Vol. X No.1 Th. 2011

ORANG DAN MANDAILING DI BUAYAN

Adri Febrianto, Etmi Hardi & Bustamam

Fakultas Ilmu-ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri

Abstract The author described, integration between two ethnics Minangkabau and Batak Mandailing was running at Buayan, a small in West Sumatera. It caused by the Batak Mandailing adaptation ability and tolerance nature Minangkabau people. The sameness of religion () is the push factor to their integration. In addition, the long process of socialization that occurs in people Mandailing of Minangkabau cultural trait, as well as the amalgamation and the dominance of . It described by consider of some daily activities and special event, like badoncek at marital ceremony. Although the description was not neglect conflict, but conflicts at Buayan were not expanding in society before, and they have the musyawarah as the resolution conflict mechanism. All processes that occur precisely shows the acculturation from Minangkabau cultural trait to the Mandailing. Key words: ethnical working culture, civil servants, civil society, democracy

Pendahuluan yang sedang berlangsung, faktor-faktor dis- dengan keragaman yang integrasi telah muncul dan berkembang, disebabkan perbedaan suku bangsa, agama, dan termasuk perbedaan ideologi. Indonesia me- faktor-faktor sosial serta penguasaan sumber- miliki ratusan suku bangsa yang tersebar di sumber ekonomi yang tidak seimbang me- jajaran kepulauan Nusantara. Jika dilihat nimbulkan stratifikasi sosial dan adanya ensiklopedi tentang suku bangsa tidak kurang sekelompok orang yang sangat kaya dan dari 657 suku bangsa terdapat di Indonesia sebagian besar lainnya termasuk golongan (Lihat Hidayah 1996). Perbedaan suku bangsa miskin. Perbedaan dan penguasaan sumber daya bisa menjadi pemicu pecahnya kesatuan bangsa, ekonomi sering menjadi pemicu konflik antar karena dengan perbedaan suku bangsa sese- suku bangsa yang bermuara kepada disintegrasi orang akan memandang siapa saya, siapa kamu bangsa, terbukti seiring dengan proses dan siapa dia atau mereka dalam berinteraksi. reformasi yang berlangsung di Indonesia. Pada masa Orde Baru konflik-konflik Banyak terjadi kasus yang memperlihatkan tidak pernah muncul ke permukaan secara benturan-benturan dalam masyarakat, berbau gamblang, karena adanya tindakan-tindakan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar represif yang sangat sistematis untuk mem- Golongan) atau konflik antar suku bangsa. bungkamnya (Pelly, dalam Harian Republika, Berbagai kasus yang terjadi seperti peristiwa 6/1/1999). Dengan demikian konflik tidak Mei 1998 di , Ketapang, Kupang, dinyatakan secara manifes, tetapi ada secara Ambon, , Sambas, Sampit dan lainnya laten di dalam masyarakat. Di era reformasi memperlihatkan konflik tersebut dengan jelas. kebebasan yang selama reformasi tidak Sangat menyolok adalah timbulnya keinginan diperoleh, diluapkan dengan cara berlebihan sebagian masyarakat untuk memisahkan diri (euforia). Di samping itu desakan-desakan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau untuk penyamarataan pembangunan bermun- membentuk negara sendiri, seperti Papua culan di mana-mana. Desentralisasi atau Merdeka dan Merdeka. otonomi menjadi pilihan bagi propinsi atau Dengan tidak menepis proses politik daerah.

1 Orang Minangkabau dan Batak …

Banyak daerah di Indonesia yang me- tindakan-tindakannya (Suparlan 1986). Jadi ngalami konflik antaretnik setelah terjadinya seluruh aktivitas yang dilakukan masyarakat reformasi. Bahkan pertikaian perantau Madura Buayan adalah dilakukan berdasarkan sistem- dengan penduduk lokal, sebagai contoh, telah sistem pengetahuan yang mereka miliki. terjadi berulangkali di Kalimantan Barat sejak tahun 1962 (Kompas, 20/12/2000). Sejak 1962 Metode Penelitian itu, pertikaian yang melibatkan suku bangsa Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan Madura, Melayu, Dayak, dan Tionghoa terus jalan pengamatan, wawancara mendalam berlangsung pada tahun 1963, 1968, 1972, (indept interview) kepada 26 orang Buayan 1977, 1979, 1983, 1996, 1997, 1999, dan 2000. (Minangkabau dan Mandailing), termasuk Peristiwa yang terjadi di Kalimantan Tengah tokoh masyarakat. Data yang terkumpul di- pada bulan Februari 2001 yang lalu merupakan klasifikasikan, dikelompokkan sesuai dengan contoh tentang betapa rumitnya persoalan suku tujuan penelitian yang dirumuskan, sejak dari bangsa di Indonesia (Abdullah 2001:1). awal pengumpulan data dilakukan. Data yang Masalah pengungsi korban konflik Sampit diperoleh dideskripsikan dan diinterpretasikan menjadi beban panjang pemerintah, walaupun dengan pendekatan kebudayaan. Verifikasi telah ada upaya dan kesepakatan berbagai pihak dengan triangulasi data sesuai dengan prinsip- untuk memulangkan sebagian pengungsi asal prinsip penelitian kualitatif, berdasarkan tema- Madura ke wilayah semula seperti sebelum tema dan kejadian-kejadian di dalam masya- terjadinya konflik. rakat. Cek silang data dilakukan terhadap Tulisan ini berangkat dari hasil penelitian informan yang berbeda, dan mengkonfirmasi- yang dilakukan lebih kurang empat bulan antara kan hasil pengamatan melalui wawancara. bulan Agustus sampai November 2003 yang Penelitian dilakukan dengan jalan memperlihatkan bahwa pada sebuah nagari di mendatangi Nagari Buayan dan hadir pada Sumatera Barat yang warganya berasal dari dua waktu keseharian serta aktivitas-aktivitas suku bangsa berbeda telah hidup berdampingan tertentu, seperti saat badoncek. Peneliti tidak sejak sekitar dua abad yang lalu, namun menetap di Buayan, karena jarak antara kota memperlihatkan integrasi di antara mereka. Padang dan Buayan tidak terlalu jauh (sekitar Integrasi dimaksudkan sebagai proses penye- 30 km) dan dapat ditempuh dalam waktu sekitar suaian antara unsur kebudayaan yang saling 1 jam perjalanan. Hubungan yang erat pun berbeda sehingga mencapai suatu keserasian terjalin (rapport) antara peneliti dengan fungsinya dalam kehidupan masyarakat masyarakat setempat, yang memungkinkan (Suyono 1986:162). Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan data melalui wawancara dengan tujuan justru untuk mendeskripsikan mendalam kepada individu dan tokoh-tokoh mengapa dan faktor-faktor integrasi dan proses Buayan yang mengetahui sejarah kedatangan integrasi terjadi di antara Orang Minangkabau orang Batak Mandailing ke Buayan dan proses dan Orang Mandailing di Nagari Buayan. integrasi yang terjadi. Sedangkan pengamatan Penelitian dilakukan dengan pendekatan telah dilakukan sejak dari awal kedatangan ke kebudayaan, dengan pengertian keseluruhan Buayan sampai akhir penelitian. sistem pengetahuan yang dimiliki manusia Pada waktu badoncek dilakukan, peneliti sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk bermalam di Buayan karena upacara badoncek memahami dan menginterpretasikan lingkungan dilakukan malam hari. Semalaman peneliti dan pengalamannya serta menjadi landasan bagi tidak tidur dan asyik maota (berbincang- mewujudkan tingkah lakunya. Kebudayaan bincang) sambil mengamati dan bertanya dalam hal ini dapat dilihat sebagai —mekanisme tentang badoncek œ dijelaskan di artikel ini œ kontrol“ bagi kelakuan dan tindakan-tindakan dilanjutkan dengan bermain domino sampai sosial manusia. Dengan demikian, kebudayaan pagi. Pengamatan dilakukan dengan men- merupakan serangkaian aturan-aturan, datangi daerah-daerah perladangan dan sawah, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana- serta mengunjungi rumah-rumah penduduk rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas untuk wawancara. Setelah diketahui tokoh- serangkaian model-model kognitif yang di- tokoh yang memahami permasalahan penelitian punyai manusia, dan yang digunakannya secara dengan baik, janji khusus dibuat untuk dapat selektif dalam menghadapi lingkungannya melakukan wawancara mendalam. Wawancara sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan sering dilakukan pada waktu siang dan sore hari 2 Vol. X No.1 Th. 2011

dengan santai pada waktu luang dari informan Buayan ini, orang Mandailing diharuskan tersebut. membayar ganti rugi kepada ninik mamak Lubuk Alung sebesar 18 Gulden, di samping Hasil Penelitian dan Pembahasan menyembelih seekor kerbau, yang berlangsung 1. Orang Batak Mandailing di Buayan pada bulan April tahun 1819 di Nagari Lubuk Nagari Buayan pada awalnya merupakan Alung. Setelah melalui proses mengisi daerah ulayat orang Minangkabau di Lubuk inilah kelompok marga Batubara diangkat dan Alung, berupa tanah dan semak belukar. diakui sebagai orang Minangkabau dan Sekitar awal abad ke-19 daerah ini dibuka oleh pimpinan mereka diberi gelar datuak. orang-orang Mandailing (Tapanuli Selatan) Gelar Datuak Rajo Lelo diberikan kepada yang migrasi ke daerah ini dengan cara pimpinan marga Batubara, pimpinan marga manaruko (membuka lahan) setahap demi Harahap diberi gelar Datuak Rajo Manih, setahap, dan akhirnya berhasil membuka sebuah pimpinan dari marga Lubis dengan gelar daerah baru. Kedatangan orang Mandailing Datuak Rajo Manambin, pimpinan dari marga diikuti oleh orang Minangkabau yang berasal Nasution dengan gelar Datuak Rajo Mambang dari sekitar daerah Padang dan dari dan pimpinan marga Siregar dengan gelar Pesisir Selatan. Orang Mandailing yang datang Datuak Sutan Parumahan. Pengangkatan orang ke daerah ini sejak awalnya lebih banyak dari Mandailing ini juga sebagai pengakuan mereka sisi jumlah jika dibandingkan dengan orang sebagai kemenakan dari para ninik mamak Minangkabau. Orang Mandailing mencapai tersebut yang disebut dengan istilah kamanakan 70% dari jumlah penduduk Nagari Buayan, di bawah lutuik (kemenakan di bawah lutut). sisanya 30% lainnya orang Minangkabau. Sampai akhir penelitian ini dilakukan tidak 2. Interaksi dan Perubahan Unsur terdapat penduduk dari suku bangsa lain di luar Kebudayaan Mandailing dan Minangkabau. Sebagaimana fokus dari studi ini, sejak Kedatangan orang Mandailing tidak awal telah terjalin hubungan yang baik antar menimbulkan konflik sejak dari awalnya. suku bangsa Mandailing dan Minangkabau. Mereka datang secara berkelompok dalam Kedua suku bangsa yang berbeda latar belakang kelompok marga, yang masing-masingnya kebudayaan itu dapat hidup berdampingan di dipimpin oleh seorang pimpinannya. Pada Buayan. Konflik dan pertentangan antara kedua waktu itu terdapat lima kelompok marga yang kelompok jarang terjadi hingga sekarang. berbeda, yaitu dari marga Batubara, Harahap, Konflik yang terjadi antara dua individu yang Lubis, Nasution dan Siregar. Mereka diterima berbeda suku bangsa tidak pernah meluas orang Minangkabau dan bahkan pada akhirnya menjadi konflik antar kelompok. Mereka diakui keberadaanya dengan menerima mereka memiliki mekanisme resolusi konflik dengan ke dalam alam Minangkabau dengan simbol jalan musyawarah. Kasus-kasus penyebab pemberian gelar datuak kepada para pemimpin konflik dapat direduksi, walaupun terjadi kelompok orang Mandailing tersebut. Datuak di konflik dapat dengan mudah dicarikan dalam kekerabatan Minangkabau adalah gelar penyelesaiannya. pimpinan kelompok garis keturunan (lineage) Meskipun orang Batak Mandailing dari yang merupakan satu kelompok keturunan yang sisi jumlah dominan di Buayan, namun mereka lebih kecil dari clan, yang dalam dikenal menyadari eksistensinya sebagai pendatang. dengan istilah paruik dan juga untuk ukuran Oleh sebab itu sejak awal mereka menjalin yang lebih besar atau clan yang dikenal dengan hubungan yang baik dengan orang Minang- istilah suku, atau marga pada orang Batak. kabau yang datang kemudian. Prinsip hidup Penerimaan orang Mandailing ini dilaku- orang Minangkabau, di mana bumi dipijak di kan harus dengan memenuhi syarat adat, yaitu sana langit dijunjung, juga mereka pahami mereka diharuskan mengisi adat kepada ninik sepenuhnya dan direalisasikan pada berbagai mamak (para ) Nagari Lubuk Alung aspek kehidupan. Adaptasi dan penyesuaian- sebagai pemilik dan pewaris sah daerah penyesuaian yang dilakukan orang Mandailing Buayan. Dengan demikian proses penerimaan di Buayan melalui berbagai aktivitas hingga orang Mandiling sesuai dengan prinsip-prinsip saat ini memperlihatkan hubungan yang baik adat Minangkabau, yaitu adat diisi limbago dengan orang Minangkabau di daerah itu. dituang. Dalam proses alih tanah daerah Aktivitas-aktivitas bersama seringkali di- 3 Orang Minangkabau dan Batak … lakukan oleh orang Mandailing dan Minang- Sedangkan uang hilang, sejumlah uang yang kabau, baik yang berhubungan dengan per- diberikan pihak keluarga perempuan kepada tanian, agama, maupun dalam pembangunan keluarga laki-laki tidak dikembalikan lagi nagari. Dalam aktivitas pertanian dikenal (Rivai 1993:6). adanya julo-julo, yakni mengerjakan sawah Berapapun besarnya uang hilang dan bersama-sama (gotong royong) secara uang jemputan yang harus diberikan dari pihak bergiliran dalam suatu kelompok terbatas. keluarga perempuan kepada pihak keluarga Pengaturan air sawah pun dilakukan secara laki-laki sebelum akad nikah dilangsungkan bersama, misalnya mambuka tali banda, yakni biasanya dapat dipenuhi. Ada jalan untuk proses memperlancar aliran ke sawah-sawah memperoleh sejumlah uang yang dibutuhkan, milik petani. yang dalam terminologi masyarakat Pariaman Pembangunan tempat tinggal (rumah) dikenal dengan istilah badoncek. Inti acara juga sering dilakukan bersama-sama dengan badoncek adalah mengumpulkan dana bantuan julo-julo. Tidak peduli apakah orang yang akan dari seluruh anggota kelompok keturunan. membangun rumah itu berasal dari suku bangsa Badoncek yang sudah menjadi tradisi Mandailing atau Minangkabau. Demikian juga pada sebagian masyarakat Pariaman ini juga dalam persiapan dan pelaksanaan perayaan berkembang di Buayan. Bedanya di Buayan hari-hari besar agama Islam dan hari-hari besar badoncek dikoordinir pada tingkat RT dan RW nasional juga melibatkan hampir seluruh dan diperluas untuk seluruh Nagari Buayan. masyarakat Buayan. Artinya siapapun yang akan melaksanakan perkawinan akan dihadiri oleh setiap kepala 3. Badoncek pada Orang Minang dan keluarga dan mereka memberikan sumbangan Mandailing uang sesuai dengan kemampuan mereka Masyarakat Pariaman termasuk kelom- masing-masing. Jadi tidak lagi sekedar ke- pok masyarakat yang unik di dalam lingkungan wajiban dari kelompok keturunan atau suku dari orang Minangkabau yang matrilineal. Salah calon mempelai perempuan, tetapi telah men- satu keunikan tersebut dapat dilihat di dalam jadi kewajiban warga nagari secara keseluruh- adat istiadat perkawinan. Di dalam adat an. Aktivitas badoncek telah menjadi bagian perkawinan yang paling menonjol adalah dari tradisi upacara perkawinan yang tidak lagi adanya pemberian uang dari pihak mempelai memandang apakah perempuan yang akan perempuan kepada mempelai laki-laki yang dikawinkan itu berasal dari suku bangsa dikenal dengan uang japuik (uang jemputan). Minangkabau atau Mandailing. ”Uang japuik bagi masyarakat Pariaman merupakan hal yang penting, karena berkaitan 4. Sistem Kekerabatan dengan prestise dan status sosial. Uang japuik Terjadi perubahan dalam hal penarikan menggambarkan tinggi rendahnya status sosial garis keturunan di dalam sistem kekerabatan yang disandang, terutama bagi laki-laki sebagai orang Mandailing di Buayan. Penarikan garis calon suami. Sementara pihak perempuan keturunan secara patrilineal secara perlahan merasa terpandang dalam masyarakat karena berubah ke matrilineal seperti orang Minang- bermenantukan atau bersuamikan bukan orang kabau. Perubahan ini juga diiringi dengan kebanyakan, apalagi sanggup membayar uang perubahan pola menetap setelah kawin, dari japuik dengan jumlah yang cukup besar‘ patrilokal (virilokal) ke matrilokal (uxorilokal). (Azwar 2001:5). Pada awal kedatangan mereka ke Buayan, Di daerah Pariaman bagian utara uang orang Mandailing masih mempertahankan adat japuik ini lebih populer dengan sebutan uang istiadat tradisional mereka termasuk di dalam hilang, sedangkan di daerah Pariaman bagian sistem kekerabatan. Namun lama menetap di selatan hanya disebut uang japuik (uang Buayan dengan orang Minangkabau maka jemputan) saja. Perbedaannya ialah kalau uang secara perlahan sistem kekerabatan yang jemputan, adalah sejumlah uang yang diberikan mereka pakai mengalami perubahan. Dengan oleh pihak keluarga perempuan kepada pihak demikian terjadi proses penghilangan dan keluarga laki-laki dikembalikan lagi kepada penggantian unsur kebudayaan suku bangsa mempelai perempuan dalam bentuk lain, seperti Minangkabau pada orang Mandailing di perhiasan emas dan pakaian yang harganya Buayan. berjumlah lebih besar dari uang jemputan tadi. Perubahan ke dalam adat istiadat atau 4 Vol. X No.1 Th. 2011

unsur-unsur kebudayaan suku bangsa Minang- bentuk berbeda dari pola pewarisan pusako kabau ini mulai terlihat dari generasi ketiga di Minangkabau pada umumnya, atau masih Buayan. Seperti di dalam perkawinan. Pada terdapat pengaruh dari unsur kebudayaan suku awalnya ciri-ciri khas unsur kebudayaan suku bangsa Mandailing yang patrilineal dalam bangsa Mandailing yang menarik garis ke- pewarisan harta . turunan secara patrilineal dan pola menetap setelah kawin patrilokal. Jika terjadi per- 5. Bahasa dan Nama Marga kawinan sesama orang keturunan Mandailing Setiap suku bangsa dapat dibedakan dari dipakai adat istiadat Mandailing. Demikian juga kelompok suku bangsa lainnya dengan jalan jika mempelai laki-laki dari suku bangsa melihat ciri-ciri atau identitas kesukubangsa- Mandailing dan mempelai perempuan dari annya. Identitas kesukubangsaan ini dapat Minangkabau. Dalam hal ini pihak laki-laki dilihat dari penggunaan bahasa, dan peng- dijawibkan untuk menyiapkan segala keperluan golongan ke dalam kelompok clan yang perkawinan, serta mempelai perempuan di- ditandai oleh nama marga pada orang Batak. haruskan tinggal di rumah pihak laki-laki, atau Bahasa sering menjadi ciri utama dan pembeda yang disebut juga dengan pola menetap dari satu kelompok suku bangsa dengan patrilokal. kelompok suku bangsa lainnya. Bahasa yang Namun penarikan garis keturunan menjadi identitas kesukubangsaan yang utama, patrilineal Mandailing mulai berubah ke sebagaimana banyak dinyatakan oleh para ahli, matrilineal pada generasi ketiga atau sekitar seperti oleh Barth (1988), Matullada (1996, seratus tahun yang lalu. Perkawinan yang 1999), dan lain-lain. Walaupun demikian terjadi antara orang-orang yang berbeda suku perasaan kesukuan atau pengakuan kepada diri bangsa di Buayan lebih banyak menggunakan sendiri dan kelompok juga menjadi poin yang adat istiadat khas Pariaman, sehingga dikenal penting. Masalah yang terakhir ini walaupun pula konsep bajapuik, sebagaimana yang abstrak, karena hanya ada di dalam sistem dijelaskan di atas. Dalam hal ini mempelai pengetahuan pemiliknya, namun dapat juga wanita diharuskan untuk menyerahkan dilihat dari identitas luar yang dapat diketahui sejumlah uang kepada pihak laki-laki, tidak orang lain. Sebagai contoh, orang Mandailing peduli apakah perempuannya berasal dari suku akan berkurang ke-Mandailing-annya kalau ia bangsa Minangkabau atau berasal dari suku tidak mengetahui bahasa Mandailing, jika kita bangsa Mandailing. Bahkan adat menetap mengikuti konsepsi kebudayaan di atas, atau setelah menikah sudah menggunakan pola sama sekali tidak lagi disosialisasikan ke dalam menetap matrilokal, dimana mempelai laki-laki sistem-sistem pengetahuan kesukubangsaan tinggal di rumah keluarga perempuan/ isteri. atau adat istiadat tradisional Mandailing itu Akibatnya anak-anak yang lahir kemudian juga sendiri. Hal inilah yang terjadi pada generasi mengikuti garis keturunan ibunya sehingga muda Mandailing di Buayan. Walaupun mereka berubah dari patrilineal ke matrilineal. mengetahui asal usulnya, namun mereka sudah Walaupun penarikan garis keturunan disosialisasikan dengan nilai-nilai dan simbol- menjadi matrilineal tetapi pewarisan gelar dan simbol kebudayaan Minangkabau, seperti harta pusaka (sako atau pusako) masih menurut bahasa. garis laki-laki. Jika di dalam masyarakat Bahasa sebagai simbol identitas kesuku- Minangkabau pada umumnya gelar dan harta bangsaannya tidak lagi ditonjolkan oleh orang pusaka diwariskan kepada kemenakan, maka di Mandailing di Buayan. Dalam pergaulan sehari- Buayan sako atau pusako diwariskan kepada hari dengan orang Minangkabau mereka meng- anak laki-laki. Dengan demikian gelar-gelar gunakan bahasa Minangkabau dengan dialek adat yang bersifat turun temurun jatuh kepada Pesisir Selatan atau Pariaman sebagaimana anak. Pewarisan gelar adat seperti ini mengikuti yang dipakai di daerah Padang Pariaman pada pola yang telah berlajan di daerah Padang umumnya. Bahkan sejak angkatan generasi Pariaman pada umumnya, seperti gelar Bagindo keempat dari keturunan orang Mandailing yang atau Sidi, yang diwariskan kepada anak laki- datang ke Buayan, bahasa Mandailing hampir laki. Demikian juga terhadap pewarisan harta sudah tidak lagi digunakan dalam berinteraksi pusaka. Seandainya satu keluarga tidak sehari-hari. Generasi muda Mandailing di memiliki anak laki-laki, maka harta pusaka Buayan sekarang sudah mulai disosialisasikan dialihkan ke pihak laki-laki (suami). Merupakan dan menggunakan bahasa Minangkabau. Salah 5 Orang Minangkabau dan Batak … satu unsur penting dari kebudayaan suku suku bangsa Minangkabau, sehingga unsur- bangsa Mandailing sudah hilang dari sistem unsur adat kebiasan Mandailing hampir tidak pengetahuan mereka dan digantikan oleh lagi ditemui pada generasi-generasi berikutnya. masuknya unsur kebudayaan Minangkabau. Proses integrasi yang baik antara orang- Demikian juga dengan nama marga. orang Mandailing dan Minangkabau disebab- Adaptasi pertama yang terlihat dari orang kan oleh beberapa faktor. Pertama, kemampuan Mandailing yang mereduksi identitas kesuku- adaptasi orang Batak Mandailing yang cukup bangsaannya adalah penghilangan nama marga. tinggi, sehingga di dalam waktu yang relatif Marga yang menjadi simbol kesukubangsaan singkat mereka dapat melakukan penyesuaian- dan nama dari kerabat patrilinealnya tidak penyesuaian ke dalam berbagai aspek ke- dipasang di belakang nama anak-anak mereka hidupan dan unsur-unsur kebudayaan Minang- yang lahir kemudian, khususnya sejak generasi kabau. Sejak awal kedatangannya orang ketiga. Di samping itu tidak ada satupun Mandailing sudah menyadari posisinya sebagai organisasi atau lembaga di dalam masyarakat kaum pendatang. Oleh sebab itu ketika mem- yang dibentuk berlatarbelakang suku atau buka pemukiman baru mereka melakukan marga, kecuali atas dasar teritorial seperti proses mengisi adat sebagaimana telah dusun. Menariknya lagi orang Mandailing dan dijelaskan di atas, sebagai bentuk adaptasi ke Minangkabau dari Buayan justru membuat dalam kebudayaan Minangkabau. Kemudian organisasi lintas suku di luar daerahnya, seperti ketika terjadi kontak dengan orang Minang- yang terdapat di Batam yang pada saat sekarang kabau yang berasal dari Pariaman dan Pesisir ini terdapat persatuan orang-orang dari Nagari Selatan, mereka berusaha menyesuaikan diri Buayan. dengan menerima dan memakai adat istiadat Walaupun demikian, di Buayan orang orang Minangkabau. Proses penyesuaian itu Mandailing masih tetap merasa sebagai orang berlangsung secara terus menerus sehingga Mandailing dengan perubahan yang telah unsur-unsur kebudayaan tradisional suku terjadi di dalam kebudayaannya. Mereka masih bangsa mereka mulai hilang dan digantikan mengaku sebagai orang Mandailing, walaupun unsur-unsur kebudayaan suku bangsa sudah menggunakan bahasa Minangkabau Minangkabau. dalam kehidupan sehari-hari dan tidak Kedua, faktor toleransi orang Minang- menonjolkan penggunaan nama marga. kabau memudahkan proses integrasi sosial di Buayan itu sendiri. Orang Minangkabau sejak D. Proses-proses Integrasi Orang Mandailing lama dikenal sebagai masyarakat yang toleran Di sebahagian wilayah di Indonesia dan mudah menyesuaikan diri dengan orang- integrasi antar kelompok yang berbeda latar orang yang berbeda latar belakang suku bangsa belakang suku bangsa sukar dilakukan, bahkan dan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan prinsip konflik antar sukubangsa terjadi pada awal hidup orang Minangkabau, di mana bumi reformasi. Kalaupun kelompok-kelompok yang dipijak di situ langit dijunjung. Prinsip hidup berbeda tersebut dapat hidup berdampingan inilah yang menyokong keberhasilan orang mereka cenderung mempertahankan kebudaya- Minangkabau di perantauan. Di Buayan mereka an suku bangsanya sehingga adaptasi unsur- dapat menerima kehadiran orang-orang unsur kebudayaan suku bangsa jarang terjadi. Mandailing, sehingga mendorong integrasi di Sebaliknya malah terjadi di Nagari antara kedua suku bangsa. Sikap terbuka dan Buayan, proses integrasi sosial antara orang toleran punya andil besar terbentuknya integrasi Mandailing dan Minangkabau dapat berlang- sosial di Nagari Buayan. sung dengan baik. Proses tersebut tidak Konflik antar anggota suku bangsa memakan waktu yang terlalu panjang dan tidak Mandailing dan Minangkabau di Buayan jarang pula melalui serangkaian konflik. Sejak awal terjadi, karena adanya toleransi antara anggota abad ke-20, orang Mandailing dan orang kedua kelompok. Perkelahian yang terjadi antar Minangkabau telah dapat hidup berdampingan orang per orang yang berbeda suku bangsa di Buayan. Bahkan integrasi terjadi di dalam dapat segera diselesaikan melalui lembaga adat unsur-unsur kebudayaan suku bangsa, dimana sehingga tidak meluas. Kemudian kasus-kasus unsur-unsur kebudayaan suku bangsa yang menyangkut lahan pertanian juga dapat Mandailing digantikan unsur-unsur kebudayaan diselesaikan dengan baik. Sebagai contoh pengrusakan lahan oleh ternak, maka pemilik 6 Vol. X No.1 Th. 2011

ternak diwajibkan mengganti rugi kepada petani Buayan terjadi. yang lahannya rusak. Guna menghindari hal-hal Beberapa faktor di atas sampai saat ini seperti itu, biasanya petani dan pemilik lahan memperlihatkan integrasi di antara dua suku memancangi tanah pertanian mereka dengan bangsa, pada sisi lainnya perubahan yang kertas merah sebagai tanda bahwa tempat itu terjadi pada unsur-unsur kebudayaan orang dilarang untuk dimasuki. Mandailing di Buayan justru memperlihatkan Ketiga, faktor agama mendukung keber- terjadinya proses akulturasi terjadi. Akulturasi hasilan integrasi di Nagari Buayan. Seluruh dimaksudkan di sini perubahan-perubahan besar orang Mandailing yang bermigrasi ke Buayan dalam kebudayaan yang terjadi sebagai akibat beragama Islam. Demikian juga dengan orang dari kontak antarkebudyaaan yang berlangsung Minangkabau di mana agama Islamlah yang lama (Haviland 1985:263). Koentjaraningrat membedakannya dari masyarakat matrilineal menyatakan, akulturasi menyangkut proses lainnya. Kesamaan agama ini mempercepat mengenai proses sosial yang timbul apabila proses integrasi dengan orang Minangkabau sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang juga datang ke daerah itu, sebab secara tertentu dihadapkan pada unsur-unsur ke- tradisional suku bangsa Minangkabau adalah budayaan asing sehingga unsur-unsur ke- penganut agama Islam. budayaan itu lambat-laun diterima dan diolah Keempat, terjadi perubahan unsur-unsur ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebab- kebudayaan orang Mandailing karena terjadinya kan hilangnya kepribadian kebudayaan itu, dan perkawinan antar suku bangsa (eksogami pada kalimat lain dinyatakan suatu unsur marga/suku) antara orang Minangkabau dengan kebudayaan tidak pernah didifusikan secara orang Mandailing di Buayan. Amalgamasi ini terpisah, melainkan senantiasa dalam suatu sering terjadi setelah masuknya orang gabungan atau kompleks yang terpadu. Gerak Minangkabau dari Pesisir Selatan dan daerah migrasi suku-suku bangsa yang telah ber- Pariaman ke Buayan. Eksogami marga/ suku langsung sejak dahulu kala telah memper- mereduksi unsur-unsur kebudayaan suku temukan berbagai kelompok manusia dengan bangsa Mandailing. kebudayaan yang berbeda-beda, sehingga Kelima, masyarakat Buayan yang berasal terjadi pengenalan mereka dengan unsur-unsur dari suku bangsa Mandailing sudah disosia- kebudayaan asing (Koentjaraningrat 1990; lisasikan dengan unsur kebudayaan Minang- 1996). kabau. Mereka yang tinggal di Buayan sekarang ini merupakan generasi keempat dan kelima, Simpulan yang mengalami proses sosialisasi unsur-unsur Masyarakat Nagari Buayan yang pada kebudayaan Minangkabau di Buayan, tidak lagi awalnya berasal dari dua kelompok suku bangsa kepada unsur-unsur kebudayaan Mandailing, atau suku bangsa, 70% di antaranya berasal dari sehingga mereduksi unsur-unsur kebudayaan Batak Mandailing dan 30% Minangkabau. suku bangsa Mandailing di dalam sistem Unsur-unsur kebudayaan suku bangsa Batak pengetahuan mereka. Mandailing mulai hilang dan digantikan dengan Keemam, walaupun jumlah orang unsur-unsur kebudayaan suku bangsa Minang- Mandailing dominan secara kuantitatif, namun kabau. Dalam hal ini faktor daerah kebudayaan unsur-unsur kebudayaan Minangkabau lebih (culture area) - berpengaruh terhadap proses dominan di dalam masyarakat. Dominasi adaptasi unsur-unsur kebudayaan suku bangsa kebudayaan ini terjadi karena orang Mandailing Mandailing ke dalam unsur-unsur kebudayaan sebagai pendatang masuk ke culture area atau suku bangsa Minangkabau yang dominan. daerah kebudayaan orang Minangkabau, Walaupun orang Batak Mandailing jauh lebih dimana unsur-unsur kebudayaan Minangkabau besar dari sisi jumlah jika dibandingkan dengan lebih banyak dipakai di dalam kehidupan orang Minangkabau di Buayan, tetapi karena sehari-hari. Proses-proses sosial di dalam mereka sebagai pendatang pada awalnya maka masyarakat Buayan dijalankan dalam suasana mereka lah yang melakukan proses adaptasi dan kebudayaan Minangkabau. Oleh karena itu akulturasi ke dalam unsur-unsur kebudayaan secara perlahan dan dalam waktu yang panjang suku bangsa Minangkabau, dan masyarakat proses integrasi itu justru memperlihatkan Minangkabau menerima karena adanya proses akulturasi di dalam unsur kebudayaan toleransi. Kesamaan agama yang dianut (Islam) Minangkabau terhadap orang Mandailing di kedua suku bangsa berperan sebagai faktor 7 Orang Minangkabau dan Batak … yang mempersatukan dan mengurangi per- Hidayah, Zulyani. 1988. Ensiklopedi Suku bedaan. Agama berada pada sistem keyakinan Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. atau pada level ide dari sistem pengetahuan atau Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi kebudayaan dari kedua suku bangsa ini malah I. Jakarta: Rineka Cipta menjadi faktor penyokong terhadap proses ------. 1990. Sejarah Teori integrasi dari dua suku bangsa ini. Antropologi II, Jakarta: UI-Press Terjadi perubahan di dalam sistem-sistem pengetahuan atau kebudayaan masyarakat Mattulada. 1999. —Kesukubangsaan dan Negara Mandailing, seperti pengetahuan akan sistem Kebangsaan di Indonesia: Prospek kekerabatan dan adat menetap dari tradisi suku Budaya Politik Abad ke-21“. Antropologi bangsa Mandailing ke tradisi suku bangsa Indonesia. Jakarta: Jurusan Antropologi Minangkabau. Terdapat hubungan sosial yang Fisip-UI dan YOI, No. 58 Januari-April baik antara warga yang berbeda suku bangsa di 1999. Buayan, bahkan penghilangan dan penggantian Pelly, Usman. 1999. —Mewaspadai Ancaman unsur-unsur satu kebudayaan suku bangsa Disintegrasi Nasional“. Harian kepada unsur kebudayaan suku bangsa lainnya Republika, Rabu 6 Januari 1999. Hal. 4. memperlihatkan integrasi warga masyarakat ------. 1999. —Akar Kerusuhan Suku dan akulturasi unsur-unsur kebudayaan Bangsa di Indonesia“. Antropologi Minangkabau dengan ke kebudayaan Batak Indonesia. Jakarta: Jurusan Antropologi Mandailing. Fisip-UI dan YOI. No. 58 Januari-April 1999 Daftar Rujukan Spradley, James. 1997. Metode Etnografi Profil Nagari Buayan. 2001 (Terj.). Yogyakarta: Tiara Wacana. Arsip Mentis Kecamatan Batang Anai. 2003 Suparlan, Parsudi. 1986. —Masalah-masalah Abdullah, Irwan. 2001. Penggunaan dan Sosial dan Ilmu Sosial Dasar“. dalam Penyalahgunaan Kebudayaan di A.W. Widjaja (ed.). Individu, Keluarga Indonesia: Kebijakan Negara dalam dan Masyarakat. Jakarta: Akademika Pemecahan Konflik Suku Bangsa. Pressindo. nd Makalah yang disampaikan pada 2 ------.1999. —Kemajemukan, Hipotesis International Symposium of The Journal Kebudayaan Dominan dan Kesuku- Antropologi Indonesia. Padang: 18-21 bangsaan“. dalam Antropologi Indonesia. Juli 2001. Jakarta: Jurusan Antropologi Fisip-UI Azwar, Welhendri. 2001. Matrilokal dan Status dan YOI, No. 58. Perempuan dalam Tradisi Bajapuik. ------. 1999. —Konflik Sosial dan Yogyakarta: Galang Press. Alternatif Pemecahannya“, dalam Barth, Fredrick. 1988. Kelompok Suku Bangsa Antropologi Indonesia, Jakarta: Jurusan dan Batasannya (Terj.). Jakarta: UI Antropologi Fisip-UI dan YOI, No. 59. Press. Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi. Haviland, William A. 1985. Antropologi. Edisi Jakarta: Akademika Pressindo. Keempat Jilid 2, Jakarta: Erlangga.

8