, persemaian Balai Penelitian dan Pengembangan dan persen hidup. Pada saat bibit berumur 12 Teknologi Agroforestry. bulan dilakukan pengukuran panjang akar, B. Bahan dan alat jumlah daun, jumlah bintil akar dan biomassa tanaman (meliputi berat kering daun, akar, dan 1. Bahan batang) dengan menggunakan sampel secara Bahan yang digunakan adalah pupuk destructive sampling sebanyak 3 (tiga) bibit organik (kotoran kambing), Trichoderma spp. setiap perlakuan. Pengukuran biomassa tanaman bentuk formula padat, konsentrasi yang diharapkan dapat memberikan hasil digunakan sebanyak 25 gram (hasil Balai pertumbuhan secara lebih komprehensif, tidak Penelitian Perkebunan Bogor); mikoriza yang hanya melalui tinggi dan diameter saja. digunakan adalah Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) yang diperbanyak pada D. Analisis data tanaman semusim dengan media zeolite selama Data hasil pengamatan selanjutnya tiga bulan. Spora yang menempel pada zeolite dianalisis menggunakan analisis keragaman ditimbang sebanyak 10 gram untuk perlakuan; untuk mengetahui perbedaan nyata antar benih nyamplung; benih malapari; polybag; perlakuan. Apabila terdapat perbedaan yang kompos dan tanah. Benih nyamplung dan nyata antar perlakuan maka dilanjutkan dengan malapari diperoleh dari hutan pantai uji lanjut Duncan untuk mengetahui perlakuan Pangandaran dan Batukaras Kabupaten yang terbaik. Kualitas bibit diketahui dari Pangandaran Jawa Barat. kekokohan bibit (Hendromono, 2003), rasio pucuk akar (Hendromono, 2003) dan indeks

77 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 75 - 84 mutu bibit (Dickson, Leaf, & Hosner, 1960) Nilai kekokohan bibit yang semakin tinggi dengan rumus sebagai berikut: menunjukkan bibit semakin baik. Rasio pucuk dan akar yang baik pada kisaran 2-5, sedangkan

Kekokohan bibit (KB) = indeks mutu bibit yang baik mempunyai nilai

>0,09 (Hendromono, 2003).

Rasio pucuk akar (RPA) = III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan bibit Indeks mutu bibit (IMB) =

Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit dimana, BKT = Berat kering total, dihitung dari berat nyamplung serta malapari disajikan pada kering pucuk (gram) + berat kering akar (gram). Gambar 1 dan 2.

30.00 25.75 T 25.00 23.69 20.74 20.08 TK 20.00 TKM 14.15 13.99 15.00 TKT

10.00 TC 4.95 4.03 4.58 5.00 3.13 3.38 3.75

0.00 Tinggi (cm) Diameter (mm) Tinggi (cm) Diameter (mm) Tinggi(cm) Diameter (mm) 2 4 6

Umur (bulan)

Keterangan: T = Tanah; TK = Tanah + Pupuk organik; TKM = Tanah + Pupuk organik + Mikoriza; TKT= Tanah + Pupuk organik + Trichoderma spp.; TC = Tanah + Pupuk organik + Mikoriza + Trichoderma spp.

Gambar 1. Pertumbuhan bibit nyamplung di persemaian sampai dengan umur 6 bulan Gambar 1 menunjukkan bahwa tinggi dan kebutuhan unsur hara oleh bibit semakin diameter bibit nyamplung semakin meningkat meningkat, sedangkan ketersediaan unsur hara seiring bertambahnya umur. Bibit nyamplung di dalam media tanah di polybag semakin sampai umur 4 bulan memiliki pertumbuhan menurun. Perlakuan campuran tanah + pupuk yang relatif hampir sama, tinggi ± 20 cm dan organik + Trichoderma spp. + mikoriza (TC) diameter 3,75-4,03 mm. Suryawan (2014) memberikan pertambahan tinggi dan diameter menyebutkan bahwa bibit nyamplung di per bulan tertinggi dengan rata-rata 2,93 cm persemaian yang hanya menggunakan media (tinggi) dan rata-rata 0,39 mm (diameter). tanah sampai umur tiga bulan menghasilkan Perlakuan pemberian TC memberikan tinggi dan diameter berturut-turut sebesar 20,7 pertambahan tinggi terbesar dikarenakan cm dan 3,2 mm. Namun demikian, bibit keberadaan pupuk organik, Trichoderma spp. nyamplung setelah berumur 6 bulan memiliki dan mikoriza yang saling melengkapi untuk pertumbuhan yang berbeda antar perlakuan. Hal mendukung pertumbuhan tanaman. ini dimungkinkan karena pada umur tersebut Trichoderma spp. yang berfungsi sebagai

78 Peningkatan Kualitas Bibit Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) dan Malapari (Pongamia pinnata L.) dengan Aplikasi Mikoriza dan Trichoderma spp. Benyamin Dendang dan Aditya Hani dekomposer segera mengurai pupuk organik mikoriza pada tanaman malapari dapat yang tersedia sehingga lebih cepat dimanfaatkan meningkatkan biomassa setelah cadangan oleh tanaman. Mikoriza dapat meningkatkan makanan dalam kotiledon menurun atau 90 hari penyerapan phospor. Phospor berfungsi untuk setelah aplikasi baru terlihat efek positif dari perkembangan perakaran tanaman khususnya asosiasi akar dan mikoriza (Ramesh, Birajdar, pada tanaman muda serta sebagai bahan mentah Tanaji, & Bhale, 2017). pembentukan protein (Purwati, 2013). Inokulasi

45.00

40.00

35.00 T 30.00 TK 25.00 TKM

20.00 TKT TC 15.00

10.00

5.00

0.00 Tinggi (cm) Diameter (mm) Tinggi(cm) Diameter (mm) Tinggi (cm) Diameter (mm) 2 4 6

Umur (bulan)

Keterangan: T = Tanah; TK = Tanah + Pupuk organik; TKM = Tanah + Pupuk organik + Mikoriza; TKT= Tanah + Pupuk organik + Trichoderma spp.; TC = Tanah + Pupuk organik +Mikoriza + Trichoderma spp. Gambar 2. Pertumbuhan bibit malapari di persemaian sampai dengan umur 6 bulan Gambar 2 menunjukkan bahwa tinggi dan spp. mempercepat proses penguraian serta diameter tanaman malapari semakin meningkat meningkatkan kualitas hasil dari pupuk organik. seiring bertambahnya umur. Sampai umur 6 Hasil analisis keragaman pengaruh media tanam bulan, perlakuan TKT menghasilkan terhadap pertumbuhan bibit nyamplung dan pertumbuhan tercepat dengan pertambahan malapari disajikan pada Tabel 1. tinggi rata-rata 3,5 cm dan diameter rata-rata Pertumbuhan bibit malapari pada umur 6 0,45 mm per bulan. Perlakuan pemberian bulan tidak ada perbedaan yang nyata antar Trichoderma spp. memberikan pertambahan perlakuan (Tabel 1). Namun pada umur 12 tinggi terbesar dikarenakan pada media tanaman bulan bibit malapari menunjukkan perbedaan di persemaian ketersediaan unsur hara yang nyata antar perlakuan pada parameter tinggi dan berasal dari bahan organik masih mencukupi. berat kering daun. Sedangkan bibit nyamplung Trichoderma spp. yang berfungsi sebagai memiliki perbedaan yang nyata antar perlakuan dekomposer segera mengurai pupuk organik mulai umur 6 pada parameter diameter bibit dan yang tersedia sehingga lebih cepat dimanfaatkan pada umur 12 bulan pada parameter panjang oleh tanaman. Kusuma (2016) menyebutkan akar, berat kering daun, berat kering batang dan bahwa enzim celobiohidrolase, endoglikonase total biomasa. dan glokosidase yang dihasilkan Trichoderma

79 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 75 - 84

Tabel 1. Hasil analisis keragaman pengaruh media tanam terhadap pertumbuhan bibit nyamplung dan malapari di persemaian Derajat Kuadrat Sumber variasi F hitung Sig. bebas Tengah Malapari (Pongamia pinnata L.) Umur 6 bulan Diameter 4 16,35 2,29 0,059 Tinggi 4 213,11 0,79 0,53 Umur 12 bulan Diameter 4 2,945 2,15 0,166 Tinggi 4 252,15 5,28 0,022* Panjang akar 4 93,90 0,83 0,542 Jumlah daun 4 14,43 1,21 0,378 Berat kering akar 4 2,69 1,45 0,303 Berat kering daun 4 3,81 3,90 0,048* Berat kering batang 4 2,48 1,58 0,271 Jumlah bintil akar 4 33,60 1,32 0,340 Berat total biomasa 4 23,94 2,03 0,181

Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Umur 6 bulan Diameter 4 3,33 3,04 0,017* Tinggi 4 57,02 2,03 0,088 Umur 12 bulan Diameter 4 1,90 2,54 0,122 Tinggi 4 350,73 3,50 0,062 Panjang akar 4 195,83 7,58 0,008* Jumlah daun 4 58,77 3,34 0,069 Berat kering akar 4 9,64 3,78 0,052 Berat kering daun 4 39,17 5,47 0,020* Berat kering batang 4 12,58 4,39 0,036* Jumlah bintil akar 4 2819,77 3,32 0,070 Berat total biomasa 4 142,31 5,69 0,018* Keterangan: * berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Hasil uji lanjut Duncan pada perlakuan unsur tersebut dimanfaatkan oleh tanaman yang terbaik pada bibit malapari disajikan pada dalam proses metabolisme untuk pertumbuhan. Tabel 2. Pertumbuhan tinggi dan berat kering daun bibit malapari terbesar ditunjukkan oleh Tabel 2. Hasil uji lanjut Duncan pertumbuhan perlakuan TC. Hal ini disebabkan pada usia 12 malapari Tinggi Berat Kering daun bulan unsur hara yang terkandung dalam ketiga Perlakuan perlakuan mampu memberikan efek positif (cm) (gram) TC 44,67 a 3,22 a untuk pertumbuhan tanaman. Pupuk organik TKM 38,33 ab 1,58 ab berperan sebagai penyedia unsur hara dan TKT 34,83 ab 1,08 b perbaikan kondisi lingkungan untuk T 26,67 bc 0,61 b TK 21,67 c 0,39 b perkembangan jamur. Trichoderma spp. Keterangan: berperan dalam penguraian unsur N, P dan S T = tanah, yang nantinya diserap oleh tanaman sedangkan TK = tanah+kompos, TKM = tanah+kompos+mikoriza, mikoriza berperan dalam penyerapan unsur P TKT = tanah+kompos+Trichoderma spp., dan menghasilkan asam-asam organik TC = tanah+kompos+mikoriza+ Trichoderma spp. (Charisma, Rahayu, & Isnawati, 2012). Unsur-

80 Peningkatan Kualitas Bibit Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) dan Malapari (Pongamia pinnata L.) dengan Aplikasi Mikoriza dan Trichoderma spp. Benyamin Dendang dan Aditya Hani Hasil uji lanjut Duncan pada perlakuan daun, sedangkan mikoriza akan meningkatkan yang terbaik pada bibit nyamplung disajikan serapan phospor. Trichoderma spp. akan pada Tabel 3. Perlakuan TC menghasilkan meningkatkan pH, C/N ratio, N dan C sehingga diameter batang, panjang akar, berat kering dapat meningkatkan produksi berat kering pada daun, berat kering batang dan berat total hasil akhir tanaman (Sajimin, Raharjo, biomassa nyamplung terbesar. Trichoderma Purwantari, & Sutedi, 2007). Kompos spp. berperan dalam pengaturan siklus hara mempunyai peran yang penting karena secara berkesinambungan dengan cara berfungsi sebagai media tumbuh sekaligus menyediakan hara yang diperlukan tanaman dan pembawa cendawan mikoriza maupun menyimpan hara yang belum diperlukan Trichoderma spp. (Suprapti, Santoso, tanaman (Marbun, Yunasfi, & Mulya, 2015). Djarwanto, & Turjaman, 2012). Pemberian Keberadaan kompos selalu memberikan kompos akan mengefektifkan kinerja pengaruh yang positif karena mikoriza maupun Trichoderma spp. karena bahan organik yang Trichoderma spp. selalu berinteraksi positif tersedia sudah terurai menjadi selulosa dan hemi dengan bahan organik (Nurbaity, Herdiyantoro, selulosa (Mahdiannoor, 2012). Mikoriza dan & Mulyani, 2009). Hasil yang sama ditunjukkan Trichoderma spp. dapat dikombinasikan karena pada percobaan oleh Arriagada, Aranda, dapat mempercepat pertumbuhan dan Sampedro, Garcia-Romera, dan Ocampo (2009) perkembangan tanaman serta menekan yang menemukan bahwa pemberian perkembangan penyakit melalui sistem Trichoderma spp. pada bibit Eucalyptus perakaran (Latifah, Hendrival, & Mihram, globulus dapat meningkatkan berat kering akar 2014). dan batang serta kandungan klorofil dalam

Tabel 3. Hasil uji lanjut Duncan pada pertumbuhan tanaman nyamplung Diameter umur 6 Panjang akar Berat Kering Berat Kering Berat total biomassa/ Perlakuan bulan (mm) (cm) daun (gram) batang (gram) Total (gram) TC 4,95 a 41,66 a 10,19 a 6,79 a 22,41 a TKM 4,90 ab 35,00 ab 11,28 a 7,13 a 21,90 a TKT 4,69 bc 43,33 a 7,40 ab 4,22 ab 17,32 ab TK 4,65 c 31,67 bc 3,97 b 3,03 b 9,19 b T 4,58 c 23,33 c 3,17 b 2,82 b 7,88 b Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Perlakuan TC memberikan hasil B. Kualitas bibit biomassa terbesar dengan dukungan sistem Salah satu faktor yang mempengaruhi perakaran yang baik. Pertumbuhan akar keberhasilan tanaman adalah penggunaan bibit distimulasi oleh adanya pupuk organik yang yang berkualitas. Kualitas bibit dapat diketahui menghasilkan sifat fisik dan kimia tanah yang dari nilai indeks mutu bibit (IMB). Nilai IMB lebih baik (Roidah, 2013). Suplai nutrisi yang semakin tinggi menunjukkan kualitas bibit yang mencukupi dengan adanya pupuk organik serta lebih baik. penyerapan yang maksimal karena adanya Hasil dari penilaian bibit berdasarkan Trichoderma spp. dan mikoriza menyediakan perlakuan disajikan pada Tabel 4. Perlakuan TC bahan untuk metabolisme tanaman yang optimal memberikan nilai berat kering, rasio pucuk akar sehingga pertumbuhan vegetatif seperti akar, dan indeks mutu bibit tertinggi, yaitu berturut- batang dan daun menjadi pesat. turut sebesar 9,47 g; 1,72 dan 0,99 (malapari), dan sebesar 22,41 g; 8,96 dan 1,53 (nyamplung). Hal ini menunjukkan bahwa

81 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 75 - 84 perbanyakan malapari dan nyamplung secara campuran tanah + pupuk organik + generatif akan menghasilkan bibit dengan Trichoderma spp. + mikoriza. kualitas paling baik di persemaian apabila menggunakan media TC yang merupakan

Tabel 4. Nilai kualitas bibit nyamplung dan malapari di persemaian Berat Kering Perlakuan Rasio pucuk dan akar Indeks Mutu Bibit (g) Malapari (P. pinnata) T 2,32 1,08 0,27 TK 2,86 0,61 0,51 TKM 4,33 1,15 0,45 TKT 4,84 1,10 0,59 TC 9,47 1,72 0,99 Nyamplung (C. inophyllum) T 7,88 1,90 0,55 TK 9,19 1,72 0,79 TKM 21,90 2,01 1,45 TKT 17,32 1,40 1,57 TC 22,41 8,96 1,53 Keterangan: T = tanah, TK = tanah+kompos, TKM = tanah + kompos + mikoriza, TKT = tanah + kompos + Trichoderma spp., TC = tanah + kompos + mikoriza + Trichoderma spp.

Tanaman memerlukan sumber nutrisi yang diperoleh memiliki pertumbuhan paling yang dipenuhi dengan adanya pupuk organik. optimal. Unsur hara yang ada di dalam pupuk organik akan semakin banyak dan mudah diserap oleh IV. KESIMPULAN akar tanaman apabila dibantu oleh aktivitas Pengamatan sampai umur 6 bulan di mikoriza dan Trichoderma. Mikoriza berperan persemaian menunjukkan bahwa perlakuan TC dalam peningkatan serapan unsur hara dan air, yang merupakan campuran pupuk organik + perbaikan nutrisi tanaman, dan meningkatkan mikoriza + Trichoderma spp. merupakan media ketahanan bibit terhadap kekeringan melalui yang paling baik untuk peningkatan kualitas mekanisme mempertahankan tekanan osmosis pertumbuhan bibit malapari dan nyamplung di sel dan laju transpirasi (Suprapti et al., 2012). persemaian. Trichoderma berfungsi memperbaiki kondisi tanah sekitar perakaran sehingga dapat UCAPAN TERIMA KASIH meningkatkan produksi dan biomassa perakaran Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang berfungsi untuk penyerapan air dan unsur bapak Rusdi dan Iwan Setiawan sebagai teknisi hara (Tripathi et al., 2013). Pemberian yang telah membantu selama pelaksanaan Trichoderma spp. dan bahan organik akan kegiatan penelitian. meningkatkan serapan unsur nitrogen yang berfungsi untuk pembentukan bagian vegetatif DAFTAR PUSTAKA seperti daun, akar dan batang serta klorofil yang Alimah, D. (2010). Budidaya dan potensi akan meningkatkan proses fotosintesis. Proses malapari (Pongamia pinnata L.) PIERRE sebagai tanaman penghasil bahan bakar fotosintesis yang meningkat akan meningkatkan nabati. Gelam, IV(2), 147–159. hasil fotosintesis yang kemudian ditranlokasikan ke bagian vegetatif tanaman Arnanda, M., & Ali, M. (2016). Pertumbuhan bibit kelapa sawit yang diberi (Arnanda & Ali, 2016). Pada akhirnya bibit Trichokompos dengan frekuensi berbeda

82 Peningkatan Kualitas Bibit Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) dan Malapari (Pongamia pinnata L.) dengan Aplikasi Mikoriza dan Trichoderma spp. Benyamin Dendang dan Aditya Hani pada pembibitan utama. JOM Faperta, Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) 3(2), 1–15. sebagai Bahan Bakar Minyak Pengganti Solar. Jurnal Riset Daerah, 8(2), 1044– Arriagada, C., Aranda, E., Sampedro, I., Garcia- 1052. Romera, I., & Ocampo, J. A. (2009). Contribution of the saprobic fungi Hendromono. (2003). Kriteria penilaian mutu Trametes versicolor and Trichoderma bibit alam waah yang siap tanam untuk harzianum and the arbuscular mycorrhizal rehabilitasi hutan dan lahan. Buletin fungi Glomus deserticola and G. Penelitian Dan Pengembangan claroideum to arsenic tolerance of Kehutanan, 4(1), 11–20. Eucalyptus globulus. Bioresource Herliyana, E. N., Jamilah, R., Taniwiryono, D., Technology, 100(4), 6250–6257. & Firmansyah, M. A. (2015). In-vitro Test Charisma, A. M., Rahayu, Y. S., & Isnawati. of Biological Control by Trichoderma spp. (2012). Pengaruh kombinasi kompos Toward Ganoderma that attacked Sengon. Trichoderma dan Mikoriza Arbuskular Jurnal Silvikultur Tropika, 4(3), 190–195. (MVA) terhadap pertumbuhan tanaman Kusuma, M. E. (2016). Efektivitas pemberian kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada kompos Trichoderma sp terhadap media tanam tanah kapur. Lentera Bio, pertumbuhan dan hasil rumput setaria 1(3), 111–116. (Setaria spachelata). Jurnal Ilmu Hewan Danu, S. B., & Putri, K. P. (2013). Model Tropika, 5(2), 76–81. produksi benih malapari (Pongamia Latifah, L., Hendrival, H., & Mihram, M. pinnata Merril.) Di Batukaras, Ciamis, (2014). Asosiasi Cendawan Antagonis Jawa Barat. Perbenihan Tanaman Hutan, Trichoderma harzianum Rifai dan 1(2), 61–69. Cendawan Mikoriza Arbuskular untuk Dendang, B., & Hani, A. (2014). Efektivitas Mengendalikan Penyakit Busuk Pangkal Trichoderma spp. dan pupuk kompos Batang pada Kedelai. Jurnal Hama dan terhadap pertumbuhan bibit sengon Penyakit Tumbuhan Tropika. Jurnal Hama (Falcataria mollucana). Penelitian dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 14(2), Agroforestry, 2(1), 13–19. 160–169. Dickson, A., Leaf, A. L., & Hosner, J. F. López-Bucio, J., Pelagio-Flores, R., & Herrera- (1960). Quality Appraisal Of White Estrella, A. (2015). Trichoderma as Spruce and White Pine Seedling Stock In biostimulant: exploiting the multilevel Nurseries. The Forestry Chronicle, 36(1), properties of a plant beneficial fungus. 10–13. Scientia Horticulturae, 196, 109–123. Direktorat Jenderal Energi Baru, T. dan K. E. Mahdiannoor. (2012). Efektivitas Pemberian (2014). Energi Baru, Terbarukan dan Trichoderma spp. dan Dosis Pupuk Konservasi Potensi dan Peluang Investasi. Kandang Kotoran Ayam Pada Lahan Rawa Lebak Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Dwitama, M. I., Nasib, M., Sitepu, O. C., Tanaman Kacang Panjang (Vignasinensis Suandi, D. A. P., & Simpen, I. N. (2016). L.). Ziraa’ah, 33(1), 91–98. Konversi minyak biji malapari (Pongamia pinnata L.) menjadi biodiesel melalui Marbun, L., Yunasfi, Y., & Mulya, M. B. pemanfaatan katalis heterogen abu sekam (2015). Pemanfaatan fungi Aspergillus padi termodifikasi. Journal of Chemistry, flavus, Aspergillus terreus, dan 10(2), 236–244. Trichoderma harzianum untuk meningkatkan pertumbuhan bibit Elviati, D., & Siregar, E. B. M. (2010). Avicennia marina. Peronema Forestry Pemanfaatan Kompos Tandan Kosong Science Journal, 4(3), 192–198. Sawit Sebagai Campuran Media Tumbuh Dan Pemberian Mikoriza Pada Bibit Mindi Nurbaity, A., Herdiyantoro, D., & Mulyani, O. (Melia azedarach L.). Jurnal Hidrolitan, (2009). Pemanfaatan bahan organik 1(3), 11–19. sebagai bahan pembawa Inokulan fungi mikoriza arbuskula. Jurnal Biologi, 3(1), Hadi, W. A. (2009). Pemanfaatan Minyak Biji 7–11.

83 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 12 No. 1, Juni 2018, p. 75 - 84

Purwati, M. S. (2013). Respon pertumbuhan Suprapti, S., Santoso, E., Djarwanto, & bibit kelapa sawit terhadap pemberian Turjaman, M. (2012). Pemanfaatan dolomit dan pupuk phospor. Ziraa’ah, kompos kulit mangium untuk media 36(1), 25–31. pertumbuhan cendawan mikoriza arbuskula dan bibit Acacia mangium Ramesh, M. S., Birajdar, G. M., Tanaji, G. M., Willd. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, & Bhale, U. N. (2017). Prevalence and 30(2), 114–123. Effect of Mycorrhizae on Growth of Pongamia pinnata Nursery Plant. Asian Syamsuwida, D., Putri, K. P., Kurniaty, R., & Journal of Plant Pathology, 11(11), 89– Aminah, A. (2015). Seeds and Seedlings 94. Production of Bioenergy Tree Species Malapari (Pongamia pinnata (L.) Pierre). Roidah, I. S. (2013). Manfaat penggunaan Energy Procedia, 65, 67–75. pupuk organik untuk kesuburan tanah. Jurnal BONOROWO, 1(1), 30–42. Tamin, R. P. (2016). Pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.) pada Sajimin, Y. C., Raharjo, N. D., Purwantari, & media pasca penambangan batubara yang Sutedi, E. (2007). Penggunaan probiotik diperkaya fungi mikoriza arbuskula, pada kotoran domba sebagai pupuk limbah batubara dan pupuk NPK. Jurnal organik untuk rumput benggala. Prosiding Penelitian Universitas Jambi, 18(1). Seminar Nasional Teknologi Dan Veternier, 700–705. Tchameni, S. N., Ngonkeu, M. E. L., Begoude, B. A. D., Nana, L. W., Fokom, R., Owona, Sari, A., Mardhiansyah, M., & Sribudiani, E. A. D., … Kuaté, J. (2011). Effect of (2014). Waktu potensial aplikasi mikoriza Trichoderma asperellum and arbuscular dan Trichoderma spp. pada medium mycorrhizal fungi on cacao growth and gambut untuk meningkatkan pertumbuhan resistance against black pod disease. Crop semai meranti tembaga (Shorea leprosula Protection, 30(10), 1321–1327. Miq.). PEST Tropical Journal, 2(1), 1–10. Tripathi, P., Singh, P. C., Mishra, A., Chaunhan, Sugiyono, A. (2005). Pemanfaatan Biofuel P. S., Dwivedi, S., Bais, R. T., & Tripathi, dalam Penyediaan Energi Nasional Jangka R. D. (2013). Trichoderma: a potential Panjang. Seminar Teknologi Untuk Negeri, bioremediatior for environmental clean up. 78–86. Clean Techn Environ Policy, 15, 541–550.

84 PEDOMAN PENULISAN NASKAH

• Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jurnal ini menerima dan mempublikasikan tulisan hasil penelitian berbagai aspek yang berhubungan bioscience seperti silvikultur/budidaya, perbenihan, pemuliaan, genetika, bioteknologi, hama/penyakit, fisiologi dan konservasi genetik. • Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman, font ukuran 11 dan jarak 1,5 (satu koma lima) spasi pada kertas A4 putih pada satu permukaan dan disertai file elektroniknya. Gambar dan tabel ditulis pada halaman terpisah. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm. Naskah sebanyak 1 (satu) rangkap dikirimkan kepada Sekretariat Redaksi Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. File elektronik diunggah ke Open Journal System (OJS) Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, pada link berikut: http://ejournal.forda- mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPTH. • Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan belum pernah dimuat/diterbitkan dalam publikasi manapun, dengan cara mengisi blanko pernyataan (copyright transfer dan ethical statement) yang dapat di akses melalui OJS JPTH pada link berikut: http://ejournal.forda-mof.org/ejournal- litbang/index.php/JPTH/about/submissions#authorGuidelines • Sistematika Penulisan adalah sebagai berikut: Judul: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, penulis dan instansi penulis, email penulis pertama Abstrak: Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia

I. PENDAHULUAN II. BAHAN DAN METODE III. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. KESIMPULAN Ucapan Terima Kasih, Daftar Pustaka Lampiran (jika ada)

• Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris dengan ringkas, tidak lebih dari l0 kata serta harus mencerminkan isi tulisan ukuran huruf 12. Nama penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil ukuran huruf 10. Di bawah nama ditulis nama institusi asal penulis dan alamat lengkap instansi/institusi serta alamat email penulis pertama. • ABSTRAK dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Abstrak Bahasa Indonesia tidak lebih dari 300 kata dalam satu paragraph, sedangkan abstrat Bahasa Inggris tidak lebih dari 250 kata, yang berisi intisari permasalahan, tujuan, metode dan hasil penelitian serta kesimpulan. Bahasa Inggris ditulis dalam huruf kecil miring dan Bahasa Indonesia ditulis tegak, jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci masing-masing tidak lebih dari 5 kata. • Tabel: Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam bahasa Indonesia dengan jelas dan singkat. Tabel diberi nomor dan ukuran font 10 (sepuluh). • Gambar: Foto, grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras (berwarna atau hitam putih). Setiap gambar harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dengan ukuran font 10 (sepuluh). • Tubuh naskah: diatur dalam BAB dan SUB BAB secara kosisten sesuai dengan kebutuhan. BAB ditulis ditengah dan SUB BAB ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti: I, II, III, dst. Untuk Bab A, B, C, dst. Untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst. Untuk Sub subbab a, b, c, dst. Untuk Sub sub subbab

• DAFTAR PUSTAKA, setidaknya terdapat 10 pustaka yang berkualitas yang terbit 5 tahun terakhir diantaranya minimal 5 jurnal ilmiah, disusun menurut abjad nama pengarang mengacu pada APA 6th style. Departemen Kehutanan. (2004). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.01/Menhut-11/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau di Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Dephut. Larcher, P. (1997). Physiological plant ecology. New York: John Wiley & Sons, Inc. Sambrook, J., & Russell, D. W. (1989). Molecular cloning: A laboratory manual (3rd ed.). Cold Spring Harbor Laboratory Press. Mahoro, S. (2002). Individual flowering schedule, fruit set and flower and seed production in Vaccinium hirtum Thunmb. (Ericaceae). Canadian Journal of Botany, 80,82-92. Gunaga, R.P., & Vasudeva, R. (2009). Overlap Index : A Measure to Access Flowering Synchrony Among teak (Tectona granndis Linn.f) Clone in Seed Orchards. Current Science, 97(6), 941-946. Pinyopusarerk, K., & Harwood, C.E. (2003). Flowering and seed production in tropical Eucalyptus seed orchard. In J.W. Turnbull (Ed.), Eucalyptus in Asia. ACIAR Proceeding No 111. Australian Centre for International Agricultural Research (pp. 247-248). Canberra. Wikipedia. (2012). Konflik. Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diakses tanggal 5 Juni 2012, dari http://www.id.wikipedia.org/wiki/Konflik  Dewan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap setiap pernyataan dan pendapat ilmiah yang dikemukakan penulis.  Dewan Redaksi berhak merubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.x. No. x, Month Year, p. x- x > REPLACE THIS LINE WITH YOUR PAPER IDENTIFICATION NUMBER (DOUBLE-CLICK HERE TO EDIT) <

TITLE SHOULD BE CONCISE, INFORMATIVE, AND CLEARLY REFLECT THE CONTENT OF THE MANUSCRIPT IN BAHASA INDONESIA Title Should be Concise, Informative, and Clearly Reflect The Content of The Manuscript in English

First Author1, Second Author2, Third Author1 and Fourth Author1 First, third, and fourth authors’ current affiliations including current address email address: first author or correspondence person Second authors’ current affiliations including current address

Received: ...... Revised: ...... Accepted: ...... (Filled by JPTH)

ABSTRACT (uppercase font 11 italic spasi 1 - before 18 point, after 0 point ) The abstract should not exceed 250 words. The abstracts should be self-explanatory. It must include the reason for conducting the study, objectives, methods used, results and conclusion. Objective should briefly state the problem or issue addressed, in language accessible to a general scientific audience. Technology or Method must concisely summarize the technological innovation or method used to address the problem. Results should bring a brief summary of the results and findings. Conclusions should provide brief concluding remarks on outcomes. Keywords: Four to six keywords should be provided for indexing and abstracting. The word or term overviews the issues discussed, written in alphabetical order, separated by commas (,)

ABSTRAK (Uppercase font 11 normal spasi 1 - before 18 point, after 0 point ). Tuliskan terjemahan abstrak dalam bahasa Indonesia. Abstrak tidak lebih dari 300 kata. Abstrak menjelaskan keseluruhan isi artikel. Abstrak meliputi maksud, tujuan penelitian, metodologi yang digunakan, hasil dan kesimpulan. Maksud penelitian harus menjelaskan secara ringkas permasalahan yang diteliti menggunakan bahasa ilmiah umum yang mudah dimengerti oleh pembaca. Teknologi atau metodologi yang digunakan untuk pemecahan permasalahan penelitian harus dicantumkan secara lengkap dan ringkas dalam abstrak. Hasil penelitian dan temuannya disajikan dalam ringkasan singkat. Kesimpulan harus menyatakan outcome yang dicapai dalam kegiatan penelitian. Kata kunci: Empat sampai enam kata kunci untuk keperluan indeksasi dan abstraksi. Setiap kata mencakup isu yang dibahas dan diurutkan secara alphabet dipisahkan oleh tanda koma (,)

To insert images in Word, position the I. INTRODUCTION cursor at the insertion point and either use Insert State the objectives of the work and | Picture | From File or copy the image to the provide an adequate background of the research Windows clipboard and then Edit | Paste Special objectives, avoiding a detailed literature survey | Picture (with “float over text” unchecked). or a summary of the results. JPTH will do the final formatting of the This document is a template for manuscript submitted. Microsoft Word versions 2003 or later. To prepare the manuscript, a template can be II. MATERIAL AND METHOD downloaded from this link: http://ejournal.forda- Provide sufficient detail of the research mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPTH. work to allow method to be reproduced. The Do not change the font sizes or line material and method chapter can be divided into spacing to squeeze more text into a limited several sub-chapters. number of pages. Use italics for emphasis; do not underline.

1 > Replace This Line With Your Paper Title (Double-Click Here To Edit) > < Replace This Line With Author (Double-Click Here To Edit >

A. Study site/location and/or materials insert data that has been validated in accordance Describe the time and location of the with the variables to be analyzed, as well as the study, materials and tools used as well as determination of the data analysis program research method. (SAS, SPSS, and / or others), and finally the data tabulation of data interpretation. The data B. Methods analysis also determined by the extent / Methods already published should be magnitude of data sources that serve as research indicated by a reference. Specific location subjects, whether the study population, the should include the geographical information study sample or case study (LIPI, 2012). system. Only relevant modification to the Table should be numbered. Please use method should be described clearly. comma (,) and point (.) in all figures C. Analysis appropriately according to the English writing rule. Write the process of inspecting, Most charts graphs and tables are one cleaning, transforming, and modelling data column wide (3 1/2 inches or 21 picas) or two- with the goal of discovering useful column width (7 1/16 inches, 43 picas wide). information, suggesting conclusions, and Avoid sizing figures less than one column wide, supporting decision-making. as extreme enlargements may distort the images Data analysis procedures concerning the and result in poor reproduction. Therefore, it is editing of data and information collected by better if the image is slightly larger, as a minor questionnaires or through FGD, insert data / reduction in size should not have an adverse information into the computer, data validation, effect the quality of the image.

Tabel 1. Hasil analisis keragaman (fonts size 10 pt) Sumber Variasi db KT Sig. A a - 1 Kta a** B b - 1 KTb bns A vs B (a-1)(b-1) KTab ab* Error n – ab - 1 KTe Keterangan : ** = berbeda sangat nyata pada taraf uji α 0,01 * = berbeda nyata pada taraf uji α 0,05 ns = nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji

results obtained. Discussion unnecessary re- III. RESULT AND DISCUSSION reading of the chart, but can be grouped result to Results should address concerns and interpret the results and discussed based on research purposes which should be presented theory and the results of previous research. clearly and concisely. Contains a comparison of What is interesting about this study compared to results with other matters that have a link or part previous results, or what stands out from this of a diversity of issues that have been published observation? by others, or the results of previous research if Result and discussion may be separated this is a sequence of a research activity. into sub chapter of result and discussion. Discussion should explore the References may be used to support the research significance of the results work to the current findings and expected to be written at least in condition or other research result, but not the last five years. repeating the result. Written with a quick discussion and focus on the interpretation of the

2 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.x. No. x, Month Year, p. x- x > REPLACE THIS LINE WITH YOUR PAPER IDENTIFICATION NUMBER (DOUBLE-CLICK HERE TO EDIT) < REFERENCES Use at least 10 references referring to American Psychological Association style (APA style) 6th Edition. References must be listed and organized alphabetically by author name. In-text citation should also be based on the APA style 6th Edition. More information and sample paper of using APA style can be downloaded from

Gambar 1. Perbandingan rata-rata pertumbuhan http://www.apastyle.org. diameter semai Mangium umur 7 bulan Using citation application tools such as pada berbagai taraf perlakuan interval EndNote or Mendeley is strongly recommended penyiraman to properly credit the information sources. By Graphic images should be formatted and properly cite the reference sources you are saved using a suitable graphics processing avoiding plagiarism. Free reference manager program allowing creating the images as such as Mendeley can be downloaded from JPEG/TIFF. Image quality is very important to https://www.mendeley.com/download- reproduce the graphics. Poor quality graphics mendeley-desktop/ to create bibliography, cannot be improved. Photographs and grayscale references and in-text citation. Using application figures should be prepared with 300 dpi tools for referencing will make the work much resolution and saved with no compression, 8 bits easier rather than doing it manually. per pixel (grayscale). Colour graphics should be in About 80% of the references used in the the following formats: TIFF, Word, PowerPoint, manuscript should be issued at least in the last Excel, and PDF. The resolution of a RGB colour TIFF file should be 400 dpi. Please supply a high five years and should be from primary reference quality hard copy or PDF proof of each image. If we sources (scientific journal, proceeding, cannot achieve a satisfactory colour match using the skripsi/thesis/disertation, specific book of electronic version of the files, we will have the hard research result) except for specific science copy scanned. textbooks (mathematics, , climate, etc.). IV. CONCLUSION A brief summary of the possible clinical CITATIONS IN THE TEXT implications of the study is required in the conclusion section. Conclusion contains the APA uses the author-date method of main points of the article. It should not replicate citation. The last name of the author and the date the abstract, but might elaborate the significant of publication are inserted in the text in the results, possible applications and extensions of appropriate place. When referencing or the work. summarizing a source, provide the author and year. When quoting or summarizing a particular ACKNOWLEDGEMENT passage, include the specific page or paragraph Acknowledgement is compulsory for number, as well. When quoting in the persons or organizations that have already manuscript, if a direct quote is less than 40 helped the authors in many ways. Sponsor and words, incorporate it into the text and use financial support acknowledgments may be quotation marks. If a direct quote is more than placed in this section. Use the singular heading 40 words, make the quotation a freestanding even if you have many acknowledgements. indented block of text and DO NOT use quotation marks.

3 > Replace This Line With Your Paper Title (Double-Click Here To Edit) > < Replace This Line With Author (Double-Click Here To Edit >

One work by one author Peterson, 1995, 1998; Smith, 1990) In one developmental study (Smith, 1990), suggest that... children learned... OR In the study by Smith (1990), primary Specific parts of a source school children... OR Always give the page number for quotations In 1990, Smith’s study of primary school or to indicate information from a specific children… table, chart, chapter, graph, or page. The word page is abbreviated but not chapter. Works by multiple authors The painting was assumed to be by A work with two authors, cite both names Matisse (Powell, 1989, Chapter 6), but every time you reference the work in the later analysis showed it to be a forgery text. (Murphy, 1999, p. 85). A work with three to five authors, cite all the author names the first time the reference If, as in the instance of online material, the occurs and then subsequently include only source has neither visible paragraph nor page the first author followed by et al. numbers, cite the heading and the number of First citation: Masserton, Slonowski, the paragraph following it. This allows the and Slowinski (1989) state that... reader to locate the text in the source. Subsequent citations: Masserton et al. The patient wrote that she was (1989) state that... unimpressed by the doctor’s bedside A work with 6 or more authors, cite only the manner (Smith, 2006, Hospital name of the first author followed by et al. Experiences section, para. 2). and the year. The use of word “and” and symbol “&” Works by no identified author A work with two or more authors, use the A resource with no named author, cite the word “and” in running text and first few words of the reference entry an ampersand “&” in parenthetical material, (usually the title). Use double quotation in tables, captions, and in the reference list. marks around the title of an article, chapter, as Louth, Hare and Linden (1998) or Web page. Italicize the title of a demonstrated ... periodical, book, brochure, or report. as has been shown (Louth, The site seemed to indicate support for Hare & Linden, 1998) ... homeopathic drugs (“Medical Miracles,” 2009). The brochure argues CITATIONS IN A REFERENCE LIST for home schooling (Education Reform, 2007). In general, references should contain the author Treat reference to legal materials such as name, publication date, title, and publication court cases, statutes, and legislation like information. Include the issue number if the works with no author. journal is paginated by issue.

Two or more works in the same For information obtained electronically parenthetical citation or online include the DOI Citations of two or more works in the same DOI - a unique alphanumeric string assigned parentheses should be listed in the order they to identify content and provide a persistent appear in the reference list (i.e., link to its location on the internet. The DOI is alphabetically, and then chronologically). typically located on the first page of the Several studies (Jones & Powell, 1993; electronic journal article near the copyright notice. When a DOI is used in the citation, no

4 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.x. No. x, Month Year, p. x- x > REPLACE THIS LINE WITH YOUR PAPER IDENTIFICATION NUMBER (DOUBLE-CLICK HERE TO EDIT) < other retrieval information is needed. Use this One editor - use the abbreviation (Ed.). More than format for the DOI in references: doi:xxxxxxx one editor - use the abbreviation (Eds.). For a book with no editor, include the word 'In' If no DOI has been assigned to the content, before the book title provide the home page URL of the journal or of the book or report publisher. Do not insert a Journal Article - electronic version with hyphen if you need to break a URL across lines; do not add a period after a URL, to DOI prevent the impression that the period is part Author, A. A., & Author, B. B. (year). Title of article. Title of Periodical, volume(issue), of the URL. page range. doi:xx.xxxxxxxxxx

In general, it is not necessary to include Turner, J. (2007). Justice and emotions. Social Justice Research, 20(3), 288- database information. Do not include retrieval 311. doi:10.1007/s11211-007-0043-y dates unless the source material has changed over time. Journal Article - electronic version Print Book without DOI (DOI is not available) Author, A. (year). Title of the document. Location Author, A. A., & Author, B. B. (year). Title of published: Publisher name. article. Title of Periodical, volume(issue), page range. Retrieved from Strunk, W., Jr., & White, E. B. (1979). The guide to http://www.homepageURL everything and then some more stuff. New York, NY: Macmillan. Walters, W. (2008). Bordering the sea: Shipping industries and the policing of Gregory, G., & Parry, T. (2006). Designing brain- stowaways. Borderlands E-Journal, 7(3), 1- compatible learning (3rd ed.). Thousand 25. Retrieved from http://www.border Oaks, CA: Corwin. lands.net.au/index.html

Electronic Book Journal Article - print version Author, A. (year). Title of document. Retrieved from Author, A. A. (year). Title of article. Title of url OR Periodical. volume(issue), page range. Author, A. (year). Title of document. doi:xxxxxxx Radiarta, I. N. (2013). Relationship between Monro, V. (1835). A summer ramble in Syria: With a phytoplankton distribution with water quality Tartar trip from Aleppo to Stamboul (Vol. 1). in the Strait Alas, Sumbawa, West Nusa Retrieved from Tenggara (in Bahasa Indonesia). Jurnal Bumi http://books.google.com/books Lestari, 13(2), 234–243 Schiraldi, G. R. (2001). The post-traumatic stress Louth, S. M., Hare, R. D., & Linden, W. (1998). disorder sourcebook: A guide to healing, Psychopathy and alexithymia in female recovery, and growth [Adobe Digital Editions offenders. Canadian Journal of Behavioural version]. doi:10.1036/0071393722 Science, 30(2), 91-98.

Chapter of a Book - different authors in Online Newspaper Articles edited book Becker, E. (2001, August 27). Prairie farmers reap conservation's rewards. The New York Times. Sharp, S. F., & Eriksen, M. E. (2003). Imprisoned Retrieved from http://www.nytimes.com mothers and their children. In B. H. Zaitzow & J. Thomas (Eds.), Women in prison: Gender and social control (pp.119-136). Encyclopaedia or dictionary - print London: Lynne Rienner Publishers. Author, A. A., & Author, B. B. (year). Title of NOTE: book (ed). Location published: Publisher name. In the example above, 'Sharp & Eriksen' are the authors of the chapter 'Imprisoned mothers Sadie, S. (Ed.). (2000). The new Grove dictionary of and their children', published in the book music and musicians (2nd ed., Vols. 1-29). 'Women in prison: Gender and social control'. New York: Grove's Dictionaries.

5 > Replace This Line With Your Paper Title (Double-Click Here To Edit) > < Replace This Line With Author (Double-Click Here To Edit >

Conference Proceedings - print Encyclopaedia or dictionary - electronic Iyengar, S. S., & DeVoe, S. E. (2003). Rethinking the Author, A. A., & Author, B. B. (year). Title of value of choice: Considering cultural book (ed). Retrieved from url mediators of intrinsic motivation. In R. Dienstbier (ed.), Nebraska Symposium on Zalta, E. N. (Ed.). (2007). The Stanford encyclopedia Motivation: Vol. 49. Cross-cultural of philosophy. Retrieved from differences in perspectives on the self (pp. http://plato.stanford.edu/ 129-174). Lincoln: University of Nebraska Press. Technical and Research Reports (often with corporate authors) Dissertation, Published Hershey Foods Corporation. (2001, March 15). 2001 Author, A. A. (Year). Title of dissertation (Doctoral Annual Report. Retrieved from dissertation). Retrieved from Name of http://www.hersheysannualreport.com/2000/i database. (Accession or Order Number) ndex.htm Adams, R. J. (1973). Building a foundation for evaluation of instruction in higher education Book Reviews and continuing education (Doctoral dissertation). Retrieved from Dent-Read, C., & Zukow-Goldring, P. (2001). Is http://www.ohiolink.edu/etd/ modeling knowing? [Review of the book Models of cognitive development, by K. Richardson]. American Journal of Dissertation, Unpublished Psychology, 114, 126-133. Author, A. A. (Year). Title of NOTE: For articles that have a DOI, see Journal dissertation (Unpublished doctoral Article with DOI example. dissertation). Name of Institution, Location.

Data Sets Master’s thesis, from a commercial Simmons Market Research Bureau. (2000). Simmons database national consumer survey [Data file]. New Author, A. A. (Year). Title of thesis (Master’s York, NY: Author. thesis). Retrieved from Name of database. (Accession or Order Number) Conference Proceedings - electronic McNiel, D. S. (2006). Meaning through narrative: A Shennan, S. (2008). Canoes and cultural personal narrative discussing growing up evolution. Proceedings of the National with an alcoholic mother (Master’s Thesis). Academy of Sciences 105, 3416-3420. doi: Retrieved from ProQuest Dissertations and 10.1073/pnas.0800666105 Theses Databases. (UMI No. 1434728)

Government Document National Institute of Mental Health. (1990). Clinical training in serious mental illness (DHHS Publication No. ADM 90-1679). Washington, DC: U.S. Government Printing Office.

6 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol.x. No. x, Month Year, p. x- x > REPLACE THIS LINE WITH YOUR PAPER IDENTIFICATION NUMBER (DOUBLE-CLICK HERE TO EDIT) <

 If possible, equalize columns on the last page 

7 PENGUJIAN PENANDA JENIS SPESIFIK PADA JAMUR YANG BERPOTENSI SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI PENYAKIT BUSUK AKAR PADA AKASIA

PERTUMBUHAN BIBIT HASIL OKULASI PADA BEBERAPA KLON JATI HASIL SELEKSI PADA UJI KLON DARI GUNUNG KIDUL DAN WONOGIRI

INTERAKSI FAMILI × LOKASI PADA UJI KETURUNAN GENERASI KEDUA Eucalyptus pellita

EMBRIOGENESIS SOMATIK ROTAN TOHITI (Calamus inops Becc. ex Heyne)

PERTUMBUHAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.) PADA LAHAN MARGINAL BERJENIS TANAH ULTISOL DI RIAU

SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KETURUNAN GENERASI KEDUA KAYUPUTIH (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) DI GUNUNGKIDUL

PENINGKATAN KUALITAS BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) DAN MALAPARI (Pongamia pinnata L.) DENGAN APLIKASI MIKORIZA DAN Trichoderma spp.