PENGEMBANG ISLAM DAN BUDAYA MODERAT

Suwito, Abdul Gani Abdullah, dkk

Penerbit YPM 2016

Judul Pengembang Islam dan Budaya Moderat

Penulis Suwito, dkk xxii + 222 hlm.; ukuran buku 18,4 x 21 cm

ISBN 978-602-7775-55-8

Cetakan pertama, September 2016

© Hak Cipta milik para penulis, 2016

Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim.

Artikel yang ada di dalam buku ini boleh dikutif dengan mencantumkan sumber secara lengkap.

Young Progressive Muslim http://www.ypm-publishing.com http://ypm-publishing.com/index.php/terbitan/29-pengembang-islam- dan-budaya-moderat

SAMBUTAN REKTOR

Pak Harun merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan UIN Syarif Hidayatllah, Jakarta. Betapa tidak, beliau adalah guru besar yang sekaligus menjabat Rektor untuk waktu yang sangat panjang sejak 1973 sampai 1984, dan banyak melakukan reformasi akademik, tidak hanya kurikulum dan pembelajaran, tetapi juga melakukan perubahan paradigma kajian keagamaan normatif menjadi empirik, dan kajian tariqah ahlu al hadis menjadi tariqah ahlu al-Ra’yi bahkan tariqah al jam’an (aliran konvergensi yang mencoba memadukan antara dua aliran ahlu al-hadis dan ahlu al- ra’yi), dengan pendekatan komprehensif mengkaji seluruh aliran dan pemikiran, dianalisis dan disimpulkan. Dengan demikian, para mahasiswa memiliki kesempatan yang sangat besar untuk melakukan kritik terhadap berbagai pemikiran dan implementasi keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga mereka terhantarkan untuk menjadi orang-orang terbuka dengan perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam keragaman, dengan tetap memiliki satu keyakinan akan kebenaran yang dianut mereka. Sosok Pak Harun sangat fenomenal, dan gerakan reformasi akademiknya sangat dirasakan oleh para mahasiswanya, sehingga kemudian, para penerus beliau menyebut kampus UIN Jakarta sebagai kampus pembaharuan, yang semua mahasiswanya harus berpandangan terbuka untuk melakukan pembaharuan, tidak saja dalam pemikiran dan sikap keberagamaan, tapi juga dalam sikap sosial dan professional mereka. Sikap reformis akhirnya menjadi identitas untuk semua alumni UIN Syarif Hidayataaullah, Jakarta, sehingga mereka bisa diterima dalam berbagai profesi, baik inline dengan keahlian program studinya maupun tidak. Ciri keberagamaan yang inklusif tersebut, telah mampu menghantarkan para alumni untuk bisa diterima dalam berbagai kelompok sosial, etnik dan agama yang berbeda, serta mampu beradaptasi dengan siapapun di dunia. Disadari atau tidak, itu merupakan salah satu jasa besar dari

iii Pak Harun yang mengubah paradigma kajian keilmuan keagamaan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Reformasi lain yang beliau lakukan selama menjadi Rektor IAIN adalah melakukan pengiriman para alumni dan dosen muda untuk kuliah jenjang Magister dan Doktor di berbagai universitas di Amerika dan Eropa (khususnya di negara-negara yang memiliki tradisi studi Islam dengan baik), suplementasi terhadap tradisi pengiriman para mahasiswa ke berbagai universitas di Timur Tengah. Beliau selalu mengatakan, bahwa kekuatan kajian di berbagai universitas di negara-negara Barat adalah metodologi, walaupun dalam aspek konten keilmuannya lemah dibanding dengan program magister dan doktor di berbagai universitas di Timur Tengah. Dan kini UIN memiliki banyak doktor studi Islam, dan bahkan dalam bidang sosial serta humaniora, keluaran berbagai perguruan tinggi ternama di negara-negara Barat. Interaksi mereka dengan para magister dan doktor dari Timur tengah, dan berbagai universitas dalam negeri, telah mengangkat citra kampus UIN sebagai kampus yang memiliki dinamika akademis tinggi, apalagi dengan publikasinya yang telah mengejutkan masyarakat akademis, khususnya di . Secara personal, beliau sangat yakin bahwa teologi rasional akan bisa membawa perubahan sosial masyarakat Indonesia, karena perubahan itu akan terjadi jika manusianya memiliki keinginan untuk berubah, dan melakukan usaha untuk memenuhi keinginannya itu. Beliau sangat yakin, bahwa Tuhan tidak akan mengubah masyarakat hanya dengan pendekatan do’a. Oleh sebab itu, umat Islam Indonesia, harus meyakini, bahwa perubahan menuju masyarakat ideal, harus diupayakan dengan langkah-langkah sistematik dan terukur, sehingga bisa divaluasi pencapaiannya. Inilah keyakinan beliau yang selalu ditekankan pada para mahasiswanya, kendati beliau sangat hormat pada para ulama salaf, abad pertengahan, dan bahkan para cendikiawan modern. Bahkan beliaupun sendiri termasuk cendikiawan muslim dengan komitmen ubudiah yang

iv sangat baik. Dengan demikian, para mahasiswa yang berjumpa langsung, memiliki kesan positif tentang guru besar ini, dan jauh dari kesan sekuler serta mengabaikan ritual keagamaan. Pada tahun 1982, beliau memulai mendirikan Program Pascasarjana, sebagai kelanjutan dari program pendidikan Purna Sarjana yang menjadi kebanggaan PTAIN pada dekade 1970-an. Program Pascasarjana berjenjang pendidikan Magister dan Doktor tersebut menerima para dosen yang sudah diangkat IAIN dengan bekal pendidikan sarjana, para dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, serta dosen-dosen Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Memang kesempatan pendidikan luar negeri sudah terbuka, dan akses kesempatan terbuka bagi banyak orang. Tapi tidak semua dosen berkesempatan baik, karena informasi yang masih susah terakses, basis kemampuan Bahasa (Arab dan Inggris) yang belum merata dan sistem serta mekanismenya masih agak rumit, sehingga pada dekade 1980-an, arus pendidikan luar negeri masih sangat terbatas. Dengan demikian, para dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memilih untuk mengambil pendidikan magister dan doktor di dalam negeri yang pada tahap awal hanya diselenggarakan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan IAIN (Keduanya kini sudah bertransformasi menjadi UIN sejak tahun 2002 dan 2004, bahkan sudah diikuti oleh sembilan IAIN lainnya). Kedua Program Pascasarjana (PPs) tersebut sangat dipengaruhi oleh cara berfikir beliau, dan bahkan beliau sendiri mengajar di dua institusi tersebut. Dengan demikian, sampai dekade awal abad ke-21 ini, hampir seluruh UIN dan IAIN, dan bahkan STAIN, sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir keagamaan yang dibangun oleh beliau. Inilah sosok guru besar yang telah meninggalkan jejak sejarah reformasi paradigm akademik Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), dengan mengusung pemikiran Islam rasional, baik dalam teologi, hukum Islam, filsafat maupun tasawuf, gerakan modernisasi dalam pengelolaan lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga

v pendidikan keagamaan Islam, dan bahkan beliau bersama para tokoh generasi awal menyuarakan serta memperjuangkan kajian keilmuan non dikotomis, dengan usulan pengembangan institusi PTAI menjadi sebuah perguruan tinggi yang memiliki kewenangan mengelola ilmu- ilmu non keagamaan. Dengan demikian, gerakan transformasi IAIN menjadi UIN merupakan kelanjutan dari wacana keilmuan yang sudah beliau suarakan sejak awal, ketika akan memastikan domain kewenangan keilmuan yang akan dikelola oleh IAIN, agar diapresiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri sangat berbangga memiliki sosok tokoh besar Pak Harun. Maka wajar kalau auditorium terbesar tempat seminar, international conference, pengukuhan guru besar, penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa, dan venue di mana para ilmuwan dalam dan luar negeri memaparkan hasil-hasil penelitiannya, dinamai Auditorium . Sekedar untuk mengenang kebesaran peran sejarah beliau untuk kemajuan akademik dan keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kami sendiri menyadari bahwa Pak Harun bukan hanya milik UIN Jakarta, tapi miliki semua PTAI N/S dengan karya-karyanya yang sampai sekarang masih tetap setia untuk digunakan sebagai buku teks keagamaan. Tetapi para murid beliau memang lebih banyak berada di UIN Jakarta, dan wajar pulalah, jika kini UIN sedang memperkuat eksposing Islam moderat, inklusif dan toleran, mengenang kembali kehadiran sosok Pak Harun dengan berbagai peran intelektualisme dan gerakan kulturalnya. Atas nama Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kami menyambut baik terbitnya buku “Pengembang Islam dan Budaya Moderat”, yang merupakan kelanjutan dari sebuah seminar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengapresiasi penganugerahan bintang kelas budaya Parama Dharma, terhadap Pak Harun, dan mengenang wafatnya guru kita semua hampir dua dekade yang lalu. Buku ini merupakan bunga rampai tulisan para murid Pak Harun, yang kini

vi masih berada dan eksis baik dalam tugas mengajar, melakukan penelitian dan bahkan publikasi karya-karya akademik mereka, dengan menyampaikan perasaan, serta kesan-kesan manis bersama Pak Harun, baik di dalam kelas, di rumah, maupun dalam even-even lain yang telah menghantarkan kita dan mereka semua menjadi intelektual produktif dan diapresiasi positif oleh masyarakat. Kepada para penggagas, para penulis dan editor, dan seluruh yang terlibat dalam penerbitan buku ini, kami sampaikan ucapan terima kasih, mudah-mudahan menjadi legacy dan sumber informasi berharga bagi para akademisi generasi ketiga dari Pak Harun, yang sampai sekarang masih secara konsisten memahami, serta menggunakan paradigma akademik Islam rasional dan gerakan modernisme, dalam mengusung Islam moderat yang menghargai keragaman aliran dan pandangan keagamaan. Inilah hasil nyata sebuah pendekatan kajian Islam empirik yang dilakukan Pak Harun. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Ciputat, 26 September 2016. Rektor,

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

vii

viii HARUN NASUTION: PENGEMBANG ISLAM DAN BUDAYA MODERAT

Pengantar Penerbitan

Bagi orang yang tidak pernah menjadi murid atau mendengar pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (selanjutnya ditulis Pak Harun), atau kurang mantap membaca komentar para penulis tentang dia maka sebaiknya membaca langsung karya-karyanya. Karya-karya Pak Harun enak dibaca dan perlu, meminjam istilah Tempo. Enak dibaca karena buku karya Pak Harun menggunakan bahasa Indonesia yang fasih dan simpel sehingga pada setiap buku, jumlah halamannya tidak banyak dan tidak tebal. Perlu, karena isi bukunya mengenai nilai-nilai dasar Islam. Selain ada dalil-dalil al-Quran dan Hadis, karya Pak Harun banyak menyajikan tentang Islam yang terjadi, baik yang ada dalam pemikiran para tokoh maupun yang terjadi dalam sejarah. Buku karya Pak Harun antara lain sebagai berikut: 1. Falsafat Agama. Buku ini pertama kali terbit tahun 1973 oleh penerbit Bulan Bintang. Buku ini terdiri atas 5 Bagian. Bagian 1 tentang Falsafat Agama, Epistemologi, dan Wahyu. Bagian 2 tentang Ketuhanan. Bagian 3 Argumen-argumen Adanya Tuhan. Bagian 4 tentang Roh. Bagian 5 tentang Soal Kejahatan dan Kemutlakan Tuhan. 2. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Buku ini terdiri atas 2 jilid. Jilid I mulai terbit tahun 1974 yang terdiri atas 6 Bab. Bab 1 tentang Agama dan Pengertian dalam Berbagai Bentuknya. Bab 2 tentang Islam dalam Pengertian yang Sebenarnya. Bab 3 tentang Aspek Ibadat, Latihan Spiritual dan Ajaran Moral. Bab 4 tentang Aspek Sejarah dan Kebudayaan yang terdiri atas Periode Klasik (650-1250), Periode Pertengahan (1250-1800), dan Periode Modern (1800). Bab 5 Aspek Politik, dan Bab 6 tentang Lembaga-lembaga Kemasyarakatan.

ix Buku jilid II terbit pertama kali tahun 1974 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku Jilid II ini terdiri atas 5 Bab disertai dengan Penutup. Buku yang dimulai dari Bab VII ini berisi Aspek Hukum, Bab VIII Aspek Teologi, Bab IX Aspek Filsafat, Bab X Aspek Misticisme, Bab XI Aspek Pembaharuan Dalam Islam, Penutup, dan disertasi Daftar Nama- nama Istilah, sebanyak 120 halaman. Pak Harun dalam kata penutup pada buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ini memberikan catatan bahwa ruang lingkup Islam tidaklah sempit malahan luas sekali. Ia antara lain menyebutkan bahwa kalau disebut Islam maka yang dimaksud bukan hanya ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadis dan akhlak. Islam lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, falsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan politik. Selanjutnya, Pak Harun juga menyatakan bahwa penafsiran- penafsiran yang ada dalam Islam lahir sesuai dengan suasana masyarakat yang ada di tempat dan zaman itu muncul. Zaman terus menerus membawa perobahan pada suasana masyarakat. Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai pemikiran di zaman tertentu, belum tentu sesuai untuk zaman lain. 3. Akal dan Wahyu dalam Islam. Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1982. Buku ini terdiri atas 6 Bab dan Penutup. Bab I Akal, Bab II Wahyu, Bab III Al-Quran dan Kandungannya, Bab IV Kedudukan Akal dalam Al-Quran dan Hadis, Bab V Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam atas Pengaruh Ajaran Pemakaian Akal, Bab VI Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Keagamaan dalam Islam, dan Penutup. Buku ini terbit pertama kali tahun 1982 oleh Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press). Total halaman buku ini adalah 109 termasuk Daftar Pustaka.

x Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini sebagai berikut. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan oleh al-Quran sendiri. Pak Harun pada akhir buku ini menyatakan bahwa pemakaian akal diperintahkan al-Quran seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kawniah mendorong manusia untuk meneliti alam sekitarnya dan memperkembang ilmu pengetahuan. Dengan pemakaian akal yang ada dalam dirinya inilah yang membuat manusia menjadi khalifah di bumi. 4. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Buku ini terbit pertama kali tahun 1975 oleh Penerbit Bulan Bintang, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku ini terdiri atas Pengantar yang terbagi lagi ke dalam: Pengertian Pembaharuan, Maju Mundurnya Umat Islam dalam Sejarah, Pemikiran dan Usaha Pembaharuan Sebelum Periode Modern, Kerajaan Usmani, India, dan Arabia. Bagian Pertama: Mesir. Terdiri atas pembahasan Pendudukan Napoleon dan Pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Murid dan Pengikut Muhammad Abduh: Muhammad Farid Wajdi, syaikh Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaglul, Ahmad Luthfi al-Sayyid, Ali Abd Raziq, dan Taha Husain. Bagian Kedua: Turki. Terdiri atas pembahasan Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, Tiga Aliran Pembaharuan: Barat, Islam, dan Nasionalis, serta Mustafa Kemal. Bagian Ketiga: India-Pakistan. Terdiri atas pembahasan Gerakan Mujahidin: Syah Abdul Aziz, Sayyid Ahmad Syahid, Darul Ulum Deoband, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah, dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India, serta

xi Penutup, Daftar Pustaka, dan Indeks. Total halaman buku ini 213. Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini antara lain dengan menyatakan bahwa para tokoh muslim baru sadar akan kelemahan dan kemunduran umat Islam timbul setelah adanya kontak dengan Barat di abad 18 dan 19. Adanya kontak tersebut membuat para pemimpin mengadakan perbandingan antara dunia Islam yang sedang menurun dan dunia Barat yang sedang menaik. Kesadaran bertambah besar lagi setelah beberapa Negara Islam dapat ditundukkan Barat. Pak Harun juga menyatakan bahwa orientasi keakhiratan umat Islam harus diimbangi dengan orientasi keduniaan sehingga umat Islam juga mementingkan hidup kemasyarakatan dan berusaha mencapai kemajuan dalam bidang kehidupan duniawi sebagai halnya dengan umat-umat lain. Pendidikan tradisional harus diubah dengan memasukkan mata pelajaran tentang ilmu pengatahuan modern ke dalam kurikulum madrasah. Akhirnya, Pak Harun menyatakan bahwa Islam tidak menghalangi pembaharuan yang tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang dibawa wahyu. 5. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam: Falsafat Islam, Mistisisme Islam, dan Tasawuf. Buku ini pertama kali terbit tahun 1973 oleh Penerbit Bulan Bintang, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku ini terdiri atas 2 Bagian, yaitu Bagian Pertama Falsafat Islam dan Bagian Kedua Mistisisme Islam – Tasawuf. Bagian Pertama terdiri atas: Kontak Pertama antara Islam dan Ilmu Pengetahuan, serta Falsafat Yunani, Ya’kub ibnu Ishaq al-Kindi: Falsafat Ketuhanan dan Falsafat Jiwa, Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria al-Razi: Falsafat Lima Kekal, Roh dan Materi, dan Rasio dan Agama, Abu Nasr Muhammad al-Farabi: Falsafat Emanasi/Pancaran, Falsafat Kenabian, Teori Politi, Abu Ali Husein ibn Abdillah ibnu Sina: Falsafat jiwa, Falsafat Wahyu dan Nabi, Falsafat Wujud, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali:

xii Krtitik terhadap Filosof-filosof, Tiga Golongan Manusia, Abu al- Walid Muhammad ibnu Muhammad ibn Rusyd: Falsafat Tidak Bertentangan dengan Islam, dan Pembelaan terhadap Filosof- filosof. Bagian Kedua Mistisisme dalam Islam – Tasawuf. Terdiri atas: Asal Usul Tasawuf: Hakikat Tasawuf, Asal Kata Sufi, Asal Usul Aliran Sufisme, Jalan untuk Dekat kepada Tuhan, Al-Azuhd dan Stasiun-stasiun lain, Al-Mahabbah, Al- Ma’rifah, Al-Fana’ dan Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul, dan Wahdatul Wujud, dilengkapi dengan Bibliografi dan indeks. Jumlah halaman buku ini adalah 85. 6. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1972 dan Cetakan II nya diterbitkan oleh Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Buku ini diberi Kata Sambutan oleh Dr. Mulyanto Sumardi, Direktur Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama tanggal 30 November 1972. Buku ini diberikan Kata Pengantar oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Guru Besar Hukum dan Institusi Islam UI dan Ketua Islam Studi Club Indonesia tanggal 27 Oktober 1972. Buku ini terdiri atas 2 bagian. Bagian Pertama berisi kajian tentang Aliran-aliran dan Sejarah yang terdiri atas 6 Bab. Bab I Sejarah Timbulnya Persoalan-persoalan Teologi dalam Islam, Bab II Kaum Khawarij, Bab III Kaum Murjiah, Bab IV Qadariah dan jabariah, Bab V Kaum Mu’tazilah, dan Bab VI Ahli Sunna dan Jamaah.Bagian Kedua analisa dan Perbandingan, terdiri atas Bab VII sampai dengan Bab XV. Bab VII Akal dan Wahyu, Bab VIII Fungsi Wahyu, Bab IX Free Will dan Predestination, Bab X Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan, Bab XI Keadilan Tuhan, Bab XII Perbuatan-perbuatan Tuhan, Bab XIII Sifat-sifat Tuhan, Bab XIV Konsep Iman, dan Bab XV Kesimpulan. Pak Harun dalam buku ini memberikan catatan bahwa semua aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariy, Maturidiah, apalagi Mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam

xiii menyelesaikan persoalam-persoalan teologi yang timbul dalam umat Islam. Semua aliran teologi tersebut berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara aliran- aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks- teks ayat-ayat al-Quran dan Hadis. Pada hakekatnya, semua aliran tersebut tidaklah keluar dari Islam tetapi tetap dalam Islam. Dengan demikian tiap orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran teologi tersebut. 7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Buku ini terbit pertama kali tahun 2006 oleh Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Buku ini merupakan tesis Ph.D yang diselesaikan pada bulan Maret 1968 di Universitas Mc.Gill, Montreal Canada. Tesis ini judul aslinya adalah The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views (Kedudukan Akal dan Teologi Muhammad Abduh, Pengaruhnya pada Sistem Pendapat-pendapat Teologinya). Buku ini diterbitkan 14 tahun sejak dihasilkan. Tentang alasan mengapa hal ini terjadi dapat dibaca langsung pada Pengantar buku ini. Pak Harun memberikan catatan hasil penelitiannya ini dengan menyatakan bahwa pemikiran Muhammad Abduh sangat berpengaruh di Mesir sehingga menimbulkan para tokoh seperti Mustafa al-Maraghi, Mustafa Abd al-Raziq, Rasyid Rida, dan lainnya tetapi di Indonesia kurang berpengaruh. Pengaruhnya di Indonesia tidak menimbulkan para pemikir ulung dalam bidang agama Islam sebagaimana halnya di Mesir.

Itulah sedikit kutipan isi buku Pak Harun. Tentu masih banyak hal yang tidak tercantum dalam tulisan ini. Pemahaman dan pemikiran Pak Harun yang tertuang dalam buku-buku tersebut memberikan pemahaman Islam dan budaya yang moderat. Pak Harun menginformasikan Islam secara historis baik menurut pemahaman para tokoh masa lalu atau kejadian masa lalu dalam

xiv sejarah. Pemilihan paham atau pendapat mana yang diikuti dipersilakan kepada para pembaca masing-masing dengan menggunakan daya pikir dan perasaannya. Menurutnya, selagi tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis yang dipercaya maka semuanya termasuk dalam kategori muslim. Pak Harun tidak suka menyalahkan pihak lain yang tidak sependapat dengan pemikirannya. Dalam beberapa kesempatan jika ada orang yang suka mengkafirkan orang lain maka ia selalu mengingatkan bahwa bisa jadi ia sendiri kafir. Intinya, dia tidak suka mengkafirkan orang lain yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Selanjutnya, dalam buku ini berisi komentar dari para murid langsung dan tidak langsung dari Pak Harun. Gagasan awal penulisan buku ini adalah adanya seminar yang diberi judul Refleksi Pemikiran dan Kontribusi Harun Nasution di Indonesia yang diselenggrakan di Ruang Diorama, pada hari Jumat 21 Agustus 2015). Sebelum itu Suwito mengusulkan kepada Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah untuk mengadakan kegiatan seminar dan sekaligus mensponsori biayanya. Usulan ini ia terima yang kemudian disetujui juga oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menyelenggarakan seminar yang bertempat di Diorama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada waktu itu, yang menjadi narasumber adalah Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, S.H, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya MA, Prof. Dr. Yusron Razak, M.A, (moderator), Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, M.A., Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A., Dr. Arief Subhan, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., dan Dr. Fachry Ali. Seminar tersebut digelar menyusul pemberian Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI Ir H. Joko Widodo kepada Almarhum Prof Harun sebagai tokoh Pengembang Budaya Moderat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/Tahun 2015. Ketika itu para peserta yang notabene mayoritas para mahasiswa Prof. Dr. Harun Nasution sepakat untuk menerbitkan buku tentang Pak Harun, dan akhirnya terbitlah buku ini. Penerbitan buku ini kebetulan tepat 18 tahun wafat Pak Harun (18 September 1998 sampai dengan 18

xv September 2016). Oleh sebab itu, disampaikan ucapan banyak terima kasih kepada kawan-kawan yang sempat memberikan komentarnya dalam buku ini. Mereka adalah: 1. Salman Harun (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2. Jamali Sahrodi (Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon), 3. Nyimas Anisah Muhammad (Dosen dan pernah menjadi Direktur Program Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang), 4. Fauzul Iman (Guru Besar dan Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten), 5. Rusjdi Ali Muhammad (Guru Besar dan pernah menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh serta Direktur Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh), 6. Amsal Bakhtiar (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI), 7. Iskandar Usman (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Adminsitrasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh), 8. Nabilah Lubis (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 9. Yunasril Ali (Guru Besar dan Ketua Senat Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah menjadi Ketua STAIN Kerinci), 10. Jalaluddin (Guru Besar dan pernah menjadi Rektor IAIN Raden Fatah Palembang), 11. Yusuf Rahman (Dosen dan pernah menjadi Wakil Direktur Bidang Administrasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta),

xvi 12. Achmad Syahid (Dosen dan pernah menjadi Ketua Lembaga Penjaminan Mutu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) 13. M. Ridwan Lubis (Guru Besar dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta pernah menjadi Kapuslitbang Kehidupan Beragama Balitbang Departemen Agama RI), 14. M. Qasim Mathar (Guru Besar dan pernah menjadi pimpinan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar), 15. Abdul Khamid (Pernah menjadi staf di Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Kementerian Agama RI dan dosen dpk. STAI al-Hamidiyah Depok), 16. Abuddin Nata (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 17. Suwito (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan 18. Abdul Gani Abdullah (Guru Besar/Dosen pada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah menjadi Hakim Agung Mahkamah Agung RI).

Semoga upaya ini bermanfaat bagi para pembaca. Dengan terbitnya buku ini, secara khusus, ucapan terima kasih diberikan kepada Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH, murid Prof. Harun Nasution dan pensiunan Hakim Agung RI yang telah mensponsori biaya penerbitan buku ini. Semoga Allah SWT memberikan berkah yang berlimpah atas kebaikannya. Amin.

Jakarta, 18 September 2016 Wassalam, Suwito

xvii

xviii DAFTAR ISI

SAMBUTAN REKTOR ...... iii HARUN NASUTION: PENGEMBANG ISLAM DAN BUDAYA MODERAT, Pengantar Penerbitan ...... ix DAFTAR ISI ...... xix

BAGIAN I BAPAK DAN GURU SEJATI

HARUN NASUTION GURU SEJATI Salman Harun ...... 3

PROF. DR. HARUN NASUTION: SOSOK PENDIDIK DAN BAPAK Jalaluddin ...... 7

PROF.DR. HARUN NASUTION: SOSOK DISIPLIN DAN TANGGUNG JAWAB DIA GURUKU, PROMOTORKU, BAPAKKU DAN TEMPAT CURHATKU Nyimas Anisah Muhammad ...... 17

PROF. HARUN NASUTION, INTELEKTUAL-MUMTAZ YANG KONSISTEN Fauzul Iman...... 41

PROF. DR. HARUN NASUTION DALAM KENANGAN Rusjdi Ali Muhammad ...... 47

HARUN NASUTION SANG GURU YANG ISTIQAMAH Iskandar Usman ...... 57

xix PROF. DR. HARUN NASUTION SEBAGAI AYAHDAN GURU Nabilah Lubis ...... 67

BAGIAN II PEMIKIR RASIONAL ISLAM

HARUN NASUTION: TEGUH DENGAN RASIONALITAS DAMAI DALAM SPIRITUALITAS Yunasril Ali ...... 77

KESAN SEORANG MURID PROF. DR. HARUN NASUTION: ANTARA KEDISIPLINAN DAN KEDERMAWANAN TERPADU Jamali Sahrodi ...... 87

HARUN NASUTION, MUHAMMAD ABDUH DAN PEMIKIRAN RASIONAL MU’TAZILAH Yusuf Rahman ...... 99

HARUN NASUTION: DARI RISALAH DINIYAH MENUJU RISALAH ILMIAH Achmad Syahid ...... 125

PAK HARUN, GURU DAN PEMBIMBINGKU Amsal Bakhtiar ...... 145

BAGIAN III PENDIRI PASCASARJANA STUDI ISLAM

REFLEKSI PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI PROF. DR. HARUN NASUTION DI INDONESIA M Ridwan Lubis ...... 155

xx PAK HARUN DAN GERAKAN PASCASARJANA M. Qasim Mathar ...... 171

KIPRAH GURU BESAR PEMIKIRAN ISLAM PROF. DR. HARUN NASUTION DALAM MENGEMBANGKAN PROGRAM PASCA SARJANA DAN PENINGKATAN KUALITAS PTAI DI INDONESIA Abdul Khamid ...... 175

PEMIKIRAN PENDIDIKAN HARUN NASUTION Abuddin Nata...... 187

BINTANG MAHAPUTRA UTAMA BUAT PROF. DR. HARUN NASUTION Suwito ...... 209

REFLEKSI FILOSOFIS TERHADAP HUKUM Abdul Gani Abdullah ...... 215

INDEKS ...... 217

xxi

xxii

124 DARI RISALAH DINIYAH MENUJU RISALAH ILMIAH

Achmad Syahid1

Pendahuluan Masih terbayang jalannya perkuliahan dengan Prof. Harun Nasution pada Program Pascasarjana IAIN Surabaya (kini UIN Surabaya) pada tahun 1997-1998. Kuliah itu tidak seperti pada umumnya, ada mahasiswa presentasi dan lalu dilanjutkan dengan diskusi. Kuliah itu lebih banyak diisi dengan tanya jawab, antara kami mahasiswa Pascasarjana dengan Prof. Harun Nasution, dosen pemikiran Islam sekaligus Direktur Pascasarjana IAIN Jakarta yang merangkap sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN Surabaya. Posisi terakhir dirangkap Prof. Harun demi dan atas nama penjaminan mutu, dengan maksud agar mutu perkuliahan pada Program Pascasarjana IAIN Surabaya dapat dijamin dan tidak berada di bawah mutu Program Pascasarjana IAIN Jakarta atau pada PT di belahan bumi manapun di dunia. Dialog di seputar masalah pemikiran Islam yang di dalamnya termasuk teologi, filsafat, tasawuf, tafsir, dan pranata Islam. Dialog yang terjadi di seputar kegelisahan kami, tentang tercerai berainya umat Islam ke dalam berbagai varian aliran keislaman (firqah). Firqah dalam Islam, dalam taraf tertentu, tidak lagi berupa perbedaan pendapat (al-ikhtilaf) yang membawa rahmat, tetapi di banyak kasus justru telah berupa perpecahan yang cenderung membawa bencana kemanusiaan. Itu adalah pengalaman pertama mengikuti kuliah Prof. Harun, dan tidak lagi memiliki kesempatan bertemu kembali ketika pada September 1999 saya menempuh program doktor pada Sekolah Pascasarjana IAIN Jakarta di Ciputat. Prof. Harun wafat pada 18

1Murid Prof. Dr. Harun Nasution, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 125 September 1998, setahun sebelum saya ke Jakarta. Kuliah di Ciputat ini merupakan amanah Prof. Thoha Hamim dan Prof. Achmad Zaenuri untuk terus menempuh studi: “IAIN Surabaya ini hanya jembatan saja buatmu, terus melangkah, lewati jembatan, dan jangan berhenti di jembatan ini”. Prof. Toha dan Prof. Zaenuri adalah Wakil Direktur Bidang Akademik dan Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan Program Pascasarjana, di mana Prof. Harun menjadi Direkturnya. Sementara Prof. M Roem Rowi menjabat Wakil Direktur Bidang Administrasi Umum. Diskusi di Ciputat menawarkan suasana akademik dan kompetitif yang baik, membuat semua energi keilmuan dapat dipacu hingga batas maksimal. Suasana di kampus ini tidak saya temui sebelumnya. Bertemu dengan kawan-kawan latar belakang etnis, daerah, latar belakang institusi pendidikan, jenis kelamin membuat siapa saja yang datang ke Ciputat akan memiliki kematangan jati diri intelektual mereka. Ragam paham pemikiran dan paham keagamaan bertemu. Paham yang tadinya dianggap tidak terbantahkan, kini menjadi terasa nisbi. Perbedaan praktek keagamaan sama-sama mendapat tempat, tidak saling menegasikan. Begitu rileksnya, perbedaan shalat tarawih misalnya, menjadi bahan canda. Menemukan suasana keagamaan dan praktek keagamaan yang tidak menegangkan kali pertama saya lihat justru dari ketika berkunjung ke Jember dan berceramah di hadapan dan umat pada 1994. Pada periode saya studi di Ciputat tentu saja tidak bertemu lagi dengan Prof. Harun, namun bertemu jejak Prof. Harun pada para murid-muridnya. Mereka adalah Prof. Abdul Aziz Dahlan, Prof. M Yunan Yusuf, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Abdul Gani Abdullah, Prof. Atho Mudzhar, Prof. , Prof. A Thib Raya, Prof. Zainun Kamaluddin Fakih, Prof. Suwito, Prof. M Ridwan Lubis, dll. Pada fase ini intensitas saya juga bertemu dengan intelektual ternama, Prof. Komaruddin Hidayat dan Prof. Azyumardi Azra melebihi dari intensitas saya bertemu yang lain, dan tentu saja bertemu dengan

126 akademisi yang tak pernah lelah selama hidupnya, Prof. Suwito. Yang istimewa dari kuliah di Ciputat adalah, seakan menjadi wajib bagi kami mahasiswa Pascasarjana untuk mengikuti pengajian dua mingguan Klub Kajian Agama (KKA) di bilangan Pindok Indah atau di Hotel Kuningan, yang diasuh oleh Prof. . Di dalam pengajian itu di samping mengundang para pakar-akademisi atau intelektual, juga menampilkan murid-murid terbaik Prof. Harun, seperti Prof. R. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Rif’at Syauqi Nawawi, Prof Kautsar Azhari Noer, dll. Hemat saya, pada saat itulah pembelajaran tentang Islam dari berbagai aspeknya, dan diletakkan dalam konteks keindonesiaan dan kebangsaan yang dinamis dan hidup.Pada forum tersebut kajian Islam dalam bentuknya pada tingkat lanjut ditampilkan dan hasil-hasil riset keislaman dikontestasikan dalam sebuah diskusi yang bermutu dan bergizi tinggi. Bagi kami yang sedang menempuh studi pada jenjang Program Doktor di UIN Jakarta, diskusi KKA ini sebagai penyempurna. Kawan-kawan pemburu diskusi KKA, masih ingat benar, adalah Dr. Mastuki HS (Kemenag Pusat), Dr. Rumadi (UIN Jakarta; KPI), Dr. Syamsul Hadi (UIN Malang), Dr. Samsun Ni’am (IAIN Ponorogo), Prof. Mitfah Arifin (IAIN Jember), Dr. Syahrul A’dzam (UIN Jakarta), Dr. Halid al-Kaf (UIN Jakarta), dll. Masih segar dalam ingatan, antara tahun 1999-2005, kami dari Semanggi II Ciputat, naik bus kota rame-rame baik ke kompleks Pertokoan Pondok Indah maupun ke Hotel Grand Melia di kawasan Jl , Kuningan, Jakarta Pusat. Pertemuan intelektual dengan Prof. Harun di Surabaya, kemudian Kajian Cak Nur di Jakarta, peran Prof. Azyumardi, Prof. Komaruddin Hidayat, kawan-kawan di PPIM dan suasana Ciputat secara umum memperbesar minat perhatian saya yang semula hanya menekuni bidang pendidikan agama, kemudian bertambah dengan pemikiran – kalam, tasawuf, filsafat Islam, dan kemudian sejarah. Sejak saat itu dan hari-hari kemudian perhatian saya tidak lagi fokus pada pendidikan, bidang yang saya tekuni sejak menempuh Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Situbondo dan sarjana pada

127 IAIN Jember, tetapi masuk pada wilayah pemikiran Islam.Horizon semakin warna-warni, cakrawala semakin meluas, dan perspektif semakin bertambah. Berhadapan dengan Prof Harun, Islam dikaji sebagai disiplin ilmu. Sebagai orang yang berangkat dari kampung di Banyuwangi, kemudian ke Situbondo dan lalu ke Jember, berada di Ciputat memang mengasikkan. Apalagi pada saat itu suasana kampus ini seakan berada dalam masa transisi yang hendak melakukan transformasi dirinya dari IAIN menjadi UIN Jakarta. Dalam transisi seperti ini melihat Islam dibaca sebagai disiplin ilmu seakan mengubah cara saya melihat agama Islam. Transformasi IAIN menjadi UIN Jakarta adalah perluasan (enlarging) dan pendalaman (deepening) bagaimana ilmu- ilmu keagamaan dikaji secara ilmiah, dan sekaligus penyandingan (benchmarking) studi ilmu-ilmu keagamaan dengan cara studi non ilmu keagamaan. Berada dalam suasana keilmuan yang meluas mengikuti transformasi kelembagaan yang berubah, membuat kami dan civitas akademika UIN Jakarta menjadi terbiasa diskusi tentang sebuah kasus dan melakukan kajian tentangnya dalam lintas disiplin ilmu. Jika Hidayat (2016: ix) menulis “salah satu ciri dan tuntutan ilmu agama yaitu menelusuri dan menghubungkan ke masa lalu agar mata rantai ajaran agama yang diterima tidak terputus dan terjaga autentisitasnya dari sumber aslinya yang berada di masa lalu”, maka - dengan dibukanya ilmu-ilmu non agama seperti humaniora, sosial, sains, terapan, dan formal di UIN Jakarta – pendapat dan pandangan yang merupakan hasil kajian ilmu keagamaan tidak diterima begitu saja sebelum dikontestasikan dengan pendapat dan atau pandangan lain sebagai ciri berfikir ilmiah. Meski karakter studi ilmu keagamaan berbeda dengan cara berfikir sains, namun karakter studi keislaman di UIN Jakarta tidak lagi monoton. Studi agama tidak lagi melulu bersifat normatif, deduktif, konservatif, namun telah diadopsi pula pendekatan sains yang bersifat induktif, empiris, dan bahkan eksperimentatif. Hidayat (2016: ix) masih dipertahankan studi agama dengan pendekatan

128 konservatif di UIN Jakarta, dalam makna “menjaga tradisi yang ada jangan sampai berubah, terutama yang berkaitan dengan praktik ritual dan narasi serta dalil-dalil keagamaan”, bersanding dengan doktrin falsifikasi dalam sains. Doktrin falsifikasi dalam sains oleh Popper (1934) begitu populer. Dalam kajian sains ilmiah sudah lazim sebuah penelitian yang menguji pendapat, pengertian, teori, hukum,dll., tidak bisa dilakukan secara berulang. Untuk menghindari masalah konseptual dan filosofis, satu pengertian, teori dan dimensi yang digunakan sebagai instrumen pengukuran dalam penelitian untuk menguji adanya pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung, tentu ada yang terbukti dan tidak terbukti. Teori yang terbukti melalui sebuah penelitian, berarti teruji kebenarannya. Demikian juga dimensi dan item dalam dimensi pada teori tersebut. Teori yang gugur karena tidak terbukti melalui sebuah penelitian, berarti teori tersebut terbukti tidak memiliki dukungan dalam bentuk data. Gugur berarti terbukti salah, tidak lagi handal (reliable) dan sahih (valid) untuk dijadikan landasan teoritik, berikut dimensi dan item-item dalam dimensi tersebut. Di hadapan konsep falsifiabilitas Popper, penggunaan instrumen yang sama secara berulang itu bermasalah secara folosofis dan konseptual. Doktrin dasar Popper (1934) adalah “dalam setiap teori, harus mengidap di dalam dirinya terbuka untuk dapat difalsifikasi, untuk disalahkan.” Jika teori terbukti salah, dalam hal ini tidak terbukti dalam sebuah penelitian ilmiah, maka teori tersebut gugur. Jika hanya salah satu butir dalam dimensi atau salah satu dimensi dalam instrumen teori yang gugur, maka—menurut Popper—butir dan dimensi tersebut tidak lagi sahih dan kredibel untuk dipergunakan dalam penelitian selanjutnya. Jika keseluruhan dimensi teori tersebut tidak terbukti, maka gugur teori tersebut. Memang ada falsifikasi ad hoc yang berbeda dengan falsifikasi absolut, yang berpendapat bahwa jika hanya butir atau dimensi tidak terbukti dalam penelitian, maka hanya butir dan dimensi itu saja yang harus direvisi, sehingga teorinya tetap bertahan. Falsifikasi sophistikit berpendapat sebaliknya, butir

129 instrumen dalam dimensi, apalagi dimensi dalam teori, adalah mewakili keseluruhan konstruksi teori tersebut. Jika satu butir, sekali- lagi, atau dimensi teori gugur, terfalsifikasi keseluruhan teori tersebut. Kembali kepada warna kajian ilmu-ilmu keagamaan, warna pengaruh Prof. Harun tampak dalam hal membuka mata intelektual mahasiswanya dalam memahami secara ilmiah atas kekayaan warisan intelektual Islam yang kaya di berbagai macam disiplin ilmu keislaman. Mahasiswa memiliki alternatif pemahaman keislaman yang tidak lagi doktriner dan tetapi juga tidak mudah terjebak pada sikap eksklusif memilih salah satu madzhab pemikiran yang ada. Prof. Harun kembali dari studi di luar negeri pada 1969, termasuk generasi pertama dosen perguruan tinggi agama studi ke Barat. Bagi sementara pihak yang studi lanjut di berbagai perguruan tinggi luar negeri, khususnya Barat, seperti Prof. Atho Mudzhar, Prof Komar, Prof. , Prof. Azra, Prof. Bahtiar, dan mereka generasi yang lebih muda di Ciputat, kuliah-kuliah Prof. Harun di Ciputat seakan berperan memberi bekal keyakinan, pemahaman,dan persiapan mental yang cukup akan ajaran Islam, sehingga mereka tidak kaget pada saat mereka bersentuhan dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda, bahkan memperoleh ilmu dari guru besar bidang ilmu keislaman namun beragama bukan Muslim. Dari proses ini, lahirlah kemudian para ahli keislaman dengan hasil-hasil kajian keislaman yang lebih bervariasi dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu lain, sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, politik, filsafat, dll. Dilihat dari cara berfikir, buku bacaan serta bagaimana mereka mengajar, pada umumnya, mereka tidak lagi membahas isi materinya, tetapi lebih pada metodologinya (Mudzhar, 2016: 16). Sumber yang dijadikan rujukan menjadi penting dalam sebuah diskusi bermutu, sebab pada titik itulah otoritatif tidaknya sebuah pernyataan dalam tulisan tergantung pada bukti dokumen yang menjadi rujukannya. Dengan belajar seperti ini, membuat mahasiswa tidak lagi menghafalkan bagaimana isinya, tetapi berbicara tentang dari mana sumber dan bagaimana membangun argumen berdasarkan sumber itu

130 sehingga isi buku itu disusun untuk tujuan yang mencerahkan pembacanya.

Generasi Baru Prof Azyumardi Azra (dalam Fathurrahman, 2007) senantiasa menyebut bahwa transformasi IAIN Jakarta menjadi UIN Jakarta merupakan gagasan Prof. Harun. Meskipun ungkapan ini sebenarnya keluar lebih merupakan tanda hormat dan kesantunan Prof. Azra kepada Prof. Harun, namun jauh sebelum transformasi kelembagaan terjadi pada 2002, disebut bahwa Prof. Harun telah menyiapkan lahirnya generasi baru dosen pada universitas ini. Dosen generasi baru itu tidak lagi melulu melanjutkan studi di berbagai universitas terbaik di Timur Tengah, tetapi ke berbagai perguruan tinggi terbaik di Australia, Kanada, Amerika, Eropa, dll. Dosen generasi baru itu umumnya lulusan , atau lahir dari kalangan , orang tuanya aktivis NU, , Persis, Mathla’ul Anwar, dll., dari keluarga sederhana, yang tidak terbersit dalam benak mereka akan menempuh studi di luar negeri. Peta mahasiswa IAIN Jakarta pada saat Prof. Harun memimpin dan mewarnai UIN Jakarta dalam konteks pemikiran dan pandangan keilmuan, juga merupakan putera-puteri aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dll. Pada 2013, sekitar 10 tahun setelah melakukan transformasi menjadi UIN Jakarta, peta mahasiswa UIN Jakarta sudah bergeser, kebanyakan berasal dari kelas menengah Muslim perkotaan. Mereka yang mengaku bahwa orang tuanya aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dll., semakin mengecil (Syahid, dkk., 2013). Ini adalah peta baru mahasiswa UIN Jakarta, dan itu juga segmen yang harus dihadapi oleh dosen UIN Jakarta dalam hal mereka menanamkan nilai, pengetahuan dan keterampilan. Tentang kaum menengah Muslim perkotaan, Hasan (2016: 185-215) menulis bahwa mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap agama. Mereka menghendaki agama yang disajikan dengan dialogis, rasional, eksplanatif, argumen yang multi perspektif, inklusif, dll. Klinken

131 (2016: 36, 40) menulis bahwa konservatisme agama yang menjangkiti kaum kelas menengah di kota-kota tingkat menengah, justru tidak terjadi pada kaum petani yang mulai tersingkir lantaran lahan pertaniannya mulai tergerus oleh industrialisasi seperti Cilegon dan tidak juga pada kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta. Ciputat yang berkembang menjadi sub urban penyangga kota besar Jakarta, tempat di mana UIN Jakarta berada, menyaksikan kebangkitan iman takwa dan menggejalanya sufisme perkotaan pada kaum yang disebut terakhir ini. Kelas menengah ini datang dari berbagai kalangan, umur, latar pendidikan, profesi, keilmuan, dll., mengalami gairah keislaman. Mereka sadar politik, menerima domokrasi, perhatian pada isu-isu sosial kemanusiaan pada level nasional dan internasional, meskipun mereka menikmati demokrasi, jaringan patronase, dan ketrampilan politik mereka untuk kepentingan mereka sendiri, bukan keuntungan kaum elit ataupun kelas miskin di bawah. Lahirnya dosen ahli Islam dengan generasi baru, yang tidak bisa dipungkiri bahwa mereka memiliki pemahaman yang otoritatif dan baik tentang Islam, dan kini pemahaman keislaman mereka itu sudah diperluas karena dilengkapi dengan keahlian pada bidang ilmu yang lain. Pada dosen generasi baru ini Prof. Harun memberi contoh bukan hanya melalui kuliah dan ceramah ilmiah, yang menurut Prof. Atho’ Mudzhar (2016: 6) “sangat disiplin dalam waktu, berpandangan luas, menyukai pertanyaan-pertanyaan kritis dari mahasiswa”, tetapi juga melalui berbagai karyanya. Kita bias melihat sikap kritis dan rasional juga tampak ketika kita membaca karya-karya Prof. Harun. Karya menarik yang berjudul Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan yang diterbitkan pada 1972. Sejatinya karya ini merupakan kompilasi dari makalah-makalah yang disajikan di berbagai tempat termasuk juga kuliah-kuliah tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam.Tema aliran modern dalam Islam, yang kemudian bagi orang perguruan tinggi agama Islam akrab ditelinga dengan nama “AMDI”. Buku ini mengupas pemikiran dan

132 gerakan pembaruan dalam Islam di tiga Negara Islam, yang muncul pada periode dalam Islam. Pembaruan di Mesir mengupas sejarah pendudukan Napoleon dan kemudian memicu pembaharuan di Mesir, tokoh pembaharu seperti Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, kemudian mengupas para murid dan pengikut Muhammad Abduh. Pembahasan tentang pembaharuan di Turki dibahas sejak sejarah Sultan Mahmud II, rezim Tanzimat, peran Usmani Muda, juga Turki Muda, tiga aliran pembaharun di Turki dalam menempatkan isu Islam, Nasionalisme, dan peran Mustafa Kemal Attaturk. Sementara pembaharuan Islam di India-Pakistan mengupas pola Gerakan Mujahidin, figur Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah dan lahirnya negara Pakistan, Abul Kalam Azad, dan pergulatan nasionalisme di India. Karya Prof. Harun lain yang juga mencerahkan berjudul Filsafat Agama yang terbit pada 1973. Pada buku ini Prof. Harun mengupas posisi epistemologi dan wahyu, epistemologi ketuhanan, argumen- argumen rasional adanya Tuhan, pemaparan tentang ruh, serta diskusi klasik tentang kejahatan dan bagaimana kemutlakan Tuhan dijelaskan. Bagi dosen dan penulis buku, sikap kritis dan rasional yang ditunjukkannya mendorong mahasiswa dan pembaca berfikir dengan nalar kritis juga dan sekaligus memberi stimulasi kepada mereka untuk belajar lebih lanjut. Obsesi keilmuan mahasiswa dan para pembaca juga terlahir dari sana. Pada tahun yang sama, 1973, Prof. Harun menerbitkan karya Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan ceramah Prof. Harun di IKIP Jakarta (kini UNJ). Meskipun demikian, Prof. Atho’ (2016), memberi kesaksian bahwa Prof. Harun pernah memberi kuliah dengan judul yang sama di UIN Jakarta. Bagian pertama buku ini membahas tentang filsafat Islam, sementara bagian kedua mengupas mistisisme Islam atau dikenal dengan tasawuf. Dalam bagian filsafat Islam diuraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan yang di dalamnya juga

133 falsafat Yunani yang sebagai dampaknya kemudian memicu lahirnya para filosof muslim seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al- Ghazali, Ibn Miskawaih, Ibn Bajjah, Ibn Rusyd, dll. Sementara pada bagian mistisisme Islam Prof. Harun menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai bagian dari upaya seorang hamba (salik) secara spiritual mendekatkan diri kepada Tuhan. Satu tahun kemudian terbit karya Prof. Harun yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang terbit pada 1974. Buku ini merupakan buku pertama bagaimana studi terhadap Islam ditulis dalam sebuah buku dan kemudian mengilhami terbitnya sebuah mata kuliah dengan judul Dirasah Islamiyah, yang diajarkan secara massif di seluruh perguruan tinggi agama Islam. Mata kuliah Dirasah Islamiyah I hingga III yang di dalamnya tidak lagi berbicara tentang Islam secara ideologis, tetapi memaparkan Islam dari segi doktrin dan peradaban yang ditimbulkannya, sekaligus pranata yang lahir karenanya. Mata kuliah ini menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam di seluruh Indonesia pada periode 1993-1997. Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI, saat itu adalah Prof. M Atho Mudzhar (1994- 1996). Menteri Agama RI, H Munawir Sjadzali (19 Maret 1983-21 Maret 1993) dan juga Tarmizi Taher (17 Maret 1993-16 Maret 1998), juga mendukungnya. Bahkan mantan Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. A. Mukti Ali (11 September 1971-28 Maret 1973) mendukung upaya Harun, meski kelompok kritis terhadap Prof. Harun menyebut pemikiran ini sebagai “virus”. Demikian juga karya Prof. Harun yang berjudul Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan yang terbit pada 1977. Pada buku ini diuraikan tentang aliran dan golongan-golongan teologi, baik yang masih hidup dan memperoleh penganut hingga kini tetapi juga yang pernah ada dalam sejarah Islam. Seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahlal-Sunnah wa al- Jama’ah. Setelah sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran dari masing-masing aliran (firqah) itu diuraikan, lalu Prof. Harun

134 memberikan analisa perbandingan dari aliran-aliran tersebut, sehingga pembaca dapat mengenali mana di antara aliran tersebut yang bersifat liberal, dan mana saja aliran yang bersifat tradisional. Demikian juga karyanya Akal dan Wahyu dalam Islam yang terbit pada 1980 juga merupakan isu besar klasik yang senantiasa menarik dikupas. Sejak filosof Muslim pertama, al-Kindi, masalah ini telah dibahas untuk dilihat tekanannya dan dicari di mana letak titiktemu atau perbedaan antar keduanya. Karya Prof. Harun yang berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah yang terbit pada 1987 menjadi penting untuk melihat bagaimana posisi Abduh dalam pemikirannya sebagai seorang pemikir yang lebih cenderung kepada ilmu pengetahuan. Buku ini, sebagaimana semua pihak tahu, sejatinya merupakan edisi bahasa Indonesia disertasi Ph.D. Prof. Harun di McGill University, Montreal, Kanada, yang berjudul The Place of Reason in Abduh’s Theology: It’s Impact on his Theological System and Views, pada Maret 1968. Seperti tampak pada judulnya, pada buku ini pertama-tama mengulas biografi Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Pemikiran teologis Muhammad Abduh dikupas dalam buku ini untuk dikuak dan kemudian dibandingkan dengan pemikiran Mu’tazilah. Prof. Harun dalam buku ini menyimpulkan, bahwa pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam hal penggunaan kekuatan akal pikiran, Muhammad Abduh dipandang melebihi pemikiran rasional Mu’tazilah. Kesimpulan ini yang dikemudian dibantah oleh Dr. Eka Putra Wirman dalam “Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harun Nasution”. Dr. Eka Putra Wirman kini menjabat sebagai Rektor IAIN Imam Bonjol Padang (2015-2019). Buku Islam Rasional yang terbit pada 1995 juga tidak kalah mencerdaskan. Saiful Mujani menulis bahwa pada buku ini merekam hampir seluruh pemikiran Prof. Harun sejak 1970 hingga 1994. Prof. Harun melihat sudah mendesak tuntutan modernisasi umat Islam,

135 yang antara lain, dapat dengan meminjam pandangan rasional dari teologi Mu’tazilah. Selain buku di atas, penting dibaca buku Aqib Suminto et.al., yang berjudul Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution yang diterbitkan pada 1989.

Risalah Ilmiah Apa yang diajarkan Prof. Harun adalah menambahkan di dalam pikiran kita dalam memandang doktrin dan ajaran agama dengan rasional, kritis dan interpretatif untuk mendapatkan hasil bacaan yang cermat. Ini yang dikenal dengan risalah ilmiah. Dari segi karakternya, tentu tidak sama dengan risalah diniyah (risalah keagamaan) yang tujuannya memang untuk meningkatkan pemahaman, membangun soliditas-solidaritas umat, memperkuat takwa dan mempertebal keimanan. Untuk perguruan tinggi, kajian keislaman yang diperlukan tidaklah sebatas risalah diniyah itu, tetapi merupakan bagian dari proses panjang mencari kebenaran dengan senantiasa menguji dan menguji kembali berbagai pendapat dan pandangan yang ada. Pada perguruan tinggi ditekankan pada kontestasi gagasan, membuat pribadi menjadi kosmopolit, berpikiran terbuka, dan ruang-ruang kelas disiapkan untuk menghirup oksigen ilmiah sehingga akademisi hidup dalam tradisi intelektual. Sekali lagi inilah risalah ilmiah. Sebuah karya ilmiah, mengikuti kaidah-kaidah metode ilmiah. Sebenarnya metode ilmiah tidak lah canggih dan rumit, tetapi, tulis Carey (2016) sebagai sebuah proses sederhana namun fundamental untuk menguji setiap gagasan, pandangan baru. Mengikuti Carey, yang ditekankan pada ilmu yang ilmiah adalah bukan pada “apa”, tetapi pada “mengapa” dan “bagaimana”. Bukan pada metafisika dan ontologi, tetapi pada epistemologi. Hal ini sebenarnya merupakan tipikal metode pemecahan masalah yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, tidak meleset jika Popper (1972, 1983) menyebut sebagai epistemologi pemecahan masalah. Ilmuwan bekerja dengan menghadapi masalah untuk dipecahkan atau dicarikan penjelasannya,

136 dan cara kerja ini seperti menghadapi error elimination terus-menerus. Metode ilmiah pun menggunakan instrumen sederhana seperti observasi, eksplanasi, dan eksperimentasi untuk mencari penjelasan dan menerangkan adanya hubungan kausal dari apa yang kita tangkap dengan panca indera dalam hidup sehari-hari dan sedetik kemudian merangsang pemikiran kita. Dengan sifatnya yang sedemikian menekankan pada temuan baru, unsur pembeda karya yang ilmiah dengan karya non-ilmiah adalah jika temuan baru dalam karya ilmiah itu direview oleh mereka yang menekuni bidang tersebut (peer review) dengan sangat teliti dan hati-hati. Jurnal ilmiah dan penerbitan yang memiliki reputasi tinggi di dunia internasional memiliki kepedulian dan perhatian yang mendalam terhadap masalah ini. Unsur kebaruan temuan, sumber rujukan, dan proses interpretasi akan ditelaah secara ketat, sehingga kerapkali footnote menjadi penting artinya sebagai bagian dari keseluruhan mutu argumen dalam tulisan. Catatan kaki tidaklah semata-mata berarti keterangan dari mana keseluruhan argumen dalam tulisan dikutip, tetapi lebih penting lagi adalah apakah bangunan pemikiran dalam tulisan itu didukung oleh dasar yang valid dan dipertanggung jawabkan. Ciri khas risalah ilmiah menurut Popper adalah justru pada posisinya dia dapat dibuktikan salah (it can be falsified), bukan pada keharusan untuk selalu diposisikan benar. Menyediakan diri untuk dibuktikan salah merupakan cerminan sikap terbuka, kebenaran ilmu adalah nisbi, dan sekaligus kerendahan hati, yang memacu pihak lain untuk menemukan hal baru yang lebih benar. Sebaliknya, sikap keharusan untuk selalu diposisikan benar adalah cerminan sikap sempurna, kebenaran mutlak, dan cenderung menutup perdebatan dan penyelidikan untuk menemukan hal yang baru. Pandangan ini dikemukakan Popper (1959) yang sekaligus sebagai pihak yang menggunakan kata “ilmiah” untuk kali pertama. Kata itu digunakan untuk mengkritik demarkasi yang dibuat oleh Lingkaran Wina (The Viena Circle) yang memisahkan antara pernyataan yang bermakna (meaningfull) dan tidak bermakna (meaningless). Popper menulis,

137 istilah ini lemah, mengingat dapat saja sebuah pernyataan itu tidak ilmiah, namun meaningfull, seperti kata-kata mutiara. Kritik Popper terhadap dikotomi Lingkaran Wina, meaningfull dan tidak meaningfull relevan dalam konteks tulisan ini, untuk menjelaskan antara risalah diniyyah dan risalah ilmiah. Pada kategori yang disebut terakhir, yang ditekankan adalah metodologi berfikir, kategorisasi berfikir, dan falsifikasi untuk perkembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada apakah pernyataan itu dapat diverifikasi dan dibuktikan salahnya, tidak justru dipertahankan untuk selalu harus benar. Menurut jenis dan sifatnya, kajian keislaman masuk kategori ilmu pengetahuan yang lunak (soft) bersama sosiologi, antropologi, politik, psikologi, dll., yang berbeda dengan fisika, biologi, kimia, teknik, dll., yang dikelompokkan menjadi sains keras (hard). Perlu kerja-kerja keilmuan secara tumakninah untuk membangun dan mengembangkan lebih lanjut kajian ilmu-ilmu keislaman pada perguruan tinggi keagamaan sehingga memiliki kadar ilmiah yang tinggi. Dalam risalah ilmiah sarat dengan penggunaan logika yang bervariasi. Garnham dan Oakhill (2003) menyebut jenis-jenis logika tersebut antara lain, deduksi sebagai sebuah proses pengambilan keputusan spesifik dengan mendasarkan diri pada hal-hal yang bersifat umum. Lawannya adalah induksi. Lalu ada sillogisme hipotesis yang umumnya dalam sebuah disain penelitian disebut dengan model-based theories. Ada juga pengujian hepotesis, baik nihil maupun alternatif, yang dikenal dengan hypotheis testing. Dalam penelitian kuantitatif popular dengan pengujian dengan mendasarkan diri pada data statistik (statistical reasoning). Umumnya dalam bidang manajemen, organisasi, marketing, leadership, dll., dihadapkan pada decision making. Dalam ilmu terapan akan akrab dengan logika jenis problem solving. Bahkan pada kehidupan modern dikenalkan game playing and expertise, yang menuntut keahlian dan ketrampilan tertentu dalam permainan. Logika juga inheren dengan creativity. Menurut sifat dan jenisnya, kreativitas itu muncul dalam bentuk perilaku yang mampu

138 menggunakan cara, gaya, dan pola baru yang inovatif untuk mewujudkan apa yang dibayangkan dalam pikiran menjadi kenyataan. Bahkan, penalaran dalam hidup sehari-hari (everyday reasoning) yang tak kita sadari, yang kelihatan sepele dan rutin. Dalam sebuah buku yang sangat menarik, Critical Thinking in Psychology, Ruscio (2006: 6-10) mendaftar sepuluh karakteristik yang menjadi indikator sebuah sains, yang tampak luarnya sebagai sains, namun mengidap potensi untuk disebut sebagai sains yang semu (pseudo-science). Kesepuluh karakteristik tersebut adalah: Pertama, outward appearance of science: pseudo-science boleh jadi menggunakan bahasa yang seakan-seakan ilmiah, tetapi bahasa yang ia gunakan tidak ada isinya yang bersifat subtansial. Bahasa atau jargon yang biasa digunakan para ilmuwan, biasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi di antara para ahli. Pseudo-science menggunakan bahasa-bahasa yang glamour dalam menjelaskan sesuatu. Perbedaan antara sains dengan pseudo-science, misalnya, terlihat pada bagaimana ahli fisika menjelaskan dengan jernih pengertian dari energi. Kedua, absence of skeptical peer review: karya pseudo-science tidak seperti sains dipublikasikan melalui jurnal, konferensi, seminar, dll., demi untuk memperoleh koreksi, komentar, dan mekanisme mengecek kesalahan, sementara pseudo-science disebarluaskan melalui penuturan lisan secara turun temurun; Ketiga, reliance on personal experience. Yakni, sains senantiasa didasarkan pada penelitian empiris yang sistematis. Ini berarti bahwa ilmuwan melakukan kontrol yang ketat terhadap kajian atau penelitian yang bertujuan mengetes hipotesis atau proposisi yang dikemukakannya. Pseudo-science tidak melakukan itu. Keempat, evassion of risky tests: sains dibangun dengan berbagai hipotesis dan proposisi, yang sekali tidak terbukti akan gugur selamanya. Karena itu, penelitian dan kajian selalu merupakan tes yang penuh resiko.

139 Kelima, retreats to the supernatural: sains berisi metode untuk menyingkap prinsip-prinsip dalam alam semesta, agar hasil observasinya valid secara ilmiah. Keenam, the mantra of holism: tugas utama ilmuwan adalah mengurai apa inti perbedaan antara peristiwa, gejala, atau fakta yang tampaknya saling berhimpitan untuk memperkaya teori. Misalnya, mengidentifikasi partikel sub-atom, unsur-unsur chemical, penyakit badan, gangguan mental, dll. Ketujuh, tolerance of inconsistencies: ilmuwan mendeskripsikan masalah dengan prinsip-prinsip logika formal, pseudo-sains tidak demikian. Kedelapan, appeals to authorithy: sains selalu berdasarkan data empiris, agar setiap orang dapat membaca dan mengkritisi secara terbuka tahap-tahap penelitian empiris dan kesimpulan penelitian ilmiah. Kesembilan, Promising the impossible: sains sangat menghormati keterbatasan ilmu pengetahuan dan kapabilitas teknologi dewasa ini. Kesepuluh, stagnation: perkembangan sains sangat cepat, sementara penjelasan terhadap pseudo-science mandeg begitu adanya. Agar tidak terjebak pada pseudo-science, maka solusi yang ditawarkan Ruscio adalah berfikir secara kritis (thinking critically). Yang dimaksud dengan berfikir secara kritis oleh Ruscio adalah serangkaian kemampuan seseorang yang membebaskan seseorang, terutama pada saat seseorang tersebut berfikir, sehingga hasil pemikirannya membebaskan namun terlihat sangat hati-hati. Berfikir kritis membuat diri sendiri puas dan nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Berfikir kritis tidak mengarahkan pada “apa” yang harus dipercayai, tetapi pada bagaimana mereka sampai pada pilihan-pilihan yang benar, yang sangat sesuai dengan nilai yang dipeganginya. Salah satu gambaran tentang risalah ilmiah yang dimaksud dapat dilihat pada karya-karya Prof. Harun sendiri sebagaimana telah disinggung di atas. Sebagai risalah ilmiah, tentu memiliki resiko, suatu

140 saat teori atau pendapatnya dapat dibantah dan disanggah. Jika sanggahan itu benar, maka berlaku apa yang disebut Popper (1985), terfalsifikasi. Pendapat dan teori itu tidak berlaku lagi.Sudah terbantah. Salah satu contoh kasus falsifikasi adalah Prof. Harun dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abdul adalah penganut teologi Mu’tazilah yang dibantah Dr Eka sebagai telah disinggung di atas. Dr Eka menyebut judul bukunya sebagai restorasi teologi, sebagai bagian dari pelurusan pendapat Prof. Harun yang juga didasarkan pada kitab Hasyiah‘ala Syarh al-Dawwani li al-‘Aqaid al- Dhudhiyyah karya Muhammad Abduh. Tulisan ini tidak bermaksud masuk pada masalah benar atau tidak bantahan Dr. Eka, namun ini tradisi baru dalam ilmu sosial dan keagamaan terjadi. Bantahan Dr. Eka pada Prof. Harun bukan yang pertama, bantahan dan bahkan cenderung sengit juga dilancarkan oleh Prof. M Rasjidi, dengan menulis buku: Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang 'Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Dalam konteks ilmiah, sebagai dikemukakan Popper di atas, bahwa sanggahan itu baik untuk perkembangan dan temuan baru ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, bantahan dalam dunia ilmu lazimnya nihil salah paham. Apakah ada salah paham terhadap Prof. Harun? Ada, salah satu dari salah paham itu adalah ada sebagian kalangan yang mengira karena Prof Harun menulis Islam rasional, maka ia orang sangat rasional dalam pengertian tanpa batas. Karena Prof. Harun menekankan kebebasan berfikir dalam konteks studi ilmu agama, maka sebagian pihak salah paham, dengan menyebut Prof. Harun dengan liberal. Sebagai ilmuwan Prof. Harun memang harus rasional, mengabaikan aspek emosionalitas; sebagai seorang pemikir Prof. Harun haruslah seorang tidak terkekang nalarnya. Sebagai akademisi professional dan ilmuwan par excellence, Prof. Harun dapat menjelaskan—misalnya, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Mu’tazilah, Ahl al-Sunah wa al-Jamaah—dengan amat sempurna seakan-akan Prof. Harun adalah orang dalam aliran firqah itu sendiri. Pada sudut

141 ini Prof. Harun disalahpahami banyak pihak yang menuduhnya sebagai penganut dan pemuja Mu’tazilah sekaligus. Para murid dan koleganya menyaksikan bahwa sebagai seorang Muslim, Prof. Harun adalah seorang Muslim yang taat, selalu hadir pada shalat Jum’at di awal waktu, dan bahkan—ini tidak banyak yang tahu—Prof. Harun adalah pengamal tarekat Abah Anom Suryalaya yang tekun. Orang lupa, Prof. Harun adalah pribadi kosmopolit khas Ciputat, putera Pematang Siantar, Sumatera Utara, membangun karir keilmuannya dari bawah HIS (Hollandsche Indlansche School), lalu masuk MIK (Moderne Islamietische Kweekscool), kemudian mengelana bertemu dengan peradaban keilmuan Islam di Timur Tengah sejak tingkat menengah (Al-Azhar) dan Sarjana Muda (American University of Cairo), dan tersempurnakan watak keilmuannya dalam didikan Barat (McGill Umiversity, Montreal, Kanada).

Referensi

Carey, Stephen S., (2015), Kaidah-Kaidah Metode Ilmiah: Panduan untuk Penelitian dan Critical Thinking. Bandung: Nusamedia Fathurrahman, Oman, (2007), “Prof. Dr. Azyumardi Azra: Mengantarkan UIN Jakarta menjadi Universitas Berkelas Dunia dan Universitas Riset”, Hamid Nasuhi (ed.), Dari Ciputat, Cairo hingga Columbia. Jakarta: UIN Jakarta Press. Garnham, Alandan Oakhill, Jane, (2003), Thinking and Reasoning. London: University of Sussex Hasan, Noorhaidi (2016), “Islam di Kota-Kota Menengah Indonesia: Kelas Menengah, Gaya Hidup, dan Demokrasi”, van Klinken, Gerry dan Ward Berenschot, Ed., (2016), In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota

142 Mengenah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV Jakarta. Hidayat, Komaruddin, (2016), Dari Pesantren Untuk Dunia: Kisah- Kisah Inspiratif Kaum Santri. Jakarta: PPIM UIN Jakarta – Prenadamedia Group van Klinken, Gerry dan Ward Berenschot, (Ed.) (2016), In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota Mengenah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV Jakarta. Nasution, Harun (1972), Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press ------, (1973), Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. ------, (1973), Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. ------,(1975), Pembaharuan dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: UI Press. ------, (1981), Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press ------, (1985), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I-III. Jakarta: UI Press ------, (1987), Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press Mujani, Saiful (ed.), (1995), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan Popper, Karl Raimund, (1959), The Logic of Scientific Discovery. New York: Basic Books ------, (1972), Objective Knowledge. Oxford UK: Oxford University Press. ------, (1983), Realism and The Aims of Science. London: Routledge. Rasjidi, M., Koreksi Terhadap Dr. HarunNasution tentang 'Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang. Ruscio, John(2006), Critical Thinking in Psychology: Separating Sense from Nonsense.Brisbane. Wadsworth Engage Learning

143 Suminto, Aqib Suminto et.al., (1989), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta: LSAF Syahid, Achmad, et.al. (2013), Faktor-Faktor Psikologis Perilaku Radikalisme Mahasiswa Muslim: Studi Kasus Mahasiswa UIN Jakarta. Jakarta: Penelitian UIN Jakarta. Wirman, Eka Putra, (2013), Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harun Nasution. Bandung: Nuansa Aulia

144 INDEKS

A B

A Thib Raya, 126 Banten, xvi, 41 A. Asnawi, 48 Belanda, 4, 24, 25, 26, 27, 49, 72, A. Lathief Muchtar, 48 89, 188, 191, 192, 193, 205 A. Moe’in Salim, 48 Belgia, 7, 8, 68, 194, 203 Abdul Aziz Dahlan, 126 Bibliotek, 28 Abdul Gani Abdullah, xv, xvii, xxi, Bintang Budaya Parama Dharma, 126, 215 209, 210 Abdul Khamid, xvii, xxi, 175 Bintang Mahaputra, 14, 38, 90, 209, Abdul Madjid, 178 210 Abuddin Nata, xvii, xxi, 150, 187 Blok M, 21, 63 Abul Kalam Azad, xi,133 Bung Hatta, 22, 23, 24, 28 Achmad Syahid, xvii, xx, 125 Burhanuddin, 21 Adrianus Khatib, 21 Bustami Abdul Ghani, 3 Ahmad Khan, xi, 77, 133 Ahmad Tafsir, 48, 50 C al-Ghazâlî, 83, 84, 85, 86 Ali Mufradi, 21 Canada, xiv, 42, 151, 160, 188, 201, Aligarh, xi, 133 204, 205 al-Tahtawi, 133 Ciputat, vii, 8, 24, 25, 29, 52, 55, 69, alternative dispute resolution, 215 125, 126, 127, 128, 130, 132, 142, Amerika, 8, 10, 89, 92, 131, 151, 148, 151, 167, 168, 169, 171, 183 193, 205 Cirebon, xvi, 87 Amin Aziz, 178 Columbia University, 14, 89 Amir Ali, xi, 133 Common Law System, 216 Amsal Bakhtiar, xvi, xx, 145 Conditio Sine Qua Non, 215 Anthony Wessel, 8 Continental Europe Legal System, Anwar Masy’ary, 48 216 Apartemen Niewerood, 26 Aslam Hadi, 178 D Asri Rasyad, 178 Atho Mudzhar, 126, 130, 134, 207 Daud Rasyid, 173 Australia, 92, 99, 101, 131, 205 Dawam Rahardjo, 96 Azyumardi Azra, 14, 89, 90, 126, Dede Rosyada, vii 131, 142, 146, 171, 207, 209 Deliar Noer, 8, 22, 23 Departemen Agama, xiii, xvii, 4, 7, 101, 102, 103, 104, 107, 109, 120, 9, 24, 25, 47, 53, 62, 91, 134, 169, 122, 123, 125, 135, 136, 141, 143, 171, 197 144, 145, 155, 156, 157, 158, 159, Din Syamsuddin, 130, 146, 171 160, 162, 163, 164, 165, 166, 168, , 96 171, 175, 176, 178, 179, 180, 183, Doctrine of Precendent, 216 184, 185, 187, 188, 189, 190, 191, Domestic Law, 216 192, 193, 194, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, E 207, 208, 209, 210, 211, 212, 215, 216 Eka Putra Wirman, 100, 102, 135 Hasan Langgulung, 8 Empat Lawang, 25 Huzaimah T. Yanggo, 18 Eropa, iv, 68, 92, 111, 131, 149 I F IAIN Ar-Raniry, xvi, 57, 64, 65, 66 Facta Sunt Servanda, 215 IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Fakhri Aly, 207 xvi, 41 Fakultas Pascasarjana, 4, 17, 18, 19, IAIN Sunan Kalijaga, v, 47, 64, 89, 80, 156, 157, 166, 167 157 Fauzul Iman, xvi, xix, 41 IAIN Syarif Hidayatullah, v, xvi, 3, freedom of justice, 216 4, 8, 9, 10, 11, 12, 17, 21, 31, 41, 58, 60, 61, 87, 89, 91, 95, 96, 147, G 157, 166, 183, 188, 203, 204, 206, 207, 208 General Agreement, 215 IAIN Syekh Nurjati, xvi, 87 Ibn Taymîyah, 81, 82, 83, 84, 85, 86 H Imam Khomaini, 171 Imam Muchlas, 48 Hadjam Dahlan, 48 India, xi, 51, 133, 199, 202 Haedar Ali, 178 Indonesia, iv, vi, ix, x, xiii, xiv, xv, Halid al-Kaf, 127 7, 8, 10, 18, 24, 25, 30, 33, 34, 38, Halimah Majid, 69 44, 47, 57, 59, 65, 67, 68, 77, 87, Hamdani, 10, 11, 21 88, 89, 90, 92, 95, 96, 97, 98, 99, Harun Nasution, vi, ix, xv, xvii, 3, 7, 100, 101, 121, 134, 135, 142, 143, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 19, 151, 157, 166, 167, 168, 171, 174, 29, 30, 31, 33, 37, 38, 39, 41, 47, 176, 177, 187, 189, 192, 193, 194, 48, 51, 53, 54, 57, 59, 60, 61, 63, 195, 196, 197, 203, 204, 207, 208, 64, 65, 66, 67, 77, 79, 80, 81, 82, 209,210, 211 87, 89, 93, 94, 95, 96, 97, 99, 100, INIS, 24, 26, 27

218 Ishak Abduhaq, 178 Komaruddin Hidayat, 98, 126, 127, Iskandar Usman, xvi, xix, 21, 57 146, 171, 207 Kuala Banda Aceh, 4 J L Jabariyah, 159, 160, 201 Jakarta, iii, v, vi, x, xi, xii, xv, xvi, Lathief Muchtar, 50 xvii, 7, 8, 9, 10, 12, 17, 25, 26, Leipzig University, 49 29, 33, 37, 38, 41, 42, 44, 47, 48, 49, 50, 53, 54, 57, 58, 59, 60, 61, M 64, 65, 66, 68, 69, 71, 72, 78, 79, 81, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, M Ridwan Lubis, xx, 126 96, 98, 99, 100, 121, 123, 125, M Roem Rowi, 126 127, 128, 131, 133, 142, 143, 144, M Yunan Yusuf, 126 147, 150, 152,155, 157, 158, 167, M. Qasim Mathar, xvii, xxi, 171 171, 173, 176, 177, 179, 183, 185, M. Quraish Syihab, 72 187, 188, 190, 194, 196, 197, 198, M. Rasyidi, xiii, 72, 166, 194, 195 199, 200, 203, 204, 205, 206, 207, M. Ridwan Lubis, xv, xvii, 155 208, 209, 210, 211 M. Yusuf Rahman, 47 Jalaluddin, xvi, xix, 7, 22, 48, 49, 64, Majlis Ulama Indonesia, 185 82 Makassar, xvii, 29, 146, 171 Jalaluddin Rahman, 48, 49 Mansour Faqih, 207 Jamali Sahrodi, xvi, xx, 87 Mansur Malik, 47 Jamaluddin al-Afghani, xi, 133 Mardhiah Daniel, 48 Jurnalis Uddin, 178 Mastuhu, 4 Mastuki HS, 127 K Mc Gill University, 68 McGill University, 95, 97, 99, 135, Kampung Utan, 21, 29, 54, 55, 61, 160, 188, 194, 201, 204 168 menara gading, 43 Kanada, 3, 68, 97, 99, 131, 135, 142, Mesir, xi, xiv, 7, 27, 59, 67, 68, 69, 194 70, 87, 88, 92, 105, 111, 114, 115, Karel Steenbrink, 49 133, 173, 192, 193, 194, 195, 197, Kautsar, 20, 127 199, 202 Kautsar Azhari Noer, 127 Mitfah Arifin, 127 Kebayoran Baru, 21 Mochtar Buchari, 10, 11 Kemas Mustazhirbillah, 24 Mohammad Fatih Alam, 25 Khawarij, xiii, 134, 141, 201, 212 Montreal, xiv, 42, 135, 142, 188, Kohnstamm, 11 194, 201, 204 Muardi Chatieb, 48

219 Muchtar Aziz, 48, 49 Promotor, 22, 23, 54 Muhammad Abduh, xi, xiv, 45, 59, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 103, Q 104, 105, 106, 109, 110, 111, 112, 116, 117, 119, 122, 123, 133, 135, Qadariyah, 85, 141, 159, 160, 201 141, 143, 160, 196, 201 Muhammad Ali Jinnah, 133 R Muhammad Ali Pasya, xi, 133 Muhammad Iqbal, 133 R. Mulyadhi Kartanegara, 127 Muhammad Nuh, 209 Rahmat, 21 Muhammadiyah, 131, 173, 192 Ramayulis, 12 Muhsin Idham, 4, 55 Rasjidi, xiii, 8, 141, 143, 147 Mukti Ali, 71, 88, 134, 197 Rasyid Ridha, 133 Mulyanto Sumardi, xiii, 22, 23 Rasyid Ridla, 106, 109, 111, 114, Munawir Sjadzali, 8, 18, 27, 134 117, 121 Muslim Kadir, 48 Rasyidi, 80, 198 Mustafa Kemal Attaturk, 133 Ridwan Lubis, xv, xvii, xx, 12, 47 Rohani Junaid, 51 N Rumadi, 127 Rusjdi Ali Muhammad, xvi, xix, 47, Nabilah Lubis, xvi, xx, 67 48 Netherland Cooperaton in Islamic Studies, 24 S NU, 131, 173, 195 Nurcholish Madjid, 8, 61, 87, 96, Sadeli, 178 127, 182 Saefuddin, 178 Nyimas Anisah Muhammad, xvi, Said Aqil Siraj, 82 xix, 17, 21, 25 Saifuddin Zuhri, 68 Saiful Mujani, 135 O Saiful Muzani, 202, 207 Salman Harun, xvi, xix, 3 Oman Fathurrahman, 72 Samsun Ni’am, 127 Orientalis, 101 Saudi Arabia, 27 Sayyidah, 67, 68 P Snouck Hurgronje, 86 Sudarko, 178 Paduko Sindo, 21 Sultan Takdir Alisyahbana, 17 Pakistan, xi, 92, 133, 199 Sumatera Selatan, 17, 25 Parsudi Suparlan, 9, 53, 61 Sunan Ampel, 22, 125 Persis, 131 Sunarjo, 3

220 Suparjo, 48 Y Surabaya, 22, 48, 125, 126, 127, 179 Suwito, xv, xvii, xxi, 31, 38, 99, 126, Yogyakarta, v, 48, 64, 89, 93, 96, 98, 145, 152, 209 157, 166 Syahrul A’dzam, 127 Yunasril Ali, xvi, xx, 77 Syamsul Hadi, 127 Yusuf Rahman, xvi, xx, 50, 99, 114 Syeichul Hadi Permono, 48, 49 Z T Zaharah Maskanah, 69 Takdir Alisjahbana, 8 Zaini Muchtarom, 13 Tarmizi Taher, 4, 134 Zainun Kamaluddin Fakih, xv, 126 Thaha Yahya Umar, 3 Zakiah Daradjat, 177 Timur Tengah, iv, 7, 18, 86, 87, 92, Ziekenhuis, 26 131, 142, 149 Zubaidi, 21 Tsurayya Kiswati, 21

U

UIN Ar Raniry, 47, 49, 56 UIN Bandung, 48 UIN Palembang, 48 Ujung Pandang, 29, 179, 184 Umar Asasuddin Sokah, 48 Umar ibn Khattab, 85 Universitas Gajah Mada, 71, 72 Universitas Islam Negeri, 31, 41, 57, 87, 98, 168, 188 Universitas Leiden, 4 Universitas Syiah, 4, 51, 54 Universitas YARSI, 178

W

Wahdat al-Wujud, 20, 32 Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi, 20, 32 Wardini Ahmad, 48 Widodo, xv, 178, 209

221