ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh:

KEKE WISMANA PURBA NIM. 137005019

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Telah Lulus Diuji Pada Tanggal: 12 Oktober 2015

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Dr. M. Hamdan, SH., MH

Anggota : Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum

Dr. Edy Ikhsan, SH., MA

Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum

Dr. Jusmadi Sikumbang, SH., MS

Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP KEKE WISMANA PURBA

Nama : Keke Wismana Purba

Tempat/Tgl. Lahir : Binjai, 25 September 1988

Alamat : Dusun 1 Timbang Lawan Kecamatan Bahorok

Kode Pos : 20774

Hand Phone : 081376455959

E-mail : [email protected]

Pendidikan : 1995 – 2001 : SD Inpres Gotong-royong Kabupaten Langkat

2001 – 2004 : SMP Negeri 1 Bahorok Kabupaten Langkat

2004 – 2007 : SMA Tunas Pelita, Binjai

2007 – 2011 : Sarjana Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera

Utara

Skripsi : Analisis Kriminologi Terhadap Pemalsuan Credit

Card Dalam Transaksi Perbankan

2013 – 2015 : Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Tesis : Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga

Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim…

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala anugerah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan Tesis ini guna melengkapi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara. Adapun judul Tesis ini mengenai “Analisis Kebijakan

Hukum Pidana Terhadap Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika”.

Penulis sadar dalam penyusunan Tesis ini masih banyak kekurangannya, baik dari segi materi maupun penyusunan kalimatnya, serta tak lepas dari bantuan pihak-pihak tertentu baik berupa bimbingan, kritik, saran bahkan pengarahan, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu menyelesaikan Tesis ini. Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.Hum selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. M. Hamdan, SH., M.H selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah

memberikan bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan tesis.

4. Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

memberikan bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan tesis.

Universitas Sumatera Utara

5. Dr. Edy Ikhsan, SH., MA selaku Dosen Pembimbing III, yang telah memberikan

bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan tesis.

6. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Dosen Penguji, yang telah memberikan

bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan tesis.

7. Dr. Jusmadi Sikumbang, SH., MS selaku Dosen Penguji, yang telah memberikan

bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan tesis.

8. Para Staff Pegawai di lingkungan Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang ikut serta dalam membantu proses pendidikan,

yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan moril kepada penulis.

9. Keluargaku tercinta, Ayahanda Syah Daulat Purba, Ibundaku tersayang

Siti Aisyah, Kakak tersayang Selviana Purba, SH., LLm, Abangku Marwan

Sinarta Purba, Kakak Ipar Linda Novianti, SH, Abang Ipar Eko Julianto, SH., MH,

yang sudah memberikan dukungan, semangat, perhatian, dan senyum untukku.

10. Terima kasih kepada yang tersayang Raudha Yulisma, S.Sos, yang telah setia

menemani penulis dalam senang dan duka, dan dalam proses bimbingan dalam

penyusunan tesis ini.

11. Sahabat-sahabatku seperjuangan, Budi Bahreisy, Jefrianto Sembiring, Abdul Aziz

Alsa, Mhd. Subhi Solih Hasb, terima kasih atas semuanya yang sudah kita jalani

bersama.

12. Teman-Temanku Stambuk 2013 Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,

terima kasih untuk semuanya.

Universitas Sumatera Utara

Penulis menyadari bahwa Tesis ini kurang sempurna, oleh karena itu mohon kritik dan sarannya agar Tesis ini bisa menjadi lebih sempurna. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga Allah memberikan

Rahmat dan Keridhoan-Nya kepada kita semua, Amin!!!

Walhamdulillahirabbil’alamin…

Medan, 22 September 2015

Penulis,

Keke Wismana Purba

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...... i DAFTAR ISI ...... iv ABSTRAK ...... vi

BAB I : PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Perumusan Masalah ...... 14 C. Tujuan Penelitian ...... 15 D. Manfaat Penelitian ...... 15 E. Keaslian Penelitian ...... 16 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ...... 17 1. Kerangka Teori ...... 17 2. Konsepsi ...... 26 G. Metode Penelitian ...... 29 1. Jenis dan Sifat Penelitian ...... 29 2. Sumber Data ...... 30 3. Teknik Pengumpulan Data ...... 31 4. Analisis data ...... 32

BAB II : PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA ...... 33 A. Pengaturan Hukum Narkotika Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika...... 33 B. Kedudukan Hukum Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika ...... 52 C. Penerapan Pemidanaan Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika Menurut Ketentuan KUHP dan Undang-Undang Narkotika ...... 54

BAB III : PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA ...... 110 A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika oleh Warga Negara Asing ...... 110 B. Peranan Aparat Penegak Hukum Dalam Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika ...... 114 C. Proses Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika ...... 138

Universitas Sumatera Utara

BAB IV : HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA ...... 150 A. Hambatan Pra Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana (Khususnya Pidana Mati) Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika ...... 150 B. Hambatan Pasca Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana (Khususnya Pidana Mati) Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika ...... 153 C. Solusi Dalam Menyelesaikan Hambatan Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana (Khususnya Pidana Mati) Terkait Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika ...... 157

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ...... 161 A. Kesimpulan ...... 161 B. Saran ...... 165

DAFTAR PUSTAKA ...... 166

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Perkara tindak pidana narkotika yang dianggap sebagai kejahatan yang paling serius dan dapat menjadi alat subversion, namun kenyataan di lapangan pemberlakuan kebijakan hukum pidana bagi para warga negara asing pelaku kejahatan khususnya narkotika memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini berkaitan dengan perlindungan hak-hak para pelaku kejahatan dan kurang tegasnya sistem perundang-undangan yang ada, selain itu pelaksanaan kebijakan hukum pidana bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika juga masih mengalami pro dan kontra di masyarakat, akan tetapi berdasarkan hukum positif Indonesia pelaksanaan kebijakan hukum pidana di Indonesia adalah dibenarkan.Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni bagaimanakah penerapan, pelaksanaan, serta hambatan dan solusi dalam menerapkan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia. Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dimana penelitian hukum normatif ini menggunakan data sekunder sebagai data utama dan juga menggunakan data primer sebagai data pelengkap dengan munggunakan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh), serta analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif. Penelitian ini dimaksudkan agar diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan. Penerapan kebijakan hukum pidana terhadap kejahatan narkotika di suatu negara dapat dilaksanakan berdasarkan asas teritorial yang menitik beratkan tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum. Penerapan sanksi hukum terhadap warga masyarakat termasuk warga negara asing yang melanggar hukum, diharapkan dapat berpengaruh positif bagi perkembangan kepribadian masyarakat. Pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati saat ini tunduk pada Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer. Hambatan pra dan pasca pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika yaitu adanya perbedaan pemahaman mengenai konsep pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati, pro kontra di kalangan masyarakat, praktisi hukum akademisi, dan para penegak hukum terkait pelaksanan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika, serta intervensi dari berbagai negara terkait pelaksanan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika. Solusi yang diambil dalam mengantisipasi hambatan-hambatan tersebut adalah dengan melakukan pendekatan yang bersifat partisipatoris dalam seluruh program dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan.

Kata Kunci: Kebijakan Hukum Pidana, Pidana Mati, Warga Negara Asing

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

The crime of narcotics matters that are regarded as the most serious crimes and can be a tool of subversion, but the reality in the field was the enactment of criminal law policy for foreign nationals particularly narcotics offenders require quite a long time. This relates to the protection of the rights of the perpetrator of the crime and the lack of existing statutory system specifically, besides implementing criminal law policies for foreign nationals the perpetrator of the criminal offence of narcotics is also still have pros and cons in the community, but under the laws of Indonesia's positive criminal law policy execution in Indonesia was justified. The issue raised in this research, i.e. How is the implementation, execution, as well as the barriers and solutions in implementing criminal law policies against foreign nationals perpetrator of criminal illegals in Indonesia. To find answers to these problems then this research using this type of normative legal research is a descriptive analytical, where the normative legal research using secondary data as the primary data and also use the primary data as supplementary data by using data collection techniques are carried out by means of the study of librarianship and data analysis using the method of qualitative data analysis. This research was intended to accrue to the description in detail and systematically about issues that will be examined. Based on the description of the intended analysis, facts are obtained will be done carefully analyses to answer the problem. The application of criminal law policies against narcotics crimes in one country can be implemented based on the principle of the territory operates a place (locus delicti) as the basis for the enforcement of the law. The application of the sanctions law against citizens of the society including foreign nationals who break the law, expected to be positive for the development of the personality of the influential community. Implementation of the policy of criminal law in particular criminal dead is currently subject to a Presidential Determination No. 2 of 1964 On The implementation of the Criminal to death determined by the courts In General and military Judicial environment. Barriers of pre and post implementation of the policy of criminal law in particular criminal foreign nationals dead to the perpetrators of the crime of narcotics, namely the existence of a difference of understanding of the concept of the implementation of the policy of criminal law in particular criminal dead, pros cons among the public, academics, legal practitioners and law enforcers linked the implementation of the policy of criminal law in particular criminal foreign nationals dead to the perpetrators of the crime of narcotics, as well as the intervention of various countries linked the implementation of the policy of criminal law in particular criminal foreign nationals dead to the perpetrators of criminal acts narcotics. The solution was taken in anticipation of the barriers is to conduct a participatory approach that is in the whole programme by involving the entire parties concerned.

Keywords: Criminal Law, Criminal Policy Dead, Foreign Citizens

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Perkara tindak pidana narkotika yang dianggap sebagai kejahatan yang paling serius dan dapat menjadi alat subversion, namun kenyataan di lapangan pemberlakuan kebijakan hukum pidana bagi para warga negara asing pelaku kejahatan khususnya narkotika memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini berkaitan dengan perlindungan hak-hak para pelaku kejahatan dan kurang tegasnya sistem perundang-undangan yang ada, selain itu pelaksanaan kebijakan hukum pidana bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika juga masih mengalami pro dan kontra di masyarakat, akan tetapi berdasarkan hukum positif Indonesia pelaksanaan kebijakan hukum pidana di Indonesia adalah dibenarkan.Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni bagaimanakah penerapan, pelaksanaan, serta hambatan dan solusi dalam menerapkan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia. Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dimana penelitian hukum normatif ini menggunakan data sekunder sebagai data utama dan juga menggunakan data primer sebagai data pelengkap dengan munggunakan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh), serta analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif. Penelitian ini dimaksudkan agar diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan. Penerapan kebijakan hukum pidana terhadap kejahatan narkotika di suatu negara dapat dilaksanakan berdasarkan asas teritorial yang menitik beratkan tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum. Penerapan sanksi hukum terhadap warga masyarakat termasuk warga negara asing yang melanggar hukum, diharapkan dapat berpengaruh positif bagi perkembangan kepribadian masyarakat. Pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati saat ini tunduk pada Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer. Hambatan pra dan pasca pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika yaitu adanya perbedaan pemahaman mengenai konsep pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati, pro kontra di kalangan masyarakat, praktisi hukum akademisi, dan para penegak hukum terkait pelaksanan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika, serta intervensi dari berbagai negara terkait pelaksanan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika. Solusi yang diambil dalam mengantisipasi hambatan-hambatan tersebut adalah dengan melakukan pendekatan yang bersifat partisipatoris dalam seluruh program dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan.

Kata Kunci: Kebijakan Hukum Pidana, Pidana Mati, Warga Negara Asing

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

The crime of narcotics matters that are regarded as the most serious crimes and can be a tool of subversion, but the reality in the field was the enactment of criminal law policy for foreign nationals particularly narcotics offenders require quite a long time. This relates to the protection of the rights of the perpetrator of the crime and the lack of existing statutory system specifically, besides implementing criminal law policies for foreign nationals the perpetrator of the criminal offence of narcotics is also still have pros and cons in the community, but under the laws of Indonesia's positive criminal law policy execution in Indonesia was justified. The issue raised in this research, i.e. How is the implementation, execution, as well as the barriers and solutions in implementing criminal law policies against foreign nationals perpetrator of criminal illegals in Indonesia. To find answers to these problems then this research using this type of normative legal research is a descriptive analytical, where the normative legal research using secondary data as the primary data and also use the primary data as supplementary data by using data collection techniques are carried out by means of the study of librarianship and data analysis using the method of qualitative data analysis. This research was intended to accrue to the description in detail and systematically about issues that will be examined. Based on the description of the intended analysis, facts are obtained will be done carefully analyses to answer the problem. The application of criminal law policies against narcotics crimes in one country can be implemented based on the principle of the territory operates a place (locus delicti) as the basis for the enforcement of the law. The application of the sanctions law against citizens of the society including foreign nationals who break the law, expected to be positive for the development of the personality of the influential community. Implementation of the policy of criminal law in particular criminal dead is currently subject to a Presidential Determination No. 2 of 1964 On The implementation of the Criminal to death determined by the courts In General and military Judicial environment. Barriers of pre and post implementation of the policy of criminal law in particular criminal foreign nationals dead to the perpetrators of the crime of narcotics, namely the existence of a difference of understanding of the concept of the implementation of the policy of criminal law in particular criminal dead, pros cons among the public, academics, legal practitioners and law enforcers linked the implementation of the policy of criminal law in particular criminal foreign nationals dead to the perpetrators of the crime of narcotics, as well as the intervention of various countries linked the implementation of the policy of criminal law in particular criminal foreign nationals dead to the perpetrators of criminal acts narcotics. The solution was taken in anticipation of the barriers is to conduct a participatory approach that is in the whole programme by involving the entire parties concerned.

Keywords: Criminal Law, Criminal Policy Dead, Foreign Citizens

Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia dan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu melakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Meskipun narkotika sangat bermanfaat untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.1

Sejarah penanggulangan bahaya narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia

(Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional

(BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol,

1 Syamsul Hidayat, Pidana Mati Di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2010), hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing.

Pada masa itu, permasalahan narkotika di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa

Indonesia adalah bangsa yang agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkotika, sehingga pada saat permasalahan narkotika meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkotika.

Pelaku peredaran dan pengguna narkotika sendiri terdiri dari berbagai lapisan kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, orang yang tidak berpendidikan sampai orang yang berpendididkan, public figure, artis, anggota dewan, aparat penegak hukum saat ini sudah mulai menyalahgunakan narkotika, bahkan seorang residivis pun berulang kali melakukan peredaran narkotika setelah keluar dari penjara, dan yang sangat disayangkan lagi saat ini peredaran narkotika sudah banyak yang di kendalikan dari dalam penjara.

Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara lain di seluruh dunia. Memasuki abad millenium perhatian dunia internasional

Universitas Sumatera Utara

terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui

Single Convention On Narcotic Drugs pada tahun 1961.2 Masalah ini menjadi begitu penting mengingat bahwa narkotika itu adalah suatu zat yang dapat merusak fisik dan mental yang bersangkutan, apabila penggunanya tanpa resep dokter.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan obat-obatan atau narkotika merupakan kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah semata-mata pelaksanaan undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik, dogmatik. Selain dengan pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.3

Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak bisa lepas dari tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.4

Sebagai warga negara berkewajiban untuk memberikan perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan, selain itu sisi lain yang menjadi perhatian pemerintah adalah mengenai keamanan dan ketertiban masyarakat

2 Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 30 3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 22 4 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: UNDIP, 1996), hlm. 6

Universitas Sumatera Utara

khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana narkotika.

Reformulasi kebijakan sanksi khususnya bagi pengguna narkotika kedepan yaitu dengan menerapkan sanksi tindakan perlu mempertimbangkan jenis atau bentuk dari sanksi tindakan yang tepat dan bermanfaat dalam rangka menyelamatkan penyalaguna narkotika bagi pecandu. Untuk menentukan jenis sanksi tindakan tersebut perlu memperhatikan beberapa hal seperti konvensi negara-negara didunia mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana. (restorative justice) yang merupakan alternatif yang sering digunakan diberbagai belahan dunia untuk penanganan pelaku tindak pidana yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.5

Masalah kebijakan hukum pidana merupakan salah satu bidang yang seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi yang bertujuan mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya kejahatan-kejahatan dan penjahat. Kajian mengenai kebijakan hukum pidana (penal policy) yang termasuk salah satu bagian dari ilmu hukum pidana, erat kaitannya dengan pembahasan hukum pidana nasional.

Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial adalah lewat kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, jadi

5 DS. Dewi, Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal Dalam Penerapan Restorative Justice Di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie Publishing, 2011), hlm. 4

Universitas Sumatera Utara

identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Sebaliknya apabila cara pengendalian lain (social control), yaitu dengan cara menggunakan “kebijakan sosial” (social policy) tidak mampu mengatasi tindak pidana, maka jalan yang dipakai melalui kebijakan penal (kebijakan hukum pidana). Dua masalah sentral dalam kebijakan tindak pidana dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah masalah perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya diberikan kepada si pelanggar.6

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia yang mana pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam program pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah ini tergabung dalam kebijakan sosial

(social policy). Salah satu bagian dari kebijakan sosial ini adalah kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), termasuk di dalamnya kebijakan legislatif (legislative policy). Sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan

(criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).7

Pengkajian mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau

6 Mardjono Reksodiputra, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Dan Pengendalian Hukum, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1995), hlm. 23-24 7 Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011), hlm. 6

Universitas Sumatera Utara

criminal law enforcement yang mana bagiannya adalah kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy), dimana dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal). Penegakan hukum mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni takut berbuat dosa, takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif, dan takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.8

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hokum, disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.9

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa di sebut dengan istilah politik kriminal yang dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Maksudnya dalam upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without

8 Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 142 9 Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan hukum pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 148

Universitas Sumatera Utara

punishment), mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa (influencing views of society on crime and punishment). Permasalahan sentral dalam kebijakan penal adalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (yaitu melalui kebijakan kriminalisasi), dan sanksi apa yang sebaiknya dijatuhkan kepada sipelanggar (yaitu melalui kebijakan penalisasi).10

Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan.11 Selanjutnya Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare), oleh karena itu, tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.”12

Para pelaku tindak pidana narkotika sebagian besar berasal dari warga negara asing yang berhasil di tangkap pihak kepolisian bekerjasama dengan Badan Narkotika

Nasional, dimana hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi surga bagi para pelakunya. Kebijakan penal yang dilakukan oleh kepolisian meliputi

10 Ibid., hlm. 160 11 Ibid., hlm. 95 12 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Premedia Group, 2014), hlm. 4

Universitas Sumatera Utara

pengungkapan dan penyelesaian kasus (sampai di tahap penyidikan) baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun terhadap pelaku yang berasal dari warga negara asing. Pelaku tindak pidana narkotika ini memiliki jaringan yang tidak saling mengenal, oleh sebab itu pengungkapan kasus tindak pidana narkotika ini memerlukan strategi yang matang dari aparat penegak hukum.

Kelemahan kebijakan legislatif akan berdampak pada para penegak hukum, yaitu kesulitan mengaplikasikan aturan-aturan tersebut dalam menangani kasus-kasus tindak pidana narkotika. Perumusan kebijakan kriminalisasi dan kualifikasi tindak pidana yang kurang jelas, dimana kebijakan kriminalisasi undang-undang tersebut terfokus untuk kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan dan pengangkutan narkotika (termasuk dalam lintas dan eksport). Kemudian dalam kualifikasi tindak pidananya hanya mengatur ketentuan perubahan-perubahan sebagai larangan termasuk ancaman sanksi pidana. Adanya kelemahan-kelemahan seperti tersebut diatas, maka diadakan perubahan atas undang-undang yang lama, sebagai penggantinya di keluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

Suatu negara dapat menerapkan hukum terhadap kejahatan yang terjadi di wilayahnya berdasarkan asas teritorial yang dilihat dari tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum. Setiap orang (warga negara maupun warga negara asing) yang mengancam keamanan negara maupun warganya diluar batas-batas wilayah negara berlaku ketentuan pidana berdasarkan asas personalitas (pasif). KUHP

Indonesia secara tersirat menyatakankan beberapa asas yang menjadi landasan bagi

Universitas Sumatera Utara

pembentukan serta pemberlakuan hukum pidana atas suatu peristiwa pidana menurut tempat yaitu asas teritorial, asas personalitas berdasarkan kewarganegaraan aktif, asas personalitas berdasarkan kewarga negaraan pasif dan yang terakhir adalah asas universal. Asas-asas ini merupakan dasar yang di atasnya dapat dilaksanakan yurisdiksi suatu negara.13

Asas teritorial terdapat dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan sesuatu tindak pidana.” Asas teritorial ini melahirkan yuridiksi teritorial, yaitu kedaulatan atau kewenangan suatu negara yang berdasarkan hukum Internasional untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi dalam batas-batas wilayah negaranya.

Salah satu wujud dari yurisdiksi teritorial suatu negara adalah membuat serta memberlakukan hukum pidana Indonesia terhadap tindak pidana yang terjadi dalam wilayah negara Indonesia. Ketentuan ini berlaku bagi warga negara Indonesia sendiri maupun orang asing yang melakukan suatu tindak pidana.14 Hal ini merupakan dasar yang diunggulkan bagi pelaksanaan yuridiksi negara. Peristiwa yang terjadi dalam batas-batas teritorial suatu negara dan orang-orang yang berada di wilayah tersebut sekalipun untuk sementara, pada lazimnya tunduk pada penerapan hukum lokal.15

13 Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 3-5 14 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya, 2003), hlm. 12-13 15 Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1993), hlm. 120

Universitas Sumatera Utara

Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika digolongkan menjadi empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni:16 a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan,

menguasai atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika. b. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika. c. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika. d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim,

mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara, kemudian diberlakukan pula pidana tambahan seperti denda, serta pencabutan hak-hak tertentu.

Selain pidana tersebut Pasal 146 undang-undang ini juga memberikan sanksi terhadap warga negara asing yang telah melakukan tindak pidana narkotika ataupun telah

16 Siswanto Sunarso, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 256

Universitas Sumatera Utara

menjalani hukuman atas tindak pidana narkotika, dilakukan pengusiran wilayah negara Republik Indonesia dan dilarang masuk kembali ke wilayah negara Republik

Indonesia.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial, namun dalam kenyataannya tindak pidana narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.17

Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkotika tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan akan mengakibatkan kecenderungan untuk memuaskan atau dapat saja tidak memuaskan, di mana secara

17 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

estetika terpidana harus menerima penderitaan seimbang dengan korbannya.

Sementara itu tujuan pemidanaan yang lain, adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.18

Perkara tindak pidana narkotika yang dianggap sebagai kejahatan yang paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat menghancurkan masa depan anak bangsa. Upaya penanggulangan dan pemberantasan narkotika dan obat-obat terlarang di negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye anti narkotika, serta penyuluhan tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkotika bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan narkotika tersebut.19

Pemidanaan berupa penjara, hukuman mati maupun denda terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika saat ini telah banyak dilaksanakan oleh pengadilan. Salah satu pidana penjara telah diberikan hakim adalah kepada terdakwa

Orjan Robert Elovsson warga negara asing asal Swedia, Naravadee warga negara asing asal Thailand dan Ataliat Joses Guambe warga negara asing asal Mozambique oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diyakini terbukti tanpa hak melakukan permufakatan jahat mengedarkan narkotika, dan ketiga warga negara asing tersebut di vonis masing-masing seumur hidup. Terdapat juga warga negara

18 Djoko Prakoso, Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 145 19 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 56

Universitas Sumatera Utara

asing yang di sidang dan di vonis hukuman penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya karena kasus narkoba, adalah tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Lu Xue

Mei, warga negara asing asal China yang mendapat hukuman 13 tahun penjara karena terbukti mengedarkan narkoba. Selain itu, penyelundup sabu antar negara tersebut diwajibkan membayar denda sebanyak satu milliar, dan jika tidak dibayar, bisa diganti dengan hukuman penjara selama enam bulan.20

Indonesia juga memberlakukan pidana mati bagi bandar narkoba baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Kejaksaan Agung telah melakukan eksekusi hukuman mati tahap pertama terhadap lima terpidana mati kasus narkoba yang berwarga negara asing. Kelima terpidana mati warga negara asing itu terdiri dari empat laki-laki dan satu perempuan. Mereka adalah Namaona Denis, Umur 48 Tahun

Warga Negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira, Umur 53 Tahun, Warga

Negara Brazil, Daniel Enemua, Umur 48 Tahun, Warga Negara Nigeria, Ang Kim

Soei, Umur 62 Tahun, Warga Negara Vietnam, Tran Thi Bich Hanh, Umur 37 Tahun,

Warga Negara Vietnam. Eksekusi terhadap lima terpidana mati itu dilakukan setelah permohonan grasi mereka ditolak oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Desember

2014.21

Tahap kedua pelaksanaan eksekusi mati yang sudah dilaksanakan terhadap sembilan terpidana mati warga negara asing yakni, Warga Negara

20 Warga Negara Asing Asal China Pengedar Narkoba Dihukum 13 Tahun, http://realita.co/index.php?news=WNA-China-Pengedar-Narkoba-Dihukum-13- Tahun~3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296251d23c44fab3e50e73a3e39cdd56d60c, (diakses tanggal 16 April 2015). 21 Kejaksaan Agung RI, Eksekusi Terpidana Mati Narkoba, http://www.kejaksaan.go.id/search.php?q=eksekusi+mati&x=0&y=0, (diakses tanggal 16 April 2015).

Universitas Sumatera Utara

Australia, Mary Jane Fiesta Veloso Warga Negara Filiphina,

Warga Negara Australia, Serge Areski Atlaoui Warga Negara Prancis, Martin

Anderson Warga Negara Ghana, Raheem Salami Warga Negara Spanyol, Rodrigo

Gularte Warga Negara Brazil, Sylvester Obiekwe Warga Negara Nigeria, Okwudili

Ayatanze Warga Negara Nigeria.22

Kenyataan di lapangan pemberlakuan kebijakan hukum pidana bagi para warga negara asing pelaku kejahatan khususnya narkotika memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini berkaitan dengan perlindungan hak-hak para pelaku kejahatan dan kurang tegasnya sistem perundang-undangan yang ada, selain itu pelaksanaan kebiajakan pidana bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika juga masih mengalami pro dan kontra di masyarakat, akan tetapi berdasarkan hukum positif

Indonesia pelaksanaan kebijakan hukum pidana di Indonesia adalah dibenarkan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan tersebut maka penelitian ini diberi judul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga Negara Asing

Pelaku Tindak Pidana Narkotika.”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang akan diteliti dan jelas batas-batasnya. Pada penelitian ini adapun yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:

22 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

1. Bagaimana penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing

pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia?

2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing

pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia?

3. Bagaimana hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan hukum pidana

(khususnya pidana mati) terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana

narkotika di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai penerapan kebijakan hukum

pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pelaksanaan kebijakan hukum

pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai hambatan-hambatan yang terjadi

dalam pelaksanaan kebijakan hukum pidana (khususnya pidana mati) terhadap

warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoretis kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun praktis kepada para praktisi hukum.

1. Manfaat yang bersifat teoretis adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat

menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan displin

Universitas Sumatera Utara

ilmu hukum khususnya dalam bidang pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana

mati narkotika.

2. Manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya

diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang

diteliti dan disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru

serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.23 Secara praktis diharapkan juga

agar penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat, aparat

penegak hukum dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan dapat

meningkatkan kesadaran dan perannya dalam setiap pelaksanaan pidana

hukuman mati bagi terpidana narkotika, mengingat narkotika merupakan musuh

paling berbahaya bagi generasi penerus bangsa.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga

Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika” adalah hasil pemikiran sendiri.

Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan fakultas hukum universitas sumatera utara khususnya dilingkungan magister kenotariatan dan magister ilmu

23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 106

Universitas Sumatera Utara

hukum juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada beberapa penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain:

1. Nama : Anjan Pramuka Putra

Nim : 067005063

Tahun : 2008

Judul : Analisis yuridis Penerapan Sistem Pemidanaan Terhadap pelaku

Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

2. Nama : Elizabeth Siahaan

Nim : 077005036

Tahun : 2009

Judul : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkotika

Di Sumatera Utara

3. Nama : Jukiman Situmorang

Nim : 087005009

Tahun : 2010

Judul : Analisis Yuridis Tindak Pidana Narkotika Sebagai Predicate Crime

Dalam Money Laundering

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Universitas Sumatera Utara

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.24 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.25

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini berusaha untuk memahami mengenai konsep pidana hukuman mati yang diterapkan bagi terpidana narkotika, dimana konsep pidana hukuman mati diharapkan dapat efek jera bagi pemakai, pengedar, dan pembuat narkotika.

Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori tujuan hukum dimana tujuan hukum harus mewujudkan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum. Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian yang tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha menjelaskan arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik dalam pengertian yang sempit maupun luas. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis, jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan

24 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80 25 Soerjono Soekanto, Ibid., hlm. 6

Universitas Sumatera Utara

logis dalam artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik antara norma satu dengan yang lainnya.

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif legal positivism karena lebih melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.

Gustaf Radbruch pada konsep ajaran prirotas baku mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan utama hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.26

Keadilan yang dimaksudkan ini adalah keadilan dalam arti yang sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang mau dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana

26 Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 287-288

Universitas Sumatera Utara

hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.27 Kepastian hukum itu berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan pada prinsip the binding for precedent (stare decisis) dalam sistem common law dan the persuasive for precedent

(yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang mengandung kepastian hukum adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan otoritas. Kepastian hukum akan terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada putusan-putusan terdahulu.28

Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri

(eigenrichting). Dalam penerapan teori hukum tidak dapat hanya satu teori saja tetapi harus gabungan dari berbagai teori. Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan hukum yang utama adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban dan perdamaian.29 Fuller memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum. Fuller menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan bahwa kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:30 a. Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan putusan sesaat untuk hal-hal tertentu. b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik. c. Peraturan tersebut tidak berlaku surut. d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

27 Ibid., hlm. 162 28 Ibid., hlm. 294 29 Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 22 30 Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 294

Universitas Sumatera Utara

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan. f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. g. Tidak boleh sering diubah-ubah. h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Fungsi teori tujuan hukum disini adalah untuk menjamin setiap pelaksanaan pidana hukuman mati bagi terpidana mati narkotika, mengingat pidana mati sebagai efek pembuat jera bagi pemakai, pengedar, dan pembuat narkotika, yang jika di edarkan di wilayah hukum Indonesia. Kepastian hukum juga mengisyaratkan bahwa setiap pelaku tindak pidana narkotika yang dijatuhi hukuman mati oleh hakim, maka pelaksanaan hukuman pidana mati sudah pasti diberikan kepada terpidana mati narkotika.

Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori sistem hukum yang di dalamnya terdapat asas-asas hukum yang terpadu yang membentuk tertib hukum terhadap hukum pidana di Indonesia. Asas-asas hukum itu terdapat dalam hukum pidana dan hukum acara pidana Indonesia. Salah satu asas hukum dalam hukum pidana adalah asas legalitas, yaitu tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.31

Sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam peraturan perundang- undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa.32 Selain asas legalitas terdapat asas tiada pidana tanpa kesalahan untuk

31 Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 32 Pasal 1 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Universitas Sumatera Utara

menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.33

Pengertian mengenai hukum banyak dikemukakan oleh para ahli hukum. Satu sama lain memiliki perbedaan dan sampai sekarang tidak ada satu pengertian hukum yang disepakati oleh semua pihak, karena masing-masing mempunyai perspektif yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a. Hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu, maka metode yang dipergunakan bersifat idealis, metode ini selalu berusaha menguji hukum yang harus mewujudkan nilai-nilai tertentu. b. Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka perhatian akan terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom yang bisa dibicarakan sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan tersebut. Cara pandang ini akan menggunakan metode normatif analitis. c. Hukum dipahami sebagai alat untuk mengatur masyarakat, maka metode yang digunakan adalah sosiologis. Metode ini akan mengkaitkan hukum kepada usaha- usaha untuk mencapai tujuan dan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan kongkrit masyarakat. Pusat perhatiannya tertuju pada efektifitas dari hukum.34

Komponen yang terdapat pada bagian struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum, komponen substansi adalah luaran dan sistem hukum, termasuk di dalamnya norma-norma itu sendiri baik berupa peraturan- peraturan, keputusan-keputusan yang semuanya digunakan untuk mengatur tingkah laku manusia adapun budaya atau kultur hukum adalah nilai-nilai dan sikap-sikap

33 Fully Handayani, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 59-61 34 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 6

Universitas Sumatera Utara

yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem itu di tengah- tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.35

Lawrence M. Friedman mengemukakan teori bahwa beroperasinya suatu sistem hukum dalam masyarakat atau efektivitas hukum sangat ditentukan oleh tiga komponen dasar. Tentang hal itu, Friedman mengatakan, “a legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact.”36 Sistem hukum tersebut dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjang dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, sehingga dapat dikatakan sistem bukum yang efektif adalah sistem hukum yang mendukung terealisasinya tujuan yang dicapai dalam pembangunan.37

Fungsi teori sistem hukum pada penelitian ini adalah untuk melihat peranan sistem hukum dari tiap-tiap sistem hukum negara yang berbeda baik dalam sistem negara hukum civil law maupun common law dalam pelaksanaan pidana hukuman mati bagi terpidana mati narkotika. Selain itu teori sistem hukum juga akan menganalisis sejauh mana peranan kebijakan pemerintah dalam menegakkan sistem aturan hukum pidana yang dianut masing-masing negara.

Penelitian ini juga menggunakan teori efektivitas hukum menurut Soerjono

Soekanto, hal tersebut didasarkan atas pertimbangan babwa parameter efektivitas hukum lebih sistematis, praktis serta lebih mudah diamati dalam penelitian, sehingga

35 Esmi Warasih, Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011), hlm. 134 36 Ibid. 37 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

secara garis besar lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Lon L.

Fuller mengkonsepsikan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu.

Untuk dapat mewujudkan tujuannya, hukum harus memenuhi persyaratan- persyaratan tertentu atau disebut sebagai delapan prinsip legalitas, yaitu sebagai berikut:38

1. Harus ada peraturannya lebih dahulu 2. Peraturan itu harus diumumkan secara layak 3. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut 4. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat 5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin 6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain 7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah 8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.

Dias mengajukan lima syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum sebagai berikut:39 a. Mudah tidaknya makna aturan-aluran hukum itu untuk ditangkap dan dipahami b. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahul isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan c. Effisien dan effekif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum d. Adanya mekanisme penyelesaian sengkela yang tidak hanya harus mudah dihubungi dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat akan tetapi juga harus cukup effektif menyelesaikan sengketa-sengketa, dan e. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang effektif.

Menurut Soerjono Soekanto, masalah mengefektifkan hukum apabila dibubungkan dengan berlakunya hukum sebagai kaedah, maka hukum harus dapat

38 Esmi Warasih, Op. Cit., hlm. 126-127 39 Ibid., hlm. 135

Universitas Sumatera Utara

berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.40 Hal itu disebabkan apabila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaedah tersebut merupakan kaedah mati (dode regel), dan jika hukum hanya berlaku secara sosiologis, maka kaedah tersebut menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel), dan apabila hukum hanya berlaku secara filosofis, maka kemungkinan hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan.41

Selanjutnya Soerjono Soekanto mengemukakan teorinya agar hukum dapat berfungsi dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh paling sedikitnya empat faktor yakni hukum atau peraturan itu sendiri, petugas yang menegakkannya, fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum, dan warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.42

Menurut Selo Soemardjan, efektivitas hukum berkaitan erat dengan faktor- faktor sebagai berikut:43 a. Jangka waktu penanaman hukum, yaltu panjang atau pendeknya jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. b. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum. c. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistim nilai-nilai yang berlaku. Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum karena compliance, identification, internalization atau kepentingan-kepentingan mereka terjamin pemenuhannya.

40 Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 46-47 41 Ibid., hlm. 47 42 Ibid. 43 Ibid., hlm. 45

Universitas Sumatera Utara

Satjipto Rahardjo mengemukakan adanya beberapa komponen penting dalam kaitannya agar masyarakat menjadi sadar akan manfaat dan produk hukum yang diintroduksikan kepadanya yaitu peraturan hukumnya sendiri yang kemudian dikomunikasikan dalam masyarakat, aktivitas dari para pelaksana, dan proses pelembagaan (institutionalization) dan internalisasi hukumnya.44

Efektivitas hukum sangat mensyaratkan adanya komunikasi hukum agar hukum dapat berlaku dan diterima oleh masyarakat, sebagaimana pendapat Lawrence

M. Friedman, “a legal act (rule, doctrine, practice), whatever functions it serves, is a message”.45 Soerjono Soekanto menambahkan dua syarat selain satu syarat yang telah disebutkan di atas, yaitu syarat bahwa subjek bukum harus dapat melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang diatur oleh hukum dan disposisi untuk berperilaku, yaitu hal-hal apa yang menjadi pendorong manusia untuk berperilaku, perhitungan untung rugi, agar hubungan dengan sesama atau dèngan penguasa tetap terpelihara, hukum tersebut sesuai dengan hati nurani atau karena tekanan-tekanan tertentu.46

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.47 Maka

44 Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial, (Banding: Alumni, 1981), hlm. 87 45 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 17 46 Ibid., hlm. 19 47 Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 3

Universitas Sumatera Utara

dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni: a. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar

rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.

Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor

swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika

hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku, misalnya suatu hukum

yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan, kebijakan hanya menjadi

pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.

Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan

keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif

seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan

dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis,

manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit. b. Kebijakan hukum pidana merupakan salah satu bidang yang seyogyanya menjadi

pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi yang bertujuan

mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya kejahatan-

kejahatan dan penjahat. Kebijakan hukum pidana (penal policy) yang termasuk

salah satu bagian dari ilmu hukum pidana, erat kaitannya dengan pembahasan

hukum pidana nasional. Kebijakan hukum pidana meliputi perbuatan apa yang

seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya diberikan

kepada si pelanggar.

Universitas Sumatera Utara

c. Pidana mati adalah hukuman atau sanksi yang diatur dalam Pasal 10 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana

pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa hukuman mati,

hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda. Sedangkan pidana

tambahan berupa pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang

yang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Dengan demikian, maka

pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana

pokok. d. Pelaku tindak pidana adalah (dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang

melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur

tersebut dirumuskan didalam undang-undang menurut KUHP sebagaimana diatur

dialam Pasal 55 ayat (1) KUHP. e. Warga negara asing adalah seseorang yang tinggal di suatu negara dengan status

kewarganegaraan asing. f. Narkotika adalah adalah singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya.

Selain narkotika, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Semua istilah ini, baik narkotika ataupun

napza, mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko

kecanduan bagi penggunanya. Narkotika sebenarnya adalah senyawa-senyawa

psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi

Universitas Sumatera Utara

atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini persepsi itu disalahartikan

akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.48

Metode penelitian yang digunakan dalam penulian tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu metode atau cara meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum.49

Penelitian ini menggunakan data sekunder untuk menganalisis hubungan hukum atau peraturan yang berkaitan dengan penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika. Adapun sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menguraikan

48 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 42 49 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 12

Universitas Sumatera Utara

permasalahan secara sistematis dan kompeherensif. Tujuan penelitian deskriptif analitis adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.50 Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan normatif yang secara deduktif yang dimulai dari analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang- undangan dalam hal hubungan antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.51 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian dan penulisan tesis ini terdiri dari: a. Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan

oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 22

50 Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1997), hlm. 42 51 Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2006), hlm. 192

Universitas Sumatera Utara

Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang

relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya

tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang

diteliti. c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep

dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari pelaksanaan teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi, teori, pendapat atau penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.52

52 Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori- kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.53 Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu: a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang- undangan yang terkait dengan penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika. b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan. c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut. d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.54

53 Soejono Soekonto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 225 54 Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hlm. 48

Universitas Sumatera Utara BAB II

PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Pengaturan Hukum Narkotika Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Secara harafiah narkotika berasal dari bahasa Yunani, dari kata narke, yang berarti beku, lumpuh, dan dungu.55 Menurut Farmakologi, narkotika adalah “obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri yang berasal dari daerah visceral dan dapat menimbulkan efek stupor atau efek bingung dalam keadaan masih sadar namun masih harus di gertak, serta juga dapat menimbulkan adiksi.56 Soedjono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat, yang bila dipergunakan atau di masukkan dalam tubuh akan membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai dimana pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan atau halusinasi.57

Elijah Adams memberikan definisi narkotika adalah terdiri dari zat sintesis dan semi sintesis yang terkenal adalah heroin yang terbuat dari morfhine yang tidak dipergunakan, tetapi banyak nampak dalam perdagangan-perdagangan gelap, selain juga terkenal istilah dihydo morfhine.58 Pengertian narkotika yaitu “merupakan zat

55 Wison Nadack, Korban Ganja Dan Masalah Narkotika, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1983), hlm. 122 56 Wijaya A.W, Masalah Kenakan Remaja Dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 145 57 Soedjono D, Segi Hukum Tentang Narkotika Di Indonesia, (Bandung: Karya Nusantara, 1977), hlm. 5 58 Wison Nadack, Op. Cit., hlm. 124

Universitas Sumatera Utara

atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi, sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.”59

Tindak pidana narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 UU

Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam UU Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disanksikan lagi bahwa semua tindak pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan, alasannya kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.60

Jenis-jenis narkotika yang disebutkan dalam undang-undang disebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III.61 Pada lampiran undang-undang narkotika, yang dimaksud dengan golongan I, antara lain sebagai berikut:62

1. Papaver adalah tanaman papaver somniferum l, dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

59 Sudarsono, Prospek Pengembangan Obat Bahan Alami Bidang Kesehatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 4 60 G. Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 34 61 Pasal 6 Ayat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 62 Anonim, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 74

Universitas Sumatera Utara

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman papaver somniferum l yang hanya mengalami pengolahan sekadar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya 3. Opium masak terdiri dari: a. Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok utuk pemadatan. b. Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. c. Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing 4. Morfina, adalah alkaloida utama dari opium. 5. Koka, yaitu tanaman dari semua genus erythroxylon dari keluarga erythoroxylaceae termasuk buah dan bijinya. 6. Daun koka, yaitu daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus erythroxylon dari keluarga erythoroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. 7. Kokain mentah, adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina. 8. Kokaina, adalah metil ester-i-bensoil ekgonia 9. Ekgonina, adalah lekgonina dan ester serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi ekgonina dan kokain 10. Ganja adalah semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hashis 11. Damar ganja adalah damar yang diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memuat kebijakan penal mengenai perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan oleh undang-undang tersebut, meliputi:63

1. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. 2. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.

63 Penjabaran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

3. Perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon. 4. Perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram. 5. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. 6. Perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram. 7. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I. 8. Perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram. 9. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit Narkotika Golongan I. 10. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II. 11. Perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram. 12. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain. 13. Perbuatan penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen. 14. Perbuatan perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. 15. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II. 16. Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. 17. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II. 18. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram.

Universitas Sumatera Utara

19. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. 20. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. 21. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain. 22. Perbuatan penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen. 23. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. 24. Perbuatan perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. 25. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. 26. Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. 27. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III. 28. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. 29. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III. 30. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. 31. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain. 32. Perbuatan penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen. 33. Perbuatan yang dilakukan oleh setiap penyalahguna berupa Narkotika Golongan I bagi diri sendiri; Narkotika Golongan II bagi diri sendiri; dan Narkotika Golongan III bagi diri sendiri 34. Perbuatan yang dilakukan oleh orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, yang sengaja tidak melapor. 35. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika, memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

Universitas Sumatera Utara

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika, membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. 36. Perbuatan yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana. 37. Perbuatan yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk menggunakan narkotika. 38. Perbuatan dimana pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri. 39. Perbuatan dimana keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika. 40. Perbuatan dari pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban. 41. Perbuatan yang menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan atau mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana narkotika dan atau tindak pidana prekursor narkotika; menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika. 42. Perbuatan yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika di muka sidang pengadilan 43. Perbuatan dari nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan undang-undang.64 44. Perbuatan dimana penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan undang-undang.65 45. Perbuatan dimana Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

64 Pasal 27, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 65 Pasal 88, Pasal 89 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

46. Perbuatan kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 47. Perbuatan dimana petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum. 48. Perbuatan berupa saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika di sidang pengadilan. 49. Perbuatan dimana pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengetahuan.

Masalah penyalahgunaan narkotika dewasa ini sudah sangat memprihatinkan.

Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan dinamika sasaran opini peredaran gelap.

Masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal bermacam- macam jenis narkotika. Kekhawatiran ini terjadi akibat maraknya peredaran gelap narkotika yang telah merebak di segala lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda, dimana hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara pada masa mendatang, sehingga sangat di perlukan aturan hokum yang jelas mengenai penggunaan narkotika ini.66

66 Paragraf I Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

Kebijakan hukum pidana merupakan salah satu bidang yang seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi yang bertujuan mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya kejahatan- kejahatan dan penjahat. Kebijakan hukum pidana (penal policy) yang termasuk salah satu bagian dari ilmu hukum pidana, erat kaitannya dengan pembahasan hukum pidana nasional. Kebijakan hukum pidana meliputi perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya diberikan kepada si pelanggar.

Secara garis besar, kebijakan legislatif (formulatif) dalam penanggulangan kejahatan meliputi:67

1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan. 2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang (baik berupa pidana atau tindakan) dan system penerapannya. 3. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme system peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.

Usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika. Ketentuan tersebut pada pokoknya mengatur narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.

Pelanggaran terhadap peraturan itu diancam dengan pidana yang tinggi dan berat

67 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 24-23

Universitas Sumatera Utara

dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda.68

Sistem pemidanaan dalam hukum pidana, secara garis besar mencakup tiga permasalahan pokok, yaitu jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana

(strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).

1. Jenis pidana (strafsoort)

Menurut KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan, terutama sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Roeslan Saleh menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuat menurut beratnya pidana, dan yang terberat disebut lebih depan. Mengenai pengaturan jenis-jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari:

a. Pidana pokok berupa: 1) Pidana mati 2) Pidana penjara 3) Pidana kurungan 4) Pidana denda b. Pidana tambahan berupa: 1) Pencabutan beberapa hak tertentu 2) Perampasan barang-barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim

Secara rinci dari jenis-jenis pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pidana pokok, meliputi: a. Pidana mati

68 Syamsul Hidayat, Pidana Mati Di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2005), hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

Pidana mati diatur dalam Pasal 11 KUHP, yang menyatakan bahwa pidana mati dijalankan algojo di atas tempat gantungan (schavot) dengan cara mengikat leher si terhukum dengan jerat pada tiang gantungan, lalu dijatuhkan papan dari bawah kakinya.69 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana. b. Pidana penjara.

Pidana penjara merupakan pidana utama diantara pidana penghilangan kemerdekaan dan pidana ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau sementara waktu. Berbeda dengan jenis lainnya, maka pidana penjara ini adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga permasyarakatan. Andi

Hamzah mengemukakan bahwa pidana penjara disebut juga dengan pidana hilang kemerdekaan, tetapi narapidana kehilangan hak-hak tertentu, seperti hak memilih dan dipilih, memangku jabatan publik, dan beberapa hak sipil lain.70

Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 (satu) hari sampai pidana penjara seumur hidup, namun pada umumnya pidana penjara maksimum 15

(lima belas) tahun dan dapat dilampaui dengan 20 (dua puluh) tahun. Roeslan Saleh menjelaskan bahwa banyak pakar memiliki keberatan terhadap penjara seumur hidup ini, keberatan ini disebabakan oleh putusan kemudian terhukum tidak akan

69 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 178 70 Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm. 28

Universitas Sumatera Utara

mempunyai harapan lagi kembali dalam masyarakat, padahal harapan tersebut dipulihkan oleh lembaga grasi dan lembaga remisi, maka dari itu walaupun pidana penjara sudah menjadi pidana yang sudah umum diterapkan di seluruh dunia namun dalam perkembangan terakhir ini banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana penjara.71 c. Pidana kurungan.

Pidana kurungan ini sama halnya dengan pidana penjara, namun lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara walaupun kedua pidana ini sama-sama membatasi kemerdekaan bergerak seorang terpidana. Sebagai pembedaan itu dalam ketentuan Pasal 69 KUHP disebutkan, bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urutan di dalam KUHP.72 Roeslan Saleh menjelaskan bahwa ”dari urutan dalam Pasal 10 KUHP ternyata pidana kurungan disebutkan sesudah pidana penjara, sedangkan Pasal 69 (1) KUHP menyebutkan bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan dalam Pasal 10, demikian pula jika diperhatikan bahwa pekerjaan yang diwajibkan kepada orang yang dipidana kurungan juga lebih ringan daripada mereka yang menjalani pidana penjara.73

Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah 1 (satu) hari dan selama-lamanya adalah satu tahun, akan tetapi lamanya pidana tersebut dapat

71 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm 62 72 Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm. 28 73 Roeslan Saleh, Op. Cit., hlm. 49

Universitas Sumatera Utara

diperberat hingga satu tahun empat bulan, yaitu bila terjadi samenloop, recidive dan berdasarkan Pasal 52 KUHP. Jangka waktu pidana kurungan lebih pendek dari pidana penjara, sehingga pembuat undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara, oleh karena itu, pidana kurungan diancamkan pada delik-delik yang dipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran. d. Pidana denda

Pidana denda ini banyak diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan atau berdiri sendiri. Adapun keistimewaan yang terdapat pada pidana denda adalah pelaksanaan pidana denda bisa dilakukan atau dibayar oleh orang lain, pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan dalam hal terpidana tidak membayarkan denda. Hal ini tentu saja diberikan kebebasan kepada terpidana untuk memilih, dimana dalam pidana denda ini tidak terdapat maksimum umum, yang ada hanyalah minimum umum.

Sedang maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan.74

2. Pidana tambahan, meliputi: a. Pencabutan hak-hak tertentu.

Menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP, hak-hak yang dapat dicabut adalah hak jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu, hak menjalankan jabatan dalam

Angkatan Bersenjata atau Tentara Nasional Indonesia, hak memilih dan dipilih dalam

74 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 40

Universitas Sumatera Utara

pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, hak menjadi penasihat hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, wali pengampu, hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri, dan hak menjalankan mata pencaharian. b. Perampasan barang tertentu

Barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim ada 2 jenis berdasarkan

KUHP, yaitu barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan,misalnya: uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang dan barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan.75 c. Pengumuman putusan hakim

Pengumuman hakim ini, hakim dibebaskan menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu, dapat melalui surat-kabar, ditempelkan di papan pengumuman, atau diumumkan melalui media radio atau televisi. Tujuannya adalah untuk mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak-pidana yang dilakukan orang tersebut. Menurut Bambang Poernomo, selain putusan-putusan pemidanaan, bebas, dan dilepaskan masih terdapat jenis-jenis lain yaitu:76

1. Putusan yang bersifat penetapan untuk tidak menjatuhkan pidana akan tetapi berupa tindakan hakim, misalnya memasukkan ke rumah sakit jiwa, menyerahkan kepada lembaga pendidikan khusus anak nakal dan lain-lainnya. 2. Putusan yang bersifat penetapan berupa tidak berwenang untuk mengadili perkara terdakwa, misalnya terdakwa menjadi kewenangan untuk diadili oleh mahkamah militer.

75 Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 76 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 15

Universitas Sumatera Utara

3. Putusan yang bersifat penetapan menolak atau tidak menerima tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum, misalnya, perkara jelas delik aduan tidak disertai surat pengaduan oleh si korban atau keluarganya. 4. Putusan yang bersifat penetapan berupa pernyataan surat-surat tuduhan batal karena tidak mengandung isi yang diharuskan oleh syarat formal undang-undang.

Setelah hakim membacakan putusan yang mengandung pemidanaan maka hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya, hak menolak, atau menerima putusan, atau hak mengajukan banding dan lain-lain. Selain jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya: a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggung- jawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu penyakit.77 b. Bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya78 atau memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah, dimana dalam hal ini anak tersebut dimasukkan kedalam rumah pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam peraturan pendidikan paksa. c. Penempatan di tempat bekerja negara (landswerkinrichting) bagi penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban umum dengan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial.

2. Lamanya ancaman pidana (strafmaat)

Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama, oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman, dimana dalam batas-batas

77 Pasal 44 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 78 Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Universitas Sumatera Utara

maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.

Leo Polak menyatakan bahwa “salah satu syarat dalam pemberian pidana adalah beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik, hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.”79 Berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya.

KUHP hanya mengenal maksimum umum dan maksimum khusus serta minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15 (lima belas) tahun berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan maksimum khusus dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkan pidana denda tidak ada ketentuan maksimum umumnya. Adapun pidana penjara dan pidana kurungan, ketentuan minimumnya adalah satu hari. Ketentuan undang-undang juga mengatur mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan mengurangi pidana. Keadaan yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan dan pembantuan, dan terhadap dua

79 Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

hal ini, pidana yang diancamkan adalah maksimum pidana atas perbuatan pidana pokoknya dikurangi sepertiga, seperti ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57

KUHP.

Pasal 53 ayat (2) KUHP berbunyi “maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.” Pasal 57 ayat (1) KUHP berbunyi “dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.” Ketentuan yang meringankan juga diatur tentang keadaan keadaan yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive serta pegawai negeri. Pidana penjara dapat ditambah menjadi maksimum 20 tahun, pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan pidana kurungan pengganti menjadi 8 bulan.80

3. Pelaksanaan pidana (strafmodus)

KUHP yang berlaku pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan, oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman didalam undang-undang. Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah mengenai kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang diberikan. Hal ini disebabkan undang-undang hanya menentukan batas

80 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1977), hlm. 14

Universitas Sumatera Utara

maksimum dan minimum pidananya saja, sebagai konsekuensi dari masalah tersebut, akan terjadi hal yang disebut dengan disparitas pidana.

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.

Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.81 Amara Raksasataya mengemukakan policy sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu policy memuat 3 (tiga) elemen yaitu identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai, taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.82

Indonesia saat ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana.

Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksaanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya.83 Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum

81 Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan hukum pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 148 82 Ali Masyhar, Op. Cit., hlm. 19 83 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi Dan Victimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 38

Universitas Sumatera Utara

pidana adalah kemajuan teknologi dan informasi.84 Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.85

Hakim sebagai pengambil keputusan dapat mempertimbangkan jenis sanksi pidana apa yang paling sesuai untuk kasus tertentu, dimana untuk memberikan sanksi pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat.

Hal ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat, tetapi juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan.

Penggunaan pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si pembuat untuk mengulangi perbuatannya.86

Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut- nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku.87 Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.88 Landasan

84 Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 1 85 Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002, hlm. 20 86 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 86 87 M. Sholehuddin, Op. Cit., hlm. 162 88 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta; Sinar Grafika, 1996), hlm. 3

Universitas Sumatera Utara

pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.

Menurut ketentuan peraturan perundang-undang ditentukan bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya.89

Menurut hukum acara, ditentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.90 Perihal penjatuhan pidana, hakim mempunyai kebebasan besar.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum.91

89 Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 90 Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 91 Menurut Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Universitas Sumatera Utara

Hakim yang secara khusus menjadi aktor utama dalam menjalankan aktivitas peradilan untuk memeriksa, mangadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan.

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, dalam arti bahwa hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga. Dengan demikian hakim dapat memberi keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Meskipun pada asasnya hakim itu mandiri atau bebas, tetapi kebebasan hakim itu tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya hakim secara mikro dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan kesusilaan, yang mana hal itu adalah faktor-faktor yang dapat membatasi kebebasan hakim.92

B. Kedudukan Hukum Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Kedudukan warga negara asing sebagai pelaku tindak pidana narkotika dapat dilihat dalam kaitan pemberlakuan hukum pidana yang bersumber prinsip-prinsip:93

1. Prinsip teritorialitas adalah prinsip yang menganggap hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana dimana prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP. 2. Prinsip nasional aktif dimana prinsip ini dianut dalam Pasal 5 KUHP yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Indonesia. Prinsip ini dinamakan nasional aktif karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang warga negara.

92 Bambang Sutiyoso & Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 51 93 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 51-57

Universitas Sumatera Utara

3. Prinsip nasional pasif dimana prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan- letentuan hukum pidana Indonesia di luar wilayah Indonesia berdasar atas kerugian nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuk orang asing yang melakukannya dimana saja pantas dihukum oleh pengadilan negara Indonesia. 4. Prinsip universalitas dimana prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia, maka kalau ada suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara ini, adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap negara, dengan tidak dipedulikan, siapa saja yang melakukannya dan di mana saja. Prinsip ini dianut dalam Pasal 4 sub 4 KUHP yang pada intinya menentukan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk orang-orang asing yang di luar wilayah Indonesia yang melakukan kejahatan yang melibatkan kepentingan bersama negara di dunia.

Prinsip yang diterapkan pada perkara tindak pidana narkotika oleh warga negara asing adalah prinsip teritorialitas. Wirjono menyatakan bahwa “ketentuan- ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia.”94 R. Soesilo menyatakan bahwa tiap orang berarti siapa juga, baik warga negara sendiri, maupun warga negara asing, dengan tidak membedakan kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, yang berbuat peristiwa pidana dalam wilayah hukum Indonesia.95

Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan bahkan disertai dengan ancaman pidana yang serius, namun demikian kejahatan yang menyangkut masalah narkotika ini masih terus berlangsung.

Dalam beberapa kasus telah banyak bandar dan pengedar narkotika tertangkap dan mendapatkan sanksi berat berupa pidana mati. Putusan Makamah Konstitusi

94 Ibid., hlm. 51 95 R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1976), hlm. 29

Universitas Sumatera Utara

menyatakan bahwa penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru para pelaku tersebut telah melanggar hak asasi manusia lain, yang memberikan dampak terhadap kehancuran generasi muda di masa yang akan datang.

Pasal 136 UU Narkotika memberikan sanksi berupa narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika baik itu aset bergerak atau tidak bergerak maupun berwujud atau tidak berwujud serta barang- barang atau peralatan yang digunakan untuk tindak pidana narkotika dirampas untuk negara. Pasal 146 UU Narkotika juga memberikan sanksi terhadap warga negara asing yang telah melakukan tindak pidana narkotika ataupun menjalani pidana narkotika yakni dilakukan pengusiran wilayah negara dan dilarang masuk kembali ke wilayah negara. Pasal 148 UU Narkotika menyatakan bahwa “bila putusan denda yang diatur dalam undang-undang ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana narkotika maka pelaku dijatuhi penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.”

C. Penerapan Pemidanaan Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika Menurut Ketentuan KUHP Dan Undang-Undang Narkotika

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang sangat penting dalam rangka menciptakan tata tertib, ketentraman, dan keamanan dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum pada dasarnya berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia, sehingga hukum harus dijunjung tinggi dalam rangka menciptakan tatanan masyarakat yang tertib dan damai. Demikian halnya bagi warga

Universitas Sumatera Utara

negara asing yang melakukan penyalahgunaan narkotika, hukum juga wajib untuk diberikan dan ditegakkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga dapat menegakkan keadilan bagi tegaknya supremasi hukum.

Struktur penegakan hukum mempunyai peranan masing-masing dalam menjalankan fungsi hukum, seperti polisi yang diberi wewenang oleh negara untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada warga negaranya serta penegakan hukum yang tertuju pada terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Jaksa yang diberi wewenang oleh negara untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang atau badan hukum yang diduga melawan hukum, yang bertujuan agar terciptanya suatu hukum formil, dan hakim yang diberi wewenang oleh negara untuk mengadili suatu perkara yang melawan hukum dan memutus sesuai dengan hak asasi manusia, dan mempuyai tujuan dari putusan tersebut.

Pengadilan adalah lembaga yang berwenang untuk memerikasa, mengadili, dan memutus suatu perkara termasuk perkara bagi warga negara asing berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Fungsi hakim dalam mengadili suatu perkara maka hakim mempunyai kedudukan bebas dan bertanggungjawab terhadap segala urusan dalam peradilan oleh pihak-pihak lain dilarang kecuali dalam hal diperkenankan oleh undang-undang. Hakim adalah harapan para justiabelen (pencari keadilan) oleh karena itu mereka harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum.96

96 Satjipto Rahardjo, Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, (Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Volume 6, 2009), hlm. 12

Universitas Sumatera Utara

Penjatuhan pidana merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkrit dimana penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara pidana yang bersangkutan. Untuk mengambil keputusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan azas keadilan.97 Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman identik dengan kekuasaan untuk menegakkan hukum atau kekuasaan penegakan hukum.”98

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan bahwa:99

“Hakim dalam memerikasa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif, maupun legislatif. Dengan kebebasan yang dimilikinya itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang beralaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan mamfaat bagi masyarakat.”

Mengingat peranan penting pengadilan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan maka terciptanya pengadilan yang merdeka, netral (impartial judge), kompeten, dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayom hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan condition sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.

Suatu bagian penting dari hukum pidana yang tampaknya masih kurang mendapat perhatian adalah bagian mengenai pemidanaan (sentencing atau straftoemeting). Padahal segala pengaturan mengenai hukum pidana ini pada

97 Masruchin Ruba’i, Mengenal Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, (Malang: IKIP Malang, 1994), hlm. 63 98 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 27 99 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 319-320

Universitas Sumatera Utara

akhirnya akan berpuncak kepada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan seseorang, harta bendanya, bahkan jiwanya. Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, bebas menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan, akan tetapi kebebasan ini dalam menentukan pidana harus dipahami benar makna kejahatan, penjahat (pembuat kejahatan), dan pidana.100

Upaya mendapatkan suatu keputusan yang adil, majelis hakim melakukan musyawarah, musyawarah tersebut diadakan antara anggota majelis hakim. Para anggota majelis hakim saling bertukar pikiran atas dasar surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang, dan kemudian para anggota majelis hakim masing-masing mengambil kesimpulan atas perkara yang sedang disidangkan tersebut. Dalam prakteknya, musyawarah antara anggota majelis hakim ini tidak selalu alot dan saling mempertahankan argumentasinya, sebab pada saat pemeriksaan di sidang masing-masing anggota majelis hakim sudah memiliki kesimpulan sendiri. Jadi, dalam musyawarah itu sebenarnya saling mendengarkan pendapat dan pada gilirannya saling menyepakati pendapat anggota majelis hakim yang secara materiil dan formil sudah ditemui akurasi kebenaran dan keadilannya.101

Hal-hal yang sering memberikan indikasi penerapan undang-undang narkotika tidak konsisten oleh majelis hakim adalah apabila putusan yang diambil sanksinya sangat jauh dari apa yang diterapkan dalam undang-undang narkotika. Padahal

100 Eddy Djunaedi Kamasudirdja, Bebarapa Pedoman Pemidanaan Dan Pengamatan Narapidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1996, hlm. 80 101 Feby DP Hutagalung, Efektifitas Upaya Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika, Jurnal, (Malang: Universitas Brawijaya, 2013), hlm. 22

Universitas Sumatera Utara

sebenarnya indikasi semacam ini lahir dari suatu proses pemahaman yang kurang menyeluruh atas sistem peradilan yang ada dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam

KUHAP. Sebab sangat jelas digariskan bahwa hakim tidak dibenarkan mejatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan hakim dari alat bukti tersebut memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana narkotika benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Barda Nawawi Arief menyatakan “apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).”102 Artinya semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

Penjatuhan pidana merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkrit dimana penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara pidana yang bersangkutan. Untuk mengambil keputusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan azas keadilan.103 Ketentuan pidana yang tercantum dalam semua undang-undang khusus di

102 Ibid., hlm. 129 103 Masruchin Ruba’i, Op Cit., hlm. 63

Universitas Sumatera Utara

luar KUHP merupakan bagian khusus (sub sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan, dengan demikian, sistem pemidanaan dalam undang-undang khusus di luar KUHP harus terintegrasi dalam (konsisten dengan) aturan umum (general rules), namun dalam undang-undang khusus di luar KUHP tersebut dapat membuat aturan khusus yang menyimpang atau berbeda dengan aturan umum.104

Penyalahgunaan narkotika dalam hal ini perlu dilakukan upaya pencegahan untuk mengurangi tindak kejahatan penyalahgunaan narkotika tersebut, yang tidak terlepas dari peranan hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang tugasnya mengadili tersangka atau terdakwa, dimana yang dimaksud dengan mengadili adalah

“serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak pada sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana, yaitu memeriksa dengan berdasarkan pada bukti-bukti yang cukup, dimana pada tahap ini tersangka dituntut, diperiksa dan diadili oleh hakim dinamakan terdakwa.”105

Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika di lembaga peradilan diputuskan menurut ancaman pidana yang ditentukan didalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika sebenarnya sudah cukup memadai untuk melakukan pemberantasan tindak pidana narkotika karena disamping memiliki ancaman pidana

104 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 136 105 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 127

Universitas Sumatera Utara

yang lebih besar bila dibandingkan dengan Undang-Uundang Nomor 22 Tahun 1997

Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga memiliki ancaman pidana minimum sehingga para penegak hukum seperti jaksa dan hakim tidak bisa menuntut dan menjatuhkan pidana kurang dari batas minimum yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing dapat dilihat dalam kasus , dimana baru-baru ini pemerintah telah melaksanakan penerapan kebijakan hukum pidana terhadap kasus penyelundupan narkoba oleh sembilan warga asing berkebangsaan Australia. Pada tanggal 17 April 2005 sembilan warga Australia ditangkap di Bandara Ngurah Rai, dengan tuduhan berupaya menyelundupkan lebih dari 8 (delapan) kilogram heroin keluar dari Indonesia. Martin

Stephens, , , dan Michael Czuga ditangkap di bandara dengan mengikat paket heroin ke tubuh mereka. Sementara itu, tiga lainnya, Si Yi

Chen, Tan Duc Thanh Nguyen, dan ditangkap di Hotel Maslati,

Pantai Kuta, dengan kepemilikan 300 gram heroin. Andrew Chan dan Myuran

Sukumaran juga ditangkap di bandara karena dianggap terkait dengan tujuh warga negara asing yang ditangkap.

1. Putusan Nomor 37 PK/Pid. Sus/2011

Penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing khususnya terhadap pelaku utama dalam kasus bali nine yang di berikan sanksi pidana berupa pidana mati baik pada tingkat pertama, banding, kasasi sampai dengan peninjauan

Universitas Sumatera Utara

kembali, dapat dilihat dari ulasan Putusan Nomor 37 PK/Pid. Sus/2011, atas nama terdakwa Andrew Chan, yaitu sebagai berikut:

A. Posisi Kasus

1) Kronologi

Nama : Andrew Chan

Tempat Lahir : Sydney, Australia

Tanggal Lahir : 21 Tahun / 12 Januari 1984

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Kebangsaan : Australia

Alamat : Beanmaris Street Enfield 2136 Sydney, Australia

Agama : Kristen

Pekerjaan : Pelayan Logistik (Compass Eurest Catering Company)

Terdakwa Andrew Chan secara terorganisasi bersama-sama dengan terdakwa

Myuran Sukumaran, Renae Lawrence, Scoth Anthony Rush, Michael William

Czugaj, Matthew James Norman, Martin Eric Stephens, Tan Duc Thanh Nguyen, Si

Yi Chen (di periksa dalam berkas perkara terpisah), pada hari Minggu tanggal 17

April 2005 atau setidak-tidaknya di satu waktu dalam tahun 2005 bertempat di

Terminal Keberangkatan Internasional Bandara Ngurah Rai Tuban, Kabupaten

Badung, di Center Stage Hotel Hard Rock Kuta, Hotel Kuta Sea View, Hard Rock

Bar Kuta dan Hotel Adi Darma atau setidak-tidaknya di satu tempat yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar, secara tanpa hak dan melawan hukum mengekspor, menawarkan untuk di jual, menyalurkan, menjual,

Universitas Sumatera Utara

membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika Golongan I berupa heroin seberat kurang lebih 8.202 gram neto, perbuatan mana di lakukan Terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut:

1) Terdakwa sekitar tanggal 30 Maret 2005, bertempat di Rose Land Shopping

Center Sidney, Australia telah melakukan pertemuan dengan Renae Lawrence,

Martin Eric Stephens, , Matthew James Norman untuk merencanakan

pengiriman paket heroin dari Bali menuju Australia, pada saat itu terdakwa

memberikan Renae Lawrence uang sebesar AUS $2.080 untuk biaya transportasi

dan akomodasi selama di Bali.

2) Di tempat terpisah pada tanggal 5 April 2005 bertempat di parkiran mobil di

antara KFC dan Formula 1 Hotel, Myuran Sukumuran untuk keperluan pengir

iman paket heroin tersebut juga memberikan Renae Lawrence uang sebesar AUS

$500, serta Nokia 1100 warna abu-abu kombinasi.

3) Pada tanggal 6 April 2005, bertempat di Spanish In Sidney, Australia untuk

keperluan biaya akomodasi dan transportasi di Bali dalam rangka pengiriman

paket heroin yang sama seperti tersebut di atas Myuran Sukumuran memberikan

uang kepada Tan Duc Tanh Nguyen, Scoth Anthony Rush dan Michael William

Czugaj sebesar AUS $3.000.

4) Masih di Spanish In Sidney, Australia pada tanggal 7 April 2005, Myuran

Sukumuran untuk keperluan pengiriman heroin yang sama telah memberikan

uang kepada Scoth Anthony Rush dan Michael William Czugaj masing-masing

sebesar AUS $500, sedangkan pacar terdakwa yang dikenal bernama Grace pada

Universitas Sumatera Utara

tanggal 5 April 2005 bertempat di Hotel Formula 1, memasukkan barang-barang

ke dalam koper milik Renae Lawrence dan Martin Eric Stephens berupa celana

pendek ketat merek Adidas, plester, stagen sedangkan barang-barang yang ada di

koper dikeluarkan.

5) Untuk menjaga kerahasiaan pelaksanaan kegiatan pengiriman heroin terdakwa

secara tertib dan rapi telah membagi keberangkatan kelompoknya untuk datang

ke Bali, masing-masing Renae Lawrene, Si Yi Chen, Martin Eric Stephens dan

Mattew James Norman menggunakan Agent Qantas Holiday, sedangkan Scoth

Anthony Rush, Tan Duc Tanh Nguyen, Michael William Czugaj menggunakan

Agent Flight Center di Sidney dan mereka mulai melaksanakan kegiatan-

kegiatan kelompoknya.

6) Untuk mengatur keberhasilan dalam pelaksanaan tugas, pada tanggal 3 April

2005, dengan menggunakan pesawat Australian Airlines terdakwa terlebih

dahulu datang ke Bali dan kemudian menginap di Hotel Hard Rock Kuta kamar

5314, kemudian mempelajari situasi dan menyiapkan penginapan bagi

kelompoknya yaitu masing-masing disiapkan Hotel White Rose kamar 1022

untuk Si Yi Chen dan Mattew James Norman, Hotel Kuta Lagoon kamar 126

untuk Renae Lawrence dan Martin Eric Stephens, Sedangkan Myuran

Sukumuran menyiapkan Hotel Aneka Kuta untuk Scoth Anthony Rush, Michael

William Czugaj. Hotel Hard Rock Kuta untuk Myuran Sukumuran dan Tanh

Duc Thanh Nguyen.

Universitas Sumatera Utara

7) Pada tanggal 6 April 2005 dengan menggunakan pesawat Australian Airlines

dengan nomor penerbangan AO 7829, Renae Lawrence, Mattew James Norman

dan Si Yi Chen, Martin Eric Stephens berangkat ke Bali dalam satu pesawat dan

meskipun mereka saling kenal untuk menjaga kerahasiaan, terdakwa melarang

mereka untuk saling bercakap-cakap dan tiba di Bali pukul 14.30 WITA dan

selanjutnya langsung menuju ke hotel yang telah disiapkan sebelumnya.

8) Pada tanggal 8 April 2005, dengan menggunakan pesawat Australian Air Lines

Scoth Anthony Rush, bersama dengan Michael William Czugaj berangkat

menuju Bali dan di dalam pesawat ternyata telah ada Tan Duc Thanh Nguyen

dan Myuran Sukumuran dan setelah mereka tiba di Bali sekitar pukul 14.00

WITA, mereka langsung menuju hotel yang telah disiapkan.

9) Terdakwa untuk mengatur kelompoknya agar dapat bekerja dengan tertib, rapi

dan rahasia di Bali, maka mereka mulai melakukan kegiatan sebagai suatu

jaringan nasional dengan pertama-tama melakukan pertemuan-pertemuan yaitu:

a. Pada tanggal 6 April 2005 bertempat di Center Stage Hotel Hard Rock Kuta

terdakwa melakukan pertemuan dengan Renae Lawrence, Martin Eric

Stephens, Mattew James Norman dan Si Yi Chen, dimana dalam pertemuan

tersebut terdakwa memberi arahan tentang tugas-tugas yang harus di

laksanakan selama di Bali.

b. Pada tanggal 8 April 2005 bertempat di Hotel Kuta Sea View terdakwa

melakukan pertemuan dengan Cerry Likit Bannakorn (belum tertangkap) dan

Universitas Sumatera Utara

kemudian terdakwa kemudian mengambil satu buah koper warna silver berisi

heroin. c. Pada tanggal 8 April 2005, terdakwa bertemu dengan Scoth Anthony Rush,

Tan Duc Thanh Nguyen, Michael William Czugaj, serta Myuran Sukumuran

membicarakan pelaksanaan pengiriman narkotika dari Bali ke Australia. d. Sebagai suatu rangkaian perencanaan yang telah disusun secara tertib rapi dan

rahasia pada tanggal 11 April 2005, bertempat di jalan Legian Kuta terdakwa

membelikan masing-masing baju biru kombinasi putih motif bunga yang

ukurannya agak longgar, kepada Renae Lawrence, Martin Eric Stephens dan

Mattew James Norman. e. Pada tanggal 12 April 2005, bertempat di Hard Rock Bar Kuta terdakwa

kembali melakukan pertemuan dengan Michael William Czugaj, Scoth

Antony Rush, Tan Duc Thanh Nguyen dan Myuran Sukumuran untuk

membicarakan pelaksanaan tugas masing-masing, pada saat itu pula Tan Duc

Thanh Nguyen memberi tahu Michael William Czugaj dan Scoth Anthony

Rush untuk membawa paket heroin ke Australia serta memberikan Sim Card

untuk dipasangkan pada HP milik Michael William Czugaj dan Scoth

Anthony Rush, oleh karena heroin yang hendak dibawa oleh kelompoknya

ternyata kurang kemudian terdakwa mengirimkan SMS kepada Renae

Lawrence yang isinya mengenai penundaan keberangkatan tanggal 14 April

2005, sampai menunggu heroin yang dibawa oleh Cerry Likit Bannakorn.

Universitas Sumatera Utara

f. Pada tanggal 15 April 2005, bertempat di Hotel Grand Bali Beach terdakwa

memberitahu Scoth Anthony Rush, bersama-sama dengan Tan Duc Thanh

Nguyen, Myuran Sukumuran bahwa terjadi penundaan keberangkatan

diakibatkan oleh karena heroin yang hendak dibawa masih kurang.

g. Pada tanggal 15 April 2005, bertempat di Hotel Kuta Sea View, terdakwa

bertemu kembali dengan Cerry Likit Bannakorn yang ketika itu memberikan

terdakwa satu koper warna hitam berisi heroin.

h. Masih di sekitar bulan April 2005, terdakwa bersama dengan Renae

Lawrence, Martin Eric Stephens, Mattew James Norman dan Si Yi Chen

membeli dua buah patung kayu dan satu buah kotak perhiasan dari kayu di

sekitar jalan Legian Kuta.

10) Terjadinya penundaan keberangkatan, kemudian pada tanggal 16 April 2005

terdakwa memindahkan tempat menginap Si Yi Chen dan Mattew James Norman

dari Hotel White Rose ke Hotel Adi Darma kamar nomor 105, sedangkan Renae

Lawrence dan Martin Eric Stephen pada tanggal 14 April 2005 dipindahkan dari

Hotel Kuta Lagoon ke Hotel Adi Darma kamar nomor 124, selanjutnya terdakwa

dan Myuran Sukumuran membayar seluruh biaya hotel.

11) Pagi hari terdakwa pergi ke Yan's Beach Bungalow dengan mengaku bernama

David Yu, terdakwa check in dan menempati kamar nomor C 05, dengan

membawa koper warna silver dan abu-abu (biru kehitaman).

12) Pada hari yang sama tanggal 17 April 2005 bertempat di Hotel Adi Dharma

kamar nomor 124, terdakwa dengan membawa dua buah koper masing-masing

Universitas Sumatera Utara

berwarna abu-abu dan silver berisikan heroin serta satu buah tas jinjing yang

berisikan gunting, plester, stagen, merica dan selanjutnya terdakwa serta Myuran

Sukumuran mulai menempelkan paket-paket heroin itu masing-masing.

13) Terdakwa dan Myuran Sukumuran menempelkan plastik bening warna putih

yang berisi heroin pada anggota tubuh Renae Lawrence masing-masing pada

punggung terdakwa menempelkan 1 (satu) bungkus plastik warna bening yang di

lilit dengan plester verban warna putih yang di dalamnya berisi heroin seberat

807,27 gram neto, selanjutnya Myuran Sukumuran menempelkan heroin pada

paha kanan 2 (dua) bungkus plastik warna bening yang bertuliskan Foodsever

Rolls By Tilia yang ditaburi dengan serbuk merica yang dililiti dengan isolasi

warna bening yang di dalamnya berisi heroin, kemudian dililit lagi dengan

plester verban warna cokelat dengan berat keseluruhan 668,29 gram neto,

dilanjutkan ke paha kiri Renae Lawrence di tempelkan 2 (dua) bungkus plastik

warna bening yang bertuliskan Foodsever Rolls By Tilia yang di taburi dengan

serbuk merica yang dililiti dengan isolasi warna bening yang di dalamnya berisi

heroin, kemudian di lilit lagi dengan plester verban warna cokelat dengan berat

keseluruhan 693,41 gram neto, yang dilakukan oleh Myuran Sukumuran.

14) Terdakwa dan Myuran Sukumuran menempelkan plastik bening warna putih

yang berisi heroin pada anggota tubuh Martin Eric Stephens, pada punggung di

tempelkan 1 (satu) bungkus plastic warna bening yang dililit dengan plester

verban warna putih yang di dalamnya berisi heroin seberat 890,84 gram neto,

pada paha kiri di tempelkan 2 (dua) bungkus plastic warna bening bertuliskan

Universitas Sumatera Utara

Foodsever Rolls By Tilia yang ditaburi dengan serbuk merica yang dililiti dengan

isolasi warna bening yang di dalamnya berisi heroin kemudian dililiti lagi dengan

plester verban warna cokelat dengan berat keseluruhan 733,28 gram neto, pada

paha kanan di tempelkan 2 (dua) bungkus plastic warna bening bertuliskan

Foodsever Rolls By Tilia yang di taburi dengan serbuk merica yang dililiti

dengan isolasi warna bening yang di dalamnya berisi heroin kemudian dililiti lagi

dengan plester verban warna cokelat dengan berat keseluruhan 717,62 gram neto.

15) Bertempat di Hotel Adi Dharma kamar nomor 105, terdakwa dan Myuran

Sukumuran menempelkan plastik bening warna putih yang berisi heroin pada

anggota tubuh Michael William Czugaj, pada pinggang di tempelkan 1 (satu)

bungkus plastic warna bening yang dililit dengan plester verban warna putih di

dalamnya berisi heroin seberat atau 956,59 gram neto, pada paha kanan di

tempelkan 1 (satu) bungkus plastic warna bening yang dibungkus dengan plastic

warna bening bertuliskan Foodsaver Rolls By Tilia di dalamnya berisi heroin

seberat 400,97 gram neto, pada paha kiri di tempelkan 1 (satu) bungkus plastik

warna bening yang dibungkus dengan plastik warna bening bertuliskan

Foodsaver Rolls By Tilia didalamnya berisi heroin seberat 397,12 gram neto.

16) Bertempat di Hotel Adi Dharma kamar Nomor 105, terdakwa dan Myuran

Sukumuran menempelkan plastik bening warna putih yang berisi heroin pada

anggota tubuh Scoth Anthony Rush, pada pinggang bagian belakang badan di

tempelkan plastik bening berisi heroin seberat 888 gram neto yang dililitkan

dengan plester warna cokelat dan stagen warna cokelat muda yang berlapiskan

Universitas Sumatera Utara

kain warna biru merek Futoro, paha kaki kanan ditempelkan plastik bening berisi

heroin seberat 414,37 gram neto yang dililitkan dengan plester warna cokelat,

paha kaki kiri di tempelkan plastik bening berisi heroin seberat 389,90 gram neto

yang di lilitkan dengan plester warna cokelat.

17) Sebelum berangkat isi koper yang dibawa oleh Renae Lawrence dikeluarkan dan

kemudian diisi dengan dua buah patung kayu dan satu buah kotak perhiasan dari

kayu, dengan maksud mengalihkan perhatian petugas, untuk tidak tertuju pada

badan mereka akan tetapi beralih untuk memeriksa isi koper yang dibawa.

18) Sisa heroin yang telah dipasang, beserta barang-barang yang dipergunakan untuk

menempelkan pada anggota tubuh, dibawa oleh anggota organisasi yang lainnya

yaitu Myuran Sukumaran, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen dan Matthew

James Norman, sehingga di Hotel Melati kamar nomor 136 telah di temukan

barang berupa 1 (satu) tas koper warna cokelat didalamnya berisi 1 (satu) tas

gendong warna biru kombinasi hitam di dalamnya berisi satu bungkus kertas

koran di dalamnya berisi 2 (dua) buah kantong plastik heroin seberat 334,26

gram neto dan 1 (satu) kantong plastik berisi serbuk merica warna cokelat.

19) Setelah pemasangan paket heroin pada anggota tubuh Renae Lawrence, Scoth

Anthony Rush, Michael William Czugaj dan Martin Eric Stephens, kemudian

mereka berangkat ke Bandara Ngurah Rai untuk membawa heroin tersebut

dengan tujuan Australia dan diinstruksikan terdakwa untuk diberikan kepada

orang yang dikenalnya bernama Pinoccio, setibanya di Bandara Ngurah Rai

mereka langsung check in dan kemudian membayar airport tax, akan tetapi seti

Universitas Sumatera Utara

banya di ruang tunggu pintu 3-4 Scoth Anthony Rush, Renae Lawrence, Michael

William Czugaj dan Martin Eric Stephens di tangkap oleh petugas yang

berwajib.

20) Terdakwa yang mengawasi perjalanan mereka kemudian di tangkap petugas di

pintu 7 dan dari selanjutnya dari Hotel Yans Beach Bungalow kamar C 05, di

temukan 2 (dua) buah koper warna abu-abu dan silver yang diberikan oleh Cerry

Likit Bannakorn dan kemudian disita sebagai barang bukti.

21) Sebagai perbuatan terorganisir dan mempunyai jaringan internasional telah pula

dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap barang-barang bukti yang telah

disita dan di temukan hasil sebagai berikut:

a. Ketika barang bukti berupa satu buah koper warna hitam merek Giogracia

dalam keadaan retak berisi dua buah pipa aluminium (keadaannya terbuka)

diperiksa /di buka oleh petugas Laboratorium Forensik Polri Cabang Denpasar

ternya ta di dalamnya terdapat serbuk putih seberat 0,0100 gram neto lalu

dilakukan pemeriksaan terhadap serbuk putih tersebut dan berdasarkan Berita

Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Nomor Lab: 183/KNF/2005

disimpulkan bahwa serbuk putih positif mengandung sediaan narkotika

(heroin ).

b. Barang bukti berupa 1 (satu) bungkus plastic warna bening yang dililit dengan

plester verban warna putih yang di dalamnya berisi serbuk putih seberat

807,27 gram neto, 668,29 gram neto, 693,41 gram neto yang disita dari Renae

Lawrence setelah di lakukan pemeriksaan oleh petugas Laboratorium

Universitas Sumatera Utara

Forensik Polri Cabang Denpasar berdasarkan Hasil Pemeriksaan

Laboratorium Kriminalistik Denpasar Nomor 173/KNF/2005 di simpulkan

bahwa serbuk putih positif mengandung sediaan narkotika (heroin). c. Barang bukti berupa 1 (satu) bungkus plastik warna bening yang dililit dengan

plester verban warna putih yang di dalamnya berisi serbuk putih seberat

890,84 gram neto, 733,28 gram neto, 717,62 gram neto yang disita dari Martin

Eric Stephens setelah dilakukan pemeriksaan oleh petugas Laboratorium

Forensik Polri Cabang Denpasar yang hasilnya berdasarkan Berita Acara

Pemeriksaan Kriminalistik Nomor Lab: 172/KNF/2005 tanggal 26 April 2005

pada kesimpulannya menyatakan bahwa barang bukti positif mengandung

sediaan narkotika (heroin). d. Barang bukti berupa 1 (satu) bungkus plastik warna bening di dalamnya berisi

serbuk putih seberat 956,59 gram neto, 1 (satu) bungkus plastik warna bening

di dalamnya berisi serbuk putih seberat 400,97 gram neto dan 1 (satu)

bungkus plastik warna bening yang dibungkus dengan plastik warna bening di

dalamnya berisi serbuk putih seberat 397,12 gram neto yang disita dari

Michael William Czugaj setelah di lakukan pemeriksaan oleh petugas

Laboratorium Forensi k Polri Cabang Denpasar, yang hasilnya berdasarkan

Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Nomor Lab:

174/KNF/2005 tanggal 26 April 2005 menyatakan bahwa barang bukti positif

mengandung sediaan narkotika (heroin).

Universitas Sumatera Utara

e. Barang bukti berupa 3 (tiga) bungkus plastik serbuk putih masing-masing

seberat 888 gram neto, 414,37 gram neto, 389,90 gram neto yang disita dari

Scoth Anthony Rush setelah dilakukan pemeriksaan oleh petugas

Laboratorium Forensik Polri Cabang Denpasar berdasarkan Hasil

Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Nomor Lab: 171/KNF/2005 tanggal

26 April 2005 pada pokoknya menyatakan bahwa barang bukti positif

mengandung sediaan narkotika (heroin ).

f. Barang bukti berupa 1 (satu) tas gendong warna biru kombinasi hitam di

dalamnya berisi satu bungkus kertas koran di dalamnya berisi 2 (dua) buah

kantong plastic serbuk put ih seberat 334,26 gram neto yang disita dari

mereka yang di tangkap di Hotel Melasti yakni Myuran Sukumaran, Tan Duc

Thanh Nguyen, Si Yi Chen dan Matthew James Norman setelah di lakukan

pemeriksaan oleh petugas Laboratorium Forensik Polri Cabang Denpasar,

berdasarkan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Nomor

170/KNF/2005 tanggal 26 April 2005 menyatakan bahwa barang bukti positif

mengandung sediaan narkotika (heroin).

22) Berdasarkan hasil pemeriksaan dari petugas Laboratorium Forensik PoIri Cabang

Denpasar Nomor 178/KNF/2005 tanggal 23 Mei 2005 pada pokoknya

menyimpulkan:

a. Sarung tangan yang ditemukan didalam barang bukti berupa satu buah koper

plastik warna cokelat motif kembang yang disita di Hotel Melasti dengan

Universitas Sumatera Utara

sarung tangan yang berada dalam tas punggung warna hitam merek Nike yang

disita di Hotel Melasti memiliki keidentikan ciri fisik.

b. Verban cokelat muda merek Leukoplast dalam tas warna hitam merek

Country Road yang disita di Hotel Melasti Kuta, memiliki keidentik an ciri

fisik dengan barang bukti verban yang disita dari Scoth Anthony Rush

maupun Michael William Czugaj.

c. Kantong plastik yang disita di Hotel Melasti Kuta memiliki keidentikan ciri

fisik dengan barang bukti berupa kantong plastik yang ada di dalam tas

punggung kombinasi putih, biru hitam dan biru muda merek Rusty yang disita

di Hotel Melasti.

d. Stagen yang disita di Hotel Melasti memiliki keidentikan ciri fisik dengan

stagen yang disita dari Martin Eric Stephens dan barang bukti stagen yang

disita dari Scoth Anthony Rush dengan barang bukti stagen yang disita dari

Michael William Czugaj juga memiliki keidentikan ciri fisik.

23) Berdasarkan hasil pemeriksaan dari petugas Laboratorium Forensik Polri Cabang

Denpasar dengan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No. Lab:

220/KNF/200s tanggal 15 Juni 2005 menyimpulkan:

a. Barang bukti berupa heroin yang disita dari Renae Lawrence, Martin Eric

Stephens, Michael William Czugaj, Scoth Anthony Rush, Myuran

Sukumaran, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen dan Matthew James Norman

adalah identik dengan serbuk heroin yang milik terdakwa Andrew Chan.

Universitas Sumatera Utara

b. Barang bukti serbuk merica yang disita dari Renae Lawrence, Martin Eric

Stephens, Michael Willi am Czugaj, Scoth Anthony Rush adalah identik

dengan serbuk merica yang disita di Hotel Melasti Kuta yang disita dari

Myuran Sukumaran, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen dan Matthew James

Norman.

24) Sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi maka terdapat suatu jalinan kerja sama

yang begitu erat, tertib, tersusun dengan rencana yang rapi sehingga dapat disita

barang bukti berupa satu buah tas punggung merek Rusty yang ada di dalam tas

koper merek Polo Classic yang disita di dalam kamar Hotel Melasti adalah milik

Renae Lawrence yang sebelumnya diambil oleh terdakwa Andrew Chan di Hotel

Kuta Lagoon ketika Renae Lawrence menginap di hotel tersebut.

25) Demikian pula barang bukti berupa tas hitam merek Country Road di dalamnya

berisi 2 pasang sarung tangan karet warna pink, 1 set obeng, 7 plester plastic

warna kuning, 5 plester plastik warna putih, 3 plester kain warna cokelat muda, 7

plester kain warna cokelat, 1 plester kain warna putih yang ada di dalam 1 (satu)

tas koper warna cokelat yang di temukan dan disita di Hotel Melasti adalah tas

yang dibawa oleh terdakwa Andrew Chan ke dalam kamar nomor 124 Hotel

Adhi Dharma sesaat sebelum pemasangan heroin pada diri Renae Lawrence dan

Martin Eric Stephens tanggal 17 April 2005.

26) Terdakwa Andrew Chan maupun Myuran Sukumaran, Renae Lawrence, Scoth

Anthony Rush, Michael William Cuzgaj, Mathew James Norman, Martin Eric

Stephens, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen, secara terorganisasi tidak

Universitas Sumatera Utara

memiliki izin dari yang berwajib untuk melakukan ekspor narkotika Golongan I

berupa heroin seberat kurang lebih 7.904,80 gram neto.

2) Dakwaan

Jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan primair dimana perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 Ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Jaksa penuntut umum juga mendakwa terdakwa dengan dakwaan subsidair dimana perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 Ayat (2) huruf a juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika juncto

Pasal 53 Ayat (1) KUHP. Kedua perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 78 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 Tentang Narkotika.

3) Tuntutan

Jaksa Penuntut Umum tanggal 26 Januari 2006 menuntut terdakwa yang isinya adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Andrew Chan terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yaitu “tanpa hak

dan melawan hukum mengekspor narkotika golongan I yang dilakukan secara

terorganisir” sebagaimana dakwaan kesatu primair melanggar Pasal 82 Ayat (3)

huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan “secara

tanpa hak memiliki narkotika golongan I bukan tanaman” sebagaimana dakwaan

Universitas Sumatera Utara

kedua melanggar Pasal 78 Ayat (1) huru f b Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 Tentang Narkotika.

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Andrew Chan dengan pidana Mati.

3. Menyatakan sebanyak 31 (tiga puluh satu) jenis barang bukti dirampas untuk

negara.

4. Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000, (seribu

rupiah).

4) Fakta Hukum

Berdasarkan hasil pemeriksaan dari petugas Laboratorium Forensik PoIri

Cabang Denpasar Nomor 178/KNF/2005 tanggal 23 Mei 2005 pada pokoknya menyimpulkan:

1. Sarung tangan yang ditemukan didalam barang bukti berupa satu buah koper

plastik warna cokelat motif kembang yang disita di Hotel Melasti dengan sarung

tangan yang berada dalam tas punggung warna hitam merek Nike yang disita di

Hotel Melasti memiliki keidentikan ciri fisik.

2. Verban cokelat muda merek Leukoplast dalam tas warna hitam merek Country

Road yang disita di Hotel Melasti Kuta, memiliki keidentik an ciri fisik dengan

barang bukti verban yang disita dari Scoth Anthony Rush maupun Michael

William Czugaj.

3. Kantong plastik yang disita di Hotel Melasti Kuta memiliki keidentikan ciri fisik

dengan barang bukti berupa kantong plastik yang ada di dalam tas punggung

Universitas Sumatera Utara

kombinasi putih, biru hitam dan biru muda merek Rusty yang disita di Hotel

Melasti.

4. Stagen yang disita di Hotel Melasti memiliki keidentikan ciri fisik dengan stagen

yang disita dari Martin Eric Stephens dan barang bukti stagen yang disita dari

Scoth Anthony Rush dengan barang bukti stagen yang disita dari Michael

William Czugaj juga memiliki keidentikan ciri fisik.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dari petugas Laboratorium Forensik Polri

Cabang Denpasar dengan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No.

Lab: 220/KNF/200s tanggal 15 Juni 2005 menyimpulkan: a) Barang bukti berupa heroin yang disita dari Renae Lawrence, Martin Eric

Stephens, Michael William Czugaj, Scoth Anthony Rush, Myuran Sukumaran,

Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen dan Matthew James Norman adalah identik

dengan serbuk heroin yang milik terdakwa Andrew Chan. b) Barang bukti serbuk merica yang disita dari Renae Lawrence, Martin Eric

Stephens, Michael Willi am Czugaj, Scoth Anthony Rush adalah identik dengan

serbuk merica yang disita di Hotel Melasti Kuta yang disita dari Myuran

Sukumaran, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen dan Matthew James Norman.

5) Pertimbangan Hakim

Hakim menyatakan bahwa atas alasan-alasan peninjauan kembali tersebut mahkamah agung berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena:

Universitas Sumatera Utara

1) Hakim menyatakan bahwa tidak ternyata ada kekhilafan atau kekeliruan yang

nyata dari hakim dalam putusan yang dimohonkan peninjauan kembali, in casu

putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1690 K/Pid /2006, tanggal 16 Agustus

2006 jo putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 18/Pid. B/2006/PT.Dps,

tanggal 20 April 2006 jo putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 624/Pid.

B/2005/PN.Dps, tanggal 14 Februari 2006, seperti yang dimaksud dalam Pasal

263 Ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana), lagi pula hal-hal yang relevan secara yuridis

dalam perkara a quo telah dipertimbangkan dengan benar oleh judex juris dan

judex facti dan dalam perkara a quo terdakwa telah terbukti melakukan tindak

pidana sebagaimana tersebut dalam dakwaan kesatu primair dan dakwaan kedua.

2) Hakim menyatakan bahwa walaupun Pasal 28I Ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, hak untuk hidup adalah hak

asasi manusia yang paling mendasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun, dan TAP MPR No. XVI I /MPR/1998 menyatakan, bahwa hak asasi

meliputi hak untuk hidup, serta berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), bahwa

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan

Politik, dimana pada Bagian III Pasal 6 Ayat (1) ICCPR menyatakan, setiap

manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya, hak ini wajib

dilindungi oleh hukum, tidak seorang pun dapat di rampas hak hidupnya secara

Universitas Sumatera Utara

sewenang- wenang, akan tetapi ayat (2) ICCPR menyatakan, di negara-negara

yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat

dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum

yang berlaku pada saat di lakukannya kejahatan tersebut.

3) Hakim menyatakan bahwa hingga saat ini penerapan pidana mati dalam hukum

positif Indonesia masih tetap dipertahankan, dimana dalam hubungannya dengan

perkara a quo bahwa Pasal 82 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 Tentang Narkotika menentukan, “barang siapa tanpa hak dan melawan

hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,

menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana

penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).

4) Hakim menyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa adalah

kejahatan yang serius yang merupakan kejahatan yang terorganisir dan bersifat

internasional, sehingga terhadap pelakunya dapat dijatuhi pidana mati.

5) Hakim menyatakan bahwa tentang kesaksian dari terdakwa lain dapat dibenarkan

sepanjang terdakwa lain tersebut diajukan dalam berkas perkara lain secara

terpisah.

6) Hakim menyatakan bahwa dengan demikian berdasarkan Pasal 266 Ayat (2) a

Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Universitas Sumatera Utara

Pidana) permohonan peninjauan kembali harus ditolak dan putusan yang

dimohonkan peninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku.

7) Hakim menyatakan bahwa meskipun pemohon peninjauan kembali terpidana

dipidana dan menurut hukum harus dibebani untuk membayar biaya perkara,

namun oleh karena pemohon peninjauan kembali atau terpidana di jatuhi pidana

mati, maka ia tidak layak dibebani untuk membayar ongkos perkara, sehingga

biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini dibebankan kepada

negara.

6) Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 624/Pid. B/2005/PN. Dps, tanggal 14 Februari 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Andrew Chan tersebut di atas terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dan melawan hukum

mengekspor narkotika Golongan I yang dilakukan secara terorganisir” dan

“secara tanpa hak memiliki narkotika Golongan I bukan tanaman.”

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Andrew Chan dengan pidana mati.

3. Menyatakan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan sampai dengan putusan

dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

4. Menyatakan sebanyak 31 (tiga puluh satu) jenis barang bukti dirampas untuk

negara.

5. Menghukum terdakwa agar membayar biaya perkara sejumlah Rp. 1.000 (seribu

rupiah).

Universitas Sumatera Utara

Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 18/Pid. B/2006/PT. Dps, tanggal

20 April 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

1. Menerima permintaan banding dari terdakwa tersebut.

2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 14 Februari 2006

Nomor 624/Pid. B/2005/PN. Dps, sekedar mengenai kualifikasi tindak pidana

sehingga berbunyi sebagai berikut:

1) Menyatakan terdakwa Andrew Chan tersebut di atas terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dan melawan

hukum mengekspor narkotika Golongan I yang dilakukan secara terorganisasi

dan secara tanpa hak memiliki narkotika Golongan I bukan tanaman.”

2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar tersebut untuk selebihnya.

3) Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan rumah tahanan

negara.

4) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa dalam dua tingkat peradilan,

yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah).

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1690 K/Pid /2006, tanggal 16 Agustus

2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

1. Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi atau terdakwa Andrew Chan

tersebut.

2. Membebankan terdakwa tersebut membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi

ini sebesar Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan surat permohonan peninjauan kembali tertanggal 13 Agustus

2010 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 13

Agustus 2010 dari Dr. Todung Mulia Lubis, S.H, LL. M dan Arin Tjahjadi Muljana,

S.H, masing-masing Advokat pada Lubis, Sentosa & Maulana Law Office serta

Nyoman Gede Sudiantara, S.H, Advokat pada Yudistira Association, yang diajukan untuk dan atas nama Andrew Chan sebagai Terpidana berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 12 Agustus 2010, yang memohon agar putusan Mahkamah Agung tersebut dapat ditinjau kembali. Adapun amar putusan peninjauan kembali tersebut yaitu:

1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali

atau terpidana Andrew Chan tersebut.

2. Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap

berlaku.

3. Membebankan biaya perkara dalam peninjauan kembali ini kepada negara.

B. Analisis Putusan

Bentuk putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan pada penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan. Dakwaan yang didakwa oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan apakah unsur-unsur dari perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa terbukti atau tidak.

Universitas Sumatera Utara

Tindak pidana yang bisa dijatuhi hukuman harus memenuhi syarat-syarat pokok yaitu: a. Harus ada suatu perbuatan manusia, yaitu terdakwa Andrew Chan telah melakukan perbuatan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yaitu “tanpa hak dan melawan hukum mengekspor narkotika golongan I yang dilakukan secara terorganisir.” b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas penyalahgunaan narkotika. c. Harus terbukti melakukan tindak pidana, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Terdakwa telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yaitu “tanpa hak dan melawan hukum mengekspor narkotika golongan I yang dilakukan secara terorganisir.” d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum, bahwa perbuatan Andrew Chan tidak mempunyai ijin dari pihak yang berwenang untuk menyimpan dan mengekspor narkotika golongan I.

Mengenai hukuman yang dijatuhkan seharusnya ketika jaksa menuntut terdakwa dengan tuntutannya yaitu hukuman mati, maka hakim dalam memberi hukuman harus lebih berat atau paling tidak sama dengan tuntutan jaksa. Dalam kasus ini hakim menjatuhkan putusan sama dengan tuntutan jaksa yang memberikan hukuman mati kepada terdakwa, dimana pemberian hukuman mati ini mengingat peranan terdakwa sebagai otak yang merencanakan pengeksporan narkotika dari bali menuju negara

Australia.

Ada beberapa macam pendapat mengenai teori-teori pemidanaan, yaitu sebagai berikut:106

1. Teori absolut atau teori pemidanaan dimana negara berhak menjatuhkan pidana ialah

karena penjahat tersebut telah melakukan kejahatan pada kepentingan hukum

(pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi, maka karena itu penjahat

106 Adami, Chazawi, Op. Cit., hlm. 153-162

Universitas Sumatera Utara

harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang

melakukannya.

2. Teori relative atau teori tujuan, dimana tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat,

dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana dan alat untuk mencegah

timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap

terpelihara.

3. Teori gabungan, teori gabungan ini mendasarkan pada asas pembalasan dan asas

pertahanan tata tertib masyarakat, alasan kedua itu dapat dibedakan menjadi dua

golongan besar, yaitu pertama teori gabungan yang mengutamakan pembalasan,

tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup

untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat. Kedua teori gabungan yang

mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas

dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan

terpidana.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas mengenai hakekat dan tujuan pemidanaan, maka hakim harus mendapatkannya sendiri pendapat mana yang ia yakini, yang paling penting adalah bahwa dalam menghukum yang berupa penjatuhan pidana, hakim harus menyadari makna dari keputusan-keputusannya itu apakah yang hendak dicapai dengan pidana yang dijatuhkan, sehingga pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam sebuah keputusan dengan alasan-alasan tertentu atau yang ada dapat mendatangkan ketentraman tidak hanya bagi bersangkutan saja, akan tetapi masyarakat

Universitas Sumatera Utara

banyak juga merasakannya, dengan adanya pemidanaan disini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi.

Salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa, dimana alam persidangan, hakim sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa untuk melakukan berat atau ringannya pidana akan dijatuhkan harus mendasarkan diri dengan melihat dan menilai keadaan-keadaan yang terdapat dalam diri terdakwa, apakah terdakwa pernah dihukum sebelumnya atau tidak, sopan atau tidaknya terdakwa dalam persidangan, mengakui dan menyesali perbuatannya atau tidak.

Pertimbangan juga dilakukan terhadap apa dan peranan dan posisi terdakwa serta jumlah barang bukti yang diajukan ke persidangan yang turut mempengaruhi berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa. Terjadinya perbedaan penjatuhan pidana disebabkan oleh persepsi hakim terhadap filsafat pemidanaan dan tujuan pemidanaan sangat memegang peranan penting didalam penjatuhan pidana. Seorang hakim mungkin berpikir bahwa tujuan serupa pencegahan hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun di lain pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain akan berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif.

Seorang hakim yang memandang aliran klasik lebih baik daripada aliran modern akan menjatuhkan pidana lebih berat, sebab perundangannya adalah pidana harus sesuai dengan perbuatannya dan sebaliknya yang berpandangan modern akan memidana lebih ringan sebab ia berpendirian, bahwa pidana harus sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara

orangnya, apalagi dari segi teoritis, mengenai tujuan pemidanaan ini belum tercapai kesepakatan diantara para sarjana.107

Terjadinya perbedaan penjatuhan pidana bersifat kasuistis, dimana terjadinya perbedaan itu disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti:108 a. Apakah terdakwa sebelumnya sudah pernah dihukum atau tidak. b. Faktor-faktor yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana narkoba, misalnya keadaan ekonomi, dll. c. Tingkat pengetahuan ataua pemahaman terdakwa, misalnya perbedaan tingkat pendidikan atau profesi pelaku. d. Apa peranan terdakwa. e. Cara melakukan tindak pidana antara terdakwa yang satu dengan terdakwa yang lain berbeda f. Jumlah barang bukti.

Hakim dalam menjatuhkan pidananya, sedapat mungkin menghindari diri dari putusan yang timbul dari kehendak yang sifatnya subjektif. Walaupun hakim mempunyai kebebasan untuk itu, akan tetapi hakim tidak boleh bertindak sewenang- wenang karena adanya kontrol dari masyarakat yang menjadi kendali terhadap setiap putusan hakim apabila putusan tersebut tidak menunjukkan rasa keadilan masyarakat atau menjunjung perasaan keadilan masyarakat, dimana dalam kenyataannya sering dijumpai putusan hakim yang sangat kontradiktif dengan rasa keadilan masyarakat sehingga kewibawaan hukum itu sendiri sudah hilang di mata masyarakat.

Pada putusan ini terjadi disparitas pemidanaan, dimana Andrew Chan mulai pada pengadilan tingkat pertama sampai dengan peninjauan kembali tetap dijatuhi

107 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 123 108 Agustina Wati Nainggolan, Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), (Medan: Universitas Sumatera, 2009), hlm. 131

Universitas Sumatera Utara

hukuman pidana mati, hal ini dikarenakan hakim memandang bahwa Andrew Chan merupakan otak yang merencanakan pengeksporan narkotika ke Australia, dengan merencanakan pengeksporan narkotika tersebut dengan teliti. Pemberian hukuman berupa pidana mati, menurut hemat penulis sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan rasa keadilan dimasyarakat, mengingat dampat narkotika begitu besar sehingga pengedar narkotika pantas di berikan hukuman mati.

Hukuman bagi pengedar seharusnya lebih berat, karena barang-barang

(narkotika) yang diekspornya menimbulkan berbagai dampak negatif bagi penggunanya.

Pengedar secara sadar mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain yang mengalami kecanduan akibat mengkonsumsi barang-barang yang dijual pengedar.

Indonesia kini bukan saja sebagai daerah transit, tetapi telah menjadi daerah pemasaran dan produsen, dan harus dikukuhkan lagi sistem penegakan hukum yang benar-benar terintegrasi dalam menghadapi kejahatan narkotika terhadap masa depan bangsa.

2. Putusan Nomor 28 PK/Pid. Sus/2011

Penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing khususnya terhadap kurir dalam kasus bali nine yang diberikan sanksi pidana berupa pidana penjara seumur hidup baik pada tingkat pertama, banding, pada kasasi diberikan sanksi pidana mati dan pada peninjauan kembali diberikan sanksi berupa pidana penjara semur hidup, dapat dilihat dari ulasan Putusan Nomor 28 PK/Pid. Sus/2011, atas nama terdakwa Scoth Anthony Rush, yaitu sebagai berikut:

A. Posisi Kasus

1) Kronologi

Universitas Sumatera Utara

Nama : Scott Anthony Rush

Tempat Lahir : Brisbane, Australia

Tanggal Lahir : 19 Tahun / 03 Desember 1985

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Kebangsaan : Australia

Alamat : 42 Glenwood St. Chelmer Brisbane Australia

Agama : Kristen Katholik

Pekerjaan : Buruh

Terdakwa Scoth Anthony Rush bersama-sama dengan Myuran Sukumaran,

Renae Lawrence, Michael William Czugaj, Matthew James Norman, Martin Erick

Sthepens, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen, Andrew Chan (di periksa dalam berkas perkara terpisah) dan Cerry Likit Bannakorn alias Pina (belum tertangkap) pada hari Rabu tanggal 6 April 2005, pada hari Jum’at tanggal 8 April 2005, pada hari Senin tanggal 11 April 2005, pada hari Jum’at tanggal 15 April 2005 dan atau pada hari Minggu tanggal 17 April 2005, atau setidak-tidaknya di satu waktu dalam tahun 2005 bertempat di Center Stage Hotel Hard Rock Kuta, di Hotel Kuta Sea View

Kuta, di sebuah kedai makanan siap saji di Kuta, di Jalan Legian Kuta dan atau di

Areal Terminal Keberangkatan Internasional Bandar Udara Ngurah Rai Tuban

Kecamatan Kuta Kabupaten Badung atau setidak-tidaknya di satu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Denpasar, secara tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk di jual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau

Universitas Sumatera Utara

menukar Narkotika golongan I berupa Heroin dengan berat keseluruhan 8.202,11 gram atau setidak-tidaknya seberat 1.692,27 gram yang dilakukan secara terorganisasi.

2) Dakwaan

Jaksa mendakwa terdakwa dengan dakwaan bertingkat dimana pada dakwaan primair perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pada dakwaan subsidair perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 tentang Narkotika.

Pada dakwaan lebih subsidair perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pada dakwaan lebih subsidair lagi perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika jo Pasal 53 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pada dakwaan lebih-lebih subsidair lagi perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

3) Tuntutan

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum tanggal 23 Januari 2006 yang isinya adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Scott Anthony Rush telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yaitu

“tanpa hak dan melawan hukum mengekspor narkotika Golongan I yang

dilakukan secara terorganisir” sebagaimana dakwaan Primair melanggar Pasal 82

ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Scott Anthony Rush dengan pidana

penjara selama seumur hidup.

3. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.

4. Menyatakan sebanyak 31 (tiga puluh satu) jenis barang bukti dirampas untuk

negara.

5. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000

(seribu rupiah)

4) Fakta Hukum

Berdasarkan hasil pemeriksaan dari petugas Laboratorium Forensik PoIri

Cabang Denpasar Nomor 178/KNF/2005 tanggal 23 Mei 2005 pada pokoknya menyimpulkan:

1. Sarung tangan yang ditemukan didalam barang bukti berupa satu buah koper

plastik warna cokelat motif kembang yang disita di Hotel Melasti dengan sarung

Universitas Sumatera Utara

tangan yang berada dalam tas punggung warna hitam merek Nike yang disita di

Hotel Melasti memiliki keidentikan ciri fisik.

2. Verban cokelat muda merek Leukoplast dalam tas warna hitam merek Country

Road yang disita di Hotel Melasti Kuta, memiliki keidentik an ciri fisik dengan

barang bukti verban yang disita dari Scoth Anthony Rush maupun Michael

William Czugaj.

3. Kantong plastik yang disita di Hotel Melasti Kuta memiliki keidentikan ciri fisik

dengan barang bukti berupa kantong plastik yang ada di dalam tas punggung

kombinasi putih, biru hitam dan biru muda merek Rusty yang disita di Hotel

Melasti.

4. Stagen yang disita di Hotel Melasti memiliki keidentikan ciri fisik dengan stagen

yang disita dari Martin Eric Stephens dan barang bukti stagen yang disita dari

Scoth Anthony Rush dengan barang bukti stagen yang disita dari Michael

William Czugaj juga memiliki keidentikan ciri fisik.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dari petugas Laboratorium Forensik Polri

Cabang Denpasar dengan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik No.

Lab: 220/KNF/200s tanggal 15 Juni 2005 menyimpulkan:

1) Barang bukti berupa heroin yang disita dari Renae Lawrence, Martin Eric

Stephens, Michael William Czugaj, Scoth Anthony Rush, Myuran Sukumaran,

Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen dan Matthew James Norman adalah identik

dengan serbuk heroin yang milik terdakwa Andrew Chan.

Universitas Sumatera Utara

2) Barang bukti serbuk merica yang disita dari Renae Lawrence, Martin Eric

Stephens, Michael Willi am Czugaj, Scoth Anthony Rush adalah identik dengan

serbuk merica yang disita di Hotel Melasti Kuta yang disita dari Myuran

Sukumaran, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen dan Matthew James Norman.

5) Pertimbangan Hakim

Hakim menyatakan bahwa atas alasan-alasan tersebut mahkamah agung berpendapat, bahwa mengenai alasan-alasan pemohon peninjauan kembali atau terpidana tersebut dapat dibenarkan, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1. Hakim menyatakan bahwa terhadap isi Memori Peninjauan Kembali yang

didasarkan atas alasan adanya keadaan baru (Novum) berupa Surat dari

Australian Federal Police (AFP) kepada Polda Bali tangga l8 April 2005 dan

tanggal 12 April 2005 tidak dapat di terima sebagai bukti atau keadaan baru

(Novum) karena kedua surat tersebut meskipun berupa foto copy sudah pernah

dikemukakan oleh Tim Penasihat Hukum Pemohon Peninjauan Kembali atau

Terpidana dalam Nota Pembelaan maupun dalam Memori Banding dan Memori

Kasasi sehingga bukan merupakan keadaan baru karena sudah diketahui

sebelumnya.

2. Hakim menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas

alasan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata yaitu tidak

mempertimbangkan fakta tentang peran Pemohon Peninjauan Kembali atau

Terpidana dalam tindak pidana secara terorganisir tanpa hak mengekspor

Universitas Sumatera Utara

narkotika Golongan I dapat dibenarkan, karena judex juris mempertimbangkan bahwa sifat perbuatan Pemohon Peninjauan Kembali atau Terpidana dan kawan- kawan berupa penyalahgunaan narkotika sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia bangsa Indonesia dan negara lain, di samping itu jumlah heroin yang diekspor secara terorganisir dan dibawa

Pemohon Peninjauan Kembali atau Terpidana cukup besar yaitu 888,90 gram-

414,37 gram dan 389,90 gram, namun judex juris tidak mempertimbangkan fakta bahwa Pemohon Peninjauan Kembali atau Terpidana adalah merupakan orang yang dipergunakan sebagai media untuk mengekspor heroin tersebut dari

Bandara Ngurah Rai Bali ke Australia oleh Myuran Sukumaran, Tan Duc Thanh

Nguyen dan Andrew Chan, hal ini terbukti bahwa ketika masih berada di

Australia Pemohon Peninjauan Kembali atau Terpidana diajak untuk berlibur ke

Bali dan mengatakan kepada Pemohon Peninjauan Kembali atau Terpidana harus tahu Bali untuk itu baik tiket, akomodasi di Bali ditanggung oleh Myuran

Sukumaran, di samping itu dalam perjalanan pulang bertempat di Hotel Adi

Darma kamar 104 dan 105 Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang menempelkan plastik bening warna putih yang berisi heroin pada anggota tubuh

Pemohon Peninjauan Kembali atau Terpidana dan kawan-kawannya yaitu

Michael William Czugaj, Renae Lawrence dan Martin Eric Sthephens meskipun

Pemohon Peninjauan Kembali atau Terpidana harus tetap bertanggung jawab atas perbuatannya namun penjatuhan pidana mati terhadap Pemohon Peninjauan

Kembali atau Terpidana tersebut yang masih berus ia muda ketika tertangkap

Universitas Sumatera Utara

yaitu 19 tahun dan kini sudah berusia 26 tahun dengan perannya sebagai orang

yang digunakan sebagai media oleh sindikat kejahatan narkotika yang bersifat

transnasional dengan iming-iming berwisata ke Bali, dipandang kurang atau

tidak memenuhi rasa keadilan sehingga tentang penjatuhan pidana terhadap

Pemohon Peninjauan Kembali atau Terpidana dapat dipertimbangkan aspek

perbuatan dan perannya maupun pelaku daader yang bersangkutan.

3. Hakim menyatakan bahwa terdapat kekeliruan yang nyata dalam putusan judex

juris Nomor 1782 K/Pid/2006 karena hal-hal yang relevan secara yuridis tidak

dipertimbangkan dengan benar yaitu Universal Declaration of Human Rights,

tidak bias dipisahkan dengan Convensi-Convensi PBB lainnya yang telah

diratifikasi oleh Indonesia antara lain adalah ICCPR (International Covenant on

Civil and Political Rights) dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang

mensyaratkan penjatuhan hukuman mati dengan sangat selektif jika negara

tersebut memberlakukannya.

4. Hakim menyatakan bahwa dalam perkara a quo Pemohon Peninjauan Kembali

atau Terpidana berposisi sebagai kurir dan yang berperan sebagai kurir lainnya

yaitu kawan Pemohon Peninjauan Kembali bernama Renae Lawrence telah

dijatuhi pidana selama 20 (dua puluh) tahun.

5. Hakim menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali terbilang masih muda

usianya yaitu 19 tahun secara yuridis dapat menjadi keadaan-keadaan yang

meringankan sebagaimana di tentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

6. Hakim menyatakan bahwa demikian pula orang yang bersama-sama dengan

Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Michael William

Czugaj yang sama-sama sebagai kurir dijatuhi pidana seumur hidup.

7. Hakim menyatakan bahwa terdapat pertentangan antara pelbagai putusan yaitu

antara putusan Kasasi Nomor 1782 K/Pid /2006 dalam perkara atas nama

terpidana Scott Anthony Rush dengan putusan Kasasi Nomor 1785 K/Pid/2006

dalam perkara atas nama terpidana Michael William Czugaj dapat dibenarkan

berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:

a. Hakim menyatakan bahwa putusan Kasasi Nomor 1785 K/Pid /2006 atas

nama Michael William Czugaj tanggal 6 September 2006 Majelis Hakim

Mahkamah Agung telah menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut

dengan pidana penjara seumur hidup, sedangkan putusan Kasasi Nomor 1782

K/Pid/2006 atas nama Scott Anthony Rush tanggal 31 Agustus 2006 telah

menjatuhkan pidana mati.

b. Hakim menyatakan bahwa perbuatan yang dinyatakan terbukti antara kedua

putusan tersebut adalah sama yaitu terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana secara terorganisir tanpa hak mengekspor

Narkotika Golongan I.

c. Hakim menyatakan bahwa peran yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan

Kembali dengan Michael William Czugaj sesuai fakta sebagaimana termuat

dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 622/2005 atas nama Michael

William Czugaj.

Universitas Sumatera Utara

8. Hakim menyatakan bahwa dari fakta tersebut juga nampak jelas peran terdakwa

Michael William Czugaj, Scott Anthony Rush, Renae Lawrence dan Martin Eric

Stephenss adalah sebagai kurir yang dipakai oleh kelompok tersebut untuk

meloloskan paket-paket heroin tersebut ke tempat tujuan yaitu Australia sedang

dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 628/Pid. B/2005/PN. Dps. atas nama

Scott Anthony Rush dinyatakan telah diperoleh fakta-fakta antara lain bahwa

modus operandi dari penyalahgunaan narkotika tersebut adalah dilakukan secara

tertib, rapi dan rahasia di mana Andrew Chan, Myuran Sukumaran dan Tan Duc

Thanh sebagai pihak yang mengatur dan menyalurkan dana, jadwal

keberangkatan di mana sebelumnya telah dilakukan perekrutan yaitu dengan

adanya ajakan kepada Scott Anthony Rush demikian Michael William Czugaj

untuk berlibur ke Bali, sehingga melihat fakta-fakta tersebut maka peran

Pemohon Peninjauan Kembali dan kawannya yaitu Michael William Czugaj

sebagai kurir atau media.

9. Hakim menyatakan bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut

maka perbuatan Pemohon Peninjauan Kembali terbukti melakukan tindak pidana

sebagaimana dalam dakwaan Primair, oleh karena itu cukup alasan untuk

mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan

Kembali dengan mempertimbangkan perbuatan dan perannya sebagai orang yang

digunakan sebagai media oleh sindikat kejahatan narkotika, dengan demikian

Pemohon Peninjauan Kembali harus dijatuhi hukuman yang memenuhi rasa

keadilan dan setimpal dengan perbuatannya.

Universitas Sumatera Utara

6) Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 628/Pid. B/2005/PN. Dps, tanggal 13 Februari 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Scott Anthony Rush telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana narkotika “tanpa hak mengekspor

narkotika golongan I yang dilakukan secara terorganisasi.”

2. Menjatuhkan pidana atas diri terdakwa Scott Anthony Rush oleh karena itu

dengan pidana penjara seumur hidup.

3. Menetapkan terdakwa Scott Anthony Rush tetap berada dalam tahanan.

4. Menyatakan sebanyak 31 (tiga puluh satu) jenis barang bukti dirampas untuk

negara.

5. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000

(seribu rupiah)

Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 20/Pid. B/2006 /PT. Dps.

Tanggal 26 April 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

1. Menerima permintaan banding dari penasihat hukum terdakwa atas Putusan Sela

Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 10 November 2005 Nomor 628/Pid. B/2005

/PN. Dps dan permintaan banding dari penasihat hukum terdakwa atas putusan

akhir tanggal 13 Februari 2006 Nomor 628/Pid. B/2005/PN. Dps,

2. Menguatkan Putusan Sela Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 10 November

2005 Nomor 628/Pid. B/2005/PN. Dps dan Putusan Akhir Pengadilan Negeri

Denpasar tanggal 13 Februari 2006 Nomor 628/Pid. B/2005/PN. Dps.

Universitas Sumatera Utara

3. Menyatakan sebanyak 31 (tiga puluh satu) jenis barang bukti dirampas untuk

negara.

4. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan.

5. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa dalam dua tingkat peradilan yang

dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1782 K/Pid/2006 tanggal 31 Agustus

2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Scott Anthony Rush

tersebut.

2. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 20/Pid. B/2006/PT.

Dps, tanggal 26 April 2006 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri

Denpasar Nomor 628/Pid. B/2005/PN. Dps, tanggal 13 Februari 2006, kemudian

mengadili sendiri:

1) Menyatakan terdakwa scott anthony rush tersebut di atas telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara terorganisir

tanpa hak mengekspor narkotika golongan I.”

2) Menjatuhkan pidana oleh karena itu terdakwa Scott Anthony Rush tersebut

dengan pidana mati.

3) Memerintahkan agar barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara untuk

digunakan dalam perkara lain.

4) Membebankan terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam

tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan surat permohonan peninjauan kembali bertanggal 16 Juli 2010 yang di terima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 16 Juli

2010 dari Pemohon Peninjauan Kembali, yang memohon agar putusan Mahkamah

Agung tersebut dapat di tinjau kembali, dimana amar dari putusan peninjauan kembali tersebut yaitu:

1. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan

Kembali Scott Anthony Rush tersebut.

2. Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1782 K/Pid/2006 tanggal 31

Agustus 2006 yang telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar

Nomor 628/Pid. B/2005/PN. Dps tanggal 13 Februari 2006 yang telah dikuatkan

oleh Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 20/Pid. B/2006/PT. Dps. tanggal 26

April 2006, dan mengadili kembali:

1) Menyatakan terdakwa Scott Anthony Rush telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana narkotika “tanpa hak

mengekspor narkotika golongan I yang dilakukan secara terorganisasi.”

2) Menghukum terpidana oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup.

3) Menyatakan sebanyak 31 (tiga puluh satu) jenis barang bukti dirampas untuk

negara.

4) Membebankan terpidana untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat

peradilan yang dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini ditetapkan sebesar

Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

Universitas Sumatera Utara

B. Analisis Putusan

Hakim dalam hal menjatuhkan putusan, terhadap pelaku tindak pidana narkotika, akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung kepada pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas, terlebih-lebih apabila putusan itu dianggap tidak tepat atau adanya disparitas penjatuhan pidana antara pelaku tindak pidana yang satu dengan pelaku tindak pidana yang lain, padahal pasal yang dilanggar adalah sama, apabila perbedaan putusannya mencolok, maka akan menimbulkan reaksi yang controversial dari berbagai pihak, baik itu datangnya dari pelaku tindak pidana atau terdakwa itu sendiri maupun yang datangnya dari masyarakat, sebab kebenaran dalam hal itu sifatnya adalah relatif tergantung dari mana sudut pandangnya.109

Pada putusan ini, terdakwa Scott Anthony Rush mendapat hukuman yang berbeda dengan terdakwa Michael William Czugaj yang sama-sama bertugas sebagai kurir atau media penyelundupan narkotika, dimana terdakwa Scott Anthony Rush mendapat hukuman mati, sedangkan terdakwa Michael William Czugaj mendapat hukuman seumur hidup, sehingga terdakwa Scott Anthony Rush mengajukan peninjauan kembali atas perkaranya

Adanya disparitas penjatuhan pidana akan berdampak negatif terhadap terpidana yang merasa dirugikan terhadap putusan hakim tersebut. Apabila terpidana itu membandingkannya dengan terpidana lain yang dijatuhi hukuman lebih ringan padahal tindak pidana yang dilakukan adalah sama, maka terpidana yang dijatuhi

109 Ibid., hlm. 109

Universitas Sumatera Utara

hukuman lebih berat akan menjadi korban ketidakadilan hukum sehingga terpidana tersebut tidak percaya dan tidak menghargai hukum, sedangkan terpidana yang diputus lebih ringan akan ada anggapan bahwa melanggar hukum bukanlah hal yang menakutkan karena hukumannya ringan yang berakibat bisa saja kelak sesudah selesai menjalani pidana ia berbuat kejahatan lagi sehingga tujuan pemidanaan yang menimbulkan efek jera tidak tercapai.110

Sesuatu yang tidak diharapkan bisa terjadi apabila disparitas penjatuhan pidana tersebut tidak dapat diatasi, dimana akan timbul demoralisasi dan sikap antirehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi pidana yang lebih berat dalam kasus yang sebanding. Sebenarnya masalah ini tidak dapat dipandang sederhana, sebab justru persoalannya sangat kompleks dan mengandung makna yang sangat mendalam, baik dari segi yuridis, sosiologis, maupun filosofis.111

Bila dicermati secara seksama, hukum yang mengatur tentang narkotika, tidak diatur secara tegas ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana narkoba. Adanya batas maksimal dan batas minimum member keleluasaan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana. Hal inilah yang menimbulkan perbedaan hukuman atau yang menyebabkan terjadinya disparitas penjatuhan pidana. Salah satu penyebab terjadinya disparitas penjatuhan pidana pada dasarnya dimulai dari hukum itu sendiri, di mana hukum tersebut membuka peluang terjadinya pidana karena adanya batas minimum

110 Agustina Wati Nainggolan, Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), Tesis, (Medan: Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2009), hlm. 108 111 Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan hukum pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 52

Universitas Sumatera Utara

dan maksimum pemberian hukuman, sehingga hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang menurutnya tepat.112

Bila dikaji lebih dalam kedua putusan di atas, tentang pertimbangan hakim terhadap hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pada kedua putusan tersebut tidak jauh berbeda. Pada kasus pertama hal-hal yang memberatkan bahwa perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat serta dapat member contoh yang tidak baik bagi generasi muda. Pada kasus kedua hal-hal yang memberatkan bahwa perbuatan terdakwa menghambat program pemerintah yang sedang giat- giatnya memberantas penyalahgunaan narkotika, dan hal-hal yang meringankan pada putusan pertama sama dengan hal-hal yang meringankan pada putusan yang kedua.

Adanya disparitas penjatuhan pidana bukan hanya tampak pada tingkat putusan hakim yang satu dengan hakim yang lain. Disparitas pidana itu bisa saja muncul pada tingkat penuntutan oleh jaksa penuntut umum, sering dijumpai di lapangan antara jaksa penuntut umum yang satu dengan yang lain tuntutan pidananya berbeda-beda terhadap terdakwa terhadap yang satu dengan terdakwa yang lain dalam tindak pidana yang sama, di samping disparitas pidana pada tingkat penuntutan, pada penjatuhan putusannya terjadi disparitas majelis hakim yang satu berbeda pendapat dengan majelis hakim yang lain dalam penjatuhan putusan.

Berdasarkan putusan di atas dapat dilihat bahwa untuk kasus dan pasal yang dilanggar sama, hakim menjatuhkan putusan yang berbeda, ada yang memutus hukuman mati dan ada yang memutus penjara seumur hidup. Terjadinya putusan

112 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), hlm. 4

Universitas Sumatera Utara

yang berbeda dalam kasus yang sama merupakan hal yang kasuistis sesuai dengan kasus itu sendiri, dimana ada pertimbangan memberatkan dan ada pertimbangan yang meringankan sehingga terhadap kasus yang sama hukumannya tidak sama, itulah sebabnya masih dijumpai penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika yang satu lebih berat dibandingkan dengan pelaku tindak pidana narkotika lainnya.113

Pada putusan ini terjadi disparitas pemidanaan, dimana Scott Anthony Rush mulai pada pengadilan tingkat pertama sampai dengan peninjauan kembali tetap dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, hal ini dikarenakan hakim memandang bahwa Scott Anthony Rush hanya merupakan kurir atau media yang di manfaatkan oleh Andreaw Chan untuk menyelundupkan atau pengeksporan narkotika ke

Australia. Pemberian hukuman berupa penjara seumur hidup, menurut hemat penulis sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan rasa keadilan dimasyarakat, mengingat dampat narkotika begitu besar sehingga pengedar narkotika pantas di berikan penjara seumur hidup, selain itu jika diberikan hukuman mati, menurut hemat penulis tidak sesuai dikarenakan Scott Anthony Rush juga merupakan korban yang dimanfaatkan sebagai media untuk melakukan penyelundupkan atau pengeksporan narkotika ke Australia.

Pemberian hukuman ini tentunya akan memberikan kepastian hukum bagi semua kalangan maupun terdakwa, dimana bagi setiap orang yang melakukan peredaran, menggunakan, membeli, menjual, maupun menyelundupkan narkotika

113 Agustina Wati Nainggolan, Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), Tesis, (Medan: Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2009), hlm. 124

Universitas Sumatera Utara

pasti akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemberian hukuman ini juga tentunya akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang terkena dampak atas peredaran narkotika yang dapat merusak generasi muda bangsa.

Pada praktiknya masih sering dijumpai aparat penegak hukum yang salah menggunakan norma-norma hukum yang sudah ada baik itu yang disengaja maupun tidak. Bagi hakim sebagai pengambil keputusan akan sangat mungkin baginya untuk memanfaatkan peluang yang diberikan oleh undang-undang, sehingga hakim akan sangat mudah untuk mempermainkan hukum, tetapi mungkin juga disebabkan oleh kurangnya sumber daya hakim dalam memahami dan mengerti maksud dari kandungan hukum yang terdapat dalam undang-undang.

Untuk terciptanya kemandirian penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,

Mahkamah Agung dalam instruksinya Nomor KMA/015/INST/VI/1998 tanggal 01

Juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan menghasilkan putusan hakim yang eksekutabel, berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat), serta logos (dapat diterima akal sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman.114

Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas dan kewenangan, namun demikian pada prinsipnya faktor-faktor

114 Bambang Sutiyoso, Loc. Cit., hlm. 14

Universitas Sumatera Utara

yang mempengaruhi tersebut dapat datangnya dari diri hakim itu sendiri maupun dari luar diri hakim tersebut yang disebut juga dengan faktor internal dan faktor eksternal, jadi faktor internal berkaitan dengan kualitas sumber daya hakim itu sendiri, yang dapat bermula dari cara rekruitmennya yang tidak objektif, integritas moral kurang dan tingkat pendidikan atau keahlian.

Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datangnya dari luar diri hakim, terutama yang berkaitan dengan sistem peradilan atau sistem penegakan hukum yang kurang mendorong kinerja hakim, dimana dalam hal ini dapat disebabkan karena masalah instumen hukumnya (perundang-undangan), adanya intervensi dan tekanan dari pihak luar, tingkat kesadaran hukum, sarana dan prasarana sistem birokrasi atau pemerintahannya, dengan demikian kemandirian hakim berkorelasi positif dengan penegakan supremasi hukum itu sendiri.115

Penerapan kebijakan hukum pidana bagi masing-masing terpidana bali nine telah dimulai sejak tahun 2005 sampai dengan tahap pelaksanaan eksekusi mati di tahun 2015, berikut ringkasan hasil dari proses peradilan yang diterima para terpidana:

1. Si Yi Chen, warga asing berkebangsaan Australia, pada tanggal 15 Februari 2006

mendapat putusan hukuman seumur hidup dari Pengadilan Negeri Denpasar.

Kemudian pada tanggal 26 April 2006 melakukan banding ke Pengadilan Tinggi

Bali, hukuman menjadi 20 tahun penjara. Kemudian melakukan kasasi ke

115 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 8

Universitas Sumatera Utara

Mahkamah Agung, hukuman berubah menjadi hukuman mati pada tanggal 6

September 2006, Kemudian kembali melakukan kasasi ke Mahkamah Agung

hukuman diturunkan menjadi hukuman seumur hidup pada tanggal 6 Maret 2008,

dan pada saat ini menjalani hukuman di penjara kerobokan Bali.

2. Renae Lawrence, warga asing berkebangsaan Australia, pada tanggal 13 Februari

2006 mendapat hukuman seumur hidup dari Pengadilan Negeri Denpasar.

Kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali, hukuman berubah

menjadi 20 tahun penjara pada tanggal 26 April 2006. Kemudian mendapat

remisi lima bulan pada hari kemerdekaan di tahun 2009. Kemudian kipindahkan

ke LP Negara pada tahun 2013 karena dituduh ikut berkomplot untuk membunuh

sipir penjara, pada tahun 2014 kembali dipindahkan ke LP Bangli, dan

diperkirakan bebas pada tahun 2026.

3. Michael Czugaj, warga asing berkebangsaan Australia, pada tanggal 14 Februari

2006 mendapat hukuman seumur hidup dari Pengadilan Negeri Denpasar.

Kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali, hukuman menjadi 20

tahun penjara pada tanggal 26 April 2006. Kemudian melakukan kasasi ke

Mahkamah Agung namun putusan kembali menjadi hukuman seumur hidup

pada tanggal 6 September 2006, dan saat ini menjalani hukuman di penjara

kerobokan Bali.

4. Tan Duc Thanh Nguyen, warga asing berkebangsaan Australia, pada tanggal 15

Februari 2015 mendapat hukuman seumur hidup dari Pengadilan Negeri

Denpasar. Kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali dan

Universitas Sumatera Utara

mendapat hukuman 20 tahun penjara pada tanggal 26 April 2006. Kemudian

melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan malah mendapat hukuman mati

pada 6 September 2006. Kemudian kembali melakukan kasasi ke, hukuman

berubah menjadi seumur hidup pada tanggal 6 Maret 2008. Pada tahun 2014

dipindahkan ke penjara Malang, Jawa Timur karena melakukan pelanggaran

aturan penjara kerobokan Bali.

5. Matthew Norman, warga asing berkebangsaan Australia, pada 15 Februari 2006

mendapat hukuman seumur hidup dari Pengadilan Negeri Denpasar. Kemudian

melakukan banding ke Pengadilan Tinggi bali dan mendapat hukuman 20 tahun

penjara pada tanggal 26 April 2006. Kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah

Agung, dan malah mendapat hukuman mati pada tanggal 6 September 2006.

Kemudian kembali mengajukan kasasi, hukuman berubah menjadi penjara

seumur hidup pada tanggal 6 maret 2008, dan saat ini menjalani hukuman di

penjara kerobokan Bali.

6. Scott Rush, warga asing berkebangsaan Australia, pada tanggal 13 Februari 2006

mendapat hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Kemudian

melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali, hukuman berubah menjadi

hukuman mati pada tanggal 6 September 2006. Kemudian melakukan kasasi ke

Mahkamah Agung, hukuman dikurangi menjadi hukuman seumur hidup pada

tanggal 10 Mei 2011. Kemudian kembali melakukan kasasi, Pengadilan Tinggi

Bali mengurangi hukuman hingga 18 tahun penjara pada 15 Juli 2011. Kemudian

Universitas Sumatera Utara

di pindahkan dari penjara kerobokan ke penjara karangasem, dan di jadwalkan

bebas pada tahun 2029.

7. Martin Stephens, warga asing berkebangsaan Australia, pada tanggal 14 Februari

2006 mendapat hukuman seumur hidup dari Pengadilan Negeri Denpasar.

Kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali, hukuman tidak

berubah pada tanggal 26 April 2006. Kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah

Agung, hukuman tetap tidak berubah pada tanggal 14 Januari 2011, dan pada

saat ini sedang menjalani hukuman di kerobokan Bali.

8. Myuran Sukumaran, warga asing berkebangsaan Australia, dijatuhi hukuman

mati pada tanggal 14 Februari 2006 oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Kemudian

melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali pada tanggal 26 April 2006

hukuman tidak berubah. Kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung pada

tanggal 6 Juli 2011, hukuman tetap tidak berubah. Kemudian melakukan

permohonan grasi kepada presiden namun ditolak.116

9. Andrew Chan, warga asing berkebangsaan Australia, pada tanggal 14 Februari

2006 menerima putusan hukuman mati dari Pengadilan Negeri Denpasar.

Kemudian melakukan banding kepada Pengadilan Tinggi Bali pada tanggal 26

April 2006, dan hukuman tidak berubah. Kemudian melakukan judicial review

dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 13 Agustus 2010.

Kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 10 Mei 2011,

116 Kompasiana, Mengungkap Kembali Kasus Bali Nine, http://www.kompasiana.com/rushanovaly/mengungkap-ulang-kasusbalinine/html, (di akses terakhir tanggal 21 Agustus 2015).

Universitas Sumatera Utara

hukuman tetap tidak berubah. Kemudian meminta grasi kepada Presiden Joko

Widodo pada tanggal 17 Januari 2015, dan permohonan grasi di tolak.

Sembilan anggota bali nine ini mendapatkan putusan hukum bervariasi, dua orang mendapatkan hukuman mati dan tujuh lainnya mendapat hukuman penjara seumur hidup hingga 18 tahun. Keputusan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan kebijakan hukum pidana terpidana warga negara asing kasus narkotika tentu bisa menjadi pelajaran berharga bahwa narkotika adalah kejahatan luar biasa yang merusak generasi muda dalam jangkauan luas lintas negara.

Universitas Sumatera Utara BAB III

PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika Oleh Warga Negara Asing

Kebijakan penal dalam penanggulangan dan pemberantasan narkotika dimulai dengan penegakan hukum oleh instansi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Upaya represif dilakukan melalui kebijakan penal dalam menanggulangi tindak pidana narkotika. Kebijakan ini dilakukan dengan melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika. Penegakan hukum dilakukan sejak tahap penyelidikan hingga sidang di pengadilan. Tugas dibidang represif adalah mengadakan penyelidikan dan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan dalan undang-undang.117

Kebijakan penal dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum melalui penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika. Penegakan hukum pada hakikatnya adalah penegakan norma-norma hukum, baik yang berfungsi suruhan (gebot, command) atau berfungsi lain seperti memberi kuasa (ermachtigen to empower), membolehkan

(erlauben, to permit), dan menyimpangi (derogieren, to derogate).118

117 Sadjijiono, Hukum Kepolisian Perspektif Kedudukan Dan Hubungannya Dalam Hukum Administrasi, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2006), hlm.119 118 Siswanto Sunarso, Hukum Pemerintahan Daerah Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 42

Universitas Sumatera Utara

Usaha penangulangan tindak pidana narkotika secara represif, juga merupakan usaha pengangulangan kejahatan dengan hukum pidana yang pada hakekatnya merupakan bagian dari usaha pencegahan hukum (khususnya pencegahan hukum pidana narkotika) oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik dan kebijakan hukum pidana juga yang merupakan bagian dari penegakan hukum (lau enforcement policy). Marc Ancel mengemukakan kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang dan juga kepada para penyelengggara atau pelaksana putusan pengadilan.119

Kebijakan penal selain mengatur mengenai perbuatan yang tergolong tindak pidana juga mengatur mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Sanksi yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara, pidana penjara seumur hidup, kurungan dan denda. Apabila pelaku adalah korporasi, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, dan atau pencabutan status badan hukum.

Ketentuan penjatuhan kebijakan hukum pidana bagi warga negara asing tercantum dalam ketentuan undang-undang yang menyatakan bahwa terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan atau tindak pidana prekursor narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam

119 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 21

Universitas Sumatera Utara

undang-undang, dilakukan pengusiran keluar wilayah Republik Indonesia.120

Ketentuan ini mengandung makna bahwa warga negara asing dapat diberlakukan kebijakan hukum pidana terhadapnya jika terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang narkotika.

Pemberlakuan kebijakan hukum pidana bagi warga negara asing didasari pada penggunaan asas territorial dimana penerapan hukum terhadap kejahatan yang terjadi di wilayahnya berdasarkan asas teritorial yang menitik beratkan tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum, yang mana setiap orang baik warga negara maupun warga negara asing yang mengancam keamanan negara maupun warganya diluar batas-batas wilayah negara berlaku ketentuan pidana berdasarkan asas personalitas atau pasif.

Setelah dilaksanakannya kebijakan hukum pidana maka terhadap warga negara asing tersebut dilakukan pengusiran keluar wilayah Indonesia jika warga negara asing tersebut sudah menjalani masa hukuman pidananya. Ketentuan undang- undang ini juga menyatakan bahwa warga negara asing yang telah diusir dilarang masuk kembali ke wilayah Indonesia, dan bagi warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika dan atau tindak pidana prekursor narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Indonesia.121

Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapatkan putusan disidang

120 Pasal 146 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 121 Pasal 146 Ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkotika. Semakin merebaknya penyalahgunaan narkotika yang berdampak negatif pada kehidupan masyarakat.

Sehingga, untuk mengendalikan dan mengembalikan kondisi kehidupan masyarakat yang ideal, tertib, aman, dan tentram, diperlukan peran dari semua aparat penegak hukum.

Upaya untuk melindungi kepentingan masyarakat agar pelaku tindak pidana tidak membahayakan dan merugikan masyarakat banyak, maka hukum acara memberikan kewenangan bagi pihak penyidik untuk menghentikan kebebasan dan kemerdekaan tersangka atau terdakwa dalam bentuk penahanan. KUHAP memberi kesempatan kepada tersangka atau terdakwa untuk didampingi penasehat hukum sejak pemeriksaan pendahuluan sampai pemeriksaan di pengadilan.122 Upaya pemberantasan narkotika oleh aparat penegak hukum memerlukan langkah-langkah lebih lanjut dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika, dimana dalam hal pemberantasan penyalahgunaan narkotika juga diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak antara lain adalah peran serta masyarakat.

Bentuk peran serta masyarakat disini dapat berupa memberikan informasi mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika kepada aparat penegak hukum, selain itu dapat juga berupa lewat lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan

122 Susilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem Dan Prosedur, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 46

Universitas Sumatera Utara

organisasi-organisasi masyarakat yang memfokuskan diri dalam pemberantasan narkotika secara menyeluruh.

Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika juga dapat dilaksanakan dengan melakukan penjagaan di perbatasan-perbatasan daerah dan antar lintas batas negara yang merupakan jalur masuk peredaran narkotika, baik melakukan penjagaan ekstra di bandara pelabuhan, terminal, dan sungai-sungai. Penggunaan teknologi canggih juga akan membantu mendeteksi dini peredaran narkotika, selain itu diperlukan juga koordinasi yang lebih baik antara aparat penegak hukum seperti

Kepolisian, Kejaksaan, BNN, dan Lembaga Peradilan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika oleh warga negara asing.

B. Peranan Aparat Penegak Hukum Dalam Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Penegakan hukum tindak pidana narkotika, dimulai dari penyelidikan kemudian dilanjutkan penyidikan sebelum dilaksanakan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Penyidikan dilakukan oleh penyidik polri untuk memperoleh kejelasan tentang kebenaran tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Apabila dalam proses penyidikan itu telah didapat hasil yang menyakinkan menurut hukum, dilanjutkan pada tingkat penuntutan yang menjadi wewenang lembaga kejaksaan.

Dalam hubungannya dengan penyidikan terhadap tindak pidana maka penyidik polri dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan asas praduga tak bersalah.

Penyidikan meliputi kegiatan penggeledahan dan penyitaan, demikian halnya penyidikan yang dilakukan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang ditangani

Universitas Sumatera Utara

oleh penyidik polri. Penyitaan ini erat hubungannya dengan kewenangan polri sebagai penyidik sering membutuhkan penyitaan meskipun sifatnya sementara, terutama bila adanya dugaan telah terjadi suatu perbuatan pidana.123 Implementasi penegakan hukum pidana materiil artinya bagi pelanggar peraturan hukum harus dijatuhi pidana, dan untuk keperluan tersebut maka hukum pidana formil dalam pelaksanaannya harus tetap melindungi hak-hak asasi tersangka atau terdakwa seperti yang dikehendaki oleh undang-undang, salah satunya adalah hak memperoleh bantuan hukum.

Penanganan perkara penyalahgunaan narkotika oleh warga negara asing tetap melalui prosedur penanganan tindak pidana, dengan berdasarkan pada KUHAP.

Proses penanganan perkara pidana di awali dengan pemeriksaan pendahuluan dimana tahap ini cukup menentukan, karena tahap inilah dikumpulkan bukti-bukti. Apabila bukti-bukti telah lengkap untuk bahan penuntutan, maka pemeriksaan dimuka sidang pengadilan akan lancar. Barang bukti pidana sesuai adalah benda-benda yang dapat disita menurut hukum karena ada hubungannya atau keterlibatannya dengan tindak pidana (misalnya benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana atau benda lain yang berhubungan dengan tindak pidana).124 Barang bukti ini dapat disita penegak hukum dan menjadi tanggung jawabnya atas rusak atau hilangnya barang bukti tersebut.

123 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1996), hlm. 57 124 Pasal 39, Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

Penyidik dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan wajib bertanggungjawab terhadap barang sitaan untuk dirawat, disimpan dan dijaga dengan baik karena barang tersebut sebagai bukti dalam menunjukkan pelaku kejahatan. Ada kemungkinan barang-barang sitaan tersebut dapat hilang atau rusak yang disebabkan banyak faktor, misalnya adanya bencana alam, dihilangkan sengaja, dibuat cacat hukum, terbakar ataupun cara penyimpanan yang salah.125 Dengan adanya kemungkinan ini penyidik wajib mengganti kerugian hilang dan atau rusaknya barang tersebut dan besarnya ganti rugi juga ditentukan dari ketentuan-ketentuan peraturan ada. Kepolisian yang berwenang bertanggungjawab secara penuh terhadap rusak dan atau hilangnya barang sitaan yang berada dalam kekuasaannya.

Tahap-tahap pemeriksaan perkara khususnya dalam perkara pidana narkotika ditinjau dari dua sudut yaitu dari sudut pemeriksaan perkara dan sudut wewenang petugas penegak hukum, tahap perkara pidana ditinjau dari sudut pemeriksaan pidana dapat dibagi menjadi:126 a. Pemeriksaan pendahuluan atau biasa disebut dengan istilah voornderzoek. b. Pemeriksaan akhir dalam sidang pengadilan yang juga disebut aidondezek.

Pada pemeriksaan pendahuluan dapat dibagi menjadi tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangkan dalam pemeriksaan akhir adalah merupakan pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pembagian kewenangan petugas penegak hukum dapat dibagi menjadi tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan,

125 Erni Widhayanti, Hak-hak Tersangka Terdakwa Di Dalam KUHAP Bidang Penyidikan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), hlm. 36 126 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.21

Universitas Sumatera Utara

tahap persidangan dan penentuan putusan hakim dan tahap pelaksanaan eksekusi putusan hakim.127

1. Tahap Penyelidikan Dan Penyidikan

Tindakan penyelidikan merupakan awal pemerikasaan perkara sebelum dilaksanakan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan untuk mencari dan menemukan sebuah peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.128 Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa penyelidikan dilaksanakan untuk mencari serta menemukan suatu peristiwa, apakah merupakan perbuatan pidana atau bukan, apabila merupakan perbuatan pidana dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

Pengertian penyidik adalah pejabat kepolisian negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.129 Pasal 6 ayat (1) KUHAP menentukan penyidik adalah

Pejabat Polisi Negara Republik Indinesia (POLRI) dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang. Selain penyidik dalam KUHAP dikenal pula penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah pejabat polri yang diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam KUHAP.130

127 Ibid., hlm. 22 128 Pasal 1 Butir 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 129 Pasal 1 Butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 130 Pasal 1 Butir 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan ketentuan KUHAP mengenai penyidik dan penyidik pembantu tersebut, dapat diketahui bahwa untuk melaksanakan tugas penyidikan harus ada pemberian wewenang tersebut. Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata- mata didasarkan atas kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang diberikan disesuaikan dengan kedudukan tingkat, kepangkatan, pengetahuan serta berat ringannya kewajiban dan tanggung jawab penyidik.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.131 Dengan demikian penyidikan merupakan tindakan dari penyidik yang bertujuan untuk menemukan kebenaran materil sehingga perkara pidana tersebut menjadi jelas. Apabila penyidikan telah selesai, maka penyidik wajib menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Menurut ketentuan pasal

110 (4) KUHAP, penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh

131 Pasal 1 Angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

hakim di sidang pengadilan.132 Ketentuan tersebut di atas dapat dihubungkan dengan

Pasal 13 KUHAP yang menyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Berdasarkan ketentuan tersebut disimpulkan bahwa penuntutan dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang disertai permintaan supaya perkara pidana itu diperiksa dan kemudian diputuskan oleh hakim dalam suatu sidang pengadilan.

Setelah penuntut umum menerima hasil penyidikan, tindakan penuntut umum adalah meneruskan perkara tersebut dengan melakukan penuntutan namun dapat pula tidak meneruskan perkara tersebut. Alasan penuntut umum tidak meneruskan suatu perkara adalah penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.133

Terhadap perkara yang dihentikan penuntutannya karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa bukan merupakan tindak pidana, apabila kemudian ada alasan atau bukti baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap terdakwa.134

Sedangkan terhadap perkara yang ditutup demi hukum tidak dapat diajukan lagi ke sidang pengadilan.

Apabila terdapat alasan untuk menghentikan perkara karena tidak cukup bukti atau bukan perbuatan pidana atau karena perkara ditutup kepentingan umum, maka berarti penuntut umum tidak meneruskan perkara tersebut untuk diperiksa dan

132 Pasal 1 Angka 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 133 Pasal 140 Ayat 2 Butir a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 134 Pasal 140 Ayat 2 Butir a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

diputuskan oleh hakim. Tindakan penuntutan meliputi tindakan penuntut umum melakukan tindakan pra penuntutan dan tindakan penuntutan. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.

Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan sudah cukup maka penuntut umum segera membuat surat dakwaan dimana surat dakwaan itu diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:135 a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang dilakukan. Ayat 3 Pasal 143, menentukan bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dalam ayat 2 huruf b batal demi hukum.

Jika susunan surat tuduhan tidak jelas dan lengkap dianggap mengurangi hak terdakwa dalam pembelaan sehingga surat tuduhan tersebut memuat dakwaan yang samar-samar, dengan demikian agar surat-surat dakwaan tidak batal demi hukum, maka surat dakwaan harus memuat identitas tersangka, uraian mengenai tindak pidana yang dituduhkan, waktu tindak pidana dilakukan, dan tempat tindak pidana.

Penuntut umum dalam menuntut beberapa perkara dapat mengadakan penggabungan perkara (voeiging) menjadi satu. Hal ini dapat dilakukan bila dalam waktu bersamaan menerima beberapa berkas perkara jika beberapa tindakan tersebut dilakukan oleh seorang yang sama, beberapa tindak pidana (perkara) tersebut ada hubungannya, beberapa tindak pidana (perkara) tersebut bersangkut paut satu sama

135 Pasal 143 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

lain dan penggabungan perkara tersebut tidak merupakan halangan bagi pemeriksaan di persidangan .

2. Pembuktian Dalam Perkara Pidana

Masalah pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses peradilan baik perdata maupun pidana, khususnya mengenai peradilan pidana, masalah pembuktian berkaitan dengan tujuan hukum acara pidana, yaitu mencari dan menemukan kebenaran materiil, oleh karena itu masalah pembuktian ini penulis merasa perlu untuk memaparkan secara lebih rinci dan tersendiri meskipun sebenarnya merupakan bagian dalam tahap persidangan. Untuk membuktikan bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di siding pengadilan, dalam hal pembuktian ini, hakim memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan. Walaupun dalam pembuktian yang dicari adalah kebenaran materiil, akan tetapi kebenaran sejati tersebut terbatas pada kemampuan manusia.

Sistem pembuktian posistif wettelijk, yaitu pembuktian yang hanya didasarkan semata-mata pada alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang dalam menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana seperti

Universitas Sumatera Utara

didakwakan kepadanya, tanpa memperhatikan ada atau tidaknya keyakinan hakim, sistem pembuktian conviction raisonee yaitu pembuktian yang didasarkan semata- mata atas keyakinan yang didasarkan pada pertimbangan akal dan hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang ditetapkan dalam undang-undang.

Sistem pembuktian conviction intime, yaitu pembuktian yang didasarkan semata-mata atas keyakinan hakim belaka, tanpa terikat pada aturan-aturan, sehingga sangat tergantung pada subyek pribadi hakim dalam menentukan terbukti atau tidaknya terdakwa bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan kepadanya. Sistem pembuktian negatif wettelijk, yaitu pembuktian yang didasarkan pada alat-alat bukti yang ditetapkan dalam undang-undang dan terdapat keyakinan dari hakim terdakwa, apakah tindak pidana yang didakwakan benar-benar dilakukan oleh terdakwa atau tidak.

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, dimana untuk dapat menjatuhkan pidana harus dipenuhi dua syarat yaitu sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti, dan keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya dua bukti tersebut, bahwa perbuatan pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya.136 Alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat bukti tersebut dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi hakim,

136 Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Alat bukti yang dimaksud, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan eterangan terdakwa.137

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, ketentuan yang membuktikan bahwa

Indonesia menganut sistem negatif Wettelijk, dimana tiada seorang juga dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh undang-undang, dan tiada seorang juga dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

3. Tahap Persidangan Dan Penentuan Putusan Hakim

Pada tahap ini merupakan tugas hakim, dimana hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.138

Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan atas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.139 Dengan demikian, hakim adalah pejabat peradilan negara yang berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana dengan asas bebas, jujur dan tidak memihak pada suatu sidang pengadilan.

137 Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 138 Pasal 1 Butir 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 139 Pasal 1 Butir 9 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

Untuk menguji hasil pemeriksaan pendahuluan agar diperoleh bahan final melalui pencocokan antara hal ikhwal yang dituduhkan dengan hal dari data-data atau fakta-fakta yang terungkap di muka sidang pengadilan. Bahan final yang diperoleh dari pemeriksaan sidang pengadilan akan menjadi dasar pertimbangan putusan pengadilan. Pemeriksaan perkara pidana dalam sidang pengadilan dibedakan dalam tiga jenis acara pemeriksaan, yaitu acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat, dan acara pemeriksaan cepat.

Acara pemeriksaan biasa adalah acara pemeriksaan dimana menurut pendapat penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya sulit. Acara pemeriksaan singkat adalah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 205 KUHAP dan menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.140

Acara pemeriksaan cepat dibagi menjadi dua, yakni acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas. Menurut Pasal

205 KUHAP mengatur:

1. Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. 2. Dalam perkara penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan.

Perbedaan ketiga jenis pemeriksaan perkara tersebut apabila dikaitkan dengan tugas penuntut umum dalam membuat surat dakwaan maka pada acara singkat

140 Pasal 203 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

penuntut umum tidak membuat surat dakwaan kepada terdakwa, perbuatan mana yang didakwakan kepada terdakwa pada permulaan sidang dianggap sebagai surat dakwaan. Apabila dalam acara cepat, maka penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari setelah acara pemeriksaan selesai, menghadapkan terdakwa ke sidang pengadilan tanpa suatu surat dakwaan, sehingga batas tegas adalah pada acara pemeriksaan biasalah surat dakwaan dibuat oleh penuntut umum. Apabila pemeriksaan telah selesai maka kegiatan selanjutnya adalah musyawarah hakim untuk mengambil keputusan dimana dalam musyawarah tersebut hakim ketua mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim termuda sampai tertua, sedangkan mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.141

Urutan dalam mengemukakan pendapat didahulukan hakim yang lebih muda dahulu disusul oleh hakim yang lebih senior kemudian putusan diambil dengan musyawarah atau suara terbanyak, jika hal ini tidak tercapai maka, putusan yang dipilih adalah putusan yang paling menguntungkan terdakwa. Hasil musyawarah tersebut akan menghasilkan suatu putusan pengadilan, dimana dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan.142 Putusan pemidanaan dijatuhkan, terhadap terdakwa terjadi apabila berdasarkan penilaian hakim yang menerima perkara, atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat-alat pembuktian

141 Pasal 182 Ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 142 Pasal 1 Butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

yang sah, pengadilan berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.143

Putusan bebas dijatuhkan, jika pengadilan berpendapat dari hasil sidang pemeriksaan, kesalahan terdakwa bahwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.144

Berdasarkan ketentuan tersebut maka terdakwa harus diputus bebas apabila dari pemeriksaan hakim, atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, tidak terbukti kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dan tidak ada keyakinan dari hakim bahwa terdakwa berbuat salah.145

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum, walaupun perbuatan itu terbukti dilakukan terdakwa, akan tetapi perbuatan yang dilakukan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana.146Apabila putusan pengadilan berupa pemidanaan maka segera setelah putusan tersebut diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahukan terdakwa yaitu:147 a. Hak atas menerima atau segera menolak putusan. b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini.

143 Pasal 193 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 144 Pasal 191 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 145 Pasal 191 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 146 Pasal 191 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 147 Pasal 193 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-undang untuk mengajukan grasi, dalam hal menerima putusan. d. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam hal ini ia menolak putusan. e. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini.

4. Tahap Pelaksanaan Putusan

Pejabat yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan tugas ini adalah jaksa, dimana pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dilaksanakan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan putusan kepada jaksa untuk melaksanakan eksekusi atas putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.148 Tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim sebagai tahap akhir dalam perkara pidana dimaksudkan untuk melaksanakan putusan dalam arti terbatas hanya untuk tugas eksekusi jaksa oleh jaksa. Tugas pelaksanaan pidana sebagai akibat oleh putusan hakim ini berhubung adanya petugas- petugas pelaksana lainnya di luar kejaksaan, maka perlu dibedakan antara tugas eksekusi putusan hakim dan pelaksanaan pidana sebagai tindak lanjut dari eksekusi.

Pelaksanaan pidana sebagai tindak lanjut dari eksekusi, misalnya mengenai pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, dan pengawasan dijalankan oleh hakim yang ditunjuk dalam waktu tertentu, dengan demikian pada tahap pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang merupakan tugas dari jaksa, hanya pada saat eksekusi putusan hakim tersebut dilaksanakan, sedangkan untuk pelaksanaan pidana sebagai tindak lanjut dari eksekusi putusan hakim, tidak lagi

148 Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

menjadi kewenangan jaksa. Dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa, hakim diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.149 Untuk mengambil keputusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan asas keadilan. Setiap putusan hakim merupakan salah satu dari ketiga kemungkinan sebagai berikut:

1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, yaitu pemidanaan terhadap terdakwa apabila kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah dilakukan dan perbuatan itu adalah suatu tindak pidana menurut hukum dan keyakinan cukup dibuktikan. 2. Putusan bebas, yaitu terdakwa dibebaskan apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti. 3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yaitu jika kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi apa yang dilakukan terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana.150

Putusan hakim merupakan putusan yang isinya menjatuhkan hukuman yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan tersebut dapat dijalankan.

Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar supaya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dapat dilaksanakan, misalnya apabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya segera dikeluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda, agar supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam rumah lembaga pemasyarakatan dan sebagainya. Hasil keputusan hakim tersebut dapat menimbulkan dampak yang sangat

149 Pasal 277 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 150 Ibid., hlm. 128

Universitas Sumatera Utara

hluas bagi masyarakat, dimana hal tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap perkembangan kasus penyalahgunaan narkotika yang tidak berkurang bahkan semakin meningkat di beberapa daerah.

Isu penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan bahaya adiktif lainnya baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsinya sekarang ini merupakan salah satu isu yang sangat penting dan hangat dibicarakan dalam berbagai diskusi di kalangan masyarakat. Peningkatan secara signifikan terhadap perilaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang dilakukan oleh sekelompok anggota masyarakat, demi terlindunginya keberlangsungan hidup generasi bangsa yang sehat maka intervensi sosial sebagai reaksi sosial baik formal maupun informal terhadap tindakan penyalahgunan dan peredaran gelap narkoba baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsinya sangat mendesak untuk segera dilaksanakan.151

Kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan yang paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam sejumlah riset menunjukkan, ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan tersebut, bahkan negara Indonesia justru menunjukkan peningkatan dari pengguna dan pengedar, sampai pada adanya produsen.152

Upaya penanggulangan narkoba di negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye antinarkoba,

151 Hatarto Pakpahan, Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan Bagi Pengguna Dalam Tindak Pidana Narkotika, Jurnal, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya), hlm. 14 152 Ibid., hlm. 11

Universitas Sumatera Utara

serta penyuluhan tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan narkoba tersebut

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal.

Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.”153 Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana).

Politik atau kebijakan hukum pidana dapat dikatakan merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Selain itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial welfare).

Kebijakan hukum pidana menjadi sangat wajar bila merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (sosial policy). Kebijakan sosial (sosial policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat, dimana ini berarti pengertian diatas telah mencakup sosial welfare policy dan sosial defence policy.154

153 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 23-24 154 Ibid., hlm. 25

Universitas Sumatera Utara

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim. Penegakan hukum seharusnya diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap meningkatnya perdagangan gelap serta peredaran narkotika, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut. Ketentuan perundang- undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan. Kasus- kasus terakhir ini telah banyak bandar-bandar dan pengedar narkoba tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya.

Pengkajian mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law enforcement yang mana bagiannya adalah kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan sarana yakni menggunakan penal atau sanksi, dan menggunakan sarana non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana. Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan hukum bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika, maka adapun lembaga-lembaga yang menangani perkara tindak pidana narkotika, yaitu:

1. Kepolisian

Kepolisian adalah pihak yang paling awal melakukan penanganan terhadap pelaku kejahatan atau pelanggaran, jika terjadi suatu kejahatan polisi wajib

Universitas Sumatera Utara

melakukan pengusutan dan melakukan penyidikan, selanjutnya pihak kejaksaan mengambil alih perkara guna melakukan penuntutan kepada para pelaku kejahatan di muka pengadilan. Kepolisian berwenang melakukan penyelidikan, dimana penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang diduga merupakan kejahatan atau tindak pidana guna mendapatkan bukti permulaan yang diperlukan untuk memutuskan apakah diperlukan penyidikan atau tidak sesuai.155 Pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan adalah polisi.156 Bukti permulaan diartikan sebagai petunjuk awal adanya keterlibatan seseorang atau kelompok dalam tindak pidana. Menurut Surat

Keputusan Kepala Kepolisian RI No. SKEP/04/1/1982, bukti permulaan yang cukup merupakan katerangan dan data yang terkandung dalam dua diantara: a. Laporan polisi b. Berita acara pemeriksaan polisi c. Laporan hasil penyelidikan d. Keterangan saksi, saksi ahli e. Barang bukti157

Kepolisian juga memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan, dimana penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna mengungkap tindak pidana dan menemukan tersangka

155 Pasal 1 Ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 156 Pasal 1 Butir 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 157 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Bandung: Djambatan, 1998) hlm. 30

Universitas Sumatera Utara

atau pelaku. Pejabat yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana adalah polisi atau pejabat sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, khusus untuk tindak pidana ekonomi dan korupsi pejabat yang berwenang adalah kejaksaan.

Adapun wewenang yang dimiliki penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam hukum acara, yaitu:158 a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana. b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian. c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka. d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang. g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. i. Mengadakan penghentian penyidikan, dan j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 26 (1) Penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Pemeriksaan terhadap anak korban atau anak saksi dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Telah berpengalaman sebagai penyidik. b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. (4) Dalam hal belum terdapat penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tugas penyidikan dilaksanakan oleh penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Pasal 29

158 Pasal 7 Ayat (1) Huruf B Sampai Dengan Huruf J Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

(1) Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. (2) Proses diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. (3) Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. (4) Dalam hal diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan. 2. Badan Narkotika Nasional (BNN)

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika dilaksanakan oleh suatu sistem peradilan pidana, dimana secara umum sistem peradilan pidana terbagi atas beberapa sub sistem, yaitu kepolisian kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan. Penegakan hukum dapat diibaratkan bagai menegakkan benang basah, kenyataan di lapangan menunjukkan, hukum bukan lagi keadilan melainkan identik dengan uang. Setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, mencakup substansi hukum yakni peraturan perundang-undangan, faktor struktur hukum yaitu penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, yakni lingkungan tempat hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan faktor budaya yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Badan Narkotika Nasional adalah lembaga pemerintahan non kementerian yang berkedudukan di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.159

Badan Narkotika Nasional sebagai lembaga independen diharapkan dapat bekerja lebih baik serta transparan dan akuntabel dalam menumpas kejahatan narkotika.

159 Pasal 64 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

Badan Narkotika Nasional juga diharapkan dapat optimal dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dan meningkatkan kerja sama internasonal agar jaringan narkotika transnasional dapat dihancurkan. Peran Badan Narkotika Nasional jika dikaitkan dengan pencegahan tindak pidana narkotika adalah suatu realitas yang tidak mungkin dilepaskan, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010

Tentang Badan Narkotika Nasional:160 a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. c. Berkoordinasi dengan kepolisian dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. g. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. h. Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika. i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan tehadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

Peran Badan Narkotika Nasional dalam setiap bentuk tindakan ini nantinya akan menekan tingginya tingkat kejahatan yang terjadi, karena setiap kejahatan merupakan tindakan yang sangat merugikan bagi semua orang sehingga dibutuhkan

160 Lihat Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional

Universitas Sumatera Utara

keseriusan dalam menangani setiap bentuk kejahatan yang berlaku. Pelaku kejahatan harus merasakan dampak yang ditimbulkan atas perbuatannya, maka untuk itu setiap perbuatan yang melawan hukum harus dikenai sanksi yang tegas.

3. Kejaksaan

Jaksa penuntut umum secara umum termasuk dalam lembaga kejaksaan merupakan lembaga yang berdiri sendiri dibawah pimpinan jaksa agung. Kejaksaan menganut asas satu dan tidak terpisahkan, artinya dalam melaksanakan tugasnya pejabat-pejabat kejaksaan diharuskan mengindahkan hubungan hirarki dilingkungan pekerjaannya. Tugas pokok jaksa dibidang pidana menurut Pasal 27 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan, tugas dan wewenang tersebut yaitu:161 a. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana. b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan. c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat. d. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Jaksa penuntut umum mempunyai kewenangan sebagaimana ditetapkan dalam

Pasal 14 KUHAP yaitu: a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu. b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik. d. Membuat surat dakwaan.

161 Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem Dan Prosedur, (Bandung: Alumni, 1982) hlm. 44

Universitas Sumatera Utara

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan. f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. g. Melakukan penuntutan. h. Menutup perkara demi kepentingan hukum. i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini, dan j. Melaksanakan penetapan hakim.

Penyidikan perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh warga negara asing, dilaksanakan oleh penyidik sampai pada tahap penuntutan juga dilakukan oleh penuntut umum anak dengan syarat-syarat sebagai mana diatur dalam UU Narkotika.

3. Pengadilan

Pengadilan adalah lembaga yang berwenang untuk memerikasa, mengadili, dan memutus suatu perkara termasuk perkara tindak pidana narkotika berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Fungsi hakim dalam mengadili suatu perkara maka hakim mempunyai kedudukan bebas dan bertanggungjawab terhadap segala urusan dalam peradilan oleh pihak-pihak lain dilarang kecuali dalam hal diperkenankan oleh undang-undang. Hakim adalah harapan para justiabelen (pencari keadilan) oleh karena itu mereka harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum.162

4. Lembaga Pemasyarakatan

Sistem peradilan pidana terbagi manjadi 3 tahap yaitu tahap sebelum sidang pengadilan (pra adjudikasi), tahap sidang pengadilan (adjudikasi), dan tahap setelah

162 Satjipto Rahardjo, Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, (Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Volume 6, 2009), hlm. 12

Universitas Sumatera Utara

siding pengadilan (post adjudikasi). Dalam mekanisme sistem peradilan pidana mensyaratkan adanya kerjasama antar sub sistem agar sistem peradilan pidana dapat berjalan dengan baik. Keempat sub sistem dalam sistem peradilan pidana mempunyai tugas yang berbeda-beda namun keempat sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang sama dan mempunyai hubungan yang sangat erat, dimana jika salah satu sub sistem ada yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya dapat mempengaruhi sistem secara keseluruhan.

Lembaga permasyarakatan sebagai sub sistem yang paling akhir yang langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan pembinaan, mempunyai posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana. Lembaga permasyarakatan diharapkan mampu merealisasikan tujuan akhir sistem peradilan pidana yaitu mencegah timbulnya kejahatan. Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat terpidana untuk menjalani hukuman pidananya baik yang menjalani hukuman penjara maupun kurungan. Menurut Satjipto Rahardjo, narapidana bukan orang hukuman melainkan orang tersesat dan kesempatan untuk bertobat yang dapat dicapai melalui bimbingan.163

C. Proses Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Upaya penegakan hukum yang diprogramkan dalam pemerintahan oleh mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, setelah berjalan lebih dari 1 tahun,

163 Petrus Irwan Panjaitan, Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm..38

Universitas Sumatera Utara

mulai terlihat keberhasilannya, walaupun berbagai kendala internal khususnya pembersihan dilingkungannya sendiri dalam proses penyidikan. Selain kendala internal, ditemui juga kendala eksternal, dimana dalam hal ini pihak-pihak penegak hukum sendiri justru memanfaatkan pihak-pihak yang melakukan kejahatan, dan penyalah gunaan wewenang.164

Seperti telah dijelaskan, kendala internal yang dialami (melekat) dalam penegakan hukum, yang sekarang sedang mengemukakan pemberantasan hampir jajaran polri, kejaksaan, hakim dan lembaga pemasyarakatan masih belum seragam, satupala, satu sikap, dan satu bahasa dalam melaksanakan tugas pokok, dan fungsinya. Kesemuanya itu sangat tergantung semangat keberanian dari unsur pimpinan untuk menegakkan hukum didukung unsur bawahan dan masyarakat setempat. Sebaiknya kalau unsur pimpinan lemah, bawahan juga ikut lemah dan warga masyarakatpun membenarkan dan mendukung tersangka korupsi, pada gilirannya upaya penegakan hukum menjadi terbengkalai.

Sebelum sampai di pengadilan, proses penegakan hukum memang ada yang melalui polisi, dituntut jaksa dan diproses di persidangan, dan untuk kejahatan (tindak pidana khusus), dimungkinkan penuntut umum langsung menyidik dan mempersiapkan tuntutan pada tersangka dan tertuduh, termasuk dalam perkembangan yang ada sehingga tidaklah keliru apabila penelitian hukum tentang pelaksanaan

164 Suharyo, Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum Tentang Masalah Hukum Pelaksanaan Putusan Peradilan Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, 2005), hlm. 26

Universitas Sumatera Utara

putusan pengadilan juga mengkaji dan memperhatikan sistem peradilan pidana

(criminal justice system) secara keseluruhan.165

Hal ini beranjak dari rangkaian proses sistem peradilan, termasuk eksekusinya juga secara permanen melibatkan polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, bahkan dalam keadaan darurat dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat dalam pelaksanaan eksekusi misalnya berubah menjadi rusuh dan polici (lokal) tidak mampu mengatasi maka militer (tentara) terdekat dapat minta bantuannya. Khusus tentang pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, penjatuhan hukuman, serta pemidanaan bagi pihak-pihak sebagai tokoh di daerah yang melakukan tindak pidana dan pada saat yang bersamaan daerah tersebut sedang dilanda konflik kekecewaan, maka proses penegakan hukum sampai selesai dapat ditarik di pusat pemerintahan, namun yang jelas walaupun pemerintahan sekarang bertekad erat mewujudkan supremasi hukum, dan keadilan, serta menumbuhkan demokrasi, ternyata warga masyarakat menilai bahwa pemerintah belum bertindak maksimal.

Setelah selesai proses persidangan, maka hakim mengambil keputusan yang diucapkan dimuka sidang terbuka untuk umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam penyelesaian perkara pidana tindak pidana narkotika dimana putusan hakim tersebut baru dapat dilaksanakan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dapat diajukan peninjauan kembali dan grasi- grasi.166 Tugas pelaksanaan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuaan hukum

165 Ibid., hlm. 27 166 Ibid., hlm. 32

Universitas Sumatera Utara

yang tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (jaksa). Pelaksanaan ptusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa yang untuk itu panitera mengirim salinan surat putusan padanya. Setelah jaksa menerima kutipan surat putusan yang telah menjadi tetap dan panitera pengadilan, maka telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pelaksanaan putusan perkara pidana tidak luput dari permasalahan yang timbul terutama dalam hal pelaksanaan putusan pidana mati. Belakangan ini, pelaksanaan putusan pidana mati menjadi sorotan masyarakat atau lembaga terkait dan mempertanyakan keberadaan puluhan terpidana mati yang hingga saat ini belum dieksekusi. Terlepas dari permasalahan politis dan lainnya, permasalahan pelaksanaan putusan pidana mati dapat dilihat dari aspek yuridis, diantaranya:167 a. Jangka waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali, dimana terhadap

perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan

peninjauan kembali dan grasi. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan

oleh terpidana atau ahli warisnya kepada Mahkamah Agung kepada panitera

pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan

menyebutkan secara jelas alasannya, dan permintaan peninjauan kembali tidak

dibatasi dengan suatu jangka waktu.168 Dengan tidak dibatasinya jangka waktu

permintaan peninjauan kembali mengakibatkan pelaksanaan pidana mati tidak

dapat dilaksanakan dengan waktu yang telah direncanakan. Seperti yang terjadi

167 Ibid., hlm. 36 168 Pasal 263, Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

di baru-baru ini terhadap terpidana narkotika asal Filiphina, dimana terpidana

mati yang sudah akan dieksekusi, tapi sehari sebelumnya dia mengajukan

peninjauan kembali sehingga pelaksanaan hukuman mati itu ditunda. b. Jangka waktu pengajuan permohonan grasi dimana dalam hal grasi, permohonan

grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya atau keluarganya

kepada presiden. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, terpidana dapat megajukan permohonan grasi kepada presiden.

Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya atau

keluarganya kepada presiden disampaikan kepada pengadilan yang memutus

perkara tingkat pertama utuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan

grasi dan salinannya dapat disampaikan oleh terpidana melalui kepala lembaga

pemasyarakatan tempat terpidana mejalani pidana, dalam hal ini kepala lembaga

pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada presiden dan

salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat

pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan

grasi dan salinannya.169 Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan

pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak dibatasi oleh tenggang

waktu tertentu.170 Permohonan grasi tanpa batas waktu membawa konsekuensi

yuridis pelaksanaan putusan pidana mati akan mengalami kendala waktu untuk

dieksekusi sepanjang terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya belum

169 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi 170 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

Universitas Sumatera Utara

mengajukan grasi. Walaupun terpidana tidak mengajukan grasi tapi keluarganya

belum bersikap untuk memohon grasi atau tidak maka pelaksanaan putusan mati

belum bisa dilaksanakan.

Pengajuan peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang diajukan kepada Mahkamah Agung, apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya, dan apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tntutan penuntut umum, putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Sedangkan grasi merupakan upaya hukum yang khas menjadi wewenang Presiden yang bebentuk pemberian pengampunan (grasi) dan diatur lebih lanjut dalam UU Grasi.171

Pasal 2 UU Grasi dinyatakan bahwa terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dimana pasal tersebut memuat ketentuan:

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden. (2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.

171 Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945

Universitas Sumatera Utara

(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal: a. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut atau b. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila kebijakan hukum pidana dimaksudkan sebagai upaya pembalasan akan mengakibatkan kecenderungan untuk memuaskan atau dapat saja tidak memuaskan, di mana secara estetika terpidana harus menerima penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan pemidanaan yang lain, adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.172

Ketentuan kebijakan pelaksanaan pidana mati saat ini diatur dalam Penetapan

Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang

Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa bangsa dimana pada saat sebelum penetapan presiden yang berlaku adalah hukuman gantung.

Menurut ketentuan dalam penetapan presiden ini secara tegas-tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan, baik dilingkungan

172 Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 145

Universitas Sumatera Utara

peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati dengan tata cara sebagai berikut:173

1. Kebijakan hukum pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. 2. Kebijakan hukum pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang didalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, keculai jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu.174 3. Kepala Polisi Daerah bertanggung jawab untuk pelaksanaannya sekaligus menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. 4. Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Daerah lain, maka Kepala Polisi Daerah tersebut merundingkannya dengan Kepala Polisi Daerah lain itu. 5. Kepala Polisi Daerah atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan jaksa tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya. 6. Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh jaksa tinggi. 7. 3 X 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. 8. apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangannya atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi tersebut. 9. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan. 10. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati. 11. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara seserdana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. 12. Untuk pelaksanaan pidana mati, Kepala Polisi Daerah yang bertanggung jawab membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang tamtama dibawah pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob POLRI). 13. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya. 14. Regu penembak ini dibawah perintah jaksa tinggi sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

173 Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer 174 Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer

Universitas Sumatera Utara

15. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. 16. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. 17. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib. 18. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. 19. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. 20. Jika dipandang perlu, jaksa tinggi dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. 21. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ketempat yang ditentukan oleh jaksa. 22. Jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter. 23. Apabila semua persiapan telah selesai, maka jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. 24. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. 25. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, komandan regu penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. 26. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka komandan regu penembak segera memerintahkan kepada bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. 27. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter. 28. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum jaksa memutus lain. 29. Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan yang ditentukan oleh agama atau kepercayaan yang dianut terpidana.

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) setempat bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati, yang dimaksudkan dengan bertanggung jawab untuk pelaksanaan ialah bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati serta menyediakan

Universitas Sumatera Utara

tenaga dan alat-alat yang diperlukan untuk itu. Tenaga yang dimaksud ialah membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang bintara, dua belas orang tamtama di bawah pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile.

Semuanya ini berada dibawah perintah jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya sampai selesainya pelaksanaan pidana mati tersebut.175

Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tersebut. Pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan si terpidana dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. Terpidana boleh berdiri, duduk atau berlutut.176

Jika dipandang perlu maka jaksa tersebut dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya atau diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi sepuluh meter dan tidak boleh kurang dari lima meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka jaksa tersebut memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati dan dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri

175 J. E. Sahetapy, Op. Cit., hlm. 67 176 Ibid., hlm. 59

Universitas Sumatera Utara

dari terpidana. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat komandan regu penembak memberikan perintah supaya bersiap kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

Apabila setelah penembakan itu terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati maka komandan regu segera memerintahkan kepada bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana diminta bantuan seorang dokter. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum jaksa tersebut memutuskan lain.

Andaikan tidak ada juga kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarga atau sahabat terpidana, maka penguburan diselenggarakan oleh negara dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama atau kepercayaan yang dianut oleh terpidana.177 Jaksa tersebut harus membuat berita acara dari keseluruhan pelaksanaan pidana mati tersebut. Isi dari pada berita acara tersebut harus disalinkan ke dalam surat keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ditanda-tangani olehnya.178

177 Ibid., hlm. 62 178 Ibid., hlm. 63

Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan kebijakan hukum pidana (khususnya pidana mati) dapat dilihat dari pelaksanaan eksekusi dua terpidana bali nine yakni Andrew Chan, dan Myuran

Sukumaran yang merupakan warga asing berkebangsaan Australia. Andrew Chan, pada tanggal 14 Februari 2006 menerima putusan hukuman mati dari, kemudian melakukan banding kepada Pengadilan Tinggi Bali pada tanggal 26 April 2006, dan hukuman tidak berubah. Kemudian melakukan judicial review dilakukan di

Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 13 Agustus 2010. Kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 10 Mei 2011, hukuman tetap tidak berubah.

Kemudian meminta grasi kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 17 Januari

2015, dan permohonan grasi di tolak.

Myuran Sukumaran, dijatuhi hukuman mati pada tanggal 14 Februari 2006 oleh Pengadilan Negeri Denpasar, kemudian melakukan banding ke Pengadilan

Tinggi Bali pada tanggal 26 April 2006 hukuman tidak berubah, kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, hukuman tetap tidak berubah, kemudian melakukan permohonan grasi kepada presiden namun ditolak. Pelaksanaan kebijakan

(khususnya pidana mati) terhadap dua bali nine yakni Myuran Sukumaran dan

Andrew Chan yang merupakan warga asing berkebangsaan Australia,, telah dilaksanakan eksekusinya bersama enam terpidana mati lainnya di Nusakambangan,

Cilacap, Jawa Tengah, pada hari Rabu tanggal 29 April 2015, jam 00.00 WIB.179

179 Harian Online Sinar Indonesia, Pelaksaan Hukuman Mati Duo Bali Nine Sesuai Jadwal, http://daerah.sindonews.com/read/974165/22/pelaksaan-hukuman-mati-duo-bali-nine-sesuai-jadwal- 1425901486, (di akse terakhir tanggal 20 Agustus 2015).

Universitas Sumatera Utara BAB IV

HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Hambatan Pra Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana (Khususnya Pidana Mati) Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Penanganan perkara tindak pidana narkotika oleh warga negara asing dengan melaksanakan kebijakan hukum pidana mati, masih mengalami hambatan bagi aparat penegak hukum. Adapun hambatan pra pelaksanaan kebijakan hukuman mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika yaitu:180

1. Adanya perbedaan pemahaman mengenai konsep pelaksanaan kebijakan hukum

pidana mati. Hal ini sudah diperkirakan sejak awal mendesain program kebijakan

hukum pidana mati. Mengenalkan konsep sistem penegakan hukum yang

berperspektif keadilan, sedari awal disadari tidak akan semudah membalikkan

telapak tangan.

2. Pro kontra di kalangan masyarakat, praktisi hukum akademisi, dan para penegak

hukum terkait pelaksanan kebijakan hukuman mati bagi warga negara asing

pelaku tindak pidana narkotika. Isu hukuman mati selalu menjadi debat yang

kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di

tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Kontroversi hukuman

mati juga eksis baik itu di panggung internasional maupun nasional. Hal ini

180 Berdasarkan Hasil Pantauan Peneliti Pada Media Pemberitaan Nasional Terhadap Pelaksanaan Eksekusi Mati Terpidana Mati Warga Negara Asing

Universitas Sumatera Utara

terjadi karena pidana mati adalah pidana yang paling berat, karena pidana ini

dalam pelaksanaannya sangat berat berupa penyerahan terhadap hak hidup bagi

manusia yang sesungguhnya hak ini berada di tangan tuhan, manusia tidak ada

wewenang untuk menghilangkan nyawa seseorang meskipun seseorang tersebut

telah melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku atau hukum yang berlaku

yang tercantum dalam undang-undang maupun peraturan hukum lainnya.

3. Intervensi dari berbagai negara terkait pelaksanan kebijakan hukuman mati bagi

warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika. Hal ini terjadi karena

terpidana yang akan menjalani hukuman mati merupakan warga negara asing,

sehingga pemerintah dari masing-masing warga negara asing tersebut berupaya

semaksimal mungkin untuk melindungi warga negaranya dari pidana mati yang

akan dilaksanakan. Upaya yang dilakukan pemerintah asing tersebut bergam

macamnya mulai dari pertukaran narapidana, mengungkit jasa-jasa yang sudah

pernah dilakukan kepada negara yang akan melaksanakan pidana mati, bahkan

sampai dengan penarikan duta besar dari negara yang akan melaksanakan pidana

mati.

4. Upaya politik pelemahan pelaksanaan kebijakan hukuman mati bagi warga

negara asing pelaku tindak pidana narkotika. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

partai-partai politik yang angkat bicara soal hak asasi manusia sehingga hal ini

menjadi salah satu sebab tertundanya pelaksanaan kebijakan hukuman mati bagi

warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika.

Universitas Sumatera Utara

5. Adanya penundaan dikarenakan pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan

terpidana mati menjelang pelaksanaan pidana mati. Adanya kekosongan hukum

dasar permohonan pengajuan peninjauan kembali. Terpidana saat ini belum dapat

mengajukan permohonan peninjauan kembali lebih dari satu kali karena belum

ada aturan yang mengatur pelaksanaan putusan

6. Biaya yang mahal terkait pelaksanan kebijakan hukuman mati bagi warga negara

asing pelaku tindak pidana narkotika. Awalnya kejaksaan akan melaksanakan

eksekusi di kepulauan seribu, namun biayanya mencapai Rp. 258.000.000,

sedangkan pelaksanaan di tempat lain pun membutuhkan biaya akomodasi yang

mahal. Kejaksaan hanya mematok biaya eksekusi Rp. 200.000.000 juta per

orang.

7. Terbatasnya tempat yang aman dan kondusif, dimana kejaksaan mencari tempat

yang jauh dari keramaian dan aman. Eksekusi akhirnya dilakukan di pulau

nusakambangan dan boyolali. Kejaksaan menyatakan, masih banyak penyusup

dari pegiat hak asasi manusia dan media yang mencoba melihat langsung

eksekusi, padahal pihak kejaksaan sudah memilih lokasi yang jauh.

8. Cuaca buruk pada pelaksanaan hukuman mati terhadap enam terpidana, dimana

pada eksekusi tanggal 18 dan 19 Januari 2015 mundur dari jadwal karena cuaca

buruk. Kejaksaan berencana menembak terpidana tepat pada pukul 00.00 WIB,

namun hukum baru bisa dilaksanakan pada 00.30 WIB dan 00.46 WIB

9. Permintaan terakhir terpidana mati, dimana kejaksaan bertanggung jawab

memenuhi permintaan terpidana hingga jasadnya dikembalikan ke keluarga.

Universitas Sumatera Utara

Sehingga pemenuhan permintaan terkahir terpidana mati terkadang menjadi

kendala dalam pemenuhannya.

Hambatan pra pelaksanaan kebijakan hukum pidana (khususnya pidana mati), dapat di lihat pra pelaksanaan eksekusi mati dua bali nine, yakni Andrew Chan, dan

Myuran Sukumaran yang merupakan warga asing berkebangsaan Australia.

Hambatan ini dapat terlihat dengan banyaknya intervensi dari Pemerintah Australia untuk menggagalkan eksekusi mati terhadap dua warga negaranya. Perdana Menteri

Australia Tony Abbott mendekati Presiden Joko Widodo secara langsung agar memberikan pengampunan kepada Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.

Pemerintah Australia terus berupaya agar mencegah eksekusi kedua warganya di

Indonesia. Pada 20 Januari 2015, Tony Abbott kembali menyurati Presiden Joko

Widodo untuk menerima permohonan grasi bagi Myuran Sukumaran dan Andrew

Chan.181

B. Hambatan Pasca Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana (Khususnya Pidana Mati) Bagi Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Berbicara masalah hukuman mati di Indonesia, sebagai suatu negara yang mempunyai falsafah Pancasila, sampai saat ini masih merupakan suatu pembicaraan yang dapat menimbulkan problema, karena masih banyak para ahli yang mempersoalkannya dan hal tersebut banyak disebabkan karena perbedaan pandangan dan tinjauan. Permasalahan pidana mati seakan tidak akan pernah habis untuk

181 Kompas Online, Kronologi Kasus Narkoba Kelompok Bali Nine, http://regional.kompas.com/read/2015/04/29/06330021/inikronologikasusnarkobakelompokbalinine. (di akses terakhir tanggal 20 Agustus 2015).

Universitas Sumatera Utara

dibicarakan, karena selalu mengundang pendapat yang setuju dan tidak setuju, dengan berbagai alasan yang menjadi dasarnya, baik secara filosofis, sosiologis, maupun secara yuridis.

Perdebatan yang banyak terjadi adalah mengenai efektifitas pidana mati sebagai sarana prevensi dan represi. Hambatan dalam pelaksanan kebijakan hukuman mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika tidak hanya dirasakan pada pra pelaksanaan saja, tetapi juga pada pasca pelaksanaan kebijakan hukuman mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika, adapun hambatan- hambatan tersebut yakni:182

1. Renggangnya hubungan bilateral kedua negara terkait pelaksanaan kebijakan

hukuman mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika, dimana

disatu sisi negara yang bersangkutan harus menegakkan aturan hukum yang

berlaku sedangkan pemerintah asing berupaya menyelamatkan warga negaranya.

2. Penarikan sejumlah duta besar perwakilan di negara yang melakukan

pelaksanaan kebijakan hukuman mati bagi warga negara asing pelaku tindak

pidana narkotika. Hal ini terkait bentuk protes pemerintah negara asing terkait

pelaksanaan kebijakan hukuman mati bagi warga negara asing pelaku tindak

pidana narkotika.

182 Berdasarkan Hasil Pantauan Peneliti Pada Media Pemberitaan Nasional Terhadap Pelaksanaan Eksekusi Mati Terpidana Mati Warga Negara Asing

Universitas Sumatera Utara

3. Hambatan terkait pemenuhan permintaan terakhir terpidana mati yang harus

dilaksanakan pemerintah yang bersangkutan sebelum akhirnya jenazah terpidana

mati dikembalikan ke negara asalnya.

4. Hambatan terkait pemulangan jenazah pada negara asalnya dimana dengan sudah

renggangnya hubungan bilateral anatar kedua negara mengakibatkan urusan izin

dan surat menyurat menjadi sulit, karena kurangnya partisipasi negara yang

dituju untu memulangkan jenazah warga negaranya.

5. Hambatan terkait terpidana mati yang tidak jelas keluarganya sehingga jenazah

tidak tahu mau dipulangkan kemana, dan akhirnya pemerintahlah yang

berkewajiban memakamkan jenazah terpidana mati yang bersangkutan.

Hambatan lain juga dapat dilihat setelah pelaksanaan eksekusi mati dua bali nine, yakni Andrew Chan, dan Myuran Sukumaran yang merupakan warga asing berkebangsaan Australia. Hambatan tersebut berupa ancaman, dimana Kantor

Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Sydney, Australia, pada hari Selasa, tanggal 19 Mei 2015, sore waktu setempat, menerima sebuah surat kaleng berisi ancaman balas dendam terhadap warga Indonesia karena telah mengeksekusi mati

Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Surat tanpa alamat pengirim yang diterima staf KJRI Sydney berisi pernyataan sebagai berikut:

“Negara anda telah membunuh Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dengan cara barbar, jadi sekarang tiga pemuda Indonesia yang tinggal di kompleks Kensington masing-masing akan menerima siraman satu cangkir air keras di

Universitas Sumatera Utara

wajahnya, dan kita akan lihat bagaimana (perasaan) keluarga mereka, yang seperti memiliki mayat hidup.”183

Hal ini tentunya menjadi salah satu hambatan dalam menegakkan pelaksanaan hukuman mati, selain hambatan pada pra pelaksanaan, hambatan pasca pelaksanaan hukuman mati ini juga membawa dampak buruk terhadap hubungan bilateral kedua negara yang bersangkutan. Terdapat juga hambatan lain berupa pemulangan jenazah terpidana mati warga negara asing yang sudah di eksekusi mati. Pemulangan jenazah terpidana mati Rodrigo Gularte warga asing berkebangsaan Brazil, harus menunggu beberapa hari sebelum dibawa ke kampung halamannya di Brasil. Terpidana mati asal

Brazil Rodrigo Gularte telah dieksekusi regu tembak Kejaksaan Agung di

Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada hari Rabu 29 April 2015 dini hari.

Jasad terpidana mati ini baru dapat di pulangkan ke kampung halamannya lima hari setelah di eksekusi mati. Keterlambatan ini dikarenakan banyaknya dokumentasi, surat menyurat atas pemulangan jenzah yang harus dilengkapi oleh pemerintah

Indonesia, selain itu terdapat masalah kapal pengiriman yang dipergunakan untuk memulangkan warga asing berkebangsaan Brazil ini ke negara asalnya. Lamanya proses pemulangan jenazah ini tentu menjadi hambatan pasca pelaksanaan eksekusi mati dan harus segera di cari solusi terbaik oleh pemerintah agar kedepannya dapat mempercepat proses pemulangan jenazah ini.184

183 Kompas Online, Warga Negara Indonesia Di Ancam Serarang Asam Di Sydney, http://internasional.kompas.com/read/2015/05/19/22542121/wni.di.sydney.diancam.serangan.asam.unt uk.balas.eksekusi.duo.bali.nine, (di akses terakhir tanggal 20 Agustus 2015). 184 Liputan 6, Jasad Terpidana Mati Di Pulangkan Senin Depan, http://news.liputan6.com/read/2223102/jasad-terpidana-mati-rodrigo-dibawa-ke-brasil-senin-depan, (di akses terakhir tanggal 20 Agustus 2015).

Universitas Sumatera Utara

C. Solusi Dalam Menyelesaikan Hambatan Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana (Khususnya Pidana Mati) Terkait Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika

Perlunya penggunaan kebijakan non penal diintensifkan dan di efektifkan dalam kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika permasalahannya efektivitas sarana penal. Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi umum dan prevensi khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya. Hal ini terbukti dengan kasus-kasus narkotika kebijakan-kebijakan penal atau sanksi-sanksi hukum yang berupa penghukuman tersangka bahkan sampai di jatuhkannya sanksi pidana terberat berupa hukuman mati, dan seumur hidup tidak membuat jera para pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika.

Barda Nawawi Arief, menyatakan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari:185

1. Sudut pendekatan kebijakan, dimana: a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2. Sudut pendekatan nilai dimana pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filososfis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang

185 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada, 2008), hlm. 31-32.

Universitas Sumatera Utara

melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila dilihat dari perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau.186

Upaya represif dilakukan melalui kebijakan penal dalam menanggulangi tindak pidana narkotika. Kebijakan ini dilakukan dengan melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika. Penegakan hukum dilakukan sejak tahap penyelidikan hingga sidang di pengadilan. Polisi juga sering kali mengadakan razia di kamar kost dan tempat hiburan malam yang diindikasi menjadi kantong-kantong peredaran gelap narkotika. Dalam melakukan tindakan tersebut, aparat telah melakukan upaya-upaya paksa sesuai dengan ketentuan dalam

UU Narkotika terhadap pelaku tindak pidana narkotika. dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam undang-undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.

Solusi yang diambil dalam mengantisipasi hambatan-hambatan tersebut adalah dengan melakukan pendekatan yang bersifat partisipatoris dalam seluruh program dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Kedua, menyusun strategi untuk menyamakan persepsi dan assessment terhadap program-program yang

186 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

telah dilakukan oleh institusi penegak hukum. Ketiga, mengenalkan konsep sistem penegakan hukum yang berkeadilan dengan menggali pengalaman para pihak yang terlibat dalam program pelaksanaan kebijakan hukum pidana mati yang dalam prosesnya diperlukan pengalaman kemudian dibahas secara bersama-sama.187

Banyaknya pihak yang terlibat dari berbagai institusi serta jangkauan dari kegiatan menimbulkan kesulitan dalam melakukan monitoring dari pelaksanaan masing-masing kegiatan. Oleh karena itu, diambil langkah-langkah solusi dalam mengatasi masalah ini. Misalnya, melakukan konsolidasi serta mengefektifkan alur komunikasi dan informasi. Tim kerja memerlukan konsolidasi ke dalam dan evalusi kegiatan yang tepat guna dan terus menerus. Tim kerja dari masing-masing kegiatan dan koordinator program perlu membangun persepsi yang setara, komunikasi dinamis dan tim yang kompak.

Pengenalan konsep sistem peradilan pidana terpadu atas penanganan kasus tindak pidana narkotika oleh warga negara asing secara perlahan-lahan dilakukan dan didiskusikan bersama pula hingga mencapai satu persepsi dan pemahaman yang sama. Hambatan lain adalah hambatan birokrasi yang berkaitan dengan belum menjadi prioritas dikalangan pengambil kebijakan. Hal ini juga berkaitan dengan dinamika lapangan hukum dalam konteks sosial, ekonomi, politik.

Fakta yang terjadi di lapangan dengan yang di amanatkan undang-undang memang jauh berbeda. Namun tidak bijak jika kemudian muncul stigma atau

187 Berdasarkan Hasil Pantauan Peneliti Pada Media Pemberitaan Nasional Terhadap Pelaksanaan Eksekusi Mati Terpidana Mati Warga Negara Asing

Universitas Sumatera Utara

anggapan bahwa kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus tindak pidana narkotika oleh warga negara asing adalah seperti yang tertulis di atas karena tidak semua aparat penegak hukum bersikap demikian. Hanya saja memang diharapkan bahwa aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana narkotika bagi warga negara asing, adalah aparat penegak hukum yang professional dan mampu agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga dapat menjerat pelaku tindak pidana narkotika sesuai dengan perbuatannya, dengan demikian penegakan hukum akan tercapai sebaik mungkin dan dapat menjawab rasa keadilan dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai pelaksanaan kebijakan hukuman mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika tersebut diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting dari pembahasan tersebut, yakni sebagai berikut:

1. Penerapan kebijakan hukum pidana terhadap kejahatan narkotika di suatu negara

dapat dilaksanakan dengan menerapkan hukum terhadap kejahatan yang terjadi

di wilayahnya berdasarkan asas teritorial yang menitik beratkan tempat (locus

delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum. Setiap orang (warga negara maupun

warga negara asing) yang mengancam keamanan negara maupun warganya

diluar batas-batas wilayah negara berlaku ketentuan pidana berdasarkan asas

personalitas (pasif). Maksudnya dalam upaya penanggulangan kejahatan dapat

ditempuh dengan penerapan kebijakan hukum pidana (criminal law application),

pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), mempengaruhi

pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa

(influencing views of society on crime and punishment).

Penerapan sanksi hukum terhadap warga masyarakat termasuk warga negara

asing yang melanggar hukum, diharapkan dapat berpengaruh positif bagi

perkembangan kepribadian masyarakat. Putusan Makamah Konstitusi dijelaskan

Universitas Sumatera Utara

bahwa penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika

tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru para pelaku tersebut telah

melanggar hak asasi manusia lain, yang memberikan dampak terhadap

kehancuran generasi muda di masa yang akan datang.

Hal-hal yang sering memberikan indikasi penerapan kebijakan hukum pidana

melalui undang-undang narkotika yang tidak konsisten oleh majelis hakim adalah

apabila putusan yang diambil sanksinya sangat jauh dari apa yang diterapkan

dalam undang-undang narkotika, padahal sebenarnya indikasi semacam ini lahir

dari suatu proses pemahaman yang kurang menyeluruh atas sistem peradilan

yang ada dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, sebab sangat jelas

digariskan bahwa hakim tidak dibenarkan mejatuhkan pidana kepada seseorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan hakim

dari alat bukti tersebut memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

narkotika benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.

2. Pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati saat ini tunduk

pada Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan

Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum

Dan Militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan dengan

pertimbangan bahwa pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana

mati yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa bangsa dimana pada saat

sebelum penetapan presiden yang berlaku adalah hukuman gantung.

Universitas Sumatera Utara

Menurut ketentuan dalam penetapan presiden ini secara tegas-tegas menyatakan

bahwa pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidanan mati yang

dijatuhkan oleh pengadilan, baik dilingkungan peradilan umum maupun

peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.

Kepala Kepolisian Daerah setempat bertanggung-jawab untuk pelaksanaannya,

menentukan waktu dan tempat pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya

pidanan mati, yang dimaksudkan dengan bertanggung jawab untuk pelaksanaan

ialah bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan

kebijakan hukum pidana mati serta menyediakan tenaga dan alat-alat yang

diperlukan untuk itu. Tenaga yang dimaksud ialah membentuk sebuah regu

penembak yang terdiri dari seorang bintara, dua belas orang tamtama di bawah

pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile, dimana semuanya ini

berada dibawah perintah jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya

sampai selesainya pelaksanaan kebijakan hukum pidana mati tersebut.

3. Hambatan pra dan pasca pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana

mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika yaitu:

a. Adanya perbedaan pemahaman mengenai konsep pelaksanaan kebijakan

hukum pidana khususnya pidana mati.

b. Pro kontra di kalangan masyarakat, praktisi hukum akademisi, dan para

penegak hukum terkait pelaksanan kebijakan hukum pidana khususnya

pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika.

Universitas Sumatera Utara

c. Intervensi dari berbagai negara terkait pelaksanan kebijakan hukum pidana

khususnya pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana

narkotika. d. Upaya politik pelemahan pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya

pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika. e. Adanya penundaan dikarenakan pengajuan peninjauan kembali yang

dilakukan terpidana mati menjelang pelaksanaan pidana mati. f. Biaya yang mahal terkait pelaksanan kebijakan hukum pidana khususnya

pidana mati bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika. g. Terbatasnya tempat yang aman dan kondusif, dimana kejaksaan mencari

tempat yang jauh dari keramaian dan aman. h. Cuaca buruk pada pelaksanaan hukuman mati. i. Permintaan terakhir terpidana mati, dimana kejaksaan bertanggung jawab

memenuhi permintaan terpidana hingga jasadnya dikembalikan ke keluarga.

Solusi yang diambil dalam mengantisipasi hambatan-hambatan tersebut adalah dengan melakukan pendekatan yang bersifat partisipatoris dalam seluruh program dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Kedua, menyusun strategi untuk menyamakan persepsi dan assessment terhadap program-program yang telah dilakukan oleh institusi penegak hukum. Ketiga, mengenalkan konsep sistem penegakan hukum yang berkeadilan dengan menggali pengalaman para pihak yang terlibat dalam program pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati yang dalam prosesnya

diperlukan pengalaman kemudian dibahas secara bersama-sama.

B. Saran

1. Sebaiknya dalam penerapan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati

terhadap warga negara asing harus dibuat tersendiri ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya, agar pelaksanaan kebijakan hukum

pidana khususnya pidana mati lebih maksimal dalam rangka mencegah dan

memberantas tindak pidana narkotika.

2. Sebaiknya dalam pelaksanan kebijakan hukum pidana khususnya pidana mati

harus betul-betul dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

agar kiranya tidak ada hambatan dalam pelaksanaan kebijakan hukum pidana

khususnya pidana mati terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana

narkotika.

3. Sebaiknya aparat penegak hukum saling berkoordinasi lebih lanjut dalam

meningkatkan kualitas pelaksanaan kebijakan hukum pidana khususnya pidana

mati terhadap warga negara asing bagi pelaku tindak pidana narkotika, agar

upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkoa berjalan sesuai

harapan.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ahmad, Ali, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana, 2009.

Atmasasmita, Romli, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Jakata: Yayasan LBH, 1989.

Badan Pekerja Kontras, Praktek Hukuman Mati Di Indonesia, Jakarta: Badan Pekerja Kontras, 2007.

Hamzah, Andi Dan Sumangelipu, A, Pidana Mati Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Handayani, Fully, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011.

Hidayat, Syamsul Pidana Mati Di Indonesia, Yogyakarta: Genta Press, 2010.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Nawawi, Arief Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Prakoso, Djoko Dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Soekanto, Soerjono Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: Alumni, 1979.

______, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

______, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politea, 1960.

178

Universitas Sumatera Utara 179

Sutiyoso, Bambang Dan Puspitasari, Sri Hastuti, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005.

Rahardjo, Satjipto, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Banding: Alumni, 1981.

______, Ilmu Hukum, Cetakan Kelima, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Suryabrata, Samadi, Metodelogi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.

Syahrani, Ridwan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Warasih, Esmi, Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

C. Website

Pertanggungjawaban Pidana, http://saidulfiendjs.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana, (diakses terakhir tanggal 29 Januari 2015).

Yance Arizona, Kepastian Hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, (diakses tanggal 21 Februari 2015)

Universitas Sumatera Utara