Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Pustaka Larasan 2017 Ida Bagus Putra Yadnya & I Wayan Ardika, Editor DINAMIKA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DARI MASA KE MASA viii + 350 halaman, 23 x 15,5 cm ISBN 978-602-5401-15-2

© Ida Bagus Putra Yadnya & I Wayan Ardika, 2017

Desain Sampul: Epistula Communications

Ilustrasi Sampul: Made Widnyana

Tataletak: Ema Sukarelawanto

Penerbit: Pustaka Larasan Jalan Tunggul Ametung IIIA No. 11B Denpasar, Bali Email: [email protected]

Bekerja sama dengan

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin dari penulis.

iv Kata Pengantar vii Sambutan Rektor Universitas Udayana ix

1 Pendahuluan 1

2 Keberadaan Manusia Nusantara Pertama (Homo Erectus) hingga Manusia Modern (Homo Sapiens) di Indonesia Oleh I Wayan Ardika 15

3 Rekonstruksi Budaya Austronesia Oleh Ni Luh Sutjiati Beratha & I Wayan Ardika 39

4 Relasi Historis Bahasa-Bahasa Austronesia Oleh Aron Meko Mbete 65

5 Sejarah Politik Hindu Buddha Oleh I Ketut Setiawan 81

6 Seni Pahat dan Arsitektur Hindu Buddha di Indonesia Oleh I Wayan Redig 111

7 Sutasoma: Pancasila, , dan Sumber Pengetahuan Multikulturalisme Oleh I Nyoman Suarka 145

8 Proses Islamisasi di Indonesia Selama Abad XV-XVI Oleh Ida Ayu Wirasmini Sidemen 165

9 Budaya Indonesia Masa Kolonial Oleh I Ketut Ardhana 185

10 Kontak Budaya Nusantara dengan Budaya Eropa dan Munculnya Agama Katolik dan Protestan di Indonesia Oleh I Ketut Ardhana 203

v 11 Politik dan Peran Bahasa Indonesia di Era Sumpah Pemuda dan Kemerdekaan Oleh I Wayan Pastika 223

12 Debat Intelektual tentang Kebudayaan Menjelang Kemerdekaan Indonesia Oleh I Wayan Resen 243

13 Manusia dan Kebudayaan Indonesia Pada Era Global dan Postmodern Oleh I Nyoman Dhana 281

14 Pariwisata sebagai Representasi Globalisasi dan Budaya Posmodern Oleh Ida Bagus Gde Pujaastawa 297

15 Peran Media Massa dalam Revitalisasi Budaya Daerah di Indonesia di Era Global Oleh I Nyoman Darma Putra 317

Indeks 341 Tentang Penulis 348

vi Oleh I Nyoman Suarka

7.1 Pendahuluan angsa Indonesia adalah bangsa adibudaya. Di samping memiliki kekayaan alam yang melimpah, Indonesia juga memiliki kekayaan budaya, berupa budaya suku-suku bangsa di Indonesia. BBerbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya masing-masing dengan keanekaragaman budaya, baik dalam esensi, struktur, maupun sejarah budaya. Keanekaragaman budaya tersebut ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, keanekaragaman budaya di Indonesia merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Di sisi lain, keanekaragaman budaya potensial menimbulkan perselisihan-perselisihan etnokultural yang kerapkali berdampak pada perselisihan etnopolitik, sosial, ekonomi, bahkan etnoreligius, terutama di kalangan para elit yang saling bersaing, sebagaimana ditunjukkan para elit politik di Indonesia akhir-akhir ini. Situasi multikultural Indonesia yang berbeda dengan kemultikebudayaan negera lain seringkali kurang disadari. Ketidaksadaran itu membuat banyak orang menggunakan terminologi dan kemaknaan budaya berkontekstual dengan negara lain, dan bukan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesenjangan pengertian, pemahaman, dan penyikapan keaneragaman budaya secara tidak kritis sangat potensial menumbuhkan benih- benih disintegrasi dan intoleransi yang tentu sangat merugikan bagi

145 persatuan bangsa dan kesatuan Negara Indonesia.Sehubungan dengan itu, warga negara Indonesia perlu terus diupayakan agar memiliki kesadaran budaya yang baik untuk dapat menyikapi keanekaragaman budaya tersebut secara arif dan bijaksana. Sejatinya, budaya suku bangsa di Indonesia, yang seringkali disebut budaya daerah, merupakan sumber konsep dan sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia dalam upaya-upaya pembentukan kesatuan budaya nasional. Hal itu dapat dibuktikan melalui fakta munculnya kata-kata ataupun ungkapan-ungkapan yang bersumber pada bahasa daerah atau budaya daerah diangkat dan dijadikan falsafah bangsa, seperti motto bangsa Indonesia Bhineka Tunggal Ika yang digali dari sebuah karya sastra Jawa Kuna, yakni . Demikian pula, istilah Pancasila yang kini dijadikan ideologi, falsafah, dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia berasal dari bahasa Jawa Kuna. Karena itu, meneruskan upaya-upaya penggalian, pelestarian, dan pengembangan khasanah budaya suku-suku bangsa di Indonesia bagi generasi muda bangsa merupakan langkah strategis, baik untuk pewarisan dan penguatan identitas maupun mengenal-kan budaya suku-suku bangsa antarsuku bangsa secara intensif.

7.2 Bahasa dan Sastra Jawa Kuna sebagai Kekayaan Budaya Bangsa

Dua belas abad yang silam, atau pada abad ke-9, orang Jawa telah mengenal suatu bahasa sebagai media komunikasi, yakni bahasa Jawa Kuna.Hal itu dibuktikan berdasarkan prasasti Sukabumi berangka tahun 726 Saka atau 25 Maret 804 sebagai prasasti pertama menggunakan bahasa Jawa Kuna. Sampai saat ini, belum ditemukan prasasti yang lebih tua daripada prasasti Sukabumi yang menggunakan bahasa Jawa Kuna (Zoetmulder, 1985: 3). Bahasa Jawa Kuna termasuk rumpun bahasa-bahasa Nusantara dan merupakan subbagian kelompok linguistis Austronesia.Bahasa Jawa Kuna memiliki karakteristik yang cukup menonjol, yaitu, pertama, dipengaruhi bahasa Sansekerta secara intensif melalui unsur serapan kata-kata Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua, sekalipun

146 dipengaruhi dengan sangat kuat oleh bahasa Sansekerta yang memiliki rumpun dan struktur ketatabahasaan sangat berlainan dengan bahasa Jawa Kuna, namun dalam ketatabahasaan, bahasa Jawa Kuna tetap menunjukkan ciri pokok sebagai bahasa Nusantara. Ketiga, bahasa Jawa Kuna yang diwarisi bangsa Indonesia hingga saat ini merupakan bahasa kesusastraan. Menurut Teeuw (1983:78—80), bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa pengantar kebudayaan pramodern Indonesia yang terpenting. Bahasa Jawa Kuna pernah dijadikan sumber inspirasi dalam penciptaan mahakarya budaya di Jawa, seperti candi Prambanan, Panataran, Sukuh, Ceto, dan lain-lain. Di sisi lain, sastra Jawa Kuna merupakan sastra pramodern Indonesia yang unggul, yang mengandung harta karun keindahan, kearifan, kebajikan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, bahkan dunia, baik dari segi ilmiah maupun nilai seni. Sastra Jawa Kuna juga menjadi sumber dan tempat asal dari berbagai hasil sastra Nusantara, seperti dalam sastra Bali, Sunda, Jawa, Sasak, Melayu, dan sebagainya. Banyak hasil sastra Nusantara dapat ditelusuri hipogram ke dalam sastra Jawa Kuna, misalnya sastra , Panji, Tantri, Calonarang, dan lain-lain. Berkat adanya prasasti berbahasa Jawa Kuna memungkinkan kita mencapai taraf pengetahuan yang luas mengenai masyarakat Indonesia pada masa lampau. Bahasa dan sastra Jawa Kuna menyediakan bahan-bahan yang sangat penting serta merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dan dipungkiri dalam upaya meneliti sosial budaya Indonesia dari masa lampau, melalui masa kini, menuju masa depan yang lebih beradab. Bahasa Jawa Kuna tampaknya memiliki kekuatan mistik primordial yang diperkuat oleh fungsi bahasa Jawa Kuna dalam segala macam ritual dan praktik religius yang dilakukan sebagian masyarakat Indonsia, khususnya Sunda, Jawa, Bali, dan Sasak. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa penggunaan bahasa dan sastra Jawa Kuna seperti itu adalah untuk mengukuhkan makna tradisional dan menjamin adanya kohesi kultural. Sebagai contoh dapat disimak melalui keberadaan, fungsi, dan makna cerita Panji, yang konon kelahirannya diduga sebagai bentuk resepsi dan sekaligus resistensi terhadap konflik

147 sosial berkepanjangan antara kerajaan Janggala dengan Panjalu di Jawa Timur. Kehadiran cerita Panji diharapkan dapat menjembatani terciptanya kesatuan dan persatuan antara kedua kerajaan tersebut. Tokoh yang mampu menyatukannya dipilih sebagai penjelmaan Dewa Wisnu dan Dewi Sri di dunia, yakni Panji Inu Kertapati dan Dewi Candrakirana. Penyatuan kedua tokoh dalam cerita Panji itu menjadi lambang penyelamatan kerajaan Janggala dan Panjalu dari ancaman kehancuran (Bambang Pujasworo dalam Nurcahyo, 2015:13). Dalam perkembangannya hingga hari ini, cerita Panji telah disadur dan didokumentasikan ke dalam berbagai media budaya Nusantara, baik dalam bentuk naskah kuna, relief, sastra lisan dan sastra tulisan, maupun seni pertunjukan dalam berbagai versi cerita. Sebagai cerita asli Indonesia ternyata cerita Panji telah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara hingga ke Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar (Poerbatjaraka, 1988: 209—240; Nurcahyo, 2015:29). Jika demikian halnya, maka cerita Panji sebagai mahakarya susastra Jawa Kuna sejatinya memiliki fungsi dan makna mengukuhkan makna tradisional dan menjamin kohesi kultural antar-pendukungnya, baik antarindividu, kelompok, masyarakat, suku bangsa, maupun antarbangsa dan negara. Bahasa dan sastra Jawa Kuna sebagai komponen budaya etnis merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem budaya etnik kedaerahan di Indonesia yang ditandai dengan proses pewarisan nilai- nilai luhur budaya bangsa. Bahasa dan sastra Jawa Kuna merupakan unsur utama bagi terbentuknya jatidiri bangsa Indonesia. Bahasa dan sastra Jawa Kuna merupakan komponen penting dalam kebudayaan Indonesia yang nilai-nilainya berakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Bahasa dan sastra Jawa Kuna mempunyai daya rekam luar biasa atas kegiatan budaya Indonesia pada masa lampau, baik berupa konsep maupun implementasinya. Bahasa dan sastra Jawa Kuna menjadi sangat dekat dan lekat dengan kehidupan sehari-hari, kehidupan artistik, maupun kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Proses pewarisan nilai luhur budaya bangsa, moralitas, daya cipta, dan kesadaran sejarah masyarakat Indonesia salah satunya bersumber

148 pada bahasa dan sastra Jawa Kuna. Hal ini dapat dibuktikan melalui terpilihnya istilah pancasila dan bhineka tunggal ika yang termuat dalam Kakawin Sutasoma telah diangkat serta dijadikan dasar negara dan motto bangsa Indonesia. Dalam hubungannya dengan perkembangan bahasa Indonesia, bahasa Jawa Kuna berkontribusi sebagai salah satu sumber pemerkaya kosakata bahasa Indonesia. Banyak kosakata bahasa Indonesia merupakan unsur serapan bahasa Jawa Kuna, antara lain kata abu, acara, ajar, anugerah, asam, baca, bekal, binasa, bosan, bubar, cabai, cedera, cita, cumbu, dada, denda, dirga, dosa, duduk, eka, empat, enam, gampang, gempur, gila, goda, guna, hadang, hina, hisap, hunus, ibu, ilir,indah, ingin, intai, jaga, jejal, jiwa, juru, kabar, kedap, kikir, kuncup,kumpul, laba, lebur, lidah, lompat, lucu, macan, mega, mekar, minggat, musuh, nama, negara, neraka, nila, nista, olah, ombak, onta, otot, pangan, pedas, pikul, pola, puja, racik, remuk, repot, reka, rungu, rupa, rusuh, sahaja, sedap, sela, sisa, sunyi, suram, tagih, teduh, timbang, tonton, tulus, ucap, ulur, usap, usik, util, utus, wacana, wenang, wibawa, wicara, wisuda, yoga, yogi, yojana, yuda. Sejatinya, kontribusi tersebut bukan sebatas pada serapan kosakata bahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Indonesia, melainkan juga serapan ungkapan dan tatakrama yang menjadikan bahasa Indonesia semakin kaya dan berkembang dengan tetap berakar pada nilai-nilai luhur budaya bangsa. Bahasa dan sastra Jawa Kuna merupakan salah satu aset budaya bangsa. Nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tersimpan dalam bahasa dan sastra Jawa Kuna merupakan potensi penting dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Penggunaan kata-kata ataupun ungkapan-ungkapan bahasa Jawa Kuna merupakan sebuah model pendekatan kepada masyarakat dalam mensosialisasikan pembangunan dengan tujuan memotivasi masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam mengisi pembangunan bangsa. Sebagai contoh dapat dilihat pada ungkapan-ungkapan bahasa Jawa Kuna yang sempat diperkenalkan Pemerintah Orde Baru, seperti “ing arsa mangun tulada, ing madhya mangun karsa, tut wuri andayani, paras-paros sarpanaya, salunglung

149 sabayantaka”, dan lain-lain.

7.3 Kakawin Sutasoma Sebagai Sebuah Karya Sastra Jawa Kuna

Dalam khazanah kesusastraan Jawa Kuna dikenal genre sastra, terdiri atas sastra parwa, sastra tutur/tattwa, dan sastra kakawin. Istilah parwa dalam kesusastraan Jawa Kuna berbeda dengan istilah parwa sebagai bagian India. Istilah parwa dalam kesusastraan Jawa Kuna merujuk kepada genre sastra Jawa Kuna dengan bentuk bahasa tidak terikat oleh aturan ataupun kaidah prosodi. Istilah sastra parwa Jawa Kuna lebih mendekati genre prosa dalam sastra modern. Istilah sastra parwa dalam kesusastraan Jawa Kuna bukan hanya meliputi bagian-bagian parwa Mahabharata India, melainkan juga karya sastra parwa yang tidak termasuk bagian Mahabharata ataupun kanda . Istilah parwa dalam kesusastraan Jawa Kuna dapat dikatakan memiliki makna lebih luas daripada istilah parwa dalam Mahabharata. Karena itu, karya sastra Jawa Kuna yang dapat dimasukkan ke dalam sastra parwa, antara lain Adiparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa, Kapiparwa, Agastyaparwa, Cantakaparwa, dan Utarakanda. Sastra tutur/tattwa merupakan genre sastra Jawa Kuna yang memuat ajaran dan praktik keagamaan. Sastra tutur/tattwa memiliki ciri khas dalam bahasa, yakni menggunakan kutipan bait-bait sloka Sansekerta yang kemudian diparafrasekan dalam bahasa Jawa Kuna. Umumnya, sastra tutur/tattwatidak menggunakan tokoh-tokoh cerita. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Tutur Bhuwanakosa, Tutur Jñanasidhanta, Tutur Kalepasan, Tutur Sundarigama, Slokantara, Sarasamucchaya, Kalpasastra, dan sejenisnya. Ada pula sastra tutur/ tattwa menggunakan tokoh cerita, baik dalam bentuk kisah maupun dialog. Sastra tutur/tattwa jenis ini meliputi Tutur Brahmandapurana, Tutur Bhuwanamabah, Tutur Medangkamulan, Tutur Bumi Kamulan, Korawasrama, Siwagama, Siwatatwa, Wrehaspatitatwa, Dewatatwa, Kalatatwa, dan sejenisnya.

150 Sastra kakawin merupakan genre sastra Jawa Kuna dengan bentuk bahasa terikat oleh aturan atau kaidah matra (metrum). Aturan pokok metrum sastra kakawin meliputi guru-laghu, wretta, matra, serta jumlah baris dalam satu bait. Guruadalah suku kata panjang. Laghu adalah suku kata pendek, ringan. Wretta adalah jumlah suku kata dalam satu baris. Matra adalah pola komposisi guru dan laghu dalam satu baris. Sementara itu, komposisi naratif sastra kakawin terpolakan ke dalam tiga bagian, yaitu manggala, korpus, dan epilog. Bagian manggala merupakan bagian pembukaan. Umumnya, manggala memuat unsur-unsur naratif berupa (a) pemujaan yang dilakukan pengarang kepada dewa pujaan (istadewata); (b) penghormatan pengarang kepada raja pelindung; (c) penanggalan penggubahan kakawin; (d) nama pengarang; (e) alasan dan proses kepengarang; (f) tema; (g) pernyataan rendah hati pengarang (Suarka, 2012:51). Sementara itu, korpus atau batang tubuh sastra kakawin umumnya dibangun unsur-unsur naratif berupa perundingan (mantra); utusan (duta); keberangkatan pasukan (prayana); pertempuran (aji); kemenangan sang pahlawan (nayaka); pujian kepada sang pahlawan (nayakabhyudaya); lukisan alam pegunungan (œaila), laut (arnawa), dan kota (nagara); musim (rtu); permainan di taman (udyanakrida); ajaran dharma (dharmasastra) dan artha (arthasastra); percintaan (srenggararasa); akhir yang menyenangkan (rdhimat). Satuan-satuan naratif sastra kakawin diikat oleh sandhi. Ada lima sandhi dalam sastra kakawin, yaitu (1) benih plot (mukha); (2) perkembangan awal belih plot (pratimukha); (3) perkembangan lebih lanjut dari plot (garbha); (4) pertimbangan dan solusi penyelesaian konflik (vimarsa); dan (5) penyimpulan seluruh perkembangan plot (nirvahana) (Wiryamartana, 1990:348—349). Epilog sastra kakawin umumnya memuat unsur-unsur cerita berupa penghormatan pengarang kepada raja pelindung, penanggalan; nama pengarang, tujuan pengarang, serta pernyataan rendah hati pengarang. Tonggak awal kelahiran sastra kakawin ditandai kemunculan yang diperkirakan telah ada pada masa

151 pemerintahan Mpu Sindok di Jawa Tengah sekitar abad ke-10. Belum diketahui secara pasti siapa pengarang Kakawin Ramayana sekalipun banyak ahli telah meneliti Kakawin Ramayana, dari berbagai sudut pandang dan permasalahannya. Berbagai pujian diberikan para peneliti kepada Kakawin Ramayana, misalnya Hooykaas (1955, 1957) mengakui Kakawin Ramayan sebagai “adikakawin” ‘kakawin pertama dan teladan’ bagi sederetan karya kakawin dalam sastra Jawa-Bali yang tersebar sepanjang kurun waktu yang meliputi seribu tahun. Zoetmulder, (1985) menyebutkan bahwa Kakawin Ramayana selalu menduduki tempat terhormat dan pasti serta merupakan kakawin terpanjang di antara kakawin-kakawin periode Jawa Hindu. Kemunculan Kakawin Ramayana disusul kemudian oleh Kakawin yang digubah oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga di Kerajaan Kadiri di Jawa Timur. Pada periode Kadiri muncul sejumlah karya sastra kakawin, antara lain Kakawin Hariwangsa karya Mpu Panuluh, Kakawin Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Kakawin Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja, Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Selanjutnya, pada masa muncul karya sastra kakawin, antara lain Kakawin Bhomantaka yang pengarangnya belum diketahui secara pasti, Kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, Kakawin karya Prapanca, Kakawin Lubdhaka karya Mpu Tanakung. Kakawin Sutasoma dikarang oleh Mpu Tantular pada masa pemerintahan Raja (Raja Rajasanagara) ketika Majapahit berada di puncak kekuasaannya pada paruh kedua abad ke-14 (Mastuti dkk., 2009: xiv). Beberapa peneliti telah meneliti serta menerbitkan suntingan teks dan terjemahan Kakawin Sutasoma, antara lain Sugriwa (1956), Ensink (1967), Santoso (1975), Zoetmulder (1974), dan Mastuti dkk (2009). Sebagai karya sastra kakawin, teks Kakawin Sutasoma digubah menggunakan medium bahasa Jawa Kuna. Bentuk bahasanya terikat oleh aturan atau kaidah metrum kakawin, yakni guru, laghu, wretta,

152 matra, baris, maupun bait. Teks Kakawin Sutasoma terdiri atas 148 pupuh (bab), 1209 pada (bait), dan 4.820 carik (larik). Teks Kakawin Sutasoma menggunakan 29 jenis metrum, yaitu metrum Sragdhara, Sandhyakara, Jagadhita, Sardulawikridita, Jagatnatha, Basantatilaka, Widyutkara, Prethiwitala, Bhramarawilasita, Kilayumanedeng, Sikarini, Tebusol, Indrawangsa, Girisa, Aswalalita, Kusumawilasita, Upendrabajra, Mregangsa, Praharsini, Mredukomala, Kalengengan Bhikreti, Rajani, Udgatawisama, Gelungumure, Upajati, Suwadana, Mattaraga, Dandaka, dan Anustub. Zoetmulder (1985:434—437) menjelaskan bahwa Kakawin Sutasoma memiliki peranan penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia karena kakawin tersebut dapat menambah pengetahuan kita mengenai ide-ide religius pada masa Majapahit, terutama mengenai paham Buddha Mahayana serta hubungannya dengan Siwaisme. Kakawin Sutasoma menggambarkan kedua paham tersebut dapat hidup berdampingan, saling memengaruhi, serta menjadi titik identik dalam pandangan pokoknya. Ide religius tersebut diilustrasikan ke dalam cerita dengan tokoh utama Sutasoma yang diyakini sebagai Buddha sendiri di alam nyata. Adapun kisah ceritanya sebagai berikut. Dikisahkan Raja Sri Mahaketu bersama permaisuri Prajñadhari bertahta di Kerajaan Hastina. Pada suatu hari, Kerajaan Hastina diserang oleh segerombolan raksasa.Konon gerombolan raksasa itu hanya dapat dikalahkan oleh putra mahkota. Karena itu, Raja Mahaketu melakukan yoga untuk mendapat keturunan dengan memuja Bhatara Buddha. Raja Mahaketu mendapatkan wahyu bahwa Sang Bodhisatwa akan menjelma menjadi putra mahkota. Permaisuri pun hamil ditandai peristiwa-peristiwa ajaib terjadi dan para dewa turun memberi hormat. Ketika Sang Buddha dilahirkan, orang-orang sakit dan cacat mendadak sembuh. Lalu setelah bayi itu berumur tujuh bulan diberi nama Sutasoma. Setelah tumbuh dewasa, Sang Sutasoma pergi meninggalkan istana untuk bertapa di tengah hutan. Sang Sutasoma tidak berkenan menggantikan tahta ayahnya sebagai Raja Hastina. Dalam

153 perjalanannya menuju Gunung Semeru, Sang Sutasoma mengalami berbagai godaan dan cobaan. Namun, satu persatu godaan, ancaman, dan tantangan itu dapat diatasi dengan rasa cinta kasih, kesabaran, dan ketulusikhlasan.Sang Sutasoma bertapa di Gunung Semeru ditemani tiga murid, yaitu si Gajahmukha, si Naga, dan si Harimau, serta seorang kerabat bernama Kesawa. Sang Sutasoma baru mengakhiri laku tapa setelah mendengar berita si raja raksasa bernama Purusada berniat menangkap seratus raja sebagai sarana membayar kaul kepada Bhatara Kala. Setelah menangkap sembilan puluh sembilan raja, Purusada melanjutkan penyerangan ke negeri Singhala. Raja Jayawikrama bertekad bulat untuk menangkis serangan Raja Purusada sampai titik darah penghabisan. Raja Jayawikrama pun gugur. Selanjutnya, Raja Purusada hendak menangkap Raja Widarba. Ia berhasil menangkap Raja Widarba hidup-hidup. Ketika hendak dipersembahkan, Kala menolak dan menuntut agar Raja Hastina ditambahkan sebagai pelengkap. Untuk itu, Raja Purusada menyerang kerajaan Hastina. Sutasoma lebih memilih menyerahkan diri kepada Purusada. Akan tetapi, Dasabahu dan lain-lainnya memilih jalan perang. Karena itu, peperangan tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan di kedua belah pihak, termasuk gugurnya putra Sutasoma, bernama Ardhana. Dengan mengerahkan segala kesaktian sebagai inkarnasi Rudra (Siwa), Purusada menyerang Sutasoma. Namun semua senjata yang digunakan menyerang Sutasoma tiada mempan. Api berubah menjadi air, panah-panah berubah menjadi bunga-bunga. Ketika kemarahan Siwa yang menjelma dalam diri Purusada mencapai puncaknya, menasihati Sutasoma agar melakukan semadi duduk dalam posisi bodhyagri. Maka muncullah senjata berlian dan seketika itu kemarahan Siwa (Rudra) berubah menjadi ketenangan sempurna. “Buddha dan Siwa tunggal dalam hakikatnya yang paling dalam”. Siwa (Rudra) meninggalkan tubuh Raja Purusada. Dengan sia-sia Raja Purusada berusaha agar Siwa (Rudra) bisa kembali merasuki dirinya karena ia belum bisa membayar kaulnya kepada Bhatara Kala. Akan tetapi, ia merasa heran karena Sutasoma tiba-tiba menyerahkan

154 dirinya untuk dijadikan persembahan kepada Bhatara Kala. Bhatara Kala sangat gembira karena Sutasoma datang menyerahkan diri. Raja Sutasoma bersedia menjadi korban Bhatara Kala asalkan keseratus raja itu dilepaskan. Bhatara Kala memenuhi permohonan Sutasoma dan keseratus raja tawanan itu dilepaskan. Selanjutnya, Bhatara Kala berubah menjadi seekor naga, lalu menelan Sutasoma, tetapi tiba-tiba ia dipenuhi dengan perasaan belas kasih dan rasa cinta sehingga ia tidak meneruskan niatnya untuk menelan Sutasoma. Ia memohon kepada Sutasoma agar diterima menjadi murid. Di bawah bimbingan Sutasoma, Bhatara Kala dan Purusada melakoni kehidupan sebagai bhiksu. Bhatara Kala dan Purusada melakukan tapa. Purusada bersama anak buahnya bertapa di Gunung Mandara. Dunia pun merasakan suatu era penuh perdamaian dan kesejahteraan. Setelah beberapa waktu, Sutasoma bersama Candrawati meninggal dunia dan pulang kembali ke alam Jina. Purusada pun menerima anugrah berkat laku tapanya sebagai penganut Buddha. Bhatara Kala memperoleh gelar Pasupati. Putra Sutasoma yang bernama Ardhana menggantikan tahta pemerintahan di negeri Hastina.

7.4 Kakawin Sutasoma: Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika

Mpu Tantular merupakan seorang pujangga Jawa Kuna yang sangat kreatif. Hal itu dapat dijelaskan berdasarkan gagasan-gagasan yang dirumuskan Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma. Istilah pancasila dan ungkapan bhineka tunggal ika merupakan rumusan konsep keagamaan baru yang digagas Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma. Istilah pancasila dapat disimak lebih jelas pada kutipan berikut.

Yapwan mangkana nitya denta magawe lampah subhîksang jagat, mwang sakweh balayodha yeka warahen ring nîtisâstrân laku, astam sang caturasrameka tarinen ring pañcasilâkrama, widya mwang brata len tapanya huningan de srî narendrâdhipa (Kakawin Sutasoma, IV.5)

155 Bwat Bajrâyana pañcasîla ya gegen denteki haywâlupa, mwang tekang dasasiladharma kineñep sang srâwakâpet hayu, tan hopen gati sang Mahâyana tigang wâk kâya citteniwö, yekânung wekasing mahâbrata tekap sang bhoddhapaksân laku (Kakawin Sutasoma, CXLV.2)

Terjemahannya:

Jika demikian senantiasa olehmu berbuat, maka dunia pasti sejahtera. Dan lagi semua prajurit itu agar diajari bertingkah laku berdasarkan ilmu politik dan pemerintahan. Terlebih lagi para penekun caturasrama itu agar dianjurkan menerapkan pañcasîla dengan benar. Ilmu pengetahuan, pengendalian nafsu, dan laku tapa merupakan hal-hal yang wajib diketahui oleh Baginda Raja.

Kehebatan ajaran Bajrayana, yakni pañcasîla, wajib dipegang teguh olehmu, jangan lupa!

Dan lagi ajaran dasasiladharma wajib dipahami para biksu untuk mencapai keselamatan. Terlebih lagi penganut Mahayana, berkata, berbuat, berpikir adalah tiga hal yang harus dipelihara serta dilaksanakan dengan baik dan benar. Hal itu merupakan mahapuncak perbuatan suci yang dilakukan oleh penganut Buddha.

Istilah atau konsep pañcasîla dalam kutipan bait Kakawin Sutasoma di atas dimaknai sebagai lima kaidah tingkah laku utama bagi pemeluk agama Buddha, yaitu tidak membunuh, tidak berzinah, tidak mencuri, tidak mabuk-mabukan, dan tidak berbohong. Pengamalan ajaran pañcasîla dengan baik dan benar merupakan sebuah kewajiban bagi pemeluk agama Buddha. Di samping ajaran pañcasîla yang harus dipegang teguh dan diamalkan oleh para pemeluk agama Buddha, mereka juga wajib mengamalkan ajaran dasasila. Dasasila adalah sepuluh jenis tingkah laku yang baik dan benar, yaitu ahimsâ (tidak membunuh atau tidak melakukan kekerasan), brahmacarya (terpelajar), satya (setia, berbudi luhur), awyawahârika (tidak terlibat dalam perkara dan perdagangan), astainya (tidak mencuri), akrodha (tidak marah),

156 gurususrusa (patuh kepada guru), soca (suci dan bersih), âhâralâghawa (tidak makan sekenyang-kenyang), dan apramâda (tidak mabuk). Pengamalan pañcasîla dan dasasila secara terpadu dan terintegrasi ke dalam sikap dan perilaku bicara, bertindak, serta berpikir merupakan tujuan tertinggi perbuatan suci para pemeluk agama Buddha. Istilah atau konsep pañcasîla dalam khazanah sastra Jawa Kuna ditemukan pula dalam Kakawin Nagarakretagama karya Prapanca yang juga muncul pada masa kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Istilah atau konsep pañcasîla dalam Kakawin Nagarakretagama dapat disimak pada kutipan berikut.

Nâhan hetu narendra bhakti ri padha srî sakhyasingha sthiti, yatnâgegwani pañcasila kretâ sangskârâbhisekâkrama, lumrânâmajinâbhisekanira sang srî jñâna bajreswara, tarka wyâkaranâdisâstra ng-inaji srî nâtha wijñânulus (Riana, 2009:218)

Terjemahannya:

Demikian membuat baginda raja senantiasa bersujud di kaki Baginda Sakhyasingha. Waspada dan teguh memegang pañcasîla, bertingkah laku mulia melaksanakan upacara suci. Gelaran Jina beliau termasyhur Sri Jnanabajreswara. Paham dalam seluk beluk sastra filsafat dipelajari oleh baginda raja hingga benar-benar mahir.

Berdasarkan data pada kutipan bait Kakawin Sutasoma dan Kakawin Nagarakretagama di atas dapat diketahui bahwa (1) jika dilihat berdasarkan cara Zoetmulder (1985) dalam menempatkan Kakawin Nagarakretagama setelah Kakawin Sutasoma dan secara esensial Kakawin Sutasoma memang digubah untuk misi agama Buddha, maka dapat diinterpretasikan bahwa Kakawin Nagarakretagama muncul setelah Kakawin Sutasoma. Jika dugaan itu dapat diterima, maka ada kemungkinan pula bahwa istilah atau konsep pañcasîla dalam Kakawin Nagarakretagama diadopsi dari Kakawin Sutasoma; dan (2) sejatinya

157 istilah atau konsep pañcasîlatelah dikenal pada masa Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Raja Rajasanagara). Istilah atau konsep pañcasîla itu digali, diperkenalkan kembali, dan sekaligus dikembangkan maknanya oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 menjadi Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai istilah, kata pañcasîla yang berarti ‘lima dasar’ tetap dipakai, namun dari segi hakikat isi dan falsafah berbeda, yakni terdiri atas lima sila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ungkapan bhineka tunggal ika dinyatakan dalam Kakawin Sutasoma sebagai berikut.

Rwâneka dhâtu winuwus warabuddha wiswa, bhinneki rakwa ringapan kena parwa nosen, mangkâng jinatwa kalawan siwatattwa tunggal, bhinneka tunggalika tan hana dharma mangrwa (Kakawin Sutasoma, CXXXIX.5).

Terjemahannya:

Dua hakikat unsurutama yang disebut Buddha dan Siwa. Konon ini berbeda, tetapi kapan dapat dibagi dua dengan sedemikian cepat. Demikian sejatinya hakikat agama Buddha dan agama Siwa itu tunggal. Berbeda tetapi tunggal, tidak ada kebenaran ganda.

Ungkapan bhineka tunggal ika pada mulanya dimaknai berkelindan dengan perbedaan dalam bidang agama, terutama agama Buddha dan agama Siwa sebagai agama besar yang dianut masyarakat Majapahit. Kedua agama itu berbeda, baik dalam candi-candi tempat ibadah, dewa-dewa pujaan, maupun arca-arca pemujaan yang dapat dibedakan dengan jelas satu sama lain (Edi Sedyawati dalam Mastuti, 2009:xxi).

158 Ada kemungkinan pada masa itu para penganut agama Buddha dan agama Siwa sempat mengalami gesekan-gesekan dan pergolakan sosial. Dugaan itu diperkuat oleh: pertama, data pada bagian Manggala Kakawin Sutasoma yang menyatakan bahwa pada masa ini atau pada saat Kakawin Sutasoma digubah, dianalogikan sebagai zaman Kali, adalah saat sang Buddha turun ke dunia untuk melenyapkan kejahatan (mangke prâpta ning kali srî jinapati manurun mâtyanang kalamurkha). Kisah turunnya sang Buddha ke dunia untuk melenyapkan kejahatan dan kehancuran itulah menjadi tema sentral Kakawin Sutasoma. Jika Kakawin Sutasoma dipandang dari perspektif sosiologi sastra, terutama dari sisi strukturalisme genetik yang mengaitkan karya sastra dengan kesadaran kelompok masyarakat tertentu (Endraswara, 2013:121), maka Kakawin Sutasoma dapat dianggap sebagai kesadaran penganut agama Buddha terhadap situasi dan kondisi zamannya, di mana terjadi pergolakan sosial dalam bidang agama.Kedua, teks Kakawin Lubdhaka/Kakawin Siwaratrikalpa (III.1—4) yang berpaham Siwa, menyatakan bahwa ada sebuah pertapaan tua (dharma agöng ring usana) di dekat sungai (samîpa walahar) tampak sunyi, sepi, dan tidak berfungsi lagi (asamun tikung hawan) karena bangunan-bangunan candi (prasadâruhur angjelag pucak-pucaknya pinaka pamarantyaning suket), dan balai paviliunnya telah rusak (akweh nyâsa huwus rusak), tembok pagarnya roboh dan hancur (sakweh ning pariwarta sampun ananâ), patung-patungnya pun bergeletakan di tanah (rikang wiwarapâla magulingan akundhah ing lemah), serta talang airnya mampet tidak bisa dialiri air(sahana ning makara katutupan ndatan hilî). Andaikata data Kakawin Lubdhaka itu dapat dianggap sebagai bentuk resistensi Mpu Tanakung terhadap kisah kehancuran pertapaan pemeluk Siwa yang dilukiskan Mpu Tantular pada Kakawin Sutasoma (pupuh XIII: 1—3), maka terbuka kemungkinan bahwa pertapaan yang dimaksud itu dapat dianalogikan dengan pertapaan para pemeluk agama Buddha yang ditinggalkan para penghuninya karena adanya gangguan-gangguan dan ketidaknyamanan.

159 Jika demikian halnya, maka wajarlah Mpu Tantular sebagai petinggi agama Buddha melakukan suatu upaya untuk meredam konflik yang terjadi antara pemeluk agama Buddha dengan pemeluk agama Siwa. Dengan menawarkan konsep bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa tampaknya Mpu Tantular mengharapkan kedua agama besar itu dapat hidup rukun kembali secara berdampingan dalam kesederajatan dan saling menghargai. Apa yang dilakukan Mpu Tantular dan pemerintah Majapahit tersebut tampaknya menginspirasi para pendiri bangsa Indonesia, terutama dalam usaha bina Negara, bahwa dengan menumbuhkan rasa dan semangat persatuan, kesatuan, kebersamaan, dan kesederajatan bagi seluruh wilayah Nusantara, maka eksistensi bangsa dan Negara Indonesia dapat dipertahankan. Maka dari itu ungkapan bhineka tunggal ikalalu diangkat menjadi semboyan (motto) bangsa Indonesia dan diabadikan dalam lambang Negara Indonesia, yakni Garuda Pancasila (Mastuti dkk., 2009:xxii).

7.5Kakawin Sutasoma: Sumber Pengetahuan Multikulturalisme

Karya sastra merupakan wadah penyemaian berbagai pengetahuan dan nilai luhur. Demikian halnya Kakawin Sutasoma sebagai karya sastra Jawa Kuna menebar berbagai pengetahuan dan nilai luhur. Salah satu pengetahuan dan nilai luhur tersebut adalah pengetahuan dan nilai multikulturalisme. Dalam hal ini yang dimaksud multikulturalisme adalah paham yang menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme merupakan kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat (Mahfud, 2009: 103).Semestinya, keanekaragaman budaya mampu menciptakan iklim yang di dalamnya, kebudayaan yang berlainan dapat terlibat dalam dialog yang saling menguntungkan. Tradisi kesenian, kesusastraan, musik, moral dan tradisi lain yang berbeda mem­ pertanyakan, menguji, dan menyingkap satu sama lain, meminjam dan melakukan uji coba gagasan yang satu dengan lainnya untuk menghasilkan gagasan dan sensibilitas baru (Parekh, 2008:227).

160 Bentuk keanekaragaman dalam Kakawin Sutasoma dapat disimak melalui kehadiran berbagai jenis tokoh. Di samping menampilkan tokoh manusia, Kakawin Sutasoma juga menghadirkan tokoh-tokoh binatang, dewa, gandarwa, kala, raksasa, daitya, pisaca. Tokoh-tokoh cerita dihadirkan dari berbagai wilayah serta dalam peran dan karakter berbeda-beda. Tokoh Sutasoma hadir sebagai putera Raja Mahaketu, keturunan Kuru, dari Kerajaan Hastina. Ibu Sutasoma bernama Prajnadhari. Istri Sutasoma bernama Candrawati. Di sisi lain, muncul Kesawa dan Sumitra mewakili kalangan Brahmana. Hadir pula tokoh- tokoh binatang, seperti Gajahwaktra, Nagaraja, dan Ratu Macan. Di samping itu, muncul tokoh-tokoh raksasa, antara lain Raja Purusada, Raja Awangga, Raja Kalingga. Tokoh-tokoh dewa dari kalangan Siwaisme diwakili oleh tokoh Dewa Indra, Rudra, Iswara, , Mahadewa, Wisnu, Siwa, dan Kala. Sementara itu, dari kalangan Buddhisme, dihadirkan tokoh Wairocana, Aksobya, Amitabha, Amoghasidi.Ada pula tokoh cerita dari kalangan gandarwa. Keberagaman tokoh cerita dalam Kakawin Sutasoma mengindikasikan adanya gambaran masyarakat plural dengan keanekaragaman budaya. Masing-masing tokoh mengusung budaya yang berbeda-beda. Sikap fanatik, eksklusif, dan tidak mengakui eksistensi budaya kelompok lain yang dibawa masing-masing tokoh cerita berdampak pada perpecahan yang menimbulkan konflik antartokoh cerita. Pada titik ini diperlukan sebuah kebijakan yang bijak dan arif untuk memberikan keluasan bergerak bagi masing-masing entitas budaya dengan tetap mengakui keberadaan budaya yang lain. Tokoh Sutasoma berperan sebagai pahlawan multikultural. Disimbolkan sebagai Buddha yang ada di alam nyata, Sutasoma hadir di tengah-tengah masyarakat plural yang penuh dengan persaingan, peperangan, dan perpecahan. Dengan wajah tampan, cerdas, simpati, belas kasih, dan ramah, Sutasoma mampu mengajak dan membawa tokoh-tokoh cerita yang pada mulanya berbeda-beda dan saling bertentangan(atukar, aperang) menjadi hidup berdampingan dan saling merangkul (pada kalawan silih pekul) dalam situasi dan kondisi kebersamaan dan kesederajatan saling tolong menolong (parasparopasarpana) sehingga mereka dapat

161 hidup bahagia, rukun, damai, dan sejahtera (suka nityasa).Karena itu, dunia terhindar dari malapetaka, sebab para raksasa atau penjahat telah berubah menjadi orang baik (nirwighnang bhuwaneki rakwa ri telas ning makabuddhi satwika). Tidak ada lagi kejahatan, kedustaan, ataupun bencana (norang durjana dusta roga). Hal ini menyebabkan dunia menjadi tertib, damai dan sejahtera (yeka hetu nikang jagat pada subhiksa; swasthang rât kreta). Apa yang dialami dan dilakukan Sutasoma sebagai pahlawan multikultural patut diteladani oleh setiap warga Indonesia dalam mengantisipasi terjadinya disintegrasi, dislokasi, intoleransi, gesekan- gesekan, fitnah, saling menjelekkan, ataupun gerakan anti ideologi Pancasila dan UUD 1945 yang mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.

7.6 Penutup

Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular merupakan warisan budaya bangsa Indonesia. Kakawin Sutasoma mengandung spirit multikulturalisme yang mengedepankan nilai-nilai keberagaman dalam kebersamaan dan kesederajatan. Spirit multikulturalisme tersebut sangat dibutuhkan oleh seluruh warga Negara Indonesia seiring dengan keberadaan masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya, suku, ras, adat-istiadat, bahasa, kesenian, dan agama. Masing-masing budaya kelompok etnis di Indonesia harus diakui, diperlakukan, dan dirangkul dalam kebersamaan dan kesederajatan. Kakawin Sutasoma layak dijadikan sumber inspirasi dan pedoman hidup bagi bangsa Indonesiadalam mentransformasi masyarakat Indonesia yang majemuk plural menjadi masyarakat Indonesia multikultural di bawah naungan ideologi Pancasila dan semboyan hidup bangsa Indonesia Bhineka Tunggal Ika.

162 Daftar Pustaka

Biro Kesejahteraan Rakyat, Setda Provinsi Bali. 2013. Sutasoma Kakawin Miwah Tegesipun. Denpasar: Percetakan Bali. ______. 2013. Siwaratrikalpa Kakawin miwah Tegesipun. Denpasar: Percetakan Bali. Endraswara, Suwardi. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service). Ensink, J. 1967. On The Old-Javanese Cantakaparwa and Its Tale of Sutasoma. S-Gravenhagen: Martinus Nijhoff. Hefner, Robert W. (editor). 2007. Politik Multikulturalisme: Meng- gugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius. Mahfud, Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pus- taka Pelajar. Mastuti, Dwi Woro Retno dan Hastho Bramantyo. 2009. Kakawin Sutasoma Mpu Tantular. Depok: Komunitas Bambu. Muljana, Slamet. 2007. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Yogyakarta: LKiS, Nurcahyo, Henri. 2015. Memahami Budaya Panji. Sidoarjo: Pusat Konservasi Budaya Panji. Parekh, Bhikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1988. “Cerita Panji dalam Perbandingan Sebuah Pembicaraan Umum”, Bunga Rampai Bahasa, Sastra, dan Budaya. Editor Acgadiati Ikram. Jakarta: Intermasa. Riana, I Ketut. 2009. Nagarakrtagama Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas. Santosa, Suwito. 1975. Kakawin Sutasoma A Study in Javanese Wa- jrayana. India: International Academy of Indian Culture. Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Suarka, I Nyoman. 2012. Telaah Kakawin Sebuah Pengantar. Cetakan kedua. Denpasar: Pustaka Larasan. Sugriwa, I Gusti Bagus. 1956. Kakawin Sutasoma. Denpasar: Pustaka

163 Balimas. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Wiryamartana, Kuntara I. 1990. Arjunawiwaha. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia I, II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

164 A , 71, 72, 73, 95, 100, 101, 104, 10 Abdullah, T. 169, 176, 178, 182, 183, 5, 106, 107, 108, 109, 110, 117, 1 188, 198, 201 18, 127, 128, 131, 137, 140, 143, Aceh 4, 66, 67, 70, 71, 72, 73, 165, 147, 152, 163, 180, 181, 184, 190 166, 168, 169, 170, 172, 174, 175 , 195, 199, 202, 205, 208, 209, 23 , 177, 179, 181, 182, 190, 191, 2 2, 236, 293, 294, 295, 301, 304, 3 01, 205, 206 05, 306, 313, 314, 315, 318, 319, Adas, M. 285, 295 320, 321, 324, 325, 326, 327, 328 Adityawarman 134 , 329, 330, 332, 334, 338, 339, 34 Afrika 3, 4, 16, 17, 21, 23, 29, 32, 3 7, 348, 350 3, 68, 78, 80 Baliseering 199, 301 Airlangga 95, 96, 97, 98, 107, 152 Banda 74, 165, 182 Albuqerque, A. 205 Bangka 87, 89, 90 Alfian, A. 165, 166, 168, 169, 170, 17 Bangli 105, 127, 325 2, 182, 183, 190, 201 Banjarnegara 93 Alfred Rusell Wallace 31 Barito 20 Amerika 22, 68, 75, 175, 251, 269, 2 Barker, C. 281, 296 74, 275 Barus 204 Antonio de Pigafetta 207 Batak 4, 45, 46, 61, 66, 67, 69, 70, 7 Appadurai, A. 283, 300, 313 1, 72, 73, 195, 206, 219, 220, 33 arca Bodhissatwa Amoghapasa 118 1, 335 Archidiskodon 21 Batanghari 20 Arupadhatu 121 Batavia 187, 189, 196, 211, 217, 301 Arupalaka 179 , 316. Asia 3, 4, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 31 Bawomatolou 39, 42, 43, 44, 45 , 34, 37, 62, 65, 73, 78, 79, 81, B.D. van Rietschoten 35 82, 89, 90, 110, 165, 166, 167, 1 Belanda 5, 8, 9, 11, 81, 91, 166, 174, 68, 171, 172, 173, 178, 182, 183 179, 186, 187, 189, 190, 191, 192 , 192, 201, 202, 205, 207, 214, 2 , 193, 194, 195, 196, 197, 198, 19 66, 305, 339, 349 9, 200, 201, 202, 204, 207, 211, 2 Astinapura 98 12, 213, 214, 215, 216, 217, 218, Aswawarman 83 220, 221, 225, 245, 246, 247, 248 Atmadja, N.B. 286, 293, 295 , 249, 250, 257, 259, 261, 267, 29 Australia 3, 4, 18, 19, 31, 34, 35, 36 9, 300, 301, 316 , 37, 63, 78, 349 Bellwood, P. 31, 32, 33, 34, 36, 42 Austronesia v, viii, 2, 3, 4, 36, 37, 39 Bengawan Solo 26, 27, 28, 29, 299 , 40, 41, 42, 44, 45, 50, 61, 63, Bernd Nothofer 75 65, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74 Bhineka Tunggal Ika viii, 2, 7, 136, 146 , 75, 76, 77, 79, 80, 146 , 155, 162, 276 Awaloketeswara 114, 117, 118 Bhismaprabawa 96 Azra, A. 213, 222, 274, 275, 276, 278 Bima 69, 70, 71, 73, 93, 119, 120, 121 , 176, 194, 208 B Blahbatuh 104 Bajau 73 Blitar 138 Bakrie, A.R. 323 Blora 20, 27 Balaputra Dewa 91, 92 Blust, R.A. 50, 52, 62, 63, 68, 71, 72, Bali iv, 2, 4, 13, 14, 20, 40, 44, 50, 75, 76, 78, 79 52, 53, 59, 61, 63, 66, 67, 69, 70

341 Bojonegoro 96 Dang Hyang Nirartha 181 Borobudur 6, 12, 93, 94, 116, 118, 12 Dawan 73 0, 121, 122, 128, 138, 142, 252, 2 Dayak 45, 46, 61, 63, 73, 219 59, 298 Demak 176, 177, 179, 180 Brandstetter, R. 53, 63, 75, 80 Dempwolff 53, 72 Brian Fay 41 Den Haag 211, 214 Brinton, C. 244, 247, 278 Dewapala Dewa 91 Buddha v, 5, 6, 8, 81, 87, 88, 90, 91, Dewa Simha 94 92, 93, 94, 95, 96, 101, 102, 103, Dewi Parwati 133 104, 105, 111, 113, 114, 115, 116 Dharmawangsa 95, 96, 107 , 117, 118, 120, 121, 123, 124, 12 Dieng 6, 93, 115, 119, 120, 121, 142 5, 128, 129, 130, 131, 136, 141, 1 Dietrich 215 42, 153, 154, 155, 156, 159, 160, 1 Dili 217 61, 181, 182 Diponogoro 179, 258 Budi Utomo 196, 197, 248 Dirk Fock 299 Bugis 4, 66, 67, 69, 71, 72, 73, 176 Dongson 45, 46 , 331 Dyah Lokapala 95 Buleleng 104, 105, 118 E C Enggano 73 Calon Arang 330 enkulturasi 1 Campa 103 Ensink, J. 152, 163 Campursari 332 Erokwanas 76 candi Badut 94, 95 Eropa v, 9, 12, 17, 29, 33, 166, 172, Candi Jago 128, 129, 130, 140 174, 175, 179, 187, 193, 194, 196 candi Mendut 93, 116, 121 , 198, 199, 203, 204, 208, 210, 21 Candi Muara Takus 130 3, 214, 217, 251, 295, 297, 298, candi Penataran 135, 136, 138, 139 301, 304 Candi Polah 138 Ethiopia 32 candi Prambanan Eugene Dubois 22, 25, 35 93, 94, 116, 120, 123, 128, 147 Eurasia 21, 31, 32 candi Surawana 140 Candi Surawana 140 F Candi Tigawangi 140 Filipina 3, 31, 34, 35, 37, 39, 42, 73 Candrabhaga 85 Flores 2, 18, 31, 32, 36, 38, 69, 73, 7 Chamorro 73 9, 80, 194, 207, 208, 209, 210, 21 China 29, 36, 37 1, 212, 216, 220, 221, 222 Cia-cia 73 Formosa 4, 39, 66, 67, 68, 73 Cina 20, 21, 87, 89, 90, 91, 103, 165 Fransiskus Xaverius 211 , 166, 167, 168, 173, 178, 205, 2 08, 335 G Cirebon 176, 177, 299 gajah Airawata 85 Clynes, A. 52, 63 Gajah Mada 103, 104, 109, 170, 181 cognate set 69 Gajayana 94 Corpuz 282, 296 Gayo 70, 73, 206 Couteau, J. 306, 314 George Coedes 87, 88 Crawfurd, J. 189 Gerakan Riau Merdeka 331 Curtis 26 G.H.R. von Koenigswald 22, 25, 26, 27 Cut Nyak Dien 179 Gianyar 104, 107, 108, 109, 127, 131 , 325, 326 D Globalisasi vi, 12, 282, 284, 293, 295, Daha 96, 97, 181 296, 297, 300, 316 Dang Hyang Angsoka 181 Gorontalo 73 Dang Hyang Astapaka 181 Gujarat 8, 165, 166, 167, 169, 171, 17

342 3, 175, 177, 182 , 220, 221, 222, 261, 266 Gunung Kawi 96, 97, 107, 108, 131 Islamisasi v, 8, 165, 169, 174, 176, 1 Gunung Lawu 22, 24, 141 77, 178, 179, 180, 182, 183, 206 Gunung Merapi 24 , 222 Gunung Semeru 103, 154 I-tsing 87, 90

H J Hang Tuah 172 Jakarta 38, 62, 63, 78, 79, 85, 86, 109 Hangzhou Bay 42 , 110, 116, 125, 132, 143, 163, 16 Hassanuddin 179 4, 166, 167, 168, 169, 173, 176, 1 Hawai 71, 74 82, 183, 201, 202, 217, 222, 231, Hayam Wuruk 102, 103, 104, 152, 157 233, 235, 237, 241, 242, 278, 279 , 158, 298 , 295, 296, 301, 306, 314, 315, 31 Hegel 262, 263, 268 6, 333, 349 Helong 73 Jambi 88, 89, 90, 101, 124, 126, 143 Henley, D. 218, 222 Jassin, H.B. 253, 279 Hindu v, 5, 6, 8, 9, 81, 82, 83, 86, 9 Jawa 2, 4, 5, 6, 7, 9, 15, 18, 19, 20, 1, 92, 93, 94, 95, 101, 103, 105, 1 21, 22, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 34 10, 111, 113, 114, 116, 120, 122, , 35, 36, 38, 50, 61, 66, 67, 69, 7 123, 124, 128, 129, 130, 140, 141 0, 71, 72, 73, 75, 82, 84, 85, 86, , 142, 152, 167, 168, 171, 176, 17 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96 8, 180, 181, 182, 203, 209, 210, 2 , 97, 98, 99, 100, 101, 103, 107, 1 21, 261, 266, 315, 330, 348 08, 109, 114, 115, 117, 118, 119, hobbit 31, 32 120, 124, 125, 126, 127, 128, 129 Holle 82 , 130, 132, 135, 137, 138, 139, 14 Homo Erectus v, vii, 2, 15, 18, 22 0, 141, 142, 143, 146, 147, 148, 1 Homo floresiensis 31, 32, 38 49, 150, 151, 152, 155, 157, 160, Homo Sapiens v, vii, 2, 15, 32 164, 170, 173, 175, 176, 177, 179 Howells 36 , 187, 188, 189, 192, 195, 196, 20 Huberman 41 5, 207, 208, 209, 213, 215, 217, 2 Hujung Galuh 96 18, 221, 259, 261, 298, 299, 318, Hurgronje, S. 191, 202 331, 332, 348 Jawa Barat 5, 82, 84, 85, 86, 114 I Jawa Kuna 7, 61, 140, 146, 147, 148, Imam Bonjol 179, 257, 258 149, 150, 151, 152, 155, 157, 160 India 5, 6, 81, 82, 83, 84, 86, 87, 89 , 164, 348 , 91, 93, 103, 114, 115, 117, 119, Jawa Tengah 6, 21, 22, 27, 28, 29, 91 120, 126, 141, 142, 150, 163, 166 , 92, 93, 94, 109, 115, 117, 118, 1 , 169, 173, 174, 175, 177, 203, 20 19, 120, 124, 125, 128, 129, 132, 6, 207, 266, 348 135, 142, 143, 152, 213 Indragiri 20 Jawa Timur 26, 29, 34, 35, 38, 94, 96 Inggris 8, 10, 166, 174, 187, 188, 19 , 97, 100, 107, 108, 109, 118, 120 0, 204, 229, 233, 234, 235, 236, , 124, 125, 126, 127, 128, 129, 13 237, 240, 244, 297, 298, 310, 34 0, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 1 9, 350 42, 148, 152, 298 I Nyoman Suprapta 330 Jayabhaya 97, 98, 99, 100, 108 Irarutu 76 Jayakatwang 102, 109 Iresim 76 Jayapangus 100, 106, 108 Isidore Dyen 75 Jayasakti 100, 108 Islam 7, 8, 9, 104, 167, 168, 169, 170 Jenggala 96, 97, 98, 99 , 171, 172, 173, 174, 175, 176, 17 Jerman 297, 349 7, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 1 Jombang 132 91, 194, 197, 202, 203, 204, 205, Jung 263 206, 208, 209, 210, 213, 214, 217

343 K L Kahayan 20, 219 Lamaholot 73 Kahuripan 94, 95, 96, 97 Lamalera 71, 72 Kairo 173 Laos 34, 148 Kakawin Sutasoma v, 7, 103, 145, 146, Ligor 90 149, 150, 152, 153, 155, 156, 157 lingua franca 66, 223 , 158, 159, 160, 161, 162, 163 Lio 69, 70, 71, 72, 73, 80 Kalasan 94, 117 local genius 7, 185 Kali Biuk 21 Lubis, A.Y. 287, 288, 290, 296 Kali Cisaat 21 Luzon 31 Kali Glagah 21 Kalimantan 5, 18, 19, 20, 42, 46, 75, M 82, 83, 176, 195, 202, 208, 210, 2 Madagaskar 37, 39, 68, 69, 73 12, 213, 219, 222 Madiun 26, 96, 299 Kalimantan Timur 5, 82, 83 Madura 66, 75, 195 Kalingga 82, 161 Mahabharata 95, 137, 150 Kamadhatu 121 Mahabrata 112, 135 Kamboja 103, 148 Mahatir Mohammad 331 Kameswara 99, 100 Mahayana 88, 153, 156, 252, 275, 27 Kanjuruhan 94 6, 279 Karanganyar 22 Mahendradatta 95, 100 Karl Marx 262, 263 Majapahit 94, 102, 103, 104, 109, 128 Katolik v, 9, 199, 203, 204, 205, 206, , 132, 133, 134, 135, 136, 137, 13 207, 208, 209, 210, 211, 212, 214 8, 140, 141, 143, 152, 153, 157, 1 , 215, 216, 217, 220, 221, 222 58, 160, 163, 168, 170, 171, 178, Kebo Edan 127 179, 180, 181, 183, 210, 258, 298 Kedah 90 Makuta Wangsa Wardhana 95 Kedang 73 Malang 96, 100, 118, 143, 299 Kediri 94, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 10 Malaysia 4, 35, 36, 37, 65, 66, 67, 7 8, 109, 131, 137, 138, 140 5, 91, 103, 148, 225, 232, 331, 3 Kedungbrubus 26 36, 339 Kelantan 36 Malayu Ken Arok 100, 101, 102 41, 50, 53, 54, 59, 90, 101. Lihat Kendeng 24, 26 juga Jambi Kerajaan Mataram Hindu 91 Malik al-Saleh 168, 169, 170 Kern, H. 70, 75, 82, 98 Maluku 46, 67, 74, 76, 166, 173, 175 Kertajaya 100, 108 , 176, 179, 181, 205, 207, 208, 20 kidung Sudamala 140 9, 210, 211, 212, 259 Ki Hajar Dewantara 253 Mandala 80, 121, 326 Kili Suci 97 Mangaia 74 Kintamani 106, 127 Manggarai 71, 72, 73, 194 Klaten 119, 122, 123 manusia Indonesia kolonialisme viii, 2, 8, 179, 246, 301 1, 12, 149, 281, 282, 291 Konawe 73 Maori 74 Kota Kapur 87, 88 Marawijaya Tunggawarman 91 Kristen 204, 208, 210, 211, 213, 214, Marco Polo 168 215, 216, 217, 219, 220, 222 Marsden 188, 189, 202, 222 Kroeber 77 Max Havelaar 193 Krtarajasa 132. Lihat juga Raden Wijaya Mekah 173, 180 Kundungga 83 Meko Mbete v, 4, 52, 54, 63, 65, 348 Kupang 66, 212, 214, 215, 217, 223 Melanesia 3, 36, 39, 62, 66, 74 Kutai 5, 82, 83, 84, 113 Melayu Ambon 66

344 Melayu Ampenan 66 0, 173, 175, 176, 177, 178, 179, Melayu Betawi 66 180, 181, 182, 183, 186, 187, 189 Melayu Kupang 66 , 191, 192, 193, 198, 199, 200, 20 Melayu Larantuka 66 3, 204, 207, 208, 209, 210, 212, Melayu Loloan 66 213, 214, 216, 221, 223, 245, 24 Melayu Manado 66 7, 248, 275, 276, 298, 334 Melayu Papua 66 Nusa Tenggara 48, 176, 194, 201, 206, Meoswar 76 207, 208, 209, 210, 211, 212, 215 Merapu 48, 49 , 216, 220, 222, 223, 349 Merauke 65 Nusa Tenggara Timur 48, 194, 206, 207 Merkara 82 , 209, 210, 211, 216, 223 Milan 297 Miles 41 O Minahasa 73, 207, 209, 215, 216, 218 Oppenorth 27 Minang 66, 334 Orde Baru 149, 272, 302, 303, 305, 31 Minangkabau 9, 320, 331, 332, 334 61, 73, 174, 199, 206, 259, 331 Mojokerto 26, 27 P Molengraaf 19 Pakpak 71 Mongoloid 3, 36, 37, 39, 40 Pakubuwono X 298, 299, 313 Mpu Prapanca 102 Palawan 34 Mpu Tantular 103, 152, 155, 159, 160 Palembang 87, 88, 89, 114, 173 , 162, 163 Palu’é 73 Muhammad Yamin 88 Pancasila 7, 149, 155 Mulawarman 83, 84 Papua 4, 18, 19, 66, 67, 68, 74, 76, 7 Multatuli 193. Lihat juga Max Havelaar 7, 78, 80, 211, 213, 214, 215, 219 multietnik 1 , 220, 233 multikultur 1 Papua New Guinea 4, 66, 67, 76, 77 multilingual x, 1 Parameswara 171, 172 Muna 70, 71, 73 Pararaton 103 Museum Nasional 86, 116, 125, 132 parasparopasarpana 161 Myanmar 130, 148 Paris 38, 297, 315 Pasuruan 96 N Pasuwitran Dagang Gantal 328 Nagarakertagama 102, 103 Pattimura 257, 258 Nalanda 91 Pax Neerlandica 200 nasionalisme viii, 2, 197, 201, 248, 258 Pejeng 104, 105 Neanderthal 34 Pekanbaru 331, 333, 334, 337, 339 Nederlandsch Indies 8, 186. Lihat Penjalu 96 juga Belanda Persia 165, 166, 167, 173, 175, 177 Negrito 36 Peter Brown 31 New South Wales 34 Piliang, A.Y 282, 288, 290, 291, 292, Ngadha 73 294, 296 Ngandong 20, 27, 28, 29, 30 Pires, Tome 169, 170, 171, 173, 175, Ngawi 20, 26, 29 204, 205 Ngebung 22, 23, 24 Plaosan 93, 94 Nias iv, 39, 42, 43, 45, 46, 63, 69, 7 Poerbatjaraka 88, 148, 163, 253, 264 2, 73, 219 Polinesia 4, 41, 42, 50, 53, 54, 59, 66 Nieuwenhuys 299 , 67, 73, 75, 79 NKRI x, 2 politik kebudayaan viii, 2 Nusantara v, vii, viii, 2, 3, 4, 8, 9, 1 Portugis 9, 165, 174, 175, 177, 178, 5, 16, 18, 21, 45, 46, 61, 66, 68 179, 203, 204, 205, 206, 207, 208 , 73, 78, 79, 113, 143, 146, 147, , 209, 211, 212, 214, 215, 216, 2 148, 160, 165, 166, 168, 169, 17 17, 221

345 Prancis 23, 87 Roma 204, 210, 297 prasasti abhayagiriwihara 92 prasasti Bawang 88 S prasasti Blanjong 105 Sabang 65 prasasti Canggal 91, 92 Sahul 18, 19, 36, 38 prasasti Dinoyo 94 Sakyakirti 90 Prasasti Hantang 97 Samoa 71, 72, 74 prasasti Kahulunan 92 Sampit 20 prasasti Karang Berahi 87, 90 Samudra Hindia 90 prasasti Kayumwungan 92 Samudra Pasai 165, 167, 168, 169, 170 prasasti Kedu 92 , 171, 172, 174, 181, 183, 205 prasasti Kedukan Bukit 87, 88 Sanggrama Wijaya 96, 97 prasasti Klurak 92 Sang Hyang Kamahayanikan 95 prasasti Kota Kapur 87, 88 Sangiran 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, Prasasti Manjusrigrha 123 29, 30 Prasasti Nalanda 91 Sangir Talaud 73, 207, 216, 219 prasasti Palas Pasemah 88 Sanjaya 91, 92, 93 prasasti Sarwadharma 99 Santa Cruz 74 prasasti Siwagraha 122 Sanusi Pane 198, 253, 262, 263, 264 prasasti Sukabumi 146 Sarekat Dagang Islam 197 prasasti Talang Tuwo 87, 88 Sarekat Islam 197 prasasti Telaga Batu 87, 89 Sasak 50, 52, 53, 62, 63, 66, 70, 71, prasasti Wurare 98 73, 147 Protestan v, 9, 203, 204, 211, 213, 21 Schmulling, P.E.C. 22 4, 215, 216, 217, 218, 219, 220, Selandia Baru 37, 39, 68 221, 222 Selat Malaka 89, 90, 166, 167, 205, 207 Pucangan 22, 23, 24, 25, 26, 30 Senoi 36 Purnawarman 84, 85, 86 Seram 74, 208 Pu Sindok 95 Serawak 34, 35, 37 Sibarani, R. 273, 274, 276, 279 Q sikhara 93 Quentin Atkinson 33 Sikka 73, 209 Simbuang Batu 48 R Singapura 65, 233, 331 Raden Wijaya 132, 133 Siwa Sidhanta 8, 181, 182 Raffles, T.S. 187, 188, 189, 202, 222 Sleman 94, 115 Ragajaya 100, 108 Sobei 76 Raja Megat Iskandar Syah 172. Lihat Soekmono, R. 112, 119, 135, 143, 168 juga Parameswar , 169, 171, 174, 183 Ramayana 112, 122, 135, 139, 143, 15 Soeriadiredja 48 0, 151, 152 Spanyol 166, 174, 178, 203, 208, 209 Rambu Solo 46 Sragen 22, 28 Rante Kalimbuang 48 Sri Gunapriya Dharmapatni Rapanui 74 100, 106, 107. Lihat juga Mahendra- Rarotonga 74 datta Ray 77 Sri Isanatungga Wijaya 95 Reformasi 215, 322 Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Reid, A. 167, 183, 188, 202, 204, 205 Anantawikrama Tunggadewa 96 , 206, 222 Sriwijaya 8, 66, 87, 88, 89, 90, 91, 11 Rendra, W.S. 305 0, 114, 124, 168, 182, 183, 258 Riau 13, 14, 66, 75, 130, 174, 318, 3 Sutan Takdir Alisjahbana (STA) 250, 251 19, 324, 330, 331, 332, 333, 334, , 252, 253, 254, 255, 256, 257, 25 338, 339 8, 259, 260, 262, 263, 265, 266, 2 Richard Klein 32, 33 67, 269, 271, 273, 274, 276

346 Sugriwa 135, 152, 163, 328 Tidore 176, 179, 205 Sulawesi 31, 42, 67, 73, 75, 173, 176, 1 Timor Leste 80, 209, 212, 213 79, 194, 195, 209, 213, 215, 218 Timor Timur 216, 217. Lihat Sumatra 9, 18, 19, 20, 35, 50, 63, 87, juga Timor Leste 115, 127, 167, 173, 174, 177, 179, Tiongkok 42, 169, 173, 203, 207 187, 188, 190, 195, 198, 201, 202, T. Jacob 26 204, 206, 209, 211, 213, 215, 220, Tolaki 73 221, 222 Tonga 71, 72, 74 Sumpah Pemuda vi, 10, 65, 66, 197, 22 Toraja 43, 44, 45, 46, 47, 48, 53, 64 3, 224, 226, 227, 231, 237, 239, 2 , 73, 218 48, 249 Trinil 20, 22, 26, 28, 29, 30 Sunda 4, 18, 19, 21, 36, 38, 62, 66, 67 Trowulan 104, 138 , 70, 71, 72, 73, 75, 90, 110, 147, Tuban 96, 177, 301 175, 179, 331 Tulungagung 34, 35 Sungai Brantas 96, 97 Turki 174, 177 Sungai Cemoro 24 Sungai Citarum 84 U Sungai Kampar 20 Udayana iii, iv, v, vii, viii, ix, x, 80, Sungai Kapuas 20, 219 95, 100, 106, 107, 108, 127, 131 Suparlan, P. 271, 272, 273, 276, 279 , 242, 278, 279, 315, 347, 348, Surabaya 96, 107, 176, 296, 299, 301 349, 350 Suryadi 318, 331, 332, 333, 334, 335, 3 Ukraina 34 36, 337, 339 Sutasoma v, 7, 103, 136, 145, 146, 149 V , 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157 Van der Tuuk, H. 75, 76, 110 , 158, 159, 160, 161, 162, 163 van Leur, J.C. 177, 186 Sutherland, H. 195, 202 Vereenigde Oost Indische Compagnie Sutjiati Beratha, N.L. v, viii, 3, 39, 50, 52 (VOC) 179, 186, 211, 215, 216 , 53, 63, 347 Vereeniging Toeristen Verkeer Swiss 297 300, 301, 316 Von Heine-Geldern 81 T Tagalog 62, 69, 70, 71, 72 W Taiwan 37, 39, 42, 44, 45, 46, 68 Wajak 34, 35, 36, 37 Talinbu 74 Warmadewa 95, 105, 106, 107 taman Sriksetra 88 Watu Renggong 180 Tam Pa Ling 34 Weber, Max 19 Tanahmerah 77 Wonosobo 6, 119, 142 Tanimbar 46, 208 Tantra 125 Y Tarumanagara 5, 82, 83, 84, 85, 86, 88 Yogyakarta 63, 79, 94, 109, 110, 115 Tarumanegara 109, 114. Lihat juga Taru- , 119, 122, 163, 164, 168, 169, managara 181, 183, 202, 295, 296, 314, 3 Tasmania 35 15, 348 Teeuw, A. 147, 164, 249, 251, 252, 279 Tegal 21, 117 Z Ter Haar 27 Zhejiang 42 Ternate 176, 179, 195, 205, 211 Zoetmulder, P.J. Tetun 71, 73 146, 152, 153, 157, 164 Teuku Umar 179, 257, 258 Thomas Horsfield 188

347 I Wayan Ardika, lahir di Tabanan pada tanggal 18 Februari 1952. Sejak tahun 1980 sebagai tenaga edukatif di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. I Wayan Ardika sebagai Guru Besar di Prodi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana sejak 1998 hingga sekarang. Sebagai guru besar ilmu arkeologi, I Wayan Ardika tertarik untuk meneliti masa prasejarah Bali, sejarah Bali Kuno, dan pariwisata warisan budaya. Menulis beberapa buku antara lain: Stratifikasi Sosial pada masa Prasejarah di Bali (2017), Perajin pada Masa Bali Kuno (2015), Warisan Budaya Perspektif Masa Kin (2015), Sejarah Bali dari Masa Prasejarah sampai Modern (2012), Pusaka Budaya dan Pariwisata (2007). Mengikuti seminar dan menerbitkan sejumlah karya ilmiah di jurnal internasional.

Ni Luh Sutjiati Beratha, menyelesaikan pendidikan magister di Monash University Melbourne, dan doktor di Australian National University di Canberra. Mampun menghasilkan sejumlah publikasi dari hasil penelitian baik di jurnal nasional dan internasional, dan menulis buku ajar untuk siswa Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Menaruh minat besar untuk penelitian yang terkait dengan pelestarian kebudayaan Bali. Marginalisasi Bahasa Bali, Ekologi Bahasa Bali di Kawasan Pariwisata di Bali, Komodifikasi/ Hibridisasi Kerajinan Bali, Industri Budaya, dll. Saat ini sedang menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Unud.

Aron Meko Mbete adalah Guru Besar di bidang linguistik serapan, mengajar di Fakultas ilmu Budaya Universitas Udayana.

I Ketut Setiawan adalah staf pengajar di Jurusan Arkeologi sejak 1985. Pada 1995 meraih gelar Master di Universitas Indonesia dan melanjutkan pendidikan S3 Kajian Budaya di Universitas Udayana dan memperoleh gelar Doktor pada 2011. Di samping sebagai dosen di Jurusan Arkeologi juga menjadi staf pengajar di Program Magister dan Doktor Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

I Wayan Redig mengajar di Jurusan Arkeogoli dan Program Magister dan Doktor Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Pendidikan terakhir S3 tahun 1993 di Punyab University Chandigarh, India.

348 I Nyoman Suarka dilahirkan di Tabanan, 12 Pebruari 1961. Dia adalah guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dalam bidang ilmu Sastra Jawa Kuna. Dia menyelesaikan S3 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2007. Buku yang telah diterbitkan, antara lain Kidung Tantri Pisacarana (Denpasar: Pustaka Larasan, 2007); Makna Hari Suci Agama Hindu Menurut Lontar Sundarigama (Denpasar: Cakra Press, 2008); Telaah Sastra Kakawin Sebuah Pengantar (Denpasar, Pustaka Larasan, 2009); Nilai Karakter Bangsa dalam Permainan Tradisional Anak-anak Bali (Denpasar: Udayana University Press, 2011); Meniti Kehidupan Berguru dari Pengalaman & Riwayat Leluhur Pande di Bali (Denpasar: Udayana University Press, 2015). Minat penelitiannya mencakup aksara, bahasa, sastra dan budaya Bali serta bahasa dan sastra Jawa Kuna (Kawi).

Ida Ayu Wirasmini Sidemen adalah staf pengajar di Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Pendidikan terakhir S3 diselesaikan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

I Ketut Ardhana adalah Guru Besar Sejarah Asia pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Ia menyelesaikan Program Master di Australian National University (ANU) Australia dan Program Doktor pada Ilmu-Ilmu Asia Tenggara pada Universitat Passau di Passau Jerman tahun 2000. Bukunya yang sudah terbit Penataan Nusa Tenggara Pada Masa Kolonial (1915—1950), Jakarta: Raja Grafiti, 2005, “History Education in Borderline Territory”, dalam Historia: International Journal of History, Vol. XIV, No.1 (June, 2013), “Early Harbours in Eastern Nusa Tenggara”, dalam John N. Miksic and Goh Geok Yien (eds). Ancient Harbours in Southeast Asia: The Archaelogy of Early Harbours and Evidence of Inter-Regional Trade. Bangkok: SEAMEO SPAFA: Regional Center for Archaelogy and Fine Arts, 2013. Minat penelitiannya mencakup penelitian sejarah, kota pusaka budaya, kajian budaya, dan studi perbatasan di Asia Tenggara. Email: [email protected]

I Wayan Pastika adalah Guru Besar bahasa Indonesia dan linguistik di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Pendidikan doktor dalam bidang linguistik umum diselesaikan di Department of Linguistics, Faculty of Arts, The Australian National University di Canberra Australia tahun 2000. Disertasinya bertajuk Voice Selection in Narrative Balinese Discourse. Sejak 1 April 2017 sampai 1 April 2020 diberi izin oleh Rektor Universitas Udayana untuk mengajar bahasa Indonesia dan linguistik di Graduate School of Language and Culture Osaka University, Jepang.

349 I Wayan Resen adalah staf pengajar di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

I Nyoman Dhana adalah staf pengajar di Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Minat penelitiannya mencakup penelitian antropologi, masyarakat multikultural, dan kajian budaya.

Ida Bagus Gde Pujaastawa. lahir di Denpasar, 18 November 1962. Dosen tetap Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Menyelesaikan studi doktoral di Program S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana tahun 2011. Di samping mengajar juga aktif meneliti, menulis artikel, buku, dan sebagai pembicara masalah-masalah sosial-budaya dan kepariwisataan di berbagai pertemuan ilmiah. E-mail : ibg_pujaastawa@ yahoo.co.id

I Nyoman Darma Putra adalah dosen Fakultas Ilmu Budaya dan Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Universitas Udayana. Menyelesaikan program doktor di School of Languages and Coparative Cultural Studies, University of Queensland, 2003, dan sejak 2013 menjadi honorary professor di almamaternya ini. Disertasinya terbit menjadi buku A literary mirror; Balinese reflections on modernity and identity in the twentieth century (Leiden: KITLV Press, 2011). Menulis beberapa buku biografi tokoh pariwisata Bali dan menyunting buku termasuk Pariwisata Berbasis Masyarakat Model Bali (2015) dan bersama Siobhan Campbell mengedit buku Recent Developments in Bali Tourism: Culture, Heritage, and Landscape in an Open Fortress (2015). Ia kini ketua editor Jurnal Kajian Bali (terakreditasi) dan Jumpa (Jurnal Master Pariwisata).

Ida Bagus Putra Yadnya adalah Guru Besar di bidang Linguistik / Terjemahan, dosen di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya. Saat ini menduduki posisi sebagai Ketua Program Magister Linguistik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana dan sebagai Ketua Grup Riset Linguistik Terapan berfokus pada terjemahan, pembelajaran bahasa, perencanaan bahasa, dan linguistik kebudayaan.

350