PERAN SANGGAR SUWANDA GROUP DALAM MELESTARIKAN SENI TRADISONAL TARI DI KABUPATEN KARAWANG

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh Mutia Sa’adah NIM: 1113022000108

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1439 H/2018 M

PENGESAHAN BANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERAN SANGGAR SUWANDA GROUP DALAM MELESTARIKAN SENI TRA,DISONAL TART JAIPONGAN DI KABUPATEN KARAIYANG telah diqiukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Hurnaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Januari 2018, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) pada program Studi Sejarah danPeradaban Islam.

Jakarta, 10 Januari 2018 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Selaetaris Merangkap Anggota,

H. Nurhasan. M.A. NIP. 19690724 199703 I 001 9750417 200501 2001

Anggota,

Penguji I, Pengrji II,

Dr. Jffis.Jahroni, MA. Dr.Hi. Tati Hartimah. MA.

NIP. 19670612 1994031 1 006 NrP. 19ss0731 198903 2001

Pembimbing, ,/l b,., I

,/-dImas Emalia. M. Hum. NIP. 19730208 199803 2 001 DEDIKASI

Didedikasikan untuk Ibundaku Ropiqoh, Ayahandaku Mujahidin, Kakak tercinta Muhammad Fauzi dan adik tercinta Fitri Arjalia.

v ABSTRAK

Kesenian Tari Jaipongan merupakan salah satu genre tari di Jawa Barat yang berkembang pada tahun 1976-1990, yang kini telah dijadikan ikon kesenian tari Sunda. Kesenian Tari Jaipongan seakan menjadi sajian wajib di setiap event-event pertunjukan tari Sunda baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kebertahanan dan berkembangnya Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang ini salah satunya adalah adanya sanggar yang melestarikan kesenian Tari Jaipongan. Pada penelitian sebelumnya seperti karya Een Herdiani, menjelaskan secara umum bahwa seni Bajidoran merupakan kesenian cikal bakal Tari Jaipongan yang sangat disukai oleh masyarakatnya dan dalam tariannya menggambarkan kehidupan masyarakat Karawang yang agresif, aktif serta dinamis. Endang Caturwati, menjelaskan bahwa bagaimana tari di Tatar Sunda, dan bagaimana perkembangan tari dari masa ke masa, kemudian menjelaskan mengenai kehidupan sosial budaya para sinden penari Jaipongan di Subang Jawa Barat. Oleh karena itu pada penelitian ini akan membahas secara detail tentang bagaimana peranan Sanggar Suwanda Group (SSG) dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang yang mempunyai peran penting terhadap eksistensi kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. Studi ini ingin menjawab masalah di atas dengan harapan dapat memberikan informasi keberadaan SSG yang merupakan salah satu pihak yang ikut melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. Melalui sumber tertulis, wawancara dan survei lapangan. Adapun teori yang penulis anggap relevan yaitu teori pelestarian budaya, dari Jacobus Ranjabar “pelestarian sebagai kegiatan atau yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes dan selektif”. Temuan studi ini adalah SSG merupakan sanggar yang menciptakan pola tepakan Jaipongan pada tahun 1976, sedangkan yang menciptakan tariannya adalah . SSG telah berhasil memperkenalkan kesenian Tari Jaipongan kepada masyarakat Kabupaten Karawang melalui penciptaan, pementasan secara ekstern maupun intern dan pelatihan yang dilakukan oleh SSG sendiri atau kerjasama dengan pihak luar, contohnya dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, serta Dinas Pendidikan Kabupaten Karawang. Upaya SSG dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan ini telah berdampak positif dan memajukan berbagai aspek, di antaranya dari aspek ekonomi, budaya, organisasi dan kehidupan manusia pada umumnya.

Kata Kunci: Peran, Sanggar Suwanda Group, Pelestarian, Tari Jaipongan, Kabupaten Karawang.

vi KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur untuk Allah Subhanahu wata‟ala yang telah memberikan nikmat yang tiada terhitung, dan dengan kasih sayang-Nya kita dapat terus bernapas dan berbuat di dunia ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita nabi Muhammad saw. Banyak rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam merampungkan skripsi yang berjudul: Peran Sanggar Suwanda Group Dalam Melestarikan Seni Tradisional Tari Jaipongan Di Kabupaten Karawang. Namun, semua rintangan dan hambatan itu bisa terlewati sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap dengan usaha kerja keras. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada mereka semua, di antaranya: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Bapak Nurhasan, MA. selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi universitas sehingga segalanya menjadi mudah. 4. Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulisan saat menjadi mahasiswa di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam tercinta ini baik yang berkenaan dengan surat menyurat maupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. 5. Bunda Imas Emalia, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus mencari sumber primer dalam penulisan sejarah, serta segala kemudahan yang penulis dapatkan ketika menjadi mahasiswa bimbingan beliau.

vii viii

6. Bapak Drs. Tarmizy Idris, M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan kewajiban menulis skripsi. 7. Seluruh Dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan wawasan yang banyak bermanfaat. 8. Seluruh staff pegawai Fakultas Adab dan Humaniora yang telah baik membantu segala urusan akademik dan administrasi. 9. Bapak H. Suwanda, selaku narasumber dan juga pencipta pola tepakan kendang Jaipongan dan pimpinan Sanggar Suwanda Group yang bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan untuk penulis wawancarai. 10. Keluargaku, Ibundaku Rapiqoh, Ayahandaku H.Mujahidin, Kakak tercinta Muhammad Fauzi, serta adik tercita Fitri Arjalia yang selalu memberikan dukungan setiap hari baik moril maupun materi tak terhingga dan didikan di rumah ini menjadikan penulis menjadi pribadi yang memiliki karakter. 11. Naufal Islami, yang telah membantu penulis dalam melakukan pencarian sumber, serta memberi motivasi. 12. Himpunanku, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (KOFAH) Cabang Ciputat, yang telah menjadi tempat penulis belajar berorganisasi dan belajar banyak hal. Terimakasih kepadan senior-junior yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu. Namun penulis harus berterimakasih kepada Firdaus Alansyah, S.Hum, Yudha Adipradana, S.Hum, Dyah Diu Djemba Wati, S.Hum, Achmad Al-Faiz, S.Hum, teman-teman seperjuangan di komisariat. 13. Teman-teman seperjuangan di SPI 2013, dan senior-junior yang saking banyaknya sehingga tidak bisa disebutkan satu-persatu, namun penulis merasa harus berterima kasih kepada, Septi Nurizkyani, S.Hum, Widiawati, S.Hum, Farah Awalia, S.Hum, dan Maulana Fauzi, S.Hum sahabat penulis yang banyak membantu selama masa perkuliahan ini. ix

14. Teman-teman di kosan, Syifa Fauziah Syukur, S.Sos, Larasati Hardian, S.Agr, dan Astrid Aisyah Hanani, S.Agr yang sehari-hari menjadi teman berbincang penulis dan menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 15. Teman-teman KKN Adiktif Isti Nanda, Rara, Suci, Ismail, Ilham, Pangki Ladipa, S.H, Zaki, Zaldi, Irul dan Nurohman.

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... ii LEMBAR PERSETUJUAN ...... iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...... iv DEDIKASI ...... v ABSTRAK ...... vi KATA PENGANTAR ...... vii DAFTAR ISI ...... x BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 10 D. Tinjauan Pustaka ...... 10 E. Metode Penelitian dan Landasan Teori ...... 15 F. Sistematika Penulisan ...... 19 BAB II SOSIAL BUDAYA KABUPATEN KARAWANG ...... 21 A. Letak Geografi Kabupaten Karawang ...... 23 B. Ekonomi, Budaya, dan Sosial Kabupaten Karawang ...... 27 BAB III SENI TRADISIONAL TARI JAIPONGAN DI ...... 42 A. Sejarah Kesenian di Jawa Barat 1976-1990 ...... 42 B. Munculnya Seni Tari Jaipongan ...... 47 C. Perkembangan Seni Tari Jaipongan ...... 54 D. Kategori dan Unsur-unsur dalam Penyajian Tari Jaipongan ...... 54 E. Pelaksanaan ...... 57 F. Penari ...... 68 G. Tata Rias Busana Sinden-Penari Jaipongan ...... 68 H. Struktur Gerakan Tari Jaipongan ...... 81 I. Nilai-Nilai Kesenian Tari Jaipongan Sebagai Media Untuk Masyarakat ...... 82 BAB IV SENI TARI JAIPONGAN DI KABUPATEN KARAWANG ...... 87

x xi

A. Daya Tarik Masyarakat Kabupaten Karawang Terhadap Kesenian Tari Jaipongan ...... 87 B. Upaya Melestarikan Budaya Tradisional Seni Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang ...... 88 C. Biografi Pendiri Sanggar Suwanda Group (SSG) ...... 91 D. Peran Sanggar Suwanda Group Dalam Melestarikan Kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang Tahun 1976-1990 ...... 107 BAB V RESPONS MASYARAKAT TERHADAP SENI TARI JAIPONGAN KHAS KARAWANG ...... 132 A. Pandangan Para Seniman Terhadap Seni Tari Jaipongan ...... 132 B. Pandangan Ulama di Jawa Barat terhadap Seni Tari Jaipongan .... 134 A. Kesimpulan ...... 142 B. Saran ...... 143 GLOSARI ...... 145 DAFTAR PUSTAKA ...... 148 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 152

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Karawang merupakan daerah yang mempunyai potensi alam dan industri yang sangat baik.1 Selain memiliki potensi alam dan industri, Kabupaten Karawang juga memiliki potensi lain di bidang seni tradisional khususnya dalam bidang seni tari.2 Salah satunya adalah kesenian Tari Jaipongan yang kini menjadi ciri khas kesenian tari di Kabupaten Karawang.3 Kesenian tradisional Tari Jaipongan merupakan kesenian tari asal Jawa Barat yang lahir pada tahun 1976. Berbicara asal-usul kesenian tradisional Tari Jaipongan tidak dapat dilepaskan dari dua orang maestro seniman besar Jawa Barat, yakni Suwanda dan Gugum Gumbira Tirasonjaya. Keduanya memiliki keahlian yang berbeda. Suwanda adalah seniman asal Karawang yang ahli dalam memainkan gendang, sedangkan Gugum Gumbira Tirasonjaya memiliki keahlian dalam koreografer.4 Suwanda, dengan keahliannya dalam memainkan gendang telah berhasil menciptakan pola tepakan kendang dalam Wanda Jaipongan.5 Sedangkan Gugum Gumbira dengan keahliannya dalam koreografer berhasil menciptakan gerakan- gerakan Jaipongan, sekaligus lagu yang mengiringinya. Kedua seniman asal Jawa Barat ini dengan dua latar belakang yang berbeda berkolaborasi dan mampu

1 Kabupaten Karawang selain dikenal sebagai kota lumbung padi, juga dikenal sebagai kota seni budaya. Pada 2007 terdapat 289 kelompok yang telah terfatar di Dewan Kesenian Karawang (DKK). T Bintang, Sejarah Karawang Dari Masa ke Masa, (Karawang, Viva Tanpas, 2007), h.300. 2 T Bintang, Sejarah Karawang Dari Masa ke Masa, (Karawang: Viva Tanpas, 2007) 3 Tari Jaipongan merupakan pengembangan dari tari Ketuk Tilu gaya Karawang yang dipadu dengan gerak-gerak tari lain seperti Pencak, Topeng dan Tayub. Sehingga menjadi sajian yang berbeda dengan sumber asalnya yakni tari rakyat. Endang Caturwati, “Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat”, dalam Suprawoto, Pemetaan Media Tradisional Komunikatif (Lestarikan Tradisi Kelola Komunikatif), Kementrian Komunikasi dan Informatika RI Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi, 2011, h.5. 4 Caturwati, Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat, h.15. 5 Hasil Wawancara dengan H.Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB.

1 2

menciptakan sebuah bentuk seni tari, yang dikenal dengan kesenian tradisional Tari Jaipongan.6 Menurut Soedarsono “tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkap dengan gerak-gerak ritmis yang indah”.7 Tari merupakan salah satu bentuk cabang seni yang perlu dikembangkan dan dilestarikan. Tari bisa menjadi ciri khas dalam sebuah daerah.8 Berlatih tari dan bahkan mementaskan sebuah tarian secara tidak langsung telah melestarikan budaya. Era modernisasi dan globalisasi membawa dampak bagi keberadaan kesenian tradisional. Selain itu, modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) membawa dampak yang negatif bagi keberadaan kesenian tradisional. Jenis kesenian tradisional yang pada masanya dulu sempat “berjaya”, namun seiring dengan semakin derasnya arus kebudayaan dan kesenian asing, keberadaan kesenian tradisional pun menjadi terancam. Kesenian-kesenian tradisional mulai tersisihkan oleh kehadiran kesenian-kesenian baru yang belum tentu sesuai dengan napas budaya bangsa Indonesia. Tidak jarang pula terjadi proses “pendangkalan” terhadap kesenian-kesenian tradisional. Padahal sebenarnya ekspresi seni adalah bagian integral dari seni itu sendiri yang sering kali membanggakan kita ketika negara lain mengaguminya. Keadaan seperti ini sering dialami oleh seni tradisional khususnya yang ada di daerah Jawa Barat, sehingga tidak jarang seni tradisional, yang ada di daerah-daerah khususnya di daerah Jawa Barat kini telah mengalami kemunduran, bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah mulai punah. Sebaliknya, jenis kesenian yang berkembang dan banyak diminati oleh masyarakat justru kesenian yang telah mengalami “proses pendangkalan” dan mengikuti selera pasar. Di sisi lain, modernisasi dan kemajuan Iptek mampu mendukung perkembangan kesenian tradisional. Berbagai bentuk kesenian baru dan kontemporer bermunculan. Kreativitas para seniman pun semakin dipacu untuk menciptakan bentuk-bentuk kreasi seni yang baru. Bentuk-bentuk kreasi seni yang

6 Caturwati, Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat, h.15. 7 Soedarsono, Elemen-Elemen Dasar Komposisi Tari, (, ISI Yogya, 1986), h.83. 8 Resi Septiani Dewi, Keanekaragaman Seni Tari Nusantara, (Balai Pustaka, 2012), h.30. 3

baru ini adalah hasil karya cipta kreatif dari seniman dalam menggabungkan jenis- jenis kesenian tradisional dengan kesenian baru.9 Adapun pengembangan kesenian-kesenian tradisional yang diolah dengan media teknologi, sehingga menghasilkan bentuk kesenian baru tanpa menghilangkan unsur dasar dari kesenian tradisional itu sendiri. Demikian juga dengan kesenian Tari Jaipongan tergolong ke dalam jenis kesenian kreasi seniman yang mampu mengemas unsur-unsur tradisi ke dalam sebuah suguhan pertunjukan yang menarik. Hal ini membuat kesenian Tari Jaipongan mampu mengikuti perkembangan zaman di tengah-tengah terpaan arus seni modern.10 Dalam konteks ini, menurut Enoch Atmadibrata11 dalam sebuah makalahnya, menjelaskan bahwa tidak semua yang datang dari luar jelek serta semua akulturasi itu membunuh kultur asli. Dalam hal ini diperlukan ketahanan budaya dari masyarakatnya, seniman atau budayawan itu sendiri. Kebertahanan budaya ini dapat terjadi berkat kehandalan para tokoh budaya atau seniman serta lembaga-lembaga kebudayaanya. Suwanda adalah pendiri Sanggar Suwanda Group (SSG). Menurutnya, awal berdiri SSG bermula dari Suwanda mengajarkan keahliannya dalam bidang gendang dan tari kepada anak-anak.12 Suwanda merupakan seniman atau sering dijuluki maestro kendang di Kabupaten Karawang. Selain itu alasan Suwanda ingin mendirikan sebuah sanggar karena melihat keadaan di sekitar Desa Tanjungmekar, Kabupaten Karawang adalah lingkungan pesantren dan tidak ditemukan satu pun sanggar seni saat itu.

9 Sujarwa, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.323. 10 Tati Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa, (, P4ST UPI, 2003), h.39. 11 Enoch Atmadibrata, „Pola Pembinaan dan Pengembangan Kesenian Daerah Jawa Barat‟, Makalah disampaikan pada Pekan Kebudayaan Daerah Jawa Barat,1992, h.3. 12 Suwanda lahir di Citopeng, 3 Maret 1950, Sejak kecil Suwanda telah berkiprah dalam seni tradisional khususnya dalam alat musik kendang. Kini gerar maestro kendang pun telah melekat pada diri Suwanda. Karya Jaipongan yang telah Ia ciptakan telah mengharumkan Kota Karawang. Selain dijuluki sebagai maenstro kendang Suwanda juga disebut sebagai tokoh Jaipongan di Kabupaten Karawang. Di tahun 1990-an Suwanda di angkat menjadi Dewan Kesenian di Kabupaten Karawang. Kini diusianya yang sudah senja Suwanda tetap semangat untuk terus mewariskan kesenian tradisional kepada keluarga serta anak-anak disekitaran sanggar Suwanda Group. Asep Saerpudin, Aktifitas H. Suwanda dalam Penciptaan Pola-Pola Tepakan Kendang Jaipongan, (Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 2007).

4

Sekitar tahun 1970-an, generasi muda khususnya remaja di desa Tanjungmekar hanya sedikit yang mengetahui kebudayaannya sendiri, bahkan kurang memiliki kesadaran untuk mengembangkan kesenian daerah. Hal itu merupakan suatu yang memprihatinkan bagi Suwanda. Suwanda mendapatkan dukungan dari istrinya, Mimin, untuk mewujudkan keinginanya membuka sebuah sanggar seni. Atas dukungan istri dan teman-temannya kemudian sepakat mendirikan sanggar bersama. Pelatihan tari diadakan di rumah Suwanda yang berlokasi di Krajan, RT.06, RW.05, No.24, Desa Tanjungmekar, Kabupaten Karawang.13 Di tahun 1976 SSG merupakan satu-satunya sanggar yang mengadakan pembelajaran Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang.14 SSG merupakan organisasi lembaga pendidikan non- formal yang bergerak dibidang seni budaya khususnya tari.15 SSG didirikan pada tahun 1976. Suwanda mendirikan SSG dengan tujuan agar kesenian tradisional Jawa Barat khususnya kesenian tari maupun kesenian lainnya dapat dilestarikan serta dikembangkan oleh generasi muda yang akan datang. Sehingga kesenian tradisional khususnya kesenian Tari Jaipongan tidak mengalami kemunduran bahkan nyaris punah seperti kesenian yang telah ada sebelumnya.16 SSG selain mengadakan pelatihan Tari Jaipongan, juga mengadakan pembelajaran lain seperti Rampak Gendang17, Lawakan, Degung18, Topeng

13 Wawancara dengan H.Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 14 Wawancara dengan H.Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 15 Menurut penuturan Suwanda “Sanggar Suwanda Group ini merupakan tempat belajar bagi siapapun yang ingin belajar menari Jaipongan tanpa mengenal waktu dan usia. Tidak ada hal yang khusus untuk upaya perekrutan siswa di Sanggar Suwanda Grup”. 16 “Nasib prihatin yang dialami seni pertunjukan kalengenan di Jawa Barat seperti Longser, Doger Kontrak, dan Ketuk Tilu yang nyaris punah bersamaan dengan zaman. Endang Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, (Sunan Ambu STSI Press Bandung, 2011), h.6. 17 Rampak Gendang merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Jawa Barat. “Rampak” berasal dari bahasa Sunda yang bermakna serempak atau secara bersama-sama, jadi Rampak Gendang bisa diartikan sebagai suatu pertunjukkan gendang yang dimainkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, pertunjukan Rampak Gendang selalu dimainkan oleh dua orang atau lebih. 18 Degung merupakan seni karawitan Sunda yang menggunakan perangkat berlaras degung (lebih umum berlaras pelog) biasanya terdiri atas , panerus, , jengglong, , kendang, goong, serta suling. Berdasarkan sumber sejarah, degung adalah salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakan Sunda, yang muncul sekitar abad ke-18/ awal abad ke-19. Abdullah Fikri, Seni Karawitan, (Bandung, Horizon, 2010), h. 69. 5

Banjet19, dan Olah Vokal. Materi pembelajaran seni tari tradisional tersebut diberikan oleh Suwanda dan dibantu oleh Mimin (istrinya). SSG dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang yaitu melalui pementasan tari di berbagai acara di Kabupaten Karawang, SSG pada awal tahun 1976 untuk pertama kalinya memperkenalkan hasil karya ciptaan yaitu Tari Jaipongan.20 Selain itu SSG melestarikan Tari Jaipongan mulai dari mengadakan kegiatan perlombaan Tari Jaipongan tingkat Kabupaten Karawang sebagai program kerja tahunan SSG yang diselenggarakan pada bulan Mei tahun 1980, diselenggarakannya lomba bertujuan agar kesenian Tari Jaipongan lebih dikenal masyarakat Kabupaten Karawang. Pementasan tari di SSG dipentaskan di acara tingkat Kabupaten Karawang dan di luar Kabupaten Karawang yang menjadikan masyarakat Kabupaten Karawang dan di luar Kabupaten Karawang semakin mengenal Tari Jaipongan sebagai tari khas Jawa Barat. Pementasan-pementasan yang dilaksanakan SSG terbagi dalam dua jenis yaitu pementasan intern dan pementasan ekstern sanggar. Pementasan intern sanggar yakni pementasan untuk kepentingan sanggar. Misalnya pergelaran sanggar, yaitu pementasan dalam rangka ujian/evaluasi bagi siswa SSG. Pergelaran merupakan pementasan yang boleh dilihat atau disaksikan oleh pihak umum. Pementasan ini bisa menjadi sarana untuk mengenalkan serta menyebarluaskan kesenian Tari Jaipongan terhadap masyarakat sekaligus bisa dijadikan sarana hiburan bagi masyarakat. SSG mengadakan ujian/evaluasi pelatihan tari untuk para siswa dari tahun 1976, bahkan sampai sekarang. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan siswa tentang pemahaman terhadap materi yang sudah diberikan oleh pelatih. Adanya evaluasi ini juga untuk lebih meningkatkan kualitas pengajaran

19 Topeng Banjet adalah Teater khas Karawang dengan ciri yang paling dominan pada gerak tari yang cenderung erotis, yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan „Goyang Karawang‟. Selain tarian nya yang erotis, juga lawakannya cenderung lugu, apa adanya. Caturwati, Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat, h.31. 20 Berita Karawang: http:/www.beritakarawang.com, (diakses pada tanggal 20 Desember 2016, pukul 15.37 WIB). 6

seni tari. Pergelaran tari yang diajarkan di SSG yaitu karya-karya yang diciptakan oleh SSG, biasanya dilaksanakan pada bulan Mei.21 Sedangkan pementasan ekstern yaitu pementasan yang dilakukan di luar sanggar untuk kepentingan acara tertentu. SSG melaksanakan pementasan Tari Jaipongan untuk mengisi acara-acara yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah di Kabupaten Karawang maupun perorangan atau swasta. Misalnya hari jadi Kabupaten Karawang yang diperingati pada tanggal 14 September 1980 SSG mementaskan Tari Jaipongan untuk memeriahkan Hari Jadi Kabupaten Karawang. Pada Agustus 1981 Tari Jaipongan oleh SSG dipentaskan di Bandung dalam rangka Gelar Budaya Jawa Barat. Tari Jaipongan dibawakan oleh anak Sekolah Dasar (SD) sebagai pembuka acara lomba Tari Jaipongan. Pementasan Tari Jaipongan untuk memberikan apresiasi yang terus menerus kepada masyarakat Kabupaten Karawang dan kepada tamu pemerintah Kabupaten Karawang bahwa Tari Jaipongan merupakan tarian khas Jawa Barat termasuk Kabupaten Karawang yang harus dilestarikan. Masing-masing daerah yang ada di Jawa Barat mempunyai ciri khas Tari Jaipongan yang beragam, misalnya di Kabupaten Karawang mempunyai ciri khas dan bahkan hingga saat ini dikenal sebagai daerah sentra „Goyang Karawang‟. Penyebarluasan Tari Jaipongan juga dipentaskan di Srilanka dan Belanda pada akhir tahun 1980-an.22 Kemudian di Jerman pada tahun 1982,23 Tari Jaipongan juga dipentaskan dalam Festival Jawa Barat pada tahun 1987, SSG membawa Tari Jaipongan berkolaborasi dengan tari kreasi baru Gugum Gumbira pada tahun yang sama, hingga akhirnya kesenian Tari Jaipongan ini terkenal di pelosok Indonesia dan bahkan hingga manca negara. SSG mendapat kepercayaan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat untuk menyambut duta besar negara-negara sahabat dengan tujuan untuk lebih memperluas Tari Jaipongan.

21 Wawancara dengan H.Suwanda di sanggar Suwanda Group Karawang: pada hari Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 22 Asep Saerpudin, Kreativitas H. Suwanda dalam Tepakan Kendang Jaipongan di Jawa Barat, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2010. 23 Koran Pakar Seni dan Budaya, Seni Jaipongan Aslinya dari Karawang: Suwanda Group Pernah Manggung di Jerman. 7

Sanggar ini mempunyai visi yakni membentuk manusia yang cerdas, kreatif, dan bertanggung jawab dengan berwawaskan seni budaya sebagai cerminan kepribadian bangsa dan melestarikan seni budaya sebagai wujud kepedulian terhadap perkembangan budaya tradisional yang bernilai luhur. Misi SSG adalah mengembangkan kesenian tradisional Tari Jaipongan sebagai suatu yang bermanfaat bagi pembentukan kepribadian dan menuju masa depan yang lebih baik, meraih suatu prestasi yang mampu mengangkat nilai suatu bangsa melalui kesenian tradisional Tari Jaipongan.24 Peran SSG yaitu ikut melestarikan budaya khususnya dalam hal mengembangkan tari di Kabupaten Karawang. Untuk mengetahui peranan SSG terhadap pelestarian kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang dapat dilihat dari aktivitas di sanggar yang terkait dengan tari antara lain penggarapan atau penciptaan, pelatihan, dan pementasan.25 Kebertahanan dan berkembangnya kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang pada 1980-199026 salah satunya ditandai dengan adanya SSG yang terus berupaya melestarikan dan mengembangkan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang, yang hingga kini masih eksis dalam melestarikan kesenian tradisional. Tari Jaipongan menjadi tarian kebanggaan masyarakat Kabupaten Karawang.27 Bentuk Tari Jaipongan diwujudkan dengan gerakan tari yang memiliki simbol-simbol indah, dinamis, dan menarik. Dalam setiap gerakan Tari Jaipongan merupakan perwujudan atau ungkapan filosofis keadaan masyarakat dan gagasan pencipta tarinya. Mengutip dari Nanu Muda, seniman tari Jawa Barat, bahwa: “Gerak Tari Jaipongan punya makna tertentu. Masyarakat Jawa Barat yang agraris kesehariannya bergelut dengan menanam dan memetik.

24 Wawancara dengan H.Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 25 Wawancara dengan bapak H.Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 26 Lilis Sumiati, dkk, Kapita Selekta Tari, artikel Endang Caturwati, Tari Rakyat Jawa Barat, (STSI PRESS BANDUNG, 1998), h.14. 27 Sudah lebih dari 30 tahun kesenian Tari Jaipongan masih menjadi primadona di Kabupaten Karawang, di dalam kesenian Tari Jaipongan menunjukkan nilai-nilai yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Sunda. Lalan Ramlan, Jaipongan: Genre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda, Resital, vol 14 No. I, Juni 2013, h.41. 8

Keseharian itulah yang digambarkan dalam gerak Tari Jaipongan. Irama yang lambat melambangkan kesabaran, sedangkan gerakan yang cepat bermakna wujud rasa syukur. Goyang Jaipongan merupakan lambang kesuburan dan syukur yang tertuang dalam sebuah tari.”28 Dari hasil pelestarian SSG terhadap kesenian Tari Jaipongan di tahun 1976- 1990 telah menjadikan kesenian Tari Jaipongan sebagai icon kesenian tari di Kabupaten Karawang. Di tahun 1976-1990 kesenian Tari Jaipongan mampu bertahan dan berkembang pesat di Kabupaten Karawang. Kesenian Tari Jaipongan berkembang pesat menembus ke berbagai manca negara dan kini dalam setiap pertunjukan tari Sunda, seni pertunjukan Tari Jaipongan selalu mewarnai sebagai acara puncak dan merupakan hasil lebel kebanggaan daerah Kabupaten Karawang. Dewasa ini boleh disebut kesenian Tari Jaipongan sebagai salah satu identitas Jawa Barat hal ini terlihat pada beberapa acara-acara penting di Jawa Barat. Tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat biasa disambut dengan pertunjukan Tari Jaipongan. Demikian juga dengan misi-misi kesenian ke manca negara.29 Tari Jaipongan merupakan salah satu karya yang paling diunggulkan oleh SSG dan paling diketahui oleh masyarakat Kabupaten Karawang. Kesenian Tari Jaipongan perlu dilestarikan sebab kesenian daerah secara langsung merupakan identitas pemiliknya. Untuk itu salah satu yang ditempuh oleh SSG adalah mengadakan pelatihan wajib bagi anak didik SSG sebagai upaya melestarikan Tari Jaipongan. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang kesenian tradisional Tari Jaipongan sebagai bagian dari kearifan lokal Kabupaten Karawang. Dalam skripsi ini penulis memberi judul “Peran Sanggar Suwanda

28 Sangat penting untuk dipahami bahwa dalam setiap gerakan Tari Jaipongan ada gerakan „tiga G‟ yaitu gitek, geol, dan goyang dalam gerakan tersebut tidak semata-mata untuk mengumbar erotisme, sensualitas, dan seksualitas, namun terkait dengan makna “kesuburan”. Mengenai ini Sumardjo juga menjelaskan, bahwa pergerakan dari pusar merupakan simbol kecerdasan, sedangkan pinggul atau genital merupakan simbol kreatifitas. Jakob Sumardjo, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda, (Bandung: Kelir, 2003), h.99 29 Caturwati, Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat, h.16. 9

Group Dalam Melestarikan Seni Tradisional Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang”.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang permikiran di atas permasalahan yang dapat diidentifikasi, antara lain persoalan kebertahanan dan berkembangnya kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang, selain itu adalah upaya-upaya yang dilakukan SSG dalam melestarikan seni Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan utama adalah bagaimana upaya SSG dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang.

2. Pembatasan Masalah Sesuai judul skripsi yang dibuat, yaitu “Peran Sanggar Suwanda Group Dalam Melestarikan Seni Tradisional Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang”. Maka pembatasan masalah meliputi 2 hal pokok, batasan spasial yaitu batasan ruang yang hanya meliputi Desa Tanjungmekar di sekitar “Sanggar Suwanda Group”. Kedua, adalah fokus kajian sejarah seni khususnya seni tradisional Tari Jaipongan yang dipandang memiliki nilai-nilai kearifan lokal Desa Tanjungmekar, Kabupaten Karawang dan sebagian sebuah kekayaan budaya lokal Jawa Barat.

3. Rumusan Masalah Untuk membantu memudahkan penelitian, dalam penelitian ini dibuat berbagai rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang? 2. Bagaimana sejarah berdirinya Sanggar Suwanda Group (SSG)? 3. Bagaimana peranan SSG dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang? 4. Bagaimana respons masyarakat terhadap eksistensi Tari Jaipongan?

10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui sejarah seni Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. 2. Mengetahui sejarah berdirinya Sanggar Suwanda Group Kabupaten Karawang. 3. Mengetahui peran Sanggar Suwanda Group dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. 4. Mengetahui masyarakat mengapresiasi seni tradisional terutama pada Tari Jaipongan.

Adapun manfaat yang dapat di peroleh dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Sanggar Suwanda Group hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai motivasi pelatih untuk memberi dorongan siswa untuk lebih giat lagi dalam menari dan terus berpatisipasi dalam melestarikan seni Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. 2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi keberadaan Sanggar Suwanda Group yang merupakan salah satu pihak yang ikut melestarikan seni Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. 3. Bagi jurusan Sejarah Peradaban Islam, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa dalam mengapresiasi dan melestarikan seni tari tradisional. Serta menjadi motivasi bagi para akademisi sejarah Islam untuk mengkaji sejarah lokal dengan tema sejarah sosisal-budaya.

D. Tinjauan Pustaka Tulisan maupun sumber yang membahas mengenai “Peranan Sanggar Suwanda Group dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang” sampai saat ini belum ditemukan satu pun hasil penelitian yang memuat mengenai topik tersebut. Walaupun demikian terdapat beberapa rujukan yang dapat membantu memperkaya penulisan sejarah seni tari ini. Pertama, Skripsi mengenai kesenian Tari Jaipongan karya Dwi Gema Kumara. Dalam skripsinya untuk mencapai gelar Sarjana S-1 pada program studi 11

Ilmu Filsafat Universitas Indonesia yang berjudul “Tari Jaipong: Simbol Karakteristik Perempuan Sunda Kontemporer (Telaah Filosofis Tari Jaipong dalam Pemikiran Susanne K.Langer)”, Dwi Gema Kumara memberikan gambaran tentang Tari Jaipongan hadir sebagai simbol seni yang utuh menghadirkan abstraksi atas konsep perempuan Sunda kekinian. Bagi Susanne K.Langer, karya seni adalah bentuk ekspresi yang diciptakan bagi persepsi pencipta lewat indera dan pencitraan, dan yang diekspresikan adalah perasaan manusia. Dalam tarian-tarian pokok utama yang diciptakan adalah gesture. Seni sebagai penciptaan bentuk yang menyimbolkan perasaan manusia. Simbol mengekpresikan perasaan, serta ide-ide melalui abstraksi. Dengan kata lain dalam tarian yang diabstraksikan adalah gerak dengan maksud tertentu yang menjadi sebuah “gerak virtual”. Namun, dalam skripsi Dwi Gema tidak dijelaskan bagaimana peranan sanggar yang mewadahi pembalajaran Tari Jaipongan. Padahal sebuah lembaga dapat dipandang penting karena memiliki fungsi keberlangsungan program-program lembaga tersebut. Kedua, masih berupa skripsi Tari Jaipongan yang ditulis oleh Non Dwishiera C.A pada Program Studi Seni Tari Universitas Pendidikan Indonesia yang berjudul “Tari Jaipong Karya Rumingkang Sebagai Media Industri Kreatif Berbasis Seni Tradisi”. Tulisan Non Dwishiera C.A juga menyoroti Buyung Rumingkang telah membuat inovasi baru dalam Jaipongan. Buyung Rumingkang mentransformasikan ide-idenya ke dalam Tari Jaipongan yang dijadikan sebagai media industri kreatif berbasis seni tradisi. Namun dalam skripsi Non Dwishiera C.A tidak menjelaskan lebih rinci tentang peranan suatu sanggar dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan. Tulisan yang berkaitan dengan sinden dan pertunjukan Tari Jaipongan adalah tesis yang ditulis oleh Een Herdiani pada Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berjudul “Bajidoran Sebagai Pengukuhan Hiburan Pribadi pada Masyarakat Karawang: Komunitas dan Perubahannya” (1990). Tulisan Een Herdiani menjelaskan bahwa pertunjukan Bajidoran di wilayah Karawang begitu disukai oleh masyarakatnya dan merupakan gambaran kehidupan masyarakat Karawang, yang mempunyai 12

sikap agresif, keras, terbuka, aktif, serta dinamis. Mereka sangat aktif dalam menanggapi situasi-situasi yang ada di sekitarnya, khususnya dalam kehidupan sebagai masyarakat pantai, petani, dan nelayan diperlukan kerja keras untuk menghadapi berbagai tantangan yang ada. Itu semua tercermin pada tariannya yang lincah, cenderung keras, gerakan tubuh penari bagaikan ombak yang bergelombang, bergemuruh, dan bergelora. Bahkan disebutkan juga oleh Een Herdiani, bahwa aspek yang paling utama dalam pertunjukan Bajidoran ialah tari. Akan tetapi, akibat dari proses sosialisasi masyarakatnya dari gemar menanggap dan menjadi hiburan pribadi, lambat laun seni pertunjukan Bajidoran pun berkembang menjadi ajang termpat bertemunya para pengusaha, ajang bisnis, ajang gengsi, bahkan menjadi sebuah arena yang menarik sebagai bertemunya rakyat dari berbagai lapisan, ajang bertemunya gaya, ajang silahturahmi, dan secara tidak disadari menjadi ajang persaingan. Majalah yang diterbitkan Mangle mengenai Tari Jaipongan karya Een Herdiani yang berjudul “Jaipong Jeung Karakteristik Wanajo Sunda Kiwari”, Een Herdiani memberikan gambaran bahwa Tari Jaipongan sebagai salah satu genre tari Jawa Barat yang dijadikan ciri khas tari Sunda. Kemudian mengambarkan perempuan Sunda kekinian yang energik. Jurnal mengenai kesenian Tari Jaipongan karya Lalan Ramlan, jurusan Tari, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung yang berjudul “Jaipong: Gendre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda”, Lalan Ramlan memberikan gambaran dalam seni pertunjukan tari Sunda sampai saat ini telah diisi dengan genre tari yang diciptakan oleh tiga tokoh pembaharu tari Sunda, yaitu Rd. Sambas Wirakusumah yang menciptakan genre tari Keurseus sekitar tahun 1920-an. Rd. Tjetje Soemantri yang menciptakan genre tari Kreasi Baru sekitar tahun 1950-an, dan Gugum Gumbira Tirasondjaya yang menciptakan Tari Jaipongan pada awal tahun 1980-an. Ketiga genre tersebut memiliki citra estetiknya sendiri-sendiri sesuai latar budaya generasinya masing-masing. Genre Tari Jaipongan yang kini sudah lebih dari 30 tahun belum tergantikan, di dalamnya menunjukkan nilai-nilai yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Sunda. 13

Lalan Ramlan juga menjelaskan konsep penciptaan Tari Jaipongan oleh Gugum Gumbira. Pada awalnya Gugum Gumbira mempelajari berbagai kesenian seperti Ketuk Tilu. Setelah belajar Ketuk Tilu, Gugum Gumbira mempelajari kesenian Topeng Banjet, lalu mempelajari seni Kliningan Bajidoran. Wilayah pantai Utara Jawa Barat, khususnya Karawang dan Subang memiliki banyak grup kesenian Kliningan Bajidoran. Saat itu Gugum Gumbira mulai berkenalan dengan beberapa tokoh bajidor asal Karawang dan menemukan beberapa seniman potensial yang memiliki keahlian khusus seperti Suwanda dan Dali sebagai penabuh kendang. Idjah Hadidjah, Umay Mutiara sebagai sinden, serta Atut, Askin, dan Upas Omo dengan ibing khas Bajidorannya. Mereka itulah yang pada gilirannya diikutsertakan dalam proses berkesenian selanjutnya. Jurnal yang menjelaskan mengenai kesenian Tari Jaipongan adalah jurnal yang ditulis oleh Rosyadi dalam buku PATRAWIDYA (seri penerbitan penelitian sejarah dan budaya). Dalam jurnal ini Rosyadi menjelaskan mengenai asal-usul terciptanya seni Tari Jaipongan, untuk menjawab polemik mengenai siapa yang menciptakan Tari Jaipongan dan dari mana kesenian Tari Jaipongan ini pertama kali muncul. Dalam jurnal ini Rosyadi berusaha menelusuri perkembangan kesenian Tari Jaipongan, yang sampai sekarang ini keberadaanya masih tetap digemari masyarakat. Dalam jurnal ini, Rosyadi menemukan adanya dua orang tokoh seniman Sunda yang berperan besar dalam penciptaan seni Tari Jaipongan. Kedua tokoh tersebut adalah H. Suwanda dan Gugum Gumbira. Kesenian Tari Jaipongan memiliki daya tahan dan daya saing yang cukup tangguh. Kesenian ini mampu bertahan bahkan berkembang di tengah arus gelombang kesenian modern. Berkat kreativitas penciptanya, seni Tari Jaipongan telah melanglang dunia. Saat ini seni Tari Jaipongan semakin berkembang yang ditandai dengan semakin banyaknya sanggar-sanggar Tari Jaipongan. Surat kabar yang diterbitkan Radar Karawang yang ditulis Raka berjudul “H. Suwanda, Seniman Tepak Kendang Karawang”, Raka menjelaskan bahwa seniman pribumi Karawang, H. Suwanda yang dikenal dengan pencipta tepak kendang rupanya mempunyai pengalaman yang begitu banyak. Walaupun belajar 14

secara otodidak, namun sanggup tembus hingga ke luar negeri. Di antara negara yang pernah dikunjunginya adalah Belanda, Jerman dan Srilanka. Sebelum tepak kendang nya dikenal banyak orang seperti sekarang, mulanya keahliannya memainkan kendang cuma untuk mengiringi tarian khas daerah dalam berbagai pertunjukan di tempat hajatan warga atau acara sakral lainnya. Seperti Hajat Bumi ketika akan mulai tanam di Karawang. Kemudian ketika beberapa seniman luar daerah tertarik untuk mengajak andil membesarkan budaya daerah lewat tepak kendangnya dalam berbagai event, barulah satu perusahaan rekaman meminta kerjasama dalam penerbitannya waktu itu. Dalam surat kabar tersebut, Suwanda mengatakan bahwa torehan seninya dalam tepak kendang murni untuk mentransferkan kecintaannya untuk melestarikan budaya khas daerah. Di tengah kesibukannya Suwanda membuka padepokan yang mengajarkan seni tepak kendang pada generasi muda. Tidak hanya tepak kendang saja, seni Topeng Banjet, Tari Jaipongan juga diadakan pembelajarannya. Padepokan yang Suwanda dirikan diberi nama Suwanda Group. Buku yang telah di terbitkan STSI PRESS Bandung yang berjudul “Kapita Selekta Tari” dalam artikel yang telah ditulis Endang Caturwati yang berjudul “ Tari Kreasi dan Perkembangannya” membahas bagaimana perkembangan tari di tatar Sunda yang ada di Provinsi Jawa Barat, menjelaskan bagaimana kesejarahan tari pada masa sebelum kemerdekaan di mana saat itu sebagian bangsa Indonesia masih memiliki gaya kehidupan feodalisme. Serta menjelaskan tokoh-tokoh tari kreasi Jawa Barat Seperti R. Tjetje Somantri, Ono Lesamana, R.I. Maman Surjaatmadja, R.Nugraha Sudiredja dan lainnya, serta membahas bagaimana perkembangan tari kreasi di Jawa Barat. Buku-buku lainnya adalah karya Endang Caturwati yang bertema sejarah tari di tatar Sunda, berjudul “Tari di Tatar Sunda”, “Sinden dan Penari Di Atas dan Di luar Panggung”. Buku-buku dengan judul tersebut menjelaskan bagaimana tari di tatar Sunda, dan bagaimana perkembangan tari dari masa ke masa, kemudian menjelaskan mengenai kehidupan sosial budaya para sinden- penari Jaipongan di wilayah Subang Jawa Barat yang dulunya dikenal dengan sebutan . Buku-buku tersebut tidak menjelaskan bagaimana peran 15

sanggar atau grup-grup kesenian di Kabupaten Karawang. Walaupun demikian buku-buku tersebut memberikan inspirasi bagi penulis khususya tentang sejarah seni Tari Jaipongan di Jawa Barat khususnya di wilayah Pantura. Sejauh referensi yang penulis baca, karena penulis belum menemukan buku- buku, Jurnal, maupun hasil penelitian yang menjelaskan “Peran Sanggar Suwanda Group Dalam Melestarikan Seni Tradisional Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang”. Penulis merasa bahwa tema yang penulis teliti ini akan menjadi karya sejarah yang berbeda dan tidak sama dengan karya sejarah lainnya sekalipun dengan tema serupa.

E. Metode Penelitian dan Landasan Teori E.1. Metode Penelitian Metode penelitian sejarah meliputi 4 tahapan yaitu: Tahap yang pertama adalah heuristik30, adapun sumber primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sumber, yaitu: sumber primer yang bersifat tertulis, berupa sumber yang diterbitkan seperti biografi, dokumen, sumber yang tidak diterbitkan seperti skripsi, tesis, disertasi, makalah, dokumen, sumber tertulis di arsip, dokumen negara, kemudian wawancara dan pengamatan langsung. Penulis mendapatkan sumber di Sanggar Suwanda Group berupa biografi, dokumen, arsip berupa foto, kaset, kumpulan koran dan artikel yang memuat seni pertunjukan Tari Jaipongan maupun berita yang memuat Sanggar Suwanda Group (SSG). Kemudian penulis melakukan wawancara dengan pimpinan SSG sekaligus tokoh Jaipongan di Kabupaten Karawang yaitu H.Suwanda. Wawancara dengan H. Suwanda bertujuan untuk mengetahui informasi mengenai latar belakang berdirinya SSG, dan bagaimana peranan SSG dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. Penulis juga melakukan wawancara dengan Tatang selaku Dewan Kesenian di Kabupaten Karawang. Penulis memperoleh informasi bagaimana sejarah seni pertunjukan Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang, informasi keadaan kesenian

30 Heuristik, yaitu berupa kegiatan mengumpulkan sumber sejarah. Muhammad Arif, Pengantar Kajian Sejarah, (Bandung: Yrama Widya, 2011), h.32. 16

Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang pada tahun 1980-1990. Penulis juga mendapatkan informasi mengenai beberapa tokoh dalam seni pertunjukan Tari Jaipongan atau Sinden yang harus di Wawancarai, di antaranya adalah Suwanda dan Dali sebagai penabuh kendang, Idjah Hadidjah, Umay Mutiara sebagai sinden, serta Atut, Askin, dan Upas Omo yang terkenal dengan ibing khas Bajidorannya. Adapun sumber data sekunder adalah berupa pandangan, buku-buku terkait, tesis, disertasi, majalah, surat kabar, jurnal serta sumber elektronik dari website milik instansi resmi daerah maupun pemerintah. Pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan penulis dengan menggunakan metode penelusuran keperpustakaan (library research), yakni mengunjungi beberapa lembaga yang memiliki koleksi buku maupun arsip terkait tema penelitian ini, seperti perpustakaan Nasional, untuk mencari buku dengan tema tari di tatar Sunda, buku yang penulis dapatkan di Perpustakaan Nasional, di lantai 3 adalah Sinden dan Penari di Atas dan Diluar Panggung, dan buku Wajah Tari Sunda dari Masa Kemasa. Di samping itu penulis juga menelusuri sumber di Perpustakaan Adab dan Humaniora, perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan umum Universitas Indonesia dan perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Di perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, tepatnya di lantai dua, Penulis mendapatkan buku Kapita Selekta Tari, Pemetaan Media Tradisional Komunikatif : Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi, dan Ilmu Sosial Budaya Dasar, Seni Karawitan. Kemudian di perpustakaan daerah Kabupaten Karawang, untuk mencari buku-buku tentang budaya di Kabupaten Karawang, kemudian mencari hasil penelitian, kajian, dan lain-lain. Di lantai satu perpustakaan daerah Kabupaten Karawang, penulis menemukan buku Catatan Sejarah Dari Masa Kemasa dan buku Sejarah Kabupaten Karawang. Kemudian setelah mengumpulkan data-data, tahapan selanjutnya adalah kritik sumber, penulis berusaha membandingkan, menganalisis dan mengkritisi beberapa sumber yang telah penulis dapat, baik sumber primer, sekunder maupun 17

sumber elektronik guna mendapat sumber yang valid dan relevan dengan tema kajian. Tahapan selanjutnya interpretasi data, yakni penulis melakukan analisis sejarah untuk mengungkapkan masalah yang ada, dalam hal ini penulis berusaha melihat fakta yang penulis dapat dari pengumpulan data dan kritik sumber, sehingga memperoleh pemahaman atas masalah yang dibuat. Terakhir penulis menuliskan hasil pemikiran dari penelitian memaparkan hasil dari penelitian sejarah secara sistematis sesuai dengan pedoman penulisan proposal skripsi, sehingga penulisan skripsi sesuai dengan kaidah metode sejarah. Tahap terakhir ini disebut dengan historiografi. Pada tahapan ini merupakan rangkaian data sejarah, tari Tari Jaipongan di Karawang yang sudah diolah dan di interpretasi sehingga menjadi karya sejarah seni tari di Indonesia. Adapun sumber pedoman yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian ini adalah buku Pedoman penulis karya ilmiah Skripsi, Tesis, Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Press.

E.2. Landasan Teori Teori yang dianggap relevan oleh peneliti dalam penelitian ini, yaitu teori Pelestarian Budaya, dari Jacobus Ranjabar. 31 Menurut Ranjabar “pelestarian sebagai kegiatan atau yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes dan sekektif”. Mengenai pelestarian budaya lokal, bahwa sesungguhnya pelestarian norma lama bangsa (budaya lokal) adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.32 Salah satu tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah juga untuk melakukan revitalisasi budaya (penguatan). Mengenai revitalisasi budaya

31 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h.115. 32 Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, h.114. 18

A.Chaedar Alwasilah mengatakan adanya tiga langkah, yaitu: 1). pemahaman untuk menimbulkan kesadaran 2). perencanaan secara kolektif, dan 3). pembangkitan kreativitas kebudayaan.33 Menurut A. Chaedar “pelestarian adalah sebuah upaya yang berdasar, dan dasar ini disebut juga faktor-faktor yang mendukungnya baik itu dari dalam maupun dari luar dari hal yang dilestarikan. Maka dari itu, sebuah proses atau tindakan pelestarian mengenal strategi ataupun teknik yang didasarkan pada kebutuhan dan kondisinya masing-masing”.34 Mengenai proses kebudayaan dan strategi atau pola yang digunakannya, perlu untuk merujuk pada pengertian kebudayaan yang sebetulnya bukan suatu kata benda, melainkan suatu kata kerja. Atau dengan lain perkataan, kebudayaan adalah hasil karya kita sendiri, tanggung jawab kita sendiri. Demikian kebudayaan dilukiskan secara fungsional, yaitu sebagai suatu relasi terhadap rencana hidup kita sendiri. Kebudayaan lalu nampak sebagai suatu proses pelajaran yang sedang dijalankan oleh umat manusia. Kebudayaan tidak terlaksanakan di luar kehidupan kita sendiri, maka dari itu kita (manusia) sedirilah yang harus menciptakan dari kebudayaan itu, dan kemudian melestarikannya. Proses melestarikan kebudayaan pada hakekatnya akan mengarah kepada perilaku kebudayaan dengan sendirinya. Jika dilakukan secara terus menerus dan dalam kurun waktu tertentu, maka kebudayaan akan lestari. Berdasarkan teori tersebut, penulis berupaya mengkorelasikannya dengan tema “Peran Sanggar Suwanda Group Dalam Melestarikan Seni Tradisional Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang” ini sehingga menghasilakan karya sejarah yang relevan dengan dasar-dasar keilmuan.

33 A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Sunda: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung, PT. Kiblat dan Pusat Studi Sunda, 2006), h.18 34 Alwasilah, Pokoknya Kualitatif, h.18. 19

F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan penelitian ini, penulis membagi kedalam enam bab dan didalamnya terdapat beberapa sub-sub yang terdiri atas: BAB I, menjelaskan tentang bab pendahuluan, sebagaimana telah dibahas di dalamnya dengan menguraikan beberapa hal pokok mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penulisan, landasan teori dan sistematika penulisan. BAB II, menjelaskan tentang Sosial Budaya Kabupaten Karawang. Dalam bab ini diuraikan tentang letak geografi, ekonomi, budaya dan sosial Kabupaten Karawang. Bahasan dalam bab ini dimaksudkan untuk memberikan keterangan mengenai wilayah dan kehidupan masyarakat Kabupaten Karawang dari berbagai aspek yang telah mengenal dan melaksanakan kesenian tradisional, yaitu kesenian Tari Jaipongan. BAB III, menjelaskan kesenian tradisional Tari Jaipongan di Indonesia, menjelaskan sejarah kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang, menjelaskan kategori dan unsur-unsur dalam penyajian Jaipongan: Kategori penyajian Jaipongan, penari, tata busana, musik pengiring, struktur gerakan Tari Jaipongan, menjelaskan nilai-nilai kesenian Tari Jaipongan sebagai media untuk masyarakat: peran kesenian Tari Jaipongan sebagai media sosial, peran kesenian Tari Jaipongan sebagai mendia hiburan, peran kesenian Tari Jaipongan sebagai mendia ritual. BAB IV, menjelaskan daya tarik masyarakat terhadap kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang, menjelaskan upaya melestarikan budaya tradisional seni Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang: relasi pemerintah dan masyarakat, menjelaskan sejarah berdirinya Sanggar Suwanda Grup (SSG) di Kabupaten Karawang, menjelaskan biografi pendiri SSG, dan menjelaskan Peran Suwanda Group dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. 20

BAB V, Respons masyarakat terhadap seni Tari Jaipongan khas Karawang: Pandangan para seniman terhadap kesenian Tari Jaipongan, Pandangan ulama di Jawa Barat terhadap seni Tari Jaipongan BAB VI, merupakan bab penutup dan kesimpulan serta saran-saran atas keseluruhan pembahasan skripsi ini pada pembahasan bab ini diharapkan dapat menarik benang merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya menjadi satu rumusan yang bermakna.

BAB II SOSIAL BUDAYA KARAWANG

Salah satu keunikan dari sejarah Karawang adalah sejarah namanya itu sendiri. Nama Karawang mempunyai rahasia yang sampai sejauh ini belum dapat terungkap secara gamblang. Berdasarkan historiografi nama Karawang adalah di Kabupaten Karawang, Karawang memiliki usia yang sangat tua. Banyak pendapat yang bermunculan terkait dengan penamaan Karawang, di antaranya: 1. Berita Belanda (abad ke 16 Masehi) Pada saat berada di bawah kekuasaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), nama Karawang dalam Daghregister VOC sering disebut dengan Carawangh, Cravaon35, atau Craoan yang sebagian besar merujuk pada Tanjung Karawang dan sungai besar yang mengalir ke pedalamannya, yaitu sungai Citarum. 2. Berita Jawa (abad ke 16-18 Masehi) Naskah Sunda Kuno Bujangga Manik menyebut Karawang sebagai daerah penghasil lenteng karang. Sebutan ini menunjukkan bahwa daerah Karawang bukan hanya tanjung dan pelabuhan di Muara Citarum saja, tapi meliputi pegunungan kapur di Karawang Selatan karena bahan dasar lenteng karang berupa batuan gaping hanya terdapat di sana.36

35 Ravaon yang berarti Krawang, digambarkan oleh Cournelis De Houtman dalam Eerste de scrhip vaert Hollanders near Oost Indian (1595-1597): Half wegen Momtcaon ende lacatra, aen eenen uyt-hoeck oft hooft, leyt Cravaon, dwelck een groot dorp is, bewoont van visschers, om de abondantie vanden visch, hebbende een riviere die met drie monden inde Zee is loopende : bahwa di antara Pamanukan dan Jakarta terdapat sebuah tanjung bernama Karawang, di mana di sana terdapat sebuah desa nelayan yang besar, yang berada di titik pertemuan sebuah sungai (Citarum) dengan laut melalui tiga muara. Asep R Sundapura, Membongkar Sejarah Karawang, (Karawang: Cet I, Lembaga Kajian Budaya Sundapura Karawang, 2016), h.19. 36 Ravaon yang berarti Krawang, digambarkan oleh Cournelis De Houtman dalam Eerste de scrhip vaert Hollanders near Oost Indian (1595-1597): Half wegen Momtcaon ende lacatra, aen eenen uyt-hoeck oft hooft, leyt Cravaon, dwelck een groot dorp is, bewoont van visschers, om de abondantie vanden visch, hebbende een riviere die met drie monden inde Zee is loopende : bahwa di antara Pamanukan dan Jakarta terdapat sebuah tanjung bernama Karawang, di mana di sana terdapat sebuah desa nelayan yang besar, yang berada di titik pertemuan sebuah sungai (Citarum) dengan laut melalui tiga muara. Asep R Sundapura, Membongkar Sejarah Karawang, (Karawang: Cet I, Lembaga Kajian Budaya Sundapura Karawang, 2016), h.20.

21 22

Dari hal itu sesuai dengan informasi dari naskah Punika Sejarah Sadaya Kang Tedak Saking Kangjeng Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W.L. Olthof di Leiden, yang menyebutkan bahwa wilayah bernama Karawang dimulai dari Cikao sampai laut Jawa, dan bagian timurnya sampai Sungai Cilamaya. Adapun pusat kotanya disebut Tanjung Pura seperti yang tercatat dalam Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi dengan kalimat, tanjungpura haneng Krawang. Sedangkan pusat kota yang menyandang nama Karawang baru dimulai pada abad 16 sebagaimana diberitakan dalam Babad Tanah Jawi : pahenggonan Ki Singaperbangsa kapranahakeun dateing Babakan Krawang.37 Nama Karawang yang berarti Ka-rawa-an atau rawa-rawa dianggap sebagai asal mula penamaan Karawang.38 Secara etimologi, kata dasar nama Karawang dianggap berasal dari bahasa Sunda yaitu rawa, yang kemudian diberi tambahan “ka” dan “an” sehingga jadilah Karawaan yang berarti tanah rawa.39

37 Ravaon yang berarti Krawang, digambarkan oleh Cournelis De Houtman dalam Eerste de scrhip vaert Hollanders near Oost Indian (1595-1597): Half wegen Momtcaon ende lacatra, aen eenen uyt-hoeck oft hooft, leyt Cravaon, dwelck een groot dorp is, bewoont van visschers, om de abondantie vanden visch, hebbende een riviere die met drie monden inde Zee is loopende : bahwa di antara Pamanukan dan Jakarta terdapat sebuah tanjung bernama Karawang, di mana di sana terdapat sebuah desa nelayan yang besar, yang berada di titik pertemuan sebuah sungai (Citarum) dengan laut melalui tiga muara. Asep R Sundapura, Membongkar Sejarah Karawang, (Karawang: Cet I, Lembaga Kajian Budaya Sundapura Karawang, 2016), h.22. 38 Wilayah Karawang tempo dulu yang sebagian besar alamnya berupa hamparan rawa- rawa. 39 Wilayah Karawang tempo dulu yang sebagian besar alamnya berupa hamparan rawa- rawa, h.25. 23

A. Letak Geografi Kabupaten Karawang

(Peta Kabupaten Karawang tahun 1990) (Sumber: www.karawanginfo.com)

Secara geografis wilayah Kabupaten Karawang terletak antara 107° 02‟- 107° 40‟ Bujur Timur dan 5° 56‟-6° 34‟ Lintang Selatan dengan batas-batas wilayahnya sebelah Utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Subang, sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta, Sebelah Selatan berbatasan dengan Cianjur kemudian disebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Wilayah Kabupaten Karawang merupakan bagian wilayah Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang adalah salah satu Kabupaten penggahasil padi di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang kini memiliki luas wilayah mencapai 175,327 hektar atau 3,73 persen dari luas Provinsi Jawa Barat. Dari kondisi geografisnya, Karawang dijadikan penyangga pangan untuk wilayah Jawa Barat, dan Daerah Khusus Ibukota (DKI), dimana sejak tahun 1962 Karawang bersama Bekasi, Purwakarta, Subang, 24

Indramayu, Serang dan Tangerang, dijadikan proyek Nasional Daerah Swasembada Beras.40 Secara topografis, sebagian besar wilayah Kabupaten Karawang terdiri atas daerah pantai di bagian utara, dataran di bagian tengah, dan perbukitan di bagian selatan. Wilayah Kabupaten Karawang terletak di pesisir pantai Utara Jawa bagian Barat.41 Di beberapa tempat di kawasan ini masih terdapat rawa-rawa, sedangkan di daerah perbukitan tepatnya di sebelah Selatan ialah daerah persawahan yang jaraknya cukup jauh dari garis pantai sekarang yakni lebih dari 200 Km. Oleh sebab itu Kabupaten Karawang adalah wilayah persawahan dengan pengairan atau irigasi, serta sebagian besar dari penduduknya hidup sebagai petani dan nelayan di daerah pantai.42 Secara hidrografi, Kabupaten Karawang dilalui oleh aliran dua sungai yaitu Sungai Citarum dan Sungai Cilamaya. Sungai tersebut merupakan sumber air utama bagi masyarakat Kabupaten Karawang. Sungai Citarum, yang merupakan sungai terbesar, yang memisahkan antara Kabupaten Karawang dan Bekasi, sedangkan sungai Cilamaya adalah sungai yang membatasi antara Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang.43 Selain itu, di Kabupaten Karawang juga terdapat tiga buah saluran irigasi yaitu Saluran Induk Tarum Utara, Saluran Induk Tarum Tengah, dan Saluran Induk Barat. Ketiga buah saluran irigasi tersebut di gunakan untuk pengairan sawah, tambak, industri, pembangkit tenaga listrik dan kebutuhan penduduk baik langsung maupun melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).44

40 T Bintang, Sejarah Karawang Dari Masa ke Masa, (Karawang, Viva Tanpas, 2007), h.2. 41 Secara topografi sebagian besar dari wilayah ini termasuk dalam dataran Alluvial dengan ketinggian 0,6 m diatas permukaan laut, dan kemiringan tanah 0,2 persen. Nina Herlina Lubis, dkk., Sejarah Kabupaten Karawang, (Karawang: Pemerintah Kabupaten Karawang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2011), h.15-16. 42 Secara topografi sebagian besar dari wilayah ini termasuk dalam dataran Alluvial dengan ketinggian 0,6 m diatas permukaan laut, dan kemiringan tanah 0,2 persen. Nina Herlina Lubis, dkk., Sejarah Kabupaten Karawang, (Karawang: Pemerintah Kabupaten Karawang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2011), h.15-16. 43 Truman Simanjuntak, dkk, Karawang dalam Lintas Peradaban, seri pertama monografi workshop-penelitian 2015, Badan Penelitian dan Pengembangan, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Bekerja Sama dengan Yayasan Pustaka Obor, 2016), h.14. 44 Karawang dalam Angka Tahun 1989, Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Karawang, Pemerintah Daerah Tingkat II Karawang, h.2. 25

Secara geologi, wilayah Kabupaten Karawang sebagian besar tertutup oleh dataran pantai yang cukup luas, yang terhampar di bagian pantai utara yang merupakan batuan sedimen yang dibentuk oleh bahan-bahan lepas terutama endapan laut alluvium vulkanik. Tepat dibagian tengahnya ditempati dengan perbukitan terutama dibentuk oleh batuan sediment, sedangkan dibagian selatan terletak gunung Sanggabuana dengan ketinggian mencapai (±1.291m) di atas permukaan laut.45 Hampir seluruh pantai ditempati oleh persawahan, jaringan irigasi yang sangat bagus mendukung daerah utama penghasil beras bagi provinsi Jawa Barat. Namun, keadaan permukaan air tanah di bagian utara pada lapisan alluvial sebagian besar dangkal dan asin sehingga kurang baik untuk di konsumsi sebagai air minum. Sedangkan di bagian selatan Kabupaten Karawang terdapat sumber- sumber bahan galian pertambangan yakni pasir, batu, tanah merah, batu kapur dan sirtu yang telah diusahakan dalam skala besar maupun kecil (penambangan) yang berpotensi penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di daerah bagian utara Kabupaten Karawang kebanyakan pendatang dari Jawa Tengah, dengan itu maka di bagian utara Kabupaten Karawang budaya yang banyak terserap adalah budaya Jawa, sedangkan daerah selatan Kabupaten Karawang yang lebih dekat dengan wilayah Priangan dan berasal dari Priangan, maka budaya yang menonjol adalah budaya Sunda. Dengan demikian masyarakat Kabupaten Karawang terdiri dari berbagai campuran yakni budaya Sunda dan Jawa kebiasaan yang telah berakulturasi. Namun, sebagaimana lingkungan masyarakat Jawa Barat yang pada awalnya dapat dikategorikan sebagai masyarakat ladang (pahuma). Corak hidup pahuma sering berpindah-pindah tempat mengikuti garapan ladangnya.46 Oleh sebab itu, masyarakatnya mempunyai pola pikir, cara hidup, maupun kebudayaan yang sederhana, karena kedekatannya dengan alam. Berdasarkan sejarah lokal Jawa Barat kebanyakan penamaan tempat yang lokasinya di dekat

45 Karawang dalam Angka Tahun 1989, Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Karawang, Pemerintah Daerah Tingkat II Karawang, h.1. 46 Ira Adriati, Perahu Sunda: Kajian Hiasan Pada Perahu Nelayan di Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa Barat, PT Kiblat Buku Utama, Bandung: 2004, h.43. 26

sungai menggunakan nama sungai tersebut yang diawali dengan “ci” yang berarti air. Di Karawang terdapat beberapa terdapat yang menggunakan kata tersebut. Bukti menunjukkan, bahwa hampir sebagian besar nama tempat atau lokasi selalu diawali ci (air atau sungai), sebagaimana kecamatan di daerah Cilamaya, Cibuaya, Cilewo dan lain sebagainya. Selain dikenal sebagai masyarakat ladang, masyarakat Jawa Barat termasuk daerah Kabupaten Karawang pun dikenal juga sebagai masyarakat tani atau bersawah.47 Baik masyarakat ladang maupun masyarakat sawah, keduanya mempunyai kepercayaan kesuburan tanah, datangnya hujan, subur nya tumbuhan, lenyapnya hama-hama, pertanian, lestari bibit-bibit tanaman tertentu, hal tersebut merupakan bagian pokok dan penting bagi kehidupan mereka. Dengan demikian mitos tentang hal tersebut juga selalu dijalani dalam setiap aktifitas kehidupan, begitu juga dalam seni pertunjukan. Berkaitan dengan inilah yang menjadikan mengapa banyaknya seni pertunjukan yang ada di Provinsi Jawa Barat khususnya Kabupaten Karawang sebagaimana masyarakat agraris, mempunyai tema yang hampir sama yakni “kesuburan”. Geografi Jawa Barat yang dominan persawahan, perkebunan, memberikan dampak bagi kehidupan dan hubungan masyarakatnya. Termasuk alam Kabupaten Karawang, memberikan inspirasi, ide, serta gagasan dalam mengembalikan makna kehidupan masyarakatnya. Khususnya bagi lahirnya berbagai ungkapan yang sangat berkaitan dengan hutan, binatang, pohon, buah, air, udara, tanah, dan lain-lain. Jika dilihat dari sudut ini kiranya di daerah Jawa Barat termasuk Kabupaten Karawang sedikit sekali ditemukan peningalan-peninggalan sejarah kuno yang bersifat megah seperti keraton dan candi. Disamping itu juga di Jawa Barat tidak berkembangnya gendre kesenian yang banyak peralatannya. Berdasarkan kondisi yang demikian, seni pertunjukkan yang berkembang di di Jawa Barat hanyalah bentuk kesenian sederhana, yang bercirikan kerakyatan yang akrab dengan lingkungannya, termasuk juga dalam hal pemberian nama pada keseniannya, seringkali menunjukkan nama daerah asal kesenian tersebut pertama kali muncul, antara lain: Ketuk Tilu Cikeruhan; Cimande,

47 Arsip Perpustakaan Daerah Kabupaten Karawang, Sejarah Karawang, 1980-1990, h. 6 27

dan Cikalong; Tari Topeng Dermayon, Cirebon, dan Palimanan; serta Tembang Cianjuran dan Cigawiran. Begitu juga pada seni pertunjukan Topeng Banjet Karawang, dan juga pada Kliningan Bajidoran, kini mereka menyebutnya dengan istilah „Jaipongan Pantura‟, atau „Kliningan Jaipongan‟.48 Dalam setiap gerakan Tari Jaipongan merupakan gambaran kehidupan masyarakat Karawang, yang mempunyai sikap agresif, keras, terbuka, aktif, serta dinamis. Mereka begitu aktif dalam menanggapi situasi-situasi yang ada disekitarnya, khususnya dalam kehidupan sebagai masyarakat pantai, petani, dan nelayan diperlukan kerja keras untuk menghadapi berbagai tantangan yang ada. Itu semua tercermin pada tariannya yang lincah, cenderung keras, gerakan tubuh penari bagaikan ombak yang bergelombang, bergemuruh, dan bergelora.49

B. Ekonomi, Budaya, dan Sosial Kabupaten Karawang 1. Ekonomi Masyarakat Kabupaten Karawang Kabupaten Karawang merupakan daerah yang dikenal dengan daerah pertanian yang subur. Selain dikenal dengan daerah pertanian, Kabupaten Karawang juga dikenal sebagai daerah perkebunan dan industri. Sebagian dari penduduknya menggantungkan hidupnya pada pertanian,50 perkebunan, industri dan nelayan. Pada 1980 jumlah penduduk 1.236.604 jiwa.51 68% bekerja dalam bidang pertanian dan paling banyak sebagai buruh tani adalah kaum perempuan. Banyak penduduk perempuan bekerja di ladang pertanian dan mayoritas sebagai

48 Caturwati, Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat, h.20-35. 49 Een Herdiani, Bajidoran Sebagai Pengukuhan Hiburan Pribadi pada Masyarakat Karawang: Komunitas dan Perubahannya. Tesis Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. h. 27. 50 Masyarakat Kabupaten Karawang umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Namun dalam memperlakukan hasil pertaniannya, para petani nampaknya masih mengutamakan ekonomi subsisten. Para petani baru menjual hasil panen yang diperolehnya bila membutuhkan uang cukup besar. Hal ini dikarenakan tidak banyaknya petani di Kabupaten Karawang yang mempunyai lahan luas. Herlina Lubis, Sejarah Kabupaten Karawang, h. 270. 51 “Jumlah penduduk di Kabupaten Karawang pada tahun 1976 tercatat (1.109.044), tahun 1977 tercatat (1.116.049), tahun 1980 tercatat (1.236.604), tahun 1981 tercatat (1.224.982), tahun 1982 tercatat (1.297.196), tahun 1984 tercatat (1.299.669), tahun 1985 tercatat (1.314.352), tahun 1987 tercatat (1.380.118), tahun 1988 tercatat (1.387.591), tahun 1989 tercatat (1.392.317), dan pada tahun 1990 tercatat (1.439.460) jiwa”. Badan Statistik Provinsi Jawa Barat, https:Jabar.bps.go.id. di akses pada tanggal 4 April 2017, pukul 21.11. 28

buruh pertanian, baik sebagai buruh ladang milik orang lain, maupun buruh di perkebunan milik swasta atau negara.52 Selain padi yang merupakan tanaman mayoritas, beberapa petani di Kabupaten Karawang juga menanam jagung, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, jamur merang, sawi, kacang panjang, cabe merah, mentimun, bayam, dan kangkung. Namun tamanan tersebut tidak ditanam di semua kecamatan. Tanaman tersebut hanya ditanam yang sesuai dengan karakter tanamannya. Selain sayuran, buah-buahan juga banyak ditanam di Kabupaten Karawang. Buah-buahan yang ditanam dan bahkan dijual oleh masyarakat, di antaranya adalah buah mangga, rambutan, jeruk, durian, jambu biji, jambu air, nangka, pepaya, sawo, pisang, belimbing, sirsak dan lain sebagainya. Sama halnya dengan sayuran, buah tersebut juga tidak dihasilkan dari semua kecamatan, namun tergantung dari karakter tanamannya.53 Selain bercocok tanam, para petani di Kabupaten Karawang juga ada yang memelihara ikan. Ikan sudah diproduksi oleh masyarakat Kabupaten Karawang sejak jaman dahulu. Hal ini berkaitan dengan banyak terdapat rawa-rawa di Kabupaten Karawang dan juga wilayah pantai yang panjang. Ikan yang dihasilkan tidak hanya dari laut saja, tetapi ikan-ikan juga dihasilkan dari sungai, waduk atau situ, rawa, tambak, kolam, sawah, kolam air deras, keramba, kolam air mengalir, dan jaring apung.54 Terkait dengan wilayah pantai yang cukup panjang, terdapat beberapa tempat pelelangan ikan yang tersebar di beberapa kecamatan yang bersentuhan dengan laut. Misalnya di Cilamaya Wetan terdapat pelelangan ikan di Muara Cilamanya, Satar, dan Tangkolak. Kemudian di Kecamatan Pakisjaya terdapat di Tanjungpakis.55 Adapun jenis ikan yang diproduksi, baik di sungai, waduk atau situ, rawa, tambak, kolam, sawah, kolam air deras, keramba, kolam air mengalir, dan jaring

52 Pada tahun 1980-1990 penduduk Kabupaten Karawang bertambah 14 persen dari tahun 1980 menjadi 1.439.460 orang. 53 Herlina Lubis, Sejarah Kabupaten Karawang, h. 225. 54 Herlina Lubis, Sejarah Kabupaten Karawang h. 225 55 Herlina Lubis, Sejarah Kabupaten Karawang h.282. 29

apung, adalah berupa udang, ikan tawes, ikan betutu, ikan gabus, ikan mujaer dan lain sebagainya.56 Produksi ikan terdapat di hampir seluruh kecamatan, terutama ikan yang dihasilkan dari kolam dan sungai. Unggas dan ternak juga dipelihara oleh penduduk Kabupaten Karawang, namun hanya untuk kepentingan subsistensi dan untuk membantu pekerjaan di areal pertaniannya. Hanya sebagaian kecil yang menjadi komoditas, terutama sapi potong, domba, dan ayam.57 Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, daerah Kabupaten Karawang memang terkenal dengan lumbung padi yang subur. Namun, pada kenyataanya stratifikasi sosial ekonomi tampak masih belum merata. Hanya sekitar 30% persen penduduk yang mempunyai tanah, sawah, serta ladang, selebihnya yang 70% adalah petani buruh secara kuantitas lebih banyak dilakukan oleh tenaga perempuan dibanding laki-laki. Dengan latar belakang pendidikan yang relatif sangat rendah, mempengaruhi juga kondisi aktivitas, pola sikap maupun pola tindak sesuai dengan kemampuan serta lingkungannya. Perempuan di daerah Karawang maupun pada umumnya adalah buruh tani yang mengandalkan kehidupannya dari upah kerja. Hal seperti itu banyak pula terjadi di perkebunan Jawa Barat, sebagaimana penuturan Mies Grijns dalam buku yang ditulis Endang Caturwati, ia menuturkan dalam tulisannya sebagai berikut “Perceraian sering terjadi di antara orang-orang Jawa Barat keturunan Sunda, oleh karenanya banyak perempuan yang menjadi kepala rumah tangga. Hal ini di satu sisi mengharuskan mereka untuk mencari penghasilan tambahan, dan di sisi lain masih harus mengerjakan tugas rumah tangga, karena lelaki Sunda biasanya menolak pekerjaan domestik. Dengan kata

56 Menurut data statistik tahun 1987, produksi ikan rawa yang diperinci menurut jenisnya berjumlah 24,00 Ton. Pada tahun 1987 produksi ikan sungai yang diperinci menurut kecamatan 494,70. Produksi ikan sungai yang di perinci menutut jenisnya berjumlah 494,70 Ton. Karawang dalam Angka Tahun 1989, h.95. 57 Ibid. 30

lain ada subordinasi perempuan dengan membebankan kerja lebih banyak di bahu mereka”.58 Pada 1989 tinggat perceraian di Kabupaten Karawang mencapai 1.049, kasus perceraian terjadi disebabkan oleh beberapa faktor di antarnya yaitu adanya krisis ahlak, faktor ekonomi atau kekurangan dari pihak perempuan, tidak ada tanggung jawab, cacat biologis, usia yang terlalu dini, dan tidak ada keharmonisan.59 Kondisi ini lebih memberikan peluang bagi para perempuan untuk menjadi sinden-penari di area hiburan. Kondisi kawin cerai yang kemudian mengharuskan perempuan menjadi kepala rumah tangga, dengan menanggung kehidupan dirinya dan anak-anaknya banyak dialami oleh perempuan perdesaan daerah Kabupaten Karawang. Perempuan yang menjadi sinden-penari60 di daerah Kabupaten Karawang adalah produk dari lingkungan dan kondisi sosial yang telah lama tersosialisasi. Faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan tersebut merupakan perlakuan sosial, khususnya faktor ekonomi yang berakibat pula pada kegagalan pendidikan (kemiskinan serta keterbelakangan). Cara pandang yang terbatas begitu mempengaruhi perilaku sosial para perempuan sinden-penari, di antaranya adalah mencari uang untuk memenuhi kebutuhan makan dan mempunyai tempat tinggal. Setelah kebutuhan tersebut terpenuhi, muncul kebutuhan lainnya seperti rasa aman, kebutuhan akan penghargaan, aspek psikologis, dan berbagai kebutuhan lainnya, baik yang bersifat primer maupun sekunder, di antaranya pupularitas dan cenderung sok pamer. Para sinden-penari yang menghiasi panggung Kliningan Jaipongan kebanyakan status sosialnya dari masyarakat kelas bawah dan pendidikan rendah yang secara umum mereka semula adalah pekerja buruh perkebunan atau pertanian. Profesi tersebut nampaknya tidak atau kurang mencukupi kebutuhan

58 Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h.396. 59 Karawang dalam Angka Tahun 1989, h.90. 60 Sinden merupakan penari atau penyanyi pada pertunjukan hiburan atau kalangenan Sunda, atau sebutan penyanyi pada Golek atau Kliningan. Semula disebut ronggeng, kemudian di beberapa daerah, khususnya wilayah Priangan di sebut juru kawih. Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h.570. 31

hidupnya sehari-hari. Dengan demikian, salah satu usaha yang dianggapnya dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya adalah menjadi sinden-penari. Menjadi sinden-penari adalah cita-cita bagi kebanyakan perempuan yang berpendidikan rendah, dengan mendambakan hidup yang berkecukupan, terlebih bisa mendapatkan jodoh lelaki yang kaya sebagai pendamping hidupnya. Hampir sebagian besar motivasi sinden menjadi sinden-penari walaupun tidak dapat dipungkiri ingin mendapatkan „jodoh‟, namun tetap saja tujuan utamanya adalah materi dengan latar belakang ekonomi, penderitaan kemiskinan keluarga, lingkungan atau kodrat, dan lebih banyak karena disakiti suami atau laki-laki. Namun, beberapa sinden-penari menyebut kejadian ini merupakan kodrat bagi dirinya. Beberapa sinden-penari tidak meratapi atau tidak beralih profesi dengan mencari pekerjaan lain. Mereka malah terus berupaya semaksimal mungkin untuk tetap bertahan menjadi sinden-penari sampai masyarakat tidak membutuhkannya lagi. Bahkan beberapa sinden-penari pun berpindah ke Bekasi dan Jakarta untuk mengembangkan kariernya, atau juga demi menghindari suami yang telah menyakitinya. Dari sekian banyak sinden-penari yang bertebaran, hampir semuanya menyatakan bahwa pekerjaan menjadi sinden-penari merupakan profesi yang menghasilkan banyak hal. Modal penting bagi mereka adalah kemauan yang keras, bermuka ramah, dan bisa menari. Para sinden-penari yang mempunyai kemauan yang keras hasil manggung dari berbagai grup yang diikutinya sejak bertahun-tahun lamanya akhirnya mereka mampu membeli gamelan, mobil, dan lain sebagainya. Mereka (sinden-penari atau sinden-penyanyi) mampu mendirikan sebuah grup Jaipongan atau mendirikan sebuah sanggar Tari Jaipongan. Mereka yang menyadari pentingnya sebuah kesenian, berkeyakinan bahwa mendirikan grup kesenian seperti Jaipongan atau sanggar Tari Jaipongan berarti melestarikan seni pertunjukan Tari Jaipongan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dari kemunduran dan kepunahan seni pertunjukan tersebut.61

61 Resi Septiani Dewi, keanekaragaman Seni Tari Nusantara. Balai Pustaka.2012, h.64. 32

Namun, tidak sesuai dengan perkembangan zaman, pada akhir tahun 1990- an seni pertunjukan Tari Jaipongan telah mengalami pergeseran makna seni pertunjukan Tari Jaipongan ini lebih mengarah ke „seni komoditi‟. Hal itu sangat disadari oleh beberapa seniman Jaipongan. Pergeseran ini disebabkan terdapat beberapa perubahan materi pertunjukan Tari Jaipongan. Suasana, gerakan tarian, dan lagu-lagu Jaipongan pun sudah banyak yang hilang. Begitu pula dengan etika ngibing yang dahulu tertib menjadi kurang bergitu tertib.

2. Budaya Masyarakat Kabupaten Karawang Masyarakat Kabupaten Karawang memiliki latar belakang budaya agraris yang sangat kuat. Masyarakat Kabupaten Karawang masih kuat memegang teguh adat istiadat, tradisi nenek moyang atau leluhur. Berbagai ritual yang berkaitan dengan kehidupan masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Kabupaten Karawang. Berbagai ritual di antaranya seperti hajat bumi, mapag cai, hajat laut (nadran), seren tahun, ampih pare dan lainnya masih sering dilaksanakan di berbagai pelosok desa di Kabupaten Karawang.62 Daerah Karawang juga dikenal sebagai pusat kesenian tradisional dengan berbagai ragam jenis seni pertunjukan, yaitu: Ketuk Tilu63, Topeng Banjet Karawang, seni Tari Jaipongan, Wayang Golek64 dan lain sebagainya. Pertunjukan-pertunjukan tersebut tersebar di beberapa kecamatan. Namun demikian pada saat ini frekuensi dan intensitas pertunjukannya sebagian besar makin lama makin menurun. Dari berbagai jenis kesenian tersebut, hanya dua

62 Sundapura, Membongkar Sejarah Karawang, h. 187. 63 Ketuk Tilu adalah tarian rakyat lahir berasal dari provinsi Jawa Barat yang digunakan dalam upacara-upacara yang bersifat tradisi, digunakan masyarakat Sunda sebagai cara menggambarkan rasa syukurnya terhadap dewi yang di anggap oleh masyarakat Sunda. Sebagai Dewi Padi () kepercayaan masyarakat Jawa Barat ini melahirkan seni tari tradisi Ketuk Tilu. Dalam tarian Ketuk Tilu digambarkan sebagai rasa sukur masyarakat karena hasil bumi yang mereka tanam telah dijaga oleh Dewi Sri, akan tetapi setelah Belanda hadir, dan menjadikan Ketuk Tilu menjadi salah satu tarian rakyat dan bisa di tampilkan untuk sekedar hiburan rakyat. Fatul A Husein, Kritik Seni Tari, (Kelir, Kabupaten Bandung, 2010). 64 adalah pertunjukan teater boneka yang sangat popular di Jawa Barat. Wayang Golek memiliki lakon-lakon galur dan carangan yang bersumber dari cerita besar Ramayana dan Mahabrata. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda dan diiringi gamelan Sunda berlaras Pelog dan Salendro, deng vokal yang dibawakan oleh sinden. Caturwati, “Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat” dalam Suprawoto, Pemetaan Media Tradisional Komunikatif (Lestarikan Tradisi Kelola Komunikatif), h.21. 33

jenis pertunjukan yang secara kuantitas memiliki angka lebih tinggi aktivitas pertunjukannya, dibandingkan dengan jenis seni pertunjukkan lainnya. Bahkan keduanya telah menjadi trade mark atau identitas Kabupaten Karawang, yaitu kesenian tradisional Wayang Golek65, Topeng Banjet Karawang66 dan Tari Jaipongan.67 Pada awal tahun 1980 sampai tahun 1990 kesenian Tari Jaipongan mengalami ledakan perkembang yang sangat pesat dalam seni pertunjukan tari Sunda. Bagi kawasan pantura khususnya wilayah Kabupaten Karawang dan Subang kesenian tradisional Tari Jaipongan ini seakan memiliki arti yang begitu penting dalam kelangsungan hidup bersosialisasi, khususnya ikatan batin yang erat dengan masyarakat yang beragam latar belakang. Mulai dari tukang sayur, sopir ojeg, para pedagang, guru, camat, lurah, ibu-ibu, hingga anak-anak, seni pertunjukan Tari Jaipongan ini seakan mengakar dan memasyarakat serta merupakan kebutuhan integratif hingga terkondisi adanya kesadaran atau dorongan yang kuat untuk ikut berpartisipasi, baik sekedar ikut ngibing (menari), ataupun sebagai pernyataan ritual dalam hajatan atau selamatan.68 Namun, secara kuantitas, masih lebih banyak jumlah grup Jaipongan dibandingakan dengan grup Topeng Banjet Karawang. Begitu pula secara intensitas dari frekuensi pertunjukkannya. Oleh sebab itu kesenian Tari Jaipongan kini telah menjadi aset budaya dan bahkan menjadi „primadona seni pertunjukan‟ di daerah Kabupaten Karawang. Kepopuleran pertunjukan kesenian Tari Jaipongan membuat banyak seniman tergiur untuk memiliki grup sediri, sehingga populasi grup bertambah terus. Sesuai data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Karawang tahun 1997-1998 mencapai 126 grup dengan

65 Akhir tahun 1985, telah terdaftar 97 organisasi kesenian Wayang Golek di DIKBUD. Karawang dalam Angka Tahun 1985, Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Karawang, h. 105. 66 Akhir tahun 1985, telah terdaftar 20 organisasi kesenian Topeng Banjet di DIKBUD. Ibid. 67 Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h. 120. 68 Hajatan atau Selamatan merupakan ikatan sosial masyarakat desa yang didasarkan kepercayaan adanya kekuatan gaib yang diikuti oleh seluruh masyarakat (lingkungan tetangga) secara bersama-sama. A. Suhandi Suhamihardja, “Agama, Kepercayaan dan Sistem Pengetahuan” dalam Edi S. Ekadjati, Masyarakat Sunda dan Kebudayaan (Jakarta: Giri Mukti Pasaka, 1884), 281. 34

jumlah seniman sekitar 1969 orang.69 Pada tahun 1997-1998 tercatat perempuan pelaku budaya sinden pertunjukan Jaipongan berjumlah 758 sinden.70 Kesenian di Kabupaten Karawang cukup potensial dan disenangi oleh daerah-daerah luar Kabupaten Karawang. Kesenian di Kabupaten Karawang yang hampir punah selalu diadakan peremajaan agar kesenian yang ada di Kabupaten Karawang tetap lestari. Peremajaan tersebut salah satunya dilakukan oleh anak- anak sekolah. Prestasi kesenian yang telah dicapai diantaranya adalah: Pada tahun 1982, telah mengikuti Pameran Seni Rupa di Purwakarta; pada tahun 1983, Kabupaten Karawang telah mengirimkan tari Permainan Anak se-Jawa di Jogja; pada tahun 1984, telah mengirimkan pelatih seni Tari Jaipongan, Degung, Pencak Silat, Tari Klasik ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) kepolisian di Semarang. Pada tahun 1984, telah mengadakan penyelenggaraan Binojakrama Padalangan di Kabupaten Karawang; Pengiriman misi kesenian tari permainan anak ke Bandung; Pengiriman kesenian Suwanda Group untuk acara penerimaan tamu, pertemuan atau perpisahan para pejabat baik di Kabupaten Karawang, Bandung, dan Jakarta; pergelaran pertunjukan rakyat se-Kabupaten Karawang di Wisma Guru Karawang dan lain-lain.71 Pada tahun 1985, Kabupaten Karawang telah mengadakan Pekan Seni Karawitan dan Musik Daerah Karawang Tingkat II Karawang untuk tingkat Kabupaten Karawang, yang di ikuti beberapa kencamatan diantaranya adalah

69 Sesuai dengan data yang diperoleh dari Seksi Kebudayaan Departemn Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Karawang. 70 Kliningan Bajidoran (Jaipongan Pantura) merupakan sajian pertunjukan hiburan kalangenan dengan menampilkan sinden-penari dan sinden-penyanyi sebagai media pertunjukannya. Pertunjukan Jaipongan ini adalah perkembangan dari pertunjukan yang menyajikan unsur karawitan (musik tradisi) dengan menggunakan gamelan Pelog-Salendro, yang kemudian berkembang dengan adanya tarian hiburan, yang selanjutnya dikenal dengan nama Kliningan Bajidoran, yang mengutamakan adanya interaksi sinden-penari atau penyanyi dengan para pengibing. Pertunjukan Jaipongan ini sangat di gemari oleh masyarakat, dan difungsikan sebagai tanggapan yang wajib disajikan pada acara hajatan masyarakat pantura khususnya Subang dan Karawang, sebagai ajang prestise, ajang interaksi, ajang komunikasi, ajang ekonomi, baik seniman penanggap, dan para pedagang yang selalu hadir di manapun Bajidoran idolanya ditanggap. Caturwati, “Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat” dalam Suprawoto, Pemetaan Media Tradisional Komunikatif (Lestarikan Tradisi Kelola Komunikatif), h.30. 71 Arsip Perpustakaan Daerah Kabupaten Karawang, 1980-1990, Sejarah Karawang, h. 322. 35

Kecamatan Karawang (Tari Ketuk Tilu), Kecamatan Cikampek (kesenian Topeng Banjet), Kecamatan Klari ( kesenian Gamyong), Kecamatan Jatisari (Kasidahan), dan Kecamatan Batujaya (Tanji).72

3. Bahasa yang Digunakan Penduduk Kabupaten Karawang pada umumnya adalah suku Sunda yang menggunakan bahasa Sunda. Namun, di Kabupaten Karawang terdapat beberapa bahasa dan budaya diantaranya budaya dan bahasa Betawi di daerah Utara Karawang. Tepatnya sebagian Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, serta bahasa Jawa Cirebon di jalur Utara Kecamatan Tempuran, Kecamatan Cilamaya. Banyaknya bahasa campuran dari berbagai daerah ini menimbulkan istilah- istilah baru yang tercermin pada seni pertunjukan rakyat di daerah ini. Misalkan yang menggunakan bahasa „Jawa-reang‟73 dan menggukan bahasa Sunda tengahan (sedang) banyak digunakan dalam syair-syair lagu, antara lain seperti pada Kliningan, Jaipongan, Wayang Golek, Reog74, Dongbret75, dan Belentuk Ngapung. Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada, khususnya bagi kaum petani dan nelayan yang dari kalangan cacah76, membentuk kehidupan masyarakatnya terlihat lebih terbuka dibandingkan dengan kaum menak. Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya, semua anggota keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan

72 Arsip Perpustakaan Daerah Kabupaten Karawang, 1980-1990, Sejarah Karawang, h.323. 73 Jawa Reang adalah bahasa orang pantai, campuran antara bahasa Jawa kasar dan bahasa Sunda kasar daripada Jawa halusnya. Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h. 559. 74 adalah seni pertunjukan Sunda yang menggunakan semacam alat kendang yang di gendong di perut. Endang Caturwati, Pemetaan Media Tradisional Komunikatif (Lestarikan Tradisi Kelola Komunikatif), artikel Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat, h.25. 75 Dongbret adalah pertunjukan rakyat kalengenan dengan menyajikan penari perempuan ronggeng dari daerah pantai utara Pamanukan Subang untuk menghibur para nelayan di pinggir pantai. Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h. 555. 76 Cacah adalah sebutan untuk orang kebanyakan atau orang miskin. Lulu Luthfiani, Kamus Genggam Bahasa Sunda, (Yogyakarta, Frasa Lingua, 2017). h. 17. 36

pertanian ataupun mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.77 Mereka memiliki sifat yang homogen dalam hal nilai-nilai sikap tingkah laku. Kondisi ini tentunya begitu mempengaruhi pula pada kebiasaan cara berbahasa khususnya dialek atau logat bahasa yang ceplas ceplos dan gareuhal (kasar), cara berpakaian yang bersahaja dengan selera warna yang mencolok, tata krama yang mencerminkan suatu sikap, tindakan, dan kelakuan yang kurang handap asor78 atau teugeug79 (kaku), aktif, dinamis, tutur bahasa dengan volume yang keras, tanpa membedakan dengan siapa berhadapan, karena merasa mempunyai nasib yang sama. Pada umumnya masyarakat Pantura (Karawang) berpendidikan rendah bahkan tidak sekolah, serta memiliki sifat yang sederhana. Begitu pula bentuk keseniannya yang lebih banyak berkaitan dengan upacara-upacara padi, serta berbagai kariaan (pesta rakyat) dengan gerakan yang spontan, enerjik ,dan aktraktif, sesuai dengan ekpresi dari cerminan masyarakat cacah, yang sedang bersuka ria.80

4. Keagamaan Mayoritas masyarakat Kabupaten Karawang adalah menganut agama Islam. Sumber-sumber lokal mengatakan bahwa penyebar Islam pertama di Kabupaten Karawang adalah Syekh Hasanuddin (pada panil di depan komplek makam ia disebut juga Syekh Qurotul Ain). Diperkirakan agama Islam masuk ke Kabupaten Karawang pada abad ke-16.81 Kabupaten Karawang ini merupakan kabupaten yang memiliki solidaritas yang tinggi dalam hal keagamaan. Hal ini terbukti dengan adanya bermacam agama dan tempat-tempat ibadah yang sesuai dengan agamanya masing-masing.

77 Jefta Leibo, Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma Ganda, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1996), h.7. 78 Handap asor artinya (rendah hati, sopan). Lulu Luthfiani, Kamus Genggam Bahasa Sunda, (Yogyakarta, Frasa Lingua, 2017). h. 9. 79 Teugeug adalah sifat yang kurang sopan, kaku, dapat di lihat dari bahasa, sikap ataupun tingkah laku. Ibid, h. 190. 80 Caturwati, Sinden dan Penari di Atas dan di Luar Panggung, h.89. 81 Herlina Lubis, dkk., Sejarah Kabupaten Karawang, h.168. 37

Kabupaten Karawang memang mayoritas penduduknya menganut agama Islam namun tidak menutup kemungkinan adanya agama-agama non-Islam yang ikut mewarnai corak keagamaan masyarakat Kabupaten Karawang karena beberapa agama sudah lebih awal hadir di Kabupaten Karawang. Seperti agama Budha, Hindu, Kristen dan Katolik yang sudah tiba jauh lebih belakang. Adapun agama yang ada di Kabupaten Karawang yaitu, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu dengan persentase Islam tertinggi.82 Jika dilihat perkembangan agama Islam dari beberapa tahun sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa agama Islam di Kabupaten Karawang menempati angka tertinggi penganutnya di Kabupaten Karawang, walaupun dalam perkembangannya tidak stabil. Namun, tetap agama Islam menjadi agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Kabupaten Karawang. Berikut ini adalah rincian penganut agama Islam dan tempat ibadah sebagai berikut: Tabel. 2.1 Prosentase Penganut Agama Islam dan Jumlah Tempat Ibadah.

NO TAHUN JUMLAH PENGANUT MASJID LANGGAR MUSHOLLA 1 198183 98,59 % 753 2.600 38 2 198484 1.284.922 (98,887 %) 928 2.930 94 3 198585 98,77 % 927 2.942 96 4 198786 99,10 % 962 2.934 96 5 198887 1.273.168 (99,10 %) 1.062 2.947 130 6 198988 1.371.463 1.092 3.126 146 Sumber: Diolah dari Data Badan Statistik Kabupaten Karawang, Statistik Kabupaten Karawang Tahun 1981, Karawang dalam Angka Tahun 1984, Karawang dalam Angka Tahun 1985, Karawang dalam Angka Tahun 1987, Karawang dalam Angka Tahun 1988, Karawang dalam Angka Tahun 1989.

Walaupun masyarakat Kabupaten Karawang mayoritas memeluk agama Islam, namun demikian dalam kehidupan sehari-harinya masih diwarnai dengan unsur-unsur kepercayaan di luar Islam. Kehidupan beragama seringkali

82 Bintang, Sejarah Karawang Dari Masa ke Masa, h.11. 83 Statistik Kabupaten Karawang Tahun 1981, Kantor Statistik Kabupaten Karawang, h. 70-71. 84 Karawang dalam Angka Tahun 1984, Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Karawang, h. 61-62. 85 Karawang dalam Angka Tahun 1985, h. 75-76. 86 Karawang dalam Angka Tahun 1987, Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Karawang, h. 77-78. 87 Karawang dalam Angka Tahun 1988, Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Karawang, h. 67-68. 88 Karawang dalam Angka Tahun 1989, h. 79-80. 38

dipengaruhi oleh kepercayaan pada kekuatan makhluk halus atau upacara-upacara kegiatan tertentu. Misalnya seperti halnya ketika mendirikan sebuah rumah baru, menyimpan padi di padaringan89 (lumbung), perkawinan, ngaruat90, ataupun pertunjukan ritual yang diharapkan akan mendatangkan berkah, seperti hal nya ngalaksa91 di Sumedang, ngarot92 di Indramayu, dan ngunjug93 di daerah Cirebon. Masyarakat Kabupaten Karawang pun masih mempercayai adanya kekuatan gaib dan magi yang dipercaya dapat memancarkan pengaruh baik dan pengaruh buruk bagi manusia. Demikian kaitannya dengan kondisi tersebut para dukun oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Karawang memiliki kekuatan magi yang lebih besar jika dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan. Oleh sebab itu sangat sulit bagi masyarakat agraris untuk memisahkan agama dengan sistem kepercayaan, sebab keduanya masih dijalankan bagi sebagian masyarakat Sunda yang berfungsi mengatur sikap dan sistem nilai, sehingga di samping mereka yang taat dalam menjalankan agama (yang pada umumnya beragama Islam), sering juga menjalankan upacara-upacara yang tidak terdapat pada ajaran agama.

Dalam tulisan Edi S. Ekadjati menyebutkan: “Hajatan merupakan ikatan sosial masyarakat desa yang didasarkan atas kepercayaan akan adanya kekuatan gaib yang datang dari kepercayaan akan adanya kekuatan gaib yang datang dari mahluk halus (setan) yang dapat mengganggu kehidupan manusia. Hajatan itu sendiri merupakan upacara tradisional yang di ikuti oleh seluruh penduduk desa secara bersama-sama serta secara berkelompok (lingkungan tetangga). Hajatan dimaksudkan pula untuk memohon berkah kepada penghuni alam gaib dan menjalin hubungan baik sehingga tidak mengganggu manusia”.94

89 Padaringan merupakan tempat menyimpan beras. 90 Ngaruat adalah membersihkan anak agar terhindar dari mara bahaya dengan menanggap Wayang dengan lakon Batara Kala. Lulu Luthfiani, Kamus Genggam Bahasa Sunda, h. 173. 91 Ngalaksa yaitu melakukan upacara persembahan Dewi Sri di daerah Sumedang. Ibid., 172. 92 Ngarot adalah sebuah upacara di daerah Indramayu yang diikuti oleh para remaja putra dan putri yang dilengkapi dengan berbagai pertunjukan. Pertunjukan Tari Topeng Babakan khusus untuk remaja putri, sedangkan Ronggeng Ketuk dan Tayub remaja putra. Caturwati, Sinden dan Penari di Atas dan di Luar Panggung, h.564. 93 Ngunjug merupakan kegiatan „hajat guar bumi‟, unjung atau sedekah bumi, yakni selamatan tahunan yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh komunitas desa atau wilayah Kabupaten Indramayu, Cirebon, Majalengka pada waktu mulai mengerjakan sawah kira-kira bulan September. Tempatnya biasanya di makam keramat yang dianggap sebagai pekuburan leluhur. Ibid., h.565 94 Edi. S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), h.139. 39

Kegiatan hajatan adalah kegiatan yang berkaitan dengan adat kepercayaan yang menjadi tradisi pada masyarakat Sunda. Ada dua jenis hajatan yang biasa dilakukan yakni, „hajat bumi‟ dan „hajat daur hidup‟. Hajat bumi diselenggarakan oleh semua anggota masyarakat, sedangkan hajat daur hidup oleh perorangan. Pelaksanaan hajat bumi yang di kelola oleh desa di antaranya adalah ngabeungkat95, ngalokat tanah96, nyalin97, dan hajat desa. Berbeda denga hajat daur hidup yang diselenggarakan secara pribadi atau keluarga yang dibantu oleh masyarakat disekelilingnya, antara lain upacara tingkeban (kehamilan tujuh bulan), kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Demikian juga dalam segi seni pertunjukannya. Seni pertunjukan pada masyarakat agraris umumnya lahir dimaksudkan untuk kepentingan upacara kesuburan tanah. Pada kegiatan hajatan khususnya perkawinan, sunatan, nadar, serta syukuran, bagi masyarakat Sunda khususnya masyarakat Kabupaten Karawang pada saat ini tidak lepas dari seni pertunjukan Tari Jaipongan yang sarat dengan acara ritual. Namun demikian hal ini fungsi utamanya telah berkembang sesuai dengan perkembangan penduduknya. Pertunjukan seni Tari Jaipongan masih memiliki ikatan emosi yang kuat bagi masyarakat Sunda khususnya bagi masyarakat Kabupaten Karawang. Bahkan dalam acara hajatan orang yang tidak menanggap pertunjukan Tari Jaipongan, seolah-olah merupakan dosa besar pada karuhun98.

5. Pendidikan dan Status Sosial Berdasarkan data penduduknya, daerah Kabupaten Karawang secara mayoritas lebih banyak buruh tani, dan perkebunan, serta sedikit yang berpendidikan tinggi lulusan sarjana. Adapun sisanya sebagian besar yang terdiri

95 Ngabeungkat adalah upacara mapai cai kahuripan atau menyambut air kehidupan, yang dilakukan di hulu sungai saat musim hujan tiba yang dipimpin oleh pemangku hajat. Caturwati, Sinden dan Penari di Atas dan di Luar Panggung, h.564. 96 Ngalokat Tanah ialah membersihkan dari segala sifat jelek yang membawa malapetaka agar terhindar dari hama, rumput liar, bencana alam, ataupun musim kemarau yang panjang. Luthfiani, Kamus Genggam Bahasa Sunda, h. 175 97 Nyalin merupakan upacara panen, yang dilaksanakan pada saat padi akan dituai. Ibid., 98 Karuhun adalah nenek moyang atau arwah leluhur yang selalu menjaga keselamatan dan memberikan kekuatan kepada manusia. Ibid., h.171 40

dari kaum buruh, tercatat berpendidikan tamatan Sekolah Dasar (SD). Begitu juga dengan kaum perempuannya, yang menurut data penduduk, kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki, dan juga sebagian besar menjadi buruh, pada umumnya lebih banyak lulusan Sekolah Dasar (SD). Dari data yang tercatat pada tahun 1987, dari jumlah penduduk Kabupaten Karawang, adalah sebagai berikut : (1) tamatan Sekolah Dasar (SD) = 1.560; (2) tamatan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) = 483; (3) tamatan Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) = 272.99 Walaupun pada umumnya penduduk Kabupaten Karawang secara mayoritas berpendidikan tamatan SD, bukan berarti semuanya secara sosial berkehidupan miskin. Mengutip A. Suhandi Sumamihardja, bahwa: “Orang Sunda, khususnya masyarakat desa di Jawa Barat, dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, pertama, disebut jalma beunghar, jalma jegud, atau jalma sugih (orang kaya); kedua adalah jalma cukup (kelompok menengah); dan ketiga adalah jalma miskin (orang miskin).100 Kelompok orang miskin biasanya bekerja sebagai buruh tani, pesuruh dan sebagainya, pada orang kaya. Patokan untuk menentukan orang kaya, orang menengah, dan orang miskin dalam masyarakat desa di Jawa Barat yaitu berdasarkan atas kepemilikan tanah, rumah, barang, perhiasan, dan binatang ternak. Masyarakat Kabupaten Karawang yang tinggal di pedesaan hampir seluruhnya hidup dari pertanian (kebun dan sawahnya). Tanah adalah unsur yang sangat penting dalam masyarakat desa. Masyarakat memandang bahwa unsur pemilikan tanah sebagai unsur yang menentukan status seseorang dalam masyarakat. Masyarakat Sunda berdasarkan pemilikan tanah dikenal pula dua macam kelompok. Kelompok petani pemilik tanah dan golongan penggarap, di samping itu ada golongan buruh tani yang bekerja sebagai buruh dalam usaha pertanian.

99 Karawang dalam Angka Tahun 1987, Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik, Kantor Statistik Kabupaten Karawang, h. 99. 100 A. Suhandi Sumamihardja, “Organisasi dan Struktur Sosial Masyarakat Sunda” dalam Endang Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, (Sunan Ambu STSI Press Bandung, 2011), h. 121. 41

Begitu pula masyarakat Kabupaten Karawang yang dikenal sebagai daerah pertanian dan perkebunan, selain penduduknya bekerja sebagai buruh tani (jalmi teu gaduh) juga terdiri dari para pemilik tanah (jalmi beunghar). Tidak sedikit pula para perempuan muda di Kabupaten Karawang saat itu menghindari bekerja sebagai pembantu rumah tangga maupun Tenaga Kerja Wanita (TKW). Karena ketika itu perempuan muda di Kabupaten Karawang berpikir bahwa, menjadi seorang TKW itu di siksa atau diperlakukan secara tidak baik oleh majikan. Maka mereka lebih memilih mencari uang yang lebih menjanjikan, berpikir logis dengan segala pertimbangan untung maupun rugi. Hal demikian yang telah mendorong para perempuan muda di Kabupaten Karawang untuk lebih memilih berprofesi sebagai sinden-penari dari pada pembantu rumah tangga atau pegawai pabrik.101 Selain itu menjadi sinden-penari adalah pekerjaan yang tidak begitu sulit, karena tidak mempersoalkan ijazah atau pendidikan yang tinggi. Hampir sebagian besar yang telah berprofesi sebagai sinden-penari berkehidupan yang serba berkecukupan dan memiliki rumah yang mewah. 102 Gaya kehidupan para sinden-penari hampir mirip dengan kehidupan para artis celebrity, yaitu dengan hidup yang mewah dan menggunakan perhiasan yang berlimpah. Dengan memiliki “materi” atau “uang” tersebut mereka merasa sudah memiliki segalanya. Jika dilihat dari penghasilan sinden-penari atau sinden-penyanyi dalam satu malam mendapatkan honor ratusan ribu rupian (kecuali dengan tambahan uang jaban atau sawer bisa mencapai beberapa kali lipat). Oleh karenanya gaya hidup mereka sangat mewah dan glamor, dan untuk menjaga gaya dan penampilannya, apapun dapat terjangkau dengan mudah, khususnya perawatan kecantikan serta kebugaran tubuh dengan perlengkapan yang serba canggih.103 Jika dilihat dari kehidupan sinden-penari yang mewah dan serba berkecukupan, maka kehidupan para sinden-penari tergolong dalam jalmi jegud (orang kaya).

101 Endang Caturwati, Perempuan dan Seni Pertunjukan: Perkembangan Seni Pertunjukan Bajidoran di Jawa Barat, makalah Seminar Bahasa dan Seni, 2000, h.1. 102 Caturwati, Sinden dan Penari di Atas dan di Luar Panggung, h. 400. 103 Caturwati, Sinden dan Penari di Atas dan di Luar Panggung h.430. BAB III SENI TRADISIONAL TARI JAIPONGAN DI INDONESIA

A. Sejarah Kesenian di Jawa Barat 1976-1990 Di tatar Sunda, sebelum hadirnya seni pertunjukan Tari Jaipongan, tari lainnya di provinsi Jawa Barat sudah banyak lahir berbagai macam seni pertunjukan khususnya dalam gendre seni tari. Masing-masing gendre tari mempunyai ciri khas nya yang berbeda-beda dan corak yang unik. Tarian yang di kenal oleh masyarakat Indonesia bahkan hingga manca negara di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Tari Topeng Cirebon Tari Topeng Cirebon ini berasal dari daerah Cirebon. Seni pertunjukan ini cenderung dipertunjukan dengan cara berkeliling dari tempat ke tempat lain, dampak dari berpindah tempat menjadikan seni pertunjukan Tari Topeng Cirebon ini menjadi semakin di kenal oleh masyarakat luas, tidak hanya dikenal di wilayah Cirebon saja, melainkan menyebar luas hingga luar wilayah Cirebon. Seni pertunjukan ini sarat dengan pendidikan dan budi pekerti. Penggunaan lima buah kedok topeng diantaranya (warna jingga, merah, kuning, gading, dan putih), yaitu Jingga Anom, Klana, Tumenggung, Rumiang, Pamindo, dan Panji, (dengan tingkatan karakter, menggambarkan sifat manusia (nafsu manusia). Dalam pertunjukannya, dimulai dengan menampilkan Tari Panji, dilanjutkan dengan Pamindo, Rumiang, Tumenggung, kemudian Klana. Di tengah-tengah pertunjukan biasanya diselingin dengan bodoran si Pentul atau Tembem dengan dialog yang segar dan lucu, berisi muatan pendidikan dan masalah sosial.104

2. Tari Wayang Di provinsi Jawa Barat juga berkembang pada pertunjukan Wayang, baik atau drama Tari Wayang, maupun Tari Wayang yang mandiri atau

104 Caturwati, Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat, h.29.

42 43

(hanya tari-tariannya saja). Tari Wayang adalah bentuk tari yang mengambil lakon dari cerita-cerita wayang seperti Ramayana dan Mahabrata serta cerita-cerita Panji atau Menak dengan tokoh seperti Gatotkaca, Sobali, Sugriwa dan tokoh-tokoh lainya. Tari Wayang mempunyai ciri khas dalam segi koreografis, karawitan, tata busana maupun tata riasnya. Ciri khas tersebut terletak pada kenyataan bahwa Tari Wayang lahir karena kebutuhan untuk mengungkapkan beberapa tokoh perwayangan dalam seni tari. Hal yang paling inti dalam seni pertunjukan Tari Wayang adalah mengkisahkan kepahlawanan para tokoh-tokoh yang berwatak baik, serta menghadapi dan menumpas tokoh yang berwatak jahat.105

3. Pencak Silat : Jurus dan Ibing Pencak silat merupakan gerakan beladiri yang disertai perasaan sehingga merupakan penguasaan gerakan-gerakan efektif dan terkendali. Biasanya Pencak Silat digunakan dalam pertandingan. Pencak silat ialah ilmu bela diri asal Indonesia sejak jaman lampau. Dalam setiap daerah mempunyai istilahnya masing-masing, misalnya di Sumatra Barat dikenal dengan istilah „Silek‟ dan „Gayuang‟. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal dengan istilah „Mpaa Sila‟, di Kalimantan Timur dikenal dengan istilah „Bermancek‟. Adapun di Jawa Barat dikenal dengan istilah „pencak‟. Pencak di wilayah Jawa Barat berpangkal dari seni bela diri, jika dilihat dari sejarah perkembangannya yang menjelaskan bahwa Pencak Silat semula tidak diajarkan berupa pencak kembang (ibing pencak). Pencak silat dahulunya dimaksudkan untuk bela diri, baik gunakan untuk diri sendiri, maupun untuk para penjaga keamanan daerah. Dalam perkembangnya, Pencak Silat di wilayah Jawa Barat merupakan hal yang sangat unik. Melalui proses yang cukup panjang Pencak Silat menjadi beragam bentuk „jurus‟ gaya sehingga membentuk gaya masing-masing. Setiap daerah mempunyai ciri khasnya masing-masing. Gaya dalam Pencak Silat ini lalu

105 Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa, h.135.

44

dikenal dengan istilah „aliran‟, yang diantaranya adalah Pencak Silat aliran Cimande, Cikalong, Madi, Cikaret, Kare, Sahbandar, Timbangan serta Makao. Dari aliran tersebut, masing-masing mampunyai gerakan-gerakan yang sangat indah, selaras dan harmonis, ditambah dengan iringan musik. Di wilayah Jawa Barat sendiri memiliki ciri khas yang unik dan khusus dalam iringan musiknya serta tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia yang disebut dengan „Kendang Penca‟ atau Penca Kembang, yang kemudian di gemari oleh masyarakat luas yang kenal dengan sebutan Ibing Penca.106

4. Tari Rakyat Tari rakyat adalah tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat agraris yang fungsinya selain untuk sarana upacara ritual juga sebagai sarana hiburan. Tari rakyat merupakan sebuah ekspresi masyarakat yang dibentuk oleh mereka sendiri, juga untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Di wilayah Jawa Barat pada masa lalu yang disebut dengan tari rakyat adalah tarian- tarian yang dibawakan serta tumbuh dan berkembang dikalangan rakyat (cacah). Hal tersebut dikarenakan pada masa lalu terdapat dua kelompok pertunjukan atau tarian yang berkembang di kalangan rakyat atau cacah dan juga kalangan menak. Pertunjukan model ini di antaranya adalah Topeng Cirebon, Wayang Wong, Ketuk Tilu, Longser, dan Doger yang di fungsikan sebagai sarana hiburan.107

5. Tari Tayub Pertunjukan Tari Tayub banyak diselenggarakan oleh masyarakat pedesaan untuk kepentingan pernikahan dan pertanian. Untuk upacara pernikahan Tayub diselenggarakan saat mempelai pria dipertemukan dengan mempelai wanita, yang disela-sela acara ini penari ledhek sambil menyanyi mempersilahkan pembelai pria untuk ngibing atau menari bersamanya. Biasanya untuk menyelenggarakan pertunjukan Tari Tayub disediakan seperangkat gamelan pelog/saralendro lengkap dengan para ronggengnya. Di

106 Lilis Sumiati, dkk, Tari Rakyat Jawa Barat, STSI PRESS BANDUNG, 1998, h.12. 107Lilis Sumiati, dkk, Tari Rakyat Jawa Barat, STSI PRESS BANDUNG, 1998 h. 137. 45

wilayah Cirebon, Tayuban berkembang hanya di kalangan para priyayi saja khususnya di kalangan keraton Cirebon. Pada acara seni pertunjukan Tari Tayub sering kali terjadi perlakuan yang merendahkan kaum perempuan (ronggeng) yang disertai adanya minuman keras dan mabuk-mabukan. Pada awal abad ke-20, Aom Doyot (R. Ganda Kusumah) sebagai seorang Sumedang yang kedudukannya sebagai Camat Leuwilian, Bogor merintis untuk melakuan Tabyuban dengan aman, sopan dan tertib, yang di antaranya adalah menari dengan teratur atau bergantian (tidak rebutan Ronggeng), minuman keras ditiadakan dan fungsi ronggeng hanya menari saja. Seni pertunjukan Tayuban yang telah berhasil ditertibkan ini kemudian dikenal dengan nama Tari Keurseus yang lebih banyak ditampilkan sebagai tarian mandiri pada acara-acara pertunjukan.108

6. Tari Keurseus Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa seni pertunjukan Tari Keurseus adalah kelanjutan dari Tari Tayub yang sudah ditertibkan juga dikembangkan melalui pelajaran-pelajaran (kursus) secara teratur dan sistematis. Tari Keurseus adalah tari perkawinan antara Topeng Cirebon dengan Tayuban serta merupakan refleksi untuk menghilangkan unsur-unsur negatif yang terdapat dalam Tari Tayub. Dengan melalui dasar Tari Keurseus maka perkumpulan tari Sunda kemudian membentuk paguron-paguron seni tari. Masing-masing tempat menggunakan sistematika dan metoda serta patokan-patokan tertentu. Di wilayah Priangan tempat paguron Keurseus yang terkenal adalah Wirahmasari yang di pimpin oleh R. Sambas Wirakusumah yang pada tahun 1921 beliau berkedudukan sebagai lurah di Rancaekek Kabupaten Bandung. Gaya Tari Wirahmasari yang telah menyusun patokan-patokan untuk materi kurus atau Keurses tersebut, pada tahun 1950 dikembangkan di kota Bandung melalui perkumpulan Wirahmasari cabang Bandung, dengan beberapa tokohnya yang merupakan murid dari R. Sambas Wirakusumah, yakni R. Dadang Sunarya

108 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, h.99. 46

Kusumadinata, R.I Maman Suryaatmaja, R. Nugraha Sudireja, R. Oe Yoesoef Tejasukmana dan Enoch Atmadibrata.109

7. Tari Kreasi Baru R. Tjetje Somantri Tari Kreasi Baru R. Tjetje Somantri merupakan gendre tari kreasi baru yang berkembang pesat dan dikenal oleh masyarakat sejak awal 1950-an. Kontribusi Tjetje Somantri terhadap dunia tari kreasi sangat besar manfaatnya. Terutama dalam hal kreativitas individualnya yang patut dihargai. Berbagai gaya tari yang beliau kuasai adalah Tari Tayub, Tari Topeng, Tari Wayang Wong, dan Tari Jawa. Munculnya karya-karya R. Tjetje Somantri khususnya tari-tarian putri merupakan sejarah baru bagi perkembangan tari di tatar Sunda, yang secara historis merupakan jembatan dari masa lalu dengan masa kini. Hal tersebut adalah suatu langkah maju dan berani, karena bagi perempuan pada waktu itu dipandang aib untuk menari dalam pertunjukan umum.110 Tari pertunjukan khusus putri yang memasyarakat pada masa itu belum ada, kecuali ronggeng yang sering tampil pada acara-acara hiburan Ketuk Tilu atau Tayuban sebagai penari bayaran. Para perempuan terpelajar, lebih-lebih dari kalangan priyayi tidak diperbolehkan menari dalam sebuah pertunjukan kecuali pada acara besar atau perta sekolahan, pertunjukan-pertunjukan keluarga, yang ketika itu tariannya dinamakan Tari Serimpi atau Budaya.

8. Tari Jaipongan Seperti yang telah dijelaskan di bagian terdahulu, wilayah Jawa Barat mempunyai berbagai bentuk tari hiburan pribadi, dari yang bernama Ketuk Tilu sampai kepada yang paling mutakhir yakni Tari Jaipongan. Bentuk seni pertunjukan yang terakhir ini walaupun sempat mengalami berbagai tuduhan serta berbagai kritik yang begitu tajam, namun ternyata seni pertunjukan Tari

109 Endang Caturwati, Tari di Tatar Sunda, Sunan Ambu Press, 2007, h. 105. 110 Endang Caturwati, “Tari Rakyat Jawa Barat”, dalam Lilis Sumiati, dkk, Kapita Selekta Tari, (STSI PRESS BANDUNG, 1998), h.91. 47

Jaipongan inilah yang mampu menembus berbagai kalangan, dari kalangan muda hingga ke kalangan elit atas. Pada waktu Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Antar Perdana Menteri negara-negara di dunia bagian selatan, Pada 1980-an, pada satu Tari Jaipongan sempat menjadi fokus kesenian yang dapat menghibur para peserta konferensi yang diwakili oleh pemimpin negara tersebut. Salah satu hal yang sangat menarik yang patut untuk diketengahkan adalah ciri khas dari berbagai hiburan pribadi Jawa Barat yakni goyang pinggulnya, seperti geol, gitek, uyeg, goyang, di Karawang disebut dengan „Goyang Karawang‟ sedangkan di daerah priangan terkenal dengan istilah „eplok cendol‟111. Dalam jenis tarian ini masyarakat Karawang mengenal jenis goyang tarian dengan sebutan „goyang pinggul‟. Diantara yang mereka populerkan „geol, gitek, goyang‟. Mereka juga kemudian mempopulerkan istilah „goyang Karawang untuk keseluruhan goyang dalam Tari Jaipongan . Selain itu di daerah priangan dikenal dengan „goyang eplok cendol‟.

B. Munculnya Seni Tari Jaipongan Seni pertunjukan Tari Jaipongan lahir pada tahun 1976. Belakangan ini telah terjadi polemik mengenai asal-usul seni pertunjukan Tari Jaipongan. Polemik tersebut adalah mengenai dari mana asal-usul seni pertunjukan Tari Jaipongan dan siapakah yang menciptakan seni pertunjukan Tari Jaipongan. Jika berbicara mengenai asal-usul seni pertunjukan Tari Jaipongan tidak dapat dilepaskan dari dua orang maestro seniman besar asal Jawa Barat, yakni Suwanda dan Gugum Gumbira Tirasonjaya. Keduanya memiliki keahlian yang berbeda. Suwanda adalah seorang seniman asal Kabupaten Karawang yang mempunyai keahlian dalam memainkan alat musik kendang, sedangkan Gugum Gumbira Tirasonjaya memiliki keahlian dalam koreografer.112 Seperti yang Suwanda tuturkan pada sebuah acara televisi swasta di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, bahwa:

111 Eplok cendol adalah menujuk pada penggunaan variasi gerak pinggul dari goyang gitek, dan geol. 112 Hasil wawancara dengan Tatang, di Disbudpar Kabupaten Karawang: 02 Februari 2017. 48

“Jaipong itu adalah asli ciptaan saya yang diciptakan pada tahun 1976 di padepokan ini atau saat ini dikenal dengan Sanggar Suwanda Group (SSG). Saat itu saya masih cerdas, saya coba meramu dari tepak-tepak gendang Ketuk Tilu, Wayang, Kendang Penca (Pencak Silat), Doger, Banjet serta Tarling). Semua kesenian itu saya ramu yang kemudian melahirkan seni Jaipongan. Ketika itu hasil-hasil saya sudah mulai direkam, namun dengan cara yang sangat sederhana sekali karena bentuk faktor ketiadaan modal. Tapi alhamdulillah hasil ciptaan saya itu diterima dengan baik oleh masyarakat, sehingga semenjak saat itu Karawang “geunjleng‟ (santer) dengan kesenian Jaipongan nya. Hampir pada setiap hajatan selalu ditampilkan seni pertunjukan Tari Jaipongan”. Tahun 1978 saya ditarik ke Bandung oleh Gugum Gumbira untuk bergabung dengan Group Jugala yang dipimpin oleh Gugum Gumbira. Di Jugala, saya menjadi pemukul gendang sekaligus penata karawitannya. Gugum Gumbira sendiri sangat mengapresiasi kemampuan saya dalam memainkan gendang sedangkan Gugum Gumbira dengan keahliannya dalam bidang koreografi, Gugum Gumbira mampu mengangkat Jaipongan menjadi kesenian Sunda yang begitu populer, bukan hanya di dalam negeri, melainkan telah memancanegara.”113

Pernyataan bahwa seni pertunjukan Tari Jaipongan berasal dari Kabupaten Karawang ini juga di perkuat oleh H. Ujang yang merupakan tokoh seniman Karawang, yang pernah menjabat sebagai dewan kesenian Karawang. Beliau juga mengungkapkan hal yang sama seperti Suwanda ketika diwawancarai oleh Heru. A.G dalam acara Reportase Lazuar FM Karawang , yang telah di unggah di You Tube sebagai berikut : “....Adapun Bandung itu turut andil dalam mengembangkan Jaipongan dan mengemas nya, istilahnya dari Karawang baru sampai bentuk nada dan oleh orang Bandung dipulas dengan kreasi-kreasi terbarunya, tetap sejarah Jaipongan dari Karawang. Jaipongan populer sekitar tahun 1980-1981 pada saat menjuarai gaya dan lagu yang di populerkan oleh kelompok Jugala yang merupakan terobosan baru dalam Jaipongan dengan lagu „Daun Pulus Laksalira‟ dari sana lah awal meningkatnya kegiatan Jaipongan. Kata atau arti dari Jaipongan sendiri merupakan dari suara gendang yang dipadukan dengan gerakan, jika melakukan Jaipongan harus mengikuti suara gendang yang sesuai dengan ketukannya sendiri yang tidak mempunyai makna, akan tetapi sebuah gerakan yang mengikuti ketukan dari suara yang ada...”114

Hal senada disampaikan H.Okih Darmawan selaku Kadisbudpar Karawang yang menyatakan bahwa : “Jaipongan adalah dari Karawang yang dibuat dan diciptakan oleh orang Karawang, melihat kebelakang kondisi para pelaku seni Jaipong di era tahun 1980-an keadaan para pelaku seni kita dibandingkan dengan para pelaku seni di ibu kota provinsi dari segi eksplor sangat jauh, karena para

113Sang Inspirator H. Suwanda, Kemuning TV, (di unggah di You Tube pada tanggal 30 Januari 2015). Di unduh pada tanggal 15 Juli 2017, pukul 05.34. 114 Heru A.G, Lazuar Team, Jaipong Asli Milik Karawang, Lazuar 94 1 FM Karawang, di (unggah di You Tube, 24 Maret 2016), di unduh pada 25 Mei 2017, pukul 21:13. 49

seni di Karawang mereka berangkat dari hobi dan dari faktor kalangan seniman yang terus berkembang”115

Kemudian Nano S (seniman karawitan asal Bandung), Nano mengungkapkan asal usul Jaipongan dalam acara Bruk Brak Jaipongan Antara Pro dan Kontra yang di tayangkan di TVRI Jawa Barat.

“Hoyong ngalelempeng heula, ari disebatkeun tadi Jaipongan teu sakedar tari, Jaipongan teh. Tapi oge karawitan atanapi musik. Upami ngukur kana paredaran kumargi harita tos aya teknologi rekaman, nyebar na teh tipayun karawitanna heula, mugi eta mah tiasa ka jual ngalangkungan media kaset. Teras, anu kadua na, nembe kaseubatkeun buming teh kulantaran Bandung, da sateu acan nage da tos aya di daerah kaler teh, pang pang na di Karawang musik sapertos kitu teh tos aya. Saeunggeus di olah ku Bandung, nembe meledak na teh. Jadi memang Bandung salaku ibu kota Priangan atanapi ibukota Jawa Barat, salaku anu ngolahna tah nembe lahir aneh (buming) kitu. Jadi Jaipongan ti beulah tidu na ge, wanda atawa model sapertos kitu teh tos aya saacan taun dalapan puluh, ngan lain Menurut penjelasan Nano S, bahwa seni Jaipongan sebetulnya sudah ada sebelum tahun 1980-an, tepatnya di daerah Karawang. Namun setelah di olah oleh Bandung, seni Jaipongan menjadi semakin berkembang bahkan melebihi daerah asalnya. Seni pertunjukan Tari Jaipongan lahir melalui proses kreatif dari tangan dingin Suwanda sekitar tahun 1976 di Kabupaten Karawang. Jaipongan adalah hasil garapan yang menggabungkan elemen-elemen seni tradisi Kabupaten Karawang seperti Pencak Silat, Wayang Golek, Topeng Banjet, Ketuk Tilu dan lain sebagainya. Di Kabupaten Karawang seni pertunjukan Tari Jaipongan sangat pesat pertumbuhannya, dengan ditandai munculnya rekaman Jaipongan Suwanda Group dengan istrumen sederhana seperti kendang, ketuk, kecrek, goong, rebab, serta sinden atau juru kawih. Dengan media kaset tanpa lebel tersebut, seni pertunjukan Tari Jaipongan mulai didistribusikan secara swadaya oleh Suwanda di wilayah Kabupaten Karawang dan sekitarnya. Dari masyarakat Kabupaten Karawang pun mendapat respon yang baik dan masyarakat Kabupaten Karawang begitu antusias terhadap seni pertunjukan Tari Jaipongan tersebut. Saat itu juga seni pertunjukan Tari Jaipongan menjadi sarana hiburan masyarakat dan

115 Heru A.G, Lazuar Team, Jaipong Asli Milik Karawang, Lazuar 94 1 FM Karawang, di (unggah di You Tube, 24 Maret 2016), di unduh pada 25 Mei 2017, pukul 21:13.

50

mendapat apresiasi yang sangat besar dari segenap masyarakat Kabupaten Karawang. Seni pertunjukkan Tari Jaipong menjadi fenomena yang baru dalam ruang seni budaya di Kabupaten Karawang. Wajib diselenggarakan pada saat acara hajatan, menyambut tamu-tamu penting. Bahkan sejak tahun 1976 seni pertunjukan Tari Jaipongan telah menjadi seni pertunjukan hiburan alternatif dari seni tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang lebih dulu di Kabupaten Karawang seperti Pencak Silat, Topeng Banjet, Ketuk Tilu, Tarling serta Wayang Golek. Sejak saat itu kehadiran seni pertunjukkan Tari Jaipongan telah memberikan warna dan corak yang baru dan berbeda dalam bentuk pengemasannya, mulai dari segi tema, segi gerak, pola lantai, bentuk penyajian, iringan, bahkan dalam hal rias busana. Seorang seniman besar yang juga sangat berperan dalam proses penciptaan seni pertunjukkan Tari Jaipongan adalah seorang seniman koreografer tari yang berasal dari Bandung yang bernama Gugum Gumbira Tirasonjaya. Gugum Gumbira merupakan pimpinan “Jugala Grup”. „Jugala‟ merupakan singkatan dari Juara Gaya dan Lagu. Kecintaannya terhadap seni tari telah mengantarkan Gugum Gumbira menjadi seniman besar tari yang telah melahirkan karya-karya besar. Salah satunya hasil karyanya adalah seni Tari Jaipongan. Saat itu Gugum sangat tertarik dengan seniman potensial yang memiliki keahlian khusus, seperti Suwanda dan Dali sebagai penabuh kendang. Idjah Hadidjah, Umay Mutiara dengan suara emasnya sebagai sinden, serta Atut, Askin, dan Upas Omo dengan ibing khas Bajidorannya. Mereka itulah yang pada gilirannya di ikutsertakan dalam proses berkesenian selanjutnya. Mereka di ajak bekerjasama oleh Gugum Gumbira dan berdiskusi untuk menghasilkan karya- karya yang diinginkannya. Karya-karyanya diciptakan se-orisinil mungkin, tidak menjiplak atau meniru hasil orang lain.116 Bergabungnya Suwanda ke Grup Jugala semakin mendorong Gugum untuk menciptakan tarian-tarian kreasi baru yang di olah oleh tarian-tarian tradisional.

116 Lalan Ramlan, Jaipongan Gendre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda, Resital, Vol 14 No,I. h.45. 51

Pada awalnya tarian karya Gugum Gumbira dinamakan “Tarian Ketuk Tilu Pengembangan”, dikarenakan dasar dari tarian itu adalah pengembangan dari Tari Ketuk Tilu. Tarian karya Gugum Gumbira masih sangat kental dengan unsur ibing Ketuk Tilu, baik dari segi kereografisnya ataupun dari segi iringannya. Kemudian, tarian itu menjadi populer dengan sebutan Tari Jaipongan. Endang Caturwati dalam artikelnya menjelaskan bahwa seni Tari Jaipongan merupakan seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman yang berasal dari Kota Bandung , yakni Gugum Gumbira Tirasonjaya. Gugum Gumbira terinspirasi dengan kesenian rakyat yang salah satu nya adalah Ketuk Tilu gaya Karawang yang menjadikan mengetahui dan mengenal betul pembandaharaan pola-pola tari tradisi yang terdapat pada Kliningan atau Bajidoran atau Ketuk Tilu.117 Sehingga Gugum Gumbira pun mampu mengembangkan tarian tersebut menjadi sebuah tarian yang kini disebut dengan Tari Jaipongan. Tari Kreasi Gugum Gumbira yang pada akhirnya membudaya di Jawa Barat dan bahkan seluruh Indonesia. Seperti yang Gugum Gumbira jelaskan pada video singkat yang telah di unggah di youtube, beliau menuturkan sebagai berikut: “Awalnya saya menciptakan Tari Ronggeng Ketuk Tilu, dan tarian ini telah berhasil dipentaskan di Hongkong, awalnya launching kesenian ini di Hongkong pada tahun 1979, setelah dari Hongkong saya kembali ke Jawa Barat. Kemudian di Jawa Barat diadakan Festival Tari Jawa Barat, disana saya merasa heran „ko disenangi oleh pemuda/pemudi terutama anak muda‟karena hal demikian besarlah harapan saya untuk meneruskan ciptaan tarian lainnya. Jadi awalnya bukan Jaipongan tapi (Ketuk Tilu Perkembangan). Jadi ada proses di buat tarian pasangan, tari pergaulan masyarakat dan tari pertunjukan. Masih saja merasa kurang puas dengan musiknya dan pada festival tersebut proposal saya di tolak, untuk tidak dilanjutkan tapi harus dirubah namanya, jangan menggunakan nama Ketuk Tilu, karena Ketuk Tilu masih hidup, masih ada komunitas Ketuk Tilu. Saya berfikir mencari nama, waktu saya ke Karawang disana saya mengikuti pagelaran Topeng yang sedang main yaitu “Topeng Banjet Daya Asmara pimpinan (Ali Saban)”. Dalam rangka main mereka, ditengah-tengah permainan, seolah-olah Ali Saban menyebutkan guru tari yang di sebutnya guru Jaipongan. Kenapa Jaipongan yaitu dari tepak gendang (blak ting pong....blak tingpong ...jadi Jaipong). Kemudian saya ambil Kata Jaipong, sebab Jaipong tidak ada arti dan tidak ada bentuk. Namun secara filosofi adalah gambaran masyarakat Jawa Barat yang dinamik, heroik, dan erotik. Yang disebut erotik disini adalah suatu kegiatan untuk mecari titik-titik keindahan. Erotik yang saya inginkan bukan porno. Jadi melihat nya di kacamata seni, dari mulai potongan kain, corak pakaian selalu dipikirkan

117 Endang Caturwati, Perempuan dan Seni Pertunjukan, Seni Jurnal Pengetahuandan Penciptaan Seni, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2009, h. 16. 52

bagaimana supaya keliatannya saya puas buat saya sendiri dan bagi semua pihak tidak merasa terganggu matanya.”118

Adapun karya Tari Jaipongan pertama yang Gugum Gumbira ciptakan adalah Keser Bojong. Pada penciptaan Tari Keser Bojong merupakan gagasan baru yang timbul dari ke empat seniman handal yakni Suwanda dan Tosin yang berupaya untuk menghadirkan motif-motif baru pada tepak kendang, sementara Nanda Barmaya dan Samin berupaya untuk mengembangkan dan menciptakan gending-gending yang baru, yang selanjutnya diselaraskan dengan konseptarinya. Sejak saat itulah terjadi jalinan komunikasi yang konvergen antara Gugum Gumbira dengan para penggarap kendingnnya.119 Pada garapan awal gending Jaipongan tersebut yang mencuatkan warna baru dalam kancah kreatifitas karawitan Sunda. Pola gendingnya terdiri atas intro, bagian tengah dan gending penutup. Bagian intro adalah terobosan baru sebagai pengganti karawitan arang-arang dalam Ketuk Tilu. Pada bagian ini telah memberikan peluang bagi Gugum Gumbira untuk menampilkan teknik muncul ataupun gebrakan awal dalam sebuah tariannya. Kemudian pada sisi lain ini memberikan peluang bagi para penabuh kendang untuk menampilkan kebolehannya. Gugum Gumbira nampaknya sangat kompromis dengan para penata gendingnya termasuk berdiskusi masalah judul yang akan ditetapkan. Pada saat itu lagu yang ditetapkan adalah Daun Pulus Keser Bojong, namun tariannya diberi nama Keser Bojong. Ini merupakan momentum yang paling penting dalam penciptaan Tari Jaipongan setelah melalui proses panjang, yang sebelumnya belum menemukan bentuk yang diinginkan hingga terpaksa diberi nama “Ketuk Tilu Pengembangan”. Tari Keser Bojong dan Tari Rendeng Bojong adalah karya Tari Jaipongan pertama yang dikenal oleh masyarakat. Tarian tersebut merupakan tarian jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Ketika pertama kali muncul tarian

118 Gugum Gumbira Tirasondjaja, Tari Jaipongan: Sejarah dan Gerak Dasar, Galeri Indonesia Kaya, YouTube, di liahat pada tanggal 5 Agustus 2017, pukul 10.30. 119 Ramlan, Jaipongan Gendre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda, h.51. 53

tersebut, semula dianggap sebagai gerakan yang erotik dan vulgar, tetapi semakin lama tarian ini semakin popular dan mulai meningkat frekuensi pertunjukannya baik di media televisi, dalam acara hajatan, maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta.120 Ketika tahun 1979 Tari Jaipongan telah mengalami proses transformasi serta penataan (stilisasi), baik dalam segi pola tepak kendang maupun dalam segi ibing (tarian), juga dalam hal penciptaan komposisi tembang (lagu). Gugum Gumbira Tirasonjaya, maka mulai saat itu seni pertunjukan Tari Jaipongan yang telah terahir di Kabupaten Karawang dibesarkan dalam khasanah kemasan seni yang mutakhir dan lebih modern. Semua bentuk dan model tepak kendangnya disusun dan diberikan pola yang lebih terstruktur lalu berikutnya dituangkan ke dalam komposisi lagu yang sesuai dengan tuntutan pasar (commercial). Sejak saat itu, maka munculah sebuah grup kesenian yang melegenda yakni “Jugala Grup” yang dipimping oleh Gugum Gumbira Tirasonjaya, dengan tembang yang begitu popularnya yakni “Daun Pulus Keser Bojong”, “Serat Salira”, “Randa Ngora” dan lain sebagainya.121 Akan tetapi dalam komposisi yang telah dibawakan oleh “Jugala” tidak sama dengan komposisi awal yang dimainkan oleh Suwanda Group yang mana adalah pelopor pertama dari lahirnya musik Jaipongan di Kabupaten Karawang, meskipun Suwanda sendiri terlibat di dalamnya sebagai penabuh kendang. Hal tersebut dikarenakan Suwanda memainkan kendang berdasarkan pada pola yang sudah disusun secara cermat oleh komposernya, yaitu Gugum Gumbira. Dalam segi gaya dari bentuk elemen Jaipongan, kualitas, serta dalam segi ekspresinya dikemas dengan balutan gaya yang modern. Sampai pada puncaknya Suwanda bersama Jugala Grup pun telah manggung hingga ke luar negeri. Suwanda tidak menyangka, orang luar negeri sangat menyukai kesenian Jawa Barat yakni seni pertunjukan Tari Jaipongan. Mereka juga begitu antusias dengan pertunjukan Tari Jaipongan, ada beberapa diantaranya, ketika musik melantun turut serta ngibing (menari) meskipun tidak sesuai dengan irama tepakan kendangnya.

120 Septiani Dewi, Keanekaragaman Seni Tari Nusantara, h.49. 121 Ramlan, Jaipongan Gendre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda, h. 46. 54

C. Perkembangan Seni Tari Jaipongan Dalam sejarah perkembangan tari Sunda, hadirnya seni pertunjukan Tari Jaipongan (1980) adalah peristiwa yang bersejarah. Dimana terjadi suatu ledakan yang sangat pesat dalam khasanah dunia tari, khususnya yang terjadi di Jawa Barat. Tari Jaipongan merupakan genre tari generasi ketiga dalam perkembangan seni pertunjukan tari Sunda, yang sebelumnya adalah Rd. Sambas Wirakusumah yang menciptakan genre tari Keurseus sekitar tahun 1920-an, dan Rd. Tjetje Somantri yang menciptakan gendre tari Kreasi Baru sekitar tahun 1950-an.122 Tari Jaipongan karya Gugum Gumbira adalah kontradiksi dari karya pelopor yang sudah ada sebelumnya, yakni munculnya ledakan perkembangan pertama (1920) Tari Keurseus yang merupakan lambang prestise dari kaum Elite Birokratis dan kaum bangsawan pria. Kemudian ledakan perkembangan kedua, tari Tjetje Somantri (1950) ialah pendobrak emansipasi dikala kaum wanita aib menari di tempat pertunjukan akibat konotasi dari penari ronggeng, dan seni pertunjukkan Tari Jaipongan merubah image tarian yang biasa dibawakan oleh ronggeng, di renovasi menjadi sebuah tarian kelas elite yang mampu berkembang dan digemari hampir disetiap lapisan masyarakat hingga saat ini.123 Seni pertunjukan Tari Jaipongan berkembang pesat bahkan hingga dapat menembus keberbagai manca negara dan kini dalam setiap pertunjukan tari Sunda, seni pertunjukan Tari Jaipongan selalu turut mewarnai berbagai acara puncak dan merupakan label kebanggaan daerah Jawa Barat baik di negara sendiri yaitu Indonesia maupun di manca negara.

D. Kategori dan Unsur-unsur dalam Penyajian Tari Jaipongan 1. Kategori Penyajian Tari Jaipongan Seni Tari Jaipongan disajikan dalam dua bentuk. Pertama, dalam menyajikan tarian yang mempunyai struktur dengan rangkaian pola-pola gerak tertentu, yang mana telah disusun secara sengaja dan sudah dilatih sebelumnya. Kedua, tarian bebas yang tidak memiliki susunan gerak atau pola tertentu.

122 Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa, h.140.

55

Gerakan-gerakan yang dilakukan berupa improvisasi yang bersifat spontan. Berikut ini penjelasan mengenai pola gerak dalam penyajian Tari Jaipongan. a) Di beri pola (Ibing Pola atau tarian berpola) Penyajian ini terdiri dari kelompok seniman yang menyajikan materi tari yang ditata secara khusus untuk kebutuhan sajian tontonan atau pun pertunjukan. Oleh karena itu dalam hal ini harus dilakukan oleh penari-penari yang mempunyai kemampuan yang tinggi melalui proses latihan secara intensif. Tarian tersebut biasanya ditampilkan di kota Bandung. b) Tidak diberi pola (Ibing Saka atau tarian acak) Biasanya bentuk penyajian yang tidak diberi pola atau ibing saka ini banyak dipentaskan di daerah Kabupaten Karawang dan Subang atau lebih sering disebut dengan Bajidoran. Bajidoran diartikan sebagai sekelompok penonton atau penggemar yang turut meramaikan suasana secara bersama yang ikut berpartisipasi di dalam seni pertunjukan Tari Jaipongan.

2. Kategori Pertunjukan a. Tatalu Pada umum nya seni pertunjukan Tari Jaipongan digelar pada malam hari walaupun tidak jarang ada kalanya pertunjukan Tari Jaipongan ini digelar pada siang hari. Pertunjukan Tari Jaipongan yang digelar pada siang hari di mulai pada pukul 09.00 sampai dengan pukul 15.00 itu khusus untuk para tetangga dan kerabat dekat, sedangkan pada malam hari dimulai pukul 20.00 sampai dengan pukul 03.00 dini hari, disajikan untuk para tamu undangan, pejabat daerah, bajidor, dan penggemar seni pertunjukan Tari Jaipongan. Panggung disediakan oleh yang punya hajatan lengkap dengan sound system dan perlengkapan lampu, atau oleh grup Jaipongan namun hal tersebut juga tergantung dengan kesepakatannya.124 Untuk menandai akan dimulainya seni pertunjukan Tari Jaipongan ini, selalu diawali dengan sajian instumentalia pembukaan yang disebut tatalu. Gending-

124 Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h.264. 56

gending tatalu ini adalah tanda panggilan atau pemberitahuan pada khalayak masyarakat, bahwa seni pertunjukan Tari Jaipongan akan segera dimulai. Biasanya sajian tatalu berupa gending-gending tradisi dengan diselingi ucapan salam dari pembawa acara, kurang lebih selama 15 menit dengan lagu- lagu khusus, di antaranya adalah Karatagan, Jiro, Kodehel, Gudril, Kulu-kulu, dan Banjaran. Setelah selesai menyajikan gending-gending tatalu, kemudian dilanjutkan dengan munculnya para sinden dengan posisi berjajar memanjang menghadap ke arah penonton (ngajajarkeun sinden). Pada saat posisi duduk ini, para sinden-penari dan sinden-penyayi sambil menggerakan tangan, kepala, tubuh sesuai dengan irama tepak kendang. b. Sambutan-sambutan Setelah para sinden duduk dengan posisi berjajar di atas panggung di depan para pangrawit (penabuh), itu adalah pertanda bahwa seni pertunjukan Jaipongan akan segera dimulai yang diawali dengan sambutan-sambutan. Sambutan pertama, disampaikan oleh tuan rumah atau yang punya hajatan. Kedua, dilanjutkan oleh para aparat pemerintah daerah mulai tingkat Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), hingga kecamatan, bahkan Komando Rayon Militer (Koramil) sebagai penjaga keamanan, serta dari intitusi bidang kesenian atau kebudayaan, sebagai pembina kebudayaan daerah. Sambutan terakhir ditutup dengan pengisian kencleng (tempat berupa baki, baskom, dan sejenisnya) untuk sumbangan pembangunan daerah atau pemeliharaan mesjid, yang dilakukan oleh ketua RW, atau lurah desa.125 Pada umumnya isi sambutan yang disampaikan oleh tokoh masyarakat, mengucapkan selamat pada yang punya hajat, kepada mempelai atau anak sunat, atau siapa pun yang sedang dihajatkan. Khusus dari aparat keamanan biasanya menghimbau agar tertib dalam menonton ataupun ngibing di arena Jaipongan agar acara pertunjukan Jaipongan berjalan dengan lancar dan tertib.

125 Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung h,266. 57

E. Pelaksanaan a) Lagu Bubuka atau Lagu Pembuka Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan mempersilahkan salah satu sinden-penyanyi untuk membuka pergelaran, dengan menyanyikan lagu „Kembang Gadung‟ dilanjutkan „Kidung‟ dan „Tepang Sono‟. Ketiga lagu tersebut adalah lagu yang wajib dinyanyikan sebelum pertunjukan Jaipongan dimulai. Ketiga lagu tersebut mempunyai arti dan makna yang berbeda. Pada lagu yang pertama dilantunkan yaitu lagu „Kembang Gadung‟ merupakan sebuah penghormatan pada Tuhan Yang Maha Esa juga untuk para leluhur. Kemudian lagu kedua yaitu lagu „Kidung‟ merupakan penghormatan kepada negara, sedangkan lagu „Tepang Sono‟ adalah lagu penghormatan bagi yang punya hajat, para tamu, dan masyarakat di sekitarnya.126 Isi dan syair lagu „Kembang Gadung‟, sebagaimana dijelaskan oleh Pandi Upandi dalam artikel yang berjudul Kembang Gadung, pada dasarnya mengandung empat hal diantaranya:1). Memuji kepada Tuhan yang Maha Esa dalam hal yang dimaksud memuji Allah Subhanahu Wata‟ala. 2). Mendengarkan lagu Kembang Gadung mengingatkan agar kita semua sadar atas mensyukuri kenikmatan dari Allah Subhanahu Wata‟ala yang patut disukuri. 3). Memberi penghormatan kepada para leluhur, roh nenek moyang yang disebut dengan “karuhun”. Bentuk penghormatan yang diajarkan seperti mendo‟akan kepada karuhun, semoga di alam kubur bahagia, dan semoga di akhirat kelak masuk surga. 4). Lagu Kembang Gadung dipersembahkan kepada para penonton serta mengajak agar ikut memelihara seni budaya yang bernilai tinggi.127 Oleh sebab itu, lagu „Kembang Gadung‟ selalu dinyanyikan dalam setiap awal pertunjukan sebagai penghormatan untuk para leluhur, dan ungkapan permohonan perlindungan dan keselamatan selama pertunjukan berlangsung, sebelum lagu-lagu lainnya.

126 Herdiani, Bajidor di Karawang: Kontinuitas dan Perubahan, h.120. 127 Pandi Upandi, Kembang Gadung, www.disparbud.jabarprov.go, di akses 20 Juni 2017, pukul 00.23. 58

Contoh lagu yang mengiringi Tari Jaipongan Kembang Gadung Bul Kukus ngalun ka manggung Nyambung ka awang-awang Mugi dugi ka sanghiang Amit ampun nya paralun

Neda jembar nu kawasa Ka luhur ka sang rumuhun Ka handap ka sang nugraha Sawa sawi silih wargi abdi

Sang putu seja ngawitan Ngahaturkeun lagu Kembang Gadung Pangbakti kanggo karuhun alam Nyanggakeun mah kanu nanggeuy cahaya panggung

Mugi pang jaring pang riksa Sinareng panangtayungan Paparin kakuatan ka abdi saparakanca Mugi aya dina kalancaran

Tumada langkung ti payun Hususna mah ka bapa hajat sakulawargi Dina kakirangan nana hapunten anu kasuhun Kasadaya nyanggakeun silahturahmi

Mangga urang sasateungan Ngamumule kabudayaan Warga seni Jaipongan Sanajan ukur tontonan ulah dianggap lumayan

Alah...ieung...seni mustika ning ati Nu halimpu nusuk kalbu Sing jadi lelemes hate dunungan Ti abdi saparakanca nyanggakeun hiburan

Terjemahan Ma‟mur Dana Sasmita sebagai berikut:

Bunga Gadung Mengepullah asap pedupaan perlahan naik ke atas Menyebar ke angkasa raya Semoga sampai ke sang dewa Mohon ampun dan maafkanlah

Mohon kekuasaan yang kuasa Ke atas kepada Sang Arwah Ke bawah kepada Sang Nugraha (pemberi kesejahteraan) Anak-cucu seluruh keluargaku

Sang cucu akan memulai Mempersembahkan lagu Kembang Gadung Penghormatan pada Arwah Alam 59

Terimalah walai pemangku cahaya panggung

Semoga menurunkan perlindungan dan penjaga Serta pengayonan Berilah kekuatan padaku dan kawan-kawan Semoga ada dalam kelancaran

Memohon lebih dahulu Khususnya kepada bapak hajat sekeluarga Bila ada kekurangan mohon memaafkan Kepada semua pihak terimalah silahturahmi kami Marilah kita bersama-sama Memelihara kebudayaan Warga seni Jaipongan Meski sekedar tontonan janganlah diabaikan

Wahai...inilah...seni mestika di hati Yang merdu menusuk kalbu Semoga menjadi elusan hati tuanku Dari kami semua penyaji hiburan b) Tari Bubuka Setelah selesai melantunkan ketiga lagu wajib, kemudian dilajutkan dengan „Wawayangan‟ yakni penampilan tari tunggal oleh salah satu sinden-penari primadona yang disebut dengan pembarep, yang kemudian diikuti oleh sinden- penari lainnya. Gerakan Tari Jaipongan yang begitu dinamis dan atraktif juga dapat dinikmati tidak hanya oleh penarinya saja namun juga dinikmati oleh para penikmat atau penonton. Begitu juga dengan iringan musik dan tepak kendang- nya yang sangat atraktif yang menjadikan suasana menjadi semarak, dan mengundang semangat yang menyaksikannya untuk ikut bergabung menggerakkan tubuh (ikut menari). Pada umumnya dalam gerakan yang ditampilkan dalam seni pertunjukan Jaipongan bersumber pada Tari Tayub, Ketuk Tilu gaya Karawang, Pencak Silat, Banjet atau Jaipongan, baik ditarikan secara tunggal maupun rampak (kelompok). Kendatipun ke empat tarian tersebut itu hanya ditarikan secara spontan oleh para sinden-penari. Hal tersebut adalah dasar yang kuat tercapainya pengolahan gesture yang diperagakan masing-masing sinden-penari. Kondisi ini juga yang membentuk adanya kesatuan yang harmonis, antara gerakan dan musik, saling menunjang dan berinteraksi sehingga menjadikan para 60

penari terbentuk memiliki „ciri gerakan tertentu‟ atau mempunyai ciri khas tertentu. c) Kaulan Ketika acara kaulan dimulai adanya pelelangan lagu, yakni penawaran lagu kepada para penonton dengan harga tertinggi. Biasanya lelang lagu ini ditawar oleh individu atau pun grup (bajidor). Bagi individu atau pun grup yang bisa mendapatkan lagu dengan harga yang paling tinggi adalah suatu yang membanggakan, karena ia atau mereka dapat memenangkan lelang di antara para pengunjung yang juga merupakan prestise tersendiri, juga merupakan ajang status bagi para penonton atau pun bajidor.128 Yang memenangkan lelang lagu, bebas menari di sekitaran panggung tanpa adanya ikut campur dari para penonton lainnya, serta bebas menarikan gerakan apa saja yang mereka suka. Dalam hal ini „penggendang‟ pun harus mengikuti gerakan tari para „pengibing‟ sampai lagu selesai. Uang hasil lelang pada umumnya disumbangkan melalui pejabat pemerintah untuk keperluan mesjid. Kemudian pada kaulan babak kedua, para sinden membuka „arena pesan lagu‟, atau bisa disebut bursa lagu dengan melayani permintaan berbagai lagu. Biasanya peminat lagu menulis nama lagu yang mereka inginkan, mereka tulis di amplop kemudian disertai dengan uang sesuai kemampuan pemesan. Biasanya yang sinden dahulukan adalah pemesanan lagu dengan jumlah uang terbanyak. Dalam bagian ini para bajidor lainnya di perbolehkan turut menari, namun tetap pukulan „tepak kendang‟ tetap melayani gerakan-gerakan dari pengibing atau pemesan lagu. Selain dilakukannya „lelang lagu‟, terkadang ada juga acara „lelang sinden‟ yakni para penonton diperkenankan untuk memilih sinden yang disukainya, baik sinden-penari atau pun sinden-penyanyi. Bisanya ketika lelang sinden, lagu yang dinyanyikan ataupun tarian yang digerakkan biasanya diserahkan pada sinden- penyayi maupun sinden-penari yang dipilih. Siapa yang bisa menawar sinden dengan jumlah yang besar atau paling termahal maka itu lah yang dilayani.

128Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h.272. 61

Acara yang paling ramai yaitu nunjuk bajidor. Saat acara ini para sinden- penyanyi menggunakan kiat „tembak langsung‟, yakni menyebut atau memanggil nama-nama tamu yang hadir atau para bajidor malalui syair lagu yang telah diubah dengan panggilan mesra, dan mengharap uang. Contohnya pada lagu „Ayun Ambing‟, syair yang pada mulanya memiliki nilai filososfi pendidikan, berubah menjadi syair lagu yang sarat dengan rayuan untuk kepentingan pemberian uang, atau syair yang berubah total, sehingga artinya pun yang menjadi tidak bunyi. Sebagai contoh lagu Ayun Ambing di bawah ini yang pada bait pertama syair asli yang penulis beri tanda dengan huruf tebal syair lagunya menjadi berkembang, sedangkan lagu Kulu-kulu Bem syair lagunya menjadi berubah total.

Lagu Ayun Ambing Ayun ayun ambing Diayun ayun ku samping Ayun ayun ambing Diayun ayun kusamping

Geura gede geura jangkung Geura sakola ka Bandung Geura balik neang indung Geura ngamulyakeun indung

Arti dalam bahasa Indonesia :

Lagu Ayun Ambing Ayun-ayun ambing Diayun-ayun oleh kain Ayun-ayun Ambing Diayun-ayun oleh kain

Segera besar segera tinggi Segera sekolah ke Bandung Segera pulang mencari ibu Segera memuliakan ibu 62

Berkembang menjadi sebagai berikut: Sumber: Dedeh Komala Si Jago Emok, Namin Grup, Pandawa Records/Kencana Records.

Ayun Ambing

Ari ariayun...ari ayun ayun ayun ambing, (a Jaji Simpati) Diayun-ayun ku samping di galeong ku karembong, (Pa Engkus bendahara simpati) Diayun mah diayun-ayun ku samping Neleng neleng neleng nengkun geura gede geura jangkung (Teteh Yoyoh simpati) Sing bisa sing bisa nalang ka indung (Haturan kapayun deui apana Yayang simpati anu bageur

Ari-ari ayun ( Apa lurah Tubagus Halimi) ayun ambing (Ama lurah Amung Kamiri) diayun ayun ku samping di galeong Ku karembong (Apana Itong Sutomo Nakula Sadewa) digaleong ku karembong

Ari-ari ayun (A lurah Aratali Sindang Mukti Sakti Warna Dewa) Ayun ambing diayun-ayun ku samping (Pak Herman ka keamanan Mantri Mukti Tambun anu bageur) (A Ujang goler Tambun Bekasi anu sayang) (Pak mantri Encus Klari haturan kapayun heula)

(A lurah Ito Gandasari Subang) ayun ambing Diayung-ayun ku samping (Apalurah Haji Junaedi Purwadadi Subang anu bageur) (Pak Emon Ider alam nu jarang balik anu sayang)

(Bade gentos ka pa Udin Tanjungrasa) (Apa wakil Endang Baladewa Tanjungrasa) Diayun-ayun ku samping Digaleong (A Iwa Baladewa Tanjungrasa) ku karembong Dibalang-balang ku tambang di balang-balang ku tambang Di ayun-ayun ku samping digaleong ku karembong

63

Ayun ambing (deui a Ano nu satia sukakonci) Diayun-ayun ku samping Digaleong ku karembong (jang Obay putra supir mandiri) Digaleong ku karembong (Mamahna Eka pundung diayun-ayun ku sampin (Apana Eka pundung) digaleong ku karembong (Neng Eka Mustika Jaya pundung) ari ayun (Neng Nia Robi putra Mekarpohaci) ayun ambing (Tawis Maman Rempug Jayaputra Mekarpohaci anu bageur Diayun-ayung ku samping

(Mih Enok tukang rias Mekarpohaci) Dibalang-balang ku tambang (Mamah Aan Sodong anu sayang) Dibalang ku tambang Mun deug dipuji ulah rek asa aing Kade hilap kana purwadaksina Urang singeling di dunya

(Apa mandor Manim brewok kalong liar anu bageur) (Ibu mandor Manim anu sayang) (Apa mandor Manim brewok kalong liar Kalijaya deui) (A Guru Maya putra Bintang Terang Telagasari) Urang eling kana diri (Apa Haji Sampir ketua Bintang Terang Telagasari) Urang eling kana diri (Pa Haji Agus Uyan ketua Bulejaya Telagasari) urang ngumbara (Pak Supeno Bulejaya Telagasari anu bageur) (Abah Aman sesepuh Bulejaya Pasirbuah)

Ayun ambing deui (Neng Ika Bulejaya Pasirbuah) Diayun-ayun ku samping Digaleong ku karembong (pak lurah Hasan area Cikampek) Digaleong ku kerembong (Apa mandor eman Rambo Cikampek mandiri wae haturan bayar laguna) Ari ayun pa dalang (Enus Pasirmalang) diayun-ayun ku samping (Aki raif anu bageur) digaleong ku karembong (Wa Entang Cilentah) ku karembong 64

Dibalang-balang ku tambang (apana Susi nu prihatin) Balang ku tambang

Neleng negkung neleng nengkung (kang Ulis Bogel) Neleng negkung (Jang Firman anu simpati anu sayang) geur-geura-geura jangkung Geura bisa apal kana jalan ngamulyakeun diri (Apana Uyat Pinayunga Teluk Jambe Karawang Kunaon lali ka ka abdi) (Apana lurah Oca Manggungjaya) (Mamahna Dede Teluk Jambe anu sayang)

(Apa lurah Sarif Hidayat Sabadesa haturan abdi teh sono) (A sigit Dereded Wadas anu bageur) diayun-ayung ku samping Digaleong ku karembong (A Anas Karangreja pabayuran)

Diterjemahkan oleh Een Herdiani dan Ma‟mur Dana sasmita sebagai berikut129:

Meski berayun (kak Jaji Simpati) Diayun-ayun dengan kain, diemban dengan selendang (Pak Engkus berndahara Simpati) Diayun-ayun dengan kain

Neleng neleng nelen negkung cepatlah besar dan meninggi (Kakak Yoyoh Simpati) Jadilah pengayom bunda (Silahkan ayahnya Yang Simpati yang baik hati ke depan lagi)

Meski berayun (bapak lurah Tubagus Halimi) berayun-ayun (Eyang lurah amung Kamiri) diayun dengan kain Diemban dengan selendang (Ayahnya Itong Sutomo Nakula Sadewa) Diemban dengan selendang

Meski diayun (kak lurah aratali Sindang Mukti Warna Dewa) Meski diayun-ayun dengan kain (Bapak Herma kepala keamanan Mantri Karyamukti Tambun yang baik hati)

129 Herdiani, Bajidor di Karawang: Kontinuitas dan Perubahan, h.62-66. 65

(Kakak Ujang goler Tambun Bekasi yang sangat disayang) (Bapak mantri Encus dari Klari silahkan ke depan dulu) (Kakak lurah Ito Gandasari Subang) Meski diayun diayung-ayun dengan kain (Bapak lurah Haji Juanedi Purwadadi Subang yang baik hati) (Bapak Emon Ider alam yang jarang pulang yang sangat disayang)

(Mau ganti kepada bapak Udin Tanjugrasa) (Bapak wakil Endang Baladewa Tanjungrasa) Diayun-ayun dengan kain Diemban (Kak Iwa Baladewa Tanjungrasa) dengan selendang Dilempar-lempar dengan tambang dilempar-lempar dengan tambang

Diayun-ayun dengan kain diemban-emban dengan selendang Meski diayun (lagi kak Ano yang setia Sukakonci) Diayun-ayun dengan kain Diemban dengan selendang (Jang Obay putra sopir Mandiri) Diemban dengan selendang

(Ibunya Eka marah) diayun-ayun dengan kain (Ayahnya Eka marah) diemban dengan selendang (Neng Eka Mustika Jaya marah) meski diayun (Neng Nia Robi putra Mekarpohaci) ayu ambing (Tawis Maman Rempug Jayaputra Mekarpohaci yang baik hati) Diayun-ayun dengan kain (Mih Eok tukang rias Mekarpohaci) Dilempar-lempar dengan tambang (Mamah Aan Sodong yang sangat disayang) Ditempar-lempar dengan tambang Apabila terpuju janganlah merasa tersanjung Janganlah lupa kepada asal mula Hendaknya kita ingat akan dunia

(Bapak mandor Manim brewok Kalong Liar yang baik hati) (Ibu mandor Manim yang sangat disayang) (Bapak mador Manim brewok Kalong liar Kalijaya lagi) (Kak guru Maya putra Bintang Terang Telagasari) 66

Kita harus intropeksi kepada diri sendiri (Bapak Haji Sampir ketua Bintang Terang Telagasari) Di dunia ita mengembara (Bapak Haji Agus Uyan ketua Bulejaya Telagasari) Kita harus introspeksi kepada diri sendiri

Bapak Haji Sampir ketua Bintang Terang Telagasari) Di dunia kita mengembara (Bapak Haji Agus Uyan ketua Bulejaya Telagasari yang baik hati) (Kakak Aman orang yang dituakan oleh kelompok Bulejaya Pasibuah)

Ayun ambing lagi (Neng Ika Bulejaya Pasirbuah) Diayun-ayun dengan kain Diemban dengan selendang (Pak lurah Hasan daerah Cikampek) Diemban dengan selendang (Bapak mandor Eman Rambo Cikampek yang selalu mandiri silahkan bayar lagunya) Meski ayun (pak dalang Enus Pasirmalang) Diayun-ayun dengan kain (Kakek Raif yang baik hati) diemban dengan selendang (Wa Entang Cilentah) dengan selendang Dilempar-lempar dengan tambang (ayahnya Susi yang prihatin) Dilempar-lempar dengan tambang

Nelengnengkung nelengnegkung (Kak Ulis Bogel) Nelengnengkung (Jang Firman yang sangat simpati yang disayang) cepatlah tinggi Segeralah tahu pada jalan baik untuk memuliakan diri (ayahnya Uyat Pinayungan Teluk Jambe Karawang mengapa lupa pada saya) (ayahnya lurah Oca Manggungjaya) (Ibunya Dede Teluk Jambe yang disayang) (Silahkan bapak lurah Sarif Hidayat Sabadesa saya kangen) (Kak sigit Dereded Wadas yang baik hati diayun-ayun dengan kain diemban dengan selendang (Kak Anas Karangreja Pabayuran)

67

Kata-kata yang ada di dalam kurung adalah kata-kata tambahan yang digunakan untuk memanggil para penggemar seni pertunjukan Tari Jaipongan. Biasanya nama-nama yang dipanggil oleh sinden seolah-olah adalah suatu hal yang wajib untuk tampil ke depan sambil menari mengungkapkan gerakan- gerakan spontan. Kemudian para bajidor atau para tamu yang dipanggil memberikan uang kepada sinden-penyanyi yang memanggilnya ataupun pada sinden-penari lainnya. Ada yang diberikan melalui tangan atau juga disebarkan pada semua pendukung pertunjukan, misalnya para sinden, penggendang, penabuh bonang, saron, gong dan lain-lain. Jika di liat pada Syair lagu Ayun Ambing di atas, telihat pada bait kesatu, syair lagu hanya dikembangkan, sedangkan bait dua sama sekali diubah total dengan pengembangan utuh. Begitu juga pada bait-bait selanjutnya, keutuhan syair lagu pada umumnya hanya sepuluh hingga dua puluh persen. Sisanya adalah pengembangan kata-kata sesuai improvisasi sinden-penyanyi, yang terkadang syair utuhnya malah hilang sama sekali. Melihat syair yang asli dari lagu Ayun Ambing sebenarnya hanya terdiri dari empat bait, akan tetapi sisipan nama lebih banyak dan diutamakan. Tidak asing lagi apabila salah satu lagu menyita waktu sampai satu jam. Dari sini lah sinden mau maupun nayaga130 akan mendapatkan uang tambahan selain uang dari pengundang. Taktik lain dari tukang kendang untuk mendapat uang tambahan adalah menghadirkan tepakan kendang yang disebut dengan “gulileman”. Misalkan ketika bajidor sedang menari terkena tepakan gendang gulilem, maka bajidor tersebut wajib membayarnya, terutama bajidor yang paling terdekat dengan tukang kendang. Perlu diketahui juga, setiap kelompok bajidor mempunyai nama sebagai identitas kelompoknya, diantaranya Bulejaya, Baladewa, Rambo, Bintang Terang, Bangkong Bodas, Kumbang Liar, Culeos, Kalong Liar, Badak Liar, Ider Alam, Bingung Balik, Dered, Estu Mandiri, Simpati, Balebar, Habohjaya, Sabajaya, Sabadesa, dan lain sebagainya. Masing-masing dari kelompok tersebut

130 Nayaga adalah penabuh gamelan sebagai pendukung pertunjukan. Di daerah Karawang istilah nayaga dikenal juga dengan sebutan panjak. Lulu Luthfiani, Kamus Genggam Bahasa Sunda, (Yogyakarta, Frasa Lingua, 2017), h. 176. 68

berjumalah rata-rata antara dua sampai tujung orang. Dalam sebuah pertunjukan Tari Jaipongan, para bajidor yang datang tidak hanya dari daerah lingkungan setempat, melainkan beberapa bajidor yang datang dari luar kota, seperti dari daerah Subang, Purwakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Jakarta, Serang, Banten, Rangkas Bitung, dan Bogor. Terutama jika yang menyelenggarakan hajat adalah seorang bajidor terkenal atau seorang bajidor yang menjabat sebagai lurah, tidak diragukan lagi seni pertunjukan Tari Jaipongan ini menjadi sebuah arena yang meriah.131 Disini terlihat jelas sekali, betapa seni pertunjukan Tari Jaipongan ini tanpa kehadiran para bajidor, semaraknya panggung akan redup. Bisa dikatakan bahwa bajidor adalah sosok yang mempunyai kontribusi kuat terhadap seni pertunjukan Tari Jaipongan.

F. Penari Dalam penampilan seni pertunjukan Tari Jaipongan terdiri dari : a. Rampak sejenis (kelompok laki-laki atau perempuan). b. Rampak berpasangan (kelompok berpasangan laki-laki dan perempuan). c. Tunggal laki-laki dan tunggal perempuan. d. Berpasangan laki-laki/ perempuan.

G. Tata Rias Busana Sinden-Penari Jaipongan Busana yang digunakan dalam seni pertunjukan Tari Jaipongan tampak memancarkan warna baru, yang jauh berbeda dengan busana seni pertunjukan sebelumnya yaitu busana seni pertunjukan Ketuk Tilu. Busana Tari Jaipongan yang bahan utamanya diangkat dari busana masyarakat pahumaan, yaitu kabaya (kebaya) dan sinjang bagi wanita. Namun, para penari jarang menggunakan kain bercorak . Pada umumnya mereka lebih suka menggunakan busana kebaya warna-warna cerah yang dipadukan dengan kain polos tanpa motif dalam satu warna misalnya seperti warna kuning, merah, jingga, hijau dan biru. Kebaya yang di pakai oleh penari

131 Herdiani, Bajidor di Karawang: Kontinuitas dan Perubahan, h.90. 69

dibuat dari bahan brokat, sutera, organda, sivon, maupun silk sutra sintetis, dengan bentuk kebaya yang ketat. Model busana yang dikenakan para siden- penari maupun sinden-penyanyi Jaipongan ini merujuk pada penari Jaipongan asal kota Bandung yakni Tati Saleh.132 Adapun sinjang yang digunakan oleh sinden-penari maupun sinden- penyanyi adalah kain silk atau bahan-bahan polos yang agak tebal dengan tekstur yang mengkilat, dengan model kain yang pada bagian bawah dibuat seketat mungkin, seolah-olah membalut tubuh. Dengan bagian depan kainnya yang dibuat belahan tinggi dengan wiru agak banyak, sehingga jika ada gerakan-gerakan tertentu seperti melompat, mengangkat kaki, ataupun gerakan akrobat seperti tubuh melenting kebelakang, kain akan terbuka lebar menampakan sebagian betisnya atau celana kaos ketat yang dipakai sebagai lapisan dalam. Dengan model sinjang seperti ini sangat membantu ruang gerak penari untuk bergerak dengan seluas-luasnya. Para sinden-penari maupun sinden-penyanyi sangat menyukai busana yang dominan berwarna merah. Alasannya warna merah itu penuh gairah, indah, aktraktif, dan gesit. R. M. Soedarsono menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Djawa dan Dua Pusat Perkembangan Dramatari Tradisional di Indonesia, bahwa “warna merah memiliki sentuhan emosional tertentu serta memiliki arti simbolis, menarik, agresif dan aktif“.133 Tata rias setiap penari mempunyai cara khusus dalam mengenakan rias nya, agar terkesan seksi dan sensual. Antara lain pemakaian bedak, lipstick atau lips colour, dan rouge dengan ulasan tebal sehingga memberikan kesan yang menor seperti pada umumnya rias gaya tari rakyat. Tujuan rias dalam sebuah seni pertunjukan ialah untuk menunjukkan karakteristik wajah, agar keseluruhan bagian dari wajah menjadi „lebih nampak‟ jika dipandang dari sisi penonton yang gelap. Selain rias yang menor, kesannya yang paling spesifik pada dandanan sinden-penari Jaipongan, yaitu rambutnya yang selalu di sanggul dengan hiasan

132 Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h.291. 133 R. M. Soedarsono, Djawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan Dramatari Tradisional di Indonesia, (Djojakarta: Gadjah Mada University, 1975), h.5. 70

aksesoris di kepalanya. Sinden-penari bisanya membetuk sanggul berbagaya Ciwidey, sanggul dengan bentuk bulat berukuran besar (sanggul tampir atau sanggul tampah), bunga sanggul (tiruan melati dari kain atau plastik), seta „set jambul‟ berupa „sasak‟ pada bagian depan. Untuk tata rias dan busana pada penari pria beraneka ragam, ada yang bergaya jawara dengan kumis, ikat kepala, kampret, pangsi, ikat pinggang dari kulit yang besar, membawa golok dan memakai gelang bahar. Sedangkan para pangrawit tetap menggunakan pakaian tradisi Sunda.134 Tabel. 3.1. Pakaian Tari Jaipongan Oray Welang Pakaian Tari Jaipongan Oray Keterangan Welang Menurut Gugum Gumbira dalam video Indonesia Kaya “Jaipongan: Sejarah dan Gerak Dasar” Tari Jaipongan Oray Welang merupakan tarian dasar. Tarian ini merupakan komposisi tunggal yang dilahirkan pada tahun 1976. Pada pakaian yang digunakannya pun masih sangat sederhana tidak terlalu banyak kreasi. Sebagaimana budaya dari orang atau masyarakat Jawa Barat yang selalu memakai kebaya dan sinjang serta karembong. Pakaian pada Tari Jaipongan Oray Welang ini sangat sederhana sehingga memudahkan penari dapat bergerak bebas.

Makeup pada riasan wajah penari Jaipongan Oray Welang juga ala rias biasa, yang ditambah dengan alis dan lipsitck berwarna merah.

134 Ramlan, Jaipongan Gendre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda, h. 40.

71

Pada bagian kepala terdapat hiasan kepala seperti „siger atau mahkota‟, dan „untaian melati‟. Bentuk „siger‟ mengacu pada bentuk gunungan, namun ada persamaan pada makna siger dan gunungan yaitu bentuk meruncing keatas itu melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah Subhanahu Wataala. Siger juga berarti meletakankkan kearifan, kehormatan, dan sikap bijak sebagai hal pokok yang harus dijunjung tinggi. Pada dasarnya kedudukan siger dengan kedudukan Gelung Payas Agung pada masyarakat Bali sama, dimana keduanya memiliki nilai yang diagungkan dan mempunyai arti serta makna tinggi bagi kehidupan wanita. „Ronce melati‟ mempunyai nilai kesucian atau kemurnian. Ronce melati ini sama halnya dengan bunga kamboja yang digunakan oleh para wanita di Bali, yaitu sebagai lambang kecintaan wanita.

Rambut pada penari Jaipongan Oray Welang di gelung (federal), gelung pada Tari Jaipongan Oray Welang adalah gelung besar tidak seperti biasanya. Karena disini digunakan juga sebagai hiasan, kepantasan, kepatutan pada pakaian-pakaian busana tari. Gelung (sanggul) melambangkan keseimbangan. Lambang ini mengandung makna, bahwa kehidupan yang dijalani oleh manusia di dunia harus seimbang antara lahir dan batin.

Anting hanya sebagai pelengkap saja, agar tidak terkesan kosong. 72

Pakaian yang digunakan pada Tari Jaipongan Oray Welang adalah kebaya dan ditambah dengan motif hiasan bunga, „motif bunga‟ yang terdapat pada kebaya menggambarkan „wanita‟. Baju kebaya yang di gunakan pada pakaian Tari Jipongan Oray Welang ini mencerminkan dan melambangkan kepribadian seorang wanita yang anggun, cantik, serta menjungjung etika dan nilai tradisional budaya daerah.

Kemudian dilengkapi dengan „selendang‟, sebetulnya selendang mempunyai fungsi banyak yakni, selendang berfungsi sebagai hiasan, selendang sebagai kerudung, dan selendang untuk membawa sesuatu.

Bagian bawah menggunakan „sinjang atau kain batik‟ yang sudah membudaya baik di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan di Melayu. Sinjang atau kain ini adalah gambaran dari pada wanita-wanita yang memakai busana untuk menutupi auratnya.135 Ditambah dengan aksesoris yang sama dengan aksesoris yang terdapat pada kebaya yaitu ornamen bunga, begitu pula pada kain sinjang (bermotif lereng) yang di tambah ornamen lain. Pemberian ornamen bunga dimaksudkan agar lebih tampak sebagai pakaian yang digunakan untuk keperluan pertunjukan. Sehingga terkesan ada sinar-sinar tertentu, aksesori-aksesoris tertentu dan terkesan lebih artistik.

135 Volume 10 dari Indonesia Indah, BP3 Taman Mini Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita (Indonesia), Busana Tradisional, Yayasan Harapan Kita, 1998, h. 153. 73

Penari Jaipongan Oray Welang terlihat menari dengan bebas dengan mengenakan kebaya dan sinjang (pakaian Tari Oray Welang).

Tabel. 3.2 Pakaian Tari Jaipongan Rawayan

Pakaian Tari Jaipongan Keterangan Rawayan Rawayan merupakan tarian yang diciptakan oleh Gugum Gumbira pada tahun 1987. Tarian ini tergolong dalam jenis tari putri tunggal, namun seringkali disajikan secara kelompok atau rampak. Rawayan merupakan jembatan gantung yang terbuat dari kayu atau bambu, dan biasanya kalau diinjak akan bergoyang. Tari Jaipongan Rawayan adalah gambaran jembatan kehidupan, jembatan antara manusia dengan tuhannya. Kemudian, isi Tari Jaipongan Rawayan ini berkaitan erat juga dengan fenomena budaya Indonesia khususnya Jawa Barat, seperti tertuang dalam gambaran tariannya yang bermuara untuk menjembatani peralihan dari era tradisional ke era kreasi baru.136 Gugum Gumbira mengembangkan ide dengan terinspirasi di daerah suku Baduy dengan gerak Pencak Silat, Ketuk Tilu, dan gerak-gerak Jaipongan atau gerak yang menggambarkan kehati-hatian makna dari binatang singa seperti pada tarian Jaipongan Rawayan yaitu “lengkah maung”. Busana yang dikenakan pada Tari Jaipongan Rawayan dapat terlihat pada bentuk, penggunaan warna, bahan serta motifnya di buat dengan sedemikian rupa dengan memikirkan konsep dari tarian dan kenyamanan penari ketika sedang bergerak atau menari, karena busana disini untuk membantu penari menyampaikan tarian dan identitas Rawayan. Sehingga secara keseluruhan mampu mewakili pesan pada tari Rawayan, bahwa bentuk Jaipongan akan terus hidup menuju pada suatu yang bentuk tertentu sesuai dengan konsisi dan situasi zamannya, dengan hati-hati tanpa melupakan nilai tradisi. Busananya memakai baju kaos lengan panjang yang

136 Arthur S Nalan, Gugum Gumbira, dari cha cha ke Jaipongan, Sunan Ambu Press, h.19. 74

diluarnya memakai rompi, celana panjang ketat dari bahan yang elastis dan ditambah dengan sinjang dodot agak lebar.137 Busana pada Tari Rawayan adalah gradasi warna biru (biru muda dan biru tua), karena diambil dari daerah Baduy. Gradasi biru menggambarkan suatu keadaan tenang, dingin, tenang hati, tenang pikiran, tidak boleh ada rasa sirik dan jahil. Dalam busana Tari Jaipongan Rawayan ini sangat sederhana sekali. Rawayan adalah nama sebuah jembatan. Sehingga identik dengan warna biru yang melambangkan ketenangan dan kebersihan jiwa dalam mencari nilai-nilai yang baru. Pada busana Tari Jaipongan Rawayan ini merupakan penggambaran budaya etnik Baduy.138

Pada bagian kepala terdapat aksesoris yang dinamakan „kembang goyang‟ dan „ronce melati/mangle‟.

Ronce melati/mangle.

Kemudian pada bagaian baju terdapat gambaran kalung. Kalung tersebut hanya untuk menambah aksesoris pada baju saja agar terkesan tidak polos.

137Adji Dunstoniriana, Pencipta Tari Jaipongan: Gugum Gumbira, Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, www.budaya-indonesia.org. Di unduh pada tanggal 7 Agustus 2017, pukul 19.04. WIB. 138 Gugum Gumbira Tirasondjaja, Tari Jaipongan: Sejarah dan Gerak Dasar, Galeri Indonesia Kaya, YouTube, di akses pada tanggal 5 Agustus 2017, pukul 06.19.

75

Tata rias pada Tari Jaipongan Rawayan sangat disesuaikan dengan kebutuhan tarian dengan mempertegas garis-garis wajah sehingga terlihat lebih cantik. Pada bagain bibirnya diberi lipsitck berwarna merah.

Anting yang digunakan oleh penari Tari Jaipongan Rawayan senada dengan warna pakaian nya yaitu warna biru.

Pada bagian tangannya terdapat gelang-gelang.

Pada bagian pinggang terdapat „benten‟, „benten‟ disini sebagai sabuk atau sebagai aksesoris hiasan saja. karena pada jaman dahulu benten digunakan wanita-wanita kaya yang terbuat dari emas, namun benten yang terdapat pada busana Tari Rawayan ini benten biasa saja.

Pada bagian kain bawah berwarna lebih gelap dari pada bagain atas atau bagian baju yang lebih muda. Warna biru tua pada bagian kain bawah melambangkan kebeningan, kebersihan jiwa, serta kebersihan hati. Sebagaimana langit ketika sedang bersih (awannya bersih) maka tampak biru kelihatannya.

76

Tabel. 3.3 Pakaian Tari Jaipongan Gagak Koncar

Pakaian Tari Jaipongan Gagak Koncar adalah kreasi yang sudah cukup jauh dari pakaian Jaipongan lainnya. Gagak merupakan burung gagak. Sedangkan koncar yang artinya bebas. Pada pakaian Tari Jaipongan Gagak Koncar ini sama seperti pada pakaian Tari Jaipongan Rawayan yang di gradasi.139

Pada bagian kepala terdapat „siger‟, yang merupakan gambaran bahwa aksesoris ini untuk melihat bahwa di kepala burung adalah seperti itu. „Siger‟ menggambarkan bahwa pikiran itu harus baik, dan bersinar.

Kemudian pada bagian kening terdapat „aksesoris berwarna biru menyerupai berlian‟ yang menggabarkan bahwa manusia harus brilian artinya harus pandai, harus cerdik, harus berfikiran jernih, tidak boleh berfikiran jelek.

Dibagian dada terdapat „Kace‟ yang melambangkan keteguhan. Garis-garis pada bagian „Kace‟ ini melihatkan lurus dan teguh.

139 Gugum Gumbira Tirasondjaja, Tari Jaipongan: Sejarah dan Gerak Dasar, Galeri Indonesia Kaya, YouTube, di akses pada tanggal 5 Agustus 2017, pukul 06.19.

77

„Benten‟ gunanya untuk menambah aksesoris keindahan saja.

„Anting‟ yang menyerupai berlian berwana biru (bersinar) menggabarkan bahwa pendengaran nya pun harus jelas.

Pada bagian tangan terdapat aksesoris yang menyerupai gambaran sayap.

„Kain penutup‟ berfungsi agar aurat tertutup rapih.

Hiasan pada kaki terdapat rumbe-rumbe kuning emas, yang menyerupai kaki burung gagak.

78

H. Musik Pengiring Alat musik dalam seni pertunjukan Tari Jaipongan terdiri dari seperangkat gamelan lengkap yakni bonang, saron I dan saron II, demung, peking, rincik, gong, kempul atau goong kecil, kendang, rebab, ditambah dengan kecrek. Mulanya laras yang digunakan ialah salendro, namun pada perkembangan lebih lanjut, terutama para kreator Jaipongan setelah era Gugum Gumbira, ada yang menggunakan gamelan berlaras pelog. Jika dicermati dengan seksama terdapat beberapa ciri yang membedakan antara menabuh pada gamelan Jaipongan dengan menabuh ngamelan untuk tari lainnya, yakni terletak pada tabuhan tiga waditra yang terdapat pada perangkat gamelannya, seperti: kendang, bonang, dan kempul. Menurut Suwanda dan Dali motif-motif tepak kendang seni pertunjukan Jaipongan terinspirasi oleh idiom- idiom kesenian yang sudah ada sebelumnya, seperti Kliningan, Ketuk Tilu, Topeng Banjet, dan Pencak Silat.140 3.4. Tabel Musik Pengiring Pertunjukan Tari Jaipongan Alat Musik Jaipongan Keterangan/ Perbedaan alat musik

(Kendang Jaipongan) (Kendang Penca Silat)

Keterangan:

Kendang Jaipongan merupakan kendang Sunda yang digunaan untuk mengiringi tarian Jaipongan. Kendang Jaipongan terdiri dari tiga buah, diantaranya adalah satu buah kendang indung dan dua buah kendang kulanter. Kendang indung diletakan dengan posisi miring dengan menggunakan sebuah jangka kendang. Sedangkan kendang kulanter di letakkan dengan posisi berdiri dan ditidurkan di lantai. Kendang Jaipongan ini dimaikan dengan cara di tepak menggunkan dua telapak tangan, dan di bantu dengan tekanan tumit untuk membantu membunyikan kendang. Selain

140 Ramlan, Jaipongan Gendre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda, h.52. 79

itu, juga terdapat tali pengikat yang dilingkarkan ke ibu jari untuk membantu membunyikan kendang. Kendang Jaipongan ini bisa juga digunakan untuk kendang Wayang Golek.141 Terdapat beberapa perbedaan pada kendang Jaipongan dengan kendang lainnya. Perbedaan tersebut diantaranya adalah:  Dalam hal pelarasan  Ukuran  Teknik  Ragam tepak  Bahan  Nama-nama sumber bunyi  Posisi peletakan

Dalam terwujudnya Tari Jaipongan sangat dipengaruhi oleh iringan musik atau karawitan, terutama dengan iringan „kendang‟. Musikalitas dalam seni pertunjukan Tari Jaipongan didominasi oleh tepakan kendang yang sangat berperan dalam menghidupkan Tari Jaipongan. Dalam hal ini kendang adalah penentu dalam mewujudkan dinamika suatu Tari Jaipongan. Musik atau karawitan memberi peluang untuk pengambangan gerak dan terwujudnya gerakan serta terwujudnya gerakan yang tidak selamanya pararel dengan iringannya. Misalnya, pada gerakan mincid, irama kendang cepat tetapi pelaksanaan irama gerak mincid lambat. Kontras seperti ini digunakan untuk variasi dalam irama dan agar gerakan tidak terkesan monoton.

Saron/ Rincik Saron atau disebut juga dengan rincik adalah salah instrumen gamelan yang termasuk keluarga . Alat musik yang dipukul berbilah, yang terdiri dari 7 atau 14 bilah yang terbuat dari logam besi, kuningan, dan perunggu. Cara memainkannya yaitu dengan cara dipukul dengan alat bantu pemukul (panakol). Saron termasuk alat musik yang bersuara nyari dan keras.

Gong Gong yang sering disebut Goong oleh masyarakat Sunda adalah salah satu alat musik yang terdapat dalam seperangkat gamelan. Alat musik ini terbuat dari logam besi, kuningan, dan perunggu. Bentuknya bundar besar, dengan pencu atau benjolan bulat di tengahnya. Biasanya Gong digantung denga tali pada sebuah bingkai penopang yang biasa disebut rancak. Gong mempunyai ciri khas tersendiri. Alat musik ini memiliki suara khas yang menggelegar. Goong dimainkan dengan cara dipukul menggunakan pemukul dalam

141 Asep Saepudin, Metode Tepak Kendang Jaipongan, (Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2015), h.31. 80

hitungan tertentu mengikuti irama musik yang dimainkan.142

Kempul Kempul adalah salah satu perangkat gamelan yang ditabuh, biasanya digantung menjadi satu perangkat dengan Gong. Kempul termasuk bagian dari kelompok instrumen keras dari gamelan. Bunyi kempul atau goong kecil menjadi salah satu yang dominan dalam seni pertunjukan Tari Jaipongan, sama hal nya dengan bonang maupun tabuhan kendang. Menurut Supardi dalam artikel yang di tulis oleh Ramlan mengatakan bahwa Permainan kempul dalam seni pertunjukan seni Tari Jaipongan selain sebagai irama yang dimainkan, juga berfungsi sebagai aksen dari ritme tabuhan kendang. Artinya, bunyi atau tabuhan kempul dalam pertunjukan Tari Jaipongan berbeda sekali dengan tabuhan-tabuhan dalam seni pertunjukan lainnya.143

Ketuk Ketuk adalah alat musik trasional yang hampir sama dengan bonang. Ketuk dimainkan dengan cara diketuk dan menghasilkan suara yang nyaring sebagai suara tekanan dalam sebuah musik pengiring pertunjukan Tari Jaipongan.

Rebab Rebab adalah alat musik sebagai pelengkap dalam menyajikan sebuah lagu pengiring Tari Jaipongan. Rebab hampir mirip dengan alat musik gitar yang memiliki senar. Alat musik ini dimainkan dengan cara digesek dan mempunyai tiga atau dua utas tali dari dawai logam (tembaga). Badannya menggunakan kayu nangka dan berongga, serta di tutup dengan kulit lembut yang dikeringkan sebagai pengeras suara.144

142 Rosyadi, Menelusuri Asal Usul dan Perkembangan Kesenian Jaipongan, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung, Patrawidya, Vol. 17, No.2 Agustus 2016, h.6 143 Ramlan, Jaipongan Gendre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda, h. 52. 144 Ibid. 81

Bonang

Bonang adalah salah satu waditra yang terdapat pada seperangkat gamelan, baik yang berlaras salendro maupun laras pelog. Bonang terbuat dari bahan logam besi, kuningan, dan perunggu. Cara memainkannya adalah dengan cara dipukul menggunaka pemukul yang biasa disebut dengan panakol terbuat dari kayu yang dililit benang-benang.

Kecrek

Alat musik kecrek bermula di gunakan pada seni pertunjukan Wayang. Namun kecrek juga digunakan pada pementasan pertunjukan Tari Jaipongan.

H. Struktur Gerakan Tari Jaipongan Dalam Tari Jaipongan terdapat beberapa struktur gerakan yang disajikan, di antaranya adalah sebagai berikut: a. Gerak Bukaan adalah gerakan pembuka dalam Tari Jaipongan. Pada gerak bukaan biasanya penari melakukan jalan berputar disertai dengan memainkan selendang atau sampur yang dipakai pada leher penari.145 b. Gerak Pecugan merupakan bagian dari gerakan-gerakan. Gerak Pecugan juga bagian gerak dari berbagai ragam gerak cepat dalam Tari Jaipongan. Pada gerakan pecugan ini didukung dengan tempo lagu ataupun musik yang bertempo cepat juga. c. Ngala yaitu titik atau pemberhentian dari rangkaian tarian. d. Gerak Mincid merupakan perpindahan dari peralihan setelah ngala.146

145 Herdiani, Bajidoran di Karawang: Kontinuitas dan perubahan, h.106. 146 Herdiani, Bajidoran di Karawang: Kontinuitas dan perubahan, h.106 82

I. Nilai-Nilai Kesenian Tari Jaipongan Sebagai Media Untuk Masyarakat 1. Peran Kesenian Tari Jaipongan Sebagai Media Sosial. Peran tari bagi masyarakat pemiliknya sangat besar. Peran dalam pengertian yang lebih luas berarti fungsi dan guna. Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu tarian selalu berhubungan dengan fungsi dan guna. Misalkan pada masyarakat Bali, hampir tidak terlewatkan selalu menggunakan tari dalam upacara keagamaan, sosial, dan bahkan pariwisata. Masyarakat keraton Kasunanan dan Kasultanan Yogyakarta, bahkan menanggap beberapa tarian sebagai sesuatu yang sakral dan bertuah. Misalnya, Tari Ketawang dan Tari yang berfungsi sebagai tarian permohonan keselamatan dan penolak bala. Tari tradisional dibangun dalam rentang waktu yang cukup panjang bisa mencapai hitungan abad. Dengan begitu dapat dimengerti bila tari tradisional sangat berguna bagi kepentingan sosial atau ritual masyarakat pemiliknya. Upacara yang sering menggunakan tari untuk mendukung kepentingan sosial, antara lain: pembukaan gedung, resepsi pernikahan, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, menyambut tamu agung negara sahabat, kedatangan pejabat penting dan kampanye. Di Jawa Barat, seni pertunjukan Tari Jaipongan adalah tarian yang sering di gunakan untuk kepentingan sosial tersebut.147 Fungsi Sosial yang paling terlihat dalam Seni pertunjukan Tari Jaipongan ini adalah para bajidor siap membantu memberikan modal kepada masyarakat yang akan melaksanakan pesta hajatan dengan cara pinjaman. Secara suka rela (bajidor) memberikan uang kepada sinden, yang sangat berarti bagi para sinden. Nilai sosial yang terkandung dalam seni pertunjukan Tari Jaipongan ini juga terlihat ketika sebagain uang hasil lelang lagu pada umumnya disumbangkan melalui pejabat pemerintah untuk keperluan mesjid. Selain itu, peran bajidor juga dapat dianggap sebagai penyangga utama dalam menentukan hidup dan matinya kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang. Seperti yang di ungkapkan beberapa bajidor kondang seperti H. Sampir, H. Tb. Hasan Sohib, H. Tb. Halimi, dan H. Sapin Amin dalam bukunya

147 Sigit Astono, Apresiasi Seni, Perpustakaan Nasional RI Katalog Dalam Terbitan (KDT). h.6. 83

Een Herdiani menyatakan “bahwa dirinya bersedia menyumbang rizki yang didapatkannya untuk ikut memelihara kelangsungan hidup bagi kesenian daerahnya sendiri”. Seni pertunjukan Tari Jaipongan ini merupakan tempat ajang silahturahmi, yaitu tempat bertemunya para bajidoran dalam arena pertunjukan Jaipongan dapat dijadikan ajang silahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan dan persahabatan di antara para bajidor.

2. Peran Kesenian Tari Jaipongan Sebagai Media Hiburan. Seni, dalam kehidupan sehari-hari, dapat dipandang sebagai bagian yang integral dengan kehidupan masyarakat. Kekuatan yang terkandung di dalam seni dapat membendung dan mengalahkan dunia kehidupan yang serba materialistis, karena isi seni mengandung nilai-nilai budaya luhur, seperti menginterpretasikan kasih sayang, persaudaraan, cinta, dan lain sebagainya. Seni dapat menghalau rasa risau, meringankan rasa duka, melepas rasa lemas, menyegarkan kehidupan yang hambar, juga dapat mengendurkan ketegangan dari kegiatan sehari-hari yang melelahkan. Dengan demikian kehadiran seni dalam masyarakat selalu dibutuhkan kapan dan di mana pun manusia berada.148

Seni dibutuhkan masyarakat karena mempunyai fungsi, dan fungsi seni bermacam-macam. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan fungsi seni di dalam kelompok masyarakat yang berbeda. Dinamika kehidupan masyarakat yang terus bergulir akan berpengaruh pada seni, terutama akan mengakibatkan berubahnya fungsi dan bentuk seni itu sendiri, sebuah bentuk seni biasanya mencerminkan pranata masyarakat tempat seni itu berada. Pada hakekatnya, kesenian menjadi lambang identitas kelompok yang memilikinya. Seni pertunjukan Tari Jaipongan dalam masyarakat berfungsi sebagai hiburan pribadi. Menyenangkan dan menghibur orang adalah tugas yang harus diemban oleh pemain seni pertunjukan Tari Jaipongan. Sinden dijadikan sebagai andalan utama untuk dapat menyenangkan dan menghibur para kebutuhan tersebut. Oleh karena itu grup-grup Jaipongan selalu berusaha menampilkan wanita-wanita cantik agar para bajidor dan penonton dapat terhibur. Melihat wanita cantik, adalah sesuatu yang menyenangkan. Kemungkinan yang merasa

148 Dloyana Kusumah.S, Ronggeng Gunung: Sebuah Kesenian Rakyat di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Kebudayaan, 1982, h. 13. 84

senang tidak hanya laki-laki, tetapi wanita pun akan tertarik dan senang jika melihat penampilan wanita yang cantik. Sebagai pertunjukan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hiburan pribadi, ternyata seni pertunjukan Tari Jaipongan dapat memberikan kepuasan kepada penikmatnya khususnya pribadi bajidor. Bajidor merasa puas dan terhibur melihat pemandangan wanita-wanita cantik di hadapan nya juga karena dapat bertemu dengan sinden idolanya, bisa melihat lemah gemulai tarian sinden- penarinya, bisa menikmati merdunya suara sinden, dan bisa memberikan uang kepada sinden. Pada bajidor merasa puas karena dalam arena tersebut dirinya merasa dihargai dan dibutuhkan. Satu hal yang paling menarik dalam seni pertunjukan Tari Jaipongan yang patut untuk diketengahkan adalah ciri khas tiga G yakni (goyang, geol, gitek). Daya tarik Jaipongan terletak pada goyang pinggul si penari serta permainan gendangnya yang sangat dinamis yang berasal dari teknik permainan gendang pencak silat. Kebanyakan para penikmat seni pertunjukan Tari Jaipongan adalah kaum laki-laki khususnya kaum pemuda laki-laki. Bahkan pada tahun 1990-an muncul bajidor-bajidor dari kalangan wanita.149

3. Peran Kesenian Tari Jaipongan Sebagai Media Ritual. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II, di wilayah Kabupaten Karawang, seni pertunjukan Tari Jaipongan seolah-olah telah menjadi milik masyarakatnya dan mempunyai arti yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Masa panen bagi masyarakat Kabupaten Karawang bisa dikatakan sebagai masa-masa kegembiraan, yang dapat dilihat dari berbagai kegiatan yang diekspresikannya mulai dari melakasanakan perkawinan baru atau pun melaksankan perkawinan ulang dengan pasangan yang telah di idam-idamkan, hingga menanggap seni pertunjukan Tari Jaipongan pada hajatan keluarga. Seni pertunjukan Tari Jaipongan yang telah menjadi milik masyarakatnya sendiri, adanya dorongan dari masyarakat untuk berpartisipasi atau hanya sekedar menonton pertunjukan Tari Jaipongan saja, bahkan sebagai pernyataan ritual

149 Herdiani, Bajidoran di Karawang: Kontinuitas dan perubahan, h.142. 85

dalam sebuah acara hajatan. Pernyataan ritual yang dimasud disini adalah seni pertunjukan Tari Jaipongan adalah jenis kesenian yang membawa berkah oleh masyarakat Kabupaten Karawang. Dengan itu maka, untuk menyelenggarakan hajatan dan menanggap seni pertunjukan Tari Jaipongan, dibutuhkan perhitungan waktu (tanggal, hari, bulan, dan tahun), sinden terpilih grup terpilih, hingga berbagai sasajen dan upacara harus dilaksanakan sebagaimana ketentuan yang berlaku.150 Begitu juga dalam segi teknis seni pertunjukan Tari Jaipongan, sebelum penyajian tari akan dimulai, ada beberapa ketentuan yang pantang untuk dilanggar. Di antaranya adalah wajib untuk melantunkan lagu Kembang Gadung, Kidung, dan Tepang Sono. Misalkan pada perayaan khitanan, anak yang dikhitan (sunat) digendong oleh sinden ke depan panggung dengan iringan lagu Ayun Ambing. Pada bagian ini tamu yang hadir dipanggil oleh sinden tersebut, diharuskan memberikan uang (nyecep) sebagai tandan suka cita. Kondisi yang di alami seni pertunjukan Tari Jaipongan, sama hal nya dengan seni pertunjukan Tayub di daerah Jawa Tengah, bahwa ciri-ciri ritual Tayub yaitu: (1) waktu penyelenggaraan terpilih; (2) dilakukan di tempat terpilih; (3) pengibing pertama bersama tledek terpilih; (4) tledek yang tampil harus terpilih; dan (5) diperlukan pula berbagai sesaji. R.M Soedarsono berperdapat dalam bukunya yang berjudul “Tayub di Akhir Abad ke-20”, bahwa secara garis besar fungsi primer seni pertunjukan dalam kehidupan manusia bisa dikelompokan menjadi tiga: (1) sebagai sarana upacara, (2) sebagai sarana hiburan, (3) sebagai tontonan. 151 Namun demikian sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, secara nyata seni pertunjukan Tari Jaipongan mempunyai fungsi kedua yakni sebagai sarana hiburan, tetapi memiliki fungsi sebagai sarana ritual dan tontonan bahkan berkembang menjadi ajang prestise. Sebenarnya pada awal kemunculan seni pertunjukan Tari Jaipongan yaitu sekitar awal tahun 70-an, untuk menanggap seni pertunjukan Tari Jaipongan ini

150 Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h.304. 151 Soedarsono, Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita, (Yogyakarta: BP.ISI, 1991), h.41. 86

sama sekali tidak membayar. Para penanggap hanya menyediakan panggung sebagai tempat pertunjukan saja, untuk kemudian mereka akan menerima uang bayaran dari para penonton berupa jaban atau sawer. Para penanggap selain menyediakan panggung hanya menyediakan makanan, baik pada waktu pertunjukan, atau pun bekal untuk dibawa pulang berupa berkat152 yang ditempat kan pada boboko153. Namun, seiring berkembangnya waktu, seni pertunjukan Tari Jaipongan berkembang juga fungsi serta kebutuhan pertunjukan yang kaitannya begitu erat dengan mulai banyaknya bermunculan grup-grup Jaipongan. Seni pertunjukan Tari Jaipongan ini kemudian berkembang dari seni kalangenan yang kemudian „diritualkan‟, dan kini seni pertunjukan Tari Jaipongan ini menjadi seni yang multifungsi, yaitu sebagai pertunjukan, hiburan atau kalangenan, serta ajang komoditi atau mata pencaharian.

152 Endang Caturwati, dalam acara Bruk Brak Jaipong Antara Pro dan Kontra, TVRI Jawa Barat, di lihat pada tanggal 6 Agustus 2017, pukul 15.31. 153 Boboko adalah tempat nasi yang terbuat dari ayaman bambu. Lulu Luthfiani, Kamus Genggam Bahasa Sunda, (Yogyakarta, Frasa Lingua, 2017). h.17. BAB IV SENI TARI JAIPONGAN DI KABUPATEN KARAWANG

A. Daya Tarik Masyarakat Kabupaten Karawang Terhadap Kesenian Tari Jaipongan Setelah tepak kendang Jaipongan karya Suwanda di rekam dalam bentuk kaset, tepak kendang Jaipongan tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa Barat terutama pada pola Daun Pulus Keser Bojong. Tepak kendang Jaipongan Suwanda di dalam kaset dijadikan sarana belajar bagi pada seniman, baik seniman tari maupun karawitan di berbagai daerah, di Jawa Barat dan sekitarnya. Begitupun dengan tarian Jaipongan karya Gugum Gumbira, yang diselaraskan dengan pola tepakan kendang yang diciptakan Suwanda. Pada tahun 1980-an masyarakat Jawa Barat termasuk Kabupaten Karawang tergila-gila dengan seni Tari Jaipongan. Kepopuleran seni pertunjukan Tari Jaipongan membuat semakin menarik para remaja putri belajar Tari Jaipongan, para penggarawit belajar gending Jaipongan, para penggendang belajar kendang Jaipongan, perangkat diganti laras menjadi laras salendro untuk mengiringi Tari Jaipongan. Pertunjukan Tari Jaipongan semarak disetiap daerah. Seniman-senimanwati banyak yang mendirikan sanggar Tari Jaipongan, sehingga melahirkan seniman/senimanwati baru.154 Bahkan, beberapa jenis kesenian sebagai sumber pencipta tepak kendang Jaipongan menjadi terpengaruh oleh tepak kendang Jaipongan. Tepak kendang Jaipongan masuk dalam kesenian Kliningan, Bajidoran, Serta Wayang Golek. Kehidupan seni pertunjukan Jawa Barat menjadi hidup, semarak dengan hadirnya seni pertunjukan Tari Jaipongan yang awalnya termasuk kategori seni pertunjukan rakyat, bergeser menjadi pertunjukan yang sangat populer karena digemari oleh masyarakat, baik di kota maupun di desa.155

154 Caturwati, Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung, h.15. 155 Asep Saepudin, Metode Tepak Kendang Jaipongan, (Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2015), h.199.

87 88

Tidak sedikit pula perempuan muda dari golongan bawah (buruh) tertarik ikut terjun di dalamnya walaupun bermodal minim. Karena masyarakat Kabupaten Karawang beranggapan bahwa seni pertunjukan Tari Jaipongan adalah lahan yang subur untuk mencari keuntungan. Pergeseran Jaipongan menjadi pertunjukan yang begitu populer karena keberadaannya didukung oleh masyarakat setempat.156

B. Upaya Melestarikan Budaya Tradisional Seni Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang 1. Latar Belakang Berdirinya Sanggar Suwanda Group (SSG) Sanggar Suwanda Group (SSG) merupakan salah satu sanggar seni yang berada di Kabupaten Karawang yang masih aktif melestarikan kesenian Sunda. SSG adalah salah satu sanggar yang bergerak di bidang kesenian tradisional di antaranya seni vokal, karawitan, dan tari. Sanggar Suwanda Group berlokasi di Krajan, RT.06, RW.05, No.24, Desa Tanjungmekar, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Lokasi SSG terletak di tengah-tengah perkampungan yang masyarakatnya sebagian bermata pencaharian wiraswasta, petani, dan buruh. Hanya sebagian kecil yang bermata pencaharian Pegawai Negeri Sipil (PNS). SSG berdiri pada tahun 1976, awal berdirinya SSG dipelopori oleh seseorang yang bernama Suwanda, ia menyukai seni dan berkeinginan untuk berkecimpung di dunia seni dengan tujuan melestarikan dan memperjuangkan eksistensi seni budaya yang tidak menghilangkan karakteristik keaslian seni budaya lokal, Suwanda juga mengajarkan keahliannya dalam bidang gendang dan tari kepada anak-anak yang bertempat tinggal di sekitar SSG.157 Selain itu alasan Suwanda ingin mendirikan sebuah sanggar karena melihat keadaan di sekitar Desa Tanjungmekar, Kabupaten Karawang adalah lingkungan pesantren dan tidak ditemukan satu pun sanggar seni saat itu. Sekitar tahun 1970-

156 Een Herdiani, Bajidor di Karawang: Kontinuitas dan Perubahan, (Jakarta: Hasta Wahana, 2003), h.70. 157 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

89

an, generasi muda khususnya remaja di desa Tanjungmekar hanya sedikit yang mengetahui kebudayaannya sendiri, bahkan kurang memiliki kesadaran untuk mengembangkan kesenian daerah. Hal itu merupakan suatu yang memprihatinkan bagi Suwanda, sehingga membuat Suwanda termotivasi untuk membuka sebuah pelatihan kesenian agar masyarakat di sekitar rumahnya lebih mengenal kesenian tradisi khususnya Tari Jaipongan. Setelah mendiskusikan hal tersebut akhirnya Suwanda mendapatkan dukungan dari istrinya, Mimin serta keluarga, untuk mewujudkan keinginanya membuka sebuah sanggar seni. Atas dukungan istri, keluarga serta teman-temannya kemudian mereka sepakat untuk mendirikan sanggar bersama yang di berinama nama „Sanggar Suwanda Group‟. Nama “Sanggar Suwanda Group”di ambil dari nama Suwanda sendiri selaku pemilik atau pimpinan SSG. Pada tahun 1976, SSG merupakan satu-satunya sanggar yang mengadakan pembelajaran Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang.158 Pada awalnya, siswa SSG adalah anak-anak disekitaran sanggar saja. Hal ini memotivasi SSG untuk melakukan sosialisai ke masyarakat umum agar mengetahui keberadaan SSG. Dalam upaya sosialisasinya, SSG melakukan kerja sama dengan lembaga formal yaitu salah satu Sekolah Dasar yang ada di Kabupaten Karawang, dan Sanggar Suwanda Group memperkenalkan kesenian-kesenian yang ada di tanah Sunda serta mengajak murid-murid untuk menjaga bahkan melestarikan kesenian tradisonal. Dari sosialisasi ini maka timbul ketertarikan murid-murid salah satu Sekolah Dasar di Kabupaten Karawang untuk mulai mempelajari kesenian tradisional khususnya seni tari sehingga peserta didik SSG didominasi oleh murid- murid yang berasal dari salah satu Sekolah Dasar Kabupaten Karawang. Lewat informasi dari mulut-kemulut, ternyata keberadaan pelatihan tari di SSG mulai tersebar ke daerah luar desa Tanjung Mekar bahkan hingga luar Kabupaten Karawang. SSG selain mengadakan pelatihan Tari Jaipongan, juga mengadakan pembelajaran lain seperti Rampak Gendang, Lawakan, Degung, Topeng Banjet,

158 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 90

Pencak Silat, dan Olah Vokal. Materi pembelajaran seni tari tradisional tersebut diberikan oleh Suwanda dan dibantu oleh Mimin (istrinya) serta ketiga saudara kandungnya (Reni, Sawisit, dan Kurniadi). Pada tahun 1998, Suwanda menambahkan pelatih Tari Jaipongan yang berasal dari lulusan Akademi Seni Tari Indonesia atau saat ini telah berganti nama menjadi (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) pelatih tersebut bernama Laela Dewi Kania.159 Sejak dibukanya SSG di Desa Krajan, masyarakat di sekitar SSG mulai berdatangan untuk sekedar melihat proses pembelajaran saja ataupun ikut berlatih Tari Jaipongan dan kesenian tradisi lainnya. Hadirnya SSG menjadi sejarah bagi lahirnya seniman-seniman Tari Jaipongan baru dan bahkan seniman karawitan baru. Di SSG banyak seniman-seniman Jaipongan lahir, yang kemudian memperkenalkannya kepada masyarakat luas sebagai upaya memperkokoh esksistensi, sekaligus sebuah bentuk promosi kesenian asal daerah Karawang, Jawa Barat. Sehingga Kabupaten Karawang, melekat di telinga masyarakat Jawa Barat, dan umumnya Indonesia, identik dengan istilah „Goyang Karawang‟ atau kesenian khasnya yakni seni pertunjukan Tari Jaipongan. SSG dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang yaitu melalui pementasan tari di berbagai acara di Kabupaten Karawang, SSG pada awal tahun 1976 untuk pertama kalinya memperkenalkan hasil karya ciptaan yaitu Jaipongan.160 Berkat jasa dan perjuangan Suwanda berserta keluarganya, SSG hingga kini masih eksis dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan dengan adanya proses pembelajaran Tari Jaipongan. Sanggar ini mempunyai visi yakni membentuk manusia yang cerdas, kreatif, dan bertanggung jawab dengan berwawaskan seni budaya sebagai cerminan kepribadian bangsa dan melestarikan seni budaya sebagai wujud kepedulian terhadap perkembangan budaya tradisional yang bernilai luhur.

159 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 160 Berita Karawang: http:/www.beritakarawang.com, diakses pada tanggal 20 Desember 2016, pukul 15.37. 91

Misi SSG adalah mengembangkan seni tari sebagai suatu yang bermanfaat bagi pembentukan kepribadian dan menuju masa depan yang lebih baik, meraih suatu prestasi yang mampu mengangkat nilai suatu bangsa melalui seni tari.161

C. Biografi Pendiri Sanggar Suwanda Group (SSG) 1. Latar Belakang Keluarga Suwanda Suwanda adalah pendiri Sanggar Suwanda Group (SSG), sekaligus seorang seniman penggendang Jaipongan di Desa Tanjungpura, Karawang. Suwanda lahir pada tanggal 3 Maret 1950, di Citopeng, Desa Bolang, Kecamatan Batu Jaya Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Suwanda merupakan anak kedua dari lima bersaudara, ayahnya bernama Reman dan Ibu nya bernama Kinah. Kinah merupakan seniman Lenong, sedangkan Reman merupakan seniman Topeng Banjet di Karawang, dan tergolong seniman yang serba bisa dalam memainkan berbagai waditra seperti kendang, gamelan, rebab, main Topeng maupun vokal. Salah satu kelebihan dari Reman adalah kepiawaiannya dalam memainkan alat musik kendang. Jika dilihat dari silsilah keturunan, keluarga Suwanda adalah keluarga seniman yang mewariskan kesenian tradisi secara turun temurun yaitu kesenian Topeng Banjet. Reman dan Kinah mewariskan darah seni nya kepada anak- anaknya termasuk Suwanda. Sehingga Suwanda termasuk seniman penggendang yang berbakat dalam berkesenian. Pewarisan bakat berkeseniannya dapat diurutkan mulai dari buyut162 nya Suwanda yaitu Abah Nasipah yang mewariskan kesenian Topeng Banjet ke Abah Empong (Kakek Sarim), dari Abah Empong mewariskannya kepada Abah Reman (ayah Suwanda), kemudian dari Reman ke Suwanda. Suwanda adalah pewarisan terakhir yang diwarisi dari pada leluhur. Satu keluarga itu, telah melahirkan seniman yang semuanya berhasil. “Saking tenarnya Abah Reman, yang tadinya ngitung dagangan dengan seribu, dua ribu,

161 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 162 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

92

jadi banyak pedagang yang menghitung dagangannya dengan sareman, dua reman dan seterusnya”.163 Dari hasil perkawinan Reman dan Kinah ia dikaruniai lima orang anak, terdiri dari satu orang perempuan dan empat orang laki-laki. Kelima anaknya adalah Reni (perempuan) sebagai anak pertama, Suwanda (laki-laki) anak kedua, Sawisit (laki-laki) anak ke tiga, Suwandi (laki-laki) anak ke empat, dan Kurniadi (laki-laki) anak ke lima. Hampir semua anaknya termasuk Suwanda berprofesi sebagai seniman, masing-masing dari mereka mahir dalam menunjukan kepiawaiannya dalam mementaskan seni Tari Jaipongan, Topeng Banjet, Pencak Silat, dan Lenong. Mereka juga yang membantu Suwanda dalam mengelola Sanggar Suwanda Group (SSG). Hanya Sawisit lah anak ketiga Reman yang bukan merupakan seorang seniman. Untuk lebih jelasnya mengenai silsilah keluarga Suwanda serta profesinya dapat dilihat pada diagram di bawah ini: Diagram 4.1: Silsilah Keluarga Suwanda dan Profesinya

Buyut : Abah Nasipah Pimpinan Topeng Banjet Kakek: Abah Empong > < Nenek Jibong Pimpinan Topeng Banjet Ayah: Abah Reman > < ema Kinah Pimpinan Topeng Banjet Suwanda > < Mimin Pimpinan grup Jaipongan

Reman >< Kinah

Suwandi Renik Suwanda (Seniman: Sawisit Kurniadi (Seniman: Penggendang/ Pimpinan (Seniman: (Seniman: (Tidak ke Pemain Sinden Sanggar Suwanda seni). Pemain Penari). Group). Gamelan). Gamelan). Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

Bakat seni yang dimiliki oleh Suwanda sudah terlihat sejak ia masih kecil. Pada masa kecilnya, Suwanda sudah pandai meniru berbagai perilaku nabeuh atau nabuh alat musik gamelan terutama alat musik kendang yang di lakukaan orang

163 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

93

tuannya. Bakat seni yang dimiliki Suwanda, menjadikan Suwanda mampu mengelola ide-ide kreatifnya dengan menciptakan tepak kendang Jaipongan pada masa-masa berikutnya setelah menginjak dewasa. 164 Keterampilan Suwanda dalam memainkan alat musik kendang ia pelajari langsung dari Reman, serta dari hasil apresiasi Suwanda terhadap para penggendang dalam kesenian Topeng Banjet di Kabupaten Karawang, untuk menambah keterampilannya dalam berkesenian. Grup Topeng Banjet yang Suwanda datangi di antaranya adalah Topeng Banjet Wadas, Topeng Banjet Baskom, Topeng Banjet Ali Saban dan terakhir Suwanda memasuki . Suwanda bergabung dengan Grup Topeng Banjet Ali Saban pada tahun 1970- 1975. Di tahun 1976, Suwanda mendirikan grup Jaipongan sendiri yang diberinama “Suwanda Group”, dan langsung mendapat tempat di hati masyarakat. Suwanda berasal dari keluarga yang sederhana, keluarga Suwanda merupakan pimpinan kesenian Topeng Banjet yang sehari-hari nya mencari nafkah dengan mengandalkan penghasilan hasil manjak ke setiap pelosok daerah. Keluarga Suwanda berasal dari lingkungan seniman rakyat yang mengandalkan kesenian sebagai salah satu pekerjaan atau profesi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keadaan yang pahit dirasakan oleh keluarganya termasuk Suwanda dalam menjalani profesi sebagai panjak165. Namun pengalaman pahit yang telah dialaminya, membuat Suwanda semakin termotivasi untuk mengubah nasib dalam menjalani profesi sebagai seniman penggendang.166 Faktor keturunan sangat membantu Suwanda menjadikan dirinya sebagai seniman penggendang yang handal dalam kesenian rakyat. Sejak kecil nilai-nilai seni tradisi telah melekat pada diri Suwanda, sebagai modal dasar untuk mengolah seni dalam wacana kereativitas dikemudian hari. Suwanda dibesarkan pada lingkungan seniman rakyat yang begitu kental dengan nilai-nilai tradisi secara

164 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB. 165 Panjak adalah sebutan untuk orang yang profesinya menabuh gamelan. 166 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

94

otodidak, baik dari ayah, kakek bahkan buyut nya. Suwanda memiliki saudara baik kakak maupun adik yang berprofesi sebagai seniman juga. Baginya saudara- saudaranya adalah kekuatan besar yang ia miliki untuk membantu berkarya maupun dalam menjalankan kesenimanan. Mereka ada yang berprofesi sebagai sinden penari, penabuh gamelan, dan penggendang. Saudaranya tersebut telah berpengaruh besar bagi Suwanda dalam menata dirinya menjadi seniman penggendang di wilayahnya hingga saat ini. Suwanda tidak hanya di besarkan dalam keluarga seniman, namun lingkungan sekitar Suwanda yaitu di Kabupaten Karawang sangat membantu Suwanda membentuk jati dirinya sebagai seniman yang handal. Di Kabupaten Karawang terutama di Citopeng, sangat subur dengan berbagai macam kesenian terutama kesenian rakyat. Pertunjukan seni rakyat sering di jumpai pada acara hajatan khitanan, hajatan pernikahan, hajat bumi, menyambut tamu dan lain sebagainya. Dari setiap pertunjukan seni rakyat, telah memberikan apresiasi terhadap Suwanda untuk memperoleh ilmu karawitan dari berbagai jenis kesenian, khususnya yang berkaitan dengan pola tepak kendang Sunda. Berbagai inspirasi yang memperkaya pembendaharaan tradisi diperoleh Suwanda dari hasil menonton berbagai pertunjukan. Suwanda menjalani pendidikan formal hingga tingkat kelas dua Sekolah Rakyat (SR). Namun, berbagai ilmu dan keterampilan dalam kesenian khususnya dalam memainkan alat musik kendang, ia peroleh dari pendidikan non formal, yaitu ketika ia melakukan manjak167. Pendikan non formal ia dapatkan langsung dari Reman dalam berbagai kesempatan, baik di rumah maupun ketika ia sedang melakukan manjak. Suwanda merupakan seniman alam yang diwariskan ilmu secara lisan dan tiruan, tidak mengenal sistem notasi apalagi teori. Sistem belajarnya didapat dengan sistem tiruan yang dipraktikan oleh ayahnya kemudian ditirukan oleh Suwanda. Untuk menambah keterampilannya dalam berkesenian, Suwanda tidak hanya sebatas belajar dari Reman saja, ia terus belajar secara nonformal dari

167 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

95

individu-individu seniman maupun grup kesenian lain meskipun tidak secara langsung. Hal tersebut dilakukan untuk menyadap berbagai ilmu karawitan yang belum dimiliki Reman. Dari hasil penyadapannya, berbagai pola dan tepak kendang yang dipraktikkan orang lain sangat mudah untuk di tiru Suwanda. Pada tahun 1980-an Suwanda sebagai seniman penggendang telah mencapai puncak kejayaannya, ia pun mempunyai berbagai nama dalam setiap produksi kaset rekaman. Nama-nama tersebut diantaranya adalah Si Dewa Gendang, Si Raja Gendang, Si Tanggan Gledek dan lain sebagainya. Namun Suwanda sering menolak nama-nama sanjungan dari produser rekamannya tersebut, karena ia merasa terlalu berlebihan untuk dirinya. Produser rekaman sering menghapus nama-nama sanjung yang telah di tulis dalam kaset hasil rekaman dengan Suwanda karena permintaannya. Kerendahan hatinya dibuktikan oleh Suwanda saat dilantik menjadi Ketua Dewan Kesenian se-Kabupaten Karawang. Dalam Surat Keputusan (SK) nya, Suwanda ditulis sebagai Pakar Seni karena keahliannya memang sudah diakui oleh masyarakat Kabupaten Karawang. Suwanda menolak istilah “Pakar Seni” dan meminta untuk di ubah dengan nama “Pendukung Seni” saja, karena “Pakar Seni” menurut nya terlalu berlebihan tidak sesuai dengan keahlian yang ia miliki.

Gambar 4.2: Suwanda Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG) Suwanda menikah dengan Mimin pada tahun 1975, mereka di pertemukan dalam grup Topeng Banjet pimpinan Ali Saban. Mimin mempunyai keterampilan menari serta bagus dalam menyanyi. Mimin adalah salah satu penari yang menjadi idola. Tidak hanya cantik, Mimin mempunyai keterampilan menari dengan 96

sebutan „Sri Panggung” atau Primadona. Mimin adalah “Bintang Panggung” Topeng Banjet pada saat itu. Ketika tahun 1970-an Suwanda juga termasuk seniman andalan dalam grup Topeng Ali Saban. Suwanda bergabung dengan grup ini sekitar tahun 1970-an.

Gambar 4.3: Suwanda beserta istri (Mimin), tahun 1977) Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG)

Hingga saat ini kehidupan Suwanda dan Mimin berjalan bahagia, hidup berumah tangga dalam kehidupan yang harmonis, satu profesi, satu visi, satu grup dalam seni dan satu tujuan yaitu untuk menuju kehidupan bahagian di masa tuannya. Kepeduliaan terhadap kesenian masih mereka pertahankan sampai saat ini. Suwanda dan Mimin masih aktif manggung ke berbagai daerah, selain itu mereka juga berperan aktif dalam memajukan kesenian Kabupaten Karawang. a. Perjalanan Kesenimanan Sejak kecil Suwanda telah berkiprah dalam seni tradisional, khususnya dalam alat musik kendang. Kini gelar maestro kendang pun telah melekat pada diri Suwanda. Karya Jaipongan yang telah Ia ciptakan telah mengharumkan Kota Karawang. Selain dijuluki sebagai maenstro kendang, Suwanda juga disebut sebagai tokoh Jaipongan di Kabupaten Karawang. Sejak usianya menginjak usia tujuh tahun yaitu ketika ia duduk di bangku kelas dua Sekolah Rakyat (SR), bakat seni Suwanda telah melekat kuat dalam dirinya dengan banyak bermain tatabeuhan, entah itu di atas meja, dipintu, bahkan dengan peralatan rumah tangga yang ada di rumahnya yang bisa dipukul 97

jarinya selalu ia mainkan. Bakat seni tersebut sudah Reman ketahui sejak Suwanda masih kecil, namun Reman tidak menginginkan anak-anaknya termasuk Suwanda terjun kedalam dunia kesenian, karena Reman tidak menginginkan anak- anaknya merasakan hal serupa seperti yang telah di alami oleh Reman, yaitu kepahitan kehidupan yang berprofesi sebagai seniman terutama Topeng Banjet. Alasannya karena saat itu perekonomian di Indonesia sedang berada pada masa- masa yang sulit akibat kekacauan perpolitikan di Indonesia. Ketika Reman manjak, Suwanda memang tidak pernah di ajak. Mengingat saat itu Suwanda masih sekolah. Meski Reman tidak mengizinkan Suwanda untuk terjun ke dunia seni, namun larangan yang dilontarkan ayahnya tidak pernah di gumbris. Suwanda tetap mencuri-curi waktu untuk tatabeuhan bersama saudara- saudaranya ketika Reman sedang tidak ada di rumah. Melihat bakat seni dalam diri Suwanda yang tidak bisa dibendung lagi, akhirnya Reman pun mengijinkan Suwanda untuk terjun dalam dunia seni. Secara bertahap akhirnya Suwanda ikut ambil bagian dari grup Topeng Banjet milik ayahnya. Mulai saat itu Suwanda ikut bersama Reman mencari nafkah untuk menghidupi keluarga keberbagai pelosok daerah.168 Keikut sertaan Suwanda manjak bersama Reman adalah babak pertama dalam menjalani sisi kehidupan berprofesi sebagai seniman. Sejak saat itu pula Suwanda menjadi sering tidak masuk sekolah, dan akhirnya ia pun memutuskan untuk berhenti sekolah. Pada tahun 1959 kira-kira usia Suwanda sudah menginjak usia sembilan tahun, Suwanda tidak pernah ketinggalan untuk manjak bersama Reman. Tugas pertama yang Suwanda terima dari Reman adalah memikul gamelan yang digunakan untuk pementasan Topeng, karena pada saat itu Suwanda belum bisa memaikan gamelan. Kegiatan tersebut ia lakukan hingga belasan tahun, dimulai ketika Suwanda masih kecil sampai ia remaja. Kehidupan yang pahit yang telah di rasakan oleh Reman betul-betul Suwanda rasakan selama bertahun-tahun. Selama bertahun-tahun Suwanda ikut manjak bersama sang ayah (Reman), Suwanda tidak pernah merasakan kesenangan dalam hidupnya, iya merasakan

168 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

98

kepahitan selama manjak, mulai dari tidak makan selama proses manjak, keliling seharian tetapi tidak ada satupun yang nanggap, sampai pernah merasakan di usir dari daerah ketika Suwanda dan Reman sedang manjak. Namun dengan keikhlasan dan mempunyai niat yang kuat dalam dirinya, semua cobaan hidup yang dijalani dengan penuh kesabaran dan ketawakalan sebagai modal dasar untuk mencapai kesuksesan Suwanda di masa yang akan datang. b. Pertemuan dengan Gugum Gumbira Tirasonjaya Pertemuan Suwanda dengan Gugum Gumbira berawal dari sebuah pertunjukan kesenian Topeng Banjet Daya Asmara yang di pimpin oleh Ali Saban. Ketika Gugum sedang berkunjung ke daerah Karawang ia menoton sebuah pertunjukan Topeng Bajet Daya Asmara pimpinan Ali Saban, dalam pertunjukan tersebut Gugum melihat Suwanda sedang memaikan alat musik tradisional kendang. Gugum melihat bakat dan ketangkasan Suwanda dalam memainkan kendang di kala itu. Menurut Gugum cara Suwanda memainkan Kendangnya bersih, cepat, keras, dan wirahma bagus. Ketika itu Gugum belum sempat berkenalan dengan Suwanda. Setelah sekian lama, Gugum teringat kembali dengan sosok pengendang asal Kabupaten Karawang yaitu Suwanda pada saat membutuhkan sosok penggendang yang bisa mengikuti ide-ide kreatifnya dalam menciptakan sebuah tarian kreasi baru nya. Hal itu terjadi dalam waktu yang cukup lama setelah Suwanda menikah dengan istrinya Mimin di Karawang. Gugum mencari Suwanda karena merasa kesulitan untuk mencari pengendang yang dapat mengikuti ide- idenya pada awal penciptaan tari Ketuk Tilu pengembangan yang pada akhirnya di beri nama Tari Jaipongan. Perlu diketahui mengenai awal penciptaan Tari Jaipongan, karawitan terutama tepak kendang belum terjadi perubahan dari pakem tradisi sebab para pangrawit seperti (Nanda Barmaya, Tosin dan Samin) ketika itu belum bisa menerjemahkan keinginkan Gugum Gumbira yang menginginkan perubahan total. Perbendaan antara Gugum dan pangrawit disebabkan para pangrawit belum bisa keluar dari tradisi atau pakem yang sudah dijalankannya. Gugum menginginkan 99

pembaharuan dalam karawitan untuk dapat menyatu dengan konsep yang telah dirancangnya. Akibatnya, terkesan seperti tarik menarik antara karawitan dengan konsep tari, bahkan terkesan adanya pemaksaan. Karawitan terutama tepak kendang, masih belum bisa mewadahi konsep garap tari yang diinginkan oleh Gugum Gumbira. Setelah berfikrir cukup lama untuk memecahkan permasalahan tersebut, terlintas dalam pikiran Gugum tentang kenangannya ketika ia sedang berkunjung ke Kabupaten Karawang. Kala itu Gugum melihat sosok penggendang yang sedang pentas pada seni pertunjukan Topeng Banjet yaitu Suwanda. Sejak saat itu, Gugum memutuskan untuk mencari Suwanda ke Kabupaten Karawang melalui Nandang Barmaya salah satu pengrawit di Jugala. Ketika itu Suwanda telah mahir dalam memainkan kendang dan sudah terbiasa mengiringi seni pertunjukan Topeng Banjet dan Bajidoran. Menurut penuturan Suwanda ketika penulis wawancarai bahwa,“Tahun 80- an teh abah kakarak nepi kaditu (Bandung), di panggil ka dieu. Ti Karawang genjlong ku iyeu (Jaipongan). Di panggil kadieu, di tanya aya naon yeuh di Karawang teh, terus di tanggap di imah na langsung. Ari palebah eta mah abah teh inget keneng sejarah na, sejarah eta mah mutlak”.169 Setelah terjadi pertemuan antara Gugum, Suwanda dan ketiga pangrawit dari Jugala yaitu Tosin, Nandang Barmaya, dan Samin, ternyata Suwanda telah memberikan pencerahan atas permasalah yang terjadi. Suwanda dengan tepak kendangnya berhasil mengikuti keinginan Gugum dalam garap tari barunya dengan tidak mengubah struktur lagu atau karawitannya. Akhirnya, terjadi jalinan kominikasi dan keselarasan antara Gugum Gumbira, Suwanda, Tosin, Nandang Barmaya, dan Samin dalam membuat karawitan Jaipongan. Mengenai hal tersebut, dalam Buku nya Een Herdiani yang berjudul „Tari Jaipongan Keser Bojong (Kajian Struktur dan Nilai Pada Tari Keser Bojong Karya Gugum Gumbira‟ menyatakan sebagai berikut:

169 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

100

“Kepiawaian penggendang yang mengiringi tarian Jaipongan adalah salah satu faktor yang tidak kalah pentingnya dalam mengusung popularitas tariannya, adalah kepiawaian para pangrawit yang tergabung dalam kelompok Jugala” pimpina Gugum Gumbira sendiri. salah satu personilnya yang langsung diambil dari daerah asal „Jaipongan‟ itu sendiri yaitu Suwanda penggendang kliningan Bajidoran dari Karawang. Penggendang Suwanda adalah penggendang luar biasa dengan keterampilan tangannya mampu mengiringi setiap gerakan yang diinginkan sang koreografer. Suwanda sengaja dibawa ke Bandung oleh Gugum Gumbira menjadi penggendang tari Jaipongan. oleh sebab itu, dengan hadirnya Suwanda, hasil karya tari Gugum Gumbira menjadi sangat luar biasa.”170

Berdasarkan kutipan di atas, Suwanda adalah pemecah persoalan pada awal- awal akan terbentuknya Tari Jaipongan. Suwanda yang telah terbiasa mengiringi seni pertunjukan Topeng Banjet dan Bajidoran yang begitu mahir dalam memainkan waditra gendang, tidak hanya mahir dalam memainkan waditra kendang, Suwanda juga kaya akan improvisasi. Suwanda mempunyai ciri khas dalam bermain kendang maupun mengolah pola tepak kendangnya, bahkan ada bagian dari beberapa pola tepak kendangnya tidak dapat di tiru orang lain. Hal tersebut merupakan modal besar yang dimiliki Suwanda untuk mengungkapkan bakat kreatifnya dalam membuat tepak kendang Jaipongan. Suwanda dan tepak kendangnya dapat mewadahi keinginan Gugum dalam garap tari barunya. Pada tahun 1978 akhirnya Suwanda telah resmi dikontrak oleh Jugala pimpinan Gugum Gumbira. Suwanda dikontrak oleh Jugala selama enam tahun tepatnya pada 1978-1984. Sebelum Suwanda resmi dikontrak oleh Jugala, Suwanda melakukan rekaman perdananya dengan Jugala pada tahun 1976. Sejak tahun 1976, tepak kendang Jaipongan beragam, variatif dan enerjik diciptakan oleh Suwanda dalam melakukan kreativitasnya.171 Suwanda dan Gugum Gumbira merupakan dua tokoh seniman yang luar biasa, keduanya memiliki keahlian yang berbeda. Suwanda adalah seniman asal Karawang yang ahli dalam memainkan gendang, sedangkan Gugum Gumbira Tirasonjaya memiliki keahlian dalam koreografer.172 Suwanda, dengan keahliannya dalam memainkan gendang telah berhasil menciptakan pola tepakan

170 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB. 171 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB. 172 Caturwati, “Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Dimensi Informasi di Wilayah Jawa Barat”, dalam Suprawoto, Pemetaan Media Tradisional Komunikatif (Lestarikan Tradisi Kelola Komunikatif), h.15. 101

kendang Jaipongan.173 Sedangkan Gugum Gumbira dengan keahliannya dalam koreografer berhasil menciptakan gerakan-gerakan Jaipongan, sekaligus lagu yang mengiringinya. Hasil kerja sama di antara keduanya dengan di bantu oleh pangrawit mampu menciptakan sebuah bentuk seni yang termasuk ke dalam khasanah kesenian Sunda yaitu Jaipongan. Jaipongan yang dimasudkan adalah Jaipongan dalam tari maupun karawitannya.174

Gambar 4.4 : (Gugum Gumbira mengenakan baju berwarana putih, Suwanda memakai jas berwarna hitam) Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Grup (SSG).

2.4. Karya- karya Suwanda Pada tahun 1976, Suwanda menciptakan pola tepak kendang Jaipongan pertamanya dalam lagu Oray Welang yang direkam oleh Jugala Grup pimpinan Gugum Gumbira Tirasonjaya. Pada 1976 namanya belum Jaipongan, melainkan masih “Ketuk Tilu Perkembangan”. Diluar dugaan rekaman tep ak kendang Orang Welang perdana nya itu disukai dan mendapatkan sambutaan yang luar biasa oleh masyarakat. Hal ini terbukti dari hasil penjualan kaset Oray Welang hingga mencapai 50.000 copy pada bulan pertama rekaman. Terjualnya kaset pada bulan pertama yang mencapai 50.000 adalah bukti keberhasilan yang sangat luar biasa dan antusias masyarakat terdap tepak kendang „Ketuk Tilu Perkembangan‟.175

173 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB. 174 Rosyadi, Menelusuri Asal Usul dan Perkembangan Kesenian Jaipong, Yogyakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pelestarian Nilai Budaya, 2016. 175 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 102

Gambar 4.5 : Rekaman kaset perdana Suwanda dengan Jugala Grup dalam lagu Oray Welang, pada tahun 1976. Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

Setelah sukses dalam rekaman perdana serta tepak kendangnya diterima oleh masyarakat, Suwanda dikontrak oleh beberapa studio rekaman. Selama dua tahun yaitu tahun 1976-1978, Suwanda di kontrak oleh tiga studio rekaman yaitu Tropic (Suara Parahiyangan Record), Suara Merdika Record, dan Jugala Record. Suwanda dikontrak oleh Tropic untuk rekaman dua puluh kaset selama dua tahun. Ketika itu studio rekaman Tropik mulai menggunakan sistem kontrak dalam kesenian tradisi (terutama para seniman). Tepak kendang yang di rekam Oleh Tropic adalah tepak kendang lagu Genjlong Jaipong, Lindek Japati, Enjing Deui, dan Kidung.

Gambar 4.6 : Salah satu kaset karya Suwanda di rekam di „Suara Parahyangan Record‟ (1977- 1978). Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG)

103

Gambar 4.7: Kaset Jaipongan dalam lagu Daun Pulus Keser Bojong, adalah karya Suwanda dalam tepak kendang Jaipongan tahun 1980-an yang paling populer Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

Setelah habis kontrak dengan Suwara Parahyangan Record dan Suara mendika Record. Suwanda resmi di kontrak oleh Jugala pada tahun 1978 sampai dengan tahun 1984. Tepak kendang yang sangat ngeboom pada tahun 1980-an di Jugala di antaranya tepak kendang dalam lagu Daun Pulus Keser Bojong, Serat Salira, Banda Urang, Bulan Sapasi, Seunggah, Iring-iringan Daun Puring, dan Toka-Toka.176

Gambar 4.8: Salah satu kaset karya Suwanda direkam di “Jugala Record” tahun (1978-1984) Sumber : Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

Setelah kontrak dengan Jugala habis, pada tahun 1985 Suwanda kembali dikontrak oleh beberapa studio rekaman di berbagai daerah seperti Dian Record, Pandawa Record, Indrajaya Record, dan Ratna Record. Tepak kendang pada masa ini di antaranya adalah tepak kendang dalam lagu Medley Top Jaipong, Geboy Jumbo, Daun Pulus Mimiti, Daun Pulus Patineungan, Daun Pulus 1 sampai Daun Pulus 20, Daun Pulus Adu Manis, Oyong-oyong Bangkong, Tepung di Luhur

176 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

104

Panggung, Ucing-Ucingan, Banondari, Talak Tilu, Buah Jagong, dan Hiji Catetan. Beberapa hasil karyanya tersebut adalah tepak kendang Jaipongan yang diciptakan oleh Suwanda selama berkarya pada dekade tahun 1980-an. Pada tahun ini termasuk ngeboomnya Jaipongan dalam seni pertunjukan di Jawa Barat.177

Gambar 4.9: Salah satu kaset karya Suwanda direkam “Whisnu Record” tahun (1990-an) Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

Gambar 4.10 : Salah satu kaset karya Suwanda, di rekam di “Ratna Record” (1990-an) Sumber : Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG)

Keberhasilan Suwanda dalam menciptakan tepak kendang Jaipongan telah memberikan dampak positif bagi Suwanda terhadap penghasilan hidupnya. Perekonomian Suwanda sedikit demi sedikit mengalami peningkatan, hal tersebut karena tawaran rekaman oleh berbagai studio rekaman, dan banyaknya tawaran manggung dari masyarakat melalui grupnya yaitu „Suwanda Group‟. Namun Seniman yang lahir dari tengah masyarakat Karawang ini, selalu merendah,

177 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

105

meskipun ia berhasil populer karena kreativitasnya. Seperti yang disebutkan pada media cetak tahun 1982 bahwa: “Sekarang ini Suwanda Group lah yang paling laris dalam panggung mana pun. Suwanda Group yang didirikan tahun 1976, yang berawal dari panggilan sebesar Rp. 60.000 sekali manggun. Justru tarip itu berubah karena kepopulerannya. Bahkan biaya untuk manggungnya kini sudah mencapai Rp. 500.000-Rp. 1.000.000. Panggilannya tidak terbatas diwilayahnya, ke Jakarta dan Jawa Tengah pun sampai. Dari hasil jerih payahnya selama ini, dia sudah memperbaiki rumahnya dan memiliki beberapa hektaran sawah. Suwanda mengatakan dengan merendah “lumayan hasilnya cukup buat makan”.178

Pesanan pertunjukan kepada „Suwanda Group‟ semakin banyak dan meningkat disetiap bulannya. Biasanya di akhir bulan pesanan pertunjukan cukup padat. Ketika tahun 1982, Suwanda Group selama tiga bulan tidak pernah berhenti pentas ke berbagai daerah di Kabupaten Karawang maupun di luar Kabupaten Karawang, hal tersebut bisa dikatakan puncak kejayaannya dalam menjalani kesenimanan. Selama lima tahun Suwanda telah dipercaya oleh masyarakat bahkan komunitas seniman Kabupaten Karawang utuk menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Kabupaten Karawang. Kepercayaan itu tentunya muncul berkat berbagai keterampilan serta penghargaan para seniman di Karawang terhadap Suwanda sebagai tokoh dalam karawitan. Berbagai kegiatan telah dilakukan selama memegang Ketua Umum Dewan Kesenian, diantaranya membuat Dewan Kesenian Kecamatan (DKC), mengadakan lomba-lomba perunjukan, dan Festival kesenian di Karawang.179

178 Suwanda, Dapat Mainkan 7 Gendang Sekaligus, tahun terbit 1982. 179 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

106

Gambar 4.11 : Suwanda ketika menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Kabupaten Karawang. Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

Pada tahun 1982, pemerintah Jawa Barat mengikutkan Gugum Gumbira Tirasonjaya dalam „Festival Tari Internasional‟ di Brounsweitght Jerman Barat. Ketika itu Gugum menampilkan karya Jaipongannya yaitu tari Daun Pulus Keser Bojong. Suwanda sebagai penggendang di Jugala Grup secara otomatis ikut serta dalam misi tersebut. Suwanda bersama Jugala Grup berangkat ke Bangkok, Roma, dan terakhir ke Jerman Barat. Semua pengalaman Suwanda melanglang buana ke berbagai negara merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan. Namun menurut Suwanda, ketika ia berada di Jerman Barat merupakan pengalaman yang sangat berkesan dalam menjalani sebagai seniman sebagai penggendang. Dalam misi ke Jerman Barat yaitu ketika show pada pekan raya Braunschweigh, Suwanda membawa kendang sebanyak delapan buah, satu kendang indung dan tujuh kendang kulenter. Suwanda berhasil mempersembahkan lagu permainan anak yaitu lagu “Tokecang” dan diakhiri dengan lagu “Cis Kacang Buncis”. Penampilan yang di anggap luar biasa oleh pengungjung pekan raya itu, membuat banyak penonton bertepuk tangan ketika permainan lagunya melalui tepakan kendang selesai dibawakan oleh Suwanda.

107

“Ketika manggung di Jerman Barat, berkesan sekali itu, sampe satu panggung, pentas sama pemain drum Eropa, jadi disatuin abah main gendang dalapan, lawan orang Eropa memainkan drum. Dia kan orang Eropa ya...main drum na „WAH...”. Tapi abah juga ga kalah, awalnya bingung harus gimana gelawannya. Begitu abis selesai manggung itu pengunjung sampe naik ke atas panggung. Ohh...enggak tapi di soder dulu, itu pengunjung di soder dulu...kemana aja belentuknya, da ga ngerti mereun ya. Sampe udah di soder pada datang ke panggung nanya ini teh dari apa, dari kayu atau apa... pake juru basa abah ge boro-boro bahasa Jerman bahasa Indonesia ge belentak-belentuk teu puguh, itu berkesan...berkesan sekali”.180

Hal yang membanggakan lainnya ketika ia melanglang buana ke Jerman Barat, tanpa menyebutkan nama kotanya. Suwanda sangat tidak menyangka ternyata orang luar negeri sangat menghargai kesenian Jaipongan, mengapresiasi terhadap segala sesuatu yang ditampilkannya terutama pada alat musik kendang. Mereka begitu antusias menonton pertunjukan bahkan ada beberapa di antaranya yang ikut ngibing meskipun tidak sesuai dengan irama kendang. Sebagian dari mereka ada juga yang menanyakan peralatan kesenian, seperti kendang terbuat dari apa, dan lain sebagainya. Selain itu Suwanda juga beradu alat musik modern (rock). Atraksi kendang melawan pemain drum dari eropa adalah pengalaman yang tidak dapat dilupakan. Suwanda telah diakui sebagai seniman ketika itu, pengakuan tersebut muncul dari pengakuan para seniman baik seangkatan maupun dari para seniman generasi muda. Tepak kendang Jaipongan seolah begitu sulit untuk lepas dari pengaruh tepak kendang Jaipongan hasil karyanya. Tepak kendang Jaipongan Suwanda menjadi sumber isnpirasi bagi lahirnya kreativitas-kreativitas baru terutama para seniman muda dalam mengolah beragam tepak kendang Jaipongan.

D. Peran Sanggar Suwanda Group Dalam Melestarikan Kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang Tahun 1976-1990 1. Pelestarian Tari Jaipong di Sanggar Suwanda Group (SSG) “Sanggar merupakan suatu wadah yang diciptakan sedemikian rupa yang digunakan untuk mencipta, berkarya, atau berkreasi tentang seni. Sanggar adalah tempat berkumpul, berdiskusi, berlatih, atau bereksplorasi calon-calon seniman dan seniman. Sanggar yang

180 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

108

dikelola dengan baik serta memiliki agenda kegiatan yang jelas, dapat menunjang kreativitas seniman”.181

Seni pertunjukkan Tari Jaipongan dapat bertahan hingga saat ini karena dijaga dan dilestarikan oleh sanggar-sanggar yang melebar luas hingga ke berbagai pelosok daerah. Sanggar mempunyai peran yang begitu penting dalam bertahannya sebuah kesenian, selain menjaga dan melestarikan seni pertunjukan Tari Jaipongan, peran sanggar juga dapat mengembangkan, memberi serta memfasilitaskan bagi siapa saja masyarakat yang ingin mengetahui dan ikut belajar kesenian Tari Jaipongan. Sanggar Suwanda Group (SSG) sebagai organisasi yang bergerak dibidang kesenian berupaya untuk memiliki peran terhadap perkembangan tari khususnya Tari Jaipongan. SSG melestarikan Tari Jaipongan melalui pelatihan-pelatihan dan pementasan-pementasan tari. Dengan menggunakan metode pelatihan-pelatihan dan pementasan-pementasan, SSG lebih mudah memperkenalkan Tari Jaipongan kepada masyarakat Kabupaten Karawang dan masyarakat sekitarnya.

2. Pelatihan Seni di Sanggar Suwanda Group (SSG) a. Seni tari klasik dan kreasi Dalam kegiatan ini, SSG menyelenggarakan pelatihan tari klasik dan tari kreasi. Materi untuk tari kreasi adalah Tari Merak. Adapun jenis tari kreasi di antaranya adalah Tari Jaipongan Senggot, Jaipongan , Tari Jaipongan Mojang Karawang, Tari Jaipongan Ronggeng Nyentrik, Tari Jaipongan , Tari Jaipongan Bentang Timur dan lain sebagainya. Untuk klasifikasi siswa pada pelatihan Tari Jaipongan di SSG tidak diberlakukan. Peserta didik Tari Jaipongan di SSG yang berusia mulai dari 8-20 tahun semuanya menerima penyajian materi yang sama dari pelatihnya. Baik itu dari kalangan anak-anak, remaja bahkan dewasa diberikan materi yang seragam oleh para pelatihnya. Menurut Suwanda, alasan pertama tidak membeda-bedakan penyajian materi berdasarkan tingkat usia karena Tari Jaipongan memang tidak mengenal

181Ensiklopedi Sastra Indonesia, h. 731. 109

pembagian materi gerak dilihat dari klasifikasi umur. Semua mendapatkan materi gerak yang sama, baik itu anak-anak maupun orang dewasa. Kedua, Karena terbatasnya pelatih di SSG, yang hanya beranggotakan dua orang, tidak memungkinkan untuk mengklasifikasikan penyajian materi berdasarkan tingkat usia. Hal itu jika dilakukan, maka akan membutuhkan banyak waktu dan energi, sehingga pelatih yang diberikan tidak efisien dan efektif. Misalnya, tidak menerima penyajian materi gerak Tari Jaipoangan Senggot, baik itu dari kalangan anak-anak, remaja, bahkan dewasa. Begitu juga dengan seterusnya dengan pemberian materi gerak-gerak tari lainnya. Ketiga, pelatihan tari hanya ada satu kelas yang dilaksanakan setiap hari sabtu pukul 16.00 WIB dan minggu pukul 14.00 WIB. Pada awal pembinaan, peserta didik di SSG diperkenalkan tentang kesenian- kesenian yang ada di tanah Sunda, misalnya kesenian Degung, Pencak Silat, dan Tari Jaipongan. Setelah itu barulah materi pengajaran disampaikan sesuai bidang kesenian masing-masing. Awal pelatihan seni tari peserta didik tidak diajarkan semua motif gerak Tari Jaipongan, tetapi dipilih motif-motif gerak yang aspek geraknya yakni tenaga, ruang dan waktu dianggap dapat bermanfaat untuk mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan gerak anak yang tidak menguntungkan. Kecenderungan-kencederungan yang dimaksudkan disini adalah sulit dan ragu-ragu untuk mengekspresikan gerak dan emosi yang tidak stabil. Motif-motif gerak tari yang akan dimanfaatkan yaitu motif gerak 3G (Goyang, Geol, dan Gitek), mincid, galeong, dan gerak lengan tangan. Jalinan aspek tenaga, ruang, dan waktu pada gerak tersebut mempunyai spesifikasi yang dianggap sesuai sebagai sarana pembelajaran. Adapun proses belajar menari Jaipongan di SSG dilalui dengan beberapa tahapan, diantaranya: 1.Tahap olah tubuh Semua peserta didik di SSG yang akan memulai latihan menari wajib mengikuti tahapan olah tubuh yang di lakukan kurang lebih 20 menit. Tahapan olah tubuh yaitu semacam pernapasan seperti dalam kegiatan olah raga. Dengan melakukan olah tubuh secara benar, maka seorang penari akan dapat menguasai 110

seluruh tubuhnya. Diwajibkannya tahapan olah tubuh ini bertujuan untuk melenturkan atau membuat otot-otot tubuh menjadi tidak tegang, sehingga ketika sedang menarikan sebuah tarian garak-gerak tubuh tidak kaku. Hal ini merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh semua penari, karena dengan melakukan gerak-gerak olah tubuh dapat menentukan keberhasilan dalam menarikan sebuah tarian di atas pentas. Selain itu, diperlukan gerak olah tubuh untuk mencapai sebuah elastisitas, lentur dan, dinamis. Adapun gerak olah tubuh yang dilakukan oleh peserta didik Tari Jaipongan adalah sebagai berikut: a. Gerak kepala b. Gerak tangan c. Gerak kaki d. Gerak gabungan e. Tahap gerak dasar Setelah selesai melakukan kelima (tahap gerak olah tubuh), maka tahap yang dilakukan selanjutnya adalah melakukan tahap gerak-gerak dasar Tarian Jaipongan, khususnya yang dipelajari di SSG. Untuk satu tarian yang diajarkan memerlukan waktu 1,5 bulan ataun 8-9 kali pertemuan, yaitu latihan yang dilakukan pada hari sabtu dan minggu. Dengan kata lain, peserta kursus baru dapat menarikan satu tarian penuh, misalnya Tari Jaipongan Senggot dalam waktu 1,5 bulan. Jika satu tarian selesai diajarkan, maka peserta kursus akan di tes atau dievaluasi dengan melibatkan gamelan hidup yang diiringi tabuhan gamelan oleh peserta didik dari kalangan laki-laki. Untuk satu tarian, peserta didik harus melakukan gerak-gerak dasar yang diberikan oleh pelatih. Gerak-gerak dasar untuk satu tarian itu dilakukan secara berulang-ulang, kemudian dihafalkan keseriusan dan konsentrasi antara pelatih dan peserta didik Tari Jaipongan di SSG. Hal ini memelukan keseriusan dan konsentrasi dan latihan kedua belah pihak (pelatih dan peserta kursus). Oleh karena itu, ketika pelatih memberikan materi latihan dilakukan dengan konsentrasi yang baik dan fokus. 111

Begitu juga pada peserta didik Tari Jaipongan di SSG, mereka fokus, konsentrasi, dan disiplin menerima instruksi atau arahan dari sang pelatih selama latihan berlangsung. Fokus, konsentrasi, dan disiplin dalam latihan tentunya dapat mempercepat proses keberhasilan untuk menjadikan seorang penari berada pada tingkat yang mahir. Jadi, dalam hal ini baik pelatih maupun penari atau peserta didik dituntut untuk serius dalam menjalani latihan. Sehingga pada saat pentas di atas panggung dapat tampil secara maksimal dengan kualitas yang baik. Dalam proses belajar Tari Jaipongan di SSG antara pelatih dan peserta kursus terjadi interaksi dua arah. Pelatih dan peserta kursusnya saling berkomunikasi satu sama lain dalam aktifitas belajar menari. Komunikasi merupakan hal yang sangat penting pada proses belajar Tari Jaipongan di SSG. Tanpa adanya komunikasi tidak akan tercipta tujuan, dan pengertian di antara keduanya. Oleh karena itu, jika peserta didik nya merasa tidak paham atau kesulitan dalam menerima arahan dari pelatih, maka merekapun tidak segan-segan untuk bertanya. Begitu juga sebaliknya, jika terdapat kesalahan dalam membawa sebuah gerak tarian yang dilakukan oleh peserta didik, maka pelatihanya pun memberikan koreksi, sehingga kesalahan-kesalahan tersebut dapat diperbaiki.182 Pelatih dan peserta kursus tidak dapat terpisahkan. Keduanya bekerja sama, dan saling membutuhkan satu sama lain. Tujuannya adalah untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Pelatih merasa puas dan bangga ketika anak didiknya dapat menerima dan melaksanakan instruksinya dengan baik. Begitu juga dengan peserta kursus akan bangga ketika dapat menarikan sebuah tarian, yang nantinya disaksiakan oleh banyak orang. Gerak-gerak dasar yang diberikan oleh pelatih dihafal oleh peserta kursus, dan diulang-ulang di rumah pada waktu senggang. Tujuannya adalah agar peserta didik tidak cepat lupa, sehingga materi gerak dasar benar-benar telah dikuasai. Ada pun contoh-contoh gerak dasar dari semua tarian yang diajarkan di SSG dapat dilihat pada gambar berikut.

182 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

112

Gambar 4.12: Gerak Dasar Tari Jaipongan Senggot Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG)

Gambar diatas adalah gerak dasar Tari Senggot yang diajarkan di SSG. Tari Jaipongan Senggot dapat dianggap tarian yang mudah dipahami, jika dilihat dari gerakan-geraknnya, maka dalam pembelajaran tarian selanjutnya akan dirasakan lebih mudah. Metode yang dipergunakan dalam pembelajaran Tarian Jaipongan Senggot adalah metode imitasi dan demonstrasi. Kegiatan awal pembelajaran dilakukan pemanasan badan seperti posisi badan tegap. Kedua tangan di buka, dan diayun ke bawah (baplang). Sementara itu kaki kanan menyilang, dan berada didepan dengan sedikit mengangkat ke atas. Kaki kiri berada di belakang, dengan posisi menahan keseimbangan tubuh. Gerakan ini dilakukan dengan posisi kaki kiri menahan tubuh. Oleh karena itu, dibutuhkan kekuatan kaki kiri dalam menopang keseimbangan tubuh si penari. Kekuatan fisik yang prima akan menampilkan sajian gerak yang anggun dan indah. Oleh sebab itu, penari di tuntut untuk selalu menjaga kebugaran fisiknya agar ketika pentas di atas panggung benar-benar dapat memaksimalkan kemampuan sehingga tidak mengecewakan para penonton. Adapun gerak dasar yang diberikan dalam materi Tari Jaipongan Senggot adalah sebagai berikut:  Jalan Kembar  Adeg adeg cindeuk  Lembean 113

 Sirig  Ngerecek  Putar goyang  Gosokan cindeuk  Genjotan kocapa  Kocapa egot  Dobelan kocapa  Goyang kembar

Secara koreografi struktur gerak Tari Jaipongan Senggot adalah sesuai berikut:  Jalan Kembar  Cindeuk Kembar  Muter Kembar  Adeg-adeg cindeuk  Tumpang tali  Lembean  Kepret  Adeg-adeg kocapa, gebes kepala  Geser kiri, kanan kocapa atas  Adeg-adeg obah bahu  Sirig ke atas  Peupeh  Sembada  Muter, likel atas  Ngerecek di tempat tangan kembar  Ayun maju, kocapa, gebes kanan  Puter, goyang kaki, kocapa atas, gebes kiri  Adeg-adeg lembean diakhiri gebes kanan  Ajeg-ajeg, kembar, obah bahu  Putar kocapa kanan 114

 Silatan maju, cindeuk, rengkuh, kocapa atas kanan  Trisi kanan, kiri, kocapa atas, kiri, kanan  Cindeuk, obah bahu  Sogokan, cindeuk, kocapa  Genjotan kocapa kanan, cindeuk tumpang tali  Cindeuk gebes kiri  Ngacaan egot kiri  Puteran, tangan nganyun kanan kiri  Ngacaan egot kanan  Cindeuk silang  Puter,gagahan, egot dari atas kebawah, tangan berundak  Geser, ayun, kocapa, temple, gebes ke kanan 3x  Putar goyang, ayun tangan, kocapa, atas, gebes kiri, putar sambil rengkuh, mundur kocapa atas, gebes kiri  Adeg-adeg ajeg, kocapa, bahu  Maju ke suduttangan, di kedua tangan ngayun, diakhiri cindeuk kembar  Gotangan kedua kaki kanan kiri, tangan kembar diakhiri cindeuk kocapa lurus ke depan  Silat, putar, peupeuh, bahu, diakhiri sonteng  Geser, ayun tangan kanan, sonteng kanan, geser ayun tangan kiri, sonteng kiri  Geser, ayun tangan kanan, sonteng kanan, geser ayun tangan kiri, sonteng kiri  Gebrig, gebragan, geser, merubah ke adeg-adeg kedua tangan silang  Tumpang tali, kembar, obah bahu.Gerak mundur  Genjot kiri, kanan, kocapaan, gebes kanan, diakhiri gebes kiri dilakukan 4x  Mundur, kedua tangan ayun, diakhiri ajeg kembar  Putar ayun tangan atas, ayun tangan ke bawah, diakhiri adeg-adeg kocapa 115

 Sirig, ajeg, bales kocapa kiri  Cindeuk, ajeg, belakang, gebes kiri  Putar sekilas janjit, maju peupeuh kanan, peupeuh kiri, gebes kanan  Mundur 3x, ayun, kocapaan, dua tangan keupeul  Puter, gedig, diakhiri ajeg, tumpang tali  Tumpang tali genjotan ke kiri  Genjotan putaran tangan ke kanan  Putar menghadap kanan  Genjotan putaran tangan ke kanan dan ke kiri  Kocapa puteran  Geser silang kanan, cindeuk, gebes kanan, kiri 5x sambil kocapa caca  Lambean  Obah bahu, tempelan, gedig buka, locat, kedua tangan silang diakhiri cindeuk kembar miring, putar diakhiri ajeg bahu  Gedig langkah, egot, ajeg, mundur kocapaan, obah bahu

Evaluasi pembelajaran Tari Jaipongan Senggot adalah siswa di tes secara individu, dan digabung dengan iringan musiknya, kemudian siswa juga di tes dengan menarikan tarian Jaipongan Senggot secara kelompok. b. Seni karawitan Tarian Jaipongan identik dengan tepakan kendang yang khas. Oleh karena itu, proses belajar Tari Jaipongan di SSG tidak bisa lepas dari iringan tepakan kendang serta gamelan. Akan tetapi, proses belajar Tari Jaipongan dengan proses gamelan dilakukan dengan waktu yang terpisah. Biasanya saat waktu istirahat para peserta kursus Tari Jaipongan, pada waktu luang/istirahat tersebut untuk berlatih menabuh gamelan. Semua siswa yang mengikuti pelatihan gamelan adalah siswa laki-laki. Mereka begitu semangat dan antusias ketika berlatih langsung di SSG. Dimulai dari usia mereka yang sangat belia dapat menjadikan mereka terus berkembang, 116

sampai akhirnya mencapai tingkat mahir dalam menabuh gamelan. Menurut Suwanda memang seharusnya kesenian-kesenian daerah seperti ini harus diperkenalkan ketika masih usia dini, karena mereka mempunyai semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi.183 Kegiatan pelatihan seni karawitan biasanya diadakan kelompok pemula dengan materi gending yang mudah diterima oleh para peserta pelatihan, gending- gending yang diajarkan di antaranya gending catrik, kulu-kulu, banjaran, cangkurileung, Sinyur, dan gamelan yang digunakan di SSG adalah jenis gamelan degung dengan laras pelog degung. Untuk klasisfikasi siswa dalam pelatihan karawitan di SSG, terdiri dari kelas anak, kelas remaja, kelas dewasa, dan kelas privat. Untuk musik dan lagu dalam mengiringi proses belajar Tari Jaipongan di SSG dilakukan dengan menggunakan tape recorder dan kaset. Namun, pada saat waktu ujian (tes), para peserta kursus tari diiringi dengan musik dan lagu yang ditambah oleh peserta kursus gamelan dari kalangan laki-laki. c. Seni Vokal Pelatihan seni vokal biasa dikenal dengan olah vokal atau kawih. Materi untuk kawih diantaranya adalah Hariring Kuring, Sabilulungan, Hamdan, Samoja, Salempai, Sutra, dan Kembang Tanjung Panineungan. Untuk klasifikasi siswa pada kegiatan pelatihan vokal di SSG tidak diberlakukan, karena pelatih vokal ada satu kelas dan dilaksanakan pada hari kamis pukul 16.00 WIB, biasanya dalam proses latihan vokal kawih sunda sebagai wiraswara dan sinden dipadukan dengan pelatihan karawitan yaitu gamelan degung. Untuk lebih rincinya jadwal pelatihan seni di Sanggar Suwanda Group (SSG) dapat dilihat di tabel berikut:

183 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

117

Tabel 4.13 : Jadwal latihan Sanggar Suwanda Group (SSG) No Jenis Kegiatan Hari Waktu Senin Pukul 16.00 WIB 1 Latihan seni tari Sabtu Pukul 15.00 WIB Minggu Pukul 14.00 WIB Selasa Pukul 15.00 WIB 2 Latihan seni karawitan Jumat Pukul 16.00 WIB Sumber: Sanggar Suwanda Group (SSG) a. Evaluasi Siswa di Sanggar Suwanda Group (SSG) Tahap Evaluasi yang diadakan oleh Sanggar Suwanda Group (SSG) bertujuan untuk meningkatkan kreativitas dan keberanian siswa didik dalam menampilkan sebuah pertunjukan. Dalam pentas seni SSG mengarah kepada peserta didiknya agar mengikuti dan ikut serta dalam lomba-lomba yang diadakan oleh sokolah-sekolah. Tidak semua pentas seni diadakan oleh SSG, tetapi juga seringkali SSG ikut serta dalam pentas seni yang diadakan oleh organisasi atau lembaga lain. Tahap evaluasi dilakukan bilamana peserta kursus telah mampu menyelesaikan satu materi tarian yang dilakukan oleh peserta kursus Tari Jaipongan di SSG, yaitu dengan cara memperagakan satu tarian penuh, misalnya menarikan Tari Jaipongan Senggot yang diiringi gamelan hidup yang ditabuh oleh peserta kursus laki-laki. Begitu juga seterusnya dengan tarian lain, jika telah menyelesaikan gerak-gerak dasarnya selama kurang lebih 1,5 bulan, maka dilakukan tahap evaluasi dengan melakukan satu tarian penuh.184 Dalam tahap evaluasi atau tes berlangsung, para peserta kursus masing- masing mengeluarkan kemampuan terbaiknya agar mendapatkan penilaian yang baik dari pelatihnya. Sementara pelatihnya menilai dan memperhatikan dengan seksama setiap gerakan demi gerakan yang diperagakan oleh peserta didiknya. SSG mengadakan ujian/evaluasi pelatihan tari untuk para siswa sejak tahun 1976, bahkan sampai sekarang. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui

184 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

118

kemampuan siswa tentang pemahaman terhadap materi yang sudah diberikan oleh pelatih. Adanya evaluasi ini juga untuk lebih meningkatkan kualitas pengajaran seni tari. Pergelaran tari yang diajarkan di SSG yaitu karya-karya yang diciptakan oleh SSG, biasanya dilaksanakan pada bulan Mei.185

3.4. Pementasan SSG melestarikan Tari Jaipongan mulai dari mengadakan kegiatan perlombaan/pasanggiri Tari Jaipongan tingkat Kabupaten Karawang sebagai program kerja tahunan SSG yang diselenggarakan pada bulan Mei tahun 1980, diselenggarakannya lomba bertujuan agar kesenian Tari Jaipongan lebih dikenal masyarakat Kabupaten Karawang. Pementasan tari di SSG dipentaskan di acara tingkat Kabupaten Karawang dan di luar Kabupaten Karawang yang menjadikan masyarakat Kabupaten Karawang dan di luar Kabupaten Karawang semakin mengenal Tari Jaipongan sebagai tari khas Jawa Barat.186 a. Pementasan Intern Pementasan-pementasan yang dilaksanakan SSG terbagi dalam dua jenis yaitu pementasan intern dan pementasan ekstern sanggar. Pementasan intern sanggar yakni pementasan untuk kepentingan sanggar. Misalnya pergelaran sanggar, yaitu pementasan dalam rangka ujian/evaluasi bagi siswa SSG. Pergelaran merupakan pementasan yang boleh dilihat atau disaksikan oleh pihak umum. Pementasan dalam rangka ujian/ evaluasi dilaksanakan dihalaman SSG. Pementasan ini bertujuan, pertama, agar orang tua wali dapat melihat kemampuan anaknya masing-masing. Kedua, Pementasan ini bisa menjadi sarana untuk mengenalkan serta menyebarluaskan kesenian Tari Jaipongan terhadap masyarakat sekaligus bisa dijadikan sarana hiburan bagi masyarakat.

185 Wawancara dengan H.Suwanda di sanggar Suwanda Grup Karawang: pada hari Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 186 Hasil wawancara dengan Suwanda di Sanggar Suwanda Group Karawang: Selasa, 19 September 2017, pukul 13.03 WIB.

119

b. Pementasan ekstern Pementasan ekstern yaitu pementasan yang dilakukan di luar sanggar untuk kepentingan acara tertentu. SSG melaksanakan pementasan Tari Jaipongan untuk mengisi acara-acara yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah di Kabupaten Karawang maupun perorangan atau swasta. Misalnya hari jadi Kabupaten Karawang yang diperingati pada tanggal 14 September. Sejak tahun 1976 bahkan saat ngeboom nya seni pertunjukan Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang tahun (1980-1990), SSG tidak pernah absen mementaskan Tari Jaipongan untuk memeriahkan Hari Jadi Kabupaten Karawang. Pada Agustus 1981 Tari Jaipongan oleh SSG dipentaskan di Bandung dalam rangka Gelar Budaya Jawa Barat. Tari Jaipongan dibawakan oleh anak Sekolah Dasar (SD) sebagai pembuka acara lomba Tari Jaipongan. Pementasan Tari Jaipongan untuk memberikan apresiasi yang terus menerus kepada masyarakat Kabupaten Karawang dan kepada tamu pemerintah Kabupaten Karawang bahwa Tari Jaipongan merupakan tarian khas Jawa Barat termasuk Kabupaten Karawang yang harus dilestarikan. Masing-masing daerah yang ada di Jawa Barat mempunyai ciri khas Tari Jaipongan yang beragam, misalnya di Kabupaten Karawang mempunyai ciri khas dan bahkan hingga saat ini dikenal sebagai daerah sentra „Goyang Karawang‟. Penyebarluasan Tari Jaipongan juga dipentaskan di Jerman pada tahun 1982187, kemudian Srilanka dan Belanda pada akhir tahun 1980-an. 188 Kemudian Tari Jaipongan juga dipentaskan dalam Festival Jawa Barat pada tahun 1987, SSG membawa Tari Jaipongan berkolaborasi dengan tari kreasi baru Gugum Gumbira pada tahun yang sama, hingga akhirnya kesenian Tari Jaipongan ini terkenal di pelosok Indonesia dan bahkan hingga manca negara. SSG mendapat kepercayaan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat untuk menyambut duta besar negara-negara sahabat dengan tujuan untuk lebih memperluas Tari Jaipongan.

187 Koran Pakar Seni dan Budaya, Seni Jaipongan Aslinya dari Karawang: Suwanda Group Pernah Manggung di Jerman. 188 Asep Saerpudin, Aktifitas H. Suwanda dalam Penciptaan Pola-Pola Tepakan Kendang Jaipongan, Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan, (Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 2007). 120

Pada tahun 1989, SSG mengikuti “Lawung Motekar III, yang diadakan oleh Komunitas Peduli Jaipongan Jawa Barat (KPJJN) yang dilaksanakan di “Gedung Juang 45” Sukabumi. Pada tahun 1990, SSG mengikuti “Pasanggiri Jaipongan” se-Jawa Barat, dengan mendapatkan piagam penghargaan sebagai sanggar terbaik. Selain itu, SSG juga sering kali mendapatkan tawaran dari pihak-pihak yang membutuhkan. Seperti di acara pernikahan dan khitanan. Pentas seni tersebut biasanya berupa upacara adat mapag panganten dan degung Jaipongan, dalam waktu sebulan Jaipongan Suwanda Group bisa tampil sampai 20 kali tampil di berbagai wilayah di Kabupaten Karawang bahkan di luar Kabupaten Karawang. Untuk mengetahui peranan SSG terhadap pelestarian kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang dapat dilihat dari aktivitas di sanggar yang terkait dengan tari antara lain penggarapan atau penciptaan, pelatihan, dan pementasan.189 Kebertahanan dan berkembangnya kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang pada 1980-1990190 salah satunya ditandai dengan adanya SSG yang terus berupaya melestarikan dan mengembangkan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang, yang hingga kini masih eksis dalam melestarikan kesenian tradisional. b. Kerjasama Sanggar Suwanda Group (SSG) Upaya-upaya lainnya yang dilakukan Sanggar Suwanda Group (SSG) agar seni pertunjukan Tari Jaipongan tetap terjaga kelestariannya serta semakin dicintai oleh masyarakat Kabupaten Karawang yaitu dengan cara bekerja sama dengan pemerintah maupun seniman di Kabupaten Karawang lainnya, antara lain sebagai berikut:

189 Di tahun 1980-1990 Sanggar Suwanda Group cukup banyak menciptakan tarian-tarian Jaipongan lainnya salah satunya adalah tarian Jaipongan Senggot. Wawancara dengan bapak H.Suwanda di Sanggar Suwanda Grup Karawang: Senin, 11 Desember 2016, pukul 13.03 WIB. 190 Endang Caturwati, “Tari Rakyat Jawa Barat”, dalam Lilis Sumiati, dkk, Kapita Selekta Tari, artikel (STSI PRESS BANDUNG, 1998), h.14. 121

1. Diadakannya berbagai pagelaran kesenian tradisional di tempat-tempat yang strategis seperti panggung arena Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Karawang setiap setahun sekali. 2. Mengadakan dan mengikuti Festival seni pertunjukan tradisional di berbagai daerah Kabupaten Karawang, atau bahkan promosi pertunjukan tradisi di berbagai kesempatan, baik di Kabupaten Karawang maupun luar Kabupaten Karawang, dengan bantuan dari Disbudpar Kabupaten Karawang. 3. Mengadakan sarasehan. 4. Mengadakan seminar-seminar. 5. Lokakarya serta pelatihan pertunjukan tradisional, dari mulai apresiasi, mengemas, hingga mengenai manajemen seni pertunjukan bagi para seniman daerah Kabupaten Karawang.

3.5. Struktur Organisasi Sanggar Suwanda Group (SSG) Struktur organisasi Sanggar Suwanda Group terdiri dari ketua sanggar adalah Suwanda yang juga merangkap menjadi pemilik SSG, pelatih SSG adalah Suwanda, Mimin, Laela Dewi Kania, Renik, Suwandi, Kurniadi, yang terlihat dalam organisasi SSG yaitu keluarga besar pemilik yaitu Suwanda. Ketua SSG (Suwanda) mempunyai tanggung jawab atas segala perkembangan SSG dan melaporkan keberadaan SSG setiap tahunnya ke Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Kabupaten Karawang. Ketua SSG juga bertugas atau mengesahkan kegiatan-kegiatan di SSG yang diadakan setiap tahun. Sedangkan pelatih SSG (Suwanda, Mimin, Laela Dewi Kania) bertanggung jawab dalam pelatihan tari yang diajarkan pada SSG. Pelatih juga mempunyai tanggung jawab pada hasil pelatihan yang diajarkan oleh pelatih. Para pelatih tari memiliki tanggung jawab dalam pementasan-pementasan tari yang diadakan oleh SSG, diantaranya adalah pelatihan siswa dalam pementasan, pelatihan serta kematangan mental dalam sebuah pementasan. Siswa di SSG bertanggung jawab atas dirinya dalam menangkap materi yang diberikan oleh pelatih. Untuk menjadi siswa di SSG ada beberapa ketentuan 122

yaitu pria atau wanita berusia mulai dari 5 tahun-30 tahun mengisi identitas diri, membayar biaya pendaftaran siswa baru sebesar 40.000. Dan perbulannya 20.000 siswa berhak memilih pelatihan apa yang ingin di pelajari sesuai dengan minat dan bakat. Siswa SSG diperbolehkan mengikuti dua sekaligus misalkan pelatihan tari dan oleh vocal. Bagan 4.14: Struktur Organisasi Sanggar Suwanda Group (SSG) KETUA (H. SUWANDA)

SEKRETARIS BENDAHARA

(MIMIN) (RENIK)

PELATIH PELATIH (H. SUWANDA) (LAELA DEWI KANIA) Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG) Jika melihat diagram di atas, meskipun dalam struktur kepengurusan Sanggar Suwanda Group (SSG) tidak melibatkan banyak kepengurusan. Namun. Suwanda beserta tim SSG mampu mengelola SSG dengan baik. Begitu pun dengan jumlah siswa yang tidak terlalu banyak, sehingga memudahkan tim SSG dalam mengelola sanggarnya. Menejemen sanggar yang dikelola dengan baik dan profesional akan menghasilkan suatu keharmonisan dan interaksi yang baik di dalam struktur kepengurusan. Selain itu, memberikan kenyamanan bagi peserta kursus, sehingga mereka semakin giat dan semangat dalam belajar. Hal tersebut merupakan yang terjadi pada SSG, keharmonisan, kerjasama yang baik, dan interaksi positif dengan pihak-pihak terkait menjadikan SSG ini tetap bertahan hingga saat ini.

123

3.6. Administrasi Sanggar Suwanda Group Pada tahun 1976-1988 Sanggar Suwanda Group (SSG) tidak melakukan pendataan siswa secara terperinci. Data administrasi SSG, diantaranya sebagai berikut: Tabel 4.15 : Jumlah peserta didik Tari Jaipongan di Sanggar Suwanda Group (SSG) Tahun 1976. Jenis Latihan No Nama Rampak Tari Jaipongan Vokal Gamelan Kendang 1 Udin √ √ 2 Angga √ √ 3 Usman √ √ 4 Dinta √ 5 Doyok √ 6 Ija √ 7 Karna √ 8 Enun √ 9 Nia √ 10 Ela √ √ 11 Ria √ 12 Euis √ 13 Lilis √ √ 14 Umay √ 15 Iis √ 16 Een √ 17 Eva √ 18 Enung √ 19 Agus √ 20 Didin √ 21 Nasir √ 22 √ 23 Datuk √ Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG)

124

Tabel 4.15 : Jumlah Peserta Didik Tari Jaipongan di Sanggar Suwanda Group (SSG) periode 1989-1990. Jenis Latihan No Nama Usia Tari Rampak Vokal Gamelan Jaipongan Kendang 1 Yesi 8 tahun √

2 Rahma 8 tahun √ 3 Riva 8 tahun √ 4 Nur Habibah 9 tahun √ 5 Silvi 10 tahun √ 6 Farida 11 tahun √ 7 Rima 14 tahun √ 8 Nina 14 tahun √ √ 9 Eva 15 tahun √ √ 10 Annisa 16 tahun √ √ 11 Rizqi Nur W 8 tahun √ 12 Hesti 20 tahun √ √ 13 Wildan Nurfatoni 8 tahun √ 14 Deden Lukman 10 tahun √ 15 Ariya Hendrawan 10 tahun √ Wahyu 16 10 tahun √ √ Faturohman Adam Maulana 17 11 tahun √ √ Rizaldi

18 Diki Permana 11 tahun √ √ 19 Angga Zaelani 12 tahun √ √ Muhammad Yusuf 20 12 tahun √ √ Sobari

21 Rusdiansyah 12 tahun √ √ 22 Mardiansyah 12 tahun √ √ 23 Rivaldi 13 tahun √ √

Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG)

125

Hingga saat ini SSG sudah memiliki 40 angkatan sejak dari tahun 1976- 2017. Adapun cara perekrutan peserta didik SSG biasanya setiap awal tahun setelah di laksanakannya ujian tingkat, akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika ada peserta didik yang baru masuk ketika tahun ajaran sudah berlangsung. Dalam menarik minat peserta didik, biasanya pengelola SSG memberikan informasi penerimaan peserta didik kepada orang tua wali murid sanggar dan masyarakat setempat yang berada disekitar SSG. Informasi tersebut biasanya cepat menyebar dari mulut ke mulut. Sehingga dengan berjalannya waktu keberadaan SSG semakin terkenal untuk beberapa kalangan dan peserta didiknya pun semakin bertambah dari tahun ke tahun.

3.7. Program Sangar Suwanda Group (SSG) Program-program Sanggar Suwanda Group antara lain program kerja tahunan dan program mingguan. Program kerja mingguan adalah program kerja yang rutin dilaksanakan setiap minggunya dalam kepengurusan SSG. Program kerja tahunan adalah program kerja yang rutin dilaksanakan setiap tahun sekali oleh SSG, yaitu Evaluasi Tari, dan Lomba Tari Jaipongan.

3.6. Sarana dan Prasana Sanggar Suwanda Group (SSG) Kelancaran kegiatan di Sanggar Suwanda Group (SSG) didukung oleh adanya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana SSG yaitu terdiri dari tempat kegiatan latihan yang diadakan di rumah Suwanda sendiri, tape recorder, kaset tari, dan kostum tari. Area tempat latihan SSG bertempat di halaman belakang, halaman depan, dan halaman samping rumah. Halaman belakang digunakan untuk latihan gamelan, sedangkan halaman depan dan samping di gunakan untuk latihan tari. Faktor lain yang mendukung kelancaran proses belajar Tari Jaipongan di SSG yaitu didukung oleh kemampuan para pelatih yang berpengalaman dan berkualitas. Serta adanya perhatian dari pemerintah dengan mendapatkan bantuan dana untuk perbaikan dan renovasi sanggar. Adapun faktor penghambat dalam 126

proses pembelajaran Tari Jaipongan di SSG antara lain waktu yang sangat terbatas, dan kehadiran siswa yang tidak mementu.

Gambar 4.15 : Area belakang rumah Suwanda yang digunakan untuk tempat berlatih Gamelan. Sumber: Dokumentasi Peneliti.

Gambar 4.16 : Area depan dan samping rumah Suwanda yang digunakan untuk tempat berlatih Tari Jaipongan. Sumber: Dokumentasi Peneliti.

Gambar 4.17 : Alat musik bonang yang digunakan untuk latihan gamelan, untuk mengiringi Tari Jaipongan. Sumber: Dokumentasi Peneliti.

127

Gambar 4.18 : Alat musik kendang yang digunakan untuk latihan “Rampak Kendang” dan “Gamelan” untuk mengiringi Tari Jaipongan Sumber: Dokumentasi Peneliti.

Gamabar 4.19 : Alat musik saron yang digunakan untuk latihan gamelan, untuk mengiringi Tari Jaipongan Sumber: Dokumentasi Peneliti.

Gamabar 4.29 : Alat musik gong/goong dan kempul yang digunakan untuk latihan gamelan, untuk mengiringi Tari Jaipongan Sumber: Dokumentasi Peneliti.

128

3. Pertunjukan Kesenian Tari Jaipongan Suwanda Group

Gambar 4.30 : Jaipongan Suwanda Group ketika manggung pada tahun 1976 Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG)

Keluarga Suwanda berprofesi sebagai seniman, mempermudah Suwanda dalam melakukan kreativitasnya. Keluarga Suwanda dan istrinya diwadahi dalam group Jaipongan „Suwanda Group‟. Keanggotaan „Suwanda Group‟ hampir semua keluarganya. Hanya beberapa saja yang bukan anggota keluarga. Keanggotaan „Suwanda Group‟ dibagi menjadi beberapa bagian antara lain: 1) Pangrawit atau nayaga, 2) penari, 3) sinden, 4) operator sound system, 5) catrik: Dibawah ini data keanggotaan „Suwanda Group‟ tahun 1976, sebagai berikut: 1. Panggrawit atau nayaga Rebab : Udin (juga sebaga dalang) Kendang 1 : Suwanda (Pimpinan Group) Kendang 2 : Kurniadi (adik Suwanda) Kendang 3 : Angga (keponakan Mimin) Kendang 4 : Usman (keponakan Mimin) Saron 1 : Dinta (anak angkat Suwanda) Saron II : Suwandi (adik Suwanda) Bonang : Doyok Goong : Ija (adik Mimin) : Karna (adik Mimin) Kecrek : Enun (keponakan Mimin)

129

2. Penari Penari 1: Nia (keponakan Suwanda) Penari 2: Ela (keponakan Mimin) Penari 3: Ria (keponakan Mimin) Penari 4: Euis (keponakan Minin) Penari 5: Lilis (keponakan Suwanda) Penari 6: Umay Penari 7: Iis

3. Sinden Sinden 1: Mimin (istri Suwanda) Sinen 2 : Renik (alm) (Kakak Suwanda) Sinden 3: Een Sinden 4: Eva

4. Sound System Operator: Eman

5. Catrik 191 Catrik 1: Enung (keponakan Mimin) Catrik 2: Angga (keponkan Mimin) Catrik 3: Agus (keponakan Mimin) Catrik 4: Didin Catrik 5: Nasir Catrik 6: Indra Catrik 7: Datuk

191 Catrik adalah istilah yang dipakai untuk orang yang membantu dan melakukan pekerjaan seni. Istilah ini biasanya digunakan untuk menyebut dua orang pembantu dalang dalam pertunjukan Wayang Golek. 130

Gambar 4.31: Jaipongan Suwanda Group ketika manggung pada tahun 1984 Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

Gambar 4.32 : Jaipongan Suwanda Group ketika manggung pada tahun 1990 Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

Gambar 4.33 : Para penari Tari Jaipongan Suwanda Group pada tahun 1980-an Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG)

131

Gambar 4.33 : Suwanda sedang memainkan kendang Jaipongan pada tahun 1980-an Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

BAB V RESPONS MASYARAKAT TERHADAP SENI TARI JAIPONGAN KHAS KARAWANG

A. Pandangan Para Seniman Terhadap Seni Tari Jaipongan Pada awal tahun 1980-an, daerah Jawa Barat diramaikan oleh munculnya tarian baru dengan nuansa dan warna gerakan yang berbeda dari tarian yang telah ada sebelumnya, tari tersebut yaitu Tari Jaipongan karya Gugum Gumbira Tirasonjaya. Seni Tari Jaipongan kemudian menjadi marak, seakan-akan memulihkan kembali pertunjukan yang telah lama punah akibat perubahan zaman. Pada tahun 1980-an perempuan dalam menari Jaipongan tidak malu-malu lagi meliukkan tubuh, menggoyang pinggul, serta melirikkan mata kepada para penonton. Sehingga hal tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Seperti kelompok masyarakat, pejabat pemerintah, seniman dan para ulama di Jawa Barat. Namun di situasi yang seperti itu seni Tari Jaipongan tetap berkembang di Jawa Barat bahkan luar Jawa Barat.192 Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempersoalkan tarian-tarian tertentu untuk tidak dipertunjukkan di forum-forum terhormat, seperti halnya yang pernah dialami oleh seni Tari Jaipongan karya Gugum Gumbira. Sekitar tahun 1980-an, tepatnya pada masa Aang Kunaefi menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, Tari Jaipongan tidak diperbolehkan tampil di Pakuan (Gubernuran) atau acara penting lainnya yang mengundang tamu pejabat daerah. Larangan tersebut muncul karena dalam gerakan Tari Jaipongan terdapat unsur tiga G (goyang, geol, dan gitek). Unsur tiga G tersebut di nilai mengandung unsur yang erotisme.193 Pada dasarnya Aang Kunaefi adalah promotor Gugum Gumbira sendiri dalam mempromosikan Tari Jaipongan. Namun, semua stemen tersebut sebetulnya muncul dari ibu Aang Kunaefi maupun para istri pejabat. Kelompok tersebut adalah para perempuan yang berkuasa secara „struktur‟ sosial dengan mengatas namakan „organisasi perempuan‟ yakni „Darma Wanita‟. Karena para

192 Caturwati, Sinden Penari di Atas dan di Luar Panggung, h. 17. 193 Jack S Paniuppan, Kontroversi Goyang Jaipongan, 1980. Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

132 133

perempuan ini merasa khawatir dengan goyang pinggul dan lenggak-lenggok sang penari. Berangkat dari sini lah pro dan kontra terhadap seni Tari Jaipongan muncul. 194 Pro dan kontra terhadap Tari Jaipongan tidak hanya muncul dari kaum perempuan saja, namun berlanjut hingga ke beberapa ulama yang ikut berkomentar. Komentar tersebut juga muncul dari seniman tari klasik yaitu Gugum Gumbira. Dalam sebuah tayangan yang di unggah di youtube, Gugum mengatakan bahwa hal yang sangat eksrim adalah ketika Tari Jaipongan sempat dilarang dan jangan di tampilkan ditempat umum. Sebetulnya yang harus dipahami terjadi pro dan kontra ini disadari oleh perbedaan pandangan. Mereka menganggap bahwa 3G (goyang, geol, dan gitek) dalam Tari Jaipongan memiliki nilai yang erotik. Namun menurut Gugum unsur tiga G tersebut sebenarnya tidak perlu di permasalahkan, karena unsur tiga G itu muncul dari padangan awam itu sendiri. Unsur 3G yang dipermasalahkan oleh masyarakat, sebenarnya bukanlah unsur yang melekat pada Tari Jaipongan, melaikan istilah 3G itu muncul berdasarkan persepsi dari masyarakat.195 Gugum Gumbira, sebagai pelaku seni yang bergerak di bidang seni tari, berpendapat bahwa, mengapa sifat erotis ini harus dilarang. Menurutnya, „Allah menciptakan manusia sudah dalam posisi erotis‟. Adapun masalah gerak yang dikatakan erotis menurutnya sesuatu yang wajar, karena Allah yang membuat manusia bisa bergerak. Justru Allah yang telah memberikan manusia untuk berkreatifitas, adapun masalah seni erotis atau dianggap vulgar, biarkan saja karena itu bentuk dari sebuah kreatifitas. Kemudian permasalahan yang muncul mengenai unsur 3G dalam Tari Jaipongan itu kembali lagi kepada orang-orang yang melihatnya. Karena pada dasarnya hasrat atau syahwat itu bisa muncul tidak hanya dengan melihat Tari Jaipongan saja, karena syahwat dan hasrat ini merupakan naluri manusia yang normal. Ketika seorang lak-laki melihat perempuan yang cantik maka dengan diamnya perempuan itu syahwat seorang

194 Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa, h.39. 195 Gugum Gumbira, dalam “Maestro Indonesia RTV”, Segmen 1 Youtube, dilihat pada 10 Oktober 2017.

134

laki-laki bisa saja muncul. Jadi sebenarnya bukan alasan sifat erotis pada seni Tari Jaipongan menimbulkan permasalahan yang serius.196 Dalam hal ini juga Gugum menjelaskan bahwa, kita sebagai manusia yang beragama seharusnya mempunyai filter untuk menyaring semua hal yang memang dianggap kurang, sebab pada dasarnya masalah erotis masuk kedalam kajian kreatifitas seni. Dalam hal ini juga Gugum Gumbira berhasil membawa seni Tari Jaipongan ke Istana Presiden dan Gugum Gumbira mampu menarik hati Ibu Tien. Tanggapan Ibu Tien setelah melihat Tari Jaipongan beliau menilai bahwa tidak ada yang erotis pada Tari Jaipongan. Sebaliknya pihak istana justru memberikan apresiasi lebih terhadap Gugum Gumbira.197 Jika kita lihat meskipun banyak nya pro dan kontra terhadap seni Tari Jaipongan, namun seni Tari Jaipongan ini mampu berkembang pesat dan bisa diterima hingga manca negara. Gugum Gumbira dan Suwanda selaku pencipta seni Tari Jaipongan ini merasa bersyukur. Karena karyanya itu mampu memajukan dari segala aspek, diantaranya aspek ekonomi, budaya, organisasi serta kehidupan manusia pada umumnya. Bahkan hingga saat ini seni Tari Jaipongan masih bertahan dan berkambang dengan di tandai banyaknya sanggar dan padepokan di Jawa Barat yang mengadakan pembelajaran Tari Jaipongan. Tentunya sebagai generasi penerus harus memberi apresiasi yang baik pada pencipta seni Tari Jaipongan ini.

B. Pandangan Ulama di Jawa Barat terhadap Seni Tari Jaipongan Adapun ulama yang pro terhadap imbauan dan Kritikan Gubernur Aang Kunaefi adalah Dr. H. Aziz Taufik Hirzi, Drs, M.Si, selaku Ketua Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah Jawa Barat. Menurutnya terdapat dua pandangan khusus untuk memandang seni dalam Islam. Pertama adalah pandangan menurut Al- Ghazali, yang menggolongkan hukum seni secara umum. Menurut pandangan Al-

196 Gugum Gumbira, dalam “Maestro Indonesia RTV”, Segmen 1 Youtube, dilihat pada 10 Oktober 2017. 197 Gugum Gumbira, dalam “Maestro Indonesia RTV”, Segmen 2 Youtube, dilihat pada 10 Oktober 2017.

135

Ghazali seni itu bisa bersifat haram, makruh dan juga halal. Contohnya, seni dari lagu-lagu daerah maupun lagu Nasional yang mengandung nilai-nilai perjuangan itu bisa memberikan maanfaat yang begitu luar biasa yang diperbolehkan dalam Islam. Kemudian dalam hal seni musik juga tidak mengundang orang sampai histeris. Tetapi, yang bisa menunjukan gairah dan semangat kepada nilai-nilai perjuangan dan juga menambah rasa kecintaan kepada Allah itu sangat diperbolehkan dalam Islam. Selain itu juga dalam syair lagu-lagunya pun harus yang mengandung nilai moralis.198 Dr. H. Aziz Taufik, Drs.,M.si, beliau berpendapat mengenai seni Tari Jaipongan di Jawa Barat menurutnya seniman Jaipongan harus berbesar hati dalam menerima kritikan dan juga imbauan dari berbagai pihak, karena sebenarnya itu justru agar membuat seni Tari Jaipongan lebih maju dan bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Karena menurutnya dari Ketuk Tilu sampai Tari Jaipongan keduanya menggabungkan nilai Tari Jaipongan hanya saja yang perlu diperbaiki adanya unsur 3G nya, agar dikurangi dan juga dikemas dengan sebaik mungkin. H. Aziz juga menegaskan bahwa munculnya Islam jauh sebelum munculnya seni Tari Jaipongan, maka wajar saja bisa banyak orang Islam yang angkat bicara mengenai seni Tari Jaipongan ini.199 Adapun pandangan H. Aziz mengenai polemik seni Tari Jaipongan pada tahun 1980-an yang menyeret Gubernur Jawa Barat Aang Khunaefi, ia sependapat dengan Aang Khunaefi. Beliau juga menyatakan apa yang telah dilakukan Aang Kunaefi itu sudah sangat tepat, karena yang namanya seni tidak hanya bermodal keerotisan saja tetapi harus dipikirkan juga nilai moralitasnya. H.Aziz menginginkan seni Tari Jaipongan itu kedepannya bisa seperti Tari Merak yang dimodifikasi dan disajikan dengan menggunakan hijab, karena dengan menggunakan hijab tidak akan mengurangi keindahan pada tarian tersebut. sehingga menampilkan seni sunda yang islami. Beliau juga menegaskan bahwa apa yang telah dilakukan Aang Kunaefi itu bukan untuk menekan seni Tari Jaipongan agar sirna, tapi hanya menawarkan seni Tari Jaipongan lebih bisa di

198 Pikiran rakyat, “Panggung Jaipongan”,15 Februari 2009. 199 Pikiran rakyat, “Panggung Jaipongan”,15 Februari 2009. 136

terima semua kalangan dengan memperbaiki tampilan yang mengurangi unsur 3G tersebut. Ulama lain yang pro terhadap imbauan dan kritikan Aang Kunaefi adalah H. Erdian, S.Ag beliau menjabat sebagai sekretaris PW PERSIS Jawa Barat. H. Erdian memandang seni sebagai sesuatu yang termasuk kedalam wilayah dunia dan termasuk ke dalam kategori muamalah. Jika berkaitan dengan muamalah maka masuk pada kaidah “al aslu muamalati al ibadah” yakni adalah dalam muamalah itu hukumnya adalah boleh, selama itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syara. Kemudian karena hal ini ibadah, maka bisa menunjukan kemungkinan-kemungkinan hukum bisa saja haram, makruh, dan bahkan suatu saat bisa dianjurkan sesuai kepentingan umat. Adapun mengenai seni Tari Jaipongan di Jawa Barat, beliau berpendapat “karena seni itu bukan suatu hal yang statis dalam artian bisa mengalami perubahan-perubahan yang sangat dinamis sesuai dengan jaman pada saat seni itu mulai berkembang”. Maka yang harus dipahami disini adalah bisa saja seni yang muncul di awal akan berbeda dengan seni kekinian. Seperti seni Tari Jaipongan yang muncul tahun 1980-an dengan tari Jaipongan yang muncul saat ini. Namun pada prinsipnya adalah jangan sampai bertentangan dengan hukum syara apalagi seorang penari sampai mengekpoitasi bagian-bagian tubuh perempuan. Jika dalam seni Tari Jaipongan bisa menjaga hal tersebut maka tidak ada masalah. Ketika seorang seniman Jaipongan sudah masuk pada ranah mengekploitasi gerakan maka yang dijadikan patokan adalah nilai-nilai Islam. Karena Islam ini sangat toleran terhadap seni dalam artian Islam tidak membatasi seni itu sendiri, tetapi pada dasarnya itu juga dapat ditolelir ketika seni tidak keluar dari jalur syara. 200 Dari pendapat yang telah dipaparkan di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa seni Tari Jaipongan dianggap wajar-wajar saja ketika para pelaku seni memang tidak keluar dari batasan syara dan juga tidak sampai mengekploitasi gerakan-gerakan yang erotis. Karena dalam fiqih Islam ada itifak yaitu kesepakatan semua bahwa semua tubuh wanita itu aurat kecuali wajah dan

200 Pikiran Rakyat, “Gubernur-Seniman tutup Polemik Jaipongan”, 11 Februari 2009. 137

telapak tangan. Menurut H. Erdian hal tersebut dapat dijadikan patokan untuk pelaku seni dalam menyajikan sebuah seni dalam bentuk tarian. Tidak semua ulama pro terhadap imbauan dan kritikan Gubernur Jawa Barat (Aang Kunaefi). Namun ada pula yang kontra terhadap imbauan dan kritikan Aang Kunaefi yaitu Drs. Enoh, M.Hum beliau adalah pembina Lembaga Seni Budaya Muslim Nahdatul Ulama (NU) Jawa Barat. Dalam sebuah surat kabar beliau menjelaskan pandangannya terhadap seni Tari Jaipongan. Menurutnya estetika dalam Islam lebih banyak diserahkan kepada umat itu sendiri, sebab masalah seni biasanya berkaitan dengan masalah keduniaan. Sepeti halnya sabda nabi Saw, “antum ala muriddunyakum”.201 Jika sepeti itu maka urusan tari maupun tehnik tarinya itu segalanya menjadi urusan manusia pada umumnya. Maka dari itu, secara konseptual Islam tidak tidak memberikan sebuah konsep mengenai etetika, jika konsep etika maka Islam memberikan perhatian yang lebih. Masalah yang muncul selama ini selalu mengakibatkan polemik yang cukup serius terhadap seni itu dikarenakan tata cara kesenian itu sendiri masuk di dalam fiqih apalagi masuk dalam bagian fiqih yang begitu ketat. Menurut beliau jika seni dipandang dari fiqih maka tidak akan pas dan tidak ada seni yang bisa lolos dari jeratan fiqih. Jika seni dihadapkan pada fiqih memang susah, setidaknya seni bisa dihadapkan pada prinsip-prinsip Islam pada umumnya. Seperti halnya seni itu harus membawa kemasalahatan dan dalam Islam pun juga sama membawa kemaslahatan. Beliau juga berpendapat bahwa sejelek-jeleknya seni Tari Jaipongan yang dipagelarkan oleh kita toh itu miliki kita, milik orang muslim, yang menciptakan seni Tari Jaipongan juga orang muslim dan yang menyaksikan juga orang muslim. Dari hal tersebut, setidaknya kita bisa membatasi seni-seni Barat masuk dan berkembang di Tatar Sunda.202 Beliau membedakan antara berfikir normatif dan strategis dalam memandang sebuah seni baik itu seni tari, seni suara seni musik atau seni-seni lainnya. Menurutnya jika seseorang berfikir secara normatif mengenai seni maka

201 Pikiran Rakyat, “Soal Jaipongan: Seniman siap temui Gubernur”, 9 Februari 2009, h.1 202 Pikiran Rakyat, “Panggung Jaipongan”, 15 Februari 2009. 138

jelas yang didapat olehnya mengenai haram atau halalnya terhadap seni itu. sebaliknya jika berfikir secara strategis dalam memandang sebuah seni maka semuanya tidak akan menyimpang dan masuk sesuai subtansi yang ada. Perlu dilihat disini bahwa menilai seni itu harus di padang secara utuh dan jangan dipandang secara parsial satu-persatu.203 Menurut Drs Enoh M.Hum dalam tarian Jaipongan wajar-wajar saja, karena yang tidak baik itu ketika seni tari itu dieksploitasi dengan goyangan yang memang sangat erotis dan itu pun dilakukan bukan oleh semua seniman. Mungkin saja itu dilakukan oleh mereka yang mempunyai kepentingan seperti halnya seni- seni di kolong jembatan atau di klub-klub malam dan lain sebagainya. Hal seperti itu lah yang sering kali menimbulkan polemik. Tetapi jika seni dibawah kalangan akademik, kiranya tidak akan mempetunjukan gerakan-gerakan yang erotis dan dari segala hal lebih diperhatikan dan dapat terpelihara. Beliau juga menegaskan bahwa seni tradisional Tari Jaipongan dan seni-seni Sunda lainnya haruslah dijaga dan dilestarikan. Bukan untuk dicari halal dan haramnya, karena masalahnya jika orang Sunda Muslim khususnya, mengabaikan seni Tari Jaipongan maka orang lain bisa saja mengambil seni Tari Jaipongan itu sendiri. Maka dengan itu kita sebagai generasi penerus wajib menjaga dengan cara melestarikan seni Tari Jaipongan. Dalam memandang fenomena seni Tari Jaipongan di Jawa Barat adalah bersumber dari seni-seni yang sudah ada khususnya seni tradisi. Tentunya bila dahulu sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia mempunyai agama seperti Hindu dan Budha yang berkembang. Maka tidak heran jika masih ada peninggalan-peninggalan atau bahkan masih ada pengaruh-pengaruh Hindu dan Budha khususnya dalam hal kesenian. Misalkan dalam upacara-upacara kesuburan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Barat pada umumnya. Hingga saat ini masih banyak menggunakan gerakan-gerakan yang memang erotik. Hal

203 Pikiran Rakyat, “Gubernur-Seniman tutup Polemik Jaipongan”, 11 Februari 2009.

139

itu juga dikarenakan sejarah seni itu, dimulai ketika zaman primitif, mereka hidup dengan cara meramu atau mengambil makanan dari alam.204 Tetapi dalam kehidupannya sehari-hari ternyata menurutnya ada sebuah kekuatan di luar dirinya, misalkan ada gempa bumi, stunami dan segala macam yang muncul dari kekuatan luar diri mereka sendiri. Mereka memandang bahwasannya kekuatan ini jangan dijauhi bahkan harus didekati dengan cara memberikan persembahan pada dzat yang sangat dihormati. Dalam pemberian persembahan yang diberikannya pun harus sempurna dalam artian harus hal yang baik dan pada latar yang baik pula. Semua itu terkonsep dengan ritual upacara. Maka dari itu munculan bunyi-bunyian, suara-suara dan juga gerakan tumbuh yang mengarah pada gerakan kesuburan. Untuk saat ini misalnya pada Tari Tayub dan juga pada beberapa seni tari ritual lainnya.205 Jika ulama pada jaman dulu mereka sangat menghargai tradisi, Enoh, M.Hum menuturkan memang wajar saja karena tradisi itu merupakan kristalisasi nilai-nilai dari sebuah kelompok bangsa atau suku bangsa dimanapun. Banyak orang yang beranggapan kenapa seni Tari Jaipongan sekarang menjadi vulgar. Enoh. M.Hum berpendapat hal tersebut terjadi karena orang muslim tidak pernah menjadi apresiator seni Jaipongan, karena bisa saja jika para ulama yang mengundang seni Tari Jaipongan dengan meminta para penari agar memakai hijab dan juga gerakannya diperhalus, maka dirasa Jaipongan akan sopan sesuai yang di pesan tadi. Masalahnya yang selama ini menjadi apresiator seni Tari Jaipongan memang kalangan-kalangan yang suka dengan apa yang disuguhkan Jaipongan. Hal ini bisa di anggap wajar, kerena pada dasarnya seorang pelaku seni akan mengejar harga dan juga mengikuti selera pasar. Jika pasar menginginkan Jaipongan vulgar maka itu yang akan disuguhkan. Namun semuanya tidak begitu, justru kebanyakan pihak yang mencela mereka bukan apresiator yang baik bahkan mereka tidak pernah mengundang Jaipongan tapi dalam usrusan kritikan mereka yang pertama. Menurut Enoh, M.Hum banyak yang menjadi kritikus padahal mereka bukan seorang penonton yang baik bahkan

204 Pikiran Rakyat, “Gubernur-Seniman tutup Polemik Jaipongan”, 11 Februari 2009. 205 Sumarjo, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda, h.99 140

mereka hanya bisa mengaharamkan saja tanpa membuat seni yang serupa atau setidaknya seni yang mereka anggap layak.206 Beliau sangat menganggap wajar apa yang dilakukan oleh gubernur Jawa barat tahun 1980an (Aang Kunaefi). Karena pada dasarnya banyak pihak-pihak dalam pemerintahan yang memang mereka memandang seni dalam kacamata fiqih, tetapi ujarnya jangan keterusan karena sebenarnya mereka ingin membina supaya seni Tari Jaipongan lebih baik lagi kedepannya. Menurut Enoh. M.Hum Aang Kunaefi adalah apresiator yang baik, kerena walaupun ia sempat mengkritisi Jaipongan tetapi beliau selalu membiayai kesenian Jaipongan ini. Dalam hal ini semua dikembalikan lagi kepada kita, karena pada sadarnya baik dari pihak NU maupun seniman memang tidak setuju dengan goyangan yang vulgar. 207 Selanjutnya beliau juga menegaskan bahwa gerakan tarian Jaipongan tidak semata-mata asal, tetapi semuanya itu ada sejarahnya. Misalnya wilayah Sunda yang notabene persawahan dan ladang, hal itu menyebabkan gerakan-gerakan tari lahir dari kebiasaan masyarakatnya yang berladang sehingga munculan tari persembahan seperti Tari Tayub dan lain sebagainya. Namun, berbeda dengan daerah pantai yang notabene masyarakatnya keras dan sebagai nelayan maka gerakan tari juga muncul dari kebiasaan itu. Sampai saat ini belum ada fatwa mengenai masalah Tari Jaipongan di Nahdatul Ulama Jawa Barat. Hal ini karena menurutnya NU adalah organisasi yang sangat toleran terhadap budaya serta tidak meninggalkan kewaraan dalam hukum fiqih. Tetapi pada umumnya di Indonesia kelompok NU adalah kelompok yang sangat bisa mengakomodir bentuk budaya dan tradisi lokal. NU adalah tempat yang tepat untuk mengembangkan tradisi dan budaya.208 Jika melihat penjelasan yang telah di paparkan oleh Enoh, M.Hum, penulis menarik kesimpulan bahwasannya banyak pihak yang saat ini menjadi kritikus pada seni Tari Jaipongan disebabkan karena mereka bukan apresiator yang baik.

206 Pikiran Rakyat, “Gubernur-Seniman tutup Polemik Jaipongan”, 11 Februari 2009. 207 Pikiran Rakyat, “Soal Jaipongan: Seniman siap temui Gubernur”, 9 Februari 2009, h 3. 208 Pikiran Rakyat, “Soal Jaipongan: Seniman siap temui Gubernur”, 9 Februari 2009, h 4- 5.

141

Serta dalam memandang budaya maka sudut pandang budaya yang harus digunakan agar semua sejalan dan tidak menimbulkan kontradiktif. Padangan Enoh, M.Hum ini, bertolak belakang dengan padangan Dr. H. Aziz Taufik Hirzi, Drs. M.Si dan H. Erdian, S.Ag. Enoh. M.Hum cenderung kurang begitu setuju dengan imbauwan Gubernur Jawa Barat (Aang Khunaefi). Dengan kata lain, Enoh, M.Hum menilai seni Tari Jaipongan dengan kacamata yang berbeda, dengan pandangan yang berbeda dengan ulama-ulama yang sebelumnya yang lebih menilai seni Tari Jaipongan dengan sudut pandang fiqih dan agama. Dari beberapa pendapat ulama yang beragam, penulis menganggap hal tersebut adalah hal yang sangat wajar, karena apa yang menjadi landasan dan acuan mereka dalam memandang seni khususnya seni Tari Jaipongan juga sangat beragam. Maka hal ini menjadi hal yang lumrah yang harus dipahami ketiga pendapat tersebut sebenarnya untuk mewakili pandangan masyarakat Jawa Barat pada umumnya dalam memandang seni Tari Jaipongan selalu memunculkan polemik.

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan Melalui skripsi ini, dapat diketahui bahwa Seni Tari Jaipongan berasal dari Jawa Barat yang lahir sekitar tahun 1976, mengenai penciptanya tidak dapat dilepaskan dari dua seniman besar asal Jawa Barat yaitu Suwanda dan Gugum Gumbira. Kedua seniman ini memiliki keahlian yang berbeda. Suwanda seniman asal Kabupaten Karawang, mempunyai keahlian di bidang seni tepak kendang dan telah berhasil menciptakan pola tepakan kendang Jaipongan pada tahun 1976, sedangkan Gugum Gumbira seniman asal Bandung, memiliki keahlian di bidang koreografer telah berhasil menciptakan gerakan tariannya sekaligus lagu yang mengiringinya. Keduannya seniman ini dengan dua latar belakang yang berbeda berkolaborasi sehingga jadilah sebuah seni yang diberi nama seni Tari Jaipongan. Pada tahun 1980-an seni Tari Jaipongan ini mengalami perkembangan yang pesat. Kesenian Tari Jaipongan kini telah menjadi kesenian kebanggaan masyarakat Jawa Barat khususnya di daerah Kabupaten Karawang. Berkembangnya seni Tari Jaipongan di Kabupaten pada tahun 1976-1990 tidak dapat dilepaskan oleh peranan sanggar-sanggar yang melestarikannya. Salah satunya adalah Sanggar Suwanda Group (SSG) yang dipimpin oleh Suwanda selaku pencipta tepakan kendang itu sendiri. Adanya proses pembelajaran kesenian Tari Jaipongan di SSG merupakan suatu proses regenerasi melalui pelatihan seni tradisional khususnya seni Tari Jaipongan dan penciptaan tari-tari Jaipongan kreasi baru membuat seni Tari Jaipongan memiliki daya tahan dan daya saing yang cukup tangguh. Di samping itu, upaya-upaya yang telah dilakukan oleh para seniman Jaipongan dalam mengembangkan seni Tari Jaipongan dalam mengembangkan pertunjukan seni tradisional dengan cara memperbesar volume penyajian dan aspek promosi, telah memperkokoh eksistensi kesenian Tari Jaipongan. Di saat kesenian tradisional lain mengalami degradasi, kesenian Tari Jaipongan tetap bisa bertahan bahkan berkembang. Adanya SSG di Desa Tanjung Mekar, Kabupaten Karawang juga mampu memajukan dari segala aspek,

142 143

diantaranya aspek ekonomi, budaya, organisasi serta kehidupan manusia pada umumnya. Dari penulisan ini dapat diketahui bahwa ciri khas seni Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang ini mendapat respons dari pemerintah dan berbagai kalangan masyarakat antara lain: seniman, dan para ulama di Jawa Barat. Pada tahun 1980an Gubernur Jawa Barat (Aang Khunaefi) menghimbau agar gerakan Tari Jaipongan tidak terlalu erotis, beberapa ulama pun ada yang pro dan kontra terhadap imbauan tersebut. Mengenai pandangan ulama yang beragam, penulis menganggap hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena apa yang menjadi landasan dan acuan mereka dalam memandang kesenian Tari Jaipongan juga begitu beragam. Pro dan kontranya ulama terhadap imbauan Aang Khunaefi mengenai Tarian Jaipongan ini sebenarnya untuk mewakili pandangan masyarakat Jawa Barat pada umumnya dalam memandang seni Tari Jaipongan selalu meunculkan polemik.

B. Saran Peran yang sangat penting dalam menjaga eksistensi kesenian Tari Jaipongan adalah kreativitas seniman dan lembaga-lembaga kesenian yang berkiprah dalam kesenian tradisional sepeti Sanggar Suwanda Group (SSG) sebaiknya tetap melakukan upaya-upaya pelestarian melalui proses belajar Tari Jaipongan, melakukan pembinaan, sosialisasi, dan regenerasi harus tetap dilakukan. Karena jika hal tersebut tidak dilakukan pasti kesenian Tari Jaipongan ini akan mengalami nasib yang sama dengan kesenian-kesenian tradisional lain yang kini kondisinya begitu mengkhawatirkan. Bagi penari Jaipongan, sebaiknya terus meningkatkan dan mengembangkan seni Tari Jaipongan terutama di Kabupaten Karawang agar seni tradisional khas Sunda ini tidak mengalami kemunduran, terkait dengan citra negatif yang melekat pada penari seni Tari Jaipongan, harus selalu berupaya untuk memperbaiki dan mengambalikan citra seni Tari Jaipongan agar seni ini selalu dicintai dan menjadi kebanggan Jawa Barat. 144

Kemudian hal lain yang perlu disikapi dengan arif adalah mengenai perbedaan asal-usul kesenian Tari Jaipongan. Perbedaan pendapat masyarakat atau seniman mengenai sejarah asal kesenian Tari Jaipongan ini menurut penulis sah-sah saja, sebab memang tidak ada bukti yang otentik dan empiris dengan kajian-kajian yang mendalam mengenai sejarah asalnya kesenian Tari Jaipongan. dengan adanya perbedaan pendapat ini menurut penulis perlu ditindak lanjuti dengan mengadakan kajian-kajian yang mendalam tentang sejarah lahirnya kesenian Tari Jaipongan, tentunya dengan data-data yang otentik. Seni tradisional Tari Jaipongan ini perlu dimasukan kedalam kurikulum atau ekstrakulikuler Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), agar tetap lestari dan terjaga keberadaannya. Bagi Masyarakat diharapkan agar lebih bijak dalam menyikapi suatu keadaan terutama menyangkut kesenian. Sebaiknya masyarakat tidak harus selalu memandang negatif pada penari Jaipongan, seharusnya masyarakat membantu melestarikan lingkungan dengan mendukung dan mencintai keanekaragaman yang terjadi di Jawa Barat. Menurut penulis, untuk mengangkat popularitas kesenian tradisional Tari Jaipongan selain dilesatrikan oleh lembaga-lembaga seni, kesenian Tari Jaipongan ini perlu juga di daftarkan ke UNESCO (United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai kekayaan budaya milik bangsa Indonesia.

GLOSARI A Abah : untuk menyebut orang tua yang bila melihat usianya pantas disebut bapak. Adeg-adeg : sikap kaki (dalam bahasa Indonesia kuda-kuda) sebagai persiapan untuk menari, yang juga merupakan bagian dari koreografi. Asihan : mantra-mantra yang ditujukan agar dicintai orang lain. Ayun Ambing : nama lagu untuk menimang anak. Isi dari Syair lagu adalah angan-angan seorang ibu agar anaknya kelak menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. B Bajidor : laki-laki pengibing penggemar Jaipongan yang memiliki multi peran. Selain sebagai penyandang dana, mediator pengundang para bajidor, inovator, juga sebagai penjaga keamanan. Banjet : pertunjukan hiburan kalangenan dari daerah Karawang yang menyebar ke daerah pantai utara Jawa Barat lainnya. Belentuk Ngapung : nama tarian hiburan ronggeng di daerah Pantura Subang. Boboko : tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu. Bonang : alat musik terbuat dari besi atau perunggu berupa penclon-penclon yang berdiameter antara 20 sampai dengan 25 cm dan mempunyai 10 sampai dengan 14 penclon berlaras pelog, salendro, atau degung. Buhun : Zaman orang tua dulu. Bukaan : gerakan yang dilakukan pada ketukan pertama atau setelah bunyi gong, yang jugs biasa dilakukan sebagai gerak awal atau pembuka.

C Cacah : sebutan untuk orang kebanyakan atau orang miskin. Catrik : istilah yang dipakai untuk orang yang membantu dan melakukan pekerjaan seni. Istilah ini biasanya digunakan untuk menyebut dua orang pembantu dalang dalam pertunjukan Wayang Golek.

D Degung : seni karawitan Sunda yang menggunakan perangkat gamelan berlaras degung (lebih umum berlaras pelog) biasanya terdiri atas saron, panerus, bonang, jengglong, gong, kendang, goong, serta suling. Berdasarkan sumber sejarah, degung adalah salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakan Sunda, yang muncul sekitar abad ke-18/ awal abad ke-19. Dongbret : pertunjukan rakyat kalengenan dengan menyajikan penari perempuan ronggeng dari daerah pantai utara Pamanukan Subang untuk menghibur para nelayan di pinggir pantai. E Eplok Cendol : menggambarkan goyangan bagaikan cendol di dalam kuwali apabila goyang ke kanan dan ke kiri akan menimbulkan gerakan ayun.

G Galeong : menggerakan tubuh bagian atas yang terpusat pada kepala seolah-olah membuat lingkaran searah jarum jam. Geol : menunjuk pada gerak pinggul yang mengalun. Gedig : ragam gerak tari yang tumpuannya terletak pada kaki, yaitu dengan melakukan gerak langkah yang lebar dan kuat. Gibas : gerak pencak silat yang menghalangi dan menghindari bagian tubuh dari serangan lawan. Gitek : menunjuk pada gerak pinggul yang terpatah-patah.

145 146

Goyangan : menunjuk pada gerak pinggul seperti gitek tetapi dilakukan dalam volume besar.

H Handap asor : rendah hati, sopan. J Jalak Pengkor : gerakan kaki yang menirukan burung jalak yang pincang. Jawa Reang : bahasa orang pantai, campuran antara bahasa Jawa kasar dan bahasa Sunda kasar daripada Jawa halusnya. K Kaleran : sebutan untuk daerah utara Jawa Barat. Karuhun : nenek moyang atau arwah leluhur yang selalu menjaga keselamatan dan memberikan kekuatan kepada manusia. Ketuk Tilu : tarian rakyat lahir berasal dari provinsi Jawa Barat yang digunakan dalam upacara-upacara yang bersifat tradisi, digunakan masyarakat Sunda sebagai cara menggambarkan rasa syukurnya terhadap dewi yang di anggap oleh masyarakat Sunda. Sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) kepercayaan masyarakat Jawa Barat ini melahirkan seni tari tradisi Ketuk Tilu. Dalam tarian Ketuk Tilu digambarkan sebagai rasa sukur masyarakat karena hasil bumi yang mereka tanam telah dijaga oleh Dewi Sri, akan tetapi setelah Belanda hadir, dan menjadikan Ketuk Tilu menjadi salah satu tarian rakyat dan bisa di tampilkan untuk sekedar hiburan rakyat. Kliningan Bajidoran: Kliningan Bajidoran (Jaipongan Pantura) merupakan sajian pertunjukan hiburan kalangenan dengan menampilkan sinden-penari dan sinden- penyanyi sebagai media pertunjukannya. Pertunjukan Jaipongan ini adalah perkembangan dari pertunjukan yang menyajikan unsur karawitan (musik tradisi) dengan menggunakan gamelan Pelog-Salendro, yang kemudian berkembang dengan adanya tarian hiburan, yang selanjutnya dikenal dengan nama Kliningan Bajidoran, yang mengutamakan adanya interaksi sinden-penari atau penyanyi dengan para pengibing. Kepret : membanting tangan dengan pusat gerak terletak pada jari dan pergelangan tangan. Keupat : gerakan hasil stilasi dari gerak berjalan, merupakan salah satu gerak pokok yang ada dalam tari Sunda.

L Longser : sebuah bentuk pertunjukan teater rakyat yang hidup di daerah Bandung. Lontang Kembar : sikap kedua tangan diluruskan ke arah depan sebatas pinggang dengan jari mengarah ke atas dan telapak tangan menghadap depan. M Menak : sebutan unntuk kamum bangsawan Sunda. Mincid : Motif gerak dalam tari yang menitik yang mentik beratkan pada gerak kaki.

N Nayaga : penabuh gamelan sebagai pendukung pertunjukan. Di daerah Karawang istilah nayaga dikenal juga dengan sebutan panjak. Ngabeungkat : upacara mapai cai kahuripan atau menyambut air kehidupan, yang dilakukan di hulu sungai saat musim hujan tiba yang dipimpin oleh pemangku hajat. Ngalaksa : melakukan upacara persembahan Dewi Sri di daerah Sumedang. Ngalokat Tanah : membersihkan dari segala sifat jelek yang membawa malapetaka agar terhindar dari hama, rumput liar, bencana alam, ataupun musim kemarau yang panjang. 147

Ngarot : sebuah upacara di daerah Indramayu yang diikuti oleh para remaja putra dan putri yang dilengkapi dengan berbagai pertunjukan. Pertunjukan Tari Topeng Babakan khusus untuk remaja putri, sedangkan Ronggeng Ketuk dan Tayub remaja putra. Ngaruat : membersihkan anak agar terhindar dari mara bahaya dengan menanggap Wayang dengan lakon Batara Kala. Ngibing : menari. Ngunjug : kegiatan „hajat guar bumi‟, unjung atau sedekah bumi, yakni selamatan tahunan yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh komunitas desa atau wilayah Kabupaten Indramayu, Cirebon, Majalengka pada waktu mulai mengerjakan sawah kira-kira bulan September. Tempatnya biasanya di makam keramat yang dianggap sebagai pekuburan leluhur. Nyalin : upacara panen, yang dilaksanakan pada saat padi akan dituai. Nyoderan : menari dalam waktu singkat dengan menggunakan soder sinder, kemudian soder tersebut dikalungkan kepada bajidor. P Padaringan : tempat menyimpan beras. Pangbarep : penari pertama sebagai penari primadona. Panjak : sebutan untuk orang yang profesionalnya menabuh gamelan.

R Rampak Kendang : salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Jawa Barat. “Rampak” berasal dari bahasa Sunda yang bermakna serempak atau secara bersama- sama, jadi Rampak Gendang bisa diartikan sebagai suatu pertunjukkan gendang yang dimainkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, pertunjukan Rampak Gendang selalu dimaikan oleh dua orang atau lebih. Reog : seni pertunjukan Sunda yang menggunakan semacam alat kendang yang di gendong di perut. S Sinden : penari atau penyanyi pada pertunjukan hiburan atau kalangenan Sunda, atau sebutan penyanyi pada Wayang Golek atau Kliningan. Semula disebut ronggeng, kemudian di beberapa daerah, khususnya wilayah Priangan di sebut juru kawih. Sirig : gerakan kaki penari Jaipongan dengan menggoyang-goyangkan kedua kaki secara bersamaan. T Teugeug : sifat yang kurang sopan, kaku, dapat di lihat dari bahasa, sikap ataupun tingkah laku. Topeng Banjet : Teater khas Karawang dengan ciri yang paling dominan pada gerak tari yang cenderung erotis, yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan „Goyang Karawang‟. Tumpang Tali : (seperti meletakan kedua pergelangan), dan lontang (kedua tangan lurus serong ke depan) W Wanda Anyar : kreasi atau ciptaan baru. Wayang Golek : pertunjukan teater boneka yang sangat popular di Jawa Barat. Wayang Golek memiliki lakon-lakon galur dan carangan yang bersumber dari cerita besar Ramayana dan Mahabrata. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda dan diiringi gamelan Sunda berlaras Pelog dan Salendro, deng vokal yang dibawakan oleh sinden.

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku Alwasilah, A. Chaedar. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. 2006. Alwasilah, A. Chaedar. Pokoknya Sunda: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: PT. Kiblat dan Pusat Studi Sunda. 2006. Arif, Muhammad. Pengantar Kajian Sejarah. Bandung: Yrama Widya. 2011. Atmadibrata, Enoch. Pola Pembinaan dan Pengembangan Kesenian Daerah Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Pekan Kebudayaan Daerah Jawa Barat. 1992. Bintang, T. Sejarah Karawang Dari Masa ke Masa. Karawang: Viva Tanpas. 2007. Caturwati, Endang. Sinden dan Penari di atas dan di Luar Panggung. Sunan Ambu STSI Press Bandung. 2011. Dewi Resi Septiani. Keanekaragaman Seni Tari Nusantara. Balai Pustaka. 2012. Ekadjati, S. Edi. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Giri Mukti Pasaka. 1984. Fikri, Abdullah. Seni Karawitan. Bandung. Horizon. 2010. Fatul, A Husein. Kritik Seni Tari. Kelir, Kabupaten Bandung. 2010. Lubis, Herlina Nina, dkk. Sejarah Kabupaten Karawang. Karawang; Pemerintah Kabupaten Karawang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2011. Leibo, Jefta. Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma Ganda. Yogyakarta: Andi Ofset. 1996. Luthfiani Lulu. Kamus Genggam Bahasa Sunda. Yogyakarta. Frasa Lingua. 2017. Nalan, S. Arthur. Dkk. Kapita Sekta Tari. Bandung. STSI PRES BANDUNG. 1998. Narawati, Tati. Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa. Bandung: P4ST UPI. 2003. Pilialing Amir Yasraf. Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan Pustaka Kronik Indonesia Baru. 1998. Ramlan Lalan. Jaipongan Gendre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda. Resital. Vol 14 No,I. Ranjabar, Jacobus. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. 2006. Septiani Dewi, Resi. Keanekaragaman Seni Tari Nusantara. Balai Pustaka. 2012.

148 149

Sujarno, dkk. Seni Pertunjukan Tradisional, Nilai, Fungsi, dan Tantangannya. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah. 2003. Sumardjo, Jakob. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda. Bandung: Kelir. 2003. Simanjuntak, Truman, dkk. Karawang dalam Lintas Peradaban. Seri pertama monografi workshop-penelitian 2015. Badan Penelitian dan Pengembangan. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Bekerja Sama dengan Yayasan Pustaka Obor. 2016. Soedarsono. Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta: BP.ISI. 1991. Soedarsono. Elemen-Elemen Dasar Komposisi Tari. Yogyakarta. ISI Yogya. 1986. Sujarwa. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Sumiati Lilis, dkk. Kapita Selekta Tari, artikel Endang Caturwati. Tari Rakyat Jawa Barat. STSI PRESS BANDUNG. 1998. Sundapura, R, Asep Membongkar Sejarah Karawang. Karawang: Cet I, Lembaga Kajian Budaya Sundapura Karawang. 2016. Suprawoto. Pemetaan Media Tradisional Komunikatif (Lestarikan Tradisi Kelola Komunikatif). Kementrian Komunikasi dan Informatika RI Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi. 2011.

B. Makalah dan Jurnal Caturwati, Endang. Perempuan dan Seni Pertunjukan: Perkembangan Seni Pertunjukan Bajidoran di Jawa Barat, makalah Seminar Bahasa dan Seni. 2000. Caturwati, Endang. Perempuan dan Seni Pertunjukan. Seni Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

C. Skripsi dan Tesis Herdiani, Een. Bajidoran Sebagai Pengukuhan Hiburan Pribadi pada Masyarakat Karawang: Komunitas dan Perubahannya. Tesis Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saepudin Asep. Aktifitas H. Suwanda dalam Penciptaan Pola-Pola Tepakan Kendang Jaipongan. Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. 2007.

150

D. Arsip Cetak Sejarah Karawang 1980-1990 Statistik Kabupaten Karawang Tahun 1981. Kantor Statistik Kabupaten Karawang. Karawang dalam Angka Tahun 1984. Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik. Kantor Statistik Kabupaten Karawang. Karawang dalam Angka Tahun 1985. Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik. Kantor Statistik Kabupaten Karawang. Karawang dalam Angka Tahun 1987. Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik. Kantor Statistik Kabupaten Karawang. Karawang dalam Angka Tahun 1988. Kantor Statistik Kabupaten Karawang. Karawang dalam Angka Tahun 1989. Cabang Perwakilan Biro Pusat Statistik. Kantor Statistik Kabupaten Karawang, Pemerintah Daerah Tingkat II Karawang.

E. Sumber Majalah dan Surat Kabar Koran Pakar Seni dan Budaya, „Seni Jaipongan Aslinya dari Karawang: Suwanda Group Pernah Manggung di Jerman‟. Pikiran Rakyat. „Panggung Jaipongan‟. 15 Februari 2009. Pikiran Rakyat. „Soal Jaipongan: Seniman siap temui Gubernur‟. 9 Februari 2009. Pikiran Rakyat. „Gubernur-Seniman tutup Polemik Jaipongan‟. 11 Februari 2009. Jack S Paniuppan. „Kontroversi Goyang Jaipongan‟. Radar Karawang. 1980. Volume 10 dari Indonesia Indah. BP3 Taman Mini Indonesia Indah. Yayasan Harapan Kita (Indonesia), Busana Tradisional, Yayasan Harapan Kita, 1998.

F. Sumber Elektronik Berita Karawang: http:/www.beritakarawang.com, diakses pada tanggal 20 Desember 2016. Pukul 15.37. WIB. Dunstoniriana Adji. Pencipta Tari Jaipongan: Gugum Gumbira. Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. www.budaya-indonesia.org. Di akses pada tanggal 7 Agustus 2017. Pukul 19.04. WIB. Nano S (seniman asal Bandung). Bruk Brak Jaipongan Antara Pro dan Kontra. TVRI Jawa Barat. Sang Inspirator H. Suwanda. Kemuning TV. Dipublikasikan di Youtube pada tanggal 30 Januari 2015. Di lihat pada tanggal 15 Juli 2017, pukul 05.34. 151

Heru A.G, Lazuar Team. Jaipong Asli Milik Karawang. Lazuar 94 1 FM Karawang, (diunggah di You Tube, 24 Maret 2016). Di lihat pada 25 Mei 2017. Pukul 21:13. Gugum Gumbira Tirasondjaja, Tari Jaipongan: Sejarah dan Gerak Dasar, Galeri Indonesia Kaya, YouTube, di lihat pada tanggal 5 Agustus 2017, pukul 06.19. Gumbira Gugum. Dalam “Maestro Indonesia RTV”. Youtube, dilihat pada 10 Oktober 2017. Pandi Upandi. Kembang Gadung. www.disparbud.jabarprov.go, di akses 20 Juni 2017. Pukul 00.23. G. Wawancara Wawancara dengan H.Suwanda selaku pendiri dan pimpinan sanggar Suwanda Group di Krajan, desa Tanjungmekar, Kabupaten Karawang. Pada tanggal 11 Desember 2016. Pukul 13.03. WIB. Wawancara dengan Tatang selaku Dewan Kesenian di Kabupaten Karawang. Pada tanggal 02 Februari 2017. Pukul 15.00 WIB.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

152 153

Lampiran 1: DAFTAR WAWANCARA

A. Wawancara dengan Suwanda, selaku pencipta pola tepakan kendang Jaipongan, pimpinan Sanggar Suwanda Group (SSG).

Nama : Mutia Saadah NIM : 1113022000108 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

Narasumber : Suwanda Hari/Tanggal :11 Desember 2017 Tempat : Krajan, RT.06, RW.05, No.24, Desa Tanjungmekar, Kabupaten Karawang.

1. Penulis : Sebenarnya nama lengkap abah itu Suwanda saja atau ada nama panjangnya? Narasumber: Suwanda, teu aya nami panjang na deui 2. Penulis : Tanggal berapa abah dilahirkan? Narasumber: 3 Maret 1950 3. Penulis : Dimana abah dilahirkan? Narasumber: Di Citopeng, Desa Bolang. 4. Penulis: Desa Bolang itu daerah mana bah? Narasumber: Desa Bolang teh di Kecamatan Batu Jaya Rengasdengklok, Karawang. 5. Penulis: Abah dilahirkan dari berapa bersaudara? Narasumber: Oohh... Reni, abah (Suwanda), Sawisit, Suwandi, Kurniadi. Lima neng lima bersaudara abah teh, Abah anu ka dua. 6. Penulis: Dari kelima anak nya abah Reman dan ibu kinah, apakah semuanya menjadi seniman? Narasumber: Engga, ada Sawisit yang engga ke seniman. 7. Penulis: Tahun berapa abah menikah dengan ibu Mimin dan dikaruniai berapa anak, bisa disebutkan siapa saja bah? Narasumber: Abah teh nikah sareng mak haji tahun 1975, abah teh gaduh putra tilu. Anu ka hiji Suharman, nu ka dua Euis Maryati, nu ka tilu Anto 154

Wardoyono. Anu kadua mah tos teu aya, nembe dua tahun. Baheula mah neng Euis teh anu ngabantuan abah ngalatih barudak latihan Tari Jaipongan. 8. Penulis : Saat ini apakah anak-anak abah mengikuti jejak sebagai seniman juga? Narasumber: Muhun, sadayana ka seniman sadayana. 9. Penulis : Bisa diceritakan awal mula Abah berkiprah di dunia seni? Narasumber: Nya awal na mah abah ngingilu mbah Reman weh ngilu manjak tea, lila-lila hayang di ajar, muncul perasaan hayang jadi seniman. Tadi mah ukur manggulan gamelan doang mimiti manjak mah hahaha. 10. Penulis : Bagaimana sambutan pertama kali yang diberikan oleh keluarga (orang tua, saudara) ketika abah memutuskan untuk berkiprah didunia seni? Narasumber: Alhamdulillah mendukung. 11. Penulis : Apakah keluarga (istri dan anak) mendukung bapak berkiprah di dunia seni sunda? Narasumber: Sangat-sangat mendukung sekali, mimiti nikah sareng mak haji, terus mak haji ngajak abah “hayu urang sasareungan ngalestarikeun kasenian”, jadi abah sareng mak haji teh gaduh visi-misi anu sami yaeta hoyong babarengan ngalestarikeun kasenian. 12. Penulis : Dari mana abah belajar kendang? Narasumber: Ti bapak na abah nyalira, terus abah unggal poe teh osok nonton kasenian da baheula mah tumbuh subur kasenian di lingkungan abah, jadi nya ningali weh kitu nonton, di amati ngagendang na kumaha, ngeding na teh kumaha. Nya seseurna mah di ajarkeun ku bapa na abah... ku abah Reman. 13. Penulis : Berapa lama abah belajar kendang? Narasumber: Uhh lami pisan, ti mimiti abah hideng weh neng, dugi remaja masih diajar. 14. Penulis : Saat itu apakah ada paksaan untuk belajar alat musik kendang, atau memang keinginan abah sendiri untuk mempelajarinya? Narasumber: Sama sekali tidak ada, itu mah kahayang abah sorangan. Da leutik mula teh abah geus mulai nakolan eta tea parabotan rumah tangga. Jadi abah tea disebut na seniman alam da teu ngenal notasi, ngalir gitu aja, kusabab di lingkungan seniman tea neng. Kusabab naon na di sebutna teh bakat turunan. Dan di uyut, aki, abah sadaya na seniman ti Topeng Banjet baheula teh. 15. Penulis : Karya apa yang pertama kali abah ciptakan? Pada tahun berapa ? Narasumber: Nya eta tea tahun 70-an karya Jaipongan 16. Penulis : Sampai saat ini, berapa pola tepak kendang yang telah abah buat/ciptakan? Narasumber: Uhhh atos seeur pisan teu ka itung neng, ratusan bahkan rebuan. 17. Penulis : Kapan tepatnya bapak mengenal bapak Gugum Gumbira? Narasumber: Ngenal pak Gugum teh.... abah tahun dapanan 1978-an. 18. Penulis : Bagaimana bapak memandang sosok Gugum Gumbira? Narasumber: Pak Gugum teh orang na kreatif, seniman tari yang cerdas, cerdas pisan nyiptakeun kereografer tari. 155

19. Penulis : Apa yang membuat abah akhirnya tertarik untuk berkolaborasi dengan pak Gugum? Narasumber: Tahun 80-an teh abah kakarak nepi kaditu (Bandung), di panggil ka dieu. Ti Karawang genjlong ku iyeu (Jaipongan). Di panggil kadieu, di tanya aya naon yeuh di Karawang teh, terus di tanggap di bumi na langsung. Ari palebah eta mah abah teh inget keneh sejarah na, sejarah eta mah mutlak Jaipongan teh dari Karawang. 20. Penulis: Jadinya malah lebih berkembang di Bandung Jaipongan teh dari pada Karawang. Narasumber: Iya, kulantaran Bandung kreatif tea pan, boga ASTI tea, ayeuna mah ISBI tea nya neng ya. Kitu, ti akademisi teh eta kalebihanana. Ngan peda teu bisa nyieun, kalemahanana teh eta. Lamun tos Daun Pulus Keser Bojong anggeus, nu ngibing teh aya keneh tah teu bisa tah ngagendangan, heunte da eweuh tea wates eta weh. Ari alam mah bisa, tah ari ti alam mah bisa arek tepi kamana ngibing sok terus tuturkeun weh. Tah ari ti pendidikan mah teu bisa eta teh, da kumaha kadituna da teu aya tea pan. 21. Penulis: Berarti seniman alam mempunyai kelebihan dari impropisasi nya. Narasumber: Muhun, da ari ti alam mah bisa impropisasi, arek nepi ka mana tah nu ngibing teh, hayu di tuturkeun weh nu ngibing teh . Tah eta kurang jeung lebih teh kitu. 22. Penulis : Saat itu Abah di kontrak oleh pak Gugum Gumbira atau bagaimana bah? Narasumber: Muhun leres pisan di kontrak abah teh ku Jugala Grup. 23. Penulis : Dikontrak oleh Jugala selama berapa lama? Narasumber: Abah dikontrak ku Jugala teh geunep tahunan neng. 24. Penulis : Dari tahun berapa sampai tahun berapa? Narasumber: Abah teh di kontrak ku jugala....ti tahun 1978 dugi tahun1984 25. Penulis : Abah dan pak Gugum Gumbira menghasilkan karya apa saja? Narasumber: Seuer neng, Jaipongan Oray Welang, teras Jaipong Tari Dasar, teras naon deui nya...... ohh teras Daun Pulus Keser Bojong, terus iring-iring, banyak neng.... 26. Penulis : Saat itu bagaimana ketika karya Abah dan pak Gugum di perkenalkan kepada masyarakat, bagaimana respon masyarakat saat itu? Narasumber: Alhamdulillah seur nu resepeun, teras masyasarakat oge antusias kana Jaipongan. 27. Penulis : Sampai sejauh mana karya abah di perkenalkan? Atau sudah sampai daerah mana atau bahkan sampai ke luar negeri? Narasumber: Atos dugi mana-mana neng, bahkan dugi ka luar. 28. Penulis : Setelah berakhirnya kontrak dengan Jugala, apakah masih ada tawaran rekaman dari studio rekaman lainnya? Narasumber: Uhh banyak. Banyak sekali... 29. Penulis : Tawaran tersebut dari studio mana saja pada saat itu bah? Narasumber: Mmmm....Oohh...Asmara Record, Ismaya Record, Sampurna Record, Wisnu Record, Pandawa Record, Ratna Record...uuhhh banyak...banyak sekali. 30. Penulis : Apa abah juga di kontrak oleh studio tersebut? 156

Narasumber: Aya nu ngontrak abah, aya nu heunteu, tapi seuseurna na mah hoyong na di kotrak Abah teh, pas masih di “Jugala” keneh ge abah teh seur nu ngajak rekaman, ngan teu di kontrak kulantaran abah masih di kontrak ku Jugala tea neng, jadi teu tiasa. 31. Penulis : Saat itu lagu apa saja yang bapak iringi dengan tepakan kendang bapak? Narasumber: Banyak, atos wawancara ku abah di tingalikeun kaset-kaset na 32. Penulis : Lalu selama bapak di kontrak oleh Jugala/ studio rekaman lain, bagaimana dengan sanggar yang bapak dirikan sendiri selama bapak berada di Bandung? Apakah untuk sementara menyerahkan tugas kepada pengurus lain, atau bapak bulak balik Karawang Bandung untuk Suwanda Grup? 33. Narasumber: Muhun, nya kitu abah bulak balik Karawang-Bandung. 34. Penulis : Pengalaman manggung yang paling berkesan buat abah ketika manggung dimana? Narasumber: Oohh, ketika manggung di Jerman Barat, berkesan sekali itu, sampe satu panggung, pentas sama pemain drum Eropa, jadi disatuin abah main gendang dalapan, lawan orang Eropa memainkan drum. Dia kan orang Eropa ya...main drum na „WAH.....”. Tapi abah juga ga kalah, kan abah kan maen gendang dalapan, awalnya bingung harus gimana gelawannya...berkesan sekali. Begitu abis selesai manggung itu pengunjung sampe naik ke atas panggung. Ohh...enggak tapi di soder dulu, itu pengunjung di soder dulu...kemana aja belentuknya hahahaha, da ga ngerti mereun ya. Sampe udah di soder pada datang ke panggung nanya ini teh dari apa, ini apa kayu atau apa... make juru basa abah ge hahaha... boro-boro bahasa Jerman bahasa Indonesia ge belentak-belentuk teu puguh, itu berkesan...berkesan sekali. 35. Penulis: Sampai saat ini, bagaimana bapak menilai perkembangan tari Sunda, khususnya seni pertunjukan tari Jaipong? Narasumber: Sebetulnya untuk Jaipongan sekarang abah teh udah jarang ngomongin Jaipongan yang sekarang teh sakit. Dikarenakan belum punya kiblat. Mana ini teh yang betul, mana ini teh yang salah. Pelaku-pelaku seni itu ga kreatif nanya gitu, yang betul, yang salah itu yang mana. Jadi sendiri- sendiri aja sekarang teh, berjalan sendiri-sendiri, seenaknya, semaunya. Jadi ga ada kode etiknya. Makanya sakit teh, kalau ngeliat garapan anak-anak yang sekarang, padahal jauh bukan begitu itu sebetulnya. Tapi dikarenakan keadaan situasi dan kondisi jaman mungkin, abah ge teu nyalahkeun. Sebab mereka tidak tau harus gimana, yang ngebetulin gak ada, nanya dia engga. 36. Penulis: Sampai kapan bapak akan terus bergelut dalam dunia seni? Narasumber: Ya kayanya... sampe ujung-ujung nya musim aja lah. Ikut musim aja.

157

Lampiran 2: DAFTAR WAWANCARA

B. Wawancara dengan Suwanda, selaku pencipta pola tepakan kendang Jaipongan, pimpinan Sanggar Suwanda Group (SSG).

Nama : Mutia Saadah NIM : 1113022000108 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

Narasumber : Suwanda Hari/Tanggal : 19 September 2017 Tempat : Krajan, RT.06, RW.05, No.24, Desa Tanjungmekar, Kabupaten Karawang.

1. Penulis: Kapan berdirinya Sanggar Suwanda Grup? Narasumber: Tahun 1976 2. Penulis: Bagaimana latar belakang berdirinya Sanggar Suwanda Grup? Narasumber: Ooohhh...latar belakang na...eta sejarah panjang deui wae tah, abah teh begitu tina Topeng, begitu ngadirikeun langsung, kulantaran jaman baheula mah aya Kliningan. Tah perkembangan tidinya. Aya ilham tina iyeu “Jaipongan” di perkembangkeun iyeu teh tambah rame nya, nepi aya tepak kendang Ketuk Tilu, Topeng Banjet, tepak Bajidoran, aya tepak Topeng, aya kabeh unsur tepak aya dinu eta disebutkeun weh eta Jaipongan, eta asal usul na teh. Lingkunganana kieu..jero lingkungana teh hejo pisan, sempet mikir iyeu teh nyambung moal, tah terus aya respon ti pemerintah provinsi ngabantuan. Alahmdulillah, anu sakola tah di die ti kelas hiji dugi ka kelas geunep, rame-rame kitu weh mimitina, mangkaning pa haji iyeu mah, anjeuna mah istuning unggal hutbah teh maneh na weh. Ari ngahiji jeung abah eh malah incu na anu resep kadieu, nari cikal bakal didieu janten juara provinsi, na orang tua na mah mubaleg. Tapi incu na rajin pisan neng latihan nari na teh ahaha... 3. Penulis: Mengapa diberi nama Suwanda Group? Narasumber: Nya di ambil dari nama abah sendiri, yaitu Suwanda 4. Penulis: Pada tahun 1976, siapa saja anggota Suwanda Grup? Narasumber: Keluarga abah, rerencangan, banyak neng. 158

5. Penulis: Apa tujuan didirikan Suwanda Grup? Narasumber: Ya ingin melestarikan kasenian Sunda. 6. Penulis: Apa visi-misi Suwanda Grup? Narasumber: Ooohh... visi-misi nya yaitu memperkembangkan kesenian- kesenian tradisi aja, budaya Sunda, “jati kasilih kujunti” ceuk basa Sunda mah jadi dari pada memperdalam kesenian tradisi malah kesenian kebarat-baratan, jadi kasenian kita udah ga di engehkeun deui. Visi-misi abah mah, udah itu aja jadi ingin memperkuat, memperdalam kesenian-kesenian tradisi, budaya Sunda. Sanggar ini mempunyai visi yakni membentuk manusia yang cerdas, kreatif, dan bertanggung jawab dengan berwawaskan seni budaya sebagai cerminan kepribadian bangsa dan melestarikan seni budaya sebagai wujud kepedulian terhadap perkembangan budaya tradisional yang bernilai luhur. Misi SSG adalah mengembangkan seni tari Sunda sebagai suatu yang bermanfaat bagi pembentukan kepribadian dan menuju masa depan yang lebih baik, meraih suatu prestasi yang mampu mengangkat nilai suatu bangsa melalui seni tari. Peran SSG yaitu ikut melestarikan budaya khususnya dalam hal mengembangkan tari di Kabupaten Karawang. 7. Penulis: Bagaimana respon masyarakat sekitar SSG ketika itu? Narasumber: Respon masyarakat ya alhamdulilllah, apan mimitina teh..kulantaran hayang melestarikeun kasenian tea. Alhamdulillah respon tatangga-tatangga teh. Anu ti TK, anu ti SD teh dikempelkeun na teh kadieu, latihan di dieu. Nuju kamari mah hari ulang tahun TK hari ulang tahun Paud di undang ku bu Jokowi kaditu. 8. Penulis: Bisa di sebutkan sturuktur organisasi Suwanda Grup? Narasumber: Penanggung jawab abah, sekertaris mak Haji (ibu Mimin), bendahara Reni, anu ngalatih abah, putra abah, sareng Laela. Semunya merangkap jadi pelatih seni sih. Mak haji ge anu ngalatih vokal. 9. Penulis: Pada tahun 1976-1990 ada berapa murid yang ikut belajar tari di SSG ini pak? Narasumber: Aya 11an apa 13 kitu neng. 10. Penulis: Siapa saja nama siswa yang mengikuti pelatihan seni di SSG? Narasumber: Mmm...saha nya.... kin urang tingali di data siswa na. 11. Penulis: Bagaimana pembagian kelompok siswa dalam kegiatan pelatihan tari? Narasumber: Upami tari mah teu. aya pembagian siswa, kecuali gamelana. 12. Penulis: Materi apa saja yang diajarkan kepada siswa Narasumber: Rampak Gendang, Vokal, Lenong, Jaipongan, Topeng Banjet. 13. Penulis: Apa kendala yang ditemui selama kegiatan pelatihan tari? Narasumber: Oh kendala nya...ari kendala suka duka na mah da ngarana ngadidik budak nya. Eta ari ngadidik budak mah bener jadi urang teh sakola deui ka budak. Teu bisa ngadidik murangkalih mah kudu kieu...kudu kieu... teu tiasa, kedah urang kedah ngiring ka manehna kitu, eta tah suka duka na teh. Jadi urang sakola deui kabudak teh, berhasilna teh. Misalkeun isukan arek pentas ,,ayeuna teh latihan yeuh, gladi bersih. Da atuh kan osok aya mobil dora tea ....keur rame-rame breyeuk weh ka mobil dora kabehan teh...jadi na 159

teh nungguan maneh na baralik deui weh hahahha. Tah kitu neng suka duka na teh. engke teh aya budak nyarios pak haji ah tunduh.....keur latihan teh, aya nu nyarios pak haji hoyong emam heula nya...etah tah ari ngadidik budak teh... nya suka na tampil berhasil tea. Da budak mah arek bener arek salah sauetik ge da katingalina mah alus wae hahaha. Tadi anu bieu tah buyut abah tos tiasa nari jaung bisa ngadendang tujuh ku sodangan. 14. Penulis: Berapa kali dalam seminggu pembelajaran tari jaipong? Narasumber: Dulu mah saminggu deh aya tilu kali, lamun bade pentas rada dipadetkeun latihanna. 15. Penulis: Adakah pelatih tari dari luar yang bapak bawa untuk membantu Proses belajar Tari Jaipong? Siapa? Ia bergabung dari tahun berapa sampai tahun berapa? Narasumber: Ooohh Aya Laela nami na, Laela teh dari..... Akademi Seni Tari Indonesia anu ayeuna mah tos gentos jadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Dari tahun 1984 sudah gabung disini. 16. Penulis: Sarana dan prasana apa saja yang diberikan SSG guna menunjang pembelajaran seni, khususnya Tari Jaipong? Narasumber: Kaset, tape, ruangan latihan, alat musik gamelan. 17. Penulis: Upaya apa saja yang dilakukan oleh Suwanda Grup dalam melestarikan kesenian Tari Jaipong? Narasumber: Upaya-upaya pelestarian itu adalah yang paling berat banget, didasaran ku naon teh ngarana....kemajuan jaman...upaya-upaya teh mantak nepi ka naon ngarana teh pembinaan, penggalian pembinaan, pelestarian tari dengan cara mengadakan latihan, ikut serta lomba, pernah ngayakeun lomba, dipentaskeun Jaipongan teh. Itu upaya-upaya yang harus dilakukan. 18. Penulis: Ada berapa tarian yang sudah diciptakan SSG? Khususnya pada tahun 1976-1990? Narasumber: Ada berapa yang opat, apa lima. 19. Penulis: Bisa di sebutkan tari apa saja pak? Narasumber: Tari dasar Jaipong Senggot, Ronggrng Nyentrik, Mojang Karawang, Bentang Timur, Gandrung. 20. Penulis: Bisa di jelaskan pak makna/pesan apa saja yang terkandung dalam tarian yang di ciptakan SSG? Tarian tersebut menceritakan apa? Narasumber: Ya intinya menceritakan kebudayaan orang Sunda, tentang perempuan sunda yaang kesehariannya berkehidupan sebagai pahuma, tentang perempuan Karawang. 21. Penulis: Sebenarnya apa yang menjadi ciri khas Jaipongan Suwanda Grup? Apa yang membedakan dengan grup-grup jaipongan lainnya? Narasumber: Oh ciri khas nya itu lain dari garapan...garapan nya lain, dari main gendingnya, dari tepak gendangnya, jauh sama anak-anak, itu yang membedakan, sampe ga bisa ditiru sama anak-anak itu, sampe ada yang ga bisa. Tidak hanya oleh anak-anak disini aja tapi provinsi kalau Suwanda Grup maen gendang ga ada yang bisa di tebak oleh siswi-siswi di ISBI.. itu lain nya ga bisa ditebak dan tidak bisa ditiru oleh yang lain, dan kelebihannya seperti itu. 160

22. Penulis: Penghargaan/ prestasi apa saja yang telah bapak terima dari pemerintah? Narasumber: Oohh penghargaan...banyak neng. 23. Penulis: Ketika itu bagaimana respon pemerintah terhadap Suwanda Grup? Narasumber: Alhamdulillah pemerintah mendukung.

161

Lampiran 3: DAFTAR WAWANCARA

C. Wawancara dengan Tatang, selaku Dewan Kesenian Kabupaten Karawang.

Nama : Mutia Saadah NIM : 1113022000108 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

Narasumber : Tatang Hari/Tanggal :02 Februari 2017 Tempat : Kantor DISBUDPAR Kabupaten Karawang

1. Penulis: Kalau boleh tau ada berapa sanggar kesenian di Kabupaten Karawang yang aktif mengikuti kegiatan yang dilakukan event di Kabupaten Karawang? Narasumber: Di Karawang itu kebetulan bapak anggota forum komunikasi sanggar tari Karawang, ada 20 sanggar di Kabupaten Karawang. Kalau mau datang acara rapat dengan sanggar-sanggar lain boleh nanti datang hari minggu di BUDPAR, hari minggu rapat, hari senin latihan gabungan. Itu ikut merayakan hari Capgome. Ada carnaval nanti setiap sanggar mengirimkan sampe lima penari sampai jumlahnya sampai 50 penari. Anak SMP sampai SMA. Pelaksanaannya tanggal 12 Februari 2017. 2. Penulis: Apa ciri khas kesenian Kabupaten Karawang? Narasumber: Karawang itu tiga ikon, ciri khas Karawang itu pertama Jaipongan, kedua Topeng Banjet, yang ketiga Wayang Golek. Dari ketiganya yang lagi bagus itu kesenian Jaipongan. Kalau Topeng Banjet di kota kurang peminatnya. Begitupun dengan Wayang Golek, kecuali dalangnya yang terkenal di Jawa Barat. 3. Penulis: Apa yang menjadi ciri khas Jaipongan Karawang? Narasumber: Ciri khas nya adalah gerakannya dinamis, ada istilah dalam Jaipongan itu pencug, ibing, dan mincid. Pencug itu filosofinya bahwa orang Sunda maksudnya berkerja sebagai pahuma dan biasanya macul, kalau mincid itu istirahat, itu merupakan ciri khasnya jadi dalam Jaipongan itu ada pencug dan ada mincid. Jadi pencug itu identik dengan bela diri atau silat. Itu berakar dari Pencak Silat dan dulu ada Ketuk Tilu. Ada tokoh yang harus neng datangi yaitu H. Suwanda, mumpung dia masi hidup, sekarang udah sakit-sakitan. Dia adalah maestro kendang, sebetulnya dia yang menciptakan pola tepakan kendang Jaipongan, Cuma gerakannya sama pak Gugum Gumbira. Tetapi sebetulnya bila kita berdebat mengenai asal usul Jaipongan dari mana, ya 162

susah karena memang dua-dua nya menyatu. Sekarang saja kalau kita menari tidak ada musik saja kan tidak jadi, sebaliknya juga begitu musik saja kalau tidak ada tarian juga ga bisa. Susah memang, bapak juga nanti, suatu saat akan mengadakan seminar. Mumpung masih hidup mereka akan bapak undang di acara seminar nanti. 4. Penulis: Iya pak saya juga sempat di buat bingung mengenai asal-usul kesenian Tari Jaipongan ini, ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa Jaipongan ini berasal dari Bandung dan ada juga sumber lain yang menyebutnya bahwa kesenian Tari Jaipongan ini berasal dari Karawang, wah kata saya mana yang benar ini? Narasumber: Nah nanti kalau mengadakan seminar, boleh nanti neng datang, kita sama-sama luruskan, mumpung beliau-beliau ini masih hidup. 5. Penulis: Sebenarnya tahun berapa Jaipongan ini ada dan berkembang? Narasumber: Berkembangnya tahun 1980-an sampai tahun 1990-an. 6. Penulis: Iya pak saya juga sempat bingung mencari titik temu mengenari asal usul Jaipongan dari mana apa dari Karawang atau dari Bandung? Narasumber: Titik temunya memang susah memang, karena keduanya tidak jalan sendiri. Memang boleh klaim itu dari Bandung ya emang yang menciptakan gerakannya adalah seniman Bandung, boleh juga disebut dari Karawang karena memang musiknya berasal dari Karawang. Sinden nya dari Karawang, masih hidup sekarang namanya ibu Ijah Khadijah. Alamat di Karang Pawitan. Samping kolam renang Sportif. Kalau bapak dulu menulis Topeng Banjet pas lagi tugas akhir, padahal bapak bukan jurusan seni, tapi jurusan teater, Karena memang menarik. 7. Penulis: Iya pak saya ingin menulis tentang Jaiopongan ini karena sekarang kan Jaipongan sudah di jadikan sebagai ikon kesenian di Kabupaten Karawang. Narasumber: Iya memang sudang di Jadikan ikon kesenian di Karawang, jadi neng harus terus menlanjutkan penelitian ini karena ini sangat menarik. 8. Penulis: Saya pernah baca berita mengenai imbauan gubernur Jawa Barat yang menghimbau gerakan Jaipongan jangan terlalu erotis dan gerakannya harus diperhalus lagi, menurut bapak bagai mana dengan imbauan tersebut? Narasumber: Sekarang ini kan lagu buming Jaipong kewayang-wayangan, Jaipong yang gerakannya hampir mirip seperti tari wayang, makanya judul lagunya ge ada srikandi. Kalau di sanggar sendiri engga erotik karena memperhatikan estetika. Erotisnya mah sebenarnya ga begitu erotis, karena memang dalam gerakan Jaipongan ini ada campuran gerakan yang dinamis seperti gerakan silat, ibing serimpi, sehingga disebut tari kreasi. Tari kreasi itu kan tari yang di kreasikan... tari kreasi yang baru.

163

Lampiran 4:

Surat Kabar, yang di terbitkan pada tahun 1977 ini berisi tentang duet kendang yang diciptakan Suwanda mulai bisa dinikati masyarakat melalui kaset yang diproduksi oleh Dian Records berjudul “Kemprung Tarung”. Duet kendang Jaiponganya mengiringi penyanyi Juju Juriah. Sumber: Didapatkan di Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

164

Lampiran 5:

Surat Kabar, yang diterbitkan tahun 1982, berisi tentang asal usul kesenian Tari Jaipongan, dan sejarah berdirinya Sanggar Suwanda Group (SSG). Sumber: Didapatkan di arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

165

Lampiran 6:

Surat Kabar, yang diterbitkan tahun 1980-an ini berisi tentang para pesinden atau juru kawih serta pencipta lagu-lagu sunda yang kurang mendapatkan penghargaan. Sumber: Didapatkan di Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

166

Lampiran 7:

Surat Kabar, yang diterbitkan tahun 1982 ini berisi tentang latar belakangnya Suwanda, perjalanan kesenimanan Suwanda serta pertemuan Suwanda dengan Gugum Gumbira. Sumber: Didapatkan di arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

167

Lampiran 8:

Surat Kabar, yang diterbitkan tahun 1984 ini berisi tentang keberhasilan Suwanda dalam memainkan alat musik kendang dan menciptakan tepakan kendang Jaipongan membuat namanya melekat di masyarakat dan hanya dengan modal tepakan kendang saja Suwanda sempat singgah dibeberapa negara salah satunya adalah ke Jerman. Sumber: Didapatkan di Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG).

168

Lampiran 9:

Foto penulis dengan narasumber H.Suwanda saat wawancara mengenai asal usul kesenian Tari Jaipongan, sejarah berdirinya Sanggar Suwanda Group (SSG), juga mengenai peranan SSG dalam melestarikan kesenian Tari Jaipongan di Kabupaten Karawang.

Lampiran 10:

Foto: Para Bajidor Wanita sedang menari bersama Sinden

Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group (SSG)

169

Lampiran 11:

Foto: Siswa penari Jaipongan di Sanggar Suwanda Group Karawang, tahun 1981.

Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group. Lampiran 12:

Foto: Siswa Rampak Kendang di Sanggar Suwanda Group Karawang, tahun 1981.

Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group. Lampiran 13:

Foto: Proses latihan Rampak Kendang di Sanggar Suwanda Group Karawang, tahun 2016.

Sumber: Dokumentasi Peneliti.

170

Lampiran 14:

Foto: Anggota Sanggar Suwanda Group ketika manggung di Jerman Barat, tahun 1982.

Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Group. Lampiran 15:

Foto : Kepulangan Anggota Sanggar Suwanda Group (SSG) dari Jerman Barat yang di sambut oleh Bupati Karawang, tahun 1982.

Sumber: Arsip Sanggar Suwanda Grou (SSG)