PERBANDINGAN STRUKTUR CERITA CINTA PADA NOVEL- NOVEL REMAJA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Pendidikan

Oleh SUCI AMALIA 11150130000057

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH 2020

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

PERBANDINGAN STRUKTUR CERITA CINTA PADA NOVEL- NOVEL REMAJA INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Suci Amalia NIM. 11150130000057

Mengesahkan, Dosen Pembimbing,

Ahmad Bahtiar, M.Hum. NIP. 197601182009121002

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

3

ABSTRAK

Suci Amalia (NIM: 1113015000057). PERBANDINGAN STRUKTUR CERITA PADA NOVEL-NOVEL REMAJA INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk struktur cerita serta menemukan implikasi pendidikan pada novel-novel remaja Indonesia. Novel-novel yang dikaji pada penelitian ini terdiri dari tiga novel, yaitu novel Gita Cinta dari SMA karya Eddy D. Iskandar, novel Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, dan novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq. Penelitian ini menggunakan teknik simak catat dan metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini dibuat dengan melakukan perbandingan naskah serta menggunakan teori struktur cerita. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tujuh unsur intrinsik yang memiliki banyak kemiripan dari ketiga novel remaja Indonesia yang terbit di era yang berbeda. Tujuh unsur tersebut meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur, tema, sudut pandang, gaya bahasa, serta amanat pada cerita. Hasil perbandingan struktur cerita pada novel Gita Cinta dari SMA karya Eddy D. Iskandar, novel Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, serta novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq memiliki implikasi terhadap pembelajaran sastra di sekolah yaitu dalam menganalisis isi dan kebahasaan novel. Kata Kunci: Sastra, Struktur Cerita, Sastra Remaja, Novel, Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990.

i

ABSTRACT

Suci Amalia (NIM: 1113015000057). STRUKTUR CERITA PADA NOVEL-NOVEL REMAJA INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

This study aims to describe the form narrative structure and discover the educational implications of Indonesian teenage novels. The novels examined in this study consisted of three novels, namely the Gita Cinta from SMA by Eddy D. Iskandar, the Lupus ABG by Hilman Hariwijaya and Boim Lebon, and the Dilan 1990 by Pidi Baiq. This research used note-taking technique and the method used is a descriptive qualitative method. This research was done by comparing texts and using narrative narrative structure theory. The results of this study indicated that seven intrinsic elements have many similarities in the three Indonesian teen novels published in different eras. The seven elements include themes, characters and characterizations, plot, theme, point of view, language style, and the mandate of the story. The comparison of the story structure in these three novel’s had implications for literacy learning in schools, namely in analyzing the content and linguistics of the novel.

Keywords: Literature, Story Structure, Teen Literature, Novel, Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, Dilan 1990

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah yang tiada henti memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Struktur Cerita pada Novel-novel Remaja Indonesia Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Selawat dan salam semoga tercurah kepada baginda Nabi Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini membutuhkan bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing akademik yang selalu sedia menerima keluh kesah penulis dan segala curahan hati di sela-sela kesibukannya. 4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi yang memberikan pencerahan dari segala kegundahan dalam menyusun skripsi. 5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

iii

6. Seluruh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2015 yang menjadi teman seperjuangan menuju kelulusan. 7. Ayah dan Ibu yang selalu menjadi pusat ketenangan. Semoga Allah menjadikan Ayah dan Ibu sebagai ahli syurga. 8. A.Hidayatullah, Ade Suhaeri, Sukaeni, Suhaebah, dan Hairullah, manusia- manusia serahim yang selalu mendukung penulis dari berbagai sisi sejak pertama menjadi mahasiswa hingga skripsi terlaksana. 9. Hasna Rashifah, Fira Azkiya, Dwike Nuraini, Adhitya Fauzan, dan Rizal Asyari. Manusia-manusia baik yang tidak pernah bosan mendengar keluh dan memeluk di saat peluh. 10. Siti Muliani, Vika Popy, Mayang Sri Raehani, dan Mariah Peni. Manusia- manusia tanpa keromantisan yang memberi banyak bantuan dan kesenangan untuk penulis sedari awal menjadi mahasiswa. 11. Fahreza, seperkawanan skripsi yang memberi inspirasi di kedai kopi dan yang telah membuat skripsi ini tersentuh kembali setelah sekian lama teracuhkan.

Jakarta, 12 Januari 2020 Suci Amalia

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... v DAFTAR TABEL ...... vii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 5 C. Batasan Masalah ...... 5 D. Rumusan Masalah ...... 6 E. Tujuan Penelitian ...... 6 F. Manfaat Penelitian ...... 6 G. Metodologi Penelitian...... 7 BAB II KAJIAN TEORI ...... 9 A. Novel ...... 9 B. Sastra Remaja ...... 15 C. Sastra Bandingan ...... 20 D. Hakikat Pembelajaran Sastra ...... 22 E. Penelitian yang Relevan ...... 23 BAB III BIOGRAFI PENGARANG ...... 26 A. Biografi Pengarang ...... 26 B. Pemikiran Pengarang ...... 28 BAB IV PEMBAHASAN ...... 32 A. Usur Intrinsik ...... 32 B. Struktur Cerita pada Novel-novel Remaja Indonesia ...... 70

v

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SekolahError! Bookmark not defined. BAB V PENUTUP ...... 107 A. Simpulan ...... 107 B. Saran ...... 108 DAFTAR PUSTAKA ...... 109 LAMPIRAN ...... 118

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 4 1 Perbandingan alur cerita 87

Tabel 4 2 Perbandingan Latar Cerita 90

Tabel 4 3 Perbandingan Sudut Pandang Cerita 93

Tabel 4 4 Perbandingan Gaya Bahasa Cerita 95

vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini dunia telah masuk ke dalam tahapan sebuah generasi yang dinamai generasi Z. Para generasi Z menurut survei yang dilakukan oleh Tirto.co di daerah Jawa-Bali dengan 1.201 responden yang berusia 7 hingga 21 tahun, menyatakan bahwa sebesar 34,1 persen generasi Z mengakses internet per hari selama 3-5 jam dan aplikasi yang paling sering dikunjungi adalah Instagram. Aplikasi lainnya yang sering diakses adalah Line sebanyak 45,4 persen, 1 Google Tools (42,1 persen), dan Youtube sebesar 39,4 persen. Perkembangan teknologi tersebut juga diiringi kemunculan cerita-cerita atau karya sastra yang membawa kekayaan bagi perkembangan dunia kesusastraan. Hal yang demikian didukung oleh perubahan arus zaman yang juga diiringi dengan perjalanan sejarah kesusastraan di Indonesia yang pernah pasif. Kini, segala tulisan bisa dengan mudah bebas terbit dan terpampang di toko buku langsung maupun toko buku daring. UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun. Hal tersebut menjadi sebuah kegelisahan tersendiri literasi, salah satunya tentu para penulis yang sudah menuangkan segala riset-riset ilmiah ke dalam buku-buku

1 Scholastica Gerintya , Bagaimana Teknologi Memengaruhi Masa Depan generasi Z, 2018, (https://tirto.id/bagaimana-teknologi-memengaruhi-masa-depan-generasi-z-cFHP)

1

2

ilmiahnya dan juga para penulis fiksi yang telah menuangkan berbagai macam 2 imajinasi yang diarahkan untuk meningkatkan literasi masyarakat. Minimnya minat baca tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Aktivitas membaca sejak usia dini yang tidak rutin menjadi salah satu faktor 3 minimnya minat baca yang masih sering terjadi di kalangan masyarakat. Faktanya, saat ini anak-anak dan remaja lebih banyak memilih beberapa variasi permainan daring ketimbang membaca melalui buku atau bacaan yang tersebar di internet. Minimnya pengetahuan mengenai genre prosa atau rekomendasi judul-judul karya sastra juga merupakan salah satu hal yang mungkin menjadi penyebab rendahnya minat baca. Sastra memang merupakan sebuah karya seni yang bisa dinikmati oleh seluruh kalangan. Kita mengenal sastra anak yang diperuntukkan untuk kalangan anak-anak, mengenal sastra remaja (teenlit) yang tercipta untuk kalangan remaja, dan bahkan juga terdapat karya sastra dewasa yang tentunya diperuntukkan untuk para pembaca dewasa. Selain dikategorikan berdasarkan jenis pembacanya, karya sastra juga dapat dikategorikan berdasarkan bentuknya. Secara umum, kita mengenal istilah puisi dan prosa. Prosa merupakan salah satu di antaranya. Berbagai macam jenis prosa dapat kita jumpai baik di media elektronik maupun media cetak. Macam-macam jenis prosa tersebut meliputi cerita pendek, novel, legenda, atau hikayat. Prosa-prosa tersebut dikategorikan lagi menurut jenjang usianya. Kita bisa melihat batasan- batasan usia pada tiap-tiap prosa yang kita jumpai seperti novel atau buku kumpulan cerpen. Penelitian ini mengambil fokus pada prosa dalam kategori novel remaja yang nantinya akan dianalisis struktur cerita percintaannya. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan analisis sementara yang menyatakan bahwa ada

2 Ane Permatasari, Membangun Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi, (Yogyakarta: Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB 2015: 2015), h. 146-147. 3 Nurul Iswari, Mengapa Literasi di Indonesia Sangat Terendah, 2017, (CNN; https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20170910122629-445-240706/mengapa-literasi-di-indon esia-sangat-terendah/)

3

kemiripan antara satu dengan karya yang lain mengenai cerita-cerita cinta remaja yang sering kali ditampilkan di layar lebar atau yang tersedia di buku- buku sehingga menyebabkan peniruan yang terjadi dalam kehidupan nyata ataupun sebaliknya. Melalui penelitian ini, peneliti ingin membuktikan adanya keterkaitan antar beberapa naskah novel remaja dari periode yang berbeda yang menyebabkan kemiripan karya sastra remaja dari beberapa periode. Selain itu, penelitian ini dilakukan karena dianggap penting sebagai bahan rujukan bacaan karya sastra untuk para remaja. Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori sastra bandingan dan struktur cerita. Karya sastra yang diambil dalam penelitian ini yaitu Gita Cinta dari SMA Karya Eddy D. Iskandar; Lupus Remaja karya Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon; dan Dilan 1990 karya Pidi Baiq. Ketiga karya tersebut lahir dalam periode yang berbeda. Gita Cinta dari SMA merupakan novel remaja yang sangat terkenal pada tahun 1978. Novel tersebut kemudian diadaptasi ke film layar lebar pada tahun 1979 dan menjadi film terlaris di tahunnya. Kepopuleran novel tersebut berlanjut dengan munculnya sinetron yang juga diadaptasi dari novel Gita Cinta dari SMA, hal tersebut membuat novel Gita Cinta dari SMA bertambah populer di kalangan remaja pada zaman tersebut. Pada tahun 2016. novel tersebut diterbitkan ulang dan diadaptasi ke dalam sebuah film berjudul “Galih dan Ratna” yang juga diadaptasi dari novel tersebut. Novel kedua yang akan dianalisis pada penelitian ini ialah novel berjudul Lupus Remaja karya Hilman Hariwijaya yang terbit pada tahun 1995. Novel ini merupakan satu dari beberapa seri novel Lupus yang dikarang oleh Hilman Hariwijaya. Novel ini merupakan novel remaja yang terkenal di zamannya dan menjadi salah satu novel yang mewakili remaja pada saat itu. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Wening Udasmoro melalui penelitiannya yang berjudul When The Teens Narrate The Selves In Indonesian Literature: Gender, Subject, And Power, Ia menyatakan bahwa: “Lupus’ identity is the representation of the author’s identity, or more specifically, the author creates Lupus as his own portrait. In social

4

practice, this novel inspires young boys to follow the fashion trends that are promoted by Lupus in the novel”. "Identitas Lupus adalah identitas penulis, atau lebih khusus, penulis menciptakan Lupus sebagai potretnya sendiri. Dalam praktik sosial, novel ini menginspirasi anak laki-laki untuk mengikuti tren mode yang dipromosikan oleh Lupus dalam novel." Selanjutnya, novel ketiga yang dibahas pada penelitian ini ialah novel karya Pidi Baiq yang berjudul Dilan 1990. Novel ini merupakan salah satu dari trilogi Dilan. Novel yang terbit pada tahun 2014 merupakan novel remaja populer yang telah diadaptasi ke dalam bentuk film layar lebar dan masuk ke dalam film serta novel terlaris. Kini, keberadaan tokoh serta gaya dalam novel itu disebut-sebut sebagai ikon remaja saat ini. Ketiga novel tersebut menjadi subjek penelitian ini karena berasal dari rentang waktu yang masing-masing berjarak belasan tahun. Hal tersebut tentunya mempengaruhi perbedaan generasi remaja sehingga dapat ditelaah kemiripan isi antara novel dengan kesesuaian remaja di masyarakat serta implikasinya terhadap pembelajaran di sekolah. Implikasi terhadap pembelajaran di sekolah juga dimaksudkan untuk memberi pengetahuan terhadap siswa tentang hal-hal yang terdapat pada novel remaja saat pembelajaran prosa di mata pelajaran bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi referensi untuk siswa mengenai struktur cerita pada novel-novel remaja dari tiga periode yang berbeda yang nantinya menjadi tolok ukur bagi siswa untuk membuat karya sastra setelah berhasil menganalisis karya. Siswa diharapkan dapat menghasilkan sebuah imaji baru terhadap pembuatan karya sastra dengan melihat adanya kemungkinan keadaan statis pada penulisan karya sastra pada ketiga novel dalam penelitian ini, hal tersebut mengarah pada kecerdasan intelektual siswa di ranah kognitif. Ketiga novel tersebut dianggap relevan pada pembelajaran sastra di sekolah lantaran siswa bisa mendapatkan pengetahuan mengenai budaya remaja yang berkembang antarperiode yang terdapat pada ketiga novel tersebut. Hal tersebut tentunya dapat membentuk karakter siswa melalui

5

budaya-budaya pada novel yang sebagian besar juga terjadi di periode saat ini. Budaya-budaya tersebut tentunya dapat diketahui siswa melalui analisis struktur cerita pada novel. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti pola-struktur cerita yang ada dalam ketiga novel tersebut. Penelitian tersebut akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan dan struktur cerita untuk mengetahui korelasi antara ketiga novel tersebut.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah, yaitu: 1. Belum adanya penelitian mengenai struktur cerita remaja yang diambil dari novel Gita Cinta di SMA karya Eddy D. Iskandar; Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon; dan Dilan 1990 karya Pidi Baiq. 2. Belum adanya penelitian yang membahas mengenai korelasi kehidupan remaja secara nyata dengan karya sastra. 3. Belum adanya penelitian secara diakronis mengenai karya sastra bertema remaja yang diambil dari novel Gita Cinta di SMA karya Eddy Iskandar; Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon; dan Dilan 1990 karya Pidi Baiq. 4. Kesulitan menciptakan proses timbal balik antara pendidik dan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar.

C. Batasan Masalah Dengan banyaknya permasalahan yang ada, tidak semua masalah yang berhubungan dengan sastra remaja akan dibahas. Munculnya berbagai masalah tersebut membutuhkan pembatasan masalah dalam penelitian agar lebih terfokus pada sasaran yang dikaji. Adapun batasan permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut: Perbandingan struktur cerita cinta remaja yang diambil dari novel Gita Cinta Di SMA; Lupus ABG; dan Dilan 1990.

6

D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, serta batasan masalah maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perbandingan struktur cerita cinta pada novel remaja Indonesia? 2. Bagaimana implikasi antara struktur cerita cinta pada novel remaja Indonesia dengan pelajaran sastra Indonesia di SMA.

E. Tujuan Penelitian Rumusan masalah yang telah dibuat memiliki beberapa tujuan, yaitu: 1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk struktur cerita cinta pada novel remaja Indonesia. 2. Menemukan implikasi pembelajaran mengenai struktur cerita cinta pada novel remaja Indonesia.

F. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini secara teoretis diharapkan mampu untuk memberikan manfaat bagi pengembangan teori kesusastraan dan juga mampu menambah informasi khazanah sastra dalam kajian pendidikan. Hal kajian pendidikan yang dimaksud digunakan untuk memusatkan perhatiannya pada karya sastra yang terdapat di dalam suatu proses belajar mengajar di kelas. 2. Manfaat penelitian ini secara praktis diharapkan mampu untuk memberikan deskripsi atau paparan mengenai pola-struktur cerita remaja. Selain itu, diharapkan dari penemuan ini nantinya akan mampu untuk memberikan suatu kontribusi data dasar bagi penelitian selanjutnya yang hendak melakukan penelitian sejenis. Diharapkan pula agar nantinya mampu untuk menambah pengetahuan bagi penulis, pembaca, dan bagi orang-orang yang berkenan memperhatikan masalah pendidikan dalam suatu kehidupan. Lebih lanjut,

7

berikut disajikan secara rinci manfaat yang diharapkan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: a. Bagi guru maupun dosen mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kualitas literasi murid. b. Bagi mahasiswa, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat untuk digunakan sebagai landasan berpikir bagi penelitian selanjutnya yang melakukan penelitian sejenis.

G. Metodologi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan sumber-sumber primer dan sekunder dengan menggunakan kaidah deskriptif. Metode penelitian kualitatif deskriptif yaitu penggunaan kata-kata atau kalimat dalam struktur yang logis untuk menjelaskan konsep-konsep dalam hubungan satu dengan yang lainnya. 2. Sumber Data Sumber data pada penelitian ini adalah struktur cerita cinta pada novel pola cinta remaja yang diambil dari novel Gita Cinta Di SMA karya Eddy D. Iskandar dengan terbitan pertama tahun 1979 yang dicetak ulang pada tahun 2016; Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon yang terbit pada tahun 1995; dan Dilan 1990 karya Pidi Baiq yang terbit pada tahun 2014 yang diterbitkan oleh penerbit Mizan. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka dengan teknik simak dan catat. Studi pustaka dalam penelitian kualitatif berisi teori dan konsep-konsep yang akan dipakai untuk menganalisis 4 termasuk menginterpretasi data. Adapun teknik simak dilakukan oleh

4 Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), h. 123.

8

peneliti dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang berupa 5 pembicaraan atau penggunaan bahasa tulisan. 4. Teknik Analisis Data Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan proses analisis kualitatif diawali dengan kegiatan mencatat, mengumpulkan, mengklasifikasi, hingga membuat kategori data agar menemukan sebuah pola dan hubungan-hubungan yang mempunyai makna. Proses tersebut dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Membaca dan menentukan unsur intrinsik yang terdapat pada struktur cerita cinta pada novel pola cinta remaja yang diambil dari novel novel Gita Cinta Di SMA karya Eddy D. Iskandar; Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya; dan Dilan 1990 karya Pidi Baiq. Kegiatan ini dilakukan untuk mengaitkan unsur intrinsik pada pembahasan masalah. b. Membahas struktur cerita cinta yang berlangsung selama beberapa periode melalui novel Gita Cinta Di ABG karya Eddy Iskandar; Lupus Remaja karya Hilman Hariwijaya; dan Dilan 1990 karya Pidi Baiq. c. Membandingkan struktur cerita cinta yang berlangsung selama beberapa periode melalui novel Gita Cinta Di ABG karya Eddy Iskandar; Lupus Remaja karya Hilman Hariwijaya; dan Dilan 1990 karya Pidi Baiq. d. Menghubungkan hasil penelitian dengan implikasi pembelajaran sastra berbasis materi prosa di sekolah.

5 Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Yogyakarta: Ar-Aruz Media, 2016), h. 207.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Novel Secara teoretis karya fiksi dapat dibedakan dengan karya nonfiksi. walau hal tersebut tidak bersifat mutlak. Prosa dalam pengertian kesusastraan disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative discource) (dalam pendekatan struktural dan semiotik). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan.1 Aminuddin berpendapat bahwa novel atau prosa rekaan adalah kisahan yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu, latar serta rangkaian cerita yang bertolak dari 2 hasil imajinasi pengarang sehingga menjalin suatu cerita. Sebuah novel memiliki unsur intrinsik yang mendukung terbentuknya cerita tersebut. Dalam hal lain, unsur-unsur intrinsik tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah struktur yang membangun cerita. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur- unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara 3 faktual akan dijumpai jika membaca karya sastra. Kemudian, unsur-unsur intrinsik tersebut dapat menghasilkan sebuah analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain.4 Unsur-unsur atau struktur tersebut tersebut meliputi:

1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 2. 2 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 127-128. 3 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 23. 4 Ibid, h. 37. 9

10

a. Tema Tema merupakan dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Dengan kata lain, gagasan umum tersebut akan mengembangkan sebuah cerita.5 Tema (theme), sebagaimana yang dikatakan oleh Stanton dan Kenny dalam buku Teori Pengkajian Fiksi adalah makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Burhan Nurgiyantoro membagi penggolongan tema menjadi dikotomi yang terdiri dari bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.6 Tema menurut keutamaannya ialah tema utama dan tema tambahan atau bisa kita sebut dengan istilah tema mayor dan tema minor. b. Tokoh dan Penokohan Istilah tokoh menunjuk pada orang atau pelaku cerita sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro menyebutkan bahwa tokoh adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh para pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.7 Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut: 1) Jika dilihat dari peran tokoh dalam perkembangan plot, maka dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian atau

5 Ibid, h. 70. 6 Ibid, h. 77. 7 Ibid, h. 177.

11

yang dikenai kejadian. Sedangkan tokoh tambahan kehadirannya hanya jika ada kaitannya dengan tokoh utama.8 2) Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis tokoh yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang ideal. Sedangkan tokoh antagonis merupakan tokoh penyebab terjadinya konflik yang berlawanan dengan tokoh protagonis.9 3) Jika dilihat dari perwatakan tokoh, maka dapat dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki kualitas pribadi tertentu saja. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang dapat menampilkan watak dan tingkah laku yang beragam, bahkan tampak bertentangan dan sulit diduga.10 c. Alur Alur merupakan suatu unsur yang pada hubungan kausalitas, kelogisan hubungan antar peristiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang dan tidak hanya bersifat temporal.11 Tasrif dalam Nurgiyantoro membedakan tahapan plot menjadi lima bagian, yaitu tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik,

tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian.12 Tahapan konflik tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Tahap Penyituasian merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal dan lain-lain yang berfungsi melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. 2) Tahap peningkatan konflik merupakan tahap konflik yang sudah muncul semakin berkembang kadar intensitasnya. Peristiwa yang terjadi semakin menegangkan. Konflik yang semakin mengarah kepada klimaks semakin tidak dapat dihindari.

8 Ibid, h. 177. 9 Ibid, h. 178-179. 10 Ibid, h. 182-183. 11 Ibid, h. 96. 12 Ibid, h. 149.

12

3) Tahap klimaks merupakan tahapan di mana konflik yang dilalui oleh para tokoh mencapai titik puncak intensitasnya. 4) Tahap penyelesaian merupakan tahap konflik yang terjadi mulai menemukan solusi kemudian cerita diakhiri. d. Latar Abrams berpendapat bahwa latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan.13Kemudian, menurut Wellek dan Warren latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Kesesuaian antara persepsi dan deskripsi latar cerita akan memberikan kesan yang lebih meyakinkan bahwa cerita sungguh ada dan terjadi.14 Latar terbagi menjadi tiga bagian, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial budaya. 1) Latar tempat Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. 2) Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan “kapan” peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

13 Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), h. 67. 14 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 67.

13

3) Latar sosial Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.15 e. Sudut Pandang Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Pemilihan sudut pandang menjadi penting karena hal itu tak hanya berhubungan dengan masalah gaya saja namun pemilihan bentuk-bentuk tersebut bersifat sederhana, di samping itu merupakan konsekuensi otomatis dari pemilihan sudut pandang tertentu. Burhan Nurgiyantoro membagi sudut pandang menjadi tiga, yaitu: 1) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Pada sudut pandang ini, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterkaitan pengarang terhadap bahan ceritanya. Sudut pandang ini terbagi menjadi “dia” maha tahu dan “dia” sebagai pengamat. 2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Pada sudut pandang ini, narator adalah seorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Sudut pandang ini terbagi dua yaitu aku sebagai pelaku utama dan aku sebagai pelaku tambahan.

15 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 314-322.

14

3) Sudut Pandang Campuran Dalam sudut pandang persona ketiga, pergantian pusat kesadaran dari seorang tokoh ke tokoh yang lain. Artinya, terjadi pergantian dari siapa masalah itu difokalisasi. f. Gaya Bahasa Dalam karya sastra istilah gaya bahasa mengandung pengertian sebagai cara pengucapan bahasa oleh pengarang untuk mengungkapkan sesuatu dalam

konteks dan tujuan tertentu yang ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan.16 Tujuan menggunakan gaya bahasa adalah mencapai efek tertentu, yaitu

keindahan.17 Gaya bahasa ialah pemakaian ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu.18Albertine Minderop mengungkapkan bahwa pada umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang bisa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan. Gaya bahasa mencakup: arti kata, citra, perumpamaan, serta simbol dan alegori. Arti kata

mencakup, antara lain: simile, metafora dan personifikasi.19 g. Amanat Gagasan yang terdapat pada sebuah cerita dan mendasari kepenulisan sebuah karya serta menjadi dasar terciptanya sebuah karya merupakan sebuah

amanat yang masuk ke dalam struktur cerita tersebut.20

Amanat bisa disampaikan secara langsung dan tak langsung. Penyampaian secara langsung bersifat menggurui. Berbeda dengan penyampaian secara tidak langsung, pesan hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensi dengan

16 Ni Nyoman Karmini, Op. Cit., h. 74. 17 Burhan Nurgiyantoro, Stilistika, (Yogyakarta: UGM Press, 2014), h. 211. 18 Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 51 19 Albertine Minderop, Metode Karakteristik Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 51-52. 20 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., 1995, h. 430.

15

unsur cerita lain.21 Penyampaian amanat secara tidak langsung dapat ditemukan oleh para pembaca melalui analisis dan tafsir pembaca itu sendiri. Sedangkan, penyampaian amanat dengan langsung, penulis naskah biasanya dengan gamblang menampilkan pesan di dalam cerita tersebut.

B. Sastra Remaja Sastra modern di Indonesia berasal dari kebudayaan Barat. Sastra Barat yang berpengaruh di Indonesia adalah sastra Barat dalam perkembangan mutakhirnya pada abad ke-19 yang telah mengembangkan sastra populer di lingkungan kaum remaja yang meniru sastra kaum borjuis yang lebih terpelajar. Membicarakan teenlit tentu tidak dapat lepas dari teenlit untuk kaum perempuan

yang lebih belia, seusia murid SMP—SMA.22 Sastra remaja atau teenlit adalah karya fiksi yang isinya mencerminkan kehidupan sosial para remaja. Teenlit mengangkat permasalahan yang tidak rumit dan penyajiannya sederhana.23 Teenlit merupakan sebuah karya yang tertulis dan

tercetak. Dengan demikian, teenlit termasuk sebuah karya sastra.24 Teenlit merupakan akronim dari kata teeneger (remaja) dan literature (sastra). Secara harfiah, teenlit berarti novel remaja dan berisi tentang segala aspek-aspek kehidupan remaja kebanyakan.25 Sedangkan makna remaja sendiri menurut Ahmadi dan Sholeh (2005:121) dibagi menjadi tiga masa yaitu masa prapubertas (pueral) di usia 12-14 tahun, masa pubertas di usia 14-18 tahun dan

masa adeleson di usia 18-21 tahun.26 Pengertian remaja dapat didefinisikan baik sebagai kelompok usia yang secara sosial merupakan bagian dari populasi suatu kelompok masyarakat tertentu, maupun sebagai salah satu fase pertumbuhan dalam siklus kehidupan manusia. Sistem sosial budaya suatu kelompok

21 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., 1995, h. 430. 22 Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 6-7. 23 Mahmud, K.K, Sastra Indonesia dan Daerah: Sejumlah Masalah, (Bandung: Angkasa, 1987), h.2. 24 Ninawati Syahrul, Sastra Remaja (Teenlit) Sebagai Media Alternatif dalam Meningkatkan Budaya Literasi, Parafrase: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Vol 17, h. 9. 25 Desri Riana, Teenlit dalam Sastra Indonesia, (Margacinta: Bandung), 2006, h. 1. 26 Ibid, h. 3.

16

masyarakatlah yang kemudian memberikan batasan-batasan, baik kondisi sosial maupun rentang waktu masa remaja. Namun perubahan biologis dan psikologis yang ditandai dengan masa pubertas menurut Bernart (1998:352) merupakan awal masa remaja yang dipahami sebagai masa peralihan dari fase anak-anak ke fase dewasa.27 Masa remaja adalah masa ketika ketegangan emosi meninggi dan tidak stabil sebagai akibat perubahan kelenjar darah. Dengan kata lain, remaja dengan emosi yang tidak stabil dihadapkan pada dua pilihan yang sangat berbeda.28 Sebagai salah satu hasil kreativitas manusia yang memberikan alternatif kepada pembaca teenlit menyikapi hidup karena tokoh dalam teenlit pada umumnya mencerminkan persoalan kehidupan manusia.29 Sama seperti pembagian karya sastra yang lainnya, sastra teenlit juga memiliki ciri khas. Ciri-ciri teenlit adalah ceritanya yang selalu mengangkat dan berkaitan dengan permasalahan remaja. Masalah yang sering diangkat adalah tentang masalah percintaan dan juga persahabatan dengan intrik-intriknya yang tidak terlalu berat dan lebih mudah dimengerti oleh para remaja dalam memahami ceritanya. Selain itu teenlit biasanya menggunakan bahasa yang dapat dikatakan sebagai bahasa gaul dan juga tokoh utamanya seorang gadis.30 Novel-novel yang bergaya teenlit bertema kehidupan percintaan remaja dalam segala kisah yang memang dialami remaja pada umumnya. Selain itu, cerita-cerita yang diangkat meliputi dinamika hidup orang-orang perkotaan, terkhusus para perempuannya, yang identik dengan cara berpikir modern, tak ketinggalan dalam mode pakaian, rambut, jenis parfum yang disemprotkan, dan ukuran kelas sosial lainnya yang menjurus pada kosmopolitanisme.31 Tokoh dan gaya hidup dalam novel teenlit menggambarkan tokoh dan gaya hidup sebenarnya di dunia Barat. Salah satu alur atau gambaran tokoh yang sangat menunjukkan

27 Yvonne Bernart, “Jugend” dalam Handwörterbuch zur Gesellschaft Deutschland, Bernhard Schäfer dan Wolfgang Zapf (eds.), ( Leske Budrich: Opladen, 1998), h. 352. 28 Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1994), h. 23. 29 Ninawati Syahrul, Sastra Remaja (Teenlit) Sebagai Media Alternatif dalam Meningkatkan Budaya Literasi, Parafrase: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Vol 17, h. 10. 30 Ibid, h. 4. 31 Loc. Cit.

17

nuansa Barat, misalnya remaja di sana di usia yang amat muda sudah terbiasa dengan kebiasaan berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks tanpa adanya pengawasan dari orang dewasa atau orang tuanya.32 Oleh sebab itu, novel teenlit secara langsung maupun tidak langsung juga berfungsi mengembangkan kepribadian pembacanya. Hal itu ditunjukkan oleh persebaran kuesioner responden yang menjelaskan bahwa pembaca mengaku merasa lebih mandiri dan dewasa setelah membaca novel teenlit. Sebagian besar di antaranya mengemukakan alasan karena kagum pada tokoh cerita yang menunjukkan perilaku disiplin dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan di sekolah, serta mempunyai semangat tinggi untuk mencapai keinginannya.33 Dalam dunia sastra, sastra remaja atau jugend literatur (Jerman) atau young adult literature pada umumnya dipahami sebagai karya sastra yang diperuntukkan bagi para remaja yang berusia sekitar 12 sampai 18 tahun. Namun dalam pemahaman ilmu sastra lama, sastra anak (kinder literatur) biasanya dipahami juga sebagai sastra remaja. Beberapa penanda utama keberadaan sastra remaja baik dalam bentuk novel atau roman maupun dalam bentuk cerita pendek di antaranya adalah kehadiran tokoh protagonisnya dari kalangan remaja dan tema yang diangkat sesuai dengan tantangan usia dan pengalaman hidup sang tokoh utama. Dari sinilah, maka sastra remaja sering pula disebut sebagai problem literatur atau coming of age literature.34 Pada abad ke-19 istilah sastra remaja menurut Garland (1998) sesungguhnya masih dalam tataran teoretis semata. Para penerbit juga belum memberikan label tersendiri untuk buku-buku yang memang dikhususkan untuk kalangan remaja dan terlebih lagi kehadiran budaya remaja (jugend kultur) dalam pengertian modern dewasa ini juga belum dipahami. Meskipun demikian tetap saja sudah muncul berbagai karya sastra yang memang sesuai dan ditujukan untuk kalangan remaja. Di Eropa misalnya, telah muncul karya-karya seperti: Der

32 Sangaji Niken Hapsari, Karya Teen Lit Sebagai Pendukung dalam Perkembangan Sastra, Dieksis: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Indraprasta PGRI, Vol. 02, h. 240. 33 Redyanto Noor, Minat, Motif, Tujuan, dan Manfaat Membaca Novel Teenlit Bagi Remaja Jakarta: Studi Resepsi Sastra, Nusa, Universitas Diponegoro , vol 12, h. 88. 34 Syamsu Rijal, Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja, Daun Lontar, 2016, h. 41.

18

Schweizerische Robinson di Swiss tahun 1812; Oliver Twist di Inggris tahun 1838; Le Comte de Monte-Cristo di Perancis. Teenlit dalam sejarah perjalanannya, mengalami kemajuan dan juga kemunduran. Pada tahun 1970-an sastra teenlit mengalami puncak kejayaan karena pada masa ini penerbitan novel populer mengalami jumlah yang sangat besar. Pada tahun 1980-an, novel populer masih mengalami masa jaya dengan konteks sosiologis yang agak berbeda. Tahun 1990- an, penerbitan novel populer mulai mengalami kemunduran akibat munculnya televisi-televisi swasta. Akhir tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an, novel populer mengalami kembali masa puncaknya dengan jenis dan bentuk yang sangat beragam.35 Dalam nuansa sastra Jerman juga dikenal salah satu genre sastra yang identik dengan sastra remaja yakni Bildungsroman. Bildungsroman atau roman pendidikan yang biasa diartikan dalam bahasa Inggris sebagai novel of education memfokuskan diri pada perkembangan psikologis dan moral tokoh protagonisnya. Dengan demikian perubahan karakter tokoh merupakan hal yang paling penting dalam genre ini. Sastra remaja dengan pola yang demikian kemudian menjadi salah satu sarana penting dalam dunia pendidikan.36 Di Indonesia, gejala munculnya sastra populer terjadi sejak pertengahan

70-an.37 Lahirnya istilah fiksi populer ditandai dengan kemunculan istilah roman picisan. Istilah roman picisan diungkapkan pertama kali oleh R. Roolvink (dalam Teeuw 1959: 169). Istilah roman picisan ini kemudian berubah lagi menjadi novel hiburan pada tahun 1960-an. Hal tersebut dipicu oleh kehadiran majalah-majalah hiburan pada masa itu, sebelum akhirnya roman picisan berganti nama menjadi novel populer pada tahun 1970-an (Wahyuni, 2012: 14).38 Beberapa penelitian menemukan bahwa teenlit sebagai bagian dari sastra populer bukan merupakan karya sastra ”rendahan” (low-brow art), yang tidak memiliki fungsi lain, kecuali menghibur. Akan tetapi, teenlit memberikan

35 Ibid, h. 26-27. 36 Syamsu Rijal, Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja, Daun Lontar, 2016, h. 42. 37 Cahyaningrum Dewajati, Sastra Populer Indonesia, (Gajah Mada University Press: Yogyakarta), 2015, h. 14. 38 Ibid,, h. 18.

19

berbagai keuntungan bagi pembaca (remaja), terutama berkaitan dengan pengembangan tradisi membaca dan apresiasi sastra. Salah satu keuntungan terpenting adalah penambahan wawasan dan kepekaan terhadap lingkungan, terutama lingkungan pergaulan dan kemasyarakatan.39 Menurut Riana, (2016: 137) teenlit dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran apresiasi sastra. Teenlit dapat digunakan sebagai media pembelajaran sastra di sekolah karena ciri-cirinya sebagai berikut; pertama, analisis unsur intrinsik karya teenlit dapat dilakukan karena, dari segi struktur bentuk, teenlit memiliki unsur intrinsik yang serupa dengan karya sastra yang lain, yaitu tema, amanat, tokoh dan penokohan, alur, plot, gaya bahasa, latar, dan sudut pandang. Kedua, pembelajaran tentang nilai-nilai moral dapat dilakukan, yaitu bahwa peserta didik dapat menemukan dan mengkritisi nilai-nilai moral yang terkandung dalam kisah-kisah seputar kehidupan remaja dalam bacaan teenlit. Ketiga, gaya bahasa teenlit yang cenderung ringan, sederhana, tidak baku namun komunikatif dan sering terdapat campur kode dengan bahasa lain, dapat digunakan pula sebagai pembelajaran analisis bahasa. Berkaitan dengan pemanfaatan teenlit sebagai media pembelajaran sastra di sekolah, diperlukan pendekatan dan metode yang tepat sesuai karakteristik peserta didik, dalam hal ini, pendekatan kontekstual tentu lebih tepat karena media yang digunakan adalah sesuatu yang dekat dan akrab dengan siswa.40 Hal tersebut dapat dilihat pada hasil sebuah survei yang dimuat dalam harian Republika bahwa teenlit telah mampu meningkatkan minat membaca para remaja khususnya remaja putri (Kusmarwanti, 2005). Minat membaca tersebut umumnya muncul karena teenlit merupakan bacaan ringan, mudah dimengerti, dan bercerita tentang berbagai hal yang akrab dengan kehidupan sehari-hari mereka, seperti percintaan, persahabatan, dan berbagai masalah perkembangan remaja.41

39 Maria Dwi P, Minat Membaca Teenlit: Studi Kasus Siswa SMA di Semarang (Skripsi), (Semarang : Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, 2007), h. 67. 40 Ninawati Syahrul, Sastra Remaja (Teenlit) Sebagai Media Alternatif dalam Meningkatkan Budaya Literasi, Parafrase: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Vol 17, h. 15. 41 Ibid, h. 10.

20

C. Sastra Bandingan Sastra bandingan pada dasarnya adalah sebuah pendekatan yang terdapat dalam konsentrasi sastra yang tidak menghasilkan teori namun dapat membandingkan antarnaskah. Hal-hal yang dapat dibandingkan bukan hanya sesama teks, namun bisa antarmedia. Antara media tulisan dengan film, dan

sebagainya.42 Sastra bandingan terdiri dari dua suku kata, yaitu sastra dan bandingan. Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata hs-. Dalam kata turunan berarti alat untuk mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau instruksi. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi

untuk pelajaran.43 Sastra juga memiliki pengertian sebagai hasil cipta dan

ekspresi manusia yang estetis (indah).44 Selain itu, sastra juga merupakan artefak budaya yang sebagian besar diterjemahkan dalam bentuk tulisan sebagai representasi pikiran dan perasaan manusia sebagai makhluk sosial. Pada dasarnya, sastra merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Selain itu, sastra juga disebut sebagai institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra

juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia.45 Kata bandingan sendiri berasal dari kata dasar “banding” yang secara bahasa memiliki arti tara/timbangan atau imbangan. Dalam pengertian lain,

42 Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan, (Tangerang Selatan: Editum, 2009), h. 1. 43 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 20. 44 Ibid, h. 1. 45 Renne Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj.Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 98.

21

banding dalam konteks ini memiliki arti membanding (to compare) dari berbagai aspek.46 Sebuah penelitian yang menggunakan teknik sastra bandingan memiliki maksud untuk melihat perkembangan-perkembangan pemikiran yang ada dalam kehidupan sehingga dapat meluaskan sebuah perspektif. Terdapat beberapa tujuan dalam teknik sastra bandingan, yaitu: (1) Menemukan orisinalitas cipta sastra; (2) Menemukan keterkaitan baik teks maupun konteks dalam olah sastra; (3) Menelusuri dan mendudukkan karya sastra pada proposi yang tepat, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional; (4) Membantu penulisan sejarah dan teori sastra secara handal; dan (5) Memberikan pemahaman terhadap karya sastra secara total dalam kaitannya dengan sastra lain.47 Pada sastra bandingan, karya sastra yang akan dibandingkan mengacu pada dua persoalan, yaitu mengenai bentuk dan isi yang masuk dalam wilayah intrinsik naskah. Bandingan yang meliputi unsur intrinsik tersebut cenderung membandingkan unsur-unsur struktur sebuah karya.48 Penelitian sastra bandingan yang meliputi wilayah struktur atau intrinsik naskah merupakan sebuah penelitian yang masuk dalam ranah intratekstual, yaitu menemukan keterkaitan antar teks.49 Bandingan intratekstual sendiri mirip kepada arah bandingan kritik teks dengan menyamakan kemiripan ide dan unsur.50 Jadi, sastra bandingan sendiri membicarakan mengenai peralihan antar naskah yang meliputi bentuk kata, tema, atau cara-cara penyajian tema-tema tertentu karya sastra yang dilakukan para penulis.51

46 Suwardi Endaswara, Metodelogi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop, 2014), h. 1-2. 47 Ibid, h. 153-154. 48 Ibid, h. 155. 49 Ibid, h. 197. 50 Ibid, h. 199. 51 Thaha Nada, Sastra Bandingan, terj. Aliudin Majhudin, (Depok: UI Pers, 1999), h. 99.

22

D. Hakikat Pembelajaran Sastra

Pembelajaran karya sastra di sekolah menjadi materi pokok yang harus harus dilakukan. Pada dasarnya, sebuah karya sastra harus berfungsi sebagai utile

‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’.52 Adanya Pengajaran sastra di sekolah mencakup beberapa manfaat yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta

membentuk watak.53 Hal tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Membantu Keterampilan Bahasa Keterampilan berbahasa menurut Tarigan meliputi mendengar, membaca, menulis, dan berbicara. Melalui pengajaran sastra di sekolah, siswa dapat melatih kemampuan bermain peran sesuai karya yang ia baca, mendengar dan menyimak karya yang dibacakan, serta menulis hasil analisis terhadap karya sastra tersebut. 2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya Keberagaman budaya yang ada dalam lingkup nasional maupun internasional dapat diketahui oleh siswa melalui karya-karya sastra yang menunjang terhadap pengetahuan budaya tersebut. 3. Mengembangkan Cipta dan Rasa Pada pengajaran sastra, beberapa kecakapan yang harus dikembangkan meliputi kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial, serta religius. Hal tersebut membuat pengajaran sastra dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti yang sesungguhnya. 4. Pembentukan Watak Kualitas kepribadian yang dimiliki oleh siswa yang meliputi ketekunan, kepandaian, mengimajikan, dan penciptaan diharapkan dapat mengalami perkembangan melalui pembelajaran sastra di sekolah.

52 Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 5. 53 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 16.

23

E. Penelitian yang Relevan Penelitian ini memiliki beberapa penelitian yang dianggap relevan. Di antaranya adalah sebuah jurnal yang ditulis oleh Wening Udasmoro yang diterbitkan di Jurnal Lingua pada 30 Agustus 2017 berjudul When The Teen Narrate The Selves in Indonesian Literature: Gender, Subject, And Power. Jurnal ini membahas mengenai hal-hal yang menjadi simbol-simbol tertentu dalam novel remaja. Novel-novel yang menjadi pembahasannya di antaranya adalah novel Eddy D. Iskandar, novel seri Lupus, novel-novel penulis Raditya Dika, hingga seri novel Kecil-Kecil Punya Karya. Penelitian tersebut menghasilkan sebuah temuan bahwa ada beberapa tema yang menjadi ciri novel teenlit, yaitu adanya hubungan asmara serta latar belakang sosial dan emosi. Penelitian tersebut juga menjelaskan beberapa simbol yang terdapat dalam novel teenlit seperti pemberian warna

sebagai identitas gender.54 Penelitian lainnya yang dianggap relevan dengan penelitian ini ialah sebuah jurnal yang ditulis oleh Tri Pamesti dalam jurnal Parafrase pada 10 Oktober 2017 yang berjudul Finding Yourself in Books as Tennager Young Adult Literature as Springboard for Social Relevance and Classroom Research. Jurnal tersebut membahas mengenai karakter-karakter yang terdapat dalam novel teenlit. Hasil dari penelitian tersebut ialah bahwa novel teenlit lebih diminati oleh anak perempuan daripada anak laki-laki walaupun pada dasarnya karakter pada novel teenlit tidak melulu perempuan. Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa pada dasarnya cerita-cerita dalam novel teenlit merupakan kisah kehidupan sehari- hari yang isinya lebih banyak menggunakan bahasa gaul atau bahasa slang. Walaupun demikian, novel teenlit dinyatakan dapat membuat minat membaca dan menulis remaja meningkat dan didapatkan temuan bahwa akhir-akhir ini novel

teelit mulai berkembang menuju kompleks dan signifikan.55

54 Wening Udasmoro, When The Teens Naarrate The Selves In Indonesian Literature: Gender, Subject, and Power, (Department of Language and Literature, Faculty of Cultural Sciences Universitas Gajah Mada:Lingua Cultura), 2018, h. 56. 55 Tri Pramesti, Finding Yourself in Books as Teenager: Young Adult Literature as Springboard for Social Relevance and Classroom Research, (Prodi Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya: Parafrase Vol. 17), 2017, h. 6.

24

Penelitian berikutnya yang dianggap relevan dengan penelitian ini yaitu jurnal yang ditulis oleh Faziela Abu Bakar, Nik Rofidah, dan Nik Muhammad Affendi. Jurnal tersebut diterbitkan oleh Jurnal Pendidikan Bahasa Melayu, JPBM (Malay Language Education Journal) pada April 2016 dengan judul Unsur Konflik dalam Novel Remaja Terpilih. Penelitian tersebut dianggap relevan karena membahas mengenai bagian intrinsik yang berkaitan dengan penelitian yang saat ini sedang dilakukan. Jurnal tersebut menggunakan tiga buah novel sebagai subjek penelitiannya, yaitu novel Azfa Hanani, novel 6:20, dan novel Merenang Gelora. Ketiga novel tersebut dijadikan subjek lantaran adanya penolakan dari pihak masyarakat terkait kategori teenlit. Beberapa orang menyatakan bahwa ketiga novel tersebut merupakan novel dewasa. Dari permasalahan tersebut maka didapatkan hasil bahwa dalam novel teenlit terdapat beberapa macam konflik, yaitu konflik remaja pada diri sendiri, konflik remaja dengan teman sebaya, dan konflik remaja dengan keluarga.56 Penelitian sebelumnya yang juga dianggap relevan dengan penelitian ini ialah jurnal berjudul Prioritas Penentuan Nilai Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Sastra Remaja yang ditulis Burhan Nurgiyantoro dan Anwar Efendi dari Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini dianggap relevan karena sama-sama memiliki korelasi ke dunia pendidikan, yaitu mengaitkan antara novel teenlit dengan dunia pendidikan remaja. Dari hasil pengamatan Burhan Nurgiyantoro dan Anwar Efendi, jurnal tersebut memiliki hasil penelitian yang berisikan bahwa pemilihan genre sastra remaja yang mesti dibelajarkan oleh para guru tampak masih terpola pada pembagian sastra kanon dewasa serta para guru lebih berfokus pada genre novel, drama, maupun puisi.57 Dari seluruh penelitian relevan yang ditemukan, terdapat beberapa kesamaan sehingga muncul sebuah hubungan antara penelitian terdahulu dengan

56 Faziela Abu Bakar, Unsur Konflik dalam Novel Remaja Terpilih, (Malaysia: Jurnal Pendidikan Bahasa Melayu – JPBM (Malay Language Education Journal – MyLEJ)), 2016, h. 62. 57 Burhan Nurgiyantoro dan Anwar Efendi, Prioritas Penentuan Nilai Pendidikann Karakter dalam Pembelajaran Sastra Remaja, (Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta: Cakrawala Pendidikan), 2013, h. 382.

25

penelitian yang sedang peneliti lakukan. Dalam penelitian Wening Udasmoro peneliti menemukan kesamaan masalah yaitu mengenai simbol-simbol yang terdapat di dalam tokoh remaja yang nantinya akan dibahas di dalam kajian struktur dalam penelitian ini. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tri Pamesti, peneliti menemukan kesamaan mengenai kajian karakter yang pada penelitian ini masuk pada unsur intrinsik tokoh dan penokohan. Selanjutnya, di dalam penelitian yang dilakukan oleh Faziela Abu Bakar, unsur yang berhubungan dengan penelitian ini ialah mengenai kajian unsur intrinsik yang dilakukan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Burhan Nurgiyantoro dan Anwar Efendi, hal yang yang berkaitan dengan penelitian ini mengenai hubungan sastra remaja dengan dunia pendidikan remaja yang di dalam penelitian ini masuk ke dalam sub bab implikasi pendidikan terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Seluruh penelitian tersebut memiliki beberapa perbedaan yang berfungsi untuk dilengkapi pada penelitian ini. Perbedaan-perbedaan yang terdapat dari seluruh penelitian yang relevan dengan penelitian ini ialah perbedaan judul novel yang akan dianalisis. Selain itu, dari keempat tema penelitian yang relevan tersebut akan digabungkan di dalam penelitian ini, yaitu mengenai karakter, unsur intrinsik, dan hubungan sastra remaja di dunia pendidikan. Penelitian ini juga menggunakan novel remaja terbaru yang dianggap fenomenal, ialah novel Dilan 1990. Pada penelitian sebelumnya, para peneliti lebih banyak menelaah tentang kepengarangan sedangkan penelitian ini difokuskan pada seluruh struktur cerita. Selain itu, pada penelitian ini terdapat implikasinya terhadap pembelajaran prosa di SMA.

BAB III BIOGRAFI PENGARANG

A. Biografi Pengarang 1. Eddy D. Iskandar Eddy D. Iskandar yang dikenal sebagai penulis novel pop lahir di Ciwidey, Bandung, 11 Mei 1951. Ia merupakan anak dari pemimpin Perkumpulan Seni Sunda Cekas Sari bernama Iskandar Natapraja. Pendidikannya ditempuh di kota kelahirannya, mulai dari sekolah rakyat hingga SMA. Setamat SMA (1971), ia melanjutkan pendidikannya ke Akademi Industri Pariwisata (Aktripa) Bandung. Setelah lulus ujian Sarjana Muda di Aktripa, tahun 1975 ia melanjutkan studinya ke Akademi Sinematografi, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini bernama Institut Kesenian Jakarta), Jurusan Penyutradaraan dan Penulisan Skenario, dan lulus tahun 1980. Dia mengagumi karya Toha Mochtar karena bahasanya sangat lembut, sedangkan sastrawan asing yang dikaguminya adalah Leo Tolstoy.1 Eddy merupakan seorang penulis yang melahirkan novel-novel remaja dan terkenal di zamannya. Novel pertamanya berjudul Berlalu dalam Sunyi dan setelah itu ia melahirkan banyak novel di antaranya ialah Catatan Si Boy, Cewek Komersil, Semau Gue, dan Gita Cinta di SMA. Selain menulis novel, Eddy juga menulis puisi yang pada 1974 pernah diterbitkan di Majalah Horison. Eddy D. Iskandar juga menulis kritik dan skenario film. Beberapa skenario film yang sudah difilmkan, antara lain, adalah "Gita Cinta di SMA" (1979), "Beningnya Hati Seorang Gadis", "Bunga Cinta Kasih", "Semau Gue" (1977), "Si Kabayan dan Anak Jin" (1991) dan "Puspa Indah Taman Hati", yang semuanya film remaja.

1 Ensiklopedia Sastra Indonesia, Eddy D. Iskandar, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Eddy_D_Iskandar

26

27

2. Hilman Hariwijaya Pria kelahiran Bengkulu, 25 Agustus 1964 ini memiliki nama lengkap Hilman Hariwijaya. Ia menulis beberapa seri novel di antaranya ialah seri Lupus. Selain itu, Hilman juga kerap menjadi penulis skenario judul sinetron di antaranya ialah “Cinta Fitri” musim 1, 2 dan 3, “Melati untuk Marvel”,

“Cinta 7 Susun”, “Catatan Hati Seorang Istri” dan “Kita Nikah Yuk”.2 Ia juga pernah menjuarai lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh majalah HAI. Selain itu, sosok penulis ini juga pernah menjadi salah satu personil band bernama Unplugged.3 Melalui akun media sosial instagram-nya yang bernama thehilmanhariwijaya, ia kini menjadi sutradara untuk serial televisi berjudul Anak Langit. Serial televisi itu bercerita tentang kehidupan anak remaja yang sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). 3. Boim Lebon Boim Lebon merupakan seorang pria kelahiran Jakarta 17 Juli 1967. Ia merupakan mantan mahasiswa Institut Sosial dan Ilmu Politik Jakarta Jurusan

Jurnalistik.4 Ia mulai menulis sejak menjadi seorang pria ABG.5 Ia pernah menjadi aktor film berjudul “Lupus” bersama Hilman, Gusur, dan Anto. Cita- citanya adalah menjadi wartawan. Ia pernah menjadi penulis sekaligus sutradara naskah drama, bahkan pernah menjadi juara ke-3 dalam pementasan drama Tolong karya Putu Wijaya di Teater IKIP Jakarta dalam rangka pesta bulan bahasa.6 4. Pidi Baiq Pidi Baiq adalah seorang seniman, sastrawan, dan juga seorang musisi serta pencipta lagu. Pidi juga berprofesi sebagai Dosen di Institut Teknologi Bandung. Seniman kelahiran Bandung, 08 Agustus 1972 itu akrab dengan

2 Shindu Alpito, Agustinus. Hilman Obrolan tentang Lupus Sampai Raditya Dika, ://www.medcom.id/hiburan/indis/ObzOOxdk-hilman-obrolan-tentang-lupus-sampai-raditya-dika. 3 Hilman Hariwijaya dan Boim, Lupus ABG, (Palmerah: Gramedia, 1995), h. 101. 4 BoimLebon, http://www.bukabuku.com/authors_corners/view/6832/boim-lebon.html 5 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op.Cit,, h. 103. 6 http://www.bukabuku.com/authors_corners/view/6832/boim-lebon.html

28

sebutan “Ayah” oleh idolanya. Selain sebagai seorang musisi dan pencipta lagu, ia juga seorang penulis, ilustrator, pengajar dan komikus. Sudah banyak karya yang ia ciptakan. Pidi Baiq semakin dikenal para pecinta karya sastra khususnya bergenre humor melalui karyanya berjudul Dilan: Dia adalah Dilanku tahun 1990 terbit tahun 2014, Dilan Bagian Kedua: Dia adalah Dilanku Tahun 1991 terbit tahun 2015 dan Milea: Suara dari Dilan terbit tahun 2016. Pada 25 Januari 2018, Pidi bersama Fajar Bustomi merilis film berjudul "Dilan 1990". Film yang sukses meraih 4,3 juta penonton dalam 2 pekan ini diangkat dari novel dengan judul Dilanku 1990 karya Pidi Baiq. Film tersebut dibintangi oleh Iqbal Ramadhan dan Vanesha Prescilia. Ia juga menulis naskah film Baracas. Pada tahun 2017 Pidi Baiq menerima penghargaan dari IKAPI Award kategori Writer of The Year.7

B. Pemikiran Pengarang 1. Eddy D. Iskandar Eddy D. Iskandar mengagumi karya Toha Mochtar karena bahasanya sangat lembut, sedangkan sastrawan asing yang dikaguminya adalah Leo Tolstoy yang merupakan seorang sastrawan asal Rusia yang lahir di tahun 1828-1910. Ia merupakan sastrawan yang mengkritik mengenai kehidupan masyarakat atau history Rusia. Hal itu terbukti melalui beberapa riset yang menyatakan bahwa beberapa cerpennya, yaitu yang berjudul Good Sees the Truth but Waits (1872) dan Ivan the fool (1885) berisi tentang kritik

moralitas.8 Hal tersebut tentunya berpengaruh pada gaya bercerita Eddy D. Iskandar yang walaupun isinya mengenai kehidupan remaja, namun ia tetap memasuki nilai-nilai moral di dalamnya seperti halnya nilai kritik patriarki di dalam novel Gita Cinta dari SMA.

7 Pidi Baiq, https://amp.tirto.id/m/pidi-baiq-YC. 8 Dian Laily Rachmawati, Leo Tolstoy’s Idea of Morality in His Short Stories Characters, (Universitas Negeri Surabaya, English Literature, Faculty of Language and Arts: Kultura). H. 2. 28

29

Eddy D. Iskandar juga mengaku bahwa ia hidup dari hasil menulis. Sebagai seorang wartawan, ia juga menulis berita. Selain itu, ia juga menulis kritik dan skenario film. Beberapa skenario film yang sudah difilmkan, antara lain, adalah Gita Cinta di SMA (1979), Beningnya Hati Seorang Gadis, Bunga Cinta Kasih, Semau Gue (1977), Si Kabayan dan Anak Jin (1991) dan Puspa Indah Taman Hati, yang semuanya film remaja. Selain itu, Gita Cinta di SMA juga disinetronkan. Sampai tahun 1984 ia telah menulis 50 novel. Sebanyak 13 judul di antaranya sudah difilmkan. Menurut pendapatnya, yang dikutip Ahmadun J. Herfanda, dalam Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 1984, film-film remaja mulai mendapat tempat, bukan saja laris di pasaran, melainkan juga masuk nomine Festival Film Indonesia (FFI), seperti Gita Cinta di SMA, Puspa Indah Taman Hati, Cinta di Balik Noda, dan Yang. Tentang misi yang diemban film-filmnya, ia menyatakan bahwa film-film remaja juga mempunyai misi kultural-edukatif; hanya takarannya barang kali berbeda dengan film dakwah. Film Anak Buangan, misalnya, mempunyai misi pendidikan wiraswasta dan film Yang mempunyai misi pendidikan

kedewasaan.9 2. Hilman Hariwijaya Hilman Hariwijaya atau yang juga dikenal sebagai Hilman Lupus adalah penulis kelahiran Jakarta, 25 Agustus 1964 yang sangat produktif. Hilman pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Sastra Inggris Universitas Nasional. Ia dijuluki Jago Ngocol Se-Indonesia karena novel-novelnya sarat dengan cerita komedi yang orisinal, yakni yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Ia mulai menulis sejak remaja dan majalah Hai sering sekali memuat karangan-karangannya. Ia bahkan pernah meraih juara dua dalam lomba cerpen majalah Hai. Pada tahun 1986, ia mulai menerbitkan novel pertamanya, Tangkaplah Daku Kau Kujitak. Setelah itu, ratusan judul novel seri Lupus ditulisnya. Novel seri Lupus yang sangat fenomenal membuatnya mengeluarkan karya sekuel dari Lupus, yakni Lupus Kecil

9 Ensiklopedia Sastra Indonesia, Loc. Cit.

30

dan Lupus ABG.10Awalnya, Lupus dimuat di majalah Hai pada sekitar tahun

80-an.11 Bacaan ringan yang banyak digandrungi ini dikemas dengan humor dan bahasa gaul khas remaja. Dalam setiap cerita, Lupus berusaha menyuguhkan adegan-adegan konyol yang menghibur. Berbeda dengan novel pada umumnya, Lupus tidak memiliki batang alur yang utuh. Karena awalnya diangkat dari cerpen pada majalah Hai, ia hanya merupakan kumpulan cerita

yang mengisahkan kehidupan Lupus sehari-hari.12 3. Pidi Baiq Bagi Pidi Baiq, kreativitas adalah mitos, kreativitas itu dusta kalau ingin kreatif tapi mental eksakta, dikarenakan dua dunia berbeda. Perbedaannya yaitu, eksakta jika jawabanmu sama dengan umum maka kau benar. Di dunia eksakta, hal yang harus dilakukan yaitu berpikir baru berbicara. Sedangkan di dunia kreativitas, jika jawabanmu umum maka kau menyontek. Makanya orang kreatif sering dibilang gila. Di dunia kreativitas berbicara dulu baru berpikir tidak ada seminar kreativitas.13 Pada dasarnya, Pidi Baiq gemar membaca teenlit, lalu timbul keinginan untuk membuat novel, kemudian terbitlah Dilan. Saat produksi film Dilan 1990 Pidi Baiq sempat berselisih dengan PH (production house) dikarenakan banyak novel yang difilmkan tetapi tidak sesuai dengan novel. Pidi Baiq menginginkan film Dilan 1990 sesuai dengan novelnya. Tidak ada tujuan besar untuk menggeluti dunia seni karena bukan Loc (Locus of control) luar, ia melakukan aktivitas menulis karena ada waktu yang senggang. Dalam membuat karya, saya tidak mengacu dengan pesan moral atau apapun karena sudah banyak ulama dan lain-lain. Pidi Baiq tidak hadir dalam penghargaan-penghargaan karena tidak mau meraih popularitas tetapi mau

10 Cahyaningrum Dewajati, Sastra Populer Indonesia, (Gajah Mada University Press: Yogyakarta), 2015, h. 104. 11 Desri Riana, Teenlit dalam Sastra Indonesia, (Margacinta: Bandung), 2006, h. 58. 12 Ibid, h. 59. 13 Intitut Teknologi Bandung, https://www.youtube.com/watch?v=FT2VPWiGPj4, Studium Generale KU-4078.

30

31

masuk surga. Selain itu, Pidi Baiq tidak mau didesak dalam berkarya. Kreativitas merupakan dorongan intuisi, lebih cenderung untuk menghabisi waktu kosong. Bukan dengan dorongan dosen atau apapun. Dunia eksakta merupakan rem, tetapi di dunia kreativitas tidak ada tetapi nantinya akan kompromi dengan dunia eksakta. Dahulukan imajinasi karena eksakta hanya rem dari dunia imajinasi karena kalau tidak ada rem bisa gila. Orang gila dan orang kreatif beda tipis, bedanya orang kreatif bisa manajemen.14

14 Wawancara dengan Pidi Baiq, 11 Oktober 2019, melalui telepon aplikasi Whatssap.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Usur Intrinsik 1. Tema Tema merupakan dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Dengan kata lain, gagasan umum tersebut akan mengembangkan sebuah

cerita.1 Tema pada novel Gita Cinta dari SMA mengenai perbedaan kelas dan budaya yang didukung dengan tema minor melalui kisah asmara antara dua anak remaja yang sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Akhir (SMA) di Bandung, yaitu Galih dan Ratna. Ratna merupakan gadis asal Jawa yang bertransmigrasi ke Bandung karena dinas bapaknya yang mengharuskan mereka pindah dari Jogja. Ratna menjalin kisah cinta dengan Galih yang merupakan teman satu kelasnya. Galih juga merupakan pria yang lahir dan besar di Bandung atau dengan kata lain, ia adalah pria bersuku Sunda. Lantaran Galih berasal dari suku Sunda dan Ratna berasal dari suku Jawa, maka kisah asmara mereka harus kandas karena bapak Ratna yang asli kelahiran Jawa menganggap pernikahan dengan orang Sunda akan membawa petaka. Kepercayaan mitos yang ada pada tokoh bapak, menurut mitologi suku Sunda dilatarbelakangi oleh peristiwa Perang Bubat. Perang Bubat merupakan perang yang terjadi antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran. Saat itu, putra Majapahit ingin menikahi putri Kerajaan Pajajaran yang bernama Dyah Pitaloka. Ketika pernikahan tersebut disetujui oleh kedua belah pihak. Namun, ketika Kerajaan Pajajaran telah sampai di Majapahit, Maha Raja Majapahit meminta raja Pajajaran untuk

1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 70.

32

33

tunduk kepadanya, maka pernikahan itu batal dan membuahkan kematian raja Pajajaran dan Putri Dyah Pitaloka. Mitologi tersebut dipercaya hingga sekarang dan menjadi batasan antara suku Jawa dan suku Sunda. Novel Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon mengambil tema besar mengenai gaya hidup yang dilakukan remaja kota. Kedua penulis tersebut membungkus kebiasaan-kebiasaan remaja dengan balutan kehidupan keluarga yang terlihat kompak dan lucu. Kebiasaan remaja yang disorot pada novel ini adalah fase-fase jatuh cinta yang dialami oleh para remaja. Penulis bukan hanya memfokuskan tokoh Lupus dan Lulu yang sedang mengalami perubahan psikologis akibat perkembangan usianya. Namun, ia juga menghubungkan tokoh-tokoh lain (teman-teman Lupus) sebagai bahan untuk mendeskripsikan perilaku remaja pada umumnya, yaitu memulai ketertarikan kepada lawan jenis. Pada novel Dilan 1990 temanya adalah tentang konstruksi sosial yang ditampilkan melalui keberadaan gaya hidup remaja yang sedang populer pada saat itu dalam cerita cinta remaja. Seperti pada kutipan “Dan malam ini aku ceritakan kisahnya, bersama rinduku kepadanya yang tak bisa kuelakkan.”2 Kutipan di atas menyatakan bahwa pada novel tersebut, penulis ingin menjadikan cerita percintaan antara Milea dan Dilan sebagai cerita yang menghantarkan pembaca. Konstruksi sosial salah satunya terdapat pada keberadaan geng motor. Pada dasarnya, orang-orang sering kali memberi citra anak geng motor sebagai sosok yang amburadul dan broken home. Namun, dalam novel ini, ditampilkan sosok Dilan sebagai seorang personil geng motor yang pandai dan memiliki keluarga yang harmonis. Hal itu terdapat dalam kutipan, “Hari itu adalah hari paling bahagia buatku. Aku bahagia bisa berada di rumah Dilan. Bisa berkumpul dengan bunda. Bisa kenal Disa, dengan Bang Banar, dan Bi Diah.”3

2 Pidi Baiq, Dilan, (Bandung: Mizan, 2014), h. 17. 3 Ibid. h. 268.

34

Dari ketiga novel tersebut, seluruhnya mengangkat mengenai tema budaya. Namun, hal yang berbeda yaitu pada novel Gita Cinta dari SMA budaya yang menonjol ialah budaya tradisional. Sedangkan, pada novel Lupus ABG dan Dilan 1990 budaya yang ditonjolkan adalah mengenai gaya hidup remaja yang sedang populer pada masanya.

2. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan dalam cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu tokoh menurut perkembangan plot yang terbagi menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh menurut penampilan tokoh yang terbagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis, serta tokoh menurut perwatakan tokoh yang terbagi menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Di dalam penelitian ini, penulis menganalisis tokoh sesuai kategori tersebut dengan memberikan spesifikasi analisis yang mendalam pada tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh terhadap jalannya cerita. Selain tokoh Galih dan Ratna yang merupakan tokoh utama, novel Gita Cinta dari SMA juga menampilkan beberapa tokoh tambahan yang terdiri dari beberapa kawan sekolahnya yaitu Erlin, Mimi, dan Anton yang menjadi pendukung cerita sebagai pihak yang mendukung hubungan Galih dan Ratna. Selain itu, tokoh tambahan yang ada dalam novel ini juga meliputi tokoh Kepala Sekolah yang berkaitan dengan kepengurusan kepindahan kelas Galih saat konflik cerita terjadi di dalam novel. Bukan hanya di dalam lingkungan sekolah, tokoh tambahan yang ada dalam novel tersebut juga meliputi keluarga, yaitu Mbak Ning yang merupakan tante Ratna. Mbak Ning juga merupakan tokoh tambahan yang mendukung perjuangan cinta Galih dan Ratna. Hampir seluruh tokoh tambahan yang berada dalam novel tersebut merupakan tokoh-tokoh protagonis yang masuk ke dalam kategori tokoh sederhana dan selalu menolong Ratna dalam kesulitan. Secara fisiologis, tokoh utama wanita dalam novel ini, yaitu Ratna digambarkan sebagai wanita yang cantik melalui kutipan “Awas siapa pun

35

juga tak boleh mengganggu bidadari yang cantik jelita ini!”4 yang dikatakan oleh kepala sekolah sewaktu hari pertama Ratna menginjakkan kaki di sekolahnya. Pengakuan tentang kecantikan Ratna diperkuat dengan beberapa bagian cerita dalam novel yang menyatakan bahwa banyak teman sekelas Ratna yang menitipkan salam padanya dan memuji kecantikannya. Berdasarkan aspek sosiologis, tokoh Ratna merupakan seorang gadis yang berasal dari keluarga menengah atas. Hal itu dapat dibuktikan dari pernyataan cerita yang menyatakan bahwa bapak Ratna merupakan mantan kepala pertanian di Kabupaten Indramayu, seperti dalam kutipan “Dulu kepala pertanian di Kabupaten Indramayu, sekarang dipindahkan ke sini,”5 kata Ratna kepada Erlin ketika mereka sedang berbincang. Pernyataan yang menguatkan bahwa Ratna merupakan seorang gadis kaya juga terdapat di dalam kutipan cerita yang menyatakan bahwa bapaknya memiliki mobil seperti dalam kutipan, “Tiba-tiba dari jauh terlihat sedan ayahnya Ratna menuju ke arah mereka. Wajah Ratna sudah pucat karena takut ketahuan. Galih gelagapan tak tahu apa yang mesti dilakukan.”6 Hal tersebut dapat dikatakan karena pada tahun ditulisnya cerita tersebut, yakni tahun 60- an, hanya orang-orang tertentu yang memiliki mobil, dalam artian tidak semua masyarakat dengan mudah memiliki mobil seperti saat ini Berdasarkan kategori perwatakan, tokoh ratna merupakan tokoh yang sederhana. Hal itu dibuktikan dengan adanya konsistensi sikap tokoh Ratna dari awal hingga akhir cerita. Sedangkan, berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh Ratna masuk ke dalam kategori tokoh protagonis dengan beberapa perilaku yang menunjukkan kesetiaannya terhadap tokoh Galih. Hal itu dapat dilihat ketika ia lebih memilih mencintai Galih dari pada pria lain. Padahal, jika dibandingkan dengan pria lainnya, Galih merupakan satu- satunya pria yang tidak memiliki motor apalagi mobil. Dalam arti lain, Galih hanyalah anak laki-laki yang berasal dari keluarga menengah ke bawah.

4 Eddy D. Iskandar, Gita Cinta dari SMA, (Yrama Widya: Bandung), 2016, h. 3. 5 Ibid, h. 4. 6 Ibid, h. 95.

36

Namun, Ratna memilih menjatuhkan hatinya pada Galih lantaran sifat Galih yang rendah hati dan tidak pamrih kekayaan seperti yang lainnya. Ratna bahkan tetap mencintai Galih dan berusaha mempertahankan kisah cintanya dari segala tekanan bapaknya yang melarangnya berhubungan dengan Galih. Seperti pada kutipan cerita: “Di belakang rumahku ada tembok yang bolong. Usahakanlah agar kau masuk melalui situ. Nantikanlah aku di bawah pohon jambu, aku pasti akan menjumpaimu. Kemesraan kita cuma semalam lagi!”7 kutipan tersebut terjadi ketika Ratna berusaha bertemu Galih secara diam-diam saat beberapa saat lagi akan pindah. Selain Ratna, tokoh utama dalam novel ini adalah tokoh Galih. Galih merupakan tokoh sederhana yang konsisten dengan sifatnya. Tokoh Galih secara fisik digambarkan sebagai seorang pria remaja yang berambut agak gondrong, tinggi, dan agak kurus. Ciri-ciri fisik tersebut terdapat dalam kutipan “Rambutnya agak gondrong, tapi disisir rapi. Pakaiannya sederhana, tapi tampak bersih. Tubuhnya tinggi, agak kurus,”8. Secara psikologis, tokoh Galih merupakan seorang pria yang memiliki suara lembut dan jago bermain gitar. Ia memiliki watak yang rendah hati. Hal itu terungkap ketika ia memaafkan tersangka pengeroyokan yang ia alami. Tokoh Galih juga rendah hati membantu meminjamkan buku catatannya kepada Ratna yang saat itu masih berstatus sebagai siswa pindahan baru. Watak lain yang dimiliki oleh tokoh Galih adalah sederhana. Kesederhanaannya terungkap melalui kendaraan yang ia gunakan, yaitu sepeda. Padahal, saat itu banyak kawannya yang sudah menggunakan motor. Hal tersebut juga menggambarkan latar sosial yang dimiliki oleh tokoh Galih yang digambarkan berasal dari keluarga menengah ke bawah. Kesederhanaan yang dimiliki oleh Galih tidak membuatnya untuk tidak menjadi siswa yang berprestasi. Galih merupakan salah satu siswa berprestasi di sekolahnya. Hal tersebut diungkapkan dalam kutipan, “Kami ulangi lagi,

7 Ibid, h. 131. 8 Ibid,, h. 3.

37

untuk tahun ini hadiah pelajar teladan putra dan puteri, jatuh kepada… Galih

Rakaswiri dari kelas tiga SOS dua dan Ratna Suminar dari tiga SOS satu,”9 sekolah. Kutipan tersebut terjadi saat acara malam perpisahan Selain pandai, Galih merupakan sosok pria romantis dan setia. Keromantisannya digambarkan ketika ia menunjukkan bahwa cintanya ke Ratna adalah ketulusan seperti dalam kutipan, “O, betapa sempurnanya perhatian Galih terhadapku! Bisik hati Ratna. Cintanya tidak timbul karena nafsu, tapi terdorong perasaan yang tulus,”10dialog tersebut terjadi ketika Galih meminta Ratna untuk menutup tubuhnya dengan baju seusai berenang dengan menggunakan pakaian renang. Selain itu, keromantisan Galih juga digambarkan melalui berbagai peristiwa yang dilakukan Galih sebagai bentuk perlindungan kepada Ratna, seperti saat ia harus terpaksa pindah kelas agar Ratna dapat bersekolah kembali dan ketika ia harus meloncat ke sawah dan membuat tubuhnya kotor agar Ratna tidak dimarahi ayahnya seperti dalam kutipan, “Dan Galih tidak membuang waktu, ia menuruti saran Rani. Secepat kilat meloncat ke tengah sawah yang terhampar di samping kirinya. Galih tak lagi memedulikan celana yang kotor kena lumpur.”11 Galih juga digambarkan sebagai sosok yang setia. Selama perjalanan cerita, tokoh Galih digambarkan tidak memiliki cinta kepada wanita selain Ratna, walaupun keadaan genting dan penolakan terhadap cintanya dari bapak Ratna amat besar. Namun, Galih tetap mencintai Ratna sampai hari perpisahan mereka. Tokoh antagonis di dalam naskah novel tersebut adalah bapak Ratna. Tokoh bapak Ratna digambarkan sebagai seorang bapak yang mengekang anaknya. Hal tersebut ditunjukkan melalui perilakunya yang mengurung dan melarang Ratna untuk bersekolah agar tidak bertemu dengan Galih, seperti

9 Ibid, h. 125. 10 Ibid, h. 80. 11 Ibid, h. 95.

38

pada kutipan “Setelah absen selama empat hari, Ratna kembali masuk sekolah. Akal Mimi ternyata berhasil. Dengan surat pernyataan putus itu, ayah Ratna benar-benar percaya bahwa Ratna sudah tidak ada hubungan apa- apa lagi dengan Galih,”12. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai seorang yang pemarah melalui beberapa peristiwa pertengkaran yang terjadi dengan Ratna dan tokoh lainnya. Seperti halnya yang terdapat pada kutipan “Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Ratna. Ratna memekik. Ibunya segera melerai. Ratna kembali ke dalam kamar. Mbak Ning memburunya.”13 Yang terjadi karena ayahnya Ratna menuduh Ratna berpacaran dengan Galih di dalam air. Kemarahan-kemarahan yang dilakukan oleh tokoh bapak akibat sifat egois yang ada dalam dirinya, yaitu memegang teguh adat istiadat tentang pertentangan antara pernikahan suku Sunda dan suku Jawa. Novel kedua yang menjadi objek dalam penelitian ini ialah novel Lupus ABG yang memiliki beberapa tokoh tambahan seperti kawan-kawan Lupus di sekolah yang mendukung alur cerita tentang masa-masa remaja Lupus. Tokoh-tokoh tersebut ditampilkan sebagai tokoh remaja yang banyak mengalami peristiwa-peristiwa jatuh cinta. Tokoh utama di dalam novel ini adalah Lupus. Lupus merupakan seorang remaja yang berlatar sosial dari keluarga dengan ekonomi menengah atas. Hal itu dibuktikan dengan adanya beberapa barang yang dimiliki keluarganya dan mencerminkan kelas sosial, seperti memiliki mobil dan telepon rumah pribadi. Lupus merupakan tokoh pria remaja yang baru memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti yang tercantum di dalam pengantar novel tersebut, yaitu, “… Lupusnya yang sekarang sudah lepas SD. Artinya Lupus sudah ABG!”14 digambarkan sedang memasuki masa awal pubertas dengan

12 Loc. Cit. 13 Ibid, h. 84. 14 Hilman Hariwijaya dan BoimLebon, Lupus ABG, (Jakarta:Gramedia), 1995, h. Pengantar.

39

sikap-sikap seorang pubertas lainnya secara umum. Ia mulai menunjukkan ketertarikan kepada lawan jenisnya. Hal tersebut sesuai dengan beberapa rangkaian cerita yang ada di dalam novel Lupus ABG salah satunya seperti, “Tahu kan Prudence? Aelah, masa lupa? Itu, cewek indo yang lagi diincer Lupus. Yang rambutnya sebahu, dan hidungnya runcing kayak penggaris segi tiga. Kalo soal manis, gula seton juga kalah sama Prudence,”15 dalam kutipan tersebut, Prudence merupakan teman wanita Lupus di sekolah yang ia taksir. Melalui ketertarikannya kepada lawan jenis, Lupus mulai menjadi sosok yang suka bersolek dan berpenampilan necis agar terlihat lebih menarik. Hal itu terdapat pada kutipan, “Yang lebih genit lagi Lupus juga memakai krim anti jerawat, hand & body lotion, deodorant, atau parfum punya Mami. Enggak ketinggalan fixing gel Mami buat menguatkan “harkat dan martabat” jambulnya itu.”16 Namun, di balik perubahan masa yang dialami oleh Lupus, ada beberapa sifat Lupus yang juga digambarkan oleh penulis dalam novel. Salah satunya adalah, ia suka melakukan tindakan-tindakan yang tidak masuk ke dalam logika. Seperti halnya tindakan Lupus ketika peristiwa penghematan air. Lupus mengambil jalan yang tidak masuk akal seperti tidak mandi dan mengajak serta teman-temannya untuk melakukan hal yang sama, seperti pada kutipan, ““Kalau gitu, bilangin teman-teman yang lain untuk tidak mandi semua,” kata Lupus lagi”17. Lupus juga digambarkan sebagai sosok remaja yang masih memiliki kenakalan-kenakalan atau kejahilan remaja pada umumnya, seperti ketika ia mengisengkan papinya dalam kutipan cerita “Lupus langsung kumat jailnya. Ia langsung naik sepeda ke rumah Pepno, minjem telepon untuk menelepon ke rumah.”18 Kejadian itu berlangsung ketika Lupus menjahili papanya yang sedang mencabut sambungan telepon lantaran tarif telepon yang melonjak.

15 Ibid, h. 31. 16 Ibid, h. 12. 17 Ibid, h. 25. 18 Ibid, h. 21.

40

Kejahilan-kejahilan Lupus pada akhirnya juga menggambarkan dia sebagai pria yang riang dengan beberapa celetukan-celetukan dan deskripsi tingkah lakunya. Lupus sebagai seorang pria yang menjadi anak sulung, juga memiliki sifat perhatian kepada adiknya. Salah satu buktinya adalah ketika dia mengikuti langkah Lulu saat berkencan dengan teman lawan jenisnya di Pondok Indah Mal (PIM). Selain itu, ia juga memberi pengertian dan nasihat kepada adiknya untuk jangan sedih lagi seperti dalam kutipan, ““Iya, Lu, be yourself dong!” kata Lupus juga.”19 Selain Lupus, tokoh Mami yang merupakan ibu dari tokoh Lupus juga menjadi tokoh penting di dalam cerita ini walaupun keberadaannya hanya menjadi pelengkap cerita. Mami Lupus merupakan tokoh yang memiliki sifat teledor. Tokoh ini acap kali membuat kelucuan-kelucuan yang dihasilkan dari kecerobohannya. Seperti halnya saat dia mengikuti perintah tokoh Papi untuk mengirit air, ia justru membawa seluruh cuciannya ke tempat berenang demi air di rumahnya, hal tersebut terdapat dalam kutipan, “Sebentar, Mami mau bawa cucian!”20 Kecerobohan lain yang dilakukan oleh tokoh Mami adalah ketika ia mulai mencoba bisnis kue dan mencari asisten rumah tangga tanpa mengujinya terlebih dahulu, hal tersebut lantas membuat usahanya gagal. Walaupun demikian, tokoh Mami juga digambarkan sebagai sosok ibu yang pengertian dan mencoba memahami kondisi anak-anaknya. Contohnya adalah ketika dia paham mengenai proses transisi psikologi yang dialami oleh kedua anaknya seperti dalam kutipan, “Pokoknya besok Papi sudah harus memikirkan kebiasaan-kebiasaan baru anak-anak kita itu,” lanjut Mami.”21 Ia juga rela mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan Lulu ke salon saat ingin berkencan dengan lawan jenisnya dan juga rela menuruti keinginan

19 Ibid, h. 45. 20 Ibid, h. 29. 21 Ibid, h. 14.

41

Lupus untuk tidak berbicara saat Lupus mengajak wanita yang ia sukai mendatangi rumahnya. Seperti tokoh Mami Lupus, tokoh Papi (ayah Lupus) merupakan sosok ayah yang digambarkan memiliki kepribadian yang pelit. Hal itu diungkapkan dari beberapa peristiwa yang melibatkannya. Salah satunya adalah peristiwa pemutusan telepon rumah akibat tarif telepon yang melonjak, seperti dalam kutipan “Mulai hari ini, telepon di rumah pake kunci. Dan kuncinya Papi pegang!”22. Selain itu, sifat pelit yang dimiliki oleh tokoh Papi juga digambarkan dalam peristiwa arisan di rumah Lupus yang menyebabkan Lupus dan Lulu harus makan di luar namun Papi menyuruh kedua anaknya untuk mencari makanan gratis seperti yang tergambar dalam kutipan, ““Aduh, kenapa kalian nggak main-main aja ke rumahnya Pepno atau siapa gitu, supaya ditawari makan siang?” usul Papi ngeselin.”23. Ia juga kerap kali melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal seperti pada saat peristiwa pengiritan air, ia rela tidak mandi seharian saat pergi ke kantor dan minum dengan jumlah yang sangat sedikit, seperti dalam kutipan, ““Mudah-mudahan aja tindakan kita yang rada-rada aneh ini bisa jadi perhatian orang banyak supaya pada mau berhemat air juga,” kata Papi lagi.”24. Selain pelit, tokoh Papi juga digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sifat melankolis. Hal tersebut terlihat ketika ia merasa sedih saat fotonya tidak terpajang di kamar Lupus. Peristiwa tersebut membuatnya berpikir bahwa Lupus tidak menjadikan dirinya sebagai sosok kebanggaan, hal tersebut terdapat dalam kutipan, “Kok foto Papi gak ada, ya?” tanya Papi sambal terus mencari-cari. ‘Apa Papi nggak disayang sama anak-anak?’”25 hal tersebut menggambarkan naluri seorang bapak yang ingin menjadi sebuah kebanggaan bagi anak-anaknya. Ia merasa gagal disayangi oleh anak-anaknya melalui

22 Ibid, h. 18. 23 Ibid, h. 85. 24 Ibid, h. 27. 25 Ibid, h. 48.

42

peristiwa tersebut. Peristiwa tersebut juga membuatnya bersedih hingga menangis. Tokoh berikutnya yang masuk ke dalam novel ini adalah tokoh Lulu yang merupakan adik dari Lupus. Lulu merupakan tokoh remaja putri yang menjadi adik Lupus. Ia mengalami fase-fase yang sama seperti halnya Lupus. Ia pernah bekerja sama dengan Lupus untuk menjahili Papinya. Selain itu, sebagai sosok remaja, ia berusaha untuk mengikuti tren yang sedang berlangsung, seperti di dalam kutipan, “…bukan apa-apa, Lulu itu selalu jadi

Kormod. Korban mode,”26 ia juga berdandan layaknya seorang gadis remaja seperti di dalam kutipan “… Papi juga heran ngeliat Lulu yang tengah berkutat menghias rambut pendeknya itu.”27. Sama seperti Lupus, Lulu juga acap kali bertingkah laku aneh, seperti saat ia memakan mi dalam porsi banyak hanya untuk membuat rambutnya keriting demi mendapatkan ketertarikan pria yang ia taksir, hal tersebut terdapat dalam kutipan, “Masa gitu sih, naksir cowok jadi hobi makan mi? biasanya kalo naksir jadi hobi dandan atau apa, gitu. Masa iya jadi doyan makan mi….”28. Novel selanjutnya yang masuk ke dalam penelitian ini ialah novel berjudul Dilan 1990. Di dalam novel tersebut, tokoh-tokoh didominasi oleh tokoh anak-anak sekolah atau remaja. Mereka pada umumnya adalah teman satu sekolah tokoh Milea dan Dilan (tokoh utama). Tokoh Milea dalam novel Dilan 1990 merupakan tokoh utama. Ia merupakan seorang pemain sekaligus narator dalam cerita. Dalam novel tersebut, sosoknya digambarkan sebagai seorang wanita yang cantik dan berambut panjang, kecantikannya diungkapkan melalui beberapa dialog. Salah satunya adalah kutipan: “Cantik!” katanya. “Bi, cantik, ya?” kata dia lagi ke Bi Eem.

26 Ibid, h. 31-32. 27 Ibid, h. 12. 28 Ibid, h. 39.

43

29 “Iya,” jawab Bi Eem.

Selain cantik, tokoh Milea merupakan tokoh protagonis melalui perhatian- perhatiannya kepada Dilan saat Dilan terlibat perkelahian dengan Pak Suripto dan Anhar. Ia bahkan mencari cara untuk menggagalkan acara penyerangan (tawuran) yang akan dilakukan oleh Dilan dan kawan-kawannya. Seperti dalam kutipan: “Aku risau oleh adanya kabar Dilan mau nyerang. Bisa kebayang risiko yang akan didapat oleh Dilan kalau benar-benar dia nyerang. Dia akan luka, atau Tak ada yang baik dari berantem. Kalah jadi abu,

menang jadi arang.” Sosok Milea juga digambarkan sebagai seorang yang tegas dan berani mengambil keputusan. Salah satu yang membuktikan ketegasannya adalah ketika ia berani memutuskan hubungannya dengan Beni lantaran sikap Beni yang kasar. Pribadi lainnya yang terdapat dalam diri Milea adalah keteguhan dirinya. Ia bahkan tidak mau mendengarkan omongan orang-orang yang menjelekkan Dilan. Ia tetap mencintai Dilan sejelek apapun Dilan di mata orang-orang seperti Nandan dan Kang Adi. Hal tersebut terdapat dalam kutipan: “Tapi dorongan untuk ingin tahu lebih banyak tentang Dilan selalu muncul setiap waktu, terutama sejak adanya informasi akan banyak hal buruk tentang dia. Aku gak ingin percaya jika itu baru sebatas rumor, apalagi datangnya dari Nandan.”30

Latar belakang sosial tokoh Milea digambarkan sebagai seorang gadis yang berasal dari keluarga berekonomi menengah atas. Hal tersebut dibuktikan dengan gambar ilustrasi rumah tempat tinggalnya yang cukup

29 Pidi Baiq, Op. Cit., h, 339. 30 Ibid. h. 59.

44

megah, orang tua yang memiliki mobil, ibu yang menjadi pewaris tunggal keluarga, dan memiliki ayah yang bekerja sebagai seorang tentara. Hal tersebut terdapat pada kutipan: “Nama belakangku, diambil dari nama ayahku. Seseorang yang aku kagumi, dan dia adalah prajurit TNI Angkatan Darat.”31 Selain Milea, Dilan merupakan tokoh utama yang dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Sikap humornya membuat ia disenangi banyak orang. Seperti ketika ia menghormati Bi Asih yang merupakan tukang urutnya di dalam kutipan sebagai berikut: “Emak kenal Dilan?” kutanya dia. Entah kenapa aku nanya itu padahal sudah tahu mereka saling kenal.

“Kenal, Neng,” jawab Bi Asih. “Kan, suka nganter Emak kalau sudah mijit ibunya.”

“Naik motor?” tanyaku. Kawan-kawan bersikap seperti orang yang ingin menyimak kisah Bi Asih ketika dengan Dilan.

“Iya, Neng, naik motor. Ke rumah,” kata Bi Asih. “Emak pernah dianterin. Gak tahunya mampir dulu ke warung.” “Ngapain?” tanyaku dengan merasa heran.

“Itu diajak ngopi. Kan, kan ada teman-teman De Dilan di situ,” jawab Bi Asih.32

Sifat humoris yang dimiliki Dilan juga menjadikan dirinya sebagai sosok yang romantis. Keromantisan yang unik dan tidak terduga, seperti memberi Milea kado buku TTS yang sudah diisi dan beberapa puisi dan surat pendeknya seperti di bawah ini: Bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan ini,

31 Ibid. h. 13. 32 Ibid, h. 112.

45

dengan penuh perasaan, mengundang Milea Adnan untuk sekolah pada: Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.33

Dilan adalah sosok yang pintar. Hal itu terbukti ketika dia menjadi salah satu finalis lomba cerdas cermat. Dilan juga digambarkan sebagai seseorang yang tegas dengan beberapa tindakan yang ia lakukan seperti saat bertengkar dengan gurunya yang bernama Suripto seperti kutipan di bawah ini: “Hormatilah orang lain kalau ingin dihormati,” kata Dilan kemudian.34

“Dia menjambak bajuku. Kayak gak ada cara lain,” jawab Dilan. “Ini bukan cuma ke aku. Beberapa orang kawanku ditamparnya? diperlakukan seenaknya.”35

Dialog tersebut menunjukkan sikap Dilan yang menjunjung tinggi kesopanan dan etika. Ia tidak peduli dengan siapa sedang berhadapan, selagi yang dibelanya adalah sebuah kebenaran, ia akan bela. Dilan juga digambarkan sebagai pria yang mencintai sastra dan suka menulis karya sastra seperti puisi. Hal itu diungkapkan melalui kutipan, “Jumlah puisi yang dibuat khusus untukku, semuanya ada empat belas. Puisi lainnya tidak kucatat, karena banyak, terkumpul dalam satu buku tulis.”36 Tokoh tambahan yang terdapat dalam novel ini salah satunya adalah Beni. Beni merupakan mantan kekasih Milea yang tinggal di Jakarta. Sosok Beni digambarkan sebagai seorang yang temperamental oleh tokoh Milea. Penggambaran sifat itu bahkan terjadi di beberapa bagian dalam cerita. Pertama adalah saat peristiwa di studio TVRI, saat itu Beni bertengkar dengan Milea dan Nandan akibat salah paham akan kehadiran Nandan yang sedang

33 Ibid. h. 28. 34 Ibid, h. 177. 35 Ibid, . h. 179. 36 Ibid, h. 317.

46

berdua dengan Milea. Ia bahkan memaki Milea dengan sebutan pelacur, seperti pada kutipan di bawah ini: Aku pikir semua orang setuju, makian Beni tadi sudah sangat menyakitkan. Tak kusangka, dia akan menyebut aku pelacur, itu adalah hal yang sangat mengerikan. Aku merasa sakit hati dan itu benar- benar kurasakan. Tidak ada yang berubah, dia masih sama seperti yang dulu. Kata-kata marahnya selalu menyakitkan. Bahkan, meskipun dia tinggal jauh denganku, masih saja dapat merobek perasaanku.37

Peran antagonis Beni juga dijelaskan dalam bab berjudul “Pendapatku Tentang Beni”. Pada bab tersebut, Milea menjelaskan siapa sosok Beni melalui narasi keseluruhan. Salah satu bagian yang dapat mewakili tentang Beni secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Mas Ato, kejadian macam kemarin di Jakarta bukan cuma sekali itu terjadi. Sering, Mas Ato. Asal tahu aja, Beni itu orangnya cemburuan, sampai tidak membolehkan Lia bergaul dengan teman-teman Lia. Melarang Lia berbicara dengan teman laki-laki.38

Tokoh tambahan selanjutnya adalah tokoh Bunda. Bunda pada novel Dilan 1990 merupakan tokoh tambahan yang berperan sebagai ibu dari tokoh Dilan. Tokoh ini digambarkan sebagai tokoh seorang ibu yang ceria, humoris, dan juga penyayang, dan memahami kondisi anak muda seperti yang terdapat pada kutipan: Orang tua seharusnya bisa memahami anak- anak, bukan sebaliknya. Jangan anak-anak yang dipaksa harus memahami orang tua. Anak-anak belum mengerti apa-apa, meskipun tentu saja harus kita berikan pemahaman.39

37 Ibid, h. 100. 38 Ibid, h. 100. 39 Ibid, h. 185.

47

Tokoh Bunda yang humoris digambarkan dari awal kemunculannya di dalam cerita, yaitu pada saat bertemu Milea dengan percakapan sebagai berikut: “Hei, Bunda!”

“Hei, Cantik.” “He he he, makasih.” “Tahu gak, kenapa Bunda tahu ada Dilan ada di situ?” “Karena .... Bunda tadi nelepon, he he he,” jawabku senyum.

40 “Iya, pintar kamu,”

Selain tokoh Bunda yang ditampilkan sebagai sosok ibu dari tokoh Dilan, novel ini juga menampilkan tokoh Ibu sebagai tokoh ibu dari Milea. Tokoh Ibu dalam novel Dilan 1990 digambarkan sebagai sosok tokoh tambahan protagonis yang pengertian dan menjadi teman bercerita yang baik untuk anaknya. Dia adalah ibu Milea yang berperawakan cantik. Salah satu penggambaran sifat pengertiannya terdapat pada kutipan sebagai berikut, “Aku merasa bersemangat tentang hal ini. Dia menyambut anak-anaknya kepada pengalaman seninya. Membantuku untuk melihat banyak hal lebih dalam dari sudut pandang. Menjadi terbuka untuk semua ekspresi,”.41

Tokoh remaja lain yang menjadi tokoh tambahan di dalam novel Dilan 1990 adalah Anhar. Anhar merupakan teman satu geng Dilan yang juga bersekolah di sekolah yang sama dengan Milea dan Dilan. Anhar digambarkan sebagai sosok teman yang cemburu dengan kehadiran Milea. Kecemburuannya terjadi akibat Dilan yang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Milea daripada bersama gengnya. Hingga suatu ketika ia bertengkar dengan Milea dan menampar Milea. Peristiwa itu berlanjut menjadi pertengkaran antara Anhar dan Dilan yang mengetahui bahwa Anhar

40 Ibid, h. 286. 41 Ibid, h. 14-15.

48

menampar Milea. Seperti di dalam kutipan “Sesaat kemudian, tiba-tiba Anhar menampar pipiku. Sangat keras dan sakit rasanya. Aku berusaha membalas tetapi mengenai bahu Piyan,”42 karakter tokoh Anhar juga digambarkan dalam deskripsi yang diungkapkan oleh tokoh Milea sebagai berikut: “... Anhar pernah tidak naik kelas. Anhar itu teman Dilan, satu sekolah juga denganku tapi dia kelas 3. Dia satu komplotan dengan Dilan, sama- sama suka ngumpul di warung Bi Eem. Banyak orang yang ngomong pada gak suka ke Anhar, katanya dia itu kurang ajar dan troublemaker.”43

“Anhar juga katanya pernah ditahan polisi karena melakukan tindakan kriminal, merampas barang orang dengan tindak kekerasan di jalan raya. Melakukan kasus kejahatan dan meresahkan masyarakat yang tidak bisa ditolerir.”44

Tokoh remaja selanjutnya yang terdapat dalam novel tersebut adalah tokoh Piyan. Piyan merupakan tokoh tambahan dan merupakan tokoh sederhana dengan karakter protagonis. Kehadirannya sering kali membantu Milea dan Dilan mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam hubungan mereka . Dia adalah teman dekat Dilan yang juga bergabung di geng motor. Sifat baiknya tercantum seperti kutipan di bawah ini: “Gampang sekali bisa langsung akrab dengan Piyan. Dia memang ramah dan tipe orang yang mudah bergaul dengan siapa pun, sehingga aku

42 Ibid, h. 325. 43 Ibid, h. 87. 44 Ibid, h. 88.

49

jadi langsung bisa lancar berkomunikasi dengan dia, seolah-olah sudah lama mengenalnya.”45

Kutipan tersebut berlangsung ketika tokoh Milea meminta bantuan kepada Piyan untuk mencari tahu tentang Dilan yang saat itu mulai menghindar dari Milea. Sifat baik Piyan juga dijelaskan dalam kutipan, “Kalau Wati senang ada Piyan, aku juga sama. Menurutku dia itu sangat baik.”46 Wati merupakan teman sekelas Milea yang sangat akrab dengannya. Sosok Wati di dalam cerita tersebut digambarkan sebagai seorang teman yang selalu ada untuk Milea. Karakter positifnya digambarkan ketika peristiwa adu omong antara Susi dan Wati di kantin melalui kutipan seperti di bawah ini: “Awas lu!” Mendengar Susi bilang begitu Wati berdiri dengan sikap mau menyerang Susi “Naon ngancam-ngancam.”47

Hal itu dilakukan oleh Wati yang ingin membela dan melindungi Milea yang mendapat ancaman oleh Susi. Selain tokoh remaja yang ditampilkan sebagai teman sekolah para tokoh utama, Pidi Baiq juga menyertakan seorang tokoh yang berpengaruh dalam perjalanan cinta tokoh Milea yang berasal bukan dari kalangan remaja melainkan sosok pria yang sudah lulus kuliah, yaitu kang Adi. Kang Adi merupakan tokoh tambahan yang berperan sebagai guru privat Milea dan adiknya. Namun, ia menaruh hati ke Milea. Sifatnya yang suka berprasangka buruk dan membanggakan diri sendiri membuat Milea enggan terhadapnya. Hal itu terungkap seperti kutipan di bawah ini: Kang Adi diam. Aku berani ngomong gitu ke Kang Adi, karena aku juga merasa dia sudah berani ke aku menjelek-jelekkan orang yang Kang Adi sendiri padahal sudah tahu Dilan adalah orang dekatku.

45 Ibid, h. 77. 46 Ibid, h. 213. 47 Ibid, h. 311.

50

Atau aku berani ngomong gitu ke Kang Adi karena kesal sudah maksa-maksa aku untuk pergi ke ITB.48

Selain kutipan tersebut, beberapa dialog yang diungkapkan langsung oleh tokoh Kang Adi juga mencerminkan kepribadiannya yang angkuh. Seperti misalnya: “Malam itu, dia datang bawa sweater yang ada tulisan ITB-nya. Katanya dia sengaja beli, untukku.

“Makasih, Kang.” “Ini yang mahalnya,” kata Kang Adi. “Ada juga, sih, yang murah. masa’ buat Lia kasih 49 yang murah, he he he.””

Melalui dialog tersebut tokoh Kang Adi seakan ingin terlihat seperti seorang hero untuk Lia dengan cara membelikan hadiah yang mahal. Seolah- olah materi menjadi tolak ukurnya. Pada ketiga novel tersebut, pengarang sama-sama menampilkan tokoh utama dalam bentuk sepasang kekasih remaja. Selain itu, tokoh keluarga dan teman sekolah juga merupakan tokoh yang ada di dalam novel tersebut yang memengaruhi kisah cinta tokoh utama dalam cerita.

3. Alur

Alur dalam novel berjudul Gita Cinta dari SMA merupakan alur progresif. Hal tersebut dapat dipastikan dari jalannya cerita yang berurutan dan tidak terdapat peristiwa kilas balik di dalamnya. Pada novel Lupus, alur yang digunakan merupakan alur progresif dengan menampilkan peristiwa- peristiwa cerita secara konsisten mulai dari tahap perkenalan hingga

penyelesaian. Sedangkan novel Dilan 1990 menggunakan teknik flashback.

Hal tersebut sesuai dengan narasi sebagai berikut:

48 Ibid, h. 311. 49 Ibid, h. 167.

51

“Demikianlah kisah cintaku dengan Dilan, ketika aku tinggal di Bandung dulu! Dulu sekali, bertahun-tahun yang lalu, meski aku merasanya 50 seolah-olah hal itu baru terjadi kemarin.”

“Malam ini, aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling 51 Stones, di kawasan Jakarta Pusat yang gerah.”

Dalam dialog tersebut menyatakan bahwa kisah tersebut dibuat setelah semuanya terjadi sehingga muncul kilas balik tersebut . Pada novel tersebut juga sering kali menggunakan kata “itu” yang berarti sesuatu yang ada jauh dari kondisi saat ini. Mengenai tahapan-tahapan dalam ketiga novel tersebut, peneliti menjabarkannya melalui lima tahapan alur sesuai dengan teori di dalam penelitian ini, yaitu menggunakan teori Tasrif dalam Burhan Nurgiyantoro yang membagi tahapan alur menjadi lima bagian, yaitu tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian yang tertulis sebagai berikut: a. Tahap Penyituasian Pada tahap ini terdapat peristiwa fungsional berupa pengenalan yang dilakukan oleh tokoh Ratna sebagai anak baru. Peristiwa tersebut menjadi latar belakang ketertarikan tokoh Galih terhadap tokoh Ratna, pun sebaliknya. Peristiwa tersebut juga mengakibatkan adanya deskripsi penokohan pada karakter tokoh ini menjelaskan tentang karakter tokoh Galih dan tokoh Ratna, baik secara fisik maupun nonfisik. Seperti yang terjadi pada kutipan: “Ratna memperhatikan pemuda itu. Menatapnya dengan cermat. Diam-diam hatinya mengakui ketampanan wajah pemuda itu. Rambutnya agak gondrong, tapi disisir rapi. Pakaiannya sederhana, tapi tampak bersih. Tubuhnya tinggi, agak

50 Ibid. h. 345. 51 Ibid. h. 18.

52

52 kurus,” hal tersebut disampaikan oleh narator yang mengacu pada penyampaian Ratna terhadap Galih.

Tahap penyituasian pada novel Lupus ABG terjadi dalam peristiwa fungsional yang menjelaskan tentang masa pubertas yang dialami oleh tokoh Lupus dan Lulu. Peristiwa tersebut mengakibatkan adanya perubahan adaptasi di dalam keluarga Lupus, Seperti pada kutipan, “Aduh, Mami kok teriak-teriak sih? Kan Lupus sekarang sudah ABG,” kata Lupus sambil mengucek-ngucek matanya yang masih sepet,”.53

Tahap penyituasian dalam novel Dilan 1990 adalah ketika tokoh Milea memperkenalkan tentang latar dan tokoh-tokoh yang akan mempengaruhi jalannya cerita. Peristiwa fungsional dalam tahapan ini adalah penjelasan mengenai latar belakang keluarga Milea yang pada alur perjalanan cerita memengaruhi pembawaan kultur atau budaya dalam cerita tersebut. Hal itu terdapat dalam kutipan naskah sebagai berikut: 54 “Namaku Milea. Milea Adnan Hussain...... ”

“Nama belakangku, diambil dari nama ayahku. Dia adalah prajurit TNI Angkatan Darat...... ”55

56 “Ibuku namanya Marissa Kusumarini...... ” b. Tahap Pemunculan Konflik Peristiwa fungsional pada tahapan ini di dalam novel Gita Cinta dari SMA adalah adanya prasangka buruk yang dialami oleh kedua tokoh utama. Namun, peristiwa tersebut justru menjadi pembuka cerita cinta antara Galih dan Ratna karena adanya sikap yang berbeda dengan teman- teman/tokoh lainnya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan, “Sekali lagi Ratna menatap Galih. Dia tetap tak percaya padaku! Barangkali benar-

52 Eddy D. Iskandar, Op. Cit., h. 3. 53 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. 9. 54 Pidi Baiq, Op. Cit.,. h. 13. 55 Ibid. h. 13. 56 Loc. .Cit.

53

benar ia menyangka aku wanita murahan! Galih, alangkah angkuhnya kamu!”57 Tahap pemunculan konflik pada novel Lupus ABG, yaitu adanya perubahan-perubahan pola hidup dan tingkah laku dua tokoh (Lupus dan Lulu) yang sudah menjadi seorang ABG. Perubahan tersebut mengakibatkan mami dan papinya mengalami shocked, seperti pada kutipan berikut: “Sesampainya di kamar, Papi melihat anak-anaknya asyik berdandan. Selain kaget ngeliat Lupus, Papi juga heran ngeliat Lulu yang tengah berkutat menghiasi rambut pendeknya itu. Soalnya, yang kiri diberi pink sedang sebelah kanannya dikasih pita kaset!”.58

Tahap pemunculan konflik pada novel Dilan 1990 dimulai dalam kutipan sebagai berikut:

“Langsung bisa kusadari ketika sepeda motor itu mulai sejajar denganku, jalannya diperlambat, seperti sengaja agar bisa menyamai kecepatanku berjalan. Serta merta aku merasa berada dalam situasi yang tidak nyaman, bahkan aku gak tahu apa yang harus 59 kulakukan selain terus berjalan.”

Melalui kutipan tersebut, dapat ditarik sebuah pernyataan bahwa perasaan gelisah atau tidak nyaman yang dirasakan oleh tokoh Milea kepada Dilan merupakan sebuah tahap pemunculan konflik. Konfliknya adalah saat kedua tokoh tersebut mengalami dua rasa yang berbeda, Milea yang merasa tidak nyaman dan Dilan yang merasa ingin mendekatinya. Peristiwa tersebut menjadi dasar bagi peristiwa lainnya yang berpengaruh pada perkembangan cerita, yaitu ketika Dilan semakin sering mendekati Milea hingga membuat Milea semakin penasaran akan sosok Dilan. Hal tersebut terdapat pada kutipan:

57 Eddy D. Iskandar, Op. Cit., h. 26. 58 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. 12. 59 Pidi Baiq, Op.Cit., h. 19-20.

54

“Setelah aku baca surat itu, aku tak mengerti mengapa aku langsung merasa tak ingin pergi dari atas kasurku, aku benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran karena ingin tahu siapa dia itu sebenarnya.”60 c. Tahap Peningkatan Konflik Tahap peningkatan konflik pada novel Gita Cinta dari SMA terjadi saat peristiwa pertentangan dari tokoh Bapak yang disebabkan perbedaan suku antara Galih dan Ratna, yaitu Sunda dan Jawa. Pertentangan tersebut mengakibatkan terbatasnya interaksi antara Ratna dan Galih, hal tersebut terdapat pada kutipan: “Dengar olehmu, Nana! Kau mesti menurut perintah Bapak. Hentikanlah hubunganmu dengan lelaki itu. Ingat, Bapakmu tidak ingin melihat anaknya berhubungan dengan orang Sunda! Ini adalah pesan leluhur kita. Sejak nenek moyangmu yang bergelar Raden Mas-Raden Mas itu, tak satupun yang menikah atau berkasih-kasihan dengan suku Sunda!”61

Tahap peningkatan konflik yang terjadi dalam novel ini terjadi pada peristiwa Lupus dan Lulu yang mulai mengalami fase jatuh cinta dengan lawan jenisnya. Hal itu memicu perubahan-perubahan sikap yang cenderung aneh dan sulit dimengerti oleh anggota keluarga lainnya. Contohnya adalah ketika Lulu berusaha memiliki rambut keriting dengan memakan banyak mi yang terdapat dalam kutipan: “Tau gak kenapa Lulu jadi hobi banget makan mi?”

“Ya… mana Mami tau. Mami juga dari tadi bingung kok. Emangnya kenapa sih tu anak?” ““Dia lagi naksir 62 cowok!” Tukas Lupus.”

Tahap peningkatan konflik pada novel Dilan 1990 terjadi ketika peristiwa adanya benih cinta yang tumbuh antara Dilan dan Milea namun

60 Ibid. h. 28. 61 Eddy D. Iskandar, Op.Cit, h. 76. 62 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op.Cit, h. 39.

55

terganggu dengan keadaan tokoh Beni (pacar Milea), hal tersebut menyebabkan kegelisahan yang dialami oleh tokoh Milea. Hal tersebut semakin kompleks saat Milea pergi ke Jakarta bersama teman-teman sekolahnya dan bertemu dengan Beni dalam kondisi sedang berdua dengan Nandan. Peristiwa itu menghasilkan pertengkaran hebat antara Milea dan Beni, seperti pada kutipan di bawah ini: “Bagiku, hari itu, Beni sudah melakukan hal di luar batas dan tidak menghargaiku. Dia sudah mengatakan ucapan yang paling menyakitkan dari banyak kata-kata buruk lainnya yang Beni bisa ucapkan ketika dia marah. Kalau aku benar pelacur, mungkin tak masalah, tapi aku bukan!!!”63

Kondisi yang demikian membuat Milea menjadi semakin jatuh hati kepada Dilan lantaran kata-kata Dilan yang ingin selalu melindungi Milea. d. Tahap Klimaks Tahapan klimaks pada novel ini terjadi di dalam peristiwa perjodohan Ratna dengan seseorang oleh bapaknya. Hal tersebut sontak membuat hati

Ratna hancur karena harus mengakhiri hubungannya dengan Galih.Seperti

pada kutipan: “Galih aku tahu, mengapa ayahku sangat membenci hubungan kita. Tanpa sepengetahuanku aku telah dijodohkan dengan seorang lelaki yang berdarah bangsawan. Sekarang ia masih di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Kata ayah, sebentar lagi ia

akan jadi dokter.”64

Tahapan klimaks pada novel Lupus ABG terjadi ketika para tokoh remaja di dalam novel tersebut terjadi pada peristiwa penolakan cinta yang dialami oleh tokoh Lupus dan Lulu. Hal tersebut membuat kedua tokoh itu menjadi tidak percaya diri dalam hal percintaan. Seperti saat Lupus

63 Pidi Baiq, Op. Cit. h. 98. 64 Eddy D. Iskandar, Op.Cit., h. 116.

56

mengalami penolakan dari Prudence yang terjadi dalam kutipan sebagai berikut: “Prudence, kamu sudah punya yang dikangenin belum?” tanya Lupus nekat.

“Aduh, gimana, ya…,” lagi-lagi Prudence ngejawab begitu.

“Belum, ya?” Lupus makin nekat. “Dikangenin? Ada sih….”

“Ada?” Lupus kaget. “Siapa?” Deg-degan hatinya. Berharap namanya disebut.

“Ada…,” Lupus kaget. “Siapa?” Deg-degan hatinya. Berharap Namanya disebut.

“Ada…,” suara Prudence pelan. “Namanya Tevin. Temen Prudence waktu di Seattle. Katanya dia mau nyusul ke sini kalau udah SMA. Mau sekolah di JIS….” Lupus dongkol.65

Hal tersebut juga terjadi pada Lulu, saat dia menangis di dalam sebuah mal ketika menerima penolakan dari pria yang ia taksir. Hal tersebut terdapat dalam kutipan sebagai berikut: “Lulu diam. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Hanya tangannya yang dengan diam-diam meraba rambutnya yang keriting itu. Oh ingin rasanya ia berteriak memanggil maminya.”66

Klimaks pada novel Dilan 1990 terjadi pada peristiwa pertengkaran yang melibatkan banyak tokoh yang disebabkan akibat kesalahpahaman atau prasangka yang berlandaskan kecemburuan, seperti dalam kutipan sebagai berikut: “Dilan berdiri, bicara kepada orang-orang yang ada bersamanya, dengan menggerakkan dua tangannya dan menunjuk ke si Anhar. Tiba-tiba, Dilan melompat ke atas meja dan menghajar muka Anhar.

65 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit, h. 34. 66 Ibid , h. 43.

57

Perkelahian babak kedua pun dimulai berlangsung di ruang guru. Nampaknya, Dilan merasa belum puas untuk menghajar Anhar.”67

Peristiwa tersebut terjadi lantaran tokoh Dilan, Anhar, Milea, dan Susi mengalami konflik batin. Milea yang memiliki konflik batin akibat pergi dengan Kang Adi dan takut Dilan meninggalkannya. Dilan yang harus bertengkar dengan teman satu gengnya. Susi yang cemburu dengan Milea lantaran ia juga menyukai Dilan. Serta Anhar yang juga cemburu dengan Milea karena selalu berada di samping Dilan, terlebih beberapa waktu lalu, Anhar mencoba mendekati Milea. e. Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian pada novel Gita Cinta dari SMA adalah peristiwa perpisahan melalui kepergian tokoh Ratna ke luar kota. Hal tersebut menyebabkan kisah cinta mereka kandas dan mengalami perpisahan. Peristiwa itu terjadi seperti pada kutipan: “Galih terus menatap kereta api itu sampai menghilang dari pandangannya. Bening mengambang di kelopak matanya karena ia tak sempat menatap wajah Ratna. Dengan lunglai, ia berjalan meninggalkan gardu itu. Kemudian menyusuri rel kereta api. Sambil berjalan, teringat akan pesan Mbak Ning dalam suratnya. Dik Galih, iringilah kepergian Nana dengan senyuman, walau hatimu tidak demikian.”68

Penyelesaian pada novel Lupus ABG digambarkan pada situasi stabil dari sifat-sifat perubahan yang dialami oleh para remaja. Penulis mengganti situasi konflik percintaan dengan cerita keluarga Lupus yang sedang mengalami peristiwa yang dikemas dengan bentuk lelucon, yaitu peristiwa pembantu baru Lupus yang menggagalkan bisnis kue Mami Lupus dan

67 Ibid, h. 329. 68 Eddy D. Iskandar, Op.Cit, h. 139.

58

berakhir dengan pemecatan pembantu baru tersebut. Hal itu terdapat dalam kutipan “Tapi rasanya pembantu itu lebih baik Mami kembalikan saja.”69

Melalui penjabaran plot tersebut, novel Lupus ABG merupakan sebuah novel yang memiliki sub-plot. Yaitu ketika pengarang menceritakan peristiwa di luar peristiwa inti dalam cerita pada saat bab “Cerita Malam Minggu” yang berisi tentang kisah teman Lupus bernama Pepno dengan kekasihnya yang bernama Nisa.

Tahap penyelesaian pada novel Dilan 1990 terjadi pada peristiwa hari jadi Milea dan Dilan sebagai sepasang kekasih yang mengakhiri kegelisahan batin kedua tokoh di tahap klimaks, seperti pada kutipan; “Sore itu aku merasa seperti berada di puncak dunia bersamanya, bersama Dilan yang memberi aku pelajaran bahwa cinta adalah kenyamanan, adalah kepercayaan, dan juga dukungan. Kalau kamu tidak setuju, aku tidak peduli. Biar bagaimanapun dia adalah Dilan, Dilanku, milikku. Dan sudah, aku tidak minta apa-apa lagi.”70

Dua dari ketiga novel tersebut memiliki alur yang berbeda. Pada novel Gita Cinta dari SMA, cerita ditampilkan secara progresif/beruntun. Sedangkan, pada novel Lupus ABG, tidak ada perkembangan alur yang runtut. Kisah/peristiwa diceritakan secara acak. Selanjutnya pada novel Dilan 1990, cerita dipaparkan secara mundur atau menampilkan flash back seluruhnya.

4. Latar a. Latar Tempat Bandung merupakan latar tempat fungsional pada novel Gita Cinta dari SMA. Bandung merupakan tempat persinggahan Ratna dan keluarganya dari kota asal Ratna, yaitu Jogjakarta. Bandung merupakan

69 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op.Cit, h. 98. 70 Pidi Baiq, Op.Cit, h. 344.

59

tempat yang menyajikan latar sekolah tempat kisah cinta Galih dan Ratna terjadi. Seperti pada kutipan: “Pandangan keduanya beradu. Ratna hendak melemparkan senyum mautnya, tapi lelaki itu cepat- cepat berpaling, berjalan menunduk menuju ke bangkunya. Menyimpan tas, lalu bergegas keluar lagi.”71

Kutipan tersebut terjadi di ruang kelas dalam peristiwa perjumpaan pertama antara Galih dan Ratna. Pada novel Lupus, latar tempat fungsional yang digunakan adalah Jakarta (tempat tinggal Lupus dan keluarga) dengan spesifikasi tempat yang diceritakan di dalamnya seperti Blok M Plaza, gedung orkestra, sekolah, dan Pondok Indah Mal, yaitu tempat yang melatari peristiwa berkencan para remaja di dalam novel Lupus ABG, seperti pada kutipan: “Besoknya Lulu sudah tampil beda. Sosoknya jadi cute sekale! Dia telah punya janji sama cowok incarannya itu di Pondok Indah Mal. Dan ia selalu sumringah saja.72

Dan akhirnya Lulu emang nggak sabar, dia nekat ngomong langsung ke si cowok.

“Ng, apakah saya sudah menjadi cewek yang kamu impi-impikan? Dengan rambut keriting...”

“Oh, belum,” potong si cowok itu pelan.”73

Bandung merupakan latar utama novel Dilan 1990. Di lokasi ini terjadi berbagai peristiwa penting dalam keberlangsungan cerita. Latar Bandung yang diceritakan dalam novel ini digambarkan sebagai sebuah tempat yang sejuk, sepi, dan tenteram. Hal tersebut terdapat dalam kutipan,

71 Eddy D. Iskandar, Op.Cit,, h. 4. 72 Ibid, h. 41. 73 Ibid, h. 42.

60

“Rasanya, waktu itu, Bandungnya masih sepi, masih belum banyak orang.”74

Latar Bandung menjadi sebuah lokasi yang meliputi latar penting lainnya di dalam novel Dilan 1990. Di antaranya adalah sekolah. Sekolah tempat Milea dan Dilan bertemu dan bersekolah merupakan sebuah tempat yang sering ditampilkan dalam cerita, dari permulaan novel yang dijelaskan oleh tokoh Milea sebagai berikut, “Bagiku, itu adalah sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau enggak, minimal se-Asialah. Bangunannya sudah tua, tapi masih bagus karena keurus.”75 Selain itu, latar sekolah, pengarang banyak menjelaskan karakter-karakter tokoh di dalam novel.

Dalam novel Dilan 1990, Jakarta juga merupakan latar tempat yang sempat disebut beberapa kali dan menjadi latar penting. Pertama, Jakarta merupakan lokasi tempat tokoh Milea berada ketika ia menuliskan ceritanya. Pernyataan tersebut tertulis dalam kutipan sebagai berikut, “Malam ini aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling Stone, di kawasan Jakarta Pusat yang gerah,”76 selain kutipan tersebut, lokasi Jakarta yang menunjukkan sebagai tempat tinggal tokoh Milea ketika menulis ceritanya juga terdapat dalam kutipan sebagai berikut, “Dan malam ini di tempatku, adalah malam yang sunyi. Malam yang hujan di Jakarta. Dan kerinduan, adalah kerinduan individu, di dadaku, menuju kepadanya,”.77

Kedua, Jakarta merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa antara tokoh Milea dengan mantan kekasihnya yang bernama Beni. Lokasi yang lebih tepatnya adalah di stasiun TVRI, Jakarta. Melalui peristiwa ini,

74 Pidi Baiq, Op.Cit., h. 17 75 Ibid, h. 16. 76 Ibid, h. 18. 77 Ibid, h. 346.

61

latar Jakarta disebut sebagai salah satu unsur nama bab dalam novel Dilan 1990, yaitu “Peristiwa Jakarta”. Hal itu terdapat dalam kutipan sebagai berikut: “Bus terus melaju menyusuri Jalan Kebayoran Lama, tapi pikiranku melayang ke Bandung, ke Jalan Buah Batu: “Dilan, kamu lagi apa?” Dan kemudian adalah air mata, mengalir.”78 Kebayoran Lama merupakan sebuah lokasi yang berada di sebelah selatan Kota Jakarta. Letaknya tidak terlalu jauh dari lokasi TVRI. Kutipan tersebut menyatakan kondisi kesedihan Milea setelah bertengkar dengan Beni atau pada saat pulang menuju Bandung.

b. Latar Waktu Waktu yang melatari cerita pada novel Gita Cinta dari SMA dimulai pada tahun 1976 ketika Galih dan Ratna sedang duduk di bangku kelas dua SMA dan berakhir pada tahun 1978 ketika perpisahan sekolah yang dinyatakan dalam kutipan, “Kita kan bukan kelas dua SOS lagi, kita sudah resmi naik ke kelas tiga….”79 walaupun tahun-tahun tersebut tidak terjabarkan dalam novel, tetapi penulis menganalisis melalui tahun terbitnya novel tersebut yakni pada tahun 1978 dan dari beberapa peristiwa seperti terdapat kutipan yang berisi tentang lagu Melati dari Jayagiri yang mulai terkenal pada tahun 1970-an. Lagu Melati dari Jayagiri terdapat dalam kutipan sebagai berikut:

““Galih, ayo, kita nyanyi!” Kata Rani. “Lagu apa?” tanya Galih.

“Mmmh… Melati dari Jayagiri!”

78 Ibid, h. 101. 79 Eddy D. Iskandar, Op.Cit., h. 61.

62

“Benar! Itu lagu favoritku!” seru Erlin.”80.

Secara umum , novel Lupus ABG terjadi sekitar tahun 1991-1995. Hal tersebut berlandaskan bahwa novel ini terbit pada tahun 1995. Beberapa latar tempat yang digunakan oleh penulis dalam novelnya juga menjadi penguat analisis tersebut yaitu , Pondok Indah Mal dan Mal Blok M. menurut sejarah berdirinya kedua tempat itu, Pondok Indah Mal didirikan pada tahun 199181 dan Kawasan Blok M menjadi salah satu

kawasan populer bagi kaum remaja pada tahun 1980-1990.82

Sedangkan pada novel Dilan 1990, latar waktu utama terbagi menjadi dua. Pertama adalah tahun 2014, pada tahun itulah tokoh Milea menuliskan kisahnya ketika berada di Jakarta dalam kondisi sudah menikah. Latar waktu tersebut dapat dilihat dari pembukaan novel yang berisi ilustrasi tokoh Milea yang disertakan nama lengkap dan tahunnya. Ilustrasi yang sama juga terdapat di halaman terakhir novel.

Latar waktu kedua adalah pada tahun 1990, pada saat itu semua kisah antara Milea dan Dilan diceritakan, cerita tentang awal pertemuan sampai menjadi pacaran yang berlangsung di tahun 1990. Hal itu dimulai dengan pernyataan dalam kutipan, “Pagi itu, di Bandung, pada bulan September tahun 1990,”83 dan juga dalam kutipan “Hari ini, di Bandung, tanggal 22 Desember 1990, Dilan dan Milea, dengan 84 penuh perasaan, telah resmi berpacaran.”

80 Ibid, h. 35. 81 Rudi Harvejkul, Mall di Jakarta, https://www.kompasiana.com/rudisseo/54f845f2a3331169638b50e1/mall-di-jakarta, Oktober. 2019 82 Nurudin Abdullah , DJAKARTA TEMPOE DOELOE: Inilah Asal Usul Blok M Jakarta Selatan. https://jakarta.bisnis.com/read/20150511/387/432168/djakarta-tempoe-doeloe- inilah-asal-usul-blok-m-jakarta-selatan, Oktober 2019. 83 Pidi Baiq, Op.Cit., h. 19. 84 Ibid, h. 342.

63

Tahun 1990 juga tertulis di sampul buku dengan redaksi kalimat, “Dia adalah Dilanku tahun 1990” yang berarti bahwa kisah di dalamnya menceritakan tentang kisah bersama Dilan pada tahun 1990. c. Latar Sosial Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.85 Pada novel Gita Cinta dari SMA, latar sosial budaya yang terdapat pada cerita adalah tentang kepercayaan adat yang dipegang teguh oleh tokoh Bapak mengenai larangan pernikahan antara wanita bersuku Jawa dengan pria bersuku Sunda. Hal tersebut terdapat dalam kutipan: “Dengar olehmu, Nana! Kau mesti menurut perintah Bapak. Hentikanlah hubunganmu dengan lelaki itu. Ingat, Bapakmu tidak ingin melihat anaknya berhubungan dengan orang Sunda! Ini adalah pesan leluhur kita. Sejak nenek moyangmu yang bergelar Raden Mas- Raden Mas itu, tak satupun yang menikah atau berkasih-kasihan dengan suku Sunda!”86

Sementara pada novel Lupus ABG, latar sosial budaya yang masuk dalam cerita mengenai pola hidup masyarakat kota dengan menampilkan beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang kota. Seperti menonton bioskop, pergi ke orkestra, dan kencan ke mal. Salah satunya terdapat di dalam kutipan: “Besoknya Lulu sudah tampil beda. Sosoknya jadi cute sekale! Dia telah punya janji sama cowok incarannya itu di Pondok Indah Mal. Dan ia selalu sumringah saja.87

85 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 314-322. 86 Eddy D. Iskandar, Op.Cit, h. 76. 87 Ibid, h. 41.

64

Di dalam novel Dilan 1990, Pidi Baiq memasukkan latar sosial budaya perihal kehidupan remaja di kota Bandung yang dikaitkan dengan kehadiran geng motor. Kehadiran geng motor tersebut menjadi latar cerita yang sangat signifikan pada cerita hingga menjadi identitas tokoh yang paling dikenal. Identitas itu menjadi populer dalam cerita lantaran Pidi Baiq menampilkan sosok anggota geng motor yang berbeda, yaitu jauh dari kata brandal pada tokoh Dilan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan;

“…aku mau nulis sedikit pendapatku soal Dilan sebagai anak geng motor. Menurutku, andaikan saja semua anggota geng motor semacam Dilan, mungkin tak akan ada anggota geng motor 88 seperti Anhar.”

5. Sudut Pandang Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Sudut pandang yang terdapat dalam novel Gita Cinta dari SMA merupakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Sebab, narator menjadi sebuah pihak yang dapat menjabarkan suasana batin para tokoh dan menjabarkan setiap peristiwa, bahkan kondisi fisik para tokoh. Hal tersebut terbukti dalam kutipan sebagai berikut, “Tangan kanannya melempar-lemparkan batu kerikil ke tengah sawah. Rambutnya yang agak gondrong, berderai ditiup angin. Ada suaralembut memanggilnya,”89 yang menggambarkan tentang kondisi Galih saat menunggu Ratna seorang diri. Sudut pandang yang digunakan dalam novel Lupus ABG adalah sudut pandang orang ketiga mahatahu. Hal itu dikatakan karena penulis menggunakan kata ganti “Dia” atau menyebut nama-nama tokoh sebagai objek ceritanya, dan menjadikan narator sebagai pencerita di dalam novel

88 Pidi Baiq, Op. Cit., h. 87. 89 Eddy D. Iskandar, Op.Cit., h. 79.

65

yang mengetahui tentang seluk-beluk tokoh dan alur cerita seperti pada kutipan berikut ini: “Lupus dan teman-temannya datang lagi. Lupus membawa sebuah gulungan kertas. Kayaknya poster. Papi buru-buru keluar, dan dengan mindik-mindik menguping dari balik pintu kamar Lupus. Tapi sudah sekian lama papi menguping belum juga ada pujian terdengar dari kamar itu. Yang terdengar Cuma getokan-getokan martil di dinding.”90

“Di rumah Lupus mau arisan. Jadi Mami agak repot. Ia sibuk nyiap-nyiapin makanan buat ibu- ibu yang mau datang. Dan Mami sengaja buat kue sendiri daripada beli. Soalnya selain bisa ngirit, Mami juga punya simpanan banyak resep yang belum sempat dicobanya.”91

Pada novel Dilan 1990, sudut pandang yang digunakan oleh pengarang adalah sudut pandang persona pertama. Menurut Burhan Nurgiyantoro, sudut pandang ini melibatkan tokoh aku sebagai pencerita dan peran di dalam sebuah kisah. Hal itu relevan dengan penyebutan kata “aku” dalam narasi yang diucapkan oleh tokoh Milea dalam kutipan, “Sekarang aku mau cerita

92 tentang Kang Adi. Kamu harus tahu siapa dia,” Melalui kutipan tersebut, tokoh Milea menjadikan dirinya sebagai narator (orang yang bercerita) dan sekaligus menjadi tokoh sentral oleh pengarang. Pada ketiga novel yang diteliti, dua dari novel tersebut menggunakan sudut pandang orang ketiga atau dalam artian lain terdapat narator yang menuntun jalannya cerita, yaitu pada novel Gita Cinta dari SMA dan Lupus ABG. Sedangkan pada novel Dilan 1990, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama.

6. Gaya Bahasa

90 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op.Cit., h.50. 91 Ibid, h. 83. 92 Pidi Baiq, Op. Cit., h. 165.

66

Gaya bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini ialah Gaya bahasa sebagai pemakaian ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu.93 Masing-masing dari ketiga novel tersebut memiliki gaya bahasa yang berbeda-beda dan mempunyai keunikannya tersendiri. Dalam novel Gita Cinta dari SMA, terdapat banyak citraan visual yang digunakan oleh pengarang. Hal itu dibuktikan ketika pengarang mendeskripsikan visualisasi fisik para tokoh, contohnya terdapat pada kalimat, “Rambut Ratna yang hitam terurai sampai ke punggung, meriap- riap,”94 selalu digunakan sebagai visualisasi fisik tokoh, citraan visual yang digunakan pada novel Gita Cinta dari SMA juga digunakan untuk menjabarkan peristiwa-peristiwa di dalam cerita seperti pada kutipan “Ratna tengadah. Kedua belah pipinya basah oleh air mata. Galih membenamkan wajah itu ke dadanya.”95 Citraan visual, dalam novel tersebut juga terdapat citraan rabaan dan kinestesis seperti pada kutipan, ““Bappaaa…k,” ratap Ratna sambal meraba hidungnya yang berdarah karena membentur kursi.” Kata “meraba” dalam kalimat tersebut merujuk pada citraan rabaan, sedangkan kata “membentur” pada kalimat tersebut merujuk kepada citraan kinestesis atau ada sebuah gerakan yang terjadi pada kutipan tersebut. Selain citraan, novel Gita Cinta dari SMA juga banyak menggunakan metafora. Penggunaan metafora tersebut terdapat dalam beberapa adegan yang romantis, seperti saat dalam kutipan, “Bagai daun yang gugur ke bumi. Begitulah hatiku yang pedih.”96 Kalimat tersebut membandingkan

93 Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 51 94 Eddy D. Iskandar, Op, Cit., h. 6. 95 Ibid, h. 134. 96 Ibid, h. 128.

67

antara kondisi hati galih yang sedang sedih dengan kondisi daun jatuh yang bertanda sudah tidak ada lagi kehidupan di dalam daun tersebut. Terdapat banyak deviasi dari kaidah tata bahasa yang benar di dalam novel Lupus ABG. Hal tersebut dikarenakan adanya pengaktualan peristiwa yang dituturkan oleh pengarang. Di dalam novel tersebut, pengarang menggunakan gaya bahasa retoris (mengandung makna langsung) sehingga tidak menggunakan bahasa kias. Langkah tersebut mengakibatkan adanya keterikatan emosional antara pembaca dan peristiwa yang dikisahkan oleh pengarang. Sikap pengarang terhadap pembaca yang terasa intim, santai, dan formal, terdapat pada kutipan: “Hari itu tumben-tumbenan Papi pulang agak awal. Ya, soalnya di kantor lagi acara lelang, jadi yang nggak ikutan boleh mudik duluan. Begitu memasukkan mobil bututnya ke garasi, Papi udah ngebayangin Mami yang bakal surprised melihat kehadirannya. Ya, jarang-jarang kan Papi pulang siang.”97

penggunaan kata “ya” pada paragraf tersebut membuktikan adanya interaksi langsung yang dilibatkan oleh pengarang kepada pembaca. Selain itu, dalam kutipan, “Tu anak udah pake dompet, ya?” pengarang menggunakan kata “Tu” sebagai kata tunjuk yang menggantikan kata “itu” sebagai bentuk ragam lisan. Hal yang sama juga terjadi di dalam kutipan, “Tau kan Prudence? Aelah, masa lupa? Itu, cewek indo yang lagi diincer 98 Lupus,” yang digunakan narator dalam cerita. melalui kata “Aelah”

Pada novel Dilan 1990, penulis banyak memasukkan metafora sebagai unsur yang menjadi ciri khas di dalam novel. Metafora-metafora tersebut dijadikan oleh penulis sebagai objek yang digunakan oleh tokoh Dilan sebagai bahan rayuan kepada tokoh Milea.

97 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op.Cit., h. 46. 98 Ibid, h. 31.

68

Metafora-metafora tersebut sering berada di puisi-puisi yang dibuat oleh tokoh Dilan atau bahkan di berbagai percakapan yang terjadi di dalam novel seperti pada kutipan:

“Milea 2” Katakan sekarang Kalau kue kau anggap apa dirimu? Roti cokelat? Roti keju? Martabak? Kroket? Bakwan? Ayolah! Aku ingin memesannya Untuk malam ini Aku mau kamu Dilan, Bandung 199099

Pada puisi tersebut, penulis menyatakan beberapa benda yang disetarakan dengan dirinya sebagai bentuk perbandingan. Metafora-metafora yang terdapat dalam penggalan puisi tersebut seperti halnya “Roti cokelat? Roti keju? Martabak? Kroket? Bakwan?”. Selain penggunaan metafora, dalam novel tersebut penulis juga menggunakan diksi-diksi yang membuat suasana menjadi riang dan romantis dengan segala perkataan-perkataan lucu yang digunakan sebagai dialog antar tokoh seperti di dalam kutipan; “Emak kenal Dilan?” kutanya dia. Entah kenapa aku nanya itu padahal sudah tahu mereka saling kenal.

“Kenal, Neng,” jawab Bi Asih. “Kan, suka nganter Emak kalau sudah mijit ibunya.”

“Naik motor?” tanyaku.

Kawan-kawan bersikap seperti orang yang ingin menyimak kisah Bi Asih ketika dengan Dilan.

99 Pidi Baiq, Op. Cit., h. 316.

69

“Iya, Neng, naik motor. Ke rumah,” kata Bi Asih. “Emak pernah dianterin. Gak tahunya mampir dulu ke warung.” “Ngapain?” tanyaku dengan merasa heran.

“Itu diajak ngopi. Kan, kan ada teman- teman De Dilan di situ,” jawab Bi Asih.100

Ketiga novel tersebut memiliki beberapa kemiripan. Pada novel Gita Cinta dari SMA dan Dilan 1990, pengarang banyak menggunakan metafora dalam puisi yang disajikan pada cerita. Sedangkan pada novel Lupus ABG, cerita disajikan dengan ragam bahasa retoris.

7. Amanat

Amanat yang terdapat dalam ketiga novel tersebut pada umumnya berorientasi pada cara atau proses pendewasaan seseorang. Selain itu, ketiga novel tersebut juga menampilkan nilai-nilai pendidikan keluarga yang tersirat. Bentuk memegang teguh adat yang dilakukan oleh tokoh bapak merupakan sesuatu yang membelenggu batin seorang anak dan memberi dampak psikologis yang tidak baik. Hal itu terbukti dari perilaku murung dan kehilangan harapan hidup yang dirasakan oleh tokoh Ratna melalui aturan adat tersebut. Oleh karena itu, pemenggalan terhadap hak kebebasan anak harus benar-benar dilakukan oleh orang tua untuk memberikan dampak positif bagi keberlangsungan hidup seorang anak. Selain itu, hal tersebut wajib dilakukan sebagai bentuk toleransi kemanusiaan. Sebab, hal-hal yang dilakukan oleh tokoh bapak (penolakan percintaan antara Suku Jawa dan Suku Sunda) merupakan hal yang sudah tidak relevan dilakukan untuk saat ini. Novel Lupus ABG merupakan novel remaja yang memiliki nilai-nilai kekeluargaan yang besar. Kisah keluarga yang terdapat di dalamnya menjadi

100 Pidi Baiq, Op.Cit,. h. 112.

70

sebuah faktor yang memengaruhi siklus hidup seorang anak dan berpengaruh terhadap proses kehidupan anak. Keluarga di dalam novel tersebut dijadikan sebagai benteng utama untuk mendorong motivasi kehidupan anak. Terlebih ketika anak tersebut mengalami depresi. Hal tersebut terbukti pada saat tokoh Lulu mengalami penolakan dari pria yang ia taksir, namun tokoh Mami dan Lupus sebagai saudara prianya sigap sedia berada di sampingnya untuk menghibur sekaligus memberikan masukan yang baik. Kekompakan keluarga Lupus merupakan nilai utama yang harus ditiru, walaupun dalam penceritaannya dilengkapi dengan hal-hal yang tidak dapat diterima akal seperti saat keluarga Lupus memutuskan untuk mengirit air. Namun, di balik peristiwa-peristiwa tidak masuk akal tersebut, kekompakan yang mereka lakukan membuktikan adanya kebahagiaan dan keceriaan dalam membangun keluarga. Begitu pula dengan novel Dilan 1990. Di dalam novel tersebut terdapat nilai keteladanan keakraban yang dibangun oleh keluarga. Novel tersebut memberikan pesan bahwa sosok ibu adalah sosok yang paling berpengaruh dalam perkembangan anak, seperti halnya tokoh Bunda (ibu Dilan) dan ibu Milea yang selalu menasihati dan menjadi tempat berbagi bagi anak-anaknya.

B. Struktur Cerita pada Novel-novel Remaja Indonesia Setelah melakukan analisis struktur intrinsik ketiga novel tersebut. Pada sub bab ini, penulis akan membahas mengenai perbedaan, persamaan, serta hal-hal yang berkaitan di antara ketiga novel itu. Ketiga novel tersebut, yaitu novel Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, serta Dilan 1990, seluruhnya ditulis oleh para para pengarang pria. Eddy D. Iskandar menulis novel Gita Cinta dari SMA di saat usia 27 tahun, sedangkan novel Lupus ABG ditulis oleh Hilman Hariwijaya pada saat ia berusia 31 tahun dan pada saat Boim menginjak usia 28 tahun. Adapun novel Dilan 1990 ditulis oleh Pidi Baiq

71

pada saat ia berusia 44 tahun. Hal tersebut berkaitan dengan para tokoh utama yang ada di dalam ketiga novel tersebut yang semuanya juga beridentitas pria. Seperti halnya tokoh Galih yang merupakan tokoh utama di novel Gita Cinta dari SMA, tokoh Lupus di dalam novel Lupus ABG, dan juga tokoh Dilan di dalam novel Dilan 1990. Sedangkan dalam segi penerbitan, ketiga novel ini terbit di tiga dekade yang berbeda. Jarak waktu antara novel Gita Cinta dari SMA ke novel Lupus ABG adalah 17 tahun. Sedangkan, jarak waktu terbit antara novel Lupus ABG dan novel Dilan 1991 adalah 19 tahun, dalam artian, jarak antara novel Gita Cinta dari SMA dan novel Dilan 1990 adalah 36 tahun. Namun, kemiripan antara novel Gita Cinta dari SMA dengan novel Dilan 1990 lebih dominan daripada novel Gita Cinta dari SMA dan Lupus ABG atau antara novel Lupus ABG dan Dilan 1990. Hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Berdasarkan Tema Pada novel Gita Cinta dari SMA, Eddy D. Iskandar mengangkat tema kelas sosial dan budaya sebagai latar belakang kisah cinta remaja. Kedua hal tersebut menjadi latar belakang konflik dan klimaks cerita. Seperti dalam kutipan: “Dengar olehmu, Nana! Kau mesti menurut perintah Bapak. Hentikanlah hubunganmu dengan lelaki itu. Ingat, Bapakmu tidak ingin melihat anaknya berhubungan dengan orang Sunda! Ini adalah pesan leluhur kita. Sejak nenek moyangmu yang bergelar Raden Mas- Raden Mas itu, tak satupun yang menikah atau berkasih-kasihan dengan suku Sunda!”101

Tokoh Galih yang merupakan pria bersuku Sunda dan berasal dari keluarga menengah bawah, sedangkan tokoh Ratna yang merupakan wanita dari kelas menengah atas dan bersuku Jawa. Hal tersebut menjadi dasar perbedaan kelas sosial serta budaya pada novel Gita Cinta dari SMA.

101 Eddy D. Iskandar, Op. Cit.,, h. 76.

72

Novel Gita Cinta dari SMA menyajikan budaya patriarki sangat ditunjukkan, ketika seorang anak harus menuruti keinginan bapaknya serta stigma bahwa kelas pria harus lebih tinggi daripada seorang wanita. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perjodohan antara tokoh Ratna dengan seorang dokter pilihan bapaknya. Pada novel Lupus ABG, tema yang diangkat mengenai gaya hidup remaja yang berlangsung di kalangan remaja kota. Budaya populer tersebut dibuktikan melalui beberapa peristiwa yang dilakukan di kalangan remaja saat sedang berkencan dengan lawan jenis, tempat tujuan wisata para remaja yang tertuju pada tempat hiburan (mal dan orchestra). Hal itu terdapat dalam kutipan: “Besoknya Lulu sudah tampil beda. Sosoknya jadi cute sekale! Dia telah punya janji sama cowok incarannya itu di Pondok Indah Mal. Dan ia selalu sumringah saja.102 Dan akhirnya Lulu emang nggak sabar, dia nekat ngomong langsung ke si cowok. “Ng, apakah saya sudah menjadi cewek yang kamu impi-impikan? Dengan rambut keriting...” “Oh, belum,” potong si cowok itu pelan.”103 Sedangkan pada kategori keluarga, novel Lupus masih menampilkan potret yang belum modern, yaitu adanya stigma bahwa wanita (mamah Lupus) adalah pihak yang ditempatkan sebagai pekerja domestik dengan mengurus seluruh pekerjaan rumah dan menjadi penanggung jawab pertama terhadap perkembangan anak, hal tersebut terdapat di dalam kutipan: “Papi garuk-garuk kepala. Nyari akal, gimana bikin Mami nyadar akan kesibukannya. Soalnya sejak tadi Mami melupakan tugas rutinnya masak untuk keluarga. Padahal Papi

102 Ibid, h. 41. 103 Ibid, h. 42.

73

udah lapar berat. Tapi belum ada tanda-tanda Mami bakal nyiapin makan malam.”104

Pada novel Dilan 1990, Pidi Baiq menampilkan budaya pacaran pada remaja kota di tahun 1990. Budaya tersebut dijabarkan melalui kisah cinta remaja (Dilan dan Milea) sebagai hal yang mendominasi cerita di dalam novel tersebut. Seperti di dalam kutipan: “Bagiku, selain bagus dan romantis, sekolah itu adalah tempat khusus yang menyimpan kenangan masa laluku ketika masih SMA, ketika aku remaja dan pacaran, terutama menyangkut seseorang yang pernah bersamaku, yang pernah selalu mengisi hari-hariku. Itu adalah kenangan yang paling susah kulupakan, bahkan ketika aku ingin. Dan malam ini akan aku ceritakan kisahnya, Bersama rinduku kepadanya yang tak bisa kuelakkan.”105

Kutipan tersebut diungkapkan oleh tokoh Milea di awal cerita. Kalimat-kalimat tersebut menjadi awal pembuka cerita di dalam novel yang berisi tentang awal mula perkenalan Dilan dan Milea, masalah percintaan sebelum resmi berpacaran, hingga pada akhirnya resmi berpacaran. Tema pendukung dalam novel tersebut ditampilkan melalui gaya hidup remaja pada masa itu yang terjadi di dalam lingkup keluarga. Hal itu ditandai dengan adanya keterbukaan antara orang tua dan anak dan tidak ada tuntutan pada anak untuk mengikuti kemauan orang tua. Tokoh bunda juga digambarkan sebagai wanita yang mandiri dengan menjadi seorang pengajar dan berani. Pada ketiga novel tersebut, terlihat beberapa perkembangan dalam segi budaya dalam cerita. Novel Gita Cinta dari SMA yang terbit

104 Ibid, h. 84. 105 Pidi Baiq, Op.Cit.,, h. 17.

74

di tahun 1982 masih menampilkan budaya patriarki yang kental, kemudian di tahun 1995 Hilman Hariwijaya beserta Boim Lebon berhasil menampilkan gaya hidup remaja pada masa itupada remaja dengan kebebasan berekspresi, walaupun masih menampilkan budaya patriarki di dalam hubungan suami istri. Di tahun 2014, Pidi Baiq berhasil merekayasa cerita remaja tahun 1990 dengan menampilkan stigma positif terhadap kebudayaan populer. 2. Berdasarkan Tokoh Tokoh-tokoh yang diciptakan dalam ketiga novel tersebut memiliki kemiripan. Seperti halnya terdapat tokoh teman akrab yang terjadi di ketiga novel tersebut. Di dalam novel Gita Cinta dari SMA, Eddy D. Iskandar menampilkan tokoh Erlin dan Mimi sebagai teman baik tokoh Ratna. Hal tersebut terdapat dalam kutipan “‘Terima kasih, Mi. Kau dan Erlin

memang sangat baik,” ujar Ratna terharu,”’106 dialog tersebut terjadi ketika peristiwa Ratna dikurung oleh bapaknya dan tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah karena diketahui memiliki hubungan percintaan dengan Galih. Lalu, Erlin dan Mimi menjenguknya dan berinisiatif untuk membantu Ratna agar bisa kembali sekolah. Di dalam novel Lupus ABG, Hilman Hariwijaya dan Boim mendatangkan sosok Pepno yang dideskripsikan sebagai teman sekolah juga teman les Lupus, ia memiliki pengalaman cinta unik yang dimuat dalam satu bab khusus. Hal tersebut terdapat dalam kutipan: “Kebetulan aja waktu itu Pepno, yang nggak bisa ngeliat jajanan nganggur itu, lagi ngembat siomay di samping gedung kursus. Lagi mulutnya monyong-monyong karena kepedesan, kayak ikan mas koki, tiba-tiba aja Lupus, yang satu tempat kursus sama Pepno, teriak….”107

106 Eddy D. Iskandar, Op. Cit., h. 90. 107 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. 74.

75

Selain itu, tokoh Pepno juga dijelaskan mendukung tindakan yang dilakukan oleh Lupus di dalam bab Water For Life seperti pada kutipan berikut ini:

““Pus, ini Pepno,” kata suara di sana. “Papi saya mau ngeresmiin kolam renang barunya di daerah Kebayoran, mau ikut nggak? Kita bisa mandi gratis di sana!”108

Kutipan tersebut menunjukkan kedekatan antara Lupus dengan Pepno karena menghubungkan keberadaan keluarga mereka.

Di dalam novel Dilan 1990, Pidi Baiq menampilkan tokoh Wati dan juga Piyan sebagai tokoh teman yang sering muncul di dalam cerita dan mempengaruhi jalannya cerita.

Tokoh Wati dan Piyan ditampilkan sebagai tokoh teman yang memiliki sifat baik dan mendukung jalan cerita cinta Dilan dan juga Milea. Seperti halnya saat peristiwa Piyan mengantar Dilan ke rumah Milea untuk melakukan usaha pendekatan seperti pada kutipan: “Dia nanya ke Piyan yang saat itu datang bersamanya. “Apa, ya?” Piyan balik nanya. “Oh! Iqro,” katanya menjawab pertanyaannya sendiri. “Iqro, Milea!” kata dia lagi padaku. Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja kupandang matanya.”109

Keberadaan Piyan juga membuat hubungan Dilan dan Milea menjadi membaik ketika sedang terjadi perselisihan. Hal itu dikarenakan sosok Piyan yang dikenal oleh Milea sebagai sosok yang ramah seperti dalam kutipan:

108 Ibid, h. 27. 109 Pidi Baiq, Op. Cit., h. 26.

76

“Gampang sekali bisa langsung akrab dengan Piyan. Dia memang ramah dan tipe orang yang mudah bergaul dengan siapa pun, sehingga aku jadi langsung bisa lancar berkomunikasi dengan dia, seolah-olah sudah lama mengenalnya.”110

Kutipan tersebut menjadi salah satu alasan Milea sering menanyakan perihal Dilan dengan Piyan seperti yang terdapat dalam kutipan: “Akhirnya, aku bisa ngobrol dengan Piyan, yaitu pada waktu istirahat, di tempat tukang photo copy yang ada di luar sekolah. Aku ceritakan semuanya dari mulai awal bertemu Dilan, sampai tentang banyak hal yang sudah ia usahakan untuk melakukan pendekatan.”111

Selain terdapat tokoh yang dijadikan sebagai kawan pemeran utama, ketiga novel tersebut menampilkan tokoh keluarga yang ikut campur kisah asmara para remaja tersebut. Di dalam novel Gita Cinta dari SMA, Eddy D. Iskandar menampilkan tokoh ayah yang berperan antagonis sebagai sosok yang menghancurkan hubungan antara Galih dan Ratna. Hal tersebut terjadi lantaran adanya pandangan budaya yang dipegang teguh oleh tokoh ayah seperti dalam kutipan: “Dengar olehmu, Nana! Kau mesti menurut perintah Bapak. Hentikanlah hubunganmu dengan lelaki itu. Ingat, Bapakmu tidak ingin melihat anaknya berhubungan dengan orang Sunda! Ini adalah pesan leluhur kita. Sejak nenek moyangmu yang bergelar Raden Mas-Raden Mas itu, tak satupun yang menikah atau berkasih-kasihan dengan suku Sunda!”112

110 Ibid, h. 77. 111 Ibid, h. 77. 112 Eddy D. Iskandar, Op.Cit., h. 76.

77

Selain tokoh ayah di dalam novel Gita Cinta dari SMA, Eddy D. Iskandar juga menampilkan tokoh seorang tante yang bernama Mbak Ning. Tokoh tersebut menjadi tokoh protagonis dalam perjalanan cinta Galih dan Ratna seperti dalam kutipan; “Sambil berjalan, teringat akan pesan Mbak Ning dalam suratnya. Dik Galih, iringilah kepergian Nanan dengan senyuman, walau hatimu tidak demikian.”113 Kutipan tersebut merupakan potongan nasihat Mbak Ning kepada Galih lantaran Galih dan Ratna harus benar-benar terpisah. Di dalam cerita, tokoh Mbak Ning selalu menyemangati dan memberi ketenangan untuk Ratna. Hal tersebut terdapat dalam kutipan: “Bapaaa…k,” tangis Ratna semakin keras. Mbak Ning membelai rambut Ratna penuh kasih sayang. “Sudahlah, Dik Nana. Tabahkan hatimu.”

“Mbak!” Ratna menjatuhkan wajahnya ke pangkuan Mbak Ning.114

Di dalam novel Lupus ABG, Hilman Hariwijaya dan Boim juga menampilkan tokoh-tokoh keluarga sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam jalannya cerita. Tokoh-tokoh tersebut terdiri dari Mami Lupus, Papi Lupus, dan Adik Lupus yang bernama Lulu. Keberadaan mereka membuat suasana cerita menjadi kompleks, yaitu terdapat hal lucu dan juga konflik. Seperti halnya konflik saat Lulu mendapat penolakan dari cowok yang ia suka seperti di dalam kutipan: “Besoknya Lulu sudah tampil beda. Sosoknya jadi cute sekale! Dia telah punya janji sama cowok incarannya itu di Pondok Indah Mal. Dan ia selalu 115 sumringah saja.

Dan akhirnya Lulu emang nggak sabar, dia nekat ngomong langsung ke si cowok.

113 Ibid, h. 139. 114 Ibid, h. 84. 115 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit. , h. 41.

78

“Ng, apakah saya sudah menjadi cewek yang kamu impi-impikan? Dengan rambut keriting. ”

116 “Oh, belum,” potong si cowok itu pelan.”

Tokoh Mami Lupus juga digambarkan sebagai tokoh yang berkaitan dengan kisah cinta Lupus dan juga Lulu. Hal itu terjadi ketika mami Lupus memilih untuk membiayai Lulu pergi ke salon agar rambutnya keriting setelah tahu bahwa Lulu menaksir seorang pria yang suka wanita berambut keriting, seperti di dalam kutipan: Siangnya, waktu pulang sekolah, Lulu minta duit tambahan sama Mami buat pergi ke salon. “Nah, mendingan begitu deh,” kata Mami akhirnya, “daripada makanin mie terus, mendingan ke salon sekalian kalo mau keriting.” “Eh, Mami tau, ya, kalo Lulu pengen punya rambut keriting? Tau dari mana, Mi?” tanya Lulu tersipu “Ah, Mami kan juga pernah muda, Lu,” jawab Mami sambal senyum kecil.117

Tokoh Mami juga membantu Lupus dengan membuatkan Lupus dasi kupu-kupu ketika hendak berkencan dengan teman wanitanya untuk menyaksikan pertunjukan orkestra, seperti di dalam kutipan: ““Hm, warna apa, ya??” Mami mikir. “Eh, kebetulan bahan sarung bantal kita kelebihan, bagaimana kalo dasi kupu- kupunya Mami bikin dari sisa bahan itu? Jadi warnanya belang-belang. Keren, Pus, gak ada yang nyamain!”118

116 Ibid, h. 42. 117 Ibid, h. 40. 118 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. 57.

79

Pada novel ketiga dalam penelitian ini, yaitu novel Dilan 1990, Pidi Baiq memasukkan tokoh Bunda dan Ibu sebagai anggota keluarga yang mendominasi keterikatan batin dan cerita pada perjalanan tokoh utama. Tokoh Bunda dalam novel Dilan 1990 menjadi tokoh ibu yang sangat pengertian terhadap kisah asmara anaknya. Hal itu dibuktikan dalam kutipan: “Mau lihat kamar Dilan?” tanya Bunda pelan berbisik. “Boleh,” jawabku senang. Aku diajak Bunda masuk ke kamar 119 Dilan.

Kutipan tersebut mengandung makna penerimaan tokoh Bunda terhadap sosok Milea sebagai kekasih Dilan. Tokoh Ibu yang merupakan ibu dari Milea juga menunjukkan dukungan yang sama terhadap percintaan mereka. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan: “Aku merasa bersemangat tentang hal ini. Dia menyambut anak-anaknya kepada pengalaman seninya. Membantuku untuk melihat banyak hal dalam lebih dari sudut pandang. Menjadi terbuka untuk semua ekspresi,”.120

Di dalam ketiga novel tersebut, pola penokohan pada peran utama juga memiliki beberapa kemiripan. Ketiga novel tersebut menampilkan sosok tokoh utama pria (Galih pada Gita Cinta dari SMA; Lupus dalam novel Lupus ABG; dan Dilan pada Dilan 1990) yang pandai dari segi kecerdasannya. Seperti pada kutipan “Kami ulangi lagi, untuk tahun ini hadiah pelajar teladan putra dan putri, jatuh kepada… Galih Rakaswiri….”121Yang menjelaskan tentang kecerdasan Galih hingga ia mendapat predikat siswa berprestasi. Pada novel Lupus ABG, kutipan yang menjelaskan tentang kepandaian Lupus terdapat pada kutipan ““Anak saya

119 Pidi Baiq, Op. Cit., h. 275. 120 Ibid. h. 14-15. 121 Eddy D. Iskandar, Op. Cit., h. 125.

80

itu pintar lho, dia menyelesaikan SD-nya cuma dalam waktu lima tahun!” cerita Mami Lupus ngebanggain anak cowoknya itu pada tetangganya.”122

Sedangkan pada tokoh Dilan, terdapat dalam kutipan “… Dilan pintar dan selalu mendapat ranking pertama di kelasnya.”123

Selain pandai, novel Gita Cinta dari SMA dan Dilan 1990 juga menampilkan sosok pria utama yang tampan dan merupakan idola sekolah. Selain itu, kedua tokoh utama pria tersebut digambarkan sebagai sosok yang penuh dengan kejutan atau dalam tanda kutip misterius sekaligus romantis. Keromantisan kedua tokoh tersebut digambarkan melalui puisi- puisi yang sering mereka buat. Hal tersebut terdapat dalam kutipan:

“Ratna memperhatikan pemuda itu. Menatapnya dengan cermat. Diam-diam hatinya mengakui ketampanan wajah pemuda itu. Rambutnya agak gondrong, tapi disisir rapi. Pakaiannya sederhana, tapi tampak bersih. Tubuhnya tinggi, agak kurus,”124

Sedangkan pada tokoh wanita, Eddy D. Iskandar, HilmanHariwijaya beserta Boim, dan Pidi Baiq menampilkan visualisasi tokoh yang cantik, dan menjadi idaman di masanya. Seperti pada kutipan: “Awas siapa pun juga tak boleh mengganggu 125 bidadari yang cantik jelita ini!”

“Tahu kan Prudence? Aelah, masa lupa? Itu, cewek indo yang lagi diincer Lupus. Yang rambutnya sebahu, dan hidungnya runcing kayak penggaris segitiga. Kalo soal manis, 126 gula seton juga kalah sama Prudence,”

“Cantik!” katanya. “Bi, cantik, ya?” kata dia lagi ke Bi Eem

122 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. Pengantar. 123 Pidi Baiq, Op. Cit,. h. 87. 124 Eddy D. Iskandar, Op. Cit, h. 3. 125 Ibid, h. 3. 126 Ibid, h.31.

81

“Iya,” jawab Bi Eem.127

Dari ketiga tokoh wanita yang menjadi pusat cerita, hanya Eddy D. Iskandar yang menampilkan tokoh yang selain pandai juga cerdas melalui tokoh Ratna, hal itu berdasarkan fakta bahwa Ratna menjadi bintang sekolah yang memiliki nilai tertinggi saat hari perpisahan, hal tersebut terdapat dalam kutipan; “Kami ulangi lagi, untuk tahun ini hadiah pelajar teladan putra dan putri, jatuh kepada… Galih Rakaswiri dari kelas tiga SOS dua dan Ratna Suminar dari tiga SOS satu,”128 Namun, yang menjadi persamaan di antara ketiga tokoh wanita tersebut, ketiganya berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi menengah ke atas, seperti di pada kutipan; “Tiba-tiba dari jauh terlihat sedan ayahnya Ratna menuju ke arah mereka. Wajah Ratna sudah pucat karena takut ketahuan. Galih gelagapan tak tahu apa yang mesti dilakukan,”129 di dalam novel Gita Cinta dari SMA. Hal tersebut dapat dikatakan karena pada tahun ditulisnya cerita tersebut, yakni tahun 60-an, hanya orang-orang tertentu yang memiliki mobil, dalam artian tidak semua masyarakat dengan mudah memiliki mobil seperti saat ini. Sedangkan dalam novel Lupus ABG, hal yang menerangkan bahwa Prudence merupakan anak orang kaya terdapat dalam kutipan; “Jadi. Tapi Prudence pulang dulu, ya? Nanti minta diantar sopir ke rumah kamu. Abis kata Mama disuruh ganti baju sama makan siang dulu...”130 Keterangan akan diantar sopir menjadi pertanda bahwa dia merupakan wanita yang berasal dari keluarga berada. Di dalam novel Dilan 1990, gambaran Milea sebagai wanita yang berasal dari keluarga berada terdapat dalam cerita yang menerangkan bahwa Milea memiliki guru les pribadi/privat yang bernama Kang Adi dan juga memiliki pembantu rumah tangga di

127 Pidi Baiq, Op. Cit, h, 339. 128 Eddy D. Iskandar, Op. Cit,. h. 125. 129 Ibid, h. 95. 130 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. 32.

82

rumahnya. Kedua hal tersebut jelas menerangkan bahwa Milea berada dalam kondisi ekonomi di atas rata-rata mengingat bayaran yang harus dikeluarkan untuk menyewa guru les pribadi dan juga pembantu rumah tangga. Dari ketiga novel tersebut, kesamaan tokoh terdapat dari keberadaan tokoh-tokoh tambahan yaitu adanya tokoh keluarga, tokoh teman sekolah, dan juga pasangan remaja. Selain itu, juga terdapat kesamaan tokoh utama, yaitu keberadaan tokoh-tokoh pria yang pandai dan juga tampan. Ada juga kesamaan dari tokoh wanita yang selalu digambarkan sebagai sosok yang cantik dan juga kaya. Sedangkan perbedaannya, di dalam novel Gita Cinta dari SMA dan juga novel Dilan 1990 terdapat tokoh antagonis. Pada novel Gita Cinta dari SMA, tokoh antagonis digambarkan melalui tokoh ayah dan pada novel Dilan 1990, tokoh antagonis digambarkan melalui tokoh-tokoh teman sebaya, sedangkan di dalam novel Lupus ABG, Hilman Hariwijaya tidak menggambarkan adanya tokoh antagonis yang memengaruhi cerita secara keseluruhan. 3. Berdasarkan Alur Ketiga novel yang menjadi objek penelitian ini memiliki beberapa kemiripan dan perbedaan pada segi alur cerita. Namun, kemiripan terbesar terjadi pada novel Gita Cinta dari SMA dengan novel Dilan 1990, sedangkan dengan novel Lupus ABG, kemiripan alur sangat sedikit terjadi. Walaupun pada dasarnya ketiga novel tersebut memiliki plot berdasarkan waktu yang berbeda. Pada novel Gita Cinta dari SMA, alur yang ada di dalamnya merupakan alur progresif atau lurus, atau bisa dikenal dengan alur maju. Jika dibuat urutannya, maka novel Gita Cinta dari SMA memiliki urutan alur seperti di bawah ini: A - B - C - D - E

83

Tahapan alur pada novel tersebut dimulai dari perkenalan pada tokoh utama dan juga tokoh tambahan melalui peristiwa perkenalan Ratna sebagai murid baru di sekolah Galih seperti yang terdapat dalam kutipan; “Ratna memperhatikan pemuda itu. Menatapnya dengan cermat. Diam-diam hatinya mengakui ketampanan wajah pemuda itu. Rambutnya agak gondrong, tapi disisir rapi. Pakaiannya sederhana, tapi tampak bersih. Tubuhnya tinggi, agak kurus,”131

Kemudian, setelah peristiwa perkenalan, cerita mulai masuk kepada konflik batin yang terjadi antara Galih dan Ratna yang mulai merasakan jatuh cinta namun adanya sikap acuh terhadap pihak Galih. Hal tersebut terjadi pada kutipan; “Sekali lagi Ratna menatap Galih. Dia tetap tak percaya padaku! Barangkali benar-benar ia menyangka aku wanita murahan! Galih, alangkah angkuhnya kamu!”132 Sifat dingin yang dilakukan Galih oleh Ratna ternyata membawa mereka pada hubungan percintaan yang sangat romantis hingga diketahui seluruh teman sekolahnya. Cemburu juga menjadi salah satu permasalahan yang ada di dalam cerita ini, yaitu ketika tokoh Ratna pulang sekolah berboncengan motor dengan Christian yang merupakan teman sekolahnya dan bertemu Galih saat di perjalanan. Lalu, kecemburuan tersebut diungkapkan melalui dialog sebagai berikut: ““Nanti aku dibonceng di sepeda Galih, yaa?” “Jangan.” “Kenapa?” “Kau akan malu.” “Malu? Malu pada siapa?” “Teman- teman.” “Kenapa mesti malu?” “Nanti kau akan ditertawakan. Apa menariknya dibonceng pakai sepeda? ‘Kan

131 Eddy D. Iskandar, Op. Cit., h. 3. 132 Ibid, h. 26.

84

lebih enak dibonceng pakai vespa atau yamaha!” “Galih...,” Ratna menatap Galih. Hatinya merasa disakiti. Galih pasti menyindirnya karena ia pernah dibonceng oleh Christian dan Anto.”133

Cerita pada novel tersebut akhirnya masuk pada klimaks pernyataan tidak setuju oleh tokoh Ayah Ratna lantaran perbedaan budaya seperti pada kutipan;

“Dengar olehmu, Nana! Kau mesti menurut perintah Bapak. Hentikanlah hubunganmu dengan lelaki itu. Ingat, Bapakmu tidak ingin melihat anaknya berhubungan dengan orang Sunda! Ini adalah pesan leluhur kita. Sejak nenek moyangmu yang bergelar Raden Mas- Raden Mas itu, tak satupun yang menikah atau 134 berkasih-kasihan dengan suku Sunda!” yang pada akhirnya menampilkan cerita perjodohan antara tokoh Ratna dengan pria pilihan bapaknya yang mengakibatkan putus dan berpisahnya Ratna dan Galih.

Tahapan-tahapan cerita tersebut hampir mirip dengan novel Dilan 1990 walaupun pada dasarnya novel Dilan 1990 merupakan novel yang memiliki Teknik flash back yang jika disimpulkan memiliki urutan alur sebagai berikut: D₁ A B C D₂ E Tahapan tersebut dimulai dari peristiwa ketika tokoh Milea yang juga menjadi narator mengungkapkan bahwa dirinya sedang menulis kisah masa lalunya Bersama Dilan seperti di dalam kutipan: “Malam ini, aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling Stones, di

133 Ibid, h. 25. 134 Ibid, h. 76.

85

kawasan Jakarta Pusat yang gerah.”135 yang menandakan bahwa dirinya sudah tidak lagi di Bandung seperti kisah yang akan ia tulis,

Cerita dalam novel Dilan 1990 dilanjuti dengan kisah antara Dilan dan Milea yang dimulai sejak pertama kali mereka bertemu. Pada tahapan ini, terjadi kesamaan cerita dengan novel Gita Cinta dari SMA, yaitu tentang tokoh Milea yang juga murid pindahan di sekolah Dilan sehingga terjadi perkenalan dengan Dilan seperti di dalam kutipan: “Asli, aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Mungkin satu sekolah denganku, tapi aku belum mengenal semua siswa yang ada di sekolahku, termasuk dirinya. Harap maklum, aku hanya murid baru. Baru dua minggu.”136

Cerita tersebut berlanjut seperti di dalam novel Gita Cinta dari SMA yaitu adanya sikap acuh dari salah satu pihak, bedanya di dalam novel Gita Cinta dari SMA, hal itu dilakukan oleh tokoh wanita (Milea) seperti di dalam kutipan: ““Maaf kalau aku mengganggumu,” katanya kemudian dengan suara pelan. “Iya,” kujawab. “Tuh angkotnya,” kataku menunjuk angkot yang akan lewat. Aku tahu harusnya gak usah ngomong begitu, karena akan berkesan seolah-olah aku sedang mengusirnya, tapi justru itu maksudku.”137

Sikap tersebut dilakukan oleh tokoh Milea lantaran sikap Dilan yang dirasanya aneh sebagai orang baru yang belum ia kenal. Selain adanya penolakan, di dalam novel Dilan 1990 juga terdapat peristiwa kecemburuan yang dirasakan oleh kedua tokoh utama, sama seperti yang terjadi pada novel Gita Cinta dari SMA ketika tokoh Galih cemburu pada tokoh Christian karena

135 Pidi Baiq, Op. Cit.. h. 18. 136 Ibid, h. 22. 137 Ibid, h. 37.

86

membonceng Ratna. Pada novel Dilan 1990 kecemburuan tersebut mulanya dirasakan oleh tokoh Dilan terhadap tokoh Nandan yang diduga sudah berpacaran dengan Milea. Hal tersebut terdapat dalam kutipan; ““Terus, kenapa sekarang Dilan berubah, Piyan? Kenapa dia jadi sombong, Piyan? Piyan menjawab tidak tahu. Walau kemudian akhirnya Piyan cerita bahwa Dilan sering cerita soal aku. (Ah, aku senang pas Piyan ngomong bahwa Dilan suka cerita tentang aku). “Nah, soal dia berubah, apa, ya?” kata Piyan bagai mikir. “Dia pernah bilang, sih, katanya: Jangan diganggu Milea. Dia sudah pacaran sama Nandan.”138

Hal itu membuktikan bahwa Dilan merasa cemburu dan minder dengan Nandan yang dianggapnya sudah menjadi pacar Milea. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Tahapan cerita selanjutnya pada novel Dilan 1990 juga memasuki beberapa konflik kecemburuan lainnya seperti yang dialami oleh kekasih Milea terhadap kehadiran Nandan saat acara sekolah di Jakarta dan menyebabkan pertengkaran hebat antara Milea dan Beni seperti pada kutipan; Beni datang berdua dengan Saribin, kawan satu kelasnya, kawanku juga. Beni masuk dan langsung duduk berhadapan denganku. Di mana saat itu, aku sedang duduk bersampingan dengan Nandan. “Tahu dari mana aku di sini?” kutanya Beni sambil senyum. “Temenmu ngasih tahu,” jawabnya dengan senyum pura-pura di wajahnya. “Emang kenapa kalau tahu?” Beni balik nanya. “Gak apa-apa,” kataku. “Tanya saja. Kirain gak akan datang.” “Suka kalau gue gak datang?” Beni tanya dengan tatapan yang mengerikan. Aku

138 Ibid, h 79.

87

langsung mengerti bahwa Beni sedang cemburu.139

Konflik-konflik tersebut pada akhirnya membawa hubungan Milea dengan Dilan menjadi resmi memiliki status kekasih. Hal tersebut menjadi akhir cerita kilas balik yang diceritakan oleh tokoh Milea seperti pada kutipan “Hari ini, Di Bandung, tanggal 22 Desember 1990, Dilan dan Milea, dengan penuh perasaan, telah resmi berpacaran.”140 Cerita kemudian kembali pada narator yang menjelaskan bahwa pada saat itu tokoh Milea sudah tidak lagi bersama Dilan. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan; “Demikianlah kisah cintaku dengan Dilan, ketika aku tinggal di Bandung dulu! Dulu sekali, bertahun-tahun yang lalu, meski aku merasanya seolah-olah hal itu baru terjadi kemarin.”141

Berbeda dengan novel Gita Cinta dari SMA dan Dilan 1990, novel Lupus ABG memiliki alur maju yang jalan ceritanya melompat-lompat atau dalam artian mengisahkan banyak tokoh dan tidak terfokus pada satu tokoh atau tokoh Lupus saja. Seperti keberadaan kisah Lulu dengan pria idamannya dan juga cerita Pepno dengan kekasihnya, juga cerita kehidupan keluarga Lupus yang lebih dominan. Namun, di dalam novel tersebut, kemiripan yang terdapat antara novel Lupus ABG dengan novel Gita Cinta dari SMA dan Dilan 1990 adanya pola perkenalan tentang dirinya yang sudah beranjak menjadi remaja kemudian penulis memperkenalkan tokoh Lulu yang juga sudah beranjak remaja dan kemudian menjadikan pengalihan masa remaja tersebut menjadi masalah pada keluarga Lupus karena Mami dan Papi Lupus

139 Ibid, h. 95. 140 Ibid, h 142. 141 Ibid. h. 345.

88

harus beradaptasi dengan kebiasaan mereka seperti yang terdapat pada kutipan: “Sesampainya di kamar, Papi melihat anak-anaknya asyik berdandan. Selain kaget ngeliat Lupus, Papi juga heran ngeliat Lulu yang tengah berkutet menghiasi rambut pendeknya itu. Soalnya, yang kiri diberi pink sedang sebelah kanannya dikasih pita kaset!”.142

Jalan cerita pada novel Lupus ABG yang memiliki kesamaan cerita dengan novel Gita Cinta dari SMA dan Dilan 1990 terjadi pada peristiwa kasmaran yang dialami oleh Lupus dan Lulu. Namun, di dalam novel ini, keduanya tidak digambarkan mendapatkan cinta sejati. Kedua tokoh tersebut mengalami penolakan seperti yang terdapat pada kutipan; “Prudence, kamu sudah punya yang dikangenin belum?” tanya lupus nekat. “Aduh, gimana, ya…,” lagi-lagi Prudence ngejawab begitu. “Belum, ya?” Lupus makin nekat. “Dikangenin? Ada sih….” “Ada?” Lupus kaget. “Siapa?” Deg-degan hatinya. Berharap Namanya disebut. “Ada…,” Lupus kaget. “Siapa?” Deg-degan hatinya. Berharap Namanya disebut. “Ada…,” suara Prudence pelan. “Namanya Tevin. Temen Prudence waktu di Seattle. Katanya dia mau nyusul ke sini kalau udah SMA. Mau sekolah di JIS….” Lupus dongkol.143

Namun, kemiripan yang terjadi antara ketiga novel tersebut terjadi dengan adanya campur tangan anggota keluarga terhadap kisah cinta remaja. Pada novel Gita Cinta dari SMA, terdapat tokoh Mbak Ning sebagai Tante Ratna dan Ayah Ratna yang memutuskan hubungan Galih dan Ratna. Pada

142 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. 12. 143 Ibid, h. 34.

89

novel Lupus ABG, terdapat tokoh Mami yang selalu mengontrol keadaan anak-anaknya ketika sedang jatuh cinta seperti mengikuti Lulu saat sedang berkencan dengan pria idamannya dan juga membuatkan dasi kupu-kupu untuk Lupus saat ingin berkencan dengan teman wanitanya seperti pada kutipan; ““Hm, warna apa, ya??” Mami mikir. “Eh, kebetulan bahan sarung bantal kita kelebihan, bagaimana kalo dasi kupu-kupunya Mami bikin dari sisa bahan itu? Jadi warnanya belang-belang. Keren, Pus, gak ada yang nyamain!”144

Sedangkan pada novel Dilan 1990 terdapat tokoh Bunda yang cukup sering ditampilkan dalam kisah Dilan dan Milea. Tokoh bunda tersebut digambarkan sebagai sosok ibu yang mendukung hubungan percintaan antara Milea dan Dilan. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan; “Mau lihat kamar Dilan?” tanya Bunda pelan berbisik. “Boleh,” jawabku senang. 145 Aku diajak Bunda masuk ke kamar Dilan.

Dari ketiga novel tersebut, maka dapat diambil kesimpulan mengenai kemiripan dan perbedaan alur cerita seperti di bawah ini: Tabel 4 1 Perbadingan alur cerita

Gita Cinta Lupus Dilan No Indikator dari SMA ABG 1990

√ √ √ Diawali pengenalan 1 tokoh

144 Ibid, h. 57. 145 Pidi Baiq, Op. Cit., h. 275.

90

√ √ √ Peristiwa pengacuhan 2 dari salah satu pihak

√ √ √ 3 Peristiwakecemburuan

√ √ √ Peristiwa campur tangan 4 keluarga terhadap hubungan asmara

√ - √ 5 Peristiwa hari jadian

√ - √ 6 Peristiwa perpisahan

4. Berdasarkan Latar Keberadaan latar merupakan suatu hal yang penting untuk membangun sebuah cerita. Latar tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu latar waktu, latar tempat, dan juga latar suasana. Di dalam ketiga novel yang menjadi objek kajian ini, terdapat kemiripan latar cerita yang terlihat dominan. Kemiripan paling dominan yang terdapat di dalam ketiga novel tersebut yang pertama terdapat pada kategori latar tempat. Ketiga novel tersebut pasti memunculkan sekolah dan rumah sebagai latar tempat yang mendominasi jalannya cerita. Pada novel Gita Cinta dari SMA, sekolah merupakan sebuah tempat yang mempertemukan dua tokoh utama, yaitu Galih dan Ratna, seperti di dalam kutipan: “Selesai diperkenalkan Bapak Direktur, teman-teman barunya bergantian datang

91

menjabat tangan. Memperkenalkan namanya masing-masing. Ratna menyambutnya dengan gembira. Tapi, tiba-tiba matanya tertumbuk pada pemuda yang duduk paling belakang. Pemuda itu acuh saja. Seakan-akan tak peduli akan kehadirannya.”146

Kutipan tersebut terjadi saat tokoh Ratna dan Galih Pertama kali bertemu di sekolah yang pada saat itu, Ratna merupakan seorang murid baru. Sekolah juga menjadi tempat yang banyak menjelaskan peristiwa-peristiwa cerita cinta Galih dan Ratna terjalin. Seperti halnya ketika Ratna dan Galih melakukan fase pendekatan saat latihan acara perpisahan, hingga terjadinya perpisahan antara Galih dan Ratna di hari perpisahan sekolah. Hal tersebut juga terjadi di dalam novel Dilan 1990 yang menjadikan tokoh Milea sebagai siswa baru di sekolah Dilan. Sekolah menjadi tempat pertemuan pertama antara tokoh Dilan dan tokoh Milea seperti pada kutipan;

“Saat itulah aku mendengar suara sepeda motor yang datang dari arah belakang. Suara knalpotnya sedikit agak berisik, lalu kutengok sebentar, pengendaranya memakai seragam SMA, kemudian aku mencoba untuk tidak 147 fokus pada itu.”

Peristiwa tersebut di waktu pagi hari dan berada di jalan sekitar sekolah Dilan dan Milea.Latar sekolah pada novel Dilan 1990 juga merupakan sebuah latar yang sering muncul di dalam cerita dan terdapat peristiwa-peristiwa penting di dalamnya. Seperti ketika konflik Milea dengan Anhar, konflik Dilan dengan Anhar, dan juga tempat Dilan dan Milea menjalin kasih. Pada novel Lupus ABG, sekolah juga merupakan tempat pertemuan para tokoh remaja dengan pasangan idamannya. Seperti ketika Lupus menyukai Prudence dan mengajaknya berkencan. Serta, cerita Lupus bersama para

146 Eddy D. Iskandae, Op. Cit., h. 3. 147 Pidi Baiq, Op. Cit., h. 19.

92

ketua ekskul lainnya yang mengharapkan sosok sekretaris OSIS yang bernama Natasha seperti pada kutipan di bawah ini; “Sudah hampir tiga bulan ini para ketua mengikuti rapat undangan sekretaris OSIS dengan baik. Tapi pada bulan keempat rapat sudah mulai kacau. Sebabnya bukan lantaran para ketua susah diatur atau makan melulu pada saat rapat berlangsung, melainkan karena mereka semua menaksir Natasha.”148

Keberadaan latar sekolah yang dominan pada ketiga novel tersebut ternyata membawa pengaruh pada kategori latar waktu. Sebab, dengan adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekolah dengan tokoh remaja/siswa yang secara otomatis akan terkonsep bahwa sebagian cerita terjadi di saat pagi-sore hari atau pada jam sekolah. Hal itu dapat dibuktikan pada kutipan yang terdapat di tiap-tiap novel seperti yang tersebut di atas. Selain sekolah, rumah juga merupakan latar tempat yang pasti ada di ketiga novel tersebut. Pada novel Gita Cinta SMA, rumah menjadi tempat berlangsungnya konflik antara Ratna dengan Ayahnya seperti pada kutipan; “Ratna tak menjawab lagi. Dengan wajah lesu ia berjalan lunglai menuju kamarnya. Mbak Ning menatap dengan iba. Dalam kamar, Ratna menumpahkan semua kesedihannya. Ia mengais sambal telungkup memeluk bantal. Hatinya menjerit.”149 Di dalam novel Dilan 1990, rumah menjadi tempat yang sangat nyaman dengan kehadiran anggota keluarga yang lainnya. Rumah juga merupakan tempat beberapa peristiwa kisah cinta Dilan dan Milea terjalin. Seperti yang terdapat di dalam kutipan: “Hari itu adalah hari yang paling Bahagia buatku. Aku bahagia bisa berada di rumah Dilan. Bisa berkumpul dengan Bunda. Bisa

148 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. 65. 149 Eddy D. Iskandar, Op. Cit., h 76.

93

kenal dengan Disa, dengan Bang Banar dan Bi Diah.”150

Di dalam novel Lupus ABG, latar rumah digunakan sebagai tempat yang menceritakan tentang cerita kehidupan keluarga Lupus dengan segala keunikan dan kelucuannya, seperti yang terdapat di dalam kutipan; “Besok sorenya, ketika Papi lagi masuk ke kolong mobil bututnya, Lulu menyibukkan Papi dengan bertanya macem-macem. Sedang Lupus berusaha nyolong itu kunci. Kebetulan kan tubuh Papi sebagian, dari pinggang ke kaki, tak berada di kolong mobil. Jadi bisa digerayangi.”151

Pada kategori latar sosial budaya, ketiga novel tersebut menggunakan pusat sosial yang berbeda. Latar budaya yang masuk dalam tradisi kepercayaan hubungan pernikahan menjadi latar sosial budaya yang kuat dan mempengaruhi alur cerita pada novel Gita Cinta di SMA. Perbedaan pandangan adat tersebut menjadi latar belakang terputusnya hubungan asmara antara tokoh Galih dan Ratna. Sedangkan pada novel Lupus ABG, latar sosial budaya yang digunakan pengarang di dalam novel lebih dominan tentang budaya populer remaja kota dengan menampilkan tempat-tempat dan acara-acara modern. Pada novel Dilan 1990, pengarang menggunakan latar sosial budaya dengan mengangkat isu sosial melalui cerita-cerita geng motor yang distereotipkan sebagai anak berandal namun pengarang mencoba mendongkraknya dengan menampilkan tokoh Dilan sebagai anggota geng motor yang baik. Dalam segi kemiripan, latar sosial budaya ketiga novel tersebut adalah, sama menampilkan sosok anak sekolah dengan beberapa kebiasaan siswa pada umumnya. Tabel 4. 2. Perbandingan Latar Cerita

150 Pidi Baiq, Op. Cit., h. 268.

151 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. 19.

94

Gita Lupus Dilan No Latar Cinta ABG 1990 dari SMA

Sekolah √ √ √ 1 Latar Tempat Rumah √ √ √

2 Latar Waktu Pagi-Siang √ √ √

Kelas Sosial √ √ √ Adat √ Latar Sosial Kehidupan 3 Budaya Modern/ √ √ Budaya Populer

Isu Sosial √ √

5. Berdasarkan Sudut Pandang Pada dasarnya, sudut pandang merupakan suatu gaya bercerita yang dimasukkan penulis di dalam naskahnya, yang membahas dan mempersoalkan tentang siapa pencerita di dalam naskah tersebut.152 Terdapat tiga buah pemodelan sudut pandang menurut Burhan Nurgiyantoro, yaitu sudut pandang persona pertama atau yang bisa mengakukan cerita, sudut pandang pesona ketiga atau menggunakan narator

152 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., 246.

95

sebagai pencerita di dalamnya yang tidak masuk menjadi tokoh, dan yang terakhir adalah sudut pandang campuran. Pada ketiga novel yang menjadi objek penelitian ini, sudut pandang yang digunakan pada tiap-tiap novel ada yang mengalami persamaan dan ada yang mengalami perbedaan. Kesamaan sudut pandang terdapat pada novel Gita Cinta dari SMA dan novel Lupus ABG. Keduanya menggunakan sudut pandang persona ketiga dengan menghadirkan narator di dalamnya. Narator berperan sebagai pengatur jalannya cerita. Seperti pada kutipan: “Lupus dan teman-temannya datang lagi. Lupus membawa sebuah gulungan kertas. Kayaknya poster. Papi buru-buru keluar, dan dengan mindik-mindik menguping dari balik pintu kamar Lupus. Tapi sudah sekian lama papi menguping belum juga ada pujian terdengar dari kamar itu. Yang terdengar Cuma getokan-getokan martil di dinding.”153 “Di rumah Lupus mau arisan. Jadi Mami agak repot. Ia sibuk nyiap-nyiapin makanan buat ibu- ibu yang mau datang. Dan Mami sengaja buat kue sendiri daripada beli. Soalnya selain bisa ngirit, Mami juga punya simpanan banyak resep yang belum sempat dicobanya.”154

Narator yang mengetahui jalannya cerita menuntut para tokoh untuk menunjang jalannya cerita, di dalam novel Gita Cinta dari SMA, hal tersebut dibuktikan dalam kutipan: “Tangan kanannya melempar-lemparkan batu kerikil ke tengah sawah. Rambutnya yang agak gondrong, berderai ditiup angin. Ada suara lembut memanggilnya,”155

Peristiwa tersebut terjadi ketika tokoh Galih sedang memperhatikan tokoh Ratna. Walaupun memiliki kesamaan dalam hal sudut

153 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op.Cit., h. 50. 154 Ibid, h. 83. 155 Eddy D. Iskandar, Op.Cit, h. 79.

96

pandang, Novel Lupus ABG dan Gita Cinta dari SMA memiliki perbedaan sudut pandang dengan novel Dilan 1990 yang menggunakan sudut pandang persona pertama di dalam naskahnya dengan kutipan sebagai berikut: “Sekarang aku mau cerita tentang Kang Adi. Kamu harus tahu siapa dia,”156 tokoh Milea. yang diucapkan oleh

Tabel 4. 1. Perbandingan Sudut Pandang Cerita No. Sudut Gita Lupus Dilan Pandang Cinta ABG 1990 dari SMA 1 Sudut √ Pandang Persona Pertama 2 Sudut √ √ Pandang Pesona Ketiga 3 Sudut - - - Pandang Campuran

Perbedaan sudut pandang tersebut tidak mempengaruhi penyampaian pesan pada tiap-tiap novel. Hal tersebut dikarenakan seluruh pesan yang terdapat dalam novel disampaikan secara tersirat melalui peristiwa atau alur cerita. 6. Berdasarkan Gaya Bahasa Gaya bahasa ialah pemakaian ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat

156 Pidi Baiq, Op. Cit, h. 165.

97

untuk memperoleh efek tertentu.157 Gaya bahasa pada ketiga novel yang menjadi objek penelitian ini memiliki beberapa kemiripan. Dua di antara tiga novel yang menjadi objek kajian ini acap kali menggunakan puisi sebagai suatu hal yang identik dengan kemesraan hubungan. Hal itu terdapat pada novel Gita Cinta dari SMA dan juga novel Dilan 1990. Seperti pada salah satu kutipan puisi yang dibuat oleh tokoh Galih di dalam novel Gita Cinta dari SMA: Dengan gaya gerak yang memikat dan suara mantap, Ratna mengumandangkan sebuah sajak. Sekuntum senyum mengambang dalam alirab rasa Rahasia apa yang diam dalam debaran Saat kau seperti kijang mas Meloncat- loncat di hadapanku. Hendak kutangkap Lalu lenyap158 Perbedaan sudut pandang tersebut tidak mempengaruhi penyampaian pesan pada tiap-tiap novel. Hal tersebut dikarenakan seluruh pesan yang terdapat dalam novel disampaikan secara tersirat melalui peristiwa atau alur cerita.

Puisi tersebut dibuat oleh Galih ketika ia jatuh hati dengan Ratna. Hal yang sama juga dilakukan oleh tokoh Dilan di dalam novel Dilan 1990. Dilan membuat puisi untuk Milea sebagai ungkapan seseorang yang sedang jatuh cinta, puisi tersebut berbunyi sebagai berikut: “Milea 2” Katakan sekarang Kalau kue kau anggap apa dirimu? Roti cokelat? Roti keju? Martabak? Kroket? Bakwan? Ayolah! Aku ingin memesannya Untuk malam ini Aku mau kamu

157 Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 51. 158 Eddy D. Iskandar, Op. Cit., h. 61-62.

98

Dilan, Bandung 1990159 Puisi-puisi tersebut tidak terdapat pada novel Lupus ABG. Namun, kemiripan terjadi antara novel Lupus ABG dengan novel Dilan 1990. Keduanya sama-sama sering memasukkan cerita-cerita lucu seperti peristiwa ketika tokoh Mami membangunkan Lupus dari tidurnya. Pada peristiwa tersebut, tokoh Mami berhasil dijahili oleh tokoh Lupus. Hal itu sesuai dengan kutipan berikut ini; “Begini, Mi. ABG itu anak baru gede, anak yang tumbuh menjadi remaja. Artinya dia bukan anak-anak lagi, dan Mami harus membedakannya. Soalnya AGB itu lebih imut dari semut. ABG itu lebih manis dibanding kecap ABC! Dan ABG itu lebih hmm, hmm, hmm, deh! Nah, masa Mami tega sih anak ABG semanis ini dibentak- bentak?”160

Cerita lucu tersebut juga terjadi di dalam novel Dilan 1990 seperti di dalam kutipan:

“Emak kenal Dilan?” kutanya dia. Entah kenapa aku nanya itu padahal sudah tahu mereka saling kenal “Kenal, Neng,” jawab Bi Asih. “Kan, suka nganter Emak kalau sudah mijit ibunya. “Naik motor?” tanyaku. Kawan-kawan bersikap seperti orang yang ingin menyimak kisah Bi Asih ketika dengan Dilan.

159 Pidi Baiq, Op. Cit.. 316. 160 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op. Cit., h. 9.

99

“Iya, Neng, naik motor. Ke rumah,” kata Bi Asih. “Emak pernah dianterin. Gak tahunya mampir dulu ke warung.” “Ngapain?” tanyaku dengan merasa heran. “Itu diajak ngopi. Kan, kan ada teman- teman De Dilan di situ,” jawab Bi Asih.161

Dari penjabaran tersebut, maka diambil kesimpulan sebagaimana yang terletak di dalam tabel berikut:

Tabel 4. 4. Perbandingan Gaya Bahasa Cerita

No. Gaya Gita Cinta Lupus Dilan

Bahasa dari SMA ABG 1990 1 Romantis √ √

2 Lucu √

7. Berdasarkan Amanat Di dalam ketiga novel yang menjadi objek kajian penelitian, terdapat beberapa perspektif penulis yang mengarahkan pesan dengan tujuan yang sama. Pada dasarnya, pesan atau amanat yang terdapat di dalam sebuah karya merupakan suatu hal yang mendasari penulis untuk menciptakan karya tersebut.162 Amanat-amanat yang terkandung di dalam ketiga novel tersebut disajikan secara tersirat. Baik pada novel Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990. Amanat-amanat yang terdapat di dalam ketiga novel tersebut sama- sama mengacu kepada nilai sosial.

161 Pidi Baiq, Op. Cit.. h. 112. 162 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 430.

100

Keluarga merupakan dijadikan sebagai alat yang digambarkan sebagai pembentukan karakter siswa. Seperti munculnya tokoh Bapak yang terdapat pada novel Gita Cinta dari SMA, tokoh tersebut dimaknai sebagai gambaran tokoh bapak yang memiliki sifat patriarki dengan menolak kebebasan memilih pada anak seperti pada kutipan: “Dengar olehmu, Nana! Kau mesti menurut perintah Bapak. Hentikanlah hubunganmu dengan lelaki itu. Ingat, Bapakmu tidak ingin melihat anaknya berhubungan dengan orang Sunda! Ini adalah pesan leluhur kita. Sejak nenek moyangmu yang bergelar Raden Mas- Raden Mas itu, tak satupun yang menikah atau berkasih-kasihan dengan suku Sunda!”163 Tindakan tersebut membawa dampak sosial yang buruk terhadap Ratna melalui pandangan teman-temannya, tokoh Ratna menjadi sosok yang merasa tersingkir di dalam lingkungan sosialnya lantaran sikap Bapaknya. Hal yang sama juga terjadi di dalam novel Lupus ABG, di dalam novel tersebut, penulis mengutarakan mengenai sikap-sikap hidup bersosial yang baik. Hal tersebut tertera di beberapa adegan novel Lupus ABG seperti pada bab “Telepon Irit” yang menggambarkan tokoh Papi saat berhadapan dengan rekannya seperti pada kutipan; ““Papi lagi asyik ngejelasin tanah, ketika ada suara telepon berdering. Papi kaget, Pak San juga. Papi langsung pura-pura, “Eh, itu suara perut saya yang keroncongan, kali….” Tapi telepon terus berdering. Pak San jadi jengkel. “Katanya belum pasang telepon! Bilang aja pelit!”” 164

163 Eddy D. Iskandar, Op.Cit, h. 76. 164 Hilman Hariwijaya dan Boim Lebon, Op.Cit., h. 21

101

Kutipan tersebut memberikan pesan bahwa kejujuran dalam situasi apapun selalu diperlukan. Sebab, kebohongan akan merusak hubungan sosial seseorang

Pada novel Dilan 1990, keteladanan sosial dibentuk oleh keberadaan tokoh Ibu Milea dan Bunda Milea. Kedua sosok itu mengajarkan nilai-nilai positif dalam berperilaku sosial kepada tokoh lainnya, seperti di dalam kutipan;

“Orang tua seharusnya bisa memahami anak-anak, bukan sebaliknya. Jangan anak- anak yang dipaksa harus memahami orang tua. Anak-anak belum mengerti apa-apa, meskipun tentu saja harus kita berikan pemahaman.” 165

Kutipan tersebut mengarah pada sikap orang tua yang harus paham tentang kondisi anak-anaknya dan lingkungan sosial anak-anaknya. Dialog tersebut terjadi ketika tokoh Bunda menangani kasus perkelahian Dilan di sekolah. Dari seluruh amanat yang terdapat pada ketiga novel tersebut, terdapat satu perspektif yang sama tentang kehidupan sosial. Hal ini dapat dihubungkan bahwa sebetulnya fungsi sosial yang ada di dalam novel ini meliputi refleksi masyarakat itu pada masanya. Dari keseluruhan perbandingan antara kemiripan dan perbedaan yang terdapat pada ketiga novel tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa setiap karya yang lahir mencerminkan apa-apa yang terjadi pada saat karya tersebut diciptakan. Hal tersebut sesuai dengan prinsip sosiologi sastra yang menyatakan bahwa sastra merupakan hasil peristiwa-peristiwa yang dialami oleh penulis atau kejadian saat karya itu diciptakan. Kemiripan-kemiripan yang ada di dalam naskah tersebut memberikan pengertian bahwa perilaku-perilaku remaja yang terdapat di

165 Pidi Baiq, Op. Cit., h. 185.

102

dalam naskah sebetulnya merupakan sebuah kebiasaan atau rutinitas yang pasti dialami oleh kehidupan remaja pada umumnya.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah

Mata pelajaran bahasa Indonesia yang ada di setiap jenjang pendidikan nyatanya bukan hanya menuntut siswa memahami perihal bahasa. Sastra juga merupakan salah satu unsur yang masuk ke dalam bahasan dan kurikulum pembelajaran tersebut. Adanya materi mengenai telaah novel atau karya fiksi menjadi bukti tentang kehadiran sastra di jenjang pendidikan menengah. Kehadiran sastra di sekolah diharapkan dapat memberikan empat manfaat yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta membentuk watak.166 Hal tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Keterampilan Berbahasa Menurut Henry Guntur Tarigan, keterampilan berbahasa terdiri dari empat kategori. Yaitu, keterampilan menyimak, keterampilan membaca, keterampilan berbicara, dan yang terakhir adalah keterampilan menulis. Pada penelitian ini, keempat keterampilan berbahasa tersebut dapat diimplikasikan kepada siswa melalui mata pelajaran bahasa Indonesia pada materi cerita fiksi. Keterampilan menyimak melalui tiga novel yang menjadi bahan penelitian ini dapat diperoleh siswa melalui diskusi aktif mengenai pendapat-pendapat siswa perihal unsur intrinsik cerita. Sedangkan pada keterampilan membaca, siswa dapat memperolehnya melalui juga membaca ketiga atau salah satu dari novel tersebut yang nantinya akan dipresentasikan secara berkelompok. Melalui metode presentasi, para siswa dapat memperoleh keterampilan berbicara di dalamnya, seperti menceritakan kembali kesimpulan atau sinopsis tiap-tiap novel yang dibacanya. Sedangkan untuk keterampilan

166 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 16.

103

menulis, siswa dapat memperolehnya melalui penugasan, yaitu menganalisis dan menjabarkan unsur intrinsik novel secara tertulis. 2. Pengetahuan Budaya Menurut A.B Taylor, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. 167 Secara teori, Abrams (1981) telah memberikan pemetaan mengenai karya sastra ke dalam empat paradigma. Paradigma pertama adalah mengenai karya sastra sebagai karya objektif (sesuatu yang otonom, terlepas dari unsur apa pun). Paradigma kedua adalah mengenai karya sastra sebagai karya mimesis (tiruan terhadap alam semesta). Paradigma ketiga adalah mengenai karya sastra sebagai karya pragmatis (yang memberikan manfaat bagi pembaca). Paradigma keempat adalah mengenai karya sastra sebagai karya ekspresif (pengalaman dan pemikiran pencipta). Dengan demikian, karya sastra memang memiliki segi manfaat bagi pembaca, khususnya berkenaan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar pembaca lebih mampu menerjemahkan persoalan-persoalan hidup melalui kesalehan sosial dan kesalehan ritual. Berdasarkan paparan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa sastra dengan demikian dapat berfungsi sebagai media pemahaman budaya suatu bangsa (yang di dalamnya terkandung pula pendidikan karakter). 168 Pengetahuan budaya yang dapat diambil dari penelitian ini ialah, siswa dapat mengetahui beberapa adat-istiadat di Indonesia, yaitu mengenai kepercayaan Suku Sunda dan Suku Jawa yang terdapat di dalam novel Gita Cinta dari SMA. Selain adat-istiadat atau kepercayaan yang dianut oleh Suku Jawa dan Sunda pada novel Gita Cinta dari SMA, siswa juga dapat mengetahui beberapa perkembangan budaya populer yang terdapat di dalam ketiga novel tersebut.

167 Muhammad Adji, Budaya Anak Muda pada Sastra Populer, (Bandung: Unpad Press, 2017), h. 16. 168 Maman Suryaman, Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Sastra, Cakrwala Pendidikan, UNY, h. 115.

104

Budaya populer yang terdapat di dalam novel Gita Cinta dari SMA salah satunya adalah adanya peristiwa kirim mengirim surat yang terjadi pada tahun 1980-an. Teknik pengiriman pesan melalui surat tersebut semakin berkembang dengan dibuktikan adanya telepon rumah sebagai alat komunikasi di novel Lupus ABG dan semakin berkembang dengan ditampilkannya telepon umum pada novel Dilan 1990.

3. Mengembangkan Cipta dan Rasa

Kecakapan yang harus dikembangkan meliputi kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial, serta religius. Hal tersebut membuat pengajaran sastra dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti yang sesungguhnya. Dengan adanya pembelajaran sastra melalui analisis struktur naskah seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, siswa dapat mengembangkan penalaran melalui alur cerita serta dapat mengidentifikasi nilai-nilai sosial budaya yang berkorelasi terhadap penalaran siswa.

Pengembangan penalaran yang dialami siswa dalam pembelajaran sastra ini diharapkan dapat membuka peluang imajinasi yang besar serta berkembangnya pola pikir kritis dalam menghadapi sebuah naskah sehingga input yang dapat dikeluarkan adalah sebuah karya fiksi maupun ilmiah tentang penilaian karya fiksi.

4. Pembentukan Watak Menurut Permendiknas No. 22 Th. 2006 mata pelajaran Bahasa Indonesia

bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; a. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang

berlaku, baik secara lisan maupun tulis. b. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa

persatuan dan bahasa negara. c. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan

kreatif untuk berbagai tujuan. d. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan

intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.

105

e. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan

kemampuan berbahasa. f. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah

budaya dan intelektual manusia Indonesia

Tujuan-tujuan tersebut dapat diwujudkan melalui beberapa kajian intrinsic di dalam karya sastra yang juga menjadi pembahasan di dalam penelitian ini. Siswa dapat menarik beberapa pelajaran mengenai karakter melalui unsur intrinsik tokoh dan penokohan yang terdiri dari pemetaan tokoh antagonis, protagonis, maupun tritagonis. Selain itu, beberapa peristiwa yang terdapat di dalam novel tersebut dapat menjadi Pendidikan karakter melalui penyelesaian konflik pada tiap-tiap novel.

Pengajaran sastra yang dilakukan di sekolah diharapkan dapat mengikat hubungan tentang pengetahuan dengan kehidupan siswa. Penelitian mengenai struktur cerita pada novel-novel remaja ini mengacu pada salah satu kompetensi dasar pada mata pelajaran bahasa Indonesia, yaitu yang terdapat di dalam silabus pada kurikulum 2013 kelas XII SMA/MA yang terdapat kompetensi dasar yaitu menganalisis isi dan kebahasaan novel.

Hasil penelitian mengenai struktur pada novel-novel remaja Indonesia yang dilakukan pada novel Gita Cinta dari SMA karya Eddy D. Iskandar, Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya dan Boim Lenon, serta novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq menjadi bahan alternatif pembelajaran menganalisis unsur intrinsik dalam novel. Selain itu, penelitian ini juga membantu siswa untuk mengetahui perkembangan struktur yang memiliki kestatisan pada cerita novel remaja yang diterbitkan dalam kurun waktu yang berbeda. Struktur tersebut meliputi Teknik kepenulisan yang dilakukan oleh keempat penulis dan mengenai kajian intrinsik di dalamnya.

Oleh karena itu, melalui kegiatan memahami berbagai struktur pada novel dapat mengatasi keterbatasan waktu dalam menganalisis isi dan kebahasaan novel

106

sehingga proses timbal balik antara pendidik dan peserta didik bisa lebih mudah tercipta.

Melalui kegiatan membaca karya sastra, keragaman struktur pada novel yang terdapat pada novel Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990 dapat menjadi bahan pembelajaran bagi siswa mengenai korelasi kehidupan sosial bagi siswa. Seperti halnya pola pergaulan yang ada pada remaja, serta cara pemecahan permasalahan-permasalahan yang bisa dilakukan oleh para remaja.

Hal tersebut dapat diambil dari beberapa konflik yang terjadi di antara ketiga novel tersebut. Selain itu, dalam memahami struktur pada ketiga novel yang menjadi objek kajian penelitian ini, para siswa juga dapat mengenal beberapa karakter remaja yang diharapkan memberi batasan perilaku sosial bagi siswa.

Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian mengenai struktur cerita pada novel-novel remaja yang dilakukan pada novel Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990 memiliki implikasi di dalam pembelajaran sastra, tepatnya pada kompetensi dasar mengenai analisis isi dan kebahasaan novel yang ada di kelas XII. Empat manfaat mengenai pengajaran sastra di sekolah yang meliputi keterampilan berbahasa keterampilan berbahasa, pengetahuan budaya, pengembangan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak, juga dapat dibantu melalui penelitian ini.

BAB V PENUTUP

A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada novel Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya banyak kemiripan struktur cerita. Dari segi tema kemiripan tersebut sama-sama membahas mengenai konflik-konflik percintaan yang dialami oleh para remaja. Dari segi tokoh dan penokohan ketiga novel tersebut sama-sama memunculkan keberadaan tokoh keluarga, teman sekolah, serta pria/wanita impian yang digambarkan baik dalam segi fisik, kepandaian, dan sikap. Pada bagian alur cerita, ketiga novel tersebut sama-sama menampilkan diagram alur yang dimulai dari pengenalan tokoh, adanya sikap acuh pada salah satu tokoh pasangan idaman, pengikatan hubungan, pertengkaran, hingga perpisahan. Sedangkan pada latar cerita, ketiga novel tersebut seringkali menampilkan tempat dan jam sekolah sebagai latar tempat serta latar waktu dalam cerita serta menggunakan latar sosial budaya dengan focus isu yang berbeda. Pada unsur sudut pandang, dua novel yang berjudul Gita Cinta dari SMA dan Lupus ABG memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan sudut pandang orang ketiga, namun novel Dilan 1990 menggunakan sudut pandang orang pertama. Pada penggunaan gaya bahasa, kemiripan terdapat pada novel Gita Cinta dari SMA dan juga Dilan 1990 yang menggunakan bahasa-bahasa romantis namun tidak berlaku pada novel Lupus ABG. Novel Lupus ABG memiliki kemiripan dengan novel Dilan 1990 dalam segi bahasa penceritaan, yaitu menampilkan bahasa-bahasa lucu di dalam naskahnya. 2. Amanat dalam cerita, ketiga novel tersebut menyajikan amanat secara tersirat. Baik pada novel Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan

107

108

1990. Amanat-amanat yang terdapat di dalam ketiga novel tersebut sama- sama mengacu kepada nilai sosial. 3. Implikasi yang dapat diterapkan dari analisis struktur cerita pada novel Gita Cinta dari SMA karya Eddy D. Iskandar, Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya dan Boim Lenon, serta novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq terhadap pembelajaran sastra di sekolah terdapat pada saat siswa menganalisis unsur pembentuk novel. Hal itu relevan dengan kompetensi dasar pada silabus kurikulum 2013 mengenai analisis isi dan kebahasaan dalam novel di tingkat SMA/MA. Dengan adanya penelitian ini, maka novel Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990 bisa menjadi referensi bahan belajar mengenai struktur novel dan mengaitkannya dengan nilai-nilai sosial.

B. Saran Melalui kesimpulan dari hasil penelitian, maka peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Melalui analisis struktur dalam novel-novel remaja yang berjudul Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990, peserta didik dapat memahami kemiripan dan perbedaan struktur cerita remaja yang ditulis pada jarak waktu yang jauh. Hal tersebut menjadi upaya untuk memudahkan peserta didik memahami kaidah struktur penceritaan pada novel remaja dan menghubungkannya dengan kehidupan sosial yang terjadi dalam keseharian. 2. Penelitian ini diharapkan menjadi referensi kegiatan belajar mengajar di sekolah bagi para tenaga pendidik serta menjadi awal dari kelanjutan penelitian mengenai struktur pada novel remaja di Indonesia bagi peneliti yang lain. Perbandingan struktur yang terdapat di dalam ketiga novel remaja tersebut tentunya masih dapat diteliti dan dipelajari lebih dalam sehingga dapat memberikan kontribusi bagi dunia sastra dan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Muhammad. Budaya Anak Muda pada Sastra Populer. Bandung: Unpad Press. 2017.

Afrizal. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015.

Baiq, Pidi. Dilan. Bandung: Mizan, 2014.

Bernart, Yvonne. “Jugend” dalam Handwörterbuch zur Gesellschaft Deutschland, Bernhard Schäfer dan Wolfgang Zapf (eds.). Leske Budrich: Opladen. 1998.

D. Iskandar, Eddy. Gita Cinta dari SMA. Yrama Widya: Bandung, 2016.

Damono, Sapardi Djoko. Sastra Bandingan. Tangerang Selatan: Editum, 2009.

Dewojati, C. Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2010.

Dewajati, Cahyaningrum. Sastra Populer Indonesia. Gajah Mada University Press: Yogyakarta, 2015.

Hariwijaya, Hilman dan Boim. Lupus ABG. Jakarta: Gramedia, 1995. Hurlock, Elizabeth B. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Karmini, Ni Nyoman. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama. Bali: Pustaka Larasan, 2011.

Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Tokoh Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2005.

109

110

Mahmud, K.K. Sastra Indonesia dan Daerah: Sejumlah Masalah. Bandung: Angkasa. 1987. Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-Aruz Media, 2016. Nurgiyantoro, Burhan. Stilistika. Yogyakarta: UGM Press, 2014.

------. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press, 2012.

Permatasari,Ane. Membangun Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi. UNIB: Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa. April 2017.

Riana, Desri. Teenlit dalam Sastra Indonesia. Margacinta: Bandung, 2006. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.

Stanton, Robert. Teori Fiksi. Terj. dari An Introduction to Ficton oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1995. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Teeuw. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1984.

Wellek, Renne dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, oleh Melani Budianta, Jakarta: Gramedia, 1989.

Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.

Abu Bakar, Faziela. Unsur Konflik dalam Novel Remaja Terpilih. Malaysia: Jurnal Pendidikan Bahasa Melayu – JPBM (Malay Language Education Journal – MyLEJ). 2016.

Maria Dwi P, Minat Membaca Teenlit: Studi Kasus Siswa SMA di Semarang. Skripsi), (Semarang : Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. 2007.

111

Nada, Thaha. Sastra Bandingan, terj. Aliudin Majhudin. Depok: UI Pers. 1999. Ninawati Syahrul, Sastra Remaja (Teenlit) Sebagai Media Alternatif dalam Meningkatkan Budaya Literasi, Parafrase: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Vol 17.

Noor, Redyanto. Minat, Motif, Tujuan, dan Manfaat Membaca Novel Teenlit Bagi Remaja Jakarta: Studi Resepsi Sastra. Nusa: Universitas Diponegoro, vol 12.

Nurgiyantoro Burhan dan Anwar Efendi. Prioritas Penentuan Nilai Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sastra Remaja. Yogyakarta: Cakrawala Pendidikan. 2013.

Permatasari, Ane. Membangun Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: 2015.

Pramesti, Tri. Finding Yourself in Books as Teenager: Young Adult Literature as Springboard for Social Relevance and Classroom Research. Surabaya: Parafrase Vol. 17. 2017.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1998.

Sardjono Pradotokusumo, Partini. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop.

Udasmoro, Wening. When The Teens Narrate The Selves In Indonesian Literature: Gender, Subject, and Power, Yogyakarta:Lingua Cultura. 2018.

Boim Lebon.http://www.bukabuku.com/authors_corners/view/6832/boim- lebon.html. September 2019.

112

DJAKARTA TEMPOE DOELOE: Inilah Asal Usul Blok M Jakarta Selatan. https://jakarta.bisnis.com/read/20150511/387/432168/djakarta-tempoe-doeloe- inilah-asal-usul-blok-m-jakarta-selatan, Oktober 2019.

Gerintya, Scholastica. Bagaimana Teknologi Memengaruhi Masa Depan Generasi Z. https://tirto.id/bagaimana-teknologi-memengaruhi-masa-depan- generas i-z-cFHP. Maret 2018.

Horvejkul, Rudi. Mall di Jakarta. https://www.kompasiana.com /rudisseo/54f845f2a3331169638b50e1/mall-di-jakarta, Oktober 2019.

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Eddy_D_Iskandar. September 2019.

Iswari, Nurul. Mengapa Minat Orang Indonesia Rendah?. https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20170910122629-445-24070 6/mengapa-literasi-di-indonesia-sangat-terendah/. September 2017.

Pidi Baiq. https://amp.tirto.id/m/pidi-baiq-YC. Agustus 2019.

Shindu Alpito, Agustinus. Hilman Obrolan tentang Lupus Sampai Raditya Dika. https://www.medcom.id/hiburan/indis/ObzOOxdk-hilman-obrolan-tenta ng- lupus-sampai-raditya-dika. 2 Juli 2017.

116

LAMPIRAN

Lampiran 1 A. Sinopsis Sinopsis atau yang bisa disebut sebagai ringkasan cerita di dalam penelitian ini terdiri dari tiga novel, yaitu novel Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990. Masing-masing dalam novel tersebut memiliki beberapa penggalan kisah yang memiliki kemiripan. Novel Gita Cinta dari SMA menceritakan tentang kisah dua orang remaja yang saling berpadu kasih pada saat menginjakkan kakinya di SMA, mereka adalah Galih dan Ratna. Galih, adalah seorang siswa berprestasi di sebuah sekolah yang berada di kota Bandung. Galih bukanlah murid yang berasal dari keluarga kaya. Kendaraan yang ia gunakan untuk bersekolah hanyalah sepeda. Perawakannya yang tinggi dan tampan serta kepiawaiannya memainkan gitar membuat dirinya banyak disukai oleh para siswi di sekolahnya tetapi belum pernah ia menjalin kasih dengan para siswi tersebut. Hingga pada suatu hari, datang seorang siswi baru yang berasal dari Yogyakarta di sekolah tersebut. Siswi itu bernama Ratna. Seorang wanita cantik dengan rambut panjangnya yang terurai. Sama seperti gadis lain yang berada di kelas itu, Ratna juga ternyata jatuh cinta pada Galih. Mereka menjadi sepasang kekasih yang sangat romantis. Seiring berjalannya waktu, kisah cinta mereka mendapat beberapa rintangan. Lika-liku kisah Galih dan Ratna pada akhirnya harus terpisahkan lantaran perbedaan suku. Selanjutnya ialah sinopsis dari novel Lupus ABG karya Hilman Hariwijaya dan Boim yang terbit pada tahun 1995. Novel tersebut menceritakan tentang keluarga anak SMP bernama Lupus. Keluarga itu terdiri dari Lupus, Lulu (adik Lupus), Mami Lupus, dan Papi Lupus. Keluarga Lupus diceritakan sebagai keluarga yang humoris. Setiap tokoh yang terdapat di dalamnya memiliki karakter unik seperti pelit dan lain-lain. Di novel kali ini, Lupus dan Lulu diceritakan sudah masuk ke dalam dunia ABG

dan mulai mentransformasi dirinya. Dimulai dengan belajar make up hingga mendekati lawan jenis. Lupus beberapa kali mendekati lawan jenisnya namun selalu gagal karena hal-hal yang tidak terduga. Begitu pun dengan adiknya, si Lulu. Di dalam novel ini juga menceritakan beberapa kisah tentang percintaan beberapa teman Lupus. Beranjak di tahun 2000-an, novel terakhir yang diangkat pada penelitian ini ialah novel Dilan 1990. Novel tersebut menjadi populer yang gemar digandrungi remaja di era sekitar tahun 2014. Novel ini berkisah tentang seorang tokoh gadis bernama Milea Adnan Hussain yang menambatkan hatinya kepada seorang teman prianya di sekolahnya. Pria itu bernama Dilan. Mereka bersekolah di salah satu SMA yang berlokasi di Bandung. Dilan merupakan sosok pria yang romantis. Keromantisannya dapat meluluhkan hati Milea yang merupakan siswi pindahan dari Jakarta. Dilan selalu melakukan cara-cara unik yang romantis dalam melakukan hubungan asmara, seperti memberikan Milea cokelat yang ia kirim melalui Pak Pos dan bahkan berbagai orang dari profesi yang berbeda. Dilan juga memberikan kado ulang tahun yang sangat unik dan membuat Milea jatuh hati, yaitu buku TTS yang sudah terisi penuh dan dilengkapi puisi. Dilan memang gemar membuat puisi. Puisi-puisinya acap kali digunakan untuk memuji Milea. Di balik sosok romantisnya, Dilan merupakan seorang siswi yang bergabung dengan geng motor di Bandung. Hal itu membuat banyak orang di sekitarnya risau, terutama Milea.

Lampiran 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Nama Madrasah : SMA/MA …………………………… Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : XII/1 Materi Pokok : Menemukan unsur intrinsik dalam novel Alokasi Waktu : 2 x 45 Menit

Kompetensi Dasar 2.1. Menganalisis isi dan kebahasaan novel. Indikator Pencapaian Kompetensi

2.1.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dalam novel 2.1.2 Mempresentasikan unsur-unsur intrinsik yang ditemukan dalam novel. 2.1.3 Menyimpulkan hasil temuan terkait unsur-unsur-unsur intrinsik. Tujuan Pembelajaran 1. Dengan membaca novel, siswa mampu menemukan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel. 2. Dengan berbicara, siswa mampu mempresentasikan unsur-unsur intrinsik yang ditemukan dalam novel 3. Dengan menulis, siswa mampu membuat simpulan hasil temuan terkait unsur-unsur intrinsik.

Materi Pembelajaran Unsur-unsur intrinsik dalam novel: 1. Tema

2. Tokoh dan Penokohan 3. Latar 4. Alur 5. Sudut Pandang 6. Gaya Bahasa 7. Amanat

Metode Pembelajaran 1. Ceramah 2. Diskusi 3. Penugasan 4. Presentasi

Media Pembelajaran Power point mengenai unsur intrinsik novel

Sumber Belajar 1. Buku Paket Bahasa Indonesia 2. Novel Gita Cinta dari SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990 3. Internet

Kegiatan Pembelajaran 1. Pertemuan (2 JP) a. Kegiatan Pendahuluan (8’) ▪ Siswa merespons salam dan pertanyaan dari guru berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya. ▪ Guru mengecek penguasaan kompetensi yang sudah dipelajari sebelumnya dengan melakukan tanya jawab. ▪ Guru menyampaikan garis besar cakupan materi dan kegiatan yang akan dilakukan.

▪ Guru menyampaikan lingkup penilaian, yaitu pengetahuan dan keterampilan. ▪ Guru menugasi siswa menyaksikan ppt unsur-unsur intrinsik dalam novel b. Kegiatan Inti (60’) 1) Mengamati ▪ Siswa menerima materi unsur-unsur intrinsik dalam novel yang ditampilkan melalui proyektor. 2) Menanya ▪ Siswa membuat pertanyaan yang berhubungan dengan unsur- unsur intrinsik dalam novel

Penilaian Hasil Pembelajaran 1. Teknik Penilaian a. Aspek Sikap : Pengamatan b. Aspek Pengetahuan : Tulis c. Aspek Keterampilan : Lisan 2. Instrumen Penilaian

a. Penilaian Sikap Perilaku yang Diamati Selama Proses Nama Pembelajaran No. Siswa Tanggung Jujur Disiplin Jawab Peduli Santun Responsif Proaktif

Pedoman penilaian: skala penilaian dengan rentangan dari 1 s.d. 5 (1) Sangat kurang; (2) Kurang; (3) Cukup; (4) Baik; (5) Sangat baik

b. Penilaian Pengetahuan

NO INDIKATOR TEKNIK BENTUK PENCAPAI PENILAIAN PENILAIAN INSTRUMEN AN KOMPETENSI Menemukan unsur- Temukan unsur- unsur 1 unsur intrinsic T Uraian intrinsik dalam ulis novel dalam novel Gita Cinta di SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990 Mempresentasikan Presentasikan unsur- unsur-unsur intrinsik unsur intrinsik yang 2 Li Presen yang ditemukan dalam san tasi novel ditemukan Gita Cinta di SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990t

c. Penilaian Keterampilan

INDIKATOR TEKNIK BENTUK PENCAPAIAN NO PENILAIAN PENILAIAN INSTRUM KOMPETENSI EN Menyimpulkan Simpulkan hasil temuan terkait hasil temuan terkait unsur- unsur-unsur unsur intrinsik 3 Tulis Uraia intrinsik dalam dalam novel n Gita Cinta di novel SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990 Gita Cinta di SMA, Lupus ABG, dan Dilan 1990 3. Pedoman Ped. penskoran NO ASPEK PENILAIAN BOB NI OT LA I 1 Mampu menemukan unsur-unsur intrinsik dalam 4 10 novel

2 Mampu mempresentasikan unsur-unsur intrinsik 3 10

3 Mampu menyimpulkan hasil temuan unsur- 3 10 unsur intrinsik TOTAL NILAI: (Bobot x nilai) 100

Mengetahui,

Kepala SMA/MA, Guru Mata Pelajaran,

NIP/NIK ...... , ………………......

Lampiran 3