KETERKAITAN ETNIK DA’A DI WILAYAH PEDALAMAN PEGUNUNGAN GAWALISE, BAGIAN TENGAH, DENGAN POPULASI AUSTRALOMELANESID DI SULAWESI

Dwi Yani Yuniawati Umar Balai Arkeologi Yogyakarta, Jl. Gedongkuning No. 174 Yogyakarta 55171 [email protected]

Abstract. The Correlation Between Da’a Ethnic in the Hinterlands of Gawalise Mountains, , with the Australomelanesid Population in Sulawesi. Evidences of inhabitation by early modern human that characterized by Australomelanesid race have been found in most region of . They lived in this archipelago, including Sulawesi, approximately 60.000- 40.000 years ago. Caves occupation in the Maros-Pangkep and open sites of settlement landscape at Passo, Minahasa, have showed us the evidence of their existence in South and North Sulawesi at that time. But, in Central Sulawesi their traces were not present. This fact is what makes us interested in conducting this study. The goal of this study is to find the traces of early modern human populations with Australomelanesid race character in Central Sulawesi. The method for this study is a survey method using ethnoarchaeology. In this research we concluded that one of the ethnic that inhabit this region, the Da’a, has the character of Australomelanesid race. It is possible that they are descendants of the early modern human populations. But in the present time, they are using the Austronesian culture and language, which introduced to Sulawesi when their speakers migrated to this island nearly 4000 years ago. The discovery of this Da’a ethnic tribe not only has produced a new hipothesis, but also strengthen the former hipothesis about the existence of modern human at Sulawesi. Keywords: Da’a Ethnic, Australomelanesid, Early Modern Human (MMA), Sulawesi

Abstrak. Bukti adanya hunian dan budaya manusia modern awal berkarakter ras Australomelanesid di Indonesia adalah bahwa 60.000-40.000 tahun yang lalu telah ada jejak hunian di sejumlah kawasan di Indonesia, termasuk ke wilayah Sulawesi. Hal ini terlihat dari bukti-bukti hunian gua-gua di kawasan Maros-Pangkep di Sulawesi Selatan dan hunian situs bentang alam terbuka di Passo, Minahasa (Sulawesi Utara). Akan tetapi jejak hunian itu tidak ditemukan di bagian Sulawesi lainnya seperti di Sulawesi bagian tengah. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Tujuannya untuk mengetahui jejak kehadiran populasi manusia modern awal yang berkarakter ras Australomelanesid di Sulawesi bagian tengah. Metode yang digunakan adalah metode survei melalui kajian atau pendekatan etnoarkeologi. Hasil yang diperoleh adalah menemukan etnik Da’a yang memiliki karakter ras Australomelanesid yang diduga merupakan sisa-sisa populasi manusia modern awal. Akan tetapi dalam kehidupannya sekarang budaya dan bahasanya sudah menggunakan budaya dan bahasa Austronesia yang masuk ke Sulawesi sekitar 4000 tahun yang lalu. Dengan ditemukannya komunitas etnik Da’a ini menghasilkan hipotesis baru dan memperkuat hipotesis lama tentang keberadaan manusia modern awal di Sulawesi. Kata Kunci: Etnik Da’a, Australomelanesid, Manusia Modern Awal (MMA), Sulawesi

1. Pendahuluan migran itu telah hadir di Indonesia sekitar Migrasi populasi manusia modern awal 60.000.-.30.000 tahun lalu, yang akhirnya (Homo sapiens) yang berasal dari Afrika masuk menyebar menuju wilayah Melanesia Barat ke Indonesia melalui Asia daratan pada periode hingga Australia (Widianto 2012: 162-163). penurunan muka laut melalui jembatan darat Manusia sapiens awal yang berdasarkan karakter yang terbentuk pada masa itu. Paling tidak fisiknya di sekitar awal Holosen digolongkan

Naskah diterima tanggal 9 April 2016, diperiksa 24 April 2016, dan disetujui tanggal 27 Mei 2016.

1 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 34 No. 1, Juni 2016 : 1-80 oleh para ahli sebagai ras Australomelanesid. mengenal pembuatan alat dari batu, maupun Menurut Jacob, karakter ras Australomelanesid bahan organik (kayu, kerang, tulang, dan tanduk di Indonesia pada saat ini banyak ditemukan hewan), sudah mengenal kegiatan perapian, hidup di Indonesia bagian timur dan Wallacea sudah mengenal seni melukis seperti terlihat Selatan (lihat Peta 1). Bentuk tubuh mereka pada permukaan dinding-dinding gua atau cadas, sudah normal (proporsional) seperti manusia dan sudah mengenal sistem penguburan. modern saat ini, tetapi ukuran badannya pendek Di Indonesia bukti adanya hunian dan (pygmy) sekitar 150-an cm. Pada saat ini karakter budaya manusia modern awal berkarakter ras ras Australomelanesid atau populasi manusia Australomelanesid cukup bervariasi, antara modern awal (etnik asli/negrito) masih ditemukan lain ditemukannya sejumlah gua di kawasan di Semenanjung Malaysia yang dikenal dengan Gunung Sewu di pegunungan selatan Jawa, etnik Senoi dan Semang, juga di Filipina dikenal Gunung Batubuli (bagian dari Pegunungan dengan sebutan etnik Aeta. Populasi serupa saat Meratus, Kalimantan Selatan), Liang Toge, ini juga ditemukan di Sumatera, yaitu etnik Sakai Liang Momer, Liang Panas (Flores), Gua Golo (Widianto 2012: 146-147, 163; Jacob 2006: di Kepulauan Maluku, dan Papua. Hunian gua 117-120). Ciri budaya atau tingkah laku yang dari budaya manusia modern awal, tetapi tidak ditinggalkan oleh manusia modern awal yang ditemukan sisa-sisa manusianya, ditemukan berkarakter ras Australomelanesid ini, antara lain: di seputar Maros-Pangkep antara lain Leang mulai mengenal hunian, tidak menetap baik di Burung 1 dan Ulu Leang 1, yakni pendukung gua atau ceruk, maupun di bentang alam terbuka, budaya Toala (Sulawesi Selatan). Pada masa mata pencaharian berburu dan meramu, sudah ini, selain ditemukan hunian berupa gua atau

Peta 1. Sebaran situs hunian manusia modern awal di Indonesia dan sekitarnya, pada 60.000.-.30.000 tahun yang lalu (Sumber: Truman Simanjuntak)

2 Keterkaitan Etnis Da’a di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, dengan Populasi Australomelanesid di Sulawesi. Dwi Yani Yuniawati Umar ceruk, juga ditemukan indikasi adanya hunian Atas. Gunung itu dianggap oleh masyarakat dan budaya manusia di bentang alam terbuka sebagai gunung keramat, tempat tinggal orang- dengan budaya Hoabinh di pesisir timur orang liar yang tidak menyukai dan sering Sumatera-Aceh. Selain di Sumatera, hunian menyerang para pendatang dengan sumpit bentang alam terbuka ditemukan juga di Situs panah, senjata khas mereka. Mereka mempunyai Passo, Minahasa (Sulawesi Utara). Di Sumatera kepandaian bersembunyi dengan cepat. Diduga ditemukan sisa-sisa rangka manusia yang permukimannya, selain di bagian Hulu Sungai berciri Australomelanesid, di Situs Passo belum Wuno (sungai yang bermuara di Lembah Palu), ditemukan sisa-sisa manusianya, tetapi diduga juga di hutan-hutan pegunungan di sekitar mencirikan Australomelanesid (Callenfels 1938: Sungai Lariang. Menurut cerita masyarakat di 136-144; Simanjuntak 2011: 2-5; Widianto 2012: sekitar daerah itu, jauh di tengah hutan yang 191-214). jarang dimasuki orang ditemukan kulit pisang, Berdasarkan uraian di atas dan hasil gagang buah jagung, kulit ubi kayu, keladi, dan penelitian selama ini, terdapat situs-situs hunian daun pohon behuha yang biasanya digunakan baik berupa gua, maupun hunian di bentang untuk pembungkus makanan (Kruyt 1938: 139- alam terbuka yang belum ditemukan sisa rangka 144 dan 167-169). manusia modern awal yang berkarakter ras Uraian di atas menimbulkan suatu Australomelanesid. Temuan tersebut ternyata pertanyaan bahwa jika benar temuan di gua- berlokasi di wilayah Sulawesi, khususnya di gua- gua Maros dan Pangkep (Sulawesi Selatan) gua Maros-Pangkep, yaitu Leang Burung 1 dan dan temuan hunian di bentang alam terbuka Ulu Leang 1 yang merupakan pendukung budaya Passo, Minahasa (Sulawesi Utara) adalah Toala (Sulawesi Selatan) dan berumur sekitar tinggalan manusia modern awal berkarakter 6.000 tahun (Glover 1981; Bellwood 2000: 289) ras Australomelanesid, mengapa di wilayah dan di hunian bentang alam terbuka Situs Passo Sulawesi bagian tengah, khususnya di Sulawesi (Minahasa, Sulawesi Utara), berumur sekitar Tengah dan Sulawesi Barat belum ada bukti 8.000 tahun (Simanjuntak et al. 2009; Widianto, arkeologis, baik berupa budaya dan manusianya 2012: 190, 204). yang berkarakter ras Australomelanesid? Untuk Diperoleh informasi bahwa Teuku Jacob mencari atau menelusuri jejak-jejak hunian pernah melakukan penelitian etnografi, yang tersebut, berdasarkan pernyataan dari Teuku menyatakan bahwa beliau berupaya menemukan Jacob maupun Kruyt, perlu dilakukan penelitian kelompok manusia berperawakan kecil (karakter di perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi ras Australomelanesid) di Seram (Maluku) dan Barat, terutama di daerah pedalaman. di dekat perbatasan Sulawesi Selatan (sekarang Penelitian ini bertujuan untuk menge- Sulawesi Barat) dan Sulawesi Tengah, tetapi tahui keberadaan jejak-jejak kehadiran tidak berhasil (Jacob 2006: 120). Selain itu, manusia modern awal yang berkarakter ras Kruyt dalam bukunya, De West Toradjas Op Australomelanesid di Sulawesi pada umumnya Midden Celebes, juga pernah menyatakan bahwa dan Sulawesi bagian tengah pada khususnya di Sulawesi bagian tengah banyak terdapat karena penelitian terdahulu terkait dengan ciri dari populasi yang disebut sebagai orang hunian manusia modern awal yang berkarakter liar (to lompu) atau orang hutan (tau leru). ras Australomelanesoid belum menemukan data Dalam tulisan itu juga dinyatakan bahwa di hunian yang signifikan. Gunung Ngkilalaki (Nsilalaki)-yang sering juga Di Sulawesi Barat dan di Sulawesi Tengah disebut Gunung Mampuawa berada di sekitar data-data hunian tua yang ditemukan baru wilayah Lindu dan lembah Sungai Tawailia berupa hunian yang bercorak budaya neolitik

3 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 34 No. 1, Juni 2016 : 1-80 dan megalitik. Budaya neolitik terdapat di sekitar Minahasa (Sulawesi Utara), terlihat bahwa kedua DAS Karama, Sulawesi Barat yang dibawa hunian tersebut berada tidak jauh dari sumber air, oleh penutur Austronesia dan berkarakter ras sumber makanan, dan sumber bahan pembuatan Mongoloid. Hunian ini diperkirakan berkurun peralatan serta sarana tempat tinggal. waktu sekitar 3.500 hingga 1.500 tahun yang lalu Metode yang digunakan sebelum (Callenfels 1951; Heekeren 1972; Simanjuntak dilakukan penelitian lapangan adalah studi et.al. 2008; Anggraeni 2012), sedangkan di pustaka dengan mengamati berbagai peta (rupa Sulawesi Tengah ditemukan hunian yang bumi dan fisiografis) daerah yang akan dituju. bercorak budaya megalitik masa logam awal Dalam pelaksanaan survei akan dilakukan di sekitar DAS Lariang, yang diperkirakan pendekatan etnoarkeologi dengan melakukan mempunyai kurun waktu sekitar awal-awal abad wawancara pada masyarakat sebagai proses masehi sampai menjelang abad ke-12 Masehi. interaksi dan komunikasi dalam pengumpulan Pendukungnya merupakan penutur Austronesia, data. Dalam penelitian arkeologi, khususnya dan berkarakter ras Mongoloid (Kruyt 1938; etnoarkeologi, wawancara termasuk salah satu Sukendar 1980; Yuniawati 2000, 2010; Yuniawati teknik pengumpulan data yang paling efektif et.al. 2012, 2013, 2014). (Simanjuntak et.al. 2008: 26). Pendekatan atau kajian etnoarkeologi 2. Metode merupakan salah satu cara yang sering Penelitian di Sulawesi bagian tengah, dilakukan untuk memberikan gambaran tingkat khususnya di perbatasan Sulawesi Tengah kemungkinan (prior probablity). Dengan menya- dan Sulawesi Barat, dilakukan dengan dari peran etnoarkeologi dalam penalaran menggunakan metode survei dengan kerangka arkeologi yang bersifat analogis, maka semakin pikir ekologi. Dalam hal ini, unsur lingkungan banyak ciri yang sama antara dua hal yang fisik dipandang sebagai faktor penentu letak dibandingkan (data arkeologi dan data etnografi) dan pola suatu permukiman sehingga manusia semakin tinggi pula tingkat kemungkinan untuk mempunyai kecenderungan memilih tempat mencapai hasil pembuktian yang benar. Pemi- tinggal di tempat yang paling dapat memenuhi kiran ini memunculkan dua pendekatan utama tuntutan teknologi dan ekologi. Asumsinya dalam kajian etnoarkeologi, yaitu pendekatan adalah “human settlements are often located kesinambungan budaya dan perbandingan umum. in response to a specific set of environmentally Pendekatan kesinambungan budaya determined factors”, sedangkan dalam modelnya didasari oleh pandangan bahwa keberadaan paradigma ini beranggapan bahwa “a particular budaya yang sekarang ada merupakan constellation of environmental parameter perkembangan budaya dari masa lampau. strongly conditions the placement of habitation Dengan demikian, ciri budaya yang ada sekarang sites” (Thomas 1979: 300). (etnografi) adalah warisan budaya masa lampau Beberapa faktor yang dianggap menen- (budaya arkeologis). Karena itu, membandingkan tukan letak suatu permukiman pada masa lalu dua budaya yang berkesinambungan akan adalah sumber air, sumber makanan, sumber menghasilkan nilai tinggi. bahan pembuatan peralatan, serta sarana tempat Pendekatan perbandingan umum dilandasi tinggal, seperti ceruk dan gua (Binford 1983: 200- pemikiran bahwa hubungan antara budaya 201). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, arkeologis yang pendukungnya telah tiada dapat diketahui bahwa baik hunian gua-gua di dengan budaya yang ada sekarang (etnografi) Maros dan Pangkep (Sulawesi Selatan), maupun pada hakikatnya adalah hubungan bentuk hunian di bentang alam terbuka di Passo, sehingga tidak perlu kaitan sejarah, ruang,

4 Keterkaitan Etnis Da’a di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, dengan Populasi Australomelanesid di Sulawesi. Dwi Yani Yuniawati Umar dan waktu. Dengan demikian, data etnografi Sulawesi Tengah. Di Sulawesi Tengah etnik ini yang dikumpulkan di sembarang tempat dapat disebut Da’a, sedangkan di wilayah Sulawesi membantu dalam menginterpretasikan data Barat disebut dengan etnik Bunggu atau Binggi. arkeologi di mana pun. Meskipun demikian, Kedua etnik itu sama-sama mengaku masuk dalam konteks analogi, seharusnya dua budaya ke dalam etnik besar di Sulawesi Tengah yang yang dibandingkan harus mempunyai berbagai bernama Kaili Da’a. Karena keduanya mengaku kesamaan, terutama kesamaan bentuk budaya dari Kaili Da’a, sehingga di dalam tulisan ini dan lingkungan yang diadaptasinya. Jadi, disini etnik tersebut akan disebut dengan etnik Da’a. kajian etnoarkeologi tidak untuk menjelaskan Dalam penelitian ini baru ditemukan tiga gejala yang teramati saat ini (data etnografi), lokasi, yaitu satu lokasi di wilayah Kabupaten tetapi sekedar memberi gambaran kemungkinan Mamuju Utara, Sulawesi Barat, dan dua lokasi di adanya persamaan antara gejala budaya masa Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (lihat Peta 2). lampau dengan budaya masa kini, atau sebagai Data terlengkap diperoleh dari etnik Da’a yang argumentasi penghubung (bridging arguments) berada di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi dalam rangka uji hipotesis, model atau teori Sulawesi Barat. (Binford 1979: 268-273; Tanudirjo tt: 91). Etnik Da’a di Kabupaten Mamuju Utara, Sehubungan dengan itu, penulis akan melakukan Provinsi Sulawesi Barat, tepatnya berada di pendekatan kesinambungan budaya. Cakupan Dusun Saluira, Desa Tampaure (Kecamatan etnoarkeologi yang akan digunakan antara lain, Bambaira), yang mempunyai topografi perbukitan meliputi (1) peralatan yang digunakan: kayu, dan dataran. Posisinya berada pada koordinat batu, logam, tulang; (2) aktivitas kelompok: 01°58’18,8”iLS dan 119°32’16,0” BT. Sekitar berburu, mengumpul makanan, penguburan; perbukitan tersebut dikelilingi sungai-sungai (3) pemukiman: tipe pemukiman, lokasi situs, kecil. Etnik Da’a oleh masyarakat di sekitarnya topografi; (4) fisiografis fisik manusianya. dianggap sebagai penduduk asli. Mereka pada awalnya bermukim di kawasan hutan perbukitan. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan Etnik Da’a di dusun ini mengaku sebagai 3.1 Hasil Penelitian salah satu dari kelompok komunitas Kaili. Survei dilakukan di wilayah Sulawesi Etnik Da’a menggunakan bahasa Da’a. Bahasa Tengah yaitu di sekitar Kabupaten Sigi di Da’a memiliki keterkaitan dengan bahasa bawah Pegunungan Gawalise, dan di perbatasan lain yang terdapat di Sulawesi Tengah, yang Sulawesi Barat disekitar daerah Bambaira, banyak memiliki kemiripan dengan bahasa dari Kabupaten Mamuju Utara. Berdasarkan survei kelompok komunitas Kaili. Etnik Da’a dahulu diperoleh data mengenai adanya etnik seperti hidup nomaden, dengan cara berpindah-pindah yang diutarakan oleh Teuku Jacob, yaitu etnik dari hutan ke hutan sambil mencari tempat untuk yang berkarakter ras Australomelanesid. Mereka membuka ladang baru. Setelah hasil tanaman mempunyai ciri pygmy berbadan pendek dengan di ladang dipanen, mereka akan mencari lahan karakter fisik rambut keriting dan kulit cenderung baru lagi. Hutan tempat tinggal mereka dahulu berwarna gelap. Ciri tersebut menyerupai ciri bernama Matapange. populasi Australomelanesid sekarang yang Etnik Da’a yang berada di desa ini mulai berada di wilayah Indonesia bagian timur dimukimkan oleh Dinas Sosial di daerah dataran seperti Sumba, Flores, Alor dan Papua. Dari rendah yang bernama Saluira (salu ‘sungai’, ira hasil wawancara diperoleh informasi bahwa ‘daun’) sekitar tahun 1986, dan pada tahun itu etnik yang berada di perbatasan Sulawesi Barat pula mereka mulai menganut agama Kristen, ini asal-usulnya berasal dari pegunungan di yang sebelumnya tidak beragama. Program

5 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 34 No. 1, Juni 2016 : 1-80

Peta 2. Hasil survei persebaran etnik Da’a di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah (Sumber: Yuniawati dan Sofwan Noerwidi) permukiman di perkampungan permanen ini Rumah asli etnik Da’a pada saat ini adalah dilakukan dengan alasan untuk mengurangi rumah panggung tinggi yang disebut sou langa aktivitas pertanian berpindah yang berpotensi (rumah tinggi). Rumah panggung ini dibangun mengurangi luasan hutan lindung. Akan tetapi di atas tiang-tiang bambu yang tingginya sekitar program perkampungan menetap ini tidak terlalu 4-15 m di atas permukaan tanah. Dahulu rumah berhasil sebab menimbulkan masalah baru, mereka dibangun di atas sebuah pohon (rumah misalnya bahan bangunan modern yang tidak pohon) kayu keras yang batang utamanya lurus nyaman bagi masyarakat tradisional. Akibatnya, dengan banyak cabang yang mendatar, seperti ada sebagian masyarakat yang kembali ke hutan, pohon ketapang yang memiliki ketinggian lalu membangun rumah di sana. 7-20 m.

6 Keterkaitan Etnis Da’a di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, dengan Populasi Australomelanesid di Sulawesi. Dwi Yani Yuniawati Umar

Foto 1 dan 2. Rumah adat etnik Da’a di Dusun Saluira, Desa Tampaure, Kecamatan Bambaira, Mamuju Utara, Sulawesi Barat (Sumber: Yuniawati)

Lantainya terbuat dari anyaman bambu, menyebut padi dengan sebutan nyi’i, sedangkan dindingnya terbuat dari papan, sedangkan atapnya beras disebut ose, yang di dalam komunitas terbuat dari anyaman daun kelapa. Kadang- Kaili padi disebut pae. Siklus tanam padi ladang kadang di sekitar tangga masuk terdapat sebuah adalah satu tahun satu kali panen. Pada saat teras kecil. Rumah biasanya dibagi dua, bagian menunggu panen padi, jika masyarakat Da’a depan berfungsi sebagai ruang untuk menerima kekurangan makanan, mereka juga mencari tamu dan ruang tidur orang tua, sedangkan rumah sagu, kasubi (ubi kayu), toku (ubi jalar), talas, bagian belakang biasanya berfungsi sebagai dapur dan loka (pisang). Biasanya sagu didapat dari dan ruang tidur anak-anak (lihat foto 1 dan 2). lembah-lembah sungai yang lembab, sedangkan Untuk membangun atau menyelesaikan ubi kayu, ubi jalar, dan talas ditanam di sekitar rumah tinggi tersebut, biasanya membutuhkan ladang padi. Pada saat panen padi, mereka waktu sekitar tujuh hari, yang dapat dilakukan mengadakan upacara syukuran yang disebut oleh satu orang saja. Untuk keperluan MCK, dengan istilah vunja. Mereka memanen padi mereka pergi ke sungai-sungai kecil yang dengan menggunakan alat ketam (ani-ani). mengalir di sekitar permukiman mereka. Untuk Setelah itu padi diikat dan dijemur dalam pada keperluan air minum mereka membawa naik para-para yang terbuat dari bambu. dari sumber air tersebut ke dalam rumah tinggi. Masyarakat Da’a beternak manu’ (ayam), Itulah sebabnya, permukiman masyarakat etnik vavu (babi) untuk dikonsumsi, dan memelihara Da’a berada di atas punggungan bukit dengan asu (anjing) untuk berburu. Berbeda dengan sungai-sungai kecil yang mengalir di lembah komunitas Kaili pada umumnya, mereka tidak sekitarnya. Walaupun pemukimannya dikelilingi mengenal ternak kerbau. Dalam masyarakat sungai-sungai kecil, tetapi masyarakat Da’a Da’a binatang yang paling berharga adalah babi, sangat takut pada air, dan mereka rata-rata tidak yang digunakan untuk mas kawin dalam upacara dapat berenang. perkawinan. Masyarakat Da’a juga melakukan Makanan pokok masyarakat Da’a adalah perburuan di hutan, khususnya berburu anoa, babi padi ladang, yang ditanam di ladang yang dibuka hutan, dan burung. Mereka juga mengumpulkan di hutan lereng-lereng pegunungan. Mereka fauna sungai seperti ikan, udang, kerang, dan

7 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 34 No. 1, Juni 2016 : 1-80

Foto 3, 4, dan 5. Beberapa senjata berburu (sumpit, tombak dan parang) etnik Da’a di Kecamatan Bambaira, Mamuju Utara, Sulawesi Barat (Sumber: Yuniawati) kura-kura. Senjata yang digunakan untuk berburu Jika dilihat fisiknya, etnik Da’a ini adalah sopu (sumpit), parang, tombak dari bambu cukup unik dan sepintas memiliki perbedaan runcing, tombak dengan batu yang diikat tali dengan orang Kaili lainnya (lihat foto 6 dan 7). (harpoon), dan panah (lihat foto 3 dan 4). Mereka memiliki ciri ukuran tinggi badan yang Pakaian masyarakat etnik Da’a dahulu cenderung lebih pendek dibanding suku lainnya terbuat dari kulit kayu yang diambil dari pohon (tinggi badan 130-150 cm). Rambut mereka yang berwarna putih atau disebut malo. Kulit kayu keriting dan agak kaku, dengan warna kulit yang yang akan dibuat bahan pakaian dipukul dengan cenderung hitam dan tidak banyak ditumbuhi batu pukul yang disebut batu ike. Pemukul kulit bulu. Bentuk mata mereka kecil dan bulat kayu terbuat dari batu lempung yang dibakar dan dengan kornea berwarna cokelat kehitaman, diambil dari lokasi khusus (singkapan batuan) di postur tubuh ramping, ukuran tulang cenderung daerah pegunungan. Berbeda dengan komunitas kecil, dan telapak kaki bagian anterior (depan) Kaili lainnya, masyarakat Da’a tidak mengenal agak lebar. tradisi tenun dan manik-manik. Deskripsi karakter fisik etnik Da’a dilihat Sebelum datangnya agama, masyarakat dari tengkoraknya secara umum kepalanya Da’a menguburkan anggota keluarganya yang berbentuk dolicocephaly atau lonjong, memiliki meninggal di dalam hutan. Mayat dikuburkan bossa atau tonjolan pada tulang occipital dalam peti kayu lengkap dengan pakaiannya. (bagian belakang tengkorak), bentuk frontal Karena sifat huniannya yang tidak-permanen, (tulang dahi) cenderung sempit dan tinggi, maka tidak ada bekas pemakaman masyarakat sedangkan orientasinya vertikal (tegak), Da’a dari zaman kuno. Dalam tradisi mereka, tonjolan supraorbital tidak nyata, lubang orbit apabila ada warganya yang meninggal dunia, agak dalam, mata berbentuk kecil dan bulat mereka akan pindah dari kampung tersebut dengan kornea berwarna coklat kehitaman, tidak agar terhindar dari gangguan roh orang yang memiliki epikanthus atau perlipatan ke dalam meninggal itu. pada sudut kelopak mata, terdapat dua guratan

8 Keterkaitan Etnis Da’a di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, dengan Populasi Australomelanesid di Sulawesi. Dwi Yani Yuniawati Umar

Foto 6 dan 7. Fisik etnik Da’a di Kecamatan Bambaira, Mamuju Utara, Sulawesi Barat (Sumber: Yuniawati) pada kelopak mata bagian atas, bulu alis tebal, keriting, jarang berbulu badan, kadang-kadang bulu mata lentik, daun telingga berbentuk kecil, memiliki steatopygia seperti Pygmi Afrika dan letaknya agak ke arah inferior (bawah), (Thangaraj et al. 2003). Seluruh karakter fisik muka agak lebar, namun tidak datar seperti Australomelanesid tersebut, kecuali steatopygia gejala Mongoloid syndrome, tonjolan tulang dimiliki oleh etnik Da’a. Selain kelompok zygomatic (pipi) cukup nyata, tonjolan tulang mereka, populasi di Asia Tenggara yang termasuk nasal (hidung) cukup nyata, rambut berwarna dalam kelompok Australomelanesid adalah hitam, agak kaku, berbentuk keriting sampai orang Toala (Sulawesi), Semang (Semenanjung ikal. Selain itu jika dilihat dari rahang dan gigi Malaysia), dan Aeta (Filipina). Adanya beberapa geliginya, etnik Da’a mempunyai mandible karakter yang mengarah pada ras Mongoloid (rahang bawah) cenderung panjang, sudut mungkin disebabkan oleh intrusi gen ras tersebut gonion cukup lebar, bentuk corpus rendah, yang cukup deras mengalir ke dalam populasi lengkung mandibular symphysis sempit, tidak Australomelanesid. menunjukan gejala prognatism (dongos) pada Karakter fisik etnik Da’a dapat juga maxilla maupun mandibula, ukuran gigi-geligi dijumpai di beberapa daerah, seperti di Rio Pakava cenderung besar, khususnya gigi seri atas dan Pasangkayu (Provinsi Sulawesi Barat). pertama kiri dan kanan (incisive medial atas) Komunitas itu sering disebut dengan Tori Binggi (Yuniawati dan Sofwan Noerwidi 2013: 18-20). atau Tori Bunggu dan dikonotasikan sebagai Berdasarkan beberapa karakter fisik perambah hutan, suku terasing atau orang-orang tersebut, tampaknya etnik Da’a termasuk salah yang belum memiliki peradaban yang layak. satu dari populasi Australomelanesid yang masih Mereka sering disebut juga tolare (rumpun terdapat di Sulawesi dan Kepulauan Nusantara. kera). Menurut cerita, Tori Bunggu berasal dari Karakter tersebut juga menyerupai terminologi daerah Gunung Pinambani di Sulawesi Tengah, Australomelanesid yaitu mempunyai karakter sedangkan komunitas orang asli di Sulawesi fisik yang khas, meliputi; perawakan yang Tengah saat ini masih bisa dijumpai di Desa ramping dan pendek, berkulit gelap, rambut Dombu di lereng Gunung Gawalise (Donggala/

9 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 34 No. 1, Juni 2016 : 1-80

Foto 8 dan 9. Rumah adat Tori Bunggu (Sumber: Kesbangpol dan Linmas Mamuju Utara diambil dari Buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara oleh Bustan Basir Maras 2009)

Lembah Palu) (Maras 2009: 11). mengenal bercocok tanam di ladang berupa Setelah melakukan survei di wilayah padi dan jagung. Menurut masyarakat setempat, etnik Da’a di Dusun Saluira, Desa Tampaure jauh di dalam hutan yang jarang didatangi (Kecamatan Bambaira), di Kabupaten orang, pernah ditemukan kulit pisang, gagang Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat, buah jagung, kulit ubi kayu, keladi, dan daun- penulis melanjutkan penelitian di kawasan daun pohon behuha yang biasanya digunakan Provinsi Sulawesi Tengah, untuk membuktikan untuk pembungkus makanan (Kruyt 1938: pernyataan Kruyt (1938), bahwa di Sulawesi 139-144 dan 167-169). Atas dasar itu dapat Tengah banyak terdapat ciri dari populasi yang dikatakan bahwa kemungkinan besar yang disebut sebagai orang liar (to lompu) atau orang dimaksud dengan orang liar adalah orang asli hutan (tau leru). Selanjutnya Kruyt menulis, atau populasi Australomelanesid yang memiliki dalam perjalanannya pada tahun 1897 bahwa karakter fisik seperti pada etnik Da’a pada saat Gunung Ngkilalaki (Nsilalaki) atau disebut ini. juga Gunung Mampuawa di sekitar wilayah Berdasarkan informasi yang diberitakan Lindu dan lembah Sungai Tawailia Atas, oleh Kruyt tersebut, penulis melakukan survei dianggap oleh masyarakat sebagai gunung tetapi tidak berhasil maksimal karena medan keramat. Gunung tersebut sangat ditakuti yang berat, selain membutuhkan waktu karena dianggap tempat tinggal orang-orang pendakian minimal sekitar dua sampai tiga hari liar, yang tidak menginginkan kehadiran orang dengan berjalan kaki. Akan tetapi, untunglah luar atau pendatang. Menurut cerita masyarakat penulis masih menemukan jejak etnik Da’a yang di wilayah Donggala dan Sigi (saat ini masuk berada di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi wilayah Provinsi Sulawesi Tengah), orang-orang Tengah yaitu di: asli tersebut hampir telanjang tanpa pakaian a. Desa Vayu, Kecamatan Marawola Barat, (mengunakan pakaian kulit kayu atau fuya), topografinya berupa perbukitan di ketinggian dan mereka takut menampakkan diri kepada sekitar 804 meter dpl. Berada pada koordinat masyarakat lain. Orang liar tersebut mempunyai 00°56,039’ LS dan 119°48,897’ BT kepandaian bersembunyi dengan cepat. Diduga b. Desa Kalora, Kecamatan Kinovaro, juga sama permukimannya juga terdapat di bagian hulu dengan lokasi lainnya berada di perbukitan Sungai Wuno (sungai yang bermuara di Lembah dengan ketinggian sekitar 416 meter dpl. Palu) dan di hutan pegunungan di sekitar Sungai Berada di koordinat 00°52,609’ LS dan Lariang. Orang-orang liar tersebut sudah 119°49,223’ BT

10 Keterkaitan Etnis Da’a di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, dengan Populasi Australomelanesid di Sulawesi. Dwi Yani Yuniawati Umar

Foto 10 dan 11. Rumah berpanggung tinggi etnik Da’a di Kabupaten Sigi (Sumber: Yuniawati; Iksam, Museum Sulteng)

Secara fisik etnik Da’a di Sulawesi wilayah Melanesia dan Australia (Storm 2001: Tengah yang berada di Desa Vayu, Kecamatan 363-383; Widianto 2012: 162-163). Setelah Marawola Barat dan Desa Kalora, Kecamatan itu disusul migrasi manusia modern sekarang Kinovaro identik dengan etnik Da’a yang berada yaitu penutur bahasa Austronesia dari Taiwan di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. yang diperkirakan terjadi 4.000-3.000 tahun Pada saat ini etnik Da’a yang berada di yang lalu, melewati Filipina, Sulawesi, lalu wilayah Sulawesi Barat yang sudah dimukimkan menyebar ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan memeluk agama Kristen, sedangkan yang yang berbahasa Austronesia. Penutur Bahasa berada di wilayah Kawasan Sulawesi Tengah Austronesia dianggap sebagai leluhur langsung memeluk agama Islam. Rumah asli etnik Da’a di sebagian besar populasi manusia Indonesia saat Kabupaten Sigi inipun mempunyai bentuk yang ini (Bellwood 2000: 91; Tanudirjo 2012: 249- sama yaitu bentuk rumah berpanggung tinggi 289; Simanjuntak 2015: 25-42). (lihat foto 10 dan 11). Kehadiran manusia penutur bahasa Austronesia tertua di Kepulauan Indonesia 3.2 Pembahasan adalah sekitar 3.600 BP, yang diperoleh dari Migrasi populasi manusia modern awal pertanggalan Situs Minanga Sipakko di Sulawesi terjadi sekitar paruh kedua Pleistosen Atas yang Barat. Hasil penelitian ini mengindikasikan berkaitan erat dengan fluktuasi muka laut saat itu. bahwa Sulawesi merupakan lokasi permukiman Penurunan muka laut yang terjadi memungkinkan tertua, yang kemudian secara gradual semakin terbentuknya daratan yang menghubungkan Asia lebih muda ke barat menuju Sumatera dan Jawa, kontinental dengan Indonesia, atau setidaknya ke selatan menuju Kepulauan Sunda Kecil dan memperdekat jarak antar pulau. Terbentuknya ke timur menuju Maluku dan Pasifik. Hasil daratan tersebut memungkinkan manusia pada penelitian ini juga menempatkan Sulawesi masa itu untuk bermigrasi dari Asia daratan sebagai lokasi penting dalam persebaran menuju Kepulauan Nusantara. Sejarah hunian masyarakat Austronesia pada masa prasejarah. manusia modern awal (Australomelanesid) di Ciri-ciri budaya dari penutur bahasa Austronesia Nusantara sampai saat ini banyak para ilmuwan ini antara lain yang cukup dominan antara lain yang berpendapat terjadi 60.000--30.000 tahun adalah, telah melakukan domestikasi tanaman yang lalu. Migrasi populasi manusia modern dan hewan, pembuatan gerabah berpoles merah awal yang berasal dari Afrika itu masuk ke dan berhias tera, sudah melakukan hunian yang Indonesia melalui daratan Asia untuk menuju ke menetap baik di gua ataupun di bentang alam

11 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 34 No. 1, Juni 2016 : 1-80 terbuka dengan pendirian rumah panggung di Pulau Jawa di kawasan Gunung Sewu (Sémah sederhana yang berbentuk persegi, sudah et al. 2006: 21). Bahkan dominasi populasi menggunakan transportasi berupa perahu, Australomelanesid (sebelum neolitik) penghuni menggunakan senjata berupa sumpit, sudah gua-gua di Jawa diindikasikan baru berakhir mengenal penguburan menggunakan wadah, pada awal Masehi sekitar 2.000 BP (Widianto pembuatan pakaian dari kulit kayu, menggunakan 2006:182). Beberapa bukti paleoantropologis tato, sirih pinang, dan pangur gigi (Simanjuntak yang mengindikasikan padatnya penghunian 2008 dan 2015). sebelum neolitik di Kepulauan Indonesia antara Dalam menjelaskan proses migrasi- lain adalah yang tertua mungkin Tengkorak kolonisasi Austronesia di Kepuluan Indo- Wajak (30 Kya), kemudian beberapa rangka Pasifik, Green telah mengajukan teori yaitu dari Gunung Sewu (awal Holosen), rangka- Triple I Model: Intrusion, Innovation, and rangka dari Bukit Sampah Kerang Hoabinhian Integration. Jika akan diterapkan pada di Sumatera (awal Holosen), rangka-rangka dari kasus migrasi-kolonisasi Austronesia penguburan dalam Gua-gua di Kalimantan dan dan Austromelanesid di Sulawesi, model Sulawesi, serta Liang-Liang di Flores dengan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: sisa Homo floresiensis (35 -18 Kya) (Jacob intrusi budaya neolitik datang dibawa oleh 1967; Morwood et al. 2004; dan Simanjuntak penutur Austronesia ke Sulawesi lalu terjadi 2011). inovasi yang disebabkan oleh evolusi budaya Beberapa hasil penelitian berbasis dan interaksi antara komunitas pendatang perbandingan karakter fenotip maupun genotip Austronesia dan komunitas Australomelanesid menempatkan populasi ini sebagai jejak migrasi yang telah menghuni kawasan tersebut sejak Homo sapiens (manusia modern awal) di masa sebelumnya. Evolusi dan interaksi Indonesia dari Afrika, sejak lebih dari 60.000 intensif antarbudaya tersebut menyebabkan tahun yang lalu. Beberapa jejak migrasi tersebut integrasi budaya sehingga menghasilkan etnik saat ini masih bisa terlihat, antara lain kelompok Da’a dengan budaya dan masyarakatnya yang Bushman di Afrika Selatan, Ethiopia, Yaman, unik di Sulawesi bagian tengah dan barat Vedda di India Selatan, Jarawa di Kepulauan (Green 1991). Andaman, orang asli di Semenanjung Malaysia, Dari uraian di atas dapat dipahami Aeta di Filipina, Rampasasa di Flores, serta bahwa ketika masyarakat penutur bahasa beberapa kelompok Aborigin di Australia. Di Austronesia datang di Kepulauan Indonesia, antara kelompok tersebut, orang Bushman tentunya kawasan ini bukanlah suatu daerah merupakan kelompok dengan kode genetik kosong yang tidak berpenghuni. Beberapa yang diversitasnya paling beragam, sehingga pulau di Kepulauan Indonesia telah dihuni oleh diperkirakan sebagai populasi asal migrasi awal komunitas pra-Austronesia (Australomelanesid) Out of Africa. Sementara itu, Australomelanesid yang telah eksis sejak dahulu. Pada awalnya, di Kepulauan Andaman memiliki keragaman mungkin masyarakat neolitik Austronesia tidak genetik yang paling rendah karena proses mudah untuk menembus koridor Kepulauan isolasi insular yang cukup lama, dan resistensi Indonesia yang di beberapa tempat telah yang kuat terhadap pengaruh populasi dari luar. padat dihuni oleh manusia Australomelanesid, Kelompok Australomelanesid lainnya, banyak seperti daratan Papua, lokasi berkembangnya berbagi ciri genetik dengan populasi besar di pertanian non-biji-bijian. Setidaknya sejak dekatnya, seperti Austromelanesid etnik Da’a akhir Plestosen sekitar 60.000 BP kawasan yang dipengaruhi kelompok Mongoloid (selatan) kepulauan ini telah dihuni, seperti yang terjadi berbahasa Austronesia di sekitarnya.

12 Keterkaitan Etnis Da’a di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, dengan Populasi Australomelanesid di Sulawesi. Dwi Yani Yuniawati Umar

Keberadaan masyarakat etnik Da’a di Hipotesis ini tentunya masih harus diuji Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah sangat dengan penelitian lebih lanjut dari bidang menarik karena secara antropologi fisik memiliki studi terkait, seperti misalnya bidang pertanian karakter fenotip yang kuat dengan unsur untuk mengetahui jenis dan kekerabatan padi Australomelanesid dengan sedikit sekali ciri ladang yang ditanam oleh etnik Da’a. Selain Mongoloid (selatan). Pada sisi lain, masyarakat itu, yang juga menarik adalah ketidakhadiran ini menggunakan bahasa Kaili Da’a yang kerbau dalam budaya etnik Da’a sehingga termasuk dalam anggota rumpun Austronesia mengindikasikan bahwa penutur Austronesia dengan beberapa campuran kosakata non- yang mengintrusi populasi Australomelanesid Austronesia. Fenomena ini mengindikasikan lokal adalah gelombang awal migrasi yang adanya perkawinan campur (interbreeding) hanya membawa budaya domestikasi ayam, antara populasi asli Australomelanesid dan anjing, dan babi. Kerbau diperkenalkan ke pendatang Austronesia yang berciri fenotip Kepulauan Indonesia baru pada sekitar awal Mongoloid (selatan) sehingga menghasilkan Masehi, bersamaan dengan kemunculan budaya populasi etnik Da’a yang unik. Kuatnya fitur megalitik dan pertanian sawah. Mengenai hewan biologis Australomelanesid dan jejak budaya babi yang didomestikasi oleh suku Da’a juga pra-Austronesia pada masyarakat Etnik Da’a perlu dilakukan penelitian lebih lanjut karena mengindikasikan bahwa, meskipun masyarakat jenis babi yang didomestikasi di Kepulauan Asia pendatang Austronesia mengintrusi dengan Tenggara dan Pasifik adalah jenis Sus celebensis aspek budaya yang secara teoritis lebih maju yang berasal dari Sulawesi, dan bukan jenis Sus daripada penduduk lokal Australomelanesid, scrofa vittatus (Widianto 2012: 215). pada kenyataannya tidak menghapus, namun Dari segi hunian etnik Da’a memiliki turut memperkaya unsur budaya lokal yang telah persamaan dengan etnik Korowai di wilayah ada sebelumnya. Kaibar, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. Suku Resistensi Australomelanesid pada kasus ini juga menggunakan hunian dari rumah pohon, intrusi Austronesia tersebut hanya dapat terjadi yang mempunyai tinggi sekitar 15 - 50 meter dari jika dalam interaksi antarbudaya terdapat permukaan tanah (lihat foto 12-15). Pendirian equilibrium (keseimbangan). Salah satu yang rumah pohon ini dilakukan agar terbebas dari menarik dari masyarakat Da’a adalah penggunaan serangan atau gangguan roh-roh jahat, selain kosakata padi yaitu Nyi’i yang dalam masyarakat tentunya dari serangan binatang buas. Adanya Kaili pada umumnya menyebut pae. Hal ini persamaan umum, baik dari bentuk, maupun tipe memunculkan hipotesis bahwa masyarakat Da’a rumah, etnik Da’a di Sulawesi Barat dan Tengah mewarisi budaya bercocok tanam padi-padian serta etnik Korowai di Papua memberikan dari komunitas Australomelanesid dari masa gambaran bahwa ada kemungkinan manusia sebelum kehadiran masyarakat penutur bahasa modern awal atau populasi Austromelanesoid Austronesia. Jika memang demikian, tentu saat itu sebelum menuju ke Papua kemungkinan populasi Australomelanesid memiliki ketahanan melewati dan singgah di Pulau Sulawesi. Jika populasi akibat penguasaan pertanian mandiri benar, hal ini akan lebih memperkuat atau pada saat intrusi Austronesia. Kasus serupa terjadi mendukung teori migrasi manusia modern awal di pedalaman Papua, masyarakat Austronesia yang merupakan populasi Australomelanesid memiliki kesulitan menembus koridor genetik seperti yang telah diutarakan di atas. Hunian karena masyarakat lokal memiliki ketahanan rumah etnik Da’a maupun etnik Korowai yang populasi akibat pertanian umbi-umbian berbentuk persegi dianggap sebagai salah satu (Bellwood 2000: 184; Tanudirjo 2011: 33). ciri dari budaya manusia modern awal kemudian,

13 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 34 No. 1, Juni 2016 : 1-80

Foto 12, 13, 14, dan 15. Rumah pohon panggung tinggi pada populasi etnik Korowai, Wilayah Kaibar, Kab. Mappi, Papua (Sumber: http://www.uniqpost.com) yang merupakan penutur bahasa Austronesia lama yang masih bertahan. Tentunya hal ini masih (Mongoloid Selatan). Jika ini merupakan ciri perlu diperkuat dengan adanya bukti arkeologi khas dari budaya penutur Austronesia, perlu yang terkait dengan komunitas tersebut. Selain dilakukan penelitian ulang untuk membuktikan itu, perlu dilakukan pendekatan DNA dengan kebenarannya, karena etnik Korowai di Papua memperhatikan akar bahasa dan sejarah asal usul berada jauh di pedalaman pegunungan Jayawijaya. mereka. Selama ini oleh sebagian besar ahli diduga penutur Adanya data mengenai populasi etnik Da’a Austronesia tidak dapat menembus daerah yang mempunyai karakter ras Australomelanesid pedalaman Papua (Bellwood 2000: 184-185; 245; di Sulawesi bagian tengah ini memperkuat Tanudirjo 2011: 32-33). Benar tidaknya hal ini hipotesis, bahwa pendukung lapisan budaya tentu akan mengubah teori-teori yang ada saat ini. bagian bawah sebelum neolitik (pra-neolitik) Dari komunikasi personal dengan Prof. di Passo, Sulawesi Utara (lihat foto 16) adalah Dr. Truman Simanjuntak (2013), dengan ditemu- mereka ini, yang kemungkinan persebarannya kannya populasi etnik Da’a yang berciri khas meluas sampai ke bagian Sulawesi lainnya dan Australomelanesid yang saat ini masih terdapat di saat ini masih bertahan di wilayah pegunungan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, merupakan Sulawesi Tengah juga dan Sulawesi Barat. data yang akan menguatkan teori bahwa populasi Selain itu dapat diketahui bahwa pendukung ini sejak dahulu (sebelum neolitik) memang lapisan bawah dan tengah budaya Toala di sudah ada di Sulawesi. Menurut Simanjuntak, gua-gua kawasan Maros-Pangkep di Sulawesi mereka tidak datang jauh belakangan dari Timur Selatan memang benar berasal dari populasi sana, tidak ada data yang menunjukkan hal itu. manusia yang berkarakter ras Australomelanesid Kemungkinan mereka ekstraksi dari populasi ini, dan di Sulawesi bagian tengah, terutama di

14 Keterkaitan Etnis Da’a di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, dengan Populasi Australomelanesid di Sulawesi. Dwi Yani Yuniawati Umar

Foto 16. Skema hunian di Situs Passo, Minahasa, Sulawesi Utara (Sumber: Truman Simanjuntak et al. 2009) perbatasan Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. dilakukan penelitian arkeologi yang berkolaborasi Dengan ditemukannya etnik Da’a ini, ada dengan ilmu lainnya untuk menemukan material petunjuk bahwa pasti terdapat sisa-sisa tinggalan atau artefak tinggalan budaya dan jalur migrasi arkeologi dari budaya pra-neolitik, yang berasal genetik manusia manusia modern awal yang dari manusia modern awal yang berkarakter berkarakter Australomelanesid di Sulawesi. Australomelanesid. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memperkuat hipotesis sebelumnya 4. Penutup bahwa manusia modern awal berkarakter Dengan ditemukannya komunitas etnik Australomelanesid memang pendukung budaya Da’a yang mempunyai tipikal Austromelanesid, dari (1) lapisan bawah pada situs hunian terbuka berikut akan dikemukakan beberapa simpulan. Passo, Minahasa (Sulawesi Utara) dan (2) lapisan Hasil penelitian ini diharapkan dapat bawah dan tengah budaya Toala di hunian gua- diperlakukan sebagai hipotesis baru bagi gua Maros-Pangkep (Sulawesi Selatan). Kuatnya penelitian arkeologi, terutama pada masa sebelum fitur biologis Australomelanesid dan jejak budaya kedatangan pendukung penutur Austronesia pra-Austronesia pada masyarakat etnik Da’a (Melayu-Polinesia) dengan ras Mongoloidnya, mengindikasikan bahwa meskipun masyarakat yaitu di Sulawesi bagian tengah, khususnya di pendatang Austronesia mengintrusi dengan perbatasan Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah, aspek budaya yang secara teoritis lebih maju pasti terdapat bekas-bekas tinggalan arkeologis. daripada penduduk lokal Australomelanesid, Guna menelaah lebih lanjut asal-usul manusia pada kenyataannya tidak menghapus, tetapi turut pendukung budaya masa pra-neolitik (sebelum memperkaya unsur budaya lokal yang telah ada neolitik) di Sulawesi bagian tengah ini, perlu sebelumnya.

15 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 34 No. 1, Juni 2016 : 1-80

Ucapan Terima Kasih Glover, Ian. 1981. “Leang Burung 2: An Upper Paleolithic Rock Shelter in South Sulawesi, Artikel ini merupakan salah satu bagian Indonesia.” Modern Quarternary dari hasil penelitian yang berjudul “Melacak Research in Southeast Asia 6. Jejak Permukiman Austronesia di DAS Lariang, Green, R.C. 1991. “The Lapita Cultural Complex: Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Current Evidence and Proposed Models.” Barat”, yang berada di bawah payung penelitian Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Dr. Anggraeni, M.A., yang berjudul “Dinamika Association 11: 295–305. Permukiman Austronesia di Kawasan DAS Heekeren, H.R. van. 1972. The Stone Age of Indonesia 2nded. The Hague: Martinus Karama dan DAS Lariang, Sulawesi”. Penelitian Nijhoff. yang berlangsung pada tahun 2013 ini dibiayai Jacob, Teuku. 1967. Some Problems Pertaining oleh dana hibah dari Fakultas Ilmu Budaya, to the Racial History of the Indonesian Universitas Gadjah Mada. Pada kesempatan Region: A Study of Human Skeletal and ini penghargaan dan ucapan terima kasih yang Dental Remains from Severeal Prehistoric tulus saya sampaikan kepada (1) Dr. Anggraeni, Sites in Indonesia and Malaysia. Ultrecht: Drukkerij Neerlandia. M.A., yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk dapat terlibat dalam penelitian di ------. 2006. “The Nanosomic and Microsomic Archaeological and Living Populations of bawah payung penelitiannya, (2) Dr. Daud Aris Indonesia.” In Archaeology: Indonesian Tanudirjo, M.A. yang juga sudah meluangkan Perspectif, R.P.Soejono’s Festschrift, waktu untuk berdiskusi, (3) Sofwan Noerwidi, edited by Truman Simanjuntak, et al. : LIPI Press. SS, M.Sc. yang telah banyak memberikan bantuan dan masukan selama menyelesaikan Kruyt, Albert C. 1938. De West Toradjas Op Midden Celebes. Amsterdam: Noord_ penelitian dan penulisan artikel ini. Hollandsche Uitgeversmij. Maras, Bustan Basir. 2009. Tapak-Tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara. Daftar Pustaka Yogyakarta: Kesbangpol dan Linmas Kab. Anggraeni. 2012. “The Austronesian Migration Mamuju Utara dan Annora Media Press. Hypothesis as Seen from Prehistoric Morwood, M.J., et al. 2004. “Archaeology and Settlements on the Karama River, Mamuju, Age of a New Hominin from Flores in West Sulawesi.” Tesis. Canberra: The Eastern Indonesia.” Nature 431: 1087–91. Australian National University. Sémah, François, Anne-Marie Sémah, and Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Magali Chacornac-Rault. 2006. “Climate Indo-Malaysia. Jakarta: PT Gramedia and Continental Record in Island South Pustaka Utama. East Asia since the Late Pleistocene: Binford, L.R. 1979. “Methodological Trends in Current Research, Relationship Considerations of the Archaeological with the Holocene Human Migration Use of Ethnographic Data.” In Man the Wave.” In Austronesian Diaspora and Hunters, edited by Richard. B. Lee and the Ethnogeneses of People in Indonesian Irven. DeVore, 268–73. New York: Aldine. Archipelago, edited by Truman Simanjuntak, Inggrid H.E Pojoh, and ------. 1983. Working at Archaeology. USA: Mohammad Hisyam, 15–29. Jakarta: LIPI Academic Press Inc. Press. Callenfels, P.V. van Stein. 1938. “Archaeologisch Simanjuntak, Truman. 2008. “Austronesian in Onderzoek in Celebes.” Tijdshrift van Het Sulawesi: Its Origin, Diaspora, and Living Koninklijke Nederlandsch Aardrijkskundig Tradition.” In Austronesian in Sulawesi, Genootschaap 55. edited by Truman Simanjuntak, 215– ------. 1951. “Prehistoric Site on the Karama 51. Jakarta: Center for Prehistoric and River.” University of Manila Journal of Austronesian Studies. East Asiatic Studies 1 (1): 82–97.

16 Keterkaitan Etnis Da’a di Wilayah Pedalaman Pegunungan Gawalise, Sulawesi Bagian Tengah, dengan Populasi Australomelanesid di Sulawesi. Dwi Yani Yuniawati Umar

------. 2009. “Budaya dan Lingkungan Widianto, Harry. 2006. “Austronesia Prehistory Penutur Austronesia di Passo, Tondano, from the Perspective of Skeletal Sulawesi Utara.” Laporan Penelitian Anthropology.” In Austronesian Diaspora Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan and the Ethnogeneses of People in Pengembangan Arkeologi Nasional. Indonesian Archipelago, edited by Truman Simanjuntak, Inggrid H.E. Pojoh, ------. 2011. “Kehidupan Manusia Modern and Mohammad Hisyam, 174–85. Jakarta: Awal di Indonesia: Sebuah Sintesa LIPI Press. Awal.” Amerta, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi 29 (2): 1–12. ------. 2012. “Manusia Modern Awal.” In Indonesia dalam Arus Sejarah, edited by ------. 2015. “Progres Penelitian Austronesia di Truman Simanjuntak and Harry Widianto, Indonesia.” Amerta, Jurnal Penelitian dan Jilid 1, 162–77. Jakarta: Kementerian Pengembangan Arkeologi 33 (1): 25–42. Pendidikan dan Kebudayaan Republik Simanjuntak, Truman, et al. 2008. Metode Indonesia. Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Yuniawati, Dwi Yani. 2000. “Laporan Penelitian Penelitian Arkeologi Nasional, Badan Arkeologi di Situs Megalitik di Lembah Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan Besoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan Poso, Sulawesi Tengah.” Berita Penelitian dan Pariwisata Republik Indonesia. Arkeologi 50. Storm, Paul. 2001. “The Evolution of Human ------. 2010. “Stone Vats (Kalambas) as One in Australia From an Environmental of Megalithic Remains in The Lore Valley, Perspective.” Paleogeography Central Sulawesi.” Berkala Arkeologi 2: Palaeoclimatology, Palaeoecology 171: 1–12. 363–83. Yuniawati, Dwi Yani, et.al. 2012. “Kajian Sukendar, Haris. 1980. “Laporan Penelitian Pluralisme Budaya Austronesia dan Kepurbakalaan di Sulawesi Tengah.” Melanesia Nusantara: Peradaban Penutur Berita Penelitian Arkeologi 25. Austronesia di Kawasan Lembah Bada, Tanudirjo, Daud Aris. tt. Teori dan Metode Sulawesi Tengah.” Laporan Penelitian Penelitian Arkeologi. Yogyakarta: Arkeologi. Jakarta: Pusat Arkeologi Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Nasional Universitas Gadjah Mada. ------. 2013. “Kajian Pluralisme Budaya ------. 2011. “Interaksi Austronesia-Melanesia: Austronesia dan Melanesia Nusantara: Kajian Interpretasi Teoritis.” In Peradaban Penutur Austronesia di Austronesia dan Melanesia di Nusantara: Kawasan Lembah Besoa, Kec. Lore Utara, Mengungkap Asal Usul dan Jati Diri dari Kab. Poso, Sulawesi Tengah.” Laporan Temuan Arkeologis, 23–38. Yogyakarta: Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Ombak Press. Arkeologi Nasional ------. 2012. “Kedatangan Penutur dan Budaya ------. 2014. “Kajian Pluralisme Budaya Austronesia.” In Indonesia dalam Arus Austronesia dan Melanesia Nusantara: Sejarah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Potensi Peradaban Budaya Megalitik di dan Kebudayaan Republik Indonesia. Lembah Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Thangaraj, Kumarasamy, et al. 2003. “Genetic Provinsi Sulawesi Selatan.” Laporan Affinities of the Andaman Islanders, a Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Vanishing Human Population.” Current Arkeologi Nasional Biology 13 (2): 86–93. doi:10.1016/ Yuniawati, Dwi Yani, and Sofwan Noerwidi. S0960-9822(02)01336-2. 2013. “Melacak Jejak Permukiman Thomas, D.H. 1979. Archaeology. New York: Austronesia di DAS Lariang, Kabupaten Holt, Rinehart and Winston. Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat.” Laporan Penelitian Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

17 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 34 No. 1, Juni 2016 : 1-80

Sumber online: Uniqpost.com. “Rumah Pohon, tempat tinggal Suku Korowai di Papua”, http//uniqpost. com/60434/di-indonesia-terdapat-suku- yang-tinggal-di-rumah-pohon. Diunduh tanggal 21 Desember 2015, pukul 10.15 WIB.

18