ANALISIS KETERPADUAN PASAR BAWANG PUTIH ANTARA PASAR TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR DENGAN PASAR LEGI KOTA

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis

Oleh : Putri Wulandari H0306027

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

ANALISIS KETERPADUAN PASAR BAWANG PUTIH ANTARA PASAR TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR DENGAN PASAR LEGI KOTA SURAKARTA

yang dipersiapkan dan disusun oleh Putri Wulandari H0306027

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal : 12 Juli 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Ketua Anggota I Anggota II

Prof. Dr. Ir.Endang Siti Rahayu, MS Ir. Sugiharti Mulya H, MP Erlyna Wida Riptanti SP. MP NIP. 19570104 198003 2 001 NIP. 19650626 199003 2 001 NIP. 19780708 200312 2 002

Surakarta, 2010

Mengetahui Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian Dekan

Prof. Dr. Ir. Suntoro, MS NIP. 19551217 198203 1 003

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan kasih serta anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Keterpaduan Pasar Bawang Putih Antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar Dengan Pasar Legi Kota Surakarta”. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian UNS. 2. Ir. Agustono, M.Si selaku Ketua Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian UNS. 3. Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, MS selaku pembimbing utama skripsi ini yang telah membimbing penulis dan memberikan masukan-masukan yang berharga. 4. Ir. Sugiharti Mulya Handayani, MP selaku pembimbing pendamping skripsi ini yang telah membimbing penulis dan memberikan masukan-masukan yang berharga. 5. Erlyna Wida Riptanti, SP. MP selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan-masukan demi perbaikan skripsi ini. 6. Ir. Priya Prasetya, MS selaku pembimbing akademis yang telah membimbing dan membantu penulis selama ini. 7. Seluruh Dosen Fakultas Pertanian UNS, terima kasih atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan selama ini. 8. Seluruh karyawan Fakultas Pertanian UNS, terima kasih atas bantuan dan pelayanan yang telah diberikan. 9. Mbak Ira dan Pak Syamsuri yang telah membantu dalam perizinan selama penulisan skripsi ini. 10. Kesbangpolinmas Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta beserta staf yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.

11. Dinas Pertanian Kota Surakarta dan Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar beserta staf yang telah memberikan banyak informasi penting serta bantuan kepada penulis. 12. BPS Kabupaten Sragen dan BPS Kota Surakarta beserta staf yang telah memberikan data-data penting bagi penulis. 13. Dinas Perindustrian dan Perdagangan bagian Pengelolaan Pasar Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta beserta staf yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis serta Kantor Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi yang telah banyak memberikan informasi kepada penulis. 14. Bapakku, Teguh Widodo dan ibundaku, Suwanti yang telah merawatku, memberikan doa, kasih sayang serta dukungan yang tak lekang oleh waktu. 15. Adikku Guntur serta segenap keluarga besarku, terima kasih atas dukungan doa dan motivasi yang telah diberikan. 16. Mas Gunanto, terima kasih telah membantu dalam penelitian ini, terima kasih untuk semuanya, dan terima kasih telah mengisi hari-hariku. 17. Sahabat-sahabatku “Genk Gombil” : D’trya, Eska, Yuan, Luthfia, dan Pury trimakasih atas persahabatan yang terjalin indah dan terima kasih kalian semua telah membuatku semakin mengerti akan arti persahabatan yang sejati. 18. Teman-teman Agrobisnis 2006, terima kasih atas kenangan indah dan kebersamaan yang telah kalian berikan selama ini. Zero_Six Chayo...!!!! 19. HIMASETA FP UNS, terima kasih atas pengalaman berharga dan kebersamaannya. 20. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua. Surakarta, Juli 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PENGESAHAN ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI...... v DAFTAR TABEL ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR LAMPIRAN ...... xi RINGKASAN...... xii SUMMARY...... xiii I. PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Perumusan Masalah ...... 6 C. Tujuan Penelitian ...... 7 D. Kegunaan Penelitian ...... 8

II. LANDASAN TEORI ...... 9 A. Penelitian Terdahulu ...... 9 B. Tinjauan Pustaka ...... 10 A. Komoditas Bawang Putih...... 10 B. Pemasaran...... 14 C. Pasar...... 17 D. Harga...... 19 E. Keterpaduan Pasar...... 21 F. Efisiensi Pemasaran...... 24 C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ...... 25 D. Hipotesis ...... 34 E. Pembatasan Masalah…...... 34 F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel...... 34 G. Asumsi...... 37

III. METODE PENELITIAN ...... 38 A. Metode Dasar Penelitian ...... 38 B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian ...... 38 C. Metode Pengumpulan Data ...... 40 A. Jenis dan Sumber Data ...... 40 B. Teknik Pengumpulan Data ...... 40

D. Metode Analisis Data ...... 41 A. Analisis Keterpaduan Pasar...... 41 B. Pengujian Model ...... 42 C. Pengujian Asumsi Klasik ...... 44

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ...... 47 A. Kabupaten Karanganyar ...... 47 A. Keadaan Alam ...... 47 a. Letak Geografi ...... 47 b. Jenis Tanah ...... 47 c. Topografi ...... 48 d. Keadaan Iklim ...... 48 B. Keadaan Penduduk ...... 50 a. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ...... 50 b. Komposisi Penduduk Kabupaten Karanganyar Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin ...... 50 c. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ...... 52 d. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian ...... 54 C. Keadaan Umum Pertanian ...... 55 a. Penggunaan Lahan ...... 55 b. Produk Pertanian ...... 56 D. Keadaan Perekonomian ...... 58 B. Kota Surakarta ...... 61 A. Keadaan Alam ...... 61 a. Letak Geografi ...... 61 b. Topografi ...... 61 B. Keadaan Penduduk ...... 62 a. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ...... 62 b. Komposisi Penduduk Kota Surakarta Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin ...... 62 c. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ...... 63 d. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian ...... 64 C. Keadaan Umum Pertanian ...... 65 D. Keadaan Perekonomian ...... 66

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 68 A. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu ...... 68 B. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Legi ...... 73 C. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi ...... 78 D. Analisis Keterpaduan Pasar Bawang Putih ...... 80 1. Hasil Analisis Regresi Antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta...... 80 2. Uji Multikolinearitas...... 83

3. Uji Heteroskedastisitas...... 84 4. Uji Autokorelasi...... 85 E. Pembahasan...... 87 1. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi ...... 87 2. Keterpaduan Pasar Bawang Putih Antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi ...... 89

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...... 93 A. Kesimpulan ...... 93 B. Saran ...... 93

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Bawang Putih di Kabupaten Karanganyar Tahun 2004-2008...... 3 Tabel 2. Keadaan Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dan Pasar Legi Kota Surakarta Bulan Januari-Desember 2008...... 5 Tabel 3. Kandungan Zat Gizi dalam Umbi Bawang Putih Per 100 Gram...... 13 Tabel 4. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Bawang Putih Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2007...... 39 Tabel 5. Luas Panen dan Produksi Bawang Putih Menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 39 Tabel 6. Banyaknya Hari Hujan (hr) dan Curah Hujan (mm) di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 49 Tabel 7. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Karanganyar Tahun 2003-2008...... 50 Tabel 8. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 51 Tabel 9. Keadaan Penduduk Usia Lima Tahun Ke Atas Menurut

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Kabupaten 53 Karanganyar Tahun 2008......

Tabel 10. Mata Pencaharian Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 54 Tabel 11. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 55 Tabel 12. Luas Lahan Sawah Menurut Penggunaannya di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 55 Tabel 13. Luas Tanah Kering Menurut Penggunaannya di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 56 Tabel 14. Luas Panen dan Produksi Sayuran di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 57 Tabel 15. Luas Panen dan Produksi Bawang Putih di Kabupaten Karanganyar Tahun 2004-2008...... 57

Tabel 16. Sarana Perhubungan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 59

Tabel 17. Fasilitas Perdagangan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008...... 59 Tabel 18. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Surakarta...... 62 Tabel 19. Keadaan Penduduk Usia Lima Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Kota Surakarta Tahun 2008...... 64

Tabel 20. Keadaaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Surakarta Tahun 2008...... 65

Tabel 21. Banyaknya Pasar dan Jenis Pasar di Kota Surakarta Tahun 2008...... 66

Tabel 22. Harga Absolut dan Harga Riil Bawang Putih di Pasar Tawangmangu Bulan Januari 2008-Oktober 2009...... 68 Tabel 23. Produksi Bawang Putih di Kabupaten Karanganyar...... 71 Tabel 24. Harga Absolut dan Harga Riil Bawang Putih di Pasar Legi Bulan Januari 2008-Oktober 2009...... 73

Tabel 25. Jumlah Tonase Bawang Putih di Pasar Legi Kota Surakarta (Ton)...... 76

Tabel 26. Perkembangan Harga Riil Bawang Putih di Pasar

Tawangmangu dan Pasar Legi Bulan Januari 2008-Oktober 78 2009......

Tabel 27. Hasil Analisis Regresi Keterpaduan Pasar Bawang Putih 80 Antara Pasar Tawangmangu Dengan Pasar Legi...... Tabel 28. Nilai Koefisien Regresi dan t Hitung Tiap-Tiap Variabel... 81 Tabel 29. Korelasi Tiap-Tiap Variabel...... 83 Tabel 30. Collinearity Diagnostics...... 84

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pendekatan Masalah...... 33 Gambar 2. Grafik Harga Absolut dan Harga Riil Komoditas Bawang Putih di Pasar Tawangmangu Bulan Januari 2008-Oktober 2009...... 70 Gambar 3. Grafik Harga Riil dan Jumlah Produksi Bawang Putih Di Kabupaten Karanganyar Bulan Januari 2008- Oktober 2009...... 72 Gambar 4. Grafik Harga Absolut dan Harga Riil Komoditas Bawang Putih di Pasar Legi Bulan Januari 2008-

Oktober 2009...... 75 Gambar 5. Grafik Jumlah Tonase Bawang Putih di Pasar Legi Bulan Januari 2008-Desember 2009...... 77 Gambar 6. Grafik Perkembangan Harga Riil Komoditas Bawang Putih di Pasar Tawangmangu dan di Pasar Legi Bulan Januari 2008-Oktober 2009...... 79 Gambar 7. Diagram Pencar (Scatterplot)...... 84

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman Lampiran 1. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu Januari 2008-Oktober 2009...... 99 Lampiran 2. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Legi Januari 2008-Oktober 2008...... 100 Lampiran 3. Nilai IHK dan Inflasi Kelompok Bumbu-Bumbuan Di Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta ...... 101 Lampiran 4. Nilai Indeks Harga Konsumen (IHK) Kelompok Bumbu-Bumbuan di Kabupaten Karanganyar...... 102 Lampiran 5. Nilai Indeks Harga Konsumen (IHK) Kelompok Bumbu-Bumbuan di Kota Surakarta...... 103 Lampiran 6. Data Analisis Regresi Antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi...... 104 Lampiran 7. Analisis Regresi Keterpaduan Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi...... 105 Lampiran 8. Uji autokorelasi...... 111 Lampiran 9. Perhitungan Angka Beban Tanggungan (ABT) dan Sex Ratio...... 112 Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian...... 113 Lampiran 11. Peta Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta...... 115 Lampiran 12. Surat Perijinan Penelitian……………………………... 116

RINGKASAN

Putri Wulandari. H0306027. 2010. “Analisis Keterpaduan Pasar Bawang Putih Antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta”. Skripsi dengan pembimbing Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, MS dan Ir. Sugiharti Mulya Handayani, MP. Fakultas Pertanian, Univesitas Sebelas Maret Surakarta. Proses penyampaian produk pertanian dari produsen ke konsumen memerlukan jasa pemasaran dari lembaga-lembaga pemasaran yang ada. Adanya lembaga pemasaran menyebabkan terjadinya perbedaan harga di tingkat petani dan di tingkat konsumen. Hal tersebut dikarenakan selama proses distribusi barang dari produsen ke konsumen membutuhkan biaya pemasaran dan adanya keuntungan yang diambil oleh pedagang perantara. Biaya pemasaran dan keuntungan tersebut akan menyebabkan harga suatu komoditas di satu pasar berbeda dengan pasar yang lainnya. Perbedaan harga ini juga ditentukan oleh tingkat keterpaduan pasar. Keterpaduan pasar menunjukkan bahwa harga di pasar lokal mengikuti harga di pasar acuan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat keterpaduan pasar komoditas bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta. Metode dasar penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling), yaitu Pasar Tawangmangu sebagai pasar produsen (lokal) dan Pasar Legi sebagai pasar konsumen (acuan). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis keterpaduan pasar dengan IMC, pengujian model dengan uji R2, uji F, dan uji t serta pengujian asumsi klasik dengan uji multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasar komoditas bawang putih antara Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi tidak terpadu dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan perubahan harga bawang putih di Pasar Legi tidak mempengaruhi perubahan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu atau informasi tentang perubahan harga bawang putih di Pasar Legi tidak ditransmisikan ke Pasar Tawangmangu. Faktor-faktor yang mempengaruhi pasar bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi tidak terpadu adalah struktur pasar yang tidak sempurna, kurang lengkapnya informasi pasar, frekuensi data harga bawang putih yang tersedia, adanya persaingan harga bawang putih yang berasal dari daerah lain di Pasar Legi serta petani atau pedagang di Pasar Tawangmangu tidak menjual bawang putihnya langsung kepada konsumen di Pasar Legi Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan sebaiknya pedagang di Pasar Tawangmangu lebih aktif dalam mencari informasi harga bawang putih dengan menjalin komunikasi yang efisien dengan pedagang perantara, mencantumkan harga bawang putih di pasar-pasar sentral perdagangan pada alamat website pemerintah daerah masing-masing serta pemerintah secara rutin mengumpulkan informasi perkembangan harga bawang putih.

SUMMARY

Putri Wulandari. H0306027. 2010. “The Analysis of Market Integrity of Garlic Between Tawangmangu Market of Karanganyar and Legi Market of Surakarta”. Thesis by Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, MS and Ir. Sugiharti Mulya Handayani, MP as the thesis consultants. Agriculture Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta. Distribution process of agriculture products from farmers to consumers need marketing services from the marketing channel. The marketing channel generate thru differences of price between the farmer and consumer levels. It is caused by the need of marketing cost needs and the profit gained by the intermediary traders within the process of distribution. Those two factors will differenciate the change of a commodity in a certain market. The price difference also determined by the market integrated level. The integrated level shows that the price in local market follows the price in reference market. The aim of this research is to analyse the garlic market integrated in short- time between Tawangmangu market of Karanganyar Regency and Legi market of Surakarta. The basic method applied in this research is analytical descriptive. The choice of location is done purposively, they are Tawangmangu market as the producer market and Legi market as the customers market. The data used in this research is secondary data and analyse method used in this research are market integrated with IMC, R2 test, F test, an t test also classical assumption test with multicolinearity, heteroscedasticity, and autocorelasion. The result of this research shows that the garlic market integrated in short- time between Tawangmangu market of Karanganyar Regency and Legi market of Surakarta is not integrated. It means that the price change which formed in purpose market (Legi market) not transmitted to local market (Tawangmangu market). The price determined by the price in Tawangmangu market itself in the month before. The factors expected that determine of garlic market not integrated in short-time between Tawangmangu market and Legi market are the competition market not perfect, garlic’s price information frequency is not ready, garlic’s price competition from other region in Legi market, and seller in Tawangmangu market are not live to sale to consumer in Legi market. From this research, it can be suggested seller in Tawangmangu market more active to get price information of garlic’s price with a good communication to seller in Legi market, growth online system about garlic’s price in website, and growth garlic price with repair gathering information and to count very accurate.

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Negara sampai saat ini masih disebut sebagai negara agraris. Bagi bangsa Indonesia, pertanian bukan hanya sekedar bercocok tanam yang menghasilkan bahan pangan. Akan tetapi, pertanian di Indonesia telah menjadi bagian budaya sekaligus nadi kehidupan sebagian besar masyarakatnya dan menjadi salah satu sektor yang memiliki peran strategis dalam perkembangan struktur perekonomian nasional. Selain sebagai penghasil pangan dan pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB), sektor pertanian juga menjadi penyerap tenaga kerja, sumber bahan baku industri, cadangan devisa, dan sumber pendapatan masyarakat (Anjak, 2006). Mengingat pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian, maka diperlukan adanya pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk mewujudkan pertanian yang maju, efisien, dan tangguh yang dicirikan oleh kemampuannya dalam menyejahterakan petani. Menurut Haryono (2008), kemampuan tersebut dicapai melalui tujuan pembangunan pertanian yaitu meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi serta keanekaragaman hasil pertanian, memenuhi bahan pangan dan gizi, memenuhi bahan baku industri, mengembangkan industri pertanian agribisnis yang mampu memanfaatkan peluang pasar, memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja, serta menyumbang devisa negara. Usaha peningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan petani di Indonesia dapat dilakukan dengan budidaya tanaman, salah satunya tanaman hortikultura. Hortikultura adalah suatu cabang dari ilmu pertanian yang ditunjang oleh beberapa ilmu pengetahuan lainnya, seperti agronomi, pemuliaan tanaman, proteksi tanaman, dan teknologi benih. Hortikultura sendiri terbagi menjadi tiga golongan tanaman yaitu tanaman buah-buahan, tanaman sayuran, dan tanaman bunga atau hias. Komoditas hortikultura merupakan aset nasional bagi pertumbuhan ekonomi baru di sektor pertanian. Beberapa komoditas hortikultura komersial yang dibudidayakan dan

1

2

dihasilkan di Indonesia telah menjadi mata dagang ekspor sekaligus merupakan sumber pendapatan negara (Ashari, 1995). Salah satu komoditas hortikultura dari jenis sayuran rempah adalah bawang putih. Bawang putih termasuk jenis tanaman umbi lapis yang biasanya terdiri atas 8-20 siung (anak bawang). Siung yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh kulit tipis dan liat sehingga membentuk satu kesatuan yang rapat. Bawang putih merupakan jenis sayuran rempah yang tumbuh di dataran tinggi (700-1.100 mdpl) dan menghendaki kelembaban yang cukup untuk dapat tumbuh secara optimum (Wibowo, 2001). Bawang putih atau garlic memiliki banyak manfaat. Selain sebagai sayuran dan penyedap makanan, sayuran rempah ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan ramuan obat tradisional. Perubahan pola konsumsi masyarakat untuk mendapatkan kesehatan dan makanan yang alami, menyebabkan masyarakat mengkonsumsi bahan makanan, khususnya sayuran, yang tidak hanya memiliki kandungan gizi tinggi tetapi juga berperan sebagai tanaman obat seperti bawang putih. Menurut Santoso (1998), bawang putih berkhasiat untuk mengatasi beberapa penyakit seperti infeksi usus, tekanan darah tinggi, batuk, gatal-gatal, tifus, maag, dan diabetes. Kandungan gizi dan zat penting yang terdapat dalam umbi bawang putih antara lain kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), kalium (K), besi (Fe), vitamin B, vitamin C, scordinin, dan allin. Tanaman umbi ini tumbuh baik di beberapa dataran tinggi atau pegunungan di Pulau Jawa dan daerah di Indonesia. Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu daerah penghasil bawang putih di Jawa Tengah. Tanaman bawang putih tumbuh subur di salah satu kecamatan di Kabupaten Karanganyar yaitu Kecamatan Tawangmangu. Tabel 1 memberikan gambaran tentang luas panen dan produksi bawang putih di Kabupaten Karanganyar dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.

3

Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Bawang Putih di Kabupaten Karanganyar Tahun 2004-2008 Luas Panen Produktivitas No Tahun Produksi (Ku) (Ha) (Ku/Ha) 1 2004 137 34,16 4.681 2 2005 33 99,52 3.284 3 2006 62 93,19 5.778 4 2007 102 147,00 14.994 5 2008 94 173,03 16.265 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa luas panen bawang putih dari tahun 2004-2008 mengalami fluktuasi. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 16.265 Ku dan produksi terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu 3.284 Ku. Meskipun pada tahun 2008 terjadi penurunan luas panen dari tahun sebelumnya tetapi jumlah produksinya mengalami peningkatan. Hal ini salah satunya disebabkan pengetahuan petani bawang putih yang semakin meningkat tentang cara budidaya bawang putih yang baik sehingga menyebabkan produksi bawang putih meningkat meskipun lahannya semakin berkurang. Peningkatan produksi pertanian, khususnya bawang putih, sangat ditentukan oleh meningkatnya pengetahuan petani sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan serta permintaan pasar. Menurut Wibowo (2001), permintaan bawang putih akan terus meningkat sebagai bumbu masakan dan bahan baku obat tradisional tetapi produksi yang dicapai petani masih rendah. Permintaan pasar yang semakin meningkat menjadi tantangan bagi petani bawang putih sebab petani mempunyai kesempatan untuk mengembangkan usahataninya dan meningkatkan produksi per satuan luas yang sama. Salah satu faktor penting dalam pengembangan hasil-hasil pertanian khususnya sayuran seperti bawang putih adalah pemasaran. Sistem pemasaran berkaitan erat dengan lembaga pemasaran. Hal ini dikarenakan lembaga pemasaran berperan untuk menghubungkan produsen dengan konsumen dari satu pasar ke pasar lainnya yang terlibat dalam sistem pemasaran. Proses penyampaian produk pertanian dilakukan setelah proses produksi pertanian dilalui. Menurut

4

Tukan, et. al. (2004), pemasaran menjadi sangat penting ketika produsen atau petani telah mampu mengelola usahataninya dengan baik sampai menghasilkan produk dalam kuantitas cukup dan kualitas yang baik. Pasar memegang peranan penting dalam kegiatan pendistribusian komoditas pertanian dari produsen agar sampai ke tangan konsumen. Sebuah pasar berfungsi sebagai tempat menampung produk pertanian yang ditawarkan oleh petani dan menyampaikannya kepada konsumen yang membutuhkan. Begitu juga dengan pemasaran bawang putih dari Kabupaten Karanganyar sebagai daerah produsen ke Kota Surakarta sebagai daerah konsumen diperlukan adanya suatu pasar. Pasar lokal adalah tempat petani menjual produk pertanian. Pasar Tawangmangu merupakan pasar lokal tempat petani bawang putih di Kabupaten Karanganyar menjual bawang putih secara langsung. Pasar acuan merupakan pasar yang menerima produk pertanian dari pasar lokal. Pasar Legi merupakan pasar acuan komoditas bawang putih di Kota Surakarta. Harga bawang putih yang terbentuk di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi berubah-ubah setiap bulannya. Pasar Tawangmangu merupakan pasar lokal di Kabupaten Karanganyar yang memasarkan dan memasok bawang putih ke pasar acuan di Kota Surakarta yaitu Pasar Legi. Oleh karena itu, petani akan berusaha untuk memasarkan hasil usahataninya ke pasar yang dapat menampung hasil usahataninya dengan harga yang menguntungkan. Gambaran tentang perbedaan harga bawang putih yang terjadi di Pasar Tawangmangu (tingkat produsen) dengan harga di Pasar Legi (tingkat konsumen) dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

5

Tabel 2. Keadaan Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dan Pasar Legi Kota Surakarta Bulan Januari- Desember 2008 Bulan Harga di Pasar Harga di Pasar Legi Margin Tawangmangu (Tingkat (Tingkat Konsumen) Harga Produsen) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) Januari 4000 6700 2700 Februari 4000 5500 1500 Maret 3880 4233 353 April 5000 6750 1750 Mei 4000 6500 2500 Juni 3600 5567 1967 Juli 3800 4633 833 Agustus 3400 4767 1367 September 5500 6200 700 Oktober 5800 8100 2300 November 6000 6800 800 Desember 7750 6589 -1161

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar dan BPS Kota Surakarta, 2009 Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui perkembangan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu yang merupakan pasar lokal dan Pasar Legi yang merupakan pasar acuan. Perubahan harga terbesar di tingkat produsen terjadi pada bulan November. Hal itu dikarenakan pada bulan tersebut merupakan musim tanam bawang putih sehingga ketersediaan bawang putih sedikit yang menyebabkan perubahan harga bawang putih di tingkat produsen cukup tinggi. Sedangkan perubahan harga terbesar di tingkat konsumen terjadi pada bulan April. Perubahan harga yang tinggi di tingkat konsumen tersebut disebabkan pada bulan tersebut daerah produksi bawang putih baru mulai memasuki masa tanam sehingga pasokan bawang putih sedikit. Perbedaan harga diantara dua pasar paling besar terjadi pada bulan Mei karena pada bulan tersebut, petani baru memulai menanam bawang putih sehingga ketersediaan bawang putih terbatas di tingkat produsen dan pasokan bawang putih yang sedikit di tingkat konsumen. Secara keseluruhan, perubahan harga bawang putih lebih besar terjadi di tingkat konsumen daripada di tingkat produsen.

6

Menurut Adiyoga, et. al. (2006), harga di tingkat produsen dan di tingkat konsumen cenderung meningkat dengan keseimbangan harga yang relatif kecil. Sementara itu, harga di tingkat produsen cenderung menurun lebih cepat dibandingkan dengan harga di tingkat konsumen. Fluktuasi harga tersebut dipengaruhi oleh jumlah pasokan komoditas yang masuk ke pasar acuan dari sentra produksi. Pasar akan memberikan fasilitas pengumpulan dan penyebaran informasi untuk sampai pada tingkat harga tertentu agar dapat digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomis di masa datang. Peranan harga berkaitan erat dengan keragaan pasar sebagai pusat informasi. Khusus untuk sayuran yang mudah rusak, pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, sifat, dan perilaku pasar sangat diperlukan terutama oleh produsen. Menurut Muwanga dan Snyder (1997) dalam Adiyoga, et. al. (1999), pasar-pasar terintegrasi apabila aktivitas perdagangan antara dua pasar atau lebih yang terpisah secara wilayah dan harga di suatu pasar berhubungan dengan harga di pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara total atau sebagian ditransmisikan ke harga yang terjadi di pasar-pasar lain baik dalam jangka pendek atau jangka panjang sehingga menunjukkan keterpaduan di antara pasar yang terlibat dalam pemasaran yang mengindikasikan terjadinya pemasaran yang efisien. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian diarahkan untuk mengkaji tingkat keterpaduan pasar bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta.

B. Perumusan Masalah Kabupaten Karanganyar merupakan daerah penghasil tanaman hortikultura. Bawang putih merupakan salah satu tanaman hortikultura yang diproduksi di Kabupaten Karanganyar meskipun bukan komoditas utama. Kabupaten Karanganyar menjadi produsen bawang putih yang memasok bawang putih ke daerah lain yang tidak menghasilkan bawang putih seperti Kota Surakarta. Bawang putih dibutuhkan masyarakat Kota Surakarta terutama untuk keperluan bumbu memasak yang dapat dipastikan bahwa jumlah penggunaan bawang putih sangat besar dan permintaannya semakin

7

tinggi seiring dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga diperlukan pasokan dari daerah sentra produksi bawang putih seperti Kabupaten Karanganyar. Proses pengiriman bawang putih dari daerah produsen ke daerah konsumen membutuhkan sistem pemasaran yang baik agar bawang putih dapat dimanfaatkan dengan segera di daerah konsumen. Adanya lembaga pemasaran yang menghubungkan Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dan Pasar Legi Kota Surakarta menyebabkan terjadinya perbedaan harga di tingkat produsen dan harga di tingkat konsumen karena selama proses pemasaran (distribusi barang dari produsen ke konsumen) berlangsung dibutuhkan biaya pemasaran dan keuntungan yang diambil pedagang perantara. Biaya pemasaran dan keuntungan yang diambil pedagang perantara akan menyebabkan harga komoditas di satu pasar berbeda dengan pasar yang lainnya. Akan tetapi, perbedaan harga tersebut saling terkait antara lembaga pemasaran yang satu dengan yang lainnya. Hal ini akan mempengaruhi perubahan harga baik di pasar tingkat produsen maupun di pasar tingkat konsumen. Dengan kata lain, terdapat hubungan antara harga di pasar tingkat produsen dengan harga di pasar tingkat konsumen. Akan tetapi, seringkali harga yang terbentuk di pasar tingkat produsen tidak dapat mengikuti perubahan harga yang terjadi di pasar tingkat konsumen sebagai pasar acuan karena para pelaku pasar tidak memanfaatkan informasi pasar secara optimal. Perkembangan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi mengalami fluktuasi setiap bulan dan terdapat perubahan harga yang cukup besar antara harga bawang putih bulan sekarang dengan bulan lalu (Tabel 2) sehingga diperlukan informasi pasar mengenai perubahan harga yang terjadi di Pasar Legi untuk disampaikan ke Pasar Tawangmangu. Apabila informasi pasar tentang perubahan harga tersebut tidak disampaikan dan diketahui Pasar Tawangmangu sebagai pasar produsen, maka akan menyebabkan proses pemasaran bawang putih diantara kedua pasar tersebut tidak efisien dan terhambat. Hal ini dikarenakan pemasaran dikatakan efisien apabila dalam proses pemasaran tersebut dapat memberikan informasi perubahan harga secara cepat dan tepat. Melihat keadaan tersebut, maka perlu dikaji apakah perubahan harga di pasar tingkat konsumen

8

akan mempengaruhi perubahan harga di pasar tingkat petani atau produsen dan apakah harga di waktu lampau akan mempengaruhi harga di waktu berikutnya sehingga terjadi pemasaran yang efisien. Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu ”bagaimana tingkat keterpaduan pasar komoditas bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta?”

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat keterpaduan pasar komoditas bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta.

D. Kegunaan Penelitian 1. Bagi pemerintah dan pihak yang berwenang, diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan tentang pasar komoditas bawang putih di Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta. 2. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan acuan dalam melakukan penelitian yang sejenis. 3. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

9

II. LANDASAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu Menurut Rinda (2000), yang menganalisis keterpaduan pasar bawang putih di DKI Jakarta secara horisontal dalam jangka pendek antara Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) sebagai pasar acuan dengan tiga pasar pengecer sebagai sesama daerah konsumsi di DKI Jakarta yaitu Pasar Senen, Pasar Jatinegara, dan Pasar Tomang Barat dengan analisis data harga bulanan dari bulan Februari tahun 1998 sampai bulan September 1999, yang menggunakan analisis Index of Market Connection ( IMC), dapat diketahui bahwa dari ketiga pasar pengecer tidak semuanya terpadu dengan pasar acuan yaitu Pasar Induk Kramat Jati. Tingkat keterpaduan pasar antara Pasar Induk Kramat Jati dengan Pasar Jatinegara dan Pasar Tomang Barat memiliki nilai IMC sebesar 0,3178 dan 0,9078 artinya ada keterpaduan pasar yang tinggi dengan pasar acuan. Hal ini menunjukkan harga di Pasar Jatinegara akan cepat menyesuaikan dengan harga di pasar acuan. Sedangkan nilai IMC antara Pasar Induk Kramat Jati dengan Pasar Senen yaitu 1,87. Nilai IMC lebih dari 1 menunjukkan tidak adanya keterpaduan dengan pasar acuan sehingga tidak sepenuhnya arus informasi dari Pasar Induk Kramat Jati disampaikan ke Pasar Senen. Hal ini berarti juga tidak ada pengaruh dalam pembentukan harga di Pasar Senen. Faktor penyebab utama rendahnya tingkat keterpaduan pasar yaitu karena struktur pasar yang tidak sempurna yang ditandai dengan tidak lancarnya (lemahnya) arus informasi sehingga diperlukan informasi mengenai perubahan harga yang terjadi diantara dua pasar tersebut. Penelitian Budianto (2006) mengenai Analisis Keterpaduan Pasar Bawang Putih Antara Kecamatan Tawangmangu Sebagai Pasar Produsen dengan Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta Sebagai Pasar Konsumen yang menganalisis tingkat keterpaduan pasar jangka pendek dan jangka panjang komoditas bawang putih antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Jongke dan Pasar Legi menganalisis antara satu pasar produsen yang dikelilingi oleh dua pasar konsumen. Berdasarkan hasil analisis regresi,

9

10

tingkat keterpaduan pasar antara Pasar Kecamatan Tawangmangu dengan Pasar Jongke rendah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini terlihat dari nilai IMC sebesar 1,33 serta nilai koefisien b2 yang mendekati nol yaitu 0,018. Sedangkan tingkat keterpaduan pasar antara Pasar Kecamatan Tawangmangu dengan Pasar Legi rendah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini terlihat dari nilai IMC sebesar 3,38 serta nilai koefisien b2 yang mendekati nol yaitu 0,053. Faktor yang mempengaruhi rendahnya keterpaduan pasar bawang putih antara Pasar Kecamatan Tawangmangu dengan Pasar Jongke dan Pasar Legi adalah kurang lancarnya arus informasi antara satu pasar dengan pasar yang lainnya serta asal bawang putih di Pasar Jongke Kabupaten Karanganyar dan Pasar Legi Kota Surakarta tidak semuanya dari Pasar Kecamatan Tawangmangu. Berdasarkan kedua penelitian terdahulu yang dilakukan Rinda (2000) dan Budianto (2006), penelitian ini mempunyai persamaan untuk mengetahui efisiensi pemasaran dan tingkat keterpaduan pasar komoditas bawang putih dengan model yang dikembangkan Ravallion dan IMC dari Timmer. Sementara itu, penelitian ini diarahkan untuk mengkaji tingkat keterpaduan pasar komoditas bawang putih secara vertikal dalam jangka pendek antara satu pasar lokal (produsen) yaitu Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan satu pasar acuan (konsumen) yaitu Pasar Legi Kota Surakarta.

B. Tinjauan Pustaka 1. Komoditas Bawang Putih a. Arti Ekonomi Bawang Putih Bawang putih memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk kebutuhan konsumsi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan konsumsi akan bawang putih digunakan sebagai penyedap atau bumbu masakan serta sebagai obat tradisional. Bawang putih mempunyai manfaat yang esensial dalam kehidupan sehari-hari karena setiap bumbu makanan pasti menggunakan bawang putih sebagai bumbu dasarnya sedangkan sebagai obat tradisional, bawang putih juga menjadi bahan utama dalam meracik obat. Kebutuhan konsumsi

11

bawang putih di Indonesia tidak dapat dipenuhi melalui hasil produksi di dalam negeri saja. Meningkatnya impor bawang putih disebabkan juga oleh peningkatan konsumsi masyarakat akan bawang putih yang tidak didukung oleh adanya peningkatan produksi di dalam negeri (Anonim, 2009a).

Salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil bawang putih adalah intensifikasi di daerah-daerah produksi yang sudah ada dan penambahan areal penanaman di tempat-tempat yang dianggap cocok untuk pertumbuhan bawang putih. Semula masyarakat mengetahui bahwa tanaman bawang putih hanya cocok ditanam di dataran tinggi. Seperti jenis-jenis bawang putih Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, Tawangmangu Baru, dan jenis lokal lainnya. Kebanyakan petani bawang putih mengusahakannya di dataran tinggi. Akan tetapi, bawang putih jenis Suren, telah diusahakan di dataran rendah. Jenis bawang putih ini sedang dikembangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Gunung Kidul dan Bantul, dengan ketinggian 200 mdpl. Dengan ditemukannya bawang putih varietas Suren ini membuktikan bahwa bawang putih dapat diusahakan di daerah-daerah dataran rendah dan mampu memberikan keuntungan bagi para petaninya (Santoso, 1998).

Secara ilmiah dan lebih lengkap, perlu diketahui asal-usul, morfologi, klasifikasi, dan habitat dari bawang putih. Hal ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan tentang bawang putih dari aspek ilmiah serta untuk membuka peluang-peluang pengembangan tanaman bawang putih, baik dari aspek budidaya maupun bisnis ekonomi. b. Klasifikasi Bawang Putih Bawang putih (garlic) termasuk salah satu jenis sayuran umbi yang pada mulanya terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama di daerah sentra sayuran dataran tinggi di atas 800 mdpl. Perkembangan selanjutnya, sayuran bawang putih meluas ke luar Pulau Jawa, bahkan

12

ditanam di dataran rendah sampai menengah. Berikut ini merupakan taksonomi dari tanaman bawang putih :

Genus : Allium

Famili : Liliales

Ordo : Lilioflorae

Kelas : Monocotyledonecae

Devisi : Spermathopyta

Sub Devisio : Angiospermae

Spesies : Allium sativum

(Rukmana, 1995).

Tanaman bawang putih memerlukan suhu yang benar-benar optimum karena jika suhu terlalu tinggi atau lebih dari 270 C akan menyebabkan inti lembaga dari bawang putih tidak bisa tumbuh. Selain itu, bawang putih juga tidak bagus jika tumbuh pada kondisi yang terlalu dingin atau di bawah 150 C karena dapat menyebabkan pertumbuhan yang terhambat. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman bawang putih adalah sekitar 1.200-2.400 mm setiap tahunnya. Selain itu, tanaman bawang putih menghendaki kelembaban yang cukup tinggi sekitar 60-80% dan kelembaban ini termasuk dalam kelembaban di dataran tinggi (Samadi, 2000).

Bawang putih merupakan salah satu komoditas pertanian yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dimanfaatkan sebagai bahan penyedap atau pewangi beberapa jenis makanan. Sebagai salah satu jenis tanaman umbi, sebagian besar masyarakat sudah banyak mengenal khasiat bawang putih sebagai obat tradisional. Namun, masyarakat belum mengenal lebih lengkap tentang kandungan gizi dan zat penting dalam bawang putih beserta khasiatnya dan kegunaan dari tanaman tersebut. c. Kandungan dan Kegunaan Bawang Putih

13

Bawang putih memiliki banyak kegunaan dalam kehidupan manusia. Selain sebagai bumbu penyedap untuk makanan, sayuran bawang putih juga bisa digunakan sebagai obat-obatan alamiah untuk mengatasi penyakit antara lain infeksi usus, infeksi saluran pernapasan, tekanan darah tinggi, batuk, gatal-gatal, tifus, maag, dan diabetes. Dewasa ini, bawang putih juga banyak dimanfaatkan dalam bentuk hasil olahan, seperti acar (pickle), tepung, dan minyak bawang putih. Selain itu, bawang putih juga memiliki kandungan gizi yang luar biasa yang sangat penting bagi tubuh manusia. Berikut merupakan kandungan gizi yang terdapat pada umbi bawang putih tiap 100 gram.

Tabel 3. Kandungan Zat Gizi dalam Umbi Bawang Putih Per 100 Gram No Uraian Nilai Gizi 1. Protein 4,50 gram 2. Lemak 0,20 gram 3. Hidrat arang 23,10 gram 4. Kalsium 42 mg 5. Fosfor 134 mg 6. Zat besi 1 mg 7. Vitamin B1 0,22 mg 8. Vitamin C 15 mg 9. Air 71 gram 10. Kalori 95 kal Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI dalam Santoso (1998) Umbi bawang putih juga mengandung beberapa komponen aktif antara lain alliin, allicin, allithiamine, antihemolytic factor, selenium, germanium, antitoksin, dan scordinin. Dr. Paavoo Airola, seorang ahli gizi, telah berhasil menemukan dan mengisolasikan sejumlah komponen aktif tersebut. Menurut Dr. Paavo Airola, alliin atau suatu asam amino antibiotik yang terdapat pada umbi bawang putih mendapat pengaruh dari enzim allinase, allinin dapat berubah menjadi allicin. Allicin ini merupakan zat aktif yang mempunyai daya bunuh terhadap bakteri dan daya anti radang. Apabila allicin bertemu dengan vitamin B1 maka akan membentuk ikatan allithiamine. Allithiamine

14

merupakan sumber ikatan-ikatan biologik yang aktif. Komponen aktif lainnya seperti antihemolytic factor berfungsi sebagai anti lesu darah, selenium berfungsi sebagai antioksidan, germanium berfungsi sebagai mineral anti kanker, antitoksin berfungsi sebagai anti racun atau pembersih darah, dan scordinin yang berfungsi sebagai zat aktif yang mempercepat pertumbuhan tubuh (Santoso, 1998).

Berdasarkan kandungan dan kegunaan bawang putih tersebut, maka konsumsi bawang putih semakin meningkat. Bawang putih yang dihasilkan oleh petani akan dapat dikonsumsi oleh konsumen apabila terjadi pemasaran. Seperti telah diketahui sebelumnya, ciri-ciri dari hasil pertanian adalah bersifat tidak tahan lama dan mudah rusak. Oleh karena itu, peran pemasaran dan lembaga pemasaran sangatlah penting dalam menyalurkan hasil pertanian dari produsen (petani) ke tangan konsumen. 2. Pemasaran a. Pemasaran Hasil Pertanian Menurut Asri (1991), pemasaran adalah usaha yang terpadu untuk mengembangkan rencana strategi yang diarahkan pada usaha pemuasan kebutuhan dan keinginan pembeli guna mendapatkan penjualan yang menghasilkan laba. Pemasaran mencakup berbagai kegiatan secara terpadu. Artinya, untuk memperoleh hasil yang maksimal meningkatnya penjualan dan akhirnya meningkatnya laba segala kegiatan dilakukan bersama-sama, saling berhubungan dan saling mempertimbangkan satu sama lain. Pemasaran hasil pertanian merupakan akhir dari kegiatan agribisnis. Subsistem terakhir ini kadang menjadi batu sandungan bagi produsen, setelah berbagai subsistem dilalui dengan baik. Tidak jarang produk yang kualitasnya baik, tetapi harga yang diterima produsen rendah karena terjadi ketidakseimbangan. Jumlah permintaan yang kecil akan mengakibatkan rendahnya harga. Posisi petani biasanya dalam keadaan lemah ketika terjadi situasi seperti ini. Petani dalam posisi sebagai penerima harga dari pedagang perantara sebagai akibat

15

kurangnya pengalaman yang dimiliki petani dan rendahnya mobilitas petani (Deptan, 1999). Pemasaran hasil pertanian merupakan suatu kegiatan yang produktif dengan penambahan guna suatu produk. Dimana adanya perubahan fungsi dari produk yang kurang berguna di tempat produsen menjadi produk yang lebih berguna di tempat konsumen. Memerlukan perubahan dalam bentuk yang lebih baik, atau penyimpanan pada waktu panen untuk dijual pada waktu paceklik, atau pemindahan produk ke tempat lain yang lebih membutuhkan, dan atau memindahkan produk kepemilikan organisasi atau lembaga lain (Cahyono, 1998). Komoditas pertanian mempunyai sifat khusus dalam pemasaran. Produk pertanian bersifat segar dan mudah rusak sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Produk pertanian juga lebih mudah terserang hama dan penyakit sehingga diperlukan pemasaran yang sesegera mungkin untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Selain itu, produk pertanian bersifat lokal atau kondisional. Artinya, tidak semua produk pertanian dapat dihasilkan dari satu lokasi melainkan dari berbagai tempat. Oleh karena itu, sistem pemasaran sangat penting artinya untuk menyalurkan hasil pertanian yang biasanya dihasilkan di desa untuk dapat dinikmati masyarakat kota (Soekartawi, 2002). Menurut Soekartawi (2001), beberapa sebab terjadinya mata rantai pemasaran hasil pertanian yang panjang dan produsen (petani) sering dirugikan adalah sebagai berikut : (1) Pasar yang tidak bekerja secara sempurna (2) Lemahnya informasi pasar (3) Lemahnya produsen (petani) memanfaatkan peluang pasar (4) Lemahnya posisi produsen (petani) untuk melakukan penawaran

16

(5) Produsen (petani) melakukan usahatani tidak didasarkan pada permintaan melainkan karena usahatani yang diusahakan secara turun-temurun. Kegiatan pemasaran berkaitan erat dengan lembaga pemasaran, dimana lembaga pemasaran tersebut berperan untuk menghubungkan produsen dengan konsumen. Adanya lembaga pemasaran akan terbentuk margin harga akibat dari biaya pemasaran yang dikeluarkan. Selain itu, adanya lembaga pemasaran ini akan lebih mempermudah atau mempercepat proses pemasaran. b. Lembaga Pemasaran Lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Lembaga pemasaran ini timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditas yang sesuai dengan waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen. Tugas lembaga pemasaran ini adalah menjalankan fungsi- fungsi pemasaran, serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran ini berupa margin pemasaran. Lembaga pemasaran ini dapat digolongkan menurut penguasaannya terhadap komoditi yang dipasarkan dan bentuk usahanya, meliputi agen perantara, makelar, pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir, importir, dan asuransi pemasaran (Sudiyono, 2002). Aspek pemasaran menurut Soekartawi (2001) merupakan aspek yang penting. Bila mekanisme pemasaran berjalan baik, maka semua pihak yang terlibat akan diuntungkan. Oleh karena itu, peranan lembaga pemasaran yang biasanya terdiri dari produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, broker, eksportir, importir, atau lainnya sangatlah penting. Lembaga pemasaran ini, khususnya bagi negara berkembang, yang dicirikan oleh lemahnya pemasaran hasil pertanian

17

atau lemahnya komposisi pasar yang sempurna akan menentukan mekanisme pasar. Pemasaran produk dari produsen agar sampai ke konsumen memerlukan jasa pemasaran dari lembaga pemasaran yang ada. Diperlukan sebuah pasar yang dapat menampung dan menyalurkan produk dari produsen ke konsumen dalam proses pemasaran. Pasar merupakan tempat yang sangat penting bagi produsen dalam memasarkan produknya. Pasar juga memiliki peran penting bagi konsumen untuk memenuhi semua kebutuhan sehari-hari. Tanpa adanya pasar, maka produsen tidak dapat menjual atau menawarkan produknya dan konsumen tidak akan dapat memenuhi kebutuhannya. 3. Pasar a. Pengertian Pasar Pasar dalam arti sempit adalah tempat dimana permintaan dan penawaran bertemu, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar tradisional. Sedangkan dalam arti luas adalah proses transaksi antara permintaan dan penawaran, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar modern. Permintaan dan penawaran dapat berupa barang atau jasa (Anonim, 2008).

Menurut Lamarto (1993), kata pasar mempunyai aneka penggunaan dalam teori ekonomi, dalam bisnis pada umumnya dan di pasaran pada khususnya. Salah satu definisi pasar yaitu tempat dimana penjual dan pembeli bertemu, barang atau jasa ditawarkan untuk dijual dan kemudian terjadi pemindahan hak milik. Pertemuan tersebut akan tercipta harga yang merupakan respon dari perubahan kekuatan permintaan dan penawaran.

Pasar merupakan tempat dimana penjual dan pembeli bertemu untuk mempertukarkan barang-barang mereka. Sekumpulan penjual dan pembeli melakukan transaksi atas suatu produk atau kelas produk tertentu. Pasar terdiri dari semua pelanggan potensial yang mempunyai

18

kebutuhan atau keinginan tertentu yang mungkin bersedia dan mampu melibatkan diri dalam suatu pertukaran guna memuaskan kebutuhan atau keinginan tersebut (Kotler, 1996).

Menurut Kotler (1996), ukuran pasar tergantung pada jumlah orang yang mempunyai kebutuhan, mempunyai sumber daya (produk) yang menarik bagi pihak lain, dan bersedia menawarkan sumber daya ini dalam pertukaran untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu, pasar dapat dikelompokkan kembali menjadi lebih spesifik. b. Jenis-Jenis Pasar Pasar dapat dibagi atau dikelompokkan sebagai berikut :

(1) Pasar konsumen (Consumer Markets), adalah pasar untuk barang- barang dan jasa-jasa yang dibeli oleh individu-individu dan rumah tangga-rumah tangga untuk dipakai sendiri (tidak diperdagangkan). (2) Pasar produsen (Producer Markets/Industrial Markets), adalah pasar yang terdiri atas individu-individu dan organisasi-organisasi yang memerlukan barang-barang dan jasa-jasa untuk diproses atau diproduksi lebih lanjut dan kemudian dijual kepada yang lain. (3) Pasar pedagang perantara (Reseller Markets), adalah pasar yang terdiri atas individu-individu dan organisasi-organisasi yang biasanya disebut perantara dalam penjualan (middlemen), dealer, distributor yang memerlukan barang-barang untuk dijual lagi dengan tujuan memperoleh laba. (4) Pasar pemerintah (Government Markets), adalah pasar yang terdiri atas unit-unit pemerintah (misalnya pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR, departemen, dan sebagainya) yang membeli barang- barang untuk melaksanakan fungsi-fungsi dalam pemerintahan. (Sumawihardja et al., 1991). Pasar menurut luas jangkauan dapat dibagi atau dikelompokkan sebagai berikut :

19

(1) Pasar daerah, membeli dan menjual produk dalam satu daerah produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar daerah melayani permintaan dan penawaran dalam satu daerah. (2) Pasar lokal, membeli dan menjual produk dalam satu kota tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar lokal melayani permintaan dan penawaran dalam satu kota. (3) Pasar nasional, membeli dan menjual produk dalam satu negara tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar nasional melayani permintaan dan penjualan dari dalam negeri. (4) Pasar internasional, membeli dan menjual produk dari beberapa negara atau bisa juga dikatakan luas jangkauannya di seluruh dunia (Anonim, 2008).

Pasar menjadi sarana transaksi atau jual beli bagi produsen dan konsumen. Pertemuan antara produsen dan konsumen yang terjadi di pasar akan menciptakan harga yang merupakan respon dari perubahan kekuatan permintaan dan penawaran. 4. Harga a. Pengertian Harga Harga adalah jumlah uang (ditambah beberapa produk kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya. Harga mempunyai empat macam fungsi dalam saluran distribusi, yaitu : (1) Sebagai pembayaran kepada lembaga saluran atas jasa-jasa yang ditawarkannya. (2) Sebagai senjata dalam persaingan (3) Sebagai alat untuk mengadakan komunikasi (4) Sebagai alat pengawasan saluran (Swastha, 1991). Harga merupakan suatu cara bagi seorang penjual untuk membedakan penawarannya dari para pesaing. Harga juga dimaksudkan sebagai suatu penawaran penjualan barang dan jasa

20

tertentu untuk sejumlah rupiah tertentu. Harga juga bersifat sangat relatif (Swastha, 1993). Harga adalah jumlah uang yang ditukarkan konsumen dengan manfaat dari memiliki atau menggunakan produk dan jasa. Harga berperan sebagai penentu utama pilihan pembeli. Harga merupakan satu-satunya elemen bauran pemasaran yang menghasilkan pendapatan sedangkan elemen-elemen lainnya menimbulkan biaya (Kotler, 1998). Terbentuknya suatu harga ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor- faktor tersebut dapat mempengaruhi tinggi rendahnya harga suatu produk atau perubahan harga suatu produk yang cukup besar dari waktu ke waktu. b. Faktor Tinggi Rendahnya Harga Terdapat tiga subyek yang menentukan pembentukan harga suatu produk di pasaran dalam kegiatan pemasaran produk pertanian, yaitu : (1) Produsen dengan dasar biaya-biaya produksi yang telah dikeluarkannya sehingga produk ini berwujud dan siap untuk dipasarkan. (2) Konsumen dengan daya beli dan dasar-dasar kebutuhan serta kesukaannya. (3) Pemerintah dengan peraturan atas ketentuan harga sebagai pengendali tata harga pasaran (price mechanism). (Kartasapoetra, 1992). Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat harga, seperti : (1) Keadaan perekonomian Keadaan perekonomian sangat berpengaruh pada tingkat harga yang berlaku, terutama pada saat negara mengalami resesi. (2) Penawaran dan permintaan Permintaan adalah sejumlah barang yang dibeli oleh pembeli pada tingkat harga tertentu. Penawaran adalah kebalikan dari permintaan, yaitu suatu jumlah yang ditawarkan oleh penjual pada suatu tingkat harga tertentu.

21

(3) Elastisitas permintaan Besar kecilnya permintaan mempengaruhi tingkat harga. Semakin besar permintaan, maka harga barang akan mengalami peningkatan. Sebaliknya semakin kecil permintaan, maka harga barang akan menurun atau tidak berubah. (4) Persaingan Semakin ketatnya persaingan mendorong penjual untuk mempertahankan harga yang telah ditetapkan. Selain itu, untuk beberapa kasus penjual dapat menaikkan atau menurunkan harga agar dapat tetap mampu bersaing. (Basu Swastha dan Ibnu Sukotjo (1997) dalam Anonim, 2009b). Sistem pemasaran yang lemah atau tidak efisien diakibatkan karena tidak diperhatikannya struktur pasar, pelaksanaan, dan penampilan pasar. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya fluktuasi dan perbedaan harga produk yang cukup besar antara pasar yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan harga yang cukup besar tersebut juga disebabkan karena kurangnya penguasaan informasi pasar. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu tingkat keterpaduan pasar agar sistem pemasaran yang efisien dapat tercipta. 5. Keterpaduan Pasar Pengertian dari model keterpaduan pasar adalah seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Untuk menganalisa integrasi pasar terdapat dua pendekatan integrasi yang dapat digunakan yaitu : a. Integrasi vertikal, digunakan untuk melihat keadaan pasar antara pasar lokal, kecamatan, kabupaten dan pasar provinsi, bahkan pasar nasional. Analisis integrasi vertikal ini mampu menjelaskan kekuatan tawar menawar antara petani dengan lembaga pemasaran.

22

b. Integrasi horisontal, digunakan untuk melihat mekanisme harga pada tingkat pasar yang sama, misalnya antar pasar desa, berjalan secara serentak ataukah berjalan tidak serentak. Alat yang digunakan adalah korelasi harga antara pasar satu dengan pasar yang lainnya (Sudiyono, 2002). Hubungan saling mempengaruhi dalam hal perubahan harga antara dua pasar atau lebih disebut keterpaduan pasar. Dua pasar dikatakan terpadu atau terintegrasi apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lainnya. Struktur dan integrasi pasar berkaitan dengan pembentukan harga dan efisien pemasaran. Analisis struktur dan integrasi pasar dapat menggambarkan efektifitas dan tingkah laku pasar di tingkat produsen dan konsumen, yang pada masing-masing tingkat mempunyai kekuatan permintaan dan penawaran (Simatupang dan Jefferson, 1988 dalam Handayani, 2007). Keterpaduan pasar adalah sampai seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada suatu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi oleh harga ditingkat lembaga pemasaran lain. Jenis keterpaduan pasar ada dua yaitu vertikal dan horizontal. Keterpaduan pasar secara horizontal meliputi keterpaduan pasar sesama pasar konsumen atau yang terjadi antar sesama pasar produsen. Sedangkan keterpaduan pasar secara vertikal merupakan keterpaduan pasar antara pasar di tingkat produsen dengan pasar di tingkat konsumen (Tim IPB, 1993 dalam Nila, 1994). Keterpaduan jangka pendek merupakan kondisi terintegrasinya suatu pasar dengan pasar yang lain dalam satu jenis komoditas yang sama. Sesuai untuk menganalisis suatu komoditas dengan kondisi harga yang mudah berfluktuasi seperti komoditas pertanian. Keterpaduan pasar jangka pendek dapat dianalisis menggunakan Model Ravalion dan Model IMC dari Timmer. Dengan adanya pengukuran keterpaduan pasar dalam jangka pendek dapat segera memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar yang dapat berguna untuk memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar,

23

memantau pergerakan harga, dan memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran suatu produk pertanian (Adiyoga et.al, 2006). Analisis korelasi merupakan pengukuran statistik tingkat hubungan antara dua variabel yang berguna untuk mengetahui tingkat kebebasannya. Korelasi harga diukur melalui analisis statistik regresi sederhana dengan menggunakan data berkala (time series data) berupa data harga bulanan di tingkat petani (Pf) dan di tingkat konsumen (Pr). Jika dari hasil perhitungan diperoleh angka koefisien korelasi harga (r) mendekati satu, maka ini menunjukkan keeratan hubungan harga pada kedua tingkat pasar tersebut dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan kointegrasi merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah- peubah ekonomi (harga). Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Prasyarat uji kointegrasi adalah melakukan verifikasi bahwa suatu serial harga bersifat non-stationary dan menetapkan urutan (order) integrasi peubah (Supranto, 2005). Menurut Adiyoga et. al. (2006), integrasi atau keterpaduan pasar dapat dianalisis dengan menggunakan Model Ravallion dan IMC dari Timmer. Model Ravallion merupakan suatu model dinamis untuk menghindari bahaya inferensial penggunaan model bivariat. Model persamaan regresi yang digunakan dengan pendekatan time lag (autoregressive distributed lag model) adalah sebagai berikut : Pit = (1 + b1)Pit-1 + b2(Pt - Pt-1) + (b3 - b1)Pt-1 + b4Xt + µit Keterangan : Pit = harga di pasar lokal pada waktu t

Pt = harga di pasar acuan atau pusat pada waktu t Pt-1 = harga di pasar lokal pada waktu t-1 Pit-1 = harga di pasar acuan atau pusat pada waktu t-1 b0 = konstanta b = koefisien regresi (1,2,3)

Xt = deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan

24

mit = kesalahan pengganggu Sedangkan Timmer (1985) mengembangkan suatu indeks yang disebut sebagai indeks hubungan pasar (IHP) atau Index of Market Connection (IMC) dari persamaan model yang dikembangkan oleh Ravallion. Nilai IMC tersebut diperoleh dari perbandingan nilai koefisien Pit-1 dan koefisien Pt-1 sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut : IMC = (1 + b1) / (b3 - b1) Menurut Handayani dan Minar (2000) dalam Handayani (2007), model analisis yang digunakan untuk mengkaji keterpaduan pasar ada empat yaitu, Koefisien Korelasi, Kointegrasi, Model Ravallion dan Index of Market Connection (IMC) dari Timmer. Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan yaitu sebagai berikut : 1. Koefisien Korelasi dan Kointegrasi, mempunyai kelebihan mudah dalam analisa dan biayanya lebih murah. Tetapi kelemaham dalam model ini adalah hanya bisa untuk mengukur keterpaduan jangka panjang dan tidak bisa untuk mengukur keterpaduan jangka pendek. 2. Model Ravallion sesuai untuk menganalisis keterpaduan jangka pendek dan untuk data mingguan ataupun bulanan, tetapi kurang sesuai untuk menganalisis keterpaduan jangka panjang. Kekurangan dari model ini adalah adanya asumsi bahwa ada satu pasar pusat yang dikelilingi beberapa pasar lokal sehingga perlu pengetahuan tentang struktur pasar dan memerlukan dua kali perhitungan. Derajat keterpaduan pasar juga tidak dapat diukur dengan model ini. 3. IMC dari Timmer lebih sensitif daripada model Ravalion karena dapat menunjukkan derajat integrasi pasar. Selain itu, hanya memerlukan satu kali perhitungan dan tidak perlu persyaratan lain.

C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Komoditas pertanian pada umumnya dicirikan oleh sifat produksi musiman, selalu segar, mudah rusak, jumlahnya banyak tetapi nilainya relatif sedikit (bulky), serta lokal dan spesifik (tidak dapat diproduksi di semua tempat). Produk pertanian juga lebih mudah terserang hama dan penyakit

25

sehingga diperlukan pemasaran yang sesegera mungkin untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Pemasaran pertanian sebagai aktivitas perdagangan yang meliputi aliran barang-barang dan jasa-jasa secara fisik dari pusat produksi pertanian ke pusat konsumsi pertanian. Pemasaran merupakan hal yang penting dalam menjalankan usaha pertanian karena hasil produksi yang baik akan sia-sia karena harga yang rendah. Oleh sebab itu, tingginya produksi tidak mutlak memberikan hasil atau keuntungan yang tinggi bila tidak disertai adanya suatu pemasaran yang baik dan efisien (John, 1968 dalam Sudiyono, 2002). Pemasaran suatu komoditas pertanian yang sederhana terdapat dua macam pasar yang terlibat, yaitu pasar produsen dan pasar konsumen. Pasar produsen adalah pasar sentra produksi yang menghasilkan produk-produk pertanian dan kemudian dijual ke pasar lain yang membutuhkan. Sedangkan pasar konsumen adalah pasar tujuan penjualan hasil-hasil pertanian dari daerah sentra produksi untuk dibeli individu-individu dan rumah tangga untuk dipakai sendiri (Surachman, 1991). Adanya pemasaran dari pasar produsen ke pasar konsumen tersebut menyebabkan terjadinya biaya pemasaran dan keuntungan yang diambil oleh pedagang perantara sebagai lembaga pemasaran. Hal tersebut akan mempengaruhi perbedaan dan perubahan harga yang terjadi baik di pasar produsen maupun di pasar konsumen. Menurut Simatupang dan Situmorang, 1988 dalam Budianto (2006), hubungan yang saling mempengaruhi dalam hal perubahan harga antara dua pasar disebut keterpaduan pasar. Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa jauh pembentukan harga dari suatu komoditas pada tingkat lembaga tertentu akan dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga yang lain. Sedangkan menurut Simatupang (1997), dua pasar dikatakan terpadu atau terintegrasi apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lainnya dengan kemungkinan yang dapat terjadi adalah salah satu pasar sebagai pemimpin harga dan pasar satu lagi sebagai pengikut harga serta harga yang terbentuk sebagai hasil pengaruh dari harga kedua pasar. Berdasarkan Heytens (1992) dalam Adiyoga et. al. (1999), penyebaran dan pemanfaatan informasi antar

26

pasar mengenai komoditas tertentu memungkinkan harga komoditas bersangkutan bergerak secara bersamaan. Kondisi ini menunjukkan adanya integrasi antar pasar yang merupakan salah satu indikator sistem pemasaran yang efisien Dimana informasi harga di salah satu pasar dapat dimanfaatkan oleh pelaku pasar di pasar lainnya dalam proses determinasi atau pembentukan harga. Keterpaduan pasar dapat dianalisis dengan beberapa cara. Menurut Handayani dan Minar (2000), metode yang digunakan untuk melakukan analisis keterpaduan pasar ada empat metode yaitu koefisien korelasi, kointegrasi, model yang dikembangkan oleh Ravalion, dan model IMC dari Timmer. Analisis yang tepat digunakan untuk mengkaji keterpaduan pasar secara vertikal dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta yaitu model analisis Index of Market Connection (IMC) yang diperkenalkan oleh Timmer. Hal ini dikarenakan IMC dari Timmer lebih sensitif daripada model Ravalion karena dapat menunjukkan derajat integrasi pasar atau derajat keterpaduan pasar. Apabila dalam analisis regresi yang melibatkan data deretan waktu dan jika model regresi yang dimasukkan tidak hanya nilai variabel yang menjelaskan (X) pada waktu sekarang tetapi juga memasukkan nilai pada waktu yang lalu (lagged) maka model tersebut dikatakan sebagai model autoregresif yang didistribusikan (Gujarati, 2006). Pertama-tama, model yang dikembangkan oleh Ravallion dimulai dengan membangun hubungan Autoregressive Distributed Lag. Model persamaannya dirumuskan : ai (L) Pit = b0 + bi (L) Pt + gi (L) Xit + mit...... (1) Keterangan: Pit : harga di pasar lokal pada waktu t Pt : harga di pasar acuan atau pusat pada waktu t

X it : faktor lain di pasar lokal pada waktu t mit : random error ai (L); bi (L); gi (L) : notasi polinomial nilai beda kala atau operatur lag (LiPt = Pt-1)

27

Persamaan model (1) diubah menjadi : DPit = (aitL-L) DPt + bi0 DPt + (ait+bi0+bit-1)Pt-1 + giXt+mit ...... (2) Dengan mengubah D : (Pit-Pit-1)=(ai-1)( Pit-1-Pt-1)+bi0(Pt-Pt-1)+(ait+bi0+bit-1)Pt1+giXt+mit..(3) Bila :

ai-1 = B1

bi0 = B2

ai1+bi0 +bi1-1 = B3

gi = B4 Maka persamaan (3) menjadi : (Pit-Pit-1) = B1(Pit-1-Pt-1) + B2(Pt-Pt-1) + B3(Pt-1) + B4Xt + mit...... (4) Persamaan (4) disederhanakan menjadi : Pit = B0 + (1+B1)Pit-1 + B2(Pt-Pt-1) + (B3-B1)Pt-1 + B4Xt + mit...... (5) Berdasarkan uraian dari persamaan (1) sampai dengan persamaan (5), secara keselurahan model persamaan-persamaan tersebut menunjukkan suatu keadaan bagaimana harga suatu komoditas di pasar acuan mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal yang lainnya dengan mempertimbangkan pengaruh harga komoditas tersebut pada waktu sebelumnya atau pengaruh lag (waktu t-1) dan harga pada waktu sekarang (t). Nilai dari koefisien (1+B1) dan (B3–B1) dari persamaan model tersebut menunjukkan besarnya kontribusi relatif dari harga di pasar lokal dan harga di pasar acuan pada waktu yang lalu terhadap pembentukan harga di pasar lokal pada waktu tertentu. Harga pada waktu yang lalu di pasar lokal dikatakan terintegrasi atau terpadu dengan baik apabila harga-harga pada waktu yang lalu di pasar acuan merupakan faktor utama yang menentukan dalam pembentukan harga di pasar lokal. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kondisi penawaran dan permintaan di pasar acuan dikomunikasikan atau diinformasikan secara efektif ke pasar lokal dan membawa pengaruh dalam hal pembentukan harga di pasar lokal tersebut dalam jangka pendek.

28

Sedangkan nilai dari koefisien B2 merupakan ukuran integrasi atau keterpaduan pasar dalam jangka panjang karena parameter tersebut menunjukkan seberapa besar perubahan marjin di pasar acuan dapat mempengaruhi harga di pasar lokal. Semakin dekat dengan 1 dari nilai B2 berarti pasar terintegrasi atau terpadu dalam jangka panjang. Berdasarkan rumus dari persamaan (5), apabila : (1 + B1) = b1 B2 = b2 (B3 – B1) = b3 B4 = b4 Persamaan (5) tersebut dapat disederhanakan lagi menjadi persamaan seperti berikut ini : Pit = b0 + b1(Pit-1) + b2(Pt-Pt-1) + b3(Pt-1) + b4Xt + mit...... (6) Dimana : Pit = harga di pasar lokal pada waktu t Pt = harga di pasar acuan pada waktu t Pit-1 = harga di pasar lokal pada waktu t-1 Pt-1 = harga di pasar acuan pada waktu t-1 b0 = konstanta b = koefisien regresi (1,2,3)

Xt = deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan mit = random error Kemudian dari persamaan (6) tersebut, apabila diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan mempunyai pola musim yang sama,

maka b4 = 0. Maka persamaan (6) menjadi : Pit = b0 + b1(Pit-1) + b2(Pt-Pt-1) + b3(Pt-1) + mit...... (7) Menurut Timmer (1987) dalam Setyowati et. al. (2005), rasio dari koefisien-koefisien tersebut dapat digunakan untuk mengetahui Indeks Keterpaduan Pasar (Index of Market Connection) atau IMC. Berdasarkan persamaan (7) dapat ditulis rumus IMC secara matematis yaitu :

29

b1 IMC = b3

Keterangan : IMC = rasio dari koefisien harga di pasar lokal pada waktu t-1 dan koefisien harga di pasar acuan pada waktu t-1 b1 = koefisien harga di pasar lokal pada waktu t-1 b3 = koefisien harga di pasar acuan pada waktu t-1 Nilai IMC < 1 atau semakin mendekati nol, menunjukkan keterpaduan pasar dalam jangka pendek semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi di pasar acuan merupakan faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya harga di pasar lokal, sehingga keadaan di pasar acuan ditransformasikan ke pasar lokal dan mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal tersebut. Apabila nilai IMC ≥ 1, menunjukkan bahwa keterpaduan pasar yang rendah, dimana harga di pasar acuan tidak sepenuhnya ditransformasikan ke pasar lokal. Faktor utama yang menyebabkan terbentuknya harga di pasar lokal hanyalah kondisi di pasar lokal itu sendiri. Alat penguji pada analisa regresi dengan metode OLS antara lain adalah R2 (koefisien determinasi), uji F, serta uji t. Uji R2 dan R2 terkoreksi (adjusted R2) dipergunakan sebagai suatu kriteria untuk mengetahui ketepatan suatu garis regresi (goodness of fit criteria). Nilai R2 mengukur proporsi (bagian) total variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh semua variabel bebas dalam model regresi, semakin tinggi nilai R2 (semakin mendekati 1) maka makin banyak proporsi variasi variabel tak bebas yang bisa dijelaskan oleh variabel bebasnya. Nilai R2 dihitung dengan menggunakan rumus : ESS R2 = TSS Keterangan : ESS = jumlah kuadrat regresi TSS = jumlah kuadrat total

30

Uji F digunakan untuk mengetahui tingkat pengaruh semua variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tak bebasnya dengan rumus : ESS (k -1) F = RSS n - k Keterangan : ESS : jumlah kuadrat regresi RSS : jumlah kuadrat residual n : jumlah sampel k : jumlah variabel F tabel : F (a ; k-1 ; n-k) Uji hipotesisnya adalah sebagai berikut :

Ho : bi = 0 (bi= b1= b2= b3 =0)

H1 : minimal salah satu bi bernilai tidak nol bi≠0 (b1/b2/b3≠0) Dengan kriteria : (1) Jika F hitung < F tabel : Ho diterima, maka variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas.

(2) Jika F hitung ³ F tabel : H1 diterima, maka variabel bebas secara bersama- sama berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. (Gujarati, 2006). Uji t dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas secara individu, dengan menggunakan rumus sebagai berikut : bi t hit = Se(bi) Keterangan : bi : koefisien regresi

Se (bi) : standar error penduga koefisien regresi

Dengan hipotesis: Ho : b1 = 0

H1 : b1 ¹ 0

31

t tabel = t (a/2 ; n-k)

Dengan kriteria :

(1) Jika t hitung < t tabel : H0 ditolak, maka tidak ada pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebas.

(2) Jika t hitung ³ t tabel : H1 diterima, maka ada pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya (Gujarati, 1995). Pengujian asumsi klasik dengan menggunakan uji matrik Pearson Correlation (PC), nilai nilai Eigenvalue (Colinearity Diagnostik), diagram pencar (scatterplot), dan uji Durbin Watson (DW). Uji matrik Pearson Correlation dan nilai Eigenvalue (Collinearity Diagnostics) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas. Bila nilai Pearson Correlation tidak ada yang lebih dari 0,8 dan nilai Eigenvalue tidak mendekati nol maka dapat disimpulkan bahwa antar variabel bebas tidak terjadi multikolinearitas. Diagram pencar atau scatterplot digunakan untuk mendeteksi terjadi tidaknya heteroskedastisitas. Apabila dari diagram pencar terlihat titik-titik menyebar secara acak dan tidak membentuk pola yag teratur maka hal tersebut menunjukkan bahwa model yang diestimasi tidak terjadi heteroskedastisitas. Sedangkan uji Durbin Watson (DW), dilakukan untuk melihat apakah pada persamaan terdapat autokorelasi (salah satu penyimpangan asumsi klasik). Adapun kriteria adanya autokorelasi adalah sebagai berikut :

(1) d < dL

Tolak H0 (koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol) berarti ada autokorelasi positif.

(2) d > 4 - dL

Tolak H0 (koefisien autokorelasi lebih kecil dari nol) berarti ada

autokorelasi negatif.

(3) dU < d < 4 - dU

Terima H0 (tidak ada autokorelasi)

(4) dL £ d £ dU atau 4–dU £ d £ 4 - dL

32

Tidak dapat disimpulkan (Gujarati, 2006). Berdasarkan kerangka teori pendekatan masalah diatas, keterpaduan pasar antara Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi merupakan keterpaduan pasar secara vertikal yaitu antara pasar lokal dengan pasar acuan dalam jangka pendek yang dapat dianalisis dengan Index of Market Connection (IMC) dengan ketentuan apabila nilai IMC < 1, maka tingkat keterpaduan pasar jangka pendek tinggi dan apabila nilai IMC ≥ 1, maka tingkat keterpaduan pasar jangka pendek rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

33

Produsen Bawang Putih

Pasar Tawangmangu

Keterpaduan Pasar

Pasar Legi

Integrasi Vertikal Integrasi Horisontal

Jangka Pendek Jangka Panjang

Analisis IMC

IMC < 1 IMC ≥ 1 Keterpaduan Pasar Jangka Keterpaduan Pasar Jangka Pendek Tinggi Pendek Rendah

Efisiensi Pemasaran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pendekatan Masalah Keterangan : (tidak diamati)

34

D. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga keterpaduan pasar komoditas bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta rendah. E. Pembatasan Masalah 1. Penelitian memusatkan pada analisis keterpaduan pasar secara vertikal karena peneliti ingin mengetahui tingkat keterpaduan pasar komoditas bawang putih antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar sebagai pasar lokal (pasar tingkat produsen) dengan Pasar Legi Kota Surakarta sebagai pasar acuan (pasar tingkat konsumen). 2. Data yang diamati adalah data sekunder harga bulanan bawang putih di pasar tingkat produsen dan konsumen. Harga bawang putih di pasar tingkat petani atau produsen adalah harga bawang putih yang berlaku di pasar lokal terpilih di Kabupaten Karanganyar yaitu Pasar Tawangmangu. Sedangkan harga bawang putih di pasar tingkat konsumen adalah harga bawang putih yang berlaku di pasar acuan terpilih di Kota Surakarta yaitu Pasar Legi. 3. Data yang digunakan dalam penelitian ini selama 22 bulan karena akan lebih up to date dan data selama 22 bulan tersebut sudah dapat mewakili dari data yang diperlukan dalam analisis. Data harga bulanan bawang putih yang dianalisis adalah dari bulan Januari tahun 2008 sampai bulan Oktober 2009. Menurut Gujarati (1995), banyaknya observasi minimum yang diperlukan sehubungan dengan tabel Durbin Watson adalah 15 karena apabila suatu sampel yang lebih kecil dari 15, maka observasi menjadi sulit untuk bisa menarik kesimpulan yang pasti mengenai autokorelasi dengan memeriksa residual yang ditaksir.

F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 1. Keterpaduan pasar adalah analisis yang menunjukkan bahwa perubahan harga dari suatu pasar (sebagai pasar acuan atau konsumen) mempengaruhi pembentukan harga di pasar lainnya (sebagai pasar lokal

35

atau produsen). Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan atau disampaikan ke pasar lainnya. 2. Pasar merupakan lokasi secara fisik terjadi kegiatan jual beli barang atau jasa antara pedagang dan pembeli serta terjadi pemindahan hak milik (Kotler, 1996). 3. Pasar lokal (pasar tingkat petani atau produsen) bawang putih adalah tempat dimana petani menjual bawang putih. 4. Pasar acuan (pasar tingkat konsumen) bawang putih adalah pasar tujuan perdagangan yang menerima bawang putih dari pasar lokal. 5. Harga absolut adalah nilai yang diwujudkan dalam rupiah sebelum dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK) (Swasta, 1993). 6. Harga absolut bawang putih di pasar lokal adalah harga bulanan bawang putih yang berlaku di Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg) sebelum dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK). 7. Harga absolut bawang putih di pasar acuan adalah harga bulanan bawang putih yang berlaku di pasar Legi Kota Surakarta yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg) sebelum dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK). 8. IHK yang digunakan adalah IHK kelompok bumbu-bumbuan karena IHK bawang putih dipengaruhi oleh IHK bumbu-bumbuan lain. Nilai IHK kelompok bumbu-bumbuan tersebut diperoleh dari BPS Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta. Berdasarkan data IHK yang diperoleh tersebut, terlebih dahulu dipilih IHK bulan dasar untuk menghitung IHK yang dipakai dalam penelitian dengan pertimbangan bahwa dari 22 bulan yang diteliti dicari bulan yang paling stabil (pengaruh inflasinya tidak begitu besar). Kemudian dengan IHK bulan dasar yang telah ditentukan digunakan untuk mencari IHK yang digunakan dalam penelitian. Untuk menghitung IHK yang digunakan dalam penelitian dengan rumus sebagai berikut :

36

IHKa IHKb = x100 IHKd Keterangan : IHKb : IHK yang digunakan dalam penelitian IHKa : IHK dari BPS IHKd : IHK bulan dasar IHK bulan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan bulan dasar Mei 2008 untuk Kabupaten Karanganyar dan dengan bulan dasar April 2009 untuk Kota Surakarta dengan nilai IHK 100 setelah dilakukan perhitungan melalui rumus di atas. 9. Harga riil adalah nilai yang diwujudkan dalam rupiah setelah dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk menghilangkan pengaruh inflasi (Swasta, 1993). Menurut Pindyck dan Daniel L. R. (1998), untuk menghitung harga riil tersebut digunakan rumus sebagai berikut : IHKd Hbr = xHba IHKb Keterangan : Hbr : Harga riil suatu barang pada bulan t IHKd : IHK bulan dasar IHKb : IHK yang digunakan dalam penelitian pada bulan t Hba : Harga absolut suatu barang pada bulan t 10. Harga riil bawang putih di pasar lokal adalah harga bulanan bawang putih yang berlaku di Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg) setelah dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK). 11. Harga riil bawang putih di pasar acuan adalah harga bulanan bawang putih yang berlaku di Pasar Legi Kota Surakarta yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg) setelah dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK). 12. Harga bawang putih adalah harga riil bawang putih (Rp/kg).

37

13. Waktu yaitu saat berlakunya harga dihitung dalam satuan bulan.

G. Asumsi 1. Harga bawang putih berada dalam pasar persaingan sempurna. 2. Jenis dan kualitas bawang putih sama. 3. Komoditas bawang putih yang dihasilkan petani di Kabupaten Karanganyar dijual ke Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dan komoditas bawang putih yang dijual di Pasar Tawangmangu masuk ke Pasar Legi Kota Surakarta.

38

III. METODE PENELITIAN

B. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis dengan menggunakan data time series. Deskriptif berarti memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang dan pada masalah-masalah yang aktual. Sedangkan analitis berarti data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis dan disimpulkan serta didukung dengan teori-teori yang ada dari hasil penelitian terdahulu (Surakhmad, 1998). Data time series merupakan data runtut waktu atau data deretan waktu seperti data mingguan, bulanan, tahunan, dan lainnya (Gujarati, 2003).

C. Metode Pengambilan Daerah Penelitian Metode penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), purposive sampling adalah pemilihan lokasi penelitian diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Pertimbangan tertentu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemilihan Kota Surakarta sebagai daerah penelitian karena berdasarkan data BPS Surakarta Dalam Angka Tahun 2009, Kota Surakarta tidak membudidayakan dan menghasilkan bawang putih sendiri sehingga memerlukan pasokan dari daerah lain. Sedangkan pemilihan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah penelitian dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten yang menghasilkan bawang putih di Jawa Tengah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sub Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Karanganyar merupakan pemasok bawang putih di Kota Surakarta.

38

39

Tabel 4. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Bawang Putih Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2008 No Kabupaten Luas Panen Produktivitas Produksi (Ha) (Ku/Ha) (Ku) 1 502 72,13 36.213 2 213 96,60 20.576 3 Wonogiri 42 16,19 680 4 94 173,03 16.265 5 Karanganyar 162 62,34 10.100 6 Temanggung 7 29,28 205 7 Batang 30 52,13 1.564 8 71 113,71 8.074 9 23 56,43 1.298 Brebes Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, 2009 Beberapa kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang menghasilkan bawang putih dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Kecamatan-kecamatan tersebut merupakan daerah dataran tinggi yang cocok dengan syarat tumbuh tanaman bawang putih dan Kecamatan Tawangmangu sebagai sentra tanaman bawang putih yang berada di Kabupaten Karanganyar karena memiliki produksi paling tinggi daripada kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Karanganyar. Oleh karena itu, petani bawang putih dari kecamatan-kecamatan tersebut biasanya menjual hasil panen bawang putih di Pasar Kecamatan Tawangmangu. Tabel 5. Luas Panen dan Produksi Bawang Putih Menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008 No Kecamatan Luas Panen (Ha) Produksi (Ku) 1 Jatipuro 2 130 2 Jatiyoso 25 1.583 3 Tawangmangu 58 13.920 4 Ngargoyoso 7 538 5 Jenawi 2 94 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Pemilihan Pasar Tawangmangu sebagai pasar lokal (tingkat petani atau produsen) karena pasar tersebut merupakan pasar tujuan petani bawang putih di Kabupaten Karanganyar dari Kecamatan Jatipuro, Kecamatan Jatiyoso, Kecamatan Tawangmangu, Kecamatan Ngargoyoso, dan Kecamatan Jenawi

40

untuk menjual hasil panen bawang putih. Sedangkan pemilihan Pasar Legi sebagai pasar acuan (pasar tingkat konsumen) dengan pertimbangan bahwa pasar tersebut merupakan pasar tujuan pemasaran bawang putih dari petani bawang putih di Kabupaten Karanganyar khususnya dari Pasar Tawangmangu. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan 15 pedagang bawang putih di Pasar Legi yang menyatakan bahwa pasokan bawang putih di Pasar Legi salah satunya berasal dari Pasar Tawangmangu.

D. Metode Pengumpulan Data 1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dan telah diolah oleh instansi atau lembaga yang ada kaitannya dengan penelitian serta sumber-sumber referensi lainnya yang relevan, seperti jurnal-jurnal dan hasil penelitian.. Instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian antara lain BPS Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar, Dinas Pertanian Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar, Disperindagkop dan Dinas Pengelola Pasar Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta, serta Kantor Pasar Kecamatan Tawangmangu dan Pasar Legi Kota Surakarta. Data sekunder yang digunakan berupa data harga bulanan bawang putih yang berlaku di Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dan Pasar Legi Kota Surakarta, jumlah produksi bawang putih di Kabupaten Karanganyar, jumlah tonase bawang putih di Pasar Legi serta data Indeks Harga Konsumen (IHK) kelompok bumbu-bumbuan dengan pertimbangan bahwa IHK bawang putih dipengaruhi oleh IHK bumbu-bumbuan yang lain. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Observasi Pada penelitian ini, observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung ke lapang untuk mendapatkan gambaran

41

yang jelas terkait dengan kondisi Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi serta pemasaran bawang putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi. b. Wawancara Teknik ini digunakan untuk memperoleh informasi yang tidak diperoleh dalam data sekunder seperti asal pasokan bawang putih. Teknik ini dilakukan dengan wawancara langsung kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini seperti pedagang bawang putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi serta petugas instansi yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini. c. Pencatatan Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yaitu dengan mencatat data yang ada pada instansi yang terkait dengan penelitian yang meliputi data harga bulanan bawang putih yang berlaku di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi, Indeks Harga Konsumen (IHK) kelompok bumbu-bumbuan, jumlah produksi bawang putih, dan jumlah tonase bawang putih. Adapun instansi yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah BPS Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar serta Dinas Pertanian Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar.

E. Metode Analisis Data 1. Analisis Keterpaduan Pasar Tingkat keterpaduan pasar bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta dapat diketahui dengan melakukan analisis secara statistik terhadap data sekunder dengan menggunakan model IMC (Indeks of Market Connection) yang diperkenalkan oleh Timmer dengan pendekatan Autoregressive Distributed Lag Model yang dikembangkan oleh Ravallion yang digambarkan sebagai berikut :

Pit = b0 + b1(Pit-1) + b2(Pt - Pt-1) + b3(Pt-1) Keterangan : Pit = harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t

42

Pt = harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t Pit-1 = harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 Pt - Pt-1 = selisih harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t dengan t-1 Pt-1 = harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1

b0 = konstanta

b1 = koefisien regresi Pit-1

b2 = koefisien regresi Pt - Pt-1

b3 = koefisien regresi Pt-1 Besarnya pengaruh harga di pasar tingkat petani dan pasar di tingkat konsumen dapat diketahui dengan menggunakan Indeks of Market Connection (IMC) dengan rumus : b1 IMC = b3 Dimana :

b1 = koefisien harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1

b3 = koefisien harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 Kriteria : a. Jika nilai IMC < 1, maka keterpaduan pasar semakin tinggi. Hal ini menunjukkan harga di pasar acuan adalah faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya harga di pasar lokal dan mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal tersebut. b. Jika IMC ³ 1, maka keterpaduan pasar rendah. Hal ini menunjukkan harga di pasar acuan tidak sepenuhnya ditransformasikan ke pasar lokal. Faktor utama yang menyebabkan terbentuknya harga di pasar lokal hanyalah kondisi di pasar lokal itu sendiri. 2. Pengujian Model Pengujian model dilakukan dengan menggunakan uji R2, uji F, dan uji t. a. Uji R2

43

Uji R2 dan R2 terkoreksi (adjusted R2) dipergunakan sebagai suatu kriteria untuk mengetahui kebaikan atau untuk mengukur cocok tidaknya suatu garis regresi untuk memperkirakan atau meramalkan variabel tidak bebas Y (goodness of fit criteria) (Supranto, 2005). Nilai R2 mengukur proporsi (bagian) total variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh semua variabel bebas dalam model regresi. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi (mendekati satu), maka semakin erat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tak bebasnya. Nilai R2 dihitung dengan menggunakan rumus : ESS R2= TSS Keterangan : ESS = jumlah kuadrat regresi TSS = jumlah kuadrat total b. Uji F Uji F digunakan untuk mengetahui tingkat pengaruh semua variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebasnya, dengan rumus : ESS (k -1) F = RSS n - k Keterangan : ESS : jumlah kuadrat regresi RSS : jumlah kuadrat residual n : jumlah sampel k : jumlah variabel F tabel : F (a ; k-1 ; n-k) Uji hipotesisnya adalah sebagai berikut :

Ho : bi = 0 (bi= b1= b2= b3 =0)

H1 : minimal salah satu bi bernilai tidak nol

bi≠0 (b1/b2/b3≠0)

44

Dengan kriteria : (1) Jika F hitung < F tabel : Ho diterima, maka variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas.

(2) Jika F hitung ³ F tabel : H1 diterima, maka variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. (Gujarati, 2006). c. Uji t Uji t dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas secara individu, dengan menggunakan rumus sebagai berikut : bi t hit = Se(bi) Keterangan :

bi : koefisien regresi

Se (bi) : standar error penduga koefisien regresi

Dengan hipotesis: Ho : b1 = 0

H1 : b1 ¹ 0 t tabel = t (a/2 ; n-k) Dengan kriteria :

(3) Jika t hitung < t tabel : H0 ditolak, maka tidak ada pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebas.

(4) Jika t hitung ³ t tabel : H1 diterima, maka ada pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya (Gujarati, 1995). 3. Pengujian Asumsi Klasik a. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana terdapat hubungan atau korelasi linear yang sempurna diantara beberapa atau

45

semuanya dari variabel-variabel yang menjelaskan dalam model regresi. Apabila dua atau lebih variabel bebas berhubungan satu dengan yang lainnya maka tidak dapat ditetapkan sumbangan variabel tadi secara individual. Ada atau tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dengan menggunakan matriks korelasi yaitu hubungan antara berbagai variabel bebas yang dimasukkan dalam model. Jika nilai Pearson Correlation (PC) < 0,8 dan nilai Eigenvalue (Collinearity Diagnostics) tidak mendekati nol maka model yang diestimasi tidak terjadi multikolinearitas (Gujarati, 2006). b. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Penelitian ini menggunakan metode grafik dengan melihat diagram pencar (scatterplot) untuk mendeteksi ada atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Apabila dari diagram pencar terlihat titik-titik menyebar secara acak dan tidak membentuk pola yang teratur maka hal tersebut menunjukkan bahwa kesalahan pengganggu memiliki varian yang sama (homoskedastisitas) dan dapat disimpulkan bahwa dari model yang diestimasi tidak terjadi heteroskedastisitas (Gujarati, 2006). c. Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan korelasi antar anggota seri observasi yang disusun menurut urutan tempat dan ruang. Ada atau tidaknya autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan analisis statistik dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Adapun kriteria adanya autokorelasi adalah sebagai berikut :

(5) d < dL

Tolak H0 (koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol) berarti ada autokorelasi positif.

(6) d > 4 - dL

46

Tolak H0 (koefisien autokorelasi lebih kecil dari nol) berarti ada

autokorelasi negatif.

(7) dU < d < 4 - dU

Terima H0 (tidak ada autokorelasi)

(8) dL £ d £ dU atau 4–dU £ d £ 4 - dL

Tidak dapat disimpulkan (Gujarati, 2006).

47

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Kabupaten Karanganyar Keadaan Alam a. Letak Geografi Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang terletak di antara 110º 40”-110º 70” BT dan 7º 28”-7º 46” LS dengan luas wilayah 77.378,64 Ha. Batas-batas administratif Kabupaten Karanganyar adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Kabupaten Sragen b. Sebelah Selatan : Kabupaten Wonogiri dan Sukoharjo c. Sebelah Barat : Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali d. Sebelah Timur : Kabupaten Magetan (Propinsi Jawa Timur) b. Jenis Tanah Kabupaten Karanganyar terdiri dari beberapa jenis tanah. Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar Tahun 2008, jenis tanah menurut kecamatan di Kabupaten Karanganyar sebagai berikut : a. Tanah grumosol terdapat di wilayah Kecamatan Jaten, Gondangrejo, dan Kebakkramat. b. Tanah aluvial terdapat di wilayah Kecamatan Jaten dan Kebakkramat. c. Tanah litosol terdapat di wilayah Kecamatan Jatipuro, Jatiyoso, Jumapolo, Jumantono, Matesih, Tawangmangu, Ngargoyoso, Mojogedang, Kerjo, dan Jenawi. d. Tanah andosol terdapat di wilayah Kecamatan Jatiyoso, Tawangmangu, Ngargoyoso, dan Jenawi. e. Tanah mediteran terdapat di wilayah Kecamatan Matesih, Karangpandan, Karanganyar, Tasikmadu, Gondangrejo, Kebakkramat, Mojogedang, dan Jenawi.

47

48

Tanaman bawang putih dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur, dan banyak mengandung bahan organik. Jenis tanah yang biasanya digunakan untuk menanam bawang putih adalah andosol, litosol, dan regosol. Tanah-tanah tersebut bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu. Oleh karena itu, kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang jenis tanahnya dapat dimanfaatkan untuk menanam bawang putih antara lain Ngargoyoso, Jatipuro, Jatiyoso, Jenawi, dan Tawangmangu. c. Topografi Kabupaten Karanganyar mempunyai ketinggian rata-rata 511 m di atas permukaan laut. Topografi daerah Kabupaten Karanganyar bervariasi dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan penggolongan sebagai berikut : a. 90-250 m : Kecamatan Kebakkramat, Gondangrejo, Tasikmadu, Colomadu, dan Jaten. b. 260-690 m : Kecamatan Karanganyar, Jumantono, Karangpandan, Matesih, Jumapolo, Mojogedang, dan Kerjo. c. 700-1.200 m : Kecamatan Tawangmangu, Jatiyoso, Ngargoyoso, Jatipuro, dan Jenawi. Berdasarkan data keadaan topografi di Kabupaten Karanganyar, wilayah di Kabupaten Karanganyar yang berpotensi untuk ditanami bawang putih adalah Kecamatan Tawangmangu, Jatiyoso, Ngargoyoso, Jatipuro, dan Jenawi. Hal ini dikarenakan tanaman bawang putih dapat tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 700-1.100 mdpl. d. Keadaan Iklim Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Karanganyar, keadaan iklim di Kabupaten Karanganyar secara umum termasuk beriklim tropis dengan temperatur udara 200-310C. Berdasarkan data dari 6 stasiun pengukur yang ada di Kabupaten Karanganyar yaitu di Kecamatan Tasikmadu, Kecamatan Mojogedang, Kecamatan Jumantono, Kecamatan Colomadu, Kecamatan

49

Karangpandan, dan Kecamatan Tawangmangu, banyaknya hari hujan selama tahun 2008 adalah 95 hari dengan rata-rata curah hujan 2.453 mm/tahun serta rata-rata curah hujan perbulan 154,58 mm. Berikut ini jumlah hari hujan dan curah hujan di Kabupaten Karanganyar pada tahun 2008. Tabel 6. Banyaknya Hari Hujan (HR) dan Curah Hujan (MM) di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008 Bulan Hari Hujan Curah Hujan (hari) (mm) Januari 12 345 Februari 12 350 Maret 19 507 April 10 199 Mei 5 66 Juni 2 20 Juli - - Agustus - - September - - Oktober 9 319 November 11 348 Desember 15 299 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui jumlah hari hujan dan curah hujan di Kabupaten Karanganyar paling tinggi terjadi pada Bulan Maret sebanyak 19 hari hujan dan curah hujan sebesar 507 mm. Sedangkan jumlah hari hujan dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli, Agustus, dan September karena pada bulan-bulan itu terjadi musim kemarau tanpa disertai adanya turun hujan. Bawang putih menghendaki curah hujan yang cukup antara 100- 200 mm/bulan dengan temperatur antara 180-200C dan kelembaban udara 60%-80%. Di daerah yang suhu udaranya di atas 250C, bawang putih akan sulit membentuk umbi. Sebaliknya, di daerah yang suhu udaranya kurang dari 150C, umbi bawang putih yang terbentuk akan kecil-kecil. Oleh karena itu, keadaan iklim di Kabupaten Karanganyar sangat mendukung untuk pembudidayaan hortikultura, khususnya tanaman bawang putih.

50

Keadaan Penduduk Jumlah dan Kepadatan Penduduk Pertambahan dan penurunan jumlah penduduk di suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa hal seperti migrasi, mortalitas (kematian), dan natalitas (kelahiran). Berikut ini adalah tabel mengenai jumlah dan kepadatan penduduk di Kabupaten Karanganyar Tahun 2003-2008. Tabel 7. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Karanganyar Tahun 2003-2008 Tahun Luas Wilayah Jumlah Kepadatan Penduduk ( km2) Penduduk (jiwa) (jiwa/km2) 2003 773,78 823.203 1.064 2004 773,78 830.640 1.073 2005 773,78 838.182 1.086 2006 773,78 844.634 1.091 2007 773,78 851.366 1.100 2008 773,78 865.580 1.119 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Tabel 7 menunjukkan bahwa pertambahan penduduk di Kabupaten Karanganyar mengalami peningkatan dari tahun 2003-2008. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Karanganyar, jumlah penduduk Kabupaten Karanganyar pada tahun 2008 adalah 865.580 jiwa yang terdiri dari 429.852 penduduk laki-laki dan 435.728 penduduk perempuan. Dengan luas wilayah sebesar 773,78 km2, maka kepadatan penduduk geografis Kabupaten Karanganyar sebesar 1.119 jiwa per km2. Artinya, setiap 1 km2 luas wilayah ditempati oleh 1.119 jiwa. Hal ini berarti jumlah tenaga kerja yang tersedia terus meningkat sehingga peluang penyediaan tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani bawang putih akan bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Selain itu, permintaan bawang putih akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Komposisi Penduduk Kabupaten Karanganyar Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Komposisi penduduk menurut kelompok umur merupakan suatu bentuk penggolongan penduduk berdasarkan umur sehingga dapat

51

diketahui jumlah penduduk yang produktif maupun penduduk yang tidak produktif. Menurut data BPS Kabupaten Karanganyar, golongan umur produktif adalah golongan umur 15-64 tahun. Sedangkan golongan umur tidak produktif adalah golongan umur antara 0-14 tahun dan golongan umur lebih dari atau sama dengan 65 tahun. Komposisi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Karanganyar dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 8. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008

Golongan Jenis Kelamin Jumlah Umur (tahun) Laki-laki Perempuan (jiwa) 0-14 111.591 109.664 221.255 15-64 283.868 285.970 569.838 65 ke atas 34.393 40.094 74.487 Jumlah 429.852 435.728 865.580 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang paling banyak berada pada usia produktif (15-64 tahun) yaitu sebesar 569.838 jiwa. Hal ini memungkinkan penyediaan tenaga kerja yang cukup dalam usahatani bawang putih. Walaupun pada kenyataannya, usia 65 tahun keatas juga masih mampu terlibat dalam usahatani bawang putih. Penduduk yang termasuk usia produktif masih dimungkinkan adanya keinginan untuk meningkatan ketrampilan dan menambah pengetahuan dalam mengelola usahataninya serta menyerap teknologi baru untuk memajukan usahatani bawang putih. Berdasarkan Tabel 8 tentang komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin ini dapat diketahui Angka Beban Tanggungan (ABT) dan Sex Ratio (SR). Angka Beban Tanggungan diperoleh dari hasil perbandingan antara jumlah penduduk usia non produktif dengan jumlah penduduk usia produktif. Sedangkan Sex Ratio merupakan hasil perbandingan antara jumlah penduduk pria dengan jumlah penduduk wanita.

52

Berdasarkan perhitungan (Lampiran 5), Angka Beban Tanggungan (ABT) di Kabupaten Karanganyar adalah sebesar 51,89 persen, yang berarti setiap 100 orang penduduk umur produktif di Kabupaten Karanganyar harus menanggung 52 orang penduduk umur non produktif. Dengan semakin tingginya nilai ABT di Kabupaten Karanganyar dapat mencerminkan penyediaan tenaga kerja dalam usahatani bawang putih semakin berkurang. Hal ini akan berpengaruh terhadap produksi dan penawaran bawang putih yang juga semakin menurun. Berdasarkan perhitungan (Lampiran 5) tersebut juga diketahui bahwa nilai Sex Ratio (SR) di Kabupaten Karanganyar adalah 98,65 persen. Hal ini berarti setiap 100 orang penduduk perempuan di Kabupaten Karanganyar terdapat 98 orang penduduk laki-laki sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki. Dengan semakin banyaknya jumlah penduduk perempuan dibandingkan laki-laki maka akan meningkatkan jumlah tenaga kerja dalam usahatani bawang putih. Hal ini dikarenakan tenaga perempuan banyak digunakan ketika proses penanaman, penyiangan, panen, serta pegeringan bawang putih pasca panen. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam sumber daya manusia. Komposisi penduduk menurut pendidikan dapat digunakan untuk mengetahui kualitas sumber daya manusia dan kemampuan penduduk untuk menyerap dan menerapkan teknologi yang ada maupun teknologi baru di daerah tersebut. Tingkat pendidikan berpengaruh pada sikap dan tindakan dalam sebuah proses produksi pertanian dan terkait dengan pengambilan keputusan. Berikut ini merupakan tabel keadaan penduduk menurut tingkat pendidikan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008.

53

Tabel 9. Keadaan Penduduk Usia Lima Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008 Pendidikan Yang Ditamatkan Jumlah Presentase (%) Tamat Akademi/ PT 29.597 3,72 Tamat SLTA/MA 117.394 14,75 Tamat SLTP/MTS 142.701 17,92 Tamat SD/MI 298.694 37,52 Tidak Tamat SD 61.446 7,72 Belum Tamat SD 81.167 10,20 Tidak Sekolah 65.060 8,17 Jumlah 796.059 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan yang paling tinggi di Kabupaten Karanganyar pada tahun 2008 yaitu tamat Sekolah Dasar sebanyak 298.694 atau 37,52 persen. Hal itu menunjukkan bahwa dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar penduduk Kabupaten Karanganyar memiliki kualitas sumber daya manusia yang masih rendah sehingga petani kurang dapat menerima perubahan teknologi dalam mengelola usahataninya. Akan tetapi, hal itu tidak begitu berpengaruh terhadap kualitas di bidang pertanian karena dalam bidang pertanian yang dibutuhkan adalah pengalaman dan keterampilan dalam berusahatani. Sebaliknya, penduduk yang tamat Akademi maupun Perguruan Tinggi sangat kecil persentasenya. Keadaan demikian dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi ekonomi yang kurang untuk biaya sekolah dan sebagian penduduk lebih suka anaknya langsung bekerja setelah lulus SD. Penyebab yang lain adalah kurang memadainya sarana prasarana pendidikan yang terdapat di Kabupaten Karanganyar khususnya pada tingkat akademi atau perguruan tinggi yang berkualitas, sehingga bila ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, penduduk di daerah setempat harus pindah ke daerah lain yang mempunyai sarana dan prasarana pendidikan yang lebih lengkap dan berkualitas.

54

Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian Komposisi penduduk menurut mata pencaharian dapat digunakan untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi penduduk di daerah tersebut. Mata pencaharian penduduk suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya sumber daya yang tersedia, keadaan sosial ekonomi, keterampilan atau kemampuan yang dimiliki, tingkat pendidikan serta modal yang tersedia. Berikut adalah tabel tentang keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Kabupaten Karanganyar. Tabel 10. Mata Pencaharian Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008

Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%) Petani sendiri 134.175 18,57 Buruh tani 88.619 12,26 Pengusaha 9.384 1,30 Buruh industri 104.798 14,50 Buruh bangunan 49.362 6,83 Pedagang 44.762 6,19 Pengangkutan 6.501 0,90 PNS/TNI/Polri 20.169 2,80 Pensiunan 9.764 1,35 Lain-lain 255.061 35,30 Jumlah 722.595 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa penduduk di Kabupaten Karanganyar paling banyak bermata pencaharian lain-lain yang meliputi karyawan swasta, jasa, dan sebagainya yaitu sebesar 35,30 persen. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani menempati urutan kedua yaitu sebesar 222.794 orang (30,83 persen) yang terdiri dari petani sendiri dan buruh tani. Walaupun demikian, Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu dari 9 kabupaten di Jawa Tengah yang menghasilkan bawang putih. Meskipun produksinya menempati urutan keempat setelah Wonosobo, Magelang, dan Temanggung, tetapi Kabupaten Karanganyar memiliki produktivitas bawang putih tertinggi (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa sektor

55

pertanian, khususnya usahatani bawang putih masih menjadi salah satu tumpuan hidup sebagian besar penduduk di Kabupaten Karanganyar.

Keadaan Umum Pertanian Penggunaan Lahan Lahan merupakan faktor alam yang sangat mendukung kegiatan produksi di bidang pertanian. Lahan yang ada di Kabupaten Karanganyar terdiri dari lahan sawah dan lahan kering. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 11. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kabupaten Karanganyar Tahun 2009 Penggunaan Lahan Luas Lahan (Ha) Persentase (%) Lahan Sawah 22.474,91 29,05 Lahan Kering 54.902,73 70,95 Jumlah 77.378,64 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 11, diketahui bahwa luas lahan kering di Kabupaten Karanganyar mempunyai luas 54.902,73 Ha (70,95 persen) lebih besar daripada luas lahan sawah 22.474,91 Ha (29,05 persen). Terkait dengan hal tersebut, lahan untuk tanaman bawang putih dapat berupa lahan sawah bekas tanaman padi ataupun pada lahan kering dengan perlakuan pembudidayaan dan pemeliharaan yang baik. Tabel 12. Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Penggunaannya di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008 Irigasi Luas (Ha) Persentase (%) Irigasi Teknis 12.929,62 57,53 Irigasi Non Teknis 7.587,62 33,76 Tidak Berpengairan 1.957,17 8,71 Jumlah 22.474,41 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa lahan sawah di Kabupaten Karanganyar paling besar menggunakan irigasi teknis yaitu sebesar 12.929,62 Ha (57,53 persen). Irigasi sangat penting untuk mencegah tanaman agar tidak layu karena pengairan yang terlambat dapat mengakibatkan daun layu. Pada fase awal pertumbuhan, tanaman

56

bawang putih memerlukan ketersediaan air yang cukup. Pengairan atau penyiraman sebaiknya dilakukan selang waktu 3 hari sekali, terutama pada musim kemarau. Apabila tanaman sudah membentuk umbi, maka pengairan (penyiraman) secara berangsur-angsur dikurangi. Tabel 13. Luas Lahan Kering Menurut Penggunaannya di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008 Lahan Kering Menurut Penggunaannya Luas Lahan (Ha) Pekarangan/bangunan 21.171,97 Tegalan/kebun 17.863,40 Padang gembala 219,67 Tambak/kolam 25,53 Hutan negara 9.729,50 Perkebunan 3.251,51 Lain-lain 2.641,14 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan kering terbesar di Kabupaten Karanganyar adalah untuk pekarangan atau bangunan yaitu sebesar 21.171,97 Ha. Sedangkan penggunaan untuk tegalan atau kebun yang dapat digunakan untuk usahatani bawang putih hanya sebesar 17.863,40 Ha. Hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi sehingga lahan pertanian mengalami alih fungsi menjadi tempat pemukiman atau hunian sehingga luas panen bawang putih di Kabupaten Karanganyar mengalami fluktuasi tiap tahun (Tabel 1). Produk Pertanian Jenis tanaman yang dibudidayakan di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor alam seperti keadaan tanah, iklim, dan ketinggian tempat. Berikut adalah tabel luas panen dan produksi sayuran di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008.

57

Tabel 14. Luas Panen dan Produksi Sayuran di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008 No Jenis Tanaman Luas Panen (Ha) Produksi (Ku) 1 Bawang merah 120 8.799 2 Bawang putih 94 16.265 3 Kentang 2 985 4 Kubis 81 1.492 5 Sawi 444 26.925 6 Wortel 605 110.920 7 Cabe 160 3.451 8 Buncis 212 6.731 9 Tomat 84 124 10 Terong 80 1.315 11 Kacang panjang 193 3.988 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa produksi sayuran paling besar di Kabupaten Karanganyar adalah wortel sebesar 110.920 Ku sedangkan produksi paling sedikit adalah tomat sebesar 124 Ku. Meskipun tanaman bawang putih tidak mempunyai luas panen dan produksi terbesar, tetapi tanaman bawang putih menghasilkan produksi yang cukup tinggi yaitu sebesar 16.265 Ku dengan luas panen 94 Ha. Hal ini terkait dengan pengetahuan petani yang semakin tinggi akan budidaya tanaman bawang putih yang baik dan kondisi iklim di Kabupaten Karanganyar yang sesuai dengan usahatani bawang putih. Tabel 15. Luas Panen dan Produksi Bawang Putih di Kabupaten Karanganyar Tahun 2004-2008 Luas Panen Rata-rata No Tahun Produksi (Ku) (Ha) Produksi (Ku) 1 2004 137 4.681 3,42 2 2005 33 3.284 99,52 3 2006 62 5.778 93,19 4 2007 102 14.994 147,00 5 2008 94 16.265 173,03 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa luas panen dan produksi bawang putih dari tahun 2004-2008 mengalami fluktuasi. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 16.265 Ku dan produksi terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu 4.681 Ku. Meskipun

58

pada tahun 2008 terjadi penurunan luas panen dari tahun sebelumnya tetapi jumlah produksinya semakin meningkat. Hal ini disebabkan pengetahuan petani bawang putih semakin meningkat tentang cara budidaya bawang putih yang baik dari penanaman sampai pasca panen sehingga bawang putih yang dihasilkan cukup kualitas dan kuantitasnya meskipun dengan areal panen yang berkurang.

Keadaan Perekonomian Keadaan sarana dan prasarana perekonomian bagi suatu daerah dapat mempengaruhi keadaan perekonomian di daerah tersebut. Dengan adanya sarana perekonomian dalam jumlah yang cukup dan memadai, maka dapat mendukung serta menunjang pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk maupun untuk kepentingan produksi. Supaya kegiatan perekonomian (dalam hal ini kegiatan pemasaran) dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukan adanya sarana dan prasarana perhubungan yang memadai. Berdasarkan data dari Dinas PU dan LLAJ Kabupaten Karanganyar, panjang jalan di Kabupaten Karanganyar meliputi jalan negara sepanjang 16,90 km, jalan propinsi sepanjang 95,03 km, dan jalan kabupaten sepanjang 815,20 km. Jalan permukaan untuk jalan kabupaten terdiri dari permukaan aspal sepanjang 678,30 km dan kerikil sepanjang 437. Sedangkan menurut kondisinya, jalan yang kondisinya baik sepanjang 378,30 km dan sedang 437,60 km. Sarana perhubungan di Kabupaten Karanganyar sudah semakin lancar yaitu dilihat dari jenis permukaan jalan yang berupa aspal dan kondisi jalan yang sebagian besar sudah baik. Dalam usahatani bawang putih, sarana perhubungan berupa jalan dan keadaannya mempunyai peranan penting. Seperti diketahui bahwa sentra produksi bawang putih di Kabupaten Karanganyar berada di dataran tinggi, maka dibutuhkan jalan yang baik dan lancar untuk mengangkut hasil panen bawang putih sehingga dalam melakukan pemasaran tidak terhambat. Berikut ini adalah tabel sarana perhubungan yang terdapat di Kabupaten Karanganyar tahun 2008.

59

Tabel 16. Sarana Perhubungan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008 Jenis Sarana Perhubungan Jumlah (Unit) 1. Sepeda Motor 166.253 2. Mobil a. Pribadi 20.415 b. Taxi 95 c. Colt 490 d. Bus 295 e. Truk/Pick up 6.924 f. Alat berat 10 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa sarana perhubungan yang ada di Kabupaten Karanganyar cukup beragam dengan jumlah terbesar yaitu sepeda motor sebanyak 166.253 unit. Hal ini terkait dengan bawang putih yang dihasilkan di dataran tinggi sementara konsumennya jauh dari daerah produksi sehingga sarana perhubungan khususnya kendaraan umum mempunyai peranan penting. Adanya fasilitas sarana perhubungan di Kabupaten Karanganyar yang cukup beragam dan memadai diharapkan dapat mendukung pemasaran bawang putih dari petani ke konsumen berjalan dengan efisien. Koperasi dan pasar merupakan sarana perekonomian yang sangat penting bagi penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pasar dan koperasi juga merupakan tempat untuk memasarkan produk-produk hasil pertanian. Berikut adalah tabel yang menunjukkan jumlah koperasi dan pasar di Kabupaten Karanganyar. Tabel 17. Fasilitas Perdagangan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2008 Sarana Perekonomian Jumlah Koperasi 1. KUD 17 2. Koperasi Simpan Pinjam 910 Total 927 Pasar 52 Toko/kios/warung 9.807 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009

60

Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa di Kabupaten Karanganyar cukup banyak terdapat koperasi serta pasar. Akan tetapi, fasilitas perdagangan yang paling banyak berupa toko, kios atau warung yaitu sebanyak 9.807 buah. Sarana produksi usahatani bawang putih dapat diperoleh di pasar dan koperasi yang ada di Kabupaten Karanganyar. Selain itu, pasar dan koperasi serta toko, kios atau warung merupakan tempat untuk memasarkan produk-produk hasil pertanian, salah satunya bawang putih. Hal itu dapat menekan biaya transportasi penjualan bawang putih, sehingga petani memperoleh pendapatan yang lebih besar dibanding bila petani harus menjual bawang putih di luar wilayah Kabupaten Karanganyar. Bank dapat digunakan petani untuk mendapatkan modal usahatani bawang putih yang dapat diperoleh dengan cara hutang dan pengembaliannya dengan cara kredit. Keberadaan pasar sangat penting bagi berlangsungnya kegiatan jual beli dan sebagai sarana bagi produsen untuk menjual hasil panen atau produksinya serta bermanfaat bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam pemasaran komoditas bawang putih, diperlukan sebuah pasar yang dapat menampung hasil panen bawang putih dari petani untuk disalurkan kepada konsumen. Pasar Tawangmangu merupakan pasar produsen dan pasar sentra sayuran di Kabupaten Karanganyar. Para petani yang ada di Kabupaten Karanganyar pada umumnya menjual bawang putih mereka ke Pasar Tawangmangu untuk disalurkan ke wilayah-wilayah yang lain, seperti Surakarta, Sragen, Sukoharjo, , dan Yogyakarta. Pasar Tawangmangu termasuk dalam kategori pasar kelas I dan aktivitas pasar tersebut harian. Luas Pasar Tawangmangu yaitu 11.700 m2, yang terdiri dari 815 pedagang yang sudah memiliki SIDT (Surat Izin Dasaran Tetap) dan 220 pedagang yang belum memiliki SIDT. Jumlah los yang ada di Pasar Tawangmangu terdiri dari 1.080 petak dan 237 kios. Jenis dagangan yang ada di pasar ini antara lain sayuran, buah, kelontong, toko emas, gerabah, dan perbankan. Pedagang sayur-sayuran terletak di lantai I dan III.

61

Keadaan tempat berdagang sayuran di Pasar Tawangmangu sudah sangat baik. Fasilitas lain yang tersedia di Pasar Tawangmangu adalah kantor pasar, MCK, pos keamanan, pos polisi, tempat parkir, perbankan, sarana kesehatan serta mushola.

Kota Surakarta Keadaan Alam Letak Geografi Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Propinsi Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang dan Yogyakarta. Kota Surakarta terletak antara 110º 45’ 15” dan 110º 45’ 35” BT dan antara 7º 36’ dan 7º 56’ LS. Secara administratif, Kota Surakarta memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Kabupaten Boyolali b. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukoharjo c. Sebelah Timur : Kabupaten Karanganyar d. Sebelah Barat : Kabupaten Sukoharjo. Topografi Berdasarkan topografinya, wilayah Kota Surakarta merupakan dataran rendah dan berada di antara pertemuan Sungai Pepe, Sungai Jenes, dan Sungai Bengawan Solo. Kota Surakarta mempunyai ketinggian tempat antara ± 92 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan tanah 0-40m. Kecamatan Serengan dan Kecamatan Pasar Kliwon mempunyai ketinggian tempat sama yaitu 80-100m sedangkan untuk Kecamatan Laweyan 80-110m. Kecamatan Jebres dan Banjarsari memiliki ketinggian tempat sama yaitu 80-130m. Berdasarkan keadaan topografi tersebut, proses pemasaran atau distribusi bawang putih dari daerah sentra produksi ke Kota Surakarta sebagai daerah acuan atau konsumen dapat berjalan dengan baik dan lancar. Hal ini ditunjukkan dengan ketinggian Kota Surakarta yang relatif datar.

62

Keadaan Penduduk a. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Surakarta, jumlah penduduk Kota Surakarta pada tahun 2008 adalah 522.935 jiwa yang terdiri dari 247.245 penduduk laki-laki dan 275.690 penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 44,06 km2, maka kepadatan penduduk geografis Kota Surakarta sebesar 12.849 jiwa/km2. Hal ini berarti bahwa setiap 1 km2 luas wilayah ditempati oleh 12.849 jiwa. Pada tahun 2008, tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Serengan yang mencapai angka 19.899 jiwa/km. Kepadatan penduduk yang tinggi di Kota Surakarta menyebabkan jumlah permintaan dan pasokan bawang putih yang diperlukan di Kota Surakarta semakin meningkat. b. Komposisi Penduduk Kota Surakarta Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Komposisi penduduk menurut kelompok umur merupakan suatu bentuk penggolongan penduduk berdasarkan umur sehingga dapat diketahui jumlah penduduk yang produktif maupun penduduk yang tidak produktif. Menurut data BPS Kota Surakarta, golongan umur produktif adalah golongan umur 15-64 tahun. Sedangkan golongan umur tidak produktif adalah golongan umur antara 0-14 tahun dan golongan umur lebih dari atau sama dengan 65 tahun. Berdasarkan pengelompokan umur tersebut, dibedakan juga berdasarkan jenis kelaminnya.Komposisi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kota Surakarta dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 18. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2008

Golongan Jenis Kelamin Jumlah Umur(tahun) Laki-laki Perempuan (jiwa) 0-14 55.232 55.232 110.464 15-64 178.977 199.597 378.574 65 ke atas 13.037 20.858 33.896 Jumlah 247.246 275.687 522.934 Sumber : BPS Surakarta, 2009

63

Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk yang paling banyak berada pada usia produktif yaitu sebesar 378.574 jiwa. Pada kelompok umur ini, umumnya terdiri dari para ibu rumah tangga yang melakukan aktivitas memasak setiap harinya. Walaupun tidak semua orang senang dengan bawang putih tetapi bawang putih hampir setiap hari dibutuhkan dan digunakan sebagai bahan penyedap dan bumbu masakan sehingga permintaannya akan terus meningkat. Berdasarkan perhitungan Angka Beban Tanggungan (ABT) pada Lampiran 6, diketahui bahwa nilai ABT Kota Surakarta sebesar 38,13%, artinya setiap 100 orang usia produktif menanggung 38 orang usia non produktif. Angka Beban Tanggungan tersebut berpengaruh pada daya beli suatu rumah tangga. Apabila semakin tinggi nilai ABT di Kota Surakarta maka daya beli masyarakat akan menurun karena semakin banyak tanggungannya. Keadaan demikian akan mengurangi tingkat permintaan bawang putih. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan nilai Sex Ratio (SR) diketahui bahwa besarnya nilai Sex Ratio di Kota Surakarta adalah 89,68%, artinya dalam 100 orang penduduk perempuan terdapat 90 orang penduduk laki-laki sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki. Hal ini menyebabkan kebutuhan atau permintaan bawang putih akan semakin meningkat karena perempuan biasanya gemar memasak dan bawang putih menjadi salah satu bumbu masakan yang selalu digunakan. c. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan suatu aspek yang sangat berperan penting dan dapat mempengaruhi pembangunan suatu wilayah secara keseluruhan. Berikut ini merupakan tabel keadaan penduduk menurut tingkat pendidikan di Kota Karanganyar Tahun 2008.

64

Tabel 19. Keadaan Penduduk Usia Lima Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Kota Surakarta Tahun 2008 Pendidikan Yang Ditamatkan Jumlah Presentase (%) Tamat Akademi/ PT 35.639 7,93 Tamat SLTA/MA 71.143 15,83 Tamat SLTP/MTS 101.351 22,56 Tamat SD/MI 98.118 21,84 Tidak Tamat SD 44.051 9,80 Belum Tamat SD 66.799 14,87 Tidak Sekolah 32.192 7,17 Jumlah 449.293 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Karanganyar, 2009 Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan yang paling tinggi di Kota Surakarta pada tahun 2008 yaitu tamat SLTP/MTS sebanyak 101.351 (22,56 persen). Sedangkan tingkat pendidikan yang paling rendah yaitu pada tingkat tidak sekolah yaitu sebesar 32.192 (7,17 persen). Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kota Surakarta cukup baik karena sebagian besar penduduk telah mengenyam pendidikan dan telah mengikuti program wajib belajar 9 tahun. Hal ini akan berdampak pada pola pikir penduduk yang cenderung lebih mudah menerima perubahan kearah yang lebih baik. Hal ini terkait dengan mudahnya berbagai komoditas pertanian masuk ke Kota Surakarta dan penyampaian informasi yang terkait dengan Kota Surakarta sebagai daerah konsumen yang diperlukan daerah sentra produksi. d. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah sumber daya yang tersedia, keadaan sosial ekonomi, keterampilan atau kemampuan yang dimiliki, tingkat pendidikan serta modal yang ada. Berikut ini adalah tabel tentang keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Kota Surakarta.

65

Tabel 20. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Surakarta Tahun 2008

Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%) Petani Sendiri 456 0,11 Buruh Tani 429 0,11 Pengusaha 8.254 2,06 Buruh Industri 70.034 17,44 Buruh Bangunan 62.759 15,64 Pedagang 32.374 8,06 Angkutan 15.776 3,93 PNS/TNI/POLRI 26.424 6,58 Pensiunan 22.683 5,65 Lain-lain 162.290 40,42 Jumlah 401.479 100,00 Sumber : BPS Kota Surakarta, 2009 Tabel 20 menunjukkan bahwa jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kota Surakarta sebagian besar adalah bermata pencaharian lain-lain sebanyak 162.290 jiwa (40,42 persen) yaitu sebagai karyawan swasta dan sektor jasa. Sedangkan jumlah penduduk menurut mata pencaharian yang paling kecil adalah petani sendiri dan buruh tani sebesar 0,11 persen. Mata pencaharian sebagai pedagang menempati urutan keempat sebesar 32.374 jiwa dimana diantara jumlah tersebut adalah pedagang bawang putih. Adanya pedagang bawang putih di Kota Surakarta maka semakin memperlancar pemasaran komoditas bawang putih. Hal ini dikarenakan pasokan bawang putih dari daerah sentra produksi yang masuk ke Kota Surakarta harus segera di distribusikan kepada konsumen yang membutuhkan sehingga peran pedagang sangat penting.

Keadaan Umum Pertanian Produk pertanian yang dihasilkan berupa tanaman padi dan palawija. Berdasarkan data BPS Surakarta Dalam Angka Tahun 2008, produksi padi sawah sebesar 11.811 Ku, padi gogo sebesar 1.054 Ku, ubi kayu sebesar 2.916 Ku, jagung sebesar 527 Ku, dan kacang tanah sebesar 180 Ku.

66

Berdasarkan data BPS Surakarta Dalam Angka Tahun 2009 di Kota Surakarta tidak terdapat produksi sayur-sayuran termasuk komoditas bawang putih. Hal ini dikarenakan faktor alam yang tidak mendukung dalam budidaya bawang putih antara lain suhu udara yang cukup panas dan jenis tanahnya yang liat berpasir sehingga Kota Surakarta menjadi daerah konsumen yang memerlukan pasokan bawang putih dari daerah lain.

Keadaan Perekonomian Pasar merupakan sarana perekonomian yang sangat penting bagi penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, Kota Surakarta memiliki berbagai macam pasar. Berikut adalah tabel yang menunjukkan jumlah dan jenis pasar di Kota Surakarta. Tabel 21. Banyaknya Pasar dan Jenis Pasar di Kota Surakarta Tahun 2008 Jenis Pasar Jumlah Departement Store 11 Pasar Swalayan 19 Pusat Perbelanjaan 4 Pasar Tradisional a. Umum 32 b. Hewan 2 c. Buah 1 d. Sepeda - e. Ikan - f. Lain-lain 3 Sumber : BPS Kota Surakarta, 2009 Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa jumlah pasar yang paling banyak terdapat di Kota Surakarta adalah pasar umum yaitu 32 pasar. Banyaknya pasar umum di Kota Surakarta membuat produsen bawang putih lebih mudah memasarkan bawang putih di dalam kota. Hal ini berpengaruh pada ketersediaan bawang putih di Kota Surakarta dimana Kota Surakarta sebagai daerah konsumen yang tidak menghasilkan bawang putih sendiri sehingga membutuhkan pasokan bawang putih dari daerah lain. Keberadaan pasar sangat penting bagi berlangsungnya kegiatan jual beli dan penting sebagai sarana bagi produsen untuk menjual hasil produksinya dan bagi konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-

67

hari. Pasar Legi merupakan salah satu pasar tradisional dan pasar konsumen di Kota Surakarta. Pasar ini menjadi salah satu tujuan utama pemasaran hasil-hasil pertanian dari berbagai daerah. Pasar Legi sebagai salah satu pasar tujuan pemasaran bawang putih dari petani bawang putih di Kabupaten Karanganyar khususnya dari Pasar Tawangmangu. Pasar Legi termasuk dalam kategori pasar kelas IA dan aktivitas pasar tersebut harian. Luas Pasar Legi yaitu 16.640 m2, dengan jumlah los sebanyak 1542 petak dan kios 236 petak. Pasar Legi terdiri dari 763 pedagang oprokan dalam dan luar, 1238 pedagang los, dan 181 pedagang kios. Pedagang yang terdapat di Pasar Legi terdiri dari pedagang sayuran, buah, sembako, daging, dan lain- lain. Pedagang sayuran terletak di lantai I dan II. Fasilitas di Pasar Legi antara lain kantor pasar, tempat parkir, pos keamanan, sarana kesehatan, masjid, perbankan, dan MCK. Berdasarkan kondisi umum Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta di atas dapat diketahui bahwa Kabupaten Karanganyar sebagai daerah produsen atau penghasil bawang putih dan Kota Surakarta sebagai daerah konsumen yang tidak menghasilkan bawang putih sendiri sehingga diperlukan adanya suatu pemasaran bawang putih. Pemasaran bawang putih dari daerah produsen ke daerah konsumen memerlukan adanya suatu pasar (Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dan Pasar Legi Kota Surakarta) sebagai lembaga pemasaran untuk menampung dan menyalurkan bawang putih sehingga pemasaran dapat terjadi secara efisien. Pemasaran yang efisien dapat diketahui dengan keterpaduan kedua pasar dari efisiensi pembentukan harga di pasar acuan (Pasar Legi) yang mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal (Pasar Tawangmangu).

68

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu Pasar Tawangmangu merupakan pasar sentra sayuran (termasuk bawang putih) di Kabupaten Karanganyar sebagai tempat untuk memasarkan bawang putih yang dihasilkan petani dari Kecamatan Tawangmangu dan dari kecamatan lain di Kabupaten Karanganyar. Perkembangan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Oktober 2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 22. Harga Absolut dan Harga Riil Bawang Putih di Pasar Tawangmangu Bulan Januari 2008-Oktober 2009 IHK Penelitian Harga Absolut/ Harga Riil/ Kelompok Sebelum Setelah Perkembangan Bulan Bumbu-bumbuan Dideflasi Dideflasi Harga Riil di Kabupaten (Rp/kg) (Rp/kg) Karanganyar Januari 2008 4000 108,31 3692,95 Februari 4000 100,62 3975,50 282,55 Maret 3880 100,90 3845,39 -130,11 April 5000 100,18 4991,21 1145,82 Mei *) 4000 100,00 4000,00 -991,21 Juni 3600 101,28 3554,45 -445,55 Juli 3800 102,32 3713,90 159,45 Agustus 3400 100,42 3385,76 -328,14 September 5500 101,70 5407,95 2022,20 Oktober 5800 102,76 5644,30 236,35 November 6000 103,21 5813,48 169,17 Desember 7750 106,43 7282,01 1468,53 Januari 2009 5000 109,93 4548,41 -2733,60 Februari 4000 114,58 3490,87 -1057,54 Maret 4000 118,77 3367,81 -123,05 April 4500 117,13 3841,95 474,14 Mei 4200 118,00 3559,36 -282,59 Juni 5500 119,12 4617,06 1057,69 Juli 7975 133,00 5996,06 1379,00 Agustus 8500 126,00 6746,02 749,96 September 9800 128,89 7603,63 857,61 Oktober 10300 131,61 7826,44 222,81 Sumber : Analisis Data Sekunder Keterangan : *) bulan dasar penelitian dengan nilai IHK 100

68

69

Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui nilai Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk penelitian di Kabupaten Karanganyar digunakan IHK kelompok bumbu-bumbuan. Hal ini dikarenakan bawang putih termasuk dalam kelompok bumbu-bumbuan dan IHK bawang putih dipengaruhi oleh IHK bumbu-bumbuan yang lain. Nilai IHK untuk penelitian di Kabupaten Karanganyar berpatokan pada nilai IHK dengan bulan dasar Mei 2008 dengan nilai IHK 100. Pemilihan bulan dasar tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dari 22 bulan yang diteliti dicari terlebih dahulu bulan yang paling stabil (pengaruh inflasinya tidak begitu besar atau paling rendah). Penggunaan IHK kelompok bumbu-bumbuan tersebut bertujuan untuk menghilangkan pengaruh inflasi yang terjadi serta untuk mendapatkan harga riil. Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui juga bahwa harga bawang putih di Pasar Tawangmangu berfluktuasi dari bulan Januari 2008 sampai bulan Oktober 2009. Harga absolut bawang putih per kilogram berkisar antara Rp 3.400,00 sampai Rp 10.300,00. Sedangkan harga riil bawang putih per kilogram berkisar antara Rp 3.367,81 sampai Rp 7.826,44. Data Tabel 22 dapat digunakan untuk menggambarkan grafik perkembangan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu. Fluktuasi harga bawang putih yang terjadi di Pasar Tawangmangu akan terlihat jelas dengan digambarkan grafiknya. Berikut ini grafik perkembangan harga absolut dan harga riil bawang putih di Pasar Tawangmangu dari bulan Januari 2008 sampai bulan Oktober 2009.

70

12000,00

10000,00

8000,00

6000,00

4000,00 Harga bawang putih (Rp/Kg) putih bawang Harga 2000,00

0,00

M ei Juni Juli Mei Juni Juli April April Jan-08 Maret Jan-09 Maret Februari Agustus Oktober Februari Agustus Oktober September NovemberDesember September Bulan yang diteliti

Harga Riil Harga Absolut

Gambar 2. Grafik Harga Absolut dan Harga Riil Bawang Putih Di Pasar Tawangmangu Bulan Januari 2008-Oktober 2009 Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui perkembangan dan fluktuasi yang terjadi pada harga bawang putih di Pasar Tawangmangu selama bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Oktober 2009 sebelum dideflasi (harga absolut) dan sudah dideflasi (harga riil). Fluktuasi harga bawang putih di Pasar Tawangmangu disebabkan oleh beberapa hal antara lain jumlah produksi atau penawaran, jumlah permintaan, dan banyaknya pedagang pengumpul. Harga absolut bawang putih terendah terjadi pada bulan Agustus 2008 sebesar Rp 3.400,00 per kilogramnya dan harga absolut bawang putih tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2009 sebesar Rp 10.300 per kilogramnya. Harga riil bawang putih tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar Rp 7.826,44 per kilogram. Hal tersebut disebabkan petani baru mulai menanam bawang putih sehingga produksi bawang putih sedikit sementara permintaan relatif tetap. Hal tersebut dapat juga diketahui dari produksi bawang putih di Kabupaten Karanganyar pada bulan Oktober 2009 menurun dari bulan

71

sebelumnya yang mencapai 1.807 ku hanya menjadi 569 Ku (Tabel 23). Sedangkan harga riil bawang putih terendah terjadi pada bulan Maret 2009 yaitu sebesar Rp 3.367,81 per kilogram karena pada bulan tersebut terjadi panen raya bawang putih sehingga ketersediaan bawang putih relatif besar dengan jumlah produksi sebesar 1.987 Ku (Tabel 23). Produksi bawang putih di Kabupaten Karanganyar berfluktuasi sepanjang tahun. Pada saat panen raya, kadang produksi melimpah tetapi ada kalanya produksi menurun drastis sehingga menyebabkan jumlah penawaran berubah. Sementara itu, kebutuhan masyarakat akan bawang putih kontinyu sepanjang tahun. Data produksi bawang putih di Kabupaten Karanganyar dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Produksi Bawang Putih di Kabupaten Karanganyar No Bulan Jumlah Produksi (Ku) 1 Januari 2008 654 2 Februari 1.626 3 Maret 2.248 4 April 208 5 Mei 530 6 Juni 734 7 Juli 1.701 8 Agustus 2.318 9 September 1.490 10 Oktober 917 11 November 527 12 Desember 222 13 Januari 2009 240 14 Februari 1.780 15 Maret 1.987 16 April 651 17 Mei 178 18 Juni 669 19 Juli 612 20 Agustus 2.614 21 September 1.807 22 Oktober 569 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar

72

Berikut ini merupakan grafik harga riil di Pasar Tawangmangu dengan perubahan jumlah produksi bawang putih di Kabupaten Karanganyar dari bulan Januari 2008 sampai bulan Oktober 2009.

8000,00

7000,00

6000,00

5000,00

4000,00

3000,00 bawang Putih (Ku) Putih bawang

2000,00

1000,00

Harga bawang putih (Rp/Kg) dan jumlah produksi jumlah dan (Rp/Kg) putih bawang Harga 0,00

Mei Juni Juli Mei Juni Juli April April Jan-08 Maret Jan-09 Maret Februari Agustus Oktober Februari Agustus Oktober September NovemberDesember September Bulan yang diteliti

Harga Riil Jumlah Produksi

Gambar 3. Grafik Harga Riil dan Jumlah Produksi Bawang Putih Di Kabupaten Karanganyar Bulan Januari 2008-Oktober 2009 Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa jumlah produksi bawang putih di Kabupaten Karanganyar mengalami perubahan setiap bulannya. Hal ini dipengaruhi oleh waktu tanam, waktu panen, dan hama penyakit sehingga berpengaruh pada perkembangan harga bawang putih. Ketika terjadi panen raya pada bulan Februari-Maret dan Agustus- September, jumlah produksi bawang putih meningkat sehingga harga cenderung turun. Begitu juga sebaliknya, pada saat musim tanam pada bulan April-Mei dan Oktober-November, jumlah produksi bawang putih menurun sehingga harga cenderung naik. Akan tetapi, pada musim panen Agustus- September 2009 harga cenderung naik karena menjelang hari raya Idul Fitri. Produksi bawang putih tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2009 sebesar 2.614 Ku dan produksi bawang putih terendah terjadi pada bulan Mei 2009 sebesar 178 Ku.

73

B. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Legi Kegiatan perekonomian di Kota Surakarta cukup lancar dan banyak pasar grosir berdiri di kota ini. Produk-produk pertanian yang membanjiri pasar-pasar di Kota Surakarta biasanya berasal dari kabupaten-kabupaten dalam Karesiden Surakarta dan juga dari kabupaten lain. Salah satu komoditas pertanian yang masuk ke Kota Surakarta adalah bawang putih dan salah satu pasar grosir bawang putih adalah Pasar Legi Kota Surakarta. Perkembangan harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Oktober 2009 dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Harga Absolut dan Harga Riil Bawang Putih di Pasar Legi Bulan Januari 2008-Oktober 2009 IHK Penelitian Harga Absolut/ Harga Riil/ Kelompok Sebelum Setelah Perkembangan Bulan Bumbu- Dideflasi Dideflasi Harga Riil bumbuan di (Rp/kg) (Rp/kg) Kota Surakarta Januari 2008 6700 141,57 4732,53 Februari 5500 124,13 4430,97 -301,56 Maret 4233 122,35 3459,65 -971,31 April 6750 124,72 5412,11 1952,46 Mei 6500 119,36 5445,81 33,69 Juni 5567 120,65 4614,21 -831,59 Juli 4633 127,19 3642,57 -971,65 Agustus 4767 125,43 3800,65 158,08 September 6200 129,59 4784,25 983,60 Oktober 8100 135,05 5997,82 1213,57 November 6800 138,54 4908,20 -1089,62 Desember 6589 136,54 4825,76 -82,44 Januari 2009 6900 145,62 4738,40 -87,36 Februari 5750 145,27 3958,02 -780,37 Maret 5500 100,63 5465,57 1507,54 April *) 5717 100,00 5717,00 251,43 Mei 6084 100,44 6057,41 340,41 Juni 6967 103,60 6725,04 667,63 Juli 6775 99,36 6818,43 93,39 Agustus 8000 101,83 7855,97 1037,54 September 10100 109,57 9217,74 1361,77 Oktober 12334 111,00 11111,69 1893,96 Sumber : Analisis Data Sekunder Keterangan : *) bulan dasar penelitian dengan nilai IHK 100

74

Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui nilai Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk penelitian di Kota Surakarta digunakan IHK kelompok bumbu- bumbuan seperti di Kabupaten Karanganyar. Akan tetapi, nilai IHK untuk penelitian di Kota Surakarta berpatokan pada nilai IHK dengan bulan dasar April 2009 dengan nilai IHK 100. Bulan dasar yang digunakan berbeda dengan Kabupaten Karanganyar karena kestabilan nilai IHK di kedua wilayah tersebut juga berbeda. Pemilihan bulan dasar tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dari 22 bulan yang diteliti dicari terlebih dahulu bulan yang paling stabil (pengaruh inflasinya tidak begitu besar atau yang paling rendah). Penggunaan IHK kelompok bumbu-bumbuan tersebut bertujuan untuk menghilangkan pengaruh inflasi yang terjadi serta untuk mendapatkan harga riil. Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat pula bahwa harga bawang putih yang terjadi di Pasar Legi dari bulan Januari 2008 sampai bulan Oktober 2009 mengalami fluktuasi setiap bulannya. Harga bawang putih di Pasar Legi berkisar antara Rp 4.233,00 per kilogram sampai dengan Rp 12.334,00 per kilogram. Berikut ini adalah gambar grafik perkembangan harga bawang putih sebelum dilakukan pendeflasian (harga absolut) dan sesudah dideflasikan (harga riil) selama 22 bulan di Pasar Legi Kota Surakarta dari bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Oktober 2009.

75

12000,00

10000,00

8000,00

6000,00

4000,00 Harga bawang putih (Rp/kg) putih bawang Harga 2000,00

0,00

Mei Juni Juli Mei Juni Juli April April Jan-08 Maret Jan-09 Maret Februari Agustus Oktober Februari Agustus Oktober September NovemberDesember September Bulan yang diteliti

Harga Riil Harga Absolut

Gambar 4. Grafik Harga Absolut dan Harga Riil Bawang Putih di Pasar Legi Bulan Januari 2008-Oktober 2009 Berdasarkan Gambar 4 tersebut dapat dilihat bahwa harga absolut dan harga riil bawang putih di Pasar Legi dari bulan Januari 2008 sampai bulan Oktober 2009 mengalami fluktuasi setiap bulannya. Harga yang berfluktuasi tersebut disebabkan pasokan bawang putih atau penawaran bawang putih di Pasar Legi dan permintaan bawang putih. Harga absolut bawang putih tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2009 sebesar Rp 12.334,00 per kilogramnya dan terendah terjadi pada bulan Maret 2008 sebesar Rp 4.233,00 per kilogramnya. Sedangkan harga riil bawang putih tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2009 sebesar Rp 11.111,69 per kilogramnya. Hal ini disebabkan terjadi penurunan pasokan bawang putih di Pasar Legi karena di daerah produksi bawang putih sedang masa tanam. Penurunan pasokan tersebut dapat dilihat dari jumlah tonase bawang putih di Pasar Legi pada bulan Oktober 2009 menurun sebesar 98 ton (Tabel 25). Sedangkan harga riil bawang putih terendah terjadi pada bulan Maret 2008 sebesar Rp 3.459,65 per kilogram. Harga bawang putih yang rendah tersebut

76

disebabkan karena pasokan bawang putih di Pasar Legi relatif besar yaitu 108 ton (Tabel 25) sehingga penawaran bawang putih di Pasar Legi meningkat. Berdasarkan hasil wawancara dengan 15 pedagang bawang putih di Pasar Legi diperoleh informasi bahwa pasokan bawang putih di Pasar Legi tidak hanya berasal dari Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar melainkan dari daerah lain penghasil bawang putih seperti Magelang dan Wonosobo. Selain itu, bawang putih di Pasar Legi juga diimpor dari negara Thailand dan Filipina. Data jumlah tonase bawang putih di Pasar Legi Kota Surakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 25. Jumlah Tonase Bawang Putih di Pasar Legi Kota Surakarta (Ton) No Bulan 2008 2009 1 Januari 42 123 2 Februari 92 167 3 Maret 108 183 4 April 76 105 5 Mei 60 135 6 Juni 107 150 7 Juli 123 133 8 Agustus 286 206 9 September 148 181 10 Oktober 139 98 11 November 165 98 12 Desember 141 101 Jumlah 1.487 1.680 Sumber : Dinas Pertanian Kota Surakarta Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa pasokan bawang putih di Pasar Legi mengalami fluktuasi setiap bulannya. Ketika di daerah sentra produksi sedang masa panen raya maka jumlah tonase bawang putih di Pasar Legi akan mengalami peningkatan dan sebaliknya. Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar bukan sebagai pemasok utama bawang putih di Pasar Legi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi bawang putih di Kabupaten Karanganyar (Tabel 23) yang hanya memasok sebagian kecil dari jumlah tonase bawang putih di Pasar Legi. Hal ini dikarenakan pasokan bawang putih di Pasar Legi lebih didominasi oleh bawang putih impor dari Thailand dan Filipina.

77

Berikut ini grafik jumlah tonase bawang putih di Pasar Legi dari bulan Januari 2008-Desember 2009.

300

250

200

150

100 Jumlah tonase bawang putih (Ton) 50

0

Mei Juni Juli Mei Juni Juli April April Jan-08 Maret Jan-09 Maret Februari Agustus Oktober Februari Agustus Oktober September NovemberDesember September Bulan

Jumlah Tonase

Gambar 5. Grafik Jumlah Tonase Bawang Putih di Pasar Legi Bulan Januari 2008-Desember 2009 Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa jumlah tonase bawang putih di Pasar Legi mengalami kenaikan dan penurunan. Hal ini tergantung dari pasokan bawang putih yang masuk ke Pasar Legi setiap bulannya yang mempengaruhi pembentukan harga bawang putih di Pasar Legi. Pasokan bawang putih di Pasar Legi berasal dari Karanganyar, Magelang, Wonosobo, dan bawang putih impor dari Thailand dan Filipina. Bawang putih merupakan jenis sayuran kelompok bumbu-bumbuan yang dapat bertahan lama dan tidak cepat busuk sehingga pasokan pada bulan sekarang dapat menjadi stok bulan depan. Jumlah tonase bawang putih tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2008 karena pada bulan tersebut terjadi panen raya bawang putih secara bersamaan di daerah sentra produksi bawang putih sehingga bawang putih yang masuk ke Pasar Legi relatif besar. Sedangkan jumlah tonase bawang putih terendah terjadi pada bulan Januari

78

2008 karena stok bawang putih dari musim panen sebelumnya mulai berkurang. C. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi Perbedaan perubahan harga riil bawang putih antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan harga bawang putih yang terjadi. Data dari Tabel 22 dan Tabel 24 dapat digunakan untuk membuat grafik yang menggambarkan perkembangan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi serta dapat digunakan untuk membandingkan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi. Tabel 26. Perkembangan Harga Riil Bawang Putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi Bulan Januari 2008-Oktober 2009 Harga Riil Bawang Putih di Harga Riil Bawang Putih di Bulan Pasar Tawangmangu Pasar Legi (Rp/kg) (Rp/kg) Januari 2008 3692,95 4732,53 Februari 3975,50 4430,97 Maret 3845,39 3459,65 April 4991,21 5412,11 Mei 4000,00 5445,81 Juni 3554,45 4614,21 Juli 3713,90 3642,57 Agustus 3385,76 3800,65 September 5407,95 4784,25 Oktober 5644,30 5997,82 November 5813,48 4908,20 Desember 7282,01 4825,76 Januari 2009 4548,41 4738,40 Februari 3490,87 3958,02 Maret 3367,81 5465,57 April 3841,95 5717,00 Mei 3559,36 6057,41 Juni 4617,06 6725,04 Juli 5996,06 6818,43 Agustus 6746,02 7855,97 September 7603,63 9217,74 Oktober 7826,44 11111,69 Sumber : Analisis Data Sekunder

79

Berikut ini merupakan grafik perkembangan harga riil komoditas bawang putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi bulan Januari 2008 sampai dengan Oktober 2009.

12000,00

10000,00

8000,00

6000,00

4000,00 Harga bawang putih (Rp/kg) putih bawang Harga 2000,00

0,00

Mei Juni Juli Mei Juni Juli April April Januari Maret Januari Maret Februari Agustus Oktober Februari Agustus Oktober September NovemberDesember September Bulan yang diteliti

Pasar Tawangmangu Pasar Legi

Gambar 6. Grafik Perkembangan Harga Riil Komoditas Bawang Putih di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi Bulan Januari 2008 sampai Oktober 2009. Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa harga bawang putih di Pasar Legi cenderung lebih tinggi dari harga bawang putih di Pasar Tawangmangu. Akan tetapi, pada bulan Maret, Juli, September, November, dan Desember tahun 2008 harga bawang putih di Pasar Legi lebih rendah dari harga bawang putih di Pasar Tawangmangu. Hal ini antara lain disebabkan bawang putih di Pasar Legi tidak hanya berasal dari Kabupaten Karanganyar (Pasar Tawangmangu) tetapi dari daerah lain seperti Magelang, Wonosobo bahkan pasokan bawang impor dari Thailand dan Filipina. Ketika terjadi panen raya bersamaan di daerah sentra produksi bawang putih, maka bawang putih banyak yang masuk ke Pasar Legi. Kondisi inilah yang menyebabkan harga bawang putih di Pasar Legi menjadi lebih murah. Selain itu, ketika harga bawang putih di Pasar Tawangmangu lebih tinggi, maka pedagang pengumpul akan mencari bawang putih di daerah lain

80

dengan harga yang lebih murah. Hal inilah yang menyebabkan harga bawang putih di Pasar Legi lebih rendah dari harga bawang putih di Pasar Tawangmangu.

D. Analisis Keterpaduan Pasar Bawang Putih 1. Hasil Analisis Regresi Antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar Dengan Pasar Legi Kota Surakarta Berdasarkan analisis regresi akan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2), nilai adjusted R2, nilai F hitung, nilai t hitung, dan nilai koefisien regresi masing-masing variabel bebas (b1, b2, b3). Berikut ini adalah hasil analisis regresi dari harga riil bawang putih antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta. Tabel 27. Hasil Analisis Regresi Keterpaduan Pasar Bawang Putih Antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi

Sumber Jumlah Rata-rata F df Varian Kuadrat Kuadrat Hitung Tabel 5% Regresi 29257966,959 3 9752655,653 11,602** 3,16 Residual 14289819,428 17 840577,613 Total 43547786,387 20 R2 0,672 Adjusted R2 0,614 DW 1,996 Sumber : Analisis Data Sekunder Keterangan : ** = signifikan pada tingkat kepercayaan 95% Berdasarkan hasil analisis regresi antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi diperoleh nilai F hitung sebesar 11,602. Nilai F hitung sebesar 11,602 lebih besar dari nilai F tabel pada tingkat kepercayaan 95% yang besarnya 3,16. Nilai ini menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1, selisih harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t dengan bulan t-1, dan harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t.

81

Nilai adjusted R2 dari hasil analisis regresi antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi (Tabel 27) yaitu sebesar 0,614. Hal ini berarti bahwa harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t sebesar 61,4% dapat dijelaskan oleh variabel bebas yang dimasukkan dalam model yaitu harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1, selisih harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t dengan bulan t-1, dan harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1, sedangkan sisanya yaitu sebesar 38,6% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Variabel-variabel lain di luar model tersebut antara lain musim tanam dan panen, jumlah produksi, dan jumlah pasokan dari daerah lain. Tabel 28. Nilai Koefisien Regresi dan t Hitung Tiap-Tiap Variabel

Variabel Koefisien Regresi t Hitung

Constanta 663,462 0,767 Pit-1 0,542 2,688* Pt-Pt-1 0,435 1,965* Pt-1 0,292 1,528ns Sumber : Analisis Data Sekunder Keterangan : Pit-1 = harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 Pt-Pt-1 = selisih harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t dengan bulan t-1 Pt-1 = harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 * = signifikan pada tingkat kepercayaan 90% ns = tidak signifikan Berdasarkan hasil analisis regresi di atas dapat diketahui nilai t hitung dari masing-masing variabel bebas. Nilai t hitung pada variabel harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 yaitu 2,688 dan nilai t tabel µ/2 pada tingkat kepercayaan 90% yaitu 1,729. Dengan

demikian, t hitung > t tabel µ/2 sehingga hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa variabel harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 secara individu berpengaruh terhadap variabel harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t.

82

Nilai koefisien regresi variabel harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 adalah sebesar 0,542. Tanda koefisien yang positif ini memberi petunjuk adanya hubungan searah antara harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 dan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t. Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 sebesar Rp 1,- per kilogram maka harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t akan meningkat sebesar Rp 0,542 per kilogramnya. Nilai t hitung pada variabel selisih harga bawang putih di Pasar Legi antara bulan t dengan bulan t-1 yaitu sebesar 1,965 dengan nilai t tabel µ/2 pada selang kepercayaan 90% yaitu sebesar 1,729. Hal ini menunjukkan bahwa t hitung > t tabel µ/2, sehingga hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya, variabel selisih harga bawang putih di Pasar Legi antara bulan t dengan bulan t-1 secara individu berpengaruh terhadap variabel harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t. Nilai koefisien regresi variabel selisih harga bawang putih di Pasar Legi antara bulan t dengan bulan t-1 yaitu sebesar 0,435. Tanda koefisien yang positif ini memberi petunjuk adanya hubungan searah antara selisih harga bawang putih di Pasar Legi antara bulan t dengan bulan t-1 dan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t. Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan selisih harga bawang putih di Pasar Legi antara bulan t dengan bulan t-1 sebesar Rp 1,- per kilogram maka harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t akan meningkat sebesar Rp 0,435 per kilogramnya. Sedangkan nilai t hitung pada variabel harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 yaitu sebesar 1,528 dengan t tabel µ/2 pada selang kepercayaan 90% yaitu 1,729. Dengan demikian, t hitung < t tabel µ/2 sehingga hipotesis H0 diterima dan H1 ditolak. Hal ini berarti variabel harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 secara individu tidak

83

berpengaruh terhadap variabel harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t. 2. Uji Multikolinearitas Ada atau tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dengan menggunakan matriks korelasi yaitu hubungan antara berbagai variabel bebas yang dimasukkan dalam model. Jika nilai Pearson Correlation < 0,8 dan nilai Eigenvalue (Colinearity Diagnostik) tidak mendekati nol maka model yang diestimasi tidak terjadi multikolinearitas. Berikut ini tabel yang menunjukkan nilai Pearson Correlation dan nilai Eigenvalue. Tabel 29. Korelasi Tiap-Tiap Variabel Selisih Harga Harga Bawang Harga Bawang Harga Bawang Bawang Putih di Pearson Putih di Pasar Putih di Pasar Putih di Pasar Pasar Legi Antara corelation Tawangmangu Tawangmangu Legi Pada Bulan t dengan Pada Bulan t Pada Bulan t-1 Bulan t-1 Bulan t-1 Harga Bawang Putih di Pasar 1,000 0,732 0,452 0,661 Tawangmangu Pada Bulan t Harga Bawang Putih di Pasar 0,732 1,000 0,216 0,645 Tawangmangu Pada Bulan t-1 Selisih Harga Bawang Putih di Pasar Legi 0,452 0,216 1,000 0,231 Antara Bulan t dengan Bulan t-1 Harga Bawang Putih di Pasar Legi Pada 0,661 0,645 0,231 1,000 Bulan t-1 Sumber : Analisis Data Sekunder

84

Tabel 30. Collinearity Diagnostics

Variance Proportions Di Eige Conditi Harga me nvalu on Selisih Harga Harga Bawang Bawang nsi e Index Bawang Putih di Putih di Pasar Putih di (Constant) Pasar Legi Antara Tawangmangu Pasar Legi Bulan t dengan Pada Bulan t-1 Pada Bulan Bulan t-1 t-1 1 3,103 1,000 ,01 ,00 ,02 ,00 2 ,837 1,925 ,00 ,00 ,94 ,00 3 ,736 9,237 ,93 ,34 ,04 ,07 4 1,023 11,559 ,06 ,66 ,00 ,93 Sumber : Analisis Data Sekunder Berdasarkan hasil analisis regresi antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi diperoleh nilai Pearson Correlation < 0,8 dan nilai Eigenvalue tidak mendekati nol. Hal ini berarti bahwa antar variabel bebas tidak terjadi multikolinearitas. 3. Uji Heteroskedastisitas Ada tidaknya heteroskedastisitas dapat diketahui melalui metode grafik yaitu dengan melihat diagram pencar (scatterplot). Berikut ini adalah gambar diagram pencar (scatterplot).

Scatterplot

Dependent Variable: Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu Pada Bulan t

3

2

1

0

-1 Regression Standardized Predicted Value Predicted Standardized Regression

-2 -1 0 1 2 Regression Standardized Residual Gambar 7. Diagram Pencar (Scatterplot)

85

Berdasarkan diagram scatterplot dapat terlihat titik-titik menyebar secara acak dan tidak membentuk sebuah pola yang teratur. Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan pengganggu mempunyai varian yang sama sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. 4. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson. Berdasarkan hasil analisis regresi pada Tabel 27 memberikan nilai Durbin Watson (DW) sebesar 1,996. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai d pada tingkat a = 5% didapatkan nilai du =1,66, sehingga diperoleh du < d < 4-du (1,66 < 1,996 < 2,34) yaitu daerah penerimaan tidak terjadinya autokorelasi, maka dapat simpulkan bahwa tidak ada autokorelasi baik autokorelasi positif maupun autokorelasi negatif. Berdasarkan hasil analisis regresi tersebut maka dapat dituliskan persamaan sebagai berikut :

Pit = b0 + b1(Pit-1) + b2(Pt-Pt-1) + b3(Pt-1)

Pit = 663,462 + 0,542(Pit-1) + 0,435(Pt-Pt-1) + 0,292(Pt-1) Keterangan : Pit = harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t

Pit = harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t

Pit-1 = harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 Pt-Pt-1 = selisih harga bawang putih di Pasar Legi antara bulan t dengan bulan t-1 Pt-1 = harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1

b0 = konstanta

b1 = koefisien regresi Pit-1 b2 = koefisien regresi Pt - Pt -1 b3 = koefisien regresi Pt-1 Persamaan regresi yang dihasilkan telah memenuhi asumsi klasik dengan tidak terjadinya multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi sehingga koefisien regresi yang dihasilkan merupakan

86

pemerkira yang terbaik, linier, dan tidak bias (Best Linier Unbiased Estimator). Hasil analisis regresi antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi tersebut dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keterpaduan pasar dengan melihat nilai IMC (Indeks Market of Connection). Tingkat keterpaduan pasar dapat diukur dengan menggunakan perumusan sebagai berikut : b1 IMC = b3 Keterangan : b1 = koefisien regresi Pit-1 b3 = koefisien regresi Pt-1 Berdasarkan nilai koefisien regresi variabel harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 dengan nilai koefisien regresi variabel bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 sebagai indikator IMC antara Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi variabel bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 yang tidak signifikan. Oleh karena itu, antara Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi tidak terpadu dalam jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 tidak mempengaruhi harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 atau harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 tidak ditransmisikan ke Pasar Tawangmangu. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini yaitu keterpaduan pasar komoditas bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta rendah ditolak.

87

E. Pembahasan 1. Perkembangan Harga Bawang Putih di Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dan Pasar Legi Kota Surakarta Bawang putih merupakan salah satu jenis jenis sayuran rempah yang dibudidayakan di Kabupaten Karanganyar. Tanaman ini banyak dibudidayakan di daerah Kabupaten Karanganyar yang memiliki ketinggian > 700 mdpl karena tanaman bawang putih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 700-1.100 mdpl seperti Kecamatan Kecamatan Tawangmangu, Jatiyoso, Ngargoyoso, Jatipuro, dan Jenawi. Tanaman bawang putih mudah dalam pemeliharaannya serta memiliki masa tanam sekitar 3-4 bulan. Bawang putih memiliki keunggulan yaitu tahan lama untuk disimpan sampai berbulan-bulan. Bawang putih banyak dimanfaatkan sebagai bumbu makanan dan bahan baku obat tradisional. Perkembangan harga suatu komoditas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah permintaan akan barang tersebut, jumlah penawaran, harga barang substitusi, dan pendapatan masyarakat itu sendiri. Begitu pula dengan komoditas pertanian seperti bawang putih. Meskipun bawang putih memiliki sifat tahan lama, tetapi ketika terjadi panen tetap mengakibatkan harga bawang putih cenderung turun. Hal tersebut dikarenakan terjadi perubahan jumlah permintaan dan penawaran setiap bulannya. Menurut Sudiyono (2002), pada umumnya kenaikan harga komoditas pertanian akan meningkatkan jumlah penawaran dan mengurangi jumlah permintaan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa harga komoditas bawang putih baik di Pasar Tawangmangu maupun di Pasar Legi mengalami fluktuasi setiap bulannya. Harga bawang putih menjadi rendah atau turun ketika terjadi panen secara besar-besaran atau panen raya di daerah sentra produksi bawang putih karena jumlah penawaran meningkat. Demikian juga sebaliknya, ketika tidak terjadi musim panen atau saat musim tanam tiba, jumlah penawaran dari produsen menurun sehingga menyebabkan harga bawang putih melambung tinggi.

88

Keadaan demikian diharapkan mampu disiasati petani dengan memilih waktu yang tepat untuk menanam bawang putih. Hal ini dikarenakan keadaan iklim sekarang jauh berbeda dengan jaman dahulu sehingga menuntut petani bawang putih untuk lebih pintar dalam bercocok tanam. Keadaan iklim atau cuaca sekarang mengakibatkan perubahan harga bawang putih tidak dapat diperkirakan. Selain itu, kegiatan petani bawang putih yang menanam bawang putih serentak di berbagai daerah sentra produksi bawang putih, secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi pembentukan harga bawang putih di tingkat pedagang baik pengecer maupun grosir. Harga bawang putih di Pasar Tawangmangu lebih rendah dibandingkan dengan harga bawang putih di Pasar Legi. Pasar Tawangmangu merupakan pasar sentra sayuran dimana petani bawang putih menjual hasil panen bawang putih. Selain untuk konsumsi penduduk di Kecamatan Tawangmangu, hasil bawang putih di Pasar Tawangmangu juga di jual ke luar, misalnya ke kecamatan lain di Kabupaten Karanganyar serta ke kabupaten lain seperti Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Surakarta yang tidak menghasilkan bawang putih. Sedangkan harga bawang putih di Pasar Legi lebih tinggi dari harga bawang putih di Pasar Tawangmangu sebagai pasar produsen. Hal ini disebabkan Kota Surakarta yang tidak menghasilkan bawang putih sehingga membutuhkan pasokan dari Pasar Tawangmangu. Kegiatan distribusi bawang putih dari Pasar Tawangmangu ke Pasar Legi memerlukan biaya pemasaran sehingga harga di Pasar Legi lebih tinggi karena biaya pemasarannya relatif lebih besar. Perkembangan harga bawang putih di Pasar Legi kadangkala mengalami kondisi khusus dimana terdapat beberapa bulan harga bawang putih di Pasar Legi sebagai pasar acuan lebih rendah daripada Pasar Tawangmangu sebagai pasar lokal. Hal ini antara lain disebabkan bawang putih di Pasar Legi tidak hanya berasal dari Kabupaten Karanganyar (Pasar Tawangmangu). Berdasarkan hasil wawancara dengan 15 pedagang

89

bawang putih di Pasar Legi, diperoleh informasi bahwa pasokan bawang putih di Pasar Legi juga berasal dari Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonosobo dan bawang putih impor dari negara Thailand dan Filipina. Ketika terjadi panen raya bersamaan di daerah sentra produksi bawang putih, maka bawang putih banyak yang masuk ke Pasar Legi. Selain itu, ketika harga bawang putih di Pasar Tawangmangu lebih tinggi, maka pedagang pengumpul akan mencari bawang putih di daerah lain dengan harga yang lebih murah. Kondisi inilah yang menyebabkan harga bawang putih di Pasar Legi menjadi lebih murah.

2. Keterpaduan Pasar Bawang Putih Antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh persamaan regresi yaitu

Pit = 663,462 + 0,542(Pit-1) + 0,435(Pt-Pt-1) + 0,292(Pt-1). Berdasarkan uji atau nilai F yaitu harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1, selisih harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t dengan bulan t-1, dan harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga bawang putih di Pasar Tawangmangu pada bulan t. Akan tetapi, berdasarkan uji t dari tiga variabel bebas yang dimasukkan ke dalam model, hanya dua variabel yang berbeda nyata atau signifikan yaitu harga bawang putih yang terjadi di Pasar Tawangmangu pada bulan t-1 dan selisih harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t dengan bulan t-1. Berdasarkan perbandingan koefisien b1 dengan b3 dari persamaan regresi dapat digunakan untuk mengetahui nilai IMC. Koefisien harga bawang putih di Pasar Legi pada bulan t-1 atau koefisien b3 yang tidak signifikan karena t hitung < t tabel menunjukkan bahwa pasar komoditas bawang putih antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi tidak terpadu dalam jangka pendek. Hal tersebut menunjukkan informasi tentang perubahan harga bawang putih di Pasar Legi tidak ditransmisikan ke perubahan harga bawang putih di Pasar Tawangmangu sebagai pasar lokal atau pasar produsen. Hal ini menunjukkan perubahan harga bawang putih

90

di Pasar Tawangmangu lebih dipengaruhi oleh perubahan harga bawang putih yang terjadi di Pasar Tawangmangu itu sendiri. Indikator-indikator statistik untuk Pasar Tawangmangu sebagai pasar lokal sebenarnya memberikan petunjuk bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi yang menyebabkan terjadinya perubahan harga bawang putih di Pasar Legi secara umum tetap tercermin pada tingkat harga bawang putih di Pasar Tawangmangu dalam jangka waktu yang lama. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien b2 yang signifikan terhadap harga bawang putih di Pasar Tawangmangu yang menunjukkan adanya integrasi pasar dalam jangka panjang. Dengan demikian, karakteristik keterpaduan pasar sebenarnya masih dijumpai dalam sistem pemasaran yang berlaku, meskipun keterkaitan jangka pendek (short-run integration) antara Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi tidak terungkap secara statistik. Keadaan tersebut dapat memberikan gambaran bahwa di satu sisi, kekuatan pasar atau ekonomi secara umum telah menyebabkan perubahan harga bawang putih di pasar acuan tetap tercermin dalam waktu lama (meskipun belum optimal) pada tingkat harga bawang putih di pasar lokal dan disisi lain, tingkat harga bawang putih di pasar lokal secara dominan masih dipengaruhi oleh perubahan harga bawang putih di pasar lokal yang bersangkutan dengan cepat dan tepat. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemasaran bawang putih antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi tidak efisien karena informasi tentang perubahan harga bawang putih di Pasar Legi yang mewakili kondisi pasar acuan tidak diteruskan secara langsung dan segera serta direfleksikan terhadap harga bawang putih di Pasar Tawangmangu dan dimanfaatkan pelaku pasar di Pasar Tawangmangu dalam proses pembentukan harga. Penyebab pasar bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu dengan Pasar Legi tidak terpadu ada beberapa faktor. Faktor penyebab yang pertama yaitu struktur pasar yang tidak sempurna. Hal ini disebabkan sebagian besar bawang putih yang dihasilkan petani bawang putih di Kabupaten Karanganyar langsung dijual kepada pedagang

91

pengumpul yang ada di Pasar Tawangmangu sehingga harga yang terbentuk dapat dimonopoli oleh pedagang pengumpul serta pedagang pengumpul tidak menginformasikan keadaan harga bawang putih yang sebenarnya kepada pedagang yang ada di Pasar Tawangmangu. Hal ini dilakukan pedagang pengumpul agar dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Faktor kedua yang menyebabkan Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi tidak terpadu adalah kurang lengkapnya informasi pasar antara lain data perkembangan harga bawang putih, jenis dan kualitas bawang putih yang diinginkan oleh konsumen, serta waktu dan jumlah bawang putih yang diinginkan konsumen atau walaupun informasi pasar itu telah ada tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan para pelaku pasar bertindak sesuai dengan kegiatan atau aktivitas yang ada di pasar setiap harinya sehingga apabila terdapat masukan informasi pasar yang baru, maka hal tersebut dianggap kurang penting dan kurang berpengaruh. Faktor ketiga yang menyebabkan Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi tidak terpadu adalah frekuensi data harga bawang putih yang tersedia dari dinas yang terkait berupa data harga bulanan bawang putih yang tidak mencerminkan perubahan harga bawang putih dalam jangka waktu pendek, khususnya untuk dua pasar yang terpisah dalam wilayah yang tidak jauh. Bawang putih disalurkan atau didistribusikan antara Pasar Tawangmangu ke Pasar Legi dalam waktu lima hari atau satu minggu sekali. Sementara itu, data bawang putih setiap hari atau minggu di Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi belum tersedia secara optimal dari dinas yang terkait. Faktor keempat yang menyebabkan Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi tidak terpadu adalah bawang putih di Pasar Legi tidak semuanya berasal dari Kabupaten Karanganyar (Pasar Tawangmangu). Berdasarkan hasil wawancara dengan 15 pedagang bawang putih di Pasar Legi, bawang putih di Pasar Legi ada yang berasal dari Kabupaten Magelang dan Kabupaten Wonosobo serta bawang putih impor dari Thailand dan

92

Filipina. Kondisi inilah yang menyebabkan persaingan harga semakin ketat sehingga pedagang yang berada di Pasar Legi berusaha untuk mencari pasokan yang menguntungkan dari daerah selain Pasar Tawangmangu tetapi tetap menjaga agar pasokan dari Pasar Tawangmangu konsisten setiap waktu dengan membatasi informasi dari Pasar Legi ke Pasar Tawangmangu. Faktor kelima yang menyebabkan tidak terpadunya Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi adalah petani atau pedagang di Pasar Tawangmangu tidak menjual bawang putihnya langsung kepada konsumen di Pasar Legi sehingga para pelaku pasar tersebut tidak dapat segera mengetahui perkembangan dan perubahan harga yang terjadi di Pasar Legi. Hal ini dikarenakan keterbatasan modal petani yang tidak seimbang dengan biaya transportasi yang menyebabkan biaya pemasaran semakin besar sehingga mereka lebih memilih menjual bawang putihnya kepada pedagang pengumpul.

68

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W., Mieke, A., dan Achmad, H. 1999. Segmentasi dan Integrasi Pasar : Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah. Jurnal Hortikultura. 9 (2) : 153-163. http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:jurnal hortikultura.jpg. Diakses pada tanggal 2 November 2009 pukul 15.00 WIB. Adiyoga, W., Keith, O. F., dan Rachman, S. 2006. Integrasi Pasar Kentang di Indonesia : Analisis Korelasi dan Kointegrasi. Informasi Pertanian. (15) : 835-852. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/keterpaduan pasar.pdf. Diakses pada tanggal 31 Desember 2009 pukul 13.00 WIB. Anjak. 2006. Analisis dan Arah Kebijakan Makro Pembangunan Pertanian. http:// www.dictionary.com. Diakses pada tanggal 2 November 2009 pukul 15.00 WIB. Anonim. 2008. Pasar. http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Pasar Tradisional.jpg. Diakses pada tanggal 2 November 2009 pukul 15.00 WIB. ______. 2009a. Bawang Putih Secara Ekonomi. http://digilib.petra.ac.id/. Diakses pada tanggal 20 Januari 2009 pukul 13.00 WIB. ______. 2009b. Pengertian Harga. http://www.opensubscriber.com/. Diakses pada tanggal 2 November 2009 pukul 15.00 WIB. Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta. Asri, M. 1991. Marketing. UPP - AMP YKPN. Yogyakarta. BPS Kabupaten Karanganyar. 2009. Kabupaten Karanganyar dalam Angka 2009. BAPPEDA dan BPS Kabupaten Karanganyar. Karanganyar. BPS Kota Surakarta. 2009. Surakarta Dalam Angka 2009. BAPEDDA dan BPS Kota Surakarta. Surakarta. BPS. 2007. Jawa Tengah dalam Angka 2007. BAPEDDA dan BPS Jawa Tengah. Semarang. Budianto, Y. 2006. Analisis Keterpaduan Pasar Bawang Putih Antara Kecamatan Tawangmangu Sebagai Pasar Produsen Dengan Kabupaten Karanganyar Dan Kota Surakarta Sebagai Pasar Konsumen. Skripsi S1 (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Cahyono, B. T. 1998. Manajemen Pemasaran Analisis Agribisnis dan Industri. Badan Penerbit IPWI. Jakarta Selatan. Deptan. 1999. Pemasaran Produk Pertanian. http:// www.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 2 November 2009 pukul 15.00 WIB. Gujarati, D. N. 1995. Basic Econometrics. McGraw-Hill Book. New York. . 2006. Dasar-dasar Ekonometrika (Terjemahan : Mulyadi J.A). Erlangga. Jakarta.

69

Hanafiah, A. M dan Saefuddin, A. M. 1993. Tataniaga Hasil Perikanan. UI Press. Jakarta. Handayani, S. W. 2007. Analisis Keterpaduan Pasar Salak Pondoh Antara Pasar Tempel dengan Pasar Gamping. Skripsi S1 (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Handayani, S. M dan Minar F. 1999. Respon Penawaran Ubi Jalar di Kabupaten Karanganyar. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret Surakarta Press. Surakarta. . 2000. Integrasi Pasar Antar Tempat dalam Pemasaran Ubi Kayu. Laporan Penelitian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Haryono. 2009. Pembangunan Pertanian. http://www.haryono.com/article/.html. Diakses pada tanggal 13 Januari 2009 pukul 13.30 WIB. Hastuti, A. D. 2005. Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Kedelai Antara Kabupaten Wonogiri dengan Kota Surakarta. Skripsi S1 (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Kartasapoetra, G. 1992. Marketing Produk Pertanian dan Industri. Rineka Cipta. Jakarta. Kotler, P. 1996. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, dan Pengendalian. Erlangga. Jakarta. . 1998. Manajemen Pemasaran: Analisis, Implementasi, dan Kontrol (Terjemahan : Jaka Wasana). Edisi Kesembilan Jilid I. Prenhallindo. Jakarta. Lamarto, Y. 1994. Prinsip Pemasaran. Erlangga. Jakarta. Nila, S. 1994. Pemasaran Cabe Besar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta. Pindyck, R. S dan Daniel L. R. 1998. Microeconomic. Prentice Hall Upper Saddle River. New Jersey. Rinda, E. 2000. Analisis Perilaku Pasar dan Keterpaduan Pasar Bawang Putih di DKI Jakarta. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/keterpaduan pasar.pdf. Diakses pada tanggal 31 Desember 2009 pukul 13.00 WIB. Rukmana, R. 1995. Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen Bawang Putih. Kanisius. Yogyakarta. Samadi, B. 2000. Usahatani Bawang Putih. Kanisius. Yogyakarta. Santoso, H. B. 1998. Bawang Putih. Kanisius. Yogyakarta. Setyowati, R. W. dan Wahyuningsih S. 2005. Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Wortel Antara Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar. Sepa. 2 (1) : 16-27.

70

Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. . 2001. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. . 2002. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian: Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. Simatupang, P. 1997. Dinamika Sumber Daya dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Singarimbun, M dan Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta. Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. UMM Press. Malang. Sumawihardja, S., Suparlan S., dan Sacherly. 1993. Manajemen Pemasaran. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Supranto. 2005. Ekonometri. Ghalia Indonesia. Bogor. Surachman, S. 1991. Intisari Manajemen Pemasaran. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Surakhmad, W. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik. Tarsito. Bandung. Swastha, B. 1991. Saluran Pemasaran, Konsep, dan Strategi Analisa Kuantitatif. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta. ______.1993. Manajemen Penjualan Edisi 3. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta. Tukan, J. M., Yulianti., Roshetko J. M., dan Darusman D. 2004. Pemasaran Kayu dari Lahan Petani di Propinsi Lampung. http://worldagroforestrycentre.org/SEA/Publications/files/journal/JA0028- 04.PDF. Diakses pada tanggal 10 Mei 2010 pukul 13.30 WIB . Wibowo, H. 2001. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Serta Dukungan Aspek Teknologi Pascapanen Tanaman Sayuran. Remaja Rosdakarya. Bandung.