UPAYA CHANNEL DAN PEMERINTAH AMERIKA SERIKAT DALAM MEMBANGUN OPINI PUBLIK AS PADA MASA INVASI IRAK 2003

SKRIPSI

OLEH :

RIFQI ACHMAD SAZALI 1060 8300 2756

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya sendiri yang asli dibuat dan diajukan

untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli

saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2011

Rifqi Achmad Sazali 106083002756 ABSTRAK

Pada masa invasi Irak 2003, Fox News Channel (FNC) dan pemerintah AS berupaya membangun opini publik agar menjadi terarah berdasarkan publikasi dan pandangan media massa yang dipelopori oleh FNC. Upaya FNC dan pemerintah tersebut didasari oleh kepentingan kedua belah pihak, yakni untuk mendapatkan keuntungan berupa rating dan dukungan terhadap invasi. Tulisan ini bersifat deskriptif, yaitu melalui studi pustaka dengan menggunakan metoda kualitatif maka dapat menggambarkan permasalahan yang dibahas. Dengan metoda tersebut dapat digunakan secara mendalam untuk mengidentifikasi dan menganalisis upaya FNC dan pemerintah AS dalam membangun opini publik, dan melihat opini publik sebagai hasil dari upaya FNC dan pemerintah AS tersebut.

Kata kunci: Invasi Irak 2003, opini publik, embedded journalism, komunikasi internasional dan media massa dalam kebijakan luar negeri.

i

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT, karena dengan hidayah dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Upaya

Fox News Channel dan Pemerintah AS Dalam Membangun Opini Publik Pada

Masa Invasi Irak 2003”. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan baik yang bersifat teknis maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Kritik dan saran yang diberikan, akan penulis jadikan bahan dalam penyempurnaan skripsi ini.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menguncapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu membantu penyelesaian skripsi ini. Dimana dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak menemui hambatan dan ritangan yang dihadapi penulis tetapi berkat bantuan yang diberikan berbagai pihak, terutama dosen pembimbing, semua permasalahan dan kendala dapat teratasi. Oleh kerena itu, penulis dengan tulus menguncapkan terima kasih atas bantuannya baik langsung dan tidak langsung kepada:

1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional dan

Agus Nilmada Azmi, S.Ag, M.Si., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan

Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. iii

3. Kiky Rizky, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang telah

memberikan ilmu, saran dan arahannya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. H. Djayani Adnan dan Hj. Tuta Rosita, Spd.I., kedua orang tua

tercinta terima kasih atas do’a, kasih sayang, dan dukungan baik moril

maupun materi sehingga skripsi ini dapat selesai.

5. Nazaruddin Nasution, SH., MH, sebagai Dosen Pembimbing Akademik.

6. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam

meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiwa.

7. Bapak Amaly dan Bang Nanda, sebagai staff di Jurusan Hubungan

Internasional yang telah membantu penulis dalam mengurus segala bentuk

yang berhubungan dengan nilai kuliah.

8. Yulis Maghita Bungsu, Ph.D., yang telah mendukung proses penyelesaian

skripsi ini dan mengizinkan datang ke perpustakaan pribadinya.

9. Haninda Farah Moetya, terima kasih atas pengertian, waktu, dukungan,

semangat dan doanya dalam penyusunan skripsi ini, semoga engkau

diberikan kesehatan selalu.

10. Teman-teman terbaik di HI B angkatan 2006: Muh. Zubir, Ibnu Abok,

Sabriela (Ola), Nadya Hajarani, Prila Chandra, Shinta Oktalia. Lima tahun

yang luar biasa bersama kalian, penuh suka dan duka dalam berjuang

bersama-sama dari awal hingga akhir kuliah ini. Sukses selalu ya kawan- iv

kawan dan jangan pernah lelah untuk mengejar cita-cita. We’re the seven

souls….. LUV Y’ALL!!!

11. Seluruh teman-teman HI angkatan 2006 dan teman-teman HI angkatan

2007. Semoga kekompakan kita terus terjaga, semangat terus kawan-

kawan!

12. Teman-teman dari “HiRo’ Band”: Reza, Galuh, Arie, Melynda, terima

kasih atas dukungan dan pengertiannya dalam proses penyelesaian

penulisan skripsi ini. Main musik sama kalian punya arti tersendiri, maaf

kalo latihan atau manggung sering absen dengan alasan skripsi. Semoga

HiRo’ bisa berkarya dan lagu-lagunya bisa didengar sampai kita tua.

Band - No one better than HiRo’.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas

dukungan dalam penulisan skripsi ini. Semoga mendapatkan balasan dari

Allah SWT atas kebaikan.

Akhir kata, penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi perkembangan studi Hubungan Internasional.

Jakarta, Juli 2011

Rifqi Achmad Sazali 106083002756

v

DAFTAR ISI

Abstrak ...... i

Kata Pengantar ...... ii

Daftar Isi...... v

Daftar Tabel ...... vii

Bab I Pendahuluan

A. Latar belakang masalah ...... 1

B. Identifikasi masalah ...... 6

C. Tujuan Penelitian ...... 6

D. Kerangka pemikiran ...... 7

E. Metoda penelitian ...... 13

F. Sistematika penulisan ...... 14

Bab II Tinjauan Umum Fox News Channel (FNC)

A. Media Massa AS dan FNC ...... 16

B. FNC Dalam Persaingan Antarmedia Massa di Amerika Serikat ...... 25

C. Peliputan Perang Irak ...... 32

Bab III Kebijakan Responsif AS Terhadap Irak Pasca-Tragedi 9/11

A. Munculnya Ancaman Irak Bagi AS ...... 36

B. Kebijakan AS terhadap Irak ...... 43

C. Invasi AS ke Irak ...... 50

Bab IV Upaya FNC dan Pemerintah AS Dalam Membangun Opini Publik

Pada Masa Invasi Irak 2003

A. Upaya FNC Dalam Membentuk Opini Publik Pada Saat Invasi Irak 2003 ...... 57

vi

B. Upaya Pemerintah AS Dalam Menangani Media Massa di Medan Perang

Pada Saat Invasi Irak Tahun 2003 ...... 65

C. Dampak Upaya FNC dan Pemerintah AS Dalam Menbangun Opini Publik

Tentang Invasi Irak 2003 ...... 71

Bab V Penutup

Kesimpulan ...... 77

Daftar Pustaka ...... 81

vii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1: Acara TV Unggulan dan Jangkauan FNC ...... 21

Bagan 2: Pandangan Publik Terhadap Jaringan yang Berideologi...... 24

Bagan 3: Konsumsi Berita Televisi: 2000...... 28

Bagan 4: Enam Perusahaan Media dan Media Utamanya...... 29

Bagan 5: Rating Media AS Tahun 2003 Menurut Guardian (CNN, FNC dan

MSNBC)...... 30

Bagan 6: Dukungan Publik AS Terhadap Invasi Irak...... 31

Bagan 7: Pembungkaman Aljazeera oleh AS...... 35

Bagan 8: Perbandingan Persenjataan AS-Koalisi dan Irak Tahun 2003...... 52

Bagan 9: Publisitas Acara Berita Malam Utama Selama Perang Irak 2003 (CBS,

ABC, NBC, FNC dan CNN)...... 64

Bagan 10: Ungkapan Jurnalis yang Menyertakan Diri Dengan Militer Pada Invasi

Irak 2003...... 66

Bagan 11: Protes anti-Invasi Irak 2002-2003...... 73 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat, memancing tiap individu baik aktor negara maupun masyarakat biasa dapat mengetahui berita secara real time.1 Beragam peristiwa yang terjadi mulai dari perang, krisis, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), bencana alam, hingga aksi terorisme di seluruh dunia dapat diterima melalui pemberitaan media massa, baik surat kabar, internet, televisi (TV) maupun radio.

Teknologi informasi dengan bantuan satelit mampu memberikan tayangan suatu kejadian atau peristiwa secara langsung dari tempat kejadian, seakan-akan media elektronik menjadikan pemirsa sebagai saksi mata terhadap setiap peristiwa yang ditayangkan.2 Seperti Perang Teluk 1991, invasi AS ke Kosovo 1999, bahkan serangan teroris terhadap World Trade Center (WTC) dan gedung

Pentagon di Amerika Serikat 2001 dapat disaksikan oleh pemerhati berita dari seluruh dunia.

Dalam merespon kemajuan teknologi informasi, aktor kebijakan luar negeri menjadikan teknologi informasi khususnya media massa masuk sebagai dimensi ke empat dalam hubungan antarnegara.3 Teknologi informasi berada

1 Real Time adalah informasi yang dapat diperoleh dengan cepat melalui jaringan internet atau satelit dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini dapat dilihat pada saat Perang Teluk tahun 1991, yaitu baik Saddam Hussein maupun George W. H. Bush (Bush senior) sebagai aktor negara sama-sama menonton Cable News Network (CNN) untuk mengetahui perkembangan berita terbaru di antara kedua negara tersebut. Lihat dalam Joseph S. Nye, Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History, (London: Harper Collins College Publisher, 1993), h. 184. 2 Ibid., h. 184. 3 Philip M. Taylor, global Communication International Affairs and The Media Since 1945, (London: Routledge, 1997) h. 20-34.

2

setelah diplomasi, interaksi ekonomi, dan militer. Dalam hubungan antarnegara tersebut, teknologi informasi dijadikan alat untuk mencapai kepentingan nasional, yakni menjadikan media massa untuk menyampaikan pesan dan pandangannya terhadap suatu fenomena internasional melalui sudut pandang budaya negaranya.

Dengan dijadikannya teknologi informasi sebagai dimensi ke empat dalam hubungan antarnegara, maka hal ini menggambarkan bahwa informasi merupakan alat sosialisasi kebijakan luar negeri.4 Namun sosialisasi yang disampaikan oleh teknologi informasi merujuk pada pencitraan suatu negara yang sengaja dibangun di negara lain yang pada umumnya menggunakan media massa. Hal ini dapat ditunjukkan dengan melihat mekanisme berita yang dikonstruksikan oleh media massa, di mana jurnalis meliput dan mempublikasikan berita ke negara lain sebagai berita aktual untuk membangun citra bahkan ditujukan untuk mengubah kebijakan suatu negara.

Seperti halnya pada konflik Bosnia tahun 1992-1995, Presiden Bill Clinton tidak menganggap penting masalah tersebut karena tidak mengancam kepentingan nasional Amerika Serikat.5 Namun, gencarnya pemberitaan dari media massa mengenai pembantaian penduduk sipil Serbia, maka pemerintah mendapat keyakinan untuk bertindak atas kasus yang terjadi.

4 Teknologi informasi memiliki tiga fungsi dalam komunikasi internasional: pertama, untuk mendinamisasikan hubungan yang terjalin antara dua negara atau lebih; kedua, untuk menghidari konflik agar tidak terjadi kesalah fahaman; ketiga, untuk membantu kepentingan suatu negara dengan mendukung pelaksanaan politik luar negerinya. Dengan ketiga fungsi tersebut maka informasi digolongkan sebagai aktor diplomasi jalur kedua (second track diplomacy) yang menggantikan diplomasi tradisional (first track diplomacy). Dalam bab yang sama menjelaskan bahwa diplomasi yang ada pada media massa digunakan untuk membanguncitra suatu negara di negara lain. Lihat dalam Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Internasional, (Bandung: IKAPI-PT Refika Aditama, 2005), h. 126-134. 5 Warren p. strobel, (Senior Editor) “The Media: Influencing Foreign Policy in the Information Age”, U.S News and World Report, diakses pada 02 Agustus 2010 pkl. 03:03, dari http://www.unconsulate.gov/wwwhforpol.html

3

Pada penulisan skripsi ini, penulis akan memfokuskan pembahasan pada negara Amerika Serikat. Dalam konteks Amerika Serikat, telah dijelaskan skema sosialisasi kebijakan luar negerinya melalui laporan The US Advisory Commission on Public Diplomacy pada bulan Maret 1995. Dalam laporan tersebut menjelaskan bahwa sosialisasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat menggunakan diplomasi publik secara berdampingan dengan diplomasi tradisional.6 Dengan demikian, untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maka pemerintah AS juga harus menyampaikan kebijakannya melalui media massa yang dikonsumsi oleh masyarakat AS sendiri atau menyampaikan kebijakannya kepada masyarakat internasional melalui media yang berada di negara lain. Hal ini merupakan bentuk upaya pemerintah memahami bahwa publik juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi peristiwa dan keputusan.

Media massa sebagai alat sosialisasi antarnegara juga dapat memainkan peran dalam kepentingan nasional suatu negara.7 Hal ini juga berkaitan dengan publikasi media yang diterima oleh negara lain untuk membantu kepentingan negaranya. Dalam hubungan publikasi media massa mendukung kebijakan luar negeri suatu negara dapat diteliti dalam kasus invasi AS ke Irak tahun 2003.

Invasi AS ke Irak tahun 2003 yang menjadi fokus penelitian skripsi ini, merupakan realisasi kebijakan pemerintah AS sebagai respon terhadap aksi terorisme Pasca-Tragedi 9/11.8 Kebijakan tersebut merupakan tindakan kontroversial karena AS tidak dapat dukungan yang kuat dari data yang dimiliki oleh United Nations Monitoring, Verification and Inspection Commission

6 Taylor, “Public Diplomacy in the 21st Century” dalam Global Communication International Affairs, h. 82. 7 Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Internasional, h, 127. 8 Dewi Fortuna Anwar, “Tatanan Dunia Baru”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.3, No.2, (Mei-September 2003), h. 8.

4

(UNMOVIC) dan International Atomic Energy Agency (IAEA) setelah melakukan pemeriksaan di Irak sebelum invasi.9

Invasi AS tersebut juga mendapat kecaman dari penjuru dunia terutama negara-negara Arab maupun Irak sendiri.10 Hal ini terjadi karena invasi AS ke

Irak tidak mendapat legalitas yang jelas dari PBB. Dengan banyaknya kecaman tersebut, namun AS tetap menganggap invasi Irak merupakan sesuatu hal yang penting sehingga invasi terus dilakukan. Seperti halnya demonstrasi yang dilakukan warga Irak pada 19 April 2003, pemerintah AS justru akan mengirim seribu orang yang terdiri dari ahli senjata, intelijen, dan ilmuwan sipil untuk mencari senjata pemusnah massal milik Saddam.11 Pengiriman tersebut semakin menegaskan, bahwa invasi memang penting bagi AS.

Dengan kondisi seperti di atas, maka hal ini tentu tidak luput dari sorotan media massa di seluruh dunia terutama media AS. Beragam media massa berlomba mempublikasikan beritanya dari sudut pandang masing-masing.12 Hal

9 AS dan sekutunya (Inggris) menuduh Irak masih memiliki senjata pemusnah massal yang dikembangkan pasca keluarnya tim inspeksi PBB tahun 1998-2002 dari Irak. Ancaman lain berupa keterkaitan Saddam Hussein dengan Al-Qaida dalam hal terorisme serta AS berupaya untuk menjadikan Irak sebagai negara demokratis yang lebih terbuka. Tuduhan AS tersebut tidak terbukti karena UNMOVIC dan IAEA tidak menemukan tuduhan yang didengungkan oleh AS. Lihat dalam Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Mizan, 2007), h.147. 10 Pertemuan enam menteri luar negeri negara-negara yang berbatasan dengan Irak, yaitu Arab Saudi, Iran, Kuwait, Turki, Suriah, dan Yordania, ditambah Mesir dan di Riyadh tanggal 16 April 2003, membahas persoalan negara yang sekarang diserang dan diduduki oleh Amerika Serikat. Dalam pertemuan tersebut para menteri luar negeri sepakat bahwa Irak seharusnya tidak diinvasi AS dan harus diperintah oleh warga Irak sendiri. Lihat Nurkhoiri,“Negara Arab Ingin AS Segera Pergi”, dalam Harian Tempo edisi 20 April 2003. Selain itu warga Irak yang merasa sedang dijajah oleh AS berdemo agar AS keluar dari Irak dengan menuntut perdamaian pasca jatuhnya Saddam Hussein oleh AS, lihat juga Daru P.,“Demo Anti-AS Guncang Bagdad”, Harian Tempo, 21 April 2003. 11 Daru, “Demo Anti-AS Guncang Bagdad”, Harian Tempo, 21 April 2003. 12 Pada massa awal perang Irak berlangsung tahun 2003, media massa seperti Cable News Network (CNN), British Broadcast (BBC), Fox News Chanel (FNC) serta media Timur seperti Al- Jazeera dan Al-Arabiya merupakan media yang paling menonjol dalam mempublikasi Perang Irak 2003. Media tersebut berlomba-lomba menampilkan berita melalui sudut pandang masing-masing. Media Barat (CNN, FNC dan BBC) terlihat lebih menyorot dari sudut pandang budaya Barat yang terkesan membela pemerintah AS dan seakan mempropagandakan beritanya. Lihat Kurie Suditomo, ”Propaganda di Mata Seorang Wartawan Perang”, Harian Tempo, 8 April 2003.

5

ini tidak berbeda dengan keterlibatan Fox News Chanel (FNC) yang mempublikasikan berita dari sudut pandangnya. FNC yang menyorot kasus tersebut secara intensif dalam menanggapi invasi yang terjadi, acara-acara yang ditampilkan lebih banyak tentang dukungan terhadap perang hingga mengindikasikan bahwa media tersebut mendukung kebijakan luar negeri AS dan mendapatkan keuntungan dari pemberitaan tersebut.13 Hal ini ditujukan agar publik AS yakin bahwa invasi AS ke Irak memang harus dilakukan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa antara FNC dan pemerintah AS sama-sama memiliki upaya untuk membangun opini publik pada masa invasi terjadi.

Pada penulisan skripsi ini, penulis akan memaparkan tentang upaya FNC dalam membentuk opini publik di AS yang positif serta upaya pemerintah AS dalam membangun opini publik melalui media massa yang menyorot invasi agar berita yang dipublikasikan oleh media dapat mendorong masyarakat untuk mendukung invasi Irak 2003. Dalam skripsi ini hanya akan membahas mengenai upaya kedua belah pihak antara FNC dan pemerintah dalam membangun opini publik yang positif.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latarbelakang yang ada, maka pertanyaan dalam skripsi ini adalah:

13 Indikasi FNC yang acaranya seakan mendukung kebijakan luar negeri AS dibahas oleh Gray dalam “Dosa-Dosa Media Amerika. Dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa media massa AS khususnya FNC memanfaatkan fenomena invasi AS-Irak dengan memberitakan hal-hal yang bias dan kontroversial serta berbau sensasi. Perhatian publik yang besar terhadap berita yang bias tersebut membuat kebijakan pemerintah semakin cepat diketahui dan justru mengarahkan publik menjadi seragam dalam memandang invasi. Berita-berita FNC lebih banyak tentang kebaikan kebijakan pemerintah AS yang kemudian dibandingkan dengan keburukan Saddam Husein dan Irak. Dengan pemberitaan tersebut, membuat News Corporations (NC) sebagai perusahaan induk dari FNC mendapatkan prestasi berupa rating yang sangat baik. Jerry D. Gray, Dosa-Dosa Media Amerika, (Jakarta: UFUK Press, 2006.), h. 7-29.

6

A. Bagaimana upaya Fox News Channel dalam membentuk opini publik AS

pada masa invasi?

B. Bagaimana upaya pemerintah AS dalam membangun opini publik AS

ketika terdapat banyaknya media massa yang menyorot kasus invasi

tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Skripsi ini memiliki tujuan:

1. Dapat menggambarkan upaya FNC dalam membangun opini publik AS

terhadap invasi serta menggambarkan perannya dalam atmosfer persaingan

antarmedia massa di AS.

2. Dapat menggambarkan upaya pemerintah AS mengontrol media di medan

perang untuk membangun opini publik yang positif terhadap invasi.

3. Melihat opini publik AS sebagai hasil dari upaya FNC dan pemerintah AS

dalam membangun opini publik.

D. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini bertumpu pada teori hubungan internasional dan teori komunikasi. Dalam mendukung penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori komunikasi politik internasional yang beralur pada pemikiran Vandana. Dalam pemikirannya, Vandana menjelaskan bahwa arus informasi yang masuk dan keluar pada dasarnya memiliki kepentingan-kepentingan politik bagi suatu negara.14 Dari pemikiran ini juga

14 Vandana A., Theory of International Politics, (Vikas Publishing, New Delhi: 1996), h. 60.

7

mencoba menjelaskan bahwa sesungguhnya pendekatan politik internasional yang ingin ditunjukkan adalah aspek politik dari komunikasi internasional itu sendiri.

Dalam pemikirannya juga dijelaskan lebih jauh bahwa komunikasi merupakan elemen yang tidak bisa lepas dari kemampuan untuk mengendalikan.

Dalam hal ini, komunikasi digunakan untuk mengendalikan antara komunikator dan komunikan yang menerima informasi dari komunikasi itu sendiri. Selain itu, dalam pendekatan teori politik, aspek yang sangat diperhatikan adalah unsur pengendalian politik.15 Sementara pengendalian politik sangat begantung kepada aktor negara untuk mengatur negaranya. Atau berhubungan erat dengan kemampuan negara tersebut menangani arus informasi yang dimilikinya. Karena bila suatu negara mampu mengelola informasi yang dimilikinya dengan baik, maka informasi tersebut dapat menjadi sumber kekuatan bagi negara tersebut.

Dimana negara dapat mengendalikan masyarakatnya melalui informasi yang diberikan kepada masyarakat yang memperhatikan setiap kebijakan yang dikeluarkan negara. Dengan keadaan tersebut sehingga menjadikan kebijakan yang telah dikeluarkan dan dipublikasikan melalui media massa tersebut sebagai tolak ukur untuk disetujui oleh masyarakat.

Vandana menjelaskan analisis dalam proses komunikasi tidak lain adalah cara untuk mempelajari fenomena sosial dan politik. Sedangkan dalam konteks hubungan internasional, pendekatan komunikasi dipandang sebagai interaksi antar negara dalam konteks proses komunikasi dari cara keluar-masuknya informasi dari negara satu ke negara lainnya, atau umpan balik dan sebagainya yang berhubungan dengan Kebijakan Luar Negeri.

15 Ibid., h.78.

8

Dalam menganalisis suatu fenomena yang berhubungan dengan komunikasi dan media massa, dapat menggunakan teori kultivasi, teori kegunaan dan kepuasan, dan teori proses belajar sosial. Teori kultivasi pertama kali diperkenalkan oleh George Gerbner.16 Menurut Gerbner, media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu yang kemudian memelihara dan menyebarkan sikap serta nilai-nilainya kepada masyarakat. Dengan kata lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton meyakininya bahwa apa yang disiarkan oleh televisi adalah sebuah kenyataan yang benar adanya.

Menurut teori kultivasi, media merupakan tempat masyarakat belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungan sosial. Dalam hal ini televisi merupakan media utama yang digunakan untuk belajar bagi masyarakat. Persepsi masyarakat tentang budayanya sangat ditentukan oleh televisi.17 Dengan kata lain, melalui televisi masyarakat belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai- nilainya, adat kebiasaannya, serta hal apa saja yang dibutuhkan oleh lingkungan sosial yang dianggapnya penting. Teori kultivasi juga menjelaskan bahwa yang terpenting dalam penyampaian komunikasi oleh media merupakan sebagai agen homogenitas persepsi. Homogenitas persepsi ini diartikan sebagai pemahaman pandangan tentang nilai yang sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh media.

Dengan adanya homogenitas persepsi yang telah dijelaskan di atas, maka hal ini merujuk pada opini publik sebagai hasil dari penyampaian infromasi oleh media massa. Dalam opini publik, menurut Jackson E. Baur terdapat beberapa

16 Straubhaar, J., & LaRose, R. Communications media in the information society. (Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning, 2002), h. 437. 17 Straubhaar & LaRose, Communications media in the information society., h. 437.

9

proses pembentukan pendapat melaui tujuh langkah, yakni:18 Pertama, timbulnya kerisauan dikalangan anggota masyarakat mengenai suatu masalah, dan mencoba menghubungkan pendapat-pendapat dari berbagai sumber. Ke dua, timbulnya gagasan penyelesaian yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang menaruh perhatian pada masalah tersebut, atau publik pemerhati. Ke tiga, munculnya kelompok baru dengan mengajukan pendapat yang mendukung atau bertentenangan lewat lembaga formal seperti organisasi, partai atau langsung memprotes terhadap lembaga terkait. Ke empat, kelompok penentang mulai menyatu dan mencari dukungan dari luar. Ke lima, melalui pembicaraan dan perdebatan yang kontroversial inilah pendapat umum muncul. Ke enam, efek pendapat umum apabila kelompok–kelompok tersebut mulai melakukan himabuan agar pemerintah atau lembaga yang berkenaan mengambil tindakan tegas. Ke tujuh, akhirnya pihak yang merasa berwenang mengambil tindakan dan membuat keputusan keputusan yang pantas.

Selain menjelaskan media massa yang dikaitkan dengan aspek politik oleh

Vandana, serta media massa yang dikaitkan dengan aspek sosial, media massa juga dapat dijelaskan dari aspek hubungan internasional. Dari perspektif hubungan internasional, Arie Indra Chandra mencoba menjelaskan bahwa media massa yang terhubungan dengan elemen komunikasi didefinisikan sebagai pencipta realitas kedua dalam politik global.19 Media massa dalam menciptakan realitasnya menghadirkan sudut pandang suatu negara sampai dengan manipulasi

18 Jackson E. Baur, The Public Opinion Quarterly, Vol. 26, No. 2 (Summer, 1962), h. 212- 226.

19 Arie Indra Chandra, ”Peran media massa sebagai pencipta realitas kedua dalam politik global”, dalam Yulius P. Hirawan, ed., Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional, (Graha Ilmu, Fisip Unpar-Bandung: 2007), h. 239-240.

10

berita untuk dunia luas atau hanya kelompok-kelompok kecil tertentu yang terpengaruh oleh media massa.

Dalam hubungan media massa dengan kebijakan luar negeri suatu negara,

Charles W. Kegley dan Eugene Wittkopf juga mendefinisi media massa sebagai mediator, yakni membantu menentukan alternatif politik luar negeri.20 Alternatif tersebut tidak secara langsung menentukan politik luar negeri apa yang ditempuh pemerintah suatu negara. Namun menurut mereka, definisi kebijakan luar negeri merujuk pada tujuan yang berusaha diraih oleh para pejabat negara baik di dalam maupun di luar negeri melalui nilai yang memunculkan tujuan tersebut dan instrumen yang digunakan untuk mencapainya. Dengan kata lain, media yang dijadikan instrumen dalam pencapaian kebijakan luar negeri suatu negara, merupakan pendorong bagi pemerintah AS untuk menjalankan kebijakannya.

Selain itu, KJ Holsti juga menjelaskan dari teori kebijakan luar negeri.

Menurut Holsti, instrumen yang digunakan dalam kebijakan luar negeri terbagi menjadi 5 bagian, yaitu: diplomasi, bantuan ekonomi, propaganda, intervensi, dan tindakan militer.21 Pelaksanaan kelima instrumen ini melibatkan media massa yang merujuk pada diplomasi, opini publik dan propaganda. Diplomasi dimaknai sebagai transformasi kebijakan suatu negara kepada negara lain, opini publik dimaknai sebagai pembangun citra dan makna bagi pemerhati berita, dan propaganda tertuju pada pengaruh pola pikir hingga kebijakan baik di dalam maupun di luar negeri.

20 Charles W. Kegley and Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and Process, Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991), h. 339. 21 KJ Holsti, Politik Internasonal Suatu Kerangka Analisis, (IKAPI-Binacipta, Bandung: 1992), h. 168.

11

Dalam hal di atas, film, koran, TV, radio, majalah, poster merupakan alat utama untuk mentransmisikan gagasan, simbol-simbol dan cerita. Sasaran propaganda meliputi:22 publik domestik, publik sekutu, publik musuh, dan publik netral. Dari seluruh sasaran tersebut, media massa yang dijadikan alat pengambilan kebijakan tidak lain dijadikan juga sebagai alat untuk mengubah pola pikir hingga mempengaruhi segala tindakan.

Menurut Kegley dan Wittkopf media melalui fungsinya sebagai gate keeper dan agenda setting mampu mengkondisikan cara pandang rakyat AS dan publik internasional, akan tetapi hal ini terjadi secara tidak langsung dan melalui penyesuaian.23 Penyesuaian tersebut merupakan pencocokan pandangan masyarakat AS dari nilai-nilai yang ada pada kehidupan masyarakat terhadap kepentingan dalam suatu fenomena. Kegley dan Wittkopf menjelaskan bahwa media massa dapat berpengaruh lebih langsung pada tingkat elit pembuat kebijakan, pihak-pihak yang mempengaruhi kebijakan, dan publik yang perhatian, sehingga dapat membentuk opini dalam memandang suatu masalah. Media massa juga lebih berpengaruh pada aktor-aktor yang berperan dalam kebijakan luar negeri karena terkait dengan popularitas aktor tersebut dalam tatanan politik lokal.

Informasi yang diterima oleh elit pembuat kebijakan akan mendorong perubahan pada sikap publik yang selalu memperhatikan perkembangan yang ada, secara bertahap akan berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap masalah-masalah luar

22 Teuku May Rudy, Perspektif Komunikasi Internasional dan Media Humas Internasional, (IKAPI-PT Refika Aditama, Bandung: 2005), h. 128-129. 23 Kegley and WittKopf, American Foreign Policy, h. 316-318. Agenda Setting dan Gatekeeper juga telah dibahas dalam dalam buku yang ditulis oleh Mohammad Sholehi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, (Simbiosa Rekatama Media, Bandung: 2009), h. 10. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa Agenda setting adalah pemilahan dan penonjolan isu tertentu yang dilakukan oleh gatekeeper dalam media massa. Gatekeeper terdiri dari beberapa pihak, diantaranya penerbit majalah, editor surat kabar, manager stasiun radio siaran, produser berita televisi, produser film, dan lain-lain. Pada umumnya, stasiun televisi juga memiliki tim Quality Control (QC) untuk menyeleksi isi pesan komunikasi.

12

negeri. Hal ini didukung oleh pernyataan James Rosenau yang menyatakan bahwa sistem politik di AS banyak dipengaruhi oleh pendapat masyarakatnya sendiri.24

Pada saat yang sama, elit pemerintah menggunakan media massa untuk mengarahkan cara pandang publik.25 Jadi, media massa masuk dalam proses pembuatan bahkan implementasi kebijakan luar negeri lebih dari sebagai sumber dimana kebijakan didapat dan dikeluarkan sebagai mesin penggerak yang menghasilkan keputusan dan cara untuk menyikapi kebijakan luar negeri, baik bagi elit politik maupun bagi kelompok penekan.

Dalam hubungan antara aktor politik dan masyarakat, media massa dapat dijadikan sebagai realitas ke dua, yakni dengan jangkauan yang luas dapat dijadikan komunikasi politik oleh pemimpin negara.26 Selain itu, keterlibatan media kepada masyarakat secara langsung melalui berita, dalam menciptakan realitas politik dapat dimanfaatkan sebagai konstruksi realitas. Media massa juga dipahami sebagai alat penyaluran pesan, sebagai sarana bagaimana pesan disebarkan kepada masyarakat.

Selain pemanfaatan media oleh aktor politik, persaingan antarmedia massa saat ini menjadi industri yang berunsur kapital.27 Artinya, media massa mau tidak

24 Kegley dan WittKopf, American Foreign Policy, h. 253. 25Ibid., h. 318. 26 Bahasan tentang realitas politik dalam konstruksi realitas dapat dilihat dalam Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. (Granit, Jakarta: 2004), h. 3-10. Dalam buku tersebut, Hamad menjelaskan bagaimana media massa membangun realitas politik melalui pemberitaannya, berita verbal maupun non-verbal merupakan realitas yang mengandung makna, sehingga berita politik merupakan realitas dan dapat dimaknai secara cermat. Dalam konstruksi realitas politik berarti bahwa media masa membangun kenyataan politik yang dipublikasikan kepada masyarakat pemerhati berita. Dalam buku tersebut juga menjelaskan bahwa konstruksi realitas politik oleh media massa belum tentu menggambarkan keadaan politik sebenarnya karena terdapat tujuan dan aktor dibalik kursi redaksi. 27 Herman and Chomsky, Manufacturing Consent, The Political Economy Of The Mass Media, (Patheon Books, New York: 1998), h. 1-35.

13

mau harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan, baik dari penjualan

(bagi media cetak), iklan maupun rating konsumsi masyarakat terhadap media tersebut. Dalam menyajikan peristiwa politik, pengaruh modal media massa akan lebih memperhatikan kepuasan masyarakat (pembaca/ pendengar dan pengiklan) sebagai pasar mereka dalam mengkonsumsi berita-berita politik.

Demi tujuannya, media yang tergantung oleh pasar juga secara otomatis mengontrol lebih mendalam atas semua agenda penyiarannya, yaitu mulai dari bahasa yang digunakan (tata bahasa), arah pembicaraan, agenda penyiaran

(agenda setting) serta pangsa pasarnya.28

E. Metoda Penelitian

Metoda penelitian yang akan dilakukan ini bersifat kualitatif. Penelitian yang penulis gunakan dalam menyusun skripsi ini adalah deskriptif, yaitu mengandung pengertian bahwa dalam melakukan penelitian harus menjelaskan dengan menggambarkan permasalahan yang ada.29

Metoda kualitatif yang digunakan banyak mengandalkan pengumpulan data melalui buku, gambar visual, laporan dan website yang masing-masing mempunyai fungsi dan batasan.30 Mengacu kepada pengumpulan data tersebut, penelitian yang dilaksanakan ini mengandalkan data sekunder yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi berupa buku, berita dari media massa dan penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh pihak atau instansi lain. Melalui studi kepustakaan tersebut diharapkan dapat dipelajari mengenai konsepsi hubungan

28 Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. h.17. 29 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990), h.223. 30 John W. Creswell, Reseach Design Qualitative and Quantitative Approaches, (United Kingdom: Sage Publications, 1994), h.116-149.

14

pemerintah dan media massa pada masa implementasi kebijakan luar negeri.

Selain itu agar mengetahui bagaimana peran FNC dalam mengkonstruksi realitas politik terhadap publik AS pada saat invasi AS ke Irak 2003.

Dalam mengolah data yang ada, diferensiasi dua metoda yang berbeda antara “kualitas” yang merujuk pada segi “alamiah”, dan “kuantum” atau

“jumlah”, hal ini diartikan bahwa atas dasar itulah maka penelitian ini merupakan penelitian yang tidak mengandalkan perhitungan. Dengan kata lain, kuantitas atau angka yang ada pada data, cenderung fokus dan digunakan pada usaha mengeksplorasi sedetail mungkin melalui sejumlah contoh atau peristiwa yang dipandang menarik dan mencerahkan, dapat memberikan pemahaman yang mendalam, bukan luas.31 Karena itu dalam penelitian ini menggunakan metoda kualitatif yang memberi kesempatan pada ekspresi dan penjelasan yang lebih besar, dan data kuantitatif yang ditujukan agar dapat memberikan ruang pada penjelasan yang mendalam.32 Metoda kualitatif ini juga didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau perilaku yang dapat diamati.33

F. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Identifikasi Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Kerangka pemikiran

31 Lisa Harison, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana. 2007), h. 86. 32 Ibid, h.87. 33 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 3.

15

E. Metoda penelitian

F. Sistematika penulisan

Bab II Tinjauan Umum Fox News Channel (FNC)

A. Media Massa AS dan FNC

B. FNC Dalam Persaingan Antarmedia Massa di Amerika Serikat

C. Peliputan Perang Irak

Bab III Kebijakan Responsif AS Terhadap Irak Pasca-Tragedi 9/11

A. Munculnya Ancaman Irak Bagi AS

B. Kebijakan AS terhadap Irak

C. Invasi AS ke Irak

Bab IV Upaya FNC dan Pemerintah AS Dalam Membangun Opini Publik

Pada Masa Invasi Irak 2003

A. Upaya FNC Dalam Membentuk Opini Publik Pada Saat Invasi Irak 2003

B. Upaya Pemerintah AS Dalam Menangani Media Massa di Medan Perang

Pada Saat Invasi Irak Tahun 2003

C. Dampak Upaya FNC dan Pemerintah AS Dalam Menbangun Opini Publik

Tentang Invasi Irak 2003.

Bab V Penutup

Kesimpulan

16

BAB II

TINJAUAN UMUM FOX NEWS CHANNEL (FNC)

Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum FNC di AS.

Pembahasan tersebut akan memberikan gambaran mengenai upaya FNC dalam membangun pandangan positif terhadap terhadap publik AS dan publik internasional yang terjaungkau oleh jaringan miliknya. Pembahasan ini akan terbagi menjadi beberapa bagian berdasarkan ruang lingkup yang dimiliki oleh media massa dan pemerintah AS. Lingkup media massa akan memberikan gambaran mengenai peran FNC dalam persaingan antarmedia massa di AS berupa upaya dan pengaruh yang dimilikinya dalam membangun pandangan publik pada saat invasi Irak 2003. Lingkup pemerintah akan memberikan gambaran mengenai upaya pemerintah dalam menangani media massa di medan perang, yakni melihat pengaruh yang dimilikinya untuk membangun pandangan publik yang positif terhadap invasi Irak 2003 dengan konstruksi berita dari media massa yang ditekan melalui kebijakan khusus terhadap media ketika meliput perang.

A. Media Massa Amerika Serikat dan Fox News Chanel (FNC)

Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem demokrasi. Sebagai negara demokrasi, yang paling utama dalam kehidupan bernegara di AS merupakan nilai-nilai kebebasan yang mutlak pada setiap individu.1 Dalam hal kebebasannya, media sebagai elemen informasi dalam negara AS menerapkan sistem yang didasari oleh konsep dan nilai liberalisme yang demokratis, yakni setiap individu bebas untuk menyatakan pendapat.

1 Jurnal Studi Amerika, Vol. VI Januari-Juli 2000, PKWA-UI Jakarta, h. 67.

17

AS baru dapat mengesahkan kebebasan berekspresi pada tahun 1791, yakni oleh kongres AS yang diajukan oleh James Madison.2 Kebebasan berekspresi tersebut didefinisikan menjadi tiga poin penting, hal ini dijabarkan pada tahun 1947 oleh Komisi Hutchkins (Commision on Freedom of The Press), yaitu sebagai berikut:3

1. Pers bebas merupakan pers yang bebas dari tekanan manapun, baik dari

pemerintah maupun sosial luar dan dalam. Namun hal ini tidak berlaku

ketika pers mendapat tekanan dari masyarakat yang hampir mati akibat

dari tekanan pihak lain. Tekanan lain yang dapat menghilangkan

kebebasan bagi pers itu sendiri terjadi juga ketika pers menyimpang ke

arah komersial dan tata usaha hingga akhirnya menjadikan prioritas

kepada pemilik modal.

2. Pers bebas merupakan pers yang bebas berpendapat dalam segala bentuk

yang merujuk pada pencapaian pelayanan. Pers harus memadukan apa

yang diharapkan oleh masyarakat melalui pencapaian yang

memungkinkan. Hal ini pers juga dituntut menguasai sumber daya teknis,

keuangan yang mantap, akses yang layak untuk mendapatkan dan

mengeluarkan informasi.

3. Pers juga harus bebas mengeluarkan apa yang harus diketahui oleh umum,

sehingga masyarakat dapat menghargai apa yang seharusnya mereka dapat

dari pers.

2 Wisnu B. Widjadjanto, “Hak Mengetahui Sebagai Wujud Kebebasan Pers di AS”, KWA (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992). h. 55-70. 3 “Hutchkins Commission (1947) Recommendations”, diakses pada 14 April 2011 pk. 19:43, dari http://www.cci.utk.edu/~bowles/Hutchkinss-recommendations.html.

18

Rekomendasi Komisi Hutchkins yang tertera di atas memang tidak secara tegas dan resmi didefinisikan untuk kalangan tertentu, namun tulisan tersebut memberikan acuan terhadap etika kebebasan pers di AS.4 Kebebasan pers di AS merupakan kebebasan yang tidak dapat dihalangi oleh kepentingan kalangan seperti pemerintah, kelompok masyarakat, pemilik modal, dan pers itu sendiri.

Media massa AS merupakan cerminan kompleks dalam perannya sebagai wadah kebebasan berekspresi, yakni media yang terdapat organisasi perusahaan pada tiap masing-masingnya sangat berperan untuk mengatur netralitas yang dimilikinya.5 Namun, dengan ciri yang kompleks tersebut, terdapat benang merah yang mencirikan suatu ikatan media massa di AS. Benang merah ini terdiri dari empat ciri umum6, yaitu: Pertama, media massa AS merupakan sebuah bisnis yang industrinya dimaksudkan untuk mencari laba dan keuangan secara sehat agar dapat tetap bertahan. Hal ini tentu akan terjadi pada seluruh media yang ada di

AS karena tidak ada subsidi dari pemerintah terhadap operasional dan redaksional media massa. Keuntungan media massa AS hanya berpaku pada iklan sebagai pendapatan utamanya serta dari penjualan surat kabar media itu sendiri. Di AS, media massa sangat menjamur sehingga menimbulkan persaingan antarmedia dan sulitnya bagi media untuk mendapatkan iklan. Mengingat media massa di AS terdapat sistem terbuka maka tak disangkal banyak juga media AS yang menggeluti berita sensasional.

Ke dua, pers AS merasa dirinya sebagai kepercayaan masyarakat untuk menjaga jalannya pemerintahan, sehingga peran media massa ditempatkan ke dalam lembaga keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ke tiga,

4 Widjadjanto, “Hak Mengetahui Sebagai Wujud Kebebasan Pers di AS”, h. 68 5 Ibid., h. 70-73. 6 Jurnal Studi Amerika, Vol. VI Januari-Juli 2000, PKWA-UI Jakarta, h. 67-68.

19

industri berita media massa pada umumnya tidak diatur secara resmi, tetapi terdapat persamaan nilai dan praktik yang menekankan pada pelayanan masyarakat. Peliputan dan publikasi berita tidak memihak pada satu opini dan adanya “check and balance” terhadap akses jurnalistik. Ke empat, tidak ada definisi baku tentang berita yang sifatnya universal diterima di mata masyarakat

AS. Dengan empat ciri umum seperti di atas, maka media massa di AS memiliki fungsi sebagai penyambung lidah dan wadah bagi masyarakat tanpa ada intervensi dalam mengungkapkan pendapatnya.

Pada dasarnya, masyarakat AS dapat menilai suatu fenomena yang terjadi tergantung publikasi berita.7 Hal ini terjadi karena media sering memberikan pandangan dan cara berpikir yang umumnya dapat diterima oleh masyarakat biasa. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat di AS yang percaya dengan kebebasan berpendapat serta independensi media massa yang begitu mutlak sehingga menganggap media sebagai sebuah wadah aspirasi baginya.8

Masyarakat AS secara umum mampu menggantungkan pandangannya pada media massa melalui pandangan berita yang dipaparkan oleh pemberitaan media massa.9

Dalam hal ini juga menjelaskan bahwa media yang terpengaruh dari suatu aktor yang memfokuskan berita dalam satu pandangan, maka akan terjadi juga pengaruh serta keseragaman pandangan antara media dan masyarakat.

Berkaitan dengan keseragaman pandangan melalui media massa, hal ini dapat dilihat dari keadaan yang terjadi di AS pada massa implementasi kebijakan invasi AS ke Irak 2003. Keseragaman pandangan mengenai suatu isu dapat dilihat juga pada mainstream media (media utama) yang dapat mengambil peran

7 Graber, Mass Media & American Politics, h. 3. 8 Ibid., h. 5. 9 Ibid., h. 7.

20

dalam membahas suatu isu menjadi menarik dan menjadi isu sentral yang dapat mempengaruhi suatu kebijakan dan pola pikir masyarakat.10 Nama media massa seperti Fox News Channel (FNC) muncul sebagai mainstream media yang sangat berperan dalam memainkan isu kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak 2003.11

Peran FNC tersebut mempengaruhi media lain dan masyarakat AS menjadi isu sentral hingga akhirnya semakin terarah.

Fox News Channel merupakan sebuah jaringan TV kabel dan satelit yang saluran beritanya berada di bawah naungan Group, yakni sebuah anak perusahaan (NC).12 FNC didirikan oleh Rupert

Murdoch sebagai pemilik atau chairman and chief executive dan Roger Ailes sebagai Pejabat Eksekutif Tertinggi atau Chief Executive Officer (CEO).13 FNC diluncurkan pada 7 Oktober 1996 dan berkantor pusat di New York, Amerika

Serikat, serta merupakan salah satu layanan berita yang disiarkan 24 jam dalam tiap harinya. Saluran FNC tumbuh pada akhir 1990-an dan 2000-an hingga menjadi jaringan TV kabel yang dominan di Amerika Serikat.

FNC merupakan media yang besar. Hal ini dapat dilihat dari kepemilikan media massa tersebut serta dari tujuan dibangunnya FNC oleh pemiliknya pada

10 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, (Jakarta: Granit, 2004), h. 11. 11 Mainstream media atau media utama merupakan media massa yang memiliki jangkauan sekala luas dan juga memiliki pengaruh pada tatanan masyarakat yang mengkonsumsinya. Hal ini dapat dilihat ketika Fox News Channel muncul untuk mendukung pemerintah Amerika Serikat hingga akhirnya dapat mempengaruhi masyarakat dalam menilai invasi tersebut. Lihat dalam Retna Christa, “Peran News Corporation dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Menginvasi Irak 2003“, diakses pada 01 November 2010 pk. 19:51, dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1207138150.pdf, h. 3. 12 News Corporation adalah perusahaan publik yang dipegang oleh . Didirikan pada tahun 1979 di Australia, perusahaan ini dipindahkan ke Amerika Serikat pada tahun 1980. 13 Lawrie Mifflin “At the new Fox News Channel”, artikel ini diakses pada tanggal 30 April 2011 pk. 20:13, dari http://www.nytimes.com/1996/10/07/business/at-the-new-fox-news- channel-the-buzzword-is-fairness-separating-news-from-bias.html.

21

saat pertama kali diluncurkan. Rupert Murdoch membangun FNC untuk bersaing langsung dengan media massa ternama seperti Columbia Broadcasting System

(CBS), National Broadcasting Company (NBC), dan American Broadcasting

Company (ABC) serta Cables News Network (CNN) pada tingkat internasional.14

Jaringan FNC menawarkan delapan belas jam pada hari kerja, mencakup berita di seluruh dunia, serta politik, bisnis, dan berita hiburan.15 FNC memiliki

28 acara TV yang diunggulkan dalam tiap penyiarannya. Seluruh acaranya disiarkan ke seluruh dunia dalam bobot yang sama, yakni siaran yang ditampilkan di negara lain berdasarkan apa yang disiarkan di AS. Hal ini dapat dilihat di 62 negara jangkauan FNC.

Bagan A.1 Acara TV Unggulan dan Jangkauan FNC Acara TV Jangkauan Fox & Friends Argentina Malaysia America's Election Headquarters Australia Maladewa America's Newsroom Bahama Meksiko Happening Now Bahrain Belanda The Live Desk Barbados Selandia Baru Studio B Belize Nigeria Your World Bermuda Norwegia Special Report with Kamboja Pakistan The Kepulauan Cayman Palau The O'Reilly Factor Cile Panama Hannity & Colmes Kolombia Peru On the Record Kosta Rika Papua Nugini Red Eye w/ Republik Dominika Filipina The Journal Editorial Report Finlandia Portugal Fox & Friends Weekend Yunani Rusia The Cost of Freedom Grenada Arab Saudi Fox News Live Weekend Guam Singapura Weekend Live Guatemala Saint Kitts The Beltway Boys Hong Kong Saint Lucia Fox News Watch Islandia Saint Vincent Huckabee Indonesia Spanyol

14 Robert Lenzner dan Globe Staff, “Murdoch, Partner Plan 4th Network”, diakses pada 03 April 2011 pk 20:21, dari http://nl.newsbank.com/nl-search/we/archives. 15 “Fox News Channel”, diakses pada 06 April 2011 pk. 20:43 ,, dari http://www.newscorp.com/management/foxnewschannel.html,

22

Fox News Sunday Irlandia Slovenia Geraldo At Large Swedia War Stories Italia Thailand Hannity's America Jamaika Trinidad & Tobago Kazakhstan Tonga Kyrgyzstan Uni Emirat Arab Lebanon Britania Raya Macau Venezuela Sumber: http://foxnews.com, (data diolah oleh penulis)

Dalam pemberitaannya, pada dasarnya FNC dibuat secara independen dan tidak dipengaruhi oleh satu sama lain serta menolak segala publikasi berita yang bias.16 Namun, FNC disebut sebagai media pendukung pemerintah dari Partai

Republik.17 Hal ini diungkapkan oleh publik AS sendiri, bahkan publik dan media dari negara lain seperti dari Inggris yang menganggap, bahwa berita-berita yang dipublikasikan FNC sering mempromosikan kebijakan dari partai politik yang neokonservatif. Selain itu, bahkan lembaga survei media Pew Research

Center (PRC) di AS, menyebutkan bahwa FNC merupakan jaringan yang paling sering mendukung pemerintah AS di bawah kepemimpinan Partai Republik.18

16 Mark Memmott, “Fox news, people say allegations of bias unfounded” diakses pada 01 April 2011 pk. 20:41, dari http://www.webcitation.org/5uRTx6pMd. 17 Julia Day, “Murdoch praises Blair's 'courage'”, artikel ini diterbitkan oleh Surat Kabar Guardian pada 12 Februari 2003 dan diakses pada 16 April 2011 pk. 21:08, dari http://www.guardian.co.uk/politics/2003/feb/12/uk.iraqandthemedia. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa FNC (pembawa acara dan pemiliknya) adalah konservatif, terbukti dukungan yang dilakukan oleh Murdoch ketika adanya eskalasi isu penyerangan AS ke Irak atas isu terorisme melalui pernyataannya "We can't back down now – I think Bush is acting very morally, very correctly". Dalam artikel tersebut juga dijelaskan bahwa niat Blair semakin kuat untuk mendukung invasi karena statement Murdoch dianggap sebagai sebuah dorongan bahwa kebijakan pemerintah untuk melakukan invasi adalah sebuah tindakan yang sangat bermoral. Lihat juga artikel yang ditulis oleh Eric Alterman, “Fox Outfoxes Itself”, yang diakses dari http://www.americanprogress.org/issues/2004/07/b122948.html. Dalam tulisan tersebut menjelaskan bahwa pemilik Fox News Channel adalah seorang neokonservatif yang mendukung Bush untuk menginvasi Irak. Tulisan ini juga telah disinggung pada artikel yang ditulis oleh Eric Pfeiffer “Watching Robert Greenwald's "Outfoxed" with a MoveOn.org crowd at the Peace House”, diakses dari http://www.weeklystandard.com/Content/Publik/Articles/wcb.asp. 18 “Summary of Findings: Fox News Viewed as Most Ideological Network” diakses pada 19 April 2011 pk. 21:55, dari http://people-press.org/2009/10/29/fox-news-viewed-as-most- ideological-network/.

23

Bagan A.2 Pandangan Publik Terhadap Jaringan yang Berideologi

Sumber: www.people-press.org

Ungkapan dan survei seperti di atas memberikan gambaran, bahwa pandangan publik terhadap FNC telah banyak dipengaruhi oleh berita yang dipublikasikannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh kepemilikan FNC yang juga mempengaruhi berita yang dipublikasikannya sehingga berujung pada penilaian tersebut. Rupert Murdoch sebagai pemilik News Corps sangat berperan dalam menentukan berita yang akan ditampilkan oleh FNC serta media lain miliknya.19

Murdoch terkenal sebagai tokoh neokonservatif, sehingga serangkaian berita yang disajikan tidak lain adalah berisi tentang dukungan kebijakan invasi

AS ke Irak 2003. Hal ini dibuktikan dengan publikasi berita dari media cetak

19 Rupert Murdoch disebut sebagai orang yang berperan penuh dalam membuat dan mempublikasikan berita, seperti halnya yang dilakukan pada masa kampanye di AS tahun 2004. Lihat dalam Jacques Steinberg dan David Carr, “The 2004 Campaign: The News Media; Murdoch Is Said to Be Source of Post's Gephardt 'Exclusive'” diakses pada 17 April 2011 pk. 21:50, dari http://www.nytimes.com/2004/07/09/national/09post.html. Dalam tulisan tersebut, Murdoch sangat berperan dalam mengendalikan edit berita yang dipublikasikan pada 09 Juli 2004. Dalam tulisan tersebut juga menyebutkan tuntutan jurnalis NY Post mengenai anonimitas terhadap editor senior karena khawatir berita yang mereka publikasikan akan menjadi bias dan mereka akan kehilangan pekerjaan.

24

miliknya yang juga membahas dan mendukung invasi Irak, seperti pengumpulan empat puluh tanda tangan penulis opini majalah tersebut yang dilakukan William

Bill Kristol (editor majalah The Weekly Standard) untuk mendukung keterlibatan militer dalam invasi tersebut.20

Selain Murdoch yang berperan dalam pemberitaan FNC, Ailes sebagai

CEO tentu dapat memberikan instruksi kemana arah pemberitaan FNC akan dibawa.21 Secara historis, Ailes pernah menjabat sebagai konsultan politik bagi kandidat dari Partai Republik dari tahun 1960-an, dan 80-an. Pertama kali ia berperan dalam Partai Republik adalah sebagai penasihat kampanye Richard

Nixon untuk media pada tahun 1968. Kemudian ia menjadi seorang konsultan kampanye untuk Presiden Ronald Reagan pada kampanye akhir 1984. Pada tahun

1987 dan 1988, Ailes menjadi penasihat George H. Bush dalam pemilihan presiden di AS.

Dengan melihat alasan didirikannya FNC, serta melihat latar belakang

Murdoch dan Ailes, maka terlihat gambaran serta indikasi bahwa media tersebut memang mengacu pada segala kebijakan pemerintah dari Partai Republik.

B. FNC Dalam Persaingan Antarmedia Massa di Amerika Serikat

Media massa di AS merupakan industri media atau media industry yang sistem operasinya berunsur kapital.22 Aspek bisnis diperhatikan bahwa pemilik

20 Jumlah 40 tanda tangan tersebut merupakan data yang dapat diferivikasi dan dijadikan acuan untuk bukti dukungan opini publik terhadap invasi. Lihat dalam Christa, “Peran News Corporation“, h. 9. 21 Seth Ackerman, “Fox News Channel's extraordinary right-wing tilt”, diakses pada 26 April 2011 pk. 22:06, dari http://www.fair.org/index.php?page=1067. 22 Media massa mau tidak mau harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan, baik dari penjualan maupun iklan. Dalam menyajikan peristiwa, pengaruh modal media massa akan lebih memperhatikan kepuasan masyarakat (pelanggan dan pengiklan) sebagai pasar mereka dalam mengkonsumsi berita-berita. Lihat dalam Hamad, “Konstruksi Realitas Politik”, h. 10.

25

dan pengelola bercampur antara komersialisme dan idealisme dalam media massa.

Hal ini menjelaskan, bahwa media massa AS merupakan sebuah bisnis yang industrinya dimaksudkan untuk mencari laba dan keuangan, mengingat tidak ada subsidi dari pemerintah AS terhadap operasional dan redaksional media massa.

Media massa AS hanya berpaku keuntungan pada iklan sebagai pendapatan utamanya serta dari penjualan surat kabar media itu sendiri (bagi perusahaan media yang memiliki media cetak).

Media massa AS yang berunsur kapital semakin diperkuat dengan

Undang-Undang Komunikasi yang mengatur tentang penyelenggaraan jaringan informasi untuk digunakan dalam rangka penyebaran informasi.23 Federal

Communication Center (FCC) memperbaharui UU Telekomunikasi tahun 1934 untuk mempromosikan daya saing dan mengamankan media dari harga jual yang rendah serta meningkatkan pelayanan yang berkualitas tinggi untuk konsumen telekomunikasi Amerika. UU tersebut dikeluarkan pada tahun 1996 yang diekspektasikan kepada kekuatan ekonomi pemilik modal yang dapat memainkan sahamnya untuk membangun media massa yang sesuai dengan UU

Telekomunikasi tersebut. Adapun jaringan informasi yang ada dalam UU tersebut adalah:

1. Dibangunnya perusahaan komunikasi telepon (bell operating companies)

23 UU Komunikasi tahun 1996 mendorong penyebaran teknologi telekomunikasi secara cepat dengan teknologi baru, yakni penggunaan layanan TV kabel (satelit) dan internet melalui perusahaan yang bersaing pada tatanan tersebut. Lihat dalam “Information Technology (IT)”, diakses pada 04 Maret 2011 pk. 22:15, dari http://www.fcc.gov/Reports/tcom1996.pdf. Dari daya saing tersebut memicu perusahaan media untuk membangun media yang sesuai konsep dengan UU Telekomunikasi tersebut. Dibangunnya FNC oleh NC merupakan implikasi dari UU Telekomunikasi tahun „96. Persaingan dan kepemilikan media secara perorangan juga dibahas dalam Goodman dan Goodman, “Perang Demi Uang”, h. 195. Dalam tulisannya Goodman menjelaskan bahwa UU kepemilikan media massa tahun 1996 ini memudahkan bagi investor untuk membeli, memiliki bahkan membangun media massa di AS. Hal ini juga berimplikasi pada semakin banyaknya media yang terhimpun dalam satu perusahaan media besar.

26

2. Adanya lembaga penyiaran (broadcasting service)

3. Tersedianya jaringan telekomunikasi kabel (cable service). Bagian ini

merujuk pada no. 1, yakni telekomunikasi kabel ditanggung oleh

perusahaan yang membangun jaringan telekomunikasi telepon.

UU Komunikasi AS yang dikeluarkan tahun 1996 berimplikasi pada munculnya media FNC yang sesuai dengan tiga poin di atas tersebut. Setelah dikeluarkan UU Telekomunikasi tahun 1996 yang berimplikasi munculnya media massa baru seperti FNC, UU tersebut juga diperkuat dengan peraturan dari FCC yang dikeluarkan pada tahun 2003. Michael Powell sebagai ketua FCC mengalihkan media massa kecil atau media massa besar sekalipun agar masuk ke dalam satu kepemilikan melalui penjualan sahamnya.24 Pengalihan tersebut seperti halnya pembaharuan UU Telekomunikasi tahun 1996 yang ditujukan agar media yang terbentur masalah finansial dapat masuk ke dalam satu perusahaan media yang memiliki modal banyak.

Masuknya Clear Channel merupakan implikasi yang nyata dari peraturan yang dikeluarkan FCC tahun 2003 tersebut.25 Clear Channel masuk menjadi bagian dari News Corporations yang jelas pada saat itu dinilai sebagai perusahaan media pendukung invasi AS ke Irak. Masuknya Clear Channel tersebut dapat dijadikan corong oleh News Corporations.

Dalam pola penggunaan media di AS, media elektronik seperti TV, internet dan radio serta media cetak seperti surat kabar dan majalah merupakan

24 Eric Alterman, “Media Concentration: the Repudiation of Michael Powell” diakses pada 13 Februari 2011 pk. 22:30, dari http://americanprogress.org/issues/2004/07/b108399.html. 25 Goodman dan Goodman, Perang Demi Uang, h. 195-197.

27

publikasi utama yang digunakan oleh masyarakat AS.26 Hal ini terjadi karena masyarakat AS menganggap media-media tersebut dapat menceritakan pesan secara detail dan konteks yang penuh serta sesuai dengan yang dibutuhkan dengan masyarakat, seperti halnya sebuah perang yang lebih pantas diberitakan melalui media elektronik tersebut. Namun, dengan banyaknya media elektronik seperti yang disebut di atas, TV merupakan media elektronik yang paling banyak dikonsumsi oleh warga di AS dibanding media lainnya.27 Hal ini dapat dilihat pada konsumsi masyarakat AS yang menggunakan jaringan televisi sebagai media utama dalam mendapatkan berita.

Bagan B.1. Konsumsi Berita Televisi: 2000 Media Persentase Televisi Lokal 56% Nightly Network News 30% CNN 21% Fox News Cable 17% CNBC 13% MNSBC 11% ABC 4% Sumber: Graber (13 Juni 2000). Adaptasi dari Pew Research Centrer for People and the Press, “Television Sapping Broadcast News Audience,” http://www.peoplepress.org (data diolah oleh penulis)

Pada tahun 2003, media massa elektronik di AS bersaing untuk dapat menampilkan berita yang baik dan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat.28 Media-media tersebut terhimpun oleh enam perusahaan media massa raksasa yang masing-masing dari perusahaan memiliki media elektronik yang diandalkan. Hal ini membuktikan adanya persaingan ketat antarmedia massa di AS.

26 Ibid., h. 4. 27 Graber, “Television Sapping Broadcast News Audience,” diakses pada 14 Februari 2011 pkl. 15:30, dari http://www.peoplepress.org 28 Goodman dan Goodman, Perang Demi Uang, h. 104.

28

Bagan B.2. Enam Perusahaan Media dan Media Utamanya No. Perusahaan Media Massa FNC, HarperCollins, New York Post, Direct 1. News Corporations TV, Sun, dan 33 stasiun televisi lainnya NBC, CNBC, MSNBC, Telemundo, Bravo, 2. General Electric dan 13 stasiun televisi lainnya. AOL, CNN, Warner Bros., Time dan 130 3. Time Warner surat kabar dan majalah ABC, Disney Channel, ESPN, 10 stasiun 4. Disney televisi dan 29 radio, dan Hyperion CBS, MTV, Nickelodeon, Paramount 5. Viacom Pictures, Simon & Schuster, dan 185 stasiun radio Random House dan lebih dari seratus 6. Bertelsmann cabangnya, dan Gruner + Jahr dan 80 majalahnya Sumber: Amy Goodman dan David Goodman, “Perang Demi Uang”, 2005. (data diolah oleh penulis)

Pada Perang Irak 2003, media yang paling menonjol adalah FNC. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut, FNC memberikan pandangan yang berbeda dari media massa lainnya. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan naiknya rating FNC pada puncak klasemen tertinggi dibanding media massa lain yang di luar kepemilikan Murdoch.29 Selain itu majalah Guardian juga menyebutkan, bahwa

FNC mengalahkan rival utamanya CNN dan MSNBC.30

29 Murdoch mengungkapkan kebanggaan atas naiknya keuntungan media News Corporation melalui rating FNC yang mengalahkan saingan terberatnya (CNN). Menurutnya, naiknya rating tersebut bukan hanya karena berita real time, namun dengan membuat agenda setting tentang invasi Irak yang lebih besar, sehingga perhatian publik semakin besar dan terfokuskan pada berita tentang invasi. “Chairman Speech to Shareholders News Corporation Limited Annual Meeting”, diakses pada 14 Februari 2011 pkl. 01:11, dari http://www.newscorp.com/news. 30 Jason Deans, “Fox challenges CNN's US ratings dominance”, diakses pada 14 Februari 2011 pk. 05:38, dari http://www.guardian.co.uk/media/2003/mar/27/tvnews.iraqandthemedia.

29

Bagan B.3. Rating Media AS Tahun 2003 Menurut Guardian (CNN, FNC dan MSNBC) 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% CNN FNC MSNBC rating 39.30% 65.10% 37.90%

Sumber: “Fox challenges CNN's US ratings dominance” http://www.guardian.co.uk

Tingginya rating di atas terjadi karena FNC merupakan media yang beritanya sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat, yakni berita tentang invasi.31 Sejak adanya isu akan dilakukannya invasi oleh AS, FNC dan CNN menunjukan adanya persaingan dua media besar, sebagian besar masing-masing beritanya berisi tentang kebijakan invasi AS ke Irak.32 Dalam persaingan tersebut, kegiatan jurnalistik yang dilakukan CNN tentang invasi dilakukan lebih mengarah kepada upaya untuk menjaga eksistensinya dalam fenomena internasional dan perang. CNN juga terkesan ingin mengulang kejayaannya menjadi trend setter dan mainstream media, baik di AS maupun di seluruh dunia dengan menampilkan berita perang langsung dari lokasi.33 Seperti pada Perang AS dan Irak tahun 1991 serta Perang Serbia-Kosovo 1999, CNN hadir sebagai pemasok utama berita internasional.

31 Murdoch, “Chairman Speech to Shareholders” 32 Gustiana, “Peranan Media Massa”, h. 86. 33 Ibid., h. 87.

30

Selain dua media di atas, CBS, ABC, dan NBC diposisikan sebagai media pelengkap yang intensitas beritanya tidak terlalu menekankan tentang invasi AS ke Irak 2003.34 Dengan demikian, FNC yang beritanya lebih eksposif terhadap perang, dapat dijadikan sorotan utama publik AS dibanding CNN yang lebih menjaga eksistensinya saja serta CBS, ABC, dan NBC yang hanya sebagai media alternatif setelah dua media tersebut.

Dengan besarnya persaingan antarmedia massa di atas mengenai invasi, maka berpengaruh juga terhadap masyarakat AS sehingga berimplikasi pada pandangan tentang invasi menjadi positif. Hal ini dapat dilihat dengan naiknya opini publik yang terangkum dalam Gallup Polling pada Maret 2003.35

Bagan B.4. Dukungan Publik AS Terhadap Invasi Irak

Sumber: “Seventy-Two Percent of Americans Support War Against ” Gallup Polling tahun 2003.

34 “Fox and Big Media”, diakses pada 14 Februari 2011 pk. 06:03 , dari http://www.americanprogress.org/issues/2004/07/b122990.html. 35 “Seventy-Two Percent of Americans Support War Against Iraq”, diakses pada 26 April 2011 pk. 06:21 ,, dari http://www.gallup.com/poll/8038/SeventyTwo-Percent-Americans-Support- War-Against-Iraq.aspx.

31

C. Peliputan Perang Irak

Perang merupakan sebuah fenomena yang menarik seperti halnya sebuah kegiatan yang patut disimak oleh masyarakat melalui media massa yang meliputnya.36 Hal di atas dapat diistilahkan sebagai bad news is good news for mass media yang dimaknai bahwa berita buruk seperti perang sekalipun dapat dijadikan suatu tayangan menarik.

Dengan keadaan seperti di atas, maka dapat dilihat bahwa media dapat mengambil peran dalam pelaporkan hasil investigasinya di lapangan. Peran media tersebut berupa pengaruh terhadap masyarakat yang dapat menilai suatu fenomena yang dipublikasikan oleh media berupa opini publik.37 Namun, opini publik tersebut tidak terbatas pada penilaian masyarakat terhadap suatu fenomena, terkumpulnya pandangan individu dalam menilai juga dapat dijadikan bukti atau data yang kuat oleh kelompok tertentu termasuk pemerintah.

Dalam Perang Irak 2003, ada upaya oleh media yang menginvestigasi jalannya perang untuk mempengaruhi masyarakat dalam membentuk pola pikir masyarakat. Hal ini ditujukan untuk membentuk penilaian positif terhadap seberapa pantasnya invasi tersebut sesuai dengan pandangan media. Namun, upaya yang dimaksud dapat terbentuk secara alamiah yang sendirinya dilakukan media melalui kondisi di medan perang. Seperti yang telah dijelaskan oleh

Chomsky di atas tentang pengaruh media dalam membentuk opini publik, maka investigasi yang dilakukan oleh media dalam perang Irak tersebut juga sedikit

36 Lukas S. Ispandriano dkk, Media-Militer-Politik: Crisis Communication, (Yogyakarta: Galang, 2002), h 161-162. 37 Opini publik merupakan sebuah hasil opini individu-individu yang terikat dalam suatu kelompok kesepakatan yang diwakili oleh lembaga atau kelompok yang sesuai dengan norma yang berlaku pada suatu tatanan tertentu dan wilayah terhadap suatu masalah yang kontroversial. Lihat dalam Noam Chomsky, Politik Kuasa Media, terj., (Jakarta: Pinus Book Publisher, 2006), h. 51.

32

banyak mempengaruhi masyarakat internasional khususnya masyarakat AS dalam menilai jalannya perang. Hal ini dapat dilihat dari peliputan yang dilakukan media massa khususnya media AS.

Dalam peliputan saat Perang Irak berlangsung, pemerintah AS memberlakukan embedded journalism terhadap media massa.38 Pemberlakuan tersebut dilakukan terhadap seluruh jurnalis yang akan meliput invasi di Irak.

Terdapat enam ratus jurnalis yang mengikutsertakan dirinya bersama tentara untuk meliput dan mempublikasikan perang secara langsung. Sebagian besar jurnalis yang tergabung dalam operasi militer tersebut adalah dari media Barat sebanyak 90% dari jumlah keseluruhan.39 Hal ini menurut Victoria Clarke, juru- bicara Pentagon, merupakan suatu hal yang efektif guna melindungi jurnalis yang akan menampilkan perang yang dimotori oleh AS.40 Perlindungan ini juga dilakukan agar jurnalis yang ikut serta dalam aksi militer AS dan koalisi tidak dapat diserang oleh pihak lawan yang menganggap jurnalis sebagai musuh atau menjadi sasaran tembak oleh lawan.

Pemberlakuan embedded journalism yang diberlakukan oleh pemerintah

AS terhadap jurnalis dalam medan perang, menurut Goodman dan Goodman justru menimbulkan:41 Pertama, keterbatasan jurnalis untuk meliput Perang Irak dan sensor laporan berita. Hal ini terjadi karena jurnalis mau tidak mau juga membawa berita yang akan dipublikasikan merupakan berdasarkan dari satu pandangan karena pers yang meliput akan mengikutsertakan dirinya pada operasi

38 Embedded journalism adalah wartawan yang mengikut sertakan diri mereka ke unit militer. Lihat dalam Andrew M. Lindner, “Controlling The Media in Iraq”, diakses pada 23 Mei 2011 pk. 07:12, dari http://www.sociology.psu.edu/Control%20media.pdf. 39Ibid. 40 Chantal Escoto “Military, Media Benefit from „Embed‟”, The Leaf-Chronicle, 22 Juni 2003, diakses 09 Januari 2011 pk. 20:07, dari http://www.theleafchronicle.com. 41 Goodman dan Goodman, “Perang Demi Uang”, h. 215-216.

33

militer AS dan sekutu yang sedang bertugas. Hal ini juga sesuai dengan pandangan Dimitrova bahwa pemberlakuan embedded journalism akan terdapat komitmen yang terbangun secara alamiah dalam kondisi tertentu, yakni dibangunnya rasa saling percaya antara jurnalis dengan pihak militer sehingga semakin mudah untuk bekerja sama.42

Ke dua, keterbatasan waktu dan ruang untuk meliput. Hal ini berujung pada redaksi yang harus mempertimbangkan penyiarannya karena pembatasan waktu di medan perang berujung pada agenda setting. Artinya adalah keterbatasan tersebut mendorong redaktur untuk menyediakan berita hasil liputan meskipun berita tersebut tidak sesuai dengan standar penyiaran. Hal ini didasarkan karena seluruh media massa yang ada memiliki core interest yang berbeda-beda sehingga layak atau tidaknya suatu liputan yang akan dipublikasikan tergantung persepsi media tersebut. Selain itu, pembatasan tempat juga merujuk pada seluruh latar belakang peliputan sesungguhnya telah diatur sebelumnya oleh tentara yang diikutinya. Ke tiga, dari dua keterbatasan tersebut, maka jurnalis dibawa untuk sering bertindak tidak sesuai dengan independensi jurnalistik, hal ini sesuai Rekomendasi Hucthkins yang menunjukan bahwa jurnalis seharusnya bebas meliput dan menyampaikan hasil liputannya serta tidak dalam kontrol pihak manapun.43

Dalam melakukan operasinya, jurnalis dalam perang Irak juga mendapat tekanan dari militer AS, tekanan ini dilakukan terhadap jurnalis yang tidak berada dalam kontrol militer seperti halnya jurnalis yang melakukan embedded journalism. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kejadian yang dialami oleh jurnalis

42 Daniel Dimitrova, The Immediate News Framing of Gulf War II, dalam Television Coverage of the Iraq War, h. 25-29. 43 “Hutchkinss Commission (1947) Recommendations”

34

internasional di medan perang seperti penembakan bahkan pengeboman terhadap tempat para jurnalis bermukim dan melaporkan hasil liputannya.

Penembakan tentara AS tanggal 8 April 2003 terhadap Taras Protsiu, jurnalis Reuters dari Perancis dan Jose Couso, jurnalis Telecinco dari Spanyol di

Hotel Palestine, Baghdad, merupakan upaya AS untuk menahan arus komunikasi dari media yang tidak menyertai militer.44 Terbunuhnya Protsiu dan Couso merupakan upaya AS menutup informasi tentang invasi agar tidak terciptanya opini publik yang negatif tentang invasi tersebut mengingat Perancis adalah salah satu negara angota DK PBB yang menentang invasi.

Selain kasus di atas, upaya kontrol AS juga dilakukan terhadap media asing dari Timur Tengah agar tidak ada media besar yang menandingi media

Barat yang notabene sebagian banyak masuk ke dalam bagian militer ketika meliput perang. Hal ini terlihat seperti Aljazeera yang dibungkam mulai dari sebelum hingga invasi berjalan.

Bagan C.1. Pembungkaman Aljazeera oleh AS Perlakuan AS Terhadap Aljazeera Bulan/ Tahun 1. Seorang jurnalis Aljazeera yang meliput pertemuan antara November 2001 George W. Bush dan Fladimir Putin di Crawford, Texas, ditangkap oleh FBI karena kartu kredit yang digunakan dituduh berkaitan dengan Afghanistan. Jurnalis tersebut baru dibebaskan oleh FBI setelah diakui bahwa Aljazeera dan Al-Qaeda adalah organisasi yang berbeda. 2. Pesawat perang AS menjatuhkan dua bom masing-masing 08 April 2003 seberat lima ratus pon di biro Aljazeera di Kabul hingga hancur. Padahal titik kordinat telah diketahui AS yang sebelumnya telah diinstruksikan oleh salah satu wartawan Aljazeera. Hal ini dilakukan karena AS mengklaim bahwa kantor tersebut sebagai fasilitas informasi Al-Qaeda. 3. Di Basra, Irak. Militer AS menjatuhkan empat bom di hotel 2003 Sheraton. Hotel tersebut merupakan penginapan yang diketahui AS sebagai tempat mukim satau-satunya koresponden yang melaporkan mengenai kacaunya wilayah Basra. Kali inipun pihak Aljazeera telah melapor ke Pentagon untuk dilindungi dan meminta titik aman oleh tentara AS.

44 Budi Setyarso, “Rudal AS Bunuh Wartawan”, Harian Tempo, edisi 09 April 2003.

35

4. Seorang jurnalis Aljazeera yang melewati perbatasan Baghdad 04 Septermber diizinkan oleh marinir AS untuk masuk wilayah tersebut setelah 2003 menunjukkan kartu identitas. Namun setelah berjalan beberapa meter dari perbatasan tersebut, mobil yang ditumpangi junalis tersebut ditembaki hingga rusak parah. Meskipun tidak menimbulkan luka yang berarti, namun jurnalis tersebut tidak dapat melanjutkan aksi jurnalistiknya. 5. Di Nasiriya, Irak. Seorang jurnalis Aljazeera yang menempel September 2003 pada militer AS diancam akan dubunuh oleh Pasukan Pembebasan Irak anti-Saddam. Pasca ancaman tersebut, Komandan Marinir menolak turut campur dan melindunginya serta melarang jurnalis tersebut untuk tidak meliput pada saat perang. Jurnalis yang ketakutan itupun menuruti perintahnya. 6. Dewan Pemerintahan Irak pilihan AS melarang jaringan media November 2003 massa Aljazeera dan Al-Arabiyah untuk tidak meliput berita dari Irak selama dua pekan pada saat perang. Kedua jaringan televisi tersebut dituduh akan membangkitkan kekerasan politik bila berita yang disiarkan tidak sesuai dengan program penegakan demokrasi secepatnya di Irak. Sanksi dan larangan ini adalah pertanda buruk dari niat dewan berkenaan penegakan demokrasi secepatnya di Irak. Sumber: Amy Goodman dan David Goodman dan TEMPO Interaktif (data diolah oleh penulis)

Pembungkaman di atas merupakan bukti bahwa AS memiliki upaya untuk menciptakan dominasi arus informasi dari media Barat. Terlebih dengan adanya anjuran untuk menerapkan embedded journalism terhadap jurnalis yang meliput perang, sehingga tersendatnya arus informasi dari media asing yang tidak menyertai militer AS akan memudahkan jalan bagi AS untuk menciptakan opini publik.

36

BAB III

KEBIJAKAN RESPONSIF AS TERHADAP IRAK

PASCA-TRAGEDI 9/11

Dalam bab ini akan dibahas tentang kebijakan luar negeri AS terhadap Irak sebagai respon Pasca-Tragedi 9/11. Dengan pembahasan yang difokuskan pada relasi antara AS dengan Irak, maka bab ini akan memberikan gambaran bahwa kebijakan AS terhadap Irak merupakan sebuah hubungan yang patut dicermati.

Pembahasan dalam bab ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Dalam setiap bagiannya memiliki alur waktu dan cerita atau masalah yang berkesinambungan mengenai segala sesuatu yang dilakukan AS terhadap Irak. Alur waktu tersebut dimulai dari peperangan yang dilakukan oleh Irak pada masa kepemimpinan

Saddam Hussein, sanksi-sanksi yang diberikan AS terhadap Irak pasca-perang, sampai kepada bahaya Irak yang dianggap AS sebagai ancaman hingga akhirnya invasi ke Irak 2003 terlaksana.

A. Munculnya Ancaman Irak Bagi AS

Dengan runtuhnya gedung WTC dan Pentagon pada tahun 2001 serta

Pasca-Invasi AS ke Afghanistan, AS menuduh Irak berdiri di balik jaringan terorisme Al-Qaeda dan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya

Tragedi 9/11 di AS tersebut.1 Selain itu juga Irak dituduh sebagai negara yang

1 Richard M. Daulay, Amerika vs Irak, (Jakarta: Libri, 2009), h. 95

37

memiliki senjata pemusnah massal yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menyerang AS.2

Eskalasi ancaman Irak terhadap AS sebenarnya telah dianggap penting oleh AS sejak awal tahun 1970-an.3 Pada tahun tersebut merupakan awal mula

Irak mengembangkan ilmu dan teknologi serta membuat perhatian bahwa dengan teknologinya, Irak mengembangkan senjata biologi dan kimia miliknya. Hal ini merupakan bagian dari persaingan kekuatan militer terhadap Iran serta adanya keterkaitan dalam isu konflik antara Arab dan Israel.

Pengembangan teknologi dan senjata pada masa tersebut kemudian dibuktikan oleh Irak dalam perang terhadap Iran tahun 1980-1988. Irak membangun reaktor nuklir Tammuz I dan Tammuz II yang pada saat pengembangannya dibantu oleh Perancis serta menggunakan rudal yang berisikan bahan kimia dan biologi yang digunakan pada perang hingga memakan korban sekitar 10.000 korban dari pihak Iran.4 Di samping itu, Irak yang saat itu merasa perlu mengembangkan senjata biologinya menganggap kawasan Teluk dan Timur

Tengah memang harus ada kekuatan penyeimbang.5 Pada saat itu negara Iran dan

Kuwait adalah sebagai ancaman bagi Irak karena besarnya persaingan eksplorasi minyak di antara ketiganya.

2 “Iraq's WMD Programs: Culling Hard Facts from Soft Myths”, diakses pada 29 Maret 2011 pkl. 07:11, dari https://www.cia.gov/news-information/press-releases-statements/press- release-archive-2003/pr11282003.html. 3 Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan dan Ekonomi Dalam Invasi AS Ke Irak”, Jurnal Paradigma Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Volulme VII, Nomor 20, (Maret 2003), h. 30 4 Ibid., h. 31 5 Kawasan Timur Tengah terdapat berbagai kepentingan mendorong Saddam untuk megembangkan senjata dalam rangka mempertahankan negaranya. Semua dilatarbelakangi oleh kepentingan minyak Timur Tengah sehingga dikhawatirkan akan ada perebutan wilayah yang kaya akan sumber minyak. Lihat dalam “Kontroversi Senjata Kimia dan Biologi Irak”, Harian Kompas edisi 4 November 2003.

38

Jenis senjata yang berhasil dikembangkan oleh Irak pada saat itu berupa beberapa senjata yang dikategorikan dalam senjata yang paling berbahaya, yakni gas sarin dan gas VX.6 Senjata ini baru diakui oleh Saddam Hussein pada tahun

1990 yang pada saat itu disebutnya juga akan membakar Israel dan reaktor nuklir miliknya di Dimona, Gurun Negev, bila Israel berani menyerang Irak. Selain gas

Sarin dan gas VX di atas, Irak juga memfokuskan pengembangan senjata biologinya dari jenis Botulinium, Aflatoksin dan Anthrax.7

Sebelum Perang Teluk II melawan Kuwait tahun 1990, untuk pertama kalinya juga Irak mengakui, bahwa pengembangan senjata biologinya ditujukan untuk kekuatan militernya dan sudah dalam proses produksi.8 Pengakuan tersebut menyebutkan bahwa dimasukkannya bakteri biologi pada 166 bom dan 25 rudal balistik tipe Al-Hussein pada perang melawan Iran tahun 1980-1988 serta menggunakan senjata kimianya melalui Operasi Anfal ketika menghadapi suku

Kurdi pada Maret 1988.9

Untuk mengantisipasi agar Irak tidak menggunakan senjatanya yang sangat berbahaya tersebut, maka Dewan Keamanan (DK) PBB meresolusi Irak

6 Gas Sarin dan VX merupakan senjata yang dapat menyerang sistem saraf otak, senjata tersebut dimasukkan ke dalam rudal balistik. Lihat dalam Harmiyati, Dimensi Teknologi, h. 33 7 Botulinum adalah racun yang dikenal paling mematikan. Racun tersebut menyerang kemampuan sistem saraf untuk melepaskan asetilkolin yang menimbulkan kelumpuhan. Satu gram kristal toksin, bisa membunuh 1 juta orang; Aflatoksin merupakan racun yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus yang tumbuh pada kacang tanah, jagung, dan tumbuhan organik lainnya. Racun ini menyebabkan penyakit hati dalam manusia. Racun ini digunakan sebagai senjata dalam peperangan hayati; Anthraks adalah penyakit yang disebabkan bakteri yang disebarkan melalui bahan organik yang dimakan oleh hewan ternak yang kemudian dikonsumsi oleh manusia. Anthraks juga menimbulkan penghancuran sel dan menolak system kekebalan tubuh manusia. Lihat dalam “Weapon Mass Destruction (WMD)”, dikutip pada 22 Maret 2011 pkl. 21:310 dari http://www.globalsecurity.org/cgi-bin/texis.cgi. 8 “Kontroversi Senjata Kimia dan Biologi Irak”, Harian Kompas edisi 04 November 2003. 9 Choirul, “Perintahkan Pembunuhan Suku Kurdi”, diakses pada 18 April 2011 pkl. 19: 08, dari http://tempointeraktifinternasional.com.

39

No. 661 pada 6 Agustus 1990.10 Resolusi tersebut berisikan agar Irak mengembalikan kedaulatan Kuwait seutuhnya dengan meninggalkan dan tidak menyerang, dan larangan transaksi ekonomi terhadap negara-negara lain terutama dalam hal ekspor minyak.

Selain itu, pada tanggal 3 April 1992 DK PBB juga meresolusi kembali

No. 687 yang ditujukan untuk melucuti senjata kimia, senjata biologi, dan senjata balistik serta dikirimnya IAEA untuk memonitoring pelaksanaan dari pelucutan.11

Dalam hajat penghancuran tersebut, antara pihak inspeksi PBB dan pihak Irak sendiri melakukan kesalahan yang cukup fatal. Irak berusaha menyembunyikan kekuatan senjata pemusnah massalnya dengan melakukan penghancuran sepihak tanpa kontrol dari tim inspeksi PBB.12 Selain itu, Tim Inspeksi PBB juga diketahui terlibat dengan mata-mata di Irak untuk kepentingan Central

Intelligence Agency (CIA) dan Mossad yang jelas-jelas bukan bagian dari PBB.

Pada 8 November 2002, PBB mengeluarkan Resolusi No. 1441.13

Resolusi ini bertujuan untuk menghancurkan senjata pemusnah massal miliknya yang ditandai dengan kembalinya tim inspeksi PBB ke Irak. Hal ini didukung oleh

Inggris yang membenarkan tuduhan AS terhadap Irak yang tiada hentinya

10 Dengan meninggalkan Kuwait, Irak otomatis tidak akan menyerang Kuwait. Sanksi ekonomi ini juga dimaksudkan agar militer Irak melemah akibat menurunnya kekuatan ekonomi yang berimbas pada pengembangan program militernya. Selain itu, untuk mengganggu stabilitas politik pemerintahan, mengakhiri penyebaran senjata nuklir, dan mendapatkan konpensasi dari Irak terhadap negara lain. Lihat dalam Yusron Bahauddin Ambarry, “Penerapan Sanksi Ekonomi PBB Terhadap Irak dan Faktor Kegagalannya”, (Tesis Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2002), h. 19-23. 11 “UN Security Council Resolution 687, 707 and 715 and their implications for the termination all activities of nuclear proliferation-prone-And the law of the technical assessment”, diakses pada 13 April 2011 pkl. 18:41, dari http://nuclearweaponarchive.org/Iraq/andre/ISR.I-96- 06.pdf. 12 Nanang Pamuji, “Dilema Barat Terhadap Irak”, Harian Suara Pembaruan, edisi 13 Maret 2002. 13 “Resolution 1441 (2002)” Adopted by the Security Council at its 4644th meeting, on 08 November 2002, diakses pada tanggal 09 Januari 2011 pkl. 20:58, dari http://www.un.org/Depts/unmovic/new/documents/resolutions/s-res-1441.pdf.

40

didengungkan.14 Dukungan tersebut dilakukan Inggris dengan menyatakan secara tegas bahwa masalah senjata pemusnah massal Irak, Saddam Hussein dan rezimnya merupakan ancaman bagi ketenteraman dunia. Dalam dukungannya juga, pemerintah Inggris mendapatkan protes dari rakyatnya sendiri atas dukungan terhadap AS tersebut.15 Tony Blair sebagai Perdana Menteri disebut oleh demonstran bahwa Blair hanya ingin menguasai ladang minyak dan invasi yang dilakukan AS tidak seharusnya didukung oleh Inggris karena dianggap akan melukai orang-orang yang tidak berdosa. Meskipun demikian, pemerintah Inggris tetap mendukung invasi tersebut.16

Hubungan Inggris yang pro-AS tersebut sebenarnya dapat dilihat melalui sejarah antara 1945 dan tahun-tahun 1960-an. Sebagian besar orang Inggris masih percaya akan adanya suatu hubungan khusus antara Inggris dan AS dan merupakan inti sistem pertahanan Atlantik. Dalam tahun 1952, suatu tim yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang sangat berpengaruh di Inggris menerangkan, bahwa Inggris masih merupakan suatu kekuatan dunia dengan kepentingan-kepentingan vital di luar Eropa.17

Kembali ke masalah invasi, untuk membenarkan invasi ke Irak, AS menyebutkan bahwa masa kosongnya Irak selama empat tahun dari pengawasan

14 Nur Agustina, “Studi Atas Dukungan Inggris Terhadap Invasi Amerika Serikat Atas Irak Maret 2003”, (Tesis Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Hubungan Internasional Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2007), h. 21-27. 15 “Anti-war protests under way”, diakses pada 09 Mei 2011 pkl 20:05, dari http://news.bbc.co.uk. 16 Dukungan pemerintah Inggris juga sebenarnya menjadi pembicaraan hangat di Parlemen. Hal ini terjadi karena Tony Blair sebagai PM Inggris dari Partai Buruh justru lebih terlihat mengarahkan kebijakannya terhadap partai Konservatif Inggris. Dalam tulisan “Studi atas dukungan Inggris..”, Agustina menjelaskan bahwa Blair tidak dapat di berikan impeachment oleh parlemen karena Blair merupakan pemimpin dari partai Buruh yang menjadi partai mayoritas di Parlemen. Lihat juga “British Conservative Party denounces Bush Blair relationship” diakses pada 30 April 2011 pkl. 21: 08, dari http://www.bbc.co.uk. 17 Luhulima, C. P. F., Eropa Sebagai Kekuatan Dunia: Lintasan Sejarah dan Tantangan Masa Depan, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992), h. 85.

41

tim inspeksi PBB 1998-2002 memberikan isyarat yang cukup serius, bahwa Irak mengembangkan aktivitas nuklirnya.18 Namun tidak adanya Tim Inspeksi PBB empat tahun di Irak menyulitkan pengawasan perkembangan nuklir di Irak.

Selain itu, AS menyebutkan bahwa Irak sejak 1998 terdapat aktivitas di dekat instalasi nuklir Tuwaitha dan dibangunnya kembali infrastruksur serta pengelolaan uranium sehingga meningkatkan usaha untuk membeli bahan komponen pengelolaan tersebut.19 Irak disebut oleh AS telah membeli uranium dari negara-negara Afrika dalam jumlah yang besar, padahal Irak pada saat itu tidak memiliki reaktor nuklir yang sedang dioperasikan.

Dengan adanya tuduhan yang dilontarkan AS terhadap Irak pada saat itu, setidaknya memberikan gambaran atas sikap AS yang berlebihan atas dugaan awal yang belum jelas buktinya. Dari sini AS dapat dinilai memang sengaja membuat perhitungan terburuk jika senjata pemusnah massal Irak terbukti ada.

Hal ini menyangkut juga dengan kehati-hatiannya dalam menilai suatu negara pasca-Tragedi 9/11.

Tuduhan-tuduhan yang ditunjukkan oleh AS seperti di atas justru memperlihatkan ambisinya untuk menyerang Irak. Dengan adanya tuduhan tersebut, Irak pun merespon dengan suatu tindakan yang positif dengan membiarkan tim inspeksi PBB masuk untuk menggeledah seluruh istana

Saddam.20 Dari kedua argumen masing-masing, akhirnya menunggu keputusan tim inspeksi PBB adalah kata yang tepat untuk menentukan pihak yang benar meskipun invasi tetap saja terjadi.

18 “Senjata Nuklir Antara Isu dan Fakta”, Harian Kompas, edisi Senin 4 November 2002. 19 Ibid. 20 “Tim PBB Kembali Periksa Istana Saddam Hussein”, diakses pada 15 April 2011 pkl. 04:28 , dari http://www.korantempo.com/news/2003/1/16/Internasional/36.html.

42

Dengan demikian, meskipun tim inspeksi PBB belum tuntas menentukan kebenaran yang terjadi di Irak, namun AS telah mempersiapkan untuk menyerang

Irak.21 Pada 18 Februari 2003 AS mempersiapkan, seratus ribu tentaranya untuk dimobilisasikan di Kuwait. Dengan persiapan tersebut justru mendorong Perancis sebagai negara angota tetap di DK PBB untuk menolak invasi dengan mengajak

AS untuk berunding.22 Namun AS tetap bersitegas menginvasi Irak dan tidak mengindahkan penolakan Perancis tersebut. AS justru meyakinkan seluruh masyarakat dunia bahwa AS memang sangat terancam oleh Irak melalui senjata yang dituduhkan AS meskipun belum jelas bukti-buktinya.

B. Kebijakan AS terhadap Irak

Irak adalah negara yang memiliki luas 167.924 mil/segi berbatasan dengan

Iran di sebelah timur, sebelah utara dengan Turki, Suriah dan Yordania di sebelah barat serta di sebelah selatan berbatasan dengan Arab Saudi dan Kuwait. Islam yang mendominasi pada tiap penduduk Arab di Irak terbagi menjadi dua, yakni

Syiah dan Sunni. Selain itu di sebelah utara ditempati oleh suku Kurdi yang beraliran Sunni. Kaum Syiah merupakan golongan terbesar yang sebagian besar tinggal di sebelah tenggara negara Irak.23

21 “U.S. has 100,000 troops in Kuwait” diakses pada 15 Mei 2011 pkl. 06:11 , dari http://articles.cnn.com/2003-02-18/world/sprj.irq.deployment_1_mckiernan-troops-commander- of-coalition-forces?_s=PM:WORLD. 22 Lihat dalam Andrea Piyanto, “Hubungan Amerika Dengan Perancis Kian Memburuk” Harian Koran Tempo, edisi 19 Maret 2003. Dalam tulisan tersebut menjelaskan bahwa hubungan Perancis dan AS menjadi tidak harmonis karena Perancis menolak invasi. AS menganggap Perancis menghalang-halangi maksud baik invasi tersebut. Hal ini merupakan implikasi dari penolakan AS terhadap perundingan yang akan digelar pada 16 Maret 2003 di Perancis yang juga akan dihadiri oleh Jerman dan Rusia. Dalam agenda pertemuan tersebut, Perancis akan memberikan mandat agar AS tidak melakukan invasi. Namun, pembatalan ini juga diperkuat dengan statement Jean David Levitte (dubes Perancis untuk AS) karena mengetahui sebelumnya bahwa apabila pertemuan terjadi, maka yang akan dibahas oleh AS adalah memberikan hukuman bagi perancis karena telah menolak invasi AS dan sekutunya. Pernyataan tersebut diberikan oleh Paul Wolfowitz dan Donald H. Rumsfeld. 23 Sihbudi, “Irak-Profil Negara-Negara Timur Tengah”, h. 53.

43

Irak mengandalkan perekonomiannya pada sektor pertanian serta minyak yang dijadikan komoditas utama ekspor oleh Irak. Irak merupakan penghasil minyak terbesar ke dua setelah Arab Saudi. Penghasilan minyak Irak mencapai

8% dari seluruh akumulasi yang ada di dunia, serta terdapat cadangan sebesar

7,3% dari minyak dunia.24 Namun demikian, kekayaan minyak Irak yang begitu melimpah belum dioptimalkan oleh negara tersebut secara mandiri. Hal ini ditandai dengan masuknya perusahaan-perusahaan minyak asing yang memiliki kemampuan teknologi lebih lanjut di Irak seperti Exxon Mobil, Shell, Total,

China National Petroleum Corp., Edison International SpA, BP dan Eni SpA.25

Dengan diketahuinya Irak sebagai negara yang kaya akan minyak, maka tidak mengherankan bahwa Irak merupakan salah satu negara terpenting di kawasan Timur Tengah. Hal demikian terbukti sejak kebijakan Eisenhower

(presiden AS tahun 1940-an) yang diterapkan pada tahun 1954 di Timur Tengah.

Dalam kebijakannya ditegaskan bahwa Timur Tengah harus terlepas dari pengaruh Uni Soviet.26 Hal ini merujuk pada upaya AS menjaga tanah terkaya dan agar AS dapat menanamkan pengaruhnya di kawasan tersebut dan juga agar tidak dibayangi dari musuh besarnya pada pasca PD II atau saat Perang Dingin.

Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein sejak tahun 1979 dikenal sebagai negara yang dipimpin oleh seorang diktator, hingga pers barat menamai dirinya sebagai manusia paling berbahaya atau Hitler Abad XX.27 Beberapa

24 Jimmi Heriyanto, “Tetap Diperlukannya Kehadiran Militer AS di Irak Pasca Saddam Hussein: Keberadaan Minyak Di Timur Tengah Kekayaan Minyak Di Irak”, (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, 2009), h. 56. 25 Ibid., h. 68. 26 Elba Tamhuri, Dibalik Invasi AS ke Irak, (Jakarta: Senayan Abdi Publishing, 2003), h. 41. 27 Lihat dalam Ibnu Hamad, Dunia Timur Tengah Dalam Pers Barat, (Jakarta: Granit, 2005), h. 68. Dalam tulisan tersebut, Hamad menyebut majalah The Washington Post sebagai

44

julukan tersebut memang terlihat sangat subjektif terhadap Saddam, namun demikian citra negatif inilah yang berdampak dari beberapa kasus yang telah dibuatnya. Seperti Saddam yang menghebohkan dunia dengan Perang Teluk I

(Irak-Iran) 1980-1988 maupun pembantaian suku Kurdi di Kurdistan tahun 1990, serta agresi Irak terhadap Kuwait pada awal 1990-an. Pandangan tentang buruknya Saddam juga muncul karena Saddam menganggap wajar pembantaian terhadap suku Kurdi pada masa perang terhadap Iran.28 Pembantaian tersebut dianggapnya wajar karena suku Kurdi membela pasukan Ayatullah Khomeini dan memerangi pasukan Saddam.

Irak di bawah kepemimpinan Saddam sangat memperjuangkan Partai

Ba’ath untuk membangun kekuatan jangka panjang dengan mengakselerasikan perjalanan negara pada pertumbungan ekonomi yang cepat dan mengusahakan kebijakan kepemimpinan sekuler dan modernisasi.29 Dengan memperjuangkan sasaran nasionalnya berupa unifikasi bangsa Arab di bawah kepemimpinannya,

Saddam Hussein tak segan menggusur segala hambatan yang ada di Timur

Tengah. Hal ini terlihat pada saat Irak menyerbu Iran yang dipicu ketika pembendungan revolusi Islam Irak oleh Iran di kawasan Timur Tengah 1980-

1988.30

Dalam hubungan terhadap AS, Irak melalui kepemimpinan Saddam terlihat sudah saling berhubungan meskipun tidak ada hubungan yang sangat fundamental. Pada 22 September 1980 saat Saddam baru duduk di bangku

representator dari pers barat yang memandang tentang buruknya Saddam Hussein sebagai pemimpin negara Irak. 28 Riza Sihbudi, “Bara Timur Tengah (Islam, Dunia Arab, Iran)”, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991), h. 135-138. 29 “Profil Saddam Hussein” diakses pada 15 April 2011 pkl. 14:34, dari http://www.thefamouspeople.com/profiles/saddam-hussein-95.php. 30 Harmiyati, “Dimensi Teknologi”, h. 31.

45

presiden, Irak menyerbu Iran dengan rencana merebut kemenangan di Khuzistan dan mengalahkan tentara-tentara Iran di bawah komando Ayatullah Khomeini.31

Pada penyerangan tersebut, AS mendukung Irak dan beranggapan Saddam telah melakukan hal yang benar karena menyerbu negara yang menyandera warga AS.

Pada hubungan yang terlihat sangat mendukung tersebut, pada bulan

Maret tahun 1990 Irak malah menghapus kepercayaan AS dengan terbukti adanya penyerangan tentara Irak terhadap 50.000 orang suku Kurdi di Halabjah dengan senjata kimia.32 Hilangnya kepercayaan AS ini dipicu karena Irak menyalahgunakan pinjaman kredit yang telah diberikan AS malah untuk membeli senjata dan pengembangan militer, bukan untuk latihan intelejen yang sebelumnya disepakati.

Hubungan AS dan Irak terlihat semakin buruk ketika Irak menyerbu

Kuwait pada 2 Agustus 1990. Merespon agresi yang dilakukan Irak, AS di bawah perintah Presiden Bush Sr. juga mengirim tentaranya bersama pasukan koalisi guna mengusir tentara Irak yang ada di Kuwait pada 24 Februari 1991.33

Kecaman AS terhadap Irak tersebut juga diiringi dengan pembekuan aset kekayaan Irak dan Kuwait yang bernilai milyaran dollar.

Pada masa pemerintahan Bill Clinton, hubungan antara AS dan Irak tidak mengalami perubahan secara signifikan. AS yang terlihat responsif dari kediktatoran Saddam sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari setiap kebijakan Saddam. Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya kebijakan Dual

31 Lihat dalam Jack Colhoun, “How Bush Becked Iraq”, Middle East Report (May-June 1992), h. 35. Dalam laporan tersebut juga menjelaskan tentang hubungan baik antara AS dan Irak. Pemberian program bantuan kredit bank angsuran untuk ekspor-impor serta pelatihan dinas intelejen Irak dan penghapusan Irak dari daftar negara teroris (pada zaman Ronald Reagan 1982). 32 Ibid., h. 38. 33 Ibid., h. 39.

46

Containment Policy (penangkalan politik ganda) pada tanggal 24 Februari 1994 oleh Clinton untuk menahan bahaya Irak dan Iran di kawasan Teluk Persia.34

Menurut Martin Indyk (Dubes AS untuk Israel 2003) penjabaran politik ganda untuk Irak adalah netralisasi bahaya Saddam Hussein atas negara-negara tetangganya.35 Realisasi penerapan politik ganda yang ditujukan terhadap Irak saat itu merupakan proses pembasmian senjata pemusnah massal Irak serta sanksi ekonomi yang berkesinambungan di bawah legalitas PBB. Dengan kebijakan ini juga merujuk pada keinginan AS agar kekuasaan yang dimiliki Saddam Hussein melemah yang berakhir dengan lengsernya ia dari bangku kekuasaan sehingga tidak membahayakan di kawasan Timur Tengah.

Dengan adanya politik ganda AS pada tahun 1994, AS juga memberikan kebijakan dengan memperluas wilayah zona larangan terbang di Irak Selatan dari

32 derajat menjadi 33 derajat garis lintang sejajar.36 Kebijakan tersebut setidaknya mempersempit kekuasaan Saddam dari arah Selatan Irak dengan jarak jangkau tidak lebih dari 30 mil dari kota Baghdad. Dengan demikian pula mengurangi kekuasaan dan bahaya Saddam atas negara-negara tetangga di selatan

Irak yang juga kaya akan minyaknya.37

Untuk mengurangi kekuasaan Saddam Hussein di Irak, AS merasa tak cukup dengan penerapan penangkalan politik ganda saja. Naiknya George W.

Bush pasca-Bill Clinton membuat inovasi kebijakan AS terhadap Irak. Hal ini terlihat pada kebijakan AS untuk menyerang Irak pada awal Maret 2003.

34 Stephen C. Pelletiere, “Landpower And Dual Containment: Rethinking America’s Policy In The Gulf”, (US Army War College: Strategic Studies Institute, November 1999), h. 1-2. 35 Rahman, “Geliat Irak Pasca Saddam, Laporan Dari Lapangan”, Harian Kompas, Jakarta, Oktober 2003, h. 11. 36 Pelletiere, “Extraterritoriality” dalam “Landpower And Dual Containment”, h. 4. 37 Ibid.

47

Kebijakan AS dalam politik internasional yang terealisasi dalam kebijakan luar negerinya seperti invasi ke Irak merupakan perubahan secara signifikan pada era pergantian pemerintahan tersebut. Berbeda dengan Bush Sr., Bush Jr. diakui tidak memiliki pengalaman khusus dalam menata hubungan antarnegara, tidak seperti ayahnya yang berpengalaman di bidangnya.38 Bush Sr. pernah menjabat sebagai

Direktur CIA dan Duta Besar di RRC. Hal ini menunjukkan, bahwa adanya relasi secara multilateral terhadap negara lain dalam hubungan internasional.

Sementara itu, Bush Jr. tidak memiliki pengalaman diplomasi sama sekali sehingga tidak terlalu mementingkan penyelesaian suatu masalah melalui jalan perundingan.

Sebelum invasi, sebenarnya telah ada perundingan pada awal Juli 2002 yang dilakukan oleh Sekjen PBB Kofi Annan dan Menlu Irak Naji Sabri di Wina,

Austria.39 Pertemuan tersebut merupakan kompromi pelaksanaan resolusi DK

PBB No. 1284 tahun 1988 yang menyebutkan agar pengawasan terhadap Irak cukup hanya dengan memberikan laporan dari hasil pengawasan di Irak. Dengan adanya perundingan tersebut, baik Kofi Annan maupun Naji Sabri memiliki maksud agar invasi yang AS inginkan tidak terjadi dan mencabut sanksi perdagangan Irak. Namun, dengan kerasnya tekad AS untuk menyerang Irak serta ketidakinginan AS melakukan kompromi dengan pihak manapun menyebabkan perundingan tersebut gagal. AS juga menggagalkan perundingan tersebut karena apabila tetap melakukan kompromi maka kemungkinan akan berimbas pada batalnya invasi.

38 Dean, “Worse than Watergate-The Secret Presidency Of George W. Bush”, h. 27 39 “Menlu Irak dan Sekjen PBB Rampungkan Pembicaraan Hari Pertama” diakses pada 15 April 2011 pkl. 15:40, dari http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-a-2002-07-05-5-1- 85160897.html?moddate=2002-07-05.

48

Setidaknya terdapat poin penting yang dijadikan alasan kebijakan luar negeri AS pada masa G. W. Bush terhadap Irak tahun 2003 dikeluarkan. Menurut

Francis Fukuyama, ada tiga argumen rezim Bush untuk melancarkan perang terhadap Irak.40 Pertama, Irak dituduh memiliki senjata pemusnah massal dan dalam proses untuk menambahnya; ke dua, Irak terkait dengan Al-Qaeda dan organisasi teror lainnya; ke tiga, Irak adalah sebuah rezim diktator tirani yang harus dirobohkan sehingga rakyat Irak menjadi bebas.

Namun, dalam pandangan lain yang menyebutkan beberapa alasan kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak, antara lain:41 Pertama, runtuhnya Uni

Soviet dan berakhirnya Perang Dingin sehingga menjadikan AS sebagai satu- satunya negara hegemon terbesar dan tak tertandingi. Dengan hegemoninya, sehingga tidak ada lagi negara yang mampu mencegah dan menghalangi tindakan

AS mengintervensi negara lain.

Ke dua, keadaan ekonomi AS sebelum invasi ke Irak merupakan kekuatan terbesar ke dua setelah militer. Kekuatan tersebut diakui lebih besar dibanding

Uni Eropa dan Jepang. Selain itu, ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang terhadap AS membuat negara-negara berkembang enggan bertindak.

Sementara itu, pasar yang ada di AS merupakan tujuan ekspor utama bagi negara- negara lain.

Ke tiga, kemampuan militer AS merupakan kekuatan yang sangat besar di dunia dan cenderung meningkat meskipun Perang Dingin telah usai. Masa Perang

Dingin merupakan masa militerisasi antara kedua pihak, masing-masing pihak

40 Francis Fukuyama, After The Neocons: America at the Crossroads, (London: Yale University Press, 2006), h. 78-79. 41 Kenneth N. Waltz, “Globalization and American Power,” The Journal of National Interest, Number 59, Spring 2000., h. 31.

49

mengembangkan kekuatan militernya meskipun tidak digunakan langsung untuk perang. Namun masa Pasca-Perang Dingin, sebagian besar negara-negara yang terlibat menurunkan anggaran militernya yang berimplikasi langsung pada menurunnya kekuatan militer tersebut. Hal ini berbeda dengan AS yang terus meningkatkan kekuatan militernya dan menambah dana alat utama sistem senjata

(alutsista) negaranya.

Kebijakan luar negeri AS terhadap Irak saat itu telah jelas memberikan gambaran, bahwa Pasca-Tragedi 9/11 yang menimpa AS sangat kental diarahkan pada implementasi kebijakannya. Kenangan pahit Tragedi 9/11 tersebut hingga kini mempengaruhi segala kebijakan luar negeri AS di dunia pada tataran global dan Timur Tengah khususnya, serta terhadap beberapa negara yang memiliki jejak buruk yang dipandang AS mengancam keamanannya.

Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintahan Bush juga mendapat protes keras dari rival politiknya. Partai Demokrat yang ragu terhadap keabsahan segala tuduhan Bush terhadap Irak mempertanyakan apakah benar yang dituduhkan Bush terhadap Irak memang ada.42 Meskipun demikian, kebijakan ini tetap berjalan mulus karena banyaknya dukungan dari masyarakat AS sendiri yang menganggap bahwa invasi adalah jalan yang pantas diambil oleh AS melalui kebijakan Bush.

C. Invasi AS ke Irak

Penyelidikan senjata pemusnah massal oleh Tim Inspeksi PBB sejak tahun

2002 ternyata belum menemukan data yang valid dari indikasi yang disebutkan

AS. Namun hal ini tidak menyurutkan ambisi AS untuk menginvasi Irak, hingga

42 “Partai Demokrat: Bush Bohong”, Laporan dari New York pada 11 Juli 2003, diakses pada 20 April 2011 pkl. 20:19, dari http://www.gatra.com.

50

tepat pada 20 Maret 2003 invasi itu benar-benar terlaksana. Tim inspeksi yang pernah menemukan senjata rudal Al-Samoud pada 19 Februari 2003 di Irak ternyata dijadikan bukti oleh AS meskipun pada kasus sebenarnya rudal tersebut tidak berisi amunisi apapun.43

Ribuan tentara infantri AS yang siap menyerang kawasan teluk telah dikirim ke Irak sebagai pasukan khusus yang disiapkan untuk di kawasan gurun pasir.44 Selain itu, sejak Perang Teluk 1991 untuk pertama kalinya AS mengerahkan seluruh kekuatan militer secara lengkap yang diperkuat dengan pasukan gabungan negara-negara sekutu.

Dapat diprediksi militer Irak kalah jauh lebih cepat karena bila dibandingkan antara dua kekuatan masing-masing negara memang tidak imbang.

AS yang sangat kuat dengan senjata-senjatanya akan mudah memukul pasukan

Irak yang jelas persenjataannya sangat minim.45 Hal ini tentu dapat dilihat dari indikasi lemahnya perekonomian Irak pasca-diberlakukannya embargo sejak tahun 1991 sehingga tidak menutup kemungkinan berimplikasi pada melemahnya militer Irak.46 Pascaembargo tahun 1991, 78% tanah pertanian Irak tidak layak untuk pertanian. Kurang dari 0,4% hutan yang dapat dieksplorasi karena terbatasnya bahan pakan ternak, pupuk dan pangan. Produksi minyak Irak jatuh sebanyak 35% dari angka normal pada tahun 1992. Pada tahun 1993 Irak harus membayar ganti rugi kepada Kuwait hingga mengakibatkan inflasi setinggi

1000% dan menyebabkan warga Irak menjadi pengangguran sebanyak 50%.

43 “Tim PBB Segel Rudal Al-Samoud 2 Irak” diakses pada 20 April 2011 pkl 16: 09, dari http://www.gatra.com. 44 “U.S. has 100.000 troops in Kuwait”, diakses pada 19 April 2011 pkl 02:14, dari http:// cnn.com/ articles/2003-02-18/world/ 45 Sahal, “Perang Irak dan Dunia Hobbesian Amerika Serikat”, Harian Tempo edisi 30 Maret 2003. 46 Jonathan E. Sanford, “Irak: Past, Present, Future”, Report for Congress, 03 Juni 2003, diakses pada 20 April 2011 pk. 20:00, http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/crs/rl31944.pdf.

51

Sejak tahun 1994-1998 pendapatan perkapita Irak yang bertumpu pada eksplorasi

minyaknya hanya mencapai rata-rata US$680.000.000, berbeda jauh dibanding

tahun 1987 yang mencapai US$23.600.000.000. Hal ini memicu kemerosotan

ekonomi yang sangat jauh.

Pada perang tahun 2003, Irak hanya memiliki sejumlah 2600 tank buatan

tahun 1992-1998 berjumlah.47 Tank tersebut adalah tank buatan Cina dan Uni

Soviet berjenis T-53, T59 dan T-69 serta hampir seluruh tank dalam kondisi yang

tidak terawat. Kondisi ini diperparah dengan buruknya angkatan udara Irak yang

tidak dapat mengoperasikan pesawat tempurnya karena kekurangan suku cadang.

Irak diketahui hanya memiliki kurang dari tiga ratus pesawat dan beberapa

pesawat baru dengan pilot yang belum terlatih. Sebanyak 17.000 personel

angkatan udara Irak dapat menggunakan senjata dari darat dengan menggunakan

rudal yang tersisa hanya sebanyak 850 buah dan tiga ribu senjata anti pesawat.48

Hal ini tentu sangat berbeda dengan kekuatan militer AS yang jauh lebih kuat. AS

yang disebut sebagai negara adidaya memang tidak menganggap remeh Irak bila

benar negara tersebut memiliki senjata pemusnah massal.

Namun bila dihitung secara matematis, AS yang diperkuat dengan negara

koalisi serta dilengkapi dengan senjata canggih maka AS berada dalam posisi

yang sudah menang. Lihat bagan di bawah ini!

Bagan C.1. Perbandingan Persenjataan AS-Koalisi dan Irak Tahun 2003 AS-KOALISI IRAK Amunisi JDAM air-to-surface precision bomb Sterla-3 surface-to-air missile

47 “An Overview on Sale China's Arms” Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI Yearbook (1983 to 1997), diakses pada 05 Mei 2011 pkl. 05:11 , dari http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monograph_reports/MR1119/MR1119.appa.pdf. 48 “Pertimbangan Kekuatan AS dan Irak”, Harian Republika, edisi 19 Maret 2003.

52

JSOW air-to-surface precision bomb Sterla-2M surface-to-air missile GBU laser-guided bomb Sterla-1 surface-to-air missile GBU-28/27 “bunker-buster” bomb Roland surface-to-air missile “Daisy cutter” 15.000-pound bomb Anti-tank missile MK82 500-pound bomb FAW 200 cruise missile MK84 2.000-pound bomb Scud-B ballistic missile Thermobaric weapon Al Hussein ballistic missile Tomahawk/AGM-86 cruise missile Al Samoud ballistic missile Have Nap missile Scud missile launcher Maverick air-to-surface missile HARM anti-radar missile AIM-120 air–to-air missile Hellfire air-to-surface missile TOW anti-armor missile Stinger anti-aircraft missile Massive Ordnance Air Blast bomb (MOAB) Pesawat Bombers Mirage F1 fighter Cargo MIG-29 fighter Fighter/attack SU-25 plane Helicopters MIG short-range fighter Refuelling An-26 basic transport aircraft Special operation An-12 cargo plane Surveillance Helicopters Unmanned Aerial Vehicles Canberra PR Harrier GR7 Jaguar GR1 Nimrod R1 Tornado GR1 Tornado GR4 Tornado F3 Puma Helicopter VC 10 CIK Lynx helicopter Merlin helicopter Amphibious transport/dock ship Landing craft, air cushioned Kapal Laut USS Abraham Lincoln Zhuk patrol ship USS Constellation USS Kitty Hawk USS Harry Truman USS Theodore Roosevelt Carrier battle group ship Guided-missile launcher Guided-missile destroyer Attack submarine Guided missile frigate Amphibious assault ship Oiler Fast combat support ship Amphibious transport/dock ship Landing craft, air cushioned Kendaraan Tempur

53

M1A1 Abrams battle tank T-72 battle tank M2A3 Bradley fighting vehicle T-62 battle tank M6 Bradley linebacker PT-75 amphibious light Humvee BMP armored vehicles M109A6 Paladin howitzer AML-60 armored vehicles M270 multiple launch rocket EE-9 armored vehicles Patriot missile systeavenger Humveem ERC 90 armored vehicles Light Armored Vehicle Panhard M3 armored vehicles M88A2 Hercules Recovery BRDM-1 armored vehicles US Infantry weapons BRDM-2 armored vehicles Challenger II battle tank PSZH-IV armored vehicles Warrior combat vehicles BTR-152 armored vehicles Saxon armoured personnel carrier EE11 armored vehicles Saber reconnaissance vehicle OT-64 armored vehicles Land rover light truck M-60P armored vehicles SA-80 rifle Walid armored vehicles AS 90 Braveheart howitzer Multiple-rocket launcher ZSU-23-4-anti aircraft gun Iraqi infantry weapon Pasukan AS: 130.000 tentara Tentara Reguler: 350.000 orang Tentara Inggris: 28.000 tentara Tentara Rakyat: 150.000 orang Tentara Australia: 2.000 tentara Garda Republik: 80.000 orang Tentara Polandia: 200 tentara Fedayeen Saddam: 40.000 orang Garda Republik Khusus: 25.000 orang Dinas Keamanan Khusus: 22.000 orang Sumber: Coalition: US Defense Dept., British Ministry of Defense, Periscope, Jane’s Information Group, Australian Defense Ministry.

Sejak 5 Maret 2003, seluruh pasukan AS dan Inggris yang dipasang

sebagai pion perang sudah berdatangan sedikitnya 158.000 prajurit, yang terdiri

dari 130.000 dari AS dan 28.000 dari Inggris, semuanya berkumpul di Kuwait.49

Pasukan AS yang berjumlah sedemikian banyak dibagi menjadi beberapa

kelompok yang masing-masingnya berbeda posisi dan tugasnya. Pada pasukan

Marinir sebanyak 15.000, Divisi Infrantri III berjumlah 17.000, dan Pasukan Elit

Udara sejumlah 15.000 personel.

Pemerintah Kuwait yang khawatir akan dampak buruk dari peperangan

yang akan terjadi pada saat itu, mengupayakan dengan antisipasi kebijakannya.50

Pemerintah Kuwait menutup wilayah Kuwait Utara dan Laut Kuwait yang secara

49 “Pasukan AS Mewarnai Kuwait”, Harian Kompas, edisi 18 Maret 2003. 50 Ibid.

54

langsung berbatasan dengan Irak untuk kegiatan sipil negaranya. Selain itu pemerintah Kuwait memasang empat ribu tentara dalam negeri guna menjaga hal- hal yang tidak diinginkan dengan syarat tembak di tempat bagi siapapun yang dianggap mencurigakan. Para tentara tersebut juga bertugas menjaga beberapa tempat vital seperti pembangkit listrik dan ladang minyak milik Kuwait.

Pada hari pertama serangan AS ke Irak pada 20 Maret 2003, lebih dari

300.000 tentara dikerahkan dari kedua pihak. Peperangan dimulai dengan diluncurkannya bom-bom dari pesawat B-1, B-2, B-5, serta pesawat tempur F-117 di kota Basra Irak selatan.51 Selain itu, kapal-kapal induk dari Laut Merah dan

Teluk Persia membantu meluncurkan bom-bom berpresisi tinggi serta 24 rudal ke arah daerah pertahanan Irak.

Perang yang tidak seimbang tersebut akhirnya hanya berlangsung selama

22 hari. Pasukan koalisi pimpinan AS, akhirnya mampu menaklukkan Irak secara total dengan dikuasainya kota Baghdad tanpa perlawanan yang berarti. Jatuhnya ibukota Irak ke tangan tentara koalisi tersebut menyusul jatuhnya kota-kota strategis Irak: Umm Qasr, Basrah, Kirkuk, Mosul, dan Tikrit yang menyebabkan kehancuran yang parah.52 Selain itu, jatuhnya pemerintahan Saddam Hussein disimbolkan dengan perobohan patung pemimpin Irak tersebut di pusat kota

Baghdad pada Rabu, 9 April 2003.53

51 Ibid. 52 Warga Timur Tengah memprotes terhadap AS dan Inggris serta pasukan koalisi yang menyebabkan kehancuran di beberapa kota besar di Irak. Lihat dalam “Media fury at Iraq anarchy” diakses pada 16 April 2011 pkl. 11:25 , http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/2941897.stm. 53 “Iraqis, Marines Pull Down Saddam Statue” , diakses pada 29 April 2011 pkl. 06:40, dari http://www.foxnews.com/story/0,2933,83682,00.html.

55

Pada tanggal 1 Mei 2003, Presiden AS George W. Bush mendeklarasikan kemenangan pasukan koalisi pimpinan AS atas Irak.54 Dalam deklarasi kemenangan tersebut, Bush berkampanye bahwa rakyat Irak telah bebas dari ketiranian Saddam Hussein yang kejam. Menurut Bush, tanggung jawab AS terhadap Irak kemudian adalah ikut serta dalam pemulihan stabilitas Irak pasca- perang dengan membentuk pemerintahan Irak yang demokratis dan merekonstruksi Irak yang hancur total akibat perang tersebut.

Namun usaha AS dalam membangun kembali Irak yang telah hancur memperoleh tantangan dari rakyat Irak. Sebagian besar dari rakyat Irak tidak menyukai campur tangan asing terhadap urusan dalam negerinya. Pertentangan tersebut akhirnya menimbulkan konflik baru antara rakyat Irak dengan tentara koalisi hingga saat itu, yang mengakibatkan tentara AS dan Inggris merasa tidak nyaman berada di Irak.55 Hal ini terindikasi dari terciumnya tujuan AS dan

Inggris yang ingin memanfaatkan kehancuran Irak pasca-penyerangan sejak 20

Maret 2003 hingga 1 Mei 2003.56 Indikasi ini dapat dilihat dari pemanfaatan sumber minyak serta kompleks perkantoran Kementerian Perminyakan dan

Kementerian Dalam Negeri yang tidak dihancurkan dalam serangan bom di hari- hari pertama serangan udara pasukan AS.

Selain itu, tanggung jawab AS untuk merekonstruksi serta memulihkan stabilitas politik dan keamanan di Irak masih akan mendapat perlawanan dari

54 “Bush Declares Victory in Iraq”, diakses pada 09 Mei 2011 pkl. 21:40, dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/2989459.stm 55 Agustina, “Studi Atas Dukungan Inggris”, h. 71. 56 “The World After the War in Iraq”, diakses pada 25 Maret 2011 pkl. 10:31, dari www.marxist.com.

56

rakyat Irak.57 Hal ini disebabkan tumbuhnya gerakan-gerakan anti imperialisme baru yang menolak menetapnya AS di Irak.

Berbagai serangan sporadis gerilyawan Irak telah menewaskan tentara AS dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan melebihi total tentara AS yang tewas selama invasi yang dimulai sejak tanggal 20 Maret 2003. Selama invasi, Iraq

Body Count (IBC) melaporkan bahwa tentara AS yang tewas berjumlah 131 orang

(dari berbagai divisi), namun sejak deklarasi 1 Mei 2003 hingga awal Juli 2003, sudah 1.033 warga sipil yang tewas dan 141 tentara AS dan koalisi.58 Bahkan hingga April 2004, jumlah tersebut bertambah hingga mencapai lebih dari 10.000 korban sipil dan lebih dari 700 orang tentara AS dan sekutu yang tewas.59

Invasi AS yang tengah berlangsung hingga akhirnya Bush menyatakan kemenangan pasca-dirobohkannya patung Saddam Hussein semakin membuat daftar panjang perjuangan AS untuk menumpas terorisme seperti yang telah dituduhkan terhadap Irak. Hal ini menambah waktu AS untuk tetap berada di Irak karena invasi tersebut tidak hanya untuk menumbangkan kekuasaan Saddam

Hussein namun AS juga berniat untuk merekonstruksi Irak pasca-perang seperti yang telah dijanjikannya. Dalam memperpanjang waktu menetapnya AS di Irak, maka dibutuhkan usaha yang lebih untuk membuktikan bahwa adanya invasi AS di Irak memang harus terus terjadi dan terus dilakukan.

57 George Gruenthal, “on the Iraqi Patriotic Alliance” diakses pada 19 April 2011 pkl. 00:14, dari http://www.revolutionarydemocracy.org. 58 Iraq Body Count (IBC) merupakan organisasi yang berbasis di Inggris, didirikan oleh relawan untuk melacak kematian di Irak. Data-data diambil dari laporan media yang kemudian diperiksa silang, rumah sakit, kamar mayat, LSM dan angka resmi dari pemerintah bahkan menginvestigasi langsung korban perang. Lihat dalam “Iraq Body Count project”, diakses pada 18 Mei 2011 pkl. 14:30 , dari http://www.iraqbodycount.org. Lihat juga “Chilcot Inquiry Accused of Fixating on West and Ignoring Real Victims” http://www.guardian.co.uk. 59 Ibid.

57

BAB IV

UPAYA FOX NEWS CHANNEL DAN PEMERINTAH AMERIKA SERIKAT DALAM MEMBANGUN OPINI PUBLIK PADA MASA INVASI IRAK 2003

Dalam bab ini akan dibahas tentang analisis upaya FNC dalam membentuk opini publik pada masa invasi Irak 2003. Selain itu, pada bab ini juga akan dibahas mengenai analisis upaya yang dilakukan pemerintah AS dalam membangun opini publik melalui media massa di medan perang. Dengan melihat dari upaya masing- masing pihak antara FNC dan pemerintah AS, maka dalam bab ini juga akan dibahas tentang pandangan publik sebagai efek dari upaya kedua pihak. Analisis yang terdapat dalam bab ini menggunakan teori yang bertumpu pada teori-teori yang ada pada kerangka pemikiran di bab 1.

A. Upaya FNC dalam Membantu Pemerintah AS Melegitimasi Invasi Irak

Tahun 2003

Dibangunnya FNC pada tahun 1996 oleh Murdoch ternyata baru dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pandangan publik pada masa implementasi kebijakan luar negeri AS tahun 2003. Hal ini dapat dilihat pada tahun

2003, bahwa kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak mendapatkan dukungan berupa pandangan yang positif. Hal ini juga tidak lepas dari upaya masing-masing pihak antara FNC dan pemerintah AS yang berusaha membangun citra positif agar invasi

Irak 2003 tersebut dapat didukung oleh publik AS sendiri. 58

Dalam usaha membangun opini publik, FNC memberikan sudut pandang yang berbeda dari media massa lainnya, yakni pada saat eskalasi isu invasi serta saat implementasi kebijakan berlangsung, FNC mempublikasikan berita yang lebih mendukung perang. Pada saat tersebut, FNC menempatkan posisinya bukan sebagai watch dog yang mencari dan menonjolkan netralitas antara nilai negatif dan positif yang seimbang dari kebijakan invasi tersebut, namun lebih kepada pemunculan sisi positifnya saja. Dengan dimunculkannya pandangan yang berbeda tersebut juga ternyata dapat diterima oleh masyarakat AS bahkan aktor politik di negara lain. Hal ini berimbas pada dukungan dalam negeri yang besar dan dorongan dari negara lain hingga akhirnya invasi tersebut tetap terlaksana.

Besarnya upaya masing-masing pihak antara FNC dan pemerintah AS untuk membentuk pandangan masyarakat agar dapat membenarkan invasi ke Irak tersebut telah jelas dilatarbelakangi oleh aktor masing-masing kedua pihak. Pada hal ini bertitik tolak pada peran George W. Bush yang bertanggungjawab atas kedaulatan AS sehingga wajib baginya untuk menjaga stabilitas keamanan nasionalnya.1 Hal ini menjadi pijakan bagi Bush untuk melaksanakan kebijakannya yang pada saat itu menyebut Irak sebagai ancaman bagi AS karena dianggapnya memiliki hubungan dengan Al-Qaeda. Hal ini juga tidak semata-mata hanya karena Bush sebagai seorang presiden yang berasal dari Partai Republik yang suka berperang, namun lebih didasari oleh jejak buruk yang dimiliki Irak terhadap negara-negara yang dianggapnya musuh, seperti Kuwait dan Iran, sehingga Bush berusaha mengantisipasi

1 John G. Ikenberry, “America‟s Imperial Ambitions” dalam American Foreign Policy Theoretical Essay, Edisi ke-4, (New York: W.W. Norton dan Compagny, Inc., 2007), h. 575. 59

segala keburukan yang dimiliki Irak agar kejadian seperti Tragedi 9/11 tidak terulang kembali.

Selain Bush yang menjadi aktor penting dalam pemerintahan pada masa invasi tersebut, latar belakang kepemilikan FNC dan kontrol Roger Ailes sebagai seorang yang pernah berperan dalam Partai Republik dan juga sebagai seorang CEO di FNC ternyata berpengaruh pada dukungan terhadap invasi. Dalam hal ini, Ailes diposisikan sebagai pengarah berita dalam redaksi FNC. Hal ini sesuai dengan pemikiran Kegley dan Wittkopf yang menyebutkan, bahwa media melalui fungsinya dapat mengarahkan cara pandang masyarakat.2 Namun hal ini dianalisis bahwa berita

FNC yang dipublikasikan ke seluruh masyarakat dapat diartikan sebagai hasil olah berita oleh redaktur yang sangat berperan sebagai pengontrol kegiatan di ruang redaksi.

Naiknya dukungan opini publik AS melalui Gallup Polling3 terhadap kebijakan Bush merupakan hal yang sesuai dengan opini publik menurut E. Jackson

Baur yang dibuktikan dengan munculnya suatu pandangan melalui organisasi atau lembaga publik.4 Dalam hal ini dianalisis bahwa naiknya dukungan publik tersebut merupakan hasil dari kontribusi besar FNC yang secara intensif mempublikasikan isu invasi secara positif. FNC yang dikenal sebagai media konservatif dalam mendukung kebijakan pemerintah dari Partai Republik mampu menyearahkan pandangan publik

2 Charles W. Kegley dan Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and Process, Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991), h. 316-318. 3 Lihat Bab II bagan B.4. “Dukungan Publik AS Terhadap Invasi Irak”, h. 31 4 Jackson E. Baur, The Public Opinion Quarterly, Vol. 26, No. 2 (Summer, 1962), h. 212-226. 60

hingga akhirnya dapat terhimpun dalam suatu opini yang hasilnya berupa dukungan terhadap invasi.

Dengan hasil tersebut, FNC yang mendapatkan keuntungan dengan naiknya rating sepanjang awal perang berlangsung, menjadikan FNC sebagai mainstream media di AS.5 FNC diikuti oleh media lainnya sebagai tolak ukur tentang berita apa saja yang patut dan pantas dengan situasi sosial politik yang dibutuhkan oleh masyarakat AS. Dengan dijadikannya berita FNC sebagai tolak ukur oleh media lain, maka hal demikian diartikan bahwa dalam membangun pandangan positif terhadap invasi, FNC tidak bekerja secara tunggal. Dengan proses tersebut juga secara tidak langsung menggiring seluruh media untuk menjadikan berita menjadi seragam.

Keseragaman yang terjadi pada media massa saat itu tentu membawa pengaruh pada masyarakat AS yang percaya tentang netralitas seluruh berita dari berbagai media massa. Dengan demikian, maka keadaan tersebut membuat isu invasi AS ke Irak menjadi semakin dianggap penting karena sebagian besar media utama di AS juga membahas seperti yang dibahas oleh FNC.

Dengan transformasi informasi dari media seperti di atas, maka hal ini dapat mempengaruhi masyarakat melalui konsumsi media elektronik khususnya terhadap media TV oleh masyarakat AS yang cukup besar. Hal ini dipengaruhi oleh rating

FNC yang berada pada klasemen tertinggi serta keseragaman berita oleh media TV, dengan kondisi tersebut maka FNC dapat mengkostruksikan pandangan tentang sisi positif invasi terhadap masyarakat AS. Konstruksi pandangan tersebut dibangun

5 “Chairman Speech to Shareholders News Corporation Limited Annual Meeting”, diakses pada 14 Februari 2011 pkl. 01:11, dari http://www.newscorp.com/news 61

melalui proses kultivasi oleh masyarakat sesuai menurut Straubhaar, J. & LaRose, bahwa agenda setting yang dikeluarkan oleh FNC menjadikan isu tentang invasi sebagai hal penting yang menarik masyarakat AS untuk mengamatinya. Sehingga, suatu realitas politik dari pandangan yang dikeluarkan oleh FNC secara tidak langsung dapat berpengaruh pada opini publik masyarakat AS pada saat itu.

Keseragaman berita yang ada pada media besar di AS, menjadikan FNC dengan mudah mentransformasikan sikap dan nilai tentang invasi yang kemudian menyebarkan sikap serta nilai-nilainya kepada masyarakat AS dan internasional. Hal ini digunakan untuk menanamkan pandangan kepada masyarakat bahwa mayoritas masyarakat AS yang diwakili oleh media massa memandang bahwa hal yang sesuai dengan keinginan masyarakat AS adalah berperang melawan Irak untuk mengantisipasi segala bahaya yang didengungkan oleh pemerintah AS. Hal ini juga menunjukkan bahwa media massa khususnya FNC menginginkan sebuah homogenitas persepsi yang sama. Homogenitas persepsi yang terjadi pada media di

AS saat itu merupakan efek dari penyesuaian media massa selain FNC yang mau tidak mau harus mengubah pandangannya tentang invasi. Hal ini sesuai menurut

Ibnu Hamad yang menyebutkan, bahwa media massa mau tidak mau memikirkan unsur kapital agar dapat menyesuaikan atmosfer persaingan antarmedia di AS.6

Dengan menjadikan berita FNC sebagai acuan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada proses homogenitas persepsi tersebut terjadi hal yang cukup rumit.

Seperti halnya media massa CNN, CBS, NBC dan ABC yang dapat dinilai bahwa core interest-nya lebih kental ke arah liberal harus menyesuaikan pandangannya

6 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. (Granit, Jakarta: 2004), h. 17. 62

dengan apa yang terjadi di AS. Hal ini terjadi karena melihat rating FNC yang terus naik. Dengan keadaan tersebut, maka dapat diartikan bahwa atmosfer persaingan antarmedia yang dimenangi oleh FNC mendorong redaksi di setiap media massa yang core interest-nya lebih ke arah liberal menjadi ke arah konservatif yang mendukung invasi Irak tersebut. Hal ini juga terjadi karena media selain FNC yang lebih liberal tidak ingin mengalami kemerosotan dalam jumlah rating yang dalam persaingannya sudah jelas di bawah FNC, mengingat media massa AS selalu mengusahakan penanaman modal swasta dalam penyiarannya dan juga berimbas pada rating-nya.

Dengan konsumsi berita masyarakat AS yang lebih besar pada malam hari serta beberapa proses yang menghasilkan keseragaman berita oleh media massa di AS tersebut,7 maka tidak diragukan bahwa wacana dan tema yang lebih mendukung perang justru proporsinya lebih dominan pada saat berita malam. Hal ini sesuai dengan agenda setting menurut Kegley dan Wittkopf yang menjelaskan, bahwa media melalui agendanya mampu mengkondisikan cara pandang masyarakat AS.8

Dengan demikian, hal ini dianalisis bahwa agenda setting tersebut dapat dinilai sebagai berita positif terhadap invasi. Agenda setting yang ada dalam hal ini adalah agenda publikasi berita yang ditampilkan pada waktu prime time atau waktu utama konsumsi berita dari jam 05:00pm sampai jam 10:00pm pada tiga minggu awal invasi berlangsung.9 Hal ini juga dapat dilihat dari beberapa wawancara dan jajak pendapat

7 Steve Rendall dan Tara Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent”, Extra! May/June 2003 diakses pada 14 Juni 2011 pkl. 15:30, dari http://www.fair.org/index.php?page=1145 8 Charles W. Kegley and Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and Process, Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991), h. 316-318. 9 Rendall dan Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent”. 63

yang dilakukan oleh media massa AS pada masa invasi AS ke Irak sepanjang tahun

2003.

Bagan A.1. Publisitas acara berita malam utama selama perang Irak 2003 (CBS, ABC, NBC, FNC dan CNN). Narasumber Persentase/ Jumlah 1. Narasumber pendukung perang 64% 2. Narasumber antiperang 10% 3. Narasumber AS pendukung perang 71% 4. Narasumber AS yang antiperang 3% 5. Narasumber yang sedang dan yang pernah bekerja untuk pemerintah 63% 6. Narasumber dari kampus, kelompok pakar, dan organisasi non-pemerintah 4% 7. Narasumber pemerintah AS dari kalangan militer 68% 8. Jumlah pejabat atau mantan pejabat pemerintah yang tampil di televisi 840 orang 9. Jumlah aktivis antiperang 4 orang 10. Narasumber FNC yang mendukung perang. 81% Sumber: Steve dan Tara Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent,” Extra!, March-June 2003. http://www.fair.org/index.php.

Dengan bagan di atas, maka dapat dibuktikan bahwa keseragaman berita yang dipelopori oleh FNC sangat mengarah pada perilaku media yang mendukung invasi sehingga berimplikasi pada opini publik yang positif di AS. Dengan mayoritas pendukung perang yang muncul pada media massa di atas, maka narasumber diposisikan sebagai representator masyarakat AS yang menyampaikan pesannya, bahwa suara mayoritas saat itu saat itu adalah mendukung invasi Irak 2003. Seluruh publikasi berita malam di atas dipelopori oleh FNC pada empat hari pertama, kemudian media massa lainnya mengikuti seperti publikasi berita FNC setelah diketahui rating FNC terus naik melalui publikasi berita seperti di atas.10

10 Rendall dan Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent” 64

B. Upaya Pemerintah AS dalam Menangani Media Massa di Medan Perang Pada Saat

Invasi Irak Tahun 2003.

Invasi AS ke Irak tahun 2003 juga ternyata memberikan kompleksitas pada dunia jurnalistik. Praktik jurnalistik di medan perang, seperti invasi Irak 2003 membawa pergeseran pada nilai dasar kebebasan jurnalistik yang juga sebagai simbol kebebasan bagi negara demokrasi seperti AS. Pergeseran tersebut diakibatkan karena masuknya pihak external dari luar media yang membatasi kebebasan media dalam memperoleh informasi. Hal ini berbenturan juga pada nilai kebebasan yang merupakan suatu keharusan dimiliki oleh media massa yang pada saat itu sebagai representator dari seluruh publik untuk mengetahui dan mendapatkan informasi dari perang yang sedang berlangsung.

Pada masa berlangsungnya Perang Irak 2003, kecenderungan pembatasan praktik jurnalistik dilakukan oleh pemerintah AS. Pemerintah AS mencampuri urusan jurnalistik sehingga menimbulkan ketidakleluasaan jurnalis dalam menginvestigasi langsung di daerah yang seharusnya terdapat banyak infromasi penting dari berbagai sudut pandang. Dengan adanya saran untuk menyertakan praktik jurnalistik dalam tubuh militer perang, maka hal inilah yang menyita kebebasan yang dimiliki oleh media massa dalam menjalankan proses jurnalistik.

Jurnalis yang bergabung secara tidak langsung harus menyesuaikan segalanya terhadap yang dilakukan oleh militer. Seperti halnya beberapa contoh ungkapan jurnalis yang pernah bergabung dengan militer:

65

Bagan B.1. Ungkapan Jurnalis yang Menyertakan Diri Dengan Militer Pada Invasi Irak 2003 No. Jurnalis Media Ungkapan 1 Gordon Dillow Kolumnis, The Orange County Pertempuran di Baghdad Register begitu sengit hingga seringkali mariner memberiku senjata untuk digunakan kepada musuh yang bergerak ke arah kami. Aku tahu ini merupakan pelanggaran tertulis dan non-tertulis dalam etika jurnalistik, namun sejujurnya hal inilah yang membuatku nyaman 2 Rick Leventhal Koresponden, Fox News Channel Kami berpakaian sama (FNC). dengan mereka (marinir), kami makan dengan mereka, kami tidur bersama dengan mereka, dan kami menjadi bagian dari mereka. 3 Chuck Produser acara 48 Hours Proyek ini sangat keren. Stevenson Investigates di CBS News. Seperti Band of Brothers yang sungguh nyata. Aku sudah lama berhubungan dengan marinir, kini aku pernah mengikuti layanan mulia mereka. 4 Bob Arnot Koresponden, MSNBC dan NBC. Proses penyertaan ini adalah satu langkah terbaik dari militer Amerika dalam hubungan dengan mereka dengan pers. 5 John Burnett Koresponden, News Public Radio Sepanjang perjalanan (NPR) bersama marinir, aku tak bisa melepaskan perasaan bahwa kami adalah pemandu sorak. Kebanyakan dari militer yang kami sertakan mengenggap kami bukan 66

sebagai jurnalis yang netral, namun sebagai alat untuk menunjukkan prestasi dan kejayaan mereka. 6 Chantal Escoto Jurnalis, The Leaf- Chronicle. Aku bukan orang yang turut bertempur, namun aku siap mengangkat senapan untuk mereka atas komandonya jika perlu. Senapan tidak sukar digunakan, tinggal bidik dan tembak. Sumber: “Embedded/ unembedded I. (Dispatches: slices of the war)”, adaptasi dari http://goliath.ecnext.com (data diolah oleh penulis)

Dengan beberapa ungkapan para jurnalis di atas, maka penyertaan jurnalis terhadap tubuh militer terdapat penyesuaian yang mau tidak mau harus dilakukan oleh jurnalis. Hal ini menunjukkan bahwa adanya transisi perubahan etika jurnlistik yang sangat nyata karena terdapat pergolakan antara nilai jurnalistik dan jiwa nasionalisme para jurnalis yang menyertakan dirinya ke dalam unit militer.

Dalam penyertaan jurnalis dalam ini militer ini, dapat dilihat juga bahwa FNC yang memimpin klasemen tertinggi dalam persaingan antarmedia massa di AS ternyata tidak dapat berbuat banyak dalam perang yang sedang berlangsung. FNC hanya dapat diposisikan sebagai konstruktor ide pada tatanan informasi lokal di AS, namun dalam Perang Irak FNC tidak berbeda dengan media massa lain yang mendapat pengaruh dari pemerintah AS pada saat pengikutsertaan ke dalam unit militer.

Pada saat bergabungnya jurnalis dengan militer, maka secara tidak langsung militer juga dapat mengontrol jalannya peliputan di medan perang. Kontrol tersebut 67

dilandaskan pada alasan keamanan dan keselamatan jiwa jurnalis.11 Dengan alasan itulah maka militer dapat memberikan instruksi kapan dan dimana jurnalis dapat meliput. Selain itu, dengan penyertaan praktik jurnalistik pada militer tersebut maka jurnalis akan tertanamkan jiwa patriotismenya, sehingga sedikit banyak pihak militer akan mempengaruhi jurnalis, khususnya dari Barat untuk membela bahkan menganggap bahwa perang ini adalah sebuah kebenaran.12 Hal ini dapat diartikan sebagai pengaruh psikologis pada jurnalis sendiri yang juga menjadikan rasa dilematis antara tugas jurnalistik yang seharusnya lebih netral atau justru malah membela pihak militer yang menyerang lawan demi kepentingan nasional AS.

Dengan masuknya saran pemerintah dalam praktik jurnalistik di medan perang bukan semata-mata menutup ruang gerak jurnalis dalam meliput secara keseluruhan, namun pemerintah AS hanya ingin membatasi ruang gerak agar jurnalis yang masuk ke medan perang Irak berada dalam kontrolnya.13 Hal ini sesuai menurut pemikiran Vandana tentang pengendalian politik. Dalam pengendaliannya terhadap media massa, pemerintah AS dapat memainkan perannya sebagai aktor penting untuk mengatur alur perang yang sesuai dengan pandangannya.14 Namun, hal ini dianalisis bahwa alur perang ini tidak seperti mengatur skema penyerangan dan kontak senjata terhadap pihak Irak di medan perang secara langsung, tetapi lebih diorientasikan pada pengaturan informasi yang nantinya ditransformasikan kepada masyarakat banyak.

11 Jules Crittenden, “Embedded Journal: „I went over to the dark side”, pointer online, laporan jurnalis di medan perang, 11 April 2003, diakses pada 2 Mei 2011 pkl. 11:16, dari http://poynteronline.org/content/content_view.asp.id=29774. 12 Amy Goodmandan David Goodman, Perang Demi Uang, (Profetik, Jakarta, 2005.), h. 215. 13 Michael wolff, “The Media at War”, New York 11 Agustus 2003, diakses pada 29 Juni 20011 pkl. 11:30, dari www.newyorkmetro.com/nymetro.news/media/features/n_9067.html. 14 Vandana A., Theory of International Politics, (Vikas Publishing, New Delhi: 1996), h. 78. 68

Jadi, dengan informasi yang dimiliki oleh media massa yang sebelumnya telah dikontrol oleh pihak militer, maka pemerintah dapat memberikan pandangannya sesuai wacana perang yang diinginkan. Dengan kata lain, bahwa seburuk apapun perang berlangsung maka akan di-counter oleh pemerintah melalui publikasi berita media massa yang tentunya akan menampilkan dari sisi positif perang tersebut.

Dengan adanya kontrol terhadap media massa tersebut, dalam publikasi berita ke masyarakat AS dan masyarakat internasional yang menjangkau dari jaringan media massa dari AS, maka pemerintah AS terlihat lebih menghadirkan sudut pandangnya. Pemerintah AS terlihat ingin memberikan arus keluar masuknya informasi yang dijangkau oleh seluruh media AS di seluruh dunia berdasarkan arahannya. Hal ini dianggap sebagai sebuah manipulasi karena dalam proses pengumpulan informasi tersebut juga sudah terdapat campur tangan militer AS untuk mengatur setting waktu dan tempat bagi jurnalis dalam meliput. Selain itu, disebutnya juga sebagai sebuah manipulasi karena sesuai menurut Arie Indra Chandra bahwa berita yang diliput dan dipublikasikan oleh media massa dikonstruksikan demi kepentingan nasionalnya yang juga ditujukan untuk dunia luas atau hanya kelompok- kelompok kecil tertentu yang terpengaruh oleh media massa khususnya mayarakat

AS sendiri.15 Dengan konstruksi pandangan tersebut, seperti yang telah dijelaskan oleh Kj. Holsti bahwa hal ini dapat dinilai sebagai sebuah propaganda yang sengaja

15 Arie Indra Chandra, ”Peran media massa sebagai pencipta realitas kedua dalam politik global”, dalam Yulius P. Hirawan, ed., Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional, (Graha Ilmu, Fisip Unpar-Bandung: 2007), h. 239-240. 69

memang dibangun AS tentang invasi Irak terhadap dunia internasional demi kepentingan nasionalnya.16

Selain kontrol terhadap medianya sendiri, kontrol pemerintah AS juga sangat terlihat dalam beberapa kasus yang telah terjadi dalam lingkup kegiatan jurnalistik.

Pembungkaman terhadap media internasional selain media dari AS sendiri juga dilakukan oleh pemerintah AS, yakni pembunuhan terhadap Taras Protsiu jurnalis

Reuters dari Perancis dan Jose Couso jurnalis Telecinco dari Spanyol di Hotel

Palestine, Baghdad. Pembunuhan tersebut berupa pengeboman yang ditujukan kepada jurnalis yang tidak mengikutsertakan kegiatan jurnalistiknya pada militer.

Hal ini sangat menunjukan bahwa AS sangat ingin menghadirkan homogenitas pandangan melalui media yang ikut serta dalam militernya saja. Dengan kata lain AS memiliki rasa khawatir terhadap media internasional lainnya akan mempublikasikan berita dari pandagan lain bahkan berita buruk tentang invasi. Hal lain yang mengindikasikan rasa khawatir ini adalah diketahui juga bahwa Taras Protsiu merupakan jurnalis yang berasal dari Perancis yang juga sebagai salah satu negara penolak invasi serta Reuters yang berasal dari Inggris yang jelas pada saat berlangsungnya invasi, Inggris merupakan salah satu negara yang warganya paling banyak menentang terhadap invasi tersebut.17

Selain dua media asing di atas, pemerintah AS juga sangat ingin menutup pandangan media Timur Tengah terhadap invasi Irak tahun 2003, yakni dengan

16 KJ Holsti, Politik Internasonal Suatu Kerangka Analisis, (IKAPI-Binacipta, Bandung: 1992), h. 168 17 “The Largest Protest in Human History”, diakses pada 16 Juni 2011 pkl. 18:14, dari www.guinnessworldrecords.com 70

beberapa kasus yang menimpa Aljazeera yang jelas dilakukan oleh pemerintah AS.

Beberapa kasus yang menimpa Aljazeera tersebut merupakan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah AS baik secara fisik maupun hambatan administratif. Hal ini merupakan bukti, bahwa pemerintah AS terlihat tidak ingin adanya media tandingan sehingga membuat arus komunikasi internasional tidak terlalu variatif dalam penyampaian berita invasi. Dengan kata lain, arus informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat hanya berasal dari publikasi media barat yang memang telah diatur oleh pemerintah AS.

Dengan adanya tekanan dan hambatan terhadap media tandingan dari Timur

Tengah tersebut, pemerintah AS juga menunjukan, bahwa pihaknya menginginkan kuatnya arus informasi pada saat itu tetap berasal dari media di bawah kontrolnya sehingga menimbulkan dukungan atas invasi yang dilakukannya. Dengan demikian, meskipun sebelum invasi memang terdapat negara yang tidak mendukung terhadap kebijakan AS tersebut, namun pemeritah AS juga sangat jelas menginginkan invasi tersebut tidak diprotes oleh negara lain bahkan oleh rakyat AS sendiri hanya karena akibat dari publikasi media yang menceritakan tentang invasi Irak 2003 tersebut dari pandangan lain.

C. Dampak Upaya FNC dan Pemerintah Dalam Mentransformasi Pandangan

tentang Invasi Irak 2003 terhadap Publik Inernasional.

Dalam informasi internasional, peran FNC justru tidak terlalu berpengaruh terhadap dukungan invasi AS ke Irak. Upaya FNC dalam membangun opini publik internasional di seluruh negara jangkauannya tidak dapat diterima secara langsung 71

sebagai suatu hal yang positif. Hal ini menunjukkan adanya suatu pembelajaran dan penyesuaian nilai pandangan suatu negara dalam memandang berita invasi dari sudut pandang FNC. Seperti halnya Perancis yang menolak invasi tersebut tidak hanya memandang isu invasi dari sisi ancaman terhadap AS, namun lebih mengarah kepada sisi legalitas Dewan Keamanan PBB yang menganggap bahwa invasi hanya boleh dilakukan terhadap negara agresor dan lebih mengutamakan jalannya perundingan demi menjaga sisi nilai multilateral yang tertanam dalam PBB.18

Meskipun seluruh acara FNC dapat menjangkau ke 58 negara, namun publikasi tersebut tidak seluruhnya mempengaruhi publik internasional. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya protes yang justru muncul dari publik internasional agar invasi AS ke Irak tidak terjadi berkepanjangan. Protes ini terjadi karena pada invasi tersebut, masyarakat internasional memandang lebih ke arah sisi kemanusiaan terhadap korban warga sipil di Irak, bukan hanya dari sisi kepentingan AS dalam mengantisipasi bahaya dan ancaman yang ada di Irak.19 Protes terhadap invasi tersebut juga dilakukan agar AS tidak melakukan invasi ke Irak dalam jangka waktu yang lama, seperti halnya demonstrasi di Inggris yang menyebutkan, bahwa invasi tersebut tidak menutup kemungkinan akan ada pemanfaatan ladang milik minyak Irak oleh AS.20 Hal ini juga semakin diperkuat bahwa telah diketahui terdapat tujuan AS dan Inggris yang ingin memanfaatkan kehancuran Irak pasca penyerangan sejak 20

Maret 2003 hingga 1 Mei 2003. Tujuan tersebut dihubungankan dengan pemanfaatan

18 “Maneuver Cantik Monsieur Chirac”, Harian Tempo edisi 24 April 2003 19 “Thousands join U.S. anti-war march” diakses pada 20 Mei 2011 pkl 17:15 WIB dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/. 20 Lou Posner, “No Blood For Oil”, diakses pada 21 Mei 2011 pkl. 19:10 WIB dari http://www.votermarch.com. 72

sumber minyak serta komplek perkantoran kementerian perminyakan dan

kementerian dalam negeri yang tidak dihancurkan dalam serangan bom di hari-hari

pertama serangan udara pasukan AS.21

Dengan publikasi berita yang dipelopori oleh FNC serta dominasi dari media

barat pada masa invasi berlangsung justru terdapat protes dari dunia internasional.

Setidaknya terdapat protes dari seluruh penjuru dunia yang menolak invasi AS ke

Irak tersebut.

Bagan C.1. Protes anti Invasi Irak 2002-2003 No. Tanggal Demonstrasi, Kota/ Negara Pra-Invasi ke Irak 1 12 September 2002 1000 demonstran berkumpul menolak invasi di depan gedung PBB, Amerika Serikat. 27 September 2002 150.000 demonstran menolak invasi sebagai respon pasca dukungan Tony Blair (PM Inggris) terhadap invasi, London, Inggris. 02 Oktober 2002 1.000 demonstran menolak invasi pasca ditandatanganinya resolusi, , Amerika Serikat 07 Oktober 2002 3.000 demonstran berkumpul saat pidato Bush di Cincinnati Museum Center, Amerika Serikat. 26 Oktober 2002 100.000 demonstran menolak invasi, AMerika Serikat 31 Oktober 2002 150 demonstran menolak invasi dan menolak dukungan Inggris terhadap AS, di Brighton, Manchester , Glasgow dan London, Inggris. 09 November 2002 Sejuta demonstran dari forum sosial Eropa menolak invasi di Florence , Italia. 16 & 17 November 1.000 demonstran berkumpul di Queen Park di Toronto, Kanada, menolak 2002 invasi dan menyebut AS hanya ingin menumbangkan Saddam Hussein demi minyak, dan mendorong PBB untuk berperan demi meredam keinginan invasi oleh AS. 16 Januari 2003 Jutaan demonstran yang tersebar antara lain di Turki, Mesir, Pakistan, Jepang, Belgia, Belanda, Argentina, dan Amerika Serikat menolak invasi ke Irak. 18 Januari 2003 Jutaan demonstran menolak invasi yang tersebar di Tokyo, Moskow, Paris, London, Dublin, Montreal, Ottawa, Toronto, Cologne, Bonn, Gothenburg, Florence, Oslo, Rotterdam, Istanbul dan Kairo. 15 Februari 2003 Jutaan orang protes dari 800 kota di seluruh dunia. Guinness Book of Records mencatat sebagai protes terbesar dalam sejarah manusia, protes terjadi antara lain di Inggris, Italia, Spanyol, Jerman, Swiss, Irlandia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Afrika Selatan, Suriah, India, Rusia, Korea Selatan, Jepang, dan bahkan McMurdo Station di Antartika. Mungkin demonstrasi terbesar hari ini terjadi di London, dengan sampai satu juta demonstran berkumpul di Hyde Park, speaker termasuk Pendeta

21 “The World After the War in Iraq”, diakses pada 25 Maret 2011 pkl. 10:31 WIB dari www.marxist.com. 73

Jesse Jackson, walikota London Ken Livingstone , dan pimpinan Liberal Demokrat, Charles Kennedy. Sebuah demonstrasi besar, juga dihadiri oleh sekitar satu juta orang yang berlangsung di Barcelona . 08 Maret 2003 Demonstrasi menolak invasi terjadi oleh tiga pawai terpisah sebanyak 10.000 demonstran berkumpul di Manchester Town Hall, Inggris. 15 Maret 2003 Demonstrasi di Spanyol dan Italia menunjukkan beberapa tingkat partisipasi terbesar terhadap pro-perang sikap pemerintah mereka, dengan lebih dari 400.000 pemrotes di Milan, lebih dari 300.000 di Barcelona membentuk rantai manusia, dan lebih dari 120.000 di Madrid, juga berlangsung di Seville, Aranjuez, Palencia, dan di Kepulauan Canary. 16 Maret 2003 Ratusan ribu demonstran berkumpul sebanyak 10.000 protes di Paris. 100.000 protes di Berlin, sekitar 20.000 protes di Athena, 10.000 orang berbaris di Tokyo, dan puluhan ribu di Washington, DC. Ribuan demonstran lainnya juga berbaris di kota-kota di seluruh dunia termasuk di Bangkok, Seoul, Hong Kong, Amman, Chicago, Calcutta, Melbourne, Christchurch, Dunedin, Paris, London, Portsmouth, Leeds, York, Exeter, Newcastle upon Tyne, Frankfurt, Nuremberg, Zürich, Copenhagen, Stockholm, Nicosia, Monaco, Santiago de Chile, Havana, Buenos Aires, Moscow, Seattle, San Francisco, Los Angeles, Atlanta, Vancouver, Halifax, Ottawa, dan Toronto, serta kota-kota di Yaman, Turkey, dan wilayah Palestina. 19 Maret 2003 Puluhan ribu siswa di seluruh tanah Britania berkumpul di masing-masing kota menolak invasi. 4.000 siswa di Birmingham, ribuan siswa di West Midlands, sekitar 500 siswa di Yorkshire, 200 siswa di Bradford, ribuan siswa juga berkumpul di kota Leeds dan Horsforth, serta 10.000 anak-anak sekolah menengah di Manchester. Awal Invasi ke Irak 2 20 Maret 2003 Di Jerman, para mahasiswa menggelar aksi walkout. Di London, demonstrasi besar-besaran diadakan di depan Gedung Parlemen. Di AS terjadi demonstrasi di beberapa kota namun tidak terlalu besar dibanding aksi sebelumnya. 21 Maret 2003 Demonstrasi terorganisasi di hari kedua di kota-kota AS termasuk Seattle, Portland, Chicago, Atlanta, San Francisco, dan Los Angeles. 22-23 Maret 2003 Sekitar 150.000 demonstran di Barcelona, lebih dari 100.000 demonstran di London , sekitar 100.000 demonstran di Paris, sekitar 150.000 demonstran tersebar di kota-kota Jerman, sebanyak 90.000 di Lisbon, 40.000 di Bern. Selain itu demonstrasi terbesar di Swiss selama beberapa dekade, 10.000 hingga 20.000 di Yunani, Denmark dan Finlandia. 24 Maret 2003 20.000 demonstran menolak invasi di Hamburg, Jerman. Demonstrasi mingguan, didukung oleh gereja, serikat buruh dan organisasi sipil lainnya, dimulai lagi pada bulan Januari 2003 sebagai protes terhadap invasi Irak. Protes pawai di sore hari juga dilaporkan di kota-kota Jerman Berlin dan Freiburg. Di Italia, kota-kota besar seperti Roma, Milan, dan Turin, terdapat ribuan siswa dan guru tinggal jauh dari sekolah untuk memprotes perang Irak. Serikat guru melaporkan bahwa 60 persen dari semua sekolah ditutup. Pemogokan telah direncanakan beberapa minggu lalu sebagai sinyal terhadap RUU reformasi sekolah, tetapi dikonversi menjadi protes anti-perang. 400 pengunjuk rasa anti-perang mencoba memasuki Australia parlemen di Canberra untuk berbicara kepada perdana menteri, namun dihentikan oleh polisi. Di India negara bagian Andhra Pradesh, Maois menyerang pengunjuk rasa toko yang menjual Coca-Cola dan minuman ringan milik AS. Protes di depan gedung AS dan di toko-toko makanan cepat saji juga diadakan di Indonesia. Di Mesir , 12.000 siswa dari dua 74

universitas di Kairo memprotes serta 3.000 orang di Thailand ibukota Bangkok. Dalam Rio de Janeiro, Brazil, 150 orang melempari konsulat Amerika Serikat. 25 Maret 2003 Sekitar 100.000 orang berdemonstrasi di Suriah memprotes AS, Inggris dan Israel. Protes ini didukung oleh pemerintah Suriah. Selain itu, di Bangladesh terdapat 60.000 orang berdemonstrasi. Di Korea Selatan juga terdapat protes di depan gedung parlemen, terkait dengan rencana untuk pengiriman pasukan Korea Selatan dalam perang Irak. Sekitar 250 siswa berbaris di kedutaan besar AS di pusat kota London. 200 demonstran anti-perang duduk di jembatan Humber di Hull sehingga melibatkan beberapa gesekan antara pengendara dan demonstran. 28 Maret 2003 Protes global tidak berhenti pada minggu kedua perang. Sekitar 10.000 protes di Teheran, Iran. Para pengunjuk rasa yang didukung oleh pemerintah, meneriakkan "Saddam Mati" serta "Kematian bagi Amerika." Sekitar 50.000 sampai 80.000 berdemonstrasi di Kairo, Mesir, setelah shalat Jumat. Di Bogota, Kolombia, terjadi kekerasan di depan konsulat AS pada saat demonstrasi menolak invasi. Pawai dan demonstrasi terjadi juga di Aljazair dan Bahrain, Palestina, Korea Selatan, Indonesia dan Pakistan. Di Australia, polisi mencegah pawai protes. Di Jerman , protes oleh anak-anak sekolah lanjutan. Di New Delhi dan di tempat lain di India, lebih dari 20.000 protes menentang perang. 29 Maret 2003 Di Inggris ratusan demonstran berbaris dari Cowley ke pusat Oxford dan sekitar 5.000 demonstran turun ke jalan di Edinburgh. Demonstran berbaris di sepanjang Edinburgh Princes Street untuk pawai di daerah kota Meadows . 30 Maret 2003 100.000 orang berbaris di Jakarta, Indonesia. Menurut Jonathan Head BBC ini adalah demonstrasi anti-perang terbesar terjadi di negara mayoritas Muslim di dunia. Selain itu, demonstrasi resmi digelar pertama kali oleh Cina yang mengizinkan mahasiswa asing untuk menyanyikan slogan anti- perang saat mereka berjalan melewati kedutaan besar AS di Beijing. Di Amerika Latin juga menggelar demonstrasi di Santiago, Mexico City, Montevideo, Buenos Aires dan Caracas. Di Jerman setidaknya 40.000 orang membentuk rantai manusia di kota utara Munster dan 35 Osnabrueck. Sekitar 23.000 demonstran mengambil bagian dalam pawai di Berlin dan berakhir di taman Tiergarten, protes berlangsung di Stuttgart dan Frankfurt, di mana 25 orang ditahan ketika mereka mencoba untuk memblokir pintu masuk ke sebuah pangkalan udara AS. Pawai juga diselenggarakan di Paris, Moskow, Budapest, Warsawa dan Dublin. Pasca-Jatuhnya Baghdad oleh Militer AS 3 12 April 2003 Protes terjadi di Washington DC, San Francisco, dan Los Angeles untuk menyerukan bahwa Perang Irak harus selesai pasca tiga hari jatuhnya Baghdad ke tangan AS. Di Washington, 30.000 demonstran melakukan pawai memprotes terhadap perusahaan seperti Bechtel dan Halliburton untuk tidak campur tangan dalam urusasn minyak Irak. 25 Oktober 2003 Puluhan ribu orang berdemonstrasi di Washington DC, San Francisco, California, Reno, Nevada berunjuk rasa menganjurkan untuk segera mengeluarkan pasukan AS dan koalisi dari Irak. Di Washington DC terdapat 20.000 demonstran. Protes berakhir dengan sebuah rally di Washington Monument. Sumber: "President, House Leadership Agree on Iraq Resolution”, www.whitehouse.archives.gov; “The Largest Protest in Human History” www.guinnessworldrecords.com/; dan adaptasi dari“BBC News” www.news.bbc.uk/news/war_story/ (data diolah oleh penulis) 75

Dengan banyaknya protes di atas dapat dilihat bahwa FNC dan beberapa media yang seragam dengan pandangannya tidak terlalu berpengaruh terhadap dunia internasional yang memandang invasi dari sisi kemanusiaannya. Hal ini terjadi karena berita yang dipublikasikan oleh media barat sebagian besar hanya berupa dukungan terhadap pemerintah AS, namun hal ini tidak berpengaruh pada publik internasional yang tidak termasuk dalam kepentingan pemerintah AS meskipun pada publikasi berita yang ditampilkan oleh FNC dan media AS lainnya betapa pentingnya invasi Irak terhadap dunia internasional.

Hal di atas tentu berbeda bila melihat kembali pada masa eskalasi invasi Irak yang didukung oleh Tony Blair. Blair sebagai Perdana Menteri Inggris yang merespon pernyataan Rupert Murdoch pada masa kampanye dukungan invasi dianggap sebagai sebuah pengaruh positif. Hal ini sesuai menurut Kegley dan

WittKopf yang menyebutkan bahwa media massa masuk dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan luar negeri yang dijadikan sebagai sumber.22 Dukungan tersebut dianggap sebuah pengakuan internasional oleh AS yang memandang bahwa invasi memang harus dilakukan. Hal ini juga dianggap sebagai respon Inggris terhadap kebijakan AS melalui media massa yang terjadi di luar kerjasama Inggris dan AS yang telah dijalin sejak tahun 1945.

Dengan kejadian di atas, telah jelas terlihat bahwa FNC ternyata hanya berpengaruh pada publik lokal yang juga dibantu oleh media massa AS lainnya yang menganggap FNC sebagai sebuah parameter. Selain itu, pada tingkat internasional

22 Kegley dan WittKopf, American Foreign Policy, h. 539. 76

pengaruh FNC sebagai salah satu wakil media di AS hanya mampu mempengaruhi

Inggris yang telah jelas bila melihat hubungannya juga sangat dekat dengan AS sejak tahun 1945. Pengaruh FNC terhadap Inggris ini juga ternyata hanya dapat dilihat pada tatanan elit politiknya saja, namun tidak berpengaruh pada publik yang lebih luas, sehingga telah terlihat banyaknya mayoritas protes terbesar dari seluruh dunia berada pada publik di Inggris. 77

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Skripsi ini telah melakukan penelitian tentang upaya Fox News Channel

(FNC) dalam membentuk opini publik AS serta upaya pemerintah AS dalam membangun opini publik pada saat invasi Irak 2003. Melalui studi pustaka setidaknya penulis memiliki kesimpulan bahwa upaya FNC dan pemerintah AS dalam membangun opini publik di AS memang memiliki usaha yang signifikan sehingga terbentuknya opini publik. Dalam membentuk opini publik, FNC memang berpengaruh pada tatanan publik lokal di AS. Arus informasi lokal juga berubah menjadi seragam sebagai akibat dari penyesuaian media di AS yang pada saat itu kalah dalam jumlah rating dari FNC dan mengubah arah pemberitaan seperti yang dibahas oleh FNC. Dengan demikian sehingga menimbulkan bagi sebagian besar masyarakat AS menganggap bahwa invasi adalah suatu hal yang benar. Argumen ini dibangun setidaknya berdasarkan tiga temuan, dalam penelitian sebagai berikut:

Pertama, Bab II memberikan pemahaman dasar tentang tinjauan umum

FNC di AS, serta hubungan media massa dan pemerintah AS dalam proses peliputan invasi berlangsung. Dalam bab II ini penulis menemukan bahwa upaya pengaruh yang diberikan oleh FNC memiliki alasan: Pertama, dibangunnya FNC pada tahun 1996 oleh Ruppert Murdoch ternyata ingin memberikan persaingan terhadap media besar CNN yang pada tahun 1991 pernah menjadi salah satu media terbesar yang menampilkan perang secara real time. Ke dua, latar belakang

78

kepemilikan FNC, yakni Ruppert Murdoch dan Roger Ailes sebagai Pejabat

Eksekutif Tertinggi atau Chief Executive Officer (CEO) ternyata memang terlihat sangat mengarahkan pandangannya sesuai dengan kebijakan Partai Republik. Hal tersebut dibuktikan karena Ailes merupakan orang yang berjasa untuk Partai

Republik AS pada masa kampanye pemilihan Presiden di AS tahun 1968-1984 hingga pada saat di FNC memiliki andil penuh dalam mengatur pemberitaan di ruang redaksi. Ke tiga, FNC memanfaatkan konsumsi berita bagi masyarakat yang percaya bahwa media massa memunculkan nilai-nilai jurnalistik yang netral, sehingga semakin memudahkan FNC dan media massa lainnya untuk mentransformasikan pandangannya mengenai invasi. Hal ini digunakan FNC dengan cara membuat pemberitaan yang sifatnya mendukung perang tanpa memberikan pandangan tentang buruknya invasi secara lebih banyak yang sifatnya kontroversi. Dengan cara yang digunakannya maka menjadikan dirinya sebagai pemegang rating tertinggi pada tahun 2003, yakni saat invasi berlangsung. Ke empat, pada masa invasi berlangsung, pemerintah dan media massa seakan berkolaborasi dalam membangun opini publik. Hubungan antara media massa dan pemerintah tersebut menjadi harmonis karena pada peliputan

Perang Irak 2003, media massa disarankan untuk masuk ke dalam bagian dari militer AS hingga akhirnya lebih banyak penyesuaian yang di lakukan media massa terhadap militer dengan alasan keamanan jurnalis.

Ke dua, dalam bab III diidentifikasikan faktor pendorong terjadinya invasi

AS ke Irak tahun 2003. Secara garis besar, invasi AS ke Irak tersebut didasarkan atas rasa khawatir AS terhadap negara-negara yang dianggapnya berbahaya bagi dunia internasional khususnya bagi AS sendiri. Pada hal ini AS memandang Irak

79

sebagai ancaman baginya. Rasa khawatir ini didukung oleh berbagai jejak buruk yang pernah dilakukan oleh Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein. AS yang menganggap Irak sebagai ancaman menuduh Saddam Hussein adalah seorang yang berada dibalik penyerangan 9/11 tahun 2001 yang harus dilengserkan dari kursi kekuasaan dengan cara invasi sambil menyisir berbagai ancaman di Irak sesuai bahaya yang dicurigainya. Selain rasa khawatir yang AS tunjukan dengan mengeluarkan kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak, rasa percaya diri AS muncul karena AS didukung oleh Inggris yang juga membenarkan segala sesuatu yang didengungkan AS tentang bahaya Irak tersebut.

Hal ini menimbulkan semakin kuatnya legalitas AS di mata masyarakatya sendiri meskipun terdapat penolakan dari Dewan Keamanan PBB.

Ke tiga, bab IV memberikan pemahaman tentang analisis upaya FNC dalam membentuk opini publik serta upaya yang dilakukan pemerintah AS dalam membangun opini publik pada saat invai Irak 2003. Selain itu pada bab ini juga menunjukan tentang pandangan publik sebagai efek dari upaya kedua pihak.

Dengan latar belakang FNC yang lebih mendukung perang, ternyata pemerintah AS juga tidak cukup dengan dorongan FNC di AS, namun pemerintah

AS mengambil langkah penting untuk menangani media massa di medan perang pada saat invasi berlangsung. Hal ini dapat dielaborasikan dengan melihat mekanisme kerja antara pemerintah dan FNC. Pemerintah AS melakukan embedded journalism terhadap media dari negaranya dan penutupan ruang gerak terhadap media asing yang tidak termasuk dalam arahan embedded journalism. Dengan keadaan tersebut, sehingga publikasi berita yang dikeluarkan ke seluruh negara jangkauannya lebih banyak dari pandangan media AS. Berita yang dipublikasikan

80

sudah tentu dipelopori dan telah dipengaruhi oleh FNC melalui persaingan antarmedia di AS. Dengan demikian, maka arus informasi yang dihadirkan baik di AS maupun di seluruh negara jangkauan yang mendapatkan jaringan FNC, merupakan dari beberapa penyesuaian media di medan perang dan dalam persaingan antarmedia di AS.

81

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Chandra, Arie Indra, ”Peran media massa sebagai pencipta realitas kedua dalam politik global”, dalam Yulius P. Hirawan, ed., Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional, (Graha Ilmu, Fisip Unpar-Bandung: 2007).

Chomsky, Noam, Politik Kuasa Media, terj., (Jakarta: Pinus Book Publisher, 2006).

Colhoun, Jack, “How Bush Becked Iraq”, Middle East Report (May-June 1992).

Creswell, John W., Reseach Design Qualitative and Quantitative Approaches, (United Kingdom: Sage Publications, 1994).

Daulay, Richard M., Amerika vs Irak, (Jakarta: Libri, 2009).

Fukuyama, Francis, After The Neocons: America at the Crossroads, (London: Yale University Press, 2006).

Goodman, Amy dan Goodman, David, Perang Demi Uang, (Profetik, Jakarta, 2005.).

Gray, Jerry D., Dosa-Dosa Media Amerika, (Jakarta: UFUK Press, 2006.).Nye, Joseph S., Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History, (London: Harper Collins College Publisher, 1993).

Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. (Granit, Jakarta: 2004).

Hamad, Ibnu, Dunia Timur Tengah Dalam Pers Barat, (Jakarta: Granit, 2005).

Harison, Lisa, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana. 2007).

82

Hendrajit, ”Makna Strategis Kunjungan Menlu”, dalam Tangan-tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia, (Jakarta: Global Future Institute, 2010).

Herman dan Chomsky, Noam, Manufacturing Consent, The Political Economy Of The Mass Media, (Patheon Books, New York: 1998).

Holsti, KJ, Politik Internasonal Suatu Kerangka Analisis, (IKAPI-Binacipta, Bandung: 1992).

Ikenberry, John G., “America‟s Imperial Ambitions” dalam American Foreign Policy Theoretical Essay, Edisi ke-4, (New York: W.W. Norton dan Compagny, Inc., 2007).

Ispandriano, Lukas S., dkk, Media-Militer-Politik: Crisis Communication, (Yogyakarta: Galang, 2002).

Kegley, Charles W. dan WittKopf, Eugene, American Foreign Policy: Pattern and Process, Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991).

Luhulima, C. P. F., Eropa Sebagai Kekuatan Dunia: Lintasan Sejarah dan Tantangan Masa Depan, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992).

Mas‟oed, Mochtar, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990).

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002).

Pelletiere, Stephen C., Landpower And Dual Containment: Rethinking America’s Policy In The Gulf, (US Army War College: Strategic Studies Institute, November 1999).

Rudy, Teuku May, Perspektif Komunikasi Internasional dan Media Humas Internasional, (IKAPI-PT Refika Aditama, Bandung: 2005).

83

Sihbudi, Riza, “Bara Timur Tengah (Islam, Dunia Arab, Iran)”, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991).

Sihbudi, Riza, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Mizan, 2007).

Sholehi, Mohammad, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, (Simbiosa Rekatama Media, Bandung: 2009).

Straubhaar J., & LaRose R., Communications media in the information society. (Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning, 2002).

Tamhuri, Elba, Dibalik Invasi AS ke Irak, (Jakarta: Senayan Abdi Publishing, 2003).

Taylor, Philip M., global Communication International Affairs and The Media Since 1945, (London: Routledge, 1997).

Vandana A., Theory of International Politics, (Vikas Publishing, New Delhi: 1996).

Waltz, Kenneth N., “Globalization and American Power,” The Journal of National Interest, Number 59, (Spring 2000).

Jurnal:

Agustina, Nur, “Studi Atas Dukungan Inggris Terhadap Invasi Amerika Serikat Atas Irak Maret 2003”, (Tesis Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Hubungan Internasional Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2007).

Ambarry, Yusron Bahauddin, “Penerapan Sanksi Ekonomi PBB Terhadap Irak dan Faktor Kegagalannya”, (Tesis Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2002).

Anwar, Dewi Fortuna, “Tatanan Dunia Baru”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.3, No.2, (Mei-September 2003).

84

Baur, Jackson E., “The Public Opinion Quarterly”, Vol. 26, No. 2 (Summer, 1962)

Dimitrova, Daniela V., “Television Coverage of the Iraq War”, Volume 10. Number 1, Journal Press/ Politics, (Winter 2005).

Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan dan Ekonomi Dalam Invasi AS Ke Irak”, Jurnal Paradigma Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Volulme VII, Nomor 20, (Maret 2003).

Heriyanto, Jimmi, “Tetap Diperlukannya Kehadiran Militer AS di Irak Pasca Saddam Hussein: Keberadaan Minyak Di Timur Tengah Kekayaan Minyak Di Irak”, (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, 2009).

Jurnal Studi Amerika, Vol. VI Januari-Juli 2000, PKWA-UI Jakarta.

Widjadjanto, Wisnu B., “Hak Mengetahui Sebagai Wujud Kebebasan Pers di AS”, KWA (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992).

Surat Kabar:

Budi Setyarso, “Rudal AS Bunuh Wartawan”, Harian Tempo, edisi 09 April 2003.

Daru P.,“Demo Anti-AS Guncang Bagdad”, Harian Tempo, edisi 21 April 2003.

Nurkhoiri,“Negara Arab Ingin AS Segera Pergi”, Harian Tempo edisi 20 April 2003.

Pamuji, Nanang, “Dilema Barat Terhadap Irak”, Harian Suara Pembaruan, edisi 13 Maret 2002.

Piyanto, Andrea “Hubungan Amerika Dengan Perancis Kian Memburuk”, Harian Tempo, edisi 19 Maret 2003.

85

Rahman, “Geliat Irak Pasca Saddam, Laporan Dari Lapangan”, Harian Kompas, Jakarta, Oktober 2003.

Sahal, “Perang Irak dan Dunia Hobbesian Amerika Serikat”, Harian Tempo edisi 30 Maret 2003.

Suditomo, Kurie, ”Propaganda di Mata Seorang Wartawan Perang”, Harian Tempo, 8 April 2003.

“Kontroversi Senjata Kimia dan Biologi Irak”, Harian Kompas edisi 4 November 2003.

“Maneuver Cantik Monsieur Chirac”, Harian Tempo edisi 24 April 2003

“Pertimbangan Kekuatan AS dan Irak”, Harian Republika, edisi 19 Maret 2003.

“Pasukan AS Mewarnai Kuwait”, Harian Kompas, edisi 18 Maret 2003.

“Senjata Nuklir Antara Isu dan Fakta”, Harian Kompas, edisi Senin 4 November 2002.

Internet:

Ackerman, Seth, “Fox News Channel's extraordinary right-wing tilt”, artikel diakses pada 26 April 2011, dari http://www.fair.org/index.php.

Alterman, Eric, “Fox Outfoxes Itself”, artikel diakses pada 16 April 2011, dari http://www.americanprogress.org/issues/2004/07/b122948.html.

Alterman, Eric, “Media Concentration: the Repudiation of Michael Powell” artikel ini diakses pada 13 Februari 2011, dari http://americanprogress.org/issues/2004/07/b108399.html.

Christa, Retna, “Peran News Corporation dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Menginvasi Irak 2003“, artikel diakses pada 01 November 2010, dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1207138150.pdf.

86

Choirul, “Perintahkan Pembunuhan Suku Kurdi”, artikel diakses pada 18 April 2011, dari http://tempointeraktifinternasional.com.

Crittenden, Jules, “Embedded Journal: „I went over to the dark side”, pointer online, laporan jurnalis di medan perang, 11 April 2003, artikel diakses pada 2 Mei 2011, dari http://poynteronline.org/content/content.

Day, Julia, “Murdoch praises Blair's 'courage'”, artikel diakses pada 16 April 2011, dari http://www.guardian.co.uk/politics/uk.iraqandthemedia.

Deans, Jason, “Fox challenges CNN's US ratings dominance”, artikel diakses pada 14 Februari 2011, dari www.guardian.co.uk/media/tvnews.

Escoto, Chantal, “Military, Media Benefit from „Embed‟”, The Leaf-Chronicle, 22 Juni 2003, artikel ini diakses pada tanggal 09 Januari 2011, dari http://www.theleafchronicle.com.

Graber, “Television Sapping Broadcast News Audience,” artikel diakses pada 14 Februari 2011 pkl. 15:30, dari http://www.peoplepress.org

Gruenthal, George “on the Iraqi Patriotic Alliance”, artikel diakses pada 19 April 2011, dari http://www.revolutionarydemocracy.org.

Memmott, Mark, “Fox newspeople say allegations of bias unfounded”, artikel diakses pada 01 April 2011, dari http://www.webcitation.org/5uRTx6pMd.

Mifflin, Lawrie “At the new Fox News Channel”, diakses pada tanggal 30 April 2011, dari http://www.nytimes.com/1996/10/07/business/at-the-new-fox- news-channel-the-buzzword-is-fairness-separating-news-from-bias.html.

Lenzner, Robert dan Staff, Globe, “Murdoch, Partner Plan 4th Network”, artikel ini diakses pada tanggal 03 April 2011, dari http://nl.newsbank.com/nl- search/we/archives.

Lindner, Andrew M., “Controlling The Media in Iraq”, artikel diakses pada 23 Mei 2011, dari http://www.sociology.psu.edu/Control%20media.pdf.

87

Pfeiffer, Eric, “Watching Robert Greenwald's "Outfoxed" with a MoveOn.org crowd at the Peace House”, artikel diakses pada 16 April 2011, dari http://www.weeklystandard.com/Content/Publik/Articles/wcb.asp.

Posner, Lou, “No Blood For Oil”, artikel diakses pada 21 Mei 2011, dari http://www.votermarch.com.

Rendall, Steve dan Broughel, Tara, “Amplifying Officials, Squelching Dissent”, Extra! May/June 2003, artikel diakses pada 14 Juni 2011, dari http://www.fair.org/index.php?page=1145

Sanford, Jonathan E., “Irak: Past, Present, Future”, Report for Congress, 03 Juni 2003, artikel diakses pada tanggal 20 April 2011, dari http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/crs/rl31944.pdf.

Steinberg, Jacques, dan Carr, David, “The 2004 Campaign: The News Media; Murdoch Is Said to Be Source of Post's Gephardt 'Exclusive'”, artikel ini diakses pada tanggal 17 April 2011, dari http://www.nytimes.com/2004/07/09/national/09post.html.

Strobel, Warren p., (Senior Editor) “The Media: Influencing Foreign Policy in the Information Age”, U.S News and World Report, diakses pada 02 Agustus 2010 pkl. 03:03, dari http://www.unconsulate.gov/wwwhforpol.html

Wolff, Michael, “The Media at War”, New York 11 Agustus 2003, artikel diakses pada 29 Juni 20011, dari www.newyorkmetro.com/nymetro.news.

“Fox News Channel”, artikel diakses pada 06 April 2011, dari http://www.newscorp.com/management/foxnewschannel.html,

“Summary of Findings: Fox News Viewed as Most Ideological Network”, artikel diakses pada 19 April 2011, dari http://people-press.org/2009/10/29/fox- news-viewed-as-most-ideological-network/.

“Information Technology (IT)”, artikel diakses pada 04 Maret 2011, dari http://www.fcc.gov/Reports/tcom1996.pdf.

88

“Chairman Speech to Shareholders News Corporation Limited Annual Meeting”, artikel diakses pada 14 Februari, dari http://www.newscorp.com/news.

“Fox and Big Media”, artikel diakses pada 14 Februari 2011, dari http://www.americanprogress.org/issues/2004/07/b122990.html.

“Seventy-Two Percent of Americans Support War Against Iraq”, artikel diakses pada 26 April 2011, dari http://www.gallup.com/poll/8038/SeventyTwo- Percent-Americans-Support-War-Against-Iraq.aspx.

“Iraq's WMD Programs: Culling Hard Facts from Soft Myths”, artikel diakses pada 29 Maret 2011, dari https://www.cia.gov/news-information/press- releases-statements/press-release-archive-2003/pr11282003.html.

“Weapon Mass Destruction (WMD)”, artikel diakses pada 22 Maret 2011 pkl. 21:310 dari http://www.globalsecurity.org/cgi-bin/texis.cgi.

“UN Security Council Resolution 687, 707 and 715 and their implications for the termination all activities of nuclear proliferation-prone-And the law of the technical assessment”, artikel diakses pada 13 April 2011, dari http://nuclearweaponarchive.org/Iraq/andre/ISR.I-96-06.pdf.

“Resolution 1441 (2002)” Adopted by the Security Council at its 4644th meeting, on 08 November 2002, artikel diakses pada 09 Januari 2011, dari http://www.un.org/Depts/unmovic/new/documents/resolutions/s-res- 1441.pdf.

“Anti-war protests under way”, artikel diakses pada 09 Mei 2011 pkl 20:05, dari http://news.bbc.co.uk.

“British Conservative Party denounces Bush Blair relationship”, artikel diakses pada 30 April 2011, dari http://www.bbc.co.uk.

89

“Hutchkins Commission (1947) Recommendations”, artikel diakses pada 14 April 2011, dari http://www.cci.utk.edu/Hutchkinss-recommendations.html.

“Tim PBB Kembali Periksa Istana Saddam Hussein”, artikel diakses pada 15 April 2011, dari http://www.korantempo.com/news.

“U.S. has 100,000 troops in Kuwait”, artikel diakses pada 15 Mei 2011, dari http://articles.cnn.com/2003-02-18/world/sprj.irq.deployment1mckiernan- troops-commander-of-coalition-forces.

“Profil Saddam Hussein”, artikel diakses pada 15 April 2011, dari http://www.thefamouspeople.com/profiles/saddam-hussein-95.php.

“Menlu Irak dan Sekjen PBB Rampungkan Pembicaraan Hari Pertama”, artikel diakses pada 15 April 2011, dari http://www.voanews.com .

“Partai Demokrat: Bush Bohong”, Laporan dari New York pada 11 Juli 2003, artikel diakses pada 20 April 2011, dari http://www.gatra.com.

“Tim PBB Segel Rudal Al-Samoud 2 Irak”, artikel diakses pada 20 April 2011, dari http://www.gatra.com.

“An Overview on Sale China's Arms” Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI Yearbook (1983 to 1997), diakses pada 05 Mei 2011, dari http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monograph_reports/MR1119/ MR1119.appa.pdf.

“Media fury at Iraq anarchy”, artikel diakses pada 16 April 2011, dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/2941897.stm.

“Iraqis, Marines Pull Down Saddam Statue”, artikel diakses pada 29 April 2011, dari http://www.foxnews.com/story/0,2933,83682,00.html.

“Bush Declares Victory in Iraq”, artikel diakses pada 09 Mei 2011, dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/2989459.stm

90

“The World After the War in Iraq”, artikel diakses pada 25 Maret 2011, dari www.marxist.com.

“Iraq Body Count project”, artikel diakses pada 18 Mei 2011, dari http://www.iraqbodycount.org.

“Chilcot Inquiry Accused of Fixating on West and Ignoring Real Victims”, artikel diakses pada 18 Mei 2011, dari http://www.guardian.co.uk.

“The Largest Protest in Human History”, artikel diakses pada 16 Juni 2011, dari www.guinnessworldrecords.com

“Thousands join U.S. anti-war march”, artikel diakses pada 20 Mei 2011, dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/.