Nilai Femininitas Indonesia Dalam Desain Busana Kebaya Ibu Negara

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Nilai Femininitas Indonesia Dalam Desain Busana Kebaya Ibu Negara 52 RITME Volume 1 No. 1 Agustus 2015 NILAI FEMININITAS INDONESIA DALAM DESAIN BUSANA KEBAYA IBU NEGARA S u c i a t i 1, Agus Sachari2, Kahfiati Kahdar1 1Dosen Program Studi Tata Busana, FPTK UPI 2Dosen Program Desain Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB 3Dosen Program Desain Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB Abstrak Busana Kebaya Ibu Negara, salah satu costume yang merepresentasikan jatidiri (nilai femininitas) perempuan Indonesia. Tugas Ibu Negara bersama istri para menteri di antaranya menjalankan kegiatan pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan lingkungan hidup, mendampingi Presiden/suaminya (dalam dan luar negeri), dan kegiatan sosial. Busana Ibu Negara mengikuti beberapa aturan khusus, di antaranya Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1987 tentang protokol yang salahsatunya mengatur penataan Busana Nasional (pada acara resmi dan nonresmi). Busana Kebaya Ibu Negara dewasa ini dipengaruhi peran fashion stylist atau personal stylist, dan cenderung di dominasi busana bergaya Eropa dan Timur Tengah. Busana Kebaya Ibu Negara diharapkan dapat menjadi pengendali dan panutan bagi perempuan Indonesia dalam berbusana yang mempertahankan nilai femininitas perempuan Indonesia. Busana Kebaya adalah penanda yang merepresentasikan petanda identitas kolektif dari tata nilai dan prilaku sosio-kultural komunitas pemakainya, di samping model dan bentuk serta fungsinya yang mencerminkan nilai-nilai femininitas perempuan Indonesia. Dewasa ini busana perempuan Indonesia telah berkembang mengikuti tren busana global dan lebih banyak menampilkan sisi sensualitas, selera pasar, dan kepentingan industri fashion tanpa memperhatikan nilai-nilai edukasi dan budaya Indonesia khususnya nilai femininitas perempuan. Kajian ini menggunakan kajian transformasi budaya dan perubahan system nilai pada Busana Kebaya Ibu Negara Indonesia Negara. Busana Kebaya sebagai salah satu identitas`nasional dalam era globalisasi dewasa ini berkembang menjadi special costume dengan citarasa lokal (meprepresentasikan budaya etnik Nusantara). Kata kunci: Nilai femininitas, special costume, Busana Kebaya, Ibu Negara 53 RITME Volume 1 No. 1 Agustus 2015 PENDAHULUAN (1) tidak mencerminkan kedaerahan, (2) bisa Busana nasional perempuan Indonesia dimiliki oleh setiap lapisan masyarakat, (3) adalah Busana Kebaya dan Baju Kurung dengan mudah didapat, mudah perawatan, dan harganya padanan kain panjang batik dan songket. terjangkau, dan (4) tidak lepas dari unsur etika Eksistensi busana nasional sangat bermakna saat dan estetika berbusana. Pertimbangan busana tampil pada tingkat internasional. Kenyataan kebaya menjadi pilihan adalah karena apabila yang ada pada umumnya busana nasional dipilih baju kurung, jenis ini tidak hanya dipakai perempuan beberapa negara memiliki di Indonesia, tapi juga jadi ciri khas Malaysia, konsistensi yang jelas saat tampil secara Brunei, Thailand, Kamboja, dan Myanmar internasional, sedangkan busana nasional sehingga kurang istimewa bila berada di perempuan Indonesia mengalami hegemonitas komunitas mereka, sedangkan apabila dipilih yang cukup mencolok. Salah satu busana yang Baju Bodo, atau Baju Cele selain tidak mendapat mencerminkan kepribadian perempuan respon besar dari peserta lokakarya, demikian Indonesia khususnya adalah busana kebaya juga kebaya panjang dianggap terlalu banyak (pada bagian bawah adalah kain panjang, bagian memerlukan kain dan bila dipakai oleh ibu-ibu atas adalah blouse berbentuk kebaya, dan pejabat maka bagian bokong akan kusut dan tatanan rambut bersanggul). tidak rapi, sehingga diambil kesimpulan bahwa kebaya pendek menjadi pilihan sebagai busana Kebaya merupakan kostum perempuan nasional perempuan Indonesia. Indonesia pada tingkat internasional, di samping kedudukannya sebagai busana yang Keindahan dari model yang ditetapkan, antara mencerminkan kepribadian perempuan lain: Indonesia. Beberapa peristilahan yang terkait dengan kebaya sebagai benda pakai, yaitu istilah 1. Model kebaya bagian depan (memiliki beff dalam bahasa Indonesia yang umum digunakan atau tanpa beff /belahan langsung dalam bidang busana yaitu pakaian, busana dan berdampingan). baju, sementara istilah dalam bahasa Inggris 2. Kain batik panjang (2,30m-2,50m) dengan yaitu fashion, costum, dress, dan wear. Istilah pemakaiannya dengan cara dililitkan dan costume (kostum) lebih tepat untuk kedudukan memakai hiasan yang disebut wiron atau kebaya sebagai busana nasional, hal ini wiru atau lipit-lipit selebar 3cm-5cm pada dikarenakan istilah costume cenderung terkait akhir lilitan kain (motif batik dapat pada jenis busana seperti national costume dipergunakan motif dari daerah manapun). (busana nasional), west costume (busana barat), 3. Millineries/pelengkap busana yaitu selendang dan moslem costume (busana muslimah). sebagai pemanis penampilan karena terbukti bahwa selendang adalah bagian tak Adanya busana nasional Indonesia terpisahkan dari perempuan Indonesia sejak bermula dari lokakarya di tahun 1978 di Jakarta dulu, baik sebagai alat menggendong anak, yang diikuti 28 (dua puluh delapan) Provinsi di dan alat untuk membawa barang. tanah air (seluruh provinsi pada waktu itu), dan 4. Alas kaki disarankan mengenakan selop baik didapatkan bahwa busana kebaya panjang yang tertutup maupun terbuka bagian ditetapkan sebagai busana penutup badan bagian depannya dan yang memakai tumit. atas dan kain panjang yang di wiru sebagai 5. Make-up (tata rias wajah) disesuaikan dengan busana penutup badan bagian bawah. Model bentuk wajah. busana nasional Indonesia adalah model busana 6. Hair-do (tata rambut berbentuk sanggul) kebaya yang dikenakan oleh Ibu Kepala Negara dipilih Ukel Konde yakni sanggul model Republik Indonesia,yaitu Raden Ayu Siti Ukel Jawa dengan tiga tusuk konde yaitu Hartinah (Ny. Tien Soeharto) disetiap acara dibagian kiri dan kanan masing-masing satu resmi nasional maupun internasional. Ada empat tusuk konde serta satu tusuk konde kecil kriteria yang ditentukan pihak tim perumus yang juga disebut sindik, di tengah atas untuk menjadi busana nasional Indonesia, yaitu sanggul. Sunggar atau rambut di atas telinga 54 RITME Volume 1 No. 1 Agustus 2015 yang dibentuk tidak merupakan keharusan negeri. Selain itu, Ibu Negara mempunyai tugas karena memakai gaya Jawa Barat pun boleh lainnya bersama dengan para istri menteri saja (tanpa sunggar), seperti tatanan rambut kabinet yang dipimpinnya. Pada Kabinet dan tata rias Ibu Karlinah (Ny. Umar Indonesia Bersatu II yang tergabung ke dalam Wirahadikusumah/istri Wakil Presiden Solidaritas Isteri-isteri Kabinet Indonesia Republik Indonesia). Bersatu (SIKIB), program-program yang dijalankan Ibu Negara bersama SIKIB, antara Perempuan Indonesia telah sejak dari dulu lain: Indonesia Sehat, Indonesia Pintar, memilih dan mempergunakan busana kebaya Indonesia Peduli, Indonesia Hijau, dan Indonesia dalam berpenampilan. Busana ini dinilai sesuai Kreatif. Kesemua program ini diberi nama dengan karakter budaya Indonesia yang Menuju Indonesia Sejahtera. mengedepankan kesopanan terutama dalam berbusana. Busana nasional dan busana daerah Dalam menjalankan tugasnya, Ibu Negara mempunyai fungsi dan makna lain yaitu tidak akan berbusana menurut beberapa aturan hanya untuk kegunaan saja. Pada busana ini, khusus, di antaranya Peraturan Pemerintah No. 8 mempunyai makna dan nilai estetik yang Tahun 1987 tentang protokol yang salahsatunya difahami oleh budaya Indonesia. Pemakaian mengatur penataan Busana Nasional yang harus busana kebaya yang sejak dahulu dipakai dipakai pada acara resmi dan non resmi. perempuan Indonesia, pada sekitar tahun Penampilan Ibu Negara khususnya pada 1940an, kebaya terpredikatkan sebagai busana kesempatan berbusana kebaya dipengaruhi identitas nasional Indonesia. Pada masa ini yaitu adanya peran fashion stylist atau personal stylist. tahun 1900-1942 merupakan masa konsepsi Namun dewasa ini penampilan busana Ibu Indonesia, salah satunya munculnya busana Negara cenderung di dominasi busana bergaya nasional. Busana kebaya tumbuh dan Eropa dan Timur Tengah. Simbol-simbol dan berkembang sebagai identitas dari satu bangsa karakter pada gaya busana nasional Indonesia yang mendiami wilayah tertentu yang memiliki menjadi hilang makna dan eksistensinya, satu ide pandangan hidup, satu sejarah dan satu sehingga telaah terhadap peranan penata busana cita-cita hidup. Ibu Negara sangat penting. Ditinjau dari perspektif semiotika sosial, busana nasional Ibu Negara adalah kata benda untuk adalah penanda (simbol) yang menunjukkan istri kepala negara atau istri merepresentasikan petanda-petanda identitas presiden (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 416). kolektif dari tata nilai dan prilaku sosio-kultural Negara Indonesia mengalami beberapa komunitas pemakainya. kepemimpinan kepala negara atau presiden yaitu: Soekarno, Soeharto, Baharudin Jusuf Masalah yang cukup mendesak berkenaan Habibie, Abdul Rahman Wahid, Megawati dengan citra penampilan diri perempuan Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Indonesia adalah dinamika desain Busana Yudhoyono. Berdasarkan periodisasi masa Kebaya Ibu Negara di masa globalisasi yang jabatan presiden periode tahun 1945-2014, maka desainnya telah berkembang dari pakem dan Ibu Negara Indonesia adalah Fatmawati, Siti banyak didominasi pengaruh desain busana Hartinah, Hasri Ainun, Sinta Nuriyah dan moderen. Perkembangan busana kebaya dan Kristiani Herrawati. pemakaiannya dapat mempengaruhi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam desain busana Tugas Ibu Negara, bersama-sama istri kebaya itu sendiri. Upaya pelestarian nilai-nilai para menteri, adalah menjalankan kegiatan di luhur tersebut dapat di kaji melalui Busana bidang
Recommended publications
  • Hidden Bali Experiences Small-Group Tours That Touch the Heart of Bali
    Hidden Bali Experiences small-group tours that touch the heart of Bali Our Hidden Bali Experiences can be arranged at any time to grant you access to authentic culture that honors tradition and avoids commoditization. Building on more than 20 years of experience of leading culturally sensitive tours in Bali and based on deep relationships with local people and communities, these are intimate 3-day or 4-day tours arranged to fit your travel itineraries and led by expert guides for small groups of 2 to 6 guests. Each experience is themed around a specific aspect of Bali’s heritage, including the Textile Arts, the Festival Cycle, the Performing Arts, and the Natural World. For more information on these Experiences, please visit our website at http://www.threadsoflife.com The Textile Arts Experience The Indonesian archipelago was once the crossroads of the world. For over 3500 years, people have come here seeking fragrant spices, and textiles were the central barter objects in this story of trade, conquest and ancient tradition. An exploration of Bali’s textile art traditions grants us access to this story. Spice trade influences juxtapose with indigenous motifs throughout the archipelago: echoes of Indian trade cloths abound; imagery relates to defining aspects of the local environment; history and genealogy entwine. Uses range from traditional dress, to offerings, to the paraphernalia of marriages and funerals. Our gateway to this world is through the island of Bali, where we steep ourselves in the island’s rich traditions while based at the Umajati Retreat near Ubud. Here we will receive insightful introductions to the local culture, and visit several weavers with which Threads of Life is working to help women create high-quality textiles that balance their desires for sustainable incomes and cultural integrity.
    [Show full text]
  • Baju Kurung Sebagai Pakaian Adat Suku Melayu Di Malaysia
    Foreign Case Study 2018 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta BAJU KURUNG SEBAGAI PAKAIAN ADAT SUKU MELAYU DI MALAYSIA Selfa Nur Insani 1702732 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Abstract : Makalah ini merupakan hasil laporan Foreign Case Study untuk syarat publikasi ilmiah di Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta dengan Judul Baju Kurung Sebagai Pakaian Adat Suku Melayu di Malaysia. 1. PENDAHULUAN Penulis adalah seorang mahasiswi Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta (STIPRAM) semester VII jenjang Strata I jurusan Hospitality (ilmu kepariwisataan). Tujuan penulis berkunjung ke Malaysia adalah mengikuti Internship Program yang dilakukan oleh STIPRAM dengan Hotel The Royal Bintang Seremban Malaysia yang dimulai pada 15 September 2015 sampai dengan 11 Maret 2016 [1]. Selain bertujuan untuk Internship Program, penulis juga telah melakukan Program Foreign Case Study (FCS) selama berada di negari itu.Program FCS merupakan salah program wajib untuk mahasiswa Strata 1 sebagai standar kualifikasi menjadi sarjana pariwisata. Program ini meliputi kunjungan kebeberapa atau salah satu negara untuk mengkomparasi potensi wisata yang ada di luar negeri baik itu potensi alam ataupun budaya dengan potensi yang ada di Indoensia. Berbagai kunjungan daya tarik dan potensi budaya negeri malaysia telah penulis amati dan pelajari seperti Batu Cave, China Town, KLCC, Putra Jaya, Genting Highland, Pantai di Port Dikson Negeri Sembilan, Seremban, Arena Bermain I-City Shah Alam, pantai cempedak Kuantan pahang serta mempelajari kuliner khas negeri malaysia yaitu kue cara berlauk dan pakaian tradisional malasyia yaitu baju kurung. Malaysia adalah sebuah negara federasi yang terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan di Asia Tenggara dengan luas 329.847 km persegi. Ibu kotanya adalah Kuala Lumpur, sedangkan Putrajaya menjadi pusat pemerintahan persekutuan.
    [Show full text]
  • History of Weaving
    A Woven World Teaching Youth Diversity through Weaving Joanne Roueche, CFCS USU Extension, Davis County History of Weaving •Archaeologists believe that basket weaving and weaving were the earliest crafts •Weaving in Mesopotamia in Turkey dates back as far as 7000 to 8000 BC •Sealed tombs in Egypt have evidence of fabrics dating back as far as 5000 BC •Evidence of a weavers workshop found in an Egyptian tomb 19th Century BC •Ancient fabrics from the Hebrew world date back as early as 3000 BC History of Weaving (continued) •China – the discovery of silk in the 27th Century BCE •Swiss Lake Dwellers – woven linen scraps 5000 BCE •Early Peruvian textiles and weaving tools dating back to 5800 BCE •The Zapotecs were weaving in Oaxaca as early as 500 BC Weavers From Around the World Master weaver Jose Cotacachi in his studio in Peguche, Ecuador. Jose’s studio is about two and a half miles from Otavalo. Weavers making and selling their fabrics at the Saturday market in Otavalo, Ecuador. This tiny cottage on the small island of Mederia, Portugal is filled with spinning and weaving. Weavers selling their fabrics at an open market in Egypt. The painting depicts making linen cloth, spinning and warping a loom. (Painting in the Royal Ontario Museum.) Malaysian weavers making traditional Songket – fabric woven with gold or silver weft threads. A local Tarahumara Indian weaving on a small backstrap loom at the train station in Los Mochis. Weavers In Our Neighborhood George Aposhian learned Armenian pile carpets from his father and grandparents who immigrated to Salt Lake City in the early 1900’s.
    [Show full text]
  • Pergub DIY Tentang Penggunaan Pakaian Adat Jawa Bagi
    SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PENGGUNAAN PAKAIAN TRADISIONAL JAWA YOGYAKARTA BAGI PEGAWAI PADA HARI TERTENTU DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, Menimbang : a. bahwa salah satu keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah urusan kebudayaan yang perlu dilestarikan, dipromosikan antara lain dengan penggunaan Pakaian Tradisional Jawa Yogyakarta; b. bahwa dalam rangka melestarikan, mempromosikan dan mengembangkan kebudayaan salah satunya melalui penggunaan busana tradisional Jawa Yogyakarta, maka perlu mengatur penggunaan Pakaian Tradisional pada hari tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf dan b perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Penggunaan Pakaian Tradisional Jawa Yogyakarta Bagi Pegawai Pada Hari Tertentu Di Daerah Istimewa Yogyakarta; Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950, Nomor 3) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 jo Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955, Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827); 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012, Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494); 5.
    [Show full text]
  • Malaysian-Omani Historical and Cultural Relationship: in Context of Halwa Maskat and Baju Maskat
    Volume 4 Issue 12 (Mac 2021) PP. 17-27 DOI 10.35631/IJHAM.412002 INTERNATIONAL JOURNAL OF HERITAGE, ART AND MULTIMEDIA (IJHAM) www.ijham.com MALAYSIAN-OMANI HISTORICAL AND CULTURAL RELATIONSHIP: IN CONTEXT OF HALWA MASKAT AND BAJU MASKAT Rahmah Ahmad H. Osman1*, Md. Salleh Yaapar2, Elmira Akhmatove3, Fauziah Fathil4, Mohamad Firdaus Mansor Majdin5, Nabil Nadri6, Saleh Alzeheimi7 1 Dept. of Arabic Language and Literature, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, International Islamic University Malaysia Email: [email protected] 2 Ombudsman, University Sains Malaysia Email: [email protected] 3 Dept. of History and Civilization, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, International Islamic University Malaysia Email: [email protected] 4 Dept. of History and Civilization, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, International Islamic University Malaysia Email: [email protected] 5 Dept. of History and Civilization, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, International Islamic University Malaysia Email: [email protected] 6 University Sains Malaysia Email: [email protected] 7 Zakirat Oman & Chairman of Board of Directors, Trans Gulf Information Technology, Muscat, Oman Email: [email protected] * Corresponding Author Article Info: Abstract: Article history: The current re-emergence of global maritime activity has sparked initiative Received date:20.01.2021 from various nations in re-examining their socio-political and cultural position Revised date: 10.02. 2021 of the region. Often this self-reflection would involve the digging of the deeper Accepted date: 15.02.2021 origin and preceding past of a nation from historical references and various Published date: 03.03.2021 cultural heritage materials.
    [Show full text]
  • Shifting of Batik Clothing Style As Response to Fashion Trends in Indonesia Tyar Ratuannisa¹, Imam Santosa², Kahfiati Kahdar3, Achmad Syarief4
    MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 35, Nomor 2, Mei 2020 p 133 - 138 P- ISSN 0854-3461, E-ISSN 2541-0407 Shifting of Batik Clothing Style as Response to Fashion Trends in Indonesia Tyar Ratuannisa¹, Imam Santosa², Kahfiati Kahdar3, Achmad Syarief4 ¹Doctoral Study Program of Visual Arts and Design, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa 10 Bandung, Indonesia 2,3,4Faculty of Visual Arts and Design, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa 10 Bandung, Indonesia. [email protected] Fashion style refers to the way of wearing certain categories of clothing related to the concept of taste that refers to a person’s preferences or tendencies towards a particular style. In Indonesia, clothing does not only function as a body covering but also as a person’s style. One way is to use traditional cloth is by wearing batik. Batik clothing, which initially took the form of non -sewn cloth, such as a long cloth, became a sewn cloth like a sarong that functions as a subordinate, evolved with the changing fashion trends prevailing in Indonesia. At the beginning of the development of batik in Indonesia, in the 18th century, batik as a women’s main clothing was limited to the form of kain panjang and sarong. However, in the following century, the use of batik cloth- ing became increasingly diverse as material for dresses, tunics, and blouses.This research uses a historical approach in observing batik fashion by utilizing documentation of fashion magazines and women’s magazines in Indonesia. The change and diversity of batik clothing in Indonesian women’s clothing styles are influenced by changes and developments in the role of Indonesian women themselves, ranging from those that are only doing domestic activities, but also going to school, and working in the public.
    [Show full text]
  • “Almost the Same, but Not Quite”: Postcolonial Malaysian Identity Formation in Lat' S Kampung Boy and Town
    “Almost the Same, but Not Quite ”: Postcolonial Malaysian Identity Formation in Lat’ s Kampung Boy and Town Boy English 399b: Senior Thesis Sarah-SoonLing Blackburn Advisor: Professor Theresa Tensuan Spring 2009 Blackburn 1 The Malaysian comic-book autobiographies Kampung Boy and Town Boy chronicle the early life of their author Lat (born Mohammad Nor Khalid) from his birth in a Perak kampung 1 through his family’s new life in the larger town of Ipoh. The Malay boy whose life is followed within the books is known as “Mat,” the diminutive form of Mohammad. Mat acts as a kind of avatar for or slightly fictionalized version of the author himself, for Mat’s experiences are based loosely on Lat’s memories of childhood and adolescence. Because Mat’s story is anchored in Lat’s real life, the narrative of memories inscribed within the books is temporally located with great specificity: their storyline spans the years leading up to and directly following Malaysian independence from British colonial rule. However, just as Mat, the character, is a re-figuration of Lat, the author, the narrative of his memories comprises a re-figuration of the exact, authoritative historical narrative. This conflict between reality and mimesis leads to the problematic formulations of identity played out within Lat’s works as he and his characters—Mat and his family and friends—struggle to reconcile their individual, self- designated identities with externally ascribed identity markers, particularly those imposed by the legacy of British colonialism. In a further complication of Malaysian identity, many of Mat’s acquaintances, including his friends Frankie and Lingham Singh from Town Boy, are non-Malay Malaysians whose family or ancestors were brought to the country through direct and indirect colonial structures.
    [Show full text]
  • Materials for a Rejang-Indonesian-English Dictionary
    PACIFIC LING U1STICS Series D - No. 58 MATERIALS FOR A REJANG - INDONESIAN - ENGLISH DICTIONARY collected by M.A. Jaspan With a fragmentary sketch of the . Rejang language by W. Aichele, and a preface and additional annotations by P. Voorhoeve (MATERIALS IN LANGUAGES OF INDONESIA, No. 27) W.A.L. Stokhof, Series Editor Department of Linguistics Research School of Pacific Studies THE AUSTRALIAN NATIONAL UNIVERSITY Jaspan, M.A. editor. Materials for a Rejang-Indonesian-English dictionary. D-58, x + 172 pages. Pacific Linguistics, The Australian National University, 1984. DOI:10.15144/PL-D58.cover ©1984 Pacific Linguistics and/or the author(s). Online edition licensed 2015 CC BY-SA 4.0, with permission of PL. A sealang.net/CRCL initiative. PACIFIC LINGUISTICS is issued through the Linguistic Circle of Canberra and consists of four series: SERIES A - Occasional Papers SERIES B - Monographs SERIES C - Books SERIES D - Special Publications EDITOR: S.A. Wurm ASSOCIATE EDITORS: D.C. Laycock, C.L. Voorhoeve, D.T. Tryon, T.E. Dutton EDITORIAL ADVISERS: B.W. Bender K.A. McElhanon University of Hawaii University of Texas David Bradley H.P. McKaughan La Trobe University University of Hawaii A. Capell P. MUhlhiiusler University of Sydney Linacre College, Oxford Michael G. Clyne G.N. O'Grady Monash University University of Victoria, B.C. S.H. Elbert A.K. Pawley University of Hawaii University of Auckland K.J. Franklin K.L. Pike University of Michigan; Summer Institute of Linguistics Summer Institute of Linguistics W.W. Glover E.C. Polome Summer Institute of Linguistics University of Texas G.W. Grace Malcolm Ross University of Hawaii University of Papua New Guinea M.A.K.
    [Show full text]
  • An Analysis of the Characteristics of Balinese Costume - Focus On The Legong Dance Costume
    Print ISSN 1229-6880 Journal of the Korean Society of Costume Online ISSN 2287-7827 Vol. 67, No. 4 (June 2017) pp. 38-57 https://doi.org/10.7233/jksc.2017.67.4.038 An Analysis of the Characteristics of Balinese Costume - Focus on the Legong Dance Costume - Langi, Kezia-Clarissa · Park, Shinmi⁺ Master Candidate, Dept. of Clothing & Textiles, Andong National University Associate Professor, Dept. of Clothing & Textiles, Andong National University⁺ (received date: 2017. 1. 12, revised date: 2017. 4. 11, accepted date: 2017. 6. 16) ABSTRACT1) Traditional costume in Indonesia represents identity of a person and it displays the origin and the status of the person. Where culture and religion are fused, the traditional costume serves one of the most functions in rituals in Bali. This research aims to analyze the charac- teristics of Balinese costumes by focusing on the Legong dance costume. Quantitative re- search was performed using 332 images of Indonesian costumes and 210 images of Balinese ceremonial costumes. Qualitative research was performed by doing field research in Puri Saba, Gianyar and SMKN 3 SUKAWATI(Traditional Art Middle School). The paper illus- trates the influence and structure of Indonesian traditional costume. As the result, focusing on the upper wear costume showed that the ancient era costumes were influenced by animism. They consist of tube(kemben), shawl(syal), corset, dress(terusan), body painting and tattoo, jewelry(perhiasan), and cross. The Modern era, which was shaped by religion, consists of baju kurung(tunic) and kebaya(kaftan). The Balinese costume consists of the costume of participants and the costume of performers.
    [Show full text]
  • Panduan Pengurusan Asrama
    1. PERATURAN PAKAIAN 1.1 PELAJAR LELAKI a. Baju Kemeja/Baju T i. Baju kemeja berkolar potongan biasa sama ada berlengan panjang atau pendek dibenarkan. Lain-lain jenis baju seperti baju T berkolar, baju T sukan atau seumpamanya dibenarkan untuk aktiviti riadah sahaja. Baju T TIDAK BERKOLAR TIDAK DIBENARKAN. ii. Baju hendaklah disisipkan ke dalam seluar. iii. Baju kemeja berlengan panjang hendaklah dibutangkan di pergelangan tangan dan tidak dibenarkan dilipat. iv. Pemakaian semua jenis jaket tidak dibenarkan ke kelas akademik. Baju panas (sweater) dibenarkan dalam keadaan tertentu saja. b. Seluar i. Kain seluar slack yang dibenarkan ialah daripada jenis cotton dan synthetic material (PVC atau Polyster). ii. Selain daripada jenis kain di atas TIDAK DIBENARKAN. iii. Fesyen seluar slack hendaklah tidak terlalu longgar baggy, slim fit, terlalu ketat dan berkaki singkat tidak dibenarkan. Paras kaki seluar hendaklah melepasi bawah buku lali dan ukur lilit seluar di antara 36cm – 45cm / 14 inci - 18 inci. (adakah ulur lilit ini terpakai untuk semua tingkatan dan saiz pelajar) c. Tali Pinggang i. Tali pinggang hendaklah dari jenis kulit atau PVC. ii. Lebar tali pinggang hendaklah di antara 2.5cm – 3.0cm dan berwarna hitam atau coklat tua. Tali pinggang yang berwarna-warni dan berbelang tidak dibenarkan. iii. Kepala tali pinggang hendaklah tidak terlalu besar (3cm x 3.5cm) dan tidak berlambang seperti lambang binatang, lambang keagamaan atau tulisan yang tidak sesuai dan tidak bermoral. d. Kasut dan Stoking i. Kasut sekolah hendaklah dari jenis kulit atau PVC berwarna hitam. ii. Pemakaian kasut bersama stoking adalah DIWAJIBKAN. Stoking hendaklah melepasi buku lali. iii. Stoking hendaklah berwarna HITAM SAHAJA.
    [Show full text]
  • ISSN: 2320-5407 Int. J. Adv. Res. 8(10), 1133-1141
    ISSN: 2320-5407 Int. J. Adv. Res. 8(10), 1133-1141 Journal Homepage: -www.journalijar.com Article DOI:10.21474/IJAR01/11944 DOI URL: http://dx.doi.org/10.21474/IJAR01/11944 RESEARCH ARTICLE CULTURAL AND IDENTITY SURVIVAL OF THE MALAY-MUSLIM COMMUNITY IN PERTH, AUSTRALIA Napisah Karimah Ismail1, Rosila Bee Mohd Hussain2, Wan Kamal Mujani1, Ezad Azraai Jamsari1, Badlihisham Mohd Nasir3 and Izziah Suryani Mat Resad1 1. Research Centre for Arabic Language and Islamic Civilization, Faculty of Islamic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia, 43600 UKM Bangi, Selangor, Malaysia. 2. Department of Anthropology and Sociology, Faculty of Arts and Social Sciences, University of Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia. 3. Academy of Islamic Studies, Faculty of Social Sciences and Humanities, Universiti Teknologi Malaysia, 81310 Skudai, Johor Bahru, Johor, Malaysia. …………………………………………………………………………………………………….... Manuscript Info Abstract ……………………. ……………………………………………………………… Manuscript History This article discusses the culture of the Malay minority which migrated Received: 27 August 2020 to Perth, Australia from the Islamic aspect of identity. The purpose of Final Accepted: 30 September 2020 this research is to identify the form and characteristics of Islamic and Published: October 2020 Malay cultural identity of this community, based on literature collection and field study through interviews and observation in Perth. Key words:- Australian Malay, Islamic Research finds that this Australian Malay minority has an identity and Characteristics, Religious Values, culture as well as Islamic characteristics almost similar to the parent Culture, Identity, Survival, Malay community in the Malay Archipelago. They are also proud of IslamicCivilization their identity and admit that they are Malays practising Islamic teachings even though living in a Westernised country of different religions and cultures.
    [Show full text]
  • Textile Society of America Newsletter 28:1 — Spring 2016 Textile Society of America
    University of Nebraska - Lincoln DigitalCommons@University of Nebraska - Lincoln Textile Society of America Newsletters Textile Society of America Spring 2016 Textile Society of America Newsletter 28:1 — Spring 2016 Textile Society of America Follow this and additional works at: https://digitalcommons.unl.edu/tsanews Part of the Art and Design Commons Textile Society of America, "Textile Society of America Newsletter 28:1 — Spring 2016" (2016). Textile Society of America Newsletters. 73. https://digitalcommons.unl.edu/tsanews/73 This Article is brought to you for free and open access by the Textile Society of America at DigitalCommons@University of Nebraska - Lincoln. It has been accepted for inclusion in Textile Society of America Newsletters by an authorized administrator of DigitalCommons@University of Nebraska - Lincoln. VOLUME 28. NUMBER 1. SPRING, 2016 TSA Board Member and Newsletter Editor Wendy Weiss behind the scenes at the UCB Museum of Anthropology in Vancouver, durring the TSA Board meeting in March, 2016 Spring 2016 1 Newsletter Team BOARD OF DIRECTORS Roxane Shaughnessy Editor-in-Chief: Wendy Weiss (TSA Board Member/Director of External Relations) President Designer and Editor: Tali Weinberg (Executive Director) [email protected] Member News Editor: Caroline Charuk (Membership & Communications Coordinator) International Report: Dominique Cardon (International Advisor to the Board) Vita Plume Vice President/President Elect Editorial Assistance: Roxane Shaughnessy (TSA President) [email protected] Elena Phipps Our Mission Past President [email protected] The Textile Society of America is a 501(c)3 nonprofit that provides an international forum for the exchange and dissemination of textile knowledge from artistic, cultural, economic, historic, Maleyne Syracuse political, social, and technical perspectives.
    [Show full text]