TEMA-TEMA LAKON PEWAYANGAN DALANG KI ENTHUS SUSMONO DI KABUPATEN TEGAL JAWA TENGAH TAHUN 2013-2017

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh Rizka Putri Fauziah NIM. 1113022000081

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Rizka Putri Fauziah NIM : 1113022000081 Program Studi : Sejarah dan Peradaban Islam Judul Skripsi : Tema-Tema Lakon Pewayangan Dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah Tahun 2013-2017 Dengan ini menyatakan bahwa, skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan, dan analisis sendiri serta bukan bentuk plagiarisme maupun replikasi dari hasil penelitian atau karya orang lain. Apabila terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya sendiri atau hasil plagiarisme dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian surat ini saya buat, dengan segala akibat yang timbul di kemudian hari menjadi tanggung jawab pribadi.

ii

TEMA-TEMA LAKON PEWAYANGAN DALANG KI ENTHUS SUSMONO DI KABUPATEN TEGAL JAWA TENGAH TAHUN 2013-2017

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh Rizka Putri Fauziah NIM. 1113022000081

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018M

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul Tema-Tema Lakon Pewayangan Dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal Jawa Tengah Tahun 2013-2017 ini telah diujikan dalam sidang skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Maret 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Ciputat, 12 Maret 2018

iv

DEDIKASI

Skripsi ini penulis persembahkan untuk: Kedua orang tua penulis, Abi Sobirin (alm.) dan Umi Siti Julaekha, serta kedua adik penulis, Qotrunnada Salsabila dan Faiq Fachrurrozy Abdillah. Kalianlah yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk terus berjuang menyelesaikan skripsi ini.

v

ABSTRAK

Studi ini menjelaskan tentang tema-tema lakon di Kabupaten Tegal, dengan dalang Ki Enthus Susmono yang masih melestarikan kesenian wayang, dan tidak mengurangi kegiatan Ki Enthus sebagai Bupati Tegal. Ki Enthus merupakan anak dari keturunan dalang. Wayang yang lekat dengan budaya Jawa ini telah ada sejak zaman animisme. Ki Enthus merupakan dalang wayang golek dan , di tangan Ki Enthuslah boneka-boneka dari kulit kerbau dan kayu Leme atau Albasiah ini menjadi pagelaran yang ditunggu-tunggu pentasnya oleh masyarakat. Tidak hanya menghibur masyarakat Tegal, Ki Enthus juga pentas di luar pulau Jawa. Metode yang penulis gunakan adalah metode analisis dengan deskriptif data (kualitatif), dengan cara observasi langsung ke tempat penelitian dan melakukan wawancara kepada narasumber terkait skripsi. Dan metode dokumentasi dengan pengumpulan artikel serta video-video terkait tema- tama lakon pagelaran Ki Enthus. Temuan peneliti adalah bahwa Ki Enthus merupakan dalang kontemporer, tema-tema yang Ki Enthus gunakan merupakan tema-tema keseharian, kenabian, isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan oleh masyarakat. Karena Ki Enthus merupakan Bupati di Kabupaten Tegal, maka dunia perpolitikan ia masukan ke dalam tema lakon pagelarannya, untuk mengkritisi para penguasa. Selain tema yang bersifat politik, Ki Enthus juga memodifikasi tema-temanya kedalam tema Nasionalisme dan Ekonomi. Dipentaskan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, serta diselingi dengan guyonan-guyonan, pagelaran Ki Enthus pun menjadi semakin hidup. Menampilkan dua tokoh Wayang Golek yang fenomenal Lupit dan Slenteng. Tidak hanya Lupit dan Slenteng Ki Enthus pun banyak membuat tokoh-tokoh kontemporer, seperti wayang politik Susilo Bambang Yudhoyono, Barack Obama, Saddam Husein, Jokowi, Jusuf Kalla, dan masih banyak lagi karya-karya tokoh pewayangannya. Ki Enthus juga mengutip ayat-ayat suci al-Qur‟an serta Hadits Nabi dalam pementasannya.

Kata kunci: Ki Enthus Susmono, Wayang Santri, Kesenian Kabupaten Tegal.

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil „alamin, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang maha pengasih dan penyayang, yang telah melimpahkan segala macam nikmat dan rahmat-Nya. Sholawat dan salam senantiasa selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman ini. Amin. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapat gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dengan usaha dan tekad yang kuat akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Tema- Tema Lakon Pewayangan Dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah Tahun 2013-2017”. Dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak pihak yang telah berpartisipasi dalam memperlancar penyelesaian skripsi ini baik bersifat moril ataupun materil. Dengan ini penulis mengucapkan terimakasih serta penghargaannya atas dorongan dan kerjasamanya kepada penulis, untuk menyelesaikan skripsi ini. Rasa terimakasih dan penghargaan yang begitu besar penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Bapak H. Nurhasan, M.A selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswi dalam beberapa hal yang berhubungan dengan Universitas sehingga segalanya menjadi lebih mudah. 4. Ibu Solikhatus Sa‟diyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, yang telah banyak membantu penulis saat menjadi mahasiswi di Prodi SPI ini, baik yang berhubungan dengan surat menyurat ataupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

vii viii

5. Bapak Prof. Budi Sulistiono M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus mencari sumber dalam penulisan skripsi ini, yang selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi yang dengan sabar dan berdedikasi tinggi dalam proses penulisan skripsi ini. 6. Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M.A selaku dosen Penasehat Akademik Penulis dan dosen penguji skripsi I yang telah memperbaiki isi skripsi penulis sehingga menjadi lebih baik. 7. Bapak Dr. Abdul Wahid Hasyim M.Ag selaku dosen penguji II yang telah memperbaiki isi skripsi penulis sehingga menjadi lebih baik. 8. Seluruh dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun ilmu yang telah kalian berikan sangat berarti dalam hidup penulis. 9. Kedua orang tua Abi Sobirin (alm.) dan Umi Siti Julaekha, selaku orang tua penulis. Terimakasih atas cinta, kasih sayang, kepercayaan, motivasi, do‟a dan pengorbanan tiada pamrih kepada penulis, sehingga penulis termotivasi hingga bisa menyelesaikan skripsi ini. 10. Qotrunnada Salsabila dan Faiq Fachrurrozy Abdillah, kedua adik penulis yang selalu memberikan semangat dan kebahagiaan bagi penulis. 11. KH. Syarif Rahmat RA. SQ. MA dan Hj. Uswatun Chasanah selaku pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qura, terimakasih atas segala ilmu yang diberikan kepada penulis, semoga bisa terus dimanfaatkan oleh penulis dengan sebaik-baiknya. 12. Arfan Effendi selaku sahabat penulis, terimakasih atas do‟a, dukungan dan motivasi yang tiada henti-hentinya. 13. Keluarga besar kakek Damad dan keluarga besar kakek H. Nurcholis yang telah memberikan semangat kepada penulis. 14. Abah Enthus Susmono, selaku informan utama dalam skripsi ini, yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan yang begitu padat, memberikan pengalaman baru, dan semangat kepada penulis.

ix

15. Teman-teman dari Komunitas Anak Panah yang tanpa mengurangi rasa kasih sayang dari penulis, tidak bisa disebutkan satu persatu, namun kalianlah yang menjadi salah satu penyemangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, dan menjadi sahabat yang selalu ada untuk penulis. 16. Teman-teman seperjuangan di SPI angkatan 2013 yang banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. 17. Abang dan Neng Kece yang merupakan teman seperjuangan di Pondok Pesantren Ummul Qura, terimakasih atas semangat dan dukungan yang selalu menginspirasi penulis. 18. Ka Haryo Ja‟far Susilo dan Bapak Hatmanto, serta crew Sanggar Satria Laras, yang telah membantu penulis dan menggali informasi terkait dengan skripsi ini. 19. Teman-teman KKN 2016 Pasba Abipraya yang telah memberikan semangat kepada penulis. Semua pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya, mudah- mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi kita semua.

Jakarta, 12 Maret 2018

Rizka Putri Fauziah

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... ii LEMBAR PERSETUJUAN ...... iii LEMBAR PENGESAHAN ...... iv DEDIKASI ...... v ABSTRAK ...... vi KATA PENGANTAR ...... vii DAFTAR ISI ...... x BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Permasalahan ...... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9 D. Tinjauan Pustaka ...... 10 E. Landasan Teori ...... 11 F. Metode Penelitian ...... 12 G. Sistematika Penulisan ...... 14 BAB II BIOGRAFI KI ENTHUS SUSMONO ...... 15 A. Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Tegal ...... 15 B. Biografi Ki Enthus Susmono ...... 20 C. Pengalaman Sosial, Politik dan Keagamaan Ki Enthus Susmono...... 25 BAB III SEJARAH DAN FUNGSI WAYANG ...... 31 A. Sejarah Wayang ...... 31 B. Jenis-Jenis Wayang ...... 34 C. Perkembangan Wayang dari Masa ke Masa ...... 39 D. Wayang Sebagai Media Dakwah ...... 47 BAB IV PEWAYANGAN KI ENTHUS SUSMONO ...... 50 A. Karya dan Penghargaan Ki Enthus Susmono ...... 50 B. Tema Nasionalisme ...... 54 C. Tema Politik ...... 57 D. Tema Keagamaan ...... 59

x xi

BAB V PENUTUP ...... 66 A. Kesimpulan ...... 66 B. Saran ...... 66 DAFTAR PUSTAKA ...... 68 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 74

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Negara Indonesia memiliki wilayah yang luas, meliputi wilayah Sabang sampai Marauke, dan memiliki karya budaya tradisi lisan yang banyak tersebar diseluruh pelosok Nusantara. Berbagai bentuk tradisi lisan mulai dari cerita rakyat, teater rakyat, pantun, nyanyian rakyat, merupakan kekayaan budaya yang memiliki nilai-nilai.1 Kekayaan budaya tradisi lisan yang corak dan ragamnya tak terhitung, kini semakin sulit untuk dicari jejaknya. Kalaupun ada cenderung sudah tidak utuh lagi karena pelakunya sudah tidak ada, atau hanya satu dua, bahkan ada yang sudah tidak tampak jejaknya. Kondisi ini, di samping karena perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan tekhnologi, juga karena tidak adanya perhatian dari pemilik maupun perhatian dari pemerintah. Budaya Indonesia memiliki jenis dan warna yang beragam. Di antara berbagai suku yang mendiami kepulauan Nusantara, budaya Jawa termasuk yang dapat dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk kesenian yang amat kaya, telah ada sejak zaman kuno dan masih dinikmati oleh masyarakat hingga kini. Namun ada pula yang semakin ditinggalkan para pendukungnya, dan tersisih oleh peredaran zaman. Budaya adalah adat suatu masyarakat setempat yang sudah dilakukan secara turun-temurun,2 kawasan budaya Jawa meliputi Jawa Tengah dan sebagian besar Jawa Timur yang menjadi tempat berkembangnya salah satu kesenian milik budaya Jawa yang sangat berharga, yaitu wayang suatu jenis kesenian yang beraneka ragam dan masing-masing dengan bahan cerita serta pesan yang dibawanya. Masyarakat Jawa memiliki ragam kesenian sendiri dan tumbuh sesuai dengan perkembangan budaya Jawa. Kesenian Jawa mengalami pertumbuhan yang pesat setelah mendapat pengaruh berbagai macam kesenian asing. Namun

1 Sumitarsih, dkk., Wayang Topeng sebagai Wahana Pewarisan Nilai (Jakarta : Kementrian Pendidikan Kebudayaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2000), h. 2. 2 M. Naufal Zharif Bakar, Mengenal Budaya Nusantara (Bandung : Usaha Jaya Pratama, 2012), h. 15.

1 2

kesenian asing tidak mampu mematikan kesenian Jawa karena kesenian Jawa tetap mengakar pada kepribadian Jawa.3 Dari sekian banyak jenis kesenian Jawa, seni pewayangan yang hidup sejak beribu-ribu tahun yang lalu telah mencapai mutu yang tinggi. Seni pewayangan memuat filsafat hidup di Jawa, etika Jawa, estetika Jawa, sehingga seni pewayangan merupakan ensiklopedi dan tuntunan hidup bagi masyarakat Jawa. Begitu besarnya peran wayang dalam kehidupan masyarakat Jawa, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wayang merupakan identitas orang Jawa. Pada dasarnya pertunjukan wayang pada masa lalu adalah sebagai upacara ritual pemujaan roh nenek moyang. Kenyataan ini memang masih terasa hingga sekarang, kepercayaan itu tentu erat kaitannya dengan kepercayaan kuno Indonesia, yakni kepercayaan animisme dan dinamisme.4 Para ahli sejarah berupaya mengkontruksikan asal usul pagelaran wayang G.A.J Hazeu yang teorinya lebih banyak diterima berpendapat bahwa pergelaran seni pertunjukan wayang diperkirakan sudah ada sejak zaman animisme.5 Sedangkan Sri Mulyono berpendapat bahwa pertunjukan wayang sudah berumur lebih dari 3000 tahun, atau bila dihitung dari pertunjukkan bentuk aslinya sudah mempunyai umur kurang lebih 3.518 tahun (kurang lebih 1500 SM–2018).6 Walaupun wayang kulit sudah berumur lebih dari 3000 tahun, namun masih tetap digemari dan tetap mendarah daging bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan suku Jawa pada khususnya. Begitu juga dengan teater wayang kulit, banyak orang mengira bahwa pertunjukkan itu adalah peninggalan kebudayaan Hindu, akan tetapi pada dasaranya kenyataan tidak sesuai dengan halnya, karena wayang kulit dalam bentuk yang asli dengan diciptakan serba sederhana dipastikan berasal dari Indonesia dan diciptakan oleh bangsa Indonesia di Jawa jauh sebelum kebudayaan Hindu datang yakni kira-kira tahun 1500 SM.7

3 Suwadji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan. (Semarang : Dahara Press, 1993), h. 5. 4 Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa (Semarang : Effhar dan Dahara Prize, 1992), h. 13- 14. 5 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal-Usul. Filsafat, dan Masa Depannya (Jakarta : PT. Gunung Agung, 1982), h. 8. 6 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal-Usul. Filsafat, dan Masa Depannya, h. 1-7. 7 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal-Usul. Filsafat, dan Masa Depannya, h. 2.

3

Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan besar-besaran, tidak saja dalam bentuk dan cara pagelaran wayang, melainkan juga isi dan fungsinya. Berangkat dari perubahan nilai-nilai yang dianut, maka wayang pada zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian dengan zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik profesional seperti tertera dalam relief candi-candi, distilir8 menjadi bentuk imajinatif seperti wayang sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti Kelir atau layar, Blencong atau lampu yang digunakan di atas kepala dalang, Debog yaitu pohon pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.9 Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus-menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam.10 Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada masyarakat. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga sekarang. Wayang dalam bahasa Jawa berarti bayangan.11 Jika dilihat dari sudut pandang terminologi ada beberapa pendapat tentang wayang. Pertama wayang berasal dari kata wayangan yang berarti sumber ilham maksudnya adalah ide dalam menggambarkan wujud tokohnya. Kedua wayang berasal dari dua kata yakni wad dan byang yang artinya leluhur.12 Dan secara harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu berubah,

8 Dalam seni rupa bermakna gaya 9 Herry Lisbijanto, Wayang ( : Graha Ilmu, 2013), h. 25. 10 Herry Lisbijanto, Wayang, h. 32. 11 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan Masa Depannya, h. 9. 12 Rizem Aizid, Atlas Tokoh-Tokoh Wayang (Yogyakarta : Diva Press, 2012), h. 19.

4

dan kini wayang dapat diartikan sebagai pertunjukkan panggung atau teater atau dapat berarti aktor dan aktris.13 Wayang bukan hanya pagelaran yang bersifat menghibur, tetapi juga syarat akan nilai-nilai filsafat hidup. Karena dalam cerita wayang tiap tokohnya merupakan refleksi atau representasi dari sikap, watak, dan karakter manusia secara umum. Wayang pada umumnya menunjuk pada teater boneka yang digerakkan oleh seorang dalang dengan iringan bunyi-bunyian, mulai dari yang sederhana sampai pada orkestra penuh.14 Bahkan wayang juga dikenal sebagai salah satu media komunikasi pembangunan merupakan langkah yang sangat positif dan bijaksana, pertama wayang berfungsi sebagai melestarikan warisan nilai budaya nenek moyang bangsa, dan kedua wayang sebagai suatu bentuk kesenian tradisional yang telah berakar kuat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.15 Sekarang banyak orang mengatakan bahwa wayang kulit adalah kesenian yang tinggi martabatnya, bahkan memberi predikat bahwa wayang kulit adalah kesenian klasik tradisional adhiluhung. Indonesia mempunyai banyak jenis-jenis wayang, diantaranya Wayang Kulit, Wayang Golek, Wayang Topeng, Wayang Banjar, Wayang Beber, Wayang Klitik, Wayang Suluh, Wayang Warta, Wayang Jawa, Wayang Perjuangan, Wayang Tutus yang merupakan khas Tegal. Keistimewaan wayang sebagai bentuk kesenian adalah sifat-sifatnya yang adhiluhung dan edipeni, yaitu seni yang sarat dengan falsafatnya, serta sangat indah. Bisa juga dikatakan mengandung nilai-nilai etika dan estetika. Para pakar budaya barat menyebutkan wayang sebagai bentuk drama yang canggih di dunia (The most complex and sophisticated theatrical form in the world).16 Wayang berfungsi sebagai tontonan dan juga tuntunan dalam masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu hingga sekarang, banyak sarjana Barat yang telah melakukan penelitian dan

13 Pandam Guritno, Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila (Jakarta : UI-Press, 1988), h. 11. 14 Bagyo Suharyono, Wayang Beber Wonosari (Depok : Bina Citra Pustaka, 2005), h. 5. 15 Ali Rif‟an, ed., Buku Pintar Wayang (Yogyakarta : Garai lmu, 2010), h. 10. 16 Edy Sedyawati, Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid I, Volume I (Sekretaris Nasional Pewayangan Indonesia : Sena Wangi, 1999), h. 21.

5

belajar tentang wayang misalnya Sarah Bilby (Inggris), G.J Davidson (Australia), Matthew Isaac Cohen (Belanda), dan masih banyak lagi.17 Kota Tegal berada di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah, terletak 165 km sebelah Barat Kota Semarang atau 329 km sebelah Timur Jakarta, terletak di antara 109°08‟ - 109°10‟ Bujur Timur dan 6°50‟ - 6°53‟ Lintang Selatan, dengan wilayah seluas 39,68 Km² atau kurang lebih 3.968 Hektar. Kota Tegal berada di wilayah Pantura, dari peta orientasi Provinsi Jawa Tengah berada di wilayah Barat, dengan bentang terjauh Utara ke Selatan 6,7 Km dan Barat ke Timur 9,7 Km. Dilihat dari letak geografis, posisi Tegal sangat strategis sebagai penghubung jalur perekonomian lintas nasional dan regional di wilayah Pantura yaitu dari Barat ke Timur (Jakarta-Tegal-Semarang-Surabaya) dengan wilayah tengah dan selatan Pulau Jawa (Jakarta-Tegal-Purwokerto-Yogyakarta-Surabaya) dan sebaliknya.18 Tegal semula merupakan salah satu daerah pemukiman yang ada di Jawa Tengah, dan dianggap sebagai tempat terpencil, yang kemudian berkembang menjadi Kota, letaknya di pantai Utara Jawa. Maka Tegal merupakan salah satu kota pantai yang dihuni oleh sejumlah penduduk, sehingga Tegal menarik untuk dikaji. Asal mula nama Tegal yakni konon menurut cerita rakyat tokohnya adalah Pangeran Panggung19 sebagai pembuka babad daerah dan pemimpin awal tempat tersebut. Diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Demak daerah Tegal di bawah pimpinan Pangeran Panggung atau Raden Panggung yang kemudian juga disebut sebagai Mbah Panggung. Cerita rakyat yang kedua menjelaskan bahwa Tegal berasal dari kata tetegal yang artinya lahan pertanian kering (tegalan) yang dapat ditanami palawija.20 Daerah ini berkaitan dengan adanya tokoh bernama Ki

17 Hereby Proclaims, Wayang Puppet Theatre (Paris : a Masterpiece of the Oral and Intangible Heriage of humanity, 2008), h. 2. 18 http://www.tegalkab.go.id/page.php?id=5 (diakses pada tanggal 31 April 2017, Pukul 14.30 WIB) 19 Ulama karismatik dari Jazirah Arab, yang menyebarkan agama Islam di wilayah Tegal. Nama aslinya adalah Syekh Abdurrahman 20 Merupakan hasil panen kedua disamping padi, istilah ini berkembang diantara para petani di pulau Jawa

6

Gede Sebayu,21 ia beserta pengikutnya Ki Wanakusma anak dari Raden Panggung, menyiarkan agama Islam di tempat tersebut, mengajarkan tentang keesaan Tuhan (Ketauhidan), akhlaq mulia, budi pekerti yang baik, sehingga lama-lama tempat itu ramai dan menjadi kota yang disebut dengan Tegal.22 Ada juga yang melatar belakangi sejarah berkaitan dengan tindakan seseorang, mengenai asal kata Tegal berasal dari kata Tegel yang artinya tega atau sampai hati.23 Pada masa Kerajaan Mataram ada dua orang saudara seperguruan yakni Martoloyo dan Martapuro. Martoloyo adalah putra Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah, yang merupakan salah satu Adipati daerah pantai Utara. Sedangkan Martopuro adalah Adipati Jepara. Keduanya berguru di Padepokan Lembah Manah kepada Kyai Lembah Manah. Dan dihadapan gurunya mereka telah berjanji Sabaya Mukti, Sabaya Pati yang artinya kalau bahagia, bahagia semua, kalau mati, mati semua.24 Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan terdorong oleh situasi pada masa itu, kemudian berakibat lain tidak seperti yang diharapkan. Peran penting dalam dunia pewayangan adalah dengan hadirnya seorang Dalang. Kata Dalang berasal dari kata weda dan wulang atau mulang. Weda adalah kitab agama Hindu yang memuat peraturan tentang hidup dan kehidupan manusia dalam masyarakat ramai, dalam pergaulan sesama manusia, terutama menuju kesempurnaan di alam baka. Wulang berarti ajaran atau petuah, sedangkan mulang berarti memberi pelajaran. Dengan demikian yang disebut dengan dalang adalah seorang yang mempunyai kejuruan dan menganggap dirinya mempunyai tugas suci untuk memberikan wejangan, pelajaran, uraian atau tafsiran tentang isi kitab suci Weda beserta maknanya kepada masyarakat.25

21 Bupati Tegal, dan merupakan salah satu orang yang sangat berjasa dalam membangun Tegal. 22 S. Ilmi Albiladiyah, dkk, Tegal dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta : Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2013), h. 13-18. 23 Suriali Andi Kustomo, Jejak Kota Tegal 1999-2009 (Tegal : Bagian Humas dan Protokol Kota Tegal, 2010), h. 6. 24 Rochani A.H, Ki Gede Sebayu Babad Negeri Tegal (Tegal : Intermedia Paramadina bekerjasama dengan Pemerintahan Kabupaten Tegal, 2005), h. 115-153. 25 Nursodik Gunarjo, ed., Wayang Sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Diseminasi Informasi (Jakarta Barat : UEU- University Press, 2013), h. 36.

7

Salah satu dalang yang masih melestarikan seni pertunjukkan wayang adalah Ki Enthus Susmono, Ki Enthus merupakan seorang dalang wayang kulit dari Kabupaten Tegal, nenek moyangnya merupakan seorang dalang. Ki Enthus Susmono merupakan anak dari keturunan dalang, ayahnya merupakan seorang dalang, sehingga Ki Enthus ingin melestarikan kesenian wayang yang merupakan budaya Jawa. Pendidikan Ki Enthus dengan belajar bersama dalang yang lebih dulu, otodidak, dan sering kali mengikuti pementasan ayahnya.26 Ia dikenal sebagai orang yang mudah bergaul dengan siapapun dan berbagai kalangan, khususnya kalangan pedalangan dan pagelaran dengan apresiasi masyarakat serta penyajiannya selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Ki Enthus Susmono menjadikan pertunjukan wayang kulit dan wayang golek sebagai media da‟wah. Ia mempunyai kreasi dan inovasi untuk menjadikan pertunjukkan wayang kulit sebagai media tontonan dan tuntunan yang mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam. Dalam media wayang inilah Ki Enthus melakukan inovasi dalam menyajikan pertunjukan wayang kulitnya, walaupun Ki Enthus sering kali mendapatkan kritikan dari dalang lainnnya, mengatakan bahwa Ki Enthus merupakan dalang yang slebor,27 sebab disaat orang lain mencaci, Ki Enthus justru memiliki kreasi dan inovasi untuk menjadikan pertunjukan wayang kulit sebagai media tontonan dan tuntunan yang mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam.28 Tema-tema yang ia gunakan sebagai tema pertunjukan sebagian besar merupakan tentang da‟wah Islam, dimana ia menggabungkan antara seni dengan pokok ajaran Islam.29 Ada dua metode yang ia gunakan dalam menyampaikan ajaran agama Islam dalam wayang selama ini, yang pertama dengan mengutip ayat al-Qur‟an dan Hadits secara langsung, dan yang kedua mengutip ayat al-

26 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB 27 Acak-acakan (tentang pakaian, pekerjaan, dan lain sebagainya) 28https://nasional.kompas.com/read/2009/02/27/11150324/ki.enthus.susmono.kreativitas.tia da.henti (diakses pada tanggal 10 Februari 2017, pukul 08.00 WIB) 29 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB.

8

Qur‟an atau Hadits secara tidak langsung, tetapi secara simbolis atau terselubung.30 Ada juga tema yang tidak ada unsur ke-Islaman nya melainkan adanya tema yang mengandung moral, pendidikan, dan lain sebagainya. Tema-tema lakon pewayangan Ki Enthus sudah banyak diantaranya : 1. Lakon wayang Karna Tanding, lakon ini bertemakan perjuangan menuntut hak demi tegaknya keadilan yang ada di dunia, dan memiliki amanat jangan mudah putus asa dalam menuntut hak demi tegaknya keadilan yang ada. 2. Lakon wayang Resi Durna, dimaknai sebagai lambang angan-angan atau budi yang menggerakkan tokoh Bima. 3. Lakon wayang Arjuna Krama, 4. Lakon wayang Rama Nitis, 5. Lakon wayang Semar Wirid, 6. Lakon wayang Murid Murtad, dan masih banyak lagi. Dalam penelitian ini, penulis ingin memaparkan apa saja tama-tema lakon pewayangan Ki Enthus Susmono, penulis membaginya menjadi beberapa komponen yaitu tema Nasionalisme, tema Politik dan tema Agama.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang dari uraian, maka penulis mencoba mengangkat serta menginformasikan kembali mengenai kesenian Wayang Kulit dan Wayang Golek, dengan dalang Ki Enthus Susmono dari Kabupaten Tegal, yang masih melestarikan kesenian wayang. Berbeda dengan dalang-dalang lainnya, yang biasanya seorang dalang hanya mempagelarkan wayang kulit ataupun wayang golek, Ki Enthus dapat memainkan keduanya. Tema-tema wayangnya pun tidak hanya berbicara tentang da‟wah Islam, akan tetapi ia memodifikasi dengan tema- tema Politik, Nasionalisme, dan Ekonomi. Oleh karena itu yang menjadi permasalahan utama adalah apasaja tema- tema lakon wayang Kulit dan Wayang Golek dalang Ki Enthus Susmono. 2. Pembatasan Masalah Terkait dengan judul penulisan penelitian : “Tema-Tema Lakon Pewayangan Dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah tahun 2013-2017”, penulis membatasi mengenai dalang, yaitu hanya kepada

30 Muhammad Mukti, “Wayang Dalam Konteks Budaya”, Jurnal Imaji, (Februari, 2006)

9

Ki Enthus Susmono. Selanjutnya penulisan ini hanya berfokus pada tema- tema Wayang Kulit dan Wayang Golek Ki Enthus. 3. Batasan Masalah Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut : 1) Bagaimana sejarah pertunjukan Wayang? 2) Apa saja karya-karya dan biografi Ki Enthus Susmono ? 3) Apa saja tema-tema lakon Wayang Kulit dan Wayang Golek Ki Enthus Susmono ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui nilai ajaran Islam yang dikemas dalam sebuah lakon / tema oleh Ki Enthus Susmono dan bagaimana pertunjukan wayang itu di pentaskan. 2. Untuk mengetahui bagaimana karya-karya dan biografi Ki Enthus Susmono 3. Untuk mengetahui apa saja, bagaimana dan kapan tema / lakon wayang kulit dan wayang golek dipentaskan. 4. Penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan dalam bidang kesenian wayang. Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan khazanah keilmuan, penelitian ini terkait sejarah lokal, dimana sampai saat ini belum ada penelitian oleh mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang membahas tentang kesenian wayang dengan dalang dari Kabupaten Tegal Ki Enthus Susmono. 2. Memberikan gambaran tentang melestarikan kebudayaan Indonesia khusunya Jawa dengan kesenian wayang. 3. Menambah wawasan dan pengetahuan untuk para pembaca dan penulis tentang sejarah lokal yang ada di Kabupaten Tegal.

10

4. Setelah melihat dan mempelajari kebudayaan dalam perwayangan Jawa, maka diharapkan masyarakat dapat mengambil i‟tibar (manfaat) atau pelajaran tentang kehidupan dan tujuan hidup.

D. Tinjauan Pustaka Banyak sekali referensi yang membahas tentang kesenian wayang, akan tetapi referensi yang berkenaan mengenai tema skripsi ini hanya sedikit. Buku rujukan pertama adalah Buku tentang Wayang : Asal Usul, Filsafat dan Masa Depannya, ditulis oleh Ir. Sri Mulyono, tahun 1982. Buku ini membahas tentang sejarah tentang asal usul wayang, dan perkembangan seni wayang kulit zaman kedatangan agama Islam sampai wayang dalam pembaharuan.31 Buku yang berjudul Nilai-Nilai Seni Pewayangan, ditulis oleh Suwadji Bastomi (ed), tahun 1993. Buku ini membahas tentang sejarah wayang, nilai-nilai yang ada di pagelaran wayang, dan makna dalang.32 Skripsi yang berjudul Inovasi Ki Enthus Susmono dalam Pertunjukan Wayang Kulit Lakon Sesaji Rajasuyo, ditulis oleh Nur Latifah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014. Skripsi ini menjelaskan tentang biografi Ki Enthus Susmono dan perkembangan wayang kulit Lakon Sesaji. Dimana Skirpsi Nur Latifah membahas tentang inovasi Ki Enthus dalam pertunjukan wayang kulit Lakon Sesaji Rajasuryo. Bedanya jika di skripsi ini hanya fokus membahas Lakon Sesaji Rajasuryo.33 Skripsi yang berjudul Teknik Penyampaian Pesan Dakwah Dalam Video Pementasan Wayang Santri Lakon Murid Murtad Dalang KI Enthus Susmono, ditulis oleh Budiman Yulianto, IAIN Walisongo, Semarang, 2013. Skripsi ini

31 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan Masa Depannya, h. 1-4. 32 Suwadji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan (Semarang : Dahara Press, 1993), h. 6. 33Nur Latifah, “Inovasi Ki Enthus Susmono dalam Pertunjukan Wayang Kulit Lakon Sesaji Rajasuyo,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014), h. 6.

11

menjelaskan tentang bagaimana caranya ta‟dzim (patuh) kepada guru dan yang lebih tua, serta membahas satu tema saja dan menggunakan tekhnik video.34 Jurnal Imaji, Vol 4, No.1 dengan judul Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Lakon Ruwatan Rajamala, ditulis oleh Muhammad Mukti. Penelitian ini menjelaskan tentang nilai ajaran Islam yang berhubungan dengan Allah, nilai ajaran Islam yang berhubungan dengan manusia, dan nilai ajaran Islam yang berhubungan dengan alam. Perbedaannya terletak pada bentuk pertunjukan yang ditekankan penyajian cerita lakonnya dan nilai ajaran Islam yang terungkap dalam penelitian ini tidak dihubungkan dengan Ki Enthus Susmono.35 Dari beberapa sumber yang penulis baca, penulis belum menemukan tentang tema-tema lakon yang akan penulis bahas. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih banyak lagi tentang tema-tema lakon pedalangan Ki Enthus Susmono.

E. Landasan Teori Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi budaya. Objek kajian pendekatan ini adalah manusia dan budayanya. Agama merupakan salah satu unsur-unsur dari kebudayaan yang eksistensinya tidak terlepas dari realitas kebudayaan yang ada di sekelilingnya.36 Bahkan pagelaran wayang dikembangkan dari ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.37 Ada tiga wujud kebudayaan, pertama kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan.

34 Budiman Yulianto, “Teknik Penyampaian Pesan Dakwah Dalam Video Pementasan Wayang Santri Lakon Murid Murtad Dalang KI Enthus Susmono,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2013), h. 3. 35 Muhammad Mukti, “Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Lakon Ruwatan Rajamala,” Jurnal Imaji, Vol 4, no.1, (Februari 2006) : h. 46-52. 36 Adrew Beatty, Varities Og Javanese Religion, Diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saefuddin “Variasi Agama di Jawa : Suatu Pendekatan Antropologi”, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2001, h. 35. 37 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I (Jakarta : Erlangga, 1981), h. 180.

12

Kedua kebudayaan sebagai komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia.38 Menurut Geertz evolusi budaya adalah suatu perubahan atau perkembangan kebudayaan, dari bentuk sederhana kebentuk yang lebih komplek, yang kemudian dilanjutkan dengan proses difusi, yaitu penyebaran kebudayaan-kebudayaan yang terjadi bersamaan.39 Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya merupakan penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku tersebut.40

F. Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan adalah metode analisis data dengan deskriptif kualitatif. Dengan pendekatan antropologi untuk merekontruksi peristiwa masa lampau yang bersifat komperhensif.41 Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi 4 tahap yaitu:42 1. Heuristik Heuristik berarti menemukan atau mengumpulkan sumber. Adapun sumber yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sumber yakni sumber primer yang bersifat tertulis, sumber yang diterbitkan seperti dokumen, arsip (lembaran tertulis dari koleksi Ki Enthus), dan kemudian wawancara dan pengamatan langsung karena peneliti hadir dalam pentas wayang. Sumber sekunder berupa pandangan buku-buku terkait tesis, disertasi, majalah, surat kabar (Tempo, Kompas, Sindo, Tribunews, Republika, Radar Pekalongan, Pantura post, dll), jurnal serta sumber elektronik dari website. Pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan oleh penulis menggunakan studi perpustakaan (Library Research),

38 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I, h. 180. 39 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I, h. 150. 40 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I, h. 31. 41 Syaiful Arif, Refilosofi Kebudayaan Pascastruktural (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2010), h. 84 dan 11. 42 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 4-5 dan 152-156.

13

yakni dengan mengunjungi beberapa lembaga yang memiliki koleksi buku maupun arsip yang terkait dengan penelitian ini, seperti Perpustakan Nasional di Jalan Merdeka Selatan-Jakarta Pusat, Arsip Negara Republik Indonesia di Jalan Ampera Raya-Jakarta Selatan, Pusat Perfilman H.B Jassin di Cikini-Jakarta Pusat, Perpustakaan Umum Provinsi DKI Jakarta di Kuningan-Jakarta Selatan, Perpustakaan Universitas Indonesia di Pondok Cina-Depok, Perpustakaan Daerah Depok di Jalan Margonda Raya-Depok, Perpustakaan Daerah Tegal di Jalan KH. Ahmad Dahlan-Tegal, dan mencari hasil penelitian, kajian, Disertasi dan lain– lain. Metode dokumentasi adalah dokumen-dokumen yang dipelajari untuk mengetahui semua data-data seperti pengumpulan artikel, video-video, dll. Metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu kata-kata tertulis atau lisan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.43 Kemudian penulisan pada aspek kebudayaan memusatkan perhatian kepada interpretasi penuh arti dan kondisi faktual termasuk hal yang bersifat kualitas. 2. Kritik Sumber Tahapan selanjutnya setelah mengumpulkan sumber adalah kritik sumber, yang terbagi menjadi dua yaitu kritik intern dan ekstern. Penulis berusaha menganalisis dan membandingkan sumber-sumber yang didapat baik berupa buku, jurnal, tesis, dan surat kabar. 3. Interpretasi Tahapan selanjutnya adalah interpretasi, dalam tahapan ini penulis melakukan analisa sejarah terhadap sumber-sumber, yang terkait dengan tema- tema lakon wayang, dengan menggunakan pendekatan ilmu Antropologi budaya, sehingga dapat memecahkan masalah yang ada. 4. Penulisan Sejarah Dan terakhir adalah Historiogarfi (penulisan sejarah). Penulis menuliskan hasil pemikiran dan penelitian, memaparkan hasil dari penelitian sejarah secara sistematik yang telah diatur dalam pedoman penulisan skripsi.

43 Lexy, J. Moloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2000), h. 3.

14

G. Sistematika Penulisan Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, termasuk di dalamnya pendahuluan dan penutup. Berikut dituliskan secara singkat bab I sampai bab V; Bab I, berisikan pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II, terdapat pembahasan tentang biografi Ki Enthus Susmono, meliputi keadaan sosial budaya masyarakat Tegal, biografi Ki Enthus Susmono, dan pengalaman sosial, politik dan keagamaan Ki Enthus Susmono. Bab III, terdapat pembahasan mengenai sejarah dan fungsi wayang, meliputi sejarah wayang, jenis-jenis wayang, perkembangan wayang dari masa ke masa, dan wayang sebagai media dakwah. Bab IV, terdapat pembahasan inti yang membahas mengenai pewayangan Ki Enthus Susmono, yang meliputi karya dan penghargaan Ki Enthus Susmono, tema Nasionalisme, tema Politik dan tema Agama pewayangan Ki Enthus Susmono. Bab V, merupakan penutup yang terdiri atas kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang menjadi tujuan awal pengkajian penelitian ini, dan saran-saran yang menjadi masukan-masukan untuk perbaikan penelitian berikutnya.

BAB II BIOGRAFI KI ENTHUS SUSMONO

A. Keadaan Sosial Budaya Masyarakat Tegal Kota Tegal merupakan kota tua, didirikan oleh Ki Gede Sebayu pada tahun 1850, Tegal pada masa silam merupakan daerah enclave Mataram yang memiliki loyalitas yang tinggi sehingga mengukir sejarah yang panjang. Pernah menjadi tempat penobatan Raja Mataram Amangkurat I, ketika kerajaan Mataram jatuh ke tangan Trunojoyo. Tegal juga memiliki Senopati yang gagah berani di zaman Sultan Agung, yakni Tumenggung Tegal yang kemudian bergelar Martoloyo setelah menjadi Bupati Tegal. Cerita rakyat memaparkan bahwa kemunculan kata Tegal yang kemudian menjadi sebuah desa lalu berkembang menjadi kota, erat kaitannya dengan tokoh masa lalu. Yakni Pangeran Panggung,1 sebagai pembuka (babad) daerah dan pemimpin awal tempat tersebut, cerita tentang Pangeran Panggung ini bermacam- macam dan simpang siur. Bahwa setelah memeluk Islam Pangeran Pangung kemudian bernama Abdurrahman, setelah pangeran panggung belajar agama islam dengan Syeh Siti Jenar, maka ia menetap di Tegal sambil mengajarkan agama Islam. Dengan ketokohan Pangeran Panggung dengan kegiatannya itu, maka Tegal menjadi lebih ramai karena banyak dikunjungi orang yang akan berguru agama.2 Sedangkan cerita lainnya mengatakan bahwa Tegal berasal dari kata tetegalan yang artinya lahan pertanian kering (tegalan) yang dapat di tanami palawija.3 Daerah ini berkaitan dengan adanya seorang tokoh bernama Ki Gede Sebayu, ia beserta pengikutnya dari Panjang mengembara ke arah barat mencari seseorang bernama Ki Wanakusuma anak dari Raden Panggung. Para pengikutnya

1 https://daerah.sindonews.com/read/1216261/29/mbah-panggung-dan-syiar-islam-di-tegal- 1498212008 (diakses pada tanggal 18 Januari 2018, pukul 14.00). Mbah Panggung dikenal sebagai sosok ulama karismatik dari jazirah Arab yang menyebarkan Islam di wilayah Kota Tegal, nama aslinya adalah Syekh Abdurrahman. Mbah Panggung juga menyebarkan Islam di Tegal. 2 S. Ilmi Albiladiyah, dkk, Tegal dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta : Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2013), h. 16. 3 Tanaman hasil kedua setelah padi, istilah palawija ini berkembang diantara petani di Pulau Jawa

15 16

mempunyai keterampilan yang berbeda-beda, yakni membuat kue-kue, parabotan gerabah, alat pertukangan, alat-alat perlengkapan dapur, tenun serta perhiasan dari emas. Sesanti (semboyan) kota Tegal adalah “Banteng Loreng Binoncengan” sebuah simbolik seorang anak kecil yang menunggang Banteng Loreng.4 Masyarakat Tegal digambarkan seperti banteng loreng, yang memiliki watak keras, kasar, pekerja keras dan sukar diatur. Sementara anak kecil bersuling merupakan gambaran watak pemimpin yang suci yang hatinya seperti anak kecil, penuh kejujuran dan lemah lembut. Artinya masyarakat Tegal bertempramental keras kasar dan susah diatur, akan tetapi pada hakikatnya patuh jika dipimpin oleh pemimpin yang jujur, memiliki kesucian hati dan lembut hatinya. Kota Tegal memiliki empat potensi utama, yaitu sebagai Kota Bahari, pusat perdagangan, kota wisata, belanja dan wisata kuliner. Empat potensi ini divisualkan dalam bentuk gelombang yang selalu bergerak dinamis, tidak pernah mati dan tidak berhenti menggeliat mencari celah-celah baru bagi pengembangan dimasa yang akan datang. Empat pontensi ini memiliki nilai dasar yang kuat, megah, modern, dan selalu tumbuh serta berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.5 Kesenian yang ada di daerah Tegal pada masa pergerakan Nasional antara lain Sintren, Lais, Tari Topeng Endel, Tradisi Labuhan, Seni Kentrung, Gending- Gending Tegal seperti Lutung Bingung, Karategan, Ronggeng Tegal. Sintren dan Lais adalah tarian yang berdasarkan magis dan diadakan dalam upacara adat untuk memohon hujan. Sintren yang berpegang peran adalah gadis, jika gadis itu sudah bersuami maka tidak dapat menerima roh yang akan masuk ke dalam badannya. Di dalam seni Lais yang pegang peran adalah jejaka yang belum beristri. Baik Sinten maupun Lais didampingi oleh Bodor (pelawak) sebanyak dua orang. Tarian ini dilakukan dalam keadaan tidak sadar (kesurupan). Kedua tarian ini berbeda baik nyanyian maupun instrumen untuk mengiringinya. Sintren diiringi dengan Gamban dan Kendang, sedangkan Lais diiringi dengan Gambang dan

4 Suriali Andi Kustomo, Jejak Kota Tegal 1999-2009 (Tegal : Bagian Humas dan Protokol Kota Tegal, 2010), h. 4. 5 Suriali Andi Kustomo, Jejak Kota Tegal (1999-2009), h. 6.

17

Buyung (genthong kecil). Berikut ini beberapa budaya yang ada di Kabupaten Tegal antara lain : 1. Tari Topeng Tari Topeng merupakan salah satu tarian tradisional Tegal. Tari ini ditetapkan sebagai tari khas Tegal oleh surat keputusan Bupati pada tanggal 1 Februari 2005, tari ini terdiri dari enam jenis, yakni tari Topeng Endel, tari Topeng Panji, tari Topeng Kelana, tari Topeng Kiprahan Patih atau Pongawa, tari Topeng Kresna dan tari Topeng Lanyapan Alus.6 Dan wilayah Tegal saat itu masih hutan belantara, penduduknya pun masih sedikit.7 Endel juga merupakan seni khas Tegal. Tari Topeng Endel merupakan tari topeng wanita dengan kostum endel mirip penari gambyong, tari ini biasanya di bawakan oleh satu atau dua penari bergantian. Tarian ini di iringi gending lancaran ombak banyu laras slendro patet menyura. Adapun instrumennya terdiri Kendang, Boning, Saron, Balongan dan Peking. Kegenitan menjadi salah satu ciri topeng endel sesuai dengan namanya Endhel yang dalam bahasa Tegal artinya kenes atau genit.8 Tari Topeng Tegal adalah tarian yang penarinya menggunakan topeng berwajah manusia. Tari ini menyimpan beragam nilai kehidupan manusia pada masa lampau, khususnya berhubungan dengan kehidupan rakyat. Gerakan penari yang lincah mencerminkan perempuan desa yang periang dan percaya diri, karena itu mereka di tuntut untuk percaya diri, jika tidak maka ia di cap sebagai gadis yang kurang berguna.9 2. Tradisi Labuhan (Sedekah Laut) Tradisi Labuhan merupakan ritual melarung atau menghanyutkan sesaji ke laut yang dilaksanakan oleh masyarakat di desa Tegalsari Tegal. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada tanggal satu Sura‟.10 Masyarakat nelayan Desa

6 Dra, Wuninggar dkk, Tari Topeng Khas Tegal (Tegal : Yayasan Tadulakota : 2013), h. 1. 7 Soipah, Kesenian Tradisional Tari Topeng Gaya Tegal Selayang Pandang (Tegal : T.pn., 2007) 8Suriali Andi Kustomo, Kabupaten Tegal Pesona Alam, Wisata, Industri, dan Perdagangan, h. 56. 9 Dra, Wuninggar dkk, Tari Topeng Khas Tegal, h. 12. 10 Hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, dan bertepatan dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriyah, karena kalender Jawa diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan

18

Tegalsari meyakini bahwa tanggal satu Sura‟ adalah hari yang tepat untuk melakukan ritual suci. Mereka percaya pada pergantian tahun dalam penanggalan Jawa bersamaan dengan hari meninggalnya Ki Budug Basuh,11 tetapi menurut legenda Ki Budug Basuh kalah dalam perang merebutkan Dewi Sri kemudian kembali lagi ke laut dan kemudian menjadi penguasa laut. Hal inilah yang mendasari tiap tahun pada tanggal satu sura‟ masyarakat nelayan di desa Tegalsari menyelenggarakan Tradisi Labuhan atas sedekah laut untuk menghormati dan memohon perlindungan dari penguasa laut.12 Inti dari pelaksanaan Tradisi Labuhan di desa Tegalsari ini adalah untuk membuang segala bencana, kejahatan dan malapetaka sehingga memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi warga masyarakat nelayan desa Tegalsari. Dengan melakukan ritual ini masyarakat akan merasa tenang, ayem tentrem. Sebaliknya apabila masyarakat tidak melaksanakan ritual maka akan timbul rasa takut akan adanya musibah, rasa takut akan diganggu roh halus yang jahat. Tradisi Labuhan juga berhubungan dengan pemujaan dan penghormatan kepada Allah SWT dan para leluhur ini merupakan permohonan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat dan rezeki yang melimpah. Dalam acara tradisi labuhan Ki Enthus juga ikut serta, biasanya ia memang diundang khusus untuk memperingati tradisi labuhan dengan mengadakan pentas wayang. 3. Seni Kentrung Kentrung merupakan sebuah grup kesenian dengan seperangkat alat musik yang terdiri dari Kendang Rebana, Ketipung dan Jidor.13 Kentrung hanya dimainkan oleh satu orang dengan membawa Kendang atau Terbang Jawa. Sang pemain berfungsi sebagai dalang sekaligus penyair. Kentrung merupakan tradisi

Hijriyah (Islam) https://id.m.wikipedia.org (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 01.00 WIB) 11 Masyarakat Cirebon menyakini bahwa Ki Budug Basuh merupakan cikal bakal seluruh makhluk hidup yang ada dilaut. Dedy Irawan, Hubungan Antara Etnisitas, Status Sosial, Ekonomi dan Religiutas dengan Prespektif Terhadap Tradisi Nadran, (Skripsi S1, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2016), h. 5. 12 www.balaibahasajateng.web.id>home (diakses pada tanggal 05 Juli 2017) 13 Dra, Wuninggar dkk, Seni Kentrung Khas Tegal (Tegal : Yayasan Tadulakota : 2013), h. 2.

19

atau sastra lisan, kekuatannya terletak pada makna dari syair yang dilantunkan. Syair berupa pakeliran Jawa dinyanyikan seperti lagu atau hanya sekedar disampaikan seperti orang memberi petuah pada anak atau masyarakat. Asal usul kesenian Kentrung dipengaruhi oleh tradisi seni Arab, ada juga yang menyatakan bahwa kentrung berasal dari Persia, India atau Jazirah Arab, yang dibawa oleh para pedagang sebagai sarana dakwah Islam oleh Walisanga. Pada masa Sunan Kalijaga kentrung tersebar hampir diseluruh pulau Jawa, khususnya di daerah pesisir pantai utara Jawa mulai dari Semarang, Pati, Jepara hingga Tuban. 14 Sekarang Kentrung sangat memprihatinkan dan hampir punah. Dahulu setiap pedesaan di Kabupaten Tegal, Kentrung sering dimainkan untuk acara hajatan, sunatan, pernikahan, bersih desa, atau hiburan rakyat biasa. Namun kini keberadaannya diangap kuno, generasi muda tak lagi suka, dan Kentrung dianggap ketinggalan zaman. 4. Kesenian Wayang Kesenian wayang di Tegal sangat beragam, seperti wayang Tutus yang terbuat dari bambu (dalam bahasa Jawa disebut Pring) yang dibelah tipis-tipis (Tutus). Wayang Tutus merupakan versi lain dari bentuk wayang Jawa, yakni hasil kreativitas seniman tradisional di Kabupaten Tegal yakni Pak Kasirun.15 Ia belajar menciptakan wayang Tutus secara otodidak (belajar sendiri), awalnya karena ia suka melihat pertunjukan wayang kulit, kemudian ia berimajinasi dan mencoba membuat wayang dari Tutus bekas ia mengikat padi. Wayang tutus merupakan seni tradisi lisan, serta dipentaskan oleh seorang diri sang dalang, musik hanya berasal dari suara mulut sang dalang, kecuali pada pentas tertentu yang mengharuskan wayang tutus dipentaskan dengan iringan beberapa gamelan Jawa seperti Gamelan, Gong, Gambang dan Saron.16 Ada juga wayang kulit Purwa. Kesenian wayang kulit di Jawa Tengah sangat beragam, karena kesenian ini tumbuh di sepanjang daerah pesisir.

14 Dra, Wuninggar dkk, Seni Kentrung Khas Tegal, h. 8. 15 Dra, Wuninggar dkk, Wayang Tutus Khas Tegal (Tegal : Yayasan Tadulakota : 2013), h. 1-3. 16 Dra, Wuninggar dkk, Wayang Tutus Khas Tegal, h. 5.

20

Kelompok kesenian wayang kulit Purwa yang berkembang salah satunya adalah Paguyuban Satria Laras yang terdapat di daerah Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal dengan pimpinannya dalang Ki Enthus Susmono. Berdirinya kelompok paguyuban ini telah membantu pemerintah dalam melestarikan kesenian wayang kulit Purwa dan wayang Golek di Kabupaten Tegal sejak tahun 1984.17 Tidak hanya wayang kulit tetapi dalang Enthus juga mahir dalam memainkan wayang Golek, dengan tokoh-tokoh pembaharuan seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Yusuf Kalla, Barack Obama, Osama bin Laiden, Sadam Husain, dan lain sebagainya. Pertunjukan wayang kulit Purwa dan wayang Golek di Tegal pada kenyataannya mengalami pasang surut dalam dinamika perubahan dan perkembangannya. Dalam kebudayaan daerah terkandung berbagai segi kehidupan yang dihayati oleh masyarakat sepanjang zaman, kebudayaan itu mengenal proses perubahan dari masa lampau ke masa kini, demikian juga kehidupan kesenian tanpa masa lampau dari suatu kesenian, kiranya akan sulit untuk mengerti dan menghayati perkembangan seperti yang dialami masa kini.

B. Biografi Ki Enthus Susmono 1. Profil dan Latar Belakang Ki Enthus Susmono Ki Enthus dibesarkan dari lingkungan keluarga seniman.18 Ia adalah anak semata wayang Soemarjadihardja, dalang wayang Golek Tegal dengan istri ketiga bernama Tarminah. Bahkan kakek moyangnya, R.M. Singadimedja, merupakan dalang terkenal dari Bagelen pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat di Mataram, ia merupakan keturunan ketujuh. Ki Enthus Susmono lahir di Tegal, 21 Juni 1966.19 Di jalan Projosumarto II Bengle RT 10/ RW 02 Talang, Kabupaten Tegal, berbagai inspirasi dituangkan dalam bentuk kreasi seni. Sekarang ia tinggal

17 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 18 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 19 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Yogyakarta 30 Desember 2017, pukul 07.30 WIB.

21

di rumah Dinas Jalan Merpati, Slawi Kulon, selama ia menjabat sebagai Bupati Kabupaten Tegal.20 Pada tahun 1990 Ki Enthus menikah dengan gadis pilihannya sendiri, Romiyati asli Brebes, dan menurunkan dua anak laki-laki yaitu Firman Jindra Satria dan Firman Haryo Susilo. Mereka menempati rumah peninggalan ayahnya, Soemardihardja, di Desa Dampyak, Kecamatan Keramat, Kabupaten Tegal. Namun perkawinannya hanya bertahan lima tahun. Setelah dua tahun menduda, pada tahun 1997 Ki Enthus menikah lagi dengan gadis yang bernama Nurlaela, anak dari guru spiritualnya sendiri, yaitu Sukiman Tamid.21 Perkawinannya itu tanpa diawali dengan proses pacaran layaknya orang-orang yang mau berumah tangga pada zaman sekarang, Ki Enthus mempunyai konsep bahwa tresno jalaran soko kulino (cinta akan tumbuh sendirinya dengan seiring waktu). Dengan perkawinan yang kedua, Ki Enthus dikaruniai seorang putri cantik yang bernama Firma Nur Jannah dan seorang putra yang bernama Firman Ja‟far Tantowi. Firma Nur Jannah lahir pada tanggal 24 Februari 1998, ia sekarang sedang melakukan studi di ISI (Institut Seni Indonesia), di Surakarta Jurusan Seni Pendalangan, ia berencana akan melanjutkan orang tuanya sebagai dalang. 22 2. Latar Belakang Pendidikan Ki Enthus Susmono ”Dadi dalang kuwi abot sanggane (menjadi dalang itu berat bebannya).” Kata-kata yang diucapkan ayahnya ketika melarang menjadi dalang, kala Ki Enthus masih kecil itu senantiasa diingatnya hingga kini.23 Awalnya ia tidak memahami maksud ayahnya, namun seiring bergulirnya waktu Ki Enthus mulai mengerti makna ucapan yang sangat filosofis itu, hal paling pokok yang sering terjadi pada dalang adalah manajemen keuangan yang salah, memakai manajemen ayam yaitu langsung menghabiskan uang yang diperolehnya. Ki Enthus diharapkan dapat belajar sampai perguruan tinggi agar mempunyai bekal hidup

20 Hasil observasi penulis dan wawancara pribadi dengan Ki Enthus Susmono, dalang Kabupaten Tegal, 20-30 Desember 21 http://www.wayang.wordpress.com/2010/03/06/ki-enthus-soesmono/dewa (diakses pada tanggal 05 Agustus 2017, Pukul 20.00 WIB) 22 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 23 http://dalangenthus.id/berita/298-ki-enthus-susmono-kreativitas-tiada-henti (diakses pada tanggal 05 September 2017)

22

cukup. Namun, darah seni pedalangan lebih menonjol dan akhirnya takdir menuntunnya lain. Sejak masih kecil ia justru sering mencuri kesempatan memainkan wayang milik ayahnya. “Saya memainkan wayang kalau ayah saya sedang tidur, seusai pentas. Kalau beliau bangun, semua perlengkapan sudah saya rapikan lagi”.24 Sejak berumur 5 tahun ia telah sering mengikuti pentas ayahnya. Oleh karena itu ia sangat akrab dengan dunia pedalangan, sudah menampakan sosok pribadi yang kreatif dan dinamis dalam bergaul sesama teman usianya. Kesukaannya menggambar, menatah dan mewarnai (nyungging) wayang kulit menghasilkan karya pertama tokoh Indrajid, yang dikerjakan pada saat ia duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Setelah sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tegal (1979-1981), ia mulai menekuni karawitan secara metodik, yang diasuh oleh dua orang guru keseniannya, Mawardi dan Prasetyo. Keterampilannya menabuh gamelan itu kemudian digunakan untuk melatih rekan-rekan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tegal (1982-1985),25 yang semula tidak pernah mendapat kegiatan ekstrakurikuler karawitan karena tidak mempunyai grup musik yang merupakan kolaborasi antara karawitan dan band. Pada 24 Agustus 1983, Ki Enthus diminta mendalang selama dua jam, ketika itu sang ayah menyaksikan pementasannya. Setelah itu, tak hanya mengizinkan, ayahnya pun mewisuda Ki Enthus sebagai dalang di hadapan warga setempat. ”Dia hanya berpesan agar saya memahami pakem kehidupan lebih dulu, sebelum belajar pakem wayang,” katanya. Sejak itu, Ki Enthus menjadi dalang yang sesungguhnya, ia kerap diminta pentas di balai desa dan acara hajatan.26 Kemampuan mendalangnya tidak didapat dari lembaga pendidikan formal seperti Sekolah Menengah Kejuruan, kursus pedalangan, maupun pelajaran ayahnya, tetapi karena ia sering mengikuti pentas ayahnya dan jeli mengamati sajian pakeliran para dalang lain. Hampir setiap ada pertunjukan wayang di

24 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 25 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 26http://dalangenthus.id/berita/298-ki-enthus-susmono-kreativitas-tiada-henti (diakses pada tanggal 05 September 2017)

23

daerahnya selalu disaksikan. Selain itu ia juga berlatih secara serius kepada Sugino Siswotjarito (Banyumas) dan Ki Gunawan Suwati (Slawi),27 aktif mendengarkan kaset komersial rekaman pakeliran Ki Nartosabdo (Semarang) dan Ki Anom Suroto (Surakarta), serta sering menyaksikan para dosen ASKI (Akademik Seni Karawitan Indoensia), Surakarta yang sedang memberikan materi kuliah praktik pedalangan di Kampus ASKI, Sasono Mulyo Keraton Surakarta (1982-1983).28 Keinginan tampil sebagai dalang wayang kulit purwa tidak dapat dicegah ketika kelas dua SMA, di sekolahnya ada acara lustrum kelima SMA Negeri 1 Tegal, yang dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 1983. Pada saat itu ia menyajikan pakeliran ringkas selama 4 jam dengan lakon Gatutkaca Winisudha, yang diiringi kolaborasi karawitan dan band oleh rekan-rekan SMA-nya. Ia menekuni pedalangan sebagai profesi karena terpaksa harus menggantikan peran ayahnya yang telah meninggal dunia pada 10 Februari 1984. Saat itu ayahnya banyak meninggalkan pekerjaan pentas yang belum sempat dilaksanakan, sementara uang muka sudah terlanjur diterima oleh ibunya, dengan berbekal keberanian ia menggantikan peran ayahnya sebagai dalang wayang golek. Sejak itu profesi sebagai dalang merupakan penyangga kebutuhan hidup bersama ibunya, ia mulai giat berlatih dan mencari kiat-kiat yang belum pernah ditampilkan dalam pakeliran wayang kulit maupun golek.29 Pada tahun 1984 Ki Enthus mengikuti lomba pakeliran dalang remaja se- Jawa Tengah di Klaten, sebagai wakil Kabupaten Tegal, dengan menyajikan lakon Brajadenta Mbalela. Dalam lomba tersebut ia hanya mampu meraih Juara harapan II,30 namun demikian kegagalannya itu tidak membunuh keinginanya menjadi dalang, sebaiknya justru sebagai peringatan untuk lebih giat berlatih. Ia menjadi

27 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB 28 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB 29 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB 30 http://www.wayang.wordpress.com/2010/03/06/ki-enthus-soesmono/dewa (diakses pada tanggal 14 November 2017)

24

semakin aktif datang ke kampus ASKI Surakarta serta minta saran, pendapat, bahkan contoh-contoh teknik pakeliran yang baik kepada Ki Manteb Soedarsono. Setelah lulus SMA Ki Enthus tidak dapat melanjutkan kuliah karena tidak mempunyai biaya, pada saat itu keluarganya hidup dibawah garis kemiskinan.31 Agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan sesuai dengan harapan almarhum ayahnya, ia mendaftarkan diri menjadi polisi. Namun tidak diterima karena ia dianggap tidak bersih lingkungan, pada waktu itu kakak sulungnya, Darjoprayitno, baru bebas dari Nusakambangan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia bekerja menjadi penyiar sekaligus penata musik dan pemain teater di RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah) Tegal merangkap sebagai penyiar radio Anita Tegal. Namun ternyata hal tersebut belum mencukupi kebutuhan hidupnya, ia mencari pekerjaan tambahan sebagai buruh, natah dan nyungging32 wayang golek di berbagai tempat dalang wayang golek yang memerlukan jasanya. Tidak hanya itu, Ki Enthus belajar wayang Golek juga dari Ki Bonggol yang mempunyai nama asli Sujana, ia jugalah yang menciptakan dua tokoh wayang Golek yakni Lupit dan Slenteng.33 Pada tahun 2000-an Ki Bonggol juga menyarankan agar Ki Enthus beralih dari wayang kulit ke wayang golek, walaupun sebenarnya Ki Enthus memang sudah memainkan wayang golek namun belum lancar. Karena ketokohannya di dunia pedalangan, pada tahun 2005, dia menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang seni-budaya dari International Universitas Missouri, U.S.A dan Laguna College of Bussines and Arts, Calamba, Philippines (2005).34

31 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Yogyakarta, 30 Desember 2017, pukul 07.30 WIB. 32 Membuat pola atau motif batik pada kertas 33http://panturapost.com/daerah/2-16/10/31/perkenalkan-inilah-ki-bonggol-gurunya-dalang- kondang-ki-enthus-susmono/ (diakses pada tanggal 01 September 2017) 34http://amp.kompas.com/megapolitan/read/2009/02/27/11150324/~Oase~Padamu%20Neg eri (diakses pada tanggal 05 September 2017)

25

C. Pengalaman Sosial, Politik dan Keagamaan Ki Enthus Susmono 1. Pengalaman Sosial dan Politik Ki Enthus Susmono Di tengah semakin merosotnya pamor kesenian tradisional, khususnya wayang kulit dan wayang golek, di Tegal masih ada penjaga gawang kokoh yang melestarikan kesenian khas Jawa. Ia adalah dalang Ki Enthus Susmono, Ki Enthus memang pernah berada dipenjara pada tahun 2008 hingga 2009 karena didakwa melanggar pasal 160 KUHP tentang Penghasutan. Meski demikian, terkurung dalam bui penjara ternyata tidak menghentikannya untuk terus berkreativitas, ada sembilan wayang yang sempat ia buat hingga akhirnya keluar dari hotel prodeo tersebut.35 Reputasinya bukan sekedar dalang handal, kiprahnya bukan hanya di ajang Nasional. Namun, aktivitas berkesenian yang ia lakoni mampu menembus manca negara. Tahun 2009, ia bersama rombongan keseniannya berangkat ke Belanda. Di Museum Tropen, Amsterdam, Negeri Belanda, ia melakukan pameran dan pementasan wayang, sekaligus lokakarya tentang wayang.36 Ki Enthus mendapat banyak julukan karena aktivitas kreatifnya. Diantaranya dalang mbeling, dalang edan, atau saapan akrabnya abah Enthus.37 Karena dalam membawakan lakon pewayangan ia sering tidak sesuai pakem pewayangan, itulah yang membuat Ki Enthus dikenal oleh banyak masyarakat. Ki Enthus menampilkan pertunjukan wayang bukan hanya sekedar cerita wayang Mahabharata melainkan diselingi dengan guyon-guyon kecil, atau sholawat. Ki Enthus seperti tak peduli dengan sebutan apapun, apa arti sebuah nama, kata William Shakespeare, Shakespeare dan Ki Enthus memilki kemiripan, sebagai seniman kondang, kehidupan pribadi yang berliku dan mampu memukau dengan keseniannya.38

35http://jateng.tribunnews.com/2016/10/26/ini-wayang-yang-sempat-dibuat-ki-enthus- susmono-di-penjara (diakses pada tanggal 14 Juli 2017) 36http://dalangenthus.id/berita/295-reportase-pameran-wayang-superstar-the-theatre-world- of-ki-enthus-susmono (diakases pada tanggal 30 Juli 2017) 37 Wawancara Pribadi dengan Bambang, Banser NU (Penjaga Rumah Wayang), Tegal, 20 Juli 2017, pukul 10.00 WIB. 38https://www.kompasiana.com/sumarno/dalang-modern_55005de38133117c1bfa76d6 (diakses pada tanggal 19 Juli 2017, pukul 21.00)

26

Dalam kesenian modern memang tidak mengenal pakem39 yang baku, daya kreativitas menjadi faktor utama. Terbukti segala kreativitas pewayangannya, membuat Ki Enthus melestarikan wayang yang tetap eksis hingga sekarang. Dan itu strategi jitu yang mengalahkan bentuk iklan dan sosialisasi apapun. Malah sosialisasi kesenian oleh pemerintah kadang dicurigai sebagai kampanye politik. Ki Enthus Susmono, namanya terkenal bersama dua tokoh wayang golek yang sering dipentaskannya Lupit dan Slenteng. Ki Enthus, begitu sapaannya, dengan segala kiprahnya yang kreatif, inovatif serta intensitas eksplorasi yang tinggi, telah mengantarkan dirinya menjadi salah satu dalang kondang dan terbaik yang dimiliki Indonesia. Pikiran dan darah segarnya mampu menjawab tantangan dan tuntutan yang disodorkan oleh dunianya, yaitu jagat pewayangan. Gaya sabetannya (memukul) wayang yang khas, kombinasi sabet wayang Golek dan wayang Kulit membuat pertunjukannya berbeda dengan dalang-dalang lainnya. Ki Enthus ini mempunyai ciri khas yang sangat menonjol. Dengan gaya bicara yang blak-blakan (tidak ditutup-tutupi) dan guyonan (candaan) yang berkualitas tentunya. Kritik yang sangat tajam dan terkadang jangan kaget Ki Enthus suka sekali bicara jorok.40 Tapi itu tidak masalah selagi tidak merugikan orang lain. Ki Enthus juga memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menyusun komposisi musik, baik modern maupun tradisi (gamelan).41 Kekuatan mengintrepretasi dan mengadaptasi cerita serta kejelian membaca isu-isu terkini membuat gaya pakeliran-nya menjadi hidup dan interaktif. Baginya, wayang adalah sebuah kesenian tradisi yang tumbuh dan harus selalu dimaknai kehadirannya agar tidak beku dalam kemunduruan. Daya kreatif dan inovasinya telah terwujud dalam berbagai bentuk sajian wayang, menjadikan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) menganugerahi dirinya sebagai dalang terkreatif dengan kreasi jenis wayang terbanyak yaitu 1491 wayang.42

39 Dalam dunia pewayangan disebut cerita asli dan dianggap sebagai induk semua cerita 40 Wawancara Pribadi dengan Mba Suci, (Sinden Satria Laras), Yogyakarta, 30 Desember 2017, pukul 04.50 WIB 41https://www.kaskus.co.id/thread/5735802ec1cb1713138b456c/mengenal-lebih-dekat- dalang-wayang-ki-enthus-susmono/ (diakses pada 19 Juli 2017) 42 http://www.tegalkab.go.id/news.php?id=1742&page=200 (diakses pada 19 Juli 2017)

27

Didukung eksplorasi pengelolaan ruang artistik kelir43 menjadikannya lakon-lakon yang Ki Enthus bawakan seperti pertunjukan opera wayang yang komunikatif, spektakuler, aktual, dan menghibur. Pada tahun 2005, Ki Enthus terpilih menjadi dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia yang di selenggarakan di Taman Budaya Jawa Timur. Dan pada tahun 2008 Ki Enthus mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang Internasional di Denpasar, Bali.44 Ki Enthus bukan hanya seorang dalang, ia juga seorang aktivis, kepeduliannya terhadap fenomena sosial tidak diragukan lagi. Pada tahun 1998, Ki Enthus termasuk aktivis reformasi yang berkontribusi bagi perubahan, di Kabupaten Tegal khususnya, bersama mahasiswa. Ia juga merupakan salah satu dalang yang mampu membawa pertunjukan wayang menjadi media komunikasi dan dakwah secara efektif. Pertunjukan wayangnya kerap dijadikan sebagai ujung tombak untuk menyampaikan program-program pemerintah kepada masyarakat seperti: kampanye anti-narkoba, anti-HIV/Aids, HAM, Global Warming, program KB, pemilu damai, dan lain-lain. Di samping itu dia juga aktif mendalang di beberapa pondok pesantren melalui media Wayang Walisanga.45 Kemahiran dalam mendesain wayang-wayang baru / kontemporer seperti Wayang George Bush, Saddam Hussein, Osama bin Laiden, Gunungan Tsunami Aceh, Gunungan Harry Potter, Batman, wayang alien, wayang tokoh-tokoh politik, dan lain-lain membuat pertunjukannya selalu segar, penuh daya kejut, dan mampu menembus beragam segmen masyarakat. Ribuan penonton selalu membanjiri saat ia mendalang. Keberaniannya melontarkan kritik terbuka dalam setiap pertunjukan wayangnya, memposisikan tontonan wayang bukan sekadar media hiburan, melainkan juga sebagai media alternatif untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.46

43 Layar tempat memainkan wayang, biasanya berwarna merah atau putih 44 http://infotegal.com (diakses pada tanggal 15 November 2017) 45 http://www.dalangenthus.com/ (diakses pada tanggal 15 Agustus 2017) 46http://www.kompasiana.com/sumarno/dalang-modern_55005de38133117c1bfa76d6 (diakses pada tanggal 13 Agustus 2017, Pukul 14.00 WIB)

28

Ki Enthus juga seorang penata musik handal, ia bukan hanya menggarap musik Karawitan dengan alat Gamelan. Tetapi, musik bernafaskan Islam yakni Qasidah ia kerjakan, dan musik etnik. Dalam sejarah, terutama pada masa Walisanga, wayang atau gamelan merupakan alat dakwah. Pada perjalanannya kesenian gamelan ataupun wayang mengalami kontradiksi dengan dunia Islam. Kini di tangan Ki Enthus gamelan atau wayang dengan kesenian Islam bisa dikolaborasi. Tidak mengherankan, jika pementasan wayang Ki Enthus pesinden atau waranggono mengumandangkan sholawat atau melantunkan lagu Qasidah.47 Bersama Yono Daryono, Sutradara teater RSPD (Radio Saluran Pemerintah Daerah) Kota Tegal, Ki Enthus berlangganan menjadi penata musik setiap pementasan teater.48 Istana kerajaan wayangnya berdiri di Jalan Projosumarto, Desa Bengle- Kabupaten Tegal, di tempat itulah berbagai inspirasi dituangkan dalam bentuk kreasi seni. Ia bukan hanya mendalang dengan mementaskan wayang membawakan sebuah lakon, ia sekaligus pengrajin wayang, berupa karya wayang kontemporer. Karya yang terkenal adalah wayang Rai Wong, wayang yang menggambarkan tokoh-tokoh masa kini, dan juga wayang planet. Mertuanya itulah yang sangat mewarnai kehidupannya, tak terkecuali dalam berkesenian. Seperti terlihat di rumahnya yang juga sebagai sanggar, ia membangun masjid, bahkan masjid dibangun sebelum membangun rumah sendiri, semua itu atas saran sang mertua. Tidak berhenti di situ, bagi warga sekitar dan siapa saja Ki Enthus biasa berdiskusi, rumahnya yang serba antik atau bahkan aneh bagi ukuran kebanyakan orang adalah tempat untuk ngobrol, berbagi, kadang sampai larut malam. Disini Ki Enthus benar-benar menjalani posisi sebagai dalang, artinya mudal piwulang (memberi pengajaran), walaupun tidak di istilahkan guru, dalam konteks kekinian lebih tepat dinamakan diskusi atau sharing. Dengan istilah diskusi, Ki Enthus tidak mencerminkan dalang yang sakral sebagaimana dalang pada umumnya. Ia

47 Hasil Observasi penulis dan wawancara pribadi dengan Ki Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal) Kabupaten Tegal, 20-30 Desember 2017 48http://www.kompasiana.com/sumarno/dalang-modern_55005de38133117c1bfa76d6 (diakses pada tanggal 13 Agustus 2017, Pukul 14.00 WIB)

29

tidak memposisikan diri sebagai orang tua atau yang dituakan.49 Dimata masyarakat atau paling tidak menurut persepsi penulis, ia adalah seorang pekerja keras, aktivis, dan yang jelas ia seniman, dalang modern.50 Di rumahnya ia mendirikan rumah wayang yang diberi nama “Konsersium Rumah Wayang”, bertujuan memperkenalkan budaya wayang kepada generasi muda. Ini realisasi dari rasa gundah tentang nilai-nilai budaya wayang yang mulai dilupakan, ia mengaku keberadaan rumah wayang sebagai ajang pengenalan generasi muda agar tak melupakan nilai budaya wayang. Selain menikmati koleksi wayang miliknya, para pengunjung rumah wayang diberi kebebasaan untuk memainkan gamelan yang tersedia.51 Terlepas dari segala pandangan miring, karena keunikannya, padatnya aktivitas, daya kreativitasnya tergolong tinggi, dan segala predikat yang ia sandang justru menarik bagi siapa saja. Terbukti, selalu dikejar media massa sebagai narasumber. Seakan menegaskan, bahwa langkah Ki Enthus melepas kekangan pakem pewayangan dengan segala resikonya, membuat kesenian wayang bisa hidup dan mampu menghidupi. Namun, dalam hal spiritual ia mendengarkan dan taat apa yang dikatakan mertuanya yang ia anggap sebagai guru spiritualnya. Barangkali ini bentuk kerendah hatian seorang Ki Enthus. Pada tahun 2013 Ki Enthus bersama Umi Azizah mencalonkan diri sebagai peserta PILKADA (Pemilihan Ketua Daerah) Bupati Kabupaten Tegal dan Wakil Bupati Kabupaten Tegal. Akhirnya ia terpilih menjadi Bupati, maka pada tanggal 08 Januari ia dilantik oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menjadi Bupati periode tahun 2014-2019.52 Tidak heran jika disetiap pagelaran yang ia tampilkan khususnya di Kabupaten Tegal, ia selalu memasukan program-program yang sudah ia rancang selama ia menjabat sebagai Bupati Tegal bersama wakil Bupati Umi Azizah.

49 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 50 Observasi langsung 20-30 Desember 2017 51 http://dalangenthus.id/berita/297-ki-enthus-susmono-dirikan-umah-wayang (diakses pada tanggal 05 September 2017) 52 http://daerah.sindonews.com/ready/824601/2/2/tampil-nyentrik-dalang-enthus-dilantik- jadi-bupati-1389156985 (diakses pada tanggal 28 Juli 2017)

30

Hingga kini Ki Enthus aktif di berbagai macam organisasi, dulu Ki Enthus aktif di PEPADI (Persatuan Pendalangan Indonesia), LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), saat ini ia menduduki sebagai wakil ketua LESBUMI, Ki Enthus merupakan anak buah dari Pak Agus Sunyoto, M. Jadul Maula, Asep Zam-Zam, Nur Inayah Wulandari dan Habiburrahman Syairozi.53 2. Pengalaman Kegamaan Ki Enthus Susmono Pengalaman keagamaan Ki Enthus sendiri didapat ketika ia masih kecil, ia belajar kepada para Ustadz, Kyai, habaib dan orang yang memang ahli agama. Untuk memperbaiki kehidupannya, pada setiap malam ia selalu menyempatkan diri untuk belajar al-Qur‟an dan berdiskusi tentang ilmu agama. Disamping itu ia juga sering meminta bimbingan para Kyai di berbagai pondok pesantren. Ketika Ki Enthus kesulitan dan lupa dalam mementaskan pagelaran dan ingin mengutip ayat al-Qur‟an, Ki Enthus tidak sungkan untuk bertanya kepada teman-temannya, Kyai Mahfudz, sama Pak Atmo Tansidiq.54 Cerita-cerita yang digunakan wayang santri merupakan cerita yang ditulis oleh beberapa Kyai diantaranya : Kyai Amiruddin, KH Amir dari Lebaksiu-Tegal, KH. Tolib dari Tembok-Banjaran, dan Kyai Mahfudz Kholik dari Tegal.

53 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Yogyakarta, 30 Desember 2017, pukul 04.50 WIB. 54 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB.

BAB III SEJARAH DAN FUNGSI WAYANG

A. Sejarah Wayang Wayang merupakan salah satu unsur jati diri bangsa Indonesia dan mampu membangkitkan rasa solidaritas menuju persatuan. Wayang mempunyai peran yang bermakna dalam kehidupan dan pembangunan budaya khususnya guna membentuk watak bangsa. Karena diperlukan usaha terus-menerus melestarikan dan mengembangkan wayang, ini sangat penting untuk menghadapi erosi kebudayaan yang melanda diseluruh dunia. Nilai-nilai luhur manusia sudah dikikis dan terdesak oleh budaya global konsumerisme. Pagelaran wayang adalah gabungan indah lima unsur yaitu, Seni Cipta (Konsepsi dan Ciptaan baru), Seni Pentas (Drama dan Karawitan), Seni Kriya (Pahat dan Lukisan), Seni Ripta (Sanggit dan Kesusastraan), dan Seni Widya (Filsafat dan Pendidikan).1 Wayang merupakan identitas utama orang Jawa menurut Marbangun Hardjowirogo.2 Dengan kata lain orang Jawa yang tidak mengerti wayang adalah sama saja dengan orang yang tidak faham dengan jati dirinya sendiri. Ir Mulyono menyimpulkan bahwa pertunjukan wayang terpengaruh oleh pertunjukan tonil India Purba yang disebut Chayanataka (seperti pertunjukan bayang-bayang) dan pertunjukan wayang adalah ciptaan asli orang Jawa.3 Wayang adalah potret kehidupan yang berisi kebiasaan hidup, tingkah laku manusia dan keadaan alam. Dengan demikian wayang juga disebutkan sebagai estetika kehidupan manusia. Lakon wayang merupakan cermin kehidupan manusia sejak lahir, hidup, mati. Cerita lakon wayang mencerminkan lambang kehidupan manusia, ada beberapa lakon cerita wayang, antara lakon satu dengan yang lainnya berbeda, sebab pelaku-pelaku yang disebut dalam cerita berbeda,

1 http://docplayer.info/68189472-Seni-pertunjukan-berbasis-kearifan-lokal.html (diakses pada tanggal 10 September 2017, pukul 08.00) 2 Purwadi, “Kejawen”, Jurnal Kebudayaan, Universitas Negeri Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, h. 63. 3 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan masa Depannya, h. 12.

31 32

namun isi cerita wayang sama, yaitu menggambarkan kehidupan manusia mulai lahir, dewasa hingga mati.4 Menurut sumber-sumber sejarah, agama Hindu masuk ke Indonesia sekitar abad I Masehi. Sumber-sumber tersebut berasal dari prasasti-prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita penulis sejarah bangsa Tionghoa. Kerajaan- kerajaan Hindu yang berada di Indonesia antara lain adalah Kerajaan Hindu di Kutai, Kalimantan Timur (awal abad ke V), dan kemudian disusul oleh kerajaan Taruma di Jawa Barat. Sedangkan Dr. Hazeu berpendapat pada zaman Raja Airlangga pemulaan abad ke-11, wayang telah dipertunjukkan di kerajaan Kediri yang saat itu mengalami kejayaan.5 Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan (976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X, antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung. Di rumah-rumah tradisional Jawa, biasanya terdapat suatu ruangan yang disebut dengan empher, pendhopo, omah, mburi, gandhok, senthong dan bagian pinggir yang disebut pringgitan. Pringgitan adalah tempat untuk mempergelarkan ringgit yang dalam bentuk bahasa Jawa (krama) artinya wayang. Jadi di dalam membangun rumah, orang Jawa sudah meniati untuk menyediakan tempat khusus bagi pagelaran wayang. Hal ini menandakan bahwa betapa kuatnya pengaruh wayang dalam kehidupan masyarakat Jawa. 6 Dalam bahasa Jawa halus atau kromo pagelaran wayang disebut ringgitan, jadi dalam membangun rumah, orang Jawa sudah meniati untuk menyediakan tempat khusus bagi pagelaran wayang, hal ini menandakan betapa kuatnya pengaruh wayang dalam kehidupan orang Jawa. Salah satu kekuatan dari

4 Suwaji Bastomi, ed., Nilai-Nilai Seni Pewayangan (Semarang : Dahara Prize, 1993), h. 49. 5 Ir. Sri Mulyono, Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan masa Depannya, h.8. 6 R.M Ismunandar K, Wayang Asal Usul dan Jenisnya (Jakarta : Effhar dan Dahara Prize, 1992), h. 5.

33

kebudayaan Jawa ini adalah kemampuan untuk menyerap dan mengintegrasikan semua pengaruh yang datang dengan unsur-unsur authochton (dari dirinya sendiri). Kisah-kisahnya jelas berasal dari kebudayaan Hindu, akan tetapi perwujudannya jelas dari Jawa.7 Perhatian pengamat-pengamat Barat terhadap wayang dan budaya Jawa telah bermula sejak mereka menginjakkan kaki di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Raffles meluangkan waktu cukup lama di Cisarua Jawa Barat, untuk menterjemahkan kitab Baratayudha, dan dibantu oleh para staf-stafnya yang merupakan orang-orang Jawa.8 Didalam kitab itu Raffles banyak menyoroti masalah wayang, dalang dan budaya Jawa pada umumnya, salah satu yang menarik adalah bahwa Raffles mengkaitkan tarikh Ramayana dengan tarikh Mahabharata dengan berbeda versi pewayangan sekarang. Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Diantara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeu, Brandes, Kats, Rentse dan Kruyt.9 Alasan mereka cukup kuat. Diantaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosio-kultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Punakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.10 Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings dan Rassers.11 Sebagian besar

7 Sujamto, Refleksi Budaya Jawa ( Jakarta : Dahara Prize, 1997), h. 40-41. 8 Thomas Stamford Raffles, The History Of JavaVolume 2 Chapter VI (Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1978) ,h.255. Diterjemahkan oleh John Bastin tahun 1988 9Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang ( Jakarta : Pustaka Sinar Jaya, 1994), h. 26. 10http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akan-mencintai-nya/ (diakses pada tanggal 16 Mei 2017) 11 Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, h. 26-27.

34

kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari Negara.12

B. Jenis-Jenis Wayang Di Indonesia ada beberapa jenis wayang. Wayang hadir dalam berbeda bentuk, ukuran, dan medium (gunungan). Ada lima jenis wayang yang paling popular di Jawa, diantaranya : 1. Wayang Beber Dalam bahasa Jawa Beber berasal dari kata ambeber yang berarti membentangkan, membentangkan gambar yang dilukis pada panil kertas dan menceritakan gambar-gambar melalui dalang.13 Berbeda dengan jenis wayang lainnya. Wayang Beber menggunakan gambaran-gambaran yang dibentangkan sebagai objeknya. Menurut Sutterhim yang dikutip oleh Djoko Sukiman bahwa wayang beber dapat disejajarkan dengan teater gambar Jepang kuno yang berusia tua bernama Khamishibaii atau pertunjukan gambar Makemon. Wayang Beber merupakan wayang tertua yang ada di Indonesia. Dalam pertunjukan narasi dan lembaran panjang dijelaskan oleh dalang. Wayang Beber tertua terdapat di Pacitan, Donorojo, Jawa Timur. Berkisah tentang Mahabharata dan Ramayana, kisah-kisah rakyat, kisah asmara Panji Asmoro dan Dewi Sekartaji.14 Dibandingkan dengan pertunjukkan wayang lainnya, wayang Beber paling terpinggirkan. Ada beberapa penyebab, yakni pertunjukan gambar yang tidak menarik, hanya berkisah tentang panji, adanya peraturan adat yang melarang wayang Beber dibeberkan oleh orang luar trah keluarga, serta ketidaktertarikan

12 Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, h. 29-30. 13 B. Soelarto, dkk., Album Wayang Beber Pacitan dan Yogyakarta (Jakarta : Depdikbud Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Media Budaya, 1984), h. 1. 14 https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_beber (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 08.00 WIB)

35

masyarakat kepada seni untuk mengembangkan wayang tersebut. Jika keadaan ini dibiarkan secara terus-menerus dan tanpa adanya perhatian dari berbagai pihak, maka wayang beber akan punah. 2. Wayang Klitik Bentuk wayang Klitik seperti wayang Kulit, namun terbuat dari kayu bukan dari kulit dan berbentuk pipih. Menggunakan bayangan dalam pertunjukan wayang seperti wayang kulit. Kata klitik berasal dari kayu yang bersentuhan disaat wayang digerakkan atau saat adegan perkelahian. Cerita yang paling popular adalah cerita tentang Damarwulan. Wayang ini pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik, adipati Surabaya, dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan wayang krucil. Munculnya wayang menak yang terbuat dari kayu yang dipipih dua, membuat Sunan Pakubuwana II kemudian menciptakan wayang klithik yang terbuat dari kayu yang pipih (dua dimensi). Tangan wayang ini dibuat dari kulit yang ditatah. Berbeda dengan wayang lainnya, wayang klithik memiliki gagang yang terbuat dari kayu. Apabila pentas menimbulkan bunyi "klithik, klithik" yang diyakini sebagai asal mula istilah penyebutan wayang klithik.15 3. Wayang Wong Wayang wong di ciptakan oleh Mangkunegara I pada abad XVIII, yang di adaptasi dari seni drama yang berkembang di Eropa. Selanjutnya di sempurnakan oleh Mangkunegara IV dan Mangkunegara V dengan pakaian yang mirip dengan wayang. Pada awalnya wayang wong merupakan pertunjukan esklusif yang di pentaskan di lingkungan kraton. Namun seiring dengan perkembangan jaman, wayang wong mulai populer dan sangat di minati oleh masyarakat.16 Wayang wong adalah salah satu jenis wayang teater tradisional Jawa yang merupakan gabungan antara seni drama yang berkembang di Barat dengan pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa. Wayang Wong

15 https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_klithik (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 08.00 WIB) 16 http://www.negerikuindonesia.com/2015/03/kesenian-nusantara-wayang-wong.html (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 08.00 WIB)

36

berkembang terutama di lingkungan Kraton dan kalangan para priyayi (Bangsawan) Jawa. Jenis wayang ini adalah sebuah drama tari yang menggunakan manusia untuk memerankan tokoh pewayangan tradisional. Awalnya wayang Wong dipertunjukan sebagai hiburan untuk para bangsawan, namun saat ini menjadi kesenian yang popular. Wayang Wong memiliki bentuk yang berbeda-beda dari masing-masing daerah, baik Surakarta maupun Yogyakarta. Kisah-kisah yang digunakan adalah Smaradahana. Dalam pertunjukan wayang wong tidak menggunakan dalang sebagai pembaca dialognya, namun pemeran tokoh lah yang memegang dialognya. Dalam pemeranan tokoh-tokoh tersebut ada beberapa hal penting yang perlu di perhatikan. Pemilihan peran pun harus selektif, karena agar pertunjukan terlihat menarik di butuhkan orang yang pas untuk memerankan tokohnya. Beberapa syarat untuk menjadi pemeran di antaranya postur tubuh dan kemampuan memerankan tokoh yang di perankan. Karena dalam wayang, setiap tokoh mempunyai ciri khas yang berbeda dan watak yang berbeda pula. Pementasan wayang wong mempunyai nilai seni yang sangat besar. Banyak unsur seni di dalamnya seperti seni drama, tari, busana, visualisasi, musik pengiring cerita dan berbagai unsur seni yang menarik lainya. Namun kepopularitasan wayang wong mulai menurun seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern. Sehingga minat masyarakat terhadap wayang wong mulai memudar.17 4. Wayang Kulit Wayang kulit purwa adalah salah satu jenis wayang kulit yang paling tua atau awal yang dimainkan seorang dalang dan didukung oleh sinden dan niyaga. Wayang kulit purwa merupakan peninggalan kebudayaan yang mampu bertahan hidup hingga hari ini, khususnya dikalangan masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Cerita pokoknya bersumber dari kitab Mahabharata dan Ramayana yang bernafaskan kebudayaan dan filsafat Hindhu India, akan tetapi perkembangannya

17 http://www.negerikuindonesia.com/2015/03/kesenian-nusantara-wayang-wong.html (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 08.00 WIB)

37

telah diserap kedalam budaya Indonesia yang mengalami asimilasi atau akulturasi dengan berbagai kebudayaan asing yang berpengaruh di Indonesia.18 Beberapa lakon wayang yang terkenal adalah Pendawa Lima, yakni Prabu Yudistira merupakan kakak tertua menjadi raja yang baik, yang memerintahkan kerajaannya dengan adil serta murah hatinya. Wrekudara (Bima) merupakan kesatria yang paling ditakuti, karena membuat kehancuran dengan gadanya yang menegerikan dan kuku jarinya yang mencuat. Arjuna merupakan satria yang paling tampan, berhati lembut dan setia dengan keluarganya. Nakula dan Sadewa merupakan penjelmaan dari dewa kembar Aswin yakni dewa pengobatan, Nakula merupakan ksatria yang tangguh dan mahir dalam memainkan senjata pedang, sedangkan Sadewa seorang yang ahli dalam bidang ilmu astronomi, rajin dan bijaksana. Kresna dan kakaknya Baladewa adalah sepupu para pandawa, sebagai titisan Wisnu dia setengah dewa, politikus, diplomat dan ahli strategi perang yang paripurna. Dialah yang paling cerdas diantara para Pandawa.19 Ada beberapa pendapat tentang pertunjukan wayang kulit, yang pertama kelompok Jawa berpendapat wayang berasal dari Jawa karena wayang diubah kedalam model yang sangat tua, dan cara seorang dalang mementaskan pagelaran dengan suara yang rendah, bahasanya dan ekspresinya mengikuti tradisi yang sudah tua, serta gaya dan susunan lakon-lakon juga bersifat khas Jawa.20 Yang kedua kelompok India berpendapat bahwa wayang adalah kreasi Hindu Jawa, karena wayang ada di Jawa dan di Bali saja yang mengalami pengaruh kebudayaan Hindu paling banyak, India juga mengenal teater bayangan, dan tentang hubungan antara wayang sebagai penyembahan arwah nenek moyang. Pendapat ini dipahami oleh Poensen, Goslings, dan Rassers.21

18 Freddy H. Tulung, wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Diseminasi Informasi (Jakarta : Kementrian Komunikasi dan Informatika RI Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik, 2011), h. 9-10. 19 Benedict R.O‟G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (Yogyakarta : Mata Bangsa, 2008), h. 36. 20 Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang (Jakarta : Pustaka Sinar Jaya, 1994), h. 27. 21 Haim Amir, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, h. 29-30

38

Perubahan wayang yang sekarang ini melalui proses perombakan dan perkembangan wayang. Perubahan yang terjadi karena wayang terpahat dari relif candi dan kemudian menjadi wayang kulit. 5. Wayang Golek Awal kemunculan kesenian wayang kayu lahir dan berkembang di wilayah pesisir utara pulau Jawa. Pada awal abad ke -17 dimana kerajaan Islam tertua di pulau Jawa tumbuh, dengan menggunakan bahasa Sunda dalam dialognya. Sedangkan Sunan Kudus menggunakan bentuk wayang golek ini untuk menyebarkan Islam di masyarakat. Sedangkan sejarah terjadinya wayang kulit purwa dimulai sejak jatuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak dengan raja pertamanya adalah Raden Patah, yang kemudian digantikan oleh Pangeran Sebrang Lor. Mulanya para Raja dan para Wali gemar akan kesenian daerah, termasuk wayang, yang pada saat itu ada adalah wayang beber, karena dinilai bertentangan dengan syariat Islam, terutama Sunan Giri maka dibuatkan kreasi baru oleh raja dan para Wali, terutama Sunan Kalijaga untuk membuat wayang kulit. Perubahan ini mengenai bentuknya, gambarnya, alat peraganya, dan sarana lainnya di selaraskan dengan syariat islam. Wayang golek merupakan pertunjukan asli Indonesia yang berkembang di Jawa dan Bali, pertunjukan wayang golek juga popular di wilayah Tanah Pasudan, dan dipengaruhi oleh budaya Hindhu dan Jawa. Wayang golek berasal dari kata “golek” yang berarti mencari, jika sebagai kata benda berarti boneka kayu, ada dua wayang golek yaitu wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Ki H. Asep Sunandar Sunarya yakni pencipta wayang cepot yang masih melestarikan kesenian wayang golek hingga sekarang. Wayang golek yang terkenal di Tegal adalah, garapan dalang Ki Ethus yakni Lupit dan Slenteng, ia menggunakan Lupit dan Slenteng sebagai tokoh utama di setiap pagelaran wayang santri / ngaji budaya, bahkan Lupit dan Slenteng pun menjadi maskot Kabupaten Tegal. Lakon Lupit dan Slenteng pun dikenal oleh kalangan Internasional, Ki Enthus berhasil mendobrak dan keluar dari pakeliran Surakartanan maupun Yogyakartanan yang terkesan kalem, Ki Enthus mempunyai gaya pakeliran sendiri, yang ia beri nama pakeliran ala

39

Enthus-an.22 Lupit dan Slenteng adalah suara rakyat, dalam dunia pendalangan mereka hampir sama seperti Gareng dan Petruk, lakon yang menarik adalah ketika Petruk dadi ratu,23 ketika terjadi gonjang-ganjing sudah sampai taraf sangat tidak wajar, para punakawan mulai membangkang, sehingga puncaknya ketika Petruk melabrak Istana para penguasa, dan merekontruksi tatanan yang selama ini dipakai para penguasa, Petruk turun tangan merebut kekuasaan.24 Petruk dadi ratu selama ini menjadi impian wong cilik yang banyak didera permasalahan, melalui tokoh Petruk atau Lupit ketika awal-awal berkuasa merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya. Maka Petruk atau Slenteng menjadi seorang pengabdi. Lupit dadi ratu menjadi sihir tersendiri bagi publik, jika tidak diimbangi dengan karya besar sinar itu akan redup, namun Ki Enthus paham bentul dan menjaga sinar itu, dengan dilakukan gebrakan-gebrakan terus menerus, jurus dan sabetan juga terus dilakukan.25 Lupit dan Slenteng selalu tampil dengan tidak tedheg aling-aling dalam bertutur, sehingga menganggapnya liar dan kasar, sikap inilah kemudian dikatakan oleh Prof. Abu Su‟ud sebagai prototype wong Tegal.26 Mereka berdua memiliki perwatakan apa adanya dan selalu menjalani hidup penuh keikhlasan yang diharapkan menjadi filosofi warga Kabupaten Tegal. Lupit dan Slenteng memberikan celotehan-celotehan menarik, ringan dan renyah, tanpa melupakan makna yang tersirat dalam celotehannya.

C. Perkembangan Wayang dari Masa ke Masa 1. Wayang Pada Masa Walisanga Islam merupakan agama Samawi (ajaran agama yang didasarkan pada wahyu yang diberikan Tuhan kepada utusan-Nya), yang lahir di Semenanjung

22 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 23 Dadi itu dalam bahasa Jawa Tegal, adalah menjadi 24 Maskot Baru Lupit-Slenteng https://www.kompasiana.com (diakses pada tanggal 15 Desember 2017) 25https://www.kompasiana.com/rajauntung/maskot-baru-lupit- slenteng_54f5d6fda33311f64e8b46ed (diakses pada tanggal 15 Desember 2017) 26 Maskot Baru Lupit-Slenteng https://www.kompasiana.com (diakses pada tanggal 15 Desember 2017

40

Arab, khususnya di dataran tinggi Hijaz di kota yang bernama Mekkah.27 Agama Islam berkembang sekitar abad ke-6 M dengan diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul untuk menyebarkan agama Islam di seluruh penjuru dunia. Agama Islam merupakan agama yang perkembangan penyebarannya di dunia cukup pesat, hingga saat ini agama Islam menjadi agama kedua di dunia yang memiliki penganut terbanyak setelah agama Nasrani. Islam dibawa masuk oleh para pedagang Arab, Gujarat dan Persia ke Indonesia sekitar abad ke-7 M sampai abad ke-15 M, melalui jalur perdagangan. Selain itu agama Islam juga berkembang melalui saluran pernikahan.28 Para pedagang yang menetap kemudian menikah dengan wanita-wanita setempat sehingga melalui proses pernikahan, agama Islam juga berkembang pesat di Indonesia. Dengan jumlah pemeluk yang semakin banyak, maka mulai muncul pusat-pusat pemerintahan yang berbentuk kerajaan. Pada awal perkembangannya, sebagian besar kerajaan Islam mulai muncul di daerah Sumatera karena Pulau Sumatera memang letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan Internasional. Kerajaan Islam pertama yang muncul di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai (1990),29 Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh dengan raja pertamanya yang bernama Sultan Malik Al-Saleh. Kerajaan Samudera Pasai kemudian runtuh sekitar tahun 1360 M karena mendapat serangan Kerajaan Majapahit dari Jawa. Di Jawa, juga terdapat kerajaan Islam tersohor yang peninggalan-peninggalannya masih dapat kita saksikan hingga saat ini. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Demak yang juga merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan Demak mulai berdiri pada abad ke-16 berkat perjuangan

27 https://www.kompasiana.com/aditya_alfajr01/fungsi-wayang-kulit-dalam-penyebaran- agama-islam-di-pulau-jawa_56f941950e93732905e12dbd (diakses pada tanggal 15 Desember 2017) 28 Azumardi Azra, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal (Bandung : Mizan, 2002), h. 22.

29 Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa (Semarang : Dahara Prize, 1997), h. 4.

41

dan usaha Pangeran Jimbun / Raden Patah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.30 Setelah kerajaan Majapahit runtuh dan kemudian berpindah ke Demak, pada tahun 1437 M, Raden Patah sebagai raja mulai menciptakan wayang yang dibantu oleh wali. Sunan Giri membantu menciptakan wayang kera dengan menggunakan dua mata, Sunan Bonang menciptakan ricikan, Sunan Kalijaga menciptakan Kelir (layar pertunjukan) beserta perlengkapannya.31 Dan pada tahun 1443 Raden Patah menciptakan gunungan wayang. Sehingga tidak terlepas dari para wali khususnya Sunan Kalijaga, yang tidak langsung menghilangkan wayang beber tetapi menyesuaikan atau memasukan nilai-nilai Islam dalam bentuk maupun cerita wayang. Dalam menjalankan perannya sebagai mubaligh, tentunya ajaran yang dibawakan para Wali tidak serta mengajarkan ajaran-ajaran pokok Islam, akan tetapi untuk mempermudah masyarakat dalam memahami ajaran agama Islam, disertakanlah ajaran agama Islam dalam tradisi atau kebiasaan masyarakat setempat. Misalnya, Sunan Drajad yang menggunakan media gamelan dan tembang Pangkur untuk menyebarkan agama Islam di daerah Lamongan, Sunan Kalijaga yang menggunakan media wayang dan tembang dolanan, Sunan Kudus yang mengajarkan masyarakat untuk membuat keris dan mengajarkan toleransi antar umat beragama, dan lain-lain. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa para wali memanfaatkan kebiasaan masyarakat sebagai media dakwah, sehingga masyarakat akan lebih mudah untuk menerima dan memahami ajaran Islamlainnya di selaraskan dengan syariat islam.32 Perkembangan wayang semakin meningkat pada masa setelah Demak, memasuki era kerajaan-kerajaan Jawa seperti Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Adapun yang memimpin penyebaran Islam ke pulau Jawa itu adalah para Walisanga.33 Dalam berdakwah para wali menggunakan tradisi hasil pencampuran

30 http://daerahsindonews.com (diakses pada tanggal 16 Mei 2017) 31 R.M Ismunandar, Wayang Asal Usul dan Jenisnya, h. 96. 32 Soekatno, BA, Wayang Kulit Purwa (Semarang : Aneka Ilmu, 2005), h. 190. 33 Widji Saksono, MengIslamkan Tanah Jawa : Telaah Atas Metode Dakwah Walisanga (Bandung : Mizan, 1995), h. 200.

42

ajaran Islam dan budaya lokal setempat untuk menarik perhatian masyarakat. Terbukti metode ini berhasil, dan Islam dapat menyebar di seluruh tanah Jawa. Salah satu tradisi lokal yang digunakan dalam berdakwah ialah kesenian wayang kulit. Metode dakwah menggunakan wayang kulit dikenalkan oleh Sunan Kalijaga.34 Sunan Kaljaga menanamkan unsur-unsur ajaran Islam di dalam pertunjukan pewayangan, sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat. Lakon-lakon yang dibawakan dalam pertunjukan wayang pun lebih Islami, bukan lakon-lakon Hindu seperti Mahabharata-Ramayana. Karakter-karakter wayang yang dibawakan Sunan Kalijaga ditambah dengan unsur-unsur ajaran Islam didalamnya, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Dalam pagelaran wayang seperti Jimat Kalimasada, Serat Dewa Ruci, Petruk dadi Ratu, dan lain- lain, namun cerita Jimat Kalimasada ini yang paling sering dipentaskan Sunan Kalijaga.35 Makna yang terkandung dalam wayang, dalam arti kata yang bernafaskan keIslaman, wayang yang kita lihat saat ini adalah wayang hasil gubahan para Wali. Falsafah Islam yang lain juga kita dapati dalam gunungan. Gunungan dibuat pada zaman Demak oleh Raden Patah (Sultan She Alam Akbar) sekitar tahun 1443. Gunungan ini merupakan gambar simbolis dari Mustika Masjid, yang ketika dijungkir balikkan akan menyerupai jantung manusia yang terdiri dari bilik kiri dan bilik kanan, serambi kiri dan serambi kanan. 36 Berdasarkan uraian singkat itulah, maka wayang memiliki fungsi yang penting bagi perkembangan dan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, karena wayang merupakan kesenian kegemaran masyarakat ketika Pulau Jawa masih dikuasai kerajaan yang bernafaskan Hindu dan Budha hingga masuknya agama Islam dengan berdirinya Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Islamisasi di Jawa pada abad ke-15 mempuyai karakteristik yang berbeda dengan Islamisasi abad ke-13, pada masa ini Islam begitu mudah

34 Effendy Zarkasi, Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan (Bandung : Al-Ma‟arif, 1983), h. 70. 35 Sofwan Ridin Mundiri, Islamisasi di Jawa : Walisongo Penyebar Islam di Jawa menurut penuturan Babad (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2004), h. 277. 36 R.M Ismunandar K, Wayang Asal Usul dan Jenisnya, h. 102.

43

diterima, penyebabnya karena para pendakwah dalam menyampaikan ajaran Islam menggunakan metode yang mengedepankan keharmonisan, yakni dengan merangkul tradisi lokal yang baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam sehingga masyarakat merasa enjoy menerima Islam menjadi agamanya. 2. Wayang Pada Masa Kemerdekaan Berdirinya sebuah lembaga pada tahun 1923, pengajaran pendalangan dengan dinamai Pasinaoun Dhalang Surakarta (PADHASUKA), tahun 1925 Kasultanan Yogyakarta mendirikan Hambiwarakake Rancangan Andhalang (HABIRANDHA), serta disusul tahun 1930 Kadipaten Mangkunagaran mendirikan Pasinaoun Dalang Mangkunegaran (PDMN). Pakem oleh keraton dipakai sebagai salah satu sarana untuk melestarikan nilai-nilai estetika pendalangan yang menyangkut sabet, catur, karawitan, dan lakon yang disikapi sebagai satu bentuk acuan bagi para calon dalang.37 Pakem pendalangan ini awalnya hanya bagi para kerabat atau lingkungan keraton (Serat Sastramiruda), akhirnya menyebar luas ke luar keraton. Seperti halnya dengan lembaga pengajaran dalang berdiri hanya untuk calon dalang dan dalang pemula yang berada di lingkungan keraton, akan tetapi kenyataannya diikuti juga oleh para dalang muda dan anak-anak dalang dari desa-desa sekitar keraton. Sebagian besar para siswa dalang ini kemudian pulang ke desa masing- masing, serta menjadi dalang terkenal yang tetap berpedoman pada pakem gaya keraton yang diperoleh saat mengikuti kursus di keraton. Kehidupan Pakeliran gaya kerakyatan yang beredar di pedesaan-pedesaan bentuk ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana dan lugas, sehingga semakin lama semakin tersisih. Hal ini disebabkan oleh kehadiran serta terkenalnya para dalang yang menggunakan pakem gaya keraton. Di sisi lain merebaknya Pakeliran gaya keraton dimasyarakat luas mendapat dukungan dari berbagai pihak dan mendapat nilai yang sangat tinggi. Dari sinilah muncul anggapan bahwa pakeliran gaya keraton memiliki nilai tinggi sehingga dikenal oleh masyarakat pendalangan sampai sekarang.

37 Bambang Murtiyoso, Seni Pertunjukan Pewayangan (Surakarta : Citra Etnika, 2004), h. 18-19.

44

Sesudah kemerdekaan, Keraton memang sudah tidak memiliki otoritas lagi, tetapi wibawanya dibidang seni pedalangan ini tidak terbatas pada bekas wilayah administrasinya saja melainkan meluas hampir ke seluruh pendukung budaya wayang. Pakeliran gaya keraton yang semula dilegitimasikan dalam bentuk pakem melalui lembaga-lembaga pengajaran pendalangan yang langsung dikelola keraton berpengaruh luas terhadap kehidupan pewayangan diluar keratin juga. Dari sinilah muncul teknik atau acuan pakeliran yang berasal dari keraton dari sejumlah murid yang digabungkan dengan konveksi yang telah lama dipahami di daerah asal, kemudian lahir varian-varian pakeliran yang memiliki pengaruh terhadap komunitasnya masing-masing. 3. Wayang Pada Tahun 1970-1990 Pada tahun 1974 diselenggarakan Pekan Wayang Indonesia kedua di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Pada saat pekan wayang itu diselenggarakan pula pertemuan komponen penyangga dunia pewayangan dan pandangan dari seluruh daerah di Indonesia, yang tergabung dalam Dewan Kebijakan SENA WANGI, pergelaran, pameran, dan sarasehan para dalang. Pada tahun 1976 SD Humardani bersama mahasiswa jurusan Pendalangan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta telah mengadakan inovasi pendalangan yang disebut pakeliran padat. Tujuannya adalah menggarap masalah-masalah kemanusiaan yang paling wigati dan mantap.38 Pada tahun 1980-an jagad pendalangan mengalami zaman keemasan. Pertunjukan wayang merebak hampir di seluruh kawasan perkotaan, bahkan kota- kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Semarang. Kondisi pakelir saat ini sangat kuantitatif menggembirakan, hal ini disebabkan oleh banyaknya penggemar wayang yang memiliki otoritas tinggi, sehingga membantu tercapainya zaman keemasan tersebut. Pada 16 November 1993 Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedarsono dan beberapa rekannya telah menyelenggarakan Sesaji Dhalang di Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah. Tujuannya merupakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas maraknya jagad pendalangan, para dalang diajak merenung

38 Bambang Murtiyoso, Seni Pertunjukan Pewayangan, h. 37.

45

(kontemplasi) tentang dunianya. Pada siang harinya Gunawan Mohammad, Edy Setyawati dan Kuntara Wiryamartana mengisi ceramah, dan pada malam harinya diadakan upacara sesaji dan pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Darman Gandadarsana (Sragen). Acara ini diikuti lebih dari 500 dalang terkenal dari DKI, Jawa Tengah, DIY Yogyakarta dan Jawa Timur. 39 Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan wayang, tumbuhnya dalang- dalang baru, pertumbuhan fungsi pertunjukan wayang, properti dan unsur pendukung wayang sudah di tingkatkan kualitasnya. Berbagai lembaga telah banyak menyelenggarakan lomba dan festifal dalang, seperti Dinas P dan K Jawa Timur, Yayasan Daniwara Surabaya, dan lain-lain. Contohnya adalah pertunjukan spektakuler pagelaran wayang dengan menampilkan 50 dalang terpilih dalam pagelaran secara berurutan (marathon) selama 50 malam pada tahun 1995. Salah satu dalang wanita dari daerah Sragen Nyi Suharni mengemukakan pendapatnya:

“…untuk mengikat daya tarik penonton, berbagai cara bisa dilakukan oleh pra dalang sebatas tidak terlalu jauh melanggar kode etik pendalangan. Hal ini harus dimaklumi, karena selain memiliki tanggung jawab moril bagi kelestarian seni budaya tradisional, dalam hal ini wayang kulit dan dalang juga cari duit atau uang. Karena dalang bukan pegawai Negeri, dimana mendalang merupakan sumber penghasilan…”40

Pendapat Nyi Suharni ini memang mengandung kebenaran, tetapi para dalang seharusnya tidak lupa daratan, sehingga hanya demi larisnya saja apa kehendak penonton dituruti. Sebenarnya kehendak penonton itu gilirannya dapat membuat penonton kecanduan dan menjadi tidak terhibur bila melihat pagelaran wayang yang tidak akrobatik sabetnya, cantik-cantik sindennya dan lawakannya yang jorok seperti sekarang ini. Bahwa bakat yang dimilikinya itu juga digunakan sebagai sarana mencari nafkah adalah wajar, akan tetapi tujuan utama mereka seharusnya adalah melakukan “darma pewayangan” seniman dalang yang

39 Bambang Murtiyoso, Seni Pertunjukan Pewayangan, h. 8. 40 Bambang Murtiyoso, Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang (Yogyakarta : Tesis Universitas Gajah Mada, 1996), h. 53.

46

mengantarkan keindahan kepada penonton lewat garap unsur-unsur pakeliran yaitu gerak, musik, dan sastra.41 Melihat semakin mundurnya kesenian tradisional, seniman tradisional ternama Ki Nartosabando, pada tahun 1979 di Balai Sidang Senayan mengadakan pagelaran wayang kulit dalam rangka menyambut 1 suro tahun Jawa 1912 BE. Acara ini didukung oleh 19 Radio Swasta Niaga yang mempunyai acara kesenian Jawa, termasuk radio ABRI, Surat Kabar Mingguan Buana Minggu dan Harian Berita Buana, media-media tersebut ikut membantu dalam publikasi. Saat ini pertunjukan wayang benar-benar sangat menggembirakan, dalam artian sering diselenggarakan oleh masyarakat dan lembaga untuk berbagai keperluan. Kehidupan pertunjukan wayang kulit Jawa menunjukkan peningkatan kuantitas pewayangan yang luar biasa, kondisi seperti ini oleh kebanyakan pakar dan budayawan disebut sebagai zaman kebangkitan (renaissance) yang di tandai dengan boom wayang.42 Yang lebih menarik para penonton tidak hanya dari kalangan tua saja, tetapi dari kalangan muda yang terdiri dari berbagai profesi, seperti mahasiswa, pemuda dan rakyat biasa. Hal ini menandakan bahwa anak-anak muda kita yang berkiblat kepada kesenian mancanegara tidak seluruhnya benar. Begitu pula anggapan wayang kulit hanya di nikmati oleh golongan tua. Seni pertunjukan wayang mempunyai fungsi sebagai ekspresi seni- ungkapan pengalaman jiwaa yang dalam, wayang dapat digunakan sebagai sarana upacara atau kepercayaan, pendidikan, penerangan, propaganda, hiburan, dan lain sebagainya. Wayang juga mempunyai sisi simboliknya, mistiknya, pesan ajarannya, dan tuntutannya. 4. Wayang pada saat ini Demi melestarikan kesenian wayang, maka para dalang membuat perubahan dan inovasi disetiap pertunjukan. Mulai dari cerita, lakon, gaya bahasa, bahkan tata cara pagelaran. Ki Enthus membuat perubahan pada pagelarannya, seperti disetiap pementasannya Ki Enthus menampilkan beberapa tokoh-tokoh wayang

41 Bambang Murtiyoso, Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang, h. 52. 42 Bambang Murtiyoso, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang, h. 135-136.

47

kotemporer, wayang yang biasanya hanya menggunakan bahasa Jawa kromo, berbeda dengan pagelaran Ki Enthus, dimana ia selalu menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh setiap penontonnya, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Ki Enthus juga menggunakan lagu-lagu bukan hanya bertemakan Islami, melaikan lagu-lagu yang sedang popular dikalangan masyarakat. Ki Enthus tidak pakem ketika pagelaran, apasaja pasti ia masukan kedalam setiap pagelaran, isu-isu yang sedang hangat pun ia masukan, dengan bahasa- bahasa yang sedang hangat diperbincangkan. Sehingga wajar saja setiap pagelarannya selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

D. Wayang Sebagai Media Dakwah Ditinjau dari segi upaya pengembangan budaya Jawa, fungsi wayang yakni sebagai tontonan dan tuntunan perlu mendapatkan perhatian dalam pembinaan wayang, keduanya harus senantiasa dijaga dan ditingkatnya kualitasnya agar selalu baik. Seni perwayangan ini telah menjadi asset budaya Nasional maka kewajiban untuk menjaganya terletak dipundak masyarakat Indonesia seluruhnya. Dakwah Islam di pulau Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-13 Masehi, dimana yang menyebarkan agama Islam merupakan para pedagang dari Timur Tengah. Para pedagang Timur Tengah menyebarkan agama Islam dengan membawa tarekat Qadariyah ke Indonesia, akan tetapi ajaran tarekat ini belum mampu menembus ke masyarakat Indonesia, karena di Indonesia masih percaya dengan budaya animisme dan dinamisme43. Maka setiap agama baru yang ingin masuk ke suatu daerah, mau tidak mau harus bersifat membumi mengikuti ajaran lokal daerah tersebut, sehingga agama tersebut dapat di terima di masyarakat. Islamisasi di Jawa pada abad ke-15 mempuyai karakteristik yang berbeda dengan Islamisasi abad ke-13, pada masa ini Islam begitu mudah diterima, penyebabnya karena para pendakwah dalam menyampaikan ajaran Islam menggunakan metode yang mengedepankan keharmonisan, yakni dengan

43 Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam, (Yogyakarta : Narasi, 2010), h. 19.

48

merangkul tradisi lokal yang baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam sehingga masyarakat menerima Islam menjadi agamanya.44 Adapun yang memimpin penyebaran Islam ke pulau Jawa itu, adalah para wali (Walisanga), dalam berdakwah para wali menggunakan tradisi hasil pencampuran ajaran Islam dan budaya lokal setempat untuk menarik perhatian masyarakat. Terbukti metode ini berhasil, dan Islam dapat menyebar di seluruh tanah Jawa. Salah satu tradisi lokal yang digunakan dalam berdakwah ialah kesenian wayang kulit. Metode dakwah menggunakan wayang kulit dikenalkan oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga menanamkan unsur-unsur ajaran Islam di dalam pertunjukan pewayangan, sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat. Wayang Kulit, yang merupakan salah satu warisan dari walisangga dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Walisangalah yang mempelopori dakwah Islam di Bumi Jawa, Walisanga dianggap sebagai tokoh-tokoh sejarah kharismatik yang membumikan Islam di tanah Jawa yang sebelumnya. Berkembang bersama tradisi Hindu-Budha. Masing-masing tokoh Walisanga mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “Tabib” bagi kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang disebut “Paus dari timur” hingga sunan Kalijaga atau Pangeran Tuban atau Syeh Malaya yang mencipta yang menciptakan karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa, yakni Hindu dan Budha. Sebagai penyeru agama, Sunan Kalijaga termaysur kemana-mana.45 Mubaligh keliling yang daerah operasinya sangat luas. Banyak kaum bangsawan serta kaum cendikiawan yang tertarik kepada tablignya, karena dalam berdakwah ia amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia berusaha menggabungkan adat istiadat Jawa dengan kebudayaan Islam, dan menjadikannya media meluaskan syiar Islam. Salah satu karya besarnya adalah menciptakan bentuk ukiran wayang kulit yang bentuknya dirubah sedemikian rupa, sehingga tidak menyalahi hukum Islam.46

44http://wawasansejarah.com/wayang-kulit-dan-islamisasi-di-jawa-abad-ke-15/ (diakses pada tanggal 13 Agustus 2017) 45R. M Ismunandar, Wayang : Asal-usul dan jenisnya, h. 90 46 R. M Ismunandar, Wayang : Asal-usul dan jenisnya, h. 95.

49

Dalam pertunjukan Wayang sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya diberi parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih penonton Wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi wudhu yang disampaikan secara baik. Wayang merupakan media da‟wah Islam, sebab wayang merupakan salah satu jenis kesenian tradisional yang paling di gemari oleh masyarakat pedesaan, selain itu juga wayang merupakan alat pendidikan serta komunikasi langsung dengan masyarakat yang dimanfaatkan untuk penyiaran agama Islam. Wayang sering di ibaratkan dengan mistik dan kemusyrikan, sehingga perlu dibenahi dan diisi dengan ajaran Islam, sehingga agama Islam dapat tersebar dan tertanam ke dalam masyarakat luas.47 Karena wayang bertujuan untuk menyiarkan agama Islam, dan mudah diterima oleh masyarakat, wayang perlu dibesut, dirubah dan disempurnakan dengan nilai budi luhur yang bernafas keIslaman. Sri Mulyono mulai menyempurnakan bahwa wayang telah ada sejak zaman Panembahan Senopati di Mataram tahun 1541, untuk menghilangkan kemusyrikan atau penyembahan terhadap dewa dalam silsilah wayang, yang dikarang oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito.48 Kualitas pertunjukan wayang di tentukan oleh dalang, seorang dalang harus menguasai hamper setiap hal, dalam istilah Jawa disebut mumpuni. Dalang harus memiliki kualitas diri yang melampaui anggota masyarakat lainnya, untuk dapat memberikan pelajaran seorang dalang tak henti-hentinya harus rajin belajar dengan membaca banyak-banyak buku. Bukan hanya sebagai penghibur akan tetapi juga sebagai komunikator, sebagai penyuluh, sebagai penatar, pendidik atau guru bagi masyarakat dan sebagai rohaniawan yang berkewajiban mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan.49

47 Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam, h. 95. 48 RM Ismunandar, Wayang, Asal -Usul dan Jenisnya, h. 95. 49 Sujatmo, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang : Dahara Prize, 1992, h. 21.

BAB IV PEWAYANGAN KI ENTHUS SUSMONO

A. Karya dan Penghargaan Ki Enthus Susmono 1. Kiprah Pewayangan1 1) Ribuan kali pementasan pewayangan di berbagai kota di Indonesia (1986- sekarang), dengan akumulasi rata-rata setiap tahunnya sebanyak 70 pementasan. 2) Menggelar Wayang Simphony di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam rangka Sepekan Wayang Kebangsaan (2006) 3) Melahirkan konsep Wayang Kebangsaan, sebuah konsep pagelaran wayang yang mengangkat isu-isu Kebangsaan dan Nasionalisme. 4) Menggelar pentas Duel Dalang Kondang Ki Enthus dan Ki Manteb, di Monumen GBN Slawi, Tegal (2007) 5) Menggelar pentas Wayang Blong, dalam event Festival Seni Surabaya (2007) 6) Mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang Internasional di Denpasar, Bali (2008) 7) Wayang kulit Ki Enthus dipamerkan dalam event bergengsi di Museum Tropen Belanda, dengan tema “Wayang Superstar The Theatre World Of Ki Enthus Susmono” (2009) 8) Tour pentas wayang “Dewa Ruci” dibeberapa Negara seperti Belanda, Perancis dan Korea Selatan (2009) 2. Karya Tokoh Pewayangan Perhatiannya pada sarana utama pakeliran wayang cukup besar, ia tidak cukup puas dengan figur-figur wayang yang sudah ada, sehingga berusaha mengembangkan figur wayang tradisi atau menciptakan desain baru. Penciptaan tokoh-tokoh masa kini dalam wayangnya adalah salah satu upaya untuk memperkenalkan wayang pada generasi muda. Sebab tokoh-tokoh pewayangan

1http://amp.kompas.com/megapolitan/read/2009/02/27/11150324/~Oase~Padamu%20Nege ri (diakses pada tanggal 05 September 2017)

50 51

seperti Werkudara, Gatutkaca, dan Arjuna mulai terdesak oleh hadirnya tokoh- tokoh fiktif dari luar budaya Nusantara seperti Supermen, Doraemon, Ninja Boy, Upin dan Ipin, dan Shinchan.2 Dengan diciptakan tokoh-tokoh fiktif masa kini dalam bentuk wayang kulit, maka setiap hari sabtu pagi Ki Enthus mengajari anak-anak untuk bermain wayang, sehingga anak-anak akan senang untuk memainkannya, bahkan kadang Ki Enthus lepas agar anak-anak belajar memainkan wayang sesuka hati mereka. Karena Ki Enthus ingin wayang tetap ada yang melestarikan.3 Wayang-wayang baru kreasinyanya tersebut digambar sendiri sedangkan pemahatannya dan pewarnaannya dibantu oleh tiga orang penatah (pemahat) dan empat orang penyungging (pewarnaan), yang berasal dari daerah Sukoharjo dan Klaten.4 Sampai saat ini ia telah menyelesaikan hampir 200 buah wayang kreasi serta memiliki sebelas kothak wayang dengan berbagai gaya dan tipe, wayang kulit gaya Kedu, wayang Kulit gaya Cirebon, dan wayang golek Cepak. Wayang- wayang produksinya itu disamping untuk memenuhi kebutuhan pentas juga sebagai barang dagangan. Di antara karya-karyanya antara lain:5 1) Wayang Supermen (1996) 2) Wayang Gathutkaca Terbang (1996) 3) Wayang Satria Baja Hitam (1996) 4) Wayang Sumo (1996) 5) Kayon Ganesha (1998) 6) Wayang Dasamuka (1998) 7) Wayang Indrajid (1998) 8) Wayang Patih dan Tumenggung (1998) 9) Wayang Yuyu Rumpung (1999) 10) Kreta Jaladara (1999) 11) Kreta Jatisura (1999)

2 Observasi langsung tanggal 20-30 Desember 2017 3 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 4 Hasil Observasi penulis dan wawancara pribadi dengan Ki Enthus Susmono, dalang Kabupaten Tegal, 20-30 Desember 2017 5 http://wayang-ki-enthus-wayang-spektakuler (diakses pada tanggal 10 Oktober 2017)

52

12) Wayang Limbuk dan Suaminya (1999) 13) Baris Kampak (1999) 14) Kayon Hawa Bayu (1999) 15) Kayon Masjid (2000) 16) Wayang Pandawa (2000) 17) Kayon Ganesha Kecil (2000) 18) Kayon Liong (2000) 19) Wayang Prayungan (2000) 20) Wayang Batman (2001) 21) Wayang Alien (2001) 22) Wayang tokoh-tokoh politik (2001) 23) Wayang Teletubies (2001) 24) Wayang planet (2001) 25) Kayon Loteng (2001) 26) Wayang Osama bin Laden (2002) 27) Wayang Inul (2003) 28) Wayang Wali (2004) 29) Wayang Rai Wong (2005-2006) 30) Wayang Kebangsaan (2006) 31) Wayang Gunungan Harry Potter (2006) 32) Wayang Walisanga (2006) 33) Wayang Goerge Bush (2006 dan 2008) 34) Wayang Saddam Husein (2006 dan 2008) 35) Wayang Gunungan Tsunami Aceh (2006) 36) Wayang Simphony (2007) 37) Wayang Blong (2007) 38) Wayang Minimalis (2007) 39) Wayang Barrack Obama

53

3. Penghargaan Ki Enthus Susmono6 1) Juara 1 Festival Dalang Remaja tingkat Jawa Tengah di Wonogiri (1988) 2) Dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia (2004) 3) Dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia (2005) 4) Gelar Doktor Honoris Causa bidang seni budaya dari Laguna College of Bussines and Arts, Calamba, Philippines (2005). 5) Pemuda Award Tahun bidang Seni dan Budaya, dari DPD HIPMI Jawa Tengah (2005). 6) Memecahkan Rekor Muri sebagai dalang terkreatif dengan menampilkan kreasi jenis Wayang terbanyak 1491 wayang (2007). 7) Mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang Internasional di Denpasar, Bali (2008). 8) Seniman berprestasi 9) Upakarti Reksa Menggala Budaya dari Unnes, dalam rangka acara Dies Natalis Unnes (2017).7 4. Karya dalam Museum Karya-karya Ki Enthus di akui oleh beberapa Museum di Dunia, karena mereka mengagumi wayang budaya Indonesia, dan figure wayang kreatif Ki Enthus, di antaranya:8 1) Tropen Museum di Amsterdam, Belanda 2) Museum of Internasional Folk Arts (MOIFA) di New Mexico 3) Museum Wayang Walter Angts di Jerman 5. Pameran Wayang 1) Pameran Wayang bertajuk Wayang adalah Rohku dalam rangka Dies Natalis STSI Surakarta (2003). 2) Pameran Wayang Grand Launching Wayang Rai Wong di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta (2006)

6 Wawancara Pribadi dengan Mas Haryo Susilo, (Anak Kedua Ki Enthus), Tegal, 10 Februari 2018, pukul 08.00 WIB. 7 http://infotegal.com (diakses pada tanggal 15 Juli 2017) 8http://dalangenthus.id/berita/295-reportase-pameran-wayang-superstar-the-theatre-world- of-ki-enthus-susmono (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)

54

3) Pameran Wayang Rai Wong, di Galeri Merah Putih, Balai Pemuda Surabaya (2006). 4) Pameran Wayang Rai Wong dalam Pekan Wayang Kebangsaan, di Galeri Cipta II TIM-Jakarta (2007). 5) Pameran bersama Wayang Indonesia, diselenggarakan oleh Museum Wayang Indonesia, di Jakarta (2007). 6) Pameran Wayang Superstar The Theater World of Ki Enthus Susmono, 29 Januari sampai 30 Juni 2009, di Tropen Museum-Amsterdam, Belanda. 7) Pameran wayang budaya pesisir, yang menampilkan wayang Rai Wong, Wayang Planet, Wayang Pesisiran, di Universitas Negeri Semarang (UNES) 26 Oktober-02 November 2016.9 8) Pameran wayang dalam rangkaian Jogya International Heritage Festival 2017, dengan judul Wayang: Lakon Tanpa Batas, 05 November 2017 9) Pameran wayang yang bertajuk ENTHUSiasme Susmono di galeri RJ. Katamsi Institut Seni Indonesia (ISI) 11 November 2016

B. Tema Nasionalisme Ki Enthus tidak akan memposisikan rakyatnya sebagai wayang, wayang adalah benda mati yang bisa dengan mudah digerakkan, sedangkan manusia hidup mempunyai akal dan pikiran yang berbeda-beda. Menjadi Bupatinya manusia tentu berbeda dengan menjadi dalang menggerakan wayang. Adapun tema-tema tersebut terdiri dari beberapa bagian, diantaranya : Tema Nasionalisme atau perjuangan pada mula menggunakan wayang suluh, yang mempunyai fungsi menyebarkan semangat nasionalisme masayarakat Indonesia untuk melawan Belanda. Wayang ini diciptakan oleh R. M Sutarta Harjawahana pada tahun 1920, ia seorang dalang dari Surakarta. Wayang ini dibuat sebagai sarana penerangan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya nama wayang ini adalah wayang merdeka, namun berganti dengan sebutan wayang suluh karena diadakan sayembara yang dihadiri oleh

9http://krjogya.com/web/news/read/13895/ki_enthus_gelar_pameram_wayang(diakses pada tanggal 17 November 2017)

55

beberapa perwakilan partai dan wakil Kementrian Penerangan Yogyakarta , akhirnya namanya berubah menjadi wayang suluh. Lakon-lakon yang dipagelarkan pun berdasarkan kejadian penting pada masa revolusi kemerdekaan, diantaranya Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, Perjanjian Linggarjati, dll.10 Kemudian ditangan dalang dari Kabupaten Tegal inilah membuat inovasi dengan menciptakan beberapa lakon-lakon bertemakan Nasionalisme. Yang biasanya dipentaskan ketika hari-hari besar, kemerdekaan Indonesia dengan memperingati 17 Agustus, Sumpah Pemuda, hari lahir Pancasila, dll. Yang membedakan dipagelaran ini menambahkan lagu-lagu kebangsaan, Nasionalisme, bahkan hari-hari besar lainnya. Dengan tokoh-tokoh perjuangan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Jendral Sudirman, dll. Tema-tema ini berisi tentang patriotisme dan nasionalisme, religius, toleransi, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan. Memberikan kesadaran dan menggugah anak bangsa untuk selalu mencintai Tanah Air Indonesia. Maka diharapkan para penonton mengetahui bagaimana sejarah kemerdekaan Indonesia melalui pementasan wayang nasionalisme. Di antara tema-tema tersebut adalah: 1. Babat Wanamarta. Pagelaran wayang kulit di Balaikota Malang, dalam Rangka Menyambut Peringatan 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia & Hari Jadi 101 Tahun Kota Malang, 29 Agustus 2016 2. Jamus Kalimasada. Berisi tentang lima nasehat yang disebut Kalimasada, yang berasal dari kata Kali Maha Usada, Kali artinya zaman, Maha artinya sangat, dan Usada artinya penyembuh, jadi Kalimasa merupakan nasehat atau pentunjuk untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang rusak dunia. Kaimasada merupakan Pancasila. Dalam rangka mengenang dan menguatkan kembali nilai-nilai kebudayaan dalam ajaran Islam, Pendopo Sidoarjo, 24 Mei 2013. 3. Gatotkaca Winishuda. Berisi tentang menjadi pemimpin harus berani, melindungi rakyat, mengambil resiko dan mempertanggung jawabkan.

10 Sunardi, dkk. Jurnal Panggung, Vol. 26 No. 2, “Pertunjukan Wayang Babad Nusantara : Wahana Pengajaran Nilai Kebangsaan Bagi Generasi Muda,” h. 197-198.

56

Gatotkaca melawan pamannya sendiri karena dia raja yang harus mengayomi rakyatnya dari tindak angkara murka, meski harus membunuh pamannya sendiri. Teguh janji apapun yang terjadi, Brajamusti dan Kala Bendana menepati sumpahnya mengabdi kepada Gatotkaca selaku raja, dan berani berhadapan dengan kakaknya sendiri. Kemenangan Pilkada Walikota Magelang, 23 April 2016. 4. Pandawa Kumpul. 14 Juli 2017. Merupakan karya Ki Enthus bukan karya dari orang lain. 5. Pandawa Bangkit. Festival wayang kulit 2017 keliling di 14 Kabupaten, di Jawa Timur, Bojonegoro. 24 Oktober 2017. Menyisihkan waktu untuk berbuat baik, bersilaturahmi, dan membangun semangat gotong royong di masyarakat.11 6. Wisanggeni Lahir, PT ISM-Divisi Bogasari Flour Mills, Tanjung Priuk, Jakarta Utara, 08 Desember 2017. Cemburunya Dewasrani terhadap pernikahan Arjuna dan Dresnala, dan akhirnya dipisahkan oleh Batara Drama, kemudian Batara Drama dan Dreslana menikah, namun Dreslana selalu disakiti. Kemudian lahirlah Wisanggeni yang merupakan cucunya, tumbuh dewasa dan membuat kekacauan di kayangan. Akhirnya Arjuna dan Dreslana bertemu dan kemudian bersatu kembali.12 7. Pandawa Mbangun Negara. Bekas Pabrik Minyak Kelapa (PMK) Sari Nabati Panjer, Kebumen, 30 September 2017. 8. Gatot Kaca Bangkit. Harlah PKB Ke-19, Lapangan DPR?MPR-Jakarta, 22 Juli 2017. 9. Nurkala Kalidasa. Mukhtamar ke-33 Nahdlatul Ulama, Jombang, 1-5 Agustus 2015. 10. Ruwatan Politik : Jaka Bereg Mbangun Negara. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Desa Slatri, Brebes. 02 Desember 2017. Ruwatan dalam

11http://rakyatindependen.com/festival-wayang-kulit-2017-di-purwosari-dihadiri-wagub- jatim-h-saifullah--yusuf/ (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) 12http://wartakota.tribunnews.com/2017/2/07/jangan-lupa-ulang-tahun-bogasari-ada-gelar- wayangan-di-tanjung-priuk (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)

57

bahasa Jawa artinya bersih-bersih, jadi diartikan dengan bersih-bersih politik. 11. Saridin Menuntut Ilmu 12. Kembang Wijaya Kusuma 13. Hilangnya Pustaka Merah Delima Samson Delilah. HUT Juang Kartika ke- 72, Slawi. 15 November 2017. Jadikan masa lalu sebagai pelajaran untuk masa yang akan datang.

C. Tema Politik Tema politik dipentaskan karena Ki Enthus ingin menyampaikan program- program pemerintah kepada masyarakat, mengkritik para pejabat pemerintahan yang dianggap ia seenaknya saja kepada rakyat. Menggunakan media wayang dan diselingi dengan guyonan-guyonan. Seperti mengkritik para pejabat yang korupsi uang Negara atau uang rakyat, Kasus Pilkada, para pejabat yang seenaknya sendiri, Bagaimana menjadi pemimpin yang baik, dan lain sebagainya. Di antara tema-tema lakon: 1. Antara NU dan Muhammadiyah. Pondok Pesantren Nurul Huda, Sragen, 4 Juli 2017. Menyinggung antara dua perbedaan diantara Muhammadiyah dan Nahlatul Ulama, dari bacaan do‟a qunut, tahlil dan lain-lain. Bahkan pengikutnya fanatik dan kurang mengenal toleransi. 2. Hanoman Berbaik Hati, 22 Maret 2014, PP Nurul Huda, Plosorejo Gendong-Sragen. 3. Amukan Sang Hanoman. 14 April 2017. 4. Arjuna Kromo. Rawamangun-Jakarta Timur, 11 Oktober 2014 5. Bima Bangun Negara. Pemenang Pemilu Partai Golkar Wilayah Indonesia I, Nusron Wahid dan djarot Saiful Hidayat, 01 April 2017 6. Bima Ngaji. Aula Insan Berprestasi Gedung A, Kemendikbud, Senayan- Jakarta, 02 Desember 2016 7. Bima Wisuda. Pagelaran Balon Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi. Desa Trimodadi, Lampung Utara, 12 Agustus 2017. Seorang pemimpin harusnya

58

mempunyai sifat yang jujur , adil, dan tulus, serta raja yang tidak mudah marah.13 8. Bimo Bungkus. Hari ulang tahun SMK PGRI 2 Ponorogo ke-33, 29 April 2017 9. Caleg Gagal. 21 Mei 2017. 10. Cupu Manik Astagina. Sosialisasi calon Gubernur Lampung Arinal Djunaidi, lapangan Mulyojati 16C, Kota Metro. 07 Juli 2017. Cupu adalah suatu wadah berbentuk bundar kecil terbuat dari kayu atau logam, sedangkan manik artinya permata. Dapat memperlihatkan tempat-tempat didunia tanpa harus mendatanginya.14 11. Dasamuka Gugur. Memperingati hari lahir (Sejit) Dewa Bumi (Hok Tek Ceng Sin) tiap tanggal 2 bulan Imlek, 01 Maret 2014. 12. Dewa Ruci. Peringatan Hut PDI-P ke 44 di Jakarta Selatan. 13. Gatotkaca Kelana Jaya. Peresmian tahap dua Taman Air Mancur Sri Baduga, Purwakarta-Jawa Barat, 16 Januari 2016. 14. Goro-Goro Semar Wirid, 26 Februari 2016. 15. Hakekat Wahyu Kembar, 25 Oktober 2014 16. Hewan Perwakilan Rakyat. 05 Agustus 2017 17. Karmo Tandhing. 09 Juni 2015 18. Konvensi Rajamala (Gambaran tentang ilkim politik Indonesia di tahun 2014) 19. Lahire Wisanggeni. 15 September 2015 20. Ma‟rifat Dewa Ruci. Menyambut tahun baru 2017, Kantor Gubernur Jawa Tengah, 31 Desember 2017. Perjuangan Bima mendapatkan jimat keutamaan. 21. Menteri Brengsek. 27 Juni 2017. Ketika penguasa salah harus disalahkan, jangan malah di benarkan tetapi sebenernya salah. 22. Pejabat Asu.17 Juli 2013. Masalah pejabat yang mengkorupsi uang rakyat.

13http://www.teraslampung.com/sosialisasi-arinal-di-lampura-ki-enthus-pentaskan-lakon- bimo-wisudo/ (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) 14https://lampungpro.com/post/5120/malam-ini-ki-enthus-bawakan-lakon-cupu-manik- astagina-di-mulyojati-metro (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)

59

23. Petruk Dadi Ratu. Haul ke-25 Bapak H. Asmo Prawiro dan Hj. Suriptinah, Surakarta, 03 oktober 2014. Ini juga merupakan tema pertama kali ketika Abah menjadi sorang nomor 1 di Kabupaten Tegal. Sosok orang yang paling bawah, kalau sudah menjadi takdir akan diangkat drajatnya menjadi pemimpin. 24. Rama Nitis. 25. Semar Gugat. Berisi tentang Amarta yang diguncang prahara bencana banjir bandang sehingga rakyatnya sangat menderita, sementara para pemimpin berlaku tidak dil terhadap rakyatnya, dimna agama sebagai alat adu domba, korupsi merajalela, dan wakil rakyat berfoya-foya. Untuk itulah Semar menggugat para pemimpin bangsa untuk membantu rakyat, memikirkan persatuan bangsanya bukan mementingkan kekuasaan, tetapi pikirkanlah rakyat. Tetapi yang diharapkan Semar ternyata tidak terlaksana karena ketika Semar menggugat ke Astina, para pejabat justru senang dengan bencana yang menimpa Amarta, dimana rasa sosialisme memang sudah tidak ada lagi di Astina, dan memanfaatkan bencana alam untuk memenangkan kekuasaan. 26. Semar Mbangun Deso. Penutupan Dies Natalis ke-47 Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Gedung Pertemuan Kampus B UNJ, 14 Juni 2011 27. Semar Mbangun Khayangan. Purbalingga, 18 Desember 2016. 28. Sengkuni Sang Provokator. 22 Desember 2013 29. Sugriwa Subali, 08 Agustus 2017.

D. Tema Keagamaan Wayang Santri dan Ngaji Jijen (Ngaji Orgen) sebenarnya merupakan wayang Golek. Wayang santri merupakan program Ki Enthus Susmono untuk melakukan penyiaran agama Islam, wayang santri pertama kali dipentaskan di Pendopo Ki Enthus Susmono di desa Bengle, kecamatan Talang.15 Dinamakan wayang santri karena Ki Enthus mengakui bahwa ia bukanlah seorang Kyai, penceramah, atau ahli agama, karena ilmu yang ia dapatkan masih dangkal

15 Suara Merdeka, 2015, h.29

60

(sedikit).16 Itulah yang membuat Ki Enthus terbiasa menamakannya dengan mengaji bersama dan Ki Enthus hanya membantu para Ustadz dan Kyai untuk menyebarkan agama Islam. Sehingga jika ada kekeliruan atau kesalahan Ki Enthus siap untuk diluruskan oleh para Ulama yang lebih mengerti agama Islam.17 Cerita-cerita yang digunakan untuk pementasan wayang santri merupakan cerita tentang keteladanan Nabi Muhammad, dan para pejuang alim Ulama. Pesan-pesan yang ada di wayang santri merupakan pesan dakwah Islam yaitu tentang keimanan, bagaimana caranya agar seorang muslim senantiasa memelihara dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT, dengan beramal sholeh. Tentang syari‟ah, bagaimana ketundukan seorang muslim kepada Tuhannya, ibadah yang berhubungan langsung dengan sang pencipta dan adanya rukun Islam, sedangkan muamalah berhubungan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat seperti dalam hal hak warisan, jual beli, sosial, dll. Tentang akhlak bagaimana menjadi seorang muslim yang baik akhlaknya yaitu dengan habluminannas. Inovasi iringan lagu serta kolaborasi musik selain bedug, rebana, bass, keyboard dan lain sebagainya. Iringan sholawat seperti sholawat Abu Nawas, Nadhlatul Ulama, Yaumul Asyuro, Kuntulan, Sholawat Fatih. Durasi dalam pementasan wayang santri berkisar antara 2-4 jam, dan para pangrawitnya pun tidak seperti pada pementasan wayang kulit. Dua tokoh sentral dalam pementasan wayang santri adalah Lupit dan Slenteng. Lupit berasal dari kata Lutfi yang berati lembut, sesuai namanya Lupit mempunyai sifat lembut, bijaksana, lebih dewasa dan lebih mengayomi. Sedangkan Slenteng memiliki sifat humoris, arogan akan tetapi dia cerdas. Lupit digambarkan mempunyai sifat baik sedangkan Slenteng arogan tetapi manusiawi. Meskipun kedua tokoh tersebut mempunyai sifat berlawanan, keduanya saling melengkapi, bersatu dan terlihat kompak. Hal ini menandakan bahwa perbedaan tidaklah menjadikan seseorang untuk saling bermusuhan dan saling berselisih,

16 Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Wawancara Pribadi, Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 17 Radar Tegal, 18 November 2008

61

akan tetapi dengan adanya perbedaan menjadikan sebuah rahmat sehingga keduanya saling melengkapi.18 Selain Lupit dan Slenteng, Ki Enthus juga membuat tokoh-tokoh yang lainnya, diantaranya adalah : Putri, Sugeng, Kyai Ma‟ruf, Kyai Gusdur, Warja, Darmo, Supri, Abu Nawas, Wali Songo, Kampala, dll. Berikut adalah tema-tema wayang santri Ki Enthus, di antaranya adalah: 1. Adam Bali Adam 2. Adam awal adam akhir. Sedekah bumi dan Santunan Yatim Piatu, Kersana- Brebes 3. Ajaran Sunan Kalijaga 4. Ajaran Wali. Modal utama umat Islamyaitu dengan menyebarkan salam keselamatan dan menjawab salam, tidak boleh serakah, pesan aqidah (bersedekah), pesan akhlaq (larang berbuat aklaq mazmumah, akhlaq tercela 5. Anjala Anjali 6. Gamelan Sekaten 7. Gara-Gara Nanggap Sugeng 8. Goro-Goro Nanggap Sugeng 9. Jaka Subur 10. Jaka Mambang 11. Khoirunas Anfauhum Linnas 12. Kyai Kawin. 13. Kungfu TaiChi 14. Kyai Kawin 15. Lupit Belajar Ngaji 16. Lupit Debat 17. Lupit Gragas 18. Lupit Kena Fitnah. 19. Lupit Munggah Haji. Hari jadi Kabupaten Tegal ke-414, Tegal Expo, Tegal-Jawa Tengah

18 Nur Aviah, Pandangan Dakwah Ki Enthus Susmono dalam Wayang Santri, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Purwokerto, 2012, h. 25.

62

20. Lupit Ngaji 21. Lupit Nulungi Putri, Menyambut Tahun Baru Hijriyah, 22 Oktober 2016. Dihalaman Graha Gusdur-DPP PKB Jakarta Pusat. Slenteng menolong putri yang Bapaknya terjebak di sumur, kemudian akhirnya Sleteng menikah dengan putri. 22. Lupit Perang 23. Lupit Seneng Tetulung. HUT Kota Pekalongan ke-110, 1 April, didalam pementasan ini isinya adalah jangan durhaka terhadap orang tua dan guru, dan menjadi siswa juga harus mengingat pentingnya disiplin, selalu rapih berbusana.19 24. Mabuk Ciu 25. Matine Syeh Siti Jenar 26. Murid Murtad 27. Pendowo Mbangun Negoro. 28. Pencak Silat 29. Rebutan Kotak Pandora. 30. Samson Delila 31. Sang Pencerah 32. Santri Suci. 33. Saridin Jadi Hakim 34. Sayidin Si Macam Gembong 35. Semar Boyong. Halal bi halal, 08 April 2015 36. Sekar Wijaya Kusuma. Kemangkon-Purbalingga, 03 November 2017 37. Sindang Mulya. Malam tasyakuran berdirinya BUMDES, Margasari-Tegal, 22 Desember 2016 38. Slenteng di Gencet Kotak 39. Slenteng Kembar Empat 40. Sorban Mayan Rosul

19http://www.nu.or.id/post/read/85907/dalang-enthus-tanamkan-karakter-lewat- pementasan-wayang-santri (diakses pada tanggal 10 Februari 2018)

63

41. Sunate Abu Nawas, Pelantikan PCNU Masa Khidmat 2013-2018, Alun- Alun Tegal, 11 Juni 2013. Membahas tentang Muhammadiyah dan Nahlatul Ulama, sholat, puasa, tentang nanti diakhirat ditanya oleh malaikat Mungkar-Nakir. 42. Wayang Santri, Pidato Kebudayaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menyambut Hari Santri Nasional 14 Oktober 2015, didalam cerita tersebut. Ki Enthus mengkritik masalah-masalah yang tengah dihadapi Indonesia, seperti masalah asap yang melanda pulau Sumatra dan Kalimantan, masalah tinnginya dollar, masalah pesebakbolaan Indonesia, bahkan juga menyindir masalah perbedaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahkan didalam pementasan ini Ki Enthus memunculkan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Barack Obama.20 Pagelaran wayang pun tidak pernah lepas dengan hadirnya seorang sinden dan pemegang alat musik, karena mereka semua seperti sudah menjadi satu kesatuan yang melengkapi satu sama lain, ini adalah orang-orang yang bergabung dalam Sanggar Satria Laras, di antaranya:21 1. Sugeng bertugas sebagai : pemain alat musik penyimping dan bedug 2. Cipto bertugas sebagai : wiraswara 3. Fetty bertugas sebagai : wiraswara 4. Pur bertugas sebagai : wiraswara 5. Gunarti bertugas sebagai : wiraswara 6. Suci bertugas sebagai : wiraswara 7. Desi bertugas sebagai : wiraswara 8. Yanto bertugas sebagai : pemain alat musik demung 1 9. Lian bertugas sebagai : pemain alat musik demung 2 10. Nardi bertugas sebagai : pemain alat musik saron 1 11. Warsito bertugas sebagai : pemain alat musik saron 2 12. Eko bertugas sebagai : pemain alat musik kethuk

20http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/10/15/nw8rli346-kritik- banyolan-wayang-santri-ki-enthus (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) 21 Wawancara pribadi dengan Mas Haryo Susilo, (Anak Kedua Ki Enthus Susmono), Tegal, 10 Februari 2018, pukul 20.00 WIB.

64

13. Anom bertugas sebagai : pemain alat musik kenong/ boning 14. Giano bertugas sebagai : pemain alat musik gong 15. Bintoro bertugas sebagai : pemain alat musik biola 16. Kris bertugas sebagai : pemain alat musik keyboard 17. Rohim bertugas sebagai : operator sound 18. Yusuf bertugas sebagai : pemain alat musik tamborin Sanggar Satria Laras lahir ketika tahun 90-an, dimana sebelumnya keadaan musik Tegalan mengalami kemunduran, sehingga munculnya krisis ekonomi, dan penyuka lagu-lagu pun sudah di masuki lagu-lagu barat. Kemudian Ki Enthus Susmono berani menciptakan album bergenre campursari dengan lirik bahasa Tegal yang berjudul “Topeng Monyet”, Ki Enthus menggabungkan antara musik reggae, rock, dangdut dan jaipong, sehingga musik Tegal pun bangkit kembali dan mengalami kemajuan.22 Gamelan musik Jawa merupakan pendukung dalam pagelaran wayang kulit maupun wayang golek, orkes gamelan menampilkan ketelinga yang menggambarkan tentang kehidupan batin. Gamelan merupakan orkes tabuh, biasanya jika digunakan di Kraton ada sekitar 50 alat musik yang dimainkan, namun di pewayangan biasa hanya sekitar 12 orang saja, pemain gamelan biasanya kalangan laki-laki.23 Pada umumnya alat musik yang digunakan pada pagelaran wayang golek adalah, rebab, kendang, serulingnya khusus Sunda, Kecapi Sunda. Sedangkan jika pagelaran wayang kulit memang komplit hanya ada tambahan timpani, wayangan yang digunakan pun lebih banyak.24 Alat musik yang digunakan biasanya ada saron, semacam gambang logam yang salah satu dari ketujuh nadanya dipukul sekali pada saatnya dengan pemukul dari kayu kemudian dipegang segera untuk menghindarkan nada tambahan. Serangkaian gong (gong gede, kenong, kempul dan ketuk merupakan yang paling penting, yang pertama merupakan yang paling

22 Wawancara pribadi dengan Suci, (Sinden Satria Laras), Yogyakarta, 27 Desember 2017, pukul 04.50 WIB. 23 Observasi langsung 20-30 Desember 2017 24 Wawancara Pribadi dengan Hatmanto, (Pemain Kendang Satria Laras), Tegal, 10 Februari 2018, pukul 20.30 WIB

65

besar yang terakhir yang kecil) memberikan tanda berpisah pada musik itu. Xylophon, kendang, dll. Antara wayang dan gamelan memang melengkapi, ada tiga pembagian besar dalam wayang yang disebut diatas priode pembukaan sampai tengah malam, periode komplikasi sampai pukul tiga, dan bagian akhir sampai dini hari.25 Tidak lupa dengan hadirnya seorang sinden untuk mengiringi pementasan wayang, dengan tembang-tembang Jawa untuk membuat pertunjukan semakin hidup. Tidak ada syarat-syarat khusus untuk menjadi pesinden, yang terpenting adalah pesinden Jawa itu tetap mempunyai etika dan kualitas harus bisa dulu gending-gending Jawa untuk iringan wayang, terus juga harus bisa membaca notasi karawitan itu kunci utamanya.26 Yang membedakan tema-tema lakon wayangnya adalah ketika lakon ceritanya tentang Nasionalisme, maka harus di selingi dengan lagu-lagu Nasionalis seperti 17 Agustus, Maju Tak Gentar, dll. Begitupun jika ekonomi seperti pada tanggal 15 Desember 2017 diundang oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Ibu Susi, maka Ki Enthus membuat lagu tentang ikan dengan tema lakon pendawa layar.27

25 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta : Pustaka Jawa, 1983), h. 353. 26 Wawancara Pribadi dengan Enthus Susmono, (Dalang Kabupaten Tegal), Tegal, 27 Desember 2017, pukul 00.30 WIB. 27 Wawancara Pribadi dengan Suci, (Sinden Satria Laras), Yogyakarta, 27 Desember 2017, pukul 04.50 WIB.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema-tema lakon pewayangan Ki Enthus sangat beragam. Bukan hanya tema yang berkaitan dengan Mahabarata dan Ramayan, ia menginovasi pagelarannya, sehingga membuat penonton tidak bosan. Pagelaran wayang kulit durasinya lebih lama dibandingkan dengan wayang golek / wayang santri. Masyarakat Kabupaten Tegal lebih menyukai pagelaran wayang golek / wayang santri, tetapi jika Ki Enthus mengisi acara diluar Kabupaten Tegal, ia menggunakan wayang kulit. Tema-tema lakon Ki Enthus Susmono tidak hanya tentang Jamus Kalimasada, Semar Bangun Kayangan, dll. Dan lakonnya pun tidak hanya Petruk, Bagong, Semar, Gareng, atau Pandawa Lima. Ia memodifikasi tema-tema wayangnya, sehingga setiap pagelaran Ki Enthus selalu ditunggu pementasannya. Ki Enthus memodifikasi dengan mementaskan menggunakan bahasa keseharian agar mudah diterima oleh masyarakat. Tema-tema lakon Ki Enthus berbicara tentang tema Nasionalisme, dimana setiap kali pementasan ia menceritakan bagaimana dulu bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda, tentang pentingnya Pancasila yang merupakan dasar Negara Indonesia. Tema politik pun ia masukan kedalam pagelarannya untuk mengkritik para pejabat tinggi, mengenai penggelapan uang (korupsi), dll. Serta tema agama yang berbica tentang masalah keseharian, kenabian, berpesan dakwah Islam keimanan, ketauhidan, syariah. B. Saran Penulis menyadari kekurangan atas penulisan skripsi ini, maka untuk penulis selanjutnya: 1. Karena penelitian ini hanya mengkaji tema-tema lakon dalang Ki Enthus Susmono, mana yang termasuk lakon Nasionalis, serta politik dan lakon keagamaann. Demikian hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai

66 67

acuan untuk penelitian lain, dengan mengambil salah satu lakon yang Ki Enthus pagelarkan. 2. Pertunjukan wayang golek dan wayang kulit yang disajikan oleh Ki Enthus Susmono diharapkan tidak hanya untuk sebagai hiburan dan tontonan saja, melainkan juga sebagai media dakwah Islam untuk menyampaikan nilai- nilai keIslaman dengan menggunakan wayang. 3. Kita wajib melestarikan budaya Jawa, khususnya kesenian wayang, agar kebudayaan ini tidak punah dimakan oleh zaman, dan sebagai generasi penerus kita wajib menjaga dan mengetahui tentang pertunjukan wayang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku: Aizid, Rizem. Atlas Tokoh-Tokoh Wayang. Yogyakarta: Diva Press, 2012. Albiladiyah, S. Ilmi, dkk. Tegal dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2013. Amir, Hazim. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Jaya, 1994. Anderson, Benedict R.O‟G. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2008. Arif, Syaiful. Refilosofi Kebudayaan Pascastruktural, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Azra, Azumardi. Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan, 2002. Bastomi, Suwadji. Nilai-Nilai Seni Pewayangan. Semarang: Dahara Press, 1993. Beatty, Andrew. Varities Og Javanese Religion. Diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saefuddin Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001. Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jawa, 1983. Gunarjo, Nursodik, ed. Wayang Sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Diseminasi Informasi. Jakarta Barat: UEU- University Press, 2013. Guritno, Pandam Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI- Press, 1988. Hamam, Rochani Ahmad..Ki Gede Sebayu Babad Negeri Tegal. Tegal: Intermedia Paramadina bekerjasama dengan Pemerintahan Kabupaten Tegal, 2005. Ismunandar, R.M. Wayang Asal Usul dan Jenisnya. Jakarta: Effhar dan Dahara Prize, 1992. Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I. Jakarta: Erlangga, 1981. Kustomo, Andi Suriali. Kabupaten Tegal Pesona Alam, Wisata, Industri, dan Perdagangan. Tegal: Media Post, 2005.

68 69

_____ . Jejak Kota Tegal (1999-2009). Tegal: Bagian Humas dan Protokol Kota Tegal, 2010. Lisbijanto, Herry. Wayang. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013. Moloeng, J. Lexy. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000. Mulyono, Sri. Wayang : Asal- usul. Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982. Mundiri, Sofwan Ridin. Islamisasi di Jawa: Walisongo Penyebar Islam di Jawa menurut penuturan Babad. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004. Murtiyoso, Bambang. Faktor-faktor Pendukung Popularitas Dalang. Yogyakarta: Tesis UGM, 1996. _____. Seni Pertunjukan Pewayangan. Surakarta: Citra Etnika, 2004. Proclaims, Hereby. Wayang Puppet Theatre. Paris: a Masterpiece of the Oral and Intangible Heriage of humanity, 2008. Raffles, Thomas Stamford. The History Of Java Volume 2 Chapter VI. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978. Diterjemahkan oleh John Bastin tahun 1988. Rif‟an, Ali, ed. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Garai lmu, 2010. Saksono, Widji. MengIslamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisanga. Bandung : Mizan, 1995. Sedyawati, Edy. Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid I, Volume I. Sekretaris Nasional Pewayangan Indonesia: Sena Wangi, 1999. Sholikhin, Muhammad. Ritual dan Tradisi Islam. Yogyakarta: Narasi, 2010. Soelarto, dkk., Album Wayang Beber Pacitan dan Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Media Budaya, 1984 Soekatno, BA. Wayang Kulit Purwa. Semarang: Aneka Ilmu, 2005. Sopiah, Kesenian Tradisional Tari Topeng Gaya Tegal Selayang Pandang. 2007 (tidak diterbitkan). Suharyono, Bagyo. Wayang Beber Wonosari. Depok: Bina Citra Pustaka, 2005. Sujamto, Refleksi Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize, 1997. _____ . Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Effhar dan Dahara Prize,1992.

70

Sumitarsih, dkk. Wayang Topeng sebagai Wahana Pewarisan Nilai. Jakarta: Kementrian Pendidikan Kebudayaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2000. Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa. Semarang: Dahara Prize, 1997. Tulung, Freddy H. Wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Diseminasi Informasi. Jakarta: Kementrian Komunikasi dan Informatika RI Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik, 2011. Wuninggar, dkk. Seni Kentrung Khas Tegal. Tegal: Yayasan Tadulakota : 2013. _____. Tari Topeng Khas Tegal. Tegal : Yayasan Tadulakota: 2013. _____. Wayang Tutus Khas Tegal. Tegal : Yayasan Tadulakota: 2013. Zarkasy, Effendi. Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung: Al-Ma‟arif, 1983. Zharif, Bakar M. N, Mengenal Budaya Nusantara. Bandung: Usaha Jaya Pratama, 2012.

Jurnal: Mukti, Muhammad. “Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Lakon Ruwatan Rajamala”. Jurnal Imaji, Vol 4, No.1, Februari 2006. _____. “Wayang Dalam Konteks Budaya”, Jurnal Imaji, Vol 4, No.1, Februari 2006. Purwadi, “Kejawen”, Jurnal Kebudayaan, Universitas Negeri Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah. September, 2005. Sunardi, dkk. “Pertunjukan Wayang Babad Nusantara : Wahana Pengajaran Nilai Kebangsaan Bagi Generasi Muda”. Jurnal Panggung, Vol. 26 No. 2,

Skripsi: Aviah, Nur. “Pandangan Dakwah Ki Enthus Susmono dalam Wayang Santri.” Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Purwokerto, 2012. Irawan, Dedy. “Hubungan Antara Etnisitas, Status Sosial, Ekonomi dan Religiutas dengan Prespektif Terhadap Tradisi Nadran.” Skripsi S1 Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2016. Latifah, Nur. “Inovasi Ki Enthus Susmono dalam Pertunjukan Wayang Kulit Lakon Sesaji Rajasuyo.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014. Yulianto, Budiman. “Teknik Penyampaian Pesan Dakwah Dalam Video Pementasan Wayang Santri Lakon Murid Murtad Dalang KI Enthus

71

Susmono.” Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2013. Sumber Elektronik: Suara Merdeka, 2015 Radar Tegal, 18 November 2008 www.balaibahasajateng.web.id>home (diakses pada tanggal 05 Juli 2017 https://daerah.sindonews.com/read/1216261/29/mbah-panggung-dan-syiar-islam- di-tegal-1498212008 (diakses pada tanggal 18 Januari 2018, pukul 14.00) http://www.tegalkab.go.id/page.php?id=5 (diakses pada tanggal 31 April 2017, Pukul 14.30 WIB) http://www.wayang.wordpress.com/2010/03/06/ki-enthus-soesmono/dewa (diakses pada tanggal 05 Agustus 2017, Pukul 20.00 WIB) http://dalangenthus.id/berita/298-ki-enthus-susmono-kreativitas-tiada-henti (diakses pada tanggal 05 September 2017) http://dalangenthus.id/berita/298-ki-enthus-susmono-kreativitas-tiada-henti (diakses pada tanggal 05 September 2017) http://www.wayang.wordpress.com/2010/03/06/ki-enthus-soesmono/dewa (diakses pada tanggal 14 November 2017) http://panturapost.com/daerah/2-16/10/31/perkenalkan-inilah-ki-bonggol- gurunya-dalang-kondang-ki-enthus-susmono/ (diakses pada tanggal 01 September 2017) http://amp.kompas.com/megapolitan/read/2009/02/27/11150324/~Oase~Padamu %20Negeri (diakses pada tanggal 05 September 2017) http://jateng.tribunnews.com/2016/10/26/ini-wayang-yang-sempat-dibuat-ki- enthus-susmono-di-penjara (diakses pada tanggal 14 Juli 2017) http://dalangenthus.id/berita/295-reportase-pameran-wayang-superstar-the- theatre-world-of-ki-enthus-susmono (diakases pada tanggal 30 Juli 2017) https://www.kompasiana.com/sumarno/dalang- modern_55005de38133117c1bfa76d6 (diakses pada tanggal 19 Juli 2017, pukul 21.00) https://www.kaskus.co.id/thread/5735802ec1cb1713138b456c/mengenal-lebih- dekat-dalang-wayang-ki-enthus-susmono/ (diakses pada 19 Juli 2017) http://www.tegalkab.go.id/news.php?id=1742&page=200 (diakses pada 19 Juli 2017)

72

http://infotegal.com (diakses pada tanggal 15 November 2017) http://www.dalangenthus.com/ (diakses pada tanggal 15 Agustus 2017) http://www.kompasiana.com/sumarno/dalang- modern_55005de38133117c1bfa76d6 (diakses pada tanggal 13 Agustus 2017, Pukul 14.00 WIB) http://www.kompasiana.com/sumarno/dalang- modern_55005de38133117c1bfa76d6 (diakses pada tanggal 13 Agustus 2017, Pukul 14.00 WIB) http://dalangenthus.id/berita/297-ki-enthus-susmono-dirikan-umah-wayang (diakses pada tanggal 05 September 2017) http://docplayer.info/68189472-Seni-pertunjukan-berbasis-kearifan-lokal.html (diakses pada tanggal 10 September 2017, pukul 08.00) http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akan- mencintai-nya/ (diakses pada tanggal 16 Mei 2017) Maskot Baru Lupit-Slenteng https://www.kompasiana.com (diakses pada tanggal 15 Desember 2017) http://daerahsindonews.com (diakses pada tanggal 16 Mei 2017) http://wayang-ki-enthus-wayang-spektakuler (diakses pada tanggal 10 Oktober 2017) http://infotegal.com (diakses pada tanggal 15 Juli 2017 http://dalangenthus.id/berita/295-reportase-pameran-wayang-superstar-the- theatre-world-of-ki-enthus-susmono (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) http://krjogya.com/web/news/read/13895/ki_enthus_gelar_pameram_wayang (diakses pada tanggal 17 November 2017) http://rakyatindependen.com/festival-wayang-kulit-2017-di-purwosari-dihadiri- wagub-jatim-h-saifullah--yusuf/ (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) http://wartakota.tribunnews.com/2017/2/07/jangan-lupa-ulang-tahun-bogasari- ada-gelar-wayangan-di-tanjung-priuk (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) http://www.teraslampung.com/sosialisasi-arinal-di-lampura-ki-enthus-pentaskan- lakon-bimo-wisudo/ (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) https://lampungpro.com/post/5120/malam-ini-ki-enthus-bawakan-lakon-cupu- manik-astagina-di-mulyojati-metro (diakses pada tanggal 11 Januari 2018)

73

http://www.nu.or.id/post/read/85907/dalang-enthus-tanamkan-karakter-lewat- pementasan-wayang-santri (diakses pada tanggal 10 Februari 2018) http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/10/15/nw8rli346- kritik-banyolan-wayang-santri-ki-enthus (diakses pada tanggal 11 Januari 2018) https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_beber (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 08.00 WIB) https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_klithik (diakses pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 08.00 WIB) Wawancara: Wawancara Pribadi dengan Bambang, Banser Nadhlatul Ulama (Penjaga Glosarium Wayang). Tegal, 20 Juli 2017. Wawancara Pribadi dengan Firman Haryo Susilo, Anak Kedua Ki Enthus Susmono. Tegal, 10 Februari 2018 Wawancara Pribadi dengan Hatmanto, Penabuh Kendang Satria Laras. Tegal, 10 Februari 2018. Wawancara Pribadi dengan Ki Enthus Susmono, Dalang Kabupaten Tegal. Tegal, 27 Desember 2017. Wawancara Pribadi dengan Ki Enthus Susmono, Dalang Kabupaten Tegal. Yogyakarta, 30 Desember 2017. Wawancara Pribadi dengan Suci Ofita Dewi, Sinden Satria Laras. Yogyakarta, 30 Desember 2017, Pukul 04.50 WIB

LAMPIRAN-LAMPIRAN

74 75

DOKUMENTASI

Gambar 1 : Lukisan kedua orang tua Gambar 2 : Pagelaran Ki Enthus Ki Enthus Susmono dan Ki Manteb Soedarsono

Gambar 3 : Ki Enthus Susmono Gambar 4 : Ki Enthus sedang dengan Bapak Dahlan Iskan menggambar lakon

Gambar 5 : Ki Enthus dengan Bapak Gambar 6 : Ki Enthus sedang Said Aqil bertanya kepada tokoh agama

76

Gambar 7 : Wayang kulit Teletubis Gambar 8 : Wayang kulit punakawan (Bagong, Petruk, Semar dan Gareng )

Gambaar 9 : Wayang kulit walisanga Gambar 10 : wayang kulit pandawa lima

Gambar 11 : Wayang kulit Syeh Siti Gambar 12 : Wayang kulit alien Jenar dan Sunan Kalijaga

77

Gambar 13 : Wayang golek Upin dan Gambar 14 : Wayang golek rama Ipin Rama dan Sinta

Gambar 15 : Proses pembuatan Gambar 16 : Proses pembuatan Wayang kulit wayang golek

Gambar 17 : Wayang golek Gambar 18 : Wayang golek udud peninggalan ayah Ki Enthus dulu

78

Gambar 19 : Pagelaran wayang kulit Gambar 20 : Pagelaran wayang golek di Ponjong, Gunung Kidul di Dukuhturi, Tegal

Gambar 21 : Pagelaran wayang Gambar 22 : Buku pagelaran Ki santri di Mejasem Timur, Tegal ( Enthus Maulid Nabi Muhammad SAW)

Gambar 23 : Gladiresik pagelaran Gambar 24 : Salah satu niyaga wayang kulit (penabuh gamelan)

79

Gambar 25 : Tampak depan Gambar 26 : Salah satu tembang Glosarium Rumah Wayang Jawa yang dinyanyikan Sinden

Gambar 27 : Piagam penghargaan Ki Gambar 28 : Penghargaan Ki Enthus, dalang pesisiran Enthus di Museum Trophen Belanda

Gambar 29 : Gunungan Ki Enthus Gambar 30 : salah satu tulisan yang mengangkat pagelaran Ki enthus

80

Gambar 37 : wayang kulit Tom and Gambar 38 : wayang kulit cerita Jerry cupu manik antagina

Gambar 39 : wayang golek Bapak Gambar 40 : wayang politik Basuki dan Bapak Djarot

Gambar 41 : Wayang golek raksasa Gambar 42 : Senjata-senjata Lupit dan Slenteng pagelaran wayang kulit

81

Gambar 43 : Miniatur Gambar 44 : Wayang kertas Gatut pertunjukan wayang kulit Kaca dan Anoman

Gambar 45 : Wayang pring Gambar 46 : Wayang klitik terbuat dari (bamboo) kayu dan pipih

Gambar 47 : Wayang kulit dalam Gambar 48 : Wayang beber kreasi Ki perang Baratayudha Enthus

82

Ki Enthus Susmono dengan penulis Penulis dengan Sinden Mba Suci dan Mba Nova

Ki Enthus Susmono dengan Bapak Glosarium Wayang KI Enthus Presiden Joko Widodo Susmono

Musholla Abu Nawas yang berada di Ki Enthus Susmono dengan Habib Rumah Wayang Syech

83

TRANSKRIP WAWANCARA

Wawancara 1 Narasumber : Abah Enthus Susmono Tanggal : 27 Desember 2017 Tempat : Didalam mobil perjalanan ke Rumah Wayang Bengle Pukul : 00.30

Penulis : Bagaimana cara Abah memodifikasi tema-tema wayang kedalam dakwah Islam ? Narasumber : Yang pertama kali saya belajar agama dulu, saya sebagai santri, belajar kepada Kyai, kepada Ustadz. Kemudian saya, saya ee cari tema-tema wayang yang mirip kejadiannya terutama dalam ayat-ayat tentang cerita, cerita dongeng kan peni riwayatul anbiya, dan sebagainya. Maka saya, abah kemudian memodifikasi dan mengkaji tentang masalah itu, dari mulai bahasa Arabnya harus mulai dijawab, maka kalau pun ada dan dibuat semacam kaya adegan ataupun kaya dramatik tentang masalah ee pesan dan kesan Islam. Jadi bukan dakwah nggeh, jadi adalah saya hanya menyampaikan kisi-kisi Islam saja, karena saya masih santri bukan kyai

Penulis : Abah mempelajari dunia perwayangan dari mana ? Narasumber : Saya belajar dari Bapak saya, Kakek saya, juga saya dengan beberapa dalang-dalang yang senior di tanah Jawa ini

Penulis : Menurut Abah sejarah wayang itu seperti apa ? Narasumber : Wayang itu kan, sejarahnya itu kan sama seperti botol kosong yah, mau diisi apa sebenarnya didalamnya, botol kosong itu bersih, maka kesenian wayang itu sifatnya bersih, cuman tinggal yang akan mengisi itu akan di isi dengan apa ? kalau Abah, Pak Enthus itu, wayang itu akan diisi dengan adanya orang yang gemar wayang, maka diingatkan dalam bidang tentang masalah hukum-hukum Islam sampai tahu dan pelan-pelan, tidak memaksa

84

Penulis : Apa makna wayang itu sendiri menurut Abah? Narasumber : Yaaa,, wayang itu kan gambaran, jadi gambaran seperti tadi ya, yang ngomong Lupit dan Slenteng loh, maka tidak ada orang yang tersinggung, tidak orang, emmm rohnya dakwah itu kan berarti merangkul, berbuat baik. Pantangannya dakwah itu adalah kalau sampe menyakiti hati orang yang sedang diajak untuk berfikir tentang Islam, itu makannya namanya gagal dakwah, makannya abah menggunakan wayang

Penulis : Apakah abah anak dari seorang dalang ? atau disini merupakan kampung dalang ? Narasumber : Iya, bukan memang saya merupakan keturunan dalang , saya keturunan ke tujuh dari kakek moyang saya

Penulis : Tema-tema apa saja yang menjadi bahan pentas berdakwah Abah? Narasumber : Sekali lagi tema-tema itu adalah tema-tema yang bersifat keseharian, tema-tema tentang masalah kenabian, terus kemudian ada adegan, yang kemudian adegan itu tidak sesuai dengan kisi-kisi Islam maka ada tokoh yang untuk menjelaskan. Ini sebenarnya begini, maka ini sebenarnya, dengan cara tersirat, karena ini dalam pertunjukan wayang

Penulis : Adakah nama-nama tokoh yang dimunculkan dalam pentas wayang diluar tokoh yang semestinya ? Narasumber : Banyak, banyak sekali. Terutama di wayang santri, itu Abah menciptakan di luar tokoh-tokoh wayang, disamping juga ada tokoh legendaris dari kakek abah itu, Lupit dengan Slenteng

Penulis : Apa yang melatar belakangi abah terjun kedunia pewayangan ? Narasumber : Sejak abah kelas 2 SMA itu, bapak abahnya ini meninggal dunia, padahal bapaknya Abah Enthus itu adalah merupakan satu-satunya yang bisa

85

mencari nafkah dikeluarga. (Ini masuk yah rekamannya ? Masuk abah). Maka mau tidak mau, maka saya dengan kepandaian yang waktu itu sangat terbatas masih sangat sederhana, saya berusaha untuk berjuang melalui dunia pewayangan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga

Penulis : Apa dan bagaimana tema-tema wayang kulit dipentaskan ? Narasumber : Ya,,, tema-tema ya ada semacam Gatot Koco bangun gapuro, gapuro itu kan asal katanya dari bahasa Arab Ghofuru, jadi ya itu di terjemahin, ya kalau orang Jawa itu kan tidak bisa ngomong „ain, ngomongnya pakainya „ngain, karena punyanya huruf Jawa. Kita sesuaikan itu, saya juga mengkaji dari ustadz, dari para Kyai, Habaib, saya juga belajar

Penulis : Siapakah tokoh-tokoh di sekitar Abah yang berperan penting hingga sekarang? Narasumber : Ya, para Kyai, para cendekia-cendekia, para semuanya sajalah. Saya menimba ilmu dari semua unsur disiplin ilmu yang ada, kemudian saya unggah ke wayang, kemudian saya kolaborasikan, kemudian saya informasikan, saya redufain, saya definisikan kembali maka terjadilah ada unsur pesan Islam yang ada di wayangnya abah itu.

Penulis : Apa saja perbedaan wayang kulit dan wayang golek ? Narasumber : Ya,, Cuma hanya wahananya saja yang beda, ada orang yang suka dengan wayang kulit, ada suka wayang golek. Saya melalui wayang kulit itu dakwah Islam, ada yang tidak suka dengan wayang kulit dengan beberapa alasan, saya gunakan dengan wayang golek, atau wayang santri, atau wayang yang saya lakukan itu ngaji budaya tetap membawa boneka wayang.

Penulis : Bagaimana cara abah melestarikan kesenian wayang ? Narasumber : Yaa,, kesenian wayang itu yang terutama adalah prinsip abah itukan siapa yang akan menikmati wayang 20 tahun yang akan datang ? itulah yang paling, paling banyak saya garap, makannya kalau pementasan wayang abah

86

itu kebanyakan anak-anak muda, berarti bahasa wayang itu pun harus mengalami perubahan, yang pentingkan subtansinya kan sampai, pesannya sampai, maka bahasalah yang kemudian sering saya rubah menjadi bahasa-bahasa yang sederhana. Dari misalkan bahasa kawi yang orang-orang sudah enggak tahu maknanya, dipilih bahasa Jawa yang paling sederhana bahkan yang paling didapat dalam kehidupan keseharian

Penulis : Pengalaman keagamaan apa saja yang menjadi acuan abah untuk menjadi seorang dalang ? Narasumber : Pengalaman keagamaan Abah, sementara ini abah lebih suka merasa santri, dimana saya masih belum cukup ilmu untuk bisa mematenkan, ataupun bisa mengutarakan beberapa pesan-pesan Islam. Maka saya harus tetap ngaji, saya harus banyak belajar Qur‟an, Hadits, terus kemudian kitab-kitab meskipun dengan sangat sederhana Penulis : (Suara batuk) Gaya pakeliran mana yang menjadi acuan abah untuk mendalang? Narasumber : Semua gaya pakeliran saya bisa, tapi yang sekarang saya lakukan lewat gaya pekliran cara Enthus-an, saya bikin gaya pakeliran sendiri

Penulis : Bagaimana cerita awal mula yang tadinya abah adalah dalang wayang kulit kemudian ke wayang golek ? Narasumber : Terbalik, saya itu jadi dalang wayang golek dulu, memang bapak saya itu dalang wayang golek juga wayang kulit. Jadi kalau dasarnya abah wayang golek, kemudian wayang kulit

Penulis : Dalam sebulan berapa kali abah pentas dan dimana saja ? Narasumber : Tidak mesti, tidak mesti, tapi dengan segala kesederhanaan kalau misalkan satu bulan ada dua saja sudah bisa cukup untuk makan, juga sudah cukup untuk teman-teman pekerja-pekerja seni yang mendukung abah seperti sinden, dan sebagainya

87

Penulis : Bagaimana cara abah membagi waktu antara menjadi dalang dan menjadi seorang Pak Bupati ? Narasumber : Ya begini, saya akan membagi waktu dan saya mengurangi waktu-waktu yang kira-kira tidak berguna, seperti malam ini yang tadi kan menemui tamu lalu saya menggarap boneka-boneka wayang, menggambar, lalu sisanya saya tidur sebentar, lalu melakukan pengajian nanti melek sampai subuh lagi, habis subuh baru tidur setengah sembilan baru berangkat ngantor. Dikantor kan ada waktu istirahat satu jam saya gunakan untuk istirahat

Penulis : Wayang kulit apa saja yang menjadi seni pentas masyarakat di Tegal ? Narasumber : Ehm,, masyarakat Tegal kebanyakan sukanya wayang golek yah, bukan wayang kulit.

Penulis : Abah membuat wayang sendiri, atau ada orang lain, dan berapa lama waktu pengerjaannya ? Narasumber : Kalau lama pengerjaaan ukurannya lamanya itu bukan masalah, jadi pengerjaannya harus bagus. Menurut abah itu membuatnya dengan menikmatinya itu lebih lama menikmatinya, membuat wayang misalkan dua bulan, menikmatinya bisa berpuluh-puluh tahun, bahkan ratusan tahun

Penulis : Apakah abah aktif dalam PEPADI dan LESBUMI ? Narasumber : Yaa, dulu saya ketua di PEPADI, dan di LESBUMI saya masih menduduki sebagai wakil ketua LESBUMI, saya anak buahnya Pak Agus Suyoto.

Penulis : Bagaimana awal mula terbentuknya sanggar satria laras? Narasumber : Yaa, sanggar satria laras kemudian karena menjelang kebanyakan laku, kemudian saya harus menjual kesenian, menjual prodak seni ini maka saya untuk membentuk ee apa namanya sebuah sanggar, tempat untuk latihan terutama, tempat untuk berproses, tempat untuk mencari ide, tempat ngumpulnya teman- teman, maka disitulah ada kaya semacam sanggar satria laras

88

Penulis : Apakah ada orang lain yang berperan penting dalam berdirinya sanggar satria laras? Narasumber : Banyak, banyak yang khusus untuk administrasi pembukuan juga ada disiplin menabung, disiplin ee apa namanya, disiplin ada semacam kaya komunitas baru, disiplin untuk nyambangi yang sakit, membantu yang perlu ada bantuan dari hasil berkesenian, disiplin sosial, masalah agama juga diambil dari berkesenian

89

Wawancara 2 Narasumber : Abah Enthus Susmono Tanggal : 30 Desember 2017 Tempat : Didalam mobil perjalanan ke Pondok Pesantren Ora Aji Sleman Pukul : 06.30

Penulis : Siapa nama lengkap dan gelar Abah ? Narasumber : Nama saya ? Gelarnya Ki, nama saya Enthus Susmono

Penulis : Kapan dan dimana abah lahir ? Narasumber : 21 Juni 1966

Penulis : Bagaimana latar belakang keluarga abah? Narasumber : Latar belakangnya dari keluarga seniman,

Penulis : Bagaimana hubungan abah dengan ayah abah ? Narasumber : Hubungnnya ya bagus sebagai guru, sebagai orang tua, sebagai pembimbing, sebagai yang membesarkan aku

Penulis : Terus bagaimana sih pendapat abah terhadap ayah abah sendiri ? Narasumber : Ooh, ayah abah itu sosok orang tua yang sangat hebat sekali

Penulis : Berarti motivator tebesar abah ? Narasumber : Iya

Penulis : Bagaimana hubungan abah dengan ibu abah ? Narasumber : Kalau ibu itu lebih keras yah dari pada ayah abah, ibu saya lebih keras, jadi sering memberikan fatwa-fatwa yang keras, terutama dalam sikap hidup. Sebagai contoh begini, kalau dulu ada orang yang berbuat jelek kepada ibu atau keluarga, ibu itu begini bilang, “sudahlah diamkan saja, nanti akan ada yang

90

ngurusi sendiri, orang boleh benci sama ibu, tapi mengko sedulure ibu, sedulur papat lima panca ibu sing ora terima”, kue ibu. Kamu juga nanti besok gitu kalau ada orang yang membuat kamu celaka, membuat kamu difitnah itu diamkan saja, menjawab soal adanya saja.

Penulis : Apa pencapaian terbesar dalam hidup abah ? Narasumber : Pencapaian terbesar saya ya selamet, sebagai orang Islam ya harus selamet dunia akhirat, pencapaian terbesar abah, saya akan menjadi apa pun itu ga pentinglah menurut saya, yang penting saya menjadi orang yang selamet dunia akhirat

Penulis : Tapi ada enggak sih abah mimpi abah yang belum tercapai ? Narasumber : Mimpi saya yang belum tercapai ada, anak-anak saya menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah, berkehidupan yang baik, baik secara agama maupun secara Negara. Mimpinya itu tok saja

Penulis : Idola abah sendiri siapa ? Naraumber : Yaa,, Nabi Muhammad

Penulis : Terus latar belakang pendidikan, menurut abah pendidikan itu seperti apa ? Narasumber : Pendidikan itu adalah pengalaman batin seseorang, ketika mendapatkan sesuatu kesan, dan kemudian nanti pendidikan itu akan dijadikan sebagai modal, gagasan, dan acuan ketika dia hidup, hidup untuk seterusnya

Penulis : Dimana, dan kapan abah menyelesaikan pendidikan formal abah ? Narasumber : Di SMA 1 Tegal

Penulis : Apakah sekolah-sekolah abah ditentukan oleh orang tua abah atau keinginan abah sendiri ? Narasumber : Dulu mau sendiri, bapak cuma memberi saran saja

91

Penulis : Terus kesan abah sekolah di SMA 1 Tegal bagaimana abah ? Narasumber : TOP dong, saya banyak pengalaman yang sangat, sangat berkesan sekali, karena pada waktu itu, abah kan itu orang kampung yah, orang biasa. SMA 1 itu kan rata-rata ee golongan, yang sekolah disitu adalah anak-anaknya orang- orang The High, anak-anaknya orang kayalah. Sedangkan abah ini kan orang pas- pasan keluarganya abah, keluarga seorang seniman

Penulis : Kegiatan non formal apa yang abah ikuti ? Narasumber : Yaa,, secara naluri saja, berjalan seperti air, saya bisa kursus karawitan, belajar dalang, belajar teater, belajar agama, belajar filsafat. Pokoknya saya paling suka adalah belajar, sampai sekarang

Penulis : Bagaimana pendidikan anak-anak abah sendiri? Narasumber : Saya akan memaksimalkan pendidikan anak-anak saya, sampai dengan cita-cita mereka itu dalam bidang pendidikan, contohnya setelah lulus S2 eh lulus Sarjana, monggo mau apa ? ada yang mau kerja, ada yang mau melanjutkan sekolah lagi, ya monggo. Sebatas kemampuan saya sendiri

Penulis : Apakah ada keinginan abah untuk anak-anak abah menjadi seorang dalang ? Narasumber : Yaaa ada kan, sudah ada, yang sekarang kuliah di kesenian, Firman Nurjannah, Perempuan

Penulis : Apakah itu keinginan sendiri atau memang abah menyuruhnya ? Narasumber : Keinginan sendiri

Penulis : Sejak kapan abah menyukai wayang? Narasumber : Sejak kecil, saya anak dalang, saya keturunan ke tujuh

92

Penulis : Apakah cita-cita abah ? memang abah ingin menjadi dalang atau ada yang lainnya ? Narasumber : Saya malah tidak pernah punya cita-cita yah, cita-cita saya malah kepengin jadi sarjana karawitan, kuliah di ISI tapi kemudian tidak kesampaian, karena bapak, ayah abah yah keburu meninggal dunia. Karena bapak itu kan tulang punggung keluarga, satu-satunya orang yang mencukupi kebutuhan dikeluarga, meninggal, akhirnya mau tidak mau saya harus menggantikan. Sambil sekolah, sambil saya atur kehidupan

Penulis : Dimana abah belajar mendalang ? Narasumber : Dari bapak saya

Penulis : Selain dari bapak abah ? Narasumber : Ya dari Pak Mantep Soedarsono, Anom Suroto, Ki Narto Sapto, pokoknya semua dalang-dalang, saya ambil ilmunya dan saya ambil gayanya

Penulis : Idola abah siapa ? Narasumber : Pak Mantep Soedarsono

Penulis : Terus kalau lakon favorit abah ? Narasumber : Semua lakon favorit, cuman kalau abah ini membuat lakon itu seperti dalam film itu, ada film layar emas, film ini dan itu. Jadi semua lakon menurut saya favorit, karena lakon itu juga harus menjadi favorit, bedanya abah dengan dalang lain kan (astaghfirullah, penulis kaget) abah itu kaya semacam dialog pada awal ketawa, penonton merespon

Penulis : Menurut abah makna agama itu seperti itu apa? Narasumber : Agama itu kan acuan ya, jalan ya, jalan menuju, agama itu thariqot, agama itu adalah jalan untuk menuju kepada keteraturan hidup dunia yang nanti akan keteraturan hidup di akhirat.

93

Penulis : Al-Qur‟an sendiri menurut abah ? Narasumber : Al-Qur‟an itu kan way of life nya orang Islam, jadi untuk apa manusia, punya persoalan apa didunia di Al-Qur‟an ada semuanya. Karena Al- Qur‟an dalam bahasa global kemudian di dengan hadist, dengan semua yang dilakukan kanjeng Nabi

Penulis : Abah belajar agama dengan siapa ? Narasumber : Dulu ya dengan ustadznya abah, kemudan dengan siapapun kalau sekarang ini dengan siapapun, Kyai siapapun kan sekang banyak, para habaib juga, para ustadz, teman-teman. Abah juga sering tanya kalau bingung ini Qur‟an surat apa yah, abah tanya sama temennya abah. Buka Qur‟an surat ini, abah biasakan seperti itu sejak lama

Penulis : Kalau pagelaran wayang kulit berdiri kapan abah ? Narasumber : Itu pas di Indosiar itu tahun berapa yah, lupa tahun 89 apa yah,87, eh tahun 90-an

Penulis : Yang melatar belakangi berdirinya ? Narasumber : Secara spontan saja, abah pikir setelah kalau wayang dengan wayang sudah diomongin sudah ga mau, ya dalangnya. Ya kaya gini kalau manusia dengan manusia sudah diomongi tidak bisa ya dengan Allah, biar Tuhan yang mengaturnya, ya begini budaya itukan kan yah memaknai filosofinya

Penulis : Jabatan abah sebagai bupati itu mempengaruhi pagelaran abah ? Narasumber : Ya sangat mempengaruhi, karena di dalam bupati itu saya belajar tentang ilmu pemerintahan, maka didalam pewayangannya pun itu akan ada semacam kaya cipratan untuk, ada pengaruh-pengaruh dalam program-program pemerintah. Bisa jelas karena saya adalah orang pemerintah. Jadi sebagai juru pemerintahan bertemu dengan masyarakat secara pas, karena abah mengalami sendiri sebagai kepala pemerintah

94

Penulis : Orang yang paling dipercaya dalam pagelaran siapa Abah ? dan mengapa dia ? Narasumber : Banyak ya, kalau saya itu banyak, tidak hanya satu orang, jadi yang pegang arasenmen Atmanto sama Mas Agung, yang berkaitan dengan transportasi ya Mas Yus, Mba Vetty, yang untuk masalah sound system, wayang ya Pak Rohim dan Pak Sugeng, banyak pokoknya

Penulis : Apakah ada personil dari pagelaran abah yang selain agamanya Islam ? Narasumber : Dulu ada, tapi lalu kemudian masuk agama Islam, Mba Nova sendiri kan dulu agamanya Kristen

Penulis : Apakah ada ritual-ritual khusus sebelum dan sesudah memulai pagelaran ? Narasumber : Kalau ritual menurut terjemahan saya itu ya latihan, mempersiapkan sesuatu, mental, cek sound, itu ritual abah begitu

Penulis : Mengapa abah mengutip ayat-ayat Al-Qur;an dan hadist dalam pagelaran ? Narasumber : Ya memang harusnya begitu, kalau seorang seniman seni lukis maka sarana dan wahananya adalah kanvas dengan cat, kalau penyair dengan puisi, kalau drama dengan drama dan adegan, kalau wayang ya dengan ayat, meskipun tidak dibaca secara ayat Al-Qur‟annya dalam bahasanya minimal saripati terjemahannya, dengan segala keterbatasan

Penulis : Apakah abah mengkaji dulu, atau secara spontan? Narasumber : Tidak, tidak spontal, kalau ayat itu tak persiapan, persoalan ini ayatnya ini, persoalan ini ayatnya ini, sejauh ini kalau ayatnya belum ketemu abah tanya Kyai Mahfudz, sama Pak Atmo Tansidiq tentang ayat apa

Penulis : Menurut abah tokoh Slenteng dan Lupit itu seperti apa?

95

Narasumber : Ya, seperti personilfikasinya abah, untuk menjelaskan

Penulis : Itu buat sendiri abah ? ko sampai bisa kepikiran gitu? Narasumber : Kan dari dulu sudah ada, cuman abah rekontruksi lagi agar bagus, pakaian dengan bagus, di cat dengan bagus

96

Wawancara 3 Narasumber : Mba Suci Ofita Dewi Tanggal : 29 Desember 2017 Tempat : Ponjong, Sleman Gunung Kidul Pukul : 04.50

Narasumber : Hallo, Assalamu‟alaikum Penulis : Iyah, wa‟alaikumsalam

Narasumber : Gimana kabarmu? Penulis : Baik Mba, Alhamdulillah, Mba gimana ?

Narasumber : (suara ketawa) Alhamdulillah baik Penulis : Alhamdulillah, okay dimulai yah mba wawancaranya.

Narasumber : Okeh,,okeh Penulis : Iyah, Eee apa namanya, nama panjang Mba siapa, nama lengkapnya ? Narasumber : Namaku, Suci Ovita Dewi, Ofita nya pake f yah

Penulis : Iyah Mba okeh, Sudah berapa lama mba bergabung dengan pagelaran Abah ? Narasumber : Dengan pagelaran abah sudah, 8 tahun. Penulis : Sudah 8 tahun, berarti sudah lama yah mba Narasumber : Iyah, sudah lama

Penulis : Terus kenapa sih mba, mba bergabung dengan pagelaran abah ? awalnya gitu ? Narasumber : Oohh awal mulanya sih sepele, dulu kan ada udah almarhum sih, ee itu salah satu rombongannya abah dari Solo, dia itu cowok, namanya Mas Ari. Tukang nyari sinden gitu loh, terus Mas Ari itu kalau ada job, ada job gitu ngejak

97

aku, terus pas akau SMK di Negeri Solo itu mas Ari ngejak aku, terus gabung kea bah. Dan ternyata disitu cocok yaudah ikut sampe sekarang Penulis : Ehhh gitu, berarti pesan dan kesannya mba seperti apa mba ? seneng yah mba ikut abah? Narasumber : He‟em seneng, Penulis : Berarti waktu pertama kali mba ikut abah pertama kali nyinden dimana ? Narasumber : Nyindennya pertama kali di alun-alin Sragen,

Penulis : Selama menjadi sinden, ehm apa namanya, mengalami kesulitan ga mba ? Narasumber : Iyah, ya ada, ya banyak sih kesulitannya, kaya itu kemaren kan juga, kemarennya ke perkulihanku, pada saat sekolah dulu juga sama, antara jadwal manggung sama jadwal sekolah sampe kuliah itu, gimana yah cara mensingkronkannya itu sangat sulit gitu loh. Karena kadang job nya jauh, harus berangkat pagi, bahkan harus dari tempat satu ke tempat yang lain, selanjutnya tuh langsung, tuh ga bisa kuliah, ga bisa sekolah. Kendalanya hanya itu sih, jadi intinya harus pinter-pinter mengatur jadwal sendiri gitu. Penulis : Iyah yah mba, terus pembagian antara sindennya itu gimana mba? Narasumber : Ohh kalau bagian sindennya kan di tempat abah, ada yang Mbak Fetty bagian yang lagu-lagu dangdut untuk wayang santri sama Mba Pur itu bagian wayang-wayang santri, kalau wayang kulit ya pas kalau ada pengajian atau qira‟ gitu. Kalau bu Gunarti itu yang bagian-bagian gending jadi kalau bu Gunarti itu sesepuh dari sinden-sinden klasik wayang kulit. Kalau kaya kami mba Eni mba Nova itu pesinden klasik yang bagian wayang kulitnya abah, wayang kulit, wayang santri ada kru sendiri, gitu

Penulis : Kalau misalkan, yang kemaren yang saya lihat itu kan dua yah mba Suci sama mba Nova saja Narasumber : Karena ini, ehh karena apa yah, super inti lah job nya job kecil

98

Penulis : Ohh gitu, terus kalau misalkan , apa sih, kan nyanyinya beda-beda tuh kan yah mba, itu sebelumnya udah di bagi-bagi apa inisiatif sendiri,atau di suruh abah kamu nanti yang bagian ini gitu, apa gimana ? Narasumber : Ohh enggak sih, kalau pembagian waktu, pembagian satu gending gitu satu sinden seumpama udah memenuhi, kita temannya juga udah, tinggal gentian, nah terkecuali kalau lagu-lagu sinden gawean, apa yah sinden yang udah garup-grup itu, lagu-lagu pokoknya itu sudah hafal, lagu-lagu untuk sesi break atau limbuan, goro-goro itu boleh sih nyanyi, aku mau nyanyi ini ini, abahe ga apa-apa. Jadi terserah sindennya, tapi kalau kadang kan ada kan mba, ehmm bahwa sinden yang baru itu pas job besar gitu loh, bawa sinden banyak dan sindennya ga kru biasanya, itu biasanya di tanya mau nyayi apa, gitu dari abah. Jadi kalau untuk pembagiannya itu bebas, selagi temannya mampu okeh, kalau ga bisa ya yang bisa-bisa saja.

Penulis : Terus lagu apa sih mba yang sering di bawain? Narasumber : Untuk di wayangnya atau untuk yang breaknya ? Penulis : Untuk dua-duanya mba Narasumber : Oh dua-duanya kalau di wayang, wayang bagian wayangnya itu biasanya ayak-ayak, capek kaya gitu, terus palaran. Terus karena abah kotemporer jadi di apa ya Satria Laras itu menciptakan lagu sendiri, lagu-lagu sendiri seperti sholawatan, atau ladrang-ladrang seperti itu. Tapi kalau yang di pokok ke pagelaran wayang kulit jawa itu, yang bagian serbag, ayak-ayak, sama palaran- palaran tadi, ladrang gitu.

Penulis : Okeh, okeh. Berarti itu semua mba Suci hafal lagunya dong? Narasumber : Iyah hafal karena, kita dituntut hafal, karena kita selalu mengikuti abah. Carane pribahasane ini sinden bener-bener sindennya abah, gitu loh. Untuk garapan-garapan lagunya, kalau untuk limbukan dan goro-goro itu biasanya, cuman lagu-lagu kaya aku tresno, terus kates godong gandul, terus apa yah untrack-untruk, terus pelengkapan derita, terus dan lain sebagainya. Nah lain lagi

99

kalau ada bintang tamu, apa bintang tamu kaya Soimah, Syahrini atau siapa, dia lagunya udah sendiri loh yah, enggak lagu-lagu yang ada dipagelaran gitu loh,

Penulis : Kalau lagu favorit mba Suci sendiri apa, terus kenapa lagu itu? Narasumber : Ohh kalau favoritnya si. Oh ada tambahan biasanya ada gelang alit garap Banyuwangi-an itu ada lagu-lagu sinden, bajing loncat, aku sih lebih suka yang itu Sunda, sama yang Banyuwangi kalau favoritku lebih ke itu. Kalau lagu-lagunya Satria Laras sih juga suka tapi lebih favorit ke yang Sunda sama yang Banyuwangi tadi.

Penulis : Terus ada ga sih mba, aturan-aturan khusus untuk menjadi seorang sinden? Narasumber : Eee,, pesinden yah ? sebenernya ga ada sih kami seniman itu ga terbatas atau terpaku pada sesuatu, yang penting pesinden Jawa itu tetap mempunyai etika dan kualitas gitu loh, sebagai pesinden Jawa itu sebenarnya pertama harus mempunyai dalam hal apa yah dalam untuk gending-gendhing itu, harus bisa dulu gending-gending Jawa untuk iringan wayang, bener-bener pesinden wayang. Nah setelah itu bolehlah, ee menyanyikan lagu dangdut, lagu campur sari atau apa, kalau pakem yang dulu seperti itu sinden wayang itu. Berhubung sekarang era nya udah modern kan udah berbeda yah, kadang ada pesinden yang penyanyi tapi dandan pesinden bahkan dia ga bisa menyajikan bagian dari gending-gending pada sajian, pada pementasan wayang kulit. Mereka bagiannya, bagian dangdut kaya gitu, tapi dandannya sinden, nah itu kalau orang awam menyebutnya juga sinden. Tapi bagi kita seniman yang kita orang pesinden, yang benar-benar pesinden sebenernys mereka itu penyanyi, gitu loh. Yang bener –bener pesinden ya kaya kita bisa membaca notasi yang kaya aku kirim ke kamu itu, notasi kekawitan itu kunci utamanya.

Penulis : Sekarang aku mau nanya latar belakang pendidikan mba suci nih, kapan dan dimana mba Suci belajar menjadi sinden ?

100

Narasumber : Ee aku belajar nyinden itu dari TK sebenarnya, iyah dari TK aku sudah di belajari, sebenarnya suka nyanyi, nyanyi kaya campur sari, nah setelah aku kelas 1, kelas 2, kelas 3, berhubung dulu kakekku itu dalang, keluarga besarku seniman, ada penari, niyaga, ada dalang, ada pesinden, jadi lengkap. Jadi kakekku itu dalang, tapi ga ikut nyinden, sesi break limbuan itu jam 11‟an lah dulu waktu aku kelas 1 sampai gede ikut kakek, kaya gitu, itupun aku nangis sebenernya gam au tapi dipakasa ibuku, aku nangis didandani terus sebelum kalau menunggu jam 11 itu aku pasti minta mainan yang balon yang kekok-kekok- kekok itu sama pa yah yang di tiup-tiup dari sabun yang berbusa (suara ketawa) aku pasti pake itu. Nah sampai kelas 4 akhirnya aku nyanyi campur sari sampai nyanyi dangdut dari panggung ke panggung, tetap ikut wayangan sampai SMP, aku SMP ikut namanya Mas Eko, dia itu salah satu dalang yang cukup tenar di Kabupatenku di Jawa Timur sana, di Tulung Agung, pokoke aku mulai kalau yang belajar sinden klasik itu aku mulai SMP deh kayanya, tapi aku disitu ga langsung bisa sih, karena aku lebih dulunya nyanyi dangdut gitu, di elektun, organd. Akhirnya lulus SMP aku ke SMKI yang sekarang SMKN 8 Surakarta, aku ambil Jurusan karawitan, itu setara dengan SMK, aku ambil jurusan karawitan nah disitu aku focus belajar vocal sinden, akhirnya aku bisa nyinden aku meninggalkan campur sari, bahkan nyanyi orkes gini-gini, aku fokus nyinden. Masuk SMKI ya sekitar tahun 2009, sampai lulus SMK tahun 2012, langsung ke Perguruan Tinggi ke ISI Surakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta (Jurusannya?) jurusannya juga sama seni karawitan, tapi ya gara-gara itu tadi pas kesini-sini akhirnya kuliahnya mundur, ya jadi 5 tahun, terus lulus S1 2017 Agustus langsung daftar ke Paska Sarjana ISI, nah udah sekarang S2 Jurusan Penciptaan Seni Musik, bagian musik kotemporer, nah ceritane gitu mba, hehehe.

Penulis : Nah terus menurut mba, abah itu seperti apa mba? Narasumber : Ee tentang, dari apa? Penulis : Dari pagelarannya, dari tentang dalangnya abah. Narasumber : Ohh ya udah, abah itu menurutku seorang dalang superstar yang multitalent, ia bisa menguasai banyak bahsa kaya bahasa Sunda, bahasa

101

Indonesia, Mandarin, Jepang, bahasa Inggris, beliau itu menguasai bahasa-bahasa. Dari situ kalau penyampaian pagelaran abah itu pada saat ndalang dipanggung itu, itu yang membuat beliau itu berbeda dari dalang-dalang yang lain, kalau dalang- dalang Jawa pada umumnya kan mereka dalam pementasan wayang itu kan lebih ya hampir 100% lah bahasa Jawa, yang kaya bahasa kuno itu kan, kalau abah enggak, abah itu seumpama penanggapnya pewayangan bahasa Indonesia, kalau wayangannya itu di Jepang ya bahasa Jepang, dan abah itu mengolah ehm apa yah mengola bahasa itu agar orang awam bisa menangkap apa yang dimaksud cepat gitu ga bertanya-tanya, nah kalau dari segi dalangnya. Walaupun dipanggung itu berkata jorok kaya gitu itu cuma akting panggung sih sebenarnya orangnya baik, kaya gitu

Penulis : Terus mba kan aku ngambil apa judul tema-tema lakon yah mba, nah setiap pementasan itukan pasti lakonnya berbeda-beda, nah itu ada lagu yang setiap tampil itu dipentasin atau berbeda-beda gitu ? Narasumber : Ohh iya kalau lagu-lagunya seperti gendhing klasiknya itu sebenarnya sama plek, nah kaya lagu-lagu di sesi break limboan goro-goro itu juga sama, bedanya pada iringan wayang sumpama penanggapnya Ibu Mentri Susi, ya kaya gitu ya kadang koor suara sinden dan suara putra yang bagian vocal itu juga dibikin beda syairnya, untuk menyampaikan apa yang disosialisasikan kaya gitu loh Penulis : Itu nanti pakainya pakai bahasa Jawa apa bahasa Indonesia? Narasumber : kebanyakan bahasa Indonesia

Penulis : Pokoknya sinden pun menyesuaikan yah mba? Narasumber : Iya, iyah bener. Jadi biasanya sebelum wayang dimulai, seumpama tadi di Kalimantan, di Kalimantan tuh kita mencari tahu berangkat sehari sebelum pentas, kita disana diskusi dengan orang sana, tentang apa yah, tentang bahasa disana itu seperti apa?, walaupun dikit kan biar bisa menyatu gitu dengan bahasanya orang sana. Pas apa, pas berdialog sama sinden, atau pas

102

berdialog lelucon dagelan itu agar penonton itu tertarik gitu loh, jadi tuh kaya ada kesan, ko bisa yah bahasa sini, ko bisa lucu gitu.

Penulis : Berarti sebenernya setiap tema itu tidak berbeda yah mba? Narasumber : Iyah cuman kadang bagian iringan kotemporer yang sifatnya itu lakon, syair-syairnya bagian vokal dan lakon cuma dirubah, cuma itu

Penulis : Sebelumnya biasanya diskusi dulu atau bagaimana, misal mau pagelaran mba? Narasumber : Ohh untuk lakon wayang biasanya request, permintaan dari si penanggap, aku mau Lakon Dewa Ruci, aku mau Lakon apa gitu. Nah kecuali kalau si penanggap “ya udahlah terserah Pak Enthus aja, yang penting gayeng yang penting seru, yang penting bagus wayangannya, yang penting penonton suka”. Itu terserah abah

Penulis : Berarti sinden juga harus siap yah Mba apapun tema nya? Narasumber : Iyah betul Penulis : Terus nanti posisinya, mba kan bukan yang fokus untuk abah terus, itu tuh ga susah gitu mba ?

Narasumber : Enggak sih, karena sudah terbiasa dari tahun ke tahun ikut pagelaran abah Penulis : Biasanya lakon-lakonnya sendiri suka diulang-ulang ga mba setiap tempat? Narasumber : Iyah, ya itu tadi tergantung request, seumpama gini yah tanggal 15 penanggapnya Bu Susi di Jakarta lakonnya “Pendawa Layar” sehari setelahnya tanggal 16 itu di Bandung ya lakonnya ya bu Susi minta itu lagi, ya itu ga apa apa, berikutnya-berikutnya ya ga apa-apa sampai sebulan, bahkan setahun Bu Susi minta itu, okeh kita layani lakon itu, kecuali kalau beliau bilang “lakonnya diganti pak”. Kemaren juga sama bu Susi minta wayangan acaranya kaya sosialisasi jadi ga mau pake ini, ga mau pake ini, penyampaiannya jadi ya di pelabuhan-

103

pelabuhan gitu. Bahkan 4 bulanan 5 titik itu juga sama lakonnya itu. Sebenarnya sih banyak lakon, dan beliau juga pasti sudah mahir, tapi kadang penanggap itu lebih punya kekusaan sendiri, aku minta lakon ini dong pak, pengin ingin dong gitu.

Penulis : Kalau mba Suci sendiri itu sinden wayang kulit yah mba, kalau wayang golek atau wayang santri suka ikut ga mba? Narasumber : Enggak kalau aku enggak, kalau wayang santri dulu pernah ikut pas semester-semester awal waktu kuliah, semester 3 kalau enggak 4. Tapi semenjak mau PA aku udah ga ikut, aku ikut wayang kulit

Penulis : Enak jadi sinden wayang kulit atau wayang santri mba? Narasumber : Ya, lebih enak jadi wayang santri karena kalau di wayang santri aku ada iringannya itu ga nyanyi cuma nyanyi di bagian limbuan itu di ganti Slenteng dan Lupit, cuma nyanyi itu tok, kalau wayang santri cuma sholawat- sholawat sama Mba Pur. Wayang kulit kan pake gamelan, tapi kalau wayang santri juga sama pake gamelan, cuman gamelannya lebih ke notasi lagu Islami kaya music-musik gambus, sama bawa organ, terus nadanya juga beda pada pentas wayang kulit, jadi beliau mempunyai beberapa set gamelan

Penulis : Kalau wayang kulit sendiri itu kan tema-temanya ada yang politik, ekonomi, dan Nasionalis, nah itu lagu-lagunya beda ga mba? Narasumber : Sama sih, tetap sama cuman biasanya kalau ditambahkan dengan lagu tentang lagu untuk ikan, judulnya “gemar makan ikan” itu lagunya untuk anak Indonesia sehat, makanlah ikan laut. Nah untuk Nasionalisme itu juga ada kaya lagu-lagu masr, maju tak gentar, dari Sabang sampai Marauke, 17 Agustus, pokoknya gitu sih ditambahi sebenarnya sama cuman tambahan itu tadi biar sesuai dengan acaranya

Penulis : Nah abah kan suka ngutip ayat Al-Qur‟an yah mba, diwayang kulit juga sama yah mba?

104

Narasumber : Iyah sama di wayang kulit juga

Penulis : Nah menurut mba dengan abah mengutip ayat Al-Qur‟an itu bagaimana mba? Kan abah kan memang beda yah bukan wayang kulit yang identic dengan Jawa, Hindhu-Budha Narasumber : Iyah beliau itu memang berani beda, berani pentas selain wayang kulit tadi beliau juga di pengajian ko makannya kalau tentang ayat-ayat tentang Al-Qur‟an paham banget, sampai apa yang jurusanmu apa yah namanya, yang Sejarah Islam. Kaya gitu memang beliau mendalami banget, ga tau yah entah tujuannya apa, kalau kami ga tau, ga nanya mungkin untuk koleksi sendiri.

Penulis : Menurut mba sendiri yang beda dari abah itu dengan dalang- dalang yang lain itu apa? Narasumber : Ya itu tadi politiknya matang, terus bagian mengkaji kaji sesuatu itu ilmu humaniora, ilmu mu loh beliau juga mateng loh, ga tau yah emang beliau semua tau beliau. Aku baru tahu pas di Lampung mengkaji apa yah sama anaknya kaya ilmu humaniora, dalam batinku Cuma ko bisa tahu, padahal beliau enggak kuliah di jurusan humaniora

Penulis : Beliau juga pernah pentas di Belanda kan yah mba? Narasumber : Iyah di Belanda itu ada wayang-wayang superman, wayang kartun di Museum Belanda itu ada dan dari luar Negeri itu dapat penghargaan dalang superstar sama dalang apa gitu pokoknya

Penulis : Berarti mba sudah keliling pagelaran kemana aja mba, di Indonesia? Narasumber : Banyak pulau Sumatera, pulau Palembang, Brunei, Lampung, banyak

Penulis : Itu kalau untuk yang pegang gamelan untuk wayang santri dan wayang kulit itu beda ga mba, orang-orangnya ?

105

Narasumber : Ya yang pegang gamelan itu kan ada dua, dari kru Tegal sama dari Solo, kalau yang bagian Tegal itu kalau wayang santri kebanyakan ikut, tapi kalau kru Solo enggak, cuma orang yang dipilih saja, kecuali kalau si penanggapnya minta ada anu bah sinden Solo, itu baru penabuh Solo ikut.

106

Wawancara 4 Narasumber : Mas Haryo Ja‟far Susilo (Anak kedua Ki Enthus) Tanggal : 10 Februari 2018 Tempat : Rumah Wayang, Bengle-Tegal Pukul : 20.00

Penulis : Assalamu‟alaikum Ka Narasumber : Iyah, Wa‟alaikumsalam Dek, Penulis : Saya Rizka, mahasiswi UIN Jakarta yang sedang mengadakan penelitian terkait tentang judul skripsi saya “Tema-tema Lakon Pewayangan dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal Tahun 2013-2017” Narasumber : Iyah, ada yang bisa saya bantu dek

Penulis : Ada perbedaan tidak ka antara pemain wayang golek dan wayang kulit? Narasumber : Tidak ada dek, hanya saja biasanya kalau wayang kulit karena pagelrannya besar dan durasi waktunya lebih lama biasanya ditambahkan untuk pemain gamelannya dari Solo, atau sinden yang memang wayang kulit. (terlampir nama-nama pemain alat musik)

Penulis : Kalau lakon-lakon wayang kulit dan wayang golek itu berbeda tidak ka? Narasumber : Yang berbeda hanya wayang santri, karena memang wayang santri kan sifatnya keseharian, jadi Abah membuat tema-tema yang sifatnya keseharian. Ada beberapa tema yang memang hasil karya Abah sendiri antara lain : wayang kulit karya Abah, Pandawa Kumpul, Romo Tambak, Pandawa Layar, Gatotkoco Sang Lelono, Adam Awal Adam Akhir, dll. Untuk wayang golek ada Jaka Bereg Mbangun Istana, Adam Awal Adam Akhir

Penulis : Untuk temanya itu kan dibagi kebeberapa katagori, seperti ekonomi, nasionalis, politik, itu ada perbedaannya tidak ka?

107

Narasumber : Semua tema-tema diatas dapat dikemas dalam satu tema, artinya pagelaran Abah memang tidak pakem dengan satu tema saja, melainkan mencangkup semuanya.

Penulis : Munculnya wayang santri sendiri ka kapan? Dan apa perbedaannya dengan wayang golek? Narasumber : Kalau wayang golek ken memang sudah lama yah, dan wayang asntri itu kan memang sudah ada sejak Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang untuk berdakwah

Penulis : Munculnya tokoh Lupit dan Slenteng Ka? Narasumber : Kalau Lupit itu kan memang sudah sejak lama ya, kalau di Sunda namanya Cepot. Nah kalau Slenteng memang yang menambahkan si Mbahnya Abah, jadi peninggalan dari Mbah nya Abah gitu. Tapi untuk lebih jelasnya bisa tanya ke Pak Hatmanto ya dek.

108

Wawancara 5 Narasumber : Bapak Hatmanto (Pemain Kendang) Tanggal : 10 Februari 2018 Tempat : Rumah Wayang, Bengle-Tegal Pukul : 20.30

Penulis : Assalamu‟alaikum Pak, Narasumber : Iyah, Wa‟alaikumsalam Dek, Penulis : Saya Rizka, mahasiswi UIN Jakarta yang sedang mengadakan penelitian terkait tentang judul skripsi saya “Tema-tema Lakon Pewayangan dalang Ki Enthus Susmono di Kabupaten Tegal Tahun 2013-2017”

Narasumber : Tahun 2013 Ki Enthus bekerja keras dengan segala kemampuan dan kondisinya memantaskan diri untuk mencapai cita-cita luhur sebagai pengendara G 1 melalui kesenian. Bahkan jauh sebelum beliau jadi G 1 antara tahun 2002-2007 saya sangat dengan beliau, kemudian paska beliau jadi Bupati sekarang saya jaga jarak. Penulis : Tema-tema apa saja yang dipagelarkan oleh Ki Enthus tahun 2013-2017 ? Narasumber : Tema awal 2013 Ki Enthus mulai menata diri untuk bersiap menjadi G1. Pertama kali lakon yang di pagelarkan adalah Lakon Petruk Dadi Ratu, lakon ini menceritakan tentang Punakawan Petruk yang di daulat menjadi raja di sebuah Negara. Lakon yang menggambarkan sosok orang yang paling bawah, kalau sudah menjadi takdir akan diangkat drajatnya menjadi pemimpin.

Penulis : Tema yang pertama kali dipentaskan Pak? Narasumber : Tema pertama, tema kepemimpinan yang mencangkup atas hak dan kewajiban serta kewajiban seorang pemimpin Penulis :Awal mula Bapak bergabung dengan Ki Enthus Narasumber : Awal mula perkenalan saya dengan Ki Enthus Susmono ditengarai oleh Penyelenggaraan Pameran Wayang Planet ditahun 2002, di

109

Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, dalam rangka Dies Natalis. Kebetulan saya yang gemar melukis wayang sangatlah tertarik pada karya-karya Ki Enthus Susmono. Keantosiasan saya pada gelar pameran wayang Ki Enthus itulah sebagai awal dari perkenalan kami secara pribado, keterbukaan beliau dalam berkomunikasi, hingga saya menemukan beberapa kecocokan seputar pandang dan sikap dalam berkesenian. Pandangan saya pribadi pengemasan ragam pagelaran dan karya wayang Ki Enthus yang beliau raih secara otodidak itu, secara teori dan praktek sudah melakukan segala yang sudah diajarkan dalam materi-materi mata kuliah pedalangan STSI Surakarta. Kecocokan cara pandang itulah yang saya rasa hingga sekarang mengikat keharmonisan hubungan kesenimanan, kami sebagai dalang dan pengendang.Ki Enthus yang sejak dulu mempunyai kemampuan dan kecerdasan yang melebihi dalang pada umumnya, beliau selalu menciptakan ide-ide tak lazim, baik alur cerita, musik, bahkan properti tambahan penguat sajian pagelaran. Mengenai pemilihan cerita yang beliau sajikan dari tahun ke tahun selalu menemukan ide-ide yang sangat relevan dengan zaman.

Penulis : Ada kesulitan tidak Pak selama di pagelaran? Narasumber : Hebatnya Ki Enthus tetap fokus pada kesuksesan pertunjukannya, kesulitan tetap ada tapi di pecahkan dengan cara latihan Penulis : Mnculnya sanggar Satria Laras Pak ? Narasumber : Munculnya Sanggar Satria Laras saya kurang tau, tapi sama dengan tanggal lahir Putra pertamanya Ki Enthus, Mas Jendra Penulis : Bapak sebagai apa di pagelaran ? Narasumber : Saya sebagai pengendang, juga membantu sebagai composer dan arranger

Penulis : Ada perbedaan tidak Pak temanya Abah, seperti Nasionalisme, Ekonomi yang kaya Pendawa Layar, dan Politik. Apakah tema itu muncul sudah direncanakan atau bagaimana Pak?

110

Narasumber : Tema menurut kebutuhan pada waktu itu, dari membaaca situasi, jadi respon, lalu muncullah ide, cerita. Dan pasti seputar politik dan agama

Penulis : Apakah ada teknik-teknis khusus untuk menjadi anggota Satria Laras Pak? Narasumber : Yang jelas bisa memainkan alat musik apa saja, kalau vokal ya ga jelek banget. Dan mau membuka diri meresahkan hati, untuk menerima info dan perubahan Penulis : Bapak sendiri latar pendidikannya apa ? Narasumber : Saya S1 di STSI Solo

Penulis : Bagaimana tanggapan Bapak tentang pagelaran Abah ? Narasumber : Kecepatan dan ketepatan cara berfikir dan bertindak itu membuat pentas wayang Ki Enthus menjadi sangat SUPER Penulis : Kalau dua tokoh Lupit dan Slenteng, apakah peninggalan dari orang tua Abah atau inovasi Abah Pak? Narasumber : Lupit dan Slenteng itu peninggalan dari Nenek Moyangnya

Penulis : Ada perbedaan alat music antara wayang golek dan wayang kulit tidak Pak? Narasumber : Ada lebih komplit wayang kulit, ada tambahan timpani. Kalau wayang golek ada rebab, kendang, seruling khusus Sunda, kecapi, gambang, vokal pria (alok), sinden Sunda

111

Transkrip Pagelaran Ngaji Budaya

Salah satu transkip dari video Ngaji Budaya Ki Enthus Susmono (dalam rangka Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1439H) 26 Desember 2017 dalam Lakon Lupit dan Slenteng “Jadikan Sholawat sebagai Pemersatu Bangsa”. Sebelum memulai pentas Abah selalu mengucap syukur dengan berdo‟a kepada Allah SWT, serta tidak lupa sholawat untuk Nabi Muhammad SAW, dengan membaca sholawat fatih Yang berbunyi: ُ ال َّل ُه َّم َص ِّل َعل َى َسيِّ ِذنَا ُم َح َّم ِذ، ا ْل َفاتِحِ ِل َما أ ْغ ِل َق َوا ْل َخاتِ ِم ِل َما َسبَ َق، َنا ِص ِر ا ْل َح ِّق بِا ْل َح ِّق، َوا ْل َها ِدي إِ َلى ِص َرا ِط َك ا ْل ُم ْستَ ِق ْي ِم َو َعل َى آ ِل ِه َح َّق َق ْذ ِر ِه َو ِم ْقذَا ِر ِه العَ ِظ ًْ Sholawat Fatih Latin: “Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammaddinil Fatihi Lima Ughliqo Wal Khotimi Lima Sabaqo, Nashiril Haqqi Bil Haqqi Wal Hadi Ila Shirotikal Mustaqim Wa Ala Alihi Haqqo Qodrihi Wa Miq Darihil Adzim..” Dengan tokoh Lupit dan Slenteng, Lupit : Assalamu‟alaikum dek Slenteng… Slenteng :Wa‟alaikumsalam Warohmatullohi wabarokatuh kakakku Lupit. (Kayong komplit nemen njawab salame) Sing arane wong njawab salam iku kudu komplit, paham ya. Angger ana wong njawab salam toli laka warohmatullahe, karo wabarokatuhe, angger wong wadon kang, njawab salam ora komplit kuwi berarti rok-an tok kuwi ora nganggo kutang, bisa ngandul, paham ya? (kiye bocah wadon di rongokena). Aja males, toli angger njawab salam ati-ati ngucapna assalamu‟alaikummm, kuwi arane kedawan tenggkulah mateni wawu pirang- pirang. Salamu‟alaikum kaya kuwi ya, warohmatullahi, wabarokatuh, kuwi angger wong wadon. Tapi angger wong lanang njawabe ora komplit kaosan tok oara katokan, ora cawetan, (dadi angger mlaku ya gondal-gandel) kaya kerba‟u Lupit : Salame kudu komplit, kenapa harus komplit ? Slenteng : Kanjeng Nabi Muhammad SAW (sholawat nariyah), koen wis tau weruh wujude kanjeng Nabi apa durung? Lupit : Durung Slenteng : Urip menangi zamane ora? (Ya mboten)

112

Lupit : Bisane monine Yaa Nabi salam „alaika? Sing disalami apane ?. berarti kanjeng Nabi itu meninggal secara bashariyah, secara badaniyah, secara jazadiyah, meninggal dunia alias wafat. Tetapi kanjeng Nabi sebagai badan roh, ruhul Muhamadiyah, tetap hadir pada malam hari ini, (Amin, amin) bukti yang kedua, maknanya Marhaban. Slenteng : Marhaban kue artine apa ? Lupit : Ya selamat teka, selamat datang. Sugeng lawuh. Slenteng : Ohhh iyah yah,,, Lupit : Terus Yaa Habib salam „alaika, sebab kanjeng Nabi kuwi sing dicintain karo Gusti Allah, Nabi sing paling dicintai kuwi mung Nabi Muhammad tok, Nabine dewek tok. Soale kenapa jare kowen ? Kanjeng Nabi kuwi wong sing paling sabar nemen, yakin sung. (Sabare pripun?), Nabi Adam ya wong ora seantana, Wong Nabi Adam mendikna Walaa taqroba hadihis syajarota fatakuna minal dzolimin, kie koen ajak ngemek-ngemek wit-witan kue Dam (maring Adam sih). Gusti Allah mah ngundang komplit kur maring Nabi Muhammad tok oh, kuwi sih audzubillahiminas syaitonir rojim, Innallaha yusholluna „alan Nabi, Ya Ayyuhal ladzina aamanu shollu „alahi wasalimtaslima, komplit. Slenteng : Iya yah, bandingna karo nabi-nabi liyane primen? Lupit : Nabi Adam kuwi, ora olih perek-perek maring wit-witan diplok wite, iya oh ya, mulane ari dirangkul dadi. Dadi arane wite Khuldi. Ari dirangkul tok mah ya bangsana raimu ngonong, dirangkul ya mesti dimek-mek- mek kaya kiye mbuapa (akeh bocah cilik). Merembet, sebab apa karena itu Sunnatullah bahwa Kanjeng Nabi kuwi pan diturunaken maring bumi, inni jaa „ilun fil ardhi kholifah (paham?). Di rongokna bae oh aja mbadeg bae koen oh, menungsa kuwi ari kakeen mbadeg kue goblok, pikirane nggo mangan terus, mangan kue sing penting nggo cukup nggo urip, aja urip mung pegaweane nggo mangan, khewan apa?. Mulane (ngebentak) ngageti nemen, ya ben ora pada ngantuk, mumpung ning Desane dewek, (desane dewek mah mbang nglor oh Teng), nyong dolane ning kene, ohh ngemeg-ngemeg bangsane bokong mbuapa ning kene kiye, jaman semono (oh jaman old). (sing meteng pira Teng?), langka,

113

soale nyong tah ngumpet-ngumpetan, ngumpete ning kandang wedus oh, tumpukan kaya kiye, lanang karo wadon, ora nyekrum, kuwi jaman semana ora kaya jaman now, jaman now mbeke uiw, pacaran ari ora mag-meg ya dudu pacaran. Mulane nyong mah ya, bocah kene ari ana bocah wis seneng, wis ora usah lamar-lamaran, langsung ijab qabul bae. Nyong tak takon geh, ana ora bocah wis ngelamar ora sida nikah? (ana) wis soak oh ya, wis di jem-jem-jem, kadang kala kaya kie oh yu Marifah, anake sampean si Martini di gawa martono maring Bandung, Ya ora apa-apa wong wis lamaran ikih, aturann kuwi ngomonge wis ijab ikih, kiye nyong demi menjaga rusaka bocah wadon, soale rusake bocah wadon kuwi rusake Negara, almar‟atu penyangga bilad, begitu wadone ancur, negarane ancur. Mulane kiye ning Desa Kejasem (Mejasem) Slengteng : Kuwi prime Nabi Adam? Lupit : Siji Nabi Adam kuwi, di ganti bahwa sing mbisiki Nabi Adam kuwi iblis, Slenteng : Bisane iblis bisa manjing syuarga? Lupit : Iblise kue ning asline ning syuarga oh Kang, kiye keprime sih. Iblis kue gemiyen makhluk sing paling sujud karo gusti Allah 2000 tahun, ruku 3000 tahun, arane durung iblis oh waktu semono, arane azazil, manjing syuarga baae 40.000 tahun. Lupit : Lah terus Nabi Adam ? Slenteng : Nabi Adam kuwi mah Penduduk syurga baru oh, kabeh pada gelem sujud iblis tok sing ora. Mulane di usir sing syuarga, minggat raimu, Nabi Adam di balangakeun maring Bumi, tiba ning Babilonia. Lupit : Oh,,iyah yah Slenteng : Tenang bae wis, perkara bayaran mah bisa diutang ikiyen, ora usah bayaran yah, sing penting nyong bisa ngijoli haul, wong Bupatine nyong kadang kala acarane akeh nemen. Toli saben dina Jumat, Sabtu, Minggu kue hari na‟as, nggo weruh sandang pangan endah aja mbadogi uang Negara. Lupit : Oh dadi kue Kanjeng Nabi ora ngerti bahwa sing mbisikna kue setan, Slenteng : Iya ora ngerti,

114

Lupit : Bisane kanjeng Nabi Adam kue kesasar primen ? Slenteng : Buah khuldi kuwi cara pelajar kuwi, pelajarane bocah SMA, (paham). Lah Nabi Adam kue nembe PAUD nembe TK, mulane kesasar, Lupit : Berarti angger kue Nabi Adam nuruna maring menungsa ya ? Slenteng : Bisane teka maring Mejasem pimen carane ? Iya, Nabi Adam kuwi duwure sewidak loro diro, artine 34 Meter 2 towerlah. Ambane bahu kiwa maring teneng enem belas meter. Lupit : Jare enyong krungu, Siti Hawa Slenteng : Siti Hawa kuwi sekali jebrot kue kembar 4 berarti 8 bayi, terus saben kembar, biasane lanang karo wadon. Matane dewek-dewek, ana sing sipit kaya Cina, kaya sing ngantuk. Kulite ya sejen-sejen ana sing putih, sawo mateng, ireng, bule. Terus semebar ning Bumi Lupit : Dadi menusa kue dudu penduduk asli bumi ya Teng ? Slenteng :Dudu, Ning bumi ke mung mampir, kanjeng Nabi Adam, dibebani sebagai kholifah. (kamu tau ga Suci apa Itu Kholifah), (apa itu Kholifah), kamu itu kalau ditanya kok balik nanya, wong angger wis ayu ya kaya kuwi yah, (kan mau diajarkan sama Mas Slenteng), diajarkan apa? (ilmu yang tadi, kholifah itu apa). Kholifah kuwi gampangane pasangane gusti Allah, sing meliara bumi, aja dirusak paham? Mulane kanjeng Nabi kuwi ora ngijina. Sunnatullahnya itu begitu, toil wit-witan kuwi lambange wong Indonesia oh, Istiqomah kan ajeg, kuwi sih wit-wiotan awit tukul sampe sampean modar, wit-witan kuwi pindah apa ora? (ora). Wit-witan kuwi tandane wong istiqomah. Mulane wong mangan angger sing wit-witan ketularan istiqomahe, angger sing ora istiqomah kuwi arane ngampluk. Angin sing diseruput karo sampean, nafas sing manjing metu, kuwi deke sapa ? Lupit : Allah SWT Slenteng : Pernahkan kamu membayar maring gusti Allah? (enggak) Lupit : Barokah kuwi apa? Slenteng : Barokah kuwi terjemahan dari bahasa Arab, barokah yabruku burukan kuwi nahwu sorofe, burukan kuwi kebo jerum, angger kebo jerum kuwi

115

kebo anteng apa kebo jelalatan ? (anteng). Sing arane wong ketiban berkah ya anteng jiwane, kelakuane. Dadi ari pan di gawa karo kanjeng Nabi ya aja mung sholawatan tok. Sholawatan kuwi hubungan sola yasulu sila (hubungan). Silaturrahmi itu ada 3, yang pertama silaturrahmi karo gusti Allah (sholat), silaturrahmi karo Kanjeng Nabi (sholawat), yang ketiga adalah silaturrahmi sesame kita di Negara Republik Indonesia, ada lima bahasa Jawane panca, Pancasilaturrahmi. Rahmine diguang dilebokna maring panca, mulane dadine pancasila, mulane kelima pancasila itu mengandung Rahim semua. Barokah sing nomer lore kuwi, baroka yubariku birkatan sumur, mbokan kepengin berkah kuwi kaya sumur, Lupit : salam kuwi ana pirang perkara sing ora kena dijawab? Slenteng : Salam ana telung perkara, siji salam sing ora wajib di jawab, yaitu salame imam ketika mengakhiri sholat (sholat, hukume fardu kifayah), salam sing ora kena dijaawab kue salame wong kuburan, misale dijawab ya mengko pada kabur oh. (Diselingi dengan nyanyi NU dan promosi untuk Pilgub) Effendi : Assalamu‟alaikum Lupit dan Slenteng: Wa‟alaikumsalam (jawab dengan kompak) Effendi : Fafalafat safa? (yang namanya Slenteng mana) Slenteng : Saya (unjuk Slenteng) Effendi : fafafalufufit ? (yang namanya lupit) Lupit : Saya Effendi : Fafanafafafu (mau tanya tentang Nabi Muhammad) Slenteng : Kanjeng Nabi iku di berikan amanat dari Allah, sebagai petugas Allah dan juru bicara kita untuk berbicara kepada Allah SWT, dengan mengikuti sunnah Nabi sholat 5 waktu, Allah adalah robbul „alamin, kanjeng Nabi Muhhamad adalah rohmatal lil „alamin, pergaulan NU ahli sunnah wal jama‟ah, disebut ma‟al al-amin. Artinya selalu berkasih sayang terhadap sesame umat manusia, walaupun orang itu bukan beragama Islam, didalam Al-Qur‟an disebutkan “dilarang menghina, menghujat kepada orang yang nyembahnya bukan Allah SWT, meskipun nyembahnya bukan gusti Allah aja di aniyaya, aja

116

dihujat. Karena, mereka aduwu fiiqodri „ilmihim, arep pan musuhi tanpa menggunakan ilmu. Yang terkahir pesannya kanjeng Nabi Effendi : fufafufafiii Slenteng : Bener, Qur‟anul Karim, jadi besok kalau kita mati maka nyawa yang telah dititipkan sejak kita berada 4 bulan dikandungan Ibu akan ditanyakan, “seberapa jauh kita pada Qur‟anul Karim” Sampaikan walau satu ayat, maka mudah-mudahan pengajian malam hari ini tetap di berkahi Allah SWT dan mendapatkan Kitabah, serta Syafa‟at (Do‟a) dan menyanyikan lagu terakhir Subanul hakim

Dalam cerita di atas menceritakan bahwa Nabi Muhammad adalah kekasih Allah SWT, dan kholifah (pemimpin umat), maka kita sebegai umatnya harus mengikuti ajaran dan sunah-sunah Nabi Muhammad. Kita juga tidak boleh menghujat sesama manusia, manusia harus saling menyayangi dan mengasihi satu sama lain, agar terciptanya kerukunan dan kedamaian. Bersyukur atas nikmat yang Allah berikan baik nikmat seaht, bernfasa dan lain-lain. Kita juga harus mempererat silaturahmi, diantaranya 3 perkara yakni : silaturahmi kepada Allah (sholat), silaturrahmi dengan Kanjeng Nabi Muhammad (Sholawat) dan silaturahmi kepada sesama dengan pancasilaturahmi, mengikuti pancasila.

117

Surat Observasi dan Wawancara

118

Surat Bukti Wawancara