ISSN 0216 - 0439 E-ISSN 2540 - 9689

Volume 17 Nomor 1, Juni Tahun 2020

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI Forestry Research Development and Innovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN Forest Research and Development Centre BOGOR - INDONESIA

Jurnal Hutan dan Konservasi Alam adalah media resmi publkasi ilmiah dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (P3H) yang memuat hasil penelitian bidang-bidang Silvikultur Hutan Alam, Nilai Hutan, Pengaruh Hutan, Botani dan Ekologi Hutan, Perhutanan Sosial, Mikrobiologi Hutan, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati. (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam is an official scientific publication of the Forest Research and Development (FRDC) publishing research findings of Natural Forest Silviculture, Forest Influences, Forest Valuation, Forest Botany and Ecology, Social Forestry, Forest Microbiology, and Wildlife Biodiversity Conservation). Perubahan nama instansi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (P3H) berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungkan Hidup dan Kehutanan. Logo penerbit juga mengalami perubahan menyesuaikan Logo Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penanggung Jawab Dr. Achmad Siddik Thoha (Konsevasi Sumberdaya Alam Hayati - USU) Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Dr. Bejo Slamet, S.Hut., M.Si (Remote sensing dan Hidrologi - USU) Dr. Arida Susilowati (Silvikultur dan Ekologi - USU) Dewan Redaksi (Editorial Board) Dr. Sena Adi Subrata (Satwa Liar - UGM) Deputi Editor Dr. Sulaeha Thamrin, M.Si (Entomologi - UNHAS) Ahmad Gadang Pamungkas, S.hut., M.Si Dr. Sri Utami, SP., M.Si (Perlindungan Hutan - KLHK) Editor Dr. Novianto Bambang (Konservasi - KLHK) Asep Hidayat, S.Hut., M.Agr., Ph.D (Mikrobiologi - KLHK) Dr. Yanto Rochmayanto, S.Hut., M.Sc (Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan - KLHK) Dewan Redaksi Dr. Sofian Iskandar (Konservasi Keanekaragaman Hayati - KLHK) Prof. Ris. Dr. Sri Suharti (Perhutanan Sosial - KLHK) Dr. Omo Rusdiana (Konservasi Tanah dan Air - IPB) Dr. Henti Hendalastuti Rachmat (Silvikultur, Genetik - KLHK) Dr. Iyan Robiansyah (Ekologi dan Konservasi Tumbuhan, Species Dr. Neo Endra Lelana (Perlindungan Hutan - KLHK) Distribution Modeling dan IUCN Red List Assesment - LIPI) Dr. Rozza Tri Kwatrina (Konservasi Keanekaragaman Hayati - KLHK) Dr. Ir. Muhdin, M.Sc.F.Trop (Inventarisasi Hutan - IPB) Dr. Yulita Sri Kusumadewi (Botani dan Ekologi - LIPI) Dr. Tatang Tiryana (Perencanaan Kehutanan - IPB) Dr. Agung Budi Supangat (Pengelolaan Lahan, Air dan Iklim - KLHK) Dr. Ir. Subarudi, M.Wood.Sc (Sosiologi Kehutanan - KLHK) Rinaldi Imanuddin, S.Hut., M.Sc (Manajemen Hutan dan Biometrika - Dr. Edwin Martin, S.Hut., M.Si (Sosiologi Kehutanan - KLHK) KLHK) Dr. Entang Iskandar (Primata - Pusat Studi Satwa Primata) Ir. Reni Sawitri, M.Sc (Konservasi Sumberdaya Hutan - KLHK) Dr. Wanda Kuswanda (Konservasi Sumberdaya Hutan - KLHK) Dr. Nurainas (Taksonomi Tumbuhan - Universitas Andalas) Reviewer Dr. Rugayah (Taksonomi Tumbuhan - LIPI) Prof. Ris. Dr. Chairil Anwar Siregar (Hidrologi dan Konservasi Tanah - Dr. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc (Ekologi, Perilaku dan Konservasi KLHK) Burung - IPB) Prof. Ris. Pratiwi (Hidrologi dan Konservasi Tanah - KHLH) Dr. Agus Hikmat (Konservasi Tumbuhan, Ekologi Tumbuhan, Etnobotani Prof. Ris. Dr. Hendra Gunawan (Konservasi Sumberdaya Hutan - KLHK) dan Spesies Tumbuhan Invasif - IPB) Prof. Dr. Cahyono Agus Dwi Koranto (Ilmu Tanah - UGM) Ir. Atok Subiakto, M.App.Sc (Silvikultur dan Teknologi Pembibitan - Prof. Dr. Cecep Kusmana (Ekologi Hutan Mangrove - IPB) KLHK) Prof. Dr. Sri Wilarso Budi R. (Mikrobiologi - IPB) Dr. Budi Hadi Narendra, S.Hut., M.Sc (Hidrologi dan Konservasi Tanah Prof. Dr. Gono Semiadi (Mamalia dan Pengelolaan Satwaliar - LIPI) Porf. Dr. Tukirin Partomihardjo (Ekologi Hutan dan Botani - LIPI) - KLHK) Prof. Dr. Ir Yanto Santosa, DEA (Ekologi Kuantitatif - IPB) Prof. Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si (Biologi Konservasi - LIPI) Asep Hidayat, S.Hut., M.Agr., Ph.D (Mikrobiologi - KLHK) Copy Editor Dr. Maman Turjaman (Mikrobiologi - KLHK) Dr. Titiek Setyawati (Botani Umum - KLHK) Dr. Yulita Sri Kusumadewi (Botani dan Ekologi - LIPI) Ir. Adi Susilo, M.Sc (Silvikultur - KLHK) Dr. Rozza Tri Kwatrina (Konservasi Keanekaragaman Hayati - KLHK) Fathimah Handayani, S.Hut., M.For.Sc (Konservasi Tanah dan Air - Dr. Henti Hendalastuti Rachmat (Silvikultur, Genetik - KLHK) KLHK) Dr. Made Hesti Lestari Tata (Silvikultur - KLHK) Dr. Haruni Krisnawati (Biometrika Hutan - KLHK) Editor Bagian (Sec. Editor) Dr. Murniati (Agroforestry dan Hutan Kemasyarakatan - KLHK) Retno Agustarini, S.Hut., M.Si Dr. Neo Endra Lelana (Perlindungan Hutan - KLHK) Rosita Dewi, S.Hut., M.IL Dr. Irdika Mansur (Silvikultur, Reklamasi dan Rehabilitasi Lahan Pasca Husnul Khotimah, SE., M.Si Retno Kusumastuti Rahajeng, SH., M.Hum Tambang - IPB) Merry M. Dethan, SP Dr. Abdul Haris Mustari (Ekologi Satwaliar - IPB) Anita Rianti, S.Pt Dr. Jarwadi Budi Hernowo (Ekologi Satwaliar - IPB) Rizki Ary Fambayun, S.Hut., M.Sc Dr. Yeni Herdiyeni (Digital Image Processing, computer vision and Yeni Nuraeni, S.Hut computational intelligence - IPB) Dr. Yudi Setiawan, SP., M.Sc (Land Use Science, Spatial Dynamics, Layout Editor Environmental Science, Remote Sensing - IPB) Zamal Wildan, S.Kom Fifi Gus Dwiyanti, S.Hut., M.Agr., Ph.D (Genetika dan Ekologi Hutan - Administrasi Web IPB) Apid Robini Eka Prawira, ST

Isi dari jurnal dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya Citation is permitted with acknowledgement of the source Diterbitkan secara teratur satu volume tiap tahun yang terdiri atas tiga nomor (April, Agustus, Desember) oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sejak terbitan Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume 12 Nomor 2, Agustus Tahun 2015, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam terbit dua kali dalam setahun (Juni dan Desember) Published regularly one volume a year consisting of three issues (April, August, December) by the Forest Research and Development Center of the Forestry Research and Development Agency. Since the publication of the Journal of Forest and Nature Conservation Research, Volume 12 Number 2, August 2015, the journal published twice a year (June and December). Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu P.O. Box 165, Bogor 16601, Indonesia Telepon (Phone) : (0251) 8633234; 7520067 Fax (Fax) : (0251) 8638111 Website/homepage : http://www.forda-mof.org; http://www.puslitbanghut.or.id Email : [email protected]; [email protected] Percetakan (Printing) : CV. Sinar Jaya

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi Nomor: 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018 UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Reviewer yang telah menelaah naskah yang dimuat pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume 17 Nomor 1, Juni 2020:

Prof. (Riset) Pratiwi (Hidrologi dan Konservasi Tanah – KLHK) Prof. (Riset) Hendra Gunawan (Konservasi Sumberdaya Hutan – KLHK) Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo (Ekologi Hutan dan Botani – LIPI) Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr, Ph.D (Mikrobiologi – KLHK) Dr. Yanto Rochmayanto, S.Hut. M.Sc (Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan – KLHK) Dr. Maman Turjaman (Mikrobiologi – KLHK) Dr. Rozza Tri Kwatrina (Konservasi Keanekaragaman Hayati – KLHK) Dr. Arida Susilowati (Silvikultur dan Ekologi – USU) Dr. Omo Rusdiana (Konservasi Tanah dan Air – IPB) Dr. Yulita Sri Kusumadewi (Botani dan Ekologi – LIPI) Dr. Iyan Robiansyah (Ekologi dan Konservasi Tumbuhan, Species Distribution Modeling dan IUCN Red List Assessment – LIPI) Dr. Ir. Muhdin, M.Sc.F.Trop (Inventarisasi Hutan – IPB) Dr. Tatang Tiryana (Perencanaan Kehutanan – IPB) Rinaldi Imanuddin, S.Hut., M.Sc (Manajemen Hutan dan Biometrika – KLHK)

ISSN 0216 – 0439 E-ISSN 2540 – 9689

Volume 17 Nomor 1, Juni Tahun 2020

ISI/CONTENT :

1. Baharinawati W. Hastanti dan/and Purwanto ANALISIS KETERPAPARAN, SENSITIVITAS DAN KAPASITAS ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP KEKERINGAN DI DUSUN PAMOR, KRADENAN, GROBOGAN (Analysis of Exposure, Sensitivity and Community Adaptation Capacity to Drought in Pamor Hamlet, Kradenan, Grobogan)…………………………………………………. 1-19 2. Nunung Puji Nugroho dan/and Dona Octavia INVENTARISASI JENIS TANAMAN PENGHASIL HASIL HUTAN BUKAN KAYU DI HUTAN NAGARI PARU, SIJUNJUNG, SUMATERA BARAT (Inventory of Non-Timber Forest Product Plant Species in Paru Village Forest, Sijunjung, West Sumatera) ……………. 21-33 3. Andes Hamuraby Rozak, Sri Astutik, Zaenal Mutaqien, Endah Sulistyawati, dan/and Didik Widyatmoko EFEKTIVITAS PENGGUNAAN TIGA INDEKS KEANEKARAGAMAN POHON DALAM ANALISIS KOMUNITAS HUTAN: STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, INDONESIA (The Effectiveness of the Use of Three Diversity Indices in Forest Community Analysis: A case Study in Mount Gede Pangrango National Park, Indonesia).………………………………………..……………………………………. 35-47 4. Nurul Ihsan Fawzi, Agus Novianto, Agus Supianto, dan/and Nur Febriani JENIS POHON TARGET AKTIVITAS PEMBALAKAN LIAR DI TAMAN NASIONAL GUNUNG PALUNG (Logged Tree Species from Illegal Logging Activity in Gunung Palung National Park) ……………………………………………………………...………………………………………. 49-63 5. Erwin Kusumah Nanjaya, Teddy Rusolono, dan/and Tatang Tiryana PENENTUAN UKURAN PLOT CONTOH OPTIMAL UNTUK PENDUGAAN LUAS BIDANG DASAR DAN BIOMASSA TEGAKAN (Determination of Optimal Sample Plot Size for Estimating Stand Basal Area and Biomass) ……………………………………………….. 65-77 6. Tasya Chotimah, Basuki Wasis, dan/and Henti Hendalastuti Rachmat POPULASI MAKROFAUNA, MESOFAUNA, DAN TUBUH BUAH FUNGI EKTOMIKORIZA PADA TEGAKAN Shorea leprosula DI HUTAN PENELITIAN GUNUNG DAHU BOGOR (Population of Macrofauna, Mesofauna, and Ectomycorrhizae’s Fruit Body at Shorea leprosula stand in Gunung Dahu Forest Research, Bogor) ………………. 79-98 7. Lutfy Abdulah, Endang Suhendang, Herry Purnomo dan/and Juang R. Matangaran PENDUGAAN KONSUMSI KAYU DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN HUTAN LESTARI (The Estimation of Wood Consumption to Support Sustainable Forest Management) ……………………………………………………………………………………………. 99-112

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN Bogor

JURNAL PENELITIAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM (Journal of Forest and Nature Conservation Research)

ISSN 0216-0439 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 E-ISSN 2540-9689

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*9:II (594.55) Hastanti, Baharinawati W., dan Purwanto (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat Terhadap Kekeringan di Dusun Pamor, Kradenan, Grobogan J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 1-19 Bencana hidrometeorologi di Jawa Tengah paling tinggi dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Salah satunya adalah bencana hidrometeorologi kekeringan yang sering terjadi setiap tahun di Kabupaten Grobogan. Kondisi kekeringan ini memerlukan peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat untuk meminimalkan tingkat kerentanan sosial ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan sosial masyarakat berdasarkan kondisi keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi kekeringan terjadi di Dusun Pamor, Keradenan, Grobogan, Jawa Tengah. Data diperoleh dengan melakukan observasi langsung, wawancara mendalam, dan pengumpulan data sekunder lainnya. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan dukungan kuantifikasi data untuk menentukan tingkat keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerentanan sosial ekonomi masyarakat Dusun Pamor dalam menghadapi kekeringan tergolong tinggi berdasarkan penilaian indikator- indikator tingkat keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi. Adapun nilai masing-masing indikator tersebut adalah 2,49 (tinggi) untuk tingkat keterpaparan, 2,76 (tinggi) untuk indikator sensitivitas dan 1, 21 (rendah) untuk indikator kapasitas adaptasi. Salah satu strategi mitigasi kekeringan yang dilakukan secara ekonomi dan sosial adalah melalui peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat yaitu peningkatan pendidikan dan pembangunan infrastruktur, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kata Kunci: Bencana kekeringan, keterpaparan, sensitivitas, kapasitas adaptasi UDC/ODC 630*187(594.43) Nugroho, Nunung P., (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) dan Octavia, Dona (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Inventarisasi Jenis Tanaman Penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu di Hutan Nagari Paru, Sijunjung, Sumatera Barat J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 21-33 Hutan memainkan peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang berada di sekitarnya, terutama dalam menyediakan hasil hutan bukan kayu (HHBK). HHBK umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence) dan menambah pendapatan rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis tanaman yang menghasilkan HHBK di Hutan Nagari Paru di Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Pengambilan data dilakukan melalui survei lapangan dengan menggunakan 98 plot berukuran 0,1 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Nagari Paru memanfaatkan berbagai jenis HHBK dari generasi ke generasi sebagai sumber makanan, obat-obatan, kerajinan tangan, pewarna, resin, bangunan, ritual adat, dan keperluan lainnya. Hutan Nagari Paru terjaga dengan kearifan lokal dan hukum adat yang kuat, sehingga memiliki keanekaragaman jenis tanaman penghasil HHBK yang tinggi dengan total 98 jenis. Namun, perlu dicatat bahwa metode pemanfaatan ekstraktif tanpa pembatasan jumlah HHBK yang diambil akan menyebabkan berkurangnya ketersediaan HHBK di masa depan. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan volume HHBK yang dapat diekstraksi oleh masyarakat yang dituangkan dalam peraturan adat dan juga upaya pembudidayaan tanaman penghasil HHBK yang bernilai tinggi di lahan masyarakat. Dengan demikian, pelestarian hutan lindung dan ketersediaan HHBK diharapkan dapat dipertahankan dan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. Kata kunci: HHBK, kebutuhan sendiri, pemanfaatan ekstraktif, hutan Nagari, Sijunjung JURNAL PENELITIAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM (Journal of Forest and Nature Conservation Research)

ISSN 0216-0439 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 E-ISSN 2540-9689

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*907(594.53) Rozak, Andes H., Astutik, Sri., Mutaqien, Zaenal (Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Sulistyawati, Endah (Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung), dan Widyatmoko, Didik (Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Efektivitas Penggunaan Tiga Indeks Keanekaragaman Pohon dalam Analisis Komunitas Hutan: Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Indonesia J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 35-47 Analisis keanekaragaman jenis sangat penting dalam perhitungan keanekaragaman suatu komunitas hutan. Hasil analisis tersebut bisa menjadi dasar untuk aksi-aksi konservasi dalam pengelolaan suatu kawasan hutan. Beberapa indeks keanekaragaman jenis seperti indeks Shannon-Wiener dan Simpson’s sangat umum digunakan dalam analisis tersebut. Namun demikian, studi perbandingan indeks keanekaragaman pohon disertai analisis lanjutan tentang efektivitas penggunaan indeks tersebut masih jarang dilakukan. Dengan menggunakan data dari 26 plot yang terletak pada rentang ketinggian 1.013-3.010 m, perbandingan efektivitas penggunaan indeks Shannon-Wiener, Simpson’s, dan rarefied richness dilakukan terhadap tumbuhan berkayu (dbh ≥5 cm) yang dikelompokkan dalam tiga zona, yaitu zona submontana, montana, dan subalpine. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks rarefied richness memiliki sensitivitas yang baik dibandingkan dengan indeks lainnya. Oleh karenanya, penggunaan indeks tersebut perlu diutamakan dibandingkan dengan indeks lainnya. Konversi indeks Shannon-Wiener, Simpson’s, maupun kombinasinya sangat terbuka untuk dilakukan. Namun demikian, persamaan regresi linear hanya mampu menjelaskan 61- 87% dari total varian yang dimiliki dan bergantung pada variabel bebas yang digunakan. Kata kunci: Hutan pegunungan, keanekaragaman, kekayaan jenis, pohon, taman nasional UDC/ODC 630*187:46(594.17) Fawzi, Nurul I., Novianto, Agus, Supianto, Agus dan Febriani, Nur (Yayasan Alam Sehat Lestari) Jenis Pohon Target Aktivitas Pembalakan Liar di Taman Nasional Gunung Palung J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 49-64 Informasi tentang jenis-jenis pohon yang menjadi target untuk ditebang di TN. Gunung Palung masih minim. Mengetahui jenis pohon yang ditebang dari aktivitas pembalakan liar diharapkan membantu upaya peningkatan konservasi biodiversitas khususnya perlindungan terhadap jenis pohon terancam punah. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi jenis-jenis pohon yang dicari dan ditebang di dalam kawasan TN. Gunung Palung; (2) mengetahui frekuensi penebangan; dan (3) mengetahui jumlah penebang yang aktif menebang di kawasan TN. Gunung Palung. Program ini merupakan hasil kerja sama antara Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Health in Harmony, dan Balai Taman Nasional Gunung Palung. Metode yang digunakan adalah wawancara terhadap 43 penebang yang telah bergabung program chainsaw buyback untuk memulai wiraswasta. Selain itu, dilakukan survei lapangan untuk mengetahui jumlah penebang aktif yang menebang di kawasan TN. Gunung Palung. Hasil penelitian mengidentifikasi 15 suku dari 26 jenis pohon yang sering ditebang di kawasan TN. Gunung Palung. Pohon bengkirai, meranti (kelompok meranti merah dan meranti putih) dan ulin adalah jenis pohon yang paling banyak ditebang. Dalam kondisi normal, pohon tersebut ditebang sebanyak ± 5,7-9,88 pohon perminggu dengan frekuensi menebang ± 1,91-1,41 (~2) kali per minggu. Frekuensi menebang meningkat saat musim kemarau. Dari hasil survei lapangan didapatkan rata-rata jumlah penebang aktif yang menebang di TN. Gunung Palung adalah 61 penebang per tahun. Keberadaan penebang tersebut membuat TN. Gunung Palung diperkirakan kehilangan ±18.300 pohon dengan diameter > 40 cm per tahun. Informasi tentang jenis-jenis pohon yang ditebang dan frekuensi menebang ini dapat menjadi dasar pengelolaan dan upaya konservasi di TN. Gunung Palung. Kata kunci: Deforestasi, pohon target pembalakan liar, Taman Nasional Gunung Palung, dipterokarpa, konservasi JURNAL PENELITIAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM (Journal of Forest and Nature Conservation Research)

ISSN 0216-0439 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 E-ISSN 2540-9689

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*524:635 Nanjaya, Erwin K. (Mahasiswa SPs IPB University/Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Rusolono, T., dan Tiryana, Tatang (Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB University) Penentuan Ukuran Plot Contoh Optimal untuk Pendugaan Luas Bidang Dasar dan Biomassa Tegakan J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 65-77 Luas bidang dasar dan biomassa tegakan hutan dapat dihitung dari data inventarisasi hutan yang diperoleh melalui pengukuran tegakan menggunakan plot-plot contoh dengan ukuran dan jumlah tertentu. Tingkat akurasi data dan informasi yang diperoleh dari inventarisasi hutan akan sangat tergantung dari besarnya ukuran dan jumlah plot contoh tersebut. Sampai saat ini, masih sedikit studi yang mempelajari ukuran dan jumlah plot contoh untuk pelaksanaan inventarisasi hutan terutama hutan alam tropis di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ukuran dan jumlah plot contoh optimal untuk pendugaan luas bidang dasar dan biomassa tegakan dalam inventarisasi hutan pada empat jenis ekosistem hutan alam (Hutan Lahan Kering Primer/HLKP, Hutan Lahan Kering Sekunder /HLKS, Hutan Rawa Primer/HRP dan Hutan Rawa Sekunder/HRS). Data yang digunakan adalah data Petak Ukur Permanen (PUP) yang terdapat dalam klaster plot data Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory/NFI) di Indonesia. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan nilai koefisien variasi (CV) luas bidang dasar dan biomassa melalui simulasi berbagai ukuran plot contoh. CV menurun dengan meningkatnya ukuran plot, mengikuti tren eksponensial negatif. Ukuran plot optimal untuk HLKP, HLKS, dan HRS adalah 0,40 ha, sedangkan untuk HRP adalah 0,25 ha. Jumlah plot contoh optimal bervariasi sesuai dengan tipe ekosistem hutan dan tingkat kesalahan pengambilan sampel yang diinginkan. Studi ini menegaskan bahwa ukuran dan jumlah plot contoh harus disesuaikan pada setiap ekosistem hutan untuk memfasilitasi inventarisasi hutan yang efisien. Kata kunci: Inventarisasi hutan, ekosistem hutan, ukuran plot contoh, jumlah plot, koefisien variasi UDC/ODC 630*19(594.53) Chotimah, Tasya, Wasis, Basuki (Departemen Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana, IPB University), dan Rachmat, Henti H. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Populasi Makrofauna, Mesofauna, dan Tubuh Buah Fungi Ektomikoriza pada Tegakan Shorea leprosula di Hutan Penelitian Gunung Dahu Bogor J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 79-98 Shorea leprosula Miq. adalah salah satu jenis Dipterocarpaceae yang memiliki nilai ekonomi dan ditanam di Hutan Penelitian Gunung Dahu (HPGD) pada berbagai jarak tanam. HPGD didirikan pada tahun 1997 – 2000 sebagai upaya untuk memulihkan lanskap dengan melestarikan sumber daya genetik dipterokarpa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur populasi makrofauna, mesofauna tanah, dan tubuh buah fungi ektomikoriza dalam plot S. leprosula pada berbagai jarak tanam dan plot kontrol yang tidak ditanami. Pengumpulan sampel makrofauna dan mesofauna dilakukan di serasah menggunakan metode hand sorting sementara di tanah menggunakan corong berlese. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan, IPB. Pengamatan fungi ektomikoriza dilakukan dengan sensus di setiap plot lingkaran dengan jari-jari 17,8 m. Penelitian ini menunjukkan terdapat 13 jenis makrofauna dan mesofauna yang didominasi oleh cacing, semut, dan 10 jenis tubuh buah ektomikoriza dengan jenis yang paling banyak ditemukan adalah genus Russula. Kata kunci: Ektomikoriza, makrofauna, mesofauna, tegakan Shorea leprosula JURNAL PENELITIAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM (Journal of Forest and Nature Conservation Research)

ISSN 0216-0439 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 E-ISSN 2540-9689

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*88 Abdulah, Lutfy (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan), Suhendang, Endang, Purnomo, Herry, dan Matangaran, Juang R. (Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pasca Sarjana, IPB University) Pendugaan Konsumsi Kayu dalam Mendukung Pengelolaan Hutan Lestari J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 99-112 Pendugaan konsumsi kayu sangat penting dilakukan untuk mengukur tingkat produk kayu yang dipanen dan digunakan oleh masyarakat. Salah satu cara untuk mendapatkan informasi tersebut, dapat dilakukan dengan pendekatan tinjauan sistematis atas penelitian yang telah dilakukan sebelumnya untuk mengetahui metode yang berkembang dalam menduga tingkat konsumsi kayu dan dampaknya terhadap pengelolaan hutan lestari. Bahan penelitian berupa laporan, prosiding dan jurnal ilmiah terkait metode pendugaan penggunaan produk kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 253 penelitian yang berkaitan dengan kata kunci metode pengukuran tingkat konsumsi produk kayu oleh rumah tangga yang dipublikasikan dalam bentuk 20 laporan, 2 tesis dan 231 jurnal. Namun demikian, hanya terdapat 46 artikel dan laporan dan dipublikasikan pada jurnal yang terindeks global. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, kemudian dilakukan simulasi penggunaan produk kayu pada tingkat/skala nasional, industri dan rumah tangga. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dugaan konsumsi kayu berdasarkan skala sangat bervariasi. Namun demikian, penggunaan pendekatan rumah tangga sangat mudah untuk dilakukan verifikasi. Kata kunci: Konsumsi kayu, rumah tangga, metode tinjauan sistematik

JOURNAL OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam)

ISSN 0216-0439 Vol. 11 No. 1, June 2020 E-ISSN 2540-9689

Keywords are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

UDC/ODC 630*9:II (594.55) Hastanti, Baharinawati W., and Purwanto (Research and Development center for Watershed Management Technology) Analysis of Exposure, Sensitivity and Community Adaptation Capacity to Drought in Pamor Hamlet, Kradenan, Grobogan J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 1-19 Hydrometeorological disasters in Central Java are the highest compared to other provinces in Indonesia. One of them is the hydrometeorological disaster that often occurs every year in Grobogan Regency. These drought conditions require an increase in community adaptation capacity to minimize the level of socio- economic vulnerability. This study aimed to determine the level of social vulnerability based on exposure conditions, drought sensitivity and adaptive capacity in Pamor Hamlet, Keradenan, Grobogan, Central Java. Data was obtained by conducting direct observation, in-depth interviews, and other secondary data collection. Data were analyzed qualitatively by supporting quantification of data to determine the level of exposure, sensitivity and adaptive capacity of the community. The results indicated that the socio-economic vulnerability of the Pamor Hamlet community in dealing with drought was classified as high based on the assessment of indicators of level of exposure, sensitivity and adaptive capacity. The value of each indicator is 2.49 (high) for exposure levels, 2.76 (high) for sensitivity indicators and 1.21 (low) for indicators of adaptation capacity. One of the economic and social drought mitigation strategies is through increasing community adaptation capacity, namely increasing education and infrastructure development, so that it will improve the community welfare. Keywords: Drought, exposure, sensitivity, adaptation capacity UDC/ODC 630*187(594.43) Nugroho, Nunung P., (Research and Development center for Watershed Management Technology) and Octavia, Dona (Forest Research and Development Center) Inventory of Non-Timber Forest Product Plant Species in Paru Village Forest, Sijunjung, West Sumatera J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 21-33 Forest plays an important role in meeting the surrounding communities’ needs, especially in providing non- timber forest products (NTFPs). The NTFPs were commonly utilized to meet the subsistence needs and to generate income. This study aims to identify plant species that produce NTFPs in the Paru Village Forest in Sijunjung District, West Sumatra Province. Data collection was conducted through a field survey using 98 of 0.1 ha plots. The results indicated that the Nagari Paru community utilizes various types of NTFPs as a source of food, medicine, handicrafts, dyes, resin, building, customary rituals, and other necessities. Paru Village Forest has a high diversity of plant species producing NTFPs with a total of 98 species. However, the extractive methods of utilization without limitation on the amount of NTFPs taken will lead to decreased availability of NTFPs in the future. Therefore, it is necessary to regulate the volume of NTFPs that can be extracted by the community as outlined in customary regulations as well as the effort of the cultivation of highly valuable NTFP-producing plants on community land. Thus, the preservation of protected forests and the availability of NTFPs are expected to be sustained and the welfare of the community can increase. Keywords: NTFPs, subsistence needs, extractive utilization, village forest, Sijunjung JOURNAL OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam)

ISSN 0216-0439 Vol. 11 No. 1, June 2020 E-ISSN 2540-9689

Keywords are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

UDC/ODC 630*907(594.53) Rozak, Andes H., Astutik, Sri., Mutaqien, Zaenal (Center for Conservation of Plants and Gardens, Indonesian Institute of Sciences), Sulistyawati, Endah (School of Biological Science and Technology, Bandung Institute of Technology), and Widyatmoko, Didik (Center for Conservation of Plants and Gardens, Indonesian Institute of Sciences) The Effectiveness of the Use of Three Diversity Indices in Forest Community Analysis: A case Study in Mount Gede Pangrango National Park, Indonesia J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 35-47 The analysis of diversity is a fundamental measurement in a forest community. The results of the analysis can be the basis for conservation actions in the management of a forest area. Several species diversity indices such as the Shannon-Wiener and Simpson's index are very commonly used in the analysis by the ecologist. However, comparative studies on tree diversity indices with continued analysis of the effectiveness of using these indices are still rarely conducted. Using data from 26 plots located at an altitude range of 1.013-3.010 m, a comparison of the effectiveness of the use of the Shannon-Wiener, Simpson's, and rarefied richness index was carried out on woody plants (dbh ≥5 cm). It was grouped into three zones, namely the submontane zone, montane and subalpine. The results showed that rarefied richness index has a good performance and more sensitive than that of Shannon-Wiener and Simpson’s indices. Therefore, we recommend using a rarefied richness index for further research on tree diversity analysis. Converting previous Shannon-Wiener, Simpson’s, or combination of both indices into rarefied richness is widely open. However, linear models show that the equations only capture 61-87% of the total variation of the indices, depend on the independent variable used in the model. Keywords: Montane forest, biodiversity, species richness, tree, national park UDC/ODC 630*187:46(594.17) Fawzi, Nurul I., Novianto, Agus, Supianto, Agus, and Febriani, Nur (Alam Sehat Lestari Foundation) Logged Tree Species from Illegal Logging Activity in Gunung Palung National Park J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 49-64 Information about tree species that are targeted for illegal logging in the Gunung Palung National Park (GPNP) area is limited. Knowing the tree species that are targeted in illegal logging activity is expected to assist in the efforts of biodiversity conservation particularly protection of endangered tree species. This research was conducted to: (1) identify the tree species that are targeted to be logged in GPNP; (2) calculate logging frequency, and (3) find out the number of active loggers in the area of GPNP. This program was collaboration project between the Alam Sehat Lestari (ASRI) Foundation, Health in Harmony and Gunung Palung National Park Office. The method used was interview with 43 loggers who had joined the chainsaw buyback program and restart their new livelihood as entrepreneur. In addition, a field survey was conducted to find how the program could decrease the number of active loggers within the GPNP area. The results of the study identified 15 families out of 26 tree species that are often logged in the GPNP area. Bengkirai, meranti (red meranti and white meranti groups) and ironwood were among the most logged trees. In normal circumstances, ± 5.7 – 9.88 trees were logged weekly with a logging frequency of ± 1.91 - 1.41 (~2) times per week. The logging frequency tended to increase during the dry season. The field survey results showed that there were 61 active loggers on average per year in GPNP. Those loggers have caused GPNP to lose approximately 18,300 trees with diameter > 40 cm per year. Information regarding logged tree species and logging frequency can be valuable for management and conservation efforts in Gunung Palung National Park. Keywords: Deforestation, illegal logging target’s tree, Gunung Palung National Park, dipterocarpaceae, conservation JOURNAL OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam)

ISSN 0216-0439 Vol. 11 No. 1, June 2020 E-ISSN 2540-9689

Keywords are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

UDC/ODC 630*524:635 Nanjaya, Erwin K. (Student of SPs IPB University/ Ministry of Environment and Forestry), Rusolono, T., and Tiryana, Tatang (Department of Forest Management, Faculty of Forestry, IPB University) Determination of Optimal Sample Plot Size for Estimating Stand Basal Area and Biomass J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 65-77 Basal area and biomass of forest stand can be calculated from forest inventory data, which are obtained from stand measurements using sample plots with a specific size and number. The accuracy level of data and information gained from a forest inventory would depend on the size and number of sample plots. To date, there are still few studies that investigate the size and number of sample plots for forest inventory, especially in the natural tropical forests of Indonesia. This study aimed to determine the optimal size and number of sample plots for estimating stand basal area and biomass in a forest inventory at four types of natural forest ecosystems (Primary Dryland Forest/PDF, Secondary Dryland Forest/SDF, Primary Peatswamp Forest/PPF, and Secondary Peatswamp Forest/SPF). The data used in this study were Permanent Sample Plots (PSP) data contained in the cluster-plots of the National Forest Inventory (NFI) data of Indonesia. The data analyses were conducted to obtain coefficients of variation (CV) of stand basal area and biomass by simulating various sizes of sample plots. The CV declined with increasing the plot sizes, following negative exponential trends. The optimal plot size for PDF, SDF, and SPF was 0.40 ha, while for PPF was 0.25 ha. The optimal number of sample plots varied according to forest ecosystem type and desired level of sampling error. This study confirmed that the size and number of sample plots must be adapted to each forest ecosystem to facilitate an efficient forest inventory. Keywords: Forest inventory, forest ecosystem, sample plot size, number of plots, coefficient of variation UDC/ODC 630*19(594.53) Chotimah, Tasya, Wasis, Basuki (Department of Tropical Silviculture, Postgraduate School, IPB University), and Rachmat, Henti H. (Forest Research and Development Center) Population of Macrofauna, Mesofauna, and Ectomycorrhizae’s Fruit Body at Shorea leprosula stand in Gunung Dahu Forest Research, Bogor J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 79-98 Shorea leprosula Miq. is a highly economic dipterocarp tree species planted in the Gunung Dahu Forest Research (GDFR) at various planting distances. GDFR was established in 1997 – 2000 as an effort to restore landscape while conserving dipterocarp genetic resources. The purpose of this study was to quantify the population of soil macrofauna and mesofauna and to determine the fruit body of ectomycorrhiza species at those S. leprosula plots at a various spacing distance and unplanted plots. The sample collection of macrofauna and mesofauna species was carried out in the litter using a hand sorting method while on the soil using a berlese funnel. The identification was carried out at the Forest Entomology Laboratory, IPB University. Ectomychorriza observation was conducted by the census in each observation circle plot with a radius of 17.8 m by observing the presence of a fruiting body on the forest floor. This study identified 13 macrofauna and mesofauna species dominated by worms and ants; 10 species of ectomycorrhiza fruit body with the most commonly found species were Russula genera. Keywords: Ectomychorrhiza, macrofauna, mesofauna, Shorea leprosula plantation JOURNAL OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam)

ISSN 0216-0439 Vol. 11 No. 1, June 2020 E-ISSN 2540-9689

Keywords are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

UDC/ODC 630*88 Abdulah, Lutfy (Forest Research and Development Center), Suhendang, Endang, Purnomo, Herry, and Matangaran, Juang R. (Forest Management Science Study Program, Graduate School, IPB University) The Estimation of Wood Consumption to Support Sustainable Forest Management J. Pen. Htn & KA Vol. 17 No. 1, Juni 2020 p: 99-112 Estimation of wood consumption is important to measure the level of wood products utilization for domestic use. One way to get this information is to approach a systematic review of previous research, to find out the methods that have evolved in estimating the level of consumption and its impact on sustainable forest management. The research materials used were reports, proceedings and scientific journals related to the method of estimating the use of wood products. The research results showed that there were 253 studies related to the keywords method of measuring the level of consumption of wood products by households which was published in the form of 20 reports, 2 theses and 231 journals. However, there were only 46 articles and reports published in global indexed journals. Based on the literature research results, a simulation of the use of wood products was carried out at the national, industrial and household levels. The simulation results showed that the estimated consumption of wood based on scale varies greatly. Nevertheless, it is recommended to use an estimator model on a household scale because it could be verified easily. Keywords: Wood consumption, household, systematic review method

(2020), 17(1): 1-19 pISSN: 0216 – 0439 eISSN: 2540 – 9689 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHKA Akreditasi Kemenristekdikti Nomor 21/E/KPT/2018

ANALISIS KETERPAPARAN, SENSITIVITAS DAN KAPASITAS ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP KEKERINGAN DI DUSUN PAMOR, KRADENAN, GROBOGAN (Analysis of Exposure, Sensitivity and Community Adaptation Capacity to Drought in Pamor Hamlet, Kradenan, Grobogan)

Baharinawati W. Hastanti* dan/and Purwanto Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Jl Ahmad Yani Pabelan Kotak Pos 295 Surakarta 57102, Jawa Tengah, Indonesia

Info artikel: ABSTRACT Keywords: Hydrometeorological disasters in Central Java are the highest compared to other provinces Drought, in Indonesia. One of them is the hydrometeorological disaster that often occurs every year exposure, in Grobogan Regency. These drought conditions require an increase in community sensitivity, adaptation capacity to minimize the level of socio-economic vulnerability. This study aimed adaptation capacity to determine the level of social vulnerability based on exposure conditions, drought sensitivity and adaptive capacity in Pamor Hamlet, Keradenan, Grobogan, Central Java. Data was obtained by conducting direct observation, in-depth interviews, and other secondary data collection. Data were analyzed qualitatively by supporting quantification of data to determine the level of exposure, sensitivity and adaptive capacity of the community. The results indicated that the socio-economic vulnerability of the Pamor Hamlet community in dealing with drought was classified as high based on the assessment of indicators of level of exposure, sensitivity and adaptive capacity. The value of each indicator is 2.49 (high) for exposure levels, 2.76 (high) for sensitivity indicators and 1.21 (low) for indicators of adaptation capacity. One of the economic and social drought mitigation strategies is through increasing community adaptation capacity, namely increasing education and infrastructure development, so that it will improve the community welfare. Kata kunci: ABSTRAK Bencana kekeringan, keterpaparan, Bencana hidrometeorologi di Jawa Tengah paling tinggi dibandingkan provinsi lainnya di sensitivitas, Indonesia. Salah satunya adalah bencana hidrometeorologi kekeringan yang sering terjadi kapasitas adaptasi setiap tahun di Kabupaten Grobogan. Kondisi kekeringan ini memerlukan peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat untuk meminimalkan tingkat kerentanan sosial ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan sosial masyarakat berdasarkan kondisi keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi kekeringan terjadi di Dusun Pamor, Keradenan, Grobogan, Jawa Tengah. Data diperoleh dengan melakukan observasi langsung, wawancara mendalam, dan pengumpulan data sekunder lainnya. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan dukungan kuantifikasi data untuk menentukan tingkat keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerentanan sosial ekonomi masyarakat Dusun Pamor dalam Riwayat artikel: menghadapi kekeringan tergolong tinggi berdasarkan penilaian indikator-indikator tingkat Tanggal diterima: keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi. Adapun nilai masing-masing indikator 19 Oktober 2018; tersebut adalah 2,49 (tinggi) untuk tingkat keterpaparan, 2,76 (tinggi) untuk indikator Tanggal direvisi: sensitivitas dan 1, 21 (rendah) untuk indikator kapasitas adaptasi. Salah satu strategi 30 Desember 2019; mitigasi kekeringan yang dilakukan secara ekonomi dan sosial adalah melalui peningkatan Tanggal disetujui: kapasitas adaptasi masyarakat yaitu peningkatan pendidikan dan pembangunan 6 Pebruari 2020 infrastruktur, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Editor: Asep Hidayat, S.Hut., M.Agr., Ph.D Korespondensi penulis: Baharinawati W. Hastanti * (E-mail: [email protected]) Kontribusi penulis: BWH: menyusun dan melaksanakan penelitian, menyusun dan menulis karya tulis; P: melaksanakan penelitian, memperbaiki dan menyempurnakan karya tulis. https://doi.org/10.20886/jphka.2020.17.1.1-19 ©JPHKA - 2018 is Open access under CC BY-NC-SA license

1 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 1-19

I. PENDAHULUAN suatu kondisi dan wilayah yang terkena Kekeringan adalah hubungan antara dampak negatif akibat terjadinya bencana ketersediaan air yang berada di bawah atau kerusakan (Setiyaningsih, 2016). kebutuhannya baik untuk hidup, per- Sensitivitas adalah tingkat kepekaan suatu tanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan sistem, dipengaruhi oleh suatu tekanan (Indriantoro, 2013). Kekeringan juga atau gangguan baik secara positif atau merupakan kejadian bencana alam yang negatif, kondisi lingkungan dan sosial diakibatkan oleh defisit curah hujan dalam ekonomi yang melekat pada sistem periode waktu tertentu yang menyebabkan manusia dan lingkungan sebelum tidak cukupnya ketersediaan air untuk gangguan terjadi (Liu, Wang, Peng, kegiatan manusia dan lingkungan. Braimoh, & He, 2013). Kapasitas adaptasi Sepanjang sejarah kehidupan manusia, adalah kemampuan untuk menghadapi kekeringan merupakan masalah yang keterpaparan dan menyesuaikan peruba- sangat berpengaruh terhadap ketahanan han iklim dengan mengurangi potensi pangan dan kesejahteraan masyarakat di kerusakan dengan memanfaatkan sumber berbagai belahan dunia (Surmaini, 2016). daya sosial dan ekonomi, teknologi, akses Kekeringan menjadi suatu bencana informasi terkait dengan perubahan iklim alam ketika pasokan air membebani dan kemampuan institusi dalam ber- keluarga dan masyarakat serta ketika adaptasi (Purifyningtyas & Wijaya, 2016). kapasitas kelembagaan pemerintah tidak Kemampuan adaptasi dan kemiskinan efektif dalam menghadapi kekeringan masyarakat berkaitan erat dengan (Xiao-Jun et al., 2012). Bencana ini akan kerentanan masyarakat (Sakuntaladewi & menimbulkan permasalahan sosial, Sylviani, 2014). ekonomi dan lingkungan. Peningkatan Penelitian kerentanan pada dimensi intensitas dan frekuensi kekeringan juga sosial bermanfaat untuk menentukan disebabkan oleh perubahan iklim (Xiao- instrumen efektif untuk perbaikan dengan Jun et al., 2012; Logar & Bergh, 2013). strategi bertahan dan memfasilitasi Bencana hidrometeorologi di Jawa adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat Tengah paling tinggi dibanding provinsi (Wahyono, 2016 ; Intergovernmental lainnya di Indonesia. Salah satu bencana Panel on Climate Change (IPCC), 2001a). yang terjadi tiap tahun yakni kekeringan Walaupun infrastruktur sosial ekonomi di di Kabupaten Grobogan (Septima, 2013). Indonesia sudah relatif baik, namun belum Kekeringan merupakan fenomena yang merata di beberapa tempat sehingga merayap pelan (creeping phenomenon) mengakibatkan tingginya tingkat kerenta- (Mazhar, Nawaz, & Mirza, 2015; Wang, nan sosial ekonomi masyarakat (Tulak, Yuan, Xie, Wu, & Li, 2016), sulit diduga Dharmawan, & Juanda, 2009). Apalagi karena adanya perbedaan variabel kerentanan sosial ekonomi yang terjadi di hidrometeorologi dan faktor ekonomi desa-desa yang masih digolongkan disertai permintaan air yang secara alami sebagai daerah yang rentan terhadap random (stochastic nature) (Purwanto & variabilitas ekstrim (Surmaini, Supangat, 2017). Kondisi ini memerlukan Runtunuwu, & Las, 2011). Selama ini peningkatan kapasitas adaptasi masya- belum diketahui faktor-faktor yang me- rakat untuk meminimalkan tingkat ke- nentukan tingkat kerentanan masyarakat rentanan sosial ekonomi dalam meng- terhadap kekeringan di pedesaan. Kajian- hadapi kekeringan yang terjadi setiap kajian kerentanan masyarakat yang tahun. berfokus tentang perubahan iklim belum Keterpaparan merupakan keadaan banyak dilakukan (Muttarak & Lutz, masyarakat, mata pencarian, ekosistem, 2014; Khudori, 2011; Liu et al., 2013; jasa, fungsi lingkungan, sosial, ekonomi, Sakuntaladewi & Sylviani, 2014). Oleh budaya, sumber daya, infrastruktur pada karena itu tingkat kerentanan sosial

2 Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan (Hastanti, B. W. dan Purwanto)

ekonomi masyarakat sangat penting untuk untuk melakukan adaptasi kekeringan dipetakan dalam mendukung upaya pem- baik secara sosial ekonomi dan budaya. bangunan adaptif di pedesaan. Tingkat kerentanan yang memang sudah banyak II. BAHAN DAN METODE dilakukan oleh berbagai penelitian A. Waktu dan Lokasi Penelitian (Lindner et al., 2010; Pacifici et al., 2015). Penelitian dilakukan di Dusun Sasaran umum adaptasi adalah Pamor, Desa Banjardowo, Kecamatan meminimalkan kerentanan, mengembang- Kradenan, Kabupaten Grobogan (Gambar kan resiliensi, dan mengembangkan diri 1), pada bulan April - Oktober 2017. jika situasi dan kondisinya memungkin- Lokasi tersebut dipilih karena merupakan kan (Sumaryanto, 2012). Penelitian ini dusun yang mengalami kekeringan setiap bertujuan untuk mengevaluasi kerentanan tahun sehingga sangat relevan untuk sosial ekonomi masyarakat dengan meng- penelitian kerentanan sosial dalam identifikasi beberapa indikator-indikator mengkaji keterpaparan, sensitivitas dan kerentanan masyarakat, meliputi: keter- kapasitas adaptasi masyarakat dalam paparan, sensitivitas dan kapasitas menghadapi kekeringan (Purwanto & adaptasi. Hasil penelitian ini diharapkan Supangat, 2017). dapat dijadikan sebagai pendukung arah dan pijakan bagi pengambil kebijakan

Gambar (Figure) 1. Peta Lokasi Penelitian (Map of Research Site) Keterangan (Remarks): Desa lokasi riset ditunjukkan dengan tanda panah (The village of research location is indicated by the arrow). Sumber (Source): Bappeda Grobogan (Agency for regional development of Grobogan), 2011

Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 1-19

B. Metode Penelitian terstruktur dan mendalam (in-depth Upaya mengukur kerentanan sosial interview) terhadap informan kunci (key (social vulnerability) merujuk pada informan) yang terdiri dari perangkat desa konsep kerentanan yang merupakan (5 orang), penyuluh (3 orang), tokoh fungsi dari keterpaparan (exposure), masyarakat (5 orang) dan tokoh agama (2 sensitivitas suatu sistem untuk berubah, orang) dan warga (7 orang). Pemilihan key dan kapasitas adaptif yang dimiliki informan dilakukan secara purposif (Intergovernmental Panel on Climate dengan pertimbangan memahami kondisi Change (IPCC), 2001b). Keterpaparan masyarakat dan terlibat langsung dengan adalah penerimaan terhadap terpaan suatu masyarakat dalam jangka waktu yang bahaya atau terdapatnya kondisi tekanan lama (lebih dari 5 tahun). Sementara data (stress) di tingkat kelompok atau sekunder dikumpulkan dari dokumentasi berupa laporan, buku statistik dan karya perorangan akibat terpaan suatu bencana. Tingkat kerentanan masyarakat tersebut tulis ilmiah. sangat dipengaruhi oleh faktor akses Data dianalisis dengan perpaduan terhadap sumber daya alam dan diversitas antara deskriptif kualitatif dengan sumber pendapatan. Kerentanan dapat dukungan kuantifikasi data dengan cara: berubah baik dalam jangka pendek 1) mengidentifikasi indikator-indikator maupun jangka panjang, tergantung yang menentukan keterpaparan, sensi- perubahan adaptasi, karakter ancaman, tivitas dan kapasitas adaptasi masyarakat keterpaparan terhadap ancaman (exposure terhadap kekeringan, 2) menentukan to the threats), sensitivitas, dan kapasitas ranking bobot relatif berdasarkan ke- untuk merespon atau usaha pemulihan kuatan pengaruh dari yang paling yang memberikan hasil lebih cepat signifikan sampai yang paling lemah, 3) menilai tingkat keterpaparan, sensitivitas (Wahyono, 2016; Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2001a) dan kapasitas adaptasi masyarakat dalam Penelitian dilakukan dengan menghadapi kekeringan, 4) menganalisis mengumpulkan data primer yang diambil indikator-indikator yang menentukan dengan cara pengamatan langsung keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas (observasi) dan wawancara (in-depth adaptasi masyarakat, dan 5) menilai interview). Observasi dilakukan dengan tingkat kerentanan masyarakat terhadap melakukan pengamatan kondisi sosial kekeringan. Adapun indikator-indikator ekonomi masyarakat yang bisa diamati yang digunakan dalam perhitungan seperti kondisi rumah, lingkungan dan keterpaparan, sensitivitas dan tingkat infrastruktur sekitar yang terkait dengan adaptasi masyarakat disajikan pada Tabel kerentanan. Wawancara dilakukan secara 1. . Tabel (Table) 1. Indikator penentu kapasitas adaptasi (Determinant indicators of adaptation capacity) No. Indikator penilaian Keterangan Sumber Data (Assessment indicators) (Remark) (Data sources) Keterpaparan (exposure) 1. Kepadatan Penduduk 1: < 250 jiwa/km2 (Biro Pusat Statistik (Population density) 2: 250 - 499 jiwa/km2 Kabupaten Grobogan, 3: 500 jiwa/km2< 2018) (statistics), monografi desa (village monograph), Kradenan dalam Angka 2018 (Kradenan in number 2018)

4 Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan (Hastanti, B. W. dan Purwanto)

No. Indikator penilaian Keterangan Sumber Data (Assessment indicators) (Remark) (Data sources) 2. Mata pencaharian penduduk di sektor 1: < 50% BPS (statistics), pertanian 2: =50% monografi desa (village (Livelihoods of the population in the 3: 50% < monograph), Kradenan agricultural sector) dalam Angka 2018 (Kradenan in number 2018) 3. Luas lahan pertanian 1: < 0,3 ha Kuesioner (Area of agricultural land) 2: = 0,3 - 1 ha (questionnaire), 3: 1 ha < wawancara (interview) 4. Keberadaan irigasi di lahan pertanian 1: Saluran irigasi, cekdam, Kuesioner (The existence of irrigation on waduk (irrigation channels, (questionnaire), agricultural land) dam, reservoirs) wawancara (interview) 2: Sumur 5 (Well) 3: tadah hujan (rainfed) 5. Keberadaan sumur rumah tangga 1: milik pribadi (private Kuesioner (The existence of household wells) property) (questionnaire), 2: bersama (public/shared) wawancara (interview) 3: tidak ada (none) pengamatan (observation) 6. Kepemilikan ternak 1: tidak ada (none) Kuesioner (Livestock ownership) 2: 1 - 3 (questionnaire), 3: 3 < wawancara (interview) 7. Skala budi daya pertanian 1. skala rumah tangga Kuesioner (Scale of agricultural cultivation) (household scale) (questionnaire), 2. lokal (local) wawancara (interview) 3. nasional (national) Sensitivitas (sensivity) 1. Usia Penduduk 1: < 50% usia produktif BPS (statistics), (Age of population) (productive age) monografi desa (village 2:50% usia produktif monograph), Kradenan (productive age) dalam Angka 2018 3: 50% < usia produktif (Kradenan in number (productive age) 2018) 2. Mata pencaharian 1: < 50% petani (farmer) BPS (statistics), (livelihood) 2: 50% petani (farmer) monografi desa (village 3: 50% < petani (farmer) monograph), Kradenan dalam Angka 2018 (Kradenan in number 2018) 3. Sumber penggunaan air 1: sumur, bak penampung Kuesioner (Water use source) (Well, tank/storage reservoirs) (questionnaire), 2: sumur (Well) wawancara (interview) 3: sungai (river) 4. Tingkat kemiskinan penduduk 1: < 50% miskin (poor) Kuesioner (Population poverty rate) 2: 50% miskin (poor) (questionnaire), 3: 50%< miskin (poor) wawancara (interview) pengamatan (observation) 5. Tingkat pendapatan 1: 3 juta (mi IDR) < per bulan Kuesioner (Income rate) (month) (questionnaire), 2: 1 juta – 3 juta (mi IDR) per wawancara (interview) bulan (month) 3: > 1 juta (mi IDR) per bulan (month) 6. Proporsi banyaknya buruh tani 1: < 50% BPS (statistics), (Proportion of number of farm 2: Berkisar (approximately) monografi (monograph) laborers) 50% dan wawancara (and 3: 50% < interview)

5 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 1-19

No. Indikator penilaian Keterangan Sumber Data (Assessment indicators) (Remark) (Data sources) 7. Tingkat pendidikan 1:Sarjana (Bachelor), BPS (statistics), (Level of education) Pascasarjana (Postgraduate) monografi (monograph), 2:SLTA (High School) kuesioner (questionnaire) 3:SD (Primary School), SMP (Junior High School) Kapasitas adaptasi (adaptation capacity) 1. Tingkat pendidikan 1: SD (Primary School), SMP BPS (statistics), (Level of education) (Junior High School) monografi (monograph), 2: SLTA (High School) kuesioner (questionnaire) 3. Sarjana (Bachelor), Pascasarjana (Postgraduate) 2. Jaringan sosial/modal sosial 1: Tidak ada (none) Wawancara (interview), (Social networking/social capital) 2:Tidak kuat (not strong) pengamatan 3: Kuat (strong) (observation) 3. Tingkat adopsi teknologi 1: Lemah (weak) Wawancara (interview), (Level of technology adoption) 2: Sedang (average) pengamatan 3: Kuat (strong) (observation) 4. Tingkat pendapatan per bulan 1: < 1 juta (mi IDR) (Income rate per month) 2: 1 – 5 juta (mi IDR) 3: 5 juta (mi IDR) < 5. Adanya kearifan lokal 1: Tidak ada (none) Wawancara (interview), (Existance of local wisdom) 2: Ada, tapi tidak dilaksanakan pengamatan (exist but not practiced) (observation) 3:Ada, dilaksanakan (exist and practiced) 6. Kesiagaan kekeringan/keuangan, 1: Tabungan uang (money Wawancara (interview) sarana, pangan saving) < 1 juta (mi IDR), (Drought preparednes/financial, tidak ada penampungan air facilities and food) (no tank/reservoirs), tidak ada cadangan pangan (no food reserves) 2: Tabungan 1 – 5 juta (saving 1-5 mi IDR), punya salah satu bak atau profil untuk penampungan air (1 tank/reservoir), ada cadangan pangan saja (food reserves) 3: Tabungan >5 juta (saving > 5 mi IDR), punya bak dan profil tank, ada (tank and reservoirs available), cadangan pangan dan palawija (food, herbs and spices reserves) 7. Infrastruktur /saluran irigasi, cek dam 1: Tidak ada (none) Pengamatan (Infrastructure/(irrigation, check 2: saluran irigasi (irrigation (observation), wawancara dam)) channel) (interview) 3: cek dam dan saluran irigasi (dam and irrigation channel) 8. Layanan air Pamsimas atau PDAM 1: Tidak ada (none) Pengamatan (Pamsimas or PDAM water services) 2: Pamsimas (observation), wawancara 3: Pamsimas, PDAM (interview) 9. Infrastruktur dan sarana transportasi 1: Jalan desa (macadam), motor Pengamatan (observation (Infrastructure and means of tua dan illegal (illegal old transportation) motorbike)

6 Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan (Hastanti, B. W. dan Purwanto)

No. Indikator penilaian Keterangan Sumber Data (Assessment indicators) (Remark) (Data sources) 2: Jalan Kabupaten (district road), punya sepeda motor yang legal (legal motorbike) 3: Jalan provinsi (province road), mobil pribadi (private car) 10. Alat komunikasi dan informasi 1: tidak ada telpon, radio atau Pengamatan (Communication and information TV (no phone, radio and TV) (observation), wawancara tools) 2: telpon rumah atau telpon (interview) seluler, tidak ada tv (landline, mobile, no TV) 3: telpon rumah atau telpon seluler, radio, tv, internet (landline, radio, TV, internet) 11. Akses listrik rumah tangga 1: 450 kwh Pengamatan (Access to household electricity) 2: 800 kwh (observation), wawancara 3: 1300 kwh (interview) 12. Fasilitas kesehatan 1: Posyandu, pustu Pengamatan (Health facility) 2: Puskesmas (public health (observation), wawancara center) (interview), data sekunder 3: Rumah Sakit (hospital) Kradenan dalam Angka 2018 (secondary data Kradenan in number 2017) 13. Ketersediaan toilet keluarga 1: Tidak ada (none) Pengamatan (Availability of family toilets) 2: Bersama/umum (shared/ (observation), wawancara public) (interview) 3: Pribadi/keluarga (private/ family) Sumber (Source): Adaptasi dari berbagai sumber (Adaptation from various sources) (Wu, Xin, Wang, Peng, & Tu, 2017; Setiyaningsih, 2016; Donnie & Falah, 2017)

Penilaian tingkat keterpaparan, sen- III. HASIL DAN PEMBAHASAN sivitas, dan kapasitas adaptasi dilakukan A. Tingkat Keterpaparan Sosial dengan mengalikan skor pada tiap indi- Ekonomi kator dengan bobot relatifnya. Bobot Tingkat keterpaparan sosial relatif disusun secara ranking dengan ekonomi di lokasi penelitian dapat mengurutkan dari indikator-indikator menggambarkan seberapa besar tingkat yang paling tinggi hingga indikator- kerentanan lokasi terebut terhadap indikator yang paling rendah. Hasil perubahan iklim. Keterpaparan pada penilaian kemudian dijumlahkan untuk sektor pertanian dapat meningkatkan setiap indikator. Total nilai pada setiap kerentanan masyarakat, sementara kondisi kriteria menjadi dasar penentuan tingkat iklim, kepadatan penduduk, dan skala keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas budi daya tanaman merupakan komponen adaptasi terhadap kekeringan, dengan sumber keterpaparan (Wu, et al., 2017). katagori sebagai berikut: Perhitungan indikator keterpaparan sosial Tingkat tinggi : rentang nilai > 2 ekonomi masyarakat terhadap kekeringan Tingkat sedang : rentang nilai 1,50 – 1,99 disajikan pada Tabel 2. Tingkat rendah : rentang nilai 1 – 1,49

7 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 1-19

Tabel (Table) 2. Perhitungan indikator-indikator penentu keterpaparan sosial ekonomi terhadap kekeringan (Calculation of indicators determining socio- economic exposure to drought) No Indikator penentu Bobot relatif Skor Jumlah (Determinant indicators) (Relative weights) (Score) (Total) 1. Kepadatan Penduduk 0,22 3 0,66 (Population density) 2. Mata pencaharian penduduk di sektor pertanian 0,17 3 0,51 (Livelihoods of the population in the agricultural sector) 3. Luas lahan pertanian (Area of agricultural land) 0,15 1 0,15 4. Keberadaan irigasi di lahan pertanian 0,13 3 0,39 (The existence of irrigation on agricultural land) 5. Keberadaan sumur rumah tangga 0,12 3 0,36 (The existence of household wells) 6. Kepemilikan ternak 0,11 2 0,22 (Livestock ownership) 7. Skala budi daya pertanian 0,10 2 0,20 (Scale of agricultural cultivation) Total 2,49

Berdasarkan perhitungan nilai skor dari 204 ha sawah di Desa Banjardowo). indikator penentu keterpaparan (Tabel 2), Kekeringan yang panjang akan meng- maka keterpaparan sosial ekonomi di akibatkan banyaknya tanaman yang mati Dusun Pamor dikatagorikan tinggi dan gagal panen, sehingga potensi (rentang nilai > 2). Total penilaian indi- keterpaparan masyarakat terhadap keke- kator penentu keterpaparan sosial eko- ringan menjadi tinggi (Prabowo, 2016). nomi masyarakat di Dusun Pamor adalah Tingginya pertumbuhan penduduk me- 2,49. nyebabkan masyarakat cenderung meng- Kepadatan penduduk di Dusun alihfungsikan lahan garapannya menjadi Pamor yang terletak di Kecamatan pemukiman, sehingga luas lahan garapan Kradenan adalah 755 jiwa/km2. Nilai-nilai masyarakat menjadi tidak lebih dari 0,3 ha budaya Jawa seperti mangan ora mangan per rumah tangga. Kecilnya luas lahan waton kumpul (makan tidak makan asal garapan ini menyebabkan kerugian yang berkumpul), dan sugih tanpa banda (kaya diakibatkan kekeringan menjadi rendah tanpa harta) telah menyebabkan adanya (Tommi, Barus, & Dharmawan, 2016). keengganan masyarakat untuk merantau Sistem pengairan di Dusun Pamor keluar daerah. Nilai budaya ini menjadi adalah tadah hujan dan irigasi. Sistem salah satu penyebab mengapa kepadatan irigasi menjadi sangat tidak berfungsi penduduk di Kradenan tergolong tinggi ketika menyebabkan tingginya resiko meskipun daerah ini secara ekonomi tidak gagal panen. Jika keberadaan sistem menarik karena kekeringan sering irigasi berjalan optimum pada musim melanda setiap tahun. Kondisi dimana kemarau maka akan meminimalkan kepadatan penduduk yang tinggi akan kerugian gagal panen akibat rusaknya menyebabkan potensi keterpaparan akibat tanaman karena kekeringan (Indrajati, bencana kekeringan menjadi tinggi 2008; Khudori, 2011). (Hastuti, 2016). Sebagian besar masyarakat tidak Penduduk Dusun Pamor sebagian memiliki sumur pribadi, beberapa warga besar bermata pencaharian sebagai petani menggunakan sumur bersama dan sisanya (96,6% dari total responden). Lahan mengambil air dari sungai atau sumur pertanian terdiri dari lahan kering dan umum. Pada musim kemarau hanya sawah, berupa sawah tadah hujan (107 ha beberapa keluarga yang bertahan dengan

8 Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan (Hastanti, B. W. dan Purwanto)

sumur pribadinya, sebagian harus mem- B. Tingkat Sensitivitas Masyarakat beli air karena mulai kurang nyaman atau terhadap Kekeringan malu mengambil air di sumur tetangga, Berdasarkan total skor perhitungan sedangkan air di sungai dan sumur umum indikator sensitivitas sosial terhadap juga sudah mulai kering. kekeringan, sensitivitas sosial masyarakat Hewan ternak, seperti sapi dan di Dusun Pamor tinggi, nilainya 2,76 atau kambing, akan sangat terpengaruh pada di atas rentang nilai > 2. Indikator yang saat musim kemarau yang berkepanjangan menentukan tingkat sensitivitas masya- (Arifin & Riszqina, 2016). Pengaruhnya rakat antara lain adalah jumlah penduduk sangat terlihat pada masyarakat yang kelompok usia rentan (anak-anak dan memelihara sapi. Semakin banyak ternak manula), jumlah buruh tani, dan penduduk yang dimiliki, semakin tinggi kebutuhan berpendidikan rendah. Penduduk dengan air maupun pakan ternaknya. Sebagian kelompok usia rentan terkait dengan besar masyarakat di Pamor memiliki sapi korban langsung (fatalities) bencana antara 1 – 3 ekor, sehingga keterpaparan kekeringan, sedangkan banyaknya buruh terhadap kekeringan dikategorikan sedang tani dengan pendidikan rendah dapat jika dibandingkan dengan yang meme- menimbulkan masalah sosial lainnya, lihara sapi lebih dari 3 ekor. seperti bertambahnya kemiskinan dan Masyarakat sebagian besar mena- urbanisasi ke kota-kota besar ketika nam padi dan palawija untuk pemenuhan terjadi bencana kekeringan, karena lahan- kebutuhan hidupnya secara ekonomi. lahan pertanian tidak lagi berproduksi Resiko keterpaparan terhadap potensi (Sunarti, Sumarno, Murdiyanto, & kekeringan dalam hal skala budi daya Hadianto, 2010). Sedangkan menurut pertanian masyarakat di Dusun Pamor Setiyaningsih (2016), indikator sensiti- tergolong sedang, karena skala budi daya vitas yaitu penduduk usia non-produktif, pertanian yang diusahakan masih dalam pekerja pertanian, sumber penggunaan air skala rumah tangga. keluarga, tingkat kemiskinan. Perhitungan indikator penentu sensitivitas masyarakat terhadap kekeringan di Dusun Pamor dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel (Table) 3. Perhitungan indikator-indikator penentu sensitivitas sosial terhadap kekeringan (Calculation of indicators determining social sensitivity to drought) No. Indikator penentu (determinant indicators) Bobot relatif Skor Jumlah (Relative weights) (Score) (Total) 1. Usia Penduduk 0,20 3 0,60 (Age of population) 2. Mata pencaharian 0,17 3 0,51 (Livelihood) 3. Sumber penggunaan air 0,16 3 0,48 (Source of water use) 4. Tingkat kemiskinan penduduk 0,14 3 0,42 (Population poverty rate) 5. Tingkat pendapatan 0,13 2 0,26 (Income level) 6. Proporsi banyaknya buruh tani 0,11 2 0,22 (The proportion of the number of farm laborers) 7. Tingkat pendidikan 0,09 3 0,27 (Level of education) Total 2,76

9 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 1-19

Jumlah penduduk produktif di Desa pertanian. Masyarakat harus mengeluar- Banjardowo 4.926 jiwa sedangkan pen- kan biaya tambahan untuk memperoleh air duduk yang tidak produktif (anak-anak bersih untuk kebutuhan sehari-hari. usia sekolah dan lanjut usia) adalah 2.117 Tingkat pendapatan masyarakat di jiwa. Berdasarkan jumlah tersebut maka Dusun Pamor sedang yaitu antara 1 – 5 angka rasio ketergantungannya (depen- juta rupiah per bulan. Sensitivitas masya- dency ratio) 42,98%. Angka ini tergolong rakat terhadap kekeringan tergolong tinggi, artinya setiap 100 penduduk sedang. Semakin rendah tingkat penda- produktif akan menanggung 43 orang patan masyarakat, akan semakin sensitif penduduk yang tidak produktif. Sensi- terhadap kekeringan, karena adanya tivitas sosial masyarakat untuk indikator pengeluaran tambahan untuk membeli air ini tinggi karena keter-gantungannya yang atau berobat karena pada musim kemarau tinggi pada penduduk usia produktif yang masyarakat juga rentan terkena penyakit. sebagian besar bermata pencarian di Tingkat pendidikan masyarakat di sektor pertanian, sementara itu sektor Dusun Pamor tergolong rendah yaitu pertanian merupakan sektor yang sebagian besar warga hanya berpen- terdampak langsung pada kekeringan atau didikan SD dan SMP. Semakin rendah kemarau panjang. tingkat pendidikan maka akan semakin Penggunaan air di Dusun Pamor sensitif terhadap kekeringan karena sebagian besar adalah sungai atau mata air kecilnya peluang mendapatkan pekerjaan umum, hanya beberapa warga yang yang lebih baik daripada sektor pertanian memiliki sumur pribadi, dan sisanya di pedesaan. Akibatnya adalah semakin warga yang menggunakan sumur secara tingginya proporsi buruh tani di bersama. Umumnya kebutuhan air warga masyarakat. adalah untuk minum anggota keluarga (dipenuhi dari pembelian air dalam C. Kapasitas Adaptasi Masyarakat kemasan, menggunakan air sumur, dan terhadap Kekeringan dari mata air), kebutuhan air untuk mandi Pada umumnya, kapasitas adaptasi cuci kakus (MCK) dan kebutuhan air merupakan kemampuan sistem dalam untuk minum ternak. Ketergantungan menghadapi dampak buruk akibat gang- pada sungai dan mata air menyebabkan guan (Purifyningtyas & Wijaya, 2016). masyarakat lebih sensitif terhadap Kapasitas adaptasi tergantung pada proses kekeringan atau kemarau panjang. pembelajaran sebelumnya dengan keren- Sebagian warga Dusun Pamor tanan dengan mengembangkan strategi adalah buruh tani yang tidak memiliki menghadapi perubahan di masa yang akan lahan dan tidak mampu menyewa (meng- datang (Welsh, Endter-Wada, Downard, garap) lahan. Sensitivitasnya tinggi ter- & Kettenring 2013). Kapasitas adaptasi hadap kekeringan karena pada kemarau masyarakat ditentukan oleh beberapa yang panjang pekerjaan-pekerjaan perta- faktor yaitu sumber daya ekonomi, tekno- nian menjadi berkurang, sehingga menye- logi, informasi dan keterampilan, infra- babkan tingginya pengangguran. struktur, tersedianya lembaga yang kuat Tingkat kemiskinan penduduk di dan terorganisasi dengan baik, pemerataan Dusun Pamor tergolong sedang, namun akses menuju sumber daya. Hasil per- kemarau yang panjang akan berakibat hitungan faktor penentu kapasitas adaptasi pada menurunnya pendapatan masyarakat masyarakat di Dusun Pamor disajikan yang sebagian besar tergantung pada hasil pada Tabel 4.

10 Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan (Hastanti, B. W. dan Purwanto)

Tabel (Table) 4. Perhitungan indikator-indikator penentu kapasitas adaptasi masyarakat terhadap kekeringan (Calculation of indicators determining the capacity of community adaptation to drought) Indikator penentu Bobot relatif Skor Jumlah No (determinant indicator) (Relative weights) (Score) (Total) 1. Tingkat pendidikan 0,15 1 0,15 (Level of education) 2. Jaringan sosial/modal sosial 0,14 2 0,28 (Social networks/social capital) 3. Tingkat adopsi 0,12 1 0,12 (Level of adoption) 4. Tingkat pendapatan per bulan 0,10 2 0,20 (Level of income per mounth) 5. Adanya kearifan lokal 0,09 2 0,18 (The existence of local wisdom) 6. Kesiagaan kekeringan (keuangan, sarana, pangan) 0,08 1 0,08 (Drought preparedness (finance, facilities, food)) 7. Infrastruktur (saluran irigasi, cek dam) 0,05 1 0,05 (Infrastructure (irrigation, check dam)) 8. Layanan air Pamsimas atau PDAM 0,04 1 0,04 (Pamsimas or PDAM water services) 9. Infrastruktur dan sarana transportasi 0,03 1 0,03 (Infrastructure and transportation facility) 10. Alat komunikasi dan informasi 0,02 1 0,02 (Communication and information tools) 11. Akses listrik rumah tangga 0,01 1 0,01 (Access to household electricity) 12. Fasilitas kesehatan 0,01 2 0,02 (Health facility) 13. Ketersediaan toilet keluarga 0,01 3 0,03 (Availability of family toilets) Total 1,21

Kapasitas adaptasi masyarakat di dayagunakan pengetahuan, informasi, dan Dusun Pamor rendah yaitu 1,21 (berada keterampilan yang diperoleh dari pada rentang nilai 1 - 1,49). Hal ini karena penyuluhan, belajar secara mandiri, dari rendahnya tingkat pendidikan, jaringan petani lain, atau orang tuanya secara atau modal sosial, tingkat adopsi teknologi turun-temurun, dan dari sumber-sumber penerapan kearifan lokal, kesiagaan (ke- informasi lainnya (Sumaryanto, 2012) . uangan, sarana cadangan air, cadangan Modal sosial (social capital) meru- pangan), infrastruktur pengairan dan iriga- pakan kemampuan masyarakat untuk si, layanan Pamsimas atau perusahaan bekerjasama, demi untuk mencapai tujuan daerah air minum (PDAM), Infrastruktur bersama-sama di dalam berbagai kelom- dan sarana transportasi dan fasilitas listrik pok dan organisasi (Wardyaningrum, yang yang terbatas. 2016). Modal sosial di Dusun Pamor Tingkat pendidikan masyarakat di sedang. Modal sosial yang ada berdasar Dusun Pamor tergolong rendah berkisar jaringan kekerabatan, kesamaan mata antara SD dan SMP. Hal ini mendorong pencarian (kelompok tani) dan ikatan rendahnya pengetahuan dan pemahaman keagamaan (pengajian). Kapasitas adap- terhadap usaha tani. Kinerja usaha tani tasi dalam hal ini sedang, keberadaannya dipengaruhi oleh penguasaan sumber daya nampak namun tidak terlalu erat (kuat). dan kemampuan manajerial petani berupa Contohnya dalam hal pemakaian sumur kemampuan mengakumulasikan dan men- bersama, ketika sumur mulai kering

11 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 1-19

biasanya warga mulai tidak nyaman untuk (instinct) petani dalam penetapan pola ikut mengambil air di sumur tetangga dan tanam. Akibatnya petani sering ber- pemilik sumur juga tidak memaksa, hadapan dengan kendala kekurangan air, bahkan ada pemilik sumur yang menegur terutama pada saat kemarau panjang agar warga tidak lagi mengambil air di panjang (Salampessy, Lubis, Amien, & sumur miliknya, karena untuk digunakan Suhardjito, 2018). secara pribadi. Selain itu tidak ada Dalam hal kesiagaan menghadapi kebersamaan untuk mengusahakan kekeringan dengan mempersiapkan kebutuhan air secara bersama-sama ketika tabungan uang, cadangan air melalui musim kemarau panjang. bangunan penampung hujan atau profil Tingkat adopsi teknologi di Dusun tank, cadangan pangan, di masyarakat Pamor juga tergolong rendah. Beberapa Dusun Pamor rendah. Sebagian besar inovasi teknologi dalam mengatasi masyarakat mempunyai simpanan kurang kekeringan yang disarankan yaitu: bak dari 1 juta rupiah untuk membeli air serta penampung (tidak ada responden yang biaya-biaya usaha tani dan kebutuhan tertarik), sumur kedap dengan saringan rumah tangga. Mempersiapkan tabungan (29% responden tertarik), instalasi daur uang untuk kekeringan merupakan salah ulang (9,7% responden tertarik), sumur satu coping strategy yang biasa dilakukan resapan (58,1% responden berminat) dan oleh masyarakat. Coping strategy sendiri sumur dalam (3,2% responden tertarik). merupakan berbagai upaya yang dilaku- Namun pada tahun ketiga (2017), hanya kan manusia untuk bertahan terhadap ada satu kepala keluarga (KK) yang perubahan kondisi lingkungan yang membuat resapan dan 3 KK membuat terjadi akibat perubahan iklim (Setiawan, lubang di sekitar sumur untuk pengganti 2016). Berdasarkan pengamatan, hanya 1 sumur resapan (Purwanto, 2017). atau 2 rumah tangga yang memiliki bak Tingkat pendapatan masyarakat di penampungan maupun profil tank. Masya- Dusun Pamor sedang, yaitu berkisar rakat umumnya merasa tidak mampu antara Rp. 1- 5 juta per bulan. Masyarakat secara finansial untuk membangun bak Dusun Pamor, lebih memilih untuk penampungan maupun memasang profil membeli air pada musim kemarau yang tank untuk memperpanjang cadangan air, panjang dibanding dengan membuat karena mahal harganya. sumur, mem-buat bak penampungan atau Dusun Pamor maupun di Desa membuat sumur resapan. Padahal jika Banjardowo sendiri belum memiliki dihitung biaya pembelian air di setiap lumbung pangan masyarakat yang di- musim kemarau akan lebih mahal, jika di- inisiasi oleh pemerintah. Padahal cada- bandingkan dengan pembuatan sumur dan ngan pangan berguna untuk mengatasi bak penampungan yang bisa digunakan kerawanan pangan pada tanggap darurat untuk waktu yang lama. bencana (banjir, kekeringan, tanah longsor Keberadaan kearifan lokal pada dan lain-lain). Pengembangan lumbung kapasitas adaptasi masyarakat Dusun pangan Masyarakat telah dituangkan Pamor sedang. Adanya kearifan lokal dalam Undang-Undang (UU) No. 18 dalam menghadapi kekeringan tidak tahun 2012 tentang Pangan, namun diterapkan karena perubahan sosial dan lumbung pangan semakin hilang budaya masyarakat. Kearifan lokal terpinggirkan sejalan dengan dinamika budaya pertanian di Jawa dengan pembangunan antara lain keberadaan dan menggunakan pranata mangsa (meman- menguatnya peran Bulog dalam menjaga faatkan kalender musim di Jawa) sudah stabilisasi pangan nasional (Rachmat, mulai ditinggalkan. Usaha tani tanaman Budhi, Supriyati, & Sejati, 2011). pangan dewasa ini seringkali hanya Petani di Dusun Pamor adalah mengandalkan kebiasaan dan naluri petani lahan kering dan tergantung pada

12 Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan (Hastanti, B. W. dan Purwanto)

hujan. Pada umumnya petani lahan kering ringan, masyarakat mengandalkan alat sangat rendah kapasitas adaptasinya komunikasi sebagai penghubung antar terhadap kekeringan. Simpul-simpul kritis warga baik dalam memperkuat modal peningkatan kapasitas adaptasi petani di sosial maupun untuk meminimalkan Indonesia terletak pada beberapa aspek resiko dan kerentanan masyarakat. Akses berikut, salah satunya adalah infrastruktur informasi yang dimiliki oleh masyarakat irigasi. Dasar pertimbangannya: 1) di Dusun Pamor tergolong rendah, infrastruktur irigasi dapat meminimalkan sebagian besar warga tidak memiliki risiko gagal panen akibat kebanjiran dan televisi. Kurangnya akses informasi atau kekeringan, 2) secara empiris telah masyarakat juga menyebabkan rendahnya terbukti bahwa dengan ketersediaan air pengetahuan bahkan menyebabkan keter- irigasi yang lebih baik maka petani isoliran masyarakat terhadap dunia luar. mampu menerapkan pola tanam yang Keberadaan listrik juga menjadi adaptif (Sumaryanto, 2012). Selain itu, salah satu indikator dalam menentukan masyarakat Dusun Pamor juga belum kapasitas adaptasi masyarakat. Semua memiliki jaringan air bersih pipanisasi rumah warga di Dusun Pamor dialiri baik dari swadaya desa, Pamsimas dan listrik dari PLN dengan berlangganan PDAM. pada masing-masing rumah tangga. Jalan yang menghubungkan Dusun Sebagian besar warga merupakan Pamor dengan desa-desa yang lain pelanggan dengan daya 450 watt dengan merupakan jalan desa yang belum biaya langganan < Rp. 100.000/bulan. beraspal, oleh sebab itu nilai indikatornya Oleh karena itu penilaian indikator rendah terhadap kapasitas adaptasi kapasitas adaptasinya rendah, karena masyarakat dalam kekeringan. Perbaikan keterbatasan dalam penggunakan alat infrastruktur jalan akan meningkatkan listrik akibat daya listriknya rendah. kapasitas adaptasi masyarakat dalam hal Fasilitas kesehatan yang melayani pengangkutan barang maupun material masyarakat di Dusun Pamor adalah pembangunan dalam rangka mitigasi Puskesmas, sehingga indikator penentu- bencana bencana (Asrofi, Ritohardoyo, & nya sedang. Puskesmas sangat membantu Hadmoko, 2017). masyarakat untuk mendapatkan layanan Keberadaan alat transportasi walau- kesehatan, mengingat pada musim pun hanya sepeda motor di Dusun Pamor kemarau yang panjang akan menyebabkan amatlah penting perannya untuk meng- timbulnya penyakit-penyakit seperti diare, angkut air yang diambil dari sumber air radang tenggorokan, penyakit kulit (gatal- dan mengangkut pakan ternak. Sebagian gatal), bahkan penyakit menular seperti warga memiliki sepeda motor walaupun penyakit mata, tuberkulosis (TBC) dan kondisinya sudah tua dan asal bisa jalan. campak. Kapasitas adaptasi masyarakat rendah Keberadaan MCK yang dimiliki berdasarkan kepemilikan alat transportasi, oleh keluarga merupakan salah satu karena sebagian besar sepeda motor yang indikator kapasitas adaptasi masyarakat. dimiliki sudah tua dan ilegal (tidak Di Dusun Pamor hampir semua keluarga memiliki nomor dan tidak pernah telah memiliki MCK di rumahnya membayar Pajak Kendaraan Bermotor/ walaupun sangat sederhana. Berdasarkan PKB). penilaian, indikator keberadaan MCK di Di Dusun Pamor kepemilikan alat Dusun Pamor tergolong tinggi, sehingga komunikasi tergolong rendah, sebagian akan meningkatkan kualitas kesehatan dan besar masyarakat tidak memiliki telepon hidup masyarakat. seluler (handphone) atau telepon rumah sebagai alat komunikasi walaupun sederhana. Dalam menghadapi keke-

13 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 1-19

D. Implikasi untuk Kebijakan memiliki strategi adaptasi untuk meng- Adaptasi Masyarakat hadapi kekeringan. Kerentanan sosial Berdasarkan penilaian-penilaian ekonomi masyarakat terhadap kekeringan tingkat keterpaparan dan sensitivitas yang yang ditinjau dalam penelitian ini adalah tinggi dan kapasitas sosial ekonomi yang keterpaparan sosial ekonomi, sensitivitas rendah, maka kerentanan sosial ekonomi sosial ekonomi dan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap kekeringan di Dusun masyarakat dalam menghadapi ke- Pamor tergolong tinggi. Kondisi demikian keringan. Terdapat faktor-faktor utama menyebabkan masyarakat memerlukan yang berpengaruh terhadap keterpaparan, perhatian yang serius dari pemerintah. sensisitivitas dan kapasitas adaptasi Pemerintah harus berupaya mengu- masyarakat seperti yang telah dibahas di rangi kerentanan sosial ekonomi masya- atas. Untuk mengurangi kerentanan sosial rakat terhadap kekeringan melalui upaya ekonomi masyarakat maka perlu solusi- adaptasi masyarakat atau peningkatan solusi yang memerlukan dukungan kapasitas adaptasi masyarakat, agar pemerintah (Tabel 5).

Tabel (Table) 5. Strategi untuk Mengurangi Kerentanan Sosial Ekonomi Masyarakat (Strategy to reduce the social economic vulnerability of community) No. Faktor-faktor yang berpengaruh Solusi dan strategi adaptasi yang ditawarkan (Influential Factors) (Adaptation solutions and strategies offered) Keterpaparan (exposure) 1. Kepadatan Penduduk Program KB, Penundaan usia perkawinan dan (Populasi density) transmigrasi (family planning, postponement of marriage age and transmigration) 2. Mata pencarian penduduk di sektor Peningkatan keterampilan, pemberian bantuan modal pertanian untuk peningkatan UKM (skill improvement and (Livelihoods of the population in the capital assistance to improve SMEs) agricultural sector) 3. Luas lahan pertanian Menghentikan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan (Area of agricultural land) pertanian (Stop forest conversion into agricultural land) 4. Keberadaan irigasi di lahan pertanian Pembangunan waduk dan infrastruktur pengairan (The existence of irrigation on agricultural (Reservoirs and irrigation infrastructure land) construction) 5. Keberadaan sumur rumah tangga Pembangunan sumur-sumur bantuan untuk rumah (The existence of household wells) tangga (Well development to help households) 6. Kepemilikan ternak Pembangunan sumur-sumur bantuan rumah tangga (Livestock ownership) (Well development to help households) 7. Skala budi daya pertanian Pembangunan waduk dan infrastruktur pengairan (Scale of agricultural cultivation) (Reservoirs and irrigation infrastructure construction) Sensitivitas (Sensivity) 1. Usia Penduduk Pemberian keterampilan khusus (providing special (Age of population) skill) 2. Mata pencaharian Pemberian keterampilan khusus (providing special (livelihood) skill) 3. Sumber penggunaan air Pembangunan sumur rumah tangga (household well (Water use source) construction) 4. Tingkat kemiskinan penduduk Pemberian keterampilan khusus di luar sektor (Population poverty rate) pertanian (Providing special skills outside the agricultural sector) 5. Tingkat pendapatan Pemberian keterampilan khusus di luar sektor (Income rate) pertanian (Providing special skills outside the agricultural sector)

14 Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan (Hastanti, B. W. dan Purwanto)

No. Faktor-faktor yang berpengaruh Solusi dan strategi adaptasi yang ditawarkan (Influential Factors) (Adaptation solutions and strategies offered) 6. Proporsi banyaknya buruh tani Pemberian keterampilan khusus di luar sektor (Proportion of number of farm laborers) pertanian (Providing special skills outside the agricultural sector) 7. Tingkat pendidikan Pembangunan sekolah, pemberian beasiswa (school (Level of education) construction, providing scholarship) Kapasitas Adaptasi (adaptation capacity) 1. Tingkat pendidikan Pembangunan gedung sekolah, pemberian beasiswa (Level of education) (school construction, providing scholarship) 2. Jaringan sosial/modal sosial Penguatan modal sosial dan jaringan sosial (Social networking/social capital) (Strengthening social capital and social networks) 3. Tingkat adopsi teknologi Peningkatan pendidikan dan kapasitas (increased (Level of technology adoption) education and capacity) 4. Tingkat pendapatan per bulan Pemberian keterampilan khusus di luar sektor (Income rate per month) pertanian (Providing special skills outside the agricultural sector) 5. Adanya kearifan lokal Pengadaptasian kearifan lokal, usaha pelestarian nilai- (Existence of local wisdom) nilai kearifan lokal (Adapting local wisdom, efforts to preserve local wisdom values) 6. Kesiagaan kekeringan/keuangan, sarana, Peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan pangan keterampilan dan sosialisasi (Increased community (Drought preparednes/fianacial, facilities capacity through skills training and outreach) and food) 7. Infrastruktur /saluran irigasi, cek dam Pembangunan waduk dan infrastruktur pengairan (Infrastructure/(irrigation, check dam)) (Reservoirs and irrigation infrastructure construction) 8. Layanan air Pamsimas atau PDAM Pengadaan Pamsimas dan peningkatan layanan (Pamsimas or PDAM water services) PDAM sampai ke desa-desa (water services to villages) 9. Infrastruktur dan sarana transportasi Pembangunan jalan-jalan desa (village road (Infrastructure and means of development) transportation) 10. Alat komunikasi dan informasi Pengadaan alat komunikasi dan informasi untuk (Communication and information tools) masyarakat seperti internet dan telepon umum (Procurement of communication and information tools for the public such as the internet and public telephones) 11. Akses listrik rumah tangga Pembangunan solar sel untuk mengurangi (Access to household electricity) ketergantungan terhadap listrik yang semakin mahal (The construction of solar cells to reduce dependence on electricity) 12. Fasilitas kesehatan Pembangunan infrasruktur kesehatan dan pengadaan (Health facility) paramedis dan dokter (Development of health infrastructure and procurement of paramedics and doctors) 13. Ketersediaan toilet keluarga Bantuan pembangunan toilet untuk keluarga (Aid for (Availability of family toilets) building toilets for families)

Pada dasarnya untuk mengatasi struktural dan non struktural. Upaya kerentanan sosial ekonomi masyarakat struktural dapat dilakukan dengan mem- diperlukan campur tangan pemerintah dan bangun infrastruktur pengairan untuk dukungan partisipasi masyarakat. Solusi- mengurangi kekeringan seperti memper- solusi maupun strategi adaptasi yang banyak sumur, bangunan irigasi dan ditawarkan dirincikan pada Tabel 5. waduk. Sedangkan upaya non struktural Namun secara umum upaya-upaya yang dapat dilakukan dengan kebijakan- perlu dilakukan pemerintah adalah upaya kebijakan berikut, antara lain: pember-

15 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 1-19

dayaan ekonomi masyarakat untuk (FGD) dan wawancara mendalam dalam diversifikasi mata pencarian, sehingga kajian ini. masyarakat tidak selalu tergantung pada sektor pertanian untuk memperoleh DAFTAR PUSTAKA pendapatan (income). Keterampilan masyarakat di luar sektor pertanian perlu Arifin, M., & Riszqina. (2016). Analisis ditingkatkan sehingga pada musim kering Pengembangan Potensi Ternak Sapi tidak mengalami keterpaparan sosial Potong Melalui Pendekatan Lahan ekonomi yang parah. Keberhasilan upaya dan Sumber Daya Manusia di ini juga memerlukan partisipasi Kecamatan Galis Kabupaten masyarakat dan pihak-pihak terkait. Pamekasan. Maduranch, 1(1), 1–11. http://ejournal.unira.ac.id/index.php/j urnal_peternakan_maduranch/article/ IV. KESIMPULAN DAN SARAN view/43/28 A. Kesimpulan Asrofi, A., Ritohardoyo, S., & Hadmoko, Kerentanan sosial ekonomi masya- D. S. (2017). Strategi Adaptasi rakat Dusun Pamor dalam menghadapi Masyarakat Pesisir Dalam kekeringan tergolong tinggi berdasarkan Penanganan Bencana Banjir Rob dan penilaian indikator-indikator tingkat ke- Implikasinya terhadap Ketahanan terpaparan, sensitivitas dan kapasitas Wilayah (Studi di Desa Bedono adaptasi. Adapun nilai masing-masing Kecamatan Sayung Kabupaten indikator tersebut adalah 2,49 (tinggi) Demak Jawa Tengah). Jurnal untuk tingkat keterpaparan, 2,76 (tinggi) Ketahanan Nasional, 23(2), 1–20. untuk indikator sensitivitas dan 1, 21 https://doi.org/http://dx.doi.org/ (rendah) untuk indikator kapasitas 10.22146/jkn.26257 adaptasi. Biro Pusat Statistik Kabupaten Grobogan. B. Saran (2018). Kradenan dalam Angka 2018. Secara umum upaya-upaya yang Grobogan. perlu dilakukan pemerintah adalah upaya Donnie, S., & Falah, F. (2017). Materi struktural dan non struktural. Upaya Alih Teknologi Mitigasi Banjir struktural dapat dilakukan dengan mem- Bandang. Surakarta: Balai Penelitian bangun infrastruktur pengairan, sedang- dan Pengembangan Teknologi kan upaya non struktural dapat dilakukan Pengelolaan DAS. dengan berbagai kebijakan. Hastuti, D. (2016). Mitigasi, Kesiapsiagaan, dan Adaptasi UCAPAN TERIMA KASIH Masyarakat Terhadap Bencana Terima kasih kepada: 1). Kepala dan staf Kekeringan Kabupaten Grobogan Balai Penelitian dan Pengembangan (Implementasi Sebagai Modul Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Kontekstual Pembelajaran Geografi Sungai yang telah memberi kesempatan SMA Kelas X Pokok Bahasan penulis untuk mengkaji bencana keke- Mitigasi Bencana). Universitas ringan di Kabupaten Grobogan, 2). Sebelas Maret Surakarta. Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan Indrajati, R. (2008). Evaluasi Perubahan yang telah memberi ijin, saran pemilihan Kualitas Tanah Sawah Irigasi Teknis lokasi dan masukkan substantif dalam di Kawasan Industri Sub DAS kajian ini, dan 3). Masyarakat Dusun Bengawan Solo Daerah Kabupaten Pamor, Desa Banjardowo, Kecamatan Karanganyar. Universitas Sebelas Kradenan Kabupaten Grobogan yang Maret Surakarta. telah mendukung focus group discussion Indriantoro. (2013). Pengetahuan

16 Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan (Hastanti, B. W. dan Purwanto)

Masyarakat terhadap Mitigasi Mongolia of China. Chinese Bencana Kekeringan di Kecamatan Geographical Science, 23(1), 13–25. Tawangsari Kabupaten Sukoharjo. https://doi.org/10.1007/s11769-012- Universitas Muhammadiyah 0583-4 Surakarta. Logar, I., & Bergh, J. C. . van den. (2013). Intergovernmental Panel on Climate Methods to assess costs of drought Change (IPCC). (2001a). Climate damages and policies for drought Change 2001: Impacts, Adaptation, mitigation and adaptation: review and and Vulnerability (First). recommendations. Water Resour Contribution of Working Group II to Manage, 27, 1707–1720. the Third Assessment Report of the https://doi.org/10.1007/s11269-012- Intergovernmental Panel on Climate 0119-9 Change (J. J. McCarthy, O. F. Mazhar, N., Nawaz, M., & Mirza, A. I. Canziani, N. A. Leary, D. J. Dokken, (2015). Socio-political impacts of & K. S. White, Eds.). United Kindom Meteorological Droughts and their & New York: Cambridge University spatial patterns in Pakistan. South Press. Asian Studies: A Research Journal of Intergovernmental Panel on Climate South Asian Studies, 30(1), 149–157. Change (IPCC). (2001b). Climate Muttarak, R., & Lutz, W. (2014). Is Change 2001: The Scientific Basis. Education a Key to Reducing Contribution of Working Group I to Vulnerability to Natural Disasters and the Third Assessment Report of the hence Unavoidable Climate Change ? Intergovernmental Panel on Climate Ecology and Society, 19(1), 1–9. Change (J.T. Houghton, Y. Ding, D.J. https://doi.org/10.5751/ES-06476- Griggs, M. Noguer, P.J. van der 190142 Linden, X. Dai, K. Maskell, & C.A. Pacifici, M., Foden, W. B., Visconti, P., Johnson (eds.)]. United Kindom & Watson, J. E. M., Butchart, S. H. M., New York: Cambridge University Kovacs, K. M., … Rondinini, C. Press. (2015). Assessing species Khudori. (2011). Sistem Pertanian Pangan vulnerability to climate change. Adaptif Perubahan Iklim. Pangan, Nature Climate Change, 5(3), 215– 20(2), 105–119. 224. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33 https://doi.org/10.1038/nclimate2448 964/jp.v20i2.28 Prabowo, K. (2016). Analisis Risiko Lindner, M., Maroschek, M., Netherer, S., Bencana Kekeringan Kabupaten Kremer, A., Barbati, A., Garcia- Klaten. Universitas Muhammadiyah Gonzalo, J., … Marchetti, M. (2010). Surakarta. Climate change impacts, adaptive Purifyningtyas, H., & Wijaya, H. (2016). capacity, and vulnerability of Kajian Kapasitas Adaptasi European forest ecosystems. Forest Masyarakat Pesisir Pekalongan Ecology and Management, 259(4), terhadap Kerentanan Banjir Rob. 698–709. Jurnal Wilayah Dan Lingkungan, https://doi.org/10.1016/J.FORECO.2 4(2), 81–94. https://doi.org/http:// 009.09.023 dx.doi.org/10.14710/jwl.4.2.81-94 Liu, X., Wang, Y., Peng, J., Braimoh, A. Purwanto. (2017). Pengembangan Teknik K., & He, Y. (2013). Assessing dan Kelembagaan Konservasi Air vulnerability to drought based on Wilayah Kering. Majalah Cerdas, 6– exposure, sensitivity and adaptive 10. capacity: a case study in Middle Inner Purwanto, & Supangat, A. (2017).

17 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 1-19

Perilaku Konsumsi Air pada Musim sequence=1 Kemarau di Dusun Pamor Kabupaten Setiyaningsih, A. P. (2016). Grobogan. Jurnal Penelitian Sosial Pengembangan Indikator Dan Ekonomi Kehutanan, 14(2), Kerentanan Kekeringan Kawasan 157–169. Agropolitan Malang. Institut https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20 Pertanian Bogor. 886/jpsek.2017.14.3.157-169 Sumaryanto. (2012). Strategi Peningkatan Rachmat, M., Budhi, G. S., Supriyati, & Kapasitas Adaptasi Petani Tanaman Sejati, W. K. (2011). Lumbung Pangan Menghadapi Perubahan Pangan Masyarakat: Keberadaan dan Iklim. Jurnal Forum Penelitian Agro Perannya dalam Penanggulangan Ekonomi, 30(2), 73–89. Kerawanan Pangan. Forum https://media.neliti.com/media/public Penelitian Agro Ekonomi, 29(1), 43– ations/69484-ID-strategi- 53. peningkatan-kapasitas-adaptasi.pdf https://media.neliti.com/media/public Sunarti, E., Sumarno, H., Murdiyanto, & ations/69408-ID-lumbung-pangan- Hadianto, A. (2010). Indikator masyarakat-keberadaan-dan.pdf Kerentanan Keluarga Petani dan Undang-Undang No. 18 (2012). Pangan. Nelayan untuk. Bogor: Pusat Studi Sakuntaladewi, N., & Sylviani. (2014). Bencana LPPM IPB. Kerentanan dan Upaya Adaptasi Surmaini, E. (2016). Pemantauan dan Masyarakat Pesisir terhadap Peringatan Dini Kekeringan Perubahan Iklim. Jurnal Penelitian Pertanian di Indonesia. Jurnal Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, Sumberdaya Lahan, 10(1), 37–50. 11(4), 281–293. Surmaini, E., Runtunuwu, E., & Las, I. http://puspijak.org/uploads/sosek_20 (2011). Upaya Sektor Pertanian 14/Jurnal_sosek_11.4.2014.2.pdf dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Salampessy, Y., Lubis, D., Amien, I., & Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 1–7. Suhardjito, D. (2018). Menakar http://repository.pertanian.go.id/bitstr Kapasitas Adaptasi Perubahan Iklim eam/handle/123456789/1252/Upaya Petani Padi Sawah (Kasus Kabupaten Sektor Pertanian dalam Menghadapi Pasuruan Jawa Timur). Jurnal Ilmu Perubahan Iklim.pdf?sequence= Lingkungan, 16(1), 25–34. 1&isAllowed=y https://doi.org/10.14710/jil.16.1.25- Tommi, Barus, B., & Dharmawan, A. H. 34 (2016). Pemetaan Kerentanan Petani Septima, E. (2013). Analisa Tingkat di Daerah dengan Bahaya Banjir Risiko Bencana Hidrometeorologi di Tinggi di Kabupaten Karawang. Jawa Tengah. Tesis. Universitas Majalah Ilmiah Globe, 18(2), 73–82. Diponegoro, Semarang. http://jurnal.big.go.id/index.php/GL/ Setiawan, H. (2016). Strategi Coping article/download/351/342 Masyarakat Pulau Kecil dalam Tulak, P., Dharmawan, A. H., & Juanda, Menghadapi Dampak Perubahan B. (2009). Struktur Nafkah Rumah Iklim. In Priyono, A. N. Anna, A. A. Tangga Petani Transmigran di Distrik Sigit, Y. Priyana, & C. Amin (Eds.), Masni Kabupaten Manokwari. Prosiding Seminar Nasional Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Geografi UMS (pp. 288–298). 3(2), 203–220. https://doi.org/10. Surakarta: Muhammadiyah 22500/sodality.v3i2.5866 University Press. https://publikasi Wahyono, A. (2016). Ketahanan Sosial ilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11 Nelayan: Upaya Merumuskan 617/8568/27_Heru Setiawan.pdf? Indikator Kerentanan (Vulnerability)

18 Analisis Keterpaparan, Sensitivitas dan Kapasitas Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan (Hastanti, B. W. dan Purwanto)

terkait dengan Bencana Perubahan 180207 Iklim. Masyarakat Indonesia, 42(2), Wu, J., Xin, Li., Wang, M., Peng, J., & Tu, 185–199. https://doi.org/10.14203/ Y. (2017). Assessing Agricultural jmi.v42i2.665 Drought Vulnerability by a VSD Wang, L., Yuan, X., Xie, Z., Wu, P., & Li, Model: A Case Study in Yunnan Y. (2016). Increasing flash droughts Province, China. Sustainability, 9, over China during the recent global 918–933. https://doi.org/10.3390/ warming hiatus. Sci Rep., 6(Aug 11), su9060918 1–12. https://doi.org/doi: 10.1038/ Xiao-Jun, W., Jian-yun, Z., Shahid, S., srep30571 Elmahdi, A., Rui-min, H., Zhen-xin, Wardyaningrum, D. (2016). Modal Sosial B., & Ali, M. (2012). Water resources Inklusif dalam Jaringan komunikasi management strategy for adaptation Bencana. Jurnal Aspikom, 3(1), 33– to droughts in China.: EBSCOhost. 55. Mitigation Adaptation Strategy Welsh, L., Endter-Wada, J., Downard, R., Global Change, 17, 923–937. & Kettenring, K. (2013). Developing https://doi.org/10.1007/s11027-011- Adaptive Capacity to Droughts: the 9352-4 Rationality of Locality. Ecology and Society, 18(2), 7–17. https://doi.org/ http://dx.doi.org/10.5751/ES-05484-

19

(2020), 17(1): 21-33 pISSN: 0216 – 0439 eISSN: 2540 – 9689 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHKA Akreditasi Kemenristekdikti Nomor 21/E/KPT/2018

INVENTARISASI JENIS TANAMAN PENGHASIL HASIL HUTAN BUKAN KAYU DI HUTAN NAGARI PARU, SIJUNJUNG, SUMATERA BARAT (Inventory of Non-Timber Forest Product Plant Species in Paru Village Forest, Sijunjung, West Sumatera)

Nunung Puji Nugroho1* dan/and Dona Octavia2 1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Jl Ahmad Yani Pabelan Kotak Pos 295 Surakarta 57102, Jawa Tengah, Indonesia 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5 P.O. Box 165, Bogor 16610, Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Info artikel: ABSTRACT Keywords: Forest plays an important role in meeting the surrounding communities’ needs, especially NTFPs, in providing non-timber forest products (NTFPs). The NTFPs were commonly utilized to subsistence needs, meet the subsistence needs and to generate income. This study aims to identify plant species extractive utilization, that produce NTFPs in the Paru Village Forest in Sijunjung District, West Sumatra village forest, Province. Data collection was conducted through a field survey using 98 of 0.1 ha plots. Sijunjung The results indicated that the Nagari Paru community utilizes various types of NTFPs as a source of food, medicine, handicrafts, dyes, resin, building, customary rituals, and other necessities. Paru Village Forest has a high diversity of plant species producing NTFPs with a total of 98 species. However, the extractive methods of utilization without limitation on the amount of NTFPs taken will lead to decreased availability of NTFPs in the future. Therefore, it is necessary to regulate the volume of NTFPs that can be extracted by the community as outlined in customary regulations as well as the effort of the cultivation of highly valuable NTFP-producing plants on community land. Thus, the preservation of protected forests and the availability of NTFPs are expected to be sustained and the welfare of the community can increase. Kata kunci: ABSTRAK HHBK, kebutuhan sendiri, Hutan memainkan peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang berada di pemanfaatan sekitarnya, terutama dalam menyediakan hasil hutan bukan kayu (HHBK). HHBK ekstraktif, umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence) dan menambah hutan Nagari, pendapatan rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis tanaman Sijunjung yang menghasilkan HHBK di Hutan Nagari Paru di Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Pengambilan data dilakukan melalui survei lapangan dengan menggunakan 98 plot berukuran 0,1 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Nagari Paru memanfaatkan berbagai jenis HHBK dari generasi ke generasi sebagai sumber makanan, obat-obatan, kerajinan tangan, pewarna, resin, bangunan, ritual adat, dan keperluan lainnya. Hutan Nagari Paru terjaga dengan kearifan lokal dan hukum adat yang kuat, sehingga memiliki keanekaragaman jenis tanaman penghasil HHBK yang tinggi Riwayat artikel: dengan total 98 jenis. Namun, perlu dicatat bahwa metode pemanfaatan ekstraktif tanpa Tanggal diterima: pembatasan jumlah HHBK yang diambil akan menyebabkan berkurangnya ketersediaan 02 Mei 2019; HHBK di masa depan. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan volume HHBK yang dapat Tanggal direvisi: diekstraksi oleh masyarakat yang dituangkan dalam peraturan adat dan juga upaya 21 Oktober 2019; pembudidayaan tanaman penghasil HHBK yang bernilai tinggi di lahan masyarakat. Tanggal disetujui: Dengan demikian, pelestarian hutan lindung dan ketersediaan HHBK diharapkan dapat 11 Pebruari 2020 dipertahankan dan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat.

Editor: Dr. Yulita Sri Kusumadewi Korespondensi penulis: Nunung Puji Nugroho* (E-mail: [email protected]) Kontribusi penulis: NPN: melakukan survei, analisis data dan GIS, menyusun karya tulis; DO: menyempurnakan karya tulis bidang silvikultur dan formating. https://doi.org/10.20886/jphka.2020.17.1.21-33 ©JPHKA - 2018 is Open access under CC BY-NC-SA license

21 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 21-33

I. PENDAHULUAN beragam antara daerah satu dengan daerah Hutan memberikan manfaat yang lainnya (UNORCID, 2015). Angelsen, et besar bagi manusia, baik berupa hasil al. (2014) mengungkapkan bahwa ber- hutan kayu maupun hasil hutan bukan dasarkan hasil analisis komparasi global kayu. Indonesia merupakan salah satu terhadap kurang lebih 8.000 rumah tangga negara tropis dengan alokasi luas kawasan pada 333 desa di 24 negara berkembang, hutan mencapai 133 juta hektar (ha) atau diperoleh informasi bahwa rata-rata sum- sekitar 70% dari total luas daratan bangan pendapatan dari HHBK adalah (UNORCID, 2015). Namun demikian, sekitar 21,1% pada tingkat global, atau luas kawasan hutan di Indonesia saat ini 18,4% di tingkat Asia. BAPPENAS & menjadi sekitar 125,9 juta ha, dengan areal UKP-PPP (2015) melaporkan bahwa berhutan seluas 93,9 juta ha atau sekitar persentase pendapatan masyarakat sekitar 50% dari luas daratan (KLHK, 2018). hutan yang diperoleh dari jasa ekosistem Nilai ekonomi dari hasil hutan yang hutan dan HHBK pada 119 rumah tangga berupa kayu diperkirakan hanya sekitar di Kalimantan Tengah adalah berkisar 10%, sedangkan dari hasil hutan bukan antara 34,1% hingga 86,4%, dengan rata- kayu mencapai 90% dari nilai ekonomi rata sebesar 76,4%. total ekosistem hutan (Permenhut No. Salah satu sumber HHBK adalah P.21, 2009; Wibowo, 2013). hutan nagari. Hutan nagari adalah istilah Hasil hutan bukan kayu (HHBK) untuk hutan desa yang dipakai di Provinsi didefinisikan sebagai setiap barang atau Sumatera Barat (Tanjung, 2016) yang jasa selain kayu yang dihasilkan oleh merupakan salah satu skema Perhutanan hutan, meliputi buah-buahan, kacang- Sosial di Indonesia (Permen LHK No. kacangan, sayuran, tanaman obat, resin/ P.83, 2016; Permen LHK No. P.39, 2017). getah, esens, ikan dan hewan buruan, serta Hutan desa (hutan nagari) adalah hutan berbagai kulit dan serat tanaman seperti negara yang belum dibebani izin/hak, bambu, rotan, palem, dan rerumputan yang dikelola oleh desa/nagari dan (CIFOR, 2015). Menurut Peraturan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa/ Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut- nagari (Permenhut No. P.89, 2014; II/2007, HHBK adalah hasil hutan hayati, Permen LHK No. P.83, 2016; Tanjung, baik nabati maupun hewani, beserta 2016). Hak pengelolaan hutan desa/nagari produk turunan dan budidayanya kecuali dapat diberikan, baik pada kawasan hutan kayu, yang berasal dari hutan (Permenhut lindung maupun pada kawasan hutan No. P.35, 2007). Kelompok HHBK utama produksi (Permenhut No. P.89, 2014; di Indonesia antara lain adalah resin/getah, Permen LHK No. P.83, 2016). Peman- rotan, minyak atsiri, madu, buah-buahan, faatan yang dapat dilakukan pada kawasan tanaman obat, gaharu, bambu, dan hutan lindung adalah berupa pemanfaatan pewarna (UNORCID, 2015). kawasan (untuk budi daya jamur, penang- HHBK mempunyai peranan yang karan satwa, budi daya tanaman obat dan penting bagi masyarakat pedesaan secara tanaman hias), pemanfaatan jasa ling- global, terutama masyarakat yang hidup di kungan (pemanfaatan untuk wisata alam, sekitar kawasan hutan. HHBK berperan pemanfaatan air, pemanfaatan keindahan sebagai penyedia bahan pangan, dan kenyamanan), serta pemanfaatan dan bangunan, obat-obatan, serat, energi, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu artefak budaya (Pandey, Tripathi, & (mengambil rotan, madu dan buah) Kumar, 2016; Saha & Sundriyal, 2012). (Permen LHK No. P.83, 2016). Pada Sebagian besar masyarakat pedesaan di kawasan hutan produksi, hak pemanfaatan Indonesia bergantung pada satu atau lebih tersebut ditambah dengan pemanfaatan HHBK sebagai sumber penghidupan dan pemungutan hasil hutan kayu (Permen dengan tingkat ketergantungan yang LHK No. P.83, 2016).

22 Jenis Tanaman HHBK di Hutan Nagari Paru (Nugroho, P. N. dan Octavia, Dona)

Pengelolaan hutan desa/nagari pada bulan Juni 2015 dengan areal seluas dilakukan oleh Lembaga Pengelola Hutan sekitar 4.500 ha (LPHNP, 2015; SK Desa/Lembaga Pengelola Hutan Nagari Gubernur Sumatera Barat No. 522.4-501, (LPHD/LPHN). LPHN adalah lembaga 2015). kemasyarakatan yang ditetapkan dengan Secara administratif pemerintahan, Peraturan Nagari yang bertugas untuk kawasan Hutan Nagari Paru terletak di mengelola hutan nagari dan secara Jorong Bukik Buar, Batu Ranjau dan fungsional berada dalam struktur Kampung Tarandam, Nagari Paru, organisasi nagari dan bertanggung jawab Kecamatan Sijunjung, Kabupaten kepada wali nagari (Tanjung, 2016). Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat Pembentukan LPHN tersebut bertujuan (LPHNP, 2015). Kawasan Hutan Nagari untuk membantu masyarakat secara Paru berbatasan dengan Nagari Durian bersama-sama memperoleh manfaat dari Gadang di sebelah utara, Nagari Aie kawasan hutan nagari dalam jangka Angek di sebelah barat, Nagari Paru di waktu panjang, baik manfaat ekonomi sebelah timur, dan Nagari Solok Ambah maupun manfaat lingkungan (Tanjung, di sebelah selatan. Secara geografis, 2016). Salah satu informasi yang kawasan Hutan Nagari Paru terletak dibutuhkan dalam pengelolaan hutan antara 10105’0” - 101010’3” BT dan desa/nagari adalah informasi potensi 0035’10” - 0040’13” LS. Berdasarkan kawasan, diantaranya adalah informasi pembagian wilayah daerah aliran sungai tentang jenis tanaman penghasil HHBK (DAS), kawasan Hutan Nagari Paru dan potensinya. Penelitian ini bertujuan termasuk ke dalam wilayah subDAS untuk mengetahui jenis tanaman penghasil Batang Binuang, DAS Indragiri (LPHNP, HHBK di kawasan hutan Nagari Paru 2015). Batas kawasan Hutan Nagari Paru yang dimanfaatkan oleh masyarakat disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan setempat. peta tersebut luas kawasan Hutan Nagari Paru adalah sekitar 4.430 ha.

II. BAHAN DAN METODE B. Metode Penelitian A. Waktu dan Lokasi Penelitian Pembuatan plot pengamatan/ukur di Penelitian dilakukan di kawasan lapangan ditentukan secara acak dengan Hutan Nagari Paru pada bulan Mei 2017. jarak antar plot minimal 100 m. Bentuk Hutan Nagari Paru merupakan hutan plot pengamatan yang dipakai adalah lindung yang awalnya berupa rimbo lingkaran karena lebih mudah dibuat, larangan yang telah ditetapkan melalui sehingga menghemat waktu pembuatan Peraturan Nagari Nomor 1 Tahun 2002 plot. Luas plot pengamatan adalah 1.000 tentang Hutan Lindung atau Rimbo m2 atau 0,1 ha dengan jari-jari plot 17,85 Larangan (LPHNP, 2015; Tanjung, m dan disesuaikan berdasarkan kele- 2016). Kawasan hutan tersebut telah rengan lahannya dengan menggunakan diakui oleh negara berdasarkan Surat tabel koreksi slope yang dibuat oleh FAO Keputusan Menteri Kehutanan Nomor (FAO, 2004). Pengukuran jari-jari plot SK.507/Menhut-II/2014 tanggal 4 Juni dilakukan dengan bantuan pita ukur 50 m 2014 tentang Penetapan Areal Kerja serta tali tambang. Pada masing-masing Hutan Nagari Paru seluas 4.500 ha plot pengamatan, koordinat tengah plot (LPHNP, 2015; SK Menhut No. SK.507, dicatat dengan menggunakan GPS dan 2014). Ijin pengelolaan hutan nagari telah kesalahan lokasi (location error) diusaha- ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya kan kurang dari 5 m. Tiap plot dibagi ke Hak Pengelolaan Hutan Nagari Paru dalam empat kuadran menggunakan tali berdasarkan Surat Keputusan Gubernur tambang dengan sumbu mengarah utara- Sumatera Barat Nomor 522.4-501-2015 selatan dan timur-barat. Jumlah kese-

23 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 21-33

luruhan plot pengamatan yang dibuat di punyai ketergantungan terhadap sumber kawasan Hutan Nagari Paru adalah 98 daya hutan dalam memenuhi kebutuhan buah dan persebarannya dapat dilihat pada hidupnya (Munawaroh, Saparita, & Gambar 1. Purwanto, 2011; Pandey, et al., 2016; UNORCID, 2015), baik dari aspek C. Analisis Data ekonomi, sosial maupun budaya (Neil, Data hasil pengamatan HHBK pada Golar, & Hamzari, 2016). Namun tiap plot terdiri dari nama lokal jenis demikian, tingkat ketergantungan tersebut tanaman penghasil HHBK, manfaat, berbeda antara daerah yang satu dengan jumlah individu, dan bagian yang ber- daerah lainnya. Perbedaan karakteristik guna. Data tersebut dianalisis secara daerah tersebut juga menentukan jenis deskriptif untuk memberikan gambaran HHBK yang dimanfaatkan oleh masya- informasi tentang jenis tanaman penghasil rakat. Tingkat ketergantungan masyarakat HHBK, manfaat yang diberikan, dan terhadap HHBK secara ekonomi ditunjuk- jumlahnya di kawasan Hutan Nagari Paru. kan oleh nilai kontribusinya terhadap total Informasi yang dihasilkan selanjutnya penghasilan masyarakat (Nugroho, Frans, disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Kainde, & Walangitan, 2015; Pohan, Purwoko, & Martial, 2014). Masyarakat dengan tingkat ketergantungan tinggi III. HASIL DAN PEMBAHASAN cenderung memenuhi sebagian besar A. Jumlah jenis tanaman penghasil kebutuhan hidupnya dari HHBK HHBK berdasarkan manfaatnya di (Munawaroh, et al., 2011; Pohan, et al., Hutan Nagari Paru 2014; Siagian, Affandi, & Asmono, Sebagian besar masyarakat yang 2012). tinggal di sekitar kawasan hutan mem-

Gambar (Figure) 1. Peta batas kawasan Hutan Nagari Paru (Boundary map of Paru Village Forest area)

24 Jenis Tanaman HHBK di Hutan Nagari Paru (Nugroho, P. N. dan Octavia, Dona)

Hasil pengamatan pada 98 plot (9,8 masyarakat (Hariyadi, 2008; Juliarti, ha) menunjukkan bahwa kawasan Hutan 2013; Munawaroh, et al., 2011; Nugroho, Nagari Paru mempunyai potensi tanaman et al., 2015). penghasil HHBK sebanyak 98 jenis (Lampiran 1) yang dikelompokkan ke C. Perbandingan pemanfaatan jenis dalam delapan manfaat sebagaimana pada tanaman penghasil HHBK di Tabel 1. Jenis tanaman penghasil HHBK Hutan Nagari Paru dengan daerah tersebut pada umumnya dapat memberi- lainnya kan satu atau lebih manfaat bagi Pada umumnya masyarakat masyarakat di sekitar hutan. Jenis-jenis memanfaatkan bagian akar, kulit, batang, tanaman yang memberikan lebih dari tiga daun, buah, dan biji dari tanaman manfaat di lokasi penelitian adalah penghasil HHBK. Berdasarkan Tabel 1 pinang-pinang, kayu manis, paku/pakis dapat diketahui bahwa sebagian besar hutan, dan rotan jernang (Lampiran 1). jenis tanaman yang diidentifikasi pada Pinang-pinangan dapat dimanfaatkan plot ukur dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tanaman penghasil pangan, obat, sekitar kawasan Hutan Nagari Paru bahan kerajinan, pewarna alam, dan bahan sebagai bahan kerajinan (49 jenis). Hasil bangunan, serta batangnya, misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Juliarti dapat dimanfaatkan pada kegiatan panjat (2013) menunjukkan bahwa masyarakat di pinang. Jumlah tanaman penghasil HHBK sekitar kawasan Cagar Biosfir Giam Siak yang ditemukan di kawasan Hutan Nagari Kecil-Bukit Batu memanfaatkan 12 jenis Paru jauh lebih sedikit bila dibandingkan tanaman HHBK untuk kerajinan tangan. dengan di Serampas, Jambi dan Malinau, Hasil penelitian serupa yang dilakukan Kalimantan Timur yang mempunyai 318 oleh Munawaroh, et al. (2011) dan 320 jenis tumbuhan penghasil HHBK menemukan bahwa terdapat 18 jenis (Hariyadi, 2008; Munawaroh, et al., tanaman yang dimanfaatkan untuk 2011). Jenis tanaman penghasil HHBK di kerajinan oleh masyarakat Malinau. kawasan Hutan Nagari Paru belum Sementara itu, Hariyadi (2008) berhasil diidentifikasi seluruhnya mengi- melaporkan bahwa masyarakat Serampas ngat terbatasnya luasan plot pengamatan. di sekitar kawasan TN Kerinci Seblat menggunakan 60 jenis tanaman untuk B. Jenis tanaman penghasil HHBK bahan kerajinan. dominan di Hutan Nagari Paru Kawasan Hutan Nagari Paru juga Rotan merupakan jenis tanaman mengandung tanaman yang dimanfaatkan penghasil HHBK yang paling banyak oleh masyarakat sekitar sebagai penghasil ditemukan di kawasan Hutan Nagari Paru. pangan dan obat, yaitu masing-masing Ada 18 jenis rotan dan sembilan di sebanyak 34 dan 40 jenis (Tabel 1). Di antaranya masuk ke dalam daftar 20 jenis Malinau, jumlah tanaman hutan yang tanaman pengahasil HHBK dominan dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan (Lampiran 1). Berdasarkan hasil obat masing-masing sebanyak 15 dan 37 pengamatan pada 98 plot, rotan sikai jenis (Munawaroh, et al., 2011). Juliarti (Calamus sp.) ditemukan dalam jumlah (2013) mengungkapkan bahwa terdapat terbanyak, yaitu 149 individu, diikuti oleh 21 jenis tanaman berkhasiat obat yang rotan semut (Daemonorops verticilliaris dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Tasik (Griff.) Mart.) dan rotan udang (Calamus Betung. Taman Nasional (TN) Kerinci spectabilis Bl.) dengan jumlah masing- Seblat menyediakan lebih banyak masing 119 dan 114 individu. Pada tanaman yang dimanfaatkan oleh kawasan hutan lain pun rotan merupakan masyarakat sebagai sumber pangan dan salah satu jenis tanaman penghasil HHBK obat, yaitu 73 dan 22 jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan oleh (Hariyadi, 2008). Namun demikian, perlu

25 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 21-33

dicatat bahwa 73 jenis tanaman tersebut digunakan untuk pengobatan berbagai bukan hanya ditemukan di hutan, tetapi penyakit antara lain diabetes, anemia, juga di lahan agroforestry dan ladang kolesterol, darah tinggi, ginjal, diare, padi. antioksidan, antimikroba dan kaya akan Jumlah tanaman penghasil bahan zat besi serta sebagai tonik (Wardani, pewarna, bahan bangunan, dan ritual yang 2018). Perbandingan jumlah jenis ditemukan di kawasan Hutan Nagari Paru tanaman penghasil HHBK di empat lokasi masing-masing adalah tiga, enam, dan kajian tersebut disajikan pada Gambar 2. satu jenis tanaman (Tabel 1). Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh, et al. IV. KESIMPULAN DAN SARAN (2011) berhasil menemukan dua jenis tanaman penghasil bahan pewarna, 60 A. Kesimpulan jenis tanaman untuk bahan bangunan, dan Masyarakat Nagari Paru dua jenis tanaman untuk acara ritual di memanfaatkan berbagai jenis tanaman hutan Malinau. Penelitian lain di TN penghasil HHBK dari hutan lindung atau Kerinci Seblat berhasil menemukan 53 rimbo larangan secara turun temurun. jenis tanaman untuk bahan bangunan dan Jenis tanaman tersebut secara umum 32 jenis tanaman untuk keperluan ritual. digunakan oleh masyarakat sebagai Jenis tanaman yang dimanfaatkan untuk sumber bahan pangan, obat, kerajinan, acara ritual adat di Nagari Paru adalah pewarna, getah/resin, bangunan, ritual sicerek (Murraya koenigii (L.) Spreng). adat, dan kebutuhan lainnya. Sebagian Tanaman ini juga dikenal sebagai daun dari HHBK yang diambil tersebut kari atau daun salam koja. Walaupun dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kurang populer di sebagian besar wilayah sendiri (subsistence) dan sebagian lainnya Indonesia, daun kari banyak digunakan dijual untuk menambah pendapatan rumah sebagai bumbu masakan di wilayah tangga. Hutan Nagari Paru, sebagai hutan Sumatera. Di beberapa lokasi, tanaman ini lindung yang terjaga dengan dukungan dikenal dengan nama ma jiao ye (Cina), kearifan lokal dan peraturan adat yang garupillai (Malaysia), temurui (Aceh), ki kuat, mengandung keanekaragaman jenis becetah (Sunda), dan dalam bahasa tanaman penghasil HHBK yang cukup Inggris disebut Curry Leaves. Daun kari tinggi. Namun demikian, perlu diperhati- mengandung senyawa alkaloid, glikosida, kan bahwa metode pemanfaatan secara saponin, flavonoid, dan juga berbagai ekstraktif tanpa pengaturan/pembatasan mineral dan minyak atsiri. Selain jumlah HHBK yang diambil akan digunakan untuk keperluan ritual dan menyebabkan menurunnya ketersediaan bumbu masakan, daun kari juga memiliki HHBK di kawasan hutan lindung di manfaat di dunia pengobatan. Daun kari kemudian hari.

Tabel (Table) 1. Jumlah jenis tanaman penghasil HHBK berdasarkan manfaatnya di Hutan Nagari Paru (Number of plants’ species producing NTFPs based on their benefits in Paru Village Forest Village) Nomor Kegunaan Jumlah jenis tanaman penghasil HHBK (Number) (Uses) (Number of plants’ species producing NTFPs) 1 Pangan (Food) 34 2 Obat (Medicine) 40 3 Kerajinan (Handicraft) 49 4 Pewarna (Dye) 3 5 Getah/resin (Resin) 3 6 Bangunan (Building material) 6 7 Ritual adat (Ritual) 1 8 Lain-lain (Other) 10

Jenis Tanaman HHBK di Hutan Nagari Paru (Nugroho, P. N. dan Octavia, Dona)

Gambar (Figure) 2. Perbandingan jumlah jenis tanaman penghasil HHBK di empat lokasi kajian (Comparison of the number of plant species producing NTFPs at four study sites)

B. Saran DAFTAR PUSTAKA Perlu adanya upaya pengaturan Angelsen, A., Jagger, P., Babigumira, R., volume HHBK yang dapat diambil oleh Belcher, B., Hogarth, N. J., Bauch, S., masyarakat yang dituangkan dalam Wunder, S. (2014). Environmental peraturan adat. Di samping itu, perlu income and rural livelihoods: A adanya upaya pembudidayaan di lahan global-comparative analysis. World masyarakat untuk jenis tanaman penghasil Development, 64, S12-S28. doi: HHBK yang bernilai ekonomi tinggi, http://dx.doi.org/10.1016/j.worlddev. seperti rotan jernang, maupun yang 2014.03.006 pemanfaatannya dilakukan dengan cara Center for International Forestry Research ditebang, terutama untuk jenis tanaman (CIFOR). (2015). Forests and non- yang dimanfaatkan batang dan akarnya. timber forest products. Diakses dari Dengan demikian, kelestarian hutan http://www.cifor.org/Publications/Co lindung dan ketersediaan HHBK diharap- rporate/FactSheet/ntfp.htm kan akan senantiasa terjaga dan kesejah- teraan masyarakat dapat meningkat. Food and Agriculture Organization (FAO). (2004). National forest inventory: Field manual template. UCAPAN TERIMA KASIH Forest Resources Assessment Penulis mengucapkan terima kasih kepada Programme. Working Paper 94/E. “AFoCO Project Component 3: (pp. 84). Rome: Forestry Department, Facilitating the Participatory Planning of Food and Agriculture Organization of Community-based Forest Management the United Nations (FAO). using Geographic Information System Hariyadi, B. (2008). The entwined tree: (GIS) and Remote Sensing (RS) traditional natural resource Technologies in Forest Resources management of Serampas, Jambi, Management in the Philippines, Indonesia Indonesia (Disertasi Doktor). and Thailand” yang telah menyediakan University of Hawaii, Manoa. dana untuk penelitian ini. Penulis juga Juliarti, A. (2013). Pemanfaatan HHBK mengucapkan terima kasih kepada tim (hasil hutan bukan kayu) dan survei yang telah membantu dalam identifikasi tanaman obat di areal pengumpulan data di lapangan. Cagar Biosfir Giam Siak Kecil, Bukit

27 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 21-33

Batu Siak. Jurnal Hutan Tropis, 1(1), Peraturan Menteri Kehutanan. (2007). 9-16. Hasil hutan bukan kayu (Permenhut Kementerian Lingkungan Hidup dan No. P.35/Menhut-II/2007). Kehutanan (KLHK). (2018). Statistik Peraturan Menteri Kehutanan. (2009). kementerian lingkungan hidup dan Kriteria dan indikator penetapan kehutanan tahun 2017. Jakarta: Pusat jenis hasil hutan bukan kayu Data dan Informasi, Kementerian unggulan (Permenhut No. Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.21/Menhut-II/2009). (KLHK) Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan. (2014). Kementerian Perencanaan Pembangunan Hutan desa (Permenhut No. Nasional/Badan Perencanaan P.89/Menhut-II/2014). Pembangunan Nasional Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan (BAPPENAS) & Unit Kerja Presiden Kehutanan. (2016). Perhutanan Bidang Pengawasan dan sosial (Permen LHK No. Pengendalian Pembangunan (UKP- P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016) PPP) Republik Indonesia. (2015). . Model ekonomi hijau Provinsi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kalimantan Tengah (KT-GEM). Kehutanan. (2017). Perhutanan Jakarta: LECB Indonesia. sosial di wilayah kerja Perum Lembaga Pengelola Hutan Nagari Paru Perhutani (Permen LHK No. (LPHNP). (2015). Rencana kerja P.39/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017). hutan nagari (RKHN). Sijunjung: Pohan, R. M., Purwoko, A., & Martial, T. Lembaga Pengelola Hutan Nagari (2014). Kontribusi hasil hutan bukan Paru (LPHNP). kayu dari hutan produksi terbatas bagi Munawaroh, E., Saparita, R., & Purwanto, pendapatan rumah tangga Y. (2011). Ketergantungan masyarakat. Peronema Forestry masyarakat pada hasil hutan non kayu Science Journal, 3(2), 1-9. di Malinau, Kalimantan Timur: Suatu Saha, D., & Sundriyal, R. C. (2012). analisis etnobotani dan implikasinya Utilization of non-timber forest bagi konservasi hutan. Berkala products in humid tropics: Penelitian Hayati Edisi Khusus, 7(A), Implications for management and 51-58. livelihood. Forest Policy and Neil, A., Golar, & Hamzari. (2016). Economics, 14(1), 28-40. doi: Analisis ketergantungan masyarakat http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.201 terhadap hasil hutan bukan kayu pada 1.07.008 Taman Nasional Lore Lindu. e-Jurnal Siagian, D. P., Affandi, O., & Asmono, L. Mitra Sains, 4(1), 29-39. (2012). Jenis, potensi dan nilai Nugroho, A. C., Frans, T. M., Kainde, R. ekonomi hasil hutan yang P., & Walangitan, H. D. (2015). dimanfaatkan masyarakat sekitar Kontribusi hasil hutan bukan kayu Tahura Bukit Barisan (Studi kasus: bagi masyarakat di sekitar kawasan Desa Dolat Rayat Kecamatan Dolat hutan (Studi kasus Desa Bukaka). Rayat dan Desa Kuta Rayat Cocos, 6(5), 30-41. Kecamatan Naman Teran). Peronema Pandey, A. K., Tripathi, Y. C., & Kumar, Forestry Science Journal, 1(1), 19- A. (2016). Non timber forest products 33. (NTFPs) for sustained livelihood: Surat Keputusan Gubernur Sumatera Challenges and strategies. Research Barat. (2015). Hak pengelolaan Journal of Forestry, 10, 1-7. Hutan Nagari Paru (SK Gubernur Sumatera Barat No. 522.4-501-2015).

Jenis Tanaman HHBK di Hutan Nagari Paru (Nugroho, P. N. dan Octavia, Dona)

Surat Keputusan Menteri Kehutanan. REDD Coordination in Indonesia (2014). Penetapan areal kerja Hutan (UNORCID). Nagari Paru (SK Menhut No. Wardani, D. M. (2018). Daun kari, SK.507/Menhut-II/2014). peneliti India menyebutnya "tanaman Tanjung, N. S. (2016). Komunikasi ajaib". Diakses dari partisipatif dalam pengelolaan hutan http://www.satuharapan.com/read- nagari di Sumatera Barat (Thesis detail/read/daun-kari-peneliti-india- Master). Institut Pertanian Bogor, menyebutnya-tanaman-ajaib Bogor. Wibowo, G. D. H. (2013). Analisis United Nations Office for REDD kebijakan pengelolaan hasil hutan Coordination in Indonesia bukan kayu (HHBK) di NTB dan (UNORCID). (2015). Forest NTT. Jurnal Hukum dan ecosystem valuation study: Indonesia Pembangunan, 43(2), 197-225. (pp. 93): United Nations Office for

29

30 Lampiran (Appendix) 1. Manfaat, bagian yang dimanfaatkan serta jumlah individu penghasil HHBK di kawasan Hutan Nagari Paru (Utility, utilized plant’s part and number of plant producing non timber forest products (NTFPs) in Village Forest area of Paru)

No. Nama Tanaman Nama Ilmiah Habitus Manfaat Bagian yang Dimanfaatkan Jumlah Individu (No.) (Plant’s Name) (Scientific Name) (Life-form) (Utility) (Utilized Plant’s Part) (Individual Number) Tumbuhan 1 Akar ampalas - 2 Batang (air) 5 merambat Tumbuhan 2 Akar krakatai - 2 Batang (air) 1 merambat Tumbuhan 3 Akar karakatuik - 2 Batang (air) 3

merambat

4 Anggrek Dendrobium sp. Anggrek 3,8 Bunga, batang 31 Vol. 1

5 Anggrek batu Calanthe triplicate (Willemet) Ames Anggrek 3,8 Bunga, batang 4

7

6 Anggrek tanah Calanthe sp. Anggrek 8 Rumpun 1 No.

7 Bakung/Bunga bakung Crynum asiaticum L. Herba 3 Batang, daun 8 1 , ,

8 Bambu hutan/silabou Gigantochloa sp. Bambu 3,6 Batang 1 Juni

9 Baye/Umbuik baye - Palem 1,3 Batang, buah, umbut 10 20

Alocasia macrorrhizos 20

10 Bira Herba 1 Umbi, daun 3 :

(L.) G. Don. 21 - Donax canniformis 33

11 Bomban Herba 2,3 Daun, buah, batang 21 (G.Forst.) K.Schum. 12 Buar/Bunga kuar - Herba 3 Daun, batang 4 13 Bunga lawang Illicium verum Hook.f. Pohon 1,2 Bunga/buah 3 14 Cempedak/cubadak hutan Artocarpus sp. Pohon 1 Buah 4 15 Damar meranti Shorea sp. Pohon 5 Damar 2 16 Daun cacing Adina polycephala Benth. Perdu 2 Daun 1 17 Durian daun/hutan Durio graveolens Becc. Pohon 1 Buah 8 18 Durian tunggal Durio sp. Pohon 1 Buah 1 19 Igo-igo - Herba 2 Daun 2 20 Imbang - Herba 2 Batang 1 21 Isi - Herba 1 Batang 1 22 Jamur batang - Jamur 1 Batang, tudung 1 23 Jamur hitam - Jamur 1,2 Batang, tudung 8 24 Jamur putih - Jamur 1,2 Batang, tudung 10 25 Jamur ungu - Jamur 2 Batang 1 26 Jelutung Dyera costulata (Miq.) Hook.f. Pohon 5 Getah 7 27 Jilatang Polyosma ilicifolia Bl. Herba 2 Akar 1 28 Kabau Archidendron bubalinum (Jack) Nielsen Pohon 1,3 Buah 97

No. Nama Tanaman Nama Ilmiah Habitus Manfaat Bagian yang Dimanfaatkan Jumlah Individu (No.) (Plant’s Name) (Scientific Name) (Life-form) (Utility) (Utilized Plant’s Part) (Individual Number) Kamumu/Kemumu/talas 29 Colocasia gigantean Hook.f. Herba 1,2,3 Daun, batang, tangkai daun 22 padang 30 Kasai Nephelium mutabile Bl. Pohon 1 Buah 44 31 Katari hutan Curculigo latifolia Dryand 1,2,3 Buah 24 32 Kayu manis Cinnamomum burmannii Bl. Pohon 1,2,6,8 Kulit,batang,daun, ranting 5 33 Kedundung Santiria laevigata Bl. Pohon 1,3,6 Daun, batang, buah 5 34 Keladi hutan Colocasia sp. Herba 8 Pohon, batang 21 35 Kincuang sayur Eltingera elatior (Jack.) RM Smith Herba 1,2 Batang, buah 13 36 Kopi Coffea Arabica L. Perdu 1 Buah 8 37 Kulit ubar Gordonia excels (Bl.) Bl. Pohon 4 Kulit 1 38 Kumpai - Herba 3 Daun 2 39 Kunyit hutan Alpinia sp. Herba 1,2,3 Akar, buah, batang 16 Tumbuhan 40 Lada mungul Piper nigrum L. 2 Buah 1 merambat 41 Langkok Arenga obtusifolia Mart. Palem 1,3,6 Daun, pelepah, batang 39 42 Langsat hutan Lansium domesticum Corr. Pohon 1 Buah 1 Jenis Tanaman HHBK diParu Hutan Nagari 43 Lariang/bunga laring - Herba 2,3 Daun, buah, batang 57 44 Limpai/lipai Licuala pumila Bl. Palem 1,3 Daun, batang 51 45 Linjuang hutan Cordyline fruticosa (L.) A. Chev. Herba 3 Batang, daun 7 46 Manis mata - Herba 8 Bunga 1 47 Medang kulit manis Cinnamomum iners Reinw. ex Bl. Pohon 1,2 Kulit 4 48 Motiwar - Herba 2 Daun 8 49 Paku/pakis hutan Diplazium esculentum (Retz.) Sw. Pakis 1,2,3,8 Pohon/rumpun 33 50 Paku anggrek - Pakis 3 Batang 1 51 Paku gajah Angiopteris evecta (G. Forst.) Hoffm. Pakis 2 Batang 1 52 Paku gala Cycas rumphii Miq. Pakis 3 Batang 1 53 Paku kawat Lycopodiella cernua (L.) Pic. Serm. Pakis 2,3 Batang 2

54 Paku lamapai - Pakis 1 Batang 2 (Nugroho, dan Octavia,P. N. Dona) 55 Paku sialang - Pakis 2 Batang 2 56 Pandan hutan Pandanus tectorius Sol. Perdu 3 Daun 43 57 Pandan tindin Pandanus sp. Perdu 3 Daun 1 58 Panggi-panggi Tristaniopsis sp. Perdu 2 Daun 1 59 Pasak bumi Eurycoma longifolia Jack. Perdu 1,2 Akar 22 60 Paye - 3 Batang 1 61 Petai Parkia speciosa Hassk. Pohon 1 Buah 9

62 Piladang Coleus blumei Benth. Herba 2 Daun 21 31

63 Pinang-pinang Areca catechu Linn. Palem 1,2,3,4,6,8 Batang, buah 25

32 No. Nama Tanaman Nama Ilmiah Habitus Manfaat Bagian yang Dimanfaatkan Jumlah Individu (No.) (Plant’s Name) (Scientific Name) (Life-form) (Utility) (Utilized Plant’s Part) (Individual Number) 64 Pisang hutan Musa brachycarpa Backer Herba 1,3 Buah, bunga, batang 21 65 Pudung telunjuk Nephelium sp. Pohon 1 Buah 1 66 Puwar - Herba 3 Buah,daun 5 67 Rambutan hutan Nephelium lappaceum L. Pohon 1 Buah 10 68 Rotan lain Calamus sp. Palem 3 Batang 44 69 Rotan air Calamus sp. Palem 3 Batang 12 70 Rotan batu Calamus odscures Warb. Palem 3 Batang 78 71 Rotan buaw Calamus sp. Palem 3 Batang 2 72 Rotan cincin Daemonorops macrophyllus Becc. Palem 3 Batang 36 73 Rotan jernang Daemonorops draco Bl. Palem 2,3,4,5 Buah 60 Vol. 1

74 Rotan kubin Calamus sp. Palem 3 Batang 8 7

75 Rotan lipai Calamus sp. Palem 3 Batang 2 No.

1

76 Rotan manau Calamus manan Miq. Palem 3 Batang 42 ,

Juni 77 Rotan paku Calamus exilis Griff. Palem 2,3 Batang 13

20

78 Rotan piladeh/palode Calamusjavensis Bl. Palem 3 Batang 2

20

79 Rotan saga/sogo Calamus caesius Bl. Palem 3 Batang 18 :

21

80 Rotan semut Daemonorops verticilliaris (Griff.) Mart. Palem 3 Batang, daun, buah 119 -

33

81 Rotan sikai Calamus sp. Palem 3 Batang, daun, buah 149 82 Rotan tikolo Calamus sp. Palem 3 Batang 4 83 Rotan tunggal Calamus retrophyllus Becc. Palem 3 Batang/helai 38

84 Rotan udang Calamus spectabilis Bl. Palem 3 Batang/helai, buah 114 85 Sakek Asplenium sp. Pakis 3 Daun 15 86 Salak hutan Eleiodoxa conferta (Griff.) Burret Palem 1 Buah 8 87 Sicerek Murraya koenigii (L.) Spreng. Pohon 2,7 Daun 1 88 Sigayek - 3 Buah 1 Tumbuhan 89 Sikai duri Flagellaria sp. 3 Batang 19 merambat Tumbuhan 90 Sikai mancik Flagellaria indica L. 3 Batang 10 merambat 91 Silosak Nephelium lappacelum L. Pohon 1 Buah 1 Tanaman 92 Sirih gajah Piper aduncum L. 2 Daun, bunga 21 merambat Tanaman 93 Sirih hutan Piper caducibracteum C.DC 2,3,8 Daun, batang 4 merambat 94 Sitawar Costus speciosus (J. Koenig) Sm Herba 2 Akar, batang, daun, buah 1 95 Tabu-tabu/Tebu-tebu Daemonorops sabut Becc. Palem 3 Batang 95 96 Tampui Baccaurea deflexa Roxb. Pohon 1 Buah 11

No. Nama Tanaman Nama Ilmiah Habitus Manfaat Bagian yang Dimanfaatkan Jumlah Individu (No.) (Plant’s Name) (Scientific Name) (Life-form) (Utility) (Utilized Plant’s Part) (Individual Number) 97 Tempayang/Sempayang Heritiera sp. Pohon 1,2,6 Biji, buah, batang 70 98 Yiah - Herba 3 Batang 2 Keterangan Manfaat (utility notes): 1. Pangan (food), 2. Obat (medicine), 3. Kerajinan (handicraft), 4. Pewarna (dye), 5. Getah/resin (resin), 6. Bangunan (building material), 7. Ritual adat (ritual), dan 8. Lain-lain (other)

Jenis Tanaman HHBK diParu Hutan Nagari

(Nugroho, dan Octavia,P. N. Dona)

33

(2020), 17(1): 35-47 pISSN: 0216 – 0439 eISSN: 2540 – 9689 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHKA Akreditasi Kemenristekdikti Nomor 21/E/KPT/2018

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN TIGA INDEKS KEANEKARAGAMAN POHON DALAM ANALISIS KOMUNITAS HUTAN: STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, INDONESIA (The Effectiveness of the Use of Three Diversity Indices in Forest Community Analysis: A case Study in Mount Gede Pangrango National Park, Indonesia)

Andes Hamuraby Rozak1*, Sri Astutik1, Zaenal Mutaqien1, Endah Sulistyawati2, dan/and Didik Widyatmoko1 1Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor 16003, Jawa Barat, Indonesia 2Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa No. 10, Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia

Info artikel: ABSTRACT Keywords: The analysis of diversity is a fundamental measurement in a forest community. The results Montane forest, of the analysis can be the basis for conservation actions in the management of a forest area. biodiversity, Several species diversity indices such as the Shannon-Wiener and Simpson's index are very species richness, commonly used in the analysis by the ecologist. However, comparative studies on tree tree, diversity indices with continued analysis of the effectiveness of using these indices are still national park rarely conducted. Using data from 26 plots located at an altitude range of 1.013-3.010 m, a comparison of the effectiveness of the use of the Shannon-Wiener, Simpson's, and rarefied richness index was carried out on woody plants (dbh ≥5 cm). It was grouped into three zones, namely the submontane zone, montane and subalpine. The results showed that rarefied richness index has a good performance and more sensitive than that of Shannon- Wiener and Simpson’s indices. Therefore, we recommend using a rarefied richness index for further research on tree diversity analysis. Converting previous Shannon-Wiener, Simpson’s, or combination of both indices into rarefied richness is widely open. However, linear models show that the equations only capture 61-87% of the total variation of the indices, depend on the independent variable used in the model. Kata kunci: ABSTRAK Hutan pegunungan, keanekaragaman, Analisis keanekaragaman jenis sangat penting dalam perhitungan keanekaragaman suatu kekayaan jenis, komunitas hutan. Hasil analisis tersebut bisa menjadi dasar untuk aksi-aksi konservasi pohon, dalam pengelolaan suatu kawasan hutan. Beberapa indeks keanekaragaman jenis seperti taman nasional indeks Shannon-Wiener dan Simpson’s sangat umum digunakan dalam analisis tersebut. Namun demikian, studi perbandingan indeks keanekaragaman pohon disertai analisis lanjutan tentang efektivitas penggunaan indeks tersebut masih jarang dilakukan. Dengan menggunakan data dari 26 plot yang terletak pada rentang ketinggian 1.013-3.010 m, perbandingan efektivitas penggunaan indeks Shannon-Wiener, Simpson’s, dan rarefied richness dilakukan terhadap tumbuhan berkayu (dbh ≥5 cm) yang dikelompokkan dalam Riwayat artikel: tiga zona, yaitu zona submontana, montana, dan subalpine. Hasil penelitian menunjukkan Tanggal diterima: bahwa indeks rarefied richness memiliki sensitivitas yang baik dibandingkan dengan 18 Desember 2019; indeks lainnya. Oleh karenanya, penggunaan indeks tersebut perlu diutamakan Tanggal direvisi: dibandingkan dengan indeks lainnya. Konversi indeks Shannon-Wiener, Simpson’s, 30 April 2020; maupun kombinasinya sangat terbuka untuk dilakukan. Namun demikian, persamaan Tanggal disetujui: regresi linear hanya mampu menjelaskan 61-87% dari total varian yang dimiliki dan 4 Mei 2020 bergantung pada variabel bebas yang digunakan.

Editor: Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr, Ph.D Korespondensi penulis: Andes Hamuraby Rozak* ([email protected]) Kontribusi penulis: AHR: kontributor utama, pelaksana penelitian dan pengambilan data, konseptor tulisan, analisis data, menulis draft naskah KTI, submit naskah KTI; SA: kontributor anggota, pelaksana penelitian dan pengambilan data, memberikan masukan draft naskah KTI; ZM: kontributor anggota, pelaksana penelitian dan pengambilan data, memberikan masukan draft naskah KTI; ES: kontributor anggota, pelaksana penelitian dan pengambilan data, memberikan masukan draft naskah KTI; DW: kontributor anggota, koordinator penelitian, pelaksana penelitian dan pengambilan data, memberikan masukan draft naskah KTI. https://doi.org/10.20886/jphka.2020.17.1.35-47 ©JPHKA - 2018 is Open access under CC BY-NC-SA license

35 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 35-47

I. PENDAHULUAN kasus memainkan peranan penting dalam Analisis tentang keanekaragaman suatu komunitas. Contoh kasus peng- jenis merupakan pengetahuan yang sangat gunaan indeks keanekaragaman seperti mendasar dalam mengukur keaneka- Shannon-Wiener, Simpson’s, Fisher’s ragaman suatu komunitas hutan. Analisis alpha, dan rarefied richness telah dijelas- tersebut adalah cara yang paling kan dengan baik untuk taksa Artropoda sederhana untuk mendeskripsikan kekaya- pada berbagai tipe habitat (Buddle et al., an biota (Magurran, 2004) dan menjadi 2005). Pada taksa tersebut, Buddle et al. tantangan tersendiri bagi ekolog dalam menyimpulkan bahwa indeks rarefied menjelaskan keanekaragaman suatu ka- richness lebih sensitif dibandingkan wasan (Brown, Ernest, Parody, & Haskell, indeks lainnya dan direkomendasikan 2001; Palmer, 1994). Dalam per- untuk digunakan dalam analisis keaneka- kembangannya, terdapat beberapa indeks ragaman jenisnya. yang bisa digunakan untuk menganalisis Sejalan dengan penelitian Buddle et keanekaragaman biota suatu kawasan al. (2005), tulisan ini mencoba untuk seperti indeks Shannon-Wiener (1963), membandingkan indeks yang umum indeks Simpson’s (1949), maupun indeks digunakan, yaitu Shannon-Wiener dan yang perhitungannya lebih kompleks yaitu Simpson’s, terhadap indeks rarefied rarefied richness (Heck, van Belle, & richness dengan contoh kasus yaitu pada Simberloff, 1975; Simberloff, 1972). Dua komunitas kelas pohon yang terdapat di indeks pertama sangat umum digunakan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Indonesia (e.g. Arrijani, 2006, 2008; (TNGGP). Pemilihan tiga indeks tersebut Larashati, 2004; Mutaqien, & Zuhri, didasarkan bahwa dua indeks pertama 2011) karena kemudahan dalam proses sangat umum digunakan di Indonesia perhitungannya. Sementara itu, indeks dalam menganalisis keanekaragaman rarefied richness masih jarang digunakan pohon pada suatu kawasan hutan karena kompleksitas perhitungan (Buddle dibandingkan dengan indeks rarefied et al., 2005; Chao et al., 2014; Gotelli, & richness yang tidak begitu popular. Colwell, 2001). Dengan demikian, tujuan tulisan ini Tinjauan tentang penggunaan adalah untuk (1) mengetahui indeks indeks keanekaragaman telah dimulai keanekaragaman pohon di TNGGP; (2) sejak beberapa dekade yang lalu (Buddle membandingkan tiga jenis indeks et al., 2005; Gotelli & Colwell, 2001; keanekaragaman pohon yaitu indeks Hurlbert, 1971; Lamb et al., 2009; Shannon-Wiener, indeks Simpson’s, dan Sanders, 1968; Wolda, 1981). Hurlbert rarefied richness; (3) memberikan (1971) misalnya telah mengkritisi bahwa rekomendasi indeks keanekaragaman penggunaan indeks keanekaragaman yang yang lebih obyektif dalam menilai suatu umum dilakukan pada masa tersebut kawasan hutan terutama untuk kelas (misalnya indeks Shannon-Wiener) tidak pohon; dan (4) memprediksi korelasi tepat untuk digunakan pada penelitian- antara indeks Shanon-Wiener, Simpson’s, penelitian hayati karena tidak memberikan ataupun kombinasinya terhadap indeks arti yang penting bagi pendeskripsian rarefied richness. sifat-sifat biologinya. Sebagai contoh, Hurlbert (1971) berpendapat bahwa II. BAHAN DAN METODE indeks Shannon-Wiener hanya memper- A. Waktu dan Lokasi Penelitian hitungkan variabel kelimpahan dan nilai Penelitian berlokasi di kawasan inti penting suatu jenis terhadap ekosistem Cagar Biosfer Cibodas yaitu hutan Taman yang berarti mengesampingkan kontribusi Nasional Gunung Gede Pangrango beberapa jenis yang dikategorikan langka (Gambar 1). Secara geografis kawasan pada suatu kawasan yang dalam beberapa hutan ini terletak pada 6°10’-6°51’ LS dan

36 Analisis keanekaragaman pohon di TNGGP (Rozak, A. H., Astutik, S., Mutaqien, Z., Sulistyawati, E., dan Widyatmoko, D.)

106°51’-107°02’ BT. Pengambilan data berukuran 20 x 100 m2 (plot besar) untuk dilaksanakan selama tiga tahun yaitu pada kelas pohon berdiameter ≥30 cm dan 5 x 2009, 2010, dan 2011. Deskripsi lengkap 40 m2 (plot kecil) untuk kelas pohon lokasi penelitian dapat dibaca pada berdiameter 5-30 cm (Rozak et al., 2016, publikasi lain (Rozak, Astutik, Mutaqien, 2017). Posisi plot kecil ditempatkan di Widyatmoko, & Sulistyawati, 2016, tengah plot besar. 2017). Setiap pohon yang masuk dalam plot besar maupun plot kecil diidentifikasi B. Metode secara langsung oleh para botanis di lokasi Dalam penelitian ini, pohon penelitian dan/atau melalui identifikasi didefinisikan sebagai tumbuhan mengayu, spesimen herbarium jika tidak berhasil berbatang utama satu dengan sistem teridentifikasi sampai tingkat marga. percabangan jauh dari permukaan tanah Nama ilmiah jenis pohon yang dan tidak termasuk tumbuhan paku- teridentifikasi kemudian distandardisasi pakuan (Pteridophyta) atau palem- menggunakan “BIOMASS” package paleman (Arecaceae) (Beech, Rivers, dalam program R (Réjou‐Méchain, Oldfield, & Smith, 2017). Plot Tanguy, Piponiot, Chave, & Hérault, pengamatan pohon (n = 26) dibuat pada 2017) yang memanfaatkan antarmuka rentang ketinggian 1.013 m. sampai Taxosaurus (Boyle et al., 2013). Sejumlah dengan 3.010 m dpl. Pemilihan ketinggian 1.471 individu pohon tercatat pada lokasi plot dilakukan umumnya tiap penelitian ini yang terdiri atas 122 jenis kenaikan 50-200 m agar bisa merepre- dan 81 marga. Secara total, 1442 individu sentasikan semua komunitas pohon yang pohon berhasil diidentifikasi sampai ada pada kawasan TNGGP. Bentuk dan tingkat jenis (98%) sementara 29 lainnya ukuran plot yang digunakan yaitu sampai tingkat marga (2%).

Gambar (Figure) 1. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kotak merah menunjukkan lokasi plot (n = 26) pada rentang ketinggian 1.013 – 3.010 m dpl. (Peta NDVI 2019, diolah dari Landsat 7 ETM+ USGS). (Map of study site in Mount Gede Pangrango National Park. Red boxes show plot location (n = 26) ranged from 1.013 – 3.010 m asl. (NDVI 2019 map, processed from Landsat 7 ETM+ USGS))

37 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 35-47

C. Metode (3) Indeks rarefied richness (E). Nilai Data pohon dari plot pengamatan indeks ini >0. Makin tinggi nilai E dikelompokkan pada tiga zona utama maka makin tinggi juga nilai untuk hutan pegunungan (van Steenis, keanekaragaman jenisnya. Hamzah, & Toha, 1972) yaitu zona 푁 − 푁 submontana (n = 8, 1.013-1.465 m ), zona 푠 ( 푖) 퐸 = ∑ (1 − [ 푛 ]) montana (n = 10, 1.567-2.395 m), dan 푁 ( ) zona subalpine (n = 8, 2.453-3.010 m). 푖=1 푛 Indeks keanekaragaman pohon yang terdiri atas indeks Shannon-Wiener (1963), indeks diversitas Simpson’s dimana: (1949), dan indeks rarefied richness N = Jumlah ukuran sampel (Heck et al., 1975; Hurlbert, 1971) S = Jumlah jenis dihitung untuk tiap zona dan masing- n = Ukuran sampel standard yang masing plot. Khusus untuk penghitungan digunakan sebagai pembanding pada masing-masing plot, rata-rata nilai Ni = Jumlah individu pada jenis i indeks dihitung berdasarkan zona dan dilakukan dengan metode bootstrap 1.000 kali ulangan (DiCiccio, & Efron, 1996). Perbedaan signifikan dalam indeks Persamaan untuk meng-hitung ketiga yang dianalisis ditentukan berdasarkan indeks yang digunakan dan penjelasan beririsan atau tidaknya jangkauan data singkatnya adalah sebagai berikut. pada tingkat kepercayaan 95% setelah dilakukan bootstrap (DiCiccio, & Efron, (1) Indeks Shannon-Wiener (H’), nilai 1996). Analisis regresi linear dilakukan berkisar antara 1,5 – 3,5 dan sangat untuk mengetahui signifikansi perubahan jarang bernilai lebih dari 4. Makin ketinggian terhadap indeks yang dianalisis tinggi nilai H’ maka makin tinggi juga dengan ambang batas signifikansi p-value nilai keanekaragamannya. <5%. Analisis regresi linear juga 푛 푛 dilakukan untuk menentukan persamaan 퐻′ = − ∑ 푖 푙표푔 푖, 푁 푁 linear dalam mengkonversi nilai indeks Shannon-Wiener, Simpson’s, maupun dimana: kombinasinya terhadap indeks rarefied n = jumlah individu dalam satu jenis, i richness. dan Sebelum analisis regresi linear N = jumlah total individu semua jenis dilakukan, uji nilai leverage dan sebaran yang ditemukan data melalui uji Shapiro-Wilk dilakukan

terlebih dahulu terhadap data yang (2) Indeks diversitas Simpson’s (D), nilai dianalisis (Nobre, & Singer, 2011). berkisar antara 0 – 1. Nilai 0 Sejumlah enam plot dengan nilai indeks menunjukkan komunitas homogen, Shannon-Wiener <1,6 tidak digunakan sementara nilai 1 menunjukkan untuk analisis regresi linear karena keanekaragaman tinggi. memiliki nilai leverage yang tinggi. ∑ 푛(푛 − 1) Dengan demikian, uji regresi linear 퐷 = 1 − 푁(푁 − 1) terhadap indeks yang dihitung hanya dilakukan pada 20 plot pengamatan. dimana: Analisis sebaran data menunjukkan bahwa n = jumlah total individu dalam satu data ketiga indeks dari 20 plot pengamatan jenis, dan terdistribusi secara normal (Uji Shapiro- N = jumlah total individu semua jenis Wilk, p-value >0,1) sehingga memenuhi yang ditemukan

38

Analisis keanekaragaman pohon di TNGGP (Rozak, A. H., Astutik, S., Mutaqien, Z., Sulistyawati, E., dan Widyatmoko, D.)

syarat untuk dilakukan analisis regresi subalpine. Hasil berbeda ditunjukkan oleh linear. indeks rarefied richness. Ketiga zona Perhitungan ketiga indeks keaneka- menunjukkan perbedaan yang cukup ragaman pohon dan analisis data dilaku- tinggi untuk indeks rarefied richness yaitu kan dengan menggunakan program R (R 12 jenis (perbedaan submontana – Core Team, 2017) dengan memanfaatkan montana) dan 32 jenis (perbedaan ‘vegan’ package (Oksanen et al., 2017). montana – subalpine). Sementara itu, bootstrap dilakukan Jika indeks dihitung untuk masing- dengan memanfaatkan ‘boot’ package masing plot pengamatan (Tabel 2), hasil (Canty, & Ripley, 2019). perhitungan rata-rata plot untuk tiap zona konsisten dengan data yang disatukan III. HASIL DAN PEMBAHASAN untuk masing-masing zona (Tabel 1) meskipun nilai indeksnya lebih rendah. A. Keanekaragaman Pohon di TNGGP Meskipun tidak ada perbedaan yang nyata Indeks keanekaragaman pohon antara zona submontana dan montana menunjukkan nilai yang berbeda pada tiap untuk ketiga indeks yang digunakan, zona pengamatan (Tabel 1). Secara namun indeks Shannon-Wiener dan umum, untuk zona submontana dan Simpson’s pada zona montana lebih tinggi montana, dua jenis indeks keaneka- dibandingkan dengan submontana. Hasil ragaman yaitu indeks Shannon-Wiener berbeda didapat oleh rarefied richness dan Simpson’s memiliki nilai tidak jauh yakni zona submontana memiliki indeks berbeda (3,26 v 3,35 dan 0,91 v 0,92). yang lebih tinggi dibandingkan montana Namun demikian, kedua zona tersebut meskipun tidak berbeda nyata. berbeda cukup signifikan dengan zona

Tabel (Table) 1. Indeks keanekaragaman pohon untuk tiap zona pengamatan di TNGGP (Tree diversity indices for each zone in Mount Gede Pangrango National Park) Indeks Submontane Montane Subalpine (indices) Jumlah individu (number of 313 517 641 individual) Jumlah jenis teridentifikasi 71 72 34 (number of the identified species) Shannon-Wiener 3,26 3,35 2,43 Simpson’s 0,91 0,92 0,84 Rarefied richness 73 61 29

Tabel (Table) 2. Rata-rata indeks keanekaragaman pohon (tingkat kepercayaan 95%) untuk tiap plot (n = 26) pada tiap zona pengamatan di TNGGP (The average of tree diversity indices (95% confidence interval) calculated for each plot (n = 26) in each zone in Mount Gede Pangrango National Park) Indeks Submontane Montane Subalpine (indices) Shannon-Wiener 2,15 (1,82 – 2,36) 2,17 (1,98 – 2,35) 1,55 (1,23 – 1,83) Simpson’s 0,81 (0,71 – 0,87) 0,84 (0,80 – 0,86) 0,71 (0,60 – 0,80) Rarefied richness 10,99 (9,25 – 12,12) 9,89 (8,65 – 11,04) 5,91 (4,54 – 7,19)

39 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 35-47

Hasil perhitungan indeks Shannon- indeks rarefied richness ini sejalan Wiener dan Simpson’s menunjukkan dengan hasil penelitian keanekaragaman angka yang konsisten untuk tiap zonanya pohon sepanjang gradien ketinggian yang (Tabel 1 dan 2). Nilai lebih tinggi didapat menyatakan bahwa terdapat korelasi pada zona montana kemudian diikuti oleh negatif antara keanekaragaman jenis zona submontana dan subalpine. Hal ini dengan ketinggian suatu lokasi komunitas menunjukkan bahwa berdasarkan indeks pohon (e.g. Acharya, Chettri, & Vijayan, Shannon-Wiener dan Simpson’s, zona 2011; Aiba, & Kitayama, 1999; Kraft et montana memiliki keanekaragaman al., 2011; Rozak, & Gunawan, 2015). pohon yang lebih tinggi dibandingkan Keterkaitan antara indeks yang dengan dua zona lainnya. Hasil ini dihitung dengan ketinggian plot dianalisis bertolak belakang dengan asumsi umum melalui regresi linear (Gambar 2). Pada bahwa keanekaragaman pohon makin analisis ini, plot-plot pengamatan (n = 20) menurun seiring dengan kenaikan diperlakukan sebagai plot yang ketinggian suatu lokasi. Namun demikian, independent. Ketiga indeks yang hal berbeda ditunjukkan oleh indeks dianalisis memperkuat teori bahwa rarefied richness. Zona submontana keanekaragaman pohon semakin menurun memiliki indeks rarefied richness yang seiring dengan kenaikan ketinggian yang paling tinggi dibandingkan dua zona ditunjukkan dengan nilai kelerengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa zona negatif (indeks Shannon-Wiener: adj. R2 = submontana memiliki keanekaragaman 38,6%, p-value = 0,002; indeks yang lebih tinggi (73 jenis) dan diikuti Simpson’s: adj. R2 = 25,7%, p-value = oleh zona montana (61 jenis) dan 0,01; indeks rarefied richness: adj. R2 = subalpine (29 jenis). Hasil perhitungan 67,1%, p-value < 0,001).

Gambar (Figure) 2. Regresi linear antara indeks keanekaragaman dengan ketinggian plot. Daerah abu-abu menunjukkan tingkat kepercayaan 95% dari persamaan linearnya (Linear regression between diversity indices and plot elevations. Grey areas indicated 95% confidence interval of each linear model)

40 Analisis keanekaragaman pohon di TNGGP (Rozak, A. H., Astutik, S., Mutaqien, Z., Sulistyawati, E., dan Widyatmoko, D.)

B. Indeks Rarefied Richness Lebih mendeteksi data pohon yang ter- Sensitif menjelaskan Keaneka- inventarisasi sudah representatif atau ragaman Pohon belum. Gambar 3 memperlihatkan bahwa Sejalan dengan hasil penelitian pada keanekaragaman jenis pada tingkat jumlah taksa Artropoda (Buddle et al., 2005), individu yang sama lebih tinggi pada zona indeks rarefied richness lebih sensitif dan submontana dibandingkan dengan dua memberikan informasi tambahan dalam zona lainnya. Hal ini menguatkan pendapat menjelaskan keanekaragaman pohon di bahwa indeks rarefied richness lebih TNGGP. Informasi tambahan yang di- sensitif digunakan karena mem- maksud adalah dapat diketahuinya kurva perhitungkan nilai indeks pada satuan rarefaction untuk masing-masing zona individu yang sama (Gotelli, & Colwell, penelitian. Tabel 1 dan 2 memperlihatkan 2001; Hurlbert, 1971). bahwa baik indeks Shannon-Wiener Kurangnya jumlah plot pengamatan maupun Simpson’s pada zona montana atau dalam hal ini jumlah individu pohon memiliki keanekaragaman yang lebih yang terinventarisasi terlihat jelas pada tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. kurva rarefaction untuk masing-masing Namun demikian, jika dilihat dari kurva plot pengamatan (Gambar 4). Secara teori, rarefaction, tampak jelas bahwa penyebab analisis indeks rarefied richness mem- dari lebih rendahnya indeks Shannon- perhitungkan variasi dari upaya pengam- Wiener dan Simpson’s pada zona sub- bilan sampel yang dilakukan (Buddle et al., montana dibandingkan dengan montana 2005; Hurlbert, 1971; Sanders, 1968). kemungkinan besar dikarenakan jumlah Artinya, indeks tersebut memperhitung- sampel individu pohon yang tidak kan ukuran sampel individu yang diguna- representatif untuk zona submontana kan dalam analisis datanya (sampling (Gambar 3). Berbeda halnya dengan zona effort). Semakin banyak sampel (plot) yang subalpine yang sudah relatif stabil mulai dibuat, maka semakin banyak pula individu dari angka 200 sampel individu, dua zona yang terinventarisasi. Oleh karenanya, data lainnya masih mengalami tren kenaikan yang representatif berbanding lurus dengan terutama untuk zona submontana. Dengan sampling effort yang digunakan. Pada demikian, jika jumlah plot pengamatan kasus penelitian ini, sampling effort untuk pada zona submontana ditambah yang zona submontana, montana, dan subalpine secara otomatis akan menambah jumlah masing-masing sebanyak 313, 517, dan sampel individu pohon, maka indeks 641 individu pohon (Tabel 1). Dengan Shannon-Wiener maupun Simpson’s demikian, pembandingan indeks keaneka- secara teori akan berubah pula. ragaman yang obyektif harus dilakukan Informasi tambahan lainnya yang pada tingkat sampling effort yang sama. bisa didapat dari kurva rarefaction adalah Namun demikian, jumlah minimal berupa pembandingan indeks yang lebih sampling effort yang dibutuhkan tidak obyektif yang dilakukan pada jumlah dapat ditentukan melalui analisis ini karena sampel individu yang sama (Gambar 3). kurva rarefaction hanya mampu Pada penelitian ini, perbandingan yang mengidentifikasi apakah sampling effort sama dilakukan pada ukuran sampel 313 yang dilakukan pada suatu penelitian sudah individu yang merupakan jumlah individu cukup representatif atau belum. Gambar 4 terendah yang diukur pada tiap zonanya memperlihatkan stabilitas jenis yang masih (Tabel 1). Oleh karenanya, indeks rarefied belum dicapai terutama untuk zona richness lebih obyektif karena dua hal, submontana (nomor 1-8). Sementara itu, yaitu (1) indeks rarefied richness mem- untuk zona subalpine (nomor 19-26), bandingkan keanekaragaman pohon pada stabilitas kekayaan jenis sudah relatif stabil tingkat jumlah sampel individu yang sama, dari angka sekitar 20 individu pohon per dan (2) kurva rarefaction mampu plot pengamatan.

41 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 35-47

Gambar (Figure) 3. Kurva rarefaction secara keseluruhan untuk zona submontana (1), montana (2), dan subalpine (3). Garis hitam putus-putus menunjukkan kekayaan jenis berdasarkan rarefied richness untuk ukuran sampel yang sama yaitu 313 individu pohon (Rarefaction curve for all zone: submontane (1), montane (2), and subalpine (3). Dashed black lines showed rarefied richness at the same level of sampling effort i.e. 313 trees)

Gambar (Figure) 4. Kurva rarefaction, untuk masing-masing plot pengamatan. Angka pada plot menunjukkan urutan plot berdasarkan ketinggian dari yang terendah ke tertinggi yaitu zona submontana (1-8), montana (9-18), dan subalpine (19-26) (Rarefaction curve for each plot. The number of the line in the boxes indicated the plot location from the lowest to the highest altitude i.e. submontane (1-8), montane (9-18), and subalpine (19-26))

42 Analisis keanekaragaman pohon di TNGGP (Rozak, A. H., Astutik, S., Mutaqien, Z., Sulistyawati, E., dan Widyatmoko, D.)

C. Pendugaan Nilai Indeks Rarefied rarefied richness terbukti cukup signifikan Richness dari Nilai Indeks Shannon- dengan koefisien korelasi yang tinggi Wiener, Simpson’s, dan Kombinasi- (Gambar 5, koefisien korelasi ≥0.8). nya Dua persamaan linear yang bisa Penggunaan indeks Shannon-Wiener digunakan untuk mengkonversi indeks ataupun Simpson’s sudah sangat umum Shannon-Wiener, indeks Simpson’s dilakukan di Indonesia. Namun demikian, ataupun kombinasi keduanya menjadi penelitian ini merekomendasikan peng- indeks rarefied richness ditampilkan pada gunaan indeks rarefied richness untuk Tabel 3. Persamaan tersebut mampu penelitian-penelitian terkait keaneka- menjelaskan sebesar 61% (menggunakan ragaman pohon dengan alasan yang sudah satu variabel bebas Simpson’s) dan 85% disampaikan sebelumnya. Pembandingan (menggunakan satu variabel bebas keanekaragaman pohon dengan penelitian Shannon-Wiener) dari total variasi yang lain dengan menggunakan rarefied dimiliki oleh kedua indeks tersebut. Dalam richness tanpa mendapatkan datanya tentu kasus tertentu, beberapa penelitian akan sulit dilakukan. Pilihan konversi menghitung kedua indeks (Shannon- indeks Shannon-Wiener dan Simpson’s Wiener dan Simpson’s) secara bersamaan. kepada rarefied richness bisa dijadikan Oleh karenanya, kedua indeks tersebut bisa alternatif jika ingin membandingkan digunakan secara simultan dan berhasil indeks rarefied richness dengan indeks meningkatkan koefisien regresi linear Shannon-Wiener ataupun Simpson’s dari sebesar 1,6% dibandingkan persamaan penelitian-penelitian sebelumnya (Beisel, yang hanya menggunakan indeks Usseglio-Polatera, Bachmann, & Shannon-Wiener atau 25,5% dibandingkan Moreteau, 2003). Hubungan dua indeks persamaan yang hanya menggunakan Shannon-Wiener dan Simpson’s terhadap indeks Simpson’s.

Gambar (Figure) 5. Regresi linear, distribusi data, dan koefisien korelasi antar indeks keanekaragaman pohon. Koefisien korelasi (Corr.) dihitung dengan metode Pearson. Regresi linear (garis warna biru) dengan tingkat kepercayaan 95% dihitung untuk masing-masing indeks (Linear regressions, data distributions, and coefficients of correlation (Corr.) among tree diversity indices. Coefficients of correlation were calculated using Pearson method. Linear regression (blue solid line) with 95% confidence interval were performed among indices)

43 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 35-47

Tabel (Table) 3. Analisis statistik regresi linear untuk mengkonversi indeks Shannon- Wiener, Simpson’s dan kombinasi keduanya menjadi indeks rarefied richness (Statistical analysis of the linear regression for converting Shannon-Wiener, Simpson’s, and combination of both indices into rarefied richness index) Variable Adjusted R2 Predictor β Standard p- error value Rarefied richness 85,0% Intersept -7,25 1,68 <0,001 Shannon-Wiener 7,99 0,77 <0,001 Rarefied richness 61,1% Intersept -30,03 7,26 <0,001 Simpson’s 47,55 8,57 <0,001 Rarefied richness 86,6% Intersept 5,42 7,32 0,47 Shannon-Wiener 11,01 1,85 <0,001 Simpson’s -22,77 12,84 0,09

IV. KESIMPULAN DAN SARAN melalui regresi linear berkisar antara 61- A. Kesimpulan 85% dari total variasi. Penelitian tentang penggunaan dan pembandingan tiga indeks keaneka- B. Saran ragaman pohon di TNGGP menyimpulkan Penelitian ini belum mencakup per- bahwa zona submontana memiliki hitungan jumlah sampel (plot) minimal keanekaragaman pohon yang lebih tinggi yang dibutuhkan dalam menghitung dibandingkan dengan zona lainnya. Pada ketiga indeks yang digunakan. Pada ketiga indeks yang digunakan, nilai dasarnya, jumlah sampel yang dibutuhkan keanekaragaman pohon semakin turun untuk menghitung masing-masing indeks seiring dengan semakin tingginya lokasi keanekaragaman adalah sama. Salah satu penelitian dimana indeks rarefied richness persamaan yang bisa digunakan dalam lebih sensitif dalam menjelaskan keaneka- menghitung jumlah minimal sampel (n) ragaman pohon pada masing-masing zona mengikuti apa yang digunakan oleh penelitian. Oleh karena itu, penggunaan Wagner et al. (2010) adalah 푛 = 2 2 2 indeks rarefied richness direkomendasi- 푠 푡[훼,푛−1]/푒 , dimana s adalah estimasi kan untuk digunakan dalam analisis variansi indeks dari sampel yang diukur, t keanekaragaman pohon atau taksa lainnya adalah nilai t-statistik Student’s (diset karena lebih obyektif dalam menjelaskan pada angka 1,96), dan d adalah error yang keanekaragaman suatu kawasan. ingin dicapai. Sebagai contoh, jika Tingkat keobyektifan didapatkan variansi sampel indeks keanekaragaman melalui perhitungan rarefied richness, suatu komunitas hutan adalah 50% dan dikarenakan indeks tersebut membanding- error yang ingin dicapai untuk kan keanekaragamannya pada jumlah menghitung indeks tertentu sebesar 20%, satuan individu yang sama, dan mampu maka jumlah sampel yang dibutuhkan menganalisis apakah individu pohon yang pada tingkat kepercayaan 95% adalah 24 terinventarisasi sudah cukup representatif sampel penelitian. atau belum, dalam menghitung indeksnya. Kompleksitas dalam perhitungan Konversi indeks Shannon-Wiener dan indeks rarefied richness mungkin bisa Simpson’s terhadap indeks rarefied menjadi alasan menghindari perhitungan richness bisa dilakukan. Penelitian ini indeksnya, sehingga sampai sekarang menunjukkan bahwa terdapat korelasi masih banyak analisis keanekaragaman antara kedua indeks tersebut ataupun pohon yang menggunakan indeks yang kombinasinya terhadap indeks rarefied bersifat umum seperti Shannon-Wiener richness. Variasi yang dapat dijelaskan maupun Simpson’s. Namun demikian,

44 Analisis keanekaragaman pohon di TNGGP (Rozak, A. H., Astutik, S., Mutaqien, Z., Sulistyawati, E., dan Widyatmoko, D.)

seiring dengan perkembangan software Biological Diversity, 7(2), 147–153. untuk analisis keanekaragaman hayati, https://doi.org/10.13057/biodiv/d070 perhitungan rarefied richness saat ini 212 sangat mudah dilakukan. Software seperti Arrijani. (2008). Vegetation structure and EstimateS ataupun platform R melalui composition of the montane zone of package ‘vegan’ atau ‘rich’ saat ini Mount Gede Pangrango National tersedia secara bebas dan dapat Park. Biodiversitas, Journal of memudahkan untuk menghitung indeks Biological Diversity, 9(2), 134–141. tersebut. https://doi.org/10.13057/biodiv/d090 212 UCAPAN TERIMA KASIH Beech, E., Rivers, M., Oldfield, S., & Penulis mengucapkan terima kasih kepada Smith, P. P. (2017). Balai Besar Taman Nasional Gunung GlobalTreeSearch: The first complete Gede Pangrango atas diizinkannya global database of tree species and penelitian ini. Ucapan terima kasih juga country distributions. Journal of disampaikan kepada Pak Rustandi, Pak Sustainable Forestry, 36(5), 454– Upah, Ahmad Jaeni, Dimas Ardiyanto, 489. Avniar Noviantini, Nuri Setiawan, https://doi.org/10.1080/10549811.20 Mahendra Primajati, Dinna Tazkiana, Pak 17.1310049 Sofyan, Pak Ae, dan Pak Yusuf atas Beisel, J.-N., Usseglio-Polatera, P., bantuannya selama melakukan penelitian. Bachmann, V., & Moreteau, J.-C. Terima kasih juga disampaikan untuk (2003). A comparative analysis of Wiguna Rahman atas masukan dan evenness index sensitivity. kritiknya pada versi awal tulisan ini. International Review of Penelitian ini didanai melalui program Hydrobiology, 88(1), 3–15. kompetitif Lembaga Ilmu Pengetahuan https://doi.org/10.1002/iroh.2003900 Indonesia (LIPI) tahun anggaran 2009- 04 2011 melalui Kebun Raya Cibodas. Boyle, B., Hopkins, N., Lu, Z., Raygoza Garay, J. A., Mozzherin, D., Rees, T., DAFTAR PUSTAKA … Enquist, B. J. (2013). The Acharya, B. K., Chettri, B., & Vijayan, L. taxonomic name resolution service: (2011). Distribution pattern of trees An online tool for automated along an elevation gradient of Eastern standardization of plant names. BMC Himalaya, India. Acta Oecologica, Bioinformatics, 14, 16. 37(4), 329–336. https://doi.org/10.1186/1471-2105- https://doi.org/10.1016/j.actao.2011. 14-16 03.005 Brown, J. H., Ernest, S. K. M., Parody, J. Aiba, S., & Kitayama, K. (1999). M., & Haskell, J. P. (2001). Structure, composition and species Regulation of diversity: Maintenance diversity in an altitude-substrate of species richness in changing matrix of rain forest tree communities environments. Oecologia, 126(3), on Mount Kinabalu, Borneo. Plant 321–332. Ecology, 140(2), 139–157. https://doi.org/10.1007/s0044200005 https://doi.org/10.1023/A:100971061 36 8040 Buddle, C. M., Beguin, J., Bolduc, E., Arrijani. (2006). Vegetation analysis of Mercado, A., Sackett, T. E., Selby, R. the upstream Cianjur watershets in D., … Zeran, R. M. (2005). The Mount Gede-Pangrango National importance and use of taxon sampling Park’s. Biodiversitas, Journal of curves for comparative biodiversity

45 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 35-47

research with forest Lamb, E. G., Bayne, E., Holloway, G., assemblages. The Canadian Schieck, J., Boutin, S., Herbers, J., & Entomologist, 137(1), 120–127. Haughland, D. L. (2009). Indices for https://doi.org/10.4039/n04-040 monitoring biodiversity change: Are Canty, A., & Ripley, B. (2019). boot: some more effective than others? Bootstrap R (S-Plus) function. Ecological Indicators, 9(3), 432–444. Retrieved from https://cran.r- https://doi.org/10.1016/j.ecolind.200 project.org/web/packages/boot/boot. 8.06.001 pdf Larashati, I. (2004). Plant diversity and Chao, A., Gotelli, N. J., Hsieh, T. C., population in Mount Kelud, East Sander, E. L., Ma, K. H., Colwell, R. Java. Biodiversitas, Journal of K., & Ellison, A. M. (2014). Biological Diversity, 5(2), 71–76. Rarefaction and extrapolation with https://doi.org/10.13057/biodiv/d050 Hill numbers: A framework for 206 sampling and estimation in species Magurran, A. E. (2004). Measuring diversity studies. Ecological biological diversity. Victoria, Monographs, 84(1), 45–67. Australia: Blackwell Science. https://doi.org/10.1890/13-0133.1 Mutaqien, Z., & Zuhri, M. (2011). DiCiccio, T. J., & Efron, B. (1996). Establishing a long-term permanent Bootstrap confidence intervals. plot in remnant fores of Cibodas Statistical Science, 11(3), 189–212. Botanic Gardens, West Java. Gotelli, N. J., & Colwell, R. K. (2001). Biodiversitas, Journal of Biological Quantifying biodiversity: Procedures Diversity, 12(4), 218–224. and pitfalls in the measurement and Nobre, J. S., & Singer, J. M. (2011). comparison of species richness. Leverage analysis for linear mixed Ecology Letters, 4(4), 379–391. models. Journal of Applied Statistics, https://doi.org/10.1046/j.1461- 38(5), 1063–1072. 0248.2001.00230.x https://doi.org/10.1080/02664761003 Heck, K. L., van Belle, G., & Simberloff, 759016 D. (1975). Explicit calculation of the Oksanen, J., Blanchet, F. G., Friendly, M., rarefaction diversity measurement Kindt, R., Legendre, P., McGlinn, D., and the determination of sufficient … Wagner, H. (2017). Package sample size. Ecology, 56(6), 1459– “vegan”: Community ecology 1461. package. Retrieved from https://doi.org/10.2307/1934716 https://github.com/vegandevs/vegan Hurlbert, S. H. (1971). The nonconcept of Palmer, M. W. (1994). Variation in species diversity: A critique and species richness: Towards a alternative parameters. Ecology, unification of hypotheses. Folia 52(4), 577–586. Geobotanica et Phytotaxonomica, Kraft, N. J. B., Comita, L. S., Chase, J. M., 29(4), 511. Sanders, N. J., Swenson, N. G., Crist, https://doi.org/10.1007/BF02883148 T. O., … Myers, J. A. (2011). R Core Team. (2017). R: A language and Disentangling the drivers of β environment for statistical diversity along latitudinal and computing. Retrieved from elevational gradients. Science, https://www.R-project.org/ 333(6050), 1755–1758. Réjou‐Méchain, M., Tanguy, A., Piponiot, https://doi.org/10.1126/science.1208 C., Chave, J., & Hérault, B. (2017). 584 biomass: An r package for estimating above-ground biomass and its

46 Analisis keanekaragaman pohon di TNGGP (Rozak, A. H., Astutik, S., Mutaqien, Z., Sulistyawati, E., dan Widyatmoko, D.)

uncertainty in tropical forests. American Naturalist, 102(925), 243– Methods in Ecology and Evolution, 282. https://doi.org/10.1086/282541 8(9), 1163–1167. Shannon, C. E., & Weaver, W. (1963). https://doi.org/10.1111/2041- The mathematical theory of 210X.12753 communication. Retrieved from Rozak, A. H., & Gunawan, H. (2015). http://raley.english.ucsb.edu/wp- Altitudinal gradient affects on trees content/Engl800/Shannon- and stand attributes in Mount Ciremai Weaver.pdf National Park, West Java, Indonesia. Simberloff, D. (1972). Properties of the Jurnal Penelitian Kehutanan rarefaction diversity measurement. Wallacea, 4(2), 93–99. The American Naturalist, 106(949), https://doi.org/10.18330/jwallacea.20 414–418. 15.vol4iss2pp93-99 Simpson, E. H. (1949). Measurement of Rozak, A. H., Astutik, S., Mutaqien, Z., diversity. Nature, 163(4148), 688. Widyatmoko, D., & Sulistyawati, E. https://doi.org/10.1038/163688a0 (2016). Kekayaan jenis pohon di van Steenis, C. G. G. J., Hamzah, A., & hutan Taman Nasional Gunung Gede Toha, M. (1972). Mountain flora of Pangrango, Jawa Barat. Jurnal Java (1st ed.). Leiden, The Penelitian Hutan dan Konservasi Netherlands: E.J. Brill. Alam, 13(1), 1–14. https://doi.org/10.20886/jphka.2016. Wagner, F., Rutishauser, E., Blanc, L., & 13.1.1-14 Herault, B. (2010). Effects of plot size and census interval on descriptors of Rozak, A. H., Astutik, S., Mutaqien, Z., forest structure and dynamics: Widyatmoko, D., & Sulistyawati, E. Assessing variability in a Neotropical (2017). Hiperdominansi Jenis dan forest. Biotropica, 42(6), 664–671. Biomassa Pohon di Taman Nasional https://doi.org/10.1111/j.1744- Gunung Gede Pangrango, Indonesia. 7429.2010.00644.x Jurnal Ilmu Kehutanan, 11(1), 85–96. https://doi.org/10.22146/jik.24903 Wolda, H. (1981). Similarity indices, sample size and diversity. Oecologia, Sanders, H. L. (1968). Marine benthic 50(3), 296–302. diversity: A comparative study. The https://doi.org/10.1007/BF00344966

47

(2020), 17(1): 49-63 pISSN: 0216 – 0439 eISSN: 2540 – 9689 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHKA Akreditasi Kemenristekdikti Nomor 21/E/KPT/2018

JENIS POHON TARGET DAN AKTIVITAS PEMBALAKAN LIAR DI TAMAN NASIONAL GUNUNG PALUNG (Logged Tree Species and Illegal Logging Activity in Gunung Palung National Park)

Nurul Ihsan Fawzi*, Agus Novianto, Agus Supianto, dan/and Nur Febriani Yayasan Alam Sehat Lestari, Jl. Sungai Mengkuang, Sukadana, Kalimantan Barat, Indonesia 55284 Telp: +628111011041

Info artikel: ABSTRACT Keywords: Information about tree species that are targeted for illegal logging in the Gunung Palung Deforestation, illegal National Park (GPNP) area is limited. Knowing the tree species that are targeted in logging target’s tree, illegal logging activity is expected to assist in the efforts of biodiversity conservation Gunung Palung particularly protection of endangered tree species. This research was conducted to: (1) National Park, identify the tree species that are targeted to be logged in GPNP; (2) calculate logging dipterocarpaceae, frequency, and (3) find out the number of active loggers in the area of GPNP. This conservation program was a collaboration project between the Alam Sehat Lestari (ASRI) Foundation, Health in Harmony and Gunung Palung National Park Office. The method used was interview with 43 loggers who had joined the chainsaw buyback program and restart their new livelihood as entrepreneur. In addition, a field survey was conducted to find how the program could decrease the number of active loggers within the GPNP area. The results of the study identified 26 tree species of 15 families that are often logged in the GPNP area. Bengkirai, meranti (red and white meranti groups) and ironwood were among the most logged trees. In normal circumstances, ± 5.7 – 9.88 trees were logged weekly with a logging frequency of ± 1.91 - 1.41 (~2) times per week. The logging frequency tended to increase during the dry season. The field survey results showed that there were 61 active loggers on average per year in GPNP. Those loggers have caused GPNP to lose approximately 18,300 trees with diameter > 40 cm per year. Information regarding logged tree species and logging frequency can be valuable for management and conservation efforts in Gunung Palung National Park. Kata kunci: ABSTRAK Deforestasi, pohon target Informasi tentang jenis-jenis pohon yang menjadi target untuk ditebang di Taman pembalakan liar, Nasional Gunung Palung (TNGP) masih minim. Mengetahui jenis pohon yang ditebang Taman Nasional dari aktivitas pembalakan liar diharapkan membantu upaya peningkatan konservasi Gunung Palung, biodiversitas khususnya perlindungan terhadap jenis pohon terancam punah. Penelitian ini dipterokarpa, bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi jenis-jenis pohon yang dicari dan ditebang di dalam konservasi kawasan TNGP; (2) mengetahui frekuensi penebangan; dan (3) mengetahui jumlah penebang yang aktif menebang di kawasan TNGP. Program ini merupakan hasil kerja sama antara Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Health in Harmony, dan Balai Taman Nasional Gunung Palung. Metode yang digunakan adalah wawancara terhadap 43 penebang yang telah bergabung program chainsaw buyback untuk memulai wiraswasta. Selain itu, dilakukan survei lapangan untuk mengetahui jumlah penebang aktif yang menebang di kawasan TNGP. Hasil penelitian mengidentifikasi 26 jenis pohon dari 15 suku yang sering ditebang di kawasan TNGP. Pohon bengkirai, meranti (kelompok meranti merah dan meranti putih) dan ulin adalah jenis pohon yang paling banyak Riwayat artikel: ditebang. Dalam kondisi normal, pohon tersebut ditebang sebanyak ± 5,7-9,88 pohon Tanggal diterima: perminggu dengan frekuensi menebang ± 1,91-1,41 (~2) kali per minggu. Frekuensi 9 Agustus 2019; menebang meningkat saat musim kemarau. Dari hasil survei lapangan didapatkan rata-rata Tanggal direvisi: jumlah penebang aktif yang menebang di TNGP adalah 61 penebang per tahun. 27 Desember 2019; Keberadaan penebang tersebut membuat TNGP diperkirakan kehilangan ±18.300 pohon Tanggal disetujui: dengan diameter > 40 cm per tahun. Informasi tentang jenis-jenis pohon yang ditebang 21 Pebruari 2020 dan frekuensi menebang ini dapat menjadi dasar pengelolaan dan upaya konservasi di TNGP.

Editor: Dr. Yulita Sri Kusumadewi Korespondensi penulis: Nurul Ihsan Fawzi* (E-mail: [email protected]) Kontribusi penulis: NIF: menganalisis data dan menyusun karya tulis; AN: melakukan survey dan input data hasil survey; AS: survey lapangan ke 35 dusun untuk pengumpulan dan validasi data; NF: melakukan supervise naskah dan program.

https://doi.org/10.20886/jphka.2020.17.1.49-63 ©JPHKA - 2018 is Open access under CC BY-NC-SA license

49 Vol. 17 No. 1, Juni 2020: 49-63

I. PENDAHULUAN dan lebih dari 600 spesies dengan Sejak tahun 1973 – 2010, 30,2% distribusi utama di hutan-hutan kawasan atau 168.493 km2 hutan hujan tropis di Asia Tenggara (Appanah & Turnbull, Pulau Kalimantan telah hilang akibat 2015). Sekitar 65% hutan di TNGP masih deforestasi (Gaveau et al., 2014, 2016). berupa hutan primer dan 26% hutan Deforestasi yang terjadi ini menyumbang sekunder yang mengalami regenerasi 6 – 17 % dari total karbon yang diemisi- (Fawzi et al., 2019). Hutan sekunder kan ke atmosfer (Baccini et al., 2012; van tersebut adalah sebagian dari ~38% hutan der Werf et al., 2009). Saat ini hampir yang mengalami deforestasi dan setengah hutan di Pulau Kalimantan telah degradasi yang kembali menjadi hutan hilang akibat konversi menjadi per- (Curran et al., 2004). Deforestasi yang kebunan kelapa sawit, kebakaran hutan, terjadi akibat ketergantungan masyarakat dan peruntukan lahan pertanian (Gaveau di sekitar TNGP terhadap pekerjaan di et al., 2019; Tsujino et al., 2016). bidang pembalakan liar (Hiller et al., Konversi tersebut menyebabkan hanya 2004). Pada tahun 2007, terdapat 1.350 52,8% hutan di Pulau Kalimantan yang keluarga yang bergantung hidupnya pada tersisa, 209.649 km2 berupa hutan primer aktivitas pembalakan liar (Webb, 2018). dan 179.917 km2 hutan yang telah ter- Upaya konservasi yang dilakukan degradasi (Gaveau et al., 2014). berkontribusi terhadap penurunan sebesar Pembalakan liar menjadi perma- 89% aktivitas pembalakan liar di tahun salahan utama dalam upaya konservasi 2017 atau menjadi hanya 150 keluarga. hutan-hutan di Indonesia (Ji et al., 2018; Webb (2018) menyiratkan masih terdapat Obidzinski & Kusters, 2015). Istilah aktivitas pembalakan liar dalam Kawasan pembalakan liar merujuk pada aktivitas TNGP. menebang pohon di kawasan hutan-hutan Untuk mengantisipasi banyaknya yang dilindungi oleh hukum (Brack & penebangan liar di TNGP maka dibentuk Hayman, 2001). Beberapa Taman program tukar chainsaw/gergaji mesin Nasional (TN) di Indonesia juga (chainsaw buyback). Program ini mengalami deforestasi dari aktivitas memberikan insentif dengan cara mem- pembalakan liar, seperti di TN. Gunung beli gergaji mesin yang dimiliki oleh Leuser, TN. Meru Betiri, dan TN. Bukit penebang aktif untuk modal bisnis Barisan (Putra Adela & Saragih, 2018; bersama pembuatan Usaha Mikro, Kecil, Suyadi, 2011; TN. Meru Betiri, 2011). dan Menengah (UMKM) sebagai Pembalakan liar selain untuk memenuhi pekerjaan alternatif dan berhenti kebutuhan pasar kayu, seringkali menebang. (Kubo et al., 2019). Program berasosiasi dengan ladang berpindah dan chainsaw buyback diinisiasi oleh pertanian (Yoshikura et al., 2016; Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) Zamzani et al., 2009). Masalah pem- dengan mitra organisasi Health in balakan liar ini harus diselesaikan untuk Harmony bekerja sama dengan Balai menurunkan deforestasi terutama melalui Taman Nasional Gunung Palung. perbaikan kebijakan pengelolaan dan Yayasan ASRI membeli gergaji mesin perbaikan informasi kehutanan (Schmitz, dengan panjang bar 36 inci yang dimiliki 2016). oleh penebang aktif sebagai insentif Taman Nasional Gunung Palung apresiasi berhenti menebang dan (TNGP) yang terletak di Kalimantan menyediakan sejumlah dana yang Barat adalah salah satu hutan diptero- nominalnya lebih besar dari harga gergaji karpa (suku Dipterocarpaceae) yang mesin sebagai tambahan modal. Sasaran masih tersisa di Pulau Kalimantan program ini adalah penebang aktif, yaitu (Chechina & Hamann, 2019). Suku penebang yang aktif menebang kayu di Dipterocarpaceae terdiri atas 16 genus dalam TNGP. Program chainsaw

50 Identifikasi Jenis Pohon Hasil Illegal Logging (Fawzi, N. I., Novianto, A., Supianto, A., dan Febriani, N.) buyback di mulai sejak 17 Januari 2017. Meijaard et al., 2008; Scotson et al., Sampai bulan Desember 2018, sebanyak 2017; Wilson et al., 2014). Sebanyak 45 penebang aktif telah bergabung dan 3.500 – 4.000 jenis vegetasi berkayu menukar gergaji mesin mereka untuk telah teridentifikasi di Kawasan TNGP, beralih profesi. 70 jenis diantaranya dari suku Sementara ini, informasi yang ada Dipterocarpaceae (Setiawan & Sofian, di komunitas dan literatur konservasi 2018). adalah tentang tingkat deforestasi dan degradasi hutan yang tinggi. Informasi B. Metode Penelitian tentang jenis-jenis pohon yang ditebang Pengambilan data dilakukan dan lokasi aktivitas penebangan masih dengan membuat kuesioner terstruktur sangat minim. Adanya kesenjangan digunakan untuk mewawancarai 43 dari informasi tersebut diperlukan penye- 45 mitra yang telah bergabung dalam lesaian untuk meningkatkan upaya program chainsaw buyback (N=43). Isi konservasi yang telah ada. Penelitian ini kuesioner yang digunakan untuk bertujuan (1) untuk mengidentifikasi wawancara adalah untuk mendapatkan jenis-jenis pohon yang dicari dan informasi tentang (1) sosial ekonomi ditebang di dalam Kawasan TNGP, (2) mitra ketika berkerja sebagai penebang, mengetahui frekuensi menebang yang (2) tiga jenis kayu (nama lokal) dengan dilakukan per minggu di TNGP, dan (3) diameter >40 cm yang sering ditebang mengetahui jumlah penebang yang aktif selama bekerja menebang pohon di menebang di dalam Kawasan TNGP. TNGP, (3) frekuensi menebang perminggu, dan (4) jumlah pohon ditebang per minggu. Frekuensi II. BAHAN DAN METODE menebang adalah berapa kali mereka A. Waktu dan Lokasi Penelitian melakukan aktivitas penebangan dalam Penelitian ini dilakukan pada bulan kawasan TNGP. Jumlah pohon yang Januari – Februari 2019 di Taman ditebang adalah jumlah pohon dengan Nasional Gunung Palung, Kalimantan diameter >40 cm yang ditebang dalam Barat (1o3’ – 1o22’ LU, 109o54’ – setiap kali pergi menebang ke dalam 110o28’ BT) dan memiliki curah hujan kawasan TNGP. rata-rata 3.000 mm/tahun. Taman Monitoring aktivitas pembalakan nasional ini memiliki luas 108.043 ha liar dalam kawasan TNGP dilakukan (Setiawan & Sofian, 2018), dan memiliki dengan survei lapangan. Survei lapangan keberagaman ekosistem, yaitu ekosistem dilakukan di 35 dusun dari 22 desa yang montana (1.116 mdpl), dataran rendah, berbatasan langsung dengan TNGP. lahan gambut, kerangas, dan ekosistem Survei lapangan telah dilakukan sejak mangrove (Fawzi et al., 2019). Beberapa tahun 2015 – sekarang. Penelitian ini satwa liar yang dijumpai di TNGP antara menggunakan data hasil survei lapangan lain orangutan (Pongo pygmaeus), tahun 2015 - 2018. Survei lapangan yang bekantan (Nasalis larvatus), beruang dilakukan untuk mendapatkan data madu (Helarctos malayanus), macan tentang jumlah penebang aktif yang dahan (Neofelis diardi), dan owa menebang di kawasan TNGP. (Hylobates agilis) (Hearn et al., 2015;

51 Vol. 17 No. 1, Juni 2020: 49-63

Gambar (Figure) 1. Peta lokasi penelitian yang menunjukkan persebaran mitra (responden) dan lokasi survei lapangan di dusun-dusun yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat (Map of the research site showing the distribution of partners (respondents) and the location of the field survey in the villages adjacent to GPNP, West Kalimantan)

Data frekuensi menebang juga III. HASIL DAN PEMBAHASAN dianalisis menggunakan statistik des- A. Jenis Pohon Target Pembalakan kriftif. Data frekuensi menebang dan Liar jumlah pohon yang ditebang dikelaskan Hasil penelitian mencatat terdapat untuk menebang dalam kondisi normal, 15 suku pohon yang paling sering musim kemarau, musim hujan, pesanan ditebang atau dicari oleh penebang di pemodal, dan pesanan pribadi. Per- dalam Kawasan TNGP. Pohon dari suku hitungan frekuensi dan jumlah pohon Dipterocarpaceae adalah jenis pohon ditebang selama satu tahun menggunakan yang paling banyak ditebang (36%), konversi 52 minggu. diikuti suku Lauraceae (8%), dan suku Data monitoring aktivitas pem- Sapotaceae (8%). Frekuensi penebangan balakan liar ditabulasi untuk mengetahui pada suku Dipterocarpaceae mencapai fluktuasi penebang aktif di TNGP. Hasil 135%. Artinya setiap penebang hampir wawancara dengan masyarakat dipilah selalu menebang jenis pohon dari suku untuk mendapatkan faktor-faktor penye- Dipterocarpaceae dibanding dengan suku bab yang mempengaruhi pembalakan liar lainnya. masih terjadi. Faktor sosial ekonomi Pohon bengkirai (Shorea laevis) untuk menjelaskan tentang penghasilan adalah jenis pohon yang paling dicari dari aktivitas pembalakan liar diperoleh untuk ditebang, sebanyak 55,8% dari tabulasi data kuesioner. penebang sering menebang pohon ini.

52 Identifikasi Jenis Pohon Hasil Illegal Logging (Fawzi, N. I., Novianto, A., Supianto, A., dan Febriani, N.)

Pohon bengkirai merupakan salah satu Pohon dari jenis meranti tidak jenis pohon komersial yang terbaik masuk dalam daftar CITES (Convention dengan densitas kayu 0,96 gram/cm3 on International Trade in Endangered (Maharani et al., 2010). Hal ini membuat Species of Wild Fauna and Flora). bengkirai menjadi salah satu jenis kayu Namun banyak spesies dari suku Diptero- komersial dengan permintaan pasar yang carpaceae masuk dalam daftar merah tinggi (Mark et al., 2014). Jenis pohon IUCN (International Union for Conser- yang menjadi sasaran berikutnya untuk vation of Nature). Status dan ancaman ditebang adalah pohon meranti. Pohon terhadap spesies mulai dari resiko rendah meranti dicari karena karakteristik kayu (least concern, LC), hampir terancam yang dihasilkan adalah ringan dan kuat, (near threatened, NT), rentan cocok untuk konstruksi rumah (vurnerable, VU), hingga genting (Kurowska & Kozakiewicz, 2010). (endangered, EN). Seperti pohon Penebang mendefinisikan pohon meranti bengkirai, ancaman penebangan yang sebagai pohon dari jenis kelompok tinggi membuat populasi di dunia meranti merah (diantaranya: Shorea menurun 30 – 50%, dan membuat status leprosula, Shorea parvifolia, Shorea ancaman spesies dalam kategori rentan ovalis, dan Shorea quadrinervis) dan (Pooma et al., 2017). kelompok meranti putih (Shorea agamii, Jenis pohon berikutnya yang di- Shorea gratissima, Shorea lamellata, dan tebang adalah pohon belian atau ulin Shorea virescens). Kelompok meranti (Eusideroxylon zwageri). Pohon ulin merah dapat dibedakan secara visual dari mampu tumbuh mencapai tinggi 50 meter tampilan kayunya merah. Terkadang dan diameter mencapai 225 cm penebang juga mendapat pesanan kayu (Pradjadinata & Murniati, 2014). Laju meranti untuk jenis meranti gunung pertumbuhan radial adalah 0,058 cm per (hidup di bukit) atau meranti rawa. tahun, atau untuk mencapai diameter 1 Hampir setengah dari penebang cm dibutuhkan waktu 17 tahun menebang pohon dari jenis meranti. Jika (Kurokawa et al., 2003). Distribusi jenis dikombinasikan, ada beberapa penebang ini di kawasan TNGP hanya tersisa di yang hanya menebang dari dua jenis zona inti. Pohon ulin merupakan salah pohon saja (meranti dan bengkirai) ketika satu jenis kayu yang paling cari untuk melakukan penebangan dalam kawasan memenuhi pasar lokal (Effendi, 2009). TNGP. Jenis-jenis pohon dari suku Dua puluh persen dari penebang aktif di Dipterocarpaceae lainnya yang ditebang kawasan TNGP menebang jenis pohon untuk memenuhi kebutuhan kayu adalah ini. Kayu ulin dicari karena tidak dapat pohon tengkawang (Shorea lapuk, tahan terhadap air, dan tahan macrophylla), keladan (Dipterocarpus terhadap rayap. Sehingga jenis kayu ini gracilis), keruing (Dipterocarpus grandi- cocok untuk pondasi rumah atau bangun- florus), resak (Vatica rassak), tekam an, jembatan, tiang listrik, hingga atap (Hopea dryobalanoides), merah (Shorea bangunan. balangeran), dan kapur (Dryobalanops sumatrensis).

53 Vol. 17 No. 1, Juni 2020: 49-63

Tabel (Table) 1. Jenis-jenis pohon yang paling banyak ditebang di dalam kawasan TNGP (Tree species most frequently logged in GPNP area) Jumlah responden Nama Lokal Nama Latin Suku No (Respon-dents) % (Local Name) (Scientific Name) (Family) (N = 43) 1 Bengkirai Shorea laeviws Ridl. Dipterocarpaceae 24 55.8 2 Meranti (marga) Shorea Roxb. ex C.F.GaerTN. Dipterocarpaceae 23 53.5 3 Tengkawang Shorea macrophylla (de Vriese) Dipterocarpaceae 1 2.3 P.S.Ashton 4 Keladan Dipterocarpus gracilis Blume Dipterocarpaceae 6 14.0 5 Keruing Dipterocarpus Dipterocarpaceae 2 4.7 grandiflorus Blanco 6 Resak Vatica rassak Blume Dipterocarpaceae 2 4.7 7 Tekam/ Hopea dryobalanoides Miq. Dipterocarpaceae 1 2.3 merawan 8 Merah Shorea balangeran (Korth.) Dipterocarpaceae 1 2.3 Burck 9 Kapur Dryobalanops sumatrensis Dipterocarpaceae 1 2.3 (J.F.Gmelin) Kosterm. 10 Belian/ulin Eusideroxylon zwageri T. & B. Lauraceae 9 20.9 11 Medang (marga) Litsea Lam. Lauraceae 6 14.0 12 Nyatoh (marga) Palaquium Blanco Sapotaceae 15 34.9 13 Ubah (marga) Syzigium Steud. Myrtaceae 7 16.3 14 Parak Aglaia rubiginosa (Hiern) Meliaceae 2 4.7 Pannell 15 Punak Tetramerista glabra Miq. Theaceae 7 16.3 16 Durian Durio zibethinus Murr. Malvaceae 2 4.7 17 Jongkang Palaquium leiocarpum Boerl. Sapotaceae 4 9.3 18 Kayu Bunga Maranthes corymbosa Blume Chrysobalanaceae 1 2.3 19 Benuang Octomeles sumatranum Miq. Tetramelaceae 2 4.7 20 Mempisang/ Lophopetalum javanicum Celastraceae 1 2.3 Kayu pisang (Zoll.) Turcz. 21 Mahang Macaranga triloba Müll.Arg. Euphorbiaceae 1 2.3 22 Keminting hutan Dacryodes rugosa (Blume) Burseraceae 1 2.3 H.J.Lam 23 Gerunggang Cratoxylum arborescens Blume Hypericaceae 1 2.3 24 Kalam Stephegyne parvifolia (Roxb.) Rubiaceae 1 2.3 Korth. 26 Kempas Koompassia Fabaceae 1 2.3 malaccensis Benth.

Jenis lainnya yang ditebang adalah Utara, maka jenis pohon yang ditebang pohon medang (marga Litsea), nyatoh adalah pohon benuang (Octomeles (marga Palaquium) dan ubah (marga sumatranum). Dua penebang juga Syzigium). Seperti pohon meranti, mitra menebang pohon durian (Durio hanya mampu mengenali dari spesies zibethinus) karena pemintaan pasar untuk induk pada tingkat marga. Jenis-jenis jenis kayu tersebut. Lokasi penebangan kayu tersebut termasuk jenis kayu pohon biasanya tidak jauh dari tempat kualitas bagus yang diminati oleh pasar tinggal penebang. Jenis-jenis pohon di (Malik & Osly, 2002; Supriadi, 2019). TNGP bersifat terspesialisasi terhadap Jenis pohon lainnya yang ditebang habitat tertentu (Cannon & Leighton, bersifat lokal di mana para penebang 2004). Sehingga beberapa jenis pohon tinggal. Jika berada di Dusun Mentubang, hanya ditebang oleh 1 – 2 penebang saja. Desa Harapan Mulia, Kabupaten Kayong Tidak seperti jenis pohon bengkirai dan

54 Identifikasi Jenis Pohon Hasil Illegal Logging (Fawzi, N. I., Novianto, A., Supianto, A., dan Febriani, N.) meranti yang merupakan jenis pohon dan perlindungan hutan, selain tujuan dapat hidup hampir di seluruh habitat di mengembalikan kondisi hutan yang rusak TNGP (Webb & Peart, 2000). (Helms et al., 2017; Helms et al., 2018; Jenis-jenis yang telah diidentifikasi Pohnan et al., 2015). pada Tabel 1 merupakan spesies-spesies pohon yang paling banyak ditebang untuk B. Frekuensi Menebang di dalam memenuhi kebutuhan pasar. Daftar merah Kawasan TNGP IUCN telah mengindentifikasi beberapa Dalam kondisi normal, rata-rata jenis spesies tersebut berada dalam setiap mitra ketika bekerja sebagai ancaman rentan untuk punah. Dampak penebang, menebang 5,7 ± 9,88 pohon lainnya akibat pembalakan liar untuk perminggu dengan frekuensi menebang ekosistem adalah pohon-pohon kecil dan sebanyak 1,91 ± 1,41 (~2) kali per anakan pohon akan banyak yang rusak minggu (Tabel 2). Hal ini sama dengan atau mati tertimpa pohon yang ditebang. setiap penebang menebang 3 pohon Pohon yang jatuh akibat penebangan setiap kali pergi menebang. Pohon yang akan menghancurkan sekitar 0,02 ha di-maksud adalah pohon dengan diameter disekitarnya dan merusak tajuk atau >40 cm. Jika dihitung dalam setahun ada membuat patah batang/ranting (Johns, 52 minggu, maka pohon yang ditebang 1992; Kuswanda, 2007). Pembalakan liar satu penebang selama satu tahun adalah juga menyebabkan penurunan ~300 pohon dengan frekuensi menebang kelimpahan dan komposisi spesies yang sebanyak 100 kali per tahun. meng-akibatkan degradasi hutan (Imai et Analisis lebih lanjut dari Tabel 2 di al., 2016). Perubahan komposisi dan dapatkan bahwa penebang lebih banyak struktur vegetasi hutan tersebut dapat menebang pohon untuk pesanan pribadi mempengaruhi siklus hidup 2.500 dibandingkan pesanan pemodal. Pesanan orangutan yang ada di TNGP (Johnson et pribadi yakni pesanan kayu dari per- al., 2005). orangan skala kecil, biasanya untuk Implikasi terhadap upaya konserva- membuat rumah atau bangunan. si di TNGP untuk jenis-jenis pohon yang Frekuensi menebang untuk pesanan menjadi target pembalakan liar ini pribadi adalah 2,05 ± 1,66 kali per memerlukan integrasi strategi konservasi minggu dengan rata-rata pohon ditebang dari seluruh pihak (Kubo et al., 2019). 11,78 ± 43,30 pohon per minggu. Hal yang terpenting adalah bagaimana Pesanan pemodal adalah pesanan skala memformulasikan informasi tentang besar oleh para pengusaha atau cukong spesies-spesies pohon yang “paling kayu untuk dikirim ke luar daerah. dicari” agar menjadi dasar untuk Berbeda dengan pesanan pribadi yang perencanaan pengelolaan TNGP. Upaya bersifat lokal memenuhi kebutuhan pasar konservasi yang dilakukan harus fokus untuk masyarakat, rata-rata frekuensi menyelamatkan hutan yang tersisa dan menebang per minggu untuk memenuhi memperbaiki hutan yang telah rusak. Hal pesanan pemodal meningkat 20% ini dapat disertai dengan rehabilitasi dan menjadi 2,64 ± 1,68 kali per minggu. restorasi hutan berbasis pendekatan Namun, jumlah pohon yang ditebang kepada masyarakat. Upaya rehabilitasi hampir sama dengan pesanan pribadi, dan restorasi mampu meningkatkan yakni 11,44 ± 19,30 pohon per minggu. persepsi masyarakat tentang konservasi

55 Vol. 17 No. 1, Juni 2020: 49-63

Tabel (Table) 2. Frekuensi menebang per minggu dan jumlah pohon yang ditebang per minggu sesuai indikator (The frequency of logging activity per week and the number logged trees per week according to the indicators) N Tidak Rata-rata Indikator (Indicators) SD Min Max Valid menjawab (Mean) (No response) Frekuensi menebang per minggu (Frequency of felling per week) 43 0 1,91 1,41 1 7 (kondisi normal) (Normal condition) Jumlah pohon ditebang per minggu (Number of trees felled per week) 43 0 5,70 9,88 1 60 (kondisi normal) (Normal condition) Frekuensi menebang per minggu (Frequency of felling per week) 43 0 2,07 1,75 1 7 musim kemarau (dry season) Jumlah pohon ditebang per minggu saat musim kemarau (Number of trees 43 0 14,93 45,36 1 20 felled per week in dry season) Frekuensi menebang per minggu musim hujan (Frequency of felling per 39 4 1,62 1,27 1 6 week in rainy season) Jumlah pohon ditebang per minggu saat musim hujan (Number of trees 39 4 5,67 10,60 1 60 felled per week in rainy season) Frekuensi menebang per minggu (Frequency of felling per week) 25 18 2,64 1,68 1 7 pesanan pemodal (investor orders) Jumlah pohon ditebang per minggu untuk pesanan pemodal (Number of trees felled per week by investor 25 18 11,44 19,3 1 100 orders) Frekuensi menebang per minggu (Frequency of felling per week) 41 2 2,05 1,66 1 7 pesanan pribadi (Personal orders) Jumlah pohon ditebang per minggu untuk pesanan pribadi Number of trees 41 2 11,78 43,30 1 280 felled per week by personal orders)

Gambar (Figure) 2. Grafik jumlah penebang aktif yang menebang di dalam Taman Nasional Gunung Palung selama tahun 2015-2018 (Number of active loggers in Gunung Palung National Park during 2015- 2018)

56 Identifikasi Jenis Pohon Hasil Illegal Logging (Fawzi, N. I., Novianto, A., Supianto, A., dan Febriani, N.)

Aktivitas pembalakan liar mening- lakukan selama tahun 2015 - 2018 telah kat ketika musim kemarau. Hal ini mendapatkan data tentang jumlah pene- ditandai dengan jumlah pohon ditebang bang aktif yang menebang di TNGP. yang meningkat 3 kali lipat dengan Gambar 2 menunjukkan rata-rata jumlah frekuensi menebang yang sama. penebang aktif tahunan yang menebang Frekuensi menebang di musim kemarau di TNGP. Jumlah penebang aktif paling yakni 2,07 ± 1,75 kali per minggu dengan banyak terjadi di tahun 2017 dan paling rata-rata pohon yang ditebang adalah sedikit di tahun 2015. Rata-rata setiap 14,93 ± 45,36 pohon per minggu. tahun terdapat 61 penebang yang aktif Berbeda dengan musim penghujan, menebang dalam kawasan TNGP. Jumlah frekuensi menebang lebih rendah 20% ini lebih sedikit dari hasil survei yang dibandingkan dengan musim kemarau, dilakukan oleh (K. Webb, 2018; K. Webb yakni 1,62 ± 1,27 kali perminggu. Pohon et al., 2018) yang mengestimasi jumlah yang ditebang menurun drastis hingga pene-bang yang menebang di TNGP 60% dibandingkan jumlah yang ditebang berjumlah 150 penebang di tahun 2017. saat musim kemarau, yakni hanya 5,67 ± Upaya konservasi dengan program 10,60 pohon per minggu. Faktor yang chainsaw buyback seharusnya mampu mempengaruhi hal ini, dengan rata-rata menurunkan jumlah penebang aktif, frekuensi menebang 2 kali per minggu, karena 45 penebang aktif telah menjadi maka sisa waktu digunakan oleh mitra. Program yang telah dimulai sejak penebang untuk menjual kayu atau Januari 2017 masih tetap membuat membantu istri bertani dan berkebun. jumlah penebang aktif berada di kisaran Ketika musim kemarau, tidak ~60an. Terdapat tiga alasan yang dapat memungkinkan untuk bertani. Sehingga men-jelaskan kenapa jumlah penebang para penebang menghabiskan waktu aktif masih tinggi. Pertama, survei untuk menebang lebih banyak pohon. lapangan hanya mengumpulkan penebang Pohon yang telah ditebang “ditabung” aktif untuk setiap 4 bulan periode selama untuk dikeluarkan ketika musim hujan. satu tahun. Penebang musiman yang Akses sungai adalah akses utama untuk menebang setiap ada pesanan tidak mengeluarkan pohon dari hutan dan masuk dalam data yang dikumpulkan kering ketika musim kemarau. karena tidak aktif saat survei lapangan Rekomendasi untuk upaya konser- dilakukan. Jumlah penebang yang vasi dari data-data yang disajikan pada disampaikan oleh Webb (2018) termasuk Tabel 2, adalah untuk meningkatkan semua jenis penebang baik penebang patroli di musim kemarau. Hal ini dapat aktif dan penebang musiman. Tabel 3 memberi dua keuntungan, yaitu menunjukkan karakteristik sosial menurunkan aktivitas pembalakan liar ekonomi responden yang diwawancara. yang terjadi di kawasan TNGP dan upaya Penghasilan rata-rata dari aktivitas pencegahan kebakaran hutan dan lahan pembalakan liar adalah Rp 3.563.043,-. yang sering terjadi ketika musim Hal ini menjadi salah satu alasan kenapa kemarau. Selain itu, dari segi peraturan terdapat penebang musiman yang dan penindakan hukum harus diperkuat terkadang aktif dan tidak masuk dalam untuk menurunkan aktivitas pemodal di data monitoring saat survei lapangan. kawasan TNGP. Kedua, penebang yang menebang di luar kawasan TNGP telah berpindah lokasi C. Aktivitas Pembalakan Liar di penebangan ke dalam kawasan TNGP. Penebang Kawasan TNGP Sebelum-nya mereka melakukan aktivitas Aktivitas pembalakan liar ditandai pene-bangan di kebun-kebun kelapa dengan keberadaan penebang aktif. Dari sawit atau hutan lindung terdekat. hasil survei lapangan secara teratur di- Namun, pohon-pohon bengkirai, meranti,

57 Vol. 17 No. 1, Juni 2020: 49-63

dan ulin telah susah dicari di lokasi jumlah penebang aktif paling banyak penebangan yang lama. TNGP masih adalah Dusun Jelutung dan Dusun memiliki banyak sumber daya pohon- Pangkalan Jihing. Cikal bakal dari dusun pohon yang diminati di pasar, sehingga tersebut adalah “kampung penebang” di para penebang menjadi aktif menebang di mana para penebang mem-buat pondok- dalam kawasan TNGP. Ketiga, program pondok untuk menebang di tahun chainsaw buyback membutuhkan modal 1997an. Untuk dusun-dusun lain seperti yang cukup besar. Saat ini hampir Dusun Pelerang, Dusun Pangkal Tapang, setengah milyar telah dihabiskan untuk dan dusun lainnya, jumlah penebang mengubah pekerjaan penebang menjadi yang tinggi karena terdapat pesanan mata pencarian alternatif lainnya. Jenis pribadi dan penebang adalah mata usaha baru sebagai mata pencarian pencarian utama. alternatif yang lebih besar membutuhkan Data tentang jumlah penebang aktif modal usaha lebih dari Rp 10.000.000,00. yang menebang di dalam kawasan Saat ini modal untuk merekrut penebang TNGP, dapat digunakan untuk estimasi aktif menjadi mitra UMKM telah terbatas jumlah pohon yang telah ditebang. Rata- dan fokus pekerjaan untuk menyukseskan rata jumlah pohon ditebang per tahun agar usaha yang dilakukan oleh mitra adalah 300 pohon per penebang. Tahun berhasil. Jika terdapat bantuan keuangan 2018, penebang aktif sebanyak 62 untuk program chainsaw buyback, maka penebang, maka jumlah pohon yang telah akan lebih banyak penebang aktif yang ditebang di TNGP pada tahun 2018 direkrut untuk berhenti menebang. Hal diperkirakan sebanyak ±18.600 pohon. ini tentu dapat menurunkan penebang Jika dihitung rata-rata tahunan aktif dan penebang musiman di TNGP. keberadaan penebang aktif yang Persebaran penebang aktif di setiap berjumlah 61 penebang, maka setiap dusun yang berbatasan dengan TNGP tahun diperkirakan ±18.300 pohon disajikan pada Gambar 3. Dusun dengan diameter >40 cm ditebang di TNGP.

Tabel (Table) 3. Karakteristik sosial ekonomi mitra program chainsaw buyback (Socio economic characteristics of chainsaw buyback program partners). Proporsi Variabel Karakteristik reponden (Proportion) (Variables) (Respondent characteristics) (%) Jumlah sampel (Number of samples) (N) 43 Status pernikahan (Marriage status) Menikah (Married) 100 Belum menikah (Single) 0 Anak (Children) Rata-rata (Mean) = 2 Memiliki rumah sendiri (Private house Ya (Yes) 100 ownership) Pendidikan (Education) Tidak tamat SD (do not complete primary 58.7 school) 32.6 Lulus SD (Primary school graduate) 8.7 Lulus SMP (Junior High School Graduate) 0.0 Lulus SMA (Senior High School Graduate) Pendapatan bulanan dari aktivitas Min : 1,500,000 pembalakan liar (Monthly income from Max : 11,000,000 illegal logging activity) Average : 3,563,043 SD : 2,051,125

58 Identifikasi Jenis Pohon Hasil Illegal Logging (Fawzi, N. I., Novianto, A., Supianto, A., dan Febriani, N.)

Gambar (Figure) 3. Peta Sebaran penebang aktif yang menebang di dalam Taman Nasional Gunung Palung selama tahun 2018 dari hasil survei lapangan (Map of the distribution of active loggers in the Gunung Palung National Park during 2018 based on the field survey ).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN kehilangan ±18.300 pohon diameter >40 A. Kesimpulan cm per tahun. Jumlah tersebut dapat Sebanyak 26 jenis dari 15 suku meningkat di musim kemarau karena menjadi jenis pohon yang sering ditebang jumlah pohon yang ditebang menjadi oleh penebang aktif di dalam kawasan lebih banyak. Informasi ini mampu TNGP. Pohon bengkirai, meranti menjadi dasar pengelolaan dan upaya (kelompok meranti merah dan meranti konservasi di TNGP. Rekomendasi untuk putih), dan ulin adalah jenis pohon yang upaya konservasi adalah meningkatkan paling banyak ditebang. Pemilihan jenis patroli saat musim kemarau dan melaku- pohon tersebut dipengaruhi oleh per- kan program restorasi pada hutan yang mintaan pasar, baik pesanan pribadi mau- telah rusak. pun pesanan pemodal. Program chainsaw buyback belum mampu menurunkan B. Saran jumlah penebang aktif di TNGP. Jumlah Dibutuhkan kajian lebih lanjut yang penebang aktif rata-rata per tahun adalah memotret tren pembalakan liar di 61 penebang. Variasi jumlah penebang kawasan TNGP. Kajian tersebut terutama tersebut dipengaruhi oleh adanya untuk melacak asal kayu yang beredar di penebang musiman dan penebang yang pasar. Perlu juga untuk melakukan berpindah menebang di kawasan TNGP. identifikasi jenis kayu hasil pembalakan Dalam kondisi normal, setiap penebang liar untuk seluruh kawasan lindung di aktif menebang 5,7 ± 9,88 pohon per Indonesia. minggu dengan frekuensi 1,91 ± 1,41 (~2) kali per minggu. Selama satu tahun UCAPAN TERIMA KASIH diperkirakan ~300 pohon ditebang oleh setiap penebang dengan frekuensi Ucapan terima kasih kami ucapkan atas menebang sebanyak 100 kali per tahun. dukungan Health in Harmony, Balai Hal ini menjadikan TNGP diperkirakan Taman Nasional Gunung Palung, Sahabat Hutan, masyarakat, dan mitra program

59 Vol. 17 No. 1, Juni 2020: 49-63

chainsaw buyback yang telah beralih K., & Astiani, D. (2004). Lowland profesi. Kami juga mengucapkan terima Forest Loss in Protected Areas. kasih kepada semua pihak yang telah Terra, 303(February), 1000–1003. mendukung kerja ASRI terutama donor https://doi.org/10.1126/science.1091 dan individu yang tidak dapat kami 714 sebutkan satu per satu. Effendi, R. (2009). Kayu ulin di Kalimantan: potensi, manfaat, DAFTAR PUSTAKA permasalahan dan kebijakan yan Appanah, S., & Turnbull, J. W. (2015). A diperlukan untuk kelestariannya. review of dipterocarps: , Jurnal Analisis Kebijakan ecology and silviculture. Center for Kehutanan, 6(3), 161–168. International Forestry Research. https://doi.org/10.20886/jakk.2009.6 https://doi.org/10.17528/cifor/00046 .3.161-168 3 Fawzi, N. I., Indrayani, A. M., & DeKay, Baccini, A., Goetz, S. J., Walker, W. S., K. (2019). Forest Change Laporte, N. T., Sun, M., Sulla- Monitoring and Environmental Menashe, D., Hackler, J., Beck, P. S. Impact in Gunung Palung National A., Dubayah, R., Friedl, M. A., Park, West Kalimantan, Indonesia. Samanta, S., & Houghton, R. A. Jurnal Ilmu Lingkungan, 17(2), (2012). Estimated carbon dioxide 197–204. emissions from tropical https://doi.org/10.14710/jil.17.2.197 deforestation improved by carbon- -204 density maps. Nature Climate Gaveau, D. L. A., Locatelli, B., Salim, M. Change, 2(3), 182–185. A., Yaen, H., Pacheco, P., & Sheil, https://doi.org/10.1038/nclimate135 D. (2019). Rise and fall of forest 4 loss and industrial plantations in Brack, D., & Hayman, G. (2001). Borneo (2000-2017). Conservation Intergovernmental actions on illegal Letters, 12(3), 1–8. logging: options for https://doi.org/10.1111/conl.12622 intergovernmental action to help Gaveau, D. L. A., Sheil, D., Husnayaen, combat illegal logging and illegal Salim, M. A., Arjasakusuma, S., trade in timber and forest products. Ancrenaz, M., Pacheco, P., & https://www.eldis.org/document/A2 Meijaard, E. (2016). Rapid 8426 conversions and avoided Cannon, C. H., & Leighton, M. (2004). deforestation: Examining four decades of industrial plantation Tree species distributions across five habitats in a Bornean rain forest. expansion in Borneo. Scientific Journal of Vegetation Science, Reports, 6(1), 32017. 15(2), 257–266. https://doi.org/10.1038/srep32017 https://doi.org/10.1111/j.1654- Gaveau, D. L. A., Sloan, S., Molidena, 1103.2004.tb02260.x E., Yaen, H., Sheil, D., Abram, N. Chechina, M., & Hamann, A. (2019). K., Ancrenaz, M., Nasi, R., Climatic drivers of dipterocarp Quinones, M., Wielaard, N., & mass-flowering in South-East Asia. Meijaard, E. (2014). Four decades of Journal of Tropical Ecology, 35(03), forest persistence, clearance and 108–117. logging on Borneo. PLoS ONE, https://doi.org/10.1017/s026646741 9(7). 9000087 https://doi.org/10.1371/journal.pone. 0101654 Curran, L. M., Trigg, S. N., Mcdonald, a

60 Identifikasi Jenis Pohon Hasil Illegal Logging (Fawzi, N. I., Novianto, A., Supianto, A., dan Febriani, N.)

Hearn, A., Ross, J., Brodie, J., Cheyne, 220. S., Haidir, I. A., Loken, B., Mathai, https://doi.org/10.1080/10549811.20 J., Wilting, A., & McCarthy, J. 17.1369436 (2015). Neofelis diardi (errata Johns, A. D. (1992). Species conservation version published in 2016). The in managed tropical forests. In T. C. IUCN Red List of Threatened Whitmore & J. A. Sayer (Eds.), Species 2015: Tropical Deforestation and Species e.T136603A97212874. Extinction (1st ed.). Chapman & https://doi.org/10.2305/IUCN.UK.2 Hall. 015-4.RLTS.T136603A50664601.en https://portals.iucn.org/library/sites/l Helms, J.A., Helms, S. M., Fawzi, N. I., ibrary/files/documents/FR- Tarjudin, & Xaverius, F. (2017). Ant 006.pdf#page=21 community of an acacia mangium Johnson, A. E., Knott, C. D., Pamungkas, forest in Indonesian Borneo. B., Pasaribu, M., & Marshall, A. J. Serangga, 22(1), 147–159. (2005). A survey of the orangutan Helms, Jackson A., Woerner, C. R., (Pongo pygmaeus wurmbii) Fawzi, N. I., MacDonald, A., population in and around Gunung Juliansyah, Pohnan, E., & Webb, K. Palung National Park, West (2018). Rapid Response of Bird Kalimantan, Indonesia based on nest Communities to Small-Scale counts. Biological Conservation, Reforestation in Indonesian Borneo. 121(4), 495–507. Tropical Conservation Science, 11, https://doi.org/10.1016/J.BIOCON.2 1–8. 004.06.002 https://doi.org/10.1177/1940082918 Kubo, H., Wibawanto, A., & Rossanda, 769460 D. (2019). Toward a policy mix in Hiller, M. A., Jarvis, B. C., Lisa, H., conservation governance: A case of Paulson, L. J., Pollard, E. H. B., & Gunung Palung National Park, West Stanley, S. A. (2004). Recent trends Kalimantan, Indonesia. Land Use in illegal logging and a brief Policy, 88(July), 104108. discussion of their causes: a case https://doi.org/10.1016/j.landusepol. study from Gunung Palung National 2019.104108 Park, Indonesia. Journal of Kurokawa, H., Yoshida, T., Nakamura, Sustainable Forestry, 19(1/2/3), T., Lai, J., & Nakashizuka, T. 181–212. (2003). The age of tropical rain- https://doi.org/10.1300/J091v19n01 forest canopy species, Borneo _09 ironwood (Eusideroxylon zwageri), Imai, N., Samejima, H., Demies, M., determined by 14C dating. Journal Tanaka, A., Sugau, J. B., Pereira, J. of Tropical Ecology, 19(1), 1–7. T., & Kitayama, K. (2016). https://doi.org/10.1017/S026646740 Response of tree species diversity to 3003018 disturbance in humid tropical forests Kurowska, A., & Kozakiewicz, P. (2010). of Borneo. Journal of Vegetation Density and shear strength as solid Science, 27(4), 739–748. wood and glued laminated timber https://doi.org/10.1111/jvs.12401 suitability criterion for window Ji, Y., Ranjan, R., & Truong, C. (2018). woodwork manufacturing. Annals of Determinants of illegal logging in Warsaw University of Life Sciences - Indonesia: An empirical analysis for SGGW. Forestry and Wood the period 1996–2010. Journal of Technology, 71(71), 429–434. Sustainable Forestry, 37(2), 197– Kuswanda, W. (2007). Ancaman

61 Vol. 17 No. 1, Juni 2020: 49-63

Terhadap Populasi Orangutan https://doi.org/10.1177/1940082915 Sumatera (Pongo abelii Lesson). 00800107 Jurnal Penelitian Hutan Dan Pooma, R., Newman, M. F., & Barstow, Konservasi Alam, 4(4), 409–417. M. (2017). Shorea laevis. The IUCN https://doi.org/10.20886/jphka.2007. Red List of Threatened Species 4.4.409-417 2017: e.T33121A2833046. Maharani, R., Yutaka, T., Yajima, T., & https://doi.org/10.2305/IUCN.UK.2 Minoru, T. (2010). Scrutiny on 017-3.RLTS.T33121A2833046.en Physical Properties of Sawdust from Pradjadinata, S., & Murniati, M. (2014). Tropical Commercial Wood Pengelolaan dan Konservasi Jenis Species: Effects of Different Mills Ulin (Eusideroxylon zwageri and Sawdust’s Particle Size. Teijsm. & Binn.) di Indonesia. Indonesian Journal of Forestry Jurnal Penelitian Hutan Dan Research, 7(1), 20–32. Konservasi Alam, 11(3), 205–223. https://doi.org/10.20886/ijfr.2010.7. https://doi.org/10.20886/jphka.2014. 1.20-32 11.3.205-223 Malik, J., & Osly, R. (2002). Sifat Putra Adela, F., & Saragih, A. (2018). pemesinan lima jenis kayu dolok Corruption, Deforestation And diameter kecil dari Jambi. Buletin Disaster In The Taman Nasional Peneltitian Hasil Hutan, 20(5), 401– Gunung Leuser Forest. Proceedings 402. of the 2nd International Conference Mark, J., Newton, A., Oldfield, S., & on Social and Political Development Rivers, M. (2014). The International (ICOSOP 2017), 136, 633–639. Timber Trade: A Working List of https://doi.org/10.2991/icosop- Commercial Timber Tree Species. 17.2018.96 Botanic Gardens Conservation Schmitz, M. (2016). Strengthening the International. rule of law in Indonesia: the EU and Meijaard, E., Nijman, V., & Supriatna, J. the combat against illegal logging. (2008). Nasalis larvatus. The IUCN Asia Europe Journal, 14(1), 79–93. Red List of Threatened Species https://doi.org/10.1007/s10308-015- 2008: e.T14352A4434312. 0436-8 https://doi.org/10.2305/IUCN.UK.2 Scotson, L., Fredriksson, G., Augeri, D., 008.RLTS.T14352A4434312.en Cheah, C., Ngoprasert, D., & Wai- Obidzinski, K., & Kusters, K. (2015). Ming, W. (2017). Helarctos Formalizing the Logging Sector in malayanus (errata version published Indonesia: Historical Dynamics and in 2018). The IUCN Red List of Lessons for Current Policy Threatened Species 2017: Initiatives. Society and Natural e.T9760A123798233. Resources, 28(5), 530–542. https://doi.org/10.2305/IUCN.UK.2 https://doi.org/10.1080/08941920.20 017-3.RLTS.T9760A45033547.en 15.1014605 Setiawan, E., & Sofian, D. (2018). Pohnan, E., Ompusunggu, H., & Webb, Gunung Palung National Park C. (2015). Does tree planting change Living In Harmony. Gunung Palung minds? Assessing the use of National Park. community participation in Supriadi, A. (2019). Kualitas Pemesinan reforestation to address illegal Kayu Punak (Tetramerista glabra logging in West Kalimantan. Miq.) Menurut Kedalaman Batang. Tropical Conservation Science, 8(1), Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 45–57. 24(1), 12–19.

62 Identifikasi Jenis Pohon Hasil Illegal Logging (Fawzi, N. I., Novianto, A., Supianto, A., dan Febriani, N.)

Suyadi, S. (2011). Deforestation in Bukit Lancet Global Health, 6, S28. Barisan Selatan National Park, https://doi.org/10.1016/S2214- Sumatra, Indonesia. Indonesian 109X(18)30157-8 Journal of Biology, 7(2), 195–206. Webb, K., Jennings, J., & Minovi, D. https://doi.org/10.14203/jbi.v7i2.308 (2018). A community-based 0 approach integrating conservation, TN. Meru Betiri. (2011). Review tentang livelihoods, and health care in illegal logging sebagai ancaman Indonesian Borneo. The Lancet terhadap sumberdaya hutan dan Planetary Health, 2, S26. implementasi kegiatan pengurangan https://doi.org/10.1016/S2542- emisi dari deforestasi dan degradasi 5196(18)30111-6 (REDD) di Indonesia. Tim Badan Wilson, H. B., Meijaard, E., Venter, O., Litbang Kehutanan dan Taman Ancrenaz, M., & Possingham, H. P. Nasional Merubetiri. (2014). Conservation Strategies for Tsujino, R., Yumoto, T., Kitamura, S., Orangutans: Reintroduction versus Djamaluddin, I., & Darnaedi, D. Habitat Preservation and the (2016). History of forest loss and Benefits of Sustainably Logged degradation in Indonesia. Land Use Forest. PLoS ONE, 9(7), e102174. Policy, 57, 335–347. https://doi.org/10.1371/journal.pone. https://doi.org/10.1016/j.landusepol. 0102174 2016.05.034 Yoshikura, T., Amano, M., Wardhana, van der Werf, G. R., Morton, D. C., D., & Supriyanto, B. (2016). DeFries, R. S., Olivier, J. G. J., Identifying the agents and drivers of Kasibhatla, P. S., Jackson, R. B., deforestation: an examination Collatz, G. J., & Randerson, J. T. around Gunung Palung National (2009). CO2 emissions from forest Park, West Kalimantan, Indonesia. loss. Nature Geoscience, 2(11), International Journal of 737–738. Agricultural Resources, Governance https://doi.org/10.1038/ngeo671 and Ecology, 12(4), 327–343. Webb, C. O., & Peart, D. R. (2000). https://doi.org/10.1504/ijarge.2016.1 Habitat associations of trees and 0001702 seedlings in a Bornean rain forest. Zamzani, F., Onda, N., Yoshino, K., & Journal of Ecology, 88(3), 464–478. Masuda, M. (2009). Deforestation https://doi.org/10.1046/j.1365- and agricultural expansion processes 2745.2000.00462.x in Gunung Palung National Park, Webb, K. (2018). Planetary health in the West Kalimantan, Indonesia. Jurnal tropics: how community health-care Manajemen Hutan Tropika, 15(1), doubles as a conservation tool. The 24–31.

63

(2020), 17(1): 65-77 pISSN: 0216 – 0439 eISSN: 2540 – 9689 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHKA Akreditasi Kemenristekdikti Nomor 21/E/KPT/2018

PENENTUAN UKURAN PLOT CONTOH OPTIMAL UNTUK PENDUGAAN LUAS BIDANG DASAR DAN BIOMASSA TEGAKAN (Determination of Optimal Sample Plot Size for Estimating Stand Basal Area and Biomass)

Erwin Kusumah Nanjaya1*, Teddy Rusolono2, dan/and Tatang Tiryana2 1Mahasiswa SPs IPB University/Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB University, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Dramaga, 16680, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Info artikel: ABSTRACT Keywords: Basal area and biomass of forest stand can be calculated from forest inventory data, which Forest inventory, are obtained from stand measurements using sample plots with a specific size and number. forest ecosystem, The accuracy level of data and information gained from a forest inventory would depend sample plot size, on the size and number of sample plots. To date, there are still few studies that investigate number of plots, the size and number of sample plots for forest inventory, especially in the natural tropical coefficient of forests of Indonesia. This study aimed to determine the optimal size and number of sample variation plots for estimating stand basal area and biomass in a forest inventory at four types of natural forest ecosystems (Primary Dryland Forest/PDF, Secondary Dryland Forest/SDF, Primary Peatswamp Forest/PPF, and Secondary Peatswamp Forest/SPF). The data used in this study were Permanent Sample Plots (PSP) data contained in the cluster-plots of the National Forest Inventory (NFI) data of Indonesia. The data analyses were conducted to obtain coefficients of variation (CV) of stand basal area and biomass by simulating various sizes of sample plots. The CV declined with increasing the plot sizes, following negative exponential trends. The optimal plot size for PDF, SDF, and SPF was 0.40 ha, while for PPF was 0.25 ha. The optimal number of sample plots varied according to forest ecosystem type and desired level of sampling error. This study confirmed that the size and number of sample plots must be adapted to each forest ecosystem to facilitate an efficient forest inventory. Kata kunci: ABSTRAK Inventarisasi hutan, ekosistem hutan, Luas bidang dasar dan biomassa tegakan hutan dapat dihitung dari data inventarisasi hutan ukuran plot contoh, yang diperoleh melalui pengukuran tegakan menggunakan plot-plot contoh dengan ukuran jumlah plot, dan jumlah tertentu. Tingkat akurasi data dan informasi yang diperoleh dari inventarisasi koefisien variasi hutan akan sangat tergantung dari besarnya ukuran dan jumlah plot contoh tersebut. Sampai saat ini, masih sedikit studi yang mempelajari ukuran dan jumlah plot contoh untuk pelaksanaan inventarisasi hutan terutama hutan alam tropis di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ukuran dan jumlah plot contoh optimal untuk pendugaan luas bidang dasar dan biomassa tegakan dalam inventarisasi hutan pada empat jenis ekosistem hutan alam (Hutan Lahan Kering Primer/HLKP, Hutan Lahan Kering Sekunder /HLKS, Hutan Rawa Primer/HRP dan Hutan Rawa Sekunder/HRS). Data yang digunakan adalah data Petak Ukur Permanen (PUP) yang terdapat dalam klaster plot data Inventarisasi Hutan Riwayat Artikel: Nasional (National Forest Inventory/NFI) di Indonesia. Analisis data dilakukan untuk Tanggal diterima: mendapatkan nilai koefisien variasi (CV) luas bidang dasar dan biomassa melalui simulasi 19 Mei 2019; berbagai ukuran plot contoh. CV menurun dengan meningkatnya ukuran plot, mengikuti Tanggal direvisi: tren eksponensial negatif. Ukuran plot optimal untuk HLKP, HLKS, dan HRS adalah 0,40 2 April 2020; ha, sedangkan untuk HRP adalah 0,25 ha. Jumlah plot contoh optimal bervariasi sesuai Tanggal disetujui: dengan tipe ekosistem hutan dan tingkat kesalahan pengambilan sampel yang diinginkan. 27 April 2020 Studi ini menegaskan bahwa ukuran dan jumlah plot contoh harus disesuaikan pada setiap ekosistem hutan untuk memfasilitasi inventarisasi hutan yang efisien.

Editor: Rinaldi Imanuddin, S.Hut., M.Sc Korespondensi penulis: Erwin Kusumah Nanjaya* (E-mail: [email protected]) Kontribusi penulis: EKN: Mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data serta menulis naskah; TR: Merumuskan ide/topik penelitian dan menulis naskah; TT: Merumuskan ide/topik penelitian, memformulasikan metode analisis data dan menulis naskah. https://doi.org/10.20886/jphka.2020.17.1.65-77 ©JPHKA - 2018 is Open access under CC BY-NC-SA license

65 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 65-77

I. PENDAHULUAN seiring dengan meningkatnya ukuran Hutan alam memiliki karakteristik subplot. Menurut Carrer et al. (2017), tegakan dengan keragaman yang berbeda, ukuran plot kecil (0,25 ha) cukup akurat sehingga diperlukan penyesuaian terhadap untuk menduga luas bidang dasar tegakan, tujuan pengelolaan berdasarkan tipe tetapi kurang akurat untuk pendugaan ekosistemnya. Pengelolaan hutan berbasis kerapatan tegakan (khususnya pada ekosistem memiliki tujuan yang lebih tegakan tua). Namun secara umum, komprehensif terhadap tegakan hutan, ukuran plot 0,25 ha dapat diandalkan struktur tegakan, fungsi hutan, kondisi untuk menilai parameter-parameter lingkungan serta berbagai faktor ekologi tegakan pada hutan yang dikelola lainnya. sebelumnya (Carrer et al., 2017). Chave et Pengelolaan hutan lestari diperlukan al. (2004) menyarankan bahwa ukuran untuk menjamin kelestarian sumber daya plot contoh untuk pendugaan biomassa hutan, sehingga dapat memberi manfaat hutan di daerah tropis seharusnya lebih yang berkesinambungan secara ekonomi, besar dari 0,25 ha. Selanjutnya Omar, ekologi dan sosial. Data dan informasi Ismail, & Hassan (2013) mengemukakan sumber daya hutan sangat diperlukan bahwa ukuran plot optimal untuk sebagai salah satu dasar pengambilan sampling biomassa di hutan alam yang kebijakan untuk pengelolaan dan belum ditebang adalah 40 x 40 m untuk monitoring hutan. Inventarisasi hutan plot bujur sangkar dan 20 x 40 m untuk merupakan kegiatan untuk memperoleh plot persegi panjang. Adapun untuk hutan data dan informasi yang dimaksud. alam yang telah ditebang, ukuran plot Inventarisasi hutan umumnya dilaksana- contoh optimalnya adalah 50 x 50 m untuk kan pada tingkat nasional dan unit plot bujur sangkar dan 20 x 40 m untuk manajemen. Inventarisasi hutan nasional plot persegi panjang. Beberapa studi di (National Forest Inventory/NFI) di- hutan tropis terkait ukuran plot contoh laksanakan oleh Kementerian Lingkungan umumnya masih terfokus pada masalah Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk kesalahan pengambilan contoh yang memperoleh data dan informasi tentang berhubungan dengan biomassa tegakan sumber daya hutan serta lingkungannya (Wagner, Rutishauser, Blanc, & Herault, secara lengkap. Sementara, inventarisasi 2010). hutan pada tingkat unit manajemen Sampai saat ini penelitian terkait dilakukan oleh pemegang konsesi untuk kesesuaian plot contoh berdasarkan tipe menyusun rencana pengelolaan hutan. ekosistem dan kondisi hutan belum Dalam inventarisasi hutan, data banyak dilakukan, padahal salah satu peubah tegakan umumnya diperoleh syarat untuk merencanakan dan mengelola melalui pembuatan dan pengukuran plot hutan berdasarkan tipe ekosistemnya yang contoh. Ukuran plot contoh memiliki bersifat lokal (site specific), diperlukan pengaruh langsung terhadap penilaian desain penarikan contoh berupa plot karakteristik hutan secara umum, seperti contoh yang diterapkan dengan kerapatan tegakan dan luas bidang dasar. memperhatikan tipe ekosistem dan Penelitian Carrer, Castagneri, Popa, kondisi hutan yang akan di inventarisasi. Pividori, & Lingua (2017) terhadap plot Selain itu untuk memilih ukuran dan berukuran 4 ha di hutan Eropa Tengah, jumlah plot yang direplikasi masih perlu yang mengevaluasi ukuran plot dan pengkajian (Picard, Magnussen, Banak, menilai parameter rata-rata diameter Namkosserena, & Yalibanda, 2010). pohon, rata-rata tinggi pohon, luas bidang Tujuan penelitian ini adalah menentukan dasar tegakan, dan kerapatan tegakan, ukuran dan jumlah plot contoh optimal menunjukkan bahwa akurasi penilaian untuk pendugaan luas bidang dasar dan parameter tegakan hutan meningkat biomassa tegakan di hutan lahan kering

66 Penentuan Ukuran Plot Contoh Optimal (Nanjaya, E. K., Rusolono, T., dan Tiryana, T.) primer (HLKP), hutan lahan kering Data yang digunakan merupakan sekunder (HLKS), hutan rawa primer hasil pengukuran PUP yang terdapat (HRP) dan hutan rawa sekunder (HRS). dalam klaster-plot Inventarisasi Hutan Nasional (NFI). Tiap PUP memiliki luas 1 II. BAHAN DAN METODE ha yang terbagi dalam 16 unit pencatatan (recording unit) dengan ukuran 25 x 25 m. A. Waktu dan Lokasi Penelitian Masing-masing recording unit Penelitian ini dilakukan di Fakultas (selanjutnya disebut subplot) diberi kode Kehutanan IPB dan Direktorat nomer 1-16. Data PUP yang digunakan Inventarisasi dan Pemantauan Sumber sebanyak 49 PUP yang mewakili empat Daya Hutan (IPSDH) KLHK dengan tipe ekosistem hutan, yaitu HLKP mengumpulkan data hasil kegiatan sebanyak 20 PUP, HLKS sebanyak 19 Inventarisasi Hutan Nasional (National PUP, HRP sebanyak 5 PUP dan HRS Forest Inventory/NFI). Penelitian sebanyak 5 PUP, yang tersebar di Provinsi dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, bulan Januari – Maret 2018, mulai dari dan Papua Barat (Tabel 1). Pada beberapa tahapan pengumpulan data, pengolahan tipe hutan (yaitu HLKS dan HRS di Papua data, sampai analisis data. Barat serta HRP dan HRS di Kalimantan Tengah) jumlah PUP yang dianalisis B. Bahan dan Alat relatif sedikit (<3 PUP) karena Peralatan yang digunakan yaitu keterbatasan data PUP dari hasil kegiatan seperangkat laptop yang dilengkapi Inventarisasi Hutan Nasional. Untuk itu, dengan program Microsoft Excel, SPSS analisis data dilakukan dengan dan Minitab, untuk pengolahan dan menggabungkan data ketiga provinsi analisis data. Sedangkan bahan yang berdasarkan tipe hutannya, sehingga digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah PUP yang dianalisis mencukupi data hasil pengukuran Petak Ukur dan memenuhi kaidah statistik (5–20 Permanen (PUP) dari kegiatan Inventari- PUP). sasi Hutan Nasional. D. Analisis Data C. Metode 1. Peubah tegakan yang dianalisis Metode penelitian yang digunakan Pada setiap ukuran plot contoh yang adalah metode simulasi terhadap PUP. disimulasikan, dilakukan perhitungan luas Untuk menentukan ukuran plot contoh bidang dasar dan biomassa tegakan. yang optimal pada setiap tipe ekosistem Kedua peubah tegakan tersebut digunakan hutan, pada setiap PUP dilakukan simulasi dengan pertimbangan bahwa luas bidang ukuran plot contoh yang mungkin dasar tegakan dapat lebih mencerminkan terbentuk dalam PUP berukuran 100 x 100 tingkat kerapatan tegakan dibanding m. Ukuran plot disimulasikan berdasarkan jumlah pohon per hektar karena ukuran subplot terkecil (25 x 25 m, disebut memperhitungkan ukuran diameter pohon Recording Unit/RU dalam NFI) hingga dalam tegakan serta sering digunakan ukuran lebih besar melalui penggabungan untuk menghitung indeks biodiversitas beberapa subplot/RU yang berdekatan (Motz, Sterba, & Pommerening, 2010), baik dengan bentuk plot bujur sangkar dan sedangkan biomassa tegakan dapat lebih persegi panjang. Untuk plot bujur sangkar mencerminkan tingkat produktivitas berukuran 25 x 25 m, 50 x 50 m, 75 x 75 tegakan dibanding volume tegakan m dan 100 x 100 m, sedangkan untuk plot (Skovsgaard, & Vanclay, 2008). persegi panjang berukuran 25 x 50, 25 x

75 m, 25 x 100 m, 50 x 75 m, 50 x 100 m dan 75 x 100 m.

67 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 65-77

Tabel (Table) 1. Jumlah dan sebaran PUP contoh pada tiap tipe ekosistem hutan (Number and distribution of sample PUPs in each type of forest ecosystem). Tipe ekosistem hutan (Fforest ecosystem type) Provinsi Hutan lahan kering Hutan rawa (Province) (Dryland forest) (Peatswamp forest) Primer Sekunder Primer Sekunder (Primary) (Secondary) (Primary) (Secondary) Kalimantan Barat 5 6 - 3 (West Kalimantan) Kalimantan Tengah 4 11 2 1 (Central Kalimantan) Papua Barat 11 2 3 1 (West Papua) Total PUP 20 19 5 5

diameter pohon (D). Biomassa tegakan 1.1. Luas bidang dasar tegakan dalam plot merupakan hasil penjumlahan Luas bidang dasar tiap pohon biomassa setiap pohon dalam plot dengan dihitung dengan menggunakan rumus: ukuran yang telah ditetapkan. Selanjutnya biomassa tersebut dikonversi ke dalam G = 0,25(D/100)2 (1) satuan hektar.

G adalah luas bidang dasar (m2) dan D 2. Penentuan ukuran plot contoh adalah diameter pohon (cm) Untuk menentukan ukuran plot contoh optimal pada suatu tipe ekosistem Luas bidang dasar tegakan dalam hutan, terlebih dahulu dilakukan peng- plot contoh adalah hasil penjumlahan luas gabungan plot-plot contoh dengan bidang dasar setiap individu pohon dalam beragam ukuran yang disimulasikan dari plot berukuran tertentu, yang selanjutnya data PUP sehingga mewakili keragaman dikonversi ke dalam satuan hektar. kondisi tegakan di ketiga provinsi (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, 1.2. Biomassa tegakan dan Papua Barat, Tabel 2). Biomassa di atas permukaan tanah Pada tipe ekosistem tertentu dihitung dengan menggunakan persamaan selanjutnya dihitung koefisien variasi alometrik dari Chave et al. (2005) berikut yang mencerminkan keragaman peubah ini: tegakan (luas bidang dasar dan biomassa tegakan) dengan rumus: B = ρ exp {-1,239 + 1,908 Ln (D) + 0,207 2 3 (Ln(D)) – 0,081 (Ln (D)) } (2) sy CV  .100% (3) y B merupakan total biomassa di atas permukaan tanah (kg), ρ adalah berat jenis CV adalah koefisien variasi (%), ӯ adalah kayu (g/cm3), dan D adalah diameter nilai rata-rata peubah tegakan (luas bidang setinggi dada (cm). Persamaan tersebut dasar atau biomassa tegakan), sy digunakan karena data yang selalu merupakan simpangan baku contoh dari tersedia pada setiap PUP adalah data peubah tegakan.

68 Penentuan Ukuran Plot Contoh Optimal (Nanjaya, E. K., Rusolono, T., dan Tiryana, T)

Tabel (Table) 2. Ukuran dan jumlah plot contoh hasil simulasi untuk tiap tipe ekosistem (Size and number of sample plots from the simulation results for each type of ecosystem) Jumlah plot simulasi Ukuran (m) Luas (ha) (Plot simulation number) (size) (area) HLKP HLKS HRP HRS (PDF) (SDF) (PPF) (SPF) 25 x 25 0,0625 320 287 80 80 25 x 50 0,125 480 419 120 120 25 x 75 0,1875 320 287 80 80 50 x 50 0,25 180 162 45 45 25 x 100 0,25 160 152 40 40 50 x 75 0,375 240 216 60 60 50 x 100 0,5 120 108 30 30 75 x 75 0,5625 81 72 20 20 75 x 100 0,75 80 78 20 20 100 x 100 1,0 20 18 5 5 Total 2001 1799 500 500 Keterangan (Remarks): HLKP (PDF) = Hutan Lahan Kering Primer (Primary Dry Forest) HLKS (SDF) = Hutan Lahan Kering Sekunder (Secondary Dry Forest) HRP (PPF) = Hutan Rawa Primer (Primary Peatswamp Forest) HRS (SPF) = Hutan Rawa Sekunder (Secondary Peatswamp Forest)

Berdasarkan nilai-nilai CV dan model regresi terbaik, selanjutnya ukuran plot-plot contoh (dinyatakan ditentukan jumlah subplot dalam plot dalam jumlah subplot yang digabung contoh optimal (X0) untuk masing-masing untuk membentuk plot contoh dengan peubah tegakan dengan rumus (Grussu et luasan tertentu, dimana 1 subplot al., 2016): membentuk plot contoh seluas 0,0625 ha) X (1/ bc )1/c 1 (5) pada tiap ekosistem hutan, kemudian 0 dilakukan analisis regresi untuk Adapun luas plot contoh optimal memperoleh model hubungan antara untuk setiap peubah tegakan pada masing- jumlah subplot dalam plot contoh (X, ha) masing tipe ekosistem hutan ditentukan dan CV peubah tegakan (Y, %) dengan dengan mengalikan nilai X0 tersebut menggunakan 2 model berikut ini (Grussu dengan luasan tiap subplot (0,0625 ha). et al., 2016): Model 1: 3. Penentuan jumlah plot contoh c Berdasarkan ukuran plot contoh Y bX (4a) optimal (X0) dan nilai CV pada ukuran Model 2: plot contoh optimal tersebut, selanjutnya

c ditentukan jumlah plot contoh atau ukuran Y a bX (4b) contoh (n) yang diperlukan untuk Nilai-nilai parameter a, b, dan c menduga peubah tegakan pada masing- ditentukan melalui analisis regresi non- masing tipe ekosistem hutan dengan linear untuk masing-masing peubah rumus sebagai berikut (Grussu et al., tegakan. Model regresi terbaik dipilih 2016): berdasarkan kriteria: signifikansi model, 2  CV  simpangan baku terkecil, koefisien nt  (6)  SE  determinasi (R2) terbesar, serta memenuhi asumsi kenormalan sisaan dan n adalah jumlah plot, SE adalah kehomogenan ragam sisaan. Berdasarkan sampling error dan t adalah nilai statistik

69 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 65-77

t-student. Dalam penelitian ini disimulasi- 124,30–165,50 ton/ha dan HRS: 121,80– kan 4 taraf SE: 5%, 10%, 15%, dan 20% 159,40 ton/ha) lebih bervariasi dibanding untuk menganalisis pengaruh tingkat kedua tipe hutan lainnya. ketelitian pendugaan peubah tegakan ter- Keragaman luas bidang dasar dan hadap jumlah plot contoh yang diperlu- biomassa tegakan pada keempat tipe eko- kan pada masing-masing tipe ekosistem sistem hutan menunjukkan pola hubungan hutan. Dalam hal ini, jumlah plot contoh non-linear dengan ukuran plot contoh ditentukan untuk masing-masing tipe eko- yang dapat dikuantifikasi melalui model 1 sistem hutan sebagai unit populasi ter- dan 2 (Tabel 3). Untuk semua tipe eko- pisah, sehingga ukuran populasinya (misal sistem hutan dan peubah tegakan, model 2 luas tiap tipe ekosistem hutan) tidak di- merupakan model terpilih karena meme- perhitungkan seperti halnya dalam penen- nuhi kriteria: signifikansi model, sim- tuan ukuran contoh pada populasi yang pangan baku (RMSE) terkecil, koefisien distratifikasi berdasarkan tipe ekosistem determinasi (R2) terbesar, serta memenuhi hutan. asumsi kenormalan sisaan dan kehomo- genan ragam sisaan. Berdasarkan model 2, III. HASIL DAN PEMBAHASAN pola hubungan antara keragaman (CV) peubah tegakan dan ukuran plot bersifat 1. Keragaman Peubah Tegakan Pada masing-masing tipe ekosistem eksponensial negatif, dimana CV me- hutan, rata-rata luas bidang dasar dan bio- nurun secara drastis pada plot-plot ber- massa tegakan cenderung bervariasi ukuran kecil dan kemudian cenderung menurut ukuran/luas plot contoh (Gambar landai pada plot-plot contoh berukuran 1). Secara umum, nilai dugaan rata-rata 0,2–0,4 ha (Gambar 2). luas bidang dasar dan biomassa tegakan Keragaman peubah tegakan (luas sangat bervariasi pada plot-plot berukuran bidang dasar dan biomassa) relatif tinggi relatif kecil (<0,25 ha). Pada HLKP pada plot-plot contoh berukuran kecil. Hal (Gambar 1a dan 1e) dan HLKS (Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai 1b dan 1f), sebaran nilai rata-rata luas dugaan rata-rata luas bidang dasar dan bidang dasar dan biomassa tegakan biomassa tegakan akan cenderung hetero- cenderung simetris walaupun terdapat gen jika diukur menggunakan plot-plot beberapa pencilan pada plot-plot ber- contoh berukuran kecil. Tingginya ukuran kecil. HLKP memiliki nilai tengah keragaman peubah tegakan dari plot-plot (median) rata-rata luas bidang dasar contoh berukuran kecil (<0,25 ha) tegakan sebesar 22,99–25,08 m2/ha dan dimungkinkan karena pengambilan rata-rata biomassa tegakan sebesar contoh dapat terjadi pada areal tegakan 151,31–189,80 ton/ha. HLKS memiliki yang relatif jarang ataupun relatif rapat, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai-nilai 0 nilai tengah (median) rata-rata luas bidang dasar tegakan sebesar 21,65–24,96 m2/ha (nol) dan pencilan pada Gambar 1. Hal ini dan rata-rata biomassa tegakan sebesar sejalan dengan temuan Condit (2008) 161,53–180,60 ton/ha. Pada HRP yang menunjukkan bahwa pendugaan (Gambar 1c dan 1g) dan HRS (Gambar 1d dengan plot ukuran kecil (0,04 ha) meng- dan 1h), sebaran nilai rata-rata kedua hasilkan nilai simpangan baku biomassa peubah tegakan cenderung tidak simetris hutan tropis sekitar 3–5 kali lebih besar (menjulur ke kanan atau ke kiri) karena dibanding simpangan baku dari plot jumlah plot contoh yang digunakan dalam ukuran besar (1 ha). Selain itu, ukuran plot simulasi relatif sedikit (5–120 plot, Tabel dan keragaman di lingkungan yang 2). Nilai tengah (median) rata-rata luas heterogen (hutan tropis), tergantung pada bidang dasar pada HRP (20,84–26,48 rasio antara tegakan dan area terbuka m2/ha) dan HRS (17,67–20,96 m2/ha) dibandingkan dengan ukuran plot (Avery, serta rata-rata biomasa tegakannya (HRP: & Burkhart, 2015).

70 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.)

100 1000

80 800

)

)

a a 60 600

h

h

/

/

n

2

o

t

m

40 ( ( 400

B

G

20 200

0 0 0.0625 0.125 0.1875 0.25 0.375 0.5 0.5625 0.75 1 0.0625 0.125 0.1875 0.25 0.375 0.5 0.5625 0.75 1 Ukuran plot/plot size (ha) Ukuran plot/plot size (ha) (a) (e)

100 1000

80 800

) )

a 60 a 600

h h

/ /

2

n

o

m 40 t

(

(

400

G

B

20 200

0 0

0.0625 0.125 0.1875 0.25 0.375 0.5 0.5625 0.75 1 0.0625 0.125 0.1875 0.25 0.375 0.5 0.5625 0.75 1 Ukuran plot/plot size (ha) Ukuran plot/plot size (ha) (b) (f)

100 1000

80 800

)

)

a 60

a

h 600

h

/

/

2

n

m 40 o

(

t

( 400

G

B

20 200

0 0 0.0625 0.125 0.1875 0.25 0.375 0.5 0.5625 0.75 1 0.0625 0.125 0.1875 0.25 0.375 0.5 0.5625 0.75 1 Ukuran plot/plot size (ha) Ukuran plot/plot size (ha) (c) (g)

100 1000

80 800

)

)

a 60

a h 600

h

/

/

2

n

m 40 o

(

t

( 400

G

B

20 200

0 0 0.0625 0.125 0.1875 0.25 0.375 0.5 0.5625 0.75 1 0.0625 0.125 0.1875 0.25 0.375 0.5 0.5625 0.75 1 Ukuran plot/plot size (ha) Ukuran plot/plot size (ha) (d) (h) Gambar (Figure) 1. Diagram kotak garis keragaman luas bidang dasar (a, b, c, d) dan biomassa tegakan (e, f, g, h) pada berbagai ukuran plot di HLKP (a, e), HLKS (b, f), HRP (c, g), dan HRS (d, e)/Box plot of the variability of stand basal area (a, b, c, d) and stand biomass (e, f, g, h) at various plot sizes in PDF (a, e), SDF (b, f), PPF (c , g), and SPF (d, e)

71 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 65-77

2. Ukuran dan Jumlah Plot Contoh dan 0,30 ha) disebabkan karena perbedaan Optimal keragaman peubah tegakan pada kedua Berdasarkan parameter-parameter tipe ekosistem tersebut. Namun perbedaan model 2 dan Persamaan 5 dapat ditentukan luas plot contoh tersebut tidak terlalu ukuran plot-plot contoh optimal untuk besar (hanya 0,10 ha), sehingga ukuran keempat tipe ekosistem hutan seperti plot contoh pada HLKP dan HRS dapat tertera pada Tabel 4. Tergantung tipe disamakan menjadi 0,40 ha untuk ekosistem hutan dan peubah tegakannya, mengakomodir keragaman biomassa jumlah subplot (25 x 25 m atau 0,0625 ha) tegakan yang lebih besar dibanding luas optimal (yang dapat mengurangi bidang dasar tegakan. Penyamaan ukuran keragaman peubah tegakan) berkisar plot contoh pada suatu tipe ekosistem antara empat hingga tujuh subplot, yang hutan lazim dilakukan karena kegiatan setara dengan luas plot contoh 0,25–0,40 inventarisasi bukan hanya untuk menduga ha. peubah tegakan tertentu melainkan Berdasarkan ukuran plot contoh beberapa peubah tegakan (jumlah pohon, optimal (X0) dan nilai CV pada ukuran luas bidang dasar, dan biomassa) secara plot contoh optimal tersebut, selanjutnya simultan. Oleh karena itu, ukuran plot dapat ditentukan jumlah plot contoh atau contoh harus lebih besar agar dapat ukuran contoh (n) yang diperlukan untuk mewakili peubah tegakan yang memiliki menduga luas bidang dasar dan biomassa keragaman spasial yang lebih tinggi tegakan pada tiap tipe ekosistem hutan (Grussu et al., 2016). Dengan demikian, (Tabel 5). Selain tergantung pada tipe ukuran plot contoh 0,40 ha dapat ekosistem hutan dan peubah tegakannya, digunakan untuk pendugaan peubah jumlah plot contoh juga tergantung pada tegakan (khususnya luas bidang dasar dan tingkat kesalahan penarikan contoh yang biomassa tegakan) di HLKP, HLKS, dan ditolerir, dimana semakin kecil SE maka HRS, sedangkan ukuran plot contoh 0,25 jumlah plot contoh semakin besar. ha dapat digunakan di HRP. Perbedaan Misalnya, pada SE 20% jumlah plot ukuran plot contoh optimal juga contoh sebanyak 10–28 plot tetapi pada ditemukan oleh Grussu et al. (2016) yang SE 10% jumlah plot contoh sebanyak 42– merekomendasikan ukuran plot contoh 112 plot (Tabel 5). Dalam hal ini, jumlah optimal sebesar 0,20 ha dan 0,32 ha untuk plot contoh optimal tidak dipengaruhi oleh pendugaan cadangan karbon pada hutan luas tipe ekosistem hutan, melainkan primer dan hutan sekunder di Papua dipengaruhi oleh tingkat keragaman Nugini. Chave et al. (2004) peubah-peubah tegakan yang dicerminkan merekomendasikan bahwa ukuran plot oleh nilai-nilai koefisien variasi pada tiap contoh untuk pendugaan biomassa hutan tipe ekosistem hutan (Gambar 2) di daerah tropis seharusnya lebih besar berdasarkan data PUP dari tiga provinsi dari 0,25 ha. Kemudian Laumonier, Edin, contoh (Kalimantan Barat, Kalimantan Kannien, & Munadar (2010) memberikan Tengah, dan Papua Barat). hasil analog yang mengidentifikasikan Hasil penelitian ini menunjukkan 0,2-0,25 ha sebagai ukuran plot optimal bahwa ukuran plot contoh optimal untuk biomassa untuk hutan tropis. Carrer tergantung pada tipe ekosistem hutan dan et al. (2017) juga menyatakan bahwa plot peubah tegakan dengan luas plot 0,25– contoh seluas 0,25 ha dapat diandalkan 0,40 ha (Tabel 4). Perbedaan ukuran plot untuk menduga peubah tegakan (terutama contoh optimal pada pendugaan luas luas bidang dasar) pada hutan yang belum bidang dasar dan biomassa tegakan pada dieksploitasi. HLKP (0,30 dan 0,40 ha) dan HRS (0,40

72 Penentuan Ukuran Plot Contoh Optimal (Nanjaya, E. K., Rusolono, T., dan Tiryana, T)

Tabel (Table) 3. Nilai-nilai parameter, simpangan baku parameter (se), simpangan baku 2 rata-rata (RMSE), dan koefisien determinasi terkoreksi (R adj) dari model 1 dan 2 untuk peubah bidang dasar (G) dan biomassa (B) tegakan pada masing-masing tipe ekosistem hutan (Parameter estimates, standard error (se), root mean square error (RMSE), and adjusted coefficient of determination (R2adj) of models 1 and 2 for stand basal area (G) and stand biomass (B) for each forest ecosystem type) Tipe hutan Peubah tegakan Model Parameter SE RMSE R2 (Forest type) (Stand variable) (Model) (Parameter) adj b 50,61 2,29 1 2,87 0,876 c 0,22 0,03 G a 29,73 1,21 2 b 24,74 1,49 1,17 0,982

HLKP c 1,09 0,17 (PDF) b 68,22 1,60 1 2,03 0,956 c 0,19 0,02 B a 38,49 0,74 2 b 32,64 0,71 0,35 0,999

c 0,71 0,04 b 51,93 2,37 1 2,91 0,904 c 0,26 0,03 G a 24,94 352 2 b 29,79 3,56 2,18 0,954

HLKS c 0,82 0,25 (SDF) b 63,92 1,23 1 1,53 0,975 c 0,21 0,01 B a 30,53 1,52 2 b 35,48 1,41 0,52 0,998

c 0,59 0,05 b 44,33 1,88 1 2,48 0,672 c 0,09 0,03 G a 32,05 1,59 2 b 14,98 1,53 0,71 0,981

HRP c 0,77 0,19 (PPF) b 61,63 1,41 1 1,82 0,838 c 0,08 0,01 B a 50,81 1,16 2 b 13,07 1,33 0,93 0,965

c 1,09 0,29 b 54,84 1,34 1 1,64 0,970 c 0,25 0,02 G a 23,32 2,19 2 b 33,46 2,04 0,84 0,993

HRS c 0,63 0,09 (SPF) b 51,96 2,06 1 2,63 0,862 c 0,17 0,03 B a 33,72 1,43 2 b 21,67 1,67 1,25 0,973

c 1,02 0,21

73 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 65-77

55 55

) 50 ) 50

% %

( (

i i

s s 45 a 45 a

i i

r r

a a

v v 40 n 40 n

e e

i i

s s

i i f f 35

e e

o 35 o

K K 30 30

0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Ukuran plot/plot size Ukuran plot/plot size (a) (b)

47.5 60

55

) 45.0 )

%

%

(

(

i 50

i

s 42.5 s

a

a

i

i

r

r

a

a 45

v

v

40.0

n

n

e

e

i i 40

s

s

i

i

f 37.5 f

e

e

o o 35

K

K

35.0 30

0 2 4 6 8 10 12 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Ukuran plot/plot size Ukuran plot/plot size (c) (d)

75 70

70 65

) )

% %

( 65 ( 60

i i

s s

a a i 60 i r r 55

a a

v v

n 55 n 50

e e

i i

s s

i i

f 50 f

e e 45

o o

K K 45 40

40 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Ukuran plot/plot size Ukuran plot/plot size (e) (f)

64 55

62 )

)

%

%

( 50

(

i 60

i

s

s

a

i

a

i

r

r

58 a

a 45

v

v

n

n 56 e

i

e

i

s

i

s

f

i

f 40 54 e

e

o

o

K

K 52 35

50 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 2 4 6 8 10 12 Ukuran plot/plot size Ukuran plot/plot size

(g) (h) Gambar (Figure) 2. Koefisien variasi G/ha: HLKP (a), HLKS (b), HRP (c), HRS (d) dan B/ha: HLKP (e), HLKS (f), HRP (g), HRS (h) dari tipe hutan yang diamati/Coeficient of variation G/ha: PDF (a), SDF (b), PPF (c), SPF (d) dan B/ha: PDF (e), SDF (f), PPF (g), SPF (h) of forest type observed

74 Penentuan Ukuran Plot Contoh Optimal (Nanjaya, E. K., Rusolono, T., dan Tiryana, T)

Tabel (Table) 4. Ukuran plot contoh optimal untuk pendugaan luas bidang dasar dan biomassa tegakan pada beberapa tipe ekosistem hutan (Optimal size of sample plot for estimating the basal area and stand biomass in several types of forest ecosystems) Tipe hutan Peubah Jumlah subplot Luas plot contoh optimal (ha) (Forest tegakan optimal (X ) 0 (Optimal sample plot area) type) (Stand variable) (Optimal subplot number) HLKP G 5 0,30 (PDF) B 6 0,40 HLKS G 6 0,40 (SDF) B 7 0,40 HRP G 4 0,25 (PPF) B 4 0,25 HRS G 6 0,40 (SPF) B 5 0,30

Tabel (Table) 5. Jumlah plot contoh optimal untuk menduga luas bidang dasar dan biomassa tegakan pada beberapa tipe ekosistem hutan berdasarkan tingkat kesalahan penarikan contoh (SE) (The optimal number of sample plots to estimate the basal area and standing biomass in several types of forest ecosystems based on and the sampling error rate (SE)) Jumlah plot contoh (n) Tipe hutan Peubah tegakan (Number of sample plot) (Forest type) (Stand variable) SE 5% SE 10% SE 15% SE 20% HLKP G 178 44 20 11 (PDF) B 339 85 38 21 HLKS G 157 39 17 10 (SDF) B 271 68 30 17 HRP G 210 53 23 13 (PPF) B 448 112 50 28 HRS G 167 42 19 10 (SPF) B 222 55 25 14

Dalam tataran praktik, pembuatan ha) dari ukuran plot contoh yang dan pengukuran plot-plot contoh sulit digunakan dalam Inventarisasi Hutan dilakukan oleh unit-unit manajemen Menyeluruh Berkala (IHMB, seluas 0,25 karena memerlukan waktu lama dan biaya ha), namun jumlah plot optimal yang tinggi (Dorebayo, Suhendang, & Muhdin, harus dibuat dan diukur pada tipe 2015). Umumnya, tiap regu survei hanya ekosistem tertentu lebih sedikit, misalnya mampu mengukur rata-rata 2 plot/hari pada SE 5% hanya diperlukan 222–448 (Rusolono, Tiryana, & Purwanto, 2015). plot contoh (Tabel 5). Dengan demikian, Dari hasil penelitian Dorebayo, efisiensi sumber daya (biaya, waktu, dan Suhendang, & Muhdin, (2015) terhadap 2 tenaga) dapat dicapai pada skala unit pemegang konsesi di Papua, hanya sekitar inventarisasi walaupun ukuran tiap plot 4 plot dari kewajiban pembuatan 1,067 contoh relatif besar. Oleh karena itu, plot (0,37%) dan yang lainnya sebanyak jumlah plot contoh yang lebih sedikit 735 plot dari kewajiban 834 plot (walaupun ukuran tiap plot contohnya (88,12%), yang terealisasi dari luas efektif lebih besar) akan memungkinkan areal berhutan. Berbeda dengan penelitian penghematan biaya kegiatan inventarisasi ini, walaupun ukuran plot contoh optimal hutan (Grussu et al., 2016). cenderung sedikit lebih besar (0,25–0,40

75 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 65-77

IV. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA A. Kesimpulan Avery, T.E., & Burkhart, H.E. (2015). Ukuran plot contoh optimal untuk Forest Measurements. 5th edn: menduga peubah tegakan (luas bidang Waveland Press, Inc. dasar dan biomassa) pada HLKP, HLKS, Carrer, M., Castagneri, D., Popa, I., dan HRS adalah 0,40 ha, sedangkan pada Pividori, M., & Lingua, E. (2017). HRP adalah 0,25 ha. Jumlah plot contoh Tree spatial patterns and stand yang diperlukan untuk kegiatan attributes in temperate forest: the inventarisasi sangat tergantung pada importance of plot size, sampling keragaman peubah tegakan pada tiap tipe design, and null model. Forest ekosistem hutan dan tingkat kesalahan Ecology and Management. 407, 125- sampling (SE) yang dapat ditolerir. Untuk 134. pendugaan luas bidang dasar dan Chave, J., Condit, R., Aguilar, S., biomassa tegakan di ketiga provinsi Hernandez, A., Lao, S., & Perez, R. contoh (Kalimantan Barat, Kalimantan (2004). “Error propagation and Tengah, dan Papua Barat), jumlah plot scaling for tropical forest biomass optimal untuk HLKP, HLKS, HRP, dan estimates.” philosophical transactions HRS pada SE 5% berturut-turut sebanyak of the royal society. Biological 339, 271, 448, dan 222 plot contoh atau Sciences. 359, 409–420. pada SE 10% berturut-turut sebanyak 85, 68, 112, 55 plot contoh. Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M.A., Chambers, Q.J., Eamus, D., … Yamakura, T. (2005). Tree allometry B. Saran and improved estimation of carbon Dalam kegiatan inventarisasi hutan stocks and balance in tropical forests. alam, ukuran dan jumlah plot contoh Oecologia. 145, 87-99 seharusnya disesuaikan dengan tipe ekosisten hutan dan keragaman kondisi Condit, R. (2008). Methods for estimating tegakan yang akan diinventarisasi. above-ground biomass of forest and Dengan demikian, sumber daya (biaya, replacement vegetation in the tropics. waktu, dan tenaga) yang diperlukan untuk Center for Tropical Forest Science, kegiatan inventarisasi akan lebih efisien. Smithsonian Tropical Research Institute. Dorebayo, F., Suhendang, E., & Muhdin. UCAPAN TERIMA KASIH (2015). Periodic comprehensive Penulis mengucapkan terima kasih kepada forest inventory on production forest Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan management in papua province. Sumber Daya Hutan (IPSDH) Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 3, Kementerian Lingkungan Hidup dan 119-127. Kehutanan (KLHK) yang telah meng- Grussu. G., Testolin, R., Saulei, S., ijinkan penggunaan data Inventarisasi Farcomeni, A., Yosi, C.K., Sanctis, Hutan Nasional (IHN) untuk penelitian M.D., & Attore, F. (2016). Optimum ini. Penulis juga berterima kasih kepada plot and sample sizes for carbon and mitra bestari (reviewers) yang telah biodiversity estimation in the lowland memberikan komentar dan masukan tropical forest of papua new guinea. berharga bagi penyempurnaan isi artikel Forestry 89, 150–158. ini.

76 Penentuan Ukuran Plot Contoh Optimal (Nanjaya, E. K., Rusolono, T., dan Tiryana, T)

Laumonier, Y., Edin, A., Kannien, M., & emphasis on Central Africa. Environ. Munadar, A.W. (2010). Monit. Assess. 164, 279–295. Landscapescale variation in the Rusolono, T., Tiryana, T., & Purwanto, J. structure and biomass of the hill (2015). Analisis Survey Cadangan dicterocarp forests of Sumatra: Karbon dan Keanekaragaman Hayati implications for carbon stock di Sumatera Selatan. Biodiversity and assessment. Forest Ecol. Manag. 259, Climate Change (BIOCLIME) 505–513. Project. Deutsche Gesellschaft für Motz, K., Sterba, H., & Pommerening, A. Internationale Zusammenarbeit (2010). Sampling measures of tree (GIZ). Palembang diversity. Forest Ecology and Skovsgaard, J.P., & Vanclay, J.K. (2008). Management 260: 1985-1996. Forest site productivity: a review of Omar, H., Ismail, M.H., & Abu Hassan, the evolution of dendrometric M.H. (2013). Optimal plot size for concepts for even-aged stands. sampling biomass in natural and Forestry 81, 13–31. logged tropical forest. CFFPR Paper. Wagner, F., Rutishauser, E., Blanc, L., & Picard, N., Magnussen, S., Ngok Banak, Herault, B. (2010). Effects of plot size L., Namkosserena, S., & and census interval on descriptors of Yalibanda,Y. (2010). Permanent forest structure and dynamics. sample plots for natural tropical Biotropica 42, 664–671. forests: a rationalewith special

77

(2020), 17(1): 79-98 pISSN: 0216 – 0439 eISSN: 2540 – 9689 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHKA Akreditasi Kemenristekdikti Nomor 21/E/KPT/2018

POPULASI MAKROFAUNA, MESOFAUNA, DAN TUBUH BUAH FUNGI EKTOMIKORIZA PADA TEGAKAN Shorea leprosula DI HUTAN PENELITIAN GUNUNG DAHU BOGOR (Population of Macrofauna, Mesofauna, and Ectomycorrhizae’s Fruit Body at Shorea leprosula stand in Gunung Dahu Forest Research, Bogor)

Tasya Chotimah1*, Basuki Wasis2, dan/and Henti Hendalastuti Rachmat3 1Departemen Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana, IPB University, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Dramaga, 16680, Bogor, Jawa Barat, Indonesia 2Fakultas Kehutanan, IPB University, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Dramaga, 16680, Bogor, Jawa Barat, Indonesia 3Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5 P.O. Box 165, Bogor 16610, Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia, 0251-8633234, 7520067/8638111

Info artikel: ABSTRACT Keywords: Shorea leprosula Miq. is a highly economic dipterocarp tree species planted in the Gunung Ectomychorrhiza, Dahu Forest Research (GDFR) at various planting distances. GDFR was established in macrofauna, 1997 – 2000 as an effort to restore landscape while conserving dipterocarp genetic mesofauna, resources. The purpose of this study was to quantify the population of soil macrofauna and Shorea leprosula mesofauna and to determine the fruit body of ectomycorrhiza species at those S. leprosula plantation plots at a various spacing distance and unplanted plots. The sample collection of macrofauna and mesofauna species was carried out in the litter using a hand sorting method while on the soil using a berlese funnel. The identification was carried out at the Forest Entomology Laboratory, IPB University. Ectomychorriza observation was conducted by the census in each observation circle plot with a radius of 17.8 m by observing the presence of a fruiting body on the forest floor. This study identified 13 macrofauna and mesofauna species dominated by worms and ants; 10 species of ectomycorrhiza fruit body with the most commonly found species were Russula genera. Kata kunci: ABSTRAK Ektomikoriza, makrofauna, Shorea leprosula Miq. adalah salah satu jenis Dipterocarpaceae yang memiliki nilai mesofauna, ekonomi dan ditanam di Hutan Penelitian Gunung Dahu (HPGD) pada berbagai jarak tegakan Shorea tanam. HPGD didirikan pada tahun 1997 – 2000 sebagai upaya untuk memulihkan lanskap leprosula dengan melestarikan sumber daya genetik dipterokarpa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur populasi makrofauna, mesofauna tanah, dan tubuh buah fungi ektomikoriza dalam plot S. leprosula pada berbagai jarak tanam dan plot kontrol yang tidak ditanami. Riwayat artikel: Pengumpulan sampel makrofauna dan mesofauna dilakukan di serasah menggunakan Tanggal diterima: metode hand sorting sementara di tanah menggunakan corong berlese. Identifikasi 30 Januari 2020; dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan, IPB. Pengamatan fungi ektomikoriza Tanggal direvisi: dilakukan dengan sensus di setiap plot lingkaran dengan jari-jari 17,8 m. Penelitian ini 2 April 2020; menunjukkan terdapat 13 jenis makrofauna dan mesofauna yang didominasi oleh cacing, Tanggal disetujui: semut, dan 10 jenis tubuh buah ektomikoriza dengan jenis yang paling banyak ditemukan 13 April 2020 adalah genus Russula.

Editor: Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr, Ph.D Korespondensi penulis: Tasya Chotimah* (E-mail: [email protected]) Kontribusi penulis: TC: Pengambilan data lapangan, identifikasi jenis, analisa hasil dan penulisan manuskrip; BW: Merancang kerangka penelitian, analisa hasil dan penulisan manuskrip; HHR: Merancang kerangka penelitian, fasilitasi lokasi penelitian, analisa hasil dan penulisan manuskrip. https://doi.org/10.20886/jphka.2020.17.1.79-98 ©JPHKA - 2018 is Open access under CC BY-NC-SA license

79 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

I. PENDAHULUAN sangat terbatas (Destaranti, Sulistyani, & Keragaman hayati tanah bisa Yani, 2017; Nurrohman et al., 2018; didefinisikan secara sederhana sebagai Sugiyarto, 2000; Sugiyarto et al., 2007). bentuk berbagai kehadiran organisme Upaya restorasi sebuah bentang lahan yang menghabiskan semua waktu atau tidak hanya bisa diukur dengan adanya sebagian lingkaran hidupnya di dalam perubahan dalam struktur dan komposisi tanah atau permukaan tanah (termasuk vegetasi yang tumbuh tetapi juga dari permukaan serasah dan kayu-kayu lapuk). perubahan dalam keseluruhan fungsi Pengelompokan yang paling mudah dan ekosistem termasuk didalamnya adalah paling dikenal sampai saat ini dilakukan komposisi dan populasi fauna. Oleh berdasarkan ukuran tubuh, dan terbagi karenanya indikasi sebuah keberhasilan menjadi tiga kategori fauna tanah yaitu kegiatan restorasi harus bisa menunjukan makrofauna, mesofauna, dan mikrofauna keselarasan antara dinamika komposisi (Herdina, Noli, & Chairul, 2013; Juniarti, dan struktur vegetasi dengan tingkat Herawatiningsih, & Burhanuddin, 2017). keterpulihan komunitas edafis yang ada di Fauna tanah banyak tersebar di daerah dalamnya (Araújo, Fernandes, Paulo, & tropis yang memiliki biodiversitas tinggi Gomes, 2010; Jouquet, Bottinelli, dan memiliki banyak peranan (Sugiyarto, Shanbag, Bourguignoon, Traore, & 2000; Sugiyarto, Efendi, Mahajoeno, Abbasi, 2014; Lutfi, & Antono, 2017; Sugiti, Handayanto, & Agustina, 2007; Wortley, Hero, & Howes, 2013). Sutoyo, 2010; Wihartono, 2015). Dipterocarpaceae merupakan Fauna tanah memiliki banyak keluarga pohon dominan yang menempati dampak dan manfaat melalui perannya bentang hutan hujan tropis Indonesia dalam proses fisik maupun biokimia dengan nilai ekonomis yang tinggi baik tanah. Diantara manfaat tersebut adalah dari produk kayu maupun non kayu yang memengaruhi laju pembentukan tanah, dihasilkannya (Maria, Manurung, & mineralisasi, humifikasi bahan organik, Sisillia, 2016; Nono, Diba, & Fahrizal, teksur tanah dan konsistensinya, makro- 2017). Populasi dipterokarpa telah porositas total, laju infiltrasi dan mengalami penurunan yang signifikan karakteristik retensi air-tanah (Apriyadi, dalam beberapa dekade terakhir akibat 2014; Sugiyarto, 2000; Sugiyarto et al., adanya faktor eksternal (pembalakan liar, 2007; Simanjuntak, & Waluyo, 1982; kebakaran hutan, kerusakan habitat, Suin, 2012). Fauna tanah juga konversi lahan, bencana alam) maupun menciptakan kondisi habitat menjadi lebih faktor internal (pertumbuhan relatif memungkinkan untuk ditinggali oleh lambat, perkembangan buah relatif lama, berbagai jenis organisme lain (Gunawan, masa berbuah tidak teratur dengan rentang & Prasetyo, 2013; Sugiyarto, 2000). yang cukup panjang, dan buah rekalsitran Terlepas dari begitu banyaknya manfaat (Atmoko, Arifin, & Priyono, 2010; yang bisa dihasilkan dari keberadaan Erizilina, Pamoengkas, & Darwo, 2019; fauna tanah, berbagai aspek fauna tanah Purwaningsih, 2004; Septria, Fernando, & masih belum banyak dieksplorasi Tavita, 2018; Sukarno, Listiyowati, terutama di daerah tropis (Leksono, 2011; Rahayu, & Nara, 2019). Nurrohman, Rahardjanto, & Wahyuni, Jenis-jenis dalam keluarga diptero- 2018). karpa diketahui memiliki asosiasi yang Perubahan komposisi dan struktur kuat dengan berbagai jenis fungi diantara- vegetasi dalam satu proses suksesi nya adalah ektomikoriza (Hakim, bentang lahan telah banyak dipelajari, Halwany, & Rachmanadi, 2019; namun demikian pengetahuan yang Karmilasanti, & Maharini, 2016; berhubungan dengan perubahan dalam Rohmaya, Mardji, & Sukartiningsih, komposisi dan populasi fauna tanah masih 2011; Ulfa et al., 2019). Fungi

80 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.) ektomikoriza berasosiasi dengan tumbuh- fikasi populasi makrofauna dan meso- an tingkat tinggi pada berbagai jenis hutan fauna tanah serta mengetahui jenis-jenis beriklim sedang dan tropis (Brearley, tubuh buah ektomikoriza yang berasosiasi 2012; Sato, Tanabe, & Toju, 2015). pada plot tegakan S. leprosula pada ber- Ektomikoriza memiliki peran dalam per- bagai jarak tanam. Sebagai pembanding lindungan dan ketahanan akar terhadap dengan kondisi yang telah dilakukan serangan berbagai jenis patogen, cekaman penanaman maka dilakukan pengamatan abiotik di sekitar rhizosfer, serta mening- yang sama pada plot yang tidak ditanami. katkan kapasitas penyerapan unsur hara dan air oleh akar (Alamsjah, & Husin, II. BAHAN DAN METODE 2010). Ektomikoriza dapat dijumpai pada tegakan dipterokarpa di berbagai eko- A. Waktu dan Lokasi Penelitian sistem hutan baik hutan sekunder maupun Penelitian dilaksanakan di Hutan hutan primer (Alamsjah, & Husin, 2010; Penelitian Gunung Dahu (HPGD) pada Karmilasanti, & Maharani, 2016; Mardji, bulan Oktober – Desember 2019. Secara 2010; Ulfa et al., 2019). umum, HPGD memiliki curah hujan 2500 Hutan Penelitian Gunung Dahu – 2700 mm/tahun, topografi berbukit dan (HPGD) merupakan hutan penelitian curam antara 15 ‒ 45% dengan ketinggian meranti yang dibangun pada 1997 – 2000 sekitar 550 ‒ 900 mdpl. Jenis tanah di dengan luas total kawasan mencapai lebih HPGD adalah latosol coklat kemerahan dari 250 hektar. HPGD dibangun dengan (inceptisol) serta memiliki iklim tipe B konsep hutan tanaman meranti multi jenis dengan kelembaban relatif 80% dengan dengan pengaturan pada beberapa jarak suhu rata-rata 30 ºC (Subiakto, & Sakai, tanam dan teknik penanaman. Total 2007). jumlah jenis yang ditanam baik pada blok HPGD merupakan plot uji eksperimen maupun blok koleksi terdapat penanaman meranti yang berasal dari lebih dari 20 jenis dengan luasan dan sistem perbanyakan massal stek pucuk perlakuan yang berbeda tergantung KOFFCO (Subiakto et al., 2016) maupun ketersediaan bibit pada saat penanaman. benih dengan luas lebih dari 250 Ha. Total Salah satu jenis meranti yang ditanam di luas yang ditanami meranti sebesar 160,7 hutan penelitian ini adalah jenis Shorea Ha, terdiri dari plot percobaan seluas 75 leprosula (Rachmat, & Fambayun, 2019; Ha dan plot koleksi jenis Dipterokarpa Subiakto, Rachmat, & Sakai, 2016). seluas 85,7 Ha yang ditanam pada tahun HPGD telah bertransformasi dari sebuah 1997 ‒ 2000. Penelitian ini dilakukan pada bentang lahan tidak produktif menjadi plot uji jarak tanam sistem penanaman tegakan hutan meranti (Rachmat, total (total planting) jenis S. leprosula Fambayun, Yulita, & Susilowati, 2020; dengan jarak tanam 2 m x 2 m, 3 m x 3 m, Subiakto et al., 2016). Dilihat dari 4 m x 4 m, dan 5 m x 5 m, dengan ukuran komposisi dan struktur vegetasi maka plot 100 m x 100 m (1 Ha). Di HPGD plot upaya restorasi bentang lahan di HPGD uji jarak tanam S. leprosula terdiri dari telah berhasil. Namun demikian, belum tiga ulangan untuk masing-masing jarak ada studi yang mengupas sejauh mana ke- tanam dengan masing-masing luas 1 Ha. berhasilan upaya restorasi bentang lahan Sebagai pembanding maka peng- ini bisa memberikan perubahan terhadap amatan dan penelitian dilakukan juga di komunitas edafis yang ada di dalamnya, dalam areal HPGD yang tidak dilakukan khususnya dari aspek keberadaan dan penanaman meranti selama periode 1997 kelimpahan populasi makrofauna dan ‒ 2000. Adapun luasan rumpang terbuka mesofauna tanah serta keberadaan tubuh yang tidak dilakukan penanaman ber- buah ektomikoriza. Oleh karena itu, ukuran ± 3 Ha dan berada pada jarak 1.000 tujuan penelitian ini adalah menguanti- meter dari Petak 1 (2 m x 2 m). Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

81 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

Gambar (Figure) 1. Lokasi penelitian di Hutan Penelitian Gunung Dahu, Bogor (Research location at Gunung Dahu Forest Research, Bogor)

B. Bahan dan Alat petak jarak tanam. Di dalam plot lingkaran Alat yang digunakan adalah pita dibentuk sub-plot berukuran 40 cm x 40 ukur, pita jahit, penggaris, phi band, cm dengan kedalaman 0 – 5 cm. Metode Global Position System (GPSmap 60CSx), pengambilan makrofauna dan mesofauna kompas, mikroskop stereo, optilab, ring dilakukan pada serasah menggunakan tanah, hygrometer, botol film, loop, hand sorting sedangkan pada tanah lakban, kardus, kamera, golok, cangkul, menggunakan dua metode yaitu hand kantong plastik bening, nampan plastik, sorting (Suin, 2012) dan corong berlese spidol, cawan petri, pinset, kertas label, (Cahyani, Aminatun, & Putra, 2017). buku identifikasi serangga (Borror, Identifikasi makrofauna dan mesofauna Triplehorn, & Johnson, 1996), lampu 40 dilakukan di Laboratorium Entomologi watt, corong berlese. Bahan yang Hutan, IPB dengan merujuk pada digunakan yaitu contoh tanah, alkohol metode/buku. Identifikasi makrofauna dan 70%, dan aquades. mesofauna dilakukan pada mikroskop dan optilab, selanjutnya identifikasi C. Metode Penelitian taksonomi pada serangga menggunakan Koleksi dan identifikasi peng- beberapa kunci identifikasi yaitu amatan tubuh buah ektomikoriza, makro- pengenalan serangga yang mengacu pada fauna dan mesofauna di HPGD dilakukan (Borror et al., 1996), Bugguide.net dan di bawah tegakan S. leprosula dengan Antkey.org. Identifikasi jenis lain dapat jarak tanam 2 m x 2 m (petak 1), 3 m x 3 mengacu pada (Anwar, & Ginting, 2013). m (petak 2), 4 m x 4 m (petak 5), 5 m x 5 Pengamatan tubuh buah ektomiko- m (petak 4), dan satu areal lahan yang riza dilakukan pada setiap petak peng- tidak ditanami berada dalam kawasan amatan (petak 1, 2, 5, 4, dan petak non HPGD. Areal kosong tersebut dijadikan penanaman) dengan membuat tiga plot sebagai pembanding dengan kondisi lingkaran pada masing-masing petak tegakan S. leprosula dan memiliki jarak pengamatan dengan jari-jari 17,8 m. sekitar 1 km dari lokasi plot S. leprosula Metode yang dilakukan adalah sensus di jarak tanam 2 m x 2 m. setiap plot pengamatan (Karmilasanti, & Pengamatan untuk makrofauna dan Maharini, 2016; Kasongat, Muzna, Gofur, mesofauna dilakukan pada setiap jarak & Ponisri, 2019). Identifikasi morfologi tanam, kemudian menentukan tiga plot dilakukan pada tubuh buah segar fungi lingkaran dengan jari-jari 17,8 m pada ektomikoriza (Brundrett, Bougher, Dell,

82 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.)

Grove, & Malajczuk, 1996), dan memotret hand sorting menghasilkan keragaman tubuh buah. Tubuh buah diambil dengan jenis dan jumlah individu terbanyak. hati-hati menggunakan sudip di bawah Makrofauna dan mesofauna yang ditemu- tajuk tegakan meranti. Tubuh buah yang kan pada petak kontrol lebih rendah di-koleksi diambil dari zona humus pada dibandingkan petak lainnya. kedalaman ±10 cm dari permukaan tanah, Perkembangan keberhasilan restora- dan selanjutnya dimasukkan dalam kan- si dari aspek pertumbuhan vegetasi yang tong kertas untuk diidentifikasi di Labora- ditanam juga diikuti dengan perkem- torium Mikoriza, Fakultas Kehutanan bangan pada populasi komunitas edafis IPB. Identifikasi jenis fungi ektomikoriza yang ada pada habitat tersebut (makro- menggunakan beberapa literatur yang fauna dan mesofauna), dalam artian dilengkapi dengan foto-foto berwarna. bahwa pada areal yang ditanami (dengan Foto keadaan fungi yang masih segar jarak tanam tertentu) akan memiliki dibandingkan dengan yang ada di literatur populasi fauna tanah yang lebih beragam serta memastikan bahwa data morfologi daripada areal kontrol (yang tidak seperti tudung, bau, dan bentuknya ditanami). Makrofauna dan mesofauna termasuk fungi ektomikoriza (Laessoe, & tanah menanggapi perubahan vegetasi di Lincoff, 1998; Lestari, & Suryanto, 2013). sepanjang suksesi sekunder, sehingga membantu peningkatan biomassa tanaman D. Analisis Data dan peningkatan bahan organik. Kondisi Analisis data dilakukan dengan areal yang sudah ditanami berbeda dengan menghitung indeks kekayaan jenis areal yang terbuka seperti tingkat Margalef (Margalef, 1958), indeks kelembaban dan suhu yang dapat keanekaragaman jenis (Barbour, Burk, & memengaruhi aktivitas makrofauna dan Pitts, 1987), dan indeks kemerataan jenis mesofauna (Patang, 2010; Sugiyarto et al., (Magurran, 2004). 2007; Vasconcellos, Segat, Bonfirm, Baretta, & Cardoso, 2013; Wibowo, & Slamet, 2017). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe penggunaan suatu lahan dapat A. Makrofauna dan Mesofauna memengaruhi keberadaan makrofauna Pengamatan makrofauna dan meso- dan mesofauna. Semakin tinggi populasi fauna di HPGD dilakukan pada saat awal tanaman per satuan luas, maka semakin musim penghujan dan selama satu periode besar persaingan unsur hara antar pengamatan. Makrofauna dan mesofauna tanaman, sehingga hasil jumlah jenis dan memiliki banyak peranan penting ter- individu makrofauna dan mesofauna yang hadap suatu habitat (Amazonas, Viani, diperoleh akan beragam. Perbedaan jarak Rego, Camargo, Fujihara, & Valsechi, tanam karena pengaruh vegetasi, 2018; Ibrahim, 2014; Risman, & Ikhsan, biomassa tanaman, peningkatan bahan 2017). Aktivitas makrofauna dan meso- organik maupun sifat lingkungan lainnya fauna dipengaruhi oleh jumlah jenis dan memengaruhi keragaman tersebut (Arief, individu pada suatu habitat (Angi, & 2001; Risman, & Ikhsan, 2017; Tarmeji, Wiati, 2017; Arief, 2001; Putra, 2012). Shanti, & Patmawati, 2018; Widyati, Hasil identifikasi makrofauna dan meso- 2013). Dengan semakin tingginya tutupan fauna yang terdapat pada HPGD disajikan kanopi, biomassa, dan serasah di hutan pada Tabel 1. jumlah fauna tanah yang ditemukan Berdasarkan Tabel 1 jumlah jenis umumnya lebih banyak dan beragam, dan individu fauna tanah di bawah tegakan sehingga menjaga kondisi iklim mikro dengan beberapa jarak tanam menunjuk- lebih stabil (Nurrohman et al., 2018; kan hasil yang cukup bervariasi. Ber- Sugiyarto et al., 2007; Wibowo, & Slamet, dasarkan metode yang digunakan, metode 2017). Jumlah jenis dan individu banyak

83 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

ditemukan pada jarak tanam 4 m x 4 m kondisi sebelum dilakukannya restorasi, dibandingkan 2 m x 2 m, 3 m x 3 m, dan 5 yang didominasi oleh jenis semut dan m x 5 m. Jika dibandingkan, petak yang rayap (Amazonas et al., 2018). Perbedaan ditanami dengan petak kontrol memiliki kondisi abiotik tempat tumbuh dan perbedaan dalam jumlah makrofauna dan vegetasi yang ada di dalam suatu bentang mesofauna yang ditemukan. Hal ini lahan menciptakan preferensi tersendiri mengidentifikasikan bahwa keberhasilan bagi komunitas fauna tanah tertentu restorasi dari aspek pertumbuhan vegetasi (Nurrohman et al., 2018; Martala, & sejalan dengan perkembangan komunitas Maya, 2014; Sugiyarto et al., 2007). edafisnya. Sebagai contoh, Hymenoptera dan Dilihat dari perbedaan dua metode Orthopteran dapat ditemukan pada yang digunakan, metode hand sorting agroekosistem rumput di zona kars menghasilkan jumlah individu dan jenis (Bautista, Castelazo, & Robles, 2009), yang ditemukan lebih banyak dibanding- kelimpahan cacing tanah relatif tidak kan dengan corong berlese. Hal ini dipengaruhi oleh jenis vegetasi dan disebabkan karena pada metode corong distribusinya pun merata jika dibanding- berlese tidak ditemukan cacing sebagai kan dengan kaki seribu (Hilwan, & akibat kematian cacing karena adanya Handayani, 2013), kemiringan dapat pemanasan lampu, sehingga yang ter- memengaruhi tingkat keragaman fauna ekstraksi hanya jenis-jenis dari meso- tanah terutama pada lahan miring agro- fauna. Sedangkan kekurangan dari metode forestri (Peritika, Sugiyarto, & Sunarto, hand sorting yaitu kurangnya ketelitian 2012). Di HPGD sendiri keberadaan dalam pencarian fauna tanah pada skala fauna tanah pada berbagai kondisi petak mesofauna bahkan mikrofauna dan yang memiliki perbedaan perlakuan pergerakan fauna tanah (Risman, & silvikultur ditunjukan pada Tabel 2. Ikhsan, 2017). Namun dari segi ke- Jenis O. denticulata merupakan praktisannya metode hand sorting lebih spesies endemik (semut) di wilayah praktis digunakan di lapangan dan tidak Indomalaya dan spesies epigaeic yang memerlukan alat (Suin, 2012). habitat utamanya di permukaan tanah, Makrofauna tanah mempunyai sehingga banyak ditemukan di seluruh peranan penting dalam dekomposisi bahan petak pengamatan. Spesies semut tersebut organik tanah guna menyediakan unsur ditemukan juga di Bogor dan daerah lain hara. Keberadaan mesofauna tanah dalam di Jawa (Hilwan, & Handayani, 2013; tanah sangat bergantung pada keter- Tarmeji et al., 2018). Jenis semut lainnya sediaan energi dan sumber makanan untuk yang ditemukan yaitu A. gracilipes, M. melangsungkan hidupnya, seperti bahan pharaonis, P. dentata, namun jenis organik dan biomassa hidup yang semua- tersebut tidak ditemukan di setiap jarak nya berkaitan dengan aliran siklus karbon tanam. A. gracilipes mendominasi pada dalam tanah (Achmad, & Aji, 2016; Arief, bagian tanah. A. gracilipes sering 2001; Hilwan, & Handayani 2013; dijumpai pada lingkungan yang lembab Riniarti, & Bintoro, 2018; Purwanto, dan tidak terpapar oleh sinar matahari Wawan, & Wardati, 2017), sehingga secara langsung seperti di bawah pohon, keberadaan mereka dapat mendukung di bawah tumpukan daun kering, di dalam pertumbuhan dari S. leprosula. rongga akar dan batang tanaman bambu Populasi fauna tanah berbeda pada serta di bawah tumpukan sampah berbagai kondisi. Sebagai contoh, keraga- (Apriyadi, 2014). Famili Formicidae man fauna tanah seperti pada areal hasil umum ditemukan juga di lahan gambut restorasi hutan di Brazil lebih tinggi pasca kebakaran (Hakim et al., 2019). dibanding keragaman fauna tanah pada

84 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.)

Tabel (Table) 1. Jumlah individu dan jenis makrofauna dan mesofauna (Number of individuals and species of macro and mesofauna) Jumlah jenis Jumlah individu Jarak tanam (Number of species) (Number of Individual) No (Planting distance) Serasah Tanah Tanah Serasah Tanah Tanah (Litter)*) (Soil)*) (Soil)**) (litter)*) (Soil)*) (Soil)**) 1 2 m x 2 m 4 5 3 9 13 10 2 3 m x 3 m 5 3 3 12 22 8 3 4 m x 4 m 5 4 4 24 19 19 4 5 m x 5 m 4 3 2 12 31 3 5 Kontrol (Control) 3 4 1 4 17 3 Total 21 19 13 61 102 43 *) Metode hand sorting (Hand sorting method), **) Metode corong berlese (Berlese funnel method)

Tabel (Table) 2. Keberadaan populasi makrofauna dan mesofauna (The presence of macrofauna and mesofauna populations)

Jenis Jarak tanam (spacing distance) No Kontrol (Species) 2 m x 2 m 3 m x 3 m 4 m x 4 m 5 m x 5 m (Control) Odontomachus denticulata 1 (semut) (Ant)      Lumbricus terrestris (cacing) 2 (warm)      Paracoccus marginatus 3 (kutu) (tick)     - Subterranean termites 4 (rayap) (termite)     - Anoplolepis gracilipes 5 (semut) (ant)    - - Monomorium pharaonis 6 (semut) (ant)  -  - - Ground beetle (kumbang) 7 (beetle)  - - -  Brachypelma smithi (laba- 8 laba) (spider) -  -  - Blattella germanica (kecoa 9 tanah) (ground cockroach) -  -  - (kaki 10 seribu) (millipide) -   - - Pheidole dentata (semut) 11 (ant) - -  - - Atractomorpha crenulata 12 (belalang) (grasshoppe) - - - -  Scolopendra cingulata 13 (kelabang) (centipede) - - - - 

Menurut Hölldobler & Wilson tanah (Hasyimuddin, Syahribulan, & (1990), semut memiliki peranan yang Usman, 2017). Jumlah dan komposisi sangat penting di ekosistem sebagai semut pada suatu kawasan juga detritivore (pemakan bangkai atau mengindikasikan kesehatan suatu organisme lain), penyerbuk, pembuat ekosistem, sekaligus memberikan airator tanah, predator. Selain itu, semut informasi aktivitas semut terhadap habitat juga dapat dijadikan indikator kesuburan atau organisme lain (Apriyadi, 2014;

85 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

Haneda, & Yuniar, 2015; Hilwan, & Jenis S. termites ditemukan pada Handayani, 2013). Data hasil (Tabel 2) petak yang ditanami meranti. Rayap menunjukkan ditemukannya berbagai merupakan salah satu dekomposer yang jenis semut dengan karakteristik yang berguna bagi senyawa organik karena berbeda-beda. peranannya dalam mempercepat proses Menurut Apriyadi (2014), M. rehabilitasi fisik dan kimia tanah (Hilwan, pharaonis sering ditemukan di dalam & Handayani, 2013; Ngatiman, 2014; tanah. Secara morfologis jenis ini Pranoto, & Latifah, 2016). Keberadaan memiliki warna tubuh kekuningan atau rayap dilaporkan terdapat pada tegakan S. cokelat muda sampai merah, serta leprosula dan Eucalyptus tetrodonta. memiliki rambut tegak yang jarang pada Selain peran positif sebagai dekomposer, tubuhnya. Sedangkan P. dentata banyak rayap memiliki peran dalam penurunan ditemukan di dalam kayu dan serasah. L. kualitas tegakan hutan. Apabila jumlah terrestris merupakan jenis cacing yang rayap dalam suatu ekosistem tinggi ditemukan pada berbagai jarak tanam. mengakibatkan kerak tanah pada suatu Makrofauna seperti cacing berperan pohon yang menutupi kulit pohon berupa dalam siklus energi dalam ekosistem alur-alur, rayap juga mengambil makanan (Hilwan, & Handayani, 2013). Serasah berupa selulosa. Namun tingkat kematian dianggap sebagai sumber makanan yang pada pohon masih tergolong rendah paling baik bagi cacing tanah karena (Ngatiman, 2014; Ngatiman, & Cahyono, karbohidratnya relatif tinggi dan rendah 2017; Tarmeji et al., 2018). kandungan lignoselulosenya. Cacing juga Selain memiliki risiko terhadap dapat meningkatkan porositas pada tanah kualitas tegakan meranti, secara ekologis karena sering membuat lubang pada tanah rayap berperan dalam proses perbaikan untuk tempat tinggal (Borror et al., 1996; agregat tanah, penyetabil bahan organik Putra, 2012; Sugiyarto et al., 2007) tanah, penyebaran, aerasi tanah, porositas Cacing tanah sangat sensitif ter- tanah, membantu proses humifikasi dan hadap kadar keasaman tanah. Ke-asaman pelepasan unsur N dan P dalam tanah. tanah bisa dianggap sebagai faktor pem- Keberadaan rayap tanah banyak ditemui batas dalam penyebaran cacing tanah dan di berbagai areal yang produktif ataupun menentukan jumlah cacing tanah di suatu tegakan yang pertumbuhannya subur daerah (Simanjuntak, & Waluyo, 1982; (Pranoto, & Latifah, 2016). Simatupang, Niswati, & Yusnaini 2015; Jenis P. marginatus merupakan Sugiyarto et al., 2007). Kelembaban tanah jenis kutu yang umumnya hidup pada yang ideal untuk pertumbuhan cacing bagian tumbuhan seperti serasah. Namun tanah adalah 15 – 30%. Temperatur yang demikian, apabila jumlah kutu ini terlalu diperlukan untuk pertumbuhan cacing banyak dapat menyebabkan kerusakan tanah sekitar 15 – 25 ºC. Cacing me- pada tanaman. O. pilosus merupakan jenis rupakan indikator kesubur-an suatu tanah kaki seribu cenderung hidup di permukaan dapat hidup pada semua kelas tekstur tanah sehingga selalu membutuhkan tanah, kecuali pada tanah berpasir, dengan perlindungan. Kaki seribu mampu men- rentang pH tanah ideal 6,0 – 7,2 (Apriyadi, cerna sendiri beberapa material tumbuhan, 2014; Suin, 2012; Tarmeji et al., 2018). terutama beberapa jenis protein dan gula- Lapisan tanah dengan kedalaman 0-10 cm gula sederhana (Sugiyarto et al., 2007). memiliki kelembaban yang lebih sesuai Jenis ini hanya ditemukan pada dua petak untuk cacing (Firmansyah, Suparman, pengamatan. Selain kaki seribu, jenis Harimin, Wigena, & Subowo, 2014; kumbang, laba-laba, dan kecoa tanah juga Hilwan, & Handayani, 2013; Wibowo, & hanya ditemukan pada dua petak Slamet, 2017). pengamatan.

86 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.)

Pada petak kontrol ditemukan fauna mesofauna juga berbeda. Faktor edafis tanah dengan jumlah jenis dan individu mengalami perkembangan seiring dengan yang lebih rendah. Pada petak kontrol juga adanya perubahan tutupan lahan seperti ditemukan jenis belalang dan kelabang tekstur dan struktur tanah, sehingga yang tidak dijumpai pada plot lain. memengaruhi keberadaan fauna tanah Ditemukannya belalang dan kelabang (Hilwan, & Handayani, 2013; Suin, 2012) diduga karena petak kontrol tidak Selain itu, suhu tanah juga sangat tertanami dengan tegakan meranti sehing- menentukan proses terjadinya dekompo- ga komunitas tumbuhan yang ada lebih sisi bahan organik tanah (Suin, 2012). menyerupai sebagai semak belukar Nilai indeks kekayaan jenis, keaneka- dengan beberapa rumpun bambu liar ragaman jenis, dan kemerataan jenis sebagai salah satu komponennya. Komu- makrofauna dan mesofauna pada petak nitas makrofauna dan mesofauna yang pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3. dilaporkan ada pada areal semak belukar Apabila dilihat dari keseluruhan, adalah belalang, kumbang, kelabang, indeks kekayaan yang tertinggi ditemukan bekicot, semut hitam, rayap, cacing, semut pada pengambilan makrofauna dan merah, dan laba-laba (Arief, 2001; mesofauna di bagian serasah dengan Hilwan, & Handayani, 2013; Tarmeji et metode hand sorting pada petak 3 m x 3 al., 2018). m. Indeks kekayaan jenis antara yang Kondisi keterbukaan lahan di areal ditanami dengan yang tidak ditanamai kosong jauh lebih tinggi dibanding tidak memiliki perbedaan yang banyak, tegakan meranti. Keterbukaan lahan ter- kecuali pada metode corong berlese. Pada sebut bisa menjadi penyebab meningkat- petak kontrol terlihat hasil yang mencolok nya laju aliran permukaan, erosi tanah dan yaitu nilai indeks kekayaan jenis adalah 0. sedimentasi serta menurunnya tingkat Hal ini disebabkan, jumlah jenis yang kesuburan dan stabilitas lahan (Ardhana, ditemukan hanya terdapat satu jenis, 2011; Fuady, Satriawan, & Mayani, 2014; sehingga memengaruhi nilai indeks Tarmeji et al., 2018). Akibatnya, kekayaan jenis, kemerataan jenis, dan keragaman dan aktivitas makrofauna dan keanekaragaman jenis (Suin, 2012).

Tabel (Table) 3. Nilai indeks kekayaan jenis (DMg), indeks keanekaragaman jenis (H’), dan indeks kemerataan jenis (E) makrofauna dan mesofauna (The value of species richness index (Dmg), species diversity index (H’), and species evenness index (E) of macro and mesofauna) Jarak DMg H' E tanam No (Planting Serasah Tanah Tanah Serasah Tanah Tanah Serasah Tanah Tanah distance) (litter)*) (soil)*) (soil)**) (litter)*) (soil)*) (soil)**) (litter)*) (soil)*) (soil)**) 1 2 m x 2 m 1,365 1,559 0,869 1,215 1,327 0,898 0,876 0,824 0,817 2 3 m x 3 m 1,611 0,647 0,962 1,474 0,893 0,974 0,916 0,813 0,887 3 4 m x 4 m 1,259 1,019 1,019 1,412 1,091 1,386 0,877 0,787 1,000 4 5 m x 5 m 1,207 0,582 0,910 0,983 1,018 0,637 0,709 0,927 0,918 Kontrol 1,443 1,059 0 1,040 0,955 0 0,946 0,689 0 5 (control) *) Metode hand sorting (Hand sorting method), **) Metode corong berlese (Berlese funnel method)

87 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa terperinci dan detail. Tabel 4 berikut nilai kemerataan jenis relatif seragam menunjukan hasil pengamatan jumlah (berada pada nilai 0,70 ≤ E ≥ 1) dan dapat individu, jenis, dan suku dari tubuh buah dikatakan kondisi penyebaran jenis relatif ektomikoriza yang dikoleksi pada saat stabil (Husamah, Rahardjanto, & Hudha, penelitian dilakukan. 2017). Nilai kemerataan tertinggi dihasil- Berdasarkan Tabel 4, jumlah jenis kan dengan metode corong berlese pada maupun jumlah individu tubuh buah ekto- jarak tanam 4 m x 4 m pada bagian tanah kimoriza yang teridentifikasi di HPGD sebesar 1,000 (tergolong tinggi). Nlai bervariasi untuk setiap plot pada jarak kemerataan yang tinggi menandakan tanam berbeda. Plot S. leprosula dengan bahwa suatu jenis memiliki keberadaan jarak tanam 4 m x 4 m memiliki jumlah yang merata pada suatu ekosistem yang jenis tertinggi sedangkan jumlah individu diamati (Magurran, 2004). tertinggi dimiliki oleh plot 2 m x 2 m. Pada Nilai keanekaragaman (H) tertinggi jarak tanam 2 m x 2 m, intensitas cahaya diperoleh dengan metode hand sorting pada plot penelitian relatif rendah dan pada jarak tanam 3 m x 3 m di bagian kelembaban yang tinggi. Per-tumbuhan serasah yaitu 1,474. Keanekaragaman ektomikoriza dipengaruhi oleh intensitas jenis akan berubah dan berbeda seiring cahaya, kelembapan, serasah, bahan berjalannya waktu dan terjadi alih fungsi organik, biomassa, dan keter-sediaan dari kondisi tempat tersebut (Arief, 2001; unsur hara (Handayani, Riniarti, & Jeffries, 1997). Pada belukar muda 1,85 Bintoro, 2018; Herdina et al., 2013). dan muda 1,15, hutan sekunder 2,18 Umumnya, pada kondisi tanah yang (Hilwan, & Handayani, 2013), dan pada asam sebagian besar akar dari jenis-jenis hutan primer tropis 1.96 (Mahendra, dipterokarpa bersimbiosis dengan fungi Riniarti, & Niswati, 2017). Keaneka- ektomikoriza, sehingga tanaman dapat ragaman di HPGD memiliki nilai yang tumbuh, berkembang dan bertahan hidup. lebih rendah dibandingkan areal lainnya. Kondisi kemasaman tanah digambarkan Hal tersebut diduga karena fauna tanah dengan nilai pH. Salah satu faktor adanya masih berada pada kedalaman lebih dari 5 kemasaman tanah disebabkan oleh curah cm, pergerakan fauna tanah yang aktif hujan yang tinggi (Suharno, Irawan, pada saat pengamatan, dan rendahnya Qomariah, Putri, & Sufaati, 2014; nilai indeks keanekaragaman juga sangat Tsumura, Kado, Yoshida, Abe, Ohtani, & dipengaruhi oleh pH (Suin, 2012). Taguchi, 2011). Pada lahan yang tidak ditanami B. Ektomikoriza meranti diperoleh data pengamatan bahwa Pengamatan dan identifikasi ekto- tidak ditemukan satu individu ekto- mikoriza yang tumbuh di HPGD dilaku- mikoriza jenis apapun. Dari kondisi ini kan pada awal musim penghujan. Koleksi terlihat jelas bahwa keberadaan ekto- dan identifikasi tubuh buah ektomikoriza mikoriza sangat berkorelasi dengan ter- hanya merefleksikan keberadaan pada saat bentuknya tegakan meranti yang ter- pengamatan. Untuk melihat dinamika bangun sebagai hasil kegiatan restorasi populasi dan keragaman ektomikoriza lebih dari 20 tahun yang lalu. Dalam hal yang tumbuh di HPGD memerlukan ini, perkembangan dan pertumbuhan observasi dan identifikasi frekuentif yang vegetasi restorasi diikuti oleh per- diambil pada berbagai kondisi musim. kembangan komunitas ektomikoriza eda- Namun demikian, pengamatan tubuh buah fis pada lokasi penelitian. ektomikoriza yang dilakukan pada Terbentuknya tubuh buah di atas penelitian ini bukan tidak memiliki arti permukaan tanah tidak selalu meng- karena hasilnya bisa dijadikan data awal gambarkan keberadaan ektomikoriza di untuk observasi lanjutan yang lebih dalam tanah. Beberapa jenis ektomikoriza

88 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.)

mampu membentuk tubuh buah di atas tubuh buah pada plot penelitian disajikan tanah dan di bawah tanah (Hakim et al., pada Tabel 5. 2019; Herdina et al., 2013). Selain itu, Umumnya di hutan alam, musim juga sangat memengaruhi keragaman jenis mikoriza yang ditemukan keberadaan dan perkembangan tubuh lebih tinggi dibandingkan di hutan buatan buah (basidiocarp). Umumnya, pada saat (Bechem, & Alexander, 2012; Tarmeji et awal dan akhir musim hujan tubuh buah al., 2018). Pada penelitian ini, ditemukan lebih banyak dijumpai (Karmilasanti, & 10 jenis dengan genus Russula, Laccaria, Maharani, 2016). Hasil identifikasi tubuh Amanita, dan Scleroderma. Genus buah ektomikoriza secara morfologi Russula mendominasi di berbagai petak umumnya hanya bisa sampai tingkat pengamatan. Fungi ektomikoriza pada Genus. Identifikasi yang lebih spesifik berbagai tegakan S. leprosula ditunjukkan disarankan untuk menggunakan marka pada Gambar 2. molekuler. Hasil identifikasi morfologi

Tabel (Table) 4. Jumlah individu, jenis, dan suku ektomikoriza (Number of individuals, species, and family of ectomychorrizae) No Jarak tanam Jumlah jenis Jumlah suku (Number Jumlah individu (Spacing distance) (Number of species) of Family) (Number of Individual) 1 2 m x 2 m 5 2 75 2 3 m x 3 m 3 1 49 3 4 m x 4 m 7 4 62 4 5 m x 5m 4 2 38 5 Kontrol 0 0 0 (Control)

Tabel (Table) 5. Keberadaan populasi tubuh buah fungi ektomikoriza (The presence of ectomychorrizae fruit body population) Jarak tanam (Spacing distance) Jenis No Kontrol (Species) 2 m x 2 m 3 m x 3 m 4 m x 4 m 5 m x 5 m (Control) 1 Russula sp1  -  - - 2 Russula sp2     - 3 Russula sp3 -    - 4 Russula sp4  - -  - 5 Russula sp5     - 6 Laccaria sp1  - - - - 7 Laccaria sp2 - -  - - 8 Amanita sp. - -  - - 9 Scleroderma sp1 - -  - - 10 Scleroderma sp2 - - -  -

89 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

a b c d

e f g

Gambar (Figure) 2. Identifikasi tubuh buah ektomikoriza (Identification of ectomycorrhizae’s fruit body) a) Russula sp2; b) Russula sp3; c) Russula sp1 & Russula sp4; d) Russula sp5; e) Laccaria sp1 & Laccaria sp2; f) Amanita sp; g) Scleroderma sp1& Scleroderma sp2

Hasil pengamatan ektomikoriza di berwarna kecoklatan memiliki panjang lapangan menunjukkan bahwa tubuh buah berkisar 5 – 8 cm, dan hidup secara fungi ektomikoriza yang ditemukan di berkoloni. HPGD bervariasi dalam bentuk, ukuran Jenis Laccaria sp. (Gambar 2e) (panjang dan diameter), warna, batang, termasuk dalam famili Hydnangiceae, tudung, tekstur, dan lamela. Kesulitan memiliki tudung dengan permukaan yang dalam mengidentifikasi fungi ekto- kasar dan berwarna coklat. Laccaria sp. mikoriza yang dijumpai adalah masih ada yang ditemukan berukuran panjang batang beberapa fungi yang masih muda dan berkisar antara 4 – 9 cm dan berbatang belum berkembang sempurna terutama halus dengan diameter tudung berkisar pada fungi yang berbentuk payung. Jenis- antara 3 – 5 cm. Laccaria sp. memiliki jenis dari Russula sp. merupakan fungi daging tudung yang tipis. Fungi ini hidup ektomikoriza yang paling banyak secara koloni dan menempel di tanah. dijumpai pada petak pengamatan. Russula Perbedaan dari Laccaria sp1 & Laccaria sp2 (Gambar 2a) memiliki tudung fungi sp2 yaitu pada tingkat warna, kematangan yang halus berwarna putih hingga merah tubuh buah, ukuran, dan tingkat kekasaran muda, batang berwarna putih dan halus tudung. Jenis Amanita sp. (Gambar 2f) berukuran berkisar antara 5 – 10 cm. memiliki ukuran diameter tudung berkisar Russula sp3 (Gambar 2b) yang ditemukan antara 15 – 17 cm dengan panjang batang berukuran panjang batang berikisar antara berkisar antara 14 – 17 cm. Tudung fungi 7 – 18 cm dengan diameter tudung berwarna kuning terang dengan berkisar antara 5 – 15 cm. Batang fungi permukaan yang halus. Batang fungi halus dengan warna putih, tudung berwarna putih dan memiliki cincin di berwarna putih, hidup secara berkoloni tengah-tengah batang. Fungi ini hidup dan menempel dengan tanah (institious). soliter. Jenis Scleroderma sp. (Gambar Bentuk lamela memita dan rapat. Russula 2g) merupakan salah satu fungi yang sp1 & Russula sp4 (Gambar 2c) memiliki berbentuk puffballs/bola. Scleroderma sp. kesamaan yaitu memiliki tudung berwarna yang ditemukan memiliki permukaan kuning. Batang fungi halus dan berukuran yang kasar beralur, berwarna kekuningan, 5 – 10 cm. Perbedaannya terletak pada coklat terang sampai dengan coklat gelap, diameter tudung, ukuran, dan terdapat dan ditemukan menempel pada tanah bercak hitam pada Russula sp4. Jenis (institious) serta hidup berkoloni. Fungi Russula sp5 (Gambar 2d) memiliki warna ini memiliki ukuran diameter berkisar tudung putih kecoklatan, bentuk lamela antara 2 – 4 cm. Hampir semua yang rapat, batang fungi kasar dan Scleroderma sp. yang ditemukan memiliki

90 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.)

akar dan jika puffballs dibelah maka akan luar yang tebal sehingga lebih tahan berwarna hitam keabu-abuan. Perbedaan terhadap kondisi lingkungan yang kurang antara Scleroderma sp1 & Scleroderma menguntungkan (Brundrett et al., 1996). sp2 terletak pada warna, ukuran, bentuk Russula merupakan genus yang batang, dan tingkat kekasaran. paling dominan ditemukan. Genus Penampakan tubuh buah ektomikoriza Russula mudah diidentifikasi dan juga ditunjukkan pada Gambar 3. ditemukan saat di lapangan karena Setiap jenis yang berada dalam satu umumnya Russula memiliki tudung yang genus dan satu famili memiliki banyak berwarna cerah. Namun demikian untuk kemiripan. Umumnya tubuh buah fungi mengidentifikasi Russula hingga tingkat bisa tumbuh berkelompok, kecuali jenis- spesies cukup sulit dilakukan karena jenis Amanita yang biasanya tumbuh masih kurangnya laporan ilmiah maupun secara soliter, sehingga hanya ditemukan penelitian mengenai Russula satu jenis Amanita yang hanya terdapat (Chalermpongse, 1992; Noor, & Rasidan, pada jarak tanam 4 m x 4 m. Seluruh genus 2013). Chalermpongse (1992) juga dari ektomikoriza yang ditemukan pada melaporkan dominan Russula di hutan penelitian ini berada pada jarak tanam 4 m dipterokarpa di Thailand. x 4 m. Laccaria dan Scleroderma Tipe hutan dan habitat sangat merupakan ektomikoriza yang tahan berpengaruh terhadap keragaman terhadap kekeringan tanah (Hustad, ektomikoriza di suatu tempat. Hal ini Meiners, & Metthven, 2011). Oleh dapat terjadi karena adanya perbedaan karenanya, kedua jenis ini dapat kondisi seperti komposisi jenis tumbuhan digunakan pada areal reboisasi, sehingga pohon dan struktur ekosistem hutan, umur saat musim kemarau, tanaman dapat hutan, pengaruh antropogenik (eksploitasi bertahan karena adanya simbiosis dengan kayu, koleksi badan buah), faktor iklim, fungi tersebut. Laccaria dan Scleroderma dekomposisi substrat kayu dan lain banyak ditemukan di HPGD hal tersebut sebagainya (Diagne et al., 2013; Kunarso, dikarenakan kedua genus ini berkembang & Azwar, 2013; Sadili, 2010; Turjaman et dengan baik pada suhu 25 – 29 ºC. al., 2005). Kanopi hutan berpengaruh Scleroderma sp. mengandung spora lebih terhadap peningkatan keragaman banyak dibandingkan dengan jenis ektomikoriza, dan menurunkan fungi ektomikoriza yang berbentuk payung. saprofitik (Brearley, 2012; Suharno et al., Umumnya Scleroderma sp. memiliki kulit 2014; Widyati, 2013).

a b c d e

f g h i j

Gambar (Figure) 3. Ektomikoriza pada berbagai tegakan S. leprosula (Ectomycorrhizae on various stands of S. leprosula) a) Russula sp1; b) Russula sp2; c) Russula sp3; d) Russula sp4; e) Russula sp5; f) Laccaria sp1; g) Laccaria sp2; h) Amanita sp; i) Scleroderma sp1; j) Scleroderma sp2.

91 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

Tabel (Table) 6. Nilai indeks kekayaan jenis (DMg), indeks keanekaragaman jenis (H’), dan indeks kemerataan jenis (E) ektomikoriza (The value of species richness index (DMg), species diversity index (H’), and species evenness index (E) of ectomycorrhizae)

No Jarak tanam DMg H’ E (Spacing distance) 1 2 m x 2 m 0,926 1,089 0,676 2 3 m x 3 m 0,514 0,650 0,592 3 4 m x 4 m 1,454 0,424 0,218 4 5 m x 5 m 0,825 1,239 0,894 5 Kontrol (Control) 0 0 0

Tubuh buah fungi ektomikoriza jenis yang paling tinggi ditemukan pada yang ditemukan pada HPGD termasuk jarak tanam 5 m x 5 m dengan nilai 1,239 dalam divisi Basidiomycota. Pada (tergolong rendah) dan 0,894 (tergolong penelitian Sato et al. (2015) menyatakan tinggi). Kemerataan jenis didukung oleh bahwa keanekaragaman Basidiomycota kondisi lingkungan dari masing-masing lebih rendah dibandingkan Ascomycota. tegakan yaitu suhu, kelembapan dan Basidiomycota di hutan hujan tropis tidak intensitas cahaya serta kemampuan adap- terlalu tinggi dibandingkan pada hutan tasi dari ektomikoriza itu sendiri. Nilai beriklim dingin dan hangat. Hasil kemerataan menunjukkan pola sebaran penelitian Sato et al. (2015) yang dilaku- suatu jenis dalam suatu komunitas, kan secara molekuler, menunjukkan semakin besar nilainya maka akan bahwa Basidiomycota memiliki preferensi semakin seimbang pola sebaran suatu inang yang jelas bagi Dipterokarpa. jenis di dalam komunitas begitu pula Umumnya memilki preferensi pada sebaliknya (Angi, & Wiati, 2017; Atmoko tingkat genus dibandingkan pada tingkat et al., 2010; Destaranti et al., 2017). spesies. Faktor lain yang memengaruhi Penelitian Helbert, Turjaman & Nara keber-adaan dari fungi ektomikoriza (2019), menyebutkan bahwa identifikasi seperti faktor edafik. Untuk melihat ektomikoriza akan memiliki tingkat keragaman ektomikoriza dapat dihitung akurasi yang jauh lebih tinggi jika Indeks kekayaan jenis, keanekaragaman dilakukan secara molekuler. jenis, dan kemerataan jenis ektomikoriza pada petak pengamatan, yang disajikan pada Tabel 6. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Menurut Magurran (2004), kategori A. Kesimpulan dari indeks kekayaan (DMg) memiliki Terdapat 13 jenis makrofauna dan nilai DMg ≤ 3,5 (rendah), 3,5 ≤ DMg ≥ 5 mesofauna serta 10 jenis populasi tubuh (sedang), DMg > 5 (tinggi). Kategori buah fungi ektomikoriza di Hutan keanekaragaman jenis (H´) memiliki nilai Penelitian Gunung Dahu (HPGD). Per- H’ ≤ 1,5 (rendah), 1,5 ≤ H’ ≥ 3,5 (sedang), tumbuhan dan perkembangan vegetasi H’ > 3,5 (tinggi). Kategori kemerataan yang ditanam sejalan dengan pertum- jenis apabila berada pada nilai 0,20 ≤ E ≥ buhan dan perkembangan komunitas eda- 1 dapat dikatakan kondisi penyebaran fis di dalamnya (makrofauna dan meso- jenis relatif stabil. fauna, ektomikoriza). Hal ini dibuktikan Kekayaan jenis tertinggi ditemukan dengan kondisi pada petak pengamatan S. pada jarak tanam 4 m x 4 m dengan nilai leprosula memiliki keragaman makro- 1,454 (tergolong rendah). Sedangkan nilai fauna, merofauna, dan ektomikoriza lebih keanekaragaman jenis dan kemerataan tinggi dibandingkan pada petak kontrol.

92 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.)

B. Saran and diversity across a Identifikasi yang lebih spesifik chronosequence of tropical forest untuk jenis ektomikoriza yang tumbuh di restoration in Southeastern Brazil. HPGD diperlukan sebagai data dasar Braz. J. Biol, 78(3), 449-456. dalam pengelolaan hutan penelitian lebih Angi, E.M., & Wiati, C.B. (2017). Kajian lanjut. Studi lanjutan untuk identifikasi ekonomi politik deforestasi dan yang lebih spesifik tentang ektomikoriza degradasi hutan dan lahan kabupaten yang berasosiasi dengan tanaman meranti Paser, Kalimantan Timur. Jurnal bisa dilakukan dengan menggunakan Penelitian Ekosistem Dipterocarpa, teknik identifikasi jenis secara molekuler. 3(2), 63-80. Pengamatan perlu dilakukan secara Anwar, K.E., & Ginting, B.C.R. (2013). frekuentif pada berbagai musim untuk Mengenal Fauna Tanah dan Cara melihat dinamika populasi. Identifikasinya. Jakarta: IAARD Press. UCAPAN TERIMA KASIH Apriyadi, R. (2014). Struktur Populasi Penulis mengucapkan terima kasih kepada semut invasif Anoplolepis gracilipes Atikah sebagai teknisi Laboratorium Smith (Hymenoptera: Formicidae) di Pengaruh Hutan – Fakultas Kehutanan Kebun Raya Bogor. (Thesis Master). IPB dan Tuti sebagai teknisi Laboratorium Institut Pertanian Bogor, Bogor. Entomologi Hutan – Fakultas Kehutanan Ardhana, K. (2011). Manajemen Sumber IPB atas keterlibatan dalam membantu Daya Manusia. Denpasar: Graha penelitian ini. Terima kasih juga Ilmu. disampaikan kepada institusi Pusat Arief, A. (2001). Hutan & Kehutanan. Penelitian dan Pengembangan Hutan, Yogyakarta: Kanisius. Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup Araújo, R., Fernandes, M., Paulo, A.C., dan Kehutanan (KLHK), atas ijin Gomes, A. (2010). Biology of human penelitian di Hutan Penelitian Gunung hair: know your hair to control it. Adv Dahu. Biochem engine/Biotechnol. Springer Verlag Berlin Heidelberg. Atmoko, T., Arifin, Z., Priyono. (2010). DAFTAR PUSTAKA Struktur dan sebaran tegakan (2014). Termites: the neglected soil dipterocarpaceae di sumber benih engineers of tropical soils. Soil merapit, Kalimantan Tengah. Jurnal Science, 181(3/4), 157-165. Penelitian Hutan dan Konservasi Achmad, S.R, & Aji. (2016). Alam, 8(3), 399-413. Pertumbuhan tanaman karet belum Barbour, G., Burk, Pitts. (1987). menghasilakan di lahan pesisir pantai Terrestrial Plant Ecology. New York: dan upaya pengelolaan di Kebun The Benyamin/Cummings Publishing Balang, Jawa Tengah. Warta Company, Inc. Perkaretan, 35(1), 11-24. Bautista, F., Castelazo, D.C., Robles, Alamsjah, F., & Husin, E. (2010). G.M. (2009). Changes in soil Keanekaragaman fungsi macrofauna in agroecosystems ektomikoriza di rizosfer tanaman derived from low deciduous tropical meranti (Shorea sp.) di Sumatera forest on leptosols from karstic zones. Barat. Biospectrum, 6(3), 155-160. Tropical and Subtropical Amazonas, N., Viani, R., Rego, M., Agroecosystems, 10, 185-197. Camargo, F., Fujihara, R., Valsechi, Bechem, E.E.T., & Alexander, I.J. (2012). O. (2018). Soil macrofauna density Phosphorus nutrition of

93 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

ectomycorrhizal Gnetum africanum Firmansyah, M.A., Suparman, Harimin, plantlets from Cameroon. Wigena, I.G.P., Subowo. (2014). Brearley, F. (2012). Ectomycorrhizal Karakterisasi populasi dan potensi Associations of the Dipterocarpaceae. cacing tanah untuk pakan ternak dari Biotropica, 44(5), 637-648. tepi sungai kahayan dan barito. Berita Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Biologi, 13(3), 333-341. Grove, T., Malajczuk, N. (1996). Fuady, Z., Satriawan, H., Mayani, N. Working with Mycorrhizae in (2014). Aliran permukaan, erosi dan Forestry and Agriculture. Australia: hara sedimen akibat tindakan Monograph ACIAR. konservasi tanah vegetatif pada Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johnson, kelapa sawit. Jurnal Ilmu Tanah dan N.F. (1996). Pengenalan Pelajaran Agroklimatologi, 11(2), 95-103. Serangga Edisi ke-6. Yogyakarta: Gunawan, H., & Prasetyo, B.L. (2013). Gajahmada Univ Press. Fragmentasi Hutan: Teori yang Cahyani, K., Aminatun, T., Putra, N. mendasari penataan ruang hutan (2017). Struktur komunitas menuju pembangunan berkelanjutan. collembolan di lingkungan rhizosfer Bogor: Pusat Penelitian dan Chromolaena odorata pada lahan Pengembangan Konservasi dan vulkanik, pantai berpasir, dan karst. Rehabilitasi. Jurnal Prodi Biologi, 6(8), 455-464. Hakim, S.S., Halwany, W., Rachmanadi, Chalermpongse, A. (1992). Biodiversity D. (2019). Fungi and soil macrofauna of ectomycorrhizal fungi in the community in revegetated post-fire dipterocarp forest of Thailand. peatland in Central Kalimantan. Indonesian Journal of Forestry Proceedings of Tsukuba Workshop in Tsukuba Science City. Biotechnology Research, 6(2), 107-116. Assisted Reforestation Project (Bio- Haneda, F.N., & Yuniar, N. (2015). Refor)-IUFRO/SPDC. (hal. 143-153). Komunitas semut (Hymenoptera: Destaranti, N., Sulistyani, Yani, E. (2017). Formicidae) pada empat tipe Struktur dan vegetasi tumbuhan ekosistem yang berbeda di Desa bawah pada tegakan pinus di RPH Bungku Provinsi Jambi. Jurnal Kalirajut dan RPH Baturraden Silvikultur Tropika, 6(3), 203-209. Banyumas. Scripta Biologica, 4(3), Handayani, I., Riniarti, M., Bintoro, A. 155-160. (2018). Pengaruh dosis inokulum Diagne, N., Thioulouse, J., Sanguin, H., spora Scleroderma columnare Prin, Y., Krasova-Wade, T., Sylla, S., terhadap kolonisasi ektomikoriza dan pertumbuhan semai damar mata Duponnois, R. (2013). Ectomycorrhizal diversity enhances kucing. Jurnal Sylva Lestari, 6(1), 9- growth and nitrogen fixation of 15. Acacia mangium seedlings. Soil Hasyimuddin, Syahribulan, Usman, A.A. Biology and Biochemistry, 57, 468- (2017). Peran ekologis serangga 476. tanah di perkebunan Patallassang Erizilina, E., Pamoengkas, P., Darwo. Kecamatan Patallassang Kabupaten (2019). Hubungan sifat fisik dan Gowa Sulawesi Selatan. Biology for kimia tanah dengan pertumbuhan Life. Prosiding Seminar Nasional meranti merah di KHDTK (hal.70-78). Haurbenters. Jurnal Pengelolaan Helbert, Turjaman, M., Nara, K. (2019). Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Ectomycorrhizal fungal communities 9(1), 68-74. of secondary tropical forests dominated by tristaniopsis in Bangka

94 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.)

Island, Indonesia. PLOS ONE, 14(9), dipterokarpa di KHDTK Labanan, 1-9. Berau, Kalimantan Timur. Jurnal Herdina, J., Noli, Z., Chairul. (2013). Penelitian Ekosistem Dipterokarpa, Pertumbuhan beberapa tanaman 2(2), 57-66. untuk revegetasi yang diinokulasi Kasongat, H., Muzna, A.A., Gofur, ektomikoriza pada lahan bekas Ponisri. (2019). Identifikasi dan tambang batubara ombilin. Jurnal kenaekargaman jenis jamur Biologika, 2(1), 47-58. ektomikoriza pada hutan jati di Seram Hilwan, I., & Handayani, P.E. (2013). bagian timur. Median, 11(1), 39-46. Keanekaragaman mesofauna dan Kunarso, A., & Azwar, F. (2013). makrofauna tanah pada areal bekas Keragaman jenis tumbuhan bawah tambang timah di kabupaten pada berbagai tegakan hutan tanaman Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka di Benakat, Sumatera Selatan. Jurnal Belitung. Jurnal Silvikultur Tropika, Penelitian Hutan Tanaman, 10(2), 4(1), 35-41. 85-98. Hölldobler, B., & Wilson, E.O. (1990). Laessoe, T., & Lincoff, G. (1998). The ants. Cambridge: The Belknap Mushrooms. London, England: DK Press. Harvard University Press. Publishing. Husamah, Rahardjanto, A., Hudha, A.M. Leksono, A.S. (2011). Keanekaragaman (2017). Ekologi Hewan Tanah. Hayati. Malang: UB Press. Malang: Universitas Muhammadiyah Lestari, N. S., & Suryanto. (2013). The Malang. Hidden Treasure of Labanan. Hustad, V.P., Meiners, Metthven. (2011). Samarinda: Balai Besar Penelitian Terrestrial macrofungi of Illinois old- Dipterokarpa. growth prairie groves. Am. Midl. Nat, Lutfi, M., & Antono, H.T. (2017). 166, 13-28. Estimasi stok karbon di kawasan Ibrahim, H. (2014). Keanekaragaman penambangan akibat perubahan luas Mesofauana Tanah Daerah penutupan lahan terkait dengan Pertanian Apel Desa Tulungrejo REDD. Statistika, 14(1), 15-24. Kecamatan Bumiaji Kota Batu Mahendra, F., Riniarti, M., Niswati, A. Sebagai Bioindikator Kesuburan (2017). Populasi dan keanekargaman Tanah. Malang: UMM Press. mesofauna serasah dan tanah akibat Jeffries, M.J. (1997). Biodiversity and perubahan tutupan lahan di resort Conservation. New York: Routledge. pemerihan Taman Nasional Bukit Jouquet, P., Bottinelli, N., Shanbag, R.R., Barisan Selatan. EnviroScienteae, Bourguignoon, T., Traore, S., Abbasi, 13(2), 128-138. A.S. Magurran, A.E. (2004). Measuring Juniarti, T.K., Herawatiningsih, R., Biological Diversity. Malden: Burhanuddin. (2017). Blackwell Science. Keanekaragaman jenis meranti Mardji, D. (2010). Identifikasi jenis jamur (Shorea spp.) pada areal IUPHHK- mikoriza di hutan alam dan lahan HTI PT. Bhatara Alam Lestari pasca tambang batu bara PT Kabupaten Mempawah Kalimantan Turbaindo Coal Mining Muara Lawa. Barat. Jurnal Hutan Lestari, 5(4), Jurnal Kehutanan Tropika Humida, 1079-1087. 3(1), 42-53. Karmilasanti, & Maharani, R. (2016). Maria, K., Manurung, T., Sisillia, L. Keanekaragaman jenis jamur (2016). Identifikasi jenis pohon famili ektomikoriza pada ekosistem hutan dipterocarpaceae di kawasan

95 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

arboretum sylva Universitas Peritika, Z.M., Sugiyarto, Sunarto. (2012). Tanjungpura Pontianak. Jurnal Hutan Diversity of soil macrofauna on Lestari, 4(4), 527-534. different pattern of sloping land Margalef, R. (1958). Information Theory agroforestry in Wonogiri, Central in Ecology. General System, 3, 56-71. Java. Biodiversitas, 13(3), 140-144. Martala, S., & Maya, L. (2014). Pranoto, D., & Latifah, S. (2016). Kepadatan dan distribusi cacing tanah Pengaruh aktivitas rayap tanah di areal arboretum Dipterocarpaceae terhadap produktivitas tanah di 1.5 Ha Fakultas Kehutanan arboretum sylva Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning Untan. Jurnal Hutan Lestari, 4(4), Pekanbaru. Jurnal Lectura 5(1), 1-14. 463-471. Ngatiman. (2014). Serangan rayap Purwaningsih. (2004). Sebaran ekologi Coptotermes sp. pada tanaman jenis-jenis Dipterocarpaceae di meranti merah (Shorea leprosula Indonesia. Biodiversitas, 5(2), 89-95. Miq) di beberapa lokasi penanaman Purwanto, E., Wawan, Wardati. (2017). di Kalimantan Timur. Jurnal Kelimpahan mesofauna tanah pada Penelitian Dipterokarpa, 8(1), 1-14. tegakan tanaman karet (Havea Ngatiman, & Cahyono, D.D.N. (2017). brasiliensis Muell. Arg) di tanah Serangan rayap Coptotermes sp. pada gambut yang ditumbuhi dan tidak tanaman Shorea leprosula miq. di PT ditumbuhi Mucuna bracteata. JOM Suka Jaya Makmur, Kalimantan FAPERTA, 4(1), 1-14. Barat. Jurnal Penelitian Ekosistem Putra, M. (2012). Makrofauna Tanah Dipterokarpa, 3(1), 33-42, pada Ultisol di Bawah Tegakan Nono, Diba, F., Fahrizal. (2017). Berbagai Umur Kelapa Sawit (Elaeis Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu guineensis Jacq.). Riau: UNRI Press. oleh masyarakat di Desa Labian Rachmat, H.H., & Fambayun, R.A. Ira’ang dan Desa Datah Diaan di (2019). Komatsu-Foerdia Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Conservation (KoFCo) nursery: an Hutan Lestari, 5(1), 76-87. effort to support dipterocarps genetic Noor, M., & Saridan, A. (2013). conservation in Indonesia. Prosiding Keanekaragaman fungi makro pada Seminar Nasional Masyarakat tegakan benih dipterocarpaceae di Biodiversitas Indonesia (hal.23-66). Taman Nasional Tanjung Puting dan Rachmat, H.H., Fambayun, A.R., Yulita, Taman Nasional Sebangau S.K., Susilowati, A. (2020). Ex-situ Kalimantan Tengah. Jurnal conservation and management of Penelitian Dipterokarpa, 7(1), 53-62. dipterocarps genetic resources Nurrohman, E., Rahardjanto, A., through seedlings collections and Wahyuni, S. (2018). Studi hubungan nursery establishment. Biodiversitas, keanekaragaman makrofauna tanah di 21(2), 556-563. perbukanan cokelat (Theobroma Risman, & Ikhsan, A. (2017). cacao L.) Kalibaru Banyuwangi. Penggambaran makrofauna dan Bioeksperimen, 4(1), 1-10. mesofauna tanah dibawah tegakan Patang, F. (2010). Keanekaragaman karet (Hevea brazilliensis) di lahan takson serangga dalam tanah pada gambut. JOM Faperta, 4(2), 1-15. areal bekas tambang batu bara PT. Rohmaya, Mardji, D., Sukartiningsih. Mahakam Sumber Jaya Desa Separi (2011). Keanekaragaman jenis jamur Kutai Kartanegara - Kalimantan ektomikoriza pada kondisi hutan Timur. Bioprospek, 7(1), 80-89. dangan kelerengan yang berbeda di hutan wisata bukit Bangkirai PT

96 Keragaman makrofauna, mesofauna, dan ektomikoriza (Chotimah, T., Wasis, B., dan Rachmat, H. H.)

Inhutani 1 Balikpapan. Jurnal Sugiyarto, Efendi, M., Mahajoeno, E., Kehutanan Tropika Humida, 4(2), Sugiti, Y., Handayanto, E., Agustina, 150-160. L. (2007). Preferensi berbagai jenis Sadili, A. (2010). Struktur dan komposisi makrofauna tanah terhadap sisa bahan jenis tumbuhan herba dan semai pada organik tanaman pada intesitas habitat satwa herbivor di Suaka cahaya yang berbeda. Biodiversitas, Margasatwa Cikepuh, Sukabumi, 7(4), 96-100. Jawa Barat. Jurnal Berita Biologi, Suharno, Irawan, C., Qomariah, E., Putri, 10(1), 1-10. I., Sufaati, S. (2014). Keragaman Sato, H., Tanabe, S.A., Toju, H. (2015). makrofungi di Distrik Warmare Contrasting diversity and host Kabupaten Manokwari, Papua Barat. association of ectomycorrhizal Jurnal Biologi Papua, 6(1), 38-46. basidiomycetes versus root- Suin, N.M. (2012). Ekologi Hewan Tanah. associated ascomycetes in a Bandung: Bumi Aksara. dipterocarp rainforest. PLOS ONE, Sukarno, N., Listiyowati, S., Rahayu, N., 10(4), 1-20. Nara, K. (2019). Elaphomyces Septria, D., Fernando, T., Tavita, G. tropicalis sp. nov.: A new (2018). Keanekaragaman jenis pohon ectomycorrhizal fungus associated famili dipterocarpaceae di hutan adat with dipterocarps from tropical bukit benuah Kecamatan Sungai Indonesia. Mycoscience, 60(2019), Ambawang Kabupaten Kubu Raya. 83-88. Jurnal Hutan Lestari, 6(1), 114-122. Sutoyo. (2010). Keanekaragaman hayati Simanjuntak, A.K & Waluyo, J. (1982). Indonesia suatu tinjauan: masalah dan Cacing Tanah Budidaya dan pemecahannya. Buana Sains, 10(2), Pemanfaatannya. Jakarta: Penebar 101-106. Swadaya. Tarmeji, A., Shanti, R., Patmawati. Simatupang, B., Niswati, A., Yusnaini, S. (2018). Hubungan bahan organik (2015). Populasi dan dengan keberadaan fauna tanah pada keanekaragaman cacing tanah pada umur rehabilitasi lahan pasca berbagai lokasi di hutan Taman tambang yang berbeda. Jurnal Nasional Bukit Barisan Selatan Agroekoteknologi Tropika Lembab, (TNBBS). J. Agrotek. Tropika, 3(3), 1(1), 1-10. 402-408. Turjaman, M., Tamai, Y., Segah, H., Subiakto, A., & Sakai, C. (2007). Limin, S., Cha, J.Y., Osaki, M., Manajemen Persemaian KOFFCO Tawaraya, K. (2005). Inoculation System. Bogor: Pusat Penelitian dan with the ectomycorrhizal fungi Pengembangan Hutan dan Pisolithus arhizus and Scleroderma Konservasi Alam. sp. Improves early growth of Shorea Subiakto, A., Rachmat, H.H., Sakai, C. pinanga nursery seedlings. New (2016). Choosing native tree species Forest, 30, 67-73. for establishing man-made forest: A Tsumura, Y., Kado, T., Yoshida, K., Abe, new perspective for sustainable forest H., Ohtani, M., Taguchi, Y. (2011). management in changing world. Molecular phylogeny database for Biodiversitas, 17(2), 620-625. classifying Shorea species Sugiyarto. (2000). Keanekaragaman (Dipterocarpaceae) and techniques makrofauna tanah pada berbagai for checking the legitimacy of timber umur tegakan sengon di RPH Jatirejo, and wood products. Journal of Plant Kabupaten Kediri. Biodiversitas, Research, 124, 35-48. 1(2), 47-53.

97 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 79-98

Ulfa, M., Faridah, E., Lee, S., Sumardi, Educational Forest, Sukabumi, Jawa Roux, C., Galiana, A., Mansor, P., Barat. Jurnal Silvikultur Tropika, Ducousso, M. (2019). Multi inang 8(1), 26-34. fungi ektomikoriza pada Widyati, E. (2013). Pentingnya dipterocarpaceae di hutan tropis. keragaman fungsional organisme Jurnal Ilmu Kehutanan, 13, 56-69. tanah terhadap produktivitas lahan. Vasconcellos, R.L.F., Segat, J.C., Tekno Hutan Tanaman, 6(1), 29-37. Bonfirm, J.A., Baretta, D., Cardoso, Wihartono, M. (2015). Kawasan tropis E.J.B.N. (2013). Soil macrofauna as pegunungan sebagai kawasan rawan an indicator of soil quality in an bencana dengan nilai ekologi tinggi undisturbed riparian forest and dan upaya pelestariannya. Jurnal recovering site of different ages. Bionature 16(1), 1-7. European Jurnal of Soil Biology, Wortley, L., Hero, J. M., Howes, M. 58(2013), 105-112. (2013). Evaluating ecological Wibowo, C., & Slamet A.S. (2017). restoration success: a review of the Keanekaragaman makrofauna tanah literature. Restoration Ecology, 5, pada berbagai tipe tegakan di areal 537-543. bekas tambang silika di Holcim

98 (2020), 17(1): 99-112 pISSN: 0216 – 0439 eISSN: 2540 – 9689 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHKA Akreditasi Kemenristekdikti Nomor 21/E/KPT/2018

PENDUGAAN KONSUMSI KAYU DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN HUTAN LESTARI (The Estimation of Wood Consumption to Support Sustainable Forest Management)

Lutfy Abdulah1*, Endang Suhendang2, Herry Purnomo2 dan/and Juang R.

Matangaran2 1Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jalan Gunung Batu No. 5, Kota Bogor, 16610, Bogor, Jawa Barat, Indonesia 1Mahasiswa Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pasca Sarjana, IPB University, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Darmaga, 16680, Bogor, Jawa Barat, Indonesia 2Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pasca Sarjana, IPB University, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Darmaga, 16680, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Info artikel: ABSTRACT Keywords: Estimation of wood consumption is important to measure the level of wood products Wood consumption, utilization for domestic use. One way to get this information is to approach a systematic household, review of previous research, to find out the methods that have evolved in estimating the systematic review level of consumption and its impact on sustainable forest management. The research method materials used were reports, proceedings and scientific journals related to the method of estimating the use of wood products. The research results showed that there were 253 studies related to the keywords method of measuring the level of consumption of wood products by households which was published in the form of 20 reports, 2 theses and 231 journals. However, there were only 46 articles and reports published in global indexed journals. Based on the literature research results, a simulation of the use of wood products was carried out at the national, industrial and household levels. The simulation results showed that the estimated consumption of wood based on scale varies greatly. Nevertheless, it is recommended to use an estimator model on a household scale because it could be verified easily. Kata kunci: ABSTRAK Konsumsi kayu, rumah tangga, Pendugaan konsumsi kayu sangat penting dilakukan untuk mengukur tingkat produk kayu metode tinjauan yang dipanen dan digunakan oleh masyarakat. Salah satu cara untuk mendapatkan informasi sistematik tersebut, dapat dilakukan dengan pendekatan tinjauan sistematis atas penelitian yang telah dilakukan sebelumnya untuk mengetahui metode yang berkembang dalam menduga tingkat konsumsi kayu dan dampaknya terhadap pengelolaan hutan lestari. Bahan penelitian berupa laporan, prosiding dan jurnal ilmiah terkait metode pendugaan penggunaan produk kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 253 penelitian yang berkaitan dengan kata Riwayat artikel: kunci metode pengukuran tingkat konsumsi produk kayu oleh rumah tangga yang Tanggal diterima: dipublikasikan dalam bentuk 20 laporan, 2 tesis dan 231 jurnal. Namun demikian, hanya 25 April 2019; terdapat 46 artikel dan laporan dan dipublikasikan pada jurnal yang terindeks global. Tanggal direvisi: Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, kemudian dilakukan simulasi penggunaan produk 02 Juni 2020; kayu pada tingkat/skala nasional, industri dan rumah tangga. Hasil simulasi menunjukkan Tanggal disetujui: bahwa dugaan konsumsi kayu berdasarkan skala sangat bervariasi. Namun demikian, 03 Juni 2020 penggunaan pendekatan rumah tangga sangat mudah untuk dilakukan verifikasi.

Editor: Rinaldi Imanuddin, S.Hut., M.Sc Korespondensi penulis: Lutfy Abdullah ([email protected]) Kontribusi penulis: LA: Mengumpulkan data, menganalisis, menulis dan memperbaiki naskah; ES: Memperbaiki subtansi naskah; HP: Menyusun metode dan memperbaiki substansi naskah; JRM: menyusun dan memperbaiki substansi naskah. https://doi.org/10.20886/jphka.2020.17.1.99-112 ©JPHKA - 2018 is Open access under CC BY-NC-SA license

99 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 99-112

I. PENDAHULUAN dan informasi yang dihasilkan akan Tinjauan sistematis merupakan berdampak pada pemanenan hutan yang metode penelitian yang berbasis pada berlebihan atau sebaliknya yaitu pem- penelusuran publikasi hasil-hasil batasan penebangan yang mengakibatkan penelitian yang disaring berdasarkan pada menurunnya pendapatan di sektor kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan. pengelolaan hutan produksi. Salah satu Penetapan kriteria disesuaikan dengan kendala dalam pengumpulan data dan tujuan penelitian yang ingin dicapai. informasi penggunaan produk kayu adalah Dalam penelitian pengukuran konsumsi metode pengukuran penggunaan produk kayu, tinjauan sistematis merupakan salah kayu. satu metode penelitian yang tepat untuk Tujuan penelitian ini adalah untuk digunakan, dengan pertimbangan bahwa mengetahui metode pengukuran konsumsi data dan informasi yang diperoleh dari produk kayu yang tepat dengan pen- hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait dekatan tinjauan sistematis atas penelitian penggunaan produk kayu dapat diketahui yang telah dilakukan sebelumnya baik dengan cakupan wilayah yang luas, waktu pada skala global, nasional, industri yang singkat dan biaya yang relatif murah. maupun rumah tangga, dalam menduga Hasil dari beberapa tinjauan yang tingkat konsumsi kayu dan dampaknya dilakukan oleh Lim, Brown, & pada pengelolaan hutan lestari. Schlamadinger (1999); Pingoud, Schlamadinger, Grönkvist, Brown, II. BAHAN DAN METODE Cowie, & Marland (2004); Sathre, & O’Connor (2010); dan Jasinevičius, A. Waktu dan Lokasi Penelitian Lindner, Pingoud, & Tykkylainen (2015), Penelitian dilakukan sejak bulan belum banyak memperbaiki preskripsi Mei 2018 sampai dengan Desember 2018 pengelolaan hutan karena lingkupnya di Kampus Badan Penelitian, masih sangat besar yakni untuk skala Pengembangan dan Inovasi, Kementerian nasional dan bahkan global. Selain itu, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan pemanfaatan hasil penelitian penggunaan Gunung Batu No. 5 – Kota Bogor. produk kayu masih mengarah pada dugaan simpanan karbon dan emisi dari B. Bahan penggunaan produk kayu, sementara Bahan yang digunakan adalah hasil penyusunan preskripsi pengelolaan hutan penelitian dalam bentuk laporan, belum dilakukan. prosiding dan jurnal ilmiah yang didapat Pertambahan penduduk berdampak secara online di www.sciencedirect.com, pada permintaan lahan untuk permukiman www.onlinelibrary.wiley.com dan dan aktivitas lainnya. Sejalan dengan hal www.scholar.google.go.id. tersebut, Panshin, Zeeuw, & Brown (1964) mengemukakan bahwa permintaan C. Metode kayu akan meningkat karena kayu Langkah penyusunan tinjauan merupakan kebutuhan dasar dan mudah sistematik dilakukan sesuai tahapan dikerjakan. Berbeda dengan hal tersebut, sebagaimana disampaikan oleh Khan, Suhendang (2013) memprediksi bahwa Kunz, Kleijnen, & Antes (2003), yaitu: penurunan tingkat konsumsi kayu searah 1) Membangun pertanyaan tinjauan. dengan penurunan rasio luas hutan Dalam membangun pertanyaan terhadap populasi sebesar 0,6 ha/jiwa di tinjauan disesuaikan dengan tujuan tahun 2025. Dalam kondisi ini, diperlukan dilakukannya tinjauan. Terdapat 5 data dan informasi penggunaan kayu yang (lima) pertanyaan utama yang akurat sebagai dasar rencana pengelolaan diajukan dalam tinjauan ini yakni: hutan yang tepat, mengingat akurasi data

100

Pendugaan Konsumsi Kayu (Abdullah, L., Suhendang, E., Purnomo, H., dan Matangan, J. R.)

a. Bagaimana perkembangan pe- 4) Merangkum temuan yang terdapat ngukuran produk kayu? dalam publikasi b. Metode apa yang berkembang Dalam merangkum temuan tersebut, saat ini dalam mengukur peng- kami menetapkan metode dan obyek gunaan kayu di produk kayu? yang dilihat. c. Faktor apa yang berpengaruh 5) Membuat sintesa. dalam menduga tingkat konsumsi kayu? III. HASIL DAN PEMBAHASAN d. Apa dampak konsumsi kayu terhadap pengelolaan hutan A. Perkembangan metode pengukur- lestari? an produk kayu e. Dapatkah disimulasikan pada Hasil penelusuran pustaka me- pendugaan tingkat konsumsi nunjukkan bahwa terdapat 253 penelitian kayu di Indonesia? yang berkaitan dengan kata kunci metode pengukuran tingkat konsumsi produk

2) Mengidentifikasi publikasi yang kayu oleh rumah tangga. Penelitian ini sesuai. dipublikasikan dalam bentuk 20 laporan, Dalam menyusun rencana tinjauan, dua tesis dan 231 jurnal. Sementara itu, terdapat beberapa hal yang perlu penyaringan abstrak dengan kata kunci diidentifikasi dan diatur, meliputi: harvested wood product, consumption and a. Materi atau sumber bahan household menghasilkan informasi tinjauan berasal dari website dan sebanyak 121 penelitian. Penyaringan jika tidak dipublikasikan di dengan kata kunci harvested wood website, maka kita perlu mencari product and building or furniture laporan yang dimaksud. menghasilkan 16 penelitian yang terkait. b. Materi tinjauan tersebut berupa Bila penyaringan dengan menggunakan tulisan yang ditulis baik dalam kata kunci measurement or harvested or bahasa Indonesia maupun bahasa consumption maka terdapat 124 Inggris. penelitian. Dari semua data dan informasi c. Pencarian materi dilakukan hasil penelusuran dan penyaringan di atas, melalui mesin pencari khusus tidak ada satu pun penelitian yang untuk bahan yang bersifat ilmiah menyampaikan metode pengukuran seperti www.sciencedirect.com, harvested wood product secara langsung www.onlinelibrary.wiley.com pada abstrak artikel. dan www.scholar.google.go.id. Jurnal yang memuat informasi 3) Menilai kualitas publikasi terhadap penggunaan produk kayu tergolong jurnal pertanyaan penelitian dalam jurnal internasional bereputasi. Dalam menilai kualitas publikasi Berdasarkan quartile SJR, terdapat 56 terdapat beberapa kriteria yang jurnal yang termasuk Q1, 17 jurnal yang diterapkan, seperti: publikasi tersebut tergolong Q2, enam jurnal tergolong Q3 dipublikasikan di media online, dan satu jurnal yang tergolong Q4. Isu ini berupa jurnal dan laporan kegiatan. menjadi perhatian bagi kalangan Selain kriteria di atas, kami akedimisi di Amerika Serikat, Jerman, menggunakan kata kunci dalam Belanda dan Inggris dengan menyaring publikasi tersebut. mempublikasikan di jurnal bereputasi Q1 Adapun kata kunci yang digunakan (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa adalah metode, konsumsi, produk isu penggunaan produk kayu merupakan kayu (dalam dua bahasa, Indonesia isu yang menjadi perhatian kalangan dan Inggris). akademik dan digunakan sebagai bahan pertimbangan kebijakan.

101

Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 99-112

Gambar (Figure) 1. Distribusi Publikasi pada Jurnal Ilmiah Bereputasi (Distribution of Publications on Reputable Scientific Journals)

Gambar 1 di atas menunjukkan 1) Empiris : Publikasi yang dibangun bahwa Inggris sebagai negara yang paling dengan didasarkan pada bukti-bukti banyak menghasilkan jurnal Q1 dan ilmiah, percobaan dan contoh kasus; membahas tentang penggunaan produk 2) Konseptual atau Pendekatan Teori : kayu dan dampaknya yang diterbitkan di Temuan hasil penelitian yang Applied Energy, Biofuels, Bioproducts didasarkan pada pengalaman and Biorefining, Biomassa and Bioenergy, lapangan yang komprehensif dan Building and Environment serta Building terkait dengan pekerjaan; Reseach and Information. Jerman 3) Lainnya : tinjauan dari penelitian merupakan negara kedua yang paling yang dikerjakan secara empiris atau banyak menerbitkan jurnal bereputasi Q1 diuji kembali. terkait pemanfaatan produk kayu dan dampaknya. Beberapa jurnal yang di- Berdasarkan hasil penelusuran terbitkan antara lain Advanced Energy terhadap 46 publikasi baik laporan, tesis Materials, Biogeosciences, dan maupun jurnal diketahui bahwa tren ShemSusChem. Sementara jurnal penelitian penggunaan produk kayu terus Biological Conservation diterbitkan di berkembang. Pada awal tahun 1970-an, Belanda dan jurnal Conservation penelitian masih menggunakan metode diterbitkan di Amerika Serikat. empiris. Kemudian berkembang dengan melakukan studi literatur atas hasil B. Metode pengukuran penggunaan penelitian lainnya. Sekarang ini lebih kayu pada produk kayu yang telah banyak pada simulasi dan membangun ada konsep pengukuran seperti menggunakan Pengukuran pendugaan produk metode Life Cycle Assessment (LCA) dan kayu dapat dikembangkan berdasarkan Material And Energy Flow Assessment beberapa aspek yakni aspek pendekatan, (MEFA). aspek obyek dan aspek level pengukuran. Berdasarkan aspek pendekatan terdapat tiga pendekatan besar, yakni :

102

Pendugaan Konsumsi Kayu (Abdullah, L., Suhendang, E., Purnomo, H., dan Matangan, J. R.)

Gambar (Figure) 2. Perkembangan Metode Penelitian Penggunaan Produk Kayu (History of Research Methods for Wood Products Utilization)

Gambar 2 menunjukkan bahwa kayu pada konstruksi dan non- pendugaan tingkat penggunaan produk konstruksi kayu yang berkembang saat ini adalah  Lingkungan = pendekatan penelitian dengan pendekatan konseptual. Sementara untuk melihat dampak penggunaan pendekatan empiris berkembang lebih kayu terhadap ekosistem dan dulu, namun setelah tahun 2013 sudah lingkungan hidup secara luas tidak menjadi perhatian utama. Dugaan-  Karbon = pengukuran nilai karbon nya bahwa pendekatan ini rumit, tersimpan dalam produk kayu membutuhkan sumber daya penelitian terutama di rumah tangga yang besar atau sudah dianggap cukup.  Ekonomi = pendekatan untuk Jika sudah dianggap cukup maka yang mengukur faktor ekonomi yang berkembang adalah pendekatan lainnya pendongkrak penggunaan produk yakni dengan dilakukannya simulasi dan kayu dan dampak ekonomi yang pemodelan. ditimbulkan dari penggunaan produk Amerika Serikat dan Jepang adalah kayu negara yang telah mempublikasikan  Preferensi = pendekatan pendapat kategori bahan baku, karbon, ekonomi dan pengguna kayu terhadap model preferensi. Di Amerika Serikat terdapat 14 produk kayu publikasi, sementara di Jepang terdapat 10 publikasi. Kategori bahan baku dapat dilihat Tabel 1 menunjukkan bahwa dengan metode konseptual, empirik dan Amerika Serikat dan Jepang meng- lainnya. Sementara simpanan karbon gunakan pendekatan konseptual, empiris dapat dilihat dengan mengembangkan dan lainnya (simulasi) dalam mengukur metode konseptual dan lainnya (simulasi). tingkat penggunaan produk kayu. Dengan kata lain bahwa tidak ada Sementara negara lain kebanyakan penelitian yang menjelaskan pengukuran membangun model konseptual terutama simpanan karbon secara empiris. Hal yang pada kategori karbon dan bahan baku. sama dilakukan pada kategori ekonomi. Sementara berdasarkan pendekatan obyek Penelitian dengan metode empiris selama maka terdapat beberapa kriteria obyek isu ini digunakan untuk mengukur jumlah yakni : bahan baku yang digunakan, dampak  Bahan baku = pendekatan yang lingkungan serta pendapat. melihat jumlah penggunaan produk

103 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 99-112

Tabel (Table) 1. Perkembangan metode pengukuran penggunaan produk kayu di setiap negara (The development of measuring methods of wood products consumption/utilization in different countries) Negara Kategori Metode (Method) Total (Country) (Category) Konseptual Empiris Lainnya (Conceptual) (Empiric) (Others) Amerika Serikat Bahan baku (raw 1 4 3 14 (USA) materials) Ekonomi (Economy) 1

Karbon (Carbon) 2 2

Preferensi 1 (Preference) Australia (Australia) Karbon (Carbon) 1 1

Austria (Austria) Karbon (Carbon) 1 1

China (China) Bahan baku (raw 1 1 3 materials) Lingkungan 1 (Environment) Denmark (Danish) Bahan baku (raw 1 1 materials) Inggris (United Bahan baku (raw 1 1 Kingdom) materials) Jepang (Japan) Bahan baku (raw 1 5 10 materials) Karbon (Carbon) 3 1

Jerman (Germany) Karbon (Carbon) 1 1

Kanada (Canada) Bahan baku (raw 1 2 materials) Karbon (Carbon) 1

Nepal (Nepal) Bahan baku (raw 1 1 materials) Selandia Baru (New Bahan baku (raw 2 2 Zealand) materials) Portugal (Portugal) Karbon (Carbon) 1 1

Swiss (Switzerland) Bahan baku (raw 1 2 materials) Karbon (Carbon) 1

Gambar 3 menunjukkan bahwa et al., 2017). Akibatnya, pendugaan topik penelitian penggunaan produk kayu tingkat konsumsi didekati dengan sering dikaitkan dengan bahan baku dan menggunakan variabel pendapatan simpanan karbon. Metode yang digunakan negara, pendapatan rumah tangga, dan kebanyakan berada pada level konsep dan tingkat efisiensi di industri. Untuk itu, simulasi. Sementara metode empiris tidak beberapa perangkat lunak dibangun untuk banyak digunakan terutama pada tema menduga tingkat konsumsi kayu seperti pendugaan simpanan karbon. ToSIA—A tool for sustainability impact Salah satu kendala menerapkan assessment of forest-wood-chains metode empiris yakni sangat sulit (Lindner et al., 2010). mengumpulkan data yang sesuai (Hsiang

104 Pendugaan Konsumsi Kayu (Abdullah, L., Suhendang, E., Purnomo, H., dan Matangan, J. R.)

Gambar (Figure) 3. Distribusi Topik Penelitian Berdasarkan Subyek (The Distribution of Research Topic Based on Subject)

C. Faktor-faktor mempengaruhi pen- Sementara itu, Wenker, Richter, & Rüter dugaan tingkat konsumsi kayu? (2017) mengembangkan metode LCA Faktor yang mempengaruhi menjadi LCA sistematis dengan konsumsi produk kayu dijelaskan ber- menggunakan massa produk kayu untuk dasarkan metode yang digunakan. mengukur tingkat resiko yang dihasilkan Pendekatan empiris menggunakan metode akibat produk produk kayu tersebut. pengumpulan data dengan survei, Metode ini agak berbeda dengan metode wawancara yang dilakukan oleh Adair, LCA yang ada karena tidak hanya David, Gaston, & Stewart (2013) dan uji menggunakan satuan energi yang preferensi pengguna (compton test ditimbulkan akibat produksi produk kayu preference) oleh Turner & Edwards melainkan mencoba mengonversi massa (1974) serta iklan yang dilakukan oleh produk kayu dalam menghitung simpanan Casto (1984). karbon dalam produk kayu. Sementara Beberapa metode konseptual yang metode MFA dan MEFA bersumber dari digunakan antara lain MFA (material flow aliran produk kayu seperti yang dilakukan assessment), MEFA (material and energy oleh Bais, Lauk, Kastner, & Erb (2015). flow assessmen), dan LCA (life cycle Bais et al. (2015) memproyeksikan assessment), model pelapukan, model bahwa tren produktivitas hutan global distribusi Gamma, model korelasi PDB meningkat dengan tingkat pertumbuhan (Produk Domestik Bruto) dengan indeks tahunan sebesar 7%, sementara ekstraksi pembangunan manusia, model linier kayu global yang digunakan tetap stabil, programming, dan model ekonometrika. dengan tingkat pertumbuhan tahunan Umumnya pendekatan konseptual untuk sebesar 0,2%. Hal ini karena pertumbuhan meramalkan penggunaan produk kayu. penduduk global serta isu energi Metode MFA, MEFA, dan LCA terbarukan yang ketat dan adopsi strategi pada dasarnya menggunakan prinsip bioekonomi di negara-negara industri. input-output. Metode ini sesungguhnya Konsumsi produk kayu per kapita mengakar pada induk ilmu ekonomi yang antar negara mengakibatkan pengukuran menjelaskan bahwa perubahan dalam tingkat konsumsi tidak dapat diukur di struktur produksi yang digambarkan negara penghasil kayu melainkan secara dalam sebuah matriks persegi global (Buongiorno, 2009). Hal ini akan (Dietzenbacher, & Groot, 2007). menjadi tekanan tambahan bagi ekosistem

105 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 99-112

hutan. Untuk itu, perlu mengurangi sebesar 1,3%/tahun karena penurunan tingkat ketidakpastian dalam perkiraan PDB terutama PDB sektor konstruksi aliran kayu global, meningkatkan efisiensi (Drummond, 2015). Variabel perhitungan pemanfaatan biomassa kayu melalui PDB dengan pendekatan konsumsi di penanganan dampak lingkungan yang Jepang menunjukkan bahwa masalah terkait dengan penggunaan sumber daya. penurunan konsumsi juga disebabkan oleh Sementara itu pendekatan konsep- turunnya investasi di sektor konstruksi. tual lainnya yang berkembang adalah Hal ini diperparah dengan harga kayu model ekonometrik. Koebel, Levet, yang tinggi mendorong masyarakat Nguyen-Van, Purohoo, & Guinard (2016) Jepang cenderung menggunakan barang membangun analisis dengan model substitusi salah satunya kayu panel. ekonometrik dalam mengukur pasar Masyarakat Jepang membutuhkan 3,6 m3 produk kayu internasional. Salah satu kayu panel untuk memproduksi 1 m3 yang dihasilkan adalah pasar kayu furniture. dipengaruhi oleh PDB dan jenis produk Pendekatan terakhir yakni kayu komposit. Dengan kata lain, pendekatan pemodelan dan simulasi. penggunaan kayu solid mulai berkurang Pendekatan ini cenderung menyajikan sehingga mengurangi jumlah pohon yang ramalan tanpa menghasilkan informasi ditebang. Hal ini karena seluruh bagian tentang faktor yang berpengaruh. Hal ini kayu diluruhkan menjadi serpihan kayu yang membedakan pendekatan konseptual (chip) sehingga jumlah pohon yang dan lainnya. Pendekatan simulasi dibutuhkan untuk produksi akan lebih menggunakan persamaan dan data yang sedikit. Spelter, Stone, & McKeever telah dibangun dalam bentuk data statistik (1978) menjelaskan bahwa faktor atau data yang dipublikasikan lainnya. penggunaan bahan baku untuk produksi Hasil penelitian menyebutkan bahwa mebel di Amerika Serikat adalah sebesar konsumsi kayu menurun secara global. 1,85 untuk mebel dengan kayu solid atau Pola konsumsi kayu di Jepang sangat untuk memproduksi 1 m3 mebel bergantung pada pembangunan rumah membutuhkan bahan baku kayu solid baru. Salah satu penyebabnya adalah sebesar 1,85 m3. menurunnya tingkat investasi di sektor Informasi ini menunjukkan bahwa konstruksi (Eastin, & Sasatani, 2014) dan penggunaan kayu solid menyebabkan tingginya nilai kayu sehingga masyarakat biaya produksi yang cukup tinggi. Untuk harus menyiapkan separuh dari dana itu, negara berkembang yang memiliki pembangunan untuk membeli kayu PDB rendah banyak menggunakan kayu (Elling, & Mckeever, 2018), dimana panel sebagai bahan baku, sementara pemilihan jenis kayu sangat bergantung negara dengan pertumbuhan PDB yang pada harga. tinggi akan menggunakan bahan baku Penurunan konsumsi kayu ini kayu solid (Kayo, Oka, & Hashimoto, berarti sama dengan menurunkan 2015). simpanan karbon di luar hutan dalam Pengaruh PDB sangat dominan bentuk produk kayu. Pendugaan simpanan terhadap perdagangan produk kayu karbon dapat didekati dengan global. PDB dapat digambarkan dari menggunakan faktor konversi. Smith, aktivitas ekpor-impor yang terjadi. Bila Heath, Skog, & Birdsey (2006) produksi kayu sama dengan ekspor kayu menggunakan faktor konversi untuk kayu maka tingkat konsumsi akan turun dan papan gergajian, plywood dari kayu menjadi 0,086% per kapita (Tian, Li, keras, papan partikel dari kayu keras dan Wan, Liu, & de Jong, 2017). Konsumsi kertas secara berurutan adalah 0,765, kayu di Jepang, China dan Korea Selatan 0,286, 0,587, dan 0,496 dalam menduga menurun mengikuti tren ekonomi global simpanan karbon. Namun demikian,

106 Pendugaan Konsumsi Kayu (Abdullah, L., Suhendang, E., Purnomo, H., dan Matangan, J. R.)

fungsi simpanan karbon pada produk kayu populasi, bencana, teknologi (ukuran berbeda dengan di pohon, dimana semakin rumah, teknik penggunaan kayu), tua umur produk kayu maka simpanan ketersediaan bahan baku, mode/style dan karbon makin menurun. Pearson, Swails, bencana. Faktor-faktor ini dilihat dengan & Brown (2012) menyebutkan bahwa cara berbeda berdasarkan pendekatan pelapukan mengakibatkan laju kehilangan secara empiris, konseptual dan lainnya. simpanan karbon secara eksponensial. Pada gambar 4 menunjukkan bahwa Berdasarkan uraian di atas maka terdapat empat faktor utama yang dapat dikelompokkan faktor yang memengaruhi tingkat konsumsi kayu, mempengaruhi penggunaan produk kayu yakni teknologi, bahan baku, lingkungan terdiri dari faktor lingkungan (ekosistem dan ekonomi. Masing-masing faktor ini hutan, keanekaragaman hayati dan dilihat dengan bobot yang berbeda simpanan karbon), kebijakan, ekonomi berdasarkan pendekatan yang digunakan. (harga, biaya, tenaga kerja, dan PDB),

Empiris (Empiric) Konseptual (Conceptual) Lainnya (Others) Lingkungan (Environment)

Gambar (Figure) 4. Faktor pendorong penggunaan produk kayu (The driver factors of wood product utilization)

Tabel (Table) 2. Bobot penggunaan kayu untuk konstruksi (The Weight of wood utilization for construction purposes) Penulis (Authors) Daerah Penelitian Persen penggunaan kayu untuk (Study Area) konstruksi (Percentage of wood utilization for Construction) Adair & McKeever (2009) Amerika Serikat (USA) 0,88 McKeever (2002) Amerika Serikat (USA) 0,65 Neubauer-Letsch et al. (2015) Swiss (Switzerland) 0,47 Araya & Katsuhisa (2008) Jepang (Japan) 0,81 Kayo, Tsunetsugu, Noda, &Tonosaki (2014) Jepang (Japan) 0,72 Buchanan & Levine (1999) Dunia (The world) 0,51 Davis (1994) Portugal (Portugal) 0,69 Dias, Louro, Arroja, & Capela (2007) Amerika Serikat (USA) 0,90 Rata-rata (Means) 0,70

107 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 99-112

Faktor ketersediaan bahan baku ini dikarenakan pemanenan hutan dapat lebih banyak diukur secara empiris mengakibatkan kehilangan keaneka- dibandingkan pendekatan konseptual dan ragaman hayati. Kondisi ini menjadi lebih pendekatan lainnya. Sementara faktor parah karena kehilangan keanekaragaman ekonomi dilihat dengan pendekatan juga diikuti oleh menurunnya nilai konseptual dan hanya sedikit sekali ekonomi dari ekosistem hutan menggunakan pendekatan empiris. Faktor (Chaudhary, Carrasco, & Kastner, 2017). teknologi dilihat dengan pendekatan Hasil analisis menunjukkan 155 spesies lainnya, meski beberapa menggunakan akan terancam, sementara kehilangan nilai pendekatan empiris. Faktor lingkungan ekonomi ekosistem mencapai 1,5 triliun diukur dengan pendekatan konseptual dan USD/tahun. Negara tropis dengan tingkat lainnya dan hanya sedikit yang keanekaragaman hayati yang tinggi menggunakan pendekatan empiris. cenderung mengalami kehilangan ke- Porsi penggunaan kayu berbeda anekaragaman yang tinggi, mencapai 100- menurut lokasi dan tahun. Sebagaimana 1.000 kali lipat disbanding negara sub- disampaikan oleh Dias et al. (2007) dan tropis. Namun demikian, Tian et al. (2017) Adair & McKeever (2006) bahwa porsi berpendapat bahwa tingginya per-mintaan penggunaan kayu untuk konstruksi di pasar global akan meningkatkan efisiensi Amerika Serikat dan Jepang meningkat penggunaan sumber daya hutan. (Araya, & Katsuhisa, 2008). Namun, setelah tahun 2014 menurun (Kayo et al., E. Dapatkah disimulasikan pada 2014). pendugaan tingkat konsumsi kayu di Indonesia? D. Dampak konsumsi kayu terhadap BPS (2016) telah mencatat tingkat pengelolaan hutan lestari produksi kayu nasional sebesar 42,2 juta Penggunaan kayu untuk bahan m3 dari seluruh sumber produksi kayu. bangunan dan perabotan serta kemasan Sementara data FAOSTAT menyebutkan mampu meningkatkan simpanan karbon bahwa produksi kayu Indonesia di tahun (Suter, Steubing, & Hellweg, 2017). 2016 mencapai 42,379 juta m3 dan ekspor- Namun demikian, penggunaan ini harus impor kayu yang terjadi di tahun 2016 dikendalikan melalui penanaman kembali secara berurutan adalah 3,8 juta m3 dan dan peng-gunaan kayu bekas (reuse). Hal 1,19 juta m3.

Tabel (Table 3). Tingkat Konsumsi Kayu Indonesia (Level of Indonesian Wood Consumption) No. Skala Model (Formula) Konsumsi Sumber (Scale) (Consumption, (Source) m3/kapita (capita)) 1. Nasional (−3,531 × 10−9 × PDB ($)) + (1,702 × 10−7 × PDB 0,275 m3/year Drummond (National) konstruksi ($)) (2015) 2. Industri mebel Produksi kayu (wood production) (gergajian (sawn) x 0,02 m3/furniture Spelter et al. (Furniture 1,85 + chip dan partikel (particle and chips) x 0,63 + (1978) industry) plywood x 0,75 + bare core x 0,75)/jumlah produksi mebel (the number of furniture production) Industri (Produksi kayu gergajian (sawn timber production) x 0,808 m3/kepala Davis (1994) konstruksi (0,51 + 0,27))/jumlah rumah tangga (number of keluarga (Construction household) (head of family) industry) 3 Rumah tangga Total rumah (total house)/(0,02 x luas rumah (house 0,5 m3/kepala Kayo, (Household area) x jumlah rumah (number of houses) keluarga Tsunetsugu, scale) (head of family) &Tonosaki (2015)

108 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 99-112

Hasil simulasi di atas menunjukkan untuk konstruksi maka konsumsi men- bahwa bila diukur dengan menggunakan capai 0,02 m3/produk dan 0,808 m3/rumah pendapatan nasional pada skala nasional tangga untuk produksi kayu gergajian maka penggunaan produk kayu per kapita untuk keperluan konstruksi. Pada skala adalah 0,5 m3. Sementara bila diukur rumah tangga, konsumsi kayu mencapai berdasarkan produksi mebel dan kayu 0,5 m3/kepala keluarga atau 0,01 m3/m2. untuk konstruksi maka konsumsi men- capai 0,02 m3/produk dan 0,808 m3/rumah B. Saran tangga untuk produksi kayu gergajian Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk keperluan konstruksi. Bila diukur sebagai metode pendugaan tingkat berdasarkan ukuran rumah saja maka konsumsi kayu. Namun demikian, hasil konsumsi kayu mencapai 0,5 m3/kepala penelitian ini masih perlu divalidasi keluarga. Jika rata-rata luas rumah adalah berdasarkan masing-masing skala 50 m2, maka konsumsi kayu berdasarkan pengukuran agar model yang dihasilkan luas mencapai 0,5 m3/50 m2 = 0,01 m3/m2. benar-benar valid. Dari hasil simulasi di atas me- nunjukkan bahwa data konsumsi produk UCAPAN TERIMA KASIH kayu berbeda menurut level pengukuran. Ucapan terima kasih kami sampaikan Pendugaan penggunaan kayu pada level kepada Dr. Rozza Tri Kwatrina, Sdri. nasional cenderung menjelaskan per- Luvia dan Lila mahasiswa pasca sarjana gerakan dampak ekonomi makro pada IPB dan M. Abdul Qirom yang telah penggunaan kayu. Sementara pada level berbagi teori dan kerangka analisa industri harus lebih spesifik pada jenis tinjauan sistematik ini. industri yang ingin dikaji. Pada level rumah tangga, angka konsumsi kayu akan sangat bervariasi bergantung pada luas DAFTAR PUSTAKA rumah dan budaya setempat. Namun Adair, C., David B., M., Gaston, C., & demikian, penggunaan kayu di level Stewart, M. (2013). Wood and Other rumah tangga akan lebih mudah di- Materials Used to Construct verifikasi meski keragamannya tinggi. Nonresidential Buildings United Namun perlu diingat bahwa yang ter- States. Mayland. penting dalam mengukur konsumsi Adair, C., & McKeever, D. (2009). Wood produk kayu adalah konsumsi kayu Used in New Residential tahunan aktual dan bukan konsumsi masa Construction U.S. and Canada, With lalu dan siklus hidup rata-rata (Mantau, Comparison to 1995, 1998 and 2003. 2015). Mayland. Araya, A., & Katsuhisa, H. (2008). IV. KESIMPULAN DAN SARAN Japanese Wood Market and Use of A. Kesimpulan Tropical Wood (Report). FAO. Isu pengukuran tingkat konsumsi Badan Pusat Statistik [BPS]. (2016). kayu dipublikasikan dalam 48 artikel dan Statistik Produksi Kehutanan. laporan yang terindeks global. Berdasar- Jakarta: Badan Pusat Statistik. kan hasil penelusuran pustaka maka dapat Bais, A. L. S., Lauk, C., Kastner, T., & dibuat simulasi penggunaan produk kayu Erb, K. (2015). Global patterns and pada tingkat nasional, industri dan rumah trends of wood harvest and use tangga. Tingkat penggunaan produk kayu between 1990 and 2010. Ecological di level nasional mencapai 0,5 Economics, 119, 326–337. m3/orang/tahun. Sementara bila diukur https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.20 berdasarkan produksi mebel dan kayu 15.09.011.

109 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 99-112

Buchanan, A. H., & Levine, S. B. (1999). Eastin, I., & Sasatani, D. (2014). An Wood-based building materials and Assessment of the Competitive Impact atmospheric carbon emissions. of Japanese Domestic Wood Environmental Science and Policy, Programs on the Future Demand for 2(6), 427–437. US Wood Products in Japan https://doi.org/10.1016/S1462- (Working Paper). Center for 9011(99)00038-6. International Trade in Forest Buongiorno, J. (2009). International Products. trends in forest products Elling, J., & Mckeever, D. B. (2018). consumption: is there convergence? Wood Products Used in Residential International Forestry Review, 11(4), Repair and Remodeling in the United 490–500. States, 2014. General Technical https://doi.org/10.1039/c7tb00748e. Report FPL–GTR–256. Madison, Casto, M. D. (1984). Patterns of Furniture WI: U.S. Department of Agriculture, Consumption: Three Eastern North Forest Service, Forest Products Carolina Counties, 1800-1899. Laboratory. 31p Journal of Interior Design, 10(2), 22– 27. https://doi.org/10.1111/j.1939- Hsiang, S., Kopp, R., Jina, A., Rising, J., 1668.1984.tb00012.x. Delgado, M., Mohan, S., … Houser, T. (2017). Estimating economic Chaudhary, A., Carrasco, L. R., & damage from climate change in Kastner, T. (2017). Linking national United States. Science, wood consumption with global 356(September), 1362–1369. biodiversity and ecosystem service losses. Science of the Total Jasinevičius, G., Lindner, M., Pingoud, Environment, 586, 985–994. K., & Tykkylainen, M. (2015). https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.20 Review of models for carbon 17.02.078. accounting in harvested wood products. International Wood Davis, P. J. (1994). Uses of Montana Products Journal, 6(4), 198–212. lumber products (Theses). The https://doi.org/10.1080/20426445.20 University of Montana.United State. 15.1104078. Dias, A. C., Louro, M., Arroja, L., & Kayo, C., Oka, H., & Hashimoto, S. Capela, I. (2007). Carbon estimation (2015). Socioeconomic development in harvested wood products using a and wood consumption. Journal of country-specific method: Portugal as Forestry Research, 20, 309–320. a case study. Environmental Science https://doi.org/10.1007/s10310-015- and Policy, 10(3), 250–259. 0481-6. https://doi.org/10.1016/j.envsci.2007. 01.002. Kayo, C., Tsunetsugu, Y., Noda, H., & Tonosaki, M. (2014). Carbon balance Dietzenbacher, E., & Groot, O. J. De. assessments of harvested wood (2007). Consumption Growth products in Japan taking account of Accounting. Review of Income and inter-regional flows. Environmental Wealth, 53(3), 422–440. Science and Policy, 37, 215–226. https://doi.org/10.1111/j.1475- https://doi.org/10.1016/j.envsci.2013. 4991.2007.00244.x 09.006. Drummond, R. C. M. (2015). Kayo, C., Tsunetsugu, Y., & Tonosaki, M. Understanding demand for wood (2015). Climate change mitigation products in New Zealand’s major log effect of harvested wood products in markets (Theses). University of regions of Japan. Carbon Balance Canterbury, New Zealand.

110 Pendugaan Konsumsi Kayu (Abdullah, L., Suhendang, E., Purnomo, H., dan Matangan, J. R.)

and Management, 10(1). S., & Zoran, K. (2015). https://doi.org/10.1186/s13021-015- Holzendverbrauch Schweiz 2012, mit 0036-3. weiteren Informationen zu Trends Khan, K. S., Kunz, R., Kleijnen, J., & 2013/14. Institut für Holzbau, Antes, G. (2003). Five steps for a Tragwerke und Architektur, im systematic review. Journal of The Auftrag des Bundesamtes für Umwelt Royal Society of Medicine, 96, 118- BAFU, Aktionsplan Holz. 151. Panshin, A.J., & Zeeuw, C. D. (1964). https://doi.org/10.1258/jrsm.96.3.118 Textbook of Wood Technology: . Structure, identification, uses, and Koebel, B. M., Levet, A. L., Nguyen-Van, properties of the commercial woods P., Purohoo, I., & Guinard, L. (2016). of the United States and Canada. Mc Productivity, resource endowment Graw-Hill Book Company. and trade performance of the wood Panshin, A.J., Zeeuw, C.D., & Brown H. product sector. Journal of Forest P. (1964). Texbook of Wood Economics, 22, 24–35. Technology: Volume I - Structure, https://doi.org/10.1016/j.jfe.2015.10. Identification, Uses, and Properties 004. of the Commercial Woods of the Lim, B., Brown, S., & Schlamadinger, B. United States (Second Edi). New (1999). Carbon accounting for forest York: Mc Graw-Hill. harvesting and wood products: review Pearson, T., Swails, E., & Brown, S. and evaluation of different (2012). Wood product accounting approaches. Environmental Science and climate change mitigation & Policy, 2(1999), 207–216. projects involving tropical timber https://doi.org/10.1016/S1462- (Winrock International Report). 9011(99)00031-3. International Tropical Timber Lindner, M., Suominen, T., Palosuo, T., Organization. Garcia-Gonzalo, J., Verweij, P., Pingoud, K., Schlamadinger, B., Zudin, S., & Päivinen, R. (2010). Grönkvist, S., Brown, S., Cowie, A., ToSIA-A tool for sustainability & Marland, G. (2004). Approaches impact assessment of forest-wood- for inclusion of harvested wood chains. Ecological Modelling, products in future GHG inventories 221(18), 2197–2205. under the UNFCCC, and their https://doi.org/10.1016/j.ecolmodel.2 consistency with the overall 009.08.006. UNFCCC inventory reporting Mantau, U. (2015). Wood flow analysis: framework 1. IEA Bioenergy. Quantification of resource potentials, Sathre, R., & O’Connor, J. (2010). Meta- cascades and carbon effects. Biomass analysis of greenhouse gas and Bioenergy, 79, 28–38. displacement factors of wood product https://doi.org/10.1016/j.biombioe.20 substitution. Environmental Science 14.08.013. and Policy, 13(2), 104–114. McKeever, D. B. (2002). Domestic https://doi.org/10.1016/j.envsci.2009. Market Activity in Solid Wood 12.005. Products in the United States, 1950- Smith, J. E., Heath, L. S., Skog, K. E., & 1998 (General Technical Report N Birdsey, R. A. (2006). Methods for PNW-GTR-524). U.S. Department of calculating forest ecosystem and Agriculture, Forest Service, Pacific harvested carbon with standard Northwest Research Station. 76 p. estimates for forest types of the Neubauer-Letsch, B., Tartsch, K., Meier,

111 Vol. 17 No. 1, Juni 2020 : 99-112

United States (General Technical conservation—the case of 61 Report NE-343). WI: U.S. countries. Journal of Sustainable Department of Agriculture, Forest Forestry, 36(7), 717–728. Service, Newtown Square, PA, 216. https://doi.org/10.1080/10549811.20 Spelter, H., Stone, R. N., & McKeever, D. 17.1356736. B. (1978). Wood Usage Trends in Turner, C. S., & Edwards, K. P. (1974). Furniture and Fixtures Industry. Determining Consumer Preference Forest Service, FPL-0239, 1–12. for Furniture Product Characteristics. Suhendang, E. (2013). Pengantar Ilmu Home Economics Research Journal, Kehutanan (II). Bogor: IPB PRESS. 3(1), 33–42. Suter, F., Steubing, B., & Hellweg, S. https://doi.org/10.1177/1077727X74 (2017). Life Cycle Impacts and 00300104. Benefits of Wood along the Value Wenker, J. L., Richter, K., & Rüter, S. Chain: The Case of Switzerland. (2017). A Methodical Approach for Journal of Industrial Ecology, 21(4), Systematic Life Cycle Assessment of 874–886. Wood-Based Furniture. Journal of https://doi.org/10.1111/jiec.12486. Industrial Ecology, 22(4), 671-685. Tian, M., Li, L., Wan, L., Liu, J., & de https://doi.org/10.1111/jiec.12581. Jong, W. (2017). Forest product trade, wood consumption, and forest

112

PETUNJUK BAGI PENULIS INSTRUCTIONS TO AUTHORS

BAHASA : Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia. LANGUAGE: Manuscripts should be written in Bahasa Naskah dalam bahasa Inggris dipertimbangkan. Indonesia. Articles in English will be considered. FORMAT : Naskah diketik dua spasi pada kertas FORMAT: Manuscripts should be typed double-spaced A4 putih, satu permukaan; jenis huruf Times New on one face of A4 white paper. The font is Times New Roman 12; pada semua tepi kertas disisakan ruang Roman 12. A 3.5 cm margin should be left in all side of kosong 3,5 cm. the edge. JUDUL: Akurat, singkat, informatif; TITLE: Title should be accurate, concise, informative; menggambarkan isi; mengandung kata kunci; tidak describing the contents; containing keywords; no more lebih dari 2 baris atau 13 kata; ditulis dalam bahasa than 2 lines or 13 words; written in bahasa Indonesia Indonesia (terjemahan bahasa Inggris ditulis (with English translation in italic, placed between miring, diletakkan antara tanda kurung); hindari brackets); avoid the verb, the formula, the language pemakaian kata kerja, rumus, bahasa singkatan dan abbreviation and unofficial languange. tidak resmi. NAMA PENULIS: Dicantumkan di bawah judul; AUTHOR NAME: Listed under title; completely written ditulis lengkap tanpa kualifikasi akademik; urutkan without academic qualifications; sort by first author, berdasarkan penulis pertama, kedua, dan second, and so on; including agency address and e-mail seterusnya; cantumkan alamat instansi dan e-mail of the author. penulis. ABSTRAK: Ditulis dalam bahasa Indonesia dan ABSTRACT: Written in Bahasa Indonesia and English; bahasa Inggris; tidak lebih dari 200 kata, berupa no more than 200 words, comprise informative essence intisari menyeluruh mengenai permasalahan, of the entire content of the the problems, objectives, tujuan, metodologi, hasil penelitian. methodology, and results. KATA KUNCI: Ditempatkan di bawah abstrak; KEYWORDS: Written under abstract; overviewing of gambaran masalah yang dibahas; maksimum 5; the issues discussed; maximum are 5; separately written, ditulis terpisah, dari yang bersifat umum ke hal from the general to the specific nature. yang bersifat khusus. PENDAHULUAN: Berisi latar belakang (rumusan INTRODUCTION: Containing background (problem permasalahan, pentingnya penelitian, pemecahan formulation, the importance of research, problem masalah); tujuan (hasil yang ingin dicapai); sasaran solving); objectives (desired outcomes); targets (specific (hasil spesifik sebagai hasil antara untuk mencapai outcomes as a result to achieve the goal). tujuan). BAHAN DAN METODE: Menjelaskan waktu dan MATERIALS AND METHODS: Describing the time and lokasi penelitian; bahan dan alat yang digunakan; location of the study; materials and tools used; and metode penelitian (rencana penelitian dan analisis research methods (research plan and data analysis). data). HASIL: Disajikan dalam bentuk uraian umum; RESULTS: Presented in the form of general description; disusun sesuai tujuan penelitian; tabulasi, grafik, prepared based on research purposes; tabulation, charts, analisis dilengkapi tafsiran yang benar; angka analysis completed with the correct interpretation; dalam tabel tidak perlu diuraikan, cukup figures in the table do not need to be described, simply dikemukakan makna atau tafsiran; metode statistik stated meanings or interpretations; statistical methods yang digunakan harus dikemukakan; prinsip dasar used should be stated; basic principles of the method metode harus diterangkan dengan referensi atau must be explained with reference or other information; keterangan lain; penulis mengemukakan pendapat authors express their opinions in an objective manner, secara objektif, dilengkapi data kuantitatif. completed with quantitative data. PEMBAHASAN: Dapat menjawab apa arti hasil DISCUSSION: Should answer the meaning of the results yang dicapai dan implikasinya; menafsirkan hasil obtained and their implications; interpreting the results dan menjabarkan; mengemukakan hubungan and outlines; suggests a relationship with the results of dengan hasil penelitian sebelumnya; hasil previous studies; research results interpreted and linked penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan to the hypothesis and research objectives; argued the hipotesis dan tujuan penelitian; mengemukakan facts found and an explaining why it happened; explain fakta yang ditemukan dan penjelasan mengapa hal the progress of research and development possibilities in tersebut terjadi; menjelaskan kemajuan penelitian the future. dan kemungkinan pengembangan selanjutnya.

PETUNJUK BAGI PENULIS INSTRUCTIONS TO AUTHORS

TABEL : Judul tabel, judul kolom, judul lajur, dan TABLE: Table title, column title, and the necessary keterangan yang diperlukan ditulis dalam bahasa information is written in Bahasa Indonesia and English Indonesia dan Inggris (dicetak miring) dengan jelas (in italics) with a clear and concise; given number; using dan singkat; diberi nomor; penggunaan tanda koma a comma (,) and dot (.) The respective numbers in each (,) dan titik (.) pada angka di dalam tabel masing- table demonstrating the value of fractions / decimals and masing menunjukkan nilai pecahan/desimal dan roundness thousand. kebulatan seribu. GAMBAR GARIS : Grafik dan ilustrasi lain yang LINE DRAWING: Graphs and other line drawing berupa gambar garis harus kontras; diberi nomor, illustrations must be drawn in high contrast black ink. judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Each drawing must be numbered, title, and supplied Indonesia dan Inggris (dicetak miring). with necessary remarks in Bahasa Indonesia and English. FOTO : Mempunyai ketajaman yang baik, diberi PHOTOGRAPH: Photographs submitted should have judul dan keterangan seperti pada gambar. high contrast, and must be supplied with the title and description as shown in the picture. DAFTAR PUSTAKA : Minimal 10 pustaka; REFERENCES: At least 10 references; refering to APA merujuk APA Style; disusun menurut abjad nama Style; organized alphabetically by author name; 80% pengarang; 80% terbitan 5 tahun terakhir dan 80% from last 5 years issues, and 80% from the primary berasal dari sumber acuan primer, kecuali buku reference sources, except for specific science textbooks teks ilmu-ilmu tertentu (matematika, taksonomi, (mathematics, taxonomy, climate). iklim). PENGIRIMAN: Naskah dikirim ke Sekretariat SUBMISSION : Two copies of manuscripts and its soft redaksi dalam bentuk hard copy (2 eksemplar) dan file should be submitted to the secretariate. An official soft copy dalam format Microsoft Word. letter from the authors’ institution is required. Pengiriman naskah disertai dengan surat pengantar dari instansi asal.

Hepburn, R. & Radloff, S. (2006). Morphological variation in the pollen collecting apparatus of honey bees. Journal of Apicultural Research & Bee World 45(1), 25-26. Kementerian Kehutanan (2009). Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.328/Menhut-II/2009 tentang penetapan DAS prioritas dalam rangka RPJM tahun 2010-2014. Jakarta: Sekretariat Jenderal. Nita, T. (2002). Dampak penebangan hutan terhadap sistem tata air di DAS Cimanuk. Diakses tanggal 5 Maret 2004 dari http://www.minggupagi.com/article. Siregar, C.A. (2007). Pendugaan biomasa pada hutan tanaman pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) dan konservasi karbon tanah di Cianten, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam IV(3), 251-266. Steel, R. G. D. & Torrie, J. H. (1981). Principles and procedures of statistic. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Inc. Subiakto, A. & Sakai, C. (2006). Pengembangan teknologi stek pucuk untuk hutan tanaman. Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi : Teknologi untuk Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, tanggal 29-30 Juni 2005 di Mataram (pp. 1-7). Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Einar, V.K. (2007). Screening of eating disorders in the general population. In P.M. Goldfarb (Ed.), Psychological test and testing research trends (pp. 141-50). New York: Nova Science. Gilbert, D.G., McClernon, J.F., Rabinovich, N.E., Sugai, C., Plath, L.C., Asgaard, G., …Botros, N. (2004). Effect of quitting smoking on EEG activation and attention last for more than 31 days and are more severe with stress, dependence, DRD2 A1 allele, and depressive traits. Nicotine and Tobacco Research, 6, 249-67.

Catatan: Untuk jumlah Penulis sampai dengan tujuh, ditulis seluruhnya. Untuk jumlah Penulis lebih dari delapan, enam Penulis awal ditulis seluruhnya; Penulis ketujuh sampai Penulis sebelum Penulis terakhir, ditulis dalam bentuk …, Penulis terakhir ditulis sebagaimana enam Penulis awal.

Volume 17 Nomor 1, Juni Tahun 2020: 1-112