DOI: 10.24014/jush.v25i2.3507

MENGENAL SAHIH IBN KHUZAYMAH: Sistematika, Metodologi dan [O]Posisinya di Antara Kitab Sahih

Hilmy Firdausy Ali Mustafa Yaqub Centre Darus-Sunnah International Institute for Sciences Jakarta, Indonesia [email protected]

Abstract As one of the sahih books that written in the early centuries, Sahih Ibn Khuzaymah occupies a unique position that indirectly also describes the anomaly of structure within the internal discourse of hadith. It is recognized not as a valid book and is not classified as invalid books. It is entirely due to the way of Sahih Ibn Khuzaymah’s presentation of the totality of ; an unusual and uneducated way by the majority of hadith writings in the III century hijriyah. It is different from Sahih al-Bukhārī and which has become the ultimate reference to the highest authority of the validity of a narration. This paper will describe the uniqueness of the internal Sahih Ibn Khuzaymah. The uniqueness contained in the logic of preparation, systematics of writing and methodological tools that used in the analysis of matan and sanad. An early step to answer the big question why he was removed.

Keywords: Hadith, Sahih Ibn Khuzaymah, dan The Sahih Book.

Abstrak Sebagai salah satu kitab sahih yang ditulis di abad awal, Sahih Ibn Khuzaymah menempati satu posisi unik yang secara tidak langsung juga menggambarkan anomalitas struktur dalam internal diskursus hadis. Ia diakui bukan sebagai kitab sahih dan juga tidak digolongkan kepada kitab-kitab tidak sahih. Seluruhnya disebabkan oleh cara penyuguhan Sahih Ibn Khuzaymah akan totalitas kajian hadis; satu cara yang tidak biasa dan belum ditradisikan oleh mayoritas penulisan kitab hadis di abad III hijriyah. Ia berbeda dengan Sahih al-Bukhārī dan Sahih Muslim yang hingga kini menjadi rujukan utama perihal otoritas tertinggi kesahihan sebuah periwayatan. Paper ini akan menggambarkan keunikan internal Sahih Ibn Khuzaymah tersebut. Keunikan yang tertuang dalam logika penyusunan, sistematika penulisan dan perangkat metodologi yang digunakan dalam analisa matan serta sanad. Sebuah langkah awal untuk menjawab pertanyaan besar mengapa Sahih Ibn Khuzaymah “disingkirkan”.

Kata Kunci: Hadis, Sahih Ibn Khuzaymah, Oposisi dan Kitab Sahih.

Pendahuluan dan Sahih Muslim? Mustafa Azami Pertanyaan pertama yang patut diangkat menyebutkan bahwa ada kepercayaan di kalangan adalah, apakah penulisan kitab hadis di abad ke III ulama mengenai keberadaan “al-Sahih al- hijriyah hanya terwakili, baik secara sistematika Mujarrad” yang menyimpang dan berbeda dan metodologis, hanya pada Sahih al-Bukhārī dengan bangunan metodologi al-Sahihayn bahkan

188 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah al-Kutub al-Sittah.1 “al-Sahih al-Mujarrad” sebagai dua pilar kuat dalam diskursus kritik adalah sekelompok kitab; oposisi dalam hal hadis. Totalitas semacam ini sudah ditunjukkan standar metodologi dan pakem penulisan kitab bahkan sebelum fase kodifikasi hadis dilakukan. hadis di abad III yang secara dominan dibentuk Di abad ke II misalnya, al-Shāfi’ī secara acak oleh nalar al-Sahihayn. Dan salah satu di antara membangun basis metodologi fiqih Islam dari tiga “al-Sahih al-Mujarrad” sekaligus pionir untaian hadis-hadis sebagaimana yang tertera oposisi penulisan kitab sahih tersebut adalah dalam al-Risālah.5 Sebelum al-Shāfi’ī, Mālik Sahih Ibn Khuzaymah.2 dengan al-Muwatta’-nya memperlihatkan bahwa Dari data sejarah di atas, pangkal perbedaan hadis merupakan bahan mentah yang harus yang menjadi kunci kemunculan keragaman dimiliki seluruh mujtahid dan fuqahā’ dalam model dalam penulisan kitab sahih tersebut adalah melakukan proses ijtihad dan iftā’. ketersuguhan “totalitas” diskursus kajian hadis Pada hakikatnya, diskursus hadis bertaruh dalam metode dan sistematika yang digunakan. pada dua tataran metodologis tersebut; tataran Al-Bukhārī dan Muslim misalnya, meskipun sanad yang membidik keaslian sabda (yang secara tematis hanya menyuguhkan daftar hadis diwakili oleh ketentuan ittisāl al-sanad, dabt al- berikut sanadnya, namun dari beberapa judul yang ruwāh dan ‘adālah al- ruwāh) dan tataran matan diberikan, kedua Imām al-muhadithīn ini secara (yang diwakili oleh ketentuan ‘adam al-shudhūdh tidak langsung juga memiliki perangkat ijtihad dan ‘adam al-‘illah).6 Lima ketentuan tersebut yang kokoh layaknya para fuqahā’.3 Begitu juga adalah rumusan unsur-unsur totalitas kajian dengan Sunan Abū Dāwud, Sunan al-Tirmīdhī, seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Sunan al-Nasāī dan Sunan Ibn Mājah.4 Berdasarkan fakta di atas, posisi Sahih Ibn Apa yang saya sebut “totalitas” adalah Khuzaymah sebenarnya unik. Sebagai produk holistikal atau kesatuan kajian yang menampilkan yang ditulis dalam jangka masa yang hampir unsur kajian sanad dan kajian matan sekaligus sama dengan Sahih al-Bukhārī, Sahih Ibn Khuzaymah justru tidak diakui sebagai salah satu kitab sahih. Ia anomali, sebagaimana nanti 1Abū Bakr Muhammad bin Ishāq bin Khuzaymah, Sahih Ibn Khuzaymah, jil. 1 (Makkah: al-Maktab al-Islāmī, 1390), 19-20. yang akan saya tunjukkan, yang menggambarkan 2Karakter hadis sahih yang dijunjung oleh Ibn Khuzaymah sebuah oposisi yang tentu didorong oleh faktor berbeda dengan standar hadis sahih yang dibakukan oleh al- Sahihayn. Oleh karena itu, banyak ditemukan hadis sahih (dalam pandangan Ibn Khuzaymah) yang tidak tercantum dalam al- Sahihayn. Karakter atau nalar ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn 5Secara metode, al-Risālah merupakan sebuah kitab pionir Hibbān ketika menulis “al-Taqāsīm wa al-Anwā’”dan al-Hākim dalam diskursus usūl al-fiqih yang disuguhkan mengikuti ketika menulis “al-Mustadrak”. Baca penjelasan runtutan nalar metode riwayat. Tak usah diragukan lagi bahwa al-Shāfi’ī telah ini dalam pengantar muhaqqiq Shu’ayb Arnaut; ‘Alā’uddin memperlihatkan “tabungan” hadisnya yang bahkan menandai Alī bin Balabbān al-Fārisī, Sahih Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn al- beliau bukan hanya sebagai seorang usūlī atau fuqahā’, namun Balabbān, jil. 1, Shu’ayb Arnaut [tahqīq] (Bayrut: Mu’assasah juga muhaddith. Kapabilitas al-Shāfi’ī juga dibuktikan oleh al-Risālah, 1414/ 1993), 6. pemahaman beliau yang mendalam terhadap manhaj al-naqd 3Selain menyuguhkan hadis dengan tingkat otentisitas di bawah dalam hadis. Ini, misal, terlihat dalam perkataannya; al-Qur’an, al-Bukhārī juga merupakan seorang mustanbit “وال يستدل على أكثر صدق احلديث إال بصدق املخرب وكذبه، إال يف اخلاص -bahkan mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum dari hadis القليل من احلديث. و ذلك أن يستدل على الصدق والكذب فيه بأن حيدث hadis yang dicantumkannya. Hal ini, meskipun tidak kentara احملدث ما ال جيوز أن يكون مثله، أو ما خيالفه ما هو أثبت وأكثر دالالت .dalam al-Sahih, merupakan totalitas beliau sebagai muhaddith بالصدق منه.« Setidaknya baca kebiasaan al-Bukhārī, termasuk kaitannya dengan istinbat hukum dalam: ‘Abd al-Hāq bin ‘Abd al-Wāhid Beberapa bukti di atas setidaknya cukup kuat sebagai alasan al-Hāshimī, ‘Ādāt al-Imām al-Bukhārī fī Sahihihi (Kuwayt: untuk mengatakan bahwa secara epistemik al-Risālah dibangun Maktāb al-Shu’ūn al-Fanniyyah, 1428/ 2007), 71-110. dari kematangan al-Imam dalam diskursus ilmu Hadis dan seluk- 4 Untuk melihat orientasi fiqhī dalam kitab-kitab tersebut beluk periwayatan. Muhammad bin Idrīs al-Shāfi’ī, al-Risālah dan sebab-musababnya secara sekilas bisa dilihat dalam; (Bayrūt: Dār al-Nafā’is, 1431/2010), 209. Rifqi Muhammad Fatkhi, “Hadith dalam Hegemoni Fiqh: 6Abū Zakariyā al-Ansārī, Fath al-Bāqī bi Sharhi Alfiyah al-Irāqī, Membandingkan dengan ,” jil. 1, cet. I (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422/ 2002), dalam Journal of Qur’an and Hadith Studies, no. 1 (2012). 95-96.

Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 189 pewacanaan tentunya. Namun, untuk menuju ke dirinya sebagai seorang faqih sekaligus muhaddis sana, mengenal kitab ini tentunya merupakan handal dan teruji. langkah awal yang tidak boleh ditinggalkan. Di beberapa wilayah rantaunya, Ibn Khuzaymah banyak belajar kepada para ulama. Biografi Singkat Sang Pengarang Guru-gurunya antara lain: Ishāq bin Rahawayh, Muhammad bin Ishāq bin Khuzaymah bin Muhammad bin Humayd [keduanya merupakan al-Mughīrah bin Sālih bin Bakr al-Sulamī al- guru Ibn Khuzaymah semasa kecil], Mahmud bin Naisābūrī.7 Dalam literatur-literatur kajian hadis, Ghayalān, ‘Utbah bin Abdillah al-Marwāzī, Ali beliau lebih dikenal dengan nama Ibn Khuzaymah bin Hujrin, Ahmad bin Māni’, Bishr bin Mu’ādh, atau Abū Bakr. Beliau adalah salah seorang hāfiz Abū Kurayb, ‘Abduljabbār bin al-Alā’, Ahmad yang lahir pada bulan Shafar tahun 223 H/838 bin Ibrāhim al-Dawrāqī, Ishāq bin Shāhin, ‘Amr M di Naisabur; sebuah kota kecil di wilayah bin ‘Ali, Ziyād bin Ayyūb, Muhammad bin Khurasan yang terletak di timur laut Iran saat ini, Mihrān al-Jammāl, Abū Sa’id al-Ashaj, Yūsuf dan wafat pada tahun 311 H di kota yang sama.8 bin Wadih al-Hāshimi, Muhammad bin Bashshār, Keinginan dan semangat belajar sudah Muhammad bin Muthannā, al-Husayn bin dimiliki beliau semenjak kecil, hal itu terlihat Hurays, Muhammad bin Abd al-A’lā al-san’ānī, dari keinginan Ibn Khuzaymah yang sangat besar Muhammad bin Yahya, Ahmad bin ‘Abdah untuk belajar kepada salah seorang ulama besar al-Dabbī, Nasr bin ‘Ali, Muhammad bin ‘Ali, hadis bernama Ibn Qutaybah. Akan tetapi, sang Muhammad bin Abdillah al-Makhramī, Yūnus ayah melarang dan menyuruh beliau mempelajari bin Abd al-A’la, Ahmad bin ‘Abdirrahman al- al-Qur’an terlebih dahulu. Setelah memperlajari Wahbi, Yūsuf bin Mūsa, Muhammad bin Rāfi’, dan mengkhatamkan al-Qur’an, Ibn Khuzaymah Muhammad bin Yahyā al-Quta’i, Salām bin pun memulai perantauannya dengan pergi ke Junādah, Yahya bin Hākim, Ismā’īl bin Bishr Marwa. Di kota inilah Ibn Khuzaymah bertemu bin Mansūr al-Sulamī, al-Hasan bin Muhammad dengan Muhammad bin Hishām yang nantinya al-Za’farānī, Hārūn bin Ishāq al-Hamdāni dan menjadi perantara pertemuannya dengan Ibn banyak lagi.12 Qutaybah.9 Di samping beraudiensi dengan belajar pada Baru di usia 17 tahun (sekitar tahun 240 ulama, Ibn Khuzaymah juga sering bertukar H/855 M), Ibn Khuzaymah benar-benar memulai posisi guru dan murid dengan ulama’ hadis pertualangannya untuk menjelajahi lahan lainnya. Murid sekaligus gurunya yang terkenal keilmuan.10 Setidaknya ada beberapa kota yang salah satunya adalah al-Bukhāri dan Muslim. beliau jadikan objek pertualangannya, antara Kedua ulama tersohor ini pernah mengambil lain: Irak, Sham, Mekkah, Madinah, dan Mesir.11 riwayat dari Ibn Khuzaymah, dan sebaliknya Di kota-kota tersebut Ibn Khuzaymah mengasah juga, Ibn Khuzaymah mengambil riwayat hadis dari keduanya. Beberapa murid Ibn Khuzaymah 7Shamsuddin Abū ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin lainnya antara lain: Muhammad bin ‘Abdullah bin Uthmān bin Qaymāz al-Dhahabī, Tārīkh al-Islām wa Wafayāt ‘Abdulhakam, Ahmad bin al-Mubārak, Ibrāhīm al-Mashāhīr wa al-A’lām, jil. 7 (Bayrūt: Dār al-Gharb al-Islāmy, 2003), 243. bin Abī Tālib, Abū Hāmid bin al-Sharqi, Abū 8Ibid., 243; Baca juga: Khairuddin bin Mahmūd bin Muhammad al-‘Abbās al-Daghūlī, Abū Ali al-Husayn bin bin Ali bin Fāris az-Zarkashī ad-Dimashqī, al-I’lam, jil. 6 (t.tp.: Dār al-‘Ilmi li al-Malāyīn, 2002), 29. Muhammad al-Naysābūrī, Abū Hātim al-Bustī 9al-Dhahabī, Siyār A’lām al-Nubalā’, jil. 14 (Bayrūt: Mu’assah dan banyak lagi yang lainnya.13 al-Risālah, 1985/ 1405), 371. 10Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibn Khuzaymah” dalam M. Alfatih Suryadilaga, ed., Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003), 12al-Dhahabī, Siyār A’lām al-Nubalā’, jil. 14, 365-366. 219 . 13 Ibid., 366. 11Khayruddin bin Mahmūd al-Ziriklī al-Dimashqī, 29.

190 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah Dari sekian banyak data tertulis terkait maka Ibn Khuzaymah sekaligus akan menjadi Ibn Khuzaymah, yang menjadi menarik justru gambaran bagaimana masyarakatnya hidup pada adalah bahwa Ibn Khuzaymah terkesan menjadi waktu itu, apa yang mereka hadapi dan mental anomali yang tidak banyak mendapatkan tempat semacam apa yang membangun pola kehidupan untuk diapresiasi, khususnya keterlibatannya mereka. Seluruhnya akan menjawab – setidaknya dalam dunia diskursus hadis di abad III. Hal ini setengah – pertanyaan, mengapa Sahih Ibn dipertegas dengan adanya kontak periwayatan Khuzaymah ditulis. antara Ibn Khuzaymah dan al-Bukhāri (dan Ditinjau dari tahun lahir dan wafatnya (223- juga Muslim) yang seringkali bertukar posisi 311 H/ 837-923 M), Ibn Khuzaymah hidup pada guru-murid.14 Namun dari kontak periwayatan periode permulaan abad III hingga awal abad IV. tersebut, baik al-Bukhāri ataupun Muslim tidak Dalam kurun usia yang cukup lama yaitu 88 tahun, memasukkan hadis yang mereka riwayatkan Ibn Khuzaymah telah mengalami banyak corak dari Ibn Khuzaymah ke dalam kitab Sahihnya.15 kehidupan sosial dan politik, serta menjadi peserta Mayoritas argumentasi yang ada adalah bahwa aktif dalam lajur maju-mundur perkembangan hadis yang diriwayatkan Ibn Khuzaymah tidak peradaban Islam di beberapa dekade. Periode sesuai dengan kualifikasi ketat yang diterapkan Ibn Khuzaymah hidup adalah salah satu periode oleh al-Sahihayn dalam meriwayatkan hadis.16 paling emas yang pernah direngkuh Islam dalam Namun, lagi-lagi itu justru menjadi indikasi berbagai sektor kebudayaan. kuat adanya keunikan metodologis yang khas Sesuai hitungan sejarah, Ibn Khuzaymah lahir dan menyimpang dari pakem yang dibangun al- pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah yang Sahihayn. dipimpin oleh Khalifah al-Mu’tasim (833-842 M). Menempatkan Ibn Khuzaymah ke dalam Periode ini merupakan periode pertengahan pasca konteks lokasi tempat beliau dilahirkan akan masa keemasan Abbasiyah ketika dipimpin oleh memberikan setitik informasi terkait motif dan Hārūn al-Rashīd (786-809 M). Bisa dikatakan alasan kuat yang bergerak di belakang setiap kemudian jika periode ini merupakan periode aktivitas menulis dan berpikir yang beliau lakukan. kemunduran Islam dan Abbasiyah secara khusus Karena Ibn Khuzaymah tidak diposisikan sebagai di sektor politik dan perluasan wilayah. Meskipun individu dan corak bagi independensi pemikiran, tidak sepenuhnya gagal, terbukti dalam kurun waktu tersebut, hanya terjadi satu upaya serius 14Dan dalam kasus Ibn Khuzaymah, hal ini menjadi semakin untuk menguasai daerah di seberang Taurus biasa karena banyaknya periwayatan yang beliau sampaikan yang dilakukan oleh al-Mu’tasim pada tahun 838 kepada guru-gurunya. Baca: Ibid., 366-367. Baca juga: 17 Muhammad Mustafa Azami, “Ibn Khuzaymah wa Sahihahu”, M. Prestasi politik yang tidak terlalu bagus ini dalam Muhammad bin Ishāq bin Khuzaymah al-Naysābūrī, kemudian disusul terus menerus oleh gejolak Sahih Ibn Khuzaymah (Bayrūt: al-Maktab al-Islāmī, 2003), 13. 15Ibid., 366. Baca juga: Tajuddin bin Ali bin Abd al-Kāfī al- internal kerajaan. Subkī, Tabaqāt al-Shāfi’iyyah al-Kubrā, jil. 3 (t.tp.: Hajr li al- Dari segi teologi, periode ini merupakan Tabā’ wa al-Nashr wa al-Tauzī’, 1413), 109. 16Ini bisa ditemukan melalui konstruk argumentasi ‘alā shart periode peralihan “agama” resmi pemerintah, al-Bukhāri wa Muslim. Selain karena kitabnya, al-Bukhāri dari Muktazilah kepada Ash’ariyah. Sebelum dan Muslim selama ini dipandang sebagai “syarat-syarat” absah penerimaan riwayat. Seluruh karya atau periwayatan al-Mutawakkil (847 M) memegang tampuk seseorang akan ditimbang melalui syarat-syarat keabsahan kekuasaan, aliran resmi negara adalah Muktazilah hadis ini, termasuk Ibn Khuzaymah. Oleh karena itu, logika pengelompokkan kitab-kitab pun hadir sebagai dampak sehingga muncullah sebuah kejadian yang dari keperbandingan neraca atau standar ini. Lihat misalnya bernama mihnah. Para akademisi dan ulama konstruksi ini dalam Alfiyah al-‘Irāqī. Zaynuddin Abdurrahim bin al-Husayn al-Irāqī, Alfiyah al-Irāqī fi ‘Ulūm al-Hadīth, dipaksa untuk mengakui bahwa al-Qur’an adalah Māhir Yāsin, muhaqqiq (t.tp.: t.p., t.th.). Selebihnya mengenai hal ini akan dibahas nanti dalam sub sub-bab Ibn Khuzaymah 17Philip K. Hitti, History of The Arab (Jakarta: Serambi Ilmu sebagai oposisi. Semesta, 2014), 374.

Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 191 makhluk. Setelah al-Mutawakkil (848 M]) naik hadis mulai marak. Ancaman yang dimunculkan tahta, kepercayaan tersebut dicabut dan diganti kondisi teologis memaksa para sarjana muslim dengan paham ash’ariyah.18 seperti al-Bukhari dan Ibn Khuzaymah bertualang Sedangkan dalam konteks perkembangan mencari dan menyeleksi hadis-hadis nabi. Sesuai diskursus hadis, Ibn Khuzaymah benar-benar tinjauan sosio-historis yang telah saya paparkan, hidup di masa emasnya. Periode kehidupannya motivasi Ibn Khuzaymah memiliki kemiripan adalah periode penting dalam diskursus hadis dengan motivasi yang dimiliki al-Bukhāri, karena ia mulai dikodifikasi dan disistematisasi Muslim bin al-Hajjāj dan Sāhib al-Sunan lainnya. menjadi ilmu pengetahuan yang independen. Di periode ini lahir beberapa master piece Testimoni Ulama Terkait Ibn Khuzaymah dalam diskursus hadis: Sahih al-Bukhāri karya Kemudian saya akan menakar sejauhmana al-Bukhāri (810-870 M), Sahih Muslim karya kapabilitas yang dimiliki oleh seorang Ibn Muslim bin al-Hajjāj (w. 875 M), Sunan Ibn Khuzaymah. Hal itu dapat dituju dengan Mājah (w. 886 M), Sunan Abū Dāwud (w. 888 mengakses dan merujuk pada kitab-kitab rijāl M), Sunan al-Tirmīdhī (w. 892 M) dan Sunan al-hadīth dan tabaqāt yang memuat komentar al-Nasāī (w. 915 M).19 Keenam kitab inilah para ulama terkait dengan kualitas personal Ibn yang di kemudian hari menjadi standar acuan Khuzaymah. Berikut beberapa komentar ulama bagi pengembangan kajian hadis di periode tentang Ibn Khuzaymah: selajutnya.20 قــال احلافــظ أبــو علــي النيســابوري مل أر أحــدا مثــل Dari kilasan sejarah di atas, kita bisa 21 ابن خزمية. mengambil beberapa poin: Pertama, meskipun mengalami kemunduran dalam hal politik, “Abū ‘Ali al-Naysābūrī berkata: “Saya tidak akan tetapi periode ‘Abbasiyah di masa Ibn pernah melihat orang seperti Ibn Khuzaymah.” Khuzaymah tumbuh berkembang secara أخربنا أبو علي احلســن بن علي، أخربنا عبد اهلل بن peradaban. Kedua, munculnya sekte-sekte serta pertarungan di dalamnya mengakibatkan عمــر، أخربنــا أبــو الوقــت، أخربنــا شــيخ اإلســالم أبو .munculnya keragaman teologis yang dianut إمساعيل األنصاري، أخربنا عبد الرحن بن ممد بن Kekentalan faktor teologi semacam ini dapat ممد بن صاحل، حدثنا أيب، حدثنا أبو حامت بن حبان diterka ketika ia berhasil menyusup ke dalam kerajaan, sehingga khalifahpun merasa penting التميمي، قال ما رأيت على وجه األرض من حيفظ untuk melembagakan dan meresmikan satu aliran صناعــة الســنن، وحيفــظ ألفاظهــا الصحــاح وزياداهتــا tertentu. Hadis sebagai sumber kedua setelah حىت كأن السنن كلها بي عينيه إال ممد بن إسحاق al-Qur’an tentu mendapatkan perhatian sebagai sumber legitimasi bagi kelompok-kelompok 22 بن خزمية فقط. teologi tersebut. Ketiga, karena hal inilah kajian “Abū Hātim bin Hibbān al-Tamīmī berkata: “saya tidak pernah melihat seorangpun di 18Ibid., 542-543. dunia ini yang hafal pengetahuan [hadis] 19 Ibid., 495. sunan-sunan, berikut dengan lafad-lafadnya 20Sekalipun nanti ada beberapa kajian yang mengkritik al- Maqdisi terkait pemosisian Ibn Mājah sebagai kitab keenam. yang benar serta tambahan-tambahannya, Seperti misalnya penelitian yang dilakukan oleh Rifqi seakan-akan sunan tersebut berada di antara Muhammad Fatkhi, yang mengusulkan Sahih Ibn Hibbān sebagai ganti dari Sunan Ibn Mājah dalam posisi kitab keenam. kedua matanya kecuali Muhammad bin Ishāq Baca hasil penelitian yang diajukan sebagai tesis ini dalam: Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibn Hibban dalam al-Kutub al-Sittah; Sebuah Tawaran Alternatif” (Tesis PPs. UIN Syarif Hidayatullah 21al-Dhahabī, Siyār A’lām al-Nubalā’, 372. Jakarta, 2008). 22Ibid., 372.

192 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah bin Khuzaymah seorang”. al-fiqhiyyāt” (hafal unsur-unsur fiqih atau pemahamannya) sekaligus menganalogikannya sebagaimana para hāfiz benar-benar hafal huruf al-Qur’an. Artinya, pemahaman hadis yang قال أبو علي احلافظ:كان ابن خزمية حيفظ الفقهيات 23 disampaikan Ibn Khuzaymah memiliki otoritas من حديثه كما حيفظ القارئ السورة. “Abū ‘Ali berkata: “bahwasanya Ibn yang sangat kuat karena ia tersampaikan secara Khuzaymah hafal betul pemahaman akan sanad; Ibn Khuzaymah dari gurunya, gurunya dari hadisnya sebagaimana hafalnya qāri’ terhadap guru gurunya, begitu seterusnya hingga Sahabat surat [al-Qur’an]”. dan Nabi Muhammad Saw. Kekuatan hafalan ini tidak hanya beliau terapkan dalam menghafal teks hadis, namun juga dalam menghafal pemahaman قــال أبــو احلســن الدارقطــي كان ابــن خزمية إماما ثبتا 24 akan hadis tersebut dari guru-gurunya. Sistem -periwayatan yang menyandar pada transisi guru معدوم النظري. “Abū al-Hasan al-Dāruqutnī berkata: “Ibn murid (sanad) juga beliau terapkan dalam metode Khuzaymah adalah seorang imam, yang pemahaman hadis, atau yang dikenal kini dengan thābit, yang tiada bandingannya.” kritik matan. Dari sini satu hal yang bisa ditangkap bahwa Dari beberapa komentar di atas, dua hal yang Ibn Khuzaymah, layaknya al-Bukhārī dan bisa disimpulkan adalah; 1) kualitas hafalan yang Muslim, juga memiliki kualifikasi yang tidak dimiliki Ibn Khuzaymah, dan 2) kemampuannya perlu diragukan lagi sebagai seorang rawi dan memahami kandungan hadis yang dihafalnya. muhaddis. Ibn Khuzaymah adalah seorang “al- Kualifikasi yang pertama menjadikan Ibn hāfiz” dan “al-thābit”. Namun, karena model Khuzaymah masuk dalam golongan orang yang penulisan kitab yang beliau lakukan cukup thiqah, yang memiliki daya ingat kuat sehingga, berbeda dengan kedua imam tersebut, maka menurut Abū Hātim bin Hibbān, Ibn Khuzaymah sepertinya, seolah-olah Ibn Khuzaymah bukan mampu mengetahui tambahan-tambahan (mudraj) seorang muhaddis yang mumpuni. yang masuk ke dalam hadis-hadis yang beliau hafal. Abū Hātim bin Hibbān menambahkan, Beberapa Karya Ibn Khuzaymah bahwa gambaran kekuatan hafalan Ibn Khuzaymah Dalam al-I’lām, al-Ziriklī menyebutkan dalam menyerap seluruh hadis dalam sunan-sunan, bahwa lebih dari 140 puluh karya yang sudah layaknya beliau membaca sunan tersebut yang ditulis dan dilahirkan oleh Ibn Khuzaymah. Akan terletak di pangkuan dan kedua belah matanya. tetapi, ratusan karya tersebut hilang dan hanya Di samping itu, kualifikasi pemahaman hadis tersisa dua kitab yaitu: kitab Tauhīd wa Ithbāti yang beliau miliki juga menjadi salah satu sebab al-Rabb dan Mukhtasar Sahih Ibn Khuzaymah.25 mengapa Ibn Khuzaymah banyak mendapatkan Sesuai dengan data yang dicantumkan dan telah pujian dari para ulama. Tak sekedar hafal, beliau diteliti oleh Muhammad Mustafa ‘Azami, berikut juga paham dan mengerti maksud yang ingin beberapa kitab lainnya yang merupakan karya Ibn disampaikan Nabi Muhammad Saw. dalam teks- Khuzaymah: teks sabdanya. Tidak sampai di situ, pemahaman Kitāb al-Ashribah, Kitāb al-Imāmah, Kitāb hadis yang dimiliki Ibn Khuzaymah beliau al-Ahwāl, Kitāb al-Īmān, Kitāb al-Aymān wa dapatkan dari penjelasan guru-gurunya. Oleh al-Nudhur, Kitāb al-Birr wa al-Salāh, Kitāb karena itu, Abū ‘Ali menggunakan diksi “yahfadh al-Buyū’, Kitāb al-Tafsīr, Kitāb al-Taubah,

23Ibid., 372. 24Ibid., 372. 25al-Ziriklī, al-A’lām, jil. 6, 29.

Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 193 Kitāb al-Tawakkal, Kitāb al-Janā’iz, Kitāb kitab Sahih Ibn Khuzaymah dan Kitab al-Tauhīd. al-Jihād, Kitāb al-Du’ā’, Kitāb al-Da’awāt, Akan tetapi, muncul sebuah perbincangan yang Kitāb Dhikr Na’īm al-Jannah, Kitāb Dhikr diangkat oleh Muhammad Mustafa Azami Na’īm al-Ākhirah, Kitāb al-Sadaqāt, Kitāb terkait dengan karya Ibn Khuzaymah. Karena al-Sadaqāt min Kitābihi al-Kabīr, Kitāb menurutnya, Ibn Khuzaymah mempunyai Sifat Nuzūl al-Qur’ān, Kitāb al-Mukhtasar kebiasaan unik, yaitu mempublikasikan kitab- min Kitāb al-Salāt, Kitāb al-Salat al-Kabir, kitab karyanya melalui karyanya yang lain. Kitāb al-Salāt, Kitāb al-Siyam, Kitāb al-Tib Semisal beliau mengarang kitab A, publikasi kitab wa al-Ruqá, Kitāb al-Zihār, Kitāb al-Fitan, ini ada di karya B. Demikian seterusnya.26 Fadl ‘Ali bin Abī Tālib, Kitāb al-Qadr, Kitāb Kebiasaan unik ini menimbulkan kebingungan al-Kabīr, Kitāb al-Libās, Kitāb Ma’ānī al- tersendiri di kalangan akademisi pada abad Qur’ān, Kitāb al-Manāsik, Kitāb al-Wara’, belakangan ini. Mereka kebingungan untuk Kitāb al-Wasāyā, Kitāb al-Qirā’ah Khalfa menentukan, apakah kitab-kitab yang dikarang al-Imām. Ibn Khuzaymah dan publikasinya dalam kitabnya yang lain merupakan karya tersendiri atau Namun lagi-lagi, karena ketiadaan naskah- memang merupakan bagian dari kitab yang lebih naskah tersebut dalam bentuk fisik, para besar. Pertanyaan-pertanyaan ini yang diangkat sarjanawan termasuk Muhammad Mustafa oleh M.M. Azami sehingga memunculkan Azami masih meragukan independensi penerbitan problem tersendiri bagi persoalan otentisitas kitab-kitab tersebut. Yang dihadapi kali ini adalah Sahih Ibn Khuzaymah. gaya seorang pengarang yang tidak biasa dalam Dalam Kitāb al-Tauhīd misalnya, di melahirkan karya, yang kemudian menyebabkan dalamnya disebutkan beberapa kitab yang masih karyanya banyak hilang dan tidak terdokumentasi penuh perdebatan sebagaimana di atas. Dalam dengan baik. penelusuran yang dilakukan oleh Muhammad Mustafa Azami, ada sekitar 35 kitab yang Autentifikasi Naskah Sahih Ibn Khuzaymah tercantum dalam Kitāb al-Tauhīd tersebut, Naskah Sahih Ibn Khuzaymah merupakan termasuk di antaranya adalah kitab-kitab [tema] salah satu naskah kitab hadis yang tergolong yang ada dalam Sahih Ibn Khuzaymah. Misalnya: baru dalam kancah diskursus hadis yang ada kini. Kitāb al-Salāh dan Kitāb al-Zakah. Disamping Sebagai kitab hadis awal yang dikarang pada abad itu juga ada Kitāb al-Du’ā’, Kitāb al-Tafsīr dan III, Sahih Ibn Khuzaymah baru benar-benar dibaca Kitāb al-Tib wa al-Ruqā.27 oleh khalayak umum setelah Muhammad Mustafa Namun, setelah melalui beberapa kajian, Azami menghabiskan waktu bertahun-tahun akhirnya Muhammad Mustafa Azami mengambil untuk mengedit makhtūtat Sahih Ibn Khuzaymah. posisi dengan berpendapat bahwasanya di atas Oleh karena itu, perdebatan mengenai konten dan puluhan kitab tersebut, ada di antaranya yang autentifikasinya masih bisa didengar hingga kini. berupa kitab tersendiri (mustaqil), ada juga yang Berikut beberapa bahasan penting yang saya kira merupakan bagian dari kitab yang lebih besar.28 harus diangkat dalam rangka mengenal naskah Bagaimana dengan Sahih Ibn Khuzaymah? Sahih Ibn Khuzaymah sebelum nantinya benar- Dalam Kitab al-Tauhīd, Ibn Khuzaymah benar menyelami lautan teksnya. seringkali menyebutkan sebuah kitab yang Sebelumnya sudah disinggung bahwasanya bernama al-Musnad al-Kabīr atau al-Kabīr karangan Ibn Khuzaymah diperkirakan mencapai 140 kitab. Akan tetapi yang sampai dan bisa 26Muhammad Mustafa Azami, “18. 27Ibid., 16-18. diakses kini hanyalah beberapa saja, di antaranya 28Ibid., 19.

194 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah saja. Dalam Sahih Ibn Khuzaymah beliau juga Sedangkan kitab “sahih” adalah jenis kitab – sering mengutip nama kitab ini. Yang menjadi terlepas dari isi dan sistematika penyusunannya pertanyaan, apa hubungan yang terjadi antara yang berbeda-beda – yang oleh penulisnya al-Musnad al-Kabīr dan Sahih Ibn Khuzaymah? dipastikan mengakomodir hadis-hadis sahih. Apakah keduanya berkaitan ataukah memang Sahih Ibn Khuzaymah, kalau dilihat dari kacamata merupakan karya tersendiri yang berbeda antara sistematika penyusunannya, tergolong dalam satu dan lainnya? Jawabannya adalah tafsīl. kitab-kitab sunan. Penyusunan dan isinya adalah Pertama, Sahih Ibn Khuzaymah merupakan hadis-hadis fiqih. Namun, beliau termasuk salah ringkasan dari kitab al-Musnad al-Kabīr. satu penulis yang memastikan (iltazama sāhibuhu) Karena memang sebagian dari hadis-hadis hadis-hadis yang tercantum dalam kitabnya adalah yang dicantumkan berisikan indikasi bahwa hadis sahih, termasuk juga Sahih Ibn Hibbān. hadis tersebut sudah dimuat dalam al-Musnad Dalam bagian ini karakteristik umum yang al-Kabīr. Akan tetapi, adakalanya hadis-hadis dimaksud adalah sistematika penyusunan dan yang beliau riwayatkan disandarkan kepada metode penulisan hadis yang digunakan oleh Sahih Ibn Khuzaymah, bukan al-Musnad al- Ibn Khuzaymah. Karakteristik semacam ini bisa Kabīr. Ini membuktikan bahwa hadis tersebut dijumpai langsung oleh pembaca ketika membuka tidak terakomodir dalam al-Musnad al-Kabīr. lembaran-lembaran Sahih Ibn Khuzaymah. Dari problem ini muncul jawaban kedua yaitu Dibandingkan beberapa kitab al-Sahih yang memang benar Sahih Ibn Khuzaymah merupakan ditulis di abad III, sistematika dan pola penulisan ringkasan dari al-Musnad al-Kabīr, akan tetapi, Sahih Ibn Khuzaymah cukup berbeda dan terlihat al-Musnad al-Kabīr sendiri merupakan sebuah lebih sistematis. Berikut karakteristik umum yang kitab yang belum sempurna. Sehingga kadangkala membedakan Ibn Khuzaymah dengan kitab Sahih Ibn Khuzaymah meletakkan hadis tersebut dalam madzhab al-Kutub al-Sittah. Sahihnya.29 Sistematika Penyusunan Karakteristik Umum Sahih Ibn Khuzaymah Sahih Ibn Khuzaymah tidak mengikuti Secara umum, banyak sekali model sistematika penyusunan sebagaimana yang penyusunan kitab yang dikenal dalam ilmu hadis. dilakukan oleh al-Bukhārī dan Muslim yang Misalnya model kitab jāmi’ yang memuat seluruh menggunakan sistematika non-fiqih. Yakni pembahasan dalam Islam, baik itu menyangkut sistematika penyusunan yang biasanya diawali hal ‘ibādah, mu’āmalah, munākahah sampai dengan bāb bad’i al-wahyi dan kitāb al- makanan, minuman, dan perilaku umum umat īmān.31 Akan tetapi, Ibn Khuzaymah dalam Islam. Selain itu dikenal juga kitab sunan, yaitu Sahihnya menggunakan sistematika yang lumrah kitab hadis yang pola penyusunannya dimulai dan digunakan dalam kitab sunan, yaitu sistematika mengikuti alur bahasan fiqih. Seperti kitabSunan penyusunan yang berdasar pada bab-bab fiqih.32 Abū Dāwūd, Sunan al-Tirmidhī dan lainnya. Ada juga model kitab al-mustakhrajāt ‘alā al-jawāmi’, 31Lihat: Muhammad bin ‘Ismā’īl bin Ibrāhim bin al-Mughīrah kitab al-mustadrakāt, kitab al-zawā’id, kitab al- al-Bukhārī al-Jū’fī, Sahih al-Bukhārī (Bayrūt: Dār al-Kutub al- , al-muwāta’āt, al-targhīb wa al-tarhīb, ‘Ilmiyyah, 2009/ 1430) dan Abū al-Husayn Muslim bin al-Hajjāj 30 al-Qushayrī al-Naysāburī Sahih Muslim, (Bayrūt: Dār al-Kutub dan lain sebagainya. al-‘Ilmiyyah, 2008/1429). 32Lihat misalnya: Abū Dāwūd Sulayman bin al-Ash’ash al- Sijistāni, Sunan Abī Dāwūd (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 29Ibid., 23. 2010/1431) dan Abū Abdirrahman Ahmad bin Shu’ayb bin Alī 30Baca selengkapnya terkait jenis-jenis kitab hadis dalam: al-Khurasāny al-Nasā’ī, Sunan al-Nasā’ī (Bayrūt: Dār al-Kutub Mahmūd Tahhān, Usūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-Asānīd (Riyad: al-‘Ilmiyyah, 2010/1431) serta dua kitab sunan lainnya; Sunan Maktabah al-Ma’ārif li al-Nashr wa al-Tauzī’, 1996), 95-127. al-Tirmidhī dan Sunan Ibn Mājah.

Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 195 Ibn Khuzaymah memulai pembahasannya dengan Muhammad Mustafa Azami, dapat dilihat dari menulis Kitāb al-Wudu’, Kitāb al-Salah, Kitāb al- seringnya Ibn Khuzaymah menggunakan lafadz Imāmah, Kitāb al-Jum’ah, Kitāb al-Siyām, Kitāb “amlaytu” dalam Kitāb at-Tauhīd [kitab babon al-Zakah, dan Kitāb al-Manāsik. Itulah tema- atau induk dari dari kitab Sahih Ibn Khuzaymah]. tema besar yang diangkat oleh Ibn Khuzaymah Seperti contoh-contoh berikut:38 dalam Sahihnya. 97 ويقــول ف الصفحــة »قــد أمليــت خــرب ابــن عبــاس Selain adanya klasifikasi tema kitab, Ibn بتمامه ف كتاب التوكل« Khuzaymah juga mengaplikasinya sub-sub tema ويقــول ف الصفحــة 71 »قــد أمليــت هــذا البــاب ف sebagai topik inti sebuah pembahasan. Jadi dalam pembahasan sebuah “kitab” dalam Sahih Ibn كتاب ذكر نعيم اجلنة« Khuzaymah, kita tidak hanya akan mendapatkan ويقول ف الصفحة 227»قد أمليت طرق هذا اخلرب bab-bab, akan tetapi ada klasifikasi yang lebih ف كتاب املختصر« .”besar yang beliau namakan “jummā’ al-abwāb Seperti contoh: Dalam kitab Sahihnya Ibn Khuzaymah juga مجاع أبواب األحداث املوجبة للوضوء.33 menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan :proses periwayatan sebuah hadis. Misalnya مجــاع أبــواب األداب احملتــاج إليهــا ف إتيــان الغائــط 34 )4( باب ذكر إجتماع مالئكة الليل ومالئكة النهار والبول. 35 ف صالة الفجر مجاع أبواب الوضوء وسننه. 36 1474 أنــا أبــو طاهــر نــا أبــو بكــر نــا علــى بــن حجــر مجاع أبواب التيمم. الســعدي خبــرب غريــب غريــب نــا علــي بــن مســهر عن Jadi kesimpulannya, ada 3 langkah klasifikasi االعمش عن أىب صاحل عن أىب هريرة وأىب سعيد عن yang digunakan Ibn Khuzaymah dalam sistematika penyusunan pembahasan Sahihnya. Yang pertama ﷺ النــي ف قولــه إن قــرءان الفجــر كان مشــهودا ,”adalah “kitāb”, yang kedua “jummā’ al-abwāb )اإلســراء: 78( قــال تشــهد مالئكــة الليــل ومالئكــة .”dan yang terakhir adalah “bāb النهار جمتمعا فيها. Metode Penulisan قــال أبــو بكــر أمليــت ف أول كتــاب الصــالة ذكــر Metode penulisan yang digunakan dalam Sahih إجتماع مالئكة الليل ومالئكة النهار فصالة الفجر Ibn Khuzaymah adalah imlā’. 37Hal ini, menurut

33Abū Bakr Muhammad bin Ishāq bin Khuzaymah al-Sulamī al- Naisābūrī, Sahih Ibn Khuzaymah, jil. 1 (Bayrūt: al-Maktabah al- hadis atau kitab yang diriwayatkan oleh dirinya. Dalam hal ini, Islāmī, 2003 M/ 1424H), 53. saya condong untuk mempersepsikan dan menyamakan metode 34Ibn Khuzaymah, Sahih Ibn Khuzaymah, jil. 1, 71. imlā’ dengan metode i’lām tersebut. Karena mendikte termasuk 35Ibid., 111. dari proses memberitahu [i’lām] yang dilakukan guru kepada 36Ibid., 164. muridnya. Metode ini adalah lawan dari metode qirā’at ‘alā 37Imlā’ secara bahasa bermakna talqīn atau mendikte. Lihat: shaykh. Baca: Jalaluddin al-Suyūtī, Tadrīb al-Rāwī fī Sharh al-Mu’jam al-Wasīt (Mesir: Maktabah al-Shurūq al-Dawliyah, Taqrīb al-Nawāwī (Mesir: Dār al-Hadīth, 2010/1431), 345-347; 2011), 918. Dalam istilah ilmu hadis, praktik imlā’ dinamakan Dr. Muhammad ‘Ajjāj al-Khātib, Usūl al-Hadīth ‘Ulūmuhu dengan tarīqah al-tahammul wa al-adā’ [proses penerimaan dan wa Mustalahuhu (Bayrūt: Dār al-Fikr, 2009/1430), 156-157; penyampaian]. Akan tetapi, metode imlā’ tidak akan kita temukan Dr. Mahmūd Tahhān, Taysīr Mustalah al-Hadīth (Jeddah: al- dalam beberapa kitab mustalah al-hadīth. Misalnya dalam Taysīr Haramayn, t.th.), 164. Mustalah al-Hadīth karya Mahmūd Tahhān dan Usūl al-Hadīth 38Semua contoh ini saya adopsi dari pengantar muhaqqiq Dr. karya Muhammad ‘Ajjāj al-Khātib bahkan dalam Tadrīb al- Muhammad Mustafa ‘Azami, karena memang saya belum Rāwī fī Sharh Taqrīb al-Nawāwī. Namun, pemahaman tentang menemukan kitab asli “al-Tauhid” karya Ibn Khuzaymah yang metode imlā’, kalau mau disamakan, serupa dengan metode di dalamnya beliau menggunakan istilah imla’ tersebut. Lihat: i’lām. Yaitu sebuah metode di mana sang guru memberitahu Muhammad Mustafa Azami, “Ibn Khuzaymah wa Sahihahu”, h. [dalam pengertian umum] kepada muridnya tentang sebuah 23-24.

196 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah jarh pada diri rawi tersebut. Sekilas, dua syarat 39. ini merupakan syarat umum yang digunakan para وصالة العصر Imam hadis untuk menyeleksi dan menerima Gaya Kritik Hadis Sahih Ibn Khuzaymah periwayatan hadis. Akan tetapi sebagaimana yang Selain itu, di balik sistematika penyusunan akan saya tunjukkan, terdapat ciri khas yang akan dan metode penulisan yang digunakan, Sahih membedakan antara Sahih Ibn Khuzaymah dan Ibn Khuzaymah juga memiliki gaya kritik hadis kitab-kitab lainnya. yang khas dan beragam. Sebagai bagian dari Pada syarat pertama Ibn Khuzaymah, tradisi diskursus hadis abad III yang selalu sebagaimana Imam hadis lainnya, mensyaratkan mempertautkan kesatuan kajian sanad-matan, adanya 2 unsur utama: 1) kredibiltas seorang kritik hadis yang disuguhkan Ibn Khuzaymah juga rawi, dan 2) ittisal al-sanad. Tapi yang menarik menyentuh dua aspek penting dalam diskursus adalah Ibn Khuzaymah hanya menggunakan hadis tersebut. Berikut beberapa model atau istilah al-‘adl, yang notabene hanya mengandung gaya kritik yang tergambar dalam Sahih Ibn satu sisi untuk seorang rawi dikatakan thiqah. Khuzaymah, yang saya peras dari pernyataan Ibn Beliau tidak memasukkan istilah al-dabt yang Khuzaymah sendiri atau dari beberapa sampel digunakan mayoritas ulama hadis sebagai sisi hadis plus sharahnya. kedua yang juga harus dimiliki seorang rawi. Dengan ketimpangan metodologi ini tentu hadis- 1. Kritik Sanad Sahih Ibn Khuzaymah hadis yang dipilih oleh Ibn Khuzaymah tergolong Di atas sedikit telah saya singgung tentang hadis yang tidak sahih bagi wacana hadis dominan asumsi bahwa Sahih Ibn Khuzaymah memiliki masa itu.41 aturan-aturan periwayatan yang berbeda Hal ini kemudian diperkuat dengan adanya dibandingkan dengan imam hadis lainnya. Hal syarat kedua tentang jarh wa al-ta’dīl. Memang, ini diperkuat dengan adanya beberapa indikasi pada sisi ini secara tersirat Ibn Khuzaymah juga yang ditemukan secara tekstual dalam kitab Sahih mengangkat problem dabt sebagai unsur yang Ibn Khuzaymah sendiri. Misalnya, terkait dengan harus dipenuhi. Karena dalam diskursus jarh wa kriteria penerimaan hadis yang disyaratkan oleh al-ta’dīl yang dibahas bukan hanya permasalahan Ibn Khuzaymah sendiri. Beliau berkata dalam al-‘adl, tapi juga al-dabt. Dengan begitu, syarat setiap awal pembukaan sebuah bab: kedua tersebut mengandaskan asumsi yang muncul ketika melihat syarat pertama bahwa خمتصــر املختصــر مــن املســند الصحيح عــن النىب بنقل Ibn Khuzaymah tidak memperhitungkan sisi al- dabt. Syarat ini sekaligus memperkokoh asumsi العدل عن العدل موصوال إليه من غري قطع ف أثناء bahwa Ibn Khuzaymah hanya tidak memberikan اإلســناد وال جــرح ف ناقلــي األخبــار الــىت تذكرهــا .perhatian penuh pada sisi al-dhabt tersebut مبشيئة اهلل.40 Mengapa demikian? Karena sekali lagi, Ibn Syarat pertama yang dikemukakan Ibn Khuzaymah kurang memberikan perhatian pada Khuzaymah dalam penerimaan sebuah riwayat aspek otentisitas sebuah hadis. Kecenderungan adalah bersambungnya periwayatan dari pewacanaan yang muncul pada saat itu seorang rawi adil kepada rawi adil tanpa adanya memberikan satu kesan bahwa wilayah kajian ini keterputusan periwayatan di tengah rangkai sanad. Syarat kedua adalah terujinya kredibilitas 41Wacana dominan yang berkembang seputar pensyaratan hadis sahih mengatur bahwa setidaknya ada 5 syarat yang harus para perawi hadis yang ditandai dengan ketiadaan dipenuhi sebuah hadis sahih, yaitu: 1) ittisāl al-sanad, 2) ‘adl al- ruwah, 3) dabt al-ruwah, 4) ‘adam al-shudhūdh, dan 5) ‘adam 39 Ibn Khuzaymah, Sahih Ibn Khuzaymah, jil. 1, h. 715. al-‘illah. Baca: Mahmūd Tahhān, Taysīr Mustalah al-Hadīth, 40Ibid., 30. 13.

Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 197 sudah matang dan cukup berkembang. Munculnya 2. Kritik Matan Sahih Ibn Khuzaymah al-Bukhārī, Muslim dan beberapa sāhib al-sunan Kritik matan dilakukan untuk melahirkan satu menjadi bukti dan turut memberikan motivasi pola pemahaman yang benar dan komprehensif pada Ibn Khuzaymah untuk membabat wilayah atas teks hadis yang dibaca. Selain menunjukkan yang selama ini dilupakan. Wilayah otoritas konsistensi dalam hal kritik sanad, Sahih Ibn adalah satu wilayah kajian krusial yang tidak Khuzaymah juga turut menampilkan model bisa dibabat hanya dengan fokus pada alur kajian matan yang apik sebagai langkah awal periwayatan. untuk menginjak ranah kajian pemahaman hadis. Dua makna thiqah mengindikasikan Perhatian pada sisi pemahaman hadis tersebut bahwa sebuah hadis tidak hanya berada dalam bisa langsung pembaca tangkap dalam lembaran- tataran periwayatan, tapi juga bagaimana hadis lembaran Sahih Ibn Khuzaymah. Tidak seperti tersebut terpahami dan terlaksana dengan Sahih al-Bukhārī dan Sahih Muslim, pembaca tepat. Oleh karena itu, selain harus memiliki tidak akan kesulitan mencari cara dan metode kecerdasan dan kekuatan hafalan, seorang rawi pemahaman atau kajian matan yang digunakan juga harus memiliki kebijaksanaan. Dalam sahib al-kitāb. Seluruhnya tertera langsung pandangan saya, kekuatan hafalan menjadi unsur pada judul-judul sub bab terkait hadis yang penting dalam masalah otentisitas. Sehingga disuguhkan. Maka tak heran jika cara penulisan dengan kekuatannya itu seorang rawi mampu judul sub bab dalam Sahih Ibn Khuzaymah tidak menyampaikan hadis sebagaimana adanya, tanpa lumrah. Redaksinya panjang, bahkan terkadang penambahan dan tanpa pengurangan. Tidak hampir menghabiskan satu halaman. sampai di sana, kebijaksanaan juga diperlukan. Dalam mengkaji matan hadis, Ibn Khuzaymah Karena itulah sisi al-‘adl juga menjadi unsur melakukan beberapa langkah metodis untuk penentu. Terbukti dalam kajian hadis, ziyādah mengurai dan memberikan pemahaman yang tepat al-thiqah42 diperbolehkan dan tidak mengurangi terhadap sebuah hadis. Langkah pertama yang kesahihan sebuah hadis. Padahal ziyādah tersebut beliau gunakan adalah strategi intertekstualitas bertentangan dengan kandungan konsep al-dabt antara hadis-hadis yang ada dan setema.43 Setema yang meniscayakan keutuhan. dalam artian hadis tersebut memiliki relasi shāhid Pada akhirnya kita bisa menilai bahwa kritik dan mutābi’, atau yang secara redaksional berbeda matan yang dibangun dan ditawarkan oleh Ibn namun mengandung substansi pemaknaan yang Khuzaymah selaras dengan kecenderungan beliau sama. Hal ini bisa kita lihat dalam Sahihnya, pada kajian matan. Kurangnya perhatian beliau Ibn Khuzaymah sering mencantumkan kalimat- pada unsur kedhabitan rawi bukan menunjukkan kalimat berikut: kelemahan beliau pada wilayah kajian ini, tapi 44 هذا لفظ حديث ابن علية semata demi kepentingan metodologis yang 45 هذا لفظ حديث حيىي بن سعيد akan beliau gunakan dalam kajian matan. Sebuah wilayah kajian yang dilupakan karena konteks zaman yang memang memaksa para sarjana hadis 43Oleh Mahmūd Tahhān dalam karyanya Usūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-Asānīd, metode ini dinamakan dengan ahadis al-bab. lebih memusatkan perhatian pada sanad. Metode ini diadopsi dan sering dipakai oleh az-Zaila’i dalam kitabnya Nasb al-Rāyah li Ahādīth al-Hidāyah. Baca: Mahmūd Tahhān, Usūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-Asānīd, 17-21. Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan dan mengakomodir hadis- hadis yang memiliki satu tema walaupun mempunyai perbedaan 42Ziyādah al-thiqah merupakan tambahan yang diberikan seorang bunyi redaksi. Tujuannya antara lain menentukan kesahihan rawi dalam hadis yang dia riwayatkan. Tambahan tersebut bisa substansi hadis yang dianggap la asla lahu dan menentukan arah berfungsi sebagai penjelasan ataupun sekedar catatan tentang pemaknaan hadis-hadis yang dianggap rancu [catatan HF]. hadis karena seorang rawi khawatir para pembaca akan salah 44Ibn Khuzaymah, Sahih Ibn Khuzaymah, jil. 1, 49. mengartikan sebuah lafadz hadis. 45Ibid., 46.

198 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah Berikut contoh satu hadis yang dikritik secara deretan pohon kurma, yang notabene mempunyai redaksional oleh Ibn Khuzaymah: bayangan untuk bernaung juga. Oleh karena pertentangan inilah, Ibn Khuzaymah menekankan عــن أيب هريــرة أن النــي ﷺ قــال إتقــوا اللعنتــن أو pemahaman bahwa yang dimaksud dengan اللعاعــن قيــل ومــا مهــا قــال الــذي يتخلــى ف طريــق larangan di atas bukan pada semua benda yang الناس أو ظلهم.46 mempunyai kemungkinan berupa bayangan. Terkait hadis ini Ibn Khuzaymah menjelaskan: Karena memang, menurut Ibn Khuzaymah, semua benda setelah tergelincirnya matahari pasti ﷺ melahirkan bayangan. Yang dimaksud adalah قال أبو بكر وإمنا استدللت على أن النب أراد bayangan yang memang menjadi tempat bernaung بقوله أو ظلهم الظل الذي يســتظلون به إذا جلســوا orang-orang Muslim saat itu. Baik yang mereka جمالسهم خبرب عبد اهلل ابن جعفر أن النب ﷺ كان gunakan ketika menghadiri majlis, ataupun ketika melakukan kegiatan sehari hari. Inilah maksud أحــب مــا اســترت بــه يف حاجتــه هدفــا أو حائــش خنــل .kata al-dhil dalam hadis tersebut إذ اهلــدف هــو احلائــط واحلائــش مــن النخل النخالت Pada tataran ini, Ibn Khuzaymah sebenarnya اجملتمعات وإمنا مسي البســتان حائشــا لكثرة أشــجاره meletakkan sebuah metode baru dalam tradisi -kritik matan hadis yang baru dikenal di abad وال يكاد اهلدف يكون إال وله ظل إال وقت استواء abad setelahnya, yaitu urgensi dan siginifikansi الشــمس فأمــا احلائــش مــن النخــل فــال يكــون وقــت .ahādith al-bāb dalam kajian fiqh al-hadīth مــن األوقــات بالنهــار إال وهلــا ظــل والنــي ﷺ قــد Penggunaan hadis-hadis se-tema yang memiliki perbedaan dalam redaksi dan maksud awalnya كان يســتحب أن يســترت اإلنســان يف الغائط باهلدف dikenal belakang sebagai metode kritik matan واحلائش وإن كان هلما ظل.47 ala fuqahā’. Berbeda halnya dengan muhaddis Untuk kasus hadis buang air di atas, pertama yang hanya mencukupkan diri untuk menelusuri Ibn Khuzaymah menggunakan pendekatan hingga batas shāhid dan tābi’nya saja. Bahkan, bahasa. Beliau, misalnya menjelaskan tentang bukan hanya melacak hadis yang se-tema, tapi makna “al-dhil” sebagai naungan yang mereka juga melacak apakah hadis tersebut memiliki tempati ketika hadir di majlis-majlis. Pendekatan hadis yang bertentangan (ahādith al-khusūm) ini semakin dipertajam setelah Ibn Khuzaymah atau tidak. Adanya hadis bertentangan merupakan juga menghadirkan sebuah hadis riwayat modal utama untuk semakin mempertegas arah Abdullah bin Ja’far bahwa Nabi suka menutupi pemaknaan sebuah hadis. diri ketika membuang hajat dengan al-hadaf dan Selain menggunakan dua pendekatan hā’ish nakhl. Dua kata ini dijelaskan lagi oleh sebagaimana yang saya paparkan di atas, Ibn Ibn Khuzaymah secara bahasa. Al-hadaf berarti Khuzaymah juga menjelaskan gharīb al-hādith tembok, sedangkan ha’ish nakhl adalah sederet sebagai sebuah cabang kajian dalam ilmu matan. pepohonan kurma yang seakan-akan membentuk Misalnya ketika Ibn Khuzaymah menjelaskan sebuah tembok. tentang lafad al-makūk dalam sebuah hadis Secara tekstual, dua hadis ini bertentangan. Nabi.48 Hadis di atas Nabi melarang bahkan melaknat Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh orang yang buang air di tempat bernaungnya Ibn Khuzaymah merupakan langkah untuk manusia. Akan tetapi Nabi sendiri suka menutupi mengarahkan dan membentuk pemahaman diri ketika membuang hajat dengan tembok dan masyarakat dalam hadis-hadi Nabi. Sebagaimana

46Ibid., 77. 47Ibid., 77. 48Ibid., 100.

Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 199 yang telah saya jelaskan sebelumnya, signifikansi Sahih Ibn Khuzaymah dan Sahih al-Bukhārī. kitab ini berada pada wilayah yang masih rimba. Meskipun tidak mencantumkan hadis sebanyak Ibn Khuzaymah lahir di sebuah periode keemasan Sahih al-Bukhārī (yang mencantumkan sekitar kajian hadis, khususnya secara riwayah. Kejayaan 7564 hadis, dan beberapa di antaranya terjadi ini tidak selalu membawa dampak positif, pengulangan), Sahih Ibn Khuzaymah tetap adakalanya juga membawa dampak negatif. memakan banyak halaman karena suguhan- Semakin gencar kajian-kajian sanad dilakukan, suguhan penjelasan fiqhi yang cukup panjang atas semakin jauh pula pemahaman masyarakat hadis-hadis yang ada, baik yang disuguhkan di terhadap hadis-hadis yang ada. Ibn Khuzaymah awal sebagai judul bab ataupun yang disuguhkan dan Sahihnya lahir untuk mengisi kekosongan setelah penyantuman hadis dengan indikator “qāla itu. Abū Bakr”. Hal ini tidak terdapat dalam Sahih al- Dinamika kehidupan ini bisa dilihat misalnya Bukhārī yang memang terlihat ramping atau bahkan dari banyaknya Ibn Khuzaymah menggunakan cenderung tidak berusaha menjelaskan isi hadis kata-kata man za’ama. Kata-kata ini, secara yang dicantumkan secara kompeherensif. simbolik menandakan satu periode di mana Sahih Ibn Khuzaymah dimulai dengan hadis banyak diperdugakan maknanya. Tanpa pembahasan tentang bersuci atau taharah. ada arahan dari para ulama hadis yang memang Pembahasan ini diberi judul “Kitāb al-Wudu’”, terlalu fokus pada kajian sanad. Seperti dalam bab meskipun di dalamnya nanti berisi beberapa 23 tentang menyentuh kemaluan. Beliau menulis regulasi yang sebenarnya keluar dari pembahasan judul sub-bab hadisnya seperti ini: wudu’ itu sendiri, namun masih dalam payung pembahasan tentang tata-cara dan metode bersuci. Kitab ini terdiri dari 11 jummā’ al-abwāb yang بــاب ذكــر الدليــل علــى أن اللمــس قــد يكــون باليــد, menjadi sub-tema besar bab-bab kecil yang ضد من زعم أن اللمس ال يكون إال جبماع بالفرج ada setelahnya. Dalam Kitāb al-Wudu’, Ibn ف الفرج.49 Khuzaymah mencantumkan 300 hadis yang terbagi dalam 250-an bab-bab kecil. Logika Pencantuman Hadis dalam Sahih Ibn Selanjutnya adalah pembahasan tentang shalat. Khuzaymah Materi bahasan ini terbagi dalam 3 kitab; Kitāb al- Sesuai dengan naskah makhtutat yang Salāh, Kitāb al-Imāmah fī al-Salāh dan Kitāb al- ditahqiq oleh Muhammad Mustafa Azami, jumlah Jum’ah. Dalam Kitāb al-Salāh, Ibn Khuzaymah keseluruhan hadis yang tercantum dalam Sahih membagi lagi hadis-hadisnya ke dalam 27 Ibn Khuzaymah adalah 3079 hadis. Hadis-hadis jummā’ al-abwāb; termasuk di dalamnya juga ini tersusun secara sistematis – sebagaimana ada pembahasan mengenai keutamaan masjid, yang telah dijelaskan sebelumnya – dalam membangun, dan tata-laku yang dikerjakan dalam skema penyusunan kitab, tema besar, dan sub- masjid. Dalam kitab ini Ibn Khuzaymah juga tema. Seluruh hadisnya adalah hadis hukum mencantumkan beberapa macam shalat, seperti yang hanya membahas persoalan-persoalan shalat khauf, shalat istisqā’, shalat kusūf, dan ibadah saja, seperti bersuci, shalat, puasa, zakat, seterusnya. Sedangkan dalam Kitāb al-Imāmah dan haji. Sedangkan tema-tema lainnya seperti fī al-Salāh, Ibn Khuzaymah membaginya lagi ke mu’amalah dan munakahah, tidak menjadi materi dalam 3 jummā’ al-abwāb. Untuk yang terakhir, pembahasan dalam Sahih Ibn Khuzaymah. Ini Ibn Khuzaymah membaginya ke dalam 6 jummā’ salah satu yang menjadi titik perbedaan antara al-abwāb. Tidak jelas mengapa pembahasan shalat ini

49Ibid., 61. Ibn Khuzaymah bagi ke dalam 3 kitab besar yang

200 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah telah saya sebutkan. Tentu ada faktor eksternal regulasi puasa, zakat, dan haji. Masing-masing yang mendorong Ibn Khuzaymah, baik secara terwakili oleh satu judul kitab sama persis dengan sadar maupun tidak, untuk melakukan spesifikasi bahasan yang hendak dibicarakan. Kitāb al-Saum pembahasan tersebut dalam skema bahasan yang berisi 11 jummā’ al-abwāb; Kitāb al-Zakah berisi mustaqil. Entah apakah itu faktor ideologis, sosio- 9 jummā’ al-abwāb; dan Kitāb al-Manāsik berisi antropologis, politik, dan lain sebagainya. 2 jummā’ al-abwāb. Berikut tabel ringkasan isi Bahasan selanjutnya yang tercantum dalam berikut skema bahasan dan penyusunan materi Sahih Ibn Khuzaymah adalah bahasan mengenai dalam Sahih Ibn Khuzaymah.

Tema Bahasan Kitab Jummā’ al-Abwāb

al-Ahdāth al-Mujībah li al-Wudu’; al-Af’āl al-Liwātī lā Tūjib al-Wudu’; al-Adāb al-Muhtaj ilayha fī Ityāni al- Ghā’it wa al-Baul; al-Istinjā’ bi al-Ahjār; al-Istinjā’ bi Bersuci Al-Wudu’ al-Mā’; al-Awāni; Sunan al-Siwak wa Fadā’ilihi; al- Wudu’ wa Sunanihi; al-Mash ‘alā al-Khuffayni; Fudūl al-Tathīr; Ghusli al-Janābah; Ghusli al-Tathīr; al- Tayammum; Tathīr al-Thiyāb. Al-Adhān wa al-Iqāmah; al-Libās fī al-Salāh; al- Mawādi’ allati Tajūzu al-Salāh ‘alayha wa allati lā Tajūz; Sitrah al-Musallī; al-Kalām al-Mubāh fī al- Salāh; al-Af’āl al-Mubāhah fi al-Salāh; al-Af’āl al- Makrūhah fī al-Salāh; al-Farīdah fī al-Safar; al- Farīdah ‘inda al-‘Illah Tahduth; al-Salāh‘ala al- Bisath; al-Sahw fi al-Salāh; Dhikri al-Witr wa Ma fihi min al-Sunan; al-Rak’atain Qabla al-Fajr wa Ma Fihima min al-Sunan; Salāh al-Tatawwu’ bi al-Layl; Al-Salāh Salāh al-Tatawwu’ Qabla al-Maktūbah wa Ba’daha; al-Taṭawwu’ Ghaira Mā Taqaddam; al-Duhā; Salāh al-Tatawwu’ Qā’idan; Salāh al-Tatawwu’ fi al-Safar; Salāh al-Taṭawwu’ fi al-Safar ‘alā al-Dawāb; al-Awqāt Shalat allati Yanhā ‘an al-Tatawwu’ Fihinna; Fadā’il al- Masājid wa Binā’iha wa Ta’zīmiha; al-Af’āl al- Mubāhah fī al-Masjid Ghaira al-Salāh; Salāh al- Khauf; Salāh al-Kusūf; Salāh al-Istisqā’; Salāh al- ‘Idayni. Qiyām al-Ma’mūmīn Khalfa al-Imām; al-‘Udhr alladhi Al-Imamāh Ibadah Yajūzu fīhi Tarku Ityān al-Jamā’ah; Salāh al-Nisā’ fī fī al-Salāh al-Jamā’ah. Fadl al-Jum’ah; al-Ghusl li al-Jum’ah; al-Tīb wa al- Tasawwuk wa al-Libās li al-Jum’ah; al-Tahjīr ila al- Al-Jum’ah Jum’ah wa al-Mashyī ilayha; al-Adhān wa al-Khutbah fi al-Jum’ah; al-Salāh Qabla al-Jum’ah.

Fadā’il Shahr Ramadān wa Siyāmuhu; al-Ahillah; al- Af’āl al-Liwātī Tuftir al-Sā’im; al-Aqwāl wa al-Af’āl al-Manhiyyah ‘anhā fi al-Saum min Ghayri Ijābi Fitri; al-Af’āl al-Mubāhah fī al-Saum; al-Saum fī al-Safar; Puasa Al-Sawm Waqt al-Ifṭār wa Mā Yastaḥibbu an Yuftira ‘alayhi; Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-DesemberS 2017aum al-Taṭawwu’; Dhikri al-Ayyām; Laylah al-Qadr;201 al-Layālī allati Kāna fīhā Laylah al-Qadr fi Zamān al- Nabī; Dhikri Qiyām Shahr Ramadān; al-‘I’tikāf;

Al-Taghlīz fī Man’i al-Zakah; Sadaqah al-Mawāshī min al-Ibil wa al-Baqar wa al-Ghanam; Sadaqah al-Wariq; Sadaqah al-Hubūb wa al-Thimār; Dhikri Si’āyah ‘alā Zakat Al-Zakah al-Sadaqah; Qism al-Sadaqāt wa Dhikri Ahl Sihmānihā; Sadaqāt al-Fitri fī Ramadān; Sadaqāt al- Tatawwu’; al-Sadaqāt wa al-Muhbisāt.

Dhikri Af’āl Ikhtalafa al-Nās fī Ibāhatihi li al-Muḥrim; Haji Al-Manāsik Dhikri Abwāb al-‘Umrah wa Sharā’i’uhā. Tema Bahasan Kitab Jummā’ al-Abwāb

al-Ahdāth al-Mujībah li al-Wudu’; al-Af’āl al-Liwātī lā Tūjib al-Wudu’; al-Adāb al-Muhtaj ilayha fī Ityāni al- Ghā’it wa al-Baul; al-Istinjā’ bi al-Ahjār; al-Istinjā’ bi Bersuci Al-Wudu’ al-Mā’; al-Awāni; Sunan al-Siwak wa Fadā’ilihi; al- Wudu’ wa Sunanihi; al-Mash ‘alā al-Khuffayni; Fudūl al-Tathīr; Ghusli al-Janābah; Ghusli al-Tathīr; al- Tayammum; Tathīr al-Thiyāb. Al-Adhān wa al-Iqāmah; al-Libās fī al-Salāh; al- Mawādi’ allati Tajūzu al-Salāh ‘alayha wa allati lā Tajūz; Sitrah al-Musallī; al-Kalām al-Mubāh fī al- Salāh; al-Af’āl al-Mubāhah fi al-Salāh; al-Af’āl al- Makrūhah fī al-Salāh; al-Farīdah fī al-Safar; al- Farīdah ‘inda al-‘Illah Tahduth; al-Salāh‘ala al- Bisath; al-Sahw fi al-Salāh; Dhikri al-Witr wa Ma fihi min al-Sunan; al-Rak’atain Qabla al-Fajr wa Ma Fihima min al-Sunan; Salāh al-Tatawwu’ bi al-Layl; Al-Salāh Salāh al-Tatawwu’ Qabla al-Maktūbah wa Ba’daha; al-Taṭawwu’ Ghaira Mā Taqaddam; al-Duhā; Salāh al-Tatawwu’ Qā’idan; Salāh al-Tatawwu’ fi al-Safar; Salāh al-Taṭawwu’ fi al-Safar ‘alā al-Dawāb; al-Awqāt Shalat allati Yanhā ‘an al-Tatawwu’ Fihinna; Fadā’il al- Masājid wa Binā’iha wa Ta’zīmiha; al-Af’āl al- Mubāhah fī al-Masjid Ghaira al-Salāh; Salāh al- Khauf; Salāh al-Kusūf; Salāh al-Istisqā’; Salāh al- ‘Idayni. Qiyām al-Ma’mūmīn Khalfa al-Imām; al-‘Udhr alladhi Al-Imamāh Ibadah Yajūzu fīhi Tarku Ityān al-Jamā’ah; Salāh al-Nisā’ fī fī al-Salāh al-Jamā’ah. Fadl al-Jum’ah; al-Ghusl li al-Jum’ah; al-Tīb wa al- Tasawwuk wa al-Libās li al-Jum’ah; al-Tahjīr ila al- Al-Jum’ah Jum’ah wa al-Mashyī ilayha; al-Adhān wa al-Khutbah fi al-Jum’ah; al-Salāh Qabla al-Jum’ah.

Fadā’il Shahr Ramadān wa Siyāmuhu; al-Ahillah; al- Af’āl al-Liwātī Tuftir al-Sā’im; al-Aqwāl wa al-Af’āl al-Manhiyyah ‘anhā fi al-Saum min Ghayri Ijābi Fitri; al-Af’āl al-Mubāhah fī al-Saum; al-Saum fī al-Safar; Puasa Al-Sawm Waqt al-Ifṭār wa Mā Yastaḥibbu an Yuftira ‘alayhi; Saum al-Taṭawwu’; Dhikri al-Ayyām; Laylah al-Qadr; al-Layālī allati Kāna fīhā Laylah al-Qadr fi Zamān al- Nabī; Dhikri Qiyām Shahr Ramadān; al-‘I’tikāf;

Al-Taghlīz fī Man’i al-Zakah; Sadaqah al-Mawāshī min al-Ibil wa al-Baqar wa al-Ghanam; Sadaqah al-Wariq; Sadaqah al-Hubūb wa al-Thimār; Dhikri Si’āyah ‘alā Zakat Al-Zakah al-Sadaqah; Qism al-Sadaqāt wa Dhikri Ahl Sihmānihā; Sadaqāt al-Fitri fī Ramadān; Sadaqāt al- Tatawwu’; al-Sadaqāt wa al-Muhbisāt.

Dhikri Af’āl Ikhtalafa al-Nās fī Ibāhatihi li al-Muḥrim; Haji Al-Manāsik Dhikri Abwāb al-‘Umrah wa Sharā’i’uhā.

Tak jauh berbeda dengan kitab-kitab lainnya, Perbincangan akan dimulai dengan mengangkat Sahih Ibn Khuzaymah juga memiliki sebaran asumsi bahwa Ibn Khuzaymah merupakan hadis yang berbeda antara satu “kitab” dengan kelompok “liyan” yang memang berbeda dengan “kitab” lainnya. Dalam Kitāb al-Wudu’ tercantum al-Sahihayn bahkan al-Kutub al-Sittah, namun 300 hadis, Kitāb al-Salāh berisi 1169 hadis, Kitāb dengan derajat kualitas yang tidak jauh berbeda. Al-Imamāh fī al-Salāh berisi 250 hadis, Kitāb Penampakan Sahih Ibn Khuzaymah sebagai al-Jum’ah berisi 159 hadis, Kitāb al-Saum berisi oposisi non-kategorikal dalam kitab hadis di abad 365 hadis, Kitāb al-Zakah berisi 260 hadis, dan III hijriyah dimulai dari sebutan yang digunakan Kitāb al-Manāsik berisi 576 hadis. oleh al-Iraqi untuk ketiga kitab – yang dianggap Berikut diagram sebaran hadis di tiap kitabnya; “menyimpang” dan cukup berbeda dari biasanya; Sahih Ibn Khuzaymah, Sahih Ibn Hibbān, dan al- Mustadrak ‘alā al-Sahihayn li al-Hākim – dengan nama al-Sahih al-Za’id;

ِ ِ ِ ِ َّالصحْي ُح َّالزائُد َعلَى َّالصحْي َحْي ِ ْوإن َملْ يَ ُكن َعلَى شرطهما: 29 ِ ِ ِ - َو ُخ ْــذ زيَ َــادةَ َّالصحْي ِــح ْإذ تـُنَ ّْــص ... ص َّحتُــهُ ْأو ِ ٍ م ْن ُم َصنَّف ُخيَ ّْص 30 ِ ِِ ِ ِ - جبَ ْمعه َنَو )ابْ ِن حبَّ َان( َّالزكي ... َ)و ِابن ُخَزْميَةَ( 50 ْ و َكاملستَْدر ِك َ ُ ْ َ Bab nazam yang terdapat dalam kitab “Alfiyah [O]Posisi Sahih Ibn Khuzaymah fī ‘Ulūm al-Hadīth” ini tepat berada setelah bab Sub ini akan menjabarkan isu yang saya angkat di awal pembicaraan dalam tulisan ini. 50al-Irāqī, Alfiyah al-Irāqī fi ‘Ulūm al-Hadīth, 4.

202 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah yang menerangkan tentang asahhu kutūb al- Shākir adalah orang yang mengenalkan istilah ini, hadīth. Dalam bab ini, al-Irāqī menempatkan sebagaimana komentarnya dalam Muqaddimah ketiga kitab tersebut dalam kitab “sahih” tapi Sahih Ibn Hibbān berikut; tidak sahih. Artinya, ada keunikan dan perbedaan »صحيح ابن خزمية واملسند الصحيح على التقاسيم yang cukup lebar antara Sahih Ibn Khuzaymah واألنــواع البــن حبــان واملســتدرك علــى الصحيحــن dan al-Sahihayn sehingga ia tidak bisa disamakan للحاكــم: هــذه الكتــب الثالثــة هــي أهــم الكتــب اليت .sekaligus juga tidak bisa terlalu dibedakan Di bait ke 29, al-Irāqī menampakkan ambiguitas ألفــت يف الصحيــح اجملــرد بعــد الصحيحــن للبخاري .posisi Sahih Ibn Khuzaymah di antara al-Sahihayn 53 ومسلم.« Langkah pertama yang ditawarkan pertama setelah merujuk pada al-Sahihayn adalah merujuk hadis- hadis sahih lainnya yang memang termaktub dan “Sahih Ibn Khuzaymah, al-Musnad al-Sahih diyakini kesahihannya. Dalam Sharh Fath al-Bāqī, ‘alā al-Taqāsim wa al-Anwā’ karya Ibn Zakariya al-Ansārī menjelaskan bahwa yang Hibbān dan al-Mustadrak ‘ala Sahihayn dimaksud dengan kalimat “idh tunas sihhatuhu” karya al-Hākim; ketiga kitab ini merupakan adalah hadis-hadis yang mendapatkan stempel kitab yang paling penting, yang ditulis dalam dari para imam al-muhaddithīn yang mu’tamad, konteks “al-Sahih al-Mujarrad” setelah al- seperti Abū Dāwūd, al-Tirmidhī, al-Dāruqutnī, Sahihayn karya al-Bukhārī dan Muslim.” al-Khattābī, dan al-Bayhāqī dalam karangan- karangan mereka.51 “Aw min musannafin yukhas Istilah “al-Sahih al-Mujarrad” kalau mau bi jam’ihi”; atau dari karya-karya yang memang diartikan secara lughawi, lafadz “mujarrad” yang khusus ditujukan untuk mengumpulkan hadis merupakan derivasi dari kata “jarada” berarti 54 sahih, yaitu 3 kitab yang dijuluki al-Iraqi sebagai “qashara wa azāla ma ‘alaihi” (menggaruk dan “al-Sahih al-Za’id”.52 menghilangkan segala sesuatu yang ada padanya). Dari penjelasan semacam ini, al-Irāqī, yang Sedangkan kata “al-mujarrad” dalam al-Mu’jām kemudian diperjelas oleh Zakariya al-Ansārī al-Wasīt bermakna “mā yudraku bi al-zihni dūna 55 seakan-akan bimbang dalam memposisikan al-hawās” (apa yang tertangkap oleh akal, ketiga kitab yang dipelopori oleh al-Sahih Ibn bukan pancaindra). Secara umum, “al-Mujarrad” Khuzaymah tersebut; antara membariskannya berarti keterlepasan sesuatu dari hal-hal eksternal, dengan al-Sahihayn (dengan mengemukakan murni, pure dan tanpa sesuatu yang mengganggu satu istilah “al-Sahih al-Za’id”), atau tidak substansi. Dalam konteks Sahih Ibn Khuzaymah, menyamakannya dengan justru diposisikan setara tak lain istilah ini dipakai untuk menggambarkan dengan kitab lainnya seperti Sunan Abū Dāwūd, oposisi Sahih Ibn Khuzaymah, baik secara Sunan al-Tirmidhī dan karya al-Bayhāqi. Dari sistematika maupun metode periwayatan, di bait-bait Alfiyyah al-Irāqī ini anomalitas Sahih antara kitab-kitab lainnya yang tersusun sesuai Ibn Khuzaymah mulai tampak nyata. pakem yang telah berkembang saat itu. Selain istilah al-Sahih al-Za’id, muncul Istilah al-Sahih al-Mujarrad juga menunjukkan kemudian istilah lain yang semakin memperkental bahwa sebenarnya ada dua model kitab sahih yang oposisi Sahih Ibn Khuzaymah di antara kitab sama-sama bisa dijadikan rujukan; model kitab hadis lainnya terutama al-Sahihayn. Ahmad sahih yang ditampilkan oleh Sahih al-Bukhārī dan

53Ahmad Shākir dalam “Muqaddimah Ibn Hibbān”, 6-7, 51Zaynuddin Muhammad bin Zakariyā al-Ansārī, Fath al-Bāqī sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad Mustafa Azami bi Sharh Alfiyah al-Irāqī, jil.1, Abdul Latīf Hamīm, muhaqqiq dalam: Muhammad Mustafa Azami, 24. (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002/1422), 114-115. 54Al-Mu’jām Al-Wasīt, 119. 52Zakariya al-Ansārī, Fath al-Bāqī fi Sharh Alfiyah al-Irāqī, 115. 55Ibid., 120.

Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 203 Sahih Muslim serta model kitab sahih sebagaimana untuk maksud hirarki kualitas hadis yang yang ditampilkan Sahih Ibn Khuzaymah dan Sahih tercantum di dalamnya. Ibn Hibbān. Karena memang kenyataannya model Baik al-Irāqī maupun Ahmad Shākir, pertama yang lebih populer dan banyak diminat- dengan tawaran istilah masing-masing, masih ikuti, maka model kedua secara otomatis tersingkir, menempatkan Sahih Ibn Khuzaymah dalam menjadi tidak populer, sang liyan dan dianggap ketidakjelasan posisinya di antara kitab hadis model yang menyimpang. yang ada, khususnya al-Sahihayn. Keduanya Ahmad Shākir melanjutkan pemaparannya: masih menyisakan kekaburan yang kemudian -diselesaikan oleh muhaqqiq57 kitab Nasb al »وقــد رتــب علمــاء هــذا الفــن ونقــاده، هــذه الكتــب Rāyah58 dengan pernyataannya bahwa Sahih Ibn الثالثة اليت التزم مؤلفوها رواية الصحيح من احلديث -Khuzaymah [kedudukannya] tidaklah seperti al وحــده، أعــي الصحيــح اجملــرد بعــد الصحيحــن: Sahihayn, bahkan Sunan Abū Dāwūd. Posisinya البخــاري ومســلم، علــى ترتيــب اآليت: ))صحيــح kurang lebih setara dengan Sunan al-Tirmidhī dan ابــن خزميــة((، ))صحيــح ابن حبان(( و ))املســتدرك al-Mustadrak ‘al-Sahihayn.59 للحاكم((، ترجيحا منهم لكل كتاب منها على ما Tapi lagi-lagi, pendapat ini dibantah keras oleh بعده يف التزام الصحيح اجملرد،...«56

“Para ulama di bidang keilmuan ini beserta 57Saya tidak menemukan nama muhaqqiq yang dimaksud oleh para kritikusnya telah mengurutkan – ketiga Muhammad Mustafa Azami tersebut. Pertama, karena memang Muhammad Mustafa Azami tidak memberikan catatan kaki kitab yang oleh pengarangnya dipastikan ataupun rujukan dalam muqaddimahnya. Kedua, kitab Nasb hanya [berisi] riwayat hadis sahih saja, yakni al-Rāyah memilik banyak sekali versi muhaqqiq (beberapa di antaranya adalah Muhammad ‘Awāmah dan Muhammad Yūsuf “al-Sahih al-Mujarrad” setelah al-Sahihayn al-Binwarī) yang tentunya semakin mengaburkan pencarian. karya al-Bukhāri dan Muslim – sebagai Namun, setelah membaca beberapa pengantar muhaqqiq dalam beberapa versi cetakan Nasb al-Rāyah, saya menduga bahwa berikut: Sahih Ibn Khuzaymah, Sahih Ibn muhaqqiq yang dimaksud oleh Muhammad Mustafa Azami Hibbān dan al-Mustadrak li al-Hākim; adalah Muhammad Yusuf al-Binwarī. Dalam beberapa versi cetakan Nasb al-Rāyah, seluruh pengantar dan madkhal-nya masing-masing lebih unggul dibandingkan ditulis oleh al-Binwarī, termasuk versi cetakan yang ditahqiq kitab setelahnya dalam hal kepastian (kualitas) oleh Muhammad ‘Awāmah. Itu alasan pertama. Yang kedua, dalam pengantar panjangnya itu, al-Binwarī menyebut sekali al-Sahih al-Mujarrad.” nama Sahih Ibn Khuzaymah dan disejajarkan dengan kitab-kitab – yang menurutnya – jarang disentuh dan dipertimbangkan, seperti Sahih Abū ‘Awānah, Sahih Ibn Hayyān, Sahih Ibn Ahmad Shākir menggambarkan bahwa ada Sakkan, Muhannaf Ibn Abī Shaybah, Musannaf ‘Abd al-Razzāq kesepakatan yang problematis di kalangan ulama dan seterusnya. Spesifikasi kitab-kitab hadis yang dirujuk oleh al-Zaila’ī juga dibahas panjang lebar oleh al-Binwarī dalam hadis dan kritikus hadis terkait pemosisian kitab kacamata biner antara al-tasahhul dan al-tashaddud. Baca: sahih “anomali” seperti Sahih Ibn Khuzaymah, Jamaluddin Abū Muhammad Abdillah bin Yūsuf al-Hanafī al- Zaila’ī, Nasb al-Rāyah li Ahādīth al-Hidāyah, jil. 1, Muhammad Sahih Ibn Hibbān, dan al-Mustadrak. Di satu Yūsuf al-Binwarī, muhaqqiq (Mesir: Dār al-Hadīth, 1357), sisi, mereka menyadari bahwa kitab-kitab ini 9. Coba bandingkan pengantar ini dalam; Abū Muhammad Abdillah bin Yūsuf al-Hanafī al-Zaila’ī, Nasb al-Rāyah li memiliki neraca hitungan dan standar yang Ahādīth al-Hidāyah ma’a Hashiyatihi Bughyah al-Almi’i fi tidak jauh berbeda dengan al-Sahihayn. Mereka Takhrij al-Zaila’i, jil. 1, Muhammad ‘Awāmah, muhaqqiq (Bayrūt: Mu’assasah al-Rayyān li al-Tabā’ah wa al-Nashr, juga mengakui kredibilitas dan kapabilitas Ibn 1318/1997), 7-12. Khuzaymah sebagai seorang yang “thābit ”, 58Yang dimaksud adalah kitab Nasb al-Rāyah li Ahādīth al- Hidāyah karya al-Zaila’ī. “hāfi z” dan “thiqah ”. Namun lagi-lagi, karena 59Meskipun saya tidak mendapatkan teks aslinya yang langsung yang dihadapi adalah model dominan, maka ditulis oleh al-Binwāri. Namun, dari cara beliau menilai dan kata-kata “ba’da al-Sahihayn” masih memposisikan secara hirarkis kitab-kitab hadis yang ada, sudah dapat diterka bagaimana logika yang digunakan dalam pengantar dipertahankan oleh Ahmad Shākir, namun tahqiq-annya terhadap Nasb al-Rāyah sama dengan logika tidak ditunjukkan pernyataan yang diangkat oleh Muhammad Mustafa Azami ini. Baca: Muhammad Mustafa Azami, 25. Bandingkan dengan 56Muhammad Mustafa Azami, 25. footnote 33.

204 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah Muhammad Mustafa Azami, yang secara tidak riwayat. Ia tidak terlampau berbeda dengan langsung hendak mengatakan bahwa Sahih Ibn Sahih al-Bukhari Sahih al-Bukhārī dan Sahih Khuzaymah merupakan sebuah kitab sahih yang Muslim. Dengan beberapa klasifikasi kajian yang memiliki kualitas setara al-Sahihayn. Beberapa telah dipaparkan sebelumya, justru Sahih Ibn bukti menunjukkan hal itu; kredibilitas seorang Khuzaymah memiliki kelebihan dari segi fokus Ibn Khuzaymah dan kejelian serta kerapatan dan metodologi pemahaman terkait redaksi hadis standarnya dalam menyeleksi riwayat hadis.60 yang dicantumkan. Salah seorang ulama hadis yang juga mengakui Dalam beberapa komentar yang dicantumkan itu adalah al-Suyūti. Dalam Tadrīb al-Rāwī beliau sebelumya, bisa dilihat bagaimana posisi Sahih mengatakan: Ibn Khuzaymah sebenarnya masih sangat problematis dan membingungkan. Oleh karena ”itu, digunakan tanda kurung pada huruf “o »صحيح ابن خزمية أعلى مرتبة من صحيح ابن حبان sebelum kata “posisi” sebagai tanda rehat dan jeda لشدة حتريه حىت أنه يتوقف يف التصحيح ألدىن كالم waktu menghela nafas guna mempertimbangkan يف اإلسناد فيقول إن صح اخلرب أو إن ثبت كذا ونو 61 dengan seksama segala indikator yang ada dalam proses penentuan posisi Sahih Ibn Khuzaymah ذلك.« “Sahih Ibn Khuzaymah lebih tinggi di antara jajaran kitab hadis lainnya. Jika yang martabatnya daripada Sahih Ibn Hibbān dilihat adalah sisi standar, cara, syarat-syarat karena standar ketatnya; terlihat bagaimana penerimaan riwayat dan regulasi keabsahan Ibn Khuzaymah tidak mensahihkan hadis lainnya, maka sejauh ini bisa disimpulkan kalau karena rendahnya kualitas sanadnya. Maka posisi Sahih Ibn Khuzaymah di antara kitab sahih beliaupun mengomentari [hadis tersebut] “jika lainnya memang tidak terlampau berbeda. benar khabarnya”, “jika benar demikian” dan Tentu kajian ini masih membutuhkan beberapa istilah lainnya yang serupa.” kajian lanjutan. Pertama misalnya, terkait faktor yang mendorong lahirnya kerja kategorisasi di Al-Suyūti mengakui bahwa Ibn Khuzaymah abad-abad pasca kodifikasi, atau yang dikenal memiliki standar yang sangat ketat dalam dengan proses kanonisasi. Tidak sepenuhnya menerima dan meriwayatkan hadis. Itu Sahih Ibn Khuzaymah disingkirkan dari jajaran ditunjukkan secara implisit dalam Sahihnya al-kutub al-sittah hanya karena argumen apologis dengan istilah-istilah yang menunjukkan bahwa bahwa standar yang digunakan tidak sematang hadis tersebut telah melalui satu proses analisis Sahih al-Bukhārī dan Sahih Muslim. Kedua, panjang. Itu yang kemudian membuat Sahih Ibn kajian lain juga dibutuhkan dalam rangka Khuzaymah juga memiliki kualitas yang lebih melakukan perbandingan secara konten antara baik dibandingkan Sahih Ibn Hibbān dan al- Sahih al-Bukhārī dan Sahih Ibn Khuzaymah. Mustadrak. Sejauhmana misalnya pola periwayatan keduanya menunjukkan satu skema metodologi yang sama, Kesimpulan yang memang menjadi nadi diskursus hadis di Dari penjelasan di atas, Sahih Ibn Khuzaymah, abad II dan III hijriyah. layaknya kitab-kitab hadis yang ditulis pada Kedua model penelitian tersebut, secara abad III hijriyah, mengaplikasikan totalitas tidak langsung akan lebih memperlihatkan posisi kajian sanad-matan dalam proses akomodasi Sahih Ibn Khuzaymah dan perannya bukan hanya

60Muhammad Mustafa Azami, 25-26. sebagai sebuah karya atau pantulan independensi 61Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyūtī, Tadrīb al-Rāwī fi Sharh pemikiran. Lebih jauh lagi, hal itu akan Taqrīb al-Nawāwī, Abdul Wahab Abdul Lathif, muhaqqiq (Riyād: Maktabah al- Riyād al-Hadīthah, t.th.), 109. memperlihatkan gejolak diskursus secara umum

Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 205 dan fenomena pemikiran yang melatarbelakangi Hitti, Philip K. History of The Arab. Jakarta: segenap pembangunan diskursus atau bidang Serambi Ilmu Semesta, 2014. keilmuan dalam Islam, termasuk hadis. Ibn Khuzaymah, Abū Bakr Muhammad bin Ishāq. Sahih Ibn Khuzaymah. Makkah: al-Maktab al-Islāmī, 1390. Daftar Kepustakaan al-‘Irāqī, Zaynuddin Abdurrahim bin al-Husayn. al-Ansārī, Abū Zakariyā. Fath al-Bāqī bi Sharhi Alfiyah al-Irāqī fi ‘Ulūm al-Hadīth, Māhir Alfiyah al-Irāqī. cet. I. Bayrūt: Dār al- Yāsin, muhaqqiq. t.tp.: t.p., t.th. Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422/ 2002. al-Khātib, Muhammad ‘Ajjāj. Usūl al-Hadīth al-Ash’ash, Abū Dāwūd Sulayman bin. Sunan ‘Ulūmuhu wa Mustalahuhu. Bayrūt: Dār Abī Dāwūd. Bayrūt: Dār al-Kutub al- al-Fikr, 2009/1430. ‘Ilmiyyah, 2010/1431. Al-Mu’jam al-Wasīt. Mesir: Maktabah al-Shurūq Azami, Muhammad Mustafa. “Ibn Khuzaymah al-Dawliyah, 2011. wa Sahihahu.” Dalam Muhammad bin al-Nasā’ī, Abū ‘Abdirrahman Ahmad bin Shu’ayb Ishāq bin Khuzaymah al-Naysābūrī. Sahih bin Ālī. Sunan al-Nasā’ī. Bayrūt: Dār al- Ibn Khuzaymah. Bayrūt: al-Maktab al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010. Islāmī, 2003. Rifqi Muhammad Fatkhi. “Hadith dalam al-Bukhārī, Muhammad bin ‘Ismā’īl bin Ibrāhim. Hegemoni Fiqh: Membandingkan Sahih Sahih al-Bukhārī. Bayrūt: Dār al-Kutub Ibn Hibban dengan Sunan Ibn Majah.” al-‘Ilmiyyah, 2009/1430. Journal of Qur’an and Hadith Studies, Dadi Nurhaedi. “Shahih Ibn Khuzaymah.” Dalam no. 1 (2012). M. Alfatih Suryadilaga, ed. Studi Kitab ------. “Sahih Ibn Hibban dalam al-Kutub al- Hadis. Yogyakarta: Teras, 2003. Sittah; Sebuah Tawaran Alternatif.” Tesis al-Dhahabī, Shamsuddin Abū ‘Abdillah PPs. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad. Tārīkh al-Islām wa Wafayāt 2008. al-Mashāhīr wa al-A’lām. Bayrūt: Dār al- al-Shāfi’ī, Muhammad bin Idrīs. al-Risālah. Gharb al-Islāmī, 2003. Bayrūt: Dār al-Nafā’is, 1431/2010. ------. Siyār A’lām al-Nubalā’. Bayrūt: Mu’assah al-Subkī, Tajuddin bin Ali bin Abd al-Kāfī. al-Risālah, 1985/ 1405. Tabaqāt al-Shāfi’iyyah al-Kubra. t.tp.: al-Fārisī, ‘Alā’uddin Alī bin Balabbān. Sahih Hajr li al-Tabā’ wa al-Nashr wa al-Tawzī’, Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn al-Balabbān. 1413. Syu’aib Arnaut, ed. Bayrut: Mu’assasah al-Suyūtī, Abdurrahman bin Abi Bakr. Tadrīb al- al-Risālah, 1414/1993. Rāwī fi Sharh Taqrīb al-Nawāwī. Riyād: al-Hajjāj, Abū al-Husayn Muslim bin. Sahih Maktabah al-Riyād al-Hadīthah, t.th. Muslim. Bayrūt: Dār al-Kutub al- Tahhān, Mahmūd. Taysīr Mustalah al-Hadīth. ‘Ilmiyyah, 2008/1429. Jeddah: al-Haramayn, t.th. al-Hāshimī, ‘Abd al-Hāq bin ‘Abd al-Wāhid. ------. Usūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-Asānīd. ‘Ādāt al-Imām al-Bukhārī fī Sahihihi. Riyad: Maktabah al-Ma’ārif li al-Nashr Kuwayt: Maktāb al-Shu’ūn al-Fanniyyah, wa al-Tauzī’, 1996. 1428/ 2007.

206 Hilmy Firdausy: Mengenal Sahih ibn Khuzaymah al-Zaila’ī, Jamaluddin Abū Muhammad Abdillah. Takhrīj al-Zayla’i. Muhammad ‘Awāmah, Nadb al-Rāyah li Ahādīth al-Hidāyah. muhaqqiq. Bayrūt: Mu’assasah al-Rayyān Muhammad Yūsuf al-Binwarī, muhaqqiq. li al-Tabā’ah wa al-Nashr, 1318/1997. Mesir: Dār al-Hadīth, 1357. al-Ziriklī, Khayruddin bin Mahmūd al-Dimashqī. ------. Nadb al-Rāyah li Ahādīth al-Hidāyah al-A’lām. t.tp.: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, ma’a Hashiyatihi Bughyah al-Almi’i fi 2002.

Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 207