PROTEKTORASI INGGRIS

TERHADAP KESULTANAN DARUSSALAM (Tahun 1888)

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Strata Satu (S1) (Dosen Pembimbing: Dr. Parlindungan Siregar, MA)

Oleh: Bahriyatul Arif NIM: 105022000832

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011 M/1432 H

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan meraih gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil dari karya saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Agustus 2011

Bahriyatul Arif ABSTRAKSI

Nama : Bahriyatul Arif (105022000832) Judul : Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei Darussalam (Tahun 1888)

Kesultanan Brunei Darussalam merupakan salah satu Kesultanan Islam di tanah Melayu yang dalam perkembangannya mengalamai pasang surut. Kedatangan Islam di Brunei hampir sama prosesnya seperti yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada umumnya, proses ini berlangsung dengan cara damai dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Masuk Islamnya Awang Alak Betatar secara otomatis merubah sistem pemerintahan dari sebuah kerajaan menjadi kesultanan Islam. Ketika Hashim Jalilul Aqamaddin naik takhta, ia mengambil langkah untuk mempertahankan sisa wilayah Brunei dengan melindungi Limbang ketika Charles Brooke (sepupu ) menempatinya. Namun demikian, dia tidak mampu melakukannya dan dia tidak berhasil untuk mencegah kerugian lebih lanjut dari caplokan keluarga Brooke. Sultan Hashim tidak memiliki kekuatan militer yang cukup kuat untuk menegakkan amanat tersebut. Awal tahun pemerintahannya, Sultan Hashim menghadapi kesulitan terbesar karena dihadapkan pada tekanan dari keluarga Brooke dan British North Company (BNBC). Beberapa faktor yang melatar belakangi perjanjian perlindungan 1888 yang menjadikan Brunei sebagai negara atau wilayah naungan Inggris adalah Perluasan wilayah yang dilakukan Brooke di Serawak dan aktifitas BNBC di . Kedua pihak tersebut menguasai, memerintah secara penuh, mengeksploitasi sumber daya alam setempat, menghilangkan peran pembesar- pembesar setempat dan memonopoli semua perdagangan yang ada. Kondisi internal kesultanan dengan adanya perpecahan dan juga maraknya aktifitas bajak laut semakin memperburuk keadaan kesultanan. Campur tangan Brooke dan BNBC membuat masyarakat setempat melakukan perlawanan untuk mempertahankan kehidupan mereka. Meskipun dalam perjanjian perlindungan 1888 tersebut menyebutkan bahwa Brunei menjadi naungan Inggris, akan tetapi dalam prakteknya banyak butir-butir dari perjanjian tersebut yang tidak di patuhi oleh Inggris. Tindakan Ini berdampak pada hilangnya kedaulatan dan menyusutnya wilayah Kesultanan Brunei Darussalam yang di rebut oleh Brooke dan BNBC. Kedua perjanjian tersebut tidak mampu memberikan taraf perlindungan yang sepenuhnya kepada Brunei Darussalam. Ini adalah karena Inggris pada masa itu lebih mengutamakan kepentingan Inggris, khususnya rezim Brooke di Sarawak dan Syarikat Borneo Utara. Akibatnya, sedikit demi sedikit wilayah Kesultanan Brunei terkikis seperti yang kita lihat sekarang.

i

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi SAW yang diutus menyeru kepada iman, menuntun kepada jalan lurus, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari segala yang munkar.

Selanjutnya selama penyusunan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang penulis hadapi baik dari segi teknis maupun keterbatasan waktu, meskipun begitu semua ini tidak menyurutkan keinginan penulis untuk tetap menyelesaikan kewajiban serta tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa di kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam perkuliahan di Jurusan

Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, adapun tujuan penulisan skripsi ini salah satunya seabagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Humaniora (S. Hum).

Pada akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan doa kepada:

1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, bapak Dr. H. Abdul Wahid Hasyim M.Ag., beserta

PUDEK I, II, III.

2. Bapak Drs. H. Ma’ruf Misbah, MA. dan Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd.

selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

ii

3. Bapak Prof. Dr. M. Dien Majid dan Ibu Awalia Rahma, MA. Yang telah

berkenan untuk menguji penulis pada sidang munaqasyah.

4. Bapak Dr. Parlindungan Siregar, MA. yang telah dengan sabar dan teliti

dalam memberikan bimbingan kepada penulis.

5. Ibu H. Tati Hartimah., selaku Dosen Penasehat Akademik

6. Seluruh staf dosen dan karyawan Fakultas Adab dan Humaniora,

khususnya dosen jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

7. Staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan

Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

(PNRI), Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah banyak memberikan data

referensi kepada penulis.

8. Kedua orangtua, ayahanda H. Ma’muri dan Ibunda Hj. Sriyati, do’a restu

yang tak pernah putus beliau panjatkan agar penulis dapat terus dan kuat

untuk menyelesaikan skripsi, rasa cinta dan kasih sayang beliau yang

begitu besar.

9. Adikku Zahrotun Nisa dan Ahmad Faiz al-Kautsar terimakasih atas doa

dan semangat kalian mendukung penulis menyelesaikan skripsi.

10. Keluarga besar H. Shobirin dan Ibu Hj. Nur khasanah, yang telah banyak

memberikan bantuan moril maupun materil serta do’a sehingga penulis

bisa menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan SPI angkatan 2005, khususnya kepada rekan-

rekan aktifis KOST-an, tanpa mengurangi rasa hormat saya dengan tidak

iii

menyebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuannya. Akhirnya aku bisa

tidur lebih cepat.

Penulis hanya dapat berdo’a semoga bantuan dan amal baiknya mendapat imbalan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mohon kritik dan saran yang membangun dalam rangka saling mengingatkan antar sesama manusia guna untuk menuju kearah kehidupan yang lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 10 Agustus 2011 Romadhon 1432 H

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...... 5

C. Metode Penelitian...... 5

D. Studi Kepustakaan ...... 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8

F. Sistematika Penulisan...... 9

BAB II KESULTANAN BRUNEI DARUSSALAM

A. Letak Geografi...... 10

B. Islamisasi dan Berdirinya Kesultanan Brunei Darussalam ...... 11

C. Pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin ...... 14

D. Sistem dan Struktur Pemerintahan ...... 16

BAB III LATAR BELAKANG PROTEKTORASI INGGRIS

A. Kondisi Kesultanan Brunei Darussalam ...... 23

1) Disintegrasi Internal Istana...... 23

2) Kondisi Sosial Masyarakat...... 28

v

B. Hubungan Kesultanan Brunei Darussalam dengan Inggris...... 30

1) James Brooke dan Perluasan Wilayahnya...... 32

2) British North Borneo Company...... 35

BAB IV DAMPAK PROTEKTORASI INGGRIS

A. Analisa terhadap Perjanjian Perlindungan 1888 ...... 38

B. Dampak dan Respon terhadap Protektorasi Inggris ...... 44

1) Politik ...... 44

2) Ekonomi ...... 47

3) Respon Masyarakat Sabah dan Serawak terhadap Inggris...... 50

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 55

DAFTAR PUSTAKA ...... 57

Lampiran-lampiran

vi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama beberapa abad orang-orang Kristen di Eropa telah berjuang untuk mempertahankan diri dari serangan tentara Islam. Spanyol dan Portugis berhasil menaklukan tentara Islam yang telah menguasai Jazirah Iberia menjelang tahun

1250. Namun demikian baru tahun 1492 tentara Islam benar-benar mundur dari

Eropa setelah benteng yang terakhir yaitu Granada jatuh ke tangan bangsa Eropa.

Disamping jatuhnya Romawi Timur pada tahun 1453, hubungan dagang antara

Eropa dan Asia lewat Laut Tengah terputus, akibatnya bangsa-bangsa Eropa tidak mendapatkan lagi rempah-rempah dari dunia timur lewat Asia Barat yang telah dikuasai tentara Islam. Oleh karena itu Bangsa Eropa yang dipelopori oleh

Portugis dan Spanyol berusaha keras untuk mencari rempah-rempah langsung ke sumbernya.

Selain putusnya hubungan perdagangan antara Eropa dan Asia, semangat bangsa Eropa untuk ke Asia itu juga dipengaruhi oleh berita Marco Polo1.

Menurut berita tersebut, dunia timur (Asia Tenggara) memiliki tanah yang subur dan hasil rempah-rempah serta penduduknya ramah tamah, tanaman di dunia timur tidak pernah mengalami musim gugur seperti di Eropa, karena itu bangsa

Eropa semakin terdorong dan berlomba-lomba mencari jalan ke Asia Tenggara lewat samudera.

1 Kardiyat Wiharyanto, Asia Tenggara Zaman Pranasionalime, Jogjakarta: Universitas Sanata Dharma, 2005, hal 94.

1

2

Setelah bangsa Eropa menemukan jalur baru pelayaran ke Asia Tenggara, baru pada sekitar tahun 1511 dengan penaklukan Malaka oleh Portugis, bangsa- bangsa Eropa lainnya seperti Belanda, Spanyol dan Inggris mengikuti jejak

Portugis untuk mencari rempah-rempah dan bahan makanan lainnya. Di kemudian hari bangsa Belanda berhasil menduduki daerah Indonesia yang merupakan daerah terluas di kawasan Asia Tenggara; Spanyol berhasil menduduki wilayah

Filipina dan Inggris berhasil menguasai Singapura, Malaysia dan Brunei

Darussalam.

Kekuasaan bangsa Eropa di Asia Tenggara berlangsung cukup lama terhitung sejak takluknya Malaka abad ke 16 sampai pecahnya perang dunia II yang berdampak pada kemerdekaan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dari tangan penjajah Eropa. Selama itu pula bangsa Eropa mengeksploitasi sumber daya alam serta pengaruhnya di Asia Tenggara, dengan misi Gold, Glory, Gospel.

Penetrasi bangsa Eropa di wilayah Asia Tenggara membuat kekuasaan legitimasi raja-raja berangsur memudar, beberapa tempat strategis berhasil dikuasai seperti bandar pelabuhan dan memonopoli komoditas perdagangan, yang berdampak pada banyaknya pedagang mencari alternatif tempat lain untuk melanjutkan aktifitas perdagangannya. Pilihan untuk mencari alternatif lain ini sebenarnya membuka jalur perdagangan baru dengan menjadikan wilayah tertentu untuk berkembang dan berbanding lurus dengan semakin meratanya penyebaran

Islam di Asia Tenggara.

Kesultanan Brunei Darussalam menjadi salah satu alternatif ketika pusat perdagangan sebelumnya Malaka berhasil dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511

3

M.2 Malaka selain menjadi pusat perdagangan juga menjadi pusat bertemunya para pedagang-pedagang Muslim untuk menyebarkan agama Islam ke penjuru wilayah Asia Tenggara.

Brunei Darussalam dalam hal ini merupakan wilayah yang tak lepas dari sistem protektorasi bangsa Inggris hampir selama 100 tahun berikutnya.

Protektorasi bangsa Inggris terhadap Brunei Darussalam bukan tanpa alasan, misi ekspansionis Kerajaan Inggris membuat pencarian rute baru jalur perdagangan sebagai dampak dari revolusi industri pertengahan abad 19. Inggris mendarat di

Brunei bertepatan dengan kondisi internal kesultanan Brunei yang sedang terjadi perebutan kekuasaan diantara penguasanya. Kondisi ini menjadi sangat penting ketika bangsa Inggris datang dan menawarkan bantuan kepada salah satu pihak penguasa kesultanan Brunei. Bangsa Inggris tentunya tidak memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada salah satu pihak tersebut, namun bantuan yang ditawarkan Inggris ini merupakan pintu masuk untuk dapat menguasai daerah kekuasaan kesultanan Brunei secara bertahap.

Dalam masa-masa perebutan kekuasan itu, terjadi berbagai pemberontakan yang terjadi di wilayah Serawak yang dimotori oleh aristokrat Melayu Serawak dengan para pemimpin suku Dayak. Sebab utama dari pemberontakan itu adalah adanya tekanan dari Putra Mahkota yang telah menghancurkan kekayaan setempat dengan cara memonopoli seluruh produksi timah dan perdagangan secara umum dan berusaha menekan tanah Dayak untuk memenuhi kebutuhan produksi timah dengan cara menguras tenaga para buruhnya tanpa bayaran.

2 Masudul Hasan, History of Islam, Delhi: Adam Publisher & Distributor, 1995, hal 329.

4

Karena merasa tidak mampu memadamkan pemberontakan tersebut, Raja

Muda Hassim meminta bantuan James Brooke. Kepada James Brooke ditawarkan jabatan gubernur Serawak, jika mampu memadamkan pemberontakan tersebut.

Akhirnya berkat bantuan tersebut pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah itu perjanjian antara Brooke dengan Raja Muda Hassim ditanda-tangani tanggal 24

September 1841 dimana Brooke menjadi gubernur yang memiliki kekuasaan penuh atas Serawak.3

Munculnya James Brooke sebagai penguasa Serawak membuka tirai baru penguasaannya atas beberapa wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei berikutnya.

Beberapa perjanjian berikutnya seperti perjanjan persahabatan-perdagangan 1847 dan perjanjian perlindungan 1888 antara kerajaan Inggris dan Sultan Hashim

Jalilul Aqmaddin menandai kerjasama antara Inggris dengan sultan yang sebenarnya hanya menguntungkan pihak Inggris saja dan berdampak pada hilangnya kedaulatan sultan sebagai pemimpin pemerintahan kesultanan dan juga meyusutnya wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei Darussalam.

Dari sinilah awal kekuasaan Inggris dimulai yang kemudian berlanjut hampir selama seratus tahun menancap kokoh diatas bumi Brunei Darussalam.

Penulis merasa tertarik dan bermaksud menyusun skripsi ini dengan mengambil judul “Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei Darussalam (Tahun

1888)”.

3 Mary Turnbull, A , Singapore and Brunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, hal. 157.

5

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini bersifat kesejarahan, untuk menghindari melebarnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi pembahasannya pada “Latar Belakang dan Dampak Protektorasi Inggris 1888”.

Adapun pembahasan skripsi ini dirumuskan dalam tiga pertanyaan:

1) Bagaimanakah Sejarah Kesultanan Brunei Darussalam?

2) Apakah latar belakang munculnya kebijakan protektorasi?

3) Bagaimana kondisi atau dampak dari Protektorasi Inggis?

C. Metode Penelitian

Pembahasan “Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei

Darussalam (Tahun 1888)” menggunakan pendekatan dari ilmu sosiologi, politik dan ekonomi. Dengan demikian diharapkan dapat membantu menjelaskan penelitian ini, sebagai contoh, konsep interaksi sosial untuk menerangkan hubungan atau interaksi dengan individu atau kelompok lain; konsep kekuasaan untuk membantu menjelaskan hubungan raja dengan rakyat; sistem monopoly, membantu menerangkan hubungan perdagangan. Dengan memggunakan pendekatan multidimensional diharapkan dapat memberikan gambaran sejarah menjadi lebih kuat dan menyeluruh karena hubungan antara suatu aspek memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.4

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis

4 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 87

6

rekaman dan peninggalan masa lampau.5 Untuk menganalisis suatu peristiwa, menurut metode penelitiaan sejarah, dilakukan melalui empat tahapan,6 sebagai berikut:

1) Heuristik: Mengumpulkan sumber-sumber berupa buku, jurnal,

seminar dan beberapa tulisan ahli sejarah Asia Tenggara, khususnya

yang membahas tentang Kesultanan Brunei Darussalam baik masa-

masa awal berdiri hingga masa protektorasi Inggris.

2) Kritik: Sumber-sumber yang terkumpul kemudian dilakukan kritik

sumber. Baik kritik terhadap sumber primer ataupun kritik terhadap

para peneliti mengenai sejarah dan kondisi kesultanan Brunei

Darussalam pada masa Protektorasi Inggris.

3) Interpretasi: Interpretasi adalah pemahaman yang mendalam mengenai

teks-teks yang telah melalui fase kritik, di mana penulis sudah

menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang

dibahas.

4) Historiografi: Pemahaman yang diperoleh setelah melalui beberapa

tahap, ditransfer dalam bentuk tulisan dengan metode deduktif, dengan

pola umum-khusus, yakni dimulai dari Sejarah Kesultanan hingga

masa protektorasi Inggris.

5 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI Press, 1983, hal. 32 6 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. 54-55

7

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press.7

D. Studi Kepustakaan

Setidaknya ada dua sumber yang membahas tentang Brunei Darussalam yang saya peroleh dari perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah, anatara lain:

Pertama, Muhammad Soheh, Eksistensi Kesultanan Brunei Darussalam Pasca

Kejatuhan Malaka, Tesis: Program Studi SPI Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2003.8 Muhammad Soheh dalam tesisnya tersebut menjelaskan tentang kondisi Kesultanan Brunei Darussalam ketika Portugis berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 dari sudut pandang perdagangan

(ekonomi) sampai masa kedatangan James Brooke ke Brunei. Kedua, Awang

Mohammad Jamil al Sufri, Liku-liku Perjuangan Pencapaian Kemerdekaan

Negara Brunei Darussaalam. : Jabatan Percetakan Kerajaan

Kementerian Undang-undang Brunei Darussalam 1992.9 Dalam bukunya ini

Awang Mohammad Jamil al Sufri menjelaskan tentang asal usul, proses

Islamisasi dan usaha-usaha yang dilakukan oleh Kesultanan Brunei Darussalam dalam mencapai kemerdekaannya. Kedua sumber tersebut tidak membahas secara lebih rinci latar belakang kebijakan protektorasi dan perjanjian-perjanjian apa saja yang disepakati antara Inggris dan Brunei.

7 Hamid Nasuhi dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. 8 Muhammad Soheh, Eksistensi Kesultanan Brunei Darussalam Pasca Kejatuhan Malaka, Tesis: Program Studi SPI Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2003. 9 Awang Mohammad Jamil al Sufri, Liku-liku Perjuangan Pencapaian Kemerdekaan Negara Brunei Darussaalam. Bandar Seri Begawan: Jabatan Percetakan Kerajaan Kementerian Undang-undang Brunei Darussalam 1992.

8

Penulisan skripsi ”Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei

Darussalam (Tahun 1888)” ini, Penulis berusaha lebih memfokuskan pada latar belakang dan dampak dari protektorasi Inggris terhadap Kesultanan Brunei

Darussalam. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang sejarah Kesultanan Brunei Darussalam, khususnya faktor-faktor yang melatar belakangi protektorasi Inggris tahun 1888.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian sejarah tentang Kesultanan Islam Melayu, khususnya di luar

Indonesia seperti Kesultanan Brunei Darussalam menurut sepengetahuan penulis masih sedikit sekali belum banyak diteliti oleh sarjana Indonesia terutama di lingkungan akademis UIN Syarif Hidayatullah, terlebih mengenai Kesultanan

Brunei Darussalam di bawah perlindungan dari Kerajaan Inggris. Untuk itulah sekarang saatnya untuk mengusahakan pengkajian tentang sejarah Brunei

Darussalam tersebut.

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Menambah wawasan kesejarahan terhadap Sejarah Kesultanan Islam di

Asia Tenggara, khususnya Kesultanan Brunei Darussalam.

2) Memahami sejarah Kesultanan Brunei Darussalam di bawah naungan

Kerajaan Inggris, dimana berdampak pada hilangnya kedaulatan sultan

setelah menyepakati perjanjian perlindungan tersebut.

3) Menambah daftar referensi mengenai sejarah Kesultanan Asia Tenggara di

perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah dan perpustakaan Fakultas

Adab dan Humaniora.

9

F. Sistematika Penulisan

Penyajian proposal skripsi ini dituangkan dalam bentuk pembahasan bab per bab.

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan

perumusan masalah, metodologi penelitian, studi kepustakaan,

tujuan dan manfaat penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II KESULTANAN BRUNEI DARUSSALAM

Menjelaskan letak geografi, sejarah berdirinya kesultanan, masa

pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin. Selain itu

juga dibahas sistem dan struktur pemerintahan Kesultanan Brunei

Darussalam.

BAB III LATAR BELAKANG PROTEKTORASI INGGRIS

Menguraikan tentang faktor-faktor yang memicu terjadinya

protektorasi baik faktor internal seperti kondisi kesultanan Brunei

sendiri, maupun faktor eksternal melalui hubungannya dengan

pihak Inggris.

BAB IV DAMPAK PROTEKTORASI INGGRIS

Berisi analisa terhadap surat perjanjian perlindungan 1888 dan

dampak dari protektorasi Inggris serta respon masyarakat Serawak

dan Sabah terhadap Inggris.

BAB V PENUTUP

Berisi tentang kesimpulan penelitian yang sudah dilakukan.

BAB II

KESULTANAN BRUNEI DARUSSALAM

A. Letak Geografi

Slamet Mulyana dalam Sriwijaya menyimpulkan bahwa Po-Li terletak di pantai barat Pulau Borneo dan disebelah utara/timur Ho-Ling.1 Dinasti Liang

(502-556 M) meriwayatkan bahwa Po-Li itu sebuah kerajaan yang memerintah

136 kampung dan hasil padinya dipanen dua kali setahun. Dinasti Sung ( 960-

1279 M) menyebut Po-Li atau Po-Lo dengan nama Puni, Kota Puni mempunyai kira-kira 10.000 orang penduduk dan kerajaannya memerintah 14 wilayah.

Setelah terbentuknya pemerintahan Islam, didirikanlah ibukota sebagai pusat pemerintahan yaitu Kota Batu pada masa pemerintahan Sultan Syarif .

Kesultanan Brunei meliputi Serawak, Sabah, Kuching, Skrang, Saribas dengan sungai-sungai yang mengelilingi disekitarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh Kesultanan Brunei mencakup Kesultanan Sambas, Kotaringian,

Kepulauan Sulu, , Mindanau, Bolongan, Kepulauan Balabak, Banggi,

Balambangan, Mantanani dan bahagian utara Palawan hingga kerajaan Islam

Manila pada 1520 M.2

Masa-masa berikutnya selepas pemerintahan Sultan Hassan (1582-1598

M) luas pengaruh Brunei di beberapa tempat tersebut mulai pudar setelah kedatangan Bangsa Eropa seperti Spanyol, Belanda dan Inggris. Inggris lah yang berperan besar dalam menyusutkan wilayah Kesultanan Brunei Darussalam terhitung sejak penetapan James Brooke sebagai penguasa di Serawak.

1 Slamet Mulyana, Sriwijaya, Jogjakarta: LKiS, 2001, hal. 85. 2 Cesar A. Majul, Dinamika Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 9.

10

11

B. Islamisasi dan berdirinya Kesultanan Brunei Darussalam

Kerajaan Brunei kuno ditengarai sudah ada sejak 517 M bersaing dengan

Palembang Tua di Sumatera dan Taruma Negara di Jawa.3 Dalam catatan Cina pada masa dinasti Sui (581-619 M) menyebutkan letak Brunei di sebuah pulau sebelah tenggara Canton. Letak geografisnya yang sangat ideal menjadikan

Brunei kuno tempat lalu lalang pedagang-pedagang dari Arab, India, Cina dan negeri-negeri disekitarnya. Dalam beberapa catatan Cina disebut dengan nama Po-

Li, Po-Lo atau Poni (Puni).4 Pada tahun 518 M, raja Po-Li pernah menghantar utusan ke Cina dan membawa barang-barang atau hadiah persembahan dari dalam negeri. Catatan Arab, oleh para pedagang Arab di Laut Cina Selatan memanggil dengan sebutan Dzabaj atau Ranj yang kemudian nama ini berubah menjadi

Brunei.5

Penemuan data arkeologis mengenai Islamisasi di Brunei termuat dalam batu Selasilah atau Tarsilah Brunei, sebuah batu nisan seorang Muslim Cina di komplek pemakaman Islam Rangas, Jalan Tutong, Bandar Seri Begawan. Dari batu nisan tersebut kemudian berkembang penelusuran secara rinci tentang jati diri yang lebih lengkap nama tokoh yang tertera dalam nisan batu tarsilah tersebut.

Penelusuran menyebutkan nisan seorang Muslim berbangsa Cina, menurut

Wolfgang Franke dan Ch’en Tien Fan batu nisan ini bertuliskan Cina milik seorang Cina bernama Pu-Kung Chih-Mu yang berasal dari keluarga Pu yang

3 Awang Mohammad Jamil al-Sufri, Liku-liku Perjuangan Pencapaian Kemerdekaan Negara Brunei Darussalam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah, 1992, hal. XVII. 4 Mohammad Deli bin Ahmad, Brunei Darussalam In Brief, Brunei Darussalam: The Information Departemen, Prime Minister’s Office, 1989, hal. 32a. 5 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: LOGOS, 1998, hal.132. 12

datang dari daerah Chuan-chou pada masa dinasti Sung (960-1279 M).6 Perkataan

Pu yang terdapat diawal nama di nisan itu biasanya menunjukan orang Cina Islam dari keturunan Arab, besar kemungkinan Pu yang disebutkan adalah nama orang

Islam yang asal keturunannya dari Pu Ya-Li atau Abu Ali yang ditengarai adalah seorang yang pernah mengetuai perwakilan Brunei ke Cina pada tahun 977 M.7

Data arkeologis ini menarik garis latar belakang hadirnya Islam di Brunei mundur jauh ke belakang yaitu sebelum abad 11 M atau berkaitan dengan penemuan nisan seorang Muslimah bernama binti Maemun binti

Hibatallah di Leran, Gresik yang berangka tahun 1082 M atau bisa juga dikatakan bahwa kontak dengan Islam terjadi secara merata dibeberapa tempat di Asia

Tenggara. Adanya bukti ini, berarti juga membenarkan teori Uka Tjandrasasmita,

Islam datang di wilayah Indonesia dan Malaysia tepatnya sepanjang Selat Malaka adalah pada abad pertama Hijriah atau pada abad 7 M.8

Menurut silsilah raja-raja Brunei, bahwa Awang Alak Betatar menikahi putri Johor kira-kira pada tahun 1368 M, kemudian Awang Alak Betatar memeluk

Islam dan diubah namanya menjadi Muhammad Shah. Awang Muhammad Jamil al-Sufri dalam bukunya Tarsilah Brunei sejarah awal dan perkembangan Islam,

Johor yang dimaksud adalah Singapura Tua yang didirikan oleh Sang Nila Utama atau Sri Tri Buana atau Sultan Iskandar Shah yang memerintah antara tahun 1299-

1347 M.9

6 Awang Muhammad Jamil Al-sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan Islam, Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah, 1991, hal. 86. 7 Awang Muhammad Jamil Al-sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan Islam, Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah, 1991, hal. 87. 8 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009, hal. 12. 9 Awang Muhammad Jamil al-Sufri, Tarsilah Brunei: sejarah awal dan perkembangan Islam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah, 1990, hal. 57. 13

Kondisi pasang surut mewarnai perjalanan Brunei selanjutnya, masa pemerintahan Sultan (sultan ke V, 1485-1524) atau yang dikenal dengan nahkoda ragam adalah masa kejayaan dan kemakmuran Brunei,10 luas pengaruhnya mencapai Sambas, Kotaringian, Kepulauan Sulu, Luzon, Mindanau,

Bolongan, Kepulauan Balabak, Banggi, Balambangan, Mantanani dan bagian utara Palawan hingga kerajaan Islam pada 1520 M.11 Jatuhnya Malaka ketangan Portugis pada 1511, Brunei memperoleh keuntungan dengan menjadikannya sebagai bandar pelabuhan yang ramai.12

Masa surut Brunei ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Sultan

Muhammad Hassan (sultan ke IX, 1582–1598), kemunduran demi kemunduran terjadi dalam kesultanan Brunei, perpecahan dalam keluarga istana, lepasnya beberapa wilayah jajahan ditambah dengan kedatangan Bangsa Eropa menjadi beberapa faktor penyebabnya.

Selanjutnya, abad ke 19 adalah masa yang sangat penting bagi Brunei dimana menghadapi arus hubungan, ancaman dan penjajahan dari Inggris. Situasi

Brunei abad 19 juga turut mengundang keterlibatan orang-orang Inggris, pada mulanya secara individu, syarikat dan kemudian melibatkan kerajaan Inggris.

Masa pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (sultan ke XXV,

1885-1906) merupakan masa yang menentukan nasib Brunei dalam keberlangsungan pemerintahannya ditandai dengan perjanjian perlindungan antara sultan dan pihak Inggris. Perjanjian tersebut menunjukkan bahwa Brunei berada dalam perlindungan pihak yang lebih kuat yaitu Inggris.

10 Azumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Obor, 1989, hal. 8. 11 Cesar A. Majul, Dinamika Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 9. 12 Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad 16-17, Depok: Komunitas Bambu, 2008, hal. 44. 14

C. Pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin

Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin berasal dari garis keturunan sultan-sultan Brunei, silsilahnya adalah sebagai berikut: Sultan Hashim Jalilul

Alam Aqamaddin ibni Sultan Omar Ali Saifuddin II ibni Sultan Muhammad

Jamalul Alam I ibni Sultan Muhammad Tajuddin ibni Sultan Omar Ali Saifuddin ibni Sultan Muhammad Alauddin ibni Pengiran Di-Gadong Shah ibni Sultan

Mubin Muhyiddin ibni Sultan Abdul Jalilul Akbar ibni Sultan ibni Sultan ibni Sultan ibni Sultan Bolkiah ibni Sultan

Sulaiman ibni Sultan . Dia lahir pada tahun 1825 dan naik tahta sebagai

Sultan Brunei Darussalam ke-25 pada tahun 1885 ketika berusia 60 tahun. Dia meninggal tak lama setelah menandatangani Perjanjian 1906 dengan Inggris Raya yang memungkinkan seorang Residen Inggris untuk berada di Brunei. Sebelum menjadi Sultan, Sultan Hashim bergelar Pengiran Temenggong, salah satu dari empat wazir kepala di Kesultanan Brunei. Sultan Hashim menikahi putri Pengiran

Yusof. Pengiran Yusof tidak setuju dengan kebijakan untuk menyerahkan

Sarawak ke James Brooke, mencampuri urusan internal Brunei serta kekhawatiran

Pangeran Yusof terhadap upaya Brooke melanjutkan penaklukkan atas wilayah- wilayah Brunei yang dimulai dengan Kuching dan sekitarnya pada tahun 1841.

Ketika Sultan Hashim naik takhta, ia mengambil langkah untuk mempertahankan sisa wilayah Brunei dengan melindungi Limbang ketika Charles

Brooke (sepupu James Brooke) menempatinya. Namun demikian, dia tidak mampu melakukannya dan dia tidak berhasil untuk mencegah kerugian lebih lanjut dari caplokan keluarga Brooke. Sultan Hashim tidak memiliki kekuatan militer untuk menegakkan amanat tersebut. Awal tahun pemerintahannya, Sultan 15

Hashim menghadapi kesulitan terbesar karena dihadapkan pada tekanan dari

Brooke dan British North Borneo Company.

Pada tahun 1887, Sultan Hashim mengirim surat kepada Ratu Victoria dengan maksud memohon Pemerintah Inggris tidak melaksanakan rencana untuk membagi wilayah Brunei lebih lanjut. Dan akhirnya Ratu Victoria mengutus Sir

Frederic Weld untuk mengunjungi Brunei pada tahun 1887 untuk menunjukkan cara terbaik Inggris agar dapat membantu Brunei sebagai penasehat Residen

Inggris terhadap Brunei. Hal ini yang akhirnya menyebabkan Perjanjian

Protektorat antara Brunei dan Inggris pada tahun 1888.

Sultan Hashim setuju untuk menandatangani Perjanjian karena ia ingin mencegah hilangnya wilayah Brunei lebih banyak. Namun, meskipun ini perjanjian bersejarah, Pemerintah Inggris gagal mengambil tindakan terhadap

Charles Brooke untuk mengambil Limbang. Charles Brooke bersikeras bahwa

Limbang telah diserahkan sebagai bagian dari Sarawak.

Pemerintah Inggris juga menolak untuk menyetujui penyerahan dari

Limbang. Tapi Charles Brooke merampas Limbang kemudian menyita dengan paksa pada 17 Maret 1890. Pemerintah Inggris telah mengutus Noel Trevenan untuk memimpin sebuah misi untuk menyelidiki situasi yang sebenarnya.

Trevenan didampingi pejabat Brooke bertemu dengan 15 pemimpin lokal dan melaporkan bahwa 12 dari mereka mendukung. Tetapi kemudian disadari bahwa

18 pemimpin lokal tidak hadir pada pertemuan tersebut dan mereka yang hadir adalah pendukung Brooke dan karena itu mereka tidak mewakili seluruh rakyat

Limbang. Sultan Hashim menolak pertemuan mereka dan ia melanjutkan protes 16

itu. Dia bahkan menulis surat kepada Sultan Turki memohon bantuan, tetapi surat itu disita oleh Inggris.

Satu lagi perjanjian yang disepakati antara Sultan Hashim dengan pihak

Inggris yaitu perjanjian 1905, perjanjian ini memungkinkan seorang Residen

Inggris untuk berada di Brunei. Tidak lama setelah kesepakatan tersebut, Sultan

Hashim meninggal dunia pada 10 Mei 1906 dan beberapa ushanya itu cukup untuk menyelamatkan Brunei dari kerakusan Inggris.

D. Sistem dan Struktur Pemerintahan

Dalam perkembangannya, Islam dan Melayu menjadi dua kata yang seiring berjalan beriringan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat

Melayu. Sebaliknya, masyarakat Melayu juga menjadi sangat identik dengan

Islam. Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam suatu slogan; “masuk

Islam berarti menjadi Melayu“, atau dengan ungkapan lain: “menjadi Melayu berarti menjadi Islam.”13 Slogan seperti ini sedemikian mengakar dalam kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tidak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan- gagasan tentang politik, seperti konsep pemerintahan, penguasa atau raja (sultan), hubungan antara penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.

Dalam tradisi politik Islam Melayu (baca: pemerintahan Islam Melayu), penguasa atau raja (sultan) merupakan figure dan lembaga yang terpenting. Raja

13 Ahmad Ibrahim dkk, Islam di Asia Tenggara Perkembangan Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1990. Hal 376 17

dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan (kekuatan supranatural). Posisi raja adalah setingkat dengan Nabi dan sebagai pengganti

Allah dibumi (khalifah). Dalam pandangan Melayu, menganalogikan Raja dan

Nabi sebagai dua permata dalam satu cincin. Konsep ini mengandung arti bahwa pengusa mempunyai dua kekuasaan: keduniaan dan keagamaan.

Meskipun dalam perkembangannya, pemerintahan kerajaan-kerajaan di

Asia Tenggara banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam seiring dengan ramainya aktivitas pelayaran pedagang-pedagang Muslim. Fenomena bentuk pemerintahan dunia Melayu seperti ini juga tidak bisa serta merta dianggap sebagai citra dari sebuah pemerintahan ala Islam. Dunia politik Melayu sudah lama memiliki akar-akar yang kuat dengan tradisi Hindu-Budha nya.

Dialog Islam dengan tradisi ini dilakukan dalam semangat negosiasi.

Negosiasi merupakan proses menafsirkan sesuatu yang hadir dan menafsirkan dirinya untuk mecari sesuatu yang baru yang dikenal dalam kebudayaan sebagai sesuatu yang hidup. Dalam konteks kultural, masyarakat memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan caranya masing-masing. Sejatinya, pergulatan antara yang didatangi dan pendatang dalam bernegosiasi bukan didasarkan pada semangat saling mengubah. Karena kalau sudah saling mengubah bukan lagi negosiasi, melainkan hegemoni bahkan represi. Ini artinya, negosiasi merupakan bagian dari transformasi kultural dalam setiap gerak kebudayaan. Hasilnya menurut Hussin Mutalib adalah jenis doktrin Islam bastar (cangkokan), beraneka ragam, yang terdiri dari campuran antara praktek-praktek Islam maupun non-

Islam yang diserap oleh Orang Melayu.14

14 Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas Perspektif Politik Melayu, Jakarta: LP3ES, 1996, hal. 19. 18

Dalam susunan pemerintahan tradisi Brunei, raja atau sultan mempunyai kuasa penuh dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh wazir-wazir, cheteria- cheteria, menteri-menteri dan ketua-ketua lain yang dilantik oleh sultan.

Kedaulatan raja atau sultan adalah di antara ciri-ciri utama kesatuan dan perpaduan rakyat sejak zaman dulu. Mentaati raja yang adil dan bijaksana bersesuaian dengan konsep Ulil Amri di dalam Islam.15

Menurut adat, sultan juga merupakan wakil rakyat yang mutlak dan menjadi tiang negara atau lambang negara tertinggi untuk menguasai dan menjalankan pemerintahan negara. Dasar yang menopang pemerintahan

Kesultanan Brunei itu ada 4 macam: kanun, syara’, adat istiadat dan resam.16

Kanun adalah hukum kanun Brunei yang telah ada sejak sebelum masa sultan

Hasan (1582-1598 M) yang kemudian disempurnakan olehnya. Syara’ merupakan rujukan kepada ajaran-ajaran Islam. Adat istiadat merujuk kepada adat istiadat

Brunei sejak pra-Islam, baik yang berkaitan dengan sultan dan para pembesar- pembesar negara maupun ada istiadat yang diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat Brunei secara keseluruhan. Resam merujuk kepada perkara-perkara diluar adat istiadat seperti kebiasaan suatu kelompok masyarakat kecil dikalangan suku tertentu.

Secara umum pada abad 15 dan 16 antara Brunei dengan beberapa

Kesultanan Melayu lainnya memiliki kesamaan dalam hal sistem pemeintahannya.

Disebutkan bahwa Brunei mengadopsi hukum kanun Malaka,17 Brunei juga

15 Saadiah DDW Hj. Tamit (artikel), Pentadbiran Undang-Undang Islam Di Negara Brunei Darussalam Pada Zaman British, Universiti Brunei Darussalam. 16 Zainuddin Fanani dan M. Thoyib (penyunitng), Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 1999, hal.102. 17 Malaka merupakan Kesultanan Melayu yang mempunyai beberapa undang-undang yang tersusun lengkap dan rapi yang bertujuan sebagai cara untuk mengontrol, menyelesaikan 19

memiliki struktur pemerintahan yang sangat variatif yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kekuasaan tertinggi terletak ditangan raja atau sultan dan dijalankan dengan dibantu oleh pejabat-pejabat negara menurut tingkatannya masing-masing. Dibawah sultan tedapat susunan struktur beberapa pembantunya yang bersifat hirarkis, struktur tersebut kemudian secara tidak langsung membentuk kelas-kelas atau tingkatan pejabatnya. System dan proses pendelegasian yang bersifat desentralisasi. Masyarakat Brunei secara umum terbagi 3 golongan, yaitu golongan ningrat (bangsawan), rakyat umum dan golongan yang terkait dengan keduanya. Pejabat atau pegawai negara juga terbagi dalam 2 golongan, yaitu golongan ningrat (bangsawan) dan golongan pejabat atau pegawai umum. Hubungan sultan dengan rakyatnya termuat dalam sebuah motto

“pantang Melayu menderhaka kepada raja”.

Susunan hirarkis menurut DE. Brown sebagai berikut:18

1. Sultan

2. Wazir

3. Cheteria

4. Menteri

5. Kepala Kampung

Menurut adat istiadat Brunei sebagai berikut:19

1. Sultan

2. 4 Wazir berbagai permasalahan dalam masyarakat dengan sistem keadilan yang telah ditentukan dalam masyarakat tertentu. Salah satunya adalah Hukum Kanun Malaka yang sebagian besar isinya diserap dari ajaran Islam. Lihat (Muhammad Yusuf Hashim, Kesultanan Melayu Melaka, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1990). 18 DE. Brown, Brunei: The Structure and History of a Bornean Malay Sultanate, Brunei: The Star Press, 1970. 19 Zainuddin Fanani dan M. Thoyib (penyunitng), Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 1999, hal 106. 20

3. 4 Cheteria

a. Cheteria (4 Kepala Cheteria)

b. Cheteria (8 Cheteria Besar)

c. Cheteria (16 Pengalasan Biasa)

d. Cheteria (32 Pengalasan Damit)

4. Menteri Agama

5. Menteri Dagang

6. Menteri Istana

Sultan, wazir, cheteria, semuanya adalah golongan ningrat (bangsawan), sedangkan menteri dan kepala kampung bukanlah termasuk golongan bangsawan

(pejabat biasa). Kepala Kampung ditunjuk oleh masyarakat setempat, sedangkan pejabat negara yang lainnya selain Kepala Kampung ditunjuk dari kerajaan berdasarkan kecakapan dan keputusan sultan.

A. Wazir, terdiri 4 orang yang semuanya adalah pejabat penting di lingkungan

istana.

1. Pangeran Bendahara, sebagai kepala menteri berkedudukan sebagai

deputy sultan (wakil sultan di wilayah tertentu) dan bertugas dalam

kaitannya dengan pertahanan wilayah negara.

2. Pangeran Digadong, wazir bidang keuangan negara.

3. Pangeran Pemanca, wazir bidang rumah tangga negara

4. Pangeran Temenggung, wazir bidang urusan kelautan merangkap sebagai

panglima perang dan pelaksana fungsi-fungsi yudisial (hukum).

B. Cheteria, terdiri dari 4 orang pejabat. 21

1. Pangeran Syah Bandar (kepala cheteria) yang bertugas sebagai menteri

urusan perdagangan.

2. Cheteria besar

3. Cheteria pengalasan

4. Cheteria damit. Ketiga cheteria ini bertugas membantu Pangeran syah

Bandar (kepala cheteria).

C. Menteri, selain sebagai birokrat, bertugas juga sebagai kepala urusan

pertahanan. Mereka adalah pejabat-pejabat tambahan yang memiliki tugas

spesifik terutama yang berkaitan dengan administrasi ibukota negara dan

istana raja.

Sistem pemerintahan negara Brunei pertama kali disusun dengan rapi pada masa Sultan Hasan (1582-1598 M), jika sebelumnya sultan hanya dibantu oleh 2 orang wazir maka sejak itu ditambah lagi 2 orang yaitu Pangeran Digadong dan

Pangeran Pemanca. Sultan Hasan pula yang melengkapi gelar-gelar seperti wazir juga menyusun dan mengatur tugas-tugas mereka. Dalam urusan keagamaan, disusun pula sebuah system pentadbiran (pengurusan) yang diatur dalam susunan menteri agama, yaitu: kepala menteri agama (mufti), menteri-menteri, pegawai- pegawai agama.

A. Kepala Menteri Agama (mufti) bergelar Pehin Datu Seri Maharaja, tugasnya:

a. Mengawasi hal ihwal agama Islam

b. Mengawasi pelaksanaan hukum Islam

c. Menjadi hakim besar bagi hal ihwal yang besangkutan dengan hukum

syara’.

22

B. Menteri-menteri Agama

1) Pehin Si Raja Khatib, tugasnya:

a. Menjadi hakim bagi hal ihwal yang bersangkutan dengan hukum

syara’.

b. Menjadi imam masjid

c. Khutbah di hari raya jika dihadiri sultan

2) Pehin Datu Imam, tugasnya:

a. Menjadi imam masjid

b. Mengawasi hal ihwal masjid

3) Pehin Tuan Imam, tugasnya:

a. Menjadi imam masjid

b. Mengawasi hal ihwal masjid

4) Pehin Udana Khatib, tugasnya:

a. Menjadi imam masjid

b. Khutbah di hari raya jika dihadiri sultan

c. Menjadi ketua pehin-pehin khatib

5) Pehin-pehin Khatib, tugasnya:

a. Khutbah setiap jum’at

b. Menjadi imam masjid setiap waktu shalat

C. Pegawai Agama yaitu mudim-mudim, tugasnya:

a. Azan setiap waktu shalat

b. Menjalankan hal ihwal yang bersangkutan dengan agama Islam di

istana, di rumah wazir dan di rumah cheteria. BAB III

LATAR BELAKANG PROTEKTORASI INGGRIS

A. Kondisi Kesultanan Brunei Darussalam

1) Disintegrasi Internal Istana

Pada masa kejayaannya, wilayah taklukan Kesultanan Brunei mencakup hampir seluruh Pulau Kalimantan dan sebagian perairan Filipina. Namun setelah masa pemerintahan Sultan Hasan, beranjak kekuasaan di wilayah-wilayah taklukannya mulai memudar. Pembunuhan Sultan ( Sultan ke-12) oleh Pengiran Bendahara Abdul Mubin yang mengundang kemarahan dari anggota keluarga Sultan Muhammad Ali yaitu Muhyidin yang kemudian menjadi penggantinya sebagai Sultan Brunei. Inilah yang menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan.

Perebutan kekuasaan ini mengundang kedatangan Spanyol untuk kedua kalinya pada 1578, motif dari kedatangan Spanyol adalah bukan karena ketertarikan Spanyol menguasai Brunei, namun karena pengaruh Brunei yang masih kuat di Filipina yang membuat Spanyol belum bisa menguasai Filipina.

Usaha yang dilakukan Spanyol adalah intervensi permasalahan dua keluarga dalam istana tersbut. Selanjutnya, intervensi juga dilakukan oleh Kesultanan Sulu terhadap Brunei pada 1662 dengan membantu Sultan Muhyidin dalam menghadapi serangan Pengiran Bendahara Abdul Mubin. Peperangan itu berlangsung selama 12 tahun yang akhirnya dimenangkan oleh Sultan Muhyidin.

Keberhasilan Sulu membantu serangan itu, kawasan sebelah utara teluk Brunei diberikan sebagai tanda pertolongan mereka. Namun pada akhirnya Kesultanan

23

24

Brunei tidak mengakui kepemilikan wilayah tersebut atas Sulu. Alasannya adalah konflik masa lalu Brunei-Sulu yang merebutkan wilayah Utara Kiamanis, Pulau

Balabak, Balambangan dan Palawan.1

Posisi Brunei semakin sulit ketika bangsa Eropa lainnya, Belanda, yang akhirnya pada akhir abad 18 berhasil mengusai perdagangan di Selatan Borneo.

Sama halnya dengan Inggris, Belanda juga mempunyai motif yang sama yaitu menguasai perdagangan, namun Inggris hanya ingin menggunakan pulau Borneo sebagai tempat persinggahan atau pangkalan dalam perjalanan mereka dari Inggris atau India menuju ke Cina. Sementara Belanda lebih kepada penguasaan kontrol politik dan perdagangan. Perjanjian antara Inggris dan Belanda disepakati pada

1824 dengan perjanjian pemisahan kawasan antara keduanya, dengan selat

Singapura sebagai garis pemisah.

Persaingan dagang Inggris dan Belanda berakibat merosotnya perekonomian Brunei, lebih lagi tampilnya Spanyol dan Kesultanan Sulu yang melepaskan dirinya dari pengaruh Brunei kemudian munculnya aktivitas bajak laut Sulu yang mengganggu kapal dagang Brunei. Selanjutnya secara bertahap

Inggris melalui East India Company-nya mulai menancapkan kekuasaannya di wilayah Utara Borneo, pangkalan dagang didirikan di Balambangan tahun 1773 dan tahun 1805. Dari sini disepakati monopoli perdagangan lada sekaligus mengharuskan Inggris untuk mengawal perdagangan dari serangan bajak laut

Sulu.

Di lain pihak, perdagangan reguler berkembang antara Singapura dan

Sarawak, komoditas utama dari Serawak adalah timah, kemudian barang-barang

1 Nicholas Tarling, Britain, The Brookes and Brunei, Singapore: Oxford University Press, 1971, hal. 6. 25

dari Singapura sangat diminati di Kerajaan Sambas. Hubungan komersial dengan

Sarawak ini perlahan membantu Singapura bersaing di kawasan tersebut. Ketika

James Brooke2 tiba di Singapura, ia menerima berita tentang Bendahara

Kesultanan Brunei yang ramah dan berkeinginan membangun hubungan yang lebih erat dengan Inggris. Sebuah berita menyebutkan Brooke diminta untuk berlayar ke Borneo, ketika Brooke mencapai Sarawak pada tahun 1839, ia melihat terjadinya pemberontakan berlangsung. Sementara itu, Raja Muda Hassim yang khusus dikirim dari ibu kota untuk berusaha memadamkan pemberontakan.

Pemberontakan yang dimulai sekitar tahun 1835 atau 1836, dipimpin oleh aristokrasi Melayu Sarawak bergabung juga dengan pemimpin Suku Dayak.

Beberapa alasan pemicu pemberontakan adalah penindasan dan eksploitasi yang diakukan gubernur, Putra Mahkota kepada penduduk lokal. Dia menghancurkan kemakmuran penduduk setempat dengan memonopoli atas produksi timah dan perdagangan secara umum Tanah Dayak.3 Selain itu, ia memaksa Tanah Dayak untuk bekerja dipertambangan timahnya, memeras keringat tanpa membayar buruhnya. Para tetua Melayu Siniawan juga serta dalam pemberontakan tersebut.

Dalam kalangan istana terjadi perselisihan antara dua faksi politik yang merupakan faktor lain yang memicu terjadinya pemberontakan. Pengiran Usop, mertua dari anak Sultan yang mempunyai kebencian terhadap posisi Raja Muda

Hassim sebagai Bendahara. Untuk menyingkirkan Raja Muda Hassim dari ibukota serta untuk melemahkan pemerintahannya, Pengiran Usop diam-diam mendorong

2James Brooke lahir di India pada 1803, dia adalah anak dari pejabat East India Company. Brooke menjadi perwira tentara kavaleri di India dan karena kegagahnnya direkomendasikan untuk memimpin perang Anglo-Burmese. Lihat, Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore andBrunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, hal. 157. 3Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford University Press, 1984. Hal. 48. 26

rakyat Sarawak untuk memberontak serta bernegosiasi menyerahkan Sarawak ke

Sambas. Pemberontakan sendiri mungkin atas inisiatif dari Pengiran Usop juga dukungan Sultan Sambas serta perlindungan Asisten Residen Belanda. Dari konspirasi tersebut, Sultan Sambas memasok pemberontak dengan senjata dan amunisi,4 sedangkan Asisten Residen Belanda R. Bloem memberikan dukungan moral.

Pemberontakan yang terus berlangsung dan belum bisa dipadamkan akhirnya memaksa Raja Muda Hassim untuk meminta bantuan kepada James

Brooke dengan tawaran mendapatkan jabatan gubernur Serawak dan Siniawan jika mampu memadamkan pemberontakan tersebut. Akhirnya berkat bantuan

James Brooke pemberontakan berhasil dipadamkan, dengan demikian sebuah perjanjian antara Raja Muda Hassim dan James Brooke ditanda-tangani pada 24

September 1841,5 yang kemudian menempatkan James Brooke sebagai gubernur yang memiliki kekuasaan penuh atas Serawak dengan persyaratan harus tetap memberikan pajak dan tidak mencampuri adat, agama penduduk setempat, James

Brooke juga tidak boleh memindahkan hak kekuasaan atas wilayahnya kepada pihak yang lain kecuali atas izin Raja Muda Hassim. James Brooke mengatakan:

“ He begged me to stay, and offered me the country of Siniawan and Sarawak and its government and trade, if I would only stop and not desert him”.6

4Beberapa tempat di Kalimantan terkenal sebagai penghasil senjata api, terutama Brunei. Senjata api yang dibuat seperti lela dan rentaka yaitu meriam yang biasa berputar-putar untuk membidik yang terbuat dari perunggu maupun dari bahan besi. Lihat. Adrian B. Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu, 2009, hal. 150. 5Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore andBrunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, hal. 157. 6Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford University Press, 1984. Hal. 48. 27

Posisi Raja Muda Hassim sebagai perdana menteri berhasil direbut oleh

Pengiran Usop ketika masih berada di Serawak. Sultan membiarkan hal itu terjadi karena merasa curiga terhadap Raja Muda Hassim dengan dua alasan. Pertama,

Raja Muda Hassim dan keluarganya mewakili Raja Api karena persaingan antara dua keluarga yang tidak pernah usai. Kedua, Sultan Omar Ali Saifuddin II tidak memiliki anak sah, maka Raja Muda Hassim secara otomatis akan memenuhi syarat sebagai pewaris yang sah untuk naik takhta. Hal ini sangat mungkin bahwa keretakan antara kedua keluarga telah terkesan menunjukkan bahwa Raja Muda

Hassim dan saudara-saudaranya telah dikucilkan ke Sarawak. Makanya ketika

James Brooke berkunjung ke Brunei untuk mengkonfirmasi pengangkatannya itu anehnya Raja Muda Hassim tidak menyertainya. Salah satu tujuan dari kunjungan

Brooke adalah untuk mengadakan rekonsiliasi antara Sultan dan Muda Hassim.

Bahkan setelah itu, Raja Muda Hassim tak berani kembali, sampai pada tahun

1844 di bawah perlindungan senjata Inggris. Untuk alasan ini Raja Muda Hassim memerlukan aliansi dengan Brooke.

Langkah selanjutnya yang diambil oleh James Brooke untuk memperkuat posisinya di Serawak adalah mencari pengakuan dari kerajaan Inggris untuk melegitimasi keberadaannya di Serawak serta secara perlahan berusaha menggerogoti kedaulatan Kesultanan Brunei. Selanjutnya untuk mengatasi beberapa persoalan bajak laut yang berada di wilayah tetangganya yaitu Saribas dan Skrang dilakukanlah konfrontasi,7 James Brooke memanfaatkan diplomasi yang cerdik dengan meminta bantuan dari unsur-unsur angkatan laut Inggris untuk memenuhi tujuan pribadinya. Akhirnya pada tahun 1843 James Brooke berhasil

7JH. Walker, Power and Prowess: The Origins of Brooke Kingship in Sarawak , Honolulu: Allen and Unwin University of Hawai, 2002, hal.81 28

meyakinkan Kerajaan Inggris dengan mengutus Kapten Henry Keppel untuk menumpas bajak laut dari dua wilayah tersebut.

2) Kondisi Sosial Masyarakat

Penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh salah satu fraksi keluarga istana yaitu Putra Mahkota, adalah pemicu pemberontakan yang dilakukan dan di pimpin langsung oleh aristokrasi Melayu Siniawan dan orang-orang Suku Dayak.

Tindakan penguasa dengan memonopoli perdagangan timah dan perdagangan secara umum Tanah Dayak, memaksa orang-orang Suku Dayak untuk bekerja di pertambangan timahnya tanpa memberikan upah.

Akibatnya mereka melakukan berbagai usaha untuk melawan penguasa tersebut. Selain melakukan pemberontakan, mereka juga melakukan pembajakan di laut.8 Maraknya kegiatan bajak laut ini membuat hubungan antara Kesultanan

Brunei dengan Inggris terjalin,aktivitas pembajakan ini terjadi misalnya di wilayah Saribas dan Skrang. Dalam keadaan yang sangat kacau dalam Kesultanan

Brunei mengingat perselisihan antar keluarga dalam istana kemudian ditambah

8Selama berabad-abad, bajak laut atau pembajakan adalah bentuk mata pencaharian kuno yang telah ada di wilayah perairan manapun di dunia. Pembajakan sebagai sebuah profesi kuno dianggap sebagai lambang kedewasaan, keberanian, kenegaraan dan kebangsawanan. Sebelum adanya larangan hukum internasional, di negara-negara maritim kegiatan pembajakan menjadi instrumen kebijakan luar negeri dan sumber pendapatan negara. Lihat (BA. Hamzah, The Oil Sultanate: Political History of Oil in Brunei Darussalam, Kuala Lumpur: Enterprise Mawaddah, 1991. Hal. 14). Bajak laut merupakan terjemahan dari kata pirata yang dikenal dalam kebudayaan Barat (bahasa Inggris dan Perancis “pirate”; bahasa Belanda “piraat” atau “zeerover”; Bahasa Spanyol, Portugis, Italia “pirata”; bahasa Jerman “pirat” atau ”seerauber”). Terjemahan suatu pengertian dari satu bahasa ke bahasa lain sering kali tidak mengalihkan sepenuhnya seluruh pengertian dan makna yang terdapat pada bahasa asal ke bahasa terjemahan. Pada umumnya, Bajak Laut didefinisikan sebagai orang yang melakukan tindakan kekerasan di laut. Dalam hukum internasional, definisi ini dirumuskan lebih lanjut lagi dengan menegaskan bahwa apa yang disebut tindakan bajak laut adalah suatu tindakan kekerasan tanpa diberi wewenang suatu pemerintah tertentu, karena tindakan demikian dianggap sebagai suatu pelanggaran dan kejahatan, maka pelaku dapat diadili oleh tiap negara walaupun pelanggaran ini terjadi di perairan bebas lihat (Adrian B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu, 2009. Hal. 118.) 29

dengan banyaknya aktivitas pembajakan yang terjadi di wilayah perairan Brunei, memaksa untuk penguasa Brunei menerima kedatangan pasukan angkatan laut

Inggris. Inisiatif James Brooke ini disisi lain sangat dibutuhkan oleh Kesultanan

Brunei untuk memulihkan suasana dari tindakan para bajak laut dari Saribas dan

Skrang.

Dari kedatangan pasukan laut Inggris yang pertama tahun 1843 pimpinan

Kapten Henry Keppel, selanjutnya di tahun yang sama kapal kedua yang dipimpin oleh Kapten Sir Edward Belcher menyusul menuju Brunei. Bersama Brooke,

Belcher menawarkan perjanjian mengenai pertahanan keamanan. Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Brunei menjanjikan untuk membuka jalur perdagangan dengan Inggris, dengan kesepakatan mendapat pengamanan dari serangan bajak laut serta melarang Kesultanan Brunei untuk beraliansi dengan kekuatan selain Inggris, meskipun kesepakatan ini sebenarnya secara tidak langsung merongrong kedaulatan luar negeri Kesultanan Brunei.9

Selepas Sultan Hashim menandatangani perjanjan perlindungan dengan

Inggris, tidak serta merta aktivitas pembajakan sepenuhnya habis. Meskipun dalam kesepakatan tersebut disebutkan bahwa Inggris harus wajib untuk menindak kegiatan bajak laut ini, namun justru penguasaan Inggris atas beberapa wilayah Brunei dan memonopoli perekonomian di wilayah-wilayah tersebut membuat penduduk setempat mulai kehilangan mata pencaharian mereka dan akhirnya menentang perilaku Inggris dengan melakukan kegiatan bajak laut atas perahu-perahu Inggris. Konfrontasi kepada pihak Inggris juga dilakukan oleh

9Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford University Press, 1984.hal 52. 30

rakyat dan pemimpin-pemimpin setempat dalam mencegah kerakusan Inggris menguasai perekonomian di daerah mereka.

B. Hubungan Kesultanan Brunei Darussalam dengan Inggris

Abad ke-16 M membuka tirai hubungan bangsa Eropa dengan kerajaan- kerajaan di Nusantara dan sekitarnya khususnya dengan Brunei. Hubungan dengan bangsa Portugis terjalin berdasarkan prinsip negosiasi dan kompromi yang bermula ketika perahu dagang Brunei tiba di Malaka pada 1514 tiga tahun setelah penaklukan Malaka oleh Portugis. Kemudian kedatangan bangsa Spanyol ke

Brunei pada 1521 meskipun hubungan ini selalu mengarah pada konfrontasi bersenjata dan perebutan wilayah kekuasaan yang mengarah pada usaha memperlemah Kesultanan Brunei, jalur diplomasi tetap senantiasa diusahakan.

Perjalanan pertama bangsa Inggris ke Wilayah Nusantara dimulai sejak tahun 1579, diawali oleh seorang penjelajah bernama F. Drake yang singgah untuk pertama kalinya di wilayah Ternate dalam perjalanan keliling dunianya.

Setelah perjalan F. Drake yang mendapati pulau ternate pada 1600, dengan terbentuknya sebuah kongsi dagang baru yang dikenal dengan sebuatan East India

Company (EIC/Perusahaan India Timur Inggris), bangsa Inggris memulai mencari keberuntungannya dalam mendapatkan barang perdagangan ke wilayah Asia.

EIC didirakan dua tahun sebelum kongsi dagang Belanda yang dikenal dengan VOC. Berbeda dengan Kongsi dagang Belanda. EIC berkembang lebih lambat, disebabkan modal Perusahaan Inggris yang hanya seperdelapan dari modal VOC. EIC dalam perjelananya ke Asia lebih senang membuntuti 31

kemanapun VOC pergi berharap mendapatkan keuntungan dari wilayah-wilayah yang pernah di jelajahi oleh VOC.10

Pada dekade awal abad ke-18, kontrol atas rute perdagangan sangat penting bagi Kerajaan Inggris. Rute perdagangan merupakan urat nadi dari

Kerajaan Inggris yang bergantung pada kemampuannya untuk mengendalikan rute timur-barat. Inggris melihat pentingnya geostrategis Brunei dan kepulauan

Melayu dalam konteks keamanan komersial global. Selain berada dalam jalur timur-barat, Brunei juga memiliki fasilitas penting untuk pertahanan Inggris.

Selain itu, Brunei kaya akan sumber daya alam seperti batubara dan minyak bumi yang Inggris perlukan pada masa-masa ekspansi.

Kontak awal hubungan Brunei dengan Inggris terjadi pada 1775 ketika utusan East India Company (perusahaan India Timur Inggris) Alexander

Dalrymple datang untuk merundingkan perdagangan lada hitam.11 Kedatangan

Inggris ini disambut dengan baik oleh masyarakat Brunei dan menerima tawaran dari kongsi dagang Inggris untuk memonopoli perdagangan lada dan mempersilahkan agar Brunei dijadikan satu-satunya sumber pengimpor lada dikawasan ini.

Dalam perkembangan hubungan Brunei-Inggris berikutnya, hubungan yang lebih resmi terjalin ketika beberapa perjanjian disepakati oleh keduanya yang meliputi perjanjian persahabatan, perdagangan dan perjanjian perlindungan.

Perjanjian-perjanjian ini berujung kepada munculnya kebijakan protektorasi

Inggris atas Brunei, yang mengakibatkan hilangnya wilayah kekuasaan Brunei.

10Bernard. H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia,(Terj), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, hal. 140 11DE. Brown, Brunei: The Structure and History of a Bornean Malay Sultanate, Brunei: The Star Press, 1970, hal. 145. 32

1) James Brooke dan Perluasan Wilayahnya

James Brooke lahir di India pada 1803, dia adalah anak dari pejabat East

India Company. Brooke menjadi perwira tentara kavaleri di India dan karena kegagahnnya kemudian direkomendasikan untuk memimpin perang Anglo-

Burmese.12 Ketika James Brooke tiba di Singapura, ia menerima berita tentang

Bendahara Kesultanan Brunei yang ramah dan berkeinginan membangun hubungan yang lebih erat dengan Inggris. Sebuah berita menyebutkan Brooke diminta untuk berlayar ke Borneo, ketika Brooke mencapai Sarawak pada tahun

1839, ia melihat terjadinya pemberontakan berlangsung. Sementara itu, Raja

Muda Hassim yang khusus dikirim dari ibu kota untuk berusaha memadamkan pemberontakan.

Pemberontakan yang dimulai sekitar tahun 1835 atau 1836, dipimpin oleh aristokrasi Melayu Sarawak bergabung juga dengan pemimpin Suku Dayak.

Beberapa alasan pemicu pemberontakan adalah penindasan dan eksploitasi yang diakukan gubernur, Pengiran Mahkota kepada penduduk lokal. Dia menghancurkan kemakmuran penduduk setempat dengan memonopoli atas produksi logam putih dan perdagangan secara umum Tanah Dayak.13 Selain itu, ia memaksa Tanah Dayak untuk bekerja dipertambangan logam putihnya, memeras keringat tanpa membayar buruhnya. Para tetua Melayu Siniawan juga serta dalam pemberontakan tersebut.

Dalam kalangan istana terjadi perselisihan antara dua faksi politik yang merupakan faktor lain yang memicu terjadinya pemberontakan. Pengiran Usop,

12Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore andBrunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, hal. 157. 13Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford University Press, 1984. Hal. 48. 33

mertua dari anak Sultan yang mempunyai kebencian terhadap posisi Raja Muda

Hassim sebagai Bendahara. Untuk menyingkirkan Raja Muda Hassim dari ibukota serta untuk melemahkan pemerintahannya, Pengiran Usop diam-diam mendorong rakyat Sarawak untuk memberontak serta bernegosiasi menyerahkan Sarawak ke

Sambas. Pemberontakan sendiri mungkin atas inisiatif dari Pengiran Usop juga dukungan Sultan Sambas serta perlindungan Asisten Residen Belanda. Dari konspirasi tersebut, Sultan Sambas memasok pemberontak dengan senjata dan amunisi,14 sedangkan Asisten Residen Belanda R. Bloem memberikan dukungan moral.

Pemberontakan yang terus berlangsung dan belum bisa dipadamkan akhirnya memaksa Raja Muda Hassim untuk meminta bantuan kepada James

Brooke dengan tawaran mendapatkan jabatan gubernur Serawak dan Siniawan jika mampu memadamkan pemberontakan tersebut. Akhirnya berkat bantuan

James Brooke pemberontakan berhasil dipadamkan, dengan demikian sebuah perjanjian antara Raja Muda Hassim dan James Brooke ditanda-tangani pada 24

September 1841, yang kemudian menempatkan James Brooke sebagai gubernur yang memiliki kekuasaan penuh atas Serawak dengan persyaratan harus tetap memberikan pajak dan tidak mencampuri adat, agama penduduk setempat, James

Brooke juga tidak boleh memindahkan hak kekuasaan atas wilayahnya kepada pihak yang lain kecuali atas izin Raja Muda Hassim.

Posisi Raja Muda Hassim sebagai perdana menteri berhasil direbut oleh

Pengiran Usop ketika masih berada di Serawak. Sultan membiarkan hal itu terjadi

14Beberapa tempat di Kalimantan terkenal sebagai penghasil senjata api, terutama Brunei. Senjata api yang dibuat seperti lela dan rentaka yaitu meriam yang biasa berputar-putar untuk membidik yang terbuat dari perunggu maupun dari bahan besi. Lih. Adrian B. Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, hal 150. 34

karena merasa curiga terhadap Raja Muda Hassim dengan dua alasan. Pertama,

Raja Muda Hassim dan keluarganya mewakili Raja Api karena persaingan antara dua keluarga yang tidak pernah usai. Kedua, Sultan Omar Ali Saifuddin II tidak memiliki anak sah, maka Raja Muda Hassim secara otomatis akan memenuhi syarat sebagai pewaris yang sah untuk naik takhta. Hal ini sangat mungkin bahwa keretakan antara kedua keluarga telah terkesan menunjukkan bahwa Raja Muda

Hassim dan saudara-saudaranya telah dikucilkan ke Sarawak. Makanya ketika

James Brooke berkunjung ke Brunei untuk mengkonfirmasi pengangkatannya itu anehnya Raja Muda Hassim tidak menyertainya. Salah satu tujuan dari kunjungan

Brooke adalah untuk mengadakan rekonsiliasi antara Sultan dan Muda Hassim.

Bahkan setelah itu, Raja Muda Hassim tak berani kembali, sampai pada tahun

1844 di bawah perlindungan senjata Inggris. Untuk alasan ini Raja Muda Hassim memerlukan aliansi dengan Brooke.

Langkah selanjutnya yang diambil oleh James Brooke untuk memperkuat posisinya di Serawak adalah mencari pengakuan dari kerajaan Inggris untuk melegitimasi keberadaannya di Serawak serta secara perlahan berusaha menggerogoti kedaulatan Kesultanan Brunei. Selanjutnya untuk mengatasi beberapa persoalan bajak laut yang berada di wilayah tetangganya yaitu Saribas dan Skrang dilakukanlah konfrontasi,15 James Brooke memanfaatkan diplomasi yang cerdik dengan meminta bantuan dari unsur-unsur angkatan laut Inggris untuk memenuhi tujuan pribadinya. Akhirnya pada tahun 1843 James Brooke berhasil meyakinkan Kerajaan Inggris dengan mengutus Kapten Henry Keppel untuk menumpas bajak laut dari dua wilayah tersebut.

15JH. Walker, Power and Prowess: The Origins of Brooke Kingship in Sarawak , Honolulu: Allen and Unwin University of Hawai, 2002, hal.81 35

2) British North Borneo Company

Wilayah bagian Utara Kalimantan dalam pembahasa ini adalah Sabah, beberapa mengatakan Sabah diperoleh namanya dari pisang saba, pohon pisang yang tumbuh terutama di daerah pesisir Kalimantan. Beberapa menyebut bahwa

Sabah berasal dari kata Melayu sabak, yang merupakan tempat untuk mengekstrak gula aren. Dalam bahasa Melayu Brunei, saba berarti hulu. Sabah terletak di barat laut, atau hulu dari Brunei. Sabah telah menjadi bagian dari

Brunei sejak abad ke-15.

Tidak kurang dari tiga negara berbeda mencoba untuk mengontrol bagian utara dari wilayah Brunei ini. Kelompok pertama adalah dari Amerika Serikat.

Hubungan Brunei dengan Amerika dimulai sejak 23 Juni 1850, Brunei sepakat untuk menandatangani perjanjian persahabatan dan perdagangan AS-Brunei.

Joseph Balestier menjadi Konsul Jenderal pertama Amerika di Brunei.16

Pada tahun 1865, Charles Lee Moses diangkat sebagai Konsul Jenderal

Amerika Serikat di Brunei Darussalam. Ia menandatangani perjanjian dengan

Sultan dengan mendapatkan hak menyewa wilayah selama sepuluh tahun, yang terdiri hampir seluruh Borneo Utara termasuk Pulau Balabak dan

Palawan dengan membayar $ 9,500 per tahun.

Moses menjual hak sewa kepada Torrey, itu memungkinkan Torrey untuk menjual semua hak untuk Baron Gustav von Overbeck. Baron von Overbeck adalah konsul dari Kekaisaran Austro-Hongaria di Hong Kong. Dia membeli hak konsesi di Sabah dari Torrey. Kemudian Baron von Overbeck bersama dengan

Alfred Dent Hong Kong membentuk kemitraan dan membentuk Perusahaan Dent.

16BA. Hamzah, The Oil Sultanate: Political History of Oil in Brunei Darussalam, Kuala Lumpur: Mawaddah Enterprise, 1991, hal. 25. 36

Pada tahun 1877, Baron von Overbeck mengunjungi Brunei untuk menegosiasikan sewa baru dengan Sultan Abdul Momin. Yang terakhir ini setuju dan perjanjian ditandatangani pada tahun yang sama. Sultan Abdul Momin ditunjuk Baron von Overbeck sebagai Maharaja Sabah dan Raja Gaya dan

Sandakan dan sebagai imbalannya, Baron harus membayar $ 12.000 per tahun dan tambahan $ 3.000 untuk Temenggong tersebut.

Agar aman karena Sabah juga diklaim oleh Sultan Sulu, Baron Overbeck menegosiasikan perjanjian dengan Sultan Sulu. Ia menandatangani perjanjian dengan Sultan Sulu dan setuju untuk membayar $ 5.000 per tahun. Sultan ditunjuk sebagai Bendahara dan Dato Raja Sandakan pada tahun 1878. Namun Overbeck menghadapi masalah keuangan. Dia tidak bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah Austria-Hungaria. Jadi dia memutuskan untuk menjual saham kepada

Alfred Dent. Pada tahun 1881 Alfred Dent kemudian berhasil mendapatkan piagam kerajaan untuk mendirikan perusahaan lain yang disebut British North

Borneo Company (BNBC) atau Syarikat Dagang Borneo Utara. William Hood

Treacher diangkat menjadi gubernur pertama Kalimantan Utara.

Syarikat Dagang Borneo Utara ini bertahap mendirikan kekuasaannya atas wilayah-wilayah sewaan itu. Mereka bahkan membeli hak teritorial lainnya yang tidak termasuk dalam sewa asli dari Pengiran Brunei dan bangsawan lainnya.

Pada saat yang sama, dalam pemberian Royal Charter, pemerintah Inggris diasumsikan sebuah kedaulatan atas negara terutama hubungan luar negerinya.

Karena itu, kekuatan barat lainnya di daerah itu segera mengambil minat baru di

Kalimantan dan Malaya. Namun Spanyol setuju untuk kontrol Inggris di utara

Kalimantan karena Inggris menerima kontrol Spanyol atas Kepulauan Sulu. 37

Jerman juga menerima kontrol Inggris atas Sabah karena Inggris sepakat untuk menerima kontrol Jerman atas New Guinea. Belanda yang berusaha untuk mengklaim beberapa tanah di dekat Sandakan pada tahun 1879 tetapi Syarikat

Dagang Borneo Utara keberatan untuk itu. BAB IV

DAMPAK PROTEKTORASI INGGRIS

A. Analisa Terhadap Perjanjian Perlindungan 1888

Inilah sejarah awal keterlibatan Kerajaan Inggris dalam hal politik

Kesultanan Brunei ketika suatu perjanjian perlindungan yang ditandatangani pada

17 September 1888. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Kebawah Duli Yang

Maha Mulia Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin dan Sir Hugh Low, residen

Inggris di Perak selaku perwakilan dari Kerajaan Inggris. Dalam perjanjian tersebut pihak Inggris telah berjanji untuk melindungi (protect) Brunei dari segala macam ancaman kekuatan asing atas wilayah-wilayahnya. Butir-butir perjanjian tersebut adalah:1

Agreement with the sultan of Brunei; signed at Brunei. September 17 th, 1888.

Whereas, Sultan Hasim Jalilul Alam akamadin, sultan and lawful ruler of the state of Brunei, in the island of Borneo, has represented to Her Britannic Majesty’s Government the desire of that state to be placed under the protection of Her Majesty the Queen, under the conditions hereinafter mentioned; it is hereby agreed and declared as follows:

ARTICLE I

The State of Brunei shall continue to be governed and administrated by the said Sultan Hashim Jalilul Alam Akamadin and his successors as an independent State, under the protection of Kerajaan Inggris; but such protection shall confer no right on Her Majesty’s Government to interfere with the internal administration of that State further than is herein provided.

1 DS. Ranjit Singh, Brunei: 1839-1983 The Problems of Political Survival, Singapore: Oxford University Press, 1991, hal. 232-235.

38

39

ARTICLE II In case any question should hereafter arise respecting the right of succession to the present or any future Ruler of Brunei, such questions shall be referred to Her Majesty’s Government for decision.

ARTICLE III The relations between the State of Brunei and all foreign States, including the States of Sarawak and North Borneo shall be conducted by Her Majesty’s Government, and all communications shall be carried on exclusively through Her Majesty’s Government, or in accordance with its directions; and if any difference should arise between the sultan of Brunei and the Government of any other State, the sultan of Brunei agrees to abide by the decision of Her Majesty’s Government and to take all necessary measures to give effect thereto.

ARTICLE IV Her Majesty’s Government shall have the right to establish British Consular Officers in any part of the State of Brunei, who shall receive exequaturs in the name of the sultan of Brunei. They shall enjoy what ever privileges are usually granted to Consular Officers, and they shall be entitled to hoist the British Flag over their residences and public officers.

ARTICLE V British subjects, commerce, and shipping shall, in addition to the rights, privileges, and advantages now secured to them by Treaty, he entitled to participate in any other rights, privileges and advantages, which may be enjoyed by the Subjects, commerce, and shipping of the State of Brunei.

ARTICLE VI No cession or other alienation of any part of the territory of the State of Brunei shall be made by the sultan to any foreign State, or the subjects or citizens thereof, without the consent of Her Majesty’s Government, but this restriction shall not apply to ordinary grants or leases of land or houses to private individuals for purposes of residence, agriculture, commerce or other business.

ARTICLE VII It is agreed that full exclusive jurisdiction, civil and criminal, over British subjects and their property in the State of Brunei, is reserved to Her Britannic Majesty, to be exercised by such Consular or other officers as Her Majesty shall appoint for that purpose. 40

The same jurisdiction is likewise reserved to Her Majesty in the State of Brunei over foreign subjects enjoying British protection; and the said jurisdiction may likewise be exercised in cases between British or British protected subjects and the subjects of a third power, with the consent of their respective Governments.

In mixed civil cases arising between British and British protected subjects and the subjects of the sultan, the trial shall take place in the Court of the defendant’s nationality; but an officer appointed by the Government of the plaintiff’s nationality shall be entitled to be present at, and to take part in, the proceedings, but shall have no voice in the decision.

ARTICLE VIII All the provisions of existing Treaties, Conventions, and Declarations between Her Majesty the Queen and the sultan of Brunei are hereby confirmed and maintained except in so far as any of them may conflict with the present Agreement.

In witness whereof, His Highness the said sultan of Brunei hath hereunto attached his seal at the Palace, in the city of Brunei, on the 17th day of September, in the year of Our Lord 1888, being the 11th day of the month of Moharram, in the year 1306 of the Mohammedan era; and Sir Hugh Low, K.C,M.G., British Resident at Perak, in charge of a special Mission to His Highness the sultan, hath, on the part of Her Majesty’s Government, signed this Agreement in the presence of witnesses.

Kepentingan Perjanjian 1888 dapat dilihat dari aspek positif dan negatif.

Dari sudut positif, perjanjian ini pada prinsipnya menekankan lagi corak atau sistem pemerintahan Brunei Darussalam yang berdasarkan kesultanan yang berkerajaan sendiri dan merdeka, tetapi di bawah perlindungan kerajaan Kerajaan

Inggris. Ini terkandung dalam artikel I perjanjian tersebut yang menekankan bahwa Brunei Darussalam adalah Kesultanan yang bersultan (beraja) sepanjang zaman. Hal ini dijamin oleh Kerajaan Inggris melalui perjanjian ini. Artikel ini juga menjelaskan bahwa Yang Mulia Ratu Inggris tidak mempunyai hak untuk mencampuri urusan dalam negeri Kesultanan Brunei Darussalam. Jadi, yang penting dari artikel ini ialah mengekalkan institusi beraja dan intern Kesultanan 41

serta mendapat perlindungan dari Kerajaan Inggris.

Artikel II sebenarnya bertentangan dengan artikel I, artikel II menyebutkan bahwa apabila timbul permasalahan mengenai hak pergantian sultan maka persoalan ini hendaklah dirujuk kepada Yang Mulia Ratu Inggris untuk mendapatkan keputusan. Kalau perkara ini dirujuk kepada Kerajaan Inggris maka sudah tentu adanya campur tangan terhadap urusan internal Kesultanan Brunei

Darussalam. Seharusnya, Kerajaan Inggris tidak boleh campur tangan dalam hal pelantikan raja karana Kesulatanan Brunei Darussalam mempunyai majlis pelantikan raja sendiri dimana hal sedemikian dirujuk di majlis ini.

Artikel III tidak memberi kepentingan yang positif kepada Brunei, tetapi menguntungkan pihak Inggris. Hubungan antara Brunei dengan pihak lain termasuk Sarawak dan Syarikat Borneo Utara dikendalikan oleh Inggris. Aspek ini juga melibatkan campur tangan Inggris yang bertentangan dengan artikel I tadi. Apabila terjadi perselisihan antara Brunei dengan pihak lain, maka Sultan

Brunei menyetujui keputusan Inggris. Kestabilan politik atau ketidakstabilan politik di Borneo disebabkan oleh kehadiran Raja Sarawak (James Brooke) dan

Syarikat Borneo Utara yang mengancam kestabilan Brunei. Walaupun Sarawak dan Syarikat Borneo Utara tersebut dikategorikan sebagai pihak lain akan tetapi melibatkan kepentingan Inggris. Sasarannya apabila Limbang dirampas oleh Raja

Charles Brooke, penyelesaian akhirnya ialah keputusan Ratu Inggris, Sultan

Hashim Jalilul Alam Aqamaddin terpaksa menerima keputusan Inggris walaupun dengan tekanan.

Melalui artikel III ini juga, Brunei telah menyerahkan pengurusan hubungan luar negerinya kepada Inggris. Dalam arti kata, Brunei telah kehilangan 42

sebagian kedaulatannya yaitu hubungan luarnya dengan wilayah atau kerajaan lain. Dalam situasi ini, sultan harus patuh kepada keputusan dari Kerajaan Inggris dalam menangani masalah yang dihadapi oleh Brunei. Dengan kata lain, pihak

Inggris tidak berjanji untuk melindungi Brunei kecuali perkara tersebut dianggap perlu menurut pandangan mereka. Oleh karea itu apa yang sultan harapkan dari perlindungan Inggris itu ternyata gagal menghalangi perluasan wilayah oleh

Brooke di Sarawak. Perjanjian tersebut tidak cukup untuk melindungi Brunei karena pihak Inggris beranggapan bahwa Brunei adalah sebuah kerajaan yang merdeka dan perlindungan semacam itu tidak diberikan oleh Kerajaan Inggris untuk campur tangan dalam urusan di negeri itu.

Artikel IV dan V juga menguntungkan Inggris, artikel IV menyebutkan bahwa Pemerintah Ratu Inggris berhak untuk menetapkan Pejabat Konsuler

Inggris di setiap bagian dari wilayah Brunei serta hak istimewa yang patut diberikan kepada mereka. Begitu juga dengan Artikel V, Perdagangan, pengiriman (ekspor-impor), hak istimewa, dan keuntungan dijamin kepada mereka oleh perjanjian, Inggris berhak untuk berpartisipasi dalam perdagangan apapun. Kalau dilihat dari segi perdagangan lebih banyak menguntungkan dan memberikan kepentingan kepada perdagangan Inggris karena pedagang-pedagang

Brunei tidak mampu bersaing, mungkin juga karena kekurangan modal. Akan tetapi pedagang-pedagang Inggris atau syarikat-syarikat Inggris mampu melakukan itu semua, contohnya, The Island Trading Syndicate (kongsi dagang) dan Syarikat yang berkaitan dengan usaha menanam karet di Brunei.

Artikel VI dalam Perjanjian 1888 melarang Sultan Brunei memberikan wilayah kekuasaan kepada pihak lain atau rakyat negara asing tanpa persetujuan 43

dari Inggris. Pada dasarnya, artikel VI dapat mencegah Sultan Brunei untuk menyerahkan wilayahnya kepada pihak lain tetapi pada realitanya artikel ini tidak dapat dijadikan sandaran untuk mengemukakan pelarangan ketika wilayah Brunei diambil atau dirampas secara paksa oleh Sarawak. Contohnya, perampasan

Limbang oleh Raja Charles Brooke.2

Bagi Inggris, artikel VI ini lebih menguntungkan mereka karena hal-hal mengenai pengambilan wilayah Brunei. Lagi pula artikel ini sangat menguntungkan Sarawak dan Syarikat Borneo Utara yang berarti bebas dari pengenaan pajak untuk tujuan perniagaan, perdagangan, kediaman, pertanian dan lain-lain seperti pajak tulin yang kuasai oleh pangeran-pangeran khususnya di

Sabah dan Sarawak.3

Artikel VII berisi kesepakatan yurisdiksi eksklusif penuh, sipil dan kriminal atas Inggris dan properti mereka di Brunei, yang akan dilaksanakan oleh

Konsuler atau pejabat lainnya yang diangkat untuk tujuan itu. Yurisdiksi yang sama juga berlaku untuk Sultan Brunei atas perlindungan Inggris; dan yurisdiksi juga dilakukan dalam kasus-kasus perlindungan Inggris atau Inggris dan kekuatan ketiga, dengan persetujuan dari Pemerintah mereka masing-masing. Dalam kasus- kasus sipil yang timbul antara Inggris, pemerintah protektorasi Inggris dan Sultan

Brunei, sidang akan berlangsung di pengadilan kebangsaan terdakwa, dengan menunjuk seorang pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah kebangsaan penggugat berhak untuk hadir dan ambil bagian dalam proses siding tersebut namun tidak memiliki suara dalam keputusan sidang.

2 Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford University Press, 1984, hal. 9. 3 B.A. Hamzah, The Oil Sultanate: Political History of Oil in Brunei Darussalam, Kuala Lumpur: Mawaddah Enterprise, 1991, hal. 12. 44

Perjanjian perlindungan 1888 sebenarnya tidak membuat lebih baik kondisi Kesultanan Brunei Darussalam, justru perjanjian tersebut merugikan dan mengikis kedaulatan sultan secara utuh. Kondisi internal keluarga istana, pemberontakan, aktivitas bajak laut, ekspansi James Brooke serta Syarikat Borneo

Utara membuat ketidakberdayaan sultan untuk menolak tawaran perlindungan dari Inggris.

B. Dampak dan Respon terhadap Protektorasi Inggris

1) Politik

Dua tahun selepas Perjanjian 1888, Charles Brooke telah sukses merampas

Limbang dan mengibarkan bendera Sarawak disana pada 17 Maret 1890 serta menegaskan bahwa Limbang berada di bawah Sarawak. Perampasan ini tanpa sepengetahuan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin. Beberapa langkah diambil oleh sultan untuk mengambil kembali Limbang ke dalam wilayah Brunei, seperti kepada Kerajaan Inggris dengan menulis surat kepada Sir Frederick Weld supaya menolong mengembalikan Limbang kepada Brunei dan mengarahkan

Charles Brooke dan orang-orangnya meninggalkan Limbang dan kembali ke

Sarawak. Sultan Hashim merujuk kepada perjanjian-perjanjian yang lalu dengan

Kerajaan Inggris dan Sarawak, dan sultan patuh kepada perjanjian-perjanjian tersebut. Akan tetapi Charles Brooke tidak mematuhi perjanjian-perjanjian tersebut.

Di samping itu, Kerajaan Inggris mengarahkan Sir Cecil Clementi Smith supaya Sultan Hashim menyerahkan saja Limbang kepada Sarawak. Tetapi Sultan

Hashim dengan keras hati menolak permintaan tersebut. Sir Cecil Clementi Smith 45

juga memberitahu Charles Brooke bahwa Kerajaan Inggris tidak akan mendukung perampasan Limbang, kecuali jika Sultan Hashim menerima atau diberi uang ganti rugi. Berdasarkan laporan N.P. Trevenen, Kerajaan Inggris bersedia untuk mengesahkan perampasan Limbang tetapi dengan syarat untuk membayar ganti rugi kepada Sultan Brunei dan pemegang Kuripan (kapur putih) di Limbang.

Bulan Maret 1892 uang ganti rugi dirundingkan dan Sultan Brunei akan menerima

$6000 setiap tahun dan kalau sultan tidak menerima uang tersebut dalam tiga tahun sejak perampasan Limbang, maka uang tersebut akan dikembalikan kepada

Charles Brooke. Sultan Hashim dan pembesar-pembesar Brunei tidak mahu menerima walau sesen pun uang tersebut. Sultan Hashim tidak rela menggantikan

Limbang dengan uang sebagai ganti rugi atas tanah Limbang yang dirampas itu.

Apa pun caranya untuk meyakinkan sultan supaya menyerahkan Limbang kepada Sarawak, sultan tetap dengan keputusannya. Usaha Trevenen gagal, dan selepas tiga tahun berakhir dan hingga tahun 1895 sultan tetap enggan menerima uang tersebut. Agustus 1895 Pejabat Luar Negeri Kerajaan Inggris telah menegaskan uang perampasan Limbang oleh Raja Charles Brooke itu ditutup. Hal ini telah mengecewakan Sultan Hashim.

Sembilan tahun selepas perampasan Limbang, antara tahun 1899 hingga

1901, Brunei menghadapi dua lagi pemberontakan, yaitu pemberontakan Tutong dan Belait. Penyebab dari pemberontakan tersebut ialah cukai yang tinggi dikenakan kepada penduduk-penduduk wilayah tersebut. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Raja Charles Brooke untuk mengambil wilayah-wilayah tersebut. 46

Selepas Limbang dirampas, wilayah Brunei yang tersisa ialah: Tutong,

Belait, Bandar Brunei dan wilayah sekitarnya seperti Temburong, Muara dan Kota

Batu. Hewette, konsul Inggris bagi Borneo, menyarankan supaya menyerahkan saja wilayah-wilayah itu kepada Sarawak, tetapi tidak diterima oleh Sultan

Hashim Jalilul Alam Aqamaddin, karena jika Tutong dan Belait diserahkan,

Brunei akan menjadi lebih kecil lagi. Harapan Sultan Hashim untuk menjamin kelangsungan kesultanan Brunei dan mempertahankan wilayah-wilayah Brunei berdasarkan artikel I Perjanjian 1888, tidak akan tercapai jikalau sultan tunduk kepada tekanan Raja Charles Brooke dan sultan tidak ingin kecewa lagi dengan perampasan Limbang yang diharapkannya dapat dikembalikan dengan pertolongan kerajaan Kerajaan Inggris.

Melihat kepada pengalaman pahit tentang perampasan Limbang serta keinginan Sultan untuk menghalang agressi Raja Charles Brooke dan untuk menjamin keberlangsungan Kesultanan Brunei, maka Sultan Hashim Jalilul Alam

Aqamaddin dengan penuh keyakinan telah membuat perundingan dengan

Kerajaan Inggris. Persetujuan telah dicapai dan satu lagi perjanjian telah ditandatangani sebagai tambahan kepada Perjanjian 1888 pada akhir bulan

Desember 1905 dan awal Januari 1906.4 Perjanjian baru ini telah meletakkan

Brunei Darussalam di bawah pemerintahan sistem residen, yaitu residen Inggris ditempatkan di Brunei sebagai penasihat dan Sultan dikehendaki menerima nasihat residen dalam semua perkara kecuali yang berkaitan dengan agama Islam.

Dengan kata lain pihak Inggris telah mengambil alih semua urusan-urusan

4Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford University Press, 1984, hal. 8 47

pemerintahan kerajaan kecuali mengenai agama Islam. Beberapa bulan setelah itu

Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin wafat pada 10 Mei 1906.

2) Ekonomi

Berbanding lurus dengan menyusutnya kedaulatan sultan sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan Brunei, dalam bidang perekonomian pun Sultan dalam hal ini tidak bisa berbuat banyak dalam menanggulangi kerakusan pihak

Inggris. James Brooke yang pada awalnya hanya sebagai wakil dari sultan yang memimpin daerah Sarawak pada akhirnya mengeksploitasi kekayaan setempat tersebut. Kepemimpinan James Brooke di Serawak kemudian diteruskan oleh

Charles Brooke, pada masa ini minyak ditemukan di pada 1895 dan mulai di eksploitasi melalui perusahaan minyak Serawak pada 1910. Sebelumnya, karet juga diperkenalkan dan mulai dijadikan korporasi perkebunan pada 1905.5

Meskipun status Serawak adalah wilayah protektorasi Inggris sama seperti Brunei dan Sabah, namun hak otonomi dinikmati dan dilanjutkan tanpa adanya pengawasan atas kekuasaannya dan dengan ini eksploitasi atas Serawak dilakukan dengan merajalela.

Pentingnya Limbang bagi Brunei antara lain disebutkan bahwa Limbang adalah periuk nasi atau rice port-nya sultan dan Brunei secara keseluruhan.

Limbang mempunyai sumber daya alam seperti hasil hutan dan sumber ikan

Brunei. Kehilangan Limbang menyebabkan ekonomi Brunei merosot dan mengecewakan Sultan Brunei. Pada saat yang sama pendapatan pangeran- pangeran disana juga merosot. Pendapatan dari eksport sagu Brunei juga merosot pada tahun 1899. Kehilangan Limbang merupakan satu kepincangan Brunei

5 Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore, and Brunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, Hal. 167. 48

Darussalam, permohonan Sultan Hashim kepada Kerajaan Inggris untuk mengembalikan Limbang kepada Brunei berkelanjutan.

Pemberian kuasa politik yang lebih kepada residen memudahkan Inggris mengumpulkan segala sumber keuangan Brunei dengan cara memiliki semua hasil negeri yang sebelumnya menjadi milik peribadi Sultan dan Wazir-Wazirnya.

Sebelum itu Brunei memang tidak mempunyai satu perbendaharaan karena didalam urusan pemerintahan tradisional Brunei yang berasaskan kepada sistem urusan pemerintahan feodal. Pendapatan dari sungai-sungai Tulin, Kuripan,dan segala pendapatan lain seperti sagu, getah karet, kayu dan sumber pertanian lainnya, keseluruhannya adalah menjadi hak pribadi Sultan, Wazir dan pemilik- pemilik sungai itu.

Di bidang perdagangan, semua hak atas barang-barang eksport dan import yang dimonopoli oleh pedagang Cina dan hasil dari perdagangan tersebut menjadi milik pribadi mereka (residen).Sebelum diperkenalkannya sistem residen itu, semua hasil pendapatan sebagai milik individu karena konsep kerajaan di dalam politik Brunei merujuk kepada diri Sultan sendiri dengan diperuntukkan hak-hak istimewanya seperti wilayah-wilayah kerajaan dan berbagai bentuk cukai seperti cukai perdagangan di pelabuhan Brunei. Hak-hak istimewa seperti ini juga diperolehi oleh wazir-wazir dan kaum keluarga sultan sesuai dengan kedudukan mereka dalam adat-istiadat Brunei.

Setelah sistem residen ini diterapkan, semua hasil pendapatan tersebut dijadikan hasil pendapatan negeri, sultan serta dua orang wazir mendapat bayaran gaji bulanan dari kerajaan. Misalnya, pendapatan sultan dianggarkan berjumlah

$25,000.00 yang datangnya dari pembayaran sungai-sungai yang dipajak oleh 49

Brooke dan Syarikat Inggris Borneo Utaraserta pembayaran sewa atas monopoli perdagangan yang diberikan kepada pedagang-pedagang Cina dan juga cukai di daerah Tutong dan Kedayan.Sementara pendapatan dua orang wazir adalah

Pangeran Bendahara dianggarkan sebanyak $9,000.00 dan Pangeran Pemancha sebanyak $8,000.00.

Walaupun dalam hirarki urusan pemerintahan Inggris di Brunei kedudukan sultan masih ditempatkan dikedudukan yang tertinggi tetapi kuasa mutlak sultan dalam urusan pemerintahan telah berpindah ke tangan residen. Semua urusan- urusan pemerintahan Brunei dikendalikan oleh Residen kecuali yang berkaitan dengan agama Islam dan Sultan dikehendaki menerima nasihatnya di dalam semua perkara yang tidak menyentuh bidang agama Islam.Dengan kata lain kedudukan

Sultan di dalam urusan pemerintahan Inggris hanyalah sebagai ketua kerajaan yang tidak mempunyai kuasa eksekutif. Misalnya di dalam Majlis Mesyuarat Negeri

(State Council) yang dibentuk oleh Inggris, setiap keputusan yang diputuskan oleh

Majlis adalah atas perkenan Sultan itu pun setelah menerima nasihat dari residen.

Oleh sebab itu, residen mempunyai pengaruh yang kuat (dominant voice) didalam menentukan setiap keputusan yang diputuskan oleh Majlis Mesyuarat

Negeri dan Sultan dikehendaki mendengar nasihatnya dalam semua perkara yang tidak menyentuh bidang agama Islam.Dalam perjanjian tersebut sultan Sultan terpaksa menerima perubahan-perubahan yang dibuat oleh Inggris atas sistem urusan pemerintahan Brunei semata-mata untuk menyelamatkan institusi kesultanan itu sendiri.

3) Respon Masyarakat Sabah dan Serawak terhadap Inggris 50

Muncul dan berkuasanya Inggris di negeri-negeri Melayu tidak disenangi oleh masyarakat Melayu terutamanya di Sabah dan Sarawak. Perasaan tidak suka terhadap pemerintahan Inggris dalam bidang politik, ekonomi dan sosial telah mewujudkan perlawanan dari masyarakat setempat.

Sabah dikuasai dan diperintah oleh Inggris di bawah Syarikat Dagang

Borneo Utara. Syarikat dagang ini telah melaksanakan banyak pembaharuan di

Sabah sehingga menimbulkan rasa tidak suka masyarakat setempat terutamanya para pembesar karena mereka kehilangan hak dan kedudukannya. Pembesar- pembesar tersebut akhirnya mengetuai perlawanan terhadap syarikat dagang ini.

Perlawanan telah dilakukan oleh Mat Salleh di Sabah. Nama sebenarnya ialah Muhammad Salleh, dilahirkan di Inanam, Sabah yang merupakan keturunan

Bajau-Sulu.6 Beliau menjadi pembesar di hulu Sungai Sugut. Mat Salleh telah mengetuai beberapa gerakan untuk menentang pemerintahan BNBC di Sabah.

Selain itu, dia juga tidak senang dengan pembaharuan-pembaharuan yang diperkenalkan oleh BNBC seperti mengenakan cukai yang tinggi kepada rakyat, menggunakan tenaga buruh dengan upah yang sangat rendah dan mengambil alih hak memungut cukai yang menyebabkan hilangnya sumber pendapatan pemimpin-pemimpin setempat.

Ketidakpuasan masyarakat Sabah atas campur tangan BNBC di wilayahnya memuncak ketika Inanam diserang dan dihancurkan oleh BNBC.

Tahun 1897, Mat Salleh dan pengikutnya akhirnya melakukan perlawanan dengan memusnahkan pusat pemerintahan Inggris di Pulau Gaya. Perlawanan ini mendapatkan respon dari pihak BNBC dengan memusnahkan Inanam sekali lagi

6 Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore and Brunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, hal., 168.

51

yang berujung kepada kekalahan Mat Salleh dan pengikutnya yang kemudian melarikan diri.

Pihak BNBC bimbang akan perlawanan Mat Salleh dan pengikut- pengikutnya. Satu petemuan telah diadakan di Menggatal antara Mat Salleh dengan utusan BNBC yaitu William Cowie. BNBC setuju mengampuni Mat

Salleh dan pengikutnya. Mat Salleh dibolehkan menetap dan berkuasa di

Tambunan. Walau bagaimanapun, BNBC tidak menepati janji karena mengambil kembali daerah Tambunan pada tahun 1899. Mat Salleh merasa sangat marah dan meneruskan perlawanan terhadap BNBC. Pertempuran sengit antara Mat Salleh dan pengikutnya dengan tentara BNBC akhirnya terjadi dan pada tahun 1900 Mat

Salleh tewas dalam pertempuran dengan BNBC.7

Pada tahun 1915, BNBC menghadapi satu lagi perlawanan dari masyarakat setempat yaitu Antanom. Antanom ialah pemimpin kaum Murut.

Kebangkitan kaum Murut berjuang menentang BNBC dikenali sebagai

“Kebangkitan Rundum”. Kebangkitan ini dinamakan Kebangkitan Rundum karena perlawanan berlaku di daerah Rundum yang terletak di Residensi

Pedalaman.

Sebelum pemerintahan BNBC, orang Murut bebas mengusahakan kawasan baru yang subur untuk mereka kelola sebagai pendapatan mereka, tetapi ketika BNBC memerintah, mereka tidak diperbolehkan menebas hutan rimba dan membuka tanah baru sesuka hati. Buntut dari peraturan BNBC menyebabkan hasil panen padi merosot. Selain itu, BNBC mengenakan cukai terhadap beras dan ubi kayu yang menjadi makanan utama orang Murut. BNBC juga memaksa orang

7 Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore and Brunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, hal., 170.

52

Murut membuka jalan di kawasan pedalaman tanpa dibayar gaji. Orang Murut menganggap pembukaan jalan itu akan menimbulkan kemarahan roh nenek moyang mereka.

Pada tahun 1915, orang Murut di bawah pimpinan Antanom menyerang dan membakar Pensiangan dan Rundum, meskipun pada akhirnya bandar Rundum dapat diselamatkan oleh tentara BNBC. Antanom bersama 900 orang pengikutnya telah membuat kubu di Sungai Selangit. Pihak BNBC mengirim tentara untuk menyerang kubu Antanom di Selangit dan dalam pertempuran itu, 400 orang pengikutnya tewas. Orang Murut yang selamat dalam pertempuran tersebut kemudian melarikan diri.

Sementara itu di wilayah lain, pemerintahan Brooke di Sarawak pada abad ke-19 telah bermula setelah James Brooke menamatkan pemberontakan yang dicetuskan oleh pembesar Melayu dan orang Bidayuh. Bermula pada tahun 1841,

James Brooke telah menjadi Gubernur Sarawak dengan mendapat mandat dari sultan Brunei yang berkuasa di Sarawak ketika itu.

Pelantikan Brooke sebagai Gubernur Sarawak telah menimbulkan reaksi perlawanan oleh masyarakat setempat Sarawak. Perlawanan ini berawal dari sikap pembesar-pembesar setempat dan penduduk peribumi Sarawak yang merasa terancam oleh kuasa Barat. Hal ini berkaitan dengan keengganan mereka menerima orang asing untuk mencampuri urusan pemerintahan di Sarawak.

Campur tangan itu menyebabkan kedudukan mereka sebagai pembesar terancam dan hilangnya kuasa untuk mengutip cukai di kawasan pemerintahan para pembesar. Pembaharuan terhadap beberapa tradisi penduduk peribumi Sarawak juga menimbulkan perlawanan di kalangan penduduk. Oleh sebab itu, timbul 53

usaha oleh penduduk Sarawak untuk mengusir James Brooke keluar dari negeri

Sarawak dan mengambil alih pemerintahan negeri.

Pemerintahan Brooke di Sarawak menerima perlawanan paling awal dari

Gubernur Sarikei di Sungai Rajang yaitu Syarif Masahor. Beliau merupakan

Gubernur sarikei yang dilantik oleh sultan Brunei. Walau bagaimanapun, kedudukan beliau mula tergugat bermula pada tahun 1853 ketika James Brooke telah mengambil alih kekuasaan kawasan Sungai Rajang. James Brooke telah membuat kubu di Kanowit, Sungai Rajang. Tindakan James Brooke telah menimbulkan kemarahan Syarif Masahor. Beliau telah mendapat kerjasama dari

Datuk Patinggi Abdul Gapur dan para pengikutnya untuk bertindak menyerang kubu Brooke di Kanowit dan Kuching pada tahun 1853 dan 1860 tetapi gagal.

Syarif Masahor telah melarikan diri ke Brunei dan ditangkap kemudian dibuang ke Singapura.

Di samping itu, pemerintahan Brooke di Sarawak turut menerima perlawanan oleh Rentap yang merupakan seorang pemimpin Iban di Sungai

Skrang. Perlawanan oleh Rentap disebabkan oleh usaha Brooke meluaskan kekuasaannya di kawasan orang Iban dan menuduh orang Iban sebagai lanun atau bajak laut. Tindakan Brooke telah menimbulkan kemarahan orang Iban yang kemudian melakukan perlawanan antara tahun 1853 hingga 1861. James Brooke berhasil memaksa Rentap untuk mundur ke kawasan pedalaman, yaitu Sungai

Entabai dan meninggal dunia di sini.

Pada tahun 1893, perlawanan terhadap pemerintahan Brooke telah dilancarkan oleh Banting yang juga merupakan penghulu orang Iban di Hulu 54

Sungai Batang Lupar. Perlawanan tersebut merupakan reaksi terhadap tindakan

Charles Brooke menghapus adat dan upacara yang dilakukan oleh orang Iban.

Selain itu, perlawanan terhadap pemerintahan Brooke di Sarawak pada abad ke-19 turut dilancarkan oleh pedagang-pedagang Cina, perlawanan tersebut disebabkan oleh tindakan James Brooke mengawasi kegiatan kongsi gelap Cina dan mengenakan cukai yang tinggi terhadap Candu.8 Oleh sebab itu, pada

Februari 1857, banyak kongsi gelap Cina telah dikenakan denda sebanyak $150 atas kesalahan menyeludupkan Candu. Peristiwa ini menyebabkan Brooke menbatasi dan mengawasi masuknya orang Cina ke Sarawak.

Kesimpulannya, perlawanan yang terjadi di negeri-negeri Melayu mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan yang kentara. Sebab dan cara perlawanan terhadap penjajah dilakukan berbeda-beda mengikuti tokoh-tokoh yang mengetuainya seperti Mat Salleh di Sabah dan Rentap di Sarawak. Secara umumnya, perlawanan terhadap pemerintahan Inggris gagal disebabkan beberapa faktor seperti perlawanan dilakukan hanya melibatkan sekumpulan kecil penduduk setempat saja. Selain itu, maksud perjuangan hanyalah untuk menjaga kepentingan dan kewibawaan pembesar-pembesar setempat. Selain itu juga, tentara Inggris dilengkapi dengan peralatan perang yang lebih modern dan canggih seperti senapang dan meriam, ketika penduduk setempat menggunakan senjata tradisional seperti lembing, keris, tombak, panah, dan lain-lain.

8 Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore and Brunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, hal., 163. BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa islamisasi kesultanan

Brunei Darussalam terjadi pada abad 14 M, beberapa catatan Cina menyebutkan kejadian tersebut. Konversi Islamnya Awang Alak Betatar (Muhammad Syah) setelah menikah dengan Putri Johor tahun 1368 M. Setelah itu sistem pemerintahan kerajaan Brunei pun dengan otomatis berubah menjadi sebuah

Kesultanan Islam Melayu Brunei Darussalam. Selanjutnya, kontak Kesultanan

Brunei dengan Bangsa Eropa dimulai sekitar abad 16 ditandai dengan penaklukan

Portugis atas Malaka pada 1511 M. Hubungan dengan Bangsa Eropa lainnya juga terjalin dengan spanyol dan Inggris. Spanyol mulai melakukan kontak dengan

Brunei ketika penguasaanya di beberapa tempat di Filipina yang ketika itu sebagiannya adalah kekuasaan Kesultanan Brunei. Kontak tersebut berlangsung represif, Brunei mencoba mempertahankan apa yang selama ini dikuasainya di perairan Filipina seperti Mindanau, Luzon, Manila, Sulu.

Pada masa pemerintahan Sultan Hasim Jalilul Aqamaddin, Brunei menandatangani beberapa perjanjian dengan pihak Inggris seperti perjanjian perlindungan 1888 dan perjanjian 1905. Perjanjian perlindungan 1888 menandai

Kesultanan Brunei di bawah naungan Inggris, perluasan wilayah yang dilakukan oleh keluarga Brooke, munculnya British North Borneo Company di Sabah dan perpecahan dalam Istana serta aktivitas bajak laut membuat semakin sempit gerak

55

56

sultan untuk memerintah yang akhirnya dengan terpaksa sultan menandatangani perjanjian tersebut.

Dalam prakteknya, Inggris tidak mematuhi prinsip-prinsip dalam perjanjian yang telah disepakti itu. Dampaknya, beberapa wilayah yang telah di caplok oleh James Brooke semakin lebih luas lagi setelah Limbang dimasukkan kedalam wilayah Serawak dan mengeksploitasinya. Segala sumber daya alam yang dihasilkan di Limbang seperti sagu dan beras dikendalikan oleh mereka yang kemudian mengakibatkan perlawanan dari masyarakat setempat. Hak-hak istimewa juga di dapat oleh Inggris atas pendapatan yang dipungut dari pajak pelabuhan, pedagang dan komoditinya.

Perjanjian 1888 tidak mampu memberikan taraf perlindungan yang sepenuhnya kepada Brunei Darussalam. Hilangnya kedaulatan sultan, menyusutnya wilayah Brunei menjadi dampak dari perjanjian tersebut, ini dikarenakan kepentingan Inggris mengutamakan rezim keluarga Brooke di

Sarawak dan British North Borneo Company sebagai lumbung pendapatan mereka. 57

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

1999.

Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis

Islam Indonesia, Jakarta: LOGOS, 1998.

Azra, Azumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Obor, 1989.

Brown, DE., Brunei: The Structure and History of a Bornean Malay Sultanate,

Brunei: The Star Press, 1970

Deli, Mohammad bin Ahmad, Brunei Darussalam In Brief, Brunei Darussalam:

The Information Departemen, Prime Minister’s Office, 1989.

Fanani, Zainuddin (penyunitng), Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta:

Muhammadiyyah University Press, 1999.

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI

Press, 1983.

Hamzah, BA., The Oil Sultanate: Political History of Oil in Brunei Darussalam,

Kuala Lumpur: Mawaddah Enterprise, 1991.

Hasan, Masudul, History of Islam, Delhi: Adam Publisher & Distributor, 1995.

Hashim, Muhammad Yusuf, Kesultanan Melayu Melaka, Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1990.

Hj. Tamit, Saadiah DDW (Artikel), Pentadbiran Undang-Undang Islam Di

Negara Brunei Darussalam Pada Zaman British, Universiti

Brunei Darussalam. 58

Ibrahim, Ahmad. dkk, Islam di Asia Tenggara Perkembangan Kontemporer,

Jakarta: LP3ES, 1990.

Jamil al-Sufri, Awang Mohammad, Liku-liku Perjuangan Pencapaian

Kemerdekaan Negara Brunei Darussaalam. Bandar Seri

Begawan: Jabatan Percetakan Kerajaan Kementerian Undang-

undang Brunei Darussalam 1992.

______, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan Islam,

Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah, 1991.

Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Lapian, Adrian B., Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut

Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu, 2009.

______, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad 16-17,

Depok: Komunitas Bambu, 2008.

Majul, Cesar A., Dinamika Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989.

Mulyana, Slamet, Sriwijaya, Jogjakarta: LKiS, 2001.

Mutalib, Hussin, Islam dan Etnisitas perspektif politik melayu, Jakarta: LP3ES,

1996.

Nasuhi, Hamid, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan

Disertasi), Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2007.

Shoheh, Muhammad, Eksistensi Kesultanan Brunei Darussalam Pasca Kejatuhan

Malaka, Tesis Program Studi SPI Pasca Sarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2003. 59

Singh, Ranjit, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore:

Oxford University Press, 1984.

Tarling, Nicholas, Britain, The Brookes and Brunei, Singapore: Oxford University

Press, 1971.

Tjandrasasmita, Uka, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009.

Turnbull, Mary, A History of Malaysia, Singapore and Brunei, Sydney: Allen &

Unwin, 1989.

Vlekke, Bernard HM., Nusantara: Sejarah Indonesia,(Terj), Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2008.

Walker, JH., Power and Prowess: The Origins of Brooke Kingship in Sarawak,

Honolulu: Allen and Unwin University of Hawai, 2002.

Wiharyanto, Kardiyat, Asia Tenggara Zaman Pranasionalime, Jogjakarta:

Universitas Sanata Dharma, 2005.

60

LAMPIRAN I

Silsilah Sultan-sultan Brunei Darussalam.1

1. Sultan Muhammad Shah (1363–1402) 2. Sultan Ahmad (1408–1425) 3. Sultan Sharif Ali (1425–1432) 4. Sultan (1432–1485) 5. Sultan Bolkiah (1485–1524) 6. Sultan Abdul Kahar (1524–1530) 7. Sultan Saiful Rijal (1533–1581) 8. Sultan Shah Berunai (1581–1582) 9. Sultan Muhammad Hassan (1582–1598) 10. Sultan Abdul Jalilul Akbar (1598–1659) 11. Sultan Abdul Jalilul Jabbar (1659–1660) 12. Sultan Haji Muhammad Ali (1660–1661) 13. Sultan Abdul Hakkul Mubin (1661–1673) 14. Sultan Muhyiddin (1673–1690) 15. Sultan Nasruddin (1690–1710) 16. Sultan Hussin Kamaluddin (1710–1730) (1737–1740) 17. Sultan Muhammad Alauddin (1730–1737) 18. Sultan Omar Ali Saifuddin I (1740–1795) 19. Sultan Muhammad Tajuddin (1795–1804) (1804-1807) 20. Sultan Muhammad Jamalul Alam I (1804) 21. Sultan Muhammad Kanzul Alam (1807–1826) 22. Sultan Muhammad Alam (1826–1828) 23. Sultan Omar Ali Saifuddin II (1828–1852) 24. Sultan Abdul Momin (1852–1885) 25. Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (1885–1906) 26. Sultan Muhammad Jamalul Alam II (1906–1924) 27. Sultan (1924–1950) 28. Sultan Omar Ali Saifuddin III (1950–1967) 29. Sultan (1967– sampai sekarang)

1 Awang Mohammad Jamil al-Sufri, Tarsilah Brunei; Sejarah Awal dan Perkembangan Islam, Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah, 1991, hal. 56-57

61

LAMPIRAN II

Surat Perjanjian Perlindungan 1888.2

BRUNEI, 1888 Agreement with the Sultan of Brunei; signed at Brunei. September 17th, 1888. Whereas, Sultan Hasim Jalilul Alam akamadin, Sultan and lawful ruler of the state of Brunei, in the island of Borneo, has represented to Her Britannic Majesty’s Government the desire of that state to be placed under the protection of Her Majesty the Queen, under the conditions hereinafter mentioned; it is hereby agreed and declared as follows: ARTICLE I The State of Brunei shall continue to be governed and administrated by the said Sultan Hashim Jalilul Alam Akamadin and his successors as an independent State, under the protection of Great Britain; but such protection shall confer no right on Her Majesty’s Government to interfere with the internal administration of that State further than is herein provided. ARTICLE II In case any question should hereafter arise respecting the right of succession to the present or any future Ruler of Brunei, such questions shall be referred to Her Majesty’s Government for decision. ARTICLE III The relations between the State of Brunei and all foreign States, including the States of Sarawak and North Borneo shall be conducted by Her Majesty’s Government, and all communications shall be carried on exclusively through Her Majesty’s Government, or in accordance with its directions; and if any difference should arise between the Sultan of Brunei and the Government of any other State, the Sultan of Brunei agrees to abide by the decision of Her Majesty’s Government and to take all necessary measures to give effect thereto. ARTICLE IV

2 DS. Ranjit Singh, Brunei 1839 – 1983 The Problems of Political Survival, Singapore: Oxford University Press, 1991, hal. 233-235. 62

Her Majesty’s Government shall have the right to establish British Consular Officers in any part of the State of Brunei, who shall receive exequaturs in the name of the Sultan of Brunei. They shall enjoy what ever privileges are usually granted to Consular Officers, and they shall be entitled to hoist the British Flag over their residences and public officers. ARTICLE V British subjects, commerce, and shipping shall, in addition to the rights, privileges, and advantages now secured to them by Treaty, he entitled to participate in any other rights, privileges and advantages, which may be enjoyed by the Subjects, commerce, and shipping of the State of Brunei. ARTICLE VI No cession or other alienation of any part of the territory of the State of Brunei shall be made by the Sultan to any foreign State, or the subjects or citizens thereof, without the consent of Her Majesty’s Government, but this restriction shall not apply to ordinary grants or leases of land or houses to private individuals for purposes of residence, agriculture, commerce or other business. ARTICLE VII It is agreed that full exclusive jurisdiction, civil and criminal, over British subjects and their property in the State of Brunei, is reserved to Her Britannic Majesty, to be exercised by such Consular or other officers as Her Majesty shall appoint for that purpose. The same jurisdiction is likewise reserved to Her Majesty in the State of Brunei over foreign subjects enjoying British protection; and the said jurisdiction may likewise be exercised in cases between British or British protected subjects and the subjects of a third power, with the consent of their respective Governments. In mixed civil cases arising between British and British protected subjects and the subjects of the Sultan, the trial shall take place in the Court of the defendant’s nationality; but an officer appointed by the Government of the plaintiff’s nationality shall be entitled to be present at, and to take part in, the proceedings, but shall have no voice in the decision.

63

ARTICLE VIII All the provisions of existing Treaties, Conventions, and Declarations between Her Majesty the Queen and the Sultan of Brunei are hereby confirmed and maintained except in so far as any of them may conflict with the present Agreement. In witness whereof, His Highness the said Sultan of Brunei hath hereunto attached his seal at the Palace, in the city of Brunei, on the 17th day of September, in the year of Our Lord 1888, being the 11th day of the month of Moharram, in the year 1306 of the Mohammedan era; and Sir Hugh Low, K.C,M.G., British Resident at Perak, in charge of a special Mission to His Highness the Sultan, hath, on the part of Her Majesty’s Government, signed this Agreement in the presence of witnesses. (Seal of His Highness the Sultan of Brunei) HUGH LOW.

Witness to the seal of His Highness the Sultan of Brunei, (Signed in Chinese by the Datoh Temenggong Kim Swee).

Witness to the signature of Sir Hugh Low, K.C.M.G,. L. H. WISE, September 17th, 1888

64

Terjemahan surat perjanjian perlindungan 1888

BRUNEI, 1888 Perjanjian dengan Sultan Brunei; ditandatangani di Brunei 17 September 1888.

Oleh Sultan Hasim Jalilul Alam aqamaddin, Sultan dan penguasa yang sah dari Kesultanan Brunei di Pulau Kalimantan, mewakili pemerintah Ratu Inggris berkeinginan bahwa Kesultanan yang akan berada di bawah perlindungan Yang Mulia Ratu, selanjutnya dengan ini disepakati dan dinyatakan sebagai berikut:

PASAL I Kesultanan Brunei akan terus diatur dan diperintah oleh Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin dan penerusnya sebagai kesultanan yang merdeka dibawah perlindungan Inggris, tetapi perlindungan tersebut tidak membenarkan pemerintah Ratu Inggris mencampuri internal pemerintahan kesultanan lebih dari yang yang telah ditetapkan.

PASAL II Dalam hal suksesi atau penggantian penguasa masa depan Brunei harus dirujuk kepada Pemerintah Ratu Inggris untuk keputusannya.

PASAL III Hubungan antara Kesultanan Brunei dengan semua pihak lain, termasuk Sarawak dan Borneo Utara harus dilakukan oleh pemerintah Ratu Inggris, dan semua komunikasi harus dijalankan secara eksklusif melalui pemerintah Ratu Inggris. Jika terjadi perselisihan antara Sultan Brunei dan pihak lain, Sultan Brunei setuju untuk mematuhi keputusan pemerintah Ratu Inggris dan mengambil semua tindakan yang diperlukan.

65

PASAL IV Pemerintah Ratu Inggris berhak untuk menetapkan Pejabat Konsuler Inggris di setiap bagian dari Kesultanan Brunei, yang akan menerima bendahara atas nama Sultan Brunei. Mereka akan menikmati hak istimewa yang biasanya diberikan kepada Pejabat Konsuler, dan mereka berhak untuk mengibarkan Bendera Inggris di tempat tinggal mereka dan pejabat publik.

PASAL V Perdagangan, pengiriman, hak istimewa, dan keuntungan dijamin kepada mereka oleh Perjanjian, Inggris berhak untuk berpartisipasi dalam apapun, keistimewaan hak-hak dan keuntungan, yang dinikmati oleh perdagangan dan pengiriman Kesultanan Brunei.

PASAL VI Tidak ada pemindah tanganan atau pengambil alihan lainnya dari setiap bagian dari wilayah Kesultanan Brunei dilakukan oleh Sultan kepada Kesultanan asing atau warga Kesultanannya tanpa persetujuan pemerintah Ratu Inggris, tapi pembatasan ini tidak berlaku untuk hibah atau sewa tanah atau rumah untuk keperluan tempat tinggal, pertanian, perdagangan atau bisnis lainnya.

PASAL VII Disepakati bahwa yurisdiksi eksklusif penuh, sipil dan kriminal, atas Inggris dan properti mereka di Kesultanan Brunei, disediakan untuk Ratu Inggris, yang akan dilaksanakan oleh Konsuler atau pejabat lainnya yang diangkat untuk tujuan itu. Yurisdiksi yang sama juga berlaku untuk Sultan Brunei atas perlindungan Inggris; dan yurisdiksi juga dilakukan dalam kasus-kasus perlindungan Inggris atau Inggris dan kekuatan ketiga, dengan persetujuan dari pemerintah mereka masing-masing. Dalam kasus-kasus perdata campuran yang timbul antara Kesultanan perlindungan Inggris dan Sultan, sidang akan berlangsung di pengadilan kebangsaan terdakwa, tetapi seorang pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah 66

kebangsaan penggugat berhak untuk hadir, mengambil bagian dalam proses pengadilan tetapi tidak memiliki suara dalam keputusan.

PASAL VIII Semua ketentuan perjanjian yang ada, konvensi dan deklarasi antara Yang Mulia Ratu dan Sultan Brunei dengan ini ditetapkan dan dijaga kecuali salah satu dari mereka mungkin bertentangan dengan persetujuan ini. Sebagai bukti, Yang Mulia Sultan mengatakan Sultan Brunei dengan rendah hati untuk setia terpasang segel di Istana Brunei pada 17 September 1888, yang merupakan hari ke-11 Bulan Muharam tahun 1306 H, dan Sir Hugh Low, KC, MG, Resident Inggris di Perak, memimpin sebuah misi khusus kepada Sultan, pada bagian Pemerintah Ratu Inggris, menandatangani Persetujuan ini di kehadiran saksi.

(materai Sultan Brunei) HUGH LOW. Materai Sultan Brunei, (Ditanda tangani dalam bahasa China oleh Temenggong Datoh Swee Kim).

tanda tangan Sir Hugh Low, KCMG, L. H. WISE, 17 September 1888