The Mirror Never Lies: Refleksi Keindahan Dan Tantangan Di Segitiga Terumbu Karang

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

The Mirror Never Lies: Refleksi Keindahan Dan Tantangan Di Segitiga Terumbu Karang Siaran Pers Jakarta, 26 April 2011 The Mirror Never Lies: refleksi keindahan dan tantangan di Segitiga Terumbu Karang SIARAN PERS Jakarta(26/04)- Kolaborasi Pemerintah Kabupaten Wakatobi , organisasi konservasi World Wide Fund for Nature Indonesia (WWF-Indonesia), dan rumah produksi SET Karya Film telah membuahkan film The Mirror Never Lies . Film yang disutradarai oleh Kamila Andini ini bertema kelautan dan mengangkat kisah suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bagian dari Segitiga Terumbu Karang dunia. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut handal, hidup nomaden, dan tersebar di seluruh dunia. Mereka mudah dijumpai di kawasan Segitiga Terumbu Karang; kawasan laut yang membentang melintasi enam negara dan dikenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan hayati laut tertinggi di dunia. Ironisnya, situs penting dunia itu kian terancam oleh praktik-praktik perikanan destruktif. Sementara faktor perubahan iklim juga diperkirakan telah berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. 126 juta jiwa manusia dan ribuan spesies kunci di laut pun kini semakin terdesak.Suku Bajo yang seluruh eksistensinya bersandar pada laut adalah salah satu yang paling merasakan dampak degradasi lingkungan tersebut. "Di tengah masalah iklim dan perubahan perilaku laut, memahami kebudayaan laut menjadi penting, apalagi bagi bangsa Indonesia yang bersifat maritim. Film ini merupakan satu upaya untuk memahami kebudayaan laut tersebut. Ini kisah mereka yang hidup mengikuti laut. Laut memberi kabar baru dengan caranya sendiri: inilah yang terpenting dari film ini," jelas Garin Nugroho , salah satu produser The Mirror Never Lies . Refleksi keindahan dan tantangan di Segitiga Terumbu Karang dikemas dalam kisah seorang anak perempuan Bajo bernama Pakis yang tengah beranjak remaja. Ia kehilangan ayahnya yang melaut dan belum kembali. Melalui ritual Bajo yang menggunakan cermin, Pakis bersama sahabatnya berupaya mencari jawaban akan keberadaan sang ayah. Sebaliknya, ibunya lebih pesimis dan realistis dalam menghadapi kenyataan. Di tengah kebingungan ini, Pakis dan ibunya kerap berbeda pendapat. Konflik semakin sering terjadi ketika seorang peneliti lumba-lumba bernama Tudo datang di tengah mereka. “Coral Triangle merupakan salah satu kekayaan dunia yang harus dijaga. Melalui The Mirror Never Lies , WWF berharap semakin banyak pihak yang memalingkan wajah dan memberi perhatian lebih untuk menjaga kekayaan hayati di kawasan ini. Pemanasan global dan perubahan iklim adalah ancaman serius bagi keberlanjutan sumber daya alam laut dan ekosistem di wilayah Coral Triangle , tak terkecuali masyarakat pesisir yang tinggal di sekitarnya. Conservation involves people . Butuh kesadaran dan dukungan kolektif untuk membuat perubahan yang signifikan. Upaya konservasi di kawasan Coral Triangle bukan tugas segelintir orang saja, tapi menjadi tanggung jawab kita semua,” ujar Devy Suradji , Direktur Marketing dan Komunikasi WWF-Indonesia. Sejak akhir tahun 2002, WWF sudah berkolaborasi dalam suatu bentuk kemitraan dengan The Nature Conservancy (TNC) untuk membantu pengelola TN Wakatobi memperbaiki rencana pengelolaannya, zonasi dan penerapan pengelolaan kawasan. “Dalam melakukan pengelolaan kawasan, kami juga melibatkan masyarakat. Salah satunya adalah mendampingi masyarakat untuk menerapkan perikanan berkelanjutan. Bahkan kini telah lahir inisitaif- inisiatif baru dari masyarakat untuk membuat bank ikan sebagai upaya menjaga stok ikan. Kapal Menami juga kami operasikan di Wakatobi sebagai stasiun riset bawah laut. Bersama masyarakat, kami juga aktif melakukan pemantauan terumbu karang,” imbuh Devy. Sementara itu, Bupati Wakatobi, Ir.Hugua menyatakan, The Mirror Never Lies merupakan media komunikasi kreatif yang efektif dalam membantu mempromosikan Wakatobi sebagai daerah tujuan ekowisata laut dan pusat penelitian bawah laut. “Wakatobi kini telah menjadi laboratorium bawah laut untuk penelitian biota laut. Peneliti dari berbagai wilayah di Indonesia dan negara-begara tetangga semakin banyak yang berdatangan ke Wakatobi. Ini menjadi kebangaan kita semua. Oleh karena itu, upaya melindungi keindahan dan kekayaan hayati laut di wilayah ini perlu senantiasa dikembangkan. Dengan adanya film ini, saya harapkan semakin banyak lagi pihak yang peduli serta membantu upaya konservasi di Wakatobi,” tegasnya. Film yang juga diproduseri oleh Nadine Chandrawinata dan dibintangi oleh Atiqah Hasiholan , Reza Rahadian , Gita Novalista , Eko , serta Zainal ini bisa disaksikan oleh penikmat film Indonesia pada awal Mei 2011. The Mirror Never Lies juga telah mendapat penghargaan Honorable Mention dari Global Film Initiative pada tanggal 14 April 2011 berdasarkan kriteria penyajian artistik, alur penceritaan, dan perspektif budaya dalam kehidupan sehari-hari. Info selengkapnya tentang The Mirror Never Lies bisa dilihat di www.wwf.or.id/themirrorneverlies Untuk informasi lebih lanjut, rekan-rekan media dapat menghubungi: Devy Suradji, Marketing & Communication Director WWF-Indonesia, [email protected] Shintya Kurniawan, Media Engagement Officer WWF-Indonesia, [email protected] CATATAN UNTUK REDAKSI Tentang Wakatobi Kabupaten yang terletak di Sulawesi Tenggara ini resmi terbentuk pada tahun 2003. Wakatobi merupakan bagian The Coral Triangle yang menjadi rumah bagi 750 spesies karang dari total 850 spesies di seluruh dunia. Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut di sekitarnya diresmikan sebagai taman nasional pada tahun 1996 dengan total area mencapai 1,39 juta ha. Tentang WWF World Wide Fund for Nature (WWF) adalah organisasi konservasi global yang mandiri dan didirikan pada tahun 1961 di Swiss, dengan hampir 5 juta suporter dan memiliki jaringan yang aktif di lebih dari 100 negara. Di Indonesia, WWF bergiat di lebih dari 25 wilayah kerja lapangan dan 17 provinsi. Misi WWF-Indonesia adalah menyelamatkan keanekaragaman hayati dan mengurangi dampak ekologis aktivitas manusia melalui: Mempromosikan etika konservasi yang kuat, kesadartahuan dan upaya- upaya konservasi di kalangan masyarakat Indonesia; Memfasilitasi upaya multi-pihak untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan proses-proses ekologis pada skala ekoregion; Melakukan advokasi kebijakan, hukum dan penegakan hukum yang mendukung konservasi, dan; Menggalakkan konservasi untuk kesejahteraan manusia, melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Selebihnya tentang WWF-Indonesia, silakan kunjungi website utama organisasi ini di www.panda.org dan www.wwf.or.id Tentang SET Karya Film SET didirikan pada tahun 1987 oleh kumpulan kreator audiovisual lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), terutama di awaki oleh Garin Nugroho, Arturo GP dan kawan-kawan. Tujuannya adalah menumbuhkan generasi film baru melalui kebebasan berekspresi dan pluralisme penciptaan serta menumbuhkan dan bekerjasama dengan beragam komunitas untuk menumbuhkan ruang alternatif momen kreasi dan apresiasi. SET menyadari bahwa sekarang ini adalah era multidisiplin seni, teknologi dan pengetahuan. Maka, SET menumbuhkan karya-karya seni dengan ruang apresiasi yang beragam dan lebih muda. Tentang Segitiga Terumbu Karang Istilah Segitiga Terumbu Karang ( The Coral Triangle ) baru mengemuka pada tahun 2009 setelah The World Ocean Conference diselenggarakan. The Coral Triangle merupakan wilayah perairan yang meliputi Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. Wilayah ini menyimpan kekayaan hayati laut yang sangat tinggi. 76 % spesies terumbu karang dunia bisa ditemukan di tempat ini. The Coral Triangle juga menjadi nursery area di mana ikan-ikan dan spesies- spesies laut lainnya bertelur dan bertumbuh dewasa, sebelum mereka berkelana ke seluruh dunia. Oleh karenanya, area ini menjadi sangat penting bagi siklus hidup spesies laut. .
Recommended publications
  • 29Th Tokyo International Film Festival Announces Lineup for CROSSCUT
    PRESS RELEASE September 21, 2016 29th Tokyo International Film Festival Announces Lineup for CROSSCUT ASIA #03: Colorful Indonesia Lovely Man Cado Cado: Doctor 101 About a Woman Three Sassy Sisters Fiction. Someone’s Wife in The Boat of Someone’s Husband Something in the Way Filosofi Kopi Following Diana Emma’ (Mother) After the Curfew The 29th Tokyo International Film Festival (TIFF) is just around the corner! We are pleased to announce the lineup for CROSSCUT ASIA #03: Colorful Indonesia. The third chapter of the CROSSCUT ASIA series, launched by the Japan Foundation Asia Center and TIFF in 2014 to showcase Asian films, now turns its attention to recent cinema from Indonesia. Known as a nation of “tolerant Islam,” Indonesia is made up of more than 10,000 islands and has regional cultural differences that make it the ultimate land of diversity. TIFF has been presenting outstanding Indonesian films, reflecting the nation’s diverse culture, since the 80’s. In this year’s focus, we will showcase 11 films, from the latest works by veterans to the unique, ambitious work of up-and-coming directors. In the showcase, we will highlight three films by Teddy Soeriaatmadja, whose provocative and powerful work is internationally acclaimed. Along with Soeriaatmadja’s so-called Trilogy About Intimacy, the lineup also includes such rising female directors as Nia Dinata, a pioneer in LGBT films, and Kamila Andini of the Mirror Never Lies. Please see the following pages for the full lineup. During the festival, guests from the films will attend the Q&A sessions and symposium.
    [Show full text]
  • The Mirror Never Lies Meeresspiegel
    GENERATION KPLUS THE MIRROR NEVER LIES MEERESSPIEGEL Kamila Andini In einer Hüttensiedlung auf dem Wasser wartet das Mädchen Pakis Indonesien 2011 auf seinen Vater. Er ist eines Tages nicht mehr vom Fischen zurückge- Länge 100 Min. · Format 35 mm · Farbe kehrt. Die anderen Kinder sagen, er sei tot. Aber Pakis glaubt das STABLISTE nicht. Sie sucht die Wahrheit in einem kleinen Spiegel, den er ihr Regie Kamila Andini geschenkt hat. Die Hoffnung auf seine Rückkehr begleitet Pakis eben- Buch Dirmawan Hatta so wie die Erinnerung an seine vielen Erzählungen vom Wind und Kamera Rachmat „Ipung“ Syaiful vom Meer. Nachts liegt Pakis wach, tagsüber schläft sie in der Schule. Schnitt Wawan I. Wibowo Ihre junge Mutter trägt das Gesicht weiß geschminkt. Pakis wirft ihr Musik Thoersi Argeswara vor, den Vater schon aufgegeben zu haben. Doch sie kämpft darum, Production Design Tonny Trimarsanto dass ihr Leben trotz des Verlusts weitergeht. Eines Tages kommt ein Kostüm, Maske Retno Ratih Damayanti BIOGRAFIE Geboren 1986 in Jakarta, studier- Herstellungsleitung Gita Fara, te Soziologie und Medienkunst. Erste junger Mann in die Siedlung, ein Delfinforscher aus Jakarta. Er bezieht Quartier in der Hütte des Vaters. Wiwid Setya Regieerfahrungen sammelte sie mit Produzenten Garin Nugroho, Die 25-jährige Kamila Andini erzählt in ruhigen Bildern von einem Dokumentationen, Fernsehfilmen und Nadine Chandrawinata Musikvideos. THE MIRROR NEVER LIES ist ihr Leben in und mit einer Natur, die manche Entbehrungen durch ihren Associate Producer Asaf Antariksa, erster abendfüllender Spielfilm. Reichtum an Schönheit ausgleicht. Der Film wurde in Wakatobi im Anastasia Rina Coral Triangle gedreht und schildert die heutigen Lebensbedin- Art Director Moty D.
    [Show full text]
  • Kino Otoka Naj Bi Bílo V Lahkotnem Mediteranskem Ritmu, Prijetno Ubrano in Brez Aritmij
    www.isolacinema.org festivalski katalog/festival Catalogue vseBiNa 5 V roki kompas solidarnosti, smer: svetla prihodnost 52 OTOČJe 58 Cinema City predstavlja: Beograd sad 7 letNi kiNo MaNZioli 58 Sklop kratkih filmov 12 Alpe 60 Oktober 13 Cezar mora umreti 61 fuori orario predstavlja: Disperse exclamatory Phase – 14 Ime mi je Li italijanski neodvisni eksperimenti (suvenirji 64/74) 15 Pesem dveh konjev 67 Sklop kratkih filmov 16 Playtime 71 Anna 17 Preprosto življenje 72 Postaja topolove predstavlja 18 Raavanan 72 Razdalja med dvema zvokoma 19 Začasne poroke 73 Postajanja 74 kooperativa predstavlja 20 sigNali 74 Bayiri – domovina 25 L'Apollonide: Spomini zaprte hiše 76 salina Doc fest predstavlja 26 Dopisovanje: Jonas Mekas – J. L. Guerín 76 Begi in pristani 27 Dve leti na morju 28 Florentina Hubaldo, k. t. e. 78 kiNoBaloN 29 Glorija kurb 81 Arcadia 30 Gost 82 Bunko Boben 31 Rez 83 Odsev morja 32 Stoletje rojevanja 84 Parada 33 silvaNov Zaliv 85 viDeo Na PlaŽi 34 Lekcija 7: en film, en vrt 39 Sedmina 96 OTOK v lJuBlJaNi 40 PRiJATELJi 98 kaZalo 41 Ben Rivers Hinterland 46 Miloščina za slepega konja 48 Otočje 50 Punk ni mrtev CoNteNts 6 The Compass of Solidarity in Hand; Direction: Bright Future 52 aRCHiPelago 58 Cinema City Presents: Beograd sad 7 MaNZioli oPeN-aiR CiNeMa 58 Short films programme 12 Alps 60 October 13 Caesar Must Die 61 fuori orario Presents: Disperse exclamatory Phase – 14 Shun Li and the Poet independent experiments in italy (souvenirs 64/74) 15 The Two Horses of Genghis Khan 67 Short films programme 16 Playtime 71 Anna 17 A Simple Life 72 station topolo Presents 18 Raavanan 72 The Distance Between Two Sounds 19 Ephemeral Weddings 73 Becoming 74 kooperativa Presents 20 sigNals 74 Bayiri – The Homeland 25 House of Pleasures 76 salina Doc fest Presents 26 Correspondence: Jonas Mekas – J.L.
    [Show full text]
  • Download (593Kb)
    1505/KOM-D/SD-S1/2013 SKRIPSI PESAN BUDAYA CINTA LINGKUNGAN DALAM FILM THE MIRROR NEVER LIES OLEH MHD. YUSUF NIM. 10843003750 PROGRAM S.1 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU PEKANBARU 1434 H/2013 M 1505/KOM-D/SD-S1/2013 PESAN BUDAYA CINTA LINGKUNGAN DALAM FILM THE MIRROR NEVER LIES SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Pada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (S.Ikom) OLEH MHD. YUSUF NIM. 10843003750 PROGRAM S.1 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU PEKANBARU 1434 H/2013 M PESAN BUDAYA CINTA LINGKUNGAN DALAM FILM THE MIRROR NEVER LIES ABSTRAK Film The Mirror Never Lies memiliki pesan budaya cinta lingkungan yang dideskripsikan dari adegan-adegan dan visualisasi alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pesan budaya cinta lingkungan dalam film ini. Menggunakan metode dokumentasi dan observasi dalam mengumpulkan data yang dianalis menggunakan semiotik model Roland Barthes pendektan deskriptif kualitatif. Teori kognitif, teori metaforis dan teori lingkungan Paul Taylor yang digunakan dalam penelitian ini. Pesan budaya cinta lingkungan dalam film dilihat dari lagu (nyanyian), mengajarkan tentang kepedulian lembaga pendidikan, membahasakan untuk tidak menangkap, menjual, memakan ikan yang masih kecil membahasakan cara tradisional menangkap ikan, menggambarkan perilaku untuk tidak menangkap dan menjual ikan yang masih kecil, memvisualisasikan bahwa laut masih terjaga, menggambarkan bahwa populasi lumba-lumba tidak berkurang, mengambil rumput laut dan teripang dengan cara tradisional, melakukan upacara “sangal”. menggunakan sampan sebagai alat transportasi membuang sampah yang ada ditepi pantai menggunakan cara tradisional dalam menangkap ikan.
    [Show full text]
  • Download Film the Mirror Never Lies 2011
    Download Film The Mirror Never Lies 2011 1 / 4 Download Film The Mirror Never Lies 2011 2 / 4 3 / 4 Film berjudul The Mirror Never Lies mengangkat kehidupan Suku Bajo di... ... in: Movies | May 1, 2011 | by: Lucky Natalia ... Film ini mengangkat kehidupan sehari-hari Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Seorang anak bernama Pakis .... The Mirror Never Lies menceritakan bagaimana seorang gadis kecil ... Music Director' & 'Best Original Story' Festival Film Indonesia (2011) .... The Mirror Never Lies (Laut Bercermin). Details: 2011, Rest of the world, 100 mins. Direction: Kamila Andini. With: Atiqah. Hasiholan, Gita Novalista, Inal and.. The Mirror Never Lies (Indonesian). WWF-Indonesia. Loading... Unsubscribe ... right now. Please try again .... 14 Mei 2011 03:10 Diperbarui: 14 Mei 2011 03:10 ... Kembali ke film The Mirror Never Lies (TMNL), rasanya aura Garin cukup pekat terasa dalam film ini.. Tentu, sangat menyenangkan, dan membanggakan, untuk mengetahui bahwa sekelompok pembuat film Indonesia masih mau untuk bersusah .... Laut bercermin (The Mirror Never Lies) ... Movie Info. A small island is inhabited by members of the Bajo tribe, a nomadic fishing community of the Wakatobi ... Dir: Kamila Andini. Indonesia. 2011. 96mins. ... The artistic strength of The Mirror Never Lies should result in significant festival exposure. ... in the Wakatobi archipelago of southeastern Sulawesi, the film provides much to think .... The film tells the figure of a Bajo tribe girl named Pakis (Gita). She lost ... The Mirror Never Lies presents the story with a plot that slowly but seemed to flow well.. film mirror never lies, nonton film mirror never lies, download film mirror never lies, sinopsis film mirror never lies, film the mirror never lies full ...
    [Show full text]
  • Cultural Politics of Contemporary Cinema in Indonesia and Malaysia
    EMANCIPATING DESIRE, EMPOWERING FANTASY: CULTURAL POLITICS OF CONTEMPORARY CINEMA IN INDONESIA AND MALAYSIA BUDI IRAWANTO (B.A. (Hons.), Gadjah Mada University (M.A.), Curtin University of Technology A THESIS SUBMITTED FOR THE DEGREE OF DOCTOR OF PHILOSOPHY DEPARTMENT OF SOUTHEAST ASIAN STUDIES NATIONAL UNIVERSITY OF SINGAPORE 2014 EMANCIPATING DESIRE, EMPOWERING FANTASY: CULTURAL POLITICS OF CONTEMPORARY CINEMA IN INDONESIA AND MALAYSIA BUDI IRAWANTO DEPARTMENT OF SOUTHEAST ASIAN STUDIES NATIONAL UNIVERSITY OF SINGAPORE 2014 DECLARATION Hereby I declare that the thesis is my original work and it has been written by me in its entirety. I have duly acknowledged all sources of information which have been used in this thesis. This thesis has also not been submitted for any degree in any university previously. ______________ BUDI IRAWANTO 19 September 2014 ii ACKNOWLEDGEMENTS Like credit titles rolling in the end of any film screening, this thesis has incurred many debts to numerous institutions and individuals whose invaluable contributions make the thesis writing process more than pleasurable. First and foremost, I would like to express to my gratitude to the National University of Singapore (NUS) that has awarded me a research scholarship to pursue my PhD program and enabled me to conduct fieldworks in Indonesia and Malaysia under the Graduate Research Support Scheme (GRSS). In addition, Gadjah Mada University (Yogyakarta-Indonesia) has granted a teaching leave during my study at NUS and provided a supplementary funding in the final stage of my PhD candidature. In particular, I would like to thank to Prof Dr Pratikno (Rector of Gadjah Mada University) and Dr Erwan Agus Purwanto (Dean of Faculty of Social and Political Sciences, Gadjah Mada University) for their inspiring advice and generosity.
    [Show full text]
  • 15—24 August
    Lightning Catching Adventure Lightning Catching 15—24 Programme 2019 August 1 2 Index 4 WELCOME BY RAYMOND WALRAVENS 5 WORLD CINEMA AMSTERDAM JURIES 8 WORLD CINEMA AMSTERDAM COMPETITION 18 CINEMA INDONESIA FEATURES 28 CINEMA INDONESIA SHORT FILMS 32 WORLD CINEMA AMSTERDAM PRESENTS 40 GO CUBA! 44 SPECIAL SCREENINGS 52 WORLD CINEMA AMSTERDAM JUNIOR 54 WORLD CINEMA OPEN AIR 60 OPENING & CLOSING CEREMONY / EVENTS / FOOD 62 PROGRAMME SCHEDULE 65 TICKETS AND VENUES 66 SPONSORS AND PARTNERS COMPETITION CINEMA INDONESIA WCA PRESENTS SPECIAL SCREENINGS WCA JUNIOR OPEN AIR = Q&A with filmmaker 3 Welcome Just like World Cinema Amsterdam, my daughter Santu will turn 10 this year. Her mother is from Friesland; her (biological) father lives in Mali. The number of Amsterdammers with a bicultural identity now constitutes a majority, enriching the city. Over the past 10 years, World Cinema Amsterdam has undergone a similar development to Amsterdam society; we've seen black schools become more mixed, while the WCA audience also grew more diverse. People with a bicultural identity are occupying increasingly important positions for the festival – as is happening everywhere in the cultural, social and economic world. Amsterdam is home to many nationalities engaging with each other rather than just co-existing. Still, there are many more steps to take before we can claim to be an actual inclusive society. Efforts will have to be made on both sides: Amsterdammers of all colour, whether that be white, black, brown or anything in between, will have to step out of their safe haven. As a film theatre, Rialto has been trying to contribute to this by bringing filmmakers and their films from all over the world to Amsterdam, introducing them to multicultural Amsterdam and the Netherlands, thus creating a deeper understanding of our diverse cultural origins and encouraging dialogue, encounters and inclusion.
    [Show full text]
  • Constructing the Nation: Representation and Children in Indonesian Cinema
    School of Media, Culture & Creative Arts Constructing the Nation: Representation and Children in Indonesian Cinema I Gusti Agung Ketut Satrya Wibawa This thesis is presented for the Degree of Doctor of Philosophy of Curtin University September 2018 Declaration To the best of my knowledge and belief this thesis contains no material previously published by any other person except where due acknowledgment has been made. This thesis contains no material which has been accepted for the award of any other degree or diploma in any university I Gusti Agung Ketut Satrya Wibawa Date: 07 / 09 / 2018 iii Abstract This doctoral thesis applies a critical national cinema perspective to the examination of the changing discursive construction of Indonesia as a nation through the representation of children in Indonesian cinema. Cinema studies scholars have generally observed that Indonesian film has been utilised to explore issues such as social class, the family, the authoritarian state, and national identity in relation to this nation’s modern history of geopolitical and internal conflict (Said, 1991; Heider, 1991; Sen, 1994; Robert, 2000; Biran, 2009; Barker, 2011; Van Heeren, 2012; Paramaditha, 2014, Heryanto, 2014, Hanan, 2017). However, there has been limited dedicated scholarly attention given solely to the representation of children in this nation’s cinema (Kittley, 1999; Strassler, 1999; Spyer, 2004; Wibawa, 2008; Allen, 2011; and Noorman & Nafisah, 2016) although the Indonesian child has been a favourite subject of Indonesian film directors and screenwriters. This thesis conducts close analysis of fiction films that place child characters in the main narrative, made in Indonesia from the colonial era to the period of political reform that followed the fall of the New Order, in order to examine the way these representations are constructed to convey cultural narratives and ideologies about Indonesia as a nation.
    [Show full text]