eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

Husnul Haq IAIN Tulungagung, [email protected]

Diterima: 24 Mei 2017 Direvisi: 18 Juni 2017 Diterbitkan: 30 Juni 2017

Abstract Islam is a comprehensive religion. The comprehension of Islam does not lie in the completeness of the content of the Qur'an and Hadith, because in fact the verses of the Qur'an and Hadith are limited in number, while the human problems are growing. So, the role of as a means of reform of Islamic law is vital. One of the methods of ijtihad is Istishâb. This study aims to describe the nature of Istishâb, clerical opinion about the value of its strength as a source of law, as well as the influence of 's opinion about the value of his resistance to differences of opinion in Islamic law. This study concludes that the majority of scholars of the Maliki, Shafii, and Hambali sect assert that Istishâb is a hujjah to defend (daf'i) and establish something (itsbat). The late of the sect assert that Istishâb is a hujjah in defense of something, while the majority of the Hanafi scholars and some scholars of the Shafi'i sect state that Istishâb is not a hujjah. The difference of the ulama's view of the use of Istishâb in ijtihad has led to differences in their views on Islamic law, as in the case of the law of the disappeared’s inheritance. In addition, the existence of Istishâb becomes a solution to find out contemporary Islamic law, as in the principle of presumption of innocence and the absence of rights and duties for men and women as long as there is no evidence of their marriage.

Keywords: Istishâb, argumentative, Islamic Law, Ulama

Abstrak Islam merupakan agama yang komprehensif. Komprehensifitas Islam tidak terletak pada kelengkapan kandungan Alquran dan Hadis, sebab faktanya ayat Alquran dan hadis jumlahnya terbatas, sedangkan permasalahan manusia semakin kompleks. Karenanya, peran ijtihad sebagai sarana pembaharuan hukum Islam sangatlah vital. satu metode ijtihad adalah Istishâb. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hakikat Istishâb, pendapat ulama tentang nilai kehujjahannya, serta pengaruh perbedaan pendapat ulama tentang nilai kehujjahannya terhadap perbedaan pendapat dalam hukum Islam. Penelitian ini menyimpulkan bahwa mayoritas ulama mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa Istishâb merupakan hujjah untuk mempertahankan (daf’i) dan menetapkan sesuatu (itsbat), sedangkan ulama Muta’akhirin dari mazhab Hanafi menegaskan bahwa Istishâb merupakan hujjah dalam mempertahankan sesuatu, sementara mayoritas ulama mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa Istishâb bukan merupakan hujjah. Perbedaan pandangan ulama ini ternyata menyebabkan perbedaan dalam hukum Islam, seperti dalam kasus hukum waris orang hilang. Di samping itu, keberadaan Istishâb menjadi solusi penetapan hukum Islam kontemporer, seperti dalam asas praduga tak bersalah dan ketidakadaan hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan selama tidak ada bukti perkawinan mereka.

Kata Kunci: Istishâb, Kehujjahan, Hukum Islam, Ulama

Husnul Haq 17 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

PENDAHULUAN tidak berdasar pada fakta. Sedangkan ulama Tidak terbantahkan lagi bahwa Syariat yang mendukung Istishâb justru menganggap Islam merupakan penutup semua bahwa Istishâb merupakan salah satu alternatif samawiyah, yang membawa petunjuk dan penentuan hukum Islam ketika dalil hukum tuntunan Allah SWT bagi seluruh umat tidak ditemukan dalam Alquran, Hadis, Ijmâ’ manusia. Karenanya, Allah mewujudkan dan Qiyâs. Di sinilah signifikansi pembahasan format Syariat Islam dalam bentuk syariat yang Istishâb sebagai salah satu alternatif metode abadi dan komprehensif, sehingga mampu perumusan hukum Islam. menjawab persoalan-persoalan baru yang Tulisan ini berusaha mengkaji konsep semakin kompleks dan berkembang seiring Istishâb sebagai dalil yang diperselisihkan perkembangan waktu dan ilmu pengetahuan. penggunaannya di kalangan ulama ushul fikih Sifat komprehensifitas Syariat Islam yang tentunya berdampak pada perbedaan bukan terletak pada kelengkapan Alquran dalam hukum Islam dan fatwa-fatwa yang maupun hadis; sebagai sumber primer ajaran dihasilkan. Tulisan ini disusun secara ilmiah Islam, karena faktanya, sebagaimana meliputi: pengertian Istishâb, macam- diungkapkan Ibnu Rusyd, bahwa jumlah ayat macamnya, pendapat ulama tentang Alquran dan Hadis terbatas sedangkan kehujjahannya, dan pengaruh perbedaan problematika kehidupan manusia tidak tersebut dalam hukum Islam. terbatas. 1 Tetapi, sifat tersebut terletak pada adanya instrumen penting dalam Islam yaitu PENGERTIAN ISTISHÂB berupa ijtihad yang diharapkan mampu Istishâb secara etimologi berasal dari dalam sighat istif’al )استصحب) menjawab persoalan-persoalan baru yang kata is-tash-ha-ba Kalau .اِ ْستِ ْم َرا رِ ِال ُّص ْحبَة :yang bermakna (اِ ْستِ ْف َعا ِلِ) .belum jelas status hukumnya ”diartikan “sahabat” atau “teman ال ُّص ْحبَة Para ulama berijtihad untuk mengawal kata ,diartikan selalu atau terus menerus اِ ْستِ ْم َرا رِ Syariat Islam agar senantiasa dinamis dan dan responsif terhadap perkembangan zaman. maka Istishâb secara lughawi artinya selalu Mereka menggali hukum dari berbagai menemani atau selalu menyertai. 3 Dengan sumbernya yang dibagi menjadi dua, yaitu memperhatikan makna secara bahasa ini sumber hukum yang disepakati mayoritas sekilas bisa dimaknai bahwa Istishâb ulama berupa Alquran, Hadis, Ijmâ’ dan Qiyâs, merupakan upaya mendekatkan satu peristiwa serta sumber hukum yang diperselisihkan hukum dengan peristiwa lainnya, sehingga berupa , Maslahah Mursalah, , Istishâb, keduannya dinilai sama hukumnya. Syar’u Man Qablana, Saddu al-Dzari’ah, dan Qaul Sedangkan pengertian Istishâb secara 2 al-Shahabi. terminologi, para ulama ushul fikih berbeda- Salah satu sumber hukum yang beda dalam menyusun redaksinya, sekalipun diperdebatkan nilai kehujahannya adalah secara substantif mengarah pada makna yang Istishâb. Ulama yang menolak Istishâb menilai sama. Ibnu al-Subki mendefinisikan Istishâb tidak cukup kuat untuk dijadikan Istishâb sebagai menetapkan hukum atas sebagai sumber hukum, karena ia membangun masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum hanya berdasar pada dugaan semata, hukum yang pertama karena tidak ditemukan

1 Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyyah,), 2. 2 Wahbah al-Zuhayli, Ushul al- al-Islamy 3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), I/415. Kencana, 2008), II/364.

Husnul Haq 18 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017 dalil yang merubahnya.4 Dengan redaksi yang sekarang (al-Hadir) dan waktu yang akan berbeda, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah datang (al-Mustaqbal). Tiga konsep waktu itu mendefinisikan Istishâb sebagai melanggengkan dalam Istishâb cenderung dianggap sama hukum dengan cara menetapkan hukum nilainya sampai terbukti ada pergeseran yang berdasarkan hukum yang sudah ada, atau mengubah karakteristik hukum yang melekat meniadakan hukum atas dasar tidak adanya padanya.8 hukum sebelumnya. 5 Sedangkan Wahbah Untuk memberikan gambaran utuh Zuhaili mengartikan Istishâb: Menghukumi tentang Istishâb, perlu dikemukan contoh tetap atau hilangnya sesuatu pada masa kini Istishâb dalam kedua bentuknya; Tsubut dan atau masa mendatang berdasar pada tetap atau Nafi. Pertama, Bila tadi pagi seseorang telah hilangnya sesuatu tersebut di masa lalu karena wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan tidak ada dalil yang merubahnya.6 telah wudhu tersebut itu masih diperhitungkan Dari beberapa definisi di atas dapat keberadaannya pada waktu ia akan disimpulkan bahwa Istishâb mengukuhkan atau melaksanakan shalat Dhuha (ia tidak perlu menganggap tetap berlaku apa yang pernah berwudhu kembali), selama tidak ada bukti ada. Keadaan yang pernah terjadi di masa lalu dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal. itu ada dua macam, yaitu: Nafi (keadaan tidak Kedua, beberapa waktu lalu telah ditetapkan pernah ada hukum), dan Tsubut (keadaan pemilikan harta bagi seseorang melalui pernah ada suatu hukum). Dengan demikian pewarisan secara sah. Pemilikan harta itu berarti bahwa yang dahulunya “belum pernah berlaku untuk seterusnya selama tidak ada ada”, maka keadaan “belum pernah ada” itu bukti bahwa pemilikannya tersebut sudah tetap diberlakukan untuk masa berikutnya. beralih kepada orang lain, seperti melalui Begitu pula, jika di masa sebelumnya “pernah transaksi jual beli atau hibah. ada”, maka keberadaannya tetap diberlakukan Sedangkan contoh Istishâb dalam untuk masa berikutnya.7 bentuk nafi adalah: Di masa lalu, tidak pernah Dari definisi di atas juga dapat diambil ada hukum tentang wajibnya puasa di bulan kesimpulan bahwa konsep Istishâb sebagai Syawal, karena memang tidak ada dalil syara’ metode penggalian hukum mengandung tiga yang mewajibkannya. Keadaan tidak adanya unsur pokok. Pertama dari segi waktu, kedua hukum wajib tersebut tetap berlaku sampai dari segi ketetapan hukum dan ketiga dari segi masa kini dan mendatang karena memang dalil dalil hukum. Dari segi waktu, Istishâb syara’ yang akan mengubahnya untuk itu tidak menghubungkan tiga waktu sebagai satu akan ada lagi dengan meninggalnya Nabi Saw. kesatuan yaitu waktu lampau (al-Madhi), waktu Dari devinisi Istishâb beserta contoh- contohnya di atas, secara sederhana dapat 4 Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-Ibhaj (Beirut: Dar dirumuskan mengenai hakikat dan al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H), III/173. Redaksinya karakteristik Istishâb tersebut, yaitu: Pertama, berbunyi: Secara meyakinkan telah berlangsung suatu )ثبوت أمر يف الثاين لثبوته يف األول لفقدان ما يصلح للتخيري( 5 Muhammad bin Abi Bakar bin Qayyim, I’lam keadaan dalam suatu masa tertentu tentang al-Muwaqqi’in, (Beirut: Dar al-Jil, 1973), I/339. tidak adanya hukum untuk keadaan itu karena Redaksinya ber bunyi: memang tidak ada dalil yang menetapkannya. )استدامة اثبات ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا( 6 Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh Dalam contoh tentang waris di atas, telah (Damaskus: Darul Fikr, 1999), 113. Redaksinya berbunyi: )احلكم بثبوت أمر أو نفيه يف الزمان احلاضر أو املستقبل، بناء على ثبوته أو Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam 8 عدمه يف الزمان املاضي، لعدم قيام الدليل على تغيريه(. 7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 366. (Yogyakarta: UII Press, 2002), 135.

Husnul Haq 19 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017 berlangsung pemilikan seseorang atas harta untuk masa kini. Hal ini merupakan salah pada waktu lalu secara meyakinkan. satu rukun dari Istishâb sebagaimana Kedua, Telah terjadi perubahan masa disebutkan di atas. Kalau pada masa kini dari masa lalu ke masa kini, tetapi tidak ada sudah ada sesuatu (bukti) yang meyakinkan petunjuk yang menyatakan bahwa keadaan di tentang masih berlakunya keadaan di masa masa lalu itu sudah berubah. Juga tidak ada lalu itu, maka tidak ada lagi artinya Istishâb petunjuk yang menjelaskan mengenai keadaan tersebut; umpamanya pemilikan harta itu waktu itu. Dalam contoh waris di atas, harta secara meyakinkan telah dialihkan melalui waris masih ada di tangan orang yang suatu transaksi, sehingga status menerima waris itu sampai masa kini dan kepemilikannya berubah.10 belum ada transaksi apa pun yang 3. Bertemunya hal yang meyakinkan dan menunjukkan telah berubahnya status meragukan dalam waktu yang sama. kepemilikan harta itu, meskipun bukti Maksudnya, bahwa keyakinan dan keraguan kepemilikannya di masa kini juga tidak ada. bertemu pada masa kini; artinya, terjadi Ketiga, terdapat keraguan tentang suatu keraguan untuk memberlakukan keadaan peristiwa (hukum) pada waktu kini, namun baru karena belum ada petunjuk untuk itu, peristiwa itu berlangsung secara meyakinkan di dan dalam waktu yang bersamaan terjadi masa lalu dan belum mengalami perubahan keyakinan untuk memberlakukan yang lama sampai waktu ini, oleh karena itu peristiwa di karena belum ada hal yang mengubahnya. masa lalu yang meyakinkan itu tetap 4. Keadaan yang meyakinkan dan meragukan diberlakukan keberadaannya. Dalam contoh itu waktunya berbeda. Maksudnya, keadaan waris di atas, pemilik harta yang yang meyakinkan itu terjadi pada masa lalu, kepemilikannya meyakinkan itu dinyatakan sedangkan yang meragukan terjadi pada masih tetap memiliki harta yang diwarisinya.9 masa kini atau masa mendatang. Muhammad Ridha Muzhaffar 5. Tempat berlakunya keyakinan dan keraguan sebagimana dikutip oleh Amir Syarifuddin itu menyatu. Maksudnya, bahwa apa yang merinci hakikat Istishâb ke dalam tujuh poin diragukan itu berlaku terhadap suatu sebagai kriteria Istishâb (rukun Istishâb), yaitu: keadaan yang juga sekaligus diyakini. Dalam 1. Keyakinan. Maksudnya bahwa keyakinan contoh di atas, pemilikan atas harta yang akan berlakunya suatu keadaan pada waktu pada masa lalu meyakinkan dan pada masa yang lalu, baik keadaan itu dalam bentuk kini meragukan. hukum syara’ atau sesuatu objek yang 6. Masa berlakunya hal yang meyakinkan bermuatan hukum syara’. Dalam contoh mendahului masa berlakunya hal yang waris di atas: keyakinan atas meragukan. Ini berarti bahwa berlakunya berlangsungnya pemilikan harta bagi keadaan yang meyakinkan haruslah lebih seorang ahli waris adalah disebabkan dahulu daripada yang meragukan. Kalau adanya pewarisan. terjadi kebalikannya, maka bukan termasuk 2. Keraguan. Maksudnya bahwa keraguan Istishâb. tentang masih berlakunya keadaan yang 7. Keyakinan dan keraguan itu terjadi secara telah terjadi sebelumnya adalah karena nyata. Maksudnya, betul-betul terjadi secara memang waktunya sudah berubah. Dalam hakiki (nyata) dan bukan terjadi secara contoh waris di atas, keraguan tentang taqdiri (tersembunyi).11 masih berlakunya pemilikan di masa lalu

10 Ibid., 368. 9 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 366. 11 Ibid., 369.

Husnul Haq 20 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

Sedangkan syarat Istishâb adalah: MACAM-MACAM ISTISHÂB 1. Pengguna Istishâb telah mengerahkan Syaikh Wahbah Zuhaili membagi seluruh kemampunnya untuk mencari bukti Istishâb ke dalam lima hal, yaitu: 1). Istishâbu yang merubah hukum yang semula ada. hukmi al-Ibahah al-Ashliyah li al-Asya’ allati lam 2. Setelah mengerahkan seluruh Yarid Dalilun bi Tahrimiha (Meneruskan kemampuannya, pengguna Istishâb tidak pemberlakuan hukum asal dari sesuatu itu menemukan bukti yang merubah hukum untuk hal-hal yang belum ada dalil yang telah ada. yang mengharamkannya). 2). Istishâb al-Umum 3. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan ila an Yarida Takhsis wa Istishâb al-Nash ila an Istishab benar adanya, baik dari dalil shar’i Yarida Naskh (Meneruskan pemberlakuan ataupun dari dalil akal. Artinya, bukan suatu hukum umum sampai ada dalil yang hanya sekedar dugaan. mengkhususkan, dan meneruskan 4. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan pemberlakuan redaksi dalil sampai ada yang Istishab bersifat mutlaq (umum). Artinya, menghapusnya. 3). Istishâbu Ma Dalla al-Aqlu dalil lama tresebut tidak menunjukkan wa al-Syar’u ala Tsubutihi wa Dawamihi keberlakuan dirinya secara terus-menerus, (Meneruskan pemberlakuan apa yang ditunjuk tidak pula menujukkan ketidakberlakuannya oleh akal dan syara’ tentang tetap dan sampai batas waktu tertentu. Karena bila berlanjutnya). 4). Istishâb al-Adam al-Ashli al- demikian halnya, maka itu tidak disebut Maklum bi al-Aqli fi al- al-Syar’iyyah menggunakan Istishâb, melainkan disebut (Mengukuhkan pemberlakuan prinsip tidak mengunakan dalil tersebut. ada menurut asalnya, yang diketahui oleh akal 5. Tidak terjadi kontradiktif antara Istishâb dalam hukum syariat) 5). Istishâbu Hukmin dengan nash yang ada. Bila terjadi Tsabitin bi al-Ijmâ’’ fi Mahalli al-Khilaf baina al- kontradiktif antara keduanya, maka yang Ulama’ (Mengukuhkan pemberlakuan hukum didahulukan adalah apa yang tertera pada yang ditetapkan dengan Ijmâ’’ pada hal yang nash, karena nash memiliki kekuatan hukum dipertentangkan oleh ulama).13 yang lebih tinggi dibandingkan dengan Sedangkan Syaikh Muhammad Abu Istishâb.12 yaitu Istishâb yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari beban, sampai adanya dalil yang merubah status tersebut.14 Zahrah membagi Istishâb ke Dengan redaksi yang lain, Muhammad Taqi al- sebagaimana dikutip oleh Muhammad Kamal al-Din dalam empat hal, yaitu: Pertama, Istishâb al- Imam menyatakan bahwa unsur-unsur istishab atau yang baraah al-Ashliyyah Dari sini kemudian para disebut arkan al-istishab ada tujuh hal. Pertama, adanya ulama merumuskan kaidah fikih: keyakinan (al-yaqin) terhadap realitas hukum. Kedua, ِّ adanya keraguan (al-syakk) sebagai bandingan dari sifat 15 األَ ْصل ب ََراءَة الذَّمة yakin. Ketiga, adanya kesatuan keterkaitan antara realitas yang diyakini dangan realitas yang diragukan. Keempat, (Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari baik hal diragukan maupun yang diyakini keduannya memang betul-betul ada (faktual ada). Kelima, adanya tanggungan). kesatuan masalah antara yang diyakini dan yang diragukan baik pada aspek tema, objek maupun tingkatan masalahnya. Keenam, adanya persambungan waktu antara hal yang diyakini dan yang diragukan. 13 Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islamy,. Ketujuh, keyakinan itu lebih dahulu ketimbang yang 860-864. diragukan. Muhammad Kamaluddin Imam, Ushul al- 14 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh Fiqh al-Islami (Beirut: Muassasah al-Jamiyyah, 1996), (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi), 297-298. 237-238. 15 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybah wa al- 12 Misbahuzzulam, “Istishab: Sejarah dan Nadzair (Mekah: Maktabah Nizar Musthafa, 1997), Posisinya”, Jurnal Al-Majaalis, 1, no. 1 (2013): 113-114. I/95.

Husnul Haq 21 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

Penerapan Istishâb ini misalnya Ahmad األصل يف األشيا ء ا إلباحة حّت يدَّل الَّدل يل على َ ْ َ َْ َ َ َ َّ َ ْ ََ mengaku bahwa Bisri mempunyai utang التَّح ر ي kepadanya sebesar Rp 100.000, tetapi Bisri 19 ْ ْ tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah dimenangkan adalah pihak Bisri. Sebab, pada sampai ada dalil yang mengharamkannya. dasarnya, Bisri terbebas dari mempunyai tanggungan kepada Ahmad, kecuali Ahmad Sedangkan penerapan Istishâb ini dalam mampu mengajukan bukti yang memperkuat hukum Islam misalnya: Jerapah tidak 16 pengakuannya. dijelaskan status hukumnya dalam nash Contoh lainnya, seorang laki-laki dan Alquran maupun hadis, apakah ia termasuk perempuan tidak berhak untuk melakukan hewan yang dikonsumsi atau tidak. Di hubungan sebagai suami isteri sampai ada sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat bukti hukum yang menyatakan keduanya telah yang dimiliki oleh hewan-hewan yang telah menikah dan terikat sebagai suami isteri. Jika dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan ada bukti baru yang kuat, maka keduanya hal itu, hukum jerapah boleh dikonsumsi.20 otomatis terikat oleh hak dan kewajiban Ketiga, Istishâb al-Hukm yaitu 17 sebagai suami dan isteri. menetapkan hukum yang sudah ada dan Kedua, Istishâb al-Ibahah al-Ashliyyah, berlaku pada masa lalu sampai sekarang tetap yakni Istishâb yang didasarkan atas hukum asal, berlaku sampai ada dalil lain yang merubahnya. yaitu mubah. Ketentuan hukum mubah Dengan kata lain, penetapan hukum dengan sebagai hukum asal setiap sesuatu yang metode Istishâb al-hukm adalah mendasarkan bermanfaat didasarkan pada dalil Alquran pada keberadaan hukum yang sudah ada dan surat al-Baqarah ayat 29: berjalan untuk tetap diberlakukan sebagai hukum pada masa sekarang dan masa yang هو الَّ ذي خلق لَ كم ما يف اْألَر ض َجيعا akan datang sehingga ada dalil lain yang َ ََ َ ْ َ ْ َ ً (Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang merubahnya.21 Istishâb al-Hukm ini melahirkan ada di bumi untuk kamu). kaidah fikih: Pada ayat tersebut, Allah menegaskan 22 األَ ْصل ب ََقاء َما َكا َن َعلَى َما َكا َن bahwa seluruh makhluk yang ada di bumi adalah untuk manusia, sebab lafadz “Ma” Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki kepastian bermakna umum, dan lafadz “Lakum” berarti hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan pengkhususan untuk dimanfaatkan. Jadi, hukum semula makna ayat tersebut adalah segala suatu yang ada di bumi dikhususkan untuk manusia agar Penerapan Istishâb al-hukm dalam dimanfaatkan, sehingga memanfaatkan segala hukum Islam misalnya seseorang hendak apa yang ada di bumi diperbolehkan.18 berpuasa, kemudian ia makan sahur. Namun ia Dari Istishâb ini, para ulama ragu, apakah sewaktu makan sahur masih ada menetapkan kaedah: waktu sahur (belum fajar) atau sudah masuk waktu fajar. Dalam hal ini, puasa orang

19 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybah wa al- 16 Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih Nadzair, 102. (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008), 41. 20 Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih (Jakarta: 17 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 297- Artha Rivera, 2008), 46. 298. 21 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 298. 18 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 22 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybah wa al- 861. Nadzair, 91.

Husnul Haq 22 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017 tersebut tetap sah. Sebab, yang ia yakini Hanabilah, Istishâb al-wasf dapat dijadikan sebelumnya adalah masih tersisa waktu sahur, hujjah secara penuh, baik dalam menetapkan sehingga ia boleh makan sahur, sementara sesuatu yang belum ada (itsbat) ataupun masuknya waktu fajar termasuk yang ia mempertahankan sesuatu yang sudah ada ragukan, kecuali ada bukti yang meyakinkan (daf’i). Sedangkan ulama Hanafiyyah dan bahwa waktu fajar sudah masuk.23 Malikiyyah menganggap Istishâb al-wasf sebagai Keempat, Istishâb al-Wasf, yaitu Istishâb hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang yang didasarkan pada anggapan masih sudah ada (daf’i) saja, bukan untuk menetapkan tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sesuatu yang belum ada (itsbat).26 sampai ada bukti yang mengubahnya. Adapun nilai kehujjahan Istishâb secara Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang umum, para ulama berbeda pendapat. Pertama, yang hilang tetap dianggap masih ada sampai mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian juga dan Hambali menyatakan bahwa Istishâb air yang diketahui sebelumnya sebagai air merupakan hujjah secara penuh, baik dalam bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada mempertahankan sesuatu yang sudah ada bukti yang mengubah statusnya. Contoh lain (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang terkait dengan penetapan hukum berdasarkan belum ada (itsbat). Mereka menggunakan hukum yang sudah ada adalah ketika seseorang Alquran, Hadis, Ijmâ’’, dan Akal, untuk shalat dan di tengah shalat perutnya merasa memperkuat pandangannya.27 mulas maka orang itu tidak boleh Allah SWT berfirman dalam surat Al- membatalkan shalat sehingga betul-betul telah An’am ayat 145: batal, misalnya ada bukti bahwa ia telah batal قل َل أَ جد يف ما أ و حي إ َل ُمرما علَى طَا ع م يطْعمه إ َّل أَْن ْ َ َ َّ ًََّ َ َ َ seperti ada indikasi adanya suara atau bau 24 يَ كوَن َمْيتَة ً أَْو َدًما َم ْس فوًحا أَْو َحلْ َم خْنزير فَإنَّه رْج س أَْو ف ْسًقا tertentu. Dari Istishâb ini, ulama merumuskan

أ ه َّل لغَْ ري اللَّه ب ه kaedah fikih berbunyi 25 Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang اليَقْ ي َل ي َزا ل بال َّشك (Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, keraguan) kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya ISTISHÂB SEBAGAI DALIL HUKUM semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An’am: 145). Syaikh Abu Zahrah menegaskan bahwa para ulama sepakat akan kehujjahan Rasulullah Saw bersabda: ketiga jenis Istishâb yang disebutkan pertama,

إ َّن ال َّشْيطَا َن يَأْت أَ َحَد ك ْم فَ يَ قْو ل : أَ ْحَدثْ َت أَ ْحَدثْ َت، فََل -yaitu: Istishâb al-ibahah al-ashliyyah, Istishâb al bara’ah al-asliyyah, dan Istishâb al-hukm, ي َْن َص رفَ َّن َحَّّت يَ ْسَم َع َصْوتًا أَْو ََيَد رْْيًا sekalipun mereka berbeda dalam sebagian Sesungguhnya setan mendatangi salah satu di antara penerapannya dalam hukum Islam. Sedangkan kalian kemudian berkata: “Kamu berhadas, kamu Istishâb keempat yaitu Istishâb al-wasf, para berhadas”, maka janganlah dia meninggalkan ulama berbeda pendapat tentang (shalat) sampai dia mendengarkan suara atau mendapati rasa (buang angin). (HR. Abu Dawud kehujjahannya. Menurut ulama Syafi’iyyah dan dari Abu Hurairah).

23 Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih, 38. 26 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 299. 24 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, 298. 27 Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al- 25 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybah wa al- Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al- Nadzair, 86. Imam al-Bukhari), 188-189.

Husnul Haq 23 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

tergantung pada tiga hal yaitu: (a) adanya masa mendatang, (b) terjadinya perubahan dari ada إ ذَا َش َّك أَح د كم يف صَلته فَ لَم يْدر َكم ص لَّى أَثََلثًا أَْم أَرب عا؟ menjadi tidak ada, atau dari tidak ada menjadi َ ْ َ ْ َ ْ َ ًَْ

ada, dan (c) keadaan yang telah berubah itu فَ ْليَطَْر ح ال َّش َّك َولْيَْب عَلَى َما ا ْستَ ْي َق َن Jika salah seorang di antara kalian merasa ragu (menjadi, ada atau tidak ada) menyertai masa dalam salatnya, apakah ia telah melaksanakan tiga 29 atau empat rakaat, hendaknya ia buang keraguan itu mendatang tersebut. dan berpegang kepada yang ia yakini. (HR. Muslim Kedua, Ulama Muta’akhirin dari mazhab dari Abu Said al-Khudri). Hanafi, di antaranya Imam Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, Istishâb Rasulullah Saw. meneruskan merupakan hujjah dalam mempertahankan pemberlakuan hukum wudhu sekalipun ada sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan keragu-raguan, dan inilah maksud dari Istishâb. menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat).30 Kemudian, Ijmâ’’ ulama telah Mereka beralasan bahwa dalil yang menyepakati bahwa jika seseorang ragu-ragu menetapkan hukum suatu perkara tidak serta apakah telah melakukan thaharah atau belum merta menetapkan kelanggengan hukum maka dia tidak boleh melaksanakan shalat. tersebut.31 Artinya, dalil tersebut hanya sebatas Sebaliknya, jika dia ragu-ragu apakah menetapkan hukum itu dari awal, bukan thaharahnya masih ada atau tidak (sudah batal mempertahankannya. atau belum) maka dia boleh mengerjakan Ketiga, Mayoritas ulama mazhab shalat. Kedua hukum ini diproduksi melalui Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul metode Istishâb, sehingga Istishâb merupakan Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama ilmu hujjah berdasarkan Ijmâ’’ ulama. kalam berpendapat, Istishâb bukan merupakan Adapun dalil akal, hukum-hukum hujjah, baik dalam mempertahankan sesuatu Islam yang ada pada zaman Nabi Saw tetap yang sudah ada maupun menetapkan sesuatu wajib dipatuhi sampai saat ini. Kewajiban yang belum ada. Mereka beralasan bahwa: suci, mematuhi hukum-hukum tersebut bagi kita halal, , dan sebagainya merupakan didapatkan dari Istishâb yang merupakan hukum-hukum Islam yang tidak bisa pengukuhan pemberlakuan hukum-hukum ditetapkan kecuali dengan dalil-dalil agama. tersebut sampai saat ini. Jika Istishâb bukan Dalil-dalil agama itu berupa Alquran, Hadis, merupakan hujjah maka bisa jadi hukum- Ijmâ’’, dan Qiyâs, sementara Istishâb tidak hukum itu hanya berlaku pada zaman Nabi termasuk dalam keempat dalil tersebut, Saw, tidak berlaku untuk saat ini, karena ada karenanya ia tidak boleh dijadikan sebagai dalil 28 kemungkinan sudah dinasakh. atas hukum-hukum Islam itu.32 Di samping itu, adanya dugaan kuat tentang tetap berlakunya sesuatu lebih kuat PENGARUH ISTISHÂB TERHADAP daripada dugaan kuat tentang telah PERBEDAAN ULAMA berubahnya sesuatu itu. Alasannya, karena Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tetap berlakunya sesuatu hanya tergantung ulama berbeda pendapat tentang penggunaan pada dua hal, yaitu: (a) Adanya masa istishab; Mayoritas ulama mazhab Maliki, mendatang, dan (b) Yang ditetapkan itu Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa mengikuti yang ditetapkan masa mendatang tersebut. Sedangkan untuk menyatakan 29 sesuatu itu telah mengalami perubahan Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 381. 30 Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al- Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 189. 28 Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al- 31 Ibid., 194. Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 188-189. 32 Ibid., 189.

Husnul Haq 24 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

Istishâb merupakan hujjah secara penuh, baik Perbedaan pandangan ulama tentang dalam mempertahankan sesuatu yang sudah penggunaan Istishâb dalam ijtihad di atas ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang ternyata menyebabkan perbedaan pandangan belum ada (itsbat). Sedangkan, ulama mereka dalam hukum Islam, seperti dalam Muta’akhirin dari mazhab Hanafi berpendapat, kasus-kasus sebagai berikut: Istishâb merupakan hujjah dalam 1. Seseorang berwudhu lalu ragu-ragu sudah mempertahankan sesuatu yang sudah ada batal atau belum. (daf’i). Sementara, mayoritas ulama mazhab Seseorang yang telah berwudhu Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i dan memiliki sifat suci (memiliki wudhu). sekelompok ulama ilmu kalam berpendapat, Keberadaan sifat suci itu berlanjut sampai Istishâb bukan merupakan hujjah. terdapat hal-hal yang mengubahnya, baik Ulama yang menggunakan Istishâb, baik secara meyakinkan atau dalam bentuk yang menggunakannya secara penuh atau dugaan kuat. Bila kemudian ia ragu tentang hanya sebatas untuk mempertahankan sesuatu apakah ia telah berhadas atau belum, yang sudah ada, beralasan bahwa konsesus bolehkan ia shalat dalam keadaan ragu ulama (Ijmâ’’) telah menyepakati penggunaan tersebut? Istishâb dalam ranah hukum Islam, seperti Imam Malik berpendapat tetapnya wudhu, hadas, ikatan pernikahan, dan bahwa ia tidak boleh shalat kecuali setelah kepemilikan, sekalipun ada rasa ragu-ragu akan ia berwudhu dengan wudhu yang baru. hilangnya hal-hal tersebut. 33 Artinya, para Alasannya karena dalam hal ini ada ulama telah menggunakan konsep Istishâb perbenturan antara dua prinsip, yaitu: dalam menetapkan hukum suatu masalah yang pertama, tetap berlakunya sifat suci itu tidak tidak disebutkan hukumnya dalam Al-Qur’an, hilang hanya dengan sesuatu yang , Ijmâ’’ dan . meragukan; kedua, orang itu masih dibebani Adapun ulama yang tidak tanggung jawab kewajiban untuk menggunakan Istishâb beralasan bahwa dalil- menunaikan shalat. Berdasarkan Istishâb, ia dalil agama itu berupa Alquran, Hadis, Ijmâ’’, belum bisa lepas dari tanggung jawab shalat dan Qiyâs, sementara Istishâb tidak termasuk itu kecuali bila ia telah melaksanakan shalat dalam keempat dalil tersebut, karenanya ia dengan (dalam keadaan) berwudhu yang tidak boleh dijadikan sebagai dalil untuk meyakinkan, sedangkan keadaan wudhunya menetapkan hukum Islam. 34 Di samping itu, itu meragukan. Bila ragu mengenai apakah penetapan hukum berdasarkan Istishâb telah terpenuhi atau belum kewajibannya merupakan penetapan hukum tanpa dalil. dalam berwudhu, maka syarat untuk shalat Sebab, sekalipun suatu hukum telah ditetapkan tidak terpenuhi. Dalam kasus terjadinya pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk perbenturan dua prinsip di atas, memberlakukan hukum itu pada masa kelihatannya Imam Malik berpegang pada sekarang atau yang akan datang, diperlukan prinsip kedua, karena itu ia mewajibkan dalil lain.35 orang yang ragu tersebut melakukan wudhu baru untuk shalat. Sedangkan para ulama lainnya di 33 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami,. luar madzhab Maliki berpegang pada 870. prinsip pertama yaitu bolehnya shalat 34 Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al- Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 189. 35 Saidurrahman, “Istishab Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam: Sebuah Tinjauan Historis”, Jurnal Asy-Syir’ah 45, no. 1: 1048.

Husnul Haq 25 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

dengan wudhu yang lama karena wudhu hukumnya dikembalikan ke keadaan tersebut belum batal.36 semula, yaitu wudhunya tidak batal. Dalam rangka tindakan berhati-hati Di sisi lain, Imam Abu Hanifah dan dalam pelaksanaan ibadah, maka pendapat para pengikutnya menegaskan bahwa benda Imam Malik tampaknya lebih kuat, dan najis yang keluar dari anggota tubuh selain patut diambil. Sebab, ibadah merupakan qubul dan dubur membatalkan wudhu. 40 tujuan utama penciptaan manusia di muka Mereka berpegangan kepada beberapa dalil, bumi ini (Q.S. 51: 56), maka pantas kiranya di antaranya hadis Nabi Saw: kita memegang prinsip hati-hati dalam قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم: الوضوء من كل د م ْ ْ ِّ َ .beribadah dengan berwudhu lagi

َسائ ل . 2. Wudhu karena keluarnya sesuatu dari selain (wajib) wudhu dari setiap darah yang mengalir. qubul dan dubur (HR. Daruqutni dari Tamim al-Dari) Ulama berbeda pendapat tentang hukum suatu benda najis yang keluar dari Sedangkan Imam Ahmad bin tubuh manusia selain qubul dan dubur, Hambal berpendapat bahwa jika benda apakah membatalkan wudhu atau tidak?37 najis tersebut banyak maka membatalkan Imam Syafi’i dan imam Malik wudhu, jika sedikit maka tidak 41 berpendapat, wudhu tidak batal karena membatalkan wudhu. Beliau berpedoman keluarnya benda najis dari anggota tubuh pada hadis Nabi Saw: selain qubul dan dubur, baik sedikit atau قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم: إذَا قَ لَ َس أَ َح د ك ْم banyak. Imam Nawawi berkata dalam kitab فَ ْليَتَ َو َّضأ ْ :’al-Majmu “Madzhab kita bahwa wudhu tidak batal Jika salah seorang di antara kalian muntah karena keluarnya sesuatu dari selain qubul maka hendaknya dia berwudhu. (HR. dan dubur, seperti darah bekam, muntahan, Daruqutni). dan darah mimisan, baik sedikit atau banyak”. 38 Sebagimana disebutkan dalam 3. Suami menceraikan isterinya talak satu atau kitab Al-Muwatta’: “Tidak wajib wudhu tiga. karena keluarnya darah mimisan, darah, Seorang suami menjatuhkan talak 39 dan nanah yang mengalir dari jasad”. pada isterinya, tetapi ia ragu apakah yang dijatuhkan itu thalak tiga atau thalak satu. Mereka berpedoman pada dalil Menurut mayoritas ulama talak yang jatuh Istishâb, yaitu: Jika najis tersebut tidak keluar adalah talak satu, sementara menurut imam dari anggota tubuh seseorang maka Malik, talak yang jatuh adalah talak tiga. wudhunya tidak batal. Keadaan tidak batal Perbedaan ini timbul karena adanya ini berlangsung dan dianggap tetap, sampai perbenturan antara dua prinsip: pertama, ada dalil yang menganggap wudhu tersebut tetap berlakunya sifat (keadaan) semula batal, dan dalil itu tidak ditemukan. Maka sebagai suami istri (yang boleh berhubungan badan) sebelum talak, sampai ada hal-hal yang mengubahnya. Dalam hal 36 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 385. ini telah terjadi hal yang mengubah keadaan 37 Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al- Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 200. 38 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu, 40 Ali bin Abi Bakar al-Marghinani, Bidayatul (Kairo: Nasr Zakaria Ali), II/59. Mubtadi, (Kairo: Maktabah Muhammad Ali,), I/24-26. 39 Malik bin Anas, Al-muwatta, (Kairo: 41 Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al- Matba’ah al-Halabi), I/22. Mughni, (Kairo: Al-Maktabah al-Azhariyyah,), I/137.

Husnul Haq 26 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

itu yaitu talak dengan sifat yang meragukan. shalat. 44 Mereka berpegangan pada hadis Oleh karena itu sifat boleh bergaulnya Rasul Saw: suami-isteri belum hilang. Kedua, bahwa قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم: ال َّصع يد الطَّيِّب ْ .talak itu berlaku secara meyakinkan

َو ضْوء الْ م ْسلم َوإ ْن َ لْ ََيْد الَْماء َ عَ ْشَر سنَْي، فَإذَا َوَجْد َت Namun dalam hal ini terjadi keraguan tentang apakah boleh rujuk atau tidak. الماء فأَمسه جلدك َْ َ َ َ ِّ َْ َ Padahal rujuk itu tidak dapat ditetapkan dengan hal yang meragukan.42 Debu yang suci merupakan alat bersuci seorang Muslim meskipun ia tidak menemukan air Menurut hemat penulis, pendapat selama sepuluh tahun. Jika kamu menemukan mayoritas ulama yang menyatakan jatuh air maka basuhlah kulitmu dengannya. satu merupakan pendapat yang kuat dan lebih maslahat bagi suami dan isteri. Sebab, Makna tersirat hadis di atas adalah kemaslahatan mempertahankan pernikahan debu tidak bisa dijadikan sebagai alat lebih diutamakan dari pada melepaskan tali bersuci jika ada air, sedangkan makna pernikahan. tersuratnya adalah wajib membasuh kulit dengan air manakala air itu ada.45 4. Hukum tayammum seseorang yang Di sini penulis menganggap kuat mendapatkan air ketika sedang shalat. pendapat Imam Syafi’i dan imam Malik Ulama sepakat bahwa jika yang berpandangan bahwa tayammum-nya seseorang menemukan air sebelum tidak batal. Sebab, pendapat ini melaksanakan shalat maka tayammum-nya mengandung kemudahan, dan kemudahan batal, sebagaimana mereka sepakat bahwa merupakan prinsip penting dalam agama jika ia menemukan air setelah selesai Islam (Q.S. 2: 185). melaksanakan shalat maka shalatnya dianggap sah. Tetapi mereka berbeda 5. Suami menceraikan salah satu dari kedua pendapat jika orang tersebut menemukan isterinya. air ketika sedang shalat, apakah Seorang suami menjatuhkan talak tayammumnya batal dan ia wajib kepada salah seorang di antara dua istrinya. menggunakan air lalu memulai shalat lagi Kemudian terjadi keraguan tentang siapa ataukah tayammumnya tidak batal, sehingga (yang mana) salah seorang dari dua istri ia meneruskan shalatnya? yang ditalaknya itu. Imam Syafi’i dan imam Malik Imam Malik berpendapat, bahwa berpandangan, tayammum-nya tidak batal kedua isterinya itu tertalak. Karena dalam sehingga ia bisa meneruskan shalatnya. 43 hal ini talak telah terjadi secara meyakinkan. Mereka beralasan bahwa tayammum dan Bila terjadi talak secara meyakinkan shalatnya dihukumi sah, sehingga hukum terhadap salah seorang di antara dua sah itu berlaku sampai shalatnya selesai. istrinya dan tidak ada cara untuk Di sisi lain, Imam Abu menetapkannya, maka secara Istishâb Hanifah dan para pengikut berpendapat, tertalak keduanya berdasarkan hukum talak tayammum dan shalatnya batal sehingga ia yang telah ditetapkan dengan yakin. harus bersuci dengan air lalu memulai

42 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 386. 44 Muhammad Amin bin Abidin, Hasyiyah Ibni 43 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm Abidin (Kairo: Matba’ah al-Halabi,), I/255. (Kairo: Tab’ah Kitab al-Sya’b), I/41. Malik bin Anas, 45 Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al- Al-Muwatta, 55. Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 207.

Husnul Haq 27 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

Mayoritas ulama berpendapat, apa yang sudah ada, bukan menetapkan hak yang telah tetap secara yakin, yaitu yang baru. perkawinan, tidak dapat hilang dengan Di sisi lain, imam Ahmad bin keraguan berupa adanya talak yang Hanbal berpendapat, orang tersebut mengakhiri hukum akad nikah yang bersifat dianggap hidup selama empat tahun dari tetap. Oleh karena itu, hubungan waktu hilangnya. Jika melebihi empat tahun perkawinan orang tersebut dengan kedua maka dianggap mati, karenanya hartanya istrinya tetap berlaku.46 diwarisi dan dia tidak berhak mendapatkan Menurut penulis, pendapat warisan dari keluarganya yang meninggal.47 mayoritas ulama yang menyatakan tetapnya Dalam konteks kehidupan modern ini, hubungan pernikahan merupakan pendapat penggunaan Istishâb sebagai sarana yang kuat dan lebih maslahat bagi suami merumuskan hukum Islam kontemporer dan isteri. Sebab, kemaslahatan sangatlah diperlukan. Berikut ini penulis mempertahankan pernikahan lebih paparkan masalah kontemporer yang diutamakan dari pada mengakhiri ikatan hukumnya ditetapkan dengan Istishâb, yaitu: pernikahan dengan jatuhnya talak. 1. Bidang Hukum Pidana Dalam bidang hukum pidana 6. Hukum waris orang hilang kontemporer ada istilah ‘asas praduga tak Ulama berbeda pendapat tentang bersalah’, yaitu bahwa seorang terdakwa orang hilang yang tidak jelas status hidup dianggap tidak bersalah sehingga ada bukti atau matinya; apakah dia dihukumi mati hukum secara material bahwa orang tersebut sehingga hartanya dibagi ke ahli warisnya, dinyatakan bersalah oleh pengadilan.48 dan dia tidak berhak atas warisan dari Asas praduga tak bersalah ini relevan keluarganya yang meninggal, ataukah dia dengan konsep “Istishâb al-Barâ’ah al- dihukumi hidup sehingga hartanya tidak Ashliyyah”, yaitu Istishâb yang didasarkan atas dibagi dan dia berhak atas bagian warisan prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari keluarganya yang meninggal? dari beban, sampai adanya dalil yang merubah Imam Malik dan imam Syafi’i status tersebut.49 berpendapat, orang tersebut dihukumi 2. Bidang Hukum Perkawinan hidup sehingga hartanya tidak boleh Setiap orang laki-laki dan perempuan diwarisi, dan dia berhak mendapatkan secara perdata tidak terdapat hubungan hak warisan dari keluarganya yang meninggal. dan kewajiban sebelum keduannya dapat Mereka beralasan bahwa pada dasarnya membuktikkan bahwa keduanya telah (hukum asalnya) orang tersebut hidup, mengadakan akad nikah yang dibuktikan karenanya sifat hidup ini masih berlaku dengan bukti hukum seperti akte nikah. sampai ada dalil yang menegaskan Dengan demikian, hukum asal hubungan kematiannya. antara keduannya adalah bebas dan tidak Sedangkan, Abu Hanifah dan para terikat. 50 Aturan ini relevan dengan konsep pengikutnya berpendapat bahwa hartanya “Istishâb al-Barâ’ah al-Ashliyyah”. tidak boleh diwarisi, tetapi dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang 47 Musthofa Dib al-Bugha, Atsar al-Adillah al- meninggal. Mereka beralasan bahwa Istishâb Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, 222-221. 48 Ridwan, “Istishab dan Penerapannya dalam hanya berlaku untuk mempertahankan hak Hukum Islam”, Jurnal al-Manahij 5, no. 1 (2011): 8. 49 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,. 297-298. 46 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 386. 50 Ibid., 8.

Husnul Haq 28 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

PENUTUP penetapan hukum Islam kontemporer, seperti Istishâb adalah menetapkan hukum atas dalam asas praduga tak bersalah dan masalah hukum yang kedua berdasarkan ketidakadaan hak dan kewajiban bagi laki-laki hukum yang pertama karena tidak ditemukan dan perempuan selama tidak ada bukti dalil yang merubahnya. Mayoritas ulama dari perkawinan mereka. mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa Istishâb merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). Sedangkan ulama Muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, Istishâb merupakan hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada. Berbeda dengan kedua kelompok ulama di atas, mayoritas ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama ilmu kalam berpendapat, Istishâb bukan merupakan hujjah sama sekali, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada maupun menetapkan sesuatu yang belum ada. Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan Istishâb dalam ijtihad ini ternyata menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam hukum Islam, seperti dalam kasus hukum waris orang hilang. Di samping itu, keberadaan Istishâb menjadi solusi

Husnul Haq 29 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index eISSN: 2549-4198 ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809 Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.

Al-Bugha, Musthofa Dib, Atsar al-Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al- Imam al-Bukhari.

Al-Marghinani, Ali bin Abi Bakar, Bidayatul Mubtadi, Kairo: Maktabah Muhammad Ali.

Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf, Al-Majmu, Kairo: Nasr Zakaria Ali.

Al-Subki, Ali Abdul Kafi, Al-Ibhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404H.

Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Asybah wa al-Nadzair, Mekah: Maktabah Nizar Musthafa, 1997.

Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al-Umm, Kairo: Tab’ah Kitab al-Sya’b.

Al-Zuhayli, Wahbah, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Damaskus: Darul Fikr, 1999.

______, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.

Fadal, Moh. Kurdi, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: CV Artha Rivera, 2008.

Ibnu Abidin, Muhammad Amin, Hasyiyah Ibni Abidin, Kairo: Matba’ah al-Halabi.

Ibnu al-Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar, I’lam al-Muwaqqi’in, Beirut: Dar al-Jil, 1973.

Ibnu Anas, Malik, Al-muwatta, Kairo: Matba’ah al-Halabi.

Ibnu Qudamah, Abdullah bin Ahmad, Al-Mughni, Kairo: Al-Maktabah al-Azhariyyah.

Imam, Muhammad Kamaluddin Imam, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Muassasah al-Jamiyyah, 1996.

Misbahuzzulam, “Istishab: Sejarah dan Posisinya”, Jurnal Al-Majaalis 1, no. 1 (2013): 113-114.

Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002.

Ridwan, “Istishab dan Penerapannya dalam Hukum Islam”, Jurnal Al-Manahij 5, no. 1 2011): 8.

Saidurrahman, “Istishab Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam: Sebuah Tinjauan Historis”, Jurnal Asy-Syir’ah 45, no. 1 (2011): 1048.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008.

Husnul Haq 30 Penggunaan Istishab dan… http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index