AnungHUMANIORA Tedjowirawan, Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana

VOLUME 18 No. 2 Juni 2006 Halaman 125 - 138

GENEALOGI DALAM RANGKA PENCIPTAAN SERAT DARMASARANA KARYA R. NG. RANGGAWARSITA

Anung Tedjowirawan*

ABSTRACT The goal of the writing of Serat Darmasarana by R.Ng. Ranggawarsita is the reception of Âdiparwa and continuation of the story of Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, and Swargarohanaparwa. By writing Serat Darmasarana and texts in the Pustakaraja Madya R.Ng. Ranggawarsita intends to place Pengging as a myth, as the central government in Java, after the fall of Kediri. Further, R.Ng. Ranggawarsita also wants to place the Gods and Pandawa as the ancestors of Mataram Kings.

Key words: Serat Darmasarana, Pustakaraja Madya, reception, myth, genealogy of Mataram Kings

PENGANTAR Wirjosuparto, 1968:355). Sebelum para Pemilihan Serat Darmasarana koleksi Pandawa mengundurkan diri meninggalkan Perpustakaan Radyapustaka, No. Ngastina (Hâstina) dalam persiapannya kembali 152 A dan Serat Darmasarana II (transliterasian ke surga, Parikesit ditunjuk dan dinobatkan Yayasan Paheman Radyapustaka, Surakarta) menjadi raja Ngastina menggantikan Maharaja Yudhi hira dalam tulisan ini didasarkan pada keinginan Yudhistira ( ÕÛ ) (Nila, 1979: 27; Zoetmulder, 1995:157). Uraian tentang untuk mengetahui sejauh mana sambut-an penokohan Parikesit yang sangat singkat (resepsi) pujangga besar R. Ng. Rangga- dalam naratif kesastraan Jawa Kuna itu warsita dalam mengemukakan tokoh ternyata sangat berbeda apabila dibandingkan Darmasarana (Parîksit) yang hanya secara dengan pemunculan tokoh tersebut di dalam singkat diuraikan dalam Âdiparwa (Zoetmulder, kesastraan Jawa Baru (Klasik), baik dalam hal 1958:92-97: Juynboll, 1906:48-53), Bharata- variasi penamaannya maupun struktur yuddha (Sutjipto Wirjosuparto, 1968:355-356), naratifnya. maupun Prasthânikaparwa (Nila, 1979:27; Dalam kesastraan Jawa Baru, Prabu Zoetmulder, 1995:157). Parikesit memiliki gelar lain, yaitu Prabu Dalam kesastraan Jawa Kuna, Parikesit Karimataya, Prabu Dipayana, Prabu Yudhis- (Parîk Õti) adalah putra Raden Abimanyu wara, Prabu Mahabrata, dan Prabu Darma- (Abhimanyu) dengan Dewi Utari (Uttarî), putri sarana. Di samping itu di dalam kesastraan dari Wirata (WirâÛa), cucu Arjuna. Sebenarnya, Jawa Baru (Klasik), naratif yang mengemukakan Parikesit telah tewas oleh panah Brahmaœirah tokoh Parikesit selain terdapat dalam Serat milik Aswatama (Aœwatthâmâ) sewaktu masih Darmasarana, juga muncul di dalam karya dalam kandungan Utari, tetapi karena Kresna sastra lainnya, misalnya Serat Pustakaraja (KÏÕÃa) mencintainya ia dihidupkan kembali Madya Jilid I nomor 138 Na, Serat Pustakaraja dan diramal akan menurunkan keluarga Madya Jilid II nomor 168 Na, Serat Pustakaraja Pandawa (Zoetmulder, 1983:332: Sutjipto Madya Jilid III nomor 170 Na, Serat Karimataya

* Staf Pengajar Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

125 Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 125 −138

I nomor 151 Na, Serat Pustakaraja Madya untuk menguasai binatang melata, dan Kasekaraken (Serat Karimataya II) nomor 151 memberikan gelar Prabu Yudhiswara. Prabu Na-B, dan Serat Pustakaraja Madya (Sekar Dipayana kemudian bertemu dan meruwat Resi Karimataya III) nomor 151 Na-C. Naskah- Mregapati menjadi Sang Hyang Gana yang naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan kemudian memberikan pelajaran ilmu untuk Sanapustaka, Kasunanan Surakarta (Nancy menguasai berbagai binatang serta memberinya Vol. I, 1981:261-296). Naskah-naskah yang gelar Prabu Mahabrata. Selanjutnya, Prabu tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka, Dipayana bertemu dan meruwat burung garuda Pura Mangkunegaran Surakarta antara lain menjadi Sang Hyang Sambo yang kemudian Serat Pustakaraja Madya: Wirabartana nomor mengajarkan cara menguasai bangsa burung D 130, Serat Pustakaraja Wedha (Pustakaraja serta memberinya gelar Prabu Darmasarana. Parikesit) nomor D 106, Serat Karimataya Sesampainya di hutan Bramaniyara, di kerajaan nomor D 24 (Nancy Vol. II, 1981:121-130), Gilingwesi Prabu Dipayana berjumpa dan Serat Parikesit Grogol nomor D 103 dan Serat meruwat tatsaka (ular) penjelmaan Dewi Pustakaraja Parikesit nomor D 108 (Nancy Vol. Swanyana sewaktu mau menelan Prabu III, 1981:493-495). Adapun yang tersimpan di Praswapati (Raja Gilingwesi). Dewi Swanyana Perpustakaan Radyapustaka antara lain Serat kemudian memberikan pelajaran mengenai olah Pustakaraja Madya (No. XV) nomor 202 N, asmara, antara lain Asmaragama, Asmaranala, Serat Pustakaraja Puwara (Serat Daneswara Asmaratantra, Asmaratura, Asmaranadha, dan II) nomor 154 B, dan Serat Pustakaraja Puwara Asmaraturida. Sesampainya di Bengawan nomor 206 (Nancy Vol. IV, 1981:159-169). Lowaya, Prabu Dipayana dibawa seekor buaya Selain itu, di Perpustakaan Museum menghadap Bathara Sindungkara, putra Sang Sanabudaya Yogyakarta juga tersimpan Hyang Ganggastana. Bathara Sindungkara naskah Prabu Parikesit nomor PB A. 55 memperingatkan baginda akan bahaya di (Behrend Jilid IV B, 1989:268). perjalanan kelak serta mengajarkan cara menguasai berbagai binatang air. Di dalam IKHTISAR NARATIF PRABU DIPAYANA pengembaraan mencari ilmu itu, Prabu DAN PRABU YUDAYANA DALAM SERAT Dipayana berjumpa dengan para putri, yaitu 1) DARMASARANA Dewi Sritatayi, putri Prabu Praswapati (Raja Secara garis besar, Serat Darmasarana Gilinggwesi); 2) Dewi Niyata, putri Prabu mengisahkan Prabu Dipayana (Parikesit, Sayakesthi (Raja Mukabumi); 3) Ken Satapa, Karimataya, Darmasarana, Yudhiswara, putri Begawan Sidhiwacana; dan 4) Endang Mahabrata) dan Prabu Yudayana. Dikemu- Sikandhi, putri Begawan Sukandha. kakan di dalamnya bahwa setelah Prabu Pada waktu itu, sepeninggal Prabu Dipayana memerintahkan pasukannya untuk Dipayana, kerajaan Ngastina diserbu Prabu membantu Prabu Satyaka (Raja Dwarawati) Niradhakawaca, raja Ima-Imantaka. Prabu dari serbuan Prabu Kismaka, putra mendiang Niradhakawaca adalah anak Prabu Nila- Prabu Boma Narakaswara (Raja Tarajutiksna), datikawaca, cucu Prabu Niwatakawaca. Prabu Dipayana bermaksud membuat Dalam pertempuran yang sangat dahsyat, pagrogolan untuk berburu. Di sana baginda dengan licik Prabu Niradhakawaca berhasil kemudian meninggalkan pagrogolan secara memperdaya dan membunuh Bagawan diam-diam dengan maksud memohon Baladewa. Sang Hyang Narada kemudian kesaktian dari dewa. Dalam perjalanan, Prabu turun untuk memberitahukan dan meme- Dipayana berjumpa dan meruwat Resi rintahkan Prabu Dipayana untuk meminta Ardhawalika kembali menjadi Sang Hyang bantuan kepada Resi Gurundaya di gunung Basuki. Sang Hyang Basuki kemudian Nirma. Resi Gurundaya kemudian menge- memberikan pelajaran penawar bisa ular, ilmu luarkan Besi Adnyana dari dadanya dan besi

126 Anung Tedjowirawan, Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana itu kemudian kembali sambil membawa Besi Warabasata pun tersesat. Mereka sampai di Aji yang keluar dari pucuk lidah Prabu pertapaan gunung Sadhara dan bermaksud mau Niradhakawaca sehingga memudahkan bagi berguru kepada Dhang Hyang Suwela. Dhang Prabu Dipayana untuk menghancurkan Prabu Hyang Suwela baru bersedia menjadi guru Niradhakawaca dan pasukannya. mereka setelah putra Ngastina itu membunuh Tidak beberapa lama kemudian Prabu Resi Sidhikara di gunung Manikmaya. Keempat Dipayana melangsungkan perkawinan dengan putra Ngastina pun segera ke Manikmaya sambil Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi Satapa, Dewi mengamuk dan membunuh para murid Resi Sikandhi dan Dewi Grendi. Selanjutnya, Dewi Sidhikara. Raden Yudayana segera menjumpai Sritatayi diubah namanya menjadi Dewi dan menyadarkan keempat adiknya itu bahwa Gentang; Dewi Niyata menjadi Dewi Impun; mereka telah diperdaya musuh. Resi Sidhikara Dewi Satapa menjadi Dewi Tapen; Dewi pun kemudian mengajarkan berbagai ilmu Sikandhi menjadi Dewi Puyengan; serta Dewi kepada keempat adik Raden Yudayana. Grendi menjadi Dewi Dangan. Pada suatu Setelah selesai, mereka bermaksud menuntut ketika, para istri Prabu Dipayana itu melahirkan balas dengan menyerbu Gunung Sadhara putra. Dewi Gentang berputra Dewi Tamioyi; sehingga banyak siswa Dhang Hyang Suwela Dewi Impun berputra Dewi Yodi; Dewi Tapen terbunuh. Sewaktu Dhang Hyang Suwela mau berputra Raden Yudayana; Dewi Puyengan melarikan diri dari tangan Resi Sidhikara, ia berputra Raden Ramayana sedangkan Dewi tewas terkena panah Sarotama yang Dangan berputra Raden Ramaprawa. dilepaskan Raden Yudayana. Kemudian, Setelah Raden Yudayana dewasa, Prabu Raden Yudayana bersama adik-adiknya serta Dipayana memerintahnya untuk mengembara Resi Sidhikara pulang kembali ke Ngastina. guna berguru mencari ilmu. Sepeninggal Pada suatu ketika, Prabu Dipayana Raden Yudayana, keempat adiknya, yaitu mengawinkan Raden Yudayana dengan Dewi Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Gendrawati. Empat puluh hari dari perkawinan Raden Prawasata, dan Raden Warabasata, mereka Dewi Gendrawati melahirkan putra menyusul kakaknya. tetapi mereka berselisih bernama Raden Gendrayana. Sewaktu jalan. menimang-nimang cucunya itu, Prabu Dalam perjalanan ke Gunung Manikmaya, Gandaprawa menyatakan bahwa Raden Raden Yudayana tersesat di jalan. Se- Gendrayana adalah penjelmaan Trimurti, yakni sampainya di hutan Tibrasara, Raden keturunan Prabu Brahmaniyuta (Prabu Yudayana berjumpa dan meruwat seekor Brahmanaraja), putra Sang Hyang Brahma harimau dan seekor naga penjelmaan Sang (raja Gilingwesi) keturunan Raden Srigati Hyang Kamajaya dan Dewi Ratih. Sang Hyang (Prabu Sri Mahapunggung), putra Sang Hyang Kamajaya kemudian menganugerahkan Panah Wisnu (raja Purwacarita), dan keturunan Sarotama serta mengajarkan berbagai ilmu Raden Srinanda (Prabu Basurata) putra Sang pengetahuan dan jaya kawijayan. Selanjutnya, Hyang Wisnu (raja Wirata). Prabu Ganda- Raden Yudayana menolong Dewi Gendrawati, prawa kemudian meriwayatkan leluhurnya putri Prabu Gandaprawa (raja Gandara) yang sampai lahirnya Raden Gendrayana. Prabu diculik oleh Swagotara, putra Srubisana. Dipayana pun memerintahkan Empu Kawis- Raden Yudayana kemudian pergi ke Gunung wara untuk membacakan riwayat hidup Manikmaya dan berguru kepada Resi Sidhikara. leluhurnya berdasarkan kitab Jitapsara yang Di sana ia mendapatkan pelajaran ilmu jaya menjadi pegangan raja. Adapun riwayat kawijayan, guna kasantikan, dan ilmu tersebut dimulai dari Raden Kaniyasa (Resi kesempurnaan. Manumanasa), Resi Sakutrem, Bathara Sakri, Perjalanan Raden Ramayana, Raden Resi Parasara, Bagawan Abyasa, Prabu Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden Pandhudewanata, dan para Pandhawa.

127 Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 125 −138

Diceritakan pula kisah perselisihan Resi Prabu Dipayana kemudian memaksa Taksaka Parasara dengan Prabu Santanu (raja Raja agar membalasnya. Akhirnya, Taksaka Ngastina) sampai diserahkannya kerajaan Raja hanya menjilat ibu jari kaki baginda yang Ngastina kepada Resi Parasara. Resi bersamaan telah merasuk sukma. Prabu Parasara kemudian menyerahkan kerajaan Dipayana moksa, seiring dengan lenyapnya Ngastina kepada Begawan Abyasa sampai Taksaka Raja. Dewi Utari, para istri baginda, akhirnya kerajaan Ngastina diwariskan kepada Resi Gurunadi, dan Resi Gurundaya bersama Prabu Dipayana. Prabu Dipayana kemudian istri mereka segera menyusul baginda moksa. berputra Raden Yudayana, dan Raden Yuda- Terdengarlah ledakan dahsyat memenuhi yana kemudian berputra Raden Gendrayana. angkasa disertai hujan bunga semerbak wangi Pada suatu ketika, Resi Gurunadi menandai peristiwa itu. Prabu Yudayana sangat menghadap Prabu Dipayana dan melaporkan berduka dan menjadi murka pada Taksaka Raja bahwa istrinya Dewi Nawangsasi bermaksud yang diduganya sebagai penyebab baginda moksa. Maksud Dewi Nawangsasi itu tidak mangkat. dapat dicegah, bahkan ia pun menceritakan kemegahan serta kemuliaan surga kepada SERAT DARMASARANA SEBAGAI baginda. Ia bermaksud ikut menari bersama RESEPSI ÂDIPARWA, MOSALAPARWA, para bidadari lainnya dalam pesta pora di DAN PRASTHÂNIKAPARWA kadewatan. Dewi Utari tergiur untuk mengikuti Dalam Serat Darmasarana atau Serat keinginan Dewi Nawangsasi agar ia segera Pustakaraja Purwa: Serat Darmasarana berkumpul dengan suaminya Arya Abimanyu bernomor 152 A dan Serat Darmasarana II ini dan Siti Sundari. Akhirnya, Prabu Dipayana, ditampilkan sekitar 435 tokoh yang dike- Resi Gurunadi, dan Resi Gurundaya bersama mukakan secara rinci. Namun, dari 435 tokoh istri-istri mereka bermaksud moksa bersama- tersebut, 3 tokoh di antaranya, yakni Baladewa, sama. Prabu Dipayana kemudian mengangkat Satyaki, dan Tatsaka Raja, ternyata dalam Raden Yudayana menjadi raja di Ngastina naratif menunjukkan perbedaan yang sangat untuk menggantikan kedudukannya. Prabu besar apabila dibandingkan dengan penampilan Dipayana kemudian mengajarkan ilmu tentang mereka dalam Mahâbhârata khususnya tata pemerintahan kepada Prabu Yudayana, Âdiparwa, Mosalaparwa, dan Prasthânika- Patih Dwara, dan Patih Danurwedha. Ajaran parwa. Prabu Dipayana tersebut meliputi (a) Panca Dalam Serat Darmasarana digambarkan Pratama ‘lima keutamaan’ seorang raja, yaitu bahwa pada waktu itu Bagawan Baladewa 1) Mulat. 2) Lila, 3) Miluta, 4) Malimarma, dan sudah tua renta, tetapi masih memiliki berbagai 5) Palimarma dan (b) Panca Guna sebagai macam kesaktian. Di samping itu, Bagawan bekal mengabdi yang mencakup 1) Rumeksa, Baladewa menunjukkan sosok yang ber- 2) Rumanti, 3) Rumasuk, 4) Rumesep/ tanggung jawab serta rela berkorban demi Rumaket, dan 5) Rumangsa. kepentingan negara (Ngastina). Hal itu Setelah perlengkapan upacara moksa ditunjukkan bahwa sewaktu kerajaan Ngastina siap, Prabu Dipayana memerintahkan Patih diserbu Prabu Niradhakawaca dari Ima- Dwara dan Patih Danurwedha agar mem- imantaka, Bagawan Baladewa turut serta beritahukan kepada rakyat Ngastina bahwa menahan serangan musuh. Dengan senjata mereka yang merasa telah disakiti dan dilukai sakti Nanggala, segala kesaktian Prabu oleh baginda berhak membalas. Pada waktu Niradhakawaca dapat dipunahkan. Prabu itu, Taksaka Raja menghadap dan melaporkan Niradhakawaca kemudian dengan licik bahwa dia telah terluka oleh keris Prabu memperdaya Bagawan Baladewa dengan Dipayana sewaktu baginda menikam Resi menyamar sebagai Arya Dyastara untuk Ardhawalika, penjelmaan Sang Hyang Basuki. meminjam Nanggala dengan dalih untuk

128 Anung Tedjowirawan, Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana mengusir musuh. Karena belas kasihnya Wasuki, Takshaka, Prithusrawa, Waruna, kepada Arya Dyastara (cucunya), senjata Kunjara, Misri, Sankha, Kumuda, Pundarika, roh Nanggala miliknya diberikan. Setelah Bagawan suci Dhirstarashtra, Hrada, Kratha, Sitikantha, Baladewa menyadari kelengahannya bahwa Chakramanda, Atishanda, naga-naga utama dirinya diperdaya musuhnya, ia berupaya bergelar Durmukha dan Amwarisha. Mereka merebut kembali senjatanya. Prabu Niradha- mempersembahkan Arghya, air pencuci kaki kawaca kemudian mencipta angin ribut dan upacara-upacara lain serta memuja naga bercampur kabut. Bagawan Baladewa yang dahsyat tersebut (Nila, 1979:13-14; Zoetmulder, sudah berusia lanjut itu tidak tahan, tubuhnya 1958:116). menggigil kedinginan, akhirnya gugur dan Peristiwa mangkatnya Baladewa yang moksa. Peristiwa itu menimbulkan huru-hara, menakjubkan di dalam Mosalaparwa sekaligus guruh bergemuruh halilintar meledak menunjukkan ketinggian kedudukan serta menyambar-nyambar. Dari langit para dewa keutamaan Baladewa sebagai penjelmaan roh menghujaninya dengan bunga harum semer- suci naga yang luar biasa. Peristiwa gugurnya bak menyebar wangi. Peristiwa gugurnya Bagawan Baladewa serta sambutan dan Bagawan Baladewa serta sambutan dan penghormatan para dewa yang luar biasa di penghormatan pada dewa yang luar biasa di dalam Serat Darmasarana tidaklah sedahsyat atas sekaligus menunjukkan pula ketinggian serta seagung pelukisan kembalinya roh suci kedudukan serta keutamaan Bagawan Bala- Baladewa (Rama) seperti yang dipaparkan dewa. dalam Mosalaparwa. Namun, di dalam Gugurnya Bagawan Baladewa dalam Mosalaparwa tidak ditemukan bukti-bukti yang Serat Darmasarana tersebut sangat berbeda cukup kuat untuk mengatakan keterlibatan apabila dibandingkan dengan kembalinya Baladewa dalam pemerintahan Parikesit. Baladewa (Rama) di dalam Mosalaparwa Apabila dalam Mosalaparwa dikemukakan (bagian ke 16 Mahâbhârata). Diceritakan di bahwa Baladewa lebih dahulu moksa di- dalamnya bahwa setelah keluarga Wrishni dan bandingkan dengan Kresna (Krishna) dan para Andhaka (Andhakasa dalam tradisi Bali) Pandawa, dalam Serat Darmasarana se- musnah karena saling bunuh, Rama (Bala- baliknya. Bagawan Baladewa mangkat dewa) dan Kresna (Wasudewa, Kesawa) (moksa) jauh lebih kemudian dibandingkan mempersiapkan diri kembali ke surga. Namun, dengan Kresna maupun para Pandawa. terlebih dahulu Kresna (Krishna) menghadap Dalam Mahâbhârata, gugurnya Satyaki ayahandanya untuk memohon diri serta me- terdapat dalam Mosalaparwa. Diceritakan di nitipkan para istrinya (16.000) untuk sementara dalamnya bahwa Samba, Sarana, dan kelompok sampai Dhananjaya (Arjuna) datang men- kesatria bangsa Wrishni (Wresni) mencoba jaganya. Sesampainya kembali ke tempat mengelabui para brahmana dengan pertanyaan Baladewa, Kresna masih dapat menyaksikan yang bersifat menghina. Mereka mengarak Baladewa duduk bersandar di tempat semula Samba yang menyamar sebagai wanita hamil serta terserap ke dalam yoga yang sangat ke hadapan para brahmana dan memintanya dalam. Kemudian, dari dalam rongga mulutnya menebak secara tepat apa yang akan keluar seekor ular yang luar biasa. Kulitnya putih dilahirkan dari kandungannya itu. Para cemerlang, kepalanya beribu-ribu, dan brahmana menjadi sangat marah dan keluarlah bertubuh sebesar gunung. Mata naga yang kutukannya yang sangat dahsyat bahwa dahsyat tersebut merah menyala-nyala. Samba akan melahirkan sebuah tongkat besi Sewaktu bergerak menuju lautan, dewa laut, (bom) yang akan meledak menghancurkan para naga, dan dewa-dewa sungai menyam- bangsa-bangsa Wrishni dan Andhakasa (Nila, butnya. Mereka yang menyambut roh suci 1979:7-8; Zoetmulder, 1958:112). Pada saat Baladewa di antaranya adalah Kartotaka, gejala-gejala yang menunjukkan kehancuran

129 Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 125 −138 bangsa-bangsa Wrishni dan Yadawa semakin Darmasarana II bagian akhir bahwa menjelang menghebat, rakyat Wrishni pun semakin liar, moksa Prabu Dipayana mengumpulkan semuanya dikuasai nafsu. Mereka berani rakyatnya dan memberitakan bahwa bagi meminum minuman keras dan bermabuk- mereka yang pernah disakiti dan dilukai mabukan di hadapan Kresna. Dalam keadaan baginda agar membalasnya. Taksaka Raja mabuk, Yuyudhana menertawakan dan meng- kemudian menghadap dan melaporkan bahwa hina Kritawarman (Kartamarma) atas dia telah terluka oleh keris Prabu Dipayana perbuatan rendahnya membunuh putra-putra sewaktu baginda menikam Resi Ardhawalika, Draupadi serta Dhrishtadyumna maupun penjelmaan Sang Hyang Basuki. Prabu Sikhandi (Srikandi) yang sedang tidur. Dipayana kemudian memaksa Taksaka Raja Kritawarman pun membalas hinaan itu dengan agar membalasnya, dan ia melakukannya mencela kecurangan Satyaki sewaktu mem- hanya dengan menjilat ujung (ibu jari) kaki bunuh Bhurisrawa yang tidak lagi bersenjata, baginda yang dipakainya sebagai sarana yang telah meninggalkan medan pertempuran moksa. Peristiwa tersebut menimbulkan dan sedang duduk mengatur nafas untuk kemurkaan Prabu Yudayana untuk membalas memulihkan tenaga. Satyaki menjadi sangat dendam kepada Taksaka Raja dan para ular di marah sehingga menerjang dan memenggal mana pun untuk dimusnahkan. Akhirnya, kepala Kritawarman di hadapan Kresna. Ketika baginda disadarkan Naga Raja Sarana melihat itu, para Bhoja dan Andhakasa pun (mertuanya) akan perbuatannya yang tidak menjadi marah dan menerjang Satyaki dari terpuji (Serat Darmasarana II hal. 67-69; Serat segala jurusan. Putra Rukmini segera membantu Yudayana hal. 22-27). Menurut Naga Raja Satyaki. Mereka bertempur bahu membahu Sarana, seperti halnya manusia, naga pun dengan gagahnya melawan para penyerbu, terdiri atas dua golongan, yaitu naga golongan sampai akhirnya keduanya tewas di hadapan jahat dan naga golongan baik. Kresna sendiri (Nila, 1979:11-12; Zoetmulder, Dari Serat Darmasarana II ini dapat 1958:115-116). dikatakan bahwa Taksaka Raja adalah naga Apabila gugurnya Satyaki dalam kitab kekasih dewa, karena dia pernah menjadi Mosalaparwa dan Serat Darmasarana binggìl ‘gelang kaki’ Resi Ardhawalika. Taksaka diperbandingkan, ternyata terdapat perbedaan Raja memiliki watak jujur, senang berterus yang jauh. Di dalam Serat Darmasarana terang, akan tetapi ia kurang memiliki per- dikemukakan bahwa Prabu Satyaki bukan hitungan yang matang. Ketika ia menjilat ujung gugur karena keroyokan para Bhoja dan kaki baginda atas, ia hanya memandang Andhakasa (Mosalaparwa), melainkan ia gugur keutamaan dan kebijaksanaan baginda tanpa dalam pertempurannya melawan Prabu memperhitungkan bagaimana reaksi yang Kismaka raja Tarajutiksna (Serat Darma- timbul di kalangan kerabat istana Ngastina sarana hal. 6), dan bukan pula di Prabasa terlebih lagi Prabu Yudayana yang masih muda. (Mosalaparwa), melainkan di Dwarawati (Serat Akibat perbuatan Taksaka Raja, Prabu Darmasarana). Di samping itu, kalau di dalam Yudayana memerintahkan pasukannya me- Mosalaparwa gugurnya Satyaki lebih dahulu numpas semua ular (naga), bukan hanya di daripada Kresna dan para Pandawa, dalam Taksakasila saja, melainkan juga di daerah- Serat Darmasarana gugurnya Satyaki jauh daerah lain. Prabu Yudayana sendiri akhirnya lebih kemudian dibandingkan Kresna maupun menelan buah perbuatannya sebab baginda para Pandawa. pun mangkat karena bisa naga penjelmaan roh Tokoh penting dalam Serat Darmasarana Dhang Hyang Suwela (Serat Yudayana, hal. lainnya adalah Taksaka Raja dari Taksakasila. 106). Dia hanya tampil sepintas tetapi menimbulkan Penampilan tokoh Taksaka Raja dalam peristiwa besar. Diceritakan dalam Serat Serat Darmasarana II dan Serat Yudayana di

130 Anung Tedjowirawan, Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana atas sudah barang tentu merupakan sambutan maharaja Parîk Õti tidak bersalah pada (resepsi) atas tokoh TakÕaka (Takshaka) Tak Õaka, melainkan bersalah pada Bagawan dalam Âdiparwa (bagian pertama Mahâ- Samîti, ayah Sang ÇÏnggî . Ketiga, TakÕaka bhârata). TakÕaka adalah anak Kadrû dengan pernah mengganggu Uttangka (murid Sang Bagawan Kaçyapa. Ia memiliki saudara, antara Weda) sewaktu membawa anting-anting lain Anantabhoga dan Sang Bâsuki, semuanya matahari yang dimintanya dari Sâwitrî (permaisuri sangat sakti (Siman Widyatmanta, 1968:42; Maharaja Posya) untuk dipersembahkan kepada Zoetmulder, 1958:98; Juynboll, 1906:30). istri gurunya. Karena itu Uttangka menaruh TakÕaka memiliki kedudukan tinggi di antara dendam kepada TakÕaka dan pada suatu para naga. Selain itu, ia pun bersahabat ketika ia menghadap maharaja Janamejaya dengan Hyang Indra (Siman Widyatmanta, untuk memberitahukan bahwa ayahanda 1968:79). Ketika roh suci Rama (Baladewa) baginda, maharaja Parîk Õti mangkat karena kembali ke laut, TakÕaka termasuk di antara digigit TakÕaka. Selanjutnya, Uttangka pun mereka yang menyambut (Nila, 1979:14; mendorong maharaja Janamejaya untuk me- Zoetmulder, 1958:116). langsungkan korban ular sebagai hukuman Apabila perwatakan tokoh Taksaka Raja kepada TakÕaka (Siman Widyatmanta, dalam Serat Darmasarana II diperbandingkan 1968:21-25; Zoetmulder, 1958:103; Juynboll, dengan TakÕaka dalam Âdiparwa, ternyata 1906:54). Keempat, TakÕaka dengan cerdik terdapat perbedaan yang besar. Dalam Serat (licik) memperdaya Bagawan Kâçyapa (bukan Darmasarana II, Taksaka Raja memiliki sifat ayah Garuda) yang sempurna mantranya yang dan watak jujur, senang berterus terang dan bermaksud membantu maharaja Parîk Õti dari penurut, tetapi kurang memperhitungkan akibat ancamannya. Setelah TakÕaka mengetahui yang timbul dari perbuatannya itu. Dalam kesempurnaan mantranya, dimintanya Âdiparwa, tokoh TakÕaka digambarkan me- Bagawan Kâçyapa pulang saja, dengan diberi miliki sifat dan watak yang tidak baik. Ia cerdik mas, manikam, dan sebagainya (Siman (licik), senang mengganggu kepentingan orang Widyatmanta, 1968:71-72; Zoetmulder, 1958: lain, penurut meskipun untuk berbuat jahat. 95-96; Juynboll, 1906:52). Watak-watak tersebut diperlihatkan. Pertama, Seandainya pengakhiran korban ular ma- TakÕaka menuruti perintah Kadrû ibunya untuk haraja Janamejaya (dalam Âdiparwa) dan turut serta memerciki ekor kuda Uccaihçrawa Prabu Yudayana (dalam Serat Darmasarana) agar berwarna hitam. Pada mulanya TakÕaka dan tersebut disejajarkan keduanya menunjukkan saudara-saudaranya menolak, tetapi Kadrû tidak sempurna. Dalam korban ular maharaja mengutuknya agar kelak mereka dimakan api Jayamejaya, ternyata TakÕaka luput dari pada korban ular yang dilangsungkan oleh ma- kematian karena ia mendapat perlindungan dari haraja Janamejaya (Siman Widyatmanta, Âstîka, anak Jaratkâru. Karena itu, ia tidak 1968:48-50; Zoetmulder, 1958:99-100; termakan api meskipun tubuhnya sudah Juynboll, 1906:35-36). Karena perbuatan sepenggalah di atas tungku pengorbanan. TakÕaka bersaudara itulah, Winatâ terpaksa Maharaja Janamejaya telah berbelas kasih kalah bertaruh dengan Kadrû yang kemudian kepada Âstîka (pendeta yang utama) serta menjadikannya sebagai budak, sampai menepati kesanggupannya mengabulkan akhirnya anaknya, Garuda mem-bebaskannya permohonan Âstîka untuk mengakhiri upacara (Siman Widyatmanta, 1968:53-63 Zoetmulder, korban TakÕaka (Siman Widyatmanta, 1968: 1958:91; Juynboll, 1906:45). Kedua, TakÕaka 80-81; Zoetmulder, 1958:110-111; Juynboll, memenuhi perintah Sang Ç Ïnggî untuk 1906:57-58). Adapun dalam Serat Darmasarana menggigit maharaja Parîk Õti pada hari ketujuh II dan Serat Yudayana pengpakhiran korban dari kutuknya (Siman Widyatmanta, 1968:69; (penumpasan) ular Prabu Yudayana karena ia Juynboll, 1906:53). Padahal, sebenar-nya justru tergiur kecantikan naga kencana Dewi

131 Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 125 −138

Sarini, serta ketidakmampuannya melawan dimaksudkan sebagai resepsi (sambutan) kesaktian Naga Raja Sarana (Serat terhadap Âdiparwa dan melanjutkan cerita Darmasarana II hal. 65-69; Serat Yudayana Mosalaparwa, Prâsthanikaparwa, serta hal. 18-27). Swargarohanaparwa (Mahâbhârata) ber- Selain persamaan ketidaksempurnaan dasarkan konsepsi Jawa. upacara korban ular dari sumber-sumber di Ada relasi yang sangat erat antara judul, atas, apabila diperbandingkan dari cara penokohan, alur cerita (plot), serta latar (setting) pengorbanan maupun eksistensi para tokohnya antara Serat Darmasarana, Serat Yudayana, pun, ternyata terdapat perbedaan yang besar. Serat Gendrayana, Serat Budhayana, Serat Dalam Âdiparwa, cara upacara pengorbanan Sariwahana, Serat Mayangkara, Serat ular maharaja Janamejaya tersebut dengan Ajipamasa, dan Serat Witaradya. Dikemukakan membuat tungku korban seluas 2 yojana di dalamnya bahwa Serat Darmasarana disusun (tonggak, pal) yang diukur oleh sang brahmana, oleh Empu Tapawangkeng atas perintah prabu serta dimantrai dengan mantra sakti. Adapun Aji Jayabaya raja Kediri pada tahun 855 S para bagawan yang ikut serta pada upacara (Suryasangkara) atau tahun 881 C (Candra- korban tersebut antara lain adalah Bagawan sangkala). Caòdabhârgawa, anak Bhyawanasthîrahotar Serat Yudayana disusun oleh Empu gweda membaca Î ; Bagawan Koça menyanyi- Kalangwan juga atas perintah Prabu Aji kan Sâmaweda; Bagawan Janmanikuòda Jayabaya. Serat Budhayana digubah oleh mambaca Atharwaweda; Bagawan Jyotisinggalâ- Empu Mandara, anak Empu Salukat atas mbâyu membaca Yajurweda. Pemimpin umum perintah Prabu Ajipamasa raja di Pengging pengorbanan tersebut adalah Bagawan Byâsa Witaradya pada tahun 919 S atau tahun 949 bersama para muridnya (Siman Widyatmanta, C. Serat Sariwahana, Serat Mayangkara, dan 1968:76-77; Zoetmulder, 1958:107; Juynboll: Serat Purusangkara juga digubah oleh Empu 1906:54-55). Pada upacara pengorbanan Sindungkara juga atas perintah Prabu tersebut, Takºaka luput dari kematian karena Ajipamasa di Pengging Witaradya. Serat perlindungan Âstîka. Adapun dalam Serat Ajipamasa dikemukakan disusun oleh Empu Darmasarana II maupun dalam Serat Udaka pada tahun 1791 J (janma-trus- Yudayana, cara pengorbanan ular Prabu kaswareng-bumi) atau tahun 1862 M. Adapun Yudayana yaitu dengan menyerbu serta menumpas para naga ke tempat-tempat yang Serat Witaradya dikatakan disusun oleh Empu diperkirakan menjadi tempat tinggalnya. Dalam Wilayasa atas petunjuk Begawan Widhayaka. penumpasan naga itu antara lain ke Penyusunannya pada tahun 1792 J (nembah- Taksakasila (tempat tinggal Taksaka Raja), ke trus-sukaning-budi) atau tahun 1863. hutan Lagra dan Gadamadana (dekat Siapakah sebenarnya Empu Tapa- Tebrasara) dan terakhir kali ke gunung wangkeng dalam Serat Darmasarana, Empu Mahendra (tempat tinggal Naga Raja Sarana) Kalangwan dalam Serat Yudayana, Empu Mandara dalam Serat Budhayana, Empu (Serat Darmasarana II hal. 57-69; Serat Sindungkara dalam Serat Sariwahana, Serat Yudayana hal. 1-28). Ketika penumpasan naga Mayangkara, dan Serat Purusangkara, Empu itu dilangsungkan sebenarnya Taksaka Raja Udaka dalam Serat Ajipamasa serta Empu telah moksa bersamaan waktunya dengan Wilasaya dalam Serat Witaradya itu? Dalam Prabu Dipayana, tetapi Prabu Yudayana tidak hal ini boleh dikatakan belum ada penelitian, mengetahui. sehingga persoalan tersebut masih tetap gelap. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Meskipun demikian, pemilihan nama-nama penyusunan Serat Darmasarana dan Serat empu di atas kiranya bukannya tanpa maksud. Yudayana sangat mungkin untuk sebagian Ada satu cara yang barangkali menarik

132 Anung Tedjowirawan, Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana untuk dilakukan yaitu dengan cara menguraikan dalamnya dikatakan Empu Udaka menyusun arti nama empu (pujangga) di atas dan Serat Ajipamasa dan Empu Wilasaya kemudian menggabungkannya. Dengan cara menyusun Serat Witaradya, hal itu meragukan ini, ternyata dapat diperoleh pengertian bahwa pula. Berdasarkan dua penempatan san- kata Tapawangkeng berarti yang ‘kuat/keras diasma, yakni di awal pupuh dan di awal baris, bertapa’; Kalangwan berkaitan dengan kata Serat Ajipamasa adalah karya R. Ng. kalangõn yang berarti ‘keindahan, pemandangan Ranggawarsita. Demikian pula dari ketiga yang indah, tempat yang menyenangkan’. penempatan sandiasma, yakni di awal pupuh, Kemudian, kata Mandara tampaknya berkaitan di awal bait dan di awal baris yang terdapat dengan gunung Mandara yang terdapat dalam dalam Serat Witaradya pun menunjukkan Âdiparwa. Kata Sindungkara berasal dari kata karya R. Ng. Ranggawarsita. sindu ‘air, sungai’. Kata Udaka berkaitan pula Dari uraian di atas penamaan Tapa- dengan air atau mata air. Kemudian, kata wangkeng, Kalangwan, Mandara, Sindungkara, Wilasaya kemungkinan berkaitan erat dengan Udaka, dan Wilasaya kiranya selain menunjuk kata wilasa yang berarti ‘bersenang-senang, daerah Pengging, Banyudana, Bayalali, juga menghibur hati, bermain-main’. Salah satu menunjuk R. Ng. Ranggawarsita sebagai tempat untuk bermain-main dan bersenang- seseorang yang mempunyai hubungan dengan senang adalah di mata air atau pemandian. pertapa (pujangga) dari daerah itu. Pertanyaan Kemudian, kata Widhayaka atau Widayaka yang kemudian muncul adalah mengapa penamaan sejumlah empu tersebut menunjuk berhubungan dengan pertapa atau orang Pengging dan R. Ng. Ranggawarsita? Dalam hal pandai. ini, jawabannya adalah R. Ng Ranggawarsita Dengan mencoba mengkaitkan dan sengaja memitoskan, mengangkat, serta menghubungkan arti nama-nama empu di atas menempatkan daerah Pengging, seolah-olah diperoleh pengertian baru, yakni seorang sebagai pusat tata pemerintahan atas tanah pertapa yang kuat dalam ‘tapa’ yang gemar Jawa sesudah Kediri meskipun dalam berolah keindahan, yang bertempat tinggal di kenyataannya tidaklah demikian. Hal itu dilakukan daerah air (mata air) (di kaki) gunung. Daerah R. Ng. Ranggawarsita sebagai tanda bukti bakti yang dimaksud di atas sudah jelas menunjuk cintanya kepada leluhurnya antara lain, yakni Pengging, Banyudana, Bayalali. Memang di Pangeran Handayaningrat (Sri Makurung Prabu daerah tersebut banyak terdapat mata air dan Handayaningrat/Ki Ageng Pengging Sepuh), pemandian serta terletak di (kaki) gunung Kebo Kenanga dan Sultan Adiwijaya (Mas Merapi-Merbabu. Penentuan daerah itu, yakni Karebet) yang berasal dari Pengging, dan juga Pengging sebenarnya secara tersirat dan kepada kakeknya, yakni R. Ng. Yasadipura I tersurat telah dikemukakan dalam Serat dan R. Ng. Yasadipura II yang dimakamkan pula Sariwahana, Serat Mayangkara, dan Serat di Pengging. Purusangkara, yang ketiganya dikatakan Genealogi (genealogy) adalah garis disusun oleh Empu Sindungkara atas perintah keturunan manusia dalam hubungan keluarga Prabu Ajipamasa yang berkedudukan di sedarah. Dalam Serat Darmasarana dan teks- Pengging Witaradya. teks Pustakaraja Madya, genealogi (silsilah) Dari uraian di atas menimbulkan per- tampak cukup menonjol. Serat Darmasarana soalan, siapa sebenarnya pujangga (pertapa) sendiri memusatkan penceritaannya pada yang dimaksud? Apakah R. Ng. Yasadipura I Prabu Darmasarana (Prabu Dipayana, Prabu atau R. Ng. Yasadipura II, dua pujangga Parikesit), Prabu Yudayana dan sekilas Raden termashur kerajaan Surakarta yang keduanya Gendrayana. Berbeda halnya dengan Serat memang dimakamkan di Pengging? Apabila Yudayana yang penceritaannya terpusat pada diperhatikan secara seksama, penulis Serat Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana, dan Arya Ajipamasa dan Serat Witaradya, sekalipun di Prabu Bambang Sudarsana.

133 Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 125 −138

Tokoh Prabu Parikesit (Parik Õti) jelas dalam sejumlah teks bagian Pustakaraja semula adalah tokoh yang terdapat dalam Madya yang juga merupakan bagian dari Serat tradisi Mahâbhârata. Dalam tradisi Mahâ- Pustakaraja yang besar itu. bhârata, maharaja Janamejaya adalah putra Dalam Serat Yudayana dijelaskan bahwa Parik Õti, sedangkan dalam tradisi Jawa, Prabu Brahmana Kresnawasu dari Ngawu-awu Yudayana adalah putra Prabu Parikesit. Oleh berkunjung ke Ngastina menghadap Prabu karena itu, Prabu Yudayana dapat disamakan Yudayana dan meramalkan cucu baginda kelak dengan maharaja Janamejaya. Bagaimana adalah titisan Sang Hyang Wisnu Murti. Dia seandainya Prabu Yudayana disejajarkan bernama Prabu Aji Jayabaya dan akan dengan Udayana, bangsawan Bali yang menguasai tanah Jawa. Banyak raja ada di diperkirakan ayah Erlangga (Airlangga)? bawah kekuasaannya. Dia sakti tanpa tanding, Dalam tradisi Bali, nama raja Udayana meskipun seribu kesaktian para resi, berkaitan erat dengan kata udaya yang berarti brahmana, dan ajar disatukan. Dalam Serat ‘matahari terbit’ sehingga mengisyaratkan Lampahan Jayapurusa dikemukakan bahwa seorang raja yang mengembangkan ke- Prabu Jayapurusa (Jayabaya) adalah raja di kuasaannya di daerah Udaya Perwata, yang Widarba putra Prabu Gendrayana. Di sisi lain, menurut perkiraan Pandit Shastri adalah Airlangga menurunkan Jayabaya. Oleh karena gunung Agung di Bali (Pandit Shastri, 1963:43- itu, dapatlah dikatakan bahwa Prabu 44). Berdasarkan prasasti Calcuta atau Gendrayana dapatlah disamakan dengan prasasti Penanggungan, ayah Airlangga yakni Airlangga dan Prabu Jayapurusa memang Udayana (Sang Ratu Maruhani Çri Dharmo- nama lain dari Prabu Aji Jayabaya. dayana Warmadewa) dan istrinya yakni Sang Dalam teks-teks Pustakaraja Madya Ratu Luhur Çri Gunapriyadharmapatni adalah (sumber Wayang Madya), tokoh Prabu mereka yang mengeluarkan prasasti di Bali. Jayabaya maupun Kusumawicitra (Ajipamasa) Udayana mempunyai tiga orang putra, yang menduduki posisi sentral. Keduanya termasuk pertama adalah Airlangga yang kemudian dalam genealogi (silsilah) nenek moyang raja- menjadi raja di Jawa Timur. Kedua adalah raja Mataram yang disusun oleh Brandes. Marakata dan ketiga adalah Anak Bungsu Genealogi susunan Brandes tersebut dapat (Pandit Shastri, 1963:48). Penamaan tokoh diuraikan sebagai berikut. Yudayana dalam Serat Darmasarana tam- paknya diambil dari nama Udayana, raja Bali 1. Adam 3. Nurcahya tersebut. 2. Sis 4. Nurrasa Dari uraian di atas, dapat ditarik 5. Wenang 31. Mahapunggung kesimpulan bahwa tampilnya Prabu Yudayana 6. Tunggal 32. Kandiawan dalam Serat Darmasarana dan Serat Yuda- 7. Guru 33. Resi Gentayu yana itu dimaksudkannya untuk meresepsi 8. Brama 34. Lembu Amiluhur (menyambut) maharaja Janamejaya dalam 9. Bramani 35. Panji tradisi Mahâbhârata. Selain itu Prabu Yudayana 10. Tritrusta 36. Kuda-Lalean dipakai untuk menyambut dan mengesahkan 11. Parikenan 37. Banjaran-Sari Udayana raja Bali sebagai seseorang yang 12. Manumanasa 38. Munding-Sari menurunkan raja-raja di Jawa. Dalam hal ini, 13. Sakutrem 39. Munding-Wangi R. Ng. Ranggawarsita mencoba meng- 14. Sakri 40. Pamekas hubungkan tokoh-tokoh dalam tradisi 15. Palasara 41. Susuruh Mahâbhârata dan tradisi Bali ke dalam tradisi 16. Abiasa 42. Prabu Anom Jawa. Pandangan ini akan lebih kuat apabila 17. Pandu 43. Adaningkung tokoh-tokoh dalam Serat Darmasarana 18. Arjuna 44. Ayam-Wuruk dikaitkan dengan tokoh-tokoh yang terdapat 19. Abimanyu 45. Lembu-Amisani

134 Anung Tedjowirawan, Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana

20. Parikesit 46. Bra-Tanjung menyusun sinkretis yang mempertemukan 21. Udayana 47. Bra-Wijaya cerita mitologi silsilah dewa-dewa Hindu 22. Gendrayana 48. Bondan-Kejawen dengan riwayat nabi-nabi dalam Islam (Simuh, 23. Jayabaya 49. Gentas-Pendawa 1988:61). Dalam hal ini, dewa-dewa Hindu 24. Jayamijaya 50. Gede-Sela digambarkan seperti halnya manusia yang 25. Jayamisena 51. Gede-Ngenis mengadakan hubungan kawin-mawin dan 26. Kusumawicitra 52. Pamanahan beranak yang keturunannya akhirnya menjadi 27. Citrasoma 53. Senapati cikal-bakal raja-raja Jawa. Dalam zaman Is- 28. Pancadriya 54. dst. dst. lam timbul usaha memperkuat wibawa raja- 29. Anglingdriya (Berg, 1974:133). raja Jawa, dengan menyusun serat babad 30. Suwalacala untuk menggambarkan bahwa raja-raja Jawa adalah keturunan campuran dari nabi Adam Genealogi nenek moyang raja-raja dan dewa-dewa Hindu (Simuh, 1988: 61). Mataram yang menyerupai susunan Brandes Usaha untuk mempertemukan mitologi dewa- di atas juga dikemukakan oleh Sri Mulyono. Sri dewa Hindu dengan riwayat nabi Adam dalam Mulyono menamakan genealogi susunannya Islam, selain tampak pada Serat Kandha itu sebagai Silsilah Wayang Menurut Babad. zaman Kartasura (Simuh, 1988:61; Poerba- Ia pun menempatkan tokoh Prabu Yudayaka tjaraka, 1957:140-148), juga terdapat dalam (Arya Prabu Bambang Sudarsana) di antara Babad Tanah Jawi (1912). Prabu Yudayana dengan Prabu Gendrayana Menarik pula apabila diperhatikan sumber (Sri Mulyono, 1989:237-238). Apabila lain, misalnya Serat Pranitiradya, yang berisikan keterangan raja-raja yang bertahta mempertimbangkan genealogi Prabu Yuda- disesuaikan dengan pembagian zaman di yana seperti diuraikan pula dalam Serat dalam Ramalan Jayabaya (Andjar Any, Darmasarana di atas, tokoh-tokoh dalam serat 1979:91). Apabila mendasarkan diri pada Serat tersebut dapat didudukkan pada posisi nomor Pra-nitiradya dan Ramalan Jayabaya, usia 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, dan 20, yaitu Pulau Jawa sampai Kiamat Kobra itu 2100 mulai Manumanasa, kemudian Sakutrem, tahun (Suryasangkala/tahun matahari) atau Sakri, Palasara, Abiyasa, Pandu, Arjuna, selama 2163 (Candrasangkala/tahun Abimanyu dan Parikesit. Bahkan, seandainya rembulan), yang dibagi menjadi tiga zaman mempertimbangkan sejumlah teks Pusta- besar (Trikali). Setiap zaman besar dibagi karaja Madya seperti yang telah diuraikan di menjadi tujuh zaman kecil (Saptama Kala) depan, tokoh-tokohnya berlanjut menduduki yang masing-masing berusia 100 tahun, yang posisi 20 sampai dengan 29. Jadi secara bisa diuraikan sebagai berikut: keseluruhan mulai dari Manumanasa sampai Anglingdriya. Setelah melihat kenyataan di atas, 1. Zaman Kali Swara, meliputi a) Zaman Kala penciptaan Serat Darmasarana, Serat Kukila, b) Zaman Kala Budha, c) Zaman Yudayana, dan teks-teks Pustakaraja Madya Brawa, d) Zaman Kala Tirta, e) Zaman adalah dalam rangka ikut memperkuat Kala Rwabara, f) Zaman Kala Rwabawa, geneaologi nenek moyang raja-raja Mataram. dan g) Zaman Kala Purwa. Sebenarnya sebelum R. Ng. Rangga- 2. Zaman Kali Yoga, meliputi a) Zaman Kala warsita menyusun Serat Pustakaraja yang Brata, b) Zaman Kala Dwara, c) Zaman meliputi baik Serat Pustakaraja Purwa dan Dwapara, d) Zaman Kala Praniti, e) Zaman Serat Pustakaraja Puwara, terlebih dahulu ia Kala Tetaka, f) Zaman Kala Wisesa, dan menyusun Serat Paramayoga dan Serat g) Zaman Kala Wisaya. Jitapsara yang berisikan cerita sejarah, yang 3. Zaman Kali Sangara, meliputi a) Zaman dalam istilah Jawa disebut Babad. Dalam kedua Kala Jangga, b) Zaman Kala Sakti, c) kitab tersebut, R. Ng. Ranggawarsita

135 Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 125 −138

Zaman Kala Jaya, d) Zaman Kala Bendu, (850 M-856 M), dan Rakai Kayuwangi Dyah e) Zaman Kala Suba, f) Zaman Kala Lokapala (856 M-886 M) (Sri Mulyono, 1989:297). Sumbaga, g) Zaman Kala Surata. Pada masa itulah, menurut Serat Pranitiradya, (Andjar Any, 1979: 81) justru masa pemerintahan raja-raja di Ngastina, antara lain Prabu Suyudana (705 S/783 M), Dalam Serat Darmasarana, para tokoh Prabu Yudhistira (734 S/812 M), Prabu Parikesit yang menduduki posisi penting adalah Prabu (Dipayana) (739 S/817 M), Prabu Yudayana (772 Parikesit (Dipayana) dan Prabu Yudayana, S/850 M), dan Prabu Gendrayana (785 S/863 M). sedangkan Raden Gendrayana masih kanak- Demikian pula, seandainya para raja dalam Serat kanak. Baru kemudian dalam Serat Yudayana, Darmasarana, Serat Yudayana, sejumlah teks Serat Budhayana atau pun juga dalam Serat Pustakaraja Madya, maupun Serat Pranitiradya Gendrayana peranan Prabu Gendrayana sangat disejajarkan dengan para raja ber-dasarkan hasil menonjol. Apabila ketiga tokoh tersebut penelitian sejarah Jawa berpendidikan Barat, disejajarkan dengan pembagian zaman beserta akan timbul berbagai macam ketidaksesuaian para raja yang memerintah berdasarkan uraian (anakronisme). Serat Pranitiradya tersebut, ketiganya sama- Berbagai ketidaksesuaian (kejanggalan) sama memerintah di kerajaan Ngastina pada penulisan sejarah Jawa bangsa pribumi (R. Zaman Kala Brata (zaman pertama dari Zaman Ng. Ranggawarsita) di atas, haruslah dilihat dari Kali Yoga), kecuali Prabu Gendrayana yang kapasitasnya sebagai seorang pujang-ga serta tugas-tugas yang diembannya. Ia memang bukan selain memerintah di Ngastina pada Zaman Kala bermaksud menulis sejarah Jawa berdasarkan Brata (701-800) juga pada Zaman Kala Dwara kriteria penulisan sejarah Jawa berpendidikan (801-900). Adapun secara lengkap para raja di Barat. Penulisan Serat Darmasarana sudah kerajaan Ngastina pada zaman itu dapat barang tentu tidak terlepas dari maksud diperinci sebagai berikut. penulisan Serat Pustakaraja Purwa sebab serat tersebut merupakan bagian darinya. Apalagi Zaman Kala Brata rupanya salah satu maksud penulisan Serat Ngastina: • Tahun 705 rajanya Prabu Pustakaraja Purwa tersebut adalah “suatu Suyudana. Bertahta 29 tahun. penulisan baru” mengenai sumber-sumber cerita • Tahun 734 rajanya Prabu wayang (penulisan cerita Mahâbhârata versi Yudhistira. Bertahta 5 tahun. Indonesia) yang salah satu maksud tujuannya • Tahun 739 rajanya Prabu adalah untuk mendidik anak-cucu dengan Parikesit (Dipayana). Bertahta mengajarkan sejarah kepahlawanan leluhurnya. 37 tahun. Selain itu, yang terpenting dari segala uraian atau • Tahun 772 rajanya Prabu karya-karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita Yudayana. Bertahta 15 tahun. adalah menempatkan “Jatining Panembah”, yaitu • Tahun 785 rajanya Prabu memberikan penerangan bahwa dewa-dewa Gendrayana. Setelah tahun (para Jawata) yang diartikan nenek moyang or- ke-800, pindah ke Mamenang. ang Jawa itu bukanlah Tuhan Yang Maha Esa Bertahta seluruhnya 20 tahun dan Maha Kuasa, tetapi hanya sebagai titah (Andjar Any, 1979: 93-94). biasa (Sri Mulyono, 1989:202; Kuntara, 1980:2). Dari uraian di atas dapat dikemukakan Dari uraian di atas, banyak raja Jawa yang bahwa dalam kaitannya dengan Serat Pusta- memerintah dalam periode Matâram di- karaja, Serat Darmasarana dan teks-teks kesampingkan misalnya, Rakai Panunggalan Pustakaraja Madya (sumber Wayang Madya) (780 M-800 M), Rakai Warak (800 M-819 M), lainnya ikut mengisi kekosongan “sejarah Rakai Garung (819 M-838 M), Rakai Pikatan Jawa” yang sebelum periode kerajaan Mata-

136 Anung Tedjowirawan, Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana ram Kuna terasa kabur (gelap). Dari “sejarah Ranggawarsita selaku seseorang yang Jawa” yang ditulisnya, R. Ng. Ranggawarsita berkaitan dengan pertapa (pujangga) di daerah bermaksud ikut mendudukkan para dewa dan itu, yakni R. Ng. Yasadipura I dan R. Ng. Pandawa sebagai leluhur para raja Mataram. Yasadipura II. Boleh jadi salah satu motivasi di balik penciptaan Serat Darmasarana, Serat SIMPULAN Yudayana, Serat Budhayana, Serat Sari- Serat Darmasarana (Serat Pustakaraja wahana, Serat Purusangkara, Serat Ajipamasa, Purwa: Serat Darmasarana) koleksi per- dan Serat Witaradya itu adalah R. Ng. pustakaan Radya Pustaka Surakarta nomor Ranggawarsita bermaksud memitoskan, 152 A adalah R. Ng. Ranggawarsita pada mengangkat, serta menempatkan daerah pertengahan abad 19 meskipun di dalamnya Pengging seolah-oleh sebagai pusat tata diterangkan karangan Empu Tapawengkang pemerintahan atas tanah Jawa sesudah Kediri atas perintah Prabu Aji Jayabaya di Kediri pada meskipun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Hal itu dilakukannya sebagai bukti bakti tahun 855 S (Suryasengkala) atau 881 C cintanya kepada leluhurnya yang berasal dan (Candrasengkala). Penyusunan Serat Dar- dimakamkan di Pengging, yakni Pangeran masarana itu mungkin dimaksudkan sebagai Handayaningrat (Sri Makurung Prabu resepsi (sambutan) terhadap Âdiparwa, dan Handayaningrat/Ki Ageng Pengging Sepuh), melanjutkan cerita Mosalaparwa, Prasthâni- Kebo Kenanga, Sultan Adiwijaya (Mas Karebet), kaparwa serta Swargarohanaparwa (Mahâ- R. Ng. Yasadipura I, dan R. Ng. Yasadipura II. bhârata) berdasarkan konsepsi Jawa. Dalam kaitannya dengan Serat Pustaka- Beberapa tokoh Serat Darmasarana dapat raja, Serat Darmasarana ikut mengisi disamakan dengan tokoh pewayangan India, kekosongan “sejarah Jawa” yang sebelum raja Bali, dan raja-raja Jawa, misalnya periode kerajaan Mataram Kuna terasa kabur Darmasarana (Parikesit) = Parik Õti (India); (gelap). Dari “sejarah Jawa” yang ditulisnya, Yudayana = Janamejaya (India) = Udayana, R. Ng. Ranggawarsita bermaksud men- ayah Erlangga (Bali); Gendrayana = Erlangga dudukkan bahwa para dewa dan Pandawa (Jawa); dan Jayapurusa = Jayabaya (Jawa). sebagai leluhur para raja Mataram. Serat Darmasarana, Serat Yudayana, dan teks-teks Wayang Madya dijadikan wahana R. Ng. Ranggawarsita untuk menghubungkan DAFTAR RUJUKAN tradisi Mahâbhârata (India), tradisi Bali, dan Any, Andjar. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita tradisi Jawa. & Sabdapalon. : Aneka. ————, 1980. Raden Ngabehi Ranggawarsita Apa Yang Pemahaman Serat Darmasarana akan lebih Terjadi? Semarang: Aneka. optimal apabila dikaitkan dengan Serat Behrend, T.E. dkk. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Pustakaraja Purwa maupun teks-teks sumber Nusantara Jillid I Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Wayang Madya (Serat Pustakaraja Madya), Jakarta: Djambatan. misalnya Serat Yudayana karya Empu Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata. Kalangwan; Serat Bhudayana karya Empu Florida, Nancy K. 1981. Manuscripts of Mandara; Serat Sariwahana dan Serat Surakarta, A Preliminary Descriptive Catalogue Vol I-IV. Ithaca, New York: Cornell Purusangkara karya Empu Sindungkara; Serat University. Ajipamasa karya Empu Udaka, dan Serat Girardet. Nikolaus. 1983. Descriptive Catalogue of The Witaradya karya Empu Wilayasa. Penamaan Javanese Manuscripts and Printed Books in the Main nama Empu-empu samaran itu kiranya Libraries of Surakarta and Yogyakarta. Wiesbaden: mengandung maksud tertentu. Uraian arti Franz Steiner Verlag GMBH. nama-nama empu itu dan kemudian meng- Groenendael, Victoria M. Clara van. 1987. Wayang Theatre gabungkannya kiranya menunjuk pada daerah in Indonesia: An Anotated Bibliography. Leiden, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde. Pengging, Banyudana, Bayalali dan R. Ng.

137 Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 125 −138

Juynboll, H.H. 1906. Âdiparwa Oudjavaansch Prozageschrift Widyatmanta, Siman. 1968. Adiparwa I. Yogyakarta: Spring. Uitgegeven. ’S Gravenhage: Martinus Nijhoff. Winter, C. F., dan Ranggawarsita, R.Ng. 1988. Kamus Kawi- Mangkunegara IV. 1914. Lampahan Jayapurusa. Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nila, K. 1979. Mausala, Mahaprasthanika, Swargarohanika Wiryamartana, S. J., I. Kuntara. 1980. “Bebuka” Serat Parwa. Denpasar: Dharma Bhakti. Pustakaraja sebagai Dasar Pemahaman Seluruh Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Tardjan Hadiwidjaja. 1957. Kitab”. Makalah Seminar dan Diskusi Ranggawarsita, Kepustakaan Djawa, Kolff. Djakarta: Djambatan Jakarta, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ranggawarsita, R.Ng. 1908. Witaradya. Surakarta:Albert Wirjosuparto, Sutjipto. 1966. Kakawin Bharata-Yuddha. Rusche. Jakarta: Bhratara. ————. 1910. Hadji Pamasa Jilid I-X. Soerakarta: Albert Yudoyono, Bambang. 1984. Sang Prabu Sri Adji Djojoboyo Rusche. 1135-1137. Jakarta: Karya Unipress. ————. 1924. Serat Mayangkara. Solo: Boehandel M. Zoetmulder, P.J. Tth. Kawi Dan Kekawian. Djogdjakarta: Tanojo. Yayasan Fonds Universitiet Negeri Gadjah Mada. ————. 1979. Serat Witaradya I & II. Alih Aksara dan —————. 1958. Sìkar Sìmawur, Bunga Rampai Bahasa Ringkasan oleh Sudibya, Z.H. Jakarta: Departemen Jawa Kuna I. Jakarta: Obor. Pendidikan dan Kebudayaan. — ————. 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuna Selayang Shastri, N.D. Pandit. 1963. Sedjarah Bali Dwipa Jilid I. Pandang. Terjemahan Dick Hartaka. Jakarta: Denpasar Bali: Bhuvana Saraswati. Djambatan. Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi —————. 1995. Sìkar Sìmawur, Bunga Rampai Bahasa Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Jawa Kuna II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Hidayatjati. Jakarta: Universitas Indonesia. Press. Sri Mulyono. 1989. Wayang. Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung. NASKAH Suwandono dkk.. Tth. Ensiklopedi Wayang Purwa I Serat Ajipamasa (Compendium). Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Naskah B 6a. Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran. Direktorat Pembinaan Kesenian Ditjen Kebudayaan Naskah PBA 248. Yogyakarta: Museum Sanabudaya. Departemen P & K. Naskah Br 577 dan K.B.G. 93. Jakarta: Museum Tedjowirawan, Anung. 1985. Analisis Struktural Serat Nasional. Purusangkara, Satu Kajian Pada Karya Sastra R. Ng. Serat Budhayana Ranggawarsita. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Naskah 154 B. Surakarta: Museum Radyapustaka. Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Serat Darmasarana —————. 1986. Serat Mayangkara Karya R. Ng. Naskah 152 A. Surakarta: Museum Radyapustaka. Ranggawarsita: Sajian Teks-Terjemahan-Pembahasan. Serat Gendrayana Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Naskah 157. Surakarta: Museum Radyapustaka. —————. 1995. “Teks-teks Sumber Wayang Madya: Serat Purusangkara Relasi, Konstruksi, dan Persamaan Beberapa Naskah 155. Surakarta: Museum Radyapustaka. Tokohnya Dengan Raja-Raja Jawa” dalam Humaniora Serat Sariwahana Nomor II Tahun 1995. Yogyakarta, Fakultas Sastra Naskah 154 G. Surakarta: Museum Radyapustaka. UGM. Serat Yudayana Uhlenbeck, E.M. 1964. A Critical Survey of Studies On The Naskah 153. Surakarta: Museum Radyapustaka. Languages of Java and Madura, The Hague, Nederland, ‘Siaran-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

138