AKTIVITAS EKSTRAK DAUN LAMPENI

( elliptica Thunb.) TERHADAP TIKUS SPRAGUE

DAWLEY YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN (STZ)

MUHAMAD AMIN

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M / 1439 H AKTIVITAS EKSTRAK DAUN LAMPENI

( Thunb.) TERHADAP TIKUS SPRAGUE

DAWLEY YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN (STZ)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains

pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

MUHAMAD AMIN 1113095000009

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M / 1439 H

Scanned by CamScanner ABSTRAK MUHAMAD AMIN. Aktivitas Ekstrak Daun Lampeni (Ardisia elliptica Thunb.) Terhadap Tikus Sprague Dawley yang Diinduksi Streptozotocin (STZ). Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibimbing oleh Dr. Kurnia Agustini, M. Si. Apt. dan drh. R. R. Bhintarti Suryohastari, M. Biomed. 2017. Senyawa aktif yang ada pada daun lampeni adalah α dan β-amyrin. Pada penelitian sebelumnya α dan β-amyrin merupakan senyawa aktif yang telah teruji dapat mencegah terjadinya hiperglikemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun lampeni terhadap pankreas tikus Sprague Dawley yang diberi pakan tinggi lemak (PTL) dan diinduksi streptozotocin (STZ) dengan menganalisis secara statistik melalui pengukuran kadar glukosa dan jumlah sel β. Penelitian ini diawali dengan melakukan ekstraksi daun lampeni menggunakan etanol food grade 70% sebagai pelarut. Melalui proses ekstraksi didapatkan sebanyak 210 g ekstrak kental yang kemudian ekstrak tersebut diujikan terhadap tikus Sprague Dawley yang telah dinyatakan hiperglikemia melalui pemberian PTL dan induksi STZ. Tikus Sprague Dawley dibagi menjadi enam kelompok perlakuan, tiap kelompok terdiri dari lima tikus, yaitu kelompok normal (KN), negatif (K(–)), positif (K(+)), dosis 1 (D1), dosis 2 (D2), dan dosis 3 (D3). Hasil penelitian menunjukan bahwa kelompok D3 memiliki persentase penurunan kadar glukosa puasa tertinggi yaitu sebesar 39%, akan tetapi berdasarkan analisis statistik Kruskal-Wallis nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan D1 dan D2 yang memiliki persentase penurunan sebesar 22% dan 28% (P<0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian ekstrak pada D1 lebih baik karena dengan dosis yang lebih rendah mampu memberikan efek yang sama dengan perlakuan D2 dan D3. Pemberian ekstrak daun lampeni juga menunjukan peningkatan jumlah sel β sebesar 48% pada kelompok D1, 53% pada D2, dan 37% pada D3. Berdasarkan anlisis statistik Kruskal-Wallis, kelompok perlakuan D1, D2, dan D3 tidak berbeda bermakna dengan KN (P<0,05). Penelitian ini menyimpulkan bahwa ekstrak daun lampeni mampu menurunkan kadar glukosa pada tikus Sprague Dawley yang mengalami DM tipe 2 secara berbeda bermakna (P<0,05) mulai dosis 3 (400 mg/kg BB) pada hari ke-10 dan mampu meningkatkan jumlah sel β secara berbeda bermakna (P<0,05) mulai dosis 1 (100 mg/kg BB).

Kata kunci : Hiperglikemia, Ardisisa elliptica, Pakan Tinggi lemak, Streptozotocin

ABSTRACT MUHAMAD AMIN. Activities of Lampeni Extract (Ardisia elliptica Thunb.) on Sprague Dawley Rats Induced by Streptozotocin. Biology Study Program. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Guided by Dr. Kurnia Agustini, M. Si. Apt. and drh. R. R. Bhintarti Suryohastari, M. Biomed. 2017. The active compounds of Lampeni leaves is α and β-amyrin. In previous studies α and β-amyrin are active compounds that have been tested to prevent the occurrence of hyperglycemia. The aim of this research is to know the activity of lampeni leaves extract to pancreas of Sprague Dawley rats with high fat diet (PTL) and induced by streptozotocin (STZ) on statistically analyzing through measurement of glucose level and β cell count. This research was started by extraction of lampeni leaves using ethanol food grade 70% as solvent. Through the extraction process, 210 g of extract is obtained and then the extract was tested to the Sprague Dawley rats that have been hyperglycemia with induced by STZ. The Sprague Dawley rats were divided into six treatment groups, each group consisting of five mice, the normal group (KN), negative (K (–)), positive (K (+)), dose 1 (D1), dose 2 (D2), and dose 3 (D3). The research showed that D3 group had the highest percentage of decreasing in fasting glucose level of 39%, However, based on Kruskal-Wallis statistic analysis, it was not significantly different with D1 and D2 which had a decreasing percentage of 22% and 28% (P <0,05) so it can be said that the provision of extract at D1 better than D2 and D3. Other results showed enhancement number of β cells amount 48% in D1 groups, 53% in D2 groups, and 37% in D3 groups. Based on the Kruskal-Wallis statistical analysis, D1, D2, and D3 did not differ significantly with KN (P <0.05). This study concluded that the lampeni leaves extract was able to decrease glucose level in Sprague Dawley rats with DM type 2 significantly (P<0,05) start on dose 3 (400 mg/kg BB) at 10th day and was able to increase the number of β cells significantly (P<0,05) start on dose 1 (100 mg/kg).

Key word: Hyperglycemia, Ardisia elliptica, High Fat Diet, Streptozotocin

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Maha Pemberi Rahmat dan senantiasa memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya tanpa terkecuali, yang juga telah memberikan kemudahan bagi penulis dalam menulis serta menyusun skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulallah

Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana (S1) dalam Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Aktivtas Ekstrak Daun

Lampeni (Ardisia elliptica Thunb.) terhadap Tikus Sprague Dawley yang

Diinduksi Streptozotocin (STZ)”. Penyelesaian skripsi ini didukung oleh berbagai pihak baik dukungan moril maupun materil, untuk itu dalam kesempatan kali ini penulis berterimakasih kepada:

1. Kedua Orang tua dan Kakak-kakak saya tercinta yang telah memberikan do’a

dan dukungannya kepada penulis.

2. Dr. Agus Salim, M.Si. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Dasumiati, M.Si. selaku Kepala Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Kurnia Agustini, M.Si.Apt. & drh. R. R. Bhintarti Suryohastari, M.

Biomed. selaku pembimbing penelitian yang berkenan membimbing dan

memberikan arahan kepada penulis.

5. Ustadz Taslimun, M. A. yang telah menjadi orang tua asuh bagi penulis dalam

menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

iv v

6. Seluruh dosen yang telah mendidik penulis selama menuntut ilmu di Program

Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Para pembimbing lapangan (Bu Sri Ningsih, Bu Idah, Bang Julham, Mas Ari,

dan Mba Hami) yang telah membantu dan membimbing penulis dalam

menyelesaikan penelitian di Laboratorium Farmakologi LAPTIAB.

8. Rekan-rekan Antidiabetes Squad (Maulana Malik A, Kartika Putri R, dan

Endah Mardhekawati) yang telah membantu dan memberikan dukungan

kepada penulis selama penelitian di Laboratorium Farmakologi LAPTIAB.

9. Sahabat terbaik saya Reza Malik, Wahyu Putro, dan Ade Prasetyo yang telah

memberikan pelajaran hidup dan arti penting sebuah persahabatan serta selalu

menolong ataupun membantu kebutuhan penulis.

10. Kepada seluruh keluarga besar organisasi ataupun komunitas yang telah

memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman baru kepada penulis, Oase

Corner, Menwa UIN Jakarta, Dapur Seni, Himbio Oryza sativa, KKN Cocos

nucifera dan Gerakan Banten Mengajar.

11. Teman-teman Resimen Mahasiswa angkatan Nusantara dan juga teman-teman

Biologi 2013 yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis.

Demikianlah hasil penelitian ini disusun, semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai ilmu dan sumber pengetahuan bagi para pembaca khususnya para mahasiswa/i Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Januari 2018

Muhamad Amin

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... iv

DAFTAR ISI ...... vi

DAFTAR TABEL ...... ix

DAFTAR GAMBAR ...... x

DAFTAR LAMPIRAN ...... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Rumusan Masalah ...... 3

1.3 Hipotesis ...... 3

1.4 Tujuan Penelitian ...... 3

1.5 Manfaat Penelitian ...... 4

1.6 Kerangka Berpikir ...... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...... 5

2.1 Tanaman Lampeni (Ardisia elliptica Thunb.) ...... 5

2.2 Kandungan Kimia ...... 6

2.3 Aktivitas Biologi ...... 7

2.4 Ekstrak dan Ekstraksi ...... 7

2.5 Diabetes Mellitus ...... 8

2.5.1 Diabetes Mellitus Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM) ...... 10

2.5.2 Diabetes Mellitus Tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabete Mellitus/NIDDM) ...... 10

vi vii

2.5.3 Diabetes Mellitus Tipe Lain ...... 10

2.5.3 Diabetes Mellitus Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/GDM) ...... 11

2.6 Terapi Farmakologi ...... 11

2.6.1 Terapi Insulin ...... 11

2.6.2 Obat Hipoglikemik Oral (OHO) ...... 12

2.7 Glibenklamid ...... 12

2.8 Metformin ...... 12

2.9 Glucagon Like Peptide Analogue (GLP-Analog) ...... 13

2.10 Streptozotocin (STZ) ...... 13

2.11 Pakan Tinggi Lemak (PTL) ...... 14

2.12 Tikus Sprague Dawley ...... 16

BAB 3 METEDOLOGI PENELITIAN ...... 18

3.1 Waktu dan Tempat ...... 18

3.2 Alat dan Bahan ...... 18

3.3 Prosedur Kerja ...... 19

3.3.1 Determinasi Tanaman ...... 19

3.3.2 Pembuatan Simplisa dan Ekstrak ...... 19

3.3.3 Penapisan Fitokimia ...... 20

3.4 Pengajuan pada Hewan Uji ...... 22

3.4.1 Pengajuan Izin Etik ...... 22

3.4.2 Rancangan Percobaan ...... 22

3.4.3 Pembuatan Hewan Model Diabetes Mellitus Tipe 2 ...... 23

3.4.4 Pemberian Bahan Uji ...... 23

3.4.5 Pengukuran Kadar Glukosa ...... 23

viii

3.4.6 Pembuatan Preparat Histologi Pankreas ...... 24

3.4.7 Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ...... 26

3.4.8 Pengamatan Preparat ...... 26

3.5 Analisis Data ...... 27

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 28

4.1 Pembuatan Simplisia dan Ekstrak ...... 28

4.3 Penapisan Fitokimia ...... 29

4.4 Pengujian pada Hewan Uji ...... 30

4.4.1 Pengambilan Data Berat Badan ...... 30

4.4.2 Kadar Glukosa Hewan Uji Selama 21 Hari ...... 31

4.5 Pengamatan Histologi Pankreas ...... 37

4.5.1 Gambaran Histologi Pankreas ...... 37

4.5.2 Jumlah Langerhans, Sel β, dan Luas Langerhans ...... 42

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...... 46

5.1 Kesimpulan ...... 46

5.2 Saran ...... 46

DAFTAR PUSTAKA ...... 47

LAMPIRAN ...... 52

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Senyawa Fitokimia pada Lampeni ...... 7

Tabel 2. Klasifikasi Diabetes Mellitus ...... 9

Tabel 3. Komposisi Pakan Tinggi Lemak (PTL) ...... 15

Tabel 4. Kelompok Perlakuan pada Metode Induksi Streptozotocin ...... 22

Tabel 5. Pengukuran Berat Badan ...... 52

Tabel 6. Pemberian Ekstrak ...... 53

Tabel 7. Data Kadar Glukosa Puasa ...... 53

Tabel 8. Jumlah Langerhans, Sel β, dan Luas Langerhans ...... 54

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Berfikir ...... 4

Gambar 2. Tanaman, Bunga, Buah dan Daun Lampeni (Ardisia elliptica) ...... 5

Gambar 3. Struktur Kimia Streptozotocin (STZ) ...... 14

Gambar 4. Tikus Putih (Rattus norvegicus) ...... 17

Gambar 5. Serbuk Simplisia dan Ekstrak Kental Daun Lampeni ...... 28

Gambar 6. Grafik Peningkatan Berat Badan pada Hewan Uji ...... 30

Gambar 7. Nilai Rata-rata Kadar Glukosa hari ke-0 s.d. ke-21 ...... 32

Gambar 8. Nilai Rata-rata Kadar Glukosa pada Tiap Kelompok ...... 35

Gambar 9. Pankreas Tikus Kontrol Normal ...... 38

Gambar 10. Pankreas Tikus Kontrol Negatif ...... 38

Gambar 11. Pankreas Tikus Kontrol Positif ...... 39

Gambar 12. Pankreas Tikus Kontrol Dosis 1 ...... 39

Gambar 13. Pankreas Tikus Kontrol Dosis 2 ...... 40

Gambar 14. Pankreas Tikus Kontrol Dosis 3 ...... 40

Gambar 15. Nilai Rata-rata Jumlah Pulau Langerhans dan Sel β ...... 42

Gambar 16. Nilai Rata-rata Luas Area Pulau Langerhans ...... 43

Gambar 17. Proses Pengeringan Simplisia ...... 58

Gambar 18. Proses Pembuatan Ekstrak Kental Daun Lampeni ...... 58

Gambar 19. Pemberian Pakan Tinggi Lemak ...... 59

Gambar 20. Pengukuran Kadar Glukosa dan Pengambilan Organ Pankreas...... 59

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Hasil Penelitian ...... 52

Lampiran 2 Hasil Determinasi Daun Lampeni ...... 55

Lampiran 3 Spesifikasi Streptozotocin ...... 56

Lampiran 4 Dokumentasi Kegiatan ...... 57

Lampiran 5 Analisis Statistik SPSS ...... 59

xi BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolisme kronis dimana pankreas tidak dapat memproduksi insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Ketidakmampuan tubuh memproduksi insulin atau menggunakannya secara efektif dapat menyebabkan tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia). Hiperglikemia yang terjadi dari waktu ke waktu dapat menyebabkan kerusakan berbagai sistem tubuh terutama syaraf dan pembuluh darah. Beberapa konsekuensi dari DM yang sering terjadi adalah meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke, neuropati (kerusakan syaraf), retinopati diabetikum, gagal ginjal, dan risiko kematian yang tinggi

(Kemenkes RI, 2014).

Diabetes mellitus terbagi dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu DM tipe 1,

DM tipe 2, DM tipe lain, dan DM gestasional. DM tipe 1 dikenal sebagai Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) yang diperantarai oleh destruksi sel β baik oleh proses autoimun maupun idiopatik. DM tipe 2 dikenal sebagai Non Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yang diperantarai oleh adanya resistensi insulin disertai disfungsi sel β, DM tipe lain disebabkan oleh etiologi lain, sedangkan DM gestasional adalah keadaan hiperglikemia yang didapatkan saat kehamilan (Kemenkes RI, 2014). DM tipe 2 merupakan tipe yang paling umum dijumpai dan prevalensinya mencapai 90-95% dari jumlah penderita DM lainnya

(WHO, 2016).

1 2

Menurut WHO (2016), diperkirakan bahwa secara global 422 juta orang dewasa berusia diatas 18 tahun hidup dengan DM pada tahun 2014. International

Diabetes Federation (IDF) memberikan proyeksi sekitar 415 juta orang dewasa menderita DM dan diperkirakan akan meningkat menjadi 642 juta orang pada tahun

2040. Pada tahun 2000 jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 9,1 juta orang,

8,4 juta orang diantaranya adalah DM tipe 2 dan diperkirakan akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030 (Diabetes Care 2004 dalam Kemenkes RI, 2009).

Pengobatan DM telah dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan pemberian insulin maupun menggunakan obat sintetis seperti glibenklamid dan metformin. Efek samping dalam penggunaan obat sintetis seperti glibenklamid dapat menyebabkan hipoglikemia dan penggunaan metformin secara terus menerus dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan serta gagal ginjal. Oleh karena itu, dilakukan beberapa alternatif dalam menangani DM, salah satunya adalah dengan melakukan terapi herbal, yaitu suatu proses penyembuhan dengan menggunakan ramuan berbagai tanaman yang berkhasiat obat. Pengobatan ini dinilai sebagai pengobatan yang murah dan mudah di dapat. Salah satu tanaman yang memiliki khasiat sebagai obat adalah lampeni (Ardisia elliptica Thunb.)

(Utami, 2003).

Lampeni merupakan salah satu jenis tanaman yang berasal dari Indonesia, daunnya biasa digunakan sebagai obat diare ataupun penyakit kudis. Penelitian terbaru mengenai aktivitas biologi daun lampeni adalah sebagai antiplatelet (Ching et al., 2010). Daun lampeni memiliki beberapa senyawa fitokimia yang terdiri dari

α-amyrin, β-amyrin, bauerenol, rapanone, 5-(Z-heptadec-4’-enyl)resorcinol, dan 5- pentadecylresorcinol (Jianhong, 2011). Saat ini belum ada penelitian ataupun 3

penggunaan daun lampeni sebagai penurun kadar glukosa, namun berdasarkan kandungan senyawa fitokimia yang ada pada daun lampeni yaitu α-amyrin dan β- amyrin, diduga daun lampeni berpotensi dalam mengobati DM. Dugaan tersebut diperkuat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Narander (2009) dan Santos

(2012) mengenai senyawa α-amyrin dan β-amyrin yang memiliki aktivitas sebagai antihiperglikemia. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah penelitian ini dengan menggunakan model hewan uji berupa tikus yang diinduksi dengan streptozotocin (STZ).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah aktivitas ekstrak daun lampeni dapat menurunkan kadar glukosa

terhadap tikus Sprague Dawley yang diinduksi STZ?

2. Apakah aktivitas ekstrak daun lampeni dapat meningkatkan jumlah sel

β pankreas pada tikus Sprague Dawley yang diinduksi STZ?

1.3 Hipotesis

1. Ekstrak daun lampeni dapat menurunkan kadar glukosa pada tikus

Sprague Dawley yang diinduksi STZ.

2. Ekstrak daun lampeni dapat meningkatkan jumlah sel β pankreas pada

tikus Sprague Dawley yang diinduksi STZ.

1.4 Tujuan Penelitan

Untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun lampeni terhadap tikus Sprague

Dawley yang diinduksi STZ.

4

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang daun lampeni dan pemanfaatannya dalam mengobati penyakit DM khususnya DM tipe 2.

1.6 Kerangka Berpikir

Tikus putih jantan 1. Induksi PTL

Sprague Dawley 2. Induksi STZ

Diabetes Mellitus (DM)

DM tipe 1 DM tipe 2

Kadar glukosa meningkat dan terjadi penurunan jumlah sel β

komplikasi kronis pada mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh

darah Pengobatan DM tipe 2

dengan ekstrak daun lampeni

Pengamatan Pengukuran kadar glukosa dan Histologi Pankreas penghitungan jumlah sel β

Kadar glukosa, berat badan, dan histologi pankreas

Gambar 1. Kerangka berpikir. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Lampeni (Ardisia elliptica Thunb.)

Lampeni (Ardisia elleptica Thunb.) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang ada di Indonesia dan tersebar di beberapa wilayah meliputi Jawa, Sumatra,

Sulawesi, dan Maluku. dan Ardisia humilis dianggap sebagai spesies yang sama dengan Ardisia elliptica oleh beberapa ahli botani (Lim,

2012). Klasifikasi lampeni adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae; Superdivisi:

Spermatophyta; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Magnoliopsida; Ordo: Primulales;

Famili: Myrsinaceae; Genus: Ardisia; Spesies: Ardisia elliptica Thunb. Gambar 2 menunjukan foto tanaman, bunga, buah, dan daun lampeni.

a b

c d

Gambar 2. Tanaman (a), bunga (b), buah (c). dan daun (d) Ardisia elliptica Thunb. (Lim, 2012).

5 6

Lampeni merupakan tumbuhan yang tingginya dapat mencapai 1‒5 m dengan satu batang dan ranting-ranting yang tegak lurus (Jianhong, 2011). Lampeni memiliki batang yang kuat dengan warna kulit keabu-abuan dan memiliki perakaran tunggang. Daun lampeni merupakan jenis daun majemuk yang memiliki tekstur kasar dan elastis, berbentuk bulat telur terbalik berukuran 15‒18 x 5‒7 cm, berwarna merah muda ketika masih muda dan akan menjadi hijau gelap ketika sudah tua. Perbungaan tandan di ketiak daun dengan ukuran 6‒13 mm, sering berbentuk payungan, mahkota ungu-kemerahan. Diameter buah 5‒6 mm, panjang

1,5 cm (Lim, 2012). Penyerbukan spesies ini dibantu oleh serangga dan bisa pula oleh dirinya sendiri (self-fertile) (Pascarella, 1997).

Lampeni merupakan tumbuhan yang berasal dari Sri Lanka, India, ,

Taiwan, Malaysia, Indonesia, dan Filipina (Lim, 2012). Spesies ini merupakan tumbuhan yang toleran di bawah naungan dan biasanya tumbuh dibawah kanopi pohon (Domingguez, et al 2002). Pada dasarnya lampeni juga merupakan tumbuhan yang sangat invasive (Center for Aquatic And Invasive , 2001).

2.2 Kandungan Kimia

Genus Ardisia termasuk lampeni diidentifikasi menjadi sumber yang kaya akan senyawa fitokimia dan memiliki potensi sebagai agen terapi (Kobayasihi dan de Meija, 2005; Lim, 2012). Senyawa tersebut meliputi α-amyrin, β-amyrin, bauerenol, bergenin, isorhamnetin, quercetin, syringic acid, rapanone, 5-(Z- heptadec-4’-enyl)resorcinol, dan 5-pentadecylresorcinol (Jianhong, 2011). Hasil penelitian mengenai senyawa fitokimia yang terdapat dalam lampeni dirangkum dalam tabel 1.

7

Tabel 1. Senyawa fitokimia pada lampeni

Senyawa fitokimia Bagian tanaman Referensi α-amyrin Daun Ahmad et al., 1977 Ahmad et al., 1977; β-amyrin Daun, batang Chow et al., 1991 Bauerenol Daun Ahmad et al., 1977 Bergenin Seluruh bagian tanaman Liu et al., 1993 Phadungkit and Isorhamnetin Buah Luanratana, 2006 Phadungkit and Quercetin Buah Luanratana, 2006 Phadungkit and Syringic acid Buah Luanratana, 2006 Rapanone Daun, batang Chow et al., 1991 5-(Z-heptadec-4’- Daun Jalil et al., 2004 enyl)resorcinol 5-pentadecylresorcinol Daun Jalil et al., 2004

2.3 Aktivitas Biologi

Pada beberapa penelitian sebelumnya, telah ditemukan bahwa lampeni memiliki beberapa aktivitas biologi diantaranya sebagai antiproliferatif

(Moongkarndi et al., 2004), antiviral (Kobayashi and de Mejia, 2005; Chiang et al.,

2003), antiplatelet (Jalil et al., 2004; Ching et al., 2010), antibakterial (Phadungkit

& Luanratna, 2006; Khan et al., 1991), dan antiplasmodial (Noor Rain et al., 2007), juga pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pengujian mengenai potensi ekstrak etanol daun lampeni dan fraksinya sebagai agen antiproliferatif terhadap sel kanker hati HepG2 oleh Kusumastuti pada tahun 2015.

2.4 Ekstrak dan Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi 8

baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 2005). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehinggga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, falvonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik dengan cara dingin yang terdiri dari maserasi dan perlokasi ataupun dengan cara panas yang terdiri dari refluks, soxhletasi, digesti, infus ataupun dekok. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi dengan cara dingin yaitu maserasi. Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia yang paling sederhana, menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (20‒23ºC). Maserasi digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung stirak, benzoin dan lain-lain. Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara merendam 10 bagian serbuk simplisia dalam 75 bagian cairan penyari

(pelarut) (Ditjen POM, 2000).

2.5 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakterstik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duamya (Perkeni, 2015). Hiperglikemia merupakan suatu keadaan dimana kadar glukosa dalam darah melebihi batas normal. Menurut Kementrian

Kesehatan (2014), kriteria DM ditegakkan apabila: 9

1. Nilai Gula Darah Sewaktu (GDS) >200 mg/dl ditambah 4 gejala khas DM

positif ( banyak makan, sering kencing, sering haus, dan berat badan turun)

2. Nilai Gula Darah Puasa (GDP) >126 mg/dl ditambah 4 gejala DM positif.

3. Nilai Gula Darah Setelah Makan (GDPP) >200 mg/dl meskipun nilai

GDP<126 mg/dl dan/atau keempat gejala khas DM tidak semuanya positif.

Pada expert comitte (2003), penyakit yang mendasari diagnosis DM ini diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu: DM tipe 1 (Insulin Dependent

Diabetes Mellitus/IDDM), DM tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus/NIDDM), DM tipe lain, dan DM Gestational (GDM). Klasifikasi DM terbaru menurut American Diabetes Association (ADA) dan Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia (Perkeni) di jelaskan dalam tabel 1.

Tabel 2. Klasifikasi diabetes mellitus DM Tipe 1 : Kerusakan sel β , umumnya disebabkan oleh defisiensi insulin absolut a. Diperantarai oleh sistem imun b. Idiopatik DM Tipe 2 : Bervariasi, mulai dari resistensi insulin yang disertai defisiensi insulin relatif hingga kerusakan sekresi insulin yang dibarengi resistensi insulin. DM Tipe Lain : a. Kerusakan genetik fungsi sel β b. Kerusakan genetik pada kerja insulin c. Penyakit pankreas eksokrin d. Endokrinopati e. Obat-obatan atau bahan kimia f. Infeksi g. Bentuk tak lazim diabetes imunologik h. Sindrom genetik lain yang kadang berkaitan dengan DM DM Gestational Sumber : American Diabetes Association, 2012; Perkeni, 2015

10

2.5.1 Diabetes Mellitus Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM)

Diabetes mellitus tipe 1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini diakibatkan oleh kerusakan sel β baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti (World Diabetes Foundation,

2009). Manifestasi klinis pertama dari DM tipe 1 adalah ketoasidosis.

2.5.2 Diabetes Mellitus Tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus/NIDDM)

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel β akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi (Ndraha, 2014).

2.5.3 Diabetes Mellitus Tipe Lain

Diabetes mellitus tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel β, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, 11

penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain (Ndraha, 2014).

2.5.4 Diabetes Mellitus Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/GDM)

Diabetes mellitus gestasional (GDM) didefinisikan sebagai suatu keadaan intoleransi glukosa atau karbohidrat yang terjadi atau pertama kali ditemukan pada saat kehamilan berlangsung (WHO, 2011). GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa kehamilan.

2.6 Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi merupakan salah satu penanganan yang dilakukan pada penderita DM tipe 2 yang biasanya dilakukan bersamaan dengan pengaturan pola makan dan gaya hidup sehat (olahraga). Terapi farmakologi terdiri dari obat hipoglikemik oral (OHO) dan bentuk suntikan (Terapi Insulin).

2.6.1 Terapi Insulin

Pemberian insulin umumnya dilakukan dengan suntikan dibawah kulit

(subkutan), pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Insulin menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesis protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati (Ernawati,

2013).

12

2.6.2 Obat Hipoglikemik Oral

Ada beberapa jenis obat yang digunakan sebagai terapi farmakologi dalam menangani DM tipe 2 yang biasa disebut dengan Obat Hipoglikemik Oral (OHO).

Berdasarkan cara kerjanya obat hipoglikemik oral dibagi menjadi lima golongan, yaitu Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue) yang terdiri dari Sulfonilurea dan Glinid; Peningkatan Sensitivitas terhadap Insulin (Metformin dan

Tiazolidindion); Penghambat Absorpsi Glukosa (Penghambat Alfa Glukosidase);

Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase IV), dan Penghambat SGLT-2 (Sodium

Glucose Co-transporter 2) (Perkeni, 2015).

2.7 Glibenklamid

Glibenklamid merupakan obat golongan sulfonilurea yang memiliki waktu paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama >12 minggu waktu paruhnya memanjang sampai 12 jam. Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin pada sel β pankreas. Obat ini juga mempunyai efek meningkatkan kinerja dan jumlah reseptor insulin pada otot dan sel lemak, meningkatkan efisiensi sekresi insulin dan potensiasi stimulasi transport karbohidrat ke sel otot dan jaringan lemak, serta penurunan produksi glukosa oleh hati. Obat ini bekerja dengan merangsang sel β pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan (Ernawati, 2013).

2.8 Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Efek 13

samping yang mungkin terjadi berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia. Metformin memiliki waktu paruh 1,5‒3 jam, tidak berikatan dengan protein palsma, tidak dimetabolisme dan diekskresikan oleh ginjal sebagai senyawa aktif. Akibat blokade glukoneogenesis oleh metformin, obat ini dapat menggangu metabolisme asam laktat di hati. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, metformin menumpuk sehingga meningkatkan risiko terjadinya asidosis laktat yang dapat menyebabkan komplikasi ketergantungan pada obat tersebut (Katzung,

2011).

2.9 Glucagon Like Peptide Analogue (GLP-Analog)

Glucagon Like Peptide Analogue (GLP-Analog) merupakan golongan obat baru yang digunakan dalam terapi DM tipe 2. Sesuai namanya, kerja obat ini menyerupai kerja hormon endogen glucagon-like peptide 1 (GLP-1). GLP-1 adalah sebuah inkretin, hormon saluran cerna yang dilepaskan ke dalam sirkulasi sebagai respons terhadap nutrien yang masuk ketika makan. GLP-1 mengatur kadar glukosa dengan merangsang sekresi dan biosintesis insulin bergantung-glukosa, menekan sekresi glukagon, memperlambat pengosongan lambung, serta memicu timbulnya rasa kenyang (Shyangdan, 2013).

2.10 Streptozotocin (STZ)

Steptozotocin (STZ) merupakan senyawa nitrosourea yang disintesis oleh bakteri Streptomyces achromogenes. Streptozotocin memiliki berat molekul 265 g/mol, dengan rumus molekul C8H15N3O7 (gambar 3). Senyawa ini dapat digunakan untuk menginduksi penyakit DM tipe 1 ataupun DM tipe 2 pada hewan uji (Szkudelski, 2001; Lenzen, 2008). Induksi STZ pada hewan uji yang diberi 14

pakan tinggi lemak (PTL) telah direkomendasikan sebagai cara yang lebih baik dalam pembuatan hewan uji DM tipe 2 (Wilson, 2012).

Mekanisme STZ dalam menginduksi hiperglikemia adalah dengan cara menembus pulau langerhans melalui transporter glukosa GLUT2, yang akan membuat perubahan struktur DNA pada sel β pankreas. Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan kerusakan pada sel β pankreas. STZ merupakan donor NO (nitric oxide) yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel tersebut melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase dan pembentukan cGMP. NO dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai peran tinggi dalam kerusakan sel β pankreas. Pembentukan anion superoksida karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan aktivitas xantin oksidase.

Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang terbatas selanjutnya mengakibatkan pengurangan secara drastis nukleotida sel β pankreas (Szkudelski, 2001; Nugroho,

2006).

Gambar 3. Struktur kimia streptozotocin (Agscientific, 2017).

2.11 Pakan Tinggi Lemak

Pakan tinggi lemak (PTL) adalah makanan yang diberikan pada hewan uji yang dibuat dengan komposisi bahan dasar pur ayam, susu skim, kuning telur, 15

minyak babi, dan minyak kelapa (tabel 2). Menurut Mawarti (2012), Diet tinggi lemak dapat menyebabkan peningkatan ukuran sel lemak (hipertropi) dan peningkatan jumlah sel (hiperplasia). Pertambahan ukuran sel melalui lipogenesis mengawali pertambahan jumlah sel (adipogenesis) dari pre-adiposit melalui proliferasi dan diferensiasi menjadi sel adiposit yang matang, dan dalam regulasinya diatur oleh faktor transkripsi sterol gen sintesis asam lemak atau sterol regulatory element binding protein (SREBP-1). Kondisi makan berlebih yang kaya akan gula, karbohidrat dan saturated fatty acid (SFA) akan meningkatkan SREBP-

1 untuk sintesis lemak seperti asam lemak, trigliserida, phospholipid.

Tabel 3. Komposisi pakan tinggi lemak (PTL)

Komposisi PTL padat PTL cair (sonde) Pur Ayam 66,6 % ‒ Susu Skim 6,67 % ‒ Kuning Telur 6,67 % 35 % Minyak Babi 20 % 20 % Minyak Kelapa ‒ 40 % Fruktosa 5 %

Pemberian pakan tinggi lemak menyebabkan hiperinsulinemia yang akan memicu terjadinya peningkatan kerja SREBP-1 adiposit sehingga terjadi hipertropi di adiposit. Kemudian terbentuk adiposit baru oleh insulin growth factor-1 (IGF1).

Produksi dari adiposit baru meningkatkan pembentukan adiposit yang baru lagi sehingga terjadi hiperplasia adiposit, dan free faty acids (FFA) semakin meningkat.

Peningkatan FFA plasma mempengaruhi kerja insulin, menurunkan pengambilan glukosa, glikolisis, sintesis glikogen. Diet tinggi lemak secara kronik selama kurang lebih delapan minggu menyebabkan resistensi insulin akibat dari penumpukan lemak viseral, dimana lemak viseral menyebabkan peningkatan FFA, 16

meningkatnya sirkulasi trigliserida dan kecepatan produksi glukosa hepatik.

Obesitas yang menimbulkan resistensi insulin adalah obesitas abdominal dan terdapat hubungan langsung antara diet lemak dengan sensitifitas insulin, tidak tergantung pada berat badan tetapi dari kualitas diet lemak yaitu diet dengan tinggi asam lemak terutama adalah SFA (Blaak, 2007).

Peningkatan hipertropi dan hiperplasia pada obesitas menyebabkan peningkatan sekresi sitokin. Makin banyak jaringan adiposa maka semakin banyak asam lemak bebas yang dilepas. Sel adiposa menghasilkan sejumlah besar sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin -1 dan 6 leptin, adiponektin. Hal tersebut yang dapat mengganggu aksi normal dari kerja insulin dan mungkin menjadi faktor penyebab utama dari resistensi insulin pada sel lemak dan otot (Marwati, 2012).

2.12 Tikus Sprague Dawley

Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah hewan yang sering digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian laboratorium karena memiliki beberapa keuntungan diantaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak. Tikus putih juga memilki ciri-ciri morfologis seperti tubuh berwarna putih (albino), kepala kecil, mata berwarna merah, dan ekor yang lebih panjang dari badannya (gambar 4).

Tikus putih dapat hidup soliter ataupun berkelompok dalam suatu kandang. Tikus putih termasuk hewan nokturnal, karena lebih banyak melakukan aktivitas seperti makan, minum, dan kawin pada malam hari dibandingkan pada siang hari (Akbar,

2010). Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley (SD) yang didapat dari Badan POM, Depkes 17

RI, Jakarta. Klasifikasi tikus putih menurut taksonomi termasuk ke dalam kelas mamalia, ordo rodentia, suku muridae, spesies Rattus norvegicus. Berat badan tikus dewasa dapat mencapai 450‒520 g pada jantan dan 250‒300 g pada betina. Kadar glukosa normal pada tikus putih SD adalah 50‒135 mg/dl. Kadar glukosa diatas

200 mg/ dl dinyatakan mengalami hiperglikemia atau menderita DM (Antonio et al., 2003).

Gambar 4. Rattus norvegicus (Dokumentasi pribadi, 2017).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengembangan Teknologi

Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB)-BPPT, Kawasan Puspiptek Serpong,

Kota Tangerang Selatan yang berlangsung pada bulan Februari sampai dengan

September 2017.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: oven

Memmert, grinder, mesh 30, moisture balance, alat-alat gelas (botol schott, corong kaca, labu erlenmayer, gelas beaker, dan labu ukur), vacum rotary evaporator, timbangan hewan, timbangan analitik, kandang tikus beserta tempat makan dan minum, glukometer, sonde oral, seperangkat alat bedah, mikrotom Leica, Tissue

Bath Jussico, Tissue-Tek TEC Sakura, dan Tissue Processor.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri atas bahan uji dan bahan kimia, bahan uji terdiri atas daun lampeni yang diperoleh dari Taman

Nasional Ujung Kulon, sedangkan bahan kimia yang digunakan antara lain metformin, streptozotocin (STZ), etanol 70%, kloroform, H2SO4 pekat, ammonia encer, BNF, etil asetat, FeCl3 0,1 %, reagen Meyer, reagen Dragendroff, reagen

Bouchardat, asam klorida, larutan hematoksilin eosin, xylol, dan larutan scot.

18 19

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan untuk menetapkan jenis tanaman yang digunakan dalam penelitian, kegiatan tersebut dilakukan di Pusat Penelitian Biologi

Herbarium Bogoriense, Bidang Botani LIPI-Cibinong, Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah lampeni dengan nama latin Ardisia elliptica Thunb. (Lampiran 1). Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui identitas tanaman secara detail dan lengkap serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

3.3.2 Pembuatan Simplisia dan Ekstrak

Pembuatan simplisia dilakukan dengan memilah daun lampeni yang masih segar, lalu dicuci dan dibersihkan dari kotoran, kemudian dibiarkan pada udara terbuka (dikering-anginkan) tanpa pengaruh cahaya matahari langsung. Setelah itu sampel dikeringkan dengan cara dioven (45ºC). Sampel yang sudah kering ditimbang dan dihaluskan menggunakan grinder hingga menjadi serbuk. kemudian serbuk tersebut diuji kadar airnya dengan menggunakan moisture balance, apabila berat kadar airnya melebihi standar baku simplisia (10%) maka dilakukan pemanasan kembali di dalam oven untuk menghilangkan kadar air.

Pembuatan ekstrak daun lampeni dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol food grade 70% dengan perbandingan masa simplisia dengan pelarut adalah 1:10 (0,1 kg/L) selama empat jam dan dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil maserasi kemudian dikumpulkan dan difiltrasi menggunakan kertas saring. Filtrat kemudian diuapkan menggunakan vacum rotary evaporator sampai 20

didapatkan ekstrak kental, kemudian disimpan dalam wadah kaca tertutup di dalam lemari es.

3.3.3 Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia ekstrak daun lampeni yang dilakukan terdiri atas penapisan steroid, terpenoid, flavonoid, alkaloid, sponin dan antrakuinon dengan beberapa tahapan berdasarkan teori Farnsworth (1966) dan Kristanti et al. (2008). a. Penapisan Steroid dan Triterpenoid

Bahan sampel tanaman sebanyak 5 g diekstraksi dengan pelarut n-heksana atau petroleum eter (± 10 ml), kemudian disaring. Ekstrak yang diperoleh diambil sedikit dan dikeringkan di atas papan spot test, ditambahkan tiga tetes anhidrida asetat (Ac2O) dan kemudian satu tetes asam sulfat pekat (H2SO4 pekat). Adanya senyawa golongan terpenoid akan ditandai dengan timbulnya warna merah sedangkan adanya senyawa golongan steroid ditandai dengan munculnya warna biru. b. Penapisan Flavonoid

Bahan sampel tanaman sebanyak 5 g diekstraksi dengan pelarut n-heksana atau petroleum eter sebanyak 15 ml, kemudian disaring. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya diekstraksi lebih lanjut menggunakan metanol (CH3OH) atau etanol

(C5H2OH) sebanyak 30 ml. Dua mililiter ekstrak metanol/etanol yang diperoleh kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambah dengan 0,5 ml asam klorida pekat (HCl pekat) dan 3‒4 pita logam Mg. Adanya falovonoid ditandai dengan warna merah, orange dan hijau dan hijau tergantung pada struktur flavonoid yang terkadung dalam sampel tersebut.

21

c. Penapisan Alkaloid

Bahan tanaman segar sebanyak 5‒10 gram diekstraksi dengan khloroform beramonia lalu disaring. Selanjutnya ke dalam filtrat ditambahkan 0,5‒1 ml asam sulfat 2 N dan dikocok sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan asam (atas) dipipet dan dimasukkan ke dalam tiga buah tabung reaksi. Tabung reaksi yang pertama ditambahkan dua tetes pereaksi Meyer. Tabung reaksi kedua ditambahkan dua tetes pereaksi Dragendorf dan tabung reaksi ketiga dimasukkan dua tetes pereaksi

Wagner. Adanya senyawa alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada tabung reaksi pertama dan timbulnya endapan berwarna coklat kemerahan pada tabung reaksi kedua dan ketiga. d. Penapisan Saponin

Sebanyak 10 ml larutan ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dikocok secara vertikal selama 10 detik, kemudian dibiarkan selama 10 menit, terbentuknya busa yang stabil pada tabung reaksi menunjukkan adanya senyawa golongan saponin, bila ditambahkan 1 tetes HCl 1% busa tetap stabil. f. Penapisan antrakuinon

Bahan tanaman sebanyak 5 g diuapkan diatas penangas air sampai kering.

Bahan kering yang sudah dingin tersebut kemudian dimasukkan ke dalam campuran larutan 10 ml KOH 5 N dan 1 ml H2O2 3% dan dipanaskan diatas penangas air selama 10 menit, kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh setelah penyaringan ditambahkan asam asetat glasial sampai larutan bersifat asam, kemudian diekstraksi dengan benzena. Ekstrak benzena yang diperoleh kemudian diambil sedikit (5 ml) dan ditambah dengan 5 ml ammonia, lalu dikocok. Jika 22

terbentuk warna merah pada lapisan ammonia, maka bahan tanaman tersebut mengandung senyawa golongan antrakuinon.

3.4 Pengujian pada Hewan Uji

3.4.1 Pengajuan Izin Etik

Pengajuan izin etik dilakukan ke Komisi Etik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia untuk mendapatkan izin penelitian dengan menggunakan hewan model tikus putih (Ratus norvegicus L.) jantan galur Sprague Dawley dengan nomor 17-03-0211.

3.4.2 Rancangan Percobaan

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus L.) galur Sprague Dawley berusia 2‒3 bulan dengan berat badan rata-rata 140‒180 g sebanyak 30 ekor yang dibagi kedalam enam kelompok (tabel 4).

Tabel 4. Kelompok perlakuan pada metode induksi streptozotocin Kelompok Jumlah Perlakuan Hewan Tikus KN Na-CMC + pakan standar 5 K (‒) PTL (cair dan padat) + induksi STZ + Na-CMC 5 K (+) PTL (cair dan padat) + induksi STZ + metformin. 5 D1 PTL (cair dan padat) + induksi STZ + ekstrak 5 daun lampeni 100 mg/kg BB. D2 PTL (cair dan padat) + induksi STZ + ekstrak 5 daun lampeni 200 mg/kg BB. D3 PTL (cair dan padat) + induksi STZ + ekstrak 5 daun lampeni 400 mg/kg BB.

Keterangan :

STZ = Streptozotocin K(+) = Kontrol Positif PTL = Pakan Tinggi Lemak D1 = Dosis 100 mg/kg BB KN = Kontrol Normal D2 = Dosis 200 mg/kg BB K(‒) = Kontrol Negatif D3 = Dosis 400 mg/kg BB 23

3.4.3 Pembuatan Hewan Model Diabetes Mellitus Tipe 2

Tikus diaklimatisasi selama tujuh hari, kemudian tikus diberi pakan tinggi lemak dan diberi minum secukupnya. Sebelum diinduksi STZ, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam namun tetap diberikan air minum adlibitum. Hal ini dilakukan karena hewan uji yang dipuasakan terlebih dahulu akan lebih rentan mengalami hiperglikemia dibanding hewan uji yang tidak dipuasakan.

Setelah itu, STZ disuntikkan secara intraperitoneal dengan dosis 30 mg/Kg BB.

3.4.4 Pemberian Bahan Uji

Pada hari ke-7 setelah hewan uji diinduksi STZ dilakukan pengukuran kadar glukosa puasa (KGP) sebagai data awal kadar glukosa (H0) dan tikus mulai diberi perlakuan ekstrak daun lampeni dengan dosis 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB dan

400 mg/kg BB, serta metformin sebagai konrol positif (K(+)) seperti yang tertera dalam tabel 4. Pemberian ekstrak dilakukan dengan cara sonde oral.

3.4.5 Pengukuran Kadar Glukosa

Pengukuran kadar glukosa dilakukan pada hari ke-0, ke-4, ke-7, ke-10, ke-

14, dan ke-21 setelah bahan uji diberikan. Sebelum dilakukan pengukuran kadar glukosa, hewan uji terlebih dahulu dipuasakan selam 12 jam untuk menghindari adanya pengaruh makanan yang dikonsumsi terhadap kadar glukosa hewan uji.

Pengambilan sampel darah dilakukan pada bagian pleksus venosus pada area retro orbitalis mata dengan menggunakan tabung hematokrit, darah yang keluar diteteskan pada strip glukometer yang terpasang pada alat easy touch GCU. Nilai yang tertera pada glukometer merupakan nilai kadar glukosa dengan satuan mg/dl.

24

3.4.6 Pembuatan Preparat Histologi Pankreas

Siapkan alat dan bahan yang diperlukan, kemudian ambil botol sampel yang sudah ditulis nama atau kode tikus dan organ. Tuangkan formalin-PBS 10% ke dalam plastik sekitar 20x volume jaringan sampel. Tikus dianastesi dengan cara dislokasi leher, setelah tikus sudah tidak bernyawa dilakukan proses pengambilan organ (pankreas) dengan cara dibedah. Pankreas yang telah diambil kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi formalin-PBS 10 % (Jusuf, 2009). a. Dehidrasi

Dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam jaringan yang telah difiksasi sehingga jaringan nantinya dapat diisi dengan parafin atau zat lainnya yang dipakai untuk membuat blok preparat. Potongan organ yang telah difiksasi kemudian direndam secara berurutan ke dalam larutan alkohol dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%,dan 100% (Jusuf, 2009). b. Clearing

Pada tahapan ini digunakan larutan xylol sebagai zat pembening. Setelah jaringan dikeluarkan dari cairan dehidrasi (alkohol) jaringan dimasukkan ke dalam xylol I selama 1 jam. Jaringan kemudian dipindahkan ke cairan xylol II. Lama inkubasi dalam xylol tergantung pada besarnya jaringan, biasanya berkisar antara

30‒60 menit. Jaringan kemudian direndam dalam parafin cair di dalam oven selama sekitar 30 menit, etelah itu jaringan siap untuk dimasukkan kedalam blok parafin

(Jusuf, 2009). c. Embedding

Pada proses ini jaringan dibenamkan ke dalam parafin/paraplast I selama

120 menit, kemudian dipindahkan ke dalam parafin/paraplast II selama 60 menit. 25

Setelah itu, jaringan dimasukkan ke dalam parafin/paraplast III selama 120 menit dan proses dapat dilanjutkan dengan pengecoran/blocking (Jusuf, 2009). d. Blocking

Tahapan ini merupakan proses pembuatan blok preparat agar organ dapat dipotong dengan mikrotom. Cairkan parafin lalu tuangkan sedikit ke dalam cetakan blok. Masukan potongan organ secara perlahan dan kemudian tuangkan kembali parafin hingga merendam organ (Jusuf, 2009). e. Pemotongan Jaringan

Proses ini merupakan pemotongan jaringan dengan menggunakan mikrotom. Pertama, rekatkan blok parafin diatas blok kayu dengan cara memanaskan salah satu sisi blok parafin hingga sedikit mencair kemudian langsung tempelkan. Letakan blok parafin dan balok kayu tersebut pada holder (pemegang) di mikrotom dan kencangkan, sudut kemiringan pisau mikrotom diatur pada sudut

20‒30 derajat. Pemotongan jaringan dilakukan dengan ketebalan 5‒7 μm.

Setelah blok parafin berhasil dipotong, pita parafin yang mengandung jaringan lalu dipindahkan secara hati-hati ke dalam waterbath dengan suhu air 37‒

40ºC hingga pita parafin tersebut mengembang. Setelah pita parafin terkembang dengan baik, tempelkan pita parafin tersebut pada kaca objekyang telah dicoated dengan cara memasukkan kaca objek itu kedalam waterbath dan menggerakkannya ke arah pita parafin.

Pita parafin ditempelkan pada kaca objek. Setelah melekat, kaca objek digerakkan keluar dari waterbath dengan hati-hati agar pita parafin tidak melipat.

Letakkan kaca objek yang berisi pita parafin di atas hotplate dengan temperatur 40‒

45˚C, biarkan selama beberapa jam. Cara lainnya adalah dengan melewatkan kaca 26

objek di atas api sehingga pita parafin melekat erat di atas kaca objek. Setelah air kering dan pita parafin telah melekat dengan kuat, simpan kaca objek berisi potongan parafin dan jaringan sampai saatnya untuk diwarnai (Jusuf, 2009).

3.4.7 Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Lakukan deparafinisasi dengan xylol (2 X 2 menit), kemudian hidrasi dengan serial Alkohol 100% (2 X 2 menit) – 95% (2 menit) – 90% (2 menit) – 80%

(2 menit) ‒ 70% (2 menit) – Distilled water (3 menit). Inkubasi dalam larutan hematoksilin Mayers selama 15 menit, lalu cuci dengan air mengalir selama 15‒20 menit. Lakukan pengamatan di bawah mikroskop, bila masih terlalu biru cuci lagi dengan air mengalir selama beberapa menit. Bila sudah cukup warnanya lanjutkan ke langkah selanjutnya yaitu counterstaining dalam larutan Eosin working solution selama 15 detik hingga 2 menit tergantung pada umur eosin dan kedalaman warna yang diinginkan. Dehidrasi dalam serial alkohol dengan gradasi meningkat perlahan mulai dari 70% hingga 100% masing-masing 2 menit. Jernihkan dan dealkoholisasi dalam xylol 2 X 2 menit dan tutup dengan balsem kanada (Jusuf,

2009).

3.4.8 Pengamatan Preparat

Preparat yang telah jadi diamati secara mikroskopik dan difoto menggunakan mikroskop cahaya (Olympus BX41 fluorescence microscope) pada perbesaran 10X, 40X, dan 100X. Analisis yang dilakukan adalah dengan menghitung jumlah pulau langerhans, luas pulau langerhans, jumlah sel β pankreas, dan gambaran histologi pankreas secara deskriptif.

27

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh diolah secara statistik menggunakan prog SPSS 20.0

(Statistical Prog for Social Science) for windows. Data yang digunakan dalam analisis statistik adalah KGP, jumlah pulau langerhans, luas area pulau langerhans, dan jumlah sel β pankreas, serta gambaran histologi pankreas yang diperoleh dari pembuatan preparat histologi pankreas, dianalisis secara deskriptif. Analisis yang digunakan adalah uji distribusi normal (Kolmogorov-Smirnov) dan uji homogenitas

(uji Levene). Jika data yang dinyatakan terdistribusi normal dan homogen, uji dilanjutkan dengan uji analisis varian satu arah (ANAVA). Jika terdapat perbedaan yang signifikan, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Jika data yang diperoleh dinyatakan tidak terdistribusi normal atau tidak homogen, uji dilanjutkan dengan analisis non parametik (uji Kruskal Walis). BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Simplisia dan Ekstrak

Hasil pembuatan simplisia dari 86 kg daun lampeni segar berupa serbuk kering sebanyak 22,4 kg (gambar 5a) yang kemudian dilanjutkan dengan proses pembuatan ekstrak dari 2 kg serbuk kering yang didapat tersebut. Pada pembuatan ekstrak didapatkan rendemen sebanyak 10,5 % atau setara dengan 210 g. Bentuk yang didapatkan berupa ekstrak kental berwarna hitam kecoklatan, bau aromatik dan rasa yang pahit (gambar 5b). Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi dengan cara maserasi karena metode maserasi cukup sederhana dan mudah dilakukan.

Maserasi dilakukan dengan pelarut etanol food grade 70%, pelarut etanol dipilih karena etanol memiliki titik didih yang cukup rendah, tidak beracun, dan cenderung aman. Konsentrasi 70% dipilih berdasarkan penelitian pendahuluan yang menunjukan aktivitas menginhibisi cukup tinggi terhadap enzim α-glukosidase melalui pengujian secara in vitro dengan menggunakan metode Elisa dengan sediaan acarbose sebagai pembanding.

a b Gambar 5. Serbuk simplisia (a) dan ekstrak kental daun lampeni (b) (Dokumentasi pribadi, 2017).

28 29

4.2 Penapisan Fitokimia

Hasil penapisan fitokimia menunjukan bahwa simplisia daun lampeni memiliki kandungan metabolit sekunder berupa steroid, triterpenoid, flavonoid, alkaloid, saponin, dan antrakuinon (tabel 5). Penapisan fitokimia ini dilakukan untuk mengidentifikasi senyawa kimia yang terkandung di dalam simplisia ataupun ekstrak daun lampeni yang berpotensi dalam menurunkan kadar glukosa atau mencegah hiperglikemia.

Tabel 5. Hasil Penapisan Fitokimia

Senyawa yang Bahan kimia yang Indikator Hasil diidentifikasi digunakan Reagen Lieberman- Warna biru Steroid + Burchard kehijauan Reagen Lieberman- Warna merah Terpenoid + Burchard Flavonoid Amilalkohol Warna merah + Alkaloid Meyer Endapan putih + Busa yang Saponin HCl 1% + stabil Antrakuinon NaOH Warna merah +

Keterangan : (+) : reaksi positif

Pemilihan pelarut yang sesuai merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan adalah pelarut yang dapat menyaring sebagian besar metabolit sekunder yang diinginkan dalam simplisia (Depkes RI, 2008).

Pelarut etanol memiliki toksisitas yang rendah dan bersifat universal yang dapat melarutkan senyawa polar, nonpolar, ataupun semipolar. Menurut Azmir (2013), senyawa aktif pada tanaman yang larut dalam pelarut etanol diantaranya adalah tanin, polifenol, flavonoid, triterpenoid, dan alkaloid. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa senyawa triterpenoid, alkaloid, dan flavonoid ada 30

dalam ekstrak daun lampeni yang di maserasi menggunakan etanol meskipun penapisan fitokimia ekstrak tidak dilakukan.

4.3 Pengujian pada Hewan Uji

4.3.1 Pengambilan Data Berat Badan

Pengambilan data berat badan dilakukan setiap minggu selama penelitian untuk mengetahui perkembangan berat badan pada hewan uji. Kenaikan berat badan dapat dilihat pada grafik yang tersaji dalam gambar 6. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada semua kelompok mengalami kenaikan berat badan. Kenaikan berat badan pada KN lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya hal ini dikarenakan pada KN tidak diberi PTL. Menurut Faisal Baraas

(2003), pemberian PTL akan menyebabkan peningkatan jumlah lemak yang tersimpan pada jaringan adiposa terutama yang berada di bawah kulit dan di rongga perut. Jumlah lemak yang berlebih akan disimpan pada jaringan adiposa dalam bentuk trigliserida. Kelebihan lemak dalam bentuk trigliserida di jaringan adiposa dibawah kulit ataupun di rongga perut akan menyebabkan berat badan meningkat.

Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah sel lemak di dalam tubuh maka semakin bertambah besar ukuran sel lemak yang ada.

450 400 KN 350 K(-) 300 250 K(+) 200 D1 150 100 D2 50 D3

Berat badan hewan Beratbadan hewan uji (g) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Pengukuran minggu ke-

Gambar 6. Grafik peningkatan berat badan pada hewan uji. 31

Penurunan berat badan terjadi sesaat pada minggu ke-10 setelah hewan uji dinyatakan mengalami kondisi DM tipe 2, dimana terjadi resistensi insulin yang menyebabkan tubuh tidak dapat mengubah glukosa menjadi energi. Keadaan ini memicu tubuh untuk mengolah zat-zat lain menjadi energi seperti lemak dan protein. Pemecahan lemak dan protein menjadi energi menyebabkan berat badan menurun (Rias, 2017). Pada minggu ke-11 berat badan mulai kembali naik hal ini berhubungan dengan penurunan kadar glukosa yang terjadi setelah pemberian ekstrak, dan diduga mulai terjadi proses regenerasi sel β yang rusak akibat induksi

STZ.

4.3.2 Kadar Glukosa Hewan Uji Selama 21 Hari

Hasil pengukuran kadar glukosa pada hewan uji didapat dari pengukuran yang dilakukan pada hari ke-0, ke-4, ke-7, ke-10, ke-14, dan ke-21 perlakuan ekstrak, hal ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun lampeni dalam menurunkan kadar glukosa pada hewan uji yang diinduksi STZ. Data pengukuran kadar glukosa hewan uji dapat dilihat pada gambar 7. Pengukuran kadar glukosa hari ke-0 merupakan pengukuran yang dilakukan pada hari ketujuh setelah semua hewan uji di induksi STZ (kecuali KN) yang digunakan sebagai data awal kadar glukosa sebelum perlakuan ekstrak diberikan.

Hasil pengukuran kadar glukosa hari ke-0 menunjukan bahwa nilai kadar glukosa pada semua perlakuan (kecuali KN) relatif tinggi (>200 mg/dl). Menurut

Antonio (2003), kadar glukosa pada tikus dewasa (2‒4 bulan) normal adalah 50‒

135 mg/dl. Tikus yang memiliki kadar glukosa melebihi 200 mg/dl dapat dikatakan telah mengalami hiperglikemia dan dijadikan sebagai model hewan DM tipe 2.

Pada tikus dengan nilai kadar glukosa < 200 mg/dl tidak digunakan sebagai hewan 32

uji karena dikhawatirkan kadar glukosa yang belum stabil sehingga menimbulkan kesalahan data. Tikus yang mengalami hiperglikemia juga ditandai dengan perilakunya yang tidak normal seperti banyak kencing (poliuria) yang ditandai dengan kondisi bedding yang cepat basah dan juga banyak minum (polidipsia) ditandai dengan air minum yang cepat habis.

600 c

500 b,c b c c b b b,c b,c 400 c b b,c b b b b c b,c c b b b b c b c c 300 b c c 200 rata kadar glukosa (mg/dl)

- a a a a a a 100

Nilai rata 0 H0 H4 H7 H10 H14 H21 KN K(-) K(+) D1 D2 D3 Waktu pengukuran

Gambar 7. Diagram batang nilai rata-rata kadar glukosa hari ke-0 s.d. ke-21. Huruf yang sama menunjukan kadar glukosa tidak berbeda nyata (P>0,05) dan bar menunjukan standar deviasi.

Kondisi hiperglikemia yang dialami oleh hewan uji disebabkan karena adanya induksi STZ dan juga pemberian PTL. Menurut Nugroho (2006), pemberian

PTL dan juga STZ dosis rendah pada hewan uji dapat menstimulasi terjadinya resistensi insulin yang merupakan salah satu faktor penyebab DM tipe 2. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Tatto (2017) dan Nugroho (2015) dalam pembuatan hewan uji model DM tipe 2, sehingga dapat dikatakan bahwa keadaan hiperglikemia yang dialami oleh hewan uji tersebut merupakan model hewan uji DM tipe 2. Penginduksian STZ dengan dosis 30 mg/kg BB digunakan 33

berdasarkan hasil optimasi yang telah dilakukan sebelumnya oleh Pusat Teknologi

Farmasi dan Medika, BPPT.

Mekanisme STZ dalam menyebabkan DM adalah dengan merusak sel-sel β pada pankreas, STZ terakumulasi di dalam sel β melalui glucose transporter 2

(GLUT 2) dan mengubah gugus alkil pada guanin yang menyebabkan struktur DNA pada sel β rusak. Kerusakan pada sel β menyebabkan produksi insulin menurun sehingga kadar glukosa di dalam tubuh meningkat (Lenzen, 2008). STZ juga dapat menimbulkan fragmentasi DNA pada sel β yang akan menyebabkan turunnya nukleotida seluler dan komponen-komponen seperti NAD+ sehingga terjadi nekrosis pada sel β

(Szkudelski, 2001).

Berdasarkan pada gambar 7 dapat dilihat bahwa pada hari ke-4 telah tejadi penurunan kadar glukosa pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak daun lampeni, sementara pada perlakuan K (‒) mengalami peningkatan kadar glukosa.

Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukan adanya perbedaan bermakna

(P<0,05) antara K (‒) dengan kelompok perlakuan yang diberi perlakuan ekstrak daun lampeni baik D1, D2, ataupun D3. Hal ini menunjukan bahwa pada hari ke-4 ekstrak daun lampeni telah menunjukan aktivitasnya dalam menurunkan kadar glukosa.

Pada hari ke-7, ke-10, ke-14, dan ke-21 nilai kadar glukosa berfluktuasi pada kisaran 200‒300 mg/dl, nilai kadar glukosa tersebut menunjukan bahwa hewan uji masih dalam keadaan hiperglikemia. Fluktuasi yang terjadi diakrenakan pengaruh stress sebagai akibat dari pengobatan (Nandhagapol, 2013). Nilai kadar glukosa yang masih tinggi disebabkan karena beberapa faktor diantaranya adalah hewan uji tetap diberi PTL selama perlakuan. Ketidakmampuan tubuh memecah 34

glukosa menjadi energi akan mendorong tubuh untuk memecah lemak dan protein sebagai glukosa sehingga kadar glukosa akan tetap tinggi karena adanya pembentukan glukosa dari lemak yang dikonsumsi melalui proses glukoneogenesis.

Secara keseluruhan nilai kadar glukosa telah mengalami penurunan dari keadaan sebelumnya dimana kadar glukosa pada saat hewan uji dinyatakan mengalami DM tipe 2 berada pada kisaran 300‒400 mg/dl. Penurunan kadar glukosa pada hewan uji terjadi karena adanya peran senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak daun lampeni yaitu α dan β amyrin yang merupakan golongan triterpenoid. Menurut Lee (2013), kandungan triterpenoid yang terdapat pada daun lampeni mampu menstimulasi pengambilan glukosa oleh sel otot. Hal tersebut dikarenakan triterpenoid dapat berperan sebagai insulin (insulinotropik). Reseptor insulin yang teraktivasi kemudian menstimulasi glucose transporter 4 (GLUT 4) untuk memfasilitasi masuknya molekul glukosa ke dalam sel tubuh terutama otot.

Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa α dan β amyrin pada daun lampeni memiliki aktivitas antikanker, antiplatelet, antiviral, antibakterial, dan antiplasmodial (Lim, 2012).

Setelah hari ke-21 perlakuan ekstrak daun lampeni pada hewan uji, didapatkan hasil bahwa ketiga dosis memiliki aktivitas antihiperglikemia yang dapat menurunkan kadar glukosa pada hewan uji. Berdasakan hasil perhitungan persentase penurunan kadar glukosa pada kelompok perlakuan D1, D2, dan D3 berturut-turut adalah 22 %, 28 %, dan 39 %. Data tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi dosis yang diberikan penurunan kadar glukosa semakin besar, namun berdasarkan analisis statistik Mann-Whitney aktivitas penurunan kadar glukosa tidak menunjukan adanya perbedaan bermakna (P>0,05), sehingga dapat 35

dikatakan bahwa pemberian ekstrak pada D1 lebih baik dibandingkan dengan D2 dan D3 karena dengan penggunaan dosis yang lebih sedikit mampu memberikan efek yang sama/tidak berbeda nyata dengan D2 ataupun D3.

600 b

500 a a,b a,b a a a b a a 400 a,b c a a,b c a a,b a,b a a,b a a a,b c a a b 300 a a c 200 a

rata kadar glukosa (mg/dl) a a a - a a 100

0 Nilai rata KN K(-) K(+) D1 D2 D3 H0 H4 H7 H10 H14 H21 Kelompok perlakuan

Gambar 8. Diagram batang nilai rata-rata kadar glukosa pada tiap kelompok selama pengujian. Huruf yang sama menunjukan kadar glukosa tidak berbeda nyata (P>0,05) dan bar menunjukan standar deviasi.

Berdasarkan pada gambar 8, penurunan kadar glukosa mulai terjadi pada hari ke-4 setelah pemberian ekstrak daun lampeni, walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna atau nilai kadar glukosa pada hewan uji masih tinggi aktivitas tersebut telah menunjukan adanya penurunan kadar glukosa. Perbedaan secara bermakna mulai terlihat pada hari ke-10 pada perlakuan D3. Hasil analisis statistik

Mann-Whitney menunjukan adanya perbedaan bermakna nilai kadar glukosa pada perlakuan ekstrak baik pada D1, D2, ataupun D3 dengan K (‒) (P<0,05) dan tidak berbeda bermakna dengan K (+) (P>0,05) yang menunjukan bahwa ekstrak daun lampeni memiliki aktivitas yang sama dengan K (+) dalam menurunkan kadar glukosa. Hasil analisis statistik Mann-Whitney juga menunjukan bahwa D1, D2, 36

dan D3 tidak berbeda secara bermakna (P>0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan dosis memiliki aktivitas yang sama dalam menurunkan kadar glukosa.

Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa α dan β amyrin memiliki aktivitas antioksidan dimana aktivitas tersebut mampu mencegah terjadinya stres oksidatif akibat radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel β, aktivitas antiinflamasi juga mencegah terjadinya peradangan dan pankreatitis akut pada sel β serta meningkatkan proses regenerasi sel β yang rusak akibat induksi

STZ sehingga dapat mengoptimalkan sekresi dan fungsi insulin.

Sebuah penelitian baru-baru ini telah banyak membahas mekanisme molekuler pada α dan β-amyrin yang bertindak sebagai antiinflamasi dan antinosiseptivenya, termasuk pengenalan pertama bahwa triterpen pentasiklik ini berinteraksi dengan sistem cannabinoid (da Silva, 2011). Sebuah penelitian lain melaporkan bahwa α dan β-amyrin memiliki efek penghambatan pada hidrolisis 2- arachidonoylglycerol (2-AG), dan akibatnya meningkatkan endocannabinoids

(Chicca, 2012). Studi pada hewan mengklarifikasi peran penting sistem endocannabinoid dan reseptor cannabinoid 1 (CB1) di hipotalamus dan sistem limbik dalam menengahi efek orexigenic (Engeli, 2012). Studi terbaru menunjukkan bahwa beberapa ligan CB1 dapat mengikat secara langsung dan mengatur saluran Kir6.2/SUR1 K (ATP) seperti pembuka saluran potassium lainnya (KCOs) dan dengan demikian menyebabkan peningkatan sekresi insulin dan mengontrol kadar glukosa yang tinggi pada tubuh (Bajzer, 2011; Lynch, 2012).

Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa α dan β-amyrin memperbaiki kadar glukosa mungkin juga dengan interaksinya terhadap sistem cannabinoid. 37

Hal lainnya yang mungkin juga mempengaruhi penurunan kadar glukosa yaitu adanya peran saponin, walaupun belum ada penelitian yang membuktikan jenis saponin yang terdapat dalam daun lampeni, namun berdasarkan hasil penapisan fitokimia menunjukan positif adanya senyawa saponin. Saponin merupakan senyawa yang terdiri dari glikon dan aglikon. Saponin bekerja dengan beberapa mekanisme diantaranya adalah mempercepat pelepasn insulin dari sel β, menghambat glukoneogenesis, menghambat aktivitas enzim α-glukosidase, menghambat ekspresi mRNA terhadap glikogen fosforilase dan glukosa-6-fosfat, serta meningkatkan ekspresi GLUT4 (Barky & Hussein, 2017).

4.4 Pengamatan Histologi Pankreas

4.4.1 Gambaran Histologi Pankreas

Setelah perlakuan selama dua puluh satu hari, hewan uji diterminasi dan diambil organ pankreasnya untuk dijadikan preparat hitologi dengan metode pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Gambaran histologi pankreas diperoleh dari hasil pemeriksaan dan pembacaan secara mikroskopik menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40X dan 400X. Gambar 9-14 menggambarkan penampakan hasil analisis histologi pankreas dari seluruh kelompok. Gambar 9 mewakili bagian pankreas KN yang menunjukan pulau langerhans terdefinisi dengan baik yang dikelilingi oleh bagian eksokrin pankreas. Bagian pankreas dari hewan uji yang tidak diobati/K(‒) (gambar 10) menunjukkan kerusakan dan distorsi sel endokrin. Hewan uji yang diberi ekstrak daun lampeni tidak menunjukkan perubahan morfologis pulau langerhans dan tampak hampir serupa dengan KN.

Perubahan morfologis yang terjadi pada pulau langerhans seperti yang terlihat pada 38

gambar 10 disebabkan oleh kerusakan sel-sel β yang terjadi akibat dari induksi STZ dosis rendah, dimana ukuran sel β menjadi lebih kecil dan bahakan ada yang hancur.

a. Kelompok Normal

40 X a

b

400 X

Gambar 9. Pankreas tikus kontrol normal, pulau langerhans (a) dan sel β (b) (Dokumentasi pribadi, 2017).

b. Kelompok Negatif (‒)

40 X

a a b

400 X

Gambar 10.Pankreas tikus kontrol negatif, pulau langerhans (a) dan sel β (b) (Dokumentasi pribadi, 2017). 39

c. Kelompok Positif (+)

40 X a

b

400 X

Gambar 11.Pankreas tikus kontrol positif, pulau langerhans (a) dan sel β (b) (Dokumentasi pribadi, 2017).

d. Kelompok Dosis 1 (100 mg/kg BB)

a

40 X b

400 X

Gambar 12.Pankreas tikus kelompok dosis 1, pulau langerhans (a) dan sel β (b) (Dokumentasi pribadi, 2017).

40

e. Kelompok Dosis 2 (200 mg/kg BB)

40 X

a

b 400 X

Gambar 13.Pankreas tikus kelompok dosis 2, pulau langerhans (a) dan sel β (b) (Dokumentasi pribadi, 2017).

d. Kelompok Dosis 3 (400 mg/kg BB)

a 40 X b

400 X

Gambar 14.Pankreas tikus kelompok dosis 3, pulau langerhans (a) dan sel β (b) (Dokumentasi pribadi, 2017).

41

Selain itu, STZ membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai peran tinggi dalam kerusakan sel β. Pembentukan anion superoksida karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan aktivitas xantin oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan konsumsi oksigen mitokondria.

Produksi ATP mitokondria yang terbatas selanjutnya mengakibatkan pengurangan secara drastis nukleotida sel β (Szkudelski, 2001; Nugroho, 2006; Lenzen, 2008).

Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu peningkatan substrat untuk enzim xantin oksidase. Xantin oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion superoksida aktif yang selanjutnya akan terbentuk hidrogen peroksida dan radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif tersebut adalah penyebab utama kerusakan sel

β (Nugroho, 2006).

Perbaikan sel β terjadi pada kelompok perlakuan D1, D2 dan D3, dimana sel-sel β terlihat memenuhi pulau-pulau langerhans dan morfologi pulau langerhans tampak seperti normal. Proses regenerasi pada sel β dipicu oleh aktivitas antiinflamasi dan antioksidan karena adanya senyawa bioaktif yang dimiliki oleh ekstrak daun lampeni yaitu α dan β-amyrin (Andrikopoulos et al., 2003). Aktivitas tersebut mencegah terjadinya inflamasi melalui aktivasi reseptor canabinoid dan dengan menghambat produksi sitokin, ekspresi Nuclear Factor Kappa β (NF-Kβ), serta siklooksigenase 2 yang merupakan faktor penyebab terjadinya inflamasi.

Selain dapat membantu proses regenerasi sel β, aktivitas antioksidan yang ada pada ekstrak daun lampeni juga dapat melindungi sel β dari kerusakan akibat stres oksidatif sehingga sel β dapat berfungsi dengan baik dalam mensekresi insulin untuk mengoptimalkan kadar glukosa (Santos et al., 2012).

42

4.4.2 Jumlah Langerhans, Sel β, dan Luas Langerhans

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara kuantitatif, rata-rata jumlah pulau langerhans, luas area pulau langerhans dan jumlah sel β yang ada pada tiap kelompok perlakuan disajikan dalam bentuk diagram batang (gambar 15 dan 16).

Gambar 15 menunjukan bahwa rata-rata jumlah pulau langerhans pada KN lebih besar dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lainnya begitupun dengan rata-rata jumlah sel β.

a a 90 β a 80 a, b a 70 60 50 b 40 a 30 a, b a, b

rata Pulau Langerhans/sel 20 b - b b 10

0

Nilai RataNilai KN K (-) K (+) D1 D2 D3 Rata-rata jumlah langerhans Rata-rata jumlah sel β Kelompok Perlakuan

Gambar 15. Diagram batang nilai rata-rata jumlah pulau langerhans dan sel β. Huruf yang sama menunjukan jumlah pulau langerhans/sel β tidak berbeda nyata (P>0,05) dan bar menunjukan standar deviasi.

Hasil perhitungan rata-rata jumlah sel β yang dianalisis menggunakan analisis Mann-Whitney pada perlakuan D1, D2 dan D3 menunjukan adanya perbedaan bermakna dengan K(‒), sementara pada kelompok KN tidak berbeda bermakna yang menunjukan bahwa adanya peningkatan jumlah sel β pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak daun lampeni sehingga jumlah sel β mendekati kondisi normal. Pada ketiga perlakuan dosis tersebut, D2 memiliki jumlah sel β yang lebih banyak dibandingkan D1 dan D3, bahkan jumlah sel β pada 43

D3 cenderung lebih sedikit namun berdasarkan hasil analisis Mann-Whitney peningkatan jumlah sel β yang terjadi pada kelompok D1, D2, dan D3 tidak menunjukan adanya perbedaan bermakna (P>0,05).

Hasil uji statistik juga menunjukan bahwa seluruh rata-rata jumlah pulau langerhans dan rata-rata jumlah sel β terdistribusi normal (P>0,05) namun tidak bervariasi homogen (P<0,05), sehingga uji dilanjutkan dengan analisis non parametrik Kruskal-Wallis. Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukan rata-rata jumlah pulau langerhans maupun rata-rata jumlah sel β berbeda bermakna pada seluruh kelompok (P<0,05). Uji dilanjutkan dengan analisis Mann-Whitney yang menunjukan bahwa rata-rata jumlah pulau langerhans antara K(‒) dengan KN dan kelompok perlakuan D3 terdapat perbedaan bermakna (P<0,05), dan tidak ada perbedaan bermakna antara K(+), perlakuan D1 dan D2 dengan K(‒) (P>0,05).

Pada rata-rata jumlah sel β tidak ada pebedaan bermakna antara KN, perlakuan D1,

D2, dan D3 (P>0,05), dan terdapat perbedaan bermakna dengan K(‒) dan K(+)

(P<0,05).

30000 a 25000

²) a, b a, b µm 20000 a, b a, b b 15000 rata Jumlah Luas Pulau - 10000 Langerhans (

5000 Nilai Rata 0 KN K (-) K (+) D1 D2 D3 Kelompok Perlakuan

Gambar 16. Diagram batang nilai rata-rata luas pulau langerhans. Huruf yang sama menunjukan luas pulau langerhans tidak berbeda nyata (P>0,05) dan bar menunjukan standar deviasi. 44

Gambar 16 menunjukan rata-rata luas pulau langerhans terbesar terdapat pada kelompok normal (>20.000 µm²) sedangkan rata-rata luas area terkecil terdapat pada kelompok perlakuan negatif (<15.000 µm²). Pada kelompok perlakuan, D2 memiliki luas pulau langerhans yang lebih besar dibandingkan luas pulau langerhans pada kelompok perlakuan yang lainnya, hal ini juga mempengaruhi jumlah sel β lebih banyak pada perlakuan D2. Hasil uji statistik menunjukan data terdistribusi normal dan bervariasi homogen sehingga uji dilanjutkan dengan analisis varian satu arah (ANOVA), dari hasil uji ANOVA menunjukan adanya perbedaan yang signifikan (P<0,05) sehingga uji dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT/LSD). Hasil uji BNT menunjukan bahwa terdapat perbedaan nyata antara K(‒) dengan KN, K(+) dan kelompok perlakuan

D2 (P<0,05).

Sel β pada tikus yang diinduksi STZ mengalami kerusakan dan dikarakterisasi dengan kondisi hiperglikemia. Kerusakan tersebut membuat ukuran, jumlah, maupun luas pulau langerhans berkurang. Sekretori granula insulin berkurang, pertautan antara sel asinar dengan pulau langerhans lepas, membran mitokondria bocor (rupture), mitokondria kehilangan struktur kristae dan inti sel β mengalami kariopiknotis sehingga terjadi penurunan jumlah sel β dan menyebabkan perubahan bentuk pada pulau langerhans sehingga luas permukaan langerhans menyempit (Suarsana, 2010).

Peningkatan jumlah sel β dihitung dengan membandingkan jumlah sel β pada KN dengan K(‒). KN dianggap mewakili jumlah sel β yang sehat sedangkan

K(‒) dianggap mewakili jumlah sel β yang sakit. Berdasarkan hal tersebut persentase penurunan jumlah sel β yang rusak akibat STZ adalah sebesar 55% dan 45

persentase peningkatan jumlah sel β pada kelompok perlakuan D1 adalah sebesar

48%, D2 sebesar 53%, dan D3 sebesar 37%. Hasil analisis menunjukan bahwa rata- rata jumlah langerhans, sel β, dan luas langerhans berbeda secara signifikan antara kelompok perlakuan D1, D2, dan D3 dengan K(‒) yang membuktikan bahwa pemberian ekstrak daun lampeni dapat mempengaruhi jumlah sel β dan juga luas pulau langerhans. Hasil analisis juga menunjukan bahwa kelompok perlakuan D1,

D2, dan D3 tidak berbeda bermakna dengan KN yang berarti bahwa ekstrak daun lampeni dapat membantu meregenerasi sel β yang rusak akibat STZ sehingga jumlahnya meningkat mendekati kondisi normal.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Ekstrak daun lampeni mampu menurunkan kadar glukosa pada tikus Sprague

Dawley yang mengalami DM tipe 2 secara berbeda bermakna (P<0,05) mulai dosis

3 (400 mg/kg BB) pada hari ke-10. Ekstrak daun lampeni juga mampu meningkatkan jumlah sel β secara berbeda bermakna (P<0,05) mulai dosis 1 (100 mg/kg BB).

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk uji toksisitas pada ekstrak etanol daun lampeni dan juga pengaruhnya terhadap organ-organ lain seperti hati, ginjal dan jantung. Serta pengembangan lebih lanjut untuk mendapatkan dosis yang tepat dan optimal dalam menurunkan kadar glukosa sehingga dapat digunakan sebagai obat herbal antidiabetes.

46 DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S. A., Catalano, S., Marsili, A., Morelli, I. and Scartoni, V. 1977. Chemical Examination of The Leaves of Ardisia solanacea. Planta Medica 32(2): 162‒ 164. Akbar, Budhi. 2010. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press UIN Jakarta. Andrikopoulos, N. K., Kaliora, A. C., Assimopoulou, A. N. and Papapeorgiou, V. P. 2003. Biological activity of some naturally occurring resins, gums and pigments against in vitro LDL oxidation. Phytotherapy Research 17(5): 501‒ 507. American Diabetes Association. 2005. Defining and reporting hypoglycemia in diabetes: a report from the American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia. Diabetes Care, 28, 1245–1249. American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Clasification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 35, S64‒S71. Antônio, N., Carvalho, S. De, Ferreira, L. M., En, C., Nas, C., & Lm, F. 2003. 9 - Experimental Model of Induction of Diabetes Mellitus in Rats. 1: 1–5. Aragao, G. F., Cunha Pinheiro, M. C., Nogueira Bandeira, P., Gomes Lemos, T. L. and de Barros Viana, G. S. 2007. Analgesic and anti-inflammatory activities of the isomeric mixture of alpha- and beta-amyrin from Protium heptaphyllum (Aubl.) march. Journal of Herbal Pharmacotherapy 7(2): 31‒ 47. Azmir, J., L. S. M. Zaidul, M. M. Rahman, K, M, Sharif, A. Mohamed, F. Sahena. 2013. Techniques for Extraction of Bioactive Compounds from Materials. Journal of Food Enggineering 117: 426-436. Bajzer, M. et al. Cannabinoid Receptor 1 (CB1) Antagonism Enhances Glucose Utilisation and Activates Brown Adipose Tissue in Diet-induced Obese Mice. Diabetologia. 54:3121–3131. Barky, A. El, & Hussein, S. A. 2017. Saponins and Their Potential Role in Diabetes Mellitus. 7: 148–158. Center for Aquatic and Invasive Plants. 2002. Ardisia elliptica Thumb., Myrsinaceae/ Myrsine family. Florida : University of Florida. Chicca, A., Marazzi, J., Gertsch, J., 2012. The Antinociceptive Triterpene β-amyrin Inhibits 2-arachidonoylglycerol (2-AG) Hydrolysis Without Directly Targeting CB Receptors. Br J Pharmacol, 10:1476‒5381 Ching et al. 2010. Β-Amyrin from Ardisia elliptica Thunb. Is More Potent Than Aspirin in Inhibiting Collagen-induced Platelet Aggregation. Indian Journal of Experimental Biology, 48:275‒279.

47 48

Chiang, L. C., Cheng, H. Y., Liu, M. C., Chiang, W. and Lin, C. C. (2003). In vitro anti-herpes simplex viruses and anti-adenoviruses activity of twelve traditionally used medicinal plants in Taiwan. Biological and Pharmaceutical Bulletin, 11: 1600–1604. Ching, J. H., Chua, T. K., Chin, L. C., Lau, A. J., Pang, Y. K., Jaya, J. M., Tan, C. H. and Koh, H. L. (2010). beta-Amyrin from Ardisia elliptica Thunb. is more potent than aspirin in inhibiting collagen-induced platelet aggregation. Indian Journal of Experimental Biology, 48(3): 275‒279. da Silva, K. A., A. F. Paszcuk, G. F. Passos, E. S. Silva, A. F. Bento, F. C. Moetti, J. B. Calixto. 2011. Activation of Cannabinoid Receptors by The Pentacyclic Triterpene α, β-amyrin Inhibits Inflammatory and Neuropathic Persistent Pain in Mice. Calixto JB: 152:1872–1887. Depkes RI. 2000. Inventaris Tanaman Obat Indonesia Jilid 1. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Depkes RI. 2005. Pharamaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Dey, S. K., A. Hira, Md. S. I. Howlader, A. Ahmed, H. Hossain, and I. A. Jahan. 2014. Antioxidant and Antidiarrheal Activities of Ethanol Extract of Ardisia elliptica . Pharmaceutical Biology, 52(2):213‒220. Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia, edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Domingguez, J., A. Scott T. Scott, G. Valdes, C. Glenn, and C. Moore. 2002. Herbivore Damage on The Invasive Exotic Ardisiaelliptica and The Native A. Southeastern Florida : NSF Research in Ecology. Engeli, S. 2012. Central and Peripheral Cannabinoid Receptors as Therapeutic Targets in The Control of Food Intake and Body Weight. Handb Exp Pharmacol. 209:357–381. Ernawati. 2013. Penatalaksanaan Keperawatan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Mitra Wacana Media. Farnsworth, N. R. (1966). Biological and phytochemical screening of plants. Journal of Pharmaceutical Sciences, 55(3): 225–276. Guyton, A. C. and Hall, J. E. 2006. Textbook of Medical Physiology 11th ed. Philadhelpia: Elsevier Inc. International Diabetes Federation (IDF). 2015. IDF Diabetes Atlas Seventh Edition. Brussels: International Diabetes Federation. 49

Jianhong, Ching. 2011. Chemical and Pharmacological Studies Of Ardisia elliptica: Antiplatelet, Anticoagulant activities and Multivariate Data Analysis For Drug Discovery. Honours Thesis Departement of Pharmacy National University of Singapore, Singapore. Jusuf, A. A. 2009. Histoteknik Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Jalil, J., Jantan, I., Shaari, K. and Rafi, I. A. A. 2004. Bioassay-guided Isolation of A Potent Platelet-activating Factor Antagonist Alkenylresorcinol from Ardisia elliptica. Pharmaceutical Biology, 42(6): 457-461. Kobayashi, H. dan E. De Mejia. 2005. The Genus Ardisia: a Novel Source of Health-Promoting Compound and Phytopharmaceuticals. Journal of Ethnopharmacology, 96:347‒354. Kemenkes RI. 2014. Infodatin : Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Mellitus di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang. http://www.depkes.go.id/article/view/414/tahun-2030-prevalensi-diabetes- mellitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang.html. Diakses pada 15 Agustus 2017. Pukul 21.34 WIB. Khan, M. T. J., Ashraf, M., Nazir, M., Ahmad, W. and Bhatty, M. R. (1991). Chemistry and Antibacterial Activity of The Constituents of Ardisia solanacea Leaves. Fitoterapia 62: 65–68. Kristanti, A. N., Aminah, N. S., Tanjung, Mulyadi., Kurniadi, Bambang. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Airlangga University Press. Kusumastuti, S. A., Firdayani, Chaidir. 2015. Potensi Ekstrak Etanol Daun Lampeni (Ardisia elliptica) dan Fraksinya Sebagai Agen Antiproliferatif terhadap Kanker Hati HepG2. Prosiding SnaPP2015 Kesehatan 1(1):389‒ 394. Lenzen S. 2008. The mechanisms of alloxan and streptozotocin induced diabetes. Diabetologia. 51: 216‒26. Lim, T.K. 2012. Myrsinaceae: Ardisia elliptica. Edible Medicinzl And Non- Medicinal Plants: Fruits 4(9):72‒76. Liu, N., Li, Y., Gua, J. and Qian, D. (1993). Studies on the of the genus Ardisia (Myrsinaceae) from China and the occurrence and quantity of Bergenin in the genus. Acta Academiae Medicinae Shanghai 20: 49–54. Lynch, C. J., Q. Zhou, S. L. Shyng, D. J. Heal, S. C. Cheetham, K. Dickinson, P. Gregory, M. Firnges. 2012. Some Cannabinoid Receptor Ligands and Their Distomers are Direct-acting Openers of SUR1 K(ATP) Channels. Am J Physiol Endocrinol Metab. 302:E540–E551. 50

Mandasari, O. K., Widiyana, S. D., Teknologi, J., Pertanian, H., Pertanian, T., & Brawijaya, U. 2011. Histopatologi pankreas, 1–6. Mawarti, H., Ratnawati. Retty., Lyrawati. 2012. Epigallocatechin Gallate Menghambat Resistensi Insulin pada Tikus dengan Diet Tinggi Lemak. Malang: Ilmu Faal Universitas Brawijaya. Moongkarndi, P., Kosem, N., Luanratana, O., Jongsomboonkusol, S. and Pongpan, N. 2004. Antiproliferative Activity of Thai Medicinal Plant Extracts on Human Breast Adenocarcinoma Cell Line. Fitoterapia 75(3‒4): 375‒377. Narander, T. T., Khaliq. A. B. Singh. 2009. Synthesis of α-amyrin derivatives and their in vivo antihyperglycemic activity. Elsevier. 44 (7): (1216-1224). Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Medicinus, 27(2):9‒16. Noor Rain, A., Khozirah, S., Mohd, Ridzuan, Ong, B. K., Rohaya, C., Rosilawati, M., Hamdino, I., Amin, B., Zakiah, I. 2007. Antiplasmodial Properties of Some Malaysian Medicinal Plants. Trop Biomedicine, 24(1): 29-35. Nugroho, A. E. 2006. Review: Hewan Percobaan Diabetes Mellitus : Patologi dan Mekanisme Aksi Diabetogenik. Biodiversitas, 7(4):378‒382. Nugroho, F. A., Riska M. S. G., Nurdiana. 2015. Kadar NF-Kβ Pankreas Tikus Model Type 2 Diabetes Mellitus dengan Pemberian Tepung Susu Sapi. Indonesian Journal of Human Nutrition. 2(2):91-100. Pascarella, J.B. 1997. Breeding System of Ardisia Sp. (Myrsinaceae). Brittonia, 49(1):45‒53. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Penglolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. Perkeni. Phadungkit, M. and Luanratana, O. 2006. Anti-Salmonella Activity of Constituents of Ardisia elliptica Thunb. Nat Prod Res 20(7): 693‒696. Santos, F. Almeida. 2012. Antihyperglycemic and Hypolipidemic Effects Of α, β- amyrin, a Triterpenoid Mixture From Protium Heptaphyllum In Mice. Lipids In Health and Disease. BioMed Central. 11:98. Shyangdan, D. S., Royle, P., Clar, C., Sharma, P., Waugh, N., Snaith, A. 2013. Glucagon-Like Peptide Analogues for Type 2 Diabetes Mellitus. Warwick: Chocrane Metabolic and Endocrine Disorders Group. Soegondo, S. dan K. Sukardji. 2008. Hidup secara Mandiri dengan Diabetes Mellitus, Kencing Manis, Sakit Gula. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Szkudelski, T. 2001. The Mecanism of Alloxan and Streptozotocin Action in β Cells of The Rat Pancreas. Physiology Research, 50:536‒543. 51

Tatto, D., Niluh P. D., Feiverin T. 2017. Efek Antihiperkolestrerol dan Antihiperglikemik Ekstrak Daun Ceremai (Phyllantus acidus (L.) Skeels) pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) Hiperkolesterol Diabetes. Galenika Journal of Pharmacy, 3(2):157-164. Utami, P. dan Tim Lentera. 2003. Tanaman Obat untuk Mengatasi Diabetes Mellitus. Jakarta: Agromedia Pustaka. Wilson, R. D., & Islam, M. S. 2012. Fructose-fed Streptozotocin-injected Rat: An Alternative Model for Type 2 Diabetes. Pharmacological Reports, 64(1): 129–139. World Health Organization (2016). Global Report on Diabetes. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/204871/1/9789241565257_eng.pdf? ua=1. Diakses pada 01 Oktober 2017. Pukul 19.34 WIB.

Lampiran 1. Data Hasil Penelitian

Tabel 5. Pengukuran Berat Badan No. Minggu ke- Kelompok Tikus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 106 135 149 165 183 213 238 251 289 313 316 340 2 106 108 111 129 151 179 211 218 252 317 328 331 KN 3 135 173 196 216 241 263 284 287 304 282 293 349 4 126 157 176 201 223 245 268 267 292 289 306 325 5 114 150 176 200 217 231 253 251 272 301 317 333 Rata-rata 117 144 162 182 203 226 251 255 282 300 312 336 1 112 121 124 158 186 207 234 254 282 308 328 358 2 138 144 152 201 234 254 281 318 342 371 390 330 K(-) 3 102 110 114 198 227 247 272 304 329 347 372 316 4 110 119 120 163 191 210 241 262 292 321 345 307 5 109 107 109 172 207 232 253 293 311 338 359 320 Rata-rata 114 120 124 178 209 230 256 286 311 337 359 326 1 98 149 188 230 241 279 306 333 358 378 355 330 2 99 165 210 230 269 309 346 376 405 318 384 371 K(+) 3 110 167 192 223 236 251 265 286 310 335 344 336 4 169 240 273 288 322 333 343 365 396 428 353 337 5 123 164 194 218 234 247 282 309 340 365 342 331 Rata-rata 120 177 212 238 260 284 308 334 362 365 356 341 1 126 154 214 252 282 321 340 389 405 391 386 387 2 107 112 159 190 234 271 306 329 349 338 369 389 D1 3 127 141 198 233 259 293 323 368 393 345 370 379 4 138 147 217 252 299 324 367 399 374 315 317 316 5 109 119 183 238 265 285 309 334 353 329 331 346 Rata-rata 121 135 194 233 268 299 329 364 375 344 355 363 1 130 176 199 216 244 262 295 327 304 279 299 296 2 124 140 209 241 261 289 310 340 372 362 384 392 D2 3 115 195 233 261 279 320 351 392 415 398 385 374 4 121 133 188 216 247 274 321 363 404 391 425 429 5 108 155 188 216 248 275 302 323 263 295 305 312 Rata-rata 120 160 203 230 256 284 316 349 352 345 360 361 1 123 140 200 253 280 304 339 365 319 307 311 340 2 95 105 162 208 236 271 296 317 272 278 275 296 D3 3 111 158 182 193 223 251 284 305 279 245 257 251 4 109 119 183 238 265 285 309 334 353 382 388 380 5 113 159 185 202 224 234 262 290 285 293 290 314 Rata-rata 110 136 183 219 246 269 298 322 302 301 304 316

 Dosis Pemberian STZ

30 푚푔 (30 mg/ 1000 mg) x x 350 g = 10,5 mg/ 350 mg BB 1000 푔

 Total STZ yang dibutuhkan

10,5 mg x 30 ekor = 315 mg

52 53

Tabel 6. Pemberian Ekstrak Vol. Vol. mg Jumlah CMC mg/kg mg/350 Pemberian ekstrak Perlakuan hewan per 0,5% (ad BB g BB (ml/350 g untuk 3 kelompok hingga BB) hari ml) K(+) 45 15,75 1 5 675 15 D1 100 35 1 5 2100 15 D2 200 70 1 5 1050 15 D3 400 140 1 5 525 15

*Keterangan: -Vol. Pemberian 1 ml/350 kg BB -Metformin diberikan 2 x 1 hari

Tabel 7. Data Kadar Glukosa Puasa H0 H4 H7 H10 H14 H21 107 120 93 106 87 102 96 108 111 88 91 113 KN 98 71 96 97 102 144 100 98 94 92 78 99 99 92 103 87 73 112 SD 4 18 8 8 11 18 Rerata 100 98 99 94 86 114 315 374 323 387 311 371 320 343 427 383 195 381 K(‒) 328 423 390 308 180 350 336 363 356 339 342 346 356 463 405 283 296 362 SD 16 49 41 46 73 15 Rerata 331 393 380 340 265 362 523 355 117 129 113 149 496 408 98 203 115 130 K(+) 472 427 238 384 321 362 580 373 187 383 189 364 398 396 160 143 346 215 SD 67 28 56 126 111 113 Rerata 494 392 160 248 217 244 182 220 341 365 387 406 379 279 169 119 128 117 D1 374 224 310 297 331 302 373 278 346 346 328 316 273 149 103 102 100 98 54

SD 87 53 111 126 131 134 Rerata 316 230 254 246 255 248 488 337 233 292 220 348 326 214 330 237 346 346 D2 180 216 120 221 313 234 346 231 204 100 136 159 199 116 293 107 100 111 SD 125 78 82 84 107 107 Rerata 308 223 236 191 223 240 322 106 130 107 135 103 338 304 412 263 329 353 D3 326 323 370 207 357 313 390 134 112 197 137 124 542 340 139 335 330 223 SD 93 112 146 84 112 111 Rerata 384 241 233 222 258 223

Tabel 8. Jumlah Langerhans, Sel β, dan Luas Langerhans Luas Luas Langerhans Sel B Langerhans Langerhans Sel B Langerhans 19 73,6 19552,5 7 82,9 19374,0 15 60,9 16838,0 9 59,0 13452,2 KN 31 72,2 17111,1 D1 5 72,8 12771,9 21 101,6 28544,9 7 83,3 15634,8 30 108,0 20785,0 6 62,5 13696,3 Rerata 23 83 20566,3 Rerata 7 72 14985,8 SD 7 20 4758,5 SD 1 11 2673,6

7 45,4 17725,0 17 57,2 14484,0 5 40,0 9666,6 15 84,1 18937,2 K(‒) 8 37,1 14500,8 D2 3 59,7 18581,4 6 36,0 11312,4 4 110,0 18246,4 13 35,7 12749,2 21 85,3 18917,5 Rerata 8 39 13190,8 Rerata 12 79 17833,3 SD 3 4 3099,1 SD 8 22 1893,5

13 29,6 15930,6 7 43,0 8662,1 11 71,8 26950,7 24 63,0 16690,8 K(+) 11 41,9 16321,2 D3 2 76,5 14619,7 12 45,0 17915,0 6 38,0 11505,0 14 70,0 19847,0 14 50,5 10829,1 Rerata 12 52 19392,9 Rerata 11 54 12461,3 SD 1 18 4498,2 SD 9 16 3184,3

55

Lampiran 2. Hasil Determinasi Daun Lampeni

56

Lampiran 3. Spesifikasi Streptozotocin

57

Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan

Gambar 17. Proses pengeringan simplisia

a b Gambar 18. Proses pembuatan ekstrak kental daun lampeni, maserasi (a) dan penguapan dengan vacum rotary evaporator (b)

58

Gambar 19. Pemberian pakan tinggi lemak (Sonde oral)

a b Gambar 20. Pengukuran kadar glukosa (a) dan pengambilan organ pankreas (b)

59

Lampiran 5. Analisis Stataistik SPSS

1. Uji Normalitas Shapiro- Wilk

Tujuan :

untuk mengetahui apakah kadar glukosa darah puasa tikus di hari ke-0 sampai dengan hari ke-21 pada seluruh kelompok terdistribusi normal atau tidak.

Hipotesis :

H0 = data kadar glukosa darah puasa tikus terdistribusi normal.

H1 = data kadar glukosa darah puasa tikus tidak terdistribusi normal. pengambilan keputusan :

H0 diterima jika nilai signifikansi > 0,05

H1 diterima jika nilai signifikansi < 0,05

Tests of Normality

Perlakuan Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. K-Normal ,300 5 ,161 ,868 5 ,257 K-Negatif ,178 5 ,200* ,934 5 ,626 K-Metformin ,172 5 ,200* ,990 5 ,980 H0 Dosis 1 ,343 5 ,055 ,794 5 ,072 Dosis 2 ,208 5 ,200* ,924 5 ,556 Dosis 3 ,289 5 ,200* ,761 5 ,038 K-Normal ,176 5 ,200* ,984 5 ,954 K-Negatif ,253 5 ,200* ,929 5 ,589 K-Metformin ,159 5 ,200* ,982 5 ,947 H4 Dosis 1 ,226 5 ,200* ,884 5 ,328 Dosis 2 ,258 5 ,200* ,925 5 ,564 Dosis 3 ,312 5 ,126 ,806 5 ,091 60

K-Normal ,273 5 ,200* ,872 5 ,274 K-Negatif ,194 5 ,200* ,970 5 ,872 K-Metformin ,179 5 ,200* ,967 5 ,853 H7 Dosis 1 ,294 5 ,183 ,838 5 ,159 Dosis 2 ,158 5 ,200* ,976 5 ,913 Dosis 3 ,340 5 ,060 ,780 5 ,055 K-Normal ,201 5 ,200* ,905 5 ,439 K-Negatif ,227 5 ,200* ,913 5 ,487 K-Metformin ,256 5 ,200* ,809 5 ,096 H10 Dosis 1 ,258 5 ,200* ,828 5 ,135 Dosis 2 ,241 5 ,200* ,885 5 ,334 Dosis 3 ,185 5 ,200* ,983 5 ,951 K-Normal ,165 5 ,200* ,976 5 ,911 K-Negatif ,266 5 ,200* ,871 5 ,271 K-Metformin ,226 5 ,200* ,846 5 ,183 H14 Dosis 1 ,312 5 ,126 ,837 5 ,156 Dosis 2 ,200 5 ,200* ,926 5 ,568 Dosis 3 ,339 5 ,062 ,757 5 ,034 K-Normal ,322 5 ,098 ,832 5 ,145 K-Negatif ,196 5 ,200* ,953 5 ,760 K-Metformin ,252 5 ,200* ,837 5 ,156 H21 Dosis 1 ,257 5 ,200* ,885 5 ,333 Dosis 2 ,239 5 ,200* ,890 5 ,358

Dosis 3 ,214 5 ,200* ,912 5 ,477 *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

Kesimpulan : a. Kadar glukosa darah puasa pada tikus di seluruh perlakuan pada hari ke-0

terdistribusi normal. b. Kadar glukosa darah puasa pada tikus di seluruh perlakuan pada hari ke-4

terdistribusi normal. c. Kadar glukosa darah puasa pada tikus di seluruh perlakuan pada hari ke-7

terdistribusi normal. 61

d. Kadar glukosa darah puasa pada tikus di seluruh perlakuan pada hari ke-10

terdistribusi normal. e. Kadar glukosa darah puasa pada tikus di seluruh perlakuan pada hari ke-14

terdistribusi normal. f. Kadar glukosa darah puasa pada tikus di seluruh perlakuan pada hari ke-21

terdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas Levene

Tujuan :

Untuk mengetahui apakah kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok bervariasi homogen atau tidak.

Hipotesis :

H0 = Kadar glukosa darah puasa tikus seluruh kelompok bervariasi homogen.

H1 = Kadar glukosa darah puasa tikus seluruh kelompok tidak bervariasi homogen.

Pengambilan kesimpulan :

H0 diterima bila nilai signifikansi > 0,05

H1 diterima bila nilai signifikansi < 0,05

62

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

H0 3,576 5 24 ,015

H4 4,626 5 24 ,004

H7 10,062 5 24 ,000

H10 7,532 5 24 ,000

H14 6,546 5 24 ,001

H21 6,576 5 24 ,001

Kesimpulan : a. Kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok di hari ke-0 tidak

bervariasi homogen. b. Kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok di hari ke-4 tidak

bervariasi homogen. c. Kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok di hari ke-7 tidak

bervariasi homogen. d. Kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok di hari ke-10 tidak

bervariasi homogen. e. Kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok di hari ke-14 tidak

bervariasi homogen. f. Kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok di hari ke-21 tidak

bervariasi homogen.

63

3. Uji Kruskal Wallis

Tujuan :

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna data kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok

Hipotesis :

H0 = kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok tidak berbeda bermakna.

H1 = kadar glukosa darah puasa tikus pada seluruh kelompok berbeda bermakna.

Pengambilan kesimpulan :

H0 diterima jika nilai signifikansi > 0,05

H1 diterima jika nilai signifikansi < 0,05

Test Statisticsa,b

H0 H4 H7 H10 H14 H21

Chi-Square 19,277 23,519 17,761 15,936 12,034 12,622

df 5 5 5 5 5 5

Asymp. Sig. ,002 ,000 ,003 ,007 ,034 ,027

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Perlakuan

Kesimpulan: a. Kadar glukosa darah tikus seluruh kelompok pada hari ke-0 berbeda bermakna. b. Kadar glukosa darah tikus seluruh kelompok pada hari ke-4 berbeda bermakna. 64

c. Kadar glukosa darah tikus seluruh kelompok pada hari ke-7 berbeda bermakna. d. Kadar glukosa darah tikus seluruh kelompok pada hari ke-10 berbeda

bermakna. e. Kadar glukosa darah tikus seluruh kelompok pada hari ke-14 berbeda

bermakna. f. Kadar glukosa darah tikus seluruh kelompok pada hari ke-21 berbeda

bermakna.

4. Uji Mann Whitney

Tujuan :

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna data kadar glukosa darah puasa pada tiap kelompok.

Hipotesis :

H0 = kadar glukosa darah puasa tikus pada tiap kelompok tidak berbeda bermakana.

H1 = kadar glukosa darah puasa tikus pada tiap kelompok berbeda bermakana. pengambilan kesimpulan :

H0 diterima jika nilai signifikansi > 0,05

H1 diterima jika nilai signifikansi < 0,05

65

K-Negatif, K-Normala

H0 H4 H7 H10 H14 H21

Mann-Whitney U ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

Wilcoxon W 15,000 15,000 15,000 15,000 15,000 15,000

Z -2,611 -2,611 -2,611 -2,611 -2,611 -2,611

Asymp. Sig. (2-tailed) ,009 ,009 ,009 ,009 ,009 ,009

Exact Sig. [2*(1-tailed ,008b ,008b ,008b ,008b ,008b ,008b Sig.)] a. Grouping Variable: Perlakuan

b. Not corrected for ties.

Kesimpulan : a. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-0 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol normal terdapat perbedaan bermakna. b. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-4 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol normal terdapat perbedaan bermakna. c. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-7 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol normal terdapat perbedaan bermakna. d. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-10 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol normal terdapat perbedaan bermakna. e. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-14 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol normal terdapat perbedaan bermakna. f. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-21 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol normal terdapat perbedaan bermakna.

66

K-Negatif, K-Metformina

H0 H4 H7 H10 H14 H21

Mann-Whitney U ,000 12,000 ,000 7,500 10,000 5,500 Wilcoxon W 15,000 27,000 15,000 22,500 25,000 20,500

Z -2,611 -,104 -2,611 -1,048 -,522 -1,467

Asymp. Sig. (2-tailed) ,009 ,917 ,009 ,295 ,602 ,142 Exact Sig. [2*(1-tailed ,008b 1,000b ,008b ,310b ,690b ,151b Sig.)] a. Grouping Variable: Perlakuan

b. Not corrected for ties.

Kesimpulan : a. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-0 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol positif terdapat perbedaan bermakna. b. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-4 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol positif tidak terdapat perbedaan

bermakna. c. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-7 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol positif terdapat perbedaan bermakna. d. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-10 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol positif tidak terdapat perbedaan

bermakna. e. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-14 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol positif tidak terdapat perbedaan

bermakna. f. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-21 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan kontrol positif tidak terdapat perbedaan

bermakna. 67

K-Negatif, Dosis 1a

H0 H4 H7 H10 H14 H21

Mann-Whitney U 10,000 ,000 2,000 7,000 12,000 5,000 Wilcoxon W 25,000 15,000 17,000 22,000 27,000 20,000 Z -,522 -2,611 -2,193 -1,149 -,104 -1,567 Asymp. Sig. (2-tailed) ,602 ,009 ,028 ,251 ,917 ,117 Exact Sig. [2*(1-tailed ,690b ,008b ,032b ,310b 1,000b ,151b Sig.)] a. Grouping Variable: Perlakuan b. Not corrected for ties.

Kesimpulan : a. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-0 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 1 tidak terdapat perbedaan bermakna. b. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-4 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 1 terdapat perbedaan bermakna. c. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-7 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 1 terdapat perbedaan bermakna. d. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-10 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 1 tidak terdapat perbedaan bermakna. e. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-14 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 1 tidak terdapat perbedaan bermakna. f. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-21 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 1 tidak terdapat perbedaan bermakna.

68

K-Negatif, Dosis 2a

H0 H4 H7 H10 H14 H21

Mann-Whitney U 11,000 ,000 1,000 1,000 11,000 1,500 Wilcoxon W 26,000 15,000 16,000 16,000 26,000 16,500 Z -,313 -2,611 -2,402 -2,402 -,313 -2,305 Asymp. Sig. (2-tailed) ,754 ,009 ,016 ,016 ,754 ,021 Exact Sig. [2*(1-tailed ,841b ,008b ,016b ,016b ,841b ,016b Sig.)] a. Grouping Variable: Perlakuan b. Not corrected for ties.

Kesimpulan : a. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-0 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 2 tidak terdapat perbedaan bermakna. b. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-4 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 2 terdapat perbedaan bermakna. c. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-7 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 2 terdapat perbedaan bermakna. d. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-10 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 2 terdapat perbedaan bermakna. e. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-14 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 2 tidak terdapat perbedaan bermakna. f. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-21 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 2 terdapat perbedaan bermakna.

69

K-Negatif, Dosis 3a

H0 H4 H7 H10 H14 H21

Mann-Whitney U 7,000 ,000 6,000 2,000 12,000 2,000 Wilcoxon W 22,000 15,000 21,000 17,000 27,000 17,000 Z -1,149 -2,611 -1,358 -2,193 -,104 -2,193 Asymp. Sig. (2-tailed) ,251 ,009 ,175 ,028 ,917 ,028 Exact Sig. [2*(1-tailed ,310b ,008b ,222b ,032b 1,000b ,032b Sig.)] a. Grouping Variable: Perlakuan b. Not corrected for ties.

Kesimpulan : a. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-0 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 3 tidak terdapat perbedaan bermakna. b. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-4 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 3 terdapat perbedaan bermakna. c. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-7 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 3 tidak terdapat perbedaan bermakna. d. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-10 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 3 terdapat perbedaan bermakna. e. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-14 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 3 tidak terdapat perbedaan bermakna. f. Kadar glukosa darah puasa tikus tiap kelompok pada hari ke-21 pada perlakuan

kontrol negatif dengan perlakuan dosis 3 terdapat perbedaan bermakna.

70

Analisis SPSS Histologi Pankreas

1. Uji Normalitas Shapiro- Wilk

Tujuan :

Untuk mengetahui apakah data rata-rata jumlah pulau langerhans, jumlah sel

B, dan luas area pulau langerhans terdistribusi normal atau tidak.

Hipotesis :

H0 = data terdistribusi normal.

H1 = data tidak terdistribusi normal. pengambilan keputusan :

H0 diterima jika nilai signifikansi > 0,05

H1 diterima jika nilai signifikansi < 0,05

Tests of Normality

Perlakuan Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Normal ,234 5 ,200* ,897 5 ,396

Negatif ,274 5 ,200* ,867 5 ,254

Jumlah Metformin ,221 5 ,200* ,902 5 ,421 langerhans Dosis_1 ,246 5 ,200* ,956 5 ,777

Dosis_2 ,266 5 ,200* ,845 5 ,178

Dosis_3 ,305 5 ,145 ,823 5 ,124 Normal ,283 5 ,200* ,892 5 ,369 Negatif ,160 5 ,200* ,982 5 ,945 Metformin ,215 5 ,200* ,926 5 ,567 Jumah Sel Beta Dosis_1 ,213 5 ,200* ,878 5 ,298 Dosis_2 ,229 5 ,200* ,966 5 ,849 Dosis_3 ,233 5 ,200* ,874 5 ,281 71

Normal ,282 5 ,200* ,829 5 ,138

Negatif ,157 5 ,200* ,977 5 ,916

* Luas Metformin ,260 5 ,200 ,826 5 ,129 Langerhans Dosis_1 ,285 5 ,200* ,845 5 ,179

Dosis_2 ,256 5 ,200* ,890 5 ,357

Dosis_3 ,339 5 ,062 ,803 5 ,086

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

Kesimpulan :

a. Rata-rata jumlah pulau langerhans di seluruh perlakuan terdistribusi normal.

b. Rata-rata jumlah sel beta di seluruh perlakuan terdistribusi normal.

c. Rata-rata luas pulau langerhans di seluruh perlakuan terdistribusi normal

2. Uji Homogenitas Levene

Tujuan :

Untuk mengetahui apakah data rata-rata jumlah pulau langerhans, jumlah sel

B, dan luas area pulau langerhans pada seluruh kelompok bervariasi homogen atau tidak.

Hipotesis :

H0 = Rata-rata jumlah pulau langerhans/sel beta/luas langerhans pada seluruh kelompok bervariasi homogen.

H1 = Rata-rata jumlah pulau langerhans/sel beta/luas langerhans pada seluruh kelompok tidak bervariasi homogen..

Pengambilan kesimpulan : 72

H0 diterima bila nilai signifikansi > 0,05

H1 diterima bila nilai signifikansi < 0,05

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Jumlah_langerhans 7,798 5 24 ,000 Jumah_Sel_Beta 3,106 5 24 ,027 Luas_Langerhans ,458 5 24 ,804

Kesimpulan :

a. Rata-rata jumlah pulau langerhans pada seluruh kelompok tidak bervariasi

homogen.

b. Rata-rata jumlah sel beta pada seluruh kelompok tidak bervariasi homogen.

c. Rata-rata luas area pulau langerhans pada seluruh kelompok bervariasi

homogen.

3. Uji Kruskal wallis

Tujuan :

Untuk mengetahui apakah data rata-rata jumlah pulau langerhans, jumlah sel beta, dan luas area pulau langerhans pada seluruh kelompok terdapat perbedaan bermakna.

Hipotesis :

H0 = Rata-rata jumlah pulau langerhans/sel B pada seluruh kelompok tidak berbeda bermakna. 73

H1 = Rata-rata jumlah pulau langerhans/sel B pada seluruh kelompok berbeda bermakna.

Pengambilan kesimpulan :

H0 diterima jika nilai signifikansi > 0,05

H1 diterima jika nilai signifikansi < 0,05

Test Statisticsa,b

Jumlah_langerhans Jumah_Sel_Beta

Chi-Square 17,934 17,617 df 5 5 Asymp. Sig. ,003 ,003 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Perlakuan

Kesimpulan:

a. Rata-rata jumlah pulau langerhans pada seluruh kelompok berbeda

bermakna.

b. Rata-rata jumlah sel beta pada seluruh kelompok berbeda bermakna.

4. Uji Mann Whitney

Tujuan :

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna data rata-rata jumlah pulau langerhans, jumlah sel B, dan luas area pulau langerhans pada tiap kelompok.

Hipotesis : 74

H0 = Rata-rata jumlah pulau langerhans/sel B pada tiap kelompok tidak berbeda bermakna.

H1 = Rata-rata jumlah pulau langerhans/sel B pada tiap kelompok berbeda bermakna.

pengambilan kesimpulan :

H0 diterima jika nilai signifikansi > 0,05

H1 diterima jika nilai signifikansi < 0,05

K-, KNa

Jumlah_langerhans Jumah_Sel_Beta

Mann-Whitney U ,000 ,000 Wilcoxon W 15,000 15,000 Z -2,611 -2,611 Asymp. Sig. (2-tailed) ,009 ,009 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,008b ,008b

a. Grouping Variable: Perlakuan b. Not corrected for ties.

Kesimpulan :

a. Rata-rata jumlah pulau langerhans tiap kelompok pada perlakuan kontrol

negatif dengan perlakuan kontrol normal berbeda bermakna.

b. Rata-rata jumlah sel beta tiap kelompok pada perlakuan kontrol negatif

dengan perlakuan kontrol normal berbeda bermakna.

75

K-, K+a

Jumlah_langerhans Jumah_Sel_Beta

Mann-Whitney U 3,500 6,000 Wilcoxon W 18,500 21,000 Z -1,892 -1,358 Asymp. Sig. (2-tailed) ,059 ,175 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,056b ,222b a. Grouping Variable: Perlakuan b. Not corrected for ties.

Kesimpulan :

a. Rata-rata jumlah pulau langerhans tiap kelompok pada perlakuan kontrol

negatif dengan perlakuan kontrol positif (metformin) tidak berbeda

bermakna.

b. Rata-rata jumlah sel beta tiap kelompok pada perlakuan kontrol negatif

dengan perlakuan kontrol positif (metformin) tidak berbeda bermakna.

K-, D1a

Jumlah_langerhans Jumah_Sel_Beta

Mann-Whitney U 11,000 ,000 Wilcoxon W 26,000 15,000 Z -,319 -2,611 Asymp. Sig. (2-tailed) ,750 ,009 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,841b ,008b a. Grouping Variable: Perlakuan b. Not corrected for ties.

Kesimpulan : a. Rata-rata jumlah pulau langerhans tiap kelompok pada perlakuan kontrol

negatif dengan perlakuan dosis 1 tidak berbeda bermakna. 76

b. Rata-rata jumlah sel beta tiap kelompok pada perlakuan kontrol negatif dengan

perlakuan dosis 1 berbeda bermakna.

K-, D2a

Jumlah_langerhans Jumah_Sel_Beta

Mann-Whitney U 10,000 ,000 Wilcoxon W 25,000 15,000 Z -,522 -2,611 Asymp. Sig. (2-tailed) ,602 ,009 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,690b ,008b a. Grouping Variable: Perlakuan b. Not corrected for ties.

Kesimpulan : a. Rata-rata jumlah pulau langerhans tiap kelompok pada perlakuan kontrol

negatif dengan perlakuan dosis 2 tidak berbeda bermakna. b. Rata-rata jumlah sel beta tiap kelompok pada perlakuan kontrol negatif dengan

perlakuan dosis 2 berbeda bermakna.

K-, D3a

Jumlah_langerhans Jumah_Sel_Beta

Mann-Whitney U 1,000 ,000 Wilcoxon W 16,000 15,000 Z -2,432 -2,619 Asymp. Sig. (2-tailed) ,015 ,009 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,016b ,008b a. Grouping Variable: Perlakuan b. Not corrected for ties.

77

Kesimpulan : a. Rata-rata jumlah pulau langerhans tiap kelompok pada perlakuan kontrol

negatif dengan perlakuan dosis 3 berbeda bermakna. b. Rata-rata jumlah sel beta tiap kelompok pada perlakuan kontrol negatif dengan

perlakuan dosis 3 berbeda bermakna.

5. Uji ANOVA

ANOVA

Luas_Langerhans Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 237193701,900 5 47438740,380 3,936 ,010

Within Groups 289247380,800 24 12051974,200

Total 526441082,700 29

Kesimpulan :

Berdasarkan hasil uji ANOVA, diperoleh nilai signifikansi < 0,05 yang artinya ada beda nyata, sehingga dilanjutkan ke uji BNT/ LSD

78

6. Uji LSD

Multiple Comparisons Dependent Variable: Luas_Langerhans LSD (I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Difference (I- Lower Bound Upper Bound J) Negatif 7375,600* 2195,630 ,003 2844,04 11907,16

Metformin 1173,400 2195,630 ,598 -3358,16 5704,96

Normal Dosis_1 5580,600* 2195,630 ,018 1049,04 10112,16

Dosis_2 3733,200 2195,630 ,102 -798,36 8264,76

Dosis_3 7105,000* 2195,630 ,004 2573,44 11636,56 Normal -7375,600* 2195,630 ,003 -11907,16 -2844,04 Metformin -6202,200* 2195,630 ,069 -10733,76 -1670,64 Negatif Dosis_1 -1795,000 2195,630 ,422 -6326,56 2736,56 Dosis_2 -3642,400 2195,630 ,110 -8173,96 889,16 Dosis_3 -270,600 2195,630 ,903 -4802,16 4260,96 Normal -1173,400 2195,630 ,598 -5704,96 3358,16 Negatif 6202,200* 2195,630 ,069 1670,64 10733,76 Metformin Dosis_1 4407,200 2195,630 ,056 -124,36 8938,76 Dosis_2 2559,800 2195,630 ,255 -1971,76 7091,36 Dosis_3 5931,600* 2195,630 ,012 1400,04 10463,16 Normal -5580,600* 2195,630 ,018 -10112,16 -1049,04 Negatif 1795,000 2195,630 ,422 -2736,56 6326,56 Dosis_1 Metformin -4407,200 2195,630 ,056 -8938,76 124,36 Dosis_2 -1847,400 2195,630 ,408 -6378,96 2684,16 Dosis_3 1524,400 2195,630 ,494 -3007,16 6055,96 Normal -3733,200 2195,630 ,102 -8264,76 798,36 Negatif 3642,400 2195,630 ,110 -889,16 8173,96 Dosis_2 Metformin -2559,800 2195,630 ,255 -7091,36 1971,76 Dosis_1 1847,400 2195,630 ,408 -2684,16 6378,96 Dosis_3 3371,800 2195,630 ,138 -1159,76 7903,36 Normal -7105,000* 2195,630 ,004 -11636,56 -2573,44

Negatif 270,600 2195,630 ,903 -4260,96 4802,16

Dosis_3 Metformin -5931,600* 2195,630 ,012 -10463,16 -1400,04

Dosis_1 -1524,400 2195,630 ,494 -6055,96 3007,16

Dosis_2 -3371,800 2195,630 ,138 -7903,36 1159,76

*. The mean difference is significant at the 0.05 level. 79

Kesimpulan :

Berdaasarkan hasil uji LSD didapat hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antar kelompok normal, positif, dan perlakuan dosis 2 dengan kontrol negatif