Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Pustaka Larasan 2017 Ida Bagus Putra Yadnya & I Wayan Ardika, Editor DINAMIKA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA DARI MASA KE MASA viii + 350 halaman, 23 x 15,5 cm ISBN 978-602-5401-15-2 © Ida Bagus Putra Yadnya & I Wayan Ardika, 2017 Desain Sampul: Epistula Communications Bali Ilustrasi Sampul: Made Widnyana Tataletak: Ema Sukarelawanto Penerbit: Pustaka Larasan Jalan Tunggul Ametung IIIA No. 11B Denpasar, Bali Email: [email protected] Bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin dari penulis. iv Kata Pengantar vii Sambutan Rektor Universitas Udayana ix 1 Pendahuluan 1 2 Keberadaan Manusia Nusantara Pertama (Homo Erectus) hingga Manusia Modern (Homo Sapiens) di Indonesia Oleh I Wayan Ardika 15 3 Rekonstruksi Budaya Austronesia Oleh Ni Luh Sutjiati Beratha & I Wayan Ardika 39 4 Relasi Historis Bahasa-Bahasa Austronesia Oleh Aron Meko Mbete 65 5 Sejarah Politik Hindu Buddha Oleh I Ketut Setiawan 81 6 Seni Pahat dan Arsitektur Hindu Buddha di Indonesia Oleh I Wayan Redig 111 7 Kakawin Sutasoma: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Sumber Pengetahuan Multikulturalisme Oleh I Nyoman Suarka 145 8 Proses Islamisasi di Indonesia Selama Abad XV-XVI Oleh Ida Ayu Wirasmini Sidemen 165 9 Budaya Indonesia Masa Kolonial Oleh I Ketut Ardhana 185 10 Kontak Budaya Nusantara dengan Budaya Eropa dan Munculnya Agama Katolik dan Protestan di Indonesia Oleh I Ketut Ardhana 203 v 11 Politik dan Peran Bahasa Indonesia di Era Sumpah Pemuda dan Kemerdekaan Oleh I Wayan Pastika 223 12 Debat Intelektual tentang Kebudayaan Menjelang Kemerdekaan Indonesia Oleh I Wayan Resen 243 13 Manusia dan Kebudayaan Indonesia Pada Era Global dan Postmodern Oleh I Nyoman Dhana 281 14 Pariwisata sebagai Representasi Globalisasi dan Budaya Posmodern Oleh Ida Bagus Gde Pujaastawa 297 15 Peran Media Massa dalam Revitalisasi Budaya Daerah di Indonesia di Era Global Oleh I Nyoman Darma Putra 317 Indeks 341 Tentang Penulis 348 vi Oleh I Nyoman Suarka 7.1 Pendahuluan angsa Indonesia adalah bangsa adibudaya. Di samping memiliki kekayaan alam yang melimpah, Indonesia juga memiliki kekayaan budaya, berupa budaya suku-suku bangsa di Indonesia. BBerbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya masing-masing dengan keanekaragaman budaya, baik dalam esensi, struktur, maupun sejarah budaya. Keanekaragaman budaya tersebut ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, keanekaragaman budaya di Indonesia merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Di sisi lain, keanekaragaman budaya potensial menimbulkan perselisihan-perselisihan etnokultural yang kerapkali berdampak pada perselisihan etnopolitik, sosial, ekonomi, bahkan etnoreligius, terutama di kalangan para elit yang saling bersaing, sebagaimana ditunjukkan para elit politik di Indonesia akhir-akhir ini. Situasi multikultural Indonesia yang berbeda dengan kemultikebudayaan negera lain seringkali kurang disadari. Ketidaksadaran itu membuat banyak orang menggunakan terminologi dan kemaknaan budaya berkontekstual dengan negara lain, dan bukan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesenjangan pengertian, pemahaman, dan penyikapan keaneragaman budaya secara tidak kritis sangat potensial menumbuhkan benih- benih disintegrasi dan intoleransi yang tentu sangat merugikan bagi 145 persatuan bangsa dan kesatuan Negara Indonesia.Sehubungan dengan itu, warga negara Indonesia perlu terus diupayakan agar memiliki kesadaran budaya yang baik untuk dapat menyikapi keanekaragaman budaya tersebut secara arif dan bijaksana. Sejatinya, budaya suku bangsa di Indonesia, yang seringkali disebut budaya daerah, merupakan sumber konsep dan sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia dalam upaya-upaya pembentukan kesatuan budaya nasional. Hal itu dapat dibuktikan melalui fakta munculnya kata-kata ataupun ungkapan-ungkapan yang bersumber pada bahasa daerah atau budaya daerah diangkat dan dijadikan falsafah bangsa, seperti motto bangsa Indonesia Bhineka Tunggal Ika yang digali dari sebuah karya sastra Jawa Kuna, yakni Kakawin Sutasoma. Demikian pula, istilah Pancasila yang kini dijadikan ideologi, falsafah, dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia berasal dari bahasa Jawa Kuna. Karena itu, meneruskan upaya-upaya penggalian, pelestarian, dan pengembangan khasanah budaya suku-suku bangsa di Indonesia bagi generasi muda bangsa merupakan langkah strategis, baik untuk pewarisan dan penguatan identitas maupun mengenal-kan budaya suku-suku bangsa antarsuku bangsa secara intensif. 7.2 Bahasa dan Sastra Jawa Kuna sebagai Kekayaan Budaya Bangsa Dua belas abad yang silam, atau pada abad ke-9, orang Jawa telah mengenal suatu bahasa sebagai media komunikasi, yakni bahasa Jawa Kuna.Hal itu dibuktikan berdasarkan prasasti Sukabumi berangka tahun 726 Saka atau 25 Maret 804 sebagai prasasti pertama menggunakan bahasa Jawa Kuna. Sampai saat ini, belum ditemukan prasasti yang lebih tua daripada prasasti Sukabumi yang menggunakan bahasa Jawa Kuna (Zoetmulder, 1985: 3). Bahasa Jawa Kuna termasuk rumpun bahasa-bahasa Nusantara dan merupakan subbagian kelompok linguistis Austronesia.Bahasa Jawa Kuna memiliki karakteristik yang cukup menonjol, yaitu, pertama, dipengaruhi bahasa Sansekerta secara intensif melalui unsur serapan kata-kata Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua, sekalipun 146 dipengaruhi dengan sangat kuat oleh bahasa Sansekerta yang memiliki rumpun dan struktur ketatabahasaan sangat berlainan dengan bahasa Jawa Kuna, namun dalam ketatabahasaan, bahasa Jawa Kuna tetap menunjukkan ciri pokok sebagai bahasa Nusantara. Ketiga, bahasa Jawa Kuna yang diwarisi bangsa Indonesia hingga saat ini merupakan bahasa kesusastraan. Menurut Teeuw (1983:78—80), bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa pengantar kebudayaan pramodern Indonesia yang terpenting. Bahasa Jawa Kuna pernah dijadikan sumber inspirasi dalam penciptaan mahakarya budaya di Jawa, seperti candi Prambanan, Panataran, Sukuh, Ceto, dan lain-lain. Di sisi lain, sastra Jawa Kuna merupakan sastra pramodern Indonesia yang unggul, yang mengandung harta karun keindahan, kearifan, kebajikan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, bahkan dunia, baik dari segi ilmiah maupun nilai seni. Sastra Jawa Kuna juga menjadi sumber dan tempat asal dari berbagai hasil sastra Nusantara, seperti dalam sastra Bali, Sunda, Jawa, Sasak, Melayu, dan sebagainya. Banyak hasil sastra Nusantara dapat ditelusuri hipogram ke dalam sastra Jawa Kuna, misalnya sastra wayang, Panji, Tantri, Calonarang, dan lain-lain. Berkat adanya prasasti berbahasa Jawa Kuna memungkinkan kita mencapai taraf pengetahuan yang luas mengenai masyarakat Indonesia pada masa lampau. Bahasa dan sastra Jawa Kuna menyediakan bahan-bahan yang sangat penting serta merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dan dipungkiri dalam upaya meneliti sosial budaya Indonesia dari masa lampau, melalui masa kini, menuju masa depan yang lebih beradab. Bahasa Jawa Kuna tampaknya memiliki kekuatan mistik primordial yang diperkuat oleh fungsi bahasa Jawa Kuna dalam segala macam ritual dan praktik religius yang dilakukan sebagian masyarakat Indonsia, khususnya Sunda, Jawa, Bali, dan Sasak. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa penggunaan bahasa dan sastra Jawa Kuna seperti itu adalah untuk mengukuhkan makna tradisional dan menjamin adanya kohesi kultural. Sebagai contoh dapat disimak melalui keberadaan, fungsi, dan makna cerita Panji, yang konon kelahirannya diduga sebagai bentuk resepsi dan sekaligus resistensi terhadap konflik 147 sosial berkepanjangan antara kerajaan Janggala dengan Panjalu di Jawa Timur. Kehadiran cerita Panji diharapkan dapat menjembatani terciptanya kesatuan dan persatuan antara kedua kerajaan tersebut. Tokoh yang mampu menyatukannya dipilih sebagai penjelmaan Dewa Wisnu dan Dewi Sri di dunia, yakni Panji Inu Kertapati dan Dewi Candrakirana. Penyatuan kedua tokoh dalam cerita Panji itu menjadi lambang penyelamatan kerajaan Janggala dan Panjalu dari ancaman kehancuran (Bambang Pujasworo dalam Nurcahyo, 2015:13). Dalam perkembangannya hingga hari ini, cerita Panji telah disadur dan didokumentasikan ke dalam berbagai media budaya Nusantara, baik dalam bentuk naskah kuna, relief, sastra lisan dan sastra tulisan, maupun seni pertunjukan dalam berbagai versi cerita. Sebagai cerita asli Indonesia ternyata cerita Panji telah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara hingga ke Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar (Poerbatjaraka, 1988: 209—240; Nurcahyo, 2015:29). Jika demikian halnya, maka cerita Panji sebagai mahakarya susastra Jawa Kuna sejatinya memiliki fungsi dan makna mengukuhkan makna tradisional dan menjamin kohesi kultural antar-pendukungnya, baik antarindividu, kelompok, masyarakat, suku bangsa, maupun antarbangsa dan negara. Bahasa dan sastra Jawa Kuna sebagai komponen budaya etnis merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem budaya etnik kedaerahan di Indonesia yang ditandai dengan proses pewarisan nilai- nilai luhur budaya bangsa. Bahasa dan sastra Jawa Kuna merupakan unsur utama bagi terbentuknya jatidiri bangsa Indonesia. Bahasa dan sastra Jawa Kuna merupakan komponen penting dalam kebudayaan Indonesia yang nilai-nilainya berakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Bahasa dan sastra Jawa Kuna mempunyai daya rekam luar biasa atas kegiatan budaya Indonesia pada masa lampau, baik berupa konsep maupun implementasinya. Bahasa dan sastra Jawa Kuna menjadi sangat dekat
Recommended publications
  • Introduction to Old Javanese Language and Literature: a Kawi Prose Anthology
    THE UNIVERSITY OF MICHIGAN CENTER FOR SOUTH AND SOUTHEAST ASIAN STUDIES THE MICHIGAN SERIES IN SOUTH AND SOUTHEAST ASIAN LANGUAGES AND LINGUISTICS Editorial Board Alton L. Becker John K. Musgrave George B. Simmons Thomas R. Trautmann, chm. Ann Arbor, Michigan INTRODUCTION TO OLD JAVANESE LANGUAGE AND LITERATURE: A KAWI PROSE ANTHOLOGY Mary S. Zurbuchen Ann Arbor Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan 1976 The Michigan Series in South and Southeast Asian Languages and Linguistics, 3 Open access edition funded by the National Endowment for the Humanities/ Andrew W. Mellon Foundation Humanities Open Book Program. Library of Congress Catalog Card Number: 76-16235 International Standard Book Number: 0-89148-053-6 Copyright 1976 by Center for South and Southeast Asian Studies The University of Michigan Printed in the United States of America ISBN 978-0-89148-053-2 (paper) ISBN 978-0-472-12818-1 (ebook) ISBN 978-0-472-90218-7 (open access) The text of this book is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License: https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/ I made my song a coat Covered with embroideries Out of old mythologies.... "A Coat" W. B. Yeats Languages are more to us than systems of thought transference. They are invisible garments that drape themselves about our spirit and give a predetermined form to all its symbolic expression. When the expression is of unusual significance, we call it literature. "Language and Literature" Edward Sapir Contents Preface IX Pronounciation Guide X Vowel Sandhi xi Illustration of Scripts xii Kawi--an Introduction Language ancf History 1 Language and Its Forms 3 Language and Systems of Meaning 6 The Texts 10 Short Readings 13 Sentences 14 Paragraphs..
    [Show full text]
  • The Era of Uncertainty and Ethical Arrangement In
    Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies - ISSN: 0126-012X (p); 2356-0912 (e) Vol. 56, no. 2 (2018), pp.461-493, doi: 10.14421/ajis.2018.562.461-493 THE ERA OF UNCERTAINTY AND ETHICAL ARRANGEMENT IN JAVANESE CLASSICAL TEXTS Disseminating Ranggawarsita’s Works as Source of Islamic Ethics in Islamic Higher Education Zumrotul Mukaffa Sunan Ampel State Islamic University (UIN) Surabaya Email: [email protected] Abstract: This paper investigates the era of uncertainty and ethical arrangement as formulated in the Javanese classical text written by Ranggawarsita (1802-1873 M). Most of his works, especially Serat Kalatidha, Serat Sabdapranawa, and Serat Sabdatama, was situated during the era of uncertainty and the era of zaman edan (age of insanity), kalabendu (age of anger), owah or pakewuh (age of strangeness). The social structure in this era was seen the apparent rise of unethical behavior. Elite communities were seen to be lacking in self-respenct, meanwhile the general population were regarded as ignoring basic public morality. New ethical notion emerged to set society free from ‘uncertainty’ through the implementation of four ethical doctrines in social life, namely monotheism, purba wasesa ing astane Gusti (submission to God’s predestination), muhung mahas ing asepi (self-contemplation), and eling lan waspada (self-awareness and mindfulness). The current situation of the Indonesian nation is very similar to the age of kalabendu. Thus it is necessary to disseminate and transform of ethical doctrines in the Islamic Higher Education through Islamic Ethic, in the form of textbooks. [Artikel ini membahas zaman ketidakpastian dan respon etisnya di dalam naskah Jawa klasik karya pujangga Ranggawarsita.
    [Show full text]
  • Pluralisme Agama Dalam Kakawin Sutasoma
    48 PLURALISME AGAMA DALAM KAKAWIN SUTASOMA Hasan Irsyad; M. Ridlwan; Pheni Cahya Kartika Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surabaya [email protected] ABSTRAK Penelitian ini berfokus pada pluralisme agama dalam Kakawin Sutasoma serta Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks asli Kakawin Sutasoma. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan konsep pluralisme agama yang diajarkan Kakawin Sutasoma dan Bhinneka Tunggal Ika sesuai dengan konteks asli Kakawin Sutasoma. Untuk menemukan pluralisme agama dalam Kakawin Sutasoma, digunakan tiga prinsip pluralisme agama Coward. Penelitian ini berbentuk penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, sedangkan analisis data dilakukan secara diskriptif. Dokumen yang digunakan adalah Kakawin Sutasoma terjemahan Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo yang diterbitkan Komunitas Bambu pada 2009. Penelitian berhasil mengidentifikasi adanya pluralisme agama Siwa- Buddha dalam Kakawin Sutasoma yang bercirikan toleransi dan saling menghormati antaragama, Tuhan dianggap sebagai hakikat tunggal yang berwujud jamak, agama- agama dianggap setara dan semuanya baik sebagai jalan menuju kebenaran, serta pengabsahan Buddha sebagai perwujudan Siwa lebih ditekankan daripada sebaliknya. Penelitian juga mendapati bahwa Bhinneka Tunggal Ika dalam Kakawin Sutasoma adalah ungkapan yang mengajarkan pluralisme agama. Bhinneka Tunggal Ika dalam Kakawin Sutasoma berbeda dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Sebagai semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika cakupannya diperluas dan tidak mengajarkan pluralisme agama. Kata Kunci: bhinneka tunggal ika, kakawin sutasoma, pluralisme agama PENDAHULUAN Dewasa ini agama-agama di dunia mendapat tantangan dari paham-paham beragama baru yang berkembang seperti sekularisme agama dan pluralisme agama. Di Indonesia, paham-paham tersebut mendapat perhatian serius dari tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi keagamaan, salah satunya Majelis Ulama Indonesia (MUI).
    [Show full text]
  • Sunan Kali Jaga
    Sunan Kali Jaga Sunan Kali Jaga is one of the Wali Sanga,1 and remains an important figure for ​ ​ Muslims in Java because of his work in spreading Islam and integrating its teachings into the Javanese tradition. Throughout his time proselytizing, he used art forms that, at the time, were both amenable to and treasured by the people of Java. Sunan Kali Jaga is thought to have been born in 1455, with the name Raden Syahid (Raden Sahid) or Raden Abdurrahman. He was the son of Aria Wilatikta, an official in Tuban,2 East Java, who was descended from Ranggalawe, an official of the Majapahit Kingdom during the time of Queen Tri Buwana Tungga Dewi and King Hayam Wuruk. Sunan Kali Jaga’s childhood coincided with the collapse of the Majapahit Kingdom recorded in the sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bhumi,”3 referring to the year 1400 Caka4 ​ ​ ​ ​ ​ (1478). Seeing the desperate situation of the people of Majapahit, Raden Syahid decided to become a bandit who would rob the kingdom’s stores of crops and the rich people of Majapahit, and give his plunder to the poor. He became well known as Brandal5 Lokajaya. One day when Raden Syahid was in the forest, he accosted an old man with a cane, which he stole, thinking it was made from gold. He said that he would sell the cane and give the money to the poor. The old man was Sunan Bonang,6 and he did not approve of Raden Syahid’s actions. Sunan Bonang advised Raden Syahid that God would not accept such bad deeds; even though his intentions were good, his actions were wrong.
    [Show full text]
  • 421 Reference
    420 Wacana, Vol. 12 No. 2 (October 2010) BOOK REVIEWS 421 in Indonesian might have been used. Then on page 163, there is mention of “toko P&D”, which is from the Dutch Provisiën en Dranken, meaning a "store selling daily necessities and drinks". Today it is the equivalent to a small supermarket. Then there are a few more little things that still need to be looked into. On page 191, for gadis Eurasia it is more common in Indonesian to use gadis Indo; pasangan penari, should be pasangan pedansa To conclude, this is a highly interesting book, telling in their own words the experiences of a variety of women who have one thing in common: they are, or are considered by others, ethnic Chinese in varying degrees, or as in Jane’s case, closely associated with an ethnic Chinese. Basically, the book explores the problem of identity and Chineseness, a topic that has become very important in view of the spread (some people see it as the threat) of globalism. Studies on this topic abound and many more will probably be written. Dewi Anggraeni’s book is a valuable contribution in this search for identity and I suggest a very readable one. Reference Tan, Mely G. 2007. “Ethnic Chinese women professionals in Indonesia; Tendency towards globalization?”, in: Leo Suryadinata (ed.), Chinese diaspora since Admiral Zheng He; With special reference to maritime Asia, pp. 279-295. Singapore: Chinese Heritage Centre. -------------------------------- Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma. Translated by Dwi Woro Retno Mastuti and Hastho Bramantyo. Depok: Komunitas Bambu, 2009, xxiv + 544 pp.
    [Show full text]
  • 46 Mohammad Imam Farisi Bhinneka Tunggal Ika [Unity in Diversity]
    Journal of Social Science Education ©JSSE 2014 DOI 10.2390/jsse.v14.i1.1261 Volume 13, Number 1, Spring 2014 ISSN 1618–5293 Mohammad Imam Farisi Bhinneka Tunggal Ika [Unity in Diversity]: From Dynastic Policy to Classroom Practice The purpose of this article is to discuss the concept of Bhinneka Tunggal Ika, in its narrowest sense, a policy on religious tolerance, as it is operationalized in social studies textbooks and in classroom practice in Indonesia. The focus of the research is on six electronic textbooks used by students aged 7‐12 years, in Indonesian elementary schools which are further considered in the context of Indonesian teachers’ actual experience of the operationalization of Bhinneka Tunggal Ika in a classroom setting. The study shows that the textbooks and classroom practice are able to describe and transform a concept such as Bhinneka Tunggal Ika into a real and meaningful concept or practice for students as practiced in the family, the school, the wider community and at a national level as well as in religious ceremonies, architecture, and gotong‐royong (or reciprocal) activities. However, the state also has a political goal and this concept should also be viewed as underlying cultural policy designed to build a character and civilization appropriate to a pluralistic Indonesian nation. Keywords: Bhinneka tunggal ika, dynastic policy, textbook, social Bhinneka Tunggal Ika is a concept dating back to the studies, elementary school third century which was central to the religious politics of 1 the ruling dynasty . It was later adopted by the Indonesian government as a motto of national unity.
    [Show full text]
  • Bhinneka Tunggal Ika in Kakawinsutasoma in Multicultural Societyof Denpasar City
    International Journal of Research in Social Sciences Vol. 8 Issue 3, March 2018, ISSN: 2249-2496 Impact Factor: 7.081 Journal Homepage: http://www.ijmra.us, Email: [email protected] Double-Blind Peer Reviewed Refereed Open Access International Journal - Included in the International Serial Directories Indexed & Listed at: Ulrich's Periodicals Directory ©, U.S.A., Open J-Gage as well as in Cabell’s Directories of Publishing Opportunities, U.S.A BHINNEKA TUNGGAL IKA IN KAKAWINSUTASOMA IN MULTICULTURAL SOCIETYOF DENPASAR CITY Ni Putu Winanti* Ni Gusti Ayu Kartika** Abstract: The pluralism of Denpasar City residents to this day still exist. The philosophy of Bhinneka Tunggal Ika is considered giving a strong contribution to it. This study will try to illustrate the roots of Bhinneka Tunggal Ika philosophy in Sutasoma’s Old Poetry (kakawin) by Mpu Tantular, the implementation of Bhinneka Tunggal Ika philosophy, and the perception of the multicultral community in Denpasar towards the Bhinneka Tunggal Ika. Through descriptive qualitative descriptions, this study tries to see the text of Sutasoma in general along with the implementation of Bhinneka Tunggal Ika philosophy in multicultural society in Denpasar City, which can be seen in the synergy of religious life behavior, the blend of art and culture, and the combination of beliefs seen in various development worship places. This study concludes that the philosophy of Bhineka Tunggal Ika is still relevant as a life guidance for the plural citizens in Denpasar. The basis of Bhineka Tunggal Ika made the community able to develop an attitude of helping each other, tolerance, mutual cooperation(gotong royong), mutual respect, and glorify each other.
    [Show full text]
  • Chapter IV Temples in Context of Religion and Politics |
    Chapter IV Temples in context of religion and politics architecture of the majapahit period The Javanese temples in general symbolically represent the mythical Mount Meru, the seat of the gods.1 The ways that this concept was incorporated into an architectural shape differed in Central and East Javanese art. While Central Javanese architecture has a concentric lay- out, East Javanese architecture displays a terraced and linear layout.2 The best example for Central Java is the Borobudur. This temple has been interpreted as a mandala, which is a concentric geometric structure.3 For the East Javanese period it is the Majapahit period which yielded the architectural characteristics in a most conspicuous way. The terraced structure is most obvious in the small-scale mountain sanctuaries, the layout of which follows the linear ascent of the mountain slope, such as Candi Kendalisodo and Candi Yudha on Mount Penanggungan. Most of these sanctuaries consist of a pemujaan, a place for worship, which is built in several terraces. In front or next to this structure there are often one or more small altars. Temple complexes such as Candi Panataran 1 Major publications in the field of ancient Javanese architecture are Krom 1923; Stutterheim 1931; Bernet Kempers 1959; Dumarçay 1986a, 1986b, 1993; Soekmono 1995. The issue of Mount Meru has been discussed by several authors, for example by Stutterheim (1931:13) and Bernet Kempers (1959:20-1). 2 Beyond the marked difference in layout it seems to me that there is also a difference in the size of East and Central Javanese temples, respectively. My impression is that most East Javanese temples are of a rather small scale compared to those in Central Java.
    [Show full text]
  • Balinese War Gamelan (From the 10Th to the 21St Century) PROGRA
    J.06 GAMELAN PERANG DI BALI (ABAD KE-10 SAMPAI AWAL ABAD KE-21) Balinese War Gamelan (from the 10th to the 21st Century) Oleh: Hendra Santosa NPM. 180130140006 DISERTASI untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Sejarah pada Universitas Padjadjaran Dengan Wibawa Rektor Universitas Padjadjaran Sesuai dengan keputusan Senat Komisi I/Guru Besar Universitas Dipertahankan tanggal 12 Desember 2017 Di Universitas Padjadjaran PROGRAM STUDI ILMU-ILMU SASTRA PROGRAM PASCASARJANA (S3) FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2017 ABSTRAK Judul Disertasi : GAMELAN PERANG DI BALI (ABAD KE-10 SAMPAI AWAL ABAD KE-21) Subjek : 1. Sejarah 2. Bali 3. Gamelan 4. Perang Abstrak Disertasi ini berisi kajian tentang gamelan perang di Bali, abad ke-10 sampai awal abad ke-21. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: pertama bagaimana asal-usul gamelan perang di Bali, kedua mengapa terjadi perubahan nama dari mredangga, bedug, dan kemudian menjadi tambur, ketiga apakah instrumentasi gamelan Mrĕdangga sama dengan instrumentasi gamelan Bheri, dan keempat bagaimana proses perjalanan gamelan Banjuran menjadi Adi Merdangga. Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yang dilakukan dengan empat tahapan kerja yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Untuk menganalisa perubahan-perubahan yang terjadi, antara lain menggunakan teori perubahan perubahan yang dicetuskan oleh Claire Holt dimana perubahan dipicu oleh faktor eksternal. Selanjutnya perubahan dari John E. Keamer yang menyebutkan bahwa inovasi bisa berasal dari salah seorang anggota kelompok masyarakat yang bersangkutan (atau senimannya), maka dengan demikian konsep perubahan taksu dan jengah pada masyarakat Bali diterapkan dalam membedah perubahan yang terjadi pada gamelan perang. Untuk melihat perkembangan dan penyebarannya dipergunakan teori dari Bourdieu tentang habitus dimana kebiasaan merupakan pusat tindakan.
    [Show full text]
  • Downloaded From
    H. Creese Old Javanese studies; A review of the field In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no: 1, Leiden, 3-33 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/27/2021 04:40:52AM via free access HELEN CREESE Old Javanese Studies A Review of the Field For nearly two hundred years the academic study of the languages and liter- atures of ancient Java has attracted the attention of scholars. Interest in Old Javanese had its genesis in the Orientalist traditions of early nineteenth-cen- tury European scholarship. Until the end of the colonial period, the study of Old Javanese was dominated by Dutch scholars whose main interest was philology. Not surprisingly, the number of researchers working in this field has never been large, but as the field has expanded from its original philo- logical focus to encompass research in a variety of disciplines, it has remain1 ed a small but viable research area in the wider field of Indonesian studies. As a number of recent review articles have shown (Andaya and Andaya 1995; Aung-Thwin 1995; McVey 1995; Reynolds 1995), in the field of South- east Asian studies as a whole, issues of modern state formation and devel- opment have dominated the interest of scholars and commentators. Within this academic framework, interest in the Indonesian archipelago in the period since independence has also focused largely on issues relating to the modern Indonesian state; This focus on national concerns has not lent itself well to a .rich ongoing scholarship on regional cultures, whether ancient or modern.
    [Show full text]
  • Kakawin Sutasoma
    Universitas Indonesia Library >> Naskah Kakawin Sutasoma Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/bo/uibo/detail.jsp?id=20187061&lokasi=lokal ------------------------------------------------------------------------------------------ Abstrak Lontar ini berisi teks Kakawin Sutasoma, yaitu kisah upaya Sang Sutasoma sebagai titisan Sang Hyang Buddha untuk menegakkan dharma. Sutasoma, putra Prabu Mahaketu dari kerajaan Astina, lebih menyukai memperdalam ajaran Buddha Mahayana daripada harus menggantikan ayahandanya menjadi raja. Sutasoma pergi ke hutan untuk melakukan semadi di sebuah candi dan mendapat anugerah. Kemudian beliau pergi ke gunung Himalaya bersama beberapa pendeta. Di sebuah pertapaan, beliau mendengar cerita tentang raja raksasa bernama Prabu Purusada yang gemar makan daging manusia. Para pendeta dan Batari Pretiwi membujuk Sutasoma agar membunuh Prabu Purusada. Sutasoma menolak bujukan tersebut karena ingin melanjutkan perjalanan. Beliau bertemu dengan raksasa berkepala gajah pemakan manusia dan ular naga. Keduanya takluk dan bersedia menjadi muridnya untuk mempelajari agama Budha. Sutasoma juga bertemu dengan harimau betina yang akan memakan anaknya sendiri. Dalam perkelahian ini Sutasoma mati tetapi dihidupkan kembali oleh Batara Indra. Tersebutlah sepupu Sutasoma bernama Prabu Dasabahu, berperang dengan anak buah Prabu Kalmasapada (Purusada). Anak buah Prabu Kalmasapada kalah dan minta perlindungan Sutasoma. Prabu Dasabahu yang terus mengejar, akhirnya tahu bahwa Sutasoma itu sepupunya, lalu diajak ke negerinya dan dijadikan
    [Show full text]
  • BUDDHIST APPROACH to RESPONSIBLE CONSUMPTION and SUSTAINABLE DEVELOPMENT ADVISORY BOARD His Holiness Thich Tri Quang Deputy Sangharaja of Vietnam Most Ven
    BUDDHIST APPROACH TO RESPONSIBLE CONSUMPTION AND SUSTAINABLE DEVELOPMENT ADVISORY BOARD His Holiness Thich Tri Quang Deputy Sangharaja of Vietnam Most Ven. Dr. Thich Thien Nhon President of National Vietnam Buddihst Sangha Most Ven.Prof. Brahmapundit President of International Council for Day of Vesak CONFERENCE COMMITTEE Prof. Dr. Le Manh That, Vietnam Most Ven. Dr. Dharmaratana, France Most Ven. Prof. Dr. Phra Rajapariyatkavi, Thailand Bhante. Chao Chu, U.S.A. Prof. Dr. Amajiva Lochan, India Most Ven. Dr. Thich Nhat Tu (Conference Coordinator), Vietnam EDITORIAL BOARD Dr. Do Kim Them, Germany Dr. Tran Tien Khanh, USA Nguyen Manh Dat, U.S.A. Bruce Robert Newton, Australia Dr. Le Thanh Binh, Vietnam Giac Thanh Ha, Vietnam Nguyen Thi Linh Da, Vietnam Tan Bao Ngoc, Vietnam VIETNAM BUDDHIST UNIVERITY SERIES BUDDHIST APPROACH TO RESPONSIBLE CONSUMPTION AND SUSTAINABLE DEVELOPMENT Editors: Most Ven. Thich Nhat Tu, D.Phil., Most Ven. Thich Duc Thien, Ph.D., HONG DUC PUBLISHING HOUSE CONTENTS Foreword ..................................................................................................ix Preface ......................................................................................................xi Editors’ Introduction ............................................................................. xv I. CONSUMPTION AND ENVIRONMENT 1. A Buddhist Perspective on Overconsumption and its Negative Effects towards Society and Environment Rev. Beragama Piyarathana Thero ..........................................................3 2. Attaining
    [Show full text]