KONFLIK PSIKOLOGIS TOKOH „‟JE‟‟ DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D‟UN CONDAMNÉ KARYA

skripsi diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Bahasa dan Sastra Asing Prodi Sastra Prancis

oleh

Adesty Lasally 2350406007

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2011

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi

Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri

Semarang.

Pada hari : Senin

Tanggal : 3 September 2011

Panitia Ujian Skripsi

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum. Dra. Diah Vitri W, DEA. NIP 195801271983031003 NIP 196508271989012001

Penguji I

Dra. Conny Handayani, M.Hum. NIP 194704261971062001

Penguji II, Penguji III,

Suluh Edhi Wibowo, S.S,. M.Hum. Dr. B. Wahyudi J. S., M. Hum. NIP 197409271999031002 NIP 196110261991031001

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang

Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni,

Universitas Negeri Semarang.

Semarang, 23 September 2011

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M. Hum Suluh Edhi Wibowo, S.S., M.Hum NIP 196110261991031001 NIP 197409271999031002

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Dengan ini saya, Nama : Adesty Lasally NIM : 2350406007 Program studi : Sastra Prancis Jurusan : Bahasa dan Sastra Asing menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul Konflik Psikologis Tokoh ‘’Je’’ dalam Roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang saya tulis dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Skripsi ini saya hasilkan setelah melalui proses penelitian, bimbingan, diskusi, dan pemaparan atau ujian. Semua kutipan yang diperoleh dari sumber kepustakaan telah disertai keterangan melalui identitas sumbernya dengan cara yang sebagaimana lazimnya dalam penulisan karya tulis. Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing penulisan skripsi ini membubuhkan tanda tangan sebagai keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah tetap menjadi tanggungjawab saya sendiri. Dengan demikian pernyataan ini saya buat agar dapat digunakan seperlunya.

Semarang, 3 September 2011

Adesty Lasally NIM 2350406007

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

. Saya pasti bisa. . Berpikir positif, berusaha, dan berdoa. . Maju selangkah lebih depan. . Lakukan dengan niat hati yang tulus.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk: . Orang tua dan kedua saudariku tercinta, . Para pembaca . Almamaterku, Sastra Prancis Unnes 2006.

v

PRAKATA

Tiada kata yang dapat terangkai untuk mewakili sebuah perasaan saat menyelesaikan skripsi ini karena atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul:

Konflik Psikologis Tokoh ‘’Je’’ dalam Roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Penulis meyakini bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa adanya peran serta dari berbagai pihak yang turut membantu terselesaikannya penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian;

2. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah memberikan kemudahan

kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini;

3. Dra. Conny Handayani, M.Hum, dosen penguji yang telah memberikan kritik

dan saran demi kesempurnaan skripsi ini;

4. Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M. Hum, dosen pembimbing I yang telah

membantu dan membimbing penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini;

5. Suluh Edhi Wibowo, S.S., M.Hum dosen pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi ini;

6. Orang tua (Bpk. Samuel Nawawi dan Ibu. Zuaini Mak‟ruf) dan kedua saudari

vi

penulis (Anggi Aldilla dan Putri Samuel) yang selalu memberikan doa, kasih

sayang, dukungan dan semangat kepada penulis;

7. Muslim (Om na shasa) yang pernah menjadi seseorang yang selalu

memberikan perhatian, kasih sayang, dan semangat terhadap penulis selama

mengerjakan skripsi;

8. Keluarga besar Wiratama, khususnya (Bpk. Sandri, Mama Yani, adk Melvin,

dan adk Gora) yang selalu memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap

penulis;

9. Saudari-saudariku penghuni kos Daun khususnya „‟Kunyuk dan Emol‟‟ yang

selalu memberikan semangat meski berupa ejekan-ejekan menyakitkan,

namun membangun.

10. Teman-teman jurusan Sastra Perancis angkatan 06-07 khususnya (Od2,

Chapid, Erai, Vera, Evi, dan Inyong) atas kebersamaannya.

11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap segala sesuatu yang tertuang di dalam skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua pembaca. Kritik dan saran dari pembaca tentu saja sangat penulis harapkan untuk perbaikan karya-karya tulis di masa mendatang.

Semarang, 3 September 2011

Adesty Lasally

vii

ABSTRAK

Lasally, Adesty. 2010. Konflik Psikologis Tokoh „‟Je‟‟ dalam Roman Le Dernier Jour d‟un Condamné karya Victor Hugo. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Univeritas Negeri Semarang. Pembimbing I: Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M. Hum., Pembimbing II: Suluh Edhi Wibowo, S.S., M.Hum.

Kata kunci: penokohan, konflik, dan akibat disertai reaksi-reaksi tokoh.

Berawal dari pertanyaan besar: bagaimanakah Victor Hugo menggambarkan konflik psikologis yang dialami tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné, penulis memutuskan untuk menganalisis jenis konflik psikologis, dan akibat yang disertai reaksi-reaksi tokoh „‟Je‟‟ terhadap timbulnya akibat tersebut. Adapun alasan penulis memilih Le Dernier Jour d’un Condamné sebagai objek material dalam penelitian ini adalah karena dalam roman ini Victor Hugo menggambarkan konflik batin yang dialami tokoh „‟Je‟‟ secara mendalam dengan mengggunakan bentuk monolog. Untuk mencapai tujuan akhir penelitian, yaitu mendeskripsikan konflik psikologis, dan akibat yang disertai reaksi-reaksi tokoh „‟Je‟‟ terhadap timbulnya akibat tersebut, penulis terlebih dahulu menganalisis penokohan sebagai tahap awal penelitian. Hal ini bertujuan untuk lebih memudahkan penulis dalam melakukan analisis konflik dan akibat yang disertai reaksi tokoh. Dalam menganalisis penokohan, penulis mengambil data-data yang mengandung unsur penokohan dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné kemudian menganalisisnya dengan menggunakan teknik pelukisan tokoh Altenbernd dan Lewis. Selain mendeskripsikan data penokohan, penulis juga mendeskripsikan konflik dan akibat yang disertai reaksi-reaksi tokoh „‟Je‟‟ berdasarkan data penokohan dengan menggunakan teori kepribadian Atkinson, Atkinson, dan Hilgard. Oleh karena perhatian penelitian ini lebih kepada segala sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan yang tertuang pada karya, yaitu roman Le Dernier Jour d’un Condamné, maka pendekatan penelitian ini adalah psikologis, dengan mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data penulis menggunakan teknik membaca efektif. Adapun metode yang digunakan penulis dalam menganalisis data adalah deskriptif analitis. Dengan menggunakan metode deskriptif analitis, penulis menganalisis data dengan cara mendeskripsikan fakta- fakta kemudian disusul dengan analisis. Setelah menganalisis secara bertahap, penulis mengetahui bahwa tokoh- tokoh dalam sebuah roman juga mengalami konflik psikologis yang kemudian menimbulkan akibat terhadap tokoh yang juga menimbulkan reaksi-reaksi tokoh yang dapat dilihat dari karakter, sifat, dan tindakan-tindakan tokoh yang terdapat didalam data penokohan tersebut.

viii

RÉSUMÉ

Lasally, Adesty. 2011. Les Conflits Psychologiques du Personnage „‟Je‟‟ du Roman Le Dernier Jour d‟un Condamné: Victor Hugo. Mémoire. Département des Langues et des Littératures Étrangères, programme d‟études de la Littérature Française. Faculté des Langues et des Arts. Université d‟État de Semarang. Directeurs: 1. Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M. Hum., 2. Suluh Edhi Wibowo, S.S., M. Hum.

Mots clés : la personnalité, conflits psychologique, conséquences, et réactions du personnage. Le roman Le dernier jour d‟un condamné, Victor Hugo.

A. Introduction

La littérature est un domaine qui utilise la langue comme média et qui appartient à la création sociale présentant une illustration de la vie en tant qu‟un phénomène social. Les phénomènes sociaux et la littérature ont la même conception. C‟est la vie humaine (Damono, 1978 :1). Généralement, la littérature est un reflet de la vie qui décrit des conflits dans la vie humaine elle-même. Un des conflits subi par un personnage dans une œuvre littéraire est le conflit intérieur ou le conflit psychologique.

Selon Endraswara (2003:96-97), une œuvre littéraire est vu comme phénomène psychologique présentant des aspects psychologiques par des personnages. La littérature et la psychologie ont une relation indirecte et fonctionnelle car les deux disciplines ont le même objet : c‟est la vie et la psychologie humaine. La différence, c‟est que les phénomènes dans la psychologie sont réels, mais les phénomènes dans la littérature sont imaginaires.

Dans cette recherche, j‟utilise le roman Le Dernier Jour d’un Condamné de

Victor Hugo comme source des données. Ce roman a été publié en 1892 chez

ix

Gosselin. Il a été traduit en plusieurs langues et a été adapté en une bande dessinée par Stanislas et Jean-Mechel Mongrédien. En outre, il a été utilisé pour les matériaux de l‟étude des œuvres littéraires par Chantal Saint-Jarre et Groupe

Beauchemin (http://fr.wikipedia.org/wiki/Le_Dernier_Jour_d‟un_condamné repris en 5 janvier 2010).

La raison du choix de cette source des données est que j‟ai trouvé le conflit psychologique ou le conflit interne. Ce conflit provoque quelques conséquences et des réactions du personnage „‟Je‟‟. Ce conflit est décrit clairement dans la forme monologue par Victor Hugo. Les objectifs de cette recherche sont de décrire (a) les personnalités du personnage „‟Je‟‟, (b) les conflits psychologiques, (c) les conséquences des conflits, et (d) les réactions du personnage „‟Je‟‟.

Dans cette recherche, j‟utilise la théorie de la psychologie de la personnalité de Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, et Ernest R. Hilgard pour la théorie principale. Je l‟ai choisi parce qu‟elle décrit les types, les conséquences des conflits psychologiques, et les réactions du personnage en détail. En outre, j‟utilise la technique descriptive du personnage par Altenbernd et par Lewis comme théorie secondaire. J‟utilise cette théorie pour analyser des personnalités du personnage „‟Je‟‟.

x

B. Technique descriptive du personnage

En général, la technique descriptive du personnage dans le roman peut être distinguée en deux techniques : ce sont la technique d‟exposé et celle de dramatique (Altenbernd & Lewis dans Nurgiyantoro 2009:194).

Dans la technique d‟exposé, les personnages sont décrits en forme d‟explication directe, comme l‟attitude, le caractère, et le comportement.

Dans la technique dramatique, le caractère du personnage est comme dans un théâtre, car l‟écrivain (Victor Hugo) ne le présente pas directement. Cette technique se divise en huit catégories. Ce sont (1) la technique de la conversation

(celle qui représente les caractères du personnage), (2) la technique du comportement (celle qui a un caractère non verbal et celle qui représente le caractère du personnage), (3) la technique de la pensée et du sentiment (celle qui reflète le caractère de son existence), (4) la technique de la conscience (celle qui explique la conception et le cours du processus de la mentalité du personnage), (5) la technique de la réaction d‟autres personnages (celle qui en dehors de la stimulation qui reflète ses caractères), (6) la technique de la réaction d‟autres personnages (celle qui recouvre l‟opinion, le commentaire, et (7) l‟attitude de l‟autre personnage au personnage principale), (8) la technique descriptive du cadre (celle de la description de l‟endroit, du temps, et la situation), et (9) la technique descriptive du physique (celle de la description physique du personnage).

xi

C. Psychologie de la personnalité Rita L. Atkinson, Richad C. Atkinson, et Ernest R. Hilgard Selon Atkinson, Atkinson, et Hilgard, il y a deux types de conflits psychologiques. Ce sont (1) le conflit de s’approcher-s’éloigner (celui qui surgit s‟il y a une personne ayant un but passionnant et dangereux) et (2) le conflit de s’éloigner-s’éloigner (celui qui surgit s‟il y a une personne qui choisit deux alternatives négatives).

Les deux conflits ont trois conséquences : (i) la frustration (lors de l‟espoir ayant des obstacles internes et externes), (ii) l‟anxiété (celle qui est marquée par l‟inquiétude, la peur, et la préoccupation), et (iii) le stress de la physiologie (celui qui est marqué par les problèmes de la santé).

Les conséquences de ces conflits surgissent aussi les réactions du personnage „‟Je‟‟. C‟est la frustration surgissant, comme (a) l‟agression (celle qui est marquée par la plainte, l‟inquiétude, et le grognement), (b) l‟apathie (celui qui est marquée par un attitude apathique), et (c) la régression (celui qui est marquée par l‟injure, le cri, la dispute et les efforts pour arrêter de surmonter des problèmes) ; et l‟anxiété surgissant les réactions, ce sont (a) les réactions des mécanismes de la défense (celles sont marquées par les efforts pour déformer la réalité), (b) le refus (celui qui est remarqué par les efforts pour nier la réalité), (c) la pression (qui est marquée par les efforts pour s‟éloigner des mémoires effrayants), (d) la rationalisation (celle qui est marquée par les efforts pour faire une excuse), (e) la formation de la réaction (celle qui est marquée par les efforts de faire des déclarations contrecœurs), (f) la projection (celle qui est marquée par les efforts pour évaluer quelque chose), (g) l‟intellectualité (celle qui est marquée

xii par les efforts pour s‟éloigner des situations dangereuses et en général dans la forme des termes abstraits et scientifiques), et (h) le changement (celui qui est marqué par les efforts du changement).

D. Méthodologie de la recherche

J‟utilise la méthode descriptive de l‟analyse dans ce mémoire parce que les objectifs sont les descriptions (a) des personnalités, (b) des conflits psychologique, (c) des conséquences de ces conflits, et (d) les réactions de personnage dans le roman Le Dernier Jour d’un Condamné de Victor Hugo.

L‟approche de cette recherche est utilisé c‟approche que psychologie pour prendre les données de ces trois objectifs, j‟ai utilisé la technique de "lire"

(intensivement) le roman parce la source des données est écrite. Pour les analyser, j‟utilise la technique de descriptive de l‟analyse. Le choix de cette technique est basé sur les données qui sont notées sur les cartes de données (Sudaryanto

1993:21).

E. Analyse

Selon les quatre des objectif de cette recherche, je décris un par un.

1. Les personnalités du personnage „‟Je‟‟

(9) LDJDC/II/07 Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. + J’espère, me dit-il. - N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi.

xiii

+ Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. - Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

En utilisant la technique de la conversation, On peut savoir le caractère du personnage „‟Je‟‟ en marquant la citation en gros. Quand le personnage „‟Je‟‟ a assisté à la séance finale où le juge lira sa décision finale, il a eu une surprise parce que son avocat lui a dit qu‟il espérait que la décision du juge était la condamnation des travaux forcés à perpétuité. Après avoir entendu cette déclaration, le personnage „‟Je‟‟ était en colère, et puis il a dit à son avocat qu‟il préférait la condamnation de la mort. Son comportement représente son caractère qui a eu le tempérament coléreux et l‟égoïsme. Ces comportements ont été décrites clairement dans la citation „‟- Que dites-vous là, monsieur? Répliquai je indigné; plutôt cent fois la mort!‟‟.

2. Le conflit psychologique du personnage „‟Je‟‟

(4) LDJDC/II/07 Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. + J’espère, me dit-il. - N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. + Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. - Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

Dans cette citation en gros, on sait que le personnage „‟Je‟‟ a eu un conflit de la psychologie. C‟est le conflit de s’éloigner-s’éloigner. Ce conflit surgit quand

xiv le personnage „‟Je‟‟ a assisté à la séance finale et puis il devait choisir deux alternatives négatives. Les deux étaient la condamnation du travaux forcés à perpétuité (comme la citation suivante: + Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.) et la condamnation de la mort (elle est indiqué par la phrase : Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort ! ). Le point culminant du conflit a surgi quand le juge a donné l‟occasion au personnage „‟Je‟‟ et l„avocat pour faire des défenses afin de ne pas obtenir la condamnation du mort. Le personnage „‟Je‟‟ était confus de choisir entre (a) ce qu‟il fallait faire la défense de sorte que la décision du juge soit la condamnation des travaux forcés à perpétuité (celle qui provoquait la colère du personnage "Je") comme l‟espoir de son avocat, et (b) ce qu‟il faillait accepter la décision du juge d‟être condamné à mort (celle qui provoquait la peur du personnage „‟Je‟‟).

3. La conséquence du conflit psychologique

(16) LDJDC/II/8 Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application de la peine ? demanda le président. J‟aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais. Le défenseur se leva. Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l‟indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l‟helaine me manqua, et je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive : Non !

xv

Le procureur général combattit l’avocat, et je l’écoutai avec une satisfaction stupide. Puis les juges sortirent, puis ils rentrèrent, et le prèsident me lut mon arrêt.

Dans la citation en gros dans la donnée trois, on sait que le personnage “Je‟‟ a eu la frustration qui est provoquée par les obstacles internes. Ce sont des caractères du personnage „‟Je‟‟ ayant le tempérament coléreux, et l‟égoïsme.

Victor Hugo est indiqué du caractère de l‟égoïsme du personnage „‟Je‟‟ par la phrase: "J‟aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais”, et le caractère du tempérament coléreux du personnage

„‟Je‟‟ par la phrase: „‟Il fallut que l‟indignation fût bien forte, pour se faire jour

à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l‟helaine me manqua, et je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive : Non ! „‟. Selon les deux citations audessus, le personnage

„‟Je‟‟ ne faisait pas les défenses. Il était silencieuse parce qu‟il préférait son ego que les défenses de sorte que la décision du juge soit la condamnation à mort. En outre, le personnage „‟Je‟‟ voulait arrêter les efforts des défenses d‟avocat avec tirer son main et dire „‟non‟‟ en criant.

4. La réaction du personnage „‟Je‟‟

(23) LDJDC/II/8 Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application de la peine ? demanda le président. J’aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais. Le défenseur se leva.

xvi

Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l‟helaine me manqua, et je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive : Non ! Le procureur général combattit l’avocat, et je l’écoutai avec une satisfaction stupide. Puis les juges sortirent, puis ils rentrèrent, et le président me lut mon arrêt.

Dans cette citation en gros dans la donnée quatre, on sait que la frustration a provoqué la réaction du personnage „‟Je‟‟. C‟est l‟agression. Cette réaction est marquée par le cri. Cela s‟exprime dans la citation suivant: ‟‟ en criant avec une force convulsive : Non ! „‟ et la réaction infantile du personnage „‟Je‟‟ qui voulait arrêter l‟effort d‟avocat pour faire des défenses, Il est indiqué par la phrase: „‟ Il fallut que l‟indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille

émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l‟helaine me manqua, et je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive :

Non ! „‟. L‟écrivain utilise deux phrases d‟interjection qui indiquent qu‟elle était en colère et qu‟elle a une intonation montant.

F. Conclusion

Le personnage „‟Je‟‟ dans le roman Le dernier jour d’un condamné a des caractères. Ce sont un coléreux (avec le tempérament coléreux), un égoïste, un peureuse, un penseur, et un rêveur. En outre, le personnage „‟Je‟‟ a des conflits psychologique : (1) le conflit de s’approcher-s’éloigner et (2) le conflit de

xvii s’éloigner-s’éloigner. Ils ont provoqué le personnage „‟Je‟‟ d‟avoir (i) la frustration, (ii) l‟anxiété, et (iii) le stress de la physiologie. Les conséquences de ces conflits ont provoqué les mêmes réactions du personnage „‟Je‟‟, sauf l‟anxiété. Quand le personnage „‟Je‟‟ a eu le conflit de s’approcher-s’éloigner, il a eu l‟anxiété qui a surgit les certaines réactions. Ce sont (a) les mécanismes de la défense, (b) la pression, (c) la rationalisation, et (d) la formation de la réaction, mais quand il a eu le conflit de s’éloigner-s’éloigner, son anxiété a surgit quelques réactions comme (a) le refus, (b) la pression, (c) la rationalisation, (d) la formation de la réaction, (e) l‟intellectualité, et (f) le changement.

xviii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...... i PENGESAHAN ...... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...... v PRAKATA ...... vi ABSTRAK ...... viii RESUMÉ ...... ix DAFTAR ISI ...... xix DAFTAR LAMPIRAN ...... xxiii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 6 1.3 Tujuan Penelitian ...... 8 1.4 Manfaat Penelitian ...... 9 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Terdahulu ...... 10 2.2 Landasan Teoretis ...... 12 2.2.1 Teknik Pelukisan Tokoh ...... 13 2.2.1.1 Teknik Ekspositori ...... 13 2.2.1.2 Teknik Dramatik ...... 13 2.2.2 Psikologi Sastra ...... 18 2.2.3 Psikologi Kepribadian Menurut Atkinson, dkk ...... 19 2.2.3.1 Konflik Psikologi…………………………………………...... 22 2.2.3.2 Macam-macam Konflik Psikologis……………………… ...... 22 2.2.3.2.1 Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance Conflict)………………………………………… ...... 23 2.2.3.2.2 Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance-

xix

Avoidance Conflict)………………………………...... 24 2.2.3.3 Akibat Konflik Psikologis dan Reaksi Tokoh……………………………………… ...... 24 2.2.3.3.1 Frustrasi…………………………………………...... 25 a) Agresi………………………………………… ...... 26 b) Apati………………………………………… ...... 26 c) Regresi……………………………………… ...... 26 2.2.3.3.2 Kecemasan……………………………………… ...... 27 a) Mekanisme Pertahanan……………………… ...... 27 b) Penolakan…………………………………… ...... 28 c) Penekanan ……………………………………...... 28 d) Rasionalisasi………………………………… ...... 29 e) Pembentukan Reaksi………………………… ...... 29 f) Proyeksi……………………………………… ...... 30 g) Intelektualitas………………………………… ...... 30 h) Pengalihan…………………………………… ...... 30 2.2.3.3.3 Stres dan Fisiologi………………………………...... 31 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ...... 32 3.2 Objek Penelitian ...... 33 3.3 Sasaran Penelitian ...... 34 3.4 Sumber Penelitian ...... 34 3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...... 35 3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ...... 36 3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ...... 36 3.8 Langkah Kerja Penelitian...... 37 BAB 4 JENIS DAN AKIBAT KONFLIK PSIKOLOGI DISERTAI REAKSI TOKOH UTAMA “JE” DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D‟UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO 4.1 Pelukisan Tokoh „‟Je‟‟ ...... 39 4.1.1 Teknik Ekspositoris………………………………………… ...... 40

xx

4.1.2 Teknik Dramatik ...... 68 4.1.2.1 Teknik Cakapan ...... 69 4.1.2.2 Teknik Tingkah Laku ...... 77 4.1.2.3 Teknik Pikiran dan Perasaan ...... 94 4.1.2.4 Teknik Reaksi Tokoh ...... 134 4.2 Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance Conflict) Menurut Atkinson, Atkinson, dan Hilgard ...... 149 4.3 Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance-Avoidance Conflict) Menurut Atkinson, Atkinson, dan Hilgard…………………… ...... 159 4.4 Akibat Konflik Psikologi dan Reaksi Tokoh Menurut Atkinson, Atkinson, dan Hilgard...... 167 4.4.1 Akibat Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance Conflict)………………………………………………… ...... 167 4.4.1.1 Frustrasi...... 168 4.4.1.1.1 Agresi...... 174 4.4.1.1.2 Apati...... 186 4.4.1.1.3 Regresi...... 190 4.4.1.2 Kecemasan...... 194 4.4.1.2.1 Mekanisme Pertahanan...... 202 4.4.1.2.2 Penolakan...... 207 4.4.1.2.3 Penekanan...... 207 4.4.1.2.4 Rasionalisasi...... 212 4.4.1.2.5 Pembentukan Reaksi...... 215 4.4.1.2.6 Proyeksi...... 219 4.4.1.2.7 Intelektualitas...... 219 4.4.1.2.8 Pengalihan...... 219 4.4.1.3 Stres dan Fisiologi...... 219 4.4.2 Akibat Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance-Avoidance Conflict)…………………………………………………… ...... 226 4.4.2.1 Frustrasi ...... 226 4.4.2.1.1 Agresi……………………………………… ...... 233

xxi

4.4.2.1.2 Apati………………………………………… ...... 247 4.4.2.1.3 Regresi…………………………………… ...... 252 4.4.2.2 Kecemasan…………………………………………...... 256 4.4.2.2.1 Mekanisme Pertahanan……………………… ...... 266 4.4.2.2.2 Penolakan……………………………………...... 267 4.4.2.2.3 Penekanan…………………………………… ...... 273 4.4.2.2.4 Rasionalisasi…………………………………...... 274 4.4.2.2.5 Pembentukan Reaksi………………………… ...... 277 4.4.2.2.6 Proyeksi……………………………………… ...... 283 4.4.2.2.7 Intelektualitas………………………………...... 283 4.4.2.2.8 Pengalihan…………………………………… ...... 287 4.4.2.3 Stres dan Fisiologi…………………………… ...... 294 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ...... 299 5.2 Saran ...... 302 DAFTAR PUSTAKA ...... 303 LAMPIRAN

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Skema 2 Landasan Teoretis: Teknik Pelukisan Tokoh ...... xxiv Skema 3 Landasan Teoretis: Psikologi Kepribadian ...... xxv Tabel 1 Hasil Analisis Penokohan Melalui Teknik Pelukisan Tokoh...... xxvi Tabel 2 Hasil Analisis Konflik,Akibat, dan Reaksi Tokoh Melalui Psikologi Kepribadian...... xxviii Sinopsis roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo ...... xxx

xxiii

1

BAB 1 PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan sebuah lembaga yang menggunakan bahasa sebagai medium dan merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan sebagai gejala sosial (Domono, 1978:1). Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa gejala sosial dan sastra memilki kesamaan pandangan yaitu tentang kehidupan manusia. Inilah yang disebut dengan sastra sebagai cermin kehidupan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek (1989:109) yang mengatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Berbagai peristiwa merupakan perjalanan hidup yang seringkali terekam dalam karya sastra.

Karya sastra dibuat sesuai pengalaman kehidupan pengarang di masyarakat.

Oleh karena itu, karya sastra dapat diartikan sebagai suatu gambaran mengenai kehidupan sehari-hari di masyarakat. Endraswara (2003:96) menyatakan bahwa pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra.

Sastra sebagai cerminan kehidupan secara otomatis juga membahas berbagai macam konflik yang terjadi dalam kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu konflik yang dialami tokoh dalam sastra adalah masalah psikis. Hal ini sering disebut dengan istilah konflik batin atau konflik psikologis.

2

Karya sastra sebagai hasil dari imajinasi dalam sastra menjadi refleksi ungkapan hati seseorang yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Gejala sosial yang terefleksi juga akan memuat berbagai macam konflik termasuk konflik psikologis.

Dalam sastra, konflik psikologis termasuk bidang kajian psikologi sastra. Terkait dengan psikologi sastra Endraswara (2003:96) menjelaskan bahwa Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan, sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra pun mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan.

Masih menurut Endraswara (2003:96-97) karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh- tokoh jika kebetulan teks berupa drama, maupun prosa, sedangkan jika berupa puisi, tentu akan tampil melalui lirik-lirik dan pilihan kata yang khas. Di samping memang ada puisi lirik dan prosa atau balada yang memuat tokoh tertentu. Berarti ada benarnya bila Jatman dalam Endraswara (2003:97) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung, karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional karena sama-sama mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut rill, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif.

3

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan roman sebagai sumber data.

Roman menurut Frye, tidak berusaha menggambarkan tokoh secara nyata, secara lebih realistis. Ia lebih merupakan gambaran angan, dengan tokoh yang lebih bersifat introver dan subjektif (Frye dalam Nurgiyantoro 1994:15). Dalam pengertian modern, roman berarti cerita prosa yang melukiskan pengalaman-pengalaman batin dari beberapa orang yang berhubungan satu dengan yang lain dalam suatu keadaan

(Van Leeuwen dalam Nurgiyantoro 1994:15).

Roman adalah salah satu karya sastra yang menarik perhatian orang. Dalam penelitian ini penulis memilih roman Le Dernier Jour d’un Condamné sebagai sumber data. Roman ini adalah salah satu roman karya Victor Hugo. Victor Hugo adalah salah satu penulis terkemuka di Prancis. Ia menghasilkan banyak buku, baik yang berbahasa Prancis maupun yang menggunakan bahasa Inggris, diantaranya :

Han d’island (FR) 1823, The History of a Crime/The Testimony of an Eye- Witness

(EN) 1823, Le Roi s’amuse (FR) 1832,Lucrèce (FR) 1833, Littérature et Philosophie mêlées (FR) 1834, Les Chat Du Crépuscule (FR) 1835, (FR) 1836,

Claude Gueux (FR) 1834, La Grand’mère (FR) 1865, (FR) 1869,

L’homme Qui Rit (FR) 1869, Vol 1 (FR) 1870, Actes et Parole Vol

2 (FR) 1870, Actes et Parole Vol 3 (FR) 1870, Actes et Parole Vol 4 (FR) 1870, La

Petié (FR) 1879, Supreme Quatrevingt-Treize (FR) 1874, Nopaléon Le Petit

(FR)1882, Ocean (FR) 1942, dan karyanya yang paling terkenal adalah Les

Miserables (FR) 1862 dan NOTRE-DAME DE PARIS (FR) 1831 (fr. wikipedia.org/wiki/Victor Hugo).

4

Salah satu dari sekian banyak karyanya yang mengandung konflik psikologis adalah roman Le Dernier Jour d’Un Condamné. Dalam http://fr.wikipedia.org/wiki/Le_Dernier_Jour_d‟un_condamné (disunting pada tanggal 5 januari 2010) dijelaskan bahwa roman yang diterbitkan pada tahun 1892 di rumah Gosselin ini merupakan karya yang bertaraf internasional (sastra internasional). Sebagai bukti, roman yang sebagian besar berbentuk monolog ini, telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, telah diadaptasi menjadi sebuah komik oleh Stanislas, dan pada tahun 1985 diadaptasi menjadi sebuah film oleh Jean-

Michel Mongrédien. Selain itu, roman yang terdiri dari 49 bab ini telah digunakan sebagai bahan studi tentang karya sastra oleh Chantal Saint-Jarre, dan Groupe

Beauchemin.

Dalam romannya tersebut, Victor Hugo menggambarkan konflik psikologis pada tokoh utamanya yaitu tokoh “Je”. Konflik yang dialaminya adalah konflik batin. Kisahnya berawal dari sebuah kesalahan yang dilakukan tokoh „‟Je „‟ sehingga dirinya kemudian masuk penjara dan harus mengikuti jalnnya persidangan. Setelah beberapa hari mengikuti jalannya persidangan, tokoh „‟Je‟‟ semakin lama semakin dirundung rasa takut dan rasa khawatir tarhadap kemungkinan vonis hakim. Semakin hari, tokoh „‟Je‟‟ semakin gelisah, meski ia telah mencoba menenangkan dirinya. Di hari keempat yaitu hari di mana keputusan hakim akan dibacakan, perasaan tokoh

„‟Je‟‟ semakin tidak menentu. Pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah hukuman mati selalu datang menghantuinya. Walaupun demikian, tokoh „‟Je‟‟ tetap memiliki harapan bahwa dirinya dapat bebas. Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa sangat antusias untuk

5

mendengarkan keputusan hukumannya. Namun tidak seperti harapannya, setelah persidangan berjalan tokoh „‟Je‟‟ baru mengetahui bahwa pengacara memiliki harapan yang sangat bertolak belakang dengannya. Ia berharap keputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman kerja paksa seumur hidup. Pada situasi inilah, tokoh

„‟Je‟‟ mulai mengalami konflik psikologis di mana dirinya dihadapkan oleh dua pilihan yang sangat sulit.

Dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné, konflik psikologis yang terjadi pada tokoh „‟Je‟‟ menimbulkan beberapa akibat sehingga menimbulkan reaksi-reaksi pada tokoh. Sosok yang tadinya adalah orang biasa, penuh kebebasan, dan dapat melakukan apapun yang disukainya berubah menjadi seorang yang hidupnya dipenuhi oleh tekanan, kecemasan, dan frustrasi. Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ menjadi sosok yang pendiam, terasingkan, dan penuh dengan ketakutan.

Penonjolan karakter tokoh dalam segi konflik psikologinya inilah yang menjadi dasar penelitian karya dengan pendekatan psikologi sastra dari konflik tokoh utamannya.

Dengan menggunakan pendekatan psikologi dapat diungkapkan berbagai macam watak tokoh, sikap, dan kepribadian tokoh. Melalui penokohan, cerita akan lebih nyata dalam pikiran pembaca dan dapat dengan jelas menangkap wujud nyata manusia yang sedang diceritakan oleh pengarang.

Menurut Endraswara (2003:104), sasaran penelitian psikologi tokoh, yang pertama adalah menelaah unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik, namun tekanan terdapat pada unsur intrinsik, yaitu tentang penokohan dan perwatakan. Unsur-unsur yang lainnya hanya digunakan sebagai pembangun dan penguat perwatakan tokoh.

Kedua, perlu dikaji juga masalah tema karya. Analisis tokoh harusnya ditekankan

6

pada nalar prilaku tokoh. Tokoh yang disoroti tidak hanya terfokus pada tokoh utama saja. Yang lebih penting, peneliti harus memiliki alasan yang masuk akal tentang watak tokoh. Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikaitkan dengan alur cerita.

Misalkan saja, ada tokoh yang phobi, neurosis, halusinasi, gila, dan sebagainya, harus dihubungkan dengan jalan cerita secara struktural. Jadi, konflik psikologis pada tokoh utama dibangun dari hubungan yang terjalin antartokoh dan struktur lain dalam roman tersebut.

Sesuai dengan pernyataan Endraswara bahwa kajian karya sastra memerlukan unsur lainnya, penelitian ini menggunakan teori psikologi kepribadian (Teori-Teori

Sifat dan Behavioristik) sebagai teori utama. Penulis menggunakan teori tersebut karena Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, dan Ernest R. Hilgard menjabarkan secara rinci jenis-jenis konflik psikologi dan akibat yang disertai reaksi-reaksi tokoh.

Selain itu, penulis juga menggunakan teknik pelukisan tokoh Altenbernd dan Lewis sebagai teori pembantu. Teori ini digunakan untuk menganalisis penokohan tokoh

„‟Je”. Hal ini sangat penting, karena unsur utama yang dikaji dalam roman ini berkaitan dengan tokoh, khususnya tokoh utama. Dengan adanya penokohan kita akan lebih mudah melakukan analisis.

2.2 Permasalahan

Latar belakang penulisan ini adalah sebagai pembuktian atas pertanyaan yang muncul di dalam benak penulis setelah membaca roman Le Dernier Jour d’un

Condamné. Berawal dari pertanyaan “termasuk ke dalam jenis konflik yang bagaimanakah yang dialami oleh tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un

7

Condamné?” dan “akibat-akibat apa sajakah yang ditimbulkan oleh konflik, serta reaksi yang bagaimankah yang dialami tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné?”. Dilatarbelakangi pertanyaan-pertanyaan diatas, dalam penelitian ini penulis akan menganalisis jenis konflik, akibat yang disertai reaksi-reaksi yang ditimbulkannya terhadap tokoh „‟Je „‟ dalam Le Dernier Jour d’un Condamné dengan menggunakan teori kepribadian (Teori-Teori Sifat dan Behavioristik) oleh

Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, dan Ernest R. Hilgard.

Sesuai dengan pernyataan diatas, secara garis besar rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, jika dikaji dari teknik pelukisan tokoh Altenbernd dan Lewis,

Bagaimana konflik batin yang dialami oleh tokoh “Je”, akibat, dan reaksi tokoh

„‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dibahas melalui teori kepribadian (Teori-Teori Sifat dan Behavioristik) oleh Atkinson,

Atkinson, dan Hilgard (1983 :203-225).

Secara sistematis rumusan masalah penulisan ini adalah:

2.2.1 Bagaimanakah penokohan tokoh „‟Je‟‟ jika dianalisis dengan teknik

pelukisan tokoh Altenbernd dan Lewis?

2.2.2 Bagaimanakan konflik psikologis, dan akibat beserta reaksi-reaksi tokoh

„‟Je‟‟ jika dianalisis dengan teori Atkinson, Atkinson, dan Hilgard?

2.2.2.1 Bagaimanakah konflik psikologis yang berupa approace-avoidance

conflict (mendekat-menghindar) mempengaruhi tokoh “Je” berdasarkan

analisis pelukisan tokoh?

8

2.2.2.2 Bagaimanakah konflik psikologis yang berupa avoidance-avoidance

conflict (menghindar-menghindar) mempengaruhi tokoh “Je”

berdasarkan analisis pelukisan tokoh?

2.2.2.3 Berdasarkan analisis pelukisan tokoh, bagaimanakah akibat konflik

psikologis yang berupa (1) kefrustrasian yang disertai reaksi (a) agresi,

(b) apati, (c) regresi; (2) kecemasan disertai reaksi yang berupa (a)

penolakan, (b) rasionalisasi, (c) pembentukan reaksi, (d) proyeksi, (e)

intelektualitas, dan (f) pengalihan; dan (3) stres kejiwaan, berupa

kekacauan fisik mempengaruhi tokoh tersebut ?

2.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut.

2.3.1 Mendeskripsikan penokohan tokoh “Je” jika dianalisis dengan teknik

pelukisan tokoh Altenbernd dan Lewis.

2.3.2 Mendeskripsikan konflik dan akibat beserta reaksi-reaksi tokoh „‟Je‟‟

jika dianalisis dengan teori Atkinson, Atkinson, dan Hilgard.

2.3.2.1 Mendeskripsikan konflik psikologi yang berupa konflik mendekat-

menghindar (Approach-Avoidance Conflict) yang mempengaruhi tokoh

“Je”.

2.3.2.2 Mendeskripsikan konflik menghindar-menghindar (Avoidance-Avoidance

Conflict) yang mempengaruhi tokoh “Je”.

2.3.2.3 Mendeskripsikan akibat konflik psikologis yang berupa (1) kefrustrasian

yang disertai reaksi (a) agresi, (b) apati, (c) regresi; (2) kecemasan

9

disertai reaksi yang berupa (a) penolakan, (b) rasionalisasi, (c)

pembentukan reaksi, (d) proyeksi, (e) intelektualitas, dan (f) pengalihan;

dan (3) stres kejiwaan, berupa kekacauan fisik yang mempengaruhi tokoh

„‟Je‟‟.

2.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

2.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mahasiswa jurusan bahasa dan sastra asing mengenai studi sastra khususnya dengan pendekatan psikologi sastra. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam teori sastra dan teori psikologi dalam mengungkap roman Le Dernier Jour d’un Condamné.

2.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu mahasiswa jurusan bahasa dan sastra asing untuk lebih memahami isi cerita dalam roman Le Dernier

Jour d’un Condamné terutama kondisi kejiwaan tokoh utama dan konflik yang dihadapi dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu psikologi dan sastra.

10

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Terdahulu

Setiap orang yang akan melakukan suatu penelitian tidak akan beranjak dari awal. Pada umumnya suatu penelitian akan mengacu pada penelitian lain yang dijadikan titik tolak dalam penelitian selanjutnya. Dengan demikian, peninjauan terhadap penelitian lain sangatlah penting untuk digunakan sebagai relevansi penelitian yang terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, peninjauan penelitian sebelumnya dapat dipergunakan untuk membandingkan seberapa besar keaslian dari penelitian yang akan dilakukan.

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang pernah menganalisis roman Le

Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo, salah satunya adalah Tri Hartanto yang merupakan mahasiswa sastra Prancis Unnes angkatan 2005. Dalam skripsinya yang berjudul „‟Kesantunan dalam Roman Le Dernier Jour d’un Condamné Karya

Victor Hugo‟‟. Peneliti menggunakan teori-teori prinsip kesantunan menurut Grice dan teori maksim-maksim prinsip kesantunan menurut Leech dalam melakukan analisis tentang prinsip kesantunan yang dipatuhi dan yang dilanggar dalam roman

Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Victor Hugo. Setelah melakukan analisis 50 data, penulis menyimpulkan bahwa dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné

Karya Victor Hugo ditemukan 13 data yang mematuhi prinsip kesantunan dan 16 data yang melanggar prinsip kesantunan. Selain itu, ditemukan 22 data yang mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan. Persamaan penelitian yang dilakukan

10

11

peneliti saat ini dengan penelitian sebelumnya adalah menggunakan data yang sama, yaitu roman Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Victor Hugo.

Selain itu, penelitian yang menggunakan roman Le Dernier Jour d’un

Condamné Karya Victor Hugo sebagai data penelitian adalah Rifki Eko Wahyudi yang juga mahasiswa Unnes jurusan Sastra Prancis angkatan 2005. Dalam skripsinya yang berjudul „‟Aspek-aspek Kepribadian Tokoh Utama Dalam Roman Le Dernier

Jour d’un Condamné karya Victor Hugo‟‟. Peneliti menggunakan teori-teori mengenai aspek-aspek kepribadian Klages (dalam Suryabrata 2002 : 96-118) untuk mengetahui aspek kepribadian yang mempengaruhi tokoh yang terdiri dari materi kepribadian, struktur kepribadian, dan kualitas kepribadian. Struktur kepribadian dibagi tiga yaitu temperamen, perasaan, dan daya ekspresi.

Setelah melakukan analisis, peneliti menyimpulkan bahwa kepribadian tokoh utama dalam Roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang ditinjau dari aspek-aspek kepribadian yaitu (1) temperamen „‟ kepribadian tokoh utama yang paling dominan dalam aspek temperamen ini adalah kepribadian phlegmatis karena tokoh menunjukkan sikap yang serba lambat, tidak mempunyai minat dan apatis karena dia di vonis hukuman mati dan menanti hari-hari pelaksanaan hukuman mati tersebut‟‟. (2) perasaan „‟kepribadian tokoh utama yang paling dominan adalah aspek perasaan ini adalah kepribadian depresi karena tokoh yang di vonis hukuman mati dan menanti hari-hari pelaksanaan hukuman mati tersebut menjadikan tokoh orang yang depresi dengan hal-hal itu‟‟. (3) daya ekspresi

„‟ kepribadian tokoh utama dalam aspek ini tidak terlalu dominan kerena dia juga dibatasi dalam mengekspresikan diri pada saat di penjara. keinginan-keinginannya

12

dibatasi oleh hukuman mati‟‟. Dari ketiga aspek tersebut, aspek yang paling dominan dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo adalah aspek perasaan yaitu kepribadian depresif. Jadi kepribadian tokoh utama dalam roman tersebut adalah kepribadian depresif. Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti saat ini dengan penelitian sebelumnya adalah menggunakan data yang sama, yaitu roman Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Victor Hugo.

Berdasarkan uraian mengenai penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa orisinalitas penelitian dengan judul “konflik psikologi tokoh utama dalam roman Le

Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo” belum pernah dianalisis sebelumnya dan dapat dipertanggungjawabkan.

2.2 Landasan Teori

Seperti yang tertera dalam pendahuluan, penulisan ini bertujuan mendeskripsikan penokohan, konflik psikologi, akibat yang disertai reaksi-reaksi tokoh utama dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Victor Hugo.

Sebagai analisis tahap awal penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh oleh

Altenbernd dan Lewis. Setelah menganalisis penokohan, penulis mencapai tujuan akhir penelitian ini yaitu mendeskripsikan konflik psikologi dan akibat yang ditimbulkan konflik tersebut disertai reaksi-reaksi tokoh utama dalam roman Le

Dernier Jour d’un Condamné Karya Victor Hugo dengan menggunakan teori utama yaitu teori kepribadian (Teori-Teori Sifat dan Behavioristik) oleh Atkinson,

Atkinson, dan Hilgard.

13

2.2.1 Teknik Pelukisan Tokoh

Tokoh adalah pelaku yang mengembangkan peristiwa dalam cerita fiksi sehingga pelaku itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh (Aminudin

1995:79).

Ada beberapa metode penyajian watak tokoh atau penokohan. menurut

Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro (1994 :56) menyatakan bahwa secara garis besar ada dua cara teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya, yaitu sebagai berikut.

2.2.1.1 Teknik Ekspositori atau Teknik Analisis.

Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbelit- belit, yang mungkin berupa sikap, sifat watak, tingkah laku, bahkan juga ciri fisiknya.

2.2.1.2 Teknik Dramatik.

Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan (menyiasati) para tokoh cerita untuk menunjukkan kehadirannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal lewat kata maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

14

Wujud penggambaran teknik dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik yaitu, (a) Teknik Cakapan, (b) Teknik Tingkah Laku, (c) Teknik Pikiran dan

Perasaan, (d) Teknik Arus Kesadaran, (e) Teknik Reaksi Tokoh, (f) Teknik Reaksi

Tokoh Lain, (g) Teknik Pelukisan Latar, (h) Teknik Pelukisan Fisik, keseluruhan hal tersebut akan dibahas satu per satu berikut ini:

a. Teknik Cakapan

Percakapan yang dilakukan oleh tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi, khususnya novel, umumnya cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun yang panjang. Percakapan yang baik, yang efektif, yang lebih fungsional, adalah yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.

b. Teknik Tingkah Laku

Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak hal dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan sifat dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kehadirannya.

c. Teknik Pikiran atau Perasaan

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas didepan pikiran serta perasaan, apa yang melintas dalam pikiran dan dirasakan oleh tokoh dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua.

15

d. Teknik Arus Kesadaran

Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, dimana tanggapan indra pandang dan tanggapan indra bercampur dengan kesadaran pikiran, perasaan, inggatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak.

e. Teknik Reaksi Tokoh

Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, dan sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsangan” dari luar tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kehadirannya.

f. Teknik Reaksi Tokoh Lain

Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca. Tokoh- tokoh lain itu pada hakikatnya melakukan penilaian atas tokoh utama untuk pembaca.

g. Teknik Pelukisan Latar

Pelukisan suasana latar dapat lebih mengidentifikasi sifat kedirian tokoh seperti yang diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain.

16

h. Teknik Pelukisan Fisik

Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan menghubungkan adanya keterkaitan itu.

Misalnya, bibir tipis menayaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambu lurus menyaran pada sifat tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana, dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu saja hal itu berkaitan dengan pandangan budaya masyarakat yang bersangkutan.

SKEMA 1 : TEKNIK PELUKISAN TOKOH

Teknik ekspositori (analitik)

Teknik cakapan

Teknik pelukisan Teknik tingkah laku tokoh

Teknik pikiran dan perasaan

Teknik arus Teknik dramatik kesadaraan Teknik reaksi tokoh

Teknik reaksi tokoh lain

Teknik pelukisan latar

Teknik pelukisan fisik

17

Sumber : hasil hipotesis penulis berdasarkan teknik pelukisan tokoh Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiantoro (1994:195-210)

2.2.2 Psikologi Sastra

Secara sederhana pisikologi sastra dapat diartikan sebagai gabungan disiplin psikologi dan sastra. Ditinjau dari asal katanya, pisikologi sastra berasal dari kata

“psyche” yang berarti jiwa dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia (Dirgagunarsa

1975:9).

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara 2003:96). Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena hakekat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekelutan batinnya sendiri (Endraswara 2008:8).

Ratna (1994:342-343) menyatakan bahwa secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah untuk memenuhi asfek-asfek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Dengan demikian, pada dasarnya psikologi lebih menekankan pada pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam sebuah karya.

Menurut Ratna (1994:343) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yakni: (a) Memahami unsur- unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis. (b) Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional dalam karya sastra. (c) Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Berdasarkan penjelasan diatas maka yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini adalah masalah yang kedua. Pemahaman tentang unsur- unsur kejiwaan

18

tokoh tersebut dilakukan dengan cara terlebihdahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian dalam hal ini berupa karya roman, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk pelaksanaan analisis.

Roman Le Dernier Jour d’Un Condamné karya Victor Hugo diteliti dengan pendekatan psikologis, menggunakan teori pertarungan antara motif-motif bilamana pada suatu saat terdapat beberapa motif yang muncul secara serempak, yaitu tahap pertarungan antara motif-motif, karena tahap ini dapat membawa seseorang kedalam situasi konflik. Roman ini menekankan pada konflik yang dialami oleh tokoh utamanya. Konflik merupakan pertentangan yang terjadi akibat adanya dua atau lebih keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi perilaku dan konflik tersebut yang akhirnya menimbulkan pergolakan dalam diri tokoh.

2.2.3 Psikologi Kepribadian Menurut Atkinson, Atkinson, dan Hilgard Psikologi secara harfiah berarti ilmu jiwa yang mempelajari tentang gejala- gejala kejiwaan. Pada perkembangannya dalam sejarah arti psikologi menjadi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Hal ini terjadi karena jiwa yang mempelajari tingkah laku manusia. Hal ini terjadi karena jiwa yang abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Di samping itu, keadaan jiwa seseorang melatarbelakangi hampir seluruh tingkah laku (Dirgagunarsa 1975:9).

Psikologi berasal dari bahasa yunani kuno yaitu kata “pchyche” dan “logos”.

Secara etimologis, psyche berarti jiwa, roh, sukma dan nafas hidup dan logos berarti ilmu atau studi. Jadi secara etimologis psikologi berarti ilmu jiwa atau studi tentang roh, jiwa, sukma, dan nafas hidup (Effendi 1993:41).

19

Menurut Kartono (1974:15) secara umum psikologi adalah suatu ilmu yang mempelajari struktur kehidupan psikis manusia dengan sifat-sifat dan ciri-cirinya yang umum dan berlaku untuk semua manusia sebagai subjek. Jadi objek psikologi secara umum adalah manusia sebagai subjek penghayatan dan mencakup segala tingkah laku serta aktivitas itu sebagai manivestasi hidup kejiwaan.

Walgito (2003:3) mengatakan psikologi merupakan salah satu macam ilmu dari berbagai ilmu yang ada. Sebagai satu ilmu, psikologi juga mempunyai ciri atau sifat seperti yang dimiliki oleh ilmuan-ilmuan pada umumnya. Sebagai suatu ilmu, psikologi mempunyai: (1) objek tertentu, (2) metode penyelidikan tertentu, 3) sistematika yang teratur sebagai hasil pendekatan terhadap objeknya, dan (4) sejarah tertentu.

Psikologi yang berhubungan dengan kejiwaan seseorang adalah psikologi kepribadian. Mempelajari psikologi berarti usaha untuk mengenal manusia.

Mengenal berarti dapat memahami, menguraikan, atau menggambarkan tingkah laku manusia beserta aspek-aspeknya.

Kata kepribadian, merupakan terjemahan dari bahasa inggris “personality”.

Secara etimologis, kata personality berasal dari bahasa latin “persona” yang berarti topeng. Topeng ini sering dipakai oleh pemain panggung dengan maksud untuk menggambarkan watak seseorang. Menurut Sujanto (1997:10), watak adalah sifat batin seseorang yang mempengruhi segenap pikiran dan tingkah laku beserta aspek- aspeknya.

Menurut Walgito (2003:8) psikologi kepribadian, yaitu psikologi yang khusus mengurai tentang segi kepribadian dari manusia, misalnya tipe-tipe kepribadian.

20

Sujanto (1997:2) mengatakan bahwa psikologi kepribadian adalah psikologi khusus yang memiliki sifat 1) Utuh, yang dipelajari adalah pribadinya bukan hanya pikiran, perasaan, secara keseluruhan sehingga padu antara jasmani dan rohani, 2) kompleks, artinya didalam pertumbuhannya terpangaruh dari faktor dari dalam yang terdiri dari bermacam-macam disposisi yang dibawa sejak lahir dan faktor-faktor lingkungannya yang terdiri bermacam-macam disposisi yang dibawa sejak lahir dan faktor-faktor lingkungannya yang terdiri atas bermacam hal, 3) unik, karena merupakan kehidupan yang tak ada duanya di dunia. Aspek kepribadian meliputi sikap keterbukaan, yaitu sikap terbuka terhadap dunia luar, sikap mau memahami perasaan orang lain yang bersangkutan dan merupakan sikap yang unik dan individual dari orang tersebut. Sifat unik inilah yang membedakan manusia dengan manusia lainnya.

Batin atau hatinurani dalam kehidupan sehari-hari berfungsi sebagai hakim yang adil. Apabila dalam kehidupan manusia itu mengalami konflik, pertentangan atau keragu-raguan, batin bertindak sebagai pengontrol yang kritis, sehingga manusia dapat diperingatkan untuk selalu bertindak menurut batas-batas tertentu berdasarkan norma yang konvensional dalam masyarakat. Batin yang menimbulkan keberanian seseorang dapat pecah apabila terlalu sering malakukan perbuatan yang bertentangan dengan suara batin didalam kehidupan yang sadar, sehingga individu tersebut akan selalu merasakan konflik-konflik jiwa yang tak berkesudahan. Cara mengatasinya dengan cara menguatkan fungsi batin itu sebagai pengontrol yang harus dipatuhi

(Sujanto 1997:28).

21

2.2.3.1 Konflik Psikologis

Menurut Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (1994:122) konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi balasan.

Konflik sebagai bentuk kejadian dapat dibedakan menjadi dua yaitu konflik eksternal dan konflik internal. Konflik eksternal adalah konflik terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin lingkungan manusia. Konflik internal (konflik kejiwaan) adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh cerita, dapat dikatakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri, ia lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu, terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, masalah-masalah lainnya (Nurgiyantoro 1994:124).

Konflik dalam diri seseorang dapat terjadi karena adanya dua motif keinginan atau tujuan yang ingin dicapai secara bersamaan. Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu (Gerungan, 2004:151). Konflik itu terjadi akibat adanya perbedaan yang tak dapat diatasi antara kebutuhan individu dengan kemampuannya yang potensial. Konflik yang terjadi dalam diri seseorang hanya dapat diselesaikan dengan kata hati.

2.2.3.2 Macam-Macam Konflik Psikologi

Keberadaan konflik merupakan bagian dari interaksi yang dilakukan oleh setiap individu dan lingkungannya. Konflik tidak harus melibatkan pihak lain,

22

artinya bisa jadi konflik terjadi pada diri individu. Situasi konflik adalah situasi yang membuat seseorang merasa bimbang atau bingung karena harus memilih antara dua tiga macam atau beberapa motif yang muncul saat bersamaan. Kebimbangan itu ditandai adanya ketegangan dalam mengambil suatu keputusan atau pilihan

(Dirgagunarsa 1975:98).

Dalam kenyataan motif atau dorongan seringkali muncul pada saat yang bersamaan sehingga menimbulkan konflik psikologis pada jiwa seseorang.

Berdasarkan motifnya Atkinson, Rita L, Richard C, dan Hilgard, Ernest R.

(1983:201-203) mengelompokkan konflik menjadi dua macam, yaitu konflik mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict), konflik menjauh-menjauh

(avoidance-avoidance conflict) yang akan kita bahas satu per satu berikut ini.

2.2.3.2.1 Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance Conflict)

Konflik ini timbul bilamana seseorang dihadapkan pada tujuan yang menarik sekaligus berbahaya mengalami kebimbangan ketika menentukan apakah yang harus dilakukannya. Pada jarak tertentu, tujuan itu tampak menarik, sehingga menimbulkan reaksi mendekat. Tetapi perasaan adanya bahaya meningkat ketika tujuan itu didekati dan individu cendrung menarik diri ketika dia sudah mendekati insentif tersebut.

Contoh: seorang remaja yang pemalu yang ingin menelepon untuk merencanakan waktu kencan mendekati pesawat telepon karena adanya kemungkinan berhasil, tetapi kecemasan tentang kemungkinan ditolak meningkat ketika dia mendekati pesawat telepon itu. Si remaja melakukan beberapa kesalahan awal sebelum melaksanakan atau mengurungkan rencananya.

23

2.2.3.2.1 Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance-Avoidance Conflict)

Konflik ini timbul apabila seseorang dihadapkan pada keharusan untuk memilih di antara dua alternatif negatif sehingga menimbulkan kebimbangan, karena menjauhi alternatif yang satu berarti harus memenuhi alternatif yang lain sama negatifnya (tidak menyenangkan). Contoh: seorang ibu pada saat anak sedang sakit tetapi pada saat kebersamaan itu ibu harus tetap bekerja. Hal ini menimbulkan konflik bagi ibu dan bila memilih salah satu diantara keduanya tetap akan menimbulkan nilai negatif bagi individu yang bersangkutan, yaitu sebagai ibu tetap tidak bisa merawat anak yang sedang sakit, sedangkan dalam pekerjaan ibu tidak bisa sepenuhnya konsentrasi.

2.2.3.3 Akibat Konflik Psikologis dan Reaksi Tokoh

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering mengalami terjadinya konflik, jika mengalami konflik perasaaan yang muncul adalah rasa keragu-raguan juga terkadang konflik menimbulkan reaksi-reaksi tertentu terhadap seseorang yang mengalami konflik. Batin atau hati nurani dalam kehidupan sehari-hari berfungsi sebagai hakim yang adil, apabila didalam kehidupan manusia itu sering mengalami konflik, pertentangan atau keragu-raguan batin akan bertindak sebagai pengontrol yang kritis, sehingga manusia sering diperingatkan untuk selalu bertindak menurut batas-batas tertentu berdasarkan norma yang konvensional dalam masyarakat. Di samping sebagai pengontrol batin juga berfungsi sebagai alat pembimbing untuk membawa pribadi dari keadaan yang biasa ke arah pribadi yang bertanggung jawab, berdisiplin, adil, dan konsekuen.

24

Terlalu sering melakukan kegiatan yang bertentangan dengan suara batin hanya menyebabkan pecahnya pribadi seseorang, akibat individu selalu merasakan konflik-konflik jiwa yang tidak berkesudahan. Sebagai akibat pribadi yang dihinggapi konflik itu tidak mengenal atau tidak menyadari lagi apakah yang dilakukannya. Berdasarkan konflik psikologi tersebut, menurut Rita L. Atkinson,

Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard (1983:203-225) akibat dan reaksi terhadap akibat yang timbul dapat kita lihat pada halaman berikutnya.

2.2.3.3.1 Frustrasi

Frustrasi terjadi bila gerak ke arah tujuan yang diinginkan terhambat atau tertunda. Berbagai hambatan, baik eksternal maupun internal, dapat mengganggu usaha seseorang untuk mencapai tujuan.

Menurut C. E. Morgan (dalam Dirgagunarsa 1978 : 145) mengatakan ada beberapa macam sumber yang menyebabkan terjadinya frustasi. (1) diri pribadi sendiri. Misalnya seseorang ingin menjadi dokter gigi, tetapi gagal karena ia buta warna. (2) keadaan lingkungan (fisik) misalnya, ingin datang ke kampus pada waktunya, tidak bisa karena tiba-tiba sepeda motor kempes. (3) keadaan objeknya sendiri. Dalam hal ini kaitannya dengan tujuan sudah tercapai, tetapi ternyata tujuan

(objek) itu tidak sesuai dengan harapan. Misalnya, kain sudah terbeli ternyata luntur.

Ketika seseorang telah mengalami frustrasi timbul reaksi-reaksi, yaitu (a) agresi, (b) apati, dan (c) regresi. Keseluruhan hal tersebut akan dibahas satu per satu pada halaman 26.

25

a) Agresi

Reaksi yang timbul ketika dalam situasi frustrasi, biasanya seseorang tampak gelisah dan tidak senang: mereka menggerutu, resah, dan mengeluh, dan dalam banyak hal, orang yang mengalami frustrasi tidak dapat mengekspresikan agresi terhadap sumber frustrasi. Kadang-kadang sumber itu tidak jelas. Orang itu tidak tahu apa yang akan diserang tetapi ia merasa marah dan mencari sesuatu yang diserang, kadang-kadang orang yang menyebabkan frustrasi itu terlalu kuat sehingga serangan terhadap orang itu akan menimbulkan bahaya.

b) Apati

Reaksi yang berupa sikap acuh tak acuh dan menarik diri. Seseorang yang menyerang dengan penuh kemarahan ketika mengalami frustrasi dan mengetahui bahwa akhirnya kebutuhan mereka terpenuhi (baik itu melalui usaha mereka sendiri ataupun karena ada seseorang yang cepat-cepat menentramkan mereka ) mungkin kelak menampilkan perilaku yang sama bila motif mereka dihambat. Contoh:

Seseorang yang ledakan agresifnya tidak pernah memberikan hasil dan seseorang yang tidak mampu memuaskan kebutuhan mereka melalui tindakan mereka sendiri, mungkin bertindak apatis dan menarik diri bila dihadapkan pada situasi yang menimbulkan frustrasi.

c) Regresi

Regresi didefinisikan sebagai tindakan kembali ke bentuk prilaku yang tidak matang atau bentuk perilaku yang khas pada usia yang lebih muda. Contoh: Kadang- kadang orang dewasa menampilkan bentuk perilaku yang tidak matang ketika

26

menghadapi situasi yang menimbulkan frustrasi. Mereka memaki, berteriak, mulai berkelahi, atau menghentikan usaha mengatasi masalah dan mencari seseorang untuk membantu memecahkan masalah tersebut.

2.2.3.3.2 Kecemasan

Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istulah-istilah seperti “kekhawatiran,” “keprihatinan,” dan “rasa takut,” yang kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda karena kurangnya kesepakatan tentang definisi kecemasan yang lebih tepat, kami tidak akan memberi definisi. Contoh:

Seorang gadis kecil yang dihukum orang tuanya karena menentang kehendak mereka dan berusaha memaksa kehendaknya sendiri pada akhirnya belajar mengasosiasikan rasa sakit hukuman dengan perilaku memaksa. Bila dia memikirkan usaha memaksa kehendaknya dan menentang orang tuanya, dia akan mengalami kecemasan.

Ketika seseorang telah mengalami kecemasan timbul reaksi-reaksi sebagai berikut, yaitu (a) mekanisme pertahanan, (b) penolakan, (c) penekanan, (d) rasionalisasi, (e) pembentukan reaksi, (f) proyeksi, (g) intelektualitas, (h) pengalihan.

Keseluruhan hal tersebut akan dibahas satu per satu berikut ini.

a. Mekanisme Pertahanan

Sebagian dari cara seseorang mereduksi perasaan cemas tanpa memfokuskan masalahnya diberi nama mekanisme pertahanan, karena sering dilakukan. Freud

(dalam Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard 1983:215) menggunakan istilah mekanisme pertahanan (defense mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi seseorang dari kecemasan melalui

27

pemutarbalikkan kenyataan. Strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara orang mempersepsi atau memikirkan masalah itu.

b. Penolakan

Bila kenyataan eksternal terlalu menyakitkan untuk dihadapi, seseorang mungkin mengingkari adanya kenyataan itu. Contoh: Orang tua seorang anak yang sedang sakit gawat mungkin menolak mengakui bahwa anaknya sakit keras walaupun mereka sudah diberi tahu dengan jelas diagnosisnya dan akibat yang terjadi. Karena mereka tidak tahan sakitnya mengakui kenyataan yang mungkin muncul, mereka terpaksa menggunakan mekanisme bela diri dalam bentuk penolakan (danial), setidak-tidaknya untuk sementara.

c. Penekanan

Pengingkaran atas kenyataan adalah pembelaan diri terhadap ancaman eksternal; penekanan (represi) adalah pembelaan diri terhadap ancaman internal.

Dalam penekanan, implus-implus dan ingatan-ingatan yang terlalu menakutkan dibuang jauh dari tindakan-tindakan atau kesadaran-kesadaran. Freud (dalam Rita L.

Atkinson, Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard 1983:217) mengatakan bahwa penekanan implus-implus tertentu pada masa kanak-kanak merupakan hal yang universal. Misalnya, dia berpendapat bahwa semua anak-anak laki merasakan gairah terhadap ibunya dan perasaan persaingan dan permusuhan terhadap bapak mereka

(odipus kompleks); perasaan ini ditekan untuk menghindarkan akibat-akibat yang menyedihkan yang timbul pada diri mereka. Pada kehidupan mendatang, seseorang mungkin menekan perasaan dan ingatan yang menyebabkan perasaan cemas sebab

28

mereka tidak mantap dengan gagasan pribadinya. Perasaan permusuhan terhadap orang yang dicintai dan pengalaman kegagalan mungkin dibuang dari ingatan.

d. Rasionalisasi

Rasionalisasi bukan berarti “bertindak menurut akal”; hal ini merupakan penentu motif yang masuk akal atau layak secara sosial pada sesuatu yang kita lakukan sehingga kita tampak bertindak sesuai dengan akal pikiran dan sepatutnya.

Dalam usaha mencari alasan yang “baik” ketimbang yang “benar” orang-orang membuat sejumlah dalih. Dalih-dalih itu biasanya masuk akal; hanya saja mereka itu tidak mengatakan seluruh cerita. Misal: suka atau tidak suka sebagai suatu dalih: “

Saya tidak akan pergi ke pesta itu walaupun seandainya saya diundang. Saya tidak suka berkumpul-kumpul dengan orang banyak itu.

e. Pembentukan Reaksi

Kadangkala orang-orang dapat menyembunyikan motif dari diri mereka sendiri dengan memberikan pernyataan yang kuat terhadap yang bertentangan.

Kecendrungan demikian disebut pembentukan reaksi (reaction formation). Contoh:

Seorang ibu yang merasa bersalah atas ketidakinginannya (mempunyai) anaknya mungkin berubah menjadi terlalu ramah dan terlalu melindungi untuk meyakinkan anaknya tentang cinta kasihnya dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia adalah seorang ibu yang baik.

29

f. Proyeksi

Proyeksi adalah bentuk dari rasionalisasi, tetapi hal itu meresap ke dalam kebudayaan kita sehingga hal itu layak di perbincangkan karena sifatnya sendiri.

Anggota-anggota setiap perkumpulan di universitas memberikan gambaran tentang proyeksi. Anggota-anggota setiap perkumpulan diminta untuk menilai anggota perkumpulan lainnya sifat-sifat yang tidak terpuji seperti kikir, keras kepala, dan keberandalan. Setiap mahasiswa diminta juga menilai dirinya sendiri. Yang menarik disini adalah mahasiswa yang memiliki sifat-sifat yang sangat tidak terpuji (yang dinyatakan menurut cara anggota lain menilai mereka) tapi mereka tidak menyadari memiliki sifat itu (yang dinyatakan oleh penilaian mereka atas diri mereka sendiri).

Orang-orang semacam ini cendrung memberikan sifat yang tak terpuji terhadap mahasiswa lainnya. Datanya bersesuaian dengan pengertian mekanisme proyeksi

Sears dalam Atkinson, Rita L, Richard C, dan Hilgard, Ernest R ( 1983:220 ).

g. Intelektualitas

Intelektualitas adalah usaha untuk memperoleh pembebasan dari situasi yang mengancam dan menghadapinya dengan istilah-istilah abstrak dan ilmiah. Doktor yang terus-terusan dihadapkan dengan penderitaan manusia tidak dapat berusaha untuk terlibat secara emosional dengan setiap pasien; kenyataannya, sejumlah pembebasan tertentu mungkin sangat perlu agar dokter itu dapat bekerja dengan baik.

h. Pengalihan

Mekanisme bela diri yang terakhir yang kita anggap memenuhi fungsinya

(mengurang rasa cemas) sambil sedikit memberi kepuasan kepada motif-motif yang

30

tak layak. Melalui mekanisme pengalihan (displacement), suatu motif yang tidak dapat dipuaskan dalam satu bentuk diarahkan kedalam saluran baru. Contoh: kegiatan ibu-ibu, mengasuh atau mencari sahabat mungkin membantu mengurangi ketegangan yang berhubungan dengan kebutuhan seks yang tak terpenuhi.

2.2.3.3.3 Stres dan Fisiologi

Stres yang gawat (berlangsung melalui sistem urat saraf pusat untuk mengubah keseimbangan hormon) dapat juga merusak respons daya tahan seseorang, mengurangi kemampuan melawan bakteri dan virus-virus yang menyerang. Tepat benar bila diperkirakan bahwa stres emosional memegang peranan yang penting dalam lebih dari 50 persen segala masalah kesehatan.

31

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pendekatan penelitian, sasaran penelitian, sumber penelitian, teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, metode dan teknik penyajian hasil analisis data, serta langkah kerja penelitian.

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan untuk menganalisis konflik psikologis tokoh “Je” yang terdapat dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo adalah pendekatan psikologis. Menurut Ratna (2004:41) pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra, dan pembaca. Pendekatan ini digunakan dengan alasan bahwa pendekatan psikologis merupakan pendekatan yang memperhatikan segi-segi kejiwaan yang terdapat dalam karya sastra. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis konflik yang dialami oleh tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

Sejalan dengan itu, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori psikologi sastra. Menurut Ratna (2004:346), psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan kepada tokoh-tokoh, maka akan dapat di analisis konflik batin yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hubungan inilah penelitian harus menemukan gejala yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh pengarangnya, yaitu dengan memanfaatkan teori-teori psikologi yang dianggap

31

32

relevan. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan psikologi sastra selanjutnya dihubungkan dengan teori psikologi yaitu teori kepribadian dari Rita L.

Atkinson, Richard C. Atkinson, dan Ernest L. Hilgard. Unsur-unsur Psikologis dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Victor Hugo yang diteliti oleh penulis yaitu tokoh “Je” yang diduga mengalami konflik psikologis. Hal ini bertujuan untuk mengetahui konflik apa saja dan akibat disertai reaksi apakah yang dialami oleh tokoh “Je” dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah objek yang dijadikan sasaran untuk menyelidiki suatu ilmu (www.one.indoskripsi.com/node/cetak disunting pada tanggal 14 Januari 2011).

Objek material penelitian ini adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya

Victor Hugo.

Sedanglan objek formal adalah sudut pandang subjek menelaah objek materialnya (www.one.indoskripsi.com/node/cetak disunting pada tanggal 14 Januari

2011). Objek formal penelitian ini adalah konflik psikologi, akibat, dan reaksi-reaksi tokoh „‟Je‟‟ yang tampak dalam kalimat-kalimat dalam roman Le Dernier Jour d’un

Condamné karya Victor Hugo.

3.3 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah konflik psikologis yang berupa jenis-jenis dan akibat di sertai reaksi yang dialami tokoh utama „„Je‟‟. Data yang diteliti meliputi

33

kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam roman Le Dernier

Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang mengandung informasi tentang jenis- jenis, akibat, dan reaksi tokoh utama „„Aku‟‟ yang ditimbulkan konflik pasikologis tersebut.

3.4 Sumber Penelitian

Penelitian ini mengambil kalimat-kalimat yang mengandung unsur-unsur penokohan pada tokoh “Je” dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya

Victor Hugo, penerbit Charles Gosselin, tahun 1829, cetakan pertama yang terdiri dari 49 bab yang panjangnya sangat varitif mulai dari satu halaman hingga ke beberapa halaman.

Di Indonesia, roman ini telah diterjemahkan oleh M. Lady Lesmana. Akan tetapi pada penelitian ini, penulis tidak sepenuhnya mengikuti terjemahan oleh M.

Lady Lesmana tersebut. Penulis akan menggunakan terjemahan bebas oleh penulis sendiri untuk mempermudah penulis dalam menginterpretasikan makna yang terkandung dalam Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini dilakukan metode library research yaitu penelitian pustaka. Selain itu, penulis menggunakan teknik membaca efektif untuk memperoleh data dari sumber-sumber tertulis.

Setelah mengumpulkan data melalui teknik membaca efektif, langkah selanjutnya adalah memasukkan data tersebut dalam sebuah kartu data. Data-data

34

yang relevan dituliskan pada kartu data yang berisi komponen-komponen yang dapat kita lihat pada halaman berikut:

(1) Nomor data : 1

(2) Sumber : (LDJDC/1/I/4)

(3) Korpus data

Data Terjemahan

(4) Analisis Korpus Data

Keterangan:

Bagian 1 berisi : Nomor urut kartu data

Bagian 2 berisi : Judul roman yaitu Le Dernier Jour d’un Condamné

Bab (Chapitre)

Halaman (page)

Bagian 3 berisi : Korpus data

Bagian 4 berisi : Analisis korpus data

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta- fakta kemudian disusul dengan analisis (Endraswara 2008:53).

Penggunaan metode deskriptif analitik tersebut di atas sekaligus digunakan penulis sebagai teknik analisis dalam penelitian ini. Setelah melakukan pemilahan,

35

data-data yang telah diperoleh kemudian dideskripsikan dan kemudian disusul dengan analisis. Selain itu, data yang telah siap dan sudah tercatat dalam kartu data disusun secara sistematis sesuai kepentingan penelitian dengan harapan akan diperoleh kejelasan mengenai cara-cara yang ditempuh untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini.

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode informal. Metode penyajian informal yaitu perumusan dengan kata- kata biasa (Sudaryanto 1993:145). Maksudnya, dalam menyajikan hasil analisis data, peneliti menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan mudah dimengerti, bukan menggunakan tanda, lambang-lambang ataupun grafik. Penggunaan metode informal tersebut sekaligus merupakan teknik penyajian hasil analisis data.

3.8 Langkah Kerja Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.8.1 Menentukan teks sastra atau sumber data yang akan diteliti, yaitu roman Le

Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

3.8.2 Membaca dan memahami keseluruhan isi teks roman Le Dernier Jour d’un

Condamné karya Victor Hugo. Penulis melakukan beberapa tahapan

membaca sebelum melakukan analisis yaitu, (1) Membaca terjemahan roman

Le Dernier Jour d’un Condamné dalam Bahasa Indonesia, (2) Membaca

36

roman dengan cara membandingkan roman dalam Bahasa Prancis dan

terjemahan Indonesia, (3) Membaca roman dengan cara, selain

membandingkan roman yang berbahasa perancis dan roman yang sudah

diterjemahkan oleh M. Lady Lesmana, penulis juga menggunakan terjemahan

dengan menggunakan bahasa sendiri untuk lebih mudah memahami isi

roman.

3.8.3 Mendeskripsikan masalah yang muncul setelah membaca dan memahami tata

urutan cerita roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

3.8.4 Mencari teori-teori yang relevan untuk memecahkan permasalahan. Teori

yang relevan tersebut adalah teknik pelukisan tokoh oleh Altenbernd dan

Lewis, dan teori kepribadian Atkinson, Atkinson, dan Hilgard.

3.8.5 Membaca dan memahami teori-teori yang relevan tersebut untuk

memecahkan permasalahan.

3.8.6 Membuat skema teori-teori yang digunakan dalam analisis.

3.8.7 Memecahkan permasalahan, dengan tahap awal mendeskripsikan kepribadian

tokoh dan dilanjutkan mendeskripsikan jenis-jenis konflik psikologi yang

berupa mendekat – menjauh (approach-avoidance conflict) dan menjauh –

menjauh (avoidance-avoidance conflict).

3.8.8 Mendeskripsikan akibat-akibat konflik psikologi yang disertai reaksi-reaksi

tokoh terhadap konflik psikologis dalam roman Le Dernier Jour d’un

Condamné karya Victor Hugo dalam bentuk analisis.

37

3.8.9 Menyimpulkan hasil analisis mengenai jenis-jenis konflik psikologi, dan

akibat-akibat yang ditimbulkanya disertai reaksi yang ditimbulkan tokoh

dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

38

BAB 4 JENIS DAN AKIBAT KONFLIK PSIKOLOGI DISERTAI REAKSI TOKOH “JE” DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D‟UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO

Bab ini berisi tentang analisis penulis terhadap kepribadian tokoh „‟Je‟‟, konflik psikologi dan akibat disertai reaksi tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier

Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Pada tahap awal, penulis mendeskripsikan penokohan tokoh „‟Je‟‟ dengan menggunakan teknik pelukisan tokoh Altenbernd dan

Lewis. Tahap berikutnya yaitu penulis mendeskripsikan jenis dan akibat konflik psikologi disertai reaksi tokoh „‟Je‟‟ berdasarkan teori kepribadian Rita L. Atkinson,

Richard C. Atkinson, dan Ernest R. Hilgard.

Adapun susunan hasil analisis tersebut di atas akan dideskripsikan penulis satu per satu, yaitu pada sub bab pertama penulis akan mendeskripsikan pelukisan tokoh „‟Je‟‟, sub bab kedua mendeskripsikan konflik mendekat-menghindar

(approach-avoidance conflict), sub bab ketiga mendeskripsikan konflik menghindar- menghindar (avoidance-avoidance conflict), dan sub bab terakhir penulis akan mendeskripsikan akibat yang ditimbulkan kedua jenis konflik tersebut disertai reaksi- reaksi tokoh „‟Je‟‟.

38

39

4.1 Pelukisan Tokoh „‟Je‟‟ Menurut Altenbernd dan Lewis

Sub bab ini berisi tentang deskripsi penokohan tokoh “Je‟‟. Deskripsi penokohan tersebut diperoleh penulis berdasarkan kutipan-kutipan yang mengandung unsur penokohan dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné yang dianalisis melalui teknik pelukisan tokoh yang diungkapkan oleh Altenberd dan Lewis. Teknik pelukisan tokoh ini terbagi atas dua jenis yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik. Kedua teknik tersebut akan dideskripsikan satu per satu oleh penulis berikut ini.

4.1.1 Teknik Ekspositori

Penulis menemukan penggambaran tokoh “Je” dengan teknik ekspositori.

Pendeskripsian tentang tokoh “Je” dibuat oleh pengarang secara langsung. Data- data berikut ini merupakan penokohan “Je” dengan teknik ekspositori.

(1)

LDJDC/I/1 Autrefois, car il me semble qu’il y a plutôt des années que des semaines, j‟étais un homme comme un autre homme. Chaque jour, cheque heure, chaque minute avait son idée. Mon esprit, jeune et riche, était plein de fantaisies. Il s‟amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans ordre et son fin, brodant d‟inépuisables arabesque cette rude et mince étoffe de la vie. C‟étaient des jeunes filles, de splendides chapes d‟évêque, des batailles gagnées, des théâtres plains de bruit et de lumière, et puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers. C‟était toujours fête dans mon imagination. Je pouvais penser à ce que je voulais, j‟étais libre. Dahulu, sebab saya kira bahwa bertahun-tahun yang lalu lebih baik daripada beberapa minggu, saya adalah manusia seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya, penuh dengan angan-angan. Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabésk yang

40

tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini. Angan- angan tentang gadis-gadis, jubah uskup yang sangat bagus, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, lalu gadis-gadis lagi dan di malam hari yang suram di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan. Dalam bayanganku, itu selalu merupakan hari raya. Aku bisa memikirkan apa yang aku inginkan, aku bebas. Pada awal cerita, penulis menceritakan bahwa tokoh „‟Je‟‟ telah berada di dalam penjara selama lima minggu. Pikiran-pikiran bahwa kemungkinan keputusan hakim adalah hukuman mati selalu menghantuinya. Pikiran-pikiran buruk tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ sangat terbebani. Beban yang dirasakannya begitu besar, sehingga tokoh „‟Je‟‟ merasa tidak mampu menanggungnya sendiri. Dalam keadaan seperti ini, tokoh „‟Je‟‟ hanya dapat mengeluh kepada dirinya sendiri. Ia mengeluh dengan keadaan yang dialaminya setelah berada di penjara. Ia yang suka berangan- angan merasa dirinya tidak lagi memiliki kebebasan (pengarang secara langsung menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ sebagai seseorang yang suka mengeluh). Hal tersebut dapat kita lihat dalam keluhan tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan yaitu „‟j‟étais un homme comme un autre homme. Chaque jour, cheque heure, chaque minute avait son idée. Mon esprit, jeune et riche, était plein de fantaisies. Il s‟amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans ordre et son fin, brodant d‟inépuisables arabesque cette rude et mince étoffe de la vie’’ yang dapat diartikan ( Dahulu, sebab saya kira bahwa bertahun-tahun yang lalu lebih baik daripada beberapa minggu, saya adalah manusia seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya, penuh dengan angan-angan. Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu

41

kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabésk yang tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini).

Kutipan pada halaman 41 menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ adalah orang yang berjiwa muda dan kaya. Selain itu, ia adalah seseorang yang sangat suka berangan- angan. Sifat inilah yang membuat tokoh „‟Je‟‟ akhirnya mengeluh dengan keadaan yang dialaminya setelah berada di dalam penjara. Ia merasa bahwa keadaan beberapa tahun sebelum dirinya masuk penjara lebih baik daripada keadaan yang dialaminya selama beberapa minggu setelah menjadi seorang terpidana. Sebelum menjadi seorang terpidana, tokoh „‟Je‟‟ dapat berangan-angan tentang banyak hal setiap waktu. Angan-angan tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟ C‟étaient des jeunes filles, de splendides chapes d‟évêque, des batailles gagnées, des théâtres plains de bruit et de lumière, et puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers‟‟ yang dapat diartikan (Hal tersebut adalah gadis-gadis, jubah uskup yang sangat bagus, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, dan lalu gadis-gadis lagi dan tempat-tempat yang gelap di malam hari di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan).

Kutipan di atas menggambarkan beberapa angan-angan atau harapan-harapan tokoh „‟Je‟‟ sebelum dirinya menjadi seorang terpidana. Ia berangan-angan tentang gadis-gadis seperti yang ditunjukkan dalam kutipan C‟étaient des jeunes filles (Hal tersebut adalah gadis-gadis). Kata gadis-gadis dalam kutipan di atas dipilih penulis untuk menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kenikmatan dunia.

Selain itu, kutipan di atas juga didukung oleh kutipan „‟ de splendides chapes

42

d‟évêque‟‟ yang dapat diartikan (jubah uskup yang sangat bagus). Kata jubah uskup yang bagus dalam kutipan di atas menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kemewahan dan kebesaran. Kutipan „‟ des batailles gagnées‟‟ yang dapat diartikan (pertempuran-pertempuran yang dimenangkan) menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kehormatan.

Sifat tokoh „‟Je‟‟ yang suka berangan-angan tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan yang dialaminya setelah berada di dalam penjara. Ia menjadi seorang tawanan yang selalu dihantui oleh rasa takut yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim kepadanya (pengarang menunjukkan karakter penakut tokoh „‟Je‟‟ secara langsung dalam bentuk keluhan). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan yang bercetak tebal di bawah ini.

(2) LDJDC/I/2 Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable. Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana. Setelah beberapa minggu berada di dalam penjara, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya mengeluh terhadap keadaan yang sedang dialaminya. Ia yang dulu memiliki

43

kebebasan untuk berpikir dan berangan-angan menjadi seorang yang penakut setelah menjadi seorang terpidana, dirinya terpenjara dalam satu pikiran yaitu kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan yaitu „‟ Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable „‟ yang dapat diartikan (Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana).

Kutipan diatas menggambarkan keluhan tokoh „‟Je‟‟ terhadap keadaan yang dialaminya setelah menjadi seorang terpidana. Setelah menjadi seorang terpidana, ia menjadi seseorang yang penuh dengan rasa takut, tidak hanya tubuhnya yang terpenjara di dalam sebuah sel, namun jiwanya pun terkurung di dalam sebuah pikiran yaitu pikiran bahwa kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah hukuman mati.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! „‟ (Aku hanya memiliki satu

44

pikiran, satu keyakinan dan satu kepastian: Dihukum kematian!) untuk menggambarkan keyakinan tokoh „‟Je‟‟ bahwa keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah hukuman mati (sebab). Keyakinan dan kepastian tersebut dapat dilihat dari penggunaan tanda seru oleh penulis pada kalimat

(Condamné à mort!).

Selain itu, penulis juga menggunakan kalimat „‟Une horrible, une sanglante, une implacable idée !‟‟ (Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan.) untuk menggambarkan betapa mengerikan pikiran-pikiran buruk tokoh „‟Je‟‟ terhadap kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati (alasan).

Meskipun tokoh „‟Je‟‟ berusaha untuk tidak memikirkannya, pikiran-pikiran itu selalu saja datang menghantuinya dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tertidur. Pikiran-pikiran itu membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa takut dan khawatir.

Ketakutan dan kekhawatiran secara terus menurus membuat tokoh „‟Je‟‟ selalu merasa gelisah (pengarang menggambarkan karakter penakut tokoh „‟Je‟‟ melalui penggambaran langsung dampak perasaan takut tersebut terhadap dirinya yang ditandai dengan timbulnya perasaan khawatir dan kegelisahan). Kegelisahan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ yang disebabkan oleh rasa takutnya tersebut dapat dilihat dalam kutipan yang bercetak dalam data ke-3.

3) LDJDC/I/2 Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute

45

distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. Je viens de m‟éveiller en sursaut, poursuivi par elle et me disant : - Ah! Ce n‟est qu‟un rêve ! - Hé bien ! Avant même que mes yeux lourds aient eu le temps de s‟entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l‟horrible réalité qui m‟entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré mon oreille :- Condamné à mort !

Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana, dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia mengguncangkanku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refren lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau. Tersentak bangun aku dikejarnya, kemudian aku berkata pada diriku sendiri : -Ah, itu hanya mimpi ! –Oh, ya ? bahkan sebelum mataku yang berat sempat sedikit membuka untuk melihat pikiran yang tidak terelakan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di ubin selku yang basah dan berkeringat, di kesuraman lampu malamku, di tenunan kasar kain pakaianku, di wajah suram serdadu jaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, terdengar sudah sebuah bisikan di telingaku: - Dihukum mati !

Semenjak menjadi seorang terpidana, tokoh „‟Je‟‟ selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ telah berusaha untuk tidak memikirkannya, namun pikiran-pikiran buruk tersebut selalu

46

saja datang mengganggunya di setiap saat, baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tertidur (alasan menjadi seorang yang penakut). Penulis menggambarkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. „‟ yang dapat diartikan (Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: Dihukum kematian! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana, dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia menguncangkanku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refren lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau).

Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman

47

mati. Pikiran-pikiran buruk tersebut tidak pernah berhenti muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟, meskipun dirinya telah berusaha untuk tidak memikirkannya. Pikiran- pikiran buruk tersebut seolah-olah tidak memberi sedikit pun peluang kepada tokoh

„‟Je‟‟ untuk memikirkan hal lain. Pikiran-pikiran itu selalu muncul ketika tokoh

„‟Je‟‟ mencoba menenangkan hati dan pikirannya dengan cara berpikir positif. Ia juga mencoba menghindari pikiran-pikiran yang sangat mengerikan tersebut dengan cara memejamkan matanya, namun pikiran-pikiran tersebut tetap saja datang dengan tiba-tiba sehingga membuat dirinya bangun karena terkejut. Pikiran-pikiran tentang hukuman mati muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ dalam berbagai bentuk dan cara, terkadang pikiran-pikiran tersebut muncul dengan tiba-tiba dalam bentuk kata-kata.

Kata-kata tersebut selalu mengalir ditelinganya ketika terdapat kata-kata yang ditujukan kepadanya, menghantuinya dan memata-matainya di saat terjaga seolah- olah menempel bersamanya di terali besi selnya, dan muncul kembali dalam bentuk mimpi-mimpi buruk.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, face à face avec moi misérable.‟‟ yang dapat diartikan (Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang menyedihkan.) untuk menunjukkan bahwa pikiran-pikiran buruk itu sangat menyeramkan dan menakutkan.

Tokoh „‟Je‟‟ merasa pikiran-pikiran buruk tersebut seolah-olah seperti hantu yang selalu berada didekatnya. Selain itu, penulis menggambarkan bahwa pikiran tentang

48

kemungkinan hukuman mati adalah satu-satunya pikiran yang terdapat di dalam kepala tokoh „‟Je‟‟. Pikiran-pikiran tersebut senantiasa datang mengalahkan pikiran- pikiran yang lain. Seakan-akan hanya pikiran buruk tentang hukuman mati saja yang boleh ada di dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟.

Klausa „‟se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse‟‟ (menimbrung seperti sebuah refren lagu yang menyedihkan yang ditujukan kepada semua ucapan yang ditujukan padaku) digunakan penulis untuk menunjukkan bahwa pikiran-pikiran itu datang tanpa mempedulikan apa yang sedang tokoh „‟Je‟‟ lakukan atau dengan siapa tokoh „‟Je‟‟ bicara, baik dirinya dalam keadaan sadar maupun tidak. Penulis menggunakan klausa „‟se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot „‟ (menempel bersamaku di terali besi selku yang mengerikan) untuk menggambarkan betapa pikiran-pikiran buruk tentang kumungkinan hukuman mati tidak pernah berhenti menghantui tokoh „‟Je‟‟. Selain itu, penulis menggunakan klausa „‟ reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau „‟ (muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau) untuk menggambarkan pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati yang selalu mengganggu tokoh „‟Je‟‟ ketika sedang tidur yaitu dalam bentuk mimpi buruk.

Klausa „‟ Je viens de m‟éveiller en sursaut „‟ (Aku akan terbangun seraya tersentak) digunakan penulis untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang selalu terbangun disebabkan oleh mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya, kalimat- kalimat „‟- Ah! Ce n‟est qu‟un rêve !„‟ (-Ah, itu hanya mimpi !) untuk menggambarkan rasa lega tokoh „‟Je‟‟ ketika sadar hal-hal buruk yang terjadi pada dirinya hanyalah sebuah mimpi, dan kalimat „‟-Hé bien !„‟ (–Oh, ya ?) digunakan

49

penulis untuk menggamabarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba meyakinkan dirinya yang masih sedikit ragu bahwa hal-hal buruk tersebut benar-benar sebuah mimpi.

Keraguan tokoh „‟Je‟‟ digambarkan penulis dengan penggunaan tanda tanya pada kata dalam tanda kutip di atas.

Tokoh „‟Je‟‟ yang sejenak merasa lega, setelah sadar bahwa hal-hal buruk yang terjadi padanya hanyalah sebuah mimpi. Namun, kelegaannya tidak berlangsung lama, beberapa saat kemudian tokoh „‟Je‟‟ akhirnya kembali tersadar akan keadaannya yang sebenarnya. Pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati kembali datang menghantuinya. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut „‟ Avant même que mes yeux lourds aient eu le temps de s‟entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l‟horrible réalité qui m‟entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de niut, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré mon oreille :- Condamné à mort ! „‟ (bahkan sebelum mataku yang berat sempat sedikit membuka untuk melihat pikiran yang tidak terelakan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di ubin selku yang basah dan berkeringat, di kesuraman lampu malamku, di tenunan kasar kain pakaianku, di wajah suram serdadu jaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, terdengar sudah sebuah bisikan di telingaku: - Dihukum mati !).

Kutipan diatas menggambarkan betapa cepat pikiran-pikiran buruk tentang hukuman mati kembali menghantui tokoh „‟Je‟‟ setelah dirinya terbangun dari

50

tidurnya yang disebabkan oleh mimpi buruk. Pikiran-pikiran buruk itu datang dengan sangat cepat padahal tokoh „‟Je‟‟ belum sempat membuka matanya untuk meyaksikan kenyataan melalui keadaan disekitarnya. Contohnya, pikiran-pikiran tentang kemungkinan keputusan hukuman mati yang tersirat di selnya yang memiliki ubin yang basah dan berkeringat, yang tersirat di penerangan sebuah lampu yang tidak mampu menghilangkan kesuraman di dalam sel yang sangat gelap, yang tersirat di dalam pakaiannya yang terbuat dari kain yang kasar, dan yang tersirat di wajah suram serdadu yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selnya

(menggambarkan kehidupan tokoh „‟Je‟‟ yang dipenuhi oleh ketakutan).

Selain mengalami kegelisahaan yang disebabkan oleh rasa khawatir terhadap kemungkinan keputusan hukuman mati yang selalu menghantuinya, kegelisahan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ juga disebabkan oleh suasana persidangan yang begitu mencekam dan menakutkan sehingga membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa ngeri. Hal tersebut membuat kegelisahan yang dirasakan oleh tokoh „‟Je‟‟ semakin meningkat sehingga dirinya merasa tidak tenang dan tidak bisa tidur (pengarang menggambarkan karakter penakut tokoh „‟Je‟‟ dengan menggambarkan alasan dan akibat mengapa tokoh „‟Je‟‟ menjadi seorang yang penakut). Hal ini terdapat dalam kutipan di bawah ini.

(4) LJDCD/II/3 Il y avait trois jour que mon procès était entamé, trois jour que mon nom et mon crime ralliaient chaque matin une nuée de spectateurs, que venaient s‟abattre sur les bancs de la salle d‟audience comme des corbeaux autour d‟un cadavre, trois jours que toute cette fantasmagorie des juge, des témoins, des avocats, des procureurs du roi, passait et repassait devant moi, tantôt grotesque, tantôt sanglante, toujours sombre et fatale. Les deux premières nuits, d‟inquiétude et de terreur, je n‟en avais pu dormir.

51

Sudah tiga hari perkaraku mulai diadili, tiga hari nama dan tindak kejahatanku setiap pagi mengundang kerumunan penonton yang datang menyerbu dibangku-bangku ruang pengadilan, seperti burung-burung gagak mengelilingi bangkai. Tiga hari bayangan gaib para hakim, saksi, pembela, jaksa krajaan, lewat dan lewat lagi dihadapanku, terkadang menggelikan, terkadang kejam, selalu suram dan tak dapat dihindarkan. Pada dua malam pertama aku tidak dapat tidur karena dicekam rasa khawatir dan ngeri. Selain menjadi terpidana yang selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukuman mati, tokoh „‟Je‟‟ sudah tiga hari menghadiri persidangan untuk diadili. Selama tiga hari persidangan berlangsung, nama dan kejahatan tokoh „‟Je‟‟ selalu menarik perhatian masyarakat. Mereka datang dengan jumlah yang besar hanya untuk menyaksikan berlangsungnya persidangan.

Mereka sangat antusias ingin menyaksikan berlangsungnya persidangan sehingga setiap orang saling berlomba untuk mendapatkan tempat duduk yang terdapat di dalam ruang sidang. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ harus mempertanggungjawabkan kesalahannya di depan para hakim, para saksi, pembela, dan jaksa kerajaan yang dinilai tokoh „‟Je‟‟ terkadang terlihat kejam, namun juga terkadang terlihat menggelikan. Mereka selalu menampakkan wajah suram. Tokoh „‟Je‟‟ tidak ingin menghadiri persidangan, namun dirinya tidak memiliki daya untuk melakukannya.

Suasana persidangan yang begitu mencekam membuat tokoh „‟Je‟‟merasa ngeri.

Rasa ngeri tokoh „‟Je‟‟ tersebutlah yang membuat dirinya tidak dapat tidur dengan tenang (alasan dan dampak dari ketakutan yang dialami tokoh „‟Je‟‟).

Penulis menggunakan kata-kata berikut „‟Comme des corbeaux autour d‟un cadavre‟‟ yang dapat diartikan (Seperti burung-burung gagak yang mengelilingi bangkai) untuk menggambarkan perasaan tokoh „‟Je‟‟ akan adanya sesuatu yang sangat buruk akan menimpanya setelah melihat antusias masyarakat menonton

52

berlangsungnya persidangan. Gagak adalah anggota burung pengicau

(passeriformes) yang termasuk dalam marga Corvus, suku carvidae. Hampir semua jenis burung ini berukuran relatif besar dan bewarna bulu dominan hitam. Daerah sebarannya berada di seluruh benua dan kepulauan, dengan perkecualian di Amerika

Selatan. Di beberapa kebudayaan dan mitologi, burung gagak kerap dikaitkan dengan sesuatu yang buruk. Di Eropa, gagak dipercaya sebagai burung peliharaan penyihir

(http://fr.wikipedia.org/wiki/un_corbeau di sunting pada tanggal 16 juni 2011).

Di Perancis burung gagak pemakan bangkai dikenal dengan sebutan Corneille noir. Burung ini selain memakan bangkai, juga memakan hewan-hewan kecil, di pinggir-pinggir pantai burung-burung tersebut memakan kerang, dan di daerah pemukiman manusia burung-burung yang suka bergerombol itu memakan sisa-sisa limbah rumah tangga (http://fr.wikipedia.org/wiki/corneille-noir disunting pada tanggal 1 juli 2011).

Selain itu penulis juga menggunakan klausa „‟Les deux premières nuits, d‟inquiétude et de terreur, je n‟en avais pu dormir‟‟ yang dapat diartikan (pada dua malam pertama, kekhawatiran dan ketakutan, aku tidak bisa tidur) untuk menunjukkan tokoh „‟Je‟‟ yang mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan rasa khawatir dan rasa ngeri yang dialaminya.

Kekhawatiran dan kengerian yang dialami tokoh „‟Je‟‟ di atas menyebabkan semakin besar kegelisahan yang dialaminya. Hal tersebut menyebabkan tokoh „‟Je‟‟ menjadi kesulitan untuk tidur. Selain menjadi gelisah, tokoh „‟Je‟‟ juga akhirnya merasa bosan dan lelah setelah beberapa hari mengikuti jalannya persidangan. Tokoh

„‟Je‟‟ yang tadinya tidak dapat tidur karena gelisah, akhirnya dapat tertidur pulas

53

karena kelelahan (pengarang menunjukkan sosok penakut tokoh „‟Je‟‟ dengan menggambarkan dampak lain dari ketakutan yang dialaminya yaitu dapat tertidur pulas). Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan yang bercetak tebal pada data ke-5 berikut.

(5) LDJDC/II/3 La troisième, j‟en avais dormi d‟ennui et de fatigue. A minuit. J‟avais laissé les jurés délibérant. On m‟avait ramené sur la paille de mon cachot, et j‟étais tombé sur-le-champ dans un sommeil profond, dans un sommeil d‟oubli. C‟étaient les premières heures de repos depuis bien des jours. J‟étais encore au plus profond de ce profond sommeil lorsqu‟on vint me réveiller. Cette fois il ne suffit point du pas lourd et des souliers ferrés du guichetier, du cliquetis de son nœud clefs, du grincement rauque des verrous ; il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix à mon oreille et sa main rude sur mon bras. –Levez-vous donc ! J‟ouvris les yeux, je me dressai effaré sur mon séant. En ce moment, par l’étroite haute fenêtre de ma cellule, je vis au plafond du corridor voisin, seul ciel qu’il me fût donné d’entrevoir, ce reflet jaune où des yeux habitués aux ténèbres d’une prison savent si bien reconnaître le soleil. J’aime le soleil.

Di malam ketiga, aku tertidur karena merasa bosan dan lelah. Di tengah malam, waktu para anggota dewan hakim melanjutkan perundingan, aku dibawa ketumpukan jerami di selku, dan seketika itu pula aku tertidur pulas, terlena dalam kelelapan yang membuat ku lupa segalanya. Itu merupakan jam-jam istirahatku yang pertama setelah sekian hari berlalu. Aku masih berada di dalam kepulasaan paling lelap, ketika seseorang datang membangunkanku. Kali ini, bunyi langkah yang berat dan sepatu penjaga yang ada besinya, gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup: untuk menyeretku keluar dari kelelapanku, diperlukan suaranya yang kasar di dekat telingaku dan tangannya yang juga kasar di lenganku. +Ayo bangun! Ku buka mataku, dan dengan segera duduk, linglung. Pada saat itu, melalui jendela sempit yang terletak tinggi di selku, dilangit-langit lorong sebelah, satu-satunya dimana kilasan langit bisa kulihat, tampak sebuah pantulan kuning, yang bagi mata yang sudah terbiasa dengan kegelapan penjara dapat diketahui bahwa itu adalah sinar matahari. Aku suka matahari.

54

Tiga hari tokoh „‟Je‟‟ menghadiri persidangan dengan perasaan khawatir yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruknya tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim kepadanya, dan perasaan ngeri dikarenakan suasana di dalam ruang sidang yang selalu sama yaitu para penonton yang sangat antusias menantikan kehadirannya dan menyaksikan jalannya persidangan, dan bayangan para hakim, saksi, pembela, dan jaksa kerajaan yang selalu tampak dengan raut wajah suram.

Kegiatan yang sangat menoton tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa bosan dan lelah. Tokoh „‟Je‟‟ yang selalu tidak dapat tidur karena gelisah akhirnya dapat tertidur pulas. Tokoh „‟Je‟‟ tidur sangat pulas sampai-sampai seorang penjaga harus membengunkan dirinya secara kasar.

Tokoh „‟Je‟‟ yang akhirnya dapat tertidur pulas dapat kita lihat dalam kutipan

„‟ La troisième, j‟en avais dormi d‟ennui et de fatigue. A minuit. J‟avais laissé les jurés délibérant. On m‟avait ramené sur la paille de mon cachot, et j‟étais tombé sur-le-champ dans un sommeil profond, dans un sommeil d‟oubli. C‟étaient les premières heures de repos depuis bien des jours. J‟étais encore au plus profond de ce profond sommeil lorsqu‟on vint me réveiller. Cette fois il ne suffit point du pas lourd et des souliers ferrés du guichetier, du cliquetis de son nœud clefs, du grincement rauque des verrous ; il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix

à mon oreille et sa main rude sur mon bras. +Levez-vous donc ! J‟ouvris les yeux, je me dressai effaré sur mon séant „‟ yang dapat diartikan (Di malam ketiga, aku tertidur karena merasa bosan dan lelah. Di tengah malam, waktu para anggota dewan hakim melanjutkan perundingan, aku dibawa ketumpukan jerami di selku, dan seketika itu pula aku tertidur pulas, terlena dalam kelelapan yang

55

membuat ku lupa segalanya. Itu merupakan jam-jam istirahatku yang pertama setelah sekian hari berlalu. Aku masih berada di dalam kepulasaan paling lelap, ketika seseorang datang membangunkanku. Kali ini, bunyi langkah yang berat dan sepatu penjaga yang ada besinya, gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup: untuk menyeretku keluar dari kelelapanku, diperlukan suaranya yang kasar di dekat telingaku dan tangannya yang juga kasar di lenganku. +Ayo bangun! Ku buka mataku, dan dengan segera duduk, linglung).

Dari kutipan di atas penulis mengetahui bahwa tokoh „‟Je‟‟ akhirnya dapat tertidur pulas. Setelah beberapa lama tidak dapat tidur karena dirundung gelisah yang ditimbulkan oleh ketakutan-ketakutan yang dialaminya, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya untuk pertama kalinya dapat beristirahat dengan tenang pada malam ke tiga semenjak persidangan di mulai. Setelah kembali dari ruang sidang, tokoh „‟Je‟‟ langsung tertidur pulas di atas jerami setelah sampai di selnya. Ia merasa sangat bosan dan lelah setelah menghadiri persidangan. Ia tertidur sangat lelap sampai-sampai penjaga harus membangunkannya dengan cara yang kasar.

Penulis menggunakan kalimat „‟ La troisième, j‟en avais dormi d‟ennui et de fatigue. „‟ ( Di malam ketiga, aku tertidur karena merasa bosan dan lelah.‟‟) untuk menunjukkan tokoh „‟Je‟‟ akhirnya dapat tertidur disebabkan rasa bosan dan lelah. Kalimat „‟ j‟étais tombé sur-le-champ dans un sommeil profond, dans un sommeil d‟oubli‟‟ (aku tertidur pulas, terlena dalam kelelapan yang membuat ku lupa segalanya) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ kelelapan tidur tokoh „‟Je‟‟ setelah beberapa lama tidak dapat beristirahat dengan tenang. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya

56

dapat melupakan untuk sejenak pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukuman mati yang selalu menghantuinya. Umumnya, seseorang yang memiliki banyak pikiran dan memiliki tekanan terus menerus akan mengalami kesulitan untuk tidur. Kurangnya waktu istirahat menimbulkan fisik seseorang menjadi cepat lelah. Kelelahan biasanya cendrung menimbulkan rasa kantuk sehingga tubuh secara tidak langsung beristirahat dengan sendirinya. Namun, jika seseorang mengalami kelelahan terus menerus hingga tubuhnya tidak lagi memiliki kekuatan, hal itu dapat menyebabkan seseorang pingsan.

Penulis juga menggunakan paragraf „‟ J‟étais encore au plus profond de ce profond sommeil lorsqu‟on vint me réveiller. Cette fois il ne suffit point du pas lourd et des souliers ferrés du guichetier, du cliquetis de son nœud clefs, du grincement rauque des verrous ; il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix

à mon oreille et sa main rude sur mon bras. –Levez-vous donc ! J‟ouvris les yeux, je me dressai effaré sur mon séant‟‟ yang dapat diartikan (Aku masih berada di dalam kepulasaan paling lelap, ketika seseorang datang membangunkanku.

Kali ini, bunyi langkah yang berat dan sepatu penjaga yang ada besinya, gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup: untuk menyeretku keluar dari kelelapanku, diperlukan suaranya yang kasar di dekat telingaku dan tangannya yang juga kasar di lenganku. +Ayo bangun! Ku buka mataku, dan dengan segera duduk, linglung) untuk menggambarkan kronologis terbangunnya tokoh „‟Je‟‟. Dari kronologis tersebut kita dapat melihat kepulasan tidur tokoh „‟Je‟‟ yang disebabkan rasa bosan dan lelah yang selalu merundungnya. Ia tertidur sangat lelap, sehingga penjaga akhirnya harus

57

membangunkan dirinya dengan cara yang kasar. Hal tersebut disebabkan bunyi langkah penjaga yang berat dan sepatu penjaga yang berisik karena terdapat besi di sepatunya, bunyi gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup menyeret tokoh „‟Je‟‟ keluar dari kelelapan tidurnya.

Dalam kutipan di atas, penulis juga menggunakan kalimat ‟‟ J‟étais encore au plus profond de ce profond sommeil lorsqu‟on vint me réveiller. „‟ (Aku masih berada di dalam kepulasaan paling lelap, ketika seseorang datang membangunkanku.) untuk menggambarkan keadaan tokoh „‟Je‟‟ yang sedang tidur dengan lelapnya ketika sang penjaga membangunkannya. Selain itu, penulis juga menggunakan paragraf ‟‟ Cette fois il ne suffit point du pas lourd et des souliers ferrés du guichetier, du cliquetis de son nœud clefs, du grincement rauque des verrous ; il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix à mon oreille et sa main rude sur mon bras.„‟ (Kali ini, bunyi langkah yang berat dan sepatu penjaga yang ada besinya, gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup: untuk menyeretku keluar dari kelelapanku.) untuk menggambarkan tingkah laku yang biasa dilakukan sang penjaga yang biasanya dapat membuat tokoh „‟Je‟‟ terbangun dari tidurnya, namun tidak seperti biasanya, hal tersebut tidak cukup untuk membuat tokoh „‟Je‟‟ yang tertidur sangat lelap terbangun dari tidurnya.

Kalimat-kalimat „‟ il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix à mon oreille et sa main rude sur mon bras. –Levez-vous donc ! „‟ (diperlukan suaranya yang kasar di dekat telingaku dan tangannya yang juga kasar di lenganku. +Ayo bangun!) untuk menunjukkan bahwa penjaga akhirnya

58

membangunkan tokoh „‟Je‟‟ dengan cara yang kasar yaitu dengan cara berteriak di telinganya tokoh „‟Je‟‟ dan menarik lengannya hingga dirinya terbangun. Selain itu, penulis menggunakan kalimat „‟ J‟ouvris les yeux, je me dressai effaré sur mon séant „‟ (Ku buka mataku, aku tiba-tiba duduk bingung) untuk menggambarkan keadaan tokoh „‟Je‟‟ yang linglung setelah terbangun dengan terpaksa. Setelah bangun dari tidurnya, tokoh „‟Je‟‟ menjadi bingung. Ia seakan-akan lupa dengan apa yang telah dialaminya. Ia hanya merasa senang ketika memandangi secercah cahaya yang masuk lewat lubang kecil yang berada diselnya yang gelap dan suram.

Tokoh „‟Je‟‟ sejenak terlupa dengan keadaan yang sedang dialaminya. Ia terlena oleh pemandangan cahaya matahari yang terpantul dari jendela kecil yang terletak tinggi di dinding ruang selnya. Perkataan penjagalah yang membuat tokoh

„‟Je‟‟ akhirnya menyadari bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan.

Tokoh „‟Je‟‟ yang tiba-tiba dirundung rasa takut akhirnya berangkat menuju pengadilan di sertai seorang pengawal yang telah membangunkannya secara kasar.

Setelah sampai di ruang sidang, tokoh „‟Je‟‟ yang tadinya dirundung rasa takut akhirnya menjadi sedikit lebih tenang. Ia akhirnya tersadar bahwa persidangan tersebut adalah persidangan yang terakhir kalinya. Persidangan di mana hakim akan membacakan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan padanya. Tokoh „‟Je‟‟ berharap bahwa keputusan hakim adalah kebebasan, namun sebaliknya, setelah persidangan akhirnya dimulai tokoh „‟Je‟‟ terkejut mendengar pernyataan pengacaranya yang mengatakan bahwa dirinya berharap keputusan hukuman tokoh

„‟Je‟‟ adalah kerja paksa seumur hidup. Harapan itu sangat bertolak belakang dengan keinginan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas. Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ sangat marah.

59

Kemarahan tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar, membuat dirinya berdalih dengan mengatakan bahwa dia lebih memilih hukuman mati dari pada harus menjalani hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ merasa sakit hati kepada pengacaranya (penulis menggambarkan secara langsung karakter temperamen dan egois tokoh „‟Je‟‟ dengan cara menggambarkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ ketika menghadapi sesuatu yang bertolakbelakang dengan keinginan hatinya). Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan yang bercetak tebal dalam data ke-6 berikut.

(6) LDJDC/II/8 + Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l‟application de la peine ? demanda le président. J‟aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais. Le défenseur se leva. Je compris qu‟il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de peine qu‟elle provoquait, l‟autre peine, celle que j‟avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l‟indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! + Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela atas keputusan hukuman ini ? Tanya ketua hakim. Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Pembela berdiri. Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan, menjadi seperti yang diharapkannya, yang telah membuat saya sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : seratus kali lebih baik mati ! Keputusan sementara persidangan akhirnya dibacakan oleh panitera pengadilan. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya dijatuhi hukuman mati. Rasa sakit hati tokoh „‟Je‟‟ yang begitu mendalam terlihat ketika ketua hakim memberikan kesempatan kepada

60

pengacara tokoh „‟Je‟‟ untuk melakukan pembalaan agar supaya hukumannya dapat menjadi lebih ringan seperti yang diharapkan yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup. Perkataan pengacara yang mengatakan bahwa dirinya berharap keputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman kerja paksa seumur hidup tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa sangat sakit hati. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Je compris qu‟il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de peine qu‟elle provoquait, l‟autre peine, celle que j‟avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l‟indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort !„‟ yang dapat diartikan (Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan, menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuat saya sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : seratus kali lebih baik mati !).

Kutipan di atas menggambarkan rasa sakit hati tokoh „‟Je‟‟ kepada pengacara yang telah berani berharap kuputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ yang sangat memahami bahwa pengacara berusaha melakukan pembelaan terhadap dirinya agar supaya hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya dapat menjadi lebih ringan mencoba berdalih bahwa dirinya lebih memilih keputusan hakim kepadanya adalah hukuman mati dari pada hukuman kerja

61

paksa seumur hidup seperti yang diharapkan oleh pengacaranya. Tokoh „‟Je‟‟ melakukan perbuatan tersebut disebabkan merasa sakit hati kepada pengacara.

Tokoh „‟Je‟‟ yang sedang dikuasai oleh emosi membuat keputusan tersebut tanpa berpikir panjang.

Penulis menggunakan kalimat tanya „‟+ Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l‟application de la peine ?‟‟ (+ Apakah ada yang ingin diasampaikan oleh pembela atas keputusan hukuman ini ?) untuk menggambarkan ketua hakim yang memberikan kesempatan kepada tokoh „‟Je‟‟ dan pengacaranya untuk melakukan pembelaan. Kalimat-kalimat „‟ J‟aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint.

Ma langue resta collée à mon palais „‟ (Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang hanya dapat terdiam ketika hakim mempersilahkan kepada dirinya dan pengacaranya untuk melakukan pembelaan. Hal tersebut disebabkan tokoh „‟Je‟‟ adalah orang yang memiliki sifat ego yang tinggi dan emosional. Sifat tersebutlah yang nantinya menyebabkan timbulnya konflik batin pada tokoh „‟Je‟‟ yaitu adanya pertarungan antara dua harapan yang memiliki kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi balasan. Hal ini akan kita bahas lebih lanjut pada bab berikutnya.

Semenjak keputusan akhir hukuman tokoh „‟Je‟‟ diumumkan oleh hakim pengadilan, ia dipindahkan ke Bicêtre. Tokoh „‟Je‟‟ menempati salah satu sel yang terdapat di Bicêtre hingga hari pelaksanaan eksekusi. Di dalam sel tersebut hanya terdapat seikat jerami sebagai tempat istirahatnya. Di tempat itu jugalah tokoh „‟Je‟‟ mengalami banyak peristiwa-peristiwa menakutkan sehingga membuat fisiknya tidak

62

lagi kuat dan akhirnya pingsan. Setelah kejadian itu, ia akhirnya dipindahkan ke balai pengobatan. Tokoh „‟Je‟‟ merasa sangat senang karena dirinya dapat merasakan kembali tidur di sebuah kasur yang tidak lagi pernah dirasakannya semenjak masuk penjara (pengarang menunjukkan karakter tokoh „‟Je‟‟ sebagai seseorang yang penuh rasa sukur dengan cara menggambarkan secara langsung perasaan tokoh „‟Je‟‟ ketika berada di balai pengobatan setelah dirinya mengalami pingsan). Hal tersebut dapat dilihat dalam data ke-7 yang bercetak tebal di bawah ini.

(7) LDJDC/XIV/33 Quand je revins à moi, il était nuit. J‟étais couché dans un grabat ; une lanterne qui vacillait au profond me fit voir d‟autres grabats aligné des deux côté du mien. Je compris qu‟on m‟avait transporté à l‟infirmerie. Je restai quelques instants éveillé, mais sans pensée et sans souvenir, tout entier au bonheur d‟être dans un lit. Cartes, en d‟autres temps, ce lit d‟hôpital et de prison m‟eut fait reculer de dégout et de pitié ; mais je n‟étais plus le même homme. Les draps étaient gris et rudes au toucher, la paillasse à travers le matelas ; qu‟importe ! Mes membres pouvaient se déroidir à l‟aise entre ces drops grossiers ; sous cette couverture, si mince qu‟elle fût, je sentais se dissiper peu à peu cet horrible froid de la moelle des os dont j‟avais pris l‟habitude. Ketika aku siuman, hari sudah malam. Aku terbaring disebuah dipan. Sebuah lentera yang tergantung dilangit-langit yang nyalanya berkedip-kedip membuatku bisa melihat deretan dipan lain disamping-sampingku. Aku segera mengerti bahwa aku telah dipindahkan ke balai pengobatan. Selama beberapa saat aku dalam keadaan terjaga, tapi tanpa pikir dan tanpa ingatan, hanya rasa bahagia saja ditempat tidur. Diwaktu-waktu lain, ranjang rumah sakit penjara ini membuatku surut karena jijik dan iba, tapi aku bukan lagi orang yang sama. Sepreinya berwarna abu-abu dan kasar kalau diraba, selimut tipis yang berlubang, jeraminya terasa menembus kasur. Peduli amat ! Anggota tubuhku dapat melemaskan diri dengan enak di antara sprai yang kasar ini, di bawah selimut yang, meski sangat tipis. Dapat menghilangkan rasa dingin yang mengerikan di sungsum dan di tulangku yang sudah terbiasa dengannya. Tekanan yang teramat berat yang dialami tokoh „‟Je‟‟ membuat dirinya jatuh pingsan. Ia kemudian dipindahkan dari ruang penjara ke balai pengobatan. Ketika

63

tokoh „‟Je‟‟ mulai siuman, ia sadar bahwa hari sudah malam. Suasana ruangan yang terang membuatnya mengetahui bahwa dirinya telah berada di balai pengobatan dan sedang tidur di sebuah dipan. Di sana dirinya dapat sejenak tidur, tanpa pikiran- pikiran buruk yang selalu mengganggunya, dan tanpa ingatan-ingatan yang membuat dirinya merasa takut. Ia hanya merasakan perasaan bahagia karena dapat tidur di sebuah kasur. Penulis menggambarkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Quand je revins

à moi, il était nuit. J‟étais couché dans un grabat ; une lanterne qui vacillait au profond me fit voir d‟autres grabats aligné des deux côté du mien. Je compris qu‟on m‟avait transporté à l‟infirmerie. Je restai quelques instants éveillé, mais sans pensée et sans souvenir, tout entier au bonheur d‟être dans un lit. Cartes, en d‟autres temps, ce lit d‟hôpital et de prison m‟eut fait reculer de dégout et de pitié ; mais je n‟étais plus le même homme. Les draps étaient gris et rudes au toucher, la paillasse à travers le matelas ; qu‟importe ! Mes membres pouvaient se déroidir à l‟aise entre ces drops grossiers ; sous cette couverture, si mince qu‟elle fût, je sentais se dissiper peu à peu cet horrible froid de la moelle des os dont j‟avais pris l‟habitude „‟ yang dapat diartikan (Ketika aku siuman, hari sudah malam. Aku terbaring disebuah dipan. Sebuah lentera yang tergantung dilangit-langit yang nyalanya berkedip-kedip membuatku bisa melihat deretan dipan lain disamping-sampingku. Aku segera mengerti bahwa aku telah dipindahkan ke balai pengobatan. Selama beberapa saat aku dalam keadaan terjaga, tapi tanpa pikir dan tanpa ingatan, hanya rasa bahagia saja ditempat tidur. Diwaktu- waktu lain, ranjang rumah sakit penjara ini membuatku surut karena jijik dan iba, tapi aku bukan lagi orang yang sama. Sepreinya berwarna abu-abu dan

64

kasar kalau diraba, selimut tipis yang berlubang, jeraminya terasa menembus kasur. Peduli amat ! Anggota tubuhku dapat melemaskan diri dengan enak di antara seprei yang kasar ini, di bawah selimut yang, meski sangat tipis. Dapat menghilangkan rasa dingin yang mengerikan di sungsum dan di tulangku yang sudah terbiasa dengannya).

Kutipan yang bercetak tebal pada halaman 64 menggambarkan keadaan tokoh

„‟Je‟‟ ketika akhirnya terbangun setelah beberapa lama pingsan. Tokoh „‟Je‟‟ menyadari bahwa hari telah malam. Cahaya lentera yang terang membuat dirinya dapat melihat deretan dipan yang terletak berjejer di sampingnya. Berdasarkan hal itulah, tokoh „‟Je‟‟ menyadari bahwa dirinya telah berada di balai pengobatan. Di sana, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya dapat beristirahat dengan tenang untuk sejenak tanpa pikiran-pikiran buruk tentang hukuman mati yang selalu menghantuinya. Ia hanya merasa bahagia di tempat tidur meskipun keadaan di dalam balai pengobatan sangat tidak layak untuk ditempati. Keadaan tersebut sama sekali tidak membuat tokoh

„‟Je‟‟ merasa jijik dan iba. Ia sama sekali tidak peduli, meskipun dalam keadaan lain mungkin dirinya akan merasakan hal tersebut. Bagi tokoh „‟Je‟‟, yang terpenting dirinya dapat melemaskan tubuhnya dan dapat menghilangkan rasa dingin yang mengerikan di sungsum dan tulangnya.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Je restai quelques instants éveillé, mais sans pensée et sans souvenir, tout entier au bonheur d‟être dans un lit.‟‟ yang dapat diartikan (Selama beberapa saat aku dalam keadaan terjaga, tapi tanpa pikir dan tanpa ingatan, hanya rasa bahagia saja ditempat tidur.) untuk menggambarkan kebahagiaan dan rasa syukur tokoh „‟Je‟‟, karena akhirnya dapat

65

beristirahat dengan tenang tanpa dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang hukuman mati. Kalimat „‟ Les draps étaient gris et rudes au toucher, la paillasse à travers le matelas.‟‟ yang dapat diartikan (Sepreinya berwarna abu-abu dan kasar jika diraba, selimut tipis yang berlubang, jeraminya terasa menembus kasur.) untuk menggambarkan keadaan tempat tidur di balai pengobatan. Selain itu penulis juga mencoba menggambarkan keadaan di ruang sel Bicêtre yang sangat mengerikan dengan menggunakan klausa „‟si mince qu‟elle fût, je sentais se dissiper peu à peu cet horrible froid de la moelle des os dont j‟avais pris l‟habitude „‟ yang dapat diartikan (Dapat menghilangkan rasa dingin yang mengerikan di sungsum dan di tulangnya yang sudah terbiasa dengan keadaan sel penjara). Pada umumnya, seseorang yang berada di tempat yang sangat dingin tidak akan merasakan kedinginan sampai sumsum tulang belakang, hal tersebut disebabkan manusia memiliki darah yang berfungsi sebagai penghangat. Jika hal itu sampai terjadi maka dapat diambil kesimpulan bahwa tempat itu sangat dingin dan biasanya jika seseorang merasakan dingin hingga tulang belakang, dirinya akan sangat merasa tersiksa.

Setelah satu hari di balai pengobatan, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya kembali ke selnya. Pada hari pertama setelah dirinya kembali, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya menerima surat penolakan permohonan naik bandingnya. Di hari yang sama, ia berangkat ke

Balai Kota untuk menunggu detik-detik sebelum pelaksanaan eksekusinya. Ia menghabiskan detik-detik sebelum pelaksanaan eksekusi dengan memikirkan masa lalunya yang begitu menggembirakan agar supaya dirinya dapat melupakan penderitaan yang sedang dialaminya (penulis menggambarkan bahwa tokoh „‟Je‟‟

66

adalah seorang yang suka berpikir dengan cara menggambarkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ untuk mengurangi perasaan takut yang selalu saja menghantuinya ketika berada di penjara). Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan pada data ke-8 berikut ini.

(8) LDJDC/XXXIII/73 J‟ai fermé les yeux, et j‟ai mis les mains dessus, et j‟ai tâché d‟oublier, d‟oublier le présent dans le passé. Tandis que je rêve, les souvenirs de mon enfance et de ma jeunes me reviennent un à un, doux, calme, riants, comme des îles de fleurs sur ce gouffre de pensées noires et confuses qui tourbillonnent dans mon cerveau.

Kupejamkan mata dan kutaruh tanganku menutupinya, lalu aku berusaha melupakan, melupakan masa kini dalam masa lampau. Saat aku termenung, kenangan masa kanak-kanak dan masa mudaku terlintas kembali satu per satu, lembut, tenang, penuh tawa, seperti pulau-pulau bunga mengembang di atas jurang pikiran yang kelam dan kabur, yang berputar di dalam benakku.

Semakin dekatnya waktu pelaksanaan eksekusi, rasa takut yang dirasakan oleh tokoh „‟Je‟‟ semakin besar. Ia berusaha melupakan apa yang sedang dialaminya dengan cara memikirkan masa kanak-kanak dan masa mudanya yang penuh dengan kegembiraan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan „‟ J‟ai fermé les yeux, et j‟ai mis les mains dessus, et j‟ai tâché d‟oublier, d‟oublier le présent dans le passé.

Tandis que je rêve, les souvenirs de mon enfance et de ma jeunnes me reviennent un à un, doux, calme, riants, comme des îles de fleurs sur ce gouffre de pensées noires et confuses qui tourbillonnent dans mon cerveau „‟ yang dapat diartikan

(Kupejamkan mata dan kutaruh tanganku menutupinya, lalu aku berusaha melupakan, melupakan masa kini dalam masa lampau. Saat aku termenung, kenangan masa kanak-kanak dan masa mudaku terlintas kembali satu per satu, lembut, tenang, penuh tawa, seperti pulau-pulau bunga mengembang di atas jurang pikiran yang kelam dan kabur, yang berputar di dalam benakku).

67

Kutipan di atas menunjukkan tokoh „‟Je‟‟ yang berusaha memejamkan matanya dengan harapan dirinya dapat memikirkan masa kanak-kanak dan masa mudanya yang begitu menyenangkan dengan tujuan agar supaya dirinya dapat melupakan penderitaan yang sedang dialaminya.

Dari ke-8 data yang dianalisis penulis dengan menggunakan teknik ekspositori pada halaman-halaman sebelumnya, penulis menemukan bahwa tokoh

„‟Je‟‟ adalah seseorang yang memiliki karakter suka mengeluh, penakut, temperamen, egois, penuh rasa sukur, dan pemikir.

4.1.2 Teknik Dramatik

Teknik dramatik terbagi atas delapan jenis teknik yaitu teknik cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik. Dari kedelapan jenis teknik dramatik tersebut, penulis hanya akan membahas penokohan tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dengan menggunakan empat teknik yaitu teknik cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan, dan teknik reaksi tokoh. Hal tersebut disebabkan karena data- data yang dihasilkan dengan menggunakan keempat terknik tersebut lebih banyak digunakan oleh penulis untuk mempermudah menganalisis konflik dan akibat yang ditimbulkan konflik beserta reaksi tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un

Condamné karya Victor Hugo. Penokohan tokoh „‟Je‟‟ dengan menggunakan keempat jenis teknik dramatik yang telah disebutkan oleh penulis sebelumnya akan dideskripsikan satu per satu oleh penulis pada data dalam sub bab yang terdapat pada halaman-halaman selanjutnya.

68

4.1.2.1 Teknik Cakapan

Penokohan tokoh “Je” yang digambarkan penulis melalui teknik cakapan dapat kita lihat dalam data-data yang terdapat pada halaman berikut ini.

(9) LDJDC/II/7 Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. +J‟espère, me dit-il. - N‟est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. + Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. - Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

Di saat itu pembelaku tiba. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dengan lahap. Sampai ditempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum. + Mudah-mudahan, katanya kepadaku. - Harus! Jawabku ringan, juga sambil tersenyum. + Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga jadi kerja paksa seumur hidup. - Bapak ini bicara apa? Tukasku marah, seratus kali lebih baik kematian!

Detik-detik sebelum persidangan dimulai tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan bahwa keputusan hakim adalah kebebasaan. Persidangan pun akhirnya dimulai setelah pengacara yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ketika sampai di tempat duduknya, pengacara mencondongkan tubuhnya ke arah tokoh „‟Je‟‟ dan mengatakan „‟ + J‟espère „‟ (+ Aku berharap). Kata „aku berharap‟ dalam kutipan tersebut mengandung makna harapan pengacara agar apa yang diharapkannya dapat terkabul. Tokoh „‟Je‟‟ yang belum mengetahui harapan pengacaranya kemudian menjawab dengan penuh rasa senang, keyakinan dan dengan tegasan mengatakan

69

benarkah seperti dalam kutipan „‟- N‟est-ce pas ! „‟ (- Benarkah!). Kata „benarkah‟ dalam kutipan mengandung perasaan senang tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki harapan mendapatkan kebebasan. Penulis menggunakan tanda seru pada akhir kalimat berfungsi untuk menggambarkan keyakinan dan ketegasan tokoh „‟Je‟‟ terhadap apa yang diharapkannya.

Pengacara akhirnya mengatakan bahwa dirinya berharap hakim dapat memperingan hukuman tokoh „‟Je‟‟ menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup.

Penulis menunjukkan harapan pengacara dalam kutipan „‟ + Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité „‟ (+ Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur

„‟terencana‟‟, hingga jadi kerja paksa seumur hidup). Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki karakter temperamen tiba-tiba marah. Ia terkejut mendengar pernyataan pengacara yang sangat bertolakbelakang dengan harapannya. Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi kemudian berdalih bahwa dirinya lebih memilih mendapat hukuman mati daripada harus dihukum kerja paksa seumur hidup. Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dari pertanyaan yang ditujukannya kepada pengacara dalam kutipan „‟ - Que dites-vous là, monsieur ?„‟ (- Bapak ini bicara apa?). Penulis menggunakan tanda tanya dalam kutipan di atas untuk menggambarkan keterkejutan dan ketidakpahaman tokoh „‟Je‟‟ terhadap pernyataan pengacara yang sangat bertolakbelakang dengan harapannya. Pernyataan pengacara tersebut membuatnya sangat terkejut.

70

Selain membuat tokoh „‟Je‟‟ terkejut, pernyataan pengacara tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki temperamen yang tinggi tiba-tiba marah setelah mendengarnya. Harga diri yang tinggi membuat dirinya tidak dapat menerima pemikiran pengacara yang tidak sependapat dengannya. Sifat egois tokoh „‟Je‟‟ membuat dirinya memutuskan untuk lebih memilih keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah seratus kali lebih baik hukuman mati daripada harus mendapat keputusan hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari kata-kata tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟- plutôt cent fois la mort ! „‟ (-

Seratus kali lebih baik kematian!). Penulis menggunakan tanda seru pada akhir kalimat untuk menggambarkan rasa marah tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar. Karakter- karakter tokoh „‟Je‟‟ yang temperamen, teguh pendirian, dan egois tersebutlah yang nantinya menyebabkan terjadinya konflik batin padanya. Hal ini akan dibahas penulis pada sub bab berikutnya.

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ bersikap acuh tak acuh ketika mengetahui bahwa permohonan naik bandingnya telah ditolak oleh bapak Jaksa

Tinggi. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan yang bercetak tebal di bawah ini.

(10) LDJDC/XX1/43 La porte s’est rouverte une seconde fois. Le bruit des verrous nous a arrachés, moi à ma stupeur, lui à son discours. Une espèce de monsieur en habit noir, accompagné du directeur de la prison, s’est présenté, et m’a salué profondément. Cet homme avait sur le visage quelque chose de la tristesse officielle des employés des pompes funèbres. Il tenait un rouleau de papier à la main. + Monsieur, m‟a-t-il dit avec un sourire de courtoisie, je suis huissier près la cour royale de Paris. J‟ai l‟honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général. La première secousse était passée. Toute ma présence d’esprit m’était revenue.

71

- C‟est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui a demandé si instamment ma tête ? Bien de l‟honneur pour moi qu‟il m‟écrive. J‟espère que ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me serait dur de penser qu‟il l‟a sollicitée avec tant d‟ardeur et qu‟elle lui était indifférente. J’ai dit tout cela, et j’ai repris d’une voix ferme : - Lisez, monsieur ! Il s’est mis à me lire un long texte, en chantant à la fin de chaque ligne et en hésitant au milieu de chaque mot. C’était le rejet de mon pourvoi. + L‟arrêt sera exécuté aujourd‟hui en place de Grève, a-t-il ajouté quand il a eu terminé, sans lever les yeux de dessus son papier timbré. Nous partons à sept heures et demie précises pour la Conciergerie. Mon cher monsieur, aurez-vous l‟extrême bonté de me suivre ? Depuis quelques instants je ne l’écoutais plus. Le directeur causait avec le prêtre ; lui, avait l’œil fixé sur son papier ; je regardais la porte, qui était restée entr’ouverte… - Ah ! Misérable ! Quatre fusiliers dans le corridor ! L’huissier a répété sa question, en me regardant cette fois. - Quand vous voudrez, lui ai-je répondu. A votre aise ! Il m’a salué en disant : + J’aurais l’honneur de venir vous chercher dans une demi-heure.

Pintu terbuka untuk kedua kalinya. Bunyi gerandel menyadarkan kami kembali, menyadarkanku dari rasa terpukau, menyadarkannya dari pidatonya. Sesosok lelaki berpakaian hitam, ditemani direktur penjara, memperkenalkan diri dan memberiku salam dalam-dalam. Orang ini wajahnya menampakkan semacam kesedihan resmi para pegawai pemakaman. Ia memegang sebuah gulungan kertas di tangannya. + Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan Paris. Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada anda surat dari Jaksa Tinggi. Guncangan pertama lewat. Semua jiwaku telah kembali mengumpul. - Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuat dirinya senang? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkanku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu. Kukatan semua itu, dan kulanjutkan dengan suara tegas: - Bacalah, Tuan! Ia kemudian mulai membacakanku sebuah naskah yang panjang, dengan memberi irama di setiap akhir baris dan dengan keraguan di setiap tengah kata. Itu penolakan permohonan naik bandingku. + Keputusan akan dilaksanakan hari ini di bunderan Grève, tambahnya setelah ia menyelesaikan bacaannya, tanpa mengalihkan

72

pandangannya dari kertas bersegel itu. kita akan berangkat jam setengah delapan tepat menuju gedung Conciergerie. Sudikah kiranya Tuan ikut denganku? Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah tidak mendengarkannya lagi. Direktur penjara berbincang-bincang dengan bapak pendeta, pelaksana keputusan pengadilan menatap lekat-lekat kertasnya, aku melirik ke pintu yang dibiarkan sedikit terbuka… - Ah, sial! Empat serdadu memegang bedil berdiri di lorong! Petugas itu tadi mengulang pertanyaannya, kali ini sambil melihatku. - Kapan saja terserah Anda! Ia pamit sambil berkata: - Saya akan merasa terhormat untuk kembali menjemput Anda setengah jam lagi.

Sehari setelah kembali dari balai pengobatan, seperti biasanya tokoh „‟Je‟‟ menghabiskan waktunya dengan menulis. Pagi di hari pertama setelah dirinya kembali ke sel, tokoh „‟Je‟‟ merasa heran dengan perlakuan penuh perhatian yang ditunjukkan oleh orang-orang yang berada disekitarnya. Seperti perilaku penjaga yang biasanya kasar, tiba-tiba perhatian dengan menanyakan dirinya ingin memakan apa, dan direktur yang tiba-tiba datang untuk menanyakan keadaan kesehatannya.

Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ bertanya-tanya dan merasa khawatir. Ia baru merasa tenang setelah direktur akhirnya meninggalkan dirinya bersama dengan pendeta. Namun, beberapa saat kemudian direktur kembali datang bersama dengan pelaksana keputusan pengadilan. Pelaksana keputusan hukuman kemudian mengatakan bahwa dirinya membawa surat dari bapak Jaksa Tinggi seperti dalam kutipan „‟ - Monsieur, m‟a-t-il dit avec un sourire de courtoisie, je suis huissier près la cour royale de Paris. J‟ai l‟honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général.„‟ yang dapat diartikan (- Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan Paris. Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan

73

kepada anda surat dari Jaksa Tinggi). Tokoh „‟Je‟‟ sama sekali tidak berpikir bahwa surat tersebut adalah surat penolakan permohonan naik bandingnya dengan mengatakan kepada utusan pelaksana hukuman „‟ C‟est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui a demandé si instamment ma tête? Bien de l‟honneur pour moi qu‟il m‟écrive. J‟espère que ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me serait dur de penser qu‟il l‟a sollicitée avec tant d‟ardeur et qu‟elle lui était indifférente.„‟ yang dapat diartikan (Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuat dirinya senang? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkanku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu).

Kutipan di atas menggambarkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ pada awalnya berpikir bahwa surat tersebut adalah surat pribadi yang dikirimkan bapak Jaksa Tinggi kepadanya. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa surat tersebut adalah surat penolakan permohonan naik bandingnya. Ia hanya merasa heran dengan sikap bapak Jaksa Tinggi yang tiba- tiba mengiriminya surat, padahal bapak Jaksa Tinggi adalah satu-satunya orang yang berharap dirinya mendapat hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya meminta utusan pelaksana hukuman untuk membacakan surat tersebut untuknya dengan berkata „‟-

Lisez, Monsieur ! „‟ (- Bacalah, Tuan !).

Tokoh „‟Je‟‟ yang pada awalnya tidak menduga bahwa surat tersebut berisi tentang penolakan permohonan naik bandingnya, akhirnya mengetahui dengan jelas setelah utusan tersebut membacakan surat tersebut. Selain itu, utusan pelaksana

74

hukuman juga memberitahukan bahwa pelaksanaan hukuman tokoh „‟Je‟‟ akan segera dilaksanakan dan mereka akan berangkat ke gedung Conciergerie pada jam setengah delapan tepat. Hal tersebut dapat diketahui dari perkataan pembela dalam kutipan „‟- L‟arrêt sera exécuter aujourd‟hui en place de Grève, a-t-il ajouté quand il a eu terminé, sans lever les yeux de dessus son papier timbre. Nous partons à sept heures et demie précises pour la Conciergerie. Mon cher monsieur, aurez- vous l‟extrême bonté de me suivre ?„‟ yang dapat diartikan (- Keputusan akan dilaksanakan hari ini di bunderan Grève, tambahnya setelah ia menyelesaikan bacaannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas bersegel itu. kita akan berangkat jam setengah delapan tepat menuju gedung Conciergerie.

Sudikah kiranya Tuan ikut denganku ?).

Setelah mengetahui bahwa permohonan naik bandingnya ditolak, tokoh „‟Je‟‟ tidak lagi memperhatikan perkataan pelaksana hukuman. Ia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan pelaksana hukuman karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia memperhatikan keadaan disekitarnya untuk mencari kesempatan melarikan diri dari penjara. Hal tersebut membuat pelaksana hukuman tersebut akhirnya kembali mengulang pertanyaannya. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya menjawab dengan acuh tak acuh pertanyaan pelaksana hukuman dengan berkata „‟ - Quand vous voudrez, lui ai-je répondu. A votre aise !„‟ ( - Kapan saja, terserah Anda, jawabku kepadanya. Sesuka Anda !).

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang yang percaya dengan adanya Tuhan. Hal tersebut lah yang membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa kecewa kepada pendeta karena telah mengatakan bahwa dirinya meragukan perkataan tokoh

75

„‟Je‟‟ yang mengatakan bahwa dirinya percaya akan adanya Tuhan. Tokoh „‟Je‟‟ mencoba membela dirinya. Kekecewaan terhadap pendeta membuat dirinya tidak lagi memperhatikan khotbahnya. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ memintanya untuk meninggalkannya dan membiarkan dirinya sendiri. Hal tersebut dapat kita lihat dalam data berikut.

(11) LDJDC/XXX/67 Nous nous sommes assis, lui sur la chaise, mot sur le lit. Il m’a dit : + Mon fils… Ce mot m’a ouvert le cœur. Il a continué : + Mon fils, croyez-vous en ? - Oui, mon père, lui ai-je répondu. + Croyez-vous en la sainte église catholique, apostolique et romaine ? - Volontiers, lui ai-je dit. + Mon fils, a-t-il repris, vous avez l‟air de douter. Alors il s’est mis à parler. Il a parlé longtemps ; il a dit beaucoup de paroles ; puis, quand il a cru avoir fini, il s’est levé et m’a regardé pour la première fois depuis le commencement de son discours, en m’interrogeant : + Eh bien ? Je proteste que je l‟avais écouté avec avidité d‟abord, puis avec attention, puis avec dévouement. Je me suis levé aussi. - Monsieur, lui ai-je-répondu, laissez-moi seul, je vous prie. Il m’a demandé : + Quand reviendrai-je ? - je vous le ferai savoir. Alors il est sorti sans colère, mais en hochant la tête, comme se disant à lui-même : -Un impie !

Kami berdua duduk ; ia di kursi, aku di pelbet. Ia berkata kepadaku : + Anakku… Kata-kata ini membuka hatiku. Ia melanjutkan : + Anankku, kamu percaya Tuhan ? - Ya, Bapa, Jawabku kepadanya. + Kamu percaya kepada gereja Katholik, para rosul dan orang- orang Roma yang suci? - Dengan segenap hati, kataku padanya. + Anakku, katanya lagi, kamu kelihatannya meragukan.

76

Dan ia kemudian mulai berbicara. Ia berbicara lama sekali, ia mengucapkan banyak kata. Kemudian setelah menurutnya selesai, ia berdiri dan memandangiku untuk pertama kali sejak awal khotbahnya, sambil bertanya kepadaku: + Ha! Bagaimana? Aku protes karena mulanya aku mendengarkannya dengan bernafsu, kemudian dengan perhatian dan setelah itu dengan ketulusan. Aku juga bangkit berdiri. -Tuan, kataku kepadanya, tolong tinggalkan aku sendiri. Ia menanyaiku: + Kapan aku harus kembali? -Aku akan memberitahukannya. Dan ia keluar tanpa marah, tapi sambil menggeleng-gelengkan kepala, seolah berkata kapada dirinya sendiri: + Orang yang tidak percaya Tuhan.

Beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi, tokoh „‟Je‟‟ kembali bertemu dengan pendeta yang mendampinginya sejak pagi terakhirnya ketika masih berada di

Bicêtre. Tokoh „‟Je‟‟ merasa senang dengan kedatangan kembali Sang pendeta, meskipun ketika berada di sepanjang jalan menuju Balai Kota dirinya tidak terlalu memperhatikan perkataannya. Tokoh „‟Je‟‟ sejenak merasa antusias untuk mendengarkan khotbah pendeta tersebut. Ia berharap dirinya dapat sedikit merasakan ketenangan setelah mendengarkan khotbahnya.

Tokoh „‟Je‟‟ yang merasa antusias dapat dilihat dari tanggapannya terhadap setiap pertanyaan yang diajukan oleh pendeta kepadanya. Ia menjawab pertanyaan yang diajukan pendeta dengan sungguh-sungguh. Pada awal pembicaraan, sang pendeta memanggil tokoh „‟Je‟‟ dengan sebutan nak, hal tersebut membuat hati tokoh „‟Je‟‟ sedikit tersentuh. Pendeta kemudian melanjutkan pembicaraan dengan mengajukan sebuah pertanyaan kepada tokoh „‟Je‟‟ untuk mengetahui apakah tokoh

„‟Je‟‟ adalah orang yang percaya akan adanya Tuhan. Pertanyaan tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟ -Mon fils, croyez-vous en Dieu ?‟‟ (-Anakku, kamu percaya

77

Tuhan ?). Tokoh „‟Je‟‟ kemudian mengiyakan pertanyaan pendeta. Ia mengatakan kepada pendeta bahwa dirinya adalah orang yang percaya akan adanya tuhan seperti kata-katanya tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟ -Oui, mon père, lui ai-je répondu „‟ (-Ya,

Bapa, Jawabku kepadanya).

Pendeta kemudian mengajukan kembali pertanyaan yang memiliki makna yang sama seperti yang terlihat dalam kutipan „‟ -Croyez-vous en la sainte église catholique, apostolique et romaine ?„‟ (-Kamu percaya kepada gereja Katholik, para rosul dan orang-orang Roma yang suci?). Tokoh „‟Je‟‟ kemudian kembali menjawab dengan baik dan tulus pertanyaan pendeta. Ia dengan jujur mengatakan bahwa dirinya percaya dengan segenab hatinya kepada gereja Katholik, kepada rosul, dan orang-orang Roma yang suci. Hal tersebut dapat kita lihat dari jawaban tokoh

„‟Je‟‟ terhadap pertanyaan yang diajukan oleh pembela dalam kutipan „‟ – Volonties, lui ai-je dit. „‟ (- Dengan segenap hati, kataku kepadanya). Namun perasaan antusias tokoh „‟Je‟‟ untuk mendengarkan khotbah pendeta sirna ketika akhirnya tokoh „‟Je‟‟ merasa kecewa setelah mendengar pernyataan pendeta yang menyatakan bahwa dirinya meragukan jawaban tokoh „‟Je‟‟ tersebut. Pernyataan pendeta tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟- Mon fils, a-t-il repris, vous avez l‟air de douter.„‟

(- Anakku, katanya lagi, kamu kelihatannya meragukan). Tokoh „‟Je‟‟ kecewa karena dirinya merasa telah berusaha mendengarkan khotbah pendeta dengan sangat antusias, dengan penuh perhatian dan dengan tulus. Selain itu, ia telah menyatakan dengan jelas bahwa dirinya mempercayai adanya Tuhan. Kekecewaan tokoh „‟Je‟‟ terlihat dari reaksi yang ditunjukkannya ketika pendeta meminta komentarnya tentang apa yang telah dibicarakannya panjang lebar, tokoh „‟Je‟‟ meminta sang

78

pendeta untuk meninggalkan dirinya sendiri, dan tidak lagi peduli dengan apa yang dikatakan oleh pendeta kepadanya seperti dalam kutipan berikut „‟ - Monsieur, lui ai-je-répondu, laissez-moi seul, je vous prie. „‟ (- Tuan, kataku kepadanya, tinggalkan aku sendiri, aku memohon padamu). Kutipan di atas menunjukkan sikap tokoh „‟Je‟‟ ketika meminta pendeta untuk meninggalkan dirinya sendiri. Hal tersebut dilakukan tokoh „‟Je‟‟ karena dirinya merasa kecewa terhadap ucapan pendeta.

Data berikut menggambarkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ bersikap acuh tak acuh ketika utusan pelaksana hukumannya bertanya tentang berita yang sedang diperbincangkan orang-orang pada hari di mana dirinya akan dieksekusi. Pelaksana hukuman yang menilai bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang yang melankolis dan terlalu banyak berpikir tersebut terkejut ketika tokoh „‟Je‟‟ dengan acuh tak acuh mengatakan bahwa dirinya lebih tua dari pada pelaksana hukuman yang pantas menjadi kakeknya. Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam data berikut.

(12) LDJDC/XXII/51 + Eh bien ! Monsieur l’abbé, disait-il avec un accent presque gai, qu’est- ce que vous savez de nouveau ? C’est vers le prêtre qu’il se retournait en parlant ainsi. L’aumônier, qui me parlait sans relâche, et que la voiture assourdissait, n’a pas répondu. + Hé ! Hé ! a repris l’huissier en haussant la voix pour avoir le dessus sur le bruit des roues ; infernal voiture ! Il a continué : + Sans doute, c‟est le cachot ; on ne s‟entend pas. Qu‟est-ce que je voulais donc dire ? Faites-moi le plaisir de m‟apprendre ce que je voulais dire, monsieur l‟abbé ? + Ah ! Savez-vous la grande nouvelle de paris, aujourd‟hui ? J’ai tressailli, comme s’il parlait de moi. + Non, a dit le prêtre. Qui avait enfin entendu, je n’ai pas eu le temps de lire les journaux ce matin. Je verrai cela ce soir. Quand je suis occupé

79

comme cela toute la journée, je recommande au portier de me garder mes journaux, et je les lis en rentrant. + Bah ! A repris l’huissier. Il est impossible que vous ne sachiez pas cela. La nouvelle de Paris ! La nouvelle de ce matin ! J‟ai pris la parole : - je crois la savoir. L’huissier m’a regardé. + Vous ! Vraiment ! En ce cas, qu‟en dites-vous ? - Vous êtes curieux ! Lui ai-je dit. + Pourquoi, monsieur ? A répliqué l‟huissier. Chacun a son opinion politique. Je vous estime trop pour croire que vous n‟avez pas la vôtre. Quant à moi. Je suis tout à fait d‟avis du rétablissement de la garde nationale. J‟étais sergent de ma compagnie, et, ma foi, c‟étais fort agréable. Je l’ai interrompu. - Je ne croyais pas que ce fût de cela qu‟il s‟agissait. + Et de quoi donc ? Vous disiez savoir la nouvelle… - Je parlais d‟une autre, dont Paris s‟occupe aussi aujourd‟hui. L’imbécile n’a pas compris ; sa curiosité s’est éveillée. + Une autre nouvelle ? Où diable avez-vous pu apprendre des nouvelles ? Laquelle, de grâce, mon cher monsieur ? Savez-vous ce que c‟est, monsieur l‟abbé ? Êtes-vous plus au courant que moi ? Mettez- moi au fait, je vous prie. De quoi s‟agit-il ? + Voyez-vous, j‟aime les nouvelles. Je les contes à monsieur le président, et cela l‟amuse. Et mille billevesées. Il se tournait tour à tour vers le prêtre et vers le prêtre et vers moi, je ne répondais qu‟en haussant les épaules. - Eh bien ! m‟a-t-il dit, à quoi pensez-vous donc ? - Je pense, ai-je répondu, que je ne penserai plus ce soir. - Ah ! C‟est cela! A-t-il répliqué. Allons, vous êtes trop triste ! M. Castaing causait. Puis, après un silence: - J‟ai conduit M. Papavoine; il avait sa casquette de loutre et fumait son cigare. Quant aux jeunes gens de la Rochelle, ils ne parlaient qu‟entre eux. Mais ils parlaient. Il a fait encore une pause, et a poursuivi : + Des fous ! Des enthousiastes ! Ils avaient l‟air de mépriser tout le monde. Pour ce qui est de vous, je vous trouve vraiment bien pensif, jeune homme. - Jeune homme ! Lui ai-je dit, je suis plus vieux que vous ; chaque quart d‟heure qui s‟écoule me vieillit d‟une année. Il s’est retourné, m’a regardé quelques minutes avec un étonnement inepte, puis s’est mis à ricaner lourdement. - Allons, vous voulez rire, plus vieux que moi ! Je serais votre grand-père. - Je ne veux pas rire, lui ai-je répondu gravement.

80

+ Hei ! Pak Pastor, katanya dengan nada hampir riang, kabar baru apa yang anda punyai ? Ke arah bapak pendetalah ia berpaling dan berkata begitu. Rohaniwan itu, yang berbicara padaku tanpa henti dan yang tidak mendengarkannya karena bunyi bising kereta, tidak menjawabnya. + Hei! Hei! Pelaksana hukuman itu berkata lagi lebih keras untuk mengalahkan bunyi roda kereta, kereta neraka! Neraka! Memang. Ia melanjutkannya: + Barangkali karena guncangan kita tidak bisa mendengar. Apa yang ingin kukatakan tadi? Tolong katakan padaku apa yang ingin kutanyakan tadi. Pak Pastor? – Ah! Apa anda tahu berita baru mengenai Paris hari ini? Aku tersentak kaget, seakan ia berbicara mengenaiku. + Tidak , kata bapak pendeta, yang akhirnya mendengarnya, aku tidak sempat membaca koran tadi pagi. Aku akan membacanya nanti malam. Saat aku sibuk sepanjang hari seperti ini, aku meminta penjaga pintu untuk menyimpankan koran-koranku, dan aku akan membacanya kalau pulang. + Ah ! Lanjut pelaksana hukuman itu, tidak mungkin kalau anda tidak mengetahuinya. Berita tentang yang terjadi di Paris ! Berita pagi ini ! - Aku angkat suara : - Kukira aku tahu. Pelaksana hukuman itu memandangiku + Anda ! Benarkah ! Kalau begitu apa pendapat Anda ? - Anda melit ! Kataku kepadanya. + Kenapa, Tuan ? Tukas pelaksana hukuman itu. setiap orang punya pendapat politiknya masing-masing. Aku sangat menghargai Anda sehingga aku yakin Anda mesti mempunyai pendapat politik sendiri. Kalau aku, aku sangat setuju dengan pendapat mengenai perlunya dibentuk kembali Garda Nasional. Aku dulu sersan dikesatuanku, dan, yaaa, itu sangat menyenangkan. Dan banyak omong kosong lainnya. Ia berpaling bergantian ke arah bapak pastor dan ke arahku, dan aku hanya menjawabnya dengan mengangkat pundak! + Baiklah! Katanya padaku, apa yang ada dalam pikiran anda? - Kupikir, jawabku, aku tidak akan berpikir lagi malam ini. + Ah! Itu! Jawabnya. Oh, jangan begitu! Anda terlalu bersedih! Tuan Castaing dulu ngobrol. Kemudian, setelah diam sejenak: - Aku dulu juga membawa Taun Papavoine. Ia menggunakan topi petnya yang terbuat dari bulu berang-berang dan penghisap cerutunya. Kalau keempat pemuda dari Rochelle itu, mereka hanya bercakap-cakap di antara mereka saja. Tapi mereka bercakap- cakap. Ia lalu diam lagi sejenak, dan kemudian melanjutkan :

81

+ Orang-orang gila ! Orang-orang yang terlalu menggebu semangatnya ! mereka kelihatannya meremehkan semua orang. Kalau Anda, menurutku, anda sangat benar-benar sangat banyak berpikir, Anak muda ! - Anak muda ! kataku kepadanya, aku lebih tua dari Anda. Setiap seperempat jam berlalu, aku menjadi lebih tua setahun. Ia memutar tubuhnya, memandangiku selama beberapa menit dengan rasa heran yang konyol, kemudian tertawa menghina. - Bah ! Anda bercanda ! Lebih tua dariku ! Aku pantas jadi kakekmu. - Aku tidak bercanda, jawabku kepadanya dengan serius.

Tokoh „‟Je‟‟adalah seorang yang melankolis. Hal tersebut diketahui dari penilaian yang di lontarkan oleh pelaksana eksekusi ketika tokoh „‟Je‟‟ mesih berada di dalam kereta dalam perjalanaan menuju gedung Balai Kota. Pelaksana hukuman yang memiliki rasa ingin tahu yang kuat terhadap apa yang sedang menjadi perbincangan orang-orang mencoba mencari informasi dari pendeta yang bersamanya sepanjang perjalanan menuju gedung Balai Kota. Hal tersebut dapat kita lihat dari pertanyaan yang diajukan pelaksana hukuman terhadap pendeta dalam kutipan „‟ + Sans doute, c‟est le cachot; on ne s‟entend pas. Qu‟est-ce que je voulais donc dire ? Faites-moi le plaisir de m‟apprendre ce que je voulais dire, monsieur l‟abbé ? + Ah ! Savez-vous la grande nouvelle de Paris, aujourd‟hui ?„‟

(+ Barangkali karena guncangan kita tidak bisa mendengar. Apa yang ingin kukatakan tadi? Tolong katakana padaku apa yang ingin ku katakan tadi. Pak

Pastor? – Ah! Apa anda tahu berita baru mengenai Paris hari ini?).

Pendeta yang tidak terlalu memperhatikan perkataan pelaksana hukuman, membuat rasa ingin tahunya bertambah besar. Tokoh „‟Je‟‟ yang merasa bahwa dirinyalah yang menjadi pusat perbincangan pada hari itu sengaja membuat rasa penasaran pelaksana hukuman semakin menggebu-gebu dengan mengatakan bahwa

82

dirinya mengetahui apa yang sedang diperbincangkan oleh semua orang pada hari itu seperti yang ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟ - je crois la savoir. „‟ (- Kukira aku tahu). Pelaksana hukuman akhirnya dengan penuh rasa ingin tahu memaksa tokoh „‟Je‟‟ untuk memberitahunya tentang hal tersebut. Namun, tokoh „‟Je‟‟ tidak memberikan jawaban yang diharapkannya, sebaliknya tokoh „‟Je‟‟ menjawab pertanyaan pelaksana hukuman dengan acuh tak acuh. Seperti, ketika pelaksana hukuman bertanya kepada tokoh „‟Je‟‟ apakah pendapatnya tentang berita yang sedang diperbincangkan pada hari tersebut, tokoh „‟Je‟‟ tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya tokoh „‟Je‟‟ mengatakan bahwa pelaksana hukuman adalah seorang melit. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Vous êtes curieux ! Lui ai-je dit. „‟ (Anda melit ! Kataku kepadanya.). Setelah mendengar pernyataan tokoh „‟Je‟‟ dan membela dirinya dengan mengatakan bahwa semua orang memiliki pendapat politiknya masing-masing, pelaksana hukuman kemudian kembali mengajukan pertanyaan yang berbeda kepada tokoh „‟Je‟‟. Ia ingin mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh tokoh „‟Je‟‟, namun untuk kedua kalinya tokoh „‟Je‟‟ menjawab pertanyaannya acuh tak acuh dengan mengatakan bahwa mungkin dirinya tidak akan dapat berpikir lagi pada malam terakhir sebelum pelaksanaan eksekusi seperti dalam kutipan „‟ Je pense, ai-je répondu, que je ne penserai plus ce soir. „‟ (Kupikir, jawabku, aku tidak akan berpikir lagi malam ini). Pelaksana hukuman yang mendengar pernyataan tokoh „‟Je‟‟ tersebut akhirnya berpendapat bahwa tokoh „‟Je‟‟ terlalu bersedih seperti yang terdapat dalam kutipan

„‟Ah ! C‟est cela! A-t-il répliqué. Allons, vous êtes trop triste ! M. Castaing

83

causait.„‟ yang dapat diartikan (Ah! Itu! Jawabnya. Oh, jangan begitu! Anda terlalu bersedih! Tuan Castaing dulu ngobrol).

Selain mengatakan bahwa tokoh „‟Je‟‟ terlalu bersedih, pelaksana hukuman juga menilai bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang yang pemikir. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan „‟ Des fous ! Des enthousiastes ! Ils avaient l‟air de mépriser tout le monde. Pour ce qui est de vous, je vous trouve vraiment bien pensif, jeune homme’’ yang dapat diartikan (Orang-orang gila ! Orang-orang yang terlalu menggebu semangatnya ! Mereka kelihatannya meremehkan semua orang.

Kalau Anda, menurutku, anda sangat benar-benar sangat banyak berpikir,

Anak muda !). Setelah mendengar pernyataan pelaksana hukuman, tokoh „‟Je‟‟ mengulang kata-kata Anak muda ! yang dikatakan oleh pelaksana hukuman tersebut dan kemudian kembali membuat pernyataan bahwa dirinya memiliki umur jauh lebih tua dibanding si pelaksana hukuman. Mendengar pernyataan tersebut, pelaksana hukuman hanya mengatakan bahwa tokoh „‟Je‟‟ hanya bercanda dan tidak serius dengan perkataannya. Hal tersebut disebabkan karena pada kenyataannya pelaksana hukuman lebih tua dibandingkan dengan tokoh „‟je‟‟ seperti yang ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟ Allons, vous voulez rire, plus vieux que moi ! Je serais votre grand-père.„‟ yang dapat diartikan (Ayo, Anda bercanda , lebih tua dariku !

Aku adalah kakekmu).

4.1.2.2 Teknik Tingkah Laku

Terdapat beberapa data yang menunjukkan penokohan tokoh “Je” jika dianalisis dengan menggunakan teknik tingkah laku. Penulis menggambarkan

84

tingkahlaku tokoh „‟Je‟‟ tersebut dalam data ke-13, ke-14, dan data ke-15 pada halaman 89.

(13) LDJDC/II/4 Je me levai ; mes dents claquaient, mes mains tremblaient et savaient où trouver mes vêtements, mes jambes étaient faibles. Au premier pas que je fis, je trébuchai comme un portefaix trop chargé. Cependant je suivis le geôlier.

Aku bangkit, gigiku bergemelatuk, tanganku gemetar dan tidak dapat menemukan pakaianku, kakiku terasa lemas. Begitu melangkah, aku langsung terhuyung-huyung seperti kuli angkut memanggul beban terlalu berat. Namun demikian, tetap kuikuti sipir penjara itu.

Setelah beberapa hari menghadiri persidangan, tokoh „‟Je‟‟ merasa bosan dan letih. Ia tertidur pulas di malam ketiga sejak persidangan pertama dimulai. Tokoh

„‟Je‟‟ terbangun ketika seorang penjaga membangunkannya dengan kasar. Setelah terbangun, ia terlena memandang pantulan sinar matahari yang masuk melewati jendela kecil yang terletak sangat tinggi dan di langit-langit lorong yang terdapat di sebelah selnya. Tokoh „‟Je‟‟ sangat menikmati pemandangan tersebut. Ia sejenak dapat melupakan apa yang sedang dialaminya. Namun hal itu tiba-tiba sirna ketika penjaga mengingatkan bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan dengan mengatakan kepada tokoh „‟Je‟‟ bahwa orang-orang telah menunggu kehadirannya di ruang persidangan.

Setelah mendengar perkataan penjaga, tokoh „‟Je „‟ akhirnya tersadar dan kembali dihantui oleh pikiran-pikiran buruk mengenai suasana persidangan yang begitu mengerikan. Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ kembali muncul setelah sejenak hilang.

Hal tersebut dapat kita lihat dari tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ setelah penjaga mengatakan bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan yang digambarkan

85

penulis dalam kutipan berikut „„Je me levai ; mes dents claquaient, mes mains tremblaient et savaient où trouver mes vêtements, mes jambes étaient faibles. Au premier pas que je fis, je trébuchai comme un portefaix trop chargé „‟ (Aku bangkit, gigiku bergemelatuk, tanganku gemetar dan tidak dapat menemukan pakaianku, kakiku terasa lemas. Begitu melangkah, aku langsung terhuyung- huyung seperti kuli angkut memanggul beban terlalu berat. Namun demikian, tetap kuikuti sipir penjara itu).

Penulis menggunakan klausa-klausa „‟ mes dents claquaient, mes mains tremblaient „‟ (gigiku bergemelatuk, tanganku gemetar) untuk menggambarkan tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ yang sedang merasa takut, dan klausa-klausa „‟ne savaient où trouver mes vêtements, mes jambes étaient faibles. „‟ (tidak dapat menemukan pakaianku, kakiku terasa lemas) untuk menggambarkan dampak dari rasa takut yang dialami tokoh „‟Je‟‟. Ia menjadi linglung dan kakinya menjadi lemas. Selain itu, penulis menggunakan klausa „‟ Au premier pas que je fis, je trébuchai comme un portefaix trop chargé „‟ (Begitu melangkah, aku langsung terhuyung-huyung seperti kuli angkut memanggul beban terlalu berat) untuk menggambarkan tokoh

„‟Je‟‟ yang sangat merasa terbebani setelah menyadari bahwa dirinya akan kembali menghadiri persidangan yang selalu membuatnya merasa ngeri.

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seseorang memiliki ego dan temperamen yang tinggi. Karakter tokoh „‟je‟‟ tersebut membuat dirinya bersikap kekanak-kanakan ketika dirinya dihadapkan dengan situasi yang tidak sesuai dengan harapannya. Hal ini dapat dilihat dalam data ke-14 yang bercetak tebal pada halaman 87.

86

(14) LDJDC/II/8 Tout à coup le président, qui n’attendait que l’avocat, m’invita à me lever. La troupe porta les armes ; comme par un mouvement électrique, toute l’assemblée fut debout au même instant. Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c’était, je pense, le greffier, prit la parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence. Une sueur froide sortit de tous mes membres ; je m’appuyai au mur pour ne pas tomber. -Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l‟application de la peine ? demanda le président. J‟aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais. Le défenseur se leva. Je compris qu‟il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de peine qu‟elle provoquait, l‟autre peine, celle que j‟avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l‟indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l‟helaine me manqua, et je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive : Non ! Le procureur général combattit l‟avocat, et je l‟écoutai avec une satisfaction stupide. Puis les juges sortirent, puis ils rentrèrent, et le prèsident me lut mon arrêt.

Mendadak ketua hakim, yang tadi hanya menunggu datangnya pembelaku, memintaku berdiri. Pasukan melakukan sikap senjata dengan gerakan terputus-putus, seluruh hadirin berdiri pada saat yang sama. Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para juri selama aku tidak berada di sana. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh. -Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim. Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Pembela berdiri. Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan, menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuat saya sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku

87

ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati ! Namun napasku habis, dan aku hanya bias menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Tidak! Jaksa tinggi menyerang balik pembela, dan aku mendengarkanya dengan rasa puas yang tolol. Kemudian para hakim keluar, masuk kembali, dan ketua hakim membacakan putusan hukumanku.

Ketika persidangan akan berakhir, setelah panitera pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman yang telah dijatuhkan kepada tokoh „‟Je‟‟ yaitu hukuman mati, hakim memberikan kesempatan bagi tokoh „‟Je‟‟ dan pengacaranya untuk melakukan pembelaan agar supaya hukuman tokoh „‟Je‟‟ dapat diperingan.

Namun, tokoh „‟Je‟‟ yang masih memendam rasa marah terhadap pengacara hanya terdiam, walaupun pada kenyataannya banyak yang ingin dikatakannya. Tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ tersebut dapat penulis ketahui dari kutipan yaitu „‟J‟aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais.„‟ yang dapat diartikan (Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit).

Penulis menggunakan kalimat „‟ Ma langue resta collée à mon palais „‟

(Lidahku seolah-olah melekat pada langit-langit) untuk menggambarkan keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ mendengar keputusan sementara hakim adalah hukuman mati sehingga ketika Sang hakim memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan pembelaan tokoh „‟Je‟‟ hanya terdiam. Sebaliknya, Sang pengacara mencoba melakukan pembelaan dengan harapan hukuman tokoh „‟Je‟‟ dapat diperingan sesuai dengan apa yang diharapkannya, namun tokoh „‟Je‟‟ yang masih dikuasai oleh rasa dendam dan sakit hati memiliki keinginan untuk menghentikan usaha pembelaan yang dilakukan oleh pengacara. Ia mengatakan bahwa dirinya lebih

88

memilih seratus kali lebih baik mati daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menghentikan usaha pembelaan pengacaranya dengan cara menarik lengannya dan berteriak mengatakan tidak. Tingkah laku tokoh

„‟Je‟‟ ini dapat penulis lihat dari kutipan yaitu ‟‟ Je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive : Non ! „‟ yang dapat diartikan

(Aku tidak bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Tidak!). Selain itu, penulis menggambarkan emosi tokoh „‟Je‟‟ yang tidak terkendali melalui tingkah laku tokoh

„‟Je‟‟ yang tersirat dalam kutipan yaitu „‟ en criant avec une force convulsive :

Non ! „‟ (sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Tidak!).

Pengacara tetap berusaha melakukan pembalaan meski Jaksa tinggi menyerang balik dirinya. Tokoh „‟Je‟‟ yang melihat hal tersebut hanya terdiam dengan rasa puas yang tolol. Hal ini terlihat dalam kutipan „‟ Le procureur général combattit l‟avocat, et je l‟écoutai avec une satisfaction stupide „‟ yang dapat diartikan (Jaksa tinggi menyerang balik pengacara, dan aku mendengarkannya dengan rasa puas yang tolol). Penulis menggunakan kata-kata „‟je l‟écoutai avec une satisfaction stupide„‟ (aku mendengarkanya dengan rasa puas yang tolol).

Kutipan di atas digunakan penulis untuk menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ menyadari bahwa keputusan untuk menghentikan usaha pembelaan yang dilakukan pengacaranya adalah sebuah keputusan yang bodoh walaupun hatinya telah merasa puas karena telah melakukan apa yang diinginkannya. Karakter tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi, dan temperamen yang tinggi tersebutlah yang membuat

89

dirinya bersikap kekanak-kanakan ketika dirinya dihadapkan pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya.

Data ke-15 menggambarkan keterkejutan, ketakutan, dan daya tahan tubuh tokoh „‟Je‟‟ yang lemah sehingga tidak berdaya ketika menyadari bahwa para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup ternyata menyadari keberadaannya.

Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ terkejut dan dirundung rasa takut. Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ semakin bertambah besar ketika melihat para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup tersebut mencoba mendekatinya. Rasa takut yang begitu besar membuat tokoh „‟Je‟‟ mengalami tekanan yang begitu berat dan akhirnya jatuh pingsan. Penulis menggambarkan keterkejutan, rasa takut, dan ketidakberdayaan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dalam kutipan yang bercetak tebal di bawah ini.

(15) LDJDC/XIII/30 Tout à coup, à travers la rêverie profonde où j‟étais tombé, je vis la ronde hurlante s‟arrêter et sa taire. Puis tous les yeux se tournèrent vers la fenêtre que j‟occupais. – Le condamné ! Le condamné ! Crièrent-ils tous en me montrant du doigt ; et les explosions de joie redoublèrent. Je restai pétrifié. J‟ignore d‟où ils me connaissaient et comment ils m‟avaient reconnu. -Bonjour ! Bonsoir ! me crièrent-ils avec leur ricanement atroce. Un des plus jeunes, condamné aux galères perpétuelles, face luisante et plombée, me regarda d‟un air d‟envie en disant : -Il est heureux ! Il sera rogné ! Adieu, camarade ! Je ne puis dire ce qui se passait en moi. J‟étais leur camarade en effet. La Grève et sœur de Toulon. J‟étais même placé plus bas qu‟eux : ils me faisaient honneur, je frissonnai. Oui, leur camarade ! Et quelques jours plus tard, j’aurais pu aussi, moi, être un spectacle pour eux. J‟étais demeuré à la fenêtre, immobile, perclus, paralysé. Mais quand je vis les cinq cordons s’avancer, se ruer vers moi avec des paroles d’une infernal cordialité ; quand j’entendais le tumultueux fracas de leurs chaines, de leurs pas, au pied du mur, il me sembla que cette nuée de démons escaladait ma misérable cellule ; je poussai un cri, je me jetai sur la porte d‟une violence à la briser ; mais pas moyen de fuir. Les

90

verrous étaient tirés en dehors. Je heurtai. J‟appelai avec rage. Puis il me sembla entendre de plus près encore les effrayantes voix des forçats. Je crus voir leur tête hideuse paraître déjà au bord de ma fenêtre, je poussai un second cri d‟angoisse, et je tombai évanoui.

Tiba-tiba, di sela lamunan yang jauh menyeretku, kulihat lingkaran orang yang menari sambil berteriak-teriak itu berhenti dan bungkam. Kemudian semua orang memandang ke arah jendela yang kutempati. –Orang yang dihukum mati ! Orang yang dihukum mati ! Mereka semua berteriak sambil menudingku, dan ledakan gembira menjadi berlipat-lipat ganda lagi. Aku diam terpaku. Aku tidak tahu dari mana mereka mengenaliku dan bagaimana mereka tadi bisa mengenaliku. - Selamat siang ! Selamat sore ! teriak mereka kapadaku dengan tawa konyol yang menyeramkan. Di antara mereka terdapat pemuda yang dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup. Wajahnya berkeringat dan kulitnya hitam legam. Ia memandangiku dengan rasa iri sambil berkata: -Ia bahagia! Ia akan dipangkas! Selamat berpisah kamarad! Aku tidak dapat mengatakan apa yang terjadi pada diriku. Dan memang, aku kamarad mereka. Bunderan Grève merupakan saudara kembar Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah dari mereka: mereka memberi hormat padaku. Aku gemetar. Ya, kamarad mereka! Dan beberapa hari lagi, aku, aku juga bisa menjadi tontonan mereka. Aku diam dijendela, tidak bergerak, terpana, tanpa daya. Tapi, saat kelima renteng orang perantaian itu bergerak maju, menyerbu kearahku dengan kata-kata ramah tamah yang sangat menyiksaku, saat aku mendengar kegaduhan yang kacau balau rantai-rantai mereka, sorak sorai mereka, langkah- langkah mereka dibawah tembok, rasanya rombongan setan ini seperti memanjat menuju selku yang mengenaskan. Aku menjerit keras, kuhempaskan diriku keras-keras ke pintu untuk menjebolnya, tapi tidak ada jalan untuk melarikan diri. Gerandelnya di kancing dari luar. Aku berusaha mendobraknya sambil berteriak marah. Kemudian sepertinya aku mendengar suara-suara pekerja paksa yang menakutkan itu semakin mendekat lagi. Aku rasanya melihat muka-muka mereka yang seram menakutkan muncul di tepi jendelaku, untuk kedua kalinya aku kembali meneriakkan jeritan ketakutan dan aku pingsan.

Tokoh „‟Je‟‟ yang sedang menyaksikan pertunjukan pemasangan rantai para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup sedang melamun ketika menyadari bahwa para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup ternyata mengenali dirinya

91

dan sadar akan keberadaannya. Penulis menggambarkan hal tersebut dalam kutipan

„‟ Tout à coup, à travers la rêverie profonde où j‟étais tombé, je vis la ronde hurlante s‟arrêter et sa taire. Puis tous les yeux se tournèrent vers la fenêtre que j‟occupais. – Le condamné ! Le condamné ! Crièrent-ils tous en me montrant du doigt ; et les explosions de joie redoublèrent.„‟ (Tiba-tiba, di sela lamunan yang jauh menyeretku, kulihat lingkaran orang yang menari sambil berteriak-teriak itu berhenti dan bungkam. Kemudian semua orang memandang ka arah jendela yang kutempati. –Orang yang dihukum mati ! Orang yang dihukum mati ! Mereka semua berteriak sambil menudingku, dan ledakan gembira menjadi berlipat-lipat ganda lagi).

Dari kutipan di atas, penulis mencoba menggambarkan kejadian ketika para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup menyadari keberadaan tokoh „‟Je‟‟.

Para terpidana tersebut merasa sangat senang ketika melihat tokoh „‟Je‟‟ dari kejauhan. Tokoh „‟Je‟‟ yang tidak menyangka hal itu dapat terjadi hanya dapat diam terpaku. Tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ tersebut menunjukkan keterkejutan yang dialaminya disebabkan kejadian tersebut terjadi tiba-tiba dan tidak pernah didugannya sebelumnya. Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ terlihat dari keheranan yang dialaminya seperti yang tergambar dalam kutipan „‟J‟ignore d‟où ils me connaissaient et comment ils m‟avaient reconnu.„‟ (Aku tidak tahu dari mana mereka mengenaliku dan bagaimana mereka tadi bisa mengenaliku). Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa heran dan bingung ketika para terpidana ternyata mengenalinya. Orang-orang itu menyapa tokoh „‟Je‟‟ dengan

92

wajah gembira. Mereka berkomentar tentang tokoh „‟Je‟‟. Melihat perilaku para terpidana hukuman kerja paksa itu membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa takut.

Tokoh „‟Je‟‟ yang melihat tingkah laku dan mendengar komentar para terpidana terhadap dirinya hanya dapat menerima dengan rendah diri. Sifat merendah tokoh „‟Je‟‟ tersirat dalam kutipan „‟Je ne puis dire ce qui se passait en moi. J‟étais leur camarade en effet. La Grève et sœur de Toulon. J‟étais même placé plus bas qu‟eux „‟ (Aku tidak dapat mengatakan apa yang terjadi pada diriku. Dan memang, aku kamarad mereka. Bunderan Grève merupakan saudara kembar

Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah dari mereka). Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang hanya terdiam dan tidak melakukan pembelaan ketika mendengar perkataan para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup. Ia merasa rendah diri dengan mengatakan bahwa dirinya lebih rendah daripada mereka.

Penulis menggunakan kalimat-kalimat „‟ La Grève et sœur de Toulon. J‟étais même placé plus bas qu‟eux. „‟ (Bunderan Grève merupakan saudara kembar

Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah dari mereka) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa rendah diri. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ merasa takut. Ketakutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dalam klausa „‟ je frissonnai „‟ (Aku gemetar). Beberepa saat setelah mengatahui keberadaan tokoh „‟Je‟‟, para terpidana hukuman kerja paksa tersebut kemudian melontarkan kata-kata yang membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa rendah diri. Selain itu, mereka mencoba mendekati tempat di mana tokoh „‟Je‟‟ berada.

Tokoh „‟Je‟‟ yang sedang melamun sangat terkejut melihat hal tersebut.

Tokoh „‟Je‟‟ merasakan ketakutan yang luar biasa setelah melihat tingkah laku para terpidana kerja paksa setelah mengetahui keberadaannya. Ketakutan tokoh

93

„‟Je‟‟ dapat kita lihat dari tingkah laku yang yang ditunjukkannya ketika mengetahui bahwa para terpidana mencoba mendekati tempat di mana dirinya berada. Penulis menunjukkan hal tersebut dengan menggunakan kalimat-kalimat „‟ je poussai un cri, je me jetai sur la porte d‟une violence à la briser ; mais pas moyen de fuir. Les verrous étaient tirés en dehors. Je heurtai. J‟appelai avec rage „‟ (Aku menjerit keras, kuhempaskan diriku keras-keras ke pintu untuk menjebolnya, tapi tidak ada jalan untuk melarikan diri. Gerandelnya di kancing dari luar. Aku berusaha mendobraknya sambil berteriak marah). Kutipan tersebut menggambarkan tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ yang merasa ketakutan ketika dirinya sadar bahwa para terpidana kerja paksa seumur hidup mencoba mendekati tempat dirinya berada. Tokoh „‟Je‟‟ yang ketakutan mencoba menjerit keras, dan mencoba melarikan diri dengan berusah mendobrak pintu yang dikunci dari luar. Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ bertambah besar ketika dirinya merasa para terpidana telah berada sangat dekat dari tempat di mana dirinya berada. Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ yang sangat besar tersebut membuat dirinya akhirnya jatuh pingsan. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan „‟je poussai un second cri d‟angoisse, et je tombai évanoui „‟ (untuk kedua kalinya aku kembali meneriakkan jeritan ketakutan dan aku pingsan).

4.1.2.3 Teknik Pikiran dan Perasaan

Tokoh „‟Je‟‟ selalu dihantui oleh rasa khawatir yang disebabkan oleh pikiran- pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati dan perasaan ngeri yang disebabkan oleh suasana persidangan yang menyeramkan. Namun sesaat sebelum persidangan dimulai, tidak seperti biasanya tokoh „‟Je‟‟ tidak merasa takut

94

menghadapi persidangan. Ia berharap keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya bukan hukuman mati. Penulis menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dalam data ke-16 dan data ke-17 pada halaman 97.

(16) LDJDC/II/6 Les juges, au fond de la salle, avaient l‟air satisfait, probablement de la joie d‟avoir bientôt fini. Le visage du président, doucement éclairé par le reflet d‟une vitre, avait quelque chose de calme et de bon ; et un jeune assesseur causait presque gaiement en chiffonnant son rabat avec une jolie dame en chapeau rose. Placée par faveur derrière lui. Les jurés seuls paraissaient blêmes et abattus, c‟étais apparemment de fatigue d‟avoir veillé toute la nuit. Quelques-uns bâillaient. Rien, dans leur contenance, n‟annonçait des hommes qui viennent de porter une sentence de mort ; et sur les figures de ces bons bourgeois je ne devinais qu‟une grande envie de dormir.

Di ujung ruangan, para hakim tampak puas, barangkali gembira karena sebentar lagi dapat menyelesaikan semua ini. Wajah ketuannya, yang lembut diterangi pantulan sinar sebuah jendela kaca, menunjukkan kekaleman dan kebaikan. Seorang asesor, penguji serta, berbincang hampir dengan gembira sambil mempermaikan kelepak bajunya dengan seorang wanita cantik yang mengenakan topi merah jambu yang mendapat keistimewaan duduk dibelakangnya. Hanya para jurinya saja yang tampak pucat dan lelah, tapi kelelahan itu kelihatannya disebabkan karena mereka begadang semalam. Beberapa diantaranya menguap. Tak satu pun dalam sikapnya menunjukkan bahwa mereka baru saja telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati. Yang dapat kutebak dari wajah orang-orang kaya itu hanyalah keinginan mereka yang sangat besar untuk segera tidur.

Di hari ke tiga persidangan yaitu hari saat di mana hakim akan membacakan keputusan hukuman, tokoh „‟Je‟‟ yang biasanya dihantui oleh rasa khawatir dan rasa ngeri tiba-tiba tidak merasa takut ketika menghadapi kenyataan bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan. Ia mengamati orang-orang yang berada di dalam ruang persidangan dan mengamati suasana di sekitar ruang sidang. Selain itu, tokoh

„‟Je‟‟ mengambarkan sosok para hakim yang berada di ujung ruangan sidang.

95

Mereka tampak merasa puas dan merasa gembira. Kegembiraan tersebut mungkin disebabkan karena akhirnya persidangan akan berakhir. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mengamati wajah ketuaan para hakim yang diterangi oleh pantulan sinar yang berasal dari sebuah jendela kaca menunjukkan ketenangan dan kebaikan. Seorang asesor dengan wajah gembira berbincang sambil mempermainkan kelepak bajunya kepada seorang wanita cantik bertopi merah yang mendapatkan keistimewaan duduk di belakangnya. Hanya para juri saja yang diperhatikan tokoh „‟je‟‟ tampak pucat dan lelah. Menurutnya, mereka lelah dikarenakan mereka telah begadang semalaman.

Setelah melakukan pengamatan terhadap para ahli hukum tersebut, tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan bahwa keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya bukan hukuman mati. Ia berharap keputusan yang akan dijatuhkan kepadanya adalah keputusan yang menggembirakan seperti halnya rawut muka gembira yang terpancar di wajah para ahli hukum tersebut.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Les juges, au fond de la salle, avaient l‟air satisfait, probablement de la joie d‟avoir bientôt fini. Le visage du président, doucement éclairé par le reflet d‟une vitre, avait quelque chose de calme et de bon ; et un jeune assesseur causait presque gaiement en chiffonnant son rabat avec une jolie dame en chapeau rose. Placée par faveur derrière lui. Les jurés seuls paraissaient blêmes et abattus, c‟étais apparemment de fatigue d‟avoir veillé toute la nuit „‟ yang dapat diartikan (Di ujung ruangan, para hakim tampak puas, barangkali gembira karena sebentar lagi dapat menyelesaikan semua ini.

Wajah ketuannya, yang lembut diterangi pantulan sinar sebuah jendela kaca, menunjukkan kekaleman dan kebaikan. Seorang asesor, penguji serta,

96

berbincang hampir dengan gembira sambil mempermaikan kelepak bajunya dengan seorang wanita cantik yang mengenakan topi merah jambu yang mendapat keistimewaan duduk dibelakangnya. Hanya para jurinya saja yang tampak pucat dan lelah, tapi kelelahan itu kelihatannya disebabkan karena mereka begadang semalam. Beberapa diantaranya menguap.) untuk menggambarkan tingkah laku para ahli hukum yang berada di dalam ruang sidang sesaat sebelum persidangan terakhir dimulai.

Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan dirinya dengan cara berpikir bahwa jika diamati dari sikap para ahli hukum tersebut, mereka tidak mungkin telah memutuskan hukuman mati untuknya. Pikiran tokoh „‟Je‟‟ tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Rien, dans leur contenance, n‟annonçait des hommes qui viennent de porter une sentence de mort „‟ (Tak satu pun dalam sikapnya menunjukkan bahwa mereka baru saja telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati) yang menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ terhadap kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya bukanlah hukuman mati.

Dari data berikut penulis juga mengetahui bahwa tokoh „‟Je‟‟ mengamati suasana di sekelilingnya dan kemudian kembali berharap keputusan hukumannya bukanlah hukuman mati. Ia menyakinkan dirinya dengan berkata pada diri sendiri bahwa tidak mungkin keputusan hukuman mati dijatuhkan di hari yang cerah dan seindah itu. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan yang bercetak tebal di bawah ini.

(17) LDJDC/II/6 En face de moi, une fenêtre était toute grande ouverte. J‟entendais rire sur le quai des marchandes de fleurs ; et, au bord de la croisée, une jolie petite plante jaune, toute pénétrée d‟un rayon de soleil, jouait avec le vent dans une fente de la pierre.

97

Comment une idée sinistre aurait-elle pu poindre parmi tant de gracieuses sensations ? Inondé d‟air et de soleil, il me fut impossible de penser à autre chosequ‟à la liberté ; l‟espérance vint rayonner en moi comme le jour autour de moi ; et confiant, j‟attendis ma sentence comme on attend la déliverance et la vie.

Di depanku, sebuah jendela terbuka lebar. Aku mendengar tawa para penjual bunga di pinggir sungai dan, di tepi jendela kaca, sebatang tanaman kuning kecil yang indah bermandikan cahaya matahari, bercanda dengan angin di sela-sela batu. Bagaimana mungkin suatu pikiran yang mencelakakan bisa muncul di antara kelembutan-kelembutan ini ? Dipenuhi udara dan cahaya matahari, aku tidak dapat memikirkan hal lain selain kebebasan. Harapan datang mencerahkan diriku, secerah cuaca saat itu disekelilingku. Dan dengan rasa yakin kutunggu vonisku seperti orang menunggu kelahiran bayi dan kehidupan.

Selain mengamati sikap para ahli hukum, tokoh „‟Je‟‟ juga mengamati keadaan di sekitar ruangan sidang. Setelah mengamati keadaan di sekitarnya yang begitu bersahabat, tokoh „‟Je‟‟ kembali meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak mungkin hakim dan para ahli hukum yang lainnya membuat keputusan hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ secara tidak langsung berharap bahwa kemungkinan keputusan hakim yang akan dijatuhkan kepadanya bukan hukuman mati. Harapan tersebut tersirat di dalam pertanyaan yang diajukan oleh tokoh „‟Je‟‟ terhadap dirinya sendiri berikut „‟Comment une idée sinistre aurait-elle pu poindre parmi tant de gracieuses sensations ?„‟ (Bagaimana mungkin suatu pikiran yang mencelakakan bisa muncul di antara kelembutan-kelembutan ini ?). Penulis menggunakan kata-kata „‟une idée sinistre„‟ (pikiran yang mencelakakan) untuk menggambarkan keputusan hukuman mati.

Dari data ke-18 pada halaman 99, penulis dapat mengetahui bahwa selain tokoh „‟Je‟‟ berharap kemungkinan keputusan hukuman yang mungkin akan dijatuhkan hakim bukanlah hukuman mati, tokoh „‟Je‟‟ juga berharap dirinya dapat

98

bebas. Harapan inilah yang menyebabkan timbulnya konflik batin pada tokoh „‟Je‟‟.

Konflik tersebut timbul ketika adanya harapan baru yang sangat bertolak belakang dengan harapan tokoh „‟Je‟‟. Konflik ini akan penulis bahas pada bab selanjutnya.

(18) LDJDC/II/6 Inondé d’air et de soleil, il me fut impossible de penser à autre chosequ‟à la liberté ; l‟espérance vint rayonner en moi comme le jour autour de moi ; et confiant, j’attendis ma sentence comme on attend la déliverance et la vie.

Dipenuhi udara dan cahaya matahari, aku tidak dapat memikirkan hal lain selain kebebasan. Harapan datang mencerahkan diriku, secerah cuaca saat itu disekelilingku. Dan dengan rasa yakin kutunggu vonisku seperti orang menunggu kelahiran bayi dan kehidupan.

Sesaat sebelum persidangan dimulai, tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan dirinya dapat bebas. Harapan tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ memiliki semangat baru. Tokoh

„‟Je‟‟ yang sebelumnya merasa khawatir akan kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati, akhirnya menunggu keputusan hakim dengan penuh harapan dan keyakinan bahwa dirinya dapat bebas. Hal tersebut dapat kita lihat dari pikiran dan perasaan tokoh „‟Je‟‟ yang terdapat dalam kutipan „‟ il me fut impossible de penser à autre chosequ‟à la liberté ; l‟espérance vint rayonner en moi comme le jour autour de moi ; et confiant „‟ yang dapat diartikan (aku tidak dapat memikirkan hal lain selain kebebasan. Harapan datang mencerahkan diriku, secerah cuaca saat itu disekelilingku). Penulis menggunakan kalimat„‟ il me fut impossible de penser à autre chosequ‟à la liberté „‟ (aku tidak dapat memikirkan hal lain selain kebebasan) untuk menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas, kalimat „‟ l‟espérance vint rayonner en moi „‟ (Harapan datang mencerahkan

99

diriku) untuk menunjukkan dampak timbulnya harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas. Ia menjadi lebih bersemangat menanti hakim membacakan keputusan hukumannya.

Data ke-19 berikut menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa khawatir dan bimbang setelah mengatakan kepada pengacaranya bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati daripada harus mendapatkan hukuman kerja paksa seumur hidup

(sikap tersebut menggambarkan karakter tokoh „‟Je‟‟ yang tidak konsisten atau suka berubah-ubah pikiran). Kebimbangan ini menunjukkan adanya konflik pada tokoh

„‟Je‟‟. Konflik ini terjadi disebabkan adanya pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi balasan. Hal ini akan dibahas pada bab berikutnya.

(19) LDJDC/II/7 Oui, la mort ! –Et d‟ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure, qu‟est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ? Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.

Ya, mati !-Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ? Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin ! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.

Setelah mendengar pernyataan pengacaranya yang mengatakan bahwa dirinya berharap dapat membuat hukuman tokoh „‟Je‟‟ menjadi lebih ringan yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup, tokoh „‟je‟‟ yang tidak dapat menerima hal tersebut tiba- tiba marah. Kerena tidak setuju akan pendapat pengacaranya, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya

100

berdalih dengan mengatakan bahwa dirinya lebih memilih mendapatkan keputusan hukuman mati daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup. Namun setelah mengatakan hal itu, tokoh „‟Je‟‟ merasa bimbang. Kebimbangan tokoh „‟Je‟‟ dapat kita lihat dari kutipan „‟Oui, la mort ! –Et d‟ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure‟‟ yang dapat diartikan (Ya, kematian ! -Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri).

Penulis menggunakan kata „‟Oui, la mort ! „‟ (Ya, kematian !) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba meyakinkan kembali dirinya bahwa hukuman mati adalah pilihannya. Tokoh „‟Je‟‟ merasa khawatir terhadap kata-kata yang telah diucapkannya yaitu bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati. Penulis menggambarkan kekhawatiran tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟ qu‟est-ce que je risque

à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ?

Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil „‟ yang dapat diartikan (Apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ?

Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin !

Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu).

Kutipan di atas menggambarkan perasaan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa khawatir setelah mengatakan bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati daripada harus

101

mendapatkan hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ yang mulai sadar akan rasa khawatir yang dirasakannya, mencoba membuat hatinya tenang dengan mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak merasa khawatir. Ia mencoba menenangkan perasaan takutnya terhadap kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah benar-benar hukuman mati seperti yang telah dikatakannya. Ia mencoba berdalih dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa biasanya hukuman mati hanya dijatuhkan pada tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin. Namun, keputusan hukumannya akan dibacakan di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik. Tokoh „‟Je‟‟ mengatakan pada dirinya sendiri bahwa keputusan hukuman mati tidak mungkin dijatuhkan di hari seindah dan secerah pagi hari tersebut (sikap tokoh

„‟Je‟‟ tersebut menggambarkan karakter yang memiliki pikiran atau keputusan yang tidak konsisten „‟suka berubah-ubah‟‟).

Penulis menggunakan kalimat „‟ Qu‟est-ce que je risque à dire cela ? „‟

(Apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan dirinya yang mulai merasa khawatir terhadap kata-kata yang telah diucapkannya. Selain itu penulis juga menggunakan kata-kata „‟ A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ?

Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil „‟

(Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah

102

penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin !

Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang diam-diam masih memiliki harapan bahwa keputusan hakim bukanlah hukuman mati. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa hukuman mati selalu dijatuhkan pada musim dingin, di tengah malam, di ruang yang gelap dan suram, dan tentunya di malam hari. Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan ketika persidangan tokoh „‟Je‟‟ sedang berlangsung. Karena itulah, tokoh „‟Je‟‟ berharap keputusan hakim bukan hukuman mati.

Data ke-20 di bawah ini menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan dirinya yang merasa takut dan bimbang setelah mendengar keputusan akhir hukumannya. Ia mencoba menyakinkan dirinya untuk menerima keputusan yang telah dijatuhkan hakim kepadanya, walaupun pada kenyataannya untuk memikirkan hal tersebut saja telah membuat dirinya merasa ngeri. Tokoh „‟Je‟‟ lebih mementingkan egonya daripada mengikuti kata hatinya yang takut akan keputusan hukuman mati (menunjukkan karakter tokoh „‟Je‟‟ yang egois).

(20)

LDJDC/III/9 Condamné à mort! Eh bien, pourquoi non ? Les hommes, je me rappelle l‟avoir lu dans je ne sais quel livre où il n‟y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec de sursis indéfinis. Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? Depuis à l‟heure où mon arrêt m‟a été prononcé, combien sont mort qui s‟arrangeaient pour une longue vie ! Combien m‟ont devancé qui.

103

Jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève ! Combien d‟ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré, et qui me devanceront encore ! Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l‟éducation, être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera : voilà à peu près les seuls biens que puisse m‟enlever le bourreau. Ah, n‟importe, c‟est horrible !

Dihukum mati ! Eh, kenapa tidak ?semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di dalam sebuah buku yang judulnya aku lupa dan yang hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ? Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati ! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bundaran Grève telah mendahuluiku ! Dan sampai hal itu terlaksana, berapa lagi barangkali akan mendahuluiku diantara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka. Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ? Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perelakuan dan ucapan kasar yang ditujukan padaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku. Ah, masa bodoh, sangat mengerikan !

Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan dan menghibur dirinya yang merasa ketakutan setelah mendengarkan keputusan akhir hukumannya adalah hukuman mati.

Ia mencoba meyakinkan dirinya untuk pasrah menerima hukuman yang telah dijatuhkan hakim kepadanya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan mengatakan apapun usaha yang akan ditempuhnya untuk memperingan hukumannya,

104

pada akhirnya dirinya akan tetap dihukum mati juga. Upaya tokoh „‟Je‟‟ tersebut digambarkan oleh penulis dalam kutipan „‟Condamné à mort! Eh bien, pourquoi non ? Les hommes, je me rappelle l‟avoir lu dans je ne sais quel livre où il n‟y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec de sursis indéfinis. Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? „‟ (Dihukum kematian !

Eh, kenapa tidak ?semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di dalam sebuah buku yang judulnya aku lupa dan yang hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ?).

Kutipan diatas menggambarkan usaha tokoh „‟Je‟‟ untuk menenangkan hatinya yang terkejut karena ternyata hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati. Ia mencoba menenangkan hati nya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tidak perlu merasa terkejut jika dirinya dijatuhi hukuman mati.

Karena semua terpidana yang melakukan penanguhan saja tetap dijatuhi hukuman mati seperti yang telah dikatakan di dalam buku yang telah dibacanya.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Condamné à mort! „‟ (Dihukum mati !) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang sedang memikirkan hukuman yang dijatuhkan padanya. Kalimat tanya „‟ Eh bien, pourquoi non ? „‟ (Eh, kenapa tidak ?) dan „‟ Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? „‟ (Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan dirinya dengan cara membuat dalih bahwa apapun usaha yang dilakukannya untuk meringankan hukumannya, pada akhirnya dirinya akan

105

dihukum mati juga seperti yang telah dialami para terpidana mati yang telah mendahuluinya.

Selain itu, penulis mencoba menenangkan hatinya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa semua orang memiliki kemungkinan untuk mendapat hukuman mati seperti yang telah dijatuhkan kepada dirinya. Hal tersebut ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟ Depuis à l‟heure où mon arrêt m‟a été prononcé, combien sont mort qui s‟arrangeaient pour une longue vie ! Combien m‟ont devancé qui.

Jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève ! Combien d‟ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré „‟ (Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati ! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bundaran

Grève telah mendahuluiku ! Dan sampai hal itu terlaksana, berapa lagi barangkali akan mendahuluiku diantara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka).

Kutipan di atas menunjukkan upaya tokoh „‟Je‟‟ untuk menenangkan dirinya dari rasa takut terhadap kenyataan bahwa dirinya telah dijatuhi hukuman mati. Ia mencoba mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa semua orang memiliki kemungkinan untuk dijatuhi hukuman mati. Menurut tokoh „‟Je‟‟ sejak keputusan hukumannya dijatuhkan, beberapa orang terpidana hukuman mati yang berupaya berumur panjang telah mati mendahuluinya. Selain itu, menurutnya beberapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalanya menggelinding suatu hari

106

nanti di bundaran Grêve, bisa saja beberapa saat kemudian mendapatkan hukuman mati dan akhirnya mendahului dirinya.

Selain mencoba meyakinkan dirinya bahwa apapun cara yang akan ditempuhnya, dirinya akan tetap dihukum mati, tokoh „‟Je‟‟ juga mencoba meyakinkan dirinya bahwa keadaan yang dialaminya di dalam penjara tidak lebih baik dibanding hukuman mati. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l‟éducation, être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera : voilà à peu près les seuls biens que puisse m‟enlever le bourreau „‟

(Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ? Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang- orang yang dirantai, perelakuan dan ucapan kasar yang ditujukan padaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku).

Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan pikirannya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tidak ada alasan yang harus membuatnya menyesal karena tidak melakukan pembelaan dengan harapan

107

keputusan hakim dapat diperingan menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Ia mencoba membela dirinya dengan mengatakan bahwa jika seandainya dirinya dihukum mati, dirinya hanya mengorbankan sisa hidupnya yang megitu mengerikan di penjara. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa hanya kehidupan di dalam penjara yang begitu mengerikanlah yang dapat diambil oleh algojo darinya.

Penulis menggunakan kalimat tanya „‟ Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? „‟ (Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan hatinya dengan bertanya kepada dirinya sendiri bahwa apa yang tersisa dari hidupnya yang dapat membuatnya menyesal kerena mendapatkan hukuman mati dan bukan hukuman kerja paksa seumur hidup. Selain itu, penulis juga menggunakan kata-kata

„‟ En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l‟éducation,

être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera „‟ (Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perlakuan dan ucapan kasar yang ditujukan padaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku) untuk menggambarkan suasana mengerikan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ di dalam penjara.

108

Tokoh „‟Je‟‟ mengatakan kepada dirinya bahwa hari-hari yang suram di ruang tahanan, makanan yang tidak layak yang selalu dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perkataan kasar yang selalu ditujukan kepadanya, perlakuan para penjaga yang kurangajar kepadanya, tidak ada lagi orang-orang yang menganggap dirinya manusia, dan selain itu kehidupan yang tidak lagi merasa tenang karena selalu saja dihantui oleh pikiran-pikiran buruk sajalah yang dapat diambil oleh algojo darinya.

Meskipun tokoh „‟Je‟‟ melakukan hal tersebut di atas, pada kenyataannya dengan memikirkan hal tersebut saja sudah membuat dirinya sangat merasa ketakutan.

Ketakutan tokoh „‟Je‟‟ tersebut ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟Ah, n‟importe, c‟est horrible„‟ (Ah, masa bodoh, itu sangat mengerikan !).

Dari data berikut menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa bingung setelah mendapatkan alat tulis yang sengaja dimintanya kepada penjaga. Namun, setelah beberapa saat merasa bingung, dirinya akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah tulisan mengenai penderitaan yang dialaminya selama berada di dalam penjara.

Tokoh „‟Je‟‟ berharap dirinya dapat menghabiskan waktunya dengan menulis, selain itu ia berharap kegiatan tersebut dapat mengurangi rasa was-was yang selalu mengganggunya (hal tersebut menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang yang berpendidikan yang memiliki karakter suka berpikir). Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan yang bercetak tebal pada data ke 21.

(21) LDJDC/VI/13 Je me suis dit : -Puisque j‟ai le moyen d‟écrire, pourquoi ne le ferais-je pas ? Mais quoi écrire ? Pris entre quatre murailles de pierre nue et froide, sans liberté pour mes pas, sans horizon pour mes yeux, pour unique distraction machinalement occupé tout le jour à suivre la marche lente de ce carré blanchâtre que le judas de ma porte découpe vis-à-vis sur le

109

mur sombre, et comme je le disais tout à l‟heure, seul à seul avec une idée, une idée de crime et de châtiment, de meurtre et mort ! Est-ce que je puis avoir quelque chose à dire, moi qui n‟ai plus rien à faire dans ce monde ? Et trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d‟être écrit ? Pourquoi non? Si tout, autour de moi, est monotone et décoloré, n‟y a- t-il pas en moi une tempête. Une lutte, une tragédie ? Cette idée fixe qui me possède ne se présente-t-elle pas à moi à chaque heure, à chaque instant, sous une nouvelle forme, toujours plus hideuse et plus ensanglantée à mesure que le terme approche ? Pourquoi n‟essaierais- je pas de ma dire à moi-même tout ce que j‟éprouve de violent et d‟inconnu dans la situation abandonnée où me voilà ? Certes, la matière est riche ; et, si abrégée que soit ma vie, il y aura bien encore dans les angoisses, dans les terreurs, dans les tortures qui la rempliront, de cette heure à la dernière, de quoi user cette plume et tarir cet encrier. –D‟ailleurs, ces angoisses, le seul moyen d‟en moins souffrir, c‟est de les observer, et les peindre m‟en distraira.

Aku berkata pada diriku sendiri : -Sekarang semua keperluan menulis sudah tersedia, kenapa aku tidak melakukannya. Tapi apa yang akan kutulis? Terkungkung diantara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apapun, tanpa kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bias kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel san membentuk persegi keputih-putihan yang merayap pelahan ditembok suram di hadapannya dan, seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan satu pikiran, pikiran tentang kejahatan dan hukuman, pembunuhan dan kematian! Adakah kata yang bias dikatakan orang yang tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dilakukan di dunia ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini? Kenapa tidak ? Meski semua yang berada di sekelilingku menoton dan tidak berwarna, bukankah didalam diriku terjadi badai, pergulatan dan tragedi ? Pikiran yang slalu sama, yang menguasai diriku saat ini, tidakkah ia menampakkan dirinya terus kepadaku dalam bentuk yang selalu berubah, menjadi semakin mengerikan dan semakin berlumuran darah seiring semakin dekatnya waktu yang telah ditentukan ? Kenapa aku tidak mencoba mengatakan pada diriku sendiri mengenai semua yang kurasa kejam dan asing di dalam keadaan tertelantar ini, dimana aku berada sekarang ? pasti banyak bahan, dan sesingkat apapun hidupku, pasti masih akan ada sesuatu di dalam kekhawatiran, ketakutan, dan siksaan, yang akan mengisi hidupku ini, dari sekarang hingga akhir, yang akan mengusangkan bulu-bulu pena dan mengeringkan botol tinta. – Selain itu, satu-satunya cara untuk mengurangi rasa was-was ini

110

adalah dengan mengamatinya. Melukiskannya akan membuatku melupakannya.

Tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang penulis. Hal ini terlihat dalam kutipan yang menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang sengaja meminta alat tulis kepada penjaga untuk keperluannya menulis. Namun, setelah mendapatkan alat tulis tersebut dirinya menjadi bingung. Ia bingung ketika memikirkan apa yang harus ditulisnya.

Kebingungan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ tersebut tergambar dari kata-kata yang dilontarkannya kepada dirinya sendiri dalam kutipan „‟ Je me suis dit : -Puisque j‟ai le moyen d‟écrire, pourquoi ne le ferais-je pas ? Mais quoi écrire ? Pris entre quatre murailles de pierre nue et froide, sans liberté pour mes pas, sans horizon pour mes yeux, pour unique distraction machinalement occupé tout le jour à suivre la marche lente de ce carré blanchâtre que le judas de ma porte découpe vis-

à-vis sur le mur sombre, et comme je le disais tout à l‟heure, seul à seul avec une idée, une idée de crime et de châtiment, de meurtre et mort ! Est-ce que je puis avoir quelque chose à dire, moi qui n‟ai plus rien à faire dans ce monde ? Et trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d‟être écrit ? „‟ yang dapat diartikan (Aku berkata pada diriku sendiri : -Sekarang semua keperluan menulis sudah tersedia, kenapa aku tidak melakukannya ? Tapi apa yang akan kutulis? Terkungkung diantara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apapun, tanpa kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bisa kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel yang membentuk persegi keputih-putihan yang merayap pelahan ditembok suram di hadapannya dan, seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan satu pikiran,

111

pikiran tentang kejahatan dan hukuman, pembunuhan dan kematian! Adakah kata yang bisa dikatakan orang yang tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dilakukan di dunia ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini?).

Kutipan di atas menunjukkan kebingungan tokoh „‟Je‟‟ setelah menerima alat tulis yang sengaja dimintanya kepada penjaga. Ia merasa bingung dengan apa yang harus ditulisnya. Ia terpenjara di dalam sebuah sel dan terpanjara dalam sebuah pikiran yang menakutkan tentang hukuman mati. Ia tidak memiliki kebebasan untuk berpikir dan melakukan sesuatu. Tokoh „‟Je‟‟ merasa bahwa di dalam dirinya tidak memiliki lagi sesuatu yang berharga.

Penulis menggunakan pertanyaan „‟Je me suis dit : -Puisque j‟ai le moyen d‟écrire, pourquoi ne le ferais-je pas ?„‟ (Aku berkata pada diriku sendiri : -Oleh karena aku telah memiliki sarana, kenapa aku tidak melakukannya ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba mengingatkan dirinya untuk memulai menulis setelah peralatan tulis yang dibutuhkannya telah tersedia. Namun, tokoh

„‟Je‟‟ yang merasa tidak lagi memiliki kebebasan dan selalu dihantui oleh pikiran buruk tentang hukuman mati merasa kebingungan memutuskan tema apa yang harus ditulisnya. Penulis menggunakan kalimat tanya „‟ Mais quoi écrire ?‟‟ (Tapi menulis tentang apa ?) untuk menggambarkan kebingungan tokoh „‟Je‟‟ tentang tema apa yang harus ditulisnya.

Selain itu, penulis menggunakan kata-kata „‟Pris entre quatre murailles de pierre nue et froide, sans liberté pour mes pas, sans horizon pour mes yeux, pour unique distraction machinalement occupé tout le jour à suivre la marche lente de

112

ce carré blanchâtre que le judas de ma porte découpe vis-à-vis sur le mur sombre, et comme je le disais tout à l‟heure, seul à seul avec une idée, une idée de crime et de châtiment, de meurtre et mort ! Est-ce que je puis avoir quelque chose à dire, moi qui n‟ai plus rien à faire dans ce monde ? Et trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d‟être écrit ?„‟ (Terkungkung diantara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apapun, tanpa kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bias kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel san membentuk persegi keputih-putihan yang merayap pelahan ditembok suram di hadapannya dan, seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan satu pikiran, pikiran tentang kejahatan dan hukuman, pembunuhan dan kematian! Adakah kata yang bisa dikatakan orang yang tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dilakukan di dunia ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa dirinya tidak lagi memiliki kebebasan dan selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang pelaksanaan hukuman mati sehingga membuat dirinya merasa tidak memiliki sesuatu yang dapat diceritakan.

Setelah beberapa saat berpikir tentang apa yang harus ditulisnya, tokoh

„‟Je‟‟ akhirnya memutuskan untuk menulis catatan harian tentang penderitaannya. Ia berharap dengan menceritakan pengalamannya dapat mengurangi rasa was-was yang selalu dirasakannya. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan yaitu „‟ Pourquoi non? Si tout, autour de moi, est monotone et décoloré, n‟y a-t-il pas en moi une tempête.

113

Une lutte, une tragédie ? Cette idée fixe qui me possède ne se présente-t-elle pas à moi à chaque heure, à chaque instant, sous une nouvelle forme, toujours plus hideuse et plus ensanglantée à mesure que le terme approche ? Pourquoi n‟essaierais-je pas de ma dire à moi-même tout ce que j‟éprouve de violent et d‟inconnu dans la situation abandonnée où me voilà ? Certes, la matière est riche ; et, si abrégée que soit ma vie, il y aura bien encore dans les angoisses, dans les terreurs, dans les tortures qui la rempliront, de cette heure à la dernière, de quoi user cette plume et tarir cet encrier. –D‟ailleurs, ces angoisses, le seul moyen d‟en moins souffrir, c‟est de les observer, et les peindre m‟en distraira „‟ yang dapat diartikan (Kenapa tidak ? Meski semua yang berada di sekelilingku menoton dan tidak berwarna, bukankah didalam diriku terjadi badai, pergulatan dan tragedi ? Pikiran yang selalu sama, yang menguasai diriku saat ini, tidakkah ia menampakkan dirinya terus kepadaku dalam bentuk yang selalu berubah, menjadi semakin mengerikan dan semakin berlumuran darah seiring semakin dekatnya waktu yang telah ditentukan ? Kenapa aku tidak mencoba mengatakan pada diriku sendiri mengenai semua yang kurasa kejam dan asing di dalam keadaan tertelantar ini, dimana aku berada sekarang ? pasti banyak bahan, dan sesingkat apapun hidupku, pasti masih akan ada sesuatu di dalam kekhawatiran, ketakutan, dan siksaan, yang akan mengisi hidupku ini, dari sekarang hingga akhir, yang akan mengusangkan bulu-bulu pena dan mengeringkan botol tinta. –Selain itu, satu-satunya cara untuk mengurangi rasa was-was ini adalah dengan mengamatinya. Melukiskannya akan membuatku melupakannya).

114

Kutipan yang bercetak tebal padhalaman 114 menggambarkan pergolakan batin tokoh „‟Je‟‟ yang mendukung tokoh „‟Je‟‟ untuk membuat tulisan. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri untuk membuat tulisan yang menceritakan pergolakan batin yang sedang dialaminya, menceritakan segala penyiksaan yang dialaminya, dan menceritakan tempat di mana dirinya dipenjara sebelum pelaksanaan hukuman. Tokoh „‟Je‟‟ berharap dengan menceritakan kembali apa yang dialaminya dapat membuat tokoh „‟Je‟‟ melupakan hal tersebut.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Pourquoi non? Si tout, autour de moi, est monotone et décoloré, n‟y a-t-il pas en moi une tempête. Une lutte, une tragédie ?

Cette idée fixe qui me possède ne se présente-t-elle pas à moi à chaque heure, à chaque instant, sous une nouvelle forme, toujours plus hideuse et plus ensanglantée à mesure que le terme approche ? „‟ (Kenapa tidak ? Meski semua yang berada di sekelilingku menoton dan tidak berwarna, bukankah didalam diriku terjadi badai, pergulatan dan tragedi ? Pikiran yang selalu sama, yang menguasai diriku saat ini, tidakkah ia menampakkan dirinya terus kepadaku dalam bentuk yang selalu berubah, menjadi semakin mengerikan dan semakin berlumuran darah seiring semakin dekatnya waktu yang telah ditentukan ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang tiba-tiba memiliki pemikiran untuk menulis tentang konflik batin yan dialaminya yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk tentang pelaksanaan hukuman mati yang semakin hari semakin menyiksanya. Ia berharap dengan melukiskan dan menceritakan penderitaan yang dialaminya di penjara dapat membuatnya melupakan hal tersebut. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan „‟ –D‟ailleurs, ces angoisses, le seul moyen d‟en moins

115

souffrir, c‟est de les observer, et les peindre m‟en distraira‟‟ (– Lagipula, ketakutan, satu-satunya sarana mengurangi rasa sakit adalah dengan mengamatinya, dan melukiskannya membuatku senang).

Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ berharap catatan harian tentang penderitaannya kelak dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para hakim yang telah menjatuhkan keputusan hukuman mati tanpa memikirkan penderitaan yang dialami oleh terpidana sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan yang bercetak tebal pada data ke-22 dibawah ini.

(22) LDJDC/VI/14 Ces feuilles les détromperont. Publiées peut-être un jour, elles arrêteront quelques moments leur esprit sur les souffrances de l‟esprit ; car ce sont celles-là qu‟ils ne soupçonnent pas. Ils sont triomphants de pouvoir tuer sans presque faire souffrir le corps. Hé ! C‟est bien de cela qu‟il s‟agit ! Qu‟est-ce que la douleur physique près de la douleur morale ! Horreur et pitié, des lois faites ainsi ! Un jour viendra, et peut-être ces mémoires, derniers confidents d‟un misérable, y auront- ils contribué…

Lembaran-lembaran ini akan menyadarkan mereka atas kekeliruanya. Barangkali diterbitkan suatu hari nanti, tulisan ini akan membuat mereka berpikir sejenak mengenai penderitaan pikiran, sebab itu yang tidak mereka perhitungkan. Mereka merasa hebat bisa membunuh tanpa membuat tubuh menderita. Hey, ini justru mengenai masalah itu ! Apa arti penderitaan fisik dibanding penderitaan moral ! Menakutkan dan memelas, hukum dibuat sedemikian ini ! Suatu hari akan tiba, dan mungkin memoar ini, curahan isi hati terakhir seorang malang, ikut andil disana…

Tokoh „‟Je‟‟ berharap catatan harian tentang penderitaannya, jam demi jam, menit demi menit, dan siksaan demi siksaan yang tidak mungkin terselesaikan olehnya itu, suatu saat dapat menjadi bahan pelajaran bagi mereka yang dengan mudah menjatuhkan hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ berharap suatu saat setelah membaca catatan itu, para hakim dapat mengerti seperti apa penderitaan fisik

116

maupun batin yang dialami oleh setiap terpidana hukuman mati sehingga mereka tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ berharap para pengambil keputusan itu menyadari kekeliruan yang telah mereka buat. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan yaitu „‟ Ces feuilles les détromperont.

Publiées peut-être un jour, elles arrêteront quelques moments leur esprit sur les souffrances de l‟esprit ; car ce sont celles-là qu‟ils ne soupçonnent pas. „‟ yang dapat diartikan (Lembaran-lembaran ini akan menyadarkan mereka atas kekeliruanya. Barangkali diterbitkan suatu hari nanti, tulisan ini akan membuat mereka berpikir sejenak mengenai penderitaan pikiran, sebab itu yang tidak mereka perhitungkan).

Kutipan di atas menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ agar suatu hari nanti tulisan tentang perasaan yang dialaminya selama dalam penjara hingga akhirnya dirinya dieksekusi dapat menyadarkan para akhli hukum yang telah memutuskan menjatuhkan hukuman mati. Ia berharap setelah membaca tulisannya suatu hari nanti para ahli hukum dapat tersadar bahwa penderitaan yang sebenarnya dialami para terpidana hukuman mati adalah penderitaan pikiran.

Data berikut menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa keputusan hukuman mati tidak adil bagi keluarganya. Selain mendapatkan keputusan hukuman mati, tokoh „‟Je‟‟ diwajibkan membayar biaya pengadilan yang sangat mahal. Ia memiliki seorang ibu, seorang istri dan seorang putri yang masih berumur tiga tahun yang masih menjadi tanggungjawabnya. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan putrinya yang masih kecil dan belum mengerti apa-apa (hal tersebut menggambarkan karakter

117

penyayang dan karakter tokoh „‟Je‟‟ yang suka berpikir sehingga merasa tidak adil).

Hal tersebut dapat dilihat dalam data ke-23 dibawah ini.

(23) LDJDC/IX/17 Je viens de faire mon testament. A quoi bon ? Je suis condamné aux frais, et tout ce que j‟ai y suffira à peine. La guillotine, c‟est fort cher. Je laisse une mère, je laisse une femme, je laisse un enfant. Une petite fille de trois ans, douce, rose, frêle, avec de grands yeux noirs et longs cheveux châtains. Elle avait deux ans et un mois quand je l‟ai vu pour la dernière fois. Ainsi, après ma mort, trois femmes, sans fils, sans mari, sans père ; trois orphelines de différente espèce ; trois veuves du fait de la loi. J‟admets que je sois justement puni ; ces innocentés, qu‟on-elle fait ? N‟importe ; on les déshonore, on le ruine. C‟est la justice. C‟est n‟est pas que ma pauvre vieille mère m‟inquiète; elle a soixante- quatre ans, elle maurra de coup. Ou si elle va quelques jours encore, pourvu que jusqu‟au dernier moment elle ait un peu de cendre chaude dans sa chaufferent, elle ne dira rien. Ma femme ne m‟inquitète pas non plus ; elle est déjà d‟une mauvaise santé et d‟un esprit faible. Elle mourra aussi. A moins qu‟elle ne devienne folle. On dit que cela fait vivre ; mais du moins, l‟intelligence ne souffre pas ; elle dort, elle est comme morte. Mais ma fille, mon enfant, ma pauvre petite Marir, qui rit, qui joue, qui chante à cette heure et ne pense à rien, c‟est celle-là qui me fait mal !

Aku baru saja membuat surat wasiat. Apa gunanya ? Aku dihukum dan diharuskan membayar biaya pengadilan, dan semua yang kupunyai hampir tidak cukup untuk membayarnya. Guillotine itu sangat mahal. Aku meninggalkan seorang ibu, aku meninggalkan seorang istri, aku meninggalkan seorang anak. Seorang gadis cilik berumur tiga tahun, lembut, merah jambu, lemah, bermata hitam dan berambut panjang berwarna kecoklat- coklatan.Umurnya dua tahun satu bulan ketika aku melihatnya terakhir kali. Jadi, setelah aku mati, ada tiga wanita tanpa anak, tanpa suami, tanpa ayah. Ada tiga yatim dari jenis yang berbeda, tiga janda karena hukum. Kuterima bahwa hukuman yang dijatuhkan padaku memang setimpal, tapi ketiga orang yang tidak bersalah ini, apa yang telah mereka lakukan ? Itu tidak penting. Mereka telah dipermalukan, mereka telah hancur. Itulah keadilan.

118

Bukan ibuku, yang sudah lanjut usianya, yang kukhawatirkan. Usia ibuku enam puluh empat tahun dan ia akan meninggal karena semua ini. Dan seandainya ia biasa bertahan beberapa hari lagi, asal hingga akhir hayatnya ia mempunyai sedikit abu hangat dalam pemanas kakinya, ia tidak akan berkata apapun. Istriku juga tidak membuatku khawatir : kesehatannya sudah buruk dan pikirannya memang lemah. Ia akan meninggal juga. Kecuali ia menjadi gila. Orang berkata bahwa itu membuat orang hidup, tapi setidak-tidaknya, daya pikirnya tidak menderita, daya pikirnya tidur, seperti mati. Tapi putriku, anakku, Marie, gadis kecilku yang malang, yang tertawa, yang bermain, yang bernyayi saat ini dan yang tidak memikirkan apa pun, ialah yang membuatku sedih!

Setelah keputusan akhir hakim diumumkan yaitu keputusan hukuman mati, tokoh „‟Je‟‟ dibawa ke Bicêtre. Ia telah berada di sana selama kurang lebih lima minggu ketika dirinya diharuskan membuat sebuah surat wasiat. Setelah membuat hal tersebut, tokoh „‟Je‟‟ merasa heran. Rasa heran tokoh „‟Je‟‟ tersirat dalam pertanyaan yang dilontarkannya kepada dirinya sendiri setelah membuat surat wasiat tersebut yaitu (Apa gunanya ? Ia telah mendapatkan hukuman mati kenapa ia diharuskan membayar biaya pengadilan yang sangat mahal sehingga untuk membayarnya, meski ia telah menggunakan semua yang ia punyai hampir tidak cukup. Guillotine itu sangat mahal. Kutipan di atas menggambarkan tokoh

„‟Je‟‟ yang merasa tidak adil dengan adanya ketentuan membayar biaya pengadilan.

Selain itu, biaya yang harus dibayarnya sangat mahal sehingga meski tokoh „‟Je‟‟ telah menggunakan semua harta yang dimilikinya masih tidak cukup untuk membayar biaya tersebut.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Je suis condamné aux frais, et tout ce que j‟ai y suffira à peine. La guillotine, c‟est fort cher‟‟ yang dapat diartikan (Aku dihukum dan diharuskan membayar biaya pengadilan, dan semua yang

119

kupunyai hampir tidak cukup untuk membayarnya. Guillotine itu sangat mahal) untuk menggambarkan mahalnya biaya pengadilan dan keharusan membayar guillotine yang akan digunakan untuk mengeksekusi tokoh „‟Je‟‟. Tokoh „‟Je‟‟ merasa hal itu tidak adil bagi keluarga yang akan ditinggalkannya setelah dirinya dieksekusi. Penulis menggunakan kutipan „‟ Je laisse une mère, je laisse une femme, je laisse un enfant „‟ (Aku meninggalkan seorang ibu, aku meninggalkan seorang istri, aku meninggalkan seorang anak) untuk menggambarkan keluhan tokoh „‟Je‟‟ terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memikirkan nasib keluarga yang akan ditinggalkan tokoh „‟Je‟‟ setelah dirinya dieksekusi. Ia masih memiliki keluarga yang masih menjadi tanggungjawabnya.

Penulis menggunakan kutipan „‟ Une petite fille de trois ans, douce, rose, frêle, avec de grands yeux noirs et longs cheveux châtains. Elle avait deux ans et un mois quand je l‟ai vu pour la dernière fois. Ainsi, après ma mort, trois femmes, sans fils, sans mari, sans père ; trois orphelines de différente espèce ; trois veuves du fait de la loi „‟ yang dapat diartikan (Seorang gadis cilik berumur tiga tahun, lembut, merah jambu, lemah, bermata hitam dan berambut panjang berwarna kecoklat-coklatan.Umurnya dua tahun satu bulan ketika aku melihatnya terakhir kali. Jadi, setelah aku mati, ada tiga wanita tanpa anak, tanpa suami, tanpa ayah. Ada tiga yatim dari jenis yang berbeda, tiga janda karena hukum) bertujuan untuk menggambarkan betapa besar tanggungjawab yang tokoh „‟Je‟‟ tinggalkan setelah dirinya meninggal. Terutama putrinya yang masih sangat kecil yang masih sangat membutuhkan dirinya. Tokoh „‟Je‟‟ merasa hukuman yang

120

dijatuhkan padanya sangat tidak adil bagi keluarga yang ia tinggalkan. Mereka tidak hanya telah dipermalukan, mereka juga telah hancur.

Perasaan tidak adil tokoh „‟Je‟‟ atas keputusan hukumannya terhadap keluarga yang ditinggalkannya dapat diketahui penulis dari kata-kata yang dilontarkan tokoh „‟Je‟‟ terhadap dirinya sendiri dalam kutipan yaitu „‟ Kuterima bahwa hukuman yang dijatuhkan padaku memang setimpal, tapi ketiga orang yang tidak bersalah ini, apa yang telah mereka lakukan ? Itu tidak penting.

Mereka telah dipermalukan, mereka telah hancur. Itulah keadilan‟‟.

Selain merasa bahwa peraturan tidak adil terhadap keluarganya, tokoh „‟Je‟‟ merasa khawatir ketika mengingat putri kecilnya yang masih berumur tiga tahun.

Tokoh „‟Je‟‟ merasa bahwa Marie adalah satu-satunya orang yang masih sangat membutuhkannya. Ia merasa sedih ketika mengingat putri kecilnya yang belum mengerti apa-apa harus kehilangan sosok yang sangat dibutuhkannya. Kesedihan tokoh „‟Je‟‟ ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟Mais ma fille, mon enfant, ma pauvre petite Marir, qui rit, qui joue, qui chante à cette heure et ne pense à rien, c‟est celle-là qui me fait mal !„‟ (Tapi putriku, anakku, Marie, gadis kecilku yang malang, yang tertawa, yang bermain, yang bernyayi saat ini dan yang tidak memikirkan apa pun, ialah yang membuatku sedih!).

Data ke-24 dan ke-25 pada halaman 123 menunjukkan keinginan dan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk melarikan diri dari penjara Bicêtre. Hal tersebut disebabkan oleh rasa takut tokoh „‟Je‟‟ yang semakin lama semakin bertambah besar (karakter penakut). Keinginan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dapat kita lihat dalam data yang bercetak tebal pada halaman 122.

121

(24) LDJDC/XV/37 Depuis que je suis sorti de l‟infirmerie, il m‟est venu une idée poignant, une idée à me rendre fou, c‟est que j‟aurais peut peut-être pu m‟évader si l‟on m‟y avait laissé. Ces médecins, ces sœurs de charité, semblaient prendre intérêt à moi. Mourir si jeune et d’un telle mort ! On eût dit qu’ils me plaignaient, tant ils étaient empressés autour de mon chevet. Bah ! Curiosité ! Et puis, ces gens qui guérissent vous guérissent bien d’une fièvre, mais non d’une sentence de mort. Et pourtant cela leur serait si facile ! Une porte ouverte ! Qu’est-ce que cela leur ferait ?

Sejak aku keluar dari balai pengobatan, terbesit dalam pikiranku sebuah gagasan yang menyayat hati, sebuah gagasan yang membuatku gila, yaitu bahwa saat itu sebenarnya aku bisa melarikan diri jika orang membiarkanku. Dokter-dokter, para suster yang pemurah dan penyayang, tampaknya memperhatikanku. Mati dalam sedemikian muda dan melalui kematian yang sedemikian rupa! Dapat dikatakan bahwa mereka menaruh belas kasihan padaku, karena mereka dengan penuh perhatian sibuk disisi ranjangku. Ah, hanya sekedar rasa ingin tahu saja! Lagi pula orang-orang itu hanya menyembuhkanmu dari demam, dan bukan dari hukuman mati. Padahal itu sedemikian mudahnya bagi mereka! Apa rugi mereka?

Setelah terbangun dari pingsannya, tokoh „‟Je‟‟ istirahat semalam di balai pengobatan. Setelah keesokan harinya, ia akhirnya kembali ke sel. Setelah kembali dari balai pengobatan, tokoh „‟Je‟‟ mulai berpikir untuk mencari cara agar dirinya dapat menghindari hukuman mati yang telah dijatuhkan hakim kepadanya. Ia memiliki pikiran untuk melarikan diri dari penjara. Hal tersebut ditunjukkan oleh penulis dalam kutipan „‟ Depuis que je suis sorti de l‟infirmerie, il m‟est venu une idée poignant, une idée à me rendre fou, c‟est que j‟aurais peut peut-être pu m‟évader si l‟on m‟y avait laissé „‟ (Sejak aku keluar dari balai pengobatan, terbesit dalam pikiranku sebuah gagasan yang menyayat hati, sebuah gagasan yang membuatku gila, yaitu bahwa saat itu sebenarnya aku bisa melarikan diri jika orang membiarkanku).

122

Kutipan pada halaman 122 menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mulai memikirkan cara lain agar dirinya dapat menghindari pelaksanaan hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya yaitu dengan melarikan diri dari penjara. Pikiran tersebut mulai timbul setelah tokoh „‟Je‟‟ keluar dari balai pengobatan setelah akhirnya dirinya siuman dari pingsan. Ia menyesal karena tidak dapat memanfaatkan situasi ketika dirinya berada di balai pengobatan untuk melarikan diri.

Harapan dan keinginan tokoh „‟Je‟‟ untuk melarikan diri dari penjara selain dapat dilihat dalam kutipan di atas, juga dapat dilihat dari angan-angan tokoh „‟Je‟‟ yang tergambar dalam data ke-25 di bawah ini.

(25) LDJDC/XVII/41 Oh! Si je m‟évadais, comme je courrais à travers champs ! Non, il ne faudrait pas courir. Cela fait regarder et soupçonne. Au contraire, marcher lentement, tête levée, en chantant. Tâcher d‟avoir quelque vieux sarrau bleu à dessins rouge. Cela déguise bien. Tous les maraîchers des environs en portent.

Oh, seandainya aku melarika diri, betapa aku akan berlari melintasi ladang-ladang ! Tidak, jangan lari. Itu akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Sebaliknya, aku berjalan pelan-pelan, kepala tegak, sambil bernyayi. Aku harus berusaha mendapatkan pekaian kerja yang sudah lama dipakai, berwarna biru dengan gambar-gambar merah. Itu merupakan penyamaran yang bagus. Semua petani sayuran di sekitar sini memakainnya.

Setelah satu malam berada di balai pengobatan dan akhirnya kembali ke sel, tokoh „‟Je‟‟ mengisi waktunya dengan berangan-angan. Tokoh „‟Je‟‟ berangan-angan jika seandainya dirinya dapat melarikan diri dari penjara. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Oh! Si je m‟évadais, comme je courrais à travers champs ! Non, il ne faudrait pas courir. Cela fait regarder et soupçonne. Au contraire, marcher lentement, tête levée, en chantant. Tâcher d‟avoir quelque

123

vieux sarrau bleu à dessins rouge. Cela déguise bien. Tous les maraîchers des environs en portent. „‟ (Oh, seandainya aku melarika diri, betapa aku akan berlari melintasi ladang-ladang ! Tidak, jangan lari. Itu akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Sebaliknya, aku berjalan pelan-pelan, kepala tegak, sambil bernyayi. Aku harus berusaha mendapatkan pekaian kerja yang sudah lama dipakai, berwarna biru dengan gambar-gambar merah.

Itu merupakan penyamaran yang bagus. Semua petani sayuran di sekitar sini memakainnya).

Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang sedang memikirkan cara untuk melarikan diri dari penjara Bicêtre. Ia memikirkan apa yang harus dilakukan olehnya jika dirinya melarikan diri dari penjara. Ia berencana melarikan diri melewati ladang-ladang dengan cara menyamar menjadi seorang petani. Walaupun ia sudah tahu jika hal itu tidak mungkin dapat dilakukannya.

Keinginan tokoh „‟Je‟‟ untuk melarikan diri dari penjara semakin besar setelah dirinya mengetahui bahwa permohonan naik bandingnya telah ditolak.

Keinginan tersebut timbul disebabkan perasaan takut tokoh „‟Je‟‟ yang semakin membesar setelah mengetahui kenyataan bahwa permohonan naik bandingnya ditolak (pengarang menggambarkan karakter penakut tokoh „‟Je‟‟ sehingga berdampak ingin melarikan diri). Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.

(26) LDJDC/XXI/46 Alors ils m‟on laissé seul. Un moyen de fuir, mon dieu ! Un moyen quelconque ! Il faut que je m‟évade ! Il le faut ! Sur-le-champ ! Par les portes, par les fenêtres, par la charpente du toit ! Quand même je devrais laisser de ma chair après les poutres !

124

Ô rage! Démons! Malédiction ! Il faudrait des mois pour percer ce mur avec de bons outils, et je n‟ai ni clou, ni une heure !

Mereka kemudian meninggalkanku sendiri. Bagaimana caranya untuk melarikan diri, ya Tuhan, cara apapun ! Aku harus meloloskan diri ! Harus ! Seketika ini juga! Melalui pintu, melalui jendela, melalui celah-celah di bawah atap, walaupun aku harus meninggalkan dagingku tersangkut di balok-balok ! Oh, sial ! Iblis terkutuk ! Untuk membobol tembok ini, dengan peralatan yang memadai, diperlukan waktu berbulan-bulan, dan aku tidak punya paku maupun waktu sejam pun !

Setelah petugas pelaksanaan eksekusi tokoh „‟Je‟‟ membacakan surat penolakan permohonan naik banding tokoh „‟Je‟‟, ia menyuruhnya tokoh „‟Je‟‟ mempersiapkan dirinya untuk berangkat menuju gedung Conciergerie. Pelaksana hukuman mati tersebut akhirnya meninggalkan tokoh „‟Je‟‟ sendiri setelah berjanji akan menjemputnya setelah setengah jam. Setelah pelaksana hukuman mati dan pendeta akhirnya meninggalkan tokoh „‟Je‟‟ sendiri, tokoh „‟Je‟‟ menjadi panik. Ia ingin melarikan diri untuk menghindari pelaksanaan eksekusinya yang telah dijadwalkan untuknya. Namun, dengan melihat keadaan sel yang tidak memiliki celah untuk melarikan diri tokoh „‟Je‟‟ menyadari bahwa harapannya tersebut adalah harapan yang sia-sia. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan „‟ Alors ils m‟on laissé seul. Un moyen de fuir, mon dieu ! Un moyen quelconque ! Il faut que je m‟évade ! Il le faut ! Sur-le-champ ! Par les portes, par les fenêtres, par la charpente du toit ! Quand même je devrais laisser de ma chair après les poutres !

Ô rage! Démons! Malédiction ! Il faudrait des mois pour percer ce mur avec de bons outils, et je n‟ai ni clou, ni une heure ! „‟ (Mereka kemudian meninggalkanku sendiri. Bagaimana caranya untuk melarikan diri, ya Tuhan, cara apapun ! Aku harus meloloskan diri ! Harus ! Seketika ini juga! Melalui

125

pintu, melalui jendela, melalui celah-celah di bawah atap, walaupun aku harus meninggalkan dagingku tersangkut di balok-balok ! Oh, sial ! Iblis terkutuk !

Untuk membobol tembok ini, dengan peralatan yang memadai, diperlukan waktu berbulan-bulan, dan aku tidak punya paku maupun waktu sejam pun !).

Kutipan yang bercetak tebal tersebut menggambarkan kepanikan tokoh „‟Je‟‟ setelah mendengarkan keputusan penolakan permohonan naik bandingnya. Tokoh

„‟Je‟‟ yang panik, berharap dirinya dapat melarikan diri secepat mungkin untuk menghindari pelaksanaan eksekusi yang telah dijadwalkan untuknya. Namun, melihat keadaannya yang terkurung di sebuah ruangan yang tidak memiliki celah sedikitpun yang dapat digunakannya untuk melarikan diri, tokoh „‟Je‟‟ sadar bahwa harapannya untuk dapat melarikan diri adalah harapan yang sia-sia.

Penulis menggunakan kalimat-kalimat „‟ Un moyen de fuir, mon dieu ! Un moyen quelconque ! Il faut que je m‟évade ! Il le faut ! Sur-le-champ ! Par les portes, par les fenêtres, par la charpente du toit ! Quand même je devrais laisser de ma chair après les poutres ! „‟ (Bagaimana caranya untuk melarikan diri, ya

Tuhan, cara apapun ! Aku harus meloloskan diri ! Harus ! Seketika ini juga!

Melalui pintu, melalui jendela, melalui celah-celah di bawah atap, walaupun aku harus meninggalkan dagingku tersangkut di balok-balok !) untuk menggambarkan keinginan tokoh „‟Je‟‟ untuk melarikan diri dari penjara. Penulis menggambarkan kepanikan tokoh „‟Je‟‟ dengan cara menggunakan kata-kata yang menunjukkan keinginan tokoh „‟Je‟‟ untuk melarikan diri dengan disertai tanda seru.

Selain itu penulis juga menggunakan kalimat-kalimat „‟ Ô rage! Démons!

Malédiction ! Il faudrait des mois pour percer ce mur avec de bons outils, et je n‟ai

126

ni clou, ni une heure ! „‟ (Oh, sial ! Iblis terkutuk ! Untuk membobol tembok ini, dengan peralatan yang memadai, diperlukan waktu berbulan-bulan, dan aku tidak punya paku maupun waktu sejam pun !) untuk menggambarkan kekesalan tokoh „‟Je‟‟ yang disebabkan keadaan yang tidak mendukung rencananya untuk melarikan diri sehingga harapan tersebut menjadi sia-sia. Penulis juga menggambarkan kekesalan tokoh „‟Je‟‟ dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menunjukkan hambatan-hambatan yang membuat dirinya tidak dapat melarikan diri dan menggunakan tanda seru di akhir kalimat.

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ sangat menyayangi putri kecilnya. Ia sangat merindukan Marie. Hal ini terlihat dari kekhawatiran tokoh „‟Je‟‟ terhadap keadaan putrinya yang malang. Ia merasa sedih memikirkan masa depan

Marie kelak. Sikap tokoh „‟Je‟‟ tersebut di atas menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ memiliki karakter melankolis dan penyayang. Hal tersebut akan di deskripsikan penulis dalam data ke-27 pada halaman 128.

(27) LDJDC/XXVI/62 Pauvre petite! Ton père qui t‟aimait tant. Ton père qui baisait ton petit cou blanc et parfumé, qui passait la main sans cesse dans les boucles de tes cheveux comme sur de la soie, qui prenait ton joli visage rond dans sa main, qui te faisait sauter sur ses genoux, et le soir joignait tes deux petites mains pour prier Dieu ! Qui est-ce qui te fera tout cela maintenant ? Qui est-ce qui t‟aimera ? Tous les enfants de ton âge auront des pères, excepté toi. Comment te déshabitueras-tu, mon enfant. Du jour de l‟an, des étrennes, des beaux joujoux, des bonbons et des baisers ? - Comment te déshabitueras-tu malheureuse orpheline, de boire et de manger ? Oh ! Si ces jurés l‟avaient vue, au moins, ma jolie petite Marie ! Ils auraient compris qu‟il ne faut pas tuer le père d‟un enfant de trois ans. Et quand elle sera grande, si elle va jusque-là, que deviendra-t-elle ? Son père sera méprisée, repoussée, vile à cause de moi, de moi qui

127

l‟aime de toutes les tendresses de mon cœur. O ma petite Marie bien- aimée ! Est-il bien vrai que tu auras honte et horreur de moi ?

Putriku malang, ayahmu yang sedemikian mencintaimu, ayahmu yang menciumi lehermu yang putih dan wangi, yang tanpa henti mengelus ikal rambutmu yang seperti sutra, yang memegang wajah ayumu yang bundar dengan tangannya, yang membuatmu meloncat- loncat dipangkuannya, dan yang dimalam hari mengatupkan tangan-tangan mungilmu untuk berdoa kepada Tuhan ! Siapa yang akan melakukan itu semua buatmu sekarang ? Siapa yang akan mencintaimu ? Semua anak seusiamu punya ayah, kecuali kamu. Bagaimana melepaskanmu, anakku, dari kebiasaan perayaan tahun baru, hadiah-hadiah tahun baru, mainan yang bagus-bagus, permen dan ciuman ? - Bagaimana melepaskanmu, anak yatim yang malang, dari kebiasaan minum dan makan ? Ah ! Seandainya saja para juri itu melihatnya, melihat Marie mungilku ! Mereka pasti mengerti bahwa ayah seorang anak yang berumur tiga tahun itu tidak boleh dibunuh. Dan saat menjadi besar besok, jika ia bisa bertahan hingga besar, ia mau menjadi apa ? Ayahnya akan menjadi kenangan bagi masyarakat paris. Mukanya akan memerah karenaku dan karena namaku. Ia akan dihina, ditolah, dan direndahkan karenaku, karenaku yang mencintainya dengan segala kelembutan hatiku. Oh ! Marie kecilku yang tercinta ! Benarkah kau akan merasa malu dan membenciku ?

Beberapa jam sebelum waktu pelaksanaan hukuman tokoh „‟Je‟‟ dilaksanakan, ia memikirkan keadaan putrinya yang sangat disayanginya. Tokoh

„‟Je‟‟ untuk sesaat mengenang kembali saat-saat ketika masih bersama putrinya. Saat ketika dirinya menciumi leher putrinya yang putih dan wangi, saat-saat ketika dirinya tanpa henti mengelus rambut ikal putrinya yang lembut seperti sutra, ketika dirinya memegang wajah cantik putrinya yang berbentuk bundar dengan kedua tangannya, mengingat ketika putrinya meloncat-loncat di pangkuannya, dan mengingat kembali kebiasaan mengajarkan putrinya untuk berdoa kepada Tuhan di malam hari. Tokoh

„‟Je‟‟ sangat merindukan saat-saat ketika bersama putrinya. Ia menghawatirkan

128

keadaan putrinya setelah dirinya masuk penjara. Ia khawatir siapa yang akan melakukan kebiasaan yang sering dilakukannya setelah dirinya tidak ada, dan siapa yang akan mencintai putrinya tersebut. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mengkhawatirkan masa depan putrinya yang masih kecil.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Pauvre petite! Ton père qui t‟aimait tant.

Ton père qui baisait ton petit cou blanc et parfumé, qui passait la main sans cesse dans les boucles de tes cheveux comme sur de la soie, qui prenait ton joli visage rond dans sa main, qui te faisait sauter sur ses genoux, et le soir joignait tes deux petites mains pour prier Dieu ! „‟ (Putriku malang, ayahmu yang sedemikian mencintaimu, ayahmu yang menciumi lehermu yang putih dan wangi, yang tanpa henti mengelus ikal rambutmu yang seperti sutra, yang memegang wajah ayumu yang bundar dengan tangannya, yang membuatmu meloncat-loncat dipangkuannya, dan yang dimalam hari mengatupkan tangan-tangan mungilmu untuk berdoa kepada Tuhan !) untuk menggambarkan kerinduan tokoh

„‟Je‟‟ terhadap putrinya. Penulis menggambarkan kerinduan tokoh „‟Je‟‟ terhadap putrinya dengan menggambarkan secara rinci kebiasaan yang sering dilakukannya terhadap putrinya seperti yang terdapat dalam kutipan di atas.

Penulis meggunakan kalimat-kalimat „‟ Qui est-ce qui te fera tout cela maintenant ? Qui est-ce qui t‟aimera ? Tous les enfants de ton âge auront des pères, excepté toi. Comment te déshabitueras-tu, mon enfant. Du jour de l‟an, des

étrennes, des beaux joujoux, des bonbons et des baisers ? Comment te déshabitueras-tu malheureuse orpheline, de boire et de manger ? Oh ! Si ces jurés l‟avaient vue, au moins, ma jolie petite Marie ! Ils auraient compris qu‟il ne faut

129

pas tuer le père d‟un enfant de trois ans. Et quand elle sera grande, si elle va jusque-là, que deviendra-t-elle ? Son père sera méprisée, repoussée, vile à cause de moi, de moi qui l‟aime de toutes les tendresses de mon cœur. O ma petite Marie bien-aimée ! Est-il bien vrai que tu auras honte et horreur de moi ? „‟ (Siapa yang akan melakukan itu semua buatmu sekarang ? Siapa yang akan mencintaimu ?

Semua anak seusiamu punya ayah, kecuali kamu. Bagaimana melepaskanmu, anakku, dari kebiasaan perayaan tahun baru, hadiah-hadiah tahun baru, mainan yang bagus-bagus, permen dan ciuman ? Bagaimana melepaskanmu, anak yatim yang malang, dari kebiasaan minum dan makan ? Ah ! Seandainya saja para juri itu melihatnya, melihat Marie mungilku ! Mereka pasti mengerti bahwa ayah seorang anak yang berumur tiga tahun itu tidak boleh dibunuh.

Dan saat menjadi besar besok, jika ia bisa bertahan hingga besar, ia mau menjadi apa ? Ayahnya akan menjadi kenangan bagi masyarakat paris.

Mukanya akan memerah karenaku dan karena namaku. Ia akan dihina, ditolah, dan direndahkan karenaku, karenaku yang mencintainya dengan segala kelembutan hatiku. Oh ! Marie kecilku yang tercinta ! Benarkah kau akan merasa malu dan membenciku ?) untuk menggambarkan kekhawatiran tokoh „‟Je‟‟ terhadap keadaan putrinya setelah dirinya masuk penjara. Ia khawatir tidak ada orang yang dapat menjaga dan melakukan kebiasaan yang sering dilakukannya. Hal tersebutlah yang menyebabkan tokoh „‟Je‟‟ tidak dapat menerima kenyataan bahwa dirinya harus dihukum mati. Ia tidak dapat meninggalkan putrinya yang masih kecil tumbuh dewasa tanpa seorang ayah. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟

130

mengkhawatirkan masa depan putrinya yang masih kecil. Ia akan menanggung rasa malu karena ayahnya adalah seorang terpidana mati.

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang yang kritis dalam menilai sesuatu. Hal ini tercermin dalam sikap tidak setuju tokoh „‟Je‟‟ terhadap pendapat orang-orang yang menganggap bahwa proses kematian menggunakan guillotine adalah cara yang paling sederhana dan tidak merasa sakit.

Bagi tokoh „‟Je‟‟ siksaan yang sesungguhnya bukanlah hukuman mati yang telah dijatuhkan padanya, tapi siksaan batin ketika menunggu pelaksanaan hukumanlah siksaan yang sesungguhnya. Rasa tidak setuju tokoh „‟Je‟‟ tergambar dalam pergolakan batin yang dialami tokoh „‟Je‟‟ dalam data yang bercetak tebal pada data ke-28.

(28) LDJDC/XXXIX/80 Ils disent que ce n‟est rien, qu‟on ne souffre pas, que c‟est une fin douce, que la mort de cette façon est bien simplifiée. Eh ! Qu‟est-ce donc que cette agonie de six semaines et ce râle de tout un jour ? Qu‟est ce que les angoisse de cette journée irréparable, qui s‟écoule si lentement et si vite ? Qu‟est ce que cette échelle de tortures qui aboutit à l‟échafaud ? Apparemment ce n‟est pas là souffrir. Ne sont-ce pas les mêmes convulsions, que le sang s‟épuise goutte à goutte, ou que l‟intelligence s‟éteigne pensée à pensée ? Et puis, on ne souffre pas, en sont-ils sûrs ? Qui le leur a dit ? Conte-t-on que jamais une tête coupée se soit dressée sanglante au bord du panier, et qu‟elle ait crié au peuple : Cela ne fait pas de mal ! Y a-t-il des morts de leur façon qui soient venus les remercier et leur dire : C‟est bien inventé. Tenez-vous-en là. La mécanique est bonne. Est-ce Robespierre ? Est-ce Louis XVI ?.... Non, rien ! Moins qu‟une minute, moins qu‟une seconde, et la chose est faite. –Se sont-ils jamais mis, seulement en pensée à la place de celui qui est là, au moment où le lourd tranchant qui tombe mord la chair, rompt les nerfs, brise les vertèbres…. Mais quoi ! Une demi- seconde ! La douleur est escamotée…. Horreur !

131

Mereka berkata bahwa itu semua tidak apa-apa, tidak terasa sakit, bahwa itu merupakan akhir yang lembut dan kematian yang ditempuh dengan cara ini menjadi sangat sederhana. Bah ! Bagaimana dengan enam minggu yang menyiksa ini, dengan satu hari dengan tiada henti tersenggal-senggal ini? Bagaimana dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang selalu terasa dihari-hari yang tidak dapat diperbaiki ini, yang berlalu sedemikian lambat dan sedemikian cepatnya? Bagaimana dengan tangga penyiksaan yang mengantar ke panggung pemancungan? Kelihatannya bukan itu penderitaan. Bukankah itu sentakan-sentakan liar yang sama terjadi pada saat seseorang kehabisan darah, tetes demi tetes, atau pada saat kecerdasan padam kehabisan pikiran, gagasan demi gagasan? Lagi pula, tidak terasa sakit, bagaimana mereka biasa yakin tentang hal itu? Siapa yang mengatakannya kepada mereka? Tidak pernah ada cerita bahwa sebuah kepala yang terpancung lalu berdiri sendiri di pinggir keranjangnya, dengan berlumuran darah, dan berteriak kepada semua orang: Tidak sakit! Apa ada orang yang telah mati lalu, dengan caranya sendiri, datangnya kembali untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka dengan berkata: Oh, penemuan yang bagus. Teruskan. Cara kerja yang bagus. Apakah itu Robespierre? Apakah itu Louis XVI?... Tidak, tidak apa-apa! Tidak sampai semenit, tidak sampai sedetik, dan semua selesai. –Apa mereka tidak pernah mencoba untuk menempatkan diri mereka, bahkan dalam bayangan saja, pada posisi orang yang berada di sana, saat pisau yang berat menghujam menggigit daging, mengoyak syaraf, meremukan tulang belakang… Tapi, apa yang mereka katakan? Setengah detik! Rasa sakitnya lenyap… Mengerikan!

Beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi, tokoh „‟Je‟‟ menghabiskan detik-detik terakhirnya dengan berdiam diri dan melamun. Rasa takut yang dirasakan tokoh „‟Je‟‟ semakin bertambah besar dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan eksekusi. Di dalam kesendiriannya, tokoh „‟Je‟‟ mengalami pergolakan batin. Ia merasa tidak sependapat dengan orang-orang yang telah berpikir bahwa hukuman mati dengan menggunakan guilliotine adalah cara yang sederhana untuk menempuh kematian. Mereka memutuskan hukuman tanpa berpikir tentang siksaan-siksaan yang dirasakan tokoh „‟Je‟‟ selama enam minggu di dalam sel, dan siksaan yang

132

disebabkan oleh rasa khawatir yang selalu menghantuinya. Menurut para ahli hukum yang menjatuhkan hukuman mati hal tersebut bukanlah sebuah penderitaan. Dengan menggerutu di dalam hatinya tokoh „‟Je‟‟ mengatakan bahwa siksaan yang dialaminya selama enam minggu di dalam penjara sama seperti siksaan yang dirasakan ketika pelaksanaan eksekusi. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ tidak sependapat dengan orang-orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati menggunakan guilliotine tidak terasa sakit. Menurut tokoh „‟Je‟‟ penyiksaan yang sesungguhnya adalah berupa beban batin dan beban moral yang telah dialaminya selama dalam penjara.

Penulis menggunakan kta-kata „‟Ils disent que ce n‟est rien, qu‟on ne souffre pas, que c‟est une fin douce, que la mort de cette façon est bien simplifiée.

Eh ! Qu‟est-ce donc que cette agonie de six semaines et ce râle de tout un jour ?

Qu‟est ce que les angoisse de cette journée irréparable, qui s‟écoule si lentement et si vite ? Qu‟est ce que cette échelle de tortures qui aboutit à l‟échafaud ?

Apparemment ce n‟est pas là souffrir. „‟ (Mereka berkata bahwa itu semua tidak apa-apa, tidak terasa sakit, bahwa itu merupakan akhir yang lembut dan kematian yang ditempuh dengan cara ini menjadi sangat sederhana. Bah !

Bagaimana dengan enam minggu yang menyiksa ini, dengan satu hari dengan tiada henti tersenggal-senggal ini? Bagaimana dengan kekhawatiran- kekhawatiran yang selalu terasa dihari-hari yang tidak dapat diperbaiki ini, yang berlalu sedemikian lambat dan sedemikian cepatnya? Bagaimana dengan tangga penyiksaan yang mengantar ke panggung pemancungan? Kelihatannya bukan itu penderitaan.) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mengeluh dengan

133

dirinya sendiri mengenai orang-orang yang menganggap bahwa hukuman mati menggunakan guilliotine adalah cara sederhana menempuh kematian. Tokoh „‟Je‟‟ tidak sependapat dengan hal tersebut. Penulis menggambarkan ketidaksetujuan tokoh

„‟Je‟‟ dengan menggunakan tanda tanya disetiap akhir kalimat yang menyatakan penyangkalannya.

4.1.2.4 Teknik Reaksi Tokoh

Melalui teknik reaksi tokoh, penulis menemukan beberapa data yang menunjukkan sifat dan karakter tokoh “Je”. Data berikut ini misalnya, menunjukkan karakter tokoh “Je” yang mudah berubah. Sesaat sebelum persidangan dimulai, tokoh

„‟Je‟‟ yang tadinya merasa ngeri menghadiri persidangan dan merasa khawatir akan kemungkinan keputusan hakim adalah hukuman mati, tiba-tiba tidak merasa takut meski dirinya telah menyadari kenyataan bahwa persidangan pada hari ke tiga adalah persidangan terakhir dan kenyatan bahwa hari itu hakim akan mengumumkan keputusan hukumannya. Perubahan sikap tokoh „‟Je‟‟ tersebut timbul karena tokoh‟‟Je‟‟ memiliki harapan bahwa keputusan hukumannya adalah kebebasan. Hal tersebut dapat dilihat dalam data ke-29.

(29) LDJDC/II/5 Je compris tout à coup clairement ce que je n‟avais fait qu‟entrevoir confusément jusqu‟alors que le moment décisif était venu, et que j‟étais là pour entendre ma sentence. L‟explique qui pourra. De la manière dont cette idée me vint. Elle ne me causa pas de terreur.

Tiba-tiba aku mengerti dengan jelas apa yang hingga kini dapat kurasakan secara samar-samar saja, yaitu aku disini untuk mendengarkan keputusan hukumanku. Apa pun alasannya, hingga pikiran ini datang, yang jelas aku tidak merasa takut.

134

Hari ke tiga setelah persidangan dimulai, tokoh „‟Je‟‟ sejenak terlupa dengan keyataan yang sedang dialaminya. Tokoh „‟Je‟‟ yang selalu dihantui oleh rasa khawatir dan ngeri, akhirnya dapat tertidur dengan lelap. Ia sejenak terlupa bahwa dirinya harus menghadiri persidangan. Setelah menyadari hal tersebut, tokoh „‟Je‟‟ yang tadinya merasa senang kembali dihantui oleh rasa takut. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ juga terlupa bahwa hari ke tiga persidangan adalah hari dimana hakim akan membacakan keputusan hukumannya. Tokoh „‟Je‟‟ menyadari hal itu setelah tiba di ruang persidangan. Tokoh „‟Je‟‟ yang selalu dihantui oleh rasa khawatir dan ngeri, tidak merasa takut menghadapi kenyataan itu. Penulis menunjukkan reaksi tokoh

„‟Je‟‟ terhadap kenyataan bahwa hakim akan membacakan keputusan hukuman terdapat dalam kutipan yaitu „‟ L‟explique qui pourra. De la manière dont cette idée me vint. Elle ne me causa pas de terreur „‟ (Apa pun alasannya, hingga pikiran ini datang, yang jelas aku tidak merasa takut).

Data berikut menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang menjadi ketakutan setelah

Panitera pengadilan membacakan keputusan sementara hukumannya. Rasa takut yang dialami tokoh „‟Je‟‟ dapat dilihat dalam kutipan yang bercetak tebal pada data ke-30.

(30) LDJDC/II/7 Tout à coup le président, qui n’attendait que l’avocat, m’invita à me lever. La troupe porta les armes ; comme par un mouvement électrique, toute l’assemblée fut debout au même instant. Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c‟était, je pense, le greffier, prit la parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence. Une sueur froide sortit de tous mes membres ; je m‟appuyai au mur pour ne pas tomber.

Mendadak ketua hakim, yang tadi hanya menunggu datangnya pembelaku, memintaku berdiri. Pasukan melakukan sikap senjata dengan

135

gerakan terputus-putus, seluruh hadirin berdiri pada saat yang sama. Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para juri selama aku tidak berada di sana. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh.

Beberapa saat setelah persidangan dimulai, ketua hakim akhirnya meminta tokoh „‟Je‟‟ untuk berdiri. Panitera pengadilan akhirnya membacakan keputusan sementara yang telah ditetapkan oleh para ahli hukum tersebut ketika tokoh „‟Je‟‟ sedang beristirahat. Setelah mendengarkan keputusan hukumannya, tokoh „‟Je‟‟ yang sebelumnya memiliki semangat dan keyakinan yang kuat berubah menjadi ketakutan.

Hal tersebut tergambar dari reaksi tokoh „‟Je‟‟ terhadap keputusan yang telah dibacakan panitera pengadilan yang terdapat dalam kutipan yaitu „‟ Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c‟était, je pense, le greffier, prit la parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence. Une sueur froide sortit de tous mes membres ; je m‟appuyai au mur pour ne pas tomber „‟ (Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para juri selama aku tidak berada di sana. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku.

Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh). Kutipan di atas menggambarkan ketika panitera pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman tokoh „‟Je‟‟.

Setelah mendengarkan keputusan tersebut, tokoh „‟Je‟‟ tiba-tiba dilanda rasa takut.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c‟était, je pense, le greffier, prit la

136

parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence „‟ (Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para juri selama aku tidak berada di sana) untuk menggambarkan ketika panitera pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman tokoh „‟Je‟‟.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Une sueur froide sortit de tous mes membres „‟ (Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku) untuk menggambarkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ yang merasa takut setelah mendengar keputusan sementara yang telah dibacakan oleh Panitera pengadilan. Kata-kata „‟ je m‟appuyai au mur pour ne pas tomber „‟ (Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh) untuk menggambarkan dampak dari ketakutan yang dialami oleh tokoh „‟Je‟‟.

Data ke-31 pada halam 138 menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa ketakutan yang luar biasa setelah hakim membacakan keputusan akhir hukumannya.

Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ merasa rendah diri.

(31) LDJDC/II/8 Le procureur général combattit l’avocat, et je l’écoutai avec une satisfaction stupide. Puis les juges sortirent, puis ils rentrèrent, et le président me lut mon arrêt. -Condamné à mort ! Dit la foule ; et, tandis qu‟on m‟emmenait, tout ce peuple se rua sur mes pas avec le fracas d‟un édifice qui se démolit. Moi, je marchais, ivre, et stupéfait. Une révolution venait de se faire en moi. Jusqu‟à l‟arrêt de mort, je m‟étais senti respirer, palpiter, vivre dans le même milieu que les autres hommes ; maintenant je distinguais clairement comme une clôture entre le monde et moi. Rien ne m‟apparaissait plus sous le même aspect qu‟auparavant. Ces larges fenêtres lumineuses, ce beau soleil, ce ciel pur, cette jolie fleur, tout cela était blanc et pâle, de la couleur d‟un linceul. Ces hommes, ces femmes, ces enfants qui se pressaient sur mon passage, je leur trouvais des airs de fanntômes.

137

Jaksa tinggi menyerang balik pembela, dan aku mendengarkannya dengan rasa puas yang tolol. Kemudian para hakim keluar, masuk kembali, dan Ketua hakim membacakan keputusan hukumanku. -Dihukum mati! Terdengar orang-orang berkata. Dan saat orang membawaku pergi, semua orang menyerbu mengikutiku dengar hingar-bingar seperti gedung runtuh. Aku berjalan, limbung, dan bingung. Sebuah perubahan yang sangat hebat telah terjadi di dalam diriku. Sebelum hukuman mati dijatuhkan, aku masih bias bernafas, berdebar-debar, hidup di lingkungan yang sama dengan orang-orang lainnya. Kini aku melihat dengan jelas pembatas antara dunia dan aku. Semua tidak lagi memiliki aspek yang sama dengan sebelumnya. Jendela-jendela lebar terang, matahari indah, langit cerah, bunga cantik, semuanya itu menjadi putih dan pucat, seperti warna kafan. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berjejalan di jalan yang kulalui, bagiku tampak seperti hantu.

Setelah Panitera pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman tokoh „‟Je‟‟, ketua hakim memberikan kesempatan kepada tokoh „‟Je‟‟ dan pengacaranya untuk melakukan pembelaan agar supaya keputusan hukumannya dapat diperingan menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Setelah beberapa lama pengacara mencoba melakukan pembelaan dengan tujuan agar hukuman tokoh „‟Je‟‟ dapat diperingan, akhirnya keputusan akhir pun dibacakan oleh Hakim Ketua.

Keputusan tersebut adalah hukuman mati. Setelah mendengar keputusan tersebut, tokoh „‟Je‟‟ merasakan adanya perubahan yang sangat besar pada dirinya. Ia menjadi bingung dan takut. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ menjadi rendah diri.

Ketakutan, kebingungan, dan perasaan rendah diri tokoh „‟Je‟‟ dapat kita lihat dari reaksi yang ditunjukkan tokoh „‟Je‟‟ terhadap keputusan akhir hukumannya yang tersirat dalam kutipan „‟ Condamné à mort! Dit la foule ; et, tandis qu‟on m‟emmenait, tout ce peuple se rua sur mes pas avec le fracas d‟un édifice qui se démolit. Moi, je marchais, ivre, et stupéfait. Une révolution venait de se faire en moi. Jusqu‟à l‟arrêt de mort, je m‟étais senti respirer, palpiter, vivre dans le même

138

milieu que les autres hommes ; maintenant je distinguais clairement comme une clôture entre le monde et moi. Rien ne m‟apparaissait plus sous le même aspect qu‟auparavant. Ces larges fenêtres lumineuses, ce beau soleil, ce ciel pur, cette jolie fleur, tout cela était blanc et pâle, de la couleur d‟un linceul. Ces hommes, ces femmes, ces enfants qui se pressaient sur mon passage, je leur trouvais des airs de fanntômes.„‟ yang dapat diartikan (Dihukum mati! Terdengar orang-orang berkata. Dan saat orang membawaku pergi, semua orang menyerbu mengikutiku dengar hingar-bingar seperti gedung runtuh. Aku berjalan, limbung, dan bingung. Sebuah perubahan yang sangat hebat telah terjadi di dalam diriku. Sebelum hukuman mati dijatuhkan, aku masih bisa bernafas, berdebar-debar, hidup di lingkungan yang sama dengan orang-orang lainnya.

Kini aku melihat dengan jelas pembatas antara dunia dan aku. Semua tidak lagi memiliki aspek yang sama dengan sebelumnya. Jendela-jendela lebar terang, matahari indah, langit cerah, bunga cantik, semuanya itu menjadi putih dan pucat, seperti warna kafan. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berjejalan di jalan yang kulalui, bagiku tampak seperti hantu).

Kutipan di atas menggambarkan perubahan sikap yang dialami oleh tokoh

„‟Je‟‟ setelah ketua hakim membacakan keputusan akhir hukumannya. Setelah keputusan akhir hukuman dibacakan oleh ketua hakim, semua orang yang berada di dalam ruangan sidang terkejut mendengar keputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman mati. Mereka berbondong-bondong mengikuti tokoh „‟Je‟‟ ketika keluar dari ruang sidang. Ketika keluar dari ruang sidang, tokoh „‟Je‟‟ berjalan dengan limbung. Selain itu, ia merasa binggung setelah mendengar keputusan hukumannya.

139

Tokoh „‟Je‟‟ merasa ada sesuatu yang berubah pada dirinya. Ia merasa sebelum keputusan akhir hukumannya dibacakan dirinya masih dapat bernafas, masih merasa berdebar-debar, dan masih merasa hidup di lingkungan yang sama dengan orang- orang lainnya. Namun setelah keputusan hukumannya dibacakan, dirinya merasa seperti terdapat pembatas antara dirinya dan lingkungan di sekitarnya. Ia merasa dirinya tidak lagi sama dengan orang-orang di sekitarnya. Ia merasa semua yang dilihatnya menjadi sangat menakutkan setelah hukuman nati dijatuhkan kepadanya.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Condamné à mort ! Dit la foule. „‟

(Dihukum mati! Terdengar orang-orang berkata.) untuk menunjukkan bahwa keputusan hakim adalah hukuman mati, kata-kata „‟ Moi, je marchais, ivre, et stupéfait „‟ (Aku berjalan, limbung, dan bingung) untuk menggambarkan tokoh

„‟Je‟‟ yang merasa takut. Rasa takut yang dialami tokoh „‟Je‟‟ membuat badannya menjadi lemas, pada saat berjalan menjadi limbung. Selain itu, kata „‟bingung‟‟ untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa bingung dengan dirinya sendiri.

Setelah mendengar keputusan akhir hakim, tokoh „‟Je‟‟ yang ketika awal persidangan mengatakan lebih memilih hukuman mati ternyata tidak merasa puas, sebaliknya ia ternyata merasakan rasa takut yang lebih besar.

Penulis juga menggunakan kata-kata „‟ Une révolution venait de se faire en moi. Jusqu‟à l‟arrêt de mort, je m‟étais senti respirer, palpiter, vivre dans le même milieu que les autres hommes ; maintenant je distinguais clairement comme une clôture entre le monde et moi „‟ (Sebelum hukuman mati dijatuhkan, aku masih bisa bernafas, berdebar-debar, hidup di lingkungan yang sama dengan orang- orang lainnya. Kini aku melihat dengan jelas pembatas antara dunia dan aku.)

140

untuk menggambarkan perasaan rendah diri tokoh „‟Je‟‟ yang timbul setelah keputusan akhir hakim dibacakan. Sebelum keputusan akhir dibacakan, tokoh „‟Je‟‟ masih merasa dirinya sama seperti orang-orang lainnya, ia masih memiliki harapan untuk hidup. Tetapi setelah keputusan hakim dibacakan, tokoh „‟Je‟‟ tidak lagi memiliki pengharapan, dirinya merasakan ketakutan yang sangat besar. Penulis menggambarkan katakutan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟ Ces larges fenêtres lumineuses, ce beau soleil, ce ciel pur, cette jolie fleur, tout cela était blanc et pâle, de la couleur d‟un linceul. Ces hommes, ces femmes, ces enfants qui se pressaient sur mon passage, je leur trouvais des airs de fanntômes „‟ (Jendela- jendela lebar terang, matahari indah, langit cerah, bunga cantik, semuanya itu menjadi putih dan pucat, seperti warna kafan. Laki-laki, perempuan, dan anak- anak yang berjejalan di jalan yang kulalui, bagiku tampak seperti hantu).

Penulis mencoba menggambarkan ketakutan tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar dengan cara menggandaikan sesuatu yang terlihat indah dan menyenangkan menjadi seolah- olah sangat menakutkan dan menyeramkan.

Setelah keputusan akhir hukuman tokoh „‟Je‟‟ dibacakan oleh ketua hakim, tokoh „‟Je‟‟ yang tadinya keras kepala mengatakan dirinya lebih memilih keputusan hukuman mati akhirnya dirundung rasa takut yang begitu besar. Setelah persidangan berakhir, tokoh „‟Je‟‟ kemudian dibawa ke penjara Bicêtre. Setelah sampai di sana, tokoh „‟Je‟‟ merasa terancam dan kemudian dirinya memutuskan untuk mengajukan permohonan naik banding (pengarang menggambarkan karakter penakut tokoh „‟Je‟‟ melalui dampak yang ditimbulkannya yaitu memutuskan untuk mengajukan

141

permohonan naik banding ). Keputusan tokoh „‟Je‟‟ untuk mengajukan permohonan naik banding tersebut dapat dilihat dalam data ke-32 di bawah ini.

(32) LDJDC/V/10 A peine arrivé, des mains de fer s‟emparèrent de moi. On multiplia les précautions de moi. On multiplia les précautions ; point de couteau, point de fourchette pour mes repas ; la camisole de force, une espèce de sac de toile à voilure, emprisonna mes bras ; on répondait de ma vie. Je m‟étais pourvu en cassation. On pouvait avoir six ou sept semaines cette affaire onéreuse, et il importait de me conserver sain et sauf à la place de Grève. Begitu sampai, tangan-tangan kuat menerkamku. Tindakan pencegahan dilipatgandakan. Tidak boleh ada pisau atau garpu saat makan. Straight jacket, semacam kantung dari bahan kain layar, membuat tanganku tidak bisa bergerak. Kelangsungan hidupku harus diperhatikan. Aku naik banding. Urusan yang mahal ini biasanya memakan waktu enam atau tujuh minggu, dan yang penting untuk menjagaku tetap sehat dan selamat di bundaran Grève nanti.

Setelah sampai di Bicêtre, tokoh „‟Je‟‟ merasa tidak nyaman dan merasa terancam dengan perlakuan orang-orang di tempat itu. penulis menggambarkan rasa tidak nyaman tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟A peine arrivé, des mains de fer s‟emparèrent de moi. On multiplia les précautions de moi. On multiplia les précautions ; point de couteau, point de fourchette pour mes repas ; la camisole de force, une espèce de sac de toile à voilure, emprisonna mes bras ; on répondait de ma vie. Je m‟étais pourvu en cassation. On pouvait avoir six ou sept semaines cette affaire onéreuse, et il importait de me conserver sain et sauf à la place de Grève. „‟ yang dapat diartikan (Begitu sampai, tangan-tangan kuat menerkamku.

Tindakan pencegahan dilipatgandakan. Tidak boleh ada pisau atau garpu saat makan. Straight jacket, semacam kantung dari bahan kain layar, membuat tanganku tidak bisa bergerak. Kelangsungan hidupku harus diperhatikan. Aku

142

naik banding. Urusan yang mahal ini biasanya memakan waktu enam atau tujuh minggu, dan yang penting untuk menjagaku tetap sehat dan selamat di bundaran Grève nanti).

Kutipan yang bercetak tebal pada halaman 142 menggambarkan keadaan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ saat pertama kali menginjakkan kakinya di Bicêtre setelah keputusan akhir hukumannya diumumkan. Begitu tokoh „‟Je‟‟ sampai di Bicêtre, tangan-tangan kuat langsung menerkamnya. Melihat keadaan tersebut, tindakan pencegahan akhirnya dilipatgandakan. Untuk menjaga keselamatannya, tokoh „‟Je‟‟ tidak diperbolehkan menggunakan garpu atau pisau ketika makan. Ia diharuskan memakai Straight jacket yang terbuat dari kain layar dan berbentuk seperti kantung sehingga membuat tangannya tidak dapat bergerak. Tokoh „‟Je‟‟ merasa keadaannya terancam, karena hal tersebut dirinya akhirnya memutuskan untuk mengajukan permohonan naik banding. Ia berharap dengan naik banding waktu pelaksanaan eksekusi akan semakin lama. Selain itu, ia berharap dirinya mendapat perlakuan yang lebih baik sehingga ketika sampai waktu pelaksanaan eksekusi dirinya masih dalam keadaan sehat.

Penulis menggunakan kalimat „‟ On répondait de ma vie. Je m‟étais pourvu en cassation.„‟ (Kelangsungan hidupku harus diperhatikan. Aku naik banding.) untuk menunjukkan wahwa tokoh „‟Je‟‟ mengajukan permohonan naik banding.

Penulis menggunakan kalimat berikut „‟ On pouvait avoir six ou sept semaines cette affaire onéreuse, et il importait de me conserver sain et sauf à la place de Grève „‟

(Urusan yang mahal ini biasanya memakan waktu enam atau tujuh minggu, dan yang penting untuk menjagaku tetap sehat dan selamat di bundaran Grève

143

nanti) untuk menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ agar setelah mengajukan permohonan naik banding, dirinya dapat memperlama waktu pelaksanaan eksekusi dan dirinya selalu sehat hingga waktu pelaksanaan eksekusi.

Data ke-33 di bawah ini menunjukkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ setelah melihat penderitaan yang dialami oleh para terpidana hukuman kerja paksa saat melakukan perantaian dan kemudian diberangkatkan ke Toulon. Tokoh „‟Je‟‟ mengatakan pada dirinya sendiri bahwa daripada harus di hukum kerja paksa seperti harapan pengacaranya, dirinya lebih memilih seribu kali lebih baik mati (menggambarkan karakter tokoh „‟Je‟‟ yang egois).

(33) LDJDC/XIV/35 Que me disait-il donc, l‟avocat? Les galères! Ah! Oui, plutôt mille fois la mort ! Plutôt l‟échafaud que le bagne, plutôt le néant que l‟efer; plutôt livrer mon cou au couteau de Guillotin qu‟au carcan de la chiourme ! Les galères, juste ciel !

Apa yang dikatakan pembelaku ? Hukuman kerja paksa ! Ah ! Ya, seribu kali lebih baik mati ! Lebih baik panggung pemancungan daripada hukuman kerja paksa, lebih baik musnah sama sekali daripada neraka, lebih baik memberikan leherku pada pisau Tuan Guillotin daripada dibelenggu rantai pekerja paksa ! Hukuman kerja paksa, astaga !

Setelah siuman dari pingsannya, hari sudah malam. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya beristirahat di balai pengobatan. Di pagi harinya, tokoh „‟Je‟‟ terbangun oleh suara berisik yang ditimbulkan oleh suara rantai para pekerja paksa yang akan dikirim ke

Toulon pagi itu. Setelah melihat penderitaan para terpidana hukuman kerja paksa secara langsung, tokoh „‟Je‟‟ yang awalnya merasa ketakutan setelah mengetahui keputusan hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dirinya lebih memilih seribu kali lebih baik mati daripada

144

harus mengalami penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh para terpidana hukuman kerja paksa tersebut. Pernyataan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Que me disait-il donc, l‟avocat? Les galères! Ah! Oui, plutôt mille fois la mort ! Plutôt l‟échafaud que le bagne, plutôt le néant que l‟efer; plutôt livrer mon cou au couteau de Guillotin qu‟au carcan de la chiourme ! Les galères, juste ciel !

„‟ yang dapat diartikan (Apa yang dikatakan pengacaraku ? Hukuman kerja paksa ! Ah ! Ya, seribu kali lebih baik mati ! Lebih baik panggung pemancungan daripada hukuman kerja paksa, lebih baik musnah sama sekali daripada neraka, lebih baik memberikan leherku pada pisau Tuan Guillotin daripada dibelenggu rantai pekerja paksa ! Hukuman kerja paksa, astaga !).

Kutipan di atas menggambarkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ setelah melihat penderitaan yang dialami oleh para terpidana kerja paksa. Tokoh „‟Je‟‟ mengumpat pengacaranya yang telah berani mengharapkan keputusan hukumannya adalah hukuman kerja paksa seumur hudup. Ia meyakinkan kembali dirinya bahwa daripada harus mengalami penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh para terpidana hukuman kerja paksa seperti yang telah disaksikannya, tokoh „‟Je‟‟ lebih memilih seribu kali lebih baik mati. Tokoh „‟Je‟‟ lebih memilih dihukum mati menggunakan guillotine daripada harus dihukum kerja paksa, ia lebih memilih musnah sama sekali karena dihukum mati daripada harus hidup seperti neraka ketika menjalani hukuman kerja paksa.

Data ke-34 yang bercetak tebal pada halaman 146 menggambarkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ setelah dirinya sampai di gedung Conciergerie. Ia merasakan ketakutan yang luar biasa. (34) LDJDC/XXIII/54

145

Huit heures et demie sonnaient à l‟horloge du Palais au moment où nous sommes arrivés dans la cour de Conciergerie. La vue de ce grand escalier, de cette noire chappelle, de ces guichets sinistres, m‟a glacé. Quand la voiture s‟est arrêtée, j‟ai cru que les battements de mon cœur allaient s‟arrêter aussi.

Jam di Palais berdentang menunjukkan pukul setengah sembilan ketika kami tiba di halaman Conciergerie. Melihat tangga besar, kapel hitam, bilik-bilik yang mengerikan itu, aku menjadi lemas. Ketika kereta berhenti, kupikir jantungku juga berhenti.

Setelah surat penolakan permohonan naik banding tokoh „‟je‟‟ dibacakan, di hari yang sama tokoh „‟Je‟‟ berangkat ke gedung Conciergerie bersama pendeta dan petugas pelaksana hukuman. Di sepanjang perjalanan menuju gedung Conciergerie tokoh „‟Je‟‟ mengamati keadaan di sekelilingnya. Ketika kereta akhirnya tiba, tokoh

„‟Je‟‟ merasa sangat terkejut sehingga mengakibatkan jantungnya seolah-olah berhenti. Hal tersebut digambarkan penulis dalam kutipan „‟ Quand la voiture s‟est arrêtée, j‟ai cru que les battements de mon cœur allaient s‟arrêter aussi. „‟ (Ketika kereta berhenti, kupikir jantungku juga berhenti). Selain terkejut, tokoh „‟Je‟‟ merasakan sangat ketakutan ketika melihat tangga besar, kapel hitam, dan bilik-bilik yang sangat mengerikan dari kejauhan. Ketakutan tokoh „‟Je‟‟ tersebut mengakibatkan tubuhnya menjadi lemas. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan

„‟ Huit heures et demie sonnaient à l‟horloge du Palais au moment où nous sommes arrivés dans la cour de Conciergerie. La vue de ce grand escalier, de cette noire chappelle, de ces guichets sinistres, m‟a glacé. „‟ (Jam di Palais berdentang menunjukkan pukul setengah sembilan ketika kami tiba di halaman

Conciergerie. Melihat tangga besar, kapel hitam, bilik-bilik yang mengerikan itu, aku menjadi lemas).

146

Data ke-35 di bawah ini menunjukkan sikap tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki pendirian yang teguh dan penuh percaya diri berubah menjadi seorang yang tidak memiliki pendirian. Setelah keputusan hakim akhirnya dijatuhkan yaitu hukuman mati, tokoh „‟Je‟‟ menjadi seorang yang lemah dan penakut. Pikiran-pikiran buruk mengenai pelaksanaan hukuman mati membuat tokoh „‟Je‟‟ yang awalnya memiliki keyakinan lebih memilih keputusan hakim adalah hukuman mati akhirnya memutuskan untuk mengajukan grasi kepada raja dengan harapan dirinya mendapatkan keringanan hukuman yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup.

Keputusan tersebut ditimbulkan oleh perasaan takut tokoh „‟Je‟‟ yang semakin mendekati waktu pelaksanaan eksekusi semakin membesar.

(35) LDJDC/II/65 Ô ma grâce! Ma grâce! On me fera peut-être grâce. Le roi ne m‟en veut pas. Qu‟on aille chercher mon avocat ! Vite l‟avocat ! –Je veux bien des galères. Cinq ans de galères, et que tout soit dit, -où vingt ans, -où à perpétuité avec le fer rouge. Mais grâce de la vie ! Un forçat, cela marche encore, cela va et vient, cela voit le soleil. Oh ! Grasiku ! Barangkali aku mendapat grasi. Raja tidak marah padaku. Panggil pembelaku ! Pembelaku, cepat ! Aku bersedia dihukum kerja paksa, dan habis urusan, -atau dua puluh tahun-atau selamanya dengan besi membara. Tapi tolong, ampuni hidupku ! Seorang hukuman kerja paksa masih bisa berjalan, bisa mondar- mandir, bisa melihat matahari.

Beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi, tokoh „‟Je‟‟ menghabiskan waktunya untuk merenung. Setelah memikirkan nasib putri kecilnya yang malang, tiba-tiba dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ terbesit pikiran tentang gambaran pelaksanaan hukuman mati yang membuat dirinya merasa ngeri walaupun hanya membayangkannya. Memikirkan hal tersebut membuat rasa takut tokoh „‟Je‟‟ semakin menjadi-jadi. Tokoh „‟Je‟‟ yang merasa takut menjadi tidak terkendali. Ia

147

berharap dirinya masih memiliki harapan menghindari hukuman mati yang sangat mengerikan tersebut dengan mengajukan grasi. Ia bersedia dihukum kerja paksa asalkan dapat menghindari pelaksanaan hukuman mati. Ia sadar bahwa jika mendapatkan hukuman kerja paksa, dirinya masih dapat melihat matahari, masih dapat berjalan mondar-mandir. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Ô ma grace!

Ma grâce! On me fera peut-être grâce. Le roi ne m‟en veut pas. Qu‟on aille chercher mon avocat ! Vite l‟avocat ! –Je veux bien des galières. Cinq ans de galères, et que tout soit dit, -où vingt ans, -où à perpétuité avec le fer rouge. Mais grâce de la vie ! Un forçat, cela marce encore, cela va et vient, cela voit le soleil „‟

(Oh ! Grasiku ! Barangkali aku mendapat grasi. Raja tidak marah padaku.

Panggil pembelaku ! Pembelaku, cepat ! Aku bersedia dihukum kerja paksa, dan habis urusan, -atau dua puluh tahun-atau selamanya dengan besi membara. Tapi tolong, ampuni hidupku ! Seorang hukuman kerja paksa masih bisa berjalan, bisa mondar-mandir, bisa melihat matahari). Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang menjadi tidak terkendali dikarenakan rasa takutnya setelah membayangkan situasi ketika pelaksanaan hukuman mati. Ia meminta pengacaranya untuk mengajukan grasi dengan harapan raja dapat memberinya pengampunan. Penulis menggambarkan kepanikan tokoh „‟Je‟‟ dengan menggunakan tanda pentung di setiap akhir kalimat.

Dari ke-28 data yang telah dideskripsikan penulis menggunakan teknik dramatik pada halaman-halaman sebelumnya, penulis menemukan bahwa tokoh

„‟Je‟‟ adalah seseorang yang memiliki karakter temperamental, egois, acuh tak acuh,

148

penakut, suka mengeluh, penuh pengharapan, tidak konsisten, suka berpikir, penyayang, dan seseorang yang percaya akan adanya Tuhan (baragama).

4.2 Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance Conflict)

Menurut Atkinson, Atkinson, dan Hilgard.

Konflik mendekat-menghindar (Approach-avoidance conflict) merupakan konflik yang terjadi apabila seseorang dihadapkan kepada tujuan yang menarik sekaligus berbahaya sehingga dirinya mengalami kebimbangan ketika menentukan apakah yang harus dilakukannya. Pada jarak tertentu tujuan itu tampak menarik sehingga menimbulkan reaksi mendekat. Tetapi perasaan adanya bahaya meningkat ketika tujuan itu didekati dan individu cendrung menarik diri ketika dirinya sudah mendekati insentif tersebut.

Tokoh „‟Je‟‟ mengalami konflik mendekat-menghindar tersebut berawal ketika dirinya melakukan sebuah kejahatan dan kemudian menjadi seorang terpidana.

Tokoh „‟Je‟‟ mendapatkan keharusan menghadiri persidangan untuk mendengarkan keputusan hukumannya (tujuan). Tokoh „‟Je‟‟ selalu dihantui oleh rasa takut dan kekhawatiran akan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Hakim ketua kepadanya adalah hukuman mati (tujuan yang berbahaya). Pikiran-pikiran tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa takut untuk menjalani persidangan. Namun, harapan tokoh „‟Je‟‟ akan kemungkinan Hakim ketua menjatuhkan keputusan hukuman bebas

(tujuan yang menarik) membuat dirinya tidak lagi merasa takut ketika akan menjalani persidangan. Reaksi tokoh „‟Je‟‟ tersebut terlihat ketika dirinya menghadiri persidangan terakhir di mana Hakim ketua akan membacakan keputusan

149

hukumanya. Harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kebebasan membuat dirinya menjadi lebih bersemangat untuk mengikuti jalannya persidangan pada detik-detik sebelum persidangan dimulai.

Dalam data ke-1 berikut penulis menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ selalu dihantui oleh rasa takut dan rasa khawatir akan kemungkinan hukuman yang akan diputuskan hakim kepadanya adalah hukuman mati (tujuan yang berbahaya). Pikiran- pikiran tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa takut menjalani persidangan. Penulis menggambarkan pikiran-pikiran buruk tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori.

(1) LDJDC/I/2 Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. Je viens de m‟éveiller en sursaut, poursuivi par elle et me disant : - Ah! Ce n‟est qu‟un rêve ! - Hé bien ! Avant même que mes yeux lourds aient eu le temps de s‟entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l‟horrible réalité qui m‟entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré mon oreille :- Condamné à mort !

Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian:

150

hukuman kematian! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, pikiran yang menyiksa itu seperti hantu timah di sisiku, sendiri dan cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang menyedihkan dan menggerakkan kedua tangannya yang sedingin es ketika aku memalingkan kepala dan membuka mata. Ia menyusup di bawah semua bentuk di mana pikiranku ingin menghindarinya, bercampur seperti sebuah nyayian menyeramkan kepada semua kata-kata yang ditujukan padaku, menempel denganku di terali besi menggerikan di selku yang gelap; menghantuiku saat terbangun, mengawasi ku saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau. Tersentak bangun aku dikejarnya, kemudian aku berkata pada diriku sendiri : -Ah, itu hanya mimpi ! –Oh, ya ? bahkan sebelum mataku yang berat memiliki sedikit waktu membuka untuk melihat pikiran yang mencelakakan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di atas ubin yang basah dan selku yang menjengkelkan, dalam cahaya-cahaya buram dari lampu malamku, dalam tenunan kasar kain pakaianku, di atas wajah suram serdadu penjaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, ia sudah seolah-olah suara bisikan di telingaku: - Hukuman kematian !

Semenjak menjadi seorang terpidana, tokoh „‟Je‟‟ selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ telah berusaha untuk tidak memikirkannya, namun pikiran-pikiran buruk tersebut selalu saja datang mengganggunya di setiap saat, baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tertidur. Penulis menggambarkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon

151

sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. „‟ yang dapat diartikan (Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: hukuman kematian! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, pikiran yang menyiksa itu seperti hantu timah di sisiku, sendiri dan cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang menyedihkan dan menggerakkan kedua tangannya yang sedingin es ketika aku memalingkan kepala dan membuka mata. Ia menyusup di bawah semua bentuk di mana pikiranku ingin menghindarinya, bercampur seperti sebuah nyayian menyeramkan kepada semua kata-kata yang ditujukan padaku, menempel denganku di terali besi menggerikan selku yang gelap; menghantuiku saat terbangun, mengawasi ku saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi- mimpiku dalam bentuk pisau).

Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati. Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ selalu dirundung rasa khawatir. Pikiran- pikiran yang sangat mengerikan tersebut selalu membuat tokoh „‟Je‟‟ tersiksa. Tokoh

„‟Je‟‟ tidak pernah merasa tenang karena pikiran-pikiran buruk tersebut tidak pernah berhenti muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ meskipun dirinya telah berusaha untuk tidak memikirkannya. Pikiran-pikiran buruk tersebut seolah-olah tidak memberi sedikit pun peluang kepada tokoh „‟Je‟‟ untuk memikirkan hal lain. Pikiran-pikiran itu selalu muncul ketika tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan hati dan pikirannya dengan cara berpikir positif. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mencoba menghindari pikiran- pikiran yang sangat mengerikan tersebut dengan cara dengan sengaja memalingkan

152

kepala dan memejamkan matanya, akan tetapi pikiran-pikiran tersebut tetap saja datang dengan tiba-tiba sehingga membuat dirinya bangun karena terkejut. Pikiran- pikiran tentang hukuman mati muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ dalam berbagai bentuk dan cara, terkadang muncul menimrung dalam bentuk kata-kata yang selalu mengalir ditelinganya ketika terdapat kata-kata yang ditujukan kepadanya, menghantuinya dan memata-matainya di saat terjaga seolah-olah menempel di terali besi selnya, dan kemudian muncul kembali dalam bentuk mimpi-mimpi buruk yang membuat dirinya tidur gelisah.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable.‟‟ yang dapat diartikan (Apa pun yang aku lakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, pikiran yang menyiksa itu seperti hantu timah di sisiku, sendiri dan cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang menyedihkan.) untuk menunjukkan bahwa pikiran- pikiran buruk itu sangat menyeramkan dan menakutkan. Tokoh „‟Je‟‟ merasa pikiran-pikiran buruk tersebut seolah-olah seperti hantu yang selalu berada didekatnya. Selain itu, penulis menggambarkan bahwa pikiran tentang kemungkinan hukuman mati adalah satu-satunya pikiran yang terdapat di dalam kepala tokoh

„‟Je‟‟. Pikiran-pikiran tersebut senantiasa datang mengalahkan pikiran-pikiran yang lain. Seakan-akan hanya pikiran buruk tentang hukuman mati saja yang boleh ada di dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟.

Klausa „‟se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ‟‟ (bercampur

153

seperti sebuah nyayian menyeramkan kepada semua kata-kata yang ditujukan padaku, menempel denganku di terali besi menggerikan selku yang gelap) untuk menggambarkan betapa pikiran-pikiran buruk tentang kumungkinan hukuman mati tidak pernah berhenti menghantui tokoh „‟Je‟‟. Selain itu, penulis menggunakan klausa „‟ reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau „‟ (muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau) untuk menggambarkan pikiran- pikiran buruk tentang hukuman mati juga mengganggu tokoh „‟Je‟‟ di setiap saat tanpa terkecuali ketika dirinya sedang dalam keadaan tidur yaitu dalam bentuk mimpi buruk.

Klausa „‟ Je viens de m‟éveiller en sursaut „‟ (Saya akan terloncat bangun dari tidur) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang selalu terbangun dari tidurnya disebabkan oleh mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya, kalimat-kalimat „‟- Ah!

Ce n‟est qu‟un rêve !„‟ (-Ah, itu hanya mimpi !) untuk menggambarkan rasa lega tokoh „‟Je‟‟ ketika sadar hal-hal buruk yang terjadi pada dirinya hanyalah sebuah mimpi, dan kalimat „‟-Hé bien !„‟ (–Oh, ya ?) menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba meyakinkan dirinya yang masih sedikit ragu bahwa hal-hal buruk tersebut benar-benar hanya sebuah mimpi. Keraguan tokoh „‟Je‟‟ digambarkan penulis dengan penggunaan tanda tanya pada kata dalam tanda kutip di atas.

Tokoh „‟Je‟‟ yang sejenak merasa lega, setelah sadar bahwa hal-hal buruk yang terjadi padanya hanyalah sebuah mimpi. Namun, kelegaannya tidak berlangsung lama, beberapa saat kemudian tokoh „‟Je‟‟ akhirnya kembali tersadar akan keadaannya yang sebenarnya. Pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati kembali datang menghatuinya. Tokoh „‟Je‟‟ pun akhirnya kembali

154

merasa khawatir dan menjadi gelisah. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut „‟ Avant même que mes yeux lourds aient eu le temps de s‟entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l‟horrible réalité qui m‟entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré mon oreille : - Condamné à mort ! „‟ (Bahkan sebelum mataku yang berat memiliki waktu sedikit membuka untuk melihat pikiran yang mencelakakan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di atas ubin yang basah dan selku yang menjengkelkan, dalam cahaya-cahaya buram dari lampu malamku, dalam tenunan kasar kain pakaianku, di atas wajah suram serdadu penjaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, ia sudah seolah-olah suara bisikan di telingaku: - Hukuman mati !).

Kutipan di atas menggambarkan betapa cepat pikiran-pikiran buruk tentang hukuman mati kembali menghantui tokoh „‟Je‟‟ setelah dirinya terbangun dari tidurnya yang disebabkan oleh mimpi buruk. Pikiran-pikiran buruk itu datang kembali dengan sangat cepat padahal tokoh „‟Je‟‟ belum sempat membuka matanya untuk meyaksikan kenyataan melalui keadaan di sekitarnya. Contohnya, pikiran- pikiran tentang kemungkinan keputusan hukuman mati yang tersirat di selnya yang memiliki ubin yang basah dan di selnya yang menjengkelkan, yang tersirat di penerangan sebuah lampu yang tidak mampu menghilangkan kesuraman di dalam sel yang sangat gelap, yang tersirat di dalam pakaiannya yang terbuat dari kain yang

155

kasar, dan yang tersirat di wajah suram serdadu yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selnya.

Pikiran-pikiran buruk tokoh „‟Je‟‟ terhadap kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah hukuman mati seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengakibatkan tokoh „‟Je‟‟ merasa ketakutan setiap menghadiri persidangan (reaksi menjauh). Hal tersebut dapat dilihat dari tingkah laku tokoh „‟Je „‟ ketika mengetahui bahwa dirinya akan kembali menghadiri persidangan setelah penjaga mengingatkan dirinya seperti yang di gambarkan oleh penulis dengan menggunakan teknik tingkah laku pada data ke-2 di bawah ini.

(2) LDJDC/II/4 Je me levai ; mes dents claquaient, mes mains tremblaient et ne savaient où trouver mes vêtements, mes jambes étaient faibles. Au premier pas que je fis, je trébuchai comme un portefaix trop chargé. Cependant je suivis le geôlier.

Aku bangkit, gigiku bergemelatuk, tanganku gemetar dan tidak dapat menemukan pakaianku, kakiku terasa lemas. Begitu melangkah, aku langsung terhuyung-huyung seperti kuli angkut memanggul beban terlalu berat. Biarpun begitu saya mengikuti sipir penjara.

Setelah beberapa hari menghadiri persidangan, tokoh „‟Je‟‟ merasa bosan dan letih. Ia tertidur pulas di malam ke tiga sejak persidangan dimulai. Ia terbangun ketika seorang penjaga membangunkannya dengan cara yang kasar. Setelah terbangun dari tidur lelapnya, tokoh „‟Je‟‟ menjadi bingung. Ia seolah-olah lupa dengan apa yang telah terjadi pada dirinya dan terlena memandang pantulan sinar matahari yang masuk melewati jendela kecil yang terletak sangat tinggi dan di langit- langit lorong di sebelah selnya. Ia sangat menikmati pemandangan tersebut dan

156

sejenak dapat melupakan apa yang sedang dialaminya. Namun hal itu sirna ketika penjaga akhirnya mengingatkan tokoh „‟Je‟‟ bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan. Setelah menyadari hal tersebut, tokoh „‟Je „‟ kembali dihantui oleh pikiran-pikiran buruk mengenai kemungkinan hukuman mati dan pikiran tentang suasana persidangan yang begitu mengerikan. Rasa takutnya kembali muncul setelah sejenak hilang.

Hal tersebut di atas dapat kita lihat dari tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ setelah penjaga mengingatkan bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan yang terdapat dalam kutipan „„Je me levai ; mes dents claquaient, mes mains tremblaient et savaient où trouver mes vêtements, mes jambes étaient faibles. Au premier pas que je fis, je trébuchai comme un portefaix trop chargé. Cependant je suivis le geôlier. „‟ (Aku bangkit, gigiku bergemelatuk, tanganku gemetar dan tidak dapat menemukan pakaianku, kakiku terasa lemas. Begitu melangkah, aku langsung terhuyung-huyung seperti kuli angkut memanggul beban terlalu berat. Biarpun begitu, saya mengikuti sipir penjara).

Penulis menggunakan frasa „‟ Mes dents claquaient, mes mains tremblaient

„‟ (gigiku bergemelatuk, tanganku gemetar) untuk menggambarkan tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ yang sedang merasa takut. Frasa „‟ ne savaient où trouver mes vêtements, mes jambes étaient faibles „‟ (tidak dapat menemukan di mana pakaianku, kakiku terasa lemas) untuk menggambarkan dampak dari rasa takut yang dialami tokoh „‟Je‟‟. Ia menjadi linglung dan badannya menjadi lemas. Selain itu, penulis menggunakan frasa „‟ Au premier pas que je fis, je trébuchai comme un portefaix trop chargé. „‟ (Begitu melangkah, aku langsung terhuyung-huyung

157

seperti kuli angkut memanggul beban terlalu berat.) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang sangat merasa terbebani setelah menyadari bahwa dirinya akan kembali menghadiri persidangan yang selalu membuatnya merasa ngeri.

Tetapi harapan tokoh „‟Je‟‟ bahwa kemungkinan Hakim ketua akan menjatuhkan keputusan hukuman bebas (tujuan yang menarik) membuat dirinya tidak lagi merasa takut ketika menjalani persidangan terakhir yaitu persidangan di mana hakim ketua akan membacakan keputusan akhir hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya (reaksi mendekat). Hal tersebutlah yang membuat tokoh „‟Je‟‟ menjadi lebih antusias dan bersemangat menjalani persidangan untuk mendengarkan keputusan hukumannya pada detik-detik sebelum persidangan dimulai. Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan yang dapat dilihat dalam data ke-3 di bawah ini.

(3) LDJDC/II/6 Inondé d‟air et de soleil, il me fut impossible de penser à autre chose qu‟à la liberté ; l‟espérance vint rayonner en moi comme le jour autour de moi ; et confiant, j‟attendis ma sentence comme on attend la délivrance et la vie.

Dipenuhi udara dan cahaya matahari, hal tersebut membuatku tidak mungkin memikirkan hal lain selain kebebasan. Harapan datang memancar kepadaku seperti hari disekelilingku dan mempercayai, aku menunggu hukumanku seperti orang menunggu kelahiran dan kehidupan.

Sesaat sebelum persidangan di mulai, tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan dirinya dapat bebas (tujuan yang menarik). Harapan tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ memiliki semangat baru. Tokoh „‟Je‟‟ yang sebelumnya merasa khawatir akan kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati, akhirnya mencoba menyingkirkan pikiran buruk tersebut dan menunggu keputusan hakim dengan penuh harapan dan

158

keyakinan bahwa dirinya dapat bebas (reaksi mendekat). Hal tersebut dapat kita lihat dari pikiran dan perasaan tokoh „‟Je‟‟ yang terdapat dalam kutipan „‟ il me fut impossible de penser à autre chose qu‟à la liberté ; l‟espérance vint rayonner en moi comme le jour autour de moi. „‟ yang dapat diartikan (Dipenuhi udara dan cahaya matahari, hal tersebut membuatku tidak mungkin memikirkan hal lain selain kebebasan. Harapan datang memancar kepadaku seperti hari disekelilingku).

Penulis menggunakan kalimat „‟ il me fut impossible de penser à autre chose qu‟à la liberté „‟ (Hal tersebut membuatku tidak mungkin memikirkan hal lain selain kebebasan) untuk menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas.

Selain itu kutipan „‟ L‟espérance vint rayonner en moi comme le jour autour de moi ; et confiant, j‟attendis ma sentence comme on attend la délivrance et la vie „‟

(Harapan datang memancar kepadaku seperti hari disekelilingku dan mempercayai, aku menunggu hukumanku seperti orang menunggu kelahiran dan kehidupan.) digunakan penulis untuk menunjukkan dampak timbulnya harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas. Ia menjadi lebih antusias dan bersemangat menanti hakim membacakan keputusan hukumannya.

4.3 Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance-Avoidance

Conflict) Menurut Atkinson, Atkinson, dan Hilgard.

Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance-Avoidance Conflict) ini timbul apabila seseorang dihadapkan pada keharusan untuk memilih di antara dua alternatif

159

negatif sehingga menimbulkan kebimbangan, karena menjauhi alternatif yang satu berarti harus memenuhi alternatif yang lain sama negatifnya (tidak menyenangkan).

Tokoh „‟Je‟‟ mengalami Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance-

Avoidance Conflict) ketika dirinya menjalani persidangan terakhir yaitu persidangan di mana Hakim ketua akan membacakan keputusan hukumannya. Setelah akhirnya keputusan sementara diumumkan yaitu hukuman mati, Hakim ketua memberikan kesempatan kepada tokoh „‟Je‟‟ dan pengacaranya untuk melakukan pembelaan.

Pada saat inilah, tokoh „‟Je‟‟ dihadapkan pada keharusan untuk memilih diantara dua alaternatif negatif yaitu melakukan pembelaan agar supaya hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya dapat menjadi lebih ringan yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup seperti harapan pengacaranya yang telah membuat tokoh „‟Je‟‟ sakit hati

(alternatif negatif) atau tidak melakukan pembelaan dan membiarkan Hakim ketua menjatuhkan hukuman mati seperti yang diharapkannya daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup meskipun hal tersebut juga sangat ditakutinya

(alternatif negatif).

Hal tersebut di atas menimbulkan konflik pada tokoh „‟Je‟‟ karena bila dirinya memilih salah satu diantara keduanya tetap akan menimbulkan nilai negatif baginya, yaitu meski tokoh „‟Je‟‟ melakukan pembelaan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya adalah hukuman kerja paksa seumur hidup dan jika tidak melakukan pembelaan kemungkinan besar dirinya akan mendapatkan hukuman mati. Meski di dalam hati tokoh „‟Je‟‟ terjadi pergolakan batin, ia akhirnya lebih memilih berdiam diri dan tidak melakukan pembelaan. Ia bahkan mencoba menghentikan pengacara yang sedang melakukan pembelaan agar hukumannya dapat

160

menjadi lebih ringan yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut disebabkan oleh kemarahan tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar terhadap pengacaranya.

Hakim ketua akhirnya memutuskan hukuman mati kepada tokoh „‟Je‟‟. Hal tersebut di atas dapat kita lihat dalam data ke-4 dan data ke-5 pada halaman 163.

Data ke-4 berikut menunjukkan bahwa pengacara berharap Hakim ketua akan mengesampingkan unsur terencana sehingga hukuman yang akan dijatuhkan kepada tokoh „‟Je‟‟ menjadi lebih ringan yaitu menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup

(alternatif negatif). Karakter tokoh „‟Je‟‟ yang temperamen dan egois tidak dapat menerima harapan pengacaranya tersebut dengan mengatakan lebih memilih mendapatkan keputusan hukuman mati. Penulis menunjukkan hal tersebut dengan menggunakan teknik cakapan yang dapat dilihat pada data ke-4 berikut ini.

(4) LDJDC/II/7 Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. +J‟espère, me dit-il. -N‟est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. +Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. -Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

Namun pengacaraku tiba. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan pagi dengan banyak dan dengan lahap. Sampai ditempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum. -Mudah-mudahan, katanya kepadaku. -Benarkah! Jawabku ringan, juga sambil tersenyum. -Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mereka mungkin mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, sehingga menjadi kerja paksa seumur hidup. -Bapak ini bicara apa? Tukasku marah, seratus kali lebih baik kematian!

161

Persidangan akhirnya dimulai setelah pengacara yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ketika sampai di tempat duduknya, pengacara tersebut mencondongkan tubuhnya ke arah tokoh „‟Je‟‟ dan mengatakan „‟ J‟espère „‟ (Saya berharap). Kata „Saya berharap‟ dalam kutipan mengandung makna harapan pegacara agar supaya apa yang diharapkannya dapat terkabul. Tokoh „‟Je‟‟ yang belum tahu apa yang diharapkan oleh pengacaranya kemudian menjawab dengan penuh rasa senang, keyakinan dan ketegasan dengan mengatakan „‟ N‟est-ce pas ? „‟

(Benarkah!). Kata „benarkah !‟ dalam kutipan mengandung makna perasaan senang tokoh „‟Je‟‟ karena pengacaranya menunjukkan reaksi positif. Penulis menggunakan tanda seru pada kata benarkah berfungsi untuk menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ bahwa pengacaranya benar-benar berusaha untuk membuat dirinya mendapatkan kebebasan.

Namun beberapa saat kemudian, pengacara tokoh „‟Je‟‟ akhirnya mengatakan bahwa dirinya berharap Hakim ketua dapat memperingan hukuman tokoh „‟Je‟‟ menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis menunjukkan harapan pembela dalam kutipan „‟ Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. „‟ (Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mereka mungkin mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, sehingga menjadi kerja paksa seumur hidup). Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki karakter temperamen tiba-tiba marah. Ia terkejut ketika mendengar pernyataan pengacara yang tidak sesuai seperti harapan hatinya. Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi kemudian berdalih bahwa dirinya lebih memilih mendapat hukuman mati

162

daripada harus dihukum kerja paksa seumur hidup. Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dari pertanyaan yang ditujukannya kepada pembela dalam kutipan „‟ - Que dites- vous là, Monsieur ?„‟ (- Bapak ini bicara apa?). Penulis menggunakan tanda tanya dalam kutipan di atas untuk menggambarkan keterkejutan dan ketidakpahaman tokoh

„‟Je‟‟ terhadap pernyataan pengacaranya yang sangat bertolak belakang dengan harapannya.

Selain membuat tokoh „‟Je‟‟ terkejut, pernyataan pengacara tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki temperamen yang tinggi tiba-tiba marah setelah mendengarnya. Harga diri yang tinggi membuat dirinya tidak dapat menerima pemikiran pengacara yang tidak sependapat dengannya. Sifat egois tokoh „‟Je‟‟ membuat dirinya memutuskan untuk lebih memilih keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah seratus kali lebih baik hukuman mati daripada harus mendapat keputusan hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari kata-kata tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟- Plutôt cent fois la mort ! „‟ (-

Seratus kali lebih baik kematian!). Penulis menggunakan tanda seru pada akhir kalimat untuk menggambarkan rasa marah tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar.

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan keputusan hukumannya adalah hukuman mati daripada harus mendapatkan keputusan hukuman kerja paksa seumur hidup seperti yang diharapkan oleh pengacaranya. Meskipun pada kenyataannya tokoh „‟Je‟‟ sangat takut dan tidak pernah mengharapkan hukuman kematian akan dijatuhkan kepada dirinya (alternatif negatif). Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan yang dapat dilihat pada data ke-5 yang dideskripsikan penulis pada halaman 164.

163

(5) LDJDC/II/7 Oui, la mort ! –Et d‟ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure, qu‟est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ? Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.

Ya, kematian ! -Dan lagi, mengulang, aku tidak tahu apa suara batin, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ? Bukankah hukuman kematian hanya dijatuhkan di tengah malam saja, obor-obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam yang dingin dari hujan dan di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin ! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.

Setelah mendengar pernyataan pengacara yang mengatakan bahwa dirinya berharap dapat membuat hukuman tokoh „‟Je‟‟ menjadi lebih ringan yaitu menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup, tokoh „‟Je‟‟ yang tadinya tidak terpikir akan hal tersebut tiba-tiba marah dan kemudian bersikap kekanak-kanakan dengan berdalih mengatakan bahwa dirinya lebih memilih mendapatkan keputusan hukuman mati daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup. Keinginan tersebut dapat dilihat dalam kutipan „‟Oui, la mort !’’ (Ya, kematian !). Penulis menggunakan kalimat dalam kutipan di samping untuk menunjukkan pilihan yang telah membuat tokoh „‟Je‟‟ menjadi bimbang yaitu pilihan akan kemungkinan hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ mencoba memastikan dan meyakinkan kembali dirinya bahwa hukuman mati benar-benar menjadi pilihannya.

Meskipun telah mencoba meyakinkan hatinya, tokoh „‟Je‟‟ tetap saja merasa khawatir terhadap kata-kata yang telah diucapkannya. Kekhawatiran itu timbul karena pada kenyataannya tokoh „‟Je‟‟ sangat takut dan tidak pernah berharap

164

dirinya akan mendapatkan hukuman kematian. Penulis menggambarkan kekhawatiran tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟ Qu‟est-ce que je risque à dire cela ? A-t- on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ? Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible !

Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil „‟ yang dapat diartikan (Apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ? Bukankah hukuman kematian hanya dijatuhkan di tengah malam saja, obor-obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam yang dingin dari hujan dan di musim dingin ? Tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin ! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu).

Kutipan di atas menggambarkan perasaan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa khawatir setelah mengatakan bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati daripada harus mendapatkan hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ yang mulai sadar akan rasa khawatir yang dirasakannya, mencoba menenangkan hatinya dengan mengatakan pada dirinya untuk tidak merasa khawatir. Ia mencoba menghibur dirinya dengan mengatakan pada dirinya bahwa biasanya hukuman kematian hanya dijatuhkan pada tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin. Namun, keputusan hukumannya akan dibacakan di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para Dewan hakim yang baik. Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan dirinya dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa keputusan

165

hukuman mati tidak mungkin dijatuhkan di hari seindah dan secerah pagi itu. Ia seolah-olah berharap keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim ketua kepadanya bukanlah hukuman kematian seperti yang telah diucapkannya kepada pengacaranya karena marah.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Qu‟est-ce que je risque à dire cela ? „‟

(Apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan dirinya yang mulai merasa khawatir terhadap kata-kata yang telah diucapkannya. Selain itu penulis juga menggunakan kutipan „‟ A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ?

Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil. „‟

(Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin !

Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang diam-diam masih berharapan keputusan hakim bukanlah hukuman mati. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa hukuman mati selalu dijatuhkan pada musim dingin, di tengah malam, di ruang yang gelap dan suram, dan tentunya di malam hari. Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan ketika persidangan tokoh „‟Je‟‟

166

sedang berlangsung. Karena itulah, tokoh „‟Je‟‟ berharap keputusan hakim ketua bukan hukuman kematian.

4.4 Akibat Konflik Psikologis dan Reaksi Tokoh Menurut

Atkinson, Atkinson, dan Hilgard.

Pada sub sub bab ini penulis mendeskripsikan akibat dari konflik psikologis yang dialami tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya

Victor Hugo beserta reaksi tokoh berdasarkan data penokohan yang telah dianalisis sebelumnya. Penulis akan mendeskripsikan jenis-jenis konflik dan akibat disertai reaksi-reaksi tersebut dengan menggunakan teori Rita L. Atkinson, Richard C.

Atkinson, dan Ernest R. Hilgard tersebut satu persatu berikut ini.

4.4.1 Akibat Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance Conflict)

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering mengalami terjadinya konflik, jika mengalami konflik perasaaan yang muncul adalah rasa keragu-raguan juga terkadang konflik menimbulkan reaksi-reaksi tertentu terhadap seseorang yang mengalami konflik. Batin atau hati nurani dalam kehidupan sehari-hari berfungsi sebagai hakim yang adil, apabila di dalam kehidupan manusia itu sering mengalami konflik, pertentangan atau keragu-raguan, batin akan bertindak sebagai pengontrol yang kritis, sehingga manusia sering diperingatkan untuk selalu bertindak menurut batas-batas tertentu berdasarkan norma yang konvensional dalam masyarakat. Di samping sebagai pengontrol, batin juga berfungsi sebagai alat pembimbing untuk

167

membawa pribadi dari keadaan yang biasa ke arah pribadi yang bertanggung jawab, berdisiplin, adil, dan konsekuen.

Terlalu sering melakukan kegiatan yang bertentangan dengan suara batin hanya menyebabkan pecahnya pribadi seseorang, akibat individu selalu merasakan konflik-konflik jiwa yang tidak berkesudahan. Sebagai akibatnya pribadi yang dihinggapi konflik itu tidak mengenal atau tidak menyadari lagi apakah yang dilakukannya. Berdasarkan konflik psikologi tersebut di atas, menurut Atkinson, Rita

L. dkk. (1983:203-225) akibat dan reaksi terhadap akibat tersebut adalah seperti yang akan dideskripsikan satu persatu oleh penulis berikut ini.

4.4.1.1 Frustrasi

Frustrasi terjadi bila gerak ke arah tujuan yang diinginkan terhambat atau tertunda. Berbagai hambatan, baik eksternal maupun internal, dapat mengganggu usaha seseorang untuk mencapai tujuan.

Tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné mengalami konflik yang tergolong ke dalam Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-

Avoidance Conflict). Ia mengalami frustrasi yang disebabkan harapannya untuk mendapatkan kebebasan terhambat setelah dirinya menjadi seorang terpidana. Hal tersebut disebabkan adanya berbagai hambatan eksternal seperti keadaan di mana dirinya dipenjara di dalam sebuah sel dan keadaan di mana pembela memiliki harapan yang berbeda dengan dirinya yaitu harapan akan kemungkinan keputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman kerja paksa seumur hidup. Selain itu, terdapat juga hambatan internal seperti pikiran-pikiran buruk yang selalu menghantuinya yaitu pikiran tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan Hakim ketua

168

kepadanya. Pikiran-pikiran yang menakutkan tersebut selalu mengisi pikiran tokoh

„‟Je‟‟ dalam berbagai bentuk sehingga tokoh „‟Je‟‟ tidak lagi memiliki kebebasan berpikir. Hal tersebut dapat dilihat pada data ke-1 dan data ke-2 pada halaman 171.

Data ke-1 menunjukkan keadaan tokoh „‟Je‟‟ yang terkurung di dalam penjara (hambatan eksternal) dan keadaan ketika tokoh „‟Je‟‟ menjadi seorang tawanan yang selalu dihantui oleh rasa takut yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim kepadanya

(hambatan internal). Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori dalam kutipan yang bercetak tebal di bawah ini.

(1) LDJDC/I/2 Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable. Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana. Pada awal cerita diceritakan bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seseorang seperti orang pada umumnya yang memiliki kebebasan melakukan apapun yang diinginkannya. Memiliki kebebasan untuk berpikir kapanpun dan dimanapun dirinya berada. Ia adalah orang yang sangat senang berangan-angan tentang banyak hal.

Namun, semua itu berubah setelah dirinya melakukan kesalahan dan kemudian

169

menjadi seorang terpidana. Tokoh „‟Je‟‟ terpenjara di sebuah sel yang membuat dirinya tidak lagi memiliki kebebasan seperti sebelumnya (hambatan eksternal).

Selain itu, ia selalu dihantui oleh rasa takut yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruknya akan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Hakim ketua kepadanya adalah hukuman mati. Pikiran-pikiran buruk tersebut sangat mengerikan dan tidak pernah berhenti menghantui pikiran tokoh „‟Je‟‟. Keadaan tersebutlah yang membuat tokoh „‟Je‟‟ selalu dihantui oleh rasa takut dan merasa tidak lagi memiliki kebebasan berpikir seperti sebelum dirinya menjadi seorang terpidana.

Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam kutipan yaitu „‟ Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable „‟ yang dapat diartikan (Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan satu kepastian: Dihukum kematian! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana).

Penulis menggunakan kutipan „‟ Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée „‟ (Sekarang aku

170

menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran) untuk menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang narapidana yang dipenjara di sebuah sel. Selain itu penulis menggunakan kalimat „‟

Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! „‟ (Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan satu kepastian:

Dihukum kematian !) untuk menunjukkan bahwa dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ tidak ada pikiran lain selain pikiran buruknya akan kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan Hakim ketua kepada dirinya adalah hukuman mati. Keyakinan dan kepastian tokoh „‟Je‟‟ akan pikiran buruknya tersebut dapat dilihat dari penggunaan tanda seru oleh penulis pada kalimat „‟Condamné à mort !’’ (Di hukum kematian !).

Selain itu, penulis juga menggunakan kalimat „‟Une horrible, une sanglante, une implacable idée !‟‟ (Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan.) untuk menggambarkan betapa mengerikan pikiran-pikiran buruk tokoh „‟Je‟‟ terhadap kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati. Pikiran tersebut selalu datang dalam pikiran tokoh

„‟Je‟‟ dan tidak dapat dialihkan sehingga dirinya tidak lagi memiliki kebebasan untuk berpikir.

Selain itu, hambatan eksternal yang mengakibatkan tidak terpenuhinya harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kebebasan yaitu pengacara yang memiliki harapan bahwa keputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut ditunjukkan oleh penulis dengan menggunakan teknik cakapan yang dapat dilihat pada data ke-2 yang dideskripsikan penulis pada halaman 172.

171

(2) LDJDC/II/7 Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. + J‟espère, me dit-il. - N‟est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. + Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. - Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

Di saat itu pengacaraku tiba. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dengan lahap. Sampai ditempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum. + Mudah-mudahan, katanya kepadaku. - Benarkah! Jawabku ringan, juga sambil tersenyum. + Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga menjadi kerja paksa seumur hidup. - Bapak ini bicara apa? Tukasku marah, seratus kali lebih baik kematian!

Detik-detik sebelum persidangan dimulai tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan bahwa keputusan hakim adalah kebebasaan. Persidangan pun akhirnya dimulai setelah pengacara tokoh „‟Je‟‟ yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ketika sampai di tempat duduknya, pengacara mencondongkan tubuhnya ke arah tokoh

„‟Je‟‟ dan mengatakan „‟ + J‟espère „‟ (+ Saya berharap). Kata „berharap‟ dalam kutipan tersebut mengandung makna harapan pengacara agar supaya apa yang diharapkannya dapat terkabul. Tokoh „‟Je‟‟ yang belum mengetahui apa yang diharapan oleh pengacaranya kemudian menjawab dengan penuh rasa senang, keyakinan dan dengan tegasan mengatakan hal seperti dalam kutipan „‟- N‟est-ce pas ! „‟ (- Benarkah !). Kata benarkah dalam kutipan tersebut menunjukkan rasa senang tokoh „‟Je‟‟ karena mengatahui bahwa pengacara mengharapkan hal positif

172

terhadap kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Tokoh

„‟Je‟‟ berharap keputusan hukumannya adalah kebebasan. Penulis menggunakan tanda seru pada kata benarkah berfungsi untuk menggambarkan keyakinan dan ketegasan tokoh „‟Je‟‟ bahwa dirinya merasa senang dan memiliki harapan bahwa pengacaranya dapat melakukan yang terbaik sehingga dirinya mendapatkan kebebasan seperti yang selalu diharapkannya.

Namun, rasa senang yang dirasakan tokoh „‟Je‟‟ tiba-tiba hilang dan berganti dengan perasaan terkejut dan marah ketika akhirnya dirinya mengetahui bahwa harapan yang dimaksud oleh pengacaranya adalah harapan agar supaya Hakim ketua mengesampingkan unsur terencana sehingga hukuman yang akan dijatuhkan kepada tokoh „‟Je‟‟ menjadi lebih ringan yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis menunjukkan harapan pengacara tersebut dalam kutipan „‟ + Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité „‟ (+ Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga menjadi kerja paksa seumur hidup). Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki karakter temperamen tiba-tiba marah. Ia terkejut mendengar pernyataan pengacaranya tersebut karena sangat bertolak belakang dengan harapan hatinya. Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi kemudian berdalih bahwa dirinya lebih memilih mendapat hukuman mati daripada harus dihukum kerja paksa seumur hidup. Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dari pertanyaan yang ditujukannya kepada pengacara dalam kutipan „‟ - Que dites-vous là,

Monsieur ?„‟ (- Bapak ini bicara apa?). Penulis menggunakan tanda tanya dalam

173

kutipan di atas untuk menggambarkan keterkejutan dan ketidakpahaman tokoh „‟Je‟‟ terhadap pernyataan pengacaranya yang sangat bertolak belakang dengan harapannya.

Selain membuat tokoh „‟Je‟‟ terkejut, pernyataan pengacara tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki temperamen yang tinggi tiba-tiba marah setelah mendengarnya. Harga diri yang tinggi membuat dirinya tidak dapat menerima pemikiran pengacara yang tidak sependapat dengannya. Sifat egois tokoh „‟Je‟‟ membuat dirinya memutuskan untuk lebih memilih keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah seratus kali lebih baik hukuman mati daripada harus mendapat keputusan hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari kata-kata tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟- Plutôt cent fois la mort ! „‟ (-

Seratus kali lebih baik kematian!). Penulis menggunakan tanda seru pada akhir kalimat untuk menggambarkan rasa marah tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar. Setelah mendengar pernyataan pengacaranya dan akhirnya berdalih lebih memilih hukuman mati, harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kebebasan akhirnya sedikit demi sedikit sirna (hambatan eksterrnal). Reaksi tokoh „‟Je‟‟ yang lebih memilih hukuman mati daripada mendapatkan hukuman kerja paksa seumur hidup tersebut di atas juga akan dibahas penulis dalam data yang akan mendeskripsikan tentang reaksi tokoh pada sub bab berikutnya.

Penulis akan mendeskripsikan satu per satu reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh tokoh „‟Je‟‟ ketika mengalami frustrasi berikut ini.

174

4.4.1.1.1 Agresi

Reaksi yang timbul ketika dalam situasi frustrasi, biasanya seseorang tampak gelisah dan tidak senang: mereka menggerutu, resah, dan mengeluh, dan dalam banyak hal, seseorang yang mengalami frustrasi tidak dapat mengekspresikan agresi terhadap sumber frustrasi. Kadang-kadang sumber itu tidak jelas. Orang itu tidak tahu apa yang akan diserang tetapi dirinya merasa marah dan mencari sesuatu yang diserang, kadang-kadang seseorang yang menyebabkan frustrasi itu terlalu kuat sehingga serangan terhadap orang itu akan menimbulkan bahaya.

Tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné mengalami frustrasi sehingga dirinya tampak gelisah dan tidak senang. Kegelisahan dan perasaan tidak senang tokoh „‟Je‟‟ tersebut disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk akan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Hakim ketua kepadanya adalah hukuman mati dan suasana jalannya persidangan yang sangat mengerikan. Reaksi yang timbul ketika tokoh „‟Je‟‟ mengalami kegelisahan dan perasaan tidak senang di atas yaitu berupa keluhan karena tokoh „‟Je‟‟ tidak mungkin mengekspresikan agresi terhadap sumber frustrasi. Tokoh „‟Je‟‟ mengeluh akan keadaan yang dialaminya setelah berada di dalam penjara. Ia mengeluh karena dirinya tidak lagi memiliki kebebasan berangan-angan seperti ketika dirinya belum menjadi seorang terpidana.

Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ juga mengeluh terhadap keadaannya yang selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati yang selalu membuatnya gelisah. Penulis menggambarkan keluhan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dalam data ke-3 pada halaman 176 dan ke-4 pada halaman 179.

175

Data berikut menunjukkan tokoh „‟Je‟‟yang mengeluh terhadap keadaan yang dialaminya setelah dirinya berada di penjara. Tokoh „‟Je‟‟ merasa tidak lagi memiliki kebebasan berpikir setelah dirinya menjadi seorang terpidana. Hal tersebut digambarkan penulis dengan menggunakan teknik ekspositori dalam data ke-3 yang akan dideskripsikan penulis pada halaman 176.

(3)

LDJDC/I/1 Autrefois, car il me semble qu’il y a plutôt des années que des semaines, j‟étais un homme comme un autre homme. Chaque jour, cheque heure, chaque minute avait son idée. Mon esprit, jeune et riche, était plein de fantaisies. Il s‟amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans ordre et son fin, brodant d‟inépuisables arabesque cette rude et mince étoffe de la vie. C‟étaient des jeunes filles, de splendides chapes d‟évêque, des batailles gagnées, des théâtres plains de bruit et de lumière, et puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers. C‟était toujours fête dans mon imagination. Je pouvais penser à ce que je voulais, j‟étais libre. Dahulu, sebab saya kira bahwa bertahun-tahun yang lalu lebih baik daripada beberapa minggu, saya adalah manusia seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya, penuh dengan angan-angan. Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabésk yang tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini. Angan- angan tentang gadis-gadis, jubah uskup yang sangat bagus, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, lalu gadis-gadis lagi dan di malam hari yang suram di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan. Dalam bayanganku, itu selalu merupakan hari raya. Aku bisa memikirkan apa yang aku inginkan, aku bebas. Pada awal cerita, penulis menceritakan bahwa tokoh „‟Je‟‟ telah berada di dalam penjara selama lima minggu. Pikiran-pikiran bahwa kemungkinan keputusan hakim adalah hukuman mati selalu menghantuinya. Pikiran-pikiran buruk tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ sangat terbebani. Beban yang dirasakannya begitu besar, sehingga tokoh „‟Je‟‟ merasa tidak mampu menanggungnya sendiri. Dalam keadaan

176

seperti ini, tokoh „‟Je‟‟ hanya dapat mengeluh kepada dirinya sendiri. Ia mengeluh dengan keadaannya setelah berada di dalam penjara. Ia yang suka berangan-angan merasa dirinya tidak lagi memiliki kebebasan berpikir. Ia tidak lagi bisa memikirkan tentang apapun seperti orang-orang pada umumnya. Hal tersebut dapat kita lihat dalam keluhan tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan yaitu „‟J‟étais un homme comme un autre homme. Chaque jour, cheque heure, chaque minute avait son idée. Mon esprit, jeune et riche, était plein de fantaisies. Il s‟amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans ordre et son fin, brodant d‟inépuisables arabesque cette rude et mince étoffe de la vie’’ yang dapat diartikan (Dahulu, sebab saya kira bahwa bertahun-tahun yang lalu lebih baik daripada beberapa minggu, saya adalah manusia seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya, penuh dengan angan-angan.

Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabésk yang tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini).

Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ adalah orang yang berjiwa muda dan kaya. Selain itu, ia adalah orang yang sangat suka berangan-angan. Sifat inilah yang membuat tokoh „‟Je‟‟ akhirnya mengeluh dengan keadaan yang dialaminya setelah berada di dalam penjara. Ia merasa bahwa keadaan beberapa tahun sebelum dirinya masuk penjara lebih baik daripada keadaan yang dialaminya selama beberapa minggu setelah menjadi seorang terpidana. Sebelum menjadi seorang terpidana, tokoh „‟Je‟‟ dapat berangan-angan tentang banyak hal setiap waktu. Angan-angan tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟ C‟étaient des jeunes filles, de splendides

177

chapes d‟évêque, des batailles gagnées, des théâtres plains de bruit et de lumière, et puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers‟‟ yang dapat diartikan (Angan-angan tentang gadis-gadis, jubah uskup yang sangat bagus, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, lalu gadis-gadis lagi dan di malam hari yang suram di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan).

Kutipan yang bercetak tebal tersebut menggambarkan beberapa angan-angan atau harapan-harapan tokoh „‟Je‟‟ sebelum dirinya menjadi seorang terpidana. Ia berangan-angan tentang gadis-gadis seperti yang ditunjukkan dalam kutipan

C‟étaient des jeunes filles (Angan-angan tentang gadis-gadis). Kata gadis-gadis dalam kutipan di atas dipilih penulis untuk menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kenikmatan dunia. Selain itu, kutipan di atas juga didukung oleh kutipan „‟ de splendides chapes d‟évêque‟‟ yang dapat diartikan (jubah uskup yang sangat bagus). Kata jubah uskup yang bagus dalam kutipan menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kemewahan dan kebesaran. Kutipan „‟ des batailles gagnées‟‟ yang dapat diartikan (pertempuran-pertempuran yang dimenangkan) menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kehormatan.

Sifat tokoh „‟Je‟‟ yang suka berangan-angan tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan yang dialaminya setelah berada di dalam penjara. Ia menjadi seorang tawanan yang selalu dihantui oleh rasa takut yang disebabkan oleh pikiran-pikiran tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim padanya. Hal tersebutlah yang membuat tokoh „‟Je„‟ selalu mengeluh akan keadaan

178

yang dialaminya setelah berada di dalam penjara. Penulis menggambarkan keadaan tersebut di atas menggunakan teknik ekspositori yang dapat kita lihat dalam kutipan pada data ke-4 yang akan di deskripsikan penulis pada halaman 179.

(4) LDJDC/I/2 Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable. Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: Dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana. Setelah beberapa minggu berada di dalam penjara, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya mengeluh terhadap keadaan yang sedang dialaminya. Ia yang dulu memiliki kebebasan untuk berpikir dan berangan-angan, setelah menjadi seorang terpidana, dirinya terpenjara dalam satu pikiran yaitu kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan yaitu „‟ Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable „‟ yang dapat diartikan (Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam

179

sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: Dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana).

Kutipan yang bercetak tebal pada halaman 179 menggambarkan keluhan tokoh „‟Je‟‟ terhadap keadaan yang dialaminya setelah menjadi seorang terpidana.

Setelah menjadi seorang terpidana, tidak hanya tubuhnya yang terpenjara di dalam sebuah sel, namun jiwanya pun terkurung didalam sebuah pikiran yaitu pikiran bahwa kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati. Penulis menggunakan kalimat „‟ Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! „‟ (Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: Dihukum mati!) untuk menggambarkan keyakinan tokoh „‟Je‟‟ bahwa keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah hukuman mati. Hal itu terlihat dari keyakinan dan kepastian yang ditunjukkan oleh penulis dengan kalimat „‟Condamné à mort!’’ (Dihukum mati !) dengan menggunakan tanda seru di akhir kalimat.

Selain data ke-3 dan ke-4, tokoh „‟Je‟‟ mengeluh karena mengalami kegelisah yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim kepadanya. Meskipun tokoh „‟Je‟‟ berusaha untuk tidak memikirkannya, pikiran-pikiran itu selalu saja datang menghampirinya dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tertidur. Data ke-5

180

berikut menunjukkan kegelisahan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ yang disebabkan oleh rasa takutnya. Penulis menggambarkan kegelisahan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori pada pada halaman 181.

(5) LDJDC/I/2 Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. Je viens de m‟éveiller en sursaut, poursuivi par elle et me disant : - Ah! Ce n‟est qu‟un rêve ! - Hé bien ! Avant même que mes yeux lourds aient eu le temps de s‟entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l‟horrible réalité qui m‟entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré mon oreille :- Condamné à mort !

Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: hukuman mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, pikiran yang menyiksa itu seperti hantu timah di sisiku, sendiri dan cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang menyedihkan dan menggerakkan kedua tangannya yang sedingin es ketika aku memalingkan kepala dan membuka mata. Ia menyusup di bawah semua bentuk di mana pikiranku ingin menghindarinya, bercampur seperti sebuah nyayian menyeramkan kepada semua kata-kata yang ditujukan padaku, menempel denganku di terali besi mengerikan di selku yang gelap; menghantuiku saat terbangun, mengawasi ku saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau.

181

Tersentak bangun aku dikejarnya, kemudian aku berkata pada diriku sendiri : -Ah, itu hanya mimpi ! –Oh, ya ? bahkan sebelum mataku yang berat memiliki sedikit waktu membuka untuk melihat pikiran yang mencelakakan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di atas ubin yang basah dan selku yang menjengkelkan, dalam cahaya-cahaya buram dari lampu malamku, dalam tenunan kasar kain pakaianku, di atas wajah suram serdadu penjaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, ia sudah seolah-olah suara bisikan di telingaku: - Hukuman mati!

Selain mengeluh karena tidak lagi memiliki kebebasan berpikir dan mengeluh akan keadaan di penjara, tokoh „‟Je‟‟ juga mengeluh akan kegelisahan yang selalu dirasakannya setelah menjadi seorang tawanan. Hal tersebut disebabkan oleh pikiran- pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati yang selalu menghantuinya di setiap waktu. Tokoh „‟Je‟‟ telah berusaha untuk tidak memikirkannya, namun pikiran-pikiran buruk tersebut selalu saja datang mengganggunya baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tertidur. Pikiran-pikiran tersebut selalu saja datang membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa takut dan gelisah meskipun tokoh „‟Je‟‟ telah berusa menghindarinya. Penulis menggambarkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort!

Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. „‟ yang dapat diartikan (Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian:

182

hukuman mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, pikiran yang menyiksa itu seperti hantu timah di sisiku, sendiri dan cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang menyedihkan dan menggerakkan kedua tangannya yang sedingin es ketika aku memalingkan kepala dan membuka mata. Ia menyusup di bawah semua bentuk di mana pikiranku ingin menghindarinya, bercampur seperti sebuah nyayian menyeramkan kepada semua kata-kata yang ditujukan padaku, menempel denganku di terali besi menggerikan di selku yang gelap; menghantuiku saat terbangun, mengawasi ku saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi- mimpiku dalam bentuk pisau).

Kutipan yang bercetak tebal pada halaman 182 menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati. Pikiran-pikiran buruk tersebut tidak pernah berhenti muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ meskipun dirinya telah berusaha untuk tidak memikirkannya. Pikiran-pikiran buruk tersebut seolah-olah tidak memberi sedikit pun peluang kepada tokoh „‟Je‟‟ untuk memikirkan hal lain. Pikiran-pikiran itu selalu muncul ketika tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan hati dan pikirannya dengan cara berpikir positif. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mencoba menghindari pikiran- pikiran yang sangat mengerikan tersebut dengan cara memejamkan matanya, namun pikiran-pikiran tersebut tetap saja datang dengan tiba-tiba sehingga membuat tokoh

„‟Je‟‟ terbangun dari tidurnya. Pikiran-pikiran tentang hukuman mati muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ dalam berbagai bentuk dan cara, terkadang muncul menimrung dalam bentuk kata-kata yang selalu mengalir ditelinganya ketika terdapat kata-kata

183

yang ditujukan kepadanya, menghantuinya dan memata-matainya di saat terjaga seolah-olah menempel bersamanya di terali besi selnya, dan muncul kembali dalam bentuk mimpi-mimpi buruk. Ketakutan tokoh „‟Je‟‟ terhadap kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ selalu merasa gelisah setiap waktu. Reaksi tokoh „‟Je‟‟ untuk mencoba menghindari pikiran-pikiran buruk di atas akan di bahas penulis kembali ketika mendeskripsikan reaksi tokoh

„‟Je‟‟ berupa apati pada data ke-6.

Penulis menggunakan kutipan „‟ Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux.‟‟ yang dapat diartikan

(Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: hukuman mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, pikiran yang menyiksa itu seperti hantu timah di sisiku, sendiri dan cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang menyedihkan dan menggerakkan kedua tangannya yang sedingin es ketika aku memalingkan kepala dan menutup mata.) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mengeluh karena selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati. Pikiran-pikiran tersebut senantiasa datang mengalahkan pikiran-pikiran yang lain. Seakan-akan hanya pikiran buruk tentang hukuman mati saja yang boleh ada di dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟. Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ selalu dirundung kegelisahan baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tertidur. Kegelisahan tokoh „‟Je‟‟ tersebut terlihat ketika tokoh „‟Je‟‟merasa tidak

184

senang seperti yang terlihat pada reaksi tokoh „‟Je‟‟ untuk menghindari pekiran- pikiran mengerikan tersebut. Ia mencoba memalingkan kepalanya, memejamkan matanya, dan mencoba menghindari pikiran tersebut, namun pikiran-pikiran tersebut tidak pernah berhenti datang dalam pikirannya dengan tiba-tiba dan membuat tokoh

„‟Je‟‟ terkejut dan ketakutan.

Penulis menggunakan klausa „‟ se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau „‟ (menghantuiku saat terbangun, mengawasi ku saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau) untuk menggambarkan bahwa pikiran-pikiran buruk tentang hukuman mati tersebut selalu membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa gelisah baik dirinya dalam keadaan sadar maupun ketika dirinya dalam keadaan tertidur.

Klausa „‟ Je viens de m‟éveiller en sursaut „‟ (Aku tersentak bangun) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang selalu terbangun dari tidurnya disebabkan oleh mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya, kalimat-kalimat „‟- Ah! Ce n‟est qu‟un rêve !„‟ (-Ah, itu hanya mimpi !) untuk menggambarkan rasa lega tokoh

„‟Je‟‟ ketika sadar bahwa hal-hal buruk tersebut hanyalah sebuah mimpi, dan kalimat

„‟-Hé bien !„‟ (–Oh, ya ?) menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba meyakinkan kembali dirinya yang masih sedikit ragu bahwa hal-hal buruk tersebut benar-benar sebuah mimpi. Keraguan tokoh „‟Je‟‟ digambarkan penulis dengan penggunaan tanda tanya pada kata dalam kutipan di atas.

Penulis juga menggunakan kutipan„‟ Avant même que mes yeux lourds aient eu le temps de s‟entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l‟horrible

185

réalité qui m‟entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de niut, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré mon oreille :- Condamné à mort ! „‟ (bahkan sebelum mataku yang berat sempat sedikit membuka untuk melihat pikiran yang tidak terelakan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di ubin selku yang basah dan berkeringat, di kesuraman lampu malamku, di tenunan kasar kain pakaianku, di wajah suram serdadu jaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, terdengar sudah sebuah bisikan di telingaku: - Dihukum mati!) untuk menggambarkan betapa cepat pikiran-pikiran buruk tentang hukuman mati kembali menghantui tokoh „‟Je‟‟ setelah dirinya terbangun dari tidurnya yang disebabkan oleh mimpi buruk. Pikiran-pikiran buruk itu datang dengan sangat cepat dan membuat tokoh „‟Je‟‟ kembali merasa gelisah, padahal tokoh „‟Je‟‟ belum sempat membuka matanya untuk meyaksikan kenyataan melalui keadaan di sekitarnya.

Contohnya, pikiran-pikiran tentang kemungkinan keputusan hukuman mati tersirat di selnya yang memiliki ubin yang basah dan berkeringat, yang tersirat di penerangan sebuah lampu yang tidak mampu menghilangkan kesuraman di dalam sel yang sangat gelap, yang tersirat di dalam pakaiannya yang terbuat dari kain yang kasar, dan yang tersirat di wajah suram serdadu yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selnya. Tokoh „‟Je‟‟ menjalani kehidupannya selama di penjara dengan penuh ketakutan dan kengerian sehingga dirinya tidak pernah merasakan lagi kebebasan dan ketanangan.

186

4.4.1.1.2 Apati

Reaksi yang berupa sikap acuh tak acuh dan menarik diri. Orang yang menyerang dengan penuh kemarahan ketika mengalami frustrasi dan mengetahui bahwa akhirnya kebutuhan mereka terpenuhi (baik itu melalui usaha mereka sendiri ataupun karena orang lain mereka cepat-cepat menentramkan mereka ) mungkin kelak menampilkan perilaku yang sama bila motif mereka dihambat.

Pada tokoh „‟Je‟‟ reaksi berupa apati dapat kita lihat dari sikap acuh tak acuh

(menarik diri) tokoh „‟Je‟‟ terhadap pikiran-pikiran buruk tentang hukuman mati yang selalu menghantuinya sehingga membuat dirinya mengalami frustrasi. Pikiran- pikiran buruk tersebut selalu saja datang menghantui tokoh „‟Je‟‟ hingga akhirnya dirinya mencoba untuk menghindari (mengacuhkan) pikiran-pikiran buruk tersebut dengan berbagai cara diantaranya dengan cara memejamkan mata dan memalingkan wajahnya. Penulis menggambarkan sikap acuh tak acuh tokoh „‟Je‟‟ tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori pada data ke-6 berikut ini.

(6) LDJDC/I/2 Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau.

Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan,

187

berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan satu kepastian: dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana. Dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia menguncangkanku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refren lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau.

Setelah melakukan suatu kesalahan dan akhirnya menjadi seorang terpidana, tokoh „‟Je‟‟ yang terpenjara di sebuah sel yang mengerikan selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruknya tentang kemungkinan hukuman kematian yang akan dijatuhkan hakim kepadanya. Pikiran-pikiran tersebut tidak pernah berhenti datang dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ sehingga dirinya selalu dirundung gelisah. Tokoh „‟Je‟‟ yang selalu merasa gelisah akhirnya mencoba untuk menguranginya dengan mengacuhkan pikiran-pikiran mengerikan yang datang menghantuinya dalam segala bentuk tersebut dengan cara memalingkan muka dan mencoba memejamkan matanya. Namun, meskipun begitu pikiran-pikiran buruk tersebut selalu saja datang dengan tiba-tiba di setiap saat, baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tertidur. Penulis menggambarkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle

188

comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. „‟ yang dapat diartikan

(Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan satu kepastian: dihukum mati ! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana. Dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia menguncangkanku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refren lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau).

Kutipan yang bercetak tebal pada paragraf sebelumnya menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati. Pikiran-pikiran buruk tersebut tidak pernah berhenti muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ meskipun dirinya telah berusaha untuk tidak memikirkannya. Pikiran-pikiran buruk tersebut seolah-olah tidak memberi sedikit pun peluang kepada tokoh „‟Je‟‟ untuk memikirkan hal lain. Pikiran- pikiran itu selalu muncul ketika tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan hati dan pikirannya dengan cara berpikir positif. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mencoba menghindari pikiran-pikiran yang sangat mengerikan tersebut dengan cara memejamkan matanya, namun pikiran-pikiran tersebut tetap saja datang dengan tiba-tiba sehingga membuat

189

dirinya bangun karena terkejut. Pikiran-pikiran tentang hukuman mati muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ dalam berbagai bentuk dan cara, terkadang muncul menimrung dalam bentuk kata-kata yang selalu mengalir ditelinganya ketika terdapat kata-kata yang ditujukan kepadanya, menghantuinya dan memata-matainya di saat terjaga seolah-olah menempel bersamanya di terali besi selnya, dan muncul kembali dalam bentuk mimpi-mimpi buruk.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, face à face avec moi misérable.‟‟ yang dapat diartikan (Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana.) untuk menunjukkan bahwa pikiran-pikiran buruk itu sangat menyeramkan dan menakutkan.

Tokoh „‟Je‟‟ merasa pikiran-pikiran buruk tersebut seolah-olah seperti hantu yang selalu berada didekatnya. Selain itu, penulis menggambarkan bahwa pikiran tentang kemungkinan hukuman mati adalah satu-satunya pikiran yang terdapat di dalam kepala tokoh „‟Je‟‟. Pikiran-pikiran tersebut senantiasa datang mengalahkan pikiran- pikiran yang lain. Seakan-akan hanya pikiran buruk tentang hukuman mati saja yang boleh ada di dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟.

Penulis menggunakan kalimat-kalimat „‟me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux „‟ yang dapat diartikan

(Bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia menguncangkanku dengan kedua tangannya yang sedingin es.) untuk menunjukkan usaha tokoh „‟Je‟‟ untuk

190

menghindari pikiran-pikiran buruk yang selalu membuat hidupnya dipenuhi oleh rasa takut dan gelisah. Tokoh „‟Je‟‟ berusaha memalingkan muka dan memejamkan matanya agar supaya dirinya tidak lagi memikirkan pikiran-pikiran buruk yang selalu menyiksanya tersebut. Meskipun pada kenyataannya tokoh „‟Je‟‟ tidak pernah berhasil menjauhkan pikiran-pikiran buruk tersebut dari pikirannya.

4.4.1.1.3 Regresi

Regresi didefinisikan sebagai tindakan kembali ke bentuk prilaku yang tidak matang – perilaku yang khas pada usia yang lebih muda. Kadang-kadang orang dewasa menampilkan bentuk perilaku yang tidak matang ketika menghadapi situasi yang menimbulkan frustrasi. Mereka memaki, berteriak, mulai berkelahi, atau menghentikan usaha mengatasi masalah dan mencari seseorang untuk membantu memecahkan masalah tersebut.

Pada tokoh „‟Je‟‟ reaksi berupa regresi dapat terlihat melalui karakter temperamen, teguh pendirian, dan egois yang dimilikinya. Karakter tokoh „‟Je‟‟ tersebut mengakibatkan dirinya cepat tersinggung, cepat sakit hati, dan menyebabkan dirinya memaki, berteriak, dan kurang berpikir panjang dalam bertindak atau mengambil keputusan ketika dirinya menghadapi situasi yang menimbulkan frustrasi.

Sikap tokoh „‟Je‟‟ di atas terlihat dari sikap yang ditunjukkan tokoh „‟Je‟‟ ketika dirinya mengetahui bahwa pengacaranya memiliki harapan yang berbeda dengannya. Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki harapan untuk bebas merasa terkejut dan tiba-tiba marah. Ia menanggapi perkataan pengacaranya dengan emosi dan menjadi tidak terkendali. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ yang merasa bahwa harapan pengacaranya tidak sesuai dengan keinginannya mencoba menghadapi hal tersebut dengan bersikap

191

kekanak-kanakan yaitu dengan mengatakan dirinya lebih memilih hukuman mati daripada hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis menunjukkan hal tersebut di atas dengan menggunakan teknik cekapan yang dapat dilihat dalam kutipan dalam data ke-7 yang bercetak tebal di bawah ini.

(7) LDJDC/II/7 Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. +J‟espère, me dit-il. -N‟est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. +Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. -Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

Di saat itu pengacaraku tiba. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dengan lahap. Sampai ditempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum. -Mudah-mudahan, katanya kepadaku. -Harus! Jawabku ringan, juga sambil tersenyum. -Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga jadi kerja paksa seumur hidup. -Bapak ini bicara apa? Tukasku marah, seratus kali lebih baik kematian!

Sebelum persidangan di hari ketiga sejak persidangan dimulai yaitu persidangan terakhir di mana Hakim ketua akan membacakan keputusan akhir hukuma, tokoh „‟Je‟‟ merasa sangat antusias dan bersemangat menunggu keputusan hukumannya dibacakan. Hal tersebut diakibatkan karena dirinya memiliki harapan bahwa keputusan hakim adalah kebebasaan. Persidangan akhirnya dimulai setelah pengacara yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ketika sampai ditempat duduknya, pengacara mencondongkan tubuhnya ke arah tokoh „‟Je‟‟ dan mengatakan

192

„‟ J‟espère „‟ (Saya berharap). Kata saya berharap dalam kutipan mengandung makna harapan pembela agar apa yang diharapkannya dapat terkabul. Tokoh „‟Je‟‟ yang belum tahu apa yang diharapan oleh pengacara kemudian menjawab dengan penuh rasa senang, keyakinan dan ketegasan dengan mengatakan „‟ N‟est-ce pas ? „‟

(Benarkah!). Kata banarkah dalam kutipan tersebut mengandung makna harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas. Penulis menggunakan tanda seru pada kata harus berfungsi untuk menggambarkan keyakinan dan ketegasan tokoh „‟Je‟‟ bahwa pengacaranya akan berusaha memberikan yang terbaik untuknya.

Namun, tiba-tiba tokoh „‟Je‟‟ terkejut ketika pengacaranya kembali berbicara dan mengatakan bahwa dirinya berharap hakim akan mengesampingkan unsur terencana sehingga dapat memperingan hukuman tokoh „‟Je‟‟ menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis menunjukkan harapan pengacara dalam kutipan „‟

Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute

écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité „‟

(Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga jadi kerja paksa seumur hidup).

Setelah mendengar hal tersebut, tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki karakter temperamen semerta-merta marah. Ia tidak pernah menyangka bahwa harapan yang dimaksud oleh pengacaranya adalah hukuman kerja paksa seumur hidup. Ia sangat terkejut mendengar pernyataan pengacara yang sangat bertolak belakang dengan harapannya.

Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dari pertanyaan yang ditujukannya kepada pengacara dalam kutipan „‟ Que dites-vous là, Monsieur ?„‟ (Bapak ini bicara apa?). Penulis menggunakan tanda tanya dalam kutipan di atas untuk

193

menggambarkan keterkejutan dan ketidakpahaman tokoh „‟Je‟‟ terhadap pernyataan pengacara yang sangat bertentangan dengan apa yang diharapkannya. Ia mengajukan pertanyaan seolah-olah bahwa dirinya telah salah mendengar perkataan pengacaranya.

Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki temperamen tinggi tiba-tiba marah mendengar pernyataan pengacara. Selain itu, ia juga memiliki harga diri yang tinggi sehingga tidak dapat menerima pemikiran pengacara yang tidak sependapat dengannya. Sifat egois tokoh „‟Je‟‟ juga yang membuat dirinya bersikap kekanak-kanakan dengan mengatakan bahwa dirinya lebih memilih keputusan hukuman hakim kepadanya adalah seratus kali lebih baik mendapatkan hukuman mati daripada harus menerima hukuman kerja paksa seumur hidup dengan mengatakan „‟ Plutôt cent fois la mort !

„‟ (Seratus kali lebih baik kematian!). Penulis menggunakan tanda seru dalam kutipan di atas untuk menggambarkan rasa marah tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar sehingga tokoh „‟Je‟‟ mengatakan seratus kali lebih baik mati dengan nada yang tinggi dengan ditandai ( !). Selain itu, tanda tanya dan tanda seru di atas digunakan penulis untuk menggambarkan nada suara tokoh „‟Je‟‟ yang tinggi ketika menucapkan kata-kata tersebut kepada pengacaranya. Reaksi tokoh „‟Je‟‟ yang lebih memilih hukuman mati daripada hukuman penjara seumur hidup tersebut juga akan dibahas kembali oleh penulis dalam data yang menunjukkan reaksi berupa reaksi yang berupa rasionalisasi pada sub sub bab berikutnya.

4.4.1.2 Kecemasan

Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istilah-istilah seperti “kekhawatiran,” “keprihatinan,” dan “rasa takut,” yang kadang

194

kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda karena kurangnya kesepakatan tentang definisi kecemasan yang lebih tepat, kami tidak akan memberi definisi.

Selain mengalami frustrasi, tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un

Condamné mengalami kecemasan. Ia mengalami kecemasan disebabkan Konflik

Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance Conflict) yang dialaminya. Kecemasan pada tokoh „‟Je‟‟ ditandai dengan adanya kekhawatiran dan rasa takut yang dialaminya. Tokoh „‟Je‟‟ mengalami kekhawatiran yang disebabkan oleh pikiran- pikiran buruk terhadap kemungkinan keputusan hukuman mati yang selalu menghantuinya. Namun tidak halnya disebabkan hal itu saja, suasana persidangan yang begitu mencekam dan menakutkan membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa ngeri. Hal tersebut membuat kegelisahan yang dirasakan oleh tokoh „‟Je‟‟ meningkat sehingga dirinya merasa tidak tenang dan tidak bisa tidur.

Data berikut menggambarkan perasaan khawatir dan ngeri tokoh „‟Je‟‟ yang disebabkan suasana persidangan yang selalu mencekam. Penulis menggambarkan kekhawatiran dan kengerian tokoh „‟je‟‟ tersebut di atas menggunakan teknik ekspositori dalam kutipan yang bercetak tebal dalam data ke-8.

(8) LJDCD/II/3 Il y avait trois jour que mon procès était entamé, trois jour que mon nom et mon crime ralliaient chaque matin une nuée de spectateurs, que venaient s‟abattre sur les bancs de la salle d‟audience comme des corbeaux autour d‟un cadavre, trois jours que toute cette fantasmagorie des juge, des témoins, des avocats, des procureurs du roi, passait et repassait devant moi, tantôt grotesque, tantôt sanglante, toujours sombre et fatale. Les deux premières nuits, d‟inquiétude et de terreur, je n‟en avais pu dormir. Sudah tiga hari perkaraku mulai diadili, tiga hari nama dan tindak kejahatanku setiap pagi mengundang kerumunan penonton yang datang menyerbu dibangku-bangku ruang pengadilan, seperti

195

burung-burung gagak mengelilingi bangkai. Tiga hari bayangan gaib para hakim, saksi, pembela, jaksa krajaan, lewat dan lewat lagi dihadapanku, terkadang menggelikan, terkadang kejam, selalu suram dan tak dapat dihindarkan. Pada dua malam pertama aku tidak dapat tidur karena dicekam rasa khawatir dan ngeri. Selain menjadi terpidana yang selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukuman mati, tokoh „‟Je‟‟ sudah tiga hari menghadiri persidangan untuk diadili. Selama tiga hari persidangan berlangsung, nama dan kejahatan tokoh „‟Je‟‟ selalu menarik perhatian masyarakat. Mereka datang dengan jumlah yang besar hanya untuk menyaksikan berlangsungnya persidangan.

Mereka sangat antusias ingin menyaksikan berlangsungnya persidangan sehingga setiap orang saling berlomba untuk mendapatkan tempat duduk yang terdapat di dalam ruang sidang. Lain halnya dengan tokoh „‟Je‟‟, selain dirundung ketakutan dan kengerian dirinya harus mempertanggungjawabkan kesalahan yang telah diperbuatnya di depan para hakim, para saksi, pengacara, dan jaksa kerajaan yang dinilai tokoh „‟Je‟‟ terkadang terlihat kejam, namun juga terkadang terlihat menggelikan. Mereka selalu menampakkan wajah suram. Tokoh „‟Je‟‟ tidak ingin menghadiri persidangan, namun dirinya tidak memiliki daya untuk melakukannya.

Suasana persidangan yang begitu mencekam membuat tokoh „‟Je‟‟semakin merasa ngeri. Rasa ngeri tokoh „‟Je‟‟ tersebutlah yang membuat dirinya selalu tidak dapat tidur dengan tenang karena dirundung rasa khawatir.

Penulis menggunakan kata-kata berikut „‟comme des corbeaux autour d‟un cadavre‟‟ yang dapat diartikan (seperti burung-burung gagak mengelilingi bangkai) untuk menggambarkan perasaan tokoh „‟Je‟‟ akan adanya sesuatu yang sangat buruk akan menimpanya setelah melihat antusias masyarakat menonton

196

berlangsungnya persidangan. Gagak adalah anggota burung pengicau

(passeriformes) yang termasuk dalam marga Corvus, suku carvidae. Hampir semua jenis burung ini berukuran relatif besar dan bewarna bulu dominan hitam. Daerah sebarannya berada di seluruh benua dan kepulauan, dengan perkecualian di Amerika

Selatan. Di beberapa kebudayaan dan mitologi, burung gagak kerap dikaitkan dengan sesuatu yang buruk. Di Eropa, gagak dipercaya sebagai burung peliharaan penyihir

(http://fr.wikipedia.org/wiki/un_corbeau di sunting pada tanggal 16 juni 2011).

Di Perancis burung gagak pemakan bangkai dikenal dengan sebutan Corneille noir. Burung ini selain memakan bangkai, juga memakan hewan-hewan kecil, di pinggir-pinggir pantai burung-burung tersebut memakan kerang, dan di daerah pemukiman manusia burung-burung yang suka bergerombol itu memakan sisa-sisa limbah rumah tangga (http://fr.wikipedia.org/wiki/corneille-noir disunting pada tanggal 1 juli 2011).

Penulis juga menggunakan klausa „‟Les deux premières nuits, d‟inquiétude et de terreur, je n‟en avais pu dormir‟‟ yang dapat diartikan (pada dua malam pertama, kekhawatiran dan ketakutan yang sangat, aku tidak bisa tidur) untuk menunjukkan tokoh „‟Je‟‟ yang mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan rasa khawatir dan rasa ngeri yang dialaminya.

Selain merasa khawatir, tokoh „‟Je‟‟ yang menjadi seorang tawanan juga selalu dihantui oleh rasa takut yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim kepadanya. Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori yang dapat dilihat dalam kutipan yang bercetak tebal dalam data ke-9 pada halaman 198.

197

(9) LDJDC/I/2 Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. Je viens de m‟éveiller en sursaut, poursuivi par elle et me disant : - Ah! Ce n‟est qu‟un rêve ! - Hé bien ! Avant même que mes yeux lourds aient eu le temps de s‟entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l‟horrible réalité qui m‟entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré mon oreille :- Condamné à mort !

Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: hukuman mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, pikiran yang menyiksa itu seperti hantu timah di sisiku, sendiri dan cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang menyedihkan dan menggerakkan kedua tangannya yang sedingin es ketika aku memalingkan kepala dan membuka mata. Ia menyusup di bawah semua bentuk di mana pikiranku ingin menghindarinya, bercampur seperti sebuah nyayian menyeramkan kepada semua kata-kata yang ditujukan padaku, menempel denganku di terali besi menggerikan di selku yang gelap; menghantuiku saat terbangun, mengawasi ku saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau. Tersentak bangun aku dikejarnya, kemudian aku berkata pada diriku sendiri : -Ah, itu hanya mimpi ! –Oh, ya ? bahkan sebelum mataku yang berat memiliki sedikit waktu membuka untuk melihat pikiran yang mencelakakan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di atas ubin yang basah dan selku yang menjengkelkan, dalam cahaya-cahaya buram dari lampu malamku, dalam tenunan kasar kain pakaianku, di atas wajah suram serdadu

198

penjaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, ia sudah seolah-olah suara bisikan di telingaku: - Hukuman mati!

Setelah berada di dalam penjara tokoh „‟Je‟‟ selalu dihantui oleh pikiran- pikiran buruknya tentang kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepada dirinya adalah hukuman mati. Pikiran-pikiran tersebut sangat mengerikan sehingga tokoh „‟Je‟‟ salalu dirundung perasaan takut. Pikiran tentang hukuman mati tersebut selalu menghantui tokoh „‟Je‟‟ baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tidur yaitu dalam bentuk mimpi buruk. Meskipun tokoh „‟Je‟‟ telah berusaha menghindarinya, pikiran yang seolah-olah tidak dapat membiarkan tokoh „‟Je‟‟ memikirkan hal lain ini selalu kembali datang dengan tiba-tiba. Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ sangat tersiksa. Penulis menggambarkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné

à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède

éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau „‟ yang dapat diartikan (Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran

199

yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: hukuman mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, pikiran yang menyiksa itu seperti hantu timah di sisiku, sendiri dan cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang menyedihkan dan menggerakkan kedua tangannya yang sedingin es ketika aku memalingkan kepala dan membuka mata. Ia menyusup di bawah semua bentuk di mana pikiranku ingin menghindarinya, bercampur seperti sebuah nyayian menyeramkan kepada semua kata-kata yang ditujukan padaku, menempel denganku di terali besi menggerikan di selku yang gelap; menghantuiku saat terbangun, mengawasi ku saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau).

Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang narapidana yang terpenjara di sebuah sel yang selalu di hantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah hukuman mati. Pikiran-pikiran tersebut sangat menakutkan bagi tokoh „‟Je‟‟ sehingga seolah- olah seperti hantu yang berada di sisinya. Karena pikiran-pikiran tersebut sangat menyiksa, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya mencoba menghindarinya dengan cara memalingkan kepalanya, mencoba tidak memikirkannya, hingga mencoba memejamkan matanya dengan harapan dapat menghilangkan pikiran-pikiran yang mengerikan tersebut dari pikirannya. Namun, pikiran-pikiran tersebut selalu saja datang kembali dan membuat tokoh „‟Je‟‟ kembali gelisah baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan sedang tertidur.

200

Klausa „‟ Je viens de m‟éveiller en sursaut „‟ (Aku tersentak bangun) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang selalu terbangun dari tidurnya disebabkan oleh mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya, kalimat-kalimat „‟- Ah! Ce n‟est qu‟un rêve !„‟ (-Ah, itu hanya mimpi !) untuk menggambarkan rasa lega tokoh

„‟Je‟‟ ketika sadar hal-hal buruk yang terjadi pada dirinya hanyalah sebuah mimpi, dan kalimat „‟-Hé bien !„‟ (–Oh, ya ?) menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba meyakinkan dirinya yang masih sedikit ragu bahwa hal-hal buruk tersebut benar- benar sebuah mimpi. Keraguan tokoh „‟Je‟‟ digambarkan penulis dengan penggunaan tanda tanya pada kata dalam tanda kutip di atas.

Tokoh „‟Je‟‟ yang sejenak merasa lega, setelah sadar bahwa hal-hal buruk yang terjadi padanya hanyalah sebuah mimpi. Namun, kelegaannya tidak berlangsung lama, beberapa saat kemudian tokoh „‟Je‟‟ akhirnya kembali tersadar akan keadaannya yang sebenarnya. Pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan hukuman mati kembali datang menghatui dan membuatnya kembali merasa ketakutan. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut „‟ Avant même que mes yeux lourds aient eu le temps de s‟entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l‟horrible réalité qui m‟entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de niut, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré mon oreille :- Condamné à mort ! „‟ (bahkan sebelum mataku yang berat sempat sedikit membuka untuk melihat pikiran yang tidak terelakan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di ubin selku yang

201

basah dan selku yang menjengkelkan, di kesuraman lampu malamku, di tenunan kasar kain pakaianku, di wajah suram serdadu jaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, terdengar sudah sebuah bisikan di telingaku: - Dihukum mati !).

Kutipan diatas menggambarkan betapa cepat pikiran-pikiran buruk tentang hukuman mati kembali menghantui tokoh „‟Je‟‟ setelah dirinya terbangun dari tidurnya yang disebabkan oleh mimpi buruk. Pikiran-pikiran buruk itu datang dengan sangat cepat padahal tokoh „‟Je‟‟ belum sempat membuka matanya untuk meyaksikan kenyataan melalui keadaan disekitarnya. Penulis mencoba menggambarkan bahwa pikiran-pikiran tentang kemungkinan hukuman mati yang selalu menghantui tokoh „‟Je‟‟ tersebut sangat menakutkan dan tidak pernah berhenti mengganggunya dengan mengatakan bahwa pikiran-pikiran tersebut seolah-olah tersirat di selnya yang memiliki ubin yang basah dan menjengkelkan, yang tersirat di penerangan sebuah lampu yang tidak mampu menghilangkan kesuraman di dalam sel yang sangat gelap, yang tersirat di dalam pakaiannya yang terbuat dari kain yang kasar, dan yang tersirat di wajah suram serdadu yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selnya.

Berikut ini adalah reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh tokoh „‟Je‟‟ ketika mengalami kecemasan :

4.4.1.2.1 Mekanisme Pertahanan

Sebagian dari cara seseorang mereduksi perasaan cemas tanpa memfokuskan masalahnya diberi nama mekanisme pertahanan, karena sering dilakukan. Freud

(dalam Atkinson, Rita L, dkk. 1983:215) menggunakan istilah mekanisme pertahanan (defense mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang

202

melindungi seseorang dari kecemasan melalui pemutarbalikkan kenyataan. Strategi- strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara orang mempersepsi atau memikirkan masalah itu.

Pada tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Victor

Hugo reaksi berupa mekanisme pertahanan dapat dilihat dari reaksi tokoh „‟Je‟‟ ketika akan menghadiri persidangan terakhir yaitu persidangan di mana hakim akan membacakan keputusan hukumannya. Tokoh „‟Je‟‟ yang selalu dihantui oleh perasaan takut dan khawatir tanpa sadar mencoba menenangkan dirinya dari perasaan cemas dengan cara memutarbalikkan kenyataan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Hakim ketua tidak akan menjatuhkan hukuman mati kepada dirinya setelah mencoba mengamati suasana di dalam ruang persidangan dan raut wajah masing-masing anggota persidangan. Tokoh „‟Je‟‟ melakukan hal tersebut hanya untuk membuat hatinya menjadi sedikit lebih tenang dan tidak merasa takut akan kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim kepadanya. Ia terus mencoba berpikir positif meskipun pada kenyataannya tokoh „‟Je‟‟ sadar bahwa keadaan tersebut tidak dapat mengubah keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya. Penulis menggambarkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ tersebut dalam data ke-10 dan data ke-11 pada halaman 206.

Data berikut menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan hatinya dengan cara mencoba mengatakan kepada dirinya bahwa tidak mungkin keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati setelah dirinya mencoba mengamati suasana di dalam ruang persidangan. Hal tersebut

203

digambarkan oleh penulis dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan yang terdapat di dalam data yang bercetak tebal dalam data ke-10 pada halaman 204.

(10) LDJDC/II/6 Les juges, au fond de la salle, avaient l‟air satisfait, probablement de la joie d‟avoir bientôt fini. Le visage du président, doucement éclairé par le reflet d‟une vitre, avait quelque chose de calme et de bon ; et un jeune assesseur causait presque gaiement en chiffonnant son rabat avec une jolie dame en chapeau rose. Placée par faveur derrière lui. Les jurés seuls paraissaient blêmes et abattus, c‟étais apparemment de fatigue d‟avoir veillé toute la nuit. Quelques-uns bâillaient. Rien, dans leur contenance, n‟annonçait des hommes qui viennent de porter une sentence de mort ; et sur les figures de ces bons bourgeois je ne devinais qu‟une grande envie de dormir.

Di ujung ruangan, para hakim tampak puas, barangkali gembira karena sebentar lagi dapat menyelesaikan semua ini. Wajah ketuannya, yang lembut diterangi pantulan sinar sebuah jendela kaca, menunjukkan kekaleman dan kebaikan. Seorang asesor, penguji serta, berbincang hampir dengan gembira sambil mempermaikan kelepak bajunya dengan seorang wanita cantik yang mengenakan topi merah jambu yang mendapat keistimewaan duduk dibelakangnya. Hanya para jurinya saja yang tampak pucat dan lelah, tapi kelelahan itu kelihatannya disebabkan karena mereka begadang semalam. Beberapa diantaranya menguap. Tak satu pun dalam sikapnya menunjukkan bahwa mereka baru saja telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati. Yang dapat kutebak dari wajah orang-orang kaya itu hanyalah keinginan mereka yang sangat besar untuk segera tidur.

Hari ke tiga persidangan adalah hari di mana hakim akan membacakan keputusan hukuman, tokoh „‟Je‟‟ baru menyadari hal tersebut setelah tiba di dalam ruang persidangan. Ia yang biasanya selalu dihantui oleh rasa khawatir dan ngeri tiba-tiba tidak takut menghadapi kenyataan tersebut. Ia mencoba mengamati orang- orang yang berada di dalam ruang persidangan dan mengamati suasana disekitarnya.

Tokoh „‟Je‟‟ menggambarkan sosok para hakim yang berada di ujung ruangan

204

sidang. Mereka tampak merasa puas dan merasa gembira. Kegembiraan tersebut mungkin disebabkan karena akhirnya persidangan akan berakhir.

Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mengamati wajah ketuaan para hakim yang diterangi oleh pantulan sinar yang berasal dari sebuah jendela kaca menunjukkan ketenangan dan kebaikan. Seorang asesor dengan wajah gembira berbincang sambil mempermainkan kelepak bajunya kepada seorang wanita cantik bertopi merah yang mendapatkan keistimewaan duduk di belakangnya. Hanya para Dewan hakim saja yang diperhatikan tokoh „‟je‟‟ tampak pucat dan lelah. Menurutnya, mereka lelah dikarenakan mereka telah begadang semalaman. Setelah melakukan pengamatan terhadap para ahli hukum tersebut, tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan hatinya dengan cara berpikir bahwa kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya bukan hukuman mati. Menurutnya tokoh „‟Je‟‟ keputusan yang akan dijatuhkan kepadanya adalah keputusan yang menggembirakan seperti halnya rawut muka gembira yang terpancar di wajah para ahli hukum tersebut.

Hal tersebut di atas dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Les juges, au fond de la salle, avaient l‟air satisfait, probablement de la joie d‟avoir bientôt fini. Le visage du président, doucement éclairé par le reflet d‟une vitre, avait quelque chose de calme et de bon ; et un jeune assesseur causait presque gaiement en chiffonnant son rabat avec une jolie dame en chapeau rose. Placée par faveur derrière lui. Les jurés seuls paraissaient blêmes et abattus, c‟étais apparemment de fatigue d‟avoir veillé toute la nuit „‟ yang dapat diartikan (Di ujung ruangan, para hakim tampak puas, barangkali gembira karena sebentar lagi dapat menyelesaikan semua ini.

Wajah ketuaannya, yang lembut diterangi pantulan sinar sebuah jendela kaca,

205

menunjukkan ketenangan dan kebaikan. Seorang asesor, penguji serta, berbincang hampir dengan gembira sambil mempermaikan kelepak bajunya dengan seorang wanita cantik yang mengenakan topi merah jambu yang mendapat keistimewaan duduk di belakangnya. Hanya para jurinya saja yang tampak pucat dan lelah, tapi kelelahan itu kelihatannya disebabkan karena mereka begadang semalam. Beberapa di antaranya menguap).

Penulis menggunakan kutipan „‟ n‟annonçait des hommes qui viennent de porter une sentence de mort „‟ (Tak satu pun dalam sikapnya menunjukkan bahwa mereka baru saja telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati) untuk menggambarkan pemikiran tokoh „‟Je‟‟ setelah mengamati tingkah laku para Dewan hakim di dalam ruang persidangan yaitu tidak mungkin para ahli hukum tersebut telah memutuskan hukuman mati.

Dari data berikut penulis juga mengetahui bahwa tokoh „‟Je‟‟ mengamati suasana di sekelilingnya dan kemudian kembali meyakinkan dirinya bahwa keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya bukanlah hukuman mati. Ia menyakinkan dirinya dengan berkata pada diri sendiri bahwa tidak mungkin keputusan hukuman mati dijatuhkan di hari yang cerah dan seindah itu. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan yang bercetak tebal dibawah ini.

(11) LDJDC/II/6 En face de moi, une fenêtre était toute grande ouverte. J‟entendais rire sur le quai des marchandes de fleurs ; et, au bord de la croisée, une jolie petite plante jaune, toute pénétrée d‟un rayon de soleil, jouait avec le vent dans une fente de la pierre. Comment une idée sinistre aurait-elle pu poindre parmi tant de gracieuses sensations ? Inondé d’air et de soleil, il me fut impossible de penser à autre chosequ’à la liberté ; l’espérance vint rayonner en moi

206

comme le jour autour de moi ; et confiant, j’attendis ma sentence comme on attend la déliverance et la vie.

Di depanku, sebuah jendela terbuka lebar. Aku mendengar tawa para penjual bunga di pinggir sungai dan, di tepi jendela kaca, sebatang tanaman kuning kecil yang indah bermandikan cahaya matahari, bercanda dengan angin di sela-sela batu. Bagaimana mungkin suatu pikiran yang mengerikan bisa muncul di antara kelembutan-kelembutan ini ? Dipenuhi udara dan cahaya matahari, aku tidak dapat memikirkan hal lain selain kebebasan. Harapan datang mencerahkan diriku, secerah cuaca saat itu di sekelilingku. Dan dengan rasa yakin kutunggu vonisku seperti orang menunggu kelahiran bayi dan kehidupan.

Selain mengamati sikap para ahli hukum, tokoh „‟Je‟‟ juga mengamati keadaan di sekitar ruangan sidang. Setelah mengamati keadaan di sekitar yang begitu bersahabat, tokoh „‟Je‟‟ kembali meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak mungkin hakim dan para ahli hukum yang lainnya membuat keputusan hukuman mati. Tokoh

„‟Je‟‟ secara tidak langsung berharap bahwa kemungkinan keputusan hakim yang akan dijatuhkan kepadanya bukan hukuman mati. Harapan tersebut tersirat di dalam pertanyaan yang diajukan oleh tokoh „‟Je‟‟ terhadap dirinya sendiri dalam kutipan

„‟Comment une idée sinistre aurait-elle pu poindre parmi tant de gracieuses sensations ?„‟ (Bagaimana mungkin suatu pikiran yang mengerikan bisa muncul di antara kelembutan-kelembutan ini ?). Penulis menggunakan kata-kata

„‟une idée sinistre„‟ (pikiran yang mengerikan) untuk menggambarkan keputusan hukuman mati. Meskipun tokoh „‟Je „‟ menyadari bahwa suasana hari yang cerah tidak dapat mempengaruhi keputusan hakim terhadap hukumannya, tokoh „‟Je‟‟ tetap melakukan hal tersebut dengan tujuan mencoba menenangkan hatinya.

207

4.4.1.2.2 Penolakan

Penulis tidak menemukan reaksi yang berupa Penolakan (Denial) pada tokoh

„‟Je‟‟ yang mengalami Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance

Conflict) dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

4.4.1.2.3 Penekanan

Pengingkaran atas kenyataan adalah pembelaan diri terhadap ancaman eksternal; penekanan (Represi) adalah pembelaan diri terhadap ancaman internal.

Dalam penekanan, implus-implus dan ingatan-ingatan yang terlalu menakutkan dibuang jauh dari tindakan-tindakan atau kesadaran-kesadaran.

Tokoh „‟Je „‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo, reaksi berupa penekanan (Represi) dapat dilihat dari usaha tokoh „‟Je‟‟ ketika mencoba menghindari pikiran-pikiran buruk yang selalu datang menghantuinya dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tertidur. Tokoh „‟Je‟‟ melakukan hal tersebut agar supaya rasa takut dan khawatir yang dialaminya dapat berkurang sehingga dirinya tidak lagi merasa gelisah. Meskipun pada kenyataannya pikiran- pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukuman mati tersebut tidak pernah berhenti datang dalam pikirannya. Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori pada data ke-12.

(12) LDJDC/I/2 Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute

208

distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. Je viens de m’éveiller en sursaut, poursuivi par elle et me disant : - Ah! Ce n’est qu’un rêve ! - Hé bien ! Avant même que mes yeux lourds aient eu le temps de s’entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l’horrible réalité qui m’entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré mon oreille :- Condamné à mort !

Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana. Dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia menguncangkanku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refren lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau. Tersentak bangun aku dikejarnya, kemudian aku berkata pada diriku sendiri : -Ah, itu hanya mimpi ! –Oh, ya ? bahkan sebelum mataku yang berat sempat sedikit membuka untuk melihat pikiran yang tidak terelakan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di ubin selku yang basah dan berkeringat, di kesuraman lampu malamku, di tenunan kasar kain pakaianku, di wajah suram serdadu jaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, terdengar sudah sebuah bisikan di telingaku: - Dihukum mati !

Setelah menjadi seorang terpidana, hari-hari yang dilalui oleh tokoh „‟Je‟‟ terasa sangat menyiksa. Hal tersebut disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah

209

hukuman kematian selalu menghantuinya. Pikiran-pikiran yang sangat mengerikan tersebut tidak pernah berhenti datang dan selalu membuat tokoh „‟Je‟‟ gelisah. Tokoh

„‟Je‟‟ yang selalu merasa tidak tenang dan merasa gelisah akhirnya mencoba untuk menghindari pikiran-pikiran buruk tersebut dengan cara sengaja memalingkan kepalanya, sengaja menghindari pikiran tersebut, dan mencoba memejamkan matanya dengan harapan dirinya dapat tertidur dan sejenak dapat melupakan hal tersebut. Namun pada kenyataannya, apapun usaha yang telah dilakukan oleh tokoh

„‟Je‟‟, pikiran-pikiran tersebut selalu saja datang kembali dengan tiba-tiba, baik dirinya dalam keadaan sadar atau dalam keadaan tertidur yaitu dalam bentuk mimpi buruk.

Usaha tokoh „‟Je‟‟ untuk menghindari pikiran-pikiran buruk tersebut di atas digambarkan oleh penulis dalam kutipan „‟ Je n‟ai plus qu‟une pensée, qu‟une conviction, qu‟une certitude : condamné à mort! Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernal, comme un spectre de plomb à mes côtes, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau. „‟ yang dapat diartikan (Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian: dihukum mati! Apa pun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara,

210

menatap wajahku yang merana. Dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia menguncangkanku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refren lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau).

Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukumannya adalah hukuman mati. Pikiran-pikiran buruk tersebut tidak pernah berhenti muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ meskipun dirinya telah berusaha untuk tidak memikirkannya. Pikiran- pikiran buruk tersebut seolah-olah tidak memberi sedikit pun peluang kepada tokoh

„‟Je‟‟ untuk memikirkan hal lain. Pikiran-pikiran itu selalu muncul ketika tokoh

„‟Je‟‟ mencoba menenangkan hati dan pikirannya dengan cara berpikir positif. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mencoba menghindari pikiran-pikiran yang sangat mengerikan tersebut dengan cara memejamkan matanya, namun pikiran-pikiran tersebut tetap saja datang dengan tiba-tiba sehingga membuat dirinya bangun karena terkejut.

Pikiran-pikiran tentang hukuman mati muncul dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ dalam berbagai bentuk dan cara, terkadang muncul menimrung dalam bentuk kata-kata yang selalu mengalir ditelinganya ketika terdapat kata-kata yang ditujukan kepadanya, menghantuinya dan memata-matainya di saat terjaga seolah-olah menempel bersamanya di terali besi selnya, dan muncul kembali dalam bentuk mimpi-mimpi buruk.

211

Penulis menggunakan kutipan „‟ et me secouant de se deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu‟on m‟adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot ; m‟obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d‟un couteau‟‟ yang dapat diartikan (Dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia menguncangkanku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refren lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku dalam bentuk pisau) untuk menunjukkan usaha yang dilakukan oleh tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menghindari pikiran-pikiran buruk yang selalu menghantuinya. Meskipun pada kenyataannya, pikiran-pikiran yang menakutkan tersebut tidak pernah dapat dihindarinya.

4.4.1.2.4 Rasionalisasi

Rasionalisasi bukan berarti “bertindak menurut akal”; hal ini merupakan penentu motif yang masuk akal atau layak secara sosial pada sesuatu yang kita lakukan sehingga kita tampak bertindak sesuai dengan akal pikiran dan sepatutnya.

Dalam usaha mencari alasan yang “baik” ketimbang yang “benar” orang-orang membuat sejumlah dalih. Dalih-dalih itu biasanya masuk akal; hanya saja mereka itu tidak mengatakan seluruh cerita. Misal: suka atau tidak suka sebagai suatu dalih: “

212

Saya tidak akan pergi ke pesta itu walaupun seandainya saya diundang. Saya tidak suka berkumpul-kumpul dengan orang banyak itu.

Pada tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo reaksi berupa rasionalisasi dapat dilihat dari sikap yang ditunjukkan tokoh

„‟Je‟‟ ketika mendengar pengacaranya mengatakan bahwa dirinya berharap hukuman yang akan dijatuhkan kepada tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman kerja paksa seumur hidup.

Setelah mendengar hal tersebut, tokoh „‟Je‟‟ yang temperamen dengan penuh kemarahan berdalih bahwa dirinya lebih memilih hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidupnya seperti harapan pengacara. Penulis menunjukkan hal tersebut dengan menggunakan teknik cakapan pada data ke-13 di bawah ini.

(13) LDJDC/II/7 Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. +J‟espère, me dit-il. -N‟est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. +Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. -Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

Di saat itu pembelaku tiba. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dengan lahap. Sampai ditempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum. -Mudah-mudahan, katanya kepadaku. -Benarkah! Jawabku ringan, juga sambil tersenyum. -Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga jadi kerja paksa seumur hidup. -Bapak ini bicara apa? Tukasku marah, seratus kali lebih baik mati!

213

Beberapa saat sebelum persidangan dimulai tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan bahwa keputusan hukumannya adalah kebebasaan. Persidangan akhirnya dimulai setelah pengacara yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ketika sampai ditempat duduknya, si pembela mencondongkan tubuhnya ke arah tokoh „‟Je‟‟ dan mengatakan „‟ J‟espère „‟ (Saya berharap). Kata „saya berharap‟ dalam kutipan mengandung makna harapan pengacara agar apa yang diharapkannya dapat terkabul.

Tokoh „‟Je‟‟ yang belum tahu apa yang diharapan oleh sang pembela kemudian menjawab dengan penuh rasa senang, keyakinan dan ketegasan dengan mengatakan

„‟ N‟est-ce pas ? „‟ (Benarkah!). Kata „benarkah‟ dalam kutipan mengandung makna harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kebebasan. Penulis menggunakan tanda seru pada kata „benarkah‟ berfungsi untuk menggambarkan keyakinan dan ketegasan tokoh „‟Je‟‟ bahwa dirinya merasa senang mengetahui pengacaranya memiliki harapan positif terhadap kemungkinan keputusan hukumannya.

Namun, rasa senang tokoh „‟Je‟‟ tiba-tiba sirna ketika pengacaranya akhirnya mengatakan bahwa dirinya berharap hakim dapat memperingan hukuman tokoh

„‟Je‟‟ menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis menunjukkan harapan pengacara dalam kutipan „‟ Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité „‟ (Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga jadi kerja paksa seumur hidup). Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki karakter temperamen semerta-merta marah. Ia terkejut mendengar pernyataan pengacara yang sangat bertolak belakang dengan harapannya. Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi

214

kemudian berdalih bahwa dirinya lebih memilih mendapat hukuman mati daripada harus dihukum kerja paksa seumur hidup. Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dari pertanyaan yang ditujukannya kepada pengacara dalam kutipan „‟ Que dites-vous là, monsieur ?„‟ (Bapak ini bicara apa?). Penulis menggunakan tanda tanya dalam kutipan di atas untuk menggambarkan keterkejutan dan ketidakpahaman tokoh „‟Je‟‟ terhadap pernyataan pengacara yang sangat bertolak belakang dengan apa yang diharapkannya. Pernyataan pengacara tersebut sangat mengejutkannya.

Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki temperamen tinggi tiba-tiba marah mendengar pernyataan pengacara. Selain itu, ia juga memiliki harga diri yang tinggi sehingga tidak dapat menerima pemikiran pengacara yang tidak sependapat dengannya. Sifat egois tokoh „‟Je‟‟ juga yang membuat dirinya kembali menegaskan bahwa dirinya lebih memilih keputusan hukuman hakim kepadanya adalah seratus kali lebih baik mendapatkan hukuman mati daripada harus menerima hukuman kerja paksa seumur hidup dengan mengatakan „‟ plutôt cent fois la mort ! „‟ (Seratus kali lebih baik mati!). Penulis menggunakan tanda seru dalam kutipan di atas untuk menggambarkan rasa marah tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar. Reaksi tokoh „‟Je‟‟ untuk lebih memilih hukuman mati daripada hukuman kerja paksa seumur hidup inilah yang menunjukkan reaksi yang berupa rasionalisasi.

4.4.1.2.5 Pembentukan Reaksi

Kadangkala orang-orang dapat menyembunyikan motif dari diri mereka sendiri dengan memberikan pernyataan yang kuat terhadap sesuatu yang bertentangan. Kecendrungan demikian disebut pembentukan reaksi (reaction formation).

215

Pada tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya

Victor Hugo reaksi berupa pembentukan reaksi dapat dilihat dari pernyataan yang kuat tokoh „‟Je‟‟ yang mengatakan bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati daripada harus dihukum kerja paksa seumur hidup. Pernyataan tokoh „‟Je‟‟ tersebut sangat bertentangan dengan perasaan takut tokoh „‟Je‟‟ akan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati. Hal tersebut dapat dilihat dari kebimbangan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ setelah mengatakan bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati seperti yang digambarkan penulis menggunakan teknik pikiran dan perasaan pada data ke-14 berikut ini.

(14) LDJDC/II/7 Oui, la mort ! –Et d‟ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure, qu‟est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ? Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.

Ya, mati !-Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ? Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin ! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.

Setelah mendengar pernyataan pengacara yang mengatakan bahwa dirinya berharap dapat membuat hukuman tokoh „‟Je‟‟ menjadi lebih ringan yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup, dengan rasa marah tokoh „‟Je‟‟ berdalih dengan mengatakan bahwa dirinya lebih memilih mendapatkan keputusan hukuman mati daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup seperti yang

216

diharapkan oleh pengacaranya. Namun setelah mengatakan hal itu, tokoh „‟Je‟‟ merasa bimbang. Kebimbangan tokoh „‟Je‟‟ dapat kita lihat dari kutipan Oui, la mort ! –Et d‟ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure yang dapat diartikan „‟Ya, kematian ! -Dan lagi, aku mengulang tidak tahu suara apa di dalam diriku sendiri‟‟.

Penulis menggunakan kata „‟Oui, la mort ! „‟ (Ya, kematian !) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba meyakinkan kembali dirinya bahwa hukuman mati adalah pilihannya. Tokoh „‟Je‟‟ merasa khawatir terhadap kata-kata yang telah diucapkannya. Penulis menggambarkan kekhawatiran tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟ qu‟est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ? Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil „‟ yang dapat diartikan (Apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ? Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? Tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin ! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu).

Kutipan di atas menggambarkan perasaan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa khawatir setelah mengatakan bahwa dirinya lebih memilih hukuman mati daripada harus mendapatkan hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ yang mulai sadar

217

akan rasa khawatir yang dirasakannya, mencoba membuat hatinya tenang dengan mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak merasa khawatir. Ia mencoba menenangkan perasaan takutnya terhadap kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah benar-benar hukuman mati seperti yang telah dikatakannya. Ia mencoba berdalih dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa biasanya hukuman mati hanya dijatuhkan pada tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin. Namun, keputusan hukumannya akan dibacakan di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik. Tokoh „‟Je‟‟ mengatakan pada dirinya sendiri bahwa keputusan hukuman mati tidak mungkin dijatuhkan di hari seindah dan secerah pagi itu.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Qu‟est-ce que je risque à dire cela ? „‟

(Apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan dirinya yang mulai merasa khawatir terhadap kata-kata yang telah diucapkannya. Selain itu penulis juga menggunakan kata-kata „‟ A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu‟à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre noire, et par une froide nuit de pluie et d‟hiver ?

Mais au mois d‟août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c‟est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil „‟

(Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penarangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin ? tapi di bulan agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin !

218

Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang diam-diam masih berharap keputusan hakim bukanlah hukuman mati. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa hukuman mati selalu dijatuhkan pada musim dingin, di tengah malam, di ruang yang gelap dan suram, dan tentunya di malam hari. Keadaan tersebut sangat bertolakbelakang dengan keadaan ketika persidangan tokoh „‟Je‟‟ sedang berlangsung. Karena itulah, tokoh „‟Je‟‟ berharap keputusan hakim bukan hukuman mati.

4.4.1.2.6 Proyeksi

Penulis tidak menemukan reaksi yang berupa Proyeksi pada tokoh „‟Je‟‟ yang mengalami Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance Conflict) dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

4.4.1.2.7 Intelektualitas

Penulis tidak menemukan reaksi yang berupa Intelektualitas pada tokoh „‟Je‟‟ yang mengalami Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-Avoidance Conflict) dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

4.4.1.2.8 Pengalihan

Penulis tidak menemukan reaksi yang berupa Pengalihan (Displacement) pada tokoh „‟Je‟‟ yang mengalami Konflik Mendekat-Menghindar (Approach-

219

Avoidance Conflict) dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo.

4.4.1.3 Stres dan Fisiologi

Stres yang gawat (berlangsung melalui sistem urat saraf pusat untuk mengubah keseimbangan hormon) dapat juga merusak respons daya tahan seseorang, mengurangi kemampuan melawan bakteri dan virus-virus yang menyerang. Tepat benar bila diperkirakan bahwa stres emosional memegang peranan yang penting dalam lebih dari 50 persen segala masalah kesehatan.

Selain mengalami frustrasi dan kecemasan, tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le

Dernier Jour d’un Condamné mengalami stres yang gawat (berlangsung melalui sistem urat saraf pusat untuk mengubah keseimbangan hormon) sehingga menyebabkan rusaknya daya tahan tubuh tokoh „‟Je‟‟ dan mengurangi kemampuan melawan bakteri dan virus-virus yang menyerang tubuhnya sehingga menimbulkan masalah kesehatan pada tokoh „‟Je‟‟. Hal tersebut di atas dapat kita lihat ketika tokoh

„‟Je‟‟ mengalami kegelisahan yang disebabkan oleh adanya kekhawatiran dan kengerian. Tokoh „‟Je‟‟ yang mengalami kegelisahan terus menerus menjadi stress dan akhirnya mengalami kesulitan untuk tidur. Kurangnya istirahat membuat daya tahan tubuh tokoh „‟Je‟‟ menjadi lemah sehingga dirinya cepat merasa lelah. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ melakukan kegiatan yang selalu sama (mengikuti jalannya persidangan) sehingga dirinya merasa bosan. Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori dalam data ke-15.

220

(15) LDJDC/II/3 La troisième, j‟en avais dormi d‟ennui et de fatigue. A minuit. J‟avais laissé les jurés délibérant. On m‟avait ramené sur la paille de mon cachot, et j‟étais tombé sur-le-champ dans un sommeil profond, dans un sommeil d‟oubli. C‟étaient les premières heures de repos depuis bien des jours. J‟étais encore au plus profond de ce profond sommeil lorsqu‟on vint me réveiller. Cette fois il ne suffit point du pas lourd et des souliers ferrés du guichetier, du cliquetis de son nœud clefs, du grincement rauque des verrous ; il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix à mon oreille et sa main rude sur mon bras. –Levez-vous donc ! +J‟ouvris les yeux, je me dressai effaré sur mon séant. En ce moment, par l’étroite haute fenêtre de ma cellule, je vis au plafond du corridor voisin, seul ciel qu’il me fût donné d’entrevoir, ce reflet jaune où des yeux habitués aux ténèbres d’une prison savent si bien reconnaître le soleil. J’aime le soleil.

Di malam ketiga, aku tertidur karena merasa bosan dan lelah. Di tengah malam, waktu para anggota dewan hakim melanjutkan perundingan, aku dibawa ketumpukan jerami di selku, dan seketika itu pula aku tertidur pulas, terlena dalam kelelapan yang membuat ku lupa segalanya. Itu merupakan jam-jam istirahatku yang pertama setelah sekian hari berlalu. Aku masih berada di dalam kepulasaan paling lelap, ketika seseorang datang membangunkanku. Kali ini, bunyi langkah yang berat dan sepatu penjaga yang ada besinya, gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup: untuk menyeretku keluar dari kelelapanku, diperlukan suaranya yang kasar di dekat telingaku dan tangannya yang juga kasar di lenganku. +Ayo bangun! –Ku buka mataku, dan dengan segera duduk, linglung. Pada saat itu, melalui jendela sempit yang terletak tinggi di selku, di langit-langit lorong sebelah, satu-satunya di mana kilasan langit bisa kulihat, tampak sebuah pantulan kuning, yang bagi mata yang sudah terbiasa dengan kegelapan penjara dapat diketahui bahwa itu adalah sinar matahari. Aku suka matahari.

Tiga hari tokoh „‟Je‟‟ menghadiri persidangan dengan perasaan khawatir yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruknya tentang kemungkinan hukuman mati yang akan dijatuhkan hakim kepadanya, perasaan ngeri dikarenakan suasana di dalam ruang sidang yang selalu sama yaitu para penonton yang sangat antusias menantikan kehadirannya dan menyaksikan jalannya persidangan, bayangan para hakim, saksi,

221

pengacara, dan jaksa kerajaan yang selalu tampak dengan raut wajah yang suram.

Kegiatan yang sangat menoton dan selalu membuat tokoh „‟Je‟‟ tertekan tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ akhirnya merasa bosan dan lelah. Tokoh „‟Je‟‟ yang selalu tidak dapat tidur karena gelisah akhirnya dapat tertidur pulas karena tubuhnya terlalu lelah. Ia tertidur sangat pulas sehingga penjaga harus membangunkannya dengan cara yang kasar. Penulis menggambarkan hal tersebut dalam kutipan „‟ La troisième, j‟en avais dormi d‟ennui et de fatigue. A minuit. J‟avais laissé les jurés délibérant.

On m‟avait ramené sur la paille de mon cachot, et j‟étais tombé sur-le-champ dans un sommeil profond, dans un sommeil d‟oubli. C‟étaient les premières heures de repos depuis bien des jours. J‟étais encore au plus profond de ce profond sommeil lorsqu‟on vint me réveiller. Cette fois il ne suffit point du pas lourd et des souliers ferrés du guichetier, du cliquetis de son nœud clefs, du grincement rauque des verrous ; il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix à mon oreille et sa main rude sur mon bras. –Levez-vous donc ! +J‟ouvris les yeux, je me dressai effaré sur mon séant „‟ yang dapat diartikan (Di malam ketiga, aku tertidur karena merasa bosan dan lelah. Di tengah malam, waktu para anggota dewan hakim melanjutkan perundingan, aku dibawa ketumpukan jerami di selku, dan seketika itu pula aku tertidur pulas, terlena dalam kelelapan yang membuat ku lupa segalanya. Itu merupakan jam-jam istirahatku yang pertama setelah sekian hari berlalu. Aku masih berada di dalam kepulasaan paling lelap, ketika seseorang datang membangunkanku. Kali ini, bunyi langkah yang berat dan sepatu penjaga yang ada besinya, gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup: untuk menyeretku keluar dari

222

kelelapanku, diperlukan suaranya yang kasar di dekat telingaku dan tangannya yang juga kasar di lenganku. +Ayo bangun! –Ku buka mataku, dan dengan segera duduk, linglung).

Dari kutipan di atas penulis mengetahui bahwa tokoh „‟Je‟‟ akhirnya dapat tertidur pulas, setelah beberapa lama tidak dapat tertidur karena dirundung gelisah.

Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya untuk pertama kalinya dapat beristirahat dengan tenang pada malam ke tiga semenjak persidangan dimulai. Setelah kembali dari ruang persidangan, tokoh „‟Je‟‟ langsung tertidur pulas di atas jerami setelah dirinya tiba di selnya. Ia merasa sangat bosan dan lelah setelah menghadiri persidangan yang menoton dan selalu membuatnya tertekan karena rasa takut dan ngeri. Ia tertidur sangat lelap sampai-sampai penjaga harus membangunkannya dengan cara yang kasar.

Penulis menggunakan kalimat „‟ La troisième, j‟en avais dormi d‟ennui et de fatigue. „‟ ( Di malam ketiga, aku tertidur karena merasa bosan dan lelah.‟‟) untuk menunjukkan tokoh „‟Je‟‟ akhirnya dapat tertidur disebabkan rasa bosan dan lelah. Kalimat „‟ j‟étais tombé sur-le-champ dans un sommeil profond, dans un sommeil d‟oubli‟‟ (aku tertidur pulas, terlena dalam kelelapan yang membuat ku lupa segalanya) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ kelelapan tidur tokoh „‟Je‟‟ setelah beberapa lama tidak dapat beristirahat dengan tenang. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya dapat melupakan untuk sejenak pikiran-pikiran buruk tentang kemungkinan keputusan hukuman mati yang selalu menghantuinya. Umumnya, seseorang yang memiliki banyak pikiran dan memiliki tekanan terus menerus akan mengalami kesusahan untuk tidur. Kurangnya waktu istirahat menimbulkan fisik seseorang

223

menjadi cepat lelah. Kelelahan biasanya cendrung menimbulkan rasa kantuk sehingga tubuh secara tidak langsung beristirahat dengan sendirinya. Namun, jika seseorang mengalami kelelahan terus menerus hingga tubuhnya tidak lagi memiliki kekuatan, hal itu dapat menyebabkan seseorang pingsan. Hal ini akan dibahas oleh penulis pada data yang menunjukan reaksi stres dan fisiologi tokoh „‟Je‟‟ yang disebabkan konflik menghindar-menghindar pada sub sub bab berikutnya.

Penulis juga menggunakan paragraf „‟ J‟étais encore au plus profond de ce profond sommeil lorsqu‟on vint me réveiller. Cette fois il ne suffit point du pas lourd et des souliers ferrés du guichetier, du cliquetis de son nœud clefs, du grincement rauque des verrous ; il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix

à mon oreille et sa main rude sur mon bras. –Levez-vous donc ! +J‟ouvris les yeux, je me dressai effaré sur mon séant‟‟ yang dapat diartikan (Aku masih berada di dalam kepulasaan paling lelap, ketika seseorang datang membangunkanku.

Kali ini, bunyi langkah yang berat dan sepatu penjaga yang ada besinya, gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup: untuk menyeretku keluar dari kelelapanku, diperlukan suaranya yang kasar di dekat telingaku dan tangannya yang juga kasar di lenganku. +Ayo bangun! –Ku buka mataku, dan dengan segera duduk, linglung) untuk menggambarkan kronologi terbangunnya tokoh „‟Je‟‟. Dari kronologi tersebut kita dapat melihat kepulasan tidur tokoh „‟Je‟‟ yang disebabkan rasa bosan dan lelah yang selalu merundungnya. Ia tertidur sangat lelap sehingga penjaga akhirnya harus membangunkan dirinya dengan cara yang kasar. Hal tersebut disebabkan bunyi langkah penjaga yang berat dan sepatu penjaga yang berisik karena terdapat besi di

224

sepatunya, bunyi gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup menyeret tokoh „‟Je‟‟ keluar dari kelelapan tidurnya.

Dalam kutipan di atas, penulis juga menggunakan kalimat ‟‟ J‟étais encore au plus profond de ce profond sommeil lorsqu‟on vint me réveiller. „‟ (Aku masih berada di dalam kepulasaan paling lelap, ketika seseorang datang membangunkanku.) untuk menggambarkan keadaan tokoh „‟Je‟‟ yang sedang tidur dengan lelapnya ketika sang penjaga membangunkannya. Selain itu, penulis juga menggunakan paragraf ‟‟ Cette fois il ne suffit point du pas lourd et des souliers ferrés du guichetier, du cliquetis de son nœud clefs, du grincement rauque des verrous ; il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix à mon oreille et sa main rude sur mon bras „‟ (Kali ini, bunyi langkah yang berat dan sepatu penjaga yang ada besinya, gemerincing untaian anak kunci dan derit parau kunci yang dibuka, tidaklah cukup: untuk menyeretku keluar dari kelelapanku) untuk menggambarkan tingkah laku yang biasa dilakukan sang penjaga yang biasanya dapat membuat tokoh „‟Je‟‟ terbangun dari tidurnya, namun tidak seperti biasanya, hal tersebut tidak cukup untuk membuat tokoh „‟Je‟‟ yang tertidur sangat lelap terbangun dari tidurnya.

Kalimat-kalimat „‟ il fallut pour me tirer de ma léthargie sa rude voix à mon oreille et sa main rude sur mon bras „‟ (diperlukan suaranya yang kasar di dekat telingaku dan tangannya yang juga kasar di lenganku. +Ayo bangun!) untuk menunjukkan bahwa penjaga akhirnya membangunkan tokoh „‟Je‟‟ dengan cara yang kasar yaitu dengan cara berteriak dikuping tokoh „‟Je‟‟ dan menarik lengannya hingga dirinya terbangun. Selain itu, penulis menggunakan kalimat „‟

225

J‟ouvris les yeux, je me dressai effaré sur mon séant „‟ (Ku buka mataku, dan dengan segera duduk, linglung) untuk menggambarkan keadaan tokoh „‟Je‟‟ yang linglung setelah terbangun dengan terpaksa. Setelah bangun dari tidurnya, tokoh

„‟Je‟‟ menjadi linglung. Ia seakan-akan lupa dengan apa yang telah dialaminya. Ia hanya merasa senang ketika memandangi secercah cahaya yang masuk lewat lubang kecil yang berada di selnya yang gelap dan suram.

Tokoh „‟Je‟‟ sejenak terlupa dengan keadaan yang sedang dialaminya. Ia terlena oleh pemandangan cahaya matahari yang terpantul dari jendela kecil yang terletak tinggi di dinding ruang selnya. Perkataan penjagalah yang membuat tokoh

„‟Je‟‟ akhirnya menyadari bahwa dirinya harus kembali menghadiri persidangan.

Tokoh „‟Je‟‟ yang tiba-tiba dirundung rasa takut akhirnya berangkat menuju pengadilan di sertai seorang pengawal yang telah membangunkannya secara kasar.

Reaksi tokoh tersebut telah dibahas penulis pada data sebelumnya.

4.4.2 Akibat Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance-Avoidance Conflict)

Berdasarkan konflik psikologi menghindar-menghindar tersebut di atas, menurut Atkinson, Rita L. dkk. (1983:203-225) akibat dan reaksi tokoh terhadap akibat yang ditimbulkan oleh konflik tersebut akan dideskripsikan satu persatu oleh penulis berikut.

226

4.4.2.1 Frustrasi

Frustrasi terjadi bila gerak ke arah tujuan yang diinginkan terhambat atau tertunda. Berbagai hambatan, baik eksternal maupun internal, dapat mengganggu usaha seseorang untuk mencapai tujuan.

Tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné mengalami konflik yang tergolong ke dalam Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance -

Avoidance Conflict) yang menyebabkan dirinya mengalami frustrasi. Tokoh „‟Je‟‟ mengalami frustrasi disebabkan harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas dan harapan bahwa hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya bukan hukuman mati tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan adanya berbagai hambatan eksternal seperti keadaan di mana pegacara tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan yang berbeda dengan dirinya yaitu harapan bahwa keputusan hukumannya adalah hukuman kerja paksa seumur hidup dan hambatan internal seperti karakter temperamen tokoh „‟Je‟‟ yang membuat dirinya cepat merasa marah dan sakit hati sehingga lebih memilih untuk tidak melakukan pembelaan ketika hakim memberikan kesempatan kepadanya.

Kedua hambatan tersebut di atas akan dideskripsikan satu persatu oleh penulis dalam data ke-16 dan data ke-17 pada halaman 231.

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi dan karakter temperamen menyebabkan terhambatnya harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk mendapatkan kebebasan (hambatan internal). Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik tingkah laku seperti yang dapat kita lihat dalam data ke-

16 yang bercetak tebal di bawah ini.

227

(16) LDJDC/II/8 Tout à coup le président, qui n’attendait que l’avocat, m’invita à me lever. La troupe porta les armes ; comme par un mouvement électrique, toute l’assemblée fut debout au même instant. Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c’était, je pense, le greffier, prit la parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence. Une sueur froide sortit de tous mes membres ; je m’appuyai au mur pour ne pas tomber. -Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l‟application de la peine ? demanda le président. J‟aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais. Le défenseur se leva. Je compris qu‟il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de peine qu‟elle provoquait, l‟autre peine, celle que j‟avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l‟indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l‟helaine me manqua, et je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive : Non ! Le procureur général combattit l‟avocat, et je l‟écoutai avec une satisfaction stupide. Puis les juges sortirent, puis ils rentrèrent, et le prèsident me lut mon arrêt.

Mendadak ketua hakim, yang tadi hanya menunggu datangnya pembelaku, memintaku berdiri. Pasukan melakukan sikap senjata dengan gerakan terputus-putus, seluruh hadirin berdiri pada saat yang sama. Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para juri selama aku tidak berada di sana. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh. -Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pengacara atas keputusan hukuman ini? Tanya Hakim ketua. Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Pengacara berdiri. Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan, menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuat saya sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku

228

ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik kematian ! Namun napasku habis, dan aku hanya bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Tidak! Jaksa tinggi menyerang balik pengacara, dan aku mendengarkanya dengan rasa puas yang tolol. Kemudian para hakim keluar, masuk kembali, dan Hakim ketua membacakan putusan hukumanku.

Ketika persidangan akan berakhir, setelah panitera pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman tokoh „‟Je‟‟ yaitu hukuman mati, hakim memberikan kesempatan bagi tokoh „‟Je‟‟ dan pengacaranya untuk melakukan pembelaan agar supaya hukuman tokoh „‟Je‟‟ dapat menjadi lebih ringan. Namun, karena tokoh „‟Je‟‟ yang masih memendam perasaan sakit hatinya terhadap pengacara, dirinya akhirnya memutuskan untuk hanya terdiam, walaupun pada kenyataannya banyak yang ingin dikatakannya. Tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ tersebut dapat penulis ketahui dari kutipan yaitu „‟J‟aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais.„‟ yang dapat diartikan (Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit).

Kutipan di atas menggambarkan tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ ketika Hakim ketua memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan pembelaan. Tokoh „‟Je‟‟ tidak melakukan pembelaan dan hanya terdiam. Sebaliknya, pengacaranya mencoba melakukan pembelaan dengan harapan hukuman tokoh „‟Je‟‟ dapat diperingan seperti apa yang diharapkannya, namun tokoh „‟Je‟‟ yang masih dikuasai oleh rasa dendam dan sakit hati memiliki keinginan untuk menghentikan usaha pembelaan yang dilakukan oleh pengacaranya. Ia mengatakan bahwa dirinya lebih memilih seratus kali lebih baik mati daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menghentikan usaha pembela dengan cara menarik

229

lengannya dan berteriak dan mengatakan tidak. Tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ ini dapat penulis lihat dari kutipan yaitu ‟‟ je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive : Non ! „‟ yang dapat diartikan (Aku tidak bisa hanya menghentikan lewat lengannya, dan berteriak dengan keras tidak terkendali: Tidak!).

Kutipan di atas menggambarkan emosi tokoh „‟Je‟‟ yang tidak terkendali ketika mencoba menghentikan usaha pembelaan yang dilakukan oleh pengacaranya.

Tokoh „‟Je‟‟ tidak hanya mencoba menghentikan pengacara dengan menarik lengannya dengan kasar, tapi juga dengan berteriak penuh emosi. Reaksi tokoh „‟Je‟‟ ini akan dibahas kembali oleh penulis dalam data pada sub sub bab berikutnya.

Selain itu, penulis menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ merasa sakit hati kepada pengacara yang telah berharap keputusan hukumannya adalah hukuman penjara seumur hidup dalam kutipan „‟ Je compris qu‟il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de peine qu‟elle provoquait, l‟autre peine, celle que j‟avais été si blessé de lui voir espérer „‟ (Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan, menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuat saya sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu).

Meskipun tokoh „‟Je‟‟ mencoba menghentikannya, pengacara tetap berusaha melakukan pembelaan meski Jaksa tinggi menyerang balik dirinya. Tokoh „‟Je‟‟ yang melihat hal tersebut hanya terdiam dengan rasa puas yang tolol. Hal ini terlihat dalam kutipan „‟ Le procureur général combattit l‟avocat, et je l‟écoutai avec une satisfaction stupide „‟ yang dapat diartikan (Jaksa tinggi menyerang balik

230

pengacara, dan aku mendengarkannya dengan rasa puas yang tolol). Penulis menggunakan kata-kata „‟je l‟écoutai avec une satisfaction stupide„‟ (aku mendengarkanya dengan rasa puas yang tolol). Kutipan di tersebut digunakan penulis untuk menunjukkan tokoh „‟Je‟‟ menyadari bahwa keputusannya untuk menghentikan pengacara adalah sebuah keputusan yang bodoh walaupun hatinya telah merasa puas karena telah melakukan apa yang diinginkannya. Karakter tokoh

„‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi, dan temperamen yang tinggi tersebutlah yang membuat dirinya bersikap kekanak-kanakan ketika dirinya dihadapkan pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya.

Selain itu, hambatan external yang mengakibatkan tidak terpenuhinya harapan tokoh „‟Je‟‟ untuk bebas dan mendapatkan keputusan hukuman bukan hukuman mati adalah pengacara memiliki harapan bahwa keputusan hukuman tokoh

„‟Je‟‟ adalah hukuman kerja paksa seumur hidup. Karakter tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego dan temperamen yang tinggi tidak dapat menerima hal tersebut. Penulis menunjukkan harapan pengacara tersebut dengan menggunakan teknik cakapan yang terdapat dalam data di bawah ini.

(17) LDJDC/II/7 Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. + J‟espère, me dit-il. - N‟est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. + Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. - Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai je indigné ; plutôt cent fois la mort !

231

Di saat itu pengacaraku tiba. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dengan lahap. Sampai ditempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum. + Mudah-mudahan, katanya kepadaku. - Harus! Jawabku ringan, juga sambil tersenyum. + Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga jadi kerja paksa seumur hidup. - Bapak ini bicara apa? Tukasku marah, seratus kali lebih baik mati!

Detik-detik sebelum persidangan dimulai tokoh „‟Je‟‟ memiliki harapan bahwa keputusan hakim adalah kebebasaan. Persidangan pun akhirnya dimulai setelah pengacara yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ketika sampai di tempat duduknya, pengacara mencondongkan tubuhnya ke arah tokoh „‟Je‟‟ dan mengatakan „‟ + J‟espère „‟ (+ Saya berharap). Kata „saya berharap‟ dalam kutipan tersebut mengandung makna harapan pengacara agar apa yang diharapkannya dapat terkabul. Tokoh „‟Je‟‟ yang belum mengetahui apa yang diharapan oleh pengacaranya kemudian menjawab dengan penuh rasa senang, keyakinan dan dengan tegasan mengatakan harus seperti dalam kutipan „‟- N‟est-ce pas ! „‟ (- Benarkah!).

Kata „benarkah!‟ dalam kutipan menggambarkan rasa senang tokoh „‟Je‟‟ karena mengetahui bahwa pengacara memiliki harapan positif terhadap kemungkinan keputusan hukumannya yaitu harapan untuk mendapatkan kebebasan. Penulis menggunakan tanda seru pada kata harus berfungsi untuk menggambarkan keyakinan dan ketegasan tokoh „‟Je‟‟ terhadap harapan pengacaranya.

Namun, semuanya berubah ketika akhirnya pengacara mengatakan bahwa dirinya berharap hakim dapat memperingan hukuman tokoh „‟Je‟‟ menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis menunjukkan harapan pengacara dalam kutipan „‟

+ Oui, reprit-il ; je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans

232

doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité „‟ (+ Ya, lanjutnya, aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur „‟terencana‟‟, hingga jadi kerja paksa seumur hidup). Pengacara berharap para anggota persidangan akan mengesampingkan unsur terencana sehingga hukuman yang akan dijatuhkan kepada tokoh „‟Je‟‟ menjadi lebih ringan yaitu hukuman kerja paksa seumur hidup. Setelah mendengar hal tersebut, tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki karakter temperamen tiba-tiba marah. Ia terkejut mendengar pernyataan pengacara yang tidak sesuai denga apa yang diharapannya. Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki ego yang tinggi kemudian berdalih bahwa dirinya lebih memilih mendapat hukuman mati daripada harus dihukum kerja paksa seumur hidup. Keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dari pertanyaan yang ditujukannya kepada pembela dalam kutipan „‟ - Que dites-vous là, monsieur ?„‟ (-

Bapak ini bicara apa?). Penulis menggunakan tanda tanya dalam kutipan di atas untuk menggambarkan keterkejutan dan ketidakpahaman tokoh „‟Je‟‟ terhadap pernyataan pengacara yang sangat bertolak belakang dengan harapannya. Pernyataan pengacara tersebut membuatnya sangat terkejut.

Selain membuat tokoh „‟Je‟‟ terkejut, pernyataan pembela tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki temperamen yang tinggi tiba-tiba marah setelah mendengarnya. Harga diri yang tinggi membuat dirinya tidak dapat menerima pemikiran pengacara yang tidak sependapat dengannya. Sifat egois tokoh „‟Je‟‟ membuat dirinya memutuskan untuk lebih memilih keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah seratus kali lebih baik hukuman mati daripada harus mendapat keputusan hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut dapat

233

dilihat dari kata-kata tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟- plutôt cent fois la mort ! „‟ (-

Seratus kali lebih baik mati!). Penulis menggunakan tanda seru pada akhir kalimat untuk menggambarkan rasa marah tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar.

Reaksi-reaksi tokoh „‟Je‟‟ ketika mengalami frustrasi akan dideskripsikan satu persatu oleh penulis berikut ini.

4.4.2.1.1 Agresi

Reaksi yang timbul ketika dalam situasi frustrasi, biasanya seseorang tampak gelisah dan tidak senang: mereka menggerutu, resah, mengeluh, dan dalam banyak hal, orang yang mengalami frustrasi tidak dapat mengekspresikan agresi terhadap sumber frustrasi. Kadang-kadang sumber itu tidak jelas. Orang itu tidak tahu apa yang akan diserang tetapi ia merasa marah dan mencari sesuatu yang diserang, kadang-kadang orang yang menyebabkan frustrasi itu terlalu kuat sehingga serangan terhadap orang itu akan menimbulkan bahaya.

Tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné mengalami frustrasi sehingga dirinya menimbulkan reaksi yang berupa agresi. Hal tersebut dapat dilihat dari reaksi tokoh „‟Je‟‟ setelah keputusan akhir hukumannya dibacakan oleh ketua hakim. Selain merasakan ketakutan yang luar biasa, tokoh „‟Je‟‟ menjadi resah.

Ia merasa resah kerena ternyata keputusan akhir hukumannya adalah hukuman mati.

Keresahan tersebut tersirat ketika tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan hatinya dengan cara menggerutu di dalam hati seperti yang telah digambarkan oleh penulis dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan pada data ke-18.

234

(18)

LDJDC/III/9 Condamné à mort! Eh bien, pourquoi non ? Les hommes, je me rappelle l‟avoir lu dans je ne sais quel livre où il n‟y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec de sursis indéfinis. Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? Depuis à l‟heure où mon arrêt m‟a été prononcé, combien sont mort qui s‟arrangeaient pour une longue vie ! Combien m‟ont devancé qui. Jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève ! Combien d‟ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré, et qui me devanceront encore ! Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l‟éducation, être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera : voilà à peu près les seuls biens que puisse m‟enlever le bourreau. Ah, n‟importe, c‟est horrible !

Dihukum mati ! Eh, kenapa tidak ?semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di dalam sebuah buku yang judulnya aku lupa dan yang hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ? Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati ! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bundaran Grève telah mendahuluiku ! Dan sampai hal itu terlaksana, berapa lagi barangkali akan mendahuluiku diantara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka. Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ? Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perlakuan dan ucapan kasar yang ditujukan padaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku. Ah, masa bodoh, sangat mengerikan !

235

Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan dan menghibur dirinya yang merasa resah setelah mendengarkan keputusan akhir hukumannya adalah hukuman mati. Ia mencoba meyakinkan dirinya untuk pasrah menerima hukuman yang telah dijatuhkan hakim kepadanya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan mengatakan apapun usaha yang akan ditempuhnya untuk memperingan hukumannya, pada akhirnya dirinya akan dihukum mati juga. Upaya tokoh „‟Je‟‟ tersebut digambarkan oleh penulis dalam kutipan „‟Condamné à mort! Eh bien, pourquoi non ? Les hommes, je me rappelle l‟avoir lu dans je ne sais quel livre où il n‟y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec de sursis indéfinis. Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? „‟ (Dihukum mati ! Eh, kenapa tidak ?semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di dalam sebuah buku yang judulnya aku lupa dan yang hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ?). Kutipan pada halaman 236 menggambarkan usaha tokoh „‟Je‟‟ untuk menenangkan hatinya yang terkejut karena ternyata hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati. Ia mencoba menenangkan hatinya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tidak perlu merasa terkejut jika dirinya dijatuhi hukuman mati karena semua terpidana yang melakukan penanguhan saja tetap dijatuhi hukuman mati seperti yang telah dikatakan di dalam buku yang telah dibacanya.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Condamné à mort! „‟ (Dihukum mati !) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang sedang memikirkan hukuman yang dijatuhkan padanya. Kalimat tanya „‟ Eh bien, pourquoi non ? „‟ (Eh, kenapa

236

tidak ?) dan „‟ Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? „‟ (Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan dirinya dengan cara membuat dalih bahwa apapun usaha yang dilakukannya untuk meringankan hukumannya, pada akhirnya dirinya akan dihukum mati juga seperti yang telah dialami para terpidana mati yang telah mendahuluinya.

Selain itu, penulis mencoba menenangkan hatinya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa semua orang memiliki kemungkinan untuk mendapat hukuman mati seperti yang telah dijatuhkan kepada dirinya. Hal tersebut ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟ Depuis à l‟heure où mon arrêt m‟a été prononcé, combien sont mort qui s‟arrangeaient pour une longue vie ! Combien m‟ont devancé qui.

Jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève ! Combien d‟ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré „‟ (Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati ! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bundaran

Grève telah mendahuluiku ! Dan sampai hal itu terlaksana, berapa lagi barangkali akan mendahuluiku diantara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka).

Kutipan di atas menunjukkan upaya tokoh „‟Je‟‟ untuk menenangkan dirinya dari perasaan resah dan perasaan takut terhadap kenyataan bahwa dirinya telah dijatuhi hukuman mati. Ia mencoba mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa semua orang memiliki kemungkinan untuk dijatuhi hukuman mati. Menurut tokoh „‟Je‟‟

237

sejak keputusan hukumannya dijatuhkan, beberapa orang terpidana hukuman mati yang berupaya berumur panjang telah mati mendahuluinya. Selain itu, menurutnya beberapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalanya menggelinding suatu hari nanti di bundaran Grêve, bisa saja beberapa saat kemudian mendapatkan hukuman mati dan akhirnya mendahului dirinya.

Selain mencoba meyakinkan dirinya dengan cara yang terdapat dalam kutipan di atas, tokoh „‟Je‟‟ juga mencoba meyakinkan dirinya bahwa keadaan yang dialaminya di dalam penjara tidak lebih baik dibanding hukuman mati. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l‟éducation, être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un

être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera : voilà à peu près les seuls biens que puisse m‟enlever le bourreau „‟ (Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ? Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perlakuan dan ucapan kasar yang ditujukan kepadaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku).

238

Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan pikirannya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tidak ada alasan yang harus membuatnya menyesal karena tidak melakukan pembelaan dengan harapan keputusan hakim dapat diperingan menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Ia mencoba membela dirinya dengan mengatakan bahwa jika seandainya dirinya dihukum mati, dirinya hanya mengorbankan sisa hidupnya yang megitu mengerikan di penjara. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa hanya kehidupan di dalam penjara yang begitu mengerikanlah yang dapat diambil oleh algojo darinya.

Penulis menggunakan kalimat tanya „‟ Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? „‟ (Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan hatinya dengan bertanya kepada dirinya sendiri bahwa apa yang tersisa dari hidupnya yang dapat membuatnya menyesal kerena mendapatkan hukuman mati dan bukan hukuman kerja paksa seumur hidup. Selain itu, penulis juga menggunakan kata-kata

„‟ En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l‟éducation,

être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera „‟ (Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perlakuan dan ucapan kasar yang ditujukan padaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang

239

kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku) untuk menggambarkan suasana mengerikan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ di dalam penjara.

Selain merasa resah, tokoh „‟Je‟‟ juga mengeluh terhadap sikap para hakim yang dengan mudah memutuskan menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang tanpa mempertimbangkan dengan baik penderitaan yang akan mereka alami. Hal tersebut tersirat ketika tokoh „‟Je‟‟ berharap catatan harian tentang penderitaannya kelak dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para hakim yang bertugas mengambil keputusan hukuman mati. Penulis menggambarkan hal tersebut di atas dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan yang dapat kita lihat dalam kutipan yang bercetak tebal pada data ke-19 pada halaman 240.

(19) LDJDC/VI/14 Ces feuilles les détromperont. Publiées peut-être un jour, elles arrêteront quelques moments leur esprit sur les souffrances de l‟esprit ; car ce sont celles-là qu‟ils ne soupçonnent pas. Ils sont triomphants de pouvoir tuer sans presque faire souffrir le corps. Hé ! C’est bien de cela qu’il s’agit ! Qu’est-ce que la douleur physique près de la douleur morale ! Horreur et pitié, des lois faites ainsi ! Un jour viendra, et peut- être ces mémoires, derniers confidents d’un misérable, y auront-ils contribué…

Lembaran-lembaran ini akan menyadarkan mereka atas kekeliruanya. Barangkali diterbitkan suatu hari nanti, tulisan ini akan membuat mereka berpikir sejenak mengenai penderitaan pikiran, sebab itu yang tidak mereka perhitungkan. Mereka merasa hebat bisa membunuh tanpa membuat tubuh menderita. Hey, ini justru mengenai masalah itu ! Apa arti penderitaan fisik dibanding penderitaan moral ! Menakutkan dan memelas, hukum dibuat sedemikian ini ! Suatu hari akan tiba, dan mungkin memoar ini, curahan isi hati terakhir seorang malang, ikut andil disana…

Tokoh „‟Je‟‟ berharap catatan harian tentang penderitaannya, jam demi jam, menit demi menit, dan siksaan demi siksaan yang tidak mungkin terselesaikan

240

olehnya itu, suatu saat dapat menjadi bahan pelajaran bagi mereka yang dengan mudah menjatuhkan hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ berharap suatu saat setelah membaca catatan itu, para hakim dapat mengerti seperti apa penderitaan fisik maupun batin yang dialami oleh setiap terpidana hukuman mati sehingga mereka tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ berharap para pengambil keputusan itu menyadari kekeliruan yang telah mereka perbuat. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan yaitu „‟ Ces feuilles les détromperont.

Publiées peut-être un jour, elles arrêteront quelques moments leur esprit sur les souffrances de l‟esprit ; car ce sont celles-là qu‟ils ne soupçonnent pas. „‟ yang dapat diartikan (Lembaran-lembaran ini akan menyadarkan mereka atas kekeliruanya. Barangkali diterbitkan suatu hari nanti, tulisan ini akan membuat mereka berpikir sejenak mengenai penderitaan pikiran, sebab itu yang tidak mereka perhitungkan). Kutipan di atas menggambarkan harapan tokoh

„‟Je‟‟ agar suatu hari nanti tulisan tentang perasaan yang dialaminya selama dalam penjara hingga akhirnya dirinya dieksekusi dapat menyadarkan para akhli hukum yang telah memutuskan menjatuhkan hukuman mati. Ia berharap setelah membaca tulisannya suatu hari nanti para ahli hukum dapat tersadar bahwa penderitaan yang sebenarnya dialami para terpidana hukuman mati adalah penderitaan pikiran.

Tokoh „‟Je‟‟ juga mengeluh terhadap peraturan-peraturan yang mewajibkan dirinya untuk membayar biaya pengadilan yang sangat mahal. Ia merasa peraturan tersebut tidak adil bagi keluarga yang ditinggalkannya. Ia memiliki seorang ibu, seorang istri dan seorang putri yang masih berumur tiga tahun yang mesih menjadi

241

tanggungjawabnya. Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan dalam data ke-20.

(20) LDJDC/IX/17 Je viens de faire mon testament. A quoi bon ? Je suis condamné aux frais, et tout ce que j‟ai y suffira à peine. La guillotine, c‟est fort cher. Je laisse une mère, je laisse une femme, je laisse un enfant. Une petite fille de trois ans, douce, rose, frêle, avec de grands yeux noirs et longs cheveux châtains. Elle avait deux ans et un mois quand je l‟ai vu pour la dernière fois. Ainsi, après ma mort, trois femmes, sans fils, sans mari, sans père ; trois orphelines de différente espèce ; trois veuves du fait de la loi. J‟admets que je sois justement puni ; ces innocentés, qu‟on-elle fait ? N‟importe ; on les déshonore, on le ruine. C‟est la justice.

Aku baru saja membuat surat wasiat. Apa gunanya ? Aku dihukum dan diharuskan membayar biaya pengadilan, dan semua yang kupunyai hampir tidak cukup untuk membayarnya. Guillotine itu sangat mahal. Aku meninggalkan seorang ibu, aku meninggalkan seorang istri, aku meninggalkan seorang anak. Seorang gadis cilik berumur tiga tahun, lembut, merah jambu, lemah, bermata hitam dan berambut panjang berwarna kecoklat- coklatan.Umurnya dua tahun satu bulan ketika aku melihatnya terakhir kali. Jadi, setelah aku mati, ada tiga wanita tanpa anak, tanpa suami, tanpa ayah. Ada tiga yatim dari jenis yang berbeda, tiga janda karena hukum. Kuterima bahwa hukuman yang dijatuhkan padaku memang setimpal, tapi ketiga orang yang tidak bersalah ini, apa yang telah mereka lakukan ? Itu tidak penting. Mereka telah dipermalukan, mereka telah hancur. Itulah keadilan. Setelah keputusan akhir hakim diumumkan yaitu keputusan hukuman mati, tokoh „‟Je‟‟ dibawa ke Bicêtre. Ia telah berada di penjara tersebut selama kurang lebih lima minggu ketika dirinya diharuskan membuat sebuah surat wasiat. Setelah membuat hal tersebut, tokoh „‟Je‟‟ merasa heran. Rasa heran tokoh „‟Je‟‟ tersirat dalam pertanyaan yang dilontarkannya kepada dirinya sendiri setelah membuat surat wasiat seperti dalam kutipan „‟ A quoi bon? Je suis condamné aux frais, et tout ce

242

que j‟ai y suffira à peine. La guillotine, c‟est fort cher „‟ (Apa gunanya ? Aku dihukum dan diharuskan membayar biaya pengadilan, dan semua yang kupunyai hampir tidak cukup untuk membayarnya. Guillotine itu sangat mahal). Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mengeluh karena merasa tidak adil dengan adanya ketentuan membayar biaya pengadilan. Selain itu, biaya yang harus dibayarnya sangat mahal sehingga meski tokoh „‟Je‟‟ telah menggunakan semua harta yang dimilikinya masih tidak cukup untuk membayar biaya tersebut.

Penulis menggunakan kalimat „‟Tout ce que j‟ai y suffira à peine. La guillotine, c‟est fort cher‟‟ yang dapat diartikan (Semua yang aku punyai hampir tidak mencukupi cukup membayarnya. Guillotine itu sangat mahal) untuk menggambarkan mahalnya biaya pengadilan dan keharusan membayar guillotine yang akan digunakan untuk mengeksekusi tokoh „‟Je‟‟. Tokoh „‟Je‟‟ merasa hal itu tidak adil bagi keluarga yang akan ditinggalkannya setelah dirinya dieksekusi seperti dalam kutipan „‟ Je laisse une mère, je laisse une femme, je laisse un enfant „‟

(Aku meninggalkan seorang ibu, aku meninggalkan seorang istri, aku meninggalkan seorang anak). Tokoh „‟Je‟‟ akan meninggalkan seorang istri, seorang anak, dan seorang ibu yang masih menjadi tanggungjawabnya.

Penulis menggambarkan secara rinci keluarga yang akan ditinggalkan tokoh

„‟Je‟‟, khususnya penggambaran putri kecilnya yang berumur tiga tahun dalam kutipan „‟ Une petite fille de trois ans, douce, rose, frêle, avec de grands yeux noirs et longs cheveux châtains. Elle avait deux ans et un mois quand je l‟ai vu pour la dernière fois. Ainsi, après ma mort, trois femmes, sans fils, sans mari, sans père ; trois orphelines de différente espèce ; trois veuves du fait de la loi „‟ (Seorang

243

gadis cilik berumur tiga tahun, lembut, merah jambu, lemah, bermata hitam dan berambut panjang berwarna kecoklat-coklatan.Umurnya dua tahun satu bulan ketika aku melihatnya terakhir kali. Jadi, setelah aku mati, ada tiga wanita tanpa anak, tanpa suami, tanpa ayah. Ada tiga yatim dari jenis yang berbeda, tiga janda karena hukum).

Penulis menggunakan kutipan di atas untuk menggambarkan betapa besar tanggungjawab yang akan ditinggalkan oleh tokoh „‟Je‟‟ setelah dirinya meninggal.

Terutama putrinya yang masih sangat kecil yang masih sangat membutuhkan dirinya.

Tokoh „‟Je‟‟ merasa hukuman yang dijatuhkan padanya sangat tidak adil bagi keluarga yang ditinggalkannya. Mereka tidak hanya telah dipermalukan, mereka juga telah hancur. Perasaan tidak adil tokoh „‟Je‟‟ atas keputusan hukumannya terhadap keluarga yang ditinggalkannya dapat diketahui penulis dari kata-kata yang dilontarkan tokoh „‟Je‟‟ terhadap dirinya sendiri dalam kutipan yaitu „‟ J‟admets que je sois justement puni; ces innocentés, qu‟on-elle fait? N‟importe ; on les déshonore, on le ruine. C‟est la justice „‟ (Kuterima bahwa hukuman yang dijatuhkan padaku memang setimpal, tapi ketiga orang yang tidak bersalah ini, apa yang telah mereka lakukan ? Itu tidak penting. Mereka telah dipermalukan, mereka telah hancur. Itulah keadilan).

Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ juga mengeluh terhadap orang-orang yang menganggap bahwa proses kematian menggunakan guillotine adalah cara yang paling sederhana dan tidak merasa sakit. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap tidak setuju tokoh „‟Je‟‟ terhadap pemikiran tersebut yang digambarkan oleh penulis

244

dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan yang terdapat dalam kutipan yang bercetak tebal pada data ke-21 yang akan dideskripsikan penulis pada halaman 245.

(21) LDJDC/XXXIX/80 Ils disent que ce n‟est rien, qu‟on ne souffre pas, que c‟est une fin douce, que la mort de cette façon est bien simplifiée. Eh ! Qu‟est-ce donc que cette agonie de six semaines et ce râle de tout un jour ? Qu‟est ce que les angoisse de cette journée irréparable, qui s‟écoule si lentement et si vite ? Qu‟est ce que cette échelle de tortures qui aboutit à l‟échafaud ? Apparemment ce n‟est pas là souffrir. Ne sont-ce pas les mêmes convulsions, que le sang s‟épuise goutte à goutte, ou que l‟intelligence s‟éteigne pensée à pensée ? Et puis, on ne souffre pas, en sont-ils sûrs ? Qui le leur a dit ? Conte-t-on que jamais une tête coupée se soit dressée sanglante au bord du panier, et qu‟elle ait crié au peuple : Cela ne fait pas de mal ! Y a-t-il des morts de leur façon qui soient venus les remercier et leur dire : C‟est bien inventé. Tenez-vous-en là. La mécanique est bonne. Est-ce Robespierre ? Est-ce Louis XVI ?.... Non, rien ! Moins qu‟une minute, moins qu‟une seconde, et la chose est faite. –Se sont-ils jamais mis, seulement en pensée à la place de celui qui est là, au moment où le lourd tranchant qui tombe mord la chair, rompt les nerfs, brise les vertèbres…. Mais quoi ! Une demi- seconde ! La douleur est escamotée…. Horreur !

Mereka berkata bahwa itu semua tidak apa-apa, tidak terasa sakit, bahwa itu merupakan akhir yang lembut dan kematian yang ditempuh dengan cara ini menjadi sangat sederhana. Bah ! Bagaimana dengan enam minggu yang menyiksa ini, dengan satu hari dengan tiada henti tersenggal-senggal ini? Bagaimana dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang selalu terasa dihari-hari yang tidak dapat diperbaiki ini, yang berlalu sedemikian lambat dan sedemikian cepatnya? Bagaimana dengan tangga penyiksaan yang mengantar ke panggung pemancungan? Kelihatannya bukan itu penderitaan. Bukankah itu sentakan-sentakan liar yang sama terjadi pada saat seseorang kehabisan darah, tetes demi tetes, atau pada saat kecerdasan padam kehabisan pikiran, gagasan demi gagasan? Lagi pula, tidak terasa sakit, bagaimana mereka bisa yakin tentang hal itu? Siapa yang mengatakannya kepada mereka? Tidak pernah ada cerita bahwa sebuah kepala yang terpancung lalu berdiri sendiri di pinggir keranjangnya, dengan berlumuran darah, dan berteriak kepada semua orang: Tidak sakit!

245

Apa ada orang yang telah mati lalu, dengan caranya sendiri, datang kembali untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka dengan berkata: Oh, penemuan yang bagus. Teruskan. Cara kerja yang bagus. Apakah itu Robespierre? Apakah itu Louis XVI?... Tidak, tidak apa-apa! Tidak sampai semenit, tidak sampai sedetik, dan semua selesai. –Apa mereka tidak pernah mencoba untuk menempatkan diri mereka, bahkan dalam bayangan saja, pada posisi orang yang berada di sana, saat pisau yang berat menghujam menggigit daging, mengoyak syaraf, meremukan tulang belakang… Tapi, apa yang mereka katakan? Setengah detik! Rasa sakitnya lenyap… Mengerikan!

Beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi, tokoh „‟Je‟‟ menghabiskan detik-detik terakhirnya dengan berdiam diri dan melamun. Rasa takut yang dirasakan tokoh „‟Je‟‟ semakin bertambah besar dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan eksekusi. Di dalam kesendiriannya, tokoh „‟Je‟‟ mengalami pergolakan batin. Ia merasa tidak sependapat dengan orang-orang yang telah berpikir bahwa hukuman mati dengan menggunakan guilliotine adalah cara yang sederhana untuk menempuh kematian. Mereka memutuskan hukuman tanpa berpikir tentang siksaan-siksaan yang dirasakan tokoh „‟Je‟‟ selama enam minggu di dalam sel, dan siksaan yang disebabkan oleh rasa khawatir yang selalu menghantuinya. Menurut para ahli hukum yang menjatuhkan hukuman mati hal tersebut bukanlah sebuah penderitaan. Dengan menggerutu di dalam hatinya tokoh „‟Je‟‟ mengatakan bahwa siksaan yang dialaminya selama enam minggu di dalam penjara sama seperti siksaan yang dirasakan ketika pelaksanaan eksekusi. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ tidak sependapat dengan orang-orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati menggunakan guilliotine tidak terasa sakit. Menurut tokoh „‟Je‟‟ penyiksaan yang sesungguhnya adalah berupa beban batin dan beban moral yang telah dialaminya selama dalam penjara.

246

Penulis menggunakan kutipan „‟Ils disent que ce n‟est rien, qu‟on ne souffre pas, que c‟est une fin douce, que la mort de cette façon est bien simplifiée. Eh !

Qu‟est-ce donc que cette agonie de six semaines et ce râle de tout un jour ? Qu‟est ce que les angoisse de cette journée irréparable, qui s‟écoule si lentement et si vite ? Qu‟est ce que cette échelle de tortures qui aboutit à l‟échafaud ?

Apparemment ce n‟est pas là souffrir. „‟ (Mereka berkata bahwa itu semua tidak apa-apa, tidak terasa sakit, bahwa itu merupakan akhir yang lembut dan kematian yang ditempuh dengan cara ini menjadi sangat sederhana. Bah !

Bagaimana dengan enam minggu yang menyiksa ini, dengan satu hari dengan tiada henti tersenggal-senggal ini? Bagaimana dengan kekhawatiran- kekhawatiran yang selalu terasa dihari-hari yang tidak dapat diperbaiki ini, yang berlalu sedemikian lambat dan sedemikian cepatnya? Bagaimana dengan tangga penyiksaan yang mengantar ke panggung pemancungan? Kelihatannya bukan itu penderitaan.) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang menggeluh dengan dirinya sendiri mengenai orang-orang yang menganggap bahwa hukuman mati menggunakan guilliotine adalah cara sederhana menempuh kematian. Tokoh

„‟Je‟‟ tidak sependapat dengan hal tersebut. Penulis menggambarkan ketidaksetujuan tokoh „‟Je‟‟ dengan menggunakan tanda tanya disetiap akhir kalimat yang menyatakan penyangkalannya.

4.4.2.1.2 Apati

Reaksi yang berupa sikap acuh tak acuh dan menarik diri. Seseorang yang menyerang dengan penuh kemarahan ketika mengalami frustrasi dan mengetahui

247

bahwa akhirnya kebutuhan mereka terpenuhi (baik itu melalui usaha mereka sendiri ataupun orang lain) mungkin kelak menampilkan perilaku yang sama bila motif mereka dihambat. Contoh: Seseorang yang ledakan agresifnya tidak pernah memberikan hasil dan tidak mampu memuaskan kebutuhan mereka melalui tindakan mereka sendiri mungkin bertindak apatis dan menarik diri bila dihadapkan pada situasi yang menimbulkan frustrasi.

Pada tokoh „‟Je‟‟ reaksi berupa Apati dapat kita lihat dari sikap yang ditunjukkan oleh tokoh „‟Je‟‟ ketika utusan pelaksana keputusan pengadilan membacakan surat penolakan permohonan naik bandingnya. Tokoh „‟Je‟‟ yang sebelumnya pernah mengalami frustrasi yang disebabkan oleh tidak tercapainya harapannya untuk bebas akhirnya bersikap acuh tak acuh ketika dirinya kembali mengalami hal yang serupa yaitu permohonan naik bandingnya akhirnya ditolak oleh

Jaksa tinggi. Penulis menggambarkan hal tersebut di atas dengan menggunakan teknik cakapan dalam data ke-22 pada halaman 248.

(22) LDJDC/XX1/37 La porte s’est rouverte une seconde fois. Le bruit des verrous nous a arrachés, moi à ma stupeur, lui à son discours. Une espèce de monsieur en habit noir, accompagné du directeur de la prison, s’est présenté, et m’a salué profondément. Cet homme avait sur le visage quelque chose de la tristesse officielle des employés des pompes funèbres. Il tenait un rouleau de papier à la main. - Monsieur, m’a-t-il dit avec un sourire de courtoisie, je suis huissier près la cour royale de Paris. J’ai l’honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général. La première secousse était passée. Toute ma présence d’esprit m’était revenue. - C‟est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui a demandé si instamment ma tête ? Bien de l‟honneur pour moi qu‟il m‟écrive. J‟espère que ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me serait dur de penser qu‟il l‟a sollicitée avec tant d‟ardeur et qu‟elle lui était indifférente.

248

J’ai dit tout cela, et j’ai repris d’une voix ferme : - Lisez, monsieur ! Il s’est mis à me lire un long texte, en chantant à la fin de chaque ligne et en hésitant au milieu de chaque mot. C’était le rejet de mon pourvoi. - l‟arrêt sera exécuté aujourd‟hui en place de Grève, a-t-il ajouté quand il a eu terminé, sans lever les yeux de dessus son papier timbré. Nous partons à sept heures et demie précises pour la Conciergerie. Mon cher monsieur, aurez-vous l‟extrême bonté de me suivre ? Depuis quelques instants je ne l‟écoutais plus. Le directeur causait avec le prêtre ; lui, avait l‟œil fixé sur son papier ; je regardais la porte, qui était restée entr‟ouverte… - Ah ! Misérable ! Quatre fusiliers dans le corridor ! L‟huissier a répété sa question, en me regardant cette fois. - Quand vous voudrez, lui ai-je répondu. A votre aise ! Il m’a salué en disant : - J’aurais l’honneur de venir vous chercher dans une demi-heure.

Pintu terbuka untuk kedua kalinya. Bunyi gerandel menyadarkan kami kembali, menyadarkanku dari rasa terpukau, menyadarkannya dari pidatonya. Sesosok lelaki berpakaian hitam, ditemani direktur penjara, memperkenalkan diri dan memberiku salam dalam-dalam. Orang ini wajahnya menampakkan semacam kesedihan resmi para pegawai pemakaman. Ia memegang sebuah gulungan kertas di tangannya. - Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan Paris. Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada anda surat dari Jaksa Tinggi. Guncangan pertama lewat. Semua jiwaku telah kembali mengumpul. - Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuat dirinya senang? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkanku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu. Kukatan semua itu, dan kulanjutkan dengan suara tegas: - Bacalah, Tuan! Ia kemudian mulai membacakanku sebuah naskah yang panjang, dengan memberi irama di setiap akhir baris dan dengan keraguan di setiap tengah kata. Itu penolakan permohonan naik bandingku. - Keputusan akan dilaksanakan hari ini di bunderan Grève, tambahnya setelah ia menyelesaikan bacaannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas bersegel itu. kita akan berangkat jam setengah delapan tepat menuju gedung Conciergerie. Sudikah kiranya Tuan ikut denganku? Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah tidak mendengarkannya lagi. Direktur penjara berbincang-bincang dengan bapak pendeta,

249

pelaksana keputusan pengadilan menatap lekat-lekat kertasnya, aku melirik ke pintu yang dibiarkan sedikit terbuka… - Ah, sial! Empat serdadu memegang bedil berdiri di lorong! Petugas itu tadi mengulang pertanyaannya, kali ini sambil melihatku. - Kapan saja terserah Anda! Ia pamit sambil berkata: - Saya akan merasa terhormat untuk kembali menjemput Anda setengah jam lagi.

Sehari setelah kembali dari balai pengobatan, seperti biasanya tokoh „‟Je‟‟ menghabiskan waktunya dengan menulis. Pagi itu, ia merasa heran dengan perlakuan penuh perhatian yang ditunjukkan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.

Seperti perilaku penjaga yang biasanya kasar, tiba-tiba menanyakan dirinya ingin memakan apa, dan direktur yang tiba-tiba datang untuk menanyakan kesehatannya.

Hal tersebut membuat tokoh „‟Je‟‟ bertanya-tanya dan mulai merasa khawatir. Ia baru merasa tenang setelah direktur akhirnya meninggalkan dirinya bersama dengan pendeta. Namun, beberapa saat kemudian direktur kembali datang bersama dengan pelaksana keputusan pengadilan yang membawa surat dari Jaksa tinggi. Tokoh „‟Je‟‟ yang pada awalnya tidak menduga bahwa surat tersebut berisi tentang penolakan permohonan naik banding, akhirnya mengetahui dengan jelas setelah utusan tersebut membacakan surat tersebut.

Ketidaktahuan tokoh „‟Je‟‟ bahwa surat yang dibawa pelaksana hukuman mati tersebut adalah surat penolakan naik bandingnya dapat diketahui dari perkataan tokoh „‟Je‟‟ ketika pelaksana mengatakan dirinya membawa surat dari Jaksa tinggi seperti kutipan „‟ - C‟est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui a demandé si instamment ma tête? Bien de l‟honneur pour moi qu‟il m‟écrive.

J‟espère que ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me serait dur de penser

250

qu‟il l‟a sollicitée avec tant d‟ardeur et qu‟elle lui était indifférente „‟ (- Itu bapak

Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku.

Moga-moga kematianku akan membuat dirinya senang? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkanku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu). Kutipan ini menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa terkejut karena Jaksa tinggi mengiriminya sebuah surat. Ia tidak berpikir bahwa surat tersebut berisi penolakan naik bandingnya. Tokoh „‟Je‟‟ mengira surat tersebut adalah surat khusus yang ditulis oleh Jaksa tinggi untuk dirinya sebagai pertanda kebaikan. Ia mengira Jaksa tinggi telah acuh tak acuh terhadap dirinya.

Namun, kesalah pahaman tersebut tidak berlangsung lama. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya mengetahui bahwa pemikirannya salah dan surat tersebut berisi tentang surat keputusan penolakan permintaan naik bandingnya setelah utusan pelaksana hukuman membacakan surat tersebut seperti dalam kutipan „‟ + L‟arrêt sera exécuté aujourd‟hui en place de Grève, a-t-il ajouté quand il a eu terminé, sans lever les yeux de dessus son papier timbré. Nous partons à sept heures et demie précises pour la Conciergerie. Mon cher monsieur, aurez-vous l‟extrême bonté de me suivre ? „‟ (+ Keputusan akan dilaksanakan hari ini di bunderan Grève, tambahnya setelah ia menyelesaikan bacaannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas bersegel itu. Kita akan berangkat jam setengah delapan tepat menuju gedung Conciergerie. Sudikah kiranya Tuan ikut denganku?). Kutipan ini menggambarkan utusan pelaksana hukuman yang

251

membacakan isi surat dari Jaksa tinggi. Surat itu berisi tentang ditolaknya permohonan naik banding tokoh „‟Je‟‟ sehingga pelaksanaan eksekusi akan dilaksanakan pada hari itu juga. Selain itu, pelaksana keputusan pengadilan juga memberitahukan kepada tokoh „‟Je‟‟ bahwa mereka akan berangkat ke gedung

Conciergerie pada jam setengah delapan tepat.

Setelah mengetahui bahwa permohonan naik bandingnya ditolak, tokoh

„‟Je‟‟ tidak lagi memperhatikan apa yang dikatakan oleh pelaksana hukuman. Ia mengacuhkan perkataan pelaksana hukuman dan sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga pelaksana keputusan pengadilan harus mengulang kembali pertanyaannya kepada tokoh „‟Je‟‟. Tokoh „‟Je‟‟ yang disibukkan oleh pikiran untuk melarikan diri akhirnya menjawab dengan acuh tak acuh bahwa dirinya menyerahkan keputusan kepada utusan tersebut.

Penulis menggunakan kutipan „‟ - Ah ! Misérable ! Quatre fusiliers dans le corridor ! „‟ yang dapat diartikan (Ah, sial! Empat serdadu memegang bedil berdiri di lorong!) untuk menggambarkan keadaan di mana tokoh „‟Je‟‟ mulai tidak peduli dengan perkataan utusan pelaksana keputusan pengadilan dengan menyibukkan diri memikirkan cara untuk melarikan diri dari selnya. Selain itu, penulis menggambarkan reaksi acuh tak acuh tokoh „‟Je‟‟ dengan menggunakan kutipan „‟ L‟huissier a répété sa question, en me regardant cette fois. - Quand vous voudrez, lui ai-je répondu. A votre aise !„‟ yang dapat diartikan (- Kapan saja terserah Anda!). Kutipan ini menggambarkan tokoh „‟je‟‟ yang menjawab acuh tak acuh pertanyaan utusan pelaksana hukuman setelah dirinya mengulang pertanyaan tersebut sebanyak dua kali.

252

4.4.2.1.3 Regresi

Regresi didefinisikan sebagai tindakan kembali ke bentuk prilaku yang tidak matang – perilaku yang khas pada usia yang lebih muda. Contoh: Kadang-kadang orang dewasa menampilkan bentuk perilaku yang tidak matang ketika menghadapi situasi yang menimbulkan frustrasi. Mereka memaki, berteriak, mulai berkelahi, atau menghentikan usaha mengatasi masalah dan mencari seseorang untuk membantu memecahkan masalah tersebut.

Pada tokoh „‟Je‟‟ reaksi berupa regresi dapat terlihat dari karakter yang dimiliki tokoh „‟Je‟‟ yaitu temperamen dan ego yang tinggi. Karakter tokoh „‟Je‟‟ tersebut menyebakan dirinya cepat tersinggung, cepat sakit hati, dan keras kepala sehingga menyebabkan dirinya kurang berpikir panjang dalam bertindak atau mengambil keputusan ketika dihadapkan pada situasi yang menimbulkan frustrasi.

Hal ini terlihat dari sikap yang ditunjukkan tokoh „‟Je‟‟ ketika ketua hakim memberikan kesempatan kepadanya dan pembela untuk melakukan pembelaan setelah keputusan sementara diumumkan yaitu keputusan hukuman mati. Tokoh

„‟je‟‟ yang masih menyimpan kemarahan terhadap pembela karena telah berani berharap keputusan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya adalah hukuman kerja paksa seumur hidup akhirnya tanpa berpikir panjang memutuskan untuk tidak melakukan pembelaan dengan hanya berdiam diri. Selain itu, ia mencoba menghentikan pengacara yang sedang berusaha melakukan pembelaan agar supaya hukumannya dapat diperingan menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis

253

menggambarkan hal tersebut di atas dengan menggunakan teknik tingkah laku dalam data ke-23 yang akan dideskripsikan penulis pada halaman 254.

(23) LDJDC/II/8 Tout à coup le président, qui n’attendait que l’avocat, m’invita à me lever. La troupe porta les armes ; comme par un mouvement électrique, toute l’assemblée fut debout au même instant. Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c’était, je pense, le greffier, prit la parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence. Une sueur froide sortit de tous mes membres ; je m’appuyai au mur pour ne pas tomber. -Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l‟application de la peine ? demanda le président. J‟aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais. Le défenseur se leva. Je compris qu‟il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de peine qu‟elle provoquait, l‟autre peine, celle que j‟avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l‟indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l‟haleine me manqua, et je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive : Non ! Le procureur général combattit l‟avocat, et je l‟écoutai avec une satisfaction stupide. Puis les juges sortirent, puis ils rentrèrent, et le président me lut mon arrêt.

Mendadak ketua hakim, yang tadi hanya menunggu datangnya pengacaraku, memintaku berdiri. Pasukan melakukan sikap senjata dengan gerakan terputus-putus, seluruh hadirin berdiri pada saat yang sama. Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para juri selama aku tidak berada di sana. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh. -Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pengacara atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim. Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Pengacara berdiri. Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan, menjadi

254

seperti yang ia harapkan, yang telah membuat saya sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati ! Namun napasku habis, dan aku hanya bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Tidak! Jaksa tinggi menyerang balik pengacara, dan aku mendengarkannya dengan rasa puas yang tolol. Kemudian para hakim keluar, masuk kembali, dan ketua hakim membacakan putusan hukumanku.

Ketika persidangan akan berakhir, setelah Panitera Pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman yang telah dijatuhkan kepada tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman mati, hakim memberikan kesempatan bagi tokoh „‟Je‟‟ dan pengacaranya untuk melakukan pembelaan agar hukumannya dapat diperingan. Namun, tokoh

„‟Je‟‟ hanya dapat terdiam, walaupun pada kenyataannya banyak yang ingin dikatakannya. Tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ tersebut dapat penulis ketahui dari kutipan yaitu „‟J‟aurai eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais.„‟ yang dapat diartikan (Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satupun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit).

Penulis menggunakan kalimat „‟ Ma langue resta collée à mon palais „‟

(lidahku seolah-olah melekat pada langit-langit) untuk menggambarkan keterkejutan tokoh „‟Je‟‟ mendengar keputusan sementara hakim adalah hukuman mati sehingga ketika Hakim ketua memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan pembelaan tokoh „‟Je‟‟ hanya terdiam. Sebaliknya, pengacara mencoba melakukan pembelaan dengan harapan hukuman tokoh „‟Je‟‟ dapat diperingan, namun tokoh „‟Je‟‟ yang masih menyimpan rasa marahnya terhadap pengacara sehingga memiliki keinginan untuk menghentikan usaha pembelaannya dengan

255

mengatakan dirinya lebih memilih seratus kali lebih baik mati daripada harus mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya mencoba menghentikan usaha pembela dengan cara menarik lengannya dan berteriak mengatakan tidak. Tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ ini dapat penulis lihat dari kutipan yaitu

‟‟ je ne pus que l‟arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive : Non ! „‟ yang dapat diartikan (Aku hanya bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Tidak!).

Meskipun tokoh „‟Je‟‟ mencoba menghentikannya, pengacara tetap berusaha melakukan pembelaan meski Jaksa tinggi menyerang balik dirinya. Tokoh „‟Je‟‟ yang melihat hal tersebut hanya terdiam dengan rasa puas yang tolol. Hal ini terlihat dalam kutipan „‟ Le procureur général combattit l‟avocat, et je l‟écoutai avec une satisfaction stupide „‟ yang dapat diartikan (Jaksa tinggi menyerang balik pengacara, dan aku mendengarkanya dengan rasa puas yang tolol). Penulis menggunakan kata-kata „‟je l‟écoutai avec une satisfaction stupide„‟ (aku mendengarkanya dengan rasa puas yang tolol) untuk menggambarkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ menyadari bahwa keputusannya untuk menghentikan pengacara adalah sebuah keputusan yang tolol meskipun hatinya telah merasa puas karena telah melakukan apa yang diinginkannya. Dari penjelasan di atas penulis dapat mengetahui bahwa tokoh „‟Je‟‟ memiliki ego yang tinggi, dan temperamen yang tinggi sehingga ketika dirinya dihadapkan pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya, ia akan memberontak meskipun dirinya menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan.

4.4.2.2 Kecemasan

Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istulah-istilah seperti “kekhawatiran,” “keprihatinan,” dan “rasa takut,” yang kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda karena kurangnya kesepakatan tentang definisi kecemasan yang lebih tepat, kami tidak akan memberi definisi.

Selain mengalami frustrasi, tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un

Condamné mengalami kecemasan. Ia mengalami kecemasan disebabkan Konflik

256

Menghindar - Menghindar (Avoidance - Avoidance Conflict) yang dialaminya.

Kecemasan pada tokoh „‟Je‟‟ ditandai dengan adanya kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang dialaminya. Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam data-data ke-

24, ke-25 pada halaman 260, dan data ke-26 pada halaman 262.

Data ke-24 berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ mengalami kekhawatiran terhadap keadaan putri kecilnya setelah dirinya meninggal. Selain itu, ia merasa sedih memikirkan masa depan Marie kelak setelah dewasa. Penulis menggambarkan kekhawatiran tokoh „‟Je‟‟ tersebut dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan.

(24) LDJDC/XXVI/62 Pauvre petite! Ton père qui t‟aimait tant. Ton père qui baisait ton petit cou blanc et parfumé, qui passait la main sans cesse dans les boucles de tes cheveux comme sur de la soie, qui prenait ton joli visage rond dans sa main, qui te faisait sauter sur ses genoux, et le soir joignait tes deux petites mains pour prier Dieu ! Qui est-ce qui te fera tout cela maintenant ? Qui est-ce qui t‟aimera ? Tous les enfants de ton âge auront des pères, excepté toi. Comment te déshabitueras-tu, mon enfant. Du jour de l‟an, des étrennes, des beaux joujoux, des bonbons et des baisers ? - Comment te déshabitueras-tu malheureuse orpheline, de boire et de manger ? Oh ! Si ces jurés l‟avaient vue, au moins, ma jolie petite Marie ! Ils auraient compris qu‟il ne faut pas tuer le père d‟un enfant de trois ans. Et quand elle sera grande, si elle va jusque-là, que deviendra-t-elle ? Son père sera méprisée, repoussée, vile à cause de moi, de moi qui l‟aime de toutes les tendresses de mon cœur. O ma petite Marie bien- aimée ! Est-il bien vrai que tu auras honte et horreur de moi ?

Putriku malang, ayahmu yang sedemikian mencintaimu, ayahmu yang menciumi lehermu yang putih dan wangi, yang tanpa henti mengelus ikal rambutmu yang seperti sutra, yang memegang wajah ayumu yang bundar dengan tangannya, yang membuatmu meloncat- loncat dipangkuannya, dan yang dimalam hari mengatupkan tangan-tangan mungilmu untuk berdoa kepada Tuhan !

257

Siapa yang akan melakukan itu semua buatmu sekarang ? Siapa yang akan mencintaimu ? Semua anak seusiamu punya ayah, kecuali kamu. Bagaimana melepaskanmu, anakku, dari kebiasaan perayaan tahun baru, hadiah-hadiah tahun baru, mainan yang bagus-bagus, permen dan ciuman ? - Bagaimana melepaskanmu, anak yatim yang malang, dari kebiasaan minum dan makan ? Ah ! Seandainya saja para juri itu melihatnya, melihat Marie mungilku ! Mereka pasti mengerti bahwa ayah seorang anak yang berumur tiga tahun itu tidak boleh dibunuh. Dan saat menjadi besar besok, jika ia bisa bertahan hingga besar, ia mau menjadi apa ? Ayahnya akan menjadi kenangan bagi masyarakat paris. Mukanya akan memerah karenaku dan karena namaku. Ia akan dihina, ditolah, dan direndahkan karenaku, karenaku yang mencintainya dengan segala kelembutan hatiku. Oh ! Marie kecilku yang tercinta ! Benarkah kau akan merasa malu dan membenciku ?

Beberapa jam sebelum waktu pelaksanaan hukuman tokoh „‟Je‟‟ dilaksanakan, ia memikirkan keadaan putrinya yang sangat disayanginya. Tokoh

„‟Je‟‟ untuk sesaat mengenang kembali saat-saat ketika masih bersama putrinya. Saat ketika dirinya menciumi leher putrinya yang putih dan wangi, saat-saat ketika dirinya tanpa henti mengelus rambut ikal putrinya yang lembut seperti sutra, ketika dirinya memegang wajah cantik putrinya yang berbentuk bundar dengan kedua tangannya, mengingat ketika putrinya meloncat-loncat dipangkuannya, dan mengingat kembali kebiasaan mengajarkan putrinya untuk berdoa kepada Tuhan di malam hari. Tokoh

„‟Je‟‟ sangat merindukan saat-saat ketika bersama putrinya. Ia menghawatirkan keadaan putrinya setelah dirinya masuk penjara. Ia khawatir siapa yang akan melakukan kebiasaan yang sering dilakukannya setelah dirinya tidak ada, dan siapa yang akan mencintai putrinya tersebut. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mengkhawatirkan masa depan putrinya yang masih kecil.

258

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Pauvre petite! Ton père qui t‟aimait tant.

Ton père qui baisait ton petit cou blanc et parfumé, qui passait la main sans cesse dans les boucles de tes cheveux comme sur de la soie, qui prenait ton joli visage rond dans sa main, qui te faisait sauter sur ses genoux, et le soir joignait tes deux petites mains pour prier Dieu ! „‟ (Putriku malang, ayahmu yang sedemikian mencintaimu, ayahmu yang menciumi lehermu yang putih dan wangi, yang tanpa henti mengelus ikal rambutmu yang seperti sutra, yang memegang wajah ayumu yang bundar dengan tangannya, yang membuatmu meloncat-loncat dipangkuannya, dan yang di malam hari mengatupkan tangan-tangan mungilmu untuk berdoa kepada Tuhan !) untuk menggambarkan kerinduan tokoh

„‟Je‟‟ terhadap putrinya. Penulis menggambarkan kerinduan tokoh „‟Je‟‟ terhadap putrinya dengan menggambarkan secara rinci kebiasaan yang sering dilakukannya terhadap putrinya seperti yang terdapat di dalam kutipan pada halaman 258. Penulis meggunakan kalimat-kalimat „‟ Qui est-ce qui te fera tout cela maintenant ? Qui est-ce qui t‟aimera ? Tous les enfants de ton âge auront des pères, excepté toi.

Comment te déshabitueras-tu, mon enfant. Du jour de l‟an, des étrennes, des beaux joujoux, des bonbons et des baisers ? Comment te déshabitueras-tu malheureuse orpheline, de boire et de manger ? Oh ! Si ces jurés l‟avaient vue, au moins, ma jolie petite Marie ! Ils auraient compris qu‟il ne faut pas tuer le père d‟un enfant de trois ans. Et quand elle sera grande, si elle va jusque-là, que deviendra-t-elle ? Son père sera méprisée, repoussée, vile à cause de moi, de moi qui l‟aime de toutes les tendresses de mon cœur. O ma petite Marie bien-aimée !

Est-il bien vrai que tu auras honte et horreur de moi ? „‟ (Siapa yang akan

259

melakukan itu semua buatmu sekarang ? Siapa yang akan mencintaimu ?

Semua anak seusiamu punya ayah, kecuali kamu. Bagaimana melepaskanmu, anakku, dari kebiasaan perayaan tahun baru, hadiah-hadiah tahun baru, mainan yang bagus-bagus, permen dan ciuman ? Bagaimana melepaskanmu, anak yatim yang malang, dari kebiasaan minum dan makan ? Ah ! Seandainya saja para juri itu melihatnya, melihat Marie mungilku ! Mereka pasti mengerti bahwa ayah seorang anak yang berumur tiga tahun itu tidak boleh dibunuh.

Dan saat menjadi besar besok, jika ia bisa bertahan hingga besar, ia mau menjadi apa ? Ayahnya akan menjadi kenangan bagi masyarakat Paris.

Mukanya akan memerah karenaku dan karena namaku. Ia akan dihina, ditolah, dan direndahkan karenaku, karenaku yang mencintainya dengan segala kelembutan hatiku. Oh ! Marie kecilku yang tercinta ! Benarkah kau akan merasa malu dan membenciku ?) untuk menggambarkan kekhawatiran tokoh „‟Je‟‟ terhadap keadaan putrinya setelah dirinya masuk penjara. Ia khawatir tidak ada orang yang dapat menjaga dan melakukan kebiasaan-kebiasan yang sering dilakukannya. Hal tersebutlah yang menyebabkan tokoh „‟Je‟‟ tidak dapat menerima kenyataan bahwa dirinya harus dihukum mati. Ia tidak dapat meninggalkan putrinya yang masih kecil tumbuh dewasa tanpa seorang ayah. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ mengkhawatirkan masa depan putrinya yang masih kecil. Ia akan menanggung rasa malu karena ayahnya adalah seorang terpidana mati.

Data berikut menunjukkan bahwa tokoh „‟Je‟‟ mengalami rasa takut setelah keputusan sementara hukumannya dibacakan oleh Panitera Pengadilan. Penulis

260

menunjukkan hal tersebut dengan menggunakan teknik reaksi tokoh dalam data ke-

25 yang dideskripsikan penulis pada halaman 261.

(25) LDJDC/II/7 Tout à coup le président, qui n’attendait que l’avocat, m’invita à me lever. La troupe porta les armes ; comme par un mouvement électrique, toute l’assemblée fut debout au même instant. Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c‟était, je pense, le greffier, prit la parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence. Une sueur froide sortit de tous mes membres ; je m‟appuyai au mur pour ne pas tomber.

Mendadak ketua hakim, yang tadi hanya menunggu datangnya pembelaku, memintaku berdiri. Pasukan melakukan sikap senjata dengan gerakan terputus-putus, seluruh hadirin berdiri pada saat yang sama. Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para juri selama aku tidak berada di sana. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh.

Beberapa saat setelah persidangan dimulai, ketua hakim akhirnya meminta tokoh „‟Je‟‟ untuk berdiri. Panitera pengadilan akhirnya membacakan keputusan sementara yang telah ditetapkan oleh para ahli hukum tersebut ketika tokoh „‟Je‟‟ sedang beristirahat. Setelah mendengarkan keputusan hukumannya, tokoh „‟Je‟‟ yang sebelumnya memiliki semangat dan keyakinan yang kuat berubah menjadi ketakutan.

Hal tersebut tergambar dari reaksi tokoh „‟Je‟‟ terhadap keputusan yang telah dibacakan panitera pengadilan yang terdapat dalam kutipan yaitu „‟ Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c‟était, je pense, le greffier, prit la parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence. Une sueur froide sortit de tous mes membres ; je m‟appuyai au mur pour ne pas tomber „‟ (Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali

261

dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para juri selama aku tidak berada di sana. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku.

Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh). Kutipan di atas menggambarkan ketika Panitera Pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman tokoh „‟Je‟‟.

Setelah mendengarkan keputusan tersebut, tokoh „‟Je‟‟ tiba-tiba dilanda rasa takut.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Une figure insignifiante et nulle, placée à placée à une table au-dessous du tribunal, c‟était, je pense, le greffier, prit la parole, et lut le verdict que le jurés avaient prononcé en mon absence „‟ (Sesosok pria yang tidak menarik perhatian sama sekali dan tampak tidak berharga, yang mejanya berada dibawah meja pengadilan, angkat bicara dan membacakan keputusan yang telah ditetapkan oleh para Dewan hakim selama aku tidak berada di sana) untuk menggambarkan ketika Panitera Pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman tokoh „‟Je‟‟.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Une sueur froide sortit de tous mes membres „‟ (Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku) untuk menggambarkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ yang merasa takut setelah mendengar keputusan sementara yang telah dibacakan oleh Panitera pengadilan. Kata-kata „‟ je m‟appuyai au mur pour ne pas tomber „‟ (Aku bersandar di dinding agar tidak jatuh) untuk menggambarkan dampak dari ketakutan yang dialami oleh tokoh „‟Je‟‟. Ketakutan yang dirasakan oleh tokoh „‟Je‟‟ semakin meningkat setelah ketua hakim akhirnya membacakan keputusan akhir hukumannya. Tokoh „‟Je‟‟ merasakan ketakutan yang luar biasa setelah mengetahui bahwa keputusan akhir hukumannya adalah hukuman mati. Selain merasa ketakutan, ia menjadi merasa rendah diri. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan yang bercetak tebal yang akan dideskripsikan penulis pada halaman 263. (26) LDJDC/II/8 Le procureur général combattit l’avocat, et je l’écoutai avec une satisfaction stupide. Puis les juges sortirent, puis ils rentrèrent, et le président me lut mon arrêt.

262

-Condamné à mort ! Dit la foule ; et, tandis qu‟on m‟emmenait, tout ce peuple se rua sur mes pas avec le fracas d‟un édifice qui se démolit. Moi, je marchais, ivre, et stupéfait. Une révolution venait de se faire en moi. Jusqu‟à l‟arrêt de mort, je m‟étais senti respirer, palpiter, vivre dans le même milieu que les autres hommes ; maintenant je distinguais clairement comme une clôture entre le monde et moi. Rien ne m‟apparaissait plus sous le même aspect qu‟auparavant. Ces larges fenêtres lumineuses, ce beau soleil, ce ciel pur, cette jolie fleur, tout cela était blanc et pâle, de la couleur d‟un linceul. Ces hommes, ces femmes, ces enfants qui se pressaient sur mon passage, je leur trouvais des airs de fanntômes.

Jaksa tinggi menyerang balik pembela, dan aku mendengarkannya dengan rasa puas yang tolol. Kemudian para hakim keluar, masuk kembali, dan Ketua hakim membacakan keputusan hukumanku. -Dihukum mati! Terdengar orang-orang berkata. Dan saat orang membawaku pergi, semua orang menyerbu mengikutiku dengar hingar-bingar seperti gedung runtuh. Aku berjalan, limbung, dan bingung. Sebuah perubahan yang sangat hebat telah terjadi di dalam diriku. Sebelum hukuman mati dijatuhkan, aku masih bias bernafas, berdebar-debar, hidup di lingkungan yang sama dengan orang-orang lainnya. Kini aku melihat dengan jelas pembatas antara dunia dan aku. Semua tidak lagi memiliki aspek yang sama dengan sebelumnya. Jendela-jendela lebar terang, matahari indah, langit cerah, bunga cantik, semuanya itu menjadi putih dan pucat, seperti warna kafan. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berjejalan di jalan yang kulalui, bagiku tampak seperti hantu.

Setelah Panitera Pengadilan membacakan keputusan sementara hukuman tokoh „‟Je‟‟, ketua hakim memberikan kesempatan kepada tokoh „‟Je‟‟ dan pengacaranya untuk melakukan pembelaan agar supaya keputusan hukumannya dapat diperingan menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Setelah beberapa lama pengacara mencoba melakukan pembelaan dengan tujuan agar hukuman tokoh „‟Je‟‟ dapat diperingan, akhirnya keputusan akhir pun dibacakan oleh Hakim ketua.

Keputusan tersebut adalah hukuman mati. Setelah mendengar keputusan tersebut, tokoh „‟Je‟‟ merasakan adanya perubahan yang sangat besar pada dirinya. Ia menjadi kebingungan dan ketakutan. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ menjadi merasa rendah diri.

263

Ketakutan, kebingungan, dan perasaan rendah diri tokoh „‟Je‟‟ dapat kita lihat dari reaksi yang ditunjukkan tokoh „‟Je‟‟ terhadap keputusan akhir hukumannya yang tersirat dalam kutipan „‟ Condamné à mort! Dit la foule ; et, tandis qu‟on m‟emmenait, tout ce peuple se rua sur mes pas avec le fracas d‟un édifice qui se démolit. Moi, je marchais, ivre, et stupéfait. Une révolution venait de se faire en moi. Jusqu‟à l‟arrêt de mort, je m‟étais senti respirer, palpiter, vivre dans le même milieu que les autres hommes ; maintenant je distinguais clairement comme une clôture entre le monde et moi. Rien ne m‟apparaissait plus sous le même aspect qu‟auparavant. Ces larges fenêtres lumineuses, ce beau soleil, ce ciel pur, cette jolie fleur, tout cela était blanc et pâle, de la couleur d‟un linceul. Ces hommes, ces femmes, ces enfants qui se pressaient sur mon passage, je leur trouvais des airs de fanntômes.„‟ yang dapat diartikan (Dihukum mati! Terdengar orang-orang berkata. Dan saat orang membawaku pergi, semua orang menyerbu mengikutiku dengar hingar-bingar seperti gedung runtuh. Aku berjalan, limbung, dan bingung. Sebuah perubahan yang sangat hebat telah terjadi di dalam diriku. Sebelum hukuman mati dijatuhkan, aku masih bisa bernafas, berdebar-debar, hidup di lingkungan yang sama dengan orang-orang lainnya.

Kini aku melihat dengan jelas pembatas antara dunia dan aku. Semua tidak lagi memiliki aspek yang sama dengan sebelumnya. Jendela-jendela lebar terang, matahari indah, langit cerah, bunga cantik, semuanya itu menjadi putih dan pucat, seperti warna kafan. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berjejalan di jalan yang kulalui, bagiku tampak seperti hantu).

264

Kutipan yang bercetak tebal di atasa menggambarkan perubahan sikap yang dialami oleh tokoh „‟Je‟‟ setelah Hakim ketua membacakan keputusan akhir hukumannya. Setelah keputusan akhir hukuman dibacakan oleh Hakim ketua, semua orang yang berada di dalam ruangan sidang terkejut mendengar keputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ adalah hukuman mati. Mereka berbondong-bondong mengikuti tokoh

„‟Je‟‟ ketika keluar dari ruang sidang. Ketika keluar dari ruang sidang, tokoh „‟Je‟‟ berjalan dengan limbung. Selain itu, ia merasa bingung setelah mendengar keputusan hukumannya. Tokoh „‟Je‟‟ merasa ada sesuatu yang berubah pada dirinya. Ia merasa sebelum keputusan akhir hukumannya dibacakan dirinya masih dapat bernafas, masih merasa berdebar-debar, dan masih merasa hidup dilingkungan yang sama dengan orang lainnya. Namun setelah keputusan hukumannya dibacakan, dirinya merasa seperti terdapat pembatas antara dirinya dan lingkungan di sekitarnya. Ia merasa dirinya tidak lagi sama dengan orang-orang di sekitarnya. Ia merasa semua yang dilihatnya menjadi sangat menakutkan setelah hukuman mati dijatuhkan kepadanya.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ Condamné à mort ! Dit la foule. „‟

(Dihukum mati! Terdengar orang-orang berkata.) untuk menunjukkan bahwa keputusan akhir Hakim ketua adalah hukuman mati, kutipan „‟ Moi, je marchais, ivre, et stupéfait „‟ (Aku berjalan, mabuk, dan heran) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa takut. Rasa takut yang dialami tokoh „‟Je‟‟ membuat badannya menjadi lemas sehingga ketika berjalan menjadi limbung seolah-olah sedang mabuk. Selain itu, kata „heran‟ untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa heran dengan keadaan yang serba berubah. Setelah mendengar keputusan

265

akhir hakim, tokoh „‟Je‟‟ yang ketika awal persidangan mengatakan lebih memilih hukuman mati ternyata tidak merasa puas, sebaliknya ia ternyata merasakan rasa takut yang lebih besar.

Penulis juga menggunakan kata-kata „‟ Une révolution venait de se faire en moi. Jusqu‟à l‟arrêt de mort, je m‟étais senti respirer, palpiter, vivre dans le même milieu que les autres hommes ; maintenant je distinguais clairement comme une clôture entre le monde et moi „‟ (Sebelum hukuman mati dijatuhkan, aku masih bisa bernafas, berdebar-debar, hidup di lingkungan yang sama dengan orang- orang lainnya. Kini aku melihat dengan jelas pembatas antara dunia dan aku.) untuk menggambarkan perasaan rendah diri tokoh „‟Je‟‟ yang timbul setelah keputusan akhir hakim dibacakan. Sebelum keputusan akhir dibacakan, tokoh „‟Je‟‟ masih merasa dirinya sama seperti orang-orang lainnya, ia masih memiliki harapan untuk hidup. Tetapi setelah keputusan hakim dibacakan, tokoh „‟Je‟‟ tidak lagi memiliki pengharapan, dirinya merasakan ketakutan yang sangat besar. Penulis menggambarkan katakutan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟ Ces larges fenêtres lumineuses, ce beau soleil, ce ciel pur, cette jolie fleur, tout cela était blanc et pâle, de la couleur d‟un linceul. Ces hommes, ces femmes, ces enfants qui se pressaient sur mon passage, je leur trouvais des airs de fanntômes „‟ (Jendela- jendela lebar terang, matahari indah, langit cerah, bunga cantik, semuanya itu menjadi putih dan pucat, seperti warna kafan. Laki-laki, perempuan, dan anak- anak yang berjejalan di jalan yang kulalui, bagiku tampak seperti hantu).

Penulis mencoba menggambarkan ketakutan tokoh „‟Je‟‟ yang begitu besar dengan

266

cara menggandaikan sesuatu yang terlihat indah dan menyenangkan menjadi seolah- olah sangat menakutkan dan menyeramkan.

Reaksi-reaksi tokoh „‟Je‟‟ ketika mengalami kecemasan tersebut akan dideskripsikan satu-persatu oleh penulis pada halaman-halaman berikutnya.

4.4.2.2.1 Mekanisme Pertahanan

Penulis tidak menemukan reaksi yang berupa Mekanisme Pertahanan pada tokoh „‟Je‟‟ yang mengalami Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance-

Avoidance Conflict) dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo.

4.4.2.2.2 Penolakan

Bila kenyataan eksternal terlalu menyakitkan untuk dihadapi, seseorang mungkin mengingkari adanya kenyataan itu.

Tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné mengalami kecemasan yang ditimbulkan oleh keputusan hukuman mati yang telah dijatuhkan hakim kepadanya. Reaksi penolakan (Denial) dapat kita lihat ketika tokoh „‟Je‟‟ mengingkari bahwa dirinya masih berusia muda sehingga pantas dipanggil „‟anak muda‟‟ oleh petugas pelaksana hukuman. Ia mengatakan bahwa dirinya jauh lebih tua dari petugas pelaksana hukuman yang memiliki usia jauh lebih tua dan pantas menjadi kakeknya. Hal tersebut dilakukan oleh tokoh „‟Je‟‟ karena dirinya tidak dapat mengakui kenyataan bahwa dirinya yang masih sangat muda harus kehilangan sisa hidupnya dengan cara yang begitu menakutkan. Hal tersebut sangat menyakitkan

267

bagi tokoh „‟Je‟‟untuk dihadapi. Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik cakap yang dapat kita lihat dalam data ke-27 yang bercetak tebal yang akan dideskripsikan penulis pada halaman 270.

(27) LDJDC/XXII/51 +Eh bien ! Monsieur l’abbé, disait-il avec un accent presque gai, qu’est- ce que vous savez de nouveau ? C’est vers le prêtre qu’il se retournait en parlant ainsi. L’aumônier, qui me parlait sans relâche, et que la voiture assourdissait, n’a pas répondu. +Hé ! Hé ! a repris l’huissier en haussant la voix pour avoir le dessus sur le bruit des roues ; infernal voiture ! Il a continué : + Sans doute, c‟est le cachot ; on ne s‟entend pas. Qu‟est-ce que je voulais donc dire ? Faites-moi le plaisir de m‟apprendre ce que je voulais dire, monsieur l‟abbé ? + Ah ! Savez-vous la grande nouvelle de paris, aujourd‟hui ? J’ai tressailli, comme s’il parlait de moi. + Non, a dit le prêtre. Qui avait enfin entendu, je n’ai pas eu le temps de lire les journaux ce matin. Je verrai cela ce soir. Quand je suis occupé comme cela toute la journée, je recommande au portier de me garder mes journaux, et je les lis en rentrant. + Bah ! A repris l’huissier. Il est impossible que vous ne sachiez pas cela. La nouvelle de Paris ! La nouvelle de ce matin ! J‟ai pris la parole : - je crois la savoir. L’huissier m’a regardé. + Vous ! Vraiment ! En ce cas, qu‟en dites-vous ? - Vous êtes curieux ! Lui ai-je dit. + Pourquoi, monsieur ? A répliqué l‟huissier. Chacun a son opinion politique. Je vous estime trop pour croire que vous n‟avez pas la vôtre. Quant à moi. Je suis tout à fait d‟avis du rétablissement de la garde nationale. J‟étais sergent de ma compagnie, et, ma foi, c‟étais fort agréable. Je l’ai interrompu. - je ne croyais pas que ce fût de cela qu‟il s‟agissait. +Et de quoi donc ? Vous disiez savoir la nouvelle… - Je parlais d‟une autre, dont Paris s‟occupe aussi aujourd‟hui. L’imbécile n’a pas compris ; sa curiosité s’est éveillée. +Une autre nouvelle ? Où diable avez-vous pu apprendre des nouvelles ? Laquelle, de grâce, mon cher monsieur ? Savez-vous ce que c‟est, monsieur l‟abbé ? Êtes-vous plus au courant que moi ? Mettez- moi au fait, je vous prie. De quoi s‟agit-il ? + Voyez-vous, j‟aime les nouvelles. Je les contes à monsieur le président, et cela l‟amuse.

268

Et mille billevesées. Il se tournait tour à tour vers le prêtre et vers le prêtre et vers moi, je ne répondais qu‟en haussant les épaules. -Eh bien ! m‟a-t-il dit, à quoi pensez-vous donc ? - Je pense, ai-je répondu, que je ne penserai plus ce soir. - Ah ! C‟est cela! A-t-il répliqué. Allons, vous êtes trop triste ! M. Castaing causait. Puis, après un silence: - J‟ai conduit M. Papavoine; il avait sa casquette de loutre et fumait son cigare. Quant aux jeunes gens de la Rochelle, ils ne parlaient qu‟entre eux. Mais ils parlaient. Il a fait encore une pause, et a poursuivi : + Des fous ! Des enthousiastes ! Ils avaient l‟air de mépriser tout le monde. Pour ce qui est de vous, je vous trouve vraiment bien pensif, jeune homme. - Jeune homme ! Lui ai-je dit, je suis plus vieux que vous ; chaque quart d‟heure qui s‟écoule me vieillit d‟une année. Il s’est retourné, m’a regardé quelques minutes avec un étonnement inepte, puis s’est mis à ricaner lourdement. - Allons, vous voulez rire, plus vieux que moi ! Je serais votre grand-père. - Je ne veux pas rire, lui ai-je répondu gravement.

+ Hei ! Pak Pastor, katanya dengan nada hampir riang, kabar baru apa yang anda punyai ? Ke arah bapak pendetalah ia berpaling dan berkata begitu. Rohaniwan itu, yang berbicara padaku tanpa henti dan yang tidak mendengarkannya karena bunyi bising kereta, tidak menjawabnya. +Hei! Hei! Pelaksana hukuman itu berkata lagi lebih keras untuk mengalahkan bunyi roda kereta, kereta neraka! Neraka! Memang. Ia melanjutkannya: +Barangkali karena guncangan kita tidak bisa mendengar. Apa yang ingin kukatakan tadi? Tolong katakana padaku apa yang ingin ku katakan tadi. Pak Pastor? – Ah! Apa anda tahu berita baru mengenai Paris hari ini? Aku tersentak kaget, seakan ia berbicara mengenaiku. +Tidak , kata bapak pendeta, yang akhirnya mendengarnya, aku tidak sempat membaca koran tadi pagi. Aku akan membacanya nanti malam. Saat aku sibuk sepanjang hari seperti ini, aku meminta penjaga pintu untuk menyimpankan koran-koranku, dan aku akan membacanya kalau pulang. +Ah ! Lanjut pelaksana hukuman itu, tidak mungkin kalau anda tidak mengetahuinya. Berita tentang yang terjadi di Paris ! Berita pagi ini ! - Aku angkat suara : - Kukira aku tahu. Pelaksana hukuman itu memandangiku + Anda ! Benarkah ! Kalau begitu apa pendapat Anda ?

269

- Anda melit ! Kataku kepadanya. +Kenapa, Tuan ? Tukas pelaksana hukuman itu. setiap orang punya pendapat politiknya masing-masing. Aku sangat menghargai Anda sehingga aku yakin Anda mesti mempunyai pendapat politik sendiri. Kalau aku, aku sangat setuju dengan pendapat mengenai perlunya dibentuk kembali Garda Nasional. Aku dulu sersan dikesatuanku, dan, yaaa, itu sangat menyenangkan. Dan banyak omong kosong lainnya. Ia berpaling bergantian ke arah bapak pastor dan ke arahku, dan aku hanya menjawabnya dengan mengangkat pundak! + Baiklah! Katanya padaku, apa yang ada dalam pikiran anda? - Kupikir, jawabku, aku tidak akan berpikir lagi malam ini. +Ah! Itu! Jawabnya. Oh, jangan begitu! Anda terlalu bersedih! Tuan Castaing dulu ngobrol. Kemudian, setelah diam sejenak: - Aku dulu juga membawa Taun Papavoine. Ia menggunakan topi petnya yang terbuat dari bulu berang-berang dan penghisap cerutunya. Kalau keempat pemuda dari Rochelle itu, mereka hanya bercakap-cakap diantara mereka saja. Tapi mereka bercakap-cakap. Ia lalu diam lagi sejenak, dan kemudian melanjutkan : +Orang-orang gila ! Orang-orang yang terlalu menggebu semangatnya ! mereka kelihatannya meremehkan semua orang. Kalau Anda, menurutku, anda sangat benar-benar sangat banyak berpikir, Anak muda ! - Anak muda ! kataku kepadanya, aku lebih tua dari Anda. Setiap seperempat jam berlalu, aku menjadi lebih tua setahun. Ia memutar tubuhnya, memandangiku selama beberapa menit dengan rasa heran yang konyol, kemudian tertawa menghina. - Bah ! Anda bercanda ! Lebih tua dariku ! Aku pantas jadi kakekmu. - Aku tidak bercanda, jawabku kepadanya dengan serius.

Setelah surat penolakan permohonan naik banding tokoh „‟Je‟‟ ditolak oleh

Jaksa tinggi, pada hari yang sama tokoh „‟Je‟‟ bersama dengan pendeta dan pelaksana hukuman berangkat ke Conciergerie untuk melakukan persiapan pelaksanaan eksekusinya. Ketika dalam perjalanan, utusan pelaksana hukuman mengajak pendeta dan tokoh „‟Je‟‟ berbincang-bincang tentang berita yang sedang diperbincangkan masyarakat Paris hari itu. pada awalnya, pelaksana hukuman yang memiliki rasa ingin tahu yang besar tersebut berusaha mencari informasi dari pendeta

270

yang bersamanya sepanjang perjalanan menuju Conciergerie. Hal tersebut dapat kita lihat dari pertanyaan yang diajukan pelaksana hukuman terhadap pendeta dalam kutipan „‟ + Sans doute, c‟est le cachot; on ne s‟entend pas. Qu‟est-ce que je voulais donc dire ? Faites-moi le plaisir de m‟apprendre ce que je voulais dire, monsieur l‟abbé ? + Ah ! Savez-vous la grande nouvelle de paris, aujourd‟hui ?„‟

(+ Barangkali karena guncangan kita tidak bisa mendengar. Apa yang ingin kukatakan tadi? Tolong katakana padaku apa yang ingin ku katakan tadi. Pak

Pastor? – Ah! Apa anda tahu berita baru mengenai Paris hari ini?). Pelaksana hukuman mencoba bertanya kepada pendeta tentang berita yang sedang diperbincang orang-orang hari itu. Namun, pendeta yang tidak terlalu memperhatikan perkataan pelaksana hukuman tersebut. Hal tersebut membuat rasa ingin tahu pelaksana hukuman tersebut semakin bertambah besar.

Tokoh „‟Je‟‟ yang merasa bahwa dirinyalah yang menjadi pusat perbincangan pada hari itu sengaja membuat rasa penasaran pelaksana hukuman semakin menggebu-gebu dengan mengatakan bahwa dirinya mengetahui apa yang sedang diperbincangkan oleh semua orang pada hari itu seperti yang ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟ - je crois la savoir. „‟ (- Kukira aku tahu). Pelaksana hukuman akhirnya dengan penuh rasa ingin tahu memaksa tokoh „‟Je‟‟ untuk memberitahunya tentang hal tersebut. Namun, tokoh „‟Je‟‟ tidak memberikan jawaban yang diharapkannya. Sebaliknya tokoh „‟Je‟‟ menjawab pertanyaan pelaksana hukuman dengan acuh tak acuh. Contohnya, ketika pelaksana hukuman bertanya kepada tokoh

„‟Je‟‟ apakah pendapatnya tentang berita yang sedang diperbincangkan pada hari tersebut, tokoh „‟Je‟‟ tidak menjawab pertanyaannya dan kemudian tokoh „‟Je‟‟

271

kembali mengatakan bahwa pelaksana hukuman adalah seorang melit. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan „‟ Vous êtes curieux ! Lui ai-je dit. „‟

(Anda melit ! Kataku kepadanya).

Setelah mendengar pernyataan tokoh „‟Je‟‟ yang mengatakan dirinya adalah seorang melit, pelaksana hukuman pun berusaha membela dirinya dengan mengatakan bahwa semua orang memiliki pendapat politiknya masing-masing.

Pelaksana hukuman kemudian kembali mengajukan pertanyaan yang berbeda kepada tokoh „‟Je‟‟. Ia bertanya tentang apa yang sedang dipikirkan oleh tokoh „‟Je‟‟.

Namun untuk kedua kalinya tokoh „‟Je‟‟ menjawab pertanyaannya acuh tak acuh dengan mengatakan bahwa mungkin dirinya tidak akan dapat berpikir lagi pada malam terakhir sebelum pelaksanaan eksekusi seperti dalam kutipan „‟ Je pense, ai- je répondu, que je ne penserai plus ce soir. „‟ (Kupikir, jawabku, aku tidak akan berpikir lagi malam ini). Pelaksana hukuman yang mendengar pernyataan tokoh

„‟Je‟‟ tersebut akhirnya berpendapat bahwa tokoh „‟Je‟‟ terlalu bersedih seperti yang terdapat dalam kutipan „‟Ah ! C‟est cela! A-t-il répliqué. Allons, vous êtes trop triste ! M. Castaing causait.„‟ yang dapat diartikan (Ah! Itu! Jawabnya. Oh, jangan begitu! Anda terlalu bersedih! Tuan Castaing dulu ngobrol).

Selain itu, pelaksana hukuman juga menilai bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang yang pemikir. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan „‟ Des fous ! Des enthousiastes ! Ils avaient l‟air de mépriser tout le monde. Pour ce qui est de vous, je vous trouve vraiment bien pensif, jeune homme’’ yang dapat diartikan (Orang- orang gila ! Orang-orang yang terlalu menggebu semangatnya ! Mereka kelihatannya meremehkan semua orang. Kalau Anda, menurutku, anda sangat

272

benar-benar sangat banyak berpikir, Anak muda !). Setelah mendengar pernyataan pelaksana hukuman, tokoh „‟Je‟‟ mengulang kata-kata Anak muda ! yang dikatakan oleh pelaksana hukuman tersebut dan kemudian kembali membuat pernyataan bahwa dirinya memiliki umur jauh lebih tua dibanding si pelaksana hukuman. Mendengar pernyataan tersebut, pelaksana hukuman hanya mengatakan bahwa tokoh „‟Je‟‟ hanya bercanda dan tidak serius dengan perkataannya. Hal tersebut disebabkan karena pada kenyataannya pelaksana hukuman lebih tua dibandingkan dengan tokoh „‟je‟‟ seperti yang ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟

Allons, vous voulez rire, plus vieux que moi ! Je serais votre grand-père.„‟ yang dapat diartikan (Bah ! Anda bercanda ! Lebih tua dariku ! Aku pantas jadi kakekmu). Hal tersebut di atas dilakukan oleh tokoh „‟Je‟‟ karena dirinya tidak dapat menerima kenyataan bahwa usianya yang sangat muda akan berakhir dengan hitungan jam.

4.4.2.2.3 Penekanan

Pengingkaran atas kenyataan adalah pembelaan diri terhadap ancaman eksternal; penekanan (represi) adalah pembelaan diri terhadap ancaman internal.

Dalam penekanan, implus-implus dan ingatan-ingatan yang terlalu menakutkan dibuang jauh dari tindakan-tindakan atau kesadaran-kesadaran.

Tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné mengalami kecemasan yang semakin besar dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan eksekusi. Hal tersebut menimbulkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ berupa reaksi penekanan.

Reaksi ini dapat kita lihat ketika tokoh „‟Je‟‟ berusaha melupakan ingatan-ingatan tentang kenyataan yang sedang dialaminya dan berusaha memikirkan masa lalunya

273

yang menyenangkan agar supaya dapat melindungi dirinya dari ancaman internal.

Penulis menunjukkan hal tersebut menggunakan teknik ekspositori yang dapat kita lihat pada data ke-28 pada halaman 274.

(28) LDJDC/XXXIII/73 J‟ai fermé les yeux, et j‟ai mis les mains dessus, et j‟ai tâché d‟oublier, d‟oublier le présent dans le passé. Tandis que je rêve, les souvenirs de mon enfance et de ma jeunes me reviennent un à un, doux, calme, riants, comme des îles de fleurs sur ce gouffre de pensées noires et confuses qui tourbillonnent dans mon cerveau.

Kupejamkan mata dan kutaruh tanganku menutupinya, lalu aku berusaha melupakan, melupakan masa kini dalam masa lampau. Saat aku termenung, kenangan masa kanak-kanak dan masa mudaku terlintas kembali satu per satu, lembut, tenang, penuh tawa, seperti pulau-pulau bunga mengembang di atas jurang pikiran yang kelam dan kabur, yang berputar di dalam benakku.

Semakin dekatnya waktu pelaksanaan eksekusi, rasa takut yang dirasakan oleh tokoh „‟Je‟‟ semakin besar. Ia berusaha melupakan apa yang sedang dialaminya dengan cara memikirkan masa kanak-kanak dan masa mudanya yang penuh dengan kegembiraan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan „‟ J‟ai fermé les yeux, et j‟ai mis les mains dessus, et j‟ai tâché d‟oublier, d‟oublier le présent dans le passé.

Tandis que je rêve, les souvenirs de mon enfance et de ma jeunnes me reviennent un à un, doux, calme, riants, comme des îles de fleurs sur ce gouffre de pensées noires et confuses qui tourbillonnent dans mon cerveau „‟ yang dapat diartikan

(Kupejamkan mata dan kutaruh tanganku menutupinya, lalu aku berusaha melupakan, melupakan masa kini dalam masa lampau. Saat aku termenung, kenangan masa kanak-kanak dan masa mudaku terlintas kembali satu per satu, lembut, tenang, penuh tawa, seperti pulau-pulau bunga mengembang di atas jurang pikiran yang kelam dan kabur, yang berputar di dalam benakku).

274

Kutipan di atas menunjukkan tokoh „‟Je‟‟ yang berusaha memejamkan matanya dengan harapan dirinya dapat memikirkan masa kanak-kanak dan masa mudanya yang begitu menyenangkan dengan tujuan agar supaya dirinya dapat melupakan penderitaan yang sedang dialaminya.

4.4.2.2.4 Rasionalisasi

Rasionalisasi bukan berarti “bertindak menurut akal”, hal ini merupakan penentu motif yang masuk akal atau layak secara sosial pada sesuatu yang kita lakukan sehingga kita tampak bertindak sesuai dengan akal pikiran dan sepatutnya.

Dalam usaha mencari alasan yang “baik” ketimbang yang “benar” orang-orang membuat sejumlah dalih. Dalih-dalih itu biasanya masuk akal, hanya saja mereka itu tidak mengatakan seluruh cerita. Misal: suka atau tidak suka sebagai suatu dalih.

Pada tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo reaksi berupa rasionalisasi dapat dilihat dari reaksi tokoh „‟Je‟‟ setelah melihat penderitaan yang dialami oleh para terpidana hukuman kerja paksa saat melakukan perantaian dan kemudian diberangkatkan ke Toulon. Tokoh „‟Je‟‟ mengatakan pada dirinya sendiri bahwa keputusan yang diambilnya benar yaitu daripada harus di hukum kerja paksa seperti harapan pembelanya, dirinya lebih memilih seribu kali lebih baik mati. Penulis menunjukkan hal tersebut dengan menggunakan teknik reaksi tokoh yang dapat kita lihat pada data 29 yang dideskripsikan penulis pada halaman 276.

(29) LDJDC/XIV/35 Que me disait-il donc, l‟avocat? Les galères! Ah! Oui, plutôt mille fois la mort ! Plutôt l‟échafaud que le bagne, plutôt le néant que l‟efer;

275

plutôt livrer mon cou au couteau de Guillotin qu‟au carcan de la chiourme ! Les galères, juste ciel !

Apa yang dikatakan pengacaraku ? Hukuman kerja paksa ! Ah ! Ya, seribu kali lebih baik mati ! Lebih baik panggung pemancungan daripada hukuman kerja paksa, lebih baik musnah sama sekali daripada neraka, lebih baik memberikan leherku pada pisau Tuan Guillotine daripada dibelenggu rantai pekerja paksa ! Hukuman kerja paksa, astaga !

Setelah siuman dari pingsannya, hari sudah malam. Tokoh „‟Je‟‟ akhirnya beristirahat di balai pengobatan. Ketika pagi harinya, tokoh „‟Je‟‟ terbangun oleh suara berisik yang ditimbulkan oleh suara rantai para pekerja paksa yang akan dikirim ke Toulon pagi itu. Setelah melihat penderitaan para terpidana hukuman kerja paksa secara langsung, tokoh „‟Je‟‟ yang awalnya merasa ketakutan setelah mengetahui keputusan hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman mati mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dirinya lebih memilih seribu kali lebih baik mati daripada harus mengalami penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh para terpidana hukuman kerja paksa tersebut. Pernyataan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Que me disait-il donc, l‟avocat? Les galères! Ah! Oui, plutôt mille fois la mort ! Plutôt l‟échafaud que le bagne, plutôt le néant que l‟efer; plutôt livrer mon cou au couteau de Guillotine qu‟au carcan de la chiourme ! Les galères, juste ciel ! „‟ yang dapat diartikan (Apa yang dikatakan pengacaraku !

Perantaian! Ah ! Ya, seribu kali lebih baik kematian ! Lebih baik panggung pemancungan daripada hukuman kerja paksa, lebih baik musnah sama sekali daripada neraka, lebih baik memberikan leherku pada pisau Tuan Guillotin daripada dibelenggu rantai pekerja paksa ! Hukuman kerja paksa, astaga !).

Kutipan di atas menggambarkan reaksi tokoh „‟Je‟‟ setelah melihat penderitaan yang

276

dialami oleh para terpidana kerja paksa. Tokoh „‟Je‟‟ mengumpat pengacaranya yang telah berani mengharapkan keputusan hukumannya adalah hukuman kerja paksa seumur hudup. Ia meyakinkan kembali dirinya bahwa daripada harus mengalami penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh para terpidana hukuman kerja paksa seperti yang telah disaksikannya, tokoh „‟Je‟‟ lebih memilih seribu kali lebih baik mati. Tokoh „‟Je‟‟ lebih memilih dihukum mati menggunakan pisau guillotine daripada harus dihukum kerja paksa, ia lebih memilih musnah sama sekali karena dihukum mati daripada harus hidup seperti neraka ketika menjalani hukuman kerja paksa.

4.4.2.2.5 Pembentukan Reaksi

Kadangkala orang-orang dapat menyembunyikan motif dari diri mereka sendiri dengan memberikan pernyataan yang kuat terhadap sesuatu yang bertentangan. Kecendrungan demikian disebut pembentukan reaksi (reaction formation).

Pada tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya

Victor Hugo, reaksi berupa pembentukan reaksi dapat dilihat dari sikap tokoh „‟Je‟‟ ketika mencoba menyembunyikan rasa takutnya setelah mendengar keputusan hakim. Ia mencoba memberikan pernyataan yang kuat terhadap sesuatu yang bertentangan denga hati nuraninya yaitu dengan mencoba menyakinkan dirinya untuk menerima keputusan yang telah dijatuhkan Hakim ketua kepadanya walaupun pada kenyataannya, dirinya sangat merasa ketakutan dan tidak ingin menerima keputusan tersebut. Sikap tokoh „‟Je‟‟ ini digambarkan oleh penulis dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan yang dapat kita lihat dalam kutipan yang

277

bercetak tebal pada data ke-30 yang akan dideskripsikan oleh penulis pada halaman

278.

(30) LDJDC/III/9 Condamné à mort! Eh bien, pourquoi non ? Les hommes, je me rappelle l‟avoir lu dans je ne sais quel livre où il n‟y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec de sursis indéfinis. Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? Depuis à l‟heure où mon arrêt m‟a été prononcé, combien sont mort qui s‟arrangeaient pour une longue vie ! Combien m‟ont devancé qui. Jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève ! Combien d‟ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré, et qui me devanceront encore ! Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l‟éducation, être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera : voilà à peu près les seuls biens que puisse m‟enlever le bourreau. Ah, n‟importe, c‟est horrible !

Dihukum mati ! Eh, kenapa tidak ?semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di dalam sebuah buku yang judulnya aku lupa dan yang hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ? Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati ! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bundaran Grève telah mendahuluiku ! Dan sampai hal itu terlaksana, berapa lagi barangkali akan mendahuluiku diantara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka. Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ? Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perlakuan dan ucapan kasar yang ditujukan padaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku:

278

itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku. Ah, masa bodoh, sangat mengerikan !

Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan dan menghibur dirinya yang merasa ketakutan setelah mendengarkan keputusan akhir hukumannya adalah hukuman mati.

Ia mencoba meyakinkan dirinya untuk pasrah menerima hukuman yang telah dijatuhkan hakim kepadanya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan mengatakan apapun usaha yang akan ditempuhnya untuk memperingan hukumannya, pada akhirnya dirinya akan dihukum mati juga. Upaya tokoh „‟Je‟‟ tersebut digambarkan oleh penulis dalam kutipan „‟Condamné à mort! Eh bien, pourquoi non ? Les hommes, je me rappelle l‟avoir lu dans je ne sais quel livre où il n‟y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec de sursis indéfinis. Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? „‟ (Dihukum mati ! Eh, kenapa tidak ?semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di dalam sebuah buku yang judulnya aku lupa dan yang hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ?). Kutipan diatas menggambarkan usaha tokoh „‟Je‟‟ untuk menenangkan hatinya yang terkejut karena ternyata hukuman yang dijatuhkan Hakim ketua kepadanya adalah hukuman mati. Tokoh „‟Je‟‟ mencoba menenangkan hati nya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tidak perlu merasa terkejut jika dirinya dijatuhi hukuman mati. Karena semua terpidana yang melakukan penangguhan saja tetap dijatuhi hukuman mati seperti yang telah dikatakan di dalam buku yang telah dibacanya.

279

Penulis menggunakan kalimat „‟ Condamné à mort! „‟ (Dihukum mati!) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang sedang memikirkan hukuman yang dijatuhkan padanya. Kalimat tanya „‟ Eh bien, pourquoi non ? „‟ (Eh, kenapa tidak ?) dan „‟ Qu‟il y a-t-il donc de si changé à ma situation ? „‟ (Jadi apa bedanya dengan diriku sekarang ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan dirinya dengan cara membuat dalih bahwa apapun usaha yang dilakukannya untuk meringankan hukumannya, pada akhirnya dirinya akan dihukum mati juga seperti yang telah dialami para terpidana mati yang telah mendahuluinya.

Selain itu, penulis mencoba menenangkan hatinya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa semua orang memiliki kemungkinan untuk mendapat hukuman mati seperti yang telah dijatuhkan kepada dirinya. Hal tersebut ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟ Depuis à l‟heure où mon arrêt m‟a été prononcé, combien sont mort qui s‟arrangeaient pour une longue vie ! Combien m‟ont devancé qui.

Jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève ! Combien d‟ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré „‟ (Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati ! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bundaran

Grève telah mendahuluiku ! Dan sampai hal itu terlaksana, berapa lagi barangkali akan mendahuluiku di antara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka).

280

Kutipan di atas menunjukkan upaya tokoh „‟Je‟‟ untuk menenangkan dirinya dari rasa takut terhadap kenyataan bahwa dirinya telah dijatuhi hukuman mati. Ia mencoba mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa semua orang memiliki kemungkinan untuk dijatuhi hukuman mati. Menurut tokoh „‟Je‟‟ sejak keputusan hukumannya dijatuhkan, beberapa orang terpidana hukuman mati yang berupaya berumur panjang telah mati mendahuluinya. Selain itu, menurutnya beberapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalanya menggelinding suatu hari nanti di bundaran Grêve, bisa saja beberapa saat kemudian mendapatkan hukuman mati dan akhirnya mendahului dirinya.

Tokoh „‟Je‟‟ juga mencoba meyakinkan dirinya bahwa apapun cara yang akan ditempuhnya, dirinya akan tetap dihukum mati. Selain itu tokoh „‟Je‟‟ juga mencoba meyakinkan dirinya bahwa keadaan yang dialaminya di dalam penjara tidak lebih baik dibanding hukuman mati. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l‟éducation, être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera : voilà à peu près les seuls biens que puisse m‟enlever le bourreau „‟

(Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ? Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang- orang yang dirantai, perlakuan dan ucapan kasar yang ditujukan kepadaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan

281

penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku).

Kutipan yang bercetak tebal pada halaman 281 menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan pikirannya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tidak ada alasan yang harus membuatnya menyesal karena tidak melakukan pembelaan dengan harapan keputusan hakim dapat diperingan menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup. Ia mencoba membela dirinya dengan mengatakan bahwa jika seandainya dirinya dihukum mati, dirinya hanya mengorbankan sisa hidupnya yang megitu mengerikan di penjara. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa hanya kehidupan di dalam penjara yang begitu mengerikanlah yang dapat diambil oleh algojo darinya.

Penulis menggunakan kalimat tanya „‟ Et puis, qu‟est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? „‟ (Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba menenangkan hatinya dengan bertanya kepada dirinya sendiri bahwa apa yang tersisa dari hidupnya yang dapat membuatnya menyesal kerena mendapatkan hukuman mati dan bukan hukuman kerja paksa seumur hidup. Penulis juga menggunakan kata-kata „‟ En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l‟éducation,

être brutalisé de guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d‟un parole et à qui je le rende, sans casse tressaillir et de ce

282

que j‟ai fait et de ce qu‟on me fera „‟ (Hari-hari yang suram dan roti hitam di ruang tahanan, jatah kuah encer yang dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perlakuan dan ucapan kasar yang ditujukan padaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapaku) untuk menggambarkan suasana mengerikan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ di dalam penjara.

Tokoh „‟Je‟‟ mengatakan kepada dirinya bahwa hari-hari yang suram di ruang tahanan, makanan yang tidak layak yang selalu dijatah dari tahang orang-orang yang dirantai, perkataan kasar yang selalu ditujukan kepadanya, perlakuan para penjaga yang kurangajar kepadanya, tidak ada lagi orang-orang yang menganggap dirinya manusia, dan selain itu kehidupan yang tidak lagi merasa tenang karena selalu saja dihantui oleh pikiran-pikiran buruk sajalah yang dapat diambil oleh algojo darinya.

Meskipun tokoh „‟Je‟‟ melakukan hal tersebut di atas, pada kenyataannya dengan memikirkan hal tersebut saja sudah membuat dirinya sangat merasa ketakutan.

Ketakutan tokoh „‟Je‟‟ tersebut ditunjukkan penulis dalam kutipan „‟Ah, n‟importe, c‟est horrible„‟ (Ah, masa bodoh, sangat mengerikan !).

4.4.2.2.6 Proyeksi

Penulis tidak menemukan reaksi yang berupa Proyeksi pada tokoh „‟Je‟‟ yang mengalami Konflik Menghindar-Menghindar (Avoidance -Avoidance Conflict) dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

283

4.4.2.2.7 Intelektualitas

Intelektualitas adalah usaha untuk memperoleh pembebasan dari situasi yang mengancam dan menghadapinya dengan istilah-istilah abstrak dan ilmiah. Doktor yang terus-terusan dihadapkan dengan penderitaan manusia tidak dapat berusaha untuk terlibat secara emosional dengan setiap pasien; kenyataanya, sejumlah pembebasan tertentu mungkin sangat perlu agar dokter itu dapat bekerja dengan baik.

Pada tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo ditemukan reaksi intelektualitas yang berupa usaha untuk memperoleh pembebasan dari situasi yang mengancam dirinya yaitu usaha pembebasan diri dari keputusan hukuman mati yang telah dijatuhkan hakim kepadanya. Usaha yang dilakukan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dikenal dengan istilah permohonan naik banding.

Tokoh „‟Je‟‟ mengajukan permohonan naik banding dengan tujuan agar supaya dirinya dapat memperlama waktu pelaksanaan eksekusi dan menjaga agar dirinya selalu sehat hingga waktu pelaksanaan eksekusi tiba. Penulis menggambarkan hal tersebut di atas dengan menggunakan teknik ekspositori dalam data ke-31 di bawah ini.

(31) LDJDC/V/10 A peine arrivé, des mains de fer s‟emparèrent de moi. On multiplia les précautions de moi. On multiplia les précautions ; point de couteau, point de fourchette pour mes repas ; la camisole de force, une espèce de sac de toile à voilure, emprisonna mes bras ; on répondait de ma vie. Je m‟étais pourvu en cassation. On pouvait avoir six ou sept semaines cette affaire onéreuse, et il importait de me conserver sain et sauf à la place de Grève. Begitu sampai, tangan-tangan kuat menerkapku. Tindakan pencegahan dilipatgandakan. Tidak boleh ada pisau atau garpu saat makan. Straight jacket, semacam kantung dari bahan kain layar, membuat tanganku tidak bisa bergerak. Kelangsungan hidupku

284

harus diperhatikan. Aku naik banding. Urusan yang mahal ini biasanya memakan waktu enam atau tujuh minggu, dan yang penting untuk menjagaku tetap sehat dan selamat di bundaran Grève nanti. Setelah tiba di Bicêtre, tokoh „‟Je‟‟ merasa tidak nyaman dan merasa terancam dengan perlakuan orang-orang di tempat itu. penulis menggambarkan rasa tidak nyaman tokoh „‟Je‟‟ dalam kutipan „‟A peine arrivé, des mains de fer s‟emparèrent de moi. On multiplia les précautions de moi. On multiplia les précautions ; point de couteau, point de fourchette pour mes repas ; la camisole de force, une espèce de sac de toile à voilure, emprisonna mes bras ; on répondait de ma vie. Je m‟étais pourvu en cassation. On pouvait avoir six ou sept semaines cette affaire onéreuse, et il importait de me conserver sain et sauf à la place de Grève. „‟ yang dapat diartikan (Begitu sampai, tangan-tangan kuat menerkapku. Tindakan pencegahan dilipatgandakan. Tidak boleh ada pisau atau garpu saat makan.

Straight jacket, semacam kantung dari bahan kain layar, membuat tanganku tidak bisa bergerak. Kelangsungan hidupku harus diperhatikan. Aku naik banding. Urusan yang mahal ini biasanya memakan waktu enam atau tujuh minggu, dan yang penting untuk menjagaku tetap sehat dan selamat di bundaran Grève nanti).

Kutipan di atas penulis menggambarkan keadaan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ saat pertama kali menginjakkan kakinya di Bicêtre setelah keputusan akhirnya diumumkan. Begitu tokoh „‟Je‟‟ sampai di Bicêtre, tangan-tangan kuat langsung menerkapnya. Melihat keadaan tersebut, tindakan pencegahan akhirnya dilipatgandakan. Untuk menjaga keselamatannya, tokoh „‟Je‟‟ tidak diperbolehkan menggunakan garpu atau pisau ketika makan. Ia diharuskan memakai Straight jacket

285

yang terbuat dari kain layar dan berbentuk seperti kantung sehingga membuat tangannya tidak dapat bergerak. Tokoh „‟Je‟‟ merasa keadaannya terancam, karena hal tersebut ia akhirnya memutuskan untuk mengajukan permohonan naik banding.

Ia berharap dengan naik banding waktu pelaksanaan eksekusi akan semakin lama.

Selain itu, ia berharap dirinya mendapat perlakuan yang lebih baik sehingga ketika sampai waktu pelaksanaan eksekusi dirinya masih dalam keadaan sehat.

Penulis menggunakan kalimat „‟ on répondait de ma vie. Je m‟étais pourvu en cassation.„‟ (Kelangsungan hidupku harus diperhatikan. Aku naik banding.) untuk menunjukkan wahwa tokoh „‟Je‟‟ mengajukan permohonan naik banding.

Penulis menggunakan kalimat berikut „‟ On pouvait avoir six ou sept semaines cette affaire onéreuse, et il importait de me conserver sain et sauf à la place de Grève „‟

(Urusan yang mahal ini biasanya memakan waktu enam atau tujuh minggu, dan yang penting untuk menjagaku tetap sehat dan selamat di bundaran Grève nanti) untuk menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ agar setelah mengajukan permohonan naik banding, dirinya dapat memperlama waktu pelaksanaan eksekusi dan dirinya selalu sehat hingga waktu pelaksanaan eksekusi.

Selain melakukan usaha pembebasan dengan cara mengajukan naik banding, tokoh „‟Je‟‟ juga mengajukan grasi kepada raja. Tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki pendirian yang teguh dan penuh percaya diri berubah menjadi seorang yang tidak memiliki pendirian. Setelah keputusan hakim akhirnya dijatuhkan yaitu hukuman mati, tokoh „‟Je‟‟ menjadi seorang yang lemah dan penakut. Tokoh „‟Je‟‟ yang penuh keyakinan memilih keputusan hakim adalah hukuman mati akhirnya berharap permintaan grasinya diterima sehingga mendapatkan keringanan hukuman yaitu

286

hukuman kerja paksa seumur hidup. Hal tersebut dapat dilihat dalam data ke-32 yang akan dideskripsikan penulis pada halaman 287.

(32) LDJDC/II/7 Ô ma grace! Ma grâce! On me fera peut-être grâce. Le roi ne m‟en veut pas. Qu‟on aille chercher mon avocat ! Vite l‟avocat ! –Je veux bien des galières. Cinq ans de galères, et que tout soit dit, -où vingt ans, -où à perpétuité avec le fer rouge. Mais grâce de la vie ! Un forçat, cela marce encore, cela va et vient, cela voit le soleil. Oh ! Grasiku ! Barangkali aku mendapat grasi. Raja tidak marah padaku. Panggil pengacaraku ! Pengacaraku, cepat ! Aku bersedia dihukum kerja paksa, dan habis urusan atau dua puluh tahun-atau selamanya dengan besi membara. Tapi tolong, ampuni hidupku ! Seorang hukuman kerja paksa masih bisa berjalan, bisa mondar- mandir, bisa melihat matahari.

Beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi, tokoh „‟Je‟‟ menghabiskan waktunya untuk merenung. Setelah memikirkan nasib putri kecilnya yang malang, tiba-tiba dalam pikiran tokoh „‟Je‟‟ terbesit pikiran tentang gambaran pelaksanaan hukuman mati yang membuat dirinya merasa ngeri walau hanya membayangkannya.

Memikirkan hal tersebut membuat rasa takut tokoh „‟Je‟‟ semakin menjadi-jadi.

Tokoh „‟Je‟‟ yang merasa takut menjadi tidak terkendali. Ia berharap dirinya masih memiliki harapan menghindari hukuman mati yang sangat mengerikan tersebut dengan mengajukan grasi. Ia bersedia dihukum kerja paksa asalkan dapat menghindari pelaksanaan hukuman mati. Ia sadar bahwa jika mendapatkan hukuman kerja paksa, dirinya masih dapat melihat matahari, masih dapat berjalan mondar- mandir. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan „‟ Ô ma grace! Ma grâce! On me fera peut-être grâce. Le roi ne m‟en veut pas. Qu‟on aille chercher mon avocat ! Vite l‟avocat ! –Je veux bien des galières. Cinq ans de galères, et que tout soit dit, -où vingt ans, -où à perpétuité avec le fer rouge. Mais grâce de la vie ! Un forçat, cela

287

marce encore, cela va et vient, cela voit le soleil „‟ (Oh ! Grasiku ! Barangkali aku mendapat grasi. Raja tidak marah padaku. Panggil pengacaraku !

Pengacaraku, cepat ! Aku bersedia dihukum kerja paksa, dan habis urusan, - atau dua puluh tahun-atau selamanya dengan besi membara. Tapi tolong, ampuni hidupku ! Seseorang hukuman kerja paksa masih bisa berjalan, bisa mondar-mandir, bisa melihat matahari). Kutipan yang bercetak tebal pada halaman 287 menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang menjadi tidak terkendali dikarenakan rasa takutnya yang menjadi-jadi setelah membayangkan situasi ketika pelaksanaan hukuman mati. Ia meminta pengacaranya untuk mengajukan grasi dengan harapan raja dapat memberinya pengampunan. Penulis menggambarkan kepanikan tokoh „‟Je‟‟ dengan menggunakan tanda pentung di setiap akhir kalimat.

4.4.2.2.8 Pengalihan

Pada tokoh „‟Je‟‟ reaksi berupa Pengalihan (Displacement) dapat terlihat dari tujuan tokoh „‟Je‟‟ ketika membuat sebuah tulisan mengenai penderitaan yang dialaminya selama dalam penjara. Ia berharap dengan menulis dirinya dapat mengurangi rasa was-was yang selalu dirasakannya. Selain itu, ia berharap dengan melukiskan dirinya dapat melupakan penderitaannya tersebut. Penulis menggambarkan harapan tokoh „‟Je‟‟ tersebut dengan menggunakan teknik pikiran dan perasaan yang dapat dilihat dalam data ke-33.

(33) LDJDC/VI/13 Je me suis dit : -Puisque j‟ai le moyen d‟écrire, pourquoi ne le ferais-je pas ? Mais quoi écrire ? Pris entre quatre murailles de pierre nue et froide, sans liberté pour mes pas, sans horizon pour mes yeux, pour unique distraction machinalement occupé tout le jour à suivre la marche lente

288

de ce carré blanchâtre que le judas de ma porte découpe vis-à-vis sur le mur sombre, et comme je le disais tout à l‟heure, seul à seul avec une idée, une idée de crime et de châtiment, de meurtre et mort ! Est-ce que je puis avoir quelque chose à dire, moi qui n‟ai plus rien à faire dans ce monde ? Et trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d‟être écrit ? Pourquoi non? Si tout, autour de moi, est monotone et décoloré, n‟y a- t-il pas en moi une tempête. Une lutte, une tragédie ? Cette idée fixe qui me possède ne se présente-t-elle pas à moi à chaque heure, à chaque instant, sous une nouvelle forme, toujours plus hideuse et plus ensanglantée à mesure que le terme approche ? Pourquoi n‟essaierais- je pas de ma dire à moi-même tout ce que j‟éprouve de violent et d‟inconnu dans la situation abandonnée où me voilà ? Certes, la matière est riche ; et, si abrégée que soit ma vie, il y aura bien encore dans les angoisses, dans les terreurs, dans les tortures qui la rempliront, de cette heure à la dernière, de quoi user cette plume et tarir cet encrier. –D‟ailleurs, ces angoisses, le seul moyen d‟en moins souffrir, c‟est de les observer, et les peindre m‟en distraira.

Aku berkata pada diriku sendiri : -Sekarang semua keperluan menulis sudah tersedia, kenapa aku tidak melakukannya. Tapi apa yang akan kutulis? Terkungkung diantara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apapun, tanpa kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bisa kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel yang membentuk persegi keputih-putihan yang merayap perlahan ditembok suram di hadapannya dan, seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan satu pikiran, pikiran tentang kejahatan dan hukuman, pembunuhan dan kematian! Adakah kata yang bisa dikatakan orang yang tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dilakukan di dunia ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini? Kenapa tidak ? Meski semua yang berada di sekelilingku menoton dan tidak berwarna, bukankah di dalam diriku terjadi badai, pergulatan dan tragedi ? Pikiran yang selalu sama, yang menguasai diriku saat ini, tidakkah ia menampakkan dirinya terus kepadaku dalam bentuk yang selalu berubah, menjadi semakin mengerikan dan semakin berlumuran darah seiring semakin dekatnya waktu yang telah ditentukan ? Kenapa aku tidak mencoba mengatakan pada diriku sendiri mengenai semua yang kurasa kejam dan asing di dalam keadaan tertelantar ini, di mana aku berada sekarang ? pasti banyak bahan, dan sesingkat apapun hidupku, pasti masih akan ada sesuatu di dalam kekhawatiran, ketakutan, dan siksaan, yang akan mengisi hidupku ini, dari sekarang hingga akhir, yang akan mengusangkan bulu-bulu pena dan mengeringkan botol tinta. –

289

Selain itu, satu-satunya cara untuk mengurangi rasa was-was ini adalah dengan mengamatinya. Melukiskannya akan membuatku melupakannya.

Tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang penulis. Hal ini terlihat dalam kutipan yang menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang sengaja meminta alat tulis kepada penjaga untuk keperluannya menulis. Namun, setelah mendapatkan alat tulis tersebut dirinya menjadi bingung. Ia bingung ketika memikirkan apa yang harus ditulisnya.

Kebingungan yang dialami tokoh „‟Je‟‟ tersebut tergambar dari kata-kata yang dilontarkannya kepada dirinya sendiri dalam kutipan „‟ Je me suis dit : -Puisque j‟ai le moyen d‟écrire, pourquoi ne le ferais-je pas ? Mais quoi écrire ? Pris entre quatre murailles de pierre nue et froide, sans liberté pour mes pas, sans horizon pour mes yeux, pour unique distraction machinalement occupé tout le jour à suivre la marche lente de ce carré blanchâtre que le judas de ma porte découpe vis-

à-vis sur le mur sombre, et comme je le disais tout à l‟heure, seul à seul avec une idée, une idée de crime et de châtiment, de meurtre et mort ! Est-ce que je puis avoir quelque chose à dire, moi qui n‟ai plus rien à faire dans ce monde ? Et trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d‟être écrit ? „‟ yang dapat diartikan (Aku berkata pada diriku sendiri : -Sekarang semua keperluan menulis sudah tersedia, kenapa aku tidak melakukannya ? Tapi apa yang akan kutulis? Terkungkung diantara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apapun, tanpa kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bisa kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel yang membentuk persegi keputih-putihan yang merayap pelahan di tembok suram di

290

hadapannya dan, seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan satu pikiran, pikiran tentang kejahatan dan hukuman, pembunuhan dan kematian! Adakah kata yang bisa dikatakan orang yang tidak mempunyai apa- apa lagi untuk dilakukan di dunia ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini?).

Kutipan yang bercetak tebal pada halaman 290 menunjukkan kebingungan tokoh „‟Je‟‟ setelah menerima alat tulis yang sengaja dimintanya kepada penjaga. Ia merasa bingung dengan apa yang harus ditulisnya. Ia terpenjara di dalam sebuah sel dan terpanjara dalam sebuah pikiran yang menakutkan tentang hukuman mati. Ia tidak memiliki kebebasan untuk berpikir dan melakukan sesuatu. Tokoh „‟Je‟‟ merasa bahwa di dalam dirinya tidak memiliki lagi sesuatu yang berharga.

Penulis menggunakan pertanyaan „‟Je me suis dit : -Puisque j‟ai le moyen d‟écrire, pourquoi ne le ferais-je pas ?„‟ (Aku berkata pada diriku sendiri : -

Sekarang semua keperluan menulis sudah tersedia, kenapa aku tidak melakukannya ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang mencoba mengingatkan dirinya untuk memulai menulis setelah peralatan tulis yang dibutuhkannya telah tersedia. Namun, tokoh „‟Je‟‟ yang merasa tidak lagi memiliki kebebasan dan selalu dihantui oleh pikiran buruk tentang hukuman mati merasa kebingungan memutuskan tema apa yang harus ditulisnya. Penulis menggunakan kalimat tanya „‟ Mais quoi

écrire ?‟‟ (Tapi apa yang akan kutulis?) untuk menggambarkan kebingungan tokoh „‟Je‟‟ tentang tema apa yang harus ditulisnya.

Selain itu, penulis menggunakan kata-kata „‟Pris entre quatre murailles de pierre nue et froide, sans liberté pour mes pas, sans horizon pour mes yeux, pour

291

unique distraction machinalement occupé tout le jour à suivre la marche lente de ce carré blanchâtre que le judas de ma porte découpe vis-à-vis sur le mur sombre, et comme je le disais tout à l‟heure, seul à seul avec une idée, une idée de crime et de châtiment, de meurtre et mort ! Est-ce que je puis avoir quelque chose à dire, moi qui n‟ai plus rien à faire dans ce monde ? Et trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d‟être écrit ?„‟ (Terkungkung diantara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apapun, tanpa kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bias kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel membentuk persegi keputih-putihan yang merayap pelahan di tembok suram di hadapannya dan, seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan satu pikiran, pikiran tentang kejahatan dan hukuman, pembunuhan dan kematian! Adakah kata yang bisa dikatakan orang yang tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dilakukan di dunia ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa dirinya tidak lagi memiliki kebebasan dan selalu dihantui oleh pikiran-pikiran buruk tentang pelaksanaan hukuman mati sehingga membuat dirinya merasa tidak memiliki sesuatu yang dapat diceritakan.

Setelah beberapa saat berpikir tentang apa yang harus ditulisnya, tokoh

„‟Je‟‟ akhirnya memutuskan untuk menulis catatan harian tentang penderitaannya. Ia berharap dengan menceritakan pengalamannya dapat mengurangi rasa was-was yang selalu dirasakannya. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan yaitu „‟ Pourquoi non? Si

292

tout, autour de moi, est monotone et décoloré, n‟y a-t-il pas en moi une tempête.

Une lutte, une tragédie ? Cette idée fixe qui me possède ne se présente-t-elle pas à moi à chaque heure, à chaque instant, sous une nouvelle forme, toujours plus hideuse et plus ensanglantée à mesure que le terme approche ? Pourquoi n‟essaierais-je pas de ma dire à moi-même tout ce que j‟éprouve de violent et d‟inconnu dans la situation abandonnée où me voilà ? Certes, la matière est riche ; et, si abrégée que soit ma vie, il y aura bien encore dans les angoisses, dans les terreurs, dans les tortures qui la rempliront, de cette heure à la dernière, de quoi user cette plume et tarir cet encrier. –D‟ailleurs, ces angoisses, le seul moyen d‟en moins souffrir, c‟est de les observer, et les peindre m‟en distraira „‟ yang dapat diartikan (Kenapa tidak ? Meski semua yang berada di sekelilingku menoton dan tidak berwarna, bukankah di dalam diriku terjadi badai, pergulatan dan tragedi ? Pikiran yang selalu sama, yang menguasai diriku saat ini, tidakkah ia menampakkan dirinya terus kepadaku dalam bentuk yang selalu berubah, menjadi semakin mengerikan dan semakin berlumuran darah seiring semakin dekatnya waktu yang telah ditentukan ? Kenapa aku tidak mencoba mengatakan pada diriku sendiri mengenai semua yang kurasa kejam dan asing di dalam keadaan tertelantar ini, dimana aku berada sekarang ? pasti banyak bahan, dan sesingkat apapun hidupku, pasti masih akan ada sesuatu di dalam kekhawatiran, ketakutan, dan siksaan, yang akan mengisi hidupku ini, dari sekarang hingga akhir, yang akan mengusangkan bulu-bulu pena dan mengeringkan botol tinta. –Selain itu, satu-satunya cara untuk mengurangi rasa was-was ini adalah dengan mengamatinya. Melukiskannya akan membuatku

293

melupakannya). Kutipan di atas menggambarkan pergolakan batin tokoh „‟Je‟‟ yang mendukung tokoh „‟Je‟‟ untuk membuat tulisan. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri untuk membuat tulisan yang menceritakan pergolakan batin yang sedang dialaminya, menceritakan segala penyiksaan yang dialaminya, dan menceritakan tempat di mana dirinya dipenjara sebelum pelaksanaan hukuman. Tokoh „‟Je‟‟ berharap dengan menceritakan kembali apa yang dialaminya dapat membuat tokoh

„‟Je‟‟ melupakan penderitaannya tersebut.

Penulis menggunakan kalimat „‟ Pourquoi non? Si tout, autour de moi, est monotone et décoloré, n‟y a-t-il pas en moi une tempête. Une lutte, une tragédie ? Cette idée fixe qui me possède ne se présente-t-elle pas à moi à chaque heure, à chaque instant, sous une nouvelle forme, toujours plus hideuse et plus ensanglantée à mesure que le terme approche ? „‟ (Kenapa tidak ? Meski semua yang berada di sekelilingku menoton dan tidak berwarna, bukankah di dalam diriku terjadi badai, pergulatan dan tragedi ? Pikiran yang selalu sama, yang menguasai diriku saat ini, tidakkah ia menampakkan dirinya terus kepadaku dalam bentuk yang selalu berubah, menjadi semakin mengerikan dan semakin berlumuran darah seiring semakin dekatnya waktu yang telah ditentukan ?) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang tiba-tiba memiliki pemikiran untuk menulis tentang konflik batin yan dialaminya yang disebabkan oleh pikiran-pikiran buruk tentang pelaksanaan hukuman mati yang semakin hari semakin menyiksanya. Ia berharap dengan melukiskan dan menceritakan penderitaan yang dialaminya di penjara dapat membuatnya melupakan hal tersebut. Penulis menunjukkan hal tersebut dalam kutipan „‟ –D‟ailleurs, ces angoisses, le seul moyen d‟en moins souffrir, c‟est de les observer, et les peindre m‟en distraira‟‟ (–Selain itu, satu- satunya cara untuk mengurangi rasa was-was ini adalah dengan mengamatinya. Melukiskannya akan membuatku melupakannya). 4.4.2.3 Stres dan Fisiologi

Stres yang gawat (berlangsung melalui sistem urat saraf pusat untuk mengubah keseimbangan hormon) dapat juga merusak respons daya tahan seseorang, mengurangi kemampuan melawan bakteri dan virus-virus yang menyerang. Tepat benar bila diperkirakan bahwa stres emosional memegang peranan yang penting dalam lebih dari 50 persen segala masalah kesehatan.

294

Selain mengalami frustrasi dan kecemasan, tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le

Dernier Jour d’un Condamné mengalami stres yang gawat (berlangsung melalui sistem urat saraf pusat untuk mengubah keseimbangan hormon) sehingga menyebabkan rusaknya daya tahan tubuh tokoh „‟Je‟‟ dan mengurangi kemampuan melawan bakteri dan virus-virus yang menyerang tubuhnya sehingga menimbulkan masalah kesehatan pada tokoh „‟Je‟‟. Ia selalu dirundung perasaan gelisah yang disebabkan oleh kekhawatiran dan ketakutan sehingga membuat dirinya mengalami kesulitan untuk tidur. Kurangnya istirahat membuat daya tahan tubuh tokoh „‟Je‟‟ menjadi berkurang sehingga membuat dirinya menjadi lemah. Hal tersebutlah yang membuat tokoh „‟Je‟‟ mengalami pingsan. Kondisi tubuh tokoh „‟Je‟‟ yang semakin lemah membuat dirinya tidak dapat menahan beban yang ditimbulkan oleh rasa takut yang begitu besar ketika dirinya menyadari bahwa orang-orang yang dihukum kerja paksa seumur hidup mengetahui keberadaannya. Penulis menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan teknik tingkah laku yang dapat dilihat pada data ke-34 pada halaman 296.

(34) LDJDC/XIII/31 Je ne puis dire ce qui se passait en moi. J‟étais leur camarade en effet. La Grève et sœur de Toulon. J‟étais même placé plus bas qu‟eux : ils me faisaient honneur, je frissonnai. Oui, leur camarade ! Et quelques jours plus tard, j’aurais pu aussi, moi, être un spectacle pour eux. J‟étais demeuré à la fenêtre, immobile, perclus, paralysé. Mais quand je vis les cinq cordons s’avancer, se ruer vers moi avec des paroles d’une infernal cordialité ; quand j’entendais le tumultueux fracas de leurs chaines, de leurs pas, au pied du mur, il me sembla que cette nuée de démons escaladait ma misérable cellule ; je poussai un cri, je me jetai sur la porte d‟une violence à la briser ; mais pas moyen de fuir. Les verrous étaient tirés en dehors. Je heurtai. J‟appelai avec rage. Puis il me sembla entendre de plus près encore les effrayantes voix des forçats.

295

Je crus voir leur tête hideuse paraître déjà au bord de ma fenêtre, je poussai un second cri d‟angoisse, et je tombai évanoui.

Aku tidak dapat mengatakan apa yang terjadi pada diriku. Dan memang, aku kamarad mereka. Bunderan Grève merupakan saudara kembar Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah dari mereka: mereka member hormat padaku. Aku gemetar. Ya, kamarad mereka! Dan beberapa hari lagi, aku, aku juga bisa menjadi tontonan mereka. Aku diam di jendela, tidak bergerak, terpana, tanpa daya. Tapi, saat kelima renteng orang perantaian itu bergerak maju, menyerbu kearahku dengan kata-kata ramah tamah yang sangat menyiksaku, saat aku mendengar kegaduhan yang kacau balau rantai- rantai mereka, sorak sorai mereka, langkah-langkah mereka dibawah tembok, rasanya rombongan setan ini seperti memanjat menuju selku yang mengenaskan. Aku menjerit keras, kuhempaskan diriku keras- keras ke pintu untuk menjebolnya, tapi tidak ada jalan untuk melarikan diri. Gerandelnya di kancing dari luar. Aku berusaha mendobraknya sambil berteriak marah. Kemudian sepertinya aku mendengar suara-suara pekerja paksa yang menakutkan itu semakin mendekat lagi. Aku rasanya melihat muka-muka mereka yang seram menakutkan muncul di tepi jendelaku, untuk kedua kalinya aku kembali meneriakkan jeritan ketakutan dan aku pingsan.

Tokoh „‟Je‟‟ yang melihat tingkah laku dan mendengar komentar para terpidana terhadap dirinya hanya dapat menerima dengan rendah diri. Sifat merendah tokoh „‟Je‟‟ tersirat dalam kutipan „‟Je ne puis dire ce qui se passait en moi. J‟étais leur camarade en effet. La Grève et sœur de Toulon. J‟étais même placé plus bas qu‟eux „‟ (Aku tidak dapat mengatakan apa yang terjadi pada diriku. Dan memang, aku kamarad mereka. Bunderan Grève merupakan saudara kembar

Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah dari mereka). Kutipan di atas menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang hanya terdiam dan tidak melakukan pembelaan ketika mendengar perkataan para terpidana hukuman kerja paksa seumur hidup. Ia merasa rendah diri dengan mengatakan bahwa dirinya lebih rendah daripada mereka.

Penulis menggunakan kata-kata „‟ La Grève et sœur de Toulon. J‟étais même placé plus bas qu‟eux. „‟ (Bunderan Grève merupakan saudara kembar

296

Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah dari mereka) untuk menggambarkan tokoh „‟Je‟‟ yang merasa rendah diri. Selain itu, tokoh „‟Je‟‟ merasa takut. Ketakutan tokoh „‟Je‟‟ tersirat dalam kata-kata „‟ je frissonnai „‟ (Aku gemetar). Beberepa saat setelah mengatahui keberadaan tokoh „‟Je‟‟ kemudian melontarkan kata-kata yang membuat tokoh „‟Je‟‟ merasa rendah diri, para terpidana kerja paksa seumur hidup tersebut akhirnya mencoba mendekati tempat di mana tokoh „‟Je‟‟ menonton. Tokoh

„‟Je‟‟ yang sedang melamun terkejut melihat hal tersebut.

Tokoh „‟Je‟‟ merasakan ketakutan yang luar biasa setelah melihat tingkah laku para terpidana kerja paksa seumur hidup setelah mengetahui keberadaannya.

Ketakutan tokoh „‟Je‟‟ dapat kita lihat dari tingkah laku yang yang ditunjukkannya ketika mengetahui bahwa para terpidana mencoba mendekati tempat di mana dirinya berada. Penulis menggunakan kata-kata „‟ je poussai un cri, je me jetai sur la porte d‟une violence à la briser ; mais pas moyen de fuir. Les verrous étaient tirés en dehors. Je heurtai. J‟appelai avec rage „‟ (Aku menjerit keras, kuhempaskan diriku keras-keras ke pintu untuk menjebolnya, tapi tidak ada jalan untuk melarikan diri. Gerandelnya dikancing dari luar. Aku berusaha mendobraknya sambil berteriak marah) untuk menggambarkan tingkah laku tokoh „‟Je‟‟ yang merasa ketakutan ketika dirinya sadar bahwa para terpidana kerja paksa seumur hidup mencoba mendekati tempat dirinya berada. Tokoh „‟Je‟‟ yang ketakutan mencoba menjerit keras, dan mencoba melarikan diri dengan berusah mendobrak pintu yang dikunci dari luar. Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ bertambah besar ketika dirinya merasa para terpidana telah berada sangat dekat dari tempat di mana dirinya berada.

Rasa takut tokoh „‟Je‟‟ yang sangat besar tersebut menyebabkan tokoh „‟Je‟‟

297

akhirnya pingsan. Penulis menunjukkan keadaan tersebut dalam kutipan „‟je poussai un second cri d‟angoisse, et je tombai évanoui „‟ (untuk kedua kalinya aku kembali meneriakkan jeritan ketakutan dan aku pingsan).

298

BAB 5 PENUTUP

Pada bagian terakhir penulisan skripsi ini terdiri dari bagian simpul dan saran.

Simpulan meliputi hasil analisis yang berupa pendeskripsian jawaban dari rumusan masalah. Sedangkan saran berisi rekomendasi penulis berdasarkan hasil analisis.

5.1 Simpulan

Setelah melakukan analisis penokohan tokoh dengan menggunakan teknik pelukisan tokoh Altenbernd dan Lewis, penulis mengetahui bahwa karakter, perkataan, pikiran, tingkah laku, dan reaksi tokoh „‟Je‟‟ dalam data penokohan dapat menunjukkan konflik psikologi dan akibat beserta reaksi tokoh „‟je‟‟. Penulis juga mengetahui bahwa tokoh „‟Je‟‟ adalah seseorang yang memiliki karakter temperamen yang tinggi, memiliki ego yang tinggi, suka berpikir dan berangan- angan, memiliki rasa ingin tahu yang besar namun juga penakut, memiliki karakter melankolis dan penyayang.

Setelah melakukan analisis konflik dengan menggunakan teori Rita L.

Atkinson, Richard C. Atkinson, dan Ernest R. Hilgard, penulis juga menemukan bahwa tokoh „‟Je‟‟ mengalami konflik jenis mendekat-menghindar (approach- avoidance conflict). Konflik ini dialami tokoh „‟Je‟‟ berawal ketika dirinya menjadi seorang terpidana dan mencapai titik puncaknya sesaat setelah persidangan dimulai.

Selain konflik tersebut, tokoh „‟Je‟‟ juga mengalami konflik jenis menghindar- menghindar (avoidance-avoidance conflict). Konflik ini dialami tokoh „‟Je‟‟ berawal

298

299

ketika keputusan sementara hukumannya telah dibacakan dan berlangsung hingga detik-detik sebelum pelaksanaan eksekusi. Timbulnya kedua konflik tersebut sangat dipengaruhi oleh karakter tokoh „‟Je‟‟ yang penakut, namun juga temperamental dan memiliki ego yang tinggi.

Penulis juga menemukan bahwa kedua konflik yang dialami tokoh „‟Je‟‟ tersebut menimbulkan beberapa akibat yaitu frustrasi, kecemasan, dan stres yang disertai fisiologi. Khususnya akibat yang berupa Frustrasi dan stres yang disertai fisiologi mengakibatkan timbulnya reaksi yang sama terhadap tokoh „‟Je‟‟ yaitu reaksi agresi, apati, dan regresi. Selain itu, reaksi melemahnya daya tahan tubuh dikarenakan stres yang disertai fisiologi.

Namun lain halnya dengan akibat yang berupa kecemasan, reaksi-reaksi yang ditunjukkan oleh tokoh „‟Je‟‟ sedikit agak berbeda. Tokoh „‟Je‟‟ yang mengalami konflik jenis mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict) menunjukkan reaksi berupa mekanisme pertahanan, penekanan, rasionalisasi, dan pembentukan reaksi, sedangkan konflik jenis menghindar-menghindar (avoidance-avoidance conflict) menunjukkan reaksi berupa penolakan, penekanan, rasionalisasi, pembentukan reaksi, dan intelektualitas. Timbulnya reaksi-reaksi tokoh „‟Je‟‟ tersebut sangat dipengaruhi oleh karakter tokoh „‟Je‟‟ yang pemikir, penakut, dan temperamental.

Dari hasil analisis konflik dan akibat yang disertai reaksi-reaksi tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le Dernier Jour d’Un Condamné karya Victor Hugo tersebut penulis menyimpulkan bahwa kedua jenis konflik yang dialami tokoh „‟Je‟‟ dalam roman Le

Dernier Jour d’Un Condamné karya Victor Hugo memiliki akibat yang sama namun

300

reaksi tokoh „‟Je‟‟ terhadap kedua akibat konflik tersebut agak sedikit berbeda. Hal tersebut disebabkan karena konflik yang berjenis mendekat-menghindar (approach- avoidance conflict) adalah konflik yang terjadi ketika tokoh „‟Je‟‟ dihadapkan kepada tujuan yang menarik (kemungkinan hukuman bebas) sekaligus berbahaya

(kemungkinan hukuman mati) sehingga tokoh „‟Je‟‟ mengalami konflik yang mengakibatkan dirinya mengalami frustrasi, kecemasan, dan stres dan pisiologi yang ringan sehingga reaksi yang ditunjukkannya pun tidak terlalu rinci seperti yang telah di jabarkan penulis sebelumnya.

Sedangkan konflik jenis menghindar-menghindar (avoidance-avoidance conflict) adalah konflik yang terjadi ketika tokoh „‟Je‟‟ dihadapkan untuk memilih dua alternatif negatif (menerima hukuman mati atau berusaha mencari cara agar dapat menghindari hukuman mati dengan berusaha mencari cara agar hukumannya menjadi hukuman kerja paksa seumur hidup) sehingga menimbulkan kebimbangan, karena menjauhi alternatif yang satu berarti harus memenuhi alternatif yang lain sama negatifnya (tidak menyenangkan). Hal tersebutlah yang menyebabkan frustrasi, kecemasan, dan stres yang dosertai fisiologi yang dialami oleh tokoh „‟Je‟‟ lebih berat daripada yang dialaminya ketika mengalami konflik yang berjenis mendekat- menghindar (approach-avoidance conflict). Hal tersebut juga menyebabkan reaksi- reaksi tokoh „‟Je‟‟ terhadap akibat tersebut juga lebih rinci seperti yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya.

301

5.2 Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, khususnya Program Studi

Sastra Perancis dalam usaha meningkatkan dan menambah pengetahuan tentang psikologi dan karya sastra. Oleh karena itu diharapkan teori kepribadian Atkinson,

Atkinson, dan Hilgard dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra selain roman, seperti : cerpen, dongeng, dan drama.

302

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Atkinson, Rita L, dkk. 1996. Pengantar Psikologi. Terjemahan Dra. Nurdjannah Taufiq. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

Damono, Supardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

Dirgagunarsa, Singgih. 1975. Pengantar Psikologi. Jakarta: mutiara.

Effendi, Usaman dan Juhaya S. Praja. 1993. Pengantar Psikologi: Bandung. Angkasa.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi).Yogyakarta: Medpres(Anggota IKAPI).

Endraswara, Suwardi. 2008.Metode Penelitian Psikologi Sastra (Teori, Langkah dan Penerapannya ). Yogyakarta: Medpres (Anggota IKAPI).

Gerungan W. A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Retika Aditama

Hugo, Victor. 1829. Le Dernier Jour d’un Condamné. Paris: Charles Gosselin.

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Press.

Ratna, Kunta. 2004. Penelitian Sastra (Teori, Metode, dan Teknik). Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sujanto. 1997. Hakikat Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Wellek dan Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Fr.wikipedia.org/wiki/Victor Hugo disunting pada tanggal 5 Januari 2010

302

303

http://fr.wikipedia.org/wiki/Le, Dernier-jour-d’un-cndamné disunting pada tanggal 5 Januari 2010 http://fr.wikipedia.org/wiki/un-corbeau disunting pada tanggal 16 Juni 2011 http://fr.wikipedia.org/wiki/corneille-noir disunting pada tanggal 1 Juli 2011 www.one.indoskripsi.com/node/cetak disunting pada tanggal 14 Januari 2011

304

LAMPIRAN

305

SKEMA 2 dan 3: LANDASAN TEORETIS

A. Teknik Pelukisan Tokoh

Tema Teknik Cakapan

Pemplotan Teknik Tingkah Laku

Teknik Ekspositori Teknik Pikiran dan Perasaan Unsur Teknik Penokohan B.Intrinsik Psikologi Kepribadian Atkinson,Pelukisan Atkinson, Tokoh dan Hilgard Teknik Arus Kesadaran Teknik Dramatik Pelataran Teknik Reaksi Tokoh

Teknik Reaksi Tokoh Lain

Penyudutpandangan Teknik Pelukisan Latar

Teknik Pelukisan Fisik

Keterangan: tulisan bercetak tebal adalah teori yang digunakan dalam menganalisis.

306

Agresi

Frustrasi Reaksi Apati

Regresi Konflik mendekat -menghindar (approace-avoidance conflict) Mekanisme Pertahanan

Penolakan Akibat Kecemasan Reaksi Penekanan Konflik Konflik

Rasionalisasi

Pembentukan Reaksi Konflik menghindar-menghindar (avoidance-avoidance conflict) Proyeksi

Intelektualitas

Pengalihan Stres (Fisiologi)

Stres dan fisiologi

307

TABEL 1 : HASIL ANALISIS PENOKOHAN MELALUI TEKNIK PELUKISAN TOKOH

TOKOH TEKNIK EKSPOSITORI TEKNIK DRAMATIK

Je Suka berangan-angan (1), suka mengeluh (1), penakut a. Teknik cakapan : temperamental (9), teguh (2,3,4,5), dan temperamental (6), egois (6), pemikiran pendirian (9), memiliki ego yang tinggi (9), acuh tak (8), dan pandai bersukur (7). acuh (10,11,12), seorang yang percaya akan adanya Tuhan (11). b. Teknik tingkah laku : penakut (13,15), temperamental (14), memiliki ego yang tinggi (14). c. Teknik pikiran dan perasaan : memiliki pengharapan (16,17,18,22,), teguh pendirian (19,20), berpendidikan (21) dan penyayang (23,27), penakut (24,25,26), kurang bertanggungjawab (25,26), suka menilai sesuatu (27). d. Teknik arus kesadaran : penulis tidak melakukan analisis e. Teknik reaksi tokoh : kurang konsisten ‟‟mudah berubah-ubah pikirannya‟‟(29,32,35), penakut (30,31,33,34), merasa rendah diri (31).

308

f. Teknik reaksi tokoh lain : penulis tidak melakukan analisis. g. Teknik pelukisan latar : penulis tidak melakukan analisis. h. Teknik pelukisan fisik : penulis tidak melakukan analisis.

Keterangan: angka di dalam tanda kurung merupakan nomor data penokohan.

309

TABEL 2 : HASIL ANALISIS KONFLIK, AKIBAT, DAN REAKSI TOKOH „‟JE‟‟ MELALUI PSIKOLOGI KEPRIBADIAN

ATKINSON, ATKINSON, DAN HILGARD

KONFLIK AKIBAT KONFLIK DAN REAKSI TOKOH

1) Frustrasi (1,2) yang mengakibatkan timbulnya reaksi tokoh A. Konflik Mendekat- berupa : Menghindar „‟approace- a. Agresi (3,4,5) b. Apati (6) avoidance conflict‟‟ : (1,2,3,). c. Regresi (7) 2) Kecemasan (8,9) yang mengakibatkan timbulnya reaksi tokoh berupa : a. Mekanisme Pertahanan (10,11) b. Penolakan (tidak ada data) c. Penekanan (12) d. Rasionalisasi (13) e. Pembentukan Reaksi (14) f. Proyeksi (tidak ada data) g. Intelektualitas (tidak ada data) 3) Stress dan fisiologi (15) 1. Frustrasi (16,17) yang mengakibatkan timbulnya reaksi B. Konflik Menghindar- yang berupa : Menghindar „‟ avoidance- a. Agresi (18,19,20,21) b. Apati (22) avoidance conflict „‟ : (4,5,). c. Regresi (23) 2. Kecemasan (24,25,26) yang mengakibatkan timbulnya reaksi berupa : a. Mekanisme Pertahanan (tidak ada data) b. Penolakan (27)

310

c. Penekanan (28) d. Rasionalisasi (29) e. Pembentukan Reaksi (30) f. Proyeksi (tidak ada data) g. Intelektualitas (31,32) h. Pengalihan (33) 3. Stress dan Fisiologi (34)

Keterangan: angka di dalam tanda kurung merupakan nomor data konflik, akibat dan reaksi tokoh „‟Je‟‟.

311

SINOPSIS LE DERNIER JOUR D‟UN CONDAMNE KARYA VICTOR HUGO

Tokoh „‟Je‟‟ adalah seorang terpidana yang telah berada di dalam penjara selama lima minggu. Ia diharuskan mengikuti jalannya persidangan. Suasana ketika berada di dalam penjara, pikiran-pikiran buruk akan kemungkinan dijatuhkannya hukuman mati, dan suasana persidangan yang begitu mencekam, membuat tokoh

„‟Je‟‟ selalu dihantui oleh perasaan takut yang sangat besar. Sejak menjadi seorang terpidana, tokoh „‟Je‟‟ mengalami pergolakan batin yang disebabkan adanya rasa takut tokoh „‟Je‟‟ akan kemungkinan keputusan hukuman mati dan perasaan antusias tokoh „‟Je‟‟ akan kemungkinan dirinya mendapatkan keputusan hukuman bebas.

Pergolakan batin tersebut mencapai titik klimaks ketika tokoh „‟Je‟‟ menghadiri persidangan terakhir pada saat Hakim Ketua akan membacakan keputusan akhir.

Tokoh „‟Je‟‟ yang juga memiliki harapan bahwa keputusan hukuman yang akan dijatuhkan hakim kepadanya adalah kebebasan, akhirnya merasa kecewa setelah mendengar pernyataan pengacaranya bahwa dirinya akan dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup. Setelah mengetahui hal tersebut, tokoh „‟Je‟‟ yang memiliki karakter temperamental dan ego yang tinggi memutuskan untuk lebih memilih hukuman mati daripada harus dihukum kerja paksa seumur hidup. Hal tersebutlah yang menyebabkan tokoh „‟Je‟‟ mengalami konflik baru. Tokoh „‟Je‟‟ kembali mengalami pergolakan batin ketika dirinya dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama negatif yaitu kemungkinan keputusan hukuman mati atau kemungkinan keputusan hukuman kerja paksa seumur hidup. Konflik ini mencapai titik klimaks ketika Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada tokoh „‟Je‟‟ dan

311

312

pengacaranya untuk melakukan pembelaan agar supaya hukuman dapat menjadi lebih ringan setelah keputusan sementara dibacakan oleh Panitera Pengadilan. Tokoh

„‟Je‟‟ yang temperamental dan egois akhirnya lebih memilih untuk berdiam diri dan tidak melakukan pembelaan. Selain itu, ia juga mencoba menghentikan usaha pembelaan yang dilakukan oleh pengacaranya. Setelah pengacara tokoh „‟Je‟‟ melakukan pembelaan, Hakim Ketua akhirnya membacakan keputusan akhir hukuman tokoh „‟Je‟‟ yaitu hukuman mati.

Setelah menerima keputusan hukumannya, tokoh „‟Je‟‟ merasakan ketakutan yang sangat besar. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan mengatakan bahwa hukuman kerja paksa seumur hidup tidak lebih baik dari hukuman mati. Setelah keputusan hukuman tokoh „‟Je‟‟ dibacakan oleh hakim, ia menunggu keputusan pelaksanaan eksekusi di penjara Bicêtre. Setelah enam minggu berada di Bicêtre, tokoh „‟Je‟‟ akhirnya menjalani eksekusi hukumannya dengan guillotine di bundaran

Grève.

312