Tesis – SB 185401

KAJIAN LITERATUR KERAGAMAN BAKTERI TERKAIT KEMUNCULAN PENYAKIT ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii)

DYAH RIKA AR ROSYIDAH 01311850010011

DOSEN PEMBIMBING Dr.techn.Endry Nugroho Prasetyo, M.T.

PROGRAM MAGISTER DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN ANALITIKA DATA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2020

i

Tesis – SB 185401

KAJIAN LITERATUR KERAGAMAN BAKTERI TERKAIT KEMUNCULAN PENYAKIT ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii)

DYAH RIKA AR ROSYIDAH 01311850010011

DOSEN PEMBIMBING Dr.techn. Endry Nugroho Prasetyo, MT.

PROGRAM MAGISTER DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN ANALITIKA DATA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2020

ii

Thesis – SB 185401

LITERATURE REVIEW OF ’S DIVERSITY RELATED TO THE OCCURANCE OF ICE-ICE DISEASE OF SEAWEED (Kappaphycus alvarezii)

DYAH RIKA AR ROSYIDAH 01311850010011

SUPERVISOR: Dr.techn. Endry Nugroho Prasetyo, MT.

MASTER PROGRAM DEPARTEMENT OF BIOLOGY FACULTY OF SCIENCE AND DATA ANALYTIC INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2020

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Kajian Literatur Keragaman Bakteri terkait Kemunculan Penyakit Ice-Ice pada Rumput Laut (Kappaphycus Alvarezii) Tesis disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh Dyah Rika Ar Rosyidah 01311850010011

Tanggal Ujian : 15 Juni 2020 Periode Wisuda : September 2020

Disetujui oleh: Pembimbing:

1. Dr.techn. Endry Nugroho Prasetyo, M.T. NIP: 19731014 200012 1 001

Penguji:

1. Dr. Dian Saptarini, M.Sc NIP. 19690408 199203 2 001

2. Dr.rer.nat. Ir. Maya Shovitri, M.Si NIP. 19690907 199803 2 001

Kepala Departemen Biologi Fakultas Sains dan Analitika Data

Dr. Dewi Hidayati, M.Si. NIP :19691121 199802 2 001

iv

KAJIAN LITERATUR KERAGAMAN BAKTERI TERKAIT KEMUNCULAN PENYAKIT ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii)

Nama Mahasiswa : Dyah Rika Ar Rosyidah NRP : 01311850010011 Pembimbing : Dr.techn. Endry Nugroho Prasetyo, M.T.

ABSTRAK

Kappaphycus alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di beberapa Negara di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Namun, produktivitas dan kualitas rumput laut hasil budidaya K. alvarezii di beberapa lokasi budidaya cenderung mengalami penurunan. Hal ini dipicu oleh kemunculan penyakit ice-ice yang ditandai dengan gejala pemutihan hingga rumput laut mengalami nekrosis. Penyebab munculnya penyakit ice-ice berkaitan dengan interaksi kompleks antara ketidakseimbangan lingkungan, rumput laut, dan mikroorganisme oportunistik sehingga rumput laut terinfeksi. Oleh karena itu diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk mendeteksi bakteri patogen terkait dengan kemunculan penyakit ice-ice pada rumput laut Kappaphycus alvarezii. Kajian literatur ini membahas mengenai keragaman bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice yang telah diidentifikasi baik secara fenotipik yang meliputi karakteristik morfologi dan biokimia maupun karakteristik secara molekuler meenggunakan marka gen 16S rRNA untuk melihat kedekatan antar spesies melalui pohon filogenetik. Spesies Alteromonas macleodii 107, Pseudoalteromonas issachenkonii KMM 3549, Aurantimonas coralicida WP1, Stenotrophomonas maltophilia, dan Vibrio alginolyticus telah terkonfirmasi sebagai agen penyebab penyakit ice-ice pada Kappaphycus alvarezii berdasarkan gejala yang muncul ketika dilakukan uji patogenitas.

Kata kunci: Bakteri, Fenotipik, Gen 16S rRNA, K. alvarezii, Keragaman, Molekuler

v

A LITERATURE STUDY OF BACTERIA’S DIVERSITY RELATED TO THE OCCURANCE OF ICE-ICE DISEASE OF SEAWEED (Kappaphycus alvarezii)

Student Name : Dyah Rika Ar Rosyidah NRP : 01311850010011 Supervisor : Dr.techn. Endry Nugroho Prasetyo, M.T.

ABSTRACT

Kappaphycus alvarezii is one type of seaweed that is widely cultivated in several countries in Southeast Asia, especially in Indonesia. However, the productivity and quality of seaweed cultivated by K. alvarezii in several cultivation locations tends to decrease. This is triggered by the occurance of ice-ice disease which is characterized by symptoms of bleaching until the seaweed experiences necrosis. The cause of the emergence of ice-ice disease is related to a complex interaction between environmental imbalance, seaweed, and opportunistic microorganisms so that seaweed is infected. Therefore more in-depth studies are needed to detect pathogenic bacteria associated with the emergence of ice-ice disease in Kappaphycus alvarezii seaweed. This literature study will discuss the diversity of bacteria related to the emergence of ice-ice disease that has been identified both phenotypically including morphological and biochemical characteristics as well as molecular characteristics using 16S rRNA gene marker to see the closeness between species through phylogenetic trees Based on the pathogenicity test, there are several species have been confirmed that can causing ice-ice disease in seaweed Kappaphycus alvarezii including Alteromonas macleodii 107, Pseudoalteromonas issachenkonii KMM 3549, Aurantimonas coralicida WP1, Stenotrophomonas maltophilia, and Vibrio alginolyticus.

Keywords: 16S rRNA gene, bacteria, diversity, K. alvarezii, molecular, phenotypic

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul Kajian Literatur Keragaman Bakteri terkait Kemunculan Penyakit Ice-ice pada Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii). Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Tesis di Program Studi Biologi, Fakultas Sains, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Dalam penyusunan Tesis ini penulis telah mendapatkan banyak masukan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: Bapak Dr. techn. Endry Nugroho Prasetyo, M.T. selaku dosen pembimbing Tesis; Ibu Dr. Dian Saptarini, M. Sc., dan Ibu Dr.rer.nat. Ir. Maya Shovitri, M.Si. selaku tim penguji Tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga atas bantuan doa, semangat, dan dukungan materi, serta terima kasih kepada teman-teman pascasarjana angkatan 2018 atas dukungannya. Dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa penyusunan Tesis ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari para pembaca akan sangat membantu kesempurnaan dalam penulisan selanjutnya. Penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak.

Surabaya, 15 Juni 2020

Penulis

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... v ABSTRACT ...... vi KATA PENGANTAR ...... vii DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR TABEL ...... xi BAB 1 PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 3 1.3 Tujuan ...... 3 1.4 Manfaat ...... 3 BAB 2 ...... 5 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI ...... 5 2.1 Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) ...... 5 2.2 Penyakit Ice-ice pada Rumput Laut ...... 7 2.3 Proses terjadinya penyakit ice-ice ...... 8 2.4 Mekanisme Pertahanan Rumput Laut terhadap Infeksi Bakteri ...... 11 2.5. Bakteri dan Patogenitas Bakteri ...... 14 2.6 Gen 16S rRNA ...... 15 2.7 Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) ...... 16 2.8 Elektroforesis Gel Agarosa ...... 18 2.9 Pohon Filogenetik ...... 19 BAB 3 ...... 23 3.1 Jenis Penelitian ...... 23 3.2 Sumber Data ...... 23 3.3 Metode Pengumpulan Data ...... 24 BAB 4 ...... 25 4.1 Isolasi Bakteri terkait Kemunculan Penyakit Ice-ice ...... 25 4.1.1 Medium Pertumbuhan Isolat Bakteri terkait penyakit Ice-ice...... 25 4.1.2 Kelimpahan Bakteri pada Lokasi Budidaya Rumput Laut ...... 29

viii

4.2 Karakteristik fenotipik isolat bakteri pada beberapa lokasi budidaya rumput laut...... 31 4.3 Identifikasi Molekuler Isolat Bakteri ...... 37 4.3.1 Ekstraksi DNA Genom ...... 37 4.3.2 PCR Gen 16S rRNA ...... 38 4.3.3 Sekuensing ...... 39 4.3.4 Analisa BLAST pada GeneBank ...... 40 4.3.5 Konstruksi pohon filogenetik spesies terkait kemunculan penyakit ice- ice ...... 41 4.4 Uji Patogenitas Bakteri ...... 44 BAB 5 ...... 47 DAFTAR PUSTAKA ...... 49 BIODATA PENULIS ...... 51

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Morfologi Talus Rumput laut K. alvarezii ... ………………………..6

Gambar 2.2. Struktur dinding Sel Rhodophyta .. ………………………………….6

Gambar 2.3. Thallus K. alvarezii yang terinfeksi ice-ice ………………………….7

Gambar 2.4. Interaksi antara lingkungan rumput laut, dan bakteri patogen. .. ……8

Gambar 2.5. Mekanisme pertahanan rumput laut terhadap infeksi ... ……………11

Gambar 2.6. Struktur ribosom dan gen 16S rRNA. .. ……………………………13

Gambar 2.7. Prinsip PCR .. ………………………………………………………15

Gambar 4.1. Grafik Pertumbuhan Bakteri pada medium berbeda ……………….21

Gambar 4.2 Koloni Isolat Bakteri pada medium berbeda ……………………….22

Gambar 4.3. Penampakan sel bakteri pada mikroskop …………………………..29

Gambar 4.4. Pohon filogenetik …………………………………………………..39

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Sumber Bioinformatika…………….………………………….17 Tabel 4.1 Jenis-jenis medium pertumbuhan bakteri……………………………..24 Tabel 4.2 Total Plate Count Bakteri……………………………………………..26 Tabel 4.3 Karakteristik Fenotipik Isolat Bakteri………………………………....30 Tabel 4.4. Primer Universal…………………………………………………...... 35 Tabel 4.5. Karakterisasi Molekuler Bakteri……………………………………...36 Tabel 4.5. Kondisi uji patogenitas………...……………………………………...41

xi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta: Solieriaceae) merupakan makroalga laut penghasil karaginan yang banyak dibudidayakan di beberapa Negara sejak tahun 1960 (Arrasmuthu dan Edward, 2018; Kasim dan Mustafa, 2017) sehingga banyak digunakan dalam berbagai industri makanan, farmasi, kosmetik dan energi (Fadilah et al., 2016; Maryunus et al., 2018). Namun tantangan terbesar bagi petani rumput laut Kappaphycus alvarezii dalam budidaya adalah kemunculan penyakit ice-ice yang menyebabkan penurunan produksi rumput laut berkisar 60-100 % sehingga berdampak besar terhadap industri karaginan (Maryunus, 2018; Hurtado et al., 2002). Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menginfeksi rumput laut karaginofit, khususnya rumput laut merah yang banyak menghasilkan karaginan (Maryunus, 2018). Gejala penyakit ice-ice umumnya diawali dengan perubahan pigmen thallus menjadi putih bening atau transparan yang ditandai dengan pemutihan pada bagian pangkal thallus, tengah dan ujung thallus muda (Doty dan Alvarez 1975; Azizi et al, 2018) sehingga terjadi fragmentasi hingga rumput laut mengalami nekrosis (Fresco, 2012). Hal ini berakibat pada penurunan hasil karaginan, viskositas dan kekuatan gel dari thallus yang terinfeksi (Mendoza et al., 2002; Alibon et al., 2019). Pada umumnya penyebaran penyakit ice-ice terjadi secara vertikal oleh bibit thallus dan secara horizontal melalui perantaraan air (DKP 2004), sehingga penyebab munculnya penyakit ice-ice berkaitan dengan interaksi kompleks antara lingkungan, rumput laut, dan mikroorganisme oportunistik (Egan et al., 2014). Ketidakseimbangan lingkungan perairan pada saat pergantian musim atau kondisi lingkungan yang kurang mendukung (Msuya, 2007) berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh rumput laut sehingga rumput laut mengalami stress (Lobban dan Horrison, 1994; Egan et al., 2014). Hal tersebut menyebabkan penurunan kemampuan rumput laut untuk mempertahankan diri dari penularan infeksi penyakit sehingga rentan terhadap mikroorganisme patogen (Lobban and Horrison

1

1994; Maria, 2004; Wulandari dan Prasetyo, 2019; Liu et al, 2019). Namun hingga saat ini pengendalian penyakit ice-ice pada sentra rumput laut Kappaphycus alvarezii di beberapa Negara produsen seperti Indonesia, Filipina, Malaysia dan Tanzania belum tertangani dengan baik (Vairappan et al. 2008). Pengelolaan budidaya rumput laut yang sehat dan bebas penyakit ice-ice penting dalam meningkatkan produksi rumput laut. Deteksi bakteri berdasarkan pengamatan karakteristik fenotipik berperan penting sebagai studi awal dalam penanggulangan penyakit ice-ice (Largo et al., 1999; Wulandari dan Prasetyo, 2016), namun kurang dapat menentukan hubungan filogenetis bakteri dan ekspresinya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Aris, 2011) sehingga dibutuhkan metode yang lebih cepat dan akurat. Metode molekuler merupakan alternatif terbaik untuk mengidentifikasi strain bakteri yang diisolasi dari sampel lingkungan (Clarridge, 2004; Castro-Escarpulli et al., 2015). Pemanfaatan gen 16S- rRNA telah digunakan sebagai parameter sistematik molekuler yang universal, representatif, dan praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies (Case et al. 2007). Identifikasi molekuler dengan marka gen 16S rRNA yang dilakukan oleh Syafitri et al., (2017) menemukan keragaman spesies bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice yang termasuk ke dalam Alteromonas, Bacillus, Pseudomonas, Pseudoalteromonas, Aurantimonas, and Rhodococcus. Dari keenam genus tersebut, ditemukan 3 spesies bakteri yang dikonfirmasi sebagai penyebab penyakit rumput laut pada Kappaphycus alvarezii melalui uji patogenitas (Syafitri et al., 2017). Kajian literatur ini menyajikan gambaran mengenai keragaman dan karakteristik bakteri penyebab kemunculan penyakit ice-ice dan beberapa jenis bakteri yang telah dikonfirmasi sebagai penyebab penyakit ice-ice. Penulis telah merujuk pada pustaka-pustaka terkait mengenai pembahasan karakteristik bakteri penyebab ice-ice lebih mendalam, baik dari segi fenotipik maupun karakteristik secara molekuler yang penting sebagai acuan dalam pengelolaan budidaya rumput laut yang lebih baik di masa depan.

.

2

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam kajian literatur ini adalah: Bagaimana gambaran keragaman dan karakteristik bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice pada rumput laut Kappaphycus alvarezii baik dari segi fenotipik maupun molekuler.

1.3 Tujuan Tujuan dari kajian literatur ini adalah mengetahui gambaran keragaman dan karakteristik bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice pada rumput laut Kappaphycus alvarezii baik dari segi fenotipik maupun molekuler.

1.4 Manfaat Manfaat yang diperoleh dari kajian literatur ini adalah memberikan informasi mengenai karakteristik bakteri penyebab penyakit ice-ice pada rumput laut (Kappaphycus alvarezii), yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii guna meningkatkan kualitas produksi rumput laut.

3

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

2.1 Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) Kappaphycus alvarezii merupakan alga merah (Rhodophyta) jenis karaginofit yang banyak dibudidayakan di Indonesia, Filipina dan Malaysia (Bono, 2014). Anggota Rhodophyta dapat mentolerir kisaran tingkat cahaya yang lebih luas daripada kelompok organime fotosintesis lain karena mengandung pigmen aksesori tambahan (umumnya dikenal sebagai phycobiliprotein seperti R- phycoerythrin dan R-phycocyanin) bersama dengan klorofil a dalam kloroplasnya. Beberapa karakteristik umum dari alga merah diantaranya adalah termasuk sel eukariotik, tidak mmiliki struktur flagellar, cadangan makanan berupa pati floridean, mengandung phycobilin, kloroplas tanpa tilakoid yang ditumpuk, dan tidak memiliki retikulum endoplasma eksternal (Baweja et al., 2016). Rumput laut tergolong dalam divisi Thallophyta karena hanya memiliki kerangka tubuh berupa thallus dan termasuk tumbuhan primitif yang berarti tidak memiliki akar yang sebenarnya, ranting atau cabang, serta daun (Aslan, 1998; Ghufron dan Kordi, 2010). Klasifikasi dari spesies K. alvarezii menurut Silva (1996) adalah sebagai berikut.: Regnum : Plantae Divisio : Rhodophyta Classis : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieriaceae Genus : Kappaphycus Spesies : Kappaphycus alvarezii

Ciri morfologi K. alvarezii adalah memiliki talus silindris, permukaan yang licin, menyerupai tulang rawan (cartilageneus), berwarna hijau terang hingga coklat kemerahan, percabangan talus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan) (Anggadireja, 2009). Meskipun tergolong dalam kelas Rumput laut merah (Rhodophyceae), K. alvarezii memiliki warna talus bervariasi dari hijau

5 cerah hingga coklat tua. Peristiwa ini merupakan suatu proses adaptasi kromatis yaitu penyesuaian proporsi pigmen dengan kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Morfologi thallus K. alvarezii ditunjukkan pada (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Morfologi Talus Rumput laut K. alvarezii (STRI, 2009)

Pertumbuhan thallus K. alvarezii bersifat multiaksial yang terdiri atas lapisan epidermis tunggal, korteks vakuolat, dan medula filamen yang padat. Selain itu, terdapat lapisan mucilaginous tebal yang menutupi lapisan epidermis (Baweja et al., 2016). Medula terdiri dari sel-sel berbentuk filamen dan panjang. Sel tersebut berukuran kecil dan terhubung satu sama lain melalui lubang (pit). Cystocarp berbentuk bulat atau subspherical dan terletak di wilayah kortikal thallus. Cystocarp memiliki sel fusi sentral yang dikelilingi oleh filamen gonimoblast. Filamen gonimoblast dapat menaikkan karpospora yang dilepaskan melalui ostiole (Baweja et al., 2016). Kappaphycus alvarezii sering dikenal dengan nama Eucheuma cottonii (Bono, 2014). Perubahan nama spesies E. cottonii menjadi K. alvarezii berdasarkan tipe karaginan yang dihasilkan oleh K. alvarezii yang merupakan penghasil kappa- karaginan (Campo et al, 2009). Saat ini, E. cottonii merupakan nama dagang dari spesies K. alvarezii (Trono, 1992). Vera et al (2011) yang menyatakan bahwa karaginan perupakan salah satu penyusun utama dinding sel alga merah mewakili 30-75% dari berat keringnya. Dinding sel Alga merah terdiri dari molekul pektik dan selulosa dengan banyak molekul hidrokoloid atau ester polisulfat, misalnya

6 agar dan karaginan (Baweja et al., 2016). Struktur penyusun dinding sel Rhodophyta ditunjukkan pada (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Struktur penyusun dinding sel Rhodophyta (Knudsen, 2015)

2.2 Penyakit Ice-ice pada Rumput Laut Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menginfeksi rumput laut karaginofit, khususnya rumput laut merah yang banyak menghasilkan karaginan (Maryunus, 2018). Infeksi penyakit ice-ice terhadap rumput laut pertama kali dilaporkan pada tahun 1971 yang menyerang hampir seluruh budidaya rumput laut di Filipina (Uyenco, 1981, Largo et al., 1995). Kemunculan penyakit ice-ice ditandai dengan perubahan pigmen rumput laut dan pelunakan thallus yang mengakibatkan penurunan hasil panen serta kualitas karaginan. Penyakit ice-ice pertama kali dilaporkan di Filipina pada tahun 1974. Tingkat keparahan yang ditimbulkan oleh penyakit ini terlihat di Zanzibar pada tahun 2001 hingga 2008, dimana lebih dari 1000 ton rumput laut mengalami penurunan hingga hampir 0 produksi hanya dalam kurun waktu 7 tahun (Azizi et al., 2018). Kemunculan penyakit ice-ice ditandai dengan timbulnya bintik/bercak- bercak pada sebagian thallus yang lama-kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih dan mudah terputus (Maryunus, 2018)

7 yang ditunjukkan oleh (Gambar 2.3). Penyakit ice-ice timbul karena menurunnya substansi pelindung intraseluler pada saat rumput laut mengalami tekanan lingkungan (stres) (Uyenco et al., 1981). Pada keadaan tercekam, rumput laut akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah pada rumput laut yang terinfeksi (Largo et al., 1995). Hal ini menandakan serangan bakteri patogen akibat stress pada rumput laut bersifat infeksi sekunder (secondary impact) (Maryunus, 2018).

Gambar 2.3. Thallus K. alvarezii yang terserang penyakit ice-ice di Zamboanga Peninsula, Mindanao, Filipina (Alibon, 2019).

2.3 Proses terjadinya penyakit ice-ice Proses fisiologis rumput laut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidupnya. Setiap perubahan lingkungan yang ekstrim menyebabkan stress pada organisme perairan sehingga berpengaruh terhadap turunnya status kesehatan rumput laut (Fitrian, 2015). Rumput laut hidup dalam ekosistem akuatik yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi satu sama lain dalam mendukung pertumbuhan rumput laut. Komponen abiotik terdiri dari faktor fisik dan kimia, sedangkan biotik berperan dalam menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan pada rumput laut (Casadevall dan Pirofski 2001). Penyakit ice-ice disebabkan oleh kondisi kesehatan rumput laut menurun atau kondisi lingkungan yang kurang mendukung, sehingga rumput laut mengalami stress, dan menyebabkan penurunan kemampuan rumput laut untuk

8 mempertahankan diri dari penularan infeksi penyakit (Lobban and Horrison 1994). Hal ini dapat dipengaruhi oleh ketidakseimbangan interaksi kompleks yang terjadi antara kondisi lingkungan, rumput laut dan patogenitas mikroorganisme oportunistik. Interaksi antara rumput laut dengan bakteri terjadi secara dinamis sehingga penyakit yang timbul tergantung pada beberapa faktor termasuk keadaan rumput laut, potensi patogen bakteri (yaitu kemampuan untuk mengekspresikan faktor virulensi yang relevan) dan pengaruh parameter lingkungan atau stressor (Egan et al., 2014). Interaksi antara rumput laut, kondisi lingkungan dan bakteri patogen oportunistik dalam menyebabkan penyakit pada rumput laut ditunjukkan pada (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Diagram model interaksi antara rumput laut, kondisi lingkungan dan bakteri patogen oportunistik dalam menyebabkan penyakit pada rumput laut (Garis solid) menunjukkan tindakan langsung yang dapat merusak rumput laut, sedangkan (garis putus-putus) menunjukkan tautan yang memodulasi tindakan ini dengan cara positif (+) atau negatif (-) (Egan et al., 2014).

Interaksi antara inang dengan bakteri sering bersifat dinamis (Egan et al., 2014). Penyakit yang timbul pada inang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah keadaan inang, potensi patogen bakteri (yaitu kemampuan untuk mengekspresikan faktor virulensi yang relevan) dan pengaruh parameter

9 lingkungan atau stressor. Inang yang mengalai stress dengan sistem pertahanan yang terganggu merupakan tempat yang ideal bagi bakteri untuk berkoloni (Case et al., 2011). Kondisi lingkungan yang melebihi batas adaptasi dan toleransi dapat berdampak pada kelangsungan hidup, fisiologi dan kinerja keseluruhan sehingga makroalga berpotensi rentan terhadap mikroba patogen (Karsten et al., 2001; Toohey dan Kendrick, 2007). Gambar 2.4 secara khusus menunjukkan bahwa tekanan lingkungan, menurunnya keadaan fisiologis atau berkurangnya pertahanan bahan kimia inang dapat memainkan peran penting dalam manifestasi penyakit (Campbell et al., 2011; Case et al., 2011). Senyawa kimia yang dihasilkan oleh makroalga dapat menekan kolonisasi bakteri dan mengganggu sistem Quorum sensing pada bakteri (Egan et al., 2014). Pada saat musim panas, konsentrasi senyawa kimia yang dikeluarkan oleh makroalga sebagai pertahanan menurun sehingga terjadi puncak kemunculan penyakit pemutihan pada beberapa rumput laut, di mana bagian thallus pada alga kehilangan pigmentasi dan mengalami pembusukan (Case et al., 2011). Rendahnya konsentrasi senyawa kimia yang dikeluarkan oleh alga sebagai sistem pertahanan mendukung keragaman bakteri yang lebih besar dibandingkan dengan jaringan sehat di lapangan (Campbell et al., 2011; Fernandes et al., 2012), meskipun belum ditentukan apakah keanekaragaman bakteri ini lebih besar pada jaringan yang sakit berhubungan dengan peningkatan jumlah patogen oportunistik (Fernandes et al., 2012). Faktor lingkungan juga dapat mengubah faktor biologis lainnya dan dengan demikian secara tidak langsung memberikan peluang bagi bakteri patogen. Oleh karena itu, kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor biologis dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih tinggi pada makroalga dibandingkan kerusakan yang diakibatkan oleh masing-masing faktor saja (Campbell, 2011). Hal ini menunjukkan pentingnya memahami aksi dari patogen oportunistik yang menyebabkan penyakit pada makroalga karena sebagian besar bakteri laut yang berpotensi sebagai patogen oportunistik akan lebih sering memunculkan ekspresi dan faktor virulensi. Dengan demikian, perubahan iklim yang terjadi di lingkungan laut dapat memberikan 'peluang' bagi patogen baru untuk memainkan peran penting secara ekologis dalam menimbulkan penyakit makroalga (Egan et al., 2014).

10

Mekanisme infeksi rumput laut oleh patogen dilaporkan oleh Largo et al. (1999) melalui kemampuan bakteri dalam melakukan inisiasi di permukaan rumput laut. Permukaan thallus yang kasar memungkinkan mikroorganisme mudah untuk menempel kemudian terjadi penetrasi menembus lapisan korteks dan medulla pada thallus. Hal ini menyebabkan thallus menjadi lebih lemah dan akan memburuk ketika rumput laut sedang dibawah tekanan sehingga rumput laut akan mengeluarkan zat organik lembab yang dapat menarik bakteri di dalam air dan menginduksi pemutihan (depigmentasi) dan pengerasan cabang hingga terjadi kerusakan (Alibon et al., 2019; Solis et al., 2010). Salah satu bakteri yang diketahui mampu menginfeksi rumput laut adalah Vibrio sp. yang merupakan bakteri motil karena memiliki flagel (Thompson et al., 2005; Achmad et al., 2016) sehingga dapat menempel pada permukaan thallus (Largo, 1999). Selain itu, Vibrio sp. juga memiliki kemampuan untuk menghidrolisis karaginan dan selulosa pada dinding sel rumput laut melalui aktivitas karaginase dan selulase (Largo, 1999; Zhu dan Ning, 2016). Karaginan dan selulosa merupakan senyawa paling banyak yang ditemukan pada matriks dinding sel (Santos, 1989) sehingga aktivitas hidrolitik bakteri ke dalam dinding sel rumput laut akan menyebabkan degradasi epidermis dan berakhir pada pemutihan thallus rumput laut yang terinfeksi (Solis et al., 2010).

2.4 Mekanisme Pertahanan Rumput Laut terhadap Infeksi Bakteri Kemampuan untuk mengenali dan mengaktifkan mekanisme pertahanan dalam merespons keberadaan mikroba merupakan strategi penting bagi rumput laut untuk bertahan hidup di lingkungan perairan. Rumput laut sangat rentan terhadap kolonisasi mikroba karena pelepasan sejumlah besar senyawa karbon yang bertindak sebagai penarik bahan kimia dan sumber nutrisi bagi bakteri (Oliveira et al., 2017). Mekanisme molekuler pertahanan rumput laut terhadap infeksi bakteri telah dijelaskan oleh Oliveira et al. (2017) ditampilkan pada Gambar 2.5.

11

Vibrio

(MAMP) dan (MAMP)

dalam dalam merespon

associated molecular patternassociated molecular

-

Laurencia Laurencia dendroidea

microbe

melalui

bakteri bakteri

.

., 2017)

potesis yang mewakili masuknya yang mewakili potesis

et al et

Model hi Model

(Oliveira (Oliveira

proses metabolit yang ditampilkan pada profil transkriptomik

Gambar 2.5. beberapa madracius

12

Respon rumput laut terhadap bakteri diamati dengan adanya persinyalan intraseluler melalui perantara kaskade MAPK (mitogen-activated protein kinase), GTPase kecil, fosfatidylinositol, dan protein kinase yang bergantung kalsium kalmodulin. Peningkatan regulasi gen untuk enzim NADPH oksidase dan antioksidan menyebabkan terjadinya ledakan oksidatif. Upregulasi gen terkait biosintesis terpen bersamaan dengan over-ekspresi gen yang terlibat dalam transportasi vesicular memacu peningkatan terpene yang dilepaskan oleh rumput laut sehingga terjadi metabolisme yang membutuhkan energi cukup besar. Biosintesis terpen akan meningkatkan regulasi gen yang terlibat dalam produksi ROS (reactive oxygen species) (Oliveira et al., 2017). Bakteri patogen yang menyerang rumput laut ditangkap oleh reseptor LRR/LRK (leucine-rich repeat receptor-like serine / threonine-protein kinase) sehingga mengaktifkan sinyal PIs (phosphatidylinositol signaling). Pensinyalan yang dimediasi phosphatidylinositol memengaruhi pelepasan Ca2+ dan ekspresi gen yang berhubungan dengan pertahanan pada tanaman diantaranya adalah CaM (calmodulin), Rac, dan MAPK cascade. Pelepasan Ca2+ menyebabkan terjadinya upregulasi gen yang menkode CaM dan CDPK (calcium calmodulin-dependent protein kinase). Aktivasi CDPK terkait patogenesis terdeteksi pada tanaman, dan protein kinase ini mengatur produksi ROS (reactive oxygen species) oleh NADPH oksidase (Oliveira et al., 2017). Pelepasan Ca2+ menyebabkan terjadinya upregulasi gen Rac yang dianggap sebagai regulator utama dalam imunitas tanaman. Rac1 adalah pengatur produksi ROS (reactive oxygen species) dan menginduksi ekspresi gen yang berhubungan dengan pertahanan yang meningkatkan resistensi terhadap bakteri patogen. Selanjutnya MAPK cascade mentransduksi rangsangan ekstraseluler menjadi respons intraseluler selama pertahanan tanaman terhadap patogen dan dapat menginduksi ekspresi gen terkait pertahanan melalui fosforilasi faktor transkripsi, seperti ERF (ethylene responsive transcription factor). Pengkodean gen lain untuk protein kinase yang diregulasi adalah protein kinase terkait Snf1, yang ekspresinya pada tanaman diinduksi oleh bakteri patogen. Selanjutnya, peran yang relevan dikaitkan dengan protein kinase terkait Snf1 sebagai regulator global ekspresi gen, menginduksi jalur katabolik yang menyediakan sumber energi alternatif dan

13 mengendalikan gen yang menyandikan komponen transduksi sinyal dan regulator transkripsi (Oliveira et al., 2017). Respon rumput laut terhadap bakteri patogen melibatkan konversi energi yang terkait dengan glikolisis, siklus tricarboxylic acid (TCA), dan fosforilasi oksidatif (Gambar 2.5). Upregulasi gen yang terlibat dalam katabolisme asam amino rantai cabang dan dalam oksidasi asam lemak menyediakan sumber alternatif substrat respirasi untuk siklus TCA, terutama selama rumput laut mengalami stres yang parah dan sebagai respons terhadap infeksi (Oliveira et al., 2017).

2.5. Bakteri dan Patogenitas Bakteri Bakteri merupakan organisme uniseluler tergolong protista prokariot yang dicirikan dengan tidak adanya membran yang memisahkan inti dengan sitoplasma (Aris, 2011). Ukuran bakteri bervariasi, biasanya dalam ukuran 0,5-1,0 μm x 2,0- 5,0 (Dwidjoseputro, 1985). Mikroorganisme prokariotik ini dapat ditemukan dimana-mana seperti di tanah, air, sumber air panas asam dan limbah radioaktif. Bakteri juga hidup secara simbiosis dan parasit dengan tumbuhan dan hewan (Fredrickson et al., 2004). Secara umum bakteri berbentuk bulat, batang dan spiral dengan sifat Gram negatif dan Gram positif (Benson, 2001). Dalam lingkungan akuatik, kelimpahan bakteri dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien, pH, suhu, kesadahan dan salinitas (Aris, 2011). Beberapa bakteri mampu menyebabkan penyakit terhadap organisme yang disebut dengan bakteri patogen (Levinson, 2008). Bakteri patogen pada organisme budidaya laut tergolong mesofilik dengan suhu optimum 10–30oC, umumnya bersifat gram negatif dan berbentuk batang. Namun, beberapa patogen berbentuk batang atau bulat bersifat gram positif dan beberapa diantaranya berbentuk batang tahan asam. Bakteri mampu menyebabkan penyakit karena memiliki kemampuan dalam menginfeksi organisme hingga timbulnya penyakit yang disebut dengan patogenitas (Lacey, 1997). Berdasarkan patogenitasnya, bakteri dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni patogen konvensional, kondisional dan oportunistik (Pruss et al 2002). Beberapa bakteri yang mudah tumbuh dan berkembang dalam perairan atau dikenal patogen oportunistik (Largo et al., 1999; Greenwood et al. 1995). Patogen

14 oportunistik hanya dapat menyerang organisme yang berada dibawah tekanan sehingga resistensinya terhadap infeksi menurun tajam (Parker, 1978). Beberapa bakteri yang biasa menyerang organisme laut adalah Vibrio sp., Staphylococcus sp., Bacillus sp., Photobacterium sp., Pseudomonas sp., Flavobacterium sp., Vibrio sp., Micrococcus sp., Flexibacter sp., dan Alcaligenes sp.(Austin dan Austin 1993). Respon inang terhadap infeksi bakteri patogen ditandai dengan terganggunya fungsi tubuh hingga menimbulkan penyakit (Aris, 2011). Faktor- faktor yang mempengaruhi suatu bakteri sehingga mampu menyebabkan penyakit diantaranya adalah kemampuan bakteri untuk menempel dan masuk ke dalam tubuh inang, kemampuan untuk mengambil nutrisi dan bertahan hidup dalam inang, kemampuan untuk berkembang biak serta kemampuan untuk bertahan dari sistem pertahanan tubuh inang (Pelczar dan Chan 1988).

2.6 Gen 16S rRNA Bakteri umumnya diidentifikasi melalui analisis sekuensing gen 16S rRNA yang merupakan komponen subunit 30s dari ribosom prokariot (Clarridge, 2004; Case et al. 2007). Analisis kesamaan dan analisis filogenetik berdasarkan urutan gen 16S rRNA biasanya digunakan untuk mengidentifikasi spesies mikroba dan menganalisis keanekaragaman mikroba (Clarridge, 2004; Zhou et al., 2011; Lu et al., 2015). Gen 16S rRNA adalah alat yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi bakteri karena beberapa alasan (Fukuda et al., 2016). Pertama, gen tersebut relatif pendek (sekitar 1.500 pb). Kedua, ada sepuluh daerah dalam urutan gen 16S rRNA yang umum di antara sebagian besar bakteri (wilayah yang dilestarikan) dan dipisahkan menjadi sembilan wilayah yang beragam (daerah yang hipervariabel) (Gambar 2.6). Oleh karena itu, beberapa primer universal didirikan di daerah konservasi (Drancourt et al. 2000). Secara umum, perbandingan sekuens gen 16S rRNA memungkinkan diferensiasi antara organisme pada tingkat genus di semua filum utama bakteri, selain mengklasifikasikan strain pada berbagai tingkatan yang meliputi spesies atau subspesies (Clarridge, 2004). Ketiga, urutan gen yang terdaftar dalam basis data publik meningkat secara substansial, karena urutan gen adalah informasi penting untuk identifikasi dan klasifikasi dalam studi taksonomi

15 bakteri (Fukuda et al., 2016). Sekuen gen 16S rRNA telah ditentukan untuk sejumlah besar strain. GenBank merupakan databank terbesar dari sekuens nukleotida, yakni lebih dari 90.000 merupakan gen 16S rRNA yang berarti bahwa ada banyak sekuens yang sebelumnya disimpan untuk membandingkan sekuens strain yang tidak dikenal (Clarridge, 2004). Skema dari struktur ribosom dan gen 16S rRNA ditunjukkan pada (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Skema struktur ribosom dan gen 16S rRNA. Kotak putih dan abu-abu masing-masing menunjukkan daerah yang dikonservasi dan daerah yang sangat bervariasi. Panah tebal ditampilkan perkiraan posisi primer universal pada urutan gen 16S rRNA dari Escherichia coli. : wilayah yang dikonservasi, ■: wilayah yang sangat beragam (V1-V9). (Fukuda et al., 2016)

2.7 Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik biologi molekuler untuk mengamplifikasi fragmen DNA spesifik secara enzimatis tanpa membutuhkan organisme hidup (Rahman et al., 2013). PCR mudah digunakan, efisien, serta sangat sensitif dan spesifik sehingga PCR merupakan teknik yang popular dalam dunia biologi molekuler (Madigan et al ., 2012). Hanya dalam beberapa jam, sekuens DNA spesifik dalam jumlah besar dapat dihasilkan menggunakan PCR (Slonczewski et al., 2011).

16

Prinsip dari PCR cukup sederhana. Seperti namanya, PCR merupakan reaksi berantai (chain reaction): satu molekul DNA digunakan untuk menghasilkan dua kopi DNA, lalu empat kopi, lalu delapan dan seterusnya (Joshi dan Deshpande, 2010). Penggandaan DNA ini dilakukan oleh protein spesifik yang dikenal sebagai polimerase yang berfungsi dalam menambahkan nukleotida baru dalam suatu rantai DNA (Rahman et al., 2013). Polimerase yang digunakan dalam teknik ini di sebut Taq polymerase yang didapatkan dari bakteri yang hidup di sumber air panas dengan suhu di atas 90oC (Thermus aquaticus) sehingga polimerase ini bersifat termostabil (Karp, 2010). Polimerase yang bersifat termostabil harus digunakan dalam proses PCR karena reaksi berlangsung dalam siklus berulang yang melibatkan tahapan-tahapan pemanasan dan pendinginan (Garibyan dan Avashia, 2013) yang dapat dilihat pada (Gambar 2.8), meliputi: 1. denaturasi: pemanasan hingga 95oC untuk memisahkan untai ganda DNA; 2. annealing: pendinginan hingga suhu 55oC secara bertahap; dan 3. elongasi: pemanasan hingga suhu 72oC, yang mana merupakan suhu optimum untuk polimerase.

17

Gambar 2.8. Prinsip PCR (Garibyan dan Avashia, 2013)

Selain Taq polimerase, polimerase dari bakteri termofil lain juga digunakan dalam proses PCR (Slonczewski et al., 2011) karena proses PCR berlangsung dalam 25-30 siklus pemanasan dan pendinginan, maka digunakan mesin yang disebut thermocycler dalam teknik ini (Madigan et al., 2012).

2.8 Elektroforesis Gel Agarosa Metode yang paling umum digunakan dalam menganalisis produk PCR adalah elektroforesis gel agarosa. (Garibyan dan Avashia, 2013). Prinsip kerja dari elektroforesis gel agarosa ialah pemisahan campuran DNA berdasarkan berat molekul menjadi pita-pita yang terdiri atas molekul DNA dengan panjang yang sama di bawah pengaruh medan listrik (Sambrook dan Russel, 2011). DNA bermuatan negatif (mengandung gugus fosfat) akan bermigrasi ke kutub positif (anoda) (Klug dan Cummings, 1994). Selain untuk memisahkan campuran DNA, elektroforesis berguna pula untuk mengetahui ukuran fragmen DNA hasil PCR.

18

Ukuran fragmen DNA hasil PCR dapat diketahui dengan menggunakan set produk DNA pada gel yang merupakan penanda (marker) molekuler standar (Birren dan Lai, 1993). Komponen dari elektroforesis terdiri dari: 1) Sisir (comb): berfungsi untuk membentuk sumur (well) pada gel agarosa; 2) Nampan (tray): berfungsi sebagai cetakan gel agarosa; 3) Chamber: berfungsi sebagai wadah gel agarosa; 4) Sumber listrik: untuk memberi arus saat proses elektroforesis (Birren dan Lai, 1993). Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam elektroforesis gel agarosa ialah bubuk gel agarosa, buffer misalnya Tris-asetat-EDTA (TAE), penanda (marker) DNA 1kb, dan pewarna misalnya etidium bromida (Blasiak et al., 2000). Metode ini memiliki beberapa kelebihan, yakni reaksi yang terjadi selama elektroforesis mudah diamati, sampel mudah untuk ditangani secara cepat, dan setelah selesai percobaan, gel dapat disimpan serta didinginkan sehingga dapat digunakan untuk dokumentasi bila dibutuhkan analisis lebih lanjut di lain waktu (Boffey, 1984).

2.9 Pohon Filogenetik Filogenetik merupakan kajian mengenai hubungan evolusioner antar organisme sehingga analisis filogenetik merupakan metode untuk menyimpulkan atau memperkirakan hubungan evolusioner tersebut (Baldauf, 2003). Sejarah evolusioner yang disimpulkan dari analisis filogenetik biasa digambarkan sebagai diagram dengan banyak cabang mirip pohon yang merepresentasikan perkiraan silsilah dari nenek moyang di antara molekul-molekul (“pohon gen”), organisme, atau pun keduanya (Baxevanis dan Oulette, 2001). Pohon filogeni direkonstruksi menggunakan data berupa urutan (sekuens) nukleotida pada DNA atau asam amino pada protein (Baldauf, 2003). Sekuens nukleotida yang digunakan dalam filogenetik molekuler merupakan sekuens yang diwariskan langsung oleh nenek moyang (homolog) serta memiliki kesamaan sejarah evolusi. Sebuah sekuens dapat disebut sebagai marker molekuler apabila memenuhi persyaratan berupa: (1) terdistribusi pada seluruh organisme, (2) memiliki kesetaraan fungsi pada seluruh organisme, dan (3) memegang peranan vital bagi kehidupan organisme (Baxevanis dan Oulette, 2001).

19

Gen 16S rRNA merupakan salah satu contoh marker molekuler karena terdapat pada organisme baik yang berada pada domain Bacteria, Archaea, serta Eukarya. Saat ini, informasi mengenai sekuens gen 16S rRNA sudah sangat banyak tersedia pada database internasional dan juga sudah dijadikan standar penetapan suatu spesies baru dalam studi taksonomi (Clarridge, 2004). Beberapa contoh database tersebut dapat dilihat pada (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Daftar sumber bioinformatika (Baldauf, 2003)

Database Alamat

DDBJ (Japan) http://www.ddbj.nig.ac.jp/

EMBL (EU) http://www.ebi.ac.uk/Databases/

GenBank (USA) http://www.ncbi.nlm.nih.gov/

Pohon filogenetik terdiri dari cabang (tepi) dan simpul (node). Cabang menghubungkan node yang merupakan titik di mana dua (atau lebih) cabang berbeda. Cabang dan node dapat berupa internal atau eksternal (terminal). Node internal berhubungan dengan hipotesis last common ancestor (LCA) dari semua yang timbul darinya. Node terminal sesuai dengan urutan asal pohon (juga disebut sebagai operational taxonomic unit ('OTU'). Pohon dapat terdiri dari keluarga multigene (pohon gen) atau gen tunggal dari banyak taksa (pohon spesies, setidaknya secara teoritis) atau kombinasi keduanya. Dalam kasus pertama, node internal berhubungan dengan peristiwa duplikasi gen sedangkan node kedua untuk spesiasi (Baldauf, 2003). Pembacaan pohon filogenetik dibagi menjadi beberapa kelompok menurut Reddy (2011) diantaranya adalah: 1. Pengelompokan monofiletik adalah pengelompokan semua spesies yang memiliki ancestor bersama (sehubungan dengan bagian pohon yang lain) dan telah mewarisi seperangkat karakteristik umum yang unik (Baldauf, 2003.

20

2. Pengelompokan parafiletik adalah kelompok di mana semua spesies memiliki nenek moyang yang sama atau kelompok yang mengecualikan beberapa keturunannya (Baldauf, 2003) 3. Kelompok polifiletik adalah kelompok di mana spesies yang tidak memiliki nenek moyang yang sama secara langsung atau spesies yang memiliki hubungan jauh yang menyerupai satu sama lain atau mempertaankan karakteristik primitif yang serupa (Baldauf, 2003).

21

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

22

BAB 3 METODOLOGI

3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi pustaka (library research). Studi pustaka atau kepustakaan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2004). Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu suatu prosedur pengambilan data yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari teks yang diteliti (Tobing et al., 2016). Dengan penelitian kualitatif, perlu diakukan analisis deskriptif. Menurut Sugiyono (2012), metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. Menurut Whitney (1960), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Pendekatan kualitatif yang didasarkan pada langkah awal yang ditempuh dengan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, kemudian dilakukan klasifikasi dan deskripsi.

3.2 Sumber Data Sebagai penelitian kepustakaan, maka sumber data ada dua macam yang akan dipaparkan sebagai berikut: 1. Sumber utama primer adalah suatu referensi yang dijadikan sumber utama acuan penelitian. Dalam penelitian ini, sumber data primer yang digunakan adalah data keragaman bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice pada sentra budidaya Kappaphycus alvarezii yang telah diidentifikasi berdasarkan karakteristik fenotipik dan uji secara molekuler dari jurnal yang terindeks Scopus. 2. Sumber pendukung sekunder adalah referensi-referensi pendukung dan pelengkap bagi sumber primer. Menurut Sugiyono (2012), sumber sekunder adalah sumber data yang diperoleh dengan cara membaca,

23

mempelajari dan memahami melalui media lain yang bersumber dari literatur, buku-buku, serta dokumen. Dalam penelitian ini, sumber sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Literatur mengenai medium isolasi untuk pertumbuhan bakteri b. Literatur mengenai kelimpahan bakteri pada beberapa lokasi budidaya rumput laut. c. Literatur mengenai uji patogenitas bakteri yang diduga sebagai penyebab penyakit ice-ice.

3.3 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi literatur. Metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan, menyusun, mendeskripsikan sehingga diperoleh hasil berupa gambaran yang jelas tentang perkembangan penelitian pada keragaman bakteri terkait kemunculan penyakit ice- ice pada rumput laut. Sumber data penelitian ini mencari data-data kepustakaan yang substansinya membutukan tindakan pengolahan secara teoritis. Studi pustaka di sini adalah studi pustaka tanpa disertai uji empirik (Muhadjir, 1998). Pengumpulan data-data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan literatur dan buku tentang gambaran keragaman bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice pada rumput laut Kappaphycus alvarezii yang telah diidentifikasi baik secara morfologi dan biokimia maupun melalui uji molekuler menggunakan sekuen gen 16S rRNA. Pengumpulan data tersebut kemudian dipilih, disajikan, dan dianalisis serta diolah secara ringkas dan sistematis.

500 m 500 m

24

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Bakteri terkait Kemunculan Penyakit Ice-ice 4.1.1 Medium Pertumbuhan Isolat Bakteri terkait penyakit Ice-ice Isolasi bakteri terkait penyakit ice-ice merupakan proses awal yang penting dalam menganalisa penyakit, oleh sebab itu dibutuhkan medium kultur yang tepat. Medium selektif mengandung komposisi unsur-unsur dasar medium kultur, meliputi air dan nutrisi yang ditambahkan dengan faktor pertumbuhan spesisik serta inhibitor (Bonnet et al., 2019). Terdapat beberapa unsur utama yang diperlukan dalam melakukan isolasi bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice diantaranya adalah air, sumber karbon dan garam natrium. Air berperan penting dalam melarutkan nutrient, mengangkut dan memastikan reaksi hidrolisis. Karbon merupakan salah satu unsur penyusun yang paling melimpah pada bakteri yang penting untuk memproduksi molekul karbon seperti lemak, karbohidrat, protein dan asam nukleat (Bonnet et al., 2019). Sedangkan garam natrium dikenal memiliki sifat sebagai inhibitor yang dapat digunakan untuk memilih bakteri halofilik yang tahan terhadap garam dalam jumlah yang tinggi (Bonnet et al., 2019). Menurut Bonnet et al. (2019) penggunaan medium isolasi yang tepat dilakukan dengan tujuan untuk mengeliminasi/menapis mikroorganisme lain yang tidak diinginkan. Vairappan et al. (2001) menggunakan 3 medium yang berbeda untuk menentukan medium terbaik bagi isolasi bakteri penyebab pemutihan pada talus rumput laut. Komponen utama pada medium tersebut terdiri atas Nutrient agar, Trypto-soya, ferric citrate, dan air laut. Medium pertama adalah medium nutrisi tinggi yang terdiri atas komponen utama dengan konsentrasi tinggi, medium kedua memiliki komposisi yang sama dengan medium pertama dengan konsentrasi yang lebih rendah, sedangkan medium ketiga terdiri atas komponen yang sama dengan konsentrasi lebih rendah yang dimodifikasi dengan ekstrak rumput laut sebesar 5%. Grafik pertumbuhan bakteri pada ketiga medium tersebut ditampilkan pada Gambar 4.1.

25

8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000

1000 Jumlah Jumlah BakteriTotal(CFU/ml) 0 Media 1 Media 2 Media 3 Media Pertumbuhan

Rumputlaut sehat Rumput laut berpenyakit

Gambar 4.1 Grafik Pertumbuhan Bakteri yang diisolasi dari Rumput laut dengan menggunakan 3 medium yang berbeda (Vairappan et al., 2001).

Vairappan et al. (2001) melaporkan pertumbuhan bakteri terbaik terlihat pada medium ketiga yaitu media dengan konsentrasi medium lebih rendah yang dimodifikasi dengan ekstrak rumput laut. Berdasarkan gambar 4.1 terlihat bahwa medium ketiga menunjukkan pertumbuhan bakteri yang paling tinggi dibandingkan dengan medium pertama dan medium kedua. Bakteri yang tumbuh pada medium dengan komposisi dan konsentrasi tinggi dapat terlihat jelas dalam waktu 24 atau 48 jam inkubasi (Syafitri et al., 2017; Vairappan, 2001). Sedangkan penggunaan medium dengan komposisi dan konsentrasi yang lebih rendah membutuhkan waktu inkubasi yang lebih lama sekitar 4 hari (Vairappan et al., 2001), 5 hari (Burtado et al., 2003) dan 7 hari inkubasi (Azizi et al., 2018). Koloni bakteri yang tumbuh pada medium dengan komposisi dan konsentrasi tinggi (Zobell Karaginan) menunjukkan ukuran yang relatif lebih besar dibandingkan dengan isolasi bakteri pada medium dengan komposisi dan konsentrasi lebih rendah (Gambar 4.2). Hal ini sesuai dengan pernyataan Vairappan et al. (2001) bahwa koloni bakteri pada media dengan nutrisi tinggi relatif berukuran lebih besar dibandingkan dengan penggunaan medium nutrisi yang lebih rendah yang memiliki ukuran koloni lebih kecil.

26

a b

Gambar 4.2 Koloni isolat bakteri yang tumbuh pada medium Zobell 2216E termodifikasi karaginan (a) dan Air laut karaginan (b)

Di alam, bakteri berkembang sesuai elemen yang terdapat di sekitar lingkungan hidup maupun inangnya (Jenkins dan Maddocks, 2019) sehingga penting untuk mengkondisikan media isolasi sesuai dengan lingkungan tempat bakteri tumbuh secara alami. κ-karaginan dapat digunakan untuk menggantikan agar dalam medium isolasi bakteri yang dapat tumbuh pada media berbasis κ- karaginan karena memiliki sifat yang mampu membentuk gel dengan struktur yang kuat dalam air (Funami et al., 2011). Selain itu, κ-karaginan merupakan unsur utama penyusun dinding sel K. alvarezii (Vera et al., 2011) sehingga dapat menggantikan nutrisi yang ada di lingkungan alami tempat bakteri tersebut dijadikan sampel (Vairappan, 2001). Beberapa bakteri laut seperti Halobacterium sp. dan Halococcus sp. tidak dapat tumbuh pada media nutrisi tinggi akibat adanya “heat nutrition” karena dalam habitat alaminya terbiasa hidup dalam lingkungan dengan rendah nutrisi (Jensen et al., 1996 dalam Vairappan et al., 2001). Sementara kemampuan bakteri epifit dalam menggunakan nutrisi yang diekskresikan oleh inang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi bakteri planktonik. Hal tersebut karena nutrisi yang diekskresikan oleh inang teradsorpsi dalam lapisan polisakarida pada permukaan alga (Vairappan et al., 2001). Beberapa jenis medium selektif yang telah digunakan dalam isolasi bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice dirangkum dalam (Tabel 4.1).

27

Tabel 4.1 Jenis-jenis medium pertumbuhan bakteri terkait kemunculan penyakit pemutihan pada rumput laut

No Jenis Medium Komposisi Referensi 1 Marine Agar (Zobell 2216E) Sejumlah garam (Syafitri et al., mineral, pepton, yeast 2017; extract, agar, akuades Azizi et al., 2018) 2 SWC (Seawater Complex) Bacto-peptone, yeast (Achmad et al., extract, gliserol, air laut 2016) steril, akuades 3 NA-FeT (Ferric citrate Nutrient agar, Trypto- (Vairappan et Trypto-soya) soya, ferric citrate, air al., 2001) laut 4 FePY-karaginan (Ferric Polipepton, yeast (Butardo et al., citrate polypeptone yeast extract, ferric citrate, k- 2003) extract) karaginan, air laut, akuades 5 Zobell 2216E termodifikasi Medium zobell, (Azizi et al., karaginan karaginan 2018)

6 APA (Alkaline Peptone) Pepton, agar, air laut (Wulandari dan Prasetyo, 2016) 7 Sterile Seawater (SSW) Air laut steril, agar (Butardo et al., 2003) 8 NA-FeT (Ferric citrate Nutrient agar, Trypto- (Vairappan et Trypto-soya) dengan soya, ferric citrate, air al., 2001) komposisi lebih rendah laut 9 NA-FeT (Ferric citrate Nutrient agar, Trypto- (Vairappan et Trypto-soya) komposisi soya, ferric citrate, al., 2001) rendah termodifikasi ekstrak ekstrak rumput laut, air runput laut laut

28

4.1.2 Kelimpahan Bakteri pada Lokasi Budidaya Rumput Laut Di alam, bakteri berkembang sebagai komunitas polimikroba di lingkungan dan di dalam inangnya (Jenkins dan Maddocks, 2019). Keanekaragaman mikroorganisme di perairan khususnya pada lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii sangat melimpah (Rygaard et al., 2017). Interaksi yang kompleks antara anggota komunitas mikroba yang berbeda dapat berdampak pada kelangsungan hidup, kapasitas untuk berkoloni, virulensi, dan tingkat pertumbuhan (Jenkins dan Maddocks, 2019). Cara sederhana untuk menunjukkan berbagai jenis dan jumlah bakteri dari sampel lingkungan adalah dengan menggunakan Total Plate Count (Jenkins dan Maddocks, 2019). Penelitian sebelumnya telah melakukan enumerasi komunitas mikroba di lingkungan budidaya rumput laut K. alvarezii dengan isolasi bakteri dari sampel air laut (Wulandari dan Prasetyo, 2019) dan sampel rumput laut K. alvarezii dari lokasi budidaya (Largo et al., 1995; Syafitri et al, 2017; Azizi et al., 2018). Total kelimpahan bakteri berdasarkan nilai CFU (Colony forming unit) yang tertera pada (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa jenis sampel dan lokasi pengambilan sampel dapat berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bakteri. Largo et al (1995) melaporkan bahwa nilai CFU (Colony Forming Unit) bakteri yang diisolasi dari sampel thallus rumput laut K. alvarezii yang sakit memiliki jumlah koloni yang paling tinggi yaitu 2,4 x 106 CFU/ml dibandingkan dengan jumlah koloni pada sampel rumput laut sehat (4,9 x 104 CFU/ml) dan jumlah koloni pada sampel air laut (1,1 x 103 CFU/ml) yang telah diisolasi dari salah satu lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii di Filipina pada Bulan Juni 1993. Laporan terkait total kelimpahan bakteri di lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii juga dilakukan oleh Wulandari dan Prasetyo (2016) dengan mengambil sampel air laut di Desa Palasa, Sumenep, Pulau Madura pada musim penghujan Bulan Desember hingga April 2016. Total kelimpahan bakteri yang tertinggi didapatkan dari sampel air laut yang diambil dari kedalaman 20 cm pada bulan Maret 2015 yaitu sebesar 1,8 x 104 CFU/ml.

29

)

)

., 1995

et al et

Referensi

Wulandari dan dan Wulandari

(

Prasetyo, 2016 Prasetyo,

Largo Largo

(

,

sp.

sp.

dan dan

sp.,

-

sp.,

Vibrio

Vibrio

sp.,

phaga

Bacillus

Kompleks

Cyto

Micrococcus

Jenis Bakteri Jenis

sp.,

Kelompok Kelompok

Pseudomonas Pseudomonas

Kurthia

Flavobacterium Flavobacterium

Flavobacterium

dan dan

K. alvarezii

4 5 6 3 4 4 4 4

CFU/ml

4,9 x 10 4,5 x 10 2,4 x 10 1,1 x 10 1,8 x 10 1,4 x 10 1,1 x 10 1,0 x 10

1993

Filipina

Indonesia

Juni

Maret 2015 Maret

Pulau Madura, Pulau Madura,

Lokasi Budidaya

-

ice

Bakteri di beberapa lokasi rumput laut di budidaya beberapa Bakteri

Bagian ujung talus sehat Bagian cabang tengah Bagian talus sehat berpenyakit Talus ice laut air Permukaan 20 cm Kedalaman 50 cm Kedalaman 1 m Kedalaman 5 m Kedalaman

Sampel

Total Count Plate

Tabel 4.2 Tabel

K. alvarezii Air Laut

30

Nilai kelimpahan bakteri dari sampel rumput laut dan air laut menunjukkan bahwa sentra budidaya rumput laut K. alvarezii mengandung senyawa organik dan merupakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa organik sendiri merupakan salah satu bahan yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga dengan tingginya kadar senyawa organik akan meningkatkan pertumbuhan bakteri di perairan laut (Denny, 2007 dan Hadioetomo, 1993). Senyawa organik yang digunakan oleh bakteri penyebab penyakit ice-ice didapatkan dari karaginan sebagai polisakarida utama penyusun dinding sel rumput laut Kappaphycus alvarezii yang terletak pada bagian terluar dari permukaan rumput laut (Azizi et al., 2018). Penyakit ice-ice menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap produksi rumput laut sehingga menyebabkan penurunan berat molekul karaginan yang dihasilkan. Depolimerisasi tersebut dikaitkan dengan aktivitas karaginolitik yang diproduksi dan dikeluarkan oleh bakteri dalam keadaan tertentu. Selulase dan karaginase yang diisolasi dari bakteri mampu melepaskan protoplasma epidermal dan meduler pada K. alvarezii (Zablackis et al., 1993). Menurut Largo (1999) enzim hidrolitik tersebut mungkin menjadi faktor dalam pemutihan yang diamati pada thallus rumput laut selama infeksi penyakit ice-ice. Enzim dalam konsentrasi yang tinggi mulai memanfaatkan karaginan pada thallus kemudian menembus ke dalam medulla thallus rumput laut sehingga dapat menyebabkan degradasi epidermis dan penghancuran plastid yang mengandung pigmen sel, yang mengakibatkan pemutihan awal bagian yang terinfeksi (Solis et al., 2010).

4.2 Karakteristik fenotipik isolat bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice pada rumput laut Karakterisasi mikroorganisme dapat dilakukan melalui keseluruhan pola yang meliputi karakteristik morfologi, fisiologi dan biokimia yang telah dirangkum dalam (Tabel 4.3). Standard karakterisasi secara fenotipik dilakukan berdasarkan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Sabdono et al., 2015)

31

Sebanyak 9 spesies bakteri berhasil diisolasi oleh Azizi et al. (2018) dari sampel rumput laut K. alvarezii sehat maupun terserang penyakit ice-ice di Perairan Selakan, Sabah, Malaysia menunjukkan beberapa karakteristik morfologi yang ditampilkan pada (Tabel 4.3). Hampir semua isolat menunjukkan pigmen yang berwarna krem, kecuali genus Jejuia yang menunjukkan pigmen kuning. Bentuk koloni yang diamati menunjukkan rata-rata koloni yang tidak berbentuk dan koloni yang berbentuk sirkular dengan elevasi datar dan cembung. Selain itu, beberapa isolat menunjukkan penampakan yang jelas (tembus cahaya) dan beberapa menunjukkan penampakan yang keruh (tidak tembus cahaya). Azizi et al. (2018) menemukan fakta menarik dimana semua bakteri yang diisolasi menunjukkan reaksi gram negatif dan hampir semua bakteri berbentuk batang kecuali Terasakiella sp. yang berbentuk spiral. Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Largo et al. (1995) dengan isolasi sampel K. alvarezii maupun sampel air laut yang diambil dari Danajon Reef, Bohol timur laut, Filipina. Isolat tersebut mencakup kompleks Cytophaga- Flavobacteriumc dan kelompok Vibrio. Hasil yang dilaporkan oleh Largo et al. (1995) menunjukkan kombinasi populasi bakteri gram positif dan negatif berbentuk kokus atau batang serta membentuk koloni putih, kuning atau merah muda, halus pada permukaan agar. Penelitian serupa dilakukan oleh Wulandari dan Prasetyo (2016) dengan isolasi bakteri yang diambil dari sampel air laut pada lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii di Desa Palasa, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura. Karakter morfologi isolat bakteri di perairan tersebut menunjukkan koloni yang berbentuk bulat maupun tak berbentuk, berwarna putih atau kuning dengan penampakan yang keruh maupun transparan, tepi rata atau bergerigi dengan elevasi datar atau cembung. Selain itu, isolat juga menunjukkan populasi gram positif dan negatif dengan bentuk sel kokus atau batang yang ditunjukkan pada Gambar 4.3 (Wulandari dan Prasetyo, 2016). Hasil yang sama dilaporkan oleh Achmad et al. (2016), dimana isolat bakteri yang diisolasi dari Pantai Bulukumba, Sulawesi Selatan juga menunjukkan kelompok bakteri gram positif dan negatif dengan bentuk batang atau kokus.

32

A B

Gambar 4.3 Penampakan Mikroskop Perbesaran 1000 x (A) Gram positif berbentuk batang isolat Bacillus (B) Gram negatif berbentuk batang isolat Flavobacterium (Wulandari dan Prasetyo, 2016)

Berdasarkan uji gram, hasil yang dilaporkan oleh Azizi et al. (2018) bertentangan dengan hasil yang dilaporkan oleh Largo et al. (1995), Wulandari dan Prasetyo (2016) serta Achmad et al. (2016) dimana populasi isolat yang berhasil diidentifikasi bersifat gram positif dan gram negatif. Azizi et al. (2018) menyatakan bahwa penemuan hasil yang berbeda kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah lokasi pengumpulan sampel yang berbeda serta pengaruh kondisi sampel yang tetap dipertahankan dalam kondisi optimal saat perjalanan menuju ke Laboratorium sebelum dilakukan isolasi bakteri.

33

Tabel 4.3 Karakteristik Fenotipik Bakteri di beberapa sentra budidaya rumput laut K. alvarezii Lokasi budidaya Keragaman Karakteristik (Referensi) Bakteri (Genus) Koloni Fisiologi dan Biokimia Pulau Selakan, Vibrio Krem, Batang, gram Sabah, Malaysia translusen, negatif (Azizi et al., sirkular, 2018) transparan, halus, menonjol Terasakiella Krem, Spiral, gram transparan, negatif irregular, menonjol, halus Thalassospira Krem, Batang, gram transparan, negatif sirkular, datar, halus Idiomarina Krem, turbid, Batang, gram sirkular, negatif menonjol, halus Alteromonas Krem, turbid, Batang, gram sirkular, negatif menonjol, halus Jejuia Kuning, turbid, Batang, gram sirkular, negatif menonjol, halus Aestuariibacter Krem, turbid, Batang, gram sirkular, negatif menonjol, halus

Danajon Reef, Vibrio Putih, turbid, Batang Bohol timur laut, rhizoid / lobate melengkung, Filipina (Largo gram negative, et al., 1995) motil, katalase positif, oksidase positif

Arthrobacter Putih, sirkular Batang pendek, Gram positif, non motil, katalase negative, oksidase negative

34

Lanjutan Tabel 4.3 Karakteristik Fenotipik Bakteri di beberapa sentra budidaya rumput laut K. alvarezii Cytophaga Kuning/ jingga, Batang menyebar memanjang, gram negative, non motil katalase negative, oksidase positif Flavobacterium Kuning/ jingga, Gram negative, sirkular non motil, katalase positif, oksidase positif Aeromonas Kuning Batang kehijauan, melengkung, menyebar gram negative, motil, katalase positif, oksidase positif Pseudomonas Sirkular, ungu Batang pendek, gram negative, motil, katalase positif, oksidase negative Alteromonas Sirkular, ungu Batang pendek, gram negative, motil, katalase positif, oksidase negative Flavobacterium Putih, menyebar, Kokus, gram rata menonjol negative katalase positif, oksidase positif, aerob obligat Desa Palasa, Vibrio Putih susu, bulat, Rod-shape, gram Kabupaten rata, menonjol negative, katalase Sumenep, positif, oksidase Madura positif, fakultatif (Wulandari dan aerob Prasetyo, 2016) Kurthia Transparan, Batang, gram menyebar, rata, positif, katalase datar positif, oksidase positif, aerob obligat Bacillus Merah muda, Batang, gram bulat, rata, positif, katalase menonjol positif, oksidase positif, fakultatif aerob

35

Lanjutan Tabel 4.3 Karakteristik Fenotipik Bakteri di beberapa sentra budidaya rumput laut K. alvarezii Pseudomonas Putih, irregular, Batang, gram bergerigi, negative, katalase menonjol positif, oksidase positif, fakultatif aerob Micrococcus Transparan, Kokus, gram irregular, positif, katalase bergerigi, datar positif, oksidase positif, aerob obligat Klebsiella Putih Kokus, gram kekuningan, negative, katalase bulat, rata, datar positif, oksidase positif, fakultatif aerob Shewanella Sirkular, rata Batang, gram negative, motil, katalase positif, oksidase negative Pantai Vibrio Iregular, Batang, gram Bulukumba, berkerut negative, motil, Sulawesi Selatan katalase positif, (Achmad et al., oksidase positif 2016) Stenotrophomonas Iregular, Batang, gram bergelombang negative, motil, katalase positif, oksidase negative Pseudomonas Iregular, Batang, gram berkerut negative, motil, katalase positif, oksidase negative Ochrobactrum Iregular, Batang, gram bergelombang negative, motil, katalase positif, oksidase negative Arthrobacter Sirkular, rata Kokus, gram positif, motil, katalase negative, oksidase negative Bacillus Iregular, Batang, gram berfilamen positif, motil, katalase positif, oksidase positif

36

4.3 Identifikasi Molekuler Isolat Bakteri Identifikasi bakteri dapat dilakukan menggunakan analisis fenotipik dengan mempelajari sifat morfologis, fisiologis atau biokimianya maupun analisis genotipik secara molekuler (Yang et al 2020). Metode deteksi bakteri yang telah dikembangkan saat ini untuk mendeteksi bakteri patogen pada rumput laut adalah teknik molekuler melalui analisis DNA genom. Analisis molekuler dilakukan berdasarkan sekuensing gen 16S rRNA yang terdiri dari tahapan ekstraksi DNA, amplifikasi gen 16S rRNA dengan PCR dan sekuensing (Susilowati et al., 2015; Syafitri et al., 2017). Di Indonesia, pemanfaatan 16S rDNA telah dilakukan oleh Syafitri et al. (2017) sebagai parameter sistematis sebagai penanda untuk identifikasi agen penyebab ice-ice pada rumput laut K. alvarezii pada lokasi budidaya rumput laut di Pulau Karimunjawa, Indonesia. Sedangkan Susilowati et al., (2015) telah berhasil melakukan isolasi dan karakterisasi bakteri yang berasosiai dengan Sargassum sp. dari Pulau Panjang, Jepara, Indonesia.

4.3.1 Ekstraksi DNA Genom Proses ekstraksi DNA bertujuan untuk memperoleh DNA genom bakteri yang digunakan sebagai DNA cetakan untuk proses PCR. Ekstraksi DNA genom bakteri penyebab penyakit pada rumput laut telah dilakukan dengan berbagai macam metode dan kit diantaranya adalah metode chelex (Susilowati et al., 2015; Syafitri et al., 2017), PrestoTM mini kit gDNA bakteri (Achmad et al., 2016). Proses pemurnian DNA merupakan tahap yang sangat penting dalam melakukan identifikasi secara molekuler untuk mencegah adanya kontaminasi yang dapat menghambat kerja Taq Polimerase pada PCR, mengurangi efisiensi dan spesifitas pelekatan primer (Aris, 2011). Tingkat konsentrasi dan kemurnian DNA genom dihitung menggunakan spektrofotometer NanoDrop. Penyerapan sinar ultra violet oleh nukleotida secara maksimal dicapai pada panjang gelombang 260 nm, sedangkan oleh protein dicapai pada panjang gelombang 280 nm (Aris, 2011) sehingga konsentrasinya setara dengan 50 μg/ml DNA untai ganda. Nilai kemurnian sampel DNA dapat dikatakan bagus jika terletak pada rentang 1,75-1,9, nilai yang kurang dari 1,75 menunjukkan

37 adanya kontaminasi protein sedangkan nilai yang lebih dari 1,9 menunjukkan adanya kontaminasi RNA (Wang et al., 2011; Pachchigar et al., 2016).

4.3.2 PCR Gen 16S rRNA Amplifikasi gen 16S rRNA bertujuan untuk memperbanyak fragmen gen 16S rRNA yang urutan nukleotidanya dapat digunakan untuk proses identifikasi isolat bakteri secara molekuler. Gen 16S rRNA digunakan sebagai marka gen karena pada gen tersebut terdapat dua daerah yang sangat lestari yang baik digunakan untuk merancang primer serta terdapat pula daerah yang urutan nukleotidanya sangat bervariasi, sehingga banyak digunakan untuk identifikasi bakteri (Tringe dan Hugenholtz, 2008). Selain itu, sekuensing gen 16S rRNA dapat membantu menentukan posisi taksonomi yang tepat dari bakteri terkait penyakit ice-ice pada lokasi budidaya rumput laut serta memberikan informasi lebih rinci yang berkaiitan dengan posisi filogenetik kerabat terdekat dari bakteri tersebut (Syafitri et al., 2017). Penelitian sebelumnya telah menggunakan gen 16S-rRNA untuk menganalisa keragaman genetik bakteri penyebab penyakit ice-ice pada Kappaphycus alvarezii di lokasi budidaya rumput laut diantaranya adalah di Pulau Karimun Jawa (Syafitri et al., 2017), dan di Pantai Bulukumba (Achmad et al., 2016). Sementara Azizi et al (2018) menggunakan gen 16S-rRNA untuk mendeteksi adanya Vibrio sp. ABI-TU15 pada hasil kultur jaringan Kappaphycus alvarezii. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas deteksi molekuler berbasis PCR yakni pemilihan primer yang tepat (Lu et al., 2015). (Tabel 4.4) menunjukkan beberapa primer yang digunakan untuk identifikasi bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice pada rumput laut. Primer universal 27F dan 1492R merupakan primer yang banyak digunakan pada penelitian sebelumnya untuk identifikasi bakteri terkait kemunculan penyakit pada rumput laut ((Syafitri et al., 2017; Susilowati et al., 2015; Syakti et al., 2019). Hasil penelitian Klindworth et al. (2013), menyatakan pasangan primer terbaik yang digunakan untuk mengamplikasi sekuen 16S rRNA adalah 27F dan 1492R. Sekuen 16S rRNA terdiri dari 1500 bp dan hampir seluruh nukeotida tersebut dapat diamplifikasi dengan

38 pasangan primer 27F dan 1492R. Selain itu, hampir seluruh sekuen 16S rRNA yang terdapat pada database publik dihasilkan dari pasangan primer 27F dan 1492R (Fredricksson et al., 2013). Beberapa jenis primer yang telah digunakan dalam identifikasi bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice ditunjukkan pada Tabel 4.4

Tabel 4.4. Primer Universal yang digunakan dalam deteksi Bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice No Primer Sekuens (5'-3') Referensi 27F AGA GTT TGA TCC (Syafitri et al., 2017; Susilowati et al., TGG CTC AG 2015; Syakti et al., 2019) 1 1492R TAC CTT GTT ACG ACT T Eub338 ACT CCT ACG GGA (Azizi et al., 2018) GGC AGC AG 2 Eub ATT ACC GCG GCT 518 GCT GG 63F CAG GCC CAC TAA (Achmad et al., 2016) GTC ATG CAA 3 1387R GGG CGG 109 GTA WGT CAA GGC

Teknik PCR merupakan salah satu metode molekular yang dominan digunakan dalam mendeteksi keberadaan bakteri patogen dengan memanfaatkan gen 16S-rRNA sebagai target. Pengembangan pemanfaatan metode deteksi dengan teknik PCR sangat diharapkan dalam upaya mengatasi penyebaran penyakit ice-ice.

4.3.3 Sekuensing Sekunsing DNA dapat dilakukan metode yang dikembangkan oleh Frederick Sanger dengan metode terminasi rantai. Metode ini melibatkan terminasi atau penghentian reaksi sintesis DNA in vitro spesifik untuk sekuens tertentu menggunakan substrat nukleotida yang telah dimodifikasi (Aris, 2011).

39

4.3.4 Analisa BLAST pada GeneBank Analisa BLAST (Basic Local Alignment Sequence Test) dilakukan untuk menguji sekuen 16S rRNA yang sudah digabung dengan hasil amplifikasi primer yang digunakan pada database sekuen 16S rRNA bakteri dan Archea di GeneBank NCBI untuk mencari related sequence terdekat dan menentukan tingkat similaritasnya (Altschul et al., 1997; Madden, 2013). Berdasarkan analisa BLAST yang telah dilakukan untuk identifikasi bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice, diperoleh beberapa hasil yang telah dirangkum pada (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Karakterisasi Molekuler Bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice dari beberapa lokasi budidaya rumput laut. Lokasi pb Isolat Spesies terdekat Similaritas No. Akses Kelompok Budidaya

Pulau 1187 KAKJ1 Alteromonas macleodii 96% NR_037127.1 Gammaproteobacteria Karimun 107 Jawa, 1258 KAKJ2 Bacillus 91% NR_117285.1 Bacillus Indonesia oceanisediminis H2 (Syafitri et al., 2017) 1237 KAKJ3 Pseudomonas stutzeri 95% NR_041715.1 Gammaproteobacteria ATCC 17588 1107 KAKJ4 Pseudoalteromonas 95% NR_025139.1 Gammaproteobacteria issachenkonii KMM 3549 1060 KAKJ5 Bacillus hunanensis 97% NR_108948.1 Firmicutes JSM 081003 1239 KAKJ6 Bacillus megaterium 97% NR_116873.1 Firmicutes ATCC 14581 916 KAKJ7 Alteromonas marina 96% NR_025260.1 Gammaproteobacteria SW-47 1192 KAKJ8 Aurantimonas 94% NR_042319.1 coralicida WP1 1311 KAKJ9 Rhodococcus 95% NR_116689.1 Actinobacteria rhodochrous DSM 43241 Bulukumba, 1495 NA1 Shewanella haliotis 98% NR_117770 Gammaproteobacteria Sulawesi strain DW01 Selatan 1471 NB2 Vibrio alginolyticus 97% NR_117895 Gammaproteobacteria (Achmad et strain ATCC 17749 al., 2016) 1538 TA8 Stenotrophomonas 97% NR_041577 Gammaproteobacteria maltophilia strain IAM 12323 1472 TA9 Arthrobacter 96% NR_026190 Actinobacteria nicotianae strain DSM 20123 1415 TA2 Pseudomonas 97% NR_118644 Gammaproteobacteria aeruginosa strain SNP0614 1476 TA4 Ochrobactrum 95% NR_074243 Alphaproteobacteria anthropi strain ATCC 49188 1539 UB3 Catenococcus thiocycli 98% NR_104870 Gammaproteobacteria strain TG 5-3 1424 UA5 Bacillus subtilis subsp. 95% NR_118486 Firmicutes spizizenii strain ATCC 6633

40

Lanjutan dari Tabel 4.5. Karakterisasi Molekuler Bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice dari beberapa lokasi budidaya rumput laut. Pulau, 1432 ABI- Terasakiella salincola 85% LC333790 Alphaproteobacteria Selakan, TU Sabah, 16 Malaysia 1444 ABI- Thalassospira indica 98% NR_153721 Alphaproteobacteria (Azizi et al., TU PB8B 2018) 18 1445 ABI- Idiomarina 100% NR_029115 Gammaproteobacteria TU fontislapidosi F23 20 1455 ABI- Alteromonas lipolytica 99% NR_156088 Gammaproteobacteria TU JW12 35 1480 ABI- Jejuia pallidilutea 96% EU443204 Bacteroidetes TU EM39 36 1454 ABI- Aestuariibacter 96% MH414455 Gammaproteobacteria TU aggregatus WH169 37 1457 ABI- Vibrio alginolyticus 99% MH879822 Gammaproteobacteria TU Val-3 15 1459 ABI- Vibrio xuii HM-2 99% KM652211 Gammaproteobacteria TU21 1422 ABI- Thalassospira 95% NR_114387 Alphaproteobacteria TU mesophila MBE74 34

4.3.5 Konstruksi pohon filogenetik spesies terkait kemunculan penyakit ice-ice Pohon filogenetik dikonstruksi dengan menggunakan metode Neighbor Joining. Neighbor Joining (NJ) merupakan salah satu metode rekonstruksi filogenetik yang mengikuti konsep evolusi minimum. Pohon filogenetik dengan konsep evolusi minimum dibuat berdasarkan pada jumlah perbedaan nukleotida pada sekuen uji (Reddy, 2011). Panjang cabang pohon filogenetik metode NJ menunjukkan jumlah perbedaan nukleotida (Saitou dan Nei, 1987). Jumlah perbedaan nukelotida dapat diketahui melalui proses alignment dengan ClustalW. Tujuan alignment adalah untuk membandingkan satu atau lebih sekuen nukleotida dan mendapatkan dasar untuk kalkulasi keanekaragaman sekuen untuk menduga hubungan evolusioner diantara taksa (Reddy, 2011). Konstruksi pohon filogenetik dilakukan dengan mengambil sekuens 16S rRNA dengan jumlah nukleotida sekitar 1500 bp dari 50 spesies bakteri yang diduga sebagai penyebab kemunculan penyakit ice-ice pada rumput laut mengacu pada data (Tabel 4.5). Sekuens tersebut berasal dari database GeneBank NCBI (National Centre of Biotechnology) (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/). Pohon

41 filogenetik kemudian dikonstruksi menggunakan software MEGA versi 10.0 dan boostrap dengan 1000 kali pengulangan. Hasil rekonstruksi pohon filogenetik sekuen 16S rRNA dan related sequence bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice yang dirangkum dari beberapa studi sebelumnya (Syafitri et al., 2017; Achmad et al., 2017; Azizi et al., 2018) pada (Gambar 4.4) terbagi menjadi 9 klade besar. Klade pertama disusun oleh bakteri anggota dari genus Vibrio dan Catenococcus. Klade kedua disusun oleh genus Pseudoalteromonas dan Shewanella. Klade ketiga hanya terdiri dari genus Idiomarina. Klade keempat tersusun atas genus Aestuariibacter dan Alteromonas. Klade kelima terdapat genus Pseudomonas, sedangkan klade keenam terdapat genus Stenotrophomonas. Klade ketujuh disusun atas genus Ochtobactrum, Thalassospira dan Terasakiella. Klade ke delapan terdiri dari genus Bacillus, Rhodococcus dan Arthrobacter. Sementara klade terakhir diisi oleh genus Tenacibaculum dan Jejuia yang merupakan outgroup pada pohon filogenetik tersebut. Secara keseluruhan cabang yang dibangun oleh kumpulan bakteri yang diisolasi dari beberapa lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii memiliki nilai boostrap diatas 70%, namun beberapa cabang juga menunjukkan nilai boostrap dibawah 70%. Percabangan dianggap konsisten apabila memiliki nilai boostrap diatas 70%, semakin tinggi nilai boostrap maka semakin tinggi konsistensi percabangan tersebut (Hedges, 1992). Boostrap digunakan untuk mengevaluasi topologi pohon filogenetik dengan merekonstruksi pohon filogenetik yang sama dengan jumlah replikasi pseudo-data yang diberikan (Reddy, 2011). Analisis pohon filogenetik menunjukkan bahwa bakteri yang diisolasi dari lokasi budidaya rumput laut termasuk ke dalam 5 kelompok yang didominasi oleh Gammaproteobacteria, Alphaproteobacteria, Firmicutes, Actinobacteria dan Bacteroidetes. Kelompok (Subkelas Alpha dan Gamma) merupakan kelompok dominan yang terkait dengan kemunculan penyakit ice-ice.

42

50 Vibrio alginolyticus strain NBRC 15630 (NR 122059.1) 98 Vibrio alginolyticus strain ATCC 17749 16S (NR 117895.1) 67 Vibrio alginolyticus strain Val-3 (MH879822.1) 45 Catenococcus sp. strain JLT1915 (KX989262.1) Catenococcus thiocycli strain DSM 9165T (HE582778.1) 100 100 Catenococcus thiocycli strain TG 5-3 (NR 104870.1) Vibrio xuii strain MI-7 (KC812976.1)

90 Vibrio xuii strain HM-2 (KM652211.1) 53 99 Vibrio xuii strain DSM 17185 (MH315813.1)

100 Pseudoalteromonas issachenkonii (FR750948.1) Pseudoalteromonas issachenkonii strain KMM 3549 (NR 025139.1)

67 Shewanella algae strain KC-Na-R1 (MH718799.1) 67 41 Shewanella algae strain 16 (MG597061.2) 100 Shewanella algae strain G1 (KY774312.2) 100 Shewanella algae strain DW01 (NR 117770.1)

100 Idiomarina fontislapidosi (AY526861.1) 100 Idiomarina fontislapidosi strain F23 (NR 029115.1) I 100 Idiomarina fontislapidosi strain R2A13 (LT673859.1) 100 Idiomarina aquatica strain SN-14T (HF954116.1)

82 Aestuariibacter salexigens strain JC2042 (NR 025720.1) Aestuariibacter halophilus strain JC2043 (AY207503.2) 82 100 Aestuariibacter aggregatus strain WH169 (MH414455.1) Alteromonas lipolytica strain JW12 (NR 156088.1) 34 83 Alteromonas marina strain SW-47 (NR 025260.1) 100 Alteromonas macleodii strain 107 (NR 037127.1) 99 Pseudomonas stutzeri ATCC 17588 LMG 11199 (NR 041715.1) Pseudomonas aeruginosa NO5 (FJ972533.1) 100 100 Pseudomonas aeruginosa strain SNP0614 (NR 118644.1) 95 Pseudomonas aeruginosa CJM (FJ972527.1) Stenotrophomonas maltophilia strain IAM 12423 (NR 041577.1) 91 100 Stenotrophomonas maltophilia strain N6 (MF185220.1) 66 Stenotrophomonas maltophilia strain LMG 957 (AJ131114.1)

99 Ochrobactrum anthropi (D63837.1) 100 Ochrobactrum anthropi ATCC 49188 (NR 074243.1) Ochrobactrum anthropi strain SL3 (KC488627.1)

100 Thalassospira mesophila strain MBE*74 (NR 114387.1) II 100 Thalassospira indica strain PB8B (NR 153721.1) 90 Terasakiella salincola (LC333790.1) 100 Terasakiella pusilla strain IFO 13613 (NR 024656.1)

54 Bacillus oceanisediminis strain H2 (NR 117285.1) 93 Bacillus megaterium strain ATCC 14581 (NR 116873.1) 100 III Bacillus subtilis subsp. spizizenii strain ATCC 6633 (NR 118486.1) Bacillus hunanensis strain JSM 081003 (NR 108948.1)

57 Rhodococcus rhodochrous strain DSM 43241 (NR 116689.1) 99 100 Rhodococcus rhodochrous strain 372 (NR 037023.1) Rhodococcus rhodochrous strain MTCC 11081 (JN680104.1) IV 100 Glutamicibacter nicotianae strain DSM 20123 (NR 026190.1)

100 Arthrobacter sp. SAUAZC4-3 (KC243310.1) 88 Arthrobacter sp. S02 (KJ476719.1) Tenacibaculum mesophilum strain MBIC1140 (NR 024736.1) Jejuia pallidilutea strain UDC485 (HM032015.1) 100 V 100 Jejuia pallidilutea strain EM39 (EU443204.1)

Gambar 4.4 Pohon filogenetik bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice pada K. alvarezii berdasarkan pada data sekuens DNA ribosom 16S (Syafitri et al., 2017; Achmad et al., 2016; Azizi et al., 2018). (I) Gammaproteobacteria (II) Alphaproteobacteria (III) Firmicutes (IV) Actinobacteria (V) Bacteroidetes

43

4.4 Uji Patogenitas Bakteri Uji Patogenitas merupakan syarat penting untuk melakukan identifikasi ulang terhadap bakteri yang dicurigai sebagai agen aetiologi penyakit tanaman (Syafitri et al., 2017). Uji patogenitas dapat dilakukan di bawah kondisi laboratorium yang terkendali dan aseptis (Mushin et al., 1958). Beberapa kondisi uji patogenitas isolat bakteri yang dikonfirmasi sebagai penyebab penyakit ice-ice pada rumput laut dari beberapa penelitian dirangkum dalam (Tabel 4.6). Syafitri et al., (2017) telah melakukan uji patogenitas skala laboratorium dengan melakukan metode inokulasi isolat bakteri yang diduga sebagai penyebab penyakit ice-ice pada potongan talus sehat yang bersih dari epifit. Isolat dikultur pada medium Zobell 2216E broth selama 2 hari hingga sel mencapai densitas 108 sebelum diinfeksikan pada potongan rumput laut sehat yang bebas epifit. Hasil uji patogenitas yang dilakukan oleh Syafitri et al. (2017) menunjukkan bahwa dari 9 isolat yang diduga sebagai penyebab penyakit ice-ice, hanya 3 isolat yang memenuhi syarat sebgai bakteri penyebab gejala penyakit ice-ice pada rumput laut K. alvarezii. Bakteri tersebut diantaranya adalah A. macleodii 107, P. issachenkonii KMM 3549 dan A. Coralicida WP1. Sementara Achmad et al. (2016) melaporkan bahwa bakteri yang terkonfirmasi sebagai penyakit ice-ice adalah Stenotrophomonas maltophilia dan Vibrio alginolyticus.

44

., .,

et et

et

et al et al et

., 2017) ., 2016)

2018) 2018)

pada

al al

(Syafitri (Syafitri

Referensi

(Achmad (Achmad

(Azizi (Azizi (Azizi

,

ice

-

- -

dan dan

107

ice

ice

-

leodii

WP1

TU15 TU15

Vibrio

ice

Bakteri Bakteri

alginolyticus

A. Coralicida

terkonfirmasi terkonfirmasi

Vibrio sp. ABI Vibrio sp. ABI

KMM 3549 dan KMM 3549 dan

P. issachenkonii

penyebab gejala

s maltophilia

A. mac

Stenotrophomona

C C

o o

dan dan dan

28 20

Suhu

35) °C 35) °C

(25, 30 (25, 30 (25, 30

ry shaker ry

7 hari di 7 hari di 7 hari

100 rpm 100 rpm

minggu di minggu di

Maksimal 3 Maksimal 3 Maksimal

rotay shaker rotay shaker rotay shaker

Pengamatan

rota shaker rotary

KondisiInfeksi

steril steril steril steril

kultur kultur kultur

Media Media Media Media

Media

Air laut Air laut

5 5

8 6

l

se

10 10

10 10

CFU/ml CFU/ml CFU/ml CFU/ml

Densitas Densitas

)

) )

diinfeksikan

bakteri yangbakteri

Sea Sea

Sea Sea Sea

KondisiIsolat

(

Broth

SWC

ASW ASW

Zobell Zobell 2216E

Water Water

Water Water

Artificial Artificial

Medium

Complex

( (

t

Kultur Kultur

thallus

laut

Sampel Sampel

laut steril laut

5 cm

Hasil Hasil

2 gram rumput rumput 2 gram

jaringan rumpu jaringan

micropropagule

Rumput Laut

el 4.6. Kondisi Uji Patogenitas isolat bakteri yang dikonfirmasi sebagai penyebab penyakit sebagai penyebab dikonfirmasi yang 4.6. Kondisi Uji bakteri el isolat Patogenitas

Spesies

alvarezii alvarezii

alvarezii

Kappaphycus Kappaphycus Kappaphycus

Tab rumput laut

Kappaphycus Kappaphycus

45

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

46

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, dapat dirangkum dalam penulisan ini bahwa keragaman bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice dapat dideteksi melalui identifikasi dan karakterisasi isolat bakteri berdasarkan analisis karakteristik fenotipik maupun molekuler menggunakan marka gen 16S rRNA. Dari beberapa literatur yang dikaji, keragaman bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice dapat dipengaruhi oleh lokasi pengambilan sampel yang berbeda. Berdasarkan karakteristik fenotipik, dapat diketahui bahwa karakteristik bakteri terkait kemunculan penyakit ice-ice dominan dengan bakteri gram negatif, berbentuk batang atau sebagian kokus dan motil. Selain itu, melalui analisis secara molekuler ditemukan beberapa spesies terkait kemunculan penyait ice-ice yang tergolong dalam kelompok Gammaproteobacteria, Alphaproteobacteria, Firmicutes, Actinobacteria dan Bacteroidetes. Dari beragam jenis bakteri yang berhasil diisolasi, dikonfirmasi bahwa beberapa spesies yang dapat menimbulkan gejala penyakit ice-ice pada Kapaphycus alvarezii diantaranya adalah Alteromonas macleodii, Pseudoalteromonas issachenkonii, Aurantimonas coralicida, Stenotrophomonas maltophilia, dan Vibrio alginolyticus.

5.2 Saran Kajian literatur ini diharapkan dilakukan kajian lebih mendalam mengenai jenis-jenis antibakteri yang dapat digunakan untuk mengendalikan bakteri yang terkonfirmasi sebagai penyebab penyakit ice-ice pada rumput laut Kappaphycus alvarezii.

47

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

48

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, M., Alimuddin, A., Widyastuti, U., Sukenda, S., Suryanti, E., dan Harris, E. (2016). “Molecular identification of new bacterial causative agent of ice- ice disease on seaweed Kappaphycus alvarezii”. PeerJ Preprints. doi:10.7287/peerj.preprints.2016v1

Alibon, R. D., Gonzales, J. M. P., Ordoyo, A. E. T., dan Echem, R. T. (2019). “Incidence of Ice-Ice Disease Associated with Kappaphycus alvarezii in the Seaweed Farms in Zamboanga Peninsula, Mindanao, Philippines”. SSR Institute of International Journal of Life Sciences, 5(1), 2148-2155. doi:10.21276/ssr-iijls.2019.5.1.6.

Altschul, S. F., Madden, T.L., Schäffer, A. A., Zhang, J., Zhang, Z., Miller, W., dan Lipman, D. J. (1997). “Gapped BLAST and PSI-BLAST: a new generation of protein database search programs”. Nucleic Acids Research, Vol. 25, No. 17 3389–3402.

Anggadiredja, J.T., Z. Achmad, Heri P., dan Sri, I. (2008). Rumput Laut Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran yang Potensial. Jakarta: Penebar Swadaya.

Aris, M. (2011). “Identification, Pathogenicity of Bacteria and The Use of Gene 16S rRNA for Ice-Ice Detection on Seaweed Aquaculture (Kappaphycus alvarezii)”. Phd Thesis. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Arrasmuthu, A., Edward, J. K. P. (2018). “Occurrence of Ice-ice disease in seaweed Kappaphycus alvarezii at Gulf of Mannar and Palk Bay, Southeastern India”. Indian Journal of Geo Marine Sciences Vol. 47 (06): 1208-1216.

Aslan, L. (1998). Budidaya Rumput Laut. Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Austin, B., dan Austin, D. A. (1993). Bacterial Fish Pathogen : Disease in Farmed and Will Fish. Departement of Biological Sciences, Heriot-Watt University 3th

Azizi, A., Mohd Hanafi, N., Basiran, M. N., dan Teo, C. H. (2018). “Evaluation of disease resistance and tolerance to elevated temperature stress of the selected tissue-cultured Kappaphycus alvarezii Doty 1985 under optimized laboratory conditions”. 3 Biotech, 8(8), 321. doi:10.1007/s13205-018-1354-4.

Baldauf, S. L. (2003). “Phylogeny for the faint of heart: a tutorial”. Trends in Genetics, 19(6), 345-351. doi:10.1016/s0168-9525(03)00112-4

Ball, S. A. (2006). Bacterial Cell Culture Methods. Encyclopedia of Molecular Cell Biology and Molecular Medicine, 2nd Edition. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim.

49

Baxevanis, A. D., dan Oulette, B. F. F. (2001). Bioinformatics: A Practical Guide to the Analysis of Genes and Proteins. Edisi ke 2. John Wiley & Sons, Inc., New York. hlm.45-46,216, 323

Benson. (2001). Microbiological Applications: Laboratory Manual in General Mirobiology, 8th Ed. New York: The Mc- Graw Hill Companies, Inc.

Birren, B., Lai, E. (1994). “Rapid pulsed field separation of DNA molecules up to 250 kb”. Nucleic Acids Research, Vol. 22 (24): 5366-5370.

Boffey, S. A. (1984). “Isolation of high molecular weight DNA, in Methods in Molecular Biology”. Nucleic Acids. Vol. 2.

Bonnet, M., Lagier, J. C., Raoult, D., dan Khelaifia, S. (2020). “Bacterial culture through selective and non-selective conditions: the evolution of culture media in clinical microbiology”. New Microbes New Infect, 34, 100622. doi:10.1016/j.nmni.2019.100622

Bono, A., Anisuzzaman, S. M., Ding, O. W. (2014). “Effect of process conditions on the gel viscosity and gel strength of semi-refined carrageenan (SRC) produced from seaweed (Kappaphycus alvarezii)”. Journal of King Saud University – Engineering Sciences. Vol 26: 3–9.

Butardo, V. M., Edna, T., Ganzon-Fortes, Vivian, A., Silvestre, Bacano-Maningas, M. B. B., Montano, M. N., dan Lluisma, A. O (2003). “Isolation And Classification Of Culturable Bacteria Associated With Ice-Ice Disease In Kappaphycus And Eucheuma (Rhodophyta, Solieriaceae)”. Philipp. Scient. 40: 223-237.

Campbell, A.H. (2011). The ecology of bacterially mediated bleaching in a chemically defended seaweed. Unpublished PhD thesis, Sydney, Australia: University of New South Wales.

Campo, V.L., Kawano,D.F., Silva Júnior, D.B., Ivone Carvalho, I., (2009), Carrageenans: Biologic.

Clarridge, J. E. (2004). “Impact of 16S rRNA Gene Sequence Analysis for Identification of Bacteria on Clinical Microbiology and Infectious Diseases”. Clinical Microbiology Reviews. p. 840–862

Casadevall, A.. dan Pirofski, L. (2001). “Host-Pathogen Interactions: The Attributes of Virulence”. J.Infect. Dis. 184, 337-344.

Case, R. J., Boucher, Y., Dahllöf, I., Holmström, C., Doolittle, W. F., Kjelleberg, S. (2007). "Use of 16S rRNA and rpoB genes as molecular markers for microbial ecology studies". Appl. Environ. Microbiol. 73 (1), 278–88.

Castro-Escarpulli, G., Alonso-Aguilar, N. M., Sánchez, G. R., Bocanegra-Garcia, V., Guo, X., Juárez-Enríquez, S.R., Luna-Herrera, J., Martínez, C.M.,

50

Guadalupe, A.M. (2015). “Identification and Typing Methods for the Study of Bacterial Infections: a Brief Review and Mycobacterial as Case of Study”. Archives of Clinical Microbiology. Vol. 7 (1): 3

Cokrowati, N., Arjuni, A., Rusman. (2018). “Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan”. Jurnal Bologi Tropis, 18 (2): 216 – 223

DKP. (2004). “Profil Rumput Laut Indonesia”. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Jakarta.

Denny, M. W., dan Gaines, S. D. (2007). Encyclopedia of Tidepools and Rocky Shores. California: University of California Press, Ltd.

Doty, M. S., Alvarez, V. B. (1975). “Status, problems, advances and economics of Eucheuma farms”. Mar Technol Soc J. Vol 9(4):30–35.

Drancourt, M., C. Bollet, A. Carlioz, R. Martelin, J.-P. Gayral, and D. Raoult. 2000. “16S ribosomal DNA sequence analysis of a large collection of environmental and clinical unidentifiable bacterial isolates”. J. Clin. Microbiol. 38:3623-3630.

Dwidjoseputro, D. (1985). Dasar-dasar mikrobiologi. Djembatan. Malang.

Engelkirk, P.G. dan Duben-Engelkirk J. (2008). Laboratory Diagnosis of Infectious Diseases: Essentials of Diagnostic Microbiology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Egan, S., Fernandes, N. D., Kumar, V., Gardiner, M., & Thomas, T. (2014). “Bacterial pathogens, virulence mechanism and host defence in marine macroalgae”. Environ Microbiol, 16(4), 925-938. doi:10.1111/1462- 2920.12288.

Fadilah, S., Alimuddin, Pong-Masak, P. R., Santoso, J., Parenrengi, A. (2016). “Growth, Morphology and Growth Related Hormone Level in Kappaphycus alvarezii Produced by Mass Selection in Gorontalo Waters, Indonesia”. Aquaculture Report. Vol 6: 49–55.

Fitrian, T. (2015). “Hama Penyakit (Ice-Ice) Pada Budidaya Rumput Laut Studi Kasus: Maluku Tenggara”. Oseana, Vol XL (4) : 1-10.

Fredrickson J. K., J. M. Zachara, D. L. Balkwill, D. Kennedy, S. M. Li, H. M. Kostandarithes, M. J. Daly, M. F. Romine, F. J. Brockman. (2004). “Geomicrobiology of high-level nuclear wastecontaminated vadose sediments at the Hanford site, Washington state”. Applied and Environmental Microbiology. 70 (7): 4230– 41.

Fresco, M.C.O. (2012). “Ice-ice” Algae Pose Threat on Zamboanga’s seaweeds. Bureau of Agricultural Research.

51

Fukuda, K., Ogawa, M., Taniguchi, H., & Saito, M. (2016). “Molecular Approaches to Studying Microbial Communities: Targeting the 16S Ribosomal RNA Gene”. J UOEH, 38(3), 223-232. doi:10.7888/juoeh.38.223

Funami, T. (2011). “Next target for food hydrocolloid studies: Texture design of foods using hydrocolloid technology”. Food Hydrocolloids 25: 1904-1914

Garibyan, L., dan Avashia, N. (2013). “Polymerase Chain Reaction”. Journal of Investigative Dermatology.133, e6. doi:10.1038/jid.2013.1

Greenwood, D., Slack, R. C. B., dan Peutheres, J. F. (1995). Medical Microbiology. Division of Pearson Profesional Ltd. Hongkong.

Ghufron. M. H. Kordi. (2010). Marikultur Prinsip dan Praktek Budidaya Laut. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Hurtado, A. Q., Guanzon, N. G., Jr., de Castro-Mallare, T. R., Luhan, R. J. (2002). Proceedings of the National Seaweed Planning Workshop. Filipina: Southeast Asian Fisheries Development Center.

Jenkins, R., dan Maddocks, S. (2019). “Community composition studies”. In Bacteriology Methods for the Study of Infectious Diseases (pp. 187-201).

Joshi, M., Deshpande, J. D. (2010). “Polymerase Chain Reaction : Methods”. Int J Biomed Res Vol 1(5):81–97. Available from: www.ssjournals. Com.

Karsten, U., Bischof, K., and Wiencke, C. (2001). “Photosynthetic performance of Arctic macroalgae after transplantation from deep to shallow waters”. Oecologia 127: 11–20.

Klug, W.S., Cumming, M.R. (1994). Concepts of Genetic. Prentice-Hall Inc, Englewoods Cliff. 36-44.

Klindworth, A., Pruesse, E., Schweer, T., Peplies, J., Quast, C., Horn, M., & Glockner, F. O. (2013). Evaluation of general 16S ribosomal RNA gene PCR primers for classical and next-generation sequencing-based diversity studies. Nucleic Acids Res, 41(1), e1. doi:10.1093/nar/gks808.

Knudsen, N. R., Ale, M.T., Meyer, A. S. (2015). “Seaweed Hydrocolloid Production: An Update on Enzyme Assisted Extraction and Modification Technologies”. Mar. Drugs, 13, 3340-3359; doi:10.3390/md13063340

Kasim, M. R., Mustafa, A. (2017). “Comparison growth of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) cultivation in floating cage and longline in Indonesia”. Aquaculture Reports, 6, 49-55. doi:10.1016/j.aqrep.2017.03.004.

Largo, D.B., Fukami, K., Nishijima, T., Ohno, M. (1995). “Laboratory induced development of the ice–ice disease of the farmed red algae Kappaphycus

52

alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta)”. J Appl Phycol 7:539–543.

Largo, D.B., Fukami, K., Nishijima, T., (1999). “Time-Dependent Attachment Mechanism of Bacterial Pathogen During Ice-Ice Infection in Kappaphycus alvarezii (Gigartinales, Rhodophyta)”. J Appl Phycol 11:129-136.

Lacey L A. (1997). Manual of Techniques in Insect Pathology. Academic Press.

Levinson, W. (2008). Review of Medical Microbiology & Immunology, 10th Ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Liu, X., Chen, Y., Zhong, M., Chen, W., Lin, Q., dan Du, H. (2019). “Isolation and pathogenicity identification of bacterial pathogens in bleached disease and their physiological effects on the red macroalga Gracilaria lemaneiformis”. Aquatic Botany, 153, 1-7. doi:10.1016/j.aquabot.2018.11.002.

Lobban, C. S., Horrison, P. J. (1994). Seaweed Ecology and Physiology. Cambridge Univ. Press New York.

Lu, Y. Z., Ding, Z. W., Ding, J., Fu, L., & Zeng, R. J. (2015). “Design and evaluation of universal 16S rRNA gene primers for high-throughput sequencing to simultaneously detect DAMO microbes and anammox bacteria”. Water Res, 87, 385-394. doi:10.1016/j.watres.2015.09.042.

Madden, T. (2013). The BLAST Sequence Analysis Tool. In : The NCBI Handbook. 2nd edition. Bethesda (MD): National Center for Biotechnology Information (US).

Madigan, T.M., Martinko, M.J., Clark, P.D., dan Stahl, A.D. (2012). Brock Biology of Microorganisms 13th Edition. Pearson Education, Inc. San Francisco.

Maria, L.S. Orbita, J.A. Arnaiz. (2014). “Seasonal Changes in Growth Rate and Carrageenan Yield of Kappaphycus alvarezii and Kappaphycus striatum (Rhodophyta, Gigartinales) Cultivated in Kolambugan, Lanao del Norte”. Advances in Agriculture & Botanics-International Journal of the Bioflux Society. Vol. 6, Issue 2.

Maryunus, R.P. (2018). “Ice-Ice Disease Control Of Seaweed Cultivation, Kappaphycus alvarezii: The Correlation Of Season And Limited Environmental Manipulation”. J.Kebijak.Perikan.Ind. Vol.10 (1):2.

Morello, J. A., P. A. Granato, H. E. Mizer. (2003). Laboratory Manual and Workbook in Microbiology, 7th Ed. New York: The Mc-Graw Hill Companies, Inc.

Msuya, F.E. and Salum, D. (2007). “Effect of Cultivation Duration, Seasonality, Nutrients, Air Temperature, and Rainfall on Carrageenan Properties and

53

Substrata Studies of the Seaweeds Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum in Zanzibar, Tanzania”. WIOMSA/MARG I n° 2007-06. 36 pp.

Muhadjir, N. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake. Yogyakarta.

Mushin, R., Naylor, T, J., dan Lahovary, N. (1958). Studies on Plant Pathogenic Bacteria. School of Bacteriology, University of Melbourne.

Nicholson, W. L., N. Munakata, G. Horneck, H. J. Melosh, P. Setlow. (2000). “Resistance of Bacillus endospores to extreme terrestrial and extraterrestrial environments”. Microbiology and Molecular Biology Reviews. Vol. 64 (3): 548–72.

Oliveira, L. S., Tschoeke, D. A., Lopes, A. C. R. M., Sudatti, D. B., Meirelles, P. M., Thompson, C. C., Pereira, R. C., Thompsona, F.L. (2017). “Molecular Mechanisms for Microbe Recognition and Defense by the Red Seaweed Laurencia dendroidea”. mSphere. Vol 2 (6): e00094-17.

Pachchigar, K. P., Khunt, A., dan Hetal, B. (2016). Dna Quantification. ICAR Sponsored summer school on Allele mining in crops: Methods and Utility.

Parker JC, Whiteman MD, Richter CB. (1978). “Susceptibility of inbred and outbred mouse strains to Sendai virus and prevalence of infection in laboratory rodents”. Infect Immun 19:123–130.

Patrick F. M. (1978). “The use of membrane filtration and marine agar 2216E to enumerate 484 marine heterotrophic bacteria”. Aquac. 1978; 13(4), 369-72.

Pelczar M.J., Chan E.C.S. (2005). Basics of microbiology, 1st and 2ndVolume. Hadioetomo R.S, Imas T, Tjitrosomo S.S, Angka S.L, translator, Jakarta: Universityof Indonesia Press, Translation from: Element of Microbiology, pp.997

Pommerville, J.C. (2011). Alcamo’s Laboratory Fundamentals of Microbiology. USA: Jones & Barlett Learning.

Prüss, A., Kay, D., Fewtrell, L., Bartram, J. (2002). “Estimating the Burden of Disease from Water, Sanitation, and Hygiene at a Global Level”. Environmental Health Perspectives. Vol 110 (5): 537-542.

Rahman, M., Uddin, M., Sultana, R., Moue, A., & Setu, M. (2013). “Polymerase Chain Reaction (PCR): A Short Review”. Anwer Khan Modern Medical College Journal, 4(1), 30-36.

Reddy, N. B. P. (2011). “Basics for the Construction of Phylogenetic Trees”. WebmedCentral BIOLOGY 2(12):WMC002563.

54

Rygaard, A. M., Thogersen, M. S., Nielsen, K. F., Gram, L. & Bentzon-Tilia, M. (2017). “Effects of Gelling Agent and Extracellular Signaling Molecules on the Culturability of Marine Bacteria”. Appl Environ Microbiol, 8.

Sabdono, A., Sawonua, P. H., Kartika, A. G. D., Amelia, J. M., & Radjasa, O. K. (2015). “Coral Diseases in Panjang Island, Java Sea: Diversity of Anti– Pathogenic Bacterial Coral Symbionts”. Procedia Chemistry, 14, 15-21. doi:10.1016/j.proche.2015.03.004.

Sambrook, J., dan D. W. Russel. (2011). Molecular Cloning: A Laboratory Manual. New York: Cold-Spring Harbor Laboratory Pr. 2222 pp.

Santos, G.A. (1989). “Carrageenan of species of Eucheuma J. Agardh and Kappaphycus Doty (Solieriaceae, Rhodophyta)”. Aquat. Bot. 36: 55–67.

Saitou, N., Nei, M. (1987). “The Neighbor-joining Method: A New Method for Reconstructing Phylogenetic Trees”. Mol. Biol. Evol. 4(4):406-425.

Silva, P.C., Basson, P.W. & Moe, R. L. (1996). “Catalogue of the benthic marine algae of the Indian Ocean”. University of California Publications in Botany 79: 1-1259.

Slonczewski, J. L., dan Foster, J. W. (2011). Microbiology: An Evolving Science. Core microbiology textbook for undergraduate science majors. W. W. Norton & Co., New York.

STRI. (2009). http://biogeodb.stri.si.edu/bioinformatics/dfm/metas/ view/31187.

Streips, U. N. dan R. E. Yasbin. (2002). Modern Microbial Genetics. New York: Wiley-Liss, Inc.

Susilowati, R., Sabdono, A., dan Widowati, I. (2015). “Isolation and Characterization of Bacteria Associated with Brown Algae Sargassum spp. from Panjang Island and their Antibacterial Activities”. Procedia Environmental Sciences, 23, 240-246. doi:10.1016/j.proenv.2015.01.036

Syafitri, E., Prayitno, S. B., Ma’ruf, W. F., dan Radjasa, O. K. (2017). “Genetic diversity of the causative agent of ice-ice disease of the seaweed Kappaphycus alvarezii from Karimunjawa island, Indonesia” IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 55 (2017).

Syakti, A. D., Lestari, P., Simanora, S., Sari, L. K., Lestari, F., Idris, F., Riyanti. (2019). “Culturable hydrocarbonoclastic marine bacterial isolates from Indonesian seawater in the Lombok Strait and Indian Ocean”. Heliyon, 5(5), e01594. doi:10.1016/j.heliyon.2019.e01594

Solis, M. J. L., Draeger, S., dan Cruz, T. E. E. (2010). “Marine derived fungi from Kappaphycus alvarezii and K. striatum as potential causative agents of ice- ice disease in farmed seaweeds”. Botanica Marina. 53:587-594.

55

Sugiyono, (2012). Memahami Penelitian Kualitatif dan RD. Alfabeta. Bandung.

Thompson, F. L., Gevers, D., Thompson, C. C., Dawyndt, P., Naser, S., Hoste, B., Munn, C. B., Swings, J. (2005). “Phylogeny and Molecular Identification of Vibrios on the Basis of Multilocus Sequence Analysis”. Applied and Environmental Microbiology. 71 (9): 5107–5115.

Tobing, D .H., Herdiyanto, Y. K., Astiti, D. P., Rustika, I. M., Indrawati, K. R., Susilawati, L. K. P. A., Suarya, L. M. K. S., Lestari, M. D., Vembriati, N., Wilani, N. M. A., Wulanyani, N. M. S. Widiasavitri, P. N., Budisetyani, P. W., Supriyadi dan Marheni, A. (2016). Metode Penelitian Kualtitatif Bahan Ajar: Program Studi Psikologi. Universitas Udayana. Denpasar.

Toohey, B.D., and Kendrick, G.A. (2007). “Survival of juvenile Ecklonia radiata sporophytes after canopy loss”. J Exp Mar Biol Ecol 349: 170–182.

Tringe, S. G., & Hugenholtz, P. (2008). “A renaissance for the pioneering 16S rRNA gene”. Curr Opin Microbiol, 11 (5): 442-446. doi:10.1016/j.mib.2008.09.011

Trono, G. C. (1992). “Eucheuma and Kapphaphycus: and cultivation”. Bull. Mar. Sci. Fish. No. 12 pp. 51-65.

Trono, G. C. (1997). Field Guide and Atlas of the Seaweed Resources of the Philippines. Philippines: Bookmark, Inc.

Uyenco, F. R., L. S. Saniel. dan G. S. Jacinto. (1981). “The “Ice-Ice” problem in seaweed farming”. Proc. Int. Seaweed Symp. 10, 625630.

Vairappan, C. S., Suzuki, M., Motomura, T., dan Ichimura, T. (2001). “Pathogenic bacteria associated with lesions and thallus bleaching symptoms in the Japanese kelp Laminaria religiosa Miyabe (Laminariales, Phaeophyceae)”. Hydrobiologia 445: 183–191.

Vairappan, C. S., Chung, C. S., Hurtado, A., Soya, F. E., Lhonneur, G. B., dan Critchley, A. 2008. “Distribution and symptoms of epiphyte infection in major carrageenophyte-producing farms”. Journal of Applied Phycology. 20: 27- 33.

Vera, J., Castro, J., Gonzalez, A., Moenne, A. (2011). “Seaweed Polysaccharides and Derived Oligosaccharides Stimulate Defense Responses and Protection Against Pathogens in Plants”. Mar. Drugs. Vol 9: 2514-2525; doi:10.3390/md9122514.

Wang, T. Y., Wang, L., Zhang, J. H., & Dong, W. H. (2011). A simplified universal genomic DNA extraction protocol suitable for PCR. Genet Mol Res, 10(1), 519-525. doi:10.4238/vol10-1gmr1055

56

Wheelis, M. (2008). Principles of Modern Biology. Burlington: Jones & Barlett Learning.

Whitney, F. L. (1960). The Elements of Research, Asian Eds. Overseas Book Co. Osaka.

Wulandari, S. A., dan Prasetyo, E. N. (2016). Stratifikasi Komunitas Bakteri Terkait Kemunculan Penyakit Ice-Ice Pada Rumput Laut (Kappaphycus Alvarezii). Tugas Akhir Mahasiswa Biologi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Wulandari, S. A., dan Prasetyo, E. N. (2019). Korelasi Karakter Oseanografi Terhadap Kualitas Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus Alvarezii) dii Kabupaten Sumenep. Thesis Biologi. Institu Teknologi Sepuluh Nopember.

Yang, R., Liu, Q., He, Y., Tao, Z., Xu, M., Luo, Q., Chen, H. (2020). “Isolation and identification of Vibrio mediterranei 117-T6 as a pathogen associated with yellow spot disease of Pyropia (Bangiales, Rhodophyta)”. Aquaculture, 526. doi:10.1016/j.aquaculture.2020.735372

Zablackis, E., West, J. A., Liao, M. L., dan Bacic, A. (1993). “Reproductive biology and polysaccharide chemistry of the red alga Catenella (Caulacanthaceae, Gigartinales)”. Bot. Mar. 36: 195–202.

Zed, M. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Zhou, J., Deng, Y., Luo, F., He, Z., Yang, Y. (2011). “Phylogenetic molecular ecological network of soil microbial communities in response to elevated CO2”. MBio 2 (4) e00122e00111.

Zhu, B. dan Ning, L. (2016). ‘Purification and characterization of a new κ- carrageenase from the marine bacterium vibrio sp. Nj-2’, Journal of Microbiology and Biotechnology, 26(2), 255–262.

Zourob, M., S. Elwary, dan A. Turner. (2008). Principles of Bacterial Detection: Biosensors, Recognition Receptors and Microsystems. New York: Springer.

57

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

58

BIODATA PENULIS

Penulis bernama Dyah Rika Ar Rosyidah, dilahirkan di Surabaya pada tanggal 26 Februari 1996. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis telah menempuh pendidikan formal di TK Bina Ana Prasa, SDN Kedung Cowek I Surabaya, SMP Negeri 15 Surabaya, SMA Negeri 15 Surabaya dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Jurusan Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember melalui jalur SNMPTN pada Tahun 2013. Penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan dengan menjadi Ketua Divisi Akademik Departmen Kesejahteraan Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Biologi ITS 2015/2016. Selain itu, penulis sangat gemar berpartisipasi dalam kegiatan sosial dengan menjadi staff magang Badan Eksekutif Mahasiswa ITS serta menjadi koordinator dalam program kegiatan “Youth Environment Leadership Program” atau YELP dan koor lapangan kegiata Gugur Gunung VII ITS. Penulis juga berpartisipasi dalam mengikuti pelatihan LKMM Pra TD dan LKMM TD. Pada tahun 2016, penulis melaksanakan kerja praktek selama satu bulan di PDAM Surya Sembada Kota Surabaya dan mengambil bidang Mikrobiologi. Penulis juga pernah berpartisipasi dalam pelatihan ISO 9001, ISO 14001 dan OHSAS 8001. Pada tahun 2018 Penulis memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan mengambil Pendidikan S2 di Departemen Biologi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Selama menempuh pendidikan S2, penulis juga mengikuti program pertukaran pelajar selama satu semester di Departemen “Food Technology” Universitas Chulalongkorn, Thailand. Penulis dapat dihubungi untuk kegiatan penelitian melalui alamat email [email protected].

59

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

60