Sejarah, Pasar, Dan Dualisme Gaya Pedalangan Wayang Kulit Di Yogyakarta
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN WAYANG KULIT DI YOGYAKARTA David Nugroho Akbar Karsten, Tony Rudyansjah Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan arena sosial pedalangan wayang kulit Yogyakarta. Perhatian tentu saja diberikan kepada para dalang wayang kulit di Yogyakarta, khususnya para dalang yang memiliki dua orientasi gaya pedalangan yang berbeda. Perbedaan orientasi inilah yang pada akhirnya menjadi dua kekuatan yang memberikan warna di dalam kancah wayang kulit di Yogyakarta. Walaupun berbeda, keduanya ternyata memiliki perannya masing-masing yang menguatkan keberadaan wayang kulit di Yogyakarta, dan kemudian menciptakan sebuah keselarasan. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, tulisan ini memuat sejarah dan kondisi saat ini wayang kulit di Yogyakarta,serta profil dari dua dalang yang menjadi representasi dari masing-masing orientasi gaya pertunjukan. Data diperoleh selama melakukan penelitian melalui keterangan yang diberikan oleh beberapa informan, termasuk kedua dalang tersebut. Penelitian dilakukan di daerah Yogyakarta dalam kurun waktu lebih kurang enam bulan dan teknik pengumpulan data yang dipakai selama melakukan penelitian adalah wawancara mendalam dan observasi terlibat dengan mengikuti kegiatan sehari-hari para informan. Kata Kunci: Dalang; Dualisme; Enkulturasi; Kontemporer; Permintaan Pasar. ABSTRACT This Thesis aimed to describe the social arena of Yogyakarta‟s shadow puppetry. The focus is given to the shadow puppeteers in Yogyakarta, especially to them who have two different orientations of playing style. These differences, finally, have become two strengths which colored the arena of Yogyakarta‟s shadow puppet. Even though they are different, they have taken their own roles that strengthen the existence of Yogyakarta‟s shadow puppet, and made it to be in harmony. In explaining this phenomenon, this thesis discusses the history and the latest situation of Yogyakarta‟s shadow puppetry, and the profile of two shadow puppeteers who represent two different orientations of performance style. The data was obtained from the information shared by informants during the research, including those two shadow puppeteers. The research was conducted in Yogyakarta within a period of about six months and to collect the data, the researcher used in-depth interviews and participant observations by performing daily activities with them. Keywords: Puppeteer; Dualism; Enculturation; Contemporary; Demands. Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 PENDAHULUAN Bagi orang Jawa, wayang mempunyai kedudukan khusus di dalam kebudayaan mereka. Wayang bukan hanya dapat dilihat sebagai sekedar materialistik kebudayaan orang Jawa, melainkan juga sudah menjadi sebuah tradisi bagi mereka. Benedict Anderson (2008: 12) menjelaskan bahwa tradisi wayang merupakan mitologi religius yang diterima hampir secara universal dan mampu membina suatu keterikatan intelektual dan emosional yang mendalam. Maksud dari mitologi religius di sini adalah wayang sendiri sudah menjadi bagian dari sistem tata kehidupan yang diimani oleh orang Jawa. Wayang bukan lagi hanya sekedar cerita tentang pesan moral dan filosofi kehidupan, namun sudah menjadi sebuah kepercayaan, layaknya sebuah agama bagi orang Jawa. Selain itu, nilai-nilai dalam pewayangan telah mendarah daging di dalam diri orang Jawa, yang pada akhirnya terejawantahkan pada setiap tindakan mereka. Oleh karena itu, berbagai unsur dalam kebudayaan Jawa, seperti sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sampai kepada ritual yang mereka miliki, dapat dilingkupi oleh mitologi tersebut karena sifatnya yang hampir universal. Lebih lanjut, Benedict Anderson (2008: 12) mengatakan bahwa mitologi wayang Jawa adalah suatu upaya untuk menjelajahi secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, hubungan- hubungannya dengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada orang lain maupun dirinya sendiri. Dengan kata lain, tradisi wayang pada orang Jawa melingkupi segala aspek kehidupan dan terefleksikan dalam tatanan hidup mereka. Di samping itu, Clifford Geertz (1981: 351) menjelaskan bahwa wayang merupakan seni yang paling tersebar luas, yang paling berakar dalam, paling dielaborasi secara filosofis dan religius di Jawa. Inilah yang membuat wayang Jawa menjadi selalu menarik untuk siapapun yang ingin menyelami dan memahaminya. Bila berbicara mengenai wayang Jawa, maka hampir seluruhnya mengacu pada satu bentuk wayang yang paling populer di Jawa, khususnya Jawa Tengah, yaitu wayang kulit. Wayang kulit selalu memiliki caranya tersendiri untuk menarik perhatian para pecintanya, baik dari sisi pertunjukannya, maupun di luar pertunjukannya. Layaknya sebuah pagelaran wayang kulit, semua diserahkan kepada penonton, apakah mau menonton dari depan layar, di balik layar, atau bahkan selalu berputar untuk menonton dari kedua sisi. Wayang kulit adalah sebuah tontonan yang sarat dengan pesan-pesan moral dan refleksi kehidupan manusia. Hal tersebut menjadikannya bukan hanya sebagai sekedar hiburan semata, tetapi juga dapat menjadi guru bagi penontonnya. Inilah yang membuat wayang kulit selalu dapat Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 bertahan di dalam gempuran jaman dari awal sampai pada saat ini. Di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, di mana kebutuhan akan hiburan dapat dipenuhi dengan begitu mudahnya, wayang kulit masih memiliki tempat di hati para penggemarnya dan bahkan masih dapat menarik perhatian banyak orang untuk menontonnya. Mungkin pertunjukan seperti ini yang harusnya menjadi konsumsi manusia saat ini, sebuah hiburan yang dapat menuntun mereka ke dalam sebuah kebijaksanaan. Kemudian yang perlu disampaikan di sini adalah bahwa wayang kulit bukanlah benda hidup yang dapat menghadirkan pesannya dan bermain sendiri menuruti cerita yang sudah ditentukan. Wayang kulit dikendalikan oleh seorang sutradara, yang berperan sebagai pengatur cerita, penggerak wayang, dan dirigen dari setiap alunan musik yang dibawakan dari seperangkat gamelan. Oleh karena itu, orang tersebut dipanggil dengan sebutan dalang. Dalang adalah sang penguasa tunggal di dalam sebuah pertunjukan wayang. Seperti halnya Tuhan, dalang adalah yang maha kuasa dan tidak ada satupun yang dapat mengalahkannya bila sudah berada di atas panggung. Dalang merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam sebuah pertunjukan wayang. Tanpa seorang dalang, wayang-wayang tersebut hanya akan berupa benda mati yang tidak berdaya, begitu pula dengan unsur-unsur lainnya yang ada di dalam sebuah pertunjukan, semuanya menjadi tidak berarti. Peran penting seorang dalang, bukan hanya sebagai pemimpin pertunjukan dan penggerak dari wayang, melainkan juga sebagai penyampai pesan, ajaran moral, etis maupun filosofis kepada para penontonnya. Dalang adalah seorang guru yang memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan banyak hal. Pada kenyataannya, saat ini banyak dalang yang sudah tidak mementingkan atau tidak menyadari akan tanggung jawab tersebut, sehingga pertunjukan wayang akan terlihat menjadi sebuah pertunjukan hiburan saja tanpa ada pesan yang dapat ditangkap. Kalaupun ada, mungkin pesan itu datang dari cerita yang sudah dibuat sejak dahulu, atau dari makna simbolis di balik pertunjukan wayang itu sendiri, bukan dari kebijaksanaan sang dalang. Nampaknya, hal ini sudah menjadi sebuah kekhawatiran sendiri di antara para dalang yang masih menyadari tugasnya sebagai penyampai pesan. Semenjak pecahnya Mataram yang terbagi menjadi Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755, banyak perubahan yang terjadi di kedua wilayah tersebut, di antaranya adalah terpecahnya kelompok-kelompok dalang sebagai imbas dari perpecahan yang terjadi. Setelah itu, banyak Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 perubahan yang terjadi pada arena pedalangan di Surakarta dan di Yogyakarta. Masing-masing pihak mencoba untuk mencari karakternya yang sesuai dengan jati diri mereka. Kemudian, perubahan jaman yang terjadi tentunya juga turut memaksa para dalang untuk dapat menyesuaikan dirinya terhadap situasi dan kondisi yang ada. Tekanan ini disadari betul oleh banyak dalang baik di Surakarta, maupun di Yogyakarta. Mereka mulai memasukkan unsur-unsur „kekinian‟ di setiap pementasan wayang kulit. Hal itu tercermin di dalam pertunjukan wayang yang mereka tampilkan dengan porsi hiburan yang lebih menonjol dan memasukan lebih banyak aksi di dalamnya. Saat arena pedalangan di Surakarta terlihat lebih adaptif dengan perubahan jaman, rupanya hal ini masih menjadi polemik di dalam arena pedalangan di Yogyakarta. Bagi segelintir dalang di Yogyakarta, mereka tetap memilih untuk mempertahankan kemurnian wayang kulit Yogyakarta sesuai dengan aturan yang sudah ada sejak dulu, dan menentang kehadiran dalang yang terlalu mementingkan unsur hiburan di pertunjukannya. Para dalang pun akhirnya ditantang kembali oleh persaingan-persaingan yang terbentuk di antara sesama dalang. Persaingan yang terbentuk antara dalang yang masih menjaga aturan yang ada dan dalang yang mencoba untuk melakukan inovasi membuat arena wayang kulit Yogyakarta semakin memanas. Dua kubu ini, secara umum memperdebatkan konsistensi di antara sesama dalang untuk menjaga tradisi wayang kulit di Yogyakarta. Perdebatan ini dimulai ketika banyak dalang-dalang yang muncul saat ini dianggap membawa lebih banyak memerhatikan unsur hiburan dan mulai melupakan ajaran atau aturan yang diwariskan oleh para pendahulunya. Kekhawatiran ini memang cukup beralasan, apalagi jika melihat bahwa dalanglah yang memegang kunci regenerasi, bukan hanya