KONFLIK INTERNAL PARTAI POLITIK: STUDI KASUS PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

INTRA-PARTY CONFLICT: A CASE STUDY OF

Kamarudin

Ketua Program Pascasarjana Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP-UI) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat E-mail: [email protected] Diterima: 23 Februari2013; direvisi: 25 April 2013; disetujui: 5 Juni 2013

Abstract

This study offers significantfindings that are, first, the internal conflict that occurred within PKB is more trig- gered by pragmatic issues that are related to power distributions in structural positions. This pragmatic issue not only always occurs when the party worked together with other groups as indicated by DeliarNoer (the withdrawal of NU from Masyumi) and BahtiarEffendy (the withdrawal of NU form PPP), but also happened when it formed its own party (PKB). The study ofKang Young Soon which concludes that conflict is “one ofN U tradition ”finally should be given a further explanation that “the conflict that is triggered by pragmatic interest toward the power is one of NU traditions It is true that an ideological factor also contributes to the conflict but again the pragma- tism in achieving the power still dominate the movie offriction between NU and other groups or even within NU ’s elites as indicated in almost internal conflict o f PKB. Second, the involvement ofkiai in political arena causes the changing pattern and values o f relation (kiai-santri patron). The case o f the internal conflict among PKB ’s elites shows that the mutual trust as a symbol o f pesantren tradition which has been established for long may change merely caused by the pragmatic power. This change can be observedfrom the stance and position o f the kiai khos who form Forum Langitan that initially supported Abdurrahman Wahid but drastically against him. Keywords: internal conflict, faction, PKB

Abstrak

Kajian ini menunjukkan, pertama, konflik internal yang melanda PKB dipicu oleh masalah yang bersifat pragmatis terkait dengan perebutan posisi dalam partai. Faktor pemicu yang bersifat pragmatis itu tidak hanya berlaku ketika kalangan nahdliyin bergabung dengan komponen bangsa yang lain, seperti ditunjukkan oleh studi Deliar Noer (kasus NU keluar dari Masyumi) dan Bahtiar Effendy (kasus NU keluar dari PPP), namun studi ini menunjukkan bahwa faktor pragmatis itu juga berlaku saat konflik di antara sesama fungsionaris partai yang di­ lahirkan oleh kalangan nahdliyin terjadi. Studi Kang Young Soon yang menyimpulkan bahwa konflik merupakan “salah satu tradisi NU” pada akhirnya perlu ditambah dengan penjelasan bahwa “konflik yang dipicu oleh masalah pragmatisme kekuasaan merupakan salah satu tradisi NU.” Memang pemah ada konflik karena faktor ideologi, namun pragmatisme kekuasaan seringkah menjadi motif di balik perseteruan NU dengan pihak lain ataupun dengan sesama kalangan nahdliyin seperti terlihat pada kasus konflik internal PKB. Kedua, terjadi pergeseran nilai dalam hubungan kiai-santri dalam tradisi pesantren yang menganut pola hubungan patron-klien ketika kalangan nahdliyin berkiprah di wilayah politik. Kasus konflik internal PKB ini menunjukkan bahwa sikap saling percaya yang menjadi unsur pembentuk budaya pesantren bisa berubah karena masalah pragmatisme kekuasaan. Kata Kunci: konflik internal, kubu, PKB

Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 29 Pendahuluan 20 partai politik Islam yang lolos seleksi untuk Salah satu dampak dari kejatuhan rezim otori­ mengikuti Pemilu 1999.4 tarianisme Soeharto adalah publik memperoleh Di kalangan Islam, konflik internal itu tidak ruang bebas dalam mengekspresikan aspirasi hanya dilihat dari kategori partai berhaluan dan kepentingan politik. Bentuk konkret dari modernis dan tradisionalis, namun juga bisa ekspresi kebebasan itu adalah lahirnya partai- ditengok dari sisi internal kategori tersebut. Di partai politik baru serta muncul kembali sejumlah kalangan tradisionalis yang direpresentasikan partai-partai politik lama. Ibaratnya, setelah oleh Nahdlatul Ulama (NU), fragmentasi terlihat sekitar empat dekade terkubur, sukma Maklumat dengan ditandai lahirnya Partai Kebangkitan Wakil Presiden Mohammad Hatta No. X tanggal Bangsa (PKB), Solidaritas Uni Indonesia (Partai 3 November 1945' tentang pendirian partai-partai SUNI), Partai Nahdhatul Ummah (PNU), dan politik kembali muncul ke permukaan.1 2 Hingga Partai Kebangkitan Ummat (PKU). Kalangan batas akhir pendaftaran keikutsertaan pemilu modernis yang dalam Pemilu 1955 berada di pertama pasca-Orde Baru terdapat 148 partai bawah bendera Partai Masyumi juga mengalami politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman. hal yang sama, dengan lahirnya Partai Bulan Dari jumlah itu, berdasarkan hasil verifikasi Bintang (PBB), Partai Masyumi Baru (PMB), dan Tim 11,3 hanya 48 partai politik yang berhak Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPIIM). mengikuti Pemilu 1999. Belum lagi kehadiran sejumlah partai yang juga Kehadiran partai-partai politik itu memang memiliki karakter mirip Masyumi, seperti Partai diperkenankan di dalam sistem demokrasi yang Keadilan (PK, yang kemudian berubah nama menghormati pluralisme. Namun, pada sisi menjadi Partai Keadilan Sejahtera) dan Partai lain justru memperlihatkan wajah fragmentasi, Amanat Nasional (PAN). baik di kalangan nasionalis sekuler maupun Dengan fragmentasi semacam ini, kekuatan pada kekuatan politik Islam. Fragmentasi pada politik Islam mengalami kesulitan melakukan kekuatan politik nasionalis sekuler, misalnya, konsolidasi sehingga berujung pada kekalahan. terlihat pada hadirnya PDI Perjuangan, PDI, PNI Pada Pemilu 1999, jumlah seluruh suara yang Massa Marhaen, dan partai-partai lainnya. Di ka­ diperoleh partai-partai politik Islam secara langan Islam, terlihat dari lahirnya begitu banyak akumulatif adalah 39.758.725 atau 37,56% dari partai politik Islam. Dari 148 partai politik, 42 total suara sah (105.846.000). Dibandingkan di antaranya dikategorikan sebagai partai politik dengan partai-partai lain, baik dari kalangan Islam dan setelah melalui proses verifikasi hanya nasionalisme sekuler, Katolik, Kristen, maupun yang lainnya, perolehan suara partai politik Islam jelas terlihat timpang, yaitu 39.758.725 berban­ 1 Soal partai politik pada masa itu lihat antara lain George Mc- ding 66.087.275. Itu artinya 62,44% pemilih di Tuman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini Malaysia, 1980). tidak memberikan suaranya kepada partai Islam. : lndonesianis Dr. Lance Castles menyebut fenomena pendirian Pasca-Pemilu 1999 masyarakat menyaksi­ partai-partai politik pasca lengsernya Soeharto dengan sebutan “The Age of Parties". Hairus SalimH.S. etal., Tujuh Mesin Pen­ kan satu demi satu partai politik Islam mengalami dulang Suara, (Yogyakarta: LKiS dan CH-PPS Gamiran, 1999). konflik internal. Partai-partai yang dimaksud 3 Tim 11 adalah nama populer dari Panitia Persiapan Pem­ bentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU) yang dibentuk 4 Ada lima kriteria yang dapat diajukan untuk mengategorikan berdasarkan SK Mendagri sebagai Ketua Lembaga Pemilihan sebuah partai sebagai partai Islam, yaitu nama, asas, tanda Umum (LPU) Nomor 06 Tahun 1999 tertanggal 3 Februari gambar, tujuan/program, dan konstituen. Lantas mengacu 1999. Komposisi keanggotaan Tim 11 adalah Nurcholish Mad- lima kriteria tersebut maka definisi yang bisa diajukan untuk jid sebagai ketua, Adi Andojo Sutjipto sebagai wakil ketua, dan partai Islam adalah “partai yang memakai label Islam (nama, beranggotakan Adnan Buyung Nasution, Miriam Budiardjo, asas, dan tanda gambar); atau partai yang tidak memakai label Afan Gaffar, Kastorius Sinaga, Andi Mallarangeng, Mulyana Islam, tetapi hakikat perjuangannya adalah terutama untuk W. Kusumah, Eep Saefulloh Fatah, dan Rama Pratama. Tugas kepentingan umat Islam tanpa harus mengabaikan kepentingan utama tim ini adalah menyeleksi partai politik yang berhak umat agama lainnya; atau partai yang tidak memakai label Islam untuk mengikuti pemilu pada 7 Juni 1999. Tanggal 4 Maret dan tujuan/programnya untuk kepentingan semua warganegara 1999, Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid selaku Ketua RI, tetapi konstituen utamanya berasal dari umat Islam”. Arskal LPU menerima hasil kerja Tim 11 dan mengesahkan empat Salim, Partai Islam dan Relasi Agama-Negara, (: Pusat lusin partai politik tersebut melalui SK No. 31 Tahun 1999. Penelitian IAIN Jakarta, 1999), hlm. 8-11.

30 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 29—40 adalah PPP, PKB, PAN, dan PBB. Gradasi Pengurus Besar NU (PBNU) pada tang­ konflik internal itu terentang dari yang paling gal 3 Juni 1998 membentuk Tim Lima yang ringan, yakni sejumlah fungsionarisnya keluar ditugaskan untuk memenuhi aspirasi warga NU. dari kepengurusan partai hingga yang terparah Tim ini dipimpin oleh K.H. Ma’ruf Amin (Rais adalah munculnya kepengurusan tandingan atau Syuriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan pengurus partai yang membentuk partai politik anggotanya adalah K.H. M. Dawan Anwar, K.H. baru. PAN adalah partai yang mengalami konflik Said Aqil Siradj, H.M. Rozy Munir, dan Ahmad dengan kadar ringan di mana sejumlah fungsio­ Bahdja. Akhirnya, disepakati pendirian partai naris partai, yang dimotori Faisal Basri dan Bara politik baru dengan nama Partai Kebangkitan Hasibuan, memilih keluar dari kepengurusan Bangsa (PKB). Secara historis pula, partai ini partai. mempunyai hubungan kultural dan hubungan Sebaliknya, kadar terberat dengan mun­ aspiratif dengan segenap warga Nahdliyin ,6 Bah­ culnya kepengurusan tandingan ataupun partai kan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendukung politik baru dialami PKB, PPP, dan PBB. Konflik sepenuhnya kelahiran partai ini, dan bukan itu internal PKB melahirkan kepengurusan tanding­ saja, PKB direkomendasikan secara resmi oleh an antara PKB Batutulis yang dipimpin Matori PBNU.7 Puncaknya adalah deklarasi partai yang Abdul Djalil dan PKB Kuningan yang dipimpin dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 23 Juli Alwi Shihab. Dalam perkembangan selanjutnya, 1998, dengan asas partai adalah Pancasila dan PKB Matori Abdul Djalil mendirikan partai prinsip ahlusunnahwaljama ’ah. baru bernama Partai Kebangkitan Demokrasi Dalam perhelatan Sidang Umum Majelis (PEKADE). PPP yang merupakan empat fusi Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999, partai politik Islam di tahun 1973 itu pecah dengan dimotori Poros Tengah, sebuah koalisi dengan lahirnya PPP Reformasi yang kemudian partai politik yang berbasiskan Islam, Gus Dur berganti nama menjadi Partai Bintang Reformasi terpilih sebagai Presiden RI. Namun, dalam yang dimotori K.H. Zainuddin M.Z. Sementara perjalanan pemerintahannya Gus Dur banyak itu, dari konflik internal PBB melahirkan partai menuai kecaman, bahkan ia dianggap terlibat politik baru, yakni Partai Islam Indonesia (PII) dalam sejumlah persoalan yang menyita perhatian yang dipelopori Hartono Marjono dan Abdul publik. Persoalan tersebut adalah tuduhan terha­ Qadir Jaelani yang memimpin Partai Al-Islam dap Gus Dur yang dinilai “bermain mata” dengan Indonesia (PAS) Indonesia. tersangka Tommy Soeharto dalam perkara hukum Seperti konflik internal partai lainnya yang yang memunculkan istilah Borobudur gate. bermuara pada persoalan kepemimpinan, PKB Yang menghebohkan adalah pengakuan seorang juga demikian. PKB adalah “sayap” politik dari perempuan bernama Aryanti yang mengaku telah NU yang memiliki sejarah panjang dan bahkan berbuat tidak pantas dengan Gus Dur. Perkara pernah menjadi partai politik. Sekalipun NU ini juga melambungkan istilah Aryanti gate di memiliki kontribusi signifikan dalam perjalanan jagad politik nasional. Terakhir, adalah dugaan politik Indonesia, namun selama lebih dari tiga bahwa Gus Dur menerima dana Bulog yang dasawarsa kekuasaan Orde Baru potensi politik memaksa kalangan DPR membentuk Pansus warga NU dieliminasi. Sejalan dengan semangat partai Nahdlatul Ulama itu. Ternyata keinginan itu tidak men­ reformasi, warga NU berusaha membangun jadi kenyataan karena PBNU dan banyak PWNU serta PCNU kembali potensi politiknya sebagai bagian dari berpendapat sebaiknya NU tetap menjadi ormas saja, dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan Khittah 1926. Akan kesinambungan tradisi memberikan sumbangan tetapi, ada juga pihak yang beranggapan bahwa khittah itu bagi pembangunan politik bangsa Indonesia.5 adalah sesuatu yang tidak bersifat sakral dan bisa ditafsirkan secara kontekstual sesuai ruang dan waktu serta situasi tertentu.” 5 Pendirian PKB serta tiga partai lainnya di lingkungan NU, Lihat Sholahuddin Wahid, “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di tentunya mengundang pertanyaan publik terutama dikaitkan Kalangan NU”, dalam Republika, 3 Oktober 1998. dengan masalah Khittah 1926 yang mengamanatkan NU 6 Julia I. Suryakusuma, Almanak Parpol Indonesia, (Jakarta: untuk hanya berkiprah di wilayah sosial keagamaan, dengan Yayasan API, 1999), hlm. 280. memosisikan NU sebagai organisasi kemasyarakatan semata. 7 Lihat Abdrurrahman Wahid, “PKB didirikan oleh PBNU”, Mengenai masalah ini, Sholahuddin Wahid berkomentar sebagai dalam Munib Huda Muhammad (Ed.), Pro Kontra Partai berikut, “Kalau NU kembali menjadi partai politik maka warga Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Penerbit Fatma Press, 1998). NU di ketiga orsospol itu akan mengabungkan diri ke dalam

Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 31 Bulog gate serta masalah bantuan dari Sultan yang tergabung dalam Forum Langitan yang Brunei Darussalam yang juga memicu lahirnya mendukung Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf. Pansus Brunei gate. Proses politik inilah yang Dukungan para kiai yang sangat berpengaruh di di kemudian hari memaksa Gus Dur untuk turun kalangan nahdliyin ini ditunjukkan dengan peno­ tahta setelah melalui proses konstitusional dari lakan mereka terhadap keputusan penonaktifan Memorandum Pertama, Memorandum Kedua, keduanya, menolak penyelenggaraan muktamar hingga MPR memutuskan menggelar Sidang kedua PKB di Semarang berikut segala hasilnya, Istimewa yang berujung pada penggulingan dan mendukung pelaksanaan muktamar di pemerintahan Gus Dur. Surabaya, termasuk hasil-hasilnya. Abdurrahman Sidang Istimewa MPR itu tidak hanya Wahid juga berada dalam posisi konflik dengan berhasil menurunkan Gus Dur, tetapi menjadi kubu Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf karena pintu masuk bagi perpecahan dalam tubuh PKB. ia menilai hasil Muktamar II PKB di Semarang Dalam versi kelompok Gus Dur yang memecat sudah sah, legitimate, dan konstitusional. Matori Abdul Djalil dari posisi ketua umum, dua Kedua, konflik tahap kedua ini meli­ kesalahan berat Matori adalah, pertama, melang­ batkan Jawa Timur dan Jawa Tengah, basis gar keputusan DPP PKB tentang pembekuan suara utama PKB yang menyumbang sekitar fraksi dalam rangka mendukung bertahannya Gus 80% dari total suara nasional yang diperoleh Dur selaku presiden. Kedua, Matori membentuk PKB pada Pemilu 1999 dan 2004. Di kedua DPP PKB tandingan. Dalam versi kubu Matori, provinsi inilah pesantren-pesantren besar dan pemecatan diri Matori sewenang-wenang karena berpengaruh yang dikelola para kiai khos itu tidak melalui muktamar. Karena silang pendapat berada, seperti Pesantren Langitan dan Pesantren inilah yang membuat kedua kubu ini (Gus Dur Lirboyo. Ketiga, konflik PKB tahap kedua ini dan Matori) sulit dipertemukan, dan bahkan harus melahirkan partai politik bara yang bernama memasuki proses hukum. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Konflik internal di tubuh PKB bisa dibagi Struktur dan komposisi pengurus PKNU ini dalam tiga periode waktu. Pertama, kurun waktu mirip dengan hasil muktamar PKB kubu Alwi antara 2001-2002, seperti disinggung di atas. Shihab dan Syaifullah Yusuf di Surabaya. PKNU Kedua, kurun waktu antara 2004-2007 dengan dideklarasikan sebagai partainya para kiai dalam pihak yang terlibat adalah Ketua Dewan Syuro arti merekalah yang menentukan perjalanan Abdurrahman Wahid-Ketua Dewan Tanfidz PKNU. Kelahiran PKNU ini berbeda dengan (hasil Muktamar II PKB) partai politik bentukan Matori Abdul Djalil, dan Alwi Shihab-Saifullah Yusuf yang membuat yakni PEKADE yang cepat menghilang lantaran muktamar tandingan di Surabaya. Ketiga, ketiadaan dukungan dari para kiai khos. kurun waktu antara 2008-2011, yang melahirkan Keempat, walaupun tidak terkait langsung Muktamar Luar Biasa (MLB) kubu Abdurrahman dengan konflik internal PKB, sikap NU dalam Wahid (MLB Parang) dengan MLB Ancol kubu menghadapi masalah ini menunjukkan PKB kini Muhaimin Iskandar. tidak bisa lagi mengklaim sebagai satu-satunya Tulisan ini akan menyoroti faktor-faktor partai politik yang menampung dan memper­ yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam juangkan kepentingan kalangan nahdliyin. tubuh PKB periode kedua dan bagaimana usaha Sikap NU ini sesuai dengan hasil Muktamar elite PKB untuk menyelesaikannya. Konflik NU ke-27 pada tahun 1984 di Situbondo yang internal yang menimpa PKB dalam periode menyatakan NU kembali ke Khittah 1926 dan kedua ini lebih berat dibandingkan ketika PKB didera perseteruan antara kubu Abdurrahman sering dipergunakan adalah khos (dengan menggunakan huruf “o”). Kiai khos adalah sebutan bagi kiai di kalangan NU yang Wahid dan kubu Matori Abdul Djalil pada tahun memiliki syarat tertentu. Syarat tersebut adalah mempunyai 2001-2002. Berat bobot konflik tahap kedua ini wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan dapat dilihat dari,pertama, keterlibatan kiai khos8 kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Lihat D.H.B. Wicaksono, 8 Istilah kiai khos berarti kiai khusus (utama) yang juga bisa “K.H. Abdullah Faqih: Sosok Kiai Waskita yang Disegani Gus ditulis dengan kiai khas (menggunakan huruf “a”), namun yang Dur”, www.hidayatullah.com, diakses pada tanggal 9 Mei 2005.

32 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 29^10 kemudian dipertegas lagi dalam Muktamar ke-31 Mei 2003 memutuskanAbdurrahman Wahid tahun 2004 di Boyolali, Jawa Tengah di mana sebagai satu-satunya calon presiden dari PKB. secara resmi NU mengambil sikap dan jarak Namun, Syaifullah Yusuf justru mendukung yang sama dengan partai-partai politik yang calon lain, satu di antaranya adalah Ketua Umum ada. Artinya, PKB kini bukan lagi sebuah partai PBNU K.H. Hasyim Muzadi. politik satu-satunya tempat aspirasi kalangan Sekalipun Tim Tiga9 yang bertugas membuat nahdliyin diperjuangkan. Dalam kasus konflik klarifikasi atas diri Syaifullah Yusuf menyimpul­ internal PKB, NU mengambil sikap netral dan kan kesalahannya ringan dan bukan kesalahan juga berada dalam posisi tidak terlibat. Berbeda fatal yang merusak organisasi, namun Abdurrah­ dengan konflik tahap pertama, NU cenderung man Wahid yang memimpin rapat Dewan Syuro mendukung sikap Abdurrahman Wahid. tanggal 21 September 2004 tetap meminta untuk diambil keputusan. Hasil pengambilan keputusan Anatomi Konflik Internal Partai dengan menggunakan mekanisme voting adalah Kebangkitan Bangsa dari 16 anggota Dewan Syuro 9 orang setuju Konflik tahap kedua ini dipicu oleh penonaktifan Syaifullah Yusuf digeser, sedangkan 7 lainnya Alwi Shihab-Saifullah Yusuf dari jabatan ketua memilih peringatan keras. Alwi Shihab dan umum dan sekretaris jenderal Dewan Tanfidz DPP Saifullah Yusuf menolak keputusan itu dengan PKB periode 2002-2005. Alwi Shihab diberhen­ alasan tidak sesuai dengan AD/ART dan per­ tikan karena dinilai melanggar keputusan partai aturan partai, yang intinya mereka dipilih melalui yang menjadi alasan kuat secara organisatoris. forum muktamar dan seharusnya menyampaikan Alasan yang kuat secara organisatoris itu adalah pertanggungjawaban dan diberhentikan di forum perangkapan jabatan di mana dia menerima muktamar pula. tawaran Presiden Keputusan menonaktifkan Alwi Shihab untuk duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu. dan Saifullah Yusuf itu dapat dikatakan sebagai Sebelum Syaifullah Yusuf dinonaktifkan dari penyebab langsung dari kemunculan konflik PKB dengan alasan formal yang mirip dengan internal PKB karena dua hal berikut. Pertama, Alwi Shihab itu, dia direposisi dari jabatannya dalam perselisihan mereka dengan kubu Abdur­ selaku sekretaris jenderal Dewan Tanfidz DPP rahman Wahid-Muhaimin Iskandar, tema PKB. Ada beberapa kasus sebelum reposisi itu penonaktifan itu yang dijadikan isu utama diputuskan yang membuatnya berkonflik dengan perlawanan mereka. Baik ketika melibatkan Abdurrahman Wahid. Kasus tersebut antara lain para kiai khos maupun saat masuk ke dalam hasrat Syaifullah Yusuf untuk maju sebagai ketua lembaga pengadilan, masalah penonaktifan itu umum PKB pada saat Muktamar Luar Biasa PKB yang selalu dijadikan isu utama. Kedua, sikap di Yogyakarta. Saat itu Abdurrahman Wahid para kiai khos seperti ditunjukkan melalui hasil menyatakan ketidaksetujuannya karena dia rapat dari pelbagai pertemuan mereka yang selalu baru saja keluar dari PDI Perjuangan sehingga menempatkan masalah penonaktifan sebagai tidak tepat untuk menduduki jabatan sekretaris pangkal persoalan dari konflik internal PKB. Saat jenderal, apalagi ketua umum DPP PKB. Syaiful­ yang bersamaan para kiai itu juga menjadikan lah Yusuf menolak ishlah dalam kerangka pengembalian posisi Alwi Shihab dan Syaifullah hasil keputusan Muktamar Luar Biasa PKB di Yusuf ke posisi semula, yakni ketua umum dan Yogyakarta sehubungan dengan konflik dengan sekretaris jenderal Dewan Tanfidz DPP PKB, Matori Abdul Djalil. Syaifullah Yusuf menolak sebagai syarat ishlah atau penyelesaian masalah. rencana pendirian Partai Kebangkitan Nasional Dari paparan di atas maka jelas telah terjadi (PKN) yang merupakan amanat Muktamar Luar konflik dalam bentuk perbedaan pendapat, Biasa PKB di Yogyakarta jika PKB Kuningan persaingan, dan pertentangan antarkelompok tidak bisa ikut pemilu karena kalah di pengadilan yang setiap kelompok mempunyai, dalam istilah melawan Matori Abdul Djalil (PKB Batutulis). Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I PKB 9Tim Tiga itu terdiri atas K.H. Nur Iskandar Al-Barsany, Mahfud yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 28-29 M.D., dan Moh. A.S. Hikam.

Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 33 Ramlan Surbakti, “kepentingan yang berbeda- dengan menggunakan pandangan Maurice beda”10 11 atau menurut Austin Ranney, “mencoba Duverger, konflik internal NU bersumber pada meraih tujuan yang berbeda dan memuaskan tipe konflik pertama yang berkaitan dengan kepentingan yang berlawanan.”11 Kelompok kepentingan politik, baik dalam NU maupun dalam konteks konflik internal PKB tahap kedua tingkat nasional, dan tipe konflik kedua yang ini adalah kubu Abdurrahman Wahid-Muhaimin berkaitan dengan perbedaan pandangan dalam Iskandar yang berseteru dengan kubu Alwi penafsiran. Tipe konflik yang pertama berkenaan Shihab- Syaifullah Yusuf yang didukung oleh dengan masalah praktis yang tidak berhubungan kiai khos. Sebaliknya, kepentingan yang berbeda dengan persoalan ideologi. Perbedaan pendapat adalah mengenai keabsahan penonaktifan Alwi yang lahir dari kepentingan politik seseorang atau Shihab dan Syaifullah Yusuf, lalu tentang sekelompok orang yang bertikai dapat dimasuk­ keabsahan pelaksanaan Muktamar II PKB di kan dalam kategori ini. Adapun tipe konflik kedua Semarang. menyangkut perbedaan pandangan mengenai Kajian ini memperkuat pendapat DeliarNoer suatu masalah yang berhubungan dengan ke­ dan Bahtiar Effendy bahwa konflik yang melanda pentingan partai, atau kepentingan organisasi, NU saat berkiprah di lapangan politik, baik dalam atau masyarakat yang dianggap diwakili partai. hubungannya dengan pihak luar maupun konflik Perbedaan sikap dan pandangan yang berkaitan yang terjadi di antara sesama fungsionaris, lebih dengan kebijakan partai atau organisasi tentang disebabkan oleh faktor pragmatis yang terkait masalah-masalah yang berhubungan dengan dengan perebutan posisi atau kursi kekuasaan. kepentingan umum agaknya dapat dikelompok­ Ketika masih bernaung di PPP—yang di kan dalam kategori ini. dalamnya terdapat unsur NU—terjadi konflik Dukungan kiai khos kepada Alwi Shihab dan internal berkepanjangan di antara unsur-unsur Syaifullah Yusuf ditunjukkan dengan penolakan partai, khususnya antara NU dan Parmusi. Pokok- para kiai terhadap kebijakan penonaktifan pokok pertikaian itu, menurut analisis Bachtiar keduanya karena dinilai melanggar AD/ART Effendy,12 mulai dari isu-isu yang berkaitan dan peraturan partai serta mendesak untuk dengan komposisi kepemimpinan partai hingga mengembalikan posisi mereka sebagai syarat proses pencalonan wakil-wakil partai di par­ penyelesaian konflik internal PKB. Mereka lemen. Sebelumnya, ketika NU di tahun 1952 mempersilakan keduanya untuk melakukan per­ keluar dari Masyumi lantaran, menurut analisis lawanan dalam bentuk gugatan ke pengadilan. Deliar Noer,13 faktor kursi menteri agama yang Mereka juga menolak pelaksanaan Muktamar II tidak diberikan ke tangan NU. PKB di Semarang berikut seluruh produk dari Analisis di atas juga diperkuat oleh kesim­ muktamar tersebut dan memerintahkan Alwi pulan Kang Young Soon, yang menurutnya,14 Shihab dan Saifullah Yusuf untuk melaksanakan “muktamar yang benar”. Puncak perlawanan 10 Lihat Ramlan Surbakti, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Surabaya: kiai khos adalah ketika mereka memutuskan Airlangga University Press, 1984). Dalam dinamika kehidupan sosial dan politik tidak terhindarkan bahwa manusia pasti mendirikan partai politik baru bernama Partai menghadapi konflik serta keija sama. Menurut Duverger, politik Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dalam mempunyai dua aspek penting, yakni antagonis dan integrasi. pertemuan pada tanggal 21 November 2006 di Lihat Maurice Duverger, Sosiologi Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hlm. xxi dan 171. Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. 11 Austin Ranney mendefinisikan konflik sebagai “suatu ben­ Dalam konteks ini sikap para kiai itu tuk pertarungan antaranggota masing-masing yang mencoba dipandang sebagai refleksi atas keinginan untuk meraih tujuan yang berbeda dan memuaskan kepentingan yang berlawanan.” Lihat Austin Ranney, Goveming: An Introduction iqamatulhaqwal ‘adi (menegakkan kebenaran to Political Science, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1990), dan keadilan). Hal lain adalah mereka memaknai hlm. 27. penonaktifan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf 12 Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi itu sebagai puncak dari sikap pembangkangan Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998). kepada para kiai yang mendirikan PKB. Sikap

13 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Nahdlatul Ulama, 1984-1999”, Disertasi, tidak diterbitkan, (Jakarta: Grafiti, 1987), hlm. 80-82. (Depok: Bidang Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana 14 Kang Young Soon, “Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan FISIP UI, 2002).

34 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 29-40 kontroversial Abdurrahman Wahid, sebagaimana Mahrus Irsyam bahwa para kiai dan struktur bu­ tercantum dalam buku 9 Alasan Mengapa daya pesantren yang melingkupinya mempunyai Kiai-kiai Tidak (lagi) Bersama Gus Dur, juga masalah ketika berhadapan dengan dunia politik. memberikan kontribusi bagi lahirnya sikap Pola hubungan syuriyah (ulama) dan tanfidziyah untuk tidak lagi mendukung PKB di bawah (pelaksana) dalam tubuh NU yang diangkat dari kepemimpinan Abdurrahman Wahid itu. pola hubungan antara kiai dan santri yang tumbuh Melihat posisi dan sikap yang diambil oleh sebagai tradisi pesantren; justru setelah terlibat kiai khos itu maka dapatlah dikatakan bahwa dengan masalah-masalah politik seperti tersebut keberpihakan mereka kepada Alwi Shihab dan di atas maka syuriyah dan tanfidzyah pun sama- Syaifullah Yusuf membuat konflik internal PKB sama memainkan peran sebagai politisi. Artinya, ini semakin berat. Adalah bobot dari posisi kiai batas yang tegas dalam tradisi pesantren, yang khos dalam lanskap kultural NU itulah yang membedakan dan sekaligus mengatur hubungan membuat konflik ini lebih berat dan juga berbeda antara kiai dan santri di dunia pesantren menjadi jika dibandingkan konflik tahap pertama, yakni kabur (atau malah hilang sama sekali) ketika antara Abdurrahman Wahid dan Matori Abdul dipergunakan di dalam tubuh NU untuk mengatur Djalil. Dalam konflik pertama tersebut, praktis hubungan antara ulama dan politisi.16 * Matori Abdul Djalil tidak memiliki sandaran Dalam kasus konflik internal PKB tahap kultural yang membuatnya tidak memiliki le­ kedua ini sikap Abdurrahman Wahid adalah men­ gitimasi kuat dalam melawan Abdurrahman dukung Muhaimin Iskandar. Hal itu terlihat pada Wahid. Bahkan Abdurrahman Wahid sendiri saat reposisi Saifullah Yusuf yang diputuskan malah didukung oleh kiai khos yang tergabung dalam rapat yang dipimpinnya, yang kemudian dalam Forum Langitan itu. Dalam kasus konflik menunjuk Muhaimin Iskandar sebagai pengganti internal PKB, baik yang pertama maupun kedua, Saifullah Yusuf. Muhaimin Iskandar yang men­ posisi para kiai kharismatik selalu ada di baris jabat sebagai wakil ketua DPR ini juga direstui depan sebuah konflik dan sekaligus berposisi oleh Abdurrahman Wahid untuk maju dalam sebagai patron. pemilihan ketua umum Dewan Tanfidz DPP PKB Pergeseran dukungan kiai khos dari semula dalam Muktamar II PKB di Semarang. Restu mendukung Abdurrahman Wahid dalam konflik dari Abdurrahman Wahid ini diperlukan karena internal tahap pertama menjadi berlawanan dalam berdasarkan ketentuan persyaratan calon ketua konflik tahap kedua, menunjukkan walaupun umum adalah calon memang dipersyaratkan tidak memiliki pola hubungan patron-klien namun bermasalah dengan Dewan Syuro yang dalam relasi ini bisa berubah karena hal-hal yang hal ini adalah Abdurrahman Wahid. Muhaimin bersifat pragmatis. James Scott menyebut Iskandar akhirnya terpilih sebagai ketua umum bahwa faktor penting dalam patron-klien adalah Dewan Tanfidz DPP PKB, selain Abdurrahman hubungan kekuasaan.15 Bentuk konkret dari Wahid yang juga terpilih sebagai ketua umum perubahan relasi ini adalah adanya perpecahan Dewan Syuro DPP PKB Periode 2005-2010. kelompok karena adanya patron kecil atau klien Kubu Abdurrahman Wahid menilai pelaksanaan yang merasa layak menjadi patron atau elite. dan seluruh hasil Muktamar II PKB di Semarang Dalam dunia politik, menurut Maswadi Rauf, telah sah, legitimate, dan konstitusional. Sebuah perubahan komposisi itu bisa berupa perubahan penilaian yang ditentang oleh kubu Alwi Shihab- aliansi politik dalam bentuk perpecahan antara Saifullah Yusuf yang didukung oleh kiai khos pemimpin partai dan elite partai. yang tergabung dalam Forum Langitan. Kasus penonaktifan Alwi Shihab dan Penonaktifan itu juga menunjukkan kuatnya Syaifullah Yusuf ini merupakan puncak kekece­ faktor Abdurrahman Wahid dalam tubuh PKB waan kiai khos atas kepemimpinan Abdurrahman karena ditopang oleh setidaknya dua hal. Per­ Wahid. Kasus ini juga memperkuat pandangan tama, legitimasi kultural yang dia peroleh dari komunitas nahdliyin sebagai akibat dari garis 15 James S. Scott sebagaimana dikutip Maswadi Rauf dalam Konsensus dan Konflik: Sebuah Penjajagan Teoritis, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan 16 Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik: Upaya Mengatasi Nasional, 2000), hlm. 92. Kritis, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), hlm. 8.

Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 35 keturunan yang bermuara kepada pendiri NU. lain.18 Kasus konflik internal PKB tahap kedua Dalam konteks budaya patemalistik yang kuat ini, sekali lagi, menunjukkan dugaan tentang di kalangan nahdliyin, dengan garis keluarga sifat-sifat pribadi dan karakteristik kejiwaan yang dimiliki Abdurrahman Wahid ini praktis dalam diri Abdurrahman Wahid sebagai penye­ menempatkannya dalam posisi strategis. Kedua, bab kemunculan konflik. legitimasi struktural yang ditunjukkan dengan Konflik internal PKB itu juga menunjuk­ posisi Abdurrahman Wahid selaku ketua Dewan kan Abdurrahman Wahid mengalami “proses Syuro DPP PKB. Lembaga ini sangat menentukan dekarismatisasi” yang ditandai dengan kiai khos di mana setiap keputusan strategis partai harus yang menjadi salah satu rujukan utama warga dikonsultasikan dengan Dewan Syuro. NU dalam berpolitik memosisikan Abdurrahman Kedua kondisi itu mempercepat Abdurrah­ Wahid sebagai lawan politik mereka. Padahal man Wahid untuk masuk ke dalam apa yang pada konflik internal PKB yang pertama, Abdur­ disebut oleh Robert Michels sebagai “hukum besi rahman Wahid memperoleh dukungan riil dari oligarki” yang menggambarkan suatu ironi dari kiai khos. Sebelumnya dukungan yang sama demokrasi, yakni bahwa organisasi demokratis untuk perebutan kursi presiden juga ia peroleh semodern apa pun tidak dapat sepenuhnya pada saat pelaksanaan Sidang Umum MPR tahun menolak kecenderungan yang sesungguhnya 1999 dan juga ketika MPR menjatuhkannya merupakan bentuk lain dari sikap yang tidak dalam Sidang Istimewa tahun 2001. Dalam demokratis. Ciri terpenting dari kecenderungan Muktamar NU ke-31 di Donohudan, Boyolali, oligarkis yang melanda partai politik adalah Jawa Tengah tanggal 28 November-2 Desember diperlihatkannya sikap antikritikpara pemimpin­ 2004, Abdurrahman Wahid juga dikalahkan oleh nya.17 K.H. Hasyim Muzadi secara mutlak. Kiprah kontroversial Abdurrahman Wahid Beberapa kasus di atas memperkuat studi yang menuai konflik dengan pelbagai pihak Mohammad Ihyak yang dengan menggunakan selama ini memunculkan dugaan tentang sifat- perspektif sosiologi memberikan gambaran sifat pribadi dan karakteristik kejiwaan dalam proses terjadinya dekarismatisasi Abdurrahman dirinya sebagai penyebab kemunculan konflik. Wahid. Dia membaginya ke dalam lima fase. Maurice Duverger, misalnya, menunjuk sifat- Pertama, terhitung sejak berubahnya strategi sifat pribadi dan karakteristik kejiwaan yang perjuangan dan pengabdian Abdurrahman dimiliki individu sebagai penyebab konflik. Teori Wahid dari yang bersifat kultural ke politik Duverger tentang penyebab konflik menunjukkan praktis. Kedua, internalisasi nilai-nilai politik bahwa konflik kelompok dapat pula ditimbulkan menjadi tujuan kekuasaan. Ketiga, mengerasnya oleh bakat-bakat individual selain tentu saja respons dan kritik masyarakat terhadap pemerin­ merupakan penyebab terjadinya konflik pribadi. tahan pimpinan Abdurrahman Wahid. Keempat, Tidaklah mengherankan apabila individu yang mengkristalnya perlawanan berbagai komponen mempunyai kecenderungan berkompetisi atau masyarakat terhadap kekuasaan Abdurrahman selalu tidak puas terhadap pekeijaan orang lain Wahid. Kelima, langgengnya Abdurrahman selalu terlibat konflik dengan orang lain di mana Wahid di dunia politik praktis.19 pun ia berada. Masalah akan terjadi apabila Dari konflik internal PKB, tahap kedua ini bakat-bakat individual seperti itu menimbulkan melahirkan PKNU yang disokong oleh para kiai konflik kelompok sehingga menimbulkan khos yang tergabung dalam Forum Langitan, dampak yang jauh lebih besar dibandingkan pindahnya Syaifullah Yusuf ke PPP, kubu Alwi konflik pribadi. Lebih berbahaya lagi jika kondisi Shihab yang sedang menanti hasil peninjauan tersebut terdapat pada pemimpin sebuah partai kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) se­ politik, yang akan selalu menyeret kelompoknya ke dalam konflik dengan kelompok-kelompok 18 Maurice Duverger, sebagaimana dikutip Maswadi Rauf, op. cit., hlm. 174. 19 Mohammad Ihyak, "Dekarismatisasi Gus Dur: Studi ten­ 17 Lebih jauh lihat Robert Michels, Partai Politik: Kecende­ tang Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid dalam Politik rungan Oligarkhis dalam Birokrasi, (Jakarta: Rajawali Press, Praktis”, (Tesis pada Program Pascasarjana Sosiologi FISIP 1984). UI, 2004).

36 | Jumal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 | 29^40 bagai upaya hukum paling akhir, dan keberadaan Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf yang terus PKB pimpinan Abdurrahman Wahid dan dipersoalkan, tetapi juga menyeret Abdurrahman Muhaimin Iskandar itu sendiri. Dapat dikatakan Wahid dan kiai khos yang tergabung dalam bahwa pembentukan PKNU dan pindahnya Forum Langitan ke dalam pusaran konflik yang Syaifullah Yusuf ke PPP adalah klimaks konflik nyaris tiada henti. internal PKB setelah melalui proses panjang yang Upaya lain dalam menyelesaikan konflik melelahkan. internal PKB adalah dengan menggunakan jalur politik. Kedua belah pihak mengambil langkah- Upaya Penyelesaian Konflik langkah di luar instrumen organisasi dan di luar Ada tiga upaya penyelesaian konflik yang dilaku­ jalur hukum untuk mengukuhkan eksistensi kan, yaitu secara organisasi, hukum, dan politik, masing-masing. Dalam konteks penyelesaian namun pada akhirnya semuanya gagal untuk konflik internal PKB secara politik ini ada dua mempertahankan keutuhan PKB. Penyelesaian langkah yang ditempuh, yaitu kedua belah secara formal organisasi, yakni dengan meng­ pihak berusaha untuk mendapatkan legitimasi gunakan instrumen yang diatur dalam ketentuan dari pemerintah. Setelah upaya organisasi dan internal partai seperti AD/ART dan peraturan hukum gagal, salah satu kubu keluar dari PKB partai. Dalam AD/ART PKB tidak ada pasal yang dan membentuk partai politik baru. mengatur secara spesifik mengenai penyelesaian Hasil kajian ini menunjukkan bahwa kega­ konflik internal. Hal itu tampak dari saling klaim galan seluruh upaya penyelesaian konflik di atas sebagai pihak yang benar dari para pihak yang disebabkan oleh empat faktor berikut. Pertama, berkonflik dengan menggunakan landasan AD/ AD/ART PKB yang memberi kewenangan ART dan peraturan partai. Hasilnya, seluruh terlampau besar kepada Dewan Syuro yang aturan main tersebut tidak mampu menyelesaikan dipimpin Abdurrahman Wahid. Kewenangan sengketa. Akhirnya cara terakhir dalam bingkai Dewan Syuro yang terlampau besar itu terlihat organisasi yang diharapkan untuk menyelesaikan dalam ketentuan Anggaran Dasar (AD) PKB masalah ini adalah dengan penyelenggaraan hasil Muktamar Luar Biasa Yogyakarta pada Bab muktamar. Persoalannya adalah terjadi polemik IX Susunan Pengurus Partai Pasal 16 ayat (1) di antara dua kubu yang saling bertikai terkait yang menyebutkan bahwa “Dewan Syuro adalah dengan keabsahan dari pelaksanaan muktamar itu Pimpinan Tertinggi Partai yang menjadi rujukan sendiri. Masalah lainnya adalah soal keabsahan utama kebijakan-kebijakan umum Partai.” Ke­ forum yang memutuskan penonaktifan Alwi wenangan yang besar ini membuat Dewan Syuro Shihab dan Syaifullah Yusuf dari posisi ketua dapat mengambil beberapa kebijakan strategis. umum dan sekretaris jenderal DPP PKB periode Kedua, sejak awal kemunculan konflik tiap- 2002-2005. tiap pihak sudah bersikukuh dengan sikapnya Forum muktamar di Semarang yang diharap­ dan sangat yakin bahwa kubunya-lah yang kan mampu menjadi ajang rekonsiliasi sekaligus benar. Kubu Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf mengakhiri konflik para pihak yang bertikai bertolak dari pandangan bahwa penonaktifan itu malah semakin memperberat bobot konflik itu tidak sah lantaran mereka dipilih lewat forum sendiri. Setelah upaya organisasi dengan meng­ muktamar. Karena dipilih dalam forum muktamar gelar muktamar dilaksanakan dan tidak mampu maka mereka berpandangan bahwa harus ada membuahkan hasil, para pihak yang bertikai pertanggungjawaban dalam forum muktamar melanjutkan perseteruan mereka ke lembaga dan pemberhentian juga harus dilakukan melalui pengadilan. Penyelesaian secara yuridis, yakni forum muktamar. Sebaliknya, kubu Abdur­ dengan menyerahkan pada lembaga pengadilan rahman Wahid dan Muhaimin Iskandar juga ini diambil lantaran mekanisme internal organi­ menggunakan argumentasi formal prosedural sasi tidak mampu menyelesaikan konflik internal untuk membenarkan langkah mereka termasuk PKB. Alih-alih berakhir praktis pasca-Muktamar dalam menyelenggarakan Muktamar II PKB di Semarang, konflik internal PKB justru semakin Semarang. berat. Tidak hanya isu pencopotan terhadap

Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 37 Ketiga, jalur hukum sebagai cara untuk Penutup mendapatkan kepastian perihal siapakah yang Dalam kasus konflik internal PKB ini konsensus benar dalam kasus konflik internal PKB ini justru itu tidak terbentuk, yakni kedua belah pihak tidak menghasilkan keputusan yang tidak jelas. Kepu­ berhasil mencapai titik temu. Implikasi teoretis tusan Mahkmah Agung Nomor 1896 K/P.dt./2005 dari kajian konflik internal PKB tahap kedua ini tertanggal 15 November 2005 atas Perkara Kasasi adalah pertama, konflik internal yang melanda Perdata antara Alwi Abdurrachman Shihab (Alwi PKB dipicu oleh masalah yang bersifat pragmatis, Shihab) melawan K.H. Abdurrahman Wahid dkk., yakni terkait dengan posisi atau jabatan di dalam yang mestinya menjadi lembaga pemberi kepas­ partai. Faktor pemicu yang bersifat pragmatis itu tian hukum terakhir malah dinilai mengambang tidak hanya berlaku ketika kalangan nahdliyin dan juga memunculkan klaim saling menang di bergabung dengan komponen bangsa yang lain­ antara kedua kubu yang berseteru. Keputusan MA nya, seperti ditunjukkan oleh studi Deliar Noer itu membuat posisi pemerintah menjadi sulit dan (kasus NU keluar dari Masyumi)20 dan Bahtiar pada akhirnya tidak mampu mengambil sikap Effendy (kasus NU keluar dari PPP)21, namun yang tegas pula. Ketidaktegasan tersebut terlihat studi ini menunjukkan bahwa faktor pragmatis itu dengan diterimanya kepengurusan DPP PKB juga berlaku saat konflik terjadi di antara sesama hasil Muktamar Semarang (kubu Abdurrahman fungsionaris partai. Studi Kang Young Soon yang Wahid dan Muhaimin Iskandar) dan Muktamar menyimpulkan bahwa konflik merupakan salah Surabaya (kubu Alwi Shihab dan Syaifullah satu tradisi NU nampaknya perlu ditambah de­ Yusuf). ngan penjelasan konflik yang dipicu oleh masalah Keempat, memang ada upaya penyelesaian pragmatisme kekuasaan, yang merupakan salah konflik internal PKB di luar jalur organisasi, satu tradisi NU. hukum, dan politik, seperti seruan ishlah atau Kedua, terjadi pergeseran nilai dalam perdamaian dari pelbagai pihak. Penyelesaian hubungan kiai-santri dalam tradisi pesantren cara NU, yakni dengan usaha mempertemukan yang menganut pola hubungan patron-klien patron dari masing-masing kubu, yakni K.H. ketika kalangan nahdliyin berkiprah di wilayah Abdullah Faqih dan Abdurrahman Wahid juga politik. Kasus konflik internal PKB ini menunjuk­ sempat diupayakan. Namun, tiga kali upaya kan bahwa sikap saling percaya yang menjadi pertemuan tersebut dilakukan dan gagal. Bagi unsur pembentuk budaya pesantren bisa dengan kubu Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf, cara cepat berubah lantaran masalah pragmatisme kultural itu tidak akan menyelesaikan persoalan kekuasaan. Perubahan itu terlihat dengan posisi karena kasus konflik ini berada di wilayah politik dan sikap yang diambil kiai khos yang tergabung yang penyelesaiannya harus tunduk kepada dalam Forum Langitan yang semula menjadi hukum yang berlaku. Perdamaian yang dilakukan pendukung Abdurrahman Wahid kini berbalik atas fasilitas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi saling berhadapan. Alwi Shihab yang juga pemah diupayakan, namun juga berujung dulu didukung Abdurrahman Wahid untuk pada kegagalan. Kiai khos yang tergabung dalam menjadi ketua umum Dewan Tanfidz DPP PKB Forum Langitan memang pemah menawarkan pada muktamar luar biasa PKB di Yogyakarta ishlah dengan syarat kubu Muhaimin Iskandar juga kini berbalik menjadi saling berhadapan. mengakui apa yang mereka klaim sebagai Ketiga, Abdurrahman Wahid bukan lagi kekalahan hukum menyusul putusan MA dan satu-satunya determinant factor di tubuh PKB, tunduk pada kemauan pihak Alwi Shihab dan atau setidaknya kini dia mengalami proses Syaifullah Yusuf. Sebuah syarat yang tentu dekarismatisasi. Bahwa benar konflik ini tercipta tidak bakal disetujui oleh Muhaimin Iskandar lantaran posisi kultural dan struktural Abdur­ dan juga Abdurrahman Wahid yang belakangan rahman Wahid yang kuat, namun kasus konflik mengampanyekan forum kiai kampung sebagai internal PKB ini juga menunjukkan aktor penting tandingan terhadap kiai khos. di tubuh PKB kini sudah menyebar, yakni selain

20 Lebih lanjut lihat Deliar Noer, op cit. 21 Lebih lanjut lihat Bahtiar Effendy, op cit.

38 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013 j 29—40 Abdurrahman Wahid sendiri juga ada kiai khos Michels, Robert. 1984. Partai Politik: Kecenderung­ yang tergabung dalam Forum Langitan dengan an Oligarkhis dalam Birokrasi. Jakarta: Raja­ tokoh utamanya K.H. Abdullah Faqih. wali Press. Muhammad, Munib Huda (Ed.). 1998. Pro Kontra Ketidakmampuan elite PKB dalam menyele­ Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta: Penerbit saikan konflik internal tidak hanya pada periode Fatma Press. 2004-2007 itu, namun juga hingga menjelang Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional pelaksanaan Pemilu 2014. PKB tetap terbelah 1945-1965. Jakarta: Grafiti. menjadi dua kubu, yakni antara kubu Muhaimin Ranney, Austin. 1990. Governing: An Introduction Iskandar dan kubu Yeni Wahid dengan partainya, to Political Science. New Jersey: Prentice- Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PK- Hall, Inc. BIB), gagal menjadi peserta Pemilu 2014. Rauf, Maswadi. 2000. Konsensus dan Konflik: Se­ buah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pen­ Daftar Pustaka didikan Nasional. Salim H.S., Hairus e t al. 1999. Tujuh Mesin Pendu­ Buku lang Suara. Yogyakarta: LKiS dan CH-PPS Julial. Suryakusuma. \999. Almanak Parpol Indone­ Gamiran. sia. Jakarta: Yayasan API. Salim, Arskal. 1999. Partai Islam dan Relasi Agama- Duverger, Maurice. 1985. Sosiologi Politik. Jakarta: Negara. Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta. Rajawali Press. Soon, Kang Young. 2002. “Antara Tradisi dan Konflik: Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transfor­ Kepolitikan Nahdlatul Ulama, 1984-1999”. masi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Disertasi. Depok: Bidang Studi Ilmu Politik Indonesia. Jakarta: Penerbit Paramadina. Program Pascasaijana FISIP UI. Ihyak, Mohammad. 2004. “Dekarismatisasi Gus Surbakti, Ramlan, 1984. Dasar-dasar Ilmu Politik. Dur: Studi tentang Kepemimpinan K.H. Surabaya: Airlangga University Press. Abdurrahman Wahid dalam Politik Praktis”. Tesis Magister. Depok: Program Pascasarjana Surat Kabar dan Website Sosiologi FISIP UI. Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Irsyam, Mahrus. 1984. Ulama dan Partai Politik: Partai-Partai di Kalangan NU”, Republika, 3 Upaya Mengatasi Kritis. Jakarta: Yayasan Oktober. Perkhidmatan. Wicaksono, DHB. 2005 “KH Abdullah Faqih: Sosok Kahin, George McTuman. 1980. Nasionalisme dan Kiai Waskita yang Disegani Gus Dur”, [on- Revolusi di Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan line\ dalam www.hidayatullah.com [diakses 9 Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Mei 2005]. Malaysia.

Konflik Internal Partai Politik: Studi Kasus Partai Kebangkitan Bangsa | Kamarudin | 39