MOIETY HINGGA MANCAPAT MASYARAKAT JAWA: ANALISIS STRUKTURAL ATAS KIDUNG PANJI WANGBANG WIDEYA

Kuncoro Hadi, Alifi Nur Prasetia Nugroho Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak- Kajian W.H. Rassers atas karya sastra Panji dengan menempatkan kisah itu sebagai mitologi Jawa yang khas dan lebih dalam berkaitan dengan struktur masyarakat Jawa, menjadi satu kajian dengan pendekatan antropologis struktural yang penting untuk ditelaah kembali. Tulisan ini merupakan telaah struktural atas kidung Wangbang Wideya. Kidung ini merupakan bagian dari kisah Panji. Telaah atas teks Wangbang Wideya dilakukan untuk menjelaskan struktur masyarakat Jawa. Analisis teks atas kidung ini menunjukkan formasi paroh masyarakat atau moiety, mancapat serta pernikahan eksogami seperti pandangan Rassers. Struktur- struktur itu direpresentasikan melalui hubungan konsentris para tokoh maupun kerajaan-kerajaan yang dihadirkan dalam kidung Wangbang Wideya.

Kata kunci: paroh masyarakat, moiety, mancapat, panji, Wangbang Wideya

THE JAVANESE MOIETY AND MANCAPAT: STRUCTURAL ANALYSIS OF KIDUNG PANJI WANGBANG WIDEYA

Abstract- The study of W.H. Rassers on Panji’s literary work by placing the story as typical Javanese mythology and more deeply related to Javanese society’s structure became a study with a structural anthropological approach that is important to be re-studied. This paper is a structural study of kidung Wangbang Wideya. This text is part of the story of Panji. The study of Wangbang Wideya’s text was conducted to explain the structure of Javanese society. Analysis of the text on this kidung shows the formation of moiety, mancapat and exogamous marriages such as Rassers view. The structures are represented through concentric relationships of figures and kingdoms presented in kidung wangbang wideya. keywords: moiety, mancapat, panji, Wangbang Wideya

STORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah p-ISSN: 1858-2621 e-ISSN: 2615-2150 2 | ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

PENDAHULUAN Tengahan ini juga telah mengikis Kidung Wangbang Wideya pakem wirama Jawa Kuno yang merupakan bagian dari kisah besar masih baku dengan pakem syair Panji. Dalam catatan Zoetmulder, India (Poerbatjaraka, 1968, hlm.404). cerita asmara pangeran Kuripan yang Secara imajinatif bisa dibayangkan biasanya disebut Panji, terhadap bahwa kisah Panji ditembangkan, puteri Daha, merupakan sebuah tema dituturkan, bahkan dipentaskan di yang sangat digemari, terutama di pusat-pusat keramaian khalayak Jawa dan (P.J. Zoetmulder, umum, termasuk diukirkan dalam 1983, hlm.532-536). Satu telaah relief-relief dan diletakkan di teras yang luas tentang roman Panji, W.H. candi periode . Figur-figur Rassers—yang juga kembali ber-tekes (topi) dalam relief-relief disinggung oleh S.O.Robson— itu, dalam catatan Lydia Kieven, menyatakan bahwa tema Panji ini menunjukkan penggambaran rakyat memiliki latar belakang mitologis, jelata dan para pelayan yang yaitu perayaan atau pemujaan atas kemudian meningkat menjadi bagian bulan (W.H. Rassers, 1922, hlm.166- penanda figur pahlawan lokal (Lydia 168; S.O. Robson, 1971, hlm.12). Kieven, 2014, hlm.384). Sementara, C.C. Berg mencoba Kisah Panji ini kemudian menemukan tahun tema Panji itu menyebar ke luar Jawa, ditulis dan muncul di pulau Jawa, dengan dituturkan kembali di beberapa menyebutkan batas temporal antara negeri di Nusantara bahkan hingga peristiwa ekspedisi Pamalayu pada Asia Tenggara. Selama berabad-abad 1277 M hingga 1400 M. setelah kemunculannya di Jawa, Poerbatjaraka merevisi pendapat Panji kemudian menjadi Berg dan menyebut bahwa kisah “penghubung” beberapa kebudayaan Panji berkembang sejak masa Asia Tenggara, dimana interaksi kejayaan negeri Wilwatikta yang terjadi di kota-kota bandar (Majapahit) dan menyebar luas (peradaban pesisir) di beberapa setelahnya (Poerbatjaraka, 1968, wilayah Asia Tenggara menjadi basis hlm.403-404). Cerita Panji telah penyebarannya. (Adrian Vickers, berkembang dan memunculkan 2009) banyak varian (versi), tetapi tetap Dalam kebanyakan kisah Panji bertema tunggal, kisah pencarian sering terlihat bagian-bagian yang asmara Panji terhadap Candra menarik, termasuk dalam konteks Kirana. sejarah kebudayaan, karena bagian- Kisah Panji kemudian menjadi bagian dalam Panji memaparkan budaya tandingan (counter-culture) suatu kehidupan di kraton dan atas budaya mapan keraton dengan memperkaya pengetahuan tentang basis Jawa Kuno yang merujuk pada , tarian dan musik yang budaya Sanskerta (India). Kisah ini dipergelarkan di dalam kraton. menyebar ke khalayak umum Dalam kisah-kisah Panji, unsur- menggunakan bahasa Jawa unsur romantis dicampur dengan Tengahan. Dalam catatan legenda-legenda serta deskripsi- Poerbatjaraka, bahasa ini merupakan deskripsi realistis mengenai dunia bahasa sehari-hari dan Panji Jawa orang Jawa, karena semua cerita ini

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah MOIETY HINGGA MANCAPAT MASYARAKAT JAWA: 3 ANALISIS STRUKTURAL ATAS KIDUNG PANJI WANGBANG WIDEYA Kuncoro Hadi, Alifi Nur Prasetia Nugroho

terjadi di pulau Jawa. (P.J. antropologis sebagai representasi Zoetmulder, 1983, hlm.532-536) struktur atau klasifikasi masyarakat Kisah-kisah Panji—atau Jawa. Rassers menjadi yang pertama Robson lebih menyebutnya sebagai dalam menelaah Panji dalam “Panji Theme” daripada “Panji paradigma antropologis ini dan Cycle” (S.O. Robson, 1971, sejauh ini belum ada lagi yang secara hlm.12)—selalu dihubungkan khusus menuliskan varian kisah dengan sebuah peristiwa historis. Panji dalam telaah yang sama. Tafsir pertama, kisah Panji Menggunakan pemikiran dihubungkan dengan kisah Rassers tentang klasifikasi kehidupan Sri Kameswara dari masyarakat, tulisan ini mencoba Kadiri (Panjalu) dan permaisurinya menelaah kembali kisah Panji secara Sri Kirana dari Jenggala. Dalam struktural melalui kidung Wangbang kisah Wangbang Wideya misalnya, Wideya yang telah disunting Robson. penggambaran wilayah penting, Secara tekstual, Panji berkembang yaitu Kahuripan dan Daha serta pada abad 17 hingga 18, karena perwujudan Makardwaja (Panji) produksi teks Panji muncul secara sebagai Wisnu nampaknya telah dominan pada periode itu dalam menarik acuan secara historis tentang bentuk kidung maupun hikayat, baik masa-masa kejayaan warisan di Jawa, Bali dan tempat lain ditambah bahwa Mpu (Melayu). Kidung Wangbang Dharmaja, selaku pujangga keraton, Wideya dipilih karena, dalam catatan pernah mengabadikan kebersamaan Vickers, kidung ini merupakan Kameswara bersama permaisurinya bagian dari produksi teks Panji dalam kakawin Smaradahana. paling awal di abad 16, sekalipun Kedua, kisah Panji dilekatkan lebih banyak muncul di Bali (Adrian dengan Arok dan Dedes berdasarkan Vickers, 2009, hlm.168) serta kemiripan dengan . Ketiga, menurut Zoetmulder, kidung Panji dilekatkan dengan sosok Wangbang Wideya, memiliki mutu (Prabu Rajasanagara). sastra yang baik dalam cara (W.H. Rassers, 1922, hlm. 132-161, menghadirkan kisahnya (P.J. 303-315; Poerbatjaraka, 1968, Zoetmulder, 1983, hlm.534). Dengan hlm.405-406; C.C. Berg, 1954, demikian ada detail—tokoh, nama hlm.305-307; Agus Aris Munandar, kerajaan dan jalinan kisahnya—pada 2014, hlm.6-7) kidung Wangbang Wideya. Yang menarik, Rassers tidak hanya menempatkan kisah Panji— METODE PENELITIAN dalam Hikayat Tjekel Wanengpati— Tulisan ini merupakan telaah sebagai sastra dan juga menelisik antropologi struktural. Sejauh ini, kaitan historisnya, tetapi juga penelitian atas kisah Panji hanya menempatkan kisah Panji dalam berhenti dalam tafsir historis. konteks antropologis sebagai sebuah Sementara dalam kajian filologis, mitos. Dalam konteks ini, selain Panji hanya diperbandingkan dan menempatkan kisah Panji sebagai dicari kisah Panji mana yang pemujaan atas bulan, Rassers juga kemunculannya lebih awal. berusaha melihat kisah Panji secara (Poerbatjaraka, 1968) Cerita Panji—

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Vol. 16, No. 1, 2020.

4 | ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

yang juga memiliki unsur legenda disamping saling bekerjasama secara dan mitos—sebagai bagian dari gotong-royong tetapi juga terkadang kebudayaan Jawa, perlu untuk saling bersaing (Koentjaraningrat, ditelaah dengan pendekatan 1987, hlm.204). antropologi, dalam hal ini Konsep paroh masyarakat ini menggunakan paradigma struktural juga melebur dalam konsep seperti yang dilakukan Rassers. mancapat dalam kultur Jawa. Van Dengan begitu, bisa muncul satu Ossenbruggen menjelaskan bahwa telaah yang berbeda dan mancapat merupakan sistem federasi memperkaya telaah atas kisah Panji. antara satu desa sebagai induk Cerita Wangbang Wideya (pusat) dengan empat sub-desa yang sebagai bagian dari kisah Panji mengelilinginya (berada di barat, menggunakan alur yang sama timur, selatan dan utara). Relasi ini dengan varian kisah Panji yang lain. sejalan dengan kosmologi Jawa yang Kidung Wangbang Wideya juga mengenal konsep sedulur papat lima mengkisahkan asmara antara pancer, dimana tengah (pancer) pangeran Makaradwaja dari menjadi pusat kosmisnya (F.D.E. van Kahuripan dan dewi Warastrasari Ossenbruggen, 1975, hlm.7-10; dari Daha. W.H. Rassers Suwardi Endraswara, 2006, hlm. 54- menyebutkan bahwa kisah Panji— 56). Sementara itu, Relasi desa induk sebagai bagian dari drama Jawa dengan empat subdesa tetaplah sama mitologis—pada dasarnya dengan relasi dua desa dalam moiety merefleksikan budaya eksogami (Koentjaraningrat, 1987, hlm.204). dalam phratie (W.H. Rassers, 1922, hlm.217-218, 225; S.O. Robson, HASIL PENELITIAN DAN 1971; W.H. Russers, 1959, hlm.4). PEMBAHASAN Phratie—seperti yang disebutkan A. Paroh Masyarakat (Moiety) oleh Koentjaraningrat yang mengulas dalam Panji Wangbang Wideya tentang pemikiran Rassers itu—sama Menggunakan telaah tentang maknanya dengan konsep moiety. moiety (phratie) seperti yang telah Heddy Shri Ahimsa Putra dijelaskan oleh Rassers, maka menjelaskan bahwa moiety terlihat struktur dua paroh merupakan paroh masyarakat yang masyarakat itu dalam kidung terbagi dalam dua kelompok besar Wangbang Wideya. Dalam pembuka yang mempunyai hubungan kisahnya pada pupuh pertama pertukaran, yang disebutkan bahwa: mengintegrasikannya dalam satu “sampun kyat ing rat sang masyarakat atau komunitas (Heddy prabu ring Kahuripan tuhu Shri Ahimsa Putra, 2013, hlm.143; amanggih kotamaning Koentjaraningrat, 1987, hlm.204). kawiryan apuputranulus Hubungan pertukaran ini—seperti prajurit wijnyanom apekik yang dilihat oleh Koentjaraningrat— paramarta supala kretawirya yang membentuk struktur konsentris, angaji sastra siro raden kedua paroh masyarakat itu memang Ino/kalumrah ing jagat sampun saling mempertukarkan wanita untuk yen raden Makaradwaja dikawinkan. Kedua paroh ini wirasakti ring rananggana

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah MOIETY HINGGA MANCAPAT MASYARAKAT JAWA: 5 ANALISIS STRUKTURAL ATAS KIDUNG PANJI WANGBANG WIDEYA Kuncoro Hadi, Alifi Nur Prasetia Nugroho

marmaning winuwus prajurit Yang perlu diperhatikan dalam sahira twan dewi saking kidung Wangbang Wideya, ada kisah nagareng Daha runtik rahaden dimana raden Makaradwaja lungha angulati mangko” (Kahuripan) menikahi Dyah (S.O.Robson, 1971, hlm.58) Kesawati () dan putri Warastrasari (Daha) dinikahkan Catatan pembuka dalam dengan pangeran Singhamatra kidung Wangbang Wideya, seperti (Kembang Kuning), tetapi umumnya kisah Panji, menceritakan hubungan-hubungan yang dibangun tentang putra mahkota kerajaan melalui pernikahan itu tidak sesuai Kahuripan bernama raden dengan konsep dua paroh masyarakat Makaradwaja, dikenal juga sebagai karena ketidakseimbangan raden Ino, kehilangan seorang putri (ketidaksetaraan) relasi dua kerajaan dari negeri Daha (yang akan menjadi dalam narasinya. permaisurinya) dan dengan amarah “…marmaning musuh tan ana berusaha mencarinya. Dalam kisah tumanggalang ing ranajrih ini terdapat dua relasi yang jelas, kawus samanungkul kang yakni Kahuripan-raden Makaradwaja sesaning mati sami atur putri (berjuluk raden Inu) dengan putri kanya makahisining puri srah Daha (yang kemudian dikenal kabaktin natgata ring sang dengan nama putri Warastrasari prawirapekik/putri ring (raden Galuh). Kahuripan dan Daha Singhasari sampun malih kalap nampak seperti paroh masyarakat rabi dera raden (moiety) yang—seperti penjelasan Makaradwaja…” Heddy Shri Ahimsa Putra—mewujud “…sang nateng Kadiri pan dalam dua kelompok besar serta sang prabu sireki kaprenah mempunyai hubungan pertukaran, gusti lawan asung urip…” yang mengintegrasikannya dalam (S.O. Robson, 1971, hlm.58, satu masyarakat atau komunitas 64) (Heddy Shri Ahimsa Putra, 2013, hlm.143). Ketidakseimbangan itu terlihat Dalam konteks ini, posisi putri pada dua tuturan dalam kidung Daha yang menjadi calon permaisuri Wangbang Wideya di atas. Dua raden Inu telah menunjukkan bagian penjelasan itu mempertegas bahwa dari relasi pernikahan—seperti Dyah Kesawati (Singhasari) penjelasan Koentjaraningrat—yang ditaklukkan oleh Makaradwaja terjalin sebagai bentuk hubungan sebagai putri persembahan kedua kelompok itu. hubungan (seserahan), sementara bagi positif ini menunjukkan adanya penguasa Kembang Kuning, kerjasama diantara keduanya. Meski penguasa Kadiri (Daha) dianggap diawal, pernikahan mereka gagal lebih tinggi posisinya. Dalam narasi tetapi di akhir kidung Wangbang itu nampak jelas bahwa relasi Wideya, raden Makaradwaja dan Kahuripan-Singhasari dan Daha- Warastrasari akhirnya bersatu dan Kembang Kuning tidak setara. telah membentuk ikatan antara Disamping hubungan dua Kuripan dan Daha. paroh masyarakat yang positif,

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Vol. 16, No. 1, 2020.

6 | ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

Koentjaraningrat juga menjelaskan dengan putri Daha. Sementara relasi bahwa hubungan kedua paroh negatif—yang juga menunjukkan masyarakat juga bisa saling bersaing. hubungan dua paroh masyarakat Dalam telaah atas kidung Wangbang dengan munculnya peperangan Wideya, maka relasi antara Lasem antara Daha dan Lasem dalam dengan Daha bisa menunjukkan kidung Wangbang Wideya—bisa hubungan persaingan antar paroh juga dilihat dalam varian Panji pada masyarakat itu. Dalam bait awal Hikajat Pandji Kuda Semirang pupuh kedua kidung Wangbang (peperangan antara kerajaan Wideya dijelaskan: Panggaldjaja dengan Danuradja, “ndan Lingira sang aluhun ih dimana Panji berada di sisi rakryan apatih lah Danuradja dan memenangkan pangarahana wadwaningsun peperangan) (Koentjaraningrat, anglurugeng Kadiri nem 1987, hlm. 36-37.) serta Pandji dinangkas mangkata Djajeng Tilam (peperangan antara kaharepingsun den seregep Djenggala dengan Bali) (R.Ng. sanjata lara wirang kami Ranggawarsita, 1966, hlm. 139-140). luputira twan galuh ing Daha” B. Mancapat dalam Panji (S.O. Robson, 1971, hlm. 114) Wangbang Wideya Telaah van Ossenbruggen Pupuh kedua kidung tentang mancapat diperkuat secara Wangbang Wideya secara antropologis oleh J. van Baal yang keseluruhan memang membahas menyebutkan bahwa mitos—dimana relasi Daha dengan Lasem. kisah klasik seperti Panji menjadi Keduanya nampak memiliki posisi bagiannya—memiliki struktur yang yang sejajar dan keduanya saling dalam tentang satu peristiwa lampau. bermusuhan dan terlibat dalam Cerita Panji, seperti dijelaskan van peperangan yang dimenangkan oleh Baal, umumnya dimulai dengan Daha. Prabu Lasem—yang ingin sejarah empat raja yang anak- merebut putri Galuh dan akhirnya anaknya saling diperjodohkan. Pola kalah dan terbunuh—bersama bala ini menjadi pola standar dalam mitos tentara yang disambut pasukan Daha Jawa yang terhubungan dengan dipimpin Wangbang Wideya Apanji struktur pembagian empat (J. van Wireswara (raden Ino) dalam Baal, 1987, hlm.47), yang dalam peperangan dapat ditafsirkan sebagai kenyataan, seperti penjelasan Titi hubungan paroh masyarakat yang Surti Nastiti, bisa merujuk pada saling bersaing itu. istilah panatur desa. Konsep ini Kisah Panji dalam Wangbang sudah dikenal sejak abad 9 M serta Wideya telah menunjukkan relasi dua menunjukkan pola perkembangan paroh masyarakat baik positif pedesaan yang bermula dengan satu maupun negatif. Kisah-kisah Panji desa induk dikelilingi oleh empat dalam banyak variannya memang “anak” desa yang terletak di keempat menunjukkan relasi positif antara penjuru mata angin (Titi Surti Kuripan dan Daha, sebagai bentuk Nastiti, 2003, hlm.14). hubungan dua paroh masyarakat, Dalam kidung Wangbang dalam wujud pernikahan Panji Wideya, konsep mancapat seperti

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah MOIETY HINGGA MANCAPAT MASYARAKAT JAWA: 7 ANALISIS STRUKTURAL ATAS KIDUNG PANJI WANGBANG WIDEYA Kuncoro Hadi, Alifi Nur Prasetia Nugroho

yang dijelaskan oleh van yang menjadi pembawa dan Ossenbruggen, dimana satu kategori pengirim surat-surat putri Daha pusat dikelilingi oleh empat kategori (S.O.Robson, 1971, hlm.27). pinggiran nampak dalam hubungan Konsep mancapat dalam tokoh dengan para pengiringnya bentuk relasi konsentris kerajaan (kadeyan dan emban) serta relasi muncul dalam pupuh kedua kidung konsentris kerajaan yang dihadirkan Wangbang Wideya. Pupuh kedua dalam teks. Kisah kepergian diam- yang menceritakan permusuhan diam Makaradwaja (raden Ino) Lasem dengan Daha, menuju Daha dengan menyamar memperlihatkan dua kerajaan itu sebagai seorang pengalasan bernama menjadi pusat yang dikelilingi oleh Wangbang Wideya Apanji kerajaan-kerajaan pendukung. Wireswara, hanya diiringi pengikut “…nrepating Lasem kasub terdekatnya. Pupuh pertama, bait ke prawira sakti wigdagda ring 35 menjelaskan hal ini. yuda suka sugih wah pamukti “suka rahaden mantri lingira balanirabyuh nrepati/katrini ka rangga Wicitra muwah kaka sanak sang prabu pamade sira empu Siwasmreti kaka Ajaran- sang nateng Mataram sendi Wirapaksa ka Banyak-Sudira sang nateng Kabalan prasama ana sira yayi Srenggara-Yuda prakoseng jurit katiga sri ngwang asalina aran narapati//munggah araningwang Wangbang siraparipeyan lan sang nateng Wideya apanji Camara mwayng ing Pajang Wireswaranaking priya// aja mwang sang nateng akeh miluwangiring Manungkuli sama atut sang kawulaningwang…” nateng Lasem…” (S.O.Robson, (S.O.Robson, 1971, hlm.74) 1971, hlm. 114)

Bait ini menunjukkan relasi “ring manguntur tinangkil sira raden Ino dengan para kadeyan sang nata pepek kang bala (pengiring) utama. Raden Ino warga woya sira sang prabw sebagai pancer (pusat) dan empat ing Jagara ring Kembang- pengiringnya, Rangga Wicitra, Jenar ring Ajaran-Wirapaksa, Banyak-Sudira Putrasena…panahuripun utang dan Srenggara-Yuda sebagai manca sih tahurakena ring pabaratan (di luar/di sekeliling). Empu nrepating Daha kapyuhan Siwasmreti dalam kidung Wangbang angrenge wasitanira Wideya merupakan penasehat raden Wangbang Wideya…” Ino dan bukan bagian dari kadeyan. (S.O.Robson, 1971, hlm. 118) Catatan lain yang penting, menurut Robson, putri Daha (Warastrasari) Ikatan konsentris kerajaan disamping selalu didampingi oleh Lasem dan Daha dengan kerajaan- emban Ken Bayan dan Ken Sanggit, kerajaan lain menunjukkan pola juga dilayani oleh Duta-Liring dan sama. Pertama, Lasem menjadi satu Angalap-Sih. dua yang terakhir ini kategori pusat dan Kabalan plus merupakan pelayan lebih rendah Mataram, Camara, Pajang dan

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Vol. 16, No. 1, 2020.

8 | ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

Manungkuli menjadi empat sub- (moiety) dalam persoalan pernikahan kategorinya. Penyebutan persaudaran adalah eksogami. Lebih jauh, van prabu Lasem dengan penguasa Ossenbruggen juga menjelaskan Mataram dan Kabalan telah bahwa satu paroh masyarakat yang menunjukkan bahwa sesungguhnya saling merasa ada hubungan penguasa Mataram dan Kabalan kekerabatan—setidaknya pada bersaudara. Tafsir atas ini adalah permulaannya—tidak diperbolehkan kedua kerajaan bersaudara ini kawin di antara mereka (endogami). menjadi satu. Kedua, relasi antara Itu berarti perkawinan antar paroh Daha sebagai pusat dengan Jagaraga, masyarakat diatur dengan ketat agar Kembang Kuning, Putrasena anggota salah satu moiety hanya ditambah Wangbang Wideya beserta diperbolehkan menikah dengan pengikutnya (bisa dilihat sebagai anggota yang bersesuaian dari moiety “Kahuripan”) sebagai empat sub- lainnya. (F.D.E. van Ossenbruggen, kategori menguatkan interpretasi 1975, hlm.15) konsep mancapat. Telaah atas eksogami dalam Perbandingan kisah Panji kidung Wangbang Wideya bisa dalam delapan naskah yang ditunjukkan pada pupuh ketiga dilakukan Porbatjaraka—Hikajat bagian akhir dimana pernikahan- Pandji Kuda Semirang, Pandji pernikahan dilakukan dan melibatkan Kamboja, Serat Kanda, Angron- Kuripan, Daha serta Lasem berikut akung, Djajakusuma, Pandji dengan negeri pengikutnya. Kuripan, (Angrèni) Palembang, Pandji Kuda- Daha dan Lasem bisa ditempatkan Narawangsa serta Malat—juga sebagai paroh masyarakat (moiety) secara tidak langsung menunjukkan sementara Singhasari, Gegelang, secara umum konsep mancapat Kembang Kuning, Jagaraga, dalam wujud kehadiran empat Putrasena, Kabalan plus Mataram, penguasa kerajaan bersaudara, Camara, Pajang serta Manungkuli Kuripan (Kahuripan, Jenggala), Daha menjadi bagian dari masing-masing (Kadiri, Mamenang), Singasari dan tiga moiety itu. Gegelang (Urawan) dengan Kilisuci (pendeta wanita di Pucangan) sebagai pusat (Poerbatjaraka, 1968, hlm.3-369). J.J.Ras juga menunjukkan struktur yang hampir sama pada Hikajat Tjekel Wanengpati yang dikaji Rassers, Dalam ketiga moiety itulah dimana terdapat lima figur penting: hubungan perkawinan dipertukarkan. figur perempuan (rara) suci yang Memang pernikahan endogami dikelingi saudara kandung dan ipar terjadi, seperti terlihat diawal bahwa penguasa empat kerajaan (J.J. Ras, Makaradwaja (Kuripan) menikahi 1973, hlm.431-432). Dyah Kesawati (Singhasari)— C. Eksogami dalam Panji dimana Kesawati sebenarnya Wangbang Wideya merupakan sepupu putra mahkota Russers menunjukkan bahwa Kahuripan itu—serta putri hubungan antar paroh masyarakat Warastrasari (Daha) dinikahkan

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah MOIETY HINGGA MANCAPAT MASYARAKAT JAWA: 9 ANALISIS STRUKTURAL ATAS KIDUNG PANJI WANGBANG WIDEYA Kuncoro Hadi, Alifi Nur Prasetia Nugroho

dengan pangeran Singhamatra (Gegelang) menikah dengan (Kembang Kuning). Tetapi Tilakusuma (Jagaraga), empu pernikahan ini kemudian tidak Siwasmreti (Kuripan) menikah dianggap penting. Dalam kidung dengan putri mpu Dyaksa Wangbang Wideya, pada akhirnya, (Mamenang/Daha), Rangga Wicitra Dyah Kesawati dipinggirkan oleh (Kuripan) mendapatkan Ken Bayan Makaradwaja serta pernikahan (Daha) serta Banyak Sudira Warastrasari dengan Singhamatra (Kuripan) mendapatkan Ken Sanggit dibatalkan. Bait-bait dalam pupuh (Daha). Perjodohan yang terjadi tiga kidung Wangbang Wideya diakhir kisah Wangbang Wideya ini memberikan gambaran pola telah menunjukkan dengan jelas pernikahan eksogami. bahwa pernikahan eksogami “kuneng sira raden dilakukan dalam kelompok relasi Singhamatra wus ingundang antar moiety ataupun mancapat. denira raden Makaradwaja Telaah struktural ini masih tinariman jarahan sang putring perlu dikaji lebih dalam. Tafsir atas Lasem ayu lewih pan ing uni budaya eksogami di Jawa bisa saja rakwa dahat kinayunan denira tidak berlaku sepenuhnya jika kisah Singhamatra…” (Panji) Wangbang Wideya secara “kuneng sira Srenggara-Yuda historis dilekatkan pada kisah prabu muwah sinengan denira sang Rajasanagara (Hayam Wuruk). Kisah prabu lah kaki tekanembah Panji dalam Wangbang Wideya (atau lingira nrepati/ abagus varian kisah Panji lainnya) akan mantunisun iki anom prawira berbenturan dengan kisah kidung prasama gumuyu sira sang Sunda (termasuk Pararaton) yang prabu sang nateng Gegelang justru membatalkan perkawinan angling//arseng punang eksogami, dimana Hayam Wuruk angranggoni pun Tilakusuma (Majapahit) batal menikahi Dyah gumuyu sang nateng Jagaraga Pitaloka (Sunda) (P.J. Zoetmulder, lingira amuwus kapalang kang 1983, hlm.528-532). Kakawin angranggoni ing sira Desawarnana (Negarakrtagama) Srenggara-Yuda…” menyebutkan jika Rajasanagara “…empu Siwasmreti winarang memiliki permaisuri seorang putri anakira mpu dyaksa ring (Indu Dewi) dari penguasa Daha- Mamenang ahayu wicaksana Wengker yang masih kerabat dekat rangga Wicitra sinung ken penguasa Majapahit (I Ketut Riana, Bayan ken Sanggit sinungan 2009, hlm. 62,71). Paradigma Banyak-Sudira” (S.O. Robson, struktural Levi Strauss bisa 1971, hlm.230, 236, 238) memberikan tafsiran memadai Disamping pernikahan dengan melihat kisah Panji dalam Makaradwaja (Kuripan) dengan Wangbang Wideya dan kisah Hayam Warastrasari (Daha), bait-bait di atas Wuruk dalam kidung Sunda. Dengan juga menunjukkan pernikahan- pendekatan ini, bisa dilihat adanya pernikahan eksogami. Singhamatra oposisi (kebalikan): kisah (Kembang Kuning) menikah dengan Makaradwaja (Panji/Ino) akhirnya putri Lasem, Srenggara-Yuda menikahi Warastrasari (Galuh)—

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Vol. 16, No. 1, 2020.

10 | ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

berarti menerima eksogami, “sedulur papat lima pancer” berkebalikan (><) dengan kisah (mancapat) dan praktik pernikahan Hayam Wuruk akhirnya batal yang dijalani oleh orang-orang Jawa. menikahi Pitaloka—berarti menolak eksogami. Tafsiran lebih dalam atas DAFTAR PUSTAKA eksogami dalam kisah Wangbang Adrian Vickers, Peradaban pesisir: Wideya—jika menggunakan menuju Sejarah Budaya Asia strukturalisme Levi Strauss—akan Tenggara (terjemahan Arif B. bermakna refleksi atas pernikahan Prasetyo), Denpasar: Pustaka eksogami yang sesungguhnya Larasan dan Udayana dianggap ideal, sementara yang University Press, 2009. terjadi kalangan masyarakat Jawa di masa lalu menjalankan praktik Agus Aris Munandar, “Panji dan pernikahan endogami. Para Kadeyan Mengembara dalam Kebudayaan KESIMPULAN Nusantara” dalam St. Kisah Panji, seperti yang juga Hanggar B. Prasetya dan I dihadirkan dalam kidung Wangbang Wayan Dana, Panji dalam Wideya, tidak hanya sekedar kisah Berbagai Tradisi Nusantara, asmara dunia keraton (elit), tetapi Jakarta: Direktorat juga memberikan gambaran secara Pembinaan Kesenian dan umum masyarakat Jawa. Narasi- Perfilman, Direktorat narasi yang ada dalam kisah Panji Jenderal Kebudayaan, memiliki struktur dalam secara Kementerian Pendidikan dan antropologis. Jalinan perkawanan, Kebudayaan, 2014. kekerabatan dan konflik antar tokoh, baik yang menunjukkan figur-figur C.C. Berg, “Bijdragen tot de kennis elit maupun kalangan rendah serta van de Panji-verhalen. II”, kedudukan antar kerajaan dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- kisah Panji memberi gambaran en Volkenkunde 110, no.4, tentang struktur dalam ini. Dengan 1954. menelaah teks kidung Wangbang Wideya dengan pendekatan struktural F.D.E. van Ossenbruggen, Asal-usul Rassers dan van Ossenbruggen, Konsep Jawa tentang maka terungkap representasi- Mancapat dalam representasi moiety, mancapat dan Hubungannya dengan Sistim- pernikahan eksogami. Kisah sistim Klasifikasi Primitif Wangbang Wideya (Panji) bisa (terjemahan Winarsih Arifin), menjadi model of kehidupan ideal Jakarta: Bhratara, 1975. masyarakat Jawa masa lalu, terutama Heddy Shri Ahimsa Putra, untuk memahami kultur keraton Strukturalisme Levi Strauss Jawa. Telaah atas kisah Wangbang Mitos dan Karya Sastra, Wideya mampu memberikan Yogyakarta: Kepel Press, gambaran struktur yang jelas 2013. masyarakat Jawa tentang pola kehidupan mereka, kosmologi

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah MOIETY HINGGA MANCAPAT MASYARAKAT JAWA: 11 ANALISIS STRUKTURAL ATAS KIDUNG PANJI WANGBANG WIDEYA Kuncoro Hadi, Alifi Nur Prasetia Nugroho

I Ketut Riana, Kakawin Dēśa P.J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Warṇnana uthawi Nāgara Jawa Kuno Selayang Kṛtāgama. Masa Keemasan Pandang (terjemahan Dick Majapahit, Jakarta: Kompas, Hartoko), Jakarta: Jambatan, 2009. 1983.

J. van Baal, Sejarah dan Poerbatjaraka, Tjerita Pandji dalam Pertumbuhan Teori Perbandingan, Jakarta: Antropologi Budaya (hingga Gunung Agung, 1968. Dekade 1970) (terjemahan J.Piry), Jakarta: Gramedia, R.Ng. Ranggawarsita, Pandji 1987. Djajeng Tilam. Tetedakan saking buku tjap-tjapan, J.J. Ras, “The Panji Romance and Jakarta: Balai Pustaka, 1966. W.H. Rassers’ Analysis of Its Theme”, Bijdragen tot de S.O. Robson, Wangbang Wideya: A Taal-, Land-en Volkenkunde Javanese Panji Romance, 129, no. 4, 1973. The Hague: KITLV, 1971

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Suwardi Endraswara, Mistik Antropologi I, Jakarta: UI kejawen: sinkretisme, Press, 1987 simbolisme, dan sufisme dalam budaya spiritual Jawa, Lydia Kieven, Menelusuri Figur Yogyakarta: Narasi, 2006. Bertopi pada Relief Candi Zaman Majapahit. Titi Surti Nastiti, Pasar di Jawa Pandangan Baru terhadap pada Masa Mataram Kuna Fungsi Religius Candi-Candi Abad VII-XI Masehi, Jakarta: periode Jawa Timur Abad ke- Pustaka Jaya, 2003. 14 dan ke-15 (terjemahan Arif Bagus Prasetyo), W.H. Rassers, “De Pandji Roman”, Jakarta: KPG, EFEO dan IFI, Disertasi, Rijks Universiteit 2014. te Leiden, 1922.

______, Pañji The Culture Hero, The Hague: Martinus Nijhoff, 1959.

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Vol. 16, No. 1, 2020.