1

Peran Politik Haji dari Masa Pergerakan Nasional hingga Revolusi Kemerdekaan (1908-1949)

M. Najmuddin, Linda Sunarti Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas , Depok

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang peran politik Haji Agus Salim dari masa Pergerakan Nasional hingga Revolusi Kemerdekaan. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode sejarah yang terdiri dari tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang hidup di tiga masa, Haji Agus Salim telah banyak melakukan kegiatan politik sepanjang hidupnya. Pada masa Pergerakan Nasional (1908-1942), Haji Agus Salim terlibat dalam berbagai organisasi termasuk Sarekat Islam. Ketika memasuki masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Haji Agus Salim juga aktif dalam dunia diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan cara berusaha mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara lain. Hingga meninggalnya pada November 1954, Haji Agus Salim telah banyak berperan dalam perjalanan politik bangsa Indonesia.

Kata Kunci: Haji Agus Salim, Pergerakan Nasional, Revolusi Kemerdekaan, Sejarah Politik.

Haji Agus Salim’s Political Role from Periode of The National Movement until The Revolution of Independence (1908-1949)

Abstract

This study will discusses about Haji Agus Salim’s Political Role from the era of National Movement until Revolution of Independence. The method used in this research is the historical method comprising the steps of heuristics, criticism, interpretation and historiography. As one of the most important figure in the history of this country who lived in three Indonesian historical priodes, Haji Agus Salim had many political activities throughout his life. During National Movement periode (1908-1942), Haji Agus Salim had involved in various organizations, including Sarekat Islam. When the periode of Revolution of Independence started (1945-1949), Haji Agus Salim also involved in the diplomatic mission abroad to gain foreign support. Haji Agus Salim died in November 1954. He left many legacy of political struggle for Indonesian people.

Keywords: Haji Agus Salim, National Movement, Revolution of Independence, Political History.

Pendahuluan Haji Agus Salim merupakan salah satu tokoh yang turut berperan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Haji Agus Salim telah hidup dalam tiga masa, yakni zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang, hingga masa kemerdekaan. Dalam tiga masa tersebut,

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 2

Haji Agus Salim terlibat dalam gerakan politik di organisasi maupun pemerintahan dengan posisi yang berbeda-beda. Lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, , Sumatra Barat, Haji Agus Salim pertama kali meniti karirnya sebagai anggota Konsulat Belanda di Jeddah, Hijaz pada tahun 1906 hingga 1911. Pengalaman langsung bersentuhan dengan masyarakat Arab dan umat muslim di tanah suci ini menjadi titik balik penting dalam kehidupan Haji Agus Salim, karena dimasa itulah Haji Agus Salim menemukan agamanya kembali1. Selama menjadi staf konsulat Belanda di Jeddah, Agus Salim banyak berkunjung ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji dan berguru kepada beberapa ulama terkemuka disana, salah satunya yaitu Syeikh Ahmad Khatib yang merupakan ulama asal Sumatra yang diangkat menjadi salah satu Imam besar Masjid al-Haram2. Setelah lima tahun berada di Timur Tengah, Haji Agus Salim kemudian pulang ke tanah air dan pertama kali terjun dalam dunia Pergerakan Nasional melalui organisasi Sarekat Islam (SI). Sarekat Islam merupakan salah satu organisasi pertama sekaligus terbesar pada masa Pergerakan Nasional3. Selama menjadi pengurus Sarekat Islam, Haji Agus Salim terjun dalam masa-masa penuh pergolakan, yakni pada saat disiplin partai. Oleh karena itu, pengalaman menjadi pengurus Sarekat Islam merupakan bentuk peranan politik terbesar yang dijalani oleh Haji Agus Salim selama masa Pergerakan Nasional. Memasuki masa Revolusi Kemerdekaan, terutama pasca dibentuknya kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim dipercaya untuk menduduki posisi Menteri Muda Luar Negeri sejak Maret 1946. Pada waktu menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri inilah, Haji Agus Salim mendapatkan salah satu tugas terpenting yang pernah dijalaninya selama Revolusi Kemerdekaan. Pada tanggal April 1947, Haji Agus Salim diangkat sebagai ketua delegasi RI di Mesir, dengan dibantu oleh pelajar Indonesia yang ada disana, mereka berjumpa dengan berbagai macam tokoh Mesir beserta tokoh-tokoh Arab lainnya. Haji Agus Salim berusaha memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Mesir untuk mendapatkan simpati bagi

1 Meskipun Haji Agus Salim sekarang lebih dikenal sebagai tokoh Islam, namun sebenarnya dalam pengakuannya sendiri, Haji Agus Salim merasa baru menemukan Islam ketika berada di tanah suci. Pendidikan Barat yang dia tekuni sewaktu belajar di Hindia Belanda sebelumnya telah membentuk karakter yang cenderung menjauhkan dia dari agamanya. Lihat: Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1996). Hal: 43-45. 2 Selengkapnya tentang Syaikh Ahmad Khatib, Lihat juga: Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, (: Mizan, 2012), Hal: 241-251. 3 Drs. Suradi, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam sarekat Islam, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), Hal: 35.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 3

perjuangannya guna mendapatkan pengakuan kedaulatan. Akhirnya, pada tanggal 10 Juni 1947, pemerintah Mesir yang diwakili oleh PM Nokrasy Pasha dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Haji Agus Salim, menandatangani Perjanjian Persahabatan RI-Mesir yang sekaligus menandai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de jure dari pemerintah Mesir.4 Setelah misi diplomatik Republik Indonesia di Mesir, Haji Agus Salim kemudian melanjutkan perjalanan mengunjungi sejumlah negara Arab lainnya hingga Juli 1947, ketika Belanda melancarkan agresi militernya ke wilayah Republik Indonesia. Haji Agus Salim kemudian segera ditugaskan untuk meninggalkan Timur Tengah guna menemani Sutan Sjahrir ke Amerika Serikat untuk menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 12 Agustus 1947.5 Pada bulan Desember 1948, disaat terjadi agresi militer Belanda yang kedua, Haji Agus Salim turut ditangkap bersama dengan sejumlah pimpinan RI hingga dibebaskan pada pada awal tahun 1949, Setelah diakuinya kedaulatan Indonesia pada sidang KMB (Konferensi Meja Bundar) dan berdirinya RIS (Republik Indonesia Sarekat) pada 27 Desember 1949, Haji Agus Salim mulai mengurangi aktifitas politiknya dan kemudian meninggal pada 4 November 1954.6 Dengan latar belakang perjalanan politik yang begitu panjang, Haji Agus Salim telah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Sebagai seorang politisi yang pernah mendapatkan pendidikan Belanda, sikap Haji Agus Salim yang teguh menentang kolonialisme Belanda di Indonesia menjadikan dia tokoh yang istimewa bagi penulis. Selain itu, status Haji Agus Salim sebagai cendekiawan muslim yang turut mewarnai perjalanan ploitiknya juga sekaligus memberikan sumbangsih bagi sejarah pemikiran politik Islam di Indonesia. Oleh karena itu, penulis memiliki ketertarikan untuk meneliti Haji Agus Salim. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, permasalahan yang akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah “Bagaimana peran politik Haji Agus Salim dari masa Pergerakan Nasional hingga Revolusi Kemerdekaan (1908-1949)”. Adapun pertanyaan- pertanyaan penelitian yang diajukan untuk menjawab permasalahan tersebut antara lain:

4 AR. Baswedan, “Catatan dan Kenangan”, dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1996). Hal:147-148. 5 Muhammad Zein Hassan, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980). Hal: 227-230 6 Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 93

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 4

1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi kiprah politik Haji Agus Salim di Indonesia? 2. Bagaimana situasi dan kondisi politik Indonesia pada masa Pergerakan Nasional dan Revolusi Kemerdekaan?

Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Metode Sejarah yang terdiri dari Heuristik, kritik, interpretasi dan Historiografi. Dengan demikian, Metode Sejarah yang penulis gunakan dapat di jelaskan sebagai berikut: Heuristik. Tahap ini merupakan langkah pertama dalam setiap Metode Sejarah. Heuristik adalah proses pengumpulan sumber informasi yang berkenaan dengan penelitian yang sedang dijalankan oleh penulis. Sumber Sejarah dapat di bagi menjadi dua yakni sumber Primer dan sumber Sekunder. Sumber Primer merupakan data-data yang berasal dari pihak pertama baik itu lisan, maupun tulisan sehingga dapat berupa naskah, arsip, berita koran, wawancara dan sebagainya. Untuk penelitian yang sedang penulis jalankan, penulis mendapatkan sumber primer dari Arsip Nasional berupa surat-surat dari Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia (PKI) di Kairo yang semuanya disimpan dalam koleksi almarhum Muhammad Bondan, ketua Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (PKI) cabang Australia pada tahun 1947-1948. Semua data berupa surat dan dokumen-dokumen yang berasal dari komunitas-komunitas pembela kemerdekaan Indonesia di negara lain tersimpan rapi dalam koleksi Muhammad Bondan karena PKI Australia waktu itu merupakan pusat informasi bagi Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia yang tersebar di luar negeri. Surat-surat dan dokumen ini sangat penting untuk menjelaskan peran politik terpenting Haji Agus Salim selama masa Revolusi Kemerdekaan, yakni menjadi ketua delegasi RI di Mesir dan Timur Tengah (1947- 1948). Surat-surat ini juga menjelaskan kondisi sosial-politik yang terjadi di Mesir dan Timur Tengah secara umum pada waktu itu. Sedangkan untuk biografi umum Haji Agus Salim serta peran politiknya di masa Pergerakan Nasional dan pasca misi diplomatik RI di Timur Tengah, penulis mendapatkan informasinya melalui sumber sekunder. Penulis mendapatkan berbagai macam buku dan tesis dari perpustakaan UI, Perpustakaan Nasional, Freedom Institute, dan Perpustakaan PBNU serta jurnal elektronik dari Jstor. Kritik. Setelah sumber-sumber penelitian berhasil di kumpulkan, maka penulis pun melakukan tahapan kritik yang terbagi menjadi dua, yaitu kritik internal dan eksternal. Kritik internal adalah kritik terhadap isi materi dari sumber sejarah, baik yang didapat dari koran

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 5

sezaman, artikel, buku, rekaman video, maupun hasil dari wawancara, sedangkan kritik eksternal adalah kritik terhadap kondisi fisik dari sumber tersebut. Untuk melaksanakan kritik tersebut, penulis membagi antara sumber Primer dan Sekunder serta melihat kandungan dari sumber-sumber yang didapat apakah masih berhubungan dengan topik yang penulis bahas atau tidak. Untuk sumber Primer, penulis melihat dari isi surat maupun naskah termasuk tanggal surat itu di keluarkan. Sedangkan untuk sumber sekunder, penulis melakukan kritik dengan cara melihat biografi pengarang dari buku-buku yang didapat sekaligus melihat sumber-sumber yang di pakai dalam buku tersebut. Interpretasi, Tahap ini adalah tahap di mana penulis berusaha untuk menafsirkan kembali sumber-sumber yang sudah penulis dapatkan setelah proses kritik selesai. sumber- sumber yang sudah dievaluasi kemudian penulis analisis secara objektif untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kaitan antara sumber yang penulis dapatkan dan penelitian yang sedang penulis jalankan Terakhir adalah historiografi, Hasil dari interpretasi di atas selanjutnya akan disusun dan ditulis secara sistematis dalam penulisan sejarah untuk menghasilkan karya ilmiah. Tahap ini merupakan tahap penyelesaian dalam penelitian.

Hasil Penelitian Haji Agus Salim lahir pada tanggal 08 Oktober 1884 dengan nama lahir Masyudul Haq di kota Gadang, Bukit Tinggi. Haji Agus Salim merupakan putra dari Angku Sutan Muhammad Salim dan Siti Zaenab. Keluarganya merupakan keluarga kelas menengah karena ayah Haji Agus Salim merupakan Hoofd Jaksa atau kepala Jaksa Hindia Belanda di wilayah Riau. Nama Agus Salim sejatinya berasal dari panggilan yang diberikan kepada Agus Salim oleh pengasuhnya. Haji Agus Salim pertama kali mengenyam pendidikan formalnya di ELS (Europeese Lagere School) Riau pada tahun 18917 serta di HBS (Hogere Burgerschool) Batavia pada tahun 1899. Setelah lulus dari HBS, awalnya Haji Agus Salim berencana untuk melanjutan pendidikan di sekolah kedokteran di negeri Belanda, namun karena Agus Salim merupakan kaum pribumi, maka dia pun tidak mendapatkan beasiswa. Atas saran dari Dr. Snouck

7 Kustiniyati Mochtar. “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 36-37.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 6

Hurgronje8 yang pada waktu itu merupakan salah satu guru utamanya, Haji Agus Salim direkomendasikan untuk bekerja di konsulat Kerajaan Belanda di Jeddah.9. Haji Agus Salim kemudian bertugas di Jeddah10 dari tahun 1906-1911 di bawah Konsul N. Scheltema. Pada awalnya, Haji Agus Salim bekerja sebagai leerling drogman (magang penerjemah) sesuai surat keputusan Ratu Wilhelmina tanggal 27 Agustus 1906.11 Surat keputusan tersebut didapatkan atas usulan dari Snouck Horgronje yang merasa bahwa Haji Agus Salim, sebagai alumni HBS yang muda yang sangat brilian sekaligus salah satu orang pribumi yang sangat layak untuk diangkat menjadi diplomat di Jeddah.12 Perlu diketahui di sini bahwa tujuan lain dari Haji Agus Salim datang ke tanah Hijaz adalah untuk bertemu dengan seorang ulama Jawi (Muslim Nusantara yang tinggal di Timur Tengah) paling terkemuka pada waktu itu yang bernama Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, Imam Mazhab Syafii di Masjid al-Haram13. Haji Agus Salim bertemu dengan Syaikh Ahmad Khatib selain untuk bersilaturahmi (karena Syaikh Ahmad Khatib masih terhitung saudara sepupunya sendiri), juga sekaligus ingin memperdalam pemahamannya tentang Islam. Sebagai salah seorang Imam Besar Masjid al-Haram, pengetahuan luas yang dimiliki oleh Syaikh Ahmad Khatib oleh Haji Agus Salim diharapkan mampu menjawab segala macam pertanyaan-pertanyaan yang meragukan pikiran Haji Agus Salim tentang agama Islam. Haji Agus Salim belum pernah mendapatkan pendidikan agama Islam secara formal. Sejak remaja, dia sudah sangat akrab dengan pola pendidikan barat yang dia dapat di bangku sekolah sehingga Haji Agus Salim merasa bahwa keislamannya hanyalah bawaan dari kebangsaan saja14. Selama lima tahun belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib, Haji Agus Salim kemudian berubah menjadi cendekiawan muslim yang terkemuka. Pola pendidikan barat yang telah dia tempuh semenjak dia masih anak-anak mulai bergeser dan tidak lagi mempengaruhi pemikiran Haji Agus Salim. Melalui perantara Syaikh Ahmad Khatib, Haji Agus Salim semakin memperkokoh iman Islamnya. Pengetahuan Islam yang dimiliki oleh Haji Agus

8 Selengkapnya tentang peran Christian Snouck Horgronje dalam kebijakan pemerintahan Hindia-Belanda, terutama yang berkaitan dengan Islam, bisa dilihat: Jajat Burhanuddin, Op Cit, hal: 151-165. 9 Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 42. 10 Selengkapnya tentang Jeddah pada awal abad XX. Lihat: Dr. M. Shaleh Putuhena. Historiografi Haji Indonesia. (Yogyakarta: LKIS. 2007) Hal: 222-247. 11 Ibid, Hal: 237 12 Ibid., Hal: 237. 13 Kusniyati Mochtar, “Haji Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit, Hal: 44. 14 Ibid, Hal: 45.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 7

Salim akan menjadi salah satu faktor terpenting yang mendukung karir politiknya dalam masa Pergerakan Nasional serta masa Revolusi Kemerdekaan.15. Sedangkan di tanah air, pada dekade-dekade awal abad XX, Hindia Belanda sedang mengalami masa-masa Pergerakan Nasional. Selain ditandai dengan munculnya organisasi berhaluan kebangsaan seperti Budi Utomo (1908), beberapa diantaranya juga terinspirasi oleh semangat keagamaan yang baru. Ketika Timur Tengah dilanda oleh semangat pembaharuan Islam dalam bentuk Ijtihad 16 yang dipimpin oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Afghani17, semangat ini juga menular dikalangan cendikiawan muslim Hindia Belanda. Semangat Islam ini membentuk beberapa organisasi yang bergerak dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Beberapa organisasi pun berdiri seperti Sarekat Islam pada tahun 1912, Muhammadiyah pada tahun 1912, dan Nahdlatul Ulama pada tahun 192618. Sepulangnya dari Jeddah Haji Agus Salim menikah dengan wanita yang masih terhitung sepupunya sendiri yang benama Zainatun Nahar dan dikarunia sepuluh orang anak.19 Kemudian pada tahun 1915, Haji Agus Salim bergabung dengan SI (Sarekat Islam). Organisasi ini merupakan salah satu organisasi Pergerakan Nasional terbesar pada waktu itu. Sarekat Islam merupakan organisasi yang berdiri di Solo pada 11 November 1912 sebagai kelanjutan dari organisasi sebelumnya yakni Sarekat Dagang Islam20. Haji Agus Salim sangat kagum dengan pemimpin SI pada waktu itu, Haji Omar Said (HOS) Cokroaminoto.21 Ketika Haji Agus Salim bergabung dengan SI, sudah tejadi beberapa permasalahan dalam organisasi. Sarekat Islam yang memiliki banyak anggota dan cabang pada akhirnya dapat dimasuki oleh banyak kalangan. Ideologi-ideologi yang berbeda pun mewarnai organisasi ini. Salah satu ideologi yang sedang berusaha untuk memperluas pengaruhnya adalah Marxisme yang nantinya menjadi alasan perpecahan dalam SI.22

15 Suhatno Dkk. Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Muhammad Husni Thamrin. 1995. Depdikbud: Jakarta. Hal: 21. 16 Ijtihad merupakan istilah yang mengacu kepada segala daya upaya yang dapat menghasilkan penafsiran baru terhadap ajaran Islam yang dilakukan oleh ulama-ulama khusus yang sudah diakui dan memiliki kredibelitas keilmuan yang layak (Mujtahid). Selengkapnya tentang Ijtihad, lihat: Prof. Dr. Umar Shihab, Kapita Selekta Mozaik Islam: Ijtihad, Tafsir, dan Isu-isu Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2014). Hal:119-135 17 Selengkapnya tentang Jamaluddin Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) lihat: Jajat Burhanuddin, Op Cit. Hal: 252-263 18 Mukayat, Haji Agus Salim, Karya dan Pengabdiannya (Jakarta: Dedikbud, 1985). Hal: 55 19 Kustiniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 45-46. 20 Vishal Singh, “The Rise of Indonesian Political Parties”, Journal of Sautheast Asian History Volume 2 No. 2, (Cambridge University Press, 1961). Hal: 51 21 A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, (Jakarta: Grafitipers, 1985), Hal:195. 22 Drs. Suradi, Op Cit, Hal: 41.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 8

Masuknya ideologi Marxisme kedalam Sarekat Islam pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan ISDV (Indische Social Democratische Vereniging). Pada tahun 1914, H.J.V. Sneevlet, tokoh Komunis asal Belanda mendirikan ISDV dengan tujuan untuk mempromosikan ide-ide sosialisme di wilayah Hindia Belanda. Pada awalnya kebanyakan anggota dari ISDV terdiri dari orang-orang Eropa yang sedikit sekali mengetahui permasalahan sosial-politik orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Namun karena ISDV dan SI sama-sama menentang Imperealisme dan kapitalisme, maka ide-ide ISDV pun berkembang pesat dalam SI.23 Dengan adanya pengaruh kuat dari marxisme ini, maka agama Islam yang semula menjadi ideologi utama dalam SI semakin tergeser. Untuk mencegah pengaruh marxisme yang semakin meluas dalam tubuh SI, maka pada kongres SI di Surabaya pada Oktober 1921, Haji Agus Salim dan salah satu pimpinan SI, yakni memutuskan untuk mendisiplinkan organisasi dengan menolak ideologi Marxisme dalam organisasi serta mengeluarkan anggota-anggota SI yang mendukung Marxisme. Selain terjun sebagai pengurus Sarekat Islam, Haji Agus Salim juga terlibat dalam dunia jurnalistik. Untuk menyebarkan pemikirannya, beberapa surat kabar pernah dikelola oleh Haji Agus Salim seperti Neratja, Hindia Baroe, Bendera Islam, Fadjar Asia. Surat kabar-surat kabar tersebut tidak hanya menjadi media utama Haji Agus Salim dalam menyuarakan ide-ide Haji Agus Salim tentang Islam dan dunia Pergerakan Nasional, tapi juga sebagai media propaganda anti pemerintah kolonial. Seringkali beberapa surat kabar yang dikelola oleh Haji Agus Salim mendapatkan pertentangan dari pemerintah Kolonial sehingga Haji Agus Salim pun dikeluarkan dari kepengurusan surat kabar tersebut.24 Ketika Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), Haji Agus Salim sempat bekerja kepada pemerintah pendudukan Jepang dengan menciptakan kamus istilah militer Jepang- Indonesia. serta menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Setelah pendudukan Jepang berakhir, Indonesia memproklamasikan kemerdekannya pada 17 Agustus 1945. Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dengan kondisi dimana tidak ada satu pun negara yang mengakui kedaulatannya secara de jure. Hal ini menjadi penghalang yang sangat serius bagi Indonesia dalam menghadapi Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Oleh karena itu, politik indonesia pada masa ini adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan. Salah satu caranya adalah dengan

23 Erni Hayati Kahfi, Op Cit, hal. 92 24 Kustiniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 71-72.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 9

menjalankan politik diplomasi. Tujuan diplomasi Indonesia pada masa awal Revolusi Kemerdekaan salah satunya adalah mendapatkan pengakuan dari negara lain. Hal ini ditegaskan oleh Ide Anak Agung Gede Agung dalam bukunya Twenty Years of Indonesian Foreign Policy: 1945-1965. Dalam bukunya, dijelaskan bahwa diplomasi Indonesia pada masa awal kemerdekaan memiliki tiga tujuan: 1. To seek international recognition of Indonesia’s independence as procalaimed by Soekarno and Hatta on the eventful day of August 17, 1945; 2. To defend Indonesia’s freedom against the encroachment of the Dutch government, wich was trying even by the use of military force, to impose a new style of colonial rule in Indonesia based on the “Queen Wilhelmina Declaration” of December 7, 1942; 3. To concieve a course of diplomacy for settlement of the Dutch-Indonesian dispute by negotiation and accomodation, by applying to a third power to render her good offices as mediator, or by submitting the dispute to the jurisdiction of the United Nations for its assistence in reachinga solution.25 Untuk mendukung misi tersebut, maka pada 12 Maret 1946, Haji Agus Salim diangkat sebagai Menteri Muda Luar Negeri26. Salah satu peran utama Haji Agus Salim dalam kapasitasnya sebagai Menteri Muda Luar Negeri adalah sebagai ketua delegasi Indonesia untuk Timur Tengah. Timur Tengah menjadi salah satu tujuan utama diplomasi bangsa Indonesia karena memiliki kedekatan agama yang sangat kuat. Sebagaimana di Timur Tengah, Indonesia juga mayoritas penduduknya beragama Islam. Masyarakat keturunan Arab juga sudah berada di Nusantara sejak berabad-abad lamanya. Kebanyakan merupakan keturuanan dari wilayah Hadramaut, Yaman27. Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia juga mendapatkan sambutan yang hangat dan meriah dari masyarakat di Timur Tengah khususnya Mesir. Media masa setempat menyambut proklamasi tersebut dengan sangat antusias. Warga Indonesia di sana pun mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (PKI) cabang Kairo. Bahkan masyarakat Mesir sendiri juga ikut mendirikan organisasi serupa guna menyokong perjuangan

25 Ide Anak Agung Gede Agung, Ide Anak Agung Gede Agung, Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945- 1965, (Belanda: Mouton & Co, 1973, Hal: 20. 26 Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 21 27 Huub de Jonge, “Discord and Solidarity Among The Arabs in East Indies 1900-1942”, Indonesia No. 55, (Cornel University: Southeast Asia Program Publications, 1993). Hal: 75.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 10

Indonesia28. Dukungan juga datang Ikhwanul Muslimin, organisasi sosial keagamaan terbesar di Mesir29. Pada tanggal 31 Oktober 1946, Sekjen Liga Arab, Abdur Rahman Azzam Pasha mengusulkan agar masalah Indonesia diagendakan dalam sidang Liga Arab pada bulan November30. Atas izin dari Kepala Negara Mesir, Raja Farouk, maka diutuslah Muhammad Abdul Mounim, Konsul Mesir di Bombay, India, ke Jogjakarta untuk menyampaikan dukungan Mesir dan Liga Arab kepada Republik Indonesia serta mengundang perwakilan RI ke Mesir.31 Raja Farouk yang menjabat sebagai Raja Mesir sejak tahun 1937 pada saat usianya baru menginjak 16 tahun32 tersebut menurut Azzam Pasha sedang “bermimpi” untuk menjadi Khalifah umat muslim seluruh dunia sehingga dia merasa perlu untuk mendukung penuh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.33 Pada pagi hari tanggal 13 Maret 1947, mendaratlah Konsul Abdul Mounim di Maguwo Jogja34 dan langsung bertemu dengan Presiden di hari itu juga.35 Selain menyampaikan pesan dari Raja Farouk, Abdul Mounim juga menyampaikan pesan dari Liga Arab bahwa lembaga tersebut telah menganjurkan anggotanya agar mengakui kemerdekaan Indonesia dan meminta pemerintah RI agar mengirim delegasi ke Timur Tengah. Pemerintah RI segera merespon permintaan utusan Liga Arab dan Mesir tersebut dengan berjanji akan mengirimkan delegasi ke ke Mesir untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan RI secara de jure dari pemerintah Mesir. Maka pada tanggal 19 April 1947 mendaratlah delegasi RI di lapangan udara Kairo36.

28 ANRI, Koleksi Mohammad Bondan No. 537, “Surat PKI pusat di Kairo kepada Cenkim Australia pada tanggal 8 September 1946 Tentang Propaganda” 29 M Arif Ramadhan, Peran Mahasiswa dan Alumni Al-Azhar dalam Hubungan Indonesia-Mesir (Tesis), (Jakarta: Program Pascasarjana UI, 2011), hal: 91 30 Selengkapnya tentang uraian langkah-langkah Panitia PKI Kairo, Lihat: ANRI, Koleksi Mohammad Bondan No. 541 “Surat dari PKI pusat di Kairo kepada Cenkim Australia pada tanggal 8 November 1946 tentang sidang Liga Arab pada 15 November 1946” 31. Abdul Rahman Azzam Pasha, “Masalah Indonesia: Penggalang kerjasama Arab-Asia” diterjemahkan oleh Ismail Albandjar, dalam Sekitar Perjanjian Persahabatan indonesia-Mesir tahun 1947, (Jakarta: Panita Peringatan HUT ke-32 Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir, 1978). Hal: 79. 32 Laila Morsy, Farouk in British Policy, Middle Eastern Studies Volume 20 No. 4, (Tylor & Francis, Ltd., 1984), Hal: 193. 33 Abdul Rahman Azzam Pasha, “Masalah Indonesia: Penggalang kerjasama Arab-Asia” diterjemahkan oleh Ismail Albandjar, dalam Op Cit, Hal: 74-75. 34 K’tut Tantri, Revolusi di Nusa Damai, (Jakarta: Gunung Agung, 1965). Hal:394-405. 35 H.M. Sudjono, “Cerita Laksamana Madya H.M. Sudjono tentang Kedatangan Utusan Liga Arab, Abdul Mounim”, Sekitar Perjanjian Persahabatan indonesia-Mesir tahun 1947, (Jakarta: Panita Peringatan HUT ke- 32 Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir, 1978). Hal: 89. 36 Muhammad Zein Hassan, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980). Hal: 197.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 11

Delegasi RI tersebut diketuai oleh Haji Agus Salim. Setelah mengalami permasalahan dibagian imigrasi bandara37, anggota delegasi RI di bandara Kairo yang terdiri dari Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan), dan Dr. Mr. Nazir St. Pamuncak (Pegawai Tinggi Kemenlu) ini disambut oleh dua anggota delegasi lain yakni H.M. Rasyidi (Sekjen Kementerian Agama) dan Mayor Jendral Abdul Kadir yang terlebih dahulu tiba di Mesir pada tanggal 5 April. Rombongan delegasi ini kemudian menuju ke markas Liga Arab, tepatnya di ruang tunggu Sekjen Liga Arab untuk bertemu dengan pantia pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia.38 Kegiatan pertama yang dilakukan oleh delegasi RI adalah bertemu dan berdiskusi dengan panitia pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Panitia menjelaskan tentang langkah-langkah yang dilakukan oleh Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dalam membantu pemerintah Indonesia39. Haji Agus Salim selaku ketua delegasi menyatakan rasa terima kasihnya kepada para pemuda Indonesia yang dengan gigih telah turut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui caranya masing-masing. Pemerintah Indonesia mengerti dan sangat mendukung upaya yang dilakukan oleh panitia dalam memperjuangkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.40 Agenda berikutnya setelah bertemu dengan panitia pusat serta para pelajar di Mesir adalah memulai kunjungan-kunjungan kehormatan yang memakan waktu selama kurang lebih tiga bulan. Puncaknya, setelah bertemu dengan Raja Farouk dan tokoh-tokoh Arab lainnya, Pada tanggal 10 Juni 1947 bertepatan dengan 21 Rajab 1366 H, Haji Agus Salim bertemu dengan Mahmud Fahmy Nokrasyi, Perdana Menteri Mesir untuk menandatangani naskah perjanjian persahabatan RI-Mesir. Naskah perjanjian persahabatan inilah yang menjadi bukti pengakuan pertama secara de jure atas kedaulatan RI oleh negara berdaulat lainnya.41 Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama. Belanda menyebut agresi tersebut dengan “aksi polisionil”. Pemerintah RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir Syarifuddin segera mengutus Sutan Sjahrir ke New York untuk mengadukan permasalahan ini ke PBB. Haji Agus Salim yang menjabat sebagai ketua

37 Masalah ini berkenaan dengan petugas imigrasi yang bingung karena tidak mengenal negara Indonesia. Tapi setelah dijelaskan bahwa rombongan delegasi ini semuanya beragama Islam, maka petugas imigrasi tersebut tanpa banyak bertanya langsung menyambut dan mempersilahkan mereka untuk lewat. Selengkapnya lihat: AR. Baswedan, “Catatan dan Kenangan”, Op Cit. Hal: 140. 38 Muhammad Zein Hassan, Op Cit. Hal: 197. 39 ANRI, Koleksi Mohammad Bondan No. 548, “Surat dari Pegurus PKI Pusat Cairo di Cenkim Brisbane Tanggal 12 maret 1947 Tentang Uraian langkah-langkah PKI Tahun 1947”. 40 Muhammad Zein Hassan, Op Cit. Hal: 202. 41 AR. Baswedan, “Catatan dan Kenangan”, dalam Op Cit. Hal:147-148.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 12

delegasi RI di Timur Tengah pun telah diangkat menjadi Menteri Luar Negeri sejak tanggal 3 Juli 1947 dan diminta untuk menemani Sjahrir ke Amerika Serikat. Dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 31 Juli 1947, Australia mengajukan permasalahan Indonesia agar masuk dalam agenda sidang. Australia meminta kepada Dewan Keamanan untuk mengehentikan permusuhan yang berlangsung antara tentara Belanda dengan pejuang Indonesia semenjak aksi militer Belanda tanggal 21 Juli.42 Belanda dan India yang bukan anggota dewan juga diundang menghadiri sidang tersebut namun tidak memiliki suara dalam menentukan keputusan Dewan Keamanan. Wakil Australia, Kolonel Hudgson kemudian mengusulkan untuk turut serta mengundang wakil dari RI namun mendapatkan penolakan dari wakil Belanda.43 Faris el-Khouri44, Duta Besar Suriah untuk PBB yang pada waktu itu terpilih sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan setuju agar perwakilan RI diundang dalam sidang PBB45. Sidang tentang masalah Indonesia ini dilanjutkan kembali pada tanggal 12 Agustus 1947. Kali ini Suriah bertindak sebagai ketua sidang dan perwakilan dari Indonesia pun secara resmi diizinkan untuk hadir dalam sidang. Dukungan dari Suriah ini diberikan setelah Suriah mengakui kedaulatan RI pada bulan Juni. Keputusan Suriah untuk turut mengakui kedaulatan RI juga karena Mesir telah mengakuinya terlebih dahulu.46 Dalam sidang tersebut, Sutan Sjahrir menegaskan perlunya mediasi dari pihak ketiga untuk mengakhiri perselisihan antara RI dengan Belanda. Pidato Sjahrir ini kemudian meghasilkan dibentuknya KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai mediator yang terdiri dari Australia, Belgia, dan Amerika Serikat47. Pasca menghadiri sidang PBB tersebut, Haji Agus Salim kemudian kembali ke Indonesia. Sebagai Menteri Luar Negeri dibawah kabinet Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947-29 Januari 1948) dan kabinet Hatta (29 Januari 1948-4 Agustus 1948).

42 Digital Archive of Repertoire of The General Assembly of The United Nations, Chapter VII: Maintenace of International Peace and Security, “The Indonesian Question (II)”, Hal: 315. http://www.un.org/en/sc/repertoire/46-51/46-51_08.pdf (Diakses pada tanggal 29 November 2015, pukul 23.00) 43 Muhammad Roem, “Debat Tentang Status Republik Indonesia di Dewan Keamanan”, dalam Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir tahun 1947, (Jakarta: Panita Peringatan HUT ke-32 Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir, 1978). Hal:62-63. 44 Faris el-Khouri adalah negarawan Suriah yang berama Kristen, fakta ini menunjukkan bahwa hubungan Indonesia dengan negara-negara Arab di Timur Tengah tengah melewati batas-batas keagamaan. Selengkapnya lihat: Sami Moubayed, Good Christian, and Orientalists to the Bone, http://newsweek.washingtonpost.com/postglobal/sami_moubayed/2007/12/good_christians_and_orientalis.html (Diakses pada 29 November 2015, Pukul: 22.30) 45 Muhammad Roem, “Debat Tentang Status Republik Indonesia di Dewan Keamanan”, dalam Op Cit, Hal: 69. 46 Ibid., Hal: 70-73. 47 Rudolf Mrazek, Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor, 1996), Hal:624.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 13

Pada tanggal 18 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua. Setelah Yogyakarta diduduki pada 19 Desember, para pimpinan RI sepakat untuk membiarkan diri mereka ditangkap, dengan harapan bahwa opini masyarakat internasional akan berbalik mendukung Indonesia serta untuk menjaga kontak dengan perwakilan KTN. Pada tanggal 6 Juli 1949, Haji Agus Salim beserta para pimpinan RI lainnya dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta. Haji Agus Salim diangkat kembali menjadi Menteri Luar Negeri hingga berdirinya RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tanggal 27 Desember 1949.48 Pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda, Haji Agus Salim kemudian mulai mengurangi aktifitas politiknya. Haji Agus Salim sempat menjadi penasehat Menteri Luar Negeri RIS dari Februari hingga April 1950, namun setelah itu, Haji Agus Salim tidak lagi menjabat dalam pemerintahan. Kehidupan Haji Agus Salim kemudian dijalani dengan berbagai kegiatan seperti menjadi dosen tamu di Cornell University (Januari-Juni 1953), menghadiri upacara penobatan Ratu Elizabeth II di Inggris (Juni 1953), hingga menjadi peserta pada Colloqoium on Islamic Culture di Princeton University (Agustus 1953). Pada tanggal 4 November 1954, Haji Agus Salim meninggal dunia pada usia 70 tahun. Jasadnya kemudian disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.49

Penutup Sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah politik Indonesia, Haji Agus Salim telah banyak memberikan sumbangan bagi sejarah perjalanan bangsa. Lahir dari keluarga menengah pribumi, Haji Agus Salim kemudian menempuh pendidikan di sekolah Belanda, yakni ELS dan HBS. Apa yang dilihat dan dirasakan Haji Agus Salim selama menempuh pendidikan di sekolah Belanda pada akhirnya membuat Haji Agus Salim sadar bahwa pendidikan kolonial pada dasarnya hanya ditujukan untuk kepentingan penjajah. Pada tahun 1909-1911, Haji Agus Salim bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah, Hijaz. Selama lima tahun di Hijaz, Haji Agus Salim juga belajar agama secara lebih mendalam dengan Syaikh Ahmad Khatib. Dia yang dulunya sangat skeptis dengan agama, kemudian berubah menjadi orang yang sangat mencintai agamanya. Proses pembelajaran dengan syaikh Ahmad Khatib juga turut berperan dalam membentuk sikap politiknya ketika pulang ke tanah air.

48 Mukayat, Op Cit, Hal: 82. 49 Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas” dalam Op Cit. Hal: 93

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 14

Pada tahun 1915, Haji Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Melalui organisasi Sarekat Islam, Haji Agus Salim pertama kali terjun dalam dunia politik di tanah air. Haji Agus Salim turut berperan dalam perjuangan organisasi untuk mendapatkan kemerdekaan politik bagi bangsa Indonesia. Selain itu, Haji Agus Salim juga terlibat dalam konflik internal yang terjadi dalam tubuh organisasi, yakni konflik antara golongan yang pro dan anti Marxisme yang pada akhirnya mengakibatkan keputusan berupa disiplin partai yang menolak unsur-unsur Komunisme dalam organisasi. Penolakan terhadap Komunisme ini dilandasi kepada keyakinan teguh Haji Agus Salim akan ideologi Islam yang menurutnya tidak perlu dicampuradukkan dengan ideologi-ideologi lain semacam Marxisme. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan dimulailah masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Salah satu peristiwa terpenting yang dijalani oleh Haji Agus Salim di masa Revolusi Kemerdekaan adalah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de jure oleh Mesir. Haji Agus Salim yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri didaulat sebagai ketua delegasi Indonesia di Mesir. Hal ini karena Haji Agus Salim dianggap paling berpengalaman dengan dunia politik di Timur Tengah serta posisinya sebagai cendekiawan muslim yang dapat menunjang kelancaran proses diplomasi di sana. Maka pada 19 Apil 1947, Haji Agus Salim dan rombongan delegasi tiba di Kairo, Mesir. Setelah menunggu hampir tiga bulan, akhirnya kedaulatan RI pun diakui oleh pemerintah RI secara de jure dengan ditandatanganinya naskah Perjanjian persahabatan RI-Mesir pada tanggal 10 Juni 1947. Pasca menjadi ketua misi diplomatik RI di Mesir, Haji Agus Salim kemudian menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada kabinet Amir Sjarifuddin lalu kemudian dilanjutkan pada kabinet Hatta. Pada saat agresi militer Belanda yang kedua terjadi (1948), Haji Agus Salim juga turut ditangkap bersama dengan tokoh-tokoh politik RI lainnya. Dia ditahan di Brastagi dan Prapat, Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Haji Agus Salim kemudian dibebaskan. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949, Haji Agus tidak lagi terlibat dalam aktifitas politik dan meninggal pada 4 November 1954. Perjalanan politik yang begitu panjang telah dialami oleh Haji Agus Salim baik dimasa Pergerakan Nasional maupun di masa Revolusi Kemerdekaan. Jika dimasa Pergerakan Nasional perjuangan politik Haji Agus Salim terfokus kepada usaha untuk kemerdekaan Indonesia, maka dimasa Revolusi Kemerdekaan maka fokus utamanya adalah mempertahankan kemeredekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 15

Meski memiliki fokus utama yang berbeda, namun keduanya masih tetap terbingkai dalam keyakinan teguh Haji Agus Salim akan Islam sebagai landasan politiknya.

Daftar Referensi

Arsip

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). No. 537, Surat PKI pusat di Cairo kepada Cenkim Australia pada tanggal 8 September 1946 Tentang Propaganda

______No. 541, Surat dari PKI pusat di Cairo kepada Cenkim Australia pada tanggal 8 November 1946 tentang sidang liga arab pada 15 November 1946

______No. 548, Surat dari Pegurus PKI Pusat Cairo di Cenkim Brisbane Tanggal 12 maret 1947 Tentang Uraian langkah-langkah PKI Tahun 1947

Arsip Digital

Digital Archive of Repertoire of The General Assembly of The United Nations. Chapter VII: Maintenace of International Peace and Security, The Indonesian Question (II). Diakses pada 29 November 2015.

http://www.un.org/en/sc/repertoire/46-51/46-51_08.pdf

Buku:.

Burhanuddin, J. (2012). Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.

Gede Agung, I. A. (1973). Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965. Amsterdam: Mouton & Co.

Hassan, M. Z. (1980). Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: Bulan Bintang.

Kahfi, E. H. (1996). Haji Agus Salim: His Role In Nationalist Movements In Indonesia During The Early Twentieth Century. Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University

Korver, A. (1985) Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafitipers.

Mrazek, R. (1996). Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017 16

Mukayat. (1985). Haji Agus Salim, Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Depdikbud.

Putuhena, M. S. (2007). Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKIS.

Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir Tahun 1947. (1978). Jakarta: Panitia Peringatan HUT ke-32 Pejanjian Persahabatan Indonesia-Mesir.

Seratus tahun Haji Agus Salim. (1996). Jakarta: Sinar Harapan.

Shihab, P. D. (2014). kapita Selekta Mozaik Islam: Ijtihad, Tafsir, dan Isu-Isu Kontemporer. Bandung: Mizan.

Suhatno. (1995). Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Muhammad Husni Thamrin. Jakarta: Depdikbud.

Suradi. (1997). Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tantri, K. (1965). Revolusi di Nusa Damai. Jakarta: Gunung Agung.

Artikel Jurnal:

Jonge, H. d. (1993). Discord and Solidarity Among The Arabs in Netherlands East Indies 1900-1942. Indonesia No. 55 .

Morsy, L. (1984). Farouk in British Plolicy. Middle Eastern Studies Volume 20 No. 4.

Singh, V. (1961) The Rise of Indonesian Political Parties. Journal of Sautheast Asian History Volume 2 No. 2.

Tesis

Ramadhan, M. A. (2011). Peran Mahasiswa dan Alumni Al-Azhar dalam Hubungan Indonesia-Mesir. Jakarta: Tesis Program Pascasarjana UI.

Sumber Internet

Sami Moubayed, “Good Christian, and Orientalists to the Bone”. Diakses pada 29 November 2015. http://newsweek.washingtonpost.com/postglobal/sami_moubayed/2007/12/good_christia ns_and_orientalis.html

Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017