Genealogi Dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana Karya R. Ng

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Genealogi Dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana Karya R. Ng AnungHUMANIORA Tedjowirawan, Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana VOLUME 18 No. 2 Juni 2006 Halaman 125 - 138 GENEALOGI DALAM RANGKA PENCIPTAAN SERAT DARMASARANA KARYA R. NG. RANGGAWARSITA Anung Tedjowirawan* ABSTRACT The goal of the writing of Serat Darmasarana by R.Ng. Ranggawarsita is the reception of Âdiparwa and continuation of the story of Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, and Swargarohanaparwa. By writing Serat Darmasarana and texts in the Pustakaraja Madya R.Ng. Ranggawarsita intends to place Pengging as a myth, as the central government in Java, after the fall of Kediri. Further, R.Ng. Ranggawarsita also wants to place the Gods and Pandawa as the ancestors of Mataram Kings. Key words: Serat Darmasarana, Pustakaraja Madya, reception, myth, genealogy of Mataram Kings PENGANTAR Wirjosuparto, 1968:355). Sebelum para Pemilihan Serat Darmasarana koleksi Pandawa mengundurkan diri meninggalkan Perpustakaan Radyapustaka, Surakarta No. Ngastina (Hâstina) dalam persiapannya kembali 152 A dan Serat Darmasarana II (transliterasian ke surga, Parikesit ditunjuk dan dinobatkan Yayasan Paheman Radyapustaka, Surakarta) menjadi raja Ngastina menggantikan Maharaja Yudhi hira dalam tulisan ini didasarkan pada keinginan Yudhistira ( ÕÛ ) (Nila, 1979: 27; Zoetmulder, 1995:157). Uraian tentang untuk mengetahui sejauh mana sambut-an penokohan Parikesit yang sangat singkat (resepsi) pujangga besar R. Ng. Rangga- dalam naratif kesastraan Jawa Kuna itu warsita dalam mengemukakan tokoh ternyata sangat berbeda apabila dibandingkan Darmasarana (Parîksit) yang hanya secara dengan pemunculan tokoh tersebut di dalam singkat diuraikan dalam Âdiparwa (Zoetmulder, kesastraan Jawa Baru (Klasik), baik dalam hal 1958:92-97: Juynboll, 1906:48-53), Bharata- variasi penamaannya maupun struktur yuddha (Sutjipto Wirjosuparto, 1968:355-356), naratifnya. maupun Prasthânikaparwa (Nila, 1979:27; Dalam kesastraan Jawa Baru, Prabu Zoetmulder, 1995:157). Parikesit memiliki gelar lain, yaitu Prabu Dalam kesastraan Jawa Kuna, Parikesit Karimataya, Prabu Dipayana, Prabu Yudhis- (Parîk Õti) adalah putra Raden Abimanyu wara, Prabu Mahabrata, dan Prabu Darma- (Abhimanyu) dengan Dewi Utari (Uttarî), putri sarana. Di samping itu di dalam kesastraan dari Wirata (WirâÛa), cucu Arjuna. Sebenarnya, Jawa Baru (Klasik), naratif yang mengemukakan Parikesit telah tewas oleh panah Brahmaœirah tokoh Parikesit selain terdapat dalam Serat milik Aswatama (Aœwatthâmâ) sewaktu masih Darmasarana, juga muncul di dalam karya dalam kandungan Utari, tetapi karena Kresna sastra lainnya, misalnya Serat Pustakaraja (KÏÕÃa) mencintainya ia dihidupkan kembali Madya Jilid I nomor 138 Na, Serat Pustakaraja dan diramal akan menurunkan keluarga Madya Jilid II nomor 168 Na, Serat Pustakaraja Pandawa (Zoetmulder, 1983:332: Sutjipto Madya Jilid III nomor 170 Na, Serat Karimataya * Staf Pengajar Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 125 Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 125 −138 I nomor 151 Na, Serat Pustakaraja Madya untuk menguasai binatang melata, dan Kasekaraken (Serat Karimataya II) nomor 151 memberikan gelar Prabu Yudhiswara. Prabu Na-B, dan Serat Pustakaraja Madya (Sekar Dipayana kemudian bertemu dan meruwat Resi Karimataya III) nomor 151 Na-C. Naskah- Mregapati menjadi Sang Hyang Gana yang naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan kemudian memberikan pelajaran ilmu untuk Sanapustaka, Kasunanan Surakarta (Nancy menguasai berbagai binatang serta memberinya Vol. I, 1981:261-296). Naskah-naskah yang gelar Prabu Mahabrata. Selanjutnya, Prabu tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka, Dipayana bertemu dan meruwat burung garuda Pura Mangkunegaran Surakarta antara lain menjadi Sang Hyang Sambo yang kemudian Serat Pustakaraja Madya: Wirabartana nomor mengajarkan cara menguasai bangsa burung D 130, Serat Pustakaraja Wedha (Pustakaraja serta memberinya gelar Prabu Darmasarana. Parikesit) nomor D 106, Serat Karimataya Sesampainya di hutan Bramaniyara, di kerajaan nomor D 24 (Nancy Vol. II, 1981:121-130), Gilingwesi Prabu Dipayana berjumpa dan Serat Parikesit Grogol nomor D 103 dan Serat meruwat tatsaka (ular) penjelmaan Dewi Pustakaraja Parikesit nomor D 108 (Nancy Vol. Swanyana sewaktu mau menelan Prabu III, 1981:493-495). Adapun yang tersimpan di Praswapati (Raja Gilingwesi). Dewi Swanyana Perpustakaan Radyapustaka antara lain Serat kemudian memberikan pelajaran mengenai olah Pustakaraja Madya (No. XV) nomor 202 N, asmara, antara lain Asmaragama, Asmaranala, Serat Pustakaraja Puwara (Serat Daneswara Asmaratantra, Asmaratura, Asmaranadha, dan II) nomor 154 B, dan Serat Pustakaraja Puwara Asmaraturida. Sesampainya di Bengawan nomor 206 (Nancy Vol. IV, 1981:159-169). Lowaya, Prabu Dipayana dibawa seekor buaya Selain itu, di Perpustakaan Museum menghadap Bathara Sindungkara, putra Sang Sanabudaya Yogyakarta juga tersimpan Hyang Ganggastana. Bathara Sindungkara naskah Prabu Parikesit nomor PB A. 55 memperingatkan baginda akan bahaya di (Behrend Jilid IV B, 1989:268). perjalanan kelak serta mengajarkan cara menguasai berbagai binatang air. Di dalam IKHTISAR NARATIF PRABU DIPAYANA pengembaraan mencari ilmu itu, Prabu DAN PRABU YUDAYANA DALAM SERAT Dipayana berjumpa dengan para putri, yaitu 1) DARMASARANA Dewi Sritatayi, putri Prabu Praswapati (Raja Secara garis besar, Serat Darmasarana Gilinggwesi); 2) Dewi Niyata, putri Prabu mengisahkan Prabu Dipayana (Parikesit, Sayakesthi (Raja Mukabumi); 3) Ken Satapa, Karimataya, Darmasarana, Yudhiswara, putri Begawan Sidhiwacana; dan 4) Endang Mahabrata) dan Prabu Yudayana. Dikemu- Sikandhi, putri Begawan Sukandha. kakan di dalamnya bahwa setelah Prabu Pada waktu itu, sepeninggal Prabu Dipayana memerintahkan pasukannya untuk Dipayana, kerajaan Ngastina diserbu Prabu membantu Prabu Satyaka (Raja Dwarawati) Niradhakawaca, raja Ima-Imantaka. Prabu dari serbuan Prabu Kismaka, putra mendiang Niradhakawaca adalah anak Prabu Nila- Prabu Boma Narakaswara (Raja Tarajutiksna), datikawaca, cucu Prabu Niwatakawaca. Prabu Dipayana bermaksud membuat Dalam pertempuran yang sangat dahsyat, pagrogolan untuk berburu. Di sana baginda dengan licik Prabu Niradhakawaca berhasil kemudian meninggalkan pagrogolan secara memperdaya dan membunuh Bagawan diam-diam dengan maksud memohon Baladewa. Sang Hyang Narada kemudian kesaktian dari dewa. Dalam perjalanan, Prabu turun untuk memberitahukan dan meme- Dipayana berjumpa dan meruwat Resi rintahkan Prabu Dipayana untuk meminta Ardhawalika kembali menjadi Sang Hyang bantuan kepada Resi Gurundaya di gunung Basuki. Sang Hyang Basuki kemudian Nirma. Resi Gurundaya kemudian menge- memberikan pelajaran penawar bisa ular, ilmu luarkan Besi Adnyana dari dadanya dan besi 126 Anung Tedjowirawan, Genealogi dalam Rangka Penciptaan Serat Darmasarana itu kemudian kembali sambil membawa Besi Warabasata pun tersesat. Mereka sampai di Aji yang keluar dari pucuk lidah Prabu pertapaan gunung Sadhara dan bermaksud mau Niradhakawaca sehingga memudahkan bagi berguru kepada Dhang Hyang Suwela. Dhang Prabu Dipayana untuk menghancurkan Prabu Hyang Suwela baru bersedia menjadi guru Niradhakawaca dan pasukannya. mereka setelah putra Ngastina itu membunuh Tidak beberapa lama kemudian Prabu Resi Sidhikara di gunung Manikmaya. Keempat Dipayana melangsungkan perkawinan dengan putra Ngastina pun segera ke Manikmaya sambil Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi Satapa, Dewi mengamuk dan membunuh para murid Resi Sikandhi dan Dewi Grendi. Selanjutnya, Dewi Sidhikara. Raden Yudayana segera menjumpai Sritatayi diubah namanya menjadi Dewi dan menyadarkan keempat adiknya itu bahwa Gentang; Dewi Niyata menjadi Dewi Impun; mereka telah diperdaya musuh. Resi Sidhikara Dewi Satapa menjadi Dewi Tapen; Dewi pun kemudian mengajarkan berbagai ilmu Sikandhi menjadi Dewi Puyengan; serta Dewi kepada keempat adik Raden Yudayana. Grendi menjadi Dewi Dangan. Pada suatu Setelah selesai, mereka bermaksud menuntut ketika, para istri Prabu Dipayana itu melahirkan balas dengan menyerbu Gunung Sadhara putra. Dewi Gentang berputra Dewi Tamioyi; sehingga banyak siswa Dhang Hyang Suwela Dewi Impun berputra Dewi Yodi; Dewi Tapen terbunuh. Sewaktu Dhang Hyang Suwela mau berputra Raden Yudayana; Dewi Puyengan melarikan diri dari tangan Resi Sidhikara, ia berputra Raden Ramayana sedangkan Dewi tewas terkena panah Sarotama yang Dangan berputra Raden Ramaprawa. dilepaskan Raden Yudayana. Kemudian, Setelah Raden Yudayana dewasa, Prabu Raden Yudayana bersama adik-adiknya serta Dipayana memerintahnya untuk mengembara Resi Sidhikara pulang kembali ke Ngastina. guna berguru mencari ilmu. Sepeninggal Pada suatu ketika, Prabu Dipayana Raden Yudayana, keempat adiknya, yaitu mengawinkan Raden Yudayana dengan Dewi Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Gendrawati. Empat puluh hari dari perkawinan Raden Prawasata, dan Raden Warabasata, mereka Dewi Gendrawati melahirkan putra menyusul kakaknya. tetapi mereka berselisih bernama Raden Gendrayana. Sewaktu jalan. menimang-nimang cucunya itu, Prabu Dalam perjalanan ke Gunung Manikmaya, Gandaprawa menyatakan bahwa Raden Raden Yudayana tersesat di jalan. Se- Gendrayana adalah penjelmaan Trimurti, yakni sampainya di hutan Tibrasara, Raden keturunan Prabu Brahmaniyuta (Prabu Yudayana berjumpa dan meruwat seekor Brahmanaraja), putra Sang Hyang Brahma harimau dan seekor naga penjelmaan Sang (raja Gilingwesi) keturunan Raden Srigati Hyang Kamajaya dan Dewi Ratih. Sang Hyang (Prabu Sri Mahapunggung), putra Sang Hyang Kamajaya kemudian menganugerahkan Panah Wisnu (raja Purwacarita), dan keturunan Sarotama serta mengajarkan berbagai ilmu Raden
Recommended publications
  • T. Behrend the Writings of KPH Suryanagara; Shifting Paradigms in Nineteenth-Century Javanese Thought and Letters In
    T. Behrend The writings of K.P.H. Suryanagara; Shifting paradigms in nineteenth-century Javanese thought and letters In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Encompassing knowledgeIndigenous encyclopedias from ninth-century Java to twentieth-century Riau 155 (1999), no: 3, Leiden, 388- 415 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/02/2021 07:32:55AM via free access T.E. BEHREND The Writings of K.P.H. Suryanagara Shifting Paradigms in Nineteenth-Century Javanese Thought and Letters Introduction I have elsewhere on several occasions lamented the still limited success of the scholarly project in producing a detailed history of Javanese literature, one that even begins to look away from Surakarta and pay proper attention to all regions and eras.1 The same may be said, though much more emphatically, for Javanese intellectual history. Apart from the very interesting - though still somewhat inchoate - discourse on historiography (much of which has restricted itself to external issues of referentiality and reliability) we have very little in the way of a diachronic understanding of the development of Javanese ideas and science over the period for which we have good docu- mentary evidence.2 In order to encourage the articulation of a history of Javanese ideas, and at the same time fill a tiny part of the gaping void in Javanese literary histo- ry, in this artiele I will introducé a particularly significant Javanese writér of the mid nineteenth century, give an overview of his literary production, then look at his work specifically in terms of its organizational and intellectual underpinnings.
    [Show full text]
  • Terakreditasi
    Terakreditasi (A) Based on Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor: 36a/E/KPT/2016 issued on 23 Mei 2016 Published by DEPARTMENT OF HISTORY, FACULTY OF SOCIAL SCIENCES UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG In collaboration with MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA (Indonesian Historical Society) TABLE OF CONTENT TEACHING HISTORICAL EMPATHY TROUGH REFLECTIVE LEARNING Indah Wahyu Puji Utami .................................. 1-9 Paramita has accredited (A) based on Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan THE CORRELATION BETWEEN: AWARENESS OF Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, HISTORY, RELIGIOUS VALUES AND dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia MULTIETHNIC UNDERSTANDING WITH No: 36a/E/KPT/2016, TOLERANCE ATTITUDE issued on 23 Mei 2016 Nurasiah, Abdul Azi, Widia Munira ................. 10-17 The range of carried studies in the publication NARRATION AND DISCOURSE OF BHINNEKA (1) historiography, (2) philosophy of history, (3) TUNGGAL IKA IN INDONESIAN REVISED history of education, and (4) history education. HISTORY TEXTBOOK: A HISTORY DIDACTICS APPROACH Published twice a year, ecery March and Djono, Hermanu Joebagio ................................ 18-27 September. AGRARIAN REFORM AS A NATIONALISM ISSUE SIT: No. 100/ PT 36 H.FIS/ 1990 FROM COLONIAL TO REFORMASI ERA ISSN: 0854-0039 Retor AW Kaligis ............................................ 28-42 E ISSN: 2407-5825 BOEKHANDEL TAN KHOEN SWIE KEDIRI: THE Published by AGENT OF JAVANESE CULTURE
    [Show full text]
  • INDO 35 0 1107018096 1 36.Pdf (1.867Mb)
    THE CASE OF THE INVISIBLE LITERATURE: POWER, SCHOLARSHIP, AND CONTEMPORARY JAVANESE WRITING* George Quinn I. "Bukan Makhluk Ciptaan Tuhan?" In 1976 an anthology of short stories in the Indonesian language entitled Sebuah Cinta Sekolah Rakyat [A Tale of Puppy Love] by Toti Tjitrawarsita won a major national literary prize, the annual literary award of the Yayasan Buku Utama.* 1 The stories in the collection were translations (with minor modifications) of stories which the author, under the pseudonym Mbak Minuk, had originally published over a number of years in the Javanese-language magazine Jaya Baya. At the time of their appearance in Javanese the stories had been greeted with silence at the na­ tional level. Toti Tjitrawarsita was delighted to receive the prize, but was more than a little bewildered at the contrast in critical reception accorded her work. She felt that the mere act of rewriting her stories in Indonesian could not have transformed her from a writer unworthy of critical attention to one whose talents deserved wide ac­ claim. If there was any merit in her writing, she remarked, it should not be ig­ nored at the national level simply because she wrote in Javanese. 2 Toti Tjitrawar­ sita is by no means the only Javanese author to have expressed misgivings about the attitude of scholars and the national literary establishment towards contempo­ rary Javanese literature. What can be viewed, at the very best, as a kind of double standard seems to be at work. Indeed, as if adding insult to injury, many scholars and critics, both within Indonesia and abroad, have doubted, and even denied, as I shall show presently, the very existence of a significant contemporary literature in Javanese.
    [Show full text]
  • 1 Sastra Dalam Era Industri Kreatif*
    Sastra dalam Era Industri Kreatif* Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pengajar dan pecinta sastra --------------------- Abstract: At this time, Indonesia is entering creative industry era, an industry system that based on membership, talent and creativity. Bases of literary work industry, that reside in system of publishing industry, equal to creative industry bases. Even, publishing industry – entered literary work publishing – is one part of the important from creative industry system. However, publisher chance and literary work book remain to be just concern, until remain to be needed “God hand” to save it. ----------------------- Mengikuti kecenderungan global, terutama kecenderungan di negara-negara maju, perekonomian Indonesia dewasa ini juga sedang memasuki era ekonomi kreatif -- suatu era perekonomian yang sangat mengandalkan produk-produk industri kreatif. Negara-negara maju, seperti Jepang, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, telah cukup lama mendapat sumbangan devisa yang sangat besar dari industri yang terkait erat dengan kebutuhan budaya dan gaya hidup masyarakat perkotaan (urban) tersebut. Industri kreatif secara singkat dapat didefinisikan sebagai industri yang berbasis pada keahlian, talenta dan kreativitas; seperti mode, kerajinan, penerbitan (buku dan media massa cetak), musik, film, dan periklaman. Industri penerbitan, termasuk penerbitan karya sastra, diharapkan dapat ikut mengambil peran di dalamnya, agar industri kreatif lebih terasa berbudaya, dan tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial (profit oriented).
    [Show full text]
  • © 2013 Tutin Aryanti
    © 2013 Tutin Aryanti BREAKING THE WALL, PRESERVING THE BARRIER: GENDER, SPACE, AND POWER IN CONTEMPORARY MOSQUE ARCHITECTURE IN YOGYAKARTA, INDONESIA BY TUTIN ARYANTI DISSERTATION Submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Architecture in the Graduate College of the University of Illinois at Urbana-Champaign, 2013 Urbana, Illinois Doctoral Committee: Professor D. Fairchild Ruggles, Chair Professor Valerie J. Hoffman Professor Kathryn H. Anthony Professor Mimi T. Nguyen ABSTRACT Sex segregation, particularly one that is reinforced in the name of religion, is often blamed for fortifying gender discrimination in society as a whole. This dissertation examines this assumption in Islamic society and investigates how such segregation may actually benefit Muslim women. This dissertation specifically asks how sex segregation has been defined among Muslims in Yogyakarta (Indonesia), who holds the authority to form the definition, and how gender separation is translated into mosque spaces and internalized through societal life. Guided by postcolonial feminist theory and poststructuralist visual theory, it further questions not only how gender conceptions permeate the architectural space of the mosque but also how architectural space helps to shape the larger landscape of gender relations. The mosques of Yogyakarta, comprising Masjid Gedhe Kauman, Musalla ‘Aisyiyah, Musalla Ar-Rosyad, Masjid Keputren, and Masjid Panepen, and the ‘Aisyiyah organization (founded in the early twentieth century) provide a case study for studying how sex segregation is imposed through social and spatial practices. Using data obtained through ethnographic research (participant observation and in-depth interviews) and archival records pertaining to the establishment of these mosques, which include mosques exclusively for women and prayer spaces set aside for them within the congregational mosque, the architectural layout of the mosques is revealed as a spatial translation of the control of the gaze upon women and their sexuality.
    [Show full text]
  • T. Behrend Manuscript Production in Nineteenth-Century Java; Codicology and the Writing of Javanese Literary History
    T. Behrend Manuscript production in nineteenth-century Java; Codicology and the writing of Javanese literary history In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Manuscripts of Indonesia 149 (1993), no: 3, Leiden, 407-437 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/25/2021 07:37:00PM via free access T.E. BEHREND MANUSCRIPT PRODUCTION IN NINETEENTH-CENTURY JAVA. CODICOLOGY AND THE WRITING OF JAVANESE LITERARY HISTORY' 1. Introduction Public collections in Indonesia and Europe hold well in excess of 19,000 Javanese manuscripts.2 Many thousands more - probably tens of thousands more - remain in private hands both in Indonesia and abroad. None of the private manuscripts, and only a small portion of those in public collections, have been adequately catalogued;3 the rest are known to us largely trom in- 1 This paper was prepared for the 7th International KTTLV Workshop on Indone- sian Studies, held in Leiden on 14-18 December 1992. I would like to thank both the KITLV and the National Library of Indonesia for the support that made its preparation possible. 2 This rough figure, which includes some Old Javanese, Mavano-Balinese' and Balinese texts in addition to New Javanese manuscripts proper, was arrived at on the basis of the following estimates of holdings, arranged by collection: Dutch public collections, 7000; European public collections (other than Dutch), 800; Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2000; Kraton Yogyakarta, 750; Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, 1000; Museum Negeri Sono Budoyo, 1300; Paku Alaman, 300; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (ex-Koninklijk Bata- viaasch Genootschap), 4500; Surakarta public collections.
    [Show full text]