KEABSAHAN HAKIM PEREMPUAN PERSPEKTIF ULAMA FIKIH KLASIK

(STUDI KOMPARATIF IMAM SYAFI’I DAN IBNU JARIR AT THABARI)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

FATIMAH AJENG AULIA

11140440000091

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

ABSTRAK

Fatimah Ajeng Aulia. NIM 11140440000091. KEABSAHAN HAKIM PEREMPUAN MENURUT ULAMA FIKH KLASIK (Studi Komparasi Imam As-Syafi’I dan Ibnu Jabir At-Thabari). Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Sayriah dan Hukum. Universitas (UIN) Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang keabsahan wanita menjadi seorang hakim dan juga analisis pustaka penulis terhadap keabsahan hakim wanita menurut dua orang tokoh ulama fikh klasik yaitu Imam As-Syafi’I dan Ibnu Jabir At- Thabari serta pendapat diantara keduanya juga persamaan dan perbedaan diantara kedua imam tersebut. Penelitian ini adalah penelitian studi komparatif yaitu penelitian komparasi dan penelitian pustaka. Sumber data yang diperoleh dari data sekunder. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari pustaka, buku-buku, jurnal-jurnal, dan tesis. Pendekatan menggunakan kualitatif, yaitu melakukan kajian dengan deskriptif data yang dikumpulkan berupa kata-kata. Adapun teknik analisis data yang dilakukan dengan cara kualitatif yag menghasilkan data deskripstif analisis, yaitu menggambarkan masalah- masalah yang terkait dengan kasus yang diteliti, studi pustaka, juranl-jurnal, dan tesis. Hasil penelitian ini menunjukan perbedaan anatara konsep pendapat dari dua imam atau dua tokoh ulama fikh klasik yaitu pendapat Imam As-Syafi’I dan Ibnu Jabir At-Thabari. Dalam penulisan ini konspe pendapat dari Imam As-Syafi’I yang didapat adalah bahwa, seorang wanita memang mutlak tidak diperbolehkan menjadi hakim wanita didasarkan pada surat Al-Qur’an An-Nisa ayat 34 dimana memang menunjukan bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita dan wanita tidak pantas untuk berada di ranah pemerintahan. Tetapi lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan Ibnu Jabir At-Thabari, dimana pendapat Ibnu Jabir adalah seorang wanita dianggap sah menjadi seorang hakim, selama persyaratan dan ketentuan menjadi hakim bisa dipenuhi oleh si wanita calon hakim. Pendapat dari ulama lain pun banyak, tetapi penulis mengambil haris besar dari kedua tokoh yang mendukung dan menoolak pernyataan seorang wanita boleh atau tidaknya menjadi seorang hakim. Dan dari penulisan yang terlah dibuat, dan setelah melihat kondisi dan penerapan nya di Indonesia sendiri, dimana wanita menjadi sah untuk menjadi seorang hakim, jika wanita itu memenuhi syarat dan bisa mengemban amanah dari pemerintahan tanpa melalaikan pekerjaan dan kodrat nya sebagai perempuan.

Kata Kunci : Hakim Perempuan, Imam As-Syafi’I, Ibnu Jabir At-Thabari Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A Daftar Pustaka : 1968 - 2017

iv

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... i LEMBAR PERNYATAAN ...... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...... iii ABSTRAK ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 7 C. Batasan Masalah...... 7 D. Rumusan Masalah ...... 7 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8 F. Review Kajian Terdahulu ...... 8 G. Metode Penelitian...... 9 H. Kerangka Teoritik ...... 11 I. Rancangan Sistematika Penelitian ...... 12 BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG HAKIM WANITA A. Syarat dan Ketentuan Hakim Wanita ...... 14 B. Pandangan Mahzhab tentang Hakim Wanita ...... 17 BAB III PROFIL IMAM AS-SYAFI’I DAN IMAM IBN JABIR AT- THABARI A. Profil Imam As-Syafi’i ...... 26 1. Latar Belakang ...... 26 2. Riwayat Hidup ...... 27 3. Riwayat Pendidikan ...... 27 4. Karya-karya Imam Syafi’i...... 30 B. Profil Imam Ibnu Jabir At-Thabari ...... 32 1. Latar Belakang ...... 32

viii 2. Riwayat Hidup ...... 33 3. Riwayat Pendidikan ...... 34 4. Karya-karya Ibnu Jabir At-Thabari ...... 36

BAB IV KEABSAHAN HAKIM WANITA MENURUT IMAM AS- SYAFI’I DAN IMAM IBN JABIR AT-THABARI A. Pendapat Imam As-Syafi’I dan Ibnu Jarir At-Thabari, Dalil-Dalil dan Munaqosyahnya ...... 39 B. Persamaan dan Perbedaan yang Signifikan antara Imam As-Syafi’i dan Ibn Jabir At-Thabari ...... 44 C. Analisis dan Tarjih Pendapat tentang Keabsahan Hakim Wanita ...... 46

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 49 B. Saran-Saran ...... 50

DAFTAR PUSTAKA ...... 51

ix BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Perbincangan tentang perempuan dalam Islam selalu berujung pada kesimpulan bahwa Islam tidak ramah perempuan. Posisi perempuan yang lemah dan inferior tergambar jelas dalam fakta empiris di masyarakat islam maupun dalam lembaran-lembaran keislaman.1 Dalam hakikatnya , wanita muslimah adalah mitra kerja pria dalam memakmurkan bumi sesempurna mungkin. Wanita haruslah ikut serta dengan serius dan terhormat dalam berbagai lapangan kehidupan. Mengingat lapangan kehidupan itu lazimnya tidak lepas dari keberadaan laki-laki, bahkan kaum laki-laki lah yang menguasai mayoritas peranan penting dalam masyarakat, syariat Allah tidak menghalangi wanita bertemu dengan laki-laki dan melihatnya.Atau sebaliknya, Begitu pula dalam berbicara, bertukar pikiran, atau bekerja sama untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan catatan mereka tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan agama.2 Nabi Saw sangat memahami peran wanita dalam mempermudah dan membantu berbagai usaha kebaikan. Penyalahgunaan kondisi tersebut sama artinya dengan mempersulit dan mempersempit ruang gerak wanita sekaligus menghalanginya dari melakukan kebaikan.Namun, ada yang harus diperhatikan bahwa kebebasan tersebut tidak lantas melalaikan seorang wanita muslimah dari pelaksanaan tugas dan tanggung jawab terhadap rumah tangga dan anak-anaknya. Bahkan, kiprahnya dalam kehidupan sosial akan membantu wanita dalam pematangan kepribadian dan agar mampu melaksanakan berbagai

1 Siti Musdah Mulia,Islam & inpirasi kesetaraan gender, (kibras press, Februari, 2007, Jakarta). h. 13 2 Abdul Hakim Abu Suqqyah, Kebebasan Wanita, (Gema insani press, 1997, Jakarta), h.1

1 2

kegiatan yang membutuhkan perannya, baik menyangkut keperluan keluarga atau keperluan masyarakat.3 Sejak dahulu keikut sertaan wanita dalam aktifitas sosial dan pertemuannya dengan laki-laki, baik secara kebetulan atau pun disengaja untuk tujuan yang baik, suadah merupakan corak kehidupan yang umum dalam masyarakat muslim dalam bidang umum dan khusus.4 Dalam konteks Bahasa Indonesia, sebenarnya kata “gender” ini tidak mempunyai padanan yang tepat makna nya, oleh karena itu istilah “Gender” seringkali di salah artikan. Kamus Bahasa Inggris yang ditulis oleh John Echols dan Hasan Shadly, misalnya, memakai gender dengan “Jenis Kelamin”. Realita yang sama juga ditemukan dalam kamus-kamus lainnnya seperti The Advance Learner’s of Current English, yang mendifinisikan gender sebagai ciri-ciri biologis yang membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari konsep gender juga sering disalah artikan sebagai kata yang merujuk kepada perempuan, sehingga seringkali ditemukan pejabat yang merekomendasikan hanya karyawan perempuan untuk menghadiri terkait isu gender. Dokumen-dokumen yang terkait dengan identitas pribadi seringkali menggunakan kata gender dan seks tanpa perbedaan yang jelas.5 Gender dapat dimaknai sebagai konstruksi sosial tentang pembedaan sifat, peran, tanggung jawab, nilai, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional laki-laki dan perempuan. Dewasa ini, terjadi pembakuan pemahaman yang keliru di masyarakat, gender sebagai konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat (ketentuan Tuhan). Misalnya urusan domestik seperti mendidik anak , memasak , mengatur pengeluaran rumah tangga atau urusan domestik lainnya sering dianggap sebagai “kodrat perempuan”. Faktanya, aktivitas domestik kontruksi sosial yang bisa dilakukan baik oleh kaum laki-

3 Abdul Hakim Abu Suqqyah,Kebebasan Wanita,h.1-2 4 Abdul Hakim Abu Suqqyah. Kebebasan Wanita.gema insani press.Jakarta.2007.h. 3 5 Hermawati Ida Rosyidah. Relasi Gender Dalam Agama-agama. UIN Jakarta press.2013.h.43 3

laki atau perempuan, karena pekerjaan-pekerjaan domestik dapat dipertukarkan.6 Salah satu masalah yang seringkali menjadi perdebatan sengit Negara- negara Islam atau Negara yang penduduknya mayoritas muslim adalah masalah kepemimpinan perempuan. Walaupun pada realitas sudah ada pemimpin perempuan seperti Begum Khalida Zia di Bangladesh, Benazir Bhutto di Pakistan, Gloria Macpagal Arroyo di Filipina dan Megawati Soekarno Putri di Indonesia, tetapi pada tataran pemikiran persoalan ini belum dianggap selesai. Banyak faktor yang menyebabkannya, disamping persoalan pemahaman keagamaan, faktor politik juga sangat kental mewarnai. Bahkan ada kecenderungan untuk membiarkan persoalan ini bisa dijadikan kampanye politik untuk menolak kepemimpinan perempuan dengan argumen agama. Kewajiban umum kaum perempuan terhadap masyarakat adalah sama dengan kewajiban kaum laki-laki. Laki-laki dan perempuan sama-sama memikul kewajiban serta tanggung jawab untuk kesejahteraan dan kemaslahatan mesyarakatnya. Dalam beberapa hal, bukan saja laki-laki memimpin perempuan, tetapi perempuan juga memimpin laki-laki.7 Diantara tugas bersama dengan laki-laki dan perempuan adalah menegakkan kebenaran dan keadilan serta mengokohkan akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur dalam masyarakat. Juga mereka sama-sama ber kewajiban dalam mencegah perbuatan yang mungkar yang merusak akhlak dan mengacaukan ketentraman, menghilangkan nilai dan mutu masyarakat. Ini berlaku untuk segala macam kegiatan, tidak terkecuali di bidang politik dan kenegaraan, termasuk dalam bidang penegakan hukum di lembaga peradilan.8 Indonesia, dalam hal ini memiliki apa yang disebut peradilan agama yang memiliki tugas dan kewenangan untuk meninjau, memutuskan dan menyelesaikan kasus-kasus untuk warga negara beragama Islam untuk

6 Hermawati Ida Rosyidah, Relasi Gender Dalam Agama-agama. UIN Jakarta press. 2013. h.43 7 Badriyah Fayumi,Isu-Isu Gender Dalam Islamh.1 8 Huzaemah Tahido Yonggo M.A , Prof.Dr.Hj . Fikih Perempuan Kontemporer. Penerbit Ghala Indonesia. Bandung. 2010. h. 99-100 4

masalah pernikahan, warisan, dan ekonomi syariah. Peradilan ini dibentuk oleh undang-undang dengan wilayah yurisdiksi kabupaten dan kota. Pengadilan Agama tingkat Tinggi memiliki provinsi sebagai wilayah yurisdiksinya. Menurut Kementerian Agama, peradilan agama ini memiliki 675 (24 persen) hakim perempuan diantara total 3.390 hakim peradilan agama. Tidak ada satu orang pun perempuan yang bekerja di mahkamah konsitusi dari tahun 2003 – 2008 dan hanya satu orang perempuan yang dimasukkan ke dalam daftar sembilan orang hakim mahkamah konstitusi yang memegang peranan penting dalam peninjauan kembali berbagai perundang-undangan yang diskriminatif. Karenanya penting meningkatkan keterwakilan perempuan di mahkamah konstitusi. 9 Kemudian ditinjau dari segi yuridis keabsahan hakim perempuan terkait pula dengan sejarah peraturan dan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman. Peluang bagi hakim perempuan di Peradilan Agama baru terbuka setelah dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka- winan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Singkatnya, sebelum keluar dua perundang-undangan tersebut, peluang perempuan untuk menjadi hakim tampaknya belum terakomodasi baik dari segi regulasi maupun kompetensinya. Setelah keluarnya UUPA Nomor 3 Tahun 2006 jo. diamandemen dengan UUPA Nomor 50 Tahun 2009 kuantitas hakim perempuan mengalami peningkatan dibandingkan hakim laki-laki yang notabene jumlah hakim laki- laki sebelumnya sudah cukup banyak dibandingkan dengan hakim perempuan. Adapun fenomena yang untuk diangkat dalam tulisan ini adalah saat ini ada peluang yang sangat lebar bagi perempuan untuk berkiprah baik pada ranah lembaga yudikatif maupun lembaga lainnya, termasuk di dalamnya menjadi hakim di Pengadilan Agama. 10

9 UNDP INDONESIA. Partispasi Perempuan dalam politik dan pemerintahan.UNDP Indonesia. Mei 2010. hal 16-17 10 Djazimah Muqoddas,Kontribusi Hakim Perempuan dalam penegakan hukum di Indonesia, (jurnal Mahkamah Agung RI,Asyari’ah vol.17 no 2,Agustus,2015), h.94 5

Masalah boleh tidaknya wanita menjadi hakim, sampai saat ini masih mengalami perbedaan pendapat di kalangan ulama . Hal ini tidak terlepas adanya perbedaan dalam memahami Hadits Riwayat Imam Bukhari. Ada ulama yang berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjabat secara mutlak, serta ada pula yang berpendapat boleh dalam kasus tertentu dan tidak boleh dalam kasus lainnya. Menurut jumhur ulama, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, wanita tidak boleh menjabat sebagai hakim. Dasar pendapat mereka adalah Q.S.An-Nisa’ ayat 34, Hadits Rasulullah yang mengatakan “bahwa tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka pada wanita.” (HR.Bukhari), Hadits yang menyatakan “bahwa akal dan keberagaman wanita kurang dibanding akal dan keberagaman pria.” (HR.Ibnu Majah).11 Adapun yang mendukung penolakan wanita menjadi hakim secara mutlak mengatakan bahwa perempuan dilarang menjadi qadhi (yudikatif) menurut syara’, sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat (olah fikir),padahal wanita pada umumnya lemah akalnya, dimana Rasulullah SAW menafsirkan sifat ketidaksempurnaan akal nya ini bahwa kesaksian wanita adalah setengah dari kesaksian laki-laki.12 Peran sosial perempuan dalam lintas sejarah Islam mengalami kemunduran di abad kedua, setelah para penguasa muslim kembali mengintrodusir tradisi hellinistik di dalam dunia pemerintahan. Di samping itu, para ulama di antaranya dengan sponsor pemerintah, sedang giat-giatnya melakukan standarisasi hukum dengan melaksanakan kodifikasi kitab-kitab fikih dan kitab-kitab hadis. Tentang apakah ada kaitanya antara pembukuan dan pembakuan kitab fikih dan proses penuruan peran perempuan, ternyata sejumlah penelitian memberikan jawaban positif, bahwa ada konsep superioritas laki-laki atas perempuan banyak dipengaruhi oleh unsur pembukuan kitab-kitab fikih klasik. Namun demikian, ada juga ilmuan yang

11 Salim Ali Bahnasawi, Wawasan Sisitem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 1996),h.293-294. 12 Salim Ali Bahnasawi, Wawasan Sisitem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 1996),h.293-294. 6

melihat adanya kesan superioritas laki-laki dari perempuan dalam kitab-kitab fikih disebabkan oleh tuntutan masyarakat dan cara berfikir ulama mazhab pada saat itu.13 Kitab-kitab fikih amat dipengaruhi oleh lingkungan oleh penulisnya yang berada-beda. Penulis yang hidup di lingkungan masyarakat di mana kekusaan kaum laki-lakinya dominan (male-dominated society), seperti di kawasan Timur Tengah, banyak tulisan atau buku-buku yang bercorak patriarkhi, benar dikatakan bahwa ada hukum-hukum particular yang menetapkan sejenis kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.14 Terkait dengan pendirian ulama seputar kebolehan mengangkat hakim berjenis kelamin wanita, Ali bin Nayif asy-Syuhud memetakan menjadi 3 kelompok. Pertama : melarang secara mutlak, ini adalah pendirian jumhur ulama dari kalangan Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Kedua, membolehkan namun terbatas dalam persoalan perdata, ini adalah pegangan madzhab Hanafi. Ketiga, membolehkan secara mutlak, ini dikemukakan oleh Ibnu Hazm az-Zhahiri serta Ibnu Jarir At-Thabari.15 Terlepas dari kutipan salah seorang ulama di atas tentang keabsahan seorang hakim perempuan, penulis merasa sangat perlu memaparkan lebih jauh bagaimana polemik dan komentar serta argumentasi yang digunakan para ulama lain tentang keabsahan hakim perempuan. Berdasarkan masalah ini kiranya perlu dipertanyakan bagaimana sesunguhnya keabsahan hakim perempuan ditinjau menurut hukum islam menurut pendapat imam Syafi’i dan Ibnu Jarir At Thabari dan alasan-alasan yang dipergunakan. Secara umum penelitian dimaksudkan untuk mengambarkan secara utuh argumen ulama mengenai boleh tidak perempuan menjadi hakim dipengadilan.

13 Khairuddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang Wanita , ( Yogyakarta , Tazzafa : 2001 ), h. 43. 14 Abed al-Jabiri, Syura’ Tradisi Partikularitas Universalitas. cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 177. 15 Ali Trigiyatno, Pandangan Ibnu Jarir At thabari Tentang kedudukan wanita sebagai hakim dan imam sholat, ( Muwazah, volume 6, nomor 2 , Desember 2014 ), hal. 214 7

Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengetahui dan meneliti lebih dalam serta mengurai komparasi antara keabsahan hakim wanita menurut Imam Syafi’I dan Ibnu jarir At thabari. Kemudian hasil penelitian tersebut akan penulis tuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul “ Keabsahan Hakim Perempuan Perspektif Ulama Fiqh Klasik ( studi komparatif pemikiran Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari)”.

B. Identifikasi Masalah Bedasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana dasar hukum tentang hakim perempuan ? 2. Bagaimana tinjauan umum tentang keabsahan hakim perempuan menurut Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari ? 3. Apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan atas keabsahan hakim perempuan ?

C. Batasan Masalah Penelitian ini membahas tentang studi komparasi atau peninjauan perbedaan pendapat tentang keabsahan wanita menjadi hakim di dalam fiqh klasik menurut Imam Syafi’I dan menurut Ibnu Jarir At thabari. Adapun yang akan membatasi pembahasan dari skripsi ini adalah dari komparasi pendapat ulama itu sendiri, yang hanya diambil menurut Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari tentang keabsahan wanita menjadi hakim.

D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep pendapat tentang keabsahan hakim wanita menurut Imam Syafi’I dan Ibnu Jabir At thabari. 2. Bagaimana komparasi antara analisis pendapat Imam Syafi’I da Ibnu Jarir At thabari tentang keabsahan hakim wanita.

8

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Sesuai dengan rumusan yang sudah sudah penulis paparkan sebelumnya, dapat dipahami bahwa tujuan yang ingin penulis capai adalah sebagai berikut : a. Mencari faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan pendapat antara Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari mengenai keabsahan hakim perempuan. b. Menulusuri dan memahami perbedaan pendapat antara Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari dalam masalah keabsahan hakim wanita. 2. Manfaat Penelitian a. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran serta penulusuran pemahaman tentang kedudukan perempuan menjabat sebagai hakim bagi siapa saja yang berminat dan tertarik dengan kajian fiqih dan mazhab, khususnya mengenai boleh dan tidaknya perempuan menjabat sebagai hakim menurut Imam Syafi’i dan Ibnu Jarir At thabari serta memaparkan istinbath hukum dan metode berfikir di antara keduanya. b. Sebagai upaya membuka wawasan pemikiran umat Islam tentang perbedaan pendapat antara Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari dalam masalah kedudukan hakim perempuan, sekaligus memberikan sumbangan bagi kajian dan analisis perbandingan dalam studi ilmu hukum Islam.

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Review atau kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya yang pernah membahas atau berkaitan dengan keabsahan hakim wanita perspektif Imam syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari, yaitu: 1. Skripsi yang berjudul “Hakim Perempuan perspektif Imam Hanafi dan Imam As-syafi’I” oleh Abdul Rochim (05360031/fakultas syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Dalam skripsi ini penulis membahas tentang 9

hakim wanita itu sendiri menurut Abu Hanifah dan Imam Syafi’I ditelusuri dari dalil-dalil dan metode yang dipaparkan dari kedua perspektif sang ulama tersebut. 2. Jurnal yang berjudul “Pandangan Ibnu Jabir At Thabari tentang Kedudukan Wanita sebagai Hakim dan Imam Shalat” oleh Ali Trigiyatno dosen STAIN Pekalongan. Dalam jurnal ini penulis membatasi permasalahan dan membahas bagaimana pembelaan wanita dan kepedulian wanita oleh Ibnu Jarir At Thabari walaupun pada masa itu sangat bertentangan dengan ulama pada masa itu. 3. Skripsi yang berjudul “Kedudukan Hakim Wanita ditinjau Menurut Hukum Silam (Studi Komparasi Pendapat Madzhab Syafi’I dan Hanafi)” oleh Rachmat Dustur (521100378/ Akhwal Syakhsiyyah/fakultas syariah dan hukum IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa). Dalam skripsi ini penulis membahas tentang bagaimana sesunguhnya hakim perempuan dimahkamah syar’iyyah ditinjau menurut hukum islam menurut pendapat imam Syafi’i dan Hanafi dan alasan-alasan yang dipergunakan. Secara umum penelitian dimaksudkan untuk mengambarkan secara utuh argumen ulama mengenai boleh tidak perempuan menjadi hakim dipengadilan.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian terhadap bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan masalah ini. Dalam hal ini adalah telaah terhadap teks- teks yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut hakim perempuan dan keabsahannya. 2. Sifat penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis-komparatif yaitu, berusaha menjelaskan dan menggambarkan permasalahan-permasalahan yang difahami serta hal-hal lain yang juga berkaitan dengan masalah penelitian ini. Dalam skripsi ini penyusun mendeskripsikan dengan jelas 10

pemikiran dan pendapat Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari berserta alasan dan argumentasi yang mereka pakai berkenaan dengan masalah keabsahan perempuan menjabat sebagai hakim. 3. Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-historis, serta berupaya merekontruksi istidlal atau istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan data dan mengevaluasi serta mensintesiskan dalil-dalil yang dipakai olehImam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari, guna untuk mendapatkan kesimpulan akhir dalam wacana konteks keindonesiaan. 4. Sumber Penelitian a. Sumber primer, atau sumber data tertulis mengenai hal-hal yang membahas tentang hakim perempuan itu sendiri dan hakim perempuan menurut pandangan Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari, Berupa buku-buku yang akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan keabsahan hakim wanita menurut Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari. b. Sumber sekunder, sebagai data pendukung, penulis akan mengambil data dari kitab-kitab fiqh, qawaid fiqhiyyah, serta tulisan-tulisan berupa jurnal, artikel yang relevan dengan masalah yang dibahas. 5. Teknik pengumpulan data Penulis akan memulai dengan mengumpulkan data-data yang relevan dengan bahasan penelitian untuk dipilih data yang tepat dijadikan sebagai focus dan sebagai sampingan dalam melakukan penelitian. Data bisa saja bersumber dari buku, artikel, jurnal, atau karya ilmiah lainnya. Tidak menutup kemungkinan juga bisa digunakan sebagai tambahan wawasan penulis dalam memahami bahasan penelitian. 6. Teknik analisis data Dalam hal teknis analisis data, penulis akan mencoba untuk menganalisa setiap sumber data yang berkaitan untuk kemudian diambil 11

kesimpulan hukum. Kemudian kesimpulan tersebut dikomparasikan dengan menghadirkan persamaan dan perbedaan masing-masing untuk menemukan titik temu diantara keduanya.

H. Kerangka Teoritik Dalam penelitian ini, penyusun mencoba untuk menganalisis ulang terhadap dalil-dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari dalam menetapkan istinbath hukum untuk menemukan permasalahan inti dimana letak persamaan dan perbedaan pendapat kedua tokoh dalam masalah kedudukan perempuan menjabat sebagai hakim. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mencermati kembali kekuatan dalil-dalil yang dipakai untuk beristinbath hukum yang mereka gunakan dalam memberikan sumbangan pemikiran dan menetapkan hukum tentang masalah perempuan menjadi hakim. Disadari bahwa adanya perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para ulama mazhab telah memunculkan heterogenitas (keanekaragaman) hukum Islam yang terjadi di masyarakat. Hal ini tidak lepas dari prinsip dan orientasi mereka dalam beristinbath hukum didasari oleh faktor terhadap kemaslahatan serta kebutuhan masyarakat dimana mereka tinggal. Oleh karena itu penafsiran dan pemahaman mereka terhadap nash al-Qur’an dan Hadis banyak dipengaruhi oleh sosio-historis pada saat mereka hidup, sehingga pemahaman dan pendapat di antara mereka memungkinkan adanya suatu perbedaan dalam istinbath hukum. Meskipun perbedaan dalam istinbath hukum itu dilakukan demi kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas, namun hal ini boleh dilakukan terbatas pada suatu hal yang lingkup permasalahanya memerlukan untuk diijtihadi dikarenakan terjadinya suatu masalah yang hukumnya belum ditentukan secara langsung dalam nash al- Qur’an dan Hadis.

12

I. Rancangan Sistematika Penelitian Untuk menggambarkan secara garis besar mengenai kerangka pembahasan dalam penyusunan skripsi ini, maka perlu dikemukakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi tentang hal-hal yang mengatur bentuk dan isi skripsi, pertama; meliputi latar belakang masalah yang diteliti, kedua; batasan dan rumusan masalah, hal ini merupakan penegasan yang terkandung dalam latar belakang masalah, ketiga; tujuan dan kegunaan penelitian, tujuan merupakan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, keempat; studi review, yang berisi penelusuran terhadap literatur yang berkait dengan obyek penelitian, kelima; metodeologi penelitian, yang berisi cara yang digunakan dalam penelitian, keenam; kerangka teoritik, yang berisi acuan yang akan digunakan dalam pembahasan dan penyelesaian masalah, ketujuh; sistematika penulisan, yang berisi tentang struktur dan urutan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Bab kedua adalah gambaran umum tentang konsep hukum tentang hakim perempuan dengan menjelaskan pengertian di antara keduanya, dasar hukum menjadi hakim, sifat dan syarat-syarat menjadi hakim perempuan, karena hal tersebut dipandang penting dan sebagai pendukung dalam penyusunan skripsi ini, dalam mengemukakan perbedaan dan persamaan pendapat dan pemahaman tentang konsep hukum tentang hakim perempuan. Bab ketiga, profil tokoh.Tinjauan umum terhadap pemikiran Imam Syafi’I dan ibnu Jarir At thabari sendiri, serta bagaimana metode dan cara istinbath hukumnya tentang permasalahan keabsahan hukum perempuan menjabat sebagai hakim. Hal ini untuk memudahkan penyusun dalam proses analisis. Bab keempat, adalah bab analisis, yang merupakan jawaban dari pokok masalah yaitu menjelaskan perbedaan pendapat antara pemikiran imam Syafi’I dan Ibnu Jarir At thabari tentang keabsahan hukum perempuan menjabat sebagai hakim dan pengaplikasian di antara kedua pendapat tersebut dalam wacana konteks keindonesiaan. 13

Bab kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang diharapkan untuk memperlihatkan letak signifikasi di antara penelitian- penelitian lain serta dilengkapi dengan daftar pustaka. BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG HAKIM WANITA

A. Syarat dan Ketentuan Hakim Wanita Hakim merupakan salah satu profesi yang sangat urgen, karena harus menyelesaikan gugatan sengketa dan konflik yang terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia sesuai dengan hukum yang berlaku di suatu negara, sehingga syarat-syarat kekuasaan kehakiman Islam dan kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia ada sedikit signifikasi perbedaan, yaitu masalah keabsahan perempuan menjadi hakim. Kaum perempuan pada masa sebelum Islam (Jahiliyah) mendapat kedudukan yang rendah, hina, dan memalukan, oleh agama Islam diangkat derajatnya menjadi lebih baik, terhormat, dan berharga. Agama Islam datang dengan membawa pembaharuan bagi kedudukan kaum perempuan.1 Hakim berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu hakimun yang diambil dari akar kata hakama-yahkumu-hakaman yang artinya memimpin, memerintah, menetapkan, memutuskan. Al-hakimu bisa diartikan sebagai hakim pengadilan, bisa juga diartikan orang yang arif, orang yang bijaksana.Ada juga yang diartikan sebagai orang yang teliti, orang yang tepat, orang yang sempurna.2 Indonesia sebagai Negara penganut prinsip yang memperbolehkan wanita dilantik menjadi seorang kadi yang diperkerjakan pada pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah Nanggroe Aceh Darussalam. Bahkan ada di beberapa tempat, wanita juga menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah. Kebolehan mengangkat wanita dalam jabatan kadi yang diperkirakan di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah NAD itu hasil musyawarah ulama senior yang dipimpin oleh Hasbi Ash

1 Abdul Rochim,Hakim Perempuan; Perspektif Imam Abu Hanifah dan Imam As- Syafi’I,h.2 2 Munawwir, Ahmad Warson,Al-Munawwir.h-286-287

14 15

Shiddieqy pada tahun tujuhpuluhan. Mungkin para ulama terbatas waktu itu mendasarkan kepada mazhab Abu Hanifah dalam mengambil keputusan tentang dibolehkannya mengangkat wanita sebagai kadi. Sebagai pejabat Negara yang bersifat fungsional, maka hakim dituntut memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam pasal 32 UU No. 4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum.Pasal ini menegaskan bahwa seorang hakim itu haruslah benar-benar orang yang tepat dan mampu menduduki jabatan hakim.Karena sebagaimana diketahui bahwa jabatan hakim itu merupakan jabatan yang berat dan terdapat tanggung jawab yang besar bagi yang mendudukinya. Ada dua tipe hakim dalam perkembangan teori hukum. Ada hakim sebagai pencipta hukum (judge made law) dan ada hakim sebagai penemu hukum (recht vinding).Dalam sistim hukum common law atau anglo sexion, hakim memiliki kewenangan menciptakan hukum.3Sedang dalam sistem statue law atau continental hakim menemukan hukum berdasarkan undang-undang.Menurut aliran ini yang berwenang menciptakan hukum adalah legislatif.Hakim menduduki fungsi peradilan hanya mengadili menurut Kitab Hukum Perundang-undangan.Hakim dalam sistem ini bersifat statis. Hakim dipandang sebagai corong perundang-undangan saja.4 Syarat Hakim dibahas dari dua sisi, yaitu : 1. Menurut Hukum Islam Peradilan adalah urusan publik yang sangat penting dan kebutuhan manusia akan sebuah peradilan dinilai besar sekali. Bahkan menurut Ali Haidar tidak boleh menyerahkan urusan mengadili ini pada semua orang, tapi serahkan kepada yang memenuhi syarat dan sifat-sifat yang telah

3 Kamil, Ahmad dan Fauzan, M., Kaidah-Kaidah Hukum Yurispudensi, H.26 4 Kamil, Ahmad dan Fauzan, M., Kaidah-Kaidah Hukum Yurispudensi, H.28 16

ditentukan.5 Sifat seorang hakim adalah bertakwa kepada Allah, wara’, adil, dan cerdas. Telah disepakati oleh para ulama fikih tentang syarat-syarat menjadi hakim. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah syarat. Diantara mereka ada yang menetapkan 15 syarat, 7 syarat, dan ada pula yang menetapkan 3 syarat. Al-Khatib mengemukakan 15 syarat, sedangkan Al-Mawardi dan Ibnu Qudamah mengemukakan 7 syarat. Walaupun berbeda pendapat, tetapi mereka semua mengisyaratkan apa yang diisyaratkan oleh yang lain. Hanya cara menghitungnya saja ada yang terlalu terperincikan dan ada yang tidak.6 Diantara syarat-syarat itu adalah laki-laki yang merdeka, berakal, adil, mengetahui pokok-pokok hukum dan cabang-cabangnya.7 Sempurna pendengarannya. 2. Menurut UU No. 3 Tahun 2006 Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia identik dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.8 Berkenaan dengan hal itu muncul idealisasi serta preskripsi- preskripsi tentang hakim. Di kalangan ahli fikih terdapat beraneka ragam pandangan tentang persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim, termasuk diantaranya tentang kemampuan berijtihad. Hal lain yang menjadi bahan pembicaraan di kalangan mereka adalah jenis kelamin. Laki-laki merupakan syarat yang disepakati untuk dapat diangkat menjadi hakim. Sedangkan tentang perempuan terdapat beragam pandangan.

5 Haidar, Durar Al-Hukkam, h.525 6 Al-Siddiqy, Peradilan Islam, h 42-47 7 Al-Farra’, Abi Ya’la, Al-Ahkam Al-Sultaniyyah, h.61 8 Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1996. h.181 17

Pasal yang mengatur tentang persyaratan cakim agama ini ialah pasal 13 UU N0. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama. Diantara syarat-syarat itu ialah : a) Warga Negara Indonesia; b) Beragama Islam; c) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d) Setia kepada Pancasila dan UUD 1945; e) Sarjana syariah atau hukum yang menguasai hukum islam; f) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; g) Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia. Di Indonesia, Posisi hakim agama sudah terbuka bagi laki-laki maupun wanita. Ada persamaan hak dan kedudukan antara pria dan wanita.Ini merupakan sebuah bentuk pembaharuan hukum islam di Indonesia. Sementara di negara lain yang mayoritas masyarakatnya Islam seperti Malaysia misalnya belum berani menerapkan hakim agama dari kalangan wanita. Hakim agama di sana masih dipegang kaum laki-laki. Sehingga terlihat masih ada diskriminasi kategoris berdasar jenis kelamin untuk jabatan hakim. Mayoritas ulama fikih pandangannya juga kebanyakan masih diskriminatif yaitu jabatan hakim hanya bagi laki-laki.9

B. Pandangan Madzhab Tentang Hakim Wanita Perempuan menjadi entitas yang selalu mendapatkan diskriminasi. Wilayah publik menjadi hal yang terlarang bagi perempuan, terlebih jabatan di bidang politik. Akibatnya, budaya yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan itu dianggap sebagai sebuah hal yang lumrah. Bentuk penyimpangan terhadap perempuan itu merupakan penyimpangan dari prinsip-prinsip dan spirit islam yang justru memberikan penghargaan tinggi

9 Harahap, M Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h 117-118 18

terhadap perempuan. Perjuangan perempuan dalam menegakkan kesetaraan ranah publik membutuhkan perjuangan secara kultural maupun struktural. Kuatnya budaya patriarkat dalam masyarakat, terutama Islam, menimbulkan tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Hal terkecuali di Indonesia, peradilan agama sendiri merupakan perwujudan perjuangan umat Islam dalam memegang teguh keyakinannya, sehingga diperlukan lembaga peradilan sendiri untuk menyelesaikan kasus-kasus mu’amalah. Sebab itu, boleh tidaknya perempuan menjadi hakim di peradilan agama tidak terlepas dari keyakinan umat Islam Indonesia. Diskursus mengenai kiprah perempuan sebagai hakim di Pengadilan Agama, acap kali memuai kontroversi di berbagai Negara muslim, seperti di Sudan, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia. Perempuan dinilai tidak pantas untuk terjun di wilayah publik, terutama dalam jabatan pemerintahan. 10 Perdebatan di kalangan ulama fikih tentang kedudukan hakim perempuan yang mengacu pada surat An-nisa ayat 34, ayat itu kerap dijadikan dasar perempuan tidak diperkenankan berperan dalam wilayah publik, selain juga adanya hadis nabi yang melarang perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki. Dalam sejarah Islam, sejumlah sahabat perempuan dikenal pernah memerankan fungsi sebagai rujukan dalam hukum, layaknya seorang hakim. Diantaranya ialah Aisyah RA, Ummu Salamah, Shafiyah, dan juga Ummu Habibah. Menurut mayoritas ulama madzhab -Syafi’I, Hanbali, dan Maliki- seorang perempuan dinyatakan tidak boleh memegang jabatan sebagai hakim. Ketentuan ini berlaku di semua jenis kasus. Baik yang berkenaan dengan sengketa harta, qishas ataupun hadd, atau kasus-kasus lainnya. Bila mereka tetap diberikan kepercayaan sebagai hakim, maka pihak pemberi wewenang kepada bersangkutan dihukumi berdosa. Ketetapan yang dihasilkan oleh hakim perempuan itu pun dianggap batal walaupun mengandung unsur kebenaran. Sedangkan, dalam pandangan mazhab Hanafi, hukumnya tak jauh beda dengan pendapat mayoritas. Hanya saja, para ulama bermazhab Hanafi

10 Djazimas Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan : Pada peradilan Islam di Negara-Negara Muslim, Yogyakarta, LKiS, 2011, h.14 19

sedikit memberikan keleluasaan. Selama dianggap memenuhi syarat tertentu, maka mereka diperbolehkan berposisi sebagai seorang hakim. Hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Syu’bah Asa, di bidang peradilan pun, tercapai ijmak bahwa hanya pria yang berhak menjadi hakim. Tapi variasi pendapat bukan tak diberikan. Golongan Hanafi mengakui absahnya hakim perempuan dalam peradilan diluar kasus hadd (masalah perzinaan, tuduhan zina, pencurian, perampokan). Sementara Ibnu Jarir membolehkan perempuan menjadi hakim untuk kasus apapun.11 Diantara masalah yang kerap kali menjadi bahan perbincangan seputar kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam masalah kepemimpinan adalah karena adanya penegasan Allah dalam firman-Nya : ِ ِ َّ ٍ ِ ِ ِِ ۚ ِّلرَج ُال قَ َّوُام َون َعلَى النِّ َساء ِبَا فَ َّض َل اللهُ ب َْع َضُه ْم َعلَ ٰى ب َْعض َوِبَا أَنْ َفُقوا م ْن أَْمَواِل ْم “Kaum Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka menafkahkan sebagian dari kekayaan mereka”

Pandangan yang menyatakan bahwa penolakan kepemimpinan wanita sebagai upaya mendeskreditkan perempuan telah berangkat dari perspektif gender .Yakni satu pandangan yang didasari oleh ide persamaan hak antara pria dan wanita dalam segala bidang termasuk politik terutama tentang kepresidenan wanita. Pengkajian yang mendalam terhadap khazanah islam yang ditemukan bahwa para ulama’ mujtahid madzhab empat telah bersepakat mengangkat kepala Negara seorang wanita adalah haram. 1. Pendapat Imam Syafi’i Menurut jumhur ulama dikalangan madzhab Syafi’I, Maliki dan hambali, laki-laki merupakan syarat untuk diangkat sebagai qadhi12. Anak

11 Arief Subhan, Syafiq Hasyim, dkk, Cuma Perempuan Dalam Islam : Pandangan Ormas Keagamaan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003, h.48 12 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, UIN-MALANG PRESS, Malang, 2008, h.11 20

kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim13. Tidak sah wanita diangkat menjadi kadi, apabila ada pihak yang mengangkat wanita sebagai kadi, maka putusan yang dijatuhkan itu tidak sah. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat An-nisa ayat 34 yang mengatakan bahwa : ِ ِ َّ ٍ ِ ِ ِِ ۚ ِّالرَج ُال قَ َّوُام َون عَلَى النِّ َساء ِبَا فَ َّض َل اللهُ ب َْع َضُه ْم َعلَ ٰى ب َْعض َوِبَا أَنْ َفُقوا م ْن أَْمَواِل ْم “kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” 14

Menurut interprestasi ulama kelompok ini, kata-kata “melebihkan” yang dimaksud di ayat tersebut adalah berkaitan dengan penggunaan daya talar dan fikir, yang dalam banyak hal terutama dalam kontek proses peradilan perempuan tidak dapat melakukan hal yang sama dengan pria. Lebih jauh Hamid Muhammad Abu Thalib mengemukakan bahwa kehadiran perempuan dalam sebuah proses peradilan apalagi sebagai hakim dapat menimbulkan fitnah, terutama bertentangan dengan kelaziman yang berlaku dalam masyarakat, oleh karenanya kesaksian merekapun tidak selayaknya diakui secara hukum. Kehadiran perempuan dalam proses peradilan dinilai tidak lazim dan akan memeprlemah suatu proses peradilan karena keterbatasan mental dan daya talar perempuan baik sebagai saksi maupun sebagi terdakwa. Pendapat lain didasarkan pada sebuah hadist dari Abi Barkah dimana Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa suatu bangsa tidak akan jaya apabila pemerintahan dipegang oleh kaum wanita. Rasulullah SAW menyampaikan hal ini ketika mendengar Raja Persia mati dan rakyat Persia melantik anak perempuannya menjadi ratu.

13 Syeikh Abdurrauf As Singkili, Corak Pemikiran Hukum Islam : Studi Terhadap Kitab Mir’atu al-Thullab Tentang Hakim Perempuan, Banda Aceh, Yayasan Pena, 2008, h-54 14 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelanggaraan Pengadilan : Suatu Kajian dalm sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana, 2007, h-54 21

Dalam riwayat dijelaskan bahwa kematian raja Kisra ( Raja Persia) pada saat itu Nabi sempat mengemukakan pertanyaan di kalangan sahabat “ menurut anda siapakah yang layak akan menggantikan raja Kisra ?” para sahabat serta merta menjawab “ tentu saja putrinya yang bernama Nora, sebagai pengganti raja” Kemudian Nabi segera menghitung jawaban seahabat itu dengan mengemukakan “tidak akan mengalami kesuksesan suatu kaum apabila pemimpin diserahkan pada perempuan” (Al-Hadist). Namun yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Na’I dan Tirmidzi dari Abi Barkah yang berbunyi “tidak diberi keuntungan suatu umat jika mereka meyerahkan urusan mereka untuk dipimpin oleh perempuan”.15 Pendapat ini juga didasarkan pada sebuah hadist dari Abi Barkah dimana Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa suatu bangsa tidak akan jaya apabila pemerintahan dipegang oleh kaum wanita. Raulullah SAW menyampaikan hal ini ketika mendengar Raja Persia telah mati dan rakyat Persia melantik anak perempuannya menjadi Ratu. Imam Syafi’I menjadikan ayat diatas sebagai dalil tidak bolehnya perempuan menduduki jabatan hakim, akan tetapi dia tidak mengemukakan cara istidlal dengan terperinci bagaiaman caranya mengeluarkan hukum dari ayat tersebut. Imam Syafi’I, dalam bukunya Al- Umm mengatakan bahwa perempuan mempunyai kekurangan jika dibandingkan dengan pria.. Oleh karena itu pria dijadikan sebagai pemimpin, hakim, berjihad, memperoleh harta dua bahagian dibanding perempuan dan sebagainya. Oleh karena Imam Syafi’I tidak mengemukakan secara istidlal, maka Imam Al-Qurtubi ulama yang sependapat dengan Imam Syafi’I menjadikan An-Nisa ayat 34 sebagai dalil bahwa perempuan tidak boleh menjadi hakim. Hal ini yang dipahami dengan kata “qawwam” atau pemimpin. Kata ini mempunyai tiga arti, yaitu : (1) hukkam atau hakim,

15 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan : Suatu Kajian dalam sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana, 2007, h.24 22

(2) Umara atau penguasa, (3) Man Yazku atau orang yang berperang. Demikian penafsiran kata qawwam menurut Imam Al-Qurtubi. 2. Pendapat Imam Hanafi Imam abu Hanifah menjelaskan bahwa wanita boleh diangkat sebagai kadi untuk memutuskan perkara yang menerima persaksian wanita, dan tidak boleh memangku jabatan kadi dalam masalah yang menerima persaksiannya. Jika ada penguasa yang mengangkat wanita sebagai hakim, maka pengangkatannya itu sah tetapi orang yang mengangkatnya memangku dosa. Demikian juga dengan putusan yang dijatuhkan oleh kadi wanita itu tetap dianggap dianggap sah, kecuali kasus-kasus hudud dan qisas. Hujah golongan yang meyetujui pendapat madzhab Abu Hanifah ini didasarkan kepada qiyas, bahwa wanita boleh menjadi saksi dalam berbagai masalah, maka wanita juga bisa menjabat sebagai kadi dalam berbagai perkara-perkara yang diharuskan wanita bisa menjadi saksi.16 Imam Hanfi menghubungkan pendapatnya itu dengan hukum kesaksian. Menurut beliau setiap orang yang dapat diterima kesaksiannya dalam kasusu tertentu, maka untuk menjadi hakim pun tidak dibolehkan. Disini terliat jelas suatu hubungan hukum yang erat anatar kebolehan menjadi hakim dengan kebolehan menjadi saksi.17 Adanya upaya Imam Hanafi untuk mempersamakan ketentuan hukum yang berlaku bagi hakim dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi saksi dipandang mempunyai aspek persamaan yang dominan. Kedua hal ini sama-sama berperan dalam mewujudkan nilai suatu keputusan hukum, namun masih sulit sekali untuk menentukan mana yang lebih dominan diantara keduanya. Sebagai contoh, penentuan syarat yang ketat bagi saksi dimaksudkan agar keterangan yang diberikan benar-benar

16 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan : Suatu Kajian dalam sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana, 2007, h.24 17 Syeikh Abdurrauf As Singkili, Corak Pemikiran Hukum Islam : Studi Terhadap Kitab Mir’at al-Thullab Tentang Hakim Perempuan, Banda Aceh : Yayasan Pena, 2008, h.61 23

sesuai dengan fakta, akan tetapi hal itu akan menjadi sia-sia bila hakim yang memutuskan perkara tersebut adalah zhalim. Hal ini sama sia-sia nya jika hakim yang adil memutuskan hukum bedasarkan keterangan yang diberikan oleh saksi yang menyembunyikan kebenaran (saksi palsu). Dengan demikian kedua hal tersebut sama-sama penting guna mewujudkan suatu keputusan hukum yang adil. Untuk lebih jelasnya hubungan diatas, maka perlu dijelaskan ketentuan hukum kesaksian menurut Imam Hanafi. Hal ini dilihat dari dua aspek : Pertama, kesaksian dua orang perempuan bersama dengan seorang pria. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT. Q.S Al-Baqarah 282 ِ ِ ِ ِ ِ ۚ ِ ِ ِ ِ ِ َو ْاستَ ْشهُدوا َشه َيديْ ِن م ْن رَجال ُك ْم فَإ ْ ن َ ل ْ يَ ُكونَا َ رُجلَْي فَ َرُج ل َ وْامَرأَتَان ِمَّ ْن تَ ْر َضْو َن م َن م ِ ِ ِ ِ ُّ الشَهَداء أَْن تَض َّل إ ْحَد ُاُهَا فَ تَُذِّكَر إ ْحَد ُاُهاَ ْاْلُ ْخَر ٰى artinya “ dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantara kamu), jika taka da dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”

Kedua, kesaksian perempuan secara mandiri, Imam Hanafi dengan tegas mengatakan kesaksian perempuan secara mandiri tidak dapat diterima. Hal ini didasarkan pada ketentuan Q.S Al-Baqarah ayat 282. Didalam ayat tersebut ditegaskan bahwa saksi haruslah terdiri dari dua orang laki-laki, atau kalau tidak terpenuhi maka boleh kesaksian seorang pria ditambah dengan dua orang perempuan. Selanjutnya dalam ayat tersebut dikemukakan pula agar para saksi dapat mengingatkan satu sama lainnya jika salah satunya lupa. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Imam Hanafi pada prinsipnya tidak membolehkan perempuan untuk menjadi saksi secra mandiri. Namun ia juga memberikan pengecualian terhadap kasus-kasus yang dipandang “khususiah” bagi kaum perempuan. Untuk kasus ini ia menerima kesaksian perempuan secara mandiri, karena 24

kaalu tidak akan menyulitkan dalam pembuktian. Hal ini disebabkan karena pria tidak dapat menyaksikan kasus tersebut.18 3. Pendapat Ibn Jabir at-Thabari Abu said al-Hasan Yasar al-Basri, Ibn Jarir at-Tabari, dan Madzhab az- berependapat bahwa wanita boleh menjadi hakim secara mutlak, yakni dalam semua perkara. Ibn Jarir at-Tabari berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi hakim secara umum sama seperti kesempatan yang diperoleh kaum pria. Logika yang ditempuh Ibn Jarir at-Tabari dengan memberi ketentuan bahwa setiap otang yang boleh memberi fatwa, maka orang tersebut boleh pula memutuskan perkara (diangkat menjadi hakim), Disini jelas ada kaitan yang erat seorang hakim dan seorang mufti. Sebelum menganalisis lebih jauh pendapat Ibn Jarir at-Tabari tentang hakim perempuan, perlu dijelaskan mengenai fatwa itu sendiri. Hal ini dapat ditemukan dari ucapannya tentang kebolehan perempuan berfatwa. Ibn Jarir at-Tabari dengan tegas mengatakan bahwa perempuan boleh berfatwa secara umum terhadap seluruh masalah fiqh dan cabang- cabangnya tanpa ada pengecualian. Kebolehannya sama dengan yang dimiliki oleh kaum pria. Inilah yang dapat dilacak dari pendapatnya yang tegas mengenai fatwa. Bedasarkan landasan inilah ia menganalogikan kebolehan perempuan menjadi hakim sama dengan kebolehan yang diproleh kaum pria. Ketentuan ini diperoleh karena dua-duanya (pria dan perempuan) boleh memberikan fatwa secara umum, tanpa ada perbedaan satu sama lain. Beranjak dari logika yang terdahulu yang dikemukakan oleh Ibn Jabir at-Tabari, yaitu menganalogikan tugas kehakiman terhadap adanya persyaratan yang dibutuhkan seorang mufti, maka sampailah ia pada kesimpulan bahwa perempuan itu boleh menjadi hakim. Kenyataan seperti

18 Syeikh Abdurrauf As Singkili, Corak pemikiran Hukum Islam : Studi Terhadap Kitab Mir’at at-Thullab Tentang Hakim Perempuan, Banda Aceh : Yayasan Pena, 2008, h.66 25

ini berawal dari menganalogikan tugas kehakiman kepada kesempatan menjadi mufti, yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa perempuan boleh menjadi hakim. Selanjutnya, mengenai dalil yang diajukan oleh kedua ulama terdahulu baik Imam Syafi’I maupun Imam Hanafi seperti Q.S an-Nisa ayat 34, Q.S al-Baqarah ayat 282 dan hadist Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Nasa’I, dan Tarmidzi dan Abi Barkah, semuanya ditolak oleh Ibn Jarir at-Tabari. Karena Mnururt dia tidak ada yang secara tegas mengatur tugas kehakiman.

BAB III PROFIL IMAM SYAFI DAN IMAM IBN JABIR AT-THABARI

A. Profil Imam As-Syafi’i 1. Latar Belakang Namanya Muhammad bin idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i bin Ubaid binn Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muthalib ( ayah Abdul Muthalib kakek Rasulullah SAW) bin Abdi Manaf. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah SAW pada Abdi Manaf. Beliau bergelar Nashirul Hadist (pembela hadist), karena kegigihannya dalam membela hadist dan komitmennya untuk mengikuti sunnah Nabi SAW. Imam Al- Baihaqi menyebutkan Imam Syafi'i dilahirkan di kota Gazza, kemudian dibawa ke Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah. Ayahnya bernama Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi‟I ibn al-Saib ibn Abdi Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah ibn al-Hasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi‟I bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.1 Mereka bersama dengan Rasulullah juga sesama orang Quraisy mengasingkan Rasulullah mereka bersama turut menanggung penderitaan bersama-sama Rasulullah. Keluarga Imam Syafi‟I adalah dari keluarga Palestina yang miskin yang dihalau di negrinya, mereka hidup dalam perkampungan yang nyaman. Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadist dari ulama-ulama hadist yang banyak terdapat di Makkah. Beliau terpaksa mengumpulkan batu-batu yang baik, belulang, pelepah tamar dan tulang

1 Ustd. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin,L.c, M.Ag, Maktabah Abu Salma Al-Atsari : Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’I, Jakarta, April, 2007, h.1

26 27

unta untuk ditulis diatasnya. Kadangkala beliau pergi ke tempat-tempat perkumpulan orang banyak meminta kertas untuk menulis pelajarannya.2 Ibnu Hajjar menambahkan Imam Syafi'i dilahirkn disebuah tempat bernama Gazza di kota Asqalan. Ketika berusia dua tahun ibunya membawanya ke Hijaz dan hidup bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Diusia 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia akan lenyap.3 2. Riwayat Hidup Imam Syafi‟I adalah seorang ulama yang sangat masyhur, setiap orang yang memeprhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan dan mengagungkannya. Ia ulama mujathaid (ahli ijtihad) dibidang fiqh dan salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam islam. Ia hidup di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, al-Amin dan Al- Ma‟mun dari dinasti Abbasiyah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan nama Imam Syafi‟I dan madzhabnya disebut Madzhab Syafi‟i. Kata Syafi‟I dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi‟I ibn al-Saib. Imam Syafi‟I dengan tenang menghembuskan nafasnya yang terakhir sesidah shalat Isya‟, malam Jum‟at bulan Rajab tahun 204 H/ 819 M dengan disaksikan muridnya Rabi al-Jizi.4 3. Riwayat Pendidikan Dalam usia 7 tahun Imam Syafi'i selesai menghafal Al-Qur'an dan usia 10 tahun beliau hafal Al-Muwatha karya Imam malik, usia 15 tahun dengan izin gurunya yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji untuk

2 Ustd. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin,L.c, M.Ag, Maktabah Abu Salma Al-Atsari : Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’I, Jakarta, April, 2007, h.2 3 Ustd. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin,L.c, M.Ag, Maktabah Abu Salma Al-Atsari : Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’I, Jakarta, April, 2007, h.2 4 Ustd. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin,L.c, M.Ag, Maktabah Abu Salma Al-Atsari : Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’I, Jakarta, April, 2007, h.3 28

berfatwa. Beliau juga banyak menghafal syair-syair Hudzail. Setelah itu beliau belajar dari Sufyan bin 'Uyainah. Dari hasil menggadaikan rumahnya seharga 16 dinar, Imam Syafi'i pergi ke Yaman. Karena ketidakmampuannya beliau bekerja di Yaman sambil belajar dari para ulama-ulama disanadiantaranya Ibnu Abi Yahya dan lainnya.5 Ketika itu, disaat pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid terjadi fitnah 'Alawiyyin yang mengakibatkan seluruh 'Alawiyyin terusir dari Yaman termasuk Imam Syafi'i. Beliau bersama rombongan 'alawiyyyin dibawa ke Irak dengan diikat dan sambil disiksa. Keluar dari penjara Irak beliau belajar dari para ulama-ulama disana seperti Imam Muhammad bin Al-Hasan. Ketika pemerintahan Al-Makmun yang dikuasai oleh para ulama ahli kalam dan merebak banyak bid'ah, beliau pergi ke Mesir dan beliau membuka halaqah di masjid Amr bin Al-'ash. Imam Syafi'i mengambil ilmu dari para ulama di berbagai tempat misalnya Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Yaman, Syam, dan Mesir. Imam Al-Baihaqi menyebutkan beberapa orang guru Imam Asy-Syafi'i di antara nya ; a. Di Makkah : Imam Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah, Ismail bin Abdullah Al-Muqri, Muslim bin Khalid Az-Zanji. b. Di Madinah : Imam Malik bin Anas, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawirdi, Ibrahim bin Sa'ad bin Abdurrahman, Muhammad bin Ismail Abu Fudaik. c. Di tempat-tempat yang lain : Hisyam bin Yusuf Al-Shan'ani, Waki' bin Jarrah, Muhammad bin Hasan Al-Syaibani. 6 Adapun murid-murid beliau yang terkenal adalah, Rabi'bin Sulaiman bin Abdul Jabbar tokoh fikih dan hadist (menjadi syaikh

5 Ustd. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin,L.c, M.Ag, Maktabah Abu Salma Al-Atsari : Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’I, Jakarta, April, 2007, h.3 6 Ustd. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin,L.c, M.Ag, Maktabah Abu Salma Al-Atsari : Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’I, Jakarta, April, 2007, h.3-4 29

muazzin di masjid Fusthath), Abu Ibrahim Ismail bin Yahya bin Ismail bin Amr bin Muslim Al-Muzani Al-Mishri, Abu Yaqub Yusuf bin Yahya Al- Mishri Al-Buwaithi. Beliau juga bertemu dengan Imam Ahmad bin Hambal dan saling mengambil ilmu diantara keduanya. Ilmu fiqh yang dibawa oleh Imam Syafi‟I adalah merupakan suatu zaman perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan Islam. Oleh karena itu, beliau mengumpulkan atau menyatukan ilmu fiqh ahli-ahli akal dan pikir dengan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan hadist. Ilmu fiqih Imam Syafi‟I merupakan ikatan sunnah dengan qiyas dan pemikiran dengan beberapa cara-cara atau peraturan untuk memahami al-Qur‟an dan hadist. Juga beliau menerapkan kaidah-kaidah pengeluaran hukum dan kesimpulannya, oleh karena itulah beliau berhak dianggap sebagai penulis ilmu Ushul Fiqh. Imam Syafi‟I mulai menyusun madzhab fiqihnya setelah beliau mempelajari ilmu fiqih di Madinah dan fiqh orang-orang Irak. Madzhab Syafi‟I mulai berkembang di Mesir, yang terkenal dengan qaul jadidnya, yang diajarkan beliau di Masjid „Amr ibn Ash. Perkembangan ini semakin bertambah sejak banyaknya para ulama dan para cendekiawan yang mengikuti pelajarannya. Seperti Muhammad Ibn Abdullah ibn Abdul Hakim, Ismail ibn Yahya al-Buwaithy, ar-Rabi, al-Jizi, Asyhab Ibnu Qasim dan Ibn Mawaz. Oleh karena itu, terdesaklah madzhab yang telah dianut sebelumnya, yaitu madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki. Walaupun pada tahun 197 H beliau telah mengajarkan qaul qadimnya di Baghdad, namun perkembangan madzhab Syafi;I barulah setelah beliau meninggal dunia yang dikembangkan oleh Hasan ibn Muhammad al-Za‟rafani (wafat 260 H).7

7 Ustd. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin,L.c, M.Ag, Maktabah Abu Salma Al-Atsari : Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’I, Jakarta, April, 2007, h.4 30

4. Karya-Karya Imam Syafi‟i Sebagaimana imam malik dimana pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh tingkat kehidupan sosial masyarakat dimana beliau tinggal, maka demikian pula Imam Syafi‟I, ketika beliau berada di Hijaz, sunnah dan hadizt dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana hingga relatif tidak banyak timbul problem kemasyarakatan dan cara pengambilan yang langsung dari teks al-Qur‟an serta sunnah telah memadahi untuk meyelesaikannya, maka wajar sekali jika Imam Syafi‟I lalu cenderung kepada aliran ahli hadizt, karena memang beliau belajar dari Imam tersebut. Akan tetapi setelah beliau mengembara di Baghdad (Irak) dan menetap untuk beberapa tahun lamanya serta mempelajari Fiqh Abu Hanifah dan madzhab ahli ra‟yu, maka mulailah beliau cndong kepada aliran rasional ini. Apalagi beliau saksikan sendiri bahwa tingginya tingkat kebudayaan di Irak sebagai daerah keruwetannya yang para ahli Fiqh seringkali tidak menemukan ketegasan jawabannya dalam al-Qur‟an maupun as-Sunnah. Keadaan ini lalu mendorong mereka untuk melakukan ijtihad dan menggunakan rasio. Dengan perpaduan pemikiran beliau akibat pengaruh dari corak pendidikan dan pengalamannya dari berbagai negara, disinilah Imam Syafi‟I mengkompromikannya, mengkombinasikan serta mendiskusikan Fiqh negara Hijaz yang menjadikan as-Sunnah sebagai dasar hukum kedua.8 Di lain pihak, Imam Syafi‟I sepakat dengan Madzhab Hanafi (ahli ra‟yu) dalam kecenderungan memakai ijtihad atau rasio, namun Imam Syafi‟I memberikan suatu batasan bahan dasar Ijtihad atau ra‟yu tersebut berbentuk qiyas (analogi), dan dalam pemakaian qiyas ini Imam Syafi‟I memberikan ketentuan-ketentuannya. Beliau juga sependapat dengan golongan Maliki dalam mengambil Ijma‟ sebagai sumber hukum sesudah al-Qur‟an dan as-Sunnah, tetapi beliau memberikan persyaratan-

8 Ustd. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin,L.c, M.Ag, Maktabah Abu Salma Al-Atsari : Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’I, Jakarta, April, 2007, h.5 31

persyaratan yang ketat sebagai ijma‟ bukan semata-mata hasil pemikiran, hasil pemikiran tanpa ketentuan-ketentuan yang pasti.9 Terhadap karya-karya Imam Syafi‟I Qadi Imam Abu Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Muzani, yaitu salah seorang murid Imam Syafi‟I yang mengatakan bahwa Imam Syafi‟I telah mengarang kitab sebanyak 113 kitab, baik kitab dalam Ilmu Ushul al-Fiqh, dan lain-lain, sebagai pegangan dan pengetahuan yang sempat kita nikmati sampai sekarang. Khususnya untuk kepustakaan Indonesia adalah diantaranya sebagai berikut : 1. Kitab Al-Umm, kitab fiqih yang terdiri dari empat jilid berisi 128 masalah dan terbagi kedalam 40 bab lebih. Kitab induk ini berisikan hasil-hasil ijtihad Imam Syafi‟I yang telah dikondisikan dalam bentuk juz dan jilid yang membahas Thaharah, Ibadah, Amaliyah, sampai pada masalah peradilan seperti jinayah, muamalat, munakahat dan lain-lain. 2. Kitab Al-Risalah Al-Jadidah, kitab ini dianggap sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu jilid besar yang sudah di tahqiq oleh Ahmad Syakir. Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang didalamnya diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi‟I dalam mengitinbathkan suatu hukum. 3. Ikhtilaf al-Hadist, karena di dalamnya mengungkapkan perbedaan para ulama dalam persepsinya tentang hadist mulai dari Snad sampai perawi yang dapat dipegangi, termsuk analisisnya tentang hadist yang menurutnya dapat dipegangi sebagai hujjah. 4. Musnad, di dalam musnad isinya hampir sama dengan yang ada di dalam kitab ikhtilaf al-Hadist, kitab ini juga menggunakan persoalan mengenai hadist hanya dalam hal ini terdapat kisah bahwa hadist yang disebut dalam kitab ini adalah hadist yang dipergunakan Imam Syafi‟I,

9 Ustd. Nurul Mukhlisin Asyrafuddin,L.c, M.Ag, Maktabah Abu Salma Al-Atsari : Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi’I, Jakarta, April, 2007, h.5 32

khususnya yang berkaitan dengan fiqh dalam kitab al-Umm, dimana dari segi sanadnya telah dijelaskan secara jelas dan rinci. 5. Selain yang diatas ini ada beberapa kitab yang dinisabkan kepada beliau diantaranya kitab As-Sunan, Ar-rad „ala Al-Baraimiyah dan Mihnatu Imam As-Syafi‟i.10

B. Profil Ibnu Jabir At-Thabari 1. Latar belakang Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir seorang imam, ulama‟ dan mujatahid, ulama abad ini, ayahnya Abu Ja‟far Ath Thabari. Beliau dari penduduk Aamuly, bagian dari daerah Thobristan, karena itulah sesekali ia disebut sebagai Amuli selain dengan sebutan Kuniyah Abu Jakfar, padahal para ahli sejarah telah mencatat bahwa sampai pada masa akhir hidupnya Imam Thabari tidak pernah menikah. Beliau dilahirkan pada akhir tahun 224 H awal tahun 225. Para sejarawan yang menulis biografi at-Thabari tidak banyak menjelaskan kondisi keluarga besar ulama besar ini. Hanya saja, dari sumber yang sangat terbatas tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga at-Thabari tergolong sederhana, kalau tidak dikatakan miskin, namun ayahnya sangat mementingkan pendidikan putranya tersebut. Jika melihat faktor lingkungan ketika masa hidup at-Thabari, maka di masa tersebut adalah masa dimana tradisi keilmuan Islam mengakar kuat terbukti dengan munculnya sejumlah ulama besar dari daerah Amul, seperti Ahmad bin Harun al-Amuli, Abu Ishaq bin Basyar al-Amuli, Abdullah bin Hamad al- Amuli dan ulama besar lainnya. Selain faktor lingkungan, faktor keluarga juga sangat berperan penting dalam menumbuhkan semangat mencari ilmu pada diri Imam Thabari. Beliau pernah bercerita dihadapan murid- muridnya tentang dukungan ayahnya, Jabir bin Yazid kepadanya dalam menuntut ilmu dan

10 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, h.142 33

pengalamannya di masa kanak-kanak, Ibnu Jarir berkata: “Aku sudah hafal Al Qur‟an ketika aku berumur 7 tahun, dan sholat bersama manusia (jadi imam) ketika berumur 8 tahun, dan mulai menulis hadist ketika berumur 9 tahun, dan ayahku bermimpi, bahwa aku berada di depan Rosululloh dengan membawa tempat yang penuh dengan batu, lalu aku lemparkan didepan Rosululloh. Lalu penta‟bir mimpi berkata kepada ayahku: “Sekiranya nanti beranjak dewasa dia akan berguna bagi diennya dan menyuburkan syare‟atnya, dari sinilah ayahku bersemangat dalam mendidikku. Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki banyak disiplin, cerdas, banyak karangannya dan dan belum ada yang menyamainya.11

C. Riwayat Hidup Al-Thabari dapat dikatakan sebagai ulama multi talenta dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Tafsir, qira‟at, hadits, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik, sya`ir dan `arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disiplin ilmu yang sangat dikuasainya. Namun tidak hanya ilmu-ilmu agama dan alat, al-Thabari pandai ilmu logika (mathiq), berhitung, al- Jabar, bahkan ilmu kedokteran. Penguasaan al-Thabari terhadap berbagai disiplin ilmu ini menjadi catatan sendiri para ulama sepanjang masa, sehingga tidak heran sederet predikat dan sanjungan disematkan kepadanya. Al- Khathib al-Baghdadi (w.463H) salah satunya. Dalam kitab Tarikh Baghdad, ia menyatakan, “Al- Thabari adalah seorang ulama paling terkemuka yang pernyataannya sangat dipehitungkan dan pendapatnya pantas menjadi rujukan, karena keluasan pengetahuan dan kelebihannya. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu yang sulit ditandingi oleh siapa pun di masa itu”.

11 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, h.142 34

Pengakuan terhadap keilmuan al-Thabari tidak hanya datang dari para ulama lintas generasi sesudahnya yang mengkaji dan meneliti karya-karya besarnya, seperti Ibn al-Atsir (w.630H), al- Nawawi (w.676H), Ibn Taimiyah (w.728H), al-Dzahabi (w.748H), Ibn Katsir (w.774H), Ibn Hajar al- `Asqalani (w.852H), al-Suyuthi (w.911H) dan lain-lain. Tapi para ulama yang hidup satu generasinya juga tidak kurang menyatakan kekaguman dan pujiannya, di antara pujian mereka terhadap Imam thabari adalah sebagai berikut : Abu Sa‟id berkata: “Muhammaad bin Jarir berasal dari daerah Aamal, menulis di negri mesir. Lalu pulang ke Bagdad, dan telah mengarang beberapa kitab yang monumental, dan itu menunjukkan luasnya ilmu beliau. Al Khotib berkata: “Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib: “Beliau adalah salah satu Aimmah Ulama‟ (sesepuh ulama‟), perkataannya bijaksana dan selalu dimintai pendapatnya karena pengetahuannya dan kemulyaannya. Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak penah ada seorangpun yang melakukannya semasa hidupnya. Beliau adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qiro‟at, ilmu Ma‟ani faqih tehadap hukum-hukum Al Qur‟an, tahu sunnah dan ilmu cabang-cabangnya, serta tahu mana yang shohih dan yang cacat, nasikh dan mansukhnya, Aqwalus Shohabah dan Tabi‟in, tahu sejarah hidup Manusia dan keadaanya. Beliau memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat dan beografinya” dan kitab tentang “tafsir” yang belum pernah ada mengarang semisalnya dan kitab yang bernama “Tahdzibul Atsar” yang belum pernah aku (Imam Adz Dzahabi) lihat semacamnya, namun belum sempurna. Beliau juga punya kitab-kitab banyak yang membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari aqwal para Fuqoha‟. 12

D. Riwayat Pendidikan Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki ilmu banyak, dan cerdas, banyak karangannya dan belum ada yang menyamainya.

12 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, h.143 35

Banyak kota-kota yang ia singgahi sampai ia tidak puas dengan hanya memasukinya sekali, ia masuk ke kota tersebut beberapa kali untuk memuaskan hasrat keilmuannya, di antara kota-kota tersebut adalah Baghdad, di kota ini ia mengambil mazhab Syafi‟iyyah dari Hasan Za‟farani, kemudian Bashrah, di kota ini ia belajar hadits kepada Abu Abdullah as-Shan‟ani, lalu di Kufah, di sana ia belajar ilmu puisi kepada Tsa‟lab dan masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir, Beirut dan Damaskus. Pada akhirnya Imam Thabari sempat pulang ke tanah kelahirannya di Thaburstan pada tahun 290 H, tapi tak lama kemudian kembali ke Baghdad dan menjadikannya tempat persinggahan terakhir untuk mencurahkan seluruih aktifitas ilmiyahnya hingga beliau wafat. Guru beliau 40 orang lebih, diantaranya: “Muhammad bin Abdul Malik in Abi Asy Syawarib, Ismail bin Musa As Suddi, Ishaq bin Abi Isroil, Muhammad bin Abi Ma‟sar, Muhammad bin Au fat-Tha‟i, Musa bin Sahal ar- Ramali, Muhammad bin Abdullah dan yang lainnya. (didalam tafsir beliau didapatkan, bahwa guru beliau berjumlah 62 guru).13 Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah nama guru al-Thabari lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd al-Malik ibn Abu al- Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al- `Ala‟, Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al- Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.[4] Karena kedalaman ilmu Imam ath-Thabari, maka wajar saja bila orang- orang ketika itu berlomba untuk menampung samudera ilmu yang terpancar dari beliau. Di antara sekian banyak ulama yang mengambil ilmu dari beliau : Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nashr, Ahmad bin Qasim bin Ubaidillaah bin Mahdi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Lakhmi, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali. Teman-teman dari Ibnu Jarir ath-Thabari, di antaranya : Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al- Farghani,ia juga meriwayatkan karangan dari Ibnu

13 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, h.143 36

Jarir, di antara karangan al-Faraghani adalah Sirah al-Aziz Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah Kafur al-Ihsyidi. [5], Ibnu Yazid Abi Bakar al-Qardhi, yang menjadi hakim di daerah Kufah, di antara karangannya adalah kiab Gharib al- Quran, kitab al- Qiraat, kitab at-Taqrib fi Kasyfi al-Gharib, dan kitab al- Mukhtashar fi al-Fiqh.

E. Karya-Karya Ibn Jabir at-Thabari Pengakuan terhadap keilmuan al-Thabari tidak hanya datang dari para ulama lintas generasi sesudahnya yang mengkaji dan meneliti karya-karya besarnya, seperti Ibn al-Atsir (w.630H), al- Nawawi (w.676H), Ibn Taimiyah (w.728H), al-Dzahabi (w.748H), Ibn Katsir (w.774H), Ibn Hajar al- `Asqalani (w.852H), al-Suyuthi (w.911H) dan lain-lain. Tapi para ulama yang hidup satu generasinya juga tidak kurang menyatakan kekaguman dan pujiannya, di antara pujian mereka terhadap Imam thabari adalah sebagai berikut :14 Abu Sa‟id berkata: “Muhammaad bin Jarir berasal dari daerah Aamal, menulis di negri mesir. Lalu pulang ke Bagdad, dan telah mengarang beberapa kitab yang monumental, dan itu menunjukkan luasnya ilmu beliau. Al Khotib berkata: “Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib: “Beliau adalah salah satu Aimmah Ulama‟ (sesepuh ulama‟), perkataannya bijaksana dan selalu dimintai pendapatnya karena pengetahuannya dan kemulyaannya. Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak penah ada seorangpun yang melakukannya semasa hidupnya. Beliau adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qiro‟at, ilmu Ma‟ani faqih tehadap hukum-hukum Al Qur‟an, tahu sunnah dan ilmu cabang-cabangnya, serta tahu mana yang shohih dan yang cacat, nasikh dan mansukhnya, Aqwalus Shohabah dan Tabi‟in, tahu sejarah hidup Manusia dan keadaanya. Beliau memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat dan beografinya” dan kitab tentang “tafsir” yang belum pernah ada mengarang semisalnya dan kitab yang bernama “Tahdzibul Atsar” yang belum pernah aku (Imam Adz Dzahabi) lihat semacamnya, namun belum sempurna. Beliau juga

14 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, h.144 37

punya kitab-kitab banyak yang membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari aqwal para Fuqoha‟. 15 Beliau adalah seorang laki-laki yang mempunyai ilmu yang sangat luas, maka tidak heran jika karangan beliau tak bisa dihitung hanya dengan waktu 1000 detik. Namun sangat disayangkan, mayoritas kitab beliau hilang dan tidak sampai kepada kepada kaum muslimin kecuali hanya sedikit. Dan hasil karya Imam Thabari antara lain: 1. Kitab Adabul Qodho’ ( Al Hukkam) 2. Kitab Adabul Manasik 3. Kitab Adab an-Nufuus 4. Kitab Syarai’al-Islam 5. Kitab Ikhtilaful Ulama’ atau Ikhtilaful Fuqoha’ atau Ikhtilafu Ulama’il Amshor fie Akhkami Syaroi’il Islam. 6. Kitab Al Basith, tentang kitab ini beliau Imam Adz Dzahabi berkata: “Pembahasan pertama adalah tentang thoharoh, dan semua kitab itu berjumlah 1500 lembar. 7. Kitab Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikhul Rusul wal Muluk) 8. Kitab Tarikhul Rijal minas Shahabah wat Tabi’in. 9. Kitab at-Tabshir. 10. Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw Minal Akhbar. Az-Zahabi ketika mengomentari kitab ini mengatakan bahwa kitab ini termasuk salah satu kitab istimewanya Ibnu jarir, dimulai dengan sanad yang shadiq, lalu bebicara pada Ilal, thuruq dan fiqih hadits, ikhtiklaf ulama serta hujjah mereka, dalam kitab ini juga disebutkan makna-makna asing serta bantahan kepada Mulhiddin, kitab ini menjadi lebih sempurna lagi dengan adanya sanad al-Asyrah, Ahlu al-Bait, al- Mawali dan beberapa sanad dari Ibnu Abbas, dan kitab ini belum selesai pada akhir kematiaannya, lalu ia mengatakan: jika saja kitab ini dkteruskan, niscaya bisa sampai beratus- ratus jilid.

15 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, h.144 38

11. Kitab Al Jaami’ fiel Qira’at 12. Kitab Haditsul Yaman 13. Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim 14. Kitab az- Zakat 15. Kitab Al ‘Aqidah 16. Kitabul fadhail. 17. Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib 18. Kitab Mukhtashar Al Faraidz 19. Kitab Al Washaya, Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak kami sebutkan disini. Selain banyaknya bidang keilmuan yang disentuh, bobot karya-karya al-Thabari sangat dikagumi para ulama dan peneliti. Al-Hasan ibn Ali al- Ahwazi, ulama qira‟at, menyatakan, “Abu Ja`far [al- Thabari] adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang tersebut dia melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli karya para pengarang lain”. 16

16 Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, h.145 BAB IV KEABSAHAN HAKIM WANITA MENURUT IMAM ASY-SYAFI’I DAN IMAM JABIR AT-THABARI

A. Pendapat Imam Asy- Syafi’I dan Imam At-Thabari, Dalil – dalil, dan Munaqasyahnya Menurut jumhur ulama dikalangan madzhab Syafi‟I, Maliki dan hambali, laki-laki merupakan syarat untuk diangkat sebagai qadhi1. Anak kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim2. Tidak sah wanita diangkat menjadi qadhi, apabila ada pihak yang mengangkat wanita sebagai qadhi, maka putusan yang dijatuhkan itu tidak sah. Hal ini didasarkan kepada beberapa hal berikut, yaitu: a. Al- Qur‟an 1) Firman Allah dalam surat An-nisa ayat 34 yang mengatakan bahwa: ِ ِ َّ ٍ ِ ِ ِِ ِّالرَج ُال قَ َّوُام َون عَلَى النِّ َساء ِبَا فَ َّض َل اللهُ ب َْع َضُه ْم َعلَ ٰى ب َْعض َوِبَا أَنْ َفُقوا م ْن أَْمَواِل ْم “kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”

Menurut interprestasi ulama kelompok ini, kata-kata “melebihkan” yang dimaksud di ayat tersebut adalah berkaitan dengan penggunaan daya talar dan fikir, yang dalam banyak hal terutama dalam kontek proses peradilan perempuan tidak dapat melakukan hal yang sama dengan pria. Lebih jauh Hamid Muhammad Abu Thalib mengemukakan bahwa kehadiran perempuan dalam sebuah proses peradilan apalagi sebagai hakim dapat menimbulkan fitnah, terutama bertentangan dengan kelaziman yang berlaku dalam masyarakat, oleh

1 Imam An- Nawawi, Minhaj at- Thalibin. Dar A- Minhaj (2008 M). Jld. 1, h. 148 2 Syeikh Abdurrauf As- Singkili, Corak Pemikiran Hukum Islam: Studi Terhadap Kitab Mir‟atu al-Thullab Tentang Hakim Perempuan, Banda Aceh, Yayasan Pena, 2008, h-54

39 40

karenanya kesaksian merekapun tidak selayaknya diakui secara hukum. Kehadiran perempuan dalam proses peradilan dinilai tidak lazim dan akan memperlemah suatu proses peradilan karena keterbatasan mental dan daya talar perempuan baik sebagai saksi maupun sebagai terdakwa. Imam Syafi‟I menjadikan ayat diatas sebagai dalil tidak bolehnya perempuan menduduki jabatan hakim. Dan ayat ini dapat diperdebatkan dalam hal dijadikan dalil kebolehan hakim wanita, karena ayat ini merupakan ayat yang turun mengenai urusan keluarga, dimana merupakan hak suami memiliki kekuasaan di dalam membimbing istri. Hal ini didasari oleh sebab turunnya ayat ini mengenai seorang laki-laki dari kaum Anshar yang menggampar istrinya yang telah nusyuz dan mengadu kepada Nabi, kemudian Nabi memerintahkan untuk memberlakukan qishas (hukuman yang setimpal).3 2) Firman Allah SWT dalam Q.S. Al- Baqarah ayat 228 yang berbunyi: ِ ِ ِ َ ول ِّلرَجال َ علَْيه َّن َدَرَجة ” Dan bagi laki-laki terdapat derajat di atas mereka perempuan”

Dari ayat tersebut, ulama pada kelompok ini beristidlal bahwa Allah SWT menganugerahi laki-laki satu derajat lebih dari perempuan yang mana satu derajat ini menafikan kemampuan perempuan dalam memberikan keputusan ketika menjadi hakim. Dalil ini juga dapat diperdebatkan, karena derajat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kemampuan laki-laki didalam memberikan nafkah dan jihad, serta isyarat untuk mempergauli isteri dengan baik dan memahami kekurangan isteri, hal ini dikarenakan ayat tersebut ada di antara ayat-ayat ila‟ dan talaq.4

3 Imam Al-Qurthubi, al-Jami‟ li Ahkam al- Qur‟an. Riyadh: Dar „Alim al- Kutub (2003). Jld. 5. h. 168 4 Al- Syaukani, Fath al- Qadir. Beirut: Dar Al- Fikr. Jld. 1. h. 236. 41

b. Hadist Hadist riwayat Al- Bukhari:5 ِ َّ لَ ْن ي ُْفل َح قَ ْوم َ ولْوا أَْمَرُه ْم ْامَرأَة أ Dari hadis ini, ulama golongan ini berpendapat bahwa menjadikan hakim wanita merupakan sesuatu yang haram. Karena sesuatu yang menjadi perantara dari perkara yang wajib dijauhi secara otomatis sesuatu itu akan menjadi wajib dijauhi juga, sebagaimana satu qaidah ushul fiqh yaitu:6 ما ال يتم الواجب إال به فهو واجب

Dan hadist ini menunjukkan makna umum, karena lafadz yang digunakan adalah nakirah (amr) yang diidhafahkan kepada isim yang ma‟rifah (domir). Oleh sebab itu, setiap perkara umat islam termasuk dalam hadis ini, termasuk dalam hal kehakiman.7 Adapun perdebatan dalam hadis ini prihal keharaman menjadikan wanita sebagai hakim karena sababul wurud dari sabda Nabi ini adalah adanya seorang perempuan yang menjadi pemimpin kerajaan di Persia. Oleh sebab itu yang dimaksud dari hadis ini adalah pemimpin secara garis telah (أمررم ) besar bukan hakim. Dan dengan demikian lafadz umum menjadi makna yang khusus, yakni pemimpin negara. c. Ijma‟ telah tersepakati diantara para ulama dalam hal melarang perempuan menjadi hakim, sedangkan pendapat dari at- Thabari merupakan pendapat yang syadz (langka). Oleh karenanya, tidak ada riwayat baik dari Nabi SAW, para Khulafa al- Rasyidin dan masa tabi‟in yang menjelaskan tentang adanya kepemimpinan hakim wanita. Jika memang hal tersebut

5 Al- Bukhari, Shahih Al- Bukhari. Dar tuq an- Najah (1422 H). Jld. 6. h. 8 6 Abdul Aziz al- Sa‟id, Ibnu Qudamah wa Atsaruhu al- Ushuliyyah. Riyadh: Maktabah Jami‟ah Muhammad bin Sa‟ud (1987 M). Jld. 2. h. 33 7 Al- Marshafawi, Nizham al- Qadha fi al- Islam. Muassasah al- Risalah (1989 M) h. 38 42

merupakan perkara yang boleh, tentu hal tersebut sudah menjadi hal yang umum.8 Istidal seperti ini dapat diperdebatkan, karena ijma‟ tidak bisa beraku dalam masalah yang terdapat perdebatan di dalamnya. Yang mana bukan hanya at- Thabari saja yang menselisihinya, namun ada Ibn Hazm, serta Hanafiyyah. Perempuan dilarang menjadi Imam sholat sedangkan laki-laki yang fasiq diperbolehkan. Jika diqiyaskan, maka larangan perempuan menjadi hakim lebih utama (qiyas awlawi) karena laki-laki yang fasiq juga tidak boleh menjadi hakim.9 Qiyas seperti ini masih dapat diperdebatkan, karena kepemimpinan dalam sholat berbeda dengan kepemimpinan dalam memberikan putusan. Karena kepemimpinan dalam sholat bukanlah perkara yang terlalu menuntut untuk keadilan. Sedangkan Ibn Jarir at-Thabari berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi hakim secara umum sama seperti kesempatan yang diperoleh kaum pria. Dalil yang digunakan beliau adalah:10 a. Tidak satupun ayat al-Qur‟an maupun pernyataan dari Rasulullah (hadis) yang secara tegas melarang perempuan menjadi hakim. Oleh karena itu, setiap orang yang mampu untuk untuk memutuskan perkara di antara manusia dengan baik, maka berhak menjadi hakim termasuk perempuan. Dan sifat feminimisme tidak mempengaruhi pemahaman terhadap argumen-argumen dan pedoman hukum.11 Argumen seperti ini dapat diperselisihkan, karena beberapa sebab yakni:

8 Al- Mawardi, Al- Ahkam Al- Sulthaniyyah. Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah (1989 H) h. 65 9 Imam Al- Mawardi, Adab Al- Qadhi, Iraq: Ihya al- Turats al- Islami. Jld. 1. h. 628 10 Imam al-Qurtubi, Al-Jami li Ahkam Al-Qur‟an, Kairo, Dar al Kutub al- Mishriiyah, 1964 M, h.183 11 Al- Marshafawi, Nizham Al- Qadha fi Al- Islam. Muassasah al- Risalah (1989 M). h. 32 43

1) terdapat dalil-dalil yang jelas tentang larangan hakim perempuan sebagaimana yang telah disebutkan. 2) Perempuan pada dasarnya mempunyai watak yang mempengaruhi dalam kesempurnaan memutuskan suatu perkara, seperti haid, nifas, hamil, dan menyusui yang memberikan efek terhadap pemahaman argumentasi-argumentasi serta pedoman hukum. b. Menurut Ibn Jarir, secara historis pernah terjadi pengangkatan perempuan sebagai hakim oleh khalifah Umar ibn Khattab pada masa pemerintahanya dengan mengangkat seorang perempuan bernama al- Syifa‟ sebagai orang yang memberikan keputusan di pasar.12 Dan argumen ini diperselisih karena riwayat atsar tersebut tidak sahih bersumber dari Umar RA. Sebagaimana pendapat Ibn al- Arabi mengatakan bahwa riwayat itu tidak sahih, oleh karenanya tidak bisa dijadikan hujjah.13 Hal ini dikuatkan dengan 2 perkara, yaitu: 1) Bertentangan dengan hadis yang sahih sebagaimana telah disebutkan di awal. Dan secara logika, bagaimana mungkin Umar RA menentang hadis yang sahih. 2) Umar merupakan seorang sahabat yang mencetuskan adanya hijab, yang mana kemudian ada ayat yang turun mengenai hijab sesuai dengan pendapat Umar dan menjadi syariat. Oleh karenanya, bagaimana mungkin Umar pula yang mencetuskan bolehnya perempuan sebagai hakim di pasar, yang mana ia akan bertemu dan bercampur dengan laki-laki setiap hari.14

12 Wanita itu adalah Al- Syifa binti Abdullah, perempuan yang telah masuk islam sebelum hijrah dan termasuk sahabat yang melakukan ba‟iat dan orang-orang yang berhijrah pada periode pertama, termasuk perempuan intelektual pada masa Nabi SAW. Lihat: Ibn Hajar, Al- Ishabah. Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyyah (1995 M). Jld. 4. h. 341. 13 Ibn Al- Arabi, Ahkam Al- Qur‟an. Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyyah (2003). Jld. 3.h. 144. 14 Al- Tharifi, Al- Qadha fi „Ahd Umar. Dar al- Madany (1986 H) Hal. 224-225 44

c. Analogi keabsahan fatwa perempuan yang dianggap sah, sehingga keputusanya sebagai hakim pun tentu saja dapat dianggap sah.15 Pendapat ulama kelompok ini dapat diperselisihkan, karena analogi (qiyas) yang dilakukan dalam hal ini merupakan analogi yang berbeda antara apa yang dianalogikan dan yang menganalogikan, dalam artian fatwa berbeda dengan putusan. Karena fatwa tidak mengharuskan dipatuhi sedangkan putusan wajib dipatuhi.16

B. Persamaan dan Perbedaan yang Signifikan antara Imam Syafi’I dan Ibnu Jabir At-thabari Persamaan di antara kedua ulama tersebut dimana fenomena keikutsertaan perempuan sebagai hakim dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama telah mengalami beberapa fase perubahan. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan pendapat fiqh yang sangat tajam seputar legalitas syar‟I dalam memandang perempuan di ranah publik, khususnya lingkup peradilan.17 Salah satu alasan ulama mempermasalahkan hakim perempuan karena melihat tugas dan beban yang dipegang hakim sehingga menyebabkan para ulama, tokoh dan mujtahid Islam masih berbeda pendapat. Penolakan ini bukan berarti mengabaikan institusi kehakiman, tetapi mereka lebih menganggap hal itu merupakan fardhu kifayah.18 Salah satu prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antar manusia, baik antara laki-laki dan perempuan, antar suku bangsa dan keturunan, perbedaannya hanya terletak pada tingkat ketakwaan dan pengabdiannya kepada Allah SWT. Sebagaimana telah termaktub dalam al-

15 Ibnu Qudamah, Al- Mughni Ma‟ Al- Syarh Al- Kabir. Al- Manar (1347 H). Jld. 11. h. 380 16 Al- Marshafawi, Nizham Al- Qadha fi Al- Islam. Muassasah al- Risalah (1989 M). h. 33 17 Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di Negara-Negara Muslim, Yogyakarta, 2001, h.13 18 Abd al-Karim Zaidan, Nizam al-Qada fi al-Syariah al-Islamiyyah, Baghdad: Matba‟ah al-aini, 1984, h. 17 45

Qur‟an surat at-Taubah ayat 112, ayat 71 dan surat at-Tahrim ayat 5, yang menguraikan persamaan derajat laki-laki dan perempuan kecuali pada masalah ketakwaan. Hal ini merupakan suatu usaha yang berat dan sangat mulia, dimana dahulu sebelum Islam datang, banyak negara bahkan ajaran agama di luar Islam yang memandang perempuan sangat hina dan tak berarti, bahkan dianggap sebagai pembawa bencana sehingga harus dimusnahkan.19 Pandangan ini begitu melekat dalam pikiran mereka sehingga proses menuju kesetaraan laki-laki dan perempuan berjalan lambat dan panjang. Islam sebagai agama yang rahmatan lil „alamin telah menyadarkan pemikiran- pemikiran orang- orang terdahulu untuk menjunjung tinggi martabat perempuan, karena ia merupakan ibu, istri atau anak yang dapat membantu dan memberikan manfaat kepada kaum laki-laki. Sehingga dalam upaya untuk menguatkan misi Islam ini Allah SWT mewahyukan dalam al-Qur‟an suatu surat yang diberi nama an-Nisa‟ yang bermakna perempuan sebagai wujud pengakuan Islam terhadap perempuan. Kebanyakan surat ini membahas permasalahan yang berhubungan dengan perempuan, utamanya berhubungan dengan kedudukan, peranan, perlindungan hukum hak-hak perempuan.20 Namun dalam perkembangannya sejumlah fakta historis menunjukan bahwa penafsiran teks-teks al-Qur‟an sejak abad Islam klasik selalu di dominasi oleh laki-laki dan konsekuensinya kaum perempuan telah terabaikan dalam refleksi teologis dan tafsir-tafsir keagamaan. Hal ini terbukti dengan dilarangnya perempuan untuk aktif di ranah publik, baik menjadi kepala negara ataupun menjadi hakim. Adapun perbedaan yang signifikan diantara pendapat Imam Syafi‟I dan Ibnu Jabir At-Thabari adalah dimana setalah dijabarkan dari bab-bab dan sub bab-sub bab sebelumnya, bahwa Imam Syafi‟I secara mutlak melarang kepada wanita untuk menjadi hakim mengikuti ayat-ayat dan serta hadist dimana jika suatu kaum menyerahkan kepemimpinan terhadap wanita maka

19 Kamarisah Thahar, Hak Asasi Perempuan dalam Islam, Medan: ofset Maju, 1982, h.23 20 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, VI: 1920-1921 46

hancurlah kaum tersebut. Dari banyaknya ayat al-Qur‟an dan hadist tetap pendapat Imam Syafi‟I mengarah pada larangan seorang wanita untuk menjadi seorang hakim. Menurut jumhur ulama dikalangan madzhab Syafi‟I, Maliki dan hambali, laki-laki merupakan syarat untuk diangkat sebagai qadhi21. Anak kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim22. Tidak sah wanita diangkat menjadi kadi, apabila ada pihak yang mengangkat wanita sebagai kadi, maka putusan yang dijatuhkan itu tidak sah. Sedangkan Ibnu Jabir At-Thabari adalah ulama yang memperbolehkannya seorang wanita untuk menjadi hakim dan menangani kasus di peradilan. dalil yang diajukan oleh kedua ulama terdahulu baik Imam Syafi‟I maupun Imam Hanafi seperti Q.S an-Nisa ayat 34, Q.S al-Baqarah ayat 282 dan hadist Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Nasa‟I, dan Tarmidzi dan Abi Barkah, semuanya ditolak oleh Ibn Jarir at-Tabari. Karena Mnururt dia tidak ada yang secara tegas mengatur tugas kehakiman. Logika yang ditempuh Ibn Jarir at-Tabari dengan memberi ketentuan bahwa setiap otang yang boleh memberi fatwa, maka orang tersebut boleh pula memutuskan perkara (diangkat menjadi hakim), Disini jelas ada kaitan yang erat seorang hakim dan seorang mufti.

C. Analisis dan Tarjih Pendapat Tentang Keabsahan Hakim Wanita Pada dasarnya, yang harus dipahami dalam menganalisis suatu pendapat adalah bagaimana metode isthinbath apa yang dipakai oleh kedua Imam dan cara pandang mereka terhadap nash. Jika dperhatkan secara seksama dalam permasalahan ini, Imam Syafi‟I mewakili kelompok ulama yang melihat teks nash secara utuh (tekstualis), sedangkan Imam at- Thabari mewakili keompok ulama yang melihat apa yang terkandung di dalam teks (konstekstual).

21 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, UIN-MALANG PRESS, Malang, 2008, h.11 22 Syeikh Abdurrauf As Singkili, Corak Pemikiran Hukum Islam : Studi Terhadap Kitab Mir‟atu al-Thullab Tentang Hakim Perempuan, Banda Aceh, Yayasan Pena, 2008, h-54 47

Hal ini jika dperhatikan lebih jauh, hukum kebolehan dan larangan hakim wanita ini disebabkan oleh adanya perbedaan kondsi social budaya yang terjadi. Yang mana seperti diketahui, hukum dapat berubah akibat adanya perubahan zaman, tempat dan juga keadaan manusia itu sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam qaidah ushul fiqh:23 ِ ِ ِ ُ األحكام تتغيَّ ُر ربتغُّي َّالزمان واملكان واحلال Yang mana kondisi sosial budaya pada masa sekarang jika kita lihat, maka Perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan dan hak yang sama, sehingga perempuan adalah mitra yang sejajar dalam kedudukan politik dan hukum. Perempuan bukanlah subordinasi dari laki-laki, tetapi memiliki kedudukan yang sama, baik dari sisi menurut ajaran Islam, seperti dalam hukum Islam, sistem politik dalam hukum Islam sehingga kiprah perempuan dalam kancah politik tidak hanya sebatas emansipasi atau keikutsertaan, tetapi memiliki kapasitas sebagai pribadi yang memiliki hak, kewajiban dan tanggungjawab bersama-sama kaum laki-laki. Kedudukan perempuan sebagai hakim dan ketua Pengadilan Agama dengan syarat berkompeten di bidangnya.24 Dalam Alquran An-Nahl 97, Allah berfirman yang artinya: ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ۖ ِ ِ َم ْن َعم َل َصاحل ا م ْن ذََكر أَْو أُنْ ثَ ٰى َوُهَو ُمْؤم ن فَ لَنُ ْحييَ نَّهُ َحيَاة طَيِّبَة َولَنَ ْجزي َن َُّه ْم أَ ْجَرُه ْم بأَ ْح َس ِن

َما َكانُوا ي َْعَملُ َون “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Surat tersebut dapat dijadikan pedoman kalau perempuan dapat bekerja di wilayah publik termasuk menjadi hakim, karena dalam surat tersebut perempuan dan laki-laki dapat beramal apapun. Apabila perempuan memang

23 Nuruddin Al- Khamidi, Al- Ijtihad al- Maqhasidi Dhawabituhu wa Majalatuhu. Mesir: Riasah al- Muhakam al- Syar‟iyyah. h. 139. 24 Djazimah Muqoddas, Kontribusi Hakim Perempuan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, As-syar‟iyyah Vol.17 NO. 2, 2015, h. 93 48

berkompeten di bidang hukum Islam maka tidak menutup kemungkinan dapat menjadi hakim di Pengadilan Agama. Seorang perempuan dapat menjadi hakim Pengadilan Agama jika berkompeten. Memang ada hadist yang melarang seorang perempuan menjadi pemimpin atau hakim, tapi hadist itu memang ada asbabul wurudnya. Asbabul wurudnya memang wanita saat itu belum berkompeten. Nabi mengatakan jangan menyerahkan urusan pada wanita, jika diberikan maka akan terjadi kehancuran. Hadist itu pada saat itu dimana wanita masih lemah dalam hal kompetensi. Dalam era sekarang seorang perempuan dapat menjadi hakim Pengadilan Agama jika memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Pada zaman nabi, perempuan belum memiliki kompetensi sehingga pada saat itu mendapat larangan. Saat itu wanita belum dapat bersaing dengan laki-laki. 25 Oleh sebab itu, pendapat yang relevan di Indonesia khususnya adalah pendapat dari at- Thabari yang menyatakan kebolehan hakim wanita. Terlebih dikuatkan dengan hukum positif mengenai kedudukan perempuan sebagai hakim pengadilan agama diperbolehkan selama memenuhi kriteria yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 dalam pasal 13 ayat (1). Kesempatan perempuan saat ini terbuka lebar. Landasan hukum yang dapat dijadikan sumber hakim Pengadilan Agama boleh dijabat oleh perempuan adalah UUD 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Alquran. Dengan demikian, seorang perempuan dapat menduduki jabatan sebagai hakim Pengadilan Agama dengan syarat memenuhi kriteria yang telah diatur.

25 Djazimah Muqoddas, Kontribusi Hakim Perempuan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, As-syar‟iyyah Vol.17 NO. 2, 2015, h. 93 BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dibahas dari bab-bab sebelumnya, adapun penulis menyimpulkan bahwa; 1. Menurut jumhur ulama dikalangan madzhab Syafi’I, Maliki dan hambali, laki-laki merupakan syarat untuk diangkat sebagai qadhi. Anak kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim. Tidak sah wanita diangkat menjadi kadi, apabila ada pihak yang mengangkat wanita sebagai kadi, maka putusan yang dijatuhkan itu tidak sah. Sedang, Abu said al-Hasan Yasar al-Basri, Ibn Jarir at-Tabari, dan Madzhab az-Zahiri berependapat bahwa wanita boleh menjadi hakim secara mutlak, yakni dalam semua perkara. Ibn Jarir at-Tabari berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi hakim secara umum sama seperti kesempatan yang diperoleh kaum pria. Logika yang ditempuh Ibn Jarir at-Tabari dengan memberi ketentuan bahwa setiap otang yang boleh memberi fatwa, maka orang tersebut boleh pula memutuskan perkara (diangkat menjadi hakim), Disini jelas ada kaitan yang erat seorang hakim dan seorang mufti. 2. Imam Syafi’I, dalam buku Ahkam Sultoniyyah mengatakan bahwa perempuan mempunyai kekurangan jika dibandingkan dengan pria. Oleh karena itu pria dijadikan sebagai pemimpin, hakim, berjihad, memperoleh harta dua bagian dibanding perempuan dan sebagainya.Ibn Jarir at-Tabari berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi hakim secara umum sama seperti kesempatan yang diperoleh kaum pria. Ibnu Jarir mengkiaskan masalah peradilan kepada masalah fatwa wanita sah menjadi mufti.

49 50

B. Saran-saran 1. Bagi masyarakat, hendaknya lebih membuka lagi pola pikir dan pengetahuan tentang seorang wanita yang menjadi hakim, karena pada dasarnya selama orang itu bisa berbuat adil maka orang tersebut pun berhak untuk menjadi seorang hakim atau mufti seperti hal-hal pada syarat menjadi seorang hakim adalah adil. Karena wanita menjadi hakim di era saat ini bukanlah hal yang bisa disebut kesalahan dan telah majunya pula pola pikir para wanita pada era sekarang. 2. Bagi para wanita yang telah menjadi hakim hendaknya menjaga benar amanah berat seperti menjadi hakim, karena menjadi hakim pun bukan perkara yang mudah dan bisa dianggap mudah. 3. Bagi para pembaca hendaknya lebih membuka pikiran dan juga pengetahuan agar mengerti bahwa saat seorang wanita menjadi hakim adalah hal yang sah-sah saja di negara kita ini menurut undang-undang pula, yang salah adalah saat ia tidak bisa mengemban amanah dan tidak menunjukan perannya sebagai hakim.

DAFTAR PUSTAKA

Abd’, Muhammad Al-Qadir Abu Faris, al-Qadha fil-islam, Aman, Dar al- Furqon,1984

Abd’, Muhammad Rahman al-Bakr, al-Sultan al-qadaiyyahwa Syakhsiyyah al- Qadi fi al-Islam, Kaheran, al-Zahirahli al-I’lamal-‘arabi

Al- Arabi, Ibnu, Ahkam Al- Qur’an, Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyyah (2003). Jld. 3

Al-Jabiri, Muhammad Abed, Syura’ Tradisi Partikularitas Universalitas. cet. ke- 1 Yogyakarta: LKiS, 2003

Al- Khamidi, Nuruddin, Al- Ijtihad al- Maqhasidi Dhawabituhu wa Majalatuhu, Mesir: Riasah al- Muhakam al- Syar’iyyah.

Al- Marshafawi, Nizham al- Qadha fi al- Islam, Muassasah al- Risalah, 1989 M

Al-Qurthubi,Imam, al-Jami’ li Ahkam al- Qur’an, Riyadh: Dar ‘Alim al- Kutub, Jld. 5, 2003

Al- Sa’id, Abdul Aziz, Ibnu Qudamah wa Atsaruhu al- Ushuliyyah, Riyadh: Maktabah Jami’ah Muhammad bin Sa’ud Jld. 2, 1987 M

Al- Syaukani, Fath al- Qadir. Beirut: Dar Al- Fikr. Jld. 1.

Al- Tharifi, Al- Qadha fi ‘Ahd Umar, Dar al- Madany, 1986

An- Nawawi,Imam, Minhaj at- Thalibin, Dar A- Minhaj, Jld. 1, 2008 M

Al- Bukhari, Shahih Al- Bukhari, Dar tuq an- Najah (1422 H), Jld. 6

Al-shirazi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn yusuf, al-Muhadhdhab, Beirut, Dar al- fikr

Al-asqalany, Shihab Ad-din Ahmad bin Ali Muhammad bin Muhammad Ali al- Kanay, Al-ishabah fi tamyiz as-Sahabah, j.4, Beirut, Dar al-Kutub al- Arabiyah

As-singkili, Syeikh Abdurrauf, Corak Pemikiran Hukum Islam, Banda Aceh, Yayasan Pena, 2008

Al-Farra’, Abi Ya’la, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, Dar el-Kotob al-Ilmiyyah, Beirut 2000

51 52

Al-siddiqy, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1970

Asyrafuddin, Ust. Nurul Mukhlis, L.c M.Ag, Maktabah Abu Salma al-Atsari : Ringkasan aqidah dan manhaj Imam As-Syafi’I, Jakarta, April, 2007

Bahnasawi, Salim Ali, Wawasan Sistem Politik Islam, Jakarta, Pustaka Al- Kautsar, 1996

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996 Chalil, Moenawar, Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab, Jakarta, Bulan Bintang, 1996 Dahlan, Abu Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. Ke-1, Jakarta, PT.Ikhtiar Baru Van Houve, 1996, Cet. VI, 1920-921

Fayumi, Badriyah, Isu-Isu Gender Dalam Islam,(PSW UIN Syarif Hidayatullah,2002 Harahap, M.Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama, Sinar Grafika, 2007

Hasyim, Arief Subhan Syafiq, Cuma Perempuan dalam Islam : Pandangan Ormas Keagamaan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003

Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan, Teraju, 2004

Kamil, Ahmad dan Fauzan M., Kaidah-Kaidah Hukum Yurispudensi, Prenada Media Grup, 2008

Kusuma, M.Indradi dan Wahyu Effendi, Kewarganegaraan Indonesia : Catatan Kritis atas Hak Asasi Manusia dan Institusional diskriminasi warga negara, Jakarta, FKKB, dan Gandhi, 2002

Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Pengadilan : Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana, 2007

Maharani, Utary, Pemimpin Wanita dan Hakim Wanita dalam Pandangan Hukum Islam, Sumatra Utara, 2005

Matahari, Murtadlo, Hak-Hak Wanita dalam Islam, Jakarta, Lentera, 2005

Manshur, abd’ Al-Qodir, Buku Pintar Fikh Wanita : Segala Hal Yang Ingin Anda Ketahui Tentang Perempuan dalam Islam, Jakarta, Kencana, 2007

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997

53

Mulia, Siti Musdah dan Anik Farida, Politik dan Perempuan, Gramedia Pustaka Utama, 2005

Muqoddas, Djazimah, Kontribusi Hakim Perempuan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, As-syar’iyyah, vol.17, no.2, 2015

Nasution, Khairuddin, Fazlur Rahman Tentang Wanita , Yogyakarta , Tazzafa : 2001 Rochim, Abdul, Hakim Perempuan : Perspektif Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I, Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 10 September 2010

Trigiyatno, Ali, Pandangan Ibnu Jarir At thabari Tentang kedudukan wanita sebagai hakim dan imam sholat, Muwazah, volume 6, nomor 2 , Desember 2014

Suqayyah, Abdul Hakim Abu, Kebebasan Wanita, Jakarta, Gema Insani Press, 1997

Thahar, Kamarisah, Hak Asasi Perempuan dalam Islam, Medan: Ofset Maju, 1982

Qudamah Ibnu, Al- Mughni Ma’ Al- Syarh Al- Kabir, Al- Manar, Jld. 11, 1347 M

UNDP INDONESIA, Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan, UNDP Indonesia, Mei, 2010

Yonggo, Huzaemah Tahido M.A , Prof.Dr.Hj . Fikih Perempuan Kontemporer.Penerbit Ghala Indonesia.Bandung.2010 Zaidan, abd’ Al-Karim, Nizam al-Qada fi al-Asyari’ah al-Islamiyyah, Baghdad : Matba’ah Al-aini, 1984

Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, Malang, UIN Malang Press, 2008