SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN KULIT DI

David Nugroho Akbar Karsten, Tony Rudyansjah Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan arena sosial pedalangan Yogyakarta. Perhatian tentu saja diberikan kepada para dalang wayang kulit di Yogyakarta, khususnya para dalang yang memiliki dua orientasi gaya pedalangan yang berbeda. Perbedaan orientasi inilah yang pada akhirnya menjadi dua kekuatan yang memberikan warna di dalam kancah wayang kulit di Yogyakarta. Walaupun berbeda, keduanya ternyata memiliki perannya masing-masing yang menguatkan keberadaan wayang kulit di Yogyakarta, dan kemudian menciptakan sebuah keselarasan. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, tulisan ini memuat sejarah dan kondisi saat ini wayang kulit di Yogyakarta,serta profil dari dua dalang yang menjadi representasi dari masing-masing orientasi gaya pertunjukan. Data diperoleh selama melakukan penelitian melalui keterangan yang diberikan oleh beberapa informan, termasuk kedua dalang tersebut. Penelitian dilakukan di daerah Yogyakarta dalam kurun waktu lebih kurang enam bulan dan teknik pengumpulan data yang dipakai selama melakukan penelitian adalah wawancara mendalam dan observasi terlibat dengan mengikuti kegiatan sehari-hari para informan.

Kata Kunci: Dalang; Dualisme; Enkulturasi; Kontemporer; Permintaan Pasar.

ABSTRACT This Thesis aimed to describe the social arena of Yogyakarta‟s shadow puppetry. The focus is given to the shadow puppeteers in Yogyakarta, especially to them who have two different orientations of playing style. These differences, finally, have become two strengths which colored the arena of Yogyakarta‟s shadow puppet. Even though they are different, they have taken their own roles that strengthen the existence of Yogyakarta‟s shadow puppet, and made it to be in harmony. In explaining this phenomenon, this thesis discusses the history and the latest situation of Yogyakarta‟s shadow puppetry, and the profile of two shadow puppeteers who represent two different orientations of performance style. The data was obtained from the information shared by informants during the research, including those two shadow puppeteers. The research was conducted in Yogyakarta within a period of about six months and to collect the data, the researcher used in-depth interviews and participant observations by performing daily activities with them.

Keywords: Puppeteer; Dualism; Enculturation; Contemporary; Demands.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 PENDAHULUAN Bagi orang Jawa, wayang mempunyai kedudukan khusus di dalam kebudayaan mereka. Wayang bukan hanya dapat dilihat sebagai sekedar materialistik kebudayaan orang Jawa, melainkan juga sudah menjadi sebuah tradisi bagi mereka. Benedict Anderson (2008: 12) menjelaskan bahwa tradisi wayang merupakan mitologi religius yang diterima hampir secara universal dan mampu membina suatu keterikatan intelektual dan emosional yang mendalam. Maksud dari mitologi religius di sini adalah wayang sendiri sudah menjadi bagian dari sistem tata kehidupan yang diimani oleh orang Jawa. Wayang bukan lagi hanya sekedar cerita tentang pesan moral dan filosofi kehidupan, namun sudah menjadi sebuah kepercayaan, layaknya sebuah agama bagi orang Jawa. Selain itu, nilai-nilai dalam pewayangan telah mendarah daging di dalam diri orang Jawa, yang pada akhirnya terejawantahkan pada setiap tindakan mereka. Oleh karena itu, berbagai unsur dalam kebudayaan Jawa, seperti sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sampai kepada ritual yang mereka miliki, dapat dilingkupi oleh mitologi tersebut karena sifatnya yang hampir universal. Lebih lanjut, Benedict Anderson (2008: 12) mengatakan bahwa mitologi wayang Jawa adalah suatu upaya untuk menjelajahi secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, hubungan- hubungannya dengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada orang lain maupun dirinya sendiri. Dengan kata lain, tradisi wayang pada orang Jawa melingkupi segala aspek kehidupan dan terefleksikan dalam tatanan hidup mereka. Di samping itu, Clifford Geertz (1981: 351) menjelaskan bahwa wayang merupakan seni yang paling tersebar luas, yang paling berakar dalam, paling dielaborasi secara filosofis dan religius di Jawa. Inilah yang membuat wayang Jawa menjadi selalu menarik untuk siapapun yang ingin menyelami dan memahaminya. Bila berbicara mengenai wayang Jawa, maka hampir seluruhnya mengacu pada satu bentuk wayang yang paling populer di Jawa, khususnya Jawa Tengah, yaitu wayang kulit. Wayang kulit selalu memiliki caranya tersendiri untuk menarik perhatian para pecintanya, baik dari sisi pertunjukannya, maupun di luar pertunjukannya. Layaknya sebuah pagelaran wayang kulit, semua diserahkan kepada penonton, apakah mau menonton dari depan layar, di balik layar, atau bahkan selalu berputar untuk menonton dari kedua sisi. Wayang kulit adalah sebuah tontonan yang sarat dengan pesan-pesan moral dan refleksi kehidupan manusia. Hal tersebut menjadikannya bukan hanya sebagai sekedar hiburan semata, tetapi juga dapat menjadi guru bagi penontonnya. Inilah yang membuat wayang kulit selalu dapat

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 bertahan di dalam gempuran jaman dari awal sampai pada saat ini. Di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, di mana kebutuhan akan hiburan dapat dipenuhi dengan begitu mudahnya, wayang kulit masih memiliki tempat di hati para penggemarnya dan bahkan masih dapat menarik perhatian banyak orang untuk menontonnya. Mungkin pertunjukan seperti ini yang harusnya menjadi konsumsi manusia saat ini, sebuah hiburan yang dapat menuntun mereka ke dalam sebuah kebijaksanaan. Kemudian yang perlu disampaikan di sini adalah bahwa wayang kulit bukanlah benda hidup yang dapat menghadirkan pesannya dan bermain sendiri menuruti cerita yang sudah ditentukan. Wayang kulit dikendalikan oleh seorang sutradara, yang berperan sebagai pengatur cerita, penggerak wayang, dan dirigen dari setiap alunan musik yang dibawakan dari seperangkat . Oleh karena itu, orang tersebut dipanggil dengan sebutan dalang. Dalang adalah sang penguasa tunggal di dalam sebuah pertunjukan wayang. Seperti halnya Tuhan, dalang adalah yang maha kuasa dan tidak ada satupun yang dapat mengalahkannya bila sudah berada di atas panggung. Dalang merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam sebuah pertunjukan wayang. Tanpa seorang dalang, wayang-wayang tersebut hanya akan berupa benda mati yang tidak berdaya, begitu pula dengan unsur-unsur lainnya yang ada di dalam sebuah pertunjukan, semuanya menjadi tidak berarti. Peran penting seorang dalang, bukan hanya sebagai pemimpin pertunjukan dan penggerak dari wayang, melainkan juga sebagai penyampai pesan, ajaran moral, etis maupun filosofis kepada para penontonnya. Dalang adalah seorang guru yang memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan banyak hal. Pada kenyataannya, saat ini banyak dalang yang sudah tidak mementingkan atau tidak menyadari akan tanggung jawab tersebut, sehingga pertunjukan wayang akan terlihat menjadi sebuah pertunjukan hiburan saja tanpa ada pesan yang dapat ditangkap. Kalaupun ada, mungkin pesan itu datang dari cerita yang sudah dibuat sejak dahulu, atau dari makna simbolis di balik pertunjukan wayang itu sendiri, bukan dari kebijaksanaan sang dalang. Nampaknya, hal ini sudah menjadi sebuah kekhawatiran sendiri di antara para dalang yang masih menyadari tugasnya sebagai penyampai pesan. Semenjak pecahnya Mataram yang terbagi menjadi Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755, banyak perubahan yang terjadi di kedua wilayah tersebut, di antaranya adalah terpecahnya kelompok-kelompok dalang sebagai imbas dari perpecahan yang terjadi. Setelah itu, banyak

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 perubahan yang terjadi pada arena pedalangan di Surakarta dan di Yogyakarta. Masing-masing pihak mencoba untuk mencari karakternya yang sesuai dengan jati diri mereka. Kemudian, perubahan jaman yang terjadi tentunya juga turut memaksa para dalang untuk dapat menyesuaikan dirinya terhadap situasi dan kondisi yang ada. Tekanan ini disadari betul oleh banyak dalang baik di Surakarta, maupun di Yogyakarta. Mereka mulai memasukkan unsur-unsur „kekinian‟ di setiap pementasan wayang kulit. Hal itu tercermin di dalam pertunjukan wayang yang mereka tampilkan dengan porsi hiburan yang lebih menonjol dan memasukan lebih banyak aksi di dalamnya. Saat arena pedalangan di Surakarta terlihat lebih adaptif dengan perubahan jaman, rupanya hal ini masih menjadi polemik di dalam arena pedalangan di Yogyakarta. Bagi segelintir dalang di Yogyakarta, mereka tetap memilih untuk mempertahankan kemurnian wayang kulit Yogyakarta sesuai dengan aturan yang sudah ada sejak dulu, dan menentang kehadiran dalang yang terlalu mementingkan unsur hiburan di pertunjukannya. Para dalang pun akhirnya ditantang kembali oleh persaingan-persaingan yang terbentuk di antara sesama dalang. Persaingan yang terbentuk antara dalang yang masih menjaga aturan yang ada dan dalang yang mencoba untuk melakukan inovasi membuat arena wayang kulit Yogyakarta semakin memanas. Dua kubu ini, secara umum memperdebatkan konsistensi di antara sesama dalang untuk menjaga tradisi wayang kulit di Yogyakarta. Perdebatan ini dimulai ketika banyak dalang-dalang yang muncul saat ini dianggap membawa lebih banyak memerhatikan unsur hiburan dan mulai melupakan ajaran atau aturan yang diwariskan oleh para pendahulunya. Kekhawatiran ini memang cukup beralasan, apalagi jika melihat bahwa dalanglah yang memegang kunci regenerasi, bukan hanya secara fisik, tetapi juga perannya dalam meneruskan pewayangan dan pedalangan di Yogyakarta. Pada akhirnya, dalang wayang kulit di Yogyakarta dapat dikatakan terbagi menjadi dua, yaitu dalang pakem dan dalang kontemporer. Kedua kategori dalang inilah yang akan menjadi fokus di sini untuk melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam arena pedalangan wayang kulit di Yogyakarta saat ini.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 TINJAUAN TEORITIS Dualisme Dualisme secara umum diartikan sebagai dua kondisi yang berbeda, hidup berdampingan dalam masyarakat pada satu waktu yang bersamaan, satu bersifat superior dan lainnya bersifat inferior, dalam beberapa hal saling bertentangan (Boeke, 1953). Pernyataan tersebut berasal dari penelitian Boeke di Indonesia yang melihat kelompok masyarakat dengan sistem sosial modern hidup berdampingan dengan kelompok masyarakat tradisional. Menurutnya dualisme sosial ini saling bertentangan karena di satu sisi sistem sosial modern dianggapnya rasional dan masyarakat tradisional masih emosional. Clifford Geertz juga memakai istilah „dual‟ untuk merujuk pada teori yang dipakai oleh Boeke sebelumnya mengenai ekonomi Indonesia pada masa kolonialisme Belanda. Geertz sendiri mengartikan dualisme itu sebagai satu hal yang memiliki „dua muka‟ (Geertz, 1976: 52). Melalui pemaparan di atas, saya menyimpulkannya ke dalam sebuah bentuk umum di mana istilah dualisme sendiri digunakan untuk menggambarkan dua sistem kehidupan berbeda yang ada di dalam satu kehidupan masyarakat. Kemudian, dari konsepsi mengenai dualisme yang seperti itu, maka saya mencoba untuk menempatkan istilah dualisme itu di sini dalam rangka menunjukan „keduaan‟ yang dimiliki oleh gaya pedalangan wayang kulit di Yogyakarta. Dualisme ini tercermin di dalam gaya pedalangan yang dibawakan oleh para dalang yang terbagi menjadi dua, yaitu dalang pakem dan dalang kontemporer. Sebelum menariknya kepada gaya pedalangan yang dibawa oleh masing-masing dalang, ada hal yang harus dipahami terlebih dulu mengenai dualisme pandangan dunia Jawa. Pandangan dunia Jawa memiliki dualisme yang bertolak dari suatu distingsi antara dua segi fundamental realitas, yaitu segi lahir dan segi batin. Kedua segi itu bersatu di dalam diri manusia. Lahir manusia terdiri atas tindakan-tindakan, gerakan-gerakan, omongannya, dan sebagainya. Sedangkan batin menyatakan diri dalam kehidupan kesadaran subjektif. Oleh karena itu, lahir atau alam luar dianggap bersifat kasar dan batin, kenyataan dalam manusia, secara hakiki bersifat halus. (Magnis-Suseno, 1985: 117). Inilah yang terlihat di dalam gaya pedalangan yang dibawakan oleh dalang pakem dan dalang kontemporer. Dalang pakem dianggap lebih halus dan lebih teratur, sedangkan dalang kontemporer dilihat sebagai dalang yang urakan, nyeleneh, dan sembarangan. Jadi, dapat dilihat

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 bagaimana dalang pakem digambarkan sebagai dalang yang „batiniyah‟ dan dalang kontemporer yang bersifat „lahiriyah‟. Menyangkut konsepsi dualisme mengenai lahir dan batin yang disampaikan oleh Magnis- Suseno di atas, hal yang senada juga pernah dijelaskan oleh Talcott Parson dalam menjelaskan pemikiran Kantian yang memiliki dualisme radikal dalam perhatiannya untuk melihat manusia. Menurut Parson, manusia adalah a physical body sekaligus juga a spiritual being di saat yang bersamaan (Parson, 1968: 474). Sebuah pertunjukan wayang kulit juga dapat dianalogikan seperti layaknya seorang manusia yang memiliki physical body sekaligus menjadi spiritual being. Ini terkait dengan fungsi pertunjukan wayang kulit yang bukan hanya sebagai tontonan, tetapi juga tuntunan. Begitu pula dengan gaya pedalangan setiap dalang, ada yang cenderung dominan kepada tontonan atau aspek hiburannya, dan ada yang selalu menjaga agar tuntunannya selalu tersampaikan dengan mematuhi setiap aturan yang telah ditentukan. Lebih lanjut, untuk menjelaskan bagaimana dualisme gaya pedalangan tersebut dapat terjadi di dalam arena pedalangan wayang kulit di Yogyakarta, maka saya melihat arena wayang kulit di Yogyakarta sebagai sebuah pasar. Saya melihat arena wayang kulit di Yogyakarta sebagai pasar karena wayang kulit sebagai sebuah pertunjukan dapat dikatakan sebagai salah satu komoditas di dalam dunia kesenian. Sebagai sebuah pasar, permintaan pasar dan kebutuhan (needs) yang muncul dapat mempengaruhi secara signifikan produksi sebuah komoditas. Oleh karena itu, saya akan menjelaskan mengenai permintaan pasar dan needs untuk memahami hal tersebut.

Permintaan Pasar dan Needs Pada umumnya dalam pengertian dasar, pasar adalah tempat bertemunya antara penawaran dan permintaan suatu barang, jasa atau faktor produksi tertentu. Namun dalam arti sempitnya pasar adalah tempat di mana barang dan jasa diperjualbelikan, sedangkan dalam arti luasnya adalah proses terjadinya pembeli dan penjual melakukan transaksi untuk menentukan dan menetapkan kesepakatan bersama. Di titik inilah permintaan (demand) akan bertemu dengan penawaran (supply) yang mempengaruhi produksi dari sebuah komoditas tersebut. Permintaan adalah berbagai jumlah barang dan jasa yang diminta pada berbagai waktu dan tempat tertentu, sedangkan yang dimaksud sebagai penawaran adalah jumlah barang dan jasa yang ditawarkan/diproduksi pada berbagai waktu dan tempat tertentu. Kemudian, menurut Marx,

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 komoditas adalah satu benda atau objek yang dengan segi-segi yang dimilikinya akan memuaskan atau memenuhi keinginan manusia (human wants) (dalam Rudyansjah, 2011: 172). Keinginan-keinginan manusia inilah yang disebut sebagai permintaan, sehingga dalam skema pasar, produksi akan terjadi ketika adanya permintaan yang muncul dari pasar. Permintaan tidak hanya muncul melalui keinginan-keinginan yang timbul, tetapi juga melalui kebutuhan- kebutuhan (needs) yang ada. Produksi suatu hal memerlukan kebutuhan-kebutuhan hidup, karena tidak ada seorangpun dapat dicekoki dengan produk-produk masa datang, dengan nilai-nilai pakai (kegunaan) yang produksinya belum diselesaikan (Engels, 2007: 23). Penjelasan di atas berguna untuk melihat bagaimana perkembangan yang terjadi di dalam arena wayang kulit di Yogyakarta yang pada awalnya seluruh gaya pedalangan mengikuti pakem, perlahan-lahan berubah dan memunculkan pertunjukan wayang kulit kontemporer. Perkembangan jaman memunculkan permintaan pasar dan kebutuhan penonton terhadap sebuah bentuk baru gaya pedalangan wayang kulit di Yogyakarta. Permintaan pasar inilah yang disikapi secara berbeda-beda oleh para dalang di Yogyakarta. Respon yang berbeda diperlihatkan oleh para dalang. Di satu pihak, ada kelompok yang mengafirmasi permintaan pasar, dan di lain pihak ada kelompok yang menentang permintaan pasar tersebut. Kemudian, untuk menjelaskan respon yang muncul terhadap permintaan pasar ini, saya akan menjelaskannya melalui konsep tindakan (action).

Action Manusia bukanlah makhluk pasif yang begitu saja dipengaruhi oleh apa yang terjadi di lingkungan mereka. Namun, manusia juga dapat merespon segala sesuatu yang berasal dari luar mereka secara beragam. Respon yang muncul dari setiap manusia juga dipengaruhi oleh tujuan- tujuan atau motivasi yang dimiliki oleh manusia. Tujuan atau motif inilah yang pada akhirnya diperlihatkan dan diwujudkan ke dalam tindakan. Ada tiga proposisi yang dikatakan oleh Levison terkait dengan tindakan (action), yaitu: “The action is the same event as the bodily motion; a description of the action differs in meaning from the description of the identical bodily motion; and action descriptions refers to the bodily motion (or omission) under its intentional description for the agent or for a member of a certain society” (Levison, 1974).

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 Mengacu pada proposisi yang diajukan oleh Levison di atas, tujuan atau intention menjadi salah satu fokus perhatian yang penting dalam menjelaskan tindakan seseorang. Dalam hal ini, tentu saja tindakan yang diambil oleh para dalanglah yang dilatarbelakangi oleh tujuannya. Akan tetapi, tidak semua perbedaan tujuan juga menyebabkan perbedaan tindakan yang diambil, atau sebaliknya. Terkadang satu tujuan yang sama dapat dipahami secara berbeda dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang berbeda pula. Bertolak dari hal itulah, maka tujuan dari setiap individu pun memengaruhi pilihan rasional individu untuk membangun strategi yang tepat, seperti ungkapan Parker dkk. (2003: 18), “Rational individuals acquire the relevant information and know what to do with it to construct their strategies to achieve their goals.” Perbedaan pilihan rasional individu inilah yang turut memengaruhi tindakan sebagai hasil akhirnya. Pilihan rasional individu dalam memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai berfungsi untuk mengetahui tindakan yang dilakukan. Untuk kasus di sini, para dalang memiliki pilihan rasional individu yang berbeda untuk menyikapi permintaan pasar yang muncul dan diejawantahkan di dalam tindakannya (baca: gaya pedalangannya). Namun, pilihan rasional individu tidak berdiri begitu saja dalam menentukan tindakan yang diambil oleh para dalang. Pola penanaman nilai yang berbeda juga memberikan pengaruhnya dalam menentukan tindakan yang diambil oleh para dalang. Nilai-nilai dan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh para dalang menjadi penting untuk dilihat. Hal inilah yang dapat dilihat melalui pola enkulturasi yang dialami oleh para dalang.

Enkulturasi Penggambaran proses enkulturasi atau pembentukan dalang akan memperlihatkan kemampuan dan orientasi dalang tersebut, yang nantinya akan tercermin di dalam gaya pedalangannya. Untuk mencapai pemahaman terhadap itu, maka saya menggunakan konsep enkulturasi di sini. Beberapa definisi saya jabarkan di bawah ini agar mendapatkan gambaran yang cukup jelas mengenai enkulturasi. Pertama, yang perlu ditegaskan di sini adalah pentingnya untuk membedakan antara pembelajaran mengenai enkulturasi dengan sosialisasi. Seringkali kita terjebak untuk menyamaratakan arti dari kedua hal tersebut karena kesulitan untuk membedakannya melalui definisi-definisi yang ada. Enkulturasi berarti serangkaian proses dalam mempelajari budaya

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 dengan segala keunikan dan kekhasannya. Sedangkan sosialisasi adalah seperangkat nilai-nilai pasti yang dibutuhkan dan dibuat oleh manusia, untuk manusia sendiri. Menurut Margaret Mead, Sosialisasi adalah pembelajaran sebagai proses yang universal. Sedangkan enkulturasi adalah kata yang lebih spesifik, yakni sebagai sebuah proses pembelajaran kebudayaan yang dilakukan pada suatu masyarakat, pada suatu budaya tertentu (Mead, 1963). Enkulturasi menurut Herskovitz adalah proses seseorang manusia mempelajari aturan- aturan dalam kehidupannya baik secara sadar maupun tidak sadar. Proses ini dilakukan tidak hanya semata-mata sebagai proses adjustment (penyesuaian) dalam kehidupan sosialnya, tetapi juga untuk pencapaian kepuasan yang menjadi bagian dari pengalaman sosial mereka sehari-hari. Setiap manusia pasti melalui enkulturasi untuk hidup sebagai anggota masyarakat. Proses dari enkulturasi di mulai selama masa kanak-kanak. Mereka belajar untuk melihat dan mengondisikan serta melakukan kebiasaan mereka sehari-hari, seperti makan, tidur, bicara, dan mandi (personal hygiene). Hal tersebut menjadi suatu yang signifikan dalam mengasah kepribadian serta membentuk pola-pola kebiasaan yang nantinya akan dilakukan selama proses kehidupan mereka hingga dewasa (Herskovitz, 1995). Paul Bohannan mengatakan bahwa budaya itu diciptakan dan terbentuk dari waktu ke waktu, tetapi kebudayaan itu sendiri dipraktekan dan ”dipertunjukan” (performed) sepanjang waktu dalam kehidupan. Sekali budaya itu tercipta, maka terjadi juga pengaplikasian secara konstan menjaga kebudayaan itu sendiri untuk tetap hidup. Melakukan kebudayaan itu adalah bentuk dari performance, baik itu merupakan proses industri atau bisnis yang kita lakukan selama durasi pekerjaan manusia. Budaya dapat disimpan ke dalam sebuah bentuk artefak dan penulisan, sehingga budaya dapat diingat dalam benak manusia. Bagi kehidupan, kebudayaan harus dipertunjukan secara konstan (dalam Palmer dan Jankowiak, 1996: 225-226).

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dirancang untuk memahami masalah-masalah sosial dan kemanusiaan berdasarkan pada hal yang kompleks, yang digambarkan secara menyeluruh, dibentuk dengan kata-kata, dilaporkan melalui pandangan mendetail dari informan, dan diadakan pada setting aslinya (Cresswel, 2003: 1-2). Di samping hal tersebut, pendekatan ini dilakukan karena setiap ahli antropologi, dipaksa harus bisa menjelaskan secara mendalam berbagai lapisan struktur

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 pemaknaan yang ada dalam satu kebudayaan, sehingga tulisan etnografi yang dihasilkannya harus bersifat thick description (Rudyansjah, 2009: 9). Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan untuk dapat menggali sebanyak mungkin informasi yang dibutuhkan untuk mendukung tulisan ini. Terlebih lagi, menurut David M. Fetterman dalam bukunya Etnography. Step by Step, penelitian lapangan (fieldwork) adalah ciri utama etnografi (Fetterman, 1989). Jadi, data akan dikumpulkan dengan berbagai macam teknik pengumpulan data, di antaranya adalah observasi partisipatif, dan wawancara. Observasi partisipatif dilakukan untuk mendapatkan sebuah pengalaman yang mendekati dengan apa yang dirasakan oleh subjek penelitian. John C. Ogbu menjelaskan bahwa etnografi yang baik memerlukan participant observation yang secara tradisional memang dipraktekan oleh Antropologi (Ogbu, 1981). Terkait dengan hal tersebut, Ogbu mengutip yang disampaikan oleh Berreman dimana participant observation mengacu pada praktek hidup di antara masyarakat yang dipelajari, mengenal mereka, mempelajari bahasa mereka, dan memahami cara hidup mereka; melalui interaksi intensif dengan mereka dalam keseharian hidup. Etnografer berdialog, bekerja, menghadiri fungsi sosial dan ritual, mengunjungi, mengundang, menghadiri banyak situasi, belajar memahami mereka dalam banyak setting dan keadaan jiwa. Terkadang ia (etnografer) mewawancarai untuk data spesifik, selalu siaga terhadap segala informasi, siap untuk melakukan follow up dan memahami setiap event atau fakta yang tidak terantisipasi atau tidak dapat dijelaskan (begitu saja) (Berreman dalam Ogbu, 1981). Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta, karena Yogyakarta merupakan lokasi tempat masalah penelitian ini ditemukan seperti yang telah disampaikan di awal. Saya tinggal di Yogyakarta selama beberapa waktu yang tidak ditentukan untuk mendapatkan data lapangan yang diperlukan untuk merampungkan penelitian ini. Subjek utama penelitian ini adalah dalang pakem dan dalang kontemporer, sehingga saya mencoba untuk memilih dua orang dalang yang masing-masing dari mereka cukup merepresentasikan kedua kategori tersebut. Untuk dalang pakem, saya memilih Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo. Beliau dipilih karena beliau merupakan salah satu dari dua dalang yang dianggap paling senior di Yogyakarta. Selain itu, beliau adalah dalang yang dikenal sangat teguh memegang pakem di dalam pertunjukannya. Kemudian, yang membuat saya memutuskan untuk memilih beliau sebagai representasi dari para dalang pakem adalah karena beliau adalah dalang pakem yang cukup keras menentang kehadiran dalang kontemporer. Sedangkan untuk dalang

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 kontemporer, saya memutuskan untuk menjadikan Ki Seno Nugroho sebagai representasi yang paling ideal, karena beliau merupakan dalang kontemporer yang paling populer saat ini di Yogyakarta. Beliau juga dianggap sebagai dalang yang menjadi „leader‟ para dalang kontemporer di Yogyakarta. Walaupun begitu, bukan berarti dalang-dalang lainnya dikesampingkan. Beberapa dalang lainnya juga turut menjadi informan, hanya saja mereka tidak dipilih secara khusus, melainkan ditentukan secara acak.

PEMBAHASAN Menjadi Dalang Pakem Nama baik keraton Yogyakarta Tidak hanya berada di tangan para petinggi-petingginya, tetapi juga berada di dalam genggaman setiap abdi dalem-nya. Mengabdikan diri dan menjadi seorang abdi dalem keraton Yogyakarta berarti juga bertanggung jawab dalam meneruskan sekaligus menjaga nilai-nilai kekeratonan. Itulah yang selalu dipegang teguh oleh Pak Tedjo dalam menjalani hidupnya sebagai abdi dalem keraton Yogyakarta. Hal ini dicerminkan beliau dalam profesinya sebagai dalang wayang kulit. Sebagai seorang dalang wayang kulit, beliau bertugas untuk menjaga pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta agar tidak menyimpang dari apa yang sudah ditetapkan oleh keraton Yogyakarta dan para pendahulunya. Sampai saat ini, pakem tersebut selalu menjadi pedomannya dalam setiap pertunjukan wayang kulit yang dibawakan. Beliau tidak hanya menerapkan pakem tersebut di dalam pentas wayang kulit, tetapi beliau juga mengajarkannya kepada murid-muridnya di sekolah dalang keraton, Habirandha. Pak Tedjo memang dikenal sebagai dalang yang cukup gigih dalam mempertahankan prinsip dan pendiriannya, baik di mata masyarakat, maupun di dalam pandangan beberapa dalang lainnya. Gelar dalang keraton yang disematkan kepada Pak Tedjo pun bukannya tidak beralasan, gelar itu diberikan setelah beliau berhasil membuktikan kesetiaannya terhadap keraton Yogyakarta selama bertahun-tahun. Pelatihan, pendidikan, dan masa baktinya terhadap keraton, membuatnya semakin paham akan seluk beluk keraton, khususnya pada gaya pedalangannya. Beliau telah menguasai dasar-dasar pedalangan atau pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta, sehingga apabila ada dalang yang menyimpang sedikit saja dari pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta, beliau akan segera tahu. Bagi Pak Tedjo, tidak mudah untuk menjadi seorang dalang pakem saat ini, karena banyak sekali desakan-desakan yang muncul untuk menggoyahkan apa yang telah

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 dipertahankannya selama ini. Beberapa di antaranya adalah desakan untuk mengikuti perkembangan jaman dan desakan untuk memenuhi permintaan pasar demi mendapatkan tempat di pasaran. Desakan ini memang diakui beliau sudah sangat sering menghampiri dirinya, namun beliau tetap teguh dengan pendiriannya, karena beliau memegang amanah dari keraton Yogyakarta.Walaupun begitu, beliau sangat mengkhawatirkan generasi-generasi penerusnya nanti, karena banyak dalang-dalang muda yang menyerah dengan desakan tersebut. Selain itu, pemahaman mengenai pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta yang tidak dikuasai secara mendalam juga akan mengakibatkan seorang dalang dapat dengan mudahnya terombang-ambing dideru ombak desakan. Beliau sebenarnya memaklumi perkembangan yang ada di arena pedalangan wayang kulit Yogyakarta, boleh saja mengikuti pasar atau perkembangan jaman, namun pakem-nya sendiri tidak boleh dilupakan dan tetap harus dikuasai dengan baik.

“Karena itu perkembangan mas, seni itu adalah berkembang, tidak akan mungkin seni itu cuma saklek, tidak akan mungkin. Namun, biarpun berkembang, setelah mengetahui fondasinya atau wewatonnya, setiap ada pertanyaan dia bisa menjawab tepat. Tapi lain, kalau sudah hura-hura tapi tidak tahu fondasinya, ya lain. Meskipun sudah jadi rumah, tapi tidak bisa berdiri tegak, karena dia cuma menuruti pasar. Menuruti pasar itu ada dua macem, memang dia kepingin laku, jadi nurutin pasar, dan ada juga keliatannya dia nurutin pasar, tapi sebetulnya si dalang tidak menguasai adanya dasar-dasar (pakem) tersebut. Ya itu perkembangan seni, kalau dikatakan kemajuan ya enggak, itu perkembangan. Perkembangan dengan kemajuan kan lain, lah kalau sudah ada kemajuan, ya ada kemunduran, kemunduran itu bagaimana? Kemajuan itu bagaimana? Nek mundur koyo ngopo? Nek maju koyo piye? Nah ini yang dalang-dalang itu suka lepas kontrol, adanya hal-hal menuruti pasar.”

Dalam pandangan Pak Tedjo, keadaan seperti ini masih akan berlangsung dalam satu atau dua tahun ke depan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk dapat mengubah tren pasaran ini menjadi ke pakem-nya kembali dalam waktu singkat. Pak Tedjo dan dalang-dalang lainnya yang juga memegang teguh pakem sudah mulai perlahan-lahan mengingatkan para dalang pasar agar tidak lepas kontrol dan meninggalkan pakem terlalu jauh. Pak Tedjo berharap agar setiap pertunjukan wayang kulit yang dibawakannya dapat menjadi pengingat bagi mereka yang sudah mulai menyimpang dari pakem, bahkan tidak jarang beliau pun mengingatkan langsung kepada

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 mereka saat ada kesempatan untuk bertemu. Selain itu, masyarakat yang menjadi penonton wayang kulit juga diharapkan memiliki kesadaran untuk ikut bersama menjaga pakem dengan tidak menuntut dalang untuk menampilkan hiburan yang berlebihan.

Menjadi Dalang Kontemporer Ki Seno dikenal sebagai salah satu dalang kontemporer yang masih sangat muda dan dalang yang paling terkenal di Yogyakarta saat ini. Pencapaian ini tentunya sangat mengagumkan apabila melihat usia beliau yang baru menapaki tahun ke-39. Ketenarannya didapatkan melalui hasil kejeniusan beliau dalam menempatkan diri di dalam pasar wayang kulit di Yogyakarta. Beliau dapat membaca apa yang dibutuhkan dan diinginkan dari para penonton di dalam pertunjukan wayang kulit. Inilah sebabnya beliau sangat digandrungi oleh para pecinta wayang kulit di Yogyakarta. Permainannya dalam setiap pertunjukan wayang kulit sangat dinantikan oleh para penonton. Saat ini Ki Seno telah menjadi pemimpin akan tren gaya pedalangan yang dapat dikatakan sebagai pemuas hasrat para penonton yang sangat mendambakan hiburan yang lebih di dalam sebuah pertunjukan wayang kulit. Ini dapat dilihat melalui perjalanannya dari panggung ke panggung yang tidak segan untuk diduetkan dengan pelawak atau hiburan lainnya di dalam pertunjukan wayang yang dibawakannya. Akibatnya, banyak dalang muda yang mencoba mengikuti jejaknya untuk mencapai kesuksesannya dengan memenuhi permintaan pasaran. Padahal, dulu banyak dalang yang tidak berani untuk berinovasi lebih atau menuruti permintaan pasar, karena banyak mendapat tentangan dari dalang-dalang yang lebih sepuh, khususnya mereka yang masih memegang teguh pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta. Semenjak kemunculan Ki Seno inilah, banyak dalang-dalang yang menjadi lebih berani untuk berinovasi dan mendengarkan permintaan para penontonnya. Gaya pedalangan yang dibawa oleh Ki Seno tentu saja mengundang kritik dari mereka yang sangat memerhatikan pakem. Ki Seno juga tidak merasa sungkan untuk mengatakan kepada saya bahwa beliau memang kerap kali mendapat teguran dari beberapa dalang pakem. Namun, hal itu tidak lantas membuat Ki Seno menjadi patah semangat dan beralih kepada wayang kulit pakem. Ki Seno tetap teguh memegang pendiriannya untuk menjadi seorang dalang kontemporer. Sifat beliau yang suka “ngeyel” inilah yang kerap kali dianggap sebagai kenakalan beliau sebagai dalang. Ki Seno pun tidak menampik anggapan bahwa dirinya memang dalang yang nakal.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

“Kalau tentangan, itu sudah biasa mas. Saya dari awal mendalang memang sudah nakal. Seperti bocah yang mainnya itu terlalu jauh, tapi dia pulang lagi. Mereka-mereka itu (dalang pakem) berideologi terlalu kolot. Kalau mereka bilang ini ngerusak pakem, yang ngerusak pakem itu bagian mana? Yang namanya pakem itu kalau saya, Petruk itu anaknya siapa? Semar kan? Nah kalau saya bilang Petruk itu anaknya Werkudara itu baru ngerusak pakem, tapi kan saya tetep lurus aja, saya gak pernah berubah. Cuma saya, seperti seorang sutradara, harus bisa mengolah cerita semanis mungkin. Kalau cuma itu- itu saja ya gimana mau laku? Kalau mau tanya dalang paling nakal di Jogja itu siapa? ya saya itu.”

Ki Seno juga mengakui bahwa beliau memang sering memberi wejangan kepada mereka, para dalang-dalang muda lulusan dari Institut Seni Indonesia (ISI) dan SMKI Yogyakarta, agar mereka harus berani berinovasi dalam gaya pedalangannya. Mereka tidak boleh terpaku dengan yang sudah ada saja, harus terus berinovasi agar kreativitas mereka juga tidak terbatasi. Menurutnya, jika tidak ada dorongan dari dirinya, mereka akan takut untuk mengembangkan gaya pedalangannya karena adanya dalang-dalang pakem tersebut. Inilah salah satu bentuk dari kepedulian Ki Seno kepada para adik-adik kelasnya agar mereka berani untuk mengembangkan gaya permainannya tanpa harus dibatasi oleh apa yang sudah ada saja.

“Kebanyakan dari adik-adik saya itu, saya lecut, saya suruh, harus mau berinovasi, karena tanpa berinovasi wayang itu akan membosankan.”

Menjadi seorang dalang kontemporer rupanya membawa sebuah kesenangan sendiri bagi Ki Seno, karena merasa bebas untuk dapat mengeksplorasi kemampuan mendalangnya tanpa terhalang oleh batasan-batasan apapun. Beliau pun juga memaklumi jika ada yang menentang jalan pikirannya dalam mengolah gaya pedalangannya. Semuanya itu wajar, sah-sah saja bila memang terdapat perbedaan di dalam setiap pemikiran manusia, namun jangan sampai perbedaan tersebut malah membatasi ruang gerak dari salah satu pihak, atau bahkan sampai merugikan.

“Ada juga sih dalang yang jalannya harus lurus dengan rel tanpa harus mengisi inovasi- inovasi, ya monggo, itu gak apa-apa. Nantinya akan ditinggal masyarakat karena

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 masyarakat sekarang kan gak mau tontonan yang bertele-tele, yang harus memperhatikan sekali itu gak mau.”

KESIMPULAN Sejak terjadinya paliyan nagari pada tahun 1755 yang menyebabkan pecahnya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, arena wayang kulit di Yogyakarta digiring kepada sebuah dualisme gaya pertunjukan. Dualisme gaya pertunjukan ini dapat dilihat melalui orientasi gaya pertunjukan yang dimiliki oleh para dalang. Ada dalang yang masih memegang teguh pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta, dan ada pula dalang yang mengembangkannya dengan menyatukan berbagai pakem yang diketahuinya. Kategori dalang seperti ini disebut sebagai dalang pakem dan dalang kontemporer. Pada awalnya seluruh gaya pertunjukan wayang kulit di Yogyakarta adalah gaya pertunjukan yang mengikuti pakem. Di tahun 1925, yayasan Habirandha, atau sekolah dalang didirikan di keraton Yogyakarta. Di tempat inilah pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta diajarkan, sehingga pada kisaran tahun tersebut gaya pertunjukan wayang kulit seluruhnya merujuk kepada pakem. Dua puluh tahun kemudian, kemerdekaan Indonesia turut mempengaruhi perkembangan wayang kulit di Yogyakarta. Pada masa ini kesenian wayang kulit menjadi aset nasional, sehingga pertunjukan wayang kulit menjadi lebih dikenal. Tentu saja, pertunjukan yang dibawakan saat itu adalah wayang kulit pakem dan tren ini semakin tersebar luas. Di tahun 1960, partai-partai politik mulai bermunculan, pertunjukan wayang kulit pun mulai dijadikan alat penyampai pesan-pesan politis. Dalang-dalang yang tidak memihak partai politik manapun, saat itu tidak mendapat tempat. Keadaan ini juga menyebabkan kreativitas para dalang menjadi tertekan, karena dijadikan „wayang‟ oleh partai-partai politik yang menjadi „dalang‟nya. Di tengah tekanan inilah hadir dalang-dalang yang mendobrak dengan gaya pertunjukannya yang lebih menghibur, Ki Nartosabdo di Surakarta, dan Ki Suparman Cermo Wiyoto di Yogyakarta. Kehadiran mereka dengan gaya pertunjukan menghibur tetapi masih pada pakem-nya menjadi sebuah sajian baru yang digemari masyarakat saat itu. Pada masa orde baru, sekitar tahun 1966 pun terulang kembali kejadian sebelumnya, pertunjukan wayang kulit dipolitisasi sebagai media penyampai pesan-pesan pembangunan dan untuk kepentingan pemilihan umum. Sampai pada tahun 1998, di mana seluruh dalang dan arena pertunjukan wayang kulit nasional berada dalam titik jenuhnya. Seperti mati suri, saat itu dalang-dalang populer pun tidak banyak mendapatkan

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 tanggapan. Kemudian, muncullah Ki Enthus Susmono, dalang dari Tegal yang menggairahkan lagi panggung pertunjukan wayang kulit nasional. Ki Enthus berinovasi dengan banyak menambahkan unsur-unsur baru di dalam pertunjukannya, seperti pelawak, penyanyi, penari. Kemudian, banyak dalang yang meniru gaya pertunjukan ini, tidak terkecuali dalang-dalang di Yogyakarta. Mulai saat itulah dualisme gaya pertunjukan di Yogyakarta mulai mencuat, muncul dalang pakem dan dalang kontemporer. Perkembangan jaman yang terjadi tersebut, rupanya juga turut mempengaruhi penonton- penonton wayang kulit di Yogyakarta. Kelompok-kelompok penonton muncul sebagai penikmat wayang kulit dengan selera yang berbeda-beda. Penonton kalangan tua adalah penonton yang cenderung menyukai pertunjukan wayang kulit yang sesuai pakem. Ini dapat dimaklumi karena saat mereka muda dulu, pertunjukan wayang kulit yang mereka saksikan adalah wayang kulit pakem. Sedangkan, untuk penonton kalangan muda, pertunjukan wayang kulit yang menghiburlah yang menjadi kesukaan mereka, maka tidak heran apabila pertunjukan wayang kulit kontemporer menjadi pilihan mereka. Selera mereka dapat dipahami karena mereka hidup dan besar di masa di mana hiburan seperti terus menerus muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih mudah untuk didapatkan, sehingga pertunjukan wayang kulit yang mereka sukai adalah pertunjukan yang dapat menyaingi berbagai hiburan tersebut. Karakter seperti ini juga tidak jauh ditemukan pada penonton baru, mereka biasanya tertarik untuk menonton pertunjukan wayang kulit karena menginginkan hiburan, namun bisa saja ketertarikan tersebut membawanya untuk mencari tahu pertunjukan wayang kulit pakem dan menyukainya. Kelompok-kelompok inilah yang juga pada akhirnya memetakan gaya pertunjukan wayang kulit yang dibawakan para dalang terus terbagi dua dan menjadi peluang bagi dalang pakem dan dalang kontemporer. Dua dalang di Yogyakarta yang merepresentasikan masing-masing kategori dalang di atas adalah Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo dan Ki Seno Nugroho. Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo adalah dalang pakem yang dituakan di Yogyakarta, sedangkan Ki Seno Nugroho adalah dalang kontemporer yang masih relatif muda dan sangat terkenal di Yogyakarta. Keberadaan mereka tidak terlepas dari dua hal yang telah dijelaskan di atas, namun yang membentuk orientasi gaya pertunjukan mereka yang pada akhirnya membuat mereka menjadi dalang pakem dan dalang kontemporer adalah enkulturasi yang mereka alami. Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo dibesarkan di dalam keluarga dalang dan mulai belajar mendalang dengan ayahnya yang juga seorang dalang pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 Kemudian, beliau menjadi abdi dalem keraton Yogyakarta dan mulai memperdalam ilmu pedalangannya di sana sejak usia 22 Tahun. Sekarang beliau menjadi seorang pengajar di Habirandha, keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, kultur yang terbentuk di dalam diri Ki Tedjo adalah kultur keraton Yogyakarta. Maka tidak heran bila akhirnya beliau menjadi seorang dalang pakem. Ki Seno Nugroho mengalami proses enkulturasi yang berbeda dengan apa yang dialami oleh Ki Tedjo. Ki Seno kecil hanya sempat belajar sedikit mengenai pedalangan dengan ayahnya. Sebagian besar ilmu pedalangannya ditimbanya melalui SMKI Yogyakarta dan dalang-dalang dari Surakarta. Orientasi pengajaran SMKI Yogyakarta yang diproyeksikan untuk mencetak dalang profesional dan sesuai dengan perkembangan jaman ini nampaknya tertanam di dalam diri Ki Seno Nugroho. Ditambah lagi pengalamannya belajar ilmu pedalangan kepada dalang-dalang dari Surakarta, membuat nilai-nilai pedalangan Surakarta yang cenderung lebih adaptif terhadap perkembangan jaman itu juga terserap oleh Ki Seno Nugroho. Inilah yang akhirnya membentuk Ki Seno Nugroho menjadi seorang dalang kontemporer yang memadupadankan antara pakem Yogyakarta dan pakem Surakarta di dalam pertunjukan wayang kulitnya.

REFERENSI Anderson, Benedict R. O‟G., 2008 Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Jejak.

Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Segall, M.H., & Dassen, P.R., 1992 Cross-cultural Psychology: Research and Application. Cambridge: Cambridge University Press. Boeke, J.H., 1953 Economics and Economic Policy of Dual Societies. New York: Institute of Pacific Relations. Creswell, John W., 2003 Research Design. Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. Thousands Oaks, London & New Delhi: Sage Publications. Engels, Frederick, 2007 Tentang Das Kapital Marx. Oey‟s Renaissance. Fetterman, David M., 1989 Ethnography. Step by Step. Thusands Oaks, London & New Delhi: Sage Publications. Geertz, Clifford, 1973 Interpretation of Culture. New York: Basic Books. 1976 Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara K.A.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 1981 Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Groenendael, Victoria M. Clara Van, 1985 The Dalang Behind The Wayang. Dordrecht: Foris Publication. Haryanto, S., 1992 Bayang-bayang Adhiluhung. Semarang: Dahara Prize. Hendrosaputro, Marsono, 1999 Ensiklopedia Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa. Herskovitz, Melville J., 1995 Man and His Work: The Science of Cultural Anthropology. New York: Knopf. Keeler, Ward, 1987 Javanese Shadow Plays, Javanese Selves. Princeton: Princeton University Press. 1992 Javanese: A Cultural Approach. Ohio University: Monographs in International Studies. Langer, Sussanne K., 1979 Feeling and Form: A Theory of Art. London: Routledge. Levison, Arnold B., 1974 Knowledge and Society: An Introduction to the philosophy of the Social Sciences. New York: Pegasus. Locke, John, 1999 An Essay Concerning Human Understanding. The Pennsylvania State University. Magnis-Suseno, Frans, 1985 Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia. Mulyono, Sri, 1982 Wayang: Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: PT. Gunung Agung. 1976 Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Nawangi. 1979 Simbolisme dan Mistisisme Dalam Wayang: Sebuah Tinjuan Filosofis. Jakarta: Gunung Agung. Murtiyoso, Bambang, et al, 2004 Pertumbuhan & Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika Surakarta. 2007 Teori Pedalangan: Bunga Rampai Elemen Elemen Dasar Pakeliran. Surakarta: ISI Surakarta. Nastiti, Titi Surti, 2003 Pasar di Jawa pada Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi. Jakarta: Pustaka Jaya. Parker, J., Mars L., Ransome P., dan Stanworth, H. 2003 Social Theory: A Basic Tool Kit. New York: Palgrave Macmillan. Parson, Talcott, 1968 Structure of Social Actions Vol. II. New York: The Free Press. Rudyansjah, Tony, 2009 Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan. Jakarta: Rajawali Press. 2011 Alam, Kebudayaan, dan Yang Ilahi. Depok: Titian Budaya. Santosa, Iman Budhi, 2011 Saripati Ajaran Hidup Dahsyat Dari Jagad Wayang. Yogyakarta: Flashbooks. Soetarno, Sarwanto, Sudarko, 2007 Sejarah Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 Soetarno, Sunardi, Sudarsono, 2007 Estetika Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta.

Woodward, Mark R., 1989 Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta. Arizona: The University of Arizona Press. JURNAL Hadiprayitno, Ki Kasidi, 1997 „Perlunya Belajar Wayang dalam Kehidupan Budaya Jawa‟. Jantra: Jurnal Sejarah dan Budaya. Vol. IV, No. 7. pp. 523-530. Kleden-Probonegoro, Ninuk, 2000 „Teater Tradisional sebagai Dokumen Komunitas‟. Antropologi Indonesia. Vol. 62. pp. 8-24. Mead, Margareth, 1963 „Papers in Honor of Melville J. Herskovits: Socialization and Enculturation‟. Current Anthropology. Vol. 4, No. 2. pp. 184-188 Ogbu, John U., 1981 „School Etnography: A Multilevel Approach‟. Anthropology & Education Quarterly. Vol. XII, No.1. Palmer, Gary B., & Jankowiak, William R., 1996 „Performance and Imagination: Toward an Anthropology of the Spectacular and the Mundane‟. Cultural Anthropology. Vol. 11, No. 2. pp. 225-258

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013 Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013