DAN FUNGSINYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG MODERN

NIHON SHAKAI NI OKERU KIMONO TO SONO KINOU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh :

FEBRINA ANGELI

120708029

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan perlindunganNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana di Program Studi Sastra Jepang

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul

“KIMONO DAN FUNGSINYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

JEPANG MODERN”.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan baik secara moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih sedalam-dalamnya kepada pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yakni kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, MS.,Ph.D, selaku Ketua Program Studi

Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Nandi. S, selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen

Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan tenaga serta pemikiran

dan saran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang

telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan

memeriksa skripsi penulis hingga selesai.

5. Seluruh Bapak/Ibu dosen Program Studi Sastra Jepang Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat

untuk penulis.

i

Universitas Sumatera Utara

6. Kakak Putri selaku administrasi Program Studi Sastra Jepang yang selalu

membantu mengurus keperluan akademik dan surat-surat penulis sampai

selesainya studi penulis.

7. Orang tua yang tercinta, Ayahanda J.H Butarbutar (Alm.) dan Ibunda M.C

Surbakti yang selalu mendoakan penulis dan memberikan dukungan baik

moral maupun materil yang tak terhingga sampai saat ini serta kasih

sayang yang tak terbatas, sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya

dan menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada saudara/saudariku tersayang, Fresco Extrada, S.H, Franky

Adelaide, dan Fredo Antonio, yang selalu memberikan doa dan semangat

bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan hingga

berakhirnya studi penulis.

10. Sahabatku yang terkasih, Daniel C. Sibarani S.T, Nita Avinta Girsang S.S,

Marisca Sri Wulan Girsang S.P, Gunarto Situmorang S.T, Niko Hendrik

Hutagalung, Agus Salim S.S dan Ayu Pranata Saragih S.S, yang selalu

memberi dukungan dan doa sejak masa studi penulis sampai selesainya

skripsi ini. Dan yang selalu memberikan waktu untuk mendengarkan

keluh kesah penulis serta memberi penghiburan dikala penulis

membutuhkan.

11. Teman stambuk 2012, Frichicilia Grace S.S, Surya Lubis S.S, Elly

Leandro Hutasoit, Taufik Hidayatullah S.S, Taufik Pasaribu S.S,

Wibisono Andalas S.S, dan semua teman-teman stambuk 2012 yang tidak

bisa penulis sebutkan satu persatu.

ii

Universitas Sumatera Utara

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan, baik dari isi maupun uraiannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini agar dapat menjadi skripsi yang lebih sempurna. Akhir kata, penulis berharap semoga kiranya skripsi ini dapat berguna bagi penulis sendiri pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Medan, Januari 2018

Penulis,

Febrina Angeli

iii

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i

DAFTAR ISI ...... iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1

1.2 Perumusan Masalah ...... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ...... 6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ...... 7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 11

1.6 Metode Penelitian ...... 12

BAB II WAFUKU DAN YOUFUKU DI JEPANG

2.1 Wafuku...... 15

2.2 Youfuku ...... 23

BAB III PERKEMBANGAN DAN FUNGSI KIMONO DALAM

KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG MODERN

3.1 Sejarah Perkembangan Kimono ...... 31

3.2 Fungsi Kimono Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang modern ...... 44

3.2.1 Fungsi Kimono Pada Festival Shichi-Go-San ...... 45

3.2.2 Fungsi Kimono Pada Festival Seijin Shiki ...... 47

3.2.3 Fungsi Kimono Pada Upacara Pernikahan ...... 50

3.2.4 Fungsi Kimono Pada Upacara Kematian ...... 54

iv

Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ...... 57

4.2 Saran ...... 54

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ABSTRAK

v

Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pakaian adalah salah satu kebutuhan pokok manusia selain tempat

tinggal dan makanan. Sejak dahulu kala, pakaian telah menjadi bagian dari

kehidupan manusia. Pakaian tidak bisa dilepaskan dari kehidupan dan

kebudayaan manusia. Setiap bangsa di dunia umumnya memiliki pakaian

nasional yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kondisi geografis negara atau

daerah, dan iklim setempat. Pakaian nasional tesebut biasanya telah ada sejak

dahulu dan diperkenalkan dari generasi ke generasi. Setiap pakaian nasional

memiliki ciri khasnya masing-masing yang dapat memberikan gambaran

mengenai kebudayaan suatu bangsa serta menyampaikan nilai-nilai yang

terdapat dalam masyarakat pemakainya.

Jepang merupakan negara yang terletak di sebelah timur laut Asia,

dikelilingi oleh Laut Pasifik Utara dan Laut Jepang. Seperti halnya Indonesia,

negara Jepang terdiri dari kepulauan, tetapi hanya ada empat pulau besar yaiu

Hokkaido, Honsu, Shikoku, dan Kyuushu. Honsu adalah pulau yang paling

besar dan disanalah terletak kota-kota seperti Tokyo, Osaka, Kyoto,

Yokohama, dan Nagoya yang merupakan kota-kota besar dan penting Jepang.

Jepang memiliki keragaman budaya dan kesenian yang menampilkan

keindahan dan keunikan tersendiri. Tidak jarang orang Jepang menampilkan

keindahan dan keunikan budaya juga kesenian dalam kehidupan sehari-hari.

Contohnya masakan Jepang. Dalam membuat masakan, orang Jepang tidak

1

Universitas Sumatera Utara

hanya mementingkan rasa namun juga penampilan pada masakan itu sendiri agar sedap dipandang. Penampilan masakan Jepang begitu indah dan begitu rumit dalam membuatnya, sehingga terkadang menimbulkan rasa segan untuk memakannya. Contoh lain budaya yang dimiliki oleh Jepang adalah tata cara minum teh.

Adat yang terkenal itu menunjukkan bahwa dengan adanya tata cara tersendiri dalam meminum teh, Jepang dapat menampilkan nilai keindahan dan keunikannya dalam berbudaya. Selain itu budaya Jepang lain yang menyorot perhatian orang adalah pakaian tradisional Jepang.

Pakaian tradisional negara Jepang adalah Kimono. Kata Kimono sendiri berasal dari kata 着(ki) yang berarti ‘memakai’ dan 物 (mono) yang berarti ‘barang’. Menurut Souga (1973:48), “Kimono adalah Istilah umum untuk sesuatu yang dipakai di badan, baju, atau pakaian tradisional Jepang.

Dan dapat dikatakan bahwa pakaian ini berlawanan dengan pakaian ala

Barat”.

Kimono merupakan hasil seni yang dapat menampilkan keindahan dan keunikan bagi yang memakainya. Noma (1974:11), mengenai keindahan

Kimono mengemukakan:

It is surely proper that people see in the Kimono a beauty of great artistic

value. There is good reason for the admoration the Kimono enjoys abroad

nowadays.

Merupakan hal yang sangat tepat masyarakat melihat Kimono sebagai keindahan yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Adalah alasan yang kuat bagi kebanggaan Kimono bahwa saat ini Kimono juga dinikmati luar negeri.

2

Universitas Sumatera Utara

Kimono terbuat dari kain yang dijahit secara vertikal memanjang hingga mata kaki dengan lengan berbentuk empat persegi panjang dan pada saat memakainya diikat dengan yaitu ikat pinggang lebar yang dibentuk menjadi hiasan menarik pada saat memakainya. Kimono itu sendiri secara garis besar terdiri dari empat bagian, yaitu: bagian Sode (lengan), Migoro

(badan), Okumi (kain pembebat), dan Eri (kerah). Potongan Kimono dibuat berbentuk lurus dengan mengabaikan bentuk badan si pemakai.

Kimono dapat dipakai laki-laki maupun perempuan. Kimono untuk perempuan ada beberapa jenis, yaitu: Uchikake Kimono, Houmongi Kimono,

Omeshi Kimono, Kimono, Tomesode Kimono, dan Kimono.

Kimono laki-laki berbeda dengan Kimono perempuan. Kimono untuk laki- laki dalam hal warna dan motif lebih sederhana, bentuk Kimono laki-laki lurus tanpa memiliki panjang yang lebih. Bentuk Obi laki-laki kecil dan berwarna lembut serta tidak ada Kimono laki-laki khusus seperti Kimono perempuan.

Pemakaian Kimono terdiri dari dua lapis yaitu Hadajuban dan Juban, pemakaiannya diawali dengan lapisan Hadajuban (lapisan dalam) kemudian dilanjutkan dengan lapisan Juban (lapisan luar). Pemakaian Kimono yang benar yaitu Kimono sisi kiri diletakkan pada bagian luar, dan Kimono sisi kanan diletakkan pada bagian dalam. Komponen pelengkap yang dipakai pada saat mengenakan Kimono adalah Obi yaitu ikat pinggang lebar dan panjang. Obi Makura adalah bantal atau pita Obi, Obi Age adalah kerangka pita, Obi Jime adalah tali Obi, Eri adalah lapisan kerah tengah, kemudian Han

3

Universitas Sumatera Utara

Eri adalah kerah bagian tengah, adalah kaos kaki yang ujungnya berbelah, adalah sendal pada saat memakai Kimono.

Keberadaan Kimono mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman. Setelah Jepang menghapus politik Sakoku yaitu keadaan politik dimana negara melarang perdagangan dan lalu lintas dengan luar negeri, modernisasi dan westernisasi mulai muncul dan perubahan dapat dirasakan dalam berbagai bidang. Bangsa Jepang banyak mengadopsi kebudayaan, nilai, serta pemikiran dari negara-negara Barat karena dianggap lebih modern dan maju.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “modern” adalah sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.

Sikap dan cara berpikir inilah yang kemudian membentuk sesuatu yang disebut “modernisasi”. Modernisasi adalah sebuah transformasi dalam kehidupan sosial masyarakat dari keadaan kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih maju, berkembang, dan makmur.

Wilbert E. Moore menyebutkan bahwa modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi dan organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara Barat yang stabil. (https://id.wikipedia.org/ modernisasi)

Seiring modernisasi berlangsung pada suatu negara, tidak bisa dihindarkan bahwa selanjutnya westernisasi juga akan dirasakan oleh masyarakat dalam negara tersebut. Westernisasi sendiri berarti sebuah proses

4

Universitas Sumatera Utara

di mana suatu kelompok masyarakat mengadopsi budaya Barat dalam berbagai aspek seperti industri, teknologi, hukum, politik, ekonomi, gaya hidup, gaya berpakaian, bahasa, agama, dan lain-lain. Westernisasi ini pula yang selanjutnya dapat mengakibatkat akulturasi dalam suatu kelompok masyarakat dalam satu negara.

Pengadopsian kebudayaan ala Barat ini menyebabkan banyak perubahan gaya hidup dalam masyarakat Jepang salah satunya dalam hal penampilan. Pakaian ala barat menjadi begitu populer. Pria memakai jas, mantel atau tuxedo. Wanita memakai Kimono yang diberi sentuhan gaya atau aksesoris yang bergaya Barat, bahkan mereka juga mengenakan gaun pada beberapa kesempatan tertentu. Tidak hanya itu, masyarakat Jepang juga mengadopsi gaya berbusana ala Barat dan mengembangkannya dengan gaya berbusana mereka sendiri sehingga membentuk cara berpakaian baru yang terkesan ‘aneh’, sebut saja Cosplay, Gothic Lolita, Harajuku Style, dan lain- lain.

Kimono yang tadinya dikenal sebagai pakaian yang biasa dikenakan oleh masyarakat di Jepang sehari-hari beralih fungsi setelah munculnya modernisasi dan westernisasi di Jepang. Masyarakat Jepang mulai mengenakan pakaian ala barat yang terkesan lebih mudah dan praktis.

Kimono tidak lagi digunakan sebagai pakaian sehari-hari masyarakat Jepang, dan hanya dipakai dalam perayaan, festival atau upacara khusus.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis bermaksud meneliti mengenai fungsi Kimono dalam kehidupan masyarakat Jepang

5

Universitas Sumatera Utara

dewasa ini, melalui skripsi yang berjudul “Kimono dan Fungsinya Dalam

Kehidupan Masyarakat Jepang Modern”.

B. Rumusan Masalah

Jepang adalah salah satu negara yang memiliki ragam keunikan tradisi

dan kebudayaan dalam segala bidang, salah satunya dalam berpakaian.

Pakaian tradisional negara Jepang adalah Kimono. Kimono sendiri dulunya

dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, namun seiring

berjalannya waktu dan perkembangan zaman, serta setelah masuknya

pengaruh Barat ke Jepang ketika politik Sakoku telah dihapuskan, fungsi dan

pemakaian Kimono mengalami perubahan. Kimono tidak lagi dipakai dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang karena dianggap kurang praktis dan

hanya dipakai pada kesempatan atau upacara tertentu saja.

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sejarah perkembangan Kimono di Jepang?

2. Bagaimana fungsi Kimono dalam kehidupan masyarakat Jepang modern?

C. Ruang Lingkup Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan, maka perlu

adanya ruang lingkup pembahasan. Penulis membatasi ruang lingkup

pembahasan dengan tujuan agar penelitian ini tidak menjadi luas dan tetap

6

Universitas Sumatera Utara

terfokus pada masalah yang ingin diteliti sehingga dapat memudahkan dalam

menganalisa topik permasalahan.

Di dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada fungsi

Kimono dalam kehidupan masyarakat Jepang modern. Untuk mendukung

pembahasan pada Bab II akan dikemukakan juga tentang Wafuku dan Yofuku.

D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Modern dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti terbaru

dan mutakhir. Modern adalah keadaan dimana masyarakat bersikap dan

memiliki cara pikir serta tindakan sesuai dengan tuntutan zaman

(https://kbbi.web.id/modern). Modern juga dapat diartikan sebagai

kemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya taraf

kehidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.

Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan

ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek kehidupan

bermasyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa modernisasi

adalah proses perubahan cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih

maju dalam rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagai suatu

bentuk perubahan sosial biasanya modernisasi dilakukan secara terarah

dan terencana. Suatu perencanaan sosial haruslah berdasarkan pada

pengertian yang mendalam tentang bagaimana suatu kebudayaan dapat

berkembang dari taraf yang lebih rendah ke taraf yang lebih maju dan

modern (Lubis, 2014:24).

7

Universitas Sumatera Utara

Kimono merupakan pakaian nasional negara Jepang yang dipakai oleh laki-laki maupun perempuan. Bentuk Kimono menyerupai jubah panjang berbentuk ‘T’ yang terbuka di bagian depan. Di dalam pemakaiannya, sisi bagian kiri selalu berada di bagian atas dan diikat dengan sabuk yang disebut Obi (http://www.newworldencyclopedia.org/ entry/Kimono).

Kimono memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh pakaian bergaya barat. Tidak seperti pakaian barat yang polanya bervariasi,

Kimono dibuat dari satu pola dasar. Semua Kimono memiliki bentuk yang sama dan ukuran standar yang dapat dipakai oleh siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki, tanpa mempedulikan tinggi ataupun berat pemakainya (Yamanaka, 1982:42).

Negara Jepang adalah salah satu negara paling berkembang di Asia dalam segala aspek salah satunya dalam hal mode. Perkembangan cara berpakaian masyarakat di Jepang juga mendapat pengaruh dari Barat yang juga memberikan dampak terhadap pemakaian Kimono. Sejak terjadinya restorasi Meiji, sikap pemujaan terhadap Barat yang berlebihan atau biasa disebut dengan westernisasi mulai mempengaruhi masyarakat Jepang.

Modernisasi dan westernisasi di bidang kebudayaan terus dilakukan oleh Jepang. Dalam kehidupan sehari-hari, diberlakukan kalender

Gregorian. Agama Kristen akhirnya diakui karena adanya kritik-kritik dari luar negeri. Teknik cetak berkembang sehingga koran yang menyebarluaskan politik dan humaniora banyak diterbitkan. Kebudayaan di kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang paling

8

Universitas Sumatera Utara

inovatif di dunia menghasilkan seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel,

puisi Haiku, perpustakaan dan mode pakaian.

Modernisasi banyak mempengaruhi cara berpakaian masyarakat di

Jepang dan hal ini juga memberi pengaruh terhadap fungsi Kimono yang

tidak lagi dipakai sebagai pakaian sehari-hari masyarakat Jepang, namun

hanya dipakai pada kesempatan atau upacara tertentu saja karena

masyarakat Jepang telah mengenal Youfuku (pakaian bergaya Barat).

Kimono juga mengalami perkembangan dan perubahan dari segi motif dan

warna seiring berkembangnya zaman dan semakin besarnya pengaruh

negara Barat khususnya dalam hal mode pakaian.

2. Kerangka Teori

Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk memberikan

landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah dalam proses

penelitian (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 2008:21). Kerangka

teori juga membantu seorang penulis dalam menentukan tujuan dan arah

penelitian, serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang ditempuh

selanjutnya dapat jelas dan konsisten (Koentjaraningrat, 1990:65).

Berbicara mengenai Kimono, erat sekali hubungannya dengan

sejarah Jepang. Sejarah adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas

berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur, tempat, waktu, objek,

latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala

peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana,

9

Universitas Sumatera Utara

apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Maka dari itu, pembahasan dalam penulisan ini menggunakan pendekatan sejarah.

Menurut Nawawi dan Martini (1994:214) pendekatan sejarah dalam penelitian adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data atau informasi masa lalu, yang bernilai sebagai peninggalan. Dengan pendekatan ini dapat diungkapkan kejadian atau keadaan sesuatu yang terjadi atau berlangsung di masa lalu, terlepas dari keadaan sesuatu itu pada masa sekarang. Disamping itu, dapat pula diungkapkan kondisi sesuatu pada masa sekarang, dihubungkan dengan kejadian atau peristiwa yang berkenaan dengan sesuatu itu pada masa lalu.

Menurut teori pendekatan sejarah yang dikemukakan sebelumnya, penulis berpendapat bahwa dengan pendekatan sejarah, penulis lebih mudah meneliti bagaimana sejarah perkembangan Kimono dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Jepang modern.

Fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat atau pelaksanaannya. Penulis dalam penelitian ini menggunakan teori fungsionalisme untuk mengkaji tentang fungsi Kimono di Jepang pada era modern.

Teori fungsionalisme B. Malinowski dalam Koentjaraningrat

(1980:162) menerangkan bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi kebutuhan primer/biologis dan

10

Universitas Sumatera Utara

sekunder/psikologis, serta kebutuhan mendasar yang muncul dari

perkembangan kebudayaan itu sendiri.

Dalam bidang kesenian misalnya, sebagai salah satu sumber

kebudayaan, seni berawal dari kebutuhan manusia yang ingin memenuhi

kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena

kebutuhan manusia untuk tahu. Terdapat juga aktivitas kebudayaan yang

terjadi karena penggabungan dari beberapa kebutuhan masyarakat.

Contohnya budaya yang muncul akibat kepentingan kelompok masyarakat

tertentu, misalnya kelompok masyarakat petani, nelayan, para politikus,

akademisi, dan lain-lain.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya

penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan sejarah Kimono dalam kehidupan

masyarakat Jepang.

2. Untuk mendeskripsikan bagaimana fungsi Kimono dalam kehidupan

masyarakat Jepang modern.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dengan dilakukan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

11

Universitas Sumatera Utara

1. Dapat menambah wawasan dan informasi baru bagi masyarakat luas

dan mahasiswa khususnya bagi mahasiswa Sastra Jepang yang

mempelajari tentang Budaya Masyarakat Jepang di setiap universitas,

yang kedepannya dapat memberikan masukan dan sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai perkembangan

pakaian tradisional Jepang yakni Kimono.

2. Dapat menambah wawasan penulis tentang Kimono dan fungsinya

dalam kehidupan masyarakat Jepang modern.

3. Dapat menjadi sumber pengetahuan ilmiah yang bermanfaat bagi

para pembaca, khususnya bagi para pembaca yang tertarik ingin

mengetahui lebih lanjut tentang Kimono dan fungsinya dalam

kehidupan masyarakat Jepang modern.

4. Dapat dijadikan bahan referensi bagi para akademisi dan peneliti

berikutnya dalam penulisan karya ilmiah yang ingin mengkaji lebih

mendalam tentang penelitian yang diteliti oleh penulis.

F. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan kegiatan yang sistematis dengan

tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang bermanfaat untuk menjawab

pertanyaan atau memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Erlina,

2011:8). Untuk mendukung tercapainya penelitian, maka harus dilengkapi

dengan metode penelitian yang tepat dan sesuai dengan permasalahan

penelitian yang akan dibahas.

12

Universitas Sumatera Utara

Metode diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis, 1995:24).

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian Kimono dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat di Jepang setelah adanya westernisasi adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Menurut Kaelan (2005:58), metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu objek, baik berupa nilai-nilai budaya manusia, sistem pemikiran filsafat, nilai-nilai etika, nilai karya seni, sekelompok manusia, peristiwa atau objek budaya lainnya. Tujuan dari penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis dan objekif, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri serta hubungan di antara unur-unsur yang ada atau suatu fenomena tertentu.

Catherine Marshal dalam (Jonatan Sarwono, 2006:193) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia. Poerwandari (2007:14) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain sebagainya.

13

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan metode kepustakaan, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (Zed,

2004:3). Hal ini dimaksudkan guna memperoleh informasi penelitian sejenis dan memperdalam kajian teoritis suatu penelitian. Dalam hal ini penulis memanfaatkan ketersediaan bahan penunjang penelitian yang ada di

Perpustakaan Kota Medan, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara,

Perpustakaan FIB Universitas Sumatera Utara, serta Perpustakaan Konsulat

Jenderal Jepang di Medan. Selain itu, penulis juga memperoleh data dengan memanfaatkan media internet untuk mencari data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti seperti melalui jurnal dan surat kabar online.

14

Universitas Sumatera Utara

BAB II

WAFUKU DAN YOUFUKU DI JEPANG

2.1. Wafuku

Wafuku (secara harfiah berarti pakaian Jepang) adalah istilah umum untuk

semua jenis pakaian tradisional Jepang, termasuk Kimono. Sejarah Wafuku

dimulai pada periode pra-sejarah yang dikenal sebagai periode Jomon.

Wafuku, terutama Kimono, masih dipakai di Jepang baik oleh mereka yang

memiliki minat terhadap pakaian tradisional Jepang, untuk kepentingan

upacara keagamaan, ataupun keperluan pekerjaan. Istilah Wafuku mulai

digunakan pada periode Meiji untuk membedakan pakaian tradisional

Jepang dan pakaian bergaya Barat yang disebut Youfuku.

Sebelumnya, pakaian tradisional masyarakat Jepang telah disebut

dengan istilah “Kimono” atau “Kirumono”, yang berarti sesuatu yang

dipakai atau pakaian. Pada periode Meiji, Kimono masih terus digunakan

untuk menyebut pakaian tradisional Jepang, namun pengartian Kimono

menjadi lebih sempit dan khusus menjadi Jubah yang berbentuk seperti

huruf ‘T’ menyerupai mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang

Kimono dibuat hingga menyentuh ke pergelangan kaki. Adapun beberapa

jenis Wafuku selain Kimono antara lain:

1.

Hakama adalah istilah umum untuk pakaian menyerupai rok berlipitan

yang dikenakan oleh pria maupun wanita di Jepang. Secara umum,

Hakama terbagi atas dua kategori, yaitu Umanori, yang berbentuk

seperti celana yang sangat lebar dan Andon-Bakama, yang berbentuk

15

Universitas Sumatera Utara

seperti rok yang lebar; keduanya memiliki tampilan yang sama saat

dipakai. Hakama terikat di pinggang dengan menggunakan empat Himo

dan jatuh ke pergelangan kaki.

Hakama awalnya adalah salah satu bagian dari sebuah pakaian yang

disebut Kamishimo atau secara harfiah lebih tinggi dan lebih rendah.

Dipakai oleh orang-orang berkedudukan tinggi, Hakama biasanya

dipakai bersama dengan Kataginu. Hakama dapat dipakai oleh pria

bersama dengan segala jenis Kimono kecuali Yukata.

Secara umum, Hakama digunakan oleh pria dalam menghadiri acara

formal seperti upacara minum teh, upacara pernikahan, dan

pemakaman. Wanita memakai Hakama lebih jarang dari laki-laki dan

biasanya hanya digunakan pada saat menghadiri upacara wisuda.

Petugas pemakaman wanita juga biasanya memakai Hakama dan

Hakama juga banyak dipakai oleh pria maupun wanita dalam seni bela

diri tertentu seperti Kyudo dan Aikido.

Adapun beberapa jenis Hakama adalah yakni: Andon-Bakama,

Umanori-Bakama, Hinohakama, Monpe, Nagabakama, Oukuchi-

bakama, Sashinuki, dan Shimai-bakama.

2.

Haori adalah jaket sepanjang pinggul atau paha yang biasa dipakai oleh

pria maupun wanita bersama dengan Kimono. Mereka biasa dipakai

untuk menghangatkan dan menambah kesan formal. Haori sudah

digunakan oleh masyarakat Jepang sejak zaman Muromachi.

16

Universitas Sumatera Utara

Bentuk bagian atas Haori menyerupai Kimono, tapi kerah bagian

belakang terlipat dan bagian depannya tidak menyilang melainkan

terlipat secara bersamaan dengan Haori-himo. Haori dibuat dengan

jenis dan corak kain yang sama seperti Kimono, dan disesuaikan dengan

musim di Jepang. Lengan pada Haori pria sepenuhnya menempel pada

tubuh si pemakai sedangkan lengan Haori wanita terbuka di sisi tubuh

seperti lengan Kimono khusus wanita. Haori pada awalnya hanya

digunakan oleh laki-laki saja, namun mulai dari era Meiji sampai

sekarang Haori sudah mulai dipakai oleh para wanita di Jepang.

Haori pria biasanya berukuran lebih pendek dari pada wanita.

Adapun beberapa jenis Haori yaitu: Jittoku, Naga-baori, Kuromontsuki

haori, e-haori, dan Furisode haori.

3. Inverness/Tonbi

Tonbi atau manto (berasal dari kata dalam bahasa Inggris, mantel, yang

berarti jubah) adalah mantel tanpa lengan yang digunakan oleh pria

bersamaan dengan Kimono. Inverness Coat sering dikait-kaitkan

dengan Sherlock Holmes dan masih sering dipakai di negara Barat. Di

Jepang Inverness Coat sering disingkat dengan Inverness atau Inba.

Mantel ini berada di puncak popularitas mereka di Jepang antara

periode Meiji dan periode Showa awal, ketika mode berpakaian ala

Barat mulai ditiru. Tonbi tanpa lengan sangat serbaguna karna bisa

dipakai dengan pakaian Barat dan Jepang. Inverness Coat biasanya

17

Universitas Sumatera Utara

dipakai oleh para pria di Jepang bersama dengan Kimono dan Wafuku

lainnya.

4. Kimono

Kimono secara harfiah berarti “sesuatu yang dipakai” atau “pakaian”

adalah istilah umum untuk berbagai jenis jubah tradisional di Jepang

yang berbentuk memanjang dan berlengan melebar menyerupai huruf

“T” yang dipakai oleh pria, wanita dan anak-anak. Dewasa ini Kimono

dikenal dengan sebutan Wafuku.

Kimono bisa terbuat dari kain sutra, katun, rami, wol atau kain sintetis

lainnya. Kimono selalu menutupi keseluruhan tubuh yang memakainya

dan ditutup dengan Obi, yang diikat pada bagian belakang. Kimono

dipakai sebagai pakaian sehari-hari oleh pria, wanita, dan anak-anak

sampai akhir masa Edo, namun dengan meningkatnya westernisasi pada

periode Meiji, masyarakat Jepang mulai mengadopsi gaya berpakaian

ala Barat.

Anak laki-laki mulai memakai seragam bergaya militer dan anak

perempuan mengadopsi gaya berpakaian wanita awal munculnya

perang dunia I dan II. Kimono dianggap kurang praktis dan seragam

dengan aksen pelaut menjadi seragam sekolah standar untuk anak

perempuan.

Ada banyak macam ragam Kimono di Jepang, diantaranya: Kimono

Furisode, Hikizuri, Omeshi, Homongi, Iromuji, Junihitoe, Komon,

Tomosode, Shiromuku, Yukata dan Uchikake.

18

Universitas Sumatera Utara

5.

Happi adalah mantel berlengan lurus memanjang yang merupakan

pakaian tradisional Jepang. biasa terbuat dari bahan katun dan dipakai

hanya dalam festival tertentu. Happi biasa dipakai dalam organisasi

tertentu untuk memberi simbol bagi organisasi tersebut. Pemadam

kebakaran pada masa lalu juga biasa memakai Happi dalam melakukan

pekerjaannya. Para pelayan rumahpun memakainya.

6.

Jinbei adalah sejenis pakaian tradisional Jepang yang dikenakan

oleh masyarakat Jepang dari segala kalangan maupun gender. Jinbei

terdiri dari sepasang atasan dan bawahan yang celana baik celana

pendek maupun panjang. Terbuat dari katun ataupun rami yang diberi

warna seragam. Umumnya sering diberi warna biru, hijau, ataupun

warna nila. Pria, wanita, anak laki-laki, anak perempuan, bahkan bayi

mengenakan Jinbei selama musim panas.

Jinbei biasanya dipakai sebagai pakaian di rumah ataupun pakaian

tidur. Para pria biasanya mengenakan Jinbei saat sedang berada di

rumah ataupun saat melakukan kegiatan yang dilakukan tidak terlalu

jauh dari rumah, misalnya; berbelanja, mengumpulkan surat, ataupun

makan di restoran yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah.

Terkadang Jinbei digunakan sebagai pengganti Yukata selama festival

musim panas, biasanya dikenakan oleh pria ataupun anak laki-laki, tapi

19

Universitas Sumatera Utara

juga sering dipakai oleh wanita muda. Jinbei yang biasa dipakai wanita

cenderung berwarna cerah dan menampilkan motif yang bervariasi.

7.

Samue adalah pakaian tradisional Jepang yang biasa dikenakan oleh

para biksu atau pendeta di Jepang saat melakukan ritual keagamaan.

Terbuat dari bahan katun ataupun linen dan secara tradisional diberi

warna coklat ataupun nila untuk membedakannya dari pakaian formal.

Samue bisa dipakai para biksu agama Buddha di Jepang dalam

melakukan tugas mereka seperti perawatan bait suci ataupun kerja

lapangan.

Di zaman modern Samue telah menjadi populer dan telah menjadi

pakaian biasa atau pakaian umum. Para pemain Shakuhachi, yang

memiliki sejarah dengan aliran Buddha Zen pun terkadang memakai

Samue dalam permainannya.

8.

Hanten adalah pakaian tradisional Jepang berbentuk mantel yang

pendek dan biasa dikenakan pada musim dingin. Hanten mulai dipakai

secara meluas oleh masyarakat Jepang pada abad ke-18 selama periode

Edo. Bentuk Hanten memiliki kemiripan dengan Hari dan dipakai oleh

pria maupun wanita. Bagian depan dan sampingnya dilapisi dengan

lapisan katun yang tebal untuk memberikan kesan hangat bagi yang

20

Universitas Sumatera Utara

memakai. Kerah Hanten biasanya terbuat dari bahan satin hitam.

Hanten biasanya menampilkan simbol keluarga pada desain motifnya,

namun terdapat juga motif lain.

9. Kappogi

Kappogi secara harfiah adalah sebutan untuk pakaian tradisional Jepang

sejenis celemek menyerupai gaun yang biasa digunakan pada saat

memasak, membersihkan ataupun melakukan aktivitas di dapur.

Awalnya dibuat untuk melindungi Kimono dari noda makanan. Kappogi

memiliki lengan yang longgar namun ketat pada bagian pergelangan

tangan si pemakai dan diikat pada bagian belakang leher dan pinggang.

Kappogi pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1900-an ketika

kebanyakan orang memakai Kimono dalamkegiatan sehari-hari mereka.

10.

Sokutai adalah pakaian tradisional Jepang yang dibuat dengan

kompleksitas yang tinggi dan hanya dipakai oleh para bangsawan,

aristokrat, pemuka kerajaan dan kaisar di istana kekaisaran Jepang.

Sokutai yang dipakaipun dapat dibedakan menurut pangkat dan

kastanya, apakah mereka perwira militer atau pejabat sipil.

Perwira militer mengenakan lapisan terluar dengan panel depan dan

belakang terbelah agar dapat bergerak leluasa, sementara pejabat sipil

memiliki panel jahit. Pangkat tertinggi memakai warna ungu (dari yang

21

Universitas Sumatera Utara

pertama hingga yang ketiga); peringkat keempat memakai warna

maroon; kelima memakai warna merah; keenam memakai warna hijau

tua; ketujuh memakai warna hijau muda; kedelapan memakai warna

biru tua; dan pangkat dasar ememakai warna biru muda.

Orang yang tidak memiliki pangkat biasanya memakai warna kuning

muda, sedangkan kuning yang lebih gelap dan lebih tua diperuntukkan

bagi kaisar. Karena sulitnya mendapatkan pewarna yang dibutuhkan

untuk menghasilkan warna ungu dan merah marun, warna-warna ini

berubah menjadi warna hitam selama periode Heian.

Walau tak lagi digunakan secara terus-menerus, Sokutai tetap dipakai

oleh para pria anggota keluarga istana kekaisaran, termasuk keluarga

imperial dan pejabat pemermintah seperti perdana menteri pada

kesempatan tertentu, seperti pernikahan ataupun upacara penobatan

keluarga. Pada kesempatan seperti itu, para wanita seperti permaisuri

maupun putri mahkota memakai Juunihitoe.

11. Juunihitoe

Juunihitoe adalah kimono yang sangat elegan dan dibuat dengan

kompleksitas tinggi dan hanya dipakai oleh wanita di dalam istana

kekaisaran Jepang. secara harfiah Juunihitoe berarti “dua belas lapisan

jubah”. Juunihitoe mulai muncul sekitar abad ke-10 selama peride

Heian. Lapisan-lapisannya dibuat dari bahan kain sutra. Lapisan yang

paling dalam terbuat dari sutra putih, diikuti lapisan lain yang memiliki

22

Universitas Sumatera Utara

berbagai nama, yang akhirnya ditutup oleh lapisan yang paling akhir

atau mantel.

Berat daripada Juunihitoe ini sendiri bisa mencapai 20 kilogram. Warna

dan susunan lapisan adalah hal yang sangat penting. Karena setiap

warna memiliki makna dan dari susunan warna tersebut pula dapat

ditentukan apa pangkat wanita tersebut dalam keluarga kerajaan.

Selain beberapa jenis Wafuku tersebut, masih banyak lagi jenis Wafuku

lainnya yang dahulu dipakai oleh masyarakat Jepang, diantaranya: Hifu,

Hitatane, Omigoromo, Kettekinohou, Kazami, Shigai, Suikan, Tanzen,

Unemeshouzoku, dan masih banyak lagi jenis lainnya.

2.2. Youfuku

Berawal sejak terjadinya Restorasi Meiji di Jepang yang akhirnya

membuat bangsa Jepang mau membuka diri terhadap dunia luar, budaya

Barat pun mulai masuk dan diadopsi oleh masyarakat Jepang, termasuk

dalam hal berpakaian. Jepang dapat dengan cepat mengadopsi budaya

Barat dalam hal gaya berpakaian, dapat dilihat dari pembuatan seragam

militer Jepang yang menyamai seragam militer Barat. Secara bertahap

perubahan dalam hal cara berpakaian terus berlanjut, jas dan gaun menjadi

bagian dari kehidupan orang Jepang.

Sebelum mendapat pengaruh dari budaya Barat, masyarakat Jepang

mengenakan pakaian yang disebut Kimono, yang merupakan sebutan

untuk pakaian tradisional negara Jepang. Namun setelah westernisasi,

orang Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang dengan sebutan

23

Universitas Sumatera Utara

Wafuku, sementara untuk pakaian bergaya Barat mereka menyebutnya dengan Youfuku.

Masuknya budaya Barat ke Jepang merupakan suatu perubahan besar dalam masyarakat Jepang. hal ini terjadi sejak zaman Meiji (1866-

1869). Perubahan terjadi dalam segala bidang, tidak hanya dalam kebudayaan saja, melainkan bidang ekonomi, pendidikan, agama, dan lain- lain. Sejak restorasi Meiji hingga saat ini, masyarakat Jepang yang sudah dapat menerima masuknya budaya Barat ke Jepang salah satunya dengan memakai pakaian ala Barat dalam kehidupan sehari-hari mereka dan hanya memakai Kimono dalam kesempatan tertentu saja.

Pada zaman Meiji, gaya berpakaian ala Barat digunakan untuk orang-orang yang yang bekerja sebagai militer, polisi dan perusahaan pos.

Hal ini merupakan pelopor dari perubahan besar dalam sejarah berpakaian di Jepang. Pada awal Meiji, Kimono masih mendominasi gaya berpakaian orang Jepang. pria biasanya memakai Haori, Hakama, dan topi ala Barat.

Sementara wanita mengenakan pakaian tradisional Jepang atau kombinasi antara Kimono, Hakama, dan sepatu boot ala Barat untuk acara formal.

Setelah perang dunia ke-II, fashion yang masuk ke Jepang kebanyakan mendapat pengaruh dari Amerika. Pada masa itu para wanita mualai mengenakan rok. Sekitar akhir tahun 1940-an hingga 1950-an wanita di Jepang sangat menyukai “American Style”, yaitu rok panjang yang melebar bawahnya yang dilengkapi dengan ikat pinggang besar. Lalu setelah itu gaya busana dari Paris pun mulai muncul di Jepang, lewat karya perancang busana Christian Dior.

24

Universitas Sumatera Utara

Tahun 1960-an adalah masa transisi dari busana Haute Couture ke busana kasual. Sekitar tahun 1965 mulai diperkenalkan rok mini melalui peragaan busana di Paris yang kemudian dipopulerkan oleh model Twiggy.

Untuk para pria, gaya berbusana mereka diadopsi dari gaya mahasiswa swasta Amerika.

Tahun 1980 adalah tahun kejayaan ekonomi Jepang dan minat masyarakat Jepang terhadap fashion pun meningkat. Semua yang berbau desainer baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri menjadi populer, seperti desainer kenamaan Jepang Kenzo dan Issey Miyake.

Dewasa ini, berkembang persatnya industri fashion dan gaya berbusana masyarakat Jepang membuat Jepang menjadi salah satu negara di Asia yang paling memberikan pengaruh besar dalam gaya berbusana masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Jepang pun dianggap sebagai

Parisnya Asia karena hal ini.

Beberapa cara berpakaian ala Barat yang diadopsi masyarakat

Jepang yang dikenal oleh masyarakat luas, baik di Jepang sendiri maupun oleh negara-negara lain adalah Harajuku Style, Gothic Lolita, dan

Cosplay. Apabila kita teliti lagi, gaya-gaya tersebut bukanlah gaya berpakaian yang berasal asli dari Jepang, melainkan sudah diadopsi dari cara berpakaian ala Barat.

Adapun penjelasan tentang beberapa gaya berbusana ala Barat yang berhasil diadopsi dan dikembangkan oleh masyarakat Jepang akibat dampak westernisasi adalah sebagai berikut :

2.2.1. Harajuku Style

25

Universitas Sumatera Utara

Harajuku adalah sebutan populer untuk kawasan di sekitar stasiun

JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Kawasan ini terkenal sebagai tempat anak-anak muda di Jepang berkumpul. Lokasinya mencakup sekitar Meiji Jingu, Taman Yoyogi, pusat perbelanjaan jalan Takeshita

(Takeshita-dori), departement store Laforet, dan Gimnasium Nasional

Yoyogi. Harajuku dibangun sebagai kawasan penting yang menghubungkan kota Tokyo dengan wilayah di sekelilingnya.

Pada tahun 1906, stasiun JR Harajuku dibuka sebagai bagian dari perluasan jalur kereta api Yamanote. Setelah itu, Omotesando (jalan utama kuil) dibangun pada 1919 setalah kuil Meiji Jingu didirikan. Setelah dibukanya departement store pada tahun 1970-1n, Harajuku menjadi pusat perbelanjaan dan pameran busana di Jepang. kawasan ini menjadi terkenal di Jepang setelah diliput majalah fesyen seperti An-An dan Non-Non.

Gaya busana mereka meniru busana yang dikenakan oleh para model yang ada dalam masalah tersebut, dan sekitar tahun 1980-an, jalan

Takeshita menjadi ramai dikunjungi orang yang ingin melihat para remaja yang berdandan aneh dan menari di jalan (Takenokozoku). Setelah

Harajuku semakin ramai, butik yang menjual pakaian dengan merek- merek terkenalpun bermunculan di Omotesando sekitar tahun 1990-an hingga sekarang (http//id.wikipedia.org/wiki/Harajuku).

Seperti yang diuraikan oleh James Danandjaja (1997:415), bahwa setelah restorasi Meiji, lambat laun orang Jepang beralih gaya dan meniru gaya berpakaian orang Barat. Prosesnya bermula dari dikeluarkannya dekrit pemerintah yang mengharuskan kalangan pegawai negeri seperti

26

Universitas Sumatera Utara

tentara, polisi, dan tukang pos mengenakan pakaian Barat. Tidak lama setelah itu, para siswa di Jepang pun diperintahkan untuk memakai seragam Barat.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Jepang ini tidak dapat disangkal lagi adalah akibat dari modernisasi dan westernisasi.

Salah satu kawasan di Jepang yang paling mencolok dalam hal berbusana adalah kawasan Harajuku yang berada di ibukota negara Jepang, Tokyo.

Berikut adalah beberapa gaya berbusana yang paling mencolok sering menghiasi sekitar kawasan Harajuku:

1. Cosplay

Cosplay (Kosupure) adalah istilah bahasa Inggris buatan Jepang

(Wasei-Eigo) yang berasal dari gabungan kata “Costume” (kostum) dan

“play” (bermain). Cosplay merupakan hasil adaptasi dari budaya Barat yang disebut dengan Masqurrade. Cosplay berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan riasan wajah seperti yang dikenakan oleh tokoh-tokoh dalam anime, manga, permainan video, atau penyanyi dan musisi idola.

Pelaku Cosplay disebut dengan Cosplayer. Di Jepang, Cosplayer bisa ditemukan di acara yang diadakan bagi sesama penggemar suatu tokoh atau perkumpulan sesama penggemar (Dojin Circle), seperti Comic

Market, atau menghadiri konser dari grup musik yang bergenre Visual Kei.

Sedikit sejarah tentang Cosplay, pada sekitar tahun 1960-an, penggemar cerita dan film fiksi ilmiah di Amerika Serikat sering mengikuti konvensi fiksi ilmiah. Para peserta yang hadir dalam konvensi

27

Universitas Sumatera Utara

fiksi ilmiah tersebut biasanya memakai kostum yang dipakai oleh tokoh dalam film-film fiksi ilmiah tersebut, misalnya Star Trek. Amerikat

Sendiri sejak dahulu sudah mulai mengenakan topeng dalam mengadakan suatu perayaan, seperti perayaan Halloween ataupun Paskah.

Tradisi penyelenggaraan konvensi ilmiah inipun merambah hingga ke

Jepang sekitar tahun 1970-an dalam bentuk parade peragaan kostum

(costume show). Di Jepang, peragaan Cosplay pertama kali dilaksanakan pada tahun 1978, di Ashinoko, perfektur Kanagawa dalam bentuk pesta topeng konvensi ilmiah Nihon SF Taikai yang ke-17. Selanjutnya, kontes

Cosplay dijadikan acara tetap sejak Nihon SF Taikai yang ke-19 pada tahun 1980. Peserta mengenakan kostum Superman, Atom Boy, serta tokoh Toki o Kakeru Shojo dalam film Virus. Selain di Comic Market, acara Cosplay menjadi semakin sering diadakan dalam pameran acara

Dojinshi dan pertemuan penggemar film fiksi di Jepang.

Dewasa ini, Cosplay sudah merambah ke berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Berbagai macam tokoh dari berbagai macam anime, manga, film maupun tokoh seni di Jepang banyak diperankan oleh anak- anak mudah baik di Jepang, maupun negara lain di luar Jepang yang mengidolakan tokoh tersebut. Adapun beberapa gaya tokoh yang sering muncul dan paling banyak ditiru oleh para Cosplayer adalah: a. Gothic Style

Gaya ini adalah gaya berpakaian orang-orang yang tergabung dalam

sekelompok subkultural Gothic yang biasa dikenal dengan sebutan

Goth. Gaya ini diketahui berasal dari Inggris pada awal tahun 1980-an.

28

Universitas Sumatera Utara

Gaya berpakaian mereka selalu bercirikan hitam dan terkesan

misterius. Namun di Jepang sendiri, para musisi yang meniru gaya

Gothic ini biasanya tidak hanya menggunakan warna hitam sebagai

busana tampilannya. Mereka biasa memadupadankan warna hitam

dengan warna merah, putih atau warna netral lain, yang kemudian

membuat para Cosplayer yang mengidolakan merekan pun mengikuti

gaya mereka. b. Gothic Lolita

Gaya Gothic Lolita merupakan bagian dari gaya dan sub-kebudayan

Gothic dan Lolita yang muncul pertama kali di Jepang. secara umum,

Lolita terinspirasi oleh pakaian anak-anak “Victorian” dan kostum

rumit yang berasal dari zaman Rococo. Orang-orang yang melihat

gaya Gothic Lolita biasanya akan berpikir bahwa yang memakai

busana ini hanyalah perempuan saja, namun pada kenyataannya

banyak anak laki-laki yang dengan percaya diri memakai kostum ini

dan menampilkan diri mereka sebagai seorang perempuan. Namun ini

bukan berarti bahwa laki-laki tersebut dapat dikatakan mengalami

penyimpangan, hal ini semata-mata dilakukan sebagai bentuk

kebebasan berekspresi.

c. Gaya Punk

Selain dua gaya yang telah dijelaskan diatas, gaya Punk merupakan

gaya yang cukup banyak diminati oleh anak-anak muda di Harajuku.

Gaya ini adalah gaya yang sangat sesuai dengan konsep Harajuku yang

29

Universitas Sumatera Utara

dikenal dengan Street Fashion-nya. Sebagaimana yang mungkin orang

banyak telah ketahui, Punk adalah salah satu jenis musik yang berasal

dari anak jalanan dimana mereka adalah kumpulan orang-orang yang

anti kemapanan.

Gaya Punk identik dengan gaya rambut dengan potongan Mo-hawk.

Hanya saja di Jepang mereka memodifikasi gaya ini sesuai dengan

kekreatifitasan mereka. Potongan rambutpun tidak harus mengikuti

gaya asli Punk dari negara asalnya. d. Gaya Retro

Gaya Retro adalah gaya busana yang terkesan kasual namun tetap

elegan dengan aksesoris yang tidak berlebihan. Gaya busana ini

merupakan adaptasi dari gaya-gaya rocker yang terkenal di era 80-an.

Gaya ini kebanyakan dipertunjukkan oleh para laki-laki, karena gaya

ini benar-benar menunjukkan sisi maskulin dari si pemakai.

e. Gaya Groom Bom

Salah satu gaya-gaya dari Visual Kei yang paling banyak ditiru oleh

Cosplayer di Harajuku adalah gaya Groom Boom. Gaya berbusana ini

terinspirasi oleh gaya-gaya busana pengantin bergaya Barat. Yang

membedakan Groom Boom di Jepang dengan budaya aslinya adalah,

mereka memasukkan unsur Gothic dalam gaya berbusana mereka .

mereka tampil dengan tatanan riasan yang tidak mungkin dipakai oleh

pengantin-pengantin di Barat

30

Universitas Sumatera Utara

BAB III

PERKEMBANGAN DAN FUNGSI KIMONO DALAM KEHIDUPAN

MASYARAKAT JEPANG MODERN

3.1. Sejarah Perkembangan Kimono

Kimono adalah pakaian tradisional Jepang. Secara harfiah Kimono berarti sesuatu yang dipakai atau pakaian (‘ki’ berarti pakai; ‘mono’ berarti barang).

Dewasa ini, Kimono berbentuk seperti huruf ‘T’ menyerupai mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang Kimono dibuat hingga menyentuh ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan Kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan Kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan Kimono harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk berbentuk kain yang disebut Obi dililitkan di bagian perut/pinggang, dan diikat di bagian pinggang. Alas kaki sewaktu mengenakan Kimono adalah Zori atau Geta.

Kimono sekarang lebih sering dikenakan oleh masyarakat Jepang pada kesempatan istimewa khususnya wanita. Wanita yang belum menikah mengenakan jenis Kimono yang disebut Furisode. Ciri khas Furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Biasanya perempuan berusia 20 tahun mengenakan Furisode dalam upacara Seijin Shiki. Pria mengenakan Kimono dalam upacara pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Anak- anak mengenakan Kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-Go-San.

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (Hanayome Isho) terdiri dari

Furisode dan Uchikake. Furisode yang dikenakan oleh pengantin berbeda dengan

Furisode yang dikenakan oleh wanita yang belum menikah. Bahan untuk

31

Universitas Sumatera Utara

Furisode pengantin diberikan motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti motif burung jenjang. Warna Furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan Furisode biasa. Sedangkan Shiromuku adalah sebutan untuk

Kimono yang dipakai oleh wanita berupa Furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.

Sebagai pembeda dari pakaian ala Barat (Yofuku) yang dikenal sejak periode Meiji, orang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai Wafuku yang berarti pakaian Jepang. Sebelum dikenalnya pakaian bergaya Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut Kimono. Sebutan lain untuk Kimono adalah Gofuku yaitu istilah yang dipakai untuk menyebutkan pakaian orang yang tiba di Jepang dari daratan Cina.

1. Sejarah Kimono

a. Periode Jomon dan Periode Yayoi

Kimono pada periode Jomon dan periode Yayoi berbentuk seperti baju

terusan. Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang periode Jomon ditemukan

Haniwa. Pakaian atas yang dikenakan Haniwa disebut Kantoi. Dalam

Gishiwajinden (buku sejarah Cina tentang tiga negara) tertulis tentang pakaian

sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada

tubuh pria seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Di tengah

sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai

pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari

Yamataikoku (sebutan Jepang pada masa lampau) “selalu mengenakan pakaian

32

Universitas Sumatera Utara

Kantoi berwarna putih”. Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat

biasa, sementara orang berpangkat mengenakan kain sutra.

b. Periode Kofun

Pakaian pada periode Kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan

terdiri dari dua potongan pakaian; pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa

mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai menutupi Kantoi. Pakaian

bagian bawah berupa rok yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan Haniwa

terlihat pakaian berupa celana yang kakinya melebar seperti Hakama.

Pada periode Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan

Kantoi dibuat terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah

dipakai. Selanjutnya, baju atas terdiri dari dua jenis kerah; kerah datar sampai

persis berada di bawah leher (Agekubi), dan kerah berbentuk huruf “V”

(Tarekubi) yang disatukan pada bagian dada.

c. Zaman Nara

Aristokrat pada periode Asuka bernama pangeran Shotoku menetapkan

dua belas strata jabatan dalam jabatan dalam istana kaisar (Kan-i-juunkai).

Pejabat istana dibedakan menurut hiasan warna penutup kepala mereka yang

disebut Kanmuri. Dalam kitab hukum Taiho Ritsuryo dimat tentang busana

resmi, busana pegawai istana dan seragam dalam istana. Pakaian formal yang

dikenakan oleh pejabat sipil (Bunkan) dijahit pada bagian bawah ketiak.

Pejabat militer mengenakan pakaian formal yang tidak dijahit di bagian bawah

ketiak agar pemakainya dapat bergerak dengan leluasa.

33

Universitas Sumatera Utara

Busana dan aksesori pada periode Nara banyak dipengaruhi budaya Cina

yang masuk ke Jepang. pengaruh budaya Dinasti Tang ikut mempopulerkan

baju berlengan sempit yang disebut untuk dikenakan sebagai pakaian

dalam.

Pada periode Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan Kimono.

Kalau sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerrah bagian

kanan, sejak periode Nara, kerah bagian kanan harus berada dibawah kerah

bagian kiri. Cara mengenakan Kimono yang seperti ini masih dipertahankan

oleh masyarakat Jepang hingga saat ini. Hanya orang meninggal saja yang

boleh memakai kimono dengan kera bagian kiri berada di bawah kerah bagian

kanan.

d. Periode Heian

Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan

Jepang untuk Dinasti Tang (Kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Tata

cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai

ditetapkan secara resmi. Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya tata

busana masyarakat Jepang pada periode Heian. Wanita pada periode ini

memakai pakaian berlapis-lapis yang disebut dengang Juunihitoe. Tidak hanya

wanita, pakaian formal untuk para militer juga menjadi tidak praktis. Ada tiga

jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:

a. Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)

b. I-Kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari

Sokutai)

34

Universitas Sumatera Utara

c. Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan I-

Kan)

Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut Suikan atau Kariginu

yang secara harfiah berarti baju berburu. Di kemudian hari, kalangan aristokrat

menjadikan Kariginu sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti oleh

kalangan Samurai.

Pada periode Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan

Samurai, dan bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang

dulunya merupakan simbol status bangsawan istana dijadikan simbol status

kalangan Samurai.

e. Periode Kamakura dan Periode Muromachi

Pada periode Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan Samurai.

Samurai mengenakan pakaian yang disebut Suikan. Pakaian jenis ini nantinya

berubah menjadi pakaian yang disebut Hitatare. Pada periode Muromachi,

Hitatare merupakan pakaian resmi Samurai. Pada zaman Muromachi dikenal

Kimono yang disebut Suo, yakni sejenis Hitatare yang tidak menggunakan kain

pelapis dalam. Ciri khas Suo adalah lambang keluarga dalam ukuran besar di

delapan tempat.

Pakaian wanita juga semakin sederhana. Rok bawah yang disebut Mo

semakin pendek sebelum diganti dengan Hakama. Setelan Mo dan Hakama

akhirnya hilang sebelum diganti dengan Kimono model terusan dan kemudian

Kimono wanita yang disebut Kosode. Wanita mengenakan Kosode dengan kain

35

Universitas Sumatera Utara

yang dililitkan di sekitar pinggang (Koshimaki) dan/atau Yumaki. Mantel

panjang yang disebut Uchikake dipakai setelah memakai Kosode.

f. Awal Periode Edo

Penyederhanaan pakaian Samurai berlanjut hingga periode Edo. Pakaian

Samurai pada periode Edo adalah setelan berpundak lbar yang disebut

Kamishimo. Satu setelan Kamishimo terdiri dari Kataginu dan Hakama. Di

kalangan wanita, Kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya

orang kota yang mengikuti tren busana.

Periode Edo adalah periode keemasan panggung sandiwara Kabuki.

Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishiki-e

atau ukiyo-e mendorong makin banyaknya lukisan pemerran Kabuki yang

mengenakan Kimono mahal dan gemerlap. Pakaian orang kota pun cenderung

makin mewah karena ingin meniru pakaian aktor Kabuki.

Kecenderungan orang kota ingin berpakaian semakin bagus dan mewah

membuat Keshogunan Edo berinisiatif untuk membatasi kebiasaan tersebut.

Secara bertahap pemerintah keshogunan memaksakan Kenyaku-Rei, yakni

norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena

keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara

minum teh menjadi sebab kegagalan Kenyaku-Rei. Orang menghadiri upacara

minum teh memakai Kimono yang terlihat sederhana namun ternyata berharga

mahal.

36

Universitas Sumatera Utara

Tali pinggang Kumihimo dan gaya mengikat Obi di punggung mulai

dikenal sejak Periode Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori

sewaktu mengenakan Kimono.

g. Akhir Periode Edo

Politik isolasi (Sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono

mulai dibuat dengan benang sutra produksi dalam negeri. Pakaian rakyat

Jepang dibuat dari kain sutra jenis crepe yang lebih murah. Setelah terjadi

kelaparan pada periode Temei (1783-1788), Keshogunan Edo pada tahun 1785

melarang rakyat untuk mengenakan Kimono dari sutra. Pakaian orang kota

dibuat dari katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan

bentuk awal dari Furisode populer di kalangan wanita.

h. periode Meiji dan Periode Taisho

Industri berkembang maju pada periode Meiji. Produksi sutra meningkat,

dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal,

dan mulai dikenal berbagai jenis kain sutra di periode ini. Peraturan pemakaian

benang sutra dinyatakan tidak berlaku. Kimono untuk wanita mulai dibuat dari

berbagai macam jenis kain sutra. Industri pemintaian sutra didirikan di

berbagai tempat di Jepang. sejalan dengan pesatnya perkembangan industri

pemintalan, industri tekstil benang sutra pun ikut berkembang. Produknya

berupa berbagai kain sutra, mulai dari kain crepe, rinzu, omeshi, hingga

meisen.

37

Universitas Sumatera Utara

Tersedianya berbagai jenis bahan kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya teknik pencelupn kain. Pada periode Meiji mulai dikenal teknik Yuzen, yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain Kimono.

Semenara itu, wanita kalangan atas masih menggemari kain sutra yang bermotif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus. Mereka mengenakan Kimono dari model kain yang sudah populer sejak periode Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu menghadiri acara istimewa. Hampir pada waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan mulai disukai orang.

Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke Jepang, penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian bergaya Barat. Sejak saat itu pula, istilah Wafuku dipakai untuk membedakana pakaian yang selama ini dipakai oleh orang Jepang dengan pakaian bergaya Barat. Ketika pakaian bergaya

Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai pakaian Barat yang dipinjam dari toko persewaan pakaian Barat.

Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti Kimono dengan pakaian bergaya Barat supaya dianggap tidak kuno. Walaupun demikian, orang kota yang ingin tetap melestarikan tradisi estetika keindahan tradisional tidak menjadi terpemngaruh karena hal itu. Orang kota tetap berusaha mempertahankan Kimono dan tradisi yang dipelihara sejak periode Edo.

Sebagian besar pri di periode Meiji masih memakai Kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana formal pria juga mulai populer.

Sebagian besar wanita pada periode Meiji juga masih mengenakan Kimono,

38

Universitas Sumatera Utara

kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak

perempuan.

Seragam militer dikenakan oleh anak laki-laki yang mengikuti dinas

militer. Seragam tentara angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah

anak laki-laki. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri

yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand up collar) persis

model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman Taisho, pemerintah

menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti

dari Andonbakama (Kimono dan Hakama), menjadi pakaian bergaya Barat

yang disebut Serafuku (Sailor Fuku), yakni setean blus mirip pakaian pelaut

dan rok.

i. Periode Showa

Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk

penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut Kokumin Fuku

(seragam rakyat). Wanita dipaksa memakai Monpei yang berbentuk seperti

celana panjang untuk kerja dengan karet di bagian pergelangan kaki. Setelah

Jepang kalah dalam perang Dunia II, wanita Jepang mulai kembali

mengenakan Kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan

modernisasi. Dibandingkan dengan kerumitan memakai Kimono, pakaian

bergaya Barat dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.

Hingga pertengahan tahun 1960-an, Kimono masih banyak dipakai wanita

Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran Kimono kembali

terangkat setelah diperkenalkannya Kimono warna-warni berbahan wol. Wanita

39

Universitas Sumatera Utara

pada periode itu menyukai Kimono berbahan wol untuk dipakai pada

kesempatan santai.

Setelah Kimono tidak lagi populer, pedagang Kimono mencoba berbagai

macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan Kimono. Salah satu

diantaranya dalah dengan mengeluarkan “peraturan mengenakan Kimono”

yang disebut Yakusoku. Menurut peraturan tersebut, Kimono jenis tertentu

dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Maksudnya untuk mendikte

masyarakat agar membeli Kimono beserta aksesorisnya sebanyak mungkin.

Strategi tersebut ternyata tdak disukai oleh konsumen, dan minat masyarakat

terhadap Kimono makin menurun. Walaupun pedagang Kimono melakukan

promosi besar-besaran, opini “memakai Kimono itu sulit” sudah terbentuk di

dalam pemikiran masyarakat Jepang.

Hingga tahun 1960-an, Kimono masih dipakai oleh pria di Jepang sebagai

pakaian santai di rumah. Gambar pria yang mengenakan Kimono pun masih

bisa dilihat dalam manga terbitan tahun 1970-an, namun sekarang ini Kimono

tidak lagi dikenakan oleh pria di rumah, kecuali Samue yang dikenakan para

perajin.

2. Kimono Wanita

Pemilihan Kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai

simbolisme dan isyarat terselubung yang dikandung masing-masing jenis

Kimono. Tingkat formalitas Kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan

warna, mulai dari Kimono paling formal hingga Kimono santai. Berdasarkan

40

Universitas Sumatera Utara

jenis Kimono yang dipakai, Kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri oleh pemakai. a. Kurotomesode

Tomesode adalah Kimono yang paling formal untuk wanita yang sudah menikah. Bila berwarna hitam, Kimono jenis ini disebut Kurotomesode yang bearti Tomesode berwarna hitam. Kurotomesode memiliki lambang keluarga

(Kamon) di tiga tempat; satu di punggung, dua di dada bagian atas

(kiri//kanan), dan 2 bagian lengan (kiri/kanan), ciri khas Kurotomesode adalah motif indah pada Suso, yaitu bagian bawah di sekitar kaki pada bagian depan dan belakang. Kurotomesode dikenakan saat menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.

b. Irotomesode

Tomesode yang terbuat dari kain berwarna disebut Irotomesode yang berarti Tomesode berwarna. Digunakan tergantung kepada tingkat formalitas acara yang dihadiri, pemakai bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain

Kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal. Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono Irotomesode dipakai dalam acara yang tidak memperbolehkan tamu untuk datang memakai Kurotomesode Kimono , misalnya resepsi pernikahan di istana kekaisaran. Sama halnya seperti

Kurotomesode, ciri khass Irotomesode adalah motif indah pada Suso.

c. Furisode

41

Universitas Sumatera Utara

Furisode adalah Kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas Furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara Seijin

Shiki, menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda, atau Hatsumode.

Pakaian pengantin wanita yang disebut Hanayome Isho termasuk salah satu jenis Furisode.

d. Houmongi

Houmongi secara harfiah berarti baju untuk berkunjung, adalah Kimono formal yang digunakan oleh wanita baik yang sudah menikah maupun belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas Houmongi adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang. Houmongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi sebuah pernikahan, menghadiri upacara minum teh ataupun merayakan tahun baru.

e. Iromuji

Iromuji adalah Kimono semiformal, namun bisa dijadikan Kimono formal bila Iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (Kamon). Sesuai dengan tingkat formaitas Kimono, lambang keluarga bisa terdapat di satu, tiga, atau lima tempat pada bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada. Iromuji

42

Universitas Sumatera Utara

dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda dan warna-warna lembut lainnya.

Iromuji dengan lambang keluarga di lima tempat dapat dikenakan untuk menghadiri upacara pernikahan. Bila menghadiri upacara minum teh, cukup memakai Iromuji dengan satu lambang keluarga saja.

f. Tsukesage

Tsukesage adalah Kimono semiformal untuk wanita yang sudah ataupun belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan Tsukesage hanya setingkat dibawah Houmongi. Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga. Tsukesage dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh, upacara pernikahan, atau menghadiri upacara resmi lainnya, serta perayaan tahun baru.

g. Komon

Komon adalah Kimono santai untuk wantah yang sudah atau belum menikah. Ciri khas Kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil-kecil dan berulang. Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman atau menonton pertunjukkan di dalam gedung.

h. Tsumugi

Tsumugi adalah Kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, Kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah untuk berbelanja atau berjalan-jalan de

43

Universitas Sumatera Utara

sekitar area tempat tinggal. Bahan yang dipakai adalah hasil tenunan

sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan

kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di

ladang.

i. Yukata

Yukata adala Kimono santai yangdibuat dari katun tipis tanpa pelapis yang

biasa digunakan oleh masyarakat Jepang pada kesempatan santai di musim

panas.

3. Kimono Pria

Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklat tua,

biru tua, dan hitam. Beberapa diantaranya adalah:

a. Montsuki

Kimono paling formal berupa setelan Montsuki hitam dengan Hakama

dan Haori. Bagian Montsuki dihiasi lambang keluarga pemakainya. Setelan

Montsuki yang dikenakan bersama Hakama dan Haori merupakan busana

pengantin pria tradisional. Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri

upacara yang sangat resmi, misalnya upacara pemberian penghargaan dari

kaisar/pemerintah atau Seijin Shiki.

b. Kimono Kinagashi.

44

Universitas Sumatera Utara

Pria menggunakan Kinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika

keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Aktor Kabuki mengenakannya

ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak dihiasi dengan lambang keluarga.

4. Aksesori dan Pelengkap

a. Hakama

Hakama adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna

gelap. Celana jenis ini awalnya berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal

sejak periode Asuka. Selain dikeenakan oleh pendeta Shinto, Hakama

dikenakan pria dan wanita di bidang olahraga bela diri tradisional seperi

Kendo atau Kyudo.

b. Geta

Geta adalah sandal berhak dari kayu yang biasa dikenakan bersamaan

dengan Kimono. Maiko di Jepang memakai Geta berhak tinggi dan tebal yang

disebut Pokkuri.

c.

Kanzashi adalah hiasan rambut berbentuk menyerupai tusuk konde yang

biasa disisipkan pada rambut sewaktu memakai Kimono.

d. Obi

45

Universitas Sumatera Utara

Obi adalah sabuk dari kain yag dililitkan ke tubuh pemakai gunanya untuk

mengencangkan Kimono yang dipasangkan ke badan. Umumnya terbuat dari

bahan kain sutra. Kimono pria biasanya dikenakan bersama dengan Obi dari

kain yang kaku dan sempit, atau kain lentur yang panjang. Sedangkan

Kimono wanita dikenakan bersama Obi berhiaskan corak tenun atau bordir.

Ada beberapa jenis Obi, diantaranya; Fukuro Obi, Nagoya Obi, Hanaba Obi,

Kaku Obi, dan Heko Obi. Obi biasanya memiliki aksesori pelengkap pula,

yaitu; Obi-age dan Obi-jime.

3.2. Fungsi Kimono dalam Kehidupan Masyarakat Jepang Modern

Meskipun Kimono sudah tidak lagi dikenakan sebagai pakaian sehari-

hari masyarakat Jepang secara umum, namun Kimono tetap dipakai oleh

masyarakat Jepang dalam beberapa perayaan dan upacara tertentu hingga saat

ini. Dewasa ini, untuk menumbuhkan kembali minat masyarakat Jepang

untuk memakai kembali Kimono sesering mungkin, banyak perancang busana 44 dari Jepang yang mendesain Kimono dengan sentuhan gaya Barat. Variasi

motif, bentuk dan cara pemakaian Kimono modern ini pun bermacam-macam.

Bahkan terinspirasi dari Kimono bergaya modern ini, tidak hanya perancang

busana dari Jepang yang saja yang tertarik untuk memodifikasi dan

mendesain ulang Kimono. Banyak perancang busana dari negara-negara Barat

yang mengadopsi Kimono sebagai pakaian rancangan mereka yang

dipertunjukkan pada perayaan busana tahunan.

Di Jepang sendiri, Kimono masih berfungsi menjadi pakaian

tradisional yang dipakai oleh masyarakat Jepang dalam menghadiri festival

46

Universitas Sumatera Utara

dan upacara formal. Ada pula yang masih menggunakan Kimono dalam kegiatan sehari-hari. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang bekerja di rumah makan tradisional Jepang, para pegawai atau pekerja di penginapan tradisional Jepang, ataupun atlit Sumo yang memang dalam kehidupan sehari- harinya diharuskan untuk memakai Kimono sebagai pakaiannya. Masyarakat

Jepang yang masih mengindahkan tradisi dan kebudayaannya beranggapan bahwa Kimono memiliki makna dalam setiap pemakaiannya dan menggambarkan keselarasan bila dipakai dalam suatu perayaan yang sesuai dengan Kimono tersebut.

Adapun fungsi Kimono sebagai pakaian tradisional yang masih dipakai oleh masyarakat Jepang dewasa ini, dapat dilihat dari beberapa ritus peralihan berikut ini:

3.2.1. Fungsi Kimono pada Festival Sichi-Go-San

Shichi-Go-San adalah festival di Jepang yang diperuntukkan bagi anak- anak berusia 7, 5, dan 3 tahun. Tanggal resmi diadakannya upacara ini adalah tanggal 15 November, namun karena pada tanggal ini bukan hari libur nasional, kebanyakan keluarga di Jepang akan merayakan Shichi-Go-San di akhir pekan terdekat.

Orang tua dari anak laki-laki yang berusia 3 atau 5 tahun dan anak perempuan berusia 3 atau 7 tahun akan membawa mereka ke kuil Shinto setempat. Di sana, mereka berdoa kepada Ujigami, yaitu dewa pelindung dari

Kepercayaan Shinto yang dipercaya sebagai dewa pemberi kesehatan dan umur panjang agar anak-anak mereka tumbuh sehat dan berumur panjang.

47

Universitas Sumatera Utara

Biasanya ritual penyucian yang biasa disebut Harai dan pembacaan doa yang biasa disebut Norito dilakukan pada upacara ini. Kebanyakan anak perempuan akan memakai Kimono saat menghadiri upacara Shichi-Go-San mereka, sementara anak laki-laki memakai Haori dan Hakama. Namun dalam beberapa waktu terakhir, tidak jarang juga ditemukan anak-anak menghadiri upacara Shichi-Go-San dengan mengenakan Youfuku.

Dahulu kala pada periode Heian (794-1185), Shichi-Go-San diselenggarakan oleh para aristokrat untuk merayakan pertumbuhan anak- anak mereka. Hal ini terus berlanjut dan diikuti hingga periode Edo (1603-

1868) oleh para masyarakat awam. Untuk mendoakan kesehatan dan umur panjang bagi anak-anak mereka, mereka mulai mengunjungi tempat-tempat suci. Shichi-Go-San pun berkembang hingga pada periode Meiji (1868-1912).

Dipilihnya angka 3, 5, dan 7 adalah karena angka-angka tersebut dipercaya sebagai angka keberuntungan sesuai dengan numerologi di Asia

Timur. Pada zaman kuno, usia tersebut dikaitkan dengan tonggak sejarah kehidupan anak-anak di Jepang. Sampai periode Meiji, anak-anak akan dicukur rambutnya sampai usia tiga tahun. Ketika mereka mencapai usia ini, anak-anak diizinkan untuk menumbuhkan rambut mereka. Upacara yang menandai pertumbuhan anak-anak di Jepang sampai pada usia ini disebut

Kamioki.

Pada usia yang ke-5, anak laki-laki untuk pertama kali akan menggunakan Hakama. Upacara ini dinamakan Hakamagi. Pada usia 7 tahun, anak perempuan yang pada usia 3 tahun memakai Himo, diperbolehkan untuk memakai Obi. Pada usia ini anak perempuan sudah diperbolehkan

48

Universitas Sumatera Utara

mengenakan Kimono bersama dengan Obi. Perayaan ini disebut dengan

Obitoki.

Pada upacara Shichi-Go-San akan diberikan pula kepada anak-anak

yang mengikuti upacara permen yang disebut Chitose Ame. Chitose Ame

secara harfiah memiliki arti “permen seribu tahun”, adalah permen berbentuk

stik panjang berwarna putih ataupun merah. Permen ini dianggap mewakili

harapan orang tua bagi anak-anaknya untuk tumbuh dan berumur panjang.

Chitose Ame dibungkus dengan kertas tpis yang terbuat dari beras

menyerupai plastik namun dapat dimakan.

3.2.2. Fungsi Kimono pada Upacara Seijin Shiki

Seijin no Hi atau yang biasa disebut dengan Seijin Shiki

diselenggarakan setiap tahunnya di Jepang pada hari Senin kedua dalam

tahun tersebut. Hari dilaksanakannya Seijin Shiki adalah hari libur

nasional. Para pemuda berusia 20 tahun merayakan masa transisi mereka

menuju kedewasaan pada hari ini. Para pemuda yang beranjak dewasa ini

menghadiri perayaan dimana pejabat pemerinah setempat akan hadir dan

memberikan pidato sambutan dan memberi himbauan kepada para

pemuda. Setelah upacara, para pemuda ini biasanya pergi ke kuil atau

berkumpul untuk merayakannya dengan teman-teman mereka. Kebiasaan

ini biasa disebut dengan Dousoukai.

Meski perayaan ini dimulai pada abad ke-7, pada awalnya Seijin

Shiki sendiri baru benar-benar diresmikan pada tahun 1948 dan sampai

tahun 1999 upacara ini selalu diadakan pada tanggal 15 Januari untuk

49

Universitas Sumatera Utara

meneruskan tradisi Genbuku yang selalu diadakan pada hari yang sama.

Namun, pada tahun 2000, Seijin Shiki dipindahkan ke hari Senin minggu kedua di bulan Januari sesuai dengan sistem “Happy Monday”, yang memindahkan sebagian hari libur ke hari Senin agar libur akhir pekan lebih panjang.

Seijin Shiki menandakan bahwa seorang pemuda sudah beranjak dewasa dan bisa lepas dari pengawasan orang tua dan dapat hidup mandiri.

Pada fase usia ini para pemuda tersebut sudah diperbolehkan untuk merokok, minum alkohol, bahkan menikah dan berkeluarga. Dalam fase usia ini juga para pemuda di Jepang sudah dianggap dewasa dan mampu mempertanggungjawabkan diri mereka dan bila melakukan kesalahan yang berat, dapat ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian karna sudah dianggap cukup umur untuk menjalani hukuman.

Seperti banyak hal yang terdapat di Jepang, semuanya memiliki kode etik dan nilainya sendiri. Dalam menghadiri upacara Seijin Shiki, kode etik dalam upacaranya adalah memakai pakaian tradisional Jepang yaitu

Kimono. Para wanita biasanya memakai Furisode Kimono, sejenis Kimono dengan lengan yang sangat panjang. Lengan panjang memnandakan kedawasaan, maka semakin panjang lengan Furisode yang dipakai, semakin baik. Biasanya Furisode yang dikenakan berwarna cerah dan didesain semenarik mungkin. Dengan mengenakan Furisode, seorang wanita menandakan bahwa dia lajang dan dewasa, serta siap untuk menikah.

50

Universitas Sumatera Utara

Pada abad ke-17, anak laki-laki masih diperbolehkan mengenakan

Furisode sampai mereka berusia 18 tahun atau sampai mereka melakukan upacara penyambutan usia mereka, sementara anak perempuan diizinkan memakainya sampai pernikahan mereka. Baru pada abad ke-20 Furisode hanya diperbolehkan untuk dipakai oleh wanita dan anak perempuan yang belum menikah. Karena harganya yang cukup mahal, biasanya orang

Jepang menyewa Furisode Kimono untuk upacara Seijin Shiki mereka.

Anak perempuan juga memakai Zori sebagai alas kaki dalam perayaan ini, dan beberapa dari mereka juga biasanya mengenakan syal yang terbuat dari bulu sintetis. Mereka juga biasanya mengunjungi salon untuk mendapatkan riasan wajah dan rambut yang sesuai dengan perayaan.

Bila anak perempuan menggunakan Furisode, anak laki-laki biasanya mengenakan jas gelap modern atau Kimono berwarna gelap yang digunakan bersama Hakama, sejenis celana tradisional Jepang yang diikatkan ke pinggang dan menjuntai hingga ke pergelangan kaki yang memakainya. kombinasi Kimono dan Hakama disebut Hakamashita.

Dewasa ini, banyak pemuda di Jepang yang merayakan Seijin Shiki dengan cara mereka sendiri dan terkesan menunjukkan perilaku buruk.

Beberapa kejadian seperti sekelompok orang muda Jepang berpakaian mencolok, mengendarai mobil atau motor dengan ugal-ugalan dan berperilaku buruk melakukan pawai di jalanan. Bahkan tidak jarang mereka mengendarai mobil sambil meminum minuman beralkohol dan memasang musik dengan suara keras.

51

Universitas Sumatera Utara

Namun pada hakikatnya, sebagian besar perayaan Seijin Shiki

diadakan dengan cara yang amat serius dan sakral karena dianggap

merupakan hari yang sangat penting bagi banyak masyarakat di Jepang.

3.3.3. Fungsi Kimono pada Upacara Pernikahan

Dalam upacara pernikahan, pengantin di Jepang biasanya

menggunakan Kimono khusus yang terbuat dari bahan yang paling bagus

dan didesain sedemikian rupa agar memiliki motif yang anggun dan

cantik. Tidak heran bila orang Jepang menghabiskan biaya yang besar

untuk sebuah upacara pernikahan. Seperti biasanya, wanita selalu memiliki

lebih banyak pilihan Kimono daripada pria, dalam hal upacara pernikahan

pun demikian. Pengantin wanita memiliki tiga pilihan alternatif Kimono

untuk dipakai pada upacra pernikahan yaitu: Kimono Shiromuku, Uchikake

dan Hikifurisode. Sementara itu, pengantin pria hanya memakai Montsuki,

Haori dan Hakama.

a. Shiromuku

Shiromuku adalah jubah pernikahan untuk pengantin wanita yang

berbahan tebal, berat dan indah. ‘Shiro’ berarti ‘putih’ dan itu

menandakan kemurnian dan kesucian. Shiromuku hanya dipakai dalam

upacara pernikahan dalam kepercayaan Shinto. Selain itu, shiromuku

juga dianggap dapat mewakili harmoni antara kedua mempelai karena

warna putih pada Shiromuku yang dipakai oleh mempelai wanita

dianggap melambangkan ‘kanvas’ yang dapat ‘digambar’ atau

disesuaikan dengan warna keluarga suami. Saat mengenakan

52

Universitas Sumatera Utara

Shiromuku, semua aksesoris tambahan yang dipakai oleh pengantin

juga harus berwarna putih.

b. Uchikake

Uchikake sedikit mirip dengan Shiromuku, yang membedakan hanya

warna dan penggunaannya saja. Uchikake kadang disebut juga dengan

nama Iro Uchikake, namun tidak ada perbedaan antara Iro Uchikake

dan Uchikake. Sebutan Iro Uchikake diberikan karena ‘Iro’ berarti

‘warna’. Uchikake memiliki banyak warna berbeda dan pola bordiran

yang rumit. Semakin indah dan sulit pola bordir dan ukirannya, maka

semakin mahal harganya. Pada wawalnya, Uchikake dipakai hanya

oleh para bangsawan, tapi sekarang digunakan oleh pengantin wanita

atau kadang-kadang untuk beberapa festival atau acara kebudayaan

ataupun parade Oiran. Baik Shiromuku Kimono dan Uchikake Kimono

memiliki bahan dan lapisan yang tebal dan keduanya sama-sama

menunjukkan lapisan di dalamnya pada bagian dada.

c. Kakeshita/Hikifurisode

Hikifurisode adalah jenis Kimono pengantin yang tidak memiliki

lipatan pada bagian bawah Obinya. Bagian ujung Hikifurisode juga

sangat lembut namun sangat kecil.dibandingkan dengan Furisode,

Hikifurisode memiliki lebih banyak motif dan pola. Polanya lebih

besar dan lebih banyak dan bahkan terkadang warnanya bisa sangat

terang. Selain itu, kadang Furisode yang biasa dipakai oleh pengantin

53

Universitas Sumatera Utara

wanita disebut juga dengan Hanayome Furisode. Berbeda nama,

namun kegunaannya sama. Pada upacara di kuil, biasanya pengantin

wanita memakai Shirokakeshita atau Furisode pengantin berwarna

putih.

d. Montsuki

Kimono yang digunakan oleh mempelai pria yang melambangkan lima

puncak generasi keluarga mempelai pria. Montsuki hanya digunakan

pada acara formal dan warna hitam adalah warna paling populer untuk

Kimono jenis ini.

e. Haori

Haori adalah Kimono yang menyerupai jaket, memiliki warna yang

solid dan sama halnya dengan Montsuki Haori juga menandai lima

puncak generasi dalam keluarga sang pengantin pria. Haori dan

Montsuki biasanya dibuat dengan warna dan bahan yang sama.

f. Hakama

Hakama yang biasanya digunakan oleh pengantin pria pada upacara

pernikahan adalah Hakama dengan motif garis-garis hitam dan putih.

g. Wataboshi

54

Universitas Sumatera Utara

Wataboshi adalah sebuah tudung yang dikenakan di luar rumah oleh

seorang wanita yang sudah menikah di keluarga Samurai dari periode

Muromachi sampai Momoyama (kira-kira dari 1337 sampai 1603).

Pada periode Edo, kebiasaan memakai Wataboshi ini dilakukan oleh

wanita muda.

Awalnya Wataboshi digunakan agar si pemakai terhindar dari rasa

dingin dan debu, namun dewasa ini Wataboshi digunakan sebagai

hiasan kepala pengantin wanita dalam upacara pernikahan, sama

halnya dengan kerudung yang biasa dipakai mempelai wanita dalam

pernikahan bergaya Barat. Mengenakan Wataboshi dapat

menyembunyikan wajah pengantin wanita dari semua orang kecuali

pengantin pria sampai pada akhir upacara pernikahan. Wataboshi

berwarna putih hanya boleh digunakan di luar ruangan bersamaan

dengan Shiromuku, dan tidak dapat digunakan di luar ruangan

bersamaan dengan Kimono pernikahan berwarna.

h. Tsunokakushi

Tsunokakushi adalah hiasan kepala yang terbuat dari potongan rambut

tradisional (wig tradisional) dengan gaya ‘Shimada’ yang dulunya

dipakai oleh wanita lajang pada periode Edo. Tsunokakushi dapat

digunakan bersamaan dengan Shiromuku ataupun Uchikake pada

upacara di kuil. Secara harfiah Tsunokakushi berarti “tanduk

tersembunyi” yang melambangkan pengantin wanita akan menjadi istri

yang baik dan taat terhadap suami. Tericiptanya gagasan tanduk ini

55

Universitas Sumatera Utara

berasal dari kepercayaan rakyat Jepang bahwa wanita memiliki tanduk

dan akan berubah menjadi iblis bila mereka cemburu.

i. Hakoseko

Hakoseko adalah aksesoris berupa tas saku kecil yang dipakai oleh

pengantin wanita bersamaan dengan Uchikake. Dahulu digunakan

untuk menyimpan jimat keberuntungan, pemerah bibir dan cermin. Tapi

sekarang ini hanya digunakan sebagai hiasan. Dan ini adalah barang

pengantin yang sangat diperlukan. Selain itu, para mempelai juga

memiliki aksesoris umum lainnya, yaitu Sensu (kipas lipat).

3.3.4. Fungsi Kimono pada Upacara Kematian

Dalam upacara kematian, orang Jepang biasanya memakai Kimono

khusus yang hanya boleh dipakai dalam upacara kematian yaitu Mofuku.

Mofuku sendiri berarti Kimono yang keseluruhan bagiannya berwarna

hitam. Mofuku digunakan sebagai pakaian berkabung di Jepang yang

dipakai oleh keluarga yang sedang berkabung. Mofuku terbuat dari kain

sutra hitam dan tidak memiliki pola, bahkan Obi atau ikat pinggangnya

pun berwarna hitam. Bagian yang memiliki warna pada Mofuku adalah

Kamon, sebuah Mofuku biasanya memiliki lima buah Kamon yang

berwarna putih sebagai lambang dari keluarga yang berkabung.

Upacara pemakaman di Jepang, seperti kebanyakan budaya Timur

ditandai dengan warna putih dulunya. Setelah Jepang mulai mengalami

westernisasi dan mengadopsi budaya barat, akhirnya warna hitam pun

56

Universitas Sumatera Utara

menjadi warna standar dalam upacara pemakaman di Jepang. Dewasa ini, warna putih dipakai oleh orang yang meninggal dan disebut Shinisouzoku.

Namun, Mofuku berwarna hitam tidak digunakan oleh keseluruhan masyarakat Jepang. Dikarenakan beberapa kebiasaan dari agama Buddha di Jepang, beberapa daerah di Jepang masih lebih memilih memakai

Mofuku berwarna putih.

Mofuku dan segala aksesoris lengkapnya biasa diperuntukkan bagi anggota keluarga yang sangat dekat dengan almarhum. Semakin jauh relasinya dengan almarhum, maka semakin sedikit ornamen Mofuku yang dipakai dalam menghadiri upacara pemakaman. Anggota keluarga almarhum seperti istri, anak perempuan, atau saudara perempuan almarhum dapat memakai Mofuku, Obi, dan segala aksesoris pelengkapnya. Anggota keluarga yang lain biasanya memakai Iromuji atau

Houmongi beserta Obi dan aksesorisnya. Teman atau kerabat jauh dari almarhum biasanya akan memakai Obi-age dan Obi-Jime dengan Iromuji dan Nagoya-Obi.

Jika ada yang menggunakan Mofuku di luar dari etik yang sudah ditentukan, biasanya akan menimbulkan persepsi negatif terhadap yang memakai. Misalnya, jika seorang perempuan datang menghadiri sebuah upacara pemakaman dengan menggunakan Mofuku, namun beliau bukanlah istri maupun saudara dari almarhum tersebut, akan menimbulkan persepsi bahwa dia adalah perempuan yang memiliki hubungan gelap dengan almarhum. Biasanya wanita yang hanya kerabat atau teman biasa dari almarhum cukup memakai baju terusan berwarna hitam saja.

57

Universitas Sumatera Utara

Dalam upacara pemakaman, pria yang memiliki hubungan dekat dengan almarhum diharapkan mengenakan pakaian paling formal, yang tidak hanya digunakan dalam menghadiri upacara pemakaman melainkan menghadiri acara formal lain. Kimono yang dipakai harus berwarna hitam dan memiliki lambang keluarga, Tabi yang dipakai berwana hitam atau putih, Setta Zori dipakai dengan Hanao hitam atau putih, kerah Nagajuban berwarna hitam atau abu-abu, Haori-himo bisa berwarna hitam ataupun putih, hakama yang dipakai bisa bermotif garis-garis hiitam dan putih atau pun sepenuhnya hitam, dan terakhir, Obi bisa berwarna putih ataupun hitam. Sedangkan para pria yang menghadiri pemakaman namun tidak memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan almarhum biasanya memakai Iromuji Kimono beserta aksesoris pelengkap lainnya atau setelan jas hitam formal.

Bagian-bagian daripada Mofuku yang biasa dipakai oleh para keluarga dalam menghadiri upacara pemakaman terdiri dari; Mofuku

Kimono, Obi, Obi-Age, Obi-Jime dan Zori. Han-Eri, Nagajuban, dan Tabi harus berwarna putih. Bila ingin memakai Haori, Haori tersebut haruslah

Kuromontsuki.

58

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dari bab-bab sebelumnya yang sudah dijelaskan, pada bab ini dapat

disimpulkan bahwa:

1. Kimono adalah pakaian tradisional Jepang. Secara harfiah Kimono berarti

sesuatu yang dipakai atau pakaian (‘ki’ berarti pakai; ‘mono’ berarti

barang). Dewasa ini, Kimono berbentuk seperti huruf ‘T’ menyerupai

mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang Kimono dibuat hingga

menyentuh ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan Kimono berbentuk

baju terusan, sementara pria mengenakan Kimono berbentuk setelan.

Kerah bagian kanan Kimono harus berada di bawah kerah bagian kiri.

Sabuk berbentuk kain yang disebut Obi dililitkan di bagian

perut/pinggang, dan diikat di bagian pinggang. Alas kaki sewaktu

mengenakan Kimono adalah Zori atau Geta.

2. Keberadaan Kimono mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan

zaman. Setelah Jepang menghapus politik Sakoku yaitu keadaan politik

dimana negara melarang perdagangan dan lalu lintas dengan luar negeri,

modernisasi dan westernisasi mulai muncul dan perubahan dapat

dirasakan dalam berbagai bidang. Bangsa Jepang banyak mengadopsi

kebudayaan, nilai, serta pemikiran dari negara-negara Barat karena

dianggap lebih modern dan maju.

59

Universitas Sumatera Utara

3. Kimono dewasa ini lebih sering dikenakan oleh masyarakat Jepang pada

kesempatan istimewa saja dan beralih fungsi dari pakaian sehari-hari

menjadi pakaian formal setelah munculnya modernisasi dan westernisasi.

Kimono dipakai pada upacara tertentu misalnya upacara pernikahan,

upacara minum teh, dan acara formal lainnya.

4. Pemilihan Kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai

simbolisme dan isyarat terselubung yang dikandung masing-masing jenis

Kimono. Tingkat formalitas Kimono ditentukan oleh pola tenunan dan

warna, mulai dari Kimono paling formal hingga Kimono santai.

Berdasarkan jenis Kimono yang dipakai, Kimono bisa menunjukkan umur

pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang

dihadiri oleh pemakai. Setiap unsur pola, motif dan warna juga

mempunya arti bagi setiap Kimono dipakai.

5. Untuk menumbuhkan kembali minat masyarakat Jepang untuk memakai

kembali Kimono sesering mungkin dalam kehidupan sehari-hari, banyak

perancang busana dari Jepang yang mendesain Kimono dengan sentuhan

gaya Barat. Variasi motif, bentuk dan cara pemakaian Kimono modern

ini pun bermacam-macam. Bahkan terinspirasi dari Kimono bergaya

modern ini, tidak hanya perancang busana dari Jepang yang saja yang

tertarik untuk memodifikasi dan mendesain ulang Kimono. Banyak

perancang busana dari negara-negara Barat yang mengadopsi Kimono

sebagai pakaian rancangan mereka yang dipertunjukkan pada perayaan

busana tahunan (Fashion Show).

60

Universitas Sumatera Utara

6. Adapun yang masih menggunakan Kimono dalam kegiatan sehari-hari di

Jepang biasanya adalah mereka yang bekerja di rumah makan tradisional

Jepang, para pegawai atau pekerja di penginapan tradisional Jepang,

ataupun atlit Sumo yang memang dalam kehidupan sehari-harinya

diharuskan untuk memakai Kimono sebagai pakaiannya.

7. Dewasa ini, setelah Kimono tidak lagi digunakan oleh kebanyakan

masyarakat Jepang dalam kehidupan sehari-harinya, pakaian bergaya

Barat atau biasa disebut dengan Youfuku menjadi alternatif pilihan

masyarakat Jepang. masyarakat Jepang lebih senang bepergian dengan

mengenakan celana, rok, kaos, ataupun kemeja dalam kegiatan sehari-

hari mereka, dan mengenakan gaun ataupun jas untuk menghadiri acara

formal.

4.2. Saran

1. Dengan berkurangnya minat masyarakat Jepang dalam mengenakan

Kimono dalam kegiatan sehari-hari, diharapkan agar mungkin

pemerintah negara Jepang dapat mengeluarkan peraturan yang mampu

menghimbau agar warga negarannya mau mengenakan Kimono sesering

mungkin dalam kehidupan sehari-hari mereka.

2. Penulis mengharapkan bagi setiap negara berkembang supaya

meningkatkan dan tetap melestarikan budaya asli bangsanya terutama

dalam hal melestarikan pakaian adat/tradisional bangsa.

61

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

Erlina. 2011. Metodologi Penelitian. Medan: USU Press.

Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta : Paradigma.

Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Antropologi I. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. 1990. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.

Lubis, A. Yusuf. 2014. POSTMODERNISME: Teori dan Metode. Jakarta : Rajawali Pers.

Mardalis. 1995. Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Nawawi, H. Hadari dan H. Mimi Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta : UGM Press.

Noma, Seiroku. 1974. Japanese Costume and Textile Arts. Tokyo: Heibonsha.

Poerwandari, E. K. 2007. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI.

Souga, Tetsuo. 1973. Nihon Kakokugo Daijiten 6. Tokyo: Shogakkan.

Sarwono, Jonatan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Supriatna, Nana. Ruhimat, Mamat. 2006. IPS Terpadu (Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, Geografi). Jakarta: Grafindo Media Pratama.

Yamanaka, Norio. 1982. The Book of Kimono, The Complete Guide To Style And Wear. Tokyo: Kodansha International Ltd.

Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian. Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. http://www.123helpme.com/view.asp?id=122714. 123HelpMe. “A Thesis About Kimono”. Diakses pada tanggal 7 Mei 2017. http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-kerngka-teori-definisi.html. Landasan Teori. “Pengertian Kerangka Teori Menurut Para Ahli”. Diakses pada tanggal 7 Mei 2017.

62

Universitas Sumatera Utara

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29139/2/Chapter%20III-V.pdf. “Metode Penelitian” Diakses pada tanggal 7 Mei 2017. http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Kimono. New World Encyclopedia.“Kimono”. Diakses pada tanggal 7 Mei 2017. http://rumpunsastra.com/2014/09/pendekatan-dalam-kajian-sastra.html. Sastra Indonesia. “Pendekatan Dalam Kajian Sastra”. Diakses 7 Mei 2017. https://id.wikipedia.org/wiki/Kimono. Wikipedia. “Kimono”. Diakses pada tanggal 7 Mei 2017. https://id.wikipedia.org/wiki/Pakaian. Wikipedia. “Pakaian”. Diakses pada tanggal 7 Mei 2017. http://zonasiswa.com/2014/05/pengertian-sejarah-istilah-bahasa-para.html. Zona Siswa.“Pegertian Sejarah (Istilah, Bahasa, Para Tokoh)”. Diakses pada tanggal 7 Mei 2017.

63

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN

Gambar 1. Seorang memakai Kimono (1892).

Sumber: http://en.wikipedia.com

64

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Kaisar dan istrinya memakai Sokutai dan Juunihitoe dalam

upacara pernikahan mereka (1959).

Sumber: http://en.wikipedia.com

Gambar 4. Anak-anak perempuan dalam Festival Shichi-Go-San dan Seijin Shiki.

Sumber: http://en.wikipedia.com

65

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5. Kimono dalam upacara pernikahan. Mempelai pria memakai Haori dan

Hakama, pengantin wanita mengenakan Shiromuku Kimono beserta Wataboshi

dan ibu dari keluarga kedua mempelai memakai Tomesode Kimono.

Sumber: http://gojapango.com

Gambar 6. Seorang pria memakai Samue (1975).

Sumber: http://en.wikipedia.com

66

Universitas Sumatera Utara

Gambar 7. Mofuku Kimono dalam upacara pemakaman.

Sumber: http://en.wikipedia.com

Gambar 8. Alas kaki yang digunakan saat mengenakan Kimono: Geta (kiri), Zori

(kanan).

Sumber: http://en.wikipedia.com

67

Universitas Sumatera Utara

Gambar 9. Shinisouzoku yang dikenakan oleh orang meninggal.

Sumber: http://gojapango.com

68

Universitas Sumatera Utara

Gambar 10. Seorang mempelai wanita mengenakan Furisode Kimono dalam

upacara pernikahan.

Sumber: http://immortalgeisha.com

69

Universitas Sumatera Utara

Gambar 11. Tsunokakushi

Sumber: http://en.wikipedia.com

Gambar 12. Jinbei

Sumber: http://en.wikipedia.com

70

Universitas Sumatera Utara

Gambar 13. Laki-laki dan perempuan mengenakan Yukata.

Sumber: http://google.com

Gambar 14. Kamishimo

Sumber: http://en.wikipedia.com

71

Universitas Sumatera Utara

Gambar 15. Iromuji Kimono

Sumber: http://gojapango.com

72

Universitas Sumatera Utara

Gambar 16. Gothic Lolita Style

Sumber: http://gojapango.com

73

Universitas Sumatera Utara

Gambar 17. Retro Style

Sumber: http://tokyofashion.com

Gambar 17. Wool Kimono (1969)

Sumber: http://en.wikipedia.com

74

Universitas Sumatera Utara

Gambar 19. Hikizuri Kimono

Sumber: http://en.wikipedia.com

Gambar 20. Kimono yang sudah dimodifikasi oleh desainer pada perayaan Tokyo

Fashion Week.

75

Universitas Sumatera Utara

Sumber: http://google.com

Gambar 21. Pakaian terinspirasi dari Kimono dalam Paris Fashion Week.

Sumber: http://google.com

76

Universitas Sumatera Utara

Gambar 22. Chitose-Ame

Sumber: http://en.wikipedia.com

Gambar 23. Nagoya-Obi

Sumber: http://en.wikipedia.com

77

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Wafuku secara harfiah adalah istilah umum untuk semua jenis pakaian tradisional Jepang, termasuk Kimono. Sejarah Wafuku dimulai pada periode pra- sejarah yang dikenal sebagai periode Jomon. Wafuku, terutama Kimono, masih dipakai di Jepang baik oleh mereka yang memiliki minat terhadap pakaian tradisional Jepang, untuk kepentingan upacara keagamaan, ataupun keperluan pekerjaan. Istilah Wafuku mulai digunakan pada periode Meiji untuk membedakan pakaian tradisional Jepang dan pakaian bergaya Barat yang disebut Youfuku.

Sebelumnya, pakaian tradisional masyarakat Jepang telah disebut dengan istilah “Kimono” atau “Kirumono”, yang berarti sesuatu yang dipakai atau pakaian. Pada periode Meiji, Kimono masih terus digunakan untuk menyebut pakaian tradisional Jepang, namun pengartian Kimono menjadi lebih sempit dan khusus menjadi Jubah yang berbentuk seperti huruf ‘T’ menyerupai mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang Kimono dibuat hingga menyentuh ke pergelangan kaki. Adapun beberapa jenis Wafuku selain Kimono antara lain;

Hakama, Haori, Inverness/Tonbi, Happi, Jinbei, Samue, Hanten, Kappogi,

Sokutai, Juunihitoe, Suikan, Tanzen, dan lain sebagainya.

Sebelum mendapat pengaruh dari budaya Barat, masyarakat Jepang mengenakan pakaian yang disebut Kimono, yang merupakan sebutan untuk pakaian tradisional negara Jepang. Namun setelah munculnya westernisasi, orang

Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang dengan sebutan Wafuku, sementara untuk pakaian bergaya Barat mereka menyebutnya dengan Youfuku.

78

Universitas Sumatera Utara

Masuknya budaya Barat ke Jepang merupakan suatu perubahan besar dalam masyarakat Jepang. Hal ini terjadi sejak zaman Meiji (1866-1869).

Perubahan terjadi di segala bidang, tidak hanya dalam kebudayaan saja, melainkan bidang ekonomi, pendidikan, agama, teknologi dan lain-lain. Sejak restorasi Meiji hingga saat ini, masyarakat Jepang sudah dapat menerima masuknya budaya Barat ke Jepang salah satunya memakai pakaian ala Barat dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan hanya memakai Kimono dalam kesempatan tertentu saja karena dianggap kurang praktis dan sulit dalam pemakaiannya.

Berawal sejak terjadinya Restorasi Meiji di Jepang yang akhirnya membuat bangsa Jepang mau membuka diri terhadap dunia luar, budaya Barat mulai masuk dan diadopsi oleh masyarakat Jepang, termasuk dalam hal berpakaian. Jepang dapat dengan cepat mengadopsi budaya Barat dalam hal gaya berpakaian, dapat dilihat dari pembuatan seragam militer Jepang yang menyamai seragam militer Barat. Secara bertahap perubahan dalam hal cara berpakaian terus berlanjut hingga saat ini. Jas dan gaun akhirnya menjadi alternatif pilihan pakaian oleh kebanyakan masyarakat Jepang dalam menghadiri suatu pesta ataupun acara formal. Mereka juga terbiasa memakai kemeja, kaos ataupun celana dalam kehidupan sehari-hari karena dianggap jauh lebih mudah dan praktis. Beberapa jenis pakaian inilah yang disebut Youfuku oleh masyarakat Jepang.

Dewasa ini, Kimono masih berfungsi sebagai pakaian tradisional yang dipakai oleh masyarakat Jepang dalam menghadiri festival dan upacara formal.

Ada pula yang masih menggunakan Kimono dalam kegiatan sehari-hari. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang bekerja di rumah makan khas Jepang, para

79

Universitas Sumatera Utara

pegawai atau pekerja di penginapan tradisional Jepang, ataupun atlit Sumo yang memang dalam kehidupan sehari-harinya diharuskan untuk memakai Kimono sebagai pakaiannya.

Masyarakat Jepang yang masih mengindahkan tradisi dan kebudayaannya beranggapan bahwa Kimono memiliki makna dalam setiap pemakaiannya dan menggambarkan keselarasan bila dipakai dalam suatu perayaan yang sesuai dengan Kimono tersebut. Maka dalam beberapa perayaan seperti Shichi-Go-San,

Seijin Shikki, upacara pernikahan, upacara kematian, upacara minum teh, dan upacara wisuda, Kimono biasanya masih digunakan oleh sebagian besar masyarakat Jepang.

Kimono dapat dipakai laki-laki maupun perempuan. Adapun beberapa jenis Kimono yang biasa dikenakan oleh perempuan, yaitu: Uchikake, Houmongi,

Omeshi, Yukata, Tomesode, Mofuku, Iromuji, dan Furisode. Kimono laki-laki berbeda dengan Kimono perempuan. Kimono untuk laki-laki dalam hal warna dan motif lebih sederhana, bentuk Kimono laki-laki lurus tanpa memiliki panjang yang lebih. Bentuk Obi laki-laki kecil dan berwarna lembut serta tidak ada Kimono laki-laki khusus seperti Kimono perempuan.

80

Universitas Sumatera Utara