PERAN PSIKONEUROALERGOLOGI PADA DERMATOLOGI

Dr. dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Bagian Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSUD Dr Soetomo Surabaya

Abstrak Psikoneuroimunologi adalah sebuah interdisiplin ilmu dengan fokus komunikasi biokimia antara otak, perilaku dan sistem imun. Psikoneuroalergologi merupakan turunan Psikoneuroimunologi yang lebih memfokuskan pada keterkaitan alergi imunologi dengan faktor psikososial. Peningkatan manifestasi alergi diduga berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan seperti stres. Berbagai penelitian telah dilakukan dan terbukti adanya disfungsi hipotalamus- hipofisis-adrenal (HPA) dalam respon terhadap stres dapat memfasilitasi penyimpangan sistem imun dan dengan demikian, dapat meningkatkan risiko sensitisasi dan eksaserbasi alergi terutama dalam kondisi stres. Secara klinis dan fisiologis telah dapat dijelaskan mengenai stres psikologis yang merupakan kontributor penting pada perjalanan penyakit alergi melalui efeknya secara langsung maupun tidak langsung terhadap respon imun, ekspresi neuropeptide kulit, dan fungsi sawar kulit. Kata kunci: psikoneuroimunologi, psikoneuroalergologi, hipotalamus-hipofisis-adrenal

Abstract Psychoneuroimmunology is an inter disiplinary field that specifically examines the biochemical cross talk between brain, behavior and the immune system. Psychoneuroallergology at the cross road between allergy immunology concept and psycosocial factors. The increase of allergic manifestation may be associated with environmental factors such as stress. A growing number of studies have suggested an altered

Psychoneuroimmunology in Dermatology 1 hypothalamus-pituitary- adrenal (HPA) axis function to stress in allergy. It is speculated that a dysfunctional HPA axis in response to stress may facilitate and/or consolidate immunological aberrations and thus, may increase the risk for allergic sensitization and exacerbation especially under stressful conditions. It has been established via clinical and physiological means that psychological stress is a significant contributor to allergy course through its direct and indirect effects on immune response, cutaneous neuropeptide expression, and skin barrier function. Key words: psychoneuroimmunology, psychoneuroallergology, hypothalamus-pituitary-adrenal

Pendahuluan Psikoneuroimunologi adalah sebuah interdisiplin ilmu dengan focus komunikasi biokimia antara otak, perilaku dan sistem imun.1 Psikoneuroalergologi merupakan turunan Psikoneuroimunologi yang lebih memfokuskan pada keterkaitan alergi imunologi dengan faktor psikososial. 2 Istilah 'Alergi' mengacu pada peningkatan kepekaan terhadap lingkungan seperti tungau debu, serbuk sari, bulu jamur atau makanan pada keluarga. Reaksi hipersensitivitas ditandai dengan produksi berlebihan imunoglobulin E (IgE). Gangguan alergi terutama mencakup dermatitis atopik (DA), asma alergi (AA), rhinitis alergi (RA) dan alergi gastrointestinal.3 Presentasi Alergen oleh sel dendritik mengawali respon late phase dengan mengaktifkan sel T-helper (Th) mensekresi interleukin (IL) -4, IL-5 dan IL-13 dalam jumlah tinggi, yang mencerminkan dominasi Th2 yang memiiki peran penting dalam kronisitas perjalanan peradangan alergi. IL-4 dan IL-13 menstimulasi sintesis IgE dan menginduksi switching sel B dari isotypes Ig lain menjadi IgE. Selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi Vascular Cells Adhesion Molecule 1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 2

(VCAM-1) dan terjadi perekrutan serta invasi eosinofil ke lokasi peradangan. IL-5 menginduksi eosinofil untuk mensekresikan Eosinophyl Cationic Protein (ECO) yang berkontribusi terhadap kerusakan sel. Peran penting disfungsi imunitas dalam patomekanisme penyakit alergi, termasuk DA telah dibuktikan pada berbagai studi, namun demikian banyak hal yang belum dapat dijelaskan.3,4 Salah satu hipotesis yang potensial untuk menjelaskan peningkatan prevalensi alergi terutama DA adalah peran berbagai faktor, antara lain gaya hidup, nutrisi, polusi maupun stress psikososial pada immunopatologi penyakit tersebut.3,4 Pada makalah ini dibahas peran psikoneuroalergologi pada patogenesis alergi, termasuk dampak potensial dari hiporesponsif maupun hiper responsif aksis HPA pada onset dan perjalanan kronis alergi pada bidang dermatologi, dalam hal ini Dermatitis Atopik menjadi salah satu contoh manifestasi alergi pada dermatoogi. Selain itu, juga dibahas berbagai faktor yang berkontribusi pada disfungsi aksis HPA pada alergi, serta terapi stres dengan target sistem neuroimun sebagai upaya penatalaksanaan alergi yang komprehensif.

Disfungsi Aksis HPA – faktor penting pada alergi. Karakter atopik pada masa awal kehidupan berhubungan dengan hiper responsif (respon yang berlebihan) aksis HPA terhadap stress.5,6 Mekanisme terjadinya disfungsi aksis HPA pada bayi yang mengarah pada terjadinya alergi masih belum dapat dijelaskan, namun beberapa studi menunjukkan bahwa faktor genetik dan pembentukan saat fetus (fetal programming) berperan penting pada hal tersebut.7,8 Pada kondisi stress, peningkatan kortisol endogen pada anak dengan predisposisi yang mengarah ke respon imun Th-2, akan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 3 lebih meningkatkan resiko sensitisasi alergi dan onset terjadinya penyakit alergi. Kortisol yang menginduksi stimulasi IL-4 selanjutnya akan menginduksi produksi IgE dari sel B.9 Selama perjalanan penyakit, hiper responsif pada aksis HPA kemudian akan berubah menjadi hipo responsif. Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi aksis HPA tersebut belum diketahui dengan pasti, namun diduga disregulasi tersebut dapat disebabkan oleh proses inflamasi kronis dengan sekresi.

Gambar 1. Faktor stres dapat mempengaruhi regulasi imun pada perjalanan penyakit alergi melalui kondisi hiperresponsif maupun hiporesponsif aksis HPA. 4 sitokin proinflamasi yang terus-menerus atau stres kronik karena kondisi alergi dan juga adanya problem sosial. Pada kondisi alergi kronis pada anak, kegagalan peningkatan respon kortisol yang memadai pada kondisi stres, dimana hal ini seharusnya dibutuhkan dalam pengendalian respon inflamasi antara lain mengontrol sekresi sitokin proinflamasi, adhesi leukosit dan aktivasi eosinofil, justru meningkatkan resiko

Psychoneuroimmunology in Dermatology 4 eksaserbasi dan kronisitas penyakit alergi (dengan faktor pencetus stres).4,5 Dengan demikian, alergi pada masa anak tampaknya dapat diinisiasi dan berlanjut karena adanya disfungsi aksis HPA. Selain hal tersebut, pada gambar 1 dapat dijelaskan bahwa hiper-reaktif maupun hipo reaktif aksis HPA dapat mengakibatkan terjadinya disregulasi imun yang dapat mengawali maupun mendorong terjadinya penyakit atopik, menunjukkan peran penting regulasi imun.4

Peran Stres dan Imunitas pada Patomekanisme dan Penatalaksanaan alergi Sistem saraf pusat (SSP) berespon terhadap stres psikologis, seperti dijelaskan pada gambar 2.1 Aksis HPA merespon stres psikologis melalui mekanisme sentral dengan meningkatkan hormon stres yaitu corticotropin-releasing hormone (CRH) dan adrenocorticotropic hormone (ACTH).10 Selanjutnya tejadi peningkatan Pituitary prolactine (PRL) yang dapat menggagalkan inhibisi terhadap proliferasi limfosit yang diinduksi oleh stres.11 CRH dan ACTH menstimulasi norepinephrine (NE) dan pelepasan kortisol dari korteks adrenal dan secara langsung menstimulasi berbagai sel imun di darah dan perifer melalui reseptor-reseptornya. Regulasi ini diperankan oleh kortisol melalui mekanisme negative feedback (tanda panah terputus) karena adanya pelepasan CRH dan ACTH oleh hipotalamus dan hipofisis (pituitary). Selanjutnya terjadi peningkatan pelepasan serotonin pada batang otak (5HT), maupun Substansi P (SP), gastrin-releasing peptide (GRP), dan calcitonin gene related peptide (CGRP) pada ganglia dorsalis.12,13,14 Pada kulit, sel imun melepaskan sitokin, kemokin, dan neuropeptida yang memodulasi inflamasi di kulit, nyeri, dan gatal, dan mentransmisi stimulus sensoris

Psychoneuroimmunology in Dermatology 5 melalui ganglia dorsalis dan traktus spinalis pada area spesifik di SSP. Sel mast kutaneus berhubungan erat dengan SP, CGRP, pituitary adenylate cyclase activating protein (PACAP), dan opioid-releasing neurons, dan responsif tethadap berbagai neuromediator tersebut. Sel mas kutaneus mensistesis dan mensekresi berbagai mediator inflamasi akibat respon dari berbagai stimulus fisik maupun biokimia. Dengan demikian terjadilah produksi lokal neuro-hormon dan neuropeptida, dengan keluarnya SP dari serabut saraf pada kulit akibat respon terhadap stres.1

Gambar 2. Peran stres psikologis pada patomekanisme alergi. 1

Stres psikologis yang terus berlanjut dapat merusak fungsi permeabilitas sawar, dan menginduksi peningkatan glukokortikoid endogen, dimana hal ini dapat merubah homeostasis dan integritas permeabilitas, begitu juga yang terjadi pada pertahanan antimikrobial. Efek negatif ini sebagian besar terjadi akibat inhibisi sintesis lipid edidermal

Psychoneuroimmunology in Dermatology 6 yang dimediasi glukokortikoid. Formulasi topikal lipid dapat menormalkan fungsi ini meskipun stres fisiologis terus berlangsung, sehingga terapi ini sungguh menjanjikan efektifitasnya pada pasien alergi dengan stres psikologis yang tinggi dan adanya disfungsi sawar. Namun demikian sampai saat ini belum ada publikasi tentang studi randomisasi dengan kontrol yang membandingkan respon klinis pasien alergi khususnya Dermatitis Atopik dengan stres vs tanpa stres dengan pemberian terapi topikal yang bertujuan memperbaiki integritas sawar. Pengetahuan mengenai perbedaan tersebut seharusnya dibutuhkan bagi klinisi, dalam memilih penatalaksanaan berdasarkan efikasi terapeutik pada alergi terutama yang berkaitan dengan stres psikologis.1,15,16 Stres psikologis berkaitan dengan timbulnya gejala gatal pada alergi dalam hal ini Dermatitis Atopik. Sensasi gatal dengan keinginan untuk menggaruk, dapat merupakan suatu sumber yang signifikan terhadap keberlanjutan stres psikologis pada pasien, dimana hal ini menjelaskan bahwa pemberian psikofarmakologi dapat bermanfaat pada penatalaksanaan DA. Korelasi antara skor ansietas pada pasien Dermatitis Atopik dengan gatal dan lebih beratnya reaktivitas NPY dan NGF menjelaskan bahwa ansietas dapat meningkatkan ekspresi neuropeptide ini, dimana keduanya dapat berkontribusi terhadap gejala gatal. Gatal akibat ansietas yang terinduksi akibat mediasi NGF dan NPY mendukung perlunya strategi terapi yang mengarah pada ansietas dan manajemen/reduksi stres.1,15,16 Pasien stres dengan Dermatitis Atopik juga mengalami peningkatan sel mast yang responsif terhadap serotonin, dan terdapat perbaikan pada penyakit kulit dan pruritus setelah pemberian agonis serotonin dan SSRI. Mekanisme yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 7 mendasari efek anti pruritus tersebut belum dapat dijelaskan. Selain itu, pemberian intradermal serotonin dapat menginduksi gatal, efek inhibisi dari SSRI terutama terdapat di SSP. Sehingga, efek anti pruritus SSRI diduga akibat pengaruh sentral daripada efek perifer. Agonis serotonin ansiolitik tandosiprone sitrat (TC) dapat digunakan pada penatalaksanaan stres yang berhubungan dengan perburukan DA. Hal ini didukung oleh data dengan menggunakan model tikus, menunjukkan efikasi klinis pada inhibisi degranulasi sel mast yang dimediasi stres. Selain itu, pemberian bupropion dapat menunjukkan perbaikan melalui peran sebagai agen antiinflamasi yang dapat menurunkan TNF, selain sebagai inhibitor sentral terhadap reuptake neurotransmiter.1,15 Stres psikologis dapat mempengaruhi fungsi sawar kulit, dengan adanya perilaku gatal-garuk yang makin memperburuk integritas epidermis. SP diduga dapat menginduksi terjadinya gatal, dan peningkatan level SP pada plasma berkaitan dengan meningkatnya stres dan perburukan Dermatitis Atopik. Penambahan olopatadine oral lebih efektif daripada monoterapi topikal dalam menurunkan keparahan penyakit, gatal dan level SP, menunjukkan peran olopatadine yang sangat potensial dalam mereduksi peningkatan SP akibat stres dan kemudian mengatasi pruritus pada Dermatitis Atopik. Pada studi dengan menggunakan model tikus menunjukkan inflamasi kulit yang berkurang dan perbaikan dari gatal setelah pemberian antagonis NK1R. Hal ini didukung oleh fakta yang menunjukkan peran reseptor NK1 terhadap SP pada gambaran histologi Dermatitis Atopik dengan eksaserbasi akibat stres.1 Intervensi farmakologi terhadap inflamasi neurogenik yang dimediasi SP adalah target terapi yang menarik, karena potensi terhadap aktivasi NK1R ini

Psychoneuroimmunology in Dermatology 8 menjanjikan dalam menurunkan siklus gatal. Level plasma SP tetap meningkat pada pasien dengan remisi DA, hal ini menunjukkan kemungkinan sistem SP-ergik tidak terlibat pada perubahan akut di DA.1,15 Berbagai hal di atas menunjukkan terdapat ketidakjelasan mengenai peran sentral maupun perifer penatalaksanaan pruritus sehingga diperlukan penelitian untuk menegakkan peran neuropeptida sebagai pruritogenik pada Dermatitis Atopik, karena hal ini berpotensi dapat memperbaiki modalitas terapi. Pengambilan keputusan pada penatalaksanaan Psikoneuroalergologi pada bidang dermatologi seperti Dermatits Atopik selayaknya didukung oleh bukti klinis. Sebuah review meta-analisis tentang stres psikologis dan Dermatitis Atopik membuktikan adanya hubungan dua arah antara kedua hal tersebut. Temuan ini mendukung perlunya penatalaksanaan komprehensif pada Dermatitis Atopik, dengan melibatkan intervensi psikologis pada penatalaksanaan standar Dermatitis Atopik.17

Kesimpulan Mekanisme yang mendasari konsep Psikoneuroalergologi pada dermatologi yaitu hubungan alergi imunologi a dengan stres psikologis belum sepenuhnya dimengerti, namun ranah Psikoneuroimunologi telah menjelaskan begitu banyak persepsi dalam memahami peran stres pada konsep alergi di bidang dermatologi, contohnya Dermatits Atopik. Secara klinis dan fisiologis telah dapat dijelaskan mengenai stres psikologis yang merupakan kontributor penting pada perjalanan penyakit Dermatitis Atopik melalui efeknya secara langsung maupun tidak langsung terhadap respon imun, ekspresi neuropeptide kulit, dan fungsi sawar kulit. Berbagai penelitian ilmiah

Psychoneuroimmunology in Dermatology 9 mengenai interaksi neurokutaneus masih terus berlanjut, dengan demikian terdapat potensi besar dalam mengidentifikasi target terapi baru dalam memodulasi neuroimun. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki penatalaksanaan Dermatitis Atopik, yang bersifat kronis dan sering kambuh, sehingga menjadi beban besar terhadap kualitas hidup pasien.

Daftar Pustaka 1. Suarez AL, Feramisco JD, Koo J, Steinhoff M. Psychoneuroimmunology of psychological stress and atopic dermatitis: Pathophysiologic and Therapeutic Updates. Acta Derm Venereol. 2012; 92: 7-15. 2. Iamandescu IB. Psychoneuroallergology. 2nd ed. Amaltea Medical Publishing House. 2007. 3. Kirschbaum AB. Cortisol responses to stress in allergic children: interaction with the immune response. Neuroimmunimodulation. 2009; 16: 325-332. 4. Dave ND, Xiang L, Rehm KE, Marshall GD. Stress and allergic diseases. Immunol Allergy Clin N Am. 2011; 31: 55-68. 5. Kirschbaum AB, Fischbach S, Rauh W, Hanker J, Hellhammer DH. Increased responsiveness of the hypothalamus-pituitary-adrenal axis to stress in newborns with atopic disposition. Psychoneuroendocrinology. 2004; 29: 705–711. 6. Ball TM, Minto J, Anderson D, Halonen M. Circadian rhythms and stress responses in infants at risk for allergic disease. J Allergy Clin Immunol. 2006; 117: 306–311. 7. Wüst S, Federenko IS, van Rossum EF, Ko- per JW, Kumsta R, Entringer S, Hellhammer DH. A psychobiological perspective on genetic determinants of hypothalamus-pituitary-adrenal axis activity. Ann NY Acad Sci. 2004; 1032: 52–62. 8. De Weerth C, Buitelaar JK, Mulder EJH: Prenatal programming of behaviour, physiology and cognition. Neurosci Biobehav Rev. 2005; 29: 207–208. 9. Barnes PJ. Corticosteroids, IgE, and atopy. J Clin Invest. 2001; 107: 265–266.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 10

10. Glaser R, Kiecolt-Glaser JK. Stress-induced immune dysfunction: implications for health. Nat Rev Immunol. 2005; 5: 243–251. 11. Foitzik K, Langan EA, Paus R. Prolactin and the skin: a dermatological perspective on an ancient pleiotropic peptide hormone. J Invest Dermatol. 2009; 129: 1071–1087. 12. Nordlind K, Azmitia EC, Slominski A. The skin as a mirror of the soul: exploring the possible role of serotonin. Exp Dermatol 2008; 17: 301–311. 13. Slominski A, Wortman J, Tobin DJ. The cutaneous serotoninergic/melatoninergic system: securing a place under the sun. FASEB J. 2005; 19: 176-194 14. Roosterman D, George T, Scneider Sw, Bunnet Nw, Steinhoff M. Neuronal control of skin function: the skin as a neuroimmunoendocrine organ. Physiol Rev. 2006; 86: 1309– 1379. 15. Steinhoff A, Steinhoff M. Neuroimmunology of atopic dermatitis. In: Granstein RD, Luger T, editors. Neuroimmunology of the skin. Basic science to clinical practice. Berlin: Springer Verlag; 2009: pp197-207. 16. Walker C, Papadopuolos L. . The psychological impact of skin disorders. London: Cambridge University; 2005. 17. Chida Y, Hamer M, Steptoe A.A bidirectional relationship between psychosocial factors and atopic disorders: a systematic review and meta analysis. Psychosomatic Medicine. 2008; 70:102-116.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 11

Psychoneuroimmunology in Dermatology 12

PSIKONEUROIMUNOLOGI BERBASIS NEUROSAINS

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak Otak mengatur seluruh aktivitas kehidupan manusia antara lain melalui mekanisme interaksi yang melibatkan sistem neuroseluler, neuromolekuler, neuroendokrin dan neuroimun, merupakan basis penelitian yang terus berkembang di bidang neurosains. Semua sistem tersebut akan berespons pada kondisi stres psikis yang melibatkan sistem limbik, sebagai pusat pengaturan emosi dan hipotalamus sebagai pusat pengaturan sistem saraf otonom. Respons seluler terutama diperankan oleh sel neuron dengan aktivitas neurotransmiter yang dihasilkan merupakan zat komunikasi penghubung dalam berinteraksi dengan sistem neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus. Berbeda dengan neurotransmiter, hormon yang dikendalikan oleh sistem neuroendokrin merupakan molekul organik yang sangat khusus dalam mengerahkan aksi terhadap sel target tertentu dan memodulasi respons sistemik dan seluler. Psikoneuroimunologi adalah studi yang mempelajari tentang hubungan/interaksi antara stres psikis dengan sistem saraf dan sistem imun yang dimodulasi oleh sistem neuroendokrin. Keywords: Psikoneuroimun, neuron, neurotransmiter dan neuroendokrin

Pendahuluan Neurosains adalah ilmu yang memfokuskan studi/penelitian tentang sistem saraf. Keberadaan sistem saraf dikaitkan dengan keberadaan jenis sel khusus, yang disebut neuron dan sel glia. Neuron memiliki struktur khusus berupa tonjolan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 13 protoplasma yang dikenal sebagai akson untuk mengirim sinyal secara cepat dan tepat. Melalui akson, neuron mengirimkan sinyal dalam bentuk gelombang elektrokimia untuk merealisasikan pembentukan bahan kimia yang disebut neurotransmiter dan dituangkan ke dalam sinaps. Sel yang menerima sinyal sinaptik dari sebuah neuron dapat tereksitasi, terhambat, atau termodulasi. Hubungan antara neuron membentuk sirkuit neural. Konsep modern memandang fungsi sistem saraf sebagian dalam kerangka rangkaian interaksi stimulus-respons, dalam kerangka pola aktivitas yang dihasilkan secara intrinsik untuk menggenerasikan tingkah laku berulang-ulang. Aktivitas stimulus respons pada sistem saraf pada makalah ini difokuskan pada sudut pandang sistem neuroseluler, neuromolekuler, neuroendokrin serta kaitannya dengan psikoneuroimunologi.

Sistem Neuroseluler Neuron merupakan sel otak dengan sifat yang paling mendasar adalah neuron dapat berkomunikasi, interaksi dengan sel lain melalui sinaps, yaitu pertautan membran-ke-membran yang mengandung mesin molekular dan mengizinkan transmisi sinyal cepat, baik elektrik maupun kimiawi. Neuron dan tonjolan protoplasma semuanya terbenam di dalam suatu matriks jaringan ikat neuroglia. Neuroglia terdiri dari sel : astrosit, oligodendroglia dan mikroglia yang menyediakan dukungan struktural menyangga, mengatur nutrisi dan proses kimiawinya. Astrosit dan juga neuron menghasilkan neurotropin seperti BDNF (Brain Derived Neurotrhopic Factor) yang memegang peran dalam plastisitas otak (neuroplastisitas)2. Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari badan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 14 sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke sel saraf yang lain atau ke jaringan lain. Pada bagian luar akson terdapat lapisan lemak disebut mielin yang berfungsi melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari akson yang tidak terbungkus mielin disebut nodus Ranvier, yang dapat mempercepat penghantaran impuls. Sinaps dapat berupa elektrik atau kimia. Sinaps elektrik membuat hubungan elektrik langsung di antara neuron-neuron. Sinaps kimia, sel mengirimkan sinyal dari presinaps ke postsinaps. Presinaps dan postsinaps penuh dengan mesin molekular yang membawa proses sinyal. Daerah presinaps mengandung vesikel yang terdiri dari bahan kimia neurotransmiter. Ketika terminal presinaps terstimulasi secara elektrik, sebuah susunan molekul yang melekat pada membran teraktivasi, dan menyebabkan isi dari vesikel/neurotrnsmiter dilepaskan ke dalam celah sinaps. Neurotransmiter kemudian berikatan dengan reseptor yang melekat pada membran postsinaps, menyebabkan neurotransmiter masuk ke dalam status teraktivasi. Tergantung pada tipe reseptor, efek yang dihasilkan pada sel postsinaps dapat bersifat eksitasi, inhibisi atau modulasi. Konektivitas yang terintegrasi dari neuron membentuk jaringan yang mampu menjalankan berbagai fungsi. Kemampuan interkoneksi saraf dapat menimbulkan perubahan interneural, reorganisasi sinaps yang merupakan perkembangan intrinsik agar otak tetap berkembang melalui rangsangan/stimuli.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 15

Sistem Neuromolekuler Neurotransmiter merupakan molekul kimia endogen yang mengirimkan sinyal dari neuron ke sel target di sinaps. Ketika rangsang tiba di sinaps, ujung akson dari neuron prasinaps akan membuat vesikula sinaps mendekat dan melebur ke membrannya kemudian neurotransmiter dilepaskan melalui proses eksositosis. Pada ujung akson neuron postsinaps, protein reseptor mengikat molekul neurotransmiter dan merespons dengan membuka saluran ion pada membran akson yang kemudian mengubah potensial membran (depolarisasi atau hiperpolarisasi) dan menimbulkan potensial aksi pada neuron postsinap7 Penelitian elektrofisiologi menunjukkan bahwa sistem saraf mengandung berbagai mekanisme untuk menghasilkan pola aktivitas secara intrinsik, dengan/tanpa memerlukan stimulus eksternal. Neuron- neuron ditemukan mampu memproduksi rangkaian potensial aksi reguler, atau rangkaian ledakan (sequences of bursts). Stimulus akan menyebabkan terjadinya depolarisasi dan hiperpolarisasi pada membran sel, yang menyebabkan terjadinya potensial aksi. Ketika impuls dari neuron prasinaps berhenti neurotransmiter yang telah ada akan didegradasi, masuk kembali ke ujung akson neuron prasinaps melalui proses endositosis. Beberapa jenis neurotransmiter adalah: Norepinefrin berperan dalam kontrol/adaptasi stres mental/psikologis. Adrenalin berperan dalam sistem kardiovaskular dan metabolisme yang terkait dengan stres. Dopamin berfungsi pada fungsi kognitif, motoris dan endokrin. Serotonin (5-HT) berperan pada gangguan mood, menurunnya serotonin dapat beakibat terjadinya depresi. Glutamat mempunyai efek eksitasi sedangkan GABA (Gamma Amino Butyric Acid) dengan efek inhibisi.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 16

Sistem Neuroendokrin dan Neuroimun Sistem neuroendokrin dikendalikan oleh saraf otonom yang bekerja secara reflektorik. Sistem neuroendokrin juga terintegrasi dalam fungsi luhur yang menentukan kehidupan emosional yang dikendalikan oleh sistem limbik. Struktur limbik yang mempunyai peran penting dalam aktivitas perilaku emosional melibatkan neurotransmiter norepinefrin dan serotonin. Struktur limbik sebagai pusat pengaturan emosi terintegrasi dengan aksis hipotalamus_pitutary_adrenal (HPA) yang mengatur hubungan sistem saraf dan hormon. Bagian paraventrikuler dari hipotalamus mensintesa vasopresin dan CRH (corticotropin releasing hormone) yang mengatur lobus anterior kelenjar pituitary mensekresi ACTH (adrenocorticotropic hormone). ACTH pada gilirannya mempengaruhi korteks adrenal untuk menghasilkan glukokortikoid. Glukokortikoid berperan memberi umpan balik negatif kepada hipotalamus dan hipofisis/pituitary untuk menekan produksi CRH dan ACTH. Glukokortikoid mempunyai kandungan antiinflamasi yang berkaitan dengan efek mikrovaskuler dan menekan sitokin inflamasi. Glukokortikoid memodulasi respons imun via immune adrenal axis yang berperan dalam mekanisme peningkatan hormon kortisol pada kondisi stres. HPA aksis dan sistem imun berkomunikasi dua arah melalui mekanisme umpan balik yang kompleks, dan berkontribusi pada terjadinya keseimbangan produk limfosit Th1/immunceluler dan Th2/immunhumoral3. Pada kondisi stres terjadi peningkatan kortisol sehingga terjadi penekanan terhadap sitokin Th1 yang berakibat terjadinya penekanan regulasi dari aktivitas inflamasi5. Peningkatan kortisol distimulasi oleh sitokin Th1 terhadap HPA aksis yang kemudian mereduksi aktivitas sistem imun pada Th16. Sitokin sebagai

Psychoneuroimmunology in Dermatology 17 modulator dalam respons imun saling berpengaruh secara timbal balik terhadap kortisol dan CRH. Glukokortikoid menyebabkan penurunan eosinofil yang beredar dari jaringan limfoid terutama sel T menyebabkan retribusi dari sirkulasi ke dalam kompartemen lain. Kortisol menghambat cell mediated immunity, menghambat produksi dan mediator inflamasi, seperti limfokin dan prostaglandin. Kerja ini terjadi via reseptor glukokortikoid tipe II dan dihambat oleh inhibitor dan sisntesis protein. Glukokortikoid menghambat produksi dan kerja IFN oleh limfosit T dan produksi IL-1 dan IL-6 oleh makrofag. Pada kondisi stres juga terjadi peningkatan kadar sitokin proinflamasi termasuk TNF_ α, IL-1β, IL-6, IL-85. Sekresi interleukin-6 sebagai sitokin proinflamasi ditekan pengeluarannya oleh glukokortikoid namun distimulasi oleh hormon katekolamin. Sitokin mempunyai kapasitas dalam mempengaruhi sintesa, pelepasan dan reuptake dari neurotransmiter termasuk monoamin4. Beberapa penelitian dengan hewan coba menunjukkan pemberian sitokin dapat mempengaruhi metabolisme serotonin, norepineprin dan dopamin1.

Kesimpulan Neuron merupakan komponen utama dalam merespons aktivitas sensorik/stres melalui mekanisme yang terstruktur dalam suatu sistem, terintegrasi dan membentuk konektivitas yang kompleks. Komunikasi dan konektivitas antar sistem neuroseluler, neuromolekuler, neuroendokrin dan neuroimun bekerja melalui mekanisme umpan balik yang saling mempengaruhi dalam usaha menjaga keseimbangan agar otak tetap sehat, namun pada kondisi stres keseimbangan sistem

Psychoneuroimmunology in Dermatology 18 hormon neurotransmiter dan sistem imun mengalami perubahan yang dapat berakibat pada kondisi sakit.

Referensi 1. Anisman H., Gibb J., Hayley S. 2008. Influence of continuous infusion of interleukin 1-β on depression-related processes in mice: corticosterone, circulating cytokines, brain monoamines, and cytokine mRNA expression. Psychopharmacology (Berl),199;233-44. 2. Cotman C.W., Berchtold N.C. 2002. Exercise: Behavioral intervention to enhance brain health and plasticity. TRENDS in neuroscience ; 25; 295-301. 3. Gill J.M., Saligan L., Wood S., Page G. 2009. PTSD is associated with an excess of inflammatory immun activities. Perspect Psychiatr Care; 45:262-77 4. Miller A.H. 2009. Norman Cousins Lecture. Mechanism of cytokine-induced behavioral changes: psychoneuroimmunology at the translational interface. Brain Behav Immun, 23;149-58. 5. Pace T.W., Heim C.M. 2011. A short review on the psychoneuroimmunology of post traumatic stress disorder: from risk factors to medical comorbidities. Brain Behav Immun; 25; 6- 13. 6. Sternberg E.M. 2006. Neural regulation of innate immunity: a coordinated nonspecific host response to pathogens. Nat Rev Immunol, 6; 318-28. 7. Turana I. 2015. Ilmu Neurosains Modern. Dalam Dito A, ed. Pustaka Belajar, Yogyakarta. ISBN; 47-75. ISBN : 978-602-229- 547-1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 19

ROLE OF NEUROTRANSMITTER IN SKIN IMMUNITY

Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV Departement of Dermatology and Venereology Faculty of Medicine, Udayana University/ Sanglah General Hospital, Denpasar

ABSTRAK Hubungan antara sistem saraf, endokrin dan sistem imunologis telah lama diketahui, ke tiga sistem berkomunikasi melalui jalur; sinyal listrik, sinyal biokimiawi dan jalur hormon. Komunikasi tersebut tersebut berkoordinasi dalam upaya menjaga homeostatis tubuh. Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus membawa sinyal di antara neuron, neurotransmiter terimpan di dalam vesikel sinapsis, sebelum dilepaskan bertepatan dengan adanya potensial aksi (sinyal elektrik). Neurotransmiter mengirimkan sinyal dari neuron ke sel target di sinaps dan kemudian dilepaskan ke dalam celah sinaptik, yang diikat pada reseptor membran pada sisi postsynaptic dari sinaps. Sistem saraf dengan milyaran neuronnya akan menghasilkan neurotransmiter dan juga adanya sinyal listrik sebagai potelsial aksi akan membantu pelepasan neurotransmiter. Sistem endokrin dengan produk hormonnya dan sistem imun dengan berbagai jenis sitokinnya. Semua mediator tersebut saling mempengaruhi antar ke tiga sistem tersebut. Stres psikologis (stres) merupakan salah satu meningkatkan sintesis dan pelepasan neurokimiawi tersebut melalui suatu sistem konversi perilaku (behaviour) akan mempengaruhi sinyal-sinyal pada sistem neuroendokrin baik sinyal kimiawi maupun sinyal listrik dan pada akhirnya dapat mencapai target pada kompartement imunologis. Setelah dalam aliran darah, neurotrasmiter kemudian dapat berdifusi ke ruang extraneuronal dan memiliki efek terhadap sistem imun. Beberapa dari neurotransmiter tersebut dan sitokin akan mempengaruhi terjadi inflamasi neurogenik. Inflamasi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 20 neurogenik ini sebagai suatu respons yang dapat terjadi pada beberapa kelainan kulit. Dalam tulisan singkat ini akan dibahas beberapa neurotransmiter yang memiliki pengaruh terhadap respon imun dan manifestasinya pada kulit. Kata kunci: Stres psikologis, neurotransmiter, Sistem imun.

ABSTRACT The relationship between the nervous system, endocrine and immune systems have long been known, the three major systems coordinated effort to maintain homeostasis in the body. Neurotransmitters are endogenous organic substances carries signals between neurons, neurotransmitters storage in synaptic vesicles, before being released to coincide with the action potential. Neurotransmitters transmit signals from neuron to a target cell in the synapse and then released into the synaptic cleft, which is tied to membrane receptors on the postsynaptic side of the synapse. The nervous system with billions neurons will produce abundant neurotransmitter and also the electrical signals as potensial action will help the release of neurotransmitters. The endocrine system is the product of hormones and the immune system with various types of cytokines. All these as mediators interplay between all three systems. Psychological stress (stress) is one of the neurochemical increase the synthesis and release through a conversion system behavior (behavior) will affect the signals on both the neuroendocrine system of chemical signals and electrical signaling and eventually may circulate to the target in the immunological compartment. Once in the bloodstream, neurotransmitter then diffuses into space extraneuronal and have an effect on the immune system. Some of these neurotransmitters and cytokines will affect neurogenic inflammation. This neurogenic inflammation can occur in some skin disorders.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 21

In this short article will discuss some of the neurotransmitters that have an influence on the immune response and its manifestations in the skin. Keywords: Psychological stress, neurotransmitter, immune system.

PENDAHULUAN Susunan saraf pusat, sistem endokrin dan sistem imun, merupakan tiga sistem besar untuk kehidupan mahluk hidup, ketiganya terkoordinasi satu sama lain dalam mempertahankan homeostatis. Ketiganya saling berkomunikasi satu sama lain melalui berbagai jalur, baik secara anatomi, biokimiawi dan melalui sinyal-sinyal listrik (electrical signaling). Telah lama diketahui bahwa stres psikologis (stres) memegang peran dalam memicu maupun memperberat penyakit, banyak peneliti dapat telah membuktikan peran stres psikologis dalam patobiologi beberapa penyakit, ternyata diketaui pula sistem stres mempengaruhi ketiga sistem tersebut. Konsep hubungan antara stres dengan penyakit (tubuh) telah ada sejak era Hipocrates yang mengatakan bahwa ”kesalahan besar para dokter adalah memisahkan antara badan dan pikiran”. Rene Descrates (1650) yang menyatakan pikiran dan tubuh tidak terpisahkan dalam kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov (1849) dengan anjing percobaannya membuktikan bahwa kognitif yang dikondisikan dengan lonceng maka asam lambung keluar tanpa melihat makanannya. Sejak tahun 1920 Dr. Walter Cannon, menkaji secara ilmiah dengan mengemukakan teori homeostatis dan teori “fight or flight”. Hans Selye (1936) memperkenalkan respon biologis dan fisiologis dari stres melalui teori “General Adaptation Syndrome”. Istilah Psikoneuroimunologi pertama

Psychoneuroimmunology in Dermatology 22 kali di perkenalkan oleh Dr. Robert Ader (1975), yang mengungkapkan terjadi suatu learning process tubuh sehingga tubuh merespon stres dengan melibatkan multiorgan. Menurut Hans Selye, “Stres adalah respons yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya”. Stres adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan)”. Sinyal stres pada awalnya diterima oleh prefrontal cortex dari perifer, sinyal diteruskan ke sistem lymbic, disini Hipotalamus akan menterjemahkan sebagai stress perception. Kemudian hipotalamu-hipofisis-adrenal aksis (HPA) dan simpatik-adrenal medula aksis (SAM) sebagai sumbu utama dalam memberikan respon terhadap stres (stress response). Stres akan merangsang hipotalamus untuk menghasilkan corticotropic-releasing hormone (CRH) yang menyebabkan pelepasan adreno-corticotroprin hormone (ACTH) di hipofisis. Pelepasan ACTH menimbulkan stimulasi korteks adrenal untuk mensintesis kortisol. Melalui paraventrikular dari hipotalamus, mensintesis dan melepaskan (CRH), hormon ini menstimuli kelenjar pituitari anterior mensekresi (ACTH), ACTH pada gilirannya bekerja pada adrenal korteks, yang menghasilkan glukokortikoid hormon (terutama kortisol pada manusia) sebagai tanggapan terhadap rangsangan oleh ACTH. Glukokortikoid pada gilirannya kembali bertindak hipotalamus dan hipofisis (untuk menekan produksi CRH dan ACTH dalam siklus umpan balik negatif. Corticotropin-releasing (CRH) adalah hormon peptida dan neurotransmitter yang terlibat dalam respon stres. Neurokimia adalah substansi biokimiawi (neurohormon, neuropeptid dan neurotransmiter) yang disintesis di jaringan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 23 saraf maupun di organ lain, selain berperan dalam sistem saraf juga berperan dalam sistem imun, baik selular maupun humural. Tulisan ini akan membahas secara singkat peran neurotransmiter dan neuropeptid terhadap respon imunitas dan beberapa penyakit yang berhubungan dengan stres psikologis dengan neurokimiawi dan resons imun.

PERAN NEUROTRANSMITER TERHADAP RESPON IMUN Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus yang mengantarkan sinyal dari neuron ke neuron lainnya. Neurotransmiter berada dalam gelembung (vesikel) presynaptic dan akan dilepaskan dari akson terminal melalui eksositosis ke dalam celah sinaptik, melalui membran pada sisi postsynaptic dari neuron terdekat dan juga direabsorpsi untuk daur ulang. Pelepasan neurotransmiter mengikuti adanya potensial aksi (electrical signaling) pada sinapsis. Jadi perantaran sinyal dalam neuron dapat melalui chemical signaling dan electrical signaling. Neurotransmiter tidak saja bekerja pada neuron tetapi juga pada organ tubuh yang lainnya. Belakangan penelitian tentang peran neurotransmiter sangat berkembang, karena peranan stres psikologis (stres) berdampak terhadap pada mekanisme suatu penyakit, hal ini dapat diterangkan karena peran neurotransmiter. Sampai saat ini banyak jenis neurotransmiter, pada dasarnya ada bagaian besar: neurotransmiter klasik dengan berat molekul kecil dan neurotransmiter dengan berat molekul besar yang lazim disebut neuropeptid. Perbedannnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 24

Neurotansmiter Neuropeptid (Klasik) Berat molekul Kecil, satu asam Besar, memiliki panjang amino 2-40 asam amino Sintesis Sitosol pada ujung Badan Golgi/retikulum sinaps endoplasmik neuron (badan sel) berjalan ke ujung sinap melalui transportasi akson Pelepasan Terminal akson Terminal akson, dapat bersama neurotransmiter Kecepatan & Respon cepat & Respon lambat, durasi kerja singkat berkepanjangan Tempat kerja Membran subsinaps Nonsinaps di sel sel pasca sinaps prasinaps atau pascasinaps dengan konsentrasi lebih kecil dari neurotransmiter Efek Mengubah potensial Meningkatkan atau sel dengan menekan efektivitas membuka saluran sinaps pada sintesis ion neurotransmiter atau reseptor pascasinap

Neurotransmiter & Respon Imun Banyak dikenal neurotransmiter, tapi hanya beberapa jenis yang sudah jelas perannya terhadap respon imun, terutama penyakit imunodermatologi.

1. Noradrenalin (Norepinefrin) Epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin) yang dikenal sebagai neurotransmiter yang berasal dari tirosin. Kedua bahan kimia ini mengatur perhatian, fokus mental, gairah, dan kognisi pada manusia. Tugasnya adalah membuat otak tetap sadar dan terjaga (tugas noradrenalin ini mirip

Psychoneuroimmunology in Dermatology 25 dengan tugas hormon adrenalin yang dihasilkan oleh kelenjar anak ginjal (adrenal gland) yang terletak diatas ginjal hanya saja noadrenalin dihasilkan oleh otak). Norepinefrin bersama epinefrin dan dopamin merupakan keluarga dari katekolamin, yang disintesis di berbagai tempat. Norepinefrin sebagai neurotransmiter kimiawi dilepas dari sinap semua ujung saraf pascaganglion simpatis. Norepinefrin akan dilepaskan diantara sinap, sebagian ada yang di reuptake kembali oleh neuron yang mensekresinya. Norepinefrin juga di produksi oleh locus seruleus dan nukleus lain di pons dan batang otak. Akson- akson tersebut turun akan menstimuli paraventricular nucleus (PVN) di batang otak yang akan mengaktivasi sumbu Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA axis). Sejak lama telah diketahui bahwa norepinefrin memediasi respon fisiologis terhadap keadaan gawat yang dikenal sebagai respon fight or flight (melawan atau lari), strs akut dengan peran untuk memobilisasi energi, peningkatan aliran darah pada otot dan sebagainya. Secara langsung norepinefrin berefek meningkatkan aktivitas monosit dan sel natural killer dan juga secara langsung meningkatkan aktivitas sel Th-naif sehingga terjadi pengalihan (shift) ke arah Th2 sehingga meningkatkan peran imunitas humoral. Norefinefrin juga dapat meningkatkan sintesis cortico-tropin-releasing hormon. Cortico-tropin-releasing hormon (CRH) akan menstimuli kelenjar hipofise anterior untuk memproduksi adrenocorticotropic hormone (ACTH), yang kemudian akan menstimuli korteks adrenal untuk mensintesis kortisol, sebagai produk akhir dari sumbu HPA. Norepinefrin juga mempunyai efek terhadap peningkatan produksi IL-10 dari monosit melalui reseptor β-adrenergic, interleukin ini sebagai stimulator utama

Psychoneuroimmunology in Dermatology 26

Th2 untuk memproduksi IL-4 dan IL-5, norepinefrin melalui reseptor beta adrenergik pada sel penyaji antigen akan meningkatkan sintesis IL-10, interleukin ini secara langsung meningkatkan sintesis IL-4 oleh Th2 dan menghambat aktivitas sel Th1. Sebagai akibat, terjadi peningkatan IL-4 dan IL-5, ke dua sitokin ini sangat berperan dalam imunopatogenesis dermatitis atopik. Dengan demikian norepinepfrin secara tidak langsung juga mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2. Secara anatomis, jalur CRH – Sel Mast dan jalur neuropeptid, jalur-jalur tersebut langsung mempengaruhi aktivitas sel Mast. Telah terbukti pada psoriasis dan dermatitis atopik, psoriasis urtikaria kronis norepinefrin meningkat secara bermakna.

2. Serotonin (Serotonine) Hormon serotonin diproduksi di saluran pencernaan, kelenjar pineal, sistem saraf pusat, dan platelet. Serotonin sering juga disebut 5-HT atau 5-hydroxytryptamines (serotonin) adalah neurotransmiter monoamine, bertugas sebagai penenang sehingga sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas emosi dan membuat kita tidur. Jika kita kekurangan serotonin sedikit saja, maka hal itu dapat memunculkan perilaku yang dapat membahayakan orang yang bersangkutan (misalnya timbulnya penyakit bulimia, munculnya kecenderungan adiksi (kecanduan) terhadap bahan-bahan berbahaya seperti alkohol, tembakau dan sebagainya). Serotonin berperan dalam mengontrol berbagai tingakatan emosional. Serotonin juga berperan dalam mengendalikan mood, kegelisahan, depresi, dan lain sebagainya. Bersama skema representasi dari efek nikotin dan 5- HT pada pelepasan sitokin dalam populasi sel darah yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 27 berbeda. 5-HT sebagai inhibitor yang kuat terhadap pelepasan TNF tapi mempunyai efek berlawanan terhadap IL-1, dan IFN- ɣ. Sebaliknya, 5-HT dilaporkan dapat memfasilitasi pelepasan IFN- ɣ dan natural killer cell (NK cell) dan IL-16 dalam sel T helper. Oleh karena itu, 5-HT tampaknya berperan perkembangan proses peradangan neurogenik (neurogenic inflammatory) dengan ikut meningkatkan sintesis sitokin proinflamasi. Penelitian terakir, serotonin berperan sebagai pruritogenik pada pasien penyakit kulit alergi seperti dermatitis atopik dan urtikaria kronis. Psoriasis yang dipicu stres, inflamasi kronis berhubungan dengan inflamasi neurogenik akibat peran sistem serotonergik.

3. Dopamin (Dopamine) Dopamin diproduksi di beberapa daerah otak terutama di hipoalamus, substantia nigra dan daerah tegmental ventral, dopamin juga merupakan neurohormon. Dopamin menghantarkan sinyal antar sel saraf atau dengan sel lainnya. Awalnya dopamin dikenal sebagai neurotransmiter yang menghantarkan sinyal hanya di dalam otak, namun juga diketahui memiliki fungsi pada organ lain. Di dalam susunan saraf pusat, dopamine memiliki peran dalam mengatur pergerakan, pembelajaran, daya ingat, emosi, rasa senang, tidur, dan kognisi. Perannya adalah mengatur gerakan motorik kita dan membentuk postur tubuh kita agar menjadi proporsional. Kekurangan dopamin akan mengakibatkan timbulnya penyakit Parkinson. Dopamin merupakan major neurotransmiter mentranmisi sinyal melalui beberapa transmembrane reseptor D1–D5.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 28

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa dapat memberikan kontribusi pada modulasi imunitas melalui reseptor diekspresikan pada sel-sel kompartemen imun. Sebelumnya telah dibuktikan bahwa Dopamin sebagai autokrin dan parakrin pada sel dendritik (DC), dalam proses presentasi Antigen ke sel CD4+ dan T naif, hal ini diperankan reseptor D1. Penelitian lain menyatakan peran system dopaminergik merespon Th-17 dalam patogenesis rheumatoid arthritis (RA). Dalam sel CD4 + T naif, dopamin meningkat IL-6 tergantung sintesis IL-17 reseptor D1. Secara bersama-sama, temuan ini menunjukkan bahwa dopamin dilepaskan oleh DC menginduksi sumbu IL-6 dan Th17 dan menyebabkan peradangan sinovial RA. Penelitian lain juga menunjukkan peran dopamin berlebihan dalam patogenesis psoriasis, efek pada patogenesis polimorfisme gen pada psoriasis yang terlibat dalam metabolisme dopamin. Demikian juga peningkatan C-reactive protein sangat berkorelasi dengan peran dopamin, namun belum jelas perannya terhadap hambatan terhadap TNF-α, IL-1, IL-12, IL-6 dan IL-8.

4. Asetilkolin (Acetylcholine) Asetilkolin (Ach) merupakan molekul ester-kolin yang pertama diidentifikasi sebagai neurotansmitter. ACh dibuat di dalam susunan saraf pusat oleh neuron dan badan selnya yang terdapat pada batang otak dan forebrain, selain itu disintesis juga dalam saraf lain di otak. ACh beraksi pada sistem saraf otonom di perifer dan di pusat, dan merupakan transmitter utama pada saraf motorik di neuromuscular junction pada vertebrata. Asetilkolin memiliki peran dalam penyimpanan memori. Mahluk hidup membutuhkan asetilkolin ketika

Psychoneuroimmunology in Dermatology 29 konsentrasi dan kognisi. ACh ini terbentuk pada akson terminal neuron, sebagai neurotransmiter, dimulai saat potensial aksi sudah sampai pada terminal akson. Hal ini akan bersamaan dengan meningkatnya kalsium yang bermuatan dan aktifnya asetilkolin. Asetilkolin yang aktif akan segera direspon oleh ACh reseptor sel neuron terdekat. Selain itu, Ach menstimuli sitokin proinflamasi dan menginduksi aktivasi sistem saraf simpatik dan sumbu HPA. Terakhir ditemukan jalur baru dari regulasi otak memediasi respon imun perifer disebut Jalur kolinergik-antiinflamasi, hal ini mungkin langsung memodulasi respon imun terhadap invasi patogen. Stimulasi listrik (electrical signaling) dari saraf vagus eferen tampaknya secara signifikan Ach menekan pelepasan sitokin IL-1β, IL-6, TNF-α dan IL-18 tetapi tidak terhadap produksi IL-10 dalam percobaan kultur makrofag. Ach mengaktivasi cholinergic anti- inflammatory pathway dan menghambat TNF-α pada tikus percobaan. Ach dikatakan berperan dalam penyakit urtikaria kolinergik atau urtikaria yang dicetuskan keringat. Pada pasien dengan peripheral arterial occlusive disease (PAOD) Ach mempunyai efek ringan terhadap vasodilatasi lokal dengan meningkatkan fungsi Ach dalam vaskular kulit.

5. Asam Gamma aminobutirat (γ-aminobutyric Acid /GABA) GABA disintesis pada ujung saraf presinaptik, dan disimpan di dalam vesikel sebelum di lepaskan. Tugasnya adalah meredam kecepatan trasmisi pesan-pesan antar neuron. Kalau saja asam jenis ini tidak ada, maka temperatur di dalam otak akan meningkat bila digunakan untuk berfikir keras, membantu untuk memblokir implus yang berhubungan dengan stres dari mencapai reseptor pada sistem saraf pusat. Peran lain GABA juga dapat mengurangi perasaan cemas, dan dapat membantu

Psychoneuroimmunology in Dermatology 30 mengatasi gangguan yang terkait dengan stres emosional. GABA telah dilaporkan dalam kultur makrofag murin, dan juga ditemukan di ekstrak makrofag dikultur dari monosit darah perifer. Enzim Glutamic Acid Decarboxylase (GAD) 65 (Salah satu marker adanya antibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase) dan anti anti-GAD65 ada dalam jumlah yang banyak dalam sel dendritik (DC) dan konsentrasi lebih rendah pada peritoneal makrofag, DC dan limfosit T juga dapat melepaskan GABA. Stimulasi makrofag dan DC dengan lipopolisakarida (LPS) terjadi peningkatan ekspresi GAD, sementara jumlah GABA disekresikan tidak dipengaruhi secara signifikan. Stimulasi CD4+ sel T dengan anti-CD3 dan antibodi anti-CD28 juga memiliki berpengaruh pada konsentrasi GABA dalam plasma. Kehadiran GABA-Transaminase yang diprodukasi di makrofag dan limfosit mengaktifkan sel T sejak spesifik limfosit T mitogen (phytohemagglutinin; PHA) digunakan untuk stimulasi dan sel T sel B dengan rasio sekitar 3:1. Interaksi sel B dan sel T, diduga mempengaruhi ekspresi sitokin sebagai bagian pada imunitas adaptif, beberapa antibodi yang diproduksi sebagai respon terhadap infeksi, seperti Ig M, juga disekresikan secara alami oleh sel B. Limfosit T dalam fungsinya terdapat beberapa jenis, yang meliputi CD8+ (sitotoksik) sel T, yang dapat diaktifkan dengan CD4+ T (helper) sel dan CD8+. Jenis lain termasuk T-reg (sel T-regulator) yang dapat mengendalikan aktivasi sistem imun, dan diduga berpengaruh terhadap Natural Killer Cell. Penelitian in vivo maupun in vitro GABA diperifer menghambat terjadi inflamasi neurogenik pada penyakit autoimun. Dapat juga dipakai penggunaan lokal (topikal) dan sistemik untuk kelainan otoimun. GABAA-R (GABA antagonis reseptor) suatu antagonis dan senyawa yang menghambat

Psychoneuroimmunology in Dermatology 31 sintesis GABA mungkin berguna dalam penanganan supresi imun akibat obat, misalnya pada pasien yang mendapat sitostatika. Walaupun efektivitasnya tampaknya belum jelas, dan lebih efektif pada penyakit didominasi oleh TNF-α, seperti rheumatoid arthritis, asma dan penyakit radang usus.

6. Asam Glutamin (Glutamic Acid) Asam glutamat sebagai sebagai imunomodulator penting dalam inisiasi dan perkembangan imun respons adaptif, termasuk data tentang ekspresi dan fungsi reseptor glutamat dan glutamat transporter dalam sel T dan sel-sel lain yang terlibat dalam aktivasi sel T yang memediasi sistem imun. Pada tahun-tahun terakhir beberapa reseptor glutamat telah diidentifikasi pada permukaan sel T. Disamping itu, glutamat transporter telah dibuktikan berperan pada APC, tergantung konsentrasinya. Pelepasan glutamat oleh DC baru-baru ini menunjukkan dan peran regulasi dari asam amino, hal ini selama DC berinteraksi dengan kelenjar getah bening. DC merilis glutamat, melalui merangsang glutamat reseptor pada sel T, dapat mengatur respon sel T untuk APC. Selain itu, pada penyakit otoimun, ketika glutamat-mengiduski kerusakan saraf merespon reaktif Th1 dengan menekan IFN-γ. Dengan demikian induksi mGlu1R (reseptor Glutamat), yang memstimuli sekresi IFN-γ dapat terjadi ketika ada stimulasi sel T. Peran penting bahwa glutamat berperan sistem saraf pusat telah establis, beberapa reseptor glutamat dan transporter glutamat telah banyak perannya dalam sistem saraf pusat, masing-masing memediasi efek glutamate dan mengatur kadar glutamat ekstrasel. Studi terbaru menunjukkan bahwa glutamat tidak hanya memiliki peran

Psychoneuroimmunology in Dermatology 32 sebagai neurotransmiter, tetapi juga sebagai immunomodulator penting. Dalam hal ini, beberapa reseptor glutamat baru-baru ini telah dijumpai pada permukaan sel-T, dan transporter glutamat dilaporkan membantu peran APC seperti sel dendritik dan makrofag. Disamping itu, peningkatan jumlah glutamin dilaporan telah menjelaskan mekanisme autoimun sebagi pelindung autoantigen sel T, neurotransmiter ini dalam sistem saraf melindungi neuron terhadap glutamat neurotoksisitas. Ada peran glutamat sebagai imunomodulator, hal penting dalam inisiasi dan perkembangan sistem imun yang dimediasi sel T pada jaringan perifer dan dalam sistem saraf pusat.

Neuropeptida & Respon Imun Beberapa jenis neuropeptita yang penting dalam respon imun adalah:

1. Substansi P Substansi P (SP) adalah suatu neuropeptida yang berfungsi sebagai neurotransmiter dan neuromodulator, dari golongan neuropeptida takikinin. Selain itu, substansi P juga merupakan elemen penting di dalam persepsi nyeri. Fungsi sensoris substansi P diperkirakan berkaitan dengan transmisi informasi nyeri ke dalam susunan saraf pusat. Substansi P dikaitkan dengan regulasi gangguan mood, ansietas, stres, neurogenesis mual/muntah, nyeri dan nosiseptif, dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Banyak bukti menunjukkan hubungan antara neuron dan sistem kekebalan tubuh sebagai immunomodulasi aktivasi sintesis pelepasan sitokin dan kemokin, selain itu, substansi P terbukti memediasi peradangan, angiogenesis. Substansi P mampu mengaktifkan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 33 beberapa sel imun, seperti CD4+ dan limfosit CD8+, sel mast, sel NK dan makrofag. Dalam studi terbaru menunjukkan bahwa substansi P dapat mengaktifkan interleukin-8, kemokin CXC, menunjukkan keterlibatannya dalam chemoattraction terhadap sel T, dan penting dalam patofisiologi inflamasi nerogenik yang terjadi pada kulit seperti dermatitis, psoriasis, diskoid lupus dan lainnya.

2. Neuropeptide Y (NP-Y) Peran utama dari sistem kekebalan tubuh adalah penahanan patogen, sel-sel kanker, dan infeksi. Ini juga memainkan peran sebagai kontrol mencegah munculnya disfungsi limfosit, yang dapat menyerang jaringan dan menyebabkan penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), rheumatoid arthritis, dan multiple sclerosis. Stres dan episode emosional yang kuat secara dramatis mengurangi resistensi kita terhadap infeksi, dan perkembangan sel kanker. Namun, sampai sekarang, hubungan antara kondisi mental dan imunitas kanker belum diketahui dengan pasti. Terakhir ditemukan bahwa neuropeptide Y (NPY), sebagai suatu hormon yang dikeluarkan selama stres, mengganggu imunitas seluler dan menghambat respon sel imun yang penting melalui peran reseptor Y1. Ini adalah penemuan penting untuk pertama mengkaji link baru antara stres psikologis dan imunosupresi yang dimediasi NP-Y. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa sistem saraf simpatik mengatur manifestasi klinis dan patologis chronic relapsing experimental autoimmune encephalomyelitis (EAE), model penyakit autoimun dimediasi oleh sel Th1 dan NP-Y. Meskipun peran katekolamin telah ditunjukkan dalam studi sebelumnya, itu tetap mungkin bahwa neurotransmiter

Psychoneuroimmunology in Dermatology 34 simpatik lainnya seperti NP-Y juga terlibat dalam patogenesis EAE. Efek NP-Y dan reseptornya mempunyai sifat spesifik pada oligodendrocyte myelin glikoprotein 35-55 pada tikus, sedangkan agonis reseptor Y5 atau pemberian antagonis reseptor Y1 tidak menghambat tanda-tanda EAE. Suatu penelitian mengungkapkan penghambatan yang signifikan dari myelin oligodendrocyte glikoprotein terhadap respon sel Th1 spesifik bukan pada sel Th2, pada percobaan tikus yang diberikan agonis reseptor Y1, analisis in vivo menunjukkan mekanisme autoimun yang dimediasi sel T secara langsung dipengaruhi oleh NP-Y melalui reseptor Y1. Kesimpulannya, bahwa NP-Y merupakan immunomodulator potensial terlibat dalam regulasi penyakit autoimun. NP-Y dapat menghambat inflamasi neurogenik dengan menekan produksi Th17 dan Th1- like cytokines, namun dapat meningkatkan sitokin Th2. Penelitian terakhir menyatakan NP-Y sebagai imunoreaktifaktor terhadap sel dendritik epidermal pada dermtitis atopi, pada psoriasis, dan NP-Y berperan dalam hantaran rasa gatal.

3. Vasoactive Intestinal Peptide Vasoactive intestinal peptide (VIP) merupakan peptida yang tersusun atas 28 asam amino dan dapat ditemukan pada serabut saraf yang berhubungan dengan pembuluh darah, kelenjar keringat, folikel rambut dan sel Merkel. Vasoactive intestinal peptide memperantarai vasodilatasi dan edema dengan memicu sintesis nitrit oksida serta proliferasi dan migrasi keratinosit. Selain itu VIP memicu produksi keringat serta pelepasan histamin sel mast. VIP dan neuropeptida yang berhubungan secara anatomis dengan pituitary adenylate cyclase-activating polypeptide (PACAP) sebagai modulator

Psychoneuroimmunology in Dermatology 35 imunitas alami dan didapat, ada dalam organ limfoid, memodulasi fungsi sel-sel inflamasi melalui reseptornya. Produksi dan pelepasan baik sitokin pro-inflamasi dan anti- inflamasi oleh fagosit aktif dalam inisiasi respon imun. Respons VIP dan PACAP dapat menghambat produksi sitokin pro- inflamasi TNF-α, IL-6, IL-12 dan nitrit oksida dan merangsang produksi anti-inflamasi sitokin IL-10. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa bone marrow-derived dendritic cells (BMDCs) berbeda dengan VIP, BMDCs oleh diinduksi IL-10/transforming factor growth- β (TGF)-β yang disintesis sel T regulator (T-reg) in vivo, bahwa penambahan VIP untuk media kultur awal dalam diferensiasi monosit manusia untuk monocyte-derived dendritic cells (MDDC) dirangsang diferensiasi DC yang terpolarisasi pada CD4+ T sel untuk IL-10/TGF-β memproduksi T-reg dan juga sel CD8+ T. Sel CD8+ T diproduksi IL-10 dan menunjukkan adanya perubahan pada CD 28/Antigen limfosit T sitotoksik (CTLA) fenotipe, dan kedua CD4+ dan CD8+ T-regs dihasilkan oleh respon imun yang diperantarai oleh VIP. Oleh karena itu, VIP mungkin memiliki efek yang berbeda dengan DC tergantung titik tangkap reseptor VIP. Reseptor terhadap VIP disebut VPAC1, reseptor ini selain di saraf juga ditemukan pada limfosit T, sehingga dapat mengendalikan sintesis sitokin seperti TNF- α. Diketahui juga VIP memodulasi sel Mast untuk merespon stres, hal ini terjadi pada urtikaria kronis dan penyakit alergi lainnya.

4. β-Endophine β-Endorphine adalah neuropeptid yang membuat seseorang merasa senang, nyaman dan untuk aktivasi sistem imun. β- Endorphine diproduksi oleh kelenjar pituitary yaitu pada saat

Psychoneuroimmunology in Dermatology 36 kita merasa bahagia (tertawa) dan pada saat kita istirahat yang cukup. neuropeptida ini bertindak seperti morphine (endogen opioid), bahkan dikatakan 200 kali lebih besar dari morphine. β-endorphine atau endorphine mampu menimbulkan perasaan senang dan nyaman hingga membuat seseorang berenergi. β- endorphine juga memiliki peran terhadap sistem imunitas, selain menurunkan keadaan emosi. Dengan endorphin perasaan kita akan lebih rileks, dan tentunya kita pun akan lebih mudah mengontrolnya, mengontrol rasa amarah sekaligus berpikir positif dengan mengutamakan kesabaran. Dapat dikatakan bahwa endorphin itu seperti zat yang terkandung di dalam es krim atau coklat. Apabila kita mengkonsumsi es krim atau coklat, kita akan merasakan kenyamanan. Zat yang membuat kita nyaman pun juga diproduksi oleh tubuh kita, guna menstabilkan emosi kita. Dengan zat tersebut, kita dapat merasakan rileks, dan semua yang berhubungan dengan tekanan pada perasaan kita seperti marah, sedih dan depresi dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Manfaat endorphin sudah lama dikenal sebagai zat yang banyak manfaatnya, seperti mengatur produksi growth factors dan seksualitas, mengendalikan rasa nyeri serta sakit yang menetap, mengendalikan perasaan stres, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Endhorpine sebenarnya merupakan gabungan dari endogenous dan morphine, zat yang merupakan unsur dari protein yang diproduksi oleh sel-sel tubuh serta sistem syaraf manusia, pelepasan zat ini bisa dipicu melalui berbagai kegiatan, seperti pernapasan yang dalam, relaksasi, serta meditasi. Sel natural killer adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh yang membunuh sel kanker atau patogen lainnya. Stres mempengaruhi kemampuan sel-sel pembunuh alami ini untuk meningkatan respon imun melalui

Psychoneuroimmunology in Dermatology 37 endorfin. Endorfin juga membantu menurunkan tekanan darah, dengan memperbaiki enditel pembuluh daran, mampu berikatan dengan limfosit B, dan untuk meningkat peran sel natural killer. Sel B dan Sel NK adalah bagian kecil dari keseluruhan peripheral blood mononuclear cells (PBMC). Berdasarkan hasil penelitian deskriptif menunjukkan bahwa dengan latihan pernapasan dapat meningkatkan β–endorphin terbukti meningkatkan kebugaran fisik dan imuniglobulin-G dan menekan interleukin 6 pada keadaan stres, sementara interleukin 2 dan interleukin 4 tidak meningkat secara bermakna. Demikian juga kortisol tidak menurun secara signifikan. Penggunaan topikal aplikasi berefek positif pada hidrasi kulit, elastisitas dan kerutan (wrinkle) pada kulit.

4. Kalsitonin Kalsitonin (CT) adalah hormon yang berperan didalam regulasi tulang dan kalsium darah. Neuropeptid ini belum begitu jelas perannya pada keadaan stress, tetapi berpengaruh terhadap respon imun. Sumber utama dari CT adalah parafollicular cells kelenjar tiroid. Sebagian besar dari kelenjar tiroid adalah folikular sel yang bertanggungjawab untuk sekresi hormon tiroid. Selain itu, CT juga dijumpai di beberapa organ di dalam tubuh, termasuk thymus, usus halus, kandung kemih, paru- paru dan hepar. Kalsitonin adalah polipetida kecil, terdiri dari 32 asam amino dengan berat molekul 3410 Dalton. Sekresi kalsitonin dipengaruhi oleh adanya serum Ca2+ yang tinggi, target organ dari hormon ini adalah usus halus dan tulang. Hormon ini bekerja menurunkan absorbsi Ca2+ dalam usus dan menurunkan resorpsi Ca2+ dalam tulang sehingga serum Ca2+ yang semula tinggi menjadi menurun. Hormon ini bekerja berlawanan dengan hormon paratiroid. Kalsitonin plasma yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 38

lebih tinggi dari normal, dapat menyebabkan gangguan sistem saraf (refleks lamban, kontraksi otot lamban & lemah konstipasi & nafsu makan). Kalsitonin dapat mengurangi kadar kalsium dalam aliran darah dengan menghambat kerja destruksi sel tulang oleh osteoklas, menghancurkan matrix ekstraseluler. Sekresi hormone kalsitonin mengontrol umpan balik negative, ketika kalsium dalam darah tinggi, kalsitonin menurunkan kalsium dan fosfat dalam darah dan menghambat resorbsi tulang oleh osteoklas dan meningkatkan uptake kalsium dan fosfat ke dalam matrix ekstraseluler tulang. Dalam sistem imun dikatakan bahwa kalsitonin tidak hanya stimulasi IL-1, IL-6, TNF-a, dan IL-12 tetapi juga IL-2, IL-8 dan IL-10 dalam peranan dalam etiopatogenesis osteoporesis. Pada kelenjar hipofisis, kalsitonin diserap oleh reseptor C2a dan menginduksi produksi cAMP. Setelah itu CT akan menginduksi produksi IL-6 melalui jalur protein kinase A (PKA) dan protein kinase C (PKC), atau menghambatnya melalui

aktivasi protein G1/G0, menghambat sekresi prolaktin, akan memicu berbagai proses angiogenesis pada sel endothelial dan pengaruh pada perkembangan sel kanker payudara dan prostat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Levite M. et al. Nerve-driven immunity: Neuropeptides regulate cytokine secretion of Tcells and intestinal epithelial cells in a direct, powerful and contextual manner. Annals of Oncology, 2001 12 (Suppl. 2): S19-S25. 2. Margaret E. Understanding the interaction between psychosocial stress and immune-related diseases: A stepwise progression. Brain, Behavior, and Immunity, 2007; 21: 1009– 1018

Psychoneuroimmunology in Dermatology 39

3. Hayashi T. Conversion of psychological stress into cellular stress response: Roles of the sigma-1 receptor in the process. and Clinical Neurosciences 2015; 69: 179–191 4. Merlin. NJ. Neuropeptides –A Review. Asian J. Pharm. Res. 2014; 4: 4:198-200 5. Ganea D. Neuropeptides: Active Participants in Regulation of Immune Responses in the CNS and Periphery. Brain Behav Immun. 2008; 22[1]: 33–34. 6. Moreira LS. Neuropeptides as Pleiotropic Modulators of the Immune Response. euroendocrinology, 2012;6: 1-12 7. Nardocci G, et al. Neuroendocrine mechanisms for immune system regulation during stress. Fish & Shellfish Immunology 40 (2014) 531-538 8. Jara LJ. Immune-neuroendocrine interactions and autoimmune diseases. Clinical & Developmental Immunology, June– December 2006; 13[2]: 109–123 9. Tsigos C, et al. Hypothalamic–pituitary–adrenal axis, neuroendocrine factors and stress. Journal of Psychosomatic Research, 2002;53: 865– 871 10. Kojima M., et al. Effects of Neuropeptides in the Development of the Atopic Dermatitis of Mouse Models. Allergology International. 2004; 53: 169-78. 11. Mustafa GA. Neurogenic Inflammation and Allergy. J Pediatr Allergy Immunol. 2009; 7[2]: 45-58 12. Hodeib A., et al. Nerve Growth Factor, Neuropeptides and Cutaneous Nerves in Atopic Dermatitis. Indian J Dermatol. 2010; 55[2]: 135-9. 13. Botchkarev VA., et al. Neurothropins in Skin Biology and Pathology. J Invest Dermatol. 2006; 126: [17]:19-27. 14. Operacz MC. Et al. Clinical and experimental aspects of cutaneous neurogenic inflammation. British Journal of Pharmacology, 2013; 170: 38–45 15. Mikolajczak ET.,et al. Neurogenic Markers of the Inflammatory Process in Atopic Dermatitis: Relation to the Severity and Pruritus. Postep Derm Alergol. 2013; 30[5]: 286-292. 16. Hosoi T, et al. 2004. Functional Role of Acetylcholine in The Immune System. Frontiers in Bioscience 9: 2414-2419 17. Pacheco R. Role of glutamate on T-cell mediated immunity. Journal of Neuroimmunology, 2007;185: 9–19

Psychoneuroimmunology in Dermatology 40

18. Mackay F. The Role of Neuropeptide Y and its Receptors in the Immune System and Immune Disorders 19. Katsanos G.S. Impact of Substance P on Cellular Immune. Journal of Biological Regulator & Homeostatic Agent.2008; 22[2]: 93-98 20. Inhibitory role for GABA in autoimmune inflammation Roopa Bhata,1 . 2580–2585 | PNAS | February 9, 2010 | vol. 107 | no. 6 21. Szczepanik, M. Melatonin and its Influence on Immune System. Jour of Physiology and Pharmacology. 2007;58[6]:115-124 22. Delgado M. al. The Significance of Vasoactive Intestinal Peptide in Immunomodulation Pharmacological Review, 2011;56[2]: 249-290 23. Mikami N, Calcitonin Gene-Related Peptide Is an Important Regulator of Cutaneous Immunity: Effect on Dendritic Cell and T Cell Functions. The Journal of Immunology, 2011, 186: 6886– 6893. 24. Wanhong Ding .Calcitonin Gene-Related Peptide Biases Langerhans Cells toward Th2-Type Immunity1. The Journal of Immunology, 2008, 181: 6020 – 6026. 25. Ganea D. Neuropeptides as Modulators of Macrophage Functions. Regulation of Cytokine Production and Antigen Presentation by VIP and PACAP. A rchivum Immunologiae et Therapiae Experimentalis, 2001, 49, 101–110 26. Henricks PA. GABA receptors and the immune system. Arne Lucas ten Hoeve. Bachelor Biomedical Sciences 2011 Utrecht University.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 41

Psychoneuroimmunology in Dermatology 42

PSIKONEUROIMUNOLOGI PADA DERMATITIS ATOPIK

Prof. Dr. dr. Endang Sutedja, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat

Abstrak Dermatitis atopik (DA) adalah suatu peradangan kulit kronik ditandai dengan terganggunya fungsi barrier epidermal, infiltrasi faktor-faktor inflamasi, rasa gatal berlebihan, dan adanya periode flare dan remisi dari gejala klinis. Mekanisme eksaserbasi penyakit DA masih belum dipahami sepenuhnya, akan tetapi gejala klinis pada DA sering dikaitkan dengan stres psikologis. Pada keadaan stres, peningkatan regulasi mediator neuropeptida di otak, organ endokrin, dan sistim saraf perifer akan memengaruhi secara langsung faktor imun dan sel di kulit. Kulit lesi atau non-lesi pada pasien DA menunjukkan peningkatan kontak antara sel mast dan serat sel saraf. Saraf sensoris juga melepaskan neuromediator yang meregulasi inflamasi dan respon imun, serta fungsi sawar. Perkembangan pengetahuan mengenai hubungan antara neuroimun akan menjelaskan bagaimana stres emosional dapat memengaruhi DA. Obat psikofarmakologi yang dapat memodulasi reseptor saraf atau jalur amplifikasi dari inflamasi, tidak hanya menjadi pilihan terapi DA, tetapi dapat juga menjadi pilihan terapi untuk penyakit inflamasi kulit karena stres. Kata kunci: dermatitis atopik, eczema, stres psikologi, inflamasi neurogenik, psikoneuroimunologi

Pendahuluan Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi kronik dan berulang, yang ditandai dengan lesi kulit eczematous,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 43 xerosis, likenifikasi, dan gatal yang hebat (1,2). Etiologi dari DA belum diketahui dengan pasti, tetapi hasil laboratorium dan gejala klinis mengarah ke patogenesis multifaktorial yang terdiri dari genetik dan lingkungan (3,4). Stres yang disebabkan oleh fisik maupun psikologis adalah pemicu dan pemberat dari DA (5). Tulisan ini membahas tentang stres psikologis dan perannya dalam DA. Kulit adalah organ tubuh terbesar dan dilengkapi dengan kemampuan metabolik dan endokrin yang memfasilitasi kontrol homeostatis antara lingkungan internal dan eksternal (6). Pada DA terjadi kegagalan sawar kulit, sebagaimana dibuktikan oleh peningkatan kerentanan infeksi kulit, peningkatan transepidermal water loss (TEWL), dan penurunan pengeluaran keringat kepermukaan epidermis (7). Kulit dipersarafi oleh serat sensorik yang banyak, kulit mengekspresikan banyak reseptor neurotransmitter dan neuropeptida yang sama dengan sistem saraf pusat, termasuk corticotrophin-releasing hormone (CRH), serotonin, prolaktin, dan substansi P (SP) (6). Dengan berbagai mediator kimia terjadi hubungan timbal balik antara kulit, sistem saraf, dan sistem endokrin (8, 9). Disregulasi mediator ini baik di sistem saraf pusat (SSP) dan di kulit berperan dalam patofisiologi AD (10, 11). Psikoneuroimunologi adalah bidang interdisipliner yang secara khusus meneliti lintas biokimia antara otak, perilaku, dan sistem kekebalan tubuh. Tulisan dibawah ini membahas secara komprehensif mengenai mekanisme psikoneuroimunologi pada DA, berkaitan dengan respon sistemik terhadap stres dan dampaknya pada fungsi kekebalan tubuh, khususnya pada sel T dan sel mast, respon aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Juga akan ditinjau pada

Psychoneuroimmunology in Dermatology 44 pasien DA dengan stres kronik dan pengaruhnya pada respon imun kulit, serta penemuan baru mengenai mediator peptida inflamasi neurogenik di DA, mekanisme inflamasi neurogenik dari gangguan sawar epidermis, dan penggunaan terapi farmakologis yang menargetkan mekanisme neuroimunologi sebagai terapi stres pada DA juga sedikit dibicarakan.

Stres dan Imunitas Aksis HPA merespon stres psikologis dengan peningkatan regulasi CRH, hormon adrenokortikotropik (ACTH), neuropeptida (misal: protein pituitary adenylate cyclase- activating), dan glukokortikoid (12,13), serta aktivasi sistem saraf simpatis dan batang otak serotonergik (Gambar 1) (12,13). Selanjutnya, peningkatan kadar glukokortikoid dan katekolamin akan menekan antigen-presenting cell (APC), yang memproduksi interleukin (IL)-12 – yang berperan sebagai sitokin inducer utama dari respon imun humoral T helper 1 (Th1) –mediated melalui induksi interferon-γ (IFN-γ) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) (14,15). Dengan demikian, glukokortikoid menghambat produksi IL-12, IFN-γ,IFN-α, dan TNF-α pada APC dan sel Th1, dan meningkatkan sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh T helper 2 (Th2)-mediated, seperti IL-4, IL- 10, dan IL-13, yang pada akhirnya akan menghasilkan produksi IgE yang meningkat (15). Sel dendritik adalah APC khusus pada kulit dan permukaan mukosa. Sel-sel ini diduga memiliki peran penting dalam regulasi kekebalan tubuh, dan kemungkinan memiliki hubungan antara antigen dan penyakit inflamasi kulit seperti DA (16). Stres psikologis dapat meningkatkan protein yang mengaktifkan inflamasi, melalui saraf vagus, ke inti batang otak yang mengendalikan aksi potensial eferen yang ditransmisikan kembali ke perifer. Selain itu, stres psikologis

Psychoneuroimmunology in Dermatology 45 dan hormon stres meningkatkan sintesis serotonin, yaitu neurotransmitter dengan reseptor pada keratinosit, melanosit, dan fibroblas dermal (17, 18, 19). Efek kulit lokal oleh serotonin termasuk respon proinflamasi, seperti edema atau vasodilatasi, serta induksi pruritus (20). Saraf aferen sensorik di kulit menyalurkan sinyal rasa sakit dan gatal dari kulit ke SSP dan melepaskan neuropeptida substansi P, calcitonin gene relatedpeptide (CGRP), dan nerve growth factor (NGF) (20, 21). Di kulit, mediator ini dilepaskan untuk menanggapi berbagai rangsangan, termasuk sitokin dan protease, sehingga mengaktifkan neuron sensorik, yang mempengaruhi respon imun lokal dan memodulasi mekanisme kekebalan tubuh (22,23). Sel lain yang berhubungan dengan unmyelinated C- fibers di kulit adalah sel mast, yang berperan penting dalam lokal inflamasi, termasuk vasodilatasi (eritema), ekstravasasi plasma (edema), pengeluaran vascular endothelialmolecule, pelepasan sitokin, dan produksi nerve growth factor atau chemo-attraction (24, 25). Diaktifkan oleh beberapa mediator hormon stres, (26,27) sel mast pada kulit mengekspresikan berbagai neuropeptida atau reseptor isoform neurohormon, termasuk CRH, (28) dan sel mast merupakan sel yang memproduksi CRH (29). Selain itu, sel mast mensintesis dan mengeluarkan lebih dari 50 molekul biologis aktif, termasuk sitokin, substansi P, serotonin, TNF-α, NGF, tryptases, dan chymases, yang seluruhnya merupakan mediator inflamasi neurogenik (9,30). Inflamasi neurogenik mungkin terjadi karena mediator merangsang neuropeptida yang mengandung C-fibers, sitokin proinflamasi, dan kemokin dilepaskan dari sel- sel mast termasuk histamine dan asetilkolin (31). Manifestasi subjektif dari penyakit inflamasi kulit adalah gatal merupakan sensasi tidak menyenangkan yang memprovokasi keinginan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 46 untuk menggaruk (11,32,33). Karena garukan dan penderita merasa susah untuk menghentikan garukan sehingga menyebabkan kelainan kulit semakin berat, sehingga menghasilkan siklus garuk-gatal-garuk yang meningkatkan rasa cemas dan menurunkan kualitas hidup penderita (46).

Sel-sel inflamasi kulit pada pasien dermatitis atopik dengan stres Beberapa penelitian yang menjelaskan tentang hubungan stres dengan dermatitis atopik melalui pemeriksaan sel-sel inflamasi beserta sitokin-sitokinnya diantaranya ditemukan pada kulit lesi dan non-lesi dari pasien DA, didapatkan peningkatan jumlah sel Th2, IL-4, IL-5, dan IL-13 dibandingkan dengan orang sehat sebagai kontrol (34). Peningkatan jumlah eosinofil darah juga ditemukan pada pasien atopik, dengan jumlah eosinofil dan produksi IgE meningkat dalam respon terhadap stres (35). Pada penderita DA yang mengalami stres, kadar IgE yang tinggi meningkatkan kadar IL-4 pada penelitian limfosit in vitro dari darah dibandingkan dengan kontrol orang sehat dan pasien DA dengan kadar baseline serum IgE yang rendah (36). Hubungan antara sel-sel mast, saraf, dan keratinosit diduga berperan dalam eksaserbasi inflamasi oleh stres. Selain mengaktifkan aksis HPA dalam pengaturan stres, corticotropin- releasing factor (CRF) juga memiliki efek pro-inflamasi periferal, pada beberapa penelitian terbaru menganalisis ekspresi kadar IL-6, IL-18, pada pasien dermatitis atopik yang mengalami stress ditemukan penurunan ekspresi IL-18 dibandingkan dengan kontrol orang sehat non-atopik. Dalam analisis imunohistokimia pasien DA terkait stres, didapatkan peningkatan jumlah pewarnaan positif untuk

Psychoneuroimmunology in Dermatology 47 sel mast, reseptor serotonin subtipe 5-HT1A dan 5-HT2A, dan serotonin transporter protein (SERT) yang diamati pada lesi dibandingkan dengan kulit yang tidak terlibat (38). Terlepas dari aksis HPA, efek dari saraf perifer dan disregulasi dari jalur glukokortikoid dan fungsi reseptor glukokortikoid mungkin terlibat dalam stres efek neuroimmune stress-induced pada inflamasi kulit. Karena leukosit pasien DA menunjukkan peningkatan regulasi reseptor glukokortikod untuk menurunkan kadar glukokortikoid. Respon sel efektor terhadap peningkatan kortisol akibat stres akan menyebabkan pergeseran respon imun dari Th1 (cell-mediated) ke Th2 (humoral) (39). Selain itu, pengaruh CRF pada penurunan produksiIL-18 di sel dendritik juga dapat dipertimbangkan, mengingat bahwa IL-18 berfungsi sebagai inducer IFN-γ dan promotor Th1. Dengan demikian, hal ini mendukung bahwa stres menurunkan imunitas seluler, dan CRF merangsang respon imun dengan mengaktivasi sel dendritik (37).

Respon sistem saraf pusat dan perifer terhadap stres Pasien atopik, termasuk orang-orang dengan DA, berespon terhadap stres dengan produksi kortisol yang sub-optimal (39). Aktivasi dari aksis HPA oleh stres dan peningkatan kadar hormon stres akan menurunkan tingkat progesteron (41). Sistem saraf otonom, yang terdiri dari parasimpatis dan simpatis, mempengaruhi parameter fisiologis seperti detak jantung. Denyut jantung secara konsisten meningkat pada pasien dengan DA, dibandingkan dengan kontrol yang sehat, bahkan pada pasien yang tidak adanya stres (42). Histamin dan ACh memicu rasa gatal, dan histamin adalah yang terbaik- dikenal pruritogen pada manusia (43).

Psychoneuroimmunology in Dermatology 48

Mediator inflamasi neurogenik pada dermatitis atopik Neuropeptide Y (NPY) dan noradrenalin dilepaskan dari terminal saraf simpatis dan berfungsi sinergis sebagai agonisadrenergik. Sel NGF-reaktif lebih terekspresikan pada epidermis dan dermis dan jumlah sel NPY-positif secara signifikan lebih besar dalam epidermis kulit lesi DA dibandingkan dengan kontrol sehat (44). Stres psikologis dapat dikaitkan dengan gatal di DA. Sensasi gatal, dengan dorongan untuk menggaruk, merupakan sumber dari stres psikologis pada pasien, yang menunjukkan dapat dilakukan intervensi psychopharmacologic (11). Korelasi antara skor kecemasan yang tinggi pada pasien DA dengan pruritus dan aktivitas NPY dan NGF yang meningkat menunjukkan bahwa kecemasan dapat meningkatkan ekspresi dari kedua neuropeptida ini, yang dapat berkontribusi untuk pruritus (44). Rasa gatal yang dipicu oleh NGF dan NPY karena kecemasan membutuhkan strategi terapi yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan stres. Secara imunologis kimia terjadi peningkatan kontak Substance P (SP) dan calcitonin gene related peptide (CGRP) pada lesi dan non lesi pada kulit orang normal. Terdapat peningkatan kadar NGF dan SP pada penderita DA, dan berhubungan dengan keparahan penyakit (49, 50).

Stres psikologis dan disfungsi sawar epidermal Studi mengenai efek dari stres psikologis pada fungsi sawar menunjukkan gangguan dalam keseimbangan antara produksi dan pengelupasan corneocytes (45). Pemakaian glukokortikoid dalam jangka pendek mengganggu integritas dan kohesistratum korneum, kerusakan barrier system pada orang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 49 yang stres lebih berat daripada orang yang tidak stres. Pada percobaan yang dilakukan pada hewan, tampak bahwa ada hubungan antara stres dengan sintesa lemak epidermis yang menyebabkan adanya gangguan barrier (47), serta terdapat peningkatan koloni A Streptococcus pyogenes (GAS) pada hewan yang stress (48). Pengobatan dengan cara memblok hormon CRF atau glukokortikoid pada peripheral seperti pemberian topikal akan menormalkan lemak fisiologis dan akan menurunkan GAS pada kulit. Antagonis CRF1 (antalarmin; RU-486).

Kesimpulan Meskipun mekanisme yang mendasari asosiasi DA dengan stres psikologis belum sepenuhnya terjelaskan, bidang psikoneuroimunologi memiliki banyak wawasan baru untuk memahami peran stres di DA. Baru-baru ini telah dibuktikan lebih jauh melalui manifestasi klinis dan fisiologis bahwa stress psikologis merupakan kontributor yang signifikan untuk perjalanan penyakit DA melalui efek langsung dan tidak langsung pada respon imun, ekspresi Neuropeptida pada kulit, dan fungsi sawar kulit. Penelitian ilmiah mengenai interaksi neurokutaneus ini masih terus berkembang, dan terdapat potensi besar untuk mengidentifikasi target terapi neuroimmunemodulating. Perkembangan tersebut akan memperbaiki dan meningkatkan pengobatan dan kekambuhan penyakit ini, yang sering kali menurunkan kualitas hidup pasien.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 50

Daftar Pustaka 1. De Benedetto A, Agnihothri R, McGirt LY, Bankova LG, Beck LA. Atopic dermatitis: a disease caused by innate immune defects? J Invest Dermatol. 2009; 129:14–30. [PubMed: 19078985] 2. Solomon LM, Beerman H. Atopic dermatitis. Am J Med Sci. 1966; 252:478–496. [PubMed: 5332067] 3. Pastar Z, Lipozencic J, Ljubojevic S. Etiopathogenesis of atopic dermatitis – an overview. Acta Dermatovenerol Croat. 2005; 13:54–62. [PubMed: 15788148] 4. Weidinger S, Gieger C, Rodriguez E, Baurecht H, Mempel M, Klopp N, et al. Genome-wide scan on total serum IgE levels identifies FCER1A as novel susceptibility locus. PLoS Genet. 2008; 4:e1000166. [PubMed: 18846228] 5. Morren MA, Przybilla B, Bamelis M, Heykants B, Reynaers A, Degreef H. Atopic dermatitis: triggering factors. J Am Acad Dermatol. 1994; 31:467–473. [PubMed: 8077475] 6. Slominski A, Wortsman J. Neuroendocrinology of the skin. Endocr Rev. 2000; 21:457–487. [PubMed: 11041445] 7. O’Regan GM, Sandilands A, McLean WH, Irvine AD. Filaggrin in atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol. 2009; 124:R2–6. [PubMed: 19720209] 8. Chuong CM, Nickoloff BJ, Elias PM, Goldsmith LA, Macher E, Maderson PA, et al. What is the ‘true’ function of skin? Exp Dermatol. 2002; 11:159–187. [PubMed: 11994143] 9. Steinhoff M, Vergnolle N, Young SH, Tognetto M, Amadesi S, Ennes HS, et al. Agonists of proteinase-activated receptor 2 induce inflammation by a neurogenic mechanism. Nat Med. 2000; 6:151–158. [PubMed: 10655102 10. Arck P, Paus R. From the brain-skin connection: the neuroendocrine-immune misalliance of stress and itch. Neuroimmunomodulation. 2006; 13:347–356. [PubMed: 17709957 11. Arndt J, Smith N, Tausk F. Stress and atopic dermatitis. Curr Allergy Asthma Rep. 2008; 8:312–317. [PubMed: 18606083] 12. Cacioppo JT, Berntson GG, Malarkey WB, Kiecolt-Glaser JK, Sheridan JF, Poehlmann KM, et al. Autonomic, neuroendocrine, and immune responses to psychological stress: the reactivity hypothesis. Ann N Y Acad Sci. 1998; 840:664–673. [PubMed: 9629293]

Psychoneuroimmunology in Dermatology 51

13. Glaser R, Kiecolt-Glaser JK. Stress-induced immune dysfunction: implications for health. Nat Rev Immunol. 2005; 5:243–251. [PubMed: 15738954] 14. Elenkov IJ, Webster EL, Torpy DJ, Chrousos GP. Stress, corticotropin-releasing hormone, glucocorticoids, and the immune/inflammatory response: acute and chronic effects. Ann N Y Acad Sci. 1999; 876:1–11. discussion 11–13. [PubMed: 10415589] 15. Elenkov IJ. Glucocorticoids and the Th1/Th2 balance. Ann N Y Acad Sci. 2004; 1024:138–146. [PubMed: 15265778] 16. Adams S, O’Neill DW, Bhardwaj N. Recent advances in dendritic cell biology. J Clin Immunol. 2005; 25:177–188. [PubMed: 16118915] Tracey KJ. Understanding immunity requires more than immunology. Nat Immunol. 2010; 11:561–564. [PubMed: 20562838] 17. Tracey KJ. Understanding immunity requires more thanimmunology. Nat Immunol 2010; 11: 561–564. 18. Slominski A, Pisarchik A, Zbytek B, Tobin DJ, Kauser S, Wortsman J. Functional activity of serotoninergic and melatoninergic systems expressed in the skin. J Cell Physiol. 2003; 196:144–153. [PubMed: 12767050] 19. Lundeberg L, El-Nour H, Mohabbati S, Morales M, Azmitia E, Nordlind K. Expression of serotonin receptors in allergic contact eczematous human skin. Arch Dermatol Res. 2002; 294:393– 398. [PubMed: 12522576] 20. Buddenkotte J, Steinhoff M. Pathophysiology and therapy of pruritus in allergic and atopicdiseases. Allergy. 2010; 65:805– 821. [PubMed: 20384615] 21. Raap U, Kapp A. Neuroimmunological findings in allergic skin diseases. Curr Opin Allergy ClinImmunol. 2005; 5:419–424. [PubMed: 16131917] 22. Steinhoff M, Stander S, Seeliger S, Ansel JC, Schmelz M, Luger T. Modern aspects of cutaneousneurogenic inflammation. Arch Dermatol. 2003; 139:1479–1488. [PubMed: 14623709] 23. Elias PM, Steinhoff M. “Outside-to-inside” (and now back to “outside”) pathogenic mechanisms inatopic dermatitis. J Invest Dermatol. 2008; 128:1067–1070. [PubMed: 18408746]

Psychoneuroimmunology in Dermatology 52

24. Kawakami T, Ando T, Kimura M, Wilson BS, Kawakami Y. Mast cells in atopic dermatitis. CurrOpin Immunol. 2009; 21:666–678. [PubMed: 19828304] 25. Hakim-Rad K, Metz M, Maurer M. Mast cells: makers and breakers of allergic inflammation. CurrOpin Allergy Clin Immunol. 2009; 9:427–430. [PubMed: 19550301] 26. Theoharides TC, Conti P. Mast cells: the Jekyll and Hyde of tumor growth. Trends Immunol.2004; 25:235–241. [PubMed: 15099563] 27. Mitschenko AV, Lwow AN, Kupfer J, Niemeier V, Gieler U. Neurodermitis und Stress. Wiekommen Gefühle in die Haut? Hautarzt. 2008; 59:314–318. [PubMed: 18389157] 28. Pisarchik A, Slominski AT. Alternative splicing of CRH-R1 receptors in human and mouse skin:identification of new variants and their differential expression. FASEB J. 2001; 15:2754–2756.[PubMed: 11606483] 29. Kempuraj D, Papadopoulou NG, Lytinas M, Huang M,Kandere- Grzybowska K, Madhappan B, et al. Corticotropinreleasing hormone and its structurally related urocortin aresynthesized and secreted by human mast cells. Endocrinology2004; 145: 43– 48. 30. Arck PC, Slominski A, Theoharides TC, Peters EM, PausR. Neuroimmunology of stress: skin takes center stage. JInvest Dermatol 2006; 126: 1697–1704. 31. Harvima IT, Nilsson G, Naukkarinen A. Role of mast cellsand sensory nerves in skin inflammation. G Ital Dermatol Venereol 2010; 145: 195–204. 32. Vogelsang M, Heyer G, Hornstein OP. Acetylcholine inducesdifferent cutaneous sensations in atopic and non- atopicsubjects. Acta Derm Venereol 1995; 75: 434–436. 33. Cicek D, Kandi B, Berilgen MS, Bulut S, Tekatas A, DertliogluSB, et al. Does autonomic dysfunction play a role inatopic dermatitis? Br J Dermatol 2008; 159: 834–838. 34. Leung DY, Boguniewicz M, Howell MD, Nomura I, HamidQA. New insights into atopic dermatitis. J Clin Invest 2004;113: 651–657. 35. Uehara M, Izukura R, Sawai T. Blood eosinophilia in atopicdermatitis. Clin Exp Dermatol 1990; 15: 264–266. 36. Stephan M, Jaeger B, Lamprecht F, Kapp A, Werfel T,Schmid-Ott G. Alterations of stress-induced expression ofmembrane

Psychoneuroimmunology in Dermatology 53

molecules and intracellular cytokine levels inpatients with atopic dermatitis depend on serum IgE levels.J Allergy Clin Immunol 2004; 114: 977–978. 37. Lee HJ, Kwon YS, Park CO, Oh SH, Lee JH, Wu WH, etal. Corticotropin-releasing factor decreases IL-18 in themonocyte- derived dendritic cell. Exp Dermatol 2009; 18: 199–204. 38. Lonne-Rahm SB, Rickberg H, El-Nour H, Marin P, AzmitiaEC, Nordlind K. Neuroimmune mechanisms in patients withatopic dermatitis during chronic stress. J Eur Acad DermatolVenereol 2008; 22: 11–18. 39. Rupprecht M, Rupprecht R, Kornhuber J, Wodarz N, KochHU, Riederer P, et al. Elevated glucocorticoid receptorconcentrations before and after glucocorticoid therapy inperipheral mononuclear leukocytes of patients with atopicdermatitis. Dermatologica 1991; 183: 100–105. 40. Buske-Kirschbaum A, Ebrecht M, Hellhammer DH. BluntedHPA axis responsiveness to stress in atopic patients is associatedwith the acuity and severeness of allergic inflammation.Brain Behav Immun 2010; 24: 1347–1353. 41. Arck PC, Rucke M, Rose M, Szekeres-Bartho J, DouglasAJ, Pritsch M, et al. Early risk factors for miscarriage: aprospective cohort study in pregnant women. Reprod BiomedOnline 2008; 17: 101– 113. 42. Seiffert K, Hilbert E, Schaechinger H, Zouboulis CC, DeterHC. Psychophysiological reactivity under mental stress inatopic dermatitis. Dermatology 2005; 210: 286–293. 43. Ikoma A, Steinhoff M, Stander S, Yosipovitch G, SchmelzM. The neurobiology of itch. Nat Rev Neurosci 2006; 7:535–547. 44. Oh SH, Bae BG, Park CO, Noh JY, Park IH, Wu WH, et al.Association of stress with symptoms of atopic dermatitis.Acta Derm Venereol 2010; 90: 582–588. 45. Tausk FA, Nousari H. Stress and the skin. Arch Dermatol2001; 137: 78–82. 46. Bender BG, Ballard R, Canono B, Murphy JR, Leung DY, Disease severity, scratching, and sleep quality in parients with atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol, 2008; 58: 415-420. 47. Kao JS, Fluhr JW, Man MQ, Fowler AJ, Hachem JP, Crumrine D, et al. Short-term glucocorticoid treatment compromises both permeability barrier homeostasis and stratum corneum

Psychoneuroimmunology in Dermatology 54

integrity: inhibition of epidermal lipid synthesis accounts for functional abnormalities. J Invest Dermatol2003; 120: 456–464. 48. Aberg KM, Radek KA, Choi EH, Kim DK, Demerjian M, Hupe M, et al. Psychological stress downregulates epidermal antimicrobial peptide expression and increases severity of cutaneous infections in mice. J Clin Invest 2007; 117: 3339–3349. 49. Toyoda M, Nakamura M, Makino T, Hino T, Kagoura M, Morohashi M. Nerve growth factor and substance P are useful plasma markers of disease activity in atopic dermatitis. Br J Dermatol 2002; 147: 71–79. 50. Hodeib A, El-Samad ZA, Hanafy H, El-Latief AA, El-Bendary A, Abu-Raya A. Nerve growth factor, neuropeptides and cutaneous nerves in atopic dermatitis. Indian J Dermatol 2010; 55: 135– 139.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 55

Psychoneuroimmunology in Dermatology 56

PSORIASIS BASED ON PSYCHONEUROIMMUNOLOGY

Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNUD/RSUP Sanglah

Abstrak Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit yang sampai saat ini patogenesisnya belum sepenuhnya dipahami namun secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup penderitanya karena berdampak pada aspek psikologis dan sosialnya. Sebagian besar pasien psoriasis mengalami gangguan psikologis seperti depresi, marah, dan cemas yang akhirnya juga disertai adanya peningkatan penggunaan alkohol. Penyakit yang bersifat menahun dan kambuh- kambuhan serta efek pengobatan yang kurang memuaskan menjadi beban psikososial bagi penderita psoriasis. Saat ini psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit multifaktorial yang dipengaruhi oleh adanya predisposisi genetik, faktor lingkungan, serta faktor imunologi yang diduga berpengaruh dalam patogenesis psoriasis. Faktor stres psikologis dikatakan berperan besar dalam terjadinya psoriasis karena adanya keterkaitan respon terhadap stres dengan respon imunitas melalui hypothalamic-pituitary-adrenal axis dan sympathetic- adrenal modullary axis, hormon stres, dan substansi P. Psoriasis dalam hubungannya dengan psikoneuroimunologi inimerupakan topik yang masih berkembang pesat dan diharapkan dapat membuka peluang baru dalam penatalaksanaan psoriasis. Kata kunci: psoriasis, psikoneuroimunologi Abstract Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease. The pathogenesis is still not fully understood but yet caused a significant effect to the quality of life of the patient because its

Psychoneuroimmunology in Dermatology 57 profound morbidity in the psychosocial aspect of patient’s life. Most patients experienced psychological symptoms such as depression, anger, and anxiety which eventually lead to increased in alcohol abuse. The chronic nature of the disease with intermittent flare and unsatisfying modality in intervention become a huge burden for psoriasis patients. Nowadays psoriasis is considered as a multifactorial disease that influenced by genetic predisposition, environment factor, and immunological response that interconnected in the pathogenesis of psoriatic lesions. Psychological stress is believed as one of important factor in pathogenesis of psoriasis because response against stress is closely related with immunological cascade through hypothalamic-pituitary- adrenal axis and sympathetic-adrenal medullary axis, stress hormone, and P substances. This topic is still vastly developing and hopefully can open a new window in management of psoriasis. Key words: psoriasis, psychoneuroimmunology

Pendahuluan Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit yang sampai saat ini patogenesisnya belum sepenuhnya dipahami. Penyakit ini bersifat universal dan dapat mengenai semua kelompok umur. Prevalensi penyakit ini sangat bervariasi pada setiap populasi berkisar antara 0,1% hingga 11,8%. Prevalensi tertinggi dilaporkan terjadi di Denmark mencapai 2,9%.1 Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan insiden psoriasis dalam kurun waktu selama 2003-2006 adalah 0,4%.2 Insidens psoriasis di RSUP Kariadi dalam kurun 5 tahun (2003- 2007) mencapai 0,9%. Psoriasis secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup penderitanya dan hal ini berdampak pada psikologis dan sosialnya.3 Sekitar 35 % pasien psoriasis mengalami depresi dan 80% mengalami efek negatif terhadap hidupnya seperti

Psychoneuroimmunology in Dermatology 58 adanya rasa marah, cemas, dan peningkatan penggunaan alkohol.4,5 Selain itu 40% pasien menyatakan frustasi terhadap pengobatan yang diterima karena tidak menunjukkan efek yang agresif.1 Saat ini psoriasis dianggap sebagai penyakit multifaktorial yang dipengaruhi oleh adanya predesposisi genetik, faktor lingkungan, serta faktor imunologi sangat berpengaruh dalam patogenesis psoriasis.

Faktor Genetik Peranan gen terhadap tejadinya psoriasis sudah banyak diteliti. Identifikasi beberapa lokus gen telah ditentukan seperti 6p (PSORS1), 17q25 (PSORS2), 4q34 (PSORS3), 1q21 (PSORS4), 3q21(PSORS5), 19p13 (PSORS6), 1p32(PSORS7), 16q (PSORS8), 4q31(PSORS9).6 Diantara lokus gen tersebut diatas gen Psors 1 yang terletak pada Human Leucocyte Antigen Class 1 Chromosom 6p (HLA-Cw6) merupakan gen yang paling suseptibel dalam presentasi antigen terhadap sel T CD8+ dan dalam hubungannya dengan respon imun adaptif. Pada PSOR1 juga ditemukan korneodesmosin pengkode protein yang berperan dalam diferensiasi keratinosit dan diduga sebagai faktor genetik lainnya.1,7

Faktor Lingkungan Lingkungan berperan penting dalam patogenesis psoriasis. Beberapa faktor lingkungan sepeti trauma fisik, obat-obatan, infeksi dan stres psikologis dapat mencetuskan psoriasis pada individu yang suseptibel secara genetik.7 Beberapa obat- obatan diketahui dapat mencetuskan psoriasis seperti lithium, beta-blocker, anti malaria, tetrasiklin dan non steroid anti inflammatory (NSAID). Obat-obat lainnya yang masih diduga

Psychoneuroimmunology in Dermatology 59 adalah angiotensin-converting enzyme inhibitors, calcium channel blockers, dan potassium iodide.8 Peran infeksi dalam mencetuskan psoriasis juga telah diteliti. Infeksi terutama oleh Streptococcus pyogenes yang terdapat pada tonsil dapat memicu terjadinya lesi psoriasis oleh karena superantigen streptokokus ini dapat mengaktivasi sel T. Secara normal APC mengenalkan antigen kepada sel T maka sel T akan teraktivasi dan sel T yang telah teraktivasi diketahui berperan penting dalam patogenesis psoriasis.10 Sel T teraktivasi akan berproliferasi kemudian bermigrasi menuju jaringan atau tempat antigen selanjutnya sel T teraktivasi ini menjalankan fungsinya sebagai sel T efektor. Sebagian sel T efektor akan menghilang setelah antigen target tereliminasi, dan sebagian kecil sel T ini menetap menjadi sel memori. Sel T memori dapat bertahan dalam beberapa tahun dalam organ limfoid dan jaringan dan sel T ini akan dengan mudah teraktivasi dan lebih cepat menjalankan fungsinya sebagai sel T efektor atau berproliferasi apabila terpapar antigen yang sama. Selama respon imun berlangsung sel T tidak hanya berproliferasi akan tetapi juga berdifrensiasi menjadi subset sel T seperti Th-1, Th-2, Th17 dan T-reg setelah teraktivasi oleh antigen dan difrensiasi sel T ini dipengaruhi oleh sitokin-sitokin yang dikeluarkan saat terjadi paparan antigen.10 Trauma juga dapat memicu lesi psoriasis karena psoriasis adalah salah satu penyakit yang ditandai oleh Fenomena Koebner, karena pada trauma akan menimbulkan injuri pada epidermis selanjutnya menimbulkan inflamasi dan muncul lesi psoriasis pada daerah trauma tersebut. Salah satu faktor risiko penting adalah stres psikologis.11 Awalnya stres psikologis dianggap hanya dapat mengakibatkan menurunnya respons terapi dan menyebabkan bertambah beratnya

Psychoneuroimmunology in Dermatology 60 keadaan pasien, namun kemudian diketahui bahwa hormon stres, seperti kortisol dan norepinefrin yang meningkat dapat mengganggu keseimbangan Th1/Th2, sebagai akibat dari stimuli stres terhadap sumbu hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA axis).12

Hubungan Stres dengan Respon Imunologi Respon imun terhadap stres dapat menyebabkan terjadinya perubahan secara fisiologis bertujuan untuk membantu individu dalam menghadapi stres tersebut. Akan tetapi bila stres yang terjadi secara kronis dan berlangsung terus menerus akan menimbulkan aktivasi respon yang melibatkan hypothalamic-pituitary-adrenal axis dan sympathetic-adrenal medullary axis yang menyebabkan dikeluarkannya produksi hormon glukokortikoid dan katekolamin.12 Reseptor glukokortikoid akan terekspresi pada berbagai sel imun mengikat kortisol dan mempengaruhi fungsi NFkβ dalam meregulasi aktivitas sel-sel imun seperti sel T untuk memproduksi sitokain. Selain itu reseptor adrenergik akan mengikat epinefrin dan norepinefrin akan mengaktivasi respon cAMP untuk mengikat elemen protein selanjutnya menginduksi gen transkripsi untuk pembentukan berbagai sitokin. Perubahan ekspresi gen yang dimodulasi oleh hormon glukokortikoid dan katekolamin dapat menyebabkan disregulasi fungsi imun. Hubungan stres dengan disregulasi imun berimplikasi terhadap kesehatan sudah dapat dibuktikan dengan baik.12

Etiopatogenesis Psoriasis Penyebab utama psoriasis belum diketahui. Keberhasilan pengobatan lesi psoriasis dengan anti inflamasi siklosporin

Psychoneuroimmunology in Dermatology 61 menyebakan para ilmuwan lebih fokus pada peran imun dalam patogenesis psoriasis.1,7 Sistem imun yang berperan adalah sistem imun alami dan adaptif, yang mana kedua sistem imun tersebut dapat melibatkan sel-sel keratinosit, fibroblas dan sel endotel. Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel dendritik dan makrofag memiliki peranan dalam mengawali respon imun spesifik dan induksi self tolerance. Proliferasi abnormal keratinosit diinduksi oleh sel limfosit T, berpengaruh terhadap cell-mediated reactivity dan complement-mediated reaction yang terlokalisir pada stratum korneum, semua ini diketahui berimplikasi pada patogenesis psoriasis.13,14 Peran keratinosit dalam patogenesis psoriasis adalah sebagai penghasil utama sitokin proinflamasi, kemokin dan growth factor serta mediator inflamasi lainnya seperti eikosanoid dan mediator imunitas alami antara lain katelisidin, defensin dan protein S100. Keratinosit pada psoriasis diaktifkan melalui suatu jalur alternatif diferensiasi keratosit, yang mana jalur ini teraktivasi sebagai respon terhadap stimulasi imunologi pada psoriasis, akan tetapi mekanismenya masih belum dipahami. Selanjutnya keratinosit dengan sitokin-sitokin yang dihasilkan akan berperan sebagai faktor angiogenik menyebabkan proliferasi vaskuler dermis yang abnormal dan angiogenesis. Pada lesi psoriasis tipe plak didapatkan peningkatan kadar vascular endothelial growth factor (VEGF).6

Hubungan Stres dengan Psoriasis Literatur yang menghubungkan stres dengan eksaserbasi lesi psoriasis sangat banyak. Penelitian tentang hal ini melaporkan bahwa neuropeptida dapat menginduksi mekanisme inflamasi neurogenik.15,16 Teori ini menduga bahwa keluarnya substasi P dari saraf sensoris pada kulit oleh faktor lokal maupun sistemik

Psychoneuroimmunology in Dermatology 62 menyebabkan inflamasi lokal yang dapat sebagai pemicu lesi psoriasis. Pada kulit orang sehat diinervasi oleh saraf sensoris yang tidak bermielin dan substansi P terlokalisir pada ujung bebas saraf pada papilare dermis dan epidermis.16,17 Keluarnya neuropeptida lokal dari saraf sensoris pada kulit belum diyakini sebagai stimuli respon stres, akan tetapi selama stres terjadi aktivasi area korteks yang lebih tinggi dapat mengeluarkan substansi P dari kelenjar adrenal melalui serat-serat eferen saraf otonom. Beberapa serat saraf ini menginervasi opioid interneuron pada kornu dorsalis yang bersinap dengan saraf yang mengandung substasi P pada medula spinalis. Substansi P keluar melalui mekanisme antidromik disertai stimulasi nosiseptor yang berakibat terjadinya urtika (ekstravasasi plasma protein dan vasodilatasi.18,19 Hal ini merupakan sebagian penjelasan terhadap efek fisiologi kulit terhadap stres emosional. Beberapa contoh yang mendukung pendapat ini adalah pada kasus-kasus pembedahan yang menginduksi serat sensoris dengan anastesi lokal menunjukkan bahwa rekarensi psoriasis seiring dengan kembalinya sensasi kulit setelah anastesi. Rekurensi lesi psoriasis pasca operasi setelah induksi anaestesi dapat sebagai akibat dari regenerasi substansi P yang terkandung dalam serat-serat saraf.20 Bukti lain yang mendukung adalah keberhasilan penggunaan kapsaisin topikal pada psoriasis derajat sedang dan berat. Efek menguntungkan dari kapsaisin ini lebih berhubungn dengan terjadinya deplesi lokal substansi P dari ujung terminal saraf sensoris.21,22

Ringkasan Patogenesis psoriasis secara pasti belum sepenuhnya dipahami, namun demikian telah diketahui bersifat multifaktorial. Stres adalah salah satu faktor penting dalam

Psychoneuroimmunology in Dermatology 63 patogenesis psoriasis dan eksaserbasi psoriasis oleh karena stres dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan seperti menimbulkan aktivasi respon imun yang melibatkan hypothalamic-pituitary-adrenal axis dan sympathetic-adrenal medullary axis dan mengakibatkan dikeluarkannya produksi hormon glukokortikoid dan katekolamin.11 Selama stress terjadi aktivasi area korteks yang lebih tinggi dapat mengeluarkan substansi P dari kelenjar adrenal melalui serat- serat eferen saraf otonom. Substansi P keluar melalui mekanisme antidromik disertai stimulasi nosiseptor yang berakibat terjadinya ekstravasasi plasma protein dan vasodilatasi. Terjadinya eksaserbasi lesi psoriasis setelah anaetesi lokal pada pembedahan merupakan regenerasi substasi P pada serat saraf membuktikan bahwa substasi P memegang peranan dalam mekanisme terjadinya lesi maupun eksaserbasi lesi psoriasis.

Daftar Pustaka 1. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilcherst BA, Paller AS, Leffell DJ, Eds. Fitzpatrick’s Dermatology In Generald Medicine. 8th Ed. New York: McGraw Hill; 2012. p.197-231. 2. Budiastuti A, Sugianto, R. Hubungan Umur dan Lama Sakit terhadap Derajat Keparahan Penderita Psoriasis. Media Medika Indonesiana. 2009;43(6):312-6. 3. Jobbling, R. Assessing the Impact of Psoriasis and The Relevance of Qualitative Research. J Invest Dermatol. 2006;126 (7):1438- 40. 4. Mease PJ, Menter MA. Quality of Life Issues in Psoriasis and Psoriatic Arthritis: Outcome Measure and Therapies from a Dermatological Perspective. J Am Acad Dermatol. 2006; 54(4): 685-704. 5. Friedewald VE. Carther C. The Editor’s Rountable: Psoriasis Inflammation and Coronary Artery Disease. Am J Cardiol. 2008;101(8):1119-26.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 64

6. Mahajan R, Handa S. Pathophysiology of Psoriasis. Indian J Dermatol Venereol. 2013; 79(7): 1-9. 7. Bergboer JG, Zeuwen PL, Sehalkwijk J. Genetic of Psoriasis: Immune Deviation. J Invest Deermatol. 2012; 132: 2320-1. 8. Basavararaj, KH, Ashok NM, Rashmi R, Pravee TK. The Role of Drug in Induction and/ or Exacerbation of Psoriasis. Int J Dermatol. 2010; 49: 1351-61. 9. Nograles KE, Davodovici B, Kruger JG. New Insight in the Immunologic Basis of Psoriasis. Semin Cutan Med Surg. 2010; 29: 3-9. 10. Betteli E, Carrier Y, Gao W, Kom T, Strom TB, Oukka M. Reciprocal Development Pathways for the Generation of Pathogenic Effector Th-17 and Regulator Cells. Natur. 2006; 441: 235-8. 11. Nickoloff BJ. The Immunologic and Genetic Basis of Psoriasis. Arch Dermatol. 1999; 135: 1104-10. 12. Karanikas E, Harsoulis F, Giouzepas F, Griveas I. Stimulation of the Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis with Corticotropin Releasing Hormone in Patients with Psoriasis. Hormone. 2007; 6(4): 314-320. 13. Valdimarsson H, Baker BS, Jonsdottir, I, Fry L. Psoriasis: A Disease of Abnormal Keratinocyte Proliferation Induced by T- Lymphocytes. Immunol Today. 1986; 7: 256-9. 14. Beutner EH. Autoimmunity in Psoriasis. In: Beutner et al, eds. Immunopathology of The Skin. New York: John Wiley and Sons. 1987. p.703. 15. Farber EM, Nickoloff BJ, Recht B, Fraki JE. Stress, Symmetry, and Psoriasis: Possible Role of Neuropeptides. J Am Acad Dermatol. 1986: 14: 305-11. 16. Farber EM, Rein G, Lanigan SE. Stress and Psoriasis: Psychoneuroimmunology Mechanism. Int J Dermatol. 1991; 30: 8-12. 17. Wallengren J, Ekman R, Sundler F. Occurance and Distribution of Neuropeptides in the Human Skin. Acta Derm Venereol. 1987; 67: 185-92. 18. Dalsgaard CJ, Jonsson CE, Hokfelt T, Cuello AC. Localization of Substance P-Immunoreactive Nerve Fibers in The Human Digital Skin. Experentia. 1983; 39: 1018-20.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 65

19. Hagermark O, Hokfelt T, Pernow B. Flare and Itch Induced by Substance P in Human Skin. J Invest Derm. 1978; 71:233-235. 20. Farber EM, Lanigan SW, Rein G. The Role of Psychoneuroimmunology in The Pathogenesis of Psoriasis. Cutis. 1990; 46: 314-6. 21. Bernstein JE, Swift RM, Soltani K, Lorincz AL. Inhibition of Axon Reflex Vasodilatation by Topically Applied Capsaicin. J Invest Dermatol. 1981; 76: 394-5. 22. Jessel TM, Iversen LL, Cuello AC. Capsaicin-induced Depletion of Substance P from Primary Sensory Neurons. Brain Res. 1978; 152: 183-8.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 66

STRES PSIKOLOGIS, KONDISI SEHAT, DAN PENGUKURANNYA

Made Diah Lestari, S.Psi, M.Psi. Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak Paradigma biopsikososial meyakini bahwa kajian terkait dengan kondisi sehat dan sakit harus dilihat secara holistik. Paradigma ini mengganti paradigm awal yang hanya menelaah kondisi sakit dengan pendekatan kuratif semata. Psikologi kesehatan menemukan sejumlah variabel yang berkaitan dengan kehadiran penyakit, salah satunya stres. Stres pada dasarnya memiliki aspek fisilogis dan psikologis. Secara langsung, stres psikologi berdampak bagi kondisi sakit, health habits, dan health behavior. Saat individu berhadapan dengan peristiwa tertentu, penilaian yang dilakukan tidak hanya dalam tataran awal (primary appraisal), yang terpenting dalam pembentukan stres kemudian adalah persepsi individu dan juga secondary appraisal yang dilakukan oleh individu. Menjadi krusial kemudian untuk melakukan pengukuran dalam tataran perceived stress dalam mendalami pengalaman atau level stres dari individu. Kata kunci: Stres Psikologis, Fisik, Perceived Stress

Pendahuluan Pada awal tahun 1930, ilmu kedokteran psikosomatis dan ilmu kedokteran perilaku mulai tergerak untuk meneliti kaitan antara tubuh dan juga kondisi psikologis tertentu. Beberapa kalangan meyakini bahwa kondisi sakit tidak hanya mempengaruhi kondisi psikologis, namun juga dipengaruhi oleh kondisi psikologis tertentu. Inilah cikal bakal dari lahirnya ilmu psikologi kesehatan. Paradigma psikologi kesehatan adalah paradigma biopsikososial, dimana setiap kondisi sakit

Psychoneuroimmunology in Dermatology 67 dan sehat sangat dipengaruhi oleh variabel psikologis dan juga variabel sosial. Pandangan ini juga menggantikan pandangan biomedis yang lebih menitikberatkan pada penyembuhan kondisi sakit dan kurang mengakomodir kegiatan preventif dan promotif di bidang kesehatan (Sundberg, Wineberg, & Taplin, 2007). Dalam klasifikasi diagnostik yang sebagian besar digunakan oleh praktisi psikologi, ketika seorang pasien dinyatakan memiliki keluhan medis, maka diagnostik yang ditegakkan adalah kondisi mental karena kondisi medis tertentu. Kelemahannya adalah kecenderung untuk lebih fokus kepada kondisi medisnya dibandingkan dengan kondisi psikologis pasien, padahal pada beberapa kejadian, kondisi psikologis pasien sebaiknya mendapatkan perhatian yang utama. Salah satunya adalah kondisi stres. Makalah ini lebih lanjut akan membahas terkait dengan: 1. Stres, penyebab dan tipenya. 2. Bagaimana stres psikologis berkaitan dengan kondisi kesehatan fisik seseorang. 3. Ragam pengukuran stres: Bagaimana mendeteksi stres sejak awal.

Pembahasan 1. Stres, Penyebab, dan Tipenya Salah satu kondisi psikologis yang dikaitkan dengan kondisi kesehatan seseorang adalah kehadiran stres. Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan stres sebagai sebuah proses yang melibatkan stressor dan strain. Stressors diartikan sebagai sumber stress dan strain adalah kondisi ketegangan yang membutuhkan sebuah tindakan yang membantu individu untuk terlepas dari kondisi stres. Lebih lanjut Atwater (1983)

Psychoneuroimmunology in Dermatology 68 mendefinisikan stres sebagai sebuah tuntutan dari lingkungan yang membutuhkan respon adaptif dari individu. Berdasarkan definisi ini, maka stres mencakup hubungan antara faktor eksternal dan reaksi individu, bagaimana sesuatu diterima sebagai sesuatu yang menekan serta pola adaptasinya, dan pandangan bahwa setiap individu pasti mengalami stres, yang membedakan kemudian adalah ragam dan tingkatannya. Berdasarkan tingkatannya, dampak dari stres dapat bersifat distress dan juga eustress. Dalam tataran performance individu, maka eustress cenderung berdampak positif bagi individu dibandingkan dengan distress. Stres memiliki dua komponen, yakni fisik dan psikologis. Komponen fisik melibatkan fisik dan tubuh, kemudian komponen psikologi melibatkan bagaimana individu memaknai kenyataan dan keadaan yang ada di dalam kehidupannya (Lovallo, 1998). Stres terjadi ketika lingkungan eskternal menghadirkan tekanan, konflik, rasa cemas, dan frustrasi pada individu. Dalam hal ini, peristiwa yang menghadirkan stress tidak selalu peristiwa yang negatif, Holmes dan Rahe (dalam Atwater, 1983) menemukan sejumlah peristiwa positif yang dialami individu yang kemudian memiliki potensi untuk menghadirkan stres, seperti peristiwa persiapan pernikahan, kehamilan, promosi jabatan, dan menghadapi liburan. Hasil penelitian dari Holmes dan Rahe (dalam Atwater, 1983) menunjukkan bahwa persepsi individu terkait dengan peristiwa yang kemudian menjadi utama dalam menghadirkan stres. Dua individu yang berbeda bisa jadi menghadapi peristiwa yang sama, namun dengan persepsi atau cara pandang yang berbeda terhadap peristiwa, menghadirkan dampak yang berbeda pada setiap individu.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 69

Ada empat tipe stres psikologi, yakni tekanan, frustrasi, konflik, dan kecemasan (Atwater, 1983). Tekanan biasanya datang dari luar dan dalam diri individu. Seseorang merasakan tekanan karena persaingan tuntutan sosial, dan ambisi pribadi. Frustrasi hadir ketika individu merasakan hambatan dalam pencapaian tujuannya. Frustrasi adalah predictor bagi kemarahan dan agresi. Konflik timbul ketika individu diminta untuk berespon secara simultan terhadap sejumlah stimulus tertentu. Kecemasan adalah bentuk ketakutan individu akan sesuatu yang belum tentu terjadi saat ini. Lebih kepada ketakutan akan sesuatu yang baru akan terjadi di masa depan. Banyak peneliti dan praktisi di bidang ilmu kesehatan meyakini bahwa terdapat hubungan antara stres psikologis dengan kondisi sakit. Ketika seorang individu mengalami stres, maka kondisi stres akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengganggu metabolisme. Demikian sebaliknya kondisi sakit tertentu menjadi stressor atau penyebab stres bagi individu. Sarafino (2007) mengatakan bahwa stres memiliki aspek biologis dan psikologis. Aspek biologis mencakup gejala fisik dari stres yang dialami oleh individu, seperti sakit kepala, gangguan tidur, gangguan pencernaan, gangguan makan, keluhan di kulit, dan produksi keringat yang berlebih. Dalam tataran gejala psikologis aspek stres meliputi gejala kognisi, gejala emosional, dan gejala tingkah laku. Individu yang mengalami stres dalam tataran kognisi akan lebih mudah mengalami gangguan daya ingat, konsentrasi menurun, dan perhatian mudah teralih. Saat mengalami stress, emosi menjadi tidak stabil. Individu yang mengalami stres akan menunjukkan gejala mudah marah, cemas berlebih, merasa sedih, dan depresi. Dalam hal tingkah laku, stres memiliki

Psychoneuroimmunology in Dermatology 70 kontribusi dalam perubahan perilaku. Tidak sedikit kemudian stres mengganggu hubungan interpersonal individu dengan individu lain di sekitarnya. Yang penting kemudian ketika seseorang berhadapan dengan stressor adalah kemampuannya untuk membangun coping. Secara umum, ada dua macam tipe coping, yakni yang hanya menurunkan gejala stres (symptom reducing responses) dan yang berusaha untuk mengatasi stressor (problem solving approach) (Atwater, 1983)

Stress Physiological, cognitive, Gambar 1. The experience of Stress; Sumber: Taylor, 2009. emotional, and behavioral 2. Bagaimana Stres Psikologis Berkaitan dengan Kondisi responses Kesehatan Fisik Seseorang Ketika peristiwa dipersepsikan sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam, maka akan berakibat pada kondisi distres psikologis. Kondisi ini biasanya akan berdampak pada kondisi kesehatan individu baik short term maupun long term (Taylor, 2009). Dua system tubuh yang berkaitan dengan kondisi stres adalah sympathetic-adrenomedullary (SAM) system dan hypothalamic-pituitary-adrenocortical (HPA) axis.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 71

Ketika peristiwa dipersepsikan mengancam, maka akan mempengaruhi korteks. Informasi di korteks kemudian akan diteruskan ke hipotalamus. Disinilah respon awal terhadap stres terbentuk yang kemudian mempengaruhi adrenal glands dalam memproduksi epinephrine dan norepinephrine. Mekanisme inilah yang kemudian menghasilkan perasaan tidak nyaman pada individu ketika berhadapan dengan stressor. Sympathetic arousal anak meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan produksi keringat. Gangguan tidur adalah efek dari terganggunya ritme jantung. Tidak jarang, seseorang yang mengalami stres dan depresi biasanya kualitas dan kuantitas tidurnya menurun (Taylor, 2009). Selye (dalam Taylor, 2009) memberikan dasar pemikiran terkait dengan bagaimana kondisi stres berpengaruh pada HPA. Selye dengan teorinya terkait general adaptation syndrome (Atwater, 1983) mengungkapkan bahwa terdapat tiga tahapan progresif saat individu berhadapan dengan stres. Tahapan tersebut dan juga karakteristik adalah sebagai berikut: a. The Alarm Reaction Tahapan ini adalah respon emergency individu terhadap stres. Secara fisiologis akan ditandai dengan adanya perubahan reaksi dan kimia tubuh. Dalam tataran psikologis akan ditandai dengan adanya kecemasan. b. The Stage of Resistance Dalam tahapan ini, tubuh sudah mampu beradaptasi dengan stres yang berkepanjangan. Gejala pada tahapan sebelumnya sudah hilang dan resistensi tubuh hingga level di atas normal. Hal ini bentuk dari

Psychoneuroimmunology in Dermatology 72

coping terhadap stres. Selye (dalam Taylor, 2009) melihat tahapan ini sebagai tahapan diseases adaptation. c. The Stage of Exhaustion Tahapan ini terjadi ketika kondisi stres berlanjut dimana pertahanan tubuh menjadi menurun. Gejala fisiologis dari stres kembali muncul. Pada tahapan ini terjadi penuruan yang drastis pada sistem imunitas tubuh, beberapa penyakit degeneratif pun muncul. Prosesnya hampir menyerupai proses penuaan dan tubuh berespon terhadap tuntutan yang serupa. Dari uraian tersebut dapat terlihat bahwa stres memberikan dampak langsung pada kondisi fisik, kebiasaan, dan juga perubahan tingkah laku. STRESS

DIRECT PHYSIOLOGICAL HEALTH BEHAVIOR EFFECT HEALTH HABIT EFFECTS EFFORTS 1. Elevated lipids. 1. Decreased 1. Increased smoking, 2. Elevated blood compliance. alcohol use. pressure. 2. Increased delay in 2. Decreased nutrition. 3. Decreased immunity. seeking care. 3. Decreased sleep. 4. Increased hormonal 3. Obscured symptom activity. 4. Increased drug use. profile. 4. Decreased likehood of seeking care.

Gambar 2. Routes by Which Stress May Produce Disease; Sumber: Taylor, 2009

3. Ragam Pengukuran Stres: Bagaimana Mendeteksi Stres Sejak Awal Cohen, dkk (dalam Taylor, 2009) membangun sebuah pengukuran terkait dengan perceived stress. Perceived stress menjadi dasar bagi pengukuran yang valid ketika peristiwa

Psychoneuroimmunology in Dermatology 73 tidak lagi menjadi indikator obyektif dalam menilai apakah individu mengalami stres atau tidak. Perceived stress juga mampu memprediksi area yang luas dari dampak stres bagi kesehatan. Dalam pengukuran ini, individu diminta untuk memberikan penilaian terkait dengan perasaan dan pikirannya dalam sebulan terakhir. Pada beberapa pertanyaan, individu juga diminta untuk menilai seberapa sering perasaan dan pikiran tersebut muncul. Dalam pengukuran ini akan ada beberapa pertanyaan yang serupa, namun pada dasarnya respon yang dikehendaki berbeda sehingga setiap individu harus berespon pada setiap pertanyaan (lampiran 1) Ilmu psikologi menemukan bahwa terdapat kontribusi minor stress dan strain pada perkembangan penyakit tertentu. Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada pasien atau individu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa minor di lingkungan dan keseharian yang memicu terbentuknya ketegangan atau strain. Pada sejumlah peristiwa tersebut, pasien kemudian diminta untuk mengukur tingkat ketegangan yang dirasakan ketika pasien berhadapan dengan peristiwa atau situasi tersebut dalam keseharian (lampiran 2)

Penutup Kajian terkait hubungan antara kondisi psikologis dengan kondisi kesehatan atau perkembangan penyakit sudah berkembang sejak ilmu psikologi kesehatan berdiri sendiri menjadi sebuah cabang dari ilmu psikologi. Salah satu kondisi psikologis yang berkaitan dengan kondisi fisik adalah stres psikologis. Makalah menyimpulkan bahwa sebuah peristiwa membutuhkan tidak hanya primary appraisal, namun juga persepsi atau secondary appraisal untuk berkembang menjadi stressor dan menghasilkan dampak stres psikologis pada

Psychoneuroimmunology in Dermatology 74 individu. Aspek dari stres mencakup fisiologis, kognitif, emosional, dan tingkah laku. Dalam tahapan progresif Hans Selye (dalam Atwater, 1983), stres memberikan dampak secara langsung terhadap kondisi fisik, termasuk di dalamnya health habit dan juga health behavior. Sejumlah pertanyaan singkat untuk mengukur perceived stress yang dibangun oleh Cohen dkk (dalam Taylor, 2009) dapat dijadikan acuan dalam screening awal kondisi stres pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA Atwater, E. (1983). Psychology of Adjustment: Personal Growth in Changing World. 2nd Ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.

Lovallo, W.R. (1998). Hemodynamics during rest and behavioral stress in normotensive men at high risk for hypertension. Psychophysiology, 35, 47-53.

Sarafino, E.P. (2007). Health psychology: Biopsychology, USA: The College of New York.

Sundberg, N.D., Winebarger, A.A., & Taplin, J.R. (2007). Psikologi Klinis. Edisi Keempat. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Taylor, S.E. (2009). Health psychology, 7th Ed. USA: McGraw-Hill.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 75

Lampiran 1.

A. Measure of Perceived Stress (Cohen, dkk.)

NO PERTANYAAN 0 1 2 3 4 Tidak Hampir Kadang- Sering Sangat Pernah Tidak kadang Sering Pernah 1. Dalam sebulan terakhir, seberapa anda merasa sedih karena sesuatu terjadi tidak sesuai dengan harapan anda? 2. Dalam sebulan terakhir, seberapa sering anda merasa cemas dan tertekan? 3. Dalam sebulan terakhir, seberapa sering anda merasa tidak mampu berhadapan dengan hal-hal yang harus anda kerjakan? 4. Dalam sebulan terakhir, seberapa sering anda mengekspresikan kemarahan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 76

karena sesuatu terjadi di luar kontrol anda? 5. Dalam sebulan terakhir, seberapa sering pikiran anda terbebani oleh hal-hal yang harus anda selesaikan? 6. Dalam sebulan terakhir, seberapa sering anda merasa bahwa goal atau target yang anda hadapi terlalu sulit dan tinggi sehingga anda tidak bisa mencapainya?

Psychoneuroimmunology in Dermatology 77

Lampiran 2.

The Measurement of Daily Strain

NO PERISTIWA 0 1 2 3 4 Tidak Mild Somewhat Moderate Esktrim Muncul 1. Konflik dengan tetangga. 2. Kemacetan lalu lintas. 3. Kondisi kesehatan yang lemah. 4. Konflik dengan pasangan. 5. Kondisi finansial. 6. Menyiapkan kebutuhan rumah tangga.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 78

MENDETEKSI GANGGUAN PERILAKU DAN PSIKOLOGIS PADA ANAK-ANAK DENGAN MASALAH KULIT

Dra. Retno Indaryati Kusuma, Psi Psikolog di Bagian Psikologi Instalasi Rehabilitas Medis RSUP Sanglah Denpasar dan Pusat Layanan Psikologi –Terapi Anak & Remaja Pradnyagama Denpasar

ABSTRAK Anak-anak dengan gangguan kulit, seringkali menunjukkan perilaku immature (tidak matang atau kekanak-kanakan), kurang percaya diri dan menarik diri (lack of confidence and withdrawal). Mereka mengalami keterasingan sosial, merasa kurang percaya diri, merasa berbeda dan ‘dibedakan’ sehingga hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang bermain dengan anak seusianya, dan kurang memiliki ketrampilan sosial yang dibutuhkan untuk bersosialisasi. Beberapa di antara mereka merasakan ketakutan yang melampaui keadaan sebenarnya, kecemasan tanpa alasan, phobia, mengeluhkan rasa sakit atau ketidaknyamanan dan mengembangkan gejala psikosomatis yang digunakan untuk mencari ’perhatian dan ‘rasa aman’ maupun menghindari/ melarikan diri dari masalah. Ada diantara mereka mengalami regresi yaitu kembali pada tahap-tahap awal perkembangan dan selalu meminta bantuan dan perhatian, dan beberapa diantara mereka menjadi tertekan (depresi) tanpa alasan yang jelas yang akhirnya menurunkan fokus dan berdampak pada prestasi di sekolah. Stres pada anak-anak dengan masalah kulit tersebut terjadi karena tidak adekuatnya kebutuhan dasar yang akan dapat bermanifes pada kondisi dan perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku. Permasalahan perilaku, sosial dan emosi yang berdampak pada prestasi akademis seringkali menjadi gejala awal yang baru disadari lingkungan dan akhirnya mendorong para orangtua untuk melakukan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 79 intervensi psikologi. Kata kunci: Gangguan perilaku dan emosi, anak dengan masalah kulit

PENDAHULUAN Gambaran perilaku anak dengan masalah kulit, bisa dijelaskan dalam ilustrasi salah satu klien sebagai berikut: Putu (10 th) kelas IV SDN datang dengan keluhan tidak percaya diri, cenderung menyendiri, prestasi di sekolah semakin menurun, merasa susah berkonsentrasi, memiliki keluhan eksim sejak lahir dan sering menggaruk-garuk terutama ketika tegang menghadapi tugas-tugas sekolahnya. Akhir-akhir ini sering emosional dan menjadi ‘cengeng’, penakut, susah diatur dan cenderung membangkang. Seminggu yang lalu mogok sekolah karena diejek teman-temannya dan tersinggung dengan Guru barunya yang memberi label negatif karena kondisi kulitnya. Hasil pemeriksaan psikologi, kecerdasannya berfungsi di atas normal (IQ 117 dengan WISC), namun prestasi di sekolahnya di bawah rata-rata kelas. Profil kepribadiannya tergolong tipe sociable dan introvert, kurang percaya diri, kurang mampu mengekspresikan perasaan dan emosinya dengan cara yang adekuat dan sehat, menunjukkan cara pandang terhadap diri yang negatif, cenderung merasa tidak berdaya dan malu dengan kondisi kulitnya. Penelitian dan jurnal yang khusus membahas hubungan langsung antara gangguan perilaku pada anak dengan masalah kulit sangat susah ditemukan terutama di Indonesia, sehingga pembahasan pada paparan ini bersifat kualitatif menggunakan 11 kasus yang ditangani di Pradnyagama Konsultan Psikologi. Gambaran perilaku lebih banyak dihubungkan antara teori psikologi dan berdasarkan pengalaman penulis sebagai psikolog yang cukup banyak

Psychoneuroimmunology in Dermatology 80 menangani kasus-kasus anak-anak dan remaja. Menurut CCBD (Council for Children with Behavioral Disorders), gangguan emosi dan tingkah laku adalah ketidakmampuan yang ditandai dengan kesulitan merespon perilaku dan sikap emosional dalam menghadapi program- program pembelajaran sehingga sangat tidak sesuai dengan usia, budaya atau norma-norma etnis maupun berdampak buruk secara nyata pada kemampuan akademis, sosial, keterampilan dan kepribadian (Mark & Barlow, 2006). Indikasi seorang anak dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut dalam kurun waktu yang lama (Heward dan Orlansky (1988) dalam Mahabbati (2006), yaitu: a. Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor intelektualitas, alat indra maupun kesehatan. b. Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik. c. Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal. d. Mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi. e. Kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau sekolah.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 81

KARAKTERISTIK GANGGUAN PERILAKU, EMOSI DAN SOSIAL PADA ANAK DENGAN MASALAH KULIT A. Gangguan kecemasan, perilaku tidak matang dan tidak percaya diri Kesadaran diri yang berlebihan sehingga merasa ‘berbeda’ dan ‘dibedakan’, kurang percaya diri karena kondisi kulitnya, ketakutan, kecemasan yang tinggi, gangguan psikosomatik, tics, depresi, terlalu sensitif dan mudah sekali panik/ malu adalah gambaran umum kepribadian yang ditunjukkan oleh anak-anak dengan masalah kulit dari 11 kasus yang ditangani penulis. Perilaku immature (tidak matang atau kekanak- kanakan), kurang percaya diri dan menarik diri (lack of confidence and withdrawal). Mereka mengalami keterasingan sosial, merasa kurang percaya diri, merasa berbeda dan ‘dibedakan’ sehingga hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang bermain dengan anak seusianya, dan kurang memiliki ketrampilan sosial yang dibutuhkan untuk bersosialisasi. Ada beberapa jenis masalah perilaku yang diinternalisasi seperti depresi, anoreksia dan bulimia, bisu selektif (selective mutism), ketakutan dan phobia, serta penarikan diri dari lingkungan sosialnya (Mark & Barlow, 2006). a. Gangguan perilaku agresif aktif dan pasif Pada umumnya yang muncul adalah agresif pasif karena mayoritas memiliki kepercayaan diri yang rendah, sehingga semakin menyendiri dan menarik diri dari kelompok sosialnya dan mogok sekolah sebagai ‘bom waktu’. Namun bisa menjadi perusak, perilaku menyerang secara fisik dan verbal, sikap cari perhatian yang berlebihan dan juga pemarah ketika diberi label negatif oleh sekitarnya ataupun muncul ketika di rumah

Psychoneuroimmunology in Dermatology 82 sebagai zona yang bisa ‘dikuasai’nya. b. Gangguan pemusatan perhatian dan prestasi sekolah di bawah rata-rata kelas Beberapa studi-studi awal menemukan bahwa mayoritas siswa dengan gangguan emosi dan perilaku atas rata-rata menunjukkan kecerdasan. Beberapa ahli, menemukan bahwa anak-anak dengan gangguan ini memiliki inteligensi di bawah normal (sekitar 90) dan beberapa di atas bright normal. Siswa- siswa dengan gangguan emosi atau perilaku umumnya memiliki prestasi akademik yang rendah untuk usia mereka. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 74% dari remaja yang diklasifikasikan dengan gangguan ini memiliki kesulitan akademis (Hallahan & Kauffmann, 2006). Pengalaman penulis dari 11 kasus terakhir yang ditangani pada umumnya mereka menunjukkan kecerdasan normal (average) dan di atas rata-rata (brigth normal). Namun sikap yang sering bingung/ panik merasa tidak mampu, konsentrasi buruk, mudah terpecah, mudah lupa dan impulsif. Beberapa anak yang kurang percaya diri seringkali merasa gatal ketika tegang dan panik menghadapi stresor akademik maupun sosial sehingga mengganggu kemampuan fokusnya dalam menerima pelajaran. Berdasarkan kondisi ini semoga bisa mendorong penelitian yang lebih spesifik terutama di Indonesia untuk membuktikannya. c. Gangguan Gerak Gelisah, ketidakmampuan untuk duduk tenang, bahasa tubuh yang canggung, tingkat tekanan tinggi dan sangat banyak bicara atau gagap ketika bicara merupakan gambaran gangguan gerak yang sering muncul. Seperti anak-anak dengan ketidakmampuan belajar, salah satu yang paling umum dari keluhan tentang anak-anak tersebut merujuk pada evaluasi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 83 guru yang dinyatakan bahwa mereka memiliki gangguan emosi dan perilaku yang disebut hiperaktif. Kondisi ini seringkali semakin memperparah keadaan kulitnya karena banyaknya keringat yang muncul akibat aktivitas yang berlebihan dan menimbulkan gatal maupun ketidaknyamanan yang pada akhirnya mengganggu proses belajar. Namun ada beberapa kasus yang justru menunjukkan bahasa tubuh yang canggung dan gerakan yang lamban (clumsy) sehingga menghambat aktivitas sehari-hari baik yang berhubungan dengan kemandirian dan bantu diri maupun penyelesaian tugas-tugas di sekolah. d. Gangguan perilaku antisosial Penolakan dan kurang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai umum dan sosial, merupakan jenis gangguan perilaku ini, mereka cenderung melakukan pelanggaran disekolah, mencoba-coba perilaku negatif seperti merokok, membolos, miras dan penyalahgunaan obat-obatan pada remaja untuk dorongan perilaku terhadap kebutuhan diterima (acceptance) oleh kelompok (peers group) ( Gunarsa, 1997). Anak dengan gangguan emosional atau perilaku biasanya memiliki kekurangan dalam ketrampilan sosial yang mempengaruhi kemampuan untuk bekerja sama dengan guru, fungsi di dalam kelas, dan bergaul dengan siswa lain (Mahabbati, 2006). Conduct disorder (gangguan perilaku) juga merupakan permasalahan yang paling sering ditunjukkan oleh anak dengan gangguan emosi atau perilaku. Perilaku-perilaku tersebut seperti: memukul, berkelahi, mengejek, berteriak, menolak untuk menuruti permintaan orang lain, menangis, merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan frekuensi tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami

Psychoneuroimmunology in Dermatology 84 gangguan. Anak normal lain mungkin juga melakukan perilaku- perilaku tersebut tetapi tidak secara impulsif dan sesering anak dengan conduct disorder (Mark & Barlow, 2006). e. Perilaku Psikotik Mengungkapkan ide-ide yang aneh, bicara diulang-ulang, tidak sensitif, memperlihatkan perilaku aneh terutama pada remaja dan dampak bullying kondisi fisik mereka kadang-kadang memunculkan ide bunuh diri.

PENYEBAB GANGGUAN PERILAKU Penyebab-penyebab yang dicurigai sebagai pemicu gangguan perilaku-perilaku tersebut adalah: Kondisi Fisik Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Kelainan kulit terutama pada anak-anak termasuk di dalamnya. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhanya baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya. Kondisi ini kadang menimbulkan perasaan inferioritas dan menyebabkan ketidakstabilan emosi anak yang pada akhirnya berujung pada gangguan perilaku, sosial dan emosi. Masalah Perkembangan Erikson (dalam Gunarsa, 1997) menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan berbagai tantangan satu krisis emosi. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan social atau masyarakat. Sebaliknya apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 85 ini terjadi pada masa kanak-kanak dan masa pubertas. Pada masa kanak-kanak problem kulit kemungkinan hanya lebih akan mengganggu secara fisikal dan emosi internal akibat ketidaknyamanan. Sementara pada masa pubertas lebih luas karena berhubungan dengan kebutuhan harag diri, proses pencarian jati diri dan perasaan tidak percaya diri akibat kondisi fisiknya. Lingkungan Keluarga Keluarga sangat penting dalam perkembangan anak-anak. Interaksi negatif atau tidak sehat di dalam keluarga seperti sikap overprotective, atau sebaliknya pelecehan dan penelantaran, kurangnya pengawasan, minat, dan perhatian, dapat mengakibatkan atau memperburuk kesulitan emosional yang ada dan/ atau kesulitan perilaku. Di sisi lain, interaksi yang sehat seperti kehangatan dan responsif, disiplin konsisten dengan panutan, dan perilaku yang mengharapkan penghargaan dapat sangat meningkatkan perilaku positif pada anak-anak (Gunarsa, 1997) Keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap social. Kasih sayang dan perhatian dari keluarga akan membentuk kepribadian yang matang dan mampu mengembangkan aspek-aspek non fisik sehingga penilaian harga diri tidak semata-mata dari kondisi fisik saja, demikian pula sebaliknya keluarga yang cenderung terlalu memfokuskan diri pada kondisi fisik hanya akan menumbuhkan anak yang tidak percaya diri dan tergantung secara emosional. Keharmonisan keluarga juga memegang peranan untuk menciptakan rasa nyaman dan aman ketika bertumbuh

Psychoneuroimmunology in Dermatology 86 dengan kelainan fisiknya. Kondisi ekonomi juga mempengaruhi bagaimana keluarga akan memberikan perawatan maksimal pada anak- anak dengan kelainan kulit ini. Lingkungan Sekolah Guru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam interaksi dengan siswa. Interaksi positif dan produktif guru-murid dapat meningkatkan pembelajaran anak dan perilaku sekolah yang sesuai serta memberikan dukungan ketika anak mengalami masa-masa sulit. Lingkungan akademik yang tidak sehat dengan guru yang tidak terampil atau tidak sensitif dapat menyebabkan atau memperburuk perilaku atau gangguan emosi yang sudah ada. Lingkungan Masyarakat Masalah masyarakat, seperti kemiskinan ekstrim disertai dengan gizi buruk, keluarga yang tidak berfungsi, berbahaya dan lingkungan yang penuh kekerasan, dan perasaan putus asa, dapat mengakibatkan atau memperburuk gangguan emosi atau perilaku. Di dalam lingkungan masyarakat terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negative yang dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negative memandang seseorang hanya dari segi fisiknya dan membuat stigma bahwa penyakit anak bisa menulari anak lain sering menjadi pemicu munculnya perlakuan negatif dan isolatif terhadap anak dengan gangguan kulit.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 87

PENDEKATAN-PENDEKATAN HOLISTIK PADA ANAK DENGAN MASALAH KULIT YANG MENGALAMI GANGGUAN EMOSI DAN PERILAKU A. Pendekatan Biomedis Pendekatan ini berusaha untuk menerangkan gangguan emosi dan tingkah laku dari sudut pandang medis/ klinis, akibat ketidaknormalan psikoneuroimunologis sebagai penyebab gangguan ini. Strategi penanganan yang ditekankan dalam pendekatan ini yaitu penggunaan obat dan penanganan medis lainnya. Guru dan orangtua bisa bekerjasama serta berkomunikasi dalam membantu anak mengatur penggunaan obat selama disekolah. Guru dapat pula mengawasi dan mencatat perubahan-perubahan anak setelah mendapat penanganan medis. B. Pendekatan Psikodinamik Pendekatan ini menitikberatkan pada kehidupan psikologis anak, berusaha memahami dan memecahkan kesulitan- kesulitan yang difokuskan pada penyebab-penyebab hambatan perilaku dan emosi. Pendekatan ini juga terapi untuk merubah sikap negatif anak ke arah yang lebih positif. Ini bisa dilakukan oleh psikolog, konselor sebaya, guru bimbingan konseling dan sejenisnya. C. Pendekatan Perilaku Pendekatan ini berusaha untuk mengubah perilaku yang merupakan problematika secara sosial dan personal bagi anak tersebut. Tujuannya adalah menghilangkan perilaku negatif dan menggantinya dengan perilaku yang lebih layak secara sosial. D. Pendekatan Pendidikan Jarang ditemukan seorang anak dengan gangguan emosional dan tingkah laku mendapat prestasi baik secara akademis,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 88 padahal mereka tidak memiliki masalah dengan tingkat intelegensi yang mayoritas rata-rata dan diatas normal. Mereka biasanya tidak mampu berkonsentrasi dan mengatur pembelajaran diri mereka. Sebaliknya, penanganan pembelajaran yang dapat membantu anak berhasil secara akademis mungkin berdampak pada kehidupan emosi dan sikapnya. Suasana kelas yang baik dapat benar-benar menjadi lingkungan terapi secara tidak langsung. E. Pendekatan Ekologi Pendekatan ekologi menekankan perlunya pemahaman anak ke dalam konteks kehidupan mereka secara total. Pendekatan ini juga menekankan perlunya membantu anak yang mengalami hambatan harus dilakukan melalui usaha-usaha kolaborasi keluarga, sekolah, teman dan masyarakat.

KESIMPULAN Beberapa keluhan dan gejala yang bisa kita gunakan untuk mendeteksi kesulitan emosional atau perilaku pada anak-anak dengan masalah kulit adalah sebagai berikut:  Ketidakmatangan keterampilan sosial yang dinyatakan dalam kesulitan ketika beradaptasi dan melakukan interaksi sosial yang tepat. Terlihat dari hanya sedikit atau tidak ada teman, perilaku menghindar atau lari dari masalah.  Distractibility atau ketidakmampuan mempertahankan perhatian untuk waktu yang panjang dibandingkan dengan teman-temannya sehingga berdampak pada prestasi di sekolah.  Perilaku hiperaktif dan impulsif, sikap agresi terhadap diri sendiri atau orang lain.  Kecemasan atau fearfulness yang menjadi pemicu

Psychoneuroimmunology in Dermatology 89

keluhan psikosomatik  Mengungkapkan pikiran untuk bunuh diri akibat perasaan depresi dan ketidakbahagiaan atas keadaan fisiknya.  Masalah dalam hubungan keluarga.  Masalah di sekolah dengan hubungan guru-murid. Pendekatan-pendekatan yang bersifat biomedik melalui pengobatan yang tepat dan teratur, perilaku penguatan untuk kepribadian, psikodinamika lingkungan yang kondusif, pendidikan dengan penciptaan suasana kelas yang menyenangkan maupun ekologis diharapkan akan membantu memperbaiki perilaku dan emosi anak-anak dengan masalah kulit.

SARAN Pentingnya peran yang sinergis antara lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat dalam mendeteksi, mencegah maupun memberi intervensi pada problem perilaku anak-anak dengan masalah kulit. Anak dengan masa sekolah dan sekolah sebagai stresor gangguan perilaku dan emosi, maka peran sekolah menjadi sangat mendesak untuk dipertimbangkan. Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) dengan Guru sebagai SDM yang sudah terampil dan terlatih secara profesional dimana semua komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be save and secure), untuk mengembangkan diri (to develop a sense of self), untuk membuat pilihan (to make choices), untuk berkomunikasi (to communicate), untuk menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup dalam situasi dunia yang terus berubah (live in a changing

Psychoneuroimmunology in Dermatology 90 world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued contributions).

DAFTAR PUSTAKA Durant, V. Mark & David H. Barlow, 2006. Essencetial of Abnormal Psychology. Terj Helly P. 2007. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta : Pustaka Belajar

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M., 2006. Exceptional Learners : Introduction to Special Education. 10th ed., USA : Pearson

Mahabbati, Aini. 2006. Identifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku di Sekolah Dasar. JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS (JPK) ISSN 1858-0998. Vol.2 No.2 Nopember.

Sandra F. Rief , 2008. The ADD/ ADHD Checklist A Practical Reference for Parents and Teachers 2nd. USA : Jossey Bass

Singgih D. Gunarsa. 1997. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 91

Psychoneuroimmunology in Dermatology 92

DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF PSYCHOSOMATIC DISEASE

Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ(K) Department of Psychiatry, Udayana University, Denpasar, Indonesia

Abstract People face many problems throughout life. Some can handle most of them well, while others find it difficult to cope successfully. Experiencing and dealing with problems may make one stronger, but in certain cases it may negatively influence thought, behaviour, and emotions, potentially resulting in mental illness. Although the unconscious mind always tries to resolve these problems, the individual may still be unhappy and out of balance, albeit still psychologically functional. These problems may have genetic, organic, experiential, psychological causes, or a combination of them. Psychosomatic medicine is, by definition multidisciplinary. It is not confined to psychiatry, but it may concern any other field of medicine. Interestingly, the general psychosomatic approach has resulted in a number of subdisciplines within their own areas of application: psychooncology, psychonephrology, psychoneuroendocrinology, psychoimmunology, psychodermatology and others. If we endorse the psychosomatic perspective, we may better clarify the pathophysiological links and mechanisms underlying symptom presentation. At present, the research evidence that has accumulated in psychosomatic medicine offers unprecedented opportunities for the identification and treatment of medical problems. Treatment focuses on memory and the unconscious mind, and considers the effects of proto-experiences on the (dys)functional psychological development of the individual. Using a biopsychospirit-

Psychoneuroimmunology in Dermatology 93 sociocultural approach may improve final outcomes and quality of life. Already psychiatry is being interwoven into the rest of healthcare, and this trend will only expand as technology and teamwork bring psychiatric expertise to those who need it, treating each person as an integrated whole. Keywords: psychosomatic, psychiatry, early life events, biopsychospirit-sociocultural

Introduction Throughout life one faces many problems. Some people can handle most of them well, while others find it difficult to cope successfully. Experiencing and dealing with problems may make one a stronger individual, or in certain cases may negatively influence thought, behaviour, and emotions and potentially result in mental illness. Although the unconscious mind always tries to resolve these problems, the individual may still be unhappy and out of balance, albeit still psychologically functional. Problems can have genetic, organic, experiential, psychological, or a combination of these causes. Past traumas can act as pathological triggers, resulting in the above causes entering dysfunctional or psychopathological states. Should one follow the current psychobiological evidence-based approaches, one would, arguably, conclude that psychology, and in particular personality, begins developing through proto-experiences in the womb, as soon as the foetal nervous system is formed. These proto-experiences influence and shape the biological foundations of thought, emotion, feeling, behaviour, response to stimulation, and adaptation to new situations. Should these proto-experiences be traumatic, they will contribute to the dysfunctional dispositions of the psychobiological systems, and subsequently increase the individual’s vulnerability to

Psychoneuroimmunology in Dermatology 94 stress and their ability to successfully cope with problems later in life. Somatic symptoms are common in the general population and they are prevalent in different medical conditions such as cancer or coronary heart disease and in the context of mental disorders, e.g. somatoform disorders, anxiety disorders, and depression. Because somatic symptoms are related to impaired functioning, decreased health related quality of life, increased health care service use and psychological distress, the assessment of somatic symptom burden is essential in evidence based patient care and research. Moreover, in epidemiology, multiple somatic symptoms reliably predict psychopathology and healthcare use in population-based studies (Creed et al., 2012). Consequently, the introduction of the new DSM-5 category ‘somatic symptom disorder’ (SSD) is generally seen as a major change in the fields of public mental health and psychiatry. For these reasons, in the current APA psychiatric diagnostic system (the fifth edition, or DSM-5), the “medically unexplained” requirement was abandoned, as was the syllable “form” in “somatoform.” DSM-5 introduced “somatic symptom and related disorders” to characterize the spectrum of psychiatric distress based on somatic symptoms. Similar to the older term “psychiatric overlay,” the new definition focuses on the emotional and psychological reactions to somatic symptoms rather than on their etiology (van Geelen et al., 2015). At present, the research evidence that has accumulated in psychosomatic medicine offers unprecedented opportunities for the identification and treatment of medical problems. Treatment focuses on memory and the unconscious

Psychoneuroimmunology in Dermatology 95 mind, and considers the effects of proto-experiences on the (dys)functional psychological development of the individual. Using a biopsychospirit-sociocultural approach may improve final outcomes and quality of life (Lesmana et al., 2009).

Diagnosis Psychosomatic medicine cuts across many specialties and is concerned with assessment of psychosocial variables in the setting of medical disease. It has developed methods that provide clinical information that is likely to increase diagnostic sharpness and yield better targeted therapeutic approaches in all fields of medicine, including psychiatry (Sirri & Fava, 2013). Psychosomatic medicine has become in the US a subspecialty recognized by the American Board of Medical Specialties. This has led to identifying psychosomatic medicine with consultation-liaison psychiatry, a subspecialty of psychiatry concerned with diagnosis, treatment, and prevention of psychiatric morbidity in the medical patient in the form of psychiatric consultations, liaison and teaching for nonpsychiatric health workers, especially in the general hospital. Consultation liaison psychiatry is clearly within the field of psychiatry; its setting is the medical or surgical clinic or ward, and its focus is the comorbid state of patients with medical disorders. Psychosomatic medicine is, by definition, multidisciplinary. It is not confined to psychiatry, but may concern any other field of medicine. Not surprisingly, in countries such as Germany and Japan, psychosomatic activities have achieved an independent status and are often closely related to internal medicine. In the US, family medicine endorses a comprehensive psychosocial approach as integral to their training and practice. Interestingly, the general

Psychoneuroimmunology in Dermatology 96 psychosomatic approach has resulted in a number of subdisciplines within their own areas of application: psychooncology, psychonephrology, psychoneuroendocrinology, psychoimmunology, psychodermatology and others. Such sub-disciplines have developed clinical services, scientific societies and medical journals. The psychosomatic approach has resulted in important developments also in the psychiatric field, subsumed under the rubric of psychological medicine (Lokko et al., 2016; Yoshiuchi, 2016). Today the life expectancy in Western countries is much higher and most of clinical activities are concentrated on chronic disease or non-disease specific complaints (McGinnis, 2016). ‘The changed spectrum of health conditions, the complex interplay of biological and nonbiological factors, the aging population, and the inter individual variability in health priorities render medical care that is centred primarily on the diagnosis and treatment of individual diseases at best out of date and at worst harmful. A primary focus on disease, given the changed health needs of patients, inadvertently leads to under treatment, overtreatment, or mistreatment’. Disease- specific guidelines provide very limited indicators for patients with multiple conditions. The goal of treatment should be the attainment of individual goals, and the identification and treatment of all modifiable biological and non biological factors. But how should we assess these nonbiological variables? In clinical medicine there is the tendency to rely exclusively on ‘hard data’, preferably expressed in the dimensional numbers of laboratory measurements, excluding ‘soft information’ such as impairments and well-being. This

Psychoneuroimmunology in Dermatology 97 soft information can now, however, be reliably assessed by clinical rating scales and indexes which have been validated and used in psychosomatic research and practice. It is not that certain disorders lack an explanation; it is our assessment that is inadequate in most of the clinical encounters, since it does not reflect a global psychosomatic approach (Bauer et al., 2011). All physicians in all fields of medicine should utilize the psychosomatic approach in medical interviewing. The psychosomatic interview properly managed should prevent premature closure of diagnostic considerations and ensure consideration of biological psychological and sociocultural factors. No matter what the presenting complaint, whether a medically unexplained complaint or a presurgical evaluation for oncologic surgery, the patient exists in a milieu of emotional reactions, biological vulnerability and a social network composed of health care providers and whatever support system is available. It is imperative that the physician document and understand the salient factors in these domains and conduct interviews utilizing a psychosomatic approach, whatever the complaint might be. Utilizing the techniques of open-ended questions, observing nonverbal behaviors, and considering the perspectives of diseases, dimensions, behaviors, and life stories, the physician will gather a more complete picture of the patient (Rafanelli & Ruini, 2012). Better care will follow. One of the main criticisms against the use of the traditional psychiatric classification with medical patients is the misleading assumption of the organic versus functional dichotomy claiming that the presence of an organic cause, as well as a hierarchical higher-order psychiatric disorder such as

Psychoneuroimmunology in Dermatology 98 major depression or panic disorder, subsumes psychological disturbances and, vice versa, the absence of an organic cause strongly indicates the presence of a psychological or psychiatric reason (Fava et al., 2012). Psychiatric assessment in the medical setting includes a standard psychiatric assessment as well as a particular focus on the medical history and context of physical health care (Barbosa, 2012). In addition to obtaining a complete psychiatric history, including past history, family history, developmental history, and a review of systems, the medical history and current treatment should be reviewed and documented. A full mental status examination, including a cognitive examination, should be completed, and components of a neurologic and physical examination may be indicated depending on the nature of the presenting problem. Another important objective of the psychiatric evaluation is to gain an understanding of the patient’s experience of his or her illness. In many cases, this becomes the central focus for both the psychiatric assessment and interventions. It is often helpful to develop an understanding of the patient’s developmental and personal history as well as key dynamic conflicts, which in turn may help to make the patient’s experience with illness more comprehensible. Such an evaluation can include use of the concepts of stress, personality traits, coping strategies, and defense mechanisms. Observations and hypotheses that are developed can help to guide a patient’s psychotherapy aimed at diminishing distress and may also be helpful for the primary medical team in their interactions with the patient (Fava et al., 2012). Finally, a full report synthesizing the information should be completed and include specific recommendations

Psychoneuroimmunology in Dermatology 99 for additional evaluations and intervention. Ideally, the report should be accompanied by a discussion with the referring physician. A psychiatric consultant can relieve some of this frustration by clarifying the diagnosis and providing guidance on ways to improve the patient’s functioning and relationship with the medical team.

Management There have been major transformations in health care needs in the past decades. Chronic disease is now the principal cause of disability and use of health services consumes almost 80% of health expenditures. Yet, current health care is still conceptualized in terms of acute care perceived as a product processing, with the patients as a customer, who can, at best, select among the services that are offered. In health care the product is clearly health and the patients is one of the producers, not just a customer. As a result ‘optimally efficient health production depends on a general shift of patients from their traditional roles as passive or adversarial consumers to become producers of health jointly with their health professionals’ (Wholey et al., 2014). The exponential spending on preventive medication justified by the potential long-term benefits to a small segment of the population is now being challenged, whereas the benefits of modifying lifestyle by population-based measures are increasingly demonstrated and are in keeping with the biopsychosocial model. Medically unexplained symptoms occur in up to 30–40% of medical patients and increase medical utilization and costs. The traditional medical specialties, based mostly on organ systems (e.g. cardiology, gastroenterology), appear to be more and more inadequate in

Psychoneuroimmunology in Dermatology 100 dealing with symptoms and problems which cut across organ system subdivisions. The need for a holistic approach is underscored by the implementation of interdisciplinary services. In the UK, the establishment of psychological treatment centers within the National Health System for providing psychotherapy to patients with anxiety and depressive disorders is an unprecedented opportunity of integration of different treatments (Lousada et al., 2015). The need to include consideration of functioning in daily life, productivity, performance of social roles, intellectual capacity, emotional stability and well-being, has emerged as a crucial part of clinical investigation and patient care. These aspects have become particularly important in chronic diseases, where cure cannot take place, and also extend over family caregivers of chronically ill patients and health providers. Patients have become increasingly aware of these issues. The commercial success of books on complementary and mind-body medicine exemplifies the receptivity of the general public to messages of well-being pursuit by alternative medical practices. Psychosomatic interventions may respond to these emerging needs within the established medical system and may play an important role in supporting the healing process (Au et al., 2016; Becker et al., 2016). The goal of treatment planning is to find with the patient a treatment strategy that combines the patient’s willingness with medical necessity to the greatest extent possible (shared decision making). What we know of compliance is sobering. In family practice, only 33 % of the patients take their medications correctly. So, it is highly relevant whether the patient can or will follow the treatment at all.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 101

A host of interventions have been successfully utilized in psychosomatic medicine. Specific consideration must be given to medical illness and treatments when making recommendations for psychotropic medications. Psychotherapy also plays an important role in psychosomatic medicine and may vary in its structure and outcomes as compared with therapy that occurs in a mental health practice. Psychopharmacologic recommendations need to consider several important factors. In addition to targeting a patient’s active symptoms, considering the history of illness and treatments, and weighing the particular side-effect profile of a particular medication, there are several other factors that must be considered that relate to the patient’s medical illness and treatment (Wortman et al., 2016). It is critical to evaluate potential drug–drug interactions and contraindications to the use of potential psychotropic agents. Because the majority of psychotropic medications used are metabolized in the liver, awareness of liver function is important. General appreciation of side effects, such as weight gain, risk of development of diabetes, and cardiovascular risk, must be considered in the choice of medications. In addition, it is also important to incorporate knowledge of recent data that outline effectiveness and specific risks involved for patients with co- occurring psychiatric and physical disorders. For example, a greater understanding of the side effects of antipsychotic medications has raised concerns about the use of these medications in patients with dementia (Ballard et al., 2016). The use of psychosocial interventions also requires adaptation when used in this population. The methods and the goals of psychosocial interventions used in the medically ill are often determined by the consideration of disease onset,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 102 etiology, course, prognosis, treatment, and understanding of the nature of the presenting psychiatric symptoms in addition to an understanding of the patient’s existing coping skills and social support networks. However, there are ample data that psychosocial interventions are effective in addressing a series of identified problems and that such interventions in many cases are associated with a variety of positive clinical outcomes (Song & Ward, 2015). Given the diagnostic challenges discussed above, it is often prudent for the choice of treatment to be guided by the symptoms of concern, especially when the aetiology is ambiguous. It is also worth noting that most efficacy studies for psychiatric medications exclude patients with comorbid medical conditions. While the treatment options are the same as in a behavioral health setting, you will need to pay much more attention to medication side effects, drug-drug interactions, altered metabolism, and absorption.

Summary Endorsement of the psychosomatic perspective may better clarify the pathophysiological links and mechanisms underlying symptom presentation. At present, the research evidence which has accumulated in psychosomatic medicine offers unprecedented opportunities for the identification and treatment of medical problems. Treatment focuses on memory and the unconscious mind, and considers the effects of proto-experiences on the (dys)functional psychological development of the individual using biopsychospirit- sociocultural approach may improve final outcomes and quality of life.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 103

References Au, D. W., Tsang, H. W., Lee, J. L., Leung, C. H., Lo, J. Y., Ngai, S. P., et al. (2016). Psychosomatic and physical responses to a multi- component stress management program among teaching professionals: A randomized study of cognitive behavioral intervention (CB) with complementary and (CAM) approach. Behav Res Ther, 80, 10-16. doi: 10.1016/j.brat.2016.02.004

Ballard, C., Orrell, M., YongZhong, S., Moniz-Cook, E., Stafford, J., Whittaker, R., et al. (2016). Impact of Antipsychotic Review and Nonpharmacological Intervention on Antipsychotic Use, Neuropsychiatric Symptoms, and Mortality in People With Dementia Living in Nursing Homes: A Factorial Cluster-Randomized Controlled Trial by the Well-Being and Health for People With Dementia (WHELD) Program. Am J Psychiatry, 173(3), 252-262. doi: 10.1176/appi.ajp.2015.15010130

Barbosa, A. (2012). Relational ethics and psychosomatic assessment. Adv Psychosom Med, 32, 223-239. doi: 10.1159/000330039

Bauer, A. M., Bonilla, P., Grover, M. W., Meyer, F., Riselli, C., & White, L. (2011). The role of psychosomatic medicine in global health care. Curr Psychiatry Rep, 13(1), 10-17. doi: 10.1007/s11920-010-0162-2

Becker, J., Beutel, M. E., Gerzymisch, K., Schulz, D., Siepmann, M., Knickenberg, R. J., et al. (2016). Evaluation of a video-based Internet intervention as preparation for inpatient psychosomatic rehabilitation: study protocol for a randomized controlled trial. Trials, 17(1), 287. doi: 10.1186/s13063-016-1417-y

Creed, F. H., Davies, I., Jackson, J., Littlewood, A., Chew-Graham, C., Tomenson, B., et al. (2012). The epidemiology of multiple somatic symptoms. J Psychosom Res, 72(4), 311-317. doi: 10.1016/j.jpsychores.2012.01.009

Psychoneuroimmunology in Dermatology 104

Fava, G. A., Sonino, N., & Wise, T. N. (2012). Principles of psychosomatic assessment. Adv Psychosom Med, 32, 1-18. doi: 10.1159/000329997

Lesmana, C. B., Suryani, L. K., Jensen, G. D., & Tiliopoulos, N. (2009). A spiritual-hypnosis assisted treatment of children with PTSD after the 2002 Bali terrorist attack. Am J Clin Hypn, 52(1), 23-34. doi: 10.1080/00029157.2009.10401689

Lokko, H. N., Gatchel, J. R., Becker, M. A., & Stern, T. A. (2016). The Art and Science of Learning, Teaching, and Delivering Feedback in Psychosomatic Medicine. Psychosomatics, 57(1), 31-40. doi: 10.1016/j.psym.2015.09.006

Lousada, J., Weisz, J., Hudson, P., & Swain, T. (2015). Psychotherapy provision in the UK: time to think again. Lancet Psychiatry, 2(4), 289- 291. doi: 10.1016/S2215-0366(15)00082-6

McGinnis, J. M. (2016). Income, Life Expectancy, and Community Health: Underscoring the Opportunity. JAMA, 315(16), 1709-1710. doi: 10.1001/jama.2016.4729

Rafanelli, C., & Ruini, C. (2012). Assessment of psychological well- being in psychosomatic medicine. Adv Psychosom Med, 32, 182-202. doi: 10.1159/000330021

Sirri, L., & Fava, G. A. (2013). Diagnostic criteria for psychosomatic research and somatic symptom disorders. Int Rev Psychiatry, 25(1), 19-30. doi: 10.3109/09540261.2012.726923

Song, M. K., & Ward, S. E. (2015). Assessment effects in educational and psychosocial intervention trials: an important but often- overlooked problem. Res Nurs Health, 38(3), 241-247. doi: 10.1002/nur.21651 van Geelen, S. M., Rydelius, P. A., & Hagquist, C. (2015). Somatic symptoms and psychological concerns in a general adolescent population: Exploring the relevance of DSM-5 somatic symptom disorder. J Psychosom Res, 79(4), 251-258. doi: 10.1016/j.jpsychores.2015.07.012

Psychoneuroimmunology in Dermatology 105

Wholey, D. R., Disch, J., White, K. M., Powell, A., Rector, T. S., Sahay, A., et al. (2014). Differential effects of professional leaders on health care teams in chronic disease management groups. Health Care Manage Rev, 39(3), 186-197. doi: 10.1097/HMR.0b013e3182993b7f

Wortman, M. S., Lucassen, P. L., van Ravesteijn, H. J., Bor, H., Assendelft, P. J., Lucas, C., et al. (2016). Brief multimodal psychosomatic therapy in patients with medically unexplained symptoms: feasibility and treatment effects. Fam Pract. doi: 10.1093/fampra/cmw023

Yoshiuchi, K. (2016). How can psychosomatic physicians contribute to behavioral medicine? Biopsychosoc Med, 10, 8. doi: 10.1186/s13030-016-0060-x

Psychoneuroimmunology in Dermatology 106

PSIKO-NEURO-IMUNOLOGI (PNI) DALAM DERMATOLOGI

Robby K.T. Ko MD FINSDV

Abstract For more than thousand years layman and medical practitioners as well, know the correlation of emotional factors triggering certain disease symptoms, influencing the course of disease, and if sustained, can even become the pathogenesis of certain illnesses. Cogitation by dermatologists, neurologists, psychiatrists, immunologists, endocrinologists, led to the creation of psycho-neuro-immunology (PNI). A relatively new holistic medical approach to scientifically elucidate the reciprocal relationship of the body and mind in certain diseases. Advanced neuroscience, immunology, endocrinology and bio-molecular research reveal the existence of several neurotransmitters, released by the brain, triggered by a multitude of emotional conditions. Specific neurotransmitters influence immune and endocrine systems. A cogency that emotions can play an important role in certain diseases and behaviors. The clinical application of PNI in Dermatology, needs mandatory insight in psycho-dermatology, keen observation in patient’s behavior, encompassing body language (facial expression), emotional content of complaints and awareness of any apparent or hidden motives to be treated. A chosen PNI treating modality should be studied, applied and mastered. The outcome objectively evaluated. Indications, contra-indications and placebo effects should be kept in mind.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 107

Psiko-neuro-imunologi (PNI) dalam Dermatologi Sebelum membahas peran PNI dalam Dermatologi, renungkan terlebih dulu ucapan Dr Felix Marti Ibanez pada thn 1964. Ia ingatkan dokter, jangan hanya mengobati penyakit yang diderita pasien. Dokter wajib mengobati pasien yang sedang sakit. Jangan pula lupakan peran dokter, yang dipilih oleh pasien, untuk menyembuhkannya. Hippocrates, 460 thn SBM, menganjurkan agar pasien wajib didekati secara holistik, dengan memperhatikan status emosional, kondisi lingkungan hidupnya yang potensial memegang peran kontributif penyebab penyakit dan proses penyembuhannya. Jangan lupa kesanggupan badan untuk menyembuhkan diri sendiri (self healing properties). Aristoteles (384-322 SBM) yakin, bahwa dalam badan manusia ada rokh yang tidak terpisahkan. Semua organ tubuh saling terkait menjalankan fungsi kehidupan. Paracelsus (1493-1541) mendeklarasi bahwa badan (body) dan kalbu (mind) tidak dapat dipisahkan. Dokter diingatkan adanya keterkaitan emosi dan penyakit. Walter B. Cannon (1871-1945) menciptakan istilah homeostasis, yaitu keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) antara body and mind untuk menjaga kesehatan. Robert Ader dan Nicholas Cohen pada thn 1975 membuktikan adanya keterkaitan antara stres dan penyakit. Mereka menciptakan hipotesis adanya keterkaitan antara faktor psikis, neurologi, endokrinologi dan imunologi, maka lahirlah konsep psiko-neuro-imunologi (PNI) PNI bukanlah suatu metoda pengobatan, tetapi suatu ilmu baru yang membutuhkan banyak riset. Kini ditekuni berbagai universitas di AS. Pionirnya ialah Centre for

Psychoneuroimmunology in Dermatology 108

Psychoneuroimmunology, Department of Psychiatry, University of Rochester, New York. Bila pada thn 1985 belum ada satupun makalah ilmiah PNI, pada thn 1997 ada ratusan dan sejak th 2008 ada ribuan. PNI adalah ilmu, yang mencari interaksi sistem neurologi, endokrinologi dan imunologi dengan implikasi kesehatan badan, melalui suatu mekanisme komunikasi dua arah. Sayangnya terlalu sedikit ahli riset yang terdidik secara interdisipliner dan berpengalaman dalam ilmu psikologi- psikiatri-imunologi-fisiologi-endokrinologi-biologi molekuler- neurofarmakologi-dan studi tingkah laku (behavioral studies). Benar benar suatu tantangan untuk membuktikan bahwa sistem imun seseorang bisa dipengaruhi melalui pikiran, emosi dan tingkah laku. Riset ini terbuka untuk dilakukan komunitas medis maupun non-medis. Ohio State University Medical Center, melalui Institute for Behavioral Medicine Research membuat Prorama Riset PNI secara terarah. Pada thn 1981 David Felten menemukan jejaring (network) saraf dalam dinding pembuluh darah dan sel sel system imun, yg juga merebak dekat kelompok (clusters) limfosit, makrofag dan mast cells yang ikut berperan dalam fungsi imun. Pada tahun 1985, seorang ahli riset Neurofarmakologi, Candace Pert PhD menemukan neuro-specific receptors pada dinding sel-sel otak dan sistem imun. Penemuan neuropeptides dan neurotransmiiters yang secara langsung pengaruhi sistem imun, membuktikan secara biomolekuler, adanya interdependensi nyata antara emosi dan imunologi.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 109

Sistem imun dan endokrin dapat dimodulasi, tidak saja oleh otak, tetapi juga oleh sistem saraf pusat. Ini member impak dahsyat untuk memahami keterkaitan emosi dan timbulnya suatu penyakit. Chemical messengers alamiah dalam bentuk neuropeptida, neurotrasmintters, yang ditemukan dalam dinding sel otak dan sistem imun, mempegaruhi fisiologi tubuh dan emosi secra timbal balik. Untuk lebih memahami mekanisme saling pengaruhi itu, perlu diperlihatkan apa itu Chemical atau Immunological Synapsis, suatu neuron spesifik dapat menimbulkan ribuan sinaps. Setiap mm3 korteks serebri mengandung milyaran sinaps. Otak dewasa mempunyai 100 sampai 500 milyar sinaps. Sinaps adalah koneksi fungsional antara neuron dan aneka macam sel. Neurotransmiter berdifusi melalui celah sinaps (0.02 mikron) menuju berbagai reseptor di dendrite terdekat oleh impuls listrik. Presynaptic neurons mengandung mitochondriae dan microtubulae yg melepaskan vesiculae yg berisi neurotransmiter yg dislurkan ke membrane receptors post synaptic neurons.

Apa itu neurotransmiter? Neurotransmiter ialah bahan biokimia, kini dikenal lebih dari 60 macam, yang dapat menimbulkan efek fisiologi seseorang. Dikenal lebih dari 60 macam neurotransmiter yang bisa menimbulkan aneka efek fisiologis. Dikenal adanya semacam koneksi otak-sistem imun yang dikenal sebagai Immune-Brain Loop. Otak dan sistem imun saling komunikasi melalui suatu jalur interkoneksi, hal

Psychoneuroimmunology in Dermatology 110 mana bertujuan untuk menjaga keseimbangan (homeostasis) mind-body. Dikenal 2 jalur komunikasi dua arah (cross talk) Hypothalamius-Pituitary-Adrenal axis (HPA) dengan Sympatic Nervous System (SNS) Aktivitas HPA axis dan Sitokin secara intrinsik terjalin erat: inflammatory sitokin menstimulasi ACTH dan sekresi kortisol. Sitokin memediasi dan mengontrol Immune and Inflammatory Responses. Interaksi kompleks terjadi antara sitokin, inflammation dan adaptive responses dengan tujuan memelihara homeostasis Sitokin pro-inflamasi dapat mempegaruhi otak. Sebaliknya sitokin juga diproduksi secara lokal oleh otak, terutama dalam Hipothalamus. Hal ini bisa berpengaruh timbulnya efek tingkah laku (behavioral effects) tertentu.

Komunikasi antara otak dengan sistem imun. Komunikasi antara sistem neuroendokrin dengan sistem imun. Stres mulai tercetus dalam otak. Tidak dalam system imun. Timnullah sirkuit/lintasan dua arah otak-sistem imun dalam stress. Timbul apa yang dikenal sebagai “sickness response”. Perubahan fisiologis, seperti bertambahnya sel darah putih dan makrofag yang teraktivasi.

Bagaimana mengaplikasi konsep PNI dalam Dermatologi. Untuk mengaplikasi azas PNI dalam Dermatologi kita wajib merubah sikap (attitude) terhadap pasien pasien kita. Kita harus menyisihkan cukup waktu untuk mengobservasi pasien secara lebih seksama. Baik dengan cara mendengar dan melihat lebih cermat. Bahkan menangkap (perceive) apa yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 111 tidak terdengar oleh telinga dan tidak terlihat oleh mata kita. Tetapi dapat difahami oleh kalbu (mind) kita yang sudah terlatih. Memahami yang tidak terucap dengan kata kata pasien dan gerak badan spontan dari pasien, maupun pengantarnya, saat mereka datang berobat. Kita memang harus menguasai tehnik berkomunikasi dengan baik, melalui Neuro Linguistic Programming (NLP) dan mengenal Bahasa Tubuh (Body Language). Kita wajib berempati dengan pasien. Kita harus menganalisa apakah stres pasien itu penyebab atau akibat suatu penyakit. Sering terbentuk suatu “lingkaran setan” yang perlu diputus. Stres juga bisa dialami secara sadar atau di bawah sadar. Contoh beberapa penyakit kulit yg tergolong psikodermatoses: neurodermatitis, dry lips, hiperhidrosis palmaris dan plantaris, pruritus scrotalis atau vulvae, acne vulgaris, urtikaria menahun, herpes simplex, multiple verrucae vulgaris, psoriasis. Lichen planus, alopecia areata. Baik sebagai penyebab, pencetus, atau akibat stres. Pengalaman saya adanya faktor PNI dalam: neurodermatitis, dry lips, pruritus genitalia, herpes simplex, chronic urticaria

Aneka Macam Terapi yang saya pilih: Psikoterapi Superfisial dan Hipnoterapi. Aplikasi azas PNI dalam Dermatologi meliputi: Psikoterapi, Biofeedback, Guided Imagery, Medical , Yoga, , , Spiritual Therapy. Kita harus menunjukkan kompetensi profesional, untuk tidak langsung mempercayai kesimpulan apapun yang dibuat pasien, pengantarnya, bahkan oleh dokter yang mengobati pasien sebelumnya.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 112

S.O.P. anamnesa, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium relevan, tetap dijadikan dasar membuat diagnosis yang benar. Bila pasien menyangkal adanya stres atau faktor psikologis lainnya yang mempengaruhi penyakitnya, kita tidak boleh secara gamblang mempercayainya. Sebaliknya, keyakinan pasien bahwa penyakitnya timbul akibat stress, juga tidak boleh langsung kita percayai. Dibutuhkan evaluasi lebih lanjut. Aplikasi klinis dan ilmiah hipnoterapi telah diterapkan oleh banyak pelaku dari hampir semua disiplin medis dan psikologi. Mereka faham akan limitasinya (keterbatasannya). Hipnosis sedang diajarkan di semakin banyak universitas dan fakultas kedokteran A.S. Ribuan dokter, dokter gigi, psikolog, anestesiolog di AS telah mendapat pelatihan dalam berbagai workshop hypnosis. 23 April 1955. The British Medical Association megesahkan aplikasi hipnoterapi untuk mengobati psikoneurosis, dan hipno-anestesia untuk meniadakan rasa nyeri pada proses melahirkan bayi dan pada pembedahan. B.M.A, juga menganurkan agar semua dokter dan para mahasiswa kedokteran mendapat pelatihan dasar hypnosis. 13 September 1958. The Council on Mental Health dari American Medical Association merekomendasi mata kuliah hipnosis, dimasukkan dalam kurikulum fakultas fakultas kedokteran dan pusat pusat pelatihan pasca sarjana. Pada tahun 1961, The A.M.A, Council of Mental Health merekomendasi pelatihan hipnoterapi selama 144 jam, dibagi dalam jangka waktu 9 sampai 12 bulan di tingkat undergraduate dan postgraduate kedokteran.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 113

Psychoneuroimmunology in Dermatology 114

SKIN DISEASE RELATED TO PSYCHIATRIC DISORDER

Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar-Bali

Abstrak Hubungan antara kelainan kulit dan faktor psikologis sangatlah erat dan telah lama menjadi topik yang menarik. Psikodermatologi adalah cabang ilmu yang mempelajari keterkaitan antara kulit dan pikiran. Kelainan psikodermatologi atau dikenal dengan istilah penyakit psikokutaneous merupakan kondisi yang tidak jarang ditemukan pada praktek klinis. Sebanyak 30-40% pasien dengan manifestasi kulit memiliki masalah psikologi. Secara umum penyakit psikokutaneous dibagi menjadi 2, yaitu: (1) kelainan psikiatri primer, dimana kelainan psikiatri yang mendasari adanya manifestasi kulit; dan (2) kelainan dermatologi primer yaitu adanya penyakit kulit yang menyebabkan stres psikologis seperti depresi bahkan keinginan bunuh diri. Dokter kulit yang umumnya menerima pasien untuk pertama kali diharapkan memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengidentifikasi penyakit psikokutaneous ini. Dokter kulit juga diharapkan dapat melakukan pendekatan yang simpatik dan menjadi jembatan bagi pasien untuk berkonsultasi dengan psikiater maupun psikolog untuk mendapat penanganan yang komprehensif. Penatalaksanaan farmakologis dan non- farmakologis dengan kerjasama interprofesi diperlukan dalam penanganan pasien dengan kelainan kulit yang disertai dengan gangguan psikiatri. Kata kunci: psikokutaneous, psikodermatologi, manifestasi kulit, gangguan psikiatri

Psychoneuroimmunology in Dermatology 115

Abstract Relationship between skin disease and psychological factors has long became a topic of interest. Psychodermatology is a domain of interface between dermatology and psychiatry that focus on the interaction of skin and the mind. Psychodermatologic or psychocutaneous disease is not an uncommon problem. Approximately 30-40% of patients with skin disease has a concomittant psychologic or psychiatric problem. Generally, psychocutaneous disease can be classified into 2 major group: (1) primary psychiatric disorder, in which the skin manifestation has an underlying psychiatric disease; (2) primary dermatologic disorder, which refers to skin disease that cause psychologic stress such as depression or even suicidal ideation. As a dermatologist that come contact with the patient in the frontline, we should be aware and capable to identify this complex disorder. Dermatologists were also expected to have a sympathic approach and act as a bridge for the patient to consult with psychiatrist or psychologist in order to facilitate a comprehensive management. Both pharmacology and non-pharmacology therapy with interproffesional teamwork were necessery for treatment of patient with psychocutaneous disorder. Keywords: psychocutaneous, psychodermatology, skin manifestation, psychiatric disease

Pendahuluan Kelainan kulit sangat erat kaitannya dengan kondisi psikis pasien. Apakah berawal dari kelainan kulit yang menyebabkan penurunan percaya diri, depresi dan fobia sosial, ataukah berawal dari gangguan psikiatri yang kemudian menyebabkan manifestasi kulit, keduanya memerlukan penanganan yang adekuat dan komprehensif. Sistem saraf dan sistem integumen sama-sama berasal dari ektoderm dalam embriologi.1,2,3 Oleh karena itu, kulit dan saraf sangat berkaitan dalam respon

Psychoneuroimmunology in Dermatology 116 terhadap stimuli dan stres melalui koneksi neuropeptida, neuromodulator, dan sistem biokimia yang sama. Kulit juga merupakan organ yang sangat berespon terhadap emosi.6 Kulit adalah salah satu organ persepsi yang paling besar yang kemudian juga menerima afek dari persepsi tersebut. Sehingga tidak jarang banyak orang melampiaskan impuls agresif, kecemasan, ataupun perilaku akibat delusinya pada kulit dan menyebabkan manifestasi lesi kulit. Sebaliknya, pasien dengan kelainan kulit yang mengganggu penampilan akan mengakibatkan rasa depresi, malu, dan cemas berkaitan dengan penyakitnya.1,6 Bidang kedokteran psikokutaneous atau psikodermatologi adalah salah satu cabang ilmu yang berfokus dalam menjembatani kondisi psikiatri dan kelainan dermatologi. Penyakit psikodermatologi adalah kondisi penyakit yang mencakup adanya interaksi antara pikiran dan kulit. Penatalaksanaan kondisi psikodermatologi ini tidak hanya memerlukan evaluasi kelainan kulitnya, tetapi juga masalah-masalah sosial, keluarga, ataupun pekerjaan dari penderita yang mungkin mendasari kelainan kulit yang terjadi.2,3 Setelah diagnosis ditegakkan, manajemen penyakit juga memerlukan pendekatan terpadu baik terhadap kelainan kulitnya maupun kelainan psikologisnya. Penderita dengan kelainan psikodermatologi seringkali juga menyangkal adanya gangguan psikis sehingga menolak untuk dirujuk ke ahli kejiwaan.2 Adanya dukungan dari keluarga, lingkungan sosial, dokter keluarga, ahli dermatologi dan psikiatri sangat diperlukan dalam mencapai manajemen yang komprefensif.2

Psychoneuroimmunology in Dermatology 117

Klasifikasi Penyakit psikodermatologi atau psychocutaneous disorders berdasarkan C. Koblenzer dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) kelainan psikiatri primer dan 2) kelainan dermatologi primer. Kelainan psikiatri primer merujuk pada kelainan psikitri yang mendasari adanya manifestasi kulit yang dipicu oleh penderita sendiri (self induced skin manifestation), seperti contohnya trikotilomania dan delusional parasitosis. Kelainan dermatologi primer merujuk pada kelainan kulit yang menyebabkan gangguan penampilan/disfigurement sehingga menyebabkan masalah psikiatri seperti depresi dan antisosial.1 Beberapa literatur juga menyebutkan adanya kelainan psikofisiologis, yaitu merujuk pada kelainan kulit yang dapat dipengaruhi atau diperburuk oleh stres emosional. Beberapa penyakit yang tergolong pada kelompok ini antara lain akne, alopesia areata, dermatitis atopi, psoriasis, purpura psikogenik, rosasea, dermatitis seboroik, dan urtikaria.2,3,4 Klasifikasi dan penyakit-penyakit psikodermatologi dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi dan Contoh Penyakit Psikodermatologi (dikutip dari kepustakaan no.1) Kategori Contoh Primary Psychiatric Disorders Bromidrofobia Delusional parasitosis Dismorfofobia Dermatitis artefakta Ekskoriasi neurotik Trikotilomania Primary Dermatologic Disorders Alopesia areata Akne kistik Hemangioma Iktiosis Sarkoma Kaposi Psoriasis Vitiligo

Psychoneuroimmunology in Dermatology 118

Kelainan Psikiatri Primer Kelainan psikiatri primer mengenai sekitar 5% dari seluruh pasien dermatologi. Biasanya pasien pada kelompok ini memiliki tilikan yang bervariasi, tetapi sebagian besar pasien memiliki tilikan buruk.1 Lesi umumnya diinduksi oleh pasien sendiri dan jika tidak diobati memiliki prognosis yang buruk. Terdapat klasifikasi umum mengenai penyakit-penyakit yang tergolong dalam kelompok ini. Beberapa penyakit kadang dapat tumpang tindih antar kelompok.1 Klasifikasi kelompok penyakit psikiatri primer dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Psikiatri Primer (dikutip dari kepustakaan no.1) Kategori Penyakit Delusional Delusional parasitosis Body odor delusion/bromidrofobia Sindrom hipokondriakal Factitious Body Dismorphic Disorder (BDD) Sindrom dermatitis para-artefakta Sindrom dermatitis artefakta Malingering Somatoform BDD Disestesia kutaneus Sindrom somatisasi Kompulsif Cuci tangan kompulsif Liken simpleks kronikus BDD

Berikut akan dijabarkan beberapa kelainan psikiatri primer dengan manifestasi kulit yang umum ditemukan. Delusional Parasitosis Delusional parasitosis masuk ke dalam kelompok kelainan yang disebut dengan ‘monosymptomatic hypochondriacal psychosis’. Pasien pada kelompok ini mengalami delusi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 119 terbatas. Delusional parasitosis adalah keluhan yang paling umum dari kelompok ini.2 Secara epidemiologi delusional parasitosis predominan pada wanita usia pertengahan dan usia tua.1,4 Pada delusional parasitosis, pasien meyakini dengan kuat bahwa di kulitnya telah terinfestasi oleh suatu organisme. Karena delusi yang terjadi terbatas, kelainan ini dibedakan dengan skizofrenia, dimana terdapat defisit fungsional yang multipel.2 Penyakit yang lebih jarang pada kelompok ini antara lain adalah hipokondriakal dimana pasien percaya bahwa dia telah terkena suatu penyakit tertentu seperti HIV, kanker, dll; serta bromidrofobia dimana pasien memiliki delusi bahwa badannya berbau. Pasien juga memiliki pemahaman mengenai bagaimana organisme ini bereproduksi, bergerak di dalam kulit dan kadang keluar dari kulit.2,4 Pasien biasanya datang dengan apa yang dikenal sebagai ‘matchbox sign’ yaitu dimana pasien datang membawa spesimen berupa debris, sedikit bagian kulit yang terekskoriasi, atau bagian serangga yang tidak berhubungan di dalam kotak korek api (matchbox) atau kontainer lainnya sebagai bukti adanya infestasi.2,3,5 Lesi kulit bervariasi dari ekskoriasi ringan sampai dengan ulkus yang luas. Karena delusi bersifat terbatas, pasien memiliki organisasi pikir yang normal dan tampak meyakinkan dari penampilan luar sehingga lingkungannya akan mempercayai benar adanya infestasi tersebut. Beberapa gangguan psikiatri yang harus dibedakan dengan kelompok ‘monosymptomatic hypochondriacal psychosis’ ini antara lain skizofrenia, depresi dengan gejala psikosis, dan psikosis yang diinduksi obat. 1,2 Gangguan organik yang dapat memicu delusional parasitosis antara lain sindrom penarikan dari kecanduan kokain, amfetamin, dan alkohol; defisiensi vitamin B12;

Psychoneuroimmunology in Dermatology 120 sklerosis multipel; penyakit serebrovaskular; maupun neurosifilis. Jika kelainan dasar penyakit organik seperti tersebut di atas dapat ditemukan, diagnosis delusional parasitosis tersendiri tidak diperlukan. Pilihan terapi pada delusional parasitosis adalah pengobatan antipsikotik seperti haloperidol. 2,4 Tantangan dalam pengobatan delusional parasitosis adalah pemberian antipsikotik tanpa menyinggung pasien. Diperlukan pendekatan secara perlahan dan diplomatis serta empati agar pasien memahami dan bersedia mengikuti saran pengobatan yang diberikan.4

Ekskoriasi Neurotik dan Dermatitis Artefakta Dermatitis artefakta secara umum merujuk pada kondisi dimana pasien secara sengaja menyebabkan lesi kulit pada dirinya sendiri. Pasien biasanya menggunakan alat untuk menggaruk dan menghilangkan gatal seperti instrumen tajam, rokok yang menyala, atau bahan-bahan kimia.2 Berbeda dengan pasien malingering yang melakukan hal serupa untuk mendapat imbalan sekunder dari sekitarnya seperti perhatian, uang, dan kebebasan tanggung jawab, pasien dengan dermatitis artefakta menyebabkan lesi kulit untuk mendapat imbalan primer dari dirinya sendiri berupa keuntungan emosional dan psikologis. Kelainan ini umumnya ditemukan pda wanita terutama dewasa muda hingga dewasa. Pasien pada kelompok ini umumnya menyangkal bahwa pasien sendiri yang menyebabkan lesi kulit namun seringkali kebingungan menjelaskan bagaimana lesi bisa terjadi.1,4 Istilah ekskoriasi neurotik atau ekskoriasi psikologis digunakan saat pasien sendiri menyebabkan ekskoriasi (scratch marks) secara repetitif dan kompulsif. Namun tidak

Psychoneuroimmunology in Dermatology 121 seperti pasien pada dermatitis artefakta, pasien pada kondisi ini mengakui bahwa diri mereka sendiri yang menyebabkan adanya lesi kulit. Kelainan ini adalah kelainan psikokutaneous yang paling umum ditemukan, mencapai 2% dari keseluruhan pasien dermatologi, dan biasanya ditemukan pada wanita usia pertengahan.1,4 Kelainan psikologi yang umum mendasari dermatitis artefakta dan ekskoriasi neurotik antara lain episode depresi berat, gangguan cemas, dan gangguan obsesi-kompulsi. Kadang pasien menggaruk akibat respon dari ide-ide delusional dengan didasari oleh gangguan psikosis. Pasien dengan ekskoriasi neurotik biasanya memiliki depresi sedangkan pasien dengan dermatitis artefakta biasanya didasari oleh kelainan psikiatri yang lebih berat seperti gangguan kepribadian borderline atau psikosis.1,2,4 Secara klinis lesi dermatitis artefakta dapat ditemukan di seluruh tubuh dengan bentuk lesi dapat menyerupai banyak dermatosis. Beberapa tanda yang dapat mengarahkan kelainan ini antara lain lesi umumnya terdapat pada area yang mudah dijangkau, dengan pola geometris dan tepi bersudut dan dikelilingi kulit yang normal. Morfologi lesi tampak aneh dan tidak memenuhi kriteria diagnosis dermatosis lainnya. Pemeriksaan histopatologi tidak membantu diagnosis.1,4 Pasien ekskoriasi neurotik umumnya menunjukkan adanya rasa gatal yang hebat yang kemudian menyebabkan garukan persisten sehingga menyebabkan siklus gatal garuk. Lesi klinis tampak berupa ekskoriasi dalam berbagai tahap dan penyembuhan terutama di bagian ekstensor ekstrimitas, punggung atas, dan wajah. Pasien sering pula tampak dengan ekskoriasi yang berlebihan dari dermatosis yang sudah ada sebelumnya seperti folikulitis dan akne.1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 122

Pada pasien dengan kelainan dasar depresi yang menyebabkan ekskoriasi neurotik, salah saru obat antidepresan yang dapat digunakan adalah doxepin. Doxepin adalah salah satu antidepresan trisiklik yang memiliki efek sedatif dan penenang serta efek antipruritus yang kuat. Pasien dengan depresi dan agitasi serta dengan keluhan gatal yang hebat dapat secara efektif diobati dengan golongan ini. Golongan antidepresan seperti SSRIs juga dapat digunakan.2

Trikotilomania Trikotilomania dari sudut pandang dermatologi adalah suatu kondisi dimana seseorang mencabut rambutnya sendiri. Sedangkan dari sudut pandang psikiatri trikotilomania harus mencakup sifat impulsif dalam pencabutan rambut tersebut.2 Kelainan psikiatri yang mendasari umumnya adalah gangguan obsesi kompulsi, namun kelainan lain yang dapat mendasari adalah simple habit disorder, reaksi terhadap situasi stres, retardasi mental, depresi dan kecemasan, serta delusi yang meyakinkan pasien bahwa ada sesuatu pada akar rambut yang harus dicabut. Kondisi terakhir ini dikenal dengan trikofobia. Beberapa diagnosis banding dari trikotilomania antara lain alopesia areata, sifilis, dan tinea kapitis.2 Berdasarkan epidemiologi prevalensi berkisar antara 0,5% - 3,5% dengan rerata usia pasien antara 10-13 tahun. Secara klinis trikotilomania akan tampak sebagai nonscarring alopecia, dengan rambut patah pada panjang yang bervariasi, dengan densitas rambut yang normal, serta hair pull test negatif. Area yang terkena antara lain kulit kepala, bulu mata, alis dan rambut pubis dengan sebagian besar pasien mencabut rambut pada lebih dari satu lokasi.1,4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 123

Diagnosis trikotilomania dapat ditunjang oleh pemeriksaan histopatologi, dimana akar rambut mengalami perubahan yang dikenal sebagai trikomalasia yang hanya terjadi pada kondisi trikotilomania. Pemeriksaan ini dapat digunakan jika pasien menyangkal telah mencabut rambutnya.1,4 Penatalaksanaan trikotilomania tetap berdasarkan pada kelainan kejiawaan yang mendasari. Karena kelainan yang paling umum adalah gangguan obsesi kompulsi, terapi yang digunakan adalah anti obsesi – kompulsi seperti fluoxetine, paroxetine, fluvoxamine, sertraline, dan clomipramine. Pendekatan non farmakologi mencakup psikoterapi dan terapi perilaku.1,2

Body Dismorphic Disorder Body dismorphic disorder atau dismorfofobia adalah suatu kondisi kronis yang ditandai dengan adanya perhatian dan fokus yang berlebihan terhadap defek yang diasumsikan ada pada penampilan fisik, walaupun sebenarnya penampilan tampak sepenuhnya normal.3 Kelainan psikologis ini menyebabkan gangguan fungsi sosial, kualitas hidup yang rendah, dan respon terhadap pengobatan yang rendah. Keluhan mengenai penampilan penderita biasanya berpusat pada 3 area yaitu wajah, kepala, dan kelamin. Kelainan ini diperkirakan terjadi pada 0,7% - 2,4% dari populasi umum dan hingga 12% dari pasien dermatologi. Kelainan ini umunya dihubungkan dengan gangguan mood seperti depresi (37%), fobia sosial (33%%), dan gangguan obsesi-kompulsi (26%). Sekitar 80% pasien dengan BDD memiliki keinginan bunuh diri dan 24%-48% pernah melakukan percobaan bunuh diri.3,4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 124

Keluhan pasien BDD dapat berupa defek pada wajah seperti kemerahan, skar, pori-pori yang besar, rambut halus, dan adanya asimetri pada wajah. Keluhan seperti kerontokan rambut, skrotum berwarna merah, dan adanya duh tubuh juga pernah dilaporkan. Strategi untuk dapat mengurangi defek yang dikeluhkan dapat berupa kamuflase, berulang kali memeriksa di cermin atau sebaliknya menghindari cermin, membandingkan defek dengan bagian tubuh lain, serta melakukan tindakan/pengobatan untuk ‘mengobati’ defek. Pasien wanita seringkali terfokus pada penampilan pinggul dan perut sehingga kelainan ini umum ditemukan bersamaan dengan bulimia nervosa.3,4 Pasien BDD umumnya akan datang kepada banyak ahli dermatologi atau ahli bedah plastik berkaitan dengan pengobatan dari defek yang dirasakan dan senang berpindah- pindah dokter. Namun, jika pasien menerima pengobatan dan kemudian tidak menunjukkan perbaikan, pasien seringkali merasa kecewa, dan mengalami perburukan secara psikologis.1,3 Hal ini menyebabkan pendekatan secara kosmetik dan atau bedah aestetik tidak disarankan. Kelainan BDD ini seringkali bersifat kompleks dan memerlukan pendekatan multimodal menggunakan terapi medikamentosa serta terapi kognitif dan perilaku.4 Pendekatan medikamentosa antara lain menggunakan golongan SSRIs, clomipramine, dan haloperidol dengan hasil yang bervariasi.3

Kelainan Psikiatri Sekunder Penyakit kulit jarang mengancam jiwa namun dihubungkan dengan morbiditas yang signifikan dan sangat mempengaruhi kualitas hidup. Kelainan psikiatri sekunder mencakup sekitar 30% dari seluruh pasien dermatologi. Penyakit kulit yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 125 bersifat kronis dan mengenai area yang terbuka seperti pada psoriasis dan vitiligo akan menggangu penampilan fisik dan menyebabkan rasa malu, depresi, kecemasan, citra diri yang buruk, rasa percaya diri kurang dan bahkan memicu keinginan bunuh diri. Seringkali pasien juga menerima diskriminasi dan isolasi sosial sehingga menambah beban pasien secara psikologis.1,4

Kelainan Psikofisiologis Kelainan psikofisiologis adalah kondisi kelainan kulit yang seringkali dipengaruhi atau diperberat oleh stres emosional. Klasifikasi kelompok ini diajukan oleh Koo dan Lee bersama dengan dua kelompok klasifikasi lainnya.7 Kelainan pada kelompok ini biasanya bersifat multifaktorial, dimana stres ataupun kondisi psikologis tidak secara langsung sebagai penyebab dari kelainan kulit yang terjadi namun, merupakan salah satu faktor pemicu atau faktor yang memperberat.8 Pada banyak dermatosis kronis, stres emosional dapat memicu siklus gatal-garuk, sehingga terapi terhadap pasien yang rekalsitran harus disertai dengan tatalaksana terhadap stres sebagai faktor yang memperberat. Pasien biasanya merasa malu mengakui masalah psikologis yang dihadapi, sehingga diperlukan pendekatan secara perlahan. Kursus manajemen stres, teknik-teknik relaksasi, musik, atau latihan dapat membantu menangani masalah pada pasien dalam kondisi seperti ini. Jika terdapat masalah psikososial atau pekerjaan yang spesifik, terapi dan konseling yang terkait mungkin dapat membantu.3,5 Pada pasien dengan stres atau ketegangan yang memerlukan terapi anti cemas, terdapat dua kelompok anticemas umum yang dapat dgunakan. Benzodiazepin secara

Psychoneuroimmunology in Dermatology 126 umum dapat digunakan untuk meredakan cemas, stres dan ketegangan secara cepat, dan digunakan hanya jika diperlukan. Pada pasien dengan gangguan cemas yang kronis, golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) secara umum aman dan efektif. Jika gangguan stres dan cemas dianggap berat dan pasien memerlukan rujukan ke ahli kejiwaan, rujukan harus didiskusikan dengan pasien secara suportif dan diplomatis sehingga pasien dapat menerima bahwa konsultasi psikiatri diperlukan sebagai penunjang terapi dermatologi.3

Pengobatan Psikotropika yang Digunakan di Bidang Dermatologi Pengobatan psikotropika umum digunakan.pada kondisi- kondisi penyakit psikokutaneus. Pengobatan ini digolongkan sesuai dengan kegunaan klinisnya seperti (antidepresan atau antipsikotik), namun kemudian juga digolongkan berdasarkan struktur kimia dan/atau mekanisme kerjanya. Beberapa pengobatan yang umum digunakan pada kondisi ini adalah golongan antidpresan, anticemas, dan antipsikotik. Beberapa obat psikotropika yang umum digunakan di Bidang Dermatologi dapat dilihat pada tabel 3.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 127

Tabel 3. Obat-obatan yang Umum Digunakan pada Kelainan Psikokutaneous (dikutip dengan perubahan dari kepustakaan no.5) Kategori Obat Dosis Efek Samping Keterangan Umum Anti depresan SSRIs Fluoxetine 20 mg/hari mual muntah, lebih sering dapat dispepsia, nyeri menyebabkan ditinggkatkan abdomen, diare, ansietas dan dgn interval agitasi, insomnia 3-4 minggu insomnia, dibandingkan sampai dosis hiponatremia SSRis lainnya maks 60 mg/hari

Sertraline 50-200 sama dengan di discontinuation mg/hari atas syndrome jika dihentikan tiba- Escitalo- 10 mg sekali sama dengan di tiba mencakup pram sehari atas sakit kepala, maksimal 20 ansietas, mg/hari parestesia, flu- like syndrome, gangguan tidur

SNRI Venlafaxine 75-150 mg Gastrointestinal, Dihentikan jika XL sekali sehari palpitasi, tidak berespon nausea, dalam 8-12 berkeringat, minggu Tekanan darah meningkat

Duloxetine mulai pada sama dengan di sedasi kuat, baik dosis 30 mg atas, nausea untuk keluhan sekali sehari sangat sering pruritus maks 120 nocturnal mg/hari

Psychoneuroimmunology in Dermatology 128

NaSSa Mirtazapine 15 mg sekali peningkatan sehari nafsu makan dan (malam hari), berat badan, naikkan edema, sedasi dalam 2-4 minggu, maks 45mh/hari

TCA dan Amitriptyline 75 mg sekali prolong QT Overdosis TCA yang sehari malam interval, dapat berakibat berkaitan hari sampai peningkatan BB, fatal. Perhatian 150-200/hari hipotensi pada pasien ortostatik, efek dengan riwayat samping kejang dan antikolinergik manik-depresif karena dapat Imipramine 75 mg/hari menurunkan dapat ambang kejang ditingkatkan dan memicu sampai episode manik dengan 150- serta memicu 200 mg/hari bunuh diri

Doxepine mulai dengan dosis 25 mg saat malam dan dititrasi menjadi 75 mg/hari Anti- Risperidon mulai dengan sedasi, cemas, aman pada psikotik dosis 0,25-0,5 dizziness, rinitis, lansia, karena mg saat fatigue, memiliki efek malam hari gangguan antikolinergik dan akomodasi, (mulut kering, ditingkatkan prolong QT mata kabur, sampai 4 interval konstipasi, mg/hari urinary hesitation) yang minimal

Psychoneuroimmunology in Dermatology 129

Olanzapine mulai dengan sedasi, efek sangat efektif dosis 5-10 antikolinergik, pada parasitosis mg/hari, peningkatan delusional tetapi titrasi hingga berat badan, tidak menjadi 10-15 sindrom pilihan utma mg/hari metabolik, DM karena profil tipe II, dan efek samping hiperlipidemia yang buruk

Aripiprazole 10mg/hari Efek ekstrapiramidal, sindrom metabolik dan peningkatan berat badan lebih jarang, tidak memiliki efek antikolinergik Benzodia Lorazepam, 0,5-2 mg/hari sedasi, batasi zepine Diazepam 15-30 ketergantungan penggunaan mg/hari hanya 3-4 dalam dosis minggu, jangan terbagi stop langsung tanpa dititrasi untuk menghindari rebound phenomenon

Antihista Hydroxyzine 5-100 mengantuk, min mg/hari stimulasi paradoksikal, sakit kepala, gangguan psikomotor, efek antimuskarinik seperti retensi urin, dan mulut kering

Psychoneuroimmunology in Dermatology 130

Antiepi- Gabapentin mulai dengan Onset lebih lepsi 300 mg lambat dari malam hari benzodiazepine selama 1 tetapi lebih minggu, jarang titrasi meneybabkan menjadi 300 ketergantungan mg 2 kali dalam seminggu

Pregabalin 200-450 mulut kering, hindari mg/hari dosis konstipasi, mual penghentian maksimal 600 muntah, mendadak, mg/hari flatulen, edema, perhatian pada dizziness, psien dengan mengantuk, gagal jantung gangguan kongestif, memori, kadang gangguan ginjal, dapat dan kehamilan menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson dan gatal

Pengobatan Non Farmakologi Dokter kulit perlu melakukan konsultasi dan rujukan kepada bagian Psikiatri segera setelah memungkinkan bagi pasien. Beberapa pilihan terapi non farmakologi yang umumnya digunakan terhadap pasien dengan kelainan psikokutaneous antara lain terapi kognitif-perilaku, psikoterapi fokus pada tilikan, hipnosis, mindfullness-based cognitive therapy, biofeedback, dan terapi keluarga. Tidak terdapat terapi yang lebih superior dibandingkan lainnya karena setiap terapi bersifat individual bergantung pada kondisi dan diagnosis pasien.3,4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 131

Peranan Dokter Kulit Sekitar 20-40% pasien yang datang ke dengan keluhan kulit juga mengalami gangguan psikiatri dan atau gangguan psikologi yang berhubungan dengan kelainan kulitnya.1 Sebagian besar pasien ini tidak memiliki tilikan mengenai peranan psikogenik dalam keluhannya sehingga akan menolak berbagai bentuk rujukan ke psikiatri.5 Sebagai dokter kulit yang pertama kali menerima pasien dalam kondisi seperti ini diharapkan memiliki kewaspadaan dan pengetahuan mengenai diagnosis yang umum, manifestasi klinis baik secara dermatogi maupun psikiatri, serta dasar-dasar pengobatan yang diperlukan. Dokter kulit diharapkan dapat mengidentifikasi kelainan psikiatri primer dengan manifestasi kulit, menilai sejauh mana peranan stres pada kelainan psikofisiologis, dan seberapa besar beban psikologis pada pasien dengan kelainan dermatologis primer.4 Dokter kulit juga diharapkan dapat memulai terapi non farmakologis serta terapi farmakologis dasar pada kelainan psikokutaneous dan harus mengetahui kapan waktu yang ideal untuk melakukan rujukan ke ahli jiwa. Dokter kulit hendaknya dapat melakukan pendekatan yang simpatik dan dapat menjadi jembatan bagi pasien untuk berkonsultasi dengan psikiater maupun psikolog untuk mendapat penanganan yang komprehensif.1,4,5

Daftar Pustaka 1. Rieder E, Tausk FA. Psychocutaneous Skin Disease. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012, p. 1158-65. 2. Koo J, Lebwohl A. Psychodermatology: The Mind and Skin Connection. AAFP 2001; 64(11): 1873-78.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 132

3. Jafferany M. Psychodermatology: A Guide to Understanding Common Psychocutaneous Disorders. J Clin Psychiatry 2007; 9(3): 203-13. 4. Yadav S, Narang T, Kumaran S. Psychodermatology: A Compregensive Review. IJDVL 2013; 79(2): 176-92. 5. Bewlwy A. Psychodermatology and Psychocutaneous Medicine. Dermatol Nurs 2011; 10(3): 28-31. 6. Rodriguez-Cerdeira C, Pera-Grasa JT, Molares A, Isa-Isa R, Arenas-Guzman R. Psychodermatology: Past, Present and Future. Open Dermatol J 2011;5:21-7. 7. Koo JYM, Lee CS. General Approach to Evaluating Psychodermatological Disorders. In: Koo JYM, Lee CS, eds. Psychocutaneous Medicine. New York: Mercel Dekker, Inc; 2003:1-29. 8. Harth W, Gieler U, Kusnir D, Tausk FA. Introduction. In: Harth W, Gieler U, Kusnir D, Tausk FA, eds. Clinical Management in Psychodermatology. Berlin: Springer-Verlag; 2009: 3-7.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 133

Psychoneuroimmunology in Dermatology 134

STRESS QUESTIONNAIRE: STRESS INVESTIGATION FROM DERMATOLOGIST PERSPECTIVE

dr. IGAA Elis Indira, Sp.KK Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar-Bali

Abstrak Penyakit kulit sangat erat kaitannya dengan stres psikologis. Sebanyak 30% penyakit kulit dikatakan tertangani dengan lebih baik dan efektif jika mempertimbangkan faktor psikososialnya. Stres secara definisi adalah akibat dari kegagalan tubuh untuk merespon dengan baik tekanan fisik maupun emosional. Stres ini dapat menjadi faktor yang berperan penting dalam banyak penyakit kulit seperti dermatitis atopi, psoriasis, urtikaria dan akne. Saat ini banyak dikembangkan teknik untuk melakukan penilaian stres, dan kuesioner nampaknya merupakan alat bantu yang mudah dan banyak digunakan untuk menilai stres. Sayangnya, di Bidang Dermatologi belum terdapat metode yang baku mengenai penilaian stres pada berbagai penyakit kulit. Beberapa kuesioner stres yang umum dan telah diterima luas seperti Depression Anxiety and Stress Scale (DASS-21), Perceived Stress Scale (PSS-10), Subjective Units of Distress Scale (SUDS), The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D), dan Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A) merupakan kuesioner yang sering digunakan untuk mengevaluasi tingkat stres utamanya dalam berbagai penelitian di Bidang Dermatologi. Dalam praktek klinis sehari-hari perhatian terhadap faktor psikososial dan penilaian tingkat stres pada pasien dengan penyakit kulit perlu ditingkatkan sehingga dicapai penanganan yang komprehesif dan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 135

Kata kunci: kuesioner stres, dermatologi, DASS, PSS, SUDS, HAM-D, HAM-A

Abstract Skin disease are closely related with psychological stress. Consideration of psychosocial factor is essential for managing an estimated 30% of dermatologic disorders effectively. Stress by definition is the consequences of the failure of the human body to respond appropriately to emotional or physical threats. Stress played an important factor of many skin diseases such as atopic dermatitis, psoriasis, urticaria and acne. Nowdays, various technique were developed for examination of stress level, and questionnaire is a simple, easy and common measurement tool to evaluate stress. Unfortunately, there is no standard measures of stress in dermatologic patients yet. Some general stress questionnaires such as Depression Anxiety and Stress Scale (DASS-21), Perceived Stress Scale (PSS-10), Subjective Units of Distress Scale (SUDS), The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D), and Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A) are largely use to evaluate stress especially in various research of dermatologic patients. Increased uses of these tools in daily clinical practice might be beneficial in order to deliver a comprehensive treatment to patients with skin disease. Key word: stress questionairres, skin disease, DASS, PSS, SUDS, HAM-D, HAM-A

Pendahuluan Stres adalah respon mental dan fisiologi tubuh terhadap stimulus atau ancaman fisik maupun emosional.1 Stres emosional dapat menjadi faktor pencetus berbagai penyakit kulit seperti dermatitis atopik, psoriasis, dermatitis seboroik dan urtikaria. Penyakit-penyakit kulit tersebut dimasukan kedalam kelainan psikofisiologi yang merupakan bagian dari kelainan psikokutaneus atau psikodermatologi. Kelainan kulit

Psychoneuroimmunology in Dermatology 136 yang menganggu secara kosmetik menimbulkan rasa malu, depresi, rasa cemas dan kepercayaan diri rendah. Pasien juga dapat mengalami masalah sosial seperti diskriminasi dari lingkungan sosial dan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.2 Dokter harus mampu melihat peran dari faktor stres emosional pada penyakit kulit kronis, karena sebagian besar pasien tidak mengeluhkan dampak psikologis yang terjadi akibat penyakit yang dialaminya.2 Sangat penting menilai tingkat stres pada pasien dengan kelainan kulit kronis yang rekalsitran agar pasien mendapatkan penanganan yang lebih komperhensif.3 Belum tersedianya pemeriksaan standar untuk menilai tingkat stres, maka klinisi menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan lingkungan, psikologi dan biologi. Pendekatan lingkungan menekankan pada suatu kondisi yang memicu stres (stresor). Pendekatan psikologi yaitu kemampuan individu dalam menerima suatu stresor dan pendekatan biologi adalah respon biologi tubuh terhadap stresor. Kuesioner merupakan alat bantu untuk menilai tingkat stres melalui pendekatan lingkungan serta psikologis dan sebagai biomarker pada pendekatan biologi.4 Kuesioner yang sering digunakan untuk menilai tingkat stres dibidang dermatologi adalah Depression Anxiety and Stress Scale (DASS-21), perceived stress scale (PSS- 10).3,4,5 Beberapa metode penilaian lain seperti Subjective Units of Distress Scale (SUDS), The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D) dan Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM- A) juga beberapa kali digunakan terutama pada penelitian di Bidang Dermatologi.6,7 Dalam praktek klinis sehari-hari penilaian stres oleh seorang ahli dermatologi tidak umum dilakukan, namun mengingat eratnya hubungan antara stres

Psychoneuroimmunology in Dermatology 137 dan penyakit kulit, beberapa penilaian stres secara sederhana dengan menggunakan kuesioner perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu.

Stres Stres adalah ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang pada suatu ketika dapat mempengaruhi kesehatan individu tersebut.8 Sumber stress atau disebut dengan stresor dapat bersumber dari luar dan dalam tubuh. Radiasi, suhu, zat kimia dan trauma merupakan stresor dari luar. Stresor dari dalam dikenal dengan stresor psikologis berupa rasa frustasi, kecemasan, rasa bersalah, khawatir berlebih, marah, benci ataupun rasa sedih.2 Stres dapat dibagi menjadi beberapa konsep yaitu: stres fisiologis, psikologis dan sosial. Stres secara fisiologis dapat meningkatkan kadar hormon kortisol, denyut jantung, tekanan darah dan mempengaruhi respon inflamasi dan sistem imun. Stres secara psikologis dihubungkan dengan emosi negatif seperti rasa takut dan cemas, sedangkan stres terkait faktor sosial dihubungkan dengan lingkungan kerja atau tempat tinggal serta interaksi antar personal yang negatif.1 Tingkat stres dapat dinilai dari tahapan stres yang dialami individu tersebut. Stres menurut Hawari terdiri dari enam tahapan stres. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang sangat berat dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan pekerjaan tanpa memerhitungkan tenaga yang dimilikinya, pada tahapan ini penglihatan menjadi tajam. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai dengan keluhan dan ketidaknyamanan fisik seperti perut tidak nyaman, jantung berdebar, otot tengkuk

Psychoneuroimmunology in Dermatology 138 dan punggung tegang. Stres tahap ketiga merupakan tahapan stres yang disertai dengan keluhan dan ketidaknyamanan fisik seperti diare, otot semakin tegang, emosional, insomnia, koordinasi tubuh terganggu dan mudah jatuh pingsan. Stres tahap keempat ditandai dengan tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, timbul ketakutan dan kecemasan. Stres tahap kelima ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan ringan dan berat, meningkatnya rasa takut, cemas, bingung dan panik. Stres tahap keenam merupakan tahapan stres yang paling berat yang ditandai, seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, pingsan atau collaps.9

Penyakit Kulit dan Stres Respon stress dalam tubuh diatur oleh suatu komplek sistem neuroendokrin. Respon adaptasi stress dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu, genetik dan lingkungan. Ketidakmampuan dalam menghadapi stresor dalam bentuk reaksi yang tidak adekuat, berlebihan dan berkepanjangan akan menyebabkan penyakit pada individu tersebut.10 Penyakit psikodermatologi atau psychocutaneous disease adalah kondisi penyakit yang mencakup adanya interaksi antara pikiran dan kulit. Kelainan ini secara umum dibagi menjadi 3 yaitu: (1) kelainan psikiatri primer merujuk pada kelainan psikitri yang mendasari adanya manifestasi kulit yang dipicu oleh penderita sendiri (self induced skin manifestation), seperti contohnya trikotilomania dan delusional parasitosis; (2) kelainan dermatologi primer

Psychoneuroimmunology in Dermatology 139 merujuk pada kelainan kulit yang menyebabkan gangguan penampilan/disfigurement sehingga menyebabkan masalah psikiatri seperti depresi dan antisosial; (3) kelainan psikofisiologi adalah kondisi kelainan kulit yang seringkali dipengaruhi atau diperberat oleh stres emosional. Kelainan pada kelompok ini biasanya bersifat multifaktorial, dimana stres ataupun kondisi psikologis tidak secara langsung sebagai penyebab dari kelainan kulit yang terjadi, namun merupakan salah satu faktor pemicu atau faktor yang memperberat.11 Beberapa penyakit kulit yang termasuk kedalam kelainan psikofisiologi antara lain: akne, alopesia areata, dermatitis atopik, psoriasis, rosasea, dermatitis seboroik, urtikaria.2

Kuesioner Stres yang Dapat Digunakan di Bidang Dermatologi Kuesioner stres yang spesifik di Bidang Dermatologi atau yang spesifik pada penyakit kulit tertentu belum tersedia. Beberapa kuesioner yang umum digunakan dalam penilaian stres dapat digunakan untuk membantu mengevaluasi pasien dengan kelainan kulit yang berhubungan dengan stres. Beberapa metode kuesioner berikut pernah digunakan dalam penelitian penyakit kulit yang berhubungan dengan stres.

Depression Anxiety and Stress Scale (DASS) Depression Anxiety and Stress Scale adalah kuesioner untuk menilai depresi, rasa cemas dan stress. Kuesioner ini bukan sebagai alat bantu diagnosis namun sebagai alat untuk menentuka tingkat keparahan kondisi stress. Depression Anxiety and Stress Scaletelah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa dan digunakan secara luas dalam praktik sehari-hari maupun dalam ruang lingkup penelitian.5

Psychoneuroimmunology in Dermatology 140

Kuesioner ini mudah diaplikasikan pada populasi dan tidak membutuhkan pelatihan khusus dalam penggunaannya. Depression Anxiety and Stress Scalememiliki dua versi yaitu DASS-42 dan DASS-21. DASS-12 merupakan versi pendek dari DASS-42.5 DASS-21 terdiri dari dua puluh satu pernyataan yang terdiri dari masing-masing tujuh pernyataan untuk menilai depresi, rasa cemas dan menilai stress.12 Setiap pertanyaan diberikan skor 0 hingga 3, kemudian skor pada masing-masing kategori dijumlahkan dan dilakukan interpertasi normal, ringan, sedang, berat dan sangat berat.12 Interpretasi hasil penjumlahan skor pada DASS-21 ditampilakan pada table 1.

Tabel 1. Interpretasi hasil DASS-21 Kategori Depresi Rasa cemas Stress Normal 0-9 0-7 0-14 Ringan 10-13 8-9 15-18 Sedang 14-20 10-14 19-25 Berat 21-27 15-19 26-33 Sangat berat 28+ 20+ 34+

Perceived Stress Scale (PSS-10) Perceived Stress Scale merupakan kuesioner yang telah terstandar dan memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi. Kuesioner ini dibuat oleh Sheldon Cohen, mampu mengukur persepsi global dari stres yang memberikan beberapa fungsi penting. Perceived Stress Scale dapat memberikan informasi mengenai kondisi penyebab stres yang dapat mempengaruhi kondisi fisik atau patologi dan dapat digunakan untuk menilai tingkat stres.13 Perceived Stress Scale terdiri dari sepuluh pertanyaan, terdapat enam pertanyaan negatif dan empat pertanyaan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 141 positif. Setiap pertanyaan diberikan skor dari 0 hingga 4. Skor 0 untuk jawaban tidak pernah, skor 1 untuk jawaban hampir tidak pernah, skor 2 untuk jawabaan kadang-kadang, skor 3 untuk jawaban sering dan skor 4 untuk jawaban sangat sering. Nilai skor ini dibalik untuk menjawab pertanyaan positif, sehingga skor 0 = 4, skor 1 = 3, skor 2 = 2 dan seterusnya. Pertanyaan positif pada kuesioner ini terdapat pada pertanyaan nomer 4, 5, 7 dan 8. Tingkat stress diketahui setelah menjumlahkan semua skor dari sepuluh pertanyaan yang terdapat pada kuesioner PSS. Total skor 13 menunjukan nilai rata-rata atau masih dikatakan dalam batas normal. Skor stres sekitar 20 atau lebih menunjukan terdapat stres yang berat. Jika hal tersebut terjadi disarankan untuk belajar untuk mengurangi stress dengan berolahraga tiga kali dalam seminggu.13,14

Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A) Hamilton Anxiety Rating Scale ini merupakan sistem skoring pertama yang dikembangkan untuk menilai tingkat kecemasan dan sampai saat ini masih digunakan secara luas dalam praktek klinis maupun dalam penelitian. Sistem penilaian ini harus dipandu oleh klinisi dalam waktu 10-15 menit dan dapat digunakan pada populasi dewasa, remaja, dan anak-anak. Sistem skoring ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Prancis, Spanyol, dan Mandarin.7 Sistem skoring HAM-A ini mencakup 14 hal yang didefinisikan dengan serangkaian gejala untuk menilai baik kecemasan secara psikis, maupun kecemasan secara somatik. Setiap hal dinilai dengan skala dari 0 (tidak ada) – 4 (berat), dengan total skor antara 0-56. Skor bernilai <17 menunjukkan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 142 kecemasan ringan, 18-24 menunjukkan kecemasan ringan- sedang, dan skor 25-30 menunjukkan kecemasan berat.7

Hamilton Depression Rating Scale (HAM-D) Hamilton Depression Rating Scale dikembangkan oleh Dr. Max Hamilton dari Universitas Leeds, Inggris pada tahun 1960. Sejak Saat itu sistem skoring ini telah digunakan secara luas dalam praktek klinis dan menjadi standar dalam uji klinis farmasi, dimana sistem ini terbukti sangat bermanfaat dalam menentukan tingkat depresi seseorang sebelum, selama, dan setelah pengobatan. Pengisian kuesioner ini sebaiknya dilakukan oleh klinisi yang berpengalaman.6 Penilaian tingkat depresi berdasarkan HAM-D ini berdasarkan pada 17 item pertama, walaupun dalam kuesionernya terdapat 21 daftar pernyataan. Secara umum pengisian kuesioner ini memerlukan 15-20 menit. Terdapat 8 item yang diskoring dengan 5 skala, dari 0 = tidak ada sampai dengan 4 = berat. Sedangkan 9 item diskoring dengan nilai 0- 2. Interpretasi dari sistem skoring HAM-D adalah dengan menjumlahkan 17 item pertama dengan hasil 0-7 adalah normal, 8-13 depresi ringan, 14-18 depresi sedang, 19-22 depresi berat, dan >23 depresi sangat berat.6

Subjective Units of Distress Scale (SUDS) Subjective Units of Distress Scale (SUDS) atau dikenal dengan distress thermometer adalah skala penilaian stres yang dapat dinilai sendiri oleh pasien. Awalnya terdiri atas skala 0-100 tetapi kemudian disederhanakan menjadi 0-10, dimana 0 adalah relaksasi total dan 10 adalah level stres tertinggi. Interpretasi dari penilaian ini adalah 0-3 berupa zona hijau atau netral berupa stres normal dalam kehidupan sehari-hari.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 143

Penilaian 4-6 dianggap zona kuning dengan tingkat stres sedang, kadang stres dapat diatasi tetapi kadang tidak, dan menyebabkan distres subjektif tetapi tidak mengalami gangguan fungsi. Tingkat stres 7-10 dianggap sebagai zona merah dengan tingkat stres paling tinggi, tidak dapat diatasi dengan efektif, terdapat distres subjektif dan dan gangguan fungsi. Pada tahap ini biasanya terjadi gangguan tidur, daya tahan menurun, ingatan terganggu, tidak dapat mebuat keputusan, tidak dapat berpikir kreatif, dan sangat reaktif terhadap lingkungan sekitar.15,16

DAFTAR PUSTAKA 1. Solowiey, K, Mason, V, Upton, D. Review of The Relationship Between Stress and Wound Healing Part 1. J Wound Care 2009: 18 (9): 1-6. 2. Yadav, S, Narang, T, Kumaran, S, M. Psychodermatology: A Comprehensive Review. Indian J Dermtol Venereol Leprol 2013: 79 (2): 176-92. 3. Tran, TD, Tran, T, Fisher, J. Validation of The Depression Anxiety Stress Scales (DASS) 21 as a Screening Instrument for Depression and Anxiety in a Rural Community-based Cohort of Northern Vietnamese Woman. BMC Psychiatry, 2013: 13 (24): 1-7. 4. Andreou, E, Alexopoulos, EC, Lionis, C, Varvogli, L, Gnardellis, C, Chrousos, GP, Darviri, C. Perceived Stress Scale: Reliability and Validity Study in Greece. Int J Environ Res Public Health 2011: 8: 4287-98. 5. Musa, R, Fadzal, MA, Zain, Z. Translation, Validation and Psychometric Properties of Bahasa Malaysia Version of the Depression Anxiety and Stress Scales (DASS). ASEAN J Psychiatry 2007: 8 (2): 82-89. 6. Hedlund, JL, Vieweg, BW. The Hamilton Rating Scale for Depression. J Operational Psychiatry, 1979; 10(2): 145-165. 7. Hamilton, M. The Assessment of Anxiety States by Rating. Br J Med Psychol 1959; 32: 50-5. 8. Cohen, S, Deverts, DJ, Miller, GE. Psychological Stress and Disease. JAMA 2007; 298 (14): 1685-7.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 144

9. Hawari, D. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Balai Penerbit FKUI, 2001. 10. Gupta, MA. Psychosocial Aspects of Common Skin Disease. Can Fam Physician 2002; 48: 660-2. 11. Koo JYM, Lee CS. General Approach to Evaluating Psychodermatological Disorders. In: Koo JYM, Lee CS, eds. Psychocutaneous Medicine. New York: Mercel Dekker, Inc; 2003:1-29. 12. Lovibond, SH, Lovibond, PF. Manual for the Depression Anxiety & Stress Scales. 2nd Ed. Sydney: Psychology Foundation.1995. 13. Lee, EH. Review of the Psychometric Evidence of the Perceived Stress Scale. Asian Nurs Res 2012; 6: 121-7. 14. Harth W, Gieler U, Kusnir D, Tausk FA. Introduction. In: Harth W, Gieler U, Kusnir D, Tausk FA, eds. Clinical Management in Psychodermatology. Berlin: Springer-Verlag; 2009: 3-7. 15. Wolpe, J. The Practice of Behaviour Therapy. 4th ed. New York: Pergamon Press. 16. Kim, D, Bae, H, Park, YC. Validity of The Subjective Units of Disturbance Scale in EMDR. J EMDR Pract Res 2008; 2(1): 57-62.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 145

Lampiran 1.

DEPRESSION ANXIETY AND STRESS SCALE (DASS) Baca pernyataan dan lingkari nomer 0, 1, 2 atau 3, yang menunjukan kondisi anda satu minggu terakhir. Tidak ada jawaban salah atau benar. Jangan menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menjawab setiap pernyataan. Skor: 0 tidak pernah dialami 1 kadang dialami 2 sering dialami 3 sangat sering dialami

1 (s) saya sulit untuk ditenangkan 0 1 2 3 2 (a) saya merasa mulut saya 0 1 2 3 kering 3 (d) saya tidak dapat merasakan 0 1 2 3 perasaan yang positif 4 (a) saya mengalami kesulitan 0 1 2 3 bernafas 5 (d) saya sulit mendapatkan 0 1 2 3 semangat untuk melakukan sesuatu 6 (s) saya cenderung bertindak 0 1 2 3 berlebihan 7 (a) saya mengalami gemetaran 0 1 2 3 pada tangan 8 (s) saya merasakan 0 1 2 3 menggunakan banyak energi untuk cemas 9 (a) saya merasa khawatir 0 1 2 3 terhadap situasi yang membuat saya panik dan melakukan hal yang bodoh 10 (d) saya merasa tidak memiliki 0 1 2 3 masa depan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 146

11 (s) saya merasa semakin 0 1 2 3 gelisah 12 (s) saya sulit untuk rileksasi 0 1 2 3 13 (d) saya merasa sedih dan 0 1 2 3 murung 14 (s) saya merasa tidak sabar 0 1 2 3 terhadap sesuatu yang membuat saya bertahan dengan apa yang telah saya lakukan 15 (a) saya mudah menjadi panic 0 1 2 3 16 (d) saya tidak antusias 0 1 2 3 terhadap sesuatu 17 (d) saya merasa tidak berharga 0 1 2 3 18 (s) saya mudah tersentuh 0 1 2 3 19 (a) saya merasakan kerja 0 1 2 3 jantung saya 20 (a) saya merasa takut tanpa 0 1 2 3 alasan yang jelas 21 (d) saya merasa hidup ini tidak 0 1 2 3 berarti

Psychoneuroimmunology in Dermatology 147

Lampiran 2

PERCEIVED STRESS SCALE (PSS-10) PETUNJUK: Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan melingkari jawaban yang tepat. Pada bulan lalu: Pertanyaan Tidak Hampir Kadang- Sering Sangat pernah tidak kadang sering pernah 1. Seberapa sering 0 1 2 3 4 anda sering merasa kecewa karena yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang anda harapkan ? 2. Seberapa sering 0 1 2 3 4 anda merasa tidak dapat mengendalikan hal-hal penting dalam hidup anda? 3. Seberapa sering 0 1 2 3 4 anda merasa gelisah dan tegang? 4. Seberapa sering 4 3 2 1 0 anda merasa yakin mengenai kemampuan anda dalam menangani masalah- masalah pribadi anda? 5. Seberapa sering 4 3 2 1 0 anda merasa

Psychoneuroimmunology in Dermatology 148

bahwa segalanya berjalan sesuai dengan keinginan anda? 6. Seberapa sering 0 1 2 3 4 anda mendapatkan bahwa anda tidak dapat mengatasi segala hal yang harus anda lakukan 7. Seberapa sering 4 3 2 1 0 anda mampu mengontrol gangguan dalam hidup anda? 8. Seberapa sering 4 3 2 1 0 anda merasa senang dengan segala hal yang anda lakukan? 9. Seberapa sering 0 1 2 3 4 anda merasa marah karena sesuatu yang terjadi diluar kendali anda? 10. Seberapa 0 1 2 3 4 sering anda merasa begitu banyak kesulitan sehingga anda tidak mampu mengatasinya?

Psychoneuroimmunology in Dermatology 149

Lampiran 3.

HAMILTON ANXIETY RATING SCALE (HAMA-A)

Lampiran 4.

Lampiran 5.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 150

Lampiran 4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 151

Lampiran 5

Psychoneuroimmunology in Dermatology 152

UJI TUSUK DAN UJI TEMPEL

dr. Nyoman Suryawati, M.Kes, Sp.KK Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak Uji kulit merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat membantu klinisi menetapkan penyebab alergi. Ada dua jenis uji kulit yaitu tes tusuk (skin prick test) dan tes tempel (skin patch test). Tes tusuk digunakan untuk mendiagnosis reaksi hipersensitivitas tipe cepat, sedangkan tes tempel digunakan untuk mendiagnosis reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Kata Kunci: Uji Kulit, Uji Tusuk, Uji Tempel

UJI TUSUK Uji tusuk atau skin prick test (SPT) merupakan metode diagnosis untuk penyakit alergi yang dimediasi immunoglobulin E (Ig E) seperti pada pasien dengan rinokonjungtivitis, asma, urtikaria, anafilaksis, dermatitis atopik, kecurigaan alergi makanan, dan alergi obat.1 Tes tusuk merupakan pilihan utama untuk mendiagnosis alergi karena hasil tes dapat diandalkan, aman, mudah, minimal invasif, relatif murah, dapat mendeteksi multipel alergi dalam 15-20 menit tes dan reproducible jika dilakukan oleh professional kesehatan yang terlatih.2 Pemeriksaan ini dapat dikerjakan pada dewasa dan anak-anak. Uji tusuk cukup baik dalam mendiagnosis alergi inhalan dengan spesifisitas (70-95%) dan sensitivitas (80-97%), sedangkan untuk alergi makanan, spesifisitas berkisar (30-90%) dan sensitivitas (20-60%) tergantung tipe alergen dan tehnik yang digunakan. 1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 153

Indikasi Uji Tusuk - Untuk mengetahui alergen penyebab/ pencetus berbagai penyakit yang didasari reaksi hipersensitifitas tipe I/diperantarai Ig E misalnya urtikaria, asma2-4 - Sindroma urtikaria kontak, protein kontak dermatitis3 - Sebelum memulai imunoterapi dan selama monitoring perkembangan imunoterapi2 - Deteksi dini perkembangan terjadinya asma, rinitis alergi2 - Deteksi dini sensitisasi alergen makanan untuk mengurangi risiko terjadinya anafilaksis yang berhubungan dengan makanan 2

Indikasi Kontra Uji Tusuk - Dermatografisme2 - Reaksi anafilaksis terhadap beberapa alergen2 - Kekambuhan penyakit kulit misalnya lesi urtika,4 dermatitis atopik yang berat 2 - Pasien dalam terapi antihistamin, kortikosteroid dosis tinggi (>10 mg/hari), kortikosteroid topikal, obat antidepresan (imipramin, fenotiasin), dopamin, klonidin4 - Pasien menggunakan krim atau pelembab pada lokasi uji tusuk4 - Terdapat lesi kulit pada lokasi tindakan yang mengganggu pelaksanaan atau pembacaan hasil4 - Kehamilan2,4

Psychoneuroimmunology in Dermatology 154

Alat dan Bahan Uji Tusuk4,5 1. Ekstrak alergen beserta kontrol positif (histamine chlorhidrate solution/codein phosphate solution 9%) dan kontrol negatif (saline) 2. Jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet 3. Alkohol 70%, kapas, tisu 4. Alat tulis : penggaris (diameter), spidol/pulpen untuk interpretasi hasil

Metode Uji Tusuk Ada 2 metode uji tusuk yang umum digunakan. Prick puncture test yang menggunakan lancet dengan ujung sepanjang 1 mm dan terdapat bahu yang berperanan untuk mencegah penetrasi yang berlebihan. Metode kedua modified prick test yaitu melakukan tusukan pada tetesan ekstrak alergen, kemudian ujung jarum dinaikkan secara hati-hati untuk mengangkat lapisan epidermal tanpa menyebabkan perdarahan. 4

Prosedur Uji Tusuk4 - Posisi pasien diatur agar merasa nyaman, uji tusuk dilakukan pada bagian atas punggung atau bagian volar lengan bawah - Kulit lokasi uji tusuk dibersihkan dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering sendiri atau dikeringkan dengan tisu - Tandai kulit dengan penggaris dan spidol/pulpen untuk masing-masing alergen dengan jarak yang cukup (jarak minimal 1,5-2 cm, bila memungkinkan jarak ideal 3,5 cm)

Psychoneuroimmunology in Dermatology 155

- Teteskan satu tetes larutan histamin sebagai kontrol positif dan satu tetes larutan normal salin sebagai kontrol negatif dan satu tetes ekstrak alergen sesuai jenis alergen yang dicurigai - Lakukan tusukan melaui larutan yang sudah diteteskan tersebut dengan jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet dengan menggunakan metode prick puncture test atau modified prick test, hindari terjadinya perdarahan pada lokasi uji tusuk - Pembacaan hasil uji tusuk dapat dilakukan setelah 15- 10 menit - Alergen dibersihkan dengan tisu yang menyerap alergen dan tidak boleh digosok.

Pembacaan Dan Interpretasi Hasil Uji Tusuk Reaksi yang timbul berupa eritema/kemerahan dan edema/bentol. Apabila kurang dari 15 menit terjadi wheal yang sangat lebar, kulit sebaiknya dibersihkan dari larutan alergen untuk menghindari terjadinya reaksi sistemik/reaksi anafilaksis. Pada pembacaan, kontrol positif harus timbul urtika/bentol dan kontrol negatif harus tidak terjadi reaksi. Secara umum reaksi uji tusuk dinyatakan positif jika terjadi reaksi minimal 3 mm atau setidaknya setengah reaksi yang timbul akibat histamin (gambar 1).1,4 Reaksi uji tusuk perlu dievaluasi dan diinterpretasi dengan hati-hati serta dinilai relevansi klinisnya.5

Psychoneuroimmunology in Dermatology 156

Gambar 1. Hasil reaksi positif pada uji tusuk dengan kontrol positif dan kontrol negatif.5

Hasil uji tusuk dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lokasi uji tusuk, obat-obatan (tabel 1), usia, ritme harian dan variasi musim, kualitas ekstrak alergen, kondisi patologi kulit, dan imunoterapi.4 Hasil uji tusuk harus mempertimbangkan kemungkinan hasil reaksi false positive atau false negative. 4,5 Hasil reaksi false positive terjadi bila: - Reaksi pada kontrol negatif didapatkan hasil reaksi yang positif, jika seluruh lokasi uji tusuk memiliki hasil positif akibat reaksi kuat oleh alergen yang berdekatan4,5 - Jika pasien memiliki dermografisme4,5 Hasil reaksi false negative terjadi bila: - Reaksi pada kontrol positif didapatkan hasil reaksi lemah atau reaksi yang negatif4,5 - Kualitas alergen yang buruk,5 waktu pembacaan tidak adekuat, 4,5 tehnik tusukan yang salah 5 - Jika pasien mendapat terapi anti histamine atau kortikosteroid oral4,5

Psychoneuroimmunology in Dermatology 157

Tabel 1. Pengaruh beberapa terapi terhadap hasil uji tusuk. 6

Reaksi Simpang Uji Tusuk:4 Uji tusuk dapat menimbulkan reaksi simpang/adverse reactions seperti dapat terjadi reaksi anafilaksis (sangat jarang terjadi), dan dapat menimbulkan rasa tidak nyaman (umumnya dapat ditoleransi oleh penderita bahkan oleh bayi maupun anak kecil).

Psychoneuroimmunology in Dermatology 158

UJI TEMPEL Uji tempel (skin patch test) ditujukan untuk menimbulkan miniatur reaksi eksematosa dengan cara menempelkan alergen dengan tehnik oklusi pada kulit pasien yang intak dan dicurigai memiliki alergi terhadap bahan tertentu.7 Pemeriksaan ini merupakan suatu visualisasi in vivo terhadap fase elisitasi dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi tipe IV).7,8 Pada awalnya uji tempel digunakan untuk mendeteksi alergen penyebab pada dermatitis kontak alergi, tetapi dalam perkembangannya dapat digunakan untuk mengetahui obat penyebab pada kasus erupsi kulit akibat obat.7

Indikasi - Dermatitis kontak alergi8,9 - Sindroma dermatitis kontak alergi (Allergic contact dermatitis syndrome)9 - Untuk membedakan dermatitis kontak alergi atau dermatitis kontak iritan8,9 - Dermatitis kronis dengan penyebab yang belum diketahui8 - Kondisi penyakit eczematous (endogenous) seperti : dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, asteatotic eczema, dermatitis stasis, lesi eksim di sekitar ulkus pada tungkai, pomfoliks atau dyshidrotic eczema, likenifikasi, eczematous psoriasis (telapak tangan dan telapak kaki)9

Psychoneuroimmunology in Dermatology 159

Indikasi Kontra 8 - Menderita dermatitis akut - Mengonsumsi obat-obatan yang dapat memepengaruhi reaksi kulit seperti steroid, anti histamin, dan imunomodulator

Persiapan Uji Tempel8 - Lesi kulit harus sudah tenang - Tidak mengonsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik (prednisone <10 mg/hari) minimal 7 hari (1 minggu) sebelum tes atau sesuai dengan waktu paruh obat - Untuk alergen non standar perlu pengenceran 1/1.000, 1/100, 1/10

Alat dan Bahan Uji Tempel7,8 1. Alergen standar (Trolab, Chemotechnique, allergEAZE/SmartPractice Canada) dan non standar 2. Unit uji tempel 3. Plester hipoalergenik

Prosedur Uji Tempel7,8 - bahan alergen yang akan diujikan diisikan pada unit uji tempel dan diberi tanda - uji tempel dapat dilakukan pada posisi pasien duduk atau telungkup - dilakukan pembersihan pada kulit punggung bagian atas dengan kapas alkohol - unit uji tempel ditempelkan di punggung dan diberi perekat tambahan berupa plester hipoalergenik

Psychoneuroimmunology in Dermatology 160

- pasien diijinkan pulang dengan pesan agar lokasi uji tidak basah terkena air, tidak membasahi punggung (lokasi uji tempel) dan melakukan aktivitas yang menimbulkan keringat berlebihan - pada deretan bahan yang dibawa sendiri oleh pasien (alergen non standar), apabila terasa perih/nyeri (reaksi iritan) dapat dibuka sendiri - pembacaan dilakukan pada jam 48, 72, dan 96 (atau dilepas lebih awal jika timbul keluhan sangat gatal atau rasa terbakar pada lokasi uji tempel) - pembacaan dilakukan 15 menit setelah plester dilepaskan - hasil uji tempel yang positif bermakna dinilai relevansinya dengan anamnesis dan gambaran klinis. Hasil relevansi positif dianggap sebagai penyebab. Pasien diberikan catatan tentang hasil uji temepel yang positif bermakna

Pembacaan Dan Interpretasi Hasil Uji Tempel7,8 Penilaian hasil uji tempel berdasarkan system Grading International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG) dapat dilihat pada tabel 1, dan gambar 2.

Tabel 1. Interpretasi hasil uji tempel Skor Deskripsi Interpretasi - Tidak ada perubahan pada kulit Negatif yang diuji ?+ Pudar, eritema tak teraba Meragukan; sering dianggap bukan reaksi sensitisasi + Eritema teraba-edema sedang Reaksi lemah atau infiltrate, papul minimal atau tidak ada, tidak ada vesikel

Psychoneuroimmunology in Dermatology 161

++ Infiltrat kuat, banyak papul, ada Reaksi kuat vesikel +++ Vesikel bergabung, bula atau Reaksi ekstrim ulserasi IR Inflamasi berbatas tegas pada Reaksi iritan area terpapar, infiltrate minimal, petekie kecil, oustul dan efloresensi lain selain papul dan vesikel NT Not Tested

Gambar 2. Penilaian hasil uji tempel berdasarkan ICDGR 7,10

Reaksi kulit harus diinterpertasikan sesuai dengan informasi dari anamnesis dan pemeriksaan klinis. Hasil positif pada uji tempel harus dinilai relevansi dengan kondisi klinis pasien.7 Pajanan dianggap relevan untuk lesi kulit bila terdapat hubungan waktu (temporal relationship) antara pajanan dan gejala klinis, serta terdapat kesesuaian antara pajanan dan lokasi lesi kulit. Relevansi masa kini (current/ present) bila hasil positif pada uji tempel dapat dihubungkan dengan kondisi dermatitis saat kini. Relevansi masa lalu (past relevance) bila hasil positif pada uji tempel dapat menjelaskan kondisi lesi kulit di masa lalu. Unexplened positive bila allergen positif tapi

Psychoneuroimmunology in Dermatology 162 pajanannya tidak bisa dihubungkan dengan lesi kulit saat ini maupun masa lalu. 7 Hasil uji tempel dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: lokasi uji tempel, obat-obatan, usia, ritme harian dan variasi musim, kondisi patologi kulit, imunoterapi.8 Hasil uji tempel harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya reaksi false positive atau false negative. Hal reaksi false positive terjadi bila: - konsentrasi bahan terlalu tinggi7,8, bahan uji tidak murni atau terkontaminasi7, iritasi dari bahan vehikulum7, efek tekanan, perekat/pleser,7,8 - terdapat dermatitis pada lokasi uji tempel atau pada lokasi yang jauh dari uji tempel (excited skin syndrome)7,8 Hasil reaksi false negative dapat terjadi bila: - konsentrasi bahan uji terlalu rendah7,8, vehikulum tidak sesuai8 - pembacaan uji tempel untuk bahan uji yang memberikan delayed reaction (neomisin, kortikosteroid)7 - lokasi uji telah mendapat terapi kortikosteroid atau mendapat terapi radiasi ultraviolet7, penggunaan kortikosteroid sistemik atau obat imunomodulator7,8 - kondisi yang memudahkan timbulnya dermatitis (keringat, tekanan, gesekan, ulserasi)8, fotoalergi8 Bila hasil uji tempel meragukan dapat dilakukan : 8 - diulang uji tempel dengan bahan tersebut pada penderita dengan serial dilusi - dilakukan uji tempel dengan bahan tersebut pada subyek control

Psychoneuroimmunology in Dermatology 163

- dilakukan pemeriksaan lanjutan pada penderita dengan menggunakan Repeated Open Application Test (ROAT)

Reaksi Simpang Uji Tempel 8 Uji tempel dapat menimbulkan reaksi simpang/adverse reactions seperti: terjadinya sensitisasi, excited skin syndrome, kambuhnya dermatitis yang diderita sebelumnya, reaksi positif yang persisten, efek karena tekanan, Koebner fenomena, lesi hiper- atau hipopigmentasi pada lokasi dengan reaksi positif, infeksi bakteri dan virus, nekrosis, terbentuknya skar, keloid dan reaksi anafilaktoid. 7,8

Referensi 1 Heinzerling L, Mari A, Bergmann C, Bresciani M, Burbach G, Darsow U, et al. The skin prick test -European Standard. Clinical and Translational Allergy 2013; 3: 1-10. 2 Coetzee O, Green R.J., Masekela R. A guide to performing skin- prick testing in practice: tips and tricks of the trade. S Afr Fam Pract 2013; 55: 415-19. 3 Lachapelle JM, Maibach, H.I. The Spectrum of Diseases for Which Prick Testing and Open (Non-Prick) Testing Are Recommended. In: Patch Testing and Prick Testing (Lachapelle JM, Maibach, H.I, ed), 2 nd edn. Berlin: Springer. 2009. 4 Kolegium IKKK. Modul Prick Test/ Uji Tusuk. In: Modul Dermato Alergo Imunologi. 2008; 1-24. 5 Lachapelle JM, Maibach, H.I. The Methodology of Open (Non- Prick) Testing, Prick Testing and its Variants. In: Patch Testing and Prick Testing (Lachapelle JM, Maibach, H.I, ed). Berlin: Springer. 2009; 141-52. 6 Bousquet J, Heinzerling L, Bachert C, Papadopoulos N.G., Bousquet P.J., Burney P.G., et al. Pratical guide to skin prick tests in allergy to aeroallergens. Allergy 2012; 67: 18-24.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 164

7 Lachapelle JM, Maibach, H.I. Patch Testing Methodology. In: Patch Testing and Prick Testing (Lachapelle JM, Maibach, H.I, ed), 2 nd edn. Berlin: Springer. 2009; 33-70. 8 Kolegium IKKK. Modul Patch Test / Uji Tempel. In: Modul Dermato Alergo Imunologi. 2008; 1-25. 9 Lachapelle JM. The Spectrum of Diseases for Which Patch Testing is Recommended. In: Patch Testing and Prick Testing (Lachapelle JM, Maibach, H.I, ed), 2 nd edn. Berlin: Springer. 2009; 7-32. 10 Spiewak R. Patch Testing for Contact Allergy and Allergic Contact Dermatitis. The Open Allergy Journal 2008; 1: 42-51.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 165

Psychoneuroimmunology in Dermatology 166

TERAPI LASER EXCIMER 308-NM PADA PENYAKIT KULIT ALERGI

Dr. dr. IGA A Praharsini, Sp.KK, FINSDV Bagian/SMF Kulit dan Kelamin FK UNUD/RSUP Sanglah

ABSTRAK Targeted phototherapy laser excimer 308 nm merupakan teknik fototerapi yang menghasilkan dosis terapeutik radiasi UVB monokromatik energi tinggi dalam waktu singkat pada lesi yang kecil. Laser ini dilaporkan efektif untuk berbagai penyakit alergi pada kulit seperti: dermatitis atopik, psoriasis, alopesia areata, dan vitiligo. Salah satu mekanisme kerja dari laser ini adalah menurunkan proliferasi sel T melalui mekanisme apoptosis. Walaupun laser ini merupakan modalitas terapi yang efektif untuk berbagai kelainan kulit, namun tetap diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keamanan dari alat ini. Kata kunci: laser, excimer, penyakit alergi pada kulit

PENDAHULUAN Laser excimer berasal dari excited dimer yang terdiri dari gas noble dan halide yang mempunyai aksi pada beberapa penyakit kulit. Sinar ultraviolet B yang mempunyai panjang gelombang antara 290 nm-310 nm dan gas xenon-klorida 308- nm sering digunakan sebagai modalitas terapi di bidang dermatologi. Keuntungan laser excimer monokromatik antara lain, memancarkan dosis UV yang rendah, lama terapi yang pendek, dapat digunakan pada daerah yang sulit dijangkau secara anatomis serta kulit normal di sekitar lesi terlindung dari radiasi.1

Psychoneuroimmunology in Dermatology 167

Laser excimer 308-nm efektif untuk terapi kelainan kulit seperti: vitiligo, psoriasis, dermatitis atopik, alopesia areata, folikulitis yang refrakter, granuloma anulare, mycosis fungoides, palmoplantar pustulosis, pitiriasis alba, leukoderma, prurigo nodularis, skleroderma lokalisata dan liken sklerosus. Pada makalah ini akan dibahas efektivitas laser ini pada penyakit kulit alergi, meliputi: dermatitis atopik, psoriasis, alopesia areata, dan vitiligo.1,2

DERMATITIS ATOPIK Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit yang sangat gatal dan bersifat kronik residif. Etiologi dan patogenesis dari DA adalah multifaktorial meliputi kelainan genetik, gangguan sawar kulit, gangguan imunologik serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan stres.3 Pilihan terapi utama DA adalah steroid topikal, emolien dan inhibitor kalsineurin topikal. Fototerapi merupakan terapi lini kedua DA, setelah terjadi kegagalan terapi lini pertama, maka fototerapi merupakan pilihan serta dapat digunakan sebagai terapi pemeliharaan.4 Targeted UVB laser phototherapy merupakan kemajuan dalam fototerapi yang juga digunakan pada pengobatan DA. Beberapa mekanisme kerja radiasi UVB pada DA meliputi: supresi sitokin proinflamasi (IL-12, TNF-α), induksi IL-10, modulasi aktivasi sistem imun, dan mengurangi jumlah bakteri pada permukaan kulit.5 Penelitian Baltas dkk, mengenai evaluasi efikasi terapeutik laser excimer 308 nm pada DA melaporkan 15 pasien DA dengan luas lesi kurang dari 15 % yang dinilai berdasarkan skor Eczema Area Severity Index (EASI), skor kualitas hidup dan visual linear analogue scale. Subyek

Psychoneuroimmunology in Dermatology 168 penelitian mendapatkan terapi a xenon chloride excimer laser 2 kali perminggu dengan dosis awal 50 mJ/cm2 kemudian dinaikkan 50 mJ/cm2 setiap minggu, setelah 1 bulan menunjukkan penurunan skor EASI, kualitas hidup dan visual linear analogue scale serta tidak ditemukan efek samping yang serius pada subyek penelitian.6 Nistico dkk, melaporkan 6 pasien dengan DA lokalisata mendapat terapi laser excimer setiap minggu selama 6-12 minggu, 66% sembuh dan 16 % menunjukkan adanya sedikit perbaikan lesi DA.7

PSORIASIS Psoriasis adalah penyakit proliferatif dan inflamasi pada kulit bersifat kronis dan residif.1 Terapi psoriasis mengurangi keparahan, efek samping obat dan memperbaiki kualitas hidup pasien serta tingkat remisi. Indikasi fototerapi adalah untuk psoriasis plak tingkat sedang dan berat. Adapun jenis fototerapi yang tersedia meliputi: ultraviolet A (UVA), ultraviolet B (UVB) dan laser excimer. Efikasi dari laser excimer telah dilaporkan pada psoriasis lokal yang resisten (level evidence II, strength recommendation B). Indikasi laser ini adalah untuk psoriasis ringan, sedang dan berat dengan luas keterlibatan BSA < 10 % pada anak dan dewasa. Dosis awal terapi tergantung pada tipe kulit (MED) dan ketebalan dari plakat (Tabel 1). Selanjutnya bila belum ada efek respon eritema dan penipisan ketebalan dari plakat dalam waktu 12- 24 jam maka dosis dinaikkan bertahap sebesar 15-25%. Bila sudah ada perbaikan, maka dosis dipertahankan, kemudian secara bertahap diturunkan sebesar 15 %. Lama terapi rata- rata 10-12 kali dengan frekuensi 2-3 kali/minggu.8,9

Psychoneuroimmunology in Dermatology 169

Tabel 1. Dosis awal untuk psoriasis Plaque Thickness Fitzpatrick skin Fitzpatrick skin Induration Score type I-III type IV-VI None Mild 1 500 400 Moderate 2 500 600 Severe 3 700 900

Psoriasis lokalisata yang resisten pada siku dan lutut dilaporkan sembuh setelah 1-3 sesi terapi laser excimer dengan masa remisi yang panjang. Laser ini juga dilaporkan memberikan respon yang baik pada scalp psoriasis.10 Efek samping yang dilaporkan ringan meliputi: panas setelah terapi, eritema berat, hiperpigmentasi, pruritus dan terbentuknya bula.8,11

VITILIGO Vitiligo merupakan leukoderma kronik didapat dengan karakteristik berupa makula hipopigmentasi tunggal atau multipel, dengan distribusi simetris, lokal, segmental dan generalisata. Terdapat beberapa modalitas terapi, salah satunya adalah fototerapi. Fototerapi UVB bertujuan untuk menstimulasi aktivasi dan migrasi melanosit pada folikel rambut menuju lapisan basal epidermis dari makula depigmentasi, menstimulasi dopa-lacking amelanotic melanocyte pada lapisan luar folikel rambut, menstimulasi pelepasan endotelin-1 pada keratinosit yang berperan dalam proses melanogenesis, menginduksi apoptosis sel T sitotoksik yang merusak sel melanosit, mengurangi presentasi antigen dan mengatur mediator inflamasi. 12,13 Penelitian komparatif menunjukkan laser excimer 308- nm mempunyai efek biologik dan klinis yang sama bahkan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 170 lebih superior dibandingkan fototerapi NB-UVB. Laser ini mempunyai intensitas radiasi yang tinggi hanya pada lesi dan dapat menjangkau daerah yang sulit seperti lipatan kulit dan membran mukosa. Penelitian lain juga menunjukkan daerah yang sensitif terhadap UV (wajah, leher, punggung dan lengan) mempunyai respon yang lebih baik dibandingkan daerah yang resisten terhadap UV (lutut, siku pergelangan tangan, pergelangan kaki dan kaki). Semua daerah yang sensitif mempunyai respon yang baik terhadap laser excimer, sementara daerah yang resisten (lutut, siku dan pergelangan tangan) mempunyai respon terapi lebih baik dibandingakan tangan, pergelangan kaki dan kaki. Fitzpatriks fototype berperan penting terhadap respon terapi, individu dengan tipe kulit II-IV lebih toleran terhadap dosis iradiasi dengan efek samping minimal (terbentuk bula, terbakar) dibandingkan tipe kulit terang (tipe II).12 Penelitian Antonio dkk, melaporkan dari 77 sampel vitiligo lokalisata dan generalisata, lebih dari 50% menunjukkan terjadi repigmentasi > 60 %, 26 sampel 40-50%, dan 20 % sampel terjadi repigmentasi < 39 %. Lesi di wajah mempunya respon terapi terbaik dibandingkan area yang lainnya. Dosis terapi awal yang digunakan 100 mj/cm2, bila belum terjadi eritema maka dosis dinaikan 100 mj/cm2, dan jika terjadi eritema kurang dari 24 jam dosis dinaikkan 50 mJ/cm2 dengan lama terapi minimum 8, rata-rata 23 sesi terapi. Pada vitiligo menggunakan dosis low fluences (50- 200mJ/cm2) dibandingkan pada psoriasis, dengan frekuensi terapi 1-3 kali/minggu. Terjadinya repigmentasi dari bercak vitiligo tergantung dari total jumlah sesi terapi.12,13

Psychoneuroimmunology in Dermatology 171

ALOPESIA AREATA Alopesia Areata (AA) merupakan penyakit autoimun yang karakteristik diperantarai sel T menyerang folikel rambut, adanya infiltrat limfosit peribulbar merupakan tanda khas pada AA. Tersedia beberapa modalitas terapi pada AA. Laser excimer telah dilaporkan efektif mengobati pasien AA. Penelitian pada 11 anak dengan AA yang rekalsitran pada kepala diterapi dengan laser excimer selama 12 minggu menunjukkan pertumbuhan kembali sebesar 60 % dibandingkan bercak AA yang tidak diterapi dengan laser. Penelitian yang lain pada 28 orang anak dan dewasa dengan bercak AA yang rekalsitran (dengan jumlah 42 bercak) menunjukkan pertumbuhan rambut pada 17 bercak AA (42 %) setelah 12 minggu terapi. Nampaknya foton excimer secara langsung mempunyai efek imun pada melanosit. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai tehnik laser excimer pada AA.14 Gundogan dkk melaporkan 2 pasien AA yang progresif, diterapi dengan xenon chloride laser excimer dengan dosis 300-2300mJ/cm2 persesi. Dalam waktu 11 minggu (11-12 sesi) menunjukkan pertumbuhan rambut yang tebal dan pasien diikuti selama 5 bulan dan 18 bulan tidak nampak kekambuhan.15

RINGKASAN Laser excimer merupakan pilihan fototerapi UVB yang baru dan sangat bermanfaat dengan waktu serta jumlah sesi terapi yang pendek, dosis UV yang rendah dibandingkan fototerapi standar yang lainnya dengan risiko terjadinya karsinogensis yang rendah. Dapat digunakan kelainan penyakit inflamasi dan kondisi hipopigmentasi lokalisata serta dapat digunakan untuk di daerah mukosa. Terapi kombinasi antara laser excimer

Psychoneuroimmunology in Dermatology 172 dengan modalitas terapi yang lain nampaknya akan berkembang dan menunjukkan efikasi yang baik. Secara umum laser ini dapat ditoleransi dengan baik dan mempunyai efek samping yang minimal. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi efek jangka panjang dan keamanan dari terapi laser excimer.

Daftar Pustaka 1. Mehraban S, Felly A. 308 nm excimer laser in dermatology. J Laser Med Sci 2014:5(1):8-12. 2. Mysore V. Targeted phototherapy. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009: 75: 119-25. 3. Soebarya RW. Patogenesis dan gangguan imunologis pada dermatitis atopik. Dalam : Diana IA, Boediharja SA, Soebaryo RW, Suteja E, Lokanata MD, Sugito TL, Danarti R, Prihianti S, Agustin T, Rahmayunita G, Astriningrum, edit.1 ed. Dermatitis atopik: diagnosis dan tatalaksana terkini,. Jakarta: Badan Penerbit FKUI 2014 :1-7. 4. Sidbury R, Davis DM, Davis DM, Cohern DE, Cordoro KM, Berger TG, et al. Guidelines of care for the management of atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol 2014 ;17: 327-49. 5. Pugasheti R, Koo J. Photoherapy in pediatric patients: choosing the appropriate treatment option. Semin Med Surg 2010; 29 :115-20. 6. Baltas E, Csoma Z, Bodal L, Ignacs F, Dobozy A, Kemeny L. Treatment of atopic dermatitis with xenon chloride excimer laser. European Academy of Dermatology and Venereology 2006 ; 20 : 657-660. 7. Nistico SP, Saraceno R, Caprrioti E, et al. Efficacy of monochromatic excimer light (308-nm) in the treatment of atopic dermatitis in adults and children. Photomed laser Surg 2008 ; 26:14-8. 8. Psoriasis:recommendation for excimer laser therapy. [cited 2016 June18] Avalaible from: URL : htpp:// www.aad.org/practice- tools/quality-care/clinical.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 173

9. Eng CS, Jamil A, Chin CL, Cheng CH, Ambrose D, Abdul Majid H,et al. Management of psoriasis vulgaris. [cited 2016 June15] Avalaible from: URL : htpp://www.moh.gov.my 10. Morison W L, Atkinson DF, Werthman L. Effective treatment of scalp psoriasis using the excimer (308 -nm) laser. Photodermatol Photoimmunol Photomed 2006;22:181-3. 11. Fieldman SR, Mellen BG, Housman TS, Fitzpatrick RE, Gerenemus RG, Friedman PM, et al. Efficacy of the 308-nm excimer laser for treatment of psoriasis: Result of a multicenter study. J AM Acad Dermatol 2002;46:900-6 12. Antonio CR, Antonio JR, Vita Marques AM. Treating vitiligo with excimer laser: a retrospectif study. Surg Cosmet Dermatol 2011;3(3):213-8. 13. Park KK, Murase JE. Ultraviolet B (UVB) phototherapy in the treatment of vitiligo. [cited 2016 June18] Avalaible from: URL : htpp://cdn.interchopen.com/pdfs-wm/24970.pdf. 14. McMichael AI. Excimer laser: A module of the alopecia areata common protocol. Journal of Investigative Dermatology Symposium Proceedings 2013;16:577-79. 15. Gundogan C, Greve B, Raulin C. Treatment of alopecia areata with 308-nm xenon chloride excimer laser : case reportof two successful treatments with the excimer laser. Laser in Surgery and Medicine 2004 ;34 :86-90.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 174

Lampiran PANDUAN FOTOTERAPI SMALL EXCIMER LASER 308-NM PSORIASIS

PERSIAPAN PASIEN  Tidak memerlukan persiapan khusus ataupun anestesi.  Jika bercak terlalu berskuama atau terlalu tebal, disarankan penggunaan asam salisilat krim, pada malam hari sebelum perawatan

PENENTUAN MED  Paparan pada 6 area untuk tes fluence (contoh 150, 200, 250, 300, 350, 400 ml/ cm2).  Baca dalam waktu 24 sampai 48 jam. MED adalah fluence terendah yang menyebabkan eritema homogen dengan batas yang bersih

PERAWATAN  Lakukan 2 sampai 3 kali sesi terapi per minggu.  Konsultasi pertama, fluence antara 1 dan 3 kali MED disesuaikan dengan ketebalan dari tiap bercak.  Konsultasi selanjutnya, tingkatkan 1 MED setiap sesi terapi, sampai tercapai eritema ringan setelah 24 jam.. Jika terjadi eritema berat dan tidak terjadi bula, fluence diturunkan 1 MED.  Jika terjadi krusta atau bula, diperlukan perawatan untuk area tersebut sampai sembuh sempurna.  Turunkan fluence 1 MED dan tetap pada fluence ini untuk 2 sesi berikutnya.  Mulai tingkatkan berikutnya sebesar 100mJ/ cm2 pada setiap sesi terapi.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 175

ENDPOINT  Eritema ringan;  Tidak berkrusta dan tidak muncul bula

JADWAL Lakukan 2-3x per minggu. Jika hasil mulai membaik, direkomendasikan 1-2 kali perawatan per minggu. Jika hasil sudah terlihat baik, direkomendasikan 1 kali perawatan dalam 2 minggu.

Follow-Up Pasien Jumlah konsultasi: antara 6 dan 18 disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien.

Kontraindikasi  Dermatosis dengan sindroma Koebner  Dermatosis fotosensitif autoimun: lupus, dermatomiositis  Radioterapi  Hiperfotosensitivitas  Penggunaan obat fotosensitif  Fotogenodermatosis, fotodermatosis  Riwayat kanker kulit  Melanoma, genodermatosis, kanker kulit non-melanoma  Wanita hamil (belum ada penelitian)  Anak berusia < 15 tahun (belum ada studi)

VITILIGO, ALOPESIA AREATA PERHATIAN  Hindari paparan pada area peri-orbital (kelopak mata).  Selama perawatan, gunakan kaca mata pelindung: dokter, pasien, dan siapapun yang berada di area tersebut.  Dosis lebih rendah digunakan untuk vitiligo karena kulit depigmentasi lebih sensitif terhadap radiasi UV.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 176

 Terbentukknya bula harus dihindari.

PERSIAPAN PASIEN  Perawatan ini tidak memerlukan persiapan khusus ataupun anestesi.  Dokumentasikan pasien untuk melihat progesivitas repigmentasi bercak putih dan bila terjadi efek samping.

PERAWATAN  Lakukan 2 sampai 3 kali konsultasi per minggu.  Fluence : o Mulai perawatan pada 100 mJ/cm2 pada konsultasi pertama. o Naikkan tiap 100 mJ/cm2 per sesi terapi, sepanjang masih ditoleransi pasien dan tidak terjadi bula.  Jika terjadi kemerahan yang parah atau krusta atau bula, maka diperlukan perawatan untuk area tersebut sampai sembuh sempurna.  Turunkan fluence 100 mJ/cm2 dan tetap pada fluence ini untuk 2 sesi berikutnya.  Mulai tingkatkan berikutnya sebanyak 50mJ/ cm2 pada tiap sesi terapi.

ENDPOINT  Eritema ringan 1-2 hari setelah perawatan  Tidak berkrusta

JADWAL  Lakukan 2-3x per minggu (tidak tiap hari).  Jika sudah mulai membaik, direkomendasikan 1-2 kali perawatan per minggu.  Jika hasil sudah terlihat baik, direkomendasikan 1 kali perawatan dalam 2 minggu.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 177

FOLLOW-UP PASIEN Jumlah konsultasi: antara 15 dan 30 sesuai dengan kebutuhan tiap pasien

KONTRAINDIKASI  Dermatosis dengan sindroma Koebner  Hipertiroidisme  Lupus Eritematosus  Tuberkulosis Vegetatif  Melanoma, genodermatosis, kanker kulit non-melanoma  Hiperfotosensitivitas  Radioterapi  Individu dengan menggunakan pacemaker  Penggunaan obat fotosensitivitas  Wanita hamil (belum ada studi)  Anak berusia < 15 tahun (belum ada studi)

Sumber: dikutip dari PPK 2015 sub divisi kosmetik medik IKK RSUP Sanglah

Psychoneuroimmunology in Dermatology 178

CLINICAL HYPNOSIS: HIPNOSIS DI BIDANG KEDOKTERAN

Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), (CHT) Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

ABSTRAK Hipnosis adalah metode terapi yang kini banyak digunakan dibidang dermatologi atau kondisi lainnya. Teknik ini mengikutsertakan pasien dalam keadaan trance (bawah sadar) untuk tujuan tertentu seperti relaksasi, mengurangi rasa sakit atau mengurangi rasa gatal kronis, atau hendak modifikasi kebiasaan yang tidak sehat. Hipnosis adalah induksi disengaja, memperdalam, pemeliharaan, dan pemutusan negara trans alami untuk tujuan tertentu. Fenomena hipnotis telah digunakan sejak zaman kuno untuk membantu penyembuhan. Untuk hipnoterapi medis, tujuannya adalah untuk mengurangi penderitaan, untuk mempromosikan penyembuhan, atau untuk membantu orang mengubah pola perilaku yang merusak.Setelah pelatihan yang tepat, kita dapat mengintensifkan negara trans ini dan menggunakan fokus tinggi ini untuk mendorong interaksi pikiran-tubuh yang membantu meringankan penderitaan atau mempromosikan penyembuhan. Negara trans dapat diinduksi dengan menggunakan citra dipandu, relaksasi, pernapasan dalam, teknik meditasi, self-hypnosis, atau teknik hipnosis-induksi. Individu bervariasi dalam kemampuan mereka untuk masuk ke kondisi trance, tapi kebanyakan dapat memperoleh beberapa manfaat dari hipnosis. Dalam dermatologi, saran yang diberikan selama trance dapat membantu mengurangi rasa sakit kulit dan pruritus, campur tangan dalam aspek psikosomatis penyakit kulit, dan menyebabkan resolusi beberapa penyakit kulit, termasuk veruka vulgaris dan kondisi kulit lainnya.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 179

ABSTRACT Hypnosis is a tool with many useful dermatologic applications. It involves guiding the patient into a trance state for a specific purpose such as relaxation, pain or pruritus reduction, or habit modification. Hypnosis is the intentional induction, deepening, maintenance, and termination of the natural trance state for a specific purpose. The hypnotic phenomenon has been used since antiquity to assist healing. For medical hypnotherapy, the intent is to reduce suffering, to promote healing, or to help the person alter a destructive behavior pattern. After appropriate training, we may intensify this trance state and use this heightened focus to induce mind-body interactions that help alleviate suffering or promote healing. The trance state may be induced by using guided imagery, relaxation, deep breathing, meditation techniques, self-hypnosis, or hypnosis-induction techniques. Individuals vary in their ability to enter the trance state, but most can obtain some benefit from hypnosis. In dermatology, suggestions given during trance may help decrease skin pain and pruritus, intervene in psychosomatic aspects of skin diseases, and lead to the resolution of some skin diseases, including verruca vulgaris and other skin conditions.

PENDAHULUAN Kata hipnosis akhir-akhir ini banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan, ada yang menanggapi secara positif dan banyak yang negatif karena disetarakan dengan tindak kejahatan dengan cara magis atau supra natural. Banyak kejahatan yang dibuhungkan dengan menggunakan hipnosis. Padahal tidak demikian, hipnosis itu ilmiah, faktual, alamiah karena siapa saja pernah mengalami kondisi hipnosis dan siapa saja bisa melakukan hipnosis asal masih mampu melakukan komunikasi verbal. Hipnosis adalah suatu kondisi mental dengan peran imajinatif yang menonjol dan terjadi penurunan kesadaran atau

Psychoneuroimmunology in Dermatology 180 penurunan gelombang otak. Orang yang melakukan proses hipnosis (memberikan sugesti) terhadap subjek disebut hipnotis (bahasa inggris: hypnotist). Hipnosis biasanya disebabkan oleh prosedur yang dikenal sebagai induksi hipnosis, yang umumnya terdiri dari rangkaian komunikasi yang panjang dan dilanjutkan dengan pemberian sugesti. Sugesti hipnosis dapat disampaikan oleh seorang hipnotis di hadapan subjek, atau mungkin dilakukan sendiri oleh subjek (swa-hipnosis). Penggunaan hipnosis untuk terapi disebut hipnoterapi, sedangkan penggunaannya sebagai bentuk hiburan bagi penonton dikenal sebagai Stage hipnosis. Kondisi hipnosis sebenarnya sudah dialami oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari, paling tidak 2 kali dalam sehari yaitu ketika mengantuk atau mau tidur dan pada pagi hari waktu bangun pagi. Contoh lain adalah ketika anda sedang tidur dan mendengar ada pasangan anda yang buka pintu kamar, anda mendengarnya namun anda tidak mau bangun. Itu adalah contoh kondisi hipnosis. Demikian juga ketika kita menyaksikan sinetron yang sangat menyedihkan, ikut sedih sampai ikut meneteskan air mata dan banyak lagi kondisi hipnosis yang kita alami sehari-hari.

DEFINISI HIPNOSIS Definisi hipnosis yang saat ini paling banyak digunakan dan diterima adalah definisi yang dipublikasikan oleh U.S. Dept. of Education, Human Services Division, Hypnosis is the by-pass of the critical factor of the conscious mind followed by the establishment of acceptable selective thinking” atau “hipnosis adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar diikuti dengan diterimanya suatu pemikiran atau sugesti” jelas bahwa hipnosis sama sekali tidak ada hubungannya dengan kondisi rileks, rileks secara fisik. Untuk bisa dikatakan sebagai kondisi hipnosis, menurut definisi di atas, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, penembusan faktor kritis dan kedua, diterimanya suatu sugesti oleh pikiran bawah sadar. Berarti asalkan bisa membuat menurunnya tingkat kesadaran

Psychoneuroimmunology in Dermatology 181

(gelombang otak) atau memasuki pikiran bawah sadar maka sugesti atau afirmasi akan dengan mudah diterima dan bertahan lama. Definisi hipnosis menurut Asosiasi Hipnoterapi Indonesia, hipnosis adalah keadaan seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yg memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Ketika proses hipnosis, seseorang (subyek) dipandu oleh orang lain (hypnotis) untuk memberikan respon terhadap sugesti untuk berubah pada pengalaman subyektifnya, perubahan persepsi, sensasi, emosi, pikiran atau tingkah laku. Orang tersebut dapat juga melakukan hipnosis diri sendiri (swa hipnosis) yang merupakan tindakan untuk mengatur prosedur hipnosis atas kemauan sendiri. Jika subyek berespon terhadap sugesti hipnotis, umumnya menandakan bahwa hipnosis telah berhasil dilakukan. Prosedur hipnosis dan pemberian sugesti akan berbeda, tergantung dari tujuan praktisi dan kegunaan klinis.

SEJARAH HIPNOTERAPI Hipnoterapi sudah ada sejak lama, namun hipnoterapi modern pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Franz Anton Mesmer (1734-1815). Dokter asal Austria itu yang memperkenalkan mesmerisme atau metode penggunaan energi elektromagnetik manusia yang bisa ditransfer kepada orang lain atau untuk diri sendiri. Dari namanya, muncul istilah mesmeric sleep atau somnambulism, keadaan seseorang dibuat tertidur tetapi tetap bisa diajak bicara, yang menjadi cikal bakal hipnosis. Hipnoterapi sampai saat ini masih terus berkembang yang dimulai sejak abad ke-18, mulai dari konsep hypnosis konvensional yang dikembangkan oleh Dr. James Braid sampai dengan hipnoterapi klinis modern yang dikembangkan oleh Dr. Milton H. Erickson sampai terakhir-terakhir yang

Psychoneuroimmunology in Dermatology 182 dikembangkan oleh Dr. Dave Elman, Gill Boyne maupun DR. Calvin Banyan. Dr. Milton H. Erickson pertama kali memperkenalkan bahwa jiwa manusia sangat unik. Tidaklah mudah meminta orang untuk secara langsung menghilangkan kebiasaan buruk yang ingin dia tinggalkan. Seperti kita menyampaikan nasihat kepada seseorang yang mengeluh karena dia mempunyai masalah, “Sekarang kamu dapat menyelesaikannya”, atau seseorang yang mempunyai masalah perilaku lalu kita berikan nasihat, “Sekarang perilaku anda sudah berubah menjadi baik”. Belum tentu dia akan merubah perilakunya dengan segera. Mungkin ya, untuk sementara, tetapi biasanya kebiasaan itu akan kembali lagi. Apalagi jika kita tidak mengetahui akar permasalahannya mengapa dia berperilaku demikian, tidak mengetahui nilai dasar dan keinginan sebenarnya yang dimiliki orang tersebut. Ingat, jiwa manusia sangat kompleks, setiap orang mempunyai jiwa dan nilai yang unik. Perilaku atau respons seseorang tidak sama dalam menghadapi peristiwa yang berbeda. Bahkan sangat mungkin sekali untuk peristiwa yang sama, perilaku atau respons seseorang yang sama dapat berbeda. Konsep dan langkah Mesmer disempurnakan oleh Dr. James Braid, dokter bedah asal Skotlandia, pada 1843. Dia juga yang mempopulerkan istilah hypnosis / hipnosis / hipnotisme. Dr. James Braid mengembangkan temuan Mesmer dengan membaginya menjadi dua cabang: magnetisme dan hipnotisme. Braid menggunakan sugesti verbal untuk terapi penyembuhan. Pada tahun 1955: The British Medical Association mengakui hypnosis sebagai salah satu terapi medis yang sah. Pada tahun 1958: Hypnosis diakui oleh The American Medical Association. Pada tahun 1960: The American

Psychoneuroimmunology in Dermatology 183

Psychological Association mengakui hypnotherapy sebagai salah satu cabang ilmu psikologi. Hypnotherapy merupakan salah satu bentuk psikoterapi dalam dunia psikiatri. Namun demikian, hypnotherapy juga bisa digunakan pada pasien nonpsikiatrik. Hypnotherapy dapat digabungkan dengan jenis pengobatan lainnya (medis maupun alternatif). Hypnotherapy banyak digunakan oleh psikiater, dokter, psikolog, maupun paramedis. Seorang hipnoterapis adalah orang yang tidak mempunyai latar belakang medis, tetapi sengaja memperdalam ilmu (science), pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan serta seni (art) yang terdapat di dalam hipnoterapi.

NEUROFISIOLOGI HIPNOSIS Pikiran bawah sadar manusia menyimpan misteri yang luar biasa. Banyak hal yang menyangkut manusia bersumber dari berbagai data dan nilai yang tersimpan di pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar tidak saja terkait dengan perilaku dan mental, tetapi lebih jauh lagi pikiran bawah sadar dapat merubah metabolisme, mempercepat penyembuhan, atau bahkan memperburuk suatu kondisi penyakit. Hypnotherapy adalah suatu metode dimana pasien dibimbing untuk melakukan relaksasi, dimana setelah kondisi relaksasi dalam ini tercapai maka secara alamiah gerbang pikiran bawah sadar sesesorang akan terbuka lebar, sehingga yang bersangkutan cenderung lebih mudah untuk menerima sugesti penyembuhan yang diberikan. Secara konvensional, Hypnotherapy dapat diterapkan kepada mereka yang memenuhi persyaratan dasar, yaitu: (1). Bersedia dengan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 184 sukarela (2). Memiliki kemampuan untuk fokus (3). Memahami komunikasi verbal. Untuk memahami Hypnosis atau Hypnotherapy secara mudah dan benar, sebelumnya kita harus memahami bahwa aktivitas pikiran manusia secara sederhana dikelompokkan dalam 4 wilayah yang dikenal dengan istilah Brainwave, yaitu: Beta, Alpha, Theta, dan Delta Beta adalah kondisi pikiran pada saat sesorang sangat aktif dan waspada. Kondisi ini adalah kondisi umum ketika seseorang tengah beraktivitas normal. Frekwensi pikiran pada kondisi ini sekitar 14 – 24 Cps (diukur dengan perangkat electro encephalo gram atau EEG). Alpha adalah kondisi ketika seseorang tengah fokus pada suatu hal (belajar, mengerjakan suatu kegiatan teknis, menonton televisi), atau pada saat seseorang dalam kondisi relaksasi. Frekwensi pikiran pada kondisi ini sekitar 7 – 14 Cps. Theta adalah kondisi relaksasi yang sangat ekstrim, sehingga seakan-akan yang bersangkutan merasa “tertidur”, kondisi ini seperti halnya pada saat seseorang melakukan meditasi yang sangat dalam. Theta juga gelombang pikiran ketika seseorang tertidur dengan bermimpi, atau kondisi REM (Rapid Eye Movement). Frekwensi pikiran pada kondisi ini sekitar 3.5 – 7 Cps. Delta adalah kondisi tidur normal (tanpa mimpi). Frekwensi pikiran pada kondisi ini sekitar 0.5 – 3.5 Cps. Kondisi Hypnosis sangat mirip dengan kondisi gelombang pikiran Alpha dan Theta. Yang sangat menarik, bahwa kondisi Beta, Alpha, dan Theta, merupakan kondisi umum yang berlangsung secara bergantian dalam diri kita. Suatu saat kita di kondisi Beta, kemudian sekian detik kita

Psychoneuroimmunology in Dermatology 185 berpindah ke Alpha, sekian detik berpindah ke Theta, dan kembali lagi ke Beta, dan seterusnya. Pada saat setiap orang menuju proses tidur alami, maka yang terjadi adalah gelombang pikiran ini secara perlahan-lahan akan menurun mulai dari Beta, Alpha, Theta, kemudian Delta dimana kita benar-benar mulai tertidur. Perpindahan wilayah ini tidak berlangsung dengan cepat, sehingga sebetulnya walaupun seakan-akan seseorang sudah tampak tertidur, mungkin saja ia masih berada di wilayah Theta. Pada wilayah Theta seseorang akan merasa tertidur, suara-suara luar tidak dapat didengarkan dengan baik, tetapi justru suara-suara ini didengar dengan sangat baik oleh pikiran bawah sadarnya, dan cenderung menjadi nilai yang permanen, karena tidak disadari oleh “pikiran sadar” yang bersangkutan

CARA KERJA HIPNOSIS Kita bisa mengucapkan suatu afirmasi atau sugesti kepada seseorang dalam kondisi sadar tanpa hasil apapun, tetapi apabila kita mengucapkan sugesti yang sama dalam kondisi hypnosis, maka hasilnya sangat luar biasa. Mengapa bisa demikian? Dalam hypnosis, pikiran manusia mempunyai dua jenis pikiran yang bekerja secara simultan dan saling mempengaruhi, yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 186

Gambar Model Pikiran Manusia

Pikiran sadar/conscious mind adalah proses mental yang Anda sadari dan bisa Anda kendalikan. Pikiran bawah sadar/subconscious mind adalah proses mental yang berfungsi secara otomatis sehingga kita tidak menyadarinya. Besarnya pengaruh pikiran sadar terhadap seluruh aspek kehidupan seseorang, misalnya sikap, kepribadian, perilaku, kebiasaan, cara pikir, dan kondisi mental seseorang hanya 12%. Sedangkan besarnya pengaruh pikiran bawah sadar adalah 88%. Untuk mudahnya kita bulatkan menjadi 10% dan 90%. Dari sini dapat kita ketahui bahwa pikiran bawah sadar mengendalikan diri kita 9 kali lebih kuat dibandingkan pikiran sadar. Pikiran sadar mempunyai fungsi mengidentifikasi informasi yang masuk, membandingkan dengan data yang sudah ada dalam memori kita, menganalisa data yang baru masuk tersebut dan memutuskan data baru akan disimpan, dibuang atau diabaikan sementara.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 187

Sementara itu pikiran bawah sadar yang kapasitasnya jauh lebih besar dari pikiran sadar mempunyai fungsi yang jauh lebih komplek. Semua fungsi organ tubuh kita diatur cara kerjanya dari pikiran bawah sadar. Selain itu nilai-nilai yang kita pegang, sistem kepercayaan dan keyakinan terhadap segala sesuatu juga disimpan di sini. Memori jangka panjang kita juga terdapat dalam pikiran bawah sadar. Garis putus-putus (pada gambar di atas) meng- ilustrasi-kan critical factor. Critical Factor adalah bagian dari pikiran yang selalu menganalisis segala informasi yang masuk dan menentukan tindakan rasional seseorang. Critical factor ini melindungi pikiran bawah sadar dari ide, informasi, sugesti atau bentuk pikiran lain yang bisa mengubah program pikiran yang sudah tertanam di bawah sadar. Ketika kita dalam kondisi sadar seperti sekarang ini, critical factor akan menghalangi afirmasi atau sugesti yang ingin kita tanamkan ke pikiran bawah sadar. Sugesti yang diucapkan dalam kondisi sadar terhalang oleh critical factor, sehingga efeknya sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Saat hypnotist melakukan hypnosis, yang terjadi adalah hypnotist mem-by-pass critical factor subjek (orang yang dihipnotis) dan langsung berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar subjek. By-pass di sini jangan disalah artikan sebagai suatu bentuk manipulasi. Menembus critical factor ini dilakukan dengan suatu teknik yang dinamakan "induksi". Induksi bisa dilakukan dengan cara membuat pikiran sadar subjek dibuat sibuk, lengah, bosan, bingung (tidak memahami) atau lelah sehingga pintu gerbang menuju pikiran bawah sadar, yaitu Critical Factor terbuka atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Karena critical factor terbuka atau pengawasannya lemah maka sugesti akan langsung

Psychoneuroimmunology in Dermatology 188 menjangkau pikiran bawah sadar. Critical Factor menjadi tidak aktif ketika seseorang dalam kondisi trance hypnosis. Maka dari itu, semua sugesti - selama tidak bertentangan dengan sistem kepercayaan dan nilai-nilai dasar yang dianut seseorang-akan diterima oleh pikiran bawah sadar sebagai kebenaran, kemudian disimpan sebagai program pikiran. Program pikiran yang sudah ditanamkan melalui sugesti dalam kondisi hypnosis, akan menjadi pemicu perubahan yang seketika dan permanen.

Konflik Pikiran Sadar dan Pikiran Bawah Sadar Apabila terjadi konflik antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar, maka pikiran bawah sadar selalu menang. Kita ambil seorang perokok yang kesulitan berhenti merokok. Kebiasaan merokok adalah hasil kerja dari pikiran bawah sadar. Sedangkan keinginan untuk berhenti merokok adalah hasil logika pikiran sadar. Perokok ingin berhenti merokok karena jelas rokok merugikan secara kesehatan maupun ekonomi. Namun logika bahwa rokok itu merugikan kesehatan dan menguras kantong terkalahkan oleh kebiasaan yang sudah tertanam kuat di pikiran bawah sadar. Havens dan Walter dalam bukunya Hypnotherapy Scripts: A Neo-Ericksonian Approach, menyebutkan antara pikiran bawah sadar dan pikiran sadar dapat diibaratkan seorang Kapten dengan Anak Buah Kapal (ABK). Sedangkan diri Anda adalah kapal itu sendiri. Kapten sebagai pikiran sadar menentukan arah dan tujuan kapal, sedangkan ABK sebagai pikiran bawah sadar yang menjalankan kapal. Kapal akan selamat sampai di tujuan jika ada kerja sama yang baik antara nakhoda dengan ABK. Masalah akan timbul bila terjadi perbedaan tujuan antara Kapten dengan ABK. Masalahnya,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 189

Kapten (pikiran sadar) kadang tidak tahu apa yang di-inginkan ABK (pikiran bawah sadar), sehingga kehidupan seolah tidak seperti yang Anda inginkan. Padahal itu adalah keinginan ABK yang seharusnya Anda pimpin. Hypnosis memungkinkan Anda untuk meningkatkan kendali terhadap pikiran bawah sadar kita. Sehingga bisa menggunakan daya yang sangat besar itu untuk kesembuhan, kesuksesan dan pengendalian diri. Dengan hipnosis kita bisa menghilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif, misalnya kebiasaan merokok dan menunda pekerjaan. Menanamkan sugesti untuk merubah pribadi menjadi lebih baik hanyalah salah satu manfaat dari hipnosis. Hipnosis bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan. Dengan hipnosis, kita bisa mengakses pikiran bawah sadar. Jadi pada perinsipnya hipnosis, pasien diajak untuk relaks secara fisik dan mental dengan memusatkan perhatian melalui sarana fiksasi berupa suara, tatapan, dan sentuhan secara berulang dan monoton. Ini membuat pasien merasa semakin santai. Dalam kondisi hipnosis, lanjutnya, sugesti positif yang ditanamkan disusun dalam kalimat yang sederhana.

PERAN HIPNOSIS TERHADAP SISTEM IMUN Beberapa penelitian uji klinis ini menyatakan bahwa hipnosis dapat memodulasi subset T-sel, dan bahwa efek ini dimediasi oleh perubahan hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) mediator, dan terjadi aktivasi sel T dan sitokin intraseluler (Interferon (IFN-g, Interleukin-2, Interleukin-4, dan HPA axis mediator (ACTH, kortisol, dan betta-endorphin). Respon aktivasi sel T untuk poliklonal stimulasi berkorelasi positif dengan ACTH dan b-endorphin, sedangkan ekpresi IFN-g berkorelasi dengan tingkat kortisol.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 190

Memodulasi subset sel T dan bahwa efek ini dimediasi oleh perubahan hipotalamus-pituitaryadrenal (HPA) mediator, seperti kortisol. Psikoneuroimunologi (PNI) adalah studi dari interaksi antara proses psikologis dan saraf dan sistem imunitas, dengan pendekatan interdisipliner termasuk psikologi, neuroscience, imunologi, fisiologi, genetika, farmakologi, biologi molekuler, psikiatri, kedokteran perilaku, penyakit menular, endokrinologi. Di sini dapat dikaitkan tentang sejarah PNI berfokus pada hipnosis sebagai modulator respon sistem imun dan debagai terapi untuk menangani penyakit-penyakit yang berhubungan dengan stres. Penelitian lain juga menyatakan hipnosis mempengaruhi kortisol sebagai monitor diandalkan untuk terapi hipnosis pada homeostasis dari hipotalamus-pituitaryadrenalaxis (HPA axis). Dengan demikian, bahwa kortisol memiliki efek penghambatan pada sel-sel Th2 yang mengekspresikan IL-4. Biasanya, IL-4 diproduksioleh Th2 memiliki efek penghambatan pada produksi IFN-g oleh Th1 Tcells. Dengan demikian, adalah mungkin bahwa penghapusan umpan balik penghambatan IL-4 mengarah kekenaikan produksi IFN-g, atau sebaliknya.

APLIKASI HIPNOSIS DI BIDANG KEDOKTERAN Hipnotis kedokteran telah mengalami banyak perkembangan sejak pertama kali diterapkan oleh dr Franz Anton Mesmer (1734-1815) dan dr James Braid (1795-1860). Pada 1955, The British Medical Association mengakui hipnotis sebagai salah satu terapi medis yang valid. Demikian juga The American Medical Association mengakuinya hipnosis dapat dimanfaatkan sebagai terapi sejak 1958. Hipnotis kedokteran kini terbagi atas hipnopromosi (meningkatkan kesehatan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 191 dengan hipnosis bagi orang sehat), hipnoprevensi (mencegah gangguan kesehatan dengan hipnosis bagi orang sehat), hipnoterapi (hipnosis bagi untuk penyembuhan), serta masih ada hipnotis untuk rehabilitasi bagi orang cacat. Hipnotis juga digunakan di bidang kebidanan (hypnobirthing) dan kedokteran gigi (hypnodontics). Hipnoterapi merupakan salah satu bentuk psikoterapi dalam dunia psikiatri. Namun demikian, hipnoterapi juga bisa digunakan pada pasien nonpsikiatrik. Pengobatan model ini bisa digabungkan dengan jenis pengobatan lainnya. Banyak dokter terutama ahli bedah dan anestesi yang terlatih dalam masalah hipnoterapi. Demikian pula dokter gigi serta para perawat. Pada umumnya praktisi medis, melontarkan pertanyaan mengenai mekanisme hipnosis, terutama dari perspektif ilmu kedokteran. Aplikasi hipnosis di bidang kedokteran masih sangat minim. Padahal berdasarkan penelitian, hipnosis sangat efektif dalam manajemen sensasi sakit. Hal ini karena hipnosis lebih menekankan melalui perspektif psikologis dibandingkan fisiologis. Aplikasi hypnosis bidang kedokteran lebih dominan pada hypnoanalgesia (aplikasi hipnosis untuk mengurangi sensitivitas terhadap rasa sakit) dan hypnoanaesthesia (aplikasi hipnosis untuk mengurangi sensitivitas terhadap semua sensasi). Pada kedua aspek tersebut, hal terpenting adalah kemampuan pasien dalam memfokuskan pikiran yang berkenaan dengan mekanisme psikologis dan fisiologi mendukung konsep mengenai penggunaan pikiran bawah sadar mengendalikan pikiran atas tubuh.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 192

Kasus yang Dapat Ditangani dengan Hipnoterapi Beberapa kasus yang dapat ditangani dengan hipnoterapi seperti kasus kecemasan dan fobia adalah yang paling sering. Bagi pasien yang mengalami gangguan kecemasan sehingga cemas pula untuk menelan obat, hipnoterapi adalah tindakan yang utama, gangguan psikosomatik dan beberapa gangguan fisik murni (somatik), hipnoterapi berperan sebagai penunjang. Kasus kebutaan histerik, yakni kebutaan yang timbul setelah mengalami trauma psikis, Hipnoterapi juga mempunyai manfaat pada anak-anak seperti kebiasaan buruk gigit kuku, menghisap jari, gagap, ngompol, alergi/kulit merah- merah. Hipnoterapi juga diterapkan pada pasien autisme. Pada orang dewasa, hipnoterapi dapat menghilangkan kebiasaan buruk seperti merokok, judi, insomnia, kleptomania, serta dapat mempercepat penyembuhan ketergantungan narkoba. Di samping itu juga dapat membantu mengatasi rasa nyeri/sakit waktu melahirkan (hgypnobirthing), mengurangi nyeri waktu cabut gigi (hypnodental). Dibidang pendidikan, hipnosis dapat diarahkan untuk mengingkatkan konsentrasi, daya ingat, kreatifitas, ataupun kesiapan menghadapi ujian. Sementara di bidang industri, hipnotis bermanfaat untuk meningkatkan mutu SDM (hypnomotivation) sehingga diharapkan mampu menghadapi situasi kompetitif dan efektif dalam menjalani tugas.

HIPNOTERAPI MENURUT KONSIL KEDOKTERAN Hipnoterapi adalah suatu bentuk terapi dengan memberdayakan pikiran bawah sadar dapat berupa energi sinar elektro magnetik satu oktaf dari Far Infra Red Rays (FIR), yang mempunyai panjang gelombang 6-14 mikron atau dengan menggunakan teknik komunikasi dan pemberian

Psychoneuroimmunology in Dermatology 193 sugesti/afirmasi. Para dokter, menggunakan hipnoterapi berdasarkan Standar Kompetensi Dokter dari Konsil Kedokteran Indonesia (Indonesian Medical Council) dalam rangka terapi kedokteran sebagai salah satu layanan Hipnosis Kedokteran, yaitu Hipnosis Kedokteran Kuratif (Early diagnosis and promt traetment); disamping Hipnosis Kedokteran Promotif (Health promotion), Hipnosis Kedokteran Preventif (Prevention of diseases) serta Hipnosis Kedokteran Rehabilitatif (Rehabilitative Medical Hypnosis). Banyak psikiater psikolog atau dokter umum, menggunakan hipnoterapi sebagai salah satu bentuk dari psikoterapi, disamping somaterapi (farmakoterapi dan fisioterapi seperti ECT/listrik, light therapy/sinar). Dokter, menggunakan hipnoterapi berdasarkan Standar Kompetensi Dokter dari Konsil Kedokteran Indonesia (Indonesian Medical Council) dalam rangka terapi kedokteran sebagai salah satu layanan Hipnosis Kedokteran, yaitu Hipnosis Kedokteran Kuratif (Early diagnosis and promt traetment); disamping Hipnosis Kedokteran Promotif (Health promotion), Hipnosis Kedokteran Preventif (Prevention of Diseases) serta Hipnosis Kedokteran Habilitatif (Habilitative Medical Hypnosis) untuk kasus retardasi dan Hipnosis Kedokteran Rehabilitatif (Rehabilitative Medical Hypnosis) untuk kasus regresi. Paramedik, menggunakan hipnoterapi dibawah pengawasan dokter. Psikiater, menggunakan hipnoterapi sebagai salah satu bentuk dari Psikoterapi, disamping Somaterapi (farmakoterapi dan fisioterapi seperti ECT / listrik. light therapy / sinar) dan Sosioterapi (WHO: bio-psiko-sosial), dengan Tingkat Kemapuan (Level of Expected Ability) 1 - 4 (knows - does). Psikolog, menggunakan hipnoterapi sebagai salah satu bentuk

Psychoneuroimmunology in Dermatology 194

Psikoterapi, dalam rangka Hipnosis Klinik Kuratif, disamping Hipnosis Klinik Promotif, Hipnosis Klinik Preventif, Hipnosis Klinik Habilitatif dan Hipnosis Klinik Rehabilitatif. Juga, penggunaan hipnosis untuk bidang psikologi lainnya, seperti pendidikan, penelitian, manajemen, peningkatan sumber daya manusia,dsb. Hipnoterapis adalah seseorang yang khusus mempelajari hipnoterapi, menggunakan hipnoterapi sebagai satu-satunya bentuk terapi; sehingga di samping menguasai ilmu pengetahuan dan seni ketrampilannya (knowledge and skills, science and art, teori dan praktek), juga perlu mengetahui benar, tujuh hal berikut ini: Alasan penggunaaan hipnoterapi (Indications) 1. Pencegahan penggunaan hipnoterapi untuk kasus tertentu (Precautions) 2. Pantangan penggunaan hipnoterapi (Contra Indications) 3. Efek Samping yang dapat timbul pada hipnoterapi (Side Effects) 4. Penanggulangan efek samping dari hipnoterapi (Side Effects Management) 5. Bahaya yang mungkin timbul pada penggunaan hipnoterapi (Dangers of hypnotherapy) 6. Aspek Hukum dan Etika dari hipnoterapi (Legal and ethical aspects of hypnotherapy)

LANGKAH-LANGKAH HIPNOSIS Untuk melakukan hipoterapi ada beberapa langkah yang harus dilewati. Diantanya adalah:

Psychoneuroimmunology in Dermatology 195

1. Pra-induksi (wawancara) tes sugestibilitas Saat pra induksi biasanya seorang hypnotist (pelaku hipnotis) membangun keakraban dengan calon suyet (orang yang dihipnotis) dengan memberi pemahaman tentang hipnosis. Setiap proses dalam hipnotis selalu diawali dengan percakapan antara hypnotist dengan subyek. Tujuan dari interview antara lain adalah untuk menjalin keakraban dan rasa nyaman diantara keduanya. Dalam Hypnotherapy interview dilakukan untuk memahami masalah klien, menentukan tujuan terapi dan menjelaskan kepada klien tentang prosedur terapi yang akan dilakukan. Tahap ini merupakan tahap awal dalam proses hipnotis dan merupakan faktor penentu keberhasilan hipnotis yang sangat penting. Pra induksi menyangkut kesan pertama yang kita tampilkan kepada subyek. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam tahap interview/pra-induksi antara lain:  Berperilaku yang sopan.  Berpakaian yang baik.  Keahlian berkomunikasi.  Berikan pengetahuan hipnotis yang cukup kepada subyek/klien  Hindari gerakan/tindakan yang berlebihan

Tes Sugestibilitas Tes sugestivitas wajib dilakukan untuk mengetahui tingkat sugestivitas seseorang, dan untuk menentukan teknik induksi nantinya. Ketika pertama kali mengetahui suatu informasi tentang hopnosis disebut Pre-Induction,

Psychoneuroimmunology in Dermatology 196

tahap sebelum dimulai induksi. Pre-Induction juga disebut tahap Pre-Talk.

Suggestibility Test/Uji sugestibilitas Uji sugestibilitas digunakan untuk mengetahui apakah seseorang memiliki tipe physical suggestibility (sugestibilitas fisik) atau emotional suggestibility (sungestibilitas perasaan). Mengetahui tipe sugestibilitas seseorang sangat penting untuk menentukan tipe induksi yang digunakan dan teknik terapi yang cocok. Pada umumnya 10 % manusia adalah sangat sugestibel atau dengan mudah dibawa ke kondisi hipnosis, 10 % sangat tidak sugestibel dan sekitar 80 % biasa saja.

2. Induksi Teknik komunikasi verbal maupun nonverbal yang nantinya anda pakai untuk membawa klien menuju trane. Tujuan pengguanaan teknik induksi adalah membawa klien langsung menuju trance atau membuat klien mempercayai bahwa apapun yang terjadi padanya merupakan akibat dari “kekuatan” kalimat anda. Induksi adalah langkah untuk membawa sesoerang dari kondisi normal (beta) ke kondisi hipnosis (alpha-theta). Secara umum jenis induksi dibagi menjadi dua kekompok. 1. Induksi Normal (menggunakan rilaksasi). - Rileksasi Tubuh untuk orang dengan tingkat sugestivitas Moderat. - Rileksasi Total (tubuh & pikiran) untuk orang dengan tingkat sugestivitas Sulit.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 197

2. Induksi Cepat. Induksi cepat hanya untuk orang dengan tingkat sugestivitas tinggi atau mudah dihipnosis, induksi jenis inilah yang sering kita lihat pada StageHipnosis (hipnotis untuk hiburan).

Induksi adalah cara yang digunakan oleh hypnotist untuk membawa klien menuju kondisi hipnotis. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk melakukan induksi. Setiap ahli umumnya memiliki metodenya sendiri. Seorang hypnotist harus mampu memahami tipe pikiran kliennya agar ia bisa menggunakan metode yang tepat. Pada setiap kalimat yang diucapkan, seorang hypnotist harus memastikan bahwa subyek sudah memahami maksudnya. Biasanya subyek diminta untuk menganggukan kepala jika mengerti dan menggelengkan kepala jika tidak mengerti. Induksi (dalam bahasa hypnosis) adalah cara yang digunakan oleh hypnotist untuk membimbing klien mengalami trance hypnosis. Trance hypnosis adalah suatu kondisi kesadaran dimana bagian kritis pikiran sadar tidak aktif, sehingga klien sangat reseptif terhadap sugesti yang diberikan oleh hypnotist. Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk induksi. Akan sangat panjang dan terlalu teknis bila kami jelaskan disini. Cukup Anda perhatikan satu hal penting ini: Syarat utama agar proses induksi berjalan lancar adalah Anda harus bersedia dihipnotis. Bila Anda menolak dihipnotis maka kami atau siapapun tidak akan mampu menghipnotis Anda. Hypnosis tidak bisa diterapkan secara paksa.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 198

3. Deepening Teknik memperdalam tingkat trance klien. Untuk tahap awal ini jika sudah mencapai Alpha sudah terbilang bagus tetapi jika ingin memperdalam ke Theta anda bisa mulai menggunakan deepening sederhana di buku ini. Deepening merupakan proses lanjutan dari induksi. Teknik ini digunakan untuk memperdalam level hipnotis yang dialami klien. Secara umum level kondisi hipnotis adalah light trance, medium trance, dan deep trance atau somnambulism. Level somnambulism merupakan kondisi ideal untuk memberikan sugesti. Apabila setelah induksi klien ternyata belum mencapai tahap somnambulism, hypnotist perlu melakukan deepening untuk mengarahkan klien menuju kondisi somnambulism. Dilakukan untuk memperdalam trance level seseorang, semakin dalam trance levelnya semakin sugestif pula tentunya, sehingga suyet lebih mudah untuk menerima sugesti dari hypnotist. Deepening merupakan kelanjutan dari induksi. Tujuannya dari penggunaan teknik deepening adalah untuk membuat klien semakin suggestible (meningkatkan kemampuan untuk menerima sugesti). Kita mengenal ada beberapa tingkatan trance hypnosis. Secara sederhana kita bisa membagi tingkatan trance hypnosis menjadi light trance, medium trance, deep trance atau somnambulism. Somnambulism adalah kondisi mental dimana pikiran subjek menjadi sangat sugestif. Level trance hypnosis yang paling tepat untuk terapi ataupun untuk stage hypnosis adalah somnambulism.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 199

Oleh karena itu, apabila setelah induksi seorang klien belum mencapai kondisi somnambulism, hypnotist perlu melakukan deepening dengan teknik tertentu yang bisa membuat klien mengalami somnambulism. Untuk mengetahui tingkat tance hypnosis yang dialami klien, hypnotist bisa melakukan trance level test, atau bagi hypnotist yang berpengalaman cukup melihat dari tanda- tanda yang ditunjukkan klien.

4. Sugesti (Mind Therapy, Afirmasi) Sebenarnya tujuan utama proses hypnosis adalah memasukkan sugesti positif ke pikiran bawah sadar klien, sebaiknya hindari membuat sugesti yang berhubungan dengan masalah-masalah emosi dan pikiran yang berat. Pada saatnya nanti anda bisa melakukakan tindakan pertolongan pada berbagai kasus jika sudah menguasai konsep hypnotherapy. Terkadang bantuan yang kita berikan dengan cara yang salah justru bisa memperburuk keadaan. Dalam buku ini ada contoh skrip untuk beberapa masalah yang bisa dengan mudah dan aman anda pakai. Pada tahap inilah seorang terapis memberikan sugestinya. Setelah klien mencapai level kedalam hipnotis yang ideal, terapi pikiran akan dimulai. Bentuknya adalah pemberian sugesti yang sudah dirancang agar bisa menggali akar permasalahan dan menetralisirnya. Dalam stage hypnosis, biasanya pada tahap inilah seorang hypnotist akan memberikan perintah-perintah lucu/konyol kepada subyek, yang bertujuan untuk menghibur para pemirsa. Sugesti bisa berupa saran, ajakan, ataupun perintah langsung kepada pikiran bawah sadar.

Psychoneuroimmunology in Dermatology 200

Banyak hypnotist pemula yang kurang memahami bahwa dalam menjalankan hypnotherapy, ada teknik- teknik tertentu yang harus dikuasai. Sering kali ada hypnotist pemula yang karena sudah menguasai teknik induksi (membimbing orang mengalami trance hypnosis), maka dia merasa sudah menguasai seluruh ilmu hypnosis. Misalkan komputer dengan OS Windows, teknik induksi hanyalah password. Orang yang mengetahui password dan berhasil membuka windows belum tentu memahami cara mengoperasikan atau membuat program komputer dengan benar, salah-salah malah bisa merusaknya. Begitu juga dengan hypnosis, orang yang baru bisa menghipnotis belum tentu bisa melakukan terapi untuk menyelesaikan masalah yang serius.

5. Penghentian (Terminasi). Ini adalah tahap dimana proses hipnotis berakhir. Subyek akan diminta membuka matanya dan kembali sadar. Dalam hypnotherapy, subyek akan kembali menjalani hidup dengan lebih baik sesuai dengan sugesti yang diberikan oleh terapis. Dalam stage hypnosis, umumnya subyek akan lupa dengan apa yang terjadi pada dirinya ketika melakukan tindakan-tindakan lucu / konyol. Terminasi sebaiknya dilakukan secara bertahap dan perlahan, agar klien tidak merasa pusing, bingung atau linglung pada saat kembali sadar. Inilah bagian yang kami suka. Karena begitu klien membuka mata, kami sering melihat senyum yang ceria dan mata berbinar. Itulah mengapa kami selalu ketagihan melakukan hypnotherapy. Membangunkan klien dari hypnosis adalah hal yang paling mudah dan

Psychoneuroimmunology in Dermatology 201

menyenangkan, lebih mudah daripada membangunkan remaja di hari minggu. Siapapun tidak perlu takut dihipnotis karena takut tidak bisa bangun. Sepanjang sejarah penggunaan hypnosis yang saya tahu, tidak satupun orang yang tidak bisa bangun dari kondisi hypnosis.

Kelima langkah hipnosis di atas dalam praktek hipnoterapi hendaknya dilakukan secara benar agar proses hipnotis berjalan lancar. Pada dasarnya semua orang dapat melakukan hipnoterapi, asal melalui pelatihan terlebih dahulu. Di kota besar di Indonesia telah banyak dibuka klinik hipnoterapi, demikian juga pelatihan untuk menjadi hipnoterapist.

DAFTAR PUSTAKA 1. International Hanbook of Clinical Hypnosis. Edited by Burrows G.D et al. John Wiley & Sons, LTD. New York. 2001 2. Hypnosis and Neuroscience:A Cross Talk Between Clinical and Cognitive Research Raz A, et al,. Arch Gen Psychiatry. 2002;59:85-90 3. Julia JR. Hypnosis in a Case of Long-Standing Idiopathic Itch. Psychosomatic Medicine 61:355–358 (1999) 4. A. Vanhaudenhuyse. Neurophysiology of hypnosis. Clinical Neurophysiology (2014) 44, 343—353 5. Dr. Ling CHIU Update on Medical Hypnosis The Hongkong Medical Bulletin, VOL.14 NO.2 2009 6. Gruzelier J.H. A Review of the Impact of Hypnosis, Relaxation, Guided Imagery and Individual Differences on Aspects of Immunity and Health. Stress, 2002 Vol. 5 (2), pp. 147–163 7. Philips D, et al. Hypnosis in Dermatology. Arch Dermatol,2000;136: 393-399 8. Philip D. Shenefelt. Applying Hypnosis in Dermatology. Dermatology Nursing. 2003;15(6)

Psychoneuroimmunology in Dermatology 202

9. Shenefelt PD. Applying Hypnosis in Dermatology. Dermatology Nursing. 2003;15(6):1-7 10. Rossi EL., et al. THE NEW NEUROSCIENCE OF PSYCHOTHERAPY, THERAPEUTIC HYPNOSIS & REHABILITATION: A CREATIVE DIALOGUE WITH OUR GENES. Published by: Ernest Lawrence. 125 Howard Avenue Los Osos CA 93402 USA. 2008 11. Mendoza M.E. Efficacy of Clinical Hypnosis: A Summary of its Empirical Evidence. Papeles del Psicólogo, 2009. Vol. 30(2): 98-116 Scardino M., et al. Hypnosis and Cortisol: The Odd Couple. MOJ Immunology. 2014;1[2]: 1-5 12. Chamber, Bradford. 2005. How to hypnotize. Stravon Publisher : New York 13. Murphy, Joseph. 1997. The power of Your Subconscious Mind (terjemahan) spektrum : Jakarta 14. Wood G.J. et al. Hypnosis, Differential Expression of Cytokines by T-Cell Subsets, and the Hypothalamo- Pituitary-Adrenal Axis. American Journal of Clinical Hypnosis 45:3, January 2003. 179-196 15. Shenefelt P.D. Using Hypnosis to Facilitate Resolution of Psychogenic Excoriations in Acne Excoriée. American Journal of Clinical Hypnosis.2004:46[3]:239-245 16. Burgess P. The Use of Hypnosis with Dermatological Condition. Australian Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 1996; 24[2]: 110-119 17. McDonald F., 2006, Hypnotherapy Applications in Pain Management. http://www.fmcdonald.com/ 18. Ericson MH, Hersman S, Secter I. Practical Application of Medical and Dental Hypnisis. 2005. OTC Publishing corp

VOL.11 NO.5 MAY

Psychoneuroimmunology in Dermatology 203