PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

POSSIBLE-WORLD INDONESIA:

INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA FILM TELEVISI

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Disusun oleh:

Georgius Benardi Darumukti

NIM: 146322010

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2017

i

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

IIALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

TESIS

P OS S IB LE.VO RLD IITTDONESIA : INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA rILM TELEYISI

Pembimbing I

Dr" St. Sunafdi

Pembimbing II Tanggal: 24luli2017 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN-wI.,: TIDAK TERPUJI

HALAMAN PENGESAHAN

TESIS

P OS S I B LE.WORLD IITDONESIA : INTERPRETASI ATAS Jf,PANG PADA PEMBACA rILM TELEVISI

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Georgius Benardi Darumukti NIM: 1463220fi

P, itia,Fenguji

Ketua ,

Sekretaris

Anggota,l

3. Dr. G. Budi Subanar;'S:f.

24 Jlurli}Ol7

ilt =___E PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI l.

PERNYATAAIY KEASLIAIY KARYA

Deugan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Georgius Benardi Darumukti (NIM: 146322010), menyatakan bahwa tesis berjudul: POSSIBLE.WCIRLD INDONESIA: INTERPRETASI ATAS JEPA}IG PADA PEMBACA TELEVISI menrpakanhasil karya danpenelitian saya sendiri. Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernatr diajukan untuk memperoleh getar kesarjanaan di suatu perguruan ting$ lain. pemakaian, pemiqiaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peratuan yang berlalaro sebagaimana diacu secara ternrlis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 24 Juli 2017 Yang membuat pemyataan,

IV PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI I-

LEMBAR PERSETUJUA]\I PUBLIKASI KARYA ILMIAH I]NTUK KEPENTINGAI{ AKADEMIS

Yang bettanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

NAMA : GEORGIUS BENARDI DARUMUKTI NIM :146322010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dhamra karya ilmiah yang berjudul:

Possible-w orld fn donesia : Interpretasi atas fepang pada Pembaco Film Televisi beserta perangkat yang dipertukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di interret atau media lain unnrk kepentingan akademis tanpa perlu merninta rjin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencanturnkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal:24 Juli 2017 Yang menyatakan,

Georgius Benardi Darumukti PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

POSSIBLE-WORLD INDONESIA: INTERPRETASI ATAS JEPANG PADA PEMBACA FILM TELEVISI

Georgius Benardi Darumukti ABSTRAK

Imaji Jepang di Indonesia selalu dinegosiasikan di antara posisinya sebagai objek yang ditakuti, ditiru, dikagumi, dicintai, maupun diidamkan. Sejak masa penjajahan, negosiasi ini selalu dimainkan melalui berbagai permainan tanda oleh masyarakat Indonesia. Satu bagian yang penting pada semesta ini adalah kehadiran media film Jepang di Indonesia, terutama yang masif dilakukan oleh televisi. Penelitian untuk mengkaji pembentukan interpretasi atas Jepang ini dilakukan untuk menstrukturkan negosiasi yang terjadi di dalam proses pembacaan film televisi Jepang di Indonesia. Dengan memakai konsep Possible-world oleh Umberto Eco sebagai paradigma penelitian, maka penelitian ini bertujuan mencari fondasi Indonesia yang selalu terbawa oleh para pecinta Jepang. Pada usaha penciptaan possible-world Jepang melalui film-teks, penelitian ini berangkat dengan mendasarkan analisa pada literatur historis perkembangan media film dan televisi Jepang sebagai bentuk negosiasi mereka atas represi modernitas. Melalui metode wawancara terhadap lima orang anggota aktif komunitas pecinta budaya populer Jepang di Yogyakarta, penelusuran strategi penciptaan ini kemudian menunjukkan dua hal, yaitu adanya kuasa pengetahuan atas Jepang yang beredar kuat di Indonesia, dan adanya konteks Indonesia yang dipakai untuk mengontraskan Jepang. Pada penelusuran terakhir, yaitu penelusuran stategi penamaan Jepang dalam bahasa narasumber, Indonesia yang absen dalam bahasa mereka dianalisa dalam kerangka pembentukan final interpretant. Dalam analisa ini terlihat bahwa Indonesia diposisikan secara inferior dengan Jepang dalam dua bentuk, yaitu peminjaman ikon Jepang dan pelegitimasian utopia atas hukum Jepang. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan Indonesia yang mungkin memberangkatkan fenomena ini. Yang pertama adalah Indonesia sebagai negara yang di dalamnya terjadi persebaran pengetahuan akan Jepang yang masif. Kedua, Indonesia sebagai negara yang juga mengalami represi modernitas, sehingga Jepang diangkat sebagai penanda baru.

Kata kunci: Film televisi Jepang, Budaya pop Jepang, Umberto Eco, interpretasi, possible-world, final interpretant

vi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

INDONESIAN POSSIBLE-WORLD: INTERPRETATION OF JAPAN BY THE READER OF TELEVISION FILMS

Georgius Benardi Darumukti ABSTRACT

The image of Japan in Indonesia is always negotiated among its positions as a feared object, imitated, admired, loved, or desired object. By the time of colonization, these negotiations have always been played through various meaning- makings by Indonesians. The presence of Japanese film in Indonesian media culture became one of important aspects that helps on building it, especially the massive ones done by television. This research on the formation of interpretation of Japan tends to structure the negotiations that occurred in the reading of Japanese television films in Indonesia. By using Umberto Eco‟s concept of Possible-world as research paradigm, this research is aimed to find a form of Indonesia as a foundation which is always carried by Japanese lovers. To study on the creation of Japanese possible-world through text-film, this research departs with literatures analysis on the development of Japanese film and television media as a form of their negotiations over the repression of (Western) modernity. By interviewing five active members of Japan's popular culture lovers community in Yogyakarta, the search for these creation then shows two things, namely the power of knowledge about Japan that circulated strongly in Indonesia, and the Indonesian context used to contrast Japan. In the final analysis, the search for the meaning-making process on Japan‟s image by their narration, the absence of Indonesia in their language was analyzed with the formation of final interpretant. It is seen that Indonesia is positioned inferior with Japan in two forms, namely the abduction of Japanese icon and the process of legitimizing utopia over the Japanese law. At the end of this research, two phenomena can be concluded in connection with the presense of Japan in Indonesia. First, Indonesia is a country which undergoes a massively spreading knowledge of Japan. Second, Indonesia as a country that also experienced the repression of modernity selected Japan as a new signifier.

Keywords: Japanese television films, Japan pop culture, Umberto Eco, interpretation, possibe-world, final interpretant

vii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

HALAMAN MOTTO

The visitors to the world anime journeys across the boundaries of time and space, through mysterious realms and epic histories, through the lives of the characters who laugh and cry and dream, through emotions and experiences too profound for words… and then gently back to reality, carrying priceless and encouraging echoes of the message of hope, which promises:

“THE FUTURE WILL BE GLORIOUS, if only we remember what is truly important and persevere no matter what… It is hard to maintain something divine in this world; it is easy to forget. ANIME SERVES TO REMIND”

Eri Izawa, The Romantic, Passionate Japanese in Anime: A Look at the Hidden Japanese Soul dalam Timothy J. Crag. JAPAN POP! Inside the World of Japanese Popular Culture (New York: M.E.Sharpe. Inc., 2002)

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Pengerjaan tesis ini bagi saya bukanlah sekedar pengalaman akademisi semata, namun juga menciptakan kedirian baru dalam dunia yang selama ini memfanakan pandangan saya. Di sini lah saya mensyukuri pilihan saya untuk melanjutkan pembelajaran di dunia yang baru. Di sini saya diarahkan untuk tidak hanya berakting sebagai peneliti, tetapi juga menyelami segala pengalaman ke-Jepang-an yang tak sadar selalu ada dalam diri. Bahkan, keberlanjutan penyelaman dunia semiotika justru menyeret saya masuk ke palung terdalam dunia yang saya geluti selama ini. Semua ini tidak bisa terlepas dari segala kehadiran dan bantuan. Terima kasih sebesar-besarnya kepada teman-teman di dunia Jepang-jepangan, Sastra Jepang, maupun segala komunitas yang mengorbit di sekitarnya – yang tak mungkin disebut satu per satu – atas segala pengalaman dan penerimaan. Terima kasih juga kepada keluarga saya sendiri yang selalu memberikan pengertian dan harapan. Terima kasih kepada teman-teman IRB USD yang selalu tidak pernah berhenti membuat iri dengan berbagai keanehan pengetahuannya. Terima kasih kepada Romo Banar yang selalu berusaha mengenalkan saya pada wilayah-wilayah baru yang sebelumnya kabur, dan juga Pak Nardi yang memancing saya untuk melakukan petualangan intelektual ini. Kepada dosen-dosen yang lain, Romo Budi, Romo Bas, Mbak Katrin, Pak Pratik, Pak Tri, dan Mbak Ita, terima kasih atas segala ilmu yang menyempurnakan ini semua. Kepada orang-orang lain yang selalu ber-sliwer-an di kampus, Mbak Desi, Pak Mul, Mbak Dita, teman perpus dan workstation, serta semua di KBI dan LB, terima kasih atas kehangatan sapaan yang selalu mencerahkan. Tak lupa saya ucapkan terima kasih yang teramat sangat kepada orang-orang yang (pernah) selalu menemani saya dalam berpetualang dari satu tempat ke tempat yang lain, petualangan untuk menghindari kebosanan yang sama setiap malam. Terakhir, dan yang paling penting, terima kasih kepada Tuhan yang serba Maha, karena ke-selow-an-Nya yang selalu memberikan berbagai pengalaman kekagetan, kesakitan, kebahagiaan, dan membukakan seribu satu jalan menuju masa depan.

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...... i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ...... ii

Halaman Pengesahan ...... iii

Pernyataan Keaslian Karya ...... iv

Lembar Persetujuan Karya Ilmiah ...... v

Abstrak ...... vi

Abstract ...... vii

Halaman Motto...... viii

Kata Pengantar ...... ix

Daftar Isi ...... x

Daftar Figur ...... xiii

Daftar Gambar ...... xiii

Daftar Tabel ...... xiii

Daftar Lampiran ...... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Tema Penelitian ...... 14

1.3 Rumusan Masalah...... 14

1.4 Tujuan Penelitian ...... 15

1.5 Manfaat Penelitian ...... 15

1.6 Tinjauan Pustaka...... 17

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1.6.1 Jepang dan ke-Jepang-an (Japaneseness) yang Dinamis ...... 18

1.6.2 Anime, , Dorama, dan Media yang Memanggil

Pembaca ...... 20

1.6.3 Kehidupan Komunitas Pecinta Budaya Jepang

di Indonesia...... 24

1.7 Kerangka Teoritis ...... 25

1.7.1 Menelusuri Jejak, Membentuk Dunia Baru ...... 30

1.7.2 Possible World sebagai Strategi Penciptaan Aktualitas ...... 38

1.7.3 Penelusuran dengan Abduksi...... 39

1.8 Metode Penelitian ...... 44

1.9 Sistematika Penulisan ...... 45

BAB II. USAHA PENCIPTAAN JEPANG DI INDONESIA ...... 48

2.1 Orbit Jepang ...... 50

2.1.1 Sejarah Film Jepang sebagai Budaya Populer Tandingan ...... 51

2.1.2 Era Televisi dan Reproduksi Ideologis ...... 60

2.1.3 Menyiarkan Budaya Populer, Menciptakan Jepang ...... 70

2.1.3.1. Menumpang Amerika ...... 73

2.1.3.2. “Membantu” Asia Tenggara ...... 76

2.2 Penyiaran ala Jepang: dari Dipaksakan hingga Didambakan ...... 79

2.2.1 Ingatan Terjajah dalam Hiburan ...... 80

2.2.2 Kembalinya Jepang ke Indonesia ...... 86

2.2.3 Membangun Mimpi dalam Rutinitas Televisi ...... 71

xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2.3 Kesimpulan: Real-World yang Tak (Akan) Sampai ...... 98

BAB III. BERKENALAN DENGAN JEPANG BARU ...... 100

3.1 Menjadi “Jepang” sedari Kecil ...... 101

3.1.1 Berjabat Tangan dengan Jepang ...... 105

3.1.2 Kehangatan dalam Keaktifan di Dunia Jepang ...... 108

3.1.3 Mengidentifikasi dan Terus Menanti ...... 112

3.2 (Pe)nilai Film Televisi Jepang ...... 116

3.2.1 Not Impossible World: Teknologi, Kota, dan Sejarah ...... 117

3.2.2 Shinka: Pantang Menyerah, Disiplin, dan Kekerabatan ...... 124

3.3 Kesimpulan: Mereka(?) dan Kita-Indonesia ...... 134

BAB IV. MENCARI POSSIBLE-WORLD JEPANG,

MENEMUKAN INDONESIA ...... 136

4.1 Gerbang Masuk pada Film: Mempercayai Jepang yang Mungkin ..... 138

4.2 Hidup sebagai Jepang ...... 159

4.2.1. Dunia Kepercayaan ...... 176

4.2.2. Dunia Hasrat ...... 180

4.2.3. Dunia Kewajiban ...... 182

4.2.4. Tujuan dan Rencana yang Dijalankan Karakter ...... 184

4.2.5. Mimpi dan Angan milik Karakter ...... 187

4.3 Orang Jepang yang Sedang Menyikapi Indonesia ...... 190

BAB V. PENUTUP ...... 216

DAFTAR PUSTAKA ...... 225

xii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Daftar Figur

Figur 1. Trikotomi Peircean ...... 31

Figur 2. Dynamic Object sebagai penghubung Isi dan Ekspresi ...... 33

Figur 3. Perbandingan properti Dunia Digimon dan Dunia Jepang ...... 147

Daftar Gambar

Gambar 1. Stasiun Fuji TV dalam anime Digimon Adventure 1

dan dunia aktual ...... 144

Gambar 2. Kakuranger dan Ninninger dalam kostum ninja ...... 165

Daftar Tabel

Tabel 1. Data Possible State of Affairs ...... 139

Tabel 2. Data Possible Individual ...... 160

Tabel 3. Data Possible Course of Events ...... 172

Tabel 4. Data Propositional Attitudes ...... 194

Daftar Lampiran

Lampiran 1. Protokol Wawancara ...... 231

xiii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada 2012, saya dikagetkan dengan adanya sebuah benda baru yang berdiri di ujung jalan Malioboro 1 , tepat berada sebelum perempatan nol kilometer. Benda tersebut adalah sebuah torii, yaitu gerbang masuk kuil Shinto atau Buddha yang biasanya merupakan representasi dari kebudayaan Jepang atau China. Bentuk gerbang seperti ini biasanya saya dapati di depan tempat-tempat ibadah agama

Buddha ataupun di depan daerah pecinan di berbagai tempat, bukan di ujung jalan umum di pusat kota. Kehadiran torii di tempat yang tidak biasanya tersebut tentu saja menjadi ketertarikan tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta, sehingga selama satu bulan gerbang tersebut menjadi objek foto baru yang laris di tengah kepadatan jalan

Malioboro.

Kehadiran benda baru tersebut ternyata merupakan bagian dari rangkaian acara

Jogja Japan Week. Acara ini adalah rangkaian kegiatan yang diadakan setiap dua

1 Jalan Malioboro adalah salah satu jalan utama di Yogyakarta yang seringkali menjadi simbol pariwisata. Orang mengidentikkan Yogyakarta salah satunya melalui keberadaan jalan ini.

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

tahun sekali untuk memperingati hubungan sister city2 antara kota Yogyakarta,

Indonesia, dan kota Kyoto, Jepang. Acara ini pertama kali diadakan secara besar- besaran pada 2010 sebagai peringatan 25 tahun hubungan sister city kedua kota.

Keseluruhan rangkaian acara ini menampilkan berbagai kebudayaan dari Indonesia, atau Yogyakarta khususnya, dengan berbagai kebudayaan Jepang. Dengan rangkaian panjang semacam itu, tajuk pertukaran kebudayaan tentu adalah hal yang tepat.

Yang kemudian menggelitik saya lebih lanjut melalui adanya rangkaian acara tersebut adalah adanya kegiatan street cosplay selama beberapa jam di jalanan

Malioboro. Cosplay merupakan singkatan dari Costume Play yang dalam budaya

Jepang digunakan untuk menggambarkan permainan kostum yang dilakukan untuk meniru berbagai tokoh fiksi, baik tokoh dalam anime, manga, tokusatsu3, maupun kreasi fiksi orisinil seseorang yang mengambil ide dari realitas masyarakat seperti seragam sekolah (seifuku) Jepang. Dalam berbagai acara kebudayaan Jepang, cosplay biasanya dihadirkan sebagai sebuah kompetisi yang melihat seberapa akurat peniruan tokoh-tokoh fiksi dilakukan. Penilaian biasanya bisa berangkat dari akurat tidaknya kostum yang dibuat dan dikenakan, ataupun bisa berangkat dari akurat tidaknya kepribadian dan gaya tokoh fiksi tersebut dihadirkan oleh cosplayer.4 Selain dalam

2 http://www.pref.kyoto.jp/en/01-04-02.html, diakses pada 25 Mei 2015 3 Anime adalah istilah yang digunakan untuk menyebut film animasi atau kartun Jepang. Kata ini diambil dari pelafalan kata animation dalam bahasa Inggris. Manga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut komik Jepang. (special-effect) adalah kata yang digunakan untuk menyebut film-film Jepang yang menggunakan efek-efek visual. 4 Istilah yang digunakan untuk menyebut para pelaku cosplay. Pada perkembangannya, istilah ini tidak hanya digunakan untuk menunjuk orang-orang yang sedang melakukan cosplay¸tetapi juga biasa untuk menunjukkan kelompok atau komunitas yang memiliki kesamaan hobi cosplay.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

bentuk kompetisi, cosplay juga biasanya dihadirkan dalam bentuk cosplay cabaret, yaitu bentuk penampilan drama diatas panggung yang dilakukan oleh beberapa orang dengan menampilkan gambaran cerita tokoh fiksi yang mereka bawa melalui penggunaan kostumnya.

Konsep street cosplay sendiri merupakan konsep yang sedikit berbeda dengan konsep dua penampilan cosplay di atas. Ketika dua konsep diatas merujuk pada penampilan cosplay yang dilakukan diatas panggung tertentu yang berjarak dengan penontonnya, konsep street cosplay membawa para cosplayer hadir di tengah penontonnya dan menghapus jarak yang ada antara penampil dan penonton. Kegiatan dengan konsep seperti ini biasanya menuntut para cosplayer senantiasa membawa dan menampilkan gaya dan kepribadian dari tokoh fiksi yang mereka tiru selama waktu yang telah ditentukan (biasanya beberapa jam) dan berinteraksi langsung dengan orang-orang yang mereka temui di arena (biasanya berupa jalan atau tempat umum).5 Konsep ini meminta para cosplayer tidak lagi tampil di dalam suatu arena kegiatan tertutup yang berisi orang-orang dengan pengetahuan akan budaya seperti itu, tetapi sudah harus menampilkan diri mereka di tengah masyarakat umum yang tidak semuanya memiliki pemahaman akan budaya tersebut.

Sama seperti kehadiran torii yang diterima di ujung “Malioboro”, hal yang menarik untuk dilihat dari adanya kegiatan street cosplay tersebut adalah sisi

5 Konsep ini berangkat dari daerah Akihabara di Jepang, yang dikenal sebagai pusat dari komunitas- komunitas hobi di Jepang, termasuk salah satunya adalah komunitas cosplay. Di daerah ini, para cosplayer sudah tidak segan lagi untuk berkostum ataupun bersikap sebagai tokoh fiksi yang mereka representasikan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

pengalaman dan alasan para cosplayer tersebut menampilkan dirinya dan yang kemudian diterima di tengah masyarakat di Malioboro. Entah demi kepentingan kompetisi itu saja, atau menjadikannya sebagai ajang berekspresi dan pembuktian personal dan komunitasnya, satu hal yang pasti adalah mereka tidak merasa segan untuk berpenampilan “berbeda” di tengah masyarakat umum di Malioboro tersebut.

Kata “berbeda” disini bukan dalam arti mereka membedakan diri secara eksklusif dengan masyarakat lainnya, tetapi lebih menekankan pada berbeda melalui penghadiran sosok fiksi di tengah realitas sekitarnya.

Hal yang sama dengan fenomena di atas juga saya dapati ketika melihat karnaval ulang tahun Yogyakarta dalam rangkaian kegiatan Jogja Java Carnival 2010.

Kegiatan karnaval ini berlangsung pada 16 Oktober 2010 di sepanjang jalan

Malioboro dengan diikuti oleh berbagai macam komunitas yang ada di Yogyakarta.

Saat itu, saya mendapati seorang teman yang ikut dalam karnaval dengan mengenakan kostum tokoh sebuah anime. Dari banyaknya komunitas yang ikut, karnaval ini memang hanya melibatkan satu komunitas pecinta budaya Jepang, yaitu komunitas Atsuki J-Freak. Kehadiran satu komunitas pecinta budaya Jepang dalam karnaval ini kemudian saya lihat sebagai bentuk penerimaan masyarakat Yogyakarta terhadap komunitas semacam ini. Komunitas-komunitas pecinta budaya Jepang ini tidak lagi merupakan komunitas yang secara eksklusif terpisah dengan komunitas lain atau masyarakat pada umumnya di Yogyakarta. Hal ini menandakan, penghadiran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

sosok fiksi melalui kegiatan cosplay yang mereka sering lakukan tersebut pun telah diterima menjadi satu sisi masyarakat.

Penerimaan masyarakat terhadap bentuk ekspresi kelompok pecinta budaya

Jepang ini pun mulai terlihat dengan banyaknya pembahasan mengenai kelompok- kelompok ini melalui berbagai media, baik majalah maupun media sosial di internet.

Beberapa majalah berskala nasional yang memiliki rubrik khusus untuk membahasnya adalah Anima, Ultima, Animonstar, dan J-Pop. Bahkan dalam majalah

Animonstar selalu ada rubrik yang membahas para cosplayer bertaraf nasional maupun internasional. Cosplayer bertaraf nasional maupun internasional yang dimaksud di sini adalah para cosplayer yang telah berhasil memenangkan berbagai kompetisi cosplay tingkat nasional dan internasional. Salah satu kompetisi yang diminati di Indonesia adalah CLAS:H (Cosplay Live Action Show: Hybrid)6, yaitu sebuah kompetisi cosplay yang diadakan di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan Bandung. Melalui kerjasamanya dengan Tokyo Game Show, para pemenang dari kompetisi ini akan diberangkatkan ke Jepang untuk mengikuti ajang cosplay internasional dalam rangkaian Tokyo Game Show.

Mulai tahun 2015 ini, CLAS:H bekerjasama dengan WCS (World Cosplay

Summit) dalam memberikan fasilitas bagi para pemenangnya, seperti salah satunya adalah keikutsertaan dalam acara WCS. Melalui acara-acara seperti ini, para cosplayer tidak lagi menjadikan kegiatan mereka hanya sebagai ajang berekspresi

6 Lihat laman www.clashcosplay.com

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

semata. Mereka dapat menjadikan kegiatan mereka itu sebagai ajang pembuktian diri untuk diakui di mata masyarakat melalui kemenangan di berbagai kompetisi, serta melalui kesempatan untuk ikut serta di ajang internasionalnya. Bahkan beberapa nama yang sudah menjuarai berbagai kompetisi internasional pun menjadi semacam artis tersendiri yang diundang untuk jadi bintang tamu di ajang coslay berbagai negara lainnya.

Fenomena-fenomena seperti ini biasanya dilandasi oleh dua faktor, yakni faktor yang berangkat dari diri sendiri maupun faktor dari luar.7 Biasanya faktor internal yang mendorong mereka berupa motif-motif individu untuk berekspresi, kebutuhan akan tempat untuk keluar dari kesibukan sehari-hari, ataupun pemenuhan hobi dan kesenangan pribadi. Faktor eksternal yang menarik orang-orang ini berupa pengaruh budaya populer Jepang dan terutama peran-peran media massa dalam menghadirkannya.

Media jelas merupakan faktor kuat pembentuk fenomena ini, dan salah satunya adalah televisi. Media televisi berkembang pesat pada masa pemerintahan Soeharto, dan pertama kali dihadirkan pada tahun 1962 dengan hanya satu kanal, yaitu TVRI

(Televisi Republik Indonesia). Pada pertengahan tahun 1970-an, Soeharto membuat peraturan terkait penyebaran televisi, yaitu untuk mewajibkan adanya minimal satu televisi di setiap desa. Kebijakan ini menjadi hal penting dalam penghadiran pengaruh budaya populer Jepang, karena masyarakat Indonesia telah lebih mudah

7 Data-data ini merupakan hasil analisis beberapa penelitian yang masuk dalam tinjauan pustaka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

menggapai kehadiran televisi ketika serial Doraemon mulai ditayangkan secara rutin pada tahun 1990.8

Selain media televisi, satu lagi yang berpengaruh pada perkembangan budaya populer Jepang di Indonesia adalah perkembangan teknologi informasi. Setiap penggemar budaya populer Jepang dapat dengan mudah mengakses internet untuk mengunduh film-film Jepang atau bahkan menontonnya di waktu bersamaan dengan penayangan film tersebut di televisi Jepang. Bahkan tidak jarang beberapa anggota komunitas pecinta budaya Jepang memiliki koleksi data film Jepang yang sangat lengkap dari hasil pengunduhannya ataupun bertukar koleksi dengan teman sesama penggemar. Beberapa anggota komunitas tersebut bahkan seringkali menghabiskan waktu setiap harinya berhadapan dengan komputer demi mengunduh segala macam film Jepang dengan lebih cepat yang hanya berselang satu atau dua jam dari waktu penayangannya di televisi Jepang. Tidak sedikit juga anggota komunitas yang tidak hanya bersosialisasi dengan teman sesama penggemar lainnya, tetapi juga aktif dalam forum-forum media sosial nasional maupun internasional. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini tidak lain merupakan pengaruh dari konsumsi mereka terhadap media- media yang membawa budaya populer Jepang.

Jika dilihat dari adanya dua jenis faktor (penarik dan pendorong) bagi pecinta budaya Jepang yang telah disebut di atas, maka dapat dianalogikan bahwa faktor

8 Saya S. Shiraishi. Doraemon Goed Abroad dlm Craig, Timothy (ed). Japan Pop! Inside the World of Japanese Populer Culture. 2000. New York: M.E.Sharpe Inc. Hlm 300

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

pendorong tidak bisa muncul ketika tidak ada faktor penariknya, begitu juga sebaliknya. Hal yang menarik untuk dilihat di sini adalah penawaran yang dilakukan oleh budaya populer Jepang yang menjadi faktor penarik bagi penerimanya di

Indonesia. Dengan ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari penawaran di dalam media-media yang membawa budaya Jepang di dalamnya tersebut. Jika dibandingkan dengan kehadiran internet yang baru mudah dijangkau di akhir tahun

1990-an, maka kehadiran media-media film Jepang di televisi memiliki kedekatan yang lebih di tengah masyarakat. Hal ini ditambah dengan munculnya televisi-televisi swasta pada periode 1990-an yang sejak awal berdirinya telah aktif menayangkan film-film yang diimpor dari Jepang. Film-film Jepang yang dihadirkan televisi menjadi pintu masuk pengaruh budaya Jepang dalam dinamika penggemar- penggemar budaya populer Jepang ini.

Tiga jenis film yang sering mendapat tempat intim di tengah penggemar- penggemar budaya populer Jepang di Indonesia adalah dorama 9 , anime, dan tokusatsu. Masing-masing jenis tersebut jelas akan memberikan penawaran yang berbeda-beda. Ambil satu contoh yang telah sejak lama diterima di Indonesia, yaitu

Doraemon. Doraemon adalah anime yang memberikan narasi mengenai kehidupan beberapa anak sekolah dasar di Jepang. Narasi anime ini berputar di sekitar tokoh

Nobita Nobi yang hidup bersama robot kucing dari masa depan bernama Doraemon.

Menurut Saya Shiraishi, anime ini menawarkan banyak hal yang membuatnya dapat

9 Dorama adalah istilah yang digunakan untuk menyebut film-film drama Jepang. Beberapa dorama yang ditayangkan di Indonesia adalah Oshin, Friends, Strawberry on Shortcake.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

disukai tidak hanya oleh anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Bagi anak-anak, narasi yang berputar di sekitar Nobita dapat terlihat sebagai representasi dari kehidupan anak-anak yang menontonnya. Nobita adalah anak kelas 5 sekolah dasar yang menghadapi banyak permasalahan, baik dari orang tua, sekolah dan guru-gurunya, dan juga dari teman-temannya. Doraemon datang sebagai jawaban bagi permasalahan-permasalahan Nobita melalui alat-alat canggih dalam kantong ajaibnya.

Permasalahan yang dihadapi Nobita merupakan masalah-masalah umum yang juga dihadapi oleh anak-anak sekolah dasar yang menontonnya, sehingga keseluruhan narasi dalam anime ini dapat memberikan kesenangan tersendiri bagi anak-anak yang menontonya. Bagi orang dewasa, kehadiran narasi Doraemon di tengah-tengah mereka dapat memberikan harapan bagi perkembangan teknologi di dunia nyata.10

Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa anime Doraemon memberikan penawaran yaitu kesenangan bagi anak-anak dan juga harapan bagi orang dewasa. Ulasan yang dilakukan Saya Shiraishi tersebut menghadirkan unsur intrinsik dalam anime Doraemon yang sekiranya dapat menarik penontonnya untuk terus menikmati dan mengikutinya. Unsur intrinsik merupakan hal umum yang bisa didapat dari pembacaan terhadap film-teks ketika menyandingkannya dengan kehadiran pembacanya. Lain halnya jika yang ingin dicari adalah alasan pembaca untuk menikmati dan mengikuti film-teks, karena alasan pembaca tersebut pasti merupakan hal personal yang berangkat dari pengalaman hidup sang pembaca di

10 Ibid. Hlm 289-290

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

kesehariannya. Jika itu yang ingin dilihat, maka analisis semacam yang dilakukan

Saya Shiraishi pada anime Doraemon berada di wilayah yang lain.

Ada dua alasan kenapa saya menganggap analisis semacam itu kurang dapat menjawab kegelisahan saya. Pertama, dari sisi pembacanya, penelitian yang ditujukan untuk mencari alasan ketertarikan pembaca harus dilakukan melalui wawancara yang mendalam terhadap subjek pembaca. Pembaca yang diwawancara harus diajak untuk mengeluarkan alasan yang sangat personal dan subjektif, dan hal tersebut harus dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari yang dialami subjek. Di tahap ini analisis Doraemon diatas dirasa tidak menggunakan wawancara yang mendalam untuk mengetahui alasan yang sangat personal dan subjektif dari pembacanya.

Dengan kata lain, ulasan mengenai alasan ketertarikan penonton semacam itu pun masih terlalu umum, dan merupakan alasan yang mungkin dapat dikeluarkan oleh orang-orang dari negara mana pun yang menikmati anime tersebut.

Alasan yang kedua adalah film-teks yang diangkat berupa anime yang hanya diterjemahkan dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Film-teks yang diangkat ini adalah film yang dibuat oleh orang Jepang, di Jepang, dan otomatis juga awalnya ditujukan untuk orang Jepang, sehingga di dalamnya pasti terdapat hal-hal yang tidak relevan dengan konteks kehidupan sehari-hari penonton di luar Jepang. Misalnya saja bentuk kamar tidur Nobita yang menggunakan futon (tempat tidur gulung), atau sistem sekolahannya yang mengenakan baju bebas. Hal-hal yang tidak relevan itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

terlihat kontras dengan kesimpulan analisis yang mengatakan bahwa kehidupan

Nobita dekat dengan kehidupan anak-anak yang menontonnya.

Supaya tidak hanya terjebak pada penelitian di wilayah ini, penelitian untuk mengetahui penawaran dalam film televisi yang dapat menarik pembacanya harus berangkat dari menyandingkan film Jepang tersebut dengan konteks hidup khas dari subjek pembaca. Ketertarikan pembaca untuk terus menonton dan mengikutinya lebih lanjut tidak dapat dilihat dari sisi film-teks (faktor eksternal) saja. Penelitian perlu beranjak pada faktor internal yang menyebabkan pembaca merasa tertarik dan kemudian mengikuti film tersebut, bahkan sampai melakukan cosplay dengan kostum-kostum dari tayangan-tayangan film Jepang. Pengaruh dari film dari Jepang tentu tidak akan diterima begitu saja, bahkan dirayakan melalui berbagai komunitas dan kegiatan, jika tidak ada dorongan untuk menerima terlebih dahulu.

Seperti telah diulas sebelumnya, dorongan untuk menerima (faktor internal) ini biasanya disimpulkan berupa motif-motif individu untuk berekspresi, kebutuhan akan tempat untuk keluar dari kesibukan sehari-hari, ataupun pemenuhan hobi dan kesenangan pribadi. Kekurangan dari kesimpulan semacam ini terdapat pada penempatannya di konteks Indonesia yang khas. Penempatan di konteks Indonesia di sini menjadi penting karena dorongan untuk menerima dan bahkan mereproduksi melalui kegiatan atau komunitas tidak akan terjadi jika tidak berangkat dari konteks di mana orang-orang ini hidup. Dalam artian, pertanyaan-pertanyaan yang masih bisa digali dari kesimpulan semacam itu misalnya: kenapa orang-orang ini memilih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

berekspresi dengan cara seperti ini, dan bukan dengan cara yang lain? Kesibukan atau keseharian seperti apa yang membuat orang-orang ini perlu keluar ke arah bentuk kegiatan seperti ini? Atau, apa yang menyebabkan mereka hobi dan senang terhadap budaya populer Jepang ini, dan bukan budaya populer yang lain? Kenapa bentuk budaya populer ini menarik bagi orang-orang Indonesia ini?

Dari beberapa pertanyaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pertanyaan utama sekiranya berupa: apa yang dilihat para konsumen dari negaranya,

Indonesia, yang dapat menyebabkan kehadiran budaya populer Jepang begitu dirayakan? Pertanyaan ini adalah jenis pertanyaan untuk mencari tahu kondisi seorang penonton ketika menerima budaya populer Jepang tersebut. Kondisi yang dicari tersebut tentu saja kondisi personal setiap penerimanya yang hidup dalam keseharian di konteks Indonesia. Dengan kata lain, kondisi tersebut adalah konteks

Indonesia.

Keinginan saya untuk melakukan penelitian semacam ini juga berangkat dari rasa penasaran yang timbul dari fenomena perubahan penerimaan Jepang di Indonesia.

Dulu imaji Jepang di benak orang Indonesia merupakan imaji yang cenderung negatif yang ditimbulkan karena sejarah kolonialisme Jepang di Indonesia dan juga beberapa peristiwa setelahnya seperti peristiwa Malari. Beberapa tahun terakhir, semenjak perkembangan media televisi dan teknologi internet, imaji Jepang di benak orang

Indonesia sudah menjadi imaji negara maju yang bisa dijadikan acuan. Bahkan dalam benak penggemar budaya populer Jepang di Indonesia, imaji Jepang diagung-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

agungkan dan dirayakan melalui bentuk-bentuk ekspresi mereka seperti cosplay dan penerimaan dorama, anime, manga, tokusatsu secara intens dalam keseharian mereka.

Bentuk penerimaan dan perayaan budaya populer ini juga lebih lanjut telah diterima di tengah masyarakat dan bahkan diakui oleh pemerintah melalui acara-acara bertajuk kebudayaan Jepang.11

Tujuan ini dapat dicapai dengan wawancara mendalam yang berangkat dari analisis film-teks yang pembaca anggap mengawali atau membangun kecintaan mereka terhadap Jepang. Hal ini perlu dilakukan karena pembaca diandaikan sebagai subjek yang aktif dalam melakukan pemaknaan yang khas pada film Jepang yang dia hadapi. Dengan membandingkan unsur-unsur film-teks dengan variasi pemaknaan yang dilakukan pembaca, maka kekhasan pembaca Indonesia dalam memaknai film- teks bisa didapatkan. Perbedaan penerimaan yang dilakukan oleh pembacanya akan menjadi data penting untuk melihat alasan mendalam penonton yang terkonteks di

Indonesia, dan lebih jauh juga berguna untuk menganalisis terbentuknya pembandingan superior-inferior Jepang-Indonesia. Hal ini dapat diartikan bahwa penelitian ini ditujukan untuk mencari tanda-tanda dari jawaban responden yang mencerminkan kondisi atau konteks khas Indonesia yang mengawali mereka dalam melakukan penerimaan.

11 Beberapa acara bertajuk kebudayaan Jepang yang berskala nasional antara lain: festival Ennichisai 2015, Jakarta Japan Matsuri, Popcon Asia 2015, atau Anime Festival Asia: Indonesia 2015 (AFA:ID 2015). Beberapa acara kebudayaan Jepang yang tahun ini diadakan di Yogyakarta antara lain: Okaeri Matsuri 2015 yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa D3 Jepang Universitas Gadjah Mada (Himadije UGM), Jogja-Japan Week 2015 yang diadakan oleh Dinas Pariwisata, ataupun Mangafest 2015 yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jepang Universitas Gadjah Mada (Himaje UGM).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

1.2 Tema Penelitian

Tema yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Pembentukan Interpretasi atas

Jepang di Indonesia dalam Konsumsi Budaya Populer Jepang” melalui kajian terhadap proses pembacaan film-teks Jepang oleh pencinta budaya populer Jepang di

Yogyakarta.

1.3 Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, kegelisahan utama saya adalah mengenai alasan mengapa interpretasi atas Jepang di Indonesia menimbulkan fenomena seperti ini? Dengan kata lain, pertanyaan yang mendasarinya adalah: Indonesia seperti apa yang memberangkatkan adanya kemungkinan terjadinya fenomena seperti ini? Untuk menjadi panduan terurut dalam analisis dan pencarian konteks Indonesia pada pembaca film televisi Jepang, saya merumuskan empat pertanyaan yang secara runtut akan mengarahkan saya pada jawaban pertanyaan di atas:

1. Pengetahuan tentang Jepang apa saja yang beredar pada sejarah Indonesia

yang memungkinkan untuk dibawa pada kegiatan membaca film-teks oleh

pembaca film televisi Jepang?

2. Bagaimana film televisi Jepang yang dihadapi pembaca memungkinkan

adanya kebutuhan akan pengetahuan tertentu untuk dapat dibaca?

3. Bagaimana pembentukan interpretasi atas Jepang tercipta melalui peletakan

pengetahuan pembaca pada teks film?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

4. Bagaimana Indonesia disiratkan atau dibayangkan melalui narasi pembaca

setelah mengalami proses pembentukan interpretasi atas Jepang?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mencari konteks

Indonesia tertentu yang memberangkatkan kecintaan pembaca film televisi terhadap

Jepang, yaitu:

1. Menguraikan pengetahuan tentang Jepang yang tersebar di Indonesia yang

memungkinkan menjadi penyebab keintiman pembacaan film televisi Jepang.

2. Menelusuri tanda-tanda dalam film-teks yang memungkinkan adanya

kebutuhan pengetahuan di luar film-teks itu dalam pembacaannya.

3. Mencari interpretasi atas Jepang melalui kedekatan pembaca terhadap film

televisi Jepang.

4. Mencari konteks Indonesia yang senantiasa tersingkirkan dari permukaan

oleh pengetahuan-pengetahuan lain dalam membaca film televisi Jepang.

1.5 Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan arah baru dalam penelitian efek media bagi penerimanya. Arah baru ini bermanfaat supaya penelitian mengenai efek media dalam kaitannya dengan penerimanya tidak hanya berhenti pada pembahasan medianya (intrinsik) saja, ataupun hanya sampai ke relasi politik- ekonomi yang membuat film tersebut hadir. Penelitian juga harus mempertimbangkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

konteks lokal dan kesejarahan personal para penerimanya, sehingga bisa mendapatkan hasil yang berbeda-beda sesuai dengan konteks lokal tempat penelitian itu berada. Hanya dengan bentuk itu penelitian mengenai efek media dapat bermanfaat kepada masyarakat di luar lingkaran akademisnya secara terperinci dan khusus di suatu wilayah tertentu. Hal ini memberi kontribusi bagi penelitian efek media selama ini yang memiliki kecenderungan terlalu umum dan kecenderungan pembuatan kesimpulan yang serupa di mana pun penelitian itu dilakukan.

Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat bagi perkembangan kajian Jepang di

Indonesia. Manfaat ini didapatkan karena penelitian yang dilakukan selama ini berkisar di penelitian seputar budaya populer Jepang – baik secara intrinsik maupun melihat komunitas yang menerimanya dan mereproduksinya. Ataupun penelitian seputar pembandingan budaya Indonesia dengan budaya Jepang. Bahkan penelitian secara mendalam suatu budaya Jepang. Penelitian untuk melihat Indonesia melalui budaya Jepang yang diterima di Indonesia masih minim dilakukan.

Secara praksis, penelitian ini bermanfaat bagi komunitas pecinta budaya Jepang karena keprihatinan terhadap kecintaan anggota-anggota komunitas ini seringkali muncul tetapi tidak dapat dibahasakan. Ada dua keprihatinan yang paling sering muncul, yaitu keprihatinan terhadap Indonesia, dan keprihatinan terhadap kecintaan yang berlebihan terhadap Jepang. Saya berharap penelitian ini dapat memberi bahasa baru bagi komunitas-komunitas ini secara spesifik dan seluruh pecinta budaya Jepang secara umum dalam membahasakan apa yang menjadi keprihatinan mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

Di sisi lain, penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat secara umum supaya masyarakat dapat lebih kritis dalam menerima dan mengonsumsi pengaruh- pengaruh budaya populer di tengah keseharian mereka. Di tengah perkembangan dunia internet, masyarakat dibentuk untuk selalu melakukan kegiatan konsumsi secara aktif. Dengan adanya penelitian ini, saya berharap konsumen budaya populer dapat lebih kritis dalam mengkonsumsi budaya-budaya tersebut dalam berbagai media yang semakin mudah didapatkan. Lebih kritis di sini dalam artian bahwa saya berharap penelitian ini bermanfaat untuk melihat sejauh apa masyarakat pembaca budaya populer tersebut menjadi dan merasakan diri mereka sendiri.

1.6 Tinjauan Pustaka

Karena minimnya penelitian yang bertemakan “Pembentukan Interpretasi atas

Jepang di Indonesia pada Konsumen Budaya Populer Jepang”, saya membagi tinjauan pustaka ini menjadi tiga kategori yang sekiranya merupakan aspek-aspek pembangun tema tersebut. Tiga kategori ini yaitu: (i) penelitian mengenai negara

Jepang sebagai sebuah konsep yang dinamis dan dapat diinterpretasikan secara beragam, yang nantinya juga berhubungan dengan meluasnya pengaruh budaya populer Jepang di berbagai negara yang sekiranya dapat membentuk interpretasi bervariasi; (ii) penelitian mengenai budaya populer Jepang dari sudut pandang teks budayanya sebagai duta di luar Jepang, yang nantinya juga berhubungan dengan bagaimana teks-teks itu diterima dan ditempatkan di tengah komunitas di berbagai tempat; (iii) penelitian mengenai efek budaya Jepang di Indonesia, dan Yogyakarta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

khususnya, yang dilakukan dengan sudut pandang pembentukan komunitas dan ekspresi kecintaan masyarakat Indonesia terhadap Jepang.

1.6.1 Jepang dan Ke-Jepang-an (Japaneseness) yang Dinamis

Ada dua penelitian mengenai Jepang dan pembangunan ke-Jepang-an

(Nihonjinron12) yang sesuai untuk diangkat. Yang pertama adalah penelitian Koichi

Iwabuchi yang berjudul Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese

Transnationalism (2002). Penelitian kedua adalah penelitian Marylin Ivy dalam buku

Discourse of the Vanishing: Modernity, Phantasm, Japan (1995).

Iwabuchi banyak menggunakan paradigma poskolonialisme dengan menghadirkan pembandingan Occident-Orient dan menghadirkan konsep Self-

Orientalism sebagai strategi Jepang dalam membangun ke-Jepang-annya. Ke-Jepang- an harus di-imajinasi-kan13 oleh Liyan (dengan L besar) dan juga oleh masyarakatnya, walaupun secara berbeda. Konsep Self-Orientalism ini disebut sebagai cara Jepang dalam membangun negaranya sendiri, bukan sebagai Occident yang menilai negara lain, atau sekedar Orient yang dinilai oleh negara lain. Jepang menggunakan pembayangan yang dilakukan oleh negara lain untuk membentuk negaranya kemudian menggabungkan (dan terkadang memaksakan) dalam pembayangan masyarakatnya.

12 Menurut Iwabuchi, Nihonjinron adalah genre sastra/tulisan non-fiksi yang berisi teori-teori mengenai “Japaneseness” yang biasanya dibangun dari oposisi biner antara Jepang dengan Barat (terutama Amerika). 13 Iwabuchi banyak menggunakan konsep Imagined Communities karya Ben Anderson.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

Di sisi lain, Ivy lebih banyak menggunakan paradigma psikoanalisa, terutama kaitannya dengan pembentukan fantasi sebagai cara Jepang membangun ke-Jepang- annya. Salah satu program pemerintah yang banyak dikritik adalah Kokusaika 14

(internasionalisasi), yang menandakan bahwa segala yang berada di dalam Jepang harus ditransformasikan dengan teratur sesuai keinginan untuk meng-internasional- kannya (Ivy, 1995: 5). Ivy melihat bahwa program ini, terutama juga masa reproduksi elektris, menjadi pengaruh penting untuk masuk dan melihat bagaimana aspek-aspek

– seperti cerita rakyat, tradisi dan festival, sampai ke upacara-upacara adat – di masyarakat Jepang selalu berdinamika di sekitar isu tersebut.

Yang menjadi kesamaan bagi kedua penelitian ini adalah adanya strategi yang diterapkan Jepang dalam membangun ke-Jepang-annya, baik sewaktu berhadapan dengan Barat maupun berhadapan dengan rangka waktu paska-perang dan paska- modern dan segala fenomena globalnya. Keduanya sama-sama menekankan bahwa strategi semacam ini bukanlah strategi yang secara penuh sadar direncanakan, diatur, dan dijalankan sebelumnya, tetapi sebagai strategi yang muncul ketika Jepang sudah diletakkan berhadapan dengan liyannya. Identitas ke-Jepang-an yang dibangun oleh

Jepang merupakan representasi pertemuannya dengan liyannya, dan ini selalu merupakan hal yang temporer sehingga selalu akan digiatkan terus menerus.

14 Kata ini menjadi penting karena ini yang biasa menjadi sasaran kritik dari peneliti/akademisi seperti Iwabuchi dan Ivy.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

Dalam hubungannya dengan penelitian ini, data-data dalam penelitian- penelitian tersebut dapat memberi posisi yang lebih jelas bagi imaji Jepang yang didapatkan melalui media film televisi. Hal ini berarti bahwa Jepang yang disampaikan melalui media televisi adalah Jepang yang juga di-fantasi-kan oleh masyarakat Jepang sendiri. Sehingga, imajinasi yang dilakukan oleh pecinta budaya

Jepang di Indonesia tidak pernah berupa Jepang secara nyata dan benar, karena

“Jepang” itu sendiri masih terus dikonstruk di negaranya.

1.6.2 Anime, Manga, Dorama, dan Media yang Memanggil Pembaca

Penelitian yang membahas mengenai perkembangan dan pengaruh budaya popular Jepang sudah banyak dilakukan di berbagai tempat. Beberapa penelitian yang sekiranya dapat membantu pendekatan peneliti dalam melihat pengaruh budaya popular Jepang dalam konteks hubungan antar negara, antara lain: Japan Pop! Inside the World of Japanese Popular Culture (2000) yang dieditori oleh Timothy J. Craig;

Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV Drama

(2004) yang dieditori oleh Koichi Iwabuchi; Hip-Hop Japan: Rap and the Paths of

Cultural Globalization (2006) oleh Ian Condry; In Godzilla‟s Footsteps: Japanese

Pop Cultural Icons on the Global Stage (2006) yang dieditori oleh William M.

Tsutsui dan Michiko Ito; JAPANamerica: How Japanese Pop Culture Has Invaded

U.S (2006) oleh Roland Kelts; Popular Culture, Globalization, and Japan (2006) yang dieditori oleh Matthew Allen dan Rumi Sakamoto; Japanese Visual Culture:

Exploration in the World of Manga and Anime (2008) yang dieditori oleh Mark W.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

MacWiliiams; dan Boys‟ Love Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and Cross-

Cultural Fandom of the Genre (2008) yang dieditori oleh Antonia Levi, Mark

McHarry, dan Dru Pagliassotti. Selain penelitian yang sudah berbentuk buku tersebut, ada beberapa penelitian lain yang dipublikasikan dalam bentuk esai lepas, antara lain:

POP POWER: Pop Diplomacy for Global Society oleh Luiz Antonio Vidal Perez;

Soft Sell, Hard Cash: Marketing J-Cult in Asia oleh Brian Moeran dari Department of

Intercultural Communication and Management di Copenhagen Business School.

Secara garis besar, penelitian-penelitian ini memiliki kesamaan dalam tujuan, namun berbeda sudut pandang penelitiannya. Penjelasan yang cukup rapi disampaikan oleh Iwabuchi dalam Feeling Asian Modernities: Transnational

Consumption of Japanese TV Drama (2005). Dalam buku yang dieditori oleh Koichi

Iwabuchi ini terdapat dua poin yang dijadikan alasan atas kebutuhan adanya penelitian ini. Pertama, Koichi Iwabuchi melihat bahwa kajian terhadap tayangan drama di televisi mendapat porsi kurang dibanding dengan kajian budaya populer yang lain, seperti musik dan film populer. Padahal, appropriasi yang dipaksakan di berbagai negara tidak hanya terjadi pada bidang musik dan film populer saja, tetapi juga bidang-bidang yang lain, seperti drama.

Kedua, ia mendapati bahwa kajian terhadap globalisasi budaya (Studies of

Cultural Globalization) pun mulai bias di berbagai tempat, terutama ketika selama ini porsi terhadap kajian globalisasi budaya terlalu besar dalam melihat barat sebagai yang global. Dengan adanya dua alasan itu, ia memulai buku ini dengan beberapa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

pertanyaan: Apa sifat alami dari kekuatan kultural Jepang dan pengaruhnya di beberapa tempat, dan juga kenapa secara sejarah selalu dideterminasi secara lebih?

Bagaimana persamaan atau perbedaan kekuatan dan pengaruhnya ini dibanding dengan “Amerikanisasi” ataupun negara Asia yang kuat juga pengaruh kulturalnya?

Jenis imaji apa, dan juga perasaan kedekatan ataupun keberjarakan seperti apa yang didapat melalui resepsi drama televisi Jepang? Apakah drama Jepang membangkitkan semacam imajinasi transnasional dan refleksi diri terhadap kultur dan lingkungan seseorang?15 Pertanyaan-pertanyaan ini sangat relevan dengan penelitian yang akan saya lakukan, sehingga secara garis saya memposisikan penelitian ini di tengah semesta pertanyaan yang juga dilontarkan Koichi Iwabuchi.

Ia merumuskan beberapa hal: pertama, operasi kekuasaan kultur global (global cultural power) hanya dapat berhasil melalui praktek-praktek lokal (glocalize) melalui reproduksi kultural atau appropriasi pada tingkat lokal. Praktek seperti ini memang melemahkan kekuatan kultur yang transnasionalis itu, namun sekaligus menyebabkannya solid dan kuat di tingkat lokal secara khas. Kedua, salah satu strategi pemasaran global yang dilakukan Jepang adalah dengan menumpang kekuatan media Barat (Amerika) untuk mempromosikan, mendistribusikan, maupun melokalisasikan Jepang di berbagai tempat. Ketiga, Jepang tidak akan berhasil melakukan strategi ini tanpa adanya kerjasama dan penerimaan yang besar dari media lokal (media Asia di pasar Asia.) Ketiga rumusan yang dihasilkan Koichi Iwabuchi

15 Iwabuchi, Koichi, ed. 2004. Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV Dramas. Hong Kong: Hong Kong University Press. Hlm. 5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

ini lebih menekankan pandangan dari atas ke bawah (top-down) dari sebuah struktur penyebaran media transnasional, dan terlihat mengesampingkan dinamika yang terjadi di arus bawah pada pembaca di setiap area nasional tertentu.

Penelitian-penelitian tersebut dapat digunakan dalam penelitian ini untuk melihat cara pendekatan yang dilakukan berbagai peneliti dalam melihat pengaruh budaya populer dari sudut pandang negara non-Jepang yang terkena pengaruh budaya populer Jepang. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan kebanyakan menggunakan kaca mata budaya populer dalam hubungannya dengan globalisasi dan budaya transnasional. Penelitian-penelitian ini menjadi penting karena data-data yang ditampilkan didalamnya dapat membantu untuk menganalisis film-teks yang akan diangkat dalam penelitian saya. Dalam arti, keluasan wacana yang ditampilkan dalam penelitian-penelitian ini dapat menjadi data yang penting untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini.

Di sisi lain, seperti yang sudah dikatakan dalam latar belakang di atas, buku- buku semacam ini cukup kurang dalam membantu peneliti untuk melihat lebih jauh ke dalam konteks Indonesia yang spesifik. Bahkan beberapa essai di dalam buku- buku tersebut, seperti essai oleh Saya Shiraishi dalam buku Japan Pop! Inside the

World of Japanese Popular Culture16 dan Yamila Abraham dalam buku Boys‟ Love

Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and Cross Cultural Fandom of the Genre17,

16 Essai Saya Shiraishi berjudul Doraemon Goes Abroad 17 Essai Yamila Abraham berjudul Boys’ Love Thrives in Conservative Indonesia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

yang secara spesifik berlandaskan penelitian di Indonesia dirasa tetap kurang memadai. Kekurangan tersebut dikarenakan essai tersebut menampilkan hasil yang masih terlalu umum, dan bukan hasil dari sebuah pendekatan wawancara mendalam di suatu tempat terkhusus. Oleh karena itu, peneliti merasa penting untuk menghadirkan beberapa penelitian lain di Indonesia yang menggunakan metode wawancara terhadap penerima budaya popular Jepang.

1.6.3 Kehidupan Komunitas Pecinta Budaya Jepang di Indonesia

Kehidupan komunitas pecinta budaya Jepang – dan bagaimana mereka menanggapi budaya Jepang di tengah kehidupan mereka – telah cukup banyak dilakukan di Indonesia, terutama oleh mahasiswa perguruan tinggi yang memiliki program studi strata 1 Jepang di dalamnya. Beberapa penelitian para mahasiswa

Indonesia, Yogyakarta secara spesifik, yang menggunakan pendekatan wawancara terhadap konsumen budaya popular Jepang antara lain: Penerimaan J-Pop di

Kalangan Anak Muda Jogjakarta (2008) oleh Eka Rahayu Kartini; Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Kemunculan Komunitas Pencinta Budaya Populer Jepang di

Yogyakarta (2009) oleh Prima Nur Cahyaningrum; Makna Aktualisasi Diri Para

Cosplayer di Yogyakarta (2011) oleh Nugrah Nur Saraswati; Kehidupan Otaku di

Yogyakarta sebagai Penggemar Produk Budaya Populer Jepang (2011) oleh Firman

Kurniawan; Fenomena Kemunculan Band-band Lokal Bernuansa Jepang di

Yogyakarta (2011) oleh Sri Wulaningsih; Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang:

Studi Kasus Tiga Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang di Yogyakarta (2012) oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

Galih Harilaning Perdana; Perkembangan Toko Mainan Anime dan Tokusatsu Jepang di Yogyakarta (2013) oleh Heru Widiatmoko; dan Japan Adult Video (Studi Kasus 4

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Penggemar JAV) (2013) oleh Muhammad

Naufal Ridha.

Penelitian-penelitian tersebut memiliki kesimpulan yang tidak jauh berbeda, yaitu adanya faktor internal dan faktor eksternal seperti yang telah dijelaskan di bagian latar belakang di atas. Penelitian-penelitian ini dirasa masih belum cukup dalam menganalisis alasan sebenarnya para penggemar Indonesia ini dalam mereproduksi budaya popular Jepang karena belum melakukan wawancara yang lebih mendalam. Hasil dalam penelitian-penelitian ini masih bisa dilanjutkan untuk melihat pengaruh konteks Indonesia secara spesifik yang dapat menyebabkan budaya popular ini begitu dinikmati dan dirayakan di tengah kehidupan masyarakat terkhusus

Indonesia. Oleh karena itu, data-data hasil wawancara yang sudah diolah dalam penelitian-penelitian ini bisa menjadi data penting untuk ditindaklanjuti.

1.7 Kerangka Teoritis

Teori utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori pembentukan interpretasi dalam analisis teks-wicara 18 atau Possible World oleh

Umberto Eco dalam bukunya yang berjudul The Role of The Reader: Exploration in the Semiotics of Texts (1979) dan The Limits of Interpretation (1991). Dalam buku

18 Istilah teks-wicara ini tidak hanya merujuk pada bahasa atau wicara yang dikeluarkan oleh pembicara, tetapi juga merujuk kepada keluasan semesta teks-wicara berupa teks verbal, teks tertulis seperti karya sastra dan iklan, ataupun media visual seperti film dan komik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

The Limits of Interpretation (1991) Eco melihat bahwa interpretasi terhadap sebuah teks-wicara bukanlah tanpa batas, tetapi justru memiliki batasan-batasan tertentu yang tercipta dari hubungan antara intensi pembicara (intentio auctoris), teks-wicara itu sendiri (intentio operis), dan juga intensi pembaca (intentio lectoris). Ketika sebuah teks-wicara sudah diungkapkan oleh pembicaranya – dan juga intensi pembicaranya sudah terungkap – maka teks-wicara tersebut melayang-melayang di dunia yang dipenuhi oleh berbagai interpretasi dalam membacanya (Eco, 1991: 2). Teks-wicara tersebut telah terlepas dari pembicara awalnya, dan juga terutama dari intensi pembicaranya yang berada pada suatu konteks tertentu. Dengan pandangan seperti ini, anggapan bahwa sebuah teks-wicara dianggap memiliki satu keutuhan makna orisinil yang sudah final adalah hal yang utopis.

Ketika sebuah teks-wicara dapat memicu terciptanya keberagaman interpretasi, maka keberagaman interpretasi tersebut merupakan hal yang berada di antara teks- wicara dan penerimanya. Dengan kata lain, penerima teks-wicara tersebut merupakan pihak yang sangat menentukan hadirnya keberagaman interpretasi. Umberto Eco mengenalkan keberagaman interpretasi tersebut melalui istilah Possible World. Istilah ini dihadirkan Eco karena Possible World tersebut hanya dapat tercipta ketika berhadapan dengan Real World di mana penerima teks-wicara itu berada. Jadi, Eco menganggap bahwa ada dua dunia yang hadir pada kegiatan penerimaan teks-wicara, yaitu Possible World dan Real World.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

Untuk membicarakan dua dunia ini, Eco mengajak untuk melihat keduanya terlebih dahulu sebagai dunia yang dikonstruk secara kultural. Real World adalah dunia logika, dunia tempat dua tambah dua sama dengan empat. Dunia ini merupakan dunia yang diterima secara benar dan salah dari hal-hal semacam ensiklopedia dunia, majalah-majalah, cerita-cerita sejarah, dan dari berbagai fakta-data yang diterima setiap orang. Dengan ini, tidak salah jika Eco menyebutnya sebagai dunia yang dikonstruk secara kultural, karena pengetahuan tentang Real World ini merupakan pengetahuan yang dibentuk oleh berbagai pengaruh yang ada di setiap orang. Hal ini menyebabkan Real World tersebut dianggap bukanlah dunia yang satu utuh, karena pengaruh yang hadir di setiap orang pun bisa berbeda-beda.

Dunia yang kedua adalah Possible World. Eco beberapa kali menyebutnya juga dengan dunia fiksi.19 Dunia ini adalah dunia yang tercipta ketika orang berhadapan dengan sebuah teks-wicara. Ketika seseorang berhadapan dengan sebuah teks-wicara, maka seseorang tersebut akan memiliki keberagaman interpretasi. Eco (1979) menyatakan bahwa possible-world adalah hasil dari konstruk kultural tertentu.20 Hal ini yang menyebabkan teks tidak pernah lagi sama ketika diserap oleh pembaca yang berbeda-beda.21 Akan tetapi, hal ini tidak bermaksud menempatkan Eco pada sisi yang sama seperti Derrida – dengan dekonstruksinya yang mengadvokasi ketakstabilan makna pada teks di suatu konstruk kultural tertentu. Dengan membawa

19 Umberto Eco, The Limits of Interpretation (Bloomington: Indiana University Press, 1991), hal. 66 20 Umberto Eco, The Role of The Reader: Exploration in the Semiotics of Text (Bloomington: Indiana University Press, 1979), hal. 221 21 Lihat konsep Small worlds dalam Eco (1991), op.cit. hal. 67

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

konsep unlimited semiosis yang dikenalkan Pierce, Eco justru ingin mengatakan bahwa interpretasi bukanlah tanpa batas (limitless), namun justru memiliki batasannya yang diatur juga oleh teks. Di sini ia menekankan pentingnya intentio operis sebagai dasar negosiasi pada wilayah intentio lectoris.22 Sebuah teks yang mendeskripsikan keadaan atau jalannya suatu peristiwa adalah bentukan strategi linguistik tertentu yang digunakan sebagai pemantik interpretasi dalam Model

Reader.23

Penggunaan istilah Pembaca (reader) dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberi arti lebih pada penonton atau penikmat film televisi Jepang yang dihadirkan di televisi Indonesia. Arti lebih di sini dalam artian bahwa penonton atau penikmat bukanlah subjek pasif yang hanya begitu saja menikmati pertemuannya, tetapi menganggap bahwa penonton adalah pembaca tanda-tanda yang disajikan di dalam teks film. Dengan melihat penonton sebagai pembaca berarti saya menganggap bahwa pembaca secara aktif melakukan pemaknaan pada tanda-tanda yang ia baca di dalam teks film. Hal ini juga dibahasakan oleh Eco:

“…to privilege the initiative of the reader does not necessarily mean to guarantee the infinity of readings. If one privileges the initiative of the reader, one must also consider the possibility of an active reader who decides to read a text univocally…” (Eco, 1991: 51)

22 Stephan Collini (.ed), Interpretation and Overinterpretation: Umberto Eco with Richard Rorty, Jonathan Culler, Christine Brooke-Rose (Cambridge: Cambridge University Press, 1992). Hal. 7 - 10 23 Strategi linguistik tersebut dapat berupa (i) kode linguistik tertentu, (ii) gaya bahasa atau penulisan tertentu, atau (iii) rujukan-rujukan khusus tertentu. Lihat Eco (1991), op.cit. hal. 66

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

Dalam buku The Role of the Reader (1979), Eco menjelaskan bahwa sebuah teks-wicara hanya bisa dipahami sesuai dengan bagaimana teks-wicara dibentuk bila kode-kode yang dibangun dalam teks-wicara tersebut juga dimiliki oleh pembaca.

Dalam pengertian ini, Eco mengatakan bahwa sang pengarang bisa membayangkan adanya pembaca yang mampu untuk menginterpretasikan ekspresi-ekspresi sesuai dengan cara sang pengarang menginterpretasikan ekspresi-ekspresi yang ia bangun.

Hanya pembaca yang dimungkinkan (possible reader) yang mampu menciptakan

Possible World dari pertemuannya dengan teks-wicara. Possible Reader ini yang diistilahkan oleh Eco dengan konsep Model Reader.24

Possible World tidak bisa semena-mena tercipta begitu saja oleh sang penerima tanpa terpengaruh teks-wicaranya. Possible World tersebut adalah dunia yang dibangun diatas objek teks-wicara, dan hanya akan muncul ketika penerima sudah berhadapan dengan sesuatu yang ada di dalam teks-wicara. Sesuatu yang di dalam teks mengontrol dorongan yang tak terkontrol milik penerima. Sehingga, sesuatu yang mungkin didapatkan di dalam teks-wicara tersebut pun akan berbeda-beda tergantung identitas (konteks) penerimanya, dan dorongan penerimanya.25

Untuk memahami lebih dalam teori Possible World, dan juga penerapannya dalam penelitian ini, ada beberapa konsep yang harus ditempatkan secara analitis dan terurut. Konsep pertama berangkat dari trikotomi tanda oleh Peirce yang membawa

24 Pembaca yang menjadi syarat dalam pembacaan teks secara khusus, sehingga teks memiliki kemungkinan untuk bisa dibaca sesuai harapan sang pencipta teks ataupun teks itu sendiri. Lihat Eco (1979), op.cit. hal. 7 25 Eco (1991), op.cit. hal. 59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

konsep final interpretant dan habit. Konsep kedua adalah Possible World oleh Eco sendiri, terutama strategi pembentukannya yang terstruktur. Konsep ketiga adalah konsep abduksi oleh Eco yang akan melatarbelakangi struktur penulisan penelitian ini.

1.7.1 Menelusuri Jejak, Membentuk Dunia Baru

Berbeda dengan Roland Barthes yang menggunakan pemahaman semiotika

Ferdinand de Saussure dalam membagi sistem tanda (sign) menjadi dua aspek penanda (signifier) dan petanda (signified), Umberto Eco membawa pemahaman

Charles Sanders Peirce atas trikotomi sistem semiotika: tanda (sign, representamen), object, dan interpretant. Representamen selalu merupakan sesuatu yang bersifat indrawi yang berfungsi sebagai tanda dari suatu objek. Representamen ini yang membangkitkan interpretant di benak interpreternya. Interpretant tidak dapat didefenisikan sebagai sekedar interpretasi atas suatu representamen. Menurut Eco, interpretant lebih baik diartikan sebagai sebuah representasi dari objek lain yang dapat mengacu pada objek yang sama.

“…interpretant as another representation which is referred to the same „object‟. In other words, in order to establish what the interpretant of a sign is, it is necessary to name it by means of another sign which in turn has another interpretant to be named by another sign and so on…” (Eco, 1976: 68-69) Seperti terlihat pada figur. 1, hubungan trikotomi ini menjadi segitiga yang saling terhubung.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

Figur 1. Trikotomi Peircean

Saling keterhubungan ketiga aspek ini yang juga berarti bahwa kemungkinan untuk pertukaran posisi bisa terjadi. Peirce mengistilahkan pertukaran posisi yang mungkin tersebut dengan istilah proses Unlimited Semiosis. Representamen berangkat dari adanya sebuah objek, dan digunakan untuk menandai sebuah objek dan kemudian didefinisikan melalui adanya interpretant. Representamen ini hadir pada semesta bahasa, dan didefinisikan menggunakan bahasa yang mengacu pada objek-objek yang lain. Mengacunya interpretant pada objek-objek lain pada semesta bahasa yang akhirnya memunculkan representamen yang baru dan otomatis juga kemudian menghadirkan interpretant lain, dan selalu begitu.

“…a sign is “anything which determines something else (its interpretant) to refer to an object to which itself refers (its object) in the same way, this interpretant becoming in turn a sign, and so on ad infinitum…. If the series of successive interpretants comes to an end, the sign is thereby rendered imperfect, at least…” (Peirce via Eco, 1991: 35-36) Konsep ini juga didukung Derrida pada bukunya On Grammatology (1976) yang mengatakan bahwa:

“…the representamen functions only by giving rise to an interpretant that itself becomes a sign and so on to infinity…” (Derrida via Eco, 1991: 35) Menurut Eco, konsep Unlimited Semiosis ini sesuai dengan konsep yang dilahirkan Derrida kemudian, yaitu Indefinite Deferral, seperti terlihat pada kutipan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

di atas. Melalui konsep ini, Derrida menyatakan bahwa setelah sebuah teks dilepaskan dari intensi subjektif di belakangnya, pembaca teks tidak lagi memiliki kewajiban atau kemungkinan untuk menaati intensi yang sudah hilang itu. Teks tersebut tidak lagi memiliki makna satu yang utuh. Penanda tidak pernah hadir bersama petanda yang satu karena selalu mengalami penundaan, dan itu disebabkan karena penanda selalu berelasi dengan penanda yang lain.26

Proses semiosis Peirce yang diangkat Eco ini tidak terbatas, dan selalu digiatkan berputar antara beragam interpretant, yang menjelaskan sesuatu melalui sesuatu itu sendiri dalam bahasa. Sebuah pohon didefinisikan melalui kata tumbuhan, dan tumbuhan itu merujuk pada interpretant yang lain, dan terus berlangsung seperti itu. Namun, hanya ada dua hal yang membuat bahasa ini harus berkonfrontasi (dan memungkinkan adanya pembatasan) dengan hal diluar bahasa. Pertama adalah index atau penunjuk. Ketika seorang mengatakan pohon dengan mengarahkan jarinya pada sebatang pohon di hadapannya, maka proses semiosis terkonfrontasi. Index, menurut

Eco, adalah perujukan pada sesuatu di dunia ekstralinguistik atau ekstrasemiosis.

Kedua adalah adanya Objek Dinamis (Dynamic Object) yang diartikan sebagai realitas yang sedemikian mungkin diatur untuk menentukan tanda pada representamen. Kita memproduksi representamen karena kita dipaksa oleh sesuatu yang diluar lingkaran semiosis (Eco, 1991: 38). Seperti terlihat pada Figur. 2, ketika setiap Isi (atau Immediate object) dari sebuah ekspresi (atau representamen)

26 Ibid. hal. 33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

diinterpretasikan dengan ekspresi lain yang memiliki isi-nya sendiri, maka Unlimited semiosis pun terjadi. Sesuatu yang membatasi, atau memaksa, hadirnya sebuah representamen tertentu adalah Objek Dinamis. Yang hadir secara nyata dalam pikiran kita atau dalam lingkaran semiosis hanyalah Immediate Object yang diinterpretasikan oleh tanda-tanda yang lain. Objek Dinamis tidak berwujud (dan tidak pernah berwujud) dan hanya bisa diketahui jejaknya melalui keberadaan Immediate object.

Akan tetapi, kehadiran representament dan juga kehadiran Immediate object (baik di pikiran atau lainnya) menandakan bahwa Objek Dinamis sudah pernah ada. Pada

Figur. 2 di bawah, Objek Dinamis dapat ditempatkan sebagai garis hitam yang selalu menghubungkan isi-ekspresi.

Figur. 2 Dynamic Object sebagai pengubung Isi dan Ekspresi

Yang dimaksudkan oleh Peirce melalui istilah objek pada trikotomi tanda bukanlah objek yang konkret (benda fisik). Objek bukanlah sebuah benda atau bentuk duniawi, namun berupa aturan, hukum, petunjuk – nampak sebagai deskripsi yang berisi pengalaman apa pun yang mungkin. Di sini Peirce membagi konsep objek ini menjadi dua, yaitu immediate object dan dynamic object. Dynamic object dapat diartikan sebagai objek (realitas) yang menentukan hubungan antara tanda dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

representasinya (representament), sedangkan Immediate object adalah objek sebagaimana tanda itu merepresentasikannya, dan keberadaannya bergantung pada representasi di dalam tanda.27 Kita memproduksi representasi (representamen) karena dipaksa oleh sesuatu yang berada di luar lingkaran semiosis. Dynamic object bukan sesuatu yang berwujud benda dari dunia fisik, namun berupa pikiran (thought), emosi

(emotion), perasaan (feeling), atau kepercayaan (belief).28 Namun, bagaimana sebuah tanda dapat mengekspresikan Dynamic Object yang ada di Outer World? Jawabannya dibicarakan oleh Peirce di akhir definisinya yang terkenal pada kata lithium:

“the peculiarity of this definition – or rather the precept that is more serviceable than a definition – is that it tells you what the word lithium denotes by prescribing what you are to do in order to gain a perceptual acquaintance with the object of the word”29 Makna dari sebuah simbol terletak pada aksi-aksi yang bertujuan untuk menghadirkan efek tertentu. Dengan begitu, usaha untuk memahami sebuah tanda adalah usaha untuk mempelajari apa yang harus dilakukan demi memproduksi situasi konkret yang membuat seseorang dapat memiliki pengalaman perseptual atas objek yang ditunjuk tanda tersebut.30 Pengalaman perseptual pada pertemuan terhadap “hal” baru selalu diawali dengan kejutan, yang kemudian masuk pada usaha menerjemahkan “hal” yang ditemui tersebut ke dalam feeling-sign. 31 Interpretasi

27 Ibid. hal. 181 28 Eco (1991). op.cit. hal. 38 29 Eco (1979), op.cit. hal. 191 30 Ibid. hal. 192 31 A feeling of surprise, a feeling of strange, an uncanny feeling, or a feeling of shock even, sometimes a feeling of absolute awe. Lihat Valentine Daniel, The Limits of Clture, dalam Dirks, B.Nicholas, In Near

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

pertama atas persepsi disebut emotional interpretant. Tahap berikutnya dari proses interpretasi meliputi dualitas yang terjadi antara usaha penyuntikkan oleh “outer- world” dan resistensi yang dilakukan oleh “inner-world”, antara aksi dan reaksi, antara masa lalu – persepsi yang diharapkan – dan masa kini – persepsi aktual yang membuat frustasi. Dualitas antara usaha masuk dan resistensi ini adalah bentuk dari energetic interpretant, yaitu efek dari usaha masuknya tanda pada interpreting agents.32 Energetic interpretant ini tidak membawa tanda, namun hanya berupa efek.

Eco menjelaskan kedua jenis interpretant ini dengan memberi contoh melalui musik.

Emotional interpretant adalah reaksi normal kita atas memukaunya sebuah musik, dan emotional interpretant ini bisa menciptakan adanya usaha mental ataupun fisik.33

Usaha mental atau fisik semacam ini merupakan energetic interpretant. Energetic interpretant ini tidak perlu diinterpretasikan, namun justru menghasilkan (melalui repetisi di kemudian waktu) perubahan habit. Dengan berkali-kali memproduksi energetic interpretant, dan berulang kali mengimpor konsep/pemaknaan tanda, sebuah tanda sedikit demi sedikit membentuk habit. Peirce menjelaskan habit ini dengan mengatakan bahwa habit berupa “a tendency … to behave in similar way under similar circumstances in the future” dan final interpretant dari sebuah tanda adalah habit ini.34 Dengan kata lain, setelah berkali-kali terpapar oleh tanda, dan berulang kali berusaha menginterpretasikannya dengan berbagai cara, cara kita

Ruins, Cultural Theory at the End of the Century (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1998), hal. 86 32 Ibid. 33 Elicit a sort of muscular or mental effort. Lihat Eco (1979), op.cit. hal. 194 34 Ibid. hal. 192

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

bersikap di dunia ini pun berubah – baik permanen maupun sementara. Sikap yang baru ini adalah final interpretant. Eco (1991) menjelaskan habit ini dengan menekankan pentingnya komunitas sebagai pemberi garansi atas kebenaran dalam penjelasan Habit. Habit sebagai kecenderungan dalam menyikapi dunia membutuhkan pengakuan yang transenden supaya penyikapan yang menandakan adanya Hukum ini dimungkinkan. Kata transenden ini hadir untuk menyatakan bahwa komunitas dan hukum yang mengatur bukanlah sesuatu yang hadir secara fisik

– hukum dalam arti ini bukanlah hukum yang terucap ataupun hukum yang diatur secara jelas tertulis. Justru komunitas ini yang keberadaannya membawa hukum, sebagai sebuah peng-amin-an yang intersubjektif. Pemikiran atau pemahaman yang membentuk realitas selalu berada dalam lingkaran suatu komunitas yang saling mengetahui (community of knowers), dan komunitas ini selalu terstruktur dan didisiplinkan oleh prinsip-prinsip supra-individual.35 Ketiga tahapan ini (emotional – energetic – final) menunjukkan tahapan immediacy – directness – familiarity pada proses kognisi sebuah tanda, yaitu urutan dari perasaan (feeling) menjadi kebiasaan

(familiarity).36 Dengan kata lain, negosiasi berulang kali atas aspek-aspek “stranger” dari inner-world dan beberapa komponen dari outer-world membentuk tanda yang akhirnya taken-for-granted oleh seseorang dalam sebuah komunitas.

Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana pengalaman meresepsi “hal” sukses dalam menjadi tanda melalui apropriasi aspek outer-world dalam inner-world.

35 Eco (1991), op.cit. hal. 39-40 36 Valentine Daniel, The Limits of Clture, dalam Dirks (1998), op.cit. hal. 88

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

Namun tidak semua pengalaman resepsi mengalami kesuksesan seperti itu. Ada juga pengalaman resepsi yang berhenti begitu saja pada emotional interpretant. Ada yang berhasil menerjemahkannya sampai energetic interpretant, namun tetap menganggapnya sebagai sesuatu “yang asing”, sebuah peristiwa yang tidak bisa diinterpretasikan, sebuah aksi yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang tidak bisa dibahasakan. Pada tahap ini, dengan menganggap tanda dan tahapannya adalah sesuatu yang selalu berevolusi, maka “yang asing” tersebut baru bisa diterjemahkan menjadi tanda apabila mendapat aspek dari outer-world yang lebih bisa mengakomodasi pengalaman tersebut. Baru di titik ini, energetic interpretant bisa menjadi sebuah tanda pada inner-world – dengan menyisakan ikon dari Liyan pada immediate object. 37 Di sini terlihat bahwa outer-world (konteks/habit) berperan penting dalam menentukan penamaan terhadap objek.

“…Text are the human way to reduce the world to a manageable format, open to an intersubjective interpretive discourse. Which means that, when symbols are inserted into a text, there is, perhaps, no way to decide which interpretation is the “good” one, but is still possible to decide, on the basis of the context, which one is due, not to an effort of understanding “that” text, but rather to a hallucinatory response on the part of the addresse…” (Eco, 1991: 21) Jejak-jejak Peirce, dan juga Derrida, yang memberangkatkan Possible World

Eco ini menjadi penting untuk membangun konsep-konsep yang tepat dalam melakukan penelitian terhadap pembaca film televisi Jepang di Indonesia ini. Hal ini dibutuhkan karena Objek Dinamis di pembaca Indonesia, dan Yogyakarta khususnya, jelas sama beragamnya dengan di Jepang, di mana film-film ini pertama

37 Ibid. hal. 88-89

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

diberangkatkan. Untuk melihat ini secara lebih jelas, penelitian ini perlu berangkat dari penentuan karakter pembaca yang memiliki Objek Dinamis terkhusus pada suatu komunitas di Indonesia, dan juga komunitas yang meletakkan Habit-nya pada pembaca.

1.7.2 Possible World sebagai Strategi Penciptaan Aktualitas

Eco membagi proses pembentukan possible-world secara sistematis dalam empat aspek.38 Pertama (1), possible-world adalah possible state of affair (keadaan yang mungkin) yang diekspresikan melalui proposisi baik faktual (p) maupun kontrafaktualnya (-p). Pada bagian ini, keadaan-keadaan yang terdeskripsikan

(tertangkap) dalam dunia di dalam film-teks berusaha dilihat kemungkinan- kemungkinannya ketika dihadapkan dengan pembaca.

Kedua (2), possible-world mengisahkan kelompok possible individuals yang membawa propertinya masing-masing. Ketiga (3), properti-properti yang dibawa individu tersebut terkadang berupa aksi-aksi yang memiliki hukumnya (dunianya) sendiri, maka possible-world juga merupakan possible course of events (kejadian- kejadian yang mungkin terjadi). Kedua aspek ini akan dibahas secara bersamaan dalam satu bagian karena rangkaian kejadian yang terlihat aktual tersebut dijahit oleh jejaring peristiwa virtual yang hanya terjadi pada pembayangan karakter (individu) – atau pembayangan dari pembaca. Rangkaian ini bisa disebut juga sebagai system of

38 Eco (1979), op.cit. hal. 219

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

possible-worlds. Narasi teks tidak hanya memproyeksikan dunia, tetapi berupa semesta yang terbangun dari struktur semantik.39 Ryan, dalam artikelnya di tahun

2006, menjelaskan bahwa semesta ini bisa digambarkan dalam dua bagian: pertama, di tengah dari semesta tekstual tersebut terdapat dunia yang diciptakan se-aktual mungkin, yang ditentukan oleh pernyataan dari narator (selama naratornya bisa dipercayai oleh pembaca) – dan dalam kasus ini adalah Jepang; kedua, wilayah- wilayah (dunia) privat dari individu-individu mengorbit pada keberadaan dunia aktual tersebut, sehingga bisa diibaratkan sebagai sistem tata surya yang di dalamnya berisi:

(1) Dunia kepercayaan (The world of beliefs); (2) Dunia hasrat (The world of desires);

(3) Dunia kewajiban (The world of obligations); (4) Tujuan dan rencana-rencana yang dijalankan oleh karakter (The aims and active plans of the characters); dan, (5)

Mimpi dan angan/keinginan milik karakter-karakter (The dreams and whims of the character).

Aspek yang terakhir (4), karena jalannya peristiwa-peristiwa di dalam film- teks bukanlah peristiwa yang aktual, maka peristiwa tersebut harus bergantung pada propositional attitudes (kecenderungan dalam menyikapi) milik seseorang. Dengan kata lain, possible-world adalah dunia yang diimajinasikan, dipercaya, diharapkan, dan lain-lain.

1.7.3 Penelusuran dengan Abduksi

39 http://www.univ-paris-diderot.fr/clam/seminaires/RyanEN.htm (diakses pada tanggal 31 Januari 2016)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

Pembentukan interpretasi bagi Model Reader diatur oleh pengetahuan yang ia miliki, baik itu pengetahuan eksternal teks maupun pengetahuan yang didapat dari semesta teks-teks yang sebelumnya. Jika ini ditempatkan pada paradigma semiosis

Peirce yang sudah dijelaskan di atas, maka interpretasi (dan berarti termasuk penandaan atau representamen) dibentuk oleh Habit, atau sesuatu yang sudah diamini oleh komunitas. Dengan kata lain, Objek Dinamis berada di antara pengetahuan ensiklopedis dan juga Immediate Object yang terlihat pada interpretasi. Objek

Dinamis, yang tadinya disebut transenden ini, menandai sebuah proses pengolahan pengetahuan ensiklopedis untuk ditempatkan pada teks, pada representamen, dan menghasilkan interpretasi. Di sini terjadi negosiasi pada sisi pembaca. Dengan kata lain, intensi dari sebuah teks bisa dilihat melalui hasil yang keluar pada proses mengira-ira yang dilakukan di sisi pembaca. Proses ini yang oleh Eco disebut dengan

Abduksi, yaitu proses memperkirakan atau memprediksi Hukum (Law) yang dapat menjelaskan adanya sebuah Hasil (Result). “Kode rahasia” dari sebuah teks adalah hukum tersebut.40

Untuk menempatkan konsep Abduksi Eco pada penelitian ini, saya berangkat dari pembentukan konsep Abduksi oleh Peirce. Peirce mengenalkan konsep Abduksi untuk melengkapi dua konsep yang sudah lebih dikenal sebelumnya, yaitu Induksi dan Deduksi. Analogi Deduksi dipakai ketika seseorang berhadapan dengan suatu

Kasus (Case) di dalam Hukum yang sudah diakui kebenarannya. Analogi ini

40 Eco (1991), op.cit. hal. 58-59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

digunakan untuk mencari Hasil yang jelas dari penghubungan antara Kasus dengan

Hukumnya. Di sisi lain, metode induksi biasa digunakan ketika seseorang mendapati

Hasil yang terus sama dari beberapa kali percobaan Kasus, sehingga seseorang tersebut dapat menyimpulkan bahwa Kasus tersebut memiliki Hukum yang satu dan nyata benar. Namun, Peirce melihat bahwa tidak tetapnya jumlah percobaan yang harus dilakukan dalam metode Induksi untuk bisa mencapai suatu kesimpulan Hukum menjadi dasar dari adanya bentuk analogi yang lain. Di sini lah analogi Abduksi dihadirkan oleh Peirce, yaitu analogi yang menyaratkan adanya proses memperkirakan adanya hubungan antara Hasil dengan suatu Hukum tertentu. Analogi ini menyaratkan bahwa subjek yang berhadapan dengan suatu Kasus akan menteorisasikan suatu Hukum tertentu dan mempercayai terlebih dahulu bahwa

Kasus dari Hukum tersebut dapat menyebabkan terjadinya Hasil yang ada di hadapan matanya. Peirce melihat bahwa analogi ini sebenarnya yang mendasari penalaran dalam percobaan-percobaan ilmiah yang menggunakan metode induksi, yaitu untuk mempertaruhkan bahwa Hukum yang sudah diperkirakan oleh subjek adalah benar.

Dengan kata lain, Abduksi adalah bentuk penalaran dalam memperkirakan adanya sebuah Hukum dari suatu Hasil yang pada awalnya terlihat aneh, sehingga Hasil tersebut tidak lagi terlihat aneh.

Metode ini sering terlihat pada logika-logika yang dibawa oleh para detektif, yaitu dengan memperkirakan bahwa suatu Hukum adalah nyata dan benar untuk menjelaskan adanya suatu Kasus, sehingga tugas para detektif ini adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

membuktikan adanya Kasus yang membuat Hukum ini sah menjadi penyebab dari

Hasil yang terpampang. Yang paling kuat terlihat pada analogi Abduksi ini adalah proses memperkirakan dan mempertaruhkan bahwa Hukum tersebut ada sehingga pencarian Kasus dari suatu Hasil mulai bisa dikerjakan. Metode memperkirakan atau memprediksi dengan menculik Hukum dari wilayah tertentu dan mempercayai bahwa

Hukum tersebut benar untuk terjadinya suatu Hasil ini juga biasa dilakukan tokoh dalam cerita-cerita detektif seperti yang dilakukan Conan Doyle.41

“…but we cannot forget that in English “abduction” also means kidnapping. If I have strange Result in a field of phenomena not yet studied, I cannot look for a Rule in that field (if there were and if I did not know it, the phenomenon would not be strange). I must go and “abduct,” or “borrow,” a Rule from elsewhere…” (Eco, 1991: 158) Eco membagi Abduksi ini menjadi tiga tingkatan. Pada tingkat pertama, Hasil yang dihadapi adalah Hasil yang aneh dan tidak bisa dijelaskan. Namun Hukumnya sudah ada, baik di arena lain atau bahkan di arena yang sama dengan Hasilnya.

Seseorang hanya perlu untuk mendapatkannya dan membuktikannya sebagai suatu yang paling mungkin. Pada tingkat kedua, Hukumnya sulit untuk diidentifikasikan.

Hukumnya ada di arena lain, dan seseorang perlu untuk bertaruh bahwa hukum ini bisa ditarik dan ditempatkan pada fenomena di arena ini. Proses mempertaruhakan menjadi poin penting pada tingkat ini. Pada tahap ketiga, Hukumnya tidak ada, dan orang tersebut perlu untuk menciptakannya. Abduksi pada tahap kedua dan ketiga ini lah yang paling sering terjadi pada fenomena pembentukan interpretasi atas suatu

41 Ibid. hal. 158

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

teks-wicara. Ketika melakukan Abduksi, mereka (pembaca) harus bertaruh bahwa solusi yang ia temukan (Possible World dari hipotesa yang imajinatif) berkorelasi dengan dunia nyata.42 Dalam artian, solusi (Hukum) yang mereka ciptakan harus berangkat dari pengetahuan yang diamini kebenarannya (Real World).

Konsep Abduksi ini penting ditempatkan dalam penelitian ini, karena ada tiga hal yang bisa dilihat melalui kacamatanya. Pertama, Abduksi digunakan untuk melihat proses pembacaan yang dilakukan oleh para pembaca film televisi Jepang di

Indonesia. Kacamata ini digunakan untuk melihat kesemena-menaan yang dilakukan pembaca film televisi Jepang di Indonesia dalam menyimpulkan Jepang hanya melalui paparan media di Indonesia. Pembaca melakukan Abduksi dengan mempertaruhkan bahwa Jepang yang mereka percayai melalui paparan tersebut adalah Jepang yang nyata. Di titik ini lah penelitian ini berangkat, karena possible- world tidak mungkin tercipta tanpa adanya real-world yang sudah begitu saja diamini.

Kedua, Abduksi bisa ditempatkan sebagai arah pada metode penelitian dan sistematika penulisan dengan mencari terlebih dahulu literatur-literatur historis mengenai Jepang, Indonesia, dan medianya. Hasil penelusuran ini menjadi usaha untuk memperkirakan dan mempertaruhkan bahwa ada Hukum yang nantinya akan menyebabkan Hasil pada fenomena yang diteliti. Hasil penelusuran ini kemudian dikaitkan pada Hasil nilai-nilai atas Jepang melalui pembacaan film televisi yang sudah diciptakan oleh pembaca. Dengan demikian, keseluruhan penelitian ini bisa

42 Ibid. hal. 160

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

dikatakan menggunakan dasar analogi Abduksi karena membagi struktur penulisan dengan Hukum di Bab II, Hasil pada Bab III, dan membuktikan bahwa Hukum tersebut berkorelasi dengan Kasus pada bab analisis dengan metode pembentukan interpretasi possible-world dan final interpretant.

Ketiga, konsep ini membantu dalam mencari proses pengolahan pengetahuan yang dimiliki oleh Model Reader sehingga bisa mereka gunakan dalam menginterpretasikan film-teks. Peminjaman pengetahuan untuk mengisi teks ini yang nantinya menampilkan kecenderungan (Objek Dinamis) pemilihan pengetahuan tertentu dalam berhadapan dengan film televisi Jepang. Lebih jauh, peminjaman pengetahuan ini yang diharapkan membawa saya untuk menemukan pembentukan interpretasi atas Jepang oleh pembaca film televisi Jepang di indonesia.

1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini menerapkan metode Abduksi yang diangkat Eco, sehingga secara runtut metodenya akan terdiri dari:

1. Metode penelusuran literatur untuk menemukan hukum-hukum yang

mungkin berlaku bagi terjadinya fenomena tersebut.

2. Metode wawancara etnografis pada lima orang anggota komunitas yang

berbeda-beda di Yogya, dan dipilih berdasarkan keaktifan dan perannya di

tengah dunia Jepang-jepangan di Yogyakarta. Wawancara ini dilakukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

terutama untuk mencari bentuk penilaian atas film-teks tertentu dan

pembentukannya dalam kesejarahan pembaca.

3. Metode penelusuran literatur atas film-teks Jepang yang diungkap para

narasumber dan menguatkannya dengan analisis terhadap film-teks tersebut.

4. Analisis terhadap bahasa yang diungkap narasumber dan

menyandingkannya dengan hukum, kesejarahan, nilai, dan konteks

Indonesia tertentu. Analisis ini dilakukan untuk menemukan semesta

pengetahuan dan proses pembentukan dunia Jepang baru yang

mempengaruhi bagaimana pembaca melihat realitas.

1.9 Sistematika Penulisan

Dengan menggunakan metode Abduksi yang dibawa oleh Eco (1991), maka tesis ini akan terdiri dari lima bab. Bab Pertama akan ditempatkan sebagai penjelasan awal atas hasil (result) sebagai sebuah fenomena. Bab ini berisi Latar Belakang

Masalah, Tema Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Tinjauan Pustaka, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua akan ditempatkan sebagai pencarian akan Hukum (Law) yang mungkin berlaku sebagai dasar dari terjadinya kasus yang diangkat. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah penelusuran perkembangan media Jepang sejak awal terbentuknya media televisi dan relasi kuasa yang terjadi dalam arena modernitas. Kedua, penelusuran akan bergerak pada narasi sejarah Indonesia sejak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

terinstitusikannya media sebagai sarana propaganda pada masa pendudukan Jepang.

Pada bagian ini juga, kemunculan media televisi dan posisinya di tengah masyarakat akan menjadi pembahasan utama.

Bab Ketiga akan kembali melihat pada wilayah hasil (result) secara mendalam dengan menarasikan data yang didapat dari proses wawancara. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi kesejarahan pembaca film-teks Jepang yang diwakili 5 orang anggota komunitas Jepang-jepangan di Yogyakarta. Keintiman mereka dalam membaca teks-film tersebut juga akan dibahas pada bagian pertama ini.

Bagian kedua berisi bentuk-bentuk menilai film-teks, sekaligus juga nilai-nilai Jepang yang terberi, yang diungkap oleh pembaca.

Bab keempat adalah bab analisis. Bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama berisi analisa terhadap aspek possible state of affairs. Bagian kedua berisi analisa terhadap aspek possible individual dan possible course of events. Kedua bagian ini akan memberikan kesimpulan atas strategi pembentukan interpretasi atas

Jepang yang biasa dilakukan oleh pembaca yang diwakili narasumber. Bagian ketiga berisi analisa terhadap kecenderungan dalam menyikapi yang muncul pada narasi narasumber. Di bagian ini, konteks Indonesia yang berhasil atau tidak berhasil dibahasakan oleh pembaca akan dianalisa untuk mendapatkan kecenderungan umum.

Bab Kelima merupakan kesimpulan dari penelitian ini. Bab kesimpulan ini berisi jawaban dari empat rumusan permasalahan yang diangkat, dan menarik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

jawaban dari keempatnya untuk menjawab pertanyaan utama penelitian ini. Pada dasarnya, kesimpulan ini akan berangkat dari jawaban rumusan masalah yang utama, karena pencarian semua data atau analisis sebelumnya digunakan untuk mencari jawaban dari topik permasalahan tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

USAHA PENCIPTAAN JEPANG DI INDONESIA

Sebelum masuk pada penjelasan mengenai bentuk strategi pembaca dalam meresepsi film-teks Jepang di Yogyakarta, terlebih dahulu harus dijelaskan posisi film-teks tersebut sebagai film televisi Jepang dalam wacana global. Hal ini diperlukan karena penelitian ini justru berusaha untuk mencari Jepang yang khas ciptaan dari masyarakat Indonesia. Film televisi yang mereka tonton memantik adanya penciptaan “Jepang baru” di benak pembaca. Mereka mengimajinasikan

Jepang sesuai dengan yang mereka bisa. Mereka membangun imaji yang mereka jadikan representasi dari Jepang yang jauh di sana. Pembangunan intepretasi tersebut terwujud melalui beberapa jenis usaha: impor model-model kognisi yang terinternalisasi di benak mereka, mekanisme pemberian referen secara otomatis, pengalaman dunia nyata, dan pengetahuan budaya, yang termasuk pengetahuan dari teks-teks lain.43

Jenis-jenis usaha tersebut yang akan menjadi landasan berpikir dalam bagian ini. Pada bagian pertama, pembahasan mengenai posisi media televisi Jepang

43 Marie-Laure Ryan, Narrative as Virtual Reality: Immersion and Interactivity in Literature and Electronic Media (Baltimore: The John Hopkins University Press, 2001), hal. 91

48

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

dilakukan untuk menemukan apakah impor model kognisi sesuai dengan harapan dari sang pencipta merupakan sesuatu yang mungkin terjadi di Indonesia – sesuai harapan sang pencipta (intentio auctoris), atau sejauh apakah itu bergeser. Bagian ini menjelaskan bagaimana penciptaan media televisi dilakukan, dilemparkannya media tersebut beserta nilai-nilainya ke seluruh dunia, hingga usaha ekspornya ke Asia

Tenggara, terutama Indonesia, dengan menumpang jalur lain. Proses yang terus menerus ini menggambarkan bagaimana Jepang berusaha membentuk mekanisme pemberian referen secara otomatis oleh pembaca yang diharapkan. Pemaksaan ini sendiri bermasalah bagi masyarakat Jepang, karena teks yang dilemparkan dianggap tidak merepresentasikan Jepang itu sendiri – seperti yang terlihat pada analisa beberapa penelitian di tinjauan pustaka.

Bagian kedua akan berisi pembahasan mengenai pembentukan model-model kognisi (pengetahuan) yang beredar di Indonesia. Pelacakan pembentukan model- model ini dimulai dari masa kolonialisme, yang menandakan banyaknya impor media

Jepang ke Indonesia untuk propaganda pembangunan imaji mereka. Pelacakan pembentukan model-model ini dilanjutkan hingga era televisi, terutama saat pembaca kemudian mulai disodori – tanpa bisa memilih – film-teks Jepang secara rutin melalui layar kaca.

Kedua bagian ini juga yang kemudian mencerminkan adanya usaha penyebaran pengalaman dunia nyata, pengalaman budaya, termasuk juga pengetahuan dari teks-teks lain dalam tiap prosesnya. Tanpa adanya penyebaran itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

sebuah wacana tak bisa terbentuk. Sebuah pembentukan “Jepang baru” tak akan terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk menampilkan kekayaan jaringan yang membentuk mekanisme pemberian referen secara otomatis dan internalisasi model kognisi terlebih dahulu sebelum membahas pengalaman dan penyebaran pengetahuan yang lebih subjektif.

2.1 Orbit Jepang

Pada 1954, hanya 0,3% rumah di Jepang yang memiliki televisi. Pada 1973 angka tersebut melonjak tinggi, lebih dari 88% rumah memiliki setidaknya satu buat televisi. 44 Ini menunjukkan bahwa hanya dalam dua dekade sejak pertama kali diluncurkan (1953), hampir seluruh penduduk Jepang telah memaknai kehadirannya di tengah keseharian mereka. Hanya dalam waktu sebentar saja, televisi sudah berada dalam posisi penting di tengah usaha rekonstruksi sosial dan politik paska perang dunia, dan tentu saja konstruksi budaya populernya.

Hal ini tidak lepas dari peran kunci televisi untuk mempropagandakan nilai- nilai, memberikan gambaran keteraturan dan kesatuan masyarakat, serta standarisasi pada masa paska-perang. Pada masa itu, situasi masyarakat Jepang sedang dilanda ketidak-teraturan. Lingkungan sosial masyarakat dipenuhi ketakutan dan keterpecahan. Tiga hal yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah: kekaisaran

(imperialisme) Jepang yang kehilangan kuasanya, kebingungan dengan diterapkannya

44 Shunsuke Tsurumi, A Cultural History of Postwar Japan: 1945-1980 (New York: KPI, 1987), 63 .via Chun, Jayson Makoto. “A Nation of a Hundred Million Idiots”? A Social History of Japanese Television, 1953-1973 (New York: Routledge, 2007), hal.4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

banyak budaya baru pada saat Jepang dijajah sekutu (hingga April 1952 – setahun sebelum hadirnya televisi), dan perkembangan konsumsi budaya massa.45 Dalam hal ini, televisi berperan penting untuk menyatukan negara kembali dan mempromosikan ulang adanya konsensus atas kebudayaan.

Peran televisi seperti ini yang menjadi permasalahan bagi beberapa peneliti

Jepang. Ketika membicarakan televisi – ataupun konsumsi budaya massa seperti film di Jepang, pembicaraan harus masuk pada pengaruh besar Barat sebagai cermin bagi

Jepang. Pengonstruksian identitas nasional Jepang hanya bisa terjadi ketika Jepang sudah berhadapan dengan Barat sebagai Liyan budayanya. Para peneliti melihat ini sebagai ambivalensi dari konstruk budaya nasional Jepang. Ambivalensi ini mengandaikan adanya pertanyaan besar: apakah ada budaya nasional Jepang ketika budaya nasional tersebut terbentuk hanya melalui negosiasi simbolis dengan kapitalisme yang didominasi oleh Barat?46 Hal ini juga yang perlu ditanyakan ketika melihat persebaran budaya populer Jepang ke negara-negara lain, terutama Asia

Timur dan Asia Tenggara yang menjadi pasar terbesarnya.

2.1.1 Sejarah Film Jepang sebagai Budaya Populer Tandingan

Paska restorasi Meiji 1868, Jepang mulai menjalankan program modernisasi dengan mengimplementasikan sistem-sistem baru di pemerintahan, pertahanan, dan pendidikan. Terutama di bidang pendidikan, beberapa ranah akademis baru seperti

45 Ibid. hal. 35-51 46 Koichi Iwabuchi, Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese Transnationalism (Durnham: Duke University Press. 2002), hal. 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

pengetahuan alam, kedokteran, hukum, maupun seni mulai dikenalkan di dalam bidang pendidikan formal.47 Kebijakan modernisasi di berbagai bidang ini disponsori oleh negara melalui slogan “Eastern Ethics, Western Science”,48 yang bermaksud untuk mempelajari sebanyak-banyaknya pengetahuan Barat namun tetap mempertahankan etika ke-Timur-an di dalamnya. Ini menandakan banyaknya usaha penerapan pengetahuan Barat yang telah mereka pelajari selama pengiriman orang- orang Jepang ke Barat – pada masa Sakoku (penutupan negara) dari 1639 sampai

1854 Jepang mengirimkan banyak orang untuk mempelajari budaya Barat.49

Bidang film sendiri diawali pada masa-masa ini melalui hadirnya prototipe

Kinetoscope 50 pada 1896. Teknologi ini hadir tepat pada saat Jepang sedang mentransformasikan basis ekonomi dan sosialnya menjadi sebuah kekuatan internasional baru. Pada masa ini, media film menjadi senjata nyata dan juga metafor bagi kemajuan dan keberhasilan masyarakat Jepang.51 Hal ini seperti terlihat pada besarnya ketertarikan publik Jepang dalam menyikapi penyiaran perang Rusia-Jepang

47 Walter Edwards, “Japanese Archaeology and Cultural Properties Management: Prewar Ideology and Postwar Legacy,” dalam Robertson, Jennifer (ed,) A Companion to the Anthropology of Japan (Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2005) hal. 36 48 Slogan (touyou no doutoku seiyou no gakugei) ini pertama kali dikenalkan oleh Sakuma Shouzan (1811-1864), seorang pejabat pemerintahan Tokugawa yang mempelajari persenjataan Belanda dan Barat. Kekalahan China pada perang opium di Inggris (1842) menjadi alasan utama baginya untuk menyarankan perlunya pembelajaran terhadap teknologi Barat. Slogan ini juga yang nantinya akan terus dikembangkan hingga periode Showa (1926-1989) melalui slogan “wakon yousai” (Japanese spirit, Western technologies) sejak pra-perang dunia 49 Isolde Standish, A New History of Japanese Cinema: A Century of Narrative Film (New York: Continuum, 2006), hal. 17 50 Kamera Kinetograph dan kotak Kinetoscope pertama didemonstrasikan dan dipatenkan di Amerika pada 1891. 51 Ibid, hal. 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

di 1904. Karena penerimaan masif seperti itu, hanya dalam 13 tahun sejak perusahaan film pertama Jepang – Asakusa Denkikan di Tokyo – didirikan, Jepang memiliki lebih dari 300 rumah film yang tersebar di berbagai daerah.

Film populer, sebagai produk komersil, kemudian diproduksi dalam sistem studio yang menekankan efisiensi demi mendapatkan profit sebanyak-banyaknya.

Sebagai hasilnya, terjadi perdebatan antara pihak yang mengamini praktek ekonomis dengan pihak yang meluhurkan tradisi seni. Perdebatan ini yang kemudian bisa dilihat dari tiga fase perkembangan industri film yang terjadi sejak perkenalan pertama kegiatan produksi film (1903) hingga akhir masa pendudukan Amerika 1952.

Fase pertama dilihat dari perubahan sistem benshi (narator dalam film bisu) dengan hadirnya star-system. Pada masa awal produksi film ini, studio Nikkatsu

(1912) mulai mendominasi munculnya sistem kebintangan untuk menggantikan tren narator dalam film bisu. Fase ini mengawali tren bintang drama (jidaigeki – periode drama) di pertengahan 1920-an. Fase kedua bisa dilacak dari akhir 1910-an melalui munculnya pendekatan intelektual dalam pembuatan film (pure film movement – jun‟eiga undou.) Fase ini dimanifestasikan oleh studio Shouchiku (1920) melalui sistem terpusatnya film pada sutradara (director-centered system.) Di bawah sistem ini, kekuatan sutradara mengalahkan pemain bintang sebagai kunci dari film. Yang terakhir, fase ketiga menunjukkan rasionalisasi ekonomi industri film Jepang untuk menyejajarkan sistem mereka pada sistem Barat dan juga masifnya adopsi sistem

Hollywood. Hal ini ditunjukkan oleh Souchiku Kinema Company dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

bereksperimen dan mengadaptasi teknik dan teknologi sinematik Barat pada pasar domestik Jepang. Pada kisaran tahun 1930, studio ini berhasil menciptakan gaya pembuatan film yang oleh masyarakat dilihat sebagai sebuah konsep modernisme – kemudian disejajarkan dengan „Americanism‟ – untuk memenuhi permintaan masyarakat yang berkembang pesat saat itu. Proyek ini bisa dilihat dari pendirian sekolah aktor, dan juga pengiriman jurnalis ke Hollywood untuk mempelajari teknik pembuatan film. Bahkan, studio ini kemudian juga akhirnya mendapatkan aktor

Hollywood berkebangsaan Jepang yang besar di Hawaii, Henri Kotani, untuk menempati posisi sentral dalam berbagai produksi film. Henri Kotani juga yang akhirnya mengajarkan teknik-teknik dan teknologi Hollywood pada banyak. pekerja studio Souchiku. Hal ini berlanjut hingga studio Shouchiku dipimpin oleh dua orang terpelajar yang tertarik dengan sastra Amerika, yaitu Kido Shirou dan Ushihara

Kyouhiko, dan juga pembentukan kelompok belajar film asing yang melibatkan Ozu

Yasujirou. Ketiga fase ini menggambarkan bagaimana awal film sebagai teknologi modern menjadi medium sosial yang penting bagi wacana modernisme di Jepang. (lih.

Standish, 2006: 34-79.)

Pentingnya film sebagai medium penyampaian wacana – terutama modernitas

– pada masyarakat Jepang membuat pemerintah perlu untuk melakukan kontrol dan propaganda dengan berbagai cara. Cara pertama adalah produksi “kyouiku eiga”

(education film) pada periode 1920-an, yang kemudian diperkuat dengan regulasi kementrian dalam negeri pada 1925. Cara kedua adalah dengan memperkuat sensor

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

pemerintah, yang terwujud dengan pembuatan Film Law pada 1939.52 Kedua cara ini menegaskan bagaimana pemerintah Jepang menganggap film sebagai alat penting bagi pembentukan bangsa. Dua cara ini yang kemudian juga diterapkan lebih jauh untuk mendukung perhatian pemerintahan terhadap pembentukan imaji internasional

Jepang. Intensi pemerintah ini termanifestasikan melalui dua jalan, yaitu (1) keinginan untuk mempromosikan film Jepang ke luar negeri sebagai proyek interkultural pembangunan pemahaman bersama, dan (2) memastikan standar penyensoran film Jepang sesuai dengan „negara maju‟ lain.

Peraturan yang dibuat oleh pemerintah Jepang ini kemudian ditambah juga dengan peraturan dari pendudukan Amerika. Ketika pasukan sekutu datang untuk menduduki Jepang pada 27 Agustus 1945, Jendral MacArthur membentuk

Information Dissemination Section untuk mengontrol media Jepang. Pada 22

September, departemen ini dinamai dengan Civil Information and Education Section

(CIE), dan bertugas untuk menjaga kebebasan beragama, kebebasan beropini atau berbicara di depan umum, dan kebebasan pers dengan cara menyebarkan prinsip- prinsip demokrasi melalui berbagai media. Dengan kata lain, CIE mendukung pengembangan prinsip-prinsip yang sesuai dengan demokrasi Amerika.53 Tantangan bagi peraturan dan penyensoran yang dilakukan oleh CIE – terutama berkaitan dengan demokratisasi Jepang – ada pada perbedaan konsep kepatuhan/kesetiaan

52 Ibid, hal. 136 - 144 53 Untuk daftar 10 ‘desirable subject’ yang dikeluarkan CIE dan juga 13 tema film yang dilarang, bisa dilihat dalam Standish (2006), hal 155 - 157

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

(loyalty) dan pembalasan dendam (revenge) yang berangkat dari Neo-konfusianisme, dan konsep aturan hukum yang berangkat dari prinsip dasar baik dan buruk a la Barat.

Perdebatan semacam ini terutama terlihat dari kritik CIE terhadap pementasan

Kabuki yang dinilai terlalu menonjolkan loyalitas dan pembalasan dendam dalam cerita-ceritanya.

Dengan munculnya peraturan-peraturan film, baik dari pemerintah awalnya maupun dari pendudukan Amerika, sebuah film hanya bisa dinilai sebagai film nasional melalui kelekatannya terhadap dunia politik-ekonomi Jepang untuk membentuk masyarakatnya. Film bukan lagi masalah seni seperti yang masih dinyatakan pada fase kedua di atas. Film nasional Jepang yang dapat dirasakan setelahnya merupakan turunan dari sistem film pada fase ketiga, yaitu produksi yang sudah melibatkan pencerminan terhadap tradisi/sistem Barat. Ditambah dengan segala peraturan dan penyensoran yang muncul setelahnya, film Jepang semakin tak bisa melepaskan jati dirinya dari pengaruh Barat.

…In films of the post-defeat decade, the underlying ethos was the desire for a renewal of society based on the promises of „democracy‟ offered by the occupation reforms... (Standish, 2006: 175) Konstruk film untuk masyarakat sesuai dengan sistem politik-ekonomi pemerintah Jepang yang seperti ini juga yang akan turut mengawali tradisi budaya tontonan massa dalam televisi. 54 Pembentukannya yang tak pernah benar-benar

54 Pada 1 Januari 1946, paska kekalahan Jepang, Kaisar Hirohito menyiarkan Deklarasi Kemanusiaan (Ningen Sengen) yang juga menekankan penggabungan antara monarki dan demokrasi – seperti juga pada Charter Oath 1968 yang ia kutip – yang telah dibicarakan sejak Restorasi. Poin-poin deklarasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

mandiri tersebut yang tentu saja masih akan menyiratkan pengaruh simbolik Barat.

Konstruk masyarakat melalui budaya populer semacam ini yang selalu akan menjadi arena pertarungan antara „yang dianggap Jepang‟ dengan „yang dianggap Amerika‟ seperti yang diungkap pada kritik terhadap Amerikanisme dalam sejarah film di atas.

Era modern Jepang selalu didefinisikan di antara wacana spiritualisme Jepang dan materialsme Barat.55

Hal ini berkaitan dengan pembangunan narasi film yang berkembang setelahnya setelahnya. Paska kekalahan Jepang di perang dunia kedua, juga pendudukan Amerika hingga 1952, dan juga Perang Korea serta politik Perang

Dingin, keberadaan pengaruh Amerika yang kuat di Jepang membuat masyarakat tidak merasa cocok dengan fantasi happy-ending yang ditawarkan „American Dream‟ dalam konstruk film-film nasional mereka. Dibanding hanya sekedar menawarkan film dengan penokohan yang „goal-oriented‟ dan „action driven‟, Ozu Yasujiro menawarkan film dengan bingkai narasi yang penuh berisi introspeksi dan motivasi psikologis sang tokoh.56

Gaya film seperti ini yang ternyata sangat berpengaruh pada narasi film sebagai budaya populer Jepang, seperti anime dan tokusatsu. Film-film yang populer dalam genre ini biasanya mengutamakan penggambaran tokoh utama dalam introspeksi dan motivasi psikologisnya dibanding dengan peranan tokoh dalam cerita.

Kaisar Hirohito ini dapat dilihat dalam Henshall, Kenneth G., A History of Japan: From Stone Age to Superpower. (New York: Palgrave McMillan, Edisi Kedua 2004) hal. 145-148 55 Ibid, hal. 171 56 Ibid, hal.205

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

Hal ini bisa dilihat dari bagaimana tokoh utama supersentai ataupun yang biasanya digambarkan bukan sebagai orang yang pintar atau memiliki kekuatan lebih, tetapi lebih kepada orang yang memiliki semangat dan membawa nilai-nilai tertentu dalam perjuangannya. Hal ini menyiratkan pembentukan ke-Jepang-an

(Japaneseness.) Popularitas budaya pop Jepang bukan dari bentuknya semata, tetapi dari pencarian jati diri dan gerakan psikologis sang tokoh utama.57 Bentuk atau form hanyalah simbol saja, yang ditangkap adalah pencerminan psikologis tokoh.

Pembentukan gaya narasi film Jepang seperti ini tidak bisa terlepas sebagai tandingan dari gaya narasi American Dream. Hal ini dilihat oleh Standish (2006) melalui film epic The Human Condition (Ningen no Jouken) yang dirilis pada 1959-

1961 dan diangkat dari novel enam bagian karya Gomikawa Junpei. Standish mengatakan bahwa:

“…The very concept of a Rambo-like „goal-oriented hero‟ who takes on a problem and is victorious is alien to the reality of the worldview depicted in The Human Condition. To borrow Foucault‟s term, the „technologies‟ of power at work on the individual are so great that not even the exceptional strenght, both physical and moral, of Kaji can withstand them. All the individual can do is acknowledge his complicity as an unwilling vehicle of these mechanisms and make restitution in death…” (Standish, 2006: 215) Kekuatan yang terlepas dari kekuatan fisik atau moral seperti yang diungkap

Standish di atas dijelaskan oleh Tadao Sato (1976) dengan memberikan penekanan

57 Contoh yang lebih jelas bisa dilihat juga dari sistem idol-grup Jepang yang menawarkan pengamatan mendetil terhadap perkembangan karir dan kehidupan keseharian – dan tentu saja termasuk di dalamnya perkembangan psikologis – sang idola sehingga penggemar tertarik untuk terus mengikuti dan mendukung. Ini merupakan konsep idola yang diusung AKB48, yaitu idola yang bisa ditemui setiap hari. Keintiman seperti ini juga yang membedakan sistem idola di Jepang dengan star-system di Hollywood. (Iwabuchi (2002), op.cit. hal 100)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

pada iji 58 sebagai konsep untuk memahami popularitas – dan sebagai motivasi penciptaan – dari tokoh-tokoh dalam budaya populer Jepang. Ia mendefinisikan kebanggaan – juga yang dilakukan oleh Ikegami (1995) – dalam konsep kehormatan

(meiyo/honour). Dalam konteks psikososial Jepang paska-perang, Sato berargumen:

„Human beings are living creature who have an impulse to prove their righteousness‟

(Standish, 2006: 284). Impulsi yang ia maksud di sini berkaitan dengan konsep

„hubris‟ (ijippari – obstinacy). Hubris ini yang dianggap Sato sebagai kekuatan pendorong bagi rantai perkembangan budaya populer Jepang. Ia menjelaskan hubris seperti yang terlihat di bawah ini:

“…A young child at the time he first distinguishes between good and bad becomes confused, when by mistake or caprice, he is unfairly corrected by an adult or an older child. At such a time, the child learns obstinacy and hubris. Why hubris? As the child cannot explain the situation logically, he has two possible reactions, the expression of hubris or doing exactly what he is told and thereby losing his sense of his own subjectivity. Put another way, it is at this juncture that the ego is awakened…” (Sato, 1986: 50) Melihat sejarah keberangkatan film Jepang sebelum masuk ke era reproduksi masal dalam televisi, ada beberapa poin yang bisa diambil sebagai kecenderungan film-film Jepang yang ternyata masih bertahan hingga saat ini. Pertama, nilai loyalitas dan pembalasan dendam yang dijadikan tandingan dengan prinsip baik-buruk oleh

Amerika melahirkan ciri khas tertentu – dan ini identik dengan semangat samurai

(bushido) yang sering diungkap oleh pembaca film Jepang. Kedua, pertarungan antara dua prinsip (Jepang-Amerika) tersebut kemudian melahirkan ciri khas penokohan dalam sebagian besar film-film Jepang, yaitu ijippari. Secara singkat,

58 kebanggaan, atau pride, disposition, spirit, willpower, obstinacy, backbone, appetite

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

Standish (2006) menyimpulkan analisisnya terhadap sejarah film Jepang dengan mengungkap:

“…the form of cinema, a Western technological invention, and the content, often derived from ancient storytelling traditions, formed a dialectic out of which some sort of accommodation was reached between the foreign and the familiar…” (Standish, 2006: 339) Poin-poin pada bagian ini penting untuk diangkat karena ciri ini yang akan didapat dalam pembacaan terhadap interpretasi pembaca film televisi Jepang ketika membandingkannya dengan film-film di luar Jepang. Pembacaan melalui poin-poin ini juga yang membuat analisis terhadap resepsi pembaca tidak bisa terlepas dari kekuatan simbolis Barat bagi Jepang, terutama ketika melihat perkembangan reproduksi ideologi dalam penyampaian film di media televisi.

2.1.2 Era Televisi dan Reproduksi Ideologi

Kehadiran televisi pada 1953 tidak bisa terlepas dari berakarnya budaya media yang telah ada sebelumnya: radio. Sejak pertama diluncurkan pada 22 Maret

1925 oleh Tokyo Broadcast Station (JOAK), radio sukses menjadi perlengkapan rumah tangga yang wajib ada bersanding dengan sarana informasi dan hiburan lain seperti koran, majalah, dan film. Penerimaan masif masyarakat terhadap sistem penyiaran radio yang terpusat di beberapa stasiun siaran – hanya bisa menerima siaran dengan pasif tanpa bisa mengatur kontennya – menjadi fondasi bagi hadirnya sistem penyiaran televisi hampir 30 tahun kemudian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

Hal yang sama seperti pada sejarah film di atas pun terjadi pada sistem penyiaran radio: monopoli pemerintah. Karena masifnya penerimaan masyarakat, dan juga anggapan bahwa masyarakat hanya bisa secara pasif menerima begitu saja apa pun yang disiarkan oleh radio, pemerintah menyatukan tiga stasiun radio yang berpengaruh menjadi satu korporasi publik yang dikontrol oleh pemerintah dengan nama Nippon Housou Kyoukai (NHK). Stasiun NHK ini yang menjadi basis dari jaringan penyiaran radio nasional. Stasiun NHK ini juga yang kemudian menerbitkan televisi untuk pertama kali.

Penyatuan yang dilakukan pemerintah ini dilakukan dengan anggapan bahwa tujuan utama dari siaran radio adalah menyebarkan budaya secara nasional yang sudah disetujui oleh negara. Gubernur Goto Shinpei menjelaskan alasan ini dalam pidatonya pada upacara peresmian Tokyo Broadcasting Station pada 1925. Empat poin utama yang ia sampaikan adalah adanya kesempatan untuk kesetaraan kultural, adanya reformasi hidup di dalam rumah, adanya sosialisasi pendidikan, dan adanya percepatan pembangunan ekonomi.59

Pemahaman seperti ini menunjukkan bahwa radio memiliki potensi sebagai alat yang efektif dalam menyatukan bangsa dan menyebarkan budaya standar ke seluruh Jepang. Radio berpotensi untuk mengonstruk kehidupan di dalam rumah dan berkontribusi dalam homogenisasi lingkungan masyarakat Jepang yang beragam.

Salah satu bentuk penyatuan perbedaan-perbedaan dalam bangsa melalui radio adalah

59 Chun (2007), op.cit. hal 22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

dikenalkan siaran radio Calisthenics 60 pada 1928. Dengan mengajak jutaan masyarakat Jepang untuk berolahraga bersama-sama secara rutin, radio dapat memberikan rasa nasionalis karena kebersamaannya, dan juga pembiasaan budaya siaran melalui rutinitasnya.61

Bentuk propaganda melalui rutinitas penyiaran radio seperti ini menjadi agenda pemerintah dalam menyebarkan budaya modern ke seluruh Jepang. Di sini ke-ambivalen-an pemerintah pada budaya massa mulai dikritik. Ambivalen itu bisa terlihat dari anggapan budaya modern oleh pemerintah pada masa itu yang berupa budaya yang cenderung mengarah pada Barat, seperti musik klasik Barat ataupun penggunaan bahasa Inggris dalam beragam siaran. Dengan pengontrolan konten siarannya, budaya radio tidak bisa menjadi ruang budaya alternatif dari masyarakat.

Bentuk budaya modern yang diajukan oleh pemerintah tak bisa keluar dari tiga aspek:

Barat, mendidik, dan berisi informasi.

Agenda propaganda pemerintah untuk menciptakan Jepang yang homogen ini merupakan fondasi bagi kelahiran televisi di tahun 1953. Apalagi, televisi hadir tepat di saat pemerintah Jepang merasa bahwa Jepang perlu mulai dari awal lagi dalam pembangunan bangsanya setelah kekalahan PD II dan juga pendudukan Amerika.

Pemerintah Jepang merasa perlu untuk kembali melihat pada bentuk bangsa Jepang pra-perang dan juga belajar mengenai televisi lebih banyak dari Barat yang sukses

60 adalah bentuk olahraga ritmis (semacam senam) yang tidak memerlukan bantuan alat apa pun, dan biasanya dilakukan beramai-ramai di tempat umum. 61 Sampai pada musim panas 1933, lebih dari 40 juta orang (mendekati 60% total populasi Jepang) berpartisipasi dalam budaya Calisthenic ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

menggunakan sistem siaran terpusat sebagai pembentuk bangsanya 62 – terutama

Jerman yang telah memulai budaya televisinya sejak tahun 1935, Inggris sejak 1936, dan Amerika sejak 1941.63 Dengan kata lain, menyingkap budaya televisi Jepang sama saja dengan mengungkap usaha pembentukan bangsa Jepang.64

Keterpusatan budaya massa sebagai sarana hiburan yang dikontrol pemerintah seperti ini bertahan hingga pada pertengahan 1960-an ketika televisi berhasil menggantikan film (sinema) sebagai bentuk hiburan utama. Studio-studio film yang sudah banyak berdiri di seluruh Jepang mulai mengalami penurunan produksi dan satu-per-satu pun terpaksa tutup. Beberapa yang bertahan pun memutuskan untuk menjadi tandingan dari budaya televisi yang sudah terkontrol pemerintah. Saat itu, para pembuat film mulai melihat adanya kebebasan untuk tidak lagi membuat film

62 Sejak pertengahan 1930an, beberapa peneliti di bawah NHK dikirimkan ke negara-negara Barat seperti Jerman, Inggris, dan Amerika untuk mempelajari perkembangan televisi. Motivasi penelitian ini besar karena munculnya keputusan pengadaan Olimpiade 1940 di Tokyo, dan NHK ingin bisa menyiarkannya ke seluruh Jepang. Namun, penelitian ini sempat tersendat karena militerisasi Jepang pada perang China (1937), digagalkannya Olimpiade, hingga keterlibatan pada perang dunia II. Beberapa orang yang tetap melanjutkan penelitiannya sempat melakukan percobaan siaran pada 1939 (oleh peneliti terkenal Takayanagi), dan pada tahun 1940 membuat percobaan drama televisi untuk pertama kalinya (berjudul Yugemae, berdurasi 12 menit.) Pada tahun 1951, barulah NHK melakukan penelitian mendetil tentang pengaruh televisi Amerika bagi masyarakatnya. Penelitian ini dilakukan oleh Kamimura Shin’ichi, dan berhasil menyimpulkan poin-poin pembelajaran televisi untuk berbagai bidang dalam laporannya. Isi laporan dapat dilihat dalam Chun (2007) hal. 47-51 63 Menurut Takayanagi, pentingnya televisi membuat negara-negara ini menghabiskan lebih dari 300 juta yen. Inggris dan Amerika mengusahakan formasi industri baru yang bisa mengalahkan radio, terutama karena televisi dapat meningkatkan kesejahteraan dan memberikan kebahagiaan. Lain halnya dengan Jerman, mereka menggunakan televisi sebagai alat propaganda untuk membangkitkan semangat masyarakat. Negara-negara ini berusaha menyempurnakan teknologi sistem televisi sehingga mereka bisa meningkatkan kebanggaan nasional mereka di tengah dunia. Juga, mereka mengharapkan televisi dapat menjadi industri yeng sentral dalam pengembangan pengetahuan, sains, dan dunia komunikasi (Kenjirou Takayanagi, “Naigai Terebijyon no Shinkyou (Great Progress in Domestic and Foreign Television)” Housou, Januari 1939, 21.) Lihat Chun (2007) hal. 31 64 Ibid. hal 7-10.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

yang berideologi nasional, atau film bergenre mukokuseki (nationless). Film-film yang termasuk dalam genre mukokuseki ini biasanya adalah film yang menceritakan kisah seseorang bernegosiasi dengan lanskap asing walaupun berada dalam Jepang – tidak lagi berideologi menyamakan Jepang, sehingga bisa menggambarkan dengan cara yang hanya memiliki sedikit kesamaan dari realitas Jepang.65 Para kritikus film melihat bahwa bentuk-bentuk film seperti ini baru bisa hadir pada periode 1960-an juga karena Jepang sedang mengalami regenerasi ekonomi – 1955-1973 hingga puncaknya pada 1980-1990 dengan meletusnya ekonomi gelembung. Di sisi lain, film dengan narasi seperti ini menggawali narasi film dengan wacana turistis, di mana

Jepang digambarkan sebagai objek konsumsi yang abstrak dan eksotis.

Film yang awalnya diidentikkan dengan genre mukokuseki ini sebenarnya bukanlah film yang benar-benar nationless karena kemudian pada pertengahan 1970- an mulai muncul slogan “Discover Japan”. Slogan ini merupakan bentuk kampanye

Japan National Railway untuk mengajak orang-orang melakukan perjalanan wisata ke tempat-tempat yang eksotis di Jepang. Melalui slogan ini, Jepang mulai ditampilkan sebagai komoditas dan meminta masyarakatnya untuk mengonsumsi perjalanan wisata. Film-film yang bergenre mukokuseki pun dimanfaatkan dalam

65 Aaron Gerow, “Nation, Citizenship, and Cinema,” dalam Jennifer (2005), hal. 411. Contoh yang diberikan Gerow di sini adalah film berjudul Daisougen no Wataridori (The Rambler Rides Again, 1960) yang mengisahkan perjalalan seorang pria dalam menyelamatkan orang-orang Ainu dari kekejaman gangster. Walaupun lanskap yang digambarkan adalah Hokkaido, narasi diciptakan seperti kisah cowboy dan Indian ala Amerika.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

mempromosikan ke-eksotis-an Jepang karena seringkali menampilkan imaji/lanskap yang sudah sulit ditemui dalam realitas homogen ciptaan pemerintah.

Ivy (1995) melihat proyek ini bukanlah usaha mempromosikan ke-eksotis-an yang terdapat di daerah-daerah tertentu di Jepang. Ivy justru melihat bahwa slogan ini menyiratkan usaha pembentukan keeksotisan yang sebelumnya tidak ada – pembentukan imajinasi akan adanya nostalgia berdasarkan hal yang baru diciptakan.

Nostalgia bukan lagi mengenai masa lalu empiris, namun merupakan bentuk apropriasi „masa lalu‟ melalui konotasi yang diperindah. Oleh karena itu, sarana komunikasi massa seperti televisi atau film ini menggambarkan adanya nostalgia terbayang (imagined nostalgia) di mana orang-orang terdorong untuk memediasikan dunia yang sebenarnya tak pernah hilang, dan diperindah dengan peminjaman kacamata non-Jepang (borrowed nostalgia.) 66 Dalam penelitiannya, Ivy melihat bagaimana bentuk-bentuk ke-eksotis-an seperti geisha, samurai, kabuki, festival dan ritual-ritual, bahkan mitos-mitos diformulasikan untuk menjadi objek fetish bagi masyarakat Jepang sehingga bisa dijadikan komoditas turisme.67

Anggapan Ivy semacam ini semakin terlihat ketika lebih dari sepuluh tahun kemudian (1984) Japan National Railway merubah slogan kampanyenya menjadi

Ekizochikku Japan (Exotic Japan). Berbeda dengan Discover Japan yang dituliskan

66 Appadurai (1996, 77) dalam Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 174 67 Ivy juga menekankan pada bahasa yang digunakan (discover Japan) yang menggambarkan bahwa subjek yang diminta untuk menemukan Jepang bukanlah orang Jepang, atau bukan orang dari dalam Jepang. Bahkan Ivy menyebut bahwa proyek Discover Japan ini memiliki maksud yang sama dengan Discover Myself: “Discovery is really one’s own self… the self of travel, the discovery of myself, travelling through myself…Discovery Myself (jisukabaa maiserufu)” (Ivy (1995), op.cit, hal. 29-48)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

dalam tulisan latin, slogan baru ini dituliskan dalam huruf khusus dalam bahasa

Jepang. Ivy melihat bahwa Ekizochikku Japan yang dituliskan dalam huruf katakana68 menggambarkan Jepang yang sudah diproyeksikan sebagai negara asing – sesuatu yang datang dari luar. Walaupun penggunaan Japan ini justru menandakan yang bukan Jepang, penulisan slogan dalam huruf katakana ini tetap menandakan Jepang.

Sehingga, Ivy berargumen bahwa “„Ekizochikku Japan‟ establishes Japan as elsewhere, as other: the non-Japanese seen through Japanese eyes.”69

Bentuk ideologi melalui slogan-slogan seperti ini memiliki banyak rupa di berbagai bidang, dan terus berubah sejak 1960-an. Namun, Ivy mengatakan bahwa motivasi dasar dari pembentukan slogan-slogan seperti itu masih tetap tidak banyak mengalami perubahan. Nostalgia akan sesuatu yang “Jepang” selalu menjadi pendorong bagi berbagai bidang. 70 Nostalgia seperti ini juga yang mendorong munculnya genre film mukokuseki di atas, di mana orang-orang film mulai merasa mendapat kebebasan untuk bisa memasarkan sesuatu yang tak lagi didikte oleh pemerintah. Dengan kata lain, ideologi dominan di Jepang tetap bergantung pada politik nostalgia yang sejalan dengan kebijakan-kebijakan kapitalis – dan oleh karena itu tak bisa terlepas dari pengaruh kapital Barat.

68 Katakana adalah huruf Jepang yang digunakan khusus untuk menuliskan kata-kata serapan bahasa asing – seperti banana (pisang), basu (bis), hoteru (hotel) – maupun nama-nama asing seperti nama orang atau nama perusahaan. Dalam bahasa Jepang sendiri, kata ‘Jepang’ adalah Nihon. Penggunaan kata Japan dalam Ekizochikku Japan berarti menempatkan Jepang sesuai dengan yang disebut di mata internasional: Japan. 69 Ibid, hal. 50 70 Ibid, hal. 65

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

Perkembangan ideologi-ideologi seperti ini juga yang akan mengikuti terjadinya Japan Boom mulai tahun 1980-an di Barat dan Asia – yang kemudian terulang kembali pada tahun 1990-an. Generasi muda di Jepang menerapkan ideologi nostalgia dengan cara yang berbeda dari nostalgia generasi lama yang merasakan

Jepang pra-perang. Generasi muda di Jepang ini mengembangkan genre mukokuseki lebih jauh melalui pembacaan terhadap popularitas wacana Nihonjinron

(Japaneseness – ke-Jepang-an) pada awal 1980. 71 Wacana Nihonjinron yang dikembangkan sejak paska-perang – sejalan dengan munculnya slogan-slogan ke- eksotis-an Jepang di atas – adalah usaha mendeskripsikan keunikan budaya Jepang.

Wacana ini berusaha menjelaskan aspek-aspek khas dari kehidupan masyarakat

Jepang dan budaya Jepang dalam bingkai esensialis. Dalam wacana ini, budaya tradisional Jepang digambarkan bukan lagi secara fisik semata, tetapi sebagai budaya yang bernilai khusus dan unik dari Jepang, serta menyiratkan usaha penggambaran

Jepang yang homogen. 72 Secara tidak langsung, wacana ini sedikit demi sedikit menghapus heterogenitas Jepang yang ada di sudut-sudut bangsanya, dan memulai pembangunan budaya Jepang yang memiliki nilai universal.73

71 Yumiko Iida, Rethinking Identity in Modern Japan: Nationalism as Aesthetic (London: Routledge, 2002), hal.166-168. Pembahasan mengenai Nihonjinron terutama bisa dilihat pada bab 5 – Back to Identity: ‘Postmodern’, Nihonjinron, and the Desire of the Other (hal. 164-208) 72 Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 6-7 73 Homogenisasi ini juga yang banyak menuai kritikan karena menggambarkan usaha penafian terhadap budaya-budaya heterogen yang ada di Jepang, seperti budaya orang-orang Okinawa, orang- orang keturunan Korea, orang-orang keturunan kasta Burakumin (kasta rendah pada masa sebelum Meiji), dan lingkaran-lingkaran lain yang dianggap “bukan-Jepang”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

Di sini terlihat bagaimana peran genre mukokuseki (1960-an), slogan-slogan seperti Discover Japan (1970-an) dan Ekuzochikku Japan (1984), serta wacana

Nihonjinron (1960-1980) yang digunakan untuk membangun sebuah bangsa yang bisa diimajinasikan bersama-sama – komunitas terbayang – menciptakan ke- universal-an produk budaya Jepang. Berbagai reproduksi ideologi ini hadir dalam reproduksi media film di dalam televisi. Peran ideologi ini yang kemudian bernegosiasi dengan perkembangan film paska perang yang juga mengembangkan ke-

Jepang-annya, yaitu narasi yang berputar pada perkembangan psikologis tokoh dan juga konsep ijippari (1960-1970) seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Justru karena mukokuseki ini yang menyiratkan ke-universal-an produk budaya Jepang, produk budaya ini bisa diterima dengan masif di negara-negara lain.

Iwabuchi (2002) menyebut produk seperti ini dengan produk cultural odorless – tidak memiliki aroma budaya – sehingga justru bisa diterima di berbagai budaya lain.

Produk budaya seperti anime justru diterima ketika tidak ada lagi tanda-tanda Jepang secara fisik di dalamnya.74 Produk budaya ini diterima ketika tidak lagi menampilkan

Jepang secara fisik, tetapi masih tetap bisa dinamai sebagai “Jepang” karena negosiasi di dalamnya.

Perkembangan televisi – dan terutama kontennya – tidak pernah bisa terlepas dari segala proses reproduksi ideologis yang terjadi di sekitarnya tersebut. Melalui proses reproduksi ideologis yang terjadi terus menerus ini, media televisi Jepang

74 ibid. hal. 33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

menampilkan kekuatan mediasi terhadap segala pengaruh yang masuk dari Barat.

Perkembangan konten televisi menjadi kacamata untuk melihat perkembangan masyarakat Jepang sesuai dengan reproduksi ideologis yang terjadi secara kronologis tersebut. Mediasi yang dilakukan televisi ini juga terbukti dari bagaimana budaya media televisi diterima dengan sangat besar di Jepang. Pada 1965, masyarakat Jepang menghabiskan waktu paling banyak di depan televisi dibandingkan dengan makan, melakukan hobinya, ataupun berinteraksi dengan orang lain. Hanya tidur dan bekerja lah kegiatan yang menghabiskan waktu lebih banyak dibanding menonton televisi.

Hasil survey yang sama pun terlihat kembali 30 tahun kemudian (1995).75

Perkembangan televisi dan reproduksi ideologis yang berdasarkan pencerminan terhadap Barat – baik kritik, acuan, maupun anti-Barat – menunjukkan besarnya kekuatan simbolis Amerika yang berakar dan diterima di Jepang. Jepang mengambil budaya media Amerika, dan menginovasikan ulang budaya tersebut untuk memberikan pemahaman akan aktivitas santai (leisure) dan pengkonsumsian di wilayah privat (domestik) kehidupan masing-masing orang di Jepang. Komoditi seperti radio, mobil, alat-alat elektronik, atau barang-barang budaya populer, menjadi elemen simbolis dari Amerikanisme di Jepang (e.g. Gordon, 1993; Ivy, 1995;

Iwabuchi, 2002; Chun, 2007) Usaha seperti ini sejalan dengan analisis Perdana

Menteri Yoshida Shigeru terhadap isi perjanjian Amerika – Jepang pada tahun 1951:

75 Chun (2007), op.cit, hal.4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

“Just as the United States was once colony of Great Britain but is now the stronger of the two, if Japan becomes a colony of the United States it will eventually become the stronger.”76 Perkataan yang diungkap oleh PM Yoshida Shigeru tersebut menunjukkan usaha Jepang yang harus menumpang pada Amerika untuk membangun negaranya.

Jepang juga harus memanfaatkan jaringan dan budaya yang sudah dibangun oleh

Amerika Serikat untuk masuk ke berbagai negara. Jepang membangun basis identitas mereka – yang terlepas dari Amerika – ketika sudah menempati posisi di negara- negara tersebut. Melalui alur seperti inilah proyek pembangunan imaji “Jepang” di hadapan negara-negara lain (terutama Asia) dapat diciptakan.

2.1.3 Menyiarkan Budaya Populer, Menciptakan Jepang

“…Hello Kitty is Western, so she will sell in Japan. She is Japanese, so she will sell in the West…” (McGray, 2002: 50) Kutipan ini terdapat dalam artikel berjudul Japan‟s Gross National Cool oleh

Douglas McGray (2002). Ia mengenalkan istilah Gross National Cool (GNC) yang merupakan permainan kata dari Gross National Product (GNP) Jepang yang menurun paska meletusnya ekonomi gelembung. Ia berargumen bahwa Jepang sudah memiliki tradisi untuk menggabungkan berbagai elemen dari berbagai budaya negara lain menjadi satu keutuhan yang hampir koheren. 77 Dari contoh pemahaman terhadap

Hello Kitty di atas – dan juga berlaku bagi semua budaya populer Jepang yang

76 Brian Reading, Japan: The Coming Collapse (New York: Harpercollins, 1992) hal.1 via Iriye, Akira dan Wampler, Robert A (ed). Partnership: The United States and Japan 1951-2001. (Tokyo: Kodansha International .Ltd, 2001), hal. 240 77 Douglas McGray, Japan’s Gross National Cool, dalam Foreign Policy (Mei/Juni 2002), hal. 44-54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

diekspor ke luar negeri – budaya populer Jepang dapat dicintai karena produk- produknya tidak menampilkan suatu tradisi kultural autentik tertentu. Pemahaman akan Japanese Cool yang dimiliki oleh produk budaya populer Jepang seperti ini pun juga diamini oleh media-media arus utama di berbagai negara lain.78

Konsep Cool Japan ini diakui oleh pemerintah Jepang pada 2005 dalam konferensi pers Kementrian Luar Negeri. Barulah pada 2010, secara resmi

Kementrian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) mengadopsi konsep ini dan membentuk proyek-proyek untuk memajukan industri kreatif dibawah bendera Cool

Japan. Kementrian ini mengalokasikan banyak dana untuk kegiatan-kegiatan Cool

Japan, termasuk mendanai kegiatan di delapan negara pada tahun 2011.79 Sampai pada tahun 2013, METI menginisiasi pembentukan Cool Japan Fund, Inc. untuk mengurusi proyek-proyek promosi budaya populer Jepang di luar negeri. Bahkan,

METI berencana mendirikan kanal televisi kabel berjudul Japan Channel yang secara khusus akan disiarkan di Asia Tenggara.80 Pendirian kanal televisi ini juga belajar dari program NHK yang sejak 2009 telah menciptakan program televisi Cool Japan:

78 Contohnya adalah adanya artikel berjudul “Cool Japan: le Japon superpuissance de la pop” dalam Le Monde (18 Desember 2003), dan “Japan’s Empire of Cool” dalam Washington Post (27 Desember 2003) 79 Japan Times (15 Mei 2012), diakses dalam http://www.japantimes.co.jp/news/2012/05/15/reference/exporting-culture-via-cool- japan/#.V2p5hBKvhsV 80 Japan Times (9 Januari 2014), diakses dalam http://www.japantimes.co.jp/culture/2014/01/09/general/will-cool-japan-finally-heat-up-in- 2014/#.V2p5khKvhsV

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

Kakkoi Nippon yang berisi pengalaman orang – diwakili oleh orang asing dan orang

Jepang – dalam mengungkap budaya-budaya Jepang.81

Departemen Penelitian Ekonomi Japan External Trade Organization

(JETRO) melabeli fenomena Cool Japan ini dengan “Gelombang Ketiga Japonisme”.

Gelombang pertama adalah ketika bentuk lukisan Ukiyo-e dan pakaian Kimono muncul dalam pameran di Paris akhir 1867. Gelombang kedua terjadi pada 1950-an hingga 1960-an, mengawali popularitas produk budaya Jepang seperti film-film Akira

Kurosawa. Namun gelombang ketiga yang terjadi sejak tahun 1990-an ini berbeda karena efeknya yang sangat luas di berbagai negara.82 Hal ini dianalisis oleh JETRO melalui meningkatnya ekonomi negara Asia lain yang menjadi pesaing Amerika sebagai tujuan ekspor terbesar. Negara-negara Asia seperti China, Hong Kong,

Taiwan, dan juga empat negara ASEAN (The ASEAN Four) – yaitu Indonesia,

Malaysia, Filipina, dan Thailand – mendominasi angka ekspor Jepang. Hal ini terjadi karena investasi langsung – terutama di bidang industri – yang selama ini telah dilakukan Jepang di negara-negara tersebut membuat mereka dengan mudahnya mengekspor berbagai produk.83

81 Acara ini banyak menghadirkan orang asing yang berbicara dalam bahasa Jepang dan menikmati budaya-budaya Jepang. Judul “Kakkoi Nippon” pun mengalami permasalahan ketika dikritik dengan cara Ivy (1995). Di satu sisi, Kakkoi merupakan bahasa Jepang dari cool dan ditulis dalam huruf hiragana seperti biasanya. Di sisi lain, nama Jepang menggunakan kata Nippon yang merupakan bentuk lama (era Meiji) dari Nihon, dan justru dituliskan dengan huruf katakana yang biasa digunakan untuk bahasa asing. 82 JETRO, “Cool” Japan’s Economy Warms Up (Maret 2005), hal. 7-8 83 Ibid, hal. 13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

Pada poin ini, dapat disimpulkan terlebih dahulu dua jalan yang penting bagi

Jepang dalam menyebarkan budaya populer mereka. Jalan pertama adalah pemanfaatan Jepang terhadap kekuatan simbolik Amerika. Hal ini terjadi melalui penempatan budaya Amerika dalam budaya Jepang, dan juga sebaliknya. Jalan kedua adalah dukungan ekonomi Jepang terhadap negara-negara di Asia, terutama Asia

Timur dan Asia Tenggara.

2.1.3.1 Menumpang Amerika

Aspek pertama terlihat dari bagaimana Jepang berusaha menumpang Amerika.

Setelah Jepang diakui sebagai negara yang berhasil meningkatkan ekonomi dan teknologinya dengan pesat (economic miracle yang terjadi pada 1970-1980), Amerika banyak melakukan pembelajaran terhadap Jepang. Hal ini terlihat dari mulai munculnya banyak institusi pendidikan yang membuka bidang studi spesifik terhadap

Jepang. Di sisi lain, orang-orang Jepang juga banyak berpindah ke Amerika untuk melanjutkan studi maupun bekerja. Pertukaran semacam ini merupakan aspek penting bagi pembangunan imaji Jepang di Amerika.84

Pembukaan jalan oleh Amerika ini sejalan dengan prinsip internasionalisasi

(kokusaika) yang dijalankan oleh Jepang. Jepang tidak menyia-nyiakan kesempatan

84 Untuk grafik dan prosentasi pertukaran di bidang pendidikan ini bisa dilihat dalam Watanabe Yasushi, dan David L. McConnel (ed.) Soft Power Superpowers: Cultural and National Assets of Japan and the United States, (New York: M.E.Sharpe, 2008), hal 75-96. Untuk tabel grafik jumlah pembelajar bahasa Jepang di luar negeri dapat dilihat pada halaman 148.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

ekonomi yang diberikan oleh Amerika tersebut. 85 Mereka menggunakan internasionalisasi sebagai senjata untuk menyebarkan Jepang ke dunia – terutama keinginan mereka untuk menjelaskan mengapa Jepang berbeda (dan lebih baik) dibanding negara lain.86

Usaha Jepang untuk menyebarkan pengaruhnya juga diwujudkan melalui keinginan Jepang untuk tidak hanya menguasai pasar perangkat keras tetapi juga perangkat lunak produk budaya populer di dunia. Hal ini terlihat dari dua pembelian besar perusahaan Jepang di Amerika. Sony membeli Columbia Picture pada 1989 dan

Matsushita membeli MCA (Universal) pada 1990. Beberapa perusahaan Jepang lain juga melakukan jalan yang sama dengan melakukan investasi besar pada perusahaan

Amerika, seperti Sumitomo kepada CTI, dan Itochu kepada Time Warner.87 Strategi untuk membangun korporasi media global seperti ini dibicarakan oleh Morley dan

Robin (1995) dengan tiga sistem: (1) menciptakan produk-produk budaya, (2) mendistribusikan produk-produk, dan (3) menguasai perangkat keras untuk menyebarkan produk-produk itu.88 Dari pembagian strategi ini jelas terlihat bahwa

Jepang telah lebih dahulu diakui dalam penguasaan perangkat keras. Pembelian dan investasi terhadap perusahaan-perusahaan besar Amerika menjadi tahapan untuk menguasai pendistribusian produk-produk budaya mereka. Dengan dua tahapan yang

85 Henshall (2004), op.cit. hal. 156 86 Ibid. hal.171 87 Iwabuchi (2002), op.cit. hal 29-37 88 David Morley dan Kevin Robins, Spaces of Identities: Global Media, Electronic Landscapes, and Cultural Boundaries. (London: Routledge, 1995) hal. 13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

bisa dijalankan terlebih dahulu, peningkatan popularitas produk budaya populer

Jepang pun bisa tercipta.

Peningkatan ini bisa dilihat dari bagaimana sebelumnya Jepang sukses meningkatkan popularitas produk budaya populer Jepang seperti permainan komputer di Amerika. Permainan-permainan seperti Super Mario Bros, Sonic, maupun

Pokemon mendapat popularitasnya karena Jepang telah menguasai penjualan perangkat keras dalam permainan komputer – Nintendo, Sega, dan Sony. Hal yang sama pun terjadi pada produk budaya berbentuk anime. Penguasaan perusahaan- perusahaan Jepang terhadap korporasi media Amerika membuat anime seperti

Pokemon mendapat pengakuan global. Bahkan kemudian film-film layar lebar

Pokemon pun diciptakan dengan penambahan pengisi suara ataupun soundtrack dari penyanyi Amerika yang sudah populer, sehingga penikmat Pokemon dari berbagai negara bisa menikmati produk budaya Amerika melalui produk Jepang, dan juga sebaliknya – menikmati produk budaya Jepang melalui Amerika. Di sini terlihat bagaimana negosiasi antara Jepang dengan Amerika terjadi. Bahkan beberapa produser film Hollywood seperti Matrix dan Kill Bill mengatakan bahwa mereka banyak dipengaruhi oleh konten anime ataupun manga dalam kegiatan produksinya.89

Popularitas budaya populer Jepang di Amerika ini bukan berarti hegemoni kultural Amerika telah kalah dengan Jepang. Penguasaan Jepang pada korporasi

89 Untuk daftar produk budaya populer Jepang yang masuk dan popular di Amerika ataupun negara- negara lain, serta tabel perbandingannya dengan produk budaya populer Barat dapat dilihat pada tulisan Sugiura Tsutomu, Japan’s Creative Industries: Culture as a Source of Soft Power in the Industrial Sector, dalam Yasushi (2005), op.cit. 128-187

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

media global dari Amerika justru secara tidak langsung meluaskan pengaruh kultural

Amerika. Dengan bantuan kemampuan pengembangan teknologi perangkat keras yang ditawarkan Jepang, korporasi media Amerika bisa lebih mudah menebar kekuatannya. Walaupun popularitas program televisi Amerika mengalami penurunan, kekuatan kultural Amerika masih bisa terlihat jelas dari pengakuan bentuk budaya media global yang memiliki asal dari Amerika.90

2.1.3.2 “Membantu” Asia Tenggara

Pada 1977, dalam perjalanannya ke Manila, Perdana Menteri Fukuda mengeluarkan arah baru kebijakan Jepang untuk daerah Asia Tenggara. Arah baru ini dikenal dengan istilah “Fukuda Doctrine”, yang isinya seperti terlihat pada kutipan berikut:

…Fukuda doctrine, this encompassed three pillars: (1) contribution to the peace and prosperity of Southeast Asia by rejecting the role of military power; (2) consolidation of relationship of mutual confidence and trust based on „heart-to-heart‟ understanding; and (3) Japan as an equal partner of ASEAN and its member countries while aiming at fostering a relationship based on mutual understanding with the nation of Indochina… (Sudou Sueo, “Japan-ASEAN Relations: New Direction in Japanese Foreign Policy,” Asian Survey, Vol. 28, No. 5 (May 1988), pp. 511-12) Setelah adanya Fukuda Doctrine ini, ASEAN menjadi arah utama bagi kebijakan-kebijakan Jepang di Asia Pasifik. Melalui berbagai forum yang terkoneksi dengan Jepang, Jepang mempromosikan proyek mereka untuk membangun industri- industri yang berbasis regional Asia Tenggara dan menawarkan bantuan dalam hal

90 Morley (1995), op.cit. hal. 223-24

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

teknis di dunia industri. Dalam komunikasi ini Jepang juga berusaha menegosiasikan kebijakan yang menguntungkan mereka dalam bidang ekspor-impor. Usaha-usaha ini berbuah hasil yang memuaskan, karena negara-negara ASEAN mulai menerima dengan baik ekspansi komersial Jepang, dan akhirnya memandang Jepang sebagai model mereka dalam mengembangkan ekonomi negara masing-masing. 91 Usaha- usaha ini menciptakan imaji Jepang sebagai “negara maju yang harus ditiru” seperti yang sering terlihat pada wacana pembangunan sejak orde baru di Indonesia.92

Pembangunan arah kebijakan Jepang pada negara-negara Asia Pasifik seperti ini berangkat dari pembelajaran terhadap gerakan ekonomi multilateral yang berlangsung sejak 1930 93 , Perang Dunia ke II, hingga terbentuknya European

Economic Community pada 1957. Mereka melihat bahwa sejarah di 1930 membentuk sikap Amerika dalam pengembangan institusi-institusi paska-perang untuk membangun kerjasama multilateral dan global. 94 Hingga 1990-an, Jepang telah berhasil mengejar kesuksesan Amerika dalam melakukan investasi langsung ke Asia

Timur dan Asia Tenggara – berbagi dengan Amerika. Jepang menjadi investor utama

91 Sudou Sueo, Japan-Asian Relations, (Asian Survey, Vol. 28, No. 5, May 1988) pp. 512-22 via Iriye (2001), op.cit. hal. 24 92 Lihat satu contohnya pada Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1983) 93 Jatuhnya ekonomi dunia (Depresi Ekonomi) yang dimulai sejak insiden Selasa Kelam (jatuhnya pasar saham) di New York pada Oktober 1929 dan kemudian kelebihan industry (over-industry) pada tahun 1930. 94 Bagian introduksi dalam Jeffrey A. Frankel, dan Miles Kahler (ed.), Regionalism and Rivalry: Japan and the United States in Pacific Asia. (Chicago: The University of Chicago Press, 1993), hal.1-18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

di Thailand, Indonesia,95 dan Korea Selatan, serta menjadi investor nomor dua di

Malaysia, Filipina, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura.96

Kedekatan Jepang terhadap negara-negara di Asia Tenggara seperti ini tentu berpengaruh pada ekspor produk mereka. Jepang melakukan ekspor produk budaya populer mereka dengan menyesuaikan pada kedekatan Jepang – pengetahuan mengenai pasar di Asia Tenggara. Kekhususan ini yang menyebabkan ekspor produk budaya populer Jepang yang meliputi dorama, pop idols, karakter dalam pernak- pernik seperti HelloKitty, ataupun majalah fashion justru jarang sekali ditemui di

Barat tetapi mudah ditemui di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Bahkan beberapa judul anime dan manga hanya khusus diekspor ke Asia. Seperti diungkap pada Japanese Ministry 1997, perlakuan khusus ini semakin terlihat pada 1995 ketika

Pasar Asia Timur dan Asia Tenggara menerima 47% dari total ekspor program televisi Jepang. Hal ini menggambarkan bagaimana produk kultural Jepang membawa ketertarikan simbolis bagi negara Asia yang lain dalam konteks perkembangan non-Western indigenized modernities. 97 Ketertarikan ini berkaitan dengan kedekatan budaya yang dirasakan oleh negara-negara Asia terhadap Jepang ketika dihadapkan dengan modernitas Barat. Dengan kata lain, penerimaan terhadap produk kultural Jepang di Asia Timur dan Tenggara hanya bisa terjadi ketika negara-

95 Total investasi Jepang ke negara-negara Asia di tahun 1951-1990 mencapai USD 47.5 Juta. Porsi terbesar adalah investasi ke Indonesia (USD 11.5 Juta). Lihat deskripsi dalam Curtis Andressen, A Short History of Japan: From Samurai to Sony, (Chiang Mai: Silkworm Books, 2002), hal 172-173 96 Untuk tabel investasi Jepang ke negara-negara ini dapat dilihat dalam tulisan Richard F. Doner, “Japanese Foreign Investment and the Creation of a Pacific Asian Region” dalam Frankel (1993), hal. 161-165 97 Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

negara ini sudah berhadapan dengan simbol modernitas yang dibawa oleh Barat.

Tanpa adanya kekuatan simbolis dari Barat, penerimaan pun tidak bisa begitu saja membentuk adanya rasa kedekatan budaya.

Dengan pemahaman seperti ini, maka Amerika (Barat) telah memasuki tingkatan baru yang disebut oleh Baudrillard dengan istilah Hysteresis, yaitu sebuah proses ketika sesuatu berkembang secara berkelanjutan, dan secara tak sadar efeknya terus berkelanjutan walaupun penyebabnya sudah tidak lagi disadari (hilang).

Walaupun kekuatan hegemoni Amerika sudah meredup, Baudrillard berargumen bahwa redupnya kekuatan tersebut menandakan kekuatan Amerika telah mengalami perubahan sifat dasar.98

“…It [America] has become the orbit of an imaginary power to which everyone now refers. From the point of view of competition, hegemony, and „imperialism,‟ it has certainly lost ground, but from the exponential point of view, it has gained some…“ (Baudrillard via Iwabuchi, 2002: 41)

2.2 Penyiaran ala Jepang: dari Dipaksakan hingga Didambakan

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, Jepang menjadikan Asia Timur dan

Asia Tenggara sebagai pasar terbesar bagi persebaran budaya mereka. Pembangunan imaji Jepang seperti ini dimulai sejak masa kolonialisme melalui penerjemahan berbagai teks budaya Jepang seperti sastra dan film. Pembangunan rutinitas pun juga sudah dijalankan melalui siaran radio. Namun, pembangunan imaji melalui penyebaran media seperti itu tidak akan pernah bisa terjadi sesuai dengan yang

98 Iwabuchi (2002), op.cit. hal. 41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

diharapkan Jepang. Ien Ang (1996) mengatakan bahwa pembaca yang komprehensif sesuai dengan harapan sang pencipta teks tidak pernah ada. Pembaca selalu merupakan audiens yang aktif – baik sebagai subjek, maupun objek yang terkena interpelasi dari teks tersebut. Pembaca dibayangkan selalu bisa merangkai makna sendiri dari pertemuannya dengan teks, dan itu dibangun dari semesta wacana yang tidak hanya berasal dari teks.99 Karena itu, penting untuk membandingkan dua proses pembentukan imaji Jepang yang menghasilkan imaji bertolak belakang di dua generasi. Pertama, penerjemahan media dan rutinitas penyampaiannya pada masa kolonialisme. Kedua, rutinitas penayangan program-program Jepang pada penyiaran televisi sejak masa Orde Baru yang menjadikan Jepang sebagai objek damba bagi para penggemarnya. Di antara kedua periode tersebut, perlu juga dijelaskan kembalinya Jepang ke Indonesia paska-penjajahan dan perannya pada pembangunan ekonomi Indonesia.

2.2.1 Ingatan Terjajah dalam Hiburan

Penjajahan Jepang di Indonesia menyisakan ingatan negatif di masyarakat.

Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan dalam membandingkan penjajahan

Belanda dan Jepang dengan menyebut bahwa penjajahan Jepang yang tiga setengah tahun lebih kejam dibandingkan yang 350 tahun. Selain dari kekejaman secara fisik yang benar-benar dialami, kekejaman tersebut juga kadang diingat dari banyak dan

99 Ien Ang, Living Room Wars: Rethinking Media Audiences for a Postmodern World (London: Routledge, 1996), hal. 23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

ketatnya pengaturan Jepang di masyarakat. Ketatnya pengaturan itu misalnya terlihat dari bagaimana pemerintah Jepang memaksa masyarakat Indonesia untuk ikut melakukan senam pagi – pukul 08.45 setiap harinya – sesuai dengan siaran radio arahan tentara Jepang. 100 Keterlibatan berbagai media tentu tidak bisa dilepaskan sebagai aparatus propaganda Jepang.

Propaganda merupakan kewajiban pokok yang harus ada pada sistem penjajahan Jepang demi menjalankan niatnya untuk “menyita hati rakyat” (minsbin ba‟aku) dan “mengindoktrinasi dan menjinakkan mereka” (senbu kousaku). Oleh karena itu mereka membentuk Sendenbu (Departemen Propaganda) di dalam badan pemerintahan militer (Gunseikanbu) pada Agustus 1942. 101 Di dalamnya terdapat lima seksi, yaitu seksi administrasi, sastra, musik, seni rupa, dan seni pertunjukkan

(teater, tari, film). Masing-masing seksi dipimpin oleh orang Indonesia, dan berisi orang-orang Indonesia yang spesialis di bidang-bidang tersebut, serta staf instruktur dari Jepang untuk melatih mereka. Departemen ini juga memobilisasi para pemimpin politik setempat, pemuka agama, penyanyi, musisi, aktor, dalang, penari, sampai badut untuk melancarkan agenda propaganda mereka. 102 Kriteria dari orang-orang yang direkrut dilihat dari popularitas, pendidikan, dan penghormatan masyarakat

100 Jadwal siaran radio Jepang setiap harinya dapat dilihat dalam Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2015), hal. 284. Sistem penyiaran seperti ini sama dengan budaya Calisthenic radio di Jepang yang sudah dijelaskan sebelumnya. 101 Ibid, hal. 247-49. Daftar organisasi propaganda yang berada di bawah Sendenbu dapat dilihat pada halaman 148, termasuk adanya organisasi Nihon Eigasha atau Nichi’ei (Perusahaan Film Jepang) dan Eiga Haikyuusha atau Eihai (Perusahaan Pendistribusian Film). 102 Di Yogyakarta sendiri, orang-orang yang dilibatkan misalnya Bekel Tembong (badut), Kadaria (pemain ketoprak), Bagio (badut dan pemain ketoprak), dan Mangun Ndoro (dalang).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

umum. Karena mereka juga harus mampu menjangkau masyarakat desa yang kebanyakan tak berpendidikan dan buta huruf, media yang mereka anggap paling efektif dalam membantu propaganda ini adalah film, seni panggung, kamishibai

(gambar kertas) dan musik. Jepang menganggap bahwa media tulis mungkin berdampak bagi masyarakat kota yang terdidik, tetapi tidak ada gunanya bagi masyarakat desa.103

Dalam hal ini, film memiliki dampak paling besar, baik secara kuantitas maupun isi. Pesan yang ingin disampaikan melalui film disesuaikan dengan kebijakan langsung dari pemerintah Tokyo. Studio yang menangani produksi dan penyebaran film pun dipilih dari studio yang sudah mapan di Tokyo dengan strategi pembukaan cabang baru di Jawa. Salah satu studio yang dipilih adalah Nichi‟ei. Selain memproduksi film, pembangunan studio besar Jepang di Jawa ini juga digunakan untuk mengontrol impor film asing yang masuk ke Indonesia. Pemerintah Jepang melarang film dari negeri “musuh” untuk masuk, sebaliknya mereka menerapkan kebijakan impor 52 film Jepang setiap tahun, juga rencana untuk mengimpor 32 film

China dan 6 film dari negara sekutu lain.

Film-film Jepang yang diimpor pun dipilih dengan ketat, dan terutama hanya

“film kebijakan nasional” Jepang yang boleh masuk. “Film kebijakan nasional” yang dimaksud ini pada intinya adalah film-film yang menggambarkan penolakan terhadap

103 Laporan sukarelawan propaganda di Cirebon yang ditampilkan dalam Jawa Shinbun (Koran Jawa) pada 5 November 1944. Lihat Kurasawa (2015), hal. 256-257

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

budaya Barat dan pengunggulan budaya dan nilai-nilai yang khas Jepang. Di sini peran Nichi‟ei menjadi penting karena perkembangan media film di Jepang juga sedang mengalami kontrol ketat oleh pemerintah Jepang pada waktu yang sama.

Kurasawa (2015) membagi film-film yang dipertunjukkan di Jawa tersebut menjadi enam kategori:

1. Film yang menekankan persahabatan antara bangsa Jepang dan bangsa-

bangsa Asia serta peran pengajaran Jepang.

2. Film yang mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap

bangsa.

3. Film yang melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer

Jepang.

4. Film yang menekankan kejahatan bangsa Barat.

5. Film yang menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang, seperti

pengorbanan diri, kasih sayang ibu, penghormatan terhadap orang-orang

tua, persahabatan yang tulus, sikap kewanitaan, kerajinan, dan kesetiaan.

6. Film yang menekankan pentingnya produksi dan kampanye perang

lainnya.104

Penyebaran film-film ini dilakukan oleh Jawa Eihai dengan cara menyebarkan ke bioskop setempat, bioskop-bioskop yang sudah disita, memutar film

104 Ibid, hal. 259. “Film kebijakan nasional” seperti ini sejalan dengan perkembangan studio film di Jepang dan ideologinya yang sudah sempat dibahas di sub-bab sebelumnya. Namun, film-film yang diproduksi di Indonesia justru mendapat penekanan lebih mendalam pada nilai-nilai tersebut dibandingkan film-film yang dibawa langsung dari Jepang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

di lapangan terbuka, serta mengadakan bioskop keliling. Hingga Desember 1943, mereka telah mendirikan pangkalan operasional bioskop keliling di Jakarta,

Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang. Mobilisasi masyarakat untuk menonton pemutaran film di lapangan, maupun bioskop keliling dilakukan oleh pejabat desa. Bagi penduduk desa, film menawarkan salah satu kesempatan yang jarang untuk hiburan, pada saat kehidupan sulit dan penuh penderitaan. Kalau ada pengumuman mengenai bioskop keliling, masyarakat rela berjalan jauh menuju tempat yang ditetapkan. Pemutaran film di daerah pedesaan jarang mengalami kesulitan menarik pengunjung. Kurasawa (2015) menyatakan bahwa para informan dalam penelitiannya pernah melihat film sekurangnya sekali selama masa pendudukan Jepang, dan biasanya ini merupakan pengalaman pertama mereka menonton film.105

Mudahnya media film sebagai aparatus propaganda – karena dalam film permasalahan bahasa tidak terlihat membuat Pemerintah Jepang meningkatkan bentuk media ini. Terlepas dari penerimaan masyarakat yang masif – terutama di pedesaan – terhadap film propaganda, masyarakat Indonesia pada intinya melihat media ini sebagai bentuk hiburan baru, tanpa mengetahui bahwa mereka akan

“diindoktrinasi.” Justru tujuan indoktrinasi melalui pengontrolan tema-tema film tidak begitu dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Dengan mengevaluasi agenda propaganda Jepang seperti ini, Kurasawa melihat bahwa tampaknya ada

105 Ibid, hal. 266

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

rencana indoktrinasi politik berjangka panjang serta sasaran propaganda jangka pendek.106

Kecurigaan Kurasawa akan adanya rencana jangka panjang itu tampaknya terbukti dalam perkembangan media film di Indonesia paska pendudukan Jepang.

Andjar Asmara, seorang sutradara film pada masa itu, melihat bahwa euforia film yang dilihatnya pada masa pendudukan Jepang itu mendorongnya untuk berharap bahwa film bisa memainkan peranan sebagai “alat pendidik rakyat yang sangat penting” di kemudian hari. Arti masa pendudukan Jepang bagi hari depan perfilman di Indonesia pun dinilai cukup penting oleh Usmar Ismail, seperti terlihat berikut:

“…Hawa baru jang sebenarnja, baik mengenai isi maupun mengenai proses pembikinan film, datang pada waktu pendudukan Djepang. Barulah pada masa Djepang orang sadar akan fungsi film sebagai komunikasi sosial. Satu hal lagi jang patut ditjatat ialah terdjaganja bahasa, hingga dalam hal ini kentara apa jang dikemukakan lebih dahulu, bahwa film mulai tumbuh dan mendekatkan diri kepada kesadaran perasaan kebangsaan…” (Usmar Ismail: “Sari Soal dalam Film-film Indonesia,” Star News, Th. III, No. 5, 25 September 1954, hal. 30)107 Di sini terlihat bagaimana imaji negatif penjajahan Jepang berkelindan dengan imaji positif dari hal-hal yang bisa menjadi pembelajaran masyarakat Indonesia – seperti pengaruh film. Ada perbedaan ingatan yang tercipta dari dua imaji yang saling berkelindan tersebut. Yang perlu dicermati adalah bagaimana ingatan tersebut termanifestasikan oleh waktu. Ingatan negatif dialami oleh orang-orang yang mengalami secara langsung – generasi tua. Di sisi lain, generasi muda pada masa

106 Ibid, hal. 291 107 Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia (Jakarta: Grafiti Pers, 1982), hal. 34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

pendudukan Jepang adalah kelompok masyarakat yang memiliki kesempatan lebih luas untuk tersentuh propaganda Jepang melalui bentuk-bentuk hiburannya. 108

Generasi inilah yang bertahan cukup lama hingga Jepang kembali ke Indonesia dan memulai proyek pembangunan imajinya yang lebih positif – semakin mengikis ingatan akan imaji negatif.

2.2.2 Kembalinya Jepang ke Indonesia

Kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke-II menyebabkan Jepang mengalami banyak kerugian dan melepaskan pengaruh fisiknya terhadap negara-negara bekas jajahannya. Baru pada 1951, ketika Jepang dan Sekutu, bersama negara-negara lain

(total berjumlah 48 negara) menandatangani San Francisco Treaty, Jepang bisa memulai kegiatan internasionalisasinya. 109 Sebagian besar isi dari perjanjian ini terutama adalah misi rekonsiliasi – memberikan pampasan perang 110 – Jepang terhadap negara-negara jajahannya, dan pembangunan kerjasama dengan negara- negara sekutu. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, dalam hal pembangunan kerjasama dengan sekutu tersebut Jepang memilih untuk banyak “menumpang” pada

Amerika.

108 Kurasawa (2015), op.cit, hal. 298. Dasar dari argument Kurasawa ini adalah seringnya media film, drama, kamishabai dipertunjukkan di sekolah, rapat-rapat local seinendan, Barisan Pelopor, dan Keibodan, yang kebanyakan anggotanya terdiri dari golongan muda. 109 Penandatanganan dilakukan pada 8 September 1951. Isi dari perjanjian tersebut dapat diakses pada https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%20136/volume-136-I-1832-English.pdf 110 Di Indonesia sendiri, Jepang membutuhkan waktu hampir 6 tahun untuk menghitung pampasan perang ini, sehingga Jepang baru membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia pada Januari 1958.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

Sampai pada awal 1970, kepemimpinan Amerika di bidang militer, politik, dan ekonomi sangat mendominasi. Diikuti dengan “keajaiban ekonomi” yang terjadi di Jepang, Amerika mempertahankan dominasinya tersebut dengan membangun segitiga kooperasi ekonomi dan politik bersama Eropa Barat dan Jepang.111 Segitiga ekonomi yang tercipta paska bebasnya pendudukan Jepang dari Amerika bertahan hingga ideologi komunis di ASEAN membuat mereka harus menentukan sikap.

Amerika yang memutuskan bersikap keras dalam menolak komunis memposisikan negaranya sebagai pendukung penghancuran ideologi komunis di

ASEAN – yang membuatnya berseteru dengan China dan meledaknya perang

Vietnam. Di sisi lain, Jepang mengambil posisi yang lebih netral. Jepang tidak begitu menyukai pembentukan ASPAC (Asian and Pacific Council) pada tahun 1966 sebagai kelompok negara yang anti-komunis dan mendukung intervensi militer

Amerika di Vietnam (Grup ini bubar pada 1975). Jepang lebih mendukung pembentukan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) pada 1967 oleh

Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang bertujuan membangun otonomi kolektif terhadap konfrontasi Perang Dingin.

Karena tujuannya yang berbeda, pendekatan yang dilakukan Jepang ke negara-negara ASEAN dianggap lebih tidak ideologis dibanding dengan tujuan

Amerika. Jepang melihat bahwa agenda investasi di Asia Tenggara merupakan

111 Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Japan and Indonesia in a Changing Environment (Jakarta: CSIS, 1981), hal. 33-34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

manifestasi keinginan mereka untuk berbagi pengalaman dalam memodernkan

Jepang. Hal ini seperti diungkap oleh Perdana Menteri Ikeda Hayato,

“…Our cooperation and assistance to these countries [in Southeast Asia], rather than being guided by the Cold War motive of checking the inroad of communism, are animated by our desire to fellow Asians to share with them the experience we gained in the process of modernizing our nation…”112 Di Indonesia, Jepang justru berutang pada terjadinya gerakan 30 September

PKI (Partai Komunis Indonesia). Indonesia yang sebelumnya sangat enggan menerima investasi modal asing demi memperjuangkan kemandirian ekonomi nasional, mulai membuka jalan bagi masuknya bantuan modal dan bantuan ekonomi dari Barat, terutama Jepang. Kurasawa, di bukunya yang berjudul Peristiwa 1965:

Persepsi dan Sikap Jepang (2015), menyatakan bahwa Jepang dapat menikmati kemakmurannya karena berdiri di atas korban satu juta orang tak bersalah yang tewas akibat pembunuhan massal. Ekspansi ke Asia Tenggara dan posisi Indonesia sebagai pasar terbesar investasi modal dan ekspor Jepang ini yang akhirnya membuat Jepang menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia.113

Sejak dibukanya politik pintu terbuka Indonesia melalui Peraturan Penanaman

Modal Asing (1967), investasi Jepang membanjiri industri-industri di Indonesia.

Jepang menjadi penanam modal paling besar terutama di bidang industri pengolahan.

Dominasi Jepang di sektor ini terutama disebabkan oleh ketergantungan pengusaha- pengusaha Indonesia terhadap pembiayaan pabrik, mesin, peralatan dan suplai, serta

112 Dennis T. Yasutomo, Japan and the Asian Development Bank (New York: Praeger, 1983), p.27 via Iriye (2001), op.cit, hal. 20 113 Aiko Kurasawa, Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), hal. viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

tenaga teknis dan staf manajerial dari negara-negara yang lebih berpengalaman.114

Investasi Jepang merambah semua sektor industri selain pertambangan yang didominasi Amerika. Di sektor manufaktur, Jepang menjadi investor terbesar. Tidak heran jika akhirnya merek barang dari Jepang lebih mudah ditemui dibanding

Amerika maupun Eropa, karena Jepang menguasai sektor manufaktur. Alasannya adalah bahan mentah dan tenaga buruh yang murah.115

Hal lain yang menyebabkan Indonesia menjadi target investasi potensial bagi

Jepang adalah adanya kemungkinan untuk memasarkan hasil olahan industri-industri tersebut di pasar domestik – Indonesia. Potensi ini yang sulit didapatkan di Singapura atau Malaysia karena jumlah penduduk yang tidak sebanyak Indonesia – sehingga potensi pasar pun lebih kecil di sektor domestik, dan lebih memberatkan pada potensi ekspor.116 Namun, justru karena potensi Indonesia untuk memasarkan hasil olahan industri di pasar domestik saja, perdagangan yang terjadi antara Indonesia dan Jepang terwujud secara asimetris. Tingkat ketergantungan Indonesia kepada Jepang dalam bidang perdagangan jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat ketergantungan

Jepang terhadap Indonesia. Jumlah ekspor impor yang tidak berimbang menjadi alasan dari tidak berimbangnya neraca perdagangan ini. Hal ini berbeda dengan

114 Mayling Oey, “Organisasi Perusahaan Jepang: Suatu Analisa Sosiologis” dalam Prisma,Vol. 5, Mei 1983 (Jakarta: LP3ES), hal. 44 115 Widiarsi Agustina, et. al., Massa Misterius Malari, Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru (Jakarta: Tempo Publishing, 2014), hal.13 116 Jun Onozawa, “Kebijaksanaan Merebut Teknologi” dalam Prisma (1983), op.cit, hal. 56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

Singapura atau Malaysia yang melakukan kebijakan ekspor pada hasil olahan industrinya.117

Tidak imbangnya neraca perdagangan antara Indonesia-Jepang menjadi alasan munculnya berbagai demonstrasi terhadap Jepang di tahun 1970-1974.

Momentumnya adalah kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada 14-17

Januari 1974. Unjuk rasa mahasiswa itu memprotes semakin besarnya aliran modal asing, yang dianggap memeras ekonomi Indonesia dan membunuh pengusaha lokal.

Puncaknya adalah ketika sekelompok orang mulai membakar dan menjarah toko-toko.

Mereka merusak pabrik Coca-cola dan showroom mobil Toyota. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa Malari – akronim dari Malapetaka 15 Januari.118

Tempo (2014) melacak bahwa ada pihak pemerintah yang menunggangi gerakan mahasiswa dan memobilisasi kerusuhan tersebut – terutama keterlibatan Ali

Moertopo dan Soemitro sebagai orang dekat Soeharto. Malari, yang merupakan rusuh politik pertama di era Orde Baru, dijadikan Soeharto sebagai kesempatan untuk mengukuhkan kekuasaannya hingga 24 tahun kemudian. Ia meringkus semua yang dianggap berseberangan dengannya. Pers mulai diberangus dan diawasi ketat, dan

117 Untuk tabel jumlah ekspor-impor Jepang-Indonesia dapat dilihat pada Pande Radja Silalahi, “Penataan Kembali Hubungan EKonomi Indonesia-Jepang: Suatu Tuntutan dan Kebutuhan” dalam Prisma (1983), hal. 5-7 118 Agustina (2014), op.cit. hal. 4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

kegiatan politik menjadi barang haram di kampus-kampus. Kekuasaan Soeharto dikukuhkan atas nama stabilitas nasional.119

Sejak saat itu, bercokolnya pengaruh kuat Jepang di Indonesia sebagai sebuah permasalahan tidak lagi diangkat ke permukaan. Pemerintah Orde Baru melanggengkan besarnya investasi Jepang kemudian. Produk Jepang mulai diterima kembali di masyarakat. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap peran Jepang dalam perkembangan ekonomi meningkat pesat. Berdasarkan poling yang dilakukan beberapa koran Jepang, 88% responden menyatakan setuju atas kontribusi Jepang pada pertumbuhan ekonomi. 74,5% dari responden bahkan menyatakan bahwa kekejaman yang pernah dilakukan militer Jepang di Indonesia tidak menjadi rintangan bagi terciptanya hubungan baik dengan Indonesia. Sehingga, 85% dari responden pun menyatakan bahwa Jepang telah menjadi negara yang bisa diandalkan di Asia.120 Penerimaan terhadap imaji Jepang semakin kuat pada masa ini. Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari penerimaan kembali adalah peran media yang dikontrol dengan ketat oleh pemerintah. Salah satunya adalah televisi.

2.2.3 Membangun Mimpi dalam Rutinitas Televisi

Sejak kehadiran televisi di Indonesia pada 1962, penyiarannya tidak pernah bebas dari tangan pemerintah. Televisi adalah proyek pemerintah yang “penuh

119 Ibid, hal. 112 120 Hasil survei ini disampaikan oleh beberapa koran, yaitu Asahi Shinbun (Agustus 1995), Yomiuri Shinbun (Mei 1995 dan September 1996), serta Nihon Keizai Shinbun (April 1997). Lihat Sueo Sudo, The International Relations of Japan and South East Asia: Forging a New Regionalism (London: Routledge, 2002) hal. 54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

muatan” karena hubungannya yang erat dengan pemerintah dan koneksi bisnis elite keluarga istana.121 Menurut Kitley (2001), televisi di Indonesia bisa dipahami sebagai bagian “proyek kebudayaan nasional” Indonesia, yaitu serangkaian kegiatan yang diarahkan dan disponsori negara yang dirancang untuk secara simbolik memberi legitimasi bagi identitas kebudayaan nasional Indonesia.122

Siaran televisi pertama Indonesia pada Agustus 1962 adalah siaran perayaan peringatan Hari Kemerdekaan ke-17, dan liputan 12 hari Asian Games. Penggerak utama dalam pengaturan-pengaturan awal televisi adalah Menteri Penerangan Maladi.

Pada 1959, lobi Maladi tentang televisi kepada pemerintah tepat waktu untuk memulai persiapan penayangan Asian Games 1962 – belajar dari kesuksesan Jepang dalam menggunakan media televisi pada 1958. Tim awal yang dibentuk Maladi untuk menciptakan televisi sebagai bagian dari proyek Asian Games ini kemudian diberangkatkan ke Jepang untuk mengikuti tiga bulan pelatihan intensif dengan NHK.

Anggota awal tim yang diberangkatkan ke Jepang ini juga beberapa merupakan

121 Philip Kitley, Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca, terj. (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001), hal. 10 122 Seperti dikutip oleh Philip Kitley (2001), menurut pasal 32 UUD 1945, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

orang-orang yang sudah pernah bekerja di bawah Sendenbu pada masa pendudukan

Jepang.123

Penciptaan televisi di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan

Jepang (terutama NHK) dalam membantu kelancarannya. Selain orang-orang

Indonesia yang memang sudah pernah bekerja di Sendenbu, NHK juga mengirimkan sekelompok teknisi dan reporter untuk mendampingi tim Indonesia selama Asian

Games. Mereka ini juga yang bertugas mengambil gambar dan mengirimkannya ke

Jepang untuk siaran NHK. Asian Games menjadi proyek pertama siaran televisi

Indonesia, sekaligus siaran internasional pertama – disiarkan di Jepang, Thailand, dan

Filipina. Pada waktu itu baru Jepang (1953), Filipina (1953), dan Thailand (1954) yang memiliki televisi, sehingga penyiaran Asian Games ini juga menyediakan bagi

Indonesia pentas internasional untuk menampilkan diri pada bangsa-bangsa sekitarnya sebagai bangsa yang modern, berkembang dengan cepat, dan canggih dalam perkara teknologi.124

Stasiun televisi pertama Indonesia adalah TVRI (Televisi Republik Indonesia).

TVRI ini juga yang sampai pada 1980-1990 berkuasa mengeluarkan ijin penyelenggaraan siaran televisi swasta untuk pertama kalinya (Rajawali Citra

Televisi (RCTI) – 1987, dan Surya Citra Televisi (SCTV) – 1990. Sejalan dengan peningkatan resepsi televisi di masyarakat Indonesia, terutama akibat peraturan

123 Ibid, hal. 28. 124 Ibid, hal. 35. Daftar sembilan stasiun siaran televisi di daerah-daerah Indonesia dan juga jumlah jam siarannya dapat dilihat pada halaman 40-43. Yogyakarta sendiri mulai mendapatkan siaran televisi pada 17 Agustus 1965 dengan jam siaran yang setara dengan siaran di Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

Soeharto untuk mewajibkan adanya televisi di setiap desa pada tahun pertengahan

1970an, 125 konten hiburan menjadi salah satu siaran yang paling ditunggu oleh masyarakat. Menurut Direktorat Televisi pada 1972, konten kebudayaan/hiburan di

TVRI menempati prosentase 40% dari total penyiaran mereka. Pentingnya konten hiburan itu yang membuat sepertiga lebih dari mata acara adalah film dan hampir semua film adalah impor serta menggunakan dialog dalam bahasa Asing.126 Berkat hadirnya film-film impor ini – yang sebagian besar merupakan impor dari Amerika dan Inggris – serta dimulainya budaya iklan di televisi, budaya konsumerisme internasional pun mulai mempengaruhi banyak sisi masyarakat.127

Kitley (2001) membagi pengaruh perkembangan televisi Indonesia menjadi dua fase, yaitu periode yang dimulai dengan pendirian televisi pertama dan berakhir dengan kemunculan penyelenggara siaran swasta pertama. Fase berikutnya adalah fase masifnya siaran televisi swasta. Perbedaan dua fase ini dilihat dari kuatnya kontrol pemerintah pada siaran televisi – kuat di TVRI, dan lemah di televisi swasta.128 Seperti yang ia bahas dalam penelitiannya, wacana-wacana yang berkisar pada siaran televisi di periode yang kuat kontrol pemerintahnya adalah wacana (1) pemirsa sebagai bangsa, yang menampilkan kekuasaan terpusat negara; (2) Pemirsa sebagai keluarga, yang menampilkan usaha pembangunan gaya hidup baru; dan (3)

125 Saya S. Shiraishi. Doraemon Goed Abroad dlm Craig (2000), op.cit. Hlm 300, ini terutama disebabkan peluncuran Satelit Palapa pada tahun 1976 yang membuat siaran televisi mulai dapat dijangkau ke seluruh Indonesia. 126 Kitley (2001), op.cit. hal. 43 127 Sampai akhirnya peraturan pelarang Iklan pun dibuat untuk mengontrol TVRI, dan ini membuat TVRI mengalami masalah finansial, terutama minimnya sponsor. 128 Ibid, hal, 79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

Pemirsa Kekanak-kanakan, yang menampilkan usaha penciptaan pengaturan sebagai

“Bapak”. Selain wacana dari pemerintah, para akademisi dan jurnalis juga menampilkan televisi sebagai wacana yang menciptakan Pemirsa sebagai Warga

Masyarakat.129

Munculnya televisi swasta untuk pertama kalinya dimotori oleh RCTI pada

1987 – secara resmi pada 1989.130 Kehadirannya merubah paradigma televisi, dan membuat TVRI sebagai televisi pemerintah menjadi kalah pamor. Televisi swasta adalah perusahaan komersial yang harus menghasilkan laba, sehingga RCTI membayangkan pemirsanya sebagai sesuatu yang harus direbut dari TVRI supaya pemasang iklan siap menggunakan saluran mereka. Untuk merebut pemirsa, RCTI bereksperimen dengan membeli acara-acara dari Amerika, dan ternyata eksperimen ini berhasil dan membuat acara-acara tersebut memiliki rating yang tinggi. Secara umum, RCTI menyusun pemirsanya secara nasional, dan bahkan internasional, sehingga porsi siaran berkonten internasional menduduki porsi tinggi. Di sini lah televisi mulai menyampaikan gagasan pemirsa sebagai Warga Negara Dunia.

Agendanya untuk mengejar keuntungan semakin terpenuhi ketika biaya impor konten televisi ternyata lebih murah dibanding biaya produksi acara lokal. TVRI yang memiliki peraturan minimal 80% siarannya adalah produksi sendiri mengalami kekalahan telak terhadap televisi swasta. Bahkan televisi swasta kemudian membujuk

129 Untuk deskripsi lebih jelasnya, lihat Kitley (2001), hal . 84-101 130 Ade Armando, Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016), hal. 152-53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

TVRI untuk mengikuti cara yang sama dalam mempertahankan pemirsanya dari bujukan nilai-nilai yang sangat konsumtif dan global.131

Masuknya siaran televisi pada fase kedua seperti ini menghancurkan monopoli pemerintah terhadap siaran televisi. Hal ini juga diikuti dengan munculnya teknologi video (mulai 1980an) yang bisa disewa dengan harga murah dan teknologi televisi satelit transnasional (karena peluncuran satelit Palapa 1976) yang bisa ditangkap oleh orang-orang yang mampu membeli teknologi parabola. Perkembangan semacam ini menyeret pemerintah Indonesia untuk menghadapi fakta bahwa bangsa

Indonesia tidak bisa menutup diri dari proses, tekanan, dan pengaruh budaya luar.

Kuatnya pengaruh teknologi-teknologi baru ini membuat pemerintah mengambil keputusan untuk memperkenalkan televisi swasta. Ini kemudian yang menggantikan monopoli televisi oleh pemerintah: monopoli televisi oleh pihak swasta yang bernegosiasi dengan pemerintah. Departemen Penerangan – yang berada di bawah

Menteri Penerangan Harmoko – pada tahun 1992-1993 akhirnya mengambil keputusan untuk membuka kran pelayanan televisi dan perlunya mengartikulasikan pengaruh asing. Keputusan itu dimaksudkan untuk memerangi infiltrasi hasil-hasil budaya internasional yang sangat tidak diinginkan, tidak diminta, tetapi tidak bisa dibendung.132

131 Kitley (2001), op.cit, hal. 108 132 Ibid, hal. 238-48

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

Fase kedua ini menyiratkan tidak terbendungnya pengaruh dari tayangan- tayangan televisi impor. Penonton meresepsi tayangan televisi sesuai dengan caranya masing-masing, dan tidak dapat lagi diawasi oleh pemerintah. Walaupun pengaruhnya tidak selalu negatif – seperti yang dinyatakan Saya Shiraishi dalam analisisnya terhadap resepsi kartun Doraemon di Indonesia 133 – kesatuan pembentukan jati diri nasional untuk membangun komunitas terbayang tak lagi berfungsi dengan maksimal.

Menurut beberapa narasumber yang saya temui, pembangun kecintaan terhadap budaya populer Jepang di Indonesia dimulai dari kecintaan mereka terhadap tayangan televisi impor Jepang yang disiarkan oleh stasiun televisi swasta.

Pembangunan kecintaan itu yang akan terus dibangun ketika para pembaca film televisi impor Jepang telah masuk pada fase ketiga perkembangan teknologi penyiaran: era internet. Argumen saya akan adanya fase ketiga ini terutama berkaitan masifnya pembangunan kecintaan pecinta budaya populer Jepang melalui rutinitas dalam menikmati konten di media internet. Di fase ketiga ini, orang bisa menonton kembali siaran anime Dragon Ball yang dahulu disiarkan di , dan bahkan mengikuti seri tersebut hingga kemunculan seri terbarunya pada 2015. Sampai di sini, saya menyimpulkan bahwa pengaruh impor film televisi Jepang di Indonesia menjadi fondasi bagi terbentuknya hobi mencintai budaya populer Jepang dan juga bentuk-

133 Lihat Saya S. Shiraishi. Doraemon Goed Abroad dlm Craig (2000), op.cit. Hlm 300

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

bentuk pengekspresian hobi-hobi tersebut di fase ketiga yang terjadi sampai sekarang ini.

2.3 Kesimpulan: Real-World yang Tak (Akan) Sampai

Pembahasan terhadap usaha impor model kognisi dan juga pembentukan mekanisme pemberian referen secara otomatis di atas menampilkan kekayaan jaringan kuasa yang saling berkelindan dalam proses menciptakan Jepang di

Indonesia. Usaha ini mencerminkan pembentukan Real-World yang diharapkan dapat berkonfrontasi dengan subjek pembaca film di Indonesia untuk membentuk Possible-

World yang diharapkan.

Perlu diingat terlebih dahulu bahwa pembentukan Possible-World hanya bisa terjadi melalui konfrontasinya dengan Real-world yang beredar di sekitar subjek pembaca teks-film. Dengan ini kita tidak boleh menafikan pengalaman subjektif dari pembaca film-teks di Indonesia yang turut membangun Real-world yang independen atas jaringan kuasa tersebut. Pembaca film-teks hanya akan melakukan abduksi dari semesta pengetahuan yang bisa dan pernah terpapar padanya. Semesta pengetahuan yang tak pernah sampai – seperti kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang, atau sejarah bentuk-nilai film Jepang seperti yang dijelaskan di atas – pada pembaca film- teks tak akan berpengaruh banyak pada cara ia menginterpretasikan pertemuannya dengan film.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

Dapat disimpulkan bahwa jaringan kuasa dan proses historis seperti yang dijelaskan di atas tidak pernah bisa sepenuhnya menjadi Real-world dari pembaca film teks Jepang di Indonesia. Apa yang terjadi di struktur atas dan historis dari proses penciptaan Jepang di Indonesia tak akan dapat secara penuh memaksakan kuasanya untuk membentuk Possible-World para pembaca film-teks di lapisan masyarakat.

Real-world menjadi penting pada penelitian ini karena potensinya untuk bisa sejalan dengan interpretasi para pembaca film-teks. Setelah bertemu beberapa narasumber, hal seperti nilai-nilai dalam film yang mereka interpretasikan – secara tanpa paksaan – memiliki kemiripan dengan nilai-nilai film Jepang, walaupun mereka tak pernah membaca literatur mengenai sejarah film Jepang seperti yang disampaikan di atas. Oleh karena itu, yang menarik untuk dilihat pada bab berikutnya adalah pengalaman nyata dan penyebaran pengetahuan budaya dan teks-teks yang terjadi di masyarakat Indonesia – dalam hal ini khususnya Yogyakarta – yang dapat memantik terbentuknya interpretasi yang nyaris sejalan tersebut. Dengan kata lain, pertanyaan yang akan dijawab berikutnya adalah: Model Reader macam apa yang terbentuk melalui konfrontasinya terhadap Real-world yang khas Indonesia? Dan mengapa mereka bisa independen dari Real-world yang dipaksakan Jepang, atau dengan kata lain, Possible World apa yang tercipta di Indonesia?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

BERKENALAN DENGAN JEPANG BARU

Pertemuan pembaca dengan film televisi Jepang tidak semata-mata membuat semua pembacanya menilai film tersebut dengan cara yang sama. Hal ini bergantung kepada seberapa jauh para pembaca tersebut menempatkan aktivitas menonton film pada rutinitas keseharian mereka – yaitu pembentukan pengetahuan (ensiklopedi) yang ia bawa. Pembaca yang tidak mengalami kepenuhan dalam menonton rangkaian film televisi Jepang tersebut tentu akan mengeluarkan penilaian yang berbeda dengan pembaca yang memenuhi keseharian dengan menempatkan aktivitas menonton ini sebagai sentralnya.

Berangkat dari argumen ini, pembahasan atas data yang diungkap narasumber pada bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan berisi pemaparan atas kesejarahan pembaca film di Yogyakarta dan proses bagaimana para pembaca ini bisa menempatkan kegiatan membaca film-teks Jepang ini dalam posisi sentral di tengah kehidupannya. Pada bagian ini, cara mereka dalam menanggapi kehadiran teknologi baru ini sebagai sesuatu yang khas pun akan terlihat. Bagian kedua akan

100

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

memaparkan nilai-nilai yang terbentuk dari pertemuan pembaca dengan film-teks dan pengetahuan yang terbentuk di dalamnya.

3.1 Menjadi “Jepang” Sedari Kecil

Data dalam penelitian ini didapatkan melalui wawancara terhadap lima orang penggiat Jepang-jepangan di Yogyakarta, yaitu Kira, Geyol, Koh Oyon, Xakha, dan

John Switch.134 Kira135, yang merupakan mantan ketua komunitas Atsuki J-Freak136, adalah alumni S1 Program Studi Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada

(UGM). Lahir dan besar di Yogyakarta, pemuda kelahiran 1990 ini sempat mengikuti berbagai pelatihan guiding oleh Dinas Pariwisata, sehingga ia sering mendampingi orang Jepang yang berkunjung ke Yogyakarta. Darah sebagai pemandu wisata yang ia miliki ternyata menurun dari ayahnya yang sudah menjadi pemandu wisata berbahasa Jepang sejak ia belum lahir. Ia menceritakan bagaimana tamu-tamu ayahnya merupakan orang-orang Jepang yang berkunjung ke Indonesia khusus untuk menemui Gesang di Solo – karena popularitas Gesang yang cukup besar di Jepang.

Karena itu, perkenalan pertamanya dengan Jepang – dan juga pada Gesang – adalah

134 Kelimanya bukan nama asli, melainkan nama pena mereka yang lebih dikenal di dalam lingkaran- lingkaran Jepang-jepangan. Kira dan John Switch merupakan nama yang dipilih sendiri berdasarakan kesukaan terhadap karakter yang pernah mereka tonton, dan nama ini hanya digunakan di dalam lingkaran Jepang-jepangan. Ketika ada orang yang mengenali mereka berdua dengan nama tersebut, dapat dipastikan bahwa orang itu merupakan orang yang pernah berkecimpung di dunia Jepang- jepangan. Di sisi lain, Geyol, Koh Oyon, dan Xakha merupakan nama yang juga dipakai ketiganya di luar lingkaran-lingkaran ini. Mereka bertiga memilih tidak menciptakan nama pena tersendiri di dalam dinamika Jepang-jepangan. 135 Wawancara dilakukan pada tanggal 6 dan 31 Agustus 2016 136 Mengenai komunitas ini bisa dilihat dalam http://atsuki-jfreak.blogspot.co.id/ atau https://www.facebook.com/Atsuki-J-freak-Community-180324222019464/

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

melalui pertemuan terhadap tamu-tamu Jepang sewaktu ia masih digendong. Sewaktu kecil ia juga sering mendapat mainan-mainan dari tamu-tamu tersebut – satu yang ia ingat adalah beberapa mainan Ultraman yang sekarang sudah “entah kemana”.

Sekarang ia mendirikan warung makanan Jepang bernama Peko-peko di Lippo Plaza

Yogyakarta, dan disibukkan dengan kegiatannya mengisi stand-stand makanan di berbagai acara Jepang-jepangan.

Narasumber kedua adalah Geyol 137 , yang sewaktu berumur lima hingga sepuluh tahun mengenyam pendidikan sekolah dasar di Jepang bersama orang tuanya.

Mantan anggota Yogyakarta Tokusatsu Fans Club (YTFC) dan Jogja-Tokusastsu (J-

Toku) Special Effect Studio ini merupakan alumni program Diploma 3 Bahasa Jepang

UGM yang kemudian melanjutkan studinya pada program ekstensi Sastra Jepang dan sempat mendapat kesempatan pertukaran pelajar selama 1 tahun di daerah Hiroshima.

Pemuda asal Lampung ini sudah datang ke Yogyakarta sejak SMA, namun baru mulai mengenal komunitas Jepang-jepangan saat kuliah. Dengan memiliki kemampuan bahasa Jepang N1138, ia beberapa kali bekerja sebagai interpreter orang

Jepang, baik di Yogyakarta maupun Jakarta. Karena kemampuannya ini juga, ia mendapat posisi penting ketika bergabung ke komunitas Jepang-jepangan, karena komunitas ini membutuhkan translasi atas film-film Jepang yang mereka tonton.

Kemampuan bahasa Jepang menjadi kemewahan yang ia miliki yang kemudian

137 Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2016 138 Level tertinggi pada tes kemampuan bahasa Jepang (JLPT – Japanese Language Proficiency Test)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

mempengaruhi posisinya di komunitas. Saat ini, ia membuka warung okonomiyaki bernama Kote-kote dan disibukkan dengan kegiatannya sebagai interpreter.

Yang ketiga, Koh Oyon139, ia adalah pemilik Pengok rental VCD di daerah

Langensari. Rental ini menjadi rujukan pertama sejak 2003-2004 bagi para pecinta

Jepang-jepangan dalam mendapatkan film-film dengan koleksi paling lengkap di

Yogyakarta dan informasi mengenai film-film terbaru secara cepat – tentu saja sebelum menjamurnya warung internet yang menyediakan film-film dalam bentuk data, dan ini juga yang menurut Koh Oyon menyebabkan omzet usahanya menurun drastis dan harus tutup pada 2014. Pemuda kelahiran 1976 ini besar di Magelang dan berpindah ke Yogyakarta untuk berkuliah di jurusan Arsitektur Universitas Atma

Jaya pada 1994. Setelah sukses dengan Pengok rental VCD, ia kemudian membuka usaha Otaku Hobby Shop, yang mengimpor mainan hobi Jepang sesuai pesanan dan menjadi tempat paling lengkap untuk membeli mainan seperti Gundam yang digunakan oleh komunitas Gunpla140 – usaha ini juga tutup ketika maraknya toko berbasis online yang khusus menjual barang-barang dari Jepang seperti titipjepang.com. Sekarang ia disibukkan dengan membuka warung ramen Otaku

Ramen.

139 Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2016 140 Komunitas Gunpla atau Gundam Play merupakan komunitas pecinta miniatur robot dari anime Gundam. Seri awalnya yang dulu sempat ditayangkan di Indosiar adalah Gundam Wing yang menceritan 5 pilot mobile suit (robot raksasa yang dikendalikan manusia) untuk melindungi galaksi yang sudah terpecah-pecah ke beberapa aliansi. Permainan Gunpla, atau membangun miniatur mainan Gundam, ini dikompetisikan di berbagai negara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

Berikutnya adalah Xakha.141 Ia adalah mahasiswa angkatan 2013 S1 program studi Sastra Jepang UGM yang besar di Yogyakarta. Xakha aktif di berbagai acara

Jepang-jepangan di Yogyakarta, terutama sebagai panitia dan pemberi jaringan bagi acara tersebut untuk mendatangkan tamu dari Jepang melalui teman-temannya di

Jakarta. Ia menjadi salah satu penggagas utama acara Jogja Ora Ngidol142 selama dua tahun berturut-turut dan rutin menjadi panitia bagi acara CLAS:H 143 region

Yogyakarta. Ia juga yang mendatangkan pengisi utama acara Mangafest144 yaitu para penyiar Japanese Station145 dari Jakarta. Ia bergabung dengan berbagai komunitas

Jepang-jepangan di Yogyakarta, baik secara resmi maupun tidak. Sekarang ia disibukkan dengan bekerja di kantor titipjepang.com dan berusaha menyelesaikan studi tingkat akhirnya di UGM.

Yang terakhir adalah John Switch146 yang lahir di Jakarta pada 1990 namun besar di Yogyakarta. Sebagai anak dari seorang seniman ibukota, bakat seninya ia gunakan untuk menciptakan kostum dan pernak-pernik cosplay dan membawa dia

141 Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2016 142 acara dengan tajuk utama Idol Group dengan menampilkan berbagai idol group Indonesia dan Yogyakarta yang menampilkan lagu-lagu idol group Jepang 143 Cosplay Live Action Show: Hybrid (CLAS:H) adalah kompetisi cosplay tahunan secara nasional yang dimulai sejak tahun 2011. Tahun ini acara ini akan diadakan di Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan berakhir di Jakarta sebagai finalnya. Kompetisi ini bekerja sama langsung dengan Indonesia Cosplay Grand Prix (ICGP) dan World Cosplay Summit (WCS) sehingga setiap tahunnya akan memberangkatkan pemenang CLAS:H sebagai peserta WCS di Jepang. Perwakilan dari Indonesia berhasil menjadi juara umum di WCS 2016. 144 Acara festival komik – lebih ke Manga yang menegaskan komik-komik dengan pengaruh dari Jepang 145 Stasiun Radio yang secara penuh menayangkan konten Jepang dan rutin merilis berita online mengenai Jepang. Para penyiar ini sudah jadi semacam artis tersendiri yang seringkali diundang untuk mengisi acara Jepang-jepangan di berbagai kota di Indonesia, dan terkadang juga melakukan siaran secara langsung di acara-acara tersebut. 146 Wawancara dilakukan pada tanggal 18 November 2016

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

masuk ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kostum yang ia ciptakan berhasil dibawakan oleh cosplayer Yogya untuk memenangkan CLAS:H 2014, sehingga ia memutuskan untuk turun ber-cosplay di CLAS:H pada 2015 dan memenangkannya.

Keberangkatannya ke Jepang untuk mewakili Indonesia di WCS membuat ia memiliki jaringan luas pada berbagai cosplayer di berbagai belahan dunia, dan membuatnya mampu mengundang cosplayer-cosplayer tersebut sebagai tamu di acara-acara di Indonesia. Kedekatannya dengan berbagai cosplayer luar negeri juga membantunya dalam menyelesaikan tugas akhirnya di ISI dengan menciptakan helm besi prajurit Jepang pada masa perang saudara. Sekarang ia masih terus berkarya dan mencipta bersama timnya yang bernama Eternal Creativity dengan menjual kostum dan perlengkapan cosplay. Ia juga disibukkan dengan kegiatannya sebagai juri cosplay dan pengisi di berbagai workshop.

Data yang didapat dari wawancara terhadap lima narasumber tersebut akan disampaikan dalam bagian pertama bab III ini dengan membaginya menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi perkenalan awal dengan sesuatu yang mereka namai dengan “Jepang” sedari kecil. Bagian kedua menarasikan bagaimana “Jepang” ini semakin dikuatkan dengan kegiatan mereka dalam kegiatan-kegiatan di waktu luang hingga dewasa. Bagian ketiga akan masuk kepada bentuk film-teks macam apa yang mereka minati sebagai pembawa objek “Jepang” ini.

3.1.1. Berjabat Tangan dengan Jepang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

Ketika narasumber ditanya mengenai film televisi Jepang yang paling berkesan, mereka semua menyebutkan kembali judul tayangan televisi yang mereka nikmati sewaktu mereka kecil. Beberapa menyebutkan Satria Baja Hitam dan judul film tokusatsu lainnya seperti Jetman, yang lain menyebutkan anime seperti Digimon, dan beberapa kemudian juga menyebutkan beberapa judul dorama seperti Love

Generation. Menariknya, judul-judul yang disebut ini adalah judul-judul yang termasuk dalam film-film Jepang yang pertama kali masuk ke televisi Indonesia. Kira ingat dengan jelas jam tayang serial satria baja hitam yang ia tonton sewaktu kelas 1

SD, yaitu pukul setengah empat sore di RCTI. Ia juga ingat dengan rutinitasnya setiap hari minggu pagi, yaitu menonton Indosiar sejak pukul 6 pagi dengan sailormoon- nya.147 Ketika ditanya mengapa anime ia sebut sebagai jenis produk budaya populer

Jepang yang paling berpengaruh, John Switch mengatakan:

“aku akuin, yang pertama kali muncul di Indonesia tu anime […] anak-anak tu males baca, pasti lebih suka nonton. Sekarang kalau hari minggu apa yang ditunggu? Anime kan..”148 Ia bahkan menambahkan dengan bercerita seberapa jengkelnya ia ketika terkadang Indosiar menayangkan Gelar Tinju Indonesia di hari Minggu dan memotong jadwal siaran digimon yang sudah ia tunggu-tunggu. Kira juga merasakan hal yang sama ketika televisi di rumahnya belum mampu mendapat siaran stasiun

TV7 sehingga belum mampu menikmati beberapa anime yang disiarkan di sore hari.

147 Wawancara dengan Kira 148 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

“Hikaru no Go saya gak ngikuti, itu TV7, tapi tempat saya karena gak ada TV7 makanya saya gak bisa nonton. Sedih. TV7 tu mulai saya SMP kalau gak salah.”149 Namun, Koh Oyon yang berusia paling tua di antara narasumber yang lain justru menyatakan bahwa awal kesukaan dia justru bukan pada anime yang disiarkan oleh televisi swasta. Ia sudah mulai menikmati produk budaya populer Jepang sejak

Oshin disiarkan di TVRI – dan seperti yang sudah dibicarakan di bab sebelumnya, film ini mengawali impor produk budaya populer Jepang dalam bentuk serial televisi bahkan sebelum berdirinya televisi swasta. Ia bahkan masih mengingat soundtrack dari salah satu judul film yang dulu ia nikmati.

“Pertama kali Oshin TVRI, habis itu ada 101 proposal, just the way we are, terus ada love generation […] ya love generation itu pokoknya [lalu ia menyanyikan soundtrack-nya]”150 Terlepas dari seberapa mudahnya orang-orang ini kemudian untuk mengakses produk budaya populer tersebut kemudian, baik melalui rental beta-video, rental komik, rental VCD, atau bahkan maraknya internet, yang menarik di sini adalah kembalinya nostalgia masa kecil mereka yang dipenuhi oleh tayangan-tayangan ini.

Mereka justru tidak menyebutkan judul-judul yang kemudian mereka ketahui dari media-media lainnya tersebut. Hal ini menandakan bahwa (yang dulunya) anak-anak ini mengakui adanya kesamaaan pembayangan, yaitu kesamaan hal yang dinikmati dan dihadapi dalam televisi. Geyol yang mengalami masa kecil di Jepang pun ternyata memiliki alasan yang tidak jauh berbeda dengan yang lain. Ia mengatakan

149 Wawancara dengan Kira 150 Wawancara dengan Koh Oyon

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

bahwa hobinya dalam menikmati tayangan-tayangan televisi Jepang seperti ini juga merupakan sebuah nostalgia.151

Kesamaan bentuk nostalgia yang keluar dari kemajemukan narasumber ini menandakan bahwa mereka sama-sama memiliki masa lalu yang sama, nostalgia yang sama, atau bahkan pembentukan yang sama. Walaupun mereka lahir di daerah yang berbeda-beda atau merupakan perwakilan dari generasi yang berbeda, mereka mewarisi keberhadapan dengan media yang sama. Dengan kata lain, tayangan televisi

Jepang sempat menduduki jam tayang utama bagi penonton (yang dulunya) anak- anak ini, yaitu sore hari, dan pagi hari di akhir minggu. Kegiatan waktu luang anak- anak diisi penuh dengan produk budaya populer Jepang, dan bukan yang lain. Salah seorang narasumber pun dengan berani menegaskan jawabannya ketika ditanya alasannya kenapa dulu memilih menonton Jepang, yaitu:

“Adanya itu kok dulu. Hahaha. Kan gak ada yang lain”152

3.1.2. Kehangatan dalam Keaktifan di Dunia Jepang

Pengaruh kehadiran bentuk teknologi baru ini tidak berhenti sampai di situ – tidak hanya mengisi waktu luang di depan televisi. Kehadiran tayangan film Jepang dalam televisi yang permanen itu juga memberikan kesadaran baru bagi anak-anak ini di kegiatan keseharian lainnya. Beberapa narasumber mengatakan bahwa di luar aktivitas menonton televisi yang mereka lakukan, mereka juga mengisi waktu-waktu

151 Wawancara dengan Geyol 152 Wawancara dengan Xakha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

santai mereka dengan kegiatan yang berkaitan erat dengan kegiatan menontonnya.

Bentuk pengisian ini berkaitan dengan jenis fasilitas atau kegiatan macam apa yang mampu mereka akses.153 Kira menghabiskan waktu SMP-nya dengan rutin meminjam komik sepulang sekolah, namun tetap harus sudah berada di depan televisi ketika anime dimulai sore harinya. Kegiatan meminjam komik ini diawali dari rasa penasaran untuk mengikuti lebih jauh anime di televisi, dan kemudian menjurus dengan meminjam banyak komik-komik yang ia sukai.

Ketika ia menjejak SMA, ketika rental VCD film Jepang sudah mulai muncul, ia rutin meminjam, meng-copy, dan menonton berulang kali film yang ia suka.154 Koh

Oyon menyatakan bahwa ia mulai melakukan kegiatan meminjam film-film televisi

Jepang sejak masa beredarnya video-beta, hingga dilanjutkan pada masa LaserDisc, lalu VCD, dan hingga era internet sekarang. Ia pun rutin mengoleksi komik-komik sejak Gramedia mulai mengeluarkan terjemahan komik-komik asing, terutama Jepang dan China.155

Lain pula dengan Xakha yang bisa mengakses mainan-mainan yang diangkat dari anime yang ia tonton. Ia mengaku mengoleksi jenis-jenis digivice dari seri anime

153 Tidak bisa dipungkiri, kemampuan ini menunjukkan juga kelas dari para penikmat produk budaya popular Jepang ini. Semakin tinggi kelasnya, semakin jauh juga fasilitas yang bisa mereka gapai. Namun, pembahasan tidak akan masuk ke dalam pengkategorian kelas dengan harapan penelitian ini dapat menjangkau secara umum kesamaan yang tercipta – tidak sengaja diciptakan – oleh keadaan sang pembaca produk budaya popular ini. 154 Wawancara dengan Kira. Ia hanya meminjam komik-komik jenis shonen (komik action yang ditujukan untuk pembaca pria) karena di televisi ia juga selalu mengikuti anime dan tokusatsu semacam itu, seperti naruto dan seri kamen rider. Saat SMA pun ia rutin meminjam dan meng-copy anime naruto untuk menjadikannya koleksi yang bisa ia tonton berkali-kali. 155 Wawancara dengan Koh Oyon.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

digimon berapa pun harganya, dan ia rutin dalam memainkannya. 156 Permainan memelihara monster imut ini memaksa pemainnya untuk rutin mengecek, merawat, memberi makan, menggunakan alat kecil tersebut. Ia berfantasi – keluar dari realitasnya – untuk merasa memiliki digimon di dunia nyata yang mengikuti kemanapun sang pemilik pergi persis seperti di dalam anime-nya. Imajinasi menyeruak masuk ke dalam lingkungan sosial melalui keaktifan para pemainnya dalam memerhatikan denting suara dari permainan ini, bahkan di ruang-ruang kelas.157

Geyol yang tidak memiliki kemampuan akses yang sama memilih untuk bergabung dengan komunitas yang berisikan orang-orang yang memiliki koleksi mainan tokusatsu – seperti alat perubah dan senjata – yang lengkap, sehingga ia bisa turut melakukan permainan sesuai dengan film yang ia tonton. Hasrat untuk bisa menikmati lebih keberhadapannya dengan seri supersentai yang ia sukai menjelma dalam tubuh: tubuh yang memiliki kemampuan rahasia yang kemudian diarahkan pada mainan-mainan yang mereka konsumsi dan kenakan. Seakan-akan mereka

156 Wawancara dengan Xakha. 157 Allison (2002) – dengan mengutip Appadurai (1996) – melihat bahwa garis batas antara realitas dan imajinasi berubah sangat cepat dengan kehadiran permainan ini. Ia menyatakan bagaimana tidak hanya yang virtual menyeruak ke dalam realita sosial, tetapi juga yang sosial menjadi realita yang virtual. LIhat Anne Allison, Millenial Monster: Japanese Toys and Global Imagination (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 2006) Hal. 179

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

berharap bahwa dengan menyatunya tubuh dan mainan tersebut, begitu pula mereka mendapatkan kemampuan super tersebut.158

Hal ini juga yang terjadi dengan John Switch. Ia mengatakan bahwa berkat hobinya menikmati tayangan Jepang dan permainan komputernya, ia suka membayangkan segala benda di hadapannya seakan benda di dunia virtual yang memiliki kategori dan kemampuannya masing-masing. Dengan alasan tersebut, ia masuk ke dunia cosplay. Ia ingin lebih jauh membayangkan hidup di dunia nyata yang selayaknya virtual.159

Paparan ini menunjukkan bahwa pengisian waktu luang para narasumber ini tidak hanya berhenti pada kegiatan menonton televisi. Seberapa besar kemampuan mereka dalam mengakses produk-produk lainnya pun menentukan seberapa besar mereka kemudian terbentuk menjadi pecinta budaya populer Jepang.

“temen-temen yang cenderung suka tokusatsu tu orang-orang yang punya. Karena orang tuanya bisa menyewakan video-beta, punya beta player. Karena itulah mereka kuat untuk beli mainan. Emang background keluarganya kebanyakan orang kaya, orang punya, orang mampu lah…”160 Dengan kata lain, pertemuan dengan televisi tidak bisa begitu saja lengkap hanya dengan disodorkannya jenis-jenis tayangan film televisi Jepang oleh sistem stasiun televisi – dianggap sebagai pembaca pasif. Pertemuan dengan tayangan film televisi Jepang juga kuat ditentukan oleh pemenuhan yang mereka lakukan di

158 Wawancara dengan Geyol. Allison (2006) juga melihat bahwa fenomena mimesis ini membentuk kesadaran baru dalam realitas anak-anak tersebut. (Ibid. Hal. 111 – 12) 159 Wawancara dengan John Switch 160 Wawancara dengan Geyol

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

pengisian waktu santai mereka. Mereka membangun ensiklopedi bukan hanya dengan pengetahuan yang disodorkan oleh televisi, namun juga besar dipengaruhi oleh kemampuan dan usaha mereka dalam melengkapinya atas bantuan dunia sekitarnya – berlebihnya akses mereka terhadap dunia Jepang di waktu luang mereka. Bahkan beberapa narasumber dengan jelas menyatakan bahwa mereka sangat bersyukur bisa masuk dan berkenalan dengan teman-teman lain yang memiliki minat dan hobi sama dengan mereka. Kira, misalnya, bisa sangat bahagia ketika sewaktu SMA dikenalkan dengan teman yang juga menyukai Jepang. Mereka berdua kemudian membangun komunitasnya sendiri di SMA tersebut. Geyol pun mengalami perasaan yang sama ketika akhirnya menemukan komunitas YTFC di Yogyakarta. Dunia Jepang semacam ini memberikan kehangatan bagi anak-anak muda ini untuk bisa terus aktif dan melengkapi-memuaskan imajinasinya.

3.1.3. Mengidentifikasi dan Terus Menanti

Identifikasi mereka terhadap dunia Jepang yang mereka imajinasikan tentu saja akan berbeda-beda tergantung pemilihan subjektif mereka terhadap objek Jepang yang mereka paling sukai. Kira memilih seri tokusatsu terutama kamen rider walaupun ia juga tetap rutin menonton anime dan membaca komik-komik Jepang.

Geyol memilih seri dalam genre tokusatsu, dan juga anime-anime yang bertemakan kehidupan nyata seperti kehidupan sekolah dan olahraga. Xakha ketika ditanya mengenai produk yang ia favoritkan, ia lebih memilih anime – walaupun beberapa waktu sebelumnya dia intens bergabung dengan komunitas penggemar idol

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

group dan juga sempat bergabung dengan komunitas penggemar tokusatsu. Koh

Oyon tetap memilih menyukai dorama, walaupun ia juga rutin menonton anime dan tokusatsu selama ia membuka usaha rental film. John Switch lebih menyukai dorama atau anime yang berlatarkan sejarah walaupun ia banyak menceritakan kedekatannya dengan digimon maupun dunia permainan komputer Jepang.

Yang menjadi pertanyaan di sini kemudian: dorongan apa yang begitu kuat sehingga memaksa audiens untuk meminta dipuaskan terus menerus setiap harinya dan setiap minggunya? Dorongan apa yang dapat membuat mereka bisa begitu kecewa ketika jadwalnya terganggu oleh tayangan lain seperti siaran pertandingan tinju, sepak bola, atau badminton bahkan ketika timnasnya yang bertanding?

Xakha yang memilih digimon sebagai anime favoritnya mengatakan bahwa perubahan digimon-digimon-nya yang ia tunggu terus sampai penasaran.

“iya, upgrade terus […] baru terus kemampuannya, yang bikin orang tertarik untuk ngikutin, besok ada apa lagi ya. Kayak penasaran gitu […] paling kena spoiler sedikit. Katakanlah di satu seri, orangnya ada tujuh, yang ini sudah berubah, yang ini besok berubah jadi apa ya”161 Kira yang menyukai seri kamen rider lebih menyukai cerita dan cara berubah tokoh- tokohnya. Ia lebih memilih kamen rider dibandingkan dengan seri ultraman atau garo karena ia menilai bahwa cerita ultraman semakin lama semakin aneh, dan cerita garo terlalu complicated karena konsumsi dewasa. Ia bahkan tidak begitu suka seri-seri terbaru dari kamen rider yang menampilkan terlalu banyak kamen rider di dalamnya

161 Wawancara dengan Xakha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

dan berubah-ubah sehingga membingungkan dan membosankan. Ia tetap bertahan dengan cerita lama kamen rider karena ceritanya yang menyenangkan dan tidak membosankan dengan hanya satu tokohnya saja. Ia bahkan sempat menangis ketika menyaksikan akhirnya satria baja hitam bisa berubah menjadi RX.

Ia terharu dengan mengikuti secara intens perkembangan seorang tokoh – tidak terlalu banyak.

“Bingung saya itu. Jujur saya nonton kamen rider bingung ya itu. Semenjak Ryuki itu ada 13 kamen rider, bingung. Berdebat sama adik saya waktu itu. Tokohnya ini yang ini, ini yang ini. Salah semua. Hahaha…” 162 Koh Oyon yang menyukai dorama pun juga menyebutkan hal yang tidak jauh berbeda, yaitu perubahan pada tokoh utamanya. Ia mengatakan bahwa:

“Itu apik. Aku seneng yang gitu-gitu. Ada dia yang bener-bener dari yang bajingan jadi apik. Aku lebih seneng itu.”163 John Switch pun mengamininya dengan mengatakan:

“Logis kan dia bisa gitu kenapa. Ya dia latihan dari dulu. Dia emang punya bakat dari pertama, terus akhirnya dikembang-kembangin ikut kompetisi dan sebagainya, logis kan dia bisa ke luar negeri. Bukan karena tiba-tiba aku mau gini, terus gitu thok, cring, tiba-tiba bisa.”164 Argumen-argumen ini membahasakan adanya dorongan kuat audiens untuk terus dipuaskan dikarenakan adanya rasa penasaran untuk terus mengamati perubahan yang terjadi pada tokoh utama. Kamen rider mendapat kekuatan baru dan berubah, monster di digimon berevolusi sesuai dengan perkembangan diri sang pemilik, tokoh

162 Wawancara dengan Kira 163 Wawancara dengan Koh Oyon 164 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

115

di dorama berusaha kerus melewati berbagai tantangan sehingga bisa mencapai goal- nya. Mereka tidak ingin perubahan yang mereka nantikan terganggu oleh hadirnya tayangan lain yang semena-mena menggantikan film kesayangan mereka.

Kesemuanya menanti perubahan yang akan terjadi di hari-hari berikutnya, atau minggu-minggu berikutnya.165

Rasa penasaran untuk selalu mengikuti perubahan – bahkan kadang mencari spoiler – menimbulkan yang disebut oleh Sonia Livingstone (2002) dengan kecemasan. Menurut Livingstone, para penggemar budaya populer ini disebut dengan istilah “generasi digital”. Salah satu ciri dari generasi ini adalah adanya kecemasan, yaitu kecemasan untuk tidak bisa mengikuti cepatnya perkembangan arus informasi.

Dengan kata lain, generasi digital ini berisi orang-orang yang bersaing untuk “tidak kalah tahu” dibanding orang-orang di sekitarnya. Mereka menempatkan media di posisi vital dalam pengkonstruksian identitas diri, pembangunan kelompok sosial, dan pemberian makna alternatif bagi budaya-budaya yang sudah ada.166

Dengan ini jelas bahwa hadirnya teknologi baru ini menempati posisi yang vital. Teknologi ini menyeruak masuk ke dalam rutinitas keseharian para penikmatnya dan memaksanya sebisa mungkin untuk mengerahkan tenaga dan

165 Bisa jadi ini juga alasan mengapa nama besar seperti doraemon tidak muncul sama sekali dari narasumber. Kehidupan nobita yang terus berulang tanpa perubahan untuk mencapai goalnya tidak menjadi ketertarikan yang memancing rasa penasaran untuk terus mengikuti dan mengembangkan ensiklopedi pembacanya. Permasalahan berkaitan dengan pembandingan nilai film Jepang tidak akan dibahas dalam penelitian ini karena memerlukan kerja terkhusus untuk membandingkan beberapa genre film televisi Jepang dan tradisi studionya. 166 Sonia Livingstone, Young People and New Media: Childhood and the Changing Media Environment, (London: Sage Publication, 2002), hlm. 2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

116

kemampuan (akses) untuk bisa selalu melengkapi yang diminta oleh sang teks itu sendiri. Pada titik ini, dengan menganggap teknologi baru ini sebagai sebuah teks yang menuntut pembaca aktif dalam membacanya, penelusuran perlu masuk pada nilai-nilai yang dibaca pada relasi pembaca dengan film teksnya masing-masing.

3.2 (Pe)Nilai Film Televisi Jepang

Nilai-nilai dari film televisi Jepang tidak akan bisa ditentukan begitu saja hanya dengan membaca filmnya. Nilai-nilai tersebut harus dibaca dari pertemuan dengan film televisi Jepang yang disiarkan di Indonesia, dan pembaca Indonesia dengan beragam kepenuhan pengetahuannya. Eco (1979) melihat bahwa pembaca yang telah membaca sebuah teks dalam serial akan membawa pengetahuan yang mereka dapatkan itu dalam membaca teks-teks berikutnya.167 Dalam artian, pembaca film digimon yang runtut menonton dari awal, dan juga memainkan digivice juga di rutinitas keseharian, akan menjadi model reader film televisi digimon. Begitu juga pula yang terjadi ketika model reader anime digimon melanjutkan pembacaannya dengan rutin mengikuti jenis film televisi Jepang yang lain.

Berdasarkan hal tersebut, pada bagian ini pembahasan akan masuk pada bentuk-bentuk kegiatan menilai yang dilakukan oleh pembaca film televisi Jepang.

Pembahasan akan terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah pembahasan mengenai kegiatan menilai film televisi Jepang yang membentuk adanya imaji

167 Eco (1979), op.cit, hal. 7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

117

tentang sebuah negara bernama Jepang. Pembahasan akan hal tersebut akan menjadi landasan penting dalam melihat peng-amin-an identitas ke-Jepang-an pada bagian kedua, karena imaji negara Jepang yang di-amin-i tersebut memancing pembaca dalam menyimpulkan nilai ke-Jepang-an tertentu. Proses peng-amin-an seperti itu yang menggambarkan adanya penarikan nilai-nilai “yang dianggap” Jepang dari pertemuan pembaca dengan film televisi Jepang di Indonesia.

3.2.1 Not Impossible World : Teknologi, Kota, dan Sejarah

Proses peng-amin-an terhadap nilai-nilai yang didapat oleh pembaca dari pertemuannya dengan film-teks tidak begitu saja bisa terjadi tanpa adanya pengetahuan yang mendukung pembacaan tersebut. Seperti yang sudah dibahas sebelumya, model reader film televisi Jepang bergantung kepada seberapa intens pengetahuan mereka dibangun dalam keseharian di luar kegiatan menonton mereka.

Pembaca menilai film-teks atas persetujuan pengetahuan yang mereka bawa.

Pembaca tidak bisa begitu saja menilai bagian-bagian film yang tidak tersetujui.

Nilai-nilai yang mereka gambarkan atas pertemuan mereka dengan film-teks juga secara tidak langsung menunjukkan pengetahuan apa saja yang mereka dapat dari sekitar mereka.

Dalam hal ini, analisis Saya Shiraishi terhadap anime Doraemon di negara- negara Asia, terutama Indonesia, dapat dibenarkan. Saya Shiraishi menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa Doraemon bisa disukai adalah kuatnya pemberian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

118

optimisme terhadap (kemajuan) teknologi. 168 Doraemon disiarkan secara masif seturut dengan masifnya persebaran teknologi televisi di Indonesia dan munculnya stasiun televisi swasta untuk pertama kalinya. Masifnya penyiaran Doraemon – berarti juga masifnya persebaran nilai optimisme terhadap teknologi – tepat sasaran karena masyarakat juga sudah akrab dengan nama Jepang dan kemajuan teknologi negara tersebut sejak dekade sebelumnya, yaitu sejak Jepang menguasai industri manufaktur di Indonesia. Sejak periode 70an awal, Jepang telah menguasai industri manufaktur di Indonesia – sehingga nama-nama produk Jepang telah akrab di tengah keseharian masyarakat Indonesia – dan justru bukan nama Amerika karena yang dikuasai Amerika adalah pertambangan.169 Masyarakat Indonesia sudah biasa melihat televisi, kendaraan bermotor, perkakas dapur, peralatan mandi, dan lain-lain yang ditempeli merk berbahasa Jepang. Pengetahuan semacam ini terbawa dalam pembacaan film-teks Doraemon beberapa tahun setelahnya – baik secara langsung, maupun melalui transfer pengetahuan dari orang tua (pengasuh) kepada anak.

Transfer semacam ini terlihat pada contoh berikut:

“Ya dikasih tahu. Ya itu kan tiap awal sama endingnya kan pasti ada tulisan- tulisan Jepang. Bapak baca, terus nerjemahin ke aku…”170 Transfer pengetahuan semacam ini menjadi penting karena pembaca Doraemon adalah sebagian besar anak-anak yang belum bisa secara langsung mendapatkan akses terhadap pengetahuan tersebut. Pemberian pengetahuan tersebut, dan juga

168 Saya Shiraishi, Doraemon Goes Abroad, dlm Craig (2002), op.cit., hal. 293 169 Widiarsi Agustina, et. al., (2014), op.cit., hal.13 170 Wawancara dengan Kira

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

119

pembacaan terhadap film-teks Doraemon dari Jepang, menciptakan garis penghubung antara optimisme kemajuan teknologi dengan negara Jepang. Secara definitif, pembaca membentuk sebuah kalimat: Jepang adalah negara dengan teknologi maju.

Dari situ, strata Jepang sebagai negara yang dilihat, dengan Indonesia sebagai negara yang memandangnya pun tercipta.

“Canggih. Itu alatnya Jepang semua soalnya.[…] ya paling teknologi sih. Itu perbedaan [dengan Indonesia] yang paling kenceng banget”171 Namun, justru nama Doraemon tidak pernah keluar dalam wawancara ketika narasumber ditanya mengenai film-teks yang mereka favoritkan. Mereka mengenal anime itu, dan masih menghafal jam tayangnya setiap hari Minggu. Itu menandakan bahwa mereka juga menontonnya, namun kesadaran akan nilai dari Doraemon sudah masuk ke bawah sadar mereka dan menjadi pengetahuan umum bagi mereka. Mereka sudah beranjak dari anime tersebut, yaitu beranjak dari kegiatan mengevaluasi film- teks berdasarkan dunia yang direferensikannya. Mereka membawa hasil evaluasi – pengetahuan – yang didapat sebelumnya untuk tidak sekedar mengevaluasi anime- anime berikutnya, tetapi berusaha untuk masuk berimersi di dalam dunia film-teks yang mereka hadapi.172

Masuknya narasumber ke dalam dunia film-teks yang mereka hadapi terlihat dari cara mereka menceritakan film-teks yang mereka favoritkan. Geyol mengatakan bahwa ia menyukai film-film yang riil, seperti lifestyle-anime, dibandingkan dengan

171 Wawancara dengan Kira 172 Marie-Laure Ryan (2001), op.cit., hal. 101-04

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

120

anime yang fiksi. Ia tidak begitu suka yang fiktif, sehingga ketika memilih anime pun ia akan memilih anime yang bertemakan dunia nyata, seperti sekolah atau olahraga.

Karena di kesehariannya ia juga sempat tergabung dengan Yogyakarta Tokusatsu

Fans Club, maka ketika memilih tokusatsu pun ia lebih memilih genre super-sentai yang masih menunjukkan kerja sama tim layaknya dunia nyata. 173 Koh Oyon mengatakan bahwa ia menyukai dorama karena lebih ada wujudnya. Dalam artian, ia lebih bisa berimersi dengan tokoh utama di dorama dibanding dengan di anime atau fiksi. John Switch pun menyukai film-teks Jepang, baik itu dorama maupun anime, yang menggambarkan kehidupan nyata karena ia bisa membayangkan berada dalam film-teks tersebut. Ia sampai bisa membayangkan berada di tengah-tengah ibu-ibu yang sedang menggosip di dalam film-teks tersebut.

“terus misalkan, ibu-ibu gosip ya misalkan, woh ternyata ada yang sempet nyeletuk, wah jam buang sampah tu jam segini. Pas tak lihat, emang jam buang sampah jam segini? Pas ngecek di kebudayaan kota-kota Jepang, ternyata memang ada jam buang sampah di Jepang tu jam segini.”174 Mereka tidak hanya membayangkan berada di tengah-tengah dunia yang sedang mereka hadapi, tetapi juga terus menambah pengetahuan dari luarnya ketika menemukan sesuatu yang masih kosong ketika mereka hadapi.

“misalkan sempet lihat, ternyata orang lebih suka, kalau di anime terlihat, wah ternyata mereka lebih suka jalan daripada naik sepeda, kenapa ya”175

173 Anne Allison menyebutnya sebagai keunggulan dari seri supersentai yang kemudian populer setelah dibuat ulang oleh Amerika dengan Mighty Morphin Power Ranger – yang juga popular di televisi Indonesia. Lihat Allison (2006) op.cit., Hal. 95 174 Wawancara dengan John Switch 175 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

121

Karena mendapati hal tersebut, ia mencari tahu di berbagai literatur dan media hingga ia menemukan (atau menyimpulkan) fakta bahwa bentuk kota di Jepang itu kecil dan saling berdekatan. Ia membedakan dengan keadaan di Indonesia yang jalannya besar-besar dan jauh, sehingga wajar banyak orang menggunakan kendaraan pribadi dibanding angkutan umum. Dengan penambahan pengetahuan secara mandiri tersebut, imersi yang mereka inginkan akan tercipta jauh lebih dalam.

Yang paling jelas, imersi mereka semakin terlihat ketika mereka menceritakan film-teks yang mereka tonton dengan membandingkannya pada film Korea maupun

Indonesia yang jam tayangnya seringkali bersaing di televisi Indonesia. Mereka menyatakan bahwa drama Korea yang “ngono-ngono wae”, ataupun sinetron

Indonesia “yang lebay,” berbeda dengan film Jepang yang logis.

“Masih logis. Namanya drama ya tetap aja gak pernah ada yang logis. Tapi, kesannya tu masih bisa dijangkau dengan otak ya […] logis, bukan karena tiba-tiba mau gini terus cuman gitu , ting! Tiba-tiba bisa. Itu gak logis.”176 Dari kutipan ini terlihat bahwa mereka melihat latar tempat – seperti kota, desa, atau sekolah – dalam film-teks tidak hanya salah satu aspek yang membuat mereka bisa merasakan kesan berada di tengah dunia film-teks tersebut. Se-fiksi apa pun film-teks Jepang yang mereka hadapi, mereka menggeneralisir dengan menilainya sebagai sesuatu yang aktual – yang logis, atau paling tidak lebih logis dibanding cara film-teks Indonesia menyampaikan situasi keseharian di Indonesia.

176 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

122

Kelogisan yang mereka kemukakan bahkan beranjak pada jenis-jenis film- teks Jepang yang banyak menarasikan sejarah, ataupun film-teks yang memasukkan latar sejarah baik dalam latar tempat, waktu, maupun penokohannya. Salah satu narasumber tidak menyatakan bahwa anime semacam Jigoku Sensei Nube, yang menggambarkan seorang guru sekolah yang memiliki tangan setan dan mampu mengendalikan kemampuan setan, atau anime Tobe-Isami, yang menggambarkan perjalanan masa lalu sang tokoh utama kembali ke era shinsengumi, sebagai film-teks yang tidak logis. Ia tetap bisa menilai kedua anime tersebut dari sisi lain, dan menghindari menyebutnya sebagai tidak logis. Ia berargumen bahwa ia belajar banyak sejarah Jepang dari kedua anime tersebut, baik sejarah hantu-hantu dan legenda Jepang maupun sejarah kelompok shinsengumi. Ia berargumen:

“Di Jepang sendiri kan, samurai, dan semuanya yang berhubungan dengan masa lalu paling dihormati kan […] kegiatan-kegiatan bersejarah yang menngangkat sejarah-sejarah dan perayaan sejarah, kesannya bagi mereka, itu hal yang menarik. Bukan menarik lagi, itu hal-hal luar biasa. Itu aset negara bagi mereka […] buat keuntungan mereka. Tapi di sini jarang. Malah dipermasalahkan terus…177 Pada argumen ini terlihat bagaimana ia menerima pertemuannya dengan film- teks Jepang sebagai sesuatu yang seharusnya terjadi, dan hal tersebut tidak terjadi di

Indonesia. Ia kemudian bahkan menegaskan bahwa jenis film yang sekarang sedang tren di Jepang adalah Taiga-dorama, yaitu film drama yang bertemakan sejarah – menarasikan ulang sejarah. Ia tidak memandang realita yang ia dapatkan dari film- teks itu tidak logis, tetapi justru mengkontraskannya dengan membawa

177 Wawancara dengan John Switch

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

123

pengetahuannya atas Indonesia untuk menilai film-teks tersebut – sekaligus menilai

Jepang. Ia melakukan kegiatan menilai, dan sekaligus melakukan kegiatan imersi pada pembacaan film-teks tersebut.178

Geyol pun menyatakan hal yang serupa ketika menilai perkembangan tokusatsu hingga sekarang. Ia menilai bahwa film-film tokusatsu yang muncul hingga sekarang semakin tidak membawakan konsep budaya khas Jepang, seperti ninja ataupun samurai yang otentik. Ia berargumen bahwa pembawaan nilai ninja atau samurai harus budaya Jepang, tidak bisa dijadikan banal dengan memasukkan unsur- unsur modern. Ia menilai bahwa seorang ninja harus berambut hitam, secara fisik sesuai dengan gambaran orang Jepang, dan benar-benar memiliki kemampuan yang sepadan dengan seorang ninja – bukan sekedar akting. 179 Kira pun juga sejalan dengan argumen tersebut, yaitu mengenai film yang masih

“Jepang banget” desainnya karena membawakan unsur samurai. Hal ini menjadi alasannya untuk tetap mengikuti seri kamen rider. Kedua narasumber ini juga melakukan kegiatan menilai berdasarkan pengetahuan yang sudah terbentuk selama ini dari pertemuannya dengan film-teks Jepang, atau bahkan sebaliknya – melanjutkan imersinya pada film-teks Jepang berdasarkan nilai yang mereka simpulkan.

178 Ia bahkan menambahi pengalamannya berkunjung ke Jepang dan minum air dari sumur yang dulu menjadi tempat istirahat Oda Nobunaga. Ia menyatakan bahwa ia bisa merasakan kesan sebagai Oda Nobunaga ketika akhirnya berhasil mewujudkan kegiatan tersebut. 179 Wawancara dengan Geyol

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

124

Berdasar argumen-argumen yang telah dinyatakan di atas, para narasumber ini membutuhkan peng-amin-an terhadap dunia yang disajikan di hadapan mereka.

Dengan kata lain, mereka merubah yang fiksi menjadi dunia nyata atas bantuan semesta pengetahuan yang mereka terima atau mereka cari secara mandiri, baik itu teknologi, kota, maupun sejarahnya. Nilai-nilai yang mereka terima dari pembacaan film-teks ini yang nantinya akan melancarkan proses imersi mereka ke dalam teks tersebut. Mereka tidak hanya memandang film-teks dari luar, tetapi juga menyeruak masuk – merasai menjadi tokoh di dalamnya.

3.2.2 Shinka180: Pantang Menyerah, Disiplin, dan Kekerabatan

Ketika membicarakan bagaimana film televisi Jepang dapat menjadi arena imersi bagi pembacanya, pembahasan harus berangkat dari periode paska-perang di

Jepang, di mana budaya visual Jepang mulai dipandang di luar Jepang. MacWilliams

(2002) melihat bahwa kemampuan budaya visual Jepang yang semacam ini berangkat sejak meledaknya karya Osamu Tezuka pada 1963 di dunia internasional. Ia menilai bahwa Tezuka hebat dalam menyiasati “otherness”, yaitu keberjarakan dari dunia nyata dan kehidupan para pembacanya. Tezuka mampu untuk meletakkan simbol- simbol, karakter, kejadian-kejadian, dan detil-detil yang sesuai dengan jamannya

180 Shinka dapat diartikan evolusi, atau perubahan, atau proses perubahan (progress). Digimon meneriakkan istilah ini untuk menandai proses perkembangan dan perubahan digimon ke spesies yang lebih kuat. Yang ingin ditekankan di sini adalah adanya unsur proses dalam perubahan tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

125

menjadi latar cerita yang mendasar tanpa menjadikannya anakronisme yang seakan tidak pada tempatnya.181

Siasat film-teks tersebut dalam menyikapi “otherness” semacam ini membuat pembaca tidak lagi merasa kesulitan dalam berimersi dalam film-teks. Pembaca dapat lebih mudah mengamini fiksi yang disampaikan di dalam film-teks menjadi suatu yang aktual. William M. Tsutsui (2006) dalam analisisnya mengenai film Godzilla dan Rikidouzan mengatakan bahwa siasat ini berkaitan dengan strategi fake- nationalism dan menghilangkan ke-Jepang-an:

Nationality of Rikidouzan or Godzilla was consumed in part because it was fictional […] culture that could enjoy the fake as the fake […] both that the enjoyment of Rikidouzan was based on a cognizance of his constructed performance, and that his status as epitomizing ideal Japaneseness was thus only possible through the fictionality of his nationality.182

Susan J. Napier (2005) mengatakan bahwa bagi sebagian besar konsumsen anime di Jepang, kebudayaan yang mereka hadapi sudah bukanlah kebudayaan

Jepang yang otentis. 183 Iwabuchi (2002) melihatnya dengan menggunakan istilah mukokuseki (nationless), yang di Jepang memili dua pemahaman, yaitu; menandakan adanya pencampuran elemen-elemen dari berbagai kebudayaan, dan menyiratkan adanya erosi terhadap karakter kebudayaan tertentu.184

181 Mark Wheeler MacWilliams, Japanese Comics and Religion: Osamu Tezuka’s Story of the Buddha, dalam Craig (2002), op.cit., hal. 119 – 21. 182 William M. Tsutsui dan Michiko Ito. (2006) op.cit. hal 78-9 183 Susan J. Napier, Anime From Akira to Howl’s Moving Castle: Experiencing Contemporary Japanese Animation (New York: Palgrave Macmillan, 2005) Hal. 22 184 Iwabuchi (2002) op.cit. Hal. 71

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

126

Berdasarkan hal-hal ini, pengambilan nilai-nilai oleh pembaca Indonesia dan memaknainya sebagai sesuatu yang Jepang memiliki unsur kesemena-menaan.

Dinamika mereka dalam membaca pun menjadi ambigu, karena mereka menciptakan

Jepang mereka sendiri. Mereka mengamini latar yang “Jepang”, lalu masuk ke dalam kehidupan yang “Jepang”, dan seturut perjalanan film yang dihadapi, mereka mengambil nilai-nilai dan mengakuinya sebagai Jepang.

Salah seorang narasumber mengatakan mengenai nilai pantang menyerah yang dimiliki tokoh kamen rider yang ia sukai. Kotaro Minami dalam Kamen Rider

Black bisa dihajar habis-habisan, hingga mati, namun ia bangkit kembali karena usahanya belum selesai. Bahkan, karena usahanya yang belum selesai, melalui tetesan air mata orang-orang di sekitarnya, ia mendapat kemampuan baru dari matahari dan berubah menjadi Kamen Rider Black RX. Dengan tangisan anak matahari, ia melanjutkan perjuangannya. Proses berjuang keras seperti ini yang dihargai sebagai aspek yang akan merubah kehidupan. Narasumber ini menilai bahwa orang Jepang mementingkan proses dibandingkan hasil akhir. Nilai yang narasumber dapatkan dari film kamen rider ini ia gunakan untuk memaknai keberhasilannya dalam berangkat ke

Jepang sesuai dengan mimpinya: “Usaha keras tidak akan mengkhianati.”

Narasumber yang menyukai digimon menyatakan bahwa adegan yang paling ia suka dari 50 episode digimon adventure 1 adalah perubahan terakhir wargreymon dan metalgarurumon . Perubahan ini bisa terjadi ketika dua pemilik digimon tersebut, yaitu Taichi dan Yamato, berusaha keras untuk melindungi bumi bersama anak-anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

127

terpilih dari seluruh bumi. Usaha pantang menyerah yang meruka berdua lakukan menampilkan bagaimana mereka tidak peduli dengan kondisi badan yang sudah hampir mati. Perubahan kedewasaan dua anak SD ini memancing angewomon untuk menembakkan panah cahaya ke tubuh mereka berdua, yang akhirnya digimon yang mereka miliki bisa melakukan mega-evolution.

Narasumber yang menyukai dorama menyatakan bahwa ia menyukai bagaimana perubahan yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Pada Great Teacher

Onizuka, ia melihat bagaimana seorang guru bisa merubah murid-muridnya yang nakal-nakal menjadi murid-murid yang mau berusaha keras demi kehidupannya. Di dorama berjudul Yasuko to Kenji, ia menyukai bagaimana mantan ketua geng motor yang notabene bajingan dan hidup dengan kebebesan, berusaha keras untuk menjadi seorang komikus. Usaha yang dilakukan sang tokoh utama menampilkan bagaimana sang tokoh berusaha untuk berdisiplin dengan masyarakat, dengan ritme kerja tinggi dan jam yang teratur. Walaupun sang tokoh akhirnya tidak menjadi komikus, tetapi justru membuat warung di pinggir jalan, narasumber menilai bahwa usaha keras untuk berubah dari bajingan menjadi baik itu merupakan nilai utama yang ia lihat.

Lagi-lagi di sini terlihat bagaimana bukanlah hasil yang penting, namun prosesnya.

Narasumber yang lain mencontohkan nilai-nilai yang ia dapat dengan dorama berjenis olahraga. Ia mengatakan bahwa dorama Jepang berbeda dengan drama di

Indonesia maupun Korea. Dorama Jepang selalu menampilkan usaha keras sang tokoh untuk mencapai mimpinya, dan bukan mimpinya itu sendiri yang menjadi poin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

128

utama. Pada titik inilah ia menyebut dorama Jepang sangat logis. Seperti pada dorama Long Vacation, ia melihat bahwa sang tokoh utama berusaha keras untuk latihan, mengikuti berbagai macam kompetisi, mengembangkan kemampuannya, sehingga akhirnya dia bisa ke luar negeri.

Dari semua argumen narasumber ini, terlihat adanya proses perubahan kehidupan (kepribadian) yang ditandai dengan adanya evolusi. Beberapa narasumber mengatakan bahwa hal ini yang melatarbelakangi pola pikir masyarakat Jepang sejak anak-anak untuk berdisiplin dalam menjalani ritme kehidupan di tengah masyarakat.

“Kalau pingin hidup ya kayak gitu,” kata salah seorang narasumber. Narasumber yang lain juga mengatakan:

“pola pikir masyarakat Jepang itu adalah mereka setia, dengan pekerjaan. Dan maksudnya dengan loyalnya. Loyalitasnya itu, pola pikir bushido kasarannya. Pola pikir samurai” Hal-hal ini menunjukkan nilai kedisiplinan yang diperlukan oleh orang Jepang untuk diterima dalam berbagai aspek masyarakat, baik sekolah, keluarga, lingkungan pertemanan, pekerjaan, maupun bidang olahraga. Film-teks yang mereka hadapi selalu menggambarkan usaha keras sang tokoh dalam menjadi manusia yang lebih baik, apa pun tujuan akhir yang dibawanya. Perubahan kepribadian yang digambarkan sang tokoh menjadi lebih dewasa – dalam artian lebih disiplin – dalam mencapai impiannya tersebut menjadi alasan mengapa narasumber-narasumber ini merasa film Jepang lebih cocok dalam format serial panjang. “Kalau Jepang cenderung berat banget kalau di movie,” kata salah seorang narasumber. Proses

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

129

berubah dalam mendisiplinkan diri dan pola pikir tersebut yang menuntut film-teks

Jepang harus menyampaikan narasinya secara pelan-pelan dalam setiap episodnya.

Eri Izawa (2002) mengatakan hal serupa melalui penelitiannya mengenai nilai-nilai ke-Jepang-an dalam film-teks Jepang. Ia mengatakan bahwa:

The essence of the anime world, however, lies in the characters that inhabit it […] the mental and emotional plight of the individual character in anime is almost never forgotten. In fact, it is often central, and the characters‟ emotions […] tendency to highlight the individual struggle is […] even stories about “normal” people are turned into high drama […] these thoughts, actions, the very expressions on the characters‟ faces – joy, sorrow, humiliation, triumph – are magnified […] 185 Bahkan beberapa karakter dalam film-teks Jepang yang diberkahi kemampuan super seringkali digambarkan sebagai “lone wolf” karena justru terbebani dengan kemampuan supernya. Beban kemampuan paling berat adalah immortality, kemampuan yang di dunia nyata sering kali diidamkan. Tokoh di dalam film-teks ini justru biasanya melihatnya sebagai sebuah kutukan. Tokoh-tokoh berkemampuan ini biasanya bertarung menggunakan kemampuannya justru untuk mencari nilai dari hidupnya yang berbeda.

Eri Izawa menyimpulkan bahwa pelajaran hidup yang dibaca melalui film- teks Jepang itu berkaitan dengan perjuangan (struggle), yang meski tidak menyenangkan, tapi itu perlu. Kenyataan itu kejam, kemenangan selalu datang dengan penalti, dan para pahlawan ini berkutat dan jatuh pada kekelaman, kehancuran,

185 Eri Izawa, The Romantic, Passionate Japanese in Anime: A Look at the Hidden Japanese Soul, dalam Craig (2002), op.cit., hal. 145 - 47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

130

kemarahan, dan lain-lain. Kadang mereka mati. Tetapi mereka tetap bertarung.

Kadang mereka justru harus mengalahkan dirinya sendiri sebelum bisa melihat dunia.

It is this dynamic, passionate, continuing struggle of the individual characters that gives these stories life, and not only keeps the audience intrigued but gives them encouragement in their own everyday trials. “Never give up” it tells them, “no matter what happens!”186 Nilai berikutnya yang didapatkan dari pembacaan terhadap film-teks Jepang adalah nilai yang berkaitan dengan garis hubungan individualitas dan kerja sama.

Salah seorang narasumber mengatakan bahwa ia menyukai film tokusatsu seri super- sentai karena kerja tim yang dilakukan dengan banyak jenis orang. Biasanya dalam film supersentai, sebuah tim selalu memiliki tokoh yang kuat, tokoh yang pintar dan logis, tokoh yang membawa nilai modern. Namun, yang selalu menjadi tokoh utama, sekaligus pemimpin, di tim tersebut adalah ranger merah yang tidak pintar, tidak kuat, dan hidup biasa-biasa saja – tidak membawa nilai modern seperti fashion dan shopping-holic. Nilai lebih yang dibawa tokoh ini – dan menjadi alasan bagi posisinya sebagai kapten – adalah keinginannya untuk berbuat sesuatu demi sesama dan selalu memikirkan kepentingan orang lain. Ia selalu digambarkan sebagai sosok yang paling cepat mengorbankan dirinya demi menyelamatkan orang lain.

Eri Izawa (2002) menyatakan bahwa bahkan ketika tokoh di dalam film-teks

Jepang sibuk dengan perjuangan dirinya sendiri, dengan kemampuannya sendiri, mereka seringkali akhirnya menemukan kenyataan bahwa ternyata kemampuannya akan maksimal ketika ia berjuang untuk orang lain, dan dari situ biasanya sang tokoh

186 Ibid, hal. 150

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

131

mempelajari nilai hidup dan kemampuannya. Puncaknya, jelas adalah munculnya sekilas gambaran kebijaksanaan atau pencerahan pada sang pahlawan – dan juga terlihat oleh para pembaca. Ada bagian kecil dari cerita yang selalu menggambarkan adanya kebahagiaan yang mengalahkan kesakitan, cinta yang melampaui kematian, dan nilai-nilai lain yang penting untuk diperjuangkan.

Hal ini juga terlihat dari kesaksian narasumber lain yang menyukai digimon, terutama ketika perubahan kedewasaan Taichi dan Yamato sanggup merubah digimonnya menuju mega-evolution. Dua tokoh ini – dan hanya dua tokoh ini yang mendapat kemampuan tersebut – mengalami perubahan kepribadian karena usaha kerasnya dalam melindungi bumi dan anak-anak terpilih yang lain. Perubahan ini mempengaruhi digimonnya karena mereka berdua menjadi lebih percaya dengan digimonnya dibanding sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi di antara kedua pihak tersebut – baik manusia maupun digimon – hanya bisa terjadi dengan adanya keterikatan dari keduanya. Bahkan, mereka pun akhirnya meraih kemampuan tersebut karena mendapat kepercayaan dari angewomon yang menembakkan panah cahaya ke arah mereka.

Dalam dorama-dorama yang dijelaskan oleh narasumber yang lain pun terlihat jelas bagaimana usaha keras sang tokoh utama berdasarkan pada hubungannya dengan orang lain. Dalam Yasuko to Kenji, Kenji yang seorang anggota geng motor ketika ingin menjadi komikus perlu untuk berusaha keras demi adiknya yang masih SMA. Dalam Great Teacher Onizuka pun, tokoh Onizuka seringkali

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

132

mengatasi kenakalan murid-muridnya dengan menanamkan nilai-nilai kerja sama di antara murid-murid tersebut.

Dari adanya nilai-nilai ini terlihat bagaimana film-teks Jepang menampilkan usaha keras seorang individu untuk berdisiplin menggapai sesuatu secara individu, namun juga tidak pernah bisa terlepas dari keberadaannya di tengah yang lain.

Individualitas yang seringkali ditampilkan sangat kuat oleh tokoh-tokohnya berdampingan dengan nilai kekerabatan yang tetap berusaha terus diajarkan. Nilai seperti ini juga yang diungkap oleh Hiroshi Yamanaka dalam MacWilliam (2008), ketika menganalisis film Spirited Away karya Hayao Miyazaki.187 Tokoh di dalam anime ini bisa mendapatkan kediriannya juga karena perhatian dan kebaikan yang ditunjukkan oleh individu di sekitarnya, termasuk orang tuanya. Yamanaka menyimpulkan bahwa alasan di balik kesuksesan tokoh utama dalam menemukan identitasnya adalah “invisible affectionate support network.” Dalam artian, kesuksesan tokoh utama dalam film-film Hayao Miyazaki demi menggapai tujuan akhirnya berujung pada afirmasi bahwa mereka adalah bagian dari keluarga ataupun komunitasnya. Dalam dunia Hayao Miyazaki, tokoh utama tidak pernah kehilangan ikatan sosialnya dalam menggapai independensi tujuannya. Tokoh-tokoh ini justru membangun ikatan baru, persahabatan baru, keluarga baru untuk bisa bertahan dalam perjuangannya.

187 Hayao Miyazaki, dengan Studio Ghibli yang ia dirikan, merupakan nama besar dalam dunia animasi Jepang, yang pada medio 1990-an hingga 2000-an awal disebut “Fenomena Miyazaki.” Film-filmnya banyak diakui di dunia internasional, bahkan karyanya yang berjudul Spirited Away ini merupakan anime pertama yang memenangkan Academy Award di tahun 2001.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

133

“Individuality in Spirited Away is established through the help of an interpersonal network of friends, rather than through the lonely struggle represented in the modern Western mythic type.”188 Hayao Miyazaki, juga Osamu Tezuka, merupakan nama-nama besar yang pengaruhnya di dunia narasi media visual Jepang tidak bisa dinafikan. Nilai individualitas yang berbalut erat dengan kekerabatan menjadi poin penting yang banyak disampaikan oleh berbagai film televisi, baik anime, tokusatsu, maupun dorama. Pembaruan hidup, seperti perubahan maupun evolusi, dalam dunia film televisi Jepang selalu berkaitan dengan apa yang menjadi dasar dari diri masing- masing, seperti ikatan. Proses perubahan yang disukai oleh narasumber-narasumber ini selalu berujung dengan penemuan kembali apa yang menjadi dasar dari diri masing-masing, seperti Taichi dan Yamato yang akhirnya bisa membuat digimonnya berevolusi karena mereka menyadari pentingnya berjuang untuk demi bumi dan berjuang bersama sesama anak-anak terpilih dari seluruh dunia. Hayao Miyazaki bahkan dengan tegas mengatakan:

“No! I‟m fed up with exposing the differences between people. That‟s what human nature is all about. Rather, it seems more important to think about how we can live together. With the twentieth century coming to an end, and various problems pilling up before us, don‟t you think there is no use dwelling on such things?”189 Seperti yang sudah dikatakan oleh para narasumber, mereka dengan setia menanti siaran anime maupun dorama di televisi sewaktu mereka kecil, hingga akhirnya mengikuti terus sampai sekarang karena didasari adanya rasa penasaran

188 Hiroshi Yamanaka, The Utopian “Power to Live”: The Significance of the Miyazaki Phenomenon, dalam MacWilliam (2008), op.cit, 245 - 49 189 Ibid, hal. 248

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

134

terhadap proses perubahan yang terjadi pada tokoh-tokoh di dalam film-teks tersebut.

Mereka berimersi terhadap film-teks di hadapannya dan merasakan menjadi tokoh yang menjalani proses tersebut. Tangisan anak matahari yang dialami kamen rider black pun ikut menjelma menjadi tangisan pembaca filmnya. Yang perlu diingat, sebagai film serial, imersi semacam ini hanya bisa terjadi pada pembaca yang secara runtut membaca dan melengkapi pengetahuannya mengenai dunia yang ia hadapi. Ini menjadi syarat yang tidak semua pembaca akan bisa memenuhinya – mereka dituntut aktif. Hanya setelah mereka bisa mengaktualisasikan dunia virtual di hadapannya, mereka bisa masuk menjadi ke dalam realitas virtual.

The visitors to the world anime journeys across the boundaries of time and space, through mysterious realms and epic histories, through the lives of the characters who laugh and cry and dream, through emotions and experiences too profound for words… and then gently back to reality, carrying priceless and encouraging echoes of the message of hope, which promises: “The future will be glorious, if only we remember what is truly important and persevere no matter what.[…] It is hard to maintain something divine in this world; it is easy to forget. Anime serves to remind”190 3.3 Kesimpulan: Mereka(?) dan Kita-Indonesia

Dari paparan yang telah disampaikan sepanjang bab ini, ada dua hal yang dapat dilihat. Pertama, perbedaan kepenuhan pengetahuan yang dibawa oleh pembaca mempengaruhi pertemuan mereka dalam film-teks. Teknologi baru yang masuk ke

Indonesia ini didukung dengan pengetahuan atas negara bernama Jepang yang telah terbentuk mulai masa kembalinya Jepang ke Indonesia – bukan masa penjajahan.

190 Eri Izawa, The Romantic, Passionate Japanese in Anime: A Look at the Hidden Japanese Soul, dalam Craig (2002), op.cit., hal. 151 - 52)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

135

Ingatan mengenai penjajahan justru menjadi pengetahuan yang dilupakan dalam pembacaan ini. Wacana Jepang sebagai negara maju yang membantu perkembangan ekonomi Indonesia diperkuat dengan hadirnya narasi-narasi melalui film-teks, dan justru meredupkan narasi mengenai penjajahan. Keberlebihan akses dalam melengkapi pengetahuan untuk membaca film-teks juga menjadi alasan mengapa semua orang yang menonton anime di televisi tidak begitu saja menjadi anak Jepang- jepangan.

Kedua, narasi mengenai nilai-nilai yang dianggap “Jepang” oleh para pembaca kemudian semakin memperkuat wacana yang terbentuk sebelumya. Dengan nilai-nilai positif yang mereka ambil – yang tentu seringkali mereka kontraskan dengan konteks Indonesia – dan didukung dengan latar yang memudahkan mereka berimersi, pembaca film-teks Jepang menyimpulkan imaji negara Jepang hanya dengan pertemuannya dengan film-teks. Penggabungan keduanya menciptakan imajinasi masa depan yang mungkin tercipta bagi mereka. Jepang bukanlah impossible-world, oleh karena itu Indonesia pun bisa menggapainya dengan menanamkan nilai-nilai yang sama. Jepang bukanlah negara maju yang diimajinasikan oleh para pembaca ini, tetapi masa depan Indonesia lah yang menjadi imajinasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

MENCARI POSSIBLE-WORLD JEPANG, MENEMUKAN INDONESIA

Pada bab II telah dibahas sejarah perkembangan film di Jepang melalui ranah ideologis dan keterpengaruhannya dengan kapasitas modernitas (Barat), sehingga kita bisa mulai melihat film Jepang sebagai sebuah bahasa kosong yang maknanya akan selalu digiatkan melalui berbagai usaha. Bab tersebut juga telah menunjukkan usaha dalam memetakan semesta wacana akan Jepang yang selama ini beredar di Indonesia.

Kedua aspek ini menunjukkan bagaimana intentio auctoris berusaha dibahasakan dalam pembentukan media film dan mempengaruhi adanya intentio operis oleh media-media yang masuk ke Indonesia – terutama film serial – serta menunjukkan jalan masuk bagi pembentukan pengetahuan pembaca akan Jepang di Indonesia. Bab

III kemudian menunjukkan intentio lectoris pembaca Indonesia dan kesejarahan mereka dalam memaknai dunia film yang mereka hadapi sejak kecil. Semua aspek yang sudah dibahas sebelumnya ini menjadi wilayah-wilayah yang akan diletakkan secara simultan dalam peta analisis bab IV ini. Negosiasi dari intentio operis dan intentio lectoris yang ada dalam proses pembacaan serial televisi Jepang tersebut yang akan membentuk pembacaan film serial Jepang khas Indonesia. Dengan kata

136

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

137

lain, possible-world tercipta dari negosiasi antara ensiklopedia pengetahuan (semesta wacana akan Jepang) yang dibawa oleh pembaca dengan teks yang dihadapinya.

Oleh karena itu, secara terstruktur bab ini akan menggunakan sistematika 4 aspek pencarian possible-world oleh Eco (1979: 219) yang dibagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama akan berisi pembahasan pada aspek possible state of affairs. Bagian kedua akan berisi pembahasan pada aspek possible individual dan possible course of events, termasuk di dalamnya pembahasan mengenai lima dunia, yaitu: (1) Dunia kepercayaan; (2) Dunia hasrat; (3) Dunia kewajiban; (4) Tujuan dan rencana-rencana yang dijalankan oleh karakter; dan, (5) Mimpi dan angan/keinginan milik karakter- karakter. Bagian ketiga akan berisi pembahasan mengenai aspek terakhir yaitu propositional attitudes. Di bagian terakhir ini, kecenderungan dalam menyikapi

Jepang yang dilakukan oleh pembaca akan dilihat untuk mencari konteks Indonesia yang khas yang nampak dalam bahasa mereka. Dengan menyandingkannya pada konteks ensiklopedi pembaca, dan menyimpulkan penelusuran pada dua bagian sebelumnya, pembentukan nilai atas “Jepang” yang nantinya dipercaya oleh pembaca akan ditelusuri secara kontekstual.

Keempat aspek yang digariskan Eco ini adalah langkah sistematis dalam mendefinisikan possible-world, untuk melacak kemungkinan adanya akses antara dunia-dunia (actual – possible), dan juga untuk melacak adanya transworld identity – identitas yang terletak di batas ambang antara yang actual dan possible melalui

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

138

pertemuannya pada teks. 191 Meminjam definisi yang digunakan Ryan (2005), identitas yang ambang tersebut merupakan nasib interpreter teks yang tidak hanya harus memahami apa yang terjadi dalam teks, tetapi juga konteks, lingkungan, dan keseluruhan properti storyworld192 seperti yang diungkap Eco melalui 4 aspek di atas.

4.1. Gerbang Masuk pada Film: Mempercayai Jepang yang Mungkin

Konsep storyworld menganggap pembaca harus terbawa untuk berimersi pada teks, dan menunjukkan kemampuan teks (intentio operis) untuk memindahkan pembaca ke tempat dan waktu yang harus dihidupi pembaca jika mereka ingin memahami teks secara komprehensif. Pembaca tidak hanya mengonstruk sekuen kejadian dan segala kehidupan di dalam teks, melainkan justru harus tinggal secara imajinatif di dalam teks tersebut sehingga bisa merasakan, memuja, menggelisahkan, menampik, bahkan menertawakan dan menangisi segala kejadian di dalamnya.193

Untuk bisa sampai ke titik tersebut, pembaca harus mampu untuk tidak hanya mengonstruk kejadian-kejadian di dalamnya, tetapi juga harus bisa mengonstruk keseluruhan konteks dan lingkungan dalam teks sesuai dengan ensiklopedinya. Tabel berikut menunjukkan narasi dari narasumber yang menyiratkan proses usaha mereka untuk bisa membayangkan berada di tengah-tengah state of affairs dalam film-teks:

191 Eco (1979), op.cit. hal 219 192 Mentally and emotionally projected environments in which interpreters are called upon to live out complex blends of cognitive and imaginative response. Lihat bagian Storyworld dalam David Herman, Manfred Jahn dan Marie-laure Ryan, Routledge Encyclopedia of Narrative Theory (New York: Routledge, 2005) 193 Herman (2005), ibid. bagian Storyworld

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

139

Ya paling teknologi sih. Itu yang perbedaan paling kenceng banget… Teknologi sama ritme kehidupannya. Maksudnya ritme kehidupannya di sini dalam artian,, “ya kalau jam segini ya harus gini, jam segini harus gini.” Ga bisa dilawan tu lho.. maksudnya Kira K1 dia ya ritmenya udah kayak gini. A ya A, B ya B.. Ya itu sih. Kalau di ritme. Waktu sih. Ya ktinggalan kereta ya karena kereta berikutnya ada lagi. 15 menit apa 5 menit Ya ada y ada lagi. Beneran ada. Beneran dateng. Ya itu sih… Kalau saya tu nostalgia […] ini ya, live style anime… Kalau sekarang,, bukan love-story, bukan action,,, ya action kadang- kadang saya nonton ya. Yang saya kira asyik lah. Yang masih ada jiwa apa ya, api membaranya, misalnya yang keren, yang super- Geyol G1 heroik gitu kan ya,, tapi selain itu saya lebih suka nonton yang kayak olahraga, kayak istilahnya tu sekolah Jepang, lucu-lucuan, segala macem itu fresh buat saya. Kalau yang fiktif-fiktif malah justru saya suka enggak nonton… Dorama soale kalau Jepang itu,, lebih... Apa ya… Nek kaya O1 dikaya-kayakke tenan, tapi nek enggak kaya, ya bener. Nek sekarang, sing nonton itu sing kui,, sing hideaki takizawa sing Koh anyar… Yang jadi manager e perusahaan,, apa namanya,,, Oyon O2 perusahaan berlian tiffany.. Jadi ceritanya, nyritakke perusahaan tiffany. Jadi kalau di Jepang itu terkenal bikin kalung, bikin… asli ada. kan sponsor tu dia. Nyritakke manajer tiffany. bagian, apa namanya, waktu,,, pertama kali berubah wargreymon sama metalgarurumon. Yang waktu, Taichi sama Yamatonya Xakha X1 ditembak panah sama angewomon…Itu… waktu di bumi… lawan aguremon, eh, bukan… Kalau dari kecil sih aku cuman ngliat kalau Jepang lebih ke keadaan kotanya sih. Sama dari keadaan visual kotanya di Jepang sekarang kayak gimana, kan yang dulu tu kayak gimana. Kan sempet juga kan ngikutin dari anime-anime yang kadang-kadang muncul cuman jam sore kan ya, di TV7 apa ya. Kan aku sering John J1 ngikutin anime-anime yang di TV7 kan bukan anime-anime yang Switch mainstream gitu itungannya… Kayak jigoku-sensei nube gitu-gitu tu ada, terus tobe-isami, tentang shinsengumi tapi yang lebih modern lah. Itu tu dua anime yang aku sukain. Aku tu lebih, yang dilihat dari menggambarkan Jepang tu dari, satu, kotanya, terus kehidupannya, tak akuin sebenernya, sama sejarahnya di anime.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

140

Yang paling gampang sih, sekolah. Sekolah kan gini. Kalau dulu kan aku mikir wah bangun pagi berangkat sekolah. Tapi aku lebih ngelihat gini. Wah sekolah di sana, ternyata, kalau di SD misalnya, bajunya bebas ya. Itu paling simpelnya lho. Kok bajunya bebas ya… Terus misalkan, ibu-ibu gosip ya misalkan, who ternyata ada yang sempet nyeletuk, wah jam buang sampah tu jam segini. Pas tak lihat, emang jam buang sampah jam segini? Pas ngecek di kebudayaan kota-kota Jepang, ternyata memang ada J2 jam buang sampah di Jepang tu jam segini… Terus kalau misalkan tu sempet lihat, ternyata orang tu lebih suka, kalau di anime kan lihat, wah ternyata mereka lebih suka jalan daripada naik sepeda, kenapa ya. Wah ternyata emang di sana tu bentuk kotanya tu kecil. Terus naik kereta api, pas aku lihat itu wah ternyata mereka anu, ternyata letak kotanya sama letak ini dan sebagainya tu ternyata gak begitu jauh kayak di sini, kalau di sini kan jalannya gedhe- gedhe semua. Kalau di sana tu jalannya kecil-kecil semua. Kecil dan bisa dijangkau jalan kaki semua... Dan habis itu, setelah itu muncul dorama. Nah begitu ada dorama, woooo kayak gini ta Jepang...Dulu paling seneng ngikutin tu Beach Boys. Terus La-La-La-LoveSong. Nah itu kotanya kan yang J3 aku bilang. Kalau Beach Boys tu aku sukanya satu, suasana pantainya tu bagus banget. Ceritanya juga. Itu juga artis kesukaanku juga ada di situ sih. Ryoko Hirosue. Sama yang ngisi OST nya kan Takashi Sorimachi. Nah itu, favoritku. Sama kayak sejarah,,, kenapa sih di Jepang tu kayak gini, misal tata kota, dan sebagainya. Misalnya gini, yang gampang, kenapa J4 sih kalau di Jepang tu banyak vending machine. Satu, jepang itu aman. Ga mungkin ada penjarahan. Kalau pun ada penjarahan paling cuman 0,1persen. Dua, pola hidup orang Jepang itu adalah mereka butuh instan. Karena mereka tu kerja, cepet, fokus mereka adalah kerja. Selain kerja, mereka gak akan mikir. Mereka gak mau mikir “wah aku masak apa hari ini,” udah, jegleg, masuk, ambil. Itu sederhananya kayak gitu tu. Udah, dua alasan sederhana itu udah cukup J5 menjawab semuanya. Iya. Mereka tu butuh yang instan. Mereka butuh instan, mereka butuh cepet, mereka butuh akurat. Nah karena mereka butuh akurat, pemerintah pingin, perusahaan dari mereka tu kalau bisa “kamu bisa gak akurat?” nah itulah, itu akhirnya mereka bikin,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

141

satu hal lagi, pola pikir masyarakat Jepang itu adalah mereka setia, dengan pekerjaan. Dan maksudnya dengan loyalnya. Loyalitasnya tu, jadi kesannya tu, pola pikir bushido kasarannya. Pola pikir samurai, semangat samurai tu, menurun ke mereka. J6 Jadi mereka itu, kenapa orang itu bisa loyal sekali sama atasannya. Sampe ada yang bilang, kalau atasan bilang “bumi itu, bumi itu kotak,” kamu harus menjaga bumi itu kotak, walaupun kamu ditodong pistol sekalipun. Iya.. masih turun sampe sekarang. Itu juga makanya banyak orang mati karena pekerjaan.

Tabel 1. Data Possible state of affairs

Penarasian “Jepang” yang dibahasakan oleh kelima narasumber di atas menunjukkan adanya proses pembayangan yang beragam, dan justru tidak menghasilkan satu keutuhan dunia “Jepang”. Hal ini terutama disebabkan oleh pemilihan film-teks yang berbeda-beda ketika mereka berusaha menarasikan Jepang dan filmnya. Walaupun kemungkinan masing-masing dari mereka juga menikmati film-film yang disebutkan oleh narasumber lainnya194, pemilihan atas satu-dua jenis film yang mereka favoritkan menentukan arah penarasian yang mereka lakukan. Kira yang lebih memilih seri Kamen Rider (kamen rider black – 1993) sebagai film-teks yang ia favoritkan tentu akan menarasikan Jepang yang berbeda dengan Geyol yang lebih memilih anime sekolah atau olahraga macam SlamDunk (2000). Hal tersebut juga diperjelas melalui Geyol yang jelas-jelas menyatakan lebih menyukai seri Super

Sentai dibanding seri Kamen Rider. Bahkan, perbedaan itu akan semakin terasa ketika film-teks yang mereka bicarakan tidak hanya di satu genre anime saja, namun juga

194 Terutama karena sebagian besar film-teks yang disebutkan oleh para narasumber adalah film yang juga disiarkan di televisi Indonesia, seperti Kamen Rider Black (Satria Baja Hitam), Jetman dari seri super sentai, SlamDunk, Digimon, Oshin,ataupun Tokyo Love Story.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

142

menyentuh baik dorama maupun tokusatsu. Di sini peran teks sebagai penentu batasan interpretasi atas Jepang terlihat dengan jelas.

Peran teks tersebut terlihat akan terlihat dari bagaimana para narasumber menarasikan film-teks yang mereka sukai masing-masing, yaitu dengan melihat pada narrative semantics di dalamnya.195 Narrative semantics ini bergantung pada adanya bentuk atau aturan khusus sebuah struktur naratif – tentu sebagai sebuah bahasa yang kemudian diciptakan supaya bisa dimengerti di pihak model reader – yang dapat memantik interpretasi pembaca untuk mengasosiasikannya dengan suatu dunia tertentu. Dalam hal ini, bentuk naratif teks ditempatkan sebagai satuan sinyal linguistik yang menghubungkan pembaca dengan sudut pandang pembicara (intentio auctoris) dan menghasilkan pembentukan storyworld tertentu. Dalam dunia linguistik, sinyal semacam ini dikenal dengan istilah deixis (misal: disini - disana, sekarang - kemarin, aku - kamu.) 196 Dari tabel.1 di atas terlihat bahwa deixis yang selalu digunakan untuk menarik pembaca masuk adalah penggambaran Jepang, baik secara riil – non-animasi (dalam dorama dan tokusatsu) maupun animasi (dalam anime).

Perbedaan bentuk antara film riil dan animasi tidak dijadikan permasalahan bagi para narasumber untuk menentukan aktualitas film-film tersebut. Justru mereka menyatakan bagaimana yang riil pun hadir dalam pemaknaan mereka terhadap bentuk film animasi. Geyol mengungkapkan bahwa ia lebih menyukai live-style anime atau

195 Herman (2005), ibid, bagian Narrative Semantics 196 Ibid. narrative semantics. Ketiganya merupakan tiga bentuk deixis, yaitu spatial, temporal, dan personal deixis. Ketiga jenis deixis ini juga menentukan tiga jenis imersi pembaca pada film-teks, yaitu Spatial, Temporal, dan Emotional immersion. Lihat Ryan (2001), op.cit, hal. 122 - 41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

143

live-action (G1), yaitu film yang menggambarkan kehidupan yang sedekat mungkin dengan realitasnya. Baik itu animasi maupun non-animasi, ia tetap mengutamakan kedekatan penggambaran sesuai realitas dunia Jepang yang ia ketahui. Dari kalimat yang ia ungkap terlihat bahwa ia hanya merasa asyik apabila ia berhadapan dengan film-teks yang ia pahami realitasnya seperti apa.(G1) Dengan menyebut istilah fiktif untuk menerangkan film yang tidak ia tonton, ia mulai melakukan diferensiasi terhadap film-teks Jepang dengan membaginya antara yang fiksi dan non-fiksi – walaupun hakikat dari film-film yang ia nikmati adalah film fiksi.197 Contoh dari film-teks yang ia anggap sebagai film non-fiksi adalah film Jepang yang berlatar olahraga dan sekolah. Di sini ia melakukan diferensiasi bukan berdasarkan film riil dan animasi, tetapi dari seberapa mudah ia bisa menerima deixis yang dilayangkan oleh narator, yaitu penggambaran lingkungan (konteks).

Hal yang sama juga terlihat dari bagaimana Xakha menjelaskan bagian film

Digimon Adventure 1 (1999 – 2000) yang ia sukai. Ia justru paling mengenang adegan pertarungan yang terjadi di bumi (X1), sedangkan sebagian besar latar

Digimon justru berada di dunia digital. Latar bumi di dalam anime Digimon

Adventure 1 hadir pada episode 28 hingga episode 39 (11 episode dari total 54 episode), dengan narasi yang menceritakan bahwa anak-anak terpilih harus kembali ke bumi untuk menyelamatkan dunia nyata yang mulai membaur dengan dunia digital.

197 Terlihat dari judul-judul film yang ia ungkap dalam wawancara sebagai film yang mengena di ingatannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

144

Gambar 1. Stasiun Fuji TV dalam anime Digimon Adventure 1 dan dunia aktual198

Latar yang dipilih untuk arena pertarungan ini adalah Jepang199, dan yang dijadikan latar untuk pertarungan utama antara anak-anak terpilih dan

VenomVandemon adalah daerah Odaiba, Tokyo, dengan ikon terkenalnya berupa stasiun Fuji TV. Bahkan bagian lingkaran dari stasiun tersebut menjadi ikon yang kemudian dihancurkan oleh Vandemon dan berusaha diselamatkan oleh anak-anak terpilih.

Sekuen yang dipilih Xakha ini pun menunjukkan bagaimana pertarungan dunia Digimon tidak hanya terjadi antara anak-anak terpilih dengan digimon jahat, namun juga menunjukkan keterlibatan aspek dunia nyata secara lebih banyak. Aspek yang dimasukkan dalam sekuen ini misalnya adalah keluarga dari anak-anak terpilih

198 https://twitter.com/yuyucow/status/499230707001356289 (diakses pada 1 Maret 2017) 199 Berbeda dengan seri Digimon Adventure 2 yang juga di dalamnya terdapat narasi pertarungan di bumi, namun latar yang dipilih tidak hanya Jepang, tetapi juga New York, China, Brasil, dan beberapa tempat yang memiliki simbol-simbol yang sudah mendunia (Patung Liberty, Tembok China, Piramida Mesir, dan lain-lain)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

145

dan properti yang dilekatkan pada keberadaan mereka seperti status pekerjaan, kendaraan, pola pikir orang tua dan kakak. 200 Kesemuanya hadir pada akhirnya berfungsi untuk memanggil (deixis) pembaca lebih jauh masuk ke dalam dunia anime ini.

Contoh lain bagaimana situasi dalam film-teks bisa dianggap mungkin oleh pembaca terlihat pada narasi Koh Oyon – dalam hal ini dorama (O1-O2). Ia menyukai dorama Jepang dengan menilai bahwa dorama Jepang itu seperti nyata, sekaligus juga bisa terlihat tidak nyata apabila dilihat sebagai sebuah film (O1). Ia menanyatakan bahwa dorama Jepang yang ia tonton menyerupai kenyataan Jepang dengan mencontohkan pada dorama berjudul For the Romantic / Love Catharsis

(Seisei-suru Hodo, Aishiteru) (2016). Dorama tersebut bercerita mengenai manajer perusahaan perhiasaan Tiffany (O2). Ia menamai dorama tersebut sebagai sesuatu yang nyata karena mengetahui bahwa dorama ini disponsori juga oleh perusahaan

Tiffany yang memang terkenal di Jepang. 201 Dalam hal ini, ia mengakui bahwa dorama ini di satu sisi adalah nyata (kedekatannya dengan Jepang nyata yang ia ketahui) sekaligus di sisi lain juga fiksi. Peran deixis untuk menamai Jepang menjadi sangat kuat dengan strategi peminjaman simbol ke dalam film-teks untuk memancing pembaca supaya menamainya “Jepang” – dalam hal ini adalah nama perusahaan.

200 Aspek Possible Individu dan property-propertinya akan dibahas lebih lanjut di sub-bab kedua. 201 Ini juga dibantu dengan adanya iklan perusahaan Tiffany di setiap awal episode.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

146

Untuk mencari bagaimana dunia nyata Jepang (WO) dapat diakses dengan masuk ke dalam dunia film-teks (WN), ambil contoh dari bagaimana Xakha menceritakan sekuen di dalam anime Digimon Adventure 1 (Wd) – lihat figur.1 di bawah. Di dalam sekuen tersebut, Taichi (C1) dan Yamato (C2) menjadi karakter utama yang akhirnya mampu untuk merubah digimonnya menjadi level ultimate sehingga bisa menghadapi VenomVandemon di arena pertarungan Fuji TV di Odaiba

(OF). Perubahan tersebut hanya bisa terjadi ketika sebuah ramalan terpenuhi, yaitu: the angels will let fly the arrow of hope and light at the loved ones of those whom they are to protect, and a miracle will happen. 202 Ramalan ini terpenuhi dengan meminta digimon berbentuk malaikat (DA) milik kedua adik (K) Taichi dan Yamato untuk menembakkan panah harapan dan panah cahaya ke arah Taichi dan Yamato.

Kedua adik (Hikari dan Takeru) dari Taichi dan Yamato adalah sosok yang dilindungi oleh digimon malaikat, sehingga orang yang dicintai mereka adalah kakak- kakak mereka.

Pada Figur.1 di bawah, terlihat bahwa di dunia anime Digimon terdapat tiga karakter (C1-C3, yaitu Taichi, Yamato, dan Koushiro – sebagai karakter yang juga terlibat kuat di dalam sekuen ini – yang ketiganya adalah tiga anak terpilih pemilik digimon). Mereka bertiga sama-sama memiliki properti pria (M – male), bisa mengakses area Odaiba dan Fuji TV (OF), dan sama-sama memiliki digimon (D).

Walaupun Koishiro juga memiliki digimon dan memiliki kerabat yang ia cintai (K),

202 Anime Digimon Adventure 1 episode 38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

147

namun kerabatnya bukanlah pemilik digimon (DA) sehingga ia tidak memiliki

properti digimon yang melindungi kerabatnya (DPK). Bagi Taichi (C1) dan Yamato

(C2), properti digimon yang melindungi adiknya (DPK) dan properti adik yang

203 mencintai kakaknya (KLC) menjadi S-necessary properties dalam fabula ini

(ditunjukkan dengan tanda kurung braket).

WD M OF D K DA DPK KLC WO M OF D K DA DPK KLC

C1 (+) (+) (+) (+) (+) [+] [+] M (+) (+) 0 (+) 0 0 (+)

C2 (+) (+) (+) (+) (+) [+] [+] F (-) (+) 0 (+) 0 0 (+)

C3 (+) (+) (+) (+) (-) (-) [+]

Figur 1. Perbandingan properti Dunia digimon dan Dunia Jepang

Pertanyaan mengenai akses dunia nyata Jepang (WO) melalui pembentukan

dunia digimon (WD) bisa dijawab dengan melihat tabel properti pembangunan sekuen

tertentu dari fabula dunia digimon tersebut. Dengan mengandaikan bahwa di dunia

nyata terdapat dua manusia pria (M) dan wanita (F), dan mereka dapat mengakses

area Fuji TV di Odaiba (OF), maka pengandaian akses antar dunia ini menjadi

mungkin. Dari tabel pembentukan dunia Jepang (WO) di atas, properti kepemilikan

digimon dihilangkan, sehingga di dunia Jepang nyata, dua manusia pria dan wanita

ini hanya tinggal memiliki properti kekerabatan (K) dan kerabat yang mencintai

mereka (KLC). Namun, kedua properti ini sudah tidak lagi menjadi S-necessary

203 Properti yang tidak bisa tidak ada dalam pembangunan fabula. LIhat Eco (1979), op.cit., hal. 240- 241

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

148

property, karena tidak lagi melihatnya dalam kerangka kepentingan plot. Oleh karena itu, properti Fuji TV Odaiba menjadi aksen penting dari keberadaan akses antar dua dunia ini, karena melalui tempat itulah jembatan antara kedua dunia ini bisa dibangun.

Pertemuan antara dunia film-teks digimon dan dunia nyata bisa terjadi ketika pembaca mengakses Odaiba. Pengetahuan yang diperlukan untuk benar-benar merasa masuk ke dalam anime tersebut dapat dilihat dari pengetahuan akan Odaiba – Tokyo

– Jepang.204

Hal yang sama juga dialami oleh Geyol yang lebih menyukai anime dengan tema sekolah dan olahraga, karena pengetahuan yang ia bawa sudah lebih lengkap untuk bisa digunakan dalam membaca anime sejenis itu – mengingat ia pernah merasakan sekolah di Jepang dan Indonesia dan dapat membandingkan keduanya.205

Sama juga dengan Koh Oyon yang menganggap dunia dorama Jepang itu nyata ketika memasukkan pengetahuan akan perusahaan Tiffany dan strategi perusahaan sponsor tersebut dalam membentuk dorama ini. Eco (1991) menjelaskan hal semacam ini dengan menggunakan istilah topoi/topos, yaitu bahwa pembaca untuk dapat menikmati allusion (pernyataan yang merujuk pada sesuatu tanpa harus menyebutnya secara langsung) harus mengetahui topoi yang orisinil. Topoi tersebut adalah sesuatu yang terekam oleh pembaca, dan membangun kekayaan imajinasi kolektif milik

204 Odaiba sekarang menjadi atraksi wisata unggulan di daerah sekitar Tokyo. Bahkan sekarang di sana sudah berdiri patung replica Gundam dari seri anime Gundam dengan ukuran nyata, dan juga museum anime dan manga One Piece. 205 Bahkan ia mengatakan secara jelas dalam wawancara bahwa kegiatannya menonton film Jepang adalah sebuah nostalgia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

149

pembaca tersebut, hingga waktunya topoi tersebut akan dipanggil ke permukaan. Eco menegaskan bahwa topoi ini berkaitan dengan adanya teks yang dikutip dari teks-teks yang lain, dan pengetahuan akan teks-teks yang lain tersebut – taken for granted – merupakan hal yang harus dimiliki untuk bisa menikmati teks yang baru.206

Di sini para pembaca harus membawa banyak pengetahuan dalam ensiklopedinya, yaitu pengetahuan mengenai keberadaan film-film yang lain

(intertextual knowledge), dan juga mengetahui latar belakang dari film-teks yang mereka hadapi (seperti produser, sutradara, studio film, sampai ke negara pembuatnya yang memiliki kebiasaan tertentu dalam pembuatan film – lihat sejarah film pada masa ideologi Discover Japan dan Cool Japan yang sudah dibahas di bab 2.1.2 dan

2.1.3). Mereka harus tidak hanya memiliki pengetahuan tentang film-teks tersebut, tetapi juga pengetahuan mengenai dunia, kondisi yang terjadi di luar teks. Di sini kesulitan penelusuran pengetahuan pembaca di era internet masif menjadi mungkin, karena pembaca bisa dengan mudah mencari pengetahuan tentang apa pun untuk membantu mereka membaca – termasuk mencari tahu gedung berbentuk lingkaran di dalam anime Digimon yang ternyata juga ada di dunia Jepang nyata.

Kesemua strategi penghadiran deixis untuk menarik pengetahuan pembaca keluar ke permukaan ingatannya dan mengajak pembaca untuk bisa masuk ke dalam dunia film-teks ini menjadi aksen penting untuk bisa membuat pembaca berimersi dengan dunia di dalam film-teks. Ryan (2001) mengembangkan konsep deixis

206 Eco (1991), op.cit, hal. 88 - 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

150

tersebut untuk menyebut tiga jenis imersi, yaitu imersi spasial, temporal, dan emotional. Dalam pembentukan possible state of affair ini jelas strategi yang digunakan adalah penciptaan usaha imersi spasial, dimana pembaca membangun relasi intim dengan latar dan juga menciptakan perasaan hadir di scene suatu peristiwa dalam film-teks. Mereka menciptakan mental model of space 207 yang mengisyaratkan bahwa mereka masuk ke dalam peta suatu dunia fiksi dan membuat gambaran imajinasi atas perubahan-perubahan lanskap seturut sekuen tertentu dari karakter dalam film-teks. Pengalaman imersif ini bergantung pada intensitas pengetahuan yang dipakai dalam mendeskripsikan suatu penggambaran tertentu di dalam imajinasi mereka.

Usaha untuk memancing pembentukan mental model of space ini sangat kuat dibantu dengan penggunaan nama tempat – seperti Odaiba, atau perusahaan Tiffany.

Menurut skala imersivitasnya, Ryan (2001) membagi tiga jenis perangkat pengonstruksian tempat (spasial) sebagai strategi yang sering dilakukan dalam teks.

Pertama, penggunaan nama tempat yang sudah pernah dikunjungi atau nama tempat yang memiliki ikatan kuat dengan pembaca dan memanggil memori akan suatu deskripsi tertentu di ingatan pembaca. Dua, penggunaan nama dari tempat-tempat terkenal yang nyata terdapat di suatu wilayah dan pernah kita dengar atau kita impikan walaupun belum pernah dikunjungi. Ketiga, penggunaan detil-detil dalam

207 Ryan (2001) membedakan antara sense of place dan mental model of space. Dalam konsep Sense of place, pembaca menyerap atmosfer dari tempat yang mereka hadapi, sedangkan mental model of space lebih mengisyaratkan proses menggambarkan perubahan lanskap dalam imajinasi pembaca. Lihat Ryan (2001), op.cit., hal. 123 - 24

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

151

mendeskripsikan suatu wilayah, yang oleh Roland Barthes disebut dengan the Reality

Effect, yaitu: penyebutan detil konkret yang bertujuan untuk menghidupkan atmosfer sebuah tempat yang kemudian menyentak masuk ke dalam ingatan pembaca.

Perangkat ini justru biasanya terlepas dari ikatan simbolik di dalam teks dan juga terlepas dari kepentingannya atas plot. Dengan kata lain, perangkat ini justru sesuatu yang trivial dan muncul secara sembarang di dalam teks, tetapi berfungsi untuk mengatakan bahwa “ini adalah dunia nyata.”208

Dalam tiga pembagian ini, argumen dari Geyol (G1) menunjukkan jenis yang pertama, karena dia memiliki ingatan yang kuat di masa kecilnya dengan kehidupan sekolah di Jepang, sehingga ia menyebutkan live-style anime atau film tentang sekolah atau olahraga sebagai film ia sukai. Jenis yang kedua tampak dari argumen

Koh Oyon (O2) dan Xakha (X1) dengan menunjukkan bahwa film-teks Jepang juga merupakan dunia nyata dengan memasukkan pengetahuan tertentu. Kedua jenis strategi ini menampakkan bagaimana ingatan pembaca dan pengetahuan yang (harus) dibawa oleh pembaca terpanggil oleh teks untuk akhirnya membentuk dunia imajinasi di pembaca.

Yang ketiga, jenis perangkat Reality Effect justru tampak jelas dari argumen- argumen yang dikeluarkan oleh Kira dan John Switch. Mereka menarasikan hal-hal yang trivial di dalam film-teks, dan justru bukan hal yang mempengaruhi plot utama film-teks, namun tetap menganggapnya sebagai aspek yang membangun dunia nyata

208 Ibid. hal. 130

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

152

Jepang. Kira menyebutkan mengenai efek teknologi yang maju sehingga mempengaruhi ritem kehidupan orang Jepang (K1). John Switch menceritakan mengenai keadaan kota dan kehidupannya (J1), yang termasuk di dalamnya adalah situasi sekolah yang berbaju bebas, kegiatan dari ibu-ibu yang membicarakan peraturan membuang sampah, serta kebiasaan orang Jepang berjalan kaki (J2).

Semuanya ini merupakan narasi yang dihasilkan dari pertemuan Kira dan John

Switch dengan film-teks – yang sebagian sudah dibahas juga di bab 3.2.1: Teknologi,

Kota, dan Sejarah. Dengan menyebutkan aspek-aspek tersebut – yang bukan merupakan strategi penamaan secara jelas seperti pada jenis pertama dan kedua – proses negosiasi antara penggambaran hal trivial di dalam film-teks dan paparan pengetahuan yang terbawa oleh pembaca menjadi kompleks. Pembaca melakukan proses menemukan “Jepang” dengan memberi nama baru pada state of affairs yang tampak di dalam film-teks dan mencari segala kemungkinan (possible) 209 untuk disebut Jepang. Dalam hal ini, kesadaran bahwa dirinya berada di dalam suatu state of affairs tersebut mandiri (independen) dari dunia tekstual yang seakan-akan nyata di hadapannya.210

Ketika Kira mengatakan, “…ketinggalan kereta ya kereta berikutnya ada lagi.

15 menit apa 5 menit. Ya ada ya ada lagi. Beneran ada, beneran dateng…”, (K1) di dalam kalimat tersebut terlihat bagaimana ia mencampur-adukkan dunia tekstual yang

209 Untuk menginterpretasikan sebuah tanda (sign) berarti untuk meramal – secara ideal – segala kemungkinan konteks yang ke dalamnya bisa dimasukkan tanda tersebut. Lihat Eco (1991), op.cit. hal. 213 210 Ryan (2001), op.cit. hal. 130

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

153

seakan-akan nyata dengan pengetahuan yang ia bawa. Pemberian waktu 15 menit atau 5 menit bukanlah informasi yang didapat secara jelas di dalam film-teks. Ia hanya mendapatkan informasi bahwa ketika tokoh di dalam film-teks terlambat menaiki kereta, kereta berikutnya datang tidak lama setelah. Ia menegaskan, “…ya ada lagi. Beneran ada, beneran dateng…” dari fakta tersebut, namun menambahkan penghitungan waktu 15 atau 5 menit melalui pengetahuan yang ia bawa selama ini.

Fungsi dari informasi yang ia tambahkan ini adalah untuk menyangatkan kata

“beneran” yang ia ungkap – yang menandakan bahwa ada pengalaman kaget atas sesuatu fenomena yang baru (bahwa ada yang tidak beneran – di sini terlihat posisi pembicara menempatkan dirinya dari suatu lingkungan tertentu)

Pencampur-adukkan pengetahuan dengan film-teks terlihat lebih jelas dalam ucapan John Switch, yang mengatakan, “… emang jam buang sampah jam segini?

Pas ngecek di kebudayaan kota-kota Jepang ternyata memang ada jam buang sampah di Jepang tu jam segini…” (J2). Secara jelas John Switch menyatakan bahwa ia mengakses informasi mengenai kebudayaan kota-kota di Jepang untuk memenuhi rasa keingintahuannya terhadap informasi yang sebenarnya hadir secara acak dan tidak memiliki keterikatan dengan plot utama – sehingga pemenuhannya pun sebenarnya bukanlah hal yang wajib.

Beberapa bahasa yang diungkap oleh John Switch pun menunjukkan hal yang sama. Dalam ucapan “wah ternyata mereka lebih suka jalan dibanding naik sepeda, kenapa ya? […] wah ternyata emang di sana tu bentuk kotanya kecil […] ternyata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

154

letak kotanya sama letak ini dan sebagainya tu ternyata gak begitu jauh kayak di sini, kalau di sini kan jalannya gedhe-gedhe semua. Kalau di sana tu jalannya kecil-kecil semua. Kecil dan bisa dijangkau jalan kaki semua.”(J2) Dari bahasa yang diungkap ini bisa didapat beberapa hal yang melatarbelakangi pemilihan pembaca – atau dalam istilah Eco adalah proses abduksi presuposisi,211 yaitu:

1. Menyimpulkan secara niscaya bahwa “mereka” lebih suka berjalan kaki

daripada naik sepeda di dalam film-teks, sehingga pertanyaan “kenapa ya”

muncul dari membandingkan dengan keadaan yang dialami secara

personal oleh John Switch. Dalam artian, John Switch hidup di lingkungan

dimana “kita” (untuk menegasikan “mereka”) lebih tidak suka jalan kaki,

sehingga pertanyaan “kenapa ya” menjadi relevan.

2. Kata “ternyata” yang hadir di depan kalimat “di sana bentuk kota kecil”

menandakan bahwa John Switch mendapatkan informasi mengenai bentuk

kota yang kecil “di sana” setelah pertemuannya dengan film-teks.

Informasi tersebut bukan informasi yang didapat dari film-teks.

3. Kata “di sana” berarti menempatkan diri sebagai yang “di sini”, sehingga

kalimat “gak begitu jauh kayak di sini” menjadi relevan. Hal ini

disangatkan dalam kalimat “Kalau di sini kan jalannya gedhe-gedhe

211 Proses abductive presuppositions menegaskan bahwa teks hadir sebagai empty form to which can be attributed various possible sense. Lihat Umberto Eco, A Theory of Semiotics (London: Indiana University Press, 1976), hal. 139

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

155

semua” sehingga memperlihat proses pembandingan dua area spasial yang

berbeda.

4. Pada kalimat “kecil dan bisa dijangkau jalan kaki semua” menunjukkan

adanya proses generalisasi secara tak disadari. Dengan menggunakan kata

“semua” berarti John Switch juga ingin menyatakan bahwa semua orang

“di sana” suka jalan kaki. Di sini terlihat bahwa John Switch mulai tidak

hanya membandingkan dua area spasial, namun juga membandingkan dua

tradisi, antara yang “di sini” dan “di sana,” antara yang suka jalan kaki

dan yang tidak.

Contoh lain dari data yang didapat ada pada ungkapan John Switch: “kenapa sih kalau di Jepang tu banyak vending machine?”(J4). Ia menerangkan alasannya yaitu “…Jepang itu aman, gak mungkin ada penjarahan, kalau pun ada penjarahan paling cuma 0,1 persen…”(J4) dan “mereka butuh instan […] mereka gak mau mikir

“wah aku masak apa hari ini,” udah, jegleg, masuk ambil” (J5). Dari ungkapan- ungkapan ini dapat ditarik beberapa hal, yaitu:

1. Pertanyaan yang dilontarkan John Switch lagi-lagi menandakan konteks

pengetahuannya, yaitu tempat yang tidak banyak terdapat vending

machine.

2. Dengan menyangatkan bahwa Jepang itu aman melalui kata “gak mungkin”

dan ”0,1 persen”, ia berusaha untuk menafikan pencarian data keamanan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

156

Jepang dan menyimpulkan sebuah prosentase. 212 Ia berusaha

menampilkan bahwa Jepang – secara keseluruhan – adalah daerah yang

aman dengan membandingkan pada konteks adanya daerah lain yang tidak

aman – di sini terdapat kemungkinan ia membandingkan dengan konteks

dimana ia hidup.

3. Ia menyimpulkan adanya pola kehidupan di Jepang yang serba ingin

instan dengan mengaitkannya pada kehadiran banyaknya vending machine

dari film-teks yang ia hadapi. Di sini terlihat bagaimana ia bukan hanya

mencampur-adukkan dunia film-teks dengan dunia nyata, tetapi lebih jauh

berusaha kemudian menggunakannya untuk menamai Jepang di dunia

nyata.

Dari beberapa aspek yang berhasil didapatkan dari narasi kelima narasumber di atas, terdapat dua aspek penting yang menunjukkan proses mereka dalam mempercaya state of affairs di dalam film-teks menjadi mungkin. Pertama, abduksi yang mereka lakukan menunjukkan proses pentingnya topoi yang disusupkan oleh pembaca pada film-teks untuk bisa membangun konteks dan lingkungan yang mungkin tercipta secara utuh. Dari dua jenis strategi penciptaan imersi spasial pertama dan kedua, didapatkan bahwa Geyol menanggapi realitas di dalam film-teks sesuai dengan ingatannya (nostalgia), dan Xakha maupun Koh Oyon mengakui

212 Untuk rerata tingkat kriminalitas – termasuk penjarahan – bisa dilihat pada http://www.nationmaster.com/country-info/compare/Japan/United-States/Crime atau https://knoema.com/atlas/Japan/topics/Crime-Statistics (diakses pada 7 April 2017)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

157

realitas tersebut melalui pencarian pengetahuan akan nama Odaiba dan Tiffany.

Ketiganya menunjukkan proses pencurian topoi yang digunakan untuk memberi makna pada nama-nama yang hadir di dalam film-teks, baik berdasarkan pengalaman personal, maupun dari interpretant yang bisa diakses berdasar nama riil (Odaiba dan

Tiffany). Sekolah dan olahraga tidak akan dinamai dengan Jepang apabila tidak menyangkutkan pengalaman personal. Begitu juga Odaiba maupun Tiffany tidak akan disebut sebagai simbol dari nama Jepang apabila tidak disusupi pengetahuan tentangnya.

Kedua, selain mencuri topoi atas Jepang yang terpapar kepada mereka di dalam konteks Indonesia, mereka melakukan proses menamai Jepang juga dengan secara intens membandingkan Jepang dengan konteks dimana mereka hidup. Di sini terlihat pembangunan dunia melalui adanya dunia yang kontrafaktual dari dunia dalam teks. Mereka menciptakan yang “Jepang” melalui strategi pengontrasan terhadap konteks lokal kehidupan mereka di Indonesia. Kata “beneran” yang diucap

Kira menunjukkan pengetahuan akan dunia yang ia tinggali, dimana rasa tidak percaya bisa muncul menyertai kata “15 menit apa 5 menit” atas ketepatan waktu yang selalu terjadi di Jepang. Narasi John Switch pun demikian, bahwa pertanyaan

“kenapa” bisa hadir menyertai ketidakpercayaan bahwa orang Jepang lebih menyukai jalan kaki. Kata “ternyata” menggambarkan kebutuhan John Switch akan informasi yang harus ia dapatkan untuk menamai kenyataan Jepang yang ia lihat di dalam film- teks – kenyataan dalam film-teks menjadi kenyataan di dunia aktual. Bahkan John

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

158

Switch secara jelas menyatakan “di sini jalannya gedhe-gedhe semua” yang secara tidak langsung membuatnya berpikir bahwa orang yang hidup di sini tidak menyukai jalan kaki. Konteks khas kota Yogya dan Jakarta tempat ia pernah tinggali hadir di sini, dimana kedua kota ini menyiratkan kesulitannya dalam berjalan kaki di tengah banyaknya orang yang menggunakan kendaraan. Simpulan tentang alasan banyaknya vending machine di Jepang pun menjadi satu hal yang semakin memperlihatkan konteks di mana ia tinggal, yaitu di tempat yang tidak aman sehingga tidak terdapat vending machine seperti di Jepang. Antara yang aman dan tidak aman menjadi alasan baginya untuk menamai Jepang lebih jauh.

Dua teknik ini – menyusupkan pengetahuan akan Jepang dan mengontraskan terhadap Indonesia – menjadi proses yang terlihat untuk mencipta state of affairs dalam film-teks menjadi possible state of affairs Jepang. Detil-detil yang sebenarnya acak tersebut – karena tidak mempengaruhi fabula – menyampaikan kesadaran akan latar film-teks dan memfasilitasi terjadinya imersi spasial. Proses yang sebenarnya tidak bisa begitu saja digunakan untuk menamai Jepang menjadi proses masuknya mereka ke dunia Jepang yang mungkin. Result dari pola abduksi yang sudah disampaikan di bab 3.2 terlihat jejaknya melalui proses penamaan ini.

Namun, menamai mungkinnya state of affairs saja tidak cukup untuk mencapai Result dimana para narasumber bisa akhirnya melakukan kritik atas lingkungan mereka dari sudut pandang luar – berposisi di dalam teks, di luar dunia aktualnya. Keberjarakan dari kritik tersebut menandakan bahwa mereka tidak lagi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

159

semata-mata hidup di dunia aktual, tetapi sudah menjelma menjadi karakter yang berposisi di dalam fabula film-teks. Kehadiran topoi dibalik narasi yang mereka ungkap menunjukkan jalan yang membawa mereka masuk ke dalam film-teks dan memudahkan mereka menjelma menjadi karakter yang hidup di dalamnya. Topoi menjadi semacam shibboleth213 yang menunjukkan konteks tertentu dimana mereka hidup, walaupun setelahnya mereka tak lagi hanya hidup di satu dunia, tetapi juga hidup di dalam dunia Jepang yang mereka percayai.

4.2. Hidup sebagai Jepang

Seperti yang diungkap Ryan (2006) di atas, semesta system of possible-world terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah dunia yang dibuat se-aktual mungkin.

Dunia ini merupakan dunia bentukan dari possible state of affairs – seperti yang telah dibahas di sub-bab 4.1 – yang aktualitasnya justru diciptakan oleh usaha pembaca.

Yang kedua adalah konstelasi wilayah (dunia) privat individu yang mengorbit pada keberadaan dunia aktual tersebut. Kedua bagian ini terbangun serupa sistem tata surya. Ketika pembaca sudah mencipta possible state of affairs, maka yang perlu dicari berikutnya adalah bagaimana pembaca menamai karakter dan aksinya di dalam film-teks sehingga bisa membentuk sistem tata surya possible-world yang lengkap.

Berikut narasi dari narasumber yang menunjukkan proses menamai individu dalam film-teks:

213 Eco (1991), op.cit, hal. 88 – 89. Shibboleth adalah kata atau cara berbicara atau bersikap yang menunjukkan bahwa seseorang adalah anggota suatu kelompok tertentu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

160

Ya walaupun kalah tapi tetep dicoba terus sampai dia bisa. Soalnya kalau, menurut saya, di Jepang tu yang dihargai tu mungkin proses ya. Prosesnya orang itu ya. Lebih mengutamakan proses daripada K2 hasil. Soalnya kalau jepang, kalau prosesnya sudah susah gitu, hasilnya enggak gitu ya udah, diulang dari proses lagi. Enggak hasilnya itu nanti diapain tu enggak. Prosesnya yang diulangi, Kira bukan hasilnya… Kalau gaim memang aku ikuti karena Jepang banget tu lho. K3 Walaupun desainnya buah-buahan, tapi kan dia kan desainnya desain samurai… Ya kalau kotaro minami kan ya pantang menyerah itu. Walaupun K4 dihajar habis-habisan, dia tetap pantang menyerah. Dia selalu bangkit dari masalah. Dengan cara dia sendiri... temen-temen saya itu adalah konsumsinya konsumsi superhero G2 Jepang. Mereka mendapatkan sebuah jiwa kepahlawanan itu dari film-film tokusatsu Jepang…. Yang masih ada jiwa apa ya, api membaranya, misalnya yang keren, yang super-heroik gitu kan ya,, tapi selain itu saya lebih G3 suka nonton yang kayak olahraga, kayak istilahnya tu sekolah Jepang, lucu-lucuan, segala macem itu fresh buat saya. Kalau yang fiktif-fiktif malah justru saya suka enggak nonton… Kok berantemnya pun ga ada gregetnya gtu lho istilahnya… Tapi kalau jaman saya, seperti kamen rider ichigo, superone, segala macem, sampai aktornya sendiri itu turun. Bisa berantem, ya kan. Seperti itu. Dan juga ada kringetnya, lari-lari. Terus juga dari segi bahasanya tu kan lebih kecowokan, pahlawan banget gitu kan, G4 Geyol pembela kebenaran lah istilahnya. Tapi kalau yang sekarang- sekarang tu sangat gitu-gitu aja, yaudah gitu-gitu aja, seperti yaudah, punya musuh, tapi punya musuh di lingkup yang sama. Ga ada istilahnya tu melindungi dunia. Mereka bilang melindungi dunia tapi kok, gitu-gitu aja…. Kalau dulu lebih konsepnya lebih ke,, apa ya… eee.. seperti tenaga dalam. Seperti budaya-budaya Jepang seperti ninja, seperti…Kakuranger… itu pun… sebenernya kemarin keluar serial baru, namanya Ninninger. Tapi ninninger, bagi saya itu bukan G5 ninja, gitu. Karena ya seorang ninja itu harus budaya Jepang, ya kan. Harus yang istilahnya itu, ya kalau saya pikir sih rambutnya hitaam, ya kan, selalu, istilahnya tu ninja tu kan bersembunyi. Tapi konsep yang sekarang tu ninninger, bisa dikatakan bahwa ninja yang tidak bersembunyi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

161

Bagi saya itu, wah kok seperti ini. Menjual sekali. Karena bajunya mentereng, robot-robotnya mentereng, banyak jenis robotnya. Bukan storynya yang, apa ya,, alur ceritanya yang dijual, tapi adalah.. apa yang bisa dijual. Aktornya ganteng-ganteng, padahal dulu ga ganteng-ganteng gitu lho. Bener-bener yang keliatan G6 seperti ninja yang dipilih, yang matanya sipit, yang kira-kira badannya lincah gitu kan. Yang tenaga dalam pun, aktornya harus bisa kungfu. Bener-bener latihan kungfu… Tapi kalau sekarang sih aktor ya kan. Kok jagoan maksudnya lempeng kayak gini, waktu berubah kok jadi keren banget transformnya. Itu yang ga masuk akal. Itu yang membuat saya tidak tertarik lagi… Saya lebih suka, karena kalau dari sifat saya sendiri lebih suka bekerja tim kan. Jadi ada leader, ada wakil leader, ada istilahnya tu, apa ya, eee bagian penyemangatnya, ada bagian yang sedih- G7 sedihnya, yang tabah segala macem. Lebih berwarna filmnya itu. Kalau kamen rider, ya satu orang itu yang ditonjolkan. Yang lainnya cuman, istilahnya tu, ya pelengkap lah. Istilahnya kan rider-rider lainnya pelengkap. kalau supersentai kan satu tim…. Supersentai saya yang paling berkesan tu Jetman. Jetman tu tahun 90 berapa itu. 94 atau 93… 92. Iya saya langsung nonton di Jepang. Itu, justru malah untuk dewasa, bukan untuk anak-anak. Karena ada percintaan setiga, cinta segitiga, yang warna..apa.. hitam malah ngerokok, sering main club, clubbing, tapi dia punya jiwa kepahlawanan walaupun omongannya kasar. Jadi G8 memperlihatkan bahwa jangan menilai orang dari sisi luarnya, tapi dalamnya. Justru malah mengajarkan hal-hal seperti itu… Misalkan kayak si putih seneng sama si merah, si hitem seneng sama si putih, si hitemnya itu benci sama si merah, tetapi sebagai tim bagus. Dan tetap mengalah. Dan pada akhirnya si hitam mati… Dan helmnya sampe pecah-pecah, sampai efek-efek darahnya ada. Ya asik wae. Padahal itu cinta-cintaan lho kui. Iya.. tapi ya asik aja. Dalam artian, yo lakone full gitu. Beda sama hideaki takizawa O3 yang dulu. Hideaki takizawa yang dulu kan ketoke ya cuman cinta- Koh cintaan tapi masih kayak anak muda. Nah sekarang sudah enggak. Oyon Beda. Memang sudah tua ta… Ada pelajarannya, gampangane gitu lah… daripada sing cuman O4 cinta-cintaan thok.. ya gitu-gitu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

162

Ada… ini.. jadi guru ki ngene ngene ngene ki lho. Iki lho critane. Suka duka guru tu seperti ini. Terus nanti kan mesti ada komunitas kayak gini.. Nah, gitu.. Pokoknya yang ada wujudnya, apa ya… O5 yang aku seneng, kalau jadi guru… Terus yang itu, yang… yang mangaka bekas geng motor itu…Iya. Itu. Itu kan juga bagus itu.. Nha… itu apik.. aku seneng yang gitu-gitu.. Ada yang dia bener- bener dari yang bajingan jadi apik. Aku lebih seneng itu… berkesan gitu lho, maksude yo nek dibandingke sama bagian yang lain. Ya soalnya kan cuman dua orang itu yang dapet kekuatan itu... Ya makanya kan anime jaman dulu tu enaknya kita gak mikir fanservice. Emang kita juga menikmati jalan ceritanya dan nganunya itu. Kayak emang digimon tu udah ada nilai,, nilai jual X2 tersendiri gitu lho. Di luar fanservicenya, jadi dari cerita, dari karakter, atau dari apanya gitu lho. Ya kalau ditanya, dari aku dari karakter sama ceritanya. Karakternya keren-keren gitu lho. Maksudnya, buat menarik untuk anak-anak jaman dulu gitu lho, untuk ditonton. Lha alasannya ditonton ulang tu ya masih worth it gitu… Ya karakternya keren-keren gitu. Bentukan karakternya… Iya. Terus digimon-digimonnya kan keren-keren… Walaupun sampai terakhirnya x-cross kan malah kayak lebih ke anak-anak X3 Xakha lagi kan. Emang,, ya emang itu untuk, pasarnya, pasarnya untuk anak-anak lagi. Untuk mendongkrak mainan ta. Kan Bandai. Kesamaannya sih. Kalau dari digimon, sama-sama berubah. Iya, kamen ridernya juga berubah. Iya, upgrade. Upgrade terus… Ya kokehan mungkin di situ ya, nilai nganunya, yang bikin orang tertarik untuk ngikutin, besok ada apa lagi ya. Kayak penasaran gitu… Katakanlah di satu seri, orangnya ada tujuh, woh yang ini udah berubah, woh yang ini besok berubah jadi apa ya… Kan X4 istilahnya kayak itu, digimon pertama, yang bisa berubah cuma wargreymon sama metalgarurumon, lha trus sekarang bisa ada semua. Semua bisa berubah. Sekarang garudamon jadi phoenixmon… Di sini angewomon berubah. Terus megakabuterimon itu berubah jadi herculeskabuterimon. Jadi emas. Zudomon itu juga berubah. ini berubah semua nanti… Di Jepang misalnya kayak La-La-La-LoveSong. Itungannya, dia bisa sampai ke luar negeri, dia bisa dapet ini. Endingnya kan dia ke luar negeri. Kan itu kan, logis kan, dia bisa gitu ya kenapa. Ya dia John J7 latian dari dulu, dia emang punya bakat dari pertama, terus Switch akhirnya dikembang-kembangin ikut kompetisi dan sebagainya. Logis kan dia bisa ke luar negeri… Bukan karena tiba-tiba aku mau gini, terus cuman gitu tok, ting, tiba-tiba bisa. Itu ga logis kan.

Tabel 2. Data Possible Individual

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

163

Dari tabel data possible individual di atas terlihat bagaimana kelima narasumber menarasikan pertemuannya dengan film-teks melalui properti-properti yang dibawa oleh karakter di dalamnya. Melalui strategi pemberian properti semacam itu, individual di dalam film-teks yang pada hakikatnya adalah fiksi dimungkinkan untuk dipercaya sebagai individu yang juga hidup di dunia nyata – atau pembaca masuk ke dalam dunia film-teks dan menganggapnya sebagai dunia nyata dengan individu-individu yang juga nyata. Saling tumpang tindihnya identitas individu yang ada di dunia film-teks dan dianggap ada di dunia nyata ini menyiratkan adanya strategi pembentukan transworld identity sebagai strategi yang dilakukan oleh pembaca. Eco (1979) menyebutkan bahwa strategi pembentukan transworld identity ini menggambarkan usaha pembaca untuk dapat meletakkan bermacam profil di dalam objek yang mereka hadapi. Usaha membangun profil ini adalah usaha untuk mencipta suatu topik secara tekstual.214

Dengan melihat data pada tabel.2 melalui peletakan properti-properti untuk menamai individu, maka data tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua jenis usaha peletakan properti. Pertama, individu yang menjadi mungkin dengan menempatkannya pada konteks Jepang tertentu, seperti fisik, konsep budaya, atau pola individu yang oleh pembaca dimitoskan sebagai yang “Jepang”. Pada bagian ini, usaha pembaca dalam meletakkan topoi akan kembali terlihat. Kedua, individu yang menjadi mungkin ketika pembaca melihat fungsinya dalam fabula untuk menamai

214 Eco (1979), op.cit. hal. 230

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

164

film-teks itu sebagai sesuatu yang Jepang. Justru pada jenis yang kedua ini mulai terlihat usaha pembaca dalam menjelma menjadi karakter di dalam film-teks – sehingga pembaca tidak lagi mengkritik dari luar teks, namun menjadi subjek yang dikritik di dalam film-teks.

Dalam memaknai tokoh di dalam film-teks, Kira menyatakan bahwa ia mengikuti seri kamen rider hingga Kamen Rider Gaim karena masih adanya unsur

Jepang yang selalu ia cari dalam memilih film. Ia berargumen bahwa Gaim masih

“Jepang banget” walaupun desain dari kostumnya berangkat dari unsur buah-buahan.

Ia menamai Gaim sebagai sesuatu yang sangat Jepang ketika melihat bahwa desain yang tampak adalah desain samurai (K2). Dengan ini ia secara tegas menyatakan bahwa individu Gaim mungkin untuk dinamai sebagai Jepang karena membawa properti samurai sebagai pembangunnya.

Lain halnya dengan Geyol, ia mengalami keragu-raguan dalam menilai film- teks yang ia nikmati. Ketika Geyol mengatakan bahwa dulu konsep dari seri super sentai yang ia nikmati lebih ke “tenaga dalam” (G5), terlihat keragu-raguan dalam menamai istilah tersebut hingga ia kemudian merekatkannya dengan konsep “budaya- budaya Jepang seperti ninja” untuk menyatakannya sebagai film yang bisa dianggap

“Jepang”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

165

Gambar 2. Kakuranger (kiri) dan Ninninger (kanan) dalam kostum ninja215

Namun pernyataan tersebut kembali ia negasikan dengan menampilkan penjelasan bahwa di seri super sentai sudah dua kali konsep Ninja diangkat, yaitu

Kakuranger (1994-1995) dan Ninninger (2015-2016), namun mengontraskan keduanya. Ia mengatakan bahwa ninninger bukanlah ninja, tidak seperti pendahulunya, karena ninja haruslah “budaya Jepang” sedangkan ia menganggap ninninger tidak lagi membawa properti “budaya Jepang.”

Ia menjelaskan ninja yang membawa properti “budaya Jepang” tersebut melalui dua hal, yaitu ninja yang memiliki rambut berwarna hitam (seperti terlihat dalam gambar.2 di atas, dalam ninninger tidak semua individu berambut hitam), dan ninja yang bersembunyi – sedangkan dalam ninninger justru para karakternya menegaskan bahwa mereka ninja yang tidak bersembunyi.216 Di sini Geyol mulai

215 https://www.pinterest.com/Tjhill96/kakuranger/ dan https://dryedmangoez.com/tag/shuriken- sentai-ninninger/page/2/ (diakses pada 9 April 2017) 216 Dalam ninninger, karakter utamanya (ranger merah) seringkali mengucapkan “Shinobi dakedo, shinobanai” sebagai slogan tim mereka. Kata shinobi berangkat dari kata kerja shinobu yang artinya bersembunyi, sehingga ketika dirubah menjadi kata benda shinobi kata tersebut memiliki makna leksikal yaitu tersembunyi atau tidak terlihat. Dalam perkembangannya, kata shinobi dilekatkan dengan dunia ninja sehingga kata ini kemudian memiliki makna gramatikal yaitu untuk menamai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

166

melakukan diferensiasi untuk membentuk pengelompokan berbasis “budaya Jepang” yang ia namai sendiri, berlawanan dengan intentio auctoris dari film-teks yang tampak ingin membawa konsep ninja secara baru. Hal ini bisa dilihat sebagai sebuah bentuk kritik dari pembaca yang memperlihatkan ragam topoi yang dibawanya.

Geyol kemudian melanjutkan kritiknya dengan membandingkan lebih jauh properti yang dibawa oleh kedua seri supersentai tersebut. Ia menilai bahwa ganteng atau tidaknya aktor juga menunjukkan sejauh apa film-teks yang dihadapi bisa ia terima (G6). Dengan membawa topoi “budaya Jepang”, ia juga meletakkan properti mata sipit dan badan yang lincah sebagai syarat untuk bisa menerima konsep ninja yang dibawa oleh kedua film-teks – dan meletakkannya di dalam kerangka “budaya

Jepang.” Seorang aktor untuk bisa memerankan ninja bagi Geyol haruslah aktor yang memiliki tenaga dalam dan memiliki kemampuan kungfu secara nyata, tidak seperti aktor-aktor dalam ninninger yang ia nilai dengan “lempeng” namun bisa “keren” ketika berubah (G6.) Selain itu, ia mengajukan syarat bahwa untuk bisa diakui secara nyata, tokoh-tokoh dalam film-teks ini harus bisa “berantem,” berkeringat ketika

“lari-lari,” aktornya benar-benar “turun” sendiri di dalam bertarung (G4), bahkan sampai terlihat adanya efek darah dari pertarungan tersebut (G8.) Semua properti yang ia nyatakan berangkat dari usahanya mengritik film-teks yang lebih baru, dan hal ini menunjukkan seberapa kuat imaji nostalgia dalam pembangunan kritiknya.

sosok ninja itu sendiri – untuk menegaskan sifat ninja yang selalu tidak terlihat seperti dalam mitos- mitosnya. Kata shinobanai sendiri adalah perubahan bentuk negatif dari kata kerja shinobi. Sehingga kalimat tersebut bisa juga diartikan sebagai “tersembunyi (ninja) namun tidak bersembunyi.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

167

Sama halnya dengan Geyol, Xakha juga menunjukkan imaji nostalgia dalam narasinya. Ini berawal dari kata-katanya yang mengatakan alasannya sewaktu kecil mengikuti anime Digimon Adventure 1 (1999-2000), yaitu dari cerita dan karakternya dengan berkata, “karakternya keren-keren gitu lho, maksudnya buat menarik untuk anak-anak jaman dulu gitu lho [...] bentukan karakternya.”(X4) Karena menariknya bentuk karakter dalam anime tersebut, ia mengatakan bahwa anime yang menurutnya ditujukan untuk anak-anak tersebut masih menarik untuk “ditonton ulang itu ya masih worth it gitu.”(X4) Di sini terlihat bagaimana imaji nostalgia sangat kuat mempengaruhi usaha Xakha mempertahankan topoi dalam pengulangan kegiatan menonton anime Digimon bahkan sampai ia dewasa.

Dengan mengatakan “digimonnya kan keren-keren... walaupun sampai terakhirnya Xros kan malah kayak lebih ke anak-anak lagi kan,” ia menampakkan kebingungan dalam merakit lini waktu kata-katanya. Sebelumnya ia mengakui bahwa digimon yang ia nikmati berulang kali (digimon adventure 1) memiliki karakter yang keren dan pandangan keren tersebut bertahan hingga ia menontonnya untuk kesekian kalinya sewaktu sudah mahasiswa. Digimon yang keren untuk anak-anak akan tetap keren hingga ia mahasiswa – dengan kata lain, hakikatnya adalah untuk menarik

Xakha yang “anak-anak.”

Namun, dengan memasukkan kata “walaupun,” ia sekarang justru menyayangkan bagaimana karakter pada digimon XrosWars (2010) kembali ke tujuannya untuk menarik anak-anak. Ketika imaji nostalgia begitu kuat, properti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

168

“kembalinya tujuan untuk anak-anak” seharusnya menjadi kesamaan yang bisa membuat dua anime digimon ini setara di mata Xakha.

Hal ini menandakan bahwa argumennya tentang digimon adventure 1 yang

“worth it” untuk ditonton berulang kali karena karakternya menarik untuk anak-anak menjadi gugur dihadapan argumen berikutnya. Nostalgia tetap menjadi alasan paling kuat yang belum terjelaskan ketika melihatnya dari argumen ini saja. Argumen Xakha yang menyiratkan nostalgia harus dilihat dengan menghapus imbuhan berupa alasan

“karakternya menarik untuk anak-anak,” sehingga yang terlihat dengan jelas hanyalah pada kalimat “anime jaman dulu tu enaknya kita gak mikir fanservice, emang kita juga menikmati jalan ceritanya... [...] kayak memang digimon tu udah ada nilai jual tersendiri.”(X2) Dari kalimat ini terlihat bagaimana sewaktu kecil ia menikmati digimon ala kadarnya tanpa dibubuhi perasaan adanya fanservice atau kepentingan pasar dan Bandai sebagai perusahaan mainan. Dengan kata lain, argumen Xakha yang awalnya memperlihatkan pentingnya fisik, atau konsep budaya dari karakter, harus dimasukkan pada kategori kedua dari usaha peletakan properti, yaitu pentingnya posisi individu-individu di tengah fabula.

Kategori kedua dari usaha pengakuan possible individu terlihat melalui penilaian karakter dalam film-teks dengan mengutamakan fungsinya di dalam fabula.

Seperti Xakha yang menekankan pentingnya kenikmatan mengikuti karakter seturut jalan cerita (X2), narasumber lain juga mengungkap proses mereka menamai karakter dengan berargumen bahwa karakter-karakter dalam film-teks “ya walaupun kalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

169

tapi tetep dicoba terus sampai bisa,” dan pantang menyerah (K2, K4) jiwa kepahlawanan dan “jiwa api membara,” (G2, G3) tokoh yang memberikan pelajaran dan kedewasaan (O3 – O5), maupun perubahan karakter (X4, J7). Kesemuanya memberikan simpulan bagaimana karakter dalam film-teks berusaha dinamai melalui pengalaman pertemuan yang personal – yang kemudian sebagian mereka gunakan untuk menciptakan Jepang.

Dalam narasinya, Kira mengatakan bahwa karakter yang ia dapati dalam film-teks membawa properti sifat yang pantang menyerah (K2). Ia menegaskan bahwa tokoh Kotaro Minami dalam seri kamen rider Black bisa “dihajar habis- habisan, dia tetap pantang menyerah. Dia selalu bangkit dari masalah, dengan cara dia sendiri.” (K4) Simpulan ini terutama disangatkan ketika akhirnya ia menceritakan bagaimana ia menangis terharu ketika melihat Kotaro Minami sebagai kamen rider

Black kalah, mati, namun dibangkitkan kembali melalui tangisan anak matahari dan menjadi kamen rider Black RX – lihat bab 3. Ia melakukan proses penamaan karakter dalam film-teks Jepang melalui pengalaman pertemuannya tersebut. Namun, usahanya tidak berhenti di situ, karena kemudian ia membawa simpulan proses penamaan itu juga untuk menamai Jepang, seperti tampak pada argumen, “walaupun kalah tapi tetap dicoba terus sampai dia bisa, soalnya kalau menurut saya, di Jepang tu yang dihargai tu mungkin proses ya, prosesnya orang itu ya, lebih mengutamakan proses daripada hasil.”(K2) Di sini tampak bahwa Kira menyimpulkan bahwa

Kotaro Minami dan kamen rider Black – Black RX adalah Jepang karena lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

170

mengutamakan proses daripada hasil – walaupun hasilnya sang kamen rider pun berhasil menang. Hal menghargai usaha dari karakter di dalam film-teks pun tampak dari argumen Geyol yang menyatakan bahwa teman-temannya mendapatkan jiwa kepahlawanan dari film-film tokusatsu Jepang (G2) melalui adanya “jiwa api membara [...] yang super-heroik,” yang merupakan properti “kecowokan, pahlawan banget gitu lah, pembela kebenaran istilahnya.”

Properti lain untuk menamai individu seturut fabula pun nampak melalui argumen Geyol berikutnya yang mengutamakan bahwa karakter dalam film-teks

Jepang yang ia sukai adalah yang mementingkan kerja sama tim (G7). Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa karakter film-teks Jepang menganggap pentingnya kehadiran orang lain untuk bisa mendapatkan perubahan yang berarti (lihat pembahasan di bab 3.2.2.) Hal ini didukung juga dengan kisah Xakha yang penasaran atas film-teks Jepang yang “bikin orang tertarik untuk ngikutin, kayak penasaran gitu

[...] yang ini udah berubah, yang ini besok berubah jadi apa ya [...] semua bisa berubah.”(X4) Pengaruh kebersamaan (tim) karakter dalam film-teks mempengaruhi mereka kemudian untuk menamai karakter dalam film-teks Jepang menjadi mungkin, karena kedekatannya dengan dunia pembaca yang menyukai tim dan penasaran akan perkembangan tidak hanya tokoh utamanya.

Properti ketiga yang terlihat pada argumen-argumen narasumber adalah adanya proses perubahan yang membuat mereka tertarik untuk terus mengikuti – dan berimersi dalam film-teks. Xakha di atas menyebutkan bahwa “sama-sama berubah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

171

[...] kamen rider juga berubah [...] upgrade terus”(X4) menjadi hal penting baginya.

Koh Oyon sepakat dengan hal tersebut dengan mengatakan bahwa karakter Hideaki

Takizawa yang sudah tidak sekedar “cinta-cintaan” (O3) memberikan pelajaran baginya (O4). Ia menceritakan bagaimana dalam Great Teacher Onizuka ia mendapatkan pelajaran mengenai suka-duka guru dan cara menjadi guru, serta bagaimana dalam Yasuko to Kenji ia mendapatkan pelajaran mengenai “dia yang bener-bener dari yang bajingan jadi apik.”(O4)

Tiga properti tersebut – kepahlawanan dalam proses, kebersamaan tim, dan perubahan – menjadi properti yang berbeda dibandingkan properti yang didapatkan pembaca melalui usaha mistifikasi. Properti ini baru nampak ketika pembaca melakukan usaha menilai karakter melalui fungsinya di tengah fabula film-teks.

Ketiganya bukanlah hal yang semena-mena berangkat dari peletakan topoi para pembaca, namun justru tercipta dari imersi pembaca pada karakter di dalam film-teks.

Proses ini justru menandai adanya negosiasi topoi untuk membangun atau memperkaya ensiklopedia pembaca melalui keikutsertaan sebagai karakter yang menjalani peristiwa-peristiwa di dalam film-teks.

Keikutsertaan pembaca dalam menjalani hidup karakter di dalam fabula menandakan usaha pembaca untuk juga mengangkat course of events di dalam film- teks menjadi aktual. Dengan kata lain, proses penamaan possible individu sebagai

Jepang juga harus dilihat melalui possible course of events. Berikut adalah tabel yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

172

menampilkan usaha pembaca untuk mengakui course of events dalam film-teks sebagai sesuatu yang mungkin untuk kemudian menamai individu:

Yang dulu kan serius. Kayak kamen rider Black itu kan ceritanya enggak, ga ada komedi-komedinya sama sekali. Ga ada ya… Ya.. Lebih nyari ketertarikan cerita yang agak-agak berat kalau kamen rider tu, kalau aku pribadi… Yang serius, yang agak serius, yang K5 tidak kebanyakan komedi atau banyolannya. Ya semacam Decade, Faiz, terus . Ya itu kan memang buat anak kecil, tetapi kan di situ kan agak kompleks…Ya soalnya itu membuat kita jadi pingin nonton, pingin nunggu episod selanjutnya. Itu yang membuat aku pingin nonton episod selanjutnya, ceritanya itu… Mungkin anu sih. Mungkin.. Bisa diaplikasikan ke kehidupan. Yo ada pesan morale.Misale.. mungkin kamen rider Faiz. Kan kamen rider Faiz kan itu ternyata malah melawan sahabatnya sendiri. Lawan orphon. Itu kan sempet sahabatan kentel. Faiz sama yang satunya. Yang jadi Orga. Orphon yang mati, artis yang kemarin meninggal. Sopo yo jenenge yo… Yo maksudnya kan ada pesan moralnya lah. Ya semua kan tidak selamanya bisa jadi teman. Suatu saat bisa jadi musuh. Nah karakter itu gimana caranya supaya bisa gitu…. Karakter itu gimana cara menyelesaikan Kira masalahnya… perseteruan dengan sahabat.Nah kalau di Dekade K6 kan semua mengalahkan kamen rider. Tapi kan dibalik itu ada tujuannya tertentu… Kalau dekade itu kan tujuannya untuk mengembalikan dunia yang hancur, dunia kamen rider yang hancur. Dia kan mengalahkan semua kamen rider tu supaya stabil. Supaya stabil dunia… Tapi dia kan ngambil cara itu tu menurut orang kan itu mesti ya pie-pie. Ya bisa kita ambil kesimpulkan dari situ tu ada selain opsi A tu ada opsi F, dan G, dan H yang bisa diambil untuk menyelesaikan sebuah masalah.. Jadi, bukan terus kamu harus melawan monster, trus ada yang jahat tu enggak. Kadang kamu harus melawan kamen rider kamen rider kabeh, membunuh semua kamen rider baru bisa mencapai tujuan… kalau di kamen rider tu pasti ada di situ, salah satu episod tu berhubungan dengan hewan peliharaan. Pasti ada itu kayaknya, jadi yang berhubungan dengan hewan peliharaan. Jadi di situ ada K7 masalahe misalnya melindungi hewan peliharaan. Nah itu kan di kehidupan nyata jadi penyayang binatang sih. Jadi sampai sekarang aku kalau lihat kucing atau apa gitu, jadi ada rasa kalau bisa aku pelihara ya aku pelihara…

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

173

Black sama Black Rx ya itu pantang menyerah bro. Dihajar gorgom sampai sak entek-enteke, sak dia mati terus berevolusi jadi Black RX tu dia tetep ga menyerah lah. Evolusine black jadi black Rx itu lho… yang membuat aku nangis. Anak matahari…Soalnya K8 kan tokoh utama ga mungkin kalah, tapi di sini kalah. Tokoh utama kalah, dihajar habis-habisan, tapi ternyata terus jadi Black Rx,,, Pokoknya pas dia tidur terus kena air mata, netes ke sabuknya, trus pas itu kan ada matahari, trus dia disinari matahari. Jreeng… Mungkin beda ya, orang yang pertama misale kamu cuman melihat kamen rider satu episod saja, sama kalau ngelihat dari episod satu sampai episod selesai. Beda. Beda ya kalau di argumenkan. Ya kalau kamu ngira kamen rider cuman untuk anak- K9 anak jika kamu cuman nonton satu episod. Coba kamu lihat kamen rider itu dari episod satu sampai selesai, kamu enggak, enggak, pasti kamu bilang “itu ya emang buat anak-anak, tapi buat dewasa juga bisa pasti…” Itu, justru malah untuk dewasa, bukan untuk anak-anak. Karena ada percintaan setiga, cinta segitiga, yang warna..apa.. hitam malah ngerokok, sering main club, clubbing, tapi dia punya jiwa kepahlawanan walaupun omongannya kasar. Jadi memperlihatkan bahwa jangan menilai orang dari sisi luarnya, tapi dalamnya. Geyol G9 Justru malah mengajarkan hal-hal seperti itu… Misalkan kayak si putih seneng sama si merah, si hitem seneng sama si putih, si hitemnya itu benci sama si merah, tetapi sebagai tim bagus. Dan tetap mengalah. Dan pada akhirnya si hitam mati… Dan helmnya sampe pecah-pecah, sampai efek-efek darahnya ada. Ya.. Kalau Jepang cenderung berat banget kalau aku bilang sih, kalau di movie… tapi biasane produser e sing nggawe kenthir- O6 kenthir ta.. Imajinasinya terlalu tinggi. Hehehe.. dadi kacau… Baru… Nek sekarang, sing nonton itu sing kui,, sing hideaki takizawa sing anyar… Yang jadi manager e perusahaan,, apa namanya,,, O7 perusahaan berlian tiffany.. Jadi ceritanya, nyritakke perusahaan Koh tiffany. Jadi kalau di Jepang itu terkenal bikin kalung, bikin… asli Oyon ada. kan sponsor tu dia. Nyritakke manajer tiffany.. Ya itu, kayak GTO, sama sing itu,, aku yang paling seneng yang itu sih…Yang ada,,, apa ya,,, adaa…Ada pelajarannya, gampangane gitu lah… daripada sing cuman cinta-cintaan thok.. O8 ya gitu-gitu.Ada… ini.. jadi guru ki ngene ngene ngene ki lho. Iki lho critane. Suka duka guru tu seperti ini. Terus nanti kan mesti ada komunitas kayak gini.. Nah, gitu.. Pokoknya yang ada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

174

wujudnya, apa ya… yang aku seneng, kalau jadi guru… Terus yang itu, yang… yang mangaka bekas geng motor itu…Iya. Itu. Itu kan juga bagus itu.. Nha… itu apik.. aku seneng yang gitu-gitu.. Ada yang dia bener-bener dari yang bajingan jadi apik. Aku lebih seneng itu… terutama dia mainnya gimana.. Dan itu pun, haikyu tu ga lebay. Ga ada jurus-jurusnya, jurus apa X5 gitu, Kalau dulu kan, maksudnya kita waktu kecil nonton kan, ga peduli Xakha ceritanya dipanjang-panjangin, yang penting ada terus, kita bisa X6 nonton terus gitu lho… Pas kalau menurutku, ga dipanjang- panjangin. Apa ya… satu, asik aja punya peliharaan gitu, lucu… Nah dulu waktu aku nonton, ini monster apa, ini pokemon pa? kan ada beberapa monster yang bentuknya mirip. Terus begitu aku tonton, J8 oh ternyata beda juga ceritanya, Terus aku ngikut-ngikutin, oh ternyata asyik. Boleh juga ni. Gitu… Itu kayak, kayak lebih menghayal, wah punya hewan peliharaan kayaknya lucu gitu. Kan kalau misalkan jigoku-sensei nube kan lebih ke sejarah hantu- hantunya. Kan mereka menceritakan kalau hantu ini awalnya dari mana, kenapa bisa jadi kayak gini. Kalau tobe-isami kan lebih ke sejarah shinsengumi, tapi diangkat ke saat modern. Jadi ternyata tokohnya tu keturunan shinsengumi, nemu senjata, ke masa lalu, J9 ini kita harus ngelawan karasu tengu. Terus karasu tengu membuat komunitas terus berencana membuat negara baru. Dia John berusaha meluluhlantakkan Jepang. Kayak gitu. Tobe isami. Ya Switch anime lawak-lawakan juga sih. Banyak sih dulu anime-anime kayak gitu... Gak terlalu lebay sebenernya sih. Kalau Indonesia kan lebay… Menye-menye gitu kan walaupun sebenernya masih logis ya. Masih logis. Namanya drama ya tetep aja gak pernah ada yang logis. Tapi, kesannya tu masih bisa dijangkau dengan otaknya ya kasarannya kalau misalnya ditonton… Di Jepang misalnya kayak La-La-La-LoveSong. Itungannya, dia bisa sampai ke luar negeri, J10 dia bisa dapet ini. Endingnya kan dia ke luar negeri. Kan itu kan, logis kan, dia bisa gitu ya kenapa. Ya dia latian dari dulu, dia emang punya bakat dari pertama, terus akhirnya dikembang- kembangin ikut kompetisi dan sebagainya. Logis kan dia bisa ke luar negeri… Bukan karena tiba-tiba aku mau gini, terus cuman gitu tok, ting, tiba-tiba bisa. Itu ga logis kan.

Tabel 3. Data Possible Course of Events

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

175

Pada tabel.3 tersebut terlihat bagaimana proses pembaca dalam mempercayai course of events dalam film-teks sebagai sesuatu yang aktual sehingga membantu mereka dalam menamai individu-individu di dalamnya. Hal ini menandakan terjadinya jenis imersi yang kedua, yaitu bentuk imersi temporal. Ryan (2001) menjelaskan bahwa imersi temporal bisa terlihat melalui adanya hasrat pembaca terhadap pengetahuan yang menunggu mereka di akhir lini waktu narasi – Ryan menyebutkan konsep ini dekat dengan bentuk suspense dalam film. Dengan kata lain, imersi temporal adalah keterlibatan pembaca dalam proses perjalanan strutur naratif dimana di setiap titiknya pembaca harus mengantisipasi adanya kemungkinan percabangan, memilih satu sesuai prinsip aktualitas yang ia bawa, dan secara tidak langsung mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang tidak terpilih sebagai sesuatu yang selamanya virtual. Bagi pembaca, berjalannya waktu di dalam struktur naratif bukanlah sebuah akumulasi lini waktu yang terstruktur, namun merupakan proses penyibakan (disclosure.)217

Dalam narasi yang kuat mengangkat aspek suspense, ada beberapa hal yang bisa dilihat. Pertama, ketegangan dalam narasi berkaitan erat pada ketertarikan pembaca terhadap takdir karakter di dalam film-teks di setiap akhir konflik. Kedua, teks dan peristiwa yang terkonstruksi secara virtual menandakan adanya proses terstruktur yang sedang berjalan, adanya hasrat dari karakter dan tujuan akhir yang mendorong karakter, serta segala rencana-rencana yang dibangunnya. Ketiga, adanya

217 Ryan (2001), op.cit. hal. 140

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

176

proses semakin mengerucutnya segala kemungkinan seturut jalannya struktur narasi.

Kemampuan pembaca untuk menjalani narasi dari dalam film-teks terfasilitasi utamanya oleh perangkat-perangkat naratif yang mengikat rantai kemungkinan bagi pembaca untuk dapat meramal apa yang akan terjadi selanjutnya – juga untuk dapat membangun possible-world. Yang possible ditentukan oleh pengaturan hukum- hukum yang membentuk perangkat naratif. 218 Dengan kata lain, imersi temporal bergantung kuat pada keberadaan lima dunia yang sudah disebutkan sebelumnya di atas, yaitu: dunia kepercayaan, dunia hasrat, dunia kewajiban, tujuan dan rencana- rencana yang dijalankan, serta mimpi dan angan/keinginan para karakter yang menjadi titik fokus pembaca.

1. Dunia Kepercayaan

Dunia ini merefleksikan keseluruhan sistem secara utuh – termasuk wilayah individu-individu lain – dan mencakupi kelompok-kelompok representasi yang berperan sebagai dunia aktual bagi dunia privat sang karakter. Dengan melihat semesta dunia kepercayaan ini sebagai sistem yang berperan sebagai dunia aktual bagi dunia privat sang karakter, analisa pada bagian possible state of affairs dan possible individual mendapat posisinya bagi karakter di dalam film-teks itu sendiri.

Dalam proses pembentukan possible state of affairs, konsep reality effect hadir sebagai strategi yang akhirnya mempengaruhi keputusan pembaca untuk menamai

Jepang yang aktual – walaupun seringkali hadir didasari pandangan kontrafaktual atas

218 Ibid. Hal. 141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

177

kehidupan personalnya. Pada proses pembentukan possible individual, pembaca menilai individu di dalam film-teks dengan melekatkan properti kepahlawanan, kebersamaan, dan perubahan. Kedua proses pembentukan ini bisa menjadi jalan masuk untuk melihat bentukan sistem semesta secara keseluruhan yang mempengaruhi berdirinya film-teks.

Seperti yang sudah dibahas pada bab 2.1 ketika membicarakan sejarah film

Jepang, kontribusi Yasujiro Ozu dalam menawarkan cara untuk terlepas dari kepengaruhan film gaya Amerika yang “goal-oriented” dan “action driven” menjadi tonggak penting bagi perkembangan narasi film di bawah payung budaya populer

Jepang, seperti anime, dorama, dan tokusatsu. Pada masa itu, film-film Jepang mulai dibentuk untuk mengutamakan bingkai narasi yang penuh berisi introspeksi dan motivasi psikologis tokoh di dalamnya, baik itu iji (kebanggaan), meiyou

(kehormatan), atau ijippari (keras kepala berdasarkan kebanggaan dan kehormatan). 219 Penggambaran perkembangan psikologis sang tokoh tersebut dianggap lebih penting dibanding peran tokoh tersebut dalam cerita dan penyelesaiannya. 220 Bahkan, penyelesaian cerita oleh sang tokoh pun seringkali bergantung besar pada perkembangan psikologisnya dalam mencapai titik tertentu.

Pada bab 3.2.2 dijelaskan bahwa titik tertentu tersebut seringkali berupa penerimaan tokoh terhadap keberadaan tokoh yang lain, dan sang tokoh bisa berubah menjadi

219 Standish (2006), op.cit. hal. 215 220 Ibid. hal. 205

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

178

lebih mampu menyelesaikan masalah ketika ia lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri.221

Kira menamai tokoh Kamen rider yang bisa kalah namun tetap berkeras hati berusaha untuk bisa menang tersebut dengan istilah pantang menyerah (K8), bahkan tokoh tersebut terkadang harus mengalahkan sahabatnya, mengalahkan seluruh pahlawan-pahlawan dan dinilai jahat (K6), bahkan harus mati terlebih dahulu (K8) untuk dapat mencapai tujuannya. Geyol menyebutkan tokoh sejenis itu dalam super sentai dengan mengatakan “bahwa jangan menilai orang dari sisi luarnya, tapi dalamnya,” (G9) yaitu bahwa walaupun di luar mereka menampakkan kebiasaan yang tidak baik – seperti merokok, clubbing – tapi dia punya “jiwa kepahlawanan”(G9). Koh Oyon pun menceritakan hal yang sama dengan menilai tokoh Kenji dalam film Yasuko to Kenji yang menggambarkan “dari bajingan jadi apik” (O8) dengan melepas status preman dalam geng motornya. Xakha pun menggambarkan bahwa hanya dua tokoh dalam anime Digimon adventure 1 yang mampu berubah karena sudah melalui pertengkaran yang akhirnya membuat mereka dipercaya oleh adiknya (X2-X4). Dengan menceritakan dorama Long Vacation, John

Switch pun menyatakan hal yang sama dengan menilai bahwa sang tokoh menampilkan usaha yang sangat keras untuk akhirnya bisa sampai ke luar negeri

(J10). Bahkan ia juga menceritakan bagaimana anime dengan latar sejarah tetap mengajarkan kekerasan hati untuk melindungi murid-muridnya (anime Nube) dan

221 Eri Izawa dalam Craig (2002), op.cit. hal. 145-47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

179

melindungi negara (anime Tobe Isami). Kesemua penggambaran ini menampilkan bagaimana kekerasan hati tokoh di dalam film-teks yang ditemui oleh para pembaca menjadi sebuah sistem yang dipercaya dan taken for granted bagi film-film Jepang.

Yang tidak boleh dilepaskan dari konsep kekerasan hati yang dimiliki oleh individu-individu di dalam film-teks adalah kehadiran orang-orang di sekitarnya yang menjadi aspek penting bagi kekuatan kekerasan hati sang tokoh. Dalam anime

Digimon Adventure 1, Taichi dan Yamato akhirnya bisa dipanah oleh kedua digimon dan menyebabkan digimonnya berevolusi justru ketika kedua anak SD ini berusaha mati-matian dalam melindungi bumi dan keluarganya. Dalam seri kamen rider, kamen rider black mati melindungi bumi dan teman-temannya, kamen rider Faiz harus membunuh sahabatnya sendiri, kamen rider Dekade justru harus mengalahkan seluruh kamen rider yang ada di semesta untuk bisa membuat stabil dunia. Dalam seri super sentai, kelima tokoh yang selalu digambarkan berbeda-beda selalu akhirnya bisa menyatukan kekuatan, saling percaya, dan tidak mau kalah bahkan hingga hampir mati ketika mereka harus melindungi sesamanya, keluarganya, atau kawan- kawan satu timnya. Dalam kakuranger, negara dan seluruh masyarakatnya menjadi alasan mereka bertarung, sedangkan dalam ninninger, keluarga dan kakek ranger merah menjadi alasan mereka untuk berubah menjadi super sentai. Dalam anime jigoku-sensei Nube, sang guru bernama Nube harus berulang kali mati-matian dalam melindungi murid-muridnya dari pengaruh setan, sedangkan di dalam anime Tobe- isami, sang tokoh harus melindungi Jepang dengan ia kembali ke masa lalu. Dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

180

dorama Great Teacher Onizuka, sang guru yang awalnya berandalan akhirnya merubah sistem pendidikan di suatu sekolah yang berisi anak-anak nakal karena di setiap episodenya ia selalu berhasil menyelamatkan murid-muridnya dari masalah dan merubah kenakalan mereka. Guru ini justru mendapat kekuatan dari kepercayaan murid-muridnya. Lain halnya dengan dorama Yasuko to Kenji yang menggambarkan

“dari bajingan jadi apik”, karena dalam dorama ini sang kakak (Kenji) harus melepas segala kegiatan jalanannya dan mencari kerja sebagai pengarang komik atau bahkan penjual angkringan untuk bisa menghidupi adiknya (Yasuko) yang masih sekolah. Ia bahkan juga merubah teman-teman satu kelompok geng motornya untuk mengikuti jalannya. Dalam dorama Long Vacation, sang tokoh akhirnya merasa mampu berusaha keras dan mampu menggapai mimpinya justru setelah kehadiran teman kamarnya yang sebenarnya selalu memberi masalah dan mengganggunya, namun selalu menemani tokoh utama dalam segala kompetisi.

2. Dunia Hasrat

Setelah melihat dunia Kepercayaan di mana hal tersebut mendasari pembentukan dunia yang lain yang beredar mengitari dunia “aktual” dalam film-teks, dunia hasrat adalah dunia yang mencerminkan axiological system, yaitu sistem yang mendasari terjadinya pembagian mana yang baik, buruk, atau tidak berbeda (good, bad, indifferent). Dunia hasrat ini terlihat melalui perjalanan karakter dan akan mulai dinamai seturut pembaca menarasikan pertemuannya dengan film-teks dan imersinya menjadi individu di dalam film-teks.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

181

Kira memperlihatkan bahwa di dalam film-teks, tokoh tidak harus melawan monster sebagai pihak yang jahat. Kamen rider Faiz melawan sahabatnya, dan

Kamen rider Dekade mengalahkan segala kamen rider yang ada untuk bisa menstabilkan dunia (K6). Keduanya menunjukkan bahwa pembagian baik dan buruk tidak semena-mena dikotak-kotakkan menurut manusia dan monster. Dalam film-teks, pembagian baik dan buruk harus dilihat kembali pada psikologi masing-masing individu, sehingga terkadang di awal film semua terlihat membingungkan ketika pembaca bertujuan untuk langsung mengotak-ngotakkan individu sesuai baik dan buruknya. Geyol menegaskan hal tersebut dengan melihat bagaimana ranger hitam yang menampilkan banyak hal buruk namun ternyata mampu mengutamakan tim

(G7) dan justru mati demi melindungi teman-temannya (G9) – dan Geyol melihatnya sebagai sesuatu yang baik. Koh Oyon melihat bagaimana guru yang berandalan justru mendapat kepercayaan dari kepala sekolah, dan ternyata justru dengan dunia berandalannya ia mampu mengajarkan banyak kebaikan pada murid-muridnya yang nakal (O8) serta justru menjadi contoh bagi kementerian pendidikan yang dikirim untuk mengawasi. Koh Oyon juga melihat bahwa tokoh yang sebelumnya “bajingan” bisa berubah menjadi kakak yang sangat bertanggung jawab demi kehidupan adiknya

(O8). Peletakan karakter dalam sisi yang baik pun bahkan terlihat melalui hal trivial seperti perlakuan karakter pada hewan peliharaan. Kira dan John Switch menunjukkan hal tersebut melalui pemaknaan adanya sekuen di setiap seri kamen rider dimana sang tokoh menyelamatkan binatang peliharaan (K7) sehingga membuat

Kira menyayangi binatang atau melalui anime Digimon yang membuat pembaca

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

182

merasa punya ikatan dengan hewan peliharaannya sama seperti anak terpilih dan digimonnya (J8) dalam film-teks.

Dari berbagai argumen ini bisa dilihat bahwa pembagian baik-buruk dalam dunia film-teks Jepang tidaklah semata-mata untuk membangun kotak-kotak dari awal dimana yang baik akan selalu menang dan monster selalu yang jahat. Seringkali yang buruk justru menjadi tokoh utama dan perjalanan peristiwa-peristiwa di dalam film-teks merubahnya menjadi baik. Di sini terlihat bagaimana justru dari basis perkembangan psikologi sang tokoh, course of events dalam film-teks menjadi mungkin. Mereka menganggap bahwa aktualitas dari yang possible tersebut terlihat melalui tidak jelasnya pembagian baik-buruk, bahwa di dunia ini “tidak selamanya menjadi teman” (K6). Mereka menjadi percaya bahwa di dunia ini justru tidak semua bisa dikotak-kotakkan dengan baik-buruk, karena “jangan menilai dari sisi luarnya saja”(G9) – dengan kata lain, penilaian harus dilihat dari perkembangan sisi dalamnya (psikologisnya) juga.

Yang utama bagi dunia hasrat ini berarti adalah keinginan psikologis sang tokoh untuk berbuat baik. Baik dan buruk pada awalnya digambarkan tidak berbeda.

Perbedaan baru didapatkan ketika dalam perjalanannya sang tokoh akhirnya mendapatkan penyelesaian dan penyelesaian tersebut dihasilkan dari pilihan yang harus dinamai dengan “baik” oleh pembaca.

3. Dunia Kewajiban

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

183

Konsep ijippari dan pembangunan dunia hasrat mempengaruhi juga pembentukan dunia kewajiban dalam film-teks. Dunia ini mencerminkan kuatnya deontic system, yang menggambarkan mana yang diperbolehkan, dilarang, ataupun diwajibkan. Pada bagian possible state of affairs sudah terlihat melalui berbagai penamaan bahwa “Jepang” yang dinamai oleh pembaca merupakan Jepang yang berisi dengan tradisi dan peraturan seperti ketepatan waktu, kebiasaan jalan kaki, jam buang sampah, keamaan, dan lain-lain. Kesemuanya menggambarkan bagaimana individu sebagai “Jepang” dinamai berdasarkan ketaatannya terhadap peraturan.

Geyol melihat hal tersebut dengan berargumen bahwa “jangan menilai luarnya, merokok atau apa,”(G9) tetapi yang penting justru dilihat dari porsinya melakukan kewajiban yang menghasilkan nilai kepahlawanan. Jelas nilai kewajiban ini pun dibentuk oleh Geyol dengan melihat kepentingan individu pada konsep tim dalam seri super sentai. John Switch pun menyatakan hal tersebut ketika membicarakan anime Tobe Isami. Tokoh di dalam film-teks tersebut kembali ke masa lalu dan harus berhadapan dengan tokoh jahat yang berusaha menguasai Jepang. John

Switch melihat bahwa walaupun sang tokoh datang dari masa depan, menyelamatkan negara adalah hal yang wajib dilakukan oleh warga negara.

Koh Oyon menyampaikan contoh yang menarik ketika membicarakan mengenai dorama Great Teacher Onizuka. Ia melihat bahwa sosok berandalan yang diangkat menjadi guru tersebut merupakan sosok yang tidak cocok menjadi guru – karena membawa properti-properti berandalannya. Di sini ia memasukkan tokoh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

184

Onizuka sang guru berada di sisi buruk dari dunia hasrat, dan juga terpancing untuk mengarahkan sang guru pada sisi yang dilarang dari dunia kewajiban. Namun, melalui jalannya narasi yang menggambarkan bagaimana sosok guru yang “pada umumnya” justru tidak berhasil menangani permasalah murid-murid, Koh Oyon mulai melihat bahwa hal-hal di dalam properti berandalan bisa menjadi salah satu jalan untuk menjadi sosok guru yang dipercaya oleh murid-muridnya. Ia mengatakan bahwa Onizuka menjadi “guru yang tidak bener, tapi bener.”(O8) Secara tidak langsung, guru Onizuka ini masuk kepada pemenuhan kewajiban seorang guru untuk dekat dengan muridnya – menjadi diperbolehkan – dan justru berseberangan dengan guru “pada umumnya” – yang akhirnya ditempatkan pada sisi tidak baik pada dunia hasrat.

Dari tiga dunia ini saja sudah terlihat bagaimana individu-individu berusaha dibagi-bagi oleh para pembaca. Hal ini menunjukkan bagaimana nilai sang tokoh utama juga bergantung pada nilai-nilai yang diberikan pada tokoh-tokoh lainnya.

Konsep seperti ijippari pada dunia kepercayaan, pembagian baik-buruk pada dunia hasrat, serta pengkotak-kotakan narasi sesuai dunia kewajiban, ketiganya menjadi dasar penting untuk kemudian pembaca memaknai tujuan dan rencana yang dijalankan oleh karakter.

4. Tujuan dan Rencana yang Dijalankan Karakter

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

185

Berlawanan dengan dunia hasrat atau dunia kewajiban yang statis, tujuan dan rencana yang dimiliki oleh karakter selalu dinamis. Dunia ini justru berisi rangkaian peristiwa yang berujung pada penggambaran adanya model yang statis tadi. Dengan kata lain, dunia ini menggambarkan rangkaian peristiwa yang kemudian membuat pembaca mampu menamai individu di dalam film-teks dengan ijippari, kepahlawanan, kebersamaan, pentingnya orang-orang di sekitar tokoh, terjadinya perubahan individu, atau bahkan ketaatan terhadap peraturan seperti keamanan dan ketertiban waktu.

Semua pelekatan properti individu semacam itu baru bisa terjadi seturut selesainya pertemuan pembaca dengan film-teks. Kira berargumen bahwa terdapat perbedaan antara orang yang baru menonton satu episode dengan orang yang sudah menyelesaikan semua episode.(K9) Argumen ini membuktikan bahwa seluruh semesta film-teks memang dibangun dengan menekankan perkembangan psikologis sang tokoh. Ia menyukai film-teks Jepang dimana ceritanya serius dan tidak kebanyakan komedi (K5) – sehingga ia benar-benar bisa berimersi dengan karakter yang ia temui. Bahkan Koh Oyon pun menyetujuinya dengan mengatakan bahwa film

Jepang “berat kalau dimasukkan jadi movie” yang hanya berdurasi 2 jam.(O6) Ia merasa bahwa perkembangan tokoh dalam dorama perlu didalami dengan lebih intens melalui bentuk serial beberapa episode.222 Xakha menyatakan hal serupa ketika membandingkan film-teks Jepang dengan film serial di Indonesia (sinetron). Ia

222 Panjangnya serial dorama biasanya menyesuaikan pergantian musim, sehingga setiap judul hanya sepanjang 11-16 episode –tiga sampai empat bulan penayangan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

186

menyatakan bahwa film-teks Jepang “gak lebay, pas karena tidak dipanjang- panjangin,” sehingga perkembangan psikologis tokoh sampai titik tertentu yang disampaikan sesuai jangka waktu tertentu baik di anime, dorama, maupun tokusatsu merupakan hal yang tepat. Penyelesaian film-teks sesuai tercapainya sang tokoh

“bajingan” dalam mendapatkan pekerjaan mapan demi adiknya (Yasuko to Kenji), keberhasilan sang pemain piano ke dunia internasional (Long Vacation), pendewasaan ranger merah sehingga bisa mendapat kepercayaan lebih dari rekan atau keluarga dan berhasil menyelamatkan dunia (seri super sentai) ataupun keberhasilan kamen rider dalam menyelamatkan dunia melalui tercapainya tingkat kemampuan yang paling tinggi pemberian dari orang-orang yang dipercaya (seri kamen rider), kedewasaan sikap dalam bekerja sama sebagai tim bagi anak-anak SD-

SMP dalam bekerja sama dengan monster-monster (Digimon), kontrol terhadap kekuatan setan yang merasukinya melalui bantuan kepercayaan murid-muridnya

(Jigoku sensei Nube), kesemuanya menampilkan bagaimana tujuan utama dari tokoh terkadang tidak terencana dan justru berhasil dengan membawa nilai-nilai yang didapat dari sekitarnya – bantuan dari sekitarnya. Di sini terlihat bagaimana dalam film-teks Jepang, tujuan dan rencana karakter bukan mendasari penyimpulan dunia hasrat ataupun kewajiban. Bukan tujuan mereka dalam menyelamatkan dunia, atau mengalahkan monster maupun setan yang menjadi rangkaian utama yang mendasari terbentuknya narasi film-Jepang. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bahwa penemuan dan pengakuan – baik oleh karakter dalam film-teks maupun pembaca –

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

187

terhadap dunia kepercayaan, hasrat, dan kewajiban justru menjadi tujuan utama yang harus diselesaikan.

5. Mimpi dan Angan milik Karakter

Representasi akan mimpi dan angan ini bukanlah sebuah dunia, tetapi berupa semesta alternatif yang diatur beredar di sekitar dunia aktual karakter. Bentuk representasi semacam ini yang akan terus mengalami pengulangan dalam model semantik sebuah teks. Atau dengan kata lain, bentuk representasi ini yang mewujudkan negosiasi antara dunia privat sang karakter dengan dunia aktual yang digambarkan dalam film-teks. Tentu penamaan atas representasi ini tidak bisa dilihat terlepas dari pengakuan atas dunia-dunia lainnya yang dilakukan oleh pembaca.

Dalam film-teks Jepang, hal ini terutama tidak bisa dilepaskan dari kuatnya konsep ijippari dan kekerabatan yang tergambar dalam dunia kepercayaan. Justru konsep mimpi dan angan milik karakter ini seringkali sengaja dikalahkan untuk menguatkan dunia kepercayaan yang berusaha digambarkan film-teks – mengingat bahwa ideologi pada sejarahnya adalah untuk melawan gaya Amerika yang goal-oriented dan action- driven. Sama seperti dunia tujuan dan rencana milik karakter, dunia mimpi dan angan ini juga hanya menjadi bumbu bagi perjalanan narasi film-teks Jepang.

Dalam Digimon adventure 1, setelah anak-anak terpilih berhasil mengalahkan Vandemon dan menyelamatkan bumi, film-teks ini tidak berhenti di situ. Konflik berikutnya dimunculkan melalui terancamnya eksistensi dunia digital

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

188

dan seluruh digital monster – juga termasuk digimon peliharaan mereka. Walaupun keluarga mereka mengkhawatirkan anak-anak SD-SMP ini untuk kembali ke dunia digital demi melakukan misi penyelamatan, mereka berkeras hati ingin menyelamatkan digimon-digimon mereka walaupun harus mengorbankan nyawa.

Walaupun masing-masing dari mereka memiliki mimpi masing-masing dalam kehidupan aktualnya, berdasar kedekatannya dengan digimon, mimpi dan angan tersebut dikalahkan oleh kekerasan hati tokoh untuk menyelamatkan kawan-kawan digimonnya. Dalam Great Teacher Onizuka, menjadi guru bukanlah mimpi dan angan milih tokoh. Jalannya narasi justru didasari dorongan mendadak tokoh untuk menyelesaikan segala masalah muridnya yang ditemui satu persatu dalam setiap episodenya. Dalam Yasuko to Kenji, mimpinya untuk bisa menjadi komikus nomor satu di Jepang dikalahkan oleh kebutuhan dan negosiasinya pada kehidupan adiknya, sehingga narasi akhirnya ditutup dengan sang tokoh membuka angkringan. Dalam

Long Vacation, walaupun akhirnya sang tokoh mendapatkan kesempatan untuk bisa melanjutkan ke luar negeri seperti mimpinya yang diceritakan sejak awal, ia bersikeras menolak kesempatan tersebut jika keberangkatannya tidak mengikutsertakan teman sekamarnya yang sudah menemani prosesnya.

Dalam beberapa contoh tersebut dapat terlihat bahwa mimpi dari tokoh yang sejak awal diceritakan secara gamblang dan menjadi alasan bagi tokoh tersebut untuk terus berjalan di setiap episodenya justru dikalahkan dengan keinginan yang muncul didasari konsep ijippari ataupun kebersamaan. Melalui bentuk-bentuk seperti ini,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

189

film-film serial Jepang seakan ingin mengatakan bahwa mimpi dan keinginan privat milik tokoh merupakan hal yang harus selalu dinegosiasikan dengan dunia aktualnya, dan pada akhirnya negosiasi tersebut tetap harus memenangkan kepentingan dunia aktualnya. Konsep ijippari yang berarti kekerasan hati berdasar kebanggaan atau kehormatan harus didasari kuat oleh dunia aktualnya, bukan berangkat dari kebanggan atau kehormatan yang berdasar dunia privat.

Dari segala negosiasi lima dunia yang telah digambarkan di atas dapat terlihat bagaimana dua konsep dalam dunia kepercayaan menjadi satu kesatuan yang mendasari pembentukan possible course of events dan kemudian membantu terciptanya possible individual bagi pembaca. Pembaca dibuat seakan menamai dunia privat sang individu yang ia temui saja, namun yang terjadi justru mereka ditarik masuk menjadi individu sendiri dan merasakan bagaimana caranya bernegosiasi antara dunia privat dan dunia aktual di dalam film-teks. Pengenalan tujuan dan rencana karakter, serta mimpi dan angan milik karakter hanya menjadi sarana bagi pembaca untuk melakukan imersi temporal pada awalnya. Yang terjadi setelahnya adalah pembaca harus merombak segala pembagian dunia hasrat dan dunia kewajiban yang ia bentuk di awal – yang diilusikan oleh permukaan film-teks ketika pembaca hanya membaca dari luar tanpa melakukan peletakan topoi dan tanpa melakukan penamaan possible course of events, possible individual, dan possible state of affairs.

Kemudian pembaca dipaksa untuk merasakan sendiri menjadi subjek yang didasari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

190

oleh dunia kepercayaan yang sama dengan yang dialami oleh semua individu di dalam film-teks.

Di sini terlihat bagaimana bentuk film fantasi justru menjadi gerbang masuk paling efektif bagi film-teks Jepang, karena ini menandakan bahwa intentio operis bisa dengan bebas bernegosiasi pada properti-properti di dalamnya untuk mengangkat struktur lima dunia yang sangat “Jepang.” Usaha untuk menjadikan film-teks sebagai yang aktual bagi pembaca juga menjadi usaha untuk memasukkan bentuk lima dunia dalam dunia aktual pembaca juga – membentuk dunia aktual Jepang yang diakui pembaca. Dari titik ini, yang kemudian harus dilacak sebagai sebuah kasus adalah usaha pembaca untuk bisa mempercaya kehidupan yang mereka masuki dan hidupi, dan kemudian membawa kepercayaan tersebut keluar dari dunianya. Di titik ini, kedua pembahasan sebelumnya harus dilihat sebagai keutuhan semesta system of possible-worlds.

4.3. Orang Jepang yang Sedang Menyikapi Indonesia

Eco (1979) melihat bahwa aspek semantik dari narasi bukan sebagai possible- world yang tunggal, namun sebagai semesta yang tercipta dari konstelasi tiga jenis possible-world. Possible-world yang pertama adalah possible-worlds yang diimajinasikan dan dinyatakan oleh pengarang. Dunia-dunia ini berkorespondensi antara fabula oleh pengarang. Hal ini nampak pada proses penciptaan possible state of affairs, possible individual, dan possible course of events sebagai struktur yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

191

keberadaannya diinterpretasikan oleh pembaca, namun terikat kuat pada pembangunan struktur dan dunia-dunia di dalam film-teks oleh pengarang – possible- world pengarang (Jepang) secara tak langsung memberikan batasan atas interpretasi pembaca dalam membangun possible-world. Pada titik ini terlihat bagaimana sejarah pembentukan media film dan televisi di Jepang menjadi aspek intentio auctoris – seperti konsep ijippari yang dikenalkan Yasujiro Ozu – yang bertahan hingga diresepsi pembaca di Indonesia beberapa puluh tahun kemudian.

Possible-world yang kedua adalah possible-subworlds yang diimajinasikan, dipercaya, atau diangankan oleh karakter-karakter dalam fabula. Hal ini nampak pada usaha pembaca dalam menilai individu dan course of events melalui imersi temporal yang mereka lakukan. Penilaian atas hal ini terlihat melalui negosiasi antara lima dunia yang sudah dijelaskan sebelumnya dengan dunia aktual “Jepang” yang berusaha diciptakan. Pengakuan atas dunia aktual Jepang dalam film-teks ini juga yang akan menunjukkan proses penarikan dunia aktual film-teks menjadi dunia aktual yang diimajinasikan, dipercaya, atau diangankan.

Possible-world yang ketiga adalah possible-subworld yang diimajinasikan, dipercaya, atau diangankan oleh Model Reader di setiap disjunction of probability

(setiap kemungkinan kelanjutan kisah yang mungkin terjadi) dalam fabula. Possible- world yang ketiga ini baru akan terbukti (benar atau tidak, diakui atau tidak diakui

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

192

oleh teks) setelah mengikuti lebih lanjut narasi dalam fabula. 223 Hal ini terlihat melalui usaha pembaca untuk mengakui yang “Jepang” melalui imersi spasial dan temporal yang mereka lakukan secara penuh sampai akhir setiap filmnya. Seperti yang diungkap oleh Kira, bahwa pembaca akan menyimpulkan hal yang berbeda ketika hanya melihat film-teks ini secara terpotong-potong.

Kesimpulan pada analisa di dua sub-bab sebelumnya menunjukkan bahwa pada aspek possible state of affairs para pembaca menamai Jepang dengan teknologinya yang maju – narasi mengenai kereta api (K1) dan vending machine (J4)

– dan Jepang dengan kehidupannya yang penuh ritme tertentu – tepat waktu (K1), butuh instan dan aman (J4), disiplin terhadap peraturan kota (J2). Pada aspek possible individual, para pembaca menamai Jepang melalui pengetahuan atas budayanya – samurai (K2), ninja (G2), anime Tobe-isami yang menceritakan sejarah dan anime

Nube yang menceritakan mitos setan-setan Jepang (J9), aspek tradisional dan mencintai sejarah (J1 dan J4), serta masyarakat yang memiliki nilai moral tersendiri

(X2), baik kerja keras (K1) maupun semangatnya (G2) – dan juga melakukan proses menamai Jepang melalui fungsi karakter dalam fabula – pantang menyerah (K4 dan

K8), kepahlawanan (G2), kerja keras (K8), pendewasaan (O8) dan perkembangan karakter (X4), mementingkan proses daripada hasil (K2), jiwa kepahlawanan (G2), semangat untuk terus bekerja (J5), dan loyalitas (J6). Pada analisa aspek possible course of events, pembaca menamai Jepang melalui kuatnya peran dunia kepercayaan

223 Eco (1979), op.cit. hal. 234 - 35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

193

sebagai pengatur cerita – bahkan aspek tujuan dan rencana, serta aspek mimpi dan angan milik karakter dikorbankan demi kepentingan dunia hasrat dan dunia kewajiban untuk menguatkan dunia kepercayaan – dan di dalamnya mencerminkan nilai kekerasan hati orang Jepang untuk terus berjuang dan bekerja keras melalui pengakuan adanya interpersonal network. Kesemua analisa pada bagian-bagian possible-world oleh pembaca ini yang akan menentukan langkah selanjutnya dalam pembentukan Jepang yang aktual bagi pembaca.

Eco (1979) pernah mengatakan bahwa ketiga possible-world ini berkepentingan bagi pembaca untuk menjadi pengakuan atas usaha penciptaan actual-world,224 sehingga usaha pembacalah yang akan menjadi benang pengikat atas aspek-aspek possible-world yang sudah dibahas sebelumnya. Semua strategi penamaan state of affair dan individual serta pengakuan atas struktur narasi (lima dunia) yang ditemukan sebelumnya akan menjadi titik masuk untuk melihat bagaimana pembaca membawa “Jepang” yang mereka temui dalam film-teks menjadi

Jepang yang aktual. Untuk melihat usaha pembaca dalam mengakui possible-world menjadi actual-world, maka analisis harus kembali pada konsep trikotomi tanda dalam membentuk final interpretant serta peran habit di dalamnya.

Dengan menggunakan konsep tersebut. maka data-data dari narasumber pada sub-bab ini bisa dilihat dalam hubungannya antara proses mereka dalam menamai- menyimpulkan possible state of affairs, possible individual, dan possible course of

224 Ibid. hal. 235

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

194

events dengan proses mereka dalam menamai Jepang yang mereka anggap aktual.

Jepang yang sudah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya akan ditempatkan sebagai tahapan awal yang mempengaruhi mereka membentuk final interpretant

Jepang yang aktual. Oleh karena itu, analisis akan masuk pada pencarian tahapan pada narasi narasumber mengenai Jepang yang dianggap aktual – baik yang masih menampakkan jejak film-teks maupun yang sudah terlepas – dan mengaitkannya dengan segala pengetahuan yang beredar di Indonesia (outer-world) yang mempengaruhi pembaca untuk menginterpretasikan Jepang – kesimpulan pada inner- world. Analisa pada tahap ini juga akan mencari apakah terdapat sisa-sisa ikon Liyan pada bahasa yang diungkap oleh narasumber. Berikut adalah data-data narasi narasumber yang menunjukkan interpretasi atas Jepang yang aktual:

Ya.. ya kenapa kamen rider tu sampai detik ini masih ada. Ya mungkin, dari situ, ditontonkan tiap hari minggu untuk anak- K10 anak. Ya mungkin itu lah yang membentuk pola pikir orang Jepang kecil sampai orang Jepang gedhe. Ya mungkin, orang Jepang kan harus bisa… Ya maksude, kalau melakukan satu hal A ya tetap harus selesai. Walaupun kenapa,

walaupun apa, kalau belum ketemu hasilnya kan belum anu ta, Kira wong Jepang ya gitu sih. Kalau menurutku katsudou sama orang K11 Jepang, kalau mereka belum sampai, kalau belum ketemu hasil A, belum sesuai harapan, ya dia belum mau ngapai-ngapain,, yo sakjane itu jelek sih. Tapi kan bisa diambil dari sisi lain. Ya emang kesannya terlalu memaksakan, tapi emang kalau tujuannya A ya harus A…

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

195

Ya sekarang kalau aku ambil contoh. Pas katsudou sama orang Ritsumeikan, ya misale mereka mau ngadain kunjungan orang tua murid ke sekolah. Ya kita datang ke rumah-rumah dan ngasih tau besok ini lho ada kunjungan. Lihat anak-anaknya belajar. Di Desa A, jadi orang Jepang sama kita ke rumah-rumah, “ini lho besok ada acara ini, kamu bisa dateng apa enggak“ Yo orang Jepang itu pingin orang tua itu datang. Walaupun orang tuanya K12 alasannya apa, alasannya apa, orang Jepang itu tetep pingin orang tua itu datang. Kan ini demi anak-anakmu. Kamu harus datang. Kan kalau orang tuanya emang bener-bener ga bisa datang, ya kita sebagai penerjemahnya kan ya bingung, maksa orang tuanya untuk datang ke sekolah. kalau misalnya memang orang tuanya tidak bisa karena ada kerja atau apa. Ya tapi kalau pinginnya orang Jepangnya itu ya ijin. Tapi kan di Indonesia kan hal-hal seperti itu ya belum bisa. Beda dengan di Jepang. Kok berantemnya pun ga ada gregetnya gtu lho istilahnya… Tapi kalau jaman saya, seperti kamen rider ichigo, superone, segala G10 macem, sampai aktornya sendiri itu turun. Bisa berantem, ya kan. Seperti itu. Dan juga ada kringetnya, lari-lari. Bener-bener yang keliatan seperti ninja yang dipilih, yang matanya sipit, yang kira-kira badannya lincah gitu kan. Yang G11 tenaga dalam pun, aktornya harus bisa kungfu. Bener-bener Geyol latihan kungfu… kalau saya sih karena memang tetangga dari nenek saya di purworejo juga sudah tahu kalau bapak saya udah belajar dari sana lama, justru menimba ilmu di negara yang modern, seperti G12 itu… cuman ya gitu, angkatannya nenek saya, mungkin tetangga- tetangga yang tanda kutip tidak berpendidikan, gak lulus, bahkan gak sekolah, tu memang image Jepang masih penjajah… Nek kaya dikaya-kayakke tenan, tapi nek enggak kaya, ya bener. Dalam artian gini.. kayak contohne ya.. gampange nek… Wong Jepang ki kayak musike itu, bisa ngepas. Kalau misalkan nek-nek Koh e sendu, ya musiknya bisa ngepas. Jadi tambah sendu. Nek lucu O9 Oyon ya lucu, bisa ngepas gitu lho… Ga lebay. Tapi nek pas, komedi lebay ya lebaybanget. Umpamane pertama kali, uwaah cring cring cring.. uwaaa, hahaha, nek kayak gitu biasane cinta- cintaan. Dorama nek yang kayak gitu ya ada… Gitu, agak seru..

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

196

Ya itu, kayak GTO, sama sing itu,, aku yang paling seneng yang itu sih…Yang ada,,, apa ya,,, adaa…Ada pelajarannya, gampangane gitu lah… daripada sing cuman cinta-cintaan thok.. ya gitu-gitu.Ada… ini.. jadi guru ki ngene ngene ngene ki lho. Iki lho critane. Suka duka guru tu seperti ini. Terus nanti kan mesti O10 ada komunitas kayak gini.. Nah, gitu.. Pokoknya yang ada wujudnya, apa ya… yang aku seneng, kalau jadi guru… Terus yang itu, yang… yang mangaka bekas geng motor itu…Iya. Itu. Itu kan juga bagus itu.. Nha… itu apik.. aku seneng yang gitu- gitu.. Ada yang dia bener-bener dari yang bajingan jadi apik. Aku lebih seneng itu… terutama dia mainnya gimana.. Aku kalau disuruh ke jakarta wegah kok… Ngopo yo. Wongane ki kayak ga bisa menikmati hidup, nek aku sih. Ya semua kota besar lah.. Lha mending temenku di jepang itu. Sing si,,, siapa,, temenku O11 yang di jepang itu, balik-balik sugih. Kerja di sana setahun dua tahun, di sini dua tahun nganggur ya tetep bisa makan kok. Ga nyari duit aja tetep bisa makan…. Tapi ya kerjanya ya,, ngerti wae.. sehari bisa 500 ribu. Tips e tok.. 500 ribu sehari… Kan ga ada yang lain. Ada paling juga cuman film-film Indonesia. Ya itu kan kayak selingan, film Indonesia jaman dulu. X7 Ya cuman kayak, selesai nonton anime, ya nonton tuyul dan mbak Xakha yul, nonton jinny oh jinny gitu. Ya kokehan mungkin di situ ya, nilai nganunya, yang bikin orang X8 tertarik untuk ngikutin, besok ada apa lagi ya. Kayak penasaran Saya tukang nghayal. Saya suka nghayal. Dari kecil tu sukanya tu aku suka ngehayal… Tapi dulu kan saya lebih suka main game. Terus selalu membayangkan bagaimana sih kalau kita jadi karakter ini. Apalagi kalau maen game RPG kan, kalau kita main John game RPG ya, ngliat botol ini aja udah,,, ini botol biasa, tapi J11 Switch kalau kita lihat tu udah kayak ada tulisannya, item, efeknya apa, fungsinya apa. Nah itu udah keliatan. Itu awal-awalnya… Sekarang pun juga masih. Jadi kadang ngliat-ngliat, kadang ngliat hape gini, jadi muncul opsi-opsinya. Nah itu. Hahaha… Nah kalau gini mikir, kayaknya kalau bikin kostum asik nih…

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

197

Tapi sebenernya gini, kalau boleh jujur sih, sebenernya banyak ya, kalau gak ada Jepang aku akuin Indonesia ga bisa merdeka, satu. Terus kalau gak ada negara Belanda tu Indonesia gak bisa sampe kayak gini sebenernya. Semua hal-hal yang kita ambil sekarang tu kita adopsi dari unsur Jepang. Hal yang paling gampang: Baju! Baju itu sebenernya dari Belanda sama Jepang. Sebenernya. Kita mengadopsinya. Misalkan kita ga sampai dijajah Belanda sama Jepang, sampai sekarang kita masih pake kebaya sama blankon. Kayak gitu… Persenjataan, teknik irigasi, J12 terus teknik penciptaan dan lain sebagainya, makanan, kuliner, semua, pengelolaan negara, kan ambil dari tentara Belanda. Makanya kalau misalkan mau tahu sejarah Indonesia sama dokumen Indonesia paling lengkp, pergilah ke Belanda. Kayak gitu… Iya hiperbola. Orang-orang jaman dulu aja…. Nah itulah, hiperbola orang jaman dulu tu terlalu berlebihan sih sebenernya. Apalagi kalau kayak orang main kata gitu lho. Si A ngomong apa, si ini ngomomg,.. Misalkan dia ngomong ke temenya ini, nah nanti sampai ke orang lain udah bisa Z. Kayak gitu sih… Yang pertama kali muncul ya, ya anak-anak, aku sih kalau aku pakai logisnya ya, anak-anak tu males baca, pasti lebih suka nonton. Sekarang kalau hari minggu apa yang ditunggu? Anime kan… kalau baca kan kita bisa tiap hari baca, tapi itu kan jadi cepet bosen. Lha terus sekarang yang paling kita tunggu apa kalau hari minggu? “enggak, aku mau nonton anime dulu, digimon, wah, ya. Ada tinju, sialaaan!” hahaha, yaudah, orang J13 pasti ngincernya apa? Anime… Kalau dulu tu, paling ya, anime yang paling berkesan tu digimon sih sampai sekarang… Itu awal- awal aku nonton, yang bener-bener, istilahnya, sampai kayak addicts. Sama beyblade dulu. Beyblade, crushgear, tamiya, itu. Itu paling aku incer-incer terus tiap hari, tiap minggu. Sekarang kalau dipikir-pikir, anime tu bener-bener mempengaruhi anak. Misalkan ya, woh, anime beyblade, orang pada beli beyblade …Nah soalnya gini. Di Jepang sendiri kan, samurai, dan semuanya yang berhubungan dengan masa lalu paling juga dihormati kan. Bahkan sampai dibikin eventnya khusus… Di luar negeri soalnya kegiatan-kegiatan bersejarah yang mengangkat sejarah-sejarah dan perayaan sejarah tu, kesannya bagi mereka J14 tu, itu hal yang menarik. Bukan menarik lagi, itu hal-hal luar biasa. Itu aset negara bagi mereka… Bisa dijual. Buat keuntungan mereka. Tapi di sini jarang. Malah dipermasalahkan terus. Lha malah ribut-ribut gitu. Mereka lebih mikirin politiknya dan sebagainya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

198

Sederhana, satu, pihak kreatif mereka tu di support… Negara. Industrinya juga. Bagi perusahaan-perusahaan yang pihak kreatif tu mereka menghargai. Apa pun ide yang mereka masuk, apa pun J15 kita hargai. Indonesia? Baru kita masukin aja udah di tolak. Ga menghasilkan. Bagi mereka tu ini enggak blablablabla… ya dikembalikan. Itungannya ide-ide mainstream doank. Ga jelas. Kayak gitu bisa apa Indonesia… malah mungkin, sekarang kesannya kayak datar hidupku.Iya. Soalnya bagiku sih Jepang tu menarik masalahnya. Ya bagiku menarik soalnya. Apalagi setelah kesana, semuanya kayaknya wah, menarik gitu. Banyak hal yang itungannya bahkan tidak bisa dijelasin dengan kata-kata. Bagi kit a tu, kayak, aku seneeeeng (dengan penekanan) banget sama itu… Banyak faktornya. Pokoknya kamu ngerasa kayaknya bener-bener cinta, banyak hal gitu. Tapi,,, di satu sisi, aku juga suka Indonesia. Bahkan, aku cinta Indonesia. Cinta banget. Aku juga cinta Jepang. Bahkan aku J16 kadang sekarang di Indonesia pun aku tu memperagakan gaya hidup di Jepang tu kayak gimana dan sebagainya. Terus habis itu, begitu aku jadi wakil Indonesia, itu aku tetap menjunjung tinggi bahwa aku orang Indonesia di sana. Tapi begitu aku merasa melihat Jepang itu menarik, menariknya tadi, woh kayaknya kehidupannya menarik, sejarahnya menarik, budayanya menarik, terus macem-macem lah hal yang menarik di situ. Mungkin bagi mereka yang juga suka sama budaya Rusia mungkin ya, mereka juga berkata “oh disana menarik”. Menurut saya kayak gitu aja sih. Biasa aja sih. Dulu, dari orang tua, apalagi bapak. Bapak kan bener-bener, apa ya, kasarannya kalau kita mau bilang itu, suka banget sama Soekarno. Cinta Indonesia banget. Kalau kasarannya tu bener-bener cinta indonesia garis keras. Dia tau saya suka cosplay dan sebagainya itu dia pasti berpikir, “ah itu, kamu tu, udah tau Jepang itu menjajah juga dan sebagainya, ngapain juga kayak gitu.” Ngomong kayak gitu, “kamu masak mau sih dijajah lagi. blablabla. Kita tu dulu tu makan, kita tu J17 sekarang tu makan di Indonesia, ngapain kamu pake budaya Jepang”.. Ya awalnya kan kalau kita labil, kita bilang “ah papa tu gak tau apa-apa, udah aku keluar dari rumah!” hahaha. Nah, karena untungnya, waktu itu saya juga belajar dari, latar belakang keluarga saya seni, saya juga belajar di sekolah seni. Akhirnya, saya diajarin, ada kita diajarin, bagaimana sih cara kita menjelaskan, soal seni yang kita suka kepada orang yang gak tahu soal seninya, budaya yang kita suka kepada orang yang gak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

199

tau budaya itu apa. Akhirnya, seiring berjalannya waktu, aku jelasin ke papaku, “pa, cosplay itu gak semuanya harus jepang kok pa. cosplay itu kan universal. Ada barat, indonesia juga ada.” terus aku ngomong, “yang ku tonjolin di sini tu bukan aku ngambil Jepang-jepangnya, yang ku ambil tu lebih ke skillnya pa.” kesukaannya dan sebagainya. Aku nunjukkin. Akhirnya, kalau nunjukkin dengan kata-kata tidak mempan, tunjukkin dengan bakat sekalian, Aksi. “Aku lho bisa bikin kayak gini, gini, gini…” “woo, bagus ya kayak gini. Kalau Jepang emang gimana?” aku jelasin, “di Jepang tu ada gini-gini lho pa,” dan sebagainya. “Teknik keris, Indonesia sama Jepang tu sama lho sebenernya. Cuman beda di panjang, modifikasi, terus gini,gini,gini. Jepang tu sebenernya mix, gini,gini,gini dan sebagainya” aku jelasin aja. Misal, apa yang bisa di mix, apa yang bisa diambil, apa yang bisa diterima dari jepang ke Indonesia tu apa. Blablabla dan sebagainya. Akhirnya emang, emang butuh waktu juga, tapi papaku sekarang ngedukung, “apa yang lagi kamu kerja, lagi ada orderan apa nih?” gitu. Sekarang kan juga, papaku kalau ada orderan yang ada hubungannya tentang kostum, desainnya malah sama aku. “Bim tolong donk, kamu ada orang versi Jepang gak? Yang soal ini,ini, tolong cariin donk. Soal yang kuil-kuil Jepang kayak gimana” akhirnya kita saling mutualisme.

Tabel 4. Data Propositional Attitudes

Interpretasi atas Jepang yang aktual seperti yang dibahasakan oleh narasumber pada tabel.4 di atas menunjukkan adanya dua jenis usaha menurut arah narasinya.

Jenis usaha yang pertama adalah narasi yang lebih memberatkan proses penamaannya melalui film-teks. Jenis yang pertama ini menunjukkan usaha narasumber yang lebih memberatkan pengalaman inner-world mereka, yaitu pertemuannya dengan film-teks.

Di sisi lain, jenis usaha yang kedua tampak pada narasi yang seakan menunjukkan

Jepang yang sudah terlepas dari film-teks. Usaha jenis kedua ini menunjukkan kemenangan kuasa outer-world atas pengalaman inner-world.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

200

Kira menyampaikan bahwa seri kamen rider menjadi pengaruh kuat bagi pembentukan pola pikir orang Jepang sampai mereka dewasa (K10). Ia secara tidak langsung mengaitkan properti individu Jepang yang ia percaya dalam film-teks sebagai properti bagi orang Jepang aktual, yaitu efek teknologi maju yang mempengaruhi terciptanya ritme kehidupan yang teratur (K1 dan K4), pantang menyerah (K4 dan K8), bekerja keras (K8), dan orang Jepang yang mementingkan proses daripada hasil (K2). Pada argumen ini tampak Kira melakukan usaha jenis pertama – menyimpulkan interpretant melalui pertemuannya dengan film-teks. Yang memaksa Kira untuk menarik interpretant tersebut menjadi final interpretant bagi

Jepang yang aktual adalah pengalaman personalnya terhadap orang Jepang di dunia aktual – di sini nampak usaha jenis yang kedua. Di argumen berikutnya ia menunjukkan bahwa orang Jepang “harus bisa” mengerjakan satu hal sampai selesai

(K11) melalui kegiatannya (katsudou) bersama dengan orang Jepang selama ia kuliah.

Dengan mengatakan bahwa “kalau mereka belum sampai, kalau belum ketemu hasil

A, belum sesuai harapan, ya dia belum mau ngapa-ngapain,” Kira menjadikan properti pantang menyerah, kerja keras, dan pementingan hasil daripada proses menjadi final interpretant bagi orang Jepang. Pada argumen berikutnya (K12), ia kemudian menunjukkan secara jelas bagaimana pengetahuan dari outer-world yang mengakomodasi terbentuknya final interpretant atas Jepang tersebut hadir melalui pembandingannya dengan kondisi Indonesia. Ketika ia menjelaskan kegiatannya bersama dengan orang Jepang, ia mengakhiri ceritanya dengan narasi “tapi kan di

Indonesia kan hal-hal seperti itu ya belum bisa, beda dengan di Jepang.” Kalimat ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

201

menunjukkan habit pada komunitas (Indonesia) yang memaksa Kira untuk menyimpulkan nilai atas Jepang melalui kata “belum bisa – beda dengan.” Hukum dalam komunitas (habit) sebagai “yang belum bisa” membantu Kira untuk menyimpulkan Jepang “yang sudah bisa” menjalankan nilai-nilai tertentu. Dengan kata lain, pengalaman menilai Jepang dalam pertemuannya dengan film-teks terjelaskan ketika Kira memasukkan aspek “Indonesia yang belum bisa” dalam properti yang ia dapat dalam film-teks sehingga ia dapat menyimpulkan nilai-nilai yang dimiliki oleh Jepang.225 Di titik ini ia tidak menerangkan secara jelas apa yang

“Indonesia belum bisa,” sehingga penamaannya justru harus dilihat melalui proses

Kira menamai Jepang.

Pada narasi yang diungkap oleh Geyol (G10 dan G11), ia tidak banyak masuk pada proses penamaan Jepang yang aktual dan tetap mempertahankan usahanya dalam menamai film-teks. Argumen ini bisa dilihat sebagai bentuk ketidakberhasilan narasumber dalam menarik pemaknaan film-teks sebagai akar terbentuknya final interpretant Jepang yang aktual. Pada analisa di bagian sebelumnya, Geyol menunjukkan bahwa melalui film-teks yang membawa nilai tradisional Jepang seperti ninja (G5), pergeseran atas budaya tersebut terjadi pada beberapa film/seri yang diterbitkan dengan tahun yang berbeda cukup jauh, dan pergeseran ini ia lihat melalui

225 Lihat pembahasan pada Bab I dan Bab II mengenai wacana “meniru Jepang” yang muncul sekitar periode 1970 akhir ketika investasi perusahaan Jepang dan produk-produknya membanjiri Indonesia. Pengetahuan terhadap hal ini menjadi sarana yang masuk akal untuk terus terbawa menjadi aspek outer-world yang membentuk final interpretant Jepang seperti pada narasi yang diucapkan Kira walaupun tidak secara langsung mampu untuk ditarik garis hubungan ketika Kira tidak pernah membaca atau mendengar mengenai wacana tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

202

aktualitas budaya dalam film-teks yang dulu ia temui. Aktualitas tersebut hanya ia nyatakan melalui istilah “greget”(K10), yaitu bahwa film yang ia nikmati ketika masih kecil merupakan film yang lebih memiliki “greget” – dan tidak menjelaskan lebih lanjut fungsi dari kata tersebut selain dari nilai-nilai yang ia dapat. Ketika ia diminta menjelaskan mengenai nilai yang bisa didapatkan melalui film-teks Jepang, ia berulang kali menyebutkan properti nilai kepahlawanan (G2), “jiwa api membara”

(G3) dan nilai “jangan menilai orang dari sisi luarnya” (G9) yang bisa didapat olehnya dan teman-temannya, namun tidak kemudian membawa pengalamannya tersebut untuk menamai Jepang yang berusaha direpresentasikan film-teks.

Ketidakberhasilan semacam ini menyebabkan kata “negara modern” pada argumennya (G12) menjadi tidak terjelaskan. Ia meletakkan imaji “negara modern” sebagai outer-world yang terlepas dari nilai kepahlawanan yang ia dapat dari film- teks. Keduanya tidak dinegosiasikan oleh Geyol untuk bisa saling membangun penamaan tanda baru bagi Jepang, sehingga dua jenis argumen ini menunjukkan dua jenis usaha yang berbeda: usaha jenis pertama untuk menamai Jepang dalam film-teks, dan usaha jenis kedua untuk menamai Jepang yang aktual – terlepas dari film-teks.

Pada usaha jenis pertama, Geyol menunjukkan bahwa properti atas Jepang yang ia dapat dari film-teks berhenti pada energetic interpretant dan hanya berhasil dinamai dengan bantuan kata “greget”. Ia tidak berhasil memproduksi situasi konkret yang membuatnya mampu memiliki pengalaman perseptual atas objek Jepang yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

203

ditunjuk dalam film-teks. Dengan kata lain, Jepang dalam interpretasi Geyol melalui pertemuannya dengan film-teks tidak berhasil menjadi sebuah final interpretant.

Pada usaha jenis kedua, kata “negara modern”menjadi kata yang secara jelas menunjukkan peredaran pengetahuan atas Jepang yang beredar di Indonesia, dan hanya berhenti sampai pada pengetahuan sebagai bahan mentah yang siap diaktualisasikan melalui pengalaman personal macam pertemuan dengan film-teks.

Ketidakberhasilan ini hanya bisa terjadi ketika ia sudah menjadikan konsep Jepang yang modern sebagai common-sense yang taken-for-granted dan tidak perlu dijelaskan kembali. Hal ini terlihat melalui cara ia menarasikan kata “Jepang masih penjajah” dengan meletakkan properti “tidak berpendidikan, tidak lulus, bahkan tidak sekolah” sebagai properti yang dimiliki oleh individu yang masih melihat

Jepang sebagai penjajah, bukan sebagai negara modern. Ia tidak mendekonstruksi pembentukan properti negara modern yang dilekatkan pada objek Jepang.

Koh Oyon pada argumen-argumennya (O9 – O11) menunjukkan tiga tahapan pemaknaan. Pertama ia berusaha membahasakan pengalamannya dalam menciptakan pengalaman perseptual terhadap objek Jepang yang aktual, namun ia tidak berhasil menegosiasikannya dengan outer-world. Dalam narasinya, ia menggunakan ekspresi

“ngepas” atau “uwaa… cring, cring,cring” untuk mengekspresikan film-teks Jepang yang ia anggap aktual – tidak lebay (O9). Kata-kata yang sekedar menunjukkan ekspresi tanpa bisa dibahasakan tersebut menjadi resiko dari intepreter yang akhirnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

204

tidak berhasil menemukan komponen outer-world untuk diculik menjadi bahan penciptaan final interpretant, sehingga pengalamannya tetap tidak terbahasakan.

Pada argumen berikutnya nampak bahwa Koh Oyon memimjam komponen- komponen outer-world untuk bisa membahasakan pengalamannya. Ia berargumen bahwa film-teks Jepang memberikan pelajaran-pelajaran, dan tidak sekedar “cinta- cintaan” (O10). Di sini ia mulai meletakkan pengetahuan outer-world-nya, yaitu film-teks yang bukan Jepang sebagai film-teks yang selalu berisi kisah cinta. Ia melakukan penamaan terhadap film-teks Jepang melalui strategi semacam ini, namun masih membicarakan film-teks Jepang. Pada bagian argumen yang sama juga kemudian ia menunjukkan bagaimana film-teks Jepang berusaha ia bawa keluar dari filmnya dengan membawa nilai-nilai yang ia dapat. Dengan mengatakan bahwa aspek yang ia sukai dari film-teks Jepang adalah adanya “dia bener-bener dari yang bajingan jadi apik,” maka ia mulai memakai komponen outer-world (yang bukan film-teks) untuk menciptakan final interpretant. Ia menggunakan kata bajingan dan apik yang menunjukkan pemberatan makna pada bahasa sehari-hari (bukan bahasa

Indonesia formal) yang lebih sering digunakan oleh masyarakat dimana ia tinggal – dan cenderung memiliki makna negatif yang disangatkan untuk kata bajingan.

Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari pemilihan kata yang diungkap oleh

Koh Oyon pada argumen ini. Pertama, pemilihan kata bajingan dan apik menunjukkan aspek familiarity pada final interpretant karena ia lebih memilih bahasa yang paling dekat dengan kesehariannya dari semesta pengetahuan outer-world yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

205

beragam untuk dia pilih. Kedua, pemilihan kata tersebut menunjukkan hukum (habit) dalam komunitas yang ia tinggali (Indonesia) – dimana “yang bajingan” sebagai yang tidak bisa diterima oleh masyarakat meminta adanya perubahan untuk bisa masuk pada “yang apik.” Film-teks Jepang yang ia temui memberikan jalan (pelajaran) pada kemungkinan perubahan dari bajingan jadi apik, dari yang dibenci menjadi disukai, dari yang dijauhkan menjadi diterima, dari ekslusi menjadi inklusi. Dengan kata lain, ketiga, pemilihan kata ini juga menyiratkan adanya proses menerima “stranger” menjadi “familiar”, atau dari yang masih asing menjadi yang intim. Proses menjadikan film-teks Jepang – dan juga otomatis objek Jepang – sebagai sesuatu yang intim terbaca dari argumen ini.

Pada argumen berikutnya, dengan menempatkan Jepang sebagai salah satu kota besar (O11), ia justru terjebak di ambang. Ia menilai kota besar (Jepang) sebagai jalan keluar bagi masalah ekonomi. Di sisi lain, ia menghindari kota besar karena ritme kerjanya yang “tidak menikmati hidup.” Di sini posisinya di tengah komunitas pemberi hukum pun mengalami proses tarik-ulur. Di satu sisi ia menyimpulkan

Jepang sebagai jalan keluar, sebagai pemberi solusi bagi salah satu bidang kehidupan, yaitu ekonomi, di komunitasnya sekarang. Di sisi lain, ia menolak diberi hukum yang ia lihat hadir dengan kuat di komunitas yang memberi jalan keluar tersebut. Namun, dengan menempatkannya pada konteks sesuai argumen sebelumnya (O10), nampak secercah harapan pada Koh Oyon untuk perubahan pada komunitas yang sekarang ia tinggali. Dengan terus melihat objek pemberi nilai “perubahan dari yang bajingan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

206

jadi apik”, Koh Oyon menegosiasikan keberadaannya dengan tidak perlu memasuki komunitas kota besar (Jepang) yang memiliki hukum tersendiri. Ia memberi (atau sekedar memperkuat) hukum pada komunitas yang ia tinggali dengan meminjam hasil pembentukan final interpretant pada pertemuannya dengan Jepang. Di titik ini jelas bahwa usaha yang dilakukan Koh Oyon berangkat dari pengalamannya terhadap film-teks untuk dibawa terlepas dari teksnya dan digunakan untuk menegosiasikan dunia aktualnya.

Sesuai dengan pembagian dua jenis usaha yang nampak pada narasi narasumber, Xakha pada dua argumennya (X7 dan X8) menunjukkan jenis arah yang pertama dan tidak berhasil membawanya benar-benar terlepas dari film-teks. Film- teks Jepang ia anggap menarik karena membawa nilai tersendiri (X2) yang merupakan nilai moral seperti kerja keras dan perubahan karakter dari setiap episodenya (X4). Perubahan individu di dalam film-teks seperti ini yang membuat

Xakha tertarik melakukan imersi spasial maupun temporal pada fabula film-teks

Jepang. Ia mengatakan bahwa rasa penasaran merupakan dorongan utamanya untuk tetap terus menikmati film-teks Jepang (X8).

Ketika ditanya mengenai posisi film-teks Indonesia yang seringkali jam siarannya berurutan dengan film-teks Jepang yang ia nikmati di televisi, ia menegaskan bahwa film Indonesia hanyalah “selingan,” dan hiburan satu-satunya yang ia anggap adalah film-teks Jepang (X7). Di sini terlihat bahwa Xakha berhasil berimersi masuk pada film-teks Jepang – sesuai analisa pada bagian possible state of

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

207

affairs – namun tidak berhasil membahasakan nilai-nilai yang ia hidupi pada pengalaman imersinya tersebut. Dengan menempatkan film-teks Indonesia sebagai pembanding, ia berusaha membahasakan usahanya dalam menciptakan pengalaman perseptual terhadap objek Jepang yang ia temui dalam imersinya. Usaha Xakha hanya berhasil dibahasakan melalui peminjaman film-teks Indonesia untuk diposisikan kontras dengan pengalaman pertemuannya, namun tetap tidak berhasil menyimpulkan final interpretant yang mampu dipercaya juga oleh pembaca lain. Di sini objek

Jepang hanya berhenti menjadi energetic interpretant dan akan terus berusaha dinegosiasikan oleh Xakha berdasar komponen outer-world yang selalu berubah-ubah tergantung dengan paparan pada suatu konteks tertentu.

Pada narasi mengenai objek Jepang oleh John Switch, nampak dua jenis arah baik dari film-teks maupun dari dunia aktual, dan keduanya ditarik pada sisi terkontrasnya oleh John Switch. Pada jenis usaha yang lebih memberatkan proses penamaan pada film-teks, ia menyatakan dua alasan dalam imersinya ke dalam film- teks. Alasan pertamanya adalah pengakuan dirinya sebagai orang yang suka menghayal, dalam artian bukan menghayal untuk masuk ke dalam film-teks namun justru membayangkan dunia aktual yang ia hidupi sesuai dengan film-teks yang ia sukai – misalnya dengan membayangkan properti-properti benda seperti item di dalam dunia permainan komputer yang memiliki kemampuannya masing-masing

(J11). Dari argumen ini nampak bagaimana John Switch memiliki kemungkinan besar untuk bisa membawa possible-world yang ia bentuk melalui pertemuannya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

208

dengan film-teks menjadi sebuah dunia yang senyata mungkin aktual. Ini juga yang menjadi alasannya dalam melakukan cosplay secara intens, yaitu untuk bisa memiliki pengalaman perseptual yang konkret dalam pertemuannya dengan film-teks. Ia tidak sekedar masuk berimersi ke dalam film-teks, namun membawa keluar dunia film-teks ke dunia nyata – dan memungkinkan dunia aktualnya yang lama tersingkirkan dengan objek Jepang yang ia bawa keluar.

Alasan yang kedua yang diungkap oleh John Switch adalah objek Jepang dalam film-teks sebagai hiburan satu-satunya sewaktu ia kecil. Objek Jepang dalam film-teks menjadi satu-satunya hal yang ditunggu setiap hari minggu (J13). Pada argumen tersebut pun nampak ia mengakui bahwa anime benar-benar mempengaruhi kehidupan anak kecil secara nyata di Indonesia, membuat anak-anak ingin membeli segala mainan tentang film-teks yang ia temui. Dengan kata lain, ia menyamakan anak-anak kecil yang lain dengan dirinya, yaitu subjek yang memiliki keinginan bukan untuk sekedar masuk pada film-teks, namun berhasil membawa keluar objek

Jepang menuju dunia nyata setiap anak-anak. Acara selingan yang hadir di hari minggu menjadi sasaran kemarahan anak-anak yang ingin terus berusaha membangun keintiman dengan objek Jepang.

Pengaruh pengalaman perseptual terhadap objek Jepang yang didapat oleh anak-anak seperti John Switch terlihat melalui narasinya pada usaha pembentukan possible world. Pada bagian possible state of affairs, John Switch menamai Jepang dengan teknologinya yang maju (vending machine – J4) dan ritme kehidupannya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

209

yang berbeda dengan Indonesia – yang terkadang dibandingkan dengan menempatkan

Indonesia dalam posisi inferior – melalui kehidupan orang Jepang yang butuh serba instan, kota yang lebih aman, kedisiplinan yang lebih baik, dan ketaatan terhadap peraturan kota (J2). Pada aspek possible individual, ia menamai objek individu

Jepang dengan atribut penghargaan terhadap sejarah dan nilai-nilai tradisional (J1, J4, dan J9), dan juga melalui adanya properti kerja keras, suka bekerja (J5) dan loyalitas tinggi terhadap pekerjaan seperti seorang samurai (J6). Pada aspek possible course of events, pengakuan terhadap pentingnya posisi dunia kepercayaan melalui nilai kekerasan hati dan peran kerabat menjadi nilai yang diangkat untuk menamai lebih jauh individu Jepang.

Pengalaman perseptual seperti ini ia bawa pada proses pembentukan final interpretant di tahap yang kedua, yaitu terlepas dari film-teksnya. Pada argumen J14 dan J15 nampak dengan jelas bagaimana ia mengakui properti yang ia dapat dari proses penamaan possible-world Jepang. Ia mengakui bahwa Jepang yang aktual adalah Jepang yang menghargai sejarah dan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai tersebut menjadi aset yang menguntungkan bagi Jepang aktual. Ia menyangatkan argumen tersebut kemudian dengan kembali mengontraskan pengalaman pertemuannya dengan film-teks dan pengalaman pertemuannya dengan outer-world Indonesia yang “malah ribut-ribut terus” (J14). Pada argumen J15 pun nampak strategi yang sama, yaitu menyimpulkan final interpretant Jepang aktual melalui pengalaman dengan outer- world Indonesia yang “ga jelas, kayak gitu bisa apa Indonesia” (J15). Kedua nilai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

210

yang ia dapat dari pertemuannya dengan film-teks, ia negosiasikan dengan pengalaman outer-world Indonesia, sehingga akhirnya menciptakan final interpretant

Jepang sebagai negara yang mencintai dan menghargai sejarah dan nilai-nilai tradisional, serta Jepang sebagai negara yang mendukung industri kreatif sehingga bisa menghasilkan film-teks senyata Jepang aktual.

Melalui strategi pembentukan dengan pembandingan seperti ini, ia membawa final interpretant yang sudah ia bentuk untuk kemudian menamai Indonesia dan kehidupan yang ia jalani selama ini. Ia menjadikan tanda tersebut untuk menamai ulang kehidupannya. Proses menamai ulang Indonesia tampak pada argumen J12, dimana ia mulai mendekonstruksi sejarah berdasarkan penyimpulannya terhadap properti yang ia lekatkan pada objek negara Jepang. Ia mengatakan dengan tegas bahwa “kalau gak ada Jepang, aku akuin Indonesia gak bisa merdeka” (J12). Ia menegaskan bahwa semua hal yang diambil oleh Indonesia merupakan bentuk adopsi dari Jepang. Di sini ia berusaha menegosiasikan jejak sejarah Indonesia pada kehidupan yang ia jalani dengan properti-properti objek negara Jepang yang ia bawa.

Akan tetapi, negosiasinya tidak berhasil ia bahasakan, dan justru berulang kali melakukan peminjaman atribut Belanda untuk membahasakan apa yang tidak bisa ia ungkapkan. Dalam argumen J12 terlihat bagaimana John Switch terjebak dalam menempatkan Jepang di tengah kuasa pengetahuannya atas kemajuan Barat yang ia ketahui seperti persenjataan, teknik irigasi, ataupun teknik penciptaan yang tidak ia lekatkan kepada Jepang. Di sini terlihat bahwa objek Jepang yang ia gunakan untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

211

menamai Indonesia sebagai inferior pun mengalami inferioritas serupa dengan

Belanda.

Proses menamai ulang kehidupannya sendiri ia tampilkan pada argumen J16 dan J17. Ketika diajak membayangkan kehidupannya tanpa kecintaannya terhadap

Jepang, ia menegaskan bahwa hidupnya akan menjadi “datar” (J16) karena objek

Jepang menjadi objek yang sangat menarik baginya – hingga harus ia ungkap berulang kali dalam narasinya. Kontradiksi terlihat pada argumen J16 ini. Ia menyatakan ia mencintai Jepang sekaligus mencintai Indonesia, namun melekatkan properti bahasa yang kontras dalam bahasanya. Ketika ia menyatakan bahwa ia mencintai Jepang, ia mengisahkan bagaimana di Indonesia ia “memperagakan gaya hidup di Jepang tu kayak gimana dan sebagaimana”. Di sisi lain, ketika ia menyatakan bahwa ia juga mencintai Indonesia, ia melekatkan kata “wakil Indonesia” dan “menjunjung tinggi bahwa aku orang Indonesia” tanpa melekatkan properti ”memperagakan gaya hidup” seperti yang ia lakukan pada kecintaannya atas

Jepang. Setelah itu ia justru menegaskan sekali lagi bahwa Jepang adalah objek yang menarik dengan menambahkan properti ”kehidupan, sejarah, budaya, macem-macem lah yang menarik”. Segala properti yang sebelumnya telah dibahas sebagai properti yang ada dalam simpulannya atas possible-world Jepang telah ia rubah menjadi properti bagi objek aktual Jepang. Pada titik ini, ia menunjukkan bagaimana ia berhasil memproduksi situasi konkret untuk menamai pengalaman perseptualnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

212

terhadap objek bernama Jepang – tentu dengan bantuan kuat dari pengalamannya di luar film-teks.

Pada argumen J17 nampak bahwa keberhasilannya dalam memproduksi final interpretant atas Jepang dan penerapannya dalam kehidupan akhirnya harus dinegosiasikan dengan kehadiran hukum dari kerabatnya (ayahnya) sebagai perwakilan dari hukum yang bertahan di komunitas Indonesia. Ia harus melawan secara langsung anggapan “Jepang penjajah” dengan Jepang yang sudah ia simpulkan.

Pada argumen tersebut tampak keberhasilan John Switch dalam menegosiasikan

Jepang yang ia bawa untuk bernegosiasi melalui usahanya menitikberatkan pada nilai-nilai yang “universal” dari Jepang, nilai-nilai yang bisa ia bawa masuk ke dalam komunitas dimana ayahnya tinggal – bukan membawa Jepang sebagai objek negara tetapi membawa sekedar properti-propertinya. Ia menarasikan dengan jelas bentuk strateginya ini melalui narasi “apa yang bisa di-mix, apa yang bisa diambil, apa yang bisa diterima dari Jepang ke Indonesia tu apa” (J17). Ia menghapus kata “Jepang” dari properti-properti yang ia dapat, kemudian memasukkan kata “universal”, sehingga negosiasinya bisa diterima. Dengan kata lain, objek Jepang sebagai sebuah nama diserap menjadi tersirat, dan keberadaannya akan selalu menjadi bayangan bagi

John Switch ketika membicarakan properti-properti kemajuan, teknologi (J4), etos kerja, disiplin, dan keteraturan (J2), loyalitas (J6), serta penghargaan terhadap nilai- nilai tradisional dan sejarah (J1, J4, J9). Kebingungan yang muncul pada argumen

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

213

J16 sebelumnya menjadi jelas di sini, karena properti “membantu Indonesia merdeka” sudah menyisakan Jepang hanya sebagai bayangan di belakang kalimat tersebut.

Melalui analisa terhadap narasi kelima narasumber, dapat disimpulkan adanya dua hal yang mengiringi kecenderungan pembaca dalam menyikapi film-teks dan aktivitas mereka dalam membaca film televisi Jepang di Indonesia. Pertama, dua narasumber (Geyol dan Xakha) menunjukkan ketidakberhasilan mereka dalam membentuk final interpretant, dan pengalaman resepsi mereka atas film-teks tidak bisa terbahasakan dengan utuh untuk menarasikan pengalaman perseptual mereka atas objek Jepang yang mereka temui. Terdapat dua alasan yang menyebabkan ketidakberhasilan ini, yaitu:

1. Kuatnya kuasa pengetahuan akan Jepang dalam ingatan pembaca yang

menyebabkan “Jepang” sebagai objek sudah diterima begitu saja tanpa

perlu dinegosiasikan ulang secara terus menerus melalui pembacaan film-

teks. Kegiatan membaca hanya akan menguatkan interpretant yang sudah

diterima begitu saja. Di sini, unlimited semiosis memiliki kemungkinan

untuk berhenti hingga di suatu akhirnya pembaca bisa menemukan objek

baru yang cukup kuat. Selama ini yang terjadi adalah penolakan karena

kuatnya pengetahuan yang sudah terbentuk – Jepang dalam film-teks yang

baru selalu kalah. Hal ini menunjukkan kuatnya pengalaman pembaca atas

Jepang di luar fillm-teks.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

214

2. Lemahnya komponen dari outer-world karena paparan yang justru selalu

berubah-ubah. Ini terjadi ketika pembaca terpapar dengan berbagai jenis

pengetahuan yang terlalu beragam dan juga objek Jepang yang terlalu

beragam dalam dalam berbagai media – baik itu film-teks, internet,

ataupun jenis lain dari produk budaya Jepang.

Kedua, tiga narasumber (Kira, Koh Oyon, dan John Switch) menunjukkan keberhasilan dalam membentuk final interpretant. Mereka berhasil memproduksi bayangan situasi konkret untuk membahasakan pengalaman perseptual atas objek

Jepang. Yang perlu diingat di sini adalah pemahaman bahwa ikon Liyan bisa tersisa dalam proses merubah energetic interpretant menjadi final interpretant, sehingga relasi kuasa selalu terjadi di dalam perubahan tersebut. Melalui narasi ketiga narasumber terlihat bahwa penamaan atas objek Jepang – membawa dari possible menjadi aktual – selalu melibatkan proses penamaan atas komunitas yang memberangkatkan para pembaca ini, yaitu Indonesia. Ketiganya menunjukkan habit, yaitu hukum yang dipahami secara intersubjektif oleh ketiganya dalam memposisikan

Indonesia di tengah proses penamaan tersebut.

Dengan melihat analisa pada tiga narasumber ini, bisa didapat dua posisi

Indonesia dalam proses mereka menamai Jepang. Pertama, Indonesia tersingkirkan dan hadir hanya di dalam penamaan terhadap Jepang melalui strategi kontrafaktual.

Di sini Indonesia digunakan untuk menamai Jepang tetapi justru penamaan terhadap

Indonesia tidak bisa terbahasakan secara lugas. Hal ini menunjukkan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

215

Indonesia kemudian akan dinamai melalui penamaan terhadap Jepang. Properti yang digunakan untuk menamai Jepang harus dipinjam untuk menamai Indonesia. Dengan kata lain, penamaan terhadap Indonesia harus meminjam ikon dari Liyan, sehingga

Indonesia akan ditempatkan sebagai inferior. Posisi Indonesia yang inferior ini berkaitan dengan jenis posisi kedua, yaitu keberhasilan dalam membahasakan

Indonesia sebagai yang inferior, atau sebagai komunitas yang membutuhkan hukum baru. Di sini posisi penamaan terhadap objek Jepang dijadikan sebagai hukum baru yang diangankan untuk terbawa ke Indonesia. Pada posisi ini, film-teks Jepang diposisikan sebagai hukum baru (Liyan) yang diinginkan – menginginkan kehidupan pada dunia simbolik yang baru walaupun tidak menyenangkan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V

PENUTUP

Penerimaan yang semakin masif atas produk budaya popular Jepang di

Indonesia tahun-tahun terakhir ini tentu saja menyebabkan penerimaan terhadap

Jepang yang juga semakin mapan di benak masyarakat Indonesia. Kisah mengenai

Jepang yang pernah menjajah semakin lama semakin dide(kon)struksi oleh para pecinta Jepang baru ini. Perubahan imaji menjadi hal yang maklum di tengah- tengahnya. Jepang menjadi negara impian yang utopis untuk dicapai di jantung

Indonesia. Jelas yang harus ditanyakan adalah bagaimana Indonesia bisa memberangkatkan fenomena semacam ini? Atau dengan kata lain, Indonesia seperti apa yang hadir di tengah para pecinta Jepang ini sehingga membuat mereka mengostumi dirinya dengan Jepang?

Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan utama tersebut dengan merumuskan empat pertanyaan yang membawahinya melalui metode abduksi.

Pertama, pengetahuan tentang Jepang apa saja yang beredar pada sejarah Indonesia yang memungkinkan untuk dibawa pada kegiatan membaca film-teks oleh pembaca film televisi Jepang? Pengetahuan tentang Jepang ini yang terus beredar di Indonesia semenjak masa kolonialisme. Antara penjajahan dan pendidikan, antara kekejaman

216

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

217

dan potensi, antara ingatan negatif dan harapan positif, pengetahuan akan Jepang beredar di garis antara semacam ini sejak masa itu. Kasusnya, bentuk propaganda media pada masa ini oleh sendenbu – yang dinilai secara positif – menjadi embrio bagi kehadiran media televisi kemudian. Kuatnya kuasa Jepang pada pembangunan media yang kemudian mengisi penuh waktu luang anak-anak muda di Indonesia jelas akan memberikan pengaruh.

Pengaruh yang didapat pada anak-anak muda ini tentu juga perlu ditarik pada sejarah pembangun media televisi di Jepang. Media televisi di Jepang hadir sebagai bentuk fantasi atas represi modernitas dari Barat. Perkembangan film dan media televisi Jepang tidak pernah terlepas dari strateginya yang selalu menegosiasikan modernitas. Slogan eastern ethics, western science mengawali hal tersebut, ideologi discover Japan – exotic Japan menjadi sarananya, dan konsep ijippari dalam film menjadi produk hasil negosiasinya. Melalui hal ini, narasi film Jepang selalu dibangun berdasarkan penekanan atas motivasi psikologis sang tokoh dibanding penekanan atas aksi-aksi dan tujuan akhir tokoh – yang merupakan gaya film

Hollywood. Oleh karena itu, kekhasan pada media Jepang selalu berupa kesuksesan negasi mereka atas Barat – modernitas – dan bahkan kehadirannya di Indonesia tidak bisa terlepas dari peran Barat.

Kesuksesan tersebut pun terdengar kencang hingga Indonesia melalui media- media dan berbagai literatur yang mengisahkan kemajuan Jepang dan bagaimana hal tersebut harus ditiru oleh Indonesia – sebagai sesama negara Timur. Kehebatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

218

negara Timur ini seringkali didengar pada pembicaraan menyoal etos kerja, disiplin, keteraturan hidup, dan nilai-nilai yang selalu berangkat dari penilaian atas individu

Jepang. Pengetahuan tentang kesuksesan itu pun bisa secara langsung dirasakan oleh tangan-tangan Indonesia melalui pertemuan dengan nama-nama macam Honda,

Toyota, atau Sanyo yang mengisi-membantu kehidupan mereka. Iklan-iklan dan baliho-baliho yang bertebaran dimana-mana menyangatkan kesuksesan tersebut.

Jepang bukan lagi negara yang asing bagi masyarakat Indonesia.

Lalu bagaimana pengetahuan seperti ini bisa termanifestasi secara nyata dalam kehidupan melalui pembacaan serial televisi Jepang? Hal ini merupakan pertanyaan yang akan dijawab melalui rumusan masalah kedua, yaitu: Bagaimana film televisi Jepang yang dihadapi pembaca memungkinkan adanya kebutuhan akan pengetahuan tertentu untuk dapat dibaca? Kemungkinan itu hadir melalui dua faktor.

Pertama, kepenuhan film televisi Jepang dalam mengisi waktu luang anak-anak

Indonesia, baik melalui tayangan televisi setiap sore dan setiap hari minggu, maupun melalui berbagai mainan yang mudah didapatkan di toko-toko terdekat – walaupun seringkali merupakan tiruan atau bajakan. Intensitas yang tinggi dalam mengintimkan diri terhadap produk Jepang ini menuntut pembacanya untuk masuk ke dalam dunia yang direpresentasikan dalam film.

Hal ini yang menghadirkan adanya alasan kedua, yaitu bentuk narasi film-teks

Jepang yang lebih mengutamakan pergulatan psikologis dan motivasi sang tokoh.

Bentuk ini terbukti dari lambatnya plot narasi film-teks Jepang, karena bukan aksi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

219

yang menjadi tujuan akhir dari film, namun berupa pemenuhan nilai-nilai yang dibawa sang karakter. Di sini peran pengetahuan tentang kemajuan Jepang dan individu-individunya yang sudah sering beredar di Indonesia menjadi penting. Pada pembahasan di Bab III terlihat bagaimana para pembaca membicarakan Jepang yang mereka temui dalam film-teks melalui kemajuan Jepang (teknologi, kehidupan kota, dan penghargaan terhadap sejarah) serta nilai-nilai individu Jepang (pantang menyerah, disiplin, dan pentingnya kekerabatan). Pada pembahasan posisi lima dunia di Bab IV pun pentingnya narasi mengenai pergulatan psikologis dalam menemukan nilai ijippari dan pentingnya kekerabatan di dalam film-teks pun kembali disangatkan.

Lalu pertanyaan yang muncul dari pembicaraan mengenai Jepang tersebut adalah: bagaimana para pembaca dapat menyimpulkan hal tersebut dari pertemuannya dengan film-teks? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang akan dijawab melalui rumusan masalah yang ketiga, yaitu: Bagaimana pembentukan interpretasi atas Jepang tercipta melalui peletakan pengetahuan pembaca pada teks film? Ada tiga strategi yang umum dilakukan oleh para pembaca berkaitan dengan proses peletakan topoi pada pertemuan mereka dengan film-teks Jepang. Pertama, mereka meletakkan topoi tentang Jepang yang mereka ketahui (atau berusaha ketahui) dari berbagai media lain secara intertekstual. Strategi pertama ini dilakukan oleh pembaca untuk menyimpulkan Jepang seperti apa yang sedang mereka hadapi.

Strategi kedua adalah strategi peletakan topoi tentang Jepang sesuai dengan pemahaman masyarakat Indonesia yang sudah mapan atas Jepang, yaitu sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

220

negara yang lebih maju daripada Indonesia. Strategi yang kedua ini pada akhirnya berfungsi untuk menyangatkan pemahaman mereka atas Jepang yang mereka bawa dalam pembacaan. Apabila film-teks yang mereka temui tidak mampu untuk menyangatkannya, maka film-teks tersebut akan selalu dinilai negatif oleh para pembaca. Di sini terdapat kecenderungan untuk menilai film-teks Jepang yang dinikmati dulu lebih baik dibanding yang sekarang.

Strategi ketiga adalah strategi peletakan topoi tentang Indonesia dalam film- teks Jepang. Pada pembahasan possible state of affairs, possible individual, dan possible course of events, strategi ini berulang kali digunakan oleh pembaca untuk akhirnya menamai properti Jepang yang tidak bisa mereka isi dengan aspek-aspek pengetahuan akan Jepang sehingga mereka harus menyimpulkan Jepang baru ini berdasarkan strategi kontrafaktual terhadap Indonesia. Pada strategi ini, Indonesia selalu ditempatkan dalam posisi inferior supaya nama Jepang bisa tercipta.

Melalui strategi ketiga ini, posisi Indonesia yang sebenarnya dibayangkan oleh para pembaca film televisi Jepang ini pun mulai nampak. Analisa terhadap proses pembentukan final interpretant Jepang menyisakan pembayangan akan

Indonesia tertentu pada pembaca film televisi Jepang ini. Melalui hal ini, pertanyaan terakhir yang akan dijawab adalah: Bagaimana Indonesia disiratkan atau dibayangkan melalui narasi pembaca setelah mengalami proses pembentukan interpretasi atas

Jepang?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

221

Pada proses pembentukan interpretasi atas Jepang terlihat dua cara pembayangan Indonesia yang umum dilakukan oleh narasumber. Pertama, Indonesia yang tidak berhasil dibahasakan, dan hanya bisa dibahasakan melalui peminjaman ikon Liyan dari Jepang – menjadikan Indonesia inferior atas Jepang. Posisi inferior ini berkaitan dengan bentuk pembayangan yang kedua, yaitu membayangkan

Indonesia yang memiliki hukum baru sesuai dengan Jepang. Atau dengan kata lain, membayangkan perubahan Indonesia menuju lebih baik sesuai dengan yang mereka temui dalam film. Film yang mereka temui dijadikan simbol harapan akan Indonesia baru.

Melalui jawaban dari empat pertanyaan ini, dapat disimpulkan Indonesia macam apa yang memberangkatkan adanya kemungkinan terjadinya fenomena penerimaan Jepang yang masif di Indonesia. Pertama, Indonesia sebagai konteks khas yang di dalamnya membawa pengetahuan yang masif tentang Jepang – baik melalui sejarah maupun pengetahuan kontemporer – yang membuat terciptanya pembayangan bersama atas Jepang. Atau dengan kata lain, Indonesia yang menciptakan adanya komunitas Jepang terbayang baru di Indonesia. Kedua, Indonesia sebagai negara paskakolonial terbentuk menjadi negara yang terpapar dengan pengaruh modernitas

(Barat), sehingga adanya Jepang baru ini menjadi penanda baru atas represi modernitas. Bukan Jepang yang sebenarnya dilihat, namun nilai-nilai yang disimpulkan sendiri secara khas yang menjadi inti dari proses masifnya penerimaan terhadap Jepang ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

222

Dengan kata lain, Jepang hanya berupa medium dalam penelusuran wacana penikmat produk budaya populer Jepang seperti ini. Pembentukan makna melalui pengalaman dan paparan sehari-hari merupakan negosiasi yang mandiri, terlepas dari kuasa Jepang sebagai sebuah negara. Pengalaman mengalami, merasakan, dan pengalaman visual yang dihidupi oleh para penikmat budaya populer Jepang ini mandiri karena berkaitan erat dengan konteks khas Indonesia yang memberangkatkan yang menjadi tanah pijakan mereka.

Oleh karena itu, penelusuran konteks khas Indonesia melalui penelusuran teknik pembacaan penikmat budaya populer yang masuk ke Indonesia bergerak di ranah yang cukup berbeda dengan penelusuran sejarah empiris yang terkadang menekankan perkiraan adanya teori konspirasi secara sadar. Pada penelitian ini terlihat bahwa Hukum yang berusaha disampaikan oleh Jepang (intentio auctoris) tidak dapat berbicara banyak pada proses negosiasi pembaca. Negosiasi pembaca terletak pada mediasi pengalaman keseharian mereka – dalam ranah pembentukan intentio lectoris – dengan intensi teks yang membawa strategi-strategi linguistik tertentu (intentio operis). Sehingga, pertanyaan bahwa perubahan imaji Jepang dari negatif menjadi positif – seperti yang disampaikan pada latar belakang – tidak bisa begitu saja dikatakan sebagai proyek yang secara sadar dibangun oleh Jepang sebagai

Hukum. Penekanan yang justru terlihat di sini adalah adanya kepenuhan pengetahuan akan Jepang – yang secara mandiri diamini sebagai real-world pembaca Indonesia –

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

223

sehingga memberangkat pembentukan possible-world yang berpijak pada konteks khas Indonesia.

Pendekatan melalui teori pembentukan interpretasi atau possible-world yang diajukan oleh Eco ini menjadi sangat berguna untuk menjadi jalan lain untuk masuk pada kajian-kajian yang melakukan pendekatan pada film – terutama ketika arah kajiannya menekankan pada peran pembaca. Teori ini menyediakan alur-alur sistematis dalam melihat teks-film sebagai media yang membawa kepenuhan strategi linguistik tertentu yang dapat memancing interpretasi pembaca (model reader).

Melalui teori ini, teks-film dapat dilihat sebagai arena negosiasi antara intensi penciptanya – atau lebih spesifik pada intensi teksnya, ketika melihat teks sebagai kesatuan bahasa atau kesatuan intertekstual – dengan intensi pembacanya yang membawa pengalaman khas tertentu. Namun, teori possible-world oleh Eco ini masih dirasa kurang dalam memberikan penekanan pada pengalaman ketidaksadaran yang hadir pada pembaca itu sendiri. Eco yang berangkat dari wilayah kajian teks, terutama linguistik dan sastra, perlu dikombinasikan dengan bentuk kajian yang lebih konkrit dalam memberikan penekanan pada pengalaman pembaca yang subjektif. Di sini peran teori-teori yang dikemukakan oleh Marie-laure Ryan ataupun Ien Ang yang secara intens membicarakan pengalamanan subjektif dan imersivitas pembaca menjadi penting. Keduanya menyediakan alur yang lebih runtut ketika penelitian akan membicarakan dan menekankan pada pengalaman keberhadapan pembaca pada film sebagai sebuah teks. Dengan kata lain, penelitian ini menemukan keterbatasan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

224

teori Eco ketika penekanan ada pada pembaca. Sehingga, penggabungan antara Eco dengan teori-teori yang lebih kontemporer mengenai pembacaan film kemudian dapat merumuskan kembali kerangka pikir yang bisa dipakai untuk menganalisis pengalaman yang berbasis visual. Melalui hal tersebut, kepenuhan analisis dalam kerangka negosiasi tiga intensi (intensio auctoris – intentio operis – intentio lectoris) pada teks visual menjadi berimbang.

Secara khusus, melalui kesimpulan ini, penelitian ini dapat memberikan arah baru bagi perbincangan dalam ranah komunikasi antar bangsa, terutama jika berkaitan dengan strategi persebaran bentuk-bentuk budaya populer yang sudah tidak dapat dibendung lagi di era internet saat ini. Hal ini bisa memberikan cara pandang sejarah yang baru, sehingga penelusuran tidak hanya berhenti dalam menyimpulkan negosiasi yang kecenderungannya hanya melihat dalam lapisan atas. Kecenderungan seperti ini tampak pada penelusuran paradigma Cool Japan yang seringkali dilihat sebagai strategi Jepang dalam mempromosikan negaranya. Penelitian ke arah yang baru, yang fokus pada pembacaan subjektif sesuai konteks tertentu baru banyak dimulai belum lama ini. Salah satunya dengan munculnya buku berjudul The End of Cool Japan:

Ethical, Legal, and Cultural Challenges to Japanese Popular Culture (2016) dan beberapa penelitian sejenis yang sedang banyak dikerjakan oleh peneliti Jepang di berbagai negara. Diharapkan penelitian ini mampu untuk memberikan kontribusi nyata di tengah kajian-kajian yang masih segar untuk dikerjakan seperti ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

225

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Widiarsi, et.al. 2014. Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru. Jakarta: Tempo Publishing

Allen, Matthew. dan Rumi Sakamoto. 2006. Popular Culture, Globalization, and Japan. New York: Routledge

Allison, Anne. 2006. Millenial Monster: Japanese Toys and Global Imagination. Berkeley dan Los Angeles: University of California Press

Andressen, Curtis. 2002. A Short History of Japan: From Samurai to Sony. Chiang Mai: Silkworm Books

Ang, Ien. 1985. Watching Dallas: Soap Opera and the Melodramatic Imagination. London: Methuen & Co.Ltd

____. 1996. Living Room Wars: Rethinking Media Audiences for a Postmodern World. London: Routledge

Armando, Ade. 2016. Televisi Indonesia di Bawah Kapitalisme Global. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Chambert-Loir, Henri. 2009. Sadur. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Chun, Jayson Makoto. 2007. “A Nation of a Hundred Million Idiots”?: A Social History of Japanese Television, 1953-1973. New York: Routledge

Condry, Ian. 2006. Hip-Hop Japan: Rap and the Paths of Cultural Globalization. Durnham and London: Duke University Press

Craig, Timothy J. 2000. Japan Pop! Inside the World of Japanese Popular Culture. New York: M. E. Sharpe .Inc

Eco, Umberto. 1976. A Theory of Semiotics. London: Indiana University Press

____. 1979. The Role of The Reader. Bloomington: Indiana University Press

____. 1991. Limits of Interpretation. Indianapolis: Indiana University Press

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

226

Frankel, Jeffrey A., dan Miles Kahler (ed.) Regionalism and Rivalry: Japan and the United States in Pacific Asia. Chicago: The University of Chicago Press

Gordon, Andrew. 1993. Postwar Japan as History. Berkeley: University of California Press

Henshall, Kenneth G. 2004. A History of Japan: From Stone Age to Superpower. Edisi Kedua. New York: Palgrave McMillan

Herman, David, Manfred Jahn, dan Marie-laure Ryan. 2005. Routledge Encyclopedia of Narrative Theory. New York: Routledge

Iida, Yumiko. 2002. Rethinking Identity in Modern Japan: Nationalism as Aesthetic. London: Routledge

Iriye, Akira dan Robert A. Wampler. 2001. Partnership: The United States and Japan 1951-2001. Tokyo: Kodansha International Ltd.

Ito, Mizuki, Daisuke Okabe, dan Izumi Tsuji (ed.) 2012. Fandom Unbound: Otaku Culture in a Connected World. New Haven & London: Yale University Press

Iwabuchi, Koichi. 2002. Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese Transnationalism. Durnham: Duke University Press

____. 2004. Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV Drama. Hong Kong: Hong Kong University Press

Ivy, Marylin. 1995. Discourse of the Vanishing: Modernity, Phantasm, Japan. Chicago: The University of Chicago Press

Kelts, Roland. 2006. JAPANAMERICA: How Japanese Pop Culture Has Invaded U.S. New York: Palgrave McMillan

Kingston, Jeff. 2011. Contemporary Japan: History, Politics, and Social Change since the 1980s. West Sussex: Wiley-Blackwell

Kitley, Philip. 2001. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (terj.) Jakarta: Institut Studi Arus Informasi

Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

227

Kurasawa, Aiko. 2015. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942- 1945. Jakarta: Komunitas Bambu

____. 2015. Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Levi, Antonia, dkk. 2008. Boys‟ Love Manga: Essays on the Sexual Ambiguity and Cross-Cultural Fandom of the Genre. North Carolina: McFarland & Company .Inc

Livingstone, Sonia. 2002. Young People and New Media: Childhood and The Changing Media Environment. London: Sage Publication

MacWilliams, Mark W. 2008. Japanese Visual Culture: Exploration in the World of Manga and Anime. New York: M. E. Sharpe Inc.

Morley, David, dan Kevin Robins. 1995. Spaces of Identities: Global Media, Electronic Landscapes, and Cultural Boundaries. London: Routledge

Napier, Susan J. 2005. Anime From Akira to Howl‟s Moving Castle: Experiencing Contemporary Japanese Animation. New York: Palgrave Macmillan

Robertson, Jennifer (ed.) 2005. A Companion to the Anthropology of Japan. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

Ryan, Marie-Laure. 2001. Narrative as Virtual Reality: Immersion and Interactivity in Literature and Electronic Media. Baltimore: The John Hopkins University Press

Said, Salim. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers

Standish, Isolde. 2006. A New History of Japanese Cinema: A Century of Narrative Film. New York: Continuum

Sudo, Sueo. 2002. The International Relations of Japan and South East Asia: Forging a New Regionalism. London: Routledge

Tsutsui, William M. dan Michiko Ito. 2006. In Godzilla‟s Footsteps: Japanese Pop Cultural Icons on the Global Stage. New York: Palgrave MacMillan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

228

Yasushi, Watanabe, dan David L. McConnel (ed.) 2008. Soft Power Superpowers: Cultural and National Assets of Japan and the United States. (New York: M.E.Sharpe, 2008)

SUMBER ARTIKEL

Centre for Strategic and International Studies (CSIS). 1981. Japan and Indonesia in a Changing Environment. Jakarta: CSIS

Iwabuchi, Koichi. 2015. Complicit Exoticism: Japan and Its Other. Dalam jurnal Continuum: The Australian Journal of Media & Culture. (Vol. 8, No. 2, 1994)

JETRO, “Cool” Japan‟s Economy Warms Up (Maret 2005)

McGray, Douglas. 2002. Japan‟s Gross National Cool. Dalam Foreign Policy (Mei/Juni 2002)

Moeran, Brian. 2004. Soft Sell, Hard Cash: Marketing J-Cult in Asia dari Department of Intercultural Communication and Management di Copenhagen Business School.

Perez, Luis Antonio Vidal. 2014. POP POWER: Pop Diplomacy for Global Society. Dalam laman Academia.edu.

PRISMA. 1983. Mengapa Jepang? Vol. 5, Mei 1983. Jakarta: LP3ES

SUMBER TULISAN LAIN

Cahyaningrum, Prima Nur. 2009. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Kemunculan Komunitas Pencinta Budaya Populer Jepang di Yogyakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Kartini, Eka Rahayu. 2008. Penerimaan J-Pop di Kalangan Anak Muda Jogjakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Kurniawan, Firman. 2011. Kehidupan Otaku di Yogyakarta sebagai Penggemar Produk Budaya Populer Jepang. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

229

Perdana, Galih Harilaning. 2012. Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang: Studi Kasus Tiga Komunitas Pencinta Tokusatsu Jepang di Yogyakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Ridha, Muhammad Naufal. 2013. Japan Adult Video: Studi Kasus 4 Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Penggemar JAV. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Saraswati, Nugrah Nur. 2011. Makna Aktualisasi Diri Para Cosplayer di Yogyakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Widiatmoko, Heru. 2013. Perkembangan Toko Mainan Anime dan Tokusatsu Jepang di Yogyakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Wulaningsih, Sri. 2011. Fenomena Kemunculan Band-band Lokal Bernuansa Jepang di Yogyakarta. Skripsi Jurusan Sastra dan Bahasa Jepang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

SUMBER INTERNET http://www.pref.kyoto.jp/en/01-04-02.html (diakses pada 26 Mei 2015) www.clashcosplay.com (diakses pada 26 Mei 2015) http://wwwmcc.murdoch.edu.au/readingroom/8.2/Iwabuchi.html (diakses pada 10 September 2015) http://www.univ-paris-diderot.fr/clam/seminaires/RyanEN.htm (diakses pada tanggal 31 Januari 2016) http://www.japantimes.co.jp/news/2012/05/15/reference/exporting-culture-via-cool- japan/#.V2p5hBKvhsV (diakses pada 20 Juni 2016) http://www.japantimes.co.jp/culture/2014/01/09/general/will-cool-japan-finally-heat- up-in-2014/#.V2p5khKvhsV (diakses pada 20 Juni 2016) https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%20136/volume-136-I-1832- English.pdf (diakses pada 21 Juni 2016)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

230

https://twitter.com/yuyucow/status/499230707001356289 (diakses pada 1 Maret 2017) http://www.nationmaster.com/country-info/compare/Japan/United-States/Crime (diakses pada 7 April 2017) https://knoema.com/atlas/Japan/topics/Crime-Statistics (diakses pada 7 April 2017) https://www.pinterest.com/Tjhill96/kakuranger/ (diakses pada 9 April 2017) https://dryedmangoez.com/tag/shuriken-sentai-ninninger/page/2/ (diakses pada 9 April 2017)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

231

LAMPIRAN I. PROTOKOL WAWANCARA

1. Real-World Film-Teks A. Awal Menerima Budaya Populer Jepang 1. Pertama mengenali budaya populer Jepang apakah melalui anime, tokusatsu, manga, atau dorama? Apa judulnya? Tentang apa? 2. Siapa yang mengenalkan? Usia berapa anda saat itu? Anda berdomisili dimana? 3. Setelah itu, apa saja yang anda tonton? Di mana anda menontonnya? 4. Mengenai apa film yang anda tonton tersebut? 5. Serutin apa anda menonton hal tersebut? 6. Sampai kapan anda melakukan kegiatan menonton itu?

B. Awal Masuk Pengaruh Media Massa 1. Sejak kapan anda mengenal majalah Animonstar, Anima, atau sejenisnya? 2. Sejak kapan anda aktif mencari konten film Jepang di internet? 3. Sepenting apakah peran majalah, atau internet, bagi hobi anda ini?

C. Awal Berkomunitas 1. Sejak kapan anda merasa ingin berkomunitas? 2. Komunitas apa yang pertama kali anda ikuti? Siapa yang mengajak? Mengapa tertarik? 3. Seberapa sering komunitas itu berkumpul? Apa yang dilakukan ketika berkumpul? 4. Apakah relasi anggota komunitas hanya ketika jadwal kumpulan rutin saja? Bagaimana pengaruh dengan dunia kerja, atau pendidikan yang sedang di jalani? 5. Bagaimana kalau anda tidak pernah mengenali budaya populer Jepang ini?

2. Real-World Indonesia 1. Sejak kapan anda mengetahui mengenai Jepang? 2. Dari mana anda mendapatkan pengetahuan mengenai Jepang? 3. Menurut anda, bagaimana Jepang? 4. Apa yang anda ketahui mengenai sejarah Jepang di Indonesia? 5. Bagaimana anda menyikapi sejarah Jepang di Indonesia tersebut? 6. Menurut anda, bagaimana kalau Jepang masih menjajah Indonesia? Atau, kembali menjajah Indonesia?