Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1 No. 2, hlm. 93-106

PROYEK DEMOGRAFI DALAM BAYANG-BAYANG DISINTEGRASI NASIONAL: STUDI TENTANG TRANSMIGRASI DI , 1950-1960

Helman Manay

Progam Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo

Alamat korespondensi: [email protected]

Diterima/ Received: 26 Maret 2016; Disetujui/ Accepted: 1 Agustus 2016

Abstract

The Republic of faced variety problems related exploding population, national integration, and distribution of welfare in the postcolonial sovereignity 1949. In the context of new state formation there were three things inter-related as the most potential problems to threaten national integration. The unevennnes of well-being number of people in each island became one of important factors. as center for beuracracy since the Dutch colonial era, it has been the most densely populated island comparing of other islands that widely occupied by only few people. The government decided to continue by a designed program named transmigration. It was expected to reduced Javanese residents significantly and placed them to another islands. Objectively, it aimed to develop their well-being condition. Menawhile, since 1958 when facing disintegration treatment, Indonesia had been more prominent in some areas, transmigration program geared to be knotted of national integration. In the end, the program must faced demographic and displacements problems in factual difficulties such as, financial, political conditions, and instability of national security at the time. Moving a third quarter of the Javanese population could not be executed well at that time. By using the method of historical research, this paper about to discover the realization of the transmigration program during 1950-1960 in Gorontalo conducted in the midst of instability of national security.

Keywords: transmigration, demographics, disintegration, Java, Gorontalo.

Abstrak

Pascapengakuan kedaulatan oleh Belanda pada Desember 1949, Republik Indonesia dihadapkan pada beragam persoalan utamanya terkait ledakan jumlah penduduk, integrasi nasional dan pemerataan kesejahteraan. Dalam konteks negara baru ketiga hal di atas saling berkaitan, sebab masalah penduduk yang kebanyakan tidak sejahtera sangat potensial mengancam kesatuan bangsa. Persoalan berikutnya, selain kesejahteraan adalah tidak meratanya jumlah penduduk di masing-masing pulau. Jawa sebagai pusat pemerintahan sejak zaman kolonial Belanda menjadi pulau paling padat penduduknya, sementara pulau luar Jawa yang secara geografis lebih luas hanya ditempati oleh sedikit penduduk. Fakta inilah yang mendorong pemerintah memutuskan melanjutkan program politik etis dengan memperhalus istilah pemerintah kolonial Belnada, kolonisasi menjadi transmigrasi. Dengan transmigrasi diharapkan tekanan demografi di Jawa akan berkurang secara signifikan dan daerah baru yang menjadi tujuan penempatan akan berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan secara nasional. Selain itu, sejak 1958 ketika ancaman disintegrasi semakin mengemuka di beberapa daerah, program transmigrasi diarahkan untuk menjadi simpul-simpul persatuan nasional. Pada akhirnya rencana besar pemindahan penduduk harus dihadakan pada kenyataan keuangan negara yang sulit dan kondisi politik serta keaman yang labail kala itu, sehingga rencana besar untuk memindahkan sepertiga penduduk Pulau Jawa tidak dapat terrealisasi. Dengan menggunakan metode penelitian sejarah tulisan ini hendak menelusuri realisasi program transmigrasi selama 1950-1960 di Gorontalo dan kaitannya dengan kondisi keamanan yang sangat labil saat itu.

Kata kunci: Transmigrasi, demografi, disintegarsi, Jawa, Gorontalo.

93 Helman Manay (Proyek Transmigrasi dalam Bayang-Bayang Disintegrasi)

PENDAHULUAN transmigrasi tidak hanya terkait masalah demografi, tetapi menyangkut pula persoalan Sebagai negara besar yang terdiri dari ribuan geopolitik dan geostrategis untuk kepentingan pulau dan ratusan suku bangsa, sejak awal integrasi nasional. Indonesia telah dihadapkan pada beragam Transmigrasi di Gorontalo pada 1950- persoalan, utamanya terkait ledakan jumlah 1960 tergolong unik, sebab penempatannya penduduk, integrasi nasional, dan pemerataan diawali oleh sebuah surat permintaan kesejahteraan. Jauh sebelumnya hal itu juga pengiriman transmigran dari Jawa ke menjadi problem pemerintah Hindia Belanda Paguyaman, Gorontalo. Surat tersebut ditulis setelah berhasil menaklukan semua daerah yang oleh T. A. Lasahido (pengusaha perkebunan awalnya tidak tunduk di bawah rezim Batavia. kelapa asal ), ditujukan kepada Wakil Masalah penting pada awal abad ke-20 adalah Perdana Menteri selaku Koordinator Umum penurunan kesejahteraan penduduk pribumi di Program Transmigrasi.1 Hal tersebut cukup pulau Jawa, karena pertumbuhan jumlah menarik mengingat secara geografis Gorontalo penduduk yang tidak terkendali. Investigasi berada sangat jauh dari Pulau Jawa dan kondisi Menteri Urusan Jajahan, A. W. F. Idenburg pada sarana transportasi masa itu relatif masih 1902 melaporkan bahwa selama 20 tahun terbatas. Kondisi ini tentu sangat berbeda terakhir penduduk pulau Jawa telah bertambah dengan pulau Sumatera dan yang empat puluh lima persen menjadi ± 25.200.000 relatif mudah dijangkau. Berdasarkan kenyataan jiwa, sedangkan tanah sawah hanya bertambah tersebut, menarik mengungkap lebih lanjut dua puluh tiga persen (produktivitas dua puluh pelaksanaan program transmigrasi di Gorontalo, delapan persen). Jadi penghasilan rata-rata setiap terutama jika dikaitkan dengan masalah integrasi orang pun menurun. Sementara jumlah petani nasional yang banyak mengalami ujian pada yang tidak memiliki tanah bertambah (Niel, periode 1950-1960. Oleh karena itu 1984: 52-53). Kenyataan di atas sejalan dengan permasalahan yang dikaji adalah sebagai berikut. pendapat Malthus, bahwa ledakan penduduk Pertama, pelaksanaan program transmigrasi di yang tidak terkendali akan menjadi ancaman Indonesia, khususnya di Gorontalo pada 1950- serius terhadap persediaan pangan. Hal itu 1960; Kedua, relevansi konstelasi politik nasional terjadi karena secara alamiah pertumbuhan dan daerah dengan program transmigrasi ke luar penduduk cenderung bergerak mengikuti deret Jawa pada 1950-1960. ukur, sedangkan persediaan bahan pangan bergerak mengikuti deret hitung (Hauser dan METODE Duncon, 1958: 33). Obsesi Pemerintah dalam kurun waktu Penggunaan metode sangat penting dalam 1950-1960 untuk melakukan transmigrasi penelitian sejarah sebagai seperangkat aturan penduduk dari pulau Jawa ke pulau-pulau lain atau prinsip-prinsip yang secara sistematis hingga saat ini–selain alasan demografis dan dipergunakan untuk mencari dan menggunakan ekonomi–tujuannya belum diketahui pasti. sumber-sumber sejarah. Metode sejarah adalah Meskipun demikian, hal ini mulai jelas ketika proses menguji dan menganalisa secara kritis Keputusan Presiden No. 163 Tahun 1958 yang rekaman dan peninggalan masa lampau. Dengan memuat tujuan pokok transmigrasi dikeluarkan. metode sejarah dapat direkonstruksi sebanyak- Dalam Kepres tersebut disebutkan bahwa tujuan banyaknya peristiwa masa lampau manusia. transmigrasi adalah untuk meningkatkan Sejarah memiliki metode penelitian sendiri yang keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan berbeda dengan ilmu-ilmu lain, secara umum rakyat, membangun daerah-daerah vital, serta dikenal dalam empat tahap, yakni heuristik, mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. kritik, interpretasi, dan historiografi (Gotschalk, Dengan demikian, sangat jelas bahwa program 1983: 18dan32).

94 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1 No. 2, hlm. 93-106

Sumber awal dari penelitian ini berasal berupa arsip tekstual, koran, keterangan lisan dari arsip nasional terutama yang terangkum maupun foto. dalam Inventaris Arsip Kesekretariatan Negara Setelah sumber–baik lisan maupun Kabinet Perdana Menteri Tahun 1950-1959, tulisan–telah didapatkan, maka tahap Inventaris Arsip Kabinet Presiden RI 1950-1959, selanjutnya adalah proses pemeriksaan kevalidan Daftar Pertelaan Arsip (DPA) Peraturan dan keterandalan sumber-sumber tersebut. Perundang-undangan Dirinci Menurut Dalam penelitian ini sumber-sumber diperiksa Peraturan Pemerintah Periode 1950-1960, secara detail dengan menggunakan teknik kritik Daftar Pertelaan Arsip (DPA) Peraturan sumber yang ada dalam metode penelitian Perundang-undangan Dirinci Menurut sejarah, yakni dengan mengajukan pertanyaan Keputusan Presiden Periode 1950. Selain di kritis terhadap sumber-sumber yang ada. arsip nasional, informasi tentang transmigrasi Menurut Storey, pertanyaan sebaiknya pada 1950-an terdapat juga di Arsip Daerah Jawa diformulasikan dari 5 W, yakni who (siapa), what Tengah (ARDA Jateng) di Semarang. Terutama (apa), why (mengapa), where (di mana) dan berupa foto dari persiapan, pemberangkatan dan when (kapan) (Storey, 2011: 32-36). Selain daerah tujuan para transmigran asal Jawa teknik di atas, sumber-sumber tersebut juga Tengah pada tahun-tahun tersebut. dikomparasi dan dikoroborasikan satu sama lain Selain sumber-sumber di atas, selama riset guna mendapatkan otentisitas dan kredibilitas di Gorontalo, Peneliti juga memperoleh arsip dari setiap sumber. berharga berupa foto-foto Gorontalo tahun Setelah melalui tahap kritik, maka perlu 1950-1960 yang dikoleksi oleh Badan Arsip dan dilakukan interpretasi terhadap sumber-sumber Perpustakaan Daerah Provinsi dan Kabupaten yang telah diyakini keabsahannya. Hal ini sangat Gorontalo. Dokumen desa Sidodadi dan dibutuhkan dalam mendalami setiap peristiwa, Sidomulyo baik berupa Rencana Pembangunan ketika kebijakan transmigrasi mulai diterapkan Jangka Menengah Desa (RPJMD) maupun pemerintah Indonesia pada 1950. Interpretasi monografi desa juga telah didapatkan Peneliti. dilakukan dengan dua cara yakni analisis dan Sebagai tambahan, koleksi pribadi-berupa foto sintesis agar ditemukan sebuah narasi rasional dan dokumen tertulis–dari Darodji Marzuki yang menjadi corak umum dari karya sejarah. (warga Sidomulyo, transmigran asal Dalam konteks penelitian ini, analisis berarti Banyuwangi, Jawa Timur) juga menambah berusaha menguraikan setiap fakta sejarah yang khasanah sumber primer dalam penelitian ini. ada dalam sumber, sehingga setiap kemungkinan Akhirnya, sebuah buku tentang Provinsi dari fakta tentang transmigrasi Indonesia antara Sulawesi yang diterbitkan Kementerian 1950-1960 dapat terungkap. Sementara itu, Penerangan pada 1953–ketika Sulawesi belum sintesis berarti menyatukan beberapa fakta dan dimekarkan menjadi beberapa provinsi–juga data mengenai penerapan kebijakan transmigrasi sangat membantu melengkapi informasi lisan di Indonesia, khususnya di Gorontalo pada masa yang telah didapatkan. tersebut, sehingga ditemukan kesimpulan Selain sumber-sumber primer di atas, tentang adanya maksud, tujuan dan penerapan sumber sekunder berupa buku dan artikel juga kebijakan itu. digunakan sebagai penunjang, utamanya buku- Tahap akhir atau puncak dari segala buku dan artikel yang secara khusus membahas rangkaian penelitian sejarah adalah tahap transmigrasi pada masa tersebut. Hal ini sangat interpretasi. Bahan-bahan yang telah membantu dalam memberi pandangan umum dikumpulkan kemudian dirangkai menjadi tentang transmigrasi dan juga dapat dijadikan sebuah kronologi cerita yang menarik sekaligus bahan pembanding (komparasi) dan pelengkap ilmiah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini (koroborasi) terhadap sumber-sumber lain baik uraian cerita sejarah dilakukan dengan menggunakan tiga teknik dasar penulisan secara

95 Helman Manay (Proyek Transmigrasi dalam Bayang-Bayang Disintegrasi) bersamaan yakni, deskripsi, narasi dan analisis. Wilopo membentuk Panitia Penampungan Hal ini dipandang cukup memadai dan dapat Bekas Corps Tjadangan Nasional (CTN) memenuhi tuntutan dalam penelitian serta Sulawesi Selatan melalui Surat Keputusan No. penulisan sejarah. 226/P.M./1952 tanggal 19 Agustus 1952. Tugas utama dari panitia ini adalah menjalankan usaha TUJUAN, RENCANA, DAN REALISASI penyaluran kembali ke masyarakat, bekas PROGRAM TRANSMIGRASI anggota CTN Sulawesi Selatan yang telah melaporkan diri kepada pimpinan daerah militer Secara umum, gagasan pemindahan penduduk VII. Konkretnya, panitia ini diberi tugas untuk dilandasi oleh realitas kesenjangan jumlah melumpuhkan potensi pengacau, yakni bekas penduduk antara satu wilayah dengan wilayah tentara yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Cara lain yang berdampak pada sektor ekonomi dan yang ditempuh adalah dengan menyediakan penghidupan rakyat. Pada 1951, secara eksplisit perumahan, makanan, mata pencaharian yang tujuan transmigrasi dilandasi oleh kepentingan layak dan pelayanan kesehatan bagi mereka yang pemerataan ekonomi seperti tercantum dalam masih bisa dikembalikan ke kampung Surat Keputusan Menteri Sosial untuk halamannya. Akan tetapi bagi yang tidak memakmurkan dan menyejahterakan rakyat mungkin dikembalikan, maka akan dipindahkan dengan cara memindahkan penduduk dari ke daerah lain melalui program transmigrasi oleh daerah satu ke daerah lain. Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) (Inventaris Selain itu dijabarkan pula tugas dari ANRI No. 3473 dan3461). Jawatan Transmigrasi sebagai penyelenggara Perkembangan politik selama 1950-an utama program tersebut yakni: akhirnya membawa perubahan besar dalam 1. Mengumpulkan penduduk di daerah yang tujuan transmigrasi, yang semula hanya padat untuk dipindahkan ke daerah-daerah berdimensi sosial ekonomi, akhirnya diberi lain; muatan kepentingan integrasi nasional pada 2. Melakukan pembukaan tanah-tanah kosong 1958. Hal ini tercantum dalam surat keputusan dan hutan-hutan yang baik buat pemindahan presiden yang menetapkan tugas kementerian penduduk (transmigrasi); transmigrasi. Sejak saat itu, lapangan pekerjaan 3. Memindahkan kaum transmigran dari tempat transmigrasi telah mengalami perubahan asalnya, ke tampat-tempat yang sudah dibuka mendasar sebagai berikut. menurut rencana yang telah disusun; 1. Mempertinggi kemakmuran dan kesejah- 4. Membangun usaha-usaha bagi penghidupan teraan seluruh rakyat, dengan jalan membuka transmigran di tanah transmigrasi; dan mengusahakan tanah secara teratur serta 5. Menjamin hidup kaum transmigran menurut mengadakan lain-lain usaha pembangunan batas yang ditentukan, sejak diberangkatkan dalam segala lapangan; dari tempat asalnya sampai mereka mendapat 2. Mengurangi tekanan penduduk di daerah- hasil penghidupan sendiri di tempat yang daerah yang padat penduduknya untuk baru; mencapai tingkat penghidupan yang layak 6. Memperbaiki keadaan para transmigran yang dan mengisi daerah-daerah yang kosong atau lama di tanah-tanah transmigrasi. (Inventaris tipis penduduknya untuk membuka sumber- ANRI No. 3460). sumber alam; Tujuan dan tugas di atas, sepintas hanya 3. Memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan berdasarkan kepentingan pemerataan ekonomi bangsa Indonesia; rakyat. Meskipun demikian, aspek-aspek lain 4. Mencapai keamanan seluruh bangsa tentu tidak dapat diabaikan terutama terkait Indonesia serta memperbesar potensi dengan alasan politik dan keamanan. Demi pertahanan negara, dengan mengisi dan alasan keamanan misalnya, Perdana Menteri membangun daerah-daerah yang mempunyai

96 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1 No. 2, hlm. 93-106

arti vital, sehingga tercapai tingkatan dapat ditampung dalam angkatan bersenjata. ketahanan baik dalam lapangan sosial Sejak tahun 1951 telah dipindahkan sebanyak ekonomi, persatuan dan kesatuan bangsa, 1.100 kepala keluarga (KK) dari Jawa ke luar maupun pertahanan bagi daerah-daerah di Jawa dan 100 KK di internal pulau Sulawesi. seluruh wilaya Indonesia (Keppres 1950, Pada 1952 BRN merencanakan pemindahan Inventaris ANRI No. 1728). 6.000 KK (sekitar 24.000 jiwa) mantan pejuang dari Jawa ke pulau lainnya. Dari jumlah tersebut, Tujuan program transmigasi yang semakin hanya 3.700 KK yang berhasil dipindahkan. luas di atas mencerminkan situasi nasional yang Melihat kenyataan itu, target pada 1953 tidak stabil saat itu. Termasuk ancaman diturunkan menjadi 5.000 KK. Angka ini disintegrasi yang cukup serius, sehingga dianggap realistis dan terbukti dapat penyelesaiannya tidak hanya melalui jalan militer diwujudkan, bahkan dilampaui. Hingga Juli 1953 dan politik, tetapi juga melalui transmigrasi. telah ditransmigrasikan sekitar 6.150 KK, surplus Contoh konkret dari upaya ini adalah 1.150 KK dari target capaian (Kabinet Perdana penempatan transmigrasi CTN di pulau Menteri Tahun 1950-1959, ANRI: Inventaris Kalimantan pada 1952. Disebutkan bahwa selain Arsip Kesekretariatan Negara No. 3470). karena tanah yang luas, belum adanya kesatuan militer di Kalimantan juga menjadi alasan Corps Tjadangan Nasional (CTN) Pemerintah menempatkan mantan tentara dan pejuang dari Jawa ke pulau itu. Demikian juga, CTN merupakan lembaga yang dibentuk pada dalam rangka meredam pemberontakan di 28 Maret 1951 untuk mengurus, mengatur dan Sulawesi Selatan, maka ditempuh jalan memelihara anggota dan mantan anggota pemindahan (transmigrasi) mantan pengikut angkatan perang. Meskipun mirip dengan BRN DI/TII Kahar Muzakar ke Dumoga, Sulawesi namun wilayah kerjanya hanya dikhususkan Utara dan pulau Seram, Maluku. Bahkan mereka pada mantan angkatan bersenjata, tidak meliputi dikelompokkan menjadi dua, yakni bagi yang mantan pejuang secara keseluruhan. Meskipun menyerahkan diri akan ditempatkan di Dumoga lembagai ini baru dibentuk pada 1951, (masih di wilayah pulau Sulawesi), sementara sebenarnya pemindahan bekas angkatan perang bagi yang ditangkap akan ditransmigrasikan ke telah dilakukan sejak 1950 oleh Korps Tentara luar pulau (Inventaris ANRI No. 3473). Pada yang berhasil mentransmigrasikan 1.700 KK dari perkembangan selanjutnya, terutama di zaman Jawa ke Sumatera dan Kalimantan. Selama 1951, Orde Baru, transmigrasi umum dipilih sebagai setelah CTN terbentuk, berhasil dipindahkan salah satu cara memperkuat persatuan, bahkan sekitar 2.170 KK anggota CTN dengan destinasi terkesan menjadi upaya penyeragaman. yang sama (ANRI, Inventaris Arsip Seiring dengan penetapan tujuan, Kesekretariatan Negara No. 3470). rencana-rencana besar pemindahan penduduk Pada 1952 direncanakan pemindahan 38 mulai disusun sejak akhir tahun 1950 dan efektif Kompi dari Jawa ke Kalimantan, namun hingga dijalankan satu tahun berikutnya. Khusus untuk akhir tahun, baru dapat dipindahkan 7 Kompi transmigrasi mantan pejuang dan angkatan atau sekitar 1.800 KK. Satu tahun berikutnya, bersenjata didirikan Biro Rekonstruksi Nasional terjadi kesepakatan antara berbagai lembaga (BRN) dan Corps Tjadangan Nasional (CTN) yang menangani transmigrasi.Destinasi pada awal 1951. transmigran CTN hanya pulau Kalimantan, sehingga pulau Sumatera, Sulawesi dan pulau- Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) pulau lainnya tidak lagi menjadi tujuan penempatan. Pada tahun itu direncanakan BRN yang dibentuk pada 10 Februari 1951, pemindahan 8.000 KK (sekitar 32.000 jiwa) dari segera memindahkan mantan pejuang yang tidak Jawa ke Kalimantan, tetapi hingga bulan Juli

97 Helman Manay (Proyek Transmigrasi dalam Bayang-Bayang Disintegrasi) realisasinya baru 4.270 KK. Secara keseluruhan 9. 1958 4.799 20.063 antara 1951 sampai 1953, berhasil dipindahkan 10. 1959 11.439 46.096 20.078 jiwa, melalui lembaga ini (ANRI, 11. 1960 5.625 22.078 Inventaris Arsip Kesekretariatan Negara No. Total 60.192 246.110 3471). Sumber: Oey dan Astika, 1982: 34. Sementara itu, program pemindahan penduduk secara umum dan berkesinambungan Tabel 2. Jumlah Transmigran Menurut merupakan tanggung jawab Jawatan Daerah Tujuan, Periode 1951 hingga Juni Transmigrasi. Oleh karena itu, sejak 1950 1974. Jumlah Jumlah lembaga ini telah menetapkan rencana-rencana No Daerah Tujuan besar, terutama ketika Ir. A.H.O. Tambunan Keluarga Jiwa menjabat sebagai Kepala Jawatan. Planning 1. Aceh 140 695 2. Sumatera Utara 3.343 11.480 Tambunan utamanya adalah mengurangi 3. Sumatera Barat 3.415 14.723 penduduk pulau Jawa hingga sepertiga dari 4. Ria 794 3.699 jumlah yang ada dalam jangka waktu 15 tahun 5. Jambi 2.563 11.875 (1950-1965). Rencana ini masih dianggap 6. Sumater Selatan 49.096 206.656 kurang ambisius, sehingga pada 1953 7. Bengkulu 1.580 7.415 ditingkatkan menjadi Rencana Tiga Puluh Lima 8. 47.658 204.225 Tahun Tambunan (1953-1987), yang bertekad Transmigran Lokal 9. 75 108 memindahkan 48.675.000 jiwa penduduk dari di Lampung Jawa, dan Madura ke pulau lainnya (Oey 10. Banten 1.299 5.032 dan Astika, 1982:30-31). 11. Nusa Tenggara 168 654 Namun demikian, realisasi pemindahan 12. Kalimantan Barat 2.923 12.146 13. Kalimantan Tengah 2.075 9.548 penduduk oleh Jawatan Transmigrasi sangat 14. Kalimantan Selatan 5.091 22.438 jauh dari yang telah direncanakan. Sejumlah 15. Kalimantan Timur 6.114 25.433 31.000.000 jiwa yang seharusnya dipindahkan 16. Sulawesi Utara 2.443 10.334 menurut rencana lima belas tahun Tambunan di 17. Sulawesi Tengah 4.878 21.923 awal dekade 1950-an sama sekali tidak sesuai 18. Sulawesi Selatan 5.240 24.207 harapan. Demikian pula dengan rencana 10 19. Sulawesi Tenggara 2.139 9.896 tahun Pemerintah di akhir dekade 1950-an, 20. Maluku 782 2.764 sangat jauh dari kenyataan (ANRI, Inventaris 21. Irian Jaya 355 1.500 Arsip Kesekretariatan Negara No. 3471). Pada Jumlah Total 142.180 606.751 Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa, realisasi Sumber: Oey dan Astika, 1982: 34. pemindahan tidak menyentuh angka setengah dari rencana yang telah disusun sebelumnya. Kenyataan yang tergambar pada tabel di atas menunjukkan bahwa antara 1950-1960 Tabel 1. Jumlah Transmigran di Indonesia merupakan masa ketika ide-ide besar disemai 1950-1960 (dalam Jiwa). dan harapan-harapan tinggi digantungkan dalam Jumlah semua bidang kehidupan bernegara, termasuk No. Tahun Jumlah Jiwa Keluarga upaya pemindahan penduduk. Meskipun 1. 1950 23 77 demikian, kadang-kadang ekspektasi tersebut 2. 1951 790 2.951 tidak diiringi dengan kesadaran akan kenyataan 3. 1952 3.855 17.605 sebagai negara baru yang kekurangan dalam 4. 1953 9.240 40.009 semua bidang (Vickers, 2011: 203-205). Khusus 5. 1954 8.409 29.738 bidang transmigrasi, Pemerintah tampaknya 6. 1955 5.500 21.389 kurang memperhatikan bahwa, sebelum 7. 1956 6.091 25.519 memindahkan penduduk banyak persiapan yang 8. 1957 4.421 20.045

98 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1 No. 2, hlm. 93-106 tidak boleh diabaikan. Pembukaan tanah, pemerintah mengirimkan transmigran dari Jawa pembuatan jalan, pembangunan bendungan untuk mengolah tanah yang luas di Paguyaman. untuk irigasi, penyediaan infrastruktur lainnya Hal ini dimaksudkan untuk memproduksi beras adalah beberapa hal penting yang tidak bisa dengan sistem persawahan. Perlu diketahui dilepaskan dari program transmigrasi. Selain itu, bahwa saat itu wilayah Sulawesi Utara, Tengah, psikologi masyarakat juga perlu disesuaikan dan Kepulauan Banggai serta Maluku masih dengan lingkungan yang baru, sebab tidak semua mengimpor beras dari Sulawesi Selatan dan kondisi tanah sama suburnya dengan lembah pulau Jawa (ANRI, Inventaris Arsip dan dataran tinggi di Jawa. Tanpa perhatian Kesekretariatan Negara No. 3461).3 memadai atas aspek-aspek tersebut, sulit mengharapkan hasil yang positif dari program transmigrasi, baik di bidang demografi, politik terlebih lagi ekonomi (ANRI, Inventaris Arsip Kesekretariatan Negara No. 3459).2

TRANSMIGRASI DI GORONTALO

Wilayah Gorontalo yang dijadikan tujuan awal program transmigrasi adalah dataran Paguyaman. Sebuah daerah yang cukup luas, sekitar 65 km sebelah barat Kota Gorontalo. Daerah ini dipilih selain karena tersedia cukup banyak lahan, kondisi topografinya secara umum tidak jauh berbeda dengan kondisi di pulau Jawa. Dataran yang cocok untuk persawahan ditambah ketersediaan air yang cukup menjadikan Paguyaman sangat ideal untuk eksperimentasi awal program transmigrasi di wilayah Gorontalo. Gambar 1. Posisi Dataran Paguyaman yang Selain itu, jarak dari kota dan pelabuhan- tidak jauh dari Kota Gorontalo dan Pelabuhan pelabuhan penting di Gorontalo juga relatif Kwandang dekat dibandingkan dengan dataran lainnya (Sumber: Djawatan Transmigrasi, 1956) (Wawancara Yunus Taidi, 1 Maret 2013). Gambar 1 menunjukkan posisi strategis dataran Terdapat delapan poin pemikiran penting Paguyaman sehingga menjadi pilihan pertama T.A. Lasahido mengenai pentingnya dalam penempatan transmigran. transmigrasi di Paguyaman. Delapan poin itu Pada 1951, dua tahun sebelum realisasi program, secara umum terkait dengan keuntungan dari T.A. Lasahido, seorang pegusaha perkebunan segi geografis, topografis dan ekonomi bagi para kelapa asal Sulawesi yang bermukim di transmigran (ANRI, Inventaris Arsip pernah menulis surat kepada Wakil Perdana Kesekretariatan Negara No 3461).4 Menteri selaku Koordinator Nasional Program Sebelum adanya surat tersebut, pada Transmigrasi. Maksud utama surat tersebut Oktober 1951 Jawatan Transmigrasi Propinsi adalah meminta tenaga kerja dari Jawa untuk Sulawesi juga telah menyelidiki wilayah-wilayah mengelola perkebunan kelapa di Pulau Una-Una di Sulawesi yang cocok untuk penempatan (dekat Gorontalo), yang terbengkalai karena transmigran, termasuk di Gorontalo. kekurangan buruh. Meskipun demikian, dua Berdasarkan inspeksi yang dilakukan, terdapat lembar terakhir suratnya menyarankan agar dua lokasi yang cocok untuk transmigrasi yakni,

99 Helman Manay (Proyek Transmigrasi dalam Bayang-Bayang Disintegrasi) dataran Pinogu di bagian timur Kota Gorontalo rombongan ini terdiri dari 336 jiwa yang terbagi dengan luas sekitar 5.000 ha dan dataran dalam 85 KK (Djawatan Transmigrasi, Paguyaman di sebelah barat Kota Gorontalo, 1956:112). Hingga sampai di lokasi luasnya sekitar 60.000 ha (Kementerian penempatan, perjalanan yang ditempuh tidak Penerangan RI, 1953). Pada akhirnya hanya berbeda dengan rombongan sebelumnya, yakni wilayah Paguyaman yang dijadikan sebagai objek melalui Tanjung Perak ke Pelabuhan Kwandang transmigrasi. Mungkin karena dataran Pinogu dan selanjutnya menempuh jalur darat hingga tidak begitu luas dan telah banyak penduduk sampai di Paguyaman. Setelah tiba di lokasi, lokal yang bermukim di tempat itu. mereka ditempatkan di bedeng yang sama dengan Tiga tahun sebelum transmigran dari Jawa dua rombongan sebelumnya (Wawancara ditempatkan di Paguyaman, Pemerintah Daerah dengan Sutrisna, 5 Maret 2013). Gorontalo yang disubsidi oleh Negara Indonesia Setelah penempatan transmigran yang Timur (NIT) telah menyelenggarakan cukup intens antara 1953 sampai awal 1955. pemindahan penduduk. Sebanyak 288 jiwa telah Pemerintah pun kembali melanjutkan program dipindahkan dari wilayah kota Gorontalo dan ini. Tercatat ada empat rombongan yang sekitarnya ke dataran Paguyaman (Kementerian ditempatkan. Kelompok transmigran yang Penerangan RI, 1953:467). dipindahkan pada gelombang ini kebanyakan Selama 1952 hingga paruh pertama 1953 berasal dari dari daerah-daerah di Jawa Tengah penyelidikan dan berbagai persiapan dan Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY) penempatan transmigran dari Jawa telah (Wawancara dengan Sutiwar, 1 Juli 2013). Tabel dilakukan. Akhirnya pada September 1953 3 menunjukkan jumlah transmigaran dari pulau rombongan pertama dari Blitar dan Jawa yang ditempatkan di wilayah Gorontalo Tulungagung, Jawa Timur tiba di lokasi tersebut. (Paguyaman) selama kurun waktu 1950-1960. Mereka menempati bedeng (barak) yang Setelah tiba di lokasi baru, para disediakan Pemerintah sebagai tempat tinggal transmigran menempati barak penampungan sementara, sebelum dapat membuat rumah di sementara, guna menunggu pembagian tanah lahan masing-masing (Wawancara dengan yang telah dijanjikan. Bantuan berupa alat-alat Sutrisna, 5 Maret 2013). Satu bulan setelah pertanian dan pertukangan telah dibagikan pada kedatangan rombongan pertama, rombongan saat keberangkatan. Selama berada di tempat kedua yang berasal dari Bandung, Jawa Barat tiba tersebut, semua kebutuhan pokok mereka– pada 10 Oktober 1953. Rombongan ini adalah terutama makanan–dipenuhi oleh Pemerintah. kelompok transmigrasi BRN, yakni mantan Untuk sebagian besar transmigran, bantuan pejuang dari Jawa Barat yang tidak dapat berupa alat-alat pertanian dan pertukangan tidak ditampung dalam korps tentara nasional. diterima secara gratis, karena mereka harus Pimpinan rombongan adalah Sukandar, seorang mengembalikan berangsur-angsur kepada purnawirawan divisi Siliwangi (Wawancara Pemerintah jika usaha pertanian telah berhasil. dengan Mardzuki dan Sutrisna, 5 Maret 2013). Pemerintah juga menyediakan dana yang dapat Tidak seperti selang waktu antara dipinjam oleh transmigran dan harus rombongan satu dan dua yang singkat, dikembalikan dalam jangka waktu hingga 15 kedatangan rombongan tiga butuh waktu tahun. Angsuran pertama pengembalian setidak- beberapa bulan setelah rombongan dua. tidaknya diberikan pada panen ketiga atau tiga Transmigran yang berasal dari daerah bekas tahun setelah kedatangan. Aturan ini berlaku Keresidenan Besuki dan Surabaya, Jawa Timur bagi semua, baik untuk transmigran umum ini, baru tiba di Paguyaman pada Mei 1954. maupun mantan pejuang (ANRI, Inventaris Rombongan tersebut dipimpin oleh seorang Arsip Kesekretariatan Negara No. 3463).5 bernama Sudayin. Secara keseluruhan

100 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1 No. 2, hlm. 93-106

Tabel 3. Penempatan Transmigran di Paguyaman, 1950-1960 Tahun Jumlah No Daerah (Keresidenan) 1953 1954 1955 (Jiwa) 1. Priangan (Jawa Barat) 65 KK 182 2. Banyumas (Jawa 53 KK 244 Tengah) 3. Kedu (Jawa Tengah) 45 KK 186 4. Surakarta (Jawa 30 KK 108 Tengah) 5. Yogyakarta (DIY) 40 KK 143 6. Surabaya (Jawa Timur) 3 KK 10 KK 48 7. Besuki (Jawa Timur) 82 KK 47 KK 550 8. Madiun (Jawa Timur) 30 KK 107 9. Kediri (Jawa Timur) 24 KK 100 47 KK 636 KK Jumlah total (KK dan jiwa) 89 185 302 2.204 Sumber: Djawatan Transmigrasi, 1956:112-113.

Pekerjaan pertama yang dilakukan menggunakan sistem tebang bakar (huma) atau transmigran adalah membuka hutan belantara lahan berpindah. yang telah ditetapkan petugas dari Djawatan Kondisi tanah yang menjanjikan Transmigrasi sebagai lahan pemukiman dan keberhasilan, dan memang terbukti demikian, pertanian. Pohon-pohon besar ditebang tidak serta merta membuat semua transmigran menggunakan gergaji tangan yang digerakan dua betah di lokasi baru ini. Ada beberapa anak orang, kemudian dibentuk sebagai bahan dasar transmigran yang memilih merantau ke kota bangunan rumah. Proses ini selain dilakukan Gorontalo dan beberapa daerah di Sulawesi, warga trans, juga oleh tenaga-tenaga yang disewa karena tidak tahan dengan hutan belantara yang Djawatan Transmigrasi. Setelah penebangan cukup jauh dari keramaian. Sutrisna adalah salah selesai, petugas Djawatan dan warga, kemudian satunya. Pada 1955 ia meninggalkan daerah melakukan pengukuran tanah yang akan transmigrasi, kemudian merantau ke Moutong dibagikan untuk masing-masing kepala keluarga. dan Parigi, Sulawesi Tengah. Di tempat yang Besarnya tanah yang diberikan adalah 0,25 baru itu, ia sempat bekerja beberapa tahun hektar untuk perumahan, 1 hektar untuk sebagai mandor di Yayasan Kopra (YK), persawahan dan 0,75 hektar untuk perladangan sebelum akhirnya tentara Permesta menguasai atau lahan cadangan. wilayah tersebut pada 1958 (Wawancara dengan Pada umumnya transmigran memilih Sutrisna, 5 Maret 2013). Demikian juga dengan menjadi petani sawah dan tanaman-tanaman Yatmiran, yang merantau ke Kota Gorontalo yang cepat berbuah (menghasilkan). Hal ini demi mendapatkan pekerjaan berupah. Ia berbeda dengan warga lokal Gorontalo di desa- berpandangan bahwa hidup di daerah desa sekitarnya yang membudidayakan tanaman transmigrasi yang dikelilingi hutan belantara kelapa dan hanya menanam sedikit bahan tidak menjanjikan apa pun. Terlebih untuk makanan (padi dan jagung) di lahan-lahan mendapatkan uang. Selama berada di Kota mereka. Selain itu, pola pertanian yang Gorontalo, ia sempat bekerja serabutan sebelum diterapkan juga berbeda. Warga transmigran akhirnya menjadi karyawan di Djawatan mengolah tanah persawahan dan perladangan Kehutanan Gorontalo. Ia hanya beberapa tahun tetap sepanjang tahun, sementara warga lokal bekerja di tempat ini, karena pada 1958 terpaksa harus pulang ke lokasi transmigrasi, disebabkan

101 Helman Manay (Proyek Transmigrasi dalam Bayang-Bayang Disintegrasi) munculnya desas desus yang menyatakan bahwa berasal dari warga lokal. Semua adalah anak-anak orang-orang Jawa akan ditangkap dan dibunuh transmigran. Bagi anak-anak yang ingin oleh tentara Permesta (Wawancara dengan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, Sartim, 20 Maret 2013). mereka harus ke Kota Gorontalo di bagian timur Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa yang jaraknya sekitar 65 km atau ke daerah pada awal kedatangan di lokasi penempatan, Tilamuta di sebelah barat pemukiman para transmigran hidup dalam kondisi yang transmigran yang berjarak sekitar 45 km cukup sulit. Banyak transmigran merasa kecewa (Wawancara dengan Yatmiran, 6 Maret 2013). karena menjumpai kenyataan tidak sesuai Di daerah baru, para transmigran datang harapan dan janji pemerintah. Daerah membawa serta tradisi dan budaya daerah penempatan adalah hutan belantara yang belum mereka masing-masing. Secara eksternal, terbuka baik untuk pemukiman maupun hubungan antara para transmigran dengan pertanian. Meskipun demikian, tidak ada pilihan masyarakat lokal di masa-masa awal penempatan lain bagi mereka, dan bertahan adalah jalan satu- di Gorontalo tidak berjalan dengan baik. Para satunya yang paling rasional. Keinginan kembali transmigran umumnya kesulitan berinteraksi ke tanah asal tentu sangat kuat. Namun dengan penduduk lokal, utamanya karena mewujudkan mimpi itu adalah hal mustahil, kendala perbedaan bahasa. Kebanyakan warga sebab untuk sampai ke daerah transmigrasi, lokal saat itu tidak bisa berbahasa Indonesia. mereka harus berhutang pada Pemerintah. “Mau Demikian juga dengan warga transmigran, apa lagi selain bertahan, walaupun banyak yang sehingga sikap saling curiga tidak terhidarkan. tidak sesuai janji”, demikian ungkapan salah Bahkan pernah menimbulkan konflik yang seorang transmigran (Wawancara dengan berujung pembunuhan terhadap seorang warga Sukup, 24 Juli 2013). Dengan kerja keras dan lokal oleh beberapa transmigran asal Jawa Barat kesungguhan, akhirnya pada 1960 semua lokasi (Wawancara dengan Marzuki, 6 Maret 2013). telah dibuka dan menjadi dua buah desa yakni Beruntung kejadian itu tidak mencuat menjadi Sidomulyo dan Sidodadi. konflik berkepanjangan seperti yang terjadi di Selain pengaturan lahan pemukiman, daerah lain pada dekade tersebut (Abdullah dan aspek pendidikan juga menjadi perhatian Abdurrachman, 2011:290-291). Pemerintah guna menampung anak-anak Seiring berjalannya waktu, kondisi transmigaran, baik yang sebelumnya telah tersebut dapat diatasi. Terdapat berbagai faktor bersekolah di daerah asal maupun yang belum. yang mendukung terjadinya pembauran dan Pendidikan dasar bagi anak-anak transmigran integrasi di antara para transmigran dan pada akhirnya diselenggarakan meski penduduk lokal, antara lain: pertama, kesamaan dihadapkan pada berbagai keterbatasan, beragama Islam. Kesamaan agama terutama di bidang sumber daya manusia (guru) memungkinkan terjadinya interaksi yang lebih dan infrastruktur (bangunan dan fasilitas baik, terutama pada hari-hari besar keagamaan; penunjang lainnya). Dengan memanfaatkan kedua, dibangunnya tempat-tempat umum barak yang telah kosong, pada 1955 Sekolah seperti pasar dan balai pengobatan yang Rakyat (SR) resmi dibuka untuk kelas I (satu) menjadikan intensitas interaksi antara hingga kelas V (lima) (Wawancara dengan transmigran dan penduduk lokal semakin tinggi; Marzuki, 3 Maret 2013). Kepala sekolah pertama ketiga, tidak adanya konflik agraria seperti di yang memimpin sekolah itu adalah Murad daerah lain, karena para transmigran dan Kakoe. Memperhatikan namanya, nampaknya penduduk lokal memiliki cara yang berbeda beliau adalah orang Gorontalo. Salah satu murid dalam memilih lahan, tanaman dan kelas 1 angkatan pertama adalah Darodji pembudidayaannya. Marzuki yang kala itu berusia 7 tahun. Ia Sementara itu secara internal, antar para mengenang bahwa saat itu tidak ada siswa yang transmigran Jawa berusaha mengembangkan

102 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1 No. 2, hlm. 93-106 budaya dan tradisi mereka di daerah tempat tersebut (Wawancara dengan Sukardi, 20 Maret tinggal yang baru. Di bidang kesenian dan 2013). kebudayaan, mereka secara mandiri membentuk sanggar-sanggar kesenian seperti sanggar BERTRANSMIGRASI DI TENGAH kesenian Wayang Wong, Wayang Kulit, Prabo ANCAMAN DISINTEGRASI Loro, Jenger, Ludruk, Reyog, Ketoprak, dan seni bela diri Pencak Silat.Hari-hari besar dalam Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa agama Islam juga dirayakan dengan tradisi pergolakan daerah yang dampaknya sangat seperti kelaziman di daerah asal transmigran dirasakan di Gorontalo adalah pemberontakan (Wawancara dengan Marzuki, 3 dan 6 Maret gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). 2013). Hal ini menjadi salah satu ciri khas Awalnya gerakan ini hanya bermaksud untuk transmigran dari Jawa yang selalu membawa menuntut keseimbangan pembangunan antara unsur-unsur budaya ke tanah perantauan. Dapat pusat dan daerah. Kondisi tersebut berubah dipastikan bahwa hampir semua wilayah yang setelah berbagai tuntutan yang disuarakan ditempati atau dijadikan pemukiman oleh Permesta tidak segera ditanggapi oleh kelompok masyarakat Jawa perantauan pasti Pemerintah Pusat. Pemberontakan oleh melestarikan tradisi-tradisi dari tanah asalnya. Permesta kemudian terjadi di berbagai daerah. Kenyataan ini tidak hanya terjadi pada Seperti di wilayah Gorontalo, khususnya pemukiman-pemukiman orang Jawa di Sidomulyo dan Sidodadi, kebijakan Permesta Indonesia, tetapi juga di luar negeri, seperti cukup memberatkan transmigran. Mereka Suriname yang pernah dijadikan penempatan diwajibkan menggali lubang-lubang, semacam ribuan kuli dari Jawa sejak pertengahan abad ke- mini bungker di sisi kiri-kanan jalan trans 19 (Suparlan, 1972: 189-190). Sulawesi–tidak jauh dari Sungai Paguyaman– Dalam bidang ekonomi, hasil panen yang yang direncanakan sebagai pos penyergapan mulai surplus 2-3 tahun setelah kedatangan, pasukan TNI. Selain itu, mereka juga memberi harapan perbaikan kehidupan warga mengerahkan anak-anak sekolah untuk transmigran di masa mendatang. Untuk menancapkan bambu runcing sebagai ranjau di memasarkan hasil-hasil tersebut mereka harus sekitar lokasi tersebut, untuk mengantisipasi berjalan sejauh lebih dari 3 km untuk mencapai tentara payung dari TNI yang akan mendarat pasar yang berada di desa Tangkobu di bagian (Wawancara dengan Marzuki, 6 Maret 2013). selatan. Hingga 1956 aktivitas tersebut masih Puncak dari semua itu adalah instruksi bagi rutin dilaksanakan, namun sejak dibukanya pasar semua transmigran untuk berjalan kaki sejauh 7 di wilayah pemukiman transmigran pada 1956, km dan berkumpul di lapangan pusat kecamatan maka aktivitas ekonomi mulai lancar. Lokasi Paguyaman. Transmigran di atas usia 7 tahun, pasar pertama berdekatan dengan balai kecuali yang telah pikun, wajib ikut dalam pengobatan, yakni di bagian selatan yang rombongan, termasuk orang-orang sakit yang berbatasan dengan desa penduduk lokal harus ditandu agar bisa ikut berkumpul Gorontalo (Sekretariat Desa Sidomulyo, 2012). (Wawancara dengan Sawiyem, 1 Maret 2013). Selain berfungsi ekonomi, pasar juga berperan Pengumpulan warga Sidodadi dan Sidomulyo di sebagai sarana peningkatan interaksi sosial warga sebuah tanah lapang, tidak lain adalah untuk transmigran dengan penduduk lokal, sehingga mempermudah eksekusi (pembantaian) massal hubungan menjadi semakin akrab. Banyak terhadap orang-orang Jawa di Gorontalo. pedagang dan warga Gorontalo yang melakukan Sebelum eksekusi dilaksanakan, Kapten aktivitas ekonomi di pasar ini. Bahkan dalam Sigar (seorang Permesta dari Minahasa) perkembangannya beberapa pedagang berpidato di depan khalayak, termasuk orang Gorontalo kemudian bermukim di sekitar pasar Gorontalo yang dikumpulkan terpisah dari orang Jawa. Hal utama yang disampaikan adalah

103 Helman Manay (Proyek Transmigrasi dalam Bayang-Bayang Disintegrasi) keburukan-keburukan Pemerintah Pusat, keberhasilan proses upaya mempererat termasuk Presiden Soekarno. Namun demikian, persatuan dan kesatuan bangsa (integrasi rencana kejam tersebut akhirnya tidak nasional), antara Jawa dan Luar Jawa melalui terlaksana, karena Kapten Sondakh yang program transmigrasi. ditunggu kehadiriannya tidak bisa datang. Transmigrasi di Gorontalo difokuskan Pasukan Rimba pro NKRI (Negara Kesatuan pada wilayah Paguyaman. Di tempat ini, antara Republik Indonesia), pimpinan Nani Wartabone 1953 sampai 1955 telah menerima para kemudian melakukan penyerangan. Para transmigran yang berasal dari sembilan transmigran akhirnya berhasil diselamatkan dan rombongan penduduk sipil dari daerah-daerah di dapat kembali lagi ke rumah masing-masing. Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta satu Pasca kejadian itu, Nani Wartabone yang berasal rombongan transmigran mantan pejuang dari dari etnis Gorontalo dianggap sebagai Jawa Barat. Proses adaptasi atara masyarakat penyelemat warga transmigran. Sejak saat itu, transmigran atau pendatang dengan penduduk ikatan persaudaraan antara orang Jawa dan asli berlangsung dengan lancar dan damai. Gorontalo terjalin semakin baik dalam bingkai Terdapat empat media yang dapat disimpulkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mampu mendukung proses pembauran dan (Wawancara dengan Wijoyo, 1 Maret 2013). integrasi tersebut. Pertama, kesamaan identitas Peristiwa kegagalan rencana pembantaian agama (Islam) sehingga memungkinkan terjadi transmigran disadari atau tidak, telah menjadi interaksi di hari-hari besar keagamaan. Kedua, salah satu simpul yang menguatan integrasi pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, nasional, terutama antara warga lokal Gorontalo seperti pasar dan balai pengobatan yang menjadi dan pendatang dari Jawa. Hal ini cukup penting, media interaksi antara transmigran dan mengingat pada awal kedatangan, para penduduk lokal semakin tinggi. Ketiga, tidak transmigran mengalami masalah dalam adanya konflik agraria seperti yang berlangsung berinteraksi dengan warga lokal. Pembebasan di tempat lain. Terakhir, kejadian penyelamatan para transmigran oleh Pasukan Rimba pimpinan warga transmigran oleh Pasukan Rimba Nani Wartabone dari percobaan pembantaian pimpinan Nani Wartabone dari percobaan yang diprakarsai Permesta, menjadi perekat pembataian yang diprakarsai Permesta, semakin hubungan antara penduduk lokal (etnis menjadi perekat hubungan antara warga lokal Gorontalo) dan pendatang (etnis Jawa dan (etnis Gorontalo) dan pendatang (etnis Jawa Sunda). dan Sunda).

SIMPULAN CATATAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa 1Surat tersebut ditulis pada tanggal 10 Desember program transmigrasi yang diselenggarakan oleh 1951. Jelasnya lihat Inventaris Arsip Kesekretariatan Pemerintah Indonesia dalam kurun waktu 1950- Negara, Kabinet Perdana Menteri tahun 1950-1959, 1960 merupakan salah satu jalan untuk ANRI, No. 3461. 2 mengatasi berbagai permasalahan sosial Kepala Kesehatan Transmigrasi yang mengunjungi objek Transmigrasi CTN di Kalimantan Barat, sejak ekonomi dan politik keamanan nasional yang tanggal 22 September sampai dengan 02 Oktober sedang dihadapi saat itu. Meskipun secara umum 1953 menyebutkan bahwa dari 9 lokasi penempatan hasilnya tidak sesuai dengan yang telah transmigran, 3 lokasi (Tayan, Rawah dan Pakauman) direncanakan, namun transmigrasi di Gorontalo telah ditinggalkan. Sementara 7 lokasi lainnya dalam khususnya, relatif berjalan sesuai dengan yang kondisi memprihatinkan. Pada umumnya mereka diharapkan. Dalam kasus penempatan orang memilih kembali ke Jawa atau pindah ke wilaya lain Jawa di Gorontalo oleh Pemerintah, pada karena tanah di lokasi penempatan tidak cocok untuk kenyataannya telah menjadi salah satu bukti pertanian, penyakit endemik malaria yang terus

104 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1 No. 2, hlm. 93-106 mengancam, peralatan pertanian belum di bagikan 5Secara umum terdapat 15 jenis bantuan yang sepenuhnya dan tunjangan hidup dari pemerintah diberikan pemerintah kepada transmigran saat itu, yang sering terlamabat dibagikan. Berdasarkan baik yang bersifat pinjaman maupun pemberian. kondisi tersebut, sulit dilakukan pemindahan Bantuan tersebut berupa pakaian, alat tidur, alat penduduk bersar-besaran sebab minat untuk makan, alat dapur, transportasi, perumahan, lahan, bertaranmigrasi semakin kecil, karena gambaran yang tunjangan makan selama 6 bulan, alat-alat pertanian ada dalam benak calon transmigran adalah dan pertukangan, serta perawatan kesehatan. Dari 15 kemelaratan dan penderitanan bukan kesejahteraan item itu, bagi transmigran BRN hanya 4 jenis yang sebagaimana seharusnya (ANRI, Inventaris Arsip bersifat pinjaman. Sementara, bagi transmigran Kesekretariatan Negara No. 3459). umum hanya 6 jenis bantuan yang sifatnya 3Pada lembaran terakhir suratnya, Lasahido pemberian, sisanya adalah hutang yang harus menegaskan bahwa jika pemerintah tidak dikembalikan. Perbedaan ini karena penghargaan memperhatikan kemandirian pangan di wilayah- pemerintah terhadap jasa transmigran BRN semasa wilayah tersebut maka akan sangat berbahaya. perjuangan. (ANRI, Inventaris Arsip Kesekretariatan Menurutnya jika Selat Makassar, Flores, dan Banda Negara, No. 3463). ditutup oleh pihak lain maka saat itu momen terbaik menaklukan daerah-daerah yang kebutuhan REFERENSI pangannya disuplai melalui jalur tersebut. Dengan demikian maka suatu daerah dan masyarakatnya Abdullah, Taufik dan Abdurrahcman, Sukri (ed.) tidak perlu ditaklukan melalui kekuatan senjata, (2011). Indonesia Accros Orders: Arus tetetapihanya dengan beras dan gandum. Oleh sebab Bawah Sejarah Bangsa, 1930-1960. itu, soal makanan rakyat di sana, wajib bagi pemerintah untuk memberi perhatian lebih mulai Jakarta: LIPI Press. sekarang (ANRI, Inventaris Arsip Kesekretariatan Arsip Nasional Republik Indonesia, “Peraturan Negara No. 3461). Perundang-undangan dirinci menurut 4Terdapat 8 alasan pokok yang dituliskan. Pertama, Keputusan Presiden periode tahun 1950 tanah yang subur di Paguyaman sekitar 200.000 No. 1728 dan1835”. hektar, sebagian besar datar dan sangat cocok untuk Arsip Nasional Republik Indonesia, lahan persawahan. Hamparan tanah yang luas “Transmigrasi dan Pembangunan tersebut hanya sedikit sekali yang sudah berpeghuni; Masyarakat Desa, Inventaris Arsip Kedua, di lokasi tersebut banyak pohon besar yang Kesekretariatan Negara Kabinet Perdana dapat ditebang dan dikirim ke Pulau Jawa yang Menteri tahun 1950-1959, No. 3456, kekurangan kayu untuk bahan bangunan; Ketiga, 3459, 3460, 3461, 3463, 3464, 3469, 3470, terdapat sungai besar (Sungai Paguyaman) yang airnya dapat dialirkan ke lahan-lahan transmigran 3471, 3473, 3474, 3477, 3492”. untuk penananman padi sawah; Keempat, banyak Djawatan Transmigrasi (1951). Transmigrasi terdapat emas yang terbawah oleh sungai tersebut 1951-1955. Djakarta: Djawatan sehingga dapat dimanfaatkan oleh transmigran untuk Transmigrasi. menambah penghasilan; Kelima, hasil-hasil Gottschalk, Louis (1983). Mengerti Sejarah. perkebunan dan pertanian dapat dengan mudah terjemahan Nugroho Notosusanto. diangkut ke pelabuahan Paguyaman yang disinggahi Jakarta: Universitas Indonesia. oleh KPM dan kapal motor lainnya; Keenam, lokasi Hauser and Duncon (1958). The Study of tersebut tidak jauh dari laut, sehingga tidak sulit Population. Chicago and London: The mendapatkan ikan untuk kebutuhan sehari-hari; University of Chicago Prees. Ketujuh, di muara Sungai Paguyaman, setiap bulan Kementerian Penerangan RI (1953). Republik purnama muncul ikan-ikan kecil yang disebut Nike oleh penduduk lokal; Kedelapan, terdapat banyak Indonesia Propinsi Sulawesi. Makassar: hasil hutan yang nantinya dapat dimanfaatkan Kementerian Penerangan. transmigran sebagai sumber penghasilan tambahan, Oey, Mayling dan Astika Ketut Sudhana (1982). seperti rotan dan damar (ANRI, Inventaris Arsip “Target-Target Transmigrasi dan Kesekretariatan Negara No. 3461). Realisasinya” dalam Hardjono, Joan (ed.),

105 Helman Manay (Proyek Transmigrasi dalam Bayang-Bayang Disintegrasi)

Transmigrasi; dari Kolonisasi sampai Swakarsa. Jakarta PT. Gramedia. Storey, William Kelleher (2011). Menulis Sejarah: Panduan untuk Mahasiswa. terjemahan Abdillah Halim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suparlan, Parsudi (1972). The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society. Illionis: University of Illionis. Vickers, Adrian (2011). Sejarah Indonesia Modern. terjemahan Arif Maftuhin. Yogyakarta: Insan Madani. “Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Sidodadi Tahun 2011-2015”.

106