KONFLIK AGRARIA DAN PE LE PASAN TANAH ULAYAT (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT SUKU ME LAYU DI KE SATUAN PE MANGKUAN HUTAN DHARMASRAYA, SUMATE RA BARAT) (Agrarian Conflict and Communal Land Release: A Case Study of Melayu Tribe in Forest Management Unit Dharmasraya, West )

Abdul Mutolib122 , Yonariza , Mahdi , Hanung Ismono 3 1Program Studi Ilmu-Ilmu Pertanian, Pascasarjana Universitas Andalas Jl. Limau Manis, Kecamatan Pauh, , Sumatera Barat 25163, e-mail: amutolib24@ yahoo.com 2Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas Jl. Limau Manis, Kecamatan Pauh, Padang, Sumatera Barat 25163, Indonesia 3Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145, Indonesia Diterima 6 Mei 2015, direvisi 28 Oktober 2015, disetujui 2 November 2015

ABSTRACT The conflict of forest management in Indonesia is increasing. Forest management conflicts often caused by legal pluralism between government and society. This study aims to describe the land conflicts between Melayu tribe community with government and communal land release process in Melayu tribe in Dharmasraya Production Forest Management Unit ( PF MU). Research method was using descriptive qualitative. The study was conducted in P FMU in Nagari Bonjol, Koto Besar Dharmasraya Regency. The r esults showed that 1) Agrarian conflict in P FMU Dharmasraya between community and the government occured due to the recognition of legal pluralism in the forest, and 2) Communal land release occured through the process of buying and selling which are controlled by Datuak customary authorities. E vidence of trading activities are controlled by the issuance of "alas hak " as a sign that the communal land has been sold. The increase of trading activities of communal land were due to low prices of communal land and the high public interest to plant in communal land owned by Melayu tribe. Some strateg iesarerequired to maintain the function of forests in PF MU that has been acquired by local community without neglecting local communities who depend on forests . Keywords: Agrarian conflicts, legal pluralism, alas hak , communal land, PF MU

ABSTRAK Konflik pengelolaan hutan di Indonesia semakin meningkat jumlahnya. Konflik pengelolaan hutan seringkali disebabkan karena adanya pluralisme hukum antara pemerintah dan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan konflik lahan yang terjadi antara masyarakat adat Suku Melayu dengan pemerintah dan proses terjadinya pelepasan tanah ulayat Suku Melayu di Kesatuan Pemangku Hutan Produksi (KPHP) Model Dharmasraya. Desain penelitiannya adalah deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian di KPHP yang berada di Nagari Bonjol, Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Konflik agraria yang terjadi di KPHP antara masyarakat adat dengan pemerintah dikarenakan adanya legal pluralism dalam pengakuan hutan, dan 2) Proses pelepasan tanah ulayat terjadi melalui transaksi jual beli yang dikendalikan oleh Datuak penguasa ulayat. Bukti kegiatan jual beli adalah dikeluarkannya “alas hak ” sebagai bukti bahwa tanah ulayat telah dijual. Maraknya kegiatan jual beli tanah ulayat disebabkan harga tanah ulayat yang rendah dan tingginya minat masyarakat berkebun di tanah ulayat Suku Melayu. Diperlukan strategi yang tepat untuk mempertahankan fungsi kawasan hutan di wilayah KPHP tanpa mengabaikan keberadaan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari hutan.

Kata kunci: Konflik agraria, pluralisme hukum, alas hak , tanah ulayat, KPHP

213 Konflik Agraria d an Pelepasan Tanah Ulayat ..... ( Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono) I. PENDAHULUAN al., 2015 ) . Dalam hal ini, negara tidak mengakui keberadaan hukum adat sehingga keberadaan Di era reformasi konflik agraria di Indonesia hukum adat dalam posisi yang lemah (Griffiths, semakin meningkat jumlahnya (Astuti, 2011). 1986). Menurut Badan Pertanahan Nasional, pada tahun Konflik agraria di KPHP terjadi sejak awal 2011 telah terdaftar sekitar 3.500 konflik lahan yang tahun 2000. Konflik terjadi di areal hutan seluas didominasi sengketa masyarakat dengan perusahaan 33.550 ha bekas HPH Ragusa yang dijadikan HTI kelapa sawit (Colchester dan Chao, 2011). Secara milik PT. Inhutani dan PT. Dhara Silva (PT. DS ) umum konflik agraria di Indonesia terjadi antara (Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya, masyarakat dengan perusahaan pemegang izin lahan 2014). Konflik yang terjadi merupakan konflik (Astuti, 2011). Konflik agraria terjadi karena perebutan lahan perusahaan oleh masyarakat terjadinya tumpang tindih penggunaan lahan antara (Mutolib et al ., 2015). Hingga saat ini, lahan masyarakat dan pemerintah/perusahaan (Mantiri, Inhutani dan DS yang kini menjadi KPHP sebagian 2007). besar telah dikuasai oleh masyarakat lokal dan Di beberapa lokasi, tumpang tindih penguasaan diubah menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit tanah di Indonesia terjadi karena adanya legal (Yonariza, 2015). Setelah berhasil merebut hutan, pluralism (Larson, 2012 ). L egal pruralism merupakan terjadi transaksi tanah di areal konflik yakni situasi di mana dua atau lebih sistem hukum kegiatan pelepasan atau jual beli tanah ulayat ke berinteraksi dalam satu kehidupan sosial masyarakat luar Suku Melayu (Mutolib et al ., 2015). (Hooker,1975). Karena adanya dua hukum yang Pelepasan tanah ulayat Suku Melayu terjadi dalam berbeda masyarakat dan pemerintah terjadi saling skala masif dan terus menerus (Mutolib et al .,2015 ) . klaim hak atas tanah/hutan. Masing-masing pihak Akibat kegiatan jual beli tanah tanah ulayat, hanya mengakui keberadaan satu hukum demi masyarakat Suku Melayu terancam kehilangan kepentingannya (von Benda-Beckmann, 1981) . tanah ulayatnya. Di Indonesia hukum negara dianggap memiliki Berdasarkan uraian tersebut dan latar belakang posisi yang lebih tinggi dalam pengelolaan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, sumberdaya alam dibandingkan hukum adat maka pokok masalah dalam penelitian ini adalah (Larson, 2012). Seringkali negara mengambil konflik agraria dan pelepasan tanah ulayat yang kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya dituangkan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian, alam tanpa melibatkan masyarakat lokal yang sebagai berikut: menggantungkan hidup pada sumber daya alam 1. Bagaimana asal mula konflik lahan yang terjadi tersebut. Pada saat ini terjadi 'dualisme yang mandul ' antara masyarakat lokal dan negara/pemegang (Onibon et al ., 1999) yaitu negara memberlakukan izin di areal KPHP Model Dharmasraya? peraturan perundang-undangan yang dipastikan 2. Bagaimana proses pelepasan tanah ulayat Suku tidak dapat dijalankan dan tidak selaras dengan Melayu di areal KPHP Model Dharmasraya? penerapan lokal, akibatnya aturan tersebut pasti Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk diabaikan namun tindakan penduduk setempat memberikan deskripsi tentang konflik lahan yang dipidanakan (Benjamin, 2008). terjadi antara masyarakat adat Suku Melayu dengan Kasus tumpang tindih kepemilikan hutan akibat pemerintah/pemegang izin, serta proses pelepasan pluralisme hukum terjadi di Kesatuan Pengelolaan tanah ulayat Suku Melayu kepada masyarakat non Hutan Produksi (KPHP) Model Dharmasraya Suku Melayu atau masyarakat luar Kabupaten Provinsi Sumatera Barat. Secara hukum negara, Dharmasraya. Hasil penelitian ini diharapkan wilayah tersebut merupakan Hutan Tanaman menjadi bahan pertimbangan bagi pengelola untuk Industri (HTI) yang izinnya diberikan kepada pihak meningkatkan intensitas pengelolaan dan ketiga. Tetapi secara hukum adat tanah tersebut monitoring di KPHP untuk memcegah merupakan tanah ulayat Suku Melayu yang telah pembukaan hutan secara terus-menerus yang pada ditempati sejak ratusan tahun. Akibatnya terjadilah akhirnya menyebabkan deforestasi dan alih fungsi konflik agraria dikawasan KPHP antara masyarakat hutan. dan negara/perusahaan pemegang izin (Mutolib et

214 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225 II. METODE PENELITIAN (key instrument ) yang terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengumpulan data secara A. Lokasi dan Waktu Penelitian mendalam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1992) bahwa: “Qualitative research has the Penelitian dilaksanakan di Nagari Bonjol natural setting as the source of data and researcher is key Kecamatan Koto Besar Kabupaten Dharmasraya. instrument”. Lokasi dipilih secara sengaja, karena secara hukum adat, areal KPHP Dharmasraya merupakan tanah C. Rancangan Penelitian dan Analisis Data ulayat Suku Melayu Nagari Bonjol yang telah ditempati sejak ratusan tahun yang lalu. Lama Penelitian ini menggunakan pendekatan waktu penelitian selama dua bulan, mulai bulan kualitatif. Strauss dan Corbin (2013) mendefinisi- Februari hingga Maret 2015. kan penelitian kualitatif sebagai metode penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui B. Pengumpulan Data dan Pengambilan prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Samp le Afrizal (2015) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang sumber Metode penelitian menggunakan metode studi datanya berupa kata-kata dan perbuatan manusia kasus dengan berbagai teknik pengumpulan data atau kelompok yang menggunakan metode seperti observasi, penelusuran sejarah, wawancara observasi, wawancara mendalam dan pengumpul- key informant, dan dilengkapi dengan survei rumah an dokumen. Penelitian kualitatif bertujuan untuk tangga (Faisal, 1990). membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara Survei rumah tangga dilakukan untuk menge- sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta- tahui karakteristik masyarakat, penguasaan lahan, fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena persepsi terhadap legal pluralism , dan pengelolaan yang diamati (Moleong, 1996). hutan oleh pemerintah/pemegang izin. Sampel Analisis data menggunakan analisis kualitatif rumah tangga sebanyak 41 dari 512 rumah tangga (Bungin, 2010). Secara operasional analisis data petani menggunakan rumus Slovin (1988) dalam penelitian kualitatif adalah proses menyusun data Djari (2009). Pengambilan sampel rumah tangga (menggolongkannya dalam tema atau kategori) menggunakan metode sampling accidential (Sugiyono, agar dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan. 2013). Metode sampling accidential sengaja dipilih Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan karena sulitnya menemui masyarakat, masyarakat sejak sebelum memasuki lapangan, selama di hanya berada di rumah antara sore hingga malam, lapangan dan setelah selesai di lapangan (Sugiyono, sisanya dihabiskan di kebun. Bahkan beberapa 2013; Afrizal, 2015). Pada prinsipnya analisis ini petani bermalam dikebun hingga berminggu- dilakukan setiap saat selama penelitian ber- minggu lamanya. langsung. Kegiatan pengumpulan dan analisis data Key informant melibatkan 17 orang terdiri dari dalam penelitian ini tidak terpisah satu sama lain. tokoh adat (Ninik mamak dan Datuak penguasa Keduanya berlangsung secara simultan dan ulayat), perangkat nagari, ketua lembaga prosesnya berbentuk siklus (Creswell, 1994). Oleh masyarakat, pemegang izin hutan, dan perwakilan karena itu, penelitian ini menggunakan analisis data dinas terkait. Penentuan key informant menggunakan model interaktif melalui tiga alur kegiatan, yaitu: 1) metode snowball sampling (Sugiyono, 2013). reduksi data, 2) display data, dan 3) penarikan Pengumpulan data dilakukan dengan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, mengutamakan pandangan informan dan peneliti 1992), seperti pada Gambar 1. sendiri memerankan diri sebagai instrumen utama

215 Konflik Agraria d an Pelepasan Tanah Ulayat ..... ( Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono) Pengumpulan Penyajian data data

Reduksi

Penarikan kesimpulan dan

Sumber (Source) : Miles dan Huberman (1992) Gambar 1. Analisis data dan model interaktif. Figure 1. Data analysis and interactive model.

III. HASIL DAN PE MBAHASAN kelapa sawit, dan sebagian wilayahnya berada di KPHP. A. Gambaran Umum Lokasi penelitian Nagari Bonjol merupakan Nagari yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dalam kehidupan Lokasi penelitian berada di KPHP Dharmasraya bermasyarakat. Hampir semua aktivitas yang berada di Kabupaten Dhamasraya Provinsi masyarakat diatur oleh adat. Untuk mengatur Sumatera Barat. KPHP memiliki luas wilayah kehidupan masyarakat maka dibentuklah “Ninik sekitar 33.550 ha (Dinas Kehutanan Kabupaten Mamak” di Nagari Bonjol. Ninik Mamak/Datuk Dharmasraya, 2014). Secara hukum adat wilayah adalah seorang pemimpin informal/pemuka adat KPHP berada di tanah ulayat Suku Melayu Nagari di Minangkabau yang memilikiperanan yang cukup Bonjol. besar di bidang ekonomi, pendidikan dan sosial Nagari Bonjol secara administrasi masuk ke- budaya, baik dilingkungan persukuannya selaku dalam wilayah Kecamatan Koto Besar, Kabupaten kepala suku maupun dilingkungan nagarinya yang Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat. Nagari diwadahi didalam lembaga KerapatanAdat Nagari Bonjol merupakan nagari terluas di Kecamatan (KAN) (Indrawardi, 2008). Koto Besar dibandingkan enam Nagari lainnya. Di Nagari Bonjol terdiri dari lima suku. Suku- Luas Nagari Bonjol adalah 268,83 km² atau 55,07% 2 suku di Nagari Bonjol dipimpin oleh seorang dari total luas Kecamatan Koto besar 488,19 km Datuak yang merangkap juga sebagai Ninik (Badan Pusat Statistik Dharmasraya, 2014). Mamak yang di Nagari Bonjol. Daftar nama Sebagian besar masyarakat Bonjol bekerja sebagai Datuak masing-masing suku di Nagari Bonjol petani dengan komoditas utama tanaman karet dan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nama Datuak perwakilan suku di Nagari Bonjol Table 1. Datuak tribal representatives in Nagari Bonjol No Nama Gelar/Datuak Nama Suku (Tribe Name ) (Datuak name) 1 Piliang Datuak Panghulu Kayo 2 Patopang Datuak Sangkutan 3 Melayu Datuak Panduko Sutan 4 Chaniago Datuak Panghulu Rajo 5 Talao Datuak Bandaro Putiah Sumber (Source) : Profil Nagari Bonjol 2014 ( Nagari Bonjol Profile 2014)

216 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225 Meskipun hanya sebuah Nagari/Desa, izin Inhutani dan DS(Dinas Kehutanan masyarakat Bonjol secara adat memiliki tanah ulayat Kabupaten Dharmasraya, 2014). yang sangat luas. Tanah ulayat adalah tanah yang Ditilik dari sejarahnya, kawasan KPHP telah secara hak de facto merupakan pola interaksi yang mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun ditetapkan di luar lingkup hukum formal. Ini 1972 kawasan hutan ini adalah sebuah Hak mencakup hak ulayat , seperangkat aturan dan Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada peraturan masyarakat yang diwarisi dari nenek PT. Ragusa seluas ± 66.000 ha. Setelah berakhirnya moyang dan diterima, ditafsirkan ulang, dan HPH pada tahun 2002, sebagian area HPH ditegakkan oleh masyarakat, dan yang mungkin menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi dan diakui atau tidak oleh negara (Larson, 2012). Tanah telah diberikan HGUnya kepada tiga perusahaan ulayat di Nagari Bonjol mayoritas dimiliki oleh Suku perkebunan kelapa sawit, yakni PT. Incasi Raya, PT. Melayu. Suku lainnya memiliki tanah ulayat tetapi SMP dan PT. AWB dengan luas 32.450 ha. Sisa jumlahnya sedikit. HPH PT. Ragusa seluas 33.550 ha kemudian Tanah ulayat yang dikuasai Suku Melayu Bonjol diberikan kepada tiga pemegang izin tidak diketahui secara pasti luasnya. Hasil pemanfaaatan, yakni PT. Inhutani, Dara Silva, dan wawancara mendalam memperoleh informasi Bukit Raya Mudisa (BRM) sebagai Hutan Tanaman bahwa tanah ulayat yang diklaim Suku Melayu Industri. Pada tahun 2013 HTI yang dikuasai DS, meliputi seluruh areal KPHP seluas 33.550 ha. Inhutani, dan BRM ditetapkan sebagai KPHP Dulunya tanah ulayat Suku Melayu meliputi seluruh Model Dharmasraya (Dinas Kehutanan eks HPH Ragusa seluas 66.000 ha yang saat ini telah Kabupaten Dharmasraya, 2014). menjadi KPHP (Inhutani dan DS) ditambah Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sumatera Makmur 2. Pluralisme Hukum Kepemilikan Hutan Platation ( SMP ) , PT. Andalas Wahana Berjaya Pluralisme hukum atau legal prularalism merupa - (AWB ) , dan PT. Incasi Raya. kan situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, B. Konflik Masyarakat Adat dengan Penguasa 1975). Berlakunya dua hukum atau lebih disuatu Lahan wilayah seringkali menimbulkan konflik. Konflik 1. Sejarah KPHP Model Dharmasraya yang terjadi karena masing-masing pihak berusaha mencari pembenaran dari hukum yang diakui demi Unit VIII KPHP Model Dhamasraya berada kepentingannya. pada wilayah Kabupaten Dhamasraya Provinsi Pluralisme hukum juga terjadi di wilayah KPHP Sumatera Barat.Secara geografis KPHP terletak 0 0 Model Dharmasraya. Meskipun secara hukum pada koordinat 01 03'30” LS-01 22'00”LS dan 0 0 negara wilayah KPHP merupakan tanah yang 101 24'30” BT-101 38'00”BT. Secara administrasi dikuasai oleh negara, tetapi tidak berarti KPHP terletak pada dua kecamatan, yaitu masyarakat lokal mengakui keberadaan hukum Kecamatan Pulau Punjung dan Kecamatan Koto negara tentang pengaturan KPHP. L egal pluralism Besar. Luas KPHP Dharmasraya adalah 33.550 ha kepemilikan hutan karena perbedaan penggunaaan terdiri dari Hutan Produksi Tetap dan Hutan hukum kepemilikan hutan. Pemerintah meng - Produksi Terbatas (Dinas Kehutanan Kabupaten gunakan hukum negara dengan menetapkan Dharmasraya, 2014). KPHP sebagai hutan negara, tetapi masyarakat Wilayah Unit VIII KPHP Model Dhamasraya menggunakan hukum adat yang diturunkan secara pembentukannya berdasarkan usul Bupati turun-temurun dengan batas alam seperti gunung, Dhamasraya sesuai surat Nomor. 130/684/BPT/ sungai bukit dan lainnya (Kadir et al ., 2013). VIII-2013 tanggal 2 Agustus 2013 dan ditetapkan Perbedaan penggunaaan hukum antara masyarakat berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan dengan pemerintah yang kemudian menyebabkan Republik Indonesia No. SK.695/Menhut-II/2013 konflik kehutanan. tanggal 21 Oktober 2013 tentang KPHP Model Masyarakat adat Suku Melayu di Nagari Bonjol Dhamasraya (Unit VIII) yang terletak di Kecamatan hanya mengakui keberadaan hukum adat dalam Koto Besar, Kabupaten Dhamasraya, Provinsi penguasaan hutan, dan tidak mengakui keberadaan Sumatera Barat dengan luas 33.550 Ha. Secara hukum negara dalam pengaturan KPHP, sehingga wilayah KPHP Model Dhamasraya terletak dibekas masyarakat berhak mengambil dan menguasai

217 Konflik Agraria d an Pelepasan Tanah Ulayat ..... ( Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono) hutan. Masyarakat adat bahkan menganggap negara dan Inhutani yang harusnya dijadikan hutan tidak lebih berhak terhadap hutan, karena sekunder. Alasan masyarakat mengambil alih hutan masyarakat adat telah tinggal di sekitar hutan sejak adalah karena kedua perusahaan ini masuk belum berdirinya negara ini, sehingga ketika negara mengambil alih lahan tanpa persetujuan penguasa mengambil hutan/tanah ulayat hal tersebut ulayat dan Ninik Mamak Suku Melayu, sehingga menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat secara adat kedua perusahaan tersebut tidak adat di Nagari Bonjol. mempunyai hak untuk menguasai tanah. Berbeda Adanya legal pluralism pengakuan hutan di areal dengan DS dan Inhutani, ketiga perusahaan HGU KPHP antara negara dan masyarakat adat kelapa sawit (PT. SMP, AWB dan Incasi Raya) telah merupakan pemicu konflik agraria yang terjadi meminta izin kepada penguasa ulayat dan Ninik diwilayah ini, dan saat ini ketegangan antara Mamak untuk mengelola tanah ulayat sehingga masyarakat lokal dan negara masih terus terjadi masyarakat tidak merebutnya. dalam upaya mempertahankan penguasaan atas Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa tanah. Hingga saat ini, sebagian besar areal KPHP syarat memperoleh izin mengambil hutan adalah telah dikuasai oleh masyarakat lokal dan diubah melalui perjanjian antara perusahaan dengan pihak menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit. adat dengan pemberian sejumlah uang dari pihak perusahaan kepada pihak adat. Sayangnya, tidak 3. Perebutan Lahan oleh Masyarakat semua masyarakat memperoleh keuntungan dari Sejak ratusan tahun lalu, bekas HPH PT. Ragusa proses ini. Hanya orang tertentu yang memperoleh yang luasnya sekitar 66.000 ha secara adat keuntungan dari proses pemberian izin, terutama merupakan tanah ulayat Suku Melayu di Nagari yang memiliki kedekatan dengan penguasa adat. Bonjol. Akan tetapi masyarakat belum mengelola Alasan lain terjadinya perebutan hutan oleh tanah ulayat ini karena jumlah penduduk yang masih masyarakat adalah terjadi kekosongan pengelolaan sedikit dan kebutuhan tanah yang belum mendesak. hutan oleh DS dan Inhutani sehingga masyarakat Bahkan ketika PT. Ragusa masuk dan menguasai masuk dan mengambil alih hutan. Beberapa kasus tanah Ulayat di Tahun 1972 belum ada perlawanan konflik kehutanan di Indonesia terjadi akibat berarti dari masyarakat untuk merebut tanah ulayat kekosongan pengelolaan hutan oleh pemegang izin yang dikuasai PT. Ragusa. (Harun dan Dwiprabowo, 2014). Perebutan lahan oleh masyarakat adat terjadi Proses pengambil alihan lahan perusahaan oleh sekitar awal tahun 2000an, ketika izin HPH PT. masyarakat diawali dengan penebangan pohon Ragusa telah habis dan diberikan kepada beberapa jabon (Anthocephalus cadamba) milik DS dan meranti perusahaan perkebunan kelapa sawit (AWB, SMP, (Shorea leprosula) milik Inhutani. Setelah dan Incasi Raya) dan perusahaan HTI (DS dan penebangan jabon (Anthocephalus cadamba) dan Inhutani), barulah masyarakat melakukan meranti (Shorea leprosula) , kemudian masyarakat perlawanan untuk merebut tanah ulayat. Perebutan membuka hutan dan menanaminya dengan tanah ulayat oleh masyarakat terjadi karena jumlah tanaman karet dan kelapa sawit. Setelah penduduk masyarakat Bonjol yang semakin masyarakat menanami lahan dengan karet dan meningkat dan kebutuhan masyarakat terhadap kelapa sawit, berarti lahan tersebut telah menjadi lahan yang semakin tinggi, oleh karena itulah milik masyarakat dan apabila perusahaan ingin masyarakat beramai-ramai mengambil lahan ulayat mengambil lahan yang telah ditanami masyarakat, yang dikuasai perusahaan. Menurut Hakim dan pihak perusahaan harus membayar sejumlah uang Sylviani (2014) hutan sebagai sumber pekerjaan dan kepada masyarakat sebagai syarat mengambil pendapatan menjadi salah satu penyebab konflik di lahan. Apabila perusahaan tidak bersedia areal hutan. membayar berarti perusahaan harus merelakan Dibeberapa wilayah konflik seringkali terjadi tanah tersebut menjadi hak milik masyarakat. karena masyarakat bermukim dihutan yang statusnya belum di enclave (Harun dan Dwiprabowo, 4. Alih Fungsi Hutan menjadi Perkebunan 2014), tetapi di KPHP Dharmasraya berbeda, yang Hutan produksi di KPHP seluas 33.500 ha terjadi masyarakat mengambil dan merebut hutan secara bertahap telah menjadi perkebunan kelapa yang dikuasai pemegang izin. Tanah yang diambil sawit dan karet. Perubahan hutan menjadi kebun merupakan hutan negara yang izinnya dikuasai DS kelapa sawit dan karet terjadi sejak tahun awal

218 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225 Sumber (Source ) : Yonariza (2015)

Gambar 2. Tutupan hutan di KPHP Dharmasraya tahun 2013. Figure 2. Forest cover in FMU Dharmasraya in 2013. tahun 2000 ketika masyarakat berhasil menduduki C. Pelepasan Tanah Ulayat hutan DS dan Inhutani. Setelah menguasai hutan, Keberhasilan masyarakat lokal merebut hutan masyarakat langsung menebang dan menanaminya dari perusahaan telah menyebabkan terjadinya alih dengan tanaman perkebunan. Perubahan hutan fungsi hutan di areal KPHP. Akan tetapi ke - menjadi perkebunan juga dipengaruhi oleh berhasilan masyarakat lokal merebut hutan tidak banyaknya pihak luar Nagari Bonjol yang membeli menjamin seluruh masyarakat Bonjol dapat tanah ulayat kemudian menanaminya dengan menikmati tanah ulayat, yang terjadi kemudian kelapa sawit dan karet sebagai bentuk investasi. adalah adanya penjualan tanah ulayat kepada Tutupan hutan sekunder di areal KPHP Model masyarakat luar Nagari Bonjol dengan skala yang Dharmasraya pada tahun 2014 ditampilkan pada besar. Kegiatan jual beli tanah ulayat terjadi karena Gambar 2. tanah ulayat dikuasai oleh “Datuak Penguasa Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, pada Ulayat”, sehingga sang Datuak berhak menjual tahun 2014 tutupan hutan di KPHP tersisa 6.333,43 tanah ulayat kepada siapapun termasuk masyarakat ha atau 18,89%, dan sebanyak 19.780,06 hektar atau non Suku Melayu dan masyarakat diluar Nagari 59,00% telah menjadi perkebunan. Padahal pada Bonjol. Salah satu bagian penting dari kegiatan jual tahun 2000 sekitar 86,35% area KPHP masih beli tanah ulayat adalah terbitnya “alas hak ” dari berupa hutan. Perkebunan rakyat di areal KPHP Datuak Penguasa Ulayat sebagai bukti sah didominasi oleh kelapa sawit dan karet yang kepemilikan tanah. dimiliki oleh masyarakat Nagari Bonjol serta masyarakat luar Nagari Bonjol yang telah membeli 1. Sistem “Alas Hak” tanah ulayat. Kegiatan jual beli tanah ulayat di Nagari Bonjol

219 Konflik Agraria d an Pelepasan Tanah Ulayat ..... ( Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono) memiliki tata cara dan mekanisme yang khas jika secara hukum negara tidak boleh dibuka, dibandingkan dengan jual beli pada umumnya. Jika masyarakat mengaku mereka lebih mengakui jual beli tanah pada umumnya menggunakan keberadaan hukum adat dibandingkan hukum sertifikat sebagai bukti sah kepemilikan, maka di negara. Nagari Bonjol jual beli tanah tidak menggunakan 2. Proses Jual B eliTanah Ulayat sertifikat, tetapi yang digunakan adalah“alas hak ” dari pemilik ulayat. Pada dasarnya tanah ulayat di Nagari Bonjol Alas hak adalah bukti dasar jual beli antara merupakan tanah ulayat milik Suku Melayu yang pemilik ulayat dan pembeli. Bentuk alas hak adalah hanya boleh dimanfaatkan oleh masyarakat Suku surat perjanjian jual beli pemilik ulayat dengan Melayu. Tanah ulayat diperbolehkan dijual dengan pembeli yang diketahui oleh perangkat adat dan syarat tertentu sesuai dengan aturan adat dan nagari. Kegiatan jual beli tanah ulayat harus persetujuan Ninik mamak. Tetapi yang terjadi di mendapat persetujuan dari dari Ninik Mamak suku Nagari Bonjol, tanah ulayat oleh penguasanya pemilik ulayat dan Ketua Kerapatan Adat Nagari perjual-belikan kepada siapapun, tidak hanya (KAN), serta diketahui oleh Wali Nagari. Namun, masyarakat Suku Melayu dan suku lainnya di kenyataan dilapangan proses jual beli dan proses Nagari Bonjol, tetapi juga masyarakat diluar Nagari pengeluaran alas hak cukup disetujui oleh Datuak Bonjol bahkan masyarakat seluruh Sumatera Barat penguasa ulayat tanpa persetujuan Ninik Mamak diperbolehkan membeli tanah ulayat. dan Ketua KAN. Sedankan Kepala Nagari hanya Saat ini fungsi tanah ulayat di Nagari Bonjol sebagai pihak yang mengetahui kegiatan jual beli tidak hanya diberikan kepada saudara satu suku tanah ulayat dan pembuatan bukti alas hak . yang membutuhkan tanah sebagai sumber Hasil wawancara dengan beberapa tokoh kunci penghidupan, tetapi dijual kepada siapapun yang dan masyarakat, alas hak merupakan bukti yang kuat memiliki uang. Yang lebih mencengangkan adalah dan sah dalam kepemilikan tanah ulayat di Nagari kegiatan jual beli tanah ulayat ini tidak dibatasi Bonjol. Meskipun tanah yang dibeli adalah tanah luasnya oleh pemilik ulayat, siapapun boleh ulayat yang masih di areal hutan negara, mereka membeli lahan seluas 50, 100, 200, 500 bahkan tidak khawatir dan takut apabila dikemudian hari 1.000 ha asalkan mampu membelinya. terjadi masalah akibat proses jual beli tanah Hasil diskusi dengan masyarakat dan tokoh adat tersebut. Hal ini terjadi karena tingginya pengakuan diperoleh informasi tentang kisaran harga tanah masyarakat terhadap hukum adat masih begitu kuat ulayat. Kisaran harga tanah ulayat di Nagari Bonjol mengamalkan adat-istiadat dan aturan-aturan yang disesuaikan dengan jauh dekat lokasi dan kondisi diwariskan dalam penguasaan tanah ulayat. Ketika lahan. Untuk melihat klasifikasi harga jual tanah disinggung tentang keberadaan hutan negara yang ulayat di NagariBonjol dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2. Harga Tanah ulayat suku melayu berdasarkan kriteria lokasi dan kemiringan lahan. Table 2. Communal land price of melayu tribe base on the location and slope.

Tipe lahan Kriteria lahan Harga/ha (Rupiah) (L and type) (L and criteria) (Price/ ha (IDR)

Tipe A 1. Lokasi dekat dengan perkampungan >10.000.000

2. Tanah landai/datar Tipe B 1. Lokasi dekat dengan perkampungan 7.000.000-10.000.000 2. Tanah berbukit/ kemiringan lahan tinggi Tipe C 1. Lokasi jauh dari perkampungan 4.000.000-7.000.000 2. Kemiringan lahan rendah Tipe D 1. Lokasi jauh dari perkampungan 2.000.000-4.000.000 2. Kemiringan lahan tinggi Sumber (Source) : Mutolib et al . (2015)

220 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225 Dijual oleh Disetujui Penguasa ulayat penguasa ulayat

Tanah ulayat Negosiasi Suku Melayu lokasi dan harga tanah Masyarakat ingin membeli tanah Tidak disetujui ulayat penguasa ulayat

Pembuatan alas hak Tanah ulayat Pendaftaran yang disetujui menjadi milik pada notaris penguasa ulayat dan dikeluarkan Nagari pembeli

Sumber (Source ): Data Primer (Primary data ) , 2015

Gambar 3. Proses jual beli tanah ulayat di Nagari Bonjol. Figure 3. Buying and selling process of communal land in Bonjol.

Akibat kegiatan jual beli tanah ulayat dan tidak tanah ulayat di KPHP hanya dimiliki Suku Melayu adanya kontrol dari penguasa ulayat, saat ini tanah saja, sehingga masyarakat dari suku lain yang ingin ulayat di Nagari Bonjol menjadi semakin sedikit membuka lahan harus meminta izin dengan jumlahnya, masyarakat yang ingin bertani dan Datuak Penguasa Ulayat dengan luasan yang berkebun harus menempuh jarak 2-3 jam terbatas. Masyarakat Suku Melayu diperbolehkan menggunakan motor/mobil. Jual beli tanah ulayat membuka lahan dalam jumlah tidak terbatas tetapi tidak hanya melibatkan masyarakat, tetapi pejabat keterbatasan modal menjadikan masyarakat hanya dari tingkat kabupaten dan provinsi. Proses jual beli mampu membuka lahan dalam jumlah yang sedikit. tanah ulayat di Nagari Bonjol dijelaskan pada Menurut penelitian Mutolib et al . (2015), Gambar 3. penguasaan lahan per rumah tangga di Nagari Bonjol (baik Suku Melayu dan non Melayu) 3. Ketimpangan Penguasaan Tanah antara cenderung sempit dibandingkan dengan luasnya Masyarakat Bonjol dan Luar Bonjol tanah ulayat yang dikuasai masyarakat dari luar Masyarakat Nagari Bonjol telah berhasil Nagari Bonjol yang berinvestasi dengan membeli merebut tanah ulayat mereka dari perusahaan dan tanah ulayat Suku Melayu. Luasan rata-rata lahan negara, tetapi keberhasilan merebut lahan tidak yang dikuasai masyarakat Nagari Bonjol dapat membuat semua masyarakat di Nagari Bonjol ditampilkan pada Tabel 3. mempunyai lahan yang luas. Hal ini dikarenakan

Tabel 3. Luas lahan rumah tangga penelitian. Table 3. Size of small holder land area.

Luas lahan (Ha) Jumlah Persentase (%) No (L and area) (Number) (Percentage) 1 0 – 2 22 53,66 2 >2 – 5 11 26,82 3 > 5-10 3 7,32 4 > 10-20 3 7,32 5 > 20 2 4,88 Jumlah (Total) 41 100,00 Sumber (Source ): Mutolib et al. (2015)

221 Konflik Agraria d an Pelepasan Tanah Ulayat ..... ( Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono) Tabel 4. Luasan tanah ulayat yang dikuasai masyarakat luar Bonjol Table 4. The area of communal land owned by outside of Bonjol

Nama (Nama disamarkan) Luas Domisili No (Name of owner (in disguise)) (Area) (Origin) 1 Pemilik 1 140 ha Padang 2 Pemilik 2 25 ha Padang 3 Pemilik 3 50 ha Padang 3 Pemilik 4 25 ha Pulau Punjung Dharmasraya 4 Pemilik 5 20 ha Padang 5 Pemilik 6 > 100 ha Selatan 6 Pemilik 7 > 500 ha Sungai Rumbai Dharmasraya 7 Beberapa warga Nagari Bonjol > 100 ha Nagari Bonjol Sumber (Source ): Mutolib et al. (2015)

Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar D. Absennya Pemerintah dan Pemegang Izin masyarakat Bonjol memiliki luas tanah 0-2 ha. dalam Perlindungan Hutan Tetapi ada beberapa warga yang luas tanahnya Keberanian masyarakat merebut dan membuka mencapai 10-20 ha, bahkan beberapa warga hutan, selain dipengaruhi oleh pengakuan hukum mempunyai luas lahan diatas 20 ha. Luasan tanah adat terhadap tanah ulayat yang lebih tinggi masyarakat Bonjol sangat berbeda dibandingkan dibandingkan hukum negara, juga disebabkan luasan tanah yang dikuasai masyarakat luar Bonjol absennya aparat negara atau pemegang izin untuk (Tabel 4). Banyak masyarakat luar Bonjol yang mencegah pembukaan hutan oleh masyarakat. membeli tanah seluas puluhan hingga ratusan Akibatnya, masyarakat menjadi semakin berani hektar. Gambaran luasan lahan ulayat yang dikuasai membuka hutan yang saat ini menjadi areal KPHP. masyarakat luarNagari Bonjol ditampilkan pada Wawancara dengan rumah tangga di Nagari Bonjol Tabel 4. membuktikan bahwa peran pemerintah dan Melalui Tabel 3 dan 4 dapat diketahui bahwa pemegang izin dalam pengelolaan hutan sangat terjadi gap yang begitu besar antara tanah yang rendah. Bahkan pemerintah dan pemegang izin dikuasai oleh masyarakat Bonjol dan masyarakat membiarkan hutan begitu saja, sehingga memicu luar Bonjol. Perbedaan yang begitu besar masyarakat untuk masuk dan menguasai hutan. dikarenakan banyak masyarakat asli Bonjol yang Hasil wawancara dengan masyarakat terkait tidak mempunyai biaya untuk membuka pengawasan hutan oleh pihak terkait ditampilkan perkebunan, serta tidak memiliki wewenang dalam pada Tabel 5. pemerintahan adat, sedangkan masyarakat luar Jawaban pada Tabel 5 menggambarkan bahwa Bonjol memiliki lahan yang luas karena mereka 100% responden mengaku pemerintah absen didukung modal yang cukup untuk membeli kebun dalam pengawasan dan perlindungan hutan. Hal Mutolib et al . (2015). Meskipun begitu, banyak juga tersebut menggambarkan bahwa masyarakat tidak masyarakat Bonjol yang mempunyai kebun seluas pernah merasakan keberadaan pemerintah dalam puluhan hingga ratusan hektar, orang-orang pengelolaan hutan seperti pengawasan atau patroli tersebut biasanya terdiri dari pimpinan adat, pengamanan hutan, penangkapan pelaku pimpinan nagari, atau tokoh adat yang memiliki perambahan hutan, pemberian sanksi bagi kekuatan dan wewenang dalam masyarakat. perambah hutan maupun melakukan kegiatan Masyarakat luar Nagari Bonjol yang membeli tanah penyuluhan tentang pentingnya menjaga hutan. ulayat didominasi oleh para pejabat baik dari tingkat Dari keseluruhan responden, hanya 4 orang atau kabupaten hingga provinsi. Umumnya mereka 9,75% yang khawatir membuka hutan, tetapi membeli tanah ulayat kemudian diatanami dengan sebanyak 90,25% tidak khawatir membuka lahan di kelapa sawit dan karet sebagai investasi jangka areal hutan. Keberanian masyarakat disebabkan panjang (Mutolib et al ., 2015).

222 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225 Tabel 5. Kegiatan pengawasan hutan oleh pemerintah. Table 5. Forest monitoring activities by goverment.

No Pertanyaan (Question) Ya (Yes) Tidak (No) 1 Adakah patroli untuk mengamankan kehutanan dari dinas terkait? 0,00 % 100,00 % 2 Adakah masyarakat yang ditangkap akibat membuka kebun didalam 0,00 % 100,00 % hutan produksi? 3 Adakah masyarakat yang terkena sanksi akibat membuka kebun 0,00 % 100,00 % didalam hutan? 4 Adakah kegiatan penyuluhan tentang pentingnya menjaga 0,00 % 100,00 % hutan/rimbo ? 5 Adakah kegiatan penyuluhan tentang tanaman perkebunan 0,00 % 100,00 % rekomendasi yang harus ditanam di hutan/rimbo? 6 Adakah rasa kekhawatiran karena membuka hutan? 9,75 % 90,25 % Sumber(Source): Data Primer (2015 ) kuatnya pengakuan terhadap hukum adat B. Saran dibandingkan hukum negara. Untuk mewujudkan pengelolaan KPHP yang Critchley et al . (2004) menyebutkan bahwa baik perlu memperjelas hak dan batas tanah pengawasan merupakan salah satu kunci utama ulayat yang dikuasai oleh masyarakat Suku dalam keberhasilan manajemen lingkungan dengan Melayu dan hutan yang dikuasai perusahaan HTI. masyarakat. Subarudi (2008) menyebutkan bahwa Karena konflik agraria yang terjadi di KPHP pengawasan dan evaluasi merupakan salah satu karena ketidakjelasan kepemilikan hutan antara kunci dalam tata kelola kehutanan yang baik.. pihak masyarakat dan perusahaan pemegang izin. Keberadaan masyarakat adat Suku Melayu dan IV. KE SIMPULAN DAN SARAN tanah ulayatnya juga perlu menjadi perhatian penting dalam pengelolaan KPHP. Pemerintah A. Kesimpulan Kabupaten Dharmasraya terutama dinas terkait Konflik agraria di wilayah KPHP terjadi karena perlu melibatkan masyarakat pengelolaan hutan di saling klaim antara masyarakat dan pemerintah KPHP. Keterlibatan masyarakat dalam penge- terhadap kepemilikan hutan. Masyarakat lolaan diyakini akan mampu mengurangi konflik mengklaim hutan negara yang izinnya diberikan yang terjadi akibat persepsi masyarakat yang kepada perusahaan HPH dan HTI sebagai tanah menganggap negara telah merebut tanah ulayat masyarakat adat Nagari Bonjol yang telah ulayatnya. ditempati sejak ratusan tahun. Akibat konflik Selain pelibatan masyarakat dalam pengelolaan agraria ini, masyarakat adat Suku Melayu merebut hutan, perlunya implementasi program yang tidak hutan dari perusahaan dan memperjualbelikan hanya bertujuan memperbaiki kondisi hutan yang tanah ulayat secara bebas. Maraknya jual beli tanah telah terdegradasi di KPHP, tetapi memper- ulayat di Nagari Bonjol dikarenakan Penguasa timbangkan kepentingan masyarakat sekitar yang Ulayat memperjualbelikan tanah ulayat tanpa menggantungkan hidupnya dari hutan. Salah satu mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang. alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan Selain itu, tidak adanya kontrol dari masyarakat melaksanakan program Hutan Kemasyarakatan, menyebabkan penguasa ulayat semakin bebas atau Hutan Desa/Nagari di KPHP untuk dalam menjual tanah ulayat. Bukti sah dan mengakomodasi kepentingan masyarakat yang diakuinya jual beli tanah ulayat adalah adanya alas menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan hak yang dikeluarkan oleh pihak Nagari Bonjol hutan. yang ditandatangani (disetujui) penguasa ulayat.

223 Konflik Agraria d an Pelepasan Tanah Ulayat ..... ( Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono) UCAPAN TE RIMA KASIH Diunduh 23 April 2015 dari Penulis mengucapkan terima kasih kepada http://www.forestpeoples.org/. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Dinas Kehutanan Kabupaten Dharmasraya. yang telah memberi pendanaan melalui hibah penelitian (2014). Rencana pengelolaan hutan jangka Program Menuju Doktor Sarjana Unggul (PMDSU) panjang kesatuan pemangku hutan produk si tahun anggaran 2014-2015. (RPHJP KPHP) model Dharmasraya 2015- 2024. Pulau Punjung: Dinas Kehutanan DAFTAR PUSTAKA Kabupaten Dharmasraya. Djari. (2009). Pengembangan sistem penyuluhan Afrizal. (2015). Metode penelitian k ualitatif: sebuah perik anan era desentralisasi di Indonesia. Bogor: upaya mendukung penggunaan penelitian k ualitatif Institut Pertanian Bogor. dalam berbagai disiplin ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Faisal, S. (1990). Penelitian k ualitatif: Dasar-dasar dan aplik asi. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh Astuti, P. (2011). Kekerasan dalam konflik agraria: Kegagalan negara dalam menciptak an keadilan di (YA3 Malang). bidang pertanahan.Diunduh 16 Mei 2015 dari Griffiths, J. (1986).'What is l egal p luralism? Journal http://ejournal.undip.ac.id/index.php/foru of Legal Pluralism& Unofficial Law24, , 1-56. m/article/download/3158/2834. Hakim, I. & Sylviani. (2014). Analisis tenurial Badan Pusat Statistik Kabupaten Dharmasraya. dalam pengembangan kesatuan pengelolaan (2014). Kabupaten Dharmasraya Dalam Angka hutan (KPH): studi kasus KPH Gedong 2014. Pulau Punjung: BPS Kabupaten Wani, Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian Dharmasraya. Sosial dan E konomi Kehutanan,11(4), 309–322. Benjamin, C. E. (2008). Legal pluralism and Harun, M.K. & Dwiprabowo, H. (2014). Model decentralization: natural resource- resolusi konflik lahan di kesatuan management in Mali. World pemangkuan hutan produksi model Banjar. Development, 36 ,2255–2276. Jurnal Penelitian Sosial dan E konomi Kehutanan, 11( ),4 265–280. Bungin, B. (2010). Penelitian k ualitatif: K omunik asi, ekonomi, kebijak an publik , dan ilmu sosial lainnya. Hooker, M. B.(1975). L egal p luralism: Introduction to Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. colonial and nc eo- olonial l aw. London: Oxford University Press. Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. (1992). Qualitative research for education: A n introduction to theory and Kadir W. A., Nurhaedah, M. & Purwanti, R. methods. Boston: Allyn& Bacon. (2013). Konflik pada kawasan taman nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi Creswell, J. W. (1994).Research design :Q ualitative and Sulawesi Selatan dan upayapenyelesaiannya. quantitative approaches. California: SAGE Jurnal Penelitian Sosial dan E konomi Kehutanan, Publications, Inc. 10(3), 186 – 198. Critchley, C. N. R., Burke, M. J. W.,& Stevens, D. Indrawardi. (2008). Peranan ninik mamak (datuk) di P.(2004). Conservation of lowland semi- Minangkabau dalam Menduk ungKetahanan natural grasslands in the UK: a review of Daerah: Studi Kasus di Nagari Pak an Sinayan botanical monitoring results from agri- KecamatanBanuhampu-Kabupaten A gam- environment schemes. Biological Sumatera Barat. (Thesis Pascasarjana). Conservation,115(2), 263-278. Universitas Indonesia. Depok. Colchester, M. & Chao, S. (2011). E k spansi kelapa Larson, A.M. (2012). Tenure rights and access to forests: sawit di A sia Tenggara: Sebuah t injauan. A training manual for research. Bogor:CIFOR.

224 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember 2015, Hal. 213-225 Mantiri, M. M. (2007). Analisis konflik agraria di devolution of natural resources pedesaan (suatu studi di desa L emoh Barat management in West Africa. Unasylva , 50 , Kecamatan Tombariri). Diunduh 16 Mei 2015 23–27. dari http://download.portalgaruda.org/ Sugiyono. (2013). Metodepenelitian kombinasi (mixed article.php?article=106894&val= 1037. methods).Bandung: Alfabeta. Miles, M. B. & A. M. Huberman. (1992). Qualitative Subarudi. (2008). Tata kelola kehutanan yang baik: data analysis:: A sourcebook of new methods. Sebuah pembelajaran dari kabupaten Diterjemahkan oleh Rohidi, Tjetjep Rohendi. Sragen. Jurnal Analisis Kebijak an Kehutanan , Jakarta: Universitas Indonesia Press. 5(3) , 179-192. Moleong, L. J. (1996). Metode p enelitian k ualitatif . Von Benda-Beckmann, D. (1981). Forum Bandung: Remaja Rosdakarya. shopping and shopping forums. Journal Mutolib, A., Yonariza., Mahdi, & Ismono, H. ofL egal Pluralism,19, 117–159. (2015). Local resistance to land grabbing in Yonariza.2015.Overlapping oil palm plantation Dharmasraya District, and forest area: case of production forest Province. Paper presentedat The International management unit (FMU) of Dharmasraya Academic Conference L and Grabbing: Perspectives District, West Sumatra.Paper presented at The from E ast and Southeast Asia 2015, June 5-6, International Seminar on Tropical Natural 2015. Chiang Mai University, Thailand. Resources 2015,June 10-12, 2015. Mataram- Onibon, A., Dabiré, B., dan Ferroukhi, L. (1999). Lombok, Indonesia. Local practice and decentralization and

225 Konflik Agraria d an Pelepasan Tanah Ulayat ..... ( Abdul Mutolib, Yonariza, Mahdi, Hanung Ismono)