Imperialisme Budaya Melalui Perangkulan Budaya Lokal Di Balik
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
IMPERALISME BUDAYA MELALUI PERANGKULAN BUDAYA LOKAL DI BALIK FILM JAVA HEAT Melisa Arisanty Ilmu Komunikasi, Fakultas Humaniora dan Bisnis, Universitas Pembangunan Jaya [email protected] Abstract Cultural imperialism is still a hot topic of debate on an international scale. Even cultural imperialism was once accused of being a paradigm that responsible for the practice of exploitation and cultural destruction in the world. Form of cultural imperialism include fashion, music, movies and others.The most interesting thing that we can look at the form of currently cultural imperialism is in the film world. Today, many Hollywood directors who embrace the local culture of the developing countries (location setting, local actors and actresses, local fashion, and the very typical storyline that full of local nuances) in their film to attract many people in the world. This is a new American way to spreadtheir supremacy to the developing countries, especially in Indonesia. One of their way is through Java Heat Movie. This moviecollaboratedIndonesian culture, but still dominant with Hollywood culture. By using semiothics analysis of Roland Barthes, the researcher will discuss deeply about Java Heat films so that it will be found that the ideology of cultural imperialism that is still inherent and alive to this day in Hollywood movies. Nowdays, this cultural imperialismis framed beautifully in the embrace of local culture in hollywood movie “Java Heat”.These findings contribute to semiotics studies linked to the concept of implicit cultural imperialism in the Hollywood film Keywords : Cultural Imperialism, Semiothics, Java Heat, Embrace of The Local Culture Abstrak Imperialisme budaya hingga saat ini masih menjadi topik perdebatan yang hangat di skala Internasional. Bahkan imperialism budaya pernah dituduh sebagai paradigma yang bertanggung jawab terhadap serangkaian eksploitasi dan kehancuran budaya di dunia ketiga. Bentuk Imperialisme yang dilancarakan baik berupa fashion, musik,, film dan lain-lain. Hal yang paling menarik yang dapat kita cermati dari perkembangan bentuk imperialisme budaya yang trend saat ini adalah melalui dunia film. Banyaknya sutradara-sutradara Hollywood saat ini yang merangkul budaya lokal dari negara-negara berkembang (setting lokasi, pemain lokal, fashion lokal, maupun alur cerita yang sangat khas nuansa kelokalannya) merupakan cara baru Amerika dalam menyebarkan supremasinya ke negara berkembang seperti di Indonesia. Salah satunya melalui Film Java Heat, yang mengkolaborasikan budaya lokal Indonesia namun tetap kental dengan budaya film action Hollywood. Dengan menggunakan analisis semiotika Roland 371 Barthes, peneliti menemukan bahwa ideologi imperialisme budaya ditunjukkan secara implisit dalamFilm Java Heat, meskipun saat ini bentuknya yang lebih canggih dan terpoles cantik melalui perangkulan budaya lokal pada film Hollywood “Java Heat”. Temuan ini berkontribusi terhadap kajian semiotika yang dikaitkan dengan konsep imperialisme budaya implisit dalam film Hollywood. Kata Kunci: Imperialisme Budaya, Semiotika, Java Heat, Perangkulan Budaya Lokal PENDAHULUAN mengenai imperialisme budaya (cultural imperialism), termasuk Imperialisme Budaya kajian mengenai imperialisme merupakan dua kata yang selalu budaya sebagai imperialisme media mengingatkan pada perusahaan- (cultural imperialism as media perusahaan raksasa yang berbasis di imperialism) (Tomlinsonm 2002: negara maju terutama Amerika dan 223-226). Inggris. Terdapat setidaknya lima perusahaan raksasa yang menguasai Sebelum abad ke-20, jarang media global yakni News Corp., sekali film di Indonesia yang Disney/CapCities, Time Warner, menayangkan film-film dari negara- Viacom dan TCI dimana perusahaan- negara lain selain dari AS. Tapi, saat perusahaan ini pada ini di layar kaca, dapat kita temukan perkembangannya memiliki anak dan banyak sekali tayangan non- cucu perusahaan sehingga benar- Amerika. Sebut saja dari India, benar menggurita. News Corp., Jepang, Korea, Cina, Taiwan, misalnya, memiliki berbagai Meksiko dan lain-lain. Dunia suratkabar, stasiun televisi dan menjadi lebih terintegrasi sistem satelit penyiaran di seluruh berdasarkan pasar dalam lingkaran dunia termasuk Star TV dan Sky TV; pasar kapitalisme. dan Time Warner’s adalah pemilik O’Shaughnessy dan Stadler Turner Broadcasting yang tak lain menggambarkan imperalisme adalah pendiri dan pemilik CNN. kultural sebagai proses dimana suatu Kenyataan demikian sudah agak budaya memaksakan kontrol politik beberapa lama menimbulkan dan ekonominya terhadap budaya keprihatinan luas dan juga wacana 372 lain tidak melalui invasi kontrol adalah mengenai Film Hollywood politis serta kekuatan fisik namun yang mengambil setting lokasi, alur melalui invasi nilai-nilai dan cerita dan pemain lokal Indonesia gagasan-gagasan kulturalnya dalam pembuatan film Java Heat (O’Shaughnessy dan Stadler, 2002: yang pada Bulan April kemarin 119). Film sebagai produk industri sudah dapar ditonton secara merata dan ekonomi dapat menerapkan di seluruh bioskop di Indonesia dan kontrol kulturalnya terhadap budaya bulan Mei 2013 akan ditayangkan lain melalui beragam cara yang secara serentak di box office kemudian tanpa disadari diterima Hollywood. sebagai bagian dari jargon budaya Bicara mengenai Hollywood, konsumsi. semua pasti pernah mendengar nama Dalam konteks dunia ketiga, tersebut. Hampir semua bioskop di sangatlah dipahami jika sampai saat dunia, termasuk di Indonesia terlihat ini inferioritas ini masih “sepakat” untuk memutar film-film mendominasi sehingga apapun yang terbaru buatan industri film berasal dari Barat akan selalu Hollywood. Kita akrab dengan film dianggap lebih indah, lebih menarik, Titanic ,Harry Potter series, dan lebih modern dibandingkan yang Twilight SAGA. Kecintaan berasal dari Timur. Indonesia juga masyarakat Indonesia terhadap film- seperti itu, akibat dari adanya film Hollywood terlihat jelas dari Imperialisme budaya tersebut, panjang antrian untuk menonton semakin banyak pula kebudayaan- film-film tersebut, apalagi film kebudayaan yang masuk ke Hollywood dengan serial yang sudah Indonesia dan mempengaruhi budaya lama ditunggu-tunggu. Dari segi Indonesia sendiri. Mereka masuk jumlah penonton, film-film produksi melalui berbagai jenis cara, baik dari lokal, seperti Laskar Pelangi , fashion (pakaian), tarian (dance), Arisan, dan CIN(T)A justru selalu lagu-lagu, musik, artisnya, bahkan seperti tamu di negaranya sendiri. yang paling mendominasi dan paling Fenomena yang sama bisa dikatakan terlihat adalah filmnya. Di dalam juga terjadi di negara-negara lain, pembahasan yang akan Peneliti ulas 373 bahkan di negara-negara maju seperti “kebangkitan kembali’. Setelah negara di Eropa sekalipun. sempat mengalami pasang surut, tingkat produksi film Indonesia Bahkan film Hollywood pun mulai naik kembali. Setelah sempat saat ini menjadi standar perfilman mengalami pasang surut, tingkat dunia karena tak dapat dipungkiri produksi film Indonesia mulai naik bahwa film Hollywood memang kembali. Kebangkitan film ini mencetak film-film bermutu, ditandai dengan munculnya film berkualitas dan disukai banyak berjudul “Pertualangan Sherina” di masyarakat dunia. Lalu, bagaimana tahun 2000 dan film “Ada Apa dengan film di Indonesia?. Jika kita dengan Cinta” di tahun 2002. Kedua tengok kembali sejarah perfilman di film ini mendapat sambutan yang Indonesia, kita pasti akan mengenal besar dari masyarakat. Mulai saat itu, “Catatan Si Boy”, Film Warkop DKI produsen-produsen film (Dono, Kasino, Indro) bahkan bermunculan dengan menghasilkan banyak pula film-film laga serta film film dalam berbagai genre (Aziz, horor yang marak masa dulu. 2011). Perkembangan film di Indonesia memang mengalami pasang surut Berbagai genre tersebut, ada yang sangat menarik untuk diamati, yang bergenre film horor, drama karena di dalam pasang surut film percintaan dan genre komedi. Namun Indonesia inilah terjadi relasi yang yang paling banyak bermunculan kuat antara film dan sinema sebagai adalah film bergenre horor dan bentuk kebudayaan dengan institusi terkadang seringkali banyak politik yang berkuasa di masanya. menampilkan adegan-adegan panas Sejak film masuk ke Indonesia di dengan unsur seks. Hal ini dipertegas awal abad 19 M, berbagai kisah dalam hasil penelitian (Ayun, 2011) manis dan pahit dalam relasi film yang menyatakan bahwa perempuan dan sinema dengan penguasa politik dalam film horor dituntut untuk yang memegang kendali kuasa di menggunakan pakaian – pakaian masanya (Aziz, 2011). terbuka, mereka diskriminasi karena tidak dapat memilih pakaian apa Industri Perfilman di yang layak menutupi tubuh mereka. Indonesia saat ini mengalami masa 374 Mereka dituntut untuk ekonomi, tetapi juga nilai-nilai berpenampilan secara professional budaya (cultural capital). dengan rela menampilkan tubuh Kapitalisme Barat tidak saja mereka dan beradegan sensual. menginvestasi modal dan infrasruktur fisik, namun sekaligus Bahkan dalam memaksakan modal budayanya perkembangannya ketiga unsur yakni untuk diterima sebagai salah satu horor, komedi dan seks yang nilai tunggal peradaban manusia dijadikan satu dalam satu film.Hal mendatang. inilah yang kemudian menjadi kejenuhan bagi masyarakat untuk Dengan memahami menonton film-film yang baggi perkembangan kapitalisme, simbol- mereka tidak berkualitas. Saat simbol itu jelas sekali imperialisme barat masuk ke peruntukannya. Ada praktik Indonesia dengan bentuk film-film imperialisme kultural yang dibangun action, drama percintaan dan oleh produser-produser dengan berbagai film yang dibuat dengan maksud menciptakan