Makna Arsitektur Masjid Pakualaman Dalam Tinjauan Kosmologi Jawa PENELITIAN

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Makna Arsitektur Masjid Pakualaman Dalam Tinjauan Kosmologi Jawa PENELITIAN Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa PENELITIAN MAKNA ARSITEKTUR MASJID PAKUALAMAN DALAM TINJAUAN KOSMOLOGI JAWA MOH. HASIM Peneliti bidang Lektur dan Khazanah Keagamaan pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024-7611386 e-mail: [email protected] Naskah diterima tanggal: 14 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011 ABSTRAK Masjid memiliki arti penting dalam kebudayaan dan peradaban Is- lam. Masjid tidak hanya sebagai simbol kebesaran Islam tetapi juga men- jadi simbol harmoni kehidupan manusia dengan alam lingkungan. Melalui pendekatan sejarah dan arkeologi penelitian ini menemukan bahwa Masjid Pakulaman memiliki keterkaitan dengan perkembangan kebudayaan Jawa. Secara utuh bangunan Masjid Pakualaman merupakan perpaduan antara unsur Hindu Jawa dan Islam sebagai bentuk yang sarat dengan makna kos- mologis dan kaya harmonisasi kehidupan spiritual. Harmonisasi tersebut dapat dilihat dari bentuk atap tajuk dengan mustaka berbentuk gada, orna- men sulur bunga dan gapura pintu utama. Kata kunci: Arsitektur Masjid, Kosmologi Jawa. ABSTRACT Masjid (mosque) plays a signi›cant role in Islamic culture and civili- zation because it is not only a symbol of Islamic glory but also a symbol of harmonious life between humans and their surroundings. Through his- torical and archeological approaches, this study could reveal that the Masjid Pakualaman (Yogyakarta) has a close relationship with Javanese culture development. The mosque is a perfect picture of assimilation between Ja- vanese Hindu and Islam. The building is full of cosmological meaning and harmonious spiritual life. There are at least three elements of the mosque as the evidences of the harmony: the shape of the roof, the fiower tendril orna- 211 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Moh. Hasim ment, and the construction of the main gate of the mosque. Keywords: Mosque Architecture, Javanese Cosmology. PENDAHULUAN Masjid adalah simbol syi’ar Islam dan sekaligus sebagai pusat kegiatan keagamaan. Keberadaan masjid sebagai salah satu tempat pengabdian seorang hamba kepada penciptanya menjadi elemen penting dalam ritual peribadatan umat Islam. Perhatian besar umat Islam terhadap masjid ditunjukkan oleh desain bangunan masjid yang cukup megah, indah dan monumental. Namun demikian, masjid dalam perkembangannya bukan saja menjadi pusat ibadat khusus seperti salat dan i’tikaf, akan tetapi juga mempunyai peranan yang lebih luas menjangkau berbagai aspek kehidupan manusia. Secara historis, masjid di Indonesia mempunyai andil besar dalam kema- juan peradaban umat. Masjid menjadi penopang utama kemajuan peradaban. Pada awal masuknya Islam, penyebaran risalah Muhammad saw. yang dilaku- kan para ulama dan para wali tidak lepas dari peran masjid. Masjid pada saat itu menjadi pusat bertemunya para ulama dan wali untuk merancang strategi dakwah yang relevan dengan kebudayaan masyarakat (Gazalba, 1971). Melalui peran masjid sebagai pusat dakwah atau transmisi Islam, ajaran Islam mampu diterima oleh masyarakat Indonesia tanpa kekerasan, perkela- hian atau perang. Kearifan para Wali Sembilan melalui desain bangunan mas- jid yang mengakomodasikan model bangunan lokal dan menghargai kesucian tempat-tempat peribadatan lama, berhasil memikat hati masyarakat. Bahkan dengan memanfaatkan bangunan masjid secara optimal, para wali di Jawa, misalnya, berhasil menyiapkan sistem pemerintahan Kerajaan Demak, se- hingga sampai pada akhirnya pimpinan Demak dapat diislamkan dan Demak menjadi kerajaan dengan sistem Pemerintahan Islam pertama di Jawa. Perkembangan selanjutnya, masjid ini mampu menjadi simbol kebuda- yaan dari kota-kota Kerajaan Islam di Nusantara. Dalam planologi kota-kota kuno di Jawa, pada umumnya tidak meninggalkan masjid sebagai elemen penting di dalamnya. Masjid menjadi elemen yang digunakan dalam pemba- ngunan perkotaan, seperti di Cirebon, Demak. Semarang, Yogyakarta, dan juga Pakualaman. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi masjid dalam per- jalanan perkembangan kebudayaan masyarakat menempati posisi penting sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pemerintahan dan kos- mologi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Posisi penting masjid dalam perkembangan kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan tersebut agaknya perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Masjid dalam tinjauan sejarah tidak sekedar sebuah bangunan tanpa makna, tetapi banyak sekali nilai-nilai ›loso› penting yang ada dalam mas- jid, yang sangat berguna bagi perkembangan peradaban manusia. Masjid memberikan peran dalam menggoreskan sejarah peradaban manusia. Masjid Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 212 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa adalah salah satu saksi di masa lain tentang sebuah kejayaan peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan. Masjid Pakualaman sebagai bagian dari peninggalan bersejarah menjadi salah satu EuNti perNemEangan ,slam di wilayah Dalem 3ura 3aNualaman Yog- yakarta. Penguasa Pakualaman yang notabene-nya sebagai bagian dari raja Jawa masih menaruh perhatian akan pentingnya pembangunan mental me- lalui pembangunan masjid sebagai satu-kesatuan yang tidak terpisahkan den- gan kokohnya bangunan keraton. Bahkan ciri arsitektur dari benda pening- galan yang masih ada di dalam kompleks masjid, menunjukkan bahwa Masjid Pakualaman di masa lalu juga sangat memperhatikan keserasian antara kebu- dayaan Jawa dengan Islam sebagai sebuah harmoni kebudayaan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sejarah dan arkeologis, yang digunakan dengan prinsip fieksibilitas. Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu mencari dan menemukan sumber- sumber primer maupun sekunder yang diperlukan untuk penelitian. Tujuan- nya untuk menentukan posisi Masjid Pakualaman sebagai bagian dari pening- galan sejarah yang patut untuk diteliti. Melalui cara heuristik pencarian data dilakukan dalam bentuk kegiatan penelusuran sumber-sumber arsip, doku- men, buku, majalah/jurnal, surat kabar, dan berbagai sumber sejarah Masjid Pakualaman yang menguatkan keberadaannya dalam lintasan sejarah. Data yang telah diperoleh, selanjutnya diklari›kasi melalui kritik sum- ber atau veri›kasi, yaitu kegiatan mencari dan menilai sumber-sumber se- jarah terkait dengan sejarah, fungsi dan struktur bangunan Majid Pakulaman secara kritis. Veri›kasi dilakukan dengan pengamatan secara ›sik terhadap objek yang dikaji yaitu Masjid Pakualaman dan juga dengan wawancara ter- hadap orang-orang yang dipandang mengetahui hal itu sebagai sumber lisan, atau dengan membandingkan sumber-sumber literatur. Data yang telah diyakini kebenarannya melalui veri›kasi secara men- dalam kemudian diberi pemaknaan melalui interpretasi peneliti secara objek- tif. Data ditafsirkan apa adanya sesuai dengan hasil pengamatan, klari›kasi narasumber, dan veri›kasi dengan sumber-sumber data lain. Data-data yang ditemukan dikelompokkan dalam tiga kelompok utama, yaitu sejarah masjid, gambaran struktur bangunan, dan fungsi masjid. Penafsiran makna satu fakta dengan fakta lainnya secara objektif, dan rasional itu, kemudian secara historiogra› dituliskan dalam rangkaian fakta- fakta secara kronologis/ diakronis dan sistematis menjadi sebuah tulisan se- jarah mengenai masjid kuno di daerah tersebut. Secara teknis, metode terse- but tidak digunakan secara kaku tetapi diberlakukan secara fieksibel sesuai dengan kondisi di lapangan dan mempertimbangkan kecukupan waktu, ke- tersediaan data dan sumber-sumber data primer. Metode sejarah yang digu- nakan ini merupakan metode utama, namun untuk melengkapi kecukupan 213 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Moh. Hasim data penelitian, pendekatan lain juga digunakan seperti pendekatan arkeologi untuk mendeskripsikan bentuk bangunan. ARSITEKTUR MASJID DAN KOSMOLOGI JAWA Secara etimologi, kosmologi berasal dari perkataan “kosmos” yang be- rarti dunia, atau aturan alam, dan “logos” yang berarti rasio atau akal. Karena itu, kosmologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang alam (dunia). Arti yang lebih luas, kosmologi juga bisa diartikan dengan ajar- an atau ulasan tentang dunia. Sehingga kosmologi bisa menjadi sebuah ilmu yang mampu menelaah segala hal tentang alam semesta dalam skala yang lebih besar, misalnya meneliti gerak keteraturan benda-benda langit. Chris- tian Wolf menggunakan kosmologi sebagai disiplin ilmu untuk menyelidiki sesuatu menurut inti dan hakikat yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan maknanya dalam bingkai kosmologi sebagai satu kesatuan antara gerak ma- nusia dengan gerak alam semesta seisinya (Anshory, 2008). Hegel sebagai seorang ›lsuf idealis Jerman memberikan pokok-pokok persoalan yang menjadi pokok-pokok kajian dalam kosmologi yaitu: 1. Contingence (kemungkinan, hal-hal yang kebetulan) 2. Necessity (keharusan) 3. Limitations and Formal Laws of the Word (batas-batas formal dalam hu- kum-hukum formal alam) 4. The Freedom of Man and the Origin of Evil (kebebasan manusia dan asal mula kejahatan (Anshory, 2008) Sementara itu, A.E Taylor dalam buku Element of Metaphysis mengatakan bahwa tujuan dari pokok-pokok pembahasan dalam kosmologi adalah untuk memberikan pertimbangan makna dan validitasnya yang berserakan dalam konsep yang universal sebagai sifat dasar dari objek yang bersifat individu. Si- fat dasar individu yiatu: extension (keluasan), succession (urut-urutan), space (ruang), time (waktu), number (bilangan), magnitude (besaran/ jarak), mo- tion (gerak), change (perubahan), quality
Recommended publications
  • The Governance of Sultan Ground Land Position and Pakualaman Ground In
    International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 24, Issue 2 (April) ISSN 2289-1552 2021 THE GOVERNANCE OF SULTAN GROUND LAND POSITION AND PAKUALAMAN GROUND IN THE FRAMEWORK OF NATIONAL LAW AND THE SPECIAL LAW OF YOGYAKARTA SPECIAL REGION IN ACHIEVING JUSTICE Dwinanta Nugroho Anis Mashdurohatun Gunarto ABSTRACT One of the sovereignties of the Special Region of Yogyakarta is manifested in recognition of the privileged authority outlined in Law No. 13 of 2012 concerning the Privileges of Yogyakarta Special Region. The exercise of authority in terms of privileges is based on local wisdom values and favors the community. The authority of Yogyakarta Special Region as an Autonomous Region covers the authority in the Yogyakarta Special Region Regional Government's affairs as referred to in the Law on Regional Government and the special functions regulated in the special law. This study aims to analyze, study and formulate the governance of the land position of the sultan's ground and the nail in the ground within the framework of the national law and the special laws of Yogyakarta Special Region in realizing justice. This research was conducted by using normative legal research methods, namely by comparing the prevailing laws and related issues, then with existing legal principles or doctrines, and paying attention to the practices that occur as a study of legal history. This research found that the authority over the management and utilization of Sultan Ground Pakualaman Grounds (SG-PAG's) land often collided with the Sultanate's meaning, and the Duchy limited to the 'palace' only. The community's participation in planning, utilization, and control was still lacking, even though the term Sultanate -Duchy has a legal meaning, including all the components in it, namely the flag, servant (punggawa/abdi dalem), and community (kawula dalem).
    [Show full text]
  • Sambutan SILATURAHMI TRAH PAKUALAMAN “HUDYANA JAKARTA”
    Sambutan SILATURAHMI TRAH PAKUALAMAN “HUDYANA JAKARTA” Jakarta, 3 Maret 2019 -------------------------------------------------------------------------- Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua, Yang Kami hormati Keluarga Besar Trah Pakualaman “Hudyana Jakarta”, Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita masih diberi kesempatan untuk hadir dan berkumpul pada acara Silaturahmi Trah Pakualaman “Hudyana Jakarta”. Selanjutnya, izinkan kami dalam kesempatan ini menghaturkan terima kasih kepada Bapak/Ibu/Saudara sekalian yang telah berkenan meluangkan waktu menghadiri silaturahmi ini. Dan mohon pamit bahwa Gusti Putri tidak bisa hadir karena ada kesibukan lain. Kemudian ucapan terima kasih juga khusus Saya sampaikan kepada Jajaran Pengurus Trah Pakualaman “Hudyana Jakarta” atas terselenggaranya silaturahmi ini. Hadirin sekalian yang berbahagia, Keluarga besar Trah Pakualaman “Hudyana Jakarta” adalah sebuah “Jembatan”, yang menghubungkan antara Pakualaman dengan seluruh anggota keluarga besar trah bahkan antar anggota keluarga besar trah itu sendiri. Keterhubungan tersebut haruslah efektif, sehingga keberadaan Trah Pakualaman “Hudyana Jakarta” ini menjadi dapat dirasakan manfaatnya yaitu mempererat silaturahmi yang dapat saling memberdayakan, dan melestarikan budaya poro leluhur yang memang harus diuri-uri. Kita bersyukur bahwa Trah Pakualaman “Hudyana Jakarta” yang dirintis bersama masih eksis, dan semoga akan terus eksis.
    [Show full text]
  • Course Name : Indonesian Cultural Arts – Karawitan (Seni Budaya
    Course Name : Indonesian Cultural Arts – Karawitan (Seni Budaya Indonesia – Karawitan) Course Code / Credits : BDU 2303/ 3 SKS Teaching Period : January-June Semester Language Instruction : Indonesian Department : Sastra Nusantara Faculty : Faculty of Arts and Humanities (FIB) Course Description The course of Indonesian Cultural Arts (Karawitan) is a compulsory course for (regular) students of Faculty of Cultural Sciences Universitas Gadjah Mada, especially for the first and second semesters. The course is held every semester and is offered and can be taken by every student from semester 1 to 2. There are no prerequisites for Karawitan courses. The position of Indonesian Culture Arts (Karawitan) as the compulsory course serves to introduce the students to one aspect of Indonesian (or Javanese) art and culture and the practical knowledge related to the performance of traditional Javanese musical instruments, namely gamelan. This course also aims to provide both introduction and theoretical and practical understanding for the students of the Faculty of Cultural Science on gamelan instrument techniques, namely gendhing technique, that is found in Karawitan. Topics in this course include identification of Javanese gamelan instruments, exploration of tones in Javanese gamelan, gendhing instrument method and practice, as well as observation of traditional art performances. Proportionally, 30% of these courses contains briefing theoretical insights, 40% contains gamelan practice, and 30% contains provision of experience in a form of group collaboration and interaction Course Objectives The course of Indonesian Culture Arts (Karawitan) in general aims to provide theoretical and practical supplies through skill, application, and carefulness to recognize various instruments of Gamelan. Through this course, students are observant in identifying the various instruments of the gamelan and its application as instrumental and vocal art in karawitan.
    [Show full text]
  • Habitus of Culture: Retaining Batik's Identity Amidst the Modernization
    Habitus of Culture: Retaining Batik’s Identity amidst the Modernization Kamsidjo Budi Utomo. Ebnan Syarif, Universitas Negeri Semarang [email protected] Abstract Amidst the rapid modernization, Batik is now considered old-fashioned and less favored; as an icon of traditional textile art, Batik has been inferior in keeping up with current demands of a so-called “modern” society. The quick-spreading fad of kekinian (or „trendy‟, „hype‟) has been more familiar to the younger generation. This phenomenon calls for a critical outlook on the “metaphysics of presence” that lays its foundation on the principle of aesthetics. To this growing lifestyle, perfections in life are achieved by expediency and pragmatism. Contrary to that, batik offers traditionalistic, symbolic approach of representing meaning; therefore, it becomes less popular compared to the recent trends. This study, however, sees the relevance of raising the discourse of batik in the midst of recent trends by approaching it from the lens of cultural pluralism that highlights its emphasis on a nation‟s “character”. However, in lieu of mere attempt of “reviving” the relevance of batik, this study aims further to discuss batik‟s true nature and the development of its existence throughout the advancement of culture and science. Keywords : Batik Education, Habitus of Culture, Philosophy of Batik 1. Batik’s motifs There has been much debate over the history of batik: its origins, motifs, and dyeing techniques. People all over the world, from Latin America, up to India and Indonesia‟s neighbor, Malaysia, has been claiming about their respective cultures to be the birthplace of batik as one of the oldest fabric tie-dyeing techniques.
    [Show full text]
  • Batik, a Beautiful Cultural Heritage That Preserve Culture and Support Economic Development in Indonesia”
    “BATIK, A BEAUTIFUL CULTURAL HERITAGE THAT PRESERVE CULTURE AND SUPPORT ECONOMIC DEVELOPMENT IN INDONESIA” Evi Steelyana Accounting Departement, Faculty of Economics and Communication, BINUS University Jln. K.H. Syahdan No. 9, Palmerah, Jakarta Barat 11480 [email protected] ABSTRACT Batik is an icon nation for Indonesia. Batik has awarded as cultural heritage from UNESCO on October 2nd, 2009and it is significantly affected to batik industry afterward.The raising of batik industry caused some multiplier effects to economics and socio cultural in Indonesia. In many areas of industry, banking role has always beenthe man behind the scene. Banking role in Indonesia also gives some encouragement and be part of batik industry development. Many national event has been created by some banks to encourage SME in batik industry to market their product internationally. This paper will give a simple explanation how banking industry and batik industry get along together in Indonesia, especially in financial sector to enhance economics development and to preserve a nation culture.Research methodology in this paper is quantitative method. This paper will give a simple analysis through comparative analysis based on export value from batik industry, domestic use of batik,batik industry development and microcredit or loan from banking industry to SME in batik industry.Many people wearing batik to show how they do appreciate and belong to a culture.Batik also gives other spirit of nationalism which represent in Batik Nationalis.The role of batik in international diplomacy and in the world level gives significant meaning for batik as a commodity which preserve Indonesian culture. In a piece of batik cloth, embodied socio-cultural and economic values that maintain the dignity of a nation.
    [Show full text]
  • “Liberal Democracy” in Yogyakarta Special Regions of Indonesia
    Local Politics and Local Identity: Resistance to “Liberal Democracy” in Yogyakarta Special Regions Of Indonesia A Thesis Submitted To the Graduate Devision of The University Of Hawai’i at Mānoa in Partial Fulfillment of the Requirements For the Degree Of Master of Arts In Political Science August, 2012 By David Efendi Thesis Committee: Ehito Kimura, Chairperson Benedict J. Kerkvliet Nevzat Soguk Keywords: Transitional Politics, Liberal Democracy, Social Movement, Everyday Politics DEDICATION For my beloved son: Iqra Garda Nusantara i ACKNOWLEDGEMENTS “There is no time to rest before grassroots politics becomes a well-established field of study in Indonesian political discourse. It is my dream to see this happen soon after my graduation from the University of Hawai‘i at Mānoa, USA.” I have been blessed with a great opportunity, and I deeply owe a debt of gratitude to the people of Yogyakarta who have inspired me to study local and grassroots politics. Yogyakarta, as the center of Javanese culture, was an ideal location to study everyday politics, and the creativity of the people of Yogyakarta impressed me during my field research. The movement against the Dutch in Yogyakarta is a manifestation of Javanese ideology called “Manunggaling Kawulo lan Gusti,” meaning the people and the King aer united. It was inspiring for me to learn more about the recent movement in Yogyakarta under the banner of defending the special status of this region as part of the decentralization and democratization project led by the central government. The Pisowanan Agung (The Great Mass Gathering), which was attended by millions of Yogyakartans in 1998, clearly showed the solidarity of the people and the King.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/27/2021 02:46:26PM Via Free Access Review Essays 545 in General (Scheper)
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 173 (2017) 544–551 bki brill.com/bki Recent Books on Indonesian Manuscript Dick van der Meij Independent scholar [email protected] E.P. Wieringa and T. Hanstein (eds), Schrift Sprache/Aksara dan Bahasa. Aus- stellungskatalog.IndonesischeHandschriftenderStaatsbibliothekzuBerlinPreu- ßischer Kulturbesitz. Berlin: Staatsbibliothek zu Berlin-Preussischer Kulturbe- sitz/Jakarta: Museum Nasional Indonesia, 2015, 183 (in English) + 183 pp. (in Indonesian). (Paperback) Farouk Yahya, Magic and Divination in Malay Illustrated Manuscripts.[Arts and Archaeology of the Islamic World Volume 6]. Leiden: Brill, 2016, xx + 349 pp. isbn 9789004301641, price: eur 136.00 (hardback); issn 22133844, isbn 9789004301726, isbn 978900430172-6 (e-book). Sri Ratna Saktimulya, Naskah-Naskah Skriptorium Pakualaman Periode Paku Alam ii (1830–1858). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Ecole française d’Extrême-Orient, Perpustakaan Widyapustaka, Pura Pakualaman (Pustaka Hikmah Disertasi [PhD] xii), 2016, xvii + 438 pp. isbn 9782855391991 (France); isbn 9786024242282 (Indonesia), price: irp 85.000. Karin Scheper, The Technique of Islamic Bookbinding. Methods, Materials and Regional Varieties. Leiden: Brill, 2015, xii + 428 pp. [Islamic Manuscripts and Books 8]. issn 1879964, isbn 9789004290921, price eur 146.00 (hardback); 9789004291119, 143.00 (e-book). Recently, four books were published that discuss a variety of aspects of Indo- nesian and Malay manuscripts and bookbindings. They deserve attention to- gether
    [Show full text]
  • Edisi 6 / 2018 Buletin Pelestarian Warisan Budaya Dan Cagar Budaya MAYANGKARA Edisi 6 / 2018
    ISSN 2502-1567 Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya MAYANGKARA Edisi 6 / 2018 Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya MAYANGKARA Edisi 6 / 2018 Sampul Depan: Gedhong Purwaretna, Pura Pakualaman Rubrik Uneg-uneg Redaktur KORI: rubrik pembuka berisi informasi mengenai sejarah dan penjelasan tema buletin edisi kali ini. SUSUNAN REDAKSI PENDHAPA: tajuk utama dalam buletin. PENANGGUNG JAWAB: Drs. Umar Priyono, M. Pd. PLATARAN: rubrik ringan yang berisi perjalanan ataupun informasi situs warisan budaya di berbagai tempat, khususnya Salam Budaya, di DIY. PEMIMPIN REDAKSI: Dian Lakshmi Pratiwi, S.S.,, M.A PRINGGITAN: rubrik berisi kajian maupun penelitian yang membahas mengenai tema Buletin Mayangkara edisi kali ini. Perkembangan pembangunan modern yang terjadi di Yogyakarta khususnya di Kawasan REDAKTUR: EMPU: rubrik wawancara interaktif dengan tokoh-tokoh yang Cagar Budaya Pakualaman membawa berbagai dampak salah satunya identitas kawasan yang Aris Wityanto, S.IP berpengaruh dalam pelestarian warisan budaya dan cagar tergerus. Oleh sebab itu, sebagai salah satu Kawasan Cagar Budaya yang diprioritaskan oleh budaya. pemerintah, perlu adanya langkah khusus dalam mempertahankan karakter Kawasan Cagar EDITOR: PAWARTOS: rubrik berisi berita-berita pelestarian warisan Joy Jatmiko Abdi, S.S. budaya dan cagar budaya. Budaya Pakualaman sebagai salah satu bentuk pelestarian kota heritage. Anglir Bawono, S.S. PAGELARAN: rubrik mengenai kegiatan masyarakat dalam Edisi ke 6 buletin Mayangkara akan membahas lebih dalam mengenai Pelestarian Warisan upaya pelestarian terhadap warisan budaya dan cagar budaya REPORTER: di Kotabaru. Budaya dan Cagar Budaya serta nilai-nilai penting yang terkandung di dalam Kawasan Cagar Ria Retno Wulansari, S.S Budaya Pakualaman. Pembaca akan menemukan rubrik-rubrik yang menambah wawasan SRAWUNG: rubrik berisi serba-serbi mengenai warisan budaya FOTOGRAFER: dan cagar budaya.
    [Show full text]
  • Langkahan Myth and Ritual in Javanese Weddings Tiwi Purbandari1,* Sutiyono1
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 552 Proceedings of the 4th International Conference on Arts and Arts Education (ICAAE 2020) Langkahan Myth and Ritual in Javanese Weddings Tiwi Purbandari1,* Sutiyono1 1Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia * Corresponding author. Email: [email protected] ABSTRACT Myth is one of the people's beliefs. There are many kinds of myths in Java, one of which is the Myth in the Ritual of Langkahan which is done at a wedding. It is a tradition that started a long time ago but is still done by Javanese people now. This study is initiated due to the tradition done by the Javanese. Langkahan is a ritual done when younger siblings get married before their older sisters or brothers. The data in this study were collected through observation and interviews with the brides and bridegrooms, cultural experts, people done the ritual, and the researcher's experience. Langkahan as a ritual is done because of three feelings, one of which is lust-unlust. It is a feeling possessed by those whose younger siblings get married first. People tend to believe that there is some kind of effects of not doing this procession, so this procession is mostly done to avoid the effects. As traditions need to be preserved, Langkahan should still be done. It is a traditional cultural legacy from ancestors that serves as a symbol of the identity of an area. Moreover, it shows respect for older siblings whose younger siblings get married first. Keywords: Myth, Tradition, Langkahan, Javanese wedding 1. INTRODUCTION The culture that has been inherent in society and Focusing on the scope of society, there are has been inherited a long time ago, will be complex behaviors including lifestyles, cultures, increasingly conceptualized in people's life so that it customs, beliefs, etc.
    [Show full text]
  • 91 BAB V KESIMPULAN Pakualaman Terbentuk Dari Adanya Perjanjian
    BAB V KESIMPULAN Pakualaman terbentuk dari adanya perjanjian Giyanti antara pihak Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III dengan kelompok Pangeran Mangkubumi, yang terdiri dari Pangeran Mangkubumi, Pangeran Wijil, Pangeran Krapyak dan Pangeran Hadiwijoyo. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah Mataram dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Yogyakarta sendiri dibagi menjadi dua wilayah yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Pakualaman berdiri terpisah dengan keraton Yogyakarta, walaupun begitu Pakualaman tetap menghormati keraton sebagai wilayah pemerintahan yang lebih dulu berdiri sebelum Pakualaman. Sistem pemerintahan di Pakualaman mirip sekali dengan yang ada di keraton, selain karena Pakualaman muncul dari sebagian wilayah Kasultanan, para peguasa yang ada di Pakualaman juga masih sedarah dengan para kerabat keraton. Wilayah Pakualaman meliputi Kabupaten Brosot, yang ada di Kulon Progo, terdiri dari Galur, Tawangrejo, Tawangsoka, Tawangkarto dan di tambah sebagian kecil wilayah Ibukota Yogyakarta, yang terletak di timur sungai Code yang dijadikan pusat pemerintahan Pakualaman. Wilayah Pakualaman yang berada di daerah Yogyakarta merupakan suatu wilayah dataran rendah, yang dari segala arah berbatasan langsung dengan daerah-daerah kekuasaan keraton Yogyakarta. Daerah perbukitan, dataran rendah, pantai dan rawa merupakan jenis topografi daerah Pakualaman yang ada di Adikarto. Penduduk Pakualaman sudah cukup padat dibuktikan dengan adanya pendataan penduduk pada tahun 1922, 91 92 penduduk Pakualaman sudah mencapai 5.000 lebih, baik yang di wilayah Yogyakarta maupun yang di Adikarto. Banyak penduduk Pakualaman kesehariaannya bermata pencaharian sebagai petani. Namun seiring perkembangan perekonomian masyarakat Pakualaman, pekerjaan bertani mulai ditinggalkan, mereka beralih ke pekerjaan lain yang dinilai lebih menguntungkan masyarakat seperti pedagang, tukang kayu, pengrajin bambu, pengrajin batik, pengrajin tekstil dan sebagai tukang jagal hewan.
    [Show full text]
  • European Journal of Education Studies HYBRIDITY of BEKSAN FLORET PURA PAKUALAMAN YOGYAKARTA
    European Journal of Education Studies ISSN: 2501 - 1111 ISSN-L: 2501 - 1111 Available on-line at: www.oapub.org/edu doi: 10.5281/zenodo.3877516 Volume 7 │ Issue 5 │ 2020 HYBRIDITY OF BEKSAN FLORET PURA PAKUALAMAN YOGYAKARTA: POSTCOLONIAL STUDY Feri Catur Harjanta1i, Kuswarsantyo2 1Magister Student of Art Education Study Program, Graduate Program of Yogyakarta State University, Yogyakarta, Indonesia 2Lecturer of Art Education Study Program, Graduate Program of Yogyakarta State University, Yogyakarta, Indonesia Abstract: During the British colonial era, there was an important momentum in the city of Yogyakarta. The important moment was the birth of a kingdom called Pura Pakualaman or Pakualaman Palace where Prince Notokusumo was known as Sri Paku Alam I. He could not be separated from the political contract between the British government and Sri Sultan Hamengku Buwono II. During the reign of Sri Paduka Paku Alam IV, he was very close to the Dutch government so that most of the art of dance at that time was influenced by Dutch culture. The artworks of Sri Paku Alam IV include Srimpi Nadheg Putri, Beksan Floret, Beksan Sabel, Beksan Inum and Beksan Penthul Tembem. The object of this research was Beksan Floret. Meanwhile the method used in this study was a qualitative method with a post-colonial approach. In this study, a theory from Homi K Bhabha which explains hybridity was used. Post-colonial representations have several characteristics, including power relations, identity, ambivalence, and mimicry. Based on the results of post-colonial representation, it can be further elaborated as follows: (1). Beksan Floret reflects a split identity, (2) There is a power relation, which is legitimate, emancipatory, hierarchical and dominative, (3) Mimikri Beksan Floret itself gives birth to ideas about dynamic, creative and independent especially in costume and choreography, (4).
    [Show full text]
  • K. P. H. Notoprojo K
    K. P. H. Notoprojo K. P. H. Notoprojo taught and performed Javanese gamelan music for the Center for World Music from 1989 to 1992. Affectionately referred to as “Pak Cokro,” he was one of the most highly respected performers, teachers, and composers of Javanese gamelan music. He led the gamelan at the Pakualaman Palace, Yogyakarta, as well as the gamelan for the Radio Republik Indonesia Yogyakarta, and taught gamelan in universities around the world. He composed over 250 works, including numerous light gamelan pieces and experimental works, many of which are prominent in the modern gamelan repertory. According to the ethnomusicologist Mantle Hood, "It is accepted that no other Indonesian has even approached the contributions of this man in helping the world know the great gamelan traditions of Java.” On March 9, 2004, he received the prestigious Nugraha Bhakti Musik Indonesia Award. Pak Cokro was born in Yogyakarta, Java. He grew up in the Pakualaman Palace, where he began studying music at five years old under the tutelage of his father, R. W. Padmowinangum, who led the palace gamelan. Pak Cokro’s formal education, however, was at the Taman Siswa secondary school, enriched by studies at the palace. In addition to playing in the court gamelan, Pak Cokro performed with other famous gamelan groups and served as gamelan music director at local radio stations. He had the opportunity to teach Javanese gamelan abroad beginning in 1953. In Java he taught at the Konservatori Tari Indonesia and Akademi Seni Tari Indonesia, and founded a school for the study of vocal music, Pusat Olah Vokal Wasitodipuro.
    [Show full text]