PEMIKIRAN EMHA AINUN NADJIB TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh: BAHTIAR FAHMI UTOMO NIM: 1110011000002

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2014

ABSTRAK

Bahtiar Fahmi Utomo (NIM. 1110011000002). Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pendidikan Islam.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pendidikan Islam.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik yang digunakan ialah wawancara tidak berstruktur (unstructured interview), pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis- garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Obserfasi yang peneliti gunakan ialah obserfasi partisipasi moderat (moderate participation), dalam observasi ini terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dengan orang luar. Dokumentasi data-data yang diperlukan adalah buku-buku mengenai Emha Ainun Nadjib, karya-karya Emha Ainun Nadjib dan berkas-berkas lain yang berkaitan dengan pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam.

Teknik analisis isi dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari lapangan diolah dan dianalisa sesuai dengan jenis data yang terkumpul, yaitu dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu teknik analisis data dimana peneliti terlebih dahulu memaparkan semua data yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan kemudian menganalisanya dengan berpedoman kepada sumber- sumber yang tertulis.

Hasil penelitian yang ditemukan tentang Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pendidikan Islam ialah terkait materi pendidikan Islam yaitu, pertama tauhid, kedua akhlak (Uswatun Khasanah), ketiga penyucian rohani. Dan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun memberikan pemikirannya terhadap pendidikan Islam melalui kalimat Beribu Pintu Berruang Satu. Beribu pintu berruang satu adalah sebuah pengadaian dari suatu metode pendidikan Islam yang diutarakan oleh Emha. Pendidikan Islam beribu pintu berruang satu, diibaratkan dengan sebuah rumah besar, di rumah besar itu terdapat ribuan pintu dan ketika kita masuk rumah itu hanya terdapat satu ruangan besar, tanpa satu kamar pun. Satu ruangan besar diartikan sebagai keilmuan Islam dan ribuan pintu diartikan berbagai disiplin ilmu keislaman seperti, pintu pertama adalah ilmu fiqih, pintu kedua adalah ilmu tauhid, pintu ketiga adalah ilmu sejarah, pintu keempat adalah ilmu mantik, pintu kelima adalah ilmu tasawuf, pintu keenam adalah ilmu tafsir dan seterusnya.

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat iman, nikmat Islam, nikmat kesehatan, nikmat rezeki dan nikmat kesempatan. Sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Sumbangan Pemikiran Emha Ainun Nadjib Terhadap Pendidikan Islam. Shalawat teriring salam peneliti aturkan kepada suri tauladan kita baginda Rasulullah Muhammad SAW, semoga di akhirat kelak mendapatkan syafaatnya, amin. Pada kesempatan ini juga peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang berperan penting dalam penyelesaian studi peneliti di Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka antara lain adalah sebagai berikut: 1. Dra. Nurlena Rifa’I, M. A, Ph. D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Jakarta, atas asuhan dan kepemimpinannya selama peneliti menempuh studi di FITK hingga selesai. 2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag; dan Marhamah Saleh, Lc, M. A, selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas bimbingan dan kepemimpinannya selama peneliti menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam. 3. Ahmad Irfan Mufid, M. A, selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan bimbingannya selama peneliti menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam. 4. Dr. K. H. Akhmad Sodiq, M. Ag, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing dan memberikan ilmunya kepada peneliti dalam penulisan skripsi dan kehidupan sehari-hari. 5. Emha Ainun Nadjib, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mewawancarainya.

v

6. Yudhi Munadi, M. Ag, Selaku Dosen Pembimbing PIQI yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing PIQI peneliti hingga lulus; Dr. Dimyati, M. Ag, selaku Dosen Pembimbing PPKT yang telah membimbing peneliti bagaimana menjadi guru hingga lulus ujian PPKT; Iwan Permana Suwarna, M. Pd, selaku Dosen Praktikum Komputer yang telah membimbing dan memberikan ilmunya dalam kegiatan praktik komputer, dan para Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan ilmunya. 7. Orang Tua peneliti, Ibu Tercinta dan Ayah Tercinta yang senantiasa mendo’akan, membimbing, merawat, mendidik, serta memberikan materi dan moril, sehingga peneliti dapat menyelesaikan serangkaian pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi sarjana strata satu. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan, umur yang barokah, hidayah dan taufik-Nya serta diberikan istiqomah dalam menjalankan amal ibadah kepada Allah SWT. Ibu, Ayah, Ku persembahkan skripsi ini untuk panjenengan. 8. Kepada mba’ku, Amelia Rosyidah yang senantiasa memberikan dukungan materi dan moril, semoga diberikan Allah rizeki yang halalan toyyiban mubarokah. 9. Kepada teman sekampung, Ainur Rifak, yang senantiasa mendukung dan mendo’akan dalam pembuatan skripsi ini. Semoga selalu diberikan Allah yang terbaik dan diridhoi menjadi hamba Allah yang ahli syukur. 10. Jama’ah Mihrobul Muhibbin, yang senantiasa memberikan do’anya kepada peneliti dan mendukung penuh dalam rangka tholabul ilmi di Jakarta. Semoga selalu diberikan istiqomah dalam menapaki jalan para Wali-Wali Allah SWT. 11. Kepada keluarga Imadu, yang senantiasa mendo’akan peneliti di dalam bacaaan- bacaan Istighosahnya, semoga semua keluarga Imadu diberikan istiqomah dalam ibadahnya. 12. Kepada dulur-dulur kontrakan, Anwar, Indra, Alfis, Mas Wafa, Mas Mahmud, Abbas, Roaz, yang selalu mendukung dan menyemangati peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

vi

13. Kepada arek-arek kelas PAI Kelas A 2010, yang selalu menemani suka dan duka di Fakultas FITK lantai 3. 14. Kepada Fadly Mart Gultom, yang sentiasa memberikan ilmunya dengan senang hati dan selalu membimbing dalam proses pembuatan skripsi. Semoga Allah memberikan umur yang barokah, ilmu yang bermanfaat, istiqomah dalam ibadah serta rizeki yang barokah. Semoga Allah SWT, menjadikan setiap bantuan materi dan moril yang mereka berikan kepada peneliti dijadikan amal ibadah, dan diberikan balasan yang berlipat- lipat dari Allah SWT. Terakhir, semoga ridho dan rahmat Allah SWT, selalu menyertai kita. Amin.

Ciputat, 17 November 2014 Peneliti,

Bahtiar Fahmi Utomo

vii

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH ...... i LEMBAR PERSETUJUAN/PENGESAHAN ...... ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQOSAH ...... iii ABSTRAK ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 5 C. Pembatasan Masalah ...... 6 D. Perumusan Masalah...... 6 E. Tujuan Penelitian...... 6 F. Kegunaan Penelitian ...... 6

BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Kontribusi ...... 8 B. Konsep Pemikiran ...... 8 C. Pendidikan Islam ...... 10 1. Al-Tarbiyah ...... 10 2. Al-Ta’lim ...... 12 3. Al-Ta’dib ...... 13 D. Landasan Pendidikan Islam ...... 14 1. Al-Qur’an ...... 15 2. Sunnah ...... 19 3. Ijtihad ...... 21 E. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam ...... 22 1. Prinsip Tauhid ...... 23 2. Prinsip Integrasi...... 24 3. Prinsip Keseimbangan ...... 25

viii

4. Prinsip Persamaan ...... 25 5. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup ...... 25 6. Prinsip Keutamaan ...... 26 F. Metode Pendidikan Islam ...... 27 G. Tujuan Pendidikan Islam ...... 31 H. Kurikulum Pendidikan ...... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ...... 40 B. Metode Penelitian ...... 40 C. Teknik Pengumpulan Data ...... 41 1. Wawancara ...... 41 2. Observasi ...... 41 3. Dokumentasi...... 41 D. Teknik Analisis Data ...... 42

BAB IV BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN EMHA AINUN NADJIB TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

A. Biografi Emha Ainun Nadjib ...... 44 B. Pendapat Para Ahli Tentang Emha Ainun Nadjib ...... 50 C. Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pendidikan Islam ...... 51

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...... 64 B. Saran ...... 65

DAFTAR PUSTAKA ...... 67 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 71

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dengan pendidikan manusia bisa menduduki tempat yang paling tinggi di dunia maupun di akhirat dan sebaliknya tanpa pendidikan manusia akan menduduki tempat yang rendah, karena itu pendidikan mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar dapat menjadi manusia yang utuh, baik secara jasmani maupun rohani. Menurut M. Arifin, “manusia dididik bukan hanya secara jasmani (lahiriah) saja melainkan juga secara rohani (bathiniah).”1 tetapi yang terjadi saat ini hal-hal yang bersifat bathiniah masih sering diabaikan di dalam dunia pendidikan. Contohnya di dalam mengerjakan ibadah shalat yang lebih ditekankan masih dalam tataran pengetahuan tentang syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Sementara aspek rohani shalat yaitu makna shalat untuk membentuk pribadi muslim yang baik masih kurang diperhatikan. Untuk menjadikan manusia yang utuh baik secara jasmani dan rohani maka yang diperlukan adalah pendidikan Islam, karena pendidikan Islam merupakan suatu proses yang mengarahkan manusia baik secara jasmani maupun rohani yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Maka pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagiaan dunia dan akhirat. Mengingat pentingnya pendidikan Islam bagi terciptanya kondisi lingkungan dan pendidikan yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Karena pada hakikatnya pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang

1 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 12.

1

2

perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Menurut Samsul Nizar, “konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan mempunyai sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.”2 Masalah yang timbul akibat pendidikan Islam yang kurang baik ialah penurunan moral pada masa moderen ini, di antaranya permusuhan yang terjadi antar agama, antar ormas-ormas Islam, hamil diluar nikah, tidak adanya sekat muda-mudi dalam pergaulan (pergaulan bebas), dan lain sebagainya. Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun selaku orang yang sangat paham akan keadaan ini selalu mengajak masyarakat agar mencintai kerukunan, mencintai kedamaian, menghindari perselisihan, mengajak agar di jalan yang lurus, mengkaji berbagai masalah yang akhirnya menemukan solusi dan mencari persamaan agar hidup menjadi tenang dan harmonis. Menurut Cak Nun, “kesalahan pendidikan saat ini disebabkan karena budaya pendidikan kita meninggalkan moral dan pengetahuan. Bahwa yang paling prinsip pada manusia itu ialah moralnya dan akhlaknya, bukan pandai-tidaknya. Di universitas, sekolah-sekolah lanjutan pada saat ini tidak peduli dengan semua itu.”3 Semaraknya tokoh idola masyarakat saat ini juga berpengaruh pada kemajuan perkembangan akhlakul karimah seseorang. Ketika dia mengidolakan sesuatu maka ia menjadi sesuatu tersebut, terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi “Barang siapa yang menyukai suatu hal maka ia merupakan bagian dari sesuatu itu”. Maka dalam hal ini haruslah tepat memilih tokoh idola. Misalnya Rasulullah SAW yang teladannya patut diikuti oleh semua lapisan masyarakat. Begitu pula tokoh Indonesia yang saat ini melakukan dakwah Islam dan penyebaran pendidikan Islam melalui beberapa hal. Emha Ainun Nadjib

2 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 32. 3 Emha Ainun Nadjib, Kerajaan Indonesia, (: Progress, 2006), Cet. II, h. 156.

3

merupakah salah satu tokoh yang perlu kita teladani di dalam menjalani hidup ini. Beliau merupakan tokoh Islam yang sangat berpengaruh karena kedalaman ilmu, kesufiannya, dan juga akhlaknya. Bukti dari kesufiannya tertulis dalam puisinya Aku Mabuk Allah, sebagai berikut: Aku Mabuk Allah aku mabuk Allah semata-mata Allah segala-galanya Allah tak bisa lain lagi aku mabuk Allah lainnya tak berhak dimabuki lainnya palsu, lainnya tiada nyamuk tak nyamuk kalau tak mengabarkan Allah langit tak langit kalau tak menandakan Allah debu tak debu badai tak badai kalau tak membuktikan Allah kembang yang mekar api tak membakar kalau tak Allah mabuklah aku mabuk Allah tak bisa lihat tak bisa dengar cuma Allah cuma Allah kalau matahari memancar siapa sebenarnya yang menyinar kalau malam legam siapa hadir di kegelapan kalau punggung ditikam siapa merasa kesakitan mabuklah aku mabuk Allah kalau jantung berdegup siapa yang hidup kalau menetes puisi siapa yang abadi Allah semata Allah semata lainnya dusta (1986)

Emha Ainun Nadjib juga sangat cakap dalam menyampaikan dakwahnya, beberapa cara beliau lakukan sebagai sarana dakwah Islam, diantaranya

4

melalui kesenian, menulis buku-buku, menulis puisi, sastra dan lain sebagainya. Maka tidak heran kalau beliau banyak julukannya, bisa dijuluki budayawan, guru, kyai, tokoh masyarakat, maupun tokoh kesenian, dll. Emha Ainun Nadjib sudah banyak memberikan kontribusi moral, baik dari segi berpikir, berbuat dan memberi nasehat antar sesama masyarakat khususnya Islam dan umumnya masyarakat non Islam. Dalam keseniannya disisipkan nasehat yang mendalam untuk masyarakat Islam maupun non Islam, dan kalau ditelusuri lebih mendalam lagi keseniannya mengandung sisi tasawuf yang sangat kental. Selain tokoh budayawan, beliau juga memiliki jiwa tasawuf yang kental, hal ini terlihat dari beberapa kegiatan beliau dalam menyebarkan pendidikan Islam melalui acara-acara rutin yang beliau asuh, “diantaranya Padhang Mbulan di Jombang Jawa Timur, Obor Ilahi di , Bang- Bang Wetan di Surabaya, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Gambang Syafaat di Semarang, Kenduri Cinta di Jakarta.”4 Menurut Zainal Ali, “dalam forum inilah terjadi dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola- pola komunikasi, metode hubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.”5 Permasalahan yang diangkat mulai dari masalah hukum, sosial, moral, tauhid, politik dan lain sebagainya. Sebagai umat Rasulullah SAW kita dianjurkan untuk mencintainya, karena dengan mencintai Rasulullah SAW manusia akan memiliki sebuah gairah untuk melaksankan perintah-perintah Allah SWT. Dengan mencintai Rasulullah SAW, kita juga dapat diantar Rasulullah SAW untuk berjumpa dengan Allah SWT dan alasan yang paling utama kita harus cinta kepada Rasulullah SAW ialah ketika menjelang wafat kalimat yang diucapkan ialah ummati ummati ummati, itu menandakan bahwa Rasulullah SAW sangat mencintai ummatnya (kaum muslim/Islam).

4 Emha Ainun Nadjib, Jejak Tinju Pak Kiai, (Jakarta: Kompas, 2008), h. 239. 5 Zainal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh, (Yogyakarta: Narasi, 2009), h. 66.

5

Secara logika, jika Rasulullah SAW selaku hamba yang paling dicintai Allah SWT mencintai ummatnya, sudah pasti kita juga harus mencintainya. Kalau kita tidak mencintai Rasulullah SAW kita termasuk manusia yang rugi. Begitulah Cak Nun mengajari kita supaya terus mencintai Rasulullah dimanapun berada. Rasa cinta inilah yang mulai memudar di hati kaum muslim, khususnya orang Indonesia. Maka dari itu, menurut Prayogi, “Cak Nun mengajak jama’ahnya agar selalu bershalawat kepada Rasulullah SAW supaya timbul benih-benih cinta kepada Rasulullah SAW di dalam hati dan membangun dialektika dunia, akhirat, langit dan bumi.”6 Menurut Prayogi, “shalawat merupakan bentuk jamak dari kata shalat yang berarti doa atau seruan kepada Allah SWT. Shalawat bukan ibadah mahdhoh dan tidak menjadi bagian dari kewajiban manusia kepada Allah SWT. Shalawat “hanya” semacam cara untuk mengungkapkan cinta yang dalam kepada Rasulullah Muhammad SAW.”7 Dengan demikian pemikiran pendidikan Islam Emha Ainun Nadjib yang tertuang, tersebar dalam pengajian umum, nasehat, pesan dan tulisan- tulisannya adalah sebuah sisi menarik yang harus mampu dikemukakan dalam skripsi ini. Oleh sebab itu saya sangat termotivasi dan merasa tertantang melakukan sebuah penelitian tentang “ Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pendidikan Islam”.

B. Identifikasi Masalah 1. Pendidikan yang bersifat bathiniah masih sering diabaikan di dalam dunia pendidikan Islam, karena masih sibuk dengan persoalan lahiriah. 2. Masyarakat yang memiliki moral atau akhlakul karimah sangat menurun, karena kurangnya ilmu agama dan kurangnya mempraktikkan ilmu itu.

6 Prayogi R. Saputra, Spiritual Journey Pemikiran & Permenungan EMHA Ainun Nadjib (Jakarta: Kompas, 2012), h. 76. 7 Ibid, h.75.

6

3. Pengaruh kualitas tokoh dalam perkembangan atau kemajuan suatu masyarakat. 4. Banyaknya tayangan di televisi mampu mengalihkan persepsi masyarakat untuk mengidolakan sosok artis atau aktor yang penuh dengan keglamoran. 5. Sudah jarang sekali masyarakat yang menjunjung tinggi aturan-aturan Islam, karena mereka lebih mementingkan persoalan lahiriah katimbang bathiniah.

C. Pembatasan Masalah Penelitian ini akan dibatasi dengan meneliti tentang pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam.

D. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam?

E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam.

F. Kegunaan Penelitian Kegunaan diadakannya penelitian ini ialah agar masyarakat umum, jama’ah kenduri cinta dan mahasiswa/i memperoleh ilmu dari penelitian ini, antara lain: 1. Masyarakat Umum a) Masyarakat umum dapat mengenal Islam lebih baik. b) Masyarakat umum juga mendapatkan ketenangan batin. c) Masyarakat umum mengerti akan pentingnya pendidikan Islam. 2. Jama’ah Kenduri Cinta (di asuh oleh Cak Nun)

7

a) Jama’ah Kenduri Cinta memperoleh ilmu mengenai pendidikan Islam. b) Jama’ah Kenduri Cinta lebih mengetahui proses pendidikan Islam yang terjadi di Indonesia. c) Jama’ah Kenduri Cinta tidak lagi taklid mengenai pendidikan Islam. 3. Mahasiswa/i a) Mahasiswa/i mengerti akan pentingnya pendidikan Islam. b) Mahasiswa/i mendapatkan wawasan tentang realita pendidikan Islam di Indonesia. c) Mahasiswa/i terjalin hubungan yang harmonis tanpa adanya pertengkaran. d) Mahasiswa/i menjunjung tinggi nilai-nilai agama. e) Mahasiswa/i mampu menerapkan aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep Pemikiran Konsep adalah pemilihan dari sekumpul kegiatan dan pemutusan selanjutnya terhadap apa yang harus dilakukan, kapan dan oleh siapa. Konsep yang baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi masa yang akan datang. Dalam konsep yang hasil keputusannya akan dilaksanakan. Kebutuhan akan adanya konsep pada kenyataan meningkat, dimana tingkatan tersebut memiliki dampak potensial terhadap pelaksanaannya suatu kegiatan ataupun acara. Konsep pemikiran dapat dipahami sebagai yang dimaksud dengan kalimat “apa yang ada didalam diri mereka”.1 Pemikiran merupakan hasil dari metode berpikir. Oleh karena itu pemikiran menyangkut suatu wujud batin (ada dalam diri manusia) yang sangat eksistensial seperti kejayaan, keruntuhan atau yang akan terjadi di masa depan. Pemikiran mempengaruhi kehidupan, itu merupakan dalil yang diterima secara umum, jika tidak tentu hancurlah semua pertikaian ideology, termasuk pertikaian agama. Manusia bertikai semuanya dan terlibat dalam peperangan, antara lain karena pandangan mereka tentang ideology atau agama mereka begitu penting. Sehingga harus diterima orang lain dengan keyakinan bahwa hal itu akan membawa perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, dan jika pertikaian itu dapat berlangsung dalam kerangka pandangan kemutlakan seperti yang tercermin dalam “mati syahid dalam membela agama”. Maka gambaran tentang betapa pentingnya “apa yang ada dalam diri mereka”. Termasuk pemikiran menjadi sangat jelas dan tegas. Manusia lahir dengan kemampuan yang sama untuk meraih pengetahuan. Hanya dengan pemupukan kemampuan inilah manusia berbeda-beda, ada yang

1 Handoko Hani, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 1986), h. 77.

8

9

menggunakannya untuk spekulasi-spekulasi dan belajar, dan ada pula yang mengarahkannya hanya untuk meraih suatu kehidupan yang praktis.2 Problem utama dalam pemikiran Islam di dunia modern saat ini, adalah kesulitan dalam merespon tuntutan realitas zaman ketika berhadapan dengan dunia modernitas. Dalam hal ini pemikiran Islam haruslah berwatak ganda, satu sisi pemikiran Islam sebagai perwujudan hukum Tuhan, pemikiran Islam harus bersifat akomodatif terhadap tuntutan perkembangan. Watak yang pertama menuntutnya untuk menjadikan tata dalam kehidupan masyarakat, sedangkan watak yang kedua menuntutnya untuk dapat mempengaruhi masyarakat untuk tidak ketinggalan zaman. Apabila kedua watak ganda ini tidak dijalankan secara tepat dalam pemikiran Islam ini, maka akan jatuh pada dua kondisi. Pertama, akan menjadi hukum pemikiran yang dianggap kuno, kaku, dan akan ditinggalkan masyarakatnya. Ini terjadi apabila pemikiran Islam terlalu memegang sifat kekokohannya dan juga anti dalam segala perubahan. Kedua, akan kehilangan jati dirinya sebagai hukum Tuhan, ini terjadi apabila pemikiran Islam yang berkaitan dengan hukum Tuhan yang dilakukan masyarakat terlalu bersemangat dalam menerima segala perubahan disegala bidang.3 Al-Qur’an adalah sumber pemikiran, al-Qur’an merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya dalam pertumbuhan ilmu-ilmu akal. Corak penafsiran al-Qur’an telah mempengaruhi berbagai corak penafsiran al- Qur’an. Untuk memahami serta mengetahui al-Qur’an secara benar, ulama dan para pemikir berhasil dalam membangun dan mengembangkan sebuah ilmu khusus yang disebut “Ulum al-Qur’an”.

B. Pendidikan Islam Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakam dalam praktek pendidikan Islam ialah term al-

2 Mulyadi Kartanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), h. 7-8. 3 Taufiq Abdullah, et al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 2003), h. 3.

10

tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.4 Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga term tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam. 1. Al-Tarbiyah Konsep “tarbiyah” merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting. Perkataan “tarbiyah” berasal dari bahasa Arab yang dipetik dari fi’il (kata kerja) seperti berikut :

1) Rabba- yarbu, yang berarti tumbuh bertambah, berkembang 2) Rabbi- yarba, yang berarti menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa 3) Rabba- yarubbu, yang berarti memperbaiki, mengatur, mengurus dan mendidik, menguasai dan memimpin, menjaga dan memilihara.5 Melalui pengertian tersebut, konsep tarbiyah merupakan proses mendidik manusia dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia ke arah yang lebih sempurna. Ia bukan saja dilihat proses mendidik saja tetapi merangkumi proses mengurus dan mengatur supaya perjalanan kehidupan berjalan dengan lancar. Penggunaan kata tarbiyah, secara bahasa juga banyak digunakan oleh masyarakat Arab untuk makhluk hidup selain manusia (hewan dan tumbuhan) yang membawa maksud memelihara, dan menernak. Al Jauhari mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lainnya secara makna memiliki arti memberi makan, memelihara; yakni dari akar kata ghadza atau ghadzaw yang mengacu kepada segala sesuatu yang

4 Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyat al-Islamiyat, (Kairo: al-Kasyaf, 1954), h. 213. 5 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. lX, h. 29.

11

tumbuh seperti anak-anak, tanaman dan sebagainya. Tentu saja dari makna tersebut dan didasarkan pada penjelasan lainnya memberikan pengertian bahwa istilah tersebut mencakup pada segala hal yang bisa ditumbuhkan, dipelihara dan dikembangkan tidak hanya terbatas pada manusia, padahal seperti yang telah ditunjukkan al-Attas bahwa pendidikan dalam arti Islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusia. Menurut Muhammad Jamaludin al-Qisimi bahwa al-tarbiyah adalah proses penyampaian sesuatu batas kesempurnaan yang dilakukan secara tahap demi tahap. Menurut Al-Asfahani, al-tarbiyah adalah proses menumbuhkan sesuatu tarhadap yang dilakukan sedikit sesuai batas kesempurnaan. Berdasarkan pengertian diatas, kata tarbiyah diperuntukan khusus bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab eksistensinya. Pada tarbiyah, titik tekannya adalah difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengamalan ilmu yang benar dalam mendidik pribadi

2. Al-Ta’lim Secara bahasa, ta’lim merupakan bentuk masdar dari kata ‘allama yu’allimu-ta’liman, yang berarti pengajaran. Sedangkan menurut istilah kata ta’lim adalah merujuk kepada pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan. Istilah al- ta’lim menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal di banding dengan al-tarbiyah maupun al-ta’dib, misalnya mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.6

6 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h. 262.

12

Abdul Fattah Jalal, mendifinisikan ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.7 Jadi, menurut definisi Abdul Fattah Jalal, ta’lim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik. Selain itu menurut definisi ini juga, ta’lim merupakan suatu proses yang terus menerus diusahakan manusia semenjak dilahirkan. Sebab manusia dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun. Dalam ta’lim, titik tekannya adalah pada penyampaian ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggungjawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim disini mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik 3. Al-Ta’dib Secara bahasa, ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata addaba- yuaddibu-ta’diban yang berarti mengajrakan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib dapat diartikan sebagai proses mendidik yang memfokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar. Menurut Sayed Muhammad An-Naquib Al-Attas, kata ta’dib adalah penegenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada menusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa. Sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaannya. Dalam definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (al-ta’lim) dan pengasuhan anak yang baik ( al-tarbiyah). Oleh sebab itu, menurut Sayed Muhammad

7 Abdul Fattah Jalal, Azaz-Azaz Pendidikan Islam, Terj. Harry Noer Ali, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 29-30.

13

An-Naquib Al-Attas, tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus. Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam. Titik tekannya ta’dib adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Dengan demikian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dalam konotasi tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang harus diketahui secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungan dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; formal, informal dan nonformal. Dengan pemaparan ketiga konsep di atas, maka terlihatlah bahwa konsep Ta’lim, Tarbiyah dan Ta’dib dapat digunakan secara bersama-sama untuk pendidikan Islam. Dan dari ketiga istilah itu, istilah yang populer dipakai orang adalah tarbiyah, karena menurut Athiyah Al-Abrasyi kata adalah term yang mencakup keseluruhan kegiatan (التربية) at-tarbiyah pendidikan, yakni upaya yang mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna etika, sistimatis dalam berpikir, memiliki ketajaman intuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap bahasa lisan dan tulisan, serta memiliki beberapa keterampilan Sedangkan istilah yang lain merupakan bagian kegiatan tarbiyah. Dengan demikian maka istilah pendidikan Islam disebut Tarbiyah Islamiyah.

C. Landasan Pendidikan Islam

Islam memandang dan memposisikan sendi-sendi keilmuan atau ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sesuatu yang utama. Ia merangkul Iptek sedemikian rupa sehingga menganggap suci dan disamakan derajatnya

14

dengan jihad bagi orang-orang yang berilmu dan yang mencari ilmu.8 Dalam konteks ini Allah SWT. Berfirman:

              ...

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadilah: 11) Bahkan, dalam konsepsi Islam mencari ilmu (belajar) adalah keharusan bagi setiap Muslim tanpa terkecuali. Hal ini tidak lepas dari tujuan Allah SWT. Menciptakan manusia, yaitu pendidikan penyerahan diri secara ikhlas kepada Sang Khalik yang mengarah pada tercapainya kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Seperti dalam firman-Nya:

   .   

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS. Al-Dzariyat: 56) Atas dasar itu, pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan dalam Islam haruslah sejalan dengan pandangan hidup Muslim, yaitu al-Qur’an yang merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan sunnah sebagai penjabaran al-Qur’an. Dalam hal ini, Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa yang menjadi landasan atau dasar pendidikan diibaratkan sebagai sebuah bangunan sehingga isi al-Qur’an dan hadis menjadi fondasinya. Sebab, keduannya menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan. Sejalan dengan yang dikemukakan Ahmad D. Marimba, Abdurrahman an Nahlawi menegaskan bahwa keberadaan sumber dan landasan pendidikan Islam haruslah sama dengan sumber Islam, yaitu al- Qur’an, Sunnah,9 dan juga pendapat para sahabat dan ulama’ (ijtihad).

8 Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran Yang Demokratis & Humanis, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, h. 130. 9 Abdurrahman an Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 28.

15

1. Al-Qur’an Secara etimologis, al-Qur’an berarti bacaan dan secara terminologis al-Qur’an adalah firman-firman Allah SWT yang telah diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, dengan perantara malaikat Jibril a.s. dalam konsepsi Islam, al-Qur’an merupakan sumber ajaran (hukum) yang pertama dan yang paling utama. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber ajaran dalam Islam diantaranya dapat dilihat dari kandungan firman Allah dalam QS. Ali Imran: 138, yang berbunyi:

      

(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.(QS. Ali Imran: 138) Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw untuk seluruh umat manusia. Al-Qur’an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum Muslim. Didalamnya memuat panduan-panduan hidup terlengkap yang dijelaskan secara ilmiah. Lahirnya ilmu pengetahuan dalam Islam diyakini tidak terlepas dari kandungan yang ada dalam pengetahuan ilmiah dalam Islam bersumber dari struktur keilmuan yang terdapat dalam al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk (huda) yang bila dipelajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.10 Sebagai kitab petunjuk yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia termasuk aspek pendidikan, tidak sulit untuk menemukan prinsip dasar pendidikan dalam ajarannya. Sebab, sejatinya al-Qur’an merupakan asas dari teori pendidikan. Semua ayat yang ada

10 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 13.

16

didalamnya merupakan ayat-ayat pedidikan, tidak hanya terbatas pada ayat-ayat yang diasumsikan sebagai ayat pendidiakn saja. Dengan demikian jelaslah bahwa al-Qur’an merupakan fondasi atau dasar pendidikan Islam karena di dalamnya memuat sejumlah penjelasan yang mempunyai nilai penting dalam pengembangan pendidikan Islam. Dalam konteks ini, Delier Noer mengatakan bahwa al-Qur’an dan Hadis bukan saja sebagai sumber pemikiran agama, melainkan juga pemikiran tentang pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.11 Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan yang terlengkap, baik itu pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), spiritual (keruhanian), material (kejasmanian), dan alam semesta. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Zakiah Daradjat menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ajaran yang berisikan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan.12 Di antara prinsip yang berkenaan dengan kegiatan pendidikan dalam al-Qur’an dapat dilihat bagaimana Luqman al-Hakim dalam memberikan pendidikan yang mendasar kepada putranya. Kemudian, memberikan contoh dan menunjukkan perbuatannya lewat pengamalan dan sikap mental yang dilakukannya sehari-hari dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.13 Di antara wasiat pendidikan monumental yang dicontohkan Luqman al-Hakim lewat materi bil lisan dan dilakukannya lewat bil amal terlebih dahulu adalah sebagai berikut:

a. Jangan sekali-kali menyekutukan Allah SWT b. Berbuat baiklah kepada orangtua c. Jangan menikuti seruan syirik, ingatlah bahwa manusia itu pasti mati d. Hendaklah kita tetap merasa diawasi oleh Allah SWT e. Hendaklah selalu mendirikan sholat

11 Delier Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), h. 53. 12 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. IV, h. 20. 13 Ibid., h. 21.

17

f. Kerjakan selalu yang baik dan tingalkan perbuatan keji g. Jangan suka menyombongkan diri h. Sederhanalah dalam berpergian, dan i. Rendahkanlah suaramu

Hal ini jelas tersirat dalam firman Allah SWT QS. Lukman (31) :13- 19 sebagai berikut:

               

            

.             

                

             

                  

             

              

              

        

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"(13). Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu(14). Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu,

18

Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan(15). (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui(16). Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)(17). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri(18). Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai(19). (QS. Luqman: 13-19) Al-Qur’an sebagai kerangka dasar pemikiran Islam, telah memberikan banyak ispirasi pendidikan yang perlu dikembangkan baik secara filosofis maupun konseptual keilmuan. Ia adalah sumber nilai kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya yang telah memperkanalkan dan mengajarkan manusia untuk selelu berfikir sehingga ia harus dijadikan sebagai fondasi ideal pendidikan Islam.14 Atas dasar itu, pendidikan yang baik menurut Islam adalah pendidikan yang sesuai dan sejalan dengan nilai yang terkandng pada la-Qur’an. Sebab, sistem pendidikan yang disusun berdasarkan nilai-nilai al-Qur’an merupakan suatu sistem transformasi nilai-nilai al-Qur’an itu sendiri. Selain itu, dengan berpedang kepada nilai-nilai yang terjkandung dalan al-Qur’an maka akan dapat dirumuskan pendidikan yang sesuai sengan jiwa al-Qur’an. Jadi, pendidikan tidak hanya sekedar proses transfer pengetahuan dari satu orang ke orang lain saja, tetapi juga sebagai proses transformasi nilai Qur’ani dan pembentukan karakter Islami dalam segal aspek.

2. Sunnah

14 Tedi Priatna, Pondasi dan Fungsi Pendidikan Islam, dalam Cakrawala Pendidikan Islam, (Jakarta: Mimbar Pustaka, 2004), h. 289.

19

Setelah al-Qur’an, pendidikan Islam juga menjadikan sunnah sebagi dasar dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah, sunnah berarti jalan, metode, dan program. Sementara, secara istilah sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa perkataan, perbuatan, atau sifat Nabi Muhammad SAW.15 Umat Islam menyepakati bahwa sunnah merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Bahkan, sunnah (hadis) bisa berdiri sebagai sumber ajaran. Hal ini didasarkan kepada perintah normative untuk menaati nabi SAW di dalam al-Qur’an. Untuk itulah sifat otoritatif pribadi Nabi SAW tidak terlepas dari keyakinan bahwa pribadi nabi merupakan representasi dari wahyu Allah SWT. Nabi juga menyebutkan bahwa al-Qur’an dan sunnah adalah warisannya yang paling agung. Dengan demikian, bagi manusia yang bersedia memegang teguh keduanya tidak mungkin tersesat selamanya. Rasulullah SAW bersabda,

ت رك ت ف ي كم أمري ن ل ن ت ض لوا ما ت م س ك تم ب هما:ك تاب هللا و س نة ن ب يه

“Telah kutinggalkan dua perkara bagi kamu yang kamu tidak mungkin tersesat selamanya apabila kamu berpegang teguh kepada keduanya. Dua perkara itu adalah al-Kitab (Al-Qur’an) dan sunnah rasulullah…” (HR. Imam Malik) Sunnah yang merupakan perwujudan perkataan dan ketetapan Rasulullah SAW merupakan kerangka acuan bagi pengembangan kehidupan umat Islam, termasuk dalam bidang pendidikan. Dalam pandangan Muhaimin, konsep dasar pendidikan Islam yang dicetuskan Nabi SAW secara garis besarnya memiliki corak sebagai berikut: a. Disampaikan sebagai rahmatallil’alamin yang ruang lingkupnya tidak hanya sebatas manusia, tetapi juga kepada makhluk biotik dan abiotik lainya (QS. Al-Anbiya’: 107)

15 Abdurrahman an Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992), h. 31.

20

b. Disampaikan secara universal, mencakup kehidupan apapun yang berguna untuk kegembiraan dan peringatan bagi umat manusia (QS. Saba’: 28) c. Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak (QS. Al- Baqarah: 119) dan keontetikan kebenaran itu terjadi (QS. Al-Hijr: 9) d. Kehadiran nabi sebagai evaluator yang mampu mengawasi dan terus bertanggung jawab terhadap aktivitas pendidikan (QS. Al-Syura’: 48, QS. Al-Ahzab: 45, dan QS. Shad:8) e. Perilaku nabi SAW tercermin sebagai uswatun khasanah, yaitu sebagai seorang figur yang semua tindak tanduknya menjadi teladan (QS. Al-Ahzab: 22) karena perilakunya terkontrol oleh Allah (QS. Al-Najm: 3-4) sehingga hampir tidak pernah melakukan kesalahan. f. Masalah teknis praktis dalam masalah pendidikan Islam diserahkan pebuh kepada umatnya diantaranya adalah mengutus Mushab bin Umar dan Umi Maktum untuk mengajar beberapa orang pengikutnya.16

Bagi dunia pendidikan, sunnah memeliki dua faedah yang sangat besar. Peratama, menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya. Kedua, menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah SAW bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang dilakukannya.17

3. Ijtihad Selain al-Qur’an dan sunnah, ijtihad juga dapat dijadikan sebagai landasan pendidikan Islam. Kata ijtihad berasal dari kata jahada, yang arti devinisinya berarti pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan. Menurut Abu Hamid Hakim, ijtihad adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam memperoleh hokum

16 Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Teoritis dan Kerangka Dasar Oprasi onalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 147. 17 Abdurrahman an Nahlawi, op. cit., h. 47.

21

syara’ berupa konsep yang operasional melalui metode istimbath dari al- Qur’an dan sunnah.18 Menurut syara’, ijtihad berarti berpikir dengan sungguh-sungguh dan semaksimal mungkin untuk mengetahui syara’ dengan jalan dzanni.19 Ijtihad bagi umat Islam adalah sebuah kebutuhan dasar, tidak saja ketika nabi sudah tiada, bahkan ketika nabi masih hidup. Pendidikan adalah masalah duniawi yang dalam ajaran Islam diberikan dasar pokok-pokoknya saja, yaitu berupa petunjuk-petunjuk dalam wahyu yang masih perlu dijabarkan secara detail. Dengan demikian, arahan detailnya diserahkan kepada akal sehat dalam melakukan pemikiran-pemikiran secara mendalam. Dengan kata lain, persoalan pendidikan sebenarnya merupakan persoalan ijtihadiyah sehingga umat Islam diperintahkan untuk mencermati, mengkritisi, dan mengkonstribusi formula baru sehingga menjadi lebih baik. Dalam bidang pendidikan, ijtihad dilakukan sejalan dengan perkembangan zaman serta tuntutan manusia. penggunaan dalil-dalil ijtihad dalam lapangan pendidikan ini pada dasarnya merupakan pantulan dan cerminan flesibilitas hokum Islam dalam semua bidang. Karena, dengan menggunakan dalil-dalil ijtihad inilah persoalan-persoalan pelik yang dihadapi dunia pendidikan saat ini dan masa depan, akan memiliki tempat yang sesungguhnya dan damai.20 Selian itu, penggunaan ijtihad juga akan menjadikan pendidikan Islam tetap eksis dan sesuai dengan perkembangan zaman (adaptif).

D. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan. Kedewasaan dalam bentuk akal, mental, maupun moral dalam rangka menjalankan fungsi kemanusiaan

18 Muhaimin, op. cit., h. 150. 19 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Study Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), h. 148. 20 Baharuddin dan M. Makin, Pendidikan Humanistik: Teori, Konsep dan Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2009), h. 160.

22

sebagai seorang hamba dihadapan Sang Khalik (Abdullah) dan sebagai duta Allah pada alam semesta (khalifah fil ardh). Sebagai sebuah usaha dan cara kerja maka pendidikan Islam haruslah memiliki tiga karakter. Pertama, penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan, dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT. Kedua, pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Ketiga, merupakan sebuah pengalaman ilmu atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.21 Selain itu, pendidikan Islam juga mengemban misi Islam dalam tiga dimensi sebagai berikut: 1. Dimensi kehidupan duniawi. Dimensi ini mendorong manusia sebagai hamba Allah SWT untuk mengembangkan dirinya dalam ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan, yaitu nilai-nilai Islam. 2. Dimensi kehidupan ukhrawi, mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya dalam pola hubungan yang serasi dan seimbang dengan Tuhannya. Dimensi inilah yang melahirkan berbagai usaha agar kegiatan ubudiyah manusia senantiasa berada dalam nilai-nilai Islami. 3. Dimensi hubungan antarkehidupan duniawi dan ukhrawi. Dimensi ini akan mendorong manusia untuk berusaha menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang utuh dan paripurna dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan dan menjadi pendukung serta pelaksana nilai-nilai Islam.22 Pendidikan Islam juga harus selalu mengemban misi yang memihak kepada nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, corak yang diinginkan pendidikan Islam ialah pendidikan yang mampu membentuk manusia unggul secara intelekyual dan kaya dalam amal serta anggun dalam moral dan kebijakan.23 Ketiga keunggulan tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri secara bertingkat. Pertama, keunggulan intelektual yang berfungsi umtuk mempertajam pemikiran sehingga mampu menghasilkan ide-ide segar orisinal,

21 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, (Ciputat: Logos, 2000), h. 10. 22 Tedi Priatna, op. cit., h. 281. 23 Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 155.

23

mempercepat tumbuhnya kreativitas, dan mengejar kemajuan. Kedua, keunggulan amal yang berfungsi untuk mentransfer pengetahuan yang bermanfaat kepada orang lain agar kemanfaatan itu bisa berkembang terus menerus, menumbuhkan kesadaran untuk memberikan kontribusi yang terbaik bagi umat, dan berusaha keras untuk mengangkat derajat dan martabat mereka. Ketiga, keunggulan moral yang berfungsi sebagai penjagaan dari tindakan-tindakan yang merugikan, tindakan yang merusak, dan tindakan yang menyesatkan.24 Ketiga keunggulan di atas haruslah bertumpu pada keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian, akan terselamatkan dari segala pengaruh yang menyesatkan dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang menjadi dasar dan landasan bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Prinsip Tauhid Prinsip ini merupakan prinsip paling utama dalam pendidikan Islam. Dalam konsepsi pendidikan Islam, tauhid dikonstruksikan sebagai paradigm kebebasan manusia baik secara lahiriah maupun ruhania, kecuali hanya kepada Allah SWT. Hal ini mengisyaratkan sebuah ajaran bahwasanya praktik pendidikan Islam tidak mengenal diskriminasi terhadap siapapun.25 Pendidikan dalam tauhid adalah pendidika yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiah (teologis) sebagai landasan etis dan normatis dan nilai-nilai insaniyah secara alamiah (kosmologi dan antropolo-sosiologis) sebagai nilai-nilai oprasional.26 2. Prinsip Integrasi Prinsip integrasi adalah suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Oleh karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak

24 Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 246. 25 M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan dalam Pendidikan Islam antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 31. 26 Ngainun Naim dan Akhmad Sauki, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008), h. 69.

24

dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar-benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Prilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan-kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Hal tersebut tercantum dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Qashash: 77.

             

                Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Al- Qashash: 77)

Ayat ini menujukkan prinsip integritas bahwa diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yaitu kebijakan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan. 3. Prinsip Keseimbangan Prinsip ini merupakan kesembangan hingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan.27 Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam ini meliputi kesembangan antara kehidupan dunia dan akhirat; keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani; keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial; keseimbangan ilmu pengetahuan dan amal. 4. Prinsip Persamaan Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan drajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, suku, ras, atau warna kulit. Oleh karena itu, budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.

27 Munzir Hitami, Mengkonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 24- 26.

25

Nabi Muhammad SAW bersabda , “Siapa pun di antara seorang laki- laki yang mempunyai budak perempuan, lalu diajar dan dididiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki-laki) itu mendapat dua pahala”. (HR. Bukhari). Prinsip persamaan juga mengandung arti bahwa pendidikan Islami tidak mengenal perbedaan dan tidak membeda-bedakan latar belakang seseorang jika dia mau menuntut ilmu. Semua mempunyai potensi yang semua untuk dididik. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memproses dirinya dalam pendidikan. 5. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup Prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia ketika dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan di sepanjang hidupnya yang dapat menjerumuskan dirinya ke jurang kehinaan. Dalam hal ini, dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, di samping selalu memperbaiki kualitas dirinya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT sebagai berikut:

.              

Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ma’idah: 39)

Prinsip seumur hidup juga menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak mengenal batas waktu, tidak mengenal umur. Seumur hidup manusia harusnya digunakan sebagai proses pendidikan, yaitu proses untuk menjadi hamba yang baik. Pendidikan seumur hidup ini tergambar secara implisit dalam surat Al-‘Alaq, yaitu tidak adanya batasan yang kongkret tentang kappa seorang harus mulai belajar dan sampai kapan. Tuhan hanya menjelaskan bahwa manusia harus membaca dan belajar. Dengan demikian, manusia perlu belajar sejak

26

dilahirkan sampai ajalnya tiba (mulai dari lahir sampai ke liang lahat).28

6. Prinsip Keutamaan Prinsip ini merupakan inti dari segala pendidikan. Prinsip ini menegaskan bahwa pendidikan bukanlah sekedar proses mekanik, melainkan proses yang mempunyai ruh di mana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan- keutamaan tersebut terdari dari nilai-nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan, nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidikan bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi sujek didik, melainkan lebih dari itu, turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut.29 Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hargailah anak-anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka” (HR. An-Nasa’i)

E. Metode Pendidikan Islam Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk mengantarkan proses pendidikan menuju tujuan yang telah dicitakan. Bagaimanapun baik dan sempurnanya sebuah kurikulum pendidikan Islam, tidak akan berarti apa-apa jika tidak memiliki metode atau cara yang tepat untuk mentransformasikannya kepada peserta didik. Ketidaktepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar, yang pada gilirannya berakibat pada terbuangnya waktu dan tenaga secara percuma. Oleh karena itu, metode merupakan komponen pendidikan Islam yang dapat menciptakan aktifitas pendidikan menjadi lebih efektif dan efisien. Metode merupakan persoalan esensial pendidikan Islam,hal mana tujuan pendidikan dapat tercapai secara tepat guna, manakah jalan yang ditempuh menuju cita-cita itu betul-betul tepat.

28 Fandi, op. cit., h. 142. 29 Ibid., h. 142.

27

Kata metode berasal dari istilah Yunani meta yang berarti melalui, dan hodos yang berarti jalan yang dilalui. Jadi, metode berarti jalan yang dilalui. Dalam Bahasa Arab, metode diungkapkan dengan istilah tariqah atau uslub, yang menurut al-Jurjani berarti sesuatu yang memungkinkan untuk sampai dengan benar kepada tujuan yang diharapkan. Dari pengertian inilah Noeng Muhadjir mensyaratkan bahwa untuk mencapai tujuan baik, perlu ditempuh dengan cara atau jalan yang baik pula. Tujuan baik yang ditempuh dengan jalan atau cara yang tidak baik bukanlah aktivitas pendidikan, karena tujuan mengahalalkan cara atau jalan bukanlah semboyan yang bersemangatkan pendidikan.30 Sementara itu, Abu al-‘Ainain menyatakan bahwa metode, materi, dan tujuan merupakan hal yang integral (takamul), yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, artinya untuk menentukan sebuah metode, tergantung kepada materi dan tujuan yang diharapkannya. Metode pendidikan yang berfungsi sebagai pengantar untuk sampai kepada tujuan dapat dikatakan baik menurut filsafat pendidikan Islam apabila memenuhi beberapa ciri sebagai berikut. 1. Metode pendidikan Islam harus bersumber dan diambil dari jiwa ajaran dan akhlak Islam yang mulia. Ia merupakan hal yang integral dengan materi dan tujuan pendidikan Islam. 2. Metode pendidikan Islam bersifat luwes, dan dapat menerima perubahan dan menyesuaikan dengan keadaan dan suasana proses pendidikan. 3. Metode pendidikan Islam senantiasa berusaha menghubungkan antara teori dan praktik, antara proses belajar dan amal, antara hafalan dan pemahaman secara terpadu. 4. Metode pendidikan Islam menghindari dari cara-cara mengajar yang bersifat meringkas, karena ringkasan itu merupakan sebab rusaknya kemampuan-kemampuan ilmiah yang berguna.

30 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003), Cet. III, h. 3.

28

5. Metode pendidikan Islam menekankan kebebasan peserta didik untuk berdiskusi, berdebat, dan berdialok dengan cara yang sopan dan saling menghormati. 6. Metode pendidikan Islam juga menghormati hak dan kebebasan pendidik untuk memilih metode yang dipandangnya sesuai dengan watak pelajaran dan peserta didik itu sendiri.31

Dalam literatur kependidikan, menurut Abudinnata, paling tidak ditemukan tiga bentuk metode pembelajaran, yaitu metode pembelajaran yang berpusat pada pendidik (teacher centered), metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered), dan metode pembelajaran yang berpusat pada pendidik dan peserta didik sekaligus (teacher and student centered).32 Metode pembelajaran model pertama adalah cara pembelajaran yang menempatkan pendidik sebagai pemberi informasi, pembina, dan pengarah satu-satunya dalam aktifitas pendidikan. Konsekuensi dari model ini adalah seorang pendidik mencukupkan dirinya pada penguasaan bahan pelajaran semata, tanpa harus mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam bahan pelajaran yang dapat disampaikan kepada peserta didik. Dalam pandangan Mochtar Buchori, seorang guru dalam posisi ini adalah seorang pengajar, bukan pendidik. Ia lebih terpaku pada aspek pengajaran dari pada pendidikan. Ia dengan kemampuannya bermaksud pamer pengetahuan. Kalau ini yang terjadi, hasil yang diperoleh adalah peserta-peserta didik yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup mantap kepribadiannya.33 Model metode pembelajaran kedua yaitu yang berpusat pada peserta didik merupakan metode yang berupaya memberikan rangsangan, bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada peserta didik agar terjadi proses belajar. Yang terpenting dalam metode model ini adalah bukan hanya pendidik

31 Toto , Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, h. 134- 135. 32 Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), Cet. I, h. 202. 33 Mochtar Buchori, Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), Cet. I, h. 30.

29

menyampaikan bahan pelajaran, melainkan juga bagaimana peserta didik mempelajari bahan pelajaran sesuai dengan tujuan. Menurut Noeng Muhadjir, di dalam model ini, peserta didik diberi kesempatan seluas mungkin untuk menyerap informasi, mengahayati sendiri peristiwa yang terjadi dan melakukan langsung aktifitas operasional belajarnya. Dengan pemberian kesempatan yang luas ini, yang terjadi adalah kontrak belajar dari peserta didik kepada pendidiknya. Pendidik harus melaksanakan kontrak ini. Sedangkan metode pembelajaran model ketiga berupaya memadukan dua model di atas. Di dalam metode model ini, yang terjadi adalah interaksi antara pendidik dan peserta didik. Proses pendidikan tidak selalu didominasi oleh pendidik atau peserta didik semata, tetapi keduanya memiliki peran dan andil yang sama. Oleh karena mendapat kedudukan yang sama, baik pendidik maupun peserta didik disebut subjek pendidikan, keduanya berada dalam satu konteks interaktif, yaitu bagaimana guru mengajar dan siswa belajar dengan aksentuasi pada proses belajar peserta didik. Dari ketiga model pembelajaran di atas, filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya menghendaki model ketiga. Dengan melihat enam ciri metode yang baik dalam pendidikan Islam, pendidik dan peserta didik mendapat kedudukan yang terhormat. Di satu sisi metode pendidikan Islam menekankan kebebasan peserta didik untuk berdiskusi, berdebat, dan berdialok dengan cara yang sopan dan saling menghormati, tetapi pada sisi yang lain metode pendidikan Islam juga menghormati hak dan kebebasan pendidik untuk memilih metode yang dipandangnya sesuai dengan watak pelajaran dan peserta didik itu sendiri. Filsafat pendidikan Islam menghendaki metode pendidikan yang memadukan antara pertimbangan pendidik dan peserta didik sekaligus.

Dalam kaitan itu, Abdur Rahman al-Nahlawi menyebutkan sejumlah metode pendidikan yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut.

1. Metode pendidikan dengan percakapan (hiwar) qur’ani dan nabawi.

30

2. Metode pendidikan dengan kisah qur’ani dan nabawi. 3. Metode pendidikan melalu perumpamaan (amsal). 4. Metode pendidikan dengan teladan yang baik (uswah hasanah). 5. Metode pendidikan dengan latihan dan pengamalan. 6. Metode pendidikan pelajaran (‘ibrah) dan peringatan (mau’izah). 7. Metode pendidikan dengan membuat senang (targhib) dan membuat takut (tarhib).34

Sementara itu, al-Syaibani menyebutkan beberapa metode umum pendidikan Islam yang secara historis telah dipraktikkan kaum muslim, yaitu metode deduktif, metode perbandingan, metode kuliah, metode dialok dan perbincangan, serta beberapa metode khusus seperti metode lingkaran (halaqoh), metode riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode imla, metode hafalan, metode pemahaman dan metode lawatan (rihlah ilmiyah).35 Pada kesempatan lain, Abu al-‘Ainain menyebutkan sebelas metode pendidikan dalam al-Qur’an, yaitu metode pengamalan dan pengalaman, metode penggunaan akal, metode teladan yang baik, metode amal ma’ruf nahi munkar, metode nasihat dan peringatan, metode perumpamaan dan persamaan, metode membuat senang (targhib), membuat takut (tarhib), ganjaran (sawab) dan hukuman (‘iqab), metode menanamkan kebiasaan, metode mengeluarkan segala kesanggupan, dan metode peristiwa yang terjadi.

Dari beberapa metode yang dikemukakan para pakar pendidikan Islam di atas, yang perlu diperhatikan adalah tidak ada satu metode pun yang dapat dipandang ideal untuk semua tujuan pendidikan, semua mata pelajaran dan semua suasana dan aktifitas pendidikan. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari untuk melakukan penggabungan berbagai metode dalam praktiknya di lapangan. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah: pertama,

34 Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam Dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: Diponegoro, 1989), Cet. I, h. 283-284. 35 Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 560-561.

31

metode itu dapat membentuk manusia didik menjadi hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya semata; kedua, metode itu mengandung nilai edukatif yang mengacu kepada petunjuk al-Qur’an dan sunnah; dan ketiga, metode itu berkaitan dengan motifasi dan kedisiplinan yang sesuai dengan ajaran Islam. Inilah beberapa pemikiran filosofis pensisikan Islam mengenai metode yang dapat digunakan dalam aktifitas pendidikan.

F. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan merupakan masalah sentral dalam pendidikan. Tanpa tujuan, semua usaha pendidikan yang dilakukan akan berakhir dengan kegagalan atau mungkin tersesat dan salah langkah. Oleh karena itu, perumusan tujuan pendidikan yang tegas dan jelas merupakan inti dari seluruh pemikiran pedagogis dan perenungan filosofis.36 Sebelum merumuskan pendidikan Islam, perlu dipahami terlebih dahulu hakikat pendidikan Islam. Sebab, pemahaman terhadap hakikat pendidikan Islam akan memberikan dasar filosofis untuk merumuskan tujuannya. Dalam konsepsi Islam, pendidikan merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan. Kedewasaan dalam bentuk akal, mental, maupun moral dalam rangka menjalankan fungsi kemanusiaan sebagai seorang hamba dan duta Allah di alam semesta. Pendidikan Islam bukan hanya sekedar transfer of knowledge ataupun transfer of training, melainkan lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas fondasi keimanan dan kesalehan. Konsepsi pendidikan Islam juga tidak hanya melihat pendidikan sebagai upaya mencerdaskan semata (pendidikan intelek), tetapi sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakikat eksistensinya. Berangkat dari uraian diatas, pendidikan Islam haruslah berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspek sebagai berikut: 1. Tujuan dan tugas hidup manusia Manusia hidup bukan kerena kebetulan, melainkan ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Tujuan diciptakan

36 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 117-118.

32

manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Indikasi tugasnya berupa ibadah (‘abda Allah) dan tugas sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifah Allah).37 Sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan sekalian alam”. QS. Al-An’am:162. 2. Memerhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia Yaitu, konsep tentang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai berbagia potensi bawaan, seperti fitrah, bakat, minat, sifat, dan karakter yang berkecenderungan pada al-hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam (QS.al-Kahfi:29) sebatas kemampuan, kapasitas, dan ukuran yang ada.38 3. Tuntutan masyarakat Tuntutan ini berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat. Selain itu, pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dunia modern. 4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam Kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dinia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat. Selain itu, mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan sehingga manusia dituntut agar tidak tarbelenggu oleh rantai kekayaan diniawi atau materi yang dimiliki. Namun demikian, kemelaratan dan kemiskinan dunia harus diberantas sebab kemelaratan dunia bisa menjerumuskan manusia pada kekufuran.

Adapun arah dari pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang cerdas. Dengan kecerdasannya, manusia dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama. Dalam kaitan

37 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2008), h. 71-72. 38 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Khusna, 1989), h. 34.

33

ini, al-Attas mengatakan bahwa tujuan pensisikan yang penting harus diambil dari pandangan hidup. Jika pandangan hidup itu Islam, tujuannya adalah membentuk manusia yang sempurna (insan kamil) menurut Islam.39 Sejalan dengan pernyataan al-Attas, al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan pendidikan harus sesuai dengan pandangan hidup dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya untuk memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dan pendidikan mestinya menjadi kebudayaan masyarakat (Indonesia khususnya) yang membina dan mengembangkan secara intensif, keterampilan (khusus) hidup, nilai-nilai hidup, dan pandangan hidup seseorang untuk mengembangkan peradaban, disamping memenuhi kebutuhan pembangunan dan profesionalisme.

Dengan demikian, konsep dasar dan tujuan pendidikan dalam Islam harus dilandaskan kepada pola pikir, atau sudut pandang yang Islami, yaitu sudut pandang yang berprinsip pada al-Qur’an dengan pola menurut yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sebab, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya. Juga, hamba yang dapat mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Ali Imaran: 2 sebagai berikut:

      

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.

Tujuan pendidikan Islam adalah suatu kondisi ideal dari objek didik yang akan dicapai, yaitu kemana seluruh kegiatan dalam sistem pendidikan diarahkan. Segala gagasan untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam haruslah memperhitungkan bahwa kedatangan Islam adalah permulaan baru

39 Naquib al-Attas, Ilmu Pendidikan Islam : Pengembanga Pendidikan Integrative di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 27.

34

bagi manusia. Islam datang untuk memperbaiki keadaan manusia, menyempurnakan utusan-utusan (anbiya) Tuhan sebelumnya, dan dalam rangka mencapai kesempurnaan agama seperti firman Allah SWT dalam QS. Al-Ma’idah ayat 3 yang berbunyi:

          …

...  

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu…

Berpijak pada ayat tersebut, Hasan Langgulung menyimpulkan bahwa tujuan utama atau akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, ruh dan jasmani, kemauan yang bebas dan akal.40 Lebih mendalam terkait tujuan pendidikan Islam, para ahli pendidikan telah memberikan rumusan yang berbeda-beda. Menurut Abdul ar-Rahman an-Nawawi, tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan pikiran manusia dan mengatur tingkah laku, serta perasaan mereka berdasarkan Islam yang dalam proses akhirnya bertujuan untuk merealisasikan ketaatan dan penghambaan kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.41 Tidak jauh berbeda, Abdul Fattah Jalal menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia yang mampu beribadah kepada Allah, baik dengan pikiran, amal, maupun perasaan.42

40 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), h. 67. 41 Abdurrahman An Nahlawi, op. cit., h. 162. 42 Abdul Fattah Jalal, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), h. 119.

35

Menurut Rahman, tujuan pendidikan Islam adalah untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran al-Qur’an.43 Kemudian, menurut Athiya al-Abrasy, tujuan yang paling asasi dari pendidikan Islam setidaknya ada lima hal sebagai berikut: 1. Untuk membantu pembentukan makhluk yang mulia. 2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. 3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. 4. Menumbuhkan ruh ilmiah (scientific spirit) pada belajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu. 5. Menyiapkan pelajar dari segi profesional; teknis dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi tertentu, supaya ia dapat mencari rizeki dalam hidup dan hidup dengan mulia di samping memelihara segi keruhanian dan keagamaan.44 Sementara, Hasan Langgulung telah meringkas tujuan pendidikan Islam menjadi dua hal. Pertama, pembentukan insan yang saleh. Insan saleh adalah manusia yang mendekati kesempurnaan, yaitu pengembangan manusia yang menyembah dan bertakwa kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana ddalam firman-Nya, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku” (QS. Al-Dzariyat:56). Dengan kata lain membentuk manusia yang penuh keimanan dan takwa, berhubungan dengan Allah memelihara dan menghadap kepada-Nya dalam segala perbuatan dan segala tingkah laku serta segala pikiran yang tergores di hatinya dan segala perasaan yang berdetak di jantungnya. Kedua, pembentukan masyarakat yang saleh. Masyarakat saleh adalah masyarakat yang percaya bahwa ia mempunyai risalah (message) untuk umat manusia, yaitu risalah keadilan, kebenaran, dan kebaikan. Risalah tersebut

43 Muhaimin, dkk., Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999), h. 110. 44 Athiya al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 1-4.

36

adalah sebuah risalah yang akan kekal selamanya, tidak terpengaruh factor waktu dan tempat.45 Dalam perumusan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. 2. Sifat-sifat dasar manusia. 3. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan. 4. Dimensi-dimensi kehidupam Islam46

Secara praktis, Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu:

1. Membentuk akhlak mulia 2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat 3. Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya 4. Menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik 5. Mempersiapkan tenaga profesional yang trampil47

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna(insan al-kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral untuk terbinanya kehidupan yang harmonis, baik dunia maupun akhirat.

G. Kurikulum Pendidikan Untuk dapat mencapai tujuan-tujuan sebagaimana diharapkan, pendidikan harus didukung oleh perencanaan yang seksama. Perencanaan

45 Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1991), cet. I, h. 296-297. 46 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 33-34. 47 Mohammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 1-4.

37

mencakup keseluruhan aspek. Mulai dari sejumlah materi yang harus diajarkan dalam proses pendidikan sampai pelaksanaan evaluasi. Dengan adanya perencanaan, kegiatan pendidikan akan lebih terarah dan pada akhirnya diharapkan akan dapat mencapai tujuan secara maksimal. Tahap perencanaan, pelaksanaan, samapai evaluasi dalam pendidikan sering disebut dengan “kurikulum pendidikan”. Kurikulum merupakan salah satu komponen pokok dalam pendidikan. Kurikulum terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait. Komponen kurikulum dalam pendidikan sangat penting artinya karena kurikulum merupakan perangkat dasar untuk operasionalisasi tujuan yang diinginkan. Bahkan, tujuan dalam pendidikan tidak dapat tercapai secara maksiamal tanpa adanya keterlibatan kurikulum pendidikan. Paling tidak, komponen kurikulum terdiri dari tujuan, struktur program, strategi pelaksanan yang menyangkut sistem pelaksanaan pembelajaran, penilaian hasil belajar, bimbingan penyuluhan, administrasi dan supervise pendidikan.48

Pada hakikatnya, kurikulum adalah seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Akan tetapi, pengertian kurikulum sebenarnya sangat beragam dan mencakup berbagai dimensi. Selain pengertian yang bersifat general tersebut, kurikulum juga dapat diartikan sesuai dengan fungsinya. Pertama, kurikulum sebagai program study. Dalam pengertian ini, kurikulum adalah seperangkat mata pelajaran yang dipelajari peserta didik di sekolah atau dilembaga pendidikan yang lain. Kedua, kurikulum sebagai konten. Dalam pengertian ini, kurikulum adalah data atau informasi yang tertera dalam buku-buku atau refrensi yang lain yang memungkinkan timbulnya proses pembelajaran. Ketiga, kurikulum sebagai kegiatan berencana. Dalam dunia pendidikan, kegiatan harus direncanakan secara sistematis untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Perencanaan secara sistematis ini juga disebut dengan kurikulum. Keempat, kurikulum sebagai hasil belajar. Maksudnya adalah seperangkat tujuan yang utuh untuk memperoleh suatu hasil tertentu yang digunakan untuk memperoleh hasil belajar yang telah direncanakan dan diinginkan. Kelima, kurikulum sebagai

48 Sudirman, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Karya, 1989), h. 114.

38

reproduksi kultural. Jika kita cermati, salah satu unsur yang terdapat dalam praktik pendidikan adalah proses transformasi. Proses pembelajaran merupakan proses transfer dan refleksi butir-butir kebudayaan masyarakat agar dimiliki dan dipahami anak-anak generasi muda. Keenam, kurikulum sebagai pengalaman belajar yaitu pengalaman belajar yang direncanakan di bawah pimpinan penyelenggara pendidikan. Ketujuh, kurikulum sebagai produksi, yaitu seperangkat tugas yang harus dilakukan untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu.49 Berdasarkan pengertian di atas, dapat digeneralisasikan bahwa pengertian kurikulum adalah kegiatan yang mencakup berbagai rencana kegiatan peserta didik yang terperinci berupa bentuk-bentuk bahan pendidikan, saran-saran, strategi pembelajaran, dan mengatur program agar dapat diterapkan serta hal- hal yang mencakup kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan. Ditinjau dari sifat fungsinya, kurikulum memiliki empat fungsi utama. Pertama, sebagai alat untuk mencapai tujuan dan untuk menempuh harapan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Kedua, sebagai pedoman dan program yang harus dilakukan oleh subjek dan objek pendidikan. Ketiga, sebagai kesinambungan untuk persiapan pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan tenaga kerja bagi yang tidak melanjutkan. Keempat, sebagai standar dalam penilaian kriteria keberhasialan suatu proses pendidikan atau sebagai batasan dari program kegiatan yang akan dijalankan pada caturwulan, semester, maupun pada tingkat pendidikan tertentu.50 Dengan memperhatikan berbagai pendapat tentang kurikulum di atas, dapat disimpulkan bahwasanya kurikulum adalah bagian penting dalam dunia pendidikan. Tanpa adanya kurikulum, pendidikan akan berjalan tanpa arah. Dalam kerangka makna penting kurikulum inilah, manusia yang berada dalam dunia pendidikan dituntut untuk senantiasa tanggap terhadap dinamika yang ada. Kurikulum seharusnya disusun berdasarkan kebutuhan konkret

49 Muhammad Anshar, Dasar-Dasar Perkembangan Kurikulum, (Jakarta: Depdikbud Dirjen PT. PPLPTK, 1989), h. 8-10. 50 Zuhri, Pengorganisasian, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, ( Jakarta: Dermaga, 1986), h. 3.

39

yang ada di masyarakat. Kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan berimplikasi pada lemahnya kemampuan peserta didik dalam berinteraksi dan berdialektika dalam kehidupan konkret. Oleh karena itu, wajar bahkan sebuah keharusan jika kurikulum mengalami perubahan. Namun, perubahan kurikulum seharusnya mempertimbangkan berbagai aspek secara lebih utuh. Dengan demikian, pergantian kurikulum tidak sekedar bentuk formalnya saja, akan tetapi substansinya tidak ada perubahan sama sekali. Ini tidak boleh terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, kurikulum dalam dunia pendidikan Islam mengalami perubahan, mulai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Perubahan ini seyogyanya disambut dengan penuh antusias tanpa melepaskan diri dari sikap kritis. Artinya, KTSP yang kini berlaku sehausnya mampu meniingkatkan kualitas pembelajaran secara khusus dan hasil pendidiakan secara umum. Impelementasi KTSP harus dilaksanakan secara maksimal. Berbagai kelemahannya harus dicarikan jalan pemecahannya, sebab memang tidak ada kurikulum yang sempurna.51

51 As’aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Konstektual, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, h. 93.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dan waktu penelitian ini ialah bertempat di Jakarta, Jombang dan Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan ketikan saya semester enam, tujuh dan delapan.

B. Metode Penelitian Pada penyusunan skripsi ini saya menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yaitu dengan melakukan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan berupa rekaman suara dari orang atau perilaku yang dapat diamati. Untuk memahami penelitian kualitatif perlu kiranya dikemukakan beberapa definisi di antaranya : Pertama, metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Kedua, penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang ditujukan untuk mendeskriptifkan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.1 Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah, cara menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang diamati, dengan desain penelitiannya deskriptif analisis, yaitu kegiatan penelitian yang pencarian faktanya dengan mengembangkan teori-teori yang ada serta mengadakan pengamatan langsung dilapangan mengenai objek yang akan diteliti.

1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007), Cet. III, h. 60.

40

41

C. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data-data penelitian dilakuakn melalui: 1. Wawancara Wawancara digunakan dalam penelian ini untuk mencari informasi tentang pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam. Teknik yang digunakan ialah wawancara tidak berstruktur (unstructured interview). Wawancara tidak berstruktur, adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.2 Wawancara dilakukan secara langsung dengan Emha Ainun Nadjib. 2. Observasi Obserfasi yang peneliti gunakan ialah obserfasi partisipasi moderat (moderate participation), dalam observasi ini terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dengan orang luar. Peneliti dalam mengumpulkan data ikut observasi partisipatif dalam beberapa kegiatan, tetapi tidak semuanya.3 3. Dokumentasi Dokumentasi data-data yang diperlukan adalah buku-buku mengenai Emha Ainun Nadjib, karya-karya Emha Ainun Nadjib dan berkas-berkas lain yang berkaitan dengan pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam. Dokumen ini digunakan untuk melengkapi data-data hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu melalui wawancara.

D. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan diolah dan dianalisa sesuai dengan jenis data yang terkumpul, yaitu dengan menggunakan metode deskriptif analisis,

2 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: ALFABETA, 2011), Cet. XIII h. 320. 3 Ibid., h. 312. 42

yaitu suatu teknik analisis data dimana peneliti terlebih dahulu memaparkan semua data yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan kemudian menganalisanya dengan berpedoman kepada sumber-sumber yang tertulis.

BAB IV BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN EMHA AINUN NADJIB TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

A. Biografi (Perjalan Hidup) Emha Ainun Nadjib Muhammad Ainun Nadjib lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 27 Mei 1953, anak keempat dari lima belas orang bersaudara. Muhammad disingkat menjadi “M.H.” yang pada akhirnya menjadi “Emha.” Dia juga dikenal sebagai “Cak Nun.” “Cak” adalah panggilan akrab, namun hormat untuk abang atau saudara tua laki-laki.1 Bersama istri (Novia Kolopaking) dan empat orang putranya (Sabrang, Hayya, Jembar, dan Rampak), Cak Nun bertempat tinggal di Yogyakarta tepatnya di Jl. Barokah 287 Kadipiro, Yogyakarta. Sebuah rumah yang sekaligus berfungsi sebagai pusat kesekretariatan Cak Nun dan Kiai Kanjeng. 2Emha lahir sebagai rakyat jelata anak dari pasangan Muhammad Abdul Lathif dan istrinya Chalimah. Menggambarkan orang tuanya Emha berkata: ”ayah saya adalah petani dan kiai yang mempunyai sebuah surau, tetapi dia adalah pemimpin masyarakat, tempat bertanya,dan mengadu orang desa untuk berbagai masalah yang mereka hadapi. Begitu pula ibu saya. Semua masalah yang tidak dapat mereka pecahkan mereka ajukan ke orangtua saya untuk dipecahkan. Bahkan ketika saya masih dalam buaian, dan kemudian menjadi anak kecil, saya seringkali dibawa ibu mengunjungi para tetangga untuk menanyakan apa yang mereka masak, apakah mereka menyekolahkan anak- anak mereka, dan banyak masalah lain. Pengalaman ini membentuk kesadaran dan sikap sosial saya, dan nilai-nilai kami di dasarkan pada agama karena ajaran kunci dalam Islam adalah menolong sesama manusia dari kemiskinan dan membuat mereka mampu berfungsi sebagai manusia seutuhnya”.3

Emha menghabiskan masa kanak-kanaknya di desa Menturo, Jombang Jawa Timur, daerah yang berbeda dari Jombangnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nur Cholis Madjid, intelektual muslim dan pendiri Paramadina. Dari sinilah Emha mulai memasuki dunia, mengembangkan gagasan social, intelektual,

1 Ian L. Betts, Jalan Sunyi Emha, (Jakarta: Kompas, 2006), Cet. I, h. 1. 2 Emha Ainun Nadjib, Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki, (Jakarta: Kompas, 2007), Cet. IV, h. 258. 3 Betts. loc. cit.

43

44

kultural, dan spritualnya. Emha bersyukur karena dilahirkan sebagai anak desa. Posisi inilah yang mengajarkan kepadanya pelajaran mengenai kesederhanaan, keluguan dan kebijakan dalam hidup. Seperti yang dikatakan Emha: “Saya banyak belajar dari orang-orang desa yang dalam hati mereka adalah petani. Mereka hanya makan dan menanam, mereka menanam sesuai dengan apa yang mereka kerjakan, tanpa embel-embel apapun. Mereka menggunakan karya sebagai orientasi hidup mereka. Mereka tidak pernah mencoba mengendalikan dan mengeksploitasi alam dan sesama manusia. mereka tegar sambil menderita. Saya benar-benar iri terhadap kualitas hidup mereka.”4

Emha memandang peran sosialnya sebagai hal yang wajar dalam kehidupan yang dibebani kewajiban untuk bekerja; beerja secara fungsional yang berarti bagi rakyat, buka sebagai karier. Makna ini, menurut Emha, dapat mengambil bentuk sebagai pemihakan pada si lemah dan orang-orang yang dilemahkan oleh rekayasa sesama mereka.5 Dalam hal menulis, Cak Nun berprinsip menulis bukanlah untuk menempuh karier sebagai penulis, melainkan untuk keperluan-keperluan sosial. Dengan prinsip itu, Cak Nun justru telah menghasilkan sangat banyak tulisan, mulai dari puisi, esai, artikel, naskah drama, cerpen, makalah hingga buku.6 Pendidikan formal Emha berakhir pada semester satu pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sebelumnya ia pernah dikeluarkan dari Madrasah Pondok Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur, sebelah selatan Madiun, Jawa timur, (sebagai ancar-ancar, lihat Solo, Jawa Tengah, kota yang lebih terkenal di dunia internasional) di tahun ketiga masa belajarnya karena memimpin demonstrasi melawan satpam sekolah. Kemudian ia pindah ke Yogyakarta tempat ia menamatkan SMA Muhammadiyah. Menarik untuk dicatat, walaupun Emha dilahirkan dalam lingkungan yang didominasi NU, ia menamatkan pelajarannya di Muhammadiyah. Sudah cukup banyak ditulis orang mengenai pengaruh NU (Nahdlatul Ulama atau kebangkitan para ulama) dan Muhammadiyah. Cukuplah dikatakan disini bahwa kedua gerakan massa Muslim yang besar ini amat penting bagi perkembangan Islam modern di Indonesia. Kelahiran NU seakan hendak

4 Ibid., h. 8. 5 Ibid. 6 Emha Ainun Nadjib, Demokrasi La Roiba Fih, (Jakarta: Kompas, 2009), Cet. II, h. 282.

45

menegaskan eksistensi pesantren dalam ranah kebangsaan dan kenegaraan kita.7 Sedangkan kelahiran Muhammadiyah dilatarbelakangi oleh situasi sosial masyarakat Islam yang terpuruk sebagai akibat dari kolonialisme Barat dan sebab- sebab internal seperti kemurnian akidah, rasionalitas yang hilang serta pendidikan yang rendah.8 Selama lima tahun antara 1970-1975 Emha tinggal menggelandang di jalan Malioboro Yogyakarta, sambil mempelajari sastra dari seorang guru yang dihormatinya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat berpengaruh terhadap Emha. Kehidupan menggelandangnya tersebut diungkapkan pada karya puisinya Antara Tiga Kota, sebagai berikut: Antara Tiga Kota di yogya aku lelap tertidur angin di sisiku mendengkur seluruh kota pun bagai dalam kubur pohon-pohon semua mengantuk di sini kamu harus belajar berlatih tetap hidup sambil mengantuk kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga ? Jakarta menghardik nasibku melecut menghantam pundakku tiada ruang bagi diamku matahari memelototiku bising suaranya mencampakkanku jatuh bergelut debu kemanakah harus juhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga surabaya seperti ditengahnya tak tidur seperti kerbau tua tak juga membelalakkan mata tetapi di sana ada kasihku yang hilang kembangnya jika aku mendekatinya kemanakah haru kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga ?9

7 Departemen Agama RI, Jejak Langkah NU & Muhammadiyah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), Cet. I, h. 32. 8 Ibid, hal. 92. 9 http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-emha- ainun-nadjib. Di akses pada tanggal 16 bulan November tahun 2014.

46

Malioboro adalah jalan induk Yogyakarta yang sekarang merupakan pusat industri turisme di sana. Lapak pasar yang berwarna-warni berjajar di kedua tepi jalan. Orang dapat membeli beragam hasil seni dan kerajinan jawa, termasuk batik dan pakaian khas jawa. Yogyakarta sekarang merupakan tempat kediaman Emha dan pangkalan bagi Kiai Kanjeng. Kemudian Emha mulai berkarya melalui multi-media seni Yogyakarta bersama-sama dengan sesama aktivis, Halim HD. Ia bekerja dengan Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan serta mementaskan repertoir yang cukup banyak. Lakon-lakon ini mencakup Geger Wong Ngoyak Macan (1989, karikatur pentas mengenai pemerintahan Raja Soeharto), patung kekasih (1989, mengenai maraknya kultus individu), Keajaiban Lik par (1980, mengenai eksploitasi terhadap rakyat oleh berbagai lembaga modern) dan Mas Dukun (1982, mengenai kegagalan lembaga-lembaga kepemimpinan modern). Kemudian, dengan kelompok Teater Salahudin, ia menghasilkan Santri- Santri Khidir, 1990, yang dipentaskan di lapangan Pesantren Gontor dengan mengikutsertakan semua santri dan penonton yang berjumlah sekitar 35.000. Sekali lagi di tahun 1990 ia menghasilkan Lautan Jilbab yang banyak dipentaskan di Yogyakarta, Surabaya, Makassar (waktu itu masih bernama Ujung Pandang). Lakon ini merupakan salah satu karyanya yang paling terkenal, dan kalau kita mencari data tentang Emha melalui internet mungkin sekali kita akan mendapatkan jawaban dengan referensi mengenai karya ini lebih banyak daripada mengenai karya-karyanya yang lain.10 Tahun 1992 ia menghadirkan Perahu Retak. Ini membahas situasi Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru-nya Soeharto, tetapi settingnya adalah konflik- konflik di masa menjelang bangkitnya kemaharajaan Mataram. Dalam tahun 1993 muncul Sunan Sableng dan Baginda Faruq. Dia juga banyak menerbitkan buku, termasuk Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan dan lain sebagainya. Bersama dengan buku-buku ini terbit pula 16 jilid puisi dan paling sedikit 30 koleksi esai.

10 Ibid., h. 2.

47

Emha juga berperanserta dalam teater multi kultural di Filipina (1980), the international Writing Program, Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), The International Songwriters Festival, Rotterdam (1984), dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Emha masih sering menceritkan peristiwa- peristiwa lucu waktu dia di Belanda, tidur dan shalat di mana dia dapat kesempatan, sering kali di gereja-gereja. Pengalaman ini memberikan sumbangan bagi pluralism yang di kemudian hari dikembangkannya sebagai bagian dari Kenduri Cinta.11 Sudah barang tentu Emha juga bekerja langsung di tengah-tengah rakyat dan mengerjakan kegiatan kesenian yang sangat beragam. Ia aktif dalam pemikiran keagamaan, pendidikan politik, sinergi ekonomi dan pemberdayaan rakyat, kesemuanya dirancang untuk menstimulasi potensi rakyat ke tingkat optimal. Di samping pertemuan bulanan rutin dengan komunitas Padhang Mbulan di sejumlah kota besar, ia juga diminta berpentas oleh komunitas kecamatan di seluruh Indonesia. Dengan cara ini ia pada umumnya manggung sekitar 10-15 kali perbulan, diiringi musik Kiai Kanjeng, dan juga sering kali tampil secara pribadi, pada umumnya dilapangan, melayani rakyat dari berbagai tingkat dan strata. Dalam acara seperti ini Emha mengumpulkan semua kelompok, aliran pemikiran, dan komunitas agama untuk menggalakkan solidaritas kemanusiaan dan kebersamaan. Bersama Kiai Kanjeng, terhitung dari tahun ke-6 berdirinya (juni 1998) hingga Desember 2006, Cak Nun telah mengunjungi lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1.430 kecamatan, dan 1.850 desa di seluruh pelosok Indonesia. Belakangan Cak Nun dan Kiai Kanjeng juga kerap diundang ke berbagai belahan dunia, di antaranya tur 6 kota di Mesir, tur di Malaysia, dan rangkaian tur Eropa: Inggris, Jerman, Skotlandia, dan Italia. Maret 2006 lalu Cak Nun dan Kiai Kanjeng diundang ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Akhir 2006, melakukan serangkaian perjalanan di Finlandia dalam acara Amaizing Asia dan Culture Forums atas undangan Union for Christian Culture.12

11 Ibid., h. 3. 12 Emha Ainun Nadjib, Tuhan Pun Berpuasa, (Jakarta: Kompas, 2012), Cet. III, h. 236.

48

Saya sering kali takjub memikirkan bagaimana pertemuan sosial secara masal ini sebenarnya berlangsung, dan bagaimana kumpulan orang yang begitu banyak nyata-nyata dapat tergerak hatinya oleh kata-kata orang ini. Saya menjadi tahu bahwa Emha melakukan dekonstruksi atas pemikiran, nilai, cara berkomunikasi, metode kontak kultural, pendidikan dan cara berpikir yang sudah mengakar, dan juga menyarankan berbagai solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi oleh komunitas yang dihadapinya. Proses dekonstruksi inilah yang memungkinkan Emha menghasilkan transformasi perubahan posisi, sikap atau pendirian yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Pernyataan berikut dari seorang pengamat Malaysia memberikan pengertian yang lebih mendalam atas masalah ini, “seniman yang kreatif dipaksa untuk berpikir sensitif dalam memberikan makna terhadap karyanya agar karya tersebut tidak begitu saja dicampakkan orang. Disinilah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun membuktikan dirinya bahwa dia cakap berakomondasi tanpa mengorbankan visi artistik dan sosialnya (karena itu karya-karyanya menyentuh) jauh ke dalam hati masyarakat miskin, tetapi sangat religious, yang terbelakang dan menderita sehari-hari. Emha telah mengabil posisi kultural yang tidak lazim. Keberhasilan dalam memberikan inspirasi kepada imajinasi massa untuk bertahan hidup dalam perjuangan mereka, dan selanjutnya berusaha memberikan pencerahan kapada rakyatnya, telah menjadikan keberadaan Emha sebuah gejala dalam kebudayaan Indonesia, sebuah alternatif segar bagi kita untuk memahami karakter tetangga kita dari Yogyakarta ini.” Dalam perbincangan Ian L. Betts bersama Emha, Ian menanyakan kepada Emha, mengapa ia belum diterima oleh mainstream Indonesia (sebagaian besar dari orang-orang berpengaruh yang menentukan hitam putihnya bangsa Indonesia), Emha menjawab “ Tentara Fretilin di Timor Timur bertahan hidup di hutan selama tiga puluh tahun dalam perjuangan mereka untuk memerdekakan Timor Timur. Mereka menderita kelaparan dan asma, dan badan mereka rusak. Setelah Timor Timur merdeka mereka tidak saja ditolak bergabung dengan tentara

49

regular, tetapi juga dihindari oleh orang karena mereka dianggap sampah, busuk, dan kuno.13 B. Pendapat Para Ahli Tentang Emha Ainun Nadjib 1. KH. A. Mustofa Bisri atau akrab dipanggil Gus Mus pengasuh Ponpes Roudlotul Tolibin menyatakan sebagaimana dikutip Ian L. Betts, mengutarakan: Cak Nun itu ialah wakil rakyat tanpa dewan, pemberontak tanpa senjata (santri tanpa sarung; haji tanpa peci; kiai tanpa sorban; dai tanpa mimbar; mursyid tanpa tarekat; sarjana tanpa wisudah; guru tanpa sekolahan; aktivis tanpa LSM; pendemo tanpa spanduk; politisi tanpa partai; wakil rakyat tanpa dewan; pemberontak tanpa senjata; ksatria tanpa kuda; saudara tanpa hubungan darah), Cak Nun agaknya memang diselubungi Tuhan, kadang-kadang bahkan para pemujanya. Alluhumma adim ‘izzahu.14

2. Taufik Ismail menyatakan sebagaimana dikutip Ian L. Betts, mengutarakan: Mengomentari Cak Nun dengan istilah “Selalu kerangka kepentingan rakyat”. Saya sangat kagum dan respek dengan produktivitas pemikirannya yang tampak dari begitu banyak puisi dan juga buku- bukunya. Pemikirannya selalu dalam kerangka kepentingan rakyat. Pemihakannya pada wong cilik menempatkan dia pada posisi selalu diawasi. Tapi semakin diawasi dan ditekan, semakin produktif, karyanya banyak dan bermutu. Tidak semua seniman, budayawan, dan penyair memiliki kemampuan seperti dia. Mungkin dia memiliki karunia khusus dari Allah. Kelebihannya, dia adalah intelektual yang independen dan tidak terjebak dalam politik kekuasaan. Konsistensi sikapnya hngga kini tetap dipertahankan. Artinya, dia tetap mengambil sikap oposan dalam situasi politik apapun.15

3. H. Ali Mochtar Ngabalin, MA (Komisi Pertahanan DPR, Mantan Ketua PB, Pelajar Islam-PII) menyatakan sebagaimana dikutip Ian L. Betts, mengutarakan: Sungguh saya ingin mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan sosok dan karakter serta kepribadian budayawan seperti Cak Nun, beliau mampu menyampaikan pesan dan kritik baik agama maupun politik dengan sangat luwes, saya juga kenal beliau sebagai seorang humanis yang cepat merespon masalah-masalah kemanusiaan, saya kenal beliau yang memiliki wawasan kebangsaan yang baik dan berani

13 Betts, op. cit., h. 3. 14 Ibid., h. 25. 15 Ibid., h. 27.

50

menyampaikan kebenaran dengan penuh kearufan, dia sangat konsisten dan berpihak pada kepentingan umat. Pemikiran Cak Nun tentang kepemimpinan masa depan patut di pelajari.16

4. KH. Hasan Abdullah Sahal (Pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo) menyatakan sebagaimana dikutip Ian L. Betts, mengutarakan: Dia adalah sosok pribadi yang menggoreskan perannya ditengah masyarakat plural, bermodalkan kepribadian yang kuat. Kuat dalam berprinsip, tahan menghadapi cobaan hidup sepahit-pahitnya. Takut hanya kepada Allah dan hanya mengharap Ridha Allah, luas pergaulan tanpa pilih-pilih, khususnya para duafa. Rujukan utama pemikirannya sejalan dengan hobinya sebagai Qori’ di Pondokan Modern Darussalam Gontor. Peka terhadap kemanusiaan, tidak suka pemaksaan oleh dan terhadap siapa pun. Semua orang mempunyai interest untuk menonjolkan diri, cuma cara dan frekuensinya yang terkadang berbeada-beda. Saya melihat interest untuk ke situ kecil sekali dan prosesnya amat sangat wajar sekali, tetapi hasilnya maksimal.17

5. Utomo Dananjaya (Praktisi pendidikan, bekerja di Universitas Paramadina) menyatakan sebagaimana dikutip Ian L. Betts, mengutarakan: Nelayan yang nahas meminta Allah memberikan ikan sekedar untuk makan, tetapi pulang dengan ikan separuh melebihi permintaannya pada Tuhan. Di pantai ia melihat kebakaran, “Rumahmu,” kata temannya. Ia pun menengadah “Hai, Tuhan urusan di laut jangan dibawa-bawa ke darat dong,” katanya jengkel, ohhhh, penonton Paramaswara terpingkal. Ini bukan keberanian Cak Nun menantang Tuhan, ini kelincahan Cak Nun berpikir lateral. Inilah salah satu kepiawaian Cak Nun, paduan cerdas, berani logis, dan indah. Cak Nun mewujudkan mimpiku yang tertunda di Universitas Paramadina dengan Parasmaswaranya.18

C. Pemikian Emha Ainun Nadjib Tentang Pendidikan Islam 1. Media Emha Ainun Nadjib memiliki media tersendiri untuk menyampaikan ilmu dan berdiskusi tentang masalah yang marak sekarang. Media yang digunakan ialah komunitas atau jemaah maiyah. Sebutan Jamaah atau Jemaah ini tidak benar-benar bergerak secara institutif sebagai kelompok eksklusif tertentu. Jemaah ini secara rutin berkumpul dalam forum bersama Cak Nun (

16 Ibid. 17 Ibid., h. 4. 18 Ibid.

51

Emha Ainun Nadjib ). Acara ini mungkin bisa dibilang pengajian, tapi standar yang biasa ditemui dalam sebuah acara pengajian tidak benar-benar menjadi dominan. Sebab di dalamnya lebih banyak mengajarkan semangat hidup, sikap toleran dan hidup bersama dalam kontribusi kebaikan. Jadi boleh juga dibilang bahwa Jemaah Maiyah tidaklah identik sebagai sekumpulan orang Islam saja. Malah seringkali hadir dalam pengajian ini tokoh2 lintas Agama, Aliran, Suku Bangsa, Etnik, LSM, Mahasiswa dalam dan luar negeri, dan lain-lain. Nuansanya sangat berbudaya dan tidak juga serta-merta menjadi sinkretisme.19 Beberapa orang yang pernah hadir dalam acara ini antara lain, Gus Dur, Mbah Surip, Ebiet G. Ade, Ari Lasso, Ahmad Dhani, Muhammad Nuh, Permadi, Ian L. Betts, dan masih banyak lagi. Bahkan banyak kejadian unik, salah satunya hadirnya orang gila yang akhirnya bisa sembuh di salah satu acara Jemaah Maiyah. Dengan gaya bicara khasnya, Cak Nun bilang "Acara ini bukan acara khusus untuk orang Islam, tapi untuk semua manusia yang Islam dan yang tidak Islam, Manusia waras dan manusia yang tidak waras, bahkan Jin, Setan, Dhemit, Gendruwo, kalau memang berminat untuk jadi baik akan disambut dengan tangan terbuka". Jemaah Maiyah memang tidak bisa melepaskan diri dari Cak Nun sebagai figur panutan. Tapi pengkultusan bukan menjadi ideologi masal di Jemaah Maiyah. Jadi meskipun Cak Nun tidak bisa hadir di dalam acara, tetap saja acara bisa berlangsung dengan baik 2. Materi Materi yang disampaikan Cak Nun dalam bukunya Tuhan Pun Berpuasa ialah beberapa hal tentang pendidikan Islam yaitu pertama tauhid, kedua akhlak (Uswatun Khasanah), ketiga penyucian rohani. a. Tauhid Didalam buku Cak Nun terdapat kalimat Tuhan pun berpuasa, itu secara terang-terangan Allah menunjukkan sikap posesif dan kita sebut

19 Prayogi R. Saputra, Spiritual Journey Pemikiran & Permenungan EMHA Ainun Nadjib (Jakarta: Kompas, 2012), h. 29.

52

saja fanatik terhadap ibadah puasa. Allah menyatakan bahwa pekerjaan puasa hamba-hamba-Nya merupakan “milik khusus” di keharibaan-Nya. Kalau pada ibadah-ibadah lain Allah mempersilahkan setiap pelakunya memperoleh pahala, kehormatan, dan manfaat, khusus untuk puasa, Allah bermaksud memonopoli untuk diri-Nya sendiri. Dan Allah sekarang berpuasa untuk tidak menurunkan azab dan nikmat secara seluruhnya kepada hambanya. Cak Nun melihat sikap-Nya itu di beberapa sisi. Benar tidaknya penglihatan saya itu pasti hanya Allah yang mengetahui persis. Saya sekedar menggali, menghayati, dan merasakannya dengan cinta kasih yang saya harapkan bisa menambah pemaknaan puasa, setidak-tidaknya, bagi diri saya sendiri.20 b. Akhlak Dalam kasus simbolisme budaya sehari-hari, banyak santri yang menyembunyikan kesantriannya dengan sengaja menampilkan diri dengan pakaian dan gaya perilaku yang terkesan tidak khas santri. Jadi batinya santri, tapi fisiknya abangan. Alhasil, tawadhu’, takabbur, kerendahan hati, sikap pamer, uswatun khasanah, ulil khaq walaukanalmuuron, dan lain sebagainyaharus senantiasa kita tempatkan pada konteks dan nuansa yang setepat-tepatnya. Bahkan, kalau ada tamu ke rumahmu, sebaiknya engkau jangan berkhusnudhon dengan menyangkanya punya uang banyak dan pasti ia sudah berbuka puasa. “Curigalah” bahwa ia belum makan dan sediakanlah makanan.21 c. Penyucian Rohani Ada berbagai pendekatan Qur’ani untuk memahami jarak antara puasa dan Idul Fitri. Kita bisa memilih satu dua sudut atau sisi pandang, bisa juga dengan “pendekatan melingkar”. Semacam kemenyeluruhan atau totalitas. Atau yang Qur’an sendiri menyebutkannya kaffah. Kita mungkin bisa berangkat dari salah satu paham bahwa perubahan atau

20 Emha, op. cit., h. 48. 21 Ibid., h. 84.

53

pengubahan yang dilakukan dengan metode laku puasa itu merupakan proses peragian: semacam mengubah ketela menjadi tempe. Menaklukkan gumpalan menjadi cairan. Mentransformasikan dan mentranssubstansikan badan (jisim) menjadi energi (quwwah) dan akhirnya menjadi cahaya (nur).22 3. Evaluasi Dalam evaluasi yang dilakuakan oleh Emha Ainun Nadjib kepada peserta didiknya atau jama’ahnya menggunakan dua metode, yaitu metode sholawatan dan metode muhasabah. Di dalam metode sholawatan, jama’ah akan diajak oleh Cak Nun untuk bersama-sama melantunkan sholawat kepada Rasulullah SAW yang bermaksud untuk menanamkan kecintaan kepada Rasulullah. Kedua muhasabah, muhasabah disini bermaksud untuk menata pikiran dan hati untuk kembali menuju apa-apa yang diridhoi-Nya.23 4. Pendidikan Islam Beribu Pintu Berruang Satu Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sangat penting bagi umat Islam, tanpa adanya pendidikan Islam mustahil orang Islam mengetahui tauhid/akidah, fikih, tasawuf dan ilmu agama Islam lainya.24 Disini penulis akan memaparkan pendidikan Islam menurut Emha Ainun Nadjib, tentang pendidikan Islam beribu pintu berruang satu. Pendidikan Islam beribu pintu berruang satu merupakan pendidikan yang sangat bagus, karena pendidikan ini mencakup seluruh elemen keilmuan Islam yang pada akhirnya seorang muslim dapat menguasai berbagai keilmuan Islam. Pendidikan Islam beribu pintu berruang satu merupakan suatu metode pembelajaran yang sangat ideal dan bertujuan supaya umat Islam dapat mengenal agama Islam lebih menyeluruh. Pendidikan Islam beribu pintu berruang satu, diibaratkan dengan sebuah rumah besar, di rumah besar itu terdapat ribuan pintu dan ketika kita masuk rumah itu hanya terdapat satu ruangan besar, tanpa satu kamarpun. Satu ruangan besar diartikan sebagai

22 Ibid., h.192. 23 Observasi dijama’ah Kenduri Cinta, Jakarta (TIM), 14 September 2014. 24 Abuddin Nata, Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Uin Jakarta Press, 2006), Cet. I, h. 28.

54

keilmuan Islam dan ribuan pintu diartikan berbagai disiplin ilmu keislaman seperti, pintu pertama adalah ilmu fiqih, pintu kedua adalah ilmu tauhid, pintu ketiga adalah ilmu sejarah, pintu keempat adalah ilmu mantik, pintu kelima adalah ilmu tasawuf, pintu keenam adalah ilmu tafsir dan seterusnya. Dengan demikian, jika seseorang memasuki rumah dari pintu fiqih, orang itu bukan hanya menemukan ilmu fiqih saja, akan tetapi orang tersebut akan menemukan berbagai disiplin ilmu keislaman lainnya ketika memasuki ruangan besar itu, yang bertujuan untuk memahami Islam secara menyeluruh.25 Menurut Cak Nun, pendidikan Islam model seperti ini akan sangat menambah wawasan kaum muslim, artinya setiap muslim bukan hanya belajar satu keilmuan Islam saja, akan tetapi setiap muslim juga mempelajari keilmuan Islam lainnya. Karena realita selama ini, kita melihat pengkotak- kotakan ilmu, seperti kita lihat di perguruan tinggi atau Universitas. Di dalam Universitas atau perguruan tinggi mahasiswa mempelajari disiplin ilmu hanya sesuai dengan jurusan masing-masing. Bukan hanya itu, dunia akademis hanya mengkaitkan diri dengan tahu dan tidak tahu, mengerti dan tidak mengerti, serta pintar atau bodoh. Adapun jujur atau baik, bukan urusan ilmiah.26 Contoh, Syarif seorang mahasiswa di Universitas Islam Indonesia dan mengambil jurusan akidah filsafat di Fakultas Ushuludin, otomatis yang dipelajari syarif hanya ilmu akidah filsafat dan tidak mempelajari Ilmu Tasawuf, Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir secara mendalam. Dengan fenomena seperti ini, menurut Cak Nun, manusia hanya sedikit sekali menerima ilmu, karena mereka hanya mempelajari satu bidang keilmuan saja. Jadi, dengan pendidikan Islam beribu pintu berruang satu dimaksudkan agar mencetak generasi muslim yang menguasai berbagai keilmuan Islam. Dapat diartikan bahwa Cak Nun menolak adanya sistem pendidikan berupa pengkotak-

25 Wawancara Pribadi dengan Emha Ainun Nadjib, Yogyakarta, 21 Mei 2014. 26 http://www.caknun.com/cermin/kurikulum-curang/. Situs ini merupakan blog resmi yang memuat tulisan-tulisan dari Emha Ainun Nadjib. Di akses pada tanggal 14 bulan November tahun 2014.

55

kotakkan ilmu, karena dampak dari pengkotak-kotakan ilmu itu mengakibatkan masyarakat muslim sangat sedikit menguasai keilmuan Islam. Menurut Cak nun, seorang guru itu harus memiliki jiwa atau batin yang berdekatan dengan Allah, tanpa batin yang dekat dengan Allah, mustahil seorang guru dapat mengantarkan peserta didik kepada Allah.27 Sebagai contoh, guru semua muslim, yaitu Rasulullah, yang senantiasa membimbing dan mengajak kaum muslim berbondong-bondong untuk berjumpa dengan Allah. Di dalam puisinya, Cak Nun mengutarakan betapa besarnya pengorbanan Rasulullah (sebagai guru) kepada kaum muslim (kepada peserta didik) dan peserta didik harus menanamkan cinta kepada guru sehingga dapat tersambung rohaninya, serta ilmu dapat tersampaikan dengan baik dan semakin dekat dengan Allah, sebagai berikut: Kado Muhammad Muhammadku sayyidku Engkau selalu dan terus menerus lahir Dalam jiwaku Muhammad pengasuhku Yang mengajarkan hidup yang halal dan toyib Terimalah nyanyian syukur dan hutang budiku. Asshalatu wassalamu 'alaik, ya Rasulallah Asshalatu wassalamu 'alaik, ya Habiballah Terima kasih, Terima kasih banget ya Muhammad Guru kami semua Karena telah engkau perkenalkan kami kepada Allah Penghuni utama kalbu kami Kepada keabadian Yakni negeri kami yang akan datang Kepada malaikat Yang paling sejati dari segala sahabat Serta kepada akhirat Yang selalu terasa sangat-sangat dekat Muhammad kekasih kami Terima kasih karena engkau selalu mensyukuri Kegembiraan kami Terima kasih Bahwa Engkau senantiasa pulang Menangisi derita kami Ya Nabi salaamun 'alaika, Ya Rasul salaamun 'alaika.

27 Wawancara Pribadi dengan Emha Ainun Nadjib, Yogyakarta, 21 Mei 2014.

56

Ya habib salaamun'alaika, Shalawatullohi alaika. Ya Rasul Kupanggul cintamu Berkeliling semesta Kutaburkan di hutan Di sungai Di kota-kota Ya Rasul Kudendangkan Qur’an AmanahMu itu kesegala penjuru Aku mengendarai angin Aku bergerak melalui cahaya Aku mengaliri gelombang Bagi-bagikan makanan keabadian Kutuangkan bergelas-gelas minuman kesejatian Kutaburkan cahaya Ke lubuk-lubuk tersembunyi Hati manusia Sholatullah, Salamulloh , 'Alaa tohaa rosulillah. Sholatullah, Salamulloh, 'Alaayaasin habibillah Tawassalna bibismillah wabil hadi Rosulillah. Wakuli muja hidilillah, Biahlilbadri ya Alloh.28 Begitulah seharusnya peranan guru yang membimbing peserta didik, jiwa raga dikorbankan demi kesuksesan peserta didiknya. Sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai semua dan mendapatkan hasil yang maksimal. Di dalam pendidikan Islam beribu pintu beruang satu, seorang guru harus bisa menguasai elemen keilmuan Islam. Dengan kata lain, seorang guru harus profesional dalam menyampaikan ilmu kepada peserta didik. Sehingga pendidikan Islam beribu pintu beruang satu dapat terlaksana dengan baik dan menghasilkan peserta didik yang unggul di dunia dan akhirat. Kalau di dalam dunia pendidikan, metode seperti ini hampir sama dengan metode pembelajaran tematik. Pembelajaran Tematik adalah pembelajaran yang dirancang berdasarkan tema-tema tertentu. Dalam pembahasannya tema itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu. Sebagai contoh tema “Air” dapat ditinjau dari disiplin ilmu fisika, biologi, agama, kimia dan matematika. Lebih luas lagi, tema itu dapat ditinjau dari bidang studi lain,

28 http://ilalangkota.blogspot.com/2012/07/kado-muhammad-emha-ainun-nadjib-kiai.html. Di akses pada tanggal 14 bulan November tahun 2014.

57

seperti IPS, Bahasa, dan seni. Pembelajaran tematik sebagai model pembelajaran termasuk salah satu tipe/jenis daripada model pembelajaran terpadu. Istilah pembelajaran tematik pada dasarnya adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa disiplin ilmu sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa.29 Istilah model pembelajaran terpadu sebagai konsep sering disamakan dengan integrated teaching and learning, integrated curriculum approach, a coherent curriculum approach. Jadi berdasarkan istilah tersebut, maka pembelajaran terpadu pada dasarnya lahir salah satunya dari pola pendekatan kurikulum yang terpadu (integrated curriculum approach). Definisi mendasar tentang kurikulum terpadu/tematik dikemukakan oleh Humphreys, bahwa: Studi terpadu/tematik adalah studi di mana para peserta didik dapat mengekplorasi pengetahuan mereka dalam berbagai mata pelajaran/disiplin ilmu yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari lingkungan mereka. Ia melihat pertautan antara kemanusiaan, seni komunikasi, ilmu pengetahuan alam, matematika, studi social, music, dan seni. Keterampilan-keterampilan pengetahuan dikembangkan dan diterapkan di lebih dari satu wilayah studi.30 Dengan berpegang pada definisi tematis ini, Shoemaker, mendefinisikan kurikulum terpadu sebagai:31 “… pendidikan yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga melintasi batas- batas mata pelajaran, menggabungkan berbagai aspek kurikulum menjadi asosiasi yang bermakna untuk memfokuskan dari pada wilayah studi yang lebih luas. Kurikulum ini memandang pembelajaran dan pengajaran dalam cara yang menyeluruh (holistik) dan merefleksikan dunia nyata, yang bersifat interaktif.”

Deskripsi selanjutnya dikemukakan oleh Dressel. Definisi Dessel (1958: 3-5), beranjak dari pertautan antara wilayah subjek menuju penciptaan model- model baru. Dalam kurikulum terpadu, pengalaman pembelajaran yang telah direncanakan tidak hanya membekali siswa dengan pandangan terpadu

29 Trianto, Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), Cet. II, h. 79. 30 Ibid., h. 80. 31 Ibid., h. 84.

58

mengenai pengetahuan umum (melalui pembelajaran model, sistem, dan struktur kebudayaan), tapi juga memotivasi dan mengembangkan kekuatan pembelajaran untuk memahami hubungan baru dan menciptakan model, sistem, dan struktur baru. Istilah lain yang sering kali digunakan untuk menyebutkan kurikulum terpadu adalah kurikulum interdisipliner. Kurikulum interdisipliner didefinisikan sebagai organisasi kurikulum yang melintasi batas-batas mata pelajaran untuk berfokus pada permasalahan kehidupan yang komprehensif atau studi luas yang menggabungkan berbagai segmen kurikulum ke dalam asosiasi yang bermakna. Pembelajaran terpadu/tematik menawarkan model-model pembelajaran yang menjadikan aktivitas pembelajaran itu relevan dan penuh makna bagi peserta didik, baik aktivitas formal maupun informal, meliputi pembelajaran inquiry secara aktif sampai dengan penyerapan pengetahuan dan fakta secara pasif, dengan memberdayakan pengetahuan dan pengalaman peserta didik untuk membantunya mengerti dan memahami dunia kehidupannya. Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang oleh guru yang demikian akan sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman peserta didik dan menjadikan proses pembelajaran lebih efektif dan menarik.. Kaitan dengan konseptual yang dipelajari dengan isi bidang studi lain yang relevan akan membentuk skema, sehingga akan diperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, dan kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembe lajaran tematik/terpadu. Selain itu, pembelajaran tematik juga memiliki arti penting dalam kegiatan belajar mengajar. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, anatara lain:32 a. Proses pemahaman peserta didik terhadap suatu konsep dalam suatu peristiwa/objek lebih terorganisasi Proses pemahaman peserta didik terhadap suatu konsep dalam suatu objek sangat bergantung pada pengetahuan yang sudah dimiliki peserta

32 Trianto, Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik, (Jakarta: Kencana, 2013), Cet. II, h. 158-159.

59

didik sebelumnya. Masing-masing peserta didik selalu membangun sendiri pemahaman terhadap konsep baru. Anak menjadi “arsitek” pembangun gagasan baru. Guru dan orang tua hanya sebagai “fasilitator” atau mempermudah sehingga peristiwa belajar dapat berlangsung dengan lancer. Peserta didik dapat gagsan baru jika pengetahuan yang disajikan selalu berkaitan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. b. Pembelajaran akan lebih bermakna Pembelajaran akan lebih bermakna kalau pelajaran yang sudah dipelajari peserta didik dapat memanfaatkan untuk mempelajari materi berikutnya. Pembelajaran tematik sangat berpeluang untuk memanfaatkan pengetahuan sebelumnya. c. Memberi peluang peserta didik untuk mengembangkan kemampuan diri Pengajaran tematik memberi peluang peserta didik untuk mengembangkan tiga ranah sasaran pendidikan secara bersamaan. Ketiga ranah sasaran pendidikan itu meliputi, sikap (jujur, teliti, tekun, dan terbuka terhadap gagasan ilmiah); keterampilan (memperoleh, memanfaatkan, memilih informasi, menggunakan alat, bekerja sama, dan kepemimpinan); dan ranah kognitif (pengetahuan). d. Memperkuat kemampuan yang diperoleh Kemampuan yang diperoleh dari satu mata pelajaran akan saling memperkuat kemampuan yang diperoleh dari mata pelajaran lain. e. Efisiensi waktu Guru atau pengajar dapat lebih menghemat waktu dalam menyusun persiapan mengajar. Tidak hanya siswa, guru pun dapat belajar lebih bermakna terhadap konsep-konsep sulit yang akan diajarkan.

Pembelajaran tematik dalam kenyataannya memiliki beberapa kelebihan seperti pembelajaran terpadu. Menurut Departemen Pendidikan dan

60

Kebudayaan (1996), pembelajaran terpadu memiliki kelebihan sebagai berikut:33

a. Pengalaman dan kegiatan belajar peserta didik relevan dengan tingkat perkembangannya. b. Kegiatan yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik. c. Kegiatan belajar bermakna bagi peserta didik, sehingga hasilnya dapat bertahan lama. d. Keterampilan berpikir peserta didik berkembang dalam proses pembelajaran terpadu. e. Kegiatan belajar mengajar bersifat pragmatis sesuai lingkungan peserta didik. f. Keterampilan sosial peserta didik berkembang dalam proses pembelajaran terpadu. Keterampilan sosial ini antara lain: kerja sama, komunikasi, dan mau mendengarkan pendapat orang lain.

Selain keenam kelebihan tersebut, apabila pemebelajaran tematik dirancang bersama, dapat meningkatkan kerja sama antarguru bidang kajian terkait, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, peserta didik atau guru dengan narasumber, sehingga belajar lebih menyenangkan, belajar dalam situasi nyata, dan dalam konteks yang lebih bermakna.

Apabila ditinjau dari aspek guru dan peserta didik, pembelajaran tematik memiliki beberapa keuntungan.34 Keuntungan pembelajaran tematik bagi guru antara lain:

a. Tersedia waktu lebih banyak untuk pembelajaran. Materi pelajaran tidak dibatasi oleh jam pelajaran, melainkan dapat dilanjutkan sepanjang hari, mencakup berbagai mata pelajaran. b. Hubungan antar-mata pelajaran dan topik dapat diajarkan secara logis dan alami.

33 Ibid., h.159. 34 http://www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/PIP/tematik.pdf. Di akses pada tanggal 6 bulan November tahun 2014.

61

c. Dapat ditunjukkan bahwa belajar merupakan kegiatan yang kontinu, tidak terbatas pada buku paket, jam pelajaran, atau bahkan empat dinding kelas. Guru dapat membantu peserta didik memperluas kesempatan belajar ke berbagai aspek kehidupan. d. Guru bebas membantu peserta didik melihat masalah, situasi, atau topik dari berbagai sudut pandang. e. Pengembangan masyarakat belajar terfasilitasi. Penekanan pada kompetisi bisa dikurangi dan diganti dengan kerja sama dan kolaborasi.

Adapun keuntungan pembelajaran tematik bagi peserta didik anatara lain:

a. Dapat lebih memfokuskan diri pada proses belajar, dari pada hasil belajar. b. Menghilangkan batas semu antarbagian kurikulum dan menyediakan pendekatan proses belajar yang integrative. c. Merangsang penemuan dan penyelidikan mandiri di dalam dan di luar kelas. d. Membantu siswa membangun hubungan antar konsep dan ide, sehingga meningkatkan apresiasi dan pemahaman.

Dengan demikian, pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam beribu pintu berruang satu memiliki banyak kesamaan dengan pembelajaran tematik yang biasa digunakan di dunia pendidikan. Serta sangat membantu peserta didik dalam rangka tholabul ilmi, karena dengan metode ini peserta didik akan mengerti keilmuan Islam secara menyeluruh dan dengan semua ilmu itu menjadikan generasi Islam yang semakin dekat dengan Allah, manusia dan semua makhluk hidup. Bukan itu saja, peserta didik juga akan semakin paham arti hidup yang sebenarnya, sehingga kehidupan seorang muslim akan semakin membaik hari demi hari dengan adanya Islam dan pendidikannya. Sejalan dengan arti Islam sendiri, oleh Emha Ainun Nadjib dituturkan lewat puisinya yang berjudul “Bila Sebuah Batu Tergeletak di Jalan”, yang berbunyi:

62

Bila sebuah batu tergeletak di jalan Dan ia membahayakan pemakai jalan Anda memungutnya dan mencari seseorang untuk membahas Apa yang dapat kita perbuat agar batu tersebut bermanfaat Itulah Islam Islam adalah untuk menjaga kesuburan tiap sudut tanah Untuk mengagumi gunung dan laut yang luas, atau sekedar untuk menyirami tanaman, Untuk berenang dalam air sambil bersyukur kepada Allah Atau untuk menghirup udara dengan kerinduan untuk bertemu dangan Allah Islam adalah, bila ada satu makhluk sedang kelaparan, Walau ia hanya seekor anjing, Anda merasa tidak enak karena kenyang seorang diri Maka anda lalu belajar untuk merasakan lapar, Sebelum anda merasa layak disebut sebagai saudara oleh orang-orang lapar Islam adalah, ketika seorang merasa haus Bahkan bila ia adalah orang yang akan membunuh anda, Anda merasakan kehausannya Dan berbagi air anda dengannya Islam adalah ketika anda melihat seseorang dipinggirkan dan merasa sendirian Anda menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya Islam adalah Mencintai bahkan orang-orang yang membenci anda, Dan memuji dengan bijak Seseorang yang menganggap anda sebagai musuhnya Islam adalah komunitas yang berdamai dengan alam, Sungai dan hutan, air dan daratan, gunung dan laut Yang mereka cintai seolah-olah isteri-isteri mereka sendiri Menjaga kesuburannya semata-mata dengan cinta Islam adalah Sebuah pemerintah yang menganggap rakyatnya sebagai seorang isteri, Saling menyayangi, bekerjasama dengan keseimbangan kekuasaan antara yang satu dengan yang lain, Islam adalah keadaan di mana si kuat memahami pentingnya si lemah Dan si lemah tidak menikmati kelemahan dan ketergantungannya Salam berarti perdamaian Islam berarti upaya mencari, membangun dan menciptakan perdamaian Humanitas Islam berarti pengertian untuk saling memanusiakan satu sama lain Budaya Islam adalah kedamaian pikiran dan hati Perekonomian Islam berarti tak seorang pun kekurangan gizi dan tak seorang pun kelebihan gizi Politik Islam berarti demokrasi sejati dan jujur Filosofi Islam adalah keseimbangan antara hak-hak azasi dan kewajiban- kewajiban azasi manusia

63

Salam berarti perdamaian Islam berarti pembebasan menuju perdamaian Islam berarti kerja emansipasi menuju kehidupan yang penuh kedamaian bagi semua manusia.35

35 Betts, op. cit., h. xii.

63

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

Pertama Media, Media yang digunakan ialah komunitas atau jemaah maiyah. Sebutan Jamaah atau Jemaah ini tidak benar-benar bergerak secara institutif sebagai kelompok eksklusif tertentu. Jemaah ini secara rutin berkumpul dalam forum bersama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib ). Acara ini mungkin bisa dibilang pengajian, tapi standar yang biasa ditemui dalam sebuah acara pengajian tidak benar-benar menjadi dominan. Sebab di dalamnya lebih banyak mengajarkan semangat hidup, sikap toleran dan hidup bersama dalam kontribusi kebaikan. Jadi boleh juga dibilang bahwa Jemaah Maiyah tidaklah identik sebagai sekumpulan orang Islam saja. Malah seringkali hadir dalam pengajian ini tokoh2 lintas Agama, Aliran, Suku Bangsa, Etnik, LSM, Mahasiswa dalam dan luar negeri, dan lain- lain. Nuansanya sangat berbudaya dan tidak juga serta-merta menjadi sinkretisme.

Kedua Materi, ialah tauhid, akhlak, dan penyucian rohani. (1)Tauhid, di dalam buku Cak Nun terdapat kalimat Tuhan pun berpuasa, itu secara terang- terangan Allah menunjukkan sikap posesif dan kita sebut saja fanatik terhadap ibadah puasa. Allah menyatakan bahwa pekerjaan puasa hamba-hamba-Nya merupakan “milik khusus” di keharibaan-Nya. Kalau pada ibadah-ibadah lain Allah mempersilahkan setiap pelakunya memperoleh pahala, kehormatan, dan manfaat, khusus untuk puasa, Allah bermaksud memonopoli untuk diri-Nya sendiri. Dan Allah sekarang berpuasa untuk tidak menurunkan azab dan nikmat secara seluruhnya kepada hambanya. Cak Nun melihat sikap-Nya itu di beberapa sisi. Benar tidaknya penglihatan saya itu pasti hanya Allah yang mengetahui persis. Saya sekadar menggali, menghayati, dan merasakannya dengan cinta kasih yang saya harapkan bisa menambah pemaknaan puasa, setidak-tidaknya, bagi diri

63

64

saya sendiri. (2) Akhlak, dalam kasus simbolisme budaya sehari-hari, banyak santri yang menyembunyikan kesantriannya dengan sengaja menampilkan diri dengan pakaian dan gaya perilaku yang terkesan tidak khas santri. Jadi batinya santri, tapi fisiknya abangan. Alhasil, tawadhu’, takabbur, kerendahan hati, sikap pamer, uswatun khasanah, ulil khaq walaukanalmuuron, dan lain sebagainya harus senantiasa kita tempatkan pada konteks dan nuansa yang setepat-tepatnya. Bahkan, kalau ada tamu ke rumahmu, sebaiknya engkau jangan berkhusnudhon dengan menyangkanya punya uang banyak dan pasti ia sudah berbuka puasa. “Curigalah” bahwa ia belum makan dan sediakanlah makanan. (3)Penyucian Rohani, ada berbagai pendekatan Qur’ani untuk memahami jarak antara puasa dan Idul Fitri. Kita bisa memilih satu dua sudut atau sisi pandang, bisa juga dengan “pendekatan melingkar”. Semacam kemenyeluruhan atau totalitas. Atau yang Qur’an sendiri menyebutkannya kaffah. Kita mungkin bisa berangkat dari salah satu paham bahwa perubahan atau pengubahan yang dilakukan dengan metode laku puasa itu merupakan proses peragian: semacam mengubah ketela menjadi tempe. Menaklukkan gumpalan menjadi cairan. Mentransformasikan dan mentranssubstansikan badan (jisim) menjadi energi (quwwah) dan akhirnya menjadi cahaya (nur).

Ketiga Evaluasi, Dalam evaluasi yang dilakuakan oleh Emha Ainun Nadjib kepada peserta didiknya atau jama’ahnya menggunakan dua metode, yaitu metode sholawatan dan metode muhasabah. Di dalam metode sholawatan, jama’ah akan diajak oleh Cak Nun untuk bersama-sama melantunkan sholawat kepada Rasulullah SAW yang bermaksud untuk menanamkan kecintaan kepada Rasulullah. Kedua muhasabah, muhasabah disini bermaksud untuk menata pikiran dan hati untuk kembali menuju apa-apa yang diridhoi-Nya.

Empat Pendidikan Islam Beribu Pintu Berruang Satu, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun memberikan pemikirannya terhadap pendidikan Islam melalui kalimat Beribu Pintu Berruang Satu. Jika dilihat dari segi bahasa, kalimat ini sederhana, akan tetapi mempunyai arti yang sangat mendalam. Beribu pintu berruang satu adalah sebuah pengadaian dari suatu metode pendidikan Islam yang 65

diutarakan oleh Emha. Pendidikan Islam beribu pintu berruang satu, diibaratkan dengan sebuah rumah besar, di rumah besar itu terdapat ribuan pintu dan ketika kita masuk rumah itu hanya terdapat satu ruangan besar, tanpa satu kamar pun. Satu ruangan besar diartikan sebagai keilmuan Islam dan ribuan pintu diartikan berbagai disiplin ilmu keislaman seperti, pintu pertama adalah ilmu fiqih, pintu kedua adalah ilmu tauhid, pintu ketiga adalah ilmu sejarah, pintu keempat adalah ilmu mantik, pintu kelima adalah ilmu tasawuf, pintu keenam adalah ilmu tafsir dan seterusnya. Dengan demikian, jika seseorang memasuki rumah dari pintu fiqih, orang itu bukan hanya menemukan ilmu fiqih saja, akan tetapi orang tersebut akan menemukan berbagai disiplin ilmu keislaman lainnya ketika memasuki ruangan besar itu, yang bertujuan untuk memahami Islam secara menyeluruh.

B. Saran-saran Ada beberapa hal yang perlu direkomendasikan atau disarankan atau disarankan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Penelitian ini bersifat relatif dan memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penyempurnaan penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam sangat sedikit adanya. Oleh sebab itu diharapkan adanya penelitian selanjutnya. 3. Sepengetahuan peneliti, pengetahuan mahasiswa Pendidikan Agama Islam tentang Emha Ainun Nadjib kurang. Oleh karena diharapkanpemikiran Emha Ainun Nadjib ini dimasukan kedalam mata kuliah. DAFTAR PUSTAKA

Abrasyi, Athiya. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1970. Abrasyi, Mohammad Athiyah. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang. 1984. Ali, Zainal. 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh. Yogyakarta: Narasi. 2009. Anshar, Muhammad. Dasar-Dasar Perkembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud Dirjen PT. PPLPTK. 1989. Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2010. Attas, Naquib. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembanga Pendidikan Integrative di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS. 2009 Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam. Ciputat: Logos. 2000. Baharuddin, Makin. Pendidikan Humanistik: Teori, Konsep dan Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. 2009. Betts, Ian. Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas, 2006. Cet. I. Buchori, Mochtar. Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994. Cet. I. Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2000. Cet. IV. Departemen Agama RI. Jejak Langkah NU & Muhammadiyah. Jakarta: Departemen Agama RI. 2008. Cet. I. Fandi, Haryanto. Desain Pembelajaran Yang Demokratis & Humanis. Jakarta: Ar-Ruzz Media. 2011. Cet. I. Hani, Handoko. Manajemen. Yogyakarta: BPFE. 1986. Hitami, Munzir. Mengkonsep Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiS. 2004. http://www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/PIP/tematik.pdf. Di akses pada tanggal 6 bulan November tahun 2014. Jalal, Abdul Fattah. Asas-Asas Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro. 1988. Karim, M Rusli. Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan dalam Pendidikan Islam antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991.

67

68

Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif. 1995. -----. Kreativitas dan Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1991. Cet. I. -----. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka al-Khusna. 1989. Mas’ud, Abdurrahman. Antologi Study Agama dan Pendidikan. Semarang: Aneka Ilmu. 2004. Muhadjir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003. Cet. III. Muhaimin. Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam. Cirebon: Pustaka Dinamika. 1999. Muhaimin. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Teoritis dan Kerangka Dasar Oprasi onalnya. Bandung: Trigenda Karya. 1993. Muhajir, As’aril. Ilmu Pendidikan Perspektif Konstektual. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011. Cet. I. Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Putra Grafika. 2008. Mulyadi, Kartanegara. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela. 2003. Nadjib, Emha Ainun. Demokrasi La Roiba Fih. Jakarta: Kompas. 2009. Cet. II. -----. Jejak Tinju Pak Kiai. Jakarta: Kompas. 2008. -----. Kerajaan Indonesia. Yogyakarta: Progress. 2006. Cet. II. -----. Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Jakarta: KOMPAS. 2007. Cet. IV. -----. Tuhan Pun Berpuasa. Jakarta: Kompas. 2012. Cet. III. Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press. 1995. -----. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam Dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat. Bandung: Diponegoro. 1989. -----. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro. 1992. Naim, Ngainun dan Akhmad Sauki. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. 2008. Nata, Abuddin. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Grasindo. 2001. Cet. I. -----. Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Uin Jakarta. 2006. 69

Nizar, Samsul dan Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2009. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. 2005. Noer, Delier. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Mimbar Pustaka. 2004. Priatna, Tedi. Pondasi dan Fungsi Pendidikan Islam, dalam Cakrawala Pendidikan Islam. Jakarta: Mimbar Pustaka. 2004. Qomar, Mujamil. Epistimologi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga. 2005. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Qur’an al-Hakim Juz VII. Beirut: Dar al- Fikr. tt. Saputra Prayogi R. Spiritual Journey Pemikiran & Permenungan EMHA Ainun Nadjib. Jakarta: Kompas. 2012. Shihab, M Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1996. Sudirman. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Karya. 1989. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: ALFABETA. 2011. Cet. XIII. Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Cet. I. Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007. Cet. III. Syaibany, Omar Muhammad al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1979. Cet. I. Syalabi, Ahmad. Tarikh al-Tarbiyat al-Islamiyat. Kairo: al-Kasyaf. 1954. Tafsir Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010. Cet. IX. Taufiq, Abdullah. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: PT Ikhtiar Baru. 2003. Trianto. Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Kencana. 2013. Cet. II. -----. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2011. Cet. II. 70

Usa, Muslih. Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991. Wojowasito. Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve. 1999. Zuhri. Pengorganisasian, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Dermaga. 1986.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

71

INSTRUMENT WAWANCARA

1. Menurut Cak Nun pendidikan Islam sekarang seperti apa? Pendidikan Islam sekarang ini masih berkualitas lemah, karena realita selama ini, kita melihat pengkotak-kotakan ilmu, seperti kita lihat di perguruan tinggi atau Universitas. Di dalam Universitas atau perguruan tinggi mahasiswa mempelajari disiplin ilmu hanya sesuai dengan jurusan masing-masing. Bukan hanya itu, dunia akademis hanya mengkaitkan diri dengan tahu dan tidak tahu, mengerti dan tidak mengerti, serta pintar atau bodoh. Adapun jujur atau baik, bukan urusan ilmiah. 2. Jadi, menurut Cak Nun bagaimana seharusnya pendidikan Islam yang dapat memperoleh hasil maksimal? Menurut saya pendidikan Islam yang ideal dan bagus itu pendidikan Islam beribu pintu berruang satu. Pendidikan Islam beribu pintu berruang satu merupakan suatu metode pembelajaran yang sangat ideal dan bertujuan supaya umat Islam dapat mengenal agama Islam lebih menyeluruh. Pendidikan Islam beribu pintu berruang satu, saya ibaratkan dengan sebuah rumah yang besar, di rumah besar itu terdapat ribuan pintu dan ketika kita masuk rumah itu hanya terdapat satu ruangan besar, tanpa satu kamarpun. Satu ruangan besar diartikan sebagai keilmuan Islam dan ribuan pintu diartikan berbagai disiplin ilmu keislaman seperti, pintu pertama adalah ilmu fiqih, pintu kedua adalah ilmu tauhid, pintu ketiga adalah ilmu sejarah, pintu keempat adalah ilmu mantik, pintu kelima adalah ilmu tasawuf, pintu keenam adalah ilmu tafsir dan seterusnya. Dengan demikian, jika seseorang memasuki rumah dari pintu fiqih, orang itu bukan hanya menemukan ilmu fiqih saja, akan tetapi orang tersebut akan menemukan berbagai disiplin ilmu keislaman lainnya ketika memasuki ruangan besar itu, yang bertujuan untuk memahami Islam secara menyeluruh. 3. Dampak dari lemahnya kualitas pendidikan ini apa Cak? penurunan moral pada masa moderen ini, di antaranya permusuhan yang terjadi antar agama, antar ormas-ormas Islam, hamil diluar nikah, tidak adanya sekat muda-mudi dalam pergaulan (pergaulan bebas), dan lain sebagainya. 4. Menurut Cak Nun Islam itu seperti apa? Islam adalah untuk menjaga kesuburan tiap sudut tanah. Untuk mengagumi gunung dan laut yang luas, atau sekedar untuk menyirami tanaman, untuk berenang dalam air sambil bersyukur kepada Allah. Atau untuk menghirup udara dengan kerinduan untuk bertemu dangan Allah. Islam adalah, bila ada satu makhluk sedang kelaparan, Walau ia hanya seekor anjing. Islam adalah, ketika seorang merasa haus, bahkan bila ia adalah orang yang akan membunuh anda, Anda merasakan kehausannya dan berbagi air anda dengannya. Islam adalah ketika anda melihat seseorang dipinggirkan dan merasa sendirian, anda menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya. Islam adalah mencintai bahkan orang-orang yang membenci anda, dan memuji dengan bijak dan seseorang yang menganggap anda sebagai musuhnya. 5. Tujuan pendidikan Islam menurut Cak Nun? Menjadikan generasi Islam semakin dekat dengan Allah, manusia dan semua makhluk hidup. Bukan itu saja, peserta didik juga akan semakin paham arti hidup yang sebenarnya, sehingga kehidupan seorang muslim akan semakin membaik hari demi hari dengan adanya Islam dan pendidikannya. LAMPIRAN FOTO KEGIATAN PENELITIAN SKRIPSI

A. Foto bersama Emha Ainun Nadjib (Narasumber)

B. Kegiatan Bulanan Di Jakarta (Majlis Maiyah Kenduri Cinta)

C. Bersama Ian L. Betts (Sahabat & Penulis Perjalanan Hidup Cak Nun)

D. Personel Kiai Kanjeng

E. Majelis Maiyah Padhang Mbulan (Jombang) & Bangbang Wetan (Surabaya)

F. Majelis Maiyah Mocopat Syafaat (Daerah Istimewah Yogyakarta)